Seminar Nasional Serealia, 2013
PERUBAHAN IKLIM DAN ANTISIPASI TEKNOLOGI DALAM PENGELOLAAN TANAMAN JAGUNG LAHAN KERING Muhammad Thamrin, Ruchjaniningsih, dan M. Basir Nappu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
ABSTRAK Tanaman merupakan salah satu komponen biotik, sebagai suatu kesatuan ekosistem di alam dengan lingkungan kehidupan tanaman, peranannya tergantung dari interaksi faktor lingkungan lainnya. Isu lingkungan pertanian dan penurunan produktivitas lahan mendapat perhatian yang serius untuk ditindaklanjuti semua pihak. Pengelolaan lingkungan pertanian yang berkelanjutan merupakan suatu keharusan karena dapat mencegah kerusakan dan dampak buruk yang ditimbulkan oleh sistem pertanian moderen. Perubahan iklim terhadap lingkungan akan mempengaruhi produktivitas tanaman. Dengan kondisi lingkungan yang tidak mendukung maka menimbulkan dampak terhadap rendahnya kesuburan tanah akibat perubahan iklim dan temperatur yang tinggi menyebabkan produksi tanaman menjadi rendah. Dampak potensial dari perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah: (a) peningkatan suhu udara, (b) peningkatan permukaan air laut, (c) perubahan pola hujan, dan (d) peningkatan frekuensi kejadian iklim estrim. Inovasi teknologi pertanian dalam menghadapi perubahan iklim meliputi, pengelolaan lahan pertanian, pemilihan varietas tanaman dan adaptasi perubahan iklim, pengelolaan waktu tanam, teknologi pengelolaan air dan teknologi pumupukan. Kata kunci: perubahan iklim, jagung, pengelolaan tanaman, lahan kering
PENDAHULUAN Indonesia sebagai salah satu daerah tropis yang memiliki keunikan dalam faktor cuaca dan iklim. Hal ini disebabkan karena posisinya berada pada wilayah yang memiliki penyinaran matahari yang lebih dominan dari wilayah lintang yang lebih tinggi. Oleh karena itu keadaan atmosfer di atas wilayah Indonesia akan menjadi sangat rentan terhadap fluktuasi curah hujan dan temperatur. Pertanian tanaman pangan yang menjadi segmen penting bagi pembangunan Indonesia, memiliki ketergantungan pada kondisi iklim dan cuaca. Semakin stabil kondisi atmosfernya, maka akan stabil pula produksi pertaniannya. Jika sebaliknya, maka akan terjadi penurunan produksi pertanian yang berujung pada terhambatnya fungsi pembangunan. Dua parameter cuaca yang telah disebutkan di atas, yaitu curah hujan dan temperatur, menjadi ukuran bagi kestabilan atmosfer. Tanaman merupakan salah satu komponen biotik, sebagai suatu kesatuan ekosistem di alam dengan lingkungan kehidupan tanaman, tentu saja tergantung dari interaksi faktor lingkungan lainnya. Alam lingkungan yang terdiri dari lingkungan biotik dan abiotik mempunyai peranan yang sama pentingnya terhadap pertumbuhan dan
353
Muhammad Thamrin et al.: Perubahan Iklim dan Antisipasi Teknologi ……
produksi tanaman. Lingkungan abiotik yang berupa air, temperatur, kelembaban, cahaya dan unsur hara merupakan beberapa contoh unsur abiotik yang membantu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Adanya ketergantungan tanaman pada lingkungan biotik maupun abiotik beserta semua proses biokimia dan fisiologi tubuh tanaman menunjukkan adanya faktor pembatas dalam pengaturan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Salah satu faktor pembatas yang cukup mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah cekaman suhu tinggi. Menurut laporan Hall (2001) dalam Wahid et al. (2007) cekaman suhu tinggi merupakan ancaman bagi produksi tanaman di seluruh dunia. Bahkan dalam iklim tropis, kelebihan radiasi dan suhu tinggi seringkali merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan hasil tanaman. Temperatur yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pra dan pascapanen, termasuk gejala terbakar pada daun dan ranting, senesen pada daun, peningkatan hambatan ujung akar, kerusakan dan perubahan warna buah serta pengurangan hasil (Guilioni et al. 1997; Ismail and Hall 1999; Vollenweider and Gunthardt 2005). Demikian pula di daerah beriklim sedang, cekaman suhu tinggi telah dilaporkan sebagai salah satu penyebab paling penting dalam penurunan hasil panen dan produksi bahan kering pada banyak tanaman, termasuk jagung (Giaveno and Ferrero 2003). Strategi adaptasi yang paling mendesak dilakukan untuk menanggulangi pemanasan suhu tinggi terhadap pertanian di Indonesia menurut World Development Report (2008) antara lain: menanam varitas yang memiliki daya adaptasi tinggi, mengubah masa tanam menyesuaikan cuaca, mempraktekkan pertanian dengan masa tanam yang lebih singkat. Selain itu diperlukan penelitian yang intensif serta diseminasi yang terpadu atas berbagai varietas baru komoditas pertanian yang memiliki daya tahan tinggi terhadap kekeringan, banjir, peningkatan temperatur serta memiliki potensi emisi CO2 yang rendah.
