PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur)
MUSTAPIT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis tentang Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur) adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Pebruari 2011 Mustapit NRP. I353070111
i
ABSTRACT Mustapit. Changes in Agrarian Structure and False Harmony (Case Study in Reclaiming of Protected Forest by Coffee Farmer Community in Jember, East Java). Supervised by Endriatmo Soetarto and Andang Soebaharianto. As people living around the forest area (forest villages), the villagers of Sidomulyo, Silo, Jember, very much depending on the forest. As coffee farmer, they had no problem with the land. Over time, land is fragmented, especially through inheritance, so that is reducing availability and carrying capacity. Even some residents eventually have no land at all that could be working on. This situation contrasts with the surrounding area that is a vast forest. The open of the political structure at the macro level spread to Sidomulyo and encourage citizens to demand justice for natural resource (forest) management to shared prosperity which is increasingly rare due to the closure of their access to protected forest. Their social movement become reclaiming of protected forest areas that had been under the management of Perhutani. Forests that reclaimed then made by them as coffee plantation. This study aims to examine the background and meaning of protected forest reclaiming by the coffee farmer community in Sidomulyo and the resulting flow of benefits. It also analyzes the mechanism by those parties in acquiring, controlling and maintaining the flow of benefits and power relations between them. Reclaiming of protected forest by coffee farmer community in Sidomulyo have an ideological purposes that is related to the reasons of morality, justice, normative and historical. It also has a practical purposes that is related to economic and ecological value of protected forest. The main actors in conflict of struggle for agrarian resource (protected forest) are coffee farmer community and Perhutani. In addition there are also other actors that are indirectly related that is private parties (traders, investors and exporters) and government (village and district). Each actor has interests over protected forest as a contested resource. Interests of a coffee farmer community are to get livelihoods and their reclaiming is a social movement on agrarian crisis in their region. Momentum of the reform period is considered to be very precise, given the wide-open national political structure and proved successful. Interest of Perhutani is "access control": the ability to mediate others’ access to the resources they control (protected forest). Mechanism of reclaiming by the parties in acquiring, controlling and maintaining the flow of benefits from protected forests and their distribution is influenced by ability to access the technology, capital, markets, knowledge, authority, social identity, and social relations. Contestation is a dynamic process from the parties / actors (coffee farmer community, Perhutani, private, and government) that interact and negotiate their interests in the struggle for natural resources (protected forest). Their interaction manifested in two forms of agrarian power relations, namely: technical relations between the main actors (coffee farmer community people and Perhutani) with the object of agrarian (protected forest) and social relations are relations between the parties related either directly or indirectly
ii
with reclaiming. Interest negotiations of the parties are in two spaces, ie space of meaning conflict and space of right and access conflict. Contestation between the two main actors of reclaiming in achieving their interests is at the stage of stalemate, in which each can not accept defeat or retreat. This condition was caused by: the cost of continuing conflict, lack of support on each side, and the failed tactics of each side. At this stage of conflict will decline and lead to the reduction stage (de-escalation) and going to process of negotiation in order to reach a consensus which is marked by changes in social organization, interaction of the parties, the role of third parties, educational institutions and the media. Reclaiming as a form of access to protected forest by the coffee farmer community who are citizens of Sidomulyo and its surrounding has provided benefits derived from the coffee plantations in protected forest that they reclaimed. They give "cukai" to Perhutani officers that then accommodated by Perhutani as institution and recognized as "sharing" through Cooperation Agreement Letter (Surat Perjanjian Kerjasama: SPK), which was signed together with LMDH on delivering of a third harvest. Reclaiming also create employment opportunities and opportunities for application of technological innovations, opportunities for traders to take profits, and encourage the village government to improve its services and implement development programs to support the activities of its citizens. The more conducive socio-economic conditions are attracted investors to invest either to merchants or to the coffee farmers. They also hope to enjoy the benefits that come from farmer coffee plantation of the reclaiming protected forest. Contestation of the parties in reclaiming protected forest with their interests will lead to a new agrarian structure which is essentially social change because of changing patterns of behavior, social relations, institutions and social structures in coffee farmer community and the village Sidomulyo. The changes in agrarian structure elements above and the harmony conditions still leaves many unanswered issues, so the changes that occur of reclaiming are not all positive for the Sidomulyo citizens. Keywords: Agrarian Structure, Social Change, Reclaiming of Protected Forest.
iii
RINGKASAN Mustapit. Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur). Dibimbing oleh Endriatmo Soetarto dan Andang Soebaharianto. Sebagai masyarakat yang tinggal di tepi kawasan hutan (desa hutan), penduduk Desa Sidomulyo Kecamatan Silo Kabupaten Jember sangat tergantung dengan hutan. Sebagai petani kebun kopi rakyat, mereka dulunya tidak ada masalah dengan lahan. Seiring berjalannya waktu, lahan-lahan itu terfragmentasi khususnya melalui warisan, sehingga berkurang ketersedian dan daya dukungnya. Bahkan beberapa warga akhirnya tidak mempunyai lahan sama sekali yang bisa digarapnya. Kondisi ini sangat kontras dengan kawasan di sekitarnya yang berupa hutan luas. Terbukanya struktur politik di tingkat makro pada masa reformasi menjalar sampai ke Sidomulyo dan menggerakkan warganya untuk menuntut keadilan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) untuk kemakmuran bersama yang selama ini semakin langka akibat ditutupnya akses mereka terhadap hutan dengan adanya status hutan lindung. Gerakan sosial mereka berwujud menjadi reklaiming terhadap kawasan hutan lindung yang selama ini di bawah pengelolaan Perhutani. Kawasan hutan yang direklaiming kemudian dijadikan kebun kopi rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji latar belakang dan makna reklaiming hutan lindung oleh masyarakat desa hutan yang kemudian dijadikan kebun kopi rakyat sebagai realitas sosial semu yang perlu diungkap kebenarannya. Selanjutnya juga mengkaji implikasinya pada struktur agraria yang terbentuk pasca reklaiming. Sikap dan respon para pihak atas proses reklaiming serta praktik-praktik yang dilakukan mereka akan dapat menunjukkan posisi mereka dalam kerangka konflik kepentingan. Kondisi “harmonis” yang tercipta akibat strategi yang dilakukan para pihak untuk menghindari konflik terbuka perlu diungkap dan diperkirakan keberlanjutannya. Reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo mempunyai tujuan yang bersifat ideologis yaitu terkait dengan alasan moralitas, keadilan, normatif dan sejarah. Selain itu juga mempunyai tujuan praktis yaitu terkait nilai ekonomi dan ekologi dari hutan lindung. Aktor utama yang berkonflik dalam perebutan hutan lindung sebagai sumberdaya agraria adalah komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani. Di samping itu ada juga aktor lain yang terkait secara tidak langsung yaitu swasta (pedagang, pemilik modal dan eksportir) dan pemerintah (desa dan daerah). Aktor-aktor yang berkonflik di atas mempunyai kepentingan masing-masing terkait hutan lindung sebagai sumberdaya yang diperebutkan. Kepentingan komunitas petani kopi rakyat adalah mendapatkan sumber penghidupan dan reklaiming yang mereka lakukan merupakan gerakan sosial atas keadaan krisis agraria yang ada di wilayah mereka. Masa reformasi merupakan momentum yang dinilai sangat tepat, mengingat struktur politik nasional terbuka lebar dan terbukti berhasil. Kepentingan Perhutani adalah “kontrol akses” yaitu kemampuan untuk memediasi akses pihak-pihak lain terhadap sumberdaya yang dikontrolnya (hutan lindung).
iv
Mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya merupakan suatu kemampuan akses yang dipengaruhi teknologi, modal, pasar, pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial. Kontestasi merupakan proses yang bersifat dinamis dari para pihak / para aktor (komunitas petani kopi rakyat, Perhutani, pedagang, dan pemerintah) yang berinteraksi dan menegosiasikan apa yang menjadi kepentingannya dalam konteks perebutan sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi mereka terwujud dalam dua bentuk relasi kuasa agraria, yaitu: relasi teknis yaitu antara aktor utama (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dengan objek agraria (hutan lindung); dan relasi sosial yaitu relasi di antara para pihak baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan reklaiming. Negosiasi kepentingan para pihak berada dalam dua ruang, yaitu ruang konflik pemaknaan dan ruang konflik hak dan akses. Kontestasi antara dua aktor utama dalam reklaiming (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dalam mencapai kepentingannya masing-masing berada pada tahap kemacetan (stalemate), di mana masing-masing tidak bisa memenangkan kepentingannya atau mundur menerima kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya beberapa hal, yaitu: besarnya biaya melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan pada masing-masing pihak, dan gagalnya taktik masing-masing pihak. Pada tahap ini konflik akan menurun dan menuju pada tahap pengurangan (de-escalation) dan mengalami proses negosiasi dalam rangka mencapai konsensus yang ditandai dengan perubahan organisasi sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga, lembaga pendidikan dan media. Reklaiming sebagai bentuk akses terhadap hutan lindung yang dilakukan oleh komunitas petani kopi rakyat yang merupakan warga Desa Sidomulyo dan sekitarnya telah memberikan manfaat/keuntungan yang berasal dari pembukaan kebun kopi di dalam hutan lindung yang mereka reklaim. Mereka memberikan “cukai” kepada para petugas Perhutani yang kemudian diakomodasi oleh Perhutani secara lembaga dan diakui sebagai “sharing” melalui Surat Perjanjian Kerjasanma (SPK) yang ditandatangani bersama LMDH dengan mematok besaran 1/3 hasil panen. Reklaiming juga menciptakan kesempatan kerja dan peluang penerapan inovasiinovasi teknologi, peluang bagi para pedagang untuk mengambil keuntungan, dan memacu pemerintah desa untuk meningkatkan pelayanannya dan melaksanakan program-program pembangunan untuk mendukung aktivitas warganya. Kondisi sosial ekonomi yang semakin kondusif menarik para pemilik modal untuk berinvestasi baik kepada pedagang maupun kepada petani kopi. Kontestasi para pihak dalam reklaiming hutan lindung dengan segala kepentingannya akan bermuara pada suatu struktur agraria baru yang pada dasarnya adalah perubahan sosial karena terjadi perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada komunitas petani kopi rakyat yang melakukan reklaiming pada khususnya dan wilayah Desa Sidomulyo pada umumnya. Perubahan-perubahan dalam unsur-unsur struktur agraria di atas dan kondisi harmoni yang tercipta ternyata masih menyisakan banyak persoalan yang belum terjawab, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari reklaiming tidak semuanya bermakna positif bagi warga Sidomulyo.
v
© Hak Cipta milik IPB Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
vi
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur)
Oleh: Mustapit NRP. I353070111
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 vii
Penguji Luar Komisi: Dr. Satyawan Sunito
Judul Tesis
:
Nama NRP.
: :
Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu (Studi Kasus Reklaiming Hutan Lindung pada Komunitas Petani Kopi Rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur) Mustapit I353070111
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Ketua
Drs. Andang Subaharianto, M.Hum. Anggota
Diketahui Koordinator Mayor Sosiologi Pedesaan,
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal ujian: 17 Januari 2011
Tanggal lulus:
viii
PRAKATA
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat saya selesaikan dengan baik meskipun masih banyak kekurangan. Penelitian Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu merupakan studi kasus reklaiming hutan lindung pada komunitas petani kopi rakyat di Kabupaten Jember Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengkaji latar belakang dan makna reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo dan aliran keuntungan yang ditimbulkannya. Selain itu juga menganalisis mekanisme yang dilakukan para pihak pihak dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari kebun kopi hasil reklaiming hutan lindung serta hubungan kuasa di antara mereka. Keberhasilan penelitian ini tidak terlepas dari peran yang besar dari komisi pembimbing. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. selaku ketua komisi pembimbing dan kepada Drs. Andang Subaharianto, M.Hum. selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh kesabaran membimbing saya mulai dari penulisan proposal, penelitian, dan penulisan hasil penelitian sehingga tesis ini dapat terwujud. Penghargaan dan terima kasih saya ucapkan kepada: Dekan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Koordinator Mayor Sosiologi Pedesaan dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan serta pengalaman yang sangat berharga. Penghargaan dan terima kasih saya ucapkan kepada Rektor Universitas Jember, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian yang telah memberikan ijin kepada saya untuk menempuh pendidikan magister. Terima kasih saya ucapkan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa melalui Proyek I-MHERE Universitas Jember.
ix
Terima kasih saya sampaikan kepada Kepala Desa Sidomulyo, Mantri Perhutani Garahan, Perhutani Jember, dan warga Sidomulyo yang telah mengijinkan dan memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian. Khusus kepada Pak Kusni dan keluarga serta Mas Sunari, terima kasih banyak atas bantuannya selama penelitian berlangsung. Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman SPD angkatan 2007: Aulia Farida (Jambi), Eko Harri Yulianto (Samarinda), Febrina Desrianti (Padang), Gusti Muhammad Fadli (Sintang), Husnul Khitam (Jakarta), Idris Sardi (Jambi), Nuraini Budi Astuti (Padang), Rizal Razak (Bogor), dan Widiyanto (Surakarta) yang telah memberikan kebersamaan yang tak terlupakan. Terima kasih sebesar-besarnya juga atas kebersamaan yang menyenangkan kepada teman-teman kost di Babakan Tengah (Anton, Winata, Rully, Kang Jamal dan Darko) dan teman-teman kost di Laladon (Mas Yuli, Mas Bambang, Mas Deddy, Mas Fuad, Pak Bagus, dan Andrew). Penghargaan dan terima kasih saya sampaikan kepada keluarga: Bapak (H. Abd. Tamam) dan Emak (Alm. Muyasaroh), Bapak Mertua (Samik Udin) dan Ibu (Suntihati) yang selalu membimbing dan mendo’akan saya. Kepada istri (Nur Aisah Indraswati) dan mutiara-mutiara kami (Megan Madeeha dan Nevan Naqoofa) kesabaran dan dukungannya tidak bisa saya nilai dengan apapun. Kepada semua pihak yang telah banyak membantu terselesaikannya tesis ini dan belum sempat disebut di atas, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Akhirnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas segala keterbatasan dan kekurangan dalam tesis ini. Bogor, Pebruari 2011 Mustapit NRP. I353070111
x
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 16 Agustus 1977 dan merupakan anak ke-6 dari 7 bersaudara dari pasangan H. Abd. Tamam dan Muyasaroh (alm.). Penulis memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Pertanian Universitas Jember, Jember Jawa Timur pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2007 melanjutkan pendidikan magister di Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor dengan besasiswa dari Proyek I-MHERE Universitas Jember. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Jember sejak tahun 2005 sampai sekarang. Penulis menikah dengan Nur Aisah Indraswati pada tanggal 26 Januari 2005 dan telah dikaruniai dua orang anak yaitu: Megan Madeeha (lahir 12 Pebruari 2006) dan Nevan Naqoofa (lahir 13 Desember 2008).
xi
DAFTAR ISI
Halaman Pernyataan ....................................................................................................... i Abstract.......................................................................................................................... ii Ringkasan ..................................................................................................................... iv Halaman Hak Cipta ...................................................................................................... vi Halaman Judul ............................................................................................................. vii Halaman Pengesahan .................................................................................................. viii Prakata .......................................................................................................................... ix Riwayat Hidup .............................................................................................................. xi Daftar Isi ...................................................................................................................... xii Daftar Tabel ................................................................................................................ xiv Daftar Gambar ............................................................................................................. xv Daftar Lampiran ......................................................................................................... xvi PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................................... 1 Masalah Penelitian............................................................................................. 7 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 8 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 9 Lahan dan Struktur Agraria ............................................................................... 9 Hutan Lindung dan Permasalahan Tenurial .................................................... 11 Reklaiming dan Teori Akses ........................................................................... 14 Perubahan Sosial dan Konflik ......................................................................... 17 Kerangka Teoritis ............................................................................................ 22 METODOLOGI PENELITIAN .................................................................................. 27 Metode Penelitian ............................................................................................ 27 Metode Pengumpulan dan Analisis Data ........................................................ 28 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................... 32 Organisasi Penulisan ....................................................................................... 32
xii
PANORAMA LERENG SELATAN GUNUNG RAUNG ......................................... 35 Desa Hutan: Sidomulyo dan Sejarahnya ......................................................... 36 Kondisi Umum dan Prasarana Desa Sidomulyo .............................................. 41 Kondisi Agraria Desa Sidomulyo ................................................................... 42 Struktur Mata Pencaharian Warga Desa Sidomulyo ....................................... 43 Kelembagaan Lokal Desa Sidomulyo.............................................................. 45 Intervensi Program di Desa Sidomulyo ........................................................... 53 Organisasi dan Hubungan Produksi di Desa Sidomulyo ................................. 56 HUTAN LINDUNG: ARENA PEREBUTAN SUMBERDAYA ............................... 59 Hutan Lindung: Sumberdaya Sarat Nilai ......................................................... 59 Aktor-aktor yang Berkonflik ........................................................................... 66 Kepentingan Para Pihak ................................................................................... 71 Mekanisme Akses (Reklaiming) Hutan Lindung ............................................ 73 KONTESTASI PARA PIHAK DAN KONFLIK ATAS HUTAN LINDUNG .......... 81 Relasi Kuasa Agraria Para Pihak ..................................................................... 81 Ruang Konflik Pemaknaan tentang Sumberdaya Agraria ............................... 83 Ruang Konflik Hak dan Akses terhadap Sumberdaya Agraria ....................... 87 Derajat Konflik Kontestasi .............................................................................. 90 Membangun Konsensus: Membangun Harmoni ............................................. 91 PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU .......................... 93 Distribusi Manfaat Reklaiming ........................................................................ 93 Kepemilikan Tanah .......................................................................................... 94 Konsentrasi Tanah dan Pendapatan ................................................................. 95 Diferensiasi Sosial............................................................................................ 96 Persaingan Usaha ............................................................................................. 98 Rasio Tanah dan Tenaga Kerja serta Implikasinya ........................................ 100 Harmoni Semu ............................................................................................... 102 PENUTUP ................................................................................................................. 105 Simpulan ........................................................................................................ 105 Saran .............................................................................................................. 108 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 109
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Matriks Metode Penelitian ............................................................................ 31 Tabel 2. Luas Wilayah Desa Sidomulyo Menurut Penggunaan .................................. 43 Tabel 3. Wilayah Kerja Perum Perhutani .................................................................... 68 Tabel 4. Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Jember .............................................. 69 Tabel 5. Rata-rata Pendapatan Petani Kopi di Lahan Hasil Reklaiming ..................... 96
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian.................................................................. 25 Gambar 2. Peta Desa Sidomulyo ................................................................................. 37 Gambar 3. Posisi dan Relasi Para Pihak Terkait Reklaiming Hutan Lindung ............ 81
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Luas Penguasaan Kebun Kopi oleh Informan Sebelum dan Sesudah Reklaiming........................................................................... 113
Lampiran 2.
Analisa Usahatani Kopi Warga Sidomulyo di Lahan Hasil Reklaming Hutan Lindung ............................................ 114
Lampiran 3.
Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani Jawa dan Madura ................. 115
Lampiran 4.
Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani Unit II (Jawa Timur) ............ 116
Lampiran 5.
Gambar Lokasi Penelitian .................................................................. 117
xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang Ada dua hal penting yang dapat dicatat dari sejarah pengelolaan hutan di Jawa. Pertama, seolah-olah hutan di Jawa adalah kawasan warisan penguasa dari waktu ke waktu tanpa mempertimbangkan keberadaan dan perkembangan masyarakat, terutama desa-desa tepi hutan dan dalam hutan. Kedua, respon perubahan kebijakan tidak langsung menyentuh akar masalah. Mulai dari penguasaan raja-raja lokal di Jawa, pindah ke VOC, terus ke pemerintahan kolonial Belanda, masa jeda saat penguasaan Jepang yang singkat, pindah ke masa pemerintahan Orde Lama dan sampai pada tahun 1961, Perhutani dibentuk untuk menjalankan penguasaan negara atas hutan. Sebagian besar kebijakan kehutanan di Jawa dilatarbelakangi oleh fungsi yang melekat pada hutan sebagai sebuah tegakan kayu saja dengan pengabaian baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap dinamika masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Misalnya, perubahan kebijakan di masa pemerintahan kolonial Belanda, lebih didasari pertimbangan kerusakan hutan, terutama kerusakan hutanhutan jati di Jawa akibat eksploitasi di masa VOC. Demikian juga jika dirunut ke pemerintahan kerajaan, pernah muncul konsep hutan ”susuhunan” yang menjalankan fungsi sebagai pemasok kayu untuk kapal-kapal milik ”susuhunan” dan tempat perburuan raja. Sekarang, semua kawasan hutan yang tidak mempunyai kepemilikan individu berada di bawah penguasaan negara berdasarkan UUD 1945 (pasal 33 ayat 3). Lebih lanjut, posisi negara sebagai organisasi dengan kekuasaan penuh mendapat pijakan UUPA No.5/1960 (pasal 2 ayat 1) dan adanya UU yang mengakui adanya “hutan negara’ sebagaimana terdapat dalam UU Pokok Kehutanan No. 5/1967 yang diperbarui dengan UU Kehutanan No. 41/1999. Model hutan negara ini dalam sejarahnya diterapkan selama masa penjajahan Belanda di bawah Gubernur Jenderal Deandels (1808-1811) yang mengadakan program untuk merestorasi hutan jati (Tectona grandis) di Jawa. Dengan kewenangannya, Deandels tidak hanya
2
merestorasi hutan jati, melainkan juga memonopoli pengelolaan dan eksploitasi kayu jati dengan memberi hak kepada Dienst van het Boschwezen, suatu institusi kehutanan, untuk mengontrol tanah, pohon, dan buruh kerja. Inilah yang menjadi titik awal prinsip penguasaan negara atas kawasan yang disebut sebagai “hutan” (hutan negara) yang dikuatkan oleh pemberlakuan “Domeinverklaaring” yang tertera dalam UU Kehutanan 1865 dan kemudian UU Agraria (Agrarisch Wet) 1870 (Peluso, 1990; Peluso dan Vandergeest, 2001; dalam Bacriadi dan Sardjono, 2005). Lahirnya Undang-undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870 menurut Lynch dan Talbott (2001) bisa jadi untuk melindungi kepentingan dagang kaum kolonial Belanda. Karena menjelang tahun 1860, terjadi peningkatan penduduk lokal di Jawa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan konflik yang berlarutlarut antara pertanian bergilir dan kepentingan perdagangan kopi yang terus meluas dan menggiurkan. Undang-undang yang disusun untuk menggantikan sistem Tanam Paksa ini memungkinkan kapitalis swasta menyewa lahan dari pemerintah kolonial sampai 75 tahun dan menghalangi pribumi Indonesia untuk menjual tanahnya pada orang non-Indonesia. Dengan menetapkan bahwa hak-hak adat akan diakui hanya terhadap lahan yang secara terus-menerus digarap, Undang-undang Agraria (Agrarisch Wet) 1870 ini melemahkan perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya antara kaum kolonial dengan masyarakat asli mengenai pengelolaan hutan di Pulau Jawa dan Madura. Pengguna hutan yang mempunyai kewenangan atau pengakuan resmi dari pemerintah harus diutamakan dari pada semua praktik-praktik pemanfaatan hutan tradisional. Dengan begitu pemerintahan kolonial Belanda dapat melakukan apa saja yang diinginkan terhadap tanah-tanah yang yang berada di bawah kekuasaan hukumnya. Kawasan hutan di Jawa sekarang dikelola oleh empat lembaga: Perum Perhutani, Dinas Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA), dan wilayah pengelolaan Baduy tradisional. Orang Baduy mengelola hutan mereka secara otonom di bawah hukum adat Baduy (terletak di wilayah Banten dan memperoleh status khusus sejak masa kolonial Belanda). Kebanyakan hutan di Jawa dikelola Perum Perhutani untuk keperluan produksi secara sepenuhnya maupun terbatas (Peluso, 2006).
3
Perum Perhutani adalah perusahaan negara otonom yang diberi mandat memperoleh penghasilan guna menghidupi dirinya sendiri dan memberikan 55 persen keuntungannya kepada Anggaran Pembangunan Nasional. Riwayat keorganisasiannya adalah sebagai berikut: pada tahun 1969 didirikan oleh Kementerian Pertanian1 Orde Baru, yang antara lain membawahi Direktorat Jenderal Kehutanan. Kemudian tahun 1972 Perhutani Jawa Tengah dan Jawa Timur secara hukum digabung sebagai unit-unit produksi tersendiri yang menginduk ke Perum Perhutani. Bentuk usaha negara yang berupa perum (perusahaan negara) ini bekerja sebagai perusahaan nonstock pemerintah, dengan anggarannya sendiri dan dengan persetujuan kementerian. Hingga 1983, Perum Perhutani bertanggung jawab kepada Menteri Pertanian; dan pada tahun tersebut kehutanan menjadi kementerian sendiri. Dinas Kehutanan Jawa Barat dijadikan bagian dari Perum Perhutani pada 1978. Hutan di Daerah Istimewa Yogyakarta bukanlah bagian dari Perum Perhutani, tetapi tetap berstatus Dinas Kehutanan. Karena kuasa dan kendalinya atas tanah hutan terkodifikasi dan terlegitimasi dalam perundangan2, Perum Perhutani menguasai semua kegiatan di tanah hutan. Penambangan, pengumpulan batu, kapur atau kayu bakar, juga pelaksanaan segala macam penelitian memerlukan izin resmi Perum Perhutani. Kegiatan polisi keamanan di dalam hutan atau keamanan hutan, menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1985 dimaksudkan untuk mengamankan dan menjaga hak-hak negara atas tanah hutan dan hasil hutan (Djokonomo dalam Peluso, 2006). Seperempat wilayah Jawa yang digolongkan sebagai lahan hutan hampir sama persis dengan lahan yang dikuasai oleh Boschwezen Belanda sebelum pendudukan Jepang di Jawa. “Hutan” atau “tanah hutan” di Indonesia, seperti di banyak negeri lain, adalah definisi politis bukan biologis. Lahan hutan didefinisikan sebagai bagian dari Undang-undang Kehutanan Belanda Tahun 1927 dan 1932 yang diterjemah dan dimasukkan dalam Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967. Seperti di tempat lain, dimana terdapat birokrasi pengelolaan hutan, kehutanan
1 2
Dengan Instruksi Presiden No. 75/1969. Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 dan Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5/1967.
4
ilmiah tradisional3 mendapat legitimasi dalam undang-undang kehutanan dan dibenarkan oleh dua gagasan universal dalam pengelolaan sumberdaya: (1) pengelolaan untuk kemaslahatan sebesar-besarnya; dan (2) keunggulan sains (Barat) atas bentuk-bentuk lain pengelolaan sumberdaya. Untuk mewujudkan ideologi ini, ada tiga tipe penguasaan hutan yang tetap bertahan sejak penguasaan hutan oleh Belanda: penguasaan lahan hutan, spesies hutan, dan pekerjaan/buruh hutan. Bentuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan di Jawa pasca kolonial bermula dengan diserahkannya wewenang pengelolaan hutan Jawa kepada Perum Perhutani
pada
tahun
1974 yang
kemudian
mengembangkan
pendekatan
kesejahteraan dengan program Ma-Lu (Mantri-Lurah). Setelah diadakan Konggres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta pada tahun 1978 dengan tema Forest for People, Perhutani menggulirkan program barunya yaitu Social Forestry, tetapi masih belum jelas bentuk operasionalnya. Kemudian pada tahun 1982, kembali Perhutani menyempurnakan pendekatan kesejahteraannya dalam pengelolaan hutan dengan Proyek
Pembangunan
Masyarakat
Desa
Hutan
(PMDH)
yang
bertujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan dan meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara optimal. Pada tahun 1985 dibentuk tim penelitian untuk mencari sistem pengelolaan hutan yang mampu memecahkan permasalahan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan yang akhirnya berhasil merumuskan program Perhutanan Sosial (PS). Pada periode ini mulai dikenal konsep agro forestry. Dikembangkan pula bentuk alternatif PS seperti proyek Management Regime di KPH Madiun yang mempertimbangkan faktor-faktor yang berpengaruh pada intensitas tekanan penduduk terhadap kawasan hutan. Pasca reformasi politik 1998, Departemen Kehutanan berusaha merubah paradigma pengelolaan hutan dari state based oriented menjadi lebih community based oriented melalui program pengenalan Hutan Kemasyarakatan (HKm)4. Perkembangan ini juga mendorong Perhutani untuk mengembangkan konsep baru bernama “Penanaman Hutan Berbasis Masyarakat” (PHBM) dengan Keputusan 3
Kehutanan ilmiah muncul dalam perencanaan pengelolaan kayu dan hasil-hasil “tradisional” hutan lain seperti getah pinus. Hasil-hasil ini diproduksi dalam gaya pabrik di perkebunan pohon industri. 4 Dituangkan dalam SK Menteri No. 677/1998 tentang Pengelolaan HKm yang kemudian diganti dengan SK Menteri No. 31/2001 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan HKm dan dalam Permen No. 1/2004 tentang Social Forestry.
5
Direksi Perum Perhutani No. 268/KPTS/DIR/2007). PHBM memakai prinsip kebersamaan dalam pengelolaan hutan dan bertujuan meningkatkan peran dan tanggung jawab Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat hutan. Melalui skema PHBM inilah KPH Jember mengelola kawasan hutan lindung di lereng selatan Gunung Raung yang direklaim oleh warga Sidomulyo dengan membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Hermosilla dan Fay (2005) mengemukakan beberapa tesis tentang manajemen hutan di Indonesia sebagai berikut: pertama, dari sekitar 120 juta ha. kawasan hutan yang diklaim oleh Departemen Kehutanan ternyata sekitar 33 juta hektar tidak mempunyai tutupan hutan sehingga penguasaannya seharusnya tidak di bawah Departemen Kehutanan tetapi pada BPN; kedua, bahwa sentralisasi penguasaan kawasan hutan oleh Departemen Kehutanan selama ini tidak mempunyai dasar hukum, karena baru 10 persen kawasan hutan yang sudah ditentukan tata batasnya. Sehingga 90 persen dari yang diklaim sebagai kawasan hutan oleh Departemen Kehutanan sebenarnya hanya dapat diberi status ‘non-state forest zones’ dan seharusnya berada di bawah penguasaan BPN; ketiga, langsung berhubungan dengan di atas bahwa, kewenangan Departemen Kehutanan adalah terbatas pada pengelolaan hutan, sedangkan yang berkaitan dengan tanah merupakan wewenang BPN. Dengan demikian sudah saatnya pemerintah meninjau kembali klaim Departemen Kehutanan terhadap apa yang disebut sebagai kawasan hutan negara yang meliputi sekitar 62 persen dari daratan Indonesia. Sebagai dampak implementasi dari pendefinisian sepihak masalah kehutanan oleh pemerintah, maka masyarakat adat dan masyarakat desa hutan pada umumnya kehilangan sebagian besar sumberdaya alam mereka. Sebagai masyarakat yang tinggal di tepi kawasan hutan (desa hutan), penduduk Desa Sidomulyo Kecamatan Silo Kabupaten Jember sangat tergantung dengan hutan. Sebagai petani kebun kopi rakyat, mereka dulunya tidak ada masalah dengan lahan. Lahan mereka masih luas dan mampu mendukung kehidupannya dalam memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Seiring berjalannya waktu, lahan-lahan itu terfragmentasi khususnya melalui warisan, sehingga berkurang ketersedian dan daya dukungnya. Bahkan beberapa warga akhirnya tidak mempunyai lahan sama sekali
6
yang bisa digarapnya. Kondisi ini sangat kontras dengan kawasan di sekitarnya yang berupa hutan luas. Terbukanya struktur politik di tingkat makro pada masa reformasi menjalar sampai ke Sidomulyo dan menggerakkan warganya untuk menuntut keadilan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) untuk kemakmuran bersama yang selama ini semakin langka akibat ditutupnya akses mereka terhadap hutan dengan adanya status hutan lindung. Gerakan sosial mereka berwujud menjadi reklaiming terhadap kawasan hutan lindung yang selama ini di bawah pengelolaan Perhutani. Kawasan hutan yang direklaiming kemudian dijadikan kebun kopi rakyat. Gejala sosial yang terjadi di Sidomulyo tersebut berbeda dengan kasus-kasus perkara, sengketa, maupun konflik agraria di kawasan hutan yang ada di tempat lain. Status kawasan hutan lindung yang menjadi obyek reklaiming merupakan salah satu pembeda dengan kajian-kajian lain yang sebagian besar merupakan konflik di hutan produksi, hutan HTI dan hutan konservasi. Selain itu munculnya fenomena ini termasuk kontemporer, yaitu ketika terjadinya era reformasi sehingga mempunyai latar belakang yang lebih baru dan beragam walaupun tentu saja tidak bisa terlepas dengan sejarah panjang sebelumnya dalam hal hubungan masyarakat dengan hutan. Perubahan sosial (khususnya struktur agraria) akibat reklaiming juga merupakan faktor baru dalam kajian dinamika struktur agraria. Keterlibatan banyak pihak luar dalam fenomena sosial di suatu desa hutan juga menunjukkan bahwa desa bukan lagi wilayah yang homogen dan tertutup. Para pihak yang terlibat melakukan praktikpraktik tertentu dalam rangka mencapai kepentingannya. Paradigma konservasi yang diusung oleh Perhutani sebagai representasi negara dan paradigma akses terhadap sumberdaya hutan yang diusung oleh warga berada pada ruang yang sama yaitu hutan lindung. Perhutani berpegang pada konsep hak yang diperolehnya dari negara, sedangkan warga menuntut hak akses yaitu untuk mengambil manfaat dari hutan lindung. Bentuk tumpang tindih paradigma ini kemudian menjadi konflik dalam bentuk reklaiming yang dilakukan oleh warga. Fenomena ini menunjukkan paradigma yang diyakini oleh warga mampu meruntuhkan dominasi hegemoni paradigma konservasi Perhutani di hutan lindung.
