LANDASAN TEORI
Struktur Sosial Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi. Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Linton (1967), dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan
7
statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status). Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi. Marx mengikuti teori ekonomik klasik yang cukup ortodok, membedakan tiga kelas utama, masing-masingnya dicirikan dalam perannya di dalam sistem produktif oleh faktor produksi yang dikendalikannya. Wujud kelas utama ini kaum kapitalis (borjuis) oleh pemilikan atas modal, dan kaum proletar (kelas pekerja) oleh kepemilikan atas kekuatan kerja. Faktor kapital memang merupakan kunci dalam terbentuknya kelas-kelas sosial kalau digunakan perspektif Marxis ini. Penguasaan kapital semakin besar, maka semakin besar kesempatan mobilitas ke kelas atas. Kelas sosialnya semakin ke atas, maka semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses politik, kebijakan publik dan seterusnya (Worsley, 1992). Marx menekankan betapa pentingnya faktor ekonomi dalam menentukan kehidupan sosial, terutama sekali Marx menekankan bahwa sistem ekonomi yang cenderung kapitalislah yang telah menjadi sebab ketidakadilan dan kesenjangan struktur kelas-kelas dalam masyarakat (Sugihen, 1997) Marx mengungkapkan bahwa kelas secara tetap berkaitan dengan posisi kelompok yang berbeda-beda dalam hubungan produksi, yaitu cara kelompok-kelompok khusus terlibat dalam
8
proses masyarakat memproduksi dirinya. Posisi dalam hubungan produksi ini bisa sebagai pemilik atau sebagai pengawas alat-alat produksi, sebagai produsen langsung, dan sebagai buruh upahan. Analisa Weberian menempatkan kelas dalam posisi ekonomi berhadapan dengan status yang merupakan distribusi kehormatan dan prestise dan kekuasaan politik (Tanter dan Kenneth, 1989). Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970). Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970). Weber mengadakan pembedaan antara dasar ekonomi dengan dasar kedudukan sosial akan tetapi tetap menggunakan istilah kelas bagi semua lapisan.
9
Kelas ekonomi ini dibaginya lagi dalam sub kelas yang bergerak dalam bidang ekonomi dengan menggunakan kecakapannya. Selain itu, Weber masih menyebutkan Menurut Keesing (1992), untuk mengkaji struktur sosial maka perlu dilihat pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi. Struktur itu sendiri dapat diartikan sebagai pengaturan atau penatalaksanaan yang ditujukan agar tercipta suatu suasana tertib. Struktur sosial memiliki arti sebagai penataan relasi-relasi sosial yang sedemikian kompleks sehingga tercipta sebuah pola keteraturan yang dilanggengkan dalam suatu sistem sosial. Relasi sosial dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari sistem kekerabatan yang berlaku. Sistem kekerabatan merupakan bentuk relasi sosial antar individu yang didasarkan atas pertalian darah. Relasi sosial ini bisa terbentuk diantara individu dalam satu kelompok masyarakat, antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lainnya, termasuk pula antara rakyat dan pemerintah dalam suatu negara. Dalam memahami relasi sosial ini maka terkandung pula di dalamnya berbagai perpektif seperti relasi gender, kelas, hubungan antar etnik, budaya dan kelompok umur. Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial karena dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dan relasi sosial dari suatu masyarakat. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan.