PERUBAHAN KESEIMBANGAN EKOLOGI PERTANIAN AKIBAT PERUBAHAN IKLIM Revolusi
hijau
merupakan
awal
dari
munculnya
gangguan
terhadap
keseimbangan lingkungan pertanian akibat penggunaan bahan agrokimia yang tinggi untuk meningkatkan produksi pertanian. Revolusi hijau yang terjadi pada tahun 15001800 merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan akan bahan makanan, seperti gandum, padi, jagung dan kentang yang meningkat tajam akibat penduduk yang bertambah dengan cepat. Proses ini berlangsung terus menerus di Eropa dan Amerika Utara pada tahun 1850-1950. Pada saat itu, produksi pangan dari tanaman maupun
354
Seminar Nasional Serealia, 2013
hewan dipacu dengan menggunakan pupuk secara besar-besaran dan ditunjang dengan pengembangan irigasi. Demikian pula penggunaan bahan kimia seperti pestisida dan herbisida mulai dirasakan mencemari lingkungan. Kualitas lingkungan pertanian juga makin menurun akibat pencemaran limbah industry dan pertambangan, khususnya unsure logam bahan beracun berbahaya (B 3), seperti merkuri (Hg), timbale (Pb), cadmium (Cd), krom (Cr), arsen (As), nikel (Ni), dan kobalt (Co). Unsur logam B 3 yang terlarut dalam limbah selanjutnya mengalir ke lahan pertanian dan akan terakumulasi dan terendapkan dalam daerah perakaran tanaman dan terbawa panen. Revolusi industri juga mengakibatkan
terjadinya peningkatan konsentrasi
karbon dioksida (CO2) karena pemakaian batu bara sebagai bahan bakar. Pengembangan indsutri yang menggunakan mesin berbahan bakar fosil akan memacu peningkatan suhu permukaan bumi. Konsentrasi CO 2 meningkat dua kali dibandingkan era sebelum revolusi industry sehingga meningkatkan suhu permukaan bumi. Secara teoritis, gas rumah kaca (GRK) di atmosfir bumi sangat penting karena gas tersebut membuat iklim bumi menjadi hangat dan stabil. Tanpa GRK di atmosfir, suhu permukaan bumi diperkirakan mencapai -18oC. Namun, konsentrasi GRK yang berlebihan di atmosfir berdampak buruk, karena panas yang dipantulkan kembali ke muka bumi akan lebih banyak sehingga suhu bumi makin panas. Sampai tahun 2004, menurut UNDP (2008), Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil Gas Rumah Kaca (GRK) tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton (Mt) CO 2e (Hooijer et al. 2006 dalam Las et al. 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanasan global akibat dari perubahan iklim pada wilayah tropis diperkirakan akan menurunkan produktivitas tanaman pangan apabila tidak dilakukan upaya antisipasi. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Tschirley (2007) bahwa pemanasan global akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan, terutama di daerah tropis. Sebaliknya, Sheehy et al. (2005) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi CO 2 di atmosfer berpengaruh positif terhadap produksi biomas. Isu lingkungan pertanian dan penurunan produktivitas lahan mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Pengelolaan lingkungan pertanian merupakan suatu keharusan karena kerusakan dan dampak buruk yang ditimbulkannya. Pelaksanaannya dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Dalam RPJM disebutkan bahwa meningkatnya pencemaran tanah, air dan udara, serta rendahnya produktivitas lahan dan mutu komoditas pertanian disebabkan oleh adanya kegiatan industri, rumah tangga, pertambangan, dan
355
Muhammad Thamrin et al.: Perubahan Iklim dan Antisipasi Teknologi ……
pertanian. Antisipasi dan penanggulangannya dikemukakan secara jelas dalam Revitalisasi Pertanian, bahwa peningkatan iptek pertanian dan pengembangan riset pertanian dilakukan melalui pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang tepat, spesifik lokasi, dan ramah lingkungan. PERUBAHAN IKLIM: ANCAMAN TERHADAP SISTEM PRODUKSI TANAMAN Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) yang mereview kondisi global dan regional secara berkala menyatakan bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah pemanasan global dan aktivitas manusia (antropogenik). Dampak potensial dari perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah: (a) peningkatan suhu udara, (b) peningkatan permukaan air laut, (c) perubahan pola hujan, dan (d) peningkatan frekuensi kejadian iklim estrim (IPCC 2007 dalam Las et al. 2009). Perubahan iklim terhadap lingkungan akan mempengaruhi produktivitas tanaman.
Produktivitas tanaman akan terganggu dengan kondisi lingkungan yang
tidak mendukung. Rendahnya kesuburan tanah akibat perubahan iklim dan temperatur yang tinggi menyebabkan produksi tanaman menjadi rendah.
Selain itu dengan
kondisi iklim yang tidak menentu akibat rusaknya hutan sebagai penyangga atau resapan air maka di musim hujan akan terjadi banjir dan di musim kemarau akan kekeringan. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi secara drastis yang juga merupakan ancaman terhadap produksi pangan. Ancaman dan krisis pangan dunia beberapa tahun terakhir memiliki kaitan sangat erat dengan perubahan iklim global. Dampak perubahan iklim global adalah terjadinya gangguan terhadap siklus hidrologi dalam bentuk perubahan pola dan intensitas curah hujan, kenaikan permukaan laut, peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam yang dapat menyebabkan terjadinya banjir dan kekeringan. Sejak tahun 1998 telah terjadi kenaikan temperatur yang mencapai 1°C, sehingga diprediksi akan terjadi lebih banyak curah hujan dengan perubahan 2-3 persen per tahun. Dalam 5 tahun terakhir rata-rata luas lahan sawah yang terkena banjir dan kekeringan masingmasing sebesar 29.743 Ha terkena banjir (11.043 Ha diantaranya puso karena banjir) dan 82.472 Ha terkena kekeringan (8.497 Ha diantaranya puso karena kekeringan) (Kementerian Pertanian 2010). Peningkatan temperatur di masa yang akan datang diprediksi sekitar 2,4 – 6,4°C. Dengan demikian dampak perubahan iklim tersebut akan semakin meningkat, apabila tidak ada pengelolaan yang baik dalam menghadapi perubahan tersebut. Respon tanaman berbeda-beda dalam menghadapi perubahan iklim. Hasil penelitian Wang et al. (1992) yang mengevaluasi dampak perubahan temperatur yang meningkat
356
Seminar Nasional Serealia, 2013
3°C akan menurunkan produksi berkisar 25–60%. Di China Hasil panen jagung dan gandum berkurang hingga 46% dengan peningkatan suhu 2°C (Liu et al., 2010). Tubiello et al. (2000), melakukan penelitian di dua lokasi Italia dengan meningkatkan suhu 4°C dan curah hujan 10-30% maka akan menurunkan akumulasi bahan kering dan hasil panen jagung dan gandum berkisar 5-50%.
INOVASI TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAH-TANAMAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM Naiknya permukaan air laut akan meningkatkan energi yang tersimpan dalam atmosfer, sehingga mendorong terjadinya perubahan iklim, antara lain El Nino dan La Nina.
Fenomena El Nino dan La Nina sangat berpengaruh terhadap kondisi
cuaca/iklim di wilayah Indonesia dengan geografis kepulauan. Sirkulasi antara benua Asia dan Australia serta Samudera Pasifik dan Atlantik sangat berpengaruh, sehingga wilayah Indonesia sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim.
Hal ini
diindikasikan dengan terjadinya berbagai peristiwa bencana alam yang intensitas dan frekuensinya terus meningkat.