7
Masalah Penelitian Model pengelolaan hutan negara yang diterapkan selama masa penjajahan Belanda sekarang diteruskan oleh Perum Perhutani yang mendapat legitimasi dari negara untuk mengelolanya. Pengelolaan yang tidak mengiktusertakan masyarakat sekitar hutan, yang sejak dari dulu menggantungkan hidupnya dari hutan, membangkitkan pertanyaan adanya ketidakadilan sistem distribusi sumberdaya oleh negara. Terbukanya struktur politik pada masa reformasi mendorong warga melakukan reklaiming atas sumberdaya hutan untuk kesejahteraan mereka. Reklaiming sebagai bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan, kemampuan pemanfaatannya dipengaruhi berbagai mekanisme, proses, dan relasi sosial yang melekat pada masyarakat. Kekuatan-kekuatan ini merupakan jalinan material, budaya dan ekonomi politik dalam ikatan dan jaring kekuasaan yang mengatur “akses sumberdaya”. Orang-orang dan institusi yang berbeda menguasai dan mendukung “ikatan kekuasaan” yang berbeda yang berada dan terdapat dalam “jaringan kekuasaan” yang terbuat dari jalinan-jalinan tersebut. Jalinan ini terus bergeser dan berubah dari waktu ke waktu, merubah sifat kekuasaan dan bentuk akses pada sumberdaya (Ribot dan Peluso, 2003). Akses hutan lindung yang dilakukan komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo menjadikan
kepemilikan (property) sebagai salah satu faktor dalam
susunan yang lebih besar dari kelembagaan, relasi sosial dan ekonomi politik, dan strategi-strategi yang membentuk aliran keuntungan. Beberapa hal dari susunan tersebut tidak diakui sebagai sesuatu yang sah oleh semua atau sebagian masyarakat, beberapa lainnya adalah sisa dari wacana dan kelembagaan yang sah. Sehingga harus memperhatikan kepemilikan sebagai tindakan bawah tanah, hubungan-hubungan produksi, hubungan-hubungan penguasaan, dan sejarah dari semuanya itu.
8
Bertolak dari gambaran ini, maka pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian adalah: 1. Mengapa terjadi reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo dan bagaimana aliran keuntungan yang timbul dari reklaiming tersebut? 2. Bagaimana mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya? 3. Bagaimana hubungan kuasa para pihak yang mendasari mekanisme akses dalam memperoleh keuntungan?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji latar belakang dan makna reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo dan aliran keuntungan yang ditimbulkannya. Selain itu juga menganalisis mekanisme yang dilakukan para pihak pihak dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan serta hubungan kuasa di antara mereka.
TINJAUAN PUSTAKA
Lahan dan Struktur Agraria Dalam kegiatan pertanian, termasuk perkebunan, lahan (tanah) merupakan faktor produksi penting, karena di atas lahan kegiatan produksi suatu komoditas penghasil ”surplus” dimulai. Bagi petani, sebagaimana menurut Sajogyo (1985), lahan merupakan modal sumber nafkah yang menentukan posisi petani dalam pelapisan masyarakat. Modal lahan akan menentukan kemampuan jangkauan petani ke pangan, perumahan, pendidikan, dan unsur kesejahteraan lainnya. Lebih lanjut Wiradi (1984) menunjuk kata ”penguasaan” tanah kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Sementara itu, konsep ”pemilikan” menunjuk pada penguasaan formal. Melalui konsep pemilikan perorangan, seseorang dapat menguasai sebidang tanah secara mutlak sehingga orang tersebut dapat mengaturnya secara bebas, misalnya menyerahkan kepada ahli warisnya, menjual, serta meminta pihak lain untuk mengusahakan lahan miliknya baik melalui sistem sewa, sakap, atau gadai. Terkait dengan keberadaan lahan yang menjadi ”objek” penting kegiatan usahatani, maka muncul berbagai pola hubungan, yaitu: (1) hubungan
manusia
dengan tanah; (2) hubungan manusia dan tanaman; (3) hubungan antara manusia dan benda-benda lain di atas dan di bawah tanah; (4) hubungan antara manusia dan manusia (Wiradi, 1986). Karena rumitnya hubungan itu, maka masalah penguasaan tanah sebaiknya dipahami secara lintas disiplin mencakup aspek-aspek ekonomi, sosial-budaya, politik dan ekologi. Pola-pola hubungan tersebut selanjutnya akan membentuk struktur agraria baik berupa struktur penguasaan, struktur pengusahaan, dan kemudian akan diikuti oleh struktur distribusi hasil pengelolaan sumber-sumber agraria. Secara spesifik, dinamika struktur agraria merujuk pada gejala penajaman
10
diferensiasi sosial berdasar akses atau penguasaan terhadap tanah, baik yang kemudian membentuk struktur agraria yang terstratifikasi maupun yang terpolarisasi. Struktur agraria menurut Wiradi (2009) adalah tata hubungan antar manusia yang menyangkut pemilikan, penguasaan, dan peruntukan tanah yang melalui suatu proses perkembangan tertentu lalu menjadi mapan. Hakikat dari struktur agraria oleh karenanya menyangkut masalah susunan pembagian tanah,
penyebaran
atau
distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Sedangkan Kuhnen (1995) berpendapat bahwa istilah struktur agraria menunjuk pada semua hasil yang sudah ada dan bertahan dan kondisi kehidupan yang ditemukan dalam suatu wilayah pedesaan. Struktur agraria terdiri atas unsurunsur sosial, teknologi dan ekonomi yang menentukan produktivitas yang dicapai, penghasilan dan distribusinya, dan situasi sosial penduduk pedesaan. Oleh karenanya struktur agraria meliputi sistem land tenure (struktur agraria sosial) dan sistem land management (struktur agraria teknis dan ekonomis). Sistem land tenure mengatur hak-hak legal atau tradisional individu atau kelompok dalam memiliki tanah dan menghasilkan hubungan-hubungan sosial di antara penduduk pedesaan. Komponen dari land tenure adalah sistem kepemilikan tanah dan sistem organisasi kerja. Oleh karenanya berbagai sistem land tenure berkembang di seluruh dunia, di mana kondisi alam (iklim, tanah, topografi) dan juga faktor sosial (sosial budaya, ideologi politik, tingkat teknologi, penduduk, perubahan-perubahan hubungan biaya dan harga, dan sebagainya) memainkan peranan. Tata hubungan yang mapan dalam struktur agraria di atas menurut Wiradi (2009) harus dipahami dalam arti relatif dan bukannya permanen sepanjang waktu. Tatanan ini bisa berubah akibat bekerjanya berbagai faktor yang dapat mempengaruhinya, antara lain: (1) perubahan struktur politik; (2) perubahan orientasi politik; (3) perubahan kebijakan ekonomi; (4) perubahan teknologi; dan (5) faktor-faktor lain sebagai turunan dari keempat faktor tersebut. Demikian juga Kuhnen (1995) berpendapat yang sama bahwa sistem land tenure bukanlah sesuatu yang abadi/kekal, sebaliknya tergantung pada proses perubahan yang terus-menerus. Perubahan kondisi alam dan faktor ekonomi, inovasi teknologi, jumlah penduduk, pengaruh struktur kekuasaan politik membawa perubahan dalam sistem land tenure. Sebagai hasil dari proses yang terus-menerus dalam faktor-faktor yang mengatur dan
11
membentuk sistem land tenure tersebut, maka suatu sistem land tenure yang ideal tidak dapat terjadi. Pada suatu saat, sistem land tenure khusus adalah kerangka kelembagaan yang mana produksi agraria dan cara hidup diselesaikan di bawah kondisi yang ada. Hal ini saling berkaitan dengan kondisi alam, ekonomi, sosial dan politik. Ketika semuanya berubah, sistem land tenure secara terus-menerus beradaptasi terhadap situasi yang berubah. Terdapat beberapa unsur (sektor) yang dapat digunakan untuk menganalisa suatu kasus agraria sebagaimana dinyatakan oleh Tuma (dalam Sitorus, 2002), yaitu: (a) kepemilikan tanah (land ownership); (b) konsentrasi tanah dan pendapatan (land and income concentration); (c) diferensiasi sosial (class differentiation); (d) usaha skala besar vs kecil (large vs small scale operation); (e) rasio tanah dan tenaga kerja (land/labor ratio); (f) pengangguran (underemployment); dan (g) kelebihan tenaga kerja (surplus tenaga kerja). Unsur-unsur tersebut dapat menggambarkan struktur agraria dan apabila dilihat dalam jangka waktu yang berbeda (diperbandingkan) maka akan dapat menggambarkan perubahannya.
Hutan Lindung dan Permasalahan Tenurial Hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah “kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.” Pengertian ini mengandung arti tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan hujan (catchment area), di sepanjang aliran sungai bilamana dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat lain sesuai fungsi yang diharapkan. Sedangkan kawasan hutan dalam pengertian di atas adalah: ”...wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Pemanfaatan hutan lindung (dalam Pasal 26 dan 27) dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatannya dilaksanakan melalui pemberian izin usaha yang semuanya dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi kecuali izin pemanfaatan
12
jasa lingkungan dapat diberikan pula kepada badan usaha milik swasta Indonesia dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Selain itu, untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha dan diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 31). Dari peraturan-peraturan ini jelas adanya dominasi kuasa negara atas sumberdaya hutan. Tidak tersirat sedikit pun adanya keterlibatan apalagi kedaulatan rakyat dalam penentuan pengelolaan hutan. Konflik mengenai sumber daya hutan biasanya terjadi sebagai akibat dari tidak jelasnya hak-hak atau hukum yang berhubungan dengan sistem tenurial. Tuntutan-tuntutan ini dapat terjadi antar/antara individu, masyarakat, badan instansi pemerintah atau sektor swasta. Dalam konteks konflik tenurial (penguasaan atas lahan dan sumberdaya alam) di dalam kawasan hutan, rentang jarak yang jauh antara aspek de jure dan de facto patut mendapatkan pencermatan yang mendalam oleh berbagai pihak. Di satu sisi sistem penguasaan yang diatur oleh hukum negara sangat lemah dalam operasionalnya, sementara sistem yang diatur secara tradisional tidak terdokumentasi dan seringkali kurang mendapat dukungan secara hukum, sehingga keamanan sebagai pemegang hak kurang memadai. Permasalahan tenurial kawasan hutan di Indonesia menurut Santoso (1996) berpusat pada: (a) dualisme pertanahan; (b) tumpang tindih hukum sektoral; (c) hak masyarakat adat; (d) kebutuhan masyarakat non-adat; (e) implementasi kebijakan; dan (f) mekanisme resolusi konflik. Kontroversi sistem tenurial sumberdaya hutan berkisar seputar perdebatan mengenai Hak Menguasai Negara (HMN) dan Hak Masyarakat Adat (HMA) atas tanah dan sumberdaya alam Indonesia yang telah lama berlangsung, utamanya sejak munculnya UUPA tahun 1960 dan UUPK tahun 1967. Berdasarkan doktrin HMN tersebut, ditafsirkan bahwa negara adalah pemegang otoritas tertinggi berkenaan dengan sumberdaya alam. HMN menempatkan negara tidak sebagai pemilik melainkan sebagai organisasi tertinggi dari bangsa Indonesia (beberapa ahli mengistilahkan sebagai ”hak ulayat negara”) memberi kekuasaan atau kewenangan, misalnya dalam UUPK,
untuk: (a) menetapkan dan mengatur perencanaan,
peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam
13
memberikan manfaat kepada rakyat dan negara, (b) mengatur pengurusan hutan dalam arti luas, (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan. Dalam pelaksanaan HMN, negara dapat menguasakan kewenangan tersebut kepada daerah-daerah swatantra (pemerintah daerah) dan masyarakat hukum adat sepanjang secara nyata masih ada dan tidak bertentangan kepentingan nasional dan perundang-undangan yang berlaku. Studi-studi tentang konflik sumberdaya hutan, sebagian besar mengenai konflik HPH dan hutan adat yang sebagian besar berada di hutan di luar pulau Jawa. Sedangkan di Jawa, studi-studi yang ada berlokasi di hutan jati yang memang dominan di Pulau Jawa. Salah satunya adalah Santoso5 (2004) yang studinya di suatu distrik kehutanan (Kesatuan Pemangkuan Hutan: KPH) di bawah Perhutani Unit I Jawa Tengah mengambil fokus pada kasus-kasus pencurian kayu, bibrikan lahan, sabotase tanaman, aksi-aksi balas dendam, dan gosip-gosip yang secara khusus ditujukan kepada para petugas kehutanan. Menurutnya, kasus-kasus tersebut tidak berdiri sendiri tetapi juga memiliki pertautan yang sangat erat dengan sejarah panjang dinamika perubahan dan tarik-menarik kekuasaan atas sumber daya hutan yang melibatkan suprastruktur dan substruktur. Sehingga masalah-masalah yang lebih besar seperti dominasi ideologi atau hegemoni, perlawanan sosial, dan sosok kehutanan akademis6 serta kritik-kritiknya perlu mendapat perhatian besar. Sebelumnya, Peluso (1992) dalam bukunya7 yang terkenal tentang penguasaan sumberdaya hutan dan perlawanan di Jawa secara komprehensif menguraikan
sejarah
kebijakan
kehutanan
negara
yang
dirancang
untuk
mengendalikan dan mengawasi penggunaan kawasan hutan, jenis pohon tertentu, tenaga kerja, dan ideologi di Jawa serta tanggapan penduduk desa hutan terhadap pengendalian yang diterapkan. Secara khusus juga menampilkan suatu kasus tentang konflik di kebanyakan hutan non-jati. Menurutnya konflik terbesar di hutan non-jati 5
Hery Santoso, Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa, (Jogjakarta: DAMAR, 2004). 6 Serupa dengan “kehutanan ilmiah”, dimana perencanaan pengelolaan kayu dan hasil-hasil “tradisional” hutan lain seperti getah pinus diproduksi dalam gaya pabrik di perkebunan pohon industri. 7 Nancy L. Peluso, Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan dan Perlawanan di Jawa, Terjemahan Landung Simatupang, (Jakarta: KONPHALINDO, 2006).
14
tersebut adalah mengenai tanah hutan dan bukannya pohon-pohonnya sebagaimana di hutan jati. Kasus tersebut menggambarkan bagaimana petani mampu melaksanakan kuasa melalui perlawanan yang berbasis tanah dan melestarikan pelaksanaan pertanian di kawasan hutan negara, demi manfaat mereka bersama. Meskipun tampaknya “daya tembak” mereka secara teknis rendah, kenyataannya mereka unggul dalam perjuangan penguasaan tanah hutan. Akses lahan hutan dan manfaat yang timbul dari akses itu dimediasi oleh stratifikasi masyarakat. Mereka yang bermodal dapat memperoleh akses ke lahan yang lebih baik dan mampu berinvestasi pada bentuk bercocok tanam yang lebih menguntungkan. Keputusan Perhutani pada waktu alokasi akses lahan sangat menentukan sosok ekonomi politik setempat. Dengan demikian petugas lapang Perhutani menjadi fokus dari banyak ketegangan di tanah hutan negara saat ini. Perhutani sering membantu petani kaya karena dipandang paling mampu menyelesaikan pekerjaan (reforestasi). Namun, justru petani kaya inilah yang memanfaatkan afiliasi Perhutani dengan lembaga eksternal yang bersaing hendak menguasai hutan; petani kaya membelokkan ketidakpuasan dan amarah petani miskin ke arah pihak-pihak luar itu. Reklaiming dan Teori Akses Reklaiming adalah salah satu bentuk gerakan sosial. Sebagai gerakan sosial, reklaiming sangat terkait dengan dinamika politik makro. Reklaiming berkaitan langsung dengan terbuka atau tertutupnya struktur politik nasional. Perubahan struktur politik nasional, ditandai dengan jatuhnya kekuasaan presiden Suharto, Mei 1998, menciptakan kondisi obyektif baru di tengah-tengah masyarakat, yaitu terciptanya ruang politik yang memungkinkan keleluasaan ekspresi politik rakyat. Keleluasaan ini mendorong munculnya berbagai ekspresi korban represi negara. Keberadaan gerakan reklaiming dilatarbelakangi oleh munculnya berbagai kelompok yang mendominasi, baik secara ekonomi maupun politis, berusaha mengklaim terhadap hak atas sumberdaya alam. Kelahiran gerakan reklaiming, dapat dikatakan sebagai conditio sine qua non yang dipicu oleh kejadian yang sama sebelumnya yaitu, perampasan paksa hak atas kepemilikan sumberdaya alam rakyat.
15
Istilah reklaiming walaupun belum memiliki definisi yang baku, tetapi sudah populer dan jamak digunakan dalam hal kasus-kasus agraria. Kata ini merupakan kata serapan dari bahasa Inggris “reclaiming” yang berarti “memperoleh kembali”. Sedangkan menurut pengertian yang didefinisikan oleh YLBHI, gerakan reklaiming adalah8: “Sebuah tindakan perlawanan, yang dilakukan oleh rakyat tertindas untuk memperoleh kembali hak-haknya seperti tanah, air, dan sumber daya alam lainnya, serta alat-alat produksi lainnya secara adil, demi terciptanya kemakmuran rakyat semesta9.” Sebagai proses “untuk memperoleh kembali hak-hak itu”, maka reklaiming yang dilakukan oleh petani pada dasarnya selalu dilakukan sebagai sebuah respon dari perlakuan-perlakuan yang dilakukan oleh pihak lain kepada meraka. Selama ini terdapat beberapa hal yang dijadikan sebagai alasan dari tindakan reklaiming (Ardana, 2008), yaitu : pertama, alasan moralitas yaitu adanya penindasan sistemik yang dilakukan oleh penguasa di mana apabila rakyat berhasil mendapatkan kembali hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam lainnya bukan mustahil akan terjadi perbaikan kondisi dan posisi rakyat. Kedua, alasan ketidakadilan dan struktur yang menindas yang merupakan konsekuensi logis dari kebijakan ekonomi politik negara. Ketiga, alasan normatif (yuridis konstitusional) di mana negara dinilai telah gagal dalam mengembang amanat rakyat yang tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sekaligus kegagalan MPR/DPR dalam menjembatani kepentingan rakyat. Keempat, alasan hubungan sejarah dan nilai-nilai lokal yang melekat pada objek reklaiming (tanah dan sumber daya alam lainnya) yang seringkali dinafikan demi kepentingan penguasa, dan kelima, alasan kewajiban negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.
Reklaiming hutan lindung oleh warga Sidomulyo merupakan fenomena konflik agraria karena adanya perbedaan kepentingan antara mereka dengan Perhutani. Kepentingan warga adalah akses mereka memanfaatkan sumberdaya hutan sebagaimana dilakukan oleh para leluhur mereka. Sedangkan kepentingan Perhutani adalah menjalankan mandat dari negara untuk menjaga hutan lindung agar 8
Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana, Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat,(Jakarta: YLBHI dan RACA Institute, 2001). 9 yang dimaksud dengan rakyat semesta adalah seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya sebagian saja. Lihat, Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana, Ibid.
16
berfungsi sebagaimana tujuannya yaitu menjaga fungsi lingkungan. Persaingan kepentingan tersebut menyebabkan konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Terkait dengan akses yang merupakan tuntutan warga yang berwujud reklaiming dapat dijelaskan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) yang mendefinisikan akses sebagai: “ kemampuan untuk mengambil keuntungan dari sesuatu seperti obyek material, seseorang, lembaga dan simbol”. Penekanan pada “kemampuan” dibandingkan dengan hak akan membawa perhatian yang lebih luas pada hubungan-hubungan sosial yang membatasi atau memperbolehkan masyarakat memanfaatkan sumberdaya tanpa memperhatikan hubungan kepemilikan (property rights) saja. Teori akses ini berguna untuk mengidentifikasi konstelasi cara, hubungan, dan proses yang memperbolehkan berbagai aktor (para pihak) mengambil keuntungan dari suatu sumberdaya. Konsep akses memfasilitasi analisis siapa yang sebenarnya mendapatkan keuntungan dari sesuatu dan melalui proses apa mereka dapat melakukannya. Sehingga secara empiris akses berfokus pada isu “siapa yang menggunakan apa dan siapa yang bukan, dalam cara-cara apa, dan kapan (dalam kondisi apa)”. Dan berfokus pada sumberdaya alam sebagai sesuatu yang dipermasalahkan, Ribot dan Peluso (2003) mengeksplorasi jajaran kekuasaan (range of powers) yang mempengaruhi kemampuan orang-orang untuk mengambil keuntungan dari sumberdaya. Kekuasaan yang dimaksud adalah material, budaya dan ekonomi politik dalam “ikatan (bundles)” dan “jaring-jaring (webs)” kekuasaan yang mengatur akses sumberdaya. Ada orang-orang dan lembaga yang “mengontrol” akses sumberdaya sementara yang lain “memelihara” akses mereka melalui mereka yang mempunyai kontrol. Pembedaan dalam hubungan akses ini adalah salah satu cara akses dapat dilihat sebagai suatu analisis yang dinamis, sehingga dapat membantu memahami mengapa ada orang-orang atau lembaga yang mengambil keuntungan dari sumberdaya, baik memiliki hak atau tidak atas sumberdaya tersebut. Analisis terhadap akses sumberdaya mensyaratkan identifikasi obyek yang diteliti, terutama keuntungan yang berasal dari sumberdaya tertentu. Setelah itu dapat dilanjutkan dengan analisis berbagai mekanisme di mana individu, kelompok atau institusi memperoleh, mengontrol atau memelihara akses dalam kondisi politik dan
17
budaya tertentu. Mekanisme yang membentuk proses dan hubungan akses dapat dikategorikan dalam akses berdasarkan hak (rights based access) dan akses yang merupakan sejumlah faktor tambahan yang merupakan mekanisme akses yang bersifat struktural dan relasional (structural and relational mechanisms). Faktorfaktor tersebut adalah: teknologi, modal, tenaga kerja, pengetahuan, wewenang, identitas dan relasi-relasi sosial (Ribot dan Peluso, 2003).
Perubahan Sosial dan Konflik Sebagian besar pakar memandang penting perubahan struktural dalam hubungan, organisasi, dan ikatan antar unsur masyarakat. Sehingga Farley (1990), dalam Sztompka (1993:5), memberikan definisi perubahan sosial sebagai perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu. Alasan di balik lebih seringnya penekanan ditujukan pada perubahan struktural dari pada tipe lain adalah karena perubahan struktural itu lebih mengarah kepada perubahan sistem sebagai keseluruhan dari pada perubahan di dalam sistem sosial saja. Struktur sosial merupakan sejenis kerangka pembentukan masyarakat dan operasinya. Jika strukturnya berubah, maka semua unsur lain cenderung berubah pula. Sebelumnya, Mac Iver dan Page (1954) mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan-hubungan sosial (social relationship) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial tersebut. Lebih jauh Soemardjan (1981) menjelaskan bahwa konsep perubahan sosial dimaksudkan untuk mencakup bermacam perubahan di dalam lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap dan pola tingkah laku antar kelompok di dalam masyarakat. Perubahan sosial dan perubahan budaya (kultural) mempunyai satu segi persamaan yaitu kedua-duanya menyangkut suatu adaptasi atau perbaikan dalam cara masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Perubahan sosial merupakan suatu gejala yang akan selalu ada dalam masyarakat, karena masyarakat selalu berubah dalam aspek terkecil sekalipun. Perubahan sosial mengacu pada perubahan struktur sosial dan hubungan sosial di masyarakat. Perubahan pada hubungan sosial akan menimbulkan pula perubahan
18
pada aspek nilai dan norma. Perubahan sosial dapat terjadi karena sebab internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan permasalahan yang timbul dalam diri masyarakat, sedangkan faktor eksternal mengacu pada sumber perubahan yang berasal dari luar masyarakat. Yang termasuk faktor internal yaitu yang berasal dari masyarakat itu sendiri, seperti: perubahan komposisi penduduk, konflik dan penemuan baru. Sedangkan faktor eksternal yaitu yang berasal dari luar masyarakat, seperti: bencana alam, peperangan, intervensi dan budaya asing. Selain itu, terdapat pula faktor penghambat dan pendorong perubahan. Faktor penghambat yaitu: perkembangan i1mu pengetahuan yang berjalan lambat, sikap tradisional, solidaritas kelompok tinggi, kepentingan, prasangka buruk pada pihak luar dan takut akibat dari perubahan. Faktor pendorong perubahan adalah pendidikan yang maju, sikap menghargai karya orang lain, toleransi dan sistem masyarakat terbuka. Pemikiran perspektif konflik dalam perubahan sosial menekankan pada adanya perbedaan pada diri individu/kelompok dalam mendukung suatu sistem sosial. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri dari individu yang masingmasing memiliki berbagai kebutuhan (interests) yang sifatnya langka. Keberhasilan individu/kelompok mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu/kelompok untuk mendapatkannya pun berbedabeda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu munculnya konflik sosial (Susan, 2009). Sosiologi konflik kontemporer semakin kompleks dan kadang pragmatis. Proses ini bisa disebut sebagai sosiologi konflik ekletik, yang mengkaji konflik melalui beberapa pendekatan yang bisa disatukan secara pragmatis seperti pendekatan konflik kritis dan humanis. Pendekatan ini menghasilkan analisis sosiologi konflik yang berfokus pada dominasi wacana dan kekuasaan. Persoalan wacana adalah kepentingan apa dan siapa yang mendominasi di dalamnya. Berger dan Luckman (dalam Susan, 2009:77) menyebut negara sebagai lembaga terbesar yang paling kuat dalam menanam kepentingan di wilayah publik. Melalui aparatnya seperti birokrasi dan militer, negara mempunyai kekuasaan untuk memaksa sehingga dapat membentuk atau menentukan realitas sosial dalam koridor kepentingan mereka. Dengan demikian negara merupakan lembaga kekuasaan yang paling besar dalam menentukan wacana-wacana individu.
19
Para aktor/pihak yang terkait dengan reklaiming berinteraksi bersama untuk membentuk suatu tipifikasi (representasi mental) sepanjang waktu dari masingmasing tindakan para aktor. Oleh karena itu, tipifikasi ini seringkali menjadi dibiasakan (habitualized) dalam berbagai peranan timbal-balik yang dimainkan para aktor dalam interaksinya satu sama lain. Ketika peranan-peranan ini menjadi rutin, interaksi timbal balik yang tertipifikasi itu disebut terinstitusionalisasi/melembaga (institutionalized). Dalam prosesnya, makna (meaning) melekat dan melembaga dalam pengetahuan dan konsepsi individu dan masyarakat. Oleh karenanya kenyataan sosial dikonstruksi secara sosial (teori konstruksi sosial kenyataan Berger & Luckman). Dalam hal ini analisis proses sosial yang berlangsung atau dalam istiliah lain analisis historis menjadi sangat penting untuk memahami terjadinya proses reklaiming ini. Hutan tidak lagi sekedar arena biofisik (teritorial) melainkan juga sebagai arena sosial di mana kedua belah pihak (masyarakat dan Perhutani) menciptakan manuver, strategi, dan perjuangan demi sumberdaya yang diinginkan. Masyarakat dan Perhutani dengan modal yang dipunyainya berusaha mengukuhkan posisinya dalam kawasan hutan yang diperebutkan penguasaannya. Pemecahan masalah-masalah agraria bila ditinjau dari sudut pandang sosiologi menurut Tjondronegoro (1999) berarti menganalisa hubungan antar golongan-golongan beserta usaha-usaha merubah hubungan antar lapisan-lapisan masyarakat yang menguasai aset tanah. Artinya ada lapisan yang penguasaannya kuat, ada pula yang lemah atau sama sekali tidak punya kuasa apapun dan menjadi sangat tergantung. Dasar kekuasaan tersebut biasanya terdiri atas suatu kombinasi faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial. Ketiga faktor tersebut sukar dipisahkan secara sempurna. Sebagaimana dijelaskan oleh M. Tauchid (1952), arah politik agraria dapat dilihat dari aneka produk hukum yang dilahirkannya. Ciri terpenting dari politik agraria kolonial adalah pengalokasian sumber-sumber agraria khususnya tanah dan tenaga kerja demi akumulasi modal oleh perusahaan. Untuk melegalkan usaha ini, Agrarische Wet 1870 diundangkan di Hindia Belanda. Agrarische Wet (AW.1870) telah membuka peluang luas bagi investasi perkebunan dan pertanian di lapangan agraria Indonesia. Serangkaian hak atas sumber-sumber agraria diimbuhkan secara lengkap kepada kaum pengusaha yang ingin menguasai tanah-tanah di
20
Indonesia. Sementara, kaum bumiputera hidup dalam ketiadaan perlindungan atas sumber-sumber agrariaya melalui azas domeinverklaring. Sementara di sisi lainnya, hak-hak adat masyarakat atas tanah dilekatkan sedemikian rupa kepada kelompokkelompok feodal. Jadilah rakyat hidup dalam dua kewajiban yang menghisap dirinya. Secara ekonomi politik, M. Tauhid menggambarkan bahwa dualisme hukum agraria yang diterapkan oleh Agrarische Wet 1870 sebagai sebuah usaha memuluskan penetrasi dan akumulasi kapitalisme agraria di satu sisi, serta proses menyiapkan secara sistematis suplai buruh dari masyarakat pedesaan yang berwatak borjuasi kecil sekaligus juga dari masyarakat pedesaan yang masih hidup dalam corak feodalisme secara bersamaan ke dalam industri perkebunan yang masuk ke Hindia Belanda. Sitorus (2004) menjelaskan bahwa konflik agraria merupakan gejala struktural, berpangkal pada ketidakserasian atau benturan kepentingan antar subjek dalam hubungan agraria. Dalam hal ini, apabila dua atau lebih pihak subjek memiliki klaim hak pengusaan atas suatu unit sumber agraria yang sama, maka terjadilah sengketa agraria. Eskalasi konflik sosio-agraria disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain (1) Pemilikan atau penguasaan tanah tidak seimbang dan merata, (2) Ketidakselarasan penggunaan tanah untuk sektor pertanian dan non-pertanian, (3) Tidak berpihaknya politik kebijakan agraria kepada masyarakat ekonomi lemah (wong cilik), (4) Tidak adanya pengakuan terhadap hukum adat (hak ulayat), dan (5) Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
proses
pembebasan tanah. Semua faktor di atas merupakan penyebab terjadinya konflik sosio-agraria masa kekinian. Menurut Wiradi (2000), konflik agraria sebagai suatu gejala sosial merupakan proses interaksi antar dua orang/kelompok atau lebih yang masingmasing memperjuangkan kepentingan antar objek yang sama seperti tanah, air, tanaman, tambang, udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. Pada tahap ”berlomba” untuk mendahului objek itu, sifatnya masih dalam ”persaingan”. Tetapi pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah ”situasi konflik”. Jadi, konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Kepentingan aktor merupakan hal penting dalam konflik sosio-agraria. Persoalan konflik seringkali juga dipicu oleh perbedaan kepentingan aktor yang berhubungan dengan tanah (Sitorus, 2004).
21
Perdebatan agraria di Indonesia terkait perubahan sosial di pedesaan Jawa (Wiradi, 2009:130-138) berawal dari tulisan-tulisan William Collier tahun 1973 dan 1974 yang pada intinya mengandung sejumlah proposisi: (a) pengaruh gabungan antara tekanan jumlah penduduk dan teknologi yang dibawa revolusi hijau (RH) telah
menyebabkan
terjadinya
perubahan-perubahan
dalam
pranata-pranata
tradisional di pedesaan Jawa seperti tata cara panen; (b) perubahan tata cara panen merupakan indikasi melemahnya gejala “involusi” (gambaran Gertz mengenai shared poverty) atau salah jalan untuk menangkalnya; (c) teknologi
RH
menyebabkan terjadinya kesenjangan baik dalam hal penguasaan aset, khususnya tanah maupun pendapatan. Kesimpulan yang kemudian memperoleh “cap” sebagai colletal/populist paradigm ini mendapat reaksi dari Hayami & Kikuchi (1981) yang berpandangan: (a) tekanan penduduk merupakan faktor utama bagi terjadinya perubahan hubungan-hubungan agraris di pedesaan; (b) teknologi justru dapat mengatasi proses pemiskinan dan dapat menangkal proses kesenjangan; (c) institusi tradisional yang ternyata dapat berfungsi sebagai pranata kesejahteraan tidak harus berubah dan sebaiknya tidak diubah, melainkan di-“modernisir” (inovasi) sehingga dapat menjadi penangkal proses diferensiasi sosial. Hasil kajian Hayami & Kikuchi di atas yang kemudian dikenal sebagai Adapted Neoclassical Paradigm:ANP atau Induced Institutional Innovation Theory: IIIT mendapat reaksi keras dari berbagai peneliti. Salah satunya adalah Gillian Hart (1986) yang juga memberikan kritik terhadap pandangan Collier. Menurut Hart: (a) kedua pandangan tersebut di atas dianggap tidak mampu menjelaskan “timing” dan “laju” perubahan; (b) perubahan hubungan agraris di pedesaan Indonesia bukan semata-mata disebabkan oleh perubahan teknologi atau meningkatnya jumlah penduduk atau komersialisasi melainkan perubahan kondisi politik serta keresahan atau ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi yang dilahirkannya; (c) peran negara perlu dimasukkan dalam analisis, yang kemudian muncul teori Exclusionary Labor Arragements:ELA yang merupakan suatu mekanisme dimana negara dan pemilik tanah bukan saja “mengatur tenaga kerja” namun juga “menerapkan kontrol sosial”, sehingga persoalan mobilisasi dukungan politik dan pelaksanaan “hukum dan ketertiban” menjadi kunci untuk menjelaskan agrarian labor arragement.
22
Ketiga posisi pandangan tersebut di atas ditanggapi oleh seoarang pakar dari FAO, Jonanthan Pincus (1996) yang mengajukan dua tesis utama dalam bukunya yang berjudul Class, Power and Agrarian Change yaitu: (1) faktor-faktor spesifik lokal (sejarah terbentuknya desa, kondisi agroekologis, dan perimbangan kekuatan antara aktor sosial) merupakan pemegang peran utama dalam membentuk pola-pola perubahan sosial pada tingkat desa; (2) faktor-faktor lokal tersebut mempengaruhi arah proses perubahan agraris melalui pengaruhnya atas pembentukan dan perkembangan hubungan antar rumah tangga di tingkat desa. Wiradi dan Manning (1984), White dan Wiradi (1989),dan Wiradi dan Makali (1995) menambahkan aspek lain pada perdebatan di atas mengenai kecenderungan perubahan penguasaan tanah yang menggambarkan terjadinya proses “diferensiasi sosial” di pedesaan Jawa yang ditandai: (a) proses pemusatan penguasaan tanah; (b) tingkat ketunakismaan bertambah tinggi; (c) walaupun proporsi pendapatan dari sektor non-pertanian lebih besar, namun luas pemilikan tanah berjalan sejajar dengan tingkat kecukupan; (d) pada strata pemilikan tanah yang sempit dan tunakisma terdapat proporsi keluarga miskin yang lebih besar, sehingga pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang turut menentukan tingkat hidup di pedesaan.