10
Karakteristik Masyarakat Pesisir Masyarakat pesisir secara sosio-kultural merupakan suatu kelompok masyarakat yang akar budayanya pada mulanya dibangun atas paduan antara budaya maritim laut, pantai dan berorientasi pasar (Nafis, 1998). Tradisi ini berkembang menjadi budaya dan sikap hidup yang kosmopolitan, inklusivistik, egaliter, outward looking, dinamis, enterpreneurship dan pluralistik. Potensi konflik dalam masyarakat pesisir terkait dengan pola kepemilikan dan penguasaan terhadap sumberdaya alam. Sifat dari pola kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam wilayah pesisir itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu: (1) tanpa pemilik (open access property); (2) milik masyarakat atau komunal (common property); (3) milik pemerintah (public state property); (4) milik pribadi (private property). Perbedaan mendasar masyarakat pesisir dan masyarakat agraris adalah pada akses terhadap sumberdaya. Laut merupakan sumberdaya alam yang bersifat open acces sehingga siapapun dapat mengaksesnya. Sangat berbeda dengan sumberdaya lahan pada masyarakat agraris. Sumberdaya yang bersifat terbuka ini menyebabkan persaingan antar nelayan menjadi semakin keras. Tidak mengherankan nelayan atau penduduk pesisir pada umumnya memiliki karakter yang keras. Terlebih resiko pekerjaan yang tinggi baik dalam keselamatan jiwa maupun ekonomi (Satria, 2002). Kondisi sosial ekonomi wilayah pesisir umumnya sangat memprihatinkan yang ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas dan pendapatan. Ciri umum kondisi sosial ekonomi rumah tangga pesisir adalah: (1)
11
rumah tangga sebagai unit produksi, konsumsi, unit reproduksi dan unit interaksi sosial ekonomi politik; (2) rumah tangga pesisir bertujuan untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarganya sehingga tujuan ini merupakan syarat mutlak untuk menentukan keputusan-keputusan ekonomi terutama dalam usaha produksi; (3) dalam keadaan kurang sarana produksi seperti alat tangkap, maka semua anggota keluarga yang sehat harus ikut dalam usaha ekonomi rumah tangga; (4) karena berada dalam garis kemisikinan, maka rumah tangga pesisir bersifat safety first. Mereka umumnya akan bersifat menunggu dan melihat terhadap introduksi teknologi baru dan pengaruhnya terhadap ekonomi keluarga. Dengan demikian akan selalu meminimalkan kemungkinan kegagalan usaha daripada mencari peluang untuk mendapatkan hasil maksimal, karena kegagalan usaha berarti mengancam eksistensi keluarga. Secara garis besar nelayan dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu nelayan kecil dan nelayan besar. Nelayan kecil dicirikan dengan masih rendahnya teknologi pada alat tangkap dan armada yang digunakan. Secara kultural, masyarakat nelayan kecil masih berorientasi subsisten. Kondisi ini sangat berbeda jauh dengan nelayan besar yang telah menggunakan teknologi modern pada alat tangkap maupun armadanya. Nelayan besar sudah tidak lagi berada pada kondisi subsisten namun telah berada pada tingkat komersialis lanjut. Karakteristik lain yang bisa dilihat pada penggunaan tenaga kerja. Nelayan kecil lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari dalam keluarga, sedangkan nelayan besar telah mempekerjakan tenaga buruh upahan dengan jumlah yang besar (Mubyarto, 1984; Satria, 2002).
12
Karakteristik masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor etnis. Etnis Jawa lebih dikenal sebagai masyarakat agraris dibanding masyarakat pesisir. Karakter sosial budaya masyarakat pesisir Jawa lebih bersifat Javanese peasant society . Perilaku kolektif masyarakatnya cenderung “kurang” gigih melaut ke lepas pantai. Namun demikian laut masih dianggap sebagai sumber pendapatan utama (Anonymous, 1999). Karakteristik masyarakat Madura yang dibentuk oleh kondisi geografis dan topografis Pulau Madura pada dasarnya lekat dengan budaya masyarakat hidraulis (air). Akibat kondisi lahan yang tandus, orang Madura lebih banyak menggantungkan hidup pada laut sehingga mereka pun berpola kehidupan bahari yang penuh tantangan. Inilah yang kemudian melahirkan perilaku sosial yang bercirikan keberanian tinggi, menjunjung tinggi martabat dan harga diri, berjiwa keras, dan ulet dalam hidup. Tak mengherankan jika dalam sikap dan perilaku sosial mereka itu tumbuh harga diri yang kadang-kadang berlebihan dan mengundang munculnya konflik (Anonymous, 2006). Perbedaan nilai budaya masyarakat Jawa dan Madura dapat pula dilihat dari sastra yang berkembang berupa ungkapan, pepatah dan syair lagu. Alon-alon waton kelalon, mangan ora mangan sing penting kumpul menjadi sebuah pepatah dan semboyan bagi masyarakat Jawa. Walaupun masyarakat Jawa juga memiliki jer basuki mawa beya, namun seolah tertutup oleh dua pepatah di depan. Masyarakat Madura juga dikenal sebagai sosok pelaut yang berani lewat syair lagu abental ombak sapo’ angen salajenga. Harga diri merupakan suatu yang penting bagi masyarakat Madura, paling tidak pepatah lebbi bagus pote tollang,
13
atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata).