Fenomena El Nino adalah naiknya temperatur di
Samudera Pasifik hingga menjadi 31°C, sehingga akan menyebabkan kekeringan yang luar biasa di Indonesia. Dampak negatifnya antara lain adalah peningkatan frekuensi dan luas kebakaran hutan, kegagalan panen, dan penurunan ketersediaan air. Fenomena La Nina merupakan kebalikan dari El Nino, yaitu gejala menurunnya temperatur permukaan Samudera Pasifik, yang menyebabkan angin serta awan hujan ke Australia dan Asia Bagian Selatan, termasuk Indonesia. Akibatnya, curah hujan tinggi disertai dengan angin topan dan berdampak pada terjadinya bencana banjir dan longsor besar (Tim Sintesis Kebijakan 2008). Perubahan iklim akan menyebabkan: (a) seluruh wilayah Indonesia mengalami kenaikan temperatur udara, dengan laju yang lebih rendah dibanding wilayah subtropis; (b) wilayah selatan Indonesia mengalami penurunan curah hujan, sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Perubahan pola hujan tersebut menyebabkan berubahnya awal dan panjang musim hujan. Di wilayah Indonesia bagian selatan, musim hujan yang makin pendek akan menyulitkan upaya meningkatkan indeks pertanaman (IP) apabila tidak tersedia varietas yang berumur lebih pendek dan tanpa rehabilitasi jaringan irigasi. Meningkatnya hujan pada musim hujan menyebabkan tingginya frekuensi kejadian banjir, sedangkan menurunnya hujan pada musim kemarau akan meningkatkan risiko kekekeringan. Sebaliknya, di wilayah Indonesia bagian utara, meningkatnya hujan pada musim hujan akan meningkatkan peluang indeks penanaman, namun kondisi lahan tidak sebaik di Jawa.
357
Tren
Muhammad Thamrin et al.: Perubahan Iklim dan Antisipasi Teknologi ……
perubahan ini tentunya sangat berkaitan dengan sektor pertanian (Tim Sintesis Kebijakan 2008). Kerentanan suatu daerah terhadap perubahan iklim atau tingkat ketahanan dan kemampuan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim, bergantung pada struktur sosial-ekonomi, besarnya dampak yang timbul, infrastruktur, dan teknologi yang tersedia. Di Indonesia, upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1990, walaupun Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca. Untuk memperkuat pelaksanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia pada sektor pertanian, perlu ditetapkan strategi nasional mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara terintegrasi, yang melibatkan berbagai instansi terkait (Tim Sintesis Kebijakan 2008). Adanya perubahan iklim juga akan berdampak terhadap perubahan dalam pengelolaan pertanian.
Pengelolaan pertanian perlu beradaptasi dengan adanya
perubahan iklim tersebut. Pengelolaan pertanian di masa depan harus memperhatikan beberapa hal antara lain pertanian konservasi dan pertanian dengan menggunakan teknologi yang menghasilkan varietas baru yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. PENYIAPAN LAHAN KONSERVASI TANPA OLAH TANAH DAN OLAH TANAH MINIMUM Pengelolaan Lahan Pertanian Pengelolaan lahan harus berorientasi pada pertanian konservasi sehingga kerusakan dapat diminimalisasi. Pengelolaan lahan meliputi olah tanah minimal dan tanpa olah tanah (TOT) adalah pengelolaan lahan yang tepat dalam menghadapi perubahan iklim.
Pengolahan tanah yang intensif akan memicu kerusakan tanah.
Kerusakan yang ditimbulkan akibat dilakukan pengolahan secara terus menerus pada kedalaman yang sama akan terbentuk lapisan keras (hard pan), tanah menjadi padat. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya bobot isi, dan menurunkan porositas tanah sehingga pergerakan air dan udara terganggu (Rinaldi et al. 2000). Selain itu juga akan menghambat pertumbuhan perakaran. Pada kondisi perubahan iklim, pola intensitas curah hujan yang sangat tinggi, dengan menggunakan sistem pengolahan tanpa olah tanah akan mengurangi kerusakan tanah, karena tanah terlindung energi kinetik yang daikibatkan oleh tetesan air hujan pada intensitas curah hujan selama 30 menit (KI30). Penggunaan mulsa pada sistem olah tanah berupa residu tanaman bertujuan menjaga kelembaban tanah, mengurangi temperatur dan evapotranspirasi (Rinaldi et al. 2000; Hatfield et al. 2001).
358
Seminar Nasional Serealia, 2013
Ghuman and Sur (2001) menegaskan bahwa residu mulsa yang digunakan pada sistem TOT menurunkan bobot isi yang dapat dianggap kandungan karbon dan aktivitas biotik tanah lebih tinggi.
Adanya mulsa, iklim mikro dapat berubah dan
mengurangi variasi temperatur tanah (Sharratt 2002).
Residu tanaman melindungi
tanah dari pengaruh splash akibat dari tetesan air hujan dan crusting (Glab and Kulig, 2008). Selain itu pori makro dan laju infiltrasi air meningkat serta terjaganya kelembaban tanah.
Dengan demikian aliran permukaan dan erosi menjadi rendah
sehingga tanah terhindar dari kerusakan yang lebih parah. Perubahan iklim selain berpengaruh terhadap intensitas curah hujan meningkat dapat pula
meningkatkan temperatur yang menyebabkan
kemarau
panjang.