Kerangka Teoritis Lahan (tanah) merupakan faktor produksi penting dalam pertanian dan merupakan modal sumber nafkah yang menentukan posisi petani dalam pelapisan masyarakat (Sajogyo, 1985). Keberadaan lahan yang menjadi ”objek” penting kegiatan usahatani memunculkan berbagai pola hubungan yang rumit yang selanjutnya akan membentuk struktur agraria baik berupa struktur penguasaan, struktur pengusahaan, dan kemudian akan diikuti oleh struktur distribusi hasil pengelolaan sumber-sumber agraria (Wiradi, 1986). Tata hubungan dalam struktur agraria harus dipahami dalam arti relatif dan bukannya permanen sepanjang waktu yang bisa berubah akibat bekerjanya berbagai faktor, antara lain: perubahan struktur politik, perubahan orientasi politik, perubahan kebijakan ekonomi, perubahan teknologi, jumlah penduduk dan faktor-faktor lain sebagai turunan dari faktor-faktor tersebut (Wiradi, 2009, Kuhnen, 1995). Lahan kebun kopi rakyat warga Sidomulyo merupakan faktor penting dalam membentuk kondisi ekonomi dan sosial mereka.
23
Struktur agraria pada warga Sidomulyo terutama dalam kebun kopi mengalami perubahan ketika terjadi reklaiming hutan lindung yang kemudian juga dijadikan kebun kopi. Penguasaan hutan lindung yang diatur oleh hukum negara mengandung permasalahan tenurial yang berpusat pada: dualisme pertanahan, tumpang tindih hukum sektoral, hak masyarakat adat, kebutuhan masyarakat non-adat, implementasi kebijakan, dan mekanisme resolusi konflik (Santoso, 1996). Demikian juga dengan hutan lindung di Sidomulyo yang dikelola oleh Perhutani, dengan adanya reklaiming yang dilakukan oleh warga menjadi arena tarik-menarik kekuasaan atas sumber daya hutan yang melibatkan suprastruktur dan substruktur. Sehingga masalah-masalah yang lebih besar seperti dominasi ideologi atau hegemoni, perlawanan sosial, dan sosok kehutanan akademis serta kritik-kritiknya perlu mendapat perhatian besar (Santoso, 2004). Kasus ini juga dapat menggambarkan bagaimana petani mampu melaksanakan kuasa melalui perlawanan yang berbasis tanah dan melestarikan pelaksanaan pertanian di kawasan hutan negara, demi manfaat mereka bersama. Meskipun tampaknya “daya tembak” mereka secara teknis rendah, kenyataannya mereka unggul dalam perjuangan penguasaan tanah hutan (Peluso, 2006). Sebagai proses “untuk memperoleh kembali hak-hak pemanfaatan hutan secara adil, demi terciptanya kemakmuran rakyat”, maka reklaiming yang dilakukan oleh warga Sidomulyo pada dasarnya dilakukan sebagai respon dari perlakuan-perlakuan yang dilakukan oleh negara (Perhutani) dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Adapun alasan yang mendasarinya antara lain: moralitas, ketidakadilan dan struktur yang menindas, normatif (yuridis konstitusional), hubungan sejarah dan nilai-nilai lokal, dan kewajiban negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat (Ardana, 2008). Tuntutan
warga yang berwujud reklaiming hutan lindung sebenarnya lebih pada tuntutan akses, yaitu: “kemampuan untuk mengambil keuntungan dari hutan lindung”. Di mana akan membawa perhatian yang lebih luas pada hubungan-hubungan sosial yang membatasi atau memperbolehkan masyarakat memanfaatkan sumberdaya tanpa memperhatikan hubungan kepemilikan (property rights) saja (Ribot dan Peluso, 2003). Reklaiming hutan lindung di atas mengarah pada perubahan struktural dalam hubungan, organisasi, dan ikatan antar unsur masyarakat di Sidomulyo atau
24
menghasilkan perubahan sosial karena mengubah pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial, dan keseimbangan (equilibrium) sosial (Farley, dalam Sztompka, 1993, Mac Iver dan Page, 1954), nilai-nilai, sikap dan pola tingkah laku antar kelompok di dalam masyarakat (Soemardjan, 1981). Perbedaan kepentingan antara warga dan Perhutani pada hutan lindung memunculkan persaingan yang akan memicu munculnya konflik sosial (Susan, 2009). Secara pragmatis (pendekatan konflik kritis dan humanis), reklaiming ini dapat difokuskan pada dominasi wacana dan kekuasaan (kepentingan apa dan siapa yang mendominasi di dalamnya) (Berger dan Luckman, dalam Susan, 2009:77). Para aktor/pihak yang terkait dengan reklaiming berinteraksi bersama untuk membentuk suatu tipifikasi (representasi mental) yang dibiasakan (habitualized) dalam berbagai peranan timbal balik yang kemudian terinstitusionalisasi/melembaga (institutionalized) di mana prosesnya makna (meaning) melekat dan melembaga dalam pengetahuan dan konsepsi individu dan masyarakat. Oleh karenanya kenyataan sosial dikonstruksi secara sosial (teori konstruksi sosial kenyataan Berger & Luckman). Permasalahan reklaiming berarti menganalisa hubungan antar golongangolongan beserta usaha-usaha merubah hubungan antar lapisan-lapisan masyarakat yang menguasai hutan lindung. Dasar kekuasaan tersebut terdiri atas suatu kombinasi faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial (Tjondronegoro, 1999). Hasilnya dapat menunjukkan arah politik agraria dengan melihat aneka produk hukum yang dilahirkannya (M. Tauchid, 1952). Sedangkan sebagai konflik agraria, reklaiming merupakan gejala struktural, berpangkal pada ketidakserasian atau benturan kepentingan antar subjek (para pihak) dalam hubungan agraria dengan sumberdaya hutan. Faktornya antara lain: pemilikan atau penguasaan tanah tidak seimbang dan merata, ketidakselarasan penggunaan tanah untuk sektor pertanian dan nonpertanian, tidak berpihaknya politik kebijakan agraria kepada masyarakat ekonomi lemah (wong cilik), tidak adanya pengakuan terhadap hukum adat (hak ulayat), dan lemahnya posisi tawar masyarakat (Sitorus, 2004). Reklaiming juga merupakan proses interaksi antara warga dan Perhutani serta para pihak lainnya yang masingmasing memperjuangkan kepentingan atas hutan lindung. Pada tahap ”berlomba” atau kontestasi untuk memanfaatkan hutan, sifatnya masih dalam ”persaingan”. Tetapi pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah
25
”situasi konflik” yang merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan (Wiradi, 2000, dalam Sitorus, 2004). Perubahan sosial yang terjadi di Desa Sidomulyo akibat reklaiming dipengarui oleh faktor-faktor spesifik lokal (sejarah terbentuknya desa, kondisi agroekologis, dan perimbangan kekuatan antara aktor sosial) yang mempengaruhi arah proses perubahan agraris melalui pengaruhnya atas pembentukan dan perkembangan hubungan antar rumah tangga di tingkat desa (Pincus, 1996). Selain itu juga terdapat kecenderungan perubahan penguasaan tanah yang menggambarkan terjadinya proses “diferensiasi sosial” yang ditandai: proses pemusatan penguasaan tanah; tingkat ketunakismaan bertambah tinggi; luas pemilikan tanah berjalan sejajar dengan tingkat kecukupan; dan proporsi keluarga miskin yang lebih besar. Sehingga pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang turut menentukan tingkat hidup di pedesaan (Wiradi dan Manning, 1984, White dan Wiradi, 1989, dan Wiradi dan Makali, 1995). Secara skema, kerangka penelitian tentang perubahan struktur agraria dan harmoni semu yang merupakan studi kasus reklaiming hutan lindung pada komunitas petani kopi rakyat di Desa Sidomulyo dapat dilihat pada Gambar 1.
P e r u b a h a n S o s i a l
Lahan ↓ Struktur Agraria
Komunitas Petani Kopi Rakyat
Reklaiming Akses
Hutan Lindung
Kontrol
Pemeliharaan Akses
Struktur Agraria Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Perum Perhutani
26
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana strategi studi kasus dipilih dan bersifat multi metode. Strategi studi kasus ini dianggap memadai dengan tiga dasar pertimbangan: (1) pertanyaan penelitian “bagaimana” dan “mengapa”; (2) peluang peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti sangat kecil; (3) pumpunan penelitian adalah peristiwa atau gejala sosial kontemporer (masa kini) dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 1996). Pemilihan pendekatan ini adalah untuk menyingkap kondisi “harmonis” kontestasi hutan lindung oleh para pihak terutama warga Sidomulyo (petani kopi rakyat) dan Perhutani. Peneliti berinterakasi dengan warga melalui wawancara dan terlibat langsung dalam berbagai kegiatan seperti pertemuan warga, berkebun, dan kegiatan rutin sehari-hari (makan bersama, sholat berjama’ah di masjid, dan bercengkerama bersama keluarga). Interaksi peneliti dengan pihak Perhutani dilakukan melalui wawancara dan diskusi terkait peran dan tanggung jawab mereka atas pengelolaan hutan lindung dan terjadinya fenomena reklaiming. Sedangkan interaksi peneliti dengan para pihak lainnya (pemerintah desa, pemerintah kabupaten, pengurus kelompok tani, paguyuban dan LMDH, pedagang dan pemilik modal) dilakukan melalui wawancara untuk mengetahui sikap mereka atas reklaiming yang dilakukan warga Sidomulyo. Peneliti mempunyai keyakinan bahwa para pihak yang terkait dengan reklaiming baik langsung (warga dan Perhutani) maupun tidak langsung belum menyadari bahwa kondisi “harmonis” reklaiming hutan lindung merupakan realitas semu, sehingga diperlukan dialog untuk merubah ketidaktahuan dan salah pengertian di antara peneliti dan tineliti menjadi kesadaran atau sebagai bentuk transformasi intelektual.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan strategi studi kasus dengan tujuan untuk memahami dan mengidentifikasi gejala sosiologis yang berkenaan dengan reklaiming hutan lindung dan perubahan struktur agraria serta kondisi “harmonis” kontestasi para pihak. Studi kasus memungkinkan peneliti mendapat informasi
28
sebanyak mungkin dan mendalam. Unit tineliti bervariasi tingkatannya mulai dari individu, rumah tangga, dan komunitas. Sejalan dengan pendapat Newman (1997) dan Yin (2002), studi kasus menjadi pilihan strategi agar dapat memahami realitas sosial yang kompleks melalui pengumpulan data dan informasi yang lebih rinci, lebih bervariasi, lebih luas dan lebih mendalam. Peneliti menggunakan metode sejarah sosiologis untuk melihat dinamika dari warga Sidomulyo dan Perum Perhutani dari waktu ke waktu. Pemilihan metode kasus sejarah/historis ini karena reklaiming hutan lindung bukan suatu kejadian sosial pada waktu tertentu saja melainkan merupakan proses sosial dalam rentang waktu tertentu. Selain itu proses sosial yang dikaji dibatasi dalam cakupan kontemporer yang sebagian pelakunya masih hidup.
Metode Pengumpulan dan Analisis Data Peneliti mengumpulkan data melalui wawancara mendalam dengan para informan. Informan tersebut terdiri dari para tokoh masyarakat, warga pekebun kopi rakyat, petugas perhutani, dan pemerintah desa serta petugas dinas kehutanan dan perkebunan kabupaten yang dipilih secara sengaja (purposive) dan menggunakan teknik bola salju (snow ball). Selain wawancara mendalam, peneliti juga melakukan wawancara bebas, mengamati secara langsung fenomena sosial, dan ikut serta dalam berbagai kegiatan masyarakat seperti pengajian, pertemuan kelompok tani maupun kegiatan informan sehari-hari seperti berkebun. Wawancara bebas dilakukan untuk memperkaya informasi yang sudah didapatkan baik di luar pertanyaan penelitian maupun subyek penelitian. Peneliti juga melakukan wawancara terstruktur untuk mendapatkan data tentang struktur agraria dan perubahan yang terjadi akibat adanya reklaiming yang menurut Wiradi (2009) disebut sebagai “profil desa”. Data profil desa tersebut meliputi: peta desa dan kawasan hutan Perhutani, kondisi umum dan prasarana, kondisi agraria, struktur mata pencaharian, kelembagaan lokal, intervensi program, dan organisasi dan hubungan produksi. Peneliti juga melakukan survei terhadap 30 rumah tangga pertaninan yang bertujuan untuk melihat secara lebih rinci atas dinamika struktur agraria akibat
29
reklaiming. Survei menggunakan kuesioner untuk melihat penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan lahan, kondisi sosial ekonomi, pendapatan dan kepemilikan aset rumah tangga sebelum dan sesudah reklaiming. Pengamatan langsung dilakukan untuk melihat perubahan yang terjadi, di samping untuk melakukan cross-chek atas informasi yang diperoleh. Keikutsertaan dalam berbagai kegiatan masyarakat bertujuan untuk melihat pola relasi dan interaksi sosial masyarakat terkait dengan struktur agraria yang ada. Peneliti menganalisis data yang terkumpul dengan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap sikap dan respon para pihak terhadap reklaiming. Sebagaimana dikemukakan Lewis (1988), analisis kualitatif dapat digunakan dalam mendeskripsikan pola-pola hubungan sosial, baik dimensi struktur (posisi dan peranan aktor), dimensi pengaturan (prosedur, penetapan insentif atau sanksi), serta sistem-sistem makna yang melandasi dan memberi pedoman terhadap pola-pola hubungan tersebut. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan terhadap data yang umumnya diperoleh melalui wawancara terstruktur yaitu hasil survei terhadap 30 rumah tangga petani yang melakukan reklaiming. Analisis kuantitatif ini untuk melibat perubahan penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan lahan, kondisi sosial ekonomi,
pendapatan dan kepemilikan aset rumah tangga
sebelum dan sesudah reklaiming. Data dan informasi kualitatif hasil wawancara mendalam dan bebas yang telah ditransfer dalam bentuk catatan harian ditambah dengan sari dokumen dianalisis dengan menggunakan matriks analisis yang membandingkan ragam kategori data. Penjelasan dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu: (1) penjelasan tentang sejarah reklaiming yang dilakukan komunitas perkebunan kopi rakyat; dan (2) penjelasan tentang pandangan subjektif para pihak mengenai sikap dan respon mereka dalam mengembangkan suatu realitas sosial melalui praktik-praktik yang mereka lakukan. Untuk mengurangi kemungkinan salah interpretasi, peneliti menggunakan beragam prosedur yang disebut triangulasi (triangulation). Menurut Stake (dalam Denzin dan Lincoln, 2009) triangulasi merupakan proses penggunaan banyak persepsi (multiperception) dalam mengklarifikasi arti (meaning) dan dalam memverifikasi pengulangan pelaksanaan observasi dan interpretasi. Dalam penelitian
30
ini, triangulasi dilakukan dengan mengklarifikasi atau membandingkan data dan informasi yang berasal dari sumber dan cara pengumpulan data yang berbeda.
Tabel 1. Matriks Metode Penelitian Pertanyaan Penelitian 1. a. Mengapa terjadi reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat? 1. b…bagaimana implikasinya pada struktur agraria?
Strategi Metode Fenomenologi Mencatat/rekam “perbincangan”; menulis anekdotanekdot dari pengalaman pribadi Wawancara terstruktur (survei rumah tangga)
2. Mengapa terbangun sikap dan Etnografi Wawancara tak respon para pihak yang terkait terstruktur atas gejala tersebut sehingga terjadi kontestasi yang “harmonis”? 3. Praktik-praktik apa saja yang Analisis Wawancara mendalam dilakukan oleh para pihak yang wacana terkait dalam kerangka konflik perebutan sumberdaya hutan dan bagaimana posisi mereka dalam kaitannya dengan reklaiming tersebut? (Modifikasi dari Morse, dalam Denzin dan Lincoln, 2009)
Sumber Data Lain Literatur fenomenologi; refleksi-refleksi
Data Yang Dihasilkan Latar belakang dan makna reklaiming hutan lindung oleh masyarakat desa hutan
Proportioned random sampling pada responden yang terstrata berdasarkan penguasaan tanah Observasi; catatan lapangan
Perubahan struktur agraria yang meliputi: penguasaan tanah, konsentrasi pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan rasio tanah dan tenaga kerja. Perasaan dan pengetahuan informan terhadap hutan, berkebun kopi, reklaiming, dan para pihak.
Observasi berpartisipasi; penulisan memo (memoing); buku harian (diary)
Posisi dan relasi pragmatis serta strategi-strategi para pihak dalam kerangka konflik kepentingan, definisi situasi bersama dan prosesnya (tindakan komunikatif), dan komunikasi intersubjektif.
31
32
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Sidomulyo, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember Propinsi Jawa Timur pada bulan Juli-September 2009. Desa Sidomulyo dipilih karena merupakan daerah dengan kasus reklaiming kawasan hutan lindung dan sudah berlangsung cukup lama (sejak masa reformasi). Relasi para pihak, khususnya masyarakat dan Perhutani
dalam mencapai tujuan masing-masing
menunjukkan adanya kontestasi “harmonis” yang berbeda dengan tempat lain dalam hal perebutan sumberdaya alam (hutan).
Organisasi Penulisan Bagian Pendahuluan menyajikan latar belakang permasalahan tentang sejarah penguasaan hutan oleh negara, bentuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, manajemen pengelolaan hutan, kondisi masyarakat desa hutan dan
munculnya
fenomena
sosial
terkait
sumberdaya
hutan
(reklaiming).
Permasalahan yang diangkat adalah mengapa terjadi reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat yang diteliti dan implikasinya pada struktur agraria; mengapa terbangun sikap dan respon para pihak yang terkait atas gejala tersebut sehingga terjadi kontestasi yang “harmonis”; dan praktik-praktik apa saja yang dilakukan oleh para pihak yang terkait dalam kerangka konflik perebutan sumberdaya hutan serta bagaimana posisi mereka dalam kaitannya dengan reklaiming tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan adanya realitas mikro secara kritis terkait kontestasi dalam pengelolaan sumberdaya agraria (hutan) terkait kebijakan baik di tingkat meso maupun makro. Bagian selanjutnya adalah Tinjauan Pustaka, bagian ini menampilkan peran lahan dalam kegiatan pertanian dan kaitannya dengan struktur agraria dan debat agraria yang terkait dengan perubahan sosial di pedesaan Jawa. Selanjutnya juga ditampilkan tentang hutan lindung dan permasalahan tenurial, reklaiming dan teori akses, perubahan sosial dan konflik, dan kerangka teoritis penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana strategi studi kasus dipilih dan bersifat multi metode. Bagian Metodologi Penelitian memaparkan pendekatan penelitian, yaitu pendekatan kualitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah strategi studi kasus
33
dengan tujuan untuk memahami dan mengidentifikasi gejala sosiologis yang berkenaan dengan proses reklaiming lahan dan perubahan struktur agraria dengan menggali informasi sebanyak mungkin. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, wawancara bebas, pengamatan berpartisipasi dan survei. Survei digunakan untuk melihat secara rinci struktur agraria dan perubahannya melalui wawancara terstruktur (kuesioner). Analisis data yang dilakukan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data dan informasi tentang proses perubahan atau tentang motivasi yang melandasi tindakan sosial. Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan terhadap data yang umumnya diperoleh melalui wawancara terstruktur. Bagian Panorama Lereng Selatan Gunung Raung menampilkan panorama masyarakat desa hutan Sidomulyo dan sejarahnya serta aspek demografi juga kepemimpinannya. Selanjutnya juga dipaparkan kondisi umum dan prasarana, kondisi agraria, struktur mata pencaharian, kelembagaan/organisasi, intervensi program dan organisasi dan hubungan produksi. Bagian Hutan Lindung: Arena Perebutan Sumberdaya menampilkan hutan lindung sebagai sumberdaya sarat nilai. Aktor-aktor yang berkonflik dalam perebutan hutan lindung juga dianalisis satu per satu. Kepentingan para pihak baik yang terlibat langsung atau tidak langsung dipaparkan di bagian ini. Mekanisme akses para pihak dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya dijabarkan melalui suatu kemampuan aksesnya pada teknologi, modal, pasar, pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial. Bagian Kontestasi Para Pihak Dan Definisi Situasi Bersama Atas Reklaiming Hutan Lindung memaparkan relasi kuasa agraria para pihak. Bab ini juga memaparkan ruang konflik pemaknaan tentang sumberdaya agraria dan ruang konflik hak dan akses terhadap sumberdaya agraria Selanjutnya juga dibahas derajat konflik kontestasi juga membangun konsensus sebagai membangun harmoni. Bagian Perubahan Struktur Agraria dan Harmoni Semu menjelaskan distribusi manfaat reklaiming dan kondisi yang terjadi pada komunitas petani kopi rakyat di lokasi penelitian sesudah reklaiming hutan lindung dengan menganalisa unsur-unsur struktur agraria yang meliputi: (a) kepemilikan tanah; (b) konsentrasi
34
tanah dan pendapatan; (c) diferensiasi sosial; (d) persaingan usaha; dan (e) rasio tanah dan tenaga kerja serta implikasinya. Selain itu juga dipaparkan persoalanpersoalan yang belum terjawab tuntas pada perubahan unsur-unsur struktur agraria di atas yang meliputi proses dan hasil reklaiming yang menciptakan harmoni semu. Bagian Penutup menampilkan kesimpulan-kesimpulan dari penelitian dan implikasi baik secara teoritis maupun praktis.
PANORAMA LERENG SELATAN GUNUNG RAUNG
Gunung Raung merupakan bagian dari kelompok pegunungan Ijen yang terdiri dari beberapa gunung, diantaranya Gn.Suket (2.950mdpl), Gn.Raung (3.332mdpl), Gn.Pendil (2.338), Gn.Rante (2.664), Gn.Merapi (2.800), Gn.Remuk (2.092), dan Kawah Ijen.Gunung Raung adalah sebuah gunung besar yang unik dan berbeda dengan gunung lainnya di Pulau Jawa. Keunikan dari Puncak Gunung Raung adalah kalderanya yang berbentuk elips dengan kedalaman sekitar 500 meter dalamnya, yang selalu berasap dan sering menyemburkan api dan terdapat kerucut setinggi kurang lebih 100m. Gunung Raung termasuk gunung tua dengan kaldera di puncaknya dan dikitari oleh banyak puncak kecil, menjadikan pemandangannya benar-benar menakjubkan. Cerita mistis tentang Gunung Raung masih kuat melekat di benak masyarakat setempat. Konon, di perbukitan yang mengelilingi kaldera itulah kerajaan Macan Putih berdiri. Sebuah kerajaan yang berdiri saat gunung ini meletus Tahun 1638 M. Pusatnya terletak di puncak Gunung Raung. Kerajaan tersebut dipimpin oleh Pangeran Tawangulun. Beliau adalah salah-satu anak raja Kerajaan Majapahit yang hilang saat bertapa di gunung. Keberadaan kerajaan itu sedikit banyak masih memiliki hubungan yang erat dengan penduduk setempat. Misalnya bila terjadi upacara pernikahan di kerajaan, maka hewan-hewan di perkampungan banyak yang mati. Hewan-hewan itu dijadikan upeti bagi penguasa kerajaan. Konon, menurut masyarakat setempat, seluruh isi dan penghuni kerajaan Macan Putih lenyap masuk ke alam gaib atau dikenal dengan istilah mukso. Dan hanya pada saat tertentu, tepatnya setiap malam jum’at kliwon, kerajaan itu kembali ke alam nyata. Pangeran Tawangulun dipercaya merupakan salah satu suami dari Nyai Roro Kidul. Setiap malam jum’at itulah penguasa laut selatan mengunjungi suaminya. Biasanya, akan terdengar suara derap kaki kuda di tempat yang sakral. Suara tersebut berasal dari kereta kencana Sang Ratu yang sedang mengunjungi sang suami Pangeran Tawangulun. Bila mendengar suara tersebut lebih baik pura-pura tidak mendengar. Jika dipertegas, suara akan bertambah keras dan mungkin akan
36
menampakkan wujudnya. Bila demikian, kemungkinan akan terbawa masuk ke alam gaib dan kemudian dijadikan abdi dalem kerajaan Macan Putih. Lereng selatan Gunung Raung merupakan hutan belantara yang berakhir pada hutan-hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani dan desa-desa yang masuk wilayah Kabupaten Jember. Hutan belantara tersebut merupakan hutan lindung yang juga menjadi tanggung jawab Perhutani. Sejak era reformasi, hutan lindung tersebut dibuka oleh warga desa sekitar hutan untuk dijadikan kebun kopi. Salah satu desa yang warganya ikut membuka dan mempunyai keterlibatan dengan proses tersebut hingga sekarang adalah Desa Sidomulyo.
Desa Hutan: Sidomulyo dan Sejarahnya Sidomulyo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Silo Kabupaten Jember Propinsi Jawa Timur. Desa ini berada di pinggiran hutan yang merupakan kaki Gunung Raung sebelah timur. Secara administratif, desa ini berbatasan dengan Desa Sumberjati di sebelah utara, Desa Garahan di sebelah barat, Desa Pace di sebelah selatan, dan Desa Curah Leduk di sebelah timur. Desa yang terakhir ini masuk wilayah Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi. Dengan demikian Sidomulyo merupakan desa paling timur dari Kabupaten Jember yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Banyuwangi. Sidomulyo mempunyai 5 dusun, 3 diantaranya ada di wilayah desa, dan 2 dusun sisanya di wilayah perkebunan negara maupun swasta (lihat Gambar 2). Dusun yang ada di dalam wilayah desa adalah: Krajan (Sidomulyo), Curah Damar, dan Curah Manis. Sedangkan dusun yang ada di wilayah perkebunan adalah: Gunung Gumitir dan Tanah Manis (seringkali disebut Gugutama) yang ada di wilayahnya PTPN XII, dan Garahan Kidul yang ada di wilayahnya PT. Perusahaan Perkebunan Indonesia, salah satu anak perusahaan PT. Ledokombo (LDO Group) Jember. Pada saat penelitian terdapat sebuah dusun persiapan yang merupakan bagian dari Dusun Curahdamar, yaitu Dusun Sidodadi. Perkampungan ini berada di wilayah yang dikelola oleh Perhutani. Warga yang tinggal sebagian besar adalah para pesanggem atau anak cucunya, karena memang sejarahnya mereka yang pertama bertempat tinggal di wilayah ini dulunya didatangkan oleh Perhutani sebagai pekerja di hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani.
37
Gambar 2. Peta Desa Sidomulyo Untuk sampai ke pusat kecamatannya yang bernama Silo, warga Sidomulyo harus menempuh jarak ± 13 km. Sedangkan apabila ingin ke ibukota Kabupaten Jember, mereka harus menempuh jalan beraspal yang menghubungkan Jember dan Banyuwangi sepanjang ± 40 km. Jalan ini termasuk jalan propinsi yang merupakan jalur selatan Jawa yang menuju ke ujung selatan Jawa untuk menyeberang ke Bali. Sehingga apabila jalur utara Jawa menuju ke Bali mengalami hambatan, jalur ini merupakan jalur alternatif yang bisa ditempuh lewat Situbondo dan Bondowoso maupun Lumajang sebelum masuk ke Jember. Sedangkan untuk sampai ke Surabaya yang merupakan ibukota propinsinya (Jawa Timur) warga Sidomulyo harus menempuh jarak ± 267 km. Sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan Sidomulyo dengan wilayah lainnya secara umum cukup beragam. Secara geografis Sidomulyo berada di lereng sebelah selatan Gunung Raung, sehingga mempunyai topografi daerah perbukitan. Ketinggiannya ± 560 m di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata ± 2000 mm/tahun, dan suhu rata-rata ± 21°C. Dengan kondisi alam seperti ini, maka tidak mengherankan apabila lingkungannya cukup asri dan sejuk. Bahkan di pinggir jalan propinsi yang melintasi desa ini banyak menjadi tempat istirahat para pelintas, khususnya pengendara sepeda
38
motor yang sekedar melepas penat sambil menghirup udara segar serta menikmati pemandangan alam. Pada suatu pertemuan kelompok tani yang peneliti ikuti, dikemukakan oleh seorang penyuluh perkebunan bahwa ke depan Desa Sidomulyo akan dijadikan desa wisata. Pemilihannya berdasarkan pertimbangan banyaknya potensi yang dapat dipasarkan dan merupakan pintu gerbang sebelah timur masuk Kabupaten Jember. Sehingga mereka yang masuk ke Jember dari sebelah timur akan disambut oleh desa wisata yang menawarkan berbagai potensi yang bisa dinikmati. Riwayat jadi dan tumbuhnya Desa Sidomulyo kiranya tidak berbeda dengan desa-desa yang lain. Alasan-alasan pokok untuk membentuk masyarakat yang kemudian menjadi kesatuan hukum yang bernama desa tidak berbeda dengan yang diungkapkan oleh Kartohadikoesoemo (1953), yaitu: pertama, untuk hidup yaitu mencari makan, pakaian dan perumahan; kedua, untuk mempertahankan hidupnya terhadap ancaman dari luar; dan ketiga, untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya. Sebagai desa pertanian, pertama-tama dibentuk oleh sekumpulan manusia sebuah masyarakat pertanian. Mereka bersama-sama membuka hutan belukar dan masingmasing atau bersama-sama mengolah tanah yang kosong untuk ditanami tumbuhtumbuhan yang dapat menghasilkan bahan makanan. Semakin baik keadaan tanah yang dibuka, semakin banyak orang yang menggabungkan diri untuk turut bertempat tinggal menetap di tempat tersebut. Dan semakin ringan pula orang dapat menjalankan kewajibannya untuk mempertahankan diri dari terhadap bahaya alam yang menimpa atau serangan binatang buas dari hutan belukar. Demikianlah dapat dimengerti, bahwa di daerah-daerah yang subur tanahnya kemudian terdapat masyarakat yang besar dan tergabung dalam ikatan desa yang kuat dan banyak penduduknya. Menurut sejarahnya, Sidomulyo dulunya masuk dalam wilayah Desa Garahan yang ada di sebelah baratnya. Penduduk Dusun Curah Manis dan Curah Damar (dusun-dusun pertama) merupakan pendatang dari Pulau Madura yang dahulu menjadi buruh perkebunan Belanda pada akhir abad 19. Sehingga tidak mengherankan apabila sampai sekarang mayoritas penduduk dari kedua dusun tersebut merupakan etnis Madura. Sedangkan penduduk Dusun Krajan merupakan pendatang dari Banyuwangi, sehingga sekarang lebih dikenal sebagai Kampung Jawa. Mereka ini dahulunya adalah para pesanggem yang kemudian membeli tanah-
39
tanah yang ada di desa. Sedangkan untuk dusun-dusun yang ada di wilayah perkebunan didiami oleh para buruh perkebunan yang tinggal di emplasemen. Tanahtanah yang mereka tempati statusnya berada di bawah hak perkebunan (HGU). Selain mendapat upah dari perusahaan dengan sistem borongan, mereka juga mendapat hak pengelolaan atau pemanfaatan lahan di sela-sela tanaman utama untuk ditanami palawija, sayur-sayuran atau rumput-rumputan. Tanah di Sidomulyo yang sekarang dikuasai dan dimiliki para warga dahulunya merupakan padang ilalang tempat penggembalaan kuda. Para buruh perkebunan tersebut mulai mencoba menanami padang tersebut dengan tanaman singkong. Awalnya memang sulit karena tanahnya berpasir, tetapi lambat laun mereka berhasil. Adanya kotoran kuda yang digembalakan di tanah tersebut kiranya mampu memperbaiki struktur tanah, sehingga menjadi subur dan dapat ditanami. Kesuburan tanah ini mendorong mereka berpindah dari tmpat tinggal di perkebunan menuju ke padang ini yang lambat laun menjadi pemukiman. Penguasaan tanah ini pada waktu itu tidak menjadi permasalahan karena menurut warga selain berupa tanah kritis yang tidak bermanfaat juga tidak masuk dalam wilayah perkebunan atau hutan yang sudah ditetapkan Belanda sebagai kawasan terlarang. Perkembangan penduduk menjadikan padang ilalang tersebut menjadi pemukiman sebagaimana layaknya desa. Ketika wilayah tersebut sudah habis terbagi dan dikuasai, maka yang terjadi adalah fragmentasi tanah menjadi luasan yang lebih kecil melalui jual beli atau warisan. Kondisinya sekarang dari 4.984,3 hektar wilayah Desa Sidomulyo yang dikuasai oleh 2070 kepala keluarga adalah berupa pemukiman (16 ha), persawahan (131,6 ha), ladang/tegalan (24,3 ha), dan perkebunan rakyat (309,9 ha) yang totalnya hanyalah 481,8 ha atau kurang dari 10%. Selebihnya adalah perkebunan swasta dan negara, kawasan hutan (lindung, produksi dan cagar alam) dan fasilitas umum. Sehingga dapat dibayangkan betapa kecilnya penguasaan masing-masing kepala keluarga terhadap tanah untuk menopang kehidupannya. Kondisi ini sangat ironis dengan adanya perkebunan dan hutan dengan berbagai statusnya yang masih luas di sekitar mereka.
40
Sidomulyo resmi menjadi desa pada tahun 1988 dengan Pjs. Pak Hs10 (pegawai kecamatan) sampai tahun 1998. Pada tahun 1999 diadakan pemilihan kepala desa (pilkades) dengan dua calon, yaitu Pak Sd (Dusun K) dan Pak SB (Sekdes sekarang, Dusun CD). Hasilnya selisih tipis, yaitu 83 suara dimenangkan Pak Sd. Tetapi ada beberapa permasalahan sehingga baru bisa dilantik 1,5 tahun kemudian. Selama masa itu, kepala desa dijabat Pak Kn (pegawai kecamatan). Pada Tahun 2008, saat masa jabatan kades habis diadakan pilkades dengan calon mantan kades sebelumnya (Pak Sd) melawan Pak Mj (Dusun K) . Hasilnya dimenangkan Pak Mj dengan selisih yang cukup banyak (1000 suara lebih dari 3000an pemilih). Terpilihnya Pak Mj menyimpan cerita yang tidak kalah menarik. Awalnya tidak ada rencana atau persiapan dari Pak Mj untuk maju dalam pilkades. Bahkan orang tuanya (Pak K, Dsn K) yang menjadi ketua kelompok tani Sidomulyo I sempat melarang anaknya dicalonkan. Setelah mendapat jaminan dari para tokoh masyarakat untuk didukung, terutama setelah Pak Kyai M (Dsn CD) yang mempunyai pesantren juga datang sendiri ke rumahnya untuk meminta anaknya (Pak Mj) untuk maju, barulah Pak Kusni memberi ijin dan merestui Pak Mj ikut dalam pilkades. Pemilihan Pak Mj sebagai kandidat pun melewati proses yang cukup alot. Tidak adanya kandidat yang maju selain Kades incumbent, membuat warga cukup kesal. Apalagi selama itu mereka merasa bahwa Kades mereka sudah banyak melakukan penyimpangan dan tidak layak lagi memimpin desa. Beberapa tokoh desa, terutama yang tergabung dalam kelompok tani sering membahas hal tersebut dalam pertemuan-pertemuannya. Pak Mj sendiri mengaku akan mau maju apabila sudah tidak ada lagi kandidat yang maju untuk menandingi Kades incumbent. Akhirnya menjelang pilkades barulah disepakati untuk mengusung Pak Mj sebagai calon Kades dan akhirnya memang berhasil dengan selisih suara yang menunjukkan bahwa memang warga Sidomulyo sudah tidak mau lagi dipimpin Kades yang lama. Kelompok Tani Sidomulyo I, terutama para tokohnya memegang peran yang sangat penting dalam mengantarkan Pak Mj sebagai Kades terpilih. Kelompok ini awalnya adalah pecahan dari Kelompok Tani Suluh Tani I yang diketuai oleh Pak Mt. Sejak berkurangnya kepercayaan anggota pada ketuanya, beberapa anggota 10
Nama orang dan dusun di Desa Sidomulyo hanya dituliskan dengan huruf inisial untuk alasan etis.