Kemiskinan Setiadi (2006), menjelaskan bahwa kemiskinan adalah masalah struktural dan multi dimensional yang mencakup politik, sosial dan ekonomi. Konsep kemiskinan mengandung tiga arti, yaitu kemiskinan sosial (social poverty), pauperisma (pauperism) dan kemiskinan moral (moral poverty). Kemiskinan sosial mengandung arti tidak hanya ketidaksamaan yang bersifat ekonomi, misalnya dalam hal pemilikan kekayaan materil atau pendapatan, akan tetapi juga yang bersifat sosial seperti adanya perasaan rendah diri (inferiority), ketergantungan dan sebagainya. Sedangkan pauperisma mengandung arti tidak mempunyai kemampuan untuk memelihara dirinya sendiri tanpa bantuan dari luar atau orang lain sampai pada tingkat pemenuhan kebutuhan minimal. Mengenai kemiskinan moral bertalian dengan nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Secara harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta-benda” (Poerwadarminta, 1976). Kemiskinan dapat juga diartikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Berbagai sudut pandangan tentang pengertian kemiskinan, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yakni kemiskinan struktural, kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Hermanto (1995)
14
menyatakan bahwa kemiskinan dapat diartikan sebagai sebuah keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebutuhan pangan. Sedangkan Mangkuprawira (1993) mendefinisikan kemiskinan sebagai bentuk ketidakberdayaan dalam pemenuhan kebutuhan pokok baik materi maupun non materi. Ellis (2000), membedakan kemiskinan dalam tiga dimensi yaitu ekonomi, sosial dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah keadaan dimana terjadi kekurangan sumberdaya yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan ekonomi dibedakan menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah keadaan seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum, sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai perkembangan masyarakat sekitar. Kemiskinan sosial merupakan kemiskinan sebagai akibat rendahnya kemampuan dalam membangun jaringan sosial serta struktur yang tidak mampu mendukung usaha peningkatan produktivitas. Kemiskinan sosial disebabkan oleh adanya faktor sikap mental dan nilai budaya yang ada dalam masyarakat sehingg sering disebut juga sebagai kemiskinan kultural. Sedangkan kemiskinan politik adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan pada masyarakat petani dapat dicirikan oleh pendapatan yang berfluktuasi sepanjang tahun, pengeluaran yang cenderung pada kegiatan konsumtif, tingkat pendidikan keluarga yang rendah, kelembagaan yang belum
15
mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga belum dapat dimanfaatkan dengan baik dan akses terhadap permodalan yang rendah (Hermanto, 1995). Sedangkan Kusnadi (2002), berpendapat bahwa ciri umum yang dapat dilihat dari kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi yang ada dalam kehidupan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Marger dalam Tambunan (2001) mengajukan teori lingkaran kemiskinan yang mencoba menjelaskan mengapa manusia bisa menjadi miskin. Kemiskinan merupakan ketiadaan akses individu terhadap sumberdaya. Secara stratifikasi sosial, penduduk miskin akan menempati strata paling rendah pada segala bidang mulai dari pendapatan, kesempatan mendapatkan kerja dan pendidikan. Kesemuanya akan membentuk suatu siklus dan sangat sulit untuk keluar dari siklus tersebut. Penduduk miskin secara mudah dapat diidentifikasi dari tingkat pendapatan yang rendah. Pendapatan rendah ini mengakibatkan akses terhadap pendidikan rendah yang berujung pada peluang mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi sangat sulit. Upah rendah ini kembali menyebabkan penduduk tersebut jatuh miskin, demikian terus berulang hingga anak-anak mereka. Berbagai pendapat tentang kemiskinan masih menjadi perdebatan sengit. Terdapat dua kutub yang saling bertentangan, di satu pihak menyatakan sikap mental atau budaya masyarakat yang kurang mendukung pembangunan sehingga masyarakat sulit keluar dari kemiskinan. Sedangkan terdapat pihak lain yang menyatakan bahwa kemiskinan sebagai akibat keterbatasan akses terhadap faktor
16
produksi sebagai akibat kapitalisme dan eksploitasi sumber daya alam. Perdebatan sengit ini telah lama berlangsung pada aras makro. Lahirnya perspektif modernisasi yang memandang masyarakat tradisional apabila ingin maju harus bersentuhan langsung dengan masyarakat modern. Kunci penyelesaian masalah pada masyarakat tradisional tersebut adalah dengan perombakan struktur sosial dan fungsi sosial yang ada. Apabila terjadi kegagalan dalam proses modernisasi tersebut maka kesalahan terjadi pada masyarakat tradisional termasuk di dalamnya sikap mental atau budaya, hal ini dapat diartikan bahwa kemiskinan yang terjadi pada petani disebabkan oleh adanya “budaya miskin”. Kelompok etnik yang memiliki nilai budaya berbeda dianggap turut memberikan andil dalam memahami masalah kemiskinan. Berbagai penelitian yang ada belum menggambarkan peranan nilai budaya dalam kemiskinan. Budaya Jawa yang dikenal “nrimo ing pandum” (menerima takdir) seakan turut melanggengkan kemiskinan di perdesaan. Tidak sebatas pada konsepsi “nrimo ing pandum” semata, konsepsi “mangan ora mangan, sing penting kumpul” (makan atau tidak, yang penting bisa berkumpul dengan keluarga) turut melanggengkan kemiskinan di masyarakat Jawa. Jawa dikenal tidak memiliki budaya berdagang dan merantau seperti halnya yang dimiliki oleh etnik Minang dan Madura. Untuk itu, penelitian ini mencoba membandingkan dua kelompok etnik, Jawa dan Madura dalam menyikapi kemiskinan.
