UNIVERSITAS INDONESIA
STRUKTUR PEKERJAAN DAN STRUKTUR SOSIAL SOSIOLOGI INDUSTRI DAN KETENAGAKERJAAN
DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 AHMAD MUTSLA Z
(1206240234)
DETANIA SAVITRI
(1206210534)
FEBRYAN DWI PUTRA
(1206210540)
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI PROGRAM SARJANA REGULER DEPOK, 2015
The Indonesian Labor Market Dalam perkembangannya selama dua puluh tahun terakhir struktur pekerjaan masyarakat Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan mulai banyaknya tenaga kerja yang diserap dalam sektor industri terutama manufaktur dan jasa. Tenaga kerja Indonesia yang tadinya banyak diserap dalam sektor agrikultur yaitu sebesar 50% di tahun 1993 menjadi 44,47% di tahun 2006 sedangkan sektor industri terutama manufaktur dan jasa terus mengalami peningkatan dari 11,10% di tahun 1993 menjadi 12,16% ditahun 2006. Hal ini disebabkan karena jumlah tenaga kerja yang terus meningkat tidak dapat ditampung dalam sektor agrikultur sehingga beralih kepada sektor industri, selain itu faktor lain adalah masuknya industrialisasi dan kapitalisme di Indonesia lewat investasiinvestasi asing. Dampak dari masuknya Investasi-investasi asing ini kepada struktur sosial masyarakat Indonesia adalah munculnya kelas sosial yang disebut oleh Marx sebagai working class dan bourjois class. Struktur masyarakat Indonesia yang tadinya lebih banyak didasari oleh kepemilikan lahan pertanian berubah menjadi struktur masyarakat yang didasari oleh kepemilikan modal. Penawaran pasar tenaga kerja di Indonesia memiliki karakteristik yang membedakan antara kelompok pekerja satu dengan kelompok pekerja lainnya yang berbasiskan gender. Bahkan perbedaan ini mengarah pada ketidaksetaraan antara pria dan wanita. Meskipun wanita sudah mulai menyumbang angka yang banyak untuk jumlah angkatan kerja di Indonesia, jumlah pria masih lebih banyak dibandingkan jumlah wanita yang berpartisipasi di dunia kerja. Selain itu, berdasarkan penelitian pada tahun 2006, sebagian besar (28,2%) pekerja pria bekerja sebagai karyawan, sedangkan sebagian besar pekerja wanita (36,9%) bekerja di usaha keluarga secara sukarela (tidak ada upah). Selain jenis pekerjaan, terdapat aspek-aspek lain yang dapat menjadi hal yang mengindikasikan ketidaksetaraan antara pria dan wanita. Aspek-aspek lain antara lain; rata-rata penghasilan, lamanya waktu bekerja per minggu, dan kesempatan bekerja pada umur yang sudah tua. Dari ketiga aspek tersebut pria memiliki angka yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Dari perbedaan-perbedaan tersebut dapat terlihat bahwa Indonesia menganut sistem patriarki
The Flexibility Regime and Organised Labour in Indonesia Media massa, bisnis, ekonomi, politisi dan pejabat pemerintah mengalami kegugupan terkait kurangnya daya dalam pertumbuhan ekonomi dan ketidakpastian Indonesia dalam
menghadapi liberalisasi pasar yang tidak dapat dihindari. Hal ini tidak hanya membuat resah industri lokal saja, namun memiliki implikasi penting terhadap perkembangan gerakan buruh. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah menimbulkan kekhawatiran bahwa terjadinya pergeseran dari pekerjaan permanen menjadi pekerja kontrak dan pekerja outsourcing dalam upaya untuk membuat industri Indonesia lebih menarik bagi investor. Mengenai rezim fleksibilitas menciptakan keretakan antara pihak-pihak yang percaya bahwa peningkatan fleksibilitas menawarkan cara mengatasi masalah pengangguran dengan memberikan kesempatan modal untuk beroperasi secara bebas di pasar tenaga kerja dan untuk melaksanakan proses kerja yang efektif. Pengusaha dan ekonom telah mendukung pergeseran ke pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel dengan alasan bahwa hal itu merupakan strategi kunci dalam kampanye untuk menarik lebih banyak investasi dan menciptakan lapangan kerja. Konsep fleksibilitas Pada pembahasan ini sebenarnya ingin membahas terkait di mana rezim fleksibilitas dapat beroperasi di Indonesia dan dampaknya terhadap serikat pekerja. Pengertian dari fleksibilitas itu sendiri menurut Meulders dan Wilkin (1991) adalah kemampuan untuk beradaptasi semaksimal mungkin terhadap perubahan lingkungan, baik segi sosial, ekonomi mikro atau ekonomi makro. Konsep fleksibilitas ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan proses produksi dan pasar kerja.
