76 Pengembangan Inovasi Pertanian 4(1), 2011: 76-86
Irsal Las et al.
ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM DALAM MENGAMANKAN PRODUKSI BERAS NASIONAL1) Irsal Las, A. Pramudia, E. Runtunuwu, dan P. Setyanto Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114 Telp. (0251) 8323012, Faks. (0251) 8311256 e-mail:
[email protected] Diajukan: 10 Januari 2011; Disetujui: 14 Februari 2011
ABSTRAK Di masa mendatang, variabilitas dan perubahan iklim diperkirakan akan menjadi salah satu faktor yang sangat dominan memengaruhi bahkan cenderung mengganggu ketahanan pangan nasional. Berbagai faktor yang menentukan ketahanan pangan, terutama sistem produksi beras, sangat dipengaruhi oleh variabilitas dan perubahan iklim, terutama pola curah hujan dan musim serta kejadian iklim ekstrem. Dampak variabilitas dan perubahan iklim yang paling dominan adalah perubahan musim tanam serta luas tanam dan luas panen yang berujung pada penurunan produktivitas dan produksi beras. Hasil analisis menunjukkan, perubahan iklim berpotensi menurunkan luas tanam 14% pada tahun El-Nino dibandingkan kondisi eksisting atau normal, tetapi dapat meningkatkan luas tanam 10% pada tahun La-Nina, terutama pada musim kemarau pertama (MK-1). Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu strategi yang tepat yang didukung oleh berbagai teknologi adaptif terhadap variabilitas dan perubahan iklim tersebut agar dampak negatifnya bisa dikurangi atau dihindari, sebaliknya dampak positifnya dapat dimanfaatkan. Upaya yang paling strategis dalam mengantisipasi variabilitas dan perubahan iklim untuk mengamankan produksi beras adalah melakukan adaptasi melalui rangkaian aksi, mulai dari perbaikan sistem prediksi dan informasi iklim, pemanfaatan peta tanam untuk menyesuaikan pola tanam, serta penggunaan varietas adaptif dan teknologi pengelolaan lahan dan air yang efisien dan sesuai dengan kondisi iklim. Kata kunci: Padi, perubahan iklim, adaptasi, kalender tanam, varietas adaptif, produksi
ABSTRACT Anticipating the Impacts of Climate Change on Securing National Rice Production In the future, climate variability and climate change is predicted to be one of the most dominant factors affecting even tending to disturb the national food security. Various factors determining food security, especially rice production system, are greatly influenced by the climate variability and climate change, particularly rainfall patterns and seasons, also extreme climate events. Impact of climate variability and climate change for the most dominant are the change in growing season, extensive planting and
1)
Naskah analisis kebijakan disarikan dari bahan Road Map Strategi Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim, Januari 2010.
77
Antisipasi perubahan iklim dalam ...
harvesting which lead to the reduction of rice productivity and production. Results of analysis of climate impacts showed that climate change potentially reduced the acreage of planting areas by 4% in El-Nino years than the existing condition or normal, but increased the acreage of planting areas by 10% in LaNina years, especially in the first dry season. Therefore, it is necessary to have an appropriate strategy supported by various technologies which are adaptive to climate variability and climate change for reducing or avoiding its negative impacts, otherwise utilizing its positive benefits. The most strategic efforts in anticipating climate variability and climate change to secure rice production is the adaptation strategy, which is done through a series of actions ranging from improvement of information systems and climate prediction, use of maps for adaptation of cropping patterns, utilization of adaptive varieties and land and water management technologies in accordance with climate conditions. Keywords: Rice, climate change, adaptation, cropping calendar, adaptive varieties, production
PENDAHULUAN Dalam tataran nasional, beras merupakan komoditas sangat strategis, bahkan sering dinilai sebagai komoditas politis, dan produksi beras nasional merupakan salah satu indikator keberhasilan pemerintah. Walaupun kecil, pada tahun 2010 produksi beras nasional mengalami penurunan dibanding sebelum dan sejak beberapa bulan terakhir harga beras nasional dan dunia cenderung mengalami peningkatan. Mengingat pentingnya arti beras bagi ketahanan pangan dan stabilitas nasional maka pengelolaan beras perlu memerhatikan tiga hal, yaitu: (1) pengelolaan pangan (terutama beras) sebagai suatu sistem yang utuh dan menyentuh berbagai aspek tataran sosial, ekonomi, politik dan ketahanan nasional; (2) perubahan dan dinamika sumber daya yang dimiliki; dan (3) perubahan lingkungan strategis, terutama iklim. Ketiga hal tersebut sangat menentukan keberhasilan pengelolaan beras maupun pangan nasional (Ditjen Tanaman Pangan 2011). Variabilitas dan perubahan iklim di masa mendatang akan menjadi salah satu faktor yang sangat dominan memengaruhi keberhasilan peningkatan produksi beras.