17
Ukuran Kemiskinan Sayogyo menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Dia membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah perdesaan dan perkotaan. Untuk daerah perdesaan, apabila seseorang mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang per tahun (Cahyat, 2004). Hampir sejalan dengan model konsumsi beras dari Sayogyo, Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Perbedaannya adalah bahwa BPS tidak menyetarakan kebutuhan-kebutuhan dasar dengan jumlah beras. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan. BPS pertama kali melaporkan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu, penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup periode 19761981 dengan menggunakan modul konsumsi Susenas (Survai Sosial Ekonomi Nasional). Garis Kemiskinan digunakan dan ditetapkan oleh BPS untuk menghitung jumlah penduduk dan rumah tangga miskin. Artinya penduduk yang nilai pengeluaran di bawah garis kemiskinan maka dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan makanan merupakan nilai pengeluaran kebutuhan
18
minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi. Garis kemiskinan ukan makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan (BPS, 2007). Berbeda dengan BPS, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Unit survai juga berbeda di mana pada BPS digunakan rumah tangga sedangkan BKKBN menggunakan keluarga, hal ini sejalan dengan visi dari program Keluarga Berencana (KB) yaitu "Keluarga yang Berkualitas". Pendataan keluarga dilakukan oleh BKKBN setiap tahun sejak tahun 1994. Pendataan keluarga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. BKKBN mengelompokkan keluarga menjadi empat kelompok, yaitu keluarga pra sejahtera, sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III dan sejahtera III plus. Pendekatan
pembangunan
manusia
dipromosikan
oleh
lembaga
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk program pembangunan yaitu United Nation Development Program (UNDP). Laporan tentang Pembangunan Manusia atau yang sering disebut Human Development Report (HDR) dibuat pertama kali pada tahun 1990 dan kemudian dikembangkan oleh lebih dari 120 negara. HDR
berisikan
penjelasan
tentang
empat
indeks
yaitu
Indeks
Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), Indeks
19
Pembangunan Gender atau Gender Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Gender atau Gender Empowerment Measure (GEM) dan Indeks Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI). Pengertian dan indikator HDR adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, di mana pembangunan harus menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir, bukan menjadikan manusia sebagai alat pembangunan. Di dalam konsep ini, juga dijelaskan bahwa pembangunan manusia pada dasarnya adalah memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat. Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan penghormatan secara pribadi. Menurut Cahyat (2004), pendekatan pembangunan manusia jelas berbeda dengan pendekatan-pendekatan konvensional seperti pertumbuhan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Pendekatan pertumbuhan ekonomi hanya mengejar peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB) daripada memperbaiki kualitas hidup manusia. Pendekatan pembangunan sumber daya manusia menjadikan manusia sebagai faktor input dalam proses produksi, sehingga manusia lebih dilihat sebagai alat daripada sebagai tujuan. Pembangunan kesejahteraan masyarakat seringkali melihat masyarakat sebagai penerima manfaat daripada sebagai agen perubahan dalam
20
proses pembangunan. Dalam konsep pembangunan manusia, pertumbuhan tidak dilihat sebagai tujuan melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin Konsep mata pencaharian (livelihood) sangat penting dalam memahami coping strategies karena merupakan bagian dari atau bahkan kadang-kadang dianggap sama dengan strategi mata pencaharian (livelihood strategies). Suatu mata pencaharian meliputi pendapatan (baik yang bersifat tunai maupun barang), lembaga-lembaga sosial, relasi gender, hak-hak kepemilikan yang diperlukan guna mendukung dan menjamin kehidupan (Ellis, 2000). Strategi nafkah meliputi aspek pilihan atas beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat. Semakin beragam pilihan sangat memungkinkan terjadinya strategi nafkah. Secara jelas dalam bidang pertanian digambarkan dengan adanya pola intensifikasi dan diversifikasi. Strategi nafkah juga dapat ditinjau dari sisi ekonomi produksi melalui usaha cost minimization dan profit maximization. Selain adanya pilihan, strategi nafkah mengharuskan adanya sumber daya manusia dan modal. Pola hubungan sosial juga turut memberikan warna dalam strategi nafkah. Pola relasi patron-klien dianggap sebagai sebuah lembaga yang mampu memberikan jaminan keamanan subsistensi rumah tangga petani (Crow, 1989). Carner (1984) menyatakan bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh rumah tangga miskin perdesaan antara lain : 1.