Penggunaan sistem olah tanah selain melindungi tanah dari kerusakan juga dapat menurunkan temperatur tanah, seperti yang diungkapkan oleh Rinaldi et al. (2000) dan Hatfield et al. (2001) bahwa managemen tanpa olah tanah dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air, mengurangi evaporasi, temperatur dan meningkatkan infiltrasi serta meningkatkan hasil biji gandum. Dengan demikian tingginya temperatur yang diakibatkan oleh perubahan iklim tersebut dapat dikurani dengan adanya sistem pengolahan tanpa olah tanah. Cara penyiapan lahan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan penyerapan nitrogen. Penyiapan lahan untuk budidaya jagung dengan menutup permukaan tanah sepanjang tahun merupakan tindakan konservasi vegetatif dimana sisa tanaman atau sisa hasil panen dikembalikan sebagai tambahan bahan organik tanah. Bahan organik yang tinggi tidak hanya akan menambah nutrisi tanah setelah melapuk, tetapi juga dapat berperan sebagai penyanggah dari pupuk yang diberikan dan mencegah terjadinya pencucian N (FAO, 2000). Tabel 2. Pengaruh cara penyiapan lahan terhadap penyerapan N pada tanaman jagung. Tahun 1994 1995 1996 1997
Bajak 82.5 82.2 23.1 94.1
Penyerapan N (kg/ha) Sisir Tanpa olah tanah 83.8 96.6 105.4 111.4 51.6 60.9 107.2 106.2
Sumber : Tobert, Potter dan Morrison (2001)
Penyiapan lahan konservasi adalah pengolahan tanah seperlunya dengan meninggalkan sisa-sisa tanaman minimal 30% pada permukaaan tanah, yang bertujuan menciptakan kondisi tanah kondusif untuk pertumbuhan akar tapi di lain
359
Muhammad Thamrin et al.: Perubahan Iklim dan Antisipasi Teknologi ……
pihak mengurangi kerusakan struktur tanah akibat pengolahan. Termasuk dalam kelompok ini adalah olah tanah minimum (OTM) dan tanpa olah tanah (TOT) (FAO, 2000). Penyiapan lahan konservasi dapat meningkatkan immobilisasi N sehingga terjadi sinkronisasi antara ketersediaan hara dan kebutuhan tanaman, mencegah kehilangan N melalui pencucuian dari aliran air permukaan tanah (Gilliam dan Hoyt 1987), mempertahankan kelembaban tanah lebih tinggi, sehingga berpengaruh positif terhadap dinamika N dan meningakatkan efesiensi
penyerapan N oleh tanaman
(Keeney 1982; Torbert and Wood 1992). Hasil penelitian Tobert et al. (2001) menunjukan penyerapan N oleh tanaman jagung lebih tinggi pada penyiapan lahan tanpa olah tanah dibanding dengan dibajak dan disisir (Tabel 2). Pergiliran Tanaman Jagung Dengan Kacang-Kacangan Tanaman kacang-kacangan dapat bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium, yang merangsang akar membentuk bintil, dan memberikan tempat berlindung bagi bakteri, untuk berkembang biak dan menambat gas nitrogen dari udara, sehingga tersedia nitrogen untuk tumbuhan inang (Dinnes et al. 2002). Bintil kacang-kacangan dapat menambat nitrogen ke dalam tanah, bahkan lebih dari 100-200 kg per hektar per musim, yang 70%-nya diangkut langsung ke polong, dan bila dikembalikan kembali kedalam tanah dapat dimanfaatkan kembali pada penanaman selanjutnya. Sehingga pergiliran
tanaman
jagung
dengan
kacang-kacangan
dapat
menjaga
meningkatkan produktivitas lahan serta efisiensi pemberian pupuk N anorganik.
Tabel 3. Komponen C dan N pada pola rotasi tanaman jagung-kedelai dan jagung -jagung selama 4 tahun (2000-2004). Komponen N dan C Hasil jagung Pengembalian N dari residu 1 Pengembalian C dari residu 1 Pemebrian N N yang ditransfer ke biji Pemberian N - N yang ditansfer ke biji Pertukaran N dalam tanah (kedalam 030,4 cm) 1
t/ha kg N/ha t/ha kg N/ha kg N/ha kg N/ha kg N/ha
Jagung – Kedelai* 15,11 525,28 19.50 275,52 964,32 -688,8 -150,08
Jagung – Jagung** 13,98 304,64 21.60 779,52 673,12 106,4 -229,6
Residu organik jagung dan kedelai, *Pupuk N yang diberikan 119,8 – 140 kg N/ha, ** Pupuk N yang diberikan 180,32 – 202,72 kg N/ha. Sumber : Doberman et al. (2005)
360
dan
Seminar Nasional Serealia, 2013
Hasil penelitian Doberman et al. (2005) menunjukan bahwa pola tanam bergilir jagung-kedelai (JK) ternyata pengembalian N kedalam tanah lebih tinggi dibanding pola tanam jagung-jagung (JJ), walaupun pemberian N pada pola tanam JK lebih rendah yaitu 275,2 kg/ha dibanding pola tanam JJ sekitar 673,12 kg N/ha (Tabel 2). Hal ini disebabkan akumulasi N2 yang terfiksasi oleh akar kedelai yang dikembalikan sebagai cadangan N dalam tanah (Doberman et al. 2005) dan menekan kehilangan N melalui pencucian (Randall et al. 1997). Sehingga hasil jagung dan efisiensi N pada pola tanam JK cukup tinggi dimana
N yang ditranslokasikan ke biji cukup besar
dibanding pola tanam Jagung-Jagung (Tabel 3). Efisiensi N dapat dilihat dari selisih pemberian N dengan N yang ditranslokasikan ke biji. Pada pola tanam JK menunjukan N yang ditranslokasikan ke biji lebih tinggi yaitu 964,32 kg N/ha dibanding pemberian pupuk N yaitu hanya 275,52 kg N/ha, hal ini menunjukan adanya sumber N indigenous yang bertambah pada tanah. Pemilihan Varietas Tanaman dan Adaptasi Perubahan Iklim Salah satu dampak dari naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim adalah meningkatnya salinitas, terutama di pesisir pantai. Salinitas pada tanaman sangat erat kaitannya dengan keracunan logam berat. Pengembangan varietas dan galur harapan menjadi salah satu solusi dalam mengatasi salinitas yaitu, merakit varietas toleran salinitas, varietas toleran kekeringan, varietas toleran rendaman dan strategi penelitian tanaman pangan menghadi perubahan iklim (Las et al. 2009). Adanya perubahan kondisi tersebut diperlukan upaya-upaya menghasilkan varietas yang tahan terhadap kekeringan, basah maupun salinitas tinggi.
Selain
menghasilkan varietas yang tahan pada kondisi tersebut juga diharapkan dapat menghasilkan varietas yang berumur pendek (genjah). Hal tersebut untuk penyesuaian terhadap iklim basah yang pendek.