41
kemudian keluar dan membentuk kelompok sendiri yang kemudian bernama Sidomulyo I. Para tokohnya adalah mereka yang kemudian menjadi pengurus, diantaranya Pak K (ayah dari Pak Mj), Pak Ms, dan Pak HS. Ketiga orang ini adalah yang dituakan dan kemudian menjadi ketua, sekretaris dan bendahara. Selain ketiga pengurus harian tersebut terdapat seksi-seksi yang diisi oleh orang-orang muda yang sebenarnya mereka inilah yang menggerakkan roda organisasi kelompok. Terdapat seksi gotong-royong yang dipercayakan kepada Pak Sm, seksi penghubung yang dipercayakan kepada Pak Sn, Dusun K, seksi simpan pinjam yang dipercayakan kepada Pak Bs dan seksi pemasaran yang dipercayakan kepada Pak Sw.
Kondisi Umum dan Prasarana Desa Sidomulyo Jumlah penduduk Desa Sidomulyo keseluruhan pada tahun 200711 adalah 9.999 jiwa, yang terdiri dari 4.469 jiwa penduduk laki-laki dan 5.530 jiwa penduduk perempuan yang terhimpun dalam 2070 kepala keluarga (KK). Berdasarkan usia kerja (16-55 tahun), penduduk Sidomulyo yang termasuk dalam golongan ini mencapai jumlah 6.367 jiwa (63,77%). Sisanya sebesar 2.625 jiwa (26,29%) berada pada usia 0-15 tahun, dan 992 jiwa (9,93%) berada pada usia 56 tahun ke atas. Dengan demikian, penduduk Sidomulyo termasuk golongan penduduk berusia muda yang berada pada umur produktif (usia kerja). Tingkat pendidikan penduduk Sidomulyo kebanyakan tamat SD/sederajat, jumlahnya sebanyak 1.996 jiwa (33,60%). Meskipun demikian banyak juga yang tidak tamat SD/sederajat, jumlahnya mencapai 1.497 jiwa (25,20%). Sedangkan yang tamat SLTP/sederajat sebanyak 1.198 jiwa (20,16%), tamat SLTA/sederajat sebanyak 998 jiwa (16,8%), tamat D1 sebanyak 78 jiwa (1,31%), tamat D2 sebanyak 71 jiwa (1,19%), tamat D3 sebanyak 60 jiwa (1%), dan tamat S1 sebanyak 43 jiwa (0,72%). Sarana pendidikan formal yang ada di Sidomulyo sudah sampai pada tingkat SLTA. Hanya saja untuk tingkat SLTP dan SLTA masih berupa sekolah swasta yaitu madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah yang ada di lingkungan suatu pondok pesantren. Terdapat 6 buah SD Negeri dan 1 MI Swasta yang juga dimiliki oleh pondok pesantren. Di samping itu terdapat juga madrasah diniyah (setingkat
11
Monografi Desa Sidomulyo Tahun 2007.
42
SD), tetapi hanya mengajarkan mata pelajaran agama Islam serta sarana pendidikan pra sekolah (Taman Kanak-kanak:TK dan Pendidikan Anak Usia Dini: PAUD). Migrasi penduduk Sidomulyo tergolong rendah, dan sebagian besar adalah migrasi ke luar karena pekerjaan. Mereka ini adalah para pemuda yang bekerja di kota-kota seperti Jember, Banyuwangi, Bali dan Surabaya. Ada juga yang menjadi TKI di luar negeri (Timur Tengah dan Korea) dan semuanya para wanita (TKW). Migrasi masuk biasanya terjadi karena perkawinan. Dari keterangan para perangkat desa dan masyarakat jumlah mereka yang pindah ke luar atau masuk tidak lebih dari hitungan jari. Mereka yang pindah ke luar biasanya adalah mereka yang sebelumnya menempuh pendidikan di luar Sidomulyo. Selain itu tidak banyak cerita sukses dari mereka yang bermigrasi ke luar daerah menyebabkan minat warga untuk ke luar daerah rendah. Mereka mengganggap bahwa di desa sendiri banyak peluang yang bisa dikerjakan.
Kondisi Agraria Desa Sidomulyo Desa Sidomulyo memiliki luas wilayah sebesar 4.984,3 hektar dengan penggunaan sebagian besarnya untuk areal perkebunan dan hutan, sedangkan selebihnya terdiri dari pemukiman umum, pertanian sawah, ladang/tegalan, bangunan, sarana rekreasi dan olahraga serta kuburan. Secara rinci tata guna tanah di Sidomulyo dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa Sidomulyo merupakan desa hutan dengan pertanian yang didominasi sistem perkebunan. Adapun komoditi perkebunannya adalah kopi, dan merupakan salah satu desa yang masuk dalam kecamatan penghasil kopi terbesar di Jember yaitu Kecamatan Silo (BPS Jember, 2008). Hutan lindung yang tercatat 1.849,9 ha sejak masa reformasi dimasuki para warga baik yang berasal dari Sidomulyo maupun luar desa. Mereka menebang pohon-pohon yang ada sebagimana yang dilakukan para nenek moyangnya. Lahan hutan yang pohonnya sudah jarang kemudian ditanami kopi. Sekarang hampir semuanya sudah berubah menjadi kebun kopi. Dari kejauhan masih tampak sebagai hutan karena memang kelihatan hijau, padahal hijau tersebut adalah daun-daun tanaman kopi yang diselingi beberapa pohon besar dan tanaman sela yang berupa tanaman buah-buahan seperti alpukat, durian, pete, dan sebagainya (Lampiran 5).
43
Tabel 2. Luas Wilayah Desa Sidomulyo Menurut Penggunaan No 1 2
3 4
5
6
8 9
Penggunaan Pemukiman Umum Pertanian Sawah a. Sawah Irigasi b. Sawah Setengah Teknis c. Sawah Tadah Hujan Ladang/Tegalan Perkebunan a. Rakyat b.Negara c. Swasta Hutan a. Hutan Lindung b. Hutan Produksi c. Hutan Cagar Alam Bangunan a. Perkantoran b. Sekolah c. Pasar d. Jalan Rekreasi dan Olahraga a. Lapangan Sepak Bola b. Lapangan Voli dan Basket Lain-lain (kuburan) Jumlah
Luas (Ha) 16
% 0.32%
55 20 56.6 24.3
1.10% 0.40% 1.14% 0.49%
309.9 1192.5 542.6
6.22% 23.93% 10.89%
1849.9 772.7 135
37.11% 15.50% 2.71%
0.5 2.5 0.5 1.8
0.01% 0.05% 0.01% 0.04%
1.5 0.5 2.5 4984.3
0.03% 0.01% 0.05% 100%
Sumber : Monografi Desa Sidomulyo, 2007 (Diolah, 2009).
Struktur Mata Pencaharian Desa Sidomulyo Struktur mata pencaharian penduduk Sidomulyo terdiri dari: 5.126 jiwa (88,08%) bekerja sebagai
petani, 671 jiwa (11,45%) bekerja di sektor
jasa/perdagangan, dan 27 jiwa (0,46%) bekerja di sektor industri. Petani yang dimaksud di sini adalah mereka yang pekerjaan/sumber mata pencaharian utamanya berasal dari kegiatan pertanian yang terdiri dari petani pemilik penggarap, penggarap, dan buruh tani serta peternak. Sedangkan sektor jasa/perdagangan yang dimaksud adalah mereka yang kegiatan ekonomi utamanya berasal dari perdagangan seperti pedagang hasil-hasil pertanian atau membuka toko. Sektor industri yang dimaksud adalah mereka yang bekerja sebagai buruh pada beberapa pabrik yang berada di sekitar Desa Sidomulyo, seperti pabrik gondorukem milik Perhutani, pabrik pemecah batu milik swasta, dan juga pabrik pengolah kopi milik PTPN. Meskipun demikian pada kenyataannya mata pencaharian masyarakat Sidomulyo
44
menganut pola mata pencaharian ganda. Ada beberapa petani yang juga berprofesi sebagai pedagang atau sebaliknya. Ada pedagang yang kadang-kadang juga bekerja di pabrik atau sebaliknya, dan ada juga mereka yang bekerja di pabrik tetapi mempunyai lahan yang kadang digarapkan atau dikerjakan sendiri. Hasil survei terhadap 30 rumah tangga petani di semua dusun yang ada di Desa Sidomulyo menunjukkan, bahwa hampir semua rumah tangga melakukan diversifikasi mata pencaharian. Tidak ada satupun yang menggantungkan sumber penghidupannya pada satu pekerjaan. Kalaupun ada yang bekerja hanya sebagai petani, mereka melakukan diversifikasi tanaman. Tujuannya adalah agar mereka dapat memperoleh penghasilan tidak hanya pada saat panen tanaman utama, melainkan juga dari tanaman-tanaman penunjang. Meskipun demikian terdapat karakteristik diantara dusun-dusun yang ada, yaitu antara dusun yang ada di wilayah desa dengan dusun yang ada di wilayah perkebunan. Mereka yang bertempat tinggal di dusun yang ada di wilayah desa (Dusun Krajan, Curahdamar dan Curahmanis) sebagian besar mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani, baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Adapun pekerjaan sampingannya adalah sebagai pedagang atau buruh tani. Sedangkan mereka yang tinggal di dusun yang ada di wilayah perkebunan (Dusun Gunung Gumitir, Tanah Manis dan Sidodadi) mempunyai pekerjaan utama sebagai buruh perkebunan, dan sejak adanya pembukaan hutan lindung mereka juga ikut mempunyai kebun-kebun kopi di sana dan menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan. Bahkan dalam perkembangannya sekarang justru pekerjaan di kebun kopinya yang diutamakan. Warga yang tinggal di Dusun Sidodadi merupakan para “pesanggem”, yaitu mereka yang mempunyai kontrak pekerjaan dengan Perhutani untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan di kebun-kebun yang dikelola Perhutani, seperti memelihara tanaman pinus yang belum produktif, mengambil getah pinus yang sudah produktif, dan sebagainya. Sebagai pesanggem mereka mendapat lahan yang ada di areal Perhutani untuk didirikan tempat tinggal, hak mengusahakan petak yang belum produktif (tanaman belum menghasilkan) dengan tanaman-tanaman musiman, dan upah proporsional (Rp. 1.750,-/kg) dari hasil getah pinus yang berhasil dipanennya. Sama dengan mereka yang tinggal di dua dusun yang ada di wilayah perkebunan, sejak adanya pembukaan hutan oleh warga untuk kebun kopi mereka ini
45
juga tidak mau ketinggalan. Sehingga walaupun pada masa-masa akhir dan setelah petak yang ada di hutan lindung hampir habis, akhirnya mereka pun ikut membuka hutan lindung untuk dijadikan kebun kopi. Sebelum adanya reklaiming hutan lindung yang kemudian dijadikan kebun kopi oleh warga Sidomulyo, rata-rata kepemilikan kebun kopi dari rumah tangga yang disurvei adalah 1 hektar (Lampiran 1). Bahkan banyak diantara mereka yang tidak punya kebun sama sekali, terutama mereka yang tinggal di dusun yang ada di wilayah perkebunan. Rata-rata kebun kopi hasil reklaiming dari rumah tangga yang disurvei adalah 1,5 hektar. Kebun seluas ini tentu saja sangat berarti bagi mereka dalam sebagai sumber mata pencaharian. Dari satu hektar kebun kopi yang sudah produktif (umur 4 tahun lebih), rata-rata dapat menghasilkan 1 ton kopi beras. Seandainya harga per kg kopi adalah Rp. 14.000,00 seperti pada musim panen tahun 2009, maka tidak kurang dari 14 juta rupiah yang dapat mereka hasilkan dari kebun kopi tersebut. Tentu saja angka sebesar ini masih kotor dan harus dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkannya (rata-rata sekitar 4 juta/hektar) yang biasanya berasal dari hutang.. Sehingga rata-rata pendapatan bersih dari 1 hektar kebun kopi pada tahun 2009 akan mencapai 10 juta rupiah.
Kelembagaan Lokal Desa Sidomulyo Kelembagaan dalam perspektif sosiologi dapat dipahami sebagai tata abstraksi yang lebih tinggi dari pada grup, organisasi dan sistem sosial lainnya (Bertrand, 1974 dalam Dharmawan, et al, 2004).
Perspektif ini memandang
kelembagaan sebagai kompleks peraturan dan peranan sosial secara abstrak dan memandang asosiasi sebagai bentuk-bentuk organisasi yang kongkrit. Sedangkan pengembangan kelembagaan dapat diartikan sebagai proses pelembagaan yakni suatu proses strukturisasi antar hubungan melalui enkulturasi norma-norma dan nilai-nilai baru mengenai kebutuhan pokok manusia. Kelembagaan yang masih sangat kuat dipegang oleh warga desa Sidomulyo adalah gotong royong. Gotong-royong sebagai kompleks peraturan dan peranan sosial terwujud dalam beberapa bidang kehidupan. Bentuknya tidak terbatas hanya pada tenaga, melainkan juga berbentuk material dan bahkan uang. Untuk kedua bentuk terakhir, mereka melakukan pencatatan dan mengembalikan dengan jumlah
46
yang sama ketika orang yang menyumbang sedang melakukan kegiatan serupa. Jadi lebih mirip dengan hutang-piutang. Kegiatan yang paling banyak menuntut gotongroyong ini adalah upacara-upacara baik sosial maupun keagamaan. Sifat kebersamaan untuk meringankan beban sesama ini bahkan terwujud dalam pemenuhan kebutuhan pokok yaitu papan atau rumah. Menurut cerita dari salah satu informan (Pak K, Dusun K), ketika ada warga yang akan membangun rumah akan banyak warga yang datang untuk bertanya kira-kira apa saja yang masih kurang. Segera kekurangan yang masih ada terutama material akan segera berdatangan. Bagi pemilik rumah hal ini tentu saja sangat membantu dan akan mencatat segala bantuan tersebut sebagai hutang yang harus dibayarnya ketika yang memberi bantuan membutuhkan. Sedangkan bagi mereka yang menyumbang, hal tersebut merupakan kesempatan untuk menabung selain tentu saja membantu tetangganya agar dapat memenuhi kebutuhannya. Hal demikian juga berlaku pada warga yang akan mengadakan kegiatankegiatan upacara baik sosial maupun keagamaan. Ketika ada warga yang akan mempunyai hajat seperti menikahkan putra/putrinya, mengkhitankan anaknya dan sebagainya, maka dia akan mengabarkan hal tersebut ke tetangga dari rumah ke rumah sambil mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang masih kurang. Bila tetangga ada yang berminat untuk membantu maka akan dipersilahkan dan dicatatnya bantuan tersebut sebagai hutang. Kadang kala ada yang mendengar dan sudah mengenal baik orang yang akan mempunyai hajat tersebut, maka akan datang ke rumah dan menawarkan bantuan menurut kemampuannya. Pada suatu pengajian tahlilan yang peneliti ikuti di rumah salah seorang warga. Terdapat juga gotongroyong untuk menanggung biaya konsumsi. Semangat gotong-royong tersebut mencerminkan adanya tingkat kepercayaan yang tinggi sesama warga. Kepercayaan ini muncul karena adanya interaksi yang tinggi, sehingga saling mengenal karakter masing-masing. Interaksi sosial yang dilakukan hampir pada segala aspek kehidupan sehari-hari menjadikan mereka akrab dan terlibat dalam berbagai urusan yang saling terkait dan kompleks. Keakraban ini kemudian menumbuhkan perasaan senasib sepenanggungan dan melembagakan mekanisme gotong royong dengan segala bentuknya dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari-hari.
47
Sebagaimana desa-desa pertanian lainnya, organisasi kelompok tani merupakan bentuk kelembagaan yang menonjol perkembangannya. Selain itu terdapat pula Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan Paguyuban Petani Kopi Hutan. Masing-masing bentuk kelembagaan tersebut mempunyai sejarah dan peranan yang berbeda sebagai wadah warga Sidomulyo untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya.
Kelompok Tani Terdapat beberapa jenis kelompok tani yang ada di Sidomulyo, yaitu: kelompok tani ternak, palawija, dan kopi. Dari ketiga jenis kelompok tani tersebut kelompok tani kopi memegang peranan yang sangat strategis, karena selain anggotanya yang cukup banyak juga karena kopi merupakan komoditi yang relatif berprospek secara ekonomis. Kelompok tani kopi yang berkembang pertama kali adalah kelompok tani Suluh Tani I. Kelompok Suluh Tani I dipelopori oleh Pak Mt (Dusun CM), bekas pekerja Perhutani yang juga mempelopori pengembangan kopi rakyat. Menurutnya, dahulu kopi hanya ditanam asal-asalan, tanaman utamanya adalah ketela pohon yang diselingi ketela rambat. Sehingga makanan kebanyakan penduduk sini dulunya adalah gaplek. Mulai tahun 1981 ketika masih bekerja di Perhutani Pak Mt mulai membina petani untuk mengelola kopi dengan baik sebagaimana yang dilakukan oleh perkebunan (PTPN). Tanaman kopi yang ada di pekarangan diberi pupuk kandang yang memang tersedia berlimpah ruah di daerah ini, karena daerah ini merupakan daerah peternakan dulunya. Pupuk kandang yang dulu menjadi permasalahan karena tertimbun dan bingung mau dibuang ke mana serta selalu ditutupi ketika ada pemeriksaan kesehatan lingkungan menjadi termanfaatkan. Orang-orang merasa berterima kasih karena kotoran ternaknya dapat dibersihkan dan tidak mau ketika diberi ganti dengan uang. Pak Mt membelikan gula kepada mereka sebagai balas jasa atas usaha mengumpulkan kotoran. Dengan adanya penyuluhan dari Dinas Perkebunan Kabupaten akhirnya warga Sidomulyo mengikuti usaha Pak Mt mengembangkan tanaman kopi di pekarangannya. Pengembangan kopi oleh warga semakin pesat dengan adanya Proyek Peremajaan, Rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE). Proyek ini
48
bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman ekspor seperti kopi pada awal tahun 1980an. Dalam proyek ini petani peserta mendapatkan berbagai fasilitas seperti saprodi dan kredit serta kemudahan-kemudahan lain. Salah satu kemudahan tersebut adalah keringanan biaya administrasi pengurusan sertifikat tanah. Sebagaimana dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.13/DJA/198212 bahwa Pemberian Hak Milik atas tanah Negara atau Penegasan/Pengakuan Hak Milik Adat kepada petani peserta Proyek Pengembangan Perkebunan dibebaskan dari kewajiban membayar uang pemasukan kepada Negara dan kepada penerima hak hanya dikenakan kewajiban membayar biaya administrasi. Sehingga melalui proyek ini dan koordinasi Kelompok Tani Suluh Tani I yang diketuai oleh Pak Mt banyak tanah warga yang akhirnya bersertifikat. Tetapi kelihatannya warga Sidomulyo tidak menganggap penting keberadaan sertifikat ini, terbukti dengan masih banyaknya sertifikat yang belum diambil dari ketuanya karena harus mengganti biaya administrasi. Mereka lebih tertarik dengan hal-hal yang bersifat nyata dan langsung seperti bantuan bibit, pupuk dan permodalan. Sehingga cukup banyak uangnya Pak Mt yang belum terganti karena membayar dahulu biaya administrasi pengurusan sertifikat tanah para anggotanya. Sikap warga Sidomulyo tentang keberadaan status tanah yang mereka kuasai untuk dibudidayakan tanaman kopi rakyat terus berlangsung hingga sekarang yaitu pada tanah hutan lindung yang sejak masa reformasi mulai mereka kembangkan untuk perkebunan kopi. Perkembangan Kelompok Tani Suluh Tani I ternyata tidak berjalan mulus. Beberapa pengurus mulai tidak percaya dengan kepemimimpinan Pak Mt yang dinilai terlalu memonopoli program dan bantuan yang datang pada kelompok tani ini. Banyak program pelatihan yang selalu diikuti ketua tanpa pernah memberi kesempatan kepada pengurus atau anggota lainnya. Demikian juga bantuan-bantuan yang ada selalu dikelola sendiri oleh ketua tanpa melibatkan pengurus yang lain. Sehingga pada tahun 2000, para pengurus dan anggota yang tidak puas ini membentuk Kelompok Tani Sidomulyo I. Kelompok tani ini berkembang pesat, berkebalikan dengan Kelompok Tani Suluh Tani I yang semakin terpuruk. 12
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.13/DJA/1982 Tentang Penetapan Besarnya Biaya Administrasi Pemberian Atau Penegasan/Pengakuan Hak Milik Kepada Petani Peserta Proyek Pengembangan Perkebunan (PIR, PIR Khusus PIR Lokal, P.R.P.T.E., Pengembangan Karet Rakyat, Pengembangan Kelapa Rakyat)
49
Sidomulyo I termasuk kelompok tani yang maju karena sudah mempunyai kelengkapan organisasi seperti AD/ART dan struktur organisasi yang berfungsi dengan baik. Kelompok tani Sidomulyo I cukup aktif dalam menjalin berbagai kerjasama dengan pihak luar seperti Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Kementerian Pertanian RI (Puslit Koka), Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember (Dishutbun), PT. Indokom (eksportir kopi), Universitas Jember, Dinas Koperasi dan UKM, dan PTPN XII. Kerjasama dengan
Puslit Koka berkisar pada teknis budidaya dan
pengolahan pasca panen, demikian juga dengan Dishutbun Kab. Jember melalui pembinaan dan penyuluhan. Potensi hasil kopi yang melimpah menarik minat eksportir (PT. Indokom) untuk bekerjasama dengan kelompok tani Sidomulyo I untuk mengirim kopi ose/beras dengan syarat hasil olah basah. Persyaratan ini bisa dipenuhi oleh kelompok tani ini dengan bimbingan dari Puslit Koka. Sehingga pada tahun 2004 kerjasama ini terwujud. Keberlanjutannya terkendala oleh terbatasnya infrastruktur yang dipunyai oleh kelompok terutama instalasi pasokan air. Sebagaimana diketahui, bahwa olah basah kopi membutuhkan air yang cukup banyak dalam pengupasan kulit kopi glondong. Kendala ini kemudian ditangkap oleh Universitas Jember, sebuah perguruan tinggi negeri di Kabupaten Jember Jawa Timur, dengan program social responsibility-nya yaitu Indonesia Managing Higher Education for Relevancy and Efficiency (I-MHERE). Program ini bertujuan untuk meningkatkan komoditi kopi sebagai produk unggulan dengan meningkatkan kualitas melalui pengolahan basah sebagaimana pernah diperkenalkan oleh Puslit Koka. Selain melanjutkan penerapan olah basah dengan membangun infrastrukturnya, program I-MHERE Universitas Jember melalui kegiatan Community Development-nya mengembangkan berbagai aspek pendukungnya seperti sumberdaya manusia, penguatan kelompok dan penciptaan peluang-peluang agribisnis yang terkait dengan kopi seperti koperasi, kios saprodi, dan pengolahan bubuk kopi. Pendirian koperasi oleh kelompok tani Sidomulyo I menarik perhatian Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Jember dan mengusulkannya menjadi koperasi model yang mendapat bantuan modal dari Kementerian Pertanian RI juga PTPN XII.
50
Selain bertujuan untuk meningkatkan usahatani kopi dan menciptakan demokrasi (menampung aspirasi anggota), kelompok tani Sidomulyo I pada perkembangannya mendominasi politik desa dengan terpilihnya salah satu anggotanya sebagai kepala desa. Sehingga dalam rapat-rapat desa banyak dari pengurus dan anggota kelompok tani yang diikutsertakan untuk menghadiri dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan. Secara formal lahan yang dipunyai oleh para anggota kelompok tani Sidomulyo I adalah kebun-kebun kopi yang ada di wilayah desa. Meskipun demikian sebagian besar para anggota tersebut menguasai kebun-kebun kopi hasil reklaiming yang ada di hutan lindung. Bahkan beberapa pengurusnya merupakan pedagang kopi yang juga memasarkan kopi-kopi hasil panen warga Sidomulyo baik yang berasal dari kebun yang ada di desa maupun di hutan. Dengan adanya kebun kopi di hutan lindung produksi kopi dari warga Sidomulyo menjadi berlipat ganda, bahkan Kecamatan Silo tercatat menjadi penghasil kopi terbesar di Kabupaten Jember. Produksi yang besar ini menarik banyak pihak sebagaimana disebutkan di atas untuk melakukan kerjasama dalam berbagai bidang. Keberadaan kelompok tani sangat strategis karena dari sisi formal dapat menjadi media untuk berhubungan dengan pihak luar dan di sisi lain dapat menjadi media komunikasi untuk kepentingankepentingan kebun kopi yang ada di hutan lindung. Kepentingan tersebut meliputi kebutuhan pupuk yang sangat besar. Pengajuan kebutuhan pupuk bersubsidi harus melalui kelompok tani dengan luas lahan yang tercatat. Tetapi dengan adanya kelompok tani, mereka tidak hanya mengajukan pupuk tetapi juga bertindak sebagai penyalur, sehingga dapat mengusahakan pupuk untuk kebun kopi yang ada di hutan lindung. Selain itu dengan adanya kelompok tani mereka dapat memasarkan hasil kopi dengan leluasa bahkan berani mengadakan kontrak untuk memenuhi kebutuhan industri yang mencapai ratusan ton.
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kelembagaan lokal lainnya adalah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). LMDH merupakan organisasi yang dibentuk oleh Perhutani untuk menjalankan program Penanaman Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Plus. Kata Plus ini ditambahkan untuk membedakan dengan PHBM semula yang dirasakan
51
lamban serta kurang fleksibel. Pelaksanaan Program PHBM Plus ini lebih disesuaikan dengan karakteristik masing-masing wilayah dan mengutamakan peningkatan taraf hidup, tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat sekitar hutan serta membangun sinergitas dengan para pihak, khususnya dengan pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa/kelurahan. Salah satu jiwa PHBM Plus adalah berbagi/sharing. Sharing adalah bagi hasil produksi kayu dan non kayu yang diberikan kepada LMDH berdasarkan kontribusi dari masyarakat didalam proses produksi (Perum Perhutani, 2009). Berdasarkan definisi di atas, kontribusi yang dimaksud berarti proses produksi yang ada di hutan produksi bukan di hutan lindung seperti yang ada di Sidomulyo. LMDH yang ada di Sidomulyo terbentuk pada tahun 2006, yang pengurusnya sebagian besar bukan seorang pesanggem sebagaimana seharusnya. Bahkan LMDH menjadi menyimpang fungsinya dengan menarik sharing dari hasil panen kopi petani dari hutan lindung. Penyimpangan fungsi ini ternyata untuk mengakomodasi untuk tidak mengatakan legitimasi atas setoran “cukai” yang selama ini diberikan oleh para warga yang melakukan reklaiming hutan lindung kepada petugas Perhutani. Salah seorang pengurus LMDH (Pak S, Dsn CD) mengatakan bahwa anggota LMDH yang tercatat sekarang mencapai 350 orang dan sharing13 yang ditargetkan pada tahun 2009 dapat dipenuhi. Menurut informasi pihak Perhutani nilai sharing yang ada dalam Surat Perjanjian Kerjasama (SPK) antara Perhutani dengan LMDH sebagai wakil dari warga yang “menggarap” lahan di hutan lindung disepakati sebesar 1/3 dari hasil panen sebagai bagian yang harus disetor kepada Perhutani. Pada tahun 2009 Perhutani menargetkan setoran sharing sebesar 15 ton kopi ose14. Hasil konfirmasi terakhir atas target tersebut melalui pengurus LMDH menunjukkan adanya pencapaian target tersebut. Sehingga dengan harga rata-rata per kg kopi ose pada tahun 2009 sebesar Rp. 14.000,- maka Perhutani akan mengantongi hasil sharing sekitar Rp. 210 juta dari hutan lindung yang beralih fungsi menjadi kebun kopi. 13
Menurut keterangan pihak Perhutani (Pak H, pegawai di bagian PHBM KPH Jember), sharing yang sudah disepakati antara Perhutani dengan para anggota LMDH adalah 1/3 dari hasil panen menjadi bagian Perhutani. 14 Hasil wawancara mendalam dengan Pak HS, Dsn CD, pengurus LMDH sekaligus koordinator ketua paguyuban petani hutan.
52
Dari rangkaian informasi di atas, menunjukkan adanya ketidakmungkinan apabila LMDH hanya menarik sharing dari para anggota yang tercatat (350 orang) untuk memenuhi target. Walaupun tidak mengakui secara langsung tetapi dari keterangan dari semua informan dapat diketahui bahwa Pak HS adalah koordinator dari para ketua paguyuban petani kopi hutan yang selama ini menyetor cukai kepada para petugas Perhutani. Selain itu Pak HS juga termasuk orang yang paling luas penguasaannya atas kebun kopi yang ada di hutan.
Paguyuban Petani Kopi Hutan Paguyuban petani kopi di hutan lindung awalnya merupakan wadah komunikasi di antara warga yang menguasai kebun kopi di hutan lindung dalam satu petak register tertentu. Sehingga anggotanya bisa berasal dari dusun yang berbeda atau bahkan dari luar Desa Sidomulyo. Apalagi setelah kebun kopi di hutan banyak yang berpindah tangan, maka persebaran anggotanya juga semakin meluas. Terbentuknya paguyuban ini pada awalnya sebagai wadah untuk membahas dan memutuskan segala hal yang terkait dengan kebun-kebun mereka. Menurut keterangan salah seorang mandor Perhutani (Pak L, Dsn CM) terdapat 9 paguyuban di Sidomulyo dengan anggota masing-masing sekitar 40 orang. Paguyuban yang kelihatannya sederhana tersebut, ternyata mempunyai kompleksitas dalam berbagai hal. Di antaranya adanya administrasi identitas warga yang menguasai petak-petak lahan. Para anggota kelompok harus menyerahkan fotokopi KTP dan menyebutkan petak di register mana mereka membuka kebun kopi di hutan lindung dan tidak lupa berapa jumlah pohon kopinya beserta umur tanamnya. Sehingga ketua paguyuban mempunyai data yang lengkap terhadap para anggotanya dan petak-petak kebun kopinya. Dari data tersebut ada ketua kelompok yang kemudian membuatkan semacam kartu setoran untuk tiap musim panen sampai beberapa tahun ke depan. Tetapi ada juga yang hanya sekedar membuatkan secarik kertas yang bertuliskan nama anggota dan besaran yang harus dibayarkan pada musim panen tertentu. Demikian juga, ketika terjadi pengalihan penguasaan petak kepada orang lain, maka harus dilaporkan kepada ketua paguyuban. Praktik ini sebenarnya adalah inisiatif para elit untuk menguatkan posisi mereka yang didorong oleh para mandor. Para mandor sendiri mempunyai kepentingan untuk memastikan
53
jumlah setoran juga untuk laporan pertanggung jawaban mereka ketika ditanya oleh atasannya warga siapa saja yang telah membuka hutan untuk kebun kopi dan di petak mana saja. Masing-masing
paguyuban
mempunyai
mekanisme
tersendiri
dalam
menentukan peraturannya. Ada yang melalui pertemuan dengan melakukan musyawarah mufakat untuk kesepakatan bersama yang terkait dengan kepentingan kebun kopi yang mereka kuasai di hutan. Tetapi ada pula yang para anggotanya menyerahkan pada ketuanya karena mereka yakin bahwa ketuanya akan mengambil kebijakan yang terbaik untuk paguyuban. Pada perkembangannya paguyuban ini perannya lebih pada pengumpulan “cukai” yang merupakan setoran hasil panen kepada petugas Perhutani. Setoran “cukai” ini merupakan salah bentuk kesepakatan paguyuban agar para petugas Perhutani yang melakukan patroli di hutan lindung tidak merusak tanaman kopi mereka. Besaran dari “cukai” ini berbeda antar paguyuban yang satu dengan yang lain. “Cukai” yang disetor oleh para warga yang menguasai kebun kopi di hutan lindung inilah yang memainkan peran penting dalam kontestasi perebutan sumberdaya hutan. Walaupun awalnya merupakan bentuk pemberian di bawah tangan oleh para petani kopi kepada petugas Perhutani, tetapi kemudian menjadi penarikan legal oleh Perhutani dengan nama “sharing” yang dilembagakan pada LMDH. Kalau sebelumnya besarannya ditetapkan di tingkat paguyuban, setelah menjadi “sharing” besarannya ditetapkan sama yaitu 1/3 dari hasil panen dan dikatakan Perhutani sebagai kesepakatan bersama.
Intervensi Program di Desa Sidomulyo Penetapan Kawasan Hutan Nenek moyang warga Sidomulyo (warga Dusun Curah Manis dan Curah Damar) merupakan pendatang dari Pulau Madura. Mereka didatangkan untuk menjadi buruh perkebunan yang dikembangkan oleh Belanda. Menurut salah seorang informan (Bu S, Dusun CD), yang berumur 45 tahun dan mengaku buyutnya adalah orang yang pertama kali datang ke daerah ini dari Pulau Madura, menuturkan bahwa dahulu buyutnya membuka daerah Sidomulyo yang masih berupa hutan rimba dan padang alang-alang. Tanpa bisa menyebut tahun berapa, beliau mengatakan bahwa
54
dia merupakan keturunan keempat. Dengan taksiran jarak antar generasi 40 tahun, maka dikali 3 generasi (menjadi 120 tahun yang lalu) maka dapat diperkirakan bahwa kedatangan nenek moyang Bu S (Dsn CM) dari Madura ke lereng Gunung Raung sekitar akhir abad 19. Pada masa itu, sejarah Nusantara berada pada era Belanda yang mendapat pengalihan hak milik dari VOC yang dibubarkan 1 Januari 1800. Dengan demikian, daerah Sidomulyo dibuka oleh para pendatang dari Madura pada saat Belanda sudah lebih dahulu menetapkan penguasaan hutan oleh negara dengan pemberlakuan “Domeinverklaaring” yang tertera dalam UU Kehutanan 1865 dan kemudian UU Agraria (Agrarisch Wet) 1870 (Peluso, 1990; Peluso dan Vandergeest, 2001; dalam Bacriadi dan Sardjono, 2005). Hanya saja karena pada saat itu penetapan status hutan negara masih belum diketahui secara luas, maka keberadaannya masih dianggap sebagai sumberdaya umum yang bisa dimanfaatkan siapa saja. Selain itu pembukaan hutan masih dibiarkan saja karena memang hutan yang ada di Sidomulyo tidak mempunyai nilai yang strategis bagi Belanda. Hutan yang ada di lereng SELATAN GUNUNG RAUNG merupakan hutan rimba dengan topografi yang cukup curam. Tanaman yang ada di dalamnya sangat beragam dan tidak terlalu bagus kualitasnya (seperti jati). Struktur tanahnya tidak begitu bagus dan cenderung berpasir. Bahkan ada beberapa kawasan yang merupakan padang ilalang, sehingga pernah digunakan Belanda sebagai tempat penggembalaan kuda. Pemanfaatan hutan hasil bukaan awalnya hanya digunakan para buruh perkebunan untuk menanam tanaman pangan (ketela pohon), tetapi kemudian mereka juga mendirikan tempat tinggal dan membentuk pemukiman.