Melakukan beraneka ragam pekerjaan meskipun dengan upah yang rendah.
21
2.
Memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan.
3.
Melakukan migrasi ke daerah lain biasanya migrasi desa-kota sebagai alternatif terakhir apabila sudah tidak terdapat lagi pilihan sumber nafkah di desanya. Alasan utama melakukan strategi nafkah ganda pada rumah tangga
berbeda-beda pada masing-masing lapisan. Pada rumah tangga lapisan atas, pola nafkah ganda merupakan strategi akumulasi modal dan lebih bersifat ekspansi usaha. Sedangkan pada lapisan menengah, pola nafkah ganda merupakan upaya konsolidasi untuk mengembangkan ekonomi rumah tangga. Sebaliknya pada lapisan bawah, pola nafkah ganda merupakan strategi bertahan hidup pada tingkat subsistensi dan sebagai upaya untuk keluar dari kemiskinan (White, 1991; Sajogyo, 1991). Hardono (2006) menyatakan bahwa secara umum pendapatan rumah tangga penduduk di Indonesia sudah berdiversifikasi. Derajat kepentingan berdiversifikasi cenderung lebih tinggi pada rumah tangga di wilayah desa, yang berpendapatan rendah, dan kepala keluarganya memiliki pekerjaan utama sebagai petani. Memperhatikan tingkat pendapatan pada kelompok rumah tangga tersebut yang rendah, motif diversifikasi diduga lebih terkait faktor ketidakberdayaan (kemiskinan). Disamping itu, dengan jumlah pendapatan yang mencapai kisaran 4-6 sumber, diversifikasi cenderung telah menjadi kebutuhan atau mungkin menjadi bagian dari strategi nafkah rumah tangga, khususnya mereka yang bekerja di sektor pertanian. Dinamika penguasaan sumber pendapatan
22
menunjukkan akses terhadap alternatif sumber pendapatan pada kelompok rumah tangga di desa yang berpendapatan rendah dan bermata pencaharian utama bertani lebih terbatas dibandingkan kelompok rumah tangga lain. Dari sisi internal, hal itu terkait dengan penguasaan sumberdaya dalam rumah tangga yang juga terbatas. Terdapat indikasi rumah tangga pertanian yang berpendapatan rendah harus bekerja lebih variatif untuk memperoleh pendapatan yang layak karena indeks keragaman pendapatan semakin menurun dengan meningkatnya pendapatan. Sajogyo (1982), menyatakan bahwa transformasi agraria yang terjadi di Jawa telah mengguncang kelestarian sistem sosial desa. Transformasi agraria tersebut memberikan beberapa persoalan besar di perdesaan, yaitu ketimpangan penguasaan sumber nafkah agraria yang semakin tajam dan hilangnya berbagai sumber nafkah tradisional yang digantikan oleh struktur nafkah baru yang berada di sektor non pertanian. Struktur nafkah baru ini ternyata tidak juga memberikan kesempatan pada peningkatan kesejahteraan. Dampak lebih jauh dari proses transformasi ini adalah terjadinya ketidakpastian nafkah dan kelumpuhan struktur kelembagaan jaminan asli yang telah mapan di perdesaan. Hasil penelitian Saliem (2006), memperlihatkan bahwa strategi nafkah yang dilakukan oleh petani lahan sawah dengan cara diversifikasi usahatani. Diversifikasi usahatani ini sudah berkembang secara terbatas, kamoditas utama terutama di wilayah irigasi masih padi. Terdapat faktor yang mempengaruhi petani melakukan diversifikasi atau tidak, antara lain pengairan, komoditas yang sesuai, pola tanam dan tingkat pendapatan. Usahatani diversifikasi diperkirakan akan berkembang jika pemerintah memberikan pelayanan modal, jasa informasi
23
harga dan jaminan pasar
yang dapat memberikan insentif berproduksi pada