From a Strategy to a Regime Dalam pemahaman neo-klasik dari pasar tenaga kerja, negara memiliki peran penting dalam menjamin tingkat kecukupan. Dengan pemahaman ini, maka konsep fleksibilitas ini menekankan pada intervensi politik yang diminimalkan dan peraturan yang ditetapkan dapat menjamin praktek-praktek yang fleksibel dapat beroperasi sebagaimana mestinya. Negara memiliki kepentingan untuk mendukung sistem seperti iklim produksi yang akan menciptakan lapangan kerja yang tinggi dan sebuah dukungan (Hutchison dan Brown, 2001). Peran aktif negara dalam fleksibilitas ini tidak bisa dianggap hanya sebagai strategi produksi dan mengatur tenaga kerja saja, tetapi juga mengatur kelembagaan yang mencerminkan bentuk kapitalisme khusus, dengan kata lain adalah sebuah rezim. Rezim adalah seperangkat pengaturan kelembagaan dan peraturan tersistematis yang dikembangkan oleh aliansi sosial berdasarkan ideologi dan pendekatan politik-ekonomi.
Menurut Candland, rezim tenaga kerja adalah pola perekrutan dan syarat serta kondisi kerja yang struktur kepentingan kerja terhadap pemerintah dan industri. Rezim tenaga kerja ini didasari oleh prinsip-prinsip fleksibilitas kerja untuk memastikan modal yang memiliki akses ke pasar tenaga kerja. Rezim ini juga melibatkan peraturan dan pengaturan kelembagaan yang mengontrol sistem upah, kondisi kerja, mobilisasi dan penempatan kerja, jenis kerja industri yang diprioritaskan, dan peran serta fungsi serikat. Namun, rezim akumulasi didasari oleh prinsip-prinsip pengaturan kelembagaan yang dirancang untuk mengontrol proses produksi. Sehingga, muncullah rezim produksi, di mana rezim produksi yang fleksibel menuntut tenaga kerja yang siap ditempatkan di jenis pekerjaan apa saja, dan yang bervariasi sesuai dengan tuntutan dari siklus produksi. Hal ini memerlukan tenaga kerja yang multi-keterampilan dan multi-task. Menggunakan pekerja kontrak, dan outsourcing merupakan strategi tambahan untuk memastikan bahwa tenaga kerja mudah dipindahkan atau dimobilisasi. Mekanisme kelembagaan dalam rezim fleksibilitas ini melibatkan penyebaran tempat kerja di luar, ke tingkat nasional dan internasional yang melibatkan aliansi modal dan aliansi negara. Di tempat kerja, modal dan penawaran tenaga kerja bahkan terkadang membentuk serikat aliansi strategis yang konkret untuk mempromosikan fleksibilitas. Sementara, di tingkat nasional aliansi melibatkan negara, kepentingan bisnis, dan bagian yang berfokus pada pasar masyarakat. Aliansi modal dan aliansi negara menjadi sangat strategis karena fleksibilitas yang didukung oleh peraturan ketenagakerjaan yang dirumuskan dan dilaksanakan dengan instrumen negara neo-liberal. Di negara berkembang, rezim fleksibilitas ini memanifestasikan masing-masing negara dalam bentuk yang berbeda. Misalnya, Asia Tenggara yang tekanan terhadap pasar modal yang sangat kuat. Seperti negara Singapura, Malaysia, dan Thailand yang menurut data World Bank merupakan wilayah yang berfungsi sebagai model kebijakan dan prkatik pasar tenaga kerja yang fleksibel. World Bank memiliki indikator bahwa kategori sukses dapat dikatakan bahwa negara tersebut memiliki kemudahan di mana pekerjanya dapat dipekerjakan dan dipecat.