Proyek Peremajaan Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Eksport (PRPTE) Sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam sejarah terbentuknya kelompok tani Suluh Tani I di Sidomulyo, adanya Proyek Peremajaan, Rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE) yang diluncurkan hampir bersamaan dengan awal berkembangnya kopi di Sidomulyo semakin mendorong pesatnya perkembangan budidaya kopi rakyat. Berbagai fasilitas seperti sarana produksi (bibit, pupuk, dan alat), kredit usaha tani serta kemudahan-kemudahan lain seperti keringanan biaya sertifikasi tanah semakin meningkatkan minat warga Sidomulyo
55
untuk mengembangkan kopi. Budidaya kopi ini memberikan pengaruh yang besar pada sistem pertanian masyarakat setempat. Sidomulyo yang awalnya merupakan padang ilalang dan hanya bisa ditanami tanaman pangan yang hanya bisa tumbuh di lahan kritis seperti singkong, kemudian menjadi kawasan sentra produksi tanaman ekspor (kopi). Perubahan komoditi ini merubah sifat pertanian yang subsisten (hasil produksi dikonsumsi sendiri) menjadi komersial (hasil produksi untuk dipasarkan). Perubahan sifat ini mempengaruhi pada penggunaan saprodi yang pada pertanian subsisten hanya menggunakan bibit dan pupuk yang tersedia di wilayah tersebut (lokal) kemudian menjadi saprodi dari luar dengan varitas dan jenis yang secara teknologi dianggap berkualitas tinggi. Orientasi usahatani warga pada pasar mengubah perilaku mereka. Sebelumnya mereka tidak memperhitungkan saprodi yang mereka keluarkan untuk usahataninya, yang penting dapat menghasilkan panen untuk dikonsumsi. Setelah beralih ke budidaya kopi yang merupakan tanaman ekspor, warga Sidomulyo mulai memperhitungkan jumlah dan jenis saprodi yang mereka keluarkan agar nantinya tidak merugi. Artinya biaya yang keluarkan jangan sampai melampaui taksiran hasil panen yang akan mereka peroleh. Walaupun secara manajemen hal ini dinilai baik, tetapi dari segi kelembagaan berdampak tidak baik. Hal ini karena mengikis kelembagaan gotong royong dengan memberikan upah pada tenaga kerja yang turut membantu pekerjaan di kebun kopi.
Proyek Pengembangan Komoditas Kopi Berkembangnya
perkebunan
kopi
rakyat
semakin
lama
semakin
menunjukkan dominasinya dengan jumlah 95 % dari produsen kopi nasional (Retnandari dan Moeliarto, 1993). Demikian juga di Sidomulyo, yang awal perkembangannya dimulai oleh Belanda kemudian diteruskan oleh negara melalui PTPN sekarang banyak dibudidayakan oleh warga. Sebagaimana digambarkan sebelumnya pada sub bab Kelompok Tani, komoditi kopi di Sidomulyo baru dibudidayakan oleh warga pada awal tahu 1980an oleh Pak Mt, seorang pensiunan Perhutani. Permulaan ini sangat jauh jaraknya dengan awal berkembangnya kopi di Jawa yaitu pada pertemgahan abad ke-19. Meskipun demikian perkembangannya
56
sangat pesat sekali bahkan wilayah ini sekararang menjadi daerah sentra penghasil kopi. Proyek PRPTE yang diungkapkan sebelumnya merupakan proyek awal yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kopi di Sidomulyo. Setelah itu silih berganti berdatangan proyek pengembangan kopi, khususnya dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslit Koka) Kementerian Pertanian RI yang kebetulan bertempat di Jember Jawa Timur. Berbagai hal yang terkait dengan kopi dikembangkan oleh Puslit Koka dan beberapa di antaranya diterapkan di Sidomulyo. Ada penemuan varitas unggul yang tahan jamur atau virus, ada teknik pengolahan pasca panen, bahkan model pemasaran. Ketika penelitian ini sedang dilakukan, di Sidomulyo baru dikembangkan teknik pengolahan basah pada biji kopi. Proyek ini pernah diterapkan oleh Puslit Koka pada tahun 2004 tetapi menghadapi kendala terutama infrastruktur untuk penyediaan air yang memang dibutuhkan dalam jumlah besar. Pada tahun 2007, Universitas Jember (Unej) berupaya meneruskan proyek ini dengan program community development-nya. Selain mengatasi kendala utama (ketersediaan air) dengan memasang instalasi air dari sumber air di hutan sampai ke desa, Unej juga menyiapkan beberapa hal terkait mulai dari pemberdayaan kelompok tani, pembentukan koperasi, dan memperluas kerjasama dengan eksportir dan industri kopi.
Organisasi dan Hubungan Produksi di Desa Sidomulyo Organisasi produksi pertanian di Sidomulyo secara umum berbentuk rumah tangga petani (RTP). Dalam satu rumah tangga ada yang terdiri dari satu keluarga dan ada juga yang lebih, yang biasanya terdiri dari keluarga yang mempunyai anak yang sudah berkeluarga tetapi belum mempunyai rumah sehingga berkumpul dengan orang tua atau mertuanya. Dalam RTP inilah usahatani termasuk kebun kopi yang ada di hutan lindung dikelola. Semua orang yang ada dalam RTP dan sudah bisa bekerja secara otomatis
menjadi tenaga
kerja dalam usahatani
menurut
kemampuannya, terutama RTP yang terbatas modal kerjanya. Untuk RTP yang kaya, hampir semua tenaga kerjanya adalah upahan. Anggota RTP hanya membantu mengawasi pelaksanaan pekerjaan, bahkan ada yang hanya kepala RTP-nya saja.
57
Hasil penelusuran hubungan produksi pertanian menunjukkan adanya sistem pengupahan harian untuk pekerjaan-pekerjaan di lahan. Sudah tidak ada lagi kelembagaan hubungan kerja seperti bagi hasil, bawon, dan lainnya. Pola ini tidak hanya terjadi pada tanaman kopi yang merupakan tanaman komersiil, melainkan juga pada tanaman pangan seperti padi, jagung dan juga sayur-sayuran. Hanya pada panen pohon kelapa yang masih menerapkan bagi hasil, yaitu setiap 5 butir kelapa yang berhasil dipetik maka pekerjanya berhak membawa pulang satu butir. Besarnya upah yang diberikan hampir tidak terdapat perbedaan yaitu Rp. 15.000 per hari untuk bekerja selama setengah hari mulai jam 7 pagi sampai 12 siang. Meskipun demikian ada yang memberi makan dan rokok, tetapi ada yang tidak. Yang terakhir merupakan kebiasaan umum warga Sidomulyo. Mereka yang memberi biasanya mereka yang lahannya luas dan memang mempunyai ketergantungan tinggi akan adanya para pekerja upahan. Selain luas lahannya mereka ini biasanya memang tidak mampu atau tidak mempunyai waktu untuk mengerjakan sendiri lahannya karena kesibukan lain seperti berdagang, menjadi perangkat desa atau pekerjaan lainnya. Selain memberikan tambahan selain upah harian, ada beberapa RTP kaya yang mempunyai pekerja-pekerja yang selalu membantunya tidak hanya pada pekerjaan-pekerjaan di lahan tetapi juga pekerjaan domestik lain seperti mengolah hasil panen, merawat ternak, memperbaiki rumah dan sebagainya. Pola yang tejadi adalah semacam hubungan patron-klien. Para pekerja selain mendapat upah harian, makan dan rokok juga kerap kali mendapat bantuan dari RTP kaya tempat mereka bekerja ketika mempunyai kebutuhan besar seperti anaknya masuk sekolah, menikahkan anaknya, dan sebagainya. Di Sidomulyo, mereka yang termasuk RTP kaya tidak banyak dan bertindak sebagai patron terhadap para pekerjanya (tidak lebih dari hitungan jari). Salah satunya adalah Pak HS (Dusun CD) yang merupakan koordinator dari kelompok-kelompok yang mengumpulkan cukai dari mereka yang mempunyai kebun kopi di hutan lindung. Jabatan resminya terkait dengan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) adalah bendahara. Ironisnya, beliau tidak punya andil secuil pun di hutan produksi Perhutani yang merupakan syarat keanggotaan LMDH. Posisinya sebagai bendahara di LMDH lebih bersifat politis untuk memudahkannya bernegosiasi dengan Perhutani terkait kebun-kebun kopinya yang ada di kawasan
58
hutan lindung. Menurut para warga, Pak HS merupakan orang yang paling banyak kebun kopinnya di kawasan hutan lindung dan juga seorang pedagang kopi. Dengan kesibukan sebanyak itu, tidak mengherankan apabila kebutuhannya akan tenaga kerja sangat besar dan cukup rutin. Untuk mengamankan hal tersebut, Pak HS mempunyai beberapa pekerja tetap yang membantunya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di kebun kopi dan di rumah seperti pengolahan buah kopi dan sebagainya. Selain mendapat upah harian, para pekerjanya juga mendapat makan, rokok dan juga bantuan bahkan pinjaman ketika mereka membutuhkan uang dalam jumlah besar. Ada juga beberapa pedagang yang juga mempunyai pekerja-pekerja tetap seperti Pak St (Dusun CD), Pak Sw (Dusun K), dan Pak Sm (Dusun K). Ketiga orang ini dahulunya merupakan kongsi yang mendirikan UD. Trimulyo yang berdagang kopi dan buah-buahan. Sekarang mereka berdiri sendiri-sendiri walaupun terkadang masih sering berhubungan dalam bisnis. Pak St selain terkenal sebagai pedagang kopi yang besar juga menjabat sebagai wakil ketua LMDH. Sama ironisnya dengan Pak HS, beliau juga tidak mempunyai andil sedikit pun di hutan produksi Perhutani. Tampaknya para pengurus LMDH dipilih karena posisi sosial mereka yang dapat menjamin program-program yang ditetapkan oleh Perhutani dapat terlaksana dengan baik. Pak Sw dan Pak Sm, selain pedagang keduanya merupakan pengurus kelompok tani Sidomulyo I yang merupakan pecahan dari kelompok tani Suluh Tani I yang diketuai Pak Mt. Mereka berdua ini juga mempunyai pekerja-pekerja tetap untuk membantu pekerjaan-pekerjaannya baik di kebun kopi maupun di rumahnya.
HUTAN LINDUNG: ARENA PEREBUTAN SUMBERDAYA
Hutan Lindung: Sumberdaya Sarat Nilai Hutan lindung sebagaimana diulas dalam bab tinjauan pustaka (hal. 11-12) mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan (mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah). Pemanfaatannya dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Fungsi dan pemanfaatannya ini merupakan ketetapan negara yang bersumber dari UU No. 41 Tahun 1999 yang merupakan Undang-undang terakhir yang terkait dengan hutan negara. Kebijakan ini mempunyai latar belakang sejarah yang panjang mulai dari pendudukan Belanda di nusantara. Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan di Jawa mengalami degradasi serius. Sehingga ketika mengangkat Herman Willem Deandels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (14 Januari 1808), pemerintah kolonial Belanda membebaninya dengan tugas merehabilitasi kawasan hutan. Deandels kemudian membentuk Jawatan Kehutanan (Dienst van het Boschwezen) yang merencanakan reforestasi dan mengeluarkan peraturan kehutanan yang membatasi pemberian ijin penebangan kayu jati dan memberi sanksi pidana bagi penebang tanpa ijin. Bahkan Dendels mengeluarkan Peraturan Pemangkuan Hutan pada tanggal 26 Mei 1808 yang salah satu prinsip pentingnya adalah bahwa: “Pemangkuan hutan sebagai domein negara dan semata-mata dilakukan untuk kepentingan negara”. Kebijakan Dendels ini merupakan kebijakan awal pengelolaan hutan yang menggunakan teknik dan kelembagaan modern (Novrian, et.al, 2009). Peraturan hukum pengelolaan hutan di Jawa dan Madura pertama kali dikeluarkan tahun 1865 yang bernama Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura), kemudian disusul dengan peraturan agraria Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa tanah hutan yang tidak dibebani hak menjadi domain negara (Peluso, 1990). Namun, upaya Deandels melakukan reforetasi dan membatasi penebangan kayu jati di atas tidak mencapai
60
hasil yang optimal. Bahkan Gubernur Jenderal setelahnya (Van de Bosch) memberlakukan tanam paksa (Cultuur-stelsel) pada tahun 1830-1870 yang menimbulkan perubahan drastis terhadap kondisi hutan di Jawa. Selanjutnya pada tanggal 14 April 1874 diundangkan Reglemen Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura yang diperbarui dengan Boschreglement 1897 dan diteruskan dengan Dienstreglement 1897 (Reglemen Dinas). Setelah berlaku 16 tahun kemudian diganti dengan Reglemen 1913 yang mulai berlaku 1 Januari 1914. Pada tahun 1927 dikeluarkan Reglement voor het Beheer der bossen vun den Lande op Java en Madoera 1927 yang kemudian diperbarui dengan Boschvererdening tahun 1935 dan tahun 1937. Inilah undang-undang terakhir kehutanan yang dikeluarkan Belanda. Setelah kemerdekaan undang-undang yang dirujuk dalam pengelolaan hutan adalah Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang sangat berbeda dengan Undang-undang pada masa kolonial, di mana teori domain (yang menjadi dasar hukum negara menguasai tanah) dihilangkan, dan sistem kepemilikan adat menjadi dasar hukum. Hasilnya, wilayah adat diakui sebagai tanah-tanah milik. Tetapi sayangnya, konsep undang-undang kehutanan Belanda masih melekat dalam benak rimbawan yang menyiapkan Undang-undang Kehutanan 1967. Dalam undangundang ini hutan-hutan adat diklaim sebagai tanah negara, tanah adat dan kepemilikan sumberdaya tidak diakui sebagai sistem tenurial formal, praktik-praktik adat atas pengelolaan hutan tidak muncul sebagai pengelolaan hutan yang sah. Sampai
direvisi menjadi UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, hanya sedikit
perbaikan dalam hal hak-hak tenurial. Sementara itu, hutan-hutan adat mendapat klasifikasi baru yang masih dalam konteks kawasan hutan negara yang dikontrol oleh Kementerian Kehutanan (Fay, et. al. 2005). Pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh negara berada di bawah Perum Perhutani yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada tahun 1972 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 1972 dengan wilayah kerja pada awalnya kawasan hutan negara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan PP nomor 2 tahun 1978, kawasan wilayah kerjanya diperluas sampai kawasan hutan negara di provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1986, Perum Perhutani mengalami penyesuaian sebagaimana diamanatkan PP nomor 36 tahun 1986 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) dan disempurnakan kembali melalui
61
penetapan PP nomor 53 tahun 1999 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani). Rangkaian sejarah di atas menunjukkan betapa hutan menjadi sumberdaya strategis bagi penguasa dan penduduk (masyarakat adat). Penguasa melihat hutan sebagai pemasok bahan utama untuk menggalang kekuatan (kayu jati untuk kapal dan bangunan), sehingga perlu dipelihara keberlanjutannya. Sedangkan bagi masyarakat adat, hutan mempunyai nilai-nilai religious dan sosial di samping nilai material sebagai sumber penghidupan mereka. Demikian juga dengan hutan lindung yang menjadi obyek reklaiming oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo. Walaupun bukan sebagai hutan adat, dan sudah dikuasai oleh penguasa sejak nenek moyang mereka datang ke daerah ini, hutan tetap menjadi sumberdaya strategis bagi warga di sekitarnya seperti warga Sidomulyo. Status hutan lindung yang ditetapkan dengan fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan tidak menyurutkan langkah warga untuk tetap memanfaatkannya sebagai basis material mereka. Isu kesejahteraan (mengambil keuntungan: akses) lebih menonjol dibandingkan isu hak atas pemanfaatan sumberdaya hutan (property rights). Mereka lebih melihat apa yang dapat dihasilkan dari hutan. Kembalinya masyarakat terhadap hutan dipicu oleh penyelenggaraan kehutanan yang tidak menghasilkan keseimbangan neraca pertukaran dan tidak mampu menyediakan basis-basis material bagi kehidupan ekonomi masyarakat lokal sekitar hutan. Gambaran kondisi yang ada selama ini dapat dilihat dari gambaran “Pesanggem” (buruh kontrak Perhutani yang juga mendapat hak mengusahakan petak yang belum produktif / tanaman belum menghasilkan dengan tanaman-tanaman musiman) di bawah. Pesanggem lahir dari pola tumpangsari yang diperkenalkan oleh Buurman van Vreeden pada tahun 1873 dengan wilyah percobaan di daerah Tegal dan Pekalongan. Pada program tumpang sari ini, petani sekitar hutan diijinkan untuk menanam tananaman palawija di antara pohon-pohon jati. Uang kontrak diberikan sekedar untuk menyatakan bahwa Pesanggem terikat dalam perjanjian kerja untuk masa kontrak dua tahun, kemudian diharuskan meninggalkan lahan garapannya (0,25-0,50 Ha). Sistem tumpang sari tidak mengalami perkembangan sejak dikeluarkan petunjuk teknisnya pada tahun 1935 sampai saat ini.
62
Kehidupan sebagai Pesanggem menampilkan realitas sehari-hari masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Mereka hanya mengerjakan lahan tumpang sari, artinya tanaman yang mereka budidayakan hanya menumpang pada tanaman utama yaitu jati atau kayu rimba lainnya yang dimiliki oleh pengelola (Perhutani) atas nama negara. Lahan garapan yang sangat kecil (di bawah 0,5 ha) menempatkan mereka sebagai petani gurem. Selain itu kontrak yang mengikat mereka menjadikannya sebagai buruh yang tidak akan bisa menikmati surplus produksi. Gambaran kehidupan Pesanggem inilah kurang lebih tepatnya untuk menggambarkan kehidupan seharihari warga Sidomulyo. Mereka hidup dalam dunia yang penuh eksploitasi untuk tidak dikatakan hidup dalam penindasan; dalam dunia Pesanggem. Potret nyata dari warga Sidomulyo sebagai Pesanggem dapat diperoleh dari gambaran kehidupan seorang informan (Pak Sn, Dusun S). Lelaki yang lahir tahun 1959 dan tidak lulus SD ini hidup sebagai Pesanggem sebagaimana orang tuanya. Rumah yang ditempati bersama istrinya, 3 orang anak (1 laki-laki dan 2 perempuan), seorang menantu dan seorang cucu berada di atas tanah yang masuk dalam wilayah penguasaan Perhutani. Tanah ini merupakan emplasemen yang sejak dulu memang diperuntukkan untuk para Pesanggem. Lahan tumpangsari yang menjadi tanggung jawabnya merupakan hutan produksi dengan tanaman pinus yang dimanfaatkan getahnya oleh Perhutani. Tanaman pinus yang ada sudah berproduksi sehingga Pak Sn tidak bisa lagi mengusahakan tanaman sela. Pekerjaannya pada lahan tersebut beralih dari petani menjadi buruh deres getah yang biasa dilakukanya dini hari. Pak Sn tidak tahu berapa luas 2 petak lahan yang menjadi tanggung jawabnya, yang jelas menurutnya jumlah pohon pinus yang harus dideresnya adalah 700 pohon di satu petak dan 400 pohon di petak lainnya. Upah yang diterima Pak Sn dari Perhutani berdasarkan berapa banyak getah yang berhasil dideresnya. Setiap kilogram getah yang disetorkan ke pabrik milik Perhutani, Pak Sn mendapat upah Rp. 1.750,-. Dari petak yang berisi 700 pohon pinus setiap 10 hari dapat menghasilkan 40-60 kg getah, sedangkan dari petak satunya yang berisi 400 pohon pinus diperoleh 20-45 kg getah. Pekerjaan ini tidak dilakukan Pak Sn sendiri melainkan dibantu anak laki-lakinya yang sudah berkeluarga dan masih tinggal bersamanya. Penghasilan yang didapatkan Pak Sn dari pekerjaan ini tidak dapat dipastikan karena hasil getah yang dideres fluktuatif
63
tergantung umur tanaman dan cuaca, menurutnya berkisar Rp. 400.000,- per bulan. Dengan penghasilan inilah selama ini Pak Sn mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari yang berjumlah 7 orang. Sehingga dapat dibayangkan betapa sederhananya kehidupan Pak Sn dan keluarganya. Untuk mencukupi kebutuhan lainnya Pak Sn dan keluarganya memelihara 2 ekor sapi milik orang dengan sistem bagi hasil dan membuka warung kecil di rumahnya. Kondisi perekonomian Pak Sn membuatnya tidak mampu memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Anak laki-laki pertamanya hanya bisa menamatkan SLTP dan akhirnya mengikuti jejaknya membantu pekerjaannya sebagai Pesanggem. Sedangkan
dua anak
perempuannya masih duduk di sekolah dasar yang menurut Pak Sn kiranya tidak akan berbeda jauh dengan kakaknya karena keterbatasan ekonomi. Yang terpenting bagi Pak Sn anak-anaknya sudah bisa membaca dan menulis, itu sudah cukup. Kehidupan sehari-hari Pak Sn menunjukkan betapa timpangnya aliran keuntungan dari pengelolaan sumberdaya hutan (produksi). Kondisi keterbatasan ekonomi yang dialami keluarganya ternyata dimaknai lain oleh Pak Sn dengan jawabannya ketika saya tanya: Apakah Bapak merasa cukup dengan kondisi yang sekarang dialaminya? “…saya merasa bersyukur dapat tinggal di emplasemen ini dan mendapat andil15 yang lumayan walaupun kadangkala tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Banyak orang yang mau membayar untuk dapat mendapatkan andil. Bahkan andil pun bisa dijual”. Jawaban di atas menyiratkan bahwa untuk sampai pada kondisi tersebut Pak Sn mencapainya dengan persaingan yang ketat walaupun sebenarnya apa yang dilakukannya hanyalah meneruskan apa yang telah dikerjakan orang tuanya. Ketimpangan di hutan produksi yang berada di bawah pengelolaan Perhutani tersebut mendorong warga untuk mengambil manfaat dari sumberdaya hutan dengan status lain (hutan lindung) yang juga berada di sekitar mereka. Gerakan sosial ini mereka lakukan pada saat struktur politik nasional terbuka lebar yaitu masa reformasi tahun 1998, setelah mundurnya Presiden Suharto. Gerakan ini mempunyai banyak
15
Andil merupakan bagian tanaman perkebunan yang menjadi tanggung jawab seorang pesanggem mulai dari merawat sampai memanen. Untuk mendapatkan andil seseorang harus mendaftar kepada Perhutani melalui para mandor. Tidak jarang mereka juga harus membayar untuk mendapatkannya. Andil ini bisa dipindah-tangankan dengan penggantian sejumlah uang tertentu yang cukup mahal.
64
tujuan baik yang bersifat ideologis maupun praktis untuk mencapai nilai-nilai yang menjadi kepentingan warga Sidomulyo yang melakukan reklaiming. Tujuan ideologis dari reklaiming terkait dengan alasan moralitas, keadilan, normatif dan sejarah (Ardana, 2008). Sedangkan tujuan praktis dari reklaiming adalah nilai ekonomi dan ekologi dari hutan lindung. Alasan moral warga Sidomulyo adalah adanya eksploitasi yang dilakukan Perhutani pada mereka yang menjadi pesanggem. Gambaran Pak Sn sebagai pesanggem di atas yang serba terbatas baru mereka sadari setelah euforia reformasi bergema di selutuh pelosok nusantara. Dominasi negara beserta aparatnya dalam berbagai bidang kehidupan yang selama ini tidak disadari oleh masyarakat menjadi terbongkar dengan tuntutan-tuntutan reformasi yang disuarakan melalui berbagai media massa. Pengelolaan hutan oleh Perhutani baik di hutan produksi maupun hutan lindung tidak memberikan manfaat bahkan membatasi kesempatan bagi warga di sekitarnya untuk dapat menarik keuntungan dari sumberdaya hutan. Reklaiming terhadap hutan lindung secara moral menurut warga dapat mengembalikan hubungan masyarakat dengan hutan sebagaimana nenek moyang mereka sebelumnya. Hubungan mereka dengan hutan banyak mngandung nilai-nilai moral seperti bagaimana menjaga hutan agar dapat berfungsi menjaga keseimbangan lingkungan. Perebutan kembali nilai-nilai moral ini mereka yakini akan dapat memperbaiki kondisi dan posisi kehidupan masyarakat Sidomulyo. Kebijakan pengelolaan hutan lindung oleh negara yang diserahkan kepada Perhutani menciptakan ketidakadilan di masyarakat. Struktur agraria di Sidomulyo yang menunjukkan adanya krisis berdampingan dengan sumberdaya hutan yang melimpah tetapi terlarang dengan adanya status yang melekat kepadanya sebagai hutan lindung. Kondisi ini tidak hanya menciptakan ketimpangan struktur agraria di Sidomulyo, tetapi juga menciptakan ketidakadilan aliran keuntungan dari hutan produksi yang dikelola Perhutani dan dikerjakan oleh para pesanggem. Gambaran kondisi sehari-hari Pak Sn di atas menunjukkan betapa tidak adilnya upah yang diterima oleh seorang pesanggem. Melalui reklaiming hutan lindung, warga Sidomulyo menganggap akan dapat menikmati keadilan atas pengelolaan sumberdaya hutan.
65
Amanat rakyat yang tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan alasan normatif (yuridis konstitusional) untuk reklaiming. Warga Sidomulyo menilai bahwa negara telah gagal mengemban amanat tersebut bahkan secara jelas hanya meneruskan atau mewarisi pengelolaan hutan sebagaimana dipraktekkan oleh kolonial Belanda. Padahal sudah jelas sekali kalau praktek-praktek tersebut tidak berpihak pada rakyat.
Sejarah pengelolaan sumberdaya hutan tidak pernah berpihak pada rakyat. Nilai-nilai kearifan lokal selalu diabaikan demi kepentingan penguasa. Reklaiming hutan lindung yang dilakukan bertujuan menempatkan kembali nilai-nilai ini dalam pengelolaan hutan. Warga berkeyakinan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat akan lebih baik karena rasa kepemilikan yang tinggi pada sumberdaya yang selalu memberi mereka berbagai manfaat juga kadangkala dapat menimbulkan bencana apabila tidak dijaga. Cermin sejarah buram ini menunjukkan betapa nilai-nilai kearifan lokal masyarakat sekitar hutan tidak pernah dianggap oleh penguasa negeri ini. Nilai-nilai moralitas, keadilan, normatif dan sejarah dari reklaiming hutan lindung menjadi nilai-nilai ideologis yang melekat pada hutan lindung yang kemudian menjadi tujuan ideologis reklaiming yang dilakukan komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo. Selain tujuan-tujuan ideologis tersebut, reklaiming juga bertujuan praktis untuk memperoleh nilai-nilai ekonomi dan ekologi. Nilai ekonomi yang dimaksud adalah hasil-hasil materi yang dihasilkan dari obyek reklaiming seperti biji-bijian, buah-buahan, atau bahkan nilai sewa, gadai atau ganti rugi dari obyek reklaiming. Nilai ekonomi hutan lindung yang direklaim oleh komunitas petani kopi rakyat dapat dilihat dari nilai kebun kopi yang sekarang dikuasai. Nilai sepetak kebun kopi tergantung pada jumlah dan umur tanaman kopinya. Jumlah tanaman berbanding lurus dengan luas kebun walupun masih ada faktor pembatas lain seperti topografi, dan kerapatan tanaman utama (pohon-pohon besar). Umur tanaman kopi berpengaruh pada produktivitas. Umur produktif tanaman kopi dimulai dari umur 4 tahun sampai 10 tahun. Setelah itu perlu regenerasi dengan penyambungan batang atas. Nilai ekonomi kebun kopi di hutan lindung dapat diwakili jawaban Pak Bs, Dsn K, yang menguasai sepetak kebun kopi di hutan lindung yang berisi 1500 pohon
66
(kurang lebih 1 hektar). Menurutnya kebun yang dipunyainya akan banyak sekali orang yang mau “mengganti rugi” apabila ia tawarkan 50 juta rupiah. Nilai ekologis dari hutan lindung sudah tersurat dengan jelas dalam undangundang yang menyebut fungsi pokok-nya sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan (mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah). Meskipun demikian fungsi tersebut tidak serta merta hilang dengan dibukanya menjadi kebun kopi akibat reklaiming. Karena kebun kopi di hutan merupakan sistem agroforestry yang merupakan gabungan pertanaman pertanian-perhutanan (Notohadiprawiro, 2006). Sistem ini mempunyai peran dalam pelestarian lahan, terutama: pengendalian erosi, gerakan massa, dan timbunan secara langsung, pengawetan dan peningkatan kesuburan tanah, pengawetan dan pengambangan sumber air, produktivitas sistem produksi, pengantaran ke sistem pertanian yang lebih maju. Fungsi pokok hutan lindung merupakan kriteria luas pengaruh dari agroforestry, sedangkan peran dalam pelestarian lahan merupakan kriteria setempat. Kriteria setempat (kawasan agroforestry) biasanya lebih ringan dan berjangka lebih pendek, sedang kriteria luas pengaruh (kawasan yang berasosiasi dengan kawasan agroforestry) berisi persyaratan lebih berat dan berjangka panjang. Kebun kopi hasil reklaiming hutan lindung yang dikuasai komunitas petani kopi rakyat Sidomulyo memenuhi kriteriakriteria tersebut bahkan lebih baik dibandingkan masih menjadi hutan lindung saja yang dikelola oleh Perhutani.
Aktor-aktor yang Berkonflik Komunitas Petani Kopi Rakyat Komunitas, mengacu pada Koentjaranigrat (1985) merupakan kesatuan sosial yang disebut kesatuan hidup setempat yaitu kesatuan yang pertama-tama ada karena ikatan tempat kehidupan. Demikian juga adanya petani kopi rakyat yang merupakan aktor utama dalam reklaiming hutan lindung, mereka merupakan kesatuan sosial yang sama-sama bertempat di desa atau kawasan yang sama (Desa Sidomulyo) sehingga dapat dikatakan sebagai komunitas. Sebagai suatu kesatuan manusia, suatu komunitas mempunyai juga perasaan kesatuan, serupa dengan semua kesatuan manusia yang lain, tetapi perasaan kesatuan
67
dalam komunitas itu biasanya amat keras sehingga rasa kesatuan itu menjadi sentimen persatuan. Suatu sentimen persatuan kalau dikupas mengandung unsurunsur rasa kepribadian kelompok, artinya perasaan bahwa kelompok sendiri itu mempunyai ciri-ciri (biasanya ciri-ciri kebudayaan atau cara-cara hidup) yang berbeda dengan kelompok lain; perasaan bangga akan ciri-ciri dari kelompok sendiri itu; dan seringkali juga perasaan negatif (merendahkan atau paling sedikit menganehkan ciri-ciri dalam kehidupan komunitas). Selain ciri-ciri umum komunitas (wilayah, cinta wilayah dan kepribadian kelompok) yang telah tersebut di atas, komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo dapat disebut sebagai “komunitas kecil” karena merupakan kelompok-kelompok di mana warga-warganya semuanya masih bisa saling kenal-mengenal dan saling bergaul dengan frekuensi kurang atau lebih besar; antara bagian-bagian dan kelompok-kelompok khusus di dalamnya tidak ada aneka warna yang besar; dan dapat menghayati sebagian besar dari lapangan-lapangan kehidupannya secara bulat. Komunitas petani kopi rakyat ini merupakan warga Desa Sidomulyo, baik dari dusun yang ada di wilayah desa maupun dusun yang ada di wilayah perkebunan. Bahkan ada juga warga dari desa lain, tetapi jumlahnya tidak banyak dan masih dikenali oleh warga Sidomulyo karena biasanya berasal desa-desa tetangga. Komunitas ini kemudian diwadahi dalam paguyuban sebagaimana diulas sebelumnya dalam sub bab kelembagaan lokal (halaman 52).
Perhutani Sebagaimana diketahui bahwa Perhutani merupakan pewaris pengelolaan hutan (timber management) di Jawa dan Madura yang dimulai sejak jaman pemerintahan Belanda. Perum Perhutani menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada tahun 1972 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 1972 dengan wilayah kerja pada awalnya kawasan hutan negara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan PP nomor 2 tahun 1978, kawasan wilayah kerjanya diperluas sampai kawasan hutan negara di provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1986, Perum Perhutani mengalami penyesuaian sebagaimana diamanatkan PP nomor 36 tahun 1986 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) dan
68
disempurnakan kembali melalui penetapan PP nomor 53 tahun 1999 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani). Dalam masa pemerintahan Kabinet Reformasi, sesuai PP nomor 14 tahun 2001, Pemerintah menetapkan Perhutani sebagai BUMN dengan bentuk Perseroan Terbatas (PT). Dengan berbagai pertimbangan dari segala aspek, keberadaan Perhutani sebagai perseroan dikembalikan menjadi Perum berdasarkan PP nomor 30 tahun 2003. Dalam operasionalnya Perum Perhutani di bawah koordinasi Kementerian Negara BUMN dengan bimbingan teknis dari Departemen Kehutanan. Dalam menjalankan tugasnya Perum Perhutani dipimpin oleh Direksi yang bertanggung jawab atas kepengurusan perusahaan dan Dewan Pengawas yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi. Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi kawasan hutan negara yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Barat dan Banten seluas 2.426.206 hektar (Tabel 3). Peta kawasan hutan Perum Perhutani dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan untuk Unit II (Jawa Timur) dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 3. Wilayah Kerja Perum Perhutani Unit Kerja Unit I Unit II Unit III
Provinsi
Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat Banten Jumlah Sumber: Perum Perhutani, 2009.