petani secara berlanjut. Hasil penelitian di daerah pesisir Minahasa menunjukkan kecenderungan masyarakat pesisir lebih miskin dibandingkan masyarakat non pesisir di daerah tersebut. Akan tetapi pernyataan tersebut tidak ada kaitannya dengan kepadatan dan persentase nelayan, atau kelimpahan petani dan persentase petanipun sangat kecil. Anggapan ini muncul sebagai faktor penting. Dari hasil laporan di Sumatra Selatan, faktor persentase nelayan dalam suatu kelompok berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan rata-rata rumah tangga yang lebih tinggi, sementara tingkat pendapatan petani yang lebih tinggi berkorelasi negatif terhadap persentase petani di daerah tersebut. Dari analisis ini disimpulkan bahwa pernyataan umum mengenai masyarakat pesisir merupakan kelompok termiskin tidak dapat didukung karena keberagaman diantara tingkat kemajuan dan pendapatan nelayan di daerah-daerah yang berbeda (Kussoy, 1999). Sedangkan Courtney (1999), menyatakan bahwa menurunnya hasil tangkapan perikanan, terumbu karang terkoyak koyak, hutan mangrove terancam kelestariannya, meningkatnya pencemaran, sedangkan masyarakat pesisir mengalami kemiskinan yang terus bertambah. Penelitian tentang masyarakat pesisir di Madura (Arisandi, 2003; Muhsoni, 2006) menunjukkan fakta bahwa jumlah penduduk miskin di daerah pesisir Madura semakin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Faktor utama yang menyebabkan pertambahan jumlah penduduk miskin tersebut adalah semakin menurunnya hasil tangkapan sebagai akibat dari over fishing.
24
Persaingan dalam penangkapan ikan terjadi karena perikanan laut mempunyai ciri khas sebagai perikanan open access dan milik bersama. Karakteristik yang khas ini menyebabkan adanya kecenderungan memboroskan sumberdaya, pemborosan ekonomi karena nelayan tidak hanya mengalami penurunan keuntungan bahkan penurunan produksi, eksploitasi memungkinkan timbulnya konflik perebutan daerah penangkapan dan pendapatan rata-rata nelayan kecil semakin rendah karena kesenjangan teknologi yang menyebabkan penguasaan modal dan teknologi (Christy, 1982). Widodo (2006) mengungkapkan gejala migrasi tenaga kerja sektor pertanian ke sektor non pertanian melalui proses migrasi desa-kota dan migrasi internasional. Proses migrasi ini terjadi sebagai akibat adanya pull factors dan push factors. Walaupun penelitian ini belum membahas secara jelas tentang strategi nafkah, namun telah memberi gambaran tentang usaha mempertahankan hidup melalui pencarian nafkah di sektor non pertanian. Sebagian besar nelayan yang tergolong miskin merupakan nelayan artisanal yang memiliki keterbatasan kapasitas penangkapan baik penguasaan teknologi, metode penangkapan, maupun permodalan. Masalah kemiskinan juga disebabkan adanya ketimpangan pemanfaatan sumber daya ikan. Terdapat daerah yang termasuk dalam kategori lebih tangkap (over fishing) dengan jumlah nelayan besar terutama di pantai utara Jawa dan Selat Madura. Sedangkan di sisi lain terdapat daerah yang masih potensial namun jumlah nelayannya sedikit seperti di Papua, Maluku, NTT dan Ternate. Masalah struktural yang dihadapi nelayan
25
makin ditambah dengan persoalan kultural seperti gaya hidup yang tidak produktif dan tidak efisien. Secara alami ada interaksi yang sangat kuat antara ketersediaan sumber daya ikan, jumlah, perilaku, dan kapasitas nelayan serta ekonomi dari hasil usaha penangkapan. Oleh karena itu, kemiskinan nelayan harus dipandang sebagai suatu sistem yang memiliki komponen saling berinteraksi. Dengan demikian pendekatan yang paling tepat dalam penanggulangan kemiskinan adalah dengan pendekatan kesisteman (Direktorat Jenderal Perikanan tangkap, 2006). Strategi nafkah dianggap sebagai suatu usaha membentuk sumber nafkah baru untuk tetap mempertahankan kehidupan rumah tangga miskin. Berbagai penelitian yang dilakukan di daerah Jawa menunjukkan adanya gejala ketimpangan akses terhadap sumber-sumber agraria. Geertz telah lama menyampaikan tentang shared proverty (kemiskinan berbagi) dan konsep involusi pertanian. Sajogyo juga memberikan gambaran kemiskinan di Indonesia sebagai bentuk ketimpangan akses sumberdaya. Solusi yang ditawarkan oleh Sajogyo adalah dengan keadilan akses pada sumber produksi, perluasan kesempatan kerja melalui industrialisasi perdesaan.