Kondisi perubahan iklim yang cukup serius
tersebut
pemilihan
perlu
ditanggapi
dengan
komoditas
yang
strategis
dan
diprioritaskan untuk mengantisipasi terjadinya perubahan iklim tersebut. Komoditaskomoditas strategis tersebut antara lain adalah tanaman pangan untuk mencegah terjadinya krisis pangan di masa yang akan datang. Beberapa hasil penelitian telah dilakukan untuk menghadapi musim kering yaitu menghasilkan varietas tanaman tahan kering antara lain hasil penelitian Luo et al. (2003), terdapat varietas gandum yang toleran terhadap CO2 dan kondisi lahan kering, demikian juga di Thailand (Jongdee et al. 2006), di Amerika sedang dikembangkan varietas padi tahan kering dan sekaligus tahan salin (Zeng et al. 2003). Di Indonesia
361
Muhammad Thamrin et al.: Perubahan Iklim dan Antisipasi Teknologi ……
juga sedang dikonsentrasikan penelitian mengenai tanaman terutama pangan yang tahan kekeringan. Beberapa penelitian telah dilakukan dalam mencari varietas padi yang tahan kekeringan seperti varietas Dodokan dan Silugonggo, galur harapan S3382 dan BP23 (Las et al. 2009). Menurut Lestari (2006), padi tahan kering mempunyai karateristik kerapatan stomata yang rendah yang berhubungan dengan fotosíntesis dan transpirasi, hal tersebut terdapat pada tanaman padi yang tahan kering yaitu varietas Somaklon Gajahmungkur, Towuti, dan IR 64, dan telah dilakukan uji coba padi tahan kering (Las et al. 2009). Selain mengembangkan varietas-varietas baru tahan terhadap kekeringan, perlu juga mempertimbangkan varietas lokal. Walaupun secara umum varietas jagung lokal seperti di Bojonegoro produksinya tidak tinggi, tetapi sangat tahan kekeringan. Saat musim kemarau dan tidak ada irigasi, tidak satupun varietas jagung hibrida bisa tumbuh. Namun varietas lokal tetap tumbuh dan berproduksi. Demikian juga tanaman pangan yang lain terutama tanaman padi,banyak varietas lokal tahan kekeringan yang selama ini tidak pernah lagi dikembangkan dan hampir punah (Wiyono 2009). Perubahan iklim menyebabkan terjadinya intrusi air laut, akibat hal tersebut untuk permukaan air laut akan meningkat dan menutupi daratan.
Di Kanada
peningkatan permukaan air laut meningkat 4-5 mm/tahun, bahkan ilmuwan geologi Eropa memprediksi bahwa mencairnya lapisan es dan memanasnya air laut bisa menaikkan ketinggian air laut sebesar 1,5 meter. Ramalan ini tiga kali lebih besar daripada yang dilaporkan IPCC (2007). Di Jakarta kenaikan permukaan laut bertambah 5-8 mm/tahun (Departemen Perikanan dan Kelautan 2008). Kenaikan muka laut di Banjarmasin diperkirakan pada tahun 2010, 2050, dan 2100 berturut-turut setinggi 0,37 cm, 0,48 cm dan 0,934 cm (Susandi et al. 2009). Kenaikan permukaan air laut merupakan hal yang serius dan perlu dicarikan jalan keluar. Pada bidang pertanian dengan adanya intrusi air laut ke daratan berarti terjadi perubahan sifat-sifat tanah menjadi tanah bersifat salin (penambahan garam), sehingga perlu disiapkan varietas yang dapat beradaptasi dengan kondisi tersebut. Di Pakistan telah dilakukan penelitian untuk menghasilkan tanaman gandum yang genotipnya toleran terhadap salin (Ali et al. 2006). Di Prancis telah dihasilkan varietas tanaman padi yang tahan terhadap salinitas (Gay et al. 2010). Pada tahun 1998, varietas padi yang tahan salin dikembangkan oleh Khar Land Research Station-India dan telah merilis varietas padi unggul tahan salin Panvel 1, Panvel 2 and Panvel 3. Varietas Panvel 1 memberikan hasil gabah tertinggi sebesar 4,4 t/ha (Zeng et al., 2003). Suatu gen ketahanan salinitas telah berhasil diintroduksikan dari tumbuhan halofit, Atriplex gmelini, ke varietas padi yang peka salinitas (varietas Kinuhikari dari
362
Seminar Nasional Serealia, 2013
Jepang) membentuk padi transgenik yang lebih tahan salin (Masaru et al. 2002). Di
Indonesia
dalam
menghadapi
perubahan
iklim,
perlu
disikapi
dengan
mengembangkan komoditas strategis yang menentukan kelangsungan hidup, antara lain tanaman pangan. Pengembangan tanaman pangan terutama tanaman padi telah dikembangkan untuk menghadapi permasalahan salinitas. Pasca tsunami di Aceh terjadi perubahan kesuburan tanah baik dari sifat kimia, fisika dan biologi lainnya yang berhubungan dengan salinitas ditunjukkan oleh hasil padi yang sangat rendah. Hasil uji adaptasi yang dilakukan di Parigi - Pelabuhan Ratu (lahan yang dipengaruhi air pasang di pantai selatan Jabar) Kapuas, Lambur dan suatu varietas lokal, beberapa galur dari IRRI digolongkan toleran terhadap salinitas (Sembiring dan Gani 2008). Selain itu peningkatan curah hujan akibat perubahan iklim dituntut untuk menghasilkan varietas tahan genangan (banjir). IRRI di Filipina telah menemukan padi tahan banjir dan tahan terhadap rendaman air sedalam 2 m selama 18 hari. Varietas baru tersebut sedang diuji coba di Indonesia yaitu varietas IR64 Sub-1 (Inez 2008). Peneliti
Jepang
sudah
mulai
melakukan
persilangannya,
dengan
memanfaatkan varietas padi unggul Japonica. Penelitian di laboratorium menunjukkan, padi unggul baru tahan banjir dan menghasilkan panen cukup tinggi. Dengan cara persilangan secara alami, para peneliti bioteknologi dan biosains dari Universitas Nagoya mengharapkan, dalam waktu tiga sampai empat tahun mendatang sudah dapat menciptakan varietas padi unggul baru itu secara masal. Padi tahan air ini dapat tumbuh sampai beberapa meter, tergantung kedalaman air. Batangnya tumbuh dengan cepat memiliki struktur berongga, yang digunakan untuk pertukaran gas. Dengan begitu tanaman padi dapat menghirup oksigen dari atas permukaan air. Fungsinya mirip snorkel untuk menyelam (Inez 2008). Varietas pada tahan banjir yang dihasilkan oleh ilmuwan Jepang tersebut sedang diuji coba dan diarahkan ke sejumlah negara Asia Tenggara yang menjadi langganan banjir monsun, yakni di Vietnam, Myanmar dan Kamboja. Temuan gen padi tahan banjir itu menjadi amat penting, menimbang ancaman krisis pangan yang kini melanda kawasan dunia, yang mayoritas penduduknya, memakan beras sebagai makanan utama. Prakiraan organisasi pangan dunia menyebutkan, hingga tahun 2050, produktifitas padi harus ditingkatkan menjadi dua kali lipat dari saat ini, untuk memenuhi kebutuhan milyaran warga di Asia dan Afrika (Graf dan Setiawan 2008). Adanya penemuan-penemuan varietas yang tahan salinitas, kekeringan, dan genangan merupakan harapan dari seluruh penduduk dunia dalam menghadapi perubahan iklim di masa mendatang. Dengan demikian ancaman kelarapan dan krisis pangan nantinya dapat teratasi.