Hutan Produksi (Ha) 546.290 809.959 349.649 61.406 1.767.304
Hutan Lindung (Ha) 84.430 326.520 230.708 17.244 658.902
Total Luas (Ha) 630.720 1.136.479 580.357 78.650 2.426.206
Perhutani yang dimaksud sebagai aktor utama dalam reklaiming hutan lindung dalam penelitian ini adalah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jember. KPH ini berada di bawah wilayah kerja Unit II (Jawa Timur). Wilayah kerja KPH Jember dapat dilihat dalam Tabel 4.
69
Tabel 4. Wilayah Kerja Perum Perhutani KPH Jember Jenis Hutan Produksi Hutan Lindung Hutan Suaka Alam / Hutan Wisata Tidak Baik untuk Pertanian / Lapangan Dengan Tujuan Istimewa Sumber: Perhutani KPH Jember, 2007.
Luas (Hektar) 31.135,93 43.948,80 20,00 905,84
Persentase (%) 40,96 57,82 0,03 1,19
Wilayah kerja tersebut terbagi atas tiga bagian hutan, yang masing-masing dikepalai oleh seorang asisten administratur, yaitu: 1. Bagian Hutan Lereng Yang Selatan meliputi BKPH Lereng Yang Barat dan Lereng Yang Timur, merupakan Potensi utama Kayu Rimba Mahoni. 2. Bagian Hutan Sempolan meliputi BKPH Sumberjambe dan Sempolan, merupakan potensi utama Kayu Rimba Pinus. 3. Bagian Hutan Jember Selatan meliputi BKPH Mayang, Ambulu dan Wuluhan merupakan potensi utama penghasil Kayu Jati. Adapun hutan lindung yang direklaim oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo berada di wilayah kerja BKPH Mayang yang dikepalai oleh seorang mantri Perhutani (Pak R) dan membawahi 11 orang mandor.
Swasta (Pedagang, Pemilik Modal dan Eksportir) Pihak swasta yang terdiri dari pedagang kopi dan pemilik modal memang bukan aktor utama dalam reklaiming hutan lindung. Tetapi merupakan aktor penting, karena berhubungan langsung dengan kedua aktor utama di atas. Khususnya para pedagang kopi, mereka membeli hasil panen kopi dari para petani maupun dari Perhutani yang merupakan hasil setoran “sharing”. Hasil panen yang dibeli kebanyakan sudah berupa kopi ose (beras), yaitu buah kopi yang sudah lepas kulitnya dan sudah dikeringkan dengan kadar air sekitar 12%. Tetapi ada juga pedagang yang membeli dari petani dengan sistem tebasan. Ada dua jenis pedagang kopi di Sidomulyo, yaitu pedagang kecil dan pedagang besar. Pedagang kecil adalah mereka yang membeli kopi dari petani dalam jumlah yang tidak besar (berkisar 1 kwintal) dan tidak melayani tebasan, sedangkan
70
pedagang besar adalah mereka yang membeli kopi dari petani dalam jumlah besar dan melayani tebasan. Pedagang kecil akan menjual kopi yang dibelinya kepada pedagang besar atau kepada konsumen. Mereka ini biasanya tidak melakukan proses sortasi. Sementara pedagang besar menjual kopinya setelah melakukan sortasi kepada pedagang besar lainnya di luar daerah, industri pengolahan kopi dan eksportir. Terlebih lagi ketika mereka membeli dari tebasan, maka mereka tidak hanya melakukan sortasi tetapi harus melakukan pengolahan terlebih dahulu untuk menjadikan kopi glondong yang dipanennya dari kebun kopi menjadi kopi beras (ose). Pedagang kecil yang ada di Sidomulyo cukup banyak jumlahnya, tetapi untuk pedagang besar jumlahnya hanya sedikit. Pedagang kopi kecil tidak begitu menonjol keberadaannya karena jumlahnya yang banyak tersebut. Sementara para pedagang besar terlihat sangat menonjol dan menjadi elit di wilayahnya (dusun) masingmasing. Beberapa pedagang besar ini menjadi informan dalam survei penelitian ini (Lampiran 1). Selain pedagang mereka juga memiliki kebun kopi di hutan lindung yang didapatkannya dari “mengganti rugi” (membeli). Beberapa pedagang besar ini menduduki posisi-posisi strategis di desa dengan menjadi pengurus kelompok tani (Pak Sw dan Pak Sm), paguyuban petani kopi (Pak St dan Pak HS). Para pedagang besar bersama dengan kelompok tani ini menjalin kerjasama dengan eksportir. Selain para pedagang, swasta lain yang terkait dengan reklaiming adalah pemilik modal. Mereka ini berhubungan dengan petani dan pedagang. Hubungan dengan petani terkait dengan kebutuhan para petani akan biaya usahatani dan biaya hidup sehari-hari. Para pemilik modal akan meminjami mereka dengan perjanjianperjanjian tertentu. Di antara perjanjian itu adalah menjual hasil panen kopi kepada mereka atau mengembalikan dalam bentuk uang ditambah dengan bunga tertentu. Sedangkan hubungan pemilik modal dengan para pedagang adalah untuk memenuhi kebutuhan modal pedagang agar dapat melakukan pembelian hasil panen para petani kopi. Para pemilik modal yang berhubungan dengan para petani biasanya adalah para pedagang kopi setempat. Sedangkan pemilik modal yang berhubungan dengan para pedagang kopi biasanya para pedagang besar atau orang-orang kaya dari luar Desa Sidomulyo.
71
Pemerintah (Desa dan Daerah) Pemerintah baik desa maupun daerah (Kabupaten Jember) tidak terkait langsung dengan reklaiming hutan lindung. Hal ini dikarenakan hutan lindung walaupun ada di wilayah mereka, tetapi tanggung jawab pengelolaan ada di bawah Perhutani. Keterkaitan mereka lebih pada petani kopi yang melakukan reklaiming karena merupakan warga mereka. Sebagai penanggung wilayah administratif, pemerintah selalu terkait dengan segala yang dilakukan warganya termasuk reklaiming hutan lindung. Sikap pemerintah tercermin dari jawaban Pak Mj, selaku kepala desa Sidomulyo. Menurutnya ia tidak dalam posisi mendukung atau melarang warganya melakukan reklaiming hutan lindung. Alasannya kalau mendukung, berarti ia melanggar undang-undang kehutanan terutama mengenai hutan lindung. Sedangkan kalau melarang, pemerintah desa tidak punya kekuatan dan memberikan solusi atas sumber penghidupan warganya. Selama ini yang dapat dilakukan oleh pemerintah desa adalah mendampingi warganya dan melakukan mediasi agar diperoleh solusisolusi yang menguntungkan kedua belah pihak terkait hutan lindung. Sikap pemerintah desa di atas seirama dengan pemerintah di atasnya yaitu pemerintah kabupaten. Dalam suatu pertemuan antara Bupati dengan warga untuk menyerap aspirasi rakyat dan merupakan kampanye dari Bupati agar terpilih kali kedua pada pemilihan kepala daerah yang akan segera digelar waktu itu, tidak diperoleh jawaban yang jelas ketika ada warga yang mempertanyakan keberpihakan Bupati pada reklaiming hutan lindung yang dilakukan warganya. Demikian juga dengan petugas penyuluh perkebunan dari Dinas, menurutnya ia tidak berwenang menanggapi status kebun kopi yang ada di hutan lindung. Tugasnya adalah membina petani kopi yang mempunyai kebun di desa dan tidak mau terlibat dengan keberadaan kebun-kebun kopi yang ada di hutan lindung.
Kepentingan Para Pihak Aktor-aktor yang berkonflik di atas mempunyai kepentingan masing-masing terkait hutan lindung sebagai sumberdaya yang diperebutkan. Konsep akses dari Ribot dan Peluso (2003) dapat memberikan analisis siapa sebenarnya yang memanfaatkan sumberdaya dan melalui proses-proses apa mereka mampu
72
melakukannya. Sehingga akses berfokus pada isu siapa yang dapat atau tidak menikmati keuntungan atau aliran keuntungan sumberdaya, dengan cara apa dan kapan. Kepentingan komunitas petani kopi rakyat adalah mendapatkan sumber penghidupan dalam hal ini kebun kopi. Reklaiming hutan lindung merupakan proses yang mereka lakukan sebagai gerakan sosial atas keadaan krisis agraria yang ada di wilayah mereka. Masa reformasi merupakan momentum yang dinilai sangat tepat, mengingat struktur politik nasional terbuka lebar dan terbukti berhasil. Sejak awal mereka sudah menyadari akan adanya benturan kepentingan dengan Perhutani yang selama ini mempunyai kontrol atas hutan lindung. Sehingga mereka melakukan berbagai strategi agar kepentingannya mengambil keuntungan dari hutan lindung melalui pembukaan hutan kopi dapat berlanjut. Hal ini dalam konsep akses tindakan petani kopi rakyat ini dapat dikategorikan sebagai “memelihara akses”. Mereka bersedia “berkorban” agar akses terhadap sumberdaya (hutan lindung) tetap terbuka. Kepentingan Perhutani sejak awal adalah sebagaimana mandat yang diterimanya dari negara dan menjadi visinya yaitu: “Menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Kegiatan pengelolaan hutan tersebut meliputi: (1) perencanaan hutan, (2) reboisasi dan rehabilitasi hutan; (3) pemeliharaan hutan; (4) perlindungan hutan, (5) pemungutan hasil hutan, (6) industri hasil hutan, dan (7) pemasaran (Perhutani, 2010). Dari serangkaian kegiatan tersebut, terkait dengan hutan lindung maka idealnya kegiatan Perhutani hanya pada nomer 1 sampai 4. Dalam konsep akses, kepentingan Perhutani adalah “kontrol akses” yaitu kemampuan untuk memediasi akses pihak-pihak lain terhadap sumberdaya yang dikontrolnya (hutan lindung). Kontrol berarti mengacu pada memeriksa dan mengarahkan tindakan. Kepentingan swasta dalam reklaiming adalah serupa dengan prinsip ekonomi yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya dengan resiko seminimal mungkin. Resiko seminimal mungkin dapat dilihat dari keterlibatan mereka baru pada saat kondisi reklaiming sudah menunjukkan adanya aliran keuntungan yang stabil. Kebun-kebun kopi di hutan lindung sudah menghasilkan panen yang lebih baik dibandingkan kebun-kebun di desa. Selain itu, kemungkinan operasi Perhutani untuk membabat pohon-pohon kopi warga dan mengembalikan
73
hutan lindung tertutup sangat kecil karena akan mendapat perlawanan yang keras dari warga atau dengan kata lain biaya sosialnya sangat tinggi. Kepentingan pemerintah desa adalah melindungi warganya agar dapat hidup sebagaimana layaknya. Sikap aparat desa yang tidak mendukung atau melarang terhadap gerakan warganya melakukan reklaiming merupakan bentuk kebijakan agar kehidupan desa terus berjalan ke arah yang lebih baik. Krisis agraria yang dihadapi warga desa belum bisa ditemukan jalan pemecahannya, sehingga reklaiming sebagai gerakan sosial diharapkan dapat menjadi alternatif. Kepentingan pemerintah desa ini lebih jelas keberpihakannya dengan mendampingi warganya dan melakukan mediasimediasi dengan Perhutani. Sedangkan pemerintah daerah masih belum jelas keberpihakannya, bahkan cenderung masa bodoh dengan reklaiming ini karena terkesan tidak mau berurusan dengan pemerintah yang di atasnya (pusat) yang tentu saja berpihak dengan Perhutani.
Mekanisme Akses (Reklaiming) Hutan Lindung Mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya merupakan suatu kemampuan. Kemampuan akses tersebut dipengaruhi adanya pembatas-pembatas yang muncul dari kondisi ekonomi politik dan budaya setempat. Hal ini memainkan peranan yang disebut “mekanisme akses relasional dan struktural”. Sebagaimana disebutkan Blaikie (1985) dalam Ribot dan Peluso (2003) bahwa modal dan identitas sosial mempengaruhi mereka yang mempunyai prioritas akses. Sehingga dapat dijelaskan bagaimana teknologi, modal, pasar, pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial membentuk atau mempengaruhi akses.
Akses pada Teknologi Pengaruh teknologi dalam akses sumberdaya hutan lindung di Sidomulyo adalah dalam hal pengolahan kopi. Teknologi pengolahan kopi yang terus berkembang (seperti hasil-hasil penelitian Puslit Koka) memerlukan uji coba dan penerapan. Uji coba pengolahan semi basah (semi wet process) pada kopi pernah dilakukan pada tahun 2004 di Sidomulyo oleh Puslit Koka. Teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu kopi beras, hasilnya lebih seragam baik dalam penampilan
74
fisiknya maupun kadar airnya. Salah satu syarat pengolahan semi basah adalah buah kopi yang dipanen dari pohon harus dalam kondisi matang maksimum (berwarna merah).
Hal ini berarti panennya menunggu kondisi kopi matang maksimum
tercapai yang selisih waktu dengan kondisi belum matang maksimum sekitar 9-10 hari. Selain itu waktu pengolahan semi basah juga lebih lama dibanding pengolahan kopi asalan sekitar 5-10 hari.
Tetapi harga kopi lebih terjamin dan selisih
perkilogramnya dengan kopi asalan sekitar Rp. 2000 – Rp. 2500,-.16 Untuk memenuhi syarat penerapan teknologi di atas dan tercapai tujuannya diperlukan bahan baku kopi dalam jumlah yang besar. Hasil panen kopi dari kebun kopi di desa jauh dari mencukupi untuk diterapkannya teknologi ini. Karena selain luasnya yang kecil (309,9 hektar), produktivitasnya juga menurun dari waktu ke waktu. Hasil pengolahan kopi semi basah ini untuk memasok pasar ekspor, dimana eksportir mensyaratkan jumlah minimal untuk pengiriman yaitu 200 ton. Salah satu caranya adalah ekstensifikasi kebun kopi di kawasan hutan lindung yang telah mereka reklaim pada masa reformasi. Peningkatan nilai tambah dari penerapan teknologi pengolahan semi basah kopi semakin meningkatkan akses pada sumberdaya hutan lindung yang mereka reklaim. Kebun kopi di sana semakin dirawat agar menghasilkan kopi yang lebih banyak sehingga semakin ekonomis untuk diolah dengan teknologi tersebut.
Akses pada Modal Akses pada modal dapat berupa jasa ekstraksi, produksi, konversi, mobilisasi tenaga kerja, dan proses-proses lain yang berhubungan dengan pengambilan keuntungan dari sesuatu atau seseorang. Akses pada modal dapat digunakan untuk kontrol akses sumberdaya melalui pembelian hak, atau digunakan untuk memelihara akses sumberdaya melalui sewa, fee, atau membeli pengaruh dari mereka yang mempunyai kontrol sumberdaya. Hal ini juga dapat dilihat sebagai cara berdasarkan hak untuk memperoleh akses sumberdaya secara legal, persetujuan atau proses informal (Ribot dan Peluso, 2003).
16
Hasil wawancara dengan Pak Sm, informan yang mempunyai kebun kopi di desa dan hutan lindung, seorang pedagang dan pengurus kelompok tani.
75
Reklaiming hutan lindung pada komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo membutuhkan modal yang cukup banyak baik pada saat awal (pembukaan) maupun seterusnya (pembukaan dan pemeliharaan) kebun kopi. Pembukaan kebun kopi membutuhkan banyak tenaga kerja yang harus diupah atau setidaknya waktu dan bekal buat diri sendiri dan keluarga. Hal ini membutuhkan modal yang tidak sedikit. Selain itu bibit tanaman kopi juga harus diperoleh dengan membeli agar bisa segera ditanam, karena kalau menyemai sendiri membutuhkan waktu yang lebih lama dan peluang jadinya lebih kecil. Modal yang dikeluarkan merupakan salah satu penentu nilai dari kebun kopi itu sendiri, sehingga ketika akan dialihkan akan diperhitungkan di samping tentu saja kondisi nyata dari kebun kopi itu sendiri. Pengakuan adanya peningkatan nilai dari sumberdaya hutan dapat digunakan untuk memperoleh pengakuan sosial. Demikian halnya dengan investasi, dapat digunakan meneguhkan klaim atau memfasilitasi kondisi akses sumberdaya. Bahkan penanaman pohon dapat menjadi klaim hak kepemilikan tanah. Kekayaaan atau modal dapat mempengaruhi tipe akses yang lain ketika kekayaaan, identitas sosial dan kekuasaan saling menguatkan. Dengan kata lain, karena status dan kekuasaan yang dihasilkan kekayaan, mereka yang mempunyai kekayaan juga mempunyai keistimewaan akses pada produksi dan pertukaran, kesempatan, bentuk pengetahuan, dunia kewenangan dan sebagainya.
Akses pada Pasar Secara umum akses pasar adalah kemampuan seseorang untuk memperoleh, mengontrol, atau memelihara tempat masuk relasi-relasi pertukaran. Pasar juga membentuk akses untuk memanfaatkan sumberdaya pada skala yang berbeda dengan lebih cerdik dan secara tidak langsung. Nilai dari sumberdaya bervariasi ketika sumberdaya dikomoditaskan atau ketika pasar nasional atau internasional mulai mengekstraksi sumberdaya, yang pada gilirannya akan mempengaruhi hak-hak kepemilikan. Pasar kopi mempunyai jangkauan yang luas, sampai ke tingkat internasional. Sehingga tidak mengherankan kalau tingkat harganya juga mengikuti harga pasar internasional. Demikian juga dengan harga kopi di Sidomulyo, meskipun berada di wilayah yang terpencil di pinggiran hutan, tetapi juga berpatokan pada harga kopi
76
internasional dalam pemasarannya. Berkembangnya teknologi informasi sangat mendukung proses penentuan harga ini. Para pedagang di Sidomulyo secara langsung (melalui internet) maupun melalui lembaga-lembaga yang mempunyai akses dengan informasi harga internasional (pedagang besar, Puslit Koka dan Dinas Perkebunan) selalu memantau perkembangan harga internasional. Akses pasar dikontrol melalui banyak struktur dan proses. Struktur yang dimaksud adalah struktur modal dan pasar. Semakin banyak modal yang dipunyai oleh seorang pedagang semakin besar aksesnya pada pasar. Struktur pasar kopi di Sidomulyo bersifat pasar persaingan sempurna di mana jumlah produsen (petani) sangat banyak sekali dengan memproduksi produk yang sejenis dan mirip dengan jumlah konsumen yang banyak. Sifat-sifat dari pasar persaingan sempurna adalah jumlah penjual dan pembeli banyak dengan barang yang dijual sejenis, serupa dan mirip satu sama lain. Petani sebagai penjual kopi bersifat sebagai pengambil harga (price taker) yang besarnya ditentukan mekanisme pasar permintaan dan penawaran (demand and supply). Posisi pembeli (pedagang) kuat, sehingga petani sulit memperoleh keuntungan di atas rata-rata. Pasar persaingan sempurna ini sensitif terhadap perubahan harga dan pelakunya (penjual dan pembeli) mudah untuk masuk dan keluar dari pasar. Proses dalam akses pasar, selain bertemunya permintaan dan penawaran juga adanya proses intervensi. Intervensi pada permintaan berasal dari para pelaku pasar (pedagang) yang kadangkala berkolusi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Intervensi pada penawaran kopi di Sidomulyo dilakukan dengan melakukan kerjasama pemasaran antara petani, kelompok tani dan eksportir. Kerjasama ini mensyaratkan beberapa hal terutama mutu yang standar dan volume kopi yang kontinyu. Yang pernah dilakukan adalah kerjasama kelompok tani Sidomulyo I dengan PT. Indokom pada tahun 2004.
Akses pada Tenaga Kerja Mereka yang mengontrol akses pada tenaga kerja akan dapat mengambil manfaat dari sumberdaya pada saat tenaga kerja dibutuhkan sepanjang kehidupan sumberdaya atau sepanjang lintasan komoditi dihasilkan darinya. Reklaiming hutan lindung membutuhkan tenaga kerja yang banyak untuk membuka hutan dan
77
menjadikannya kebun kopi. Sehingga pada awalnya dulu mereka yang dapat mengorganisir tenaga kerja baik dengan membentuk kelompok atau dengan mengupah tenaga kerja akan dapat membuka lebih luas. Mereka yang membentuk kelompok akan membagi petak kebun yang dibukanya diantara sesama anggota dengan kesepakatan masing-masing. Sedangkan mereka yang megupah tenaga kerja akan menguasai semua petak kebun tetapi harus membayar para pekerja tersebut. Sehingga setelah kebun-kebun kopi menghasilkan maka mereka yang menguasai semakin banyak maka semakin mempunyai kontrol pada kesempatan tenaga kerja (pekerjaan). Mereka yang mengontrol kerja dapat memberikannya pada yang disenanginya sebagai bagian dari hubungan patronase. Mereka ini juga dapat menggunakan kontrol tersebut untuk menurunkan upah ketika kesempatan kerja langka. Kelangkaan tenaga kerja dan surplus dapat mempengaruhi bagian relatif dari manfaat sumberdaya yang dinikmati oleh mereka yang mengontrol tenaga kerja, mereka yang mengontrol kesempatan kerja, dan mereka yang ingin memelihara aksesnya pada kesempatan-kesempatan ini. Akses pada kesempatan kerja termasuk kemampuan dari pekerja sendiri atau untuk memelihara akses untuk bekerja dengan orang lain. Meskipun seseorang tidak mempunyai akses pada sumberdaya melalui hak kepemilikan, atau mungkin juga tidak mempunyai modal untuk membali teknologi atau terlibat dalam transaksi komersial yang memberinya hak pada sumberdaya, tetapi dia mungkin mendapat akses sumberdaya dengan masuk dalam hubungan kerja dengan mereka yang mempunyai kontrol pada sumberdaya, pemilik ijin, atau mekanisme akses berdasar pasar. Pekerja mungkin sudah berinvestasi dalam hubungan sosial dengan mereka yang menguasai sumberdaya dengan tujuan memelihara akses pada kesempatan kerja dan sumberdaya. Beberapa tenaga kerja di Sidomulyo melakukan hal-hal ini pada mereka yang menguasai kebun-kebun kopi yang luas di hutan lindung.
Akses pada Pengetahuan Akses pada pengetahuan mempunyai arti penting dalam menentukan siapa yang memanfaatkan sumberdaya. Kepercayaan, kontrol-kontrol ideologis, praktikpraktik terpisah, juga sistem pemaknaan yang dinegosiasikan membentuk semua bentuk akses. Untuk beberapa sumberdaya, akses mungkin tidak hanya didorong
78
oleh motif ekonomi atau klaim moral untuk hak-hak subsistensi, melainkan juga oleh sosial, politik, dan tujuan-tujuan ritual yang merepresentasikan kekerabatan, hubungan kekuasaan, atau harmoni ritual. Reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat sekilas memang dilandasi faktor ekonomi dan moral, tetapi hasil wawancara dengan para informan menunjukkan adanya faktor sosial yang mendorongnya. Menurut Pak HS, Dusun CM, reklaiming terbukti mengurangi kesenjangan sosial yang dahulu sangat tajam di Sidomulyo: “dahulu warga Sidomulyo yang mempunyai sepeda motor sangat jarang sekali, sekarang hampir semua rumah sudah mempunyainya bahkan ada beberapa yang mempunyai mobil”. Faktor politik reklaiming adalah pengetahuan adanya reformasi yang membuat struktur politik terbuka menjadikan mereka berani melakukan reklaiming walaupun harus berkontestasi dengan Perhutani yang menguasai hutan lindung. Pertemuan-pertemuan kelompok tani dan pengajian juga menjadi motif pendorong dari reklaiming, karena acara ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit seperti untuk iuran, jamuan dan arisan. Kontrol atas pengetahuan dan informasi juga mempunyai manfaat-manfaat langsung. Pedagang dapat berbohong pada petani tentang harga komoditi di kota atau internasional untuk menurunkan harga. Tetapi dengan perkembangan teknologi informasi, hal ini semakin sulit dilakukan oleh para pedagang karena petani juga dapat melakukan pengecekan. Informasi tentang teknologi mungkin juga disembunyikan untuk mencegah petani menjadi independen. Khusus untuk teknologi (seperti pengolahan kopi glondong menjadi kopi beras), karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mengadopsinya maka hanya mereka yang mempunyai modal lebih atau kelompok saja yang dapat menerapkannya. Petani dapat mengaksesnya dengan membayar sewa.
Akses pada Kekuasaan Akses
pada
kekuasaan
membentuk
kemampuan
individu
untuk
memanfaatkan sumberdaya. Akses istimewa pada individu atau institusi dengan kekuasaan membuat hukum berpengaruh kuat pada siapa yang memanfaatkan sumberdaya. Mobilisasi jenis akses ini dapat dilakukan melalui saluran-saluran legal, seperti mengajukan ijin atau lobi melalui saluran-saluran resmi. Kekuasaan yang
79
dipegang Perhutani atas hutan lindung di lereng selatan Gunung Raung setelah direklaim tidak serta merta hilang. Warga yang melakukan reklaiming melalui para wakilnya melakukan negosiasi-negosiasi agar Perhutani tidak menegakkan kembali kuasanya di hutan lindung yang berarti akan menghilangkan kebun-kebun kopi mereka. Para wakil petani kopi tersebut dipilih berdasarkan kemampuannya secara ekonomi dan sosial. Secara ekonomi mereka mampu membayar biaya-biaya negosiasi seperti biaya komunikasi dan akomodasi dengan pihak Perhutani. Sedangkan secara sosial, mereka sudah diakui oleh warga sebagai orang dapat dipercaya dan mau serta mampu membela kepentingan mereka yang diwakilinya. Tumpang tindih klaim di hutan lindung membuat individu dapat mengambil manfaat dari identitas sosial yang berbeda untuk memperoleh atau mengakumulasi sumberdaya menggunakan ide yang berbeda dari akses sah atau berwenang (forum shopping17). Sehingga warga akan memberikan jawaban yang berbeda terkait reklaiming hutan yang lindung berdasarkan siapa yang memberikan pertanyaan.
Akses melalui Identitas Sosial Akses melalui identitas sosial sangat mempengaruhi distribusi keuntungan dari sesuatu. Warga yang mempunyai posisi sosial lebih tinggi akan dianggap lebih berjasa dalam melakukan reklaiming, sehingga akan mendapat bagian yang lebih luas ketika kebun kopi dibagikan kepada para anggotanya. Hal ini berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang semakin tinggi status sosialnya semakin besar pula konsekuensi atau resiko yang akan diterimanya. Keanggotaaan dalam suatu komunitas atau kelompok akan mempengaruhi akses terhadap sumberdaya. Warga Sidomulyo yang tergabung dalam paguyuban atau kelompok tani atau LMDH akan semakin kuat aksesnya terhadap hutan lindung karena selain mendapat dukungan dari kelompoknya juga selalu mendapat informasi lebih cepat melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan kelompok-kelompok tersebut. 17
Forum shopping: kemampuan seorang aktor untuk memilih arena hukum, adat atau konvensi yang mendukung tujuan-tujuannya. Kekuatan ekonomi politik dan budaya menjadi lebih penting dalam menentukan siapa yang menggunakan hukum, adat, atau konvensi, kapan dan untuk tujuan apa (Ribot dan Peluso, 2003).
80
Akses Melalui Negosiasi Relasi-relasi Sosial Pemeliharaan akses hutan lindung yang direklaiming dilakukan oleh komunitas petani kopi rakyat melalui negosiasi dengan Perhutani baik sebagai lembaga maupun personal. Para petugas Perhutani, terutama para mandor dan mantri kebanyakan bertempat tinggal di wilayah kerjanya. Kondisi ini memudahkan negosiasi secara personal. Bahkan pada awal-awal reklaiming, ada beberapa petugas Perhutani yang minta mintah bahkan mengundurkan diri karena merasa serba salah dengan posisinya sebagai petugas Perhutani yang harus menindak warga yang melakukan reklaim dan posisinya sebagai sesama warga atau yang setiap hari berinteraksi. Relasi sosial yang terjalin antara petugas Perhutani dengan warga menjadikan akses warga pada hutan lindung semakin kuat. Para warga juga melakukan investasi dalam relasi sosial yang bertujuan untuk memperoleh akses pada sumberdaya. Hal ini mereka lakukan ketika menyadari bahwa kesuksesan negosiasi menjadi salah satu penentu dalam kelangsungan akses mereka pada hutan lindung. Dalam hal ini menjadi penting mengembangkan ikatanikatan berbasis ekonomi sebagai tambahan ikatan berbasis identitas lainnya sebagai cara masuk atau keluar dari suatu jenis manfaat. Berkembangnya kelompok tani Sidomulyo I dan pembentukan koperasi serta unit pengolahan kopi merupakan bentuk penguatan negosiasi dari relasi sosial yang dibangun komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo. Perubahan dalam ekonomi politik yang lebih luas dapat membuat beberapa jenis akses menjadi kuno dengan menciptakan jenis baru relasi sosial yang butuh dikembangkan untuk memperoleh, memelihara, atau mengontrol akses pada sumberdaya. Hal ini juga disadari sepenuhnya oleh warga Sidomulyo dengan mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak untuk meneguhkan eksistensinya dan harapan adanya dukungan dalam berbagai hal di masa mendatang. Sehingga sekarang mereka semakin terbuka untuk menerima ide, program, proyek, dan sebagainya yang mendukung pemeliharaan aksesnya atas kebun kopi di hutan lindung yang mereka reklaim.
KONTESTASI PARA PIHAK DAN KONFLIK ATAS HUTAN LINDUNG
Kontestasi di sini diartikan sebagai sebuah proses yang bersifat dinamis dari para pihak / para aktor (komunitas petani kopi rakyat, Perhutani, pedagang, dan pemerintah) yang berinteraksi dan menegosiasikan apa yang menjadi kepentingannya dalam konteks perebutan sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi mereka terwujud dalam dua bentuk relasi kuasa agraria. Pertama, relasi teknis yaitu antara aktor utama (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dengan objek agraria (hutan lindung). Kedua, relasi sosial yaitu relasi di antara para pihak baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan reklaiming. Negosiasi kepentingan para pihak berada dalam dua ruang, yaitu ruang konflik pemaknaan dan ruang konflik hak dan akses.
Relasi Kuasa Agraria Para Pihak Posisi dan relasi kuasa para pihak terkait reklaiming hutan lindung secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 3. Meskipun demikian perlu disadari bahwa penyederhanaan ini bukan bermaksud mereduksi kompleksitas relasi diantara mereka melainkan untuk menunjukkan relasi dominan berdasarkan hasil wawancara dan observasi. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kelompok Tani Petani Kopi
Pemerintah Desa Paguyuban
Pemilik Modal Hutan Lindung Eksportir
Pedagang
LMDH
Perhutani
Gambar 3. Posisi dan Relasi Para Pihak Terkait Reklaiming Hutan Lindung
82
Petani kopi merupakan pihak sentral terkait reklaiming hutan lindung ini. Tindakan mereka menduduki hutan lindung dan menjadikannya kebun kopi membuatnya berhadap-hadapan dengan Perhutani yang secara legal formal mendapat mandat dari negara untuk mengelolanya. Di wilayah hutan mereka berhadap-hadapan secara langsung dengan para mandor maupun polisi hutan yang melaksanakan tugas. Tetapi di wilayah desa mereka berhubungan melalui lembaga-lembaga yang mereka bentuk sendiri-sendiri untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing. Petani membentuk paguyuban sedangkan Perhutani membentuk LMDH. Selain itu ada pemerintah desa yang kadangkala menjadi mediator dalam hubungan mereka. Relasi petani dengan pihak swasta (pedagang dan pemilik modal) maupun dengan eksportir melalui kelompok tani merupakan hubungan ekonomi. Petani menjual hasil kebun kopinya kepada para pedagang. Mereka juga berhubungan dengan para pemilik modal untuk membiayai pengusahaan kebunnya dan kehidupan sehari-harinya dengan berhutang. Hutang kepada pemilik modal dikembalikan setelah mereka mendapatkan panen dengan perjanjian tertentu. Petani juga menjalin kerjasama dengan eksportir melalui kelompok tani. Hal ini juga terkait dengan pemasaran hasil kopinya dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih tinggi. Hubungan petani kopi dengan pemerintah kabupaten (Dinas dan Kehutanan dan Perkebunan) melalui kelompok tani lebih bersifat teknis karena hanya berkisar permasalahan teknis budidaya dan peningkatan kualitas hasil kopi. Hubungan ini tidak membahas keberadaan kebun kopi yang berasal dari reklaiming bahkan cenderung menghindarinya atau menutup mata. Demikian juga pihak pemerintah yang lain seperti bupati juga tidak memberikan tanggapan ketika ditanya oleh petani terkait sikap pemerintah kabupaten dengan keberadaaan kebun kopi di hutan lindung. Menurutnya hutan lindung merupakan wewenang pemerintah pusat, pemerintah daerah tidak berkompeten untuk ikut campur. Dalam hal ini terlihat bahwa pemerintah daerah tidak melihat kepentingan warganya tetapi cenderung membela pemerintahan yang ada di atasnya. Dalam UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan UU terbaru yang mengatur desa menyebutkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa adalah: (a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
83
yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; (d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangan diserahkan kepada desa. Pemerintah desa Sidomulyo yang terdiri atas kepala desa dan perangkat desa sebagaimana dalam Pasal 202 UU 32 Tahun 2004 ternyata tidak tahu-menahu dengan keberadaan dan pengelolaan sumberdaya hutan yang ada di wilayahnya. Yang jelas menurut mereka bahwa hutan milik negara dan dikelola oleh Perhutani sebagai perusahaan negara.