Kerangka Pemikiran Menurut Ellis (2000), rumah tangga miskin akan memainkan kombinasi semua modal yang dimilikinya. Modal tersebut dapat berupa modal finansial, modal sumber daya alam, modal sumber daya manusia, modal sumber daya fisik dan modal sosial. Kemampuan untuk mengakses modal dipengaruhi oleh relasi
26
sosial, kelembagaan dan organisasi yang ada di sekitar rumah tangga tersebut tinggal. Kemampuan rumah tangga dalam mengakses modal tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk strategi nafkah. Strategi nafkah rumah tangga di perdesaan dapat dikelompokkan dalam tiga basis nafkah, yaitu on-farm, off-farm dan non-farm. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Penelitian ini mengacu pada kerangka pemikiran Ellis (2000) dengan berbagai penyesuaian di dalamnya. Rumah tangga miskin sebagai sebuah entitas sosial sangat dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada di sekitarnya. Struktur sosial yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini menunjuk pada stratifikasi sosial, relasi sosial, relasi gender, tata nilai dan norma serta kelembagaan. Struktur sosial inilah yang memperngaruhi akses rumah tangga terhadap modal nafkah yang terdiri dari modal finansial, modal fisik, modal manusia, modal sosial dan modal alam. Selain struktur sosial, akses rumah tangga terhadap modal nafkah sangat diperngaruhi oleh beberapa faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, konflik sumber daya alam dan perubahan iklim. Secara khusus, strategi nafkah rumah tangga miskin dapat dikelompokkan pada dua macam strategi, yaitu strategi ekonomi dan strategi sosial (Sitorus, 1999; Dharmawan, 2001). Strategi ekonomi merupakan strategi yang didasarkan pada penggunaan struktur alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga, sedangkan strategi sosial merupakan strategi yang didasarkan pada penggunaan lembaga tradisional dan jejaring sosial yang ada di sekitar rumah tangga miskin.
27
Rumah Tangga
Kebijakan pemerintah
Akses Konflik Sumberdaya Perikanan
Modal Finansial
Modal Sosial
Modal Manusia
Modal Fisik
Modal Alam
Strategi Nafkah
Strategi Ekonomi 1. Optimalisasi penggunaan tenaga kerja dalam rumah tangga 2. Pola nafkah ganda 3. Migrasi 4. Kegiatan ilegal
1. 2.
Strategi Sosial Lembaga kesejahteraan lokal Memanfaatkan jaringan sosial
Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran
28
Definisi Operasional Untuk lebih memfokuskan penelitian, terlebih dahulu perlu disajikan beberapa definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Rumah tangga dibatasi pada pengertian sekelompok unit sosial yang menempati tempat tinggal secara bersama-sama (a common housing) dan pola makan harian berasal dari satu unit dapur yang sama (a common cooking unit). Mengacu pada batasan ini memungkinkan terjadinya beberapa keluarga inti dalam satu rumah tangga. 2. Kemiskinan merupakan keadaan dimana sebuah rumah tangga tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. 3. Struktur sosial merupakan pola kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Penelitian ini membatasi pengertian struktur sosial melalui beberapa variabel yaitu stratifikasi sosial, relasi sosial serta kelembagaan. 4. Strategi nafkah rumah tangga miskin merupakan berbagai upaya yang dilakukan oleh rumah tangga miskin baik pada tingkat individu maupun komunitas dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya dan modal yang dimilikinya untuk mempertahankan kelangsungan hidup rumah tangganya meskipun hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan subsisten.
29