363
Muhammad Thamrin et al.: Perubahan Iklim dan Antisipasi Teknologi ……
Pengelolaan Waktu Tanam Teknologi yang dikembangkan saat ini diarahkan untuk mengatasi kekeringan maupun banjir akibat perubahan iklim.
Salah satunya dengan pengaturan waktu
tanam. Umumnya waktu tanam di Indonesia biasa dilakukan disesuaikan dengan awal musim hujan yaitu Oktober–April, musim kemarau terjadi bulan April – Oktober. Adanya perubahan iklim ini maka bisa saja musim hujan yang panjang atau musim kemarau yang panjang. Dengan demikian pola iklim berubah, sehingga waktu tanam tidak sesuai lagi dengan pola pada umumnya yaitu 6 bulan musim hujan dan musim kemarau. Pengaturan waktu tanam ini penting agar tidak terjadi keterlambatan tanam maupun tanam lebih awal agar tidak terjadi stres pada tanaman yang akan berakibat kepada pertumbuhan dan produksi tanaman. Hal tersebut berhubungan dengan waktu panen jika waktu tanam berubah maka waktu panen juga berubah. Berdasarkan sejumlah besar hasil simulasi ditemukan bahwa untuk varietas yang peka terhadap temperatur tinggi, awal tanam harus menjadi pilihan adaptasi yang efektif untuk mengurangi kehilangan hasil dari perubahan iklim.
Sebaliknya untuk
varietas toleran temperatur tinggi, terlambat tanam bisa menjadi pilihan adaptasi efektif. Analisis spasial menunjukkan bahwa kontribusi relatif adaptasi secara geografis sangat berbeda, menyarankan strategi adaptasi harus optimal dan spesifik berbagai daerah (Tao dan Zhang 2010). Teknologi Pengelolaan Air Pengelolaan air dan sistem irigasi dalam menghadapi perubahan iklim merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan segera untuk dilakukan, mengingat saat ini sudah terasa dampak perubahan iklim tersebut. Penggenangan dan drainase sangat mempengaruhi proses fisio fisiko kimia tanaman-tanah-air seperti pH, Eh, dan sirkulasi udara yang berperan dalam proses reaksi kimia dan aktivitas mikroba tanah yang terkait emisi gas rumah kaca (GRK) terutama metana dan N2O (Las et al. 2006). Beberapa langkah strategis yang perlu diambil antara lain: 1) usahatani hemat air dengan mengurangi tinggi genangan pada lahan sawah. (mengurangi aktifitas bakteri methanogen yg hidup di genangan air dengan mengurangi ruang hidupnya), 2) melakukan pengairan berselang (Intermitten), 3) aerasi tanah dalam waktu singkat dapat mengurangi gas metan selain mengefisienkan penggunaan air pengairan. Pengairan berselang atau intermitten efektif mengurangi emisi gas metan berkisar 17 - 66 % daripada pengairan terus menerus karena metoda ini dapat memutus daur hidup bakteri methanogen (Susilokarti 2010).
364
Menurut
Seminar Nasional Serealia, 2013
Setyanto el al. (2004) dalam Susilokarti (2010), irigasi tetes dan berselang bisa menahan emisi GRK lebih dari 40%. Pengelolaan sumber air yang lebih terpadu dengan melestarikan ekosistem disertai perbaikan waduk-waduk, embung dan infrastruktur lainnya, pengelolaan daerah resapan air juga dilakukan untuk penyimpanan air pada saat musim hujan, sehingga pada saat musim kemarau tidak kekurangan air. Penerapan teknologi tanpa olah tanah (TOT) mampu mereduksi laju emisi gas metana sebesar 65 % disbanding oleh tanah sempurna. Emisi gas metana pada lahan sawah tadah hujan dengan perlakuan TOT padi dengan walik jerami lebih rfendah disbanding perlakuan pemberian pupuk kandang dan urea (Mulyadi et al., 2002 dalam Las et al., 2009).
Teknologi Pumupukan Beberapa hal yang penting dalam pengelolaan pupuk yang berkaitan dengan perubahan iklim antara lain adanya pengelolaan CO2, dan nitrogen (N).
Adanya
peningkatan suhu, penelolaan CO 2 cukup penting dalam meningkatkan hasil. Hasil penelitian Xiong et al. (2007) dalam Las et al. (2009), menggunakan simulasi pada kondisi temperatur yang meningkat dari kondisi normal, memprediksi hasil panen untuk tiga tanaman pangan (padi, gandum dan jagung) pada tahun 2020 hingga 2080 di seluruh China, rata-rata hasil panen per satuan luas umumnya menurun sampai dengan 18-37% jika tanpa pemberian CO2. Tanpa pemberian CO2, terdapat pengaruh negatif dengan kenaikan suhu 2°C dengan peningkatan curah hujan 15% dan peningkatan temperatur 5°C dengan peningkatan curah hujan 30% terhadap hasil (Liu et al. 2010). Hal ini menunjukkan bahwa tanpa pengayaan CO2, pengaruh meningkatnya temperatur terhadap hasil panen akan menjadi serius, dan peningkatan curah hujan tidak dapat mengubah pengaruh negatif terhadap hasil panen. Pengaruh negatif tersebut dapat dimitigasi dengan pemberian CO2. Adanya pengayaan CO2 mempunyai pengaruh positif terhadap hasil tanaman (Luo et al., 2003; Liu et al. 2010). Kondisi tempat dan jenis tanaman perlu diperhatikan dalam pemberian CO 2 agar lebih efektif. Pada kondisi tempat kering, adanya penambahan CO 2 mampu meningkatkan hasil gandum 13,9146,58% (Luo et al. 2003). Sedangkan menurut Liu et al. (2010) jenis tanaman juga menentukan respon terhadap pemupukan CO2. Tanaman gandum lebih sensitif terhadap pemupukan CO2 daripada tanaman jagung. Untuk penambahan CO 2 ini dalam skala luas perlu dikaji lebih mendalam lagi, karena hasil yang dilakukan baru sebatas uji laboratorium skala kecil. Pupuk N adalah salah satu pupuk yang sangat
365
Muhammad Thamrin et al.: Perubahan Iklim dan Antisipasi Teknologi ……
penting untuk diperhatikan karena sifatnya yang mudah menguap dan berkaitan juga dengan N2O yang dilepas ke udara.
Pengelolalan pupuk N diperlukan agar lebih
efisien dan efektif. Pada kondisi perubahan iklim mendatang, pengelolaan N akan berbeda dengan kondisi iklim saat ini.