Ruang Konflik Pemaknaan tentang Sumberdaya Alam Makna Reklaiming Menurut Warga Sebagai masyarakat desa hutan yang tinggal di sekitar hutan, maka tidaklah mengherankan apabila warga Desa Sidomulyo mempunyai ketergantungan yang tinggi pada hutan. Ketergantungan mereka pada hutan tidak hanya pada aspek ekologi, melainkan juga pada aspek ekonomi dan sosial bahkan budaya. Penetapan status hutan lindung oleh Pemerintah yang berarti hanya untuk menjamin fungsi ekologis tidak menghentikan warga untuk tetap mengambil manfaat dari hutan lindung dari aspek ekonomi, sosial dan budaya. Sudah dari nenek moyang mereka memperoleh pengetahuan bahwa hutan merupakan sumber penghidupan. Dari hutan mereka mendapatkan kayu, baik untuk membangun rumah maupun sekedar untuk bahan bakar. Dari hutan juga mereka mendapatkan umbi-umbian, sayur-sayuran, dan rempah-rempah untuk bahan makanan dan obat-obatan. Bahkan sebelum ditetapkannya hutan sebagai milik negara sejak zaman Belanda, nenek moyang warga Sidomulyo bebas membuka hutan untuk pemukiman dan lahan-lahan pertanian. Dari rangkaian sejarah cerita lisan yang ada pada warga, mereka memahami bahwa hutan mempunyai fungsi ekonomi yang terus menyusut dan membatasi mereka untuk mengambil manfaatnya. Dari sudut sosial, hutan merupakan ruang untuk beraktivitas sehari-hari masyarakat Sidomulyo. Di hutan mereka berinteraksi dengan warga lainnya dalam rangka mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkan seperti rumput untuk pakan ternak, kayu bakar, sayur-sayuran dan sebagainya dan terutama menghabiskan waktu di siang hari. Dalam interaksi tersebut muncul perbincangan-perbincangan diantara mereka dalam memahami keterkaitan hutan dengan kehidupannya. Mereka selalu
84
membandingkan kondisi hutan dari waktu ke waktu dengan segala status dan kebijakan pengelolaannya. Mereka merasa sebagai bahwa hutan adalah sesuatu yang tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-harinya. Cerita nenek-moyang, berita atau pengumuman dari perangkat desa dan petugas perhutani,
penyuluhan dari petugas
dinas, dan sebagainya yang terus berakumulasi mereka rangkai menjadi pengetahuan. Pengetahuan inilah yang akhirnya membentuk sikap mereka secara dinamis terhadap hutan yang ada di sekitar mereka. Bagi masyarakat Sidomulyo, hutan mempunyai makna tersendiri untuk kehidupan mereka. Nenek moyang mereka dahulu masih leluasa untuk membukanya, walaupun menurut undang-undang Belanda hal itu tidak diperbolehkan. Penguasaan hutan oleh Belanda menurut mereka adalah penjajahan, hutan adalah sumberdaya umum yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja yang mampu. Membuka hutan sendiri menurut mereka adalah suatu perjuangan yang membutuhkan keberanian dan daya tahan yang luar biasa. Jadi, penguasaan oleh mereka yang membukanya adalah suatu keniscayaan terlepas dari hukum apapun yang menaunginya. Terlebih lagi hukum yang diundangkan oleh Belanda, menurut mereka jelas tidak sah karena mereka tidak mengakui keberadaan Belanda sebagai penguasa. Sebagaimana umumnya di berbagai wilayah, hutan merupakan tempat mereka yang ingin menghindari kekuasaan atau orang-orang yang kalah atau tidak sepakat dengan kekuasaan yang ada. Sejak awal dibukanya daerah yang sekarang menjadi Desa Sidomulyo dan mungkin di daerah pinggiran hutan lainnya di Indonesia, kental dengan perebutan penguasaan hutan. Klaim dari mereka yang berkepentingan muncul silih berganti dengan segala argumentasi yang beraneka ragam. Pergantian waktu tidak menghilangkan klaim-klaim tersebut, argumentasinya menyesuaikan juga dengan perubahan waktu. Bahkan warga Sidomulyo dengan perubahan waktu semakin mampu menyusun argumentasi dengan pengetahuan yang semakin banyak terakumulasi melalui cerita para orangtua, pendidikan, media massa, dan sebagainya. Beberapa informan seperti Pak B (Dusun K) menyatakan: “Kalau dahulu nenek moyangnya dapat memanfaatkan hutan untuk sumber penghidupan mengapa sekarang tidak? Bukankah kekayaan sumberdaya harus dimanfaatkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat? Pengelolaan negara melalui Perhutani hanya
85
menyerap sedikit tenaga kerja dan hasilnya sebagian besar dinikmati orang atas”. Upah yang diterimanya ketika menjadi mandor tanaman tidak pernah bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Tanggung jawab yang besar dan juga resiko konflik dengan tetangganya membuatnya mengundurkan diri dan ikut arus kebanyakan
masyarakat
Sidomulyo
untuk
menduduki
hutan
lindung
dan
menjadikannya kebun kopi. Terlebih lagi menurutnya hasil dari kebun kopi hasil bukaan tersebut sangat menggiurkan apalagi jika kebun dan tanamannya dirawat dengan baik. Hal yang terakhir ini cukup dominan sebagai daya tarik utama tindakan untuk reklaiming. Basis materialisme ini mudah dipahami mengingat kopi sebagai tanaman ekspor mempunyai nilai ekonomi yang menonjol dibandingkann tanaman pangan walaupun ujung-ujungnya nanti juga untuk memenuhi kebutuhan subsistensi mereka. Warga Sidomulyo membentuk paguyuban petani kopi hutan untuk memelihara makna dan nilai yang terkandung dalam reklaiming. Tidak semua paguyuban yang terbentuk dapat dipercaya oleh anggotanya karena tidak semua pengurus di tiap-tiap paguyuban memahami peranannya. Sehingga pergantian pengurus sering terjadi dan menimbulkan dinamika dalam paguyuban itu sendiri. Pemaknaan reklaiming tercermin dalam jawaban salah seorang informan (Pak Bs, Dusun K), yang juga pernah menjadi ketua salah satu paguyuban, ketika saya bertanya: Mengapa Bapak membuka hutan lindung dan menjadikannya kebun kopi? “…kalau saya tidak ikut membuka hutan, maka tidak akan mendapat apaapa. Kondisi mata pencaharian di sini sulit bahkan saya pernah pergi ke Bali untuk mencari pekerjaan selama dua tahun. Akhirnya saya kembali ke Sidomulyo setelah mendengar adanya kesempatan untuk membuka hutan.” Jawaban Pak B tersebut tentunya sudah mengalami internalisasi, yaitu proses yang dialami manusia untuk ’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya. Dalam internalisasi tersebut melibatkan sosialisasi baik primer maupun sekunder. Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional. Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, individu pun bahkan tidak hanya mampu mamahami definisi orang lain, tetapi lebih dari itu, turut mengkonstruksi definisi bersama. Dalam proses mengkonstruksi inilah,
86
individu berperan aktif sebagai pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat. Pak Bs melihat bahwa dunia kehidupan di mana menjadi tempatnya bersosialisasi sudah melakukan definisi bersama bahwa reklaiming hutan lindung sudah dipahami dan mendapat legitimasi bersama. Keikutsertaannya dalam reklaiming merupakan bentuk ungkapan untuk memperoleh keadilan bersama di samping juga sebagai bentuk perlawanan atas kondisi yang selama ini membatasinya untuk bisa mengakses sumberdaya hutan.
Makna Reklaiming Menurut Perhutani Keistimewaan Perhutani dalam mengelola hutan selama ini melahirkan sekian banyak peraturan dan tertib sosial masyarakat sekitar hutan yang tidak jauh beda dengan yang pernah diterapkan oleh penjajah Belanda. Kondisi ini sangat merugikan mereka yang tinggal di sekitar hutan yang sejak nenek moyangnya sudah mempunyai keterikatan dan ketergantungan dengan hutan. Pengelolaan hutan oleh Perhutani mengandung makna tersendiri yang tercermin dari visi misi terkahir yang sekarang menjadi pegangan dalam menjalankan mandatnya. Bagi Perhutani, makna hutan dapat dilihat dari perumusan misi-misi yang dijabarkan dari visinya18: “Menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Misi pertamanya yaitu: “Mengelola sumberdaya hutan dengan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari berdasarkan karakteristik wilayah dan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) serta meningkatkan manfaat hasil hutan kayu dan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan, agroforestri serta potensi usaha berbasis kehutanan lainnya guna menghasilkan keuntungan untuk menjamin pertumbuhan perusahaan secara berkelanjutan”, menunjukkan bahwa hutan bermakna ekonomi bagi Perhutani. Misi kedua Perhutani: “Membangun dan mengembangkan perusahaan, organisasi serta sumberdaya manusia perusahaan yang modern, profesional dan handal serta memberdayakan masyarakat desa hutan melalui pengembangan lembaga perekonomian koperasi masyarakat desa hutan atau koperasi petani hutan”
18
SK Nomor : 17/Kpts/Dir/2009 tanggal 9 Januari 2009.
87
masih
menunjukkan
makna
ekonomi
karena
terkait
manajemen
internal.
Pemberdayaan masyarakat yang disebutkannya bukan berarti bermakna sosial, tetapi lebih sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility: CSR). Misi ketiga Perhutani: “Mendukung dan turut berperan serta dalam pembangunan wilayah secara regional dan nasional, serta memberikan kontribusi secara aktif dalam penyelesaian masalah lingkungan regional, nasional dan internasional” menunjukkan adanya makna sosial ekonomi (pembangunan wilayah) dan makna lingkungan (penyelesaian masalah lingkungan). Dari ketiga misi Perhutani di atas menunjukkan adanya makna ekonomi yang sangat dominan. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan bentuk keorganisasian Perhutani yaitu Perum yang menurut Undang-undang No. 9 Tahun 1969 makna usaha dan tujuan perusahaannya adalah pelayanan umum (public service) dan profit yang seimbang/kondisional. Artinya antara makna sosial dan ekonomi harus seimbang. Kondisi ini juga merupakan buntut dari permasalahan yang belum tuntas jawabannya yaitu makna usaha BUMN (termasuk Perhutani), apakah berfungsi sebagai sarana pencari uang bagi negara atau berfungsi sosial dalam pelayanan publik? Penemuan jawaban atas pertanyaan ini akan memberikan kejelasan arah perjalanan suatu BUMN termasuk Perhutani di dalamnya.
Ruang Konflik Hak dan Akses terhadap Sumberdaya Agraria Hak (kepemilikan) dan akses menyangkut hubungan-hubungan di antara orang-orang berkenaan keuntungan-keuntungan dan nilai-nilai (Ribot dan Peluso, 2003). Keuntungan adalah sesuatu yang penting, karena orang, lembaga, dan masyarakat hidup atas dan untuk keuntungan, berselisih dan bekerjasama juga demi keuntungan. Kunci pembeda antara hak dan akses bersandar pada perbedaan antara “hak” dan ‘kemampuan”. Hak secara umum menimbulkan sejenis klaim yang diakui dan didukung secara sosial baik oleh hukum, adat atau konvensi. Sedangkan “kemampuan” yang merupakan inti dari akses lebih mirip dengan “kuasa” yang dapat digambarkan dalam dua hal. Pertama, sebagai kemampuan beberapa aktor untuk mempengaruhi praktek dan ide orang lain. Kedua, sebagai kekuasaan yang timbul (walaupun tidak selalu berkaitan) dari masyarakat.
88
Ruang konflik hak terhadap sumberdaya agraria hutan lindung antara komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo dengan Perhutani KPH Jember berkisar pada klaim dari masing-masing pihak. Klaim Perhutani bersandar pada hukum formal mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 197219, PP nomor 2 tahun 197820, PP nomor 36 tahun 198621, dan PP nomor 53 tahun 199922. Sementara itu, klaim warga bersandar pada alasan-alasan nilai moralitas, keadilan, normatif dan sejarah (sebagaimana dijelaskan pada sub bab Hutan Lindung: Sumberdaya Sarat Nilai, khususnya hal. 64-65). Nilai-nilai tersebut walaupun tidak mempunyai dasar hukum, tetapi mendapat dukungan secara luas dari masyarakat. Selain itu klaim warga juga berdasarkan pada kemampuannya meningkatkan manfaat (ekonomis dan ekologis) dari pengelolaan hutan lindung. Peningkatan manfaat hutan lindung menghasilkan nilai pada hutan lindung yang bersumber dari masyarakat. Nilai yang dimaksud adalah “kuasa” mengambil manfaat dari petak yang ada di hutan lindung yang berupa kebun kopi. “Kuasa” ini walaupun tidak mempunyai bukti kepemilikan, tetapi diakui oleh masyarakat dan dapat dipindahtangankan dengan sejumlah “ganti rugi”. “Kuasa” tersebut merupakan akses yang oleh Ribot dan Peluso (2003) didefinisikan sebagai: “ kemampuan untuk mengambil keuntungan dari sesuatu seperti obyek material, seseorang, lembaga dan simbol”. Penekanan pada “kemampuan” dibandingkan dengan hak akan membawa perhatian yang lebih luas pada relasi-relasi sosial yang membatasi atau memperbolehkan masyarakat memanfaatkan sumberdaya tanpa memperhatikan hubungan kepemilikan (property rights) saja. Demikian juga halnya dengan warga Sidomulyo, akses terhadap hutan lindung menghasilkan relasi kuasa agraria di antara para pihak baik yang terkait langsung atau tidak langsung dengan reklaiming. Secara empiris akses hutan lindung digunakan oleh warga dengan cara melakukan reklaiming dan membuat kebun kopi di dalamnya. Sedangkan Perhutani hanya mempunyai kontrol yang berarti hak memanfaatkan tetapi tidak bisa 19
Tentang Pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh negara berada di bawah Perum Perhutani yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 20 Tentang perluasan wilayah kerja Perhutani sampai kawasan hutan negara di provinsi Jawa Barat 21 Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) 22 Tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani).
89
menggunakannya. Dalam hal ini, terdapat jajaran kekuasaan (range of powers) yang mempengaruhi kemampuan warga Sidomulyo untuk mengambil keuntungan dari hutan lindung. Kekuasaan yang dimaksud adalah material, budaya dan ekonomi politik dalam “ikatan (bundles)” dan “jaring-jaring (webs)” kekuasaan yang mengatur akses. Akses ini dibentuk dan dipengaruhi oleh teknologi, modal, pasar, pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial sebagaimana dijelaskan dalam sub bab Mekanisme Akses (Reklaiming) Hutan Lindung (hal. 73-80). Konflik akses berkisar pada persaingan para pihak dalam mengambil keuntungan dari sumberdaya (hutan lindung). Hal ini berdasar pada adanya orangorang dan lembaga yang “mengontrol” akses sumberdaya sementara yang lain “memelihara” akses mereka melalui mereka yang mempunyai kontrol. Pembedaan dalam hubungan akses ini dapat membantu memahami mengapa ada orang-orang atau lembaga yang mengambil keuntungan dari sumberdaya, baik memiliki hak atau tidak atas sumberdaya tersebut. Warga mengambil keuntungan dari hutan lindung dengan membuka kebun kopi. Untuk memelihara akses ini mereka memberikan “cukai” kepada para petugas Perhutani. Pemeliharaan akses merupakan strategi di bawah tanah agar para petugas Perhutani tidak merusak kebun-kebun kopi yang ada di hutan lindung yang berada di bawah kontrolnya. Semakin besarnya keuntungan yang diperoleh dari kebun-kebun kopi tersebut membuat Perhutani sebagai lembaga tertarik untuk turut menikmati keuntungan tersebut. Siasat yang diterapkannya adalah dengan membentuk LMDH (hal. 51) untuk mengakomodasi setoran “cukai” yang selama ini masuk ke petugas menjadi “sharing”, sehingga bisa menjadi setoran legal sebagaimana diterimanya dari hutan-hutan produksi yang dikelolanya. Besaran distribusi keuntungan (sharing) menjadi konflik di antara warga dengan para pengurus paguyuban yang menetapkannya tanpa kesepakatan bersama. Para pengurus paguyuban sendiri berusaha memenuhi target yang dibebankan kepadanya, sementara itu para warga merasa besaran yang ditetapkan tidak adil karena tidak mempertimbangkan kondisi kebun dan hasil panen. Perbedaan kepentingan ini masih belum mengarah pada konflik terbuka, karena para anggota masih belum menemukan kesempatan untuk menunjukkan sikapnya baik kepada pengurus atau Perhutani.
90
Derajat Konflik Kontestasi Kontestasi antara dua aktor utama dalam reklaiming (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dalam mencapai kepentingannya masing-masing pada saat penelitian dilakukan berada pada tahap kemacetan (stalemate) (Bram, 2003). Masing-masing tidak bisa memenangkan kepentingannya atau mundur menerima kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya beberapa hal, yaitu: besarnya biaya melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan pada masing-masing pihak, dan gagalnya taktik masing-masing pihak. Masing-masing pihak baik warga maupun Perhutani menyadari bahwa akan membutuhkan biaya dan pengorbanan yang besar apabila konflik terus diperluas atau ditingkatkan. Warga akan kehilangan kebun kopi yang sudah mulai menghasilkan dan sudah menghabiskan banyak biaya. Sementara itu, Perhutani akan menghadapi perlawanan dari warga yang menguasai hutan lindung yang tidak sedikit jumlahnya. Biaya sosial yang harus ditanggung oleh Perhutani akan sangat tinggi sekali. Pengalaman melakukan pendekatan keamanan dengan mendatangkan polisi dan tentara seperti pada saat konflik terbuka (masa awal reklaiming) terbukti tidak membuahkan hasil. Tidak adanya dukungan pada masing-masing pihak menjadikan konflik perebutan sumberdaya hutan lindung berada pada tahap kemacetan. Warga tidak bisa melanjutkan reklaiming ini ke arah klaim hak, karena tidak ada dukungan politik di belakangnya. Demikian juga Perhutani tidak mempunyai dukungan yang kuat untuk mengembalikan hutan lindung yang direklaiming seperti semula. Para pihak yang lain justru mendukung kondisi ini, di mana mereka bisa mengambil keuntungan tanpa takut mendapat resiko akibat konflik terbuka, atau adanya kesepakatan yang dicapai oleh kedua belah pihak yang berkonflik yang justru merugikan mereka. Kondisi ini juga tercipta akibat gagalnya taktik-taktik dari masing-masing pihak. Inisiatif “cukai” dari warga ternyata disambut dengan pola “sharing” dari Perhutani. Demikian juga pendekatan keamanan yang dilakukan Perhutani ternyata tidak efektif justru menghabiskan energi yang besar dan biaya sosial yang tinggi. Sehingga masing-masing pihak sebenarnya pada kondisi menunggu sambil tetap berusaha mengambil keuntungan dari sumberdaya yang mereka perebutkan (hutan lindung).
91
Membangun Konsensus: Membangun Harmoni Tahapan kontestasi yang berada pada tahap kemacetan, apabila dilihat dari seluruh tahapan konflik berarti pada tahap puncak. Pada tahap ini konflik akan menurun dan menuju pada tahap pengurangan (de-escalation) dan mengalami proses negosiasi dalam rangka mencapai konsensus. Tahap pengurangan konflik ini mengacu pada menurunnya cara-cara kekerasan yang digunakan oleh para pihak yang terlibat dalam reklaiming. Tahap ini juga berarti hilangnya kebencian dan meningkatnya kerjasama (Maiese, 2004). Terdapat beberapa proses yang menyumbang pada pengurangan konflik akibat reklaiming hutan lindung. Beberapa proses tersebut antara lain: perubahan organisasi sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga, lembaga pendidikan dan media. Munculnya paguyuban petani kopi hutan sebagai wadah memperjuangkan kepentingan mereka terutama keberadaan kebun kopinya menunjukkan adanya keinginan dari warga untuk bekerja sama menyelesaikan konflik dengan Perhutani. Pembentukan LMDH oleh Perhutani juga merupakan bentuk akomodasi dari Perhutani untuk turut mengambil keuntungan dari akses terhadap hutan lindung. Munculnya organisasi-organisasi ini menunjukkan bahwa para pihak yang berkonflik sudah mengarah pada negosiasi untuk konsensus bersama. Interaksi sehari-hari para petugas Perhutani yang juga bertempat tinggal dalam desa yang sama dengan warga yang melakukan reklaiming hutan lindung menimbulkan penghormatan akan hak-hak hidup bersama. Kebersamaan mereka menghilangkan perasaan-perasaan bermusuhan yang akhirnya dapat mengurangi meluasnya konflik. Melalui berbagai proses yang manusiawi, masing-masing pihak dapat bertemu dengan penerimaan yang saling menguntungkan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa banyak pihak yang terkait walaupun secara tidak langsung dalam reklaiming hutan lindung ini. Meskipun para pihak tersebut tidak mendapat keuntungan secara langsung dari akses hutan lindung, tetapi mereka mempunyai peranan penting dalam mengatasi meluasnya konflik. Pihak pemerintah desa misalnya, selalu memediasi antara warga dan Perhutani dapat membangun komunikasi dan konsensus terkait reklaiming. Secara hukum pemerintah desa mengakui bahwa mereka tidak mempunyai kewenangan dengan pengelolaan
92
hutan. Meskipun demikian mereka merasa bertanggung jawab dengan keberadaan warganya dan tindakan mereka membuka hutan lindung dan menjadikannya kebun kopi. Upaya mediasi dan dialog yang dilakukan ternyata mengarah pada beberapa kesepakatan yang sementara dirasa menguntungkan berbagai pihak. Sudah ada Surat Perjanjian Kerjasama pengelolaan hutan lindung antara Perhutani dan warga yang menguasai kebun kopi dan diketahui pihak desa. Dengan adanya kesepakatan ini, maka pihak desa mempunyai dasar ketika terjadi permasalahan atau pertikaian yang terkait dengan keberadaan kebun kopi yang ada di hutan lindung tersebut. Demikian juga pedagang, walaupun mempunyai motif ekonomi (mendapat barang dagangan kopi), mereka juga berusaha agar kondisi yang kondusif tetap terjaga demi kelancaran usahanya juga. Lembaga-lembaga pendidikan dan media turut berperan dalam mengurangi eskalasi konflik akibat reklaiming hutan lindung. Lembaga pendidikan seperti sekolah dan pondok pesantren berperan dalam mempromosikan kerjasama dan perilaku sosial yang baik. Demikian juga media dapat mempromosikan pemahaman di antara para pihak yang berkonflik dan mengklarifikasi isu-isu yang dapat memperluas konflik.
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN HARMONI SEMU
Distribusi Manfaat Reklaiming Reklaiming sebagai bentuk akses terhadap hutan lindung yang dilakukan oleh komunitas petani kopi rakyat yang merupakan warga Desa Sidomulyo dan sekitarnya telah memberikan manfaat/keuntungan. Keuntungan tersebut berasal dari pembukaan kebun kopi di dalam hutan lindung yang mereka reklaim. Untuk memelihara akses ini, awalnya mereka memberikan “cukai” kepada para petugas Perhutani. “Cukai” ini kemudian oleh diakomodasi oleh Perhutani secara lembaga diakui sebagai “sharing” sebagaimana diterimanya dari para pesanggem di hutan-hutan produksi yang dikelolanya. Bahkan Perhutani melalui Surat Perjanjian Kerjasanma (SPK) yang ditandatangani bersama LMDH mematok besaran 1/3 hasil panen sebagai “sharing” tersebut. Manfaat dari reklaiming sebenarnya tidak hanya dinikmati oleh dua aktor utama di atas. Selama budidaya kopi, baik dalam pemeliharaan kebun maupun panen kopi, menciptakan banyak kesempatan kerja. Sehingga para buruh tani dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan yang berarti juga pendapatan. Setelah itu, pengolahan hasil panen kopi yaitu menjadikan buah kopi (kopi glondong) menjadi kopi beras (ose) juga menciptakan kesempatan kerja dan peluang penerapan inovasi-inovasi teknologi. Proses pengolahan ini juga membuka kesempatan kerja. Setelah itu pemasaran kopi menciptakan peluang bagi para pedagang untuk mengambil keuntungan. Bergeraknya perekonomian di wilayah desa menjadikan pemerintah desa terpacu untuk meningkatkan pelayanannya dan melaksanakan program-program pembangunan untuk mendukung aktivitas warganya. Peningkatan perekonomian warga Desa Sidomulyo berpengaruh pada kondisi kehidupan sosial mereka. Interaksi sosial semakin intensif, relasi sosial juga semakin berkembang dan kompleks. Kondisi sosial ekonomi yang semakin kondusif menarik para pemilik modal untuk berinvestasi baik kepada pedagang maupun kepada petani kopi. Mereka juga berharap dapat menikmati keuntungan yang bersumber dari kebun-kebun kopi hasil reklaiming hutan lindung.
94
Kontestasi para pihak dalam reklaiming hutan lindung dengan segala kepentingannya akan bermuara pada suatu struktur agraria baru. Perubahan struktur agraria ini pada dasarnya adalah perubahan sosial karena terjadi perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada komunitas petani kopi rakyat yang melakukan reklaiming pada khususnya dan wilayah Desa Sidomulyo pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari perubahan unsur-unsur pembentuk struktur agraria sebagaimana disebutkan oleh Tuma (dalam Sitorus, 2002), yang meliputi: kepemilikan tanah, konsentrasi tanah dan pendapatan, diferensiasi sosial, persaingan usaha, dan rasio tanah/tenaga kerja. Hasil survei dan observasi terhadap 30 rumah tangga petani yang dipilih (Lampiran 1) akan menjelaskan perubahan tersebut.
Kepemilikan Tanah Kepemilikan tanah responden yang disurvei tidak menunjukkan pertambahan secara langsung karena memang lahan kebun kopi di hutan yang mereka kuasai tidak bisa dimiliki. Tetapi dari hasil kebun kopi tersebut beberapa responden mengaku dapat membeli tanah yang ada di desa baik pekarangan, sawah atau tegalan. Penguasaan tanah efektif23 sebagaimana disebut Wiradi (1984) yang sebelum adanya reklaiming berkisar pada rata-rata 1 hektar berubah menjadi 2 hektar lebih. Angka rata-rata ini tidak bisa mencerminkan keadaan sebenarnya tetapi hanya menunjukkan besarnya perubahan rata-rata penguasaan tanah yang mencapai 100% bahkan lebih. Kenyataannya dari 30 responden tersebut 10 orang di antaranya sebelumnya tidak mempunyai kebun kopi sama sekali (lihat Lampiran 2). Penguasaan kebun kopi di atas tidak semuanya berasal dari usaha warga membuka sendiri di hutan lindung. Bahkan hasil survei menunjukkan bahwa paling banyak responden (14 orang atau 47%) menguasai kebun kopi tersebut dengan membeli atau istilah mereka mengganti rugi. Responden yang menguasai kebun kopi dengan membuka sendiri sebanyak 13 orang (43%) dan sisanya (3 orang atau 10%) menguasai kebun kopinya dengan membuka sendiri dan membeli. Pola penguasaan kebun kopi ini menunjukkan adanya komodifikasi lahan sebagai faktor produksi. 23
Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha.
95
Lahan di hutan lindung yang sudah berubah menjadi kebun kopi rakyat menjadi sesuatu yang bernilai dan dapat dipindah-tangankan walaupun tanpa bukti kepemilikan. Nilai dari kebun kopi yang ada di hutan lindung ketika akan dipindahtangankan tidak berdasarkan pada luas arealnya, melainkan pada jumlah pohon kopi dan kondisinya. Karena jarak tanam yang dipakai warga relatif sama yaitu 2x1 meter, maka setiap hektar rata-rata berisi 1600 pohon. Hanya saja karena topografi tanahnya yang miring, maka dalam satu hektar tidak bisa persis berisi 1600 pohon, biasanya di bawah jumlah tersebut. Kondisi kebun dapat dilihat dari umur tanaman dan perawatannya. Kebun yang tanamannya memasuki umur produktif (di atas 5 tahun) dan bagus perawatannya maka akan dihargai mahal. Seperti kebun yang dikuasai salah seorang informan (Pak Bs, Dsn K), dengan tanaman kopi sebanyak 1500 pohon beliau menyatakan seandainya ditawarkan 50 juta maka akan banyak orang yang mau.
Konsentrasi Tanah dan Pendapatan Semakin tingginya peralihan lahan bukaan di hutan lindung kepada mereka yang mampu membeli mengarah pada konsentrasi tanah pada para pemilik modal. Konsentrasi tanah ini pada gilirannya mengarah pada konsentrasi pendapatan. Mereka yang menguasai tanah kebun kopi lebih banyak semakin banyak pula pendapatan yang mereka peroleh. Ada beberapa orang yang akhirnya menguasai kebun kopi di hutan lindung dalam jumlah yang luas hingga ratusan hektar. Luasan tersebut tidak pernah diakuinya, tetapi banyak warga yang menegaskan bahwa mereka itu menguasai kebun kopi yang luas di kebun kopi karena seringkali membeli dari para warga yang menjual. Di samping itu mereka juga mempunyai banyak pekerja yang menangani pekerjaan-pekerjaan di kebun kopi yang ada di hutan lindung mulai dari perawatan sampai pemanenan. Rata-rata pendapatan yang diperoleh warga dari kebun kopi yang ada di hutan per tahunnya sebanding dengan penguasaan lahannya (Tabel 5). Semakin luas lahan yang dikuasai semakin besar pula pendapatan yang diperolehnya. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang mempengaruhi besaran tersebut antara lain:
96
jumlah pohon kopi yang ditanam, umur tanaman, hasil panen, besaran cukai/sharing, harga kopi, dan biaya usahatani. Tabel 5. Rata-rata Pendapatan Petani Kopi di Lahan Hasil Reklaiming No. Luas Kebun Kopi (Ha) 1 ≤ 0,5 2 0,5-1 3 1-2 4 ≥2 Sumber: Lampiran 3
Rata-rata Pendapatan/Tahun (Rp) 3.667.000 8.583.444 12.648.722 29.401.500
Jumlah pohon yang ditanam oleh para warga tidak sama per luasannya karena mempertimbangkan topografi yang tidak semuanya datar. Semakin curam topografi lahan yang dikuasainya, biasanya semakin sedikit jumlah pohon yang ditanam. Umur tanaman akan mempengaruhi produktivitasnya. Tanaman kopi mulai berbuah setelah berumur 4 tahun dan mencapai produktivitas tertinggi pada umur 6-7 tahun dan setelahnya harus disambung untuk mempertahankan produktivitasnya. Jumlah pohon dan umur tanaman inilah yang mempengaruhi hasil panen. Selanjutnya besaran “cukai” yang disebut oleh warga dan “sharing” yang disebut oleh Perhutani akan mengurangi hasil yang bisa dijual oleh warga. Harga kopi per kg relatif sama, walaupun ada sedikit perbedaan karena kualitas olahannya menjadi kopi beras atau perbedaan pedagang yang membelinya. Biaya usahatani yang dikeluarkan tergantung luas lahan yang dikuasai warga, semakin luas tentu saja semakin besar biayanya. Hal ini dikarenakan selain semakin banyak input produksi yang harus dibeli juga semakin banyak tenaga kerja yang diperlukan yang tentu saja tidak bisa dikerjakan tenaga kerja dalam keluarga. Artinya mereka yang luas lahannya akan semakin banyak membutuhkan tenaga kerja luar keluarga/upahan. Besaran dari faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan warga dari hasil kebun kopi di hutan lindung secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3.
Diferensiasi Sosial Diferensiasi sosial warga desa Sidomulyo mengalami dinamika sejak terjadinya reklaiming hutan lindung. Warga-warga yang menguasai kebun kopi di
97
hutan lindung menciptakan kelompok sosial baru dengan kesamaan kondisi sosial ekonomi dan kepentingan yang sama. Peningkatan pendapatan yang mereka peroleh dari hasil kebun kopi di hutan lindung mengubah kondisi kehidupan ekonominya. Dengan kondisi ekonomi yang baru, kehidupan sosial mereka juga mulai berubah. Dahulu, ketika belum mempunyai kebun kopi mereka tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial karena sibuk dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya dan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban dari kegiatan-kegitan tersebut seperti iuran dan penyediaan konsumsi. Setelah mereka mengalami peningkatan kondisi ekonomi mereka menjadi aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti pengajian, kelompok tani dan koperasi. Keikutsertaan mereka didorong oleh adanya kebutuhan untuk saling tukar informasi sesama warga terutama yang sama-sama menguasai kebun kopi di hutan lindung. Informasi tersebut berkisar tentang perkembangan keberadaan kebun kopi mereka, ketersediaan pupuk, harga kopi dan tenaga kerja. Hasil pengamatan peneliti menunjukkan adanya interaksi sosial yang lebih intensif di antara sesama warga yang menguasai kebun kopi di hutan dibandingkan dengan warga lainnya. Dalam sebuah pengajian, mereka juga mengelompok untuk sekedar memperbincangkan hal-hal yang terkait dengan kebun kopi di hutan lindung. Terlebih dalam kelompok tani, anggota yang mempunyai kebun kopi di hutan lindung lebih aktif karena kebutuhannya akan fasilitas yang bisa diperoleh dari kelompok tani lebih besar. Melalui kelompok tani mereka dapat mengakses proyekproyek baik dari pemerintah maupun swasta. Meskipun sejatinya proyek-proyek tersebut ditujukan untuk pengembangan kopi yang arealnya ada di wilayah desa, tetapi mereka juga menggunakannya untuk kebun kopinya yang ada di hutan lindung. Dalam kelompok tani sendiri, terdapat stratifikasi sosial berdasarkan penguasaan lahan yang kemudian menjadi pertimbangan posisinya dalam kepengurusan. Mereka yang mempunyai lahan luas relatif menduduki jabatan yang lebih strategis dibandingkan mereka yang mempunyai lahan lebih sempit. Para petani kopi rakyat yang mempunyai kebun kopi hasil reklaiming menjadi kelompok sosial baru menengah dengan pengusaaan kebun rata-rata 2 hektar. Kelompok sosial ini menjadi kelompok sosial baru atau setidaknya memperlebar kelompok ini dari sebelumnya. Kondisi yang ada sebelumnya
98
kelompok sosial penguasaan tanah terpolarisasi pada tuan-tuan tanah dengan pengusaan yang luas (> 10 hektar) dan petani-petani gurem dengan penguasaan yang sangat sempit (< 0,5 hektar).