Implikasi Bagi Pekerja Dalam beberapa literatur membahas mengenai prinsip-prinsip kelembagaan perusahaan yang didalamnya berisi mengenai asumsi positivistik dan optimis yang
memunculkan rezim fleksibilitas yang melakukan pemeriksaan secara empiris. Pengawasan ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dasar fleksibilitas pasar tenaga kerja secara inheren merusak pekerja, di mana dalam prakteknya prinsip-prinsip tersebut menuntut kelembagaan pasar tenaga kerja dualistik di tingkat tempat kerja berdasarkan status pekerjaan yang berbeda. Di mana dualistik tersebut adalah pekerja kontrak dan outsourcing. Pasar tenaga kerja yang fleksibel menyebabkan meningkatnya ketidakamanan kerja dan ketidakpastian ekonomi. hal ini mengakibatkan rendahnya kolektivitas kerja, karena dalam lingkungan pekerjaannya itu sudah terbagi atas beberapa bentuk tenaga kerja, yaitu pekerja yang tetap, pekerja kontrak, dan pekerja outsourcing. Dengan pembagian struktur pekerjaan seperti ini, maka antara mereka sulit untuk bekerja bersama. Selain itu, dalam wacana rezim fleksibilitas di mana pekerja memiliki fleksibilitas untuk beralih antara pekerjaan dan sektor. Pekerja apabila ingin mengelola pekerjaan mereka didasari oleh sistem managerial. Di mana hanya pekerja yang punya keterampilan lebih saja yang dapat berada pada struktur atas, dan pekerja yang memiliki keterampilan lebih saja yang dapat berpindah-pindah posisi pekerjaannya. Namun, yang bagi pekerja yang semi-skilled dan unskilled sulit untuk berpindah posisi atau jabatan dalam kerjanya. Melainkan mereka cenderung tetap berada di posisi tersebut. misalnya di Eropa dan Amerika Utara, fleksibilitas pekerja tersedia hanya untuk tenaga kerja terampil dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Sedangkan di Jepang, fleksibilitas memang menguntungkan untuk tenaga kerja terampil, tetapi tetap ada tekanan pada upah dan tunjangan bagi pekerja semu terampil dan tidak terampil. Hal ini menjadi sangat penting di pasar tenaga kerja dari negara-negara seperti Indonesia, di mana adanya ketidakseimbangan antara tenaga kerja terampil dengan tenaga kerja tidak terampil. Dalam perkembangannya industri membutuhkan pekerja-pekerja yang memiliki keahlian-keahlian khusus hal ini menyebabkan munculnya kelas-kelas pekerja baru, dimana kelas pekerja ini memiliki keahlian khusus contohnya adalah manager. Orang-orang yang menduduki posisi khusus ini mendapatkan bayaran yang lebih tinggi dibandingkan pekerja biasa. Hal ini mendorong munculnya kelas sosial baru dalam struktur masyarakat Indonesia yaitu kelas menengah.