Hasil Penelitian (Wessolek and Asseng 2006) menunjukkan
bahwa pada kondisi iklim saat ini peningkatan konsentrasi CO 2 dapat meningkatkan hasil panen gabah 15-20% pada pemberian dosis N rendah dan 30-35% pada dosis N tinggi. Hal tersebut akan berubah jika iklim berubah untuk masa mendatang, yaitu hasil gabah dan kedalaman drainase berkurang untuk kedua tanah dan semua kondisi pengelolaan. Pada pengelolaan N dengan dosis medium ditingkatkan ke dosis tinggi pada tanah debu tidak berpengaruh pada hasil gabah dan drainase, pengurangan pasokan N dari medium ke tingkat rendah lebih efektif dalam meningkatkan drainase daripada pengurangan hasil gabah (Gambar 1).
Gambar 1. Hubungan antara drainase dan pemupukan terhadap produksi gandum pada 2 jenis tanah (simulasi jangka panjang, debu (simbol hitam) dan lempung berpasir (simbol terbuka) untuk iklim saat ini dan untuk iklim dimanipulasi (hujan -20% 1,5 T), serta 3 tingkat pemupukan N (N1-rendah: 140 kgN/ha, N2-sedang: 250 kgN/ha, N3-tinggi: 440 kgN/ha) dan tiga tingkat CO 2 atmosfer (350, 525 dan 700 ppm) untuk Burg, Jerman (Wessolek and Asseng 2006).
Dengan demikian pada iklim mendatang direkomendasikan N diberikan pada dosis rendah. Siklus nitrogen melibatkan peranan tanaman, tanah dan microorganisme tanah. Penambahan N ke dalam tanah dapat dilakukan secara biologi atau fiksasi N
366
Seminar Nasional Serealia, 2013
dan pemberian pupuk N. Sebanyak 90% nitrogen terdapat pada bahan organik tanah yang bersifat immobil yang dihancurkan menjadi N tersedia oleh mikroorganisme menjadi bentuk N organik seperti NH4+, NO3-, NO2-, NO2 (Pulford 1991) yang dapat difiksasi ke dalam tanah oleh tanaman atau mikroorganisme tetapi dapat juga terjadi kehilangan N dari sistem siklus karena pencucian (Evangelou 1998). Hasil beberapa penelitian menunjukan bahwa tanaman dapat secara langsung atau tidak langsung memanfaatkan N organik yang telah dihancurkan oleh mikroorganisme (Nasholm et al. 1998; Jones dan Kielland 2002). Kehilangan N dapat terjadi karena
denitrifikasi, aliran air, dan pencucian.
Mikroorganime tanah seperti Nitrosomonas dan nitrospira dapat mengoksidasi amonium (NH4+) menjadi nitrit NO2- melaui proses nitrifikasi mineralisasi dan dioksidasi kembali oleh bakteri nitrobakter menjadi nitrat (NO 3-). Nitrogen dalam bentuk NO3atau N organik yang telah hancur dapat hilang melalui aliran air dan pencucian. Ketersediaan N tanah dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti iklim dan macam vegetasi yang kesemuanya dipengaruhi oleh keadaan setempat seperti topografi, batuan induk, kegiatan manusia dan waktu Ada tiga bentuk cadangan N (Ncapital), yaitu: a) cadangan N yang selalu berubah, yaitu mineral-N (NH4+ dan NO3) yang mudah diserap tanaman akan tetapi mudah hilang dari dalam tanah, b) cadangan N jangka pendek hingga sedang, yaitu N yang terkandung di dalam bahan organik tanah yang dapat termineralisasi dalam jangka pendek (beberapa bulan) sampai sedang (antara 1-5 tahun), c) cadangan N jangka panjang (10 tahun), adalah bentuk N dalam bahan organik yang sangat sulit lapuk (recalcitrant) ( Hakim et al. 1988 ). Pendekatan siklus N sangat bermanfaat dimana ketersedian N diatmosfir yang cukup besar dimana 99,96% gasnya terdiri dari N2, namun hanya 6,5% yang dapat difiksasi oleh tanaman atau mikroorganisme, namun N juga dapat hilang akibat pencucian dan denitrifikasi (Jaffe 1992). Salah satu konsep yang sangat berkembang dewasa ini adalah bagaimana menciptakan suatu sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) dengan mempertahankan bahan organik dan kadar nitrogen pada tanah yang menunjang peningkatan produksi pangan. Konsep pengelolaan N secara berkelanjutan mencakup upaya efisiensi penggunaan pupuk anorganik dan hanya sebagai pelengkap serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber N alternatif. Hal tersebut dapat dicapai melalui pencegahan pencucuian N melalui aliran air permukaan tanah, peningkatan fiksasi N dan pemantauan kecukupan N pada tanaman jagung.
367
Muhammad Thamrin et al.: Perubahan Iklim dan Antisipasi Teknologi ……
KESIMPULAN 1. Dampak potensial dari perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah: (a) peningkatan suhu udara, (b) peningkatan permukaan air laut, (c) perubahan pola hujan, dan (d) peningkatan frekuensi kejadian iklim estrim. 2. Inovasi
teknologi
pertanian
dalam
menghadapi
perubahan
iklim
meliputi,
pengelolaan lahan pertanian, pemilihan varietas tanaman dan adaptasi perubahan iklim, pengelolaan waktu tanam, teknologi pengelolaan air dan teknologi pumupukan. DAFTAR PUSTAKA Ali, Z., Salam, A., Azhar, F.M., Khan, I.A. 2007. Genotypic variation in salinity tolerance among spring and winter wheat (Triticum aestivum L.) accessions. South African Journal of Botany 73: 70–75. Climate Change-Indonesia. 2004. Perubahan iklim global. http://climatechange. menlh.go.id/index2.php?option=content&do_pdf=1&id=14.d(diakses pada tanggal 7 Maret 2011) Departemen Perikanan dan Kelautan. 2008. Perubahan iklim global. Dapat diakses di http://www.dw-world.de/dw/article/0,2144,2977544,00.html. Gay, F., Maraval, I., Roques, S., Gunata, Z., Boulanger, R., Audebert, A., Mestres, C. 2010. Effect of salinity on yield and 2-acetyl-1-pyrroline content in the grains of three fragrant rice cultivars (Oryza sativa L.) in Camargue (France). Field Crops Research 117: 154–160. Ghuman, B.S., H.S. Sur. 2001. Tillage and residue management effects on soil properties and yields of rainfed maize and wheat in a subhumid subtropical climate. Soil Tillage Res. 58: 1–10. Głab, T., B. Kulig. 2008. Effect of mulch and tillage system on soil porosity under wheat (Triticum aestivum) Soil & Tillage Research 99: 169–178. Graf, P., Setiawan, A. 2009. Varietas padi tahan banjir. http://www.dw-world.de/dw/article/0,,4758192,00.html.