Persaingan Usaha Pengusahaan kopi di hutan lindung tidak terlepas dari adanya persaingan dalam beberapa hal. Yang paling dominan adalah kebutuhan pupuk. Selain itu kebutuhan akan tenaga kerja pada pekerjaan-pekerjaan tertentu di kebun kopi yang membutuhkan banyak orang seperti panen juga memunculkan persaingan. Dan yang tidak kalah sengitnya adalah persaingan dalam pemasaran hasil panen. Walaupun tanah di hutan lindung relatif masih subur, tetapi kebiasaan petani menggunakan pupuk dan keinginan agar tanamannya tumbuh dengan lebih baik mendorong mereka menggunakan pupuk kimia secara berlebihan. Padahal sebagaimana diketahui bahwa penjualan pupuk dibatasi oleh pemerintah karena terkait dengan subsidi. Pembatasan tersebut berdasarkan perkiraan luas areal pertanian tanaman pangan yang ada di wilayah tertentu. Sehingga sebenarnya tidak ada alokasi pupuk untuk tanaman kopi apalagi yang arealnya tidak terdaftar karena ada di hutan lindung. Tetapi dengan kelompok tani dan koperasi yang mereka miliki, kebutuhan pupuk dapat mereka peroleh dari distributor pupuk resmi. Tentu saja dengan berbagai alasan mereka dapat meyakinkan distributor bahwa memang kebutuhan pupuk di wilayah tersebut sangat besar sehingga perlu penambahan dari alokasi yang ditetapkan. Persaingan untuk memperoleh pupuk di antara sesama anggota khususnya antara yang mempunyai lahan luas dan sempit kerapkali menimbulkan keteganganketegangan di antara mereka. Masing-masing ingin mendapatkan pupuk sejumlah pupuk sebanyak yang ia perlukan, padahal alokasi yang ada terbatas jumlah dan jenisnya serta datangnya bertahap. Mereka yang berlahan luas ingin diprioritaskan karena kebutuhannya sangat besar dan merasa bahwa permintaannya yang besar itulah yang menjamin kepercayaan distributor untuk memberikan alokasi pupuk di wilayah tersebut. Sedangkan mereka yang berlahan sempit menuntut adanya pemerataan dan keadilan. Semua berhak mendapatkan jatah secara merata, selebihnya baru boleh dijual kepada yang memerlukan. Kebijakan yang diambil oleh
99
pengurus koperasi memang berpihak pada mereka yang berlahan sempit, yaitu semua mendapat jatah yang sama. Meskipun demikian pada praktiknya karena mereka yang berlahan luas banyak yang duduk sebagai pengurus dan merupakan tokoh-tokoh masyarakat, maka dengan berbagai cara dapat memperoleh pupuk melebihi jatah yang seharusnya. Banyaknya kegiatan di kebun kopi menuntut adanya tenaga kerja yang juga banyak untuk menyelesaikannya. Kebiasaan rumah tangga petani di Sidomulyo menggunakan tenaga kerja luar keluarga untuk pekerjaan-pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya seperti pemupukan, jombret (membersihkan kebun) dan panen. Khususnya pada saat panen, kebutuhan akan tenaga kerja sangat tinggi. Bahkan tenaga kerja dari dalam desa belum mencukupi, sehingga banyak mendatangkan dari luar desa. Persaingan mendapatkan tenaga kerja cenderung dimenangkan pemilik lahan luas. Hal ini karena para tenaga kerja lebih memilih bekerja pada pemilik lahan luas karena lebih menjamin keberlangsungan lama pekerjaan yang artinya mendapatkan upah yang lebih banyak. Meskipun pada kenyataannya pemilik lahan sempit justru lebih perhatian terhadap tenaga kerja dengan memberikan konsumsi dan upah yang lebih tinggi. Tetapi karena memang lahan yang sempit hanya membutuhkan waktu yang tidak lama untuk diselesaikan pekerjaannya maka menjadi tidak menarik bagi para tenaga kerja. Persaingan dalam pemasaran kopi hasil panen tidak terjadi di antara petani, melainkan pada pedagang. Pedagang yang dimaksud adalah mereka yang berhubungan langsung dengan petani yaitu: penebas, pedangang pengumpul untuk pasar lokal dan pedagang pengumpul untuk pasar ekspor. Setiap petani kopi rakyat di Desa Sidomulyo memiliki alasan tersendiri untuk memilih kepada siapa mereka akan menjual hasil panennya. Beberapa alasan yang sering mereka ungkapkan terkait pemilihan tersebut adalah: adanya faktor kebutuhan ekonomi yang mendesak, faktor keterikatan anggota dalam kelompok tani maupun faktor keterikatan utang piutang. Mereka yang terdesak kebutuhan ekonomi akan menjual hasil panennya kepada penebas. Penebas akan menaksir jumlah kopi yang ada di kebun, dan apabila disepakati harganya maka kebun berada dalam penguasaan penebas sampai selesai panen. Hal ini dikarenakan selain lebih cepat mendapatkan uang, mereka juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk panen. Sedangkan mereka yang mampu melakukan
100
panen sendiri menjual kopinya dalam bentuk beras kepada pedagang pengumpul. Mereka yang berlahan sempit menjualnya kepada pedagang pengumpul untuk pasar lokal yang tidak mensyaratkan kualitas tertentu. Sedangkan mereka yang berlahan luas menjualnya kepada pedagang pengumpul untuk pasar ekspor. Para pedagang ini hanya menerima dalam jumlah besar karena akan melakukan proses sortasi kualitas sebelum memasarkannya ke eksportir.
Rasio Tanah dan Tenaga Kerja serta Implikasinya Desa Sidomulyo memiliki luas wilayah sebesar 4.984,3 hektar dengan penggunaan sebagian besarnya untuk areal perkebunan dan hutan, sedangkan selebihnya terdiri dari pemukiman umum, pertanian sawah, ladang/tegalan, bangunan, sarana rekreasi dan olahraga serta kuburan. Dari luasan tersebut yang dimiliki petani sebagai sawah, tegalan dan kebun hanyalah 465.8 hektar. Sedangkan penduduk yang tercatat sebagai petani sebesar 5.126 jiwa. Sehingga apabila diratarata seorang petani hanya bisa mengerjakan 908,7 m2 saja atau kurang dari 0,1 hektar. Hal ini juga dapat diartikan satu hektar tanah di Desa Sidomulyo harus mampu menyerap lebih dari 10 tenaga kerja petani. Angka rata-rata ini juga memiliki bias yang tinggi karena konsentrasi pemilikan yang timpang. Kondisi rasio tanah dan tenaga kerja di desa yang kecil ini dahulunya mendorong beberapa warga ke luar daerah untuk mencari pekerjaan. Peristiwa reklaiming hutan lindung yang mencapai ribuan hektar24 ternyata memberi solusi terhadap kecilnya rasio tanah dan tenaga kerja. Warga petani khususnya buruh tani, yang dahulu bingung mencari pekerjaan karena terbatasnya lahan sekarang justru bingung mencari tenaga kerja untuk membantu menyelesaikan pekerjaan di lahannya. Bahkan beberapa warga yang bekerja di luar daerah ada yang kembali ke desa setelah mendengar adanya kesempatan menguasai kebun kopi di hutan lindung. Kondisinya sekarang hampir semua rumah tangga di Desa Sidomulyo memiliki kebun kopi di hutan lindung walaupun hanya 0,25 hektar atau sekitar 400 pohon kopi seperti yang dikuasai oleh Bu N, Dsn CD. Informan ini sebelumnya tidak mempunyai kebun sama sekali. Sebagai seorang janda sekaligus kepala keluarga 24
Berdasarkan monografi Desa Sidomulyo 2007 hutan lindung yang masuk wilayah Desa Sidomulyo sebesar 1849.9 hektar dan semuanya sudah menjadi obyek reklaiming dan menjadi kebun kopi semua.
101
sebelumnya hanya bekerja sebagai buruh perkebunan dengan upah yang tidak menentu. Ketika banyak orang membuka hutan lindung untuk kebun kopi, Bu N pun tidak mau ketinggalan. Dengan segala keterbatasannya akhirnya mampu membuka kebun dengan tanaman 400 pohon kopi atau sekitar ¼ ha. Dari kebun tersebut terakhir beliau dapat panen sebanyak 200 kg kopi beras. Setelah membayar “cukai” sebanyak 20 kg, setidaknya beliau dapat hasil dari penjualan sebesar Rp. 2.520.000,(180 kg x Rp. 14.000,-). Walaupun hanya setahun sekali, pendapatan sebesar itu tentunya sangat berharga baginya. Perubahan struktur agraria di atas secara langsung dapat mengatasi pengangguran pedesaan yang diakibatkan terbatasnya lahan garapan. Jumlah penduduk yang masuk angkatan kerja di Desa Sidomulyo (usia 16-55 tahun) mencapai jumlah 6.367 jiwa. Dengan lahan garapan yang ada di desa hanya 465.8 hektar, maka dapat dibayangkan besarnya pengangguran yang ada. Adanya lahan reklaiming
di hutan lindung yang mencapai ribuan hektar ternyata dapat
memecahkan permasalahan ini. Walaupun hanya sebagai tenaga kerja upahan, setidaknya mereka tidak kebingungan mencari pekerjaan. Seperti yang dialami oleh seorang informan di dusun yang ada di wilayah perkebunan (P.K, Dsn SD). Lelaki berumur 55 tahun ini bekerja sebagai pesanggem dengan andil 700 pohon pinus. Dari andil sebesar ini beliau tiap minggu dapat menyetorkan 80 kg getah pinus yang upahnya Rp.1.700,-/kg. Sehingga dalam seminggu hanya dapat mengantongi Rp. 136.000,- yang digunakan untuk menghidupi 6 orang anggota keluarganya. Artinya dalam sehari belanja keluarganya tidak boleh lebih dari Rp. 20.000,-. Sebelum reklaiming kebun kopi yang dikelola di pekarangannya yang merupakan tanah emplasemen perkebunan kurang dari 0,5 ha dengan jumlah tanaman sebanyak 300 pohon kopi. Dari kebun ini tiap tahunnya dapat dipanen tidak lebih dari 2 kwintal kopi. Dengan harga Rp. 14.000,-/kg maka dapat diperoleh hasil kotor sebesar 2,8 juta rupiah. Setelah dikurangi rata-rata biaya sebesar 30% maka beliau dapat mengantogi Rp. 1.960.000,-. Setelah reklaiming, P.K berhasil menguasai dua petak kebun kopi dengan masing-masing tanamannya berjumlah 600 dan 800 pohon kopi atau lebih dari satu hektar. Dari dua petak kebun yang terakhir ini, panen terakhir beliau mendapatkan 1, 2 ton. Dengan harga Rp. 14.000,-/kg setidaknya beliau mendapatkan penghasilan kotor Rp.16.800,000,-. Sehingga dapat
102
dibayangkan peningkatan pendapatannya setelah menguasai kebun kopi hasil reklaiming. Luasnya kebun kopi hasil reklaiming yang mencapai ribuan hektar terbukti secara langsung meningkatkan rasio tanah dan tenaga kerja, meningkatkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja sebagaimana dijelaskan di atas. Bahkan yang terjadi adalah kekurangan tenaga kerja dari dalam desa. Sehingga banyak menarik kembali warga yang sudah ke luar daerah untuk kembali ke Desa Sidomulyo dan tenaga kerja upahan dari luar desa.
Harmoni Semu Perubahan-perubahan dalam unsur-unsur struktur agraria di atas dan kondisi harmoni yang tercipta ternyata masih menyisakan banyak persoalan yang belum terjawab tuntas. Persoalan-persoalan tersebut dapat diketahui dari dinamika yang terjadi atas proses reklaiming dan hasil-hasil yang tercipta. Dinamika reklaiming hutan lindung oleh warga Sidomulyo yang bermula dari euforia reformasi tidak menunjukkan prasyarat harmoni yaitu tidak adanya keterpaksaan. Perhutani terpaksa membiarkan warga membuka hutan lindung karena tidak punya kekuatan untuk mencegah. Demikian juga warga memaksa membuka hutan karena merasa punya hak sebagaimana yang diperoleh oleh nenek moyang mereka. Kalau kemudian masing-masing pihak dapat bertemu dan berkomunikasi, hal ini hanyalah pada strategi mereka untuk mencapai tujuan masing-masing. Perubahan “cukai” menjadi “sharing” yang mengikuti perjalanan fenomena reklaiming ini juga menunjukkan adanya kompromi di antara mereka. “Cukai” yang merupakan inisiatif dari warga sebagai bentuk pemberian bawah tangan kepada petugas Perhutani dalam perjalanannya diakomodasi oleh Perhutani secara institusi menjadi setoran bagi hasil atau “sharing” yang resmi. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari reklaiming tidak semuanya bermakna positif bagi warga Sidomulyo. Pertambahan penguasaan lahan garapan kebun kopi di hutan masih belum mendapat pengakuan secara legal yang artinya sangat rentan untuk ditarik kembali oleh penguasa (negara). Penguasaan yang mengarah pada komodifikasi lahan semakin menguatkan kapitalisasi pedesaan. Tanah hanya berfungsi sebagai faktor produksi yang hanya dinilai dengan
103
produktivitas. Konsentrasi lahan kebun kopi di hutan lindung kepada para pemilik modal mengikis semangat awal reklaiming yaitu tuntutan keadilan sosial. Lahan kebun kopi hasil reklaiming seharusnya menjadi sumber mata pencaharian bukan sebagai komoditi faktor produksi yang dengan mudah dapat berpindah tangan dengan ganti rugi sejumlah uang. Konsentrasi lahan yang mengarah pada polarisasi akan semakin mengaburkan harmoni karena akan menjadikan warga kembali menjadi buruh tani bukan lagi sebagai penggarap. Diferensiasi sosial yang terbentuk pasca reklaiming akan menjadi indikator bahwa harmoni benar-benar terjadi, karena dalam diferensiasi sosial keterpaksaan dapat diminimalkan. Demikian juga
persaingan usaha, akan menjaga harmoni
apabila berlangsung dalam kondisi yang sehat. Peningkatan rasio tanah dan tenaga kerja di Sidomulyo yang secara nyata mengurangi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja juga akan turut mendorong harmoni menjadi murni tidak lagi semu.
104
PENUTUP Simpulan Reklaiming hutan lindung oleh komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo mempunyai tujuan yang bersifat ideologis yaitu terkait dengan alasan moralitas, keadilan, normatif dan sejarah. Selain itu juga mempunyai tujuan praktis yaitu terkait nilai ekonomi dan ekologi dari hutan lindung. Aktor utama yang berkonflik dalam perebutan hutan lindung sebagai sumberdaya agraria adalah komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani. Di samping itu ada juga aktor lain yang terkait secara tidak langsung yaitu swasta (pedagang, pemilik modal dan eksportir) dan pemerintah (desa dan daerah). Aktor-aktor yang berkonflik di atas mempunyai kepentingan masing-masing terkait hutan lindung sebagai sumberdaya yang diperebutkan. Kepentingan komunitas petani kopi rakyat adalah mendapatkan sumber penghidupan dan reklaiming yang mereka lakukan merupakan gerakan sosial atas keadaan krisis agraria yang ada di wilayah mereka. Masa reformasi merupakan momentum yang dinilai sangat tepat, mengingat struktur politik nasional terbuka lebar dan terbukti berhasil. Kepentingan Perhutani adalah “kontrol akses” yaitu kemampuan untuk memediasi akses pihak-pihak lain terhadap sumberdaya yang dikontrolnya (hutan lindung). Kepentingan swasta dalam reklaiming adalah serupa dengan prinsip ekonomi yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya dengan resiko seminimal mungkin. Kepentingan pemerintah desa adalah melindungi warganya agar dapat hidup sebagaimana layaknya. Sedangkan pemerintah daerah masih belum jelas keberpihakannya, bahkan cenderung masa bodoh dengan reklaiming ini. Mekanisme para pihak yang terlibat reklaiming dalam memperoleh, mengontrol dan memelihara aliran keuntungan dari hutan lindung dan distribusinya merupakan suatu kemampuan akses yang dipengaruhi teknologi, modal, pasar, pengetahuan, wewenang, identitas sosial, dan relasi sosial. Pengaruh teknologi dalam akses sumberdaya hutan lindung di Sidomulyo adalah dalam hal pengolahan kopi. Modal yang cukup banyak dibutuhkan pada saat awal (pembukaan) maupun
106
seterusnya (pembukaan dan pemeliharaan) kebun kopi. Akses pasar dikontrol melalui struktur modal dan pasar. Semakin banyak modal yang dipunyai oleh seorang pedagang semakin besar aksesnya pada pasar. Struktur pasar kopi di Sidomulyo bersifat pasar persaingan sempurna sehingga sensitif terhadap perubahan harga dan pelakunya (penjual dan pembeli) mudah untuk masuk dan keluar dari pasar. Akses pada tenaga kerja akan dapat mengambil manfaat dari sumberdaya pada saat tenaga kerja dibutuhkan sepanjang kehidupan sumberdaya atau sepanjang lintasan komoditi dihasilkan darinya. Akses pada pengetahuan mempunyai arti penting dalam menentukan siapa yang memanfaatkan sumberdaya. Akses pada kekuasaan membentuk kemampuan individu untuk memanfaatkan sumberdaya. Akses melalui identitas sosial sangat mempengaruhi distribusi keuntungan dari sesuatu. Warga yang mempunyai posisi sosial lebih tinggi akan dianggap lebih berjasa dalam melakukan reklaiming, sehingga akan mendapat bagian yang lebih luas ketika kebun kopi dibagikan kepada para anggotanya. Pemeliharaan akses hutan lindung yang direklaiming dilakukan oleh komunitas petani kopi rakyat melalui negosiasi dengan Perhutani baik sebagai lembaga maupun personal. Kontestasi merupakan proses yang bersifat dinamis dari para pihak / para aktor (komunitas petani kopi rakyat, Perhutani, pedagang, dan pemerintah) yang berinteraksi dan menegosiasikan apa yang menjadi kepentingannya dalam konteks perebutan sumberdaya alam (hutan lindung). Interaksi mereka terwujud dalam dua bentuk relasi kuasa agraria, yaitu: relasi teknis yaitu antara aktor utama (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dengan objek agraria (hutan lindung); dan relasi sosial yaitu relasi di antara para pihak baik yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan reklaiming. Negosiasi kepentingan para pihak berada dalam dua ruang, yaitu ruang konflik pemaknaan dan ruang konflik hak dan akses. Kontestasi antara dua aktor utama dalam reklaiming (komunitas petani kopi rakyat dan Perhutani) dalam mencapai kepentingannya masing-masing berada pada tahap kemacetan (stalemate), di mana masing-masing tidak bisa memenangkan kepentingannya atau mundur menerima kekalahan. Kondisi ini terjadi karena adanya beberapa hal, yaitu: besarnya biaya melanjutkan konflik, tidak adanya dukungan pada masing-masing pihak, dan gagalnya taktik masing-masing pihak. Pada tahap ini konflik akan menurun dan menuju pada tahap pengurangan (de-escalation) dan
107
mengalami proses negosiasi dalam rangka mencapai konsensus yang ditandai dengan perubahan organisasi sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga, lembaga pendidikan dan media. Reklaiming sebagai bentuk akses terhadap hutan lindung yang dilakukan oleh komunitas petani kopi rakyat yang merupakan warga Desa Sidomulyo dan sekitarnya telah memberikan manfaat/keuntungan yang berasal dari pembukaan kebun kopi di dalam hutan lindung yang mereka reklaim. Mereka memberikan “cukai” kepada para petugas Perhutani yang kemudian diakomodasi oleh Perhutani secara lembaga dan diakui sebagai “sharing” melalui Surat Perjanjian Kerjasanma (SPK) yang ditandatangani bersama LMDH dengan mematok besaran 1/3 hasil panen. Reklaiming juga menciptakan kesempatan kerja dan peluang penerapan inovasiinovasi teknologi, peluang bagi para pedagang untuk mengambil keuntungan, dan memacu pemerintah desa untuk meningkatkan pelayanannya dan melaksanakan program-program pembangunan untuk mendukung aktivitas warganya. Kondisi sosial ekonomi yang semakin kondusif menarik para pemilik modal untuk berinvestasi baik kepada pedagang maupun kepada petani kopi. Mereka juga berharap dapat menikmati keuntungan yang bersumber dari kebun-kebun kopi hasil reklaiming hutan lindung. Kontestasi para pihak dalam reklaiming hutan lindung dengan segala kepentingannya akan bermuara pada suatu struktur agraria baru yang pada dasarnya adalah perubahan sosial karena terjadi perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada komunitas petani kopi rakyat yang melakukan reklaiming pada khususnya dan wilayah Desa Sidomulyo pada umumnya. Perubahan-perubahan dalam unsur-unsur struktur agraria di atas dan kondisi harmoni yang tercipta ternyata masih menyisakan banyak persoalan yang belum terjawab tuntas mengenai proses reklaiming dan hasil-hasil yang tercipta. Sehingga perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari reklaiming tidak semuanya bermakna positif bagi warga Sidomulyo.
108
Saran Dari hasil simpulan di atas, penulis memberikan dapat memberikan beberapa implikasi baik secara teoritis maupun praksis sebagai berikut di bawah.
Implikasi Teoritis: 1. Perubahan sosial yang terjadi pada komunitas petani kopi rakyat di Sidomulyo masih belum pada tahap yang fundamental atau masih belum mengerucut pada tahap “final”. Hal ini dikarenakan relasi yang menyertainya masih dinamis dan masih pada tataran permukaan. 2. Perubahan struktur agraria yang terjadi masih belum pada kondisi yang mapan, karena masih menyisakan beberapa persoalan yang belum terjawab tuntas yaitu: konflik pemaknaan dan konflik hak dan akses atas sumberdaya agraria
Implikasi Praksis: 1. Fenomena reklaiming hutan lindung tidak harus dilihat sebagai konflik hak kepemilikan (property). Perlu diperhatikan adanya “kemampuan” pada hubungan-hubungan
sosial
yang
membatasi
atau
memperbolehkan
masyarakat memanfaatkan sumberdaya (access). 2. Perlu peningkatan proses yang menyumbang pada pengurangan konflik akibat reklaiming hutan lindung, antara lain: perubahan organisasi sosial, interaksi para pihak yang berkonflik, peranan pihak ketiga, lembaga pendidikan dan media. 3. Perlu peninjauan distribusi manfaat reklaiming terutama pada Perhutani (sharing 1/3 dari hasil panen) sehingga aliran manfaat menjadi adil dan transparan.
109
DAFTAR PUSTAKA Buku Bachriadi, D. dan Mustofa Agung Sardjono. 2005. Conversion Or Occupation? : The Possibility Of Returning Local Communties’ Control Over Forest Lands In Indononesia. Makalah pada International Exchange in Environmental Governance, Community Resource Management and Conflict Resolution (Green Governance/Green Peace Program) kerjasama antara the Institute of International Studies, University of California Berkeley, and the KARSA Foundation (Indonesia) pada September-Desember 2005. Bertens. 1983. Filsafat barat Abad XX, Inggris-Jerman. Gramedia. Jakarta. Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana. 2001. Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat. YLBHI dan RACA Institute. Jakarta. Denzin, N.K. dan Lincoln, Y.S. 2009. Handbook of Qualitative Reseach. Terjemahan: Dariyatno, Badrus Samsul Fatah, Abi, John Rinaldi. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta Fay,C. Sirait,M. dan A. Kusworo. 2005. Getting the Boundaries Right Indonesia’s Urgent Need to Redefine its Forest Estate. Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 25. ICRAF Southeast Asia. Gillin dan Gillin, 1954. Cultural Sociology. The Mac Millan Company. New York dalam Soekanto,S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru Keempat. CV. Rajawali Pers. Jakarta. Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat. Kanisius.Yogyakarta. Hanneman Samuel.1993. Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia. Hermosilla, A.C. dan Fay, C. 2005. Strengthening Forest Management In Indonesia Through Land Tenure Reform: Issues and Framework of Action. Diterbitkan oleh kerjasama Forest Trends dan World Agroforestry Centre Laksmi A. Savitri, M. Shohibuddin dan Surya Saluang, ed. 2009. Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria & Krisis Sosial Ekologi. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Sajogyo Institute Bogor. Lynch, O.J. dan Talbott,K. 2001. Keseimbangan Tindakan: Sistem Pengelolaan Hutan Kerakyatan dan Hukum Negara di Asia Pasifik. Lembaga Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta.
110
Mac Iver, R.M and Page, C. H. 1954. Society:An Introduction Analysis. Rinehart and Company. New York. Maloeng, L.J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Penerbit Remaja Rosda. Bandung. Marvati, A.B. 2004. Qualitative Research in Sociology: An Introduction. Sage Publication. Thousands Oak. Nawiyanto, S. 2003. Agricultural Development in A Frontier Region of Java: Besuki, 1870-Early 1990s. Galang Press. Yogyakarta. Notohadiprawiro, T. 1981. Pemapanan Agroforestry Selaku Bentuk Pemanfaatan Lahan Menurut Kriteria Pengawetan Tanah dan Air. Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Novrian, D. Siswanto, Z. dan D. Firmansyah. 2009. Perbandingan Model-model Tata Kuasa, Tata Kelola dan Tata Produksi Kehutanan Berikut Kesejahteraan yang Dihasilkannya: Studi Kasus di Gunung Tonjong, Tasikmalaya. dalam Memahami & menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria & Krisis Sosial Ekologi. Sajogyo Institute Bogor dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta. Peluso, N.L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa.Konphalindo. Jakarta. Polanyi, K. 2003. Transformasi Besar: Asal-usul Politik dan Ekonomi Zaman Sekarang. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Retnndari, N.D. dan Moeliarto TY.1993. Kopi: Kajian Sosial Ekonomi. ADITYA MEDIA dan P3PK UGM. Yogyakarta. Ribot, J.C. dan Peluso, N.L. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology. Volume 68, Number 2, pp 153-181. Sajogyo. 1985. Penduduk dan Pola Penggunaan Tanah. Dalam S.M.P. Tjondronegoro, S.Rusli dan S. Tuanaya (Penyunting). Ilmu Kependudukan: Suatu Kumpulan Bacaan. Erlangga. Jakarta. Santoso. 2004. Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa. Yayasan Akatiga. Bandung. Schmidt, A. 1987. Property, Power, and Inquiry into Law and Economy. Praeger. New York.
111
Setiawan, B., Erpan Faryadi dan D. Bachriadi. 1997. Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Jakarta. Sitorus, M.T.F. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor. _____________.1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba. Desertasi IPB Bogor. _____________. 2002. Lingkup Agraria. Dalam Endang Suhendar dkk. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Akatiga. Bandung. Soemardjan, S dan Breazeale, K. 1981. Cultural Change in Rural Indonesia; Impact of Village Development. UNS-YISS-East West Center. Honolulu. Susan, N. 2003. Konflik dalam Perspektif sosiologi Pengetahuan: Konflik Agama Masyarakat Ambon Maluku sebagai Konstruksi Sosial, Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ____________. 2009. Sosiologi Konflik & Isu-isu Konflik Kontemporer. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Tauchid, M. 1952. Masalah Agraria. Penerbit Tjakrawala. Djakarta. Tjondronegoro, S.M.P. 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. Yayasan Akatiga. Bandung. Wiradi, G. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Dalam Tjondronegoro (editor). Dua Abad Penguasaan Tanah. PT. Gramedia. Jakarta. ______________. 2009. Metodologi Studi Agraria: karya terplilih Gunawan Wiradi. Sajogyo Institute, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, dan Pusat Kajian Agraria (PKA) IPB. Bogor. White, Benjamin N.F. 1990. Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan, dan Transformasi Pedesaan. Bunga rampai: Industrialisasi Pedesaan, Editor: Sayogyo dan Mangara Tambunan. PT. Sekindo Jaya. Jakarta.
112
Undang-undang UUD 1945 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Sumber Internet Andiko. 2006. Menempa Rasa Ingin; Menjaga Percikan Api: Tantangan Gerakan Petani Hutan di Jawa. HuMa-Jakarta. Sumber: http://images.andiko2002.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SEyRB QoKCjsAAFQIh6Q1/Tantangan%20Petani%20Hutan%20Jawa.pdf?nmid=10 0144393 Ardana, R. 2008. Seputar Hutan Jawa. Sumber: www.arupa.or.id Bram, E. 2003. Stalmate. http://www.beyondintractability.org/essay/stalemate Kuhnen, F. 1995. Aspects of Agrarian Structures. Unpublished Manuscript. Sumber: www.fritjof-kuhnen.de. Maiese, M. 2004. Limiting Escalation / De-escalation. http://www.beyondintractability.org/essay/limiting_escalation/
113
LAMPIRAN Lampiran 1. Luas Penguasaan Kebun Kopi oleh Informan Sebelum dan Sesudah Reklaiming Luas lahan (ha) No.
Nama
Umur (th)
Alamat Dusun
Sebelum Reklaiming
Reklaiming
Sesudah Reklaiming
Perolehan Lahan Reklaiming
1.
Suyanto
44
Krajan
1.5
2
3.5
Membuka sendiri
2.
Meseri
55
Krajan
0.5
1
1.5
Membeli
3.
Agung Supeno
35
Krajan
0.25
1
1.25
Membuka sendiri
4.
Sukro
46
Krajan
1
2
3
Membuka sendiri dan membeli
5.
Sukiman
53
Krajan
0.25
0.5
0.75
Membeli
6.
Purwadi
26
Krajan
0.5
1
1.5
Membuka sendiri
7.
Zaenal Abidin
47
Sidodadi
1.5
2
3.5
Membuka sendiri
8.
Abdullah
54
Sidodadi
0.75
2.5
3.25
Membuka sendiri dan membeli
9.
Kalidin
55
Sidodadi
0.5
1.5
2
Membuka sendiri
10.
Sunari
50
Sidodadi
0.5
0.5
Membuka sendiri
11.
Bukhori
44
Sidodadi
0.5
0.5
Membuka sendiri
12.
Subaeri
46
Curah Manis
0.5
0.5
Membuka sendiri
13.
Mustofa
32
Curah Manis
0.5
0.5
1
Membeli
14.
Moh. Siraj
47
Curah Manis
1
1
2
Membeli
15.
Suyadi
45
Krajan
1
1
2
Membeli
16.
Tumaji
52
Krajan
1
1
Membeli
17.
Sukardi
45
Krajan
1
1
Membuka sendiri
18.
Basuni
46
Krajan
0.5
1
1.5
Membuka sendiri
19.
H. Saeful
44
Curah Manis
0.5
1
1.5
Membeli
20.
Burawi
45
Curah Damar
1.5
1.5
Membuka sendiri dan membeli
21.
Mulyadi
46
Curah Damar
1.5
1.5
Membeli
22.
Misrawi
40
Curah Damar
1.5
1.5
Membuka sendiri
23.
Bu Nomar
50
Curah Damar
0.25
0.25
Membuka sendiri
24.
Bahrowi
37
Curah Damar
1
0.5
1.5
Membeli
25.
Misdi
45
Curah Damar
1
26.
Bunaris
30
Curah Damar
27.
Suwarno
45
Krajan
28.
Samuji
45
Krajan
3
29.
Sri Purwati
38
Krajan
2
30.
Sopingi
40
Krajan
1
2
3
2
2
3
Membeli
3
3
Membeli
6
8
Membeli
5
8
Membeli
0.25
2.25
Membeli
Keterangan: yang ditulis tebal adalah pedagang kopi besar.
Membuka sendiri
Lampiran 2. Analisa Usahatani Kopi Warga Sidomulyo di Lahan Hasil Reklaiming Hutan Lindung No.
Nama
Alamat Dusun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Bu Nomar Sri Purwati Sukiman Sunari Bukhori Subaeri Mustofa Bahrowi
Curah Damar Krajan Krajan Sidodadi Sidodadi Curah Manis Curah Manis Curah Damar
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Meseri Agung Supeno Purwadi Moh. Siraj Suyadi Tumaji Sukardi Basuni H. Saeful
Krajan Krajan Krajan Curah Manis Krajan Krajan Krajan Krajan Curah Manis
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kalidin Burawi Mulyadi Misrawi Suyanto Sukro Zaenal Abidin Misdi Sopingi
Sidodadi Curah Damar Curah Damar Curah Damar Krajan Krajan Sidodadi Curah Damar Krajan
1. 2. 3. 4.
Abdullah Bunaris Samuji Suwarno
Sidodadi Curah Damar Krajan Krajan
Luas Lahan Reklaiming (Ha)
Jumlah Pohon Kopi
0.25 0.25 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
Umur Kopi (Th)
Hasil Panen (Kg)
400 400 600 500 700 700 700 700
8 4 7 6 6 6 6 5
200 500 800 100 125 310 700 500
1.200 1.000 1.200 1.300 1.200 1.100 1.100 1.400 850
6 5 10 6 6 6 6 6 4
900 500 850 910 1.200 800 565 1.100 1.200
1.400 1.160 2.100 1.850 1.800 2.400 2.000 2.000 2.000
6 7 6 8 3 5 4 6 6
1.500 1.462 950 1.500 1.000 2.900 1.000 1.500 1.200
2.600 4.000 3.000 4.000
6 6 4 4
600 2.500 8.000 1.300
Rata-rata Cukai/Sharing 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
Rata-rata Cukai/Sharing
32 16 17 10 25 34 33 28 32
25
Rata-rata Cukai/Sharing 2.50 3.00 5.00 6.00
20 20 20 5 5 5 11 50
17
Rata-rata Cukai/Sharing 1.50 1.50 1.50 1.50 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00
Cukai (Kg)
28 50 85 82 35 40 10 50 60
49 25 6 300 40
93
Hasil Panen Bersih (Kg)
Harga Kopi (Rp)
180 480 780 95 120 305 689 450
14.000 14.000 14.000 14.000 14.000 14.000 14.000 14.000
Pendapatan (Rp)
Biaya Usahatani (Rp)
2.520.000 6.720.000 10.920.000 1.330.000 1.680.000 4.270.000 9.646.000 6.300.000
500.000 2.000.000 3.500.000 400.000 500.000 1.250.000 2.900.000 3.000.000
Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun 868 484 833 900 1.175 766 532 1.072 1.168
14.000 14.000 14.000 14.500 14.500 14.250 14.000 14.000 14.000
12.152.000 6.776.000 11.662.000 13.050.000 17.037.500 10.915.500 7.448.000 15.008.000 16.352.000
3.650.000 2.000.000 3.500.000 4.000.000 5.100.000 3.250.000 2.250.000 4.500.000 4.900.000
Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun 1.472 1.412 865 1.418 965 2.860 990 1.450 1.140
14.000 14.500 14.500 14.000 14.000 14.000 14.000 13.000 14.000
20.608.000 20.474.000 12.542.500 19.852.000 13.510.000 40.040.000 13.860.000 18.850.000 15.960.000
6.200.000 7.000.000 5.000.000 6.000.000 4.050.000 12.000.000 4.158.000 12.700.000 4.750.000
Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun 575 2.494 7.700 1.260
14.000 14.000 14.000 14.000
8.050.000 34.916.000 107.800.000 17.640.000
2.500.000 10.500.000 32.500.000 5.300.000
Rata-rata Pendapatan Bersih/Tahun
Pendapatan Bersih (Rp) 2.020.000 4.720.000 7.420.000 930.000 1.180.000 3.020.000 6.746.000 3.300.000
3.667.000 8.502.000 4.776.000 8.162.000 9.050.000 11.937.500 7.665.500 5.198.000 10.508.000 11.452.000
8.583.444 14.408.000 13.474.000 7.542.500 13.852.000 9.460.000 28.040.000 9.702.000 6.150.000 11.210.000
12.648.722 5.550.000 24.416.000 75.300.000 12.340.000
29.401.500
114
Lampiran 3. Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani Pulau Jawa dan Madura
115
Lampiran 4. Peta Kawasan Hutan Perum Perhutani Unit II (Jawa Timur)
Obyek Reklaiming
116
117
Lampiran 5. Gambar Lokasi Penelitian
Gerbang Desa Sidomulyo yang Berlokasi di Pinggir Jalan Propinsi Jember-Banyuwangi
Hutan Lindung yang Menjadi Obyek Reklaiming Tampak dari Jauh
118
Hutan Lindung yang Menjadi Obyek Reklaiming Tampak dari Dekat, Penuh dengan Tanaman Kopi
Tanaman Bunga di Sela Tanaman Kopi Merupakan Batas Antar Lahan yang Dikuasai Warga