The Practice of Flexibility in Indonesia Masuknya sistem fleksibilitas di Indonesia memiliki dampak yang negatif bagi kelas pekerja di Indonesia terutama kelas pekerja yang dalam kategori semiskilled maupun
unskilled. Hal ini disebabkan karena mereka tidak lagi mendapatkan jaminan-jaminan sosial maupun kesehatan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Bahkan mereka tidak memiliki rasa aman akan kerja yang sedang mereka lakukan karena bisa saja secara tiba-tiba perusahaan melakukan pemutusan kerja. Selain itu gaji yang mereka dapatkan sering kali berada di bawah upah minimum yang telah diatur. Hal ini mengakibatkan kelas pekerja semiskilled dan unskilled selalu tereksploitasi dan tidak dapat melakukan mobilitas vertikal keatas sehingga mereka akan selalu berada dalam struktur kelas sosial bawah dalam masyarakat Indonesia. Selain itu akan terus terjadi kesenjangan yang semakin tinggi dalam struktur masyarakat Indonesia karena para pemilik modal semakin mendapatkan keuntungan yang besar dari adanya eksploitasi terhadap kelas pekerja ini.
Kritik Setelah membicarakan mengenai pekerja outsourcing, kebijakan tersebut cenderung tidak memberikan kenyamanan bagi pekerjanya tersebut, bahkan untuk pekerja kontrak pula. Dalam kebijakan mengenai pekerja ini, dapat dikritik bahwa perilaku yang ditujukan kepada pekerja kontak dan outsourcing ini di eksploitasi baik oleh perusahaan outsourcing itu sendiri dan oleh perusahaan intinya. Di mana seperti yang kita tahu bahwa pekerja outsourcing tersebut hanya bersifat sementara. Kritik selanjutnya yaitu perusahaan yang mempekerjakan pekerja outsourcing tersebut tidak memberikan jaminan-jaminan untuk keberlangsungan hidup pekerja, seperti jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan lain-lain. Peran pemerintah dalam fleksibilitas pekerja ini sangat lemah sekali. Karena pemerintah kurang memperhatikan kehidupan para pekerja. Oleh karena itu, dalam mengatasi masalah pekerja seperti ini, sangat dibutuhkan intervensi pemerintah dalam membuat peraturan, kebijakan, dan bahkan undang-undang terkait kesejahteraan dan kenyamanan untuk para pekerja outsourcing dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Selain pemerintah, sebaiknya masyarakat sendiri juga berkontribusi dalam memperbaiki kondisi pekerja outsourcing di Indonesia. Walaupun fleksibilitas dipandang memberikan dampak yang negatif bagi pekerjapekerja di Indonesia. Namun fleksibilitas tidak menutup sepenuhnya saluran mobilitas bagi pekerja. Karena dengan adanya fleksibilitas memungkinkan pekerja untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya walaupun hal ini hanya berlaku bagi beberapa individu saja khususnya bagi mereka yang memiliki kemampuan-kemampuan khusus.
Mereka tetap bisa melakukan mobilitas vertikal keatas. Dampak negatif yang timbul akibat diberlakukanya sistem fleksibilitas di Indonesia tidak sepenuhnya dikarenakan konsep dari fleksibilitas itu sendiri tetapi juga dikarenakan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya. Contohnya, dalam Undang-undang nomor 13 tahun 2003 perusahaan diperbolehkan untuk menggunakan tenaga outsourcing tetapi hanya untuk pekerjaan yang bukan merupakan pekerjaan inti, namun dalam pelaksanaannya banyak perusahaan yang merekrut pekerja outsourcing untuk melakukan pekerjaaan-pekerjaan inti. Apabila pemerintah dapat melakukan fungsi pengawasan yang lebih ketat dalam pelaksanaan sistem fleksibilitas mungkin hal ini dapat meminimalisir dampak negatif yang disebabkan oleh sistem tersebut.
Daftar Pustaka Tjandraningsih, Indrasari & Nugroho, Hari. “The Flexibility Regime and Organised Labour : The Experience of Indonesia”. in Labour and
Management in Development
Journal. Vol.9/ 2008. University of Tasmania & AFDA. Hasoloan,Maruli.A, Indonesian Labor Market, a paper presented at the OECD Forum at OECD Jobs Strategy