Dapat diakses di
Hatfield, J.L., T.S. Sauer, J.H. Prueger. 2001. Managing soils to achievesand soil in southwestern Nigeria. Soil & Tillage Research 82: 57–64. http://www. conflictrecovery.org/bin/PEACEClimateChange-ExecSum.pdf. (diakses pada tanggal 7 Pebruari 2011 Inez, S.L. 2008. Diuji coba, varietas padi tahan banjir. Divisi Biologi Molekuler Program Penelitian Padi pada Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dapat diakses di http://intra.lipi.go.id/masuk.cgi?berita.
368
Seminar Nasional Serealia, 2013
IPB.
2010. Adaptasi pertanian dalam merespon perubahan iklim global menuju ketahanan dan kedaulatan pangan. http://www.ipb.ac.id/id/?b =1503. (diakses pada tanggal 15 Maret 2011).
IPCC (Intergovenrmental Panel on Climate Change), Climate Change 2007 : The Physical Science Basis. Summary for Policy Makers, Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovenrmental Panel on Climate Change. Paris, February 2007. http://www.ipcc.ch/, 2007. Jongdee, B., Pantuwan, G., Fukai, S., Fischer, K. 2006. Improving drought tolerance in rainfed lowland rice: An example from Thailand. Agricultural Water Management 80: 225–240. Kementerian Pertanian. 2010. Rancangan rencana strategis kementerian pertanian Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian. 199 h. l Change Las, I,. Subagyono, K., Setiyanto, A.P. 2006. Isu dan pengelolaan lingkungan dalam revitalisasi pertanian. Jurnal Litbang Pertanian. 25(3): 106-114. Las, I., E. Surmaini dan A. Ruskandar. 2009. Antisipasi Perubahan Iklim: Inovasi Teknologi dan Arah Penelitian Padi di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Padi 2008. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Balitbang Pertanian. Departemen Pertanian. Hal.55-72. Lestari, E.G. 2006. Hubungan antara Kerapatan Stomata dengan Ketahanan Kekeringan pada Somaklon Padi Gajahmungkur, Towuti, dan IR 64. Biodeversitas. 7(1):44-48. Liu, S., Mo, X., Lin, Z., Xu, Y., Ji, J., Wen., G., Richey, J. 2010. Crop yield responses to climate change in the Huang-Huai-Hai Plain of China. Article in Press. Agricultural Water Management xxx: xxx–xxx. 15p Luo, Q., Williams, Martin, W. A.J., Bellotti, W., Bryan, B. 2003. Quantitative and visual assessments of climate change impacts on South Australian wheat production. Agricultural Systems 77: 173–186. Masaru, O., Hayashi, Y., Nakashima, A., Hamada, A., Tanaka, A., Nakamura, T., Hayakawa, T. 2002. Introduction of a Na+/H+ antiporter gene from Atriplex gmelini confers salt tolerance to rice. FEBS Letters 532: 279-282. Pruski, F.F., Nearing, M.A., 2002. Climate-induced changes in erosion during the 21 st century for eight U.S. locations. Water Resources Research 38: 1298. Rinaldi, M., G. Rana, M. Introna. 2000. Effects of partial cover of durum wheat straw on soil evaporation in a semi-arid region. In: Ferreira, M.I., Jones, H.G. (Eds.), Proceedings of the Third International Sympoosium on Irrigation of Horticultural Crops, June 28–July 2, 1999, Lisbon (P), Acta Hort. 537, 159– 165. Sembiring, H., Gani, A. 2008. Adaptasi varietas padi pada tanah terkena tsunami. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. www.dpi.nsw.gov.au/__.../ Adaptability-of-rice on-tsunami- affected-soil.pdf. (diakses pada tanggal 7 Maret 2011)
369
Muhammad Thamrin et al.: Perubahan Iklim dan Antisipasi Teknologi ……
Sheehy, J.E.,A. Elmido, G. Genteno, and P.Pablico. 2005. Searching for new plants for climate change, J. Agric. Met. 60:463-468. Susandi, A, Herlianti, I.,Tamamadin, M. 2009. Dampak perubahan iklim terhadap ketinggian muka laut di wilayah Banjarmasin. Program Studi Meteorologi Institut Teknoloi Bandung. Dapat diakses di ttp://armisusandi.com/articles/working_ paper/8.pdf. Susilokarti, D. 2010. Konservasi air dalam menanggulangi kelangkaan air sebagai upaya adaptasi perubahan iklim. http://www.lead.or.id/download /c12/lap/Dyah.pdf. (diakses pada tanggal 7 Maret 2011) Tandisau, P., M. Thamrin, dan Sahardi. 2007. Pengelolaan hara spesifiklokasi pada jagung selama tiga musim pertanaman2005-2007 di jeneponto Sulawesi Selatan Tao, F., Zhang, Z. 2010. Adaptation of maize production to climate change in North China Plain: Quantify the relative contributions of adaptation options. Article in Press. Europ. J. Agronomy xxx: xxx-xxx. 14p. Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian serta strategi antisipasi dan teknologi adaptasi. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2): 138-140. Tschirley, J. 2007. Climate change adaptation: Planning and practices, Power point keynote presentation of FAO’s Environment, Climate Change, Bioenergy Division Rome, 10-12 September 2007. Tubiello, F.N., Donatelli, M., Rosenzweig, C., Stockle, C.O. 2000. Effects of climate change and elevated CO2 on cropping systems: model predictions at two Italian locations. European Journal of Agronomy 12: 179–189. Wessolek, G., Asseng, S. 2006. Trade-off between wheat yield and drainage under current and climate change conditions in northeast Germany. Europ. J. Agronomy 24: 333–342. Witt, 2007. SSNM for Maize in Favourable Tropical Environments. Makalah pada Workshop SSNM di Lampung, 28 Mei-1 Juni 2007. Wiyono,S. 2009. Perubahan Iklim, Pemicu Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. http://salam.leisa.info/index.php?url=getblob.php&o_id=221301 &a_id=211& a_seq=0. (diakses pada tanggal 7 Maret 2011) Zeng, L., Lesch, S.M., Grieve, C.M. 2003. Rice growth and yield respond to changes in water depth and salinity stress. Agricultural Water Management 59: 67–75.
370