Keduanya sangat potensial memicu penciutan, degradasi, dan penurunan kapasitas sumber daya lahan dan air, kerusakan infrastruktur, serta risiko penurunan produktivitas dan produksi beras, yang pada akhirnya akan berdampak terhadap tataran sosial dan ekonomi masyarakat.
PERUBAHAN IKLIM DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI Perubahan dan Anomali Iklim Pemanasan global sebagai pemicu utama perubahan iklim disebabkan oleh peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK), seperti CO 2, metana (CH 4), NO 2, dan chlorofluorocarbons (CFCs) yang berlangsung sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Perubahan iklim adalah kondisi beberapa unsur iklim yang magnitude dan/atau intensitasnya cenderung berubah atau menyimpang dari dinamika dan kondisi rata-rata menuju ke arah (trend) tertentu (meningkat atau menurun). Selain meningkatkan suhu bumi (dan suhu udara), perubahan iklim juga menyebabkan peningkatan frekuensi kejadian iklim
78
ekstrem (anomali iklim), seperti fenomena Enso (El-Nino dan La-Nina), IOD (Indian Ocean Dipole), penurunan atau peningkatan suhu udara secara ekstrem, pergeseran dan ketidakmenentuan curah hujan dan musim, serta peningkatan permukaan air laut dan kejadian rob. Di Indonesia, anomali iklim yang paling dominan adalah fenomena El-Nino dan La-Nina yang menyebabkan kekeringan atau banjir. El-Nino adalah kejadian iklim di mana terjadi penurunan jumlah dan intensitas curah hujan akibat naiknya suhu permukaan laut di wilayah Samudra Pasifik Selatan yang mendorong mengalirnya massa uap air di wilayah Indonesia ke arah timur. Sebaliknya, La-Nina adalah kejadian iklim di mana terjadi peningkatan jumlah dan intensitas curah hujan hingga memasuki musim kemarau akibat penurunan suhu permukaan laut di wilayah Samudra Pasifik Selatan yang memperkaya massa uap air di wilayah Indonesia. Sejak tahun 1844 hingga 2009 masingmasing telah terjadi 47 dan 38 kali peristiwa El-Nino dan La-Nina yang menimbulkan kekeringan dan banjir serta gangguan terhadap produksi padi nasional (Boer dan Subbiah 2005). Secara klimatologis, dampak El-Nino dan La-Nina dapat diperlemah atau diperkuat jika dalam waktu bersamaan juga terjadi fenomena IOD. Fenomena IOD memengaruhi dinamika dan peredaran udara dan massa uap air dari/ke Samudra Hindia daratan Asia Selatan dan Indonesia. IOD positif cenderung memperkuat dampak El-Nino, sedangkan bila IOD negatif akan memperkuat dampak La-Nina. Data curah hujan di berbagai lokasi menunjukkan adanya kecenderungan curah hujan rata-rata yang makin rendah di wilayah bagian selatan Indonesia, terutama Jawa dengan tingkat keragaman
Irsal Las et al.
yang tinggi. Sementara itu di wilayah utara terjadi gejala sebaliknya, yaitu curah hujan pada musim hujan cenderung semakin rendah tetapi dengan periode yang lebih panjang. Pada periode 1981-1990, misalnya, curah hujan rata-rata di Jakarta pada bulan Januari adalah 412 mm/bulan dengan kisaran antara curah hujan minimum dan maksimum 258-595 mm/bulan, sedangkan pada periode 1991-2000 menjadi 354 mm/ bulan dengan keragaman 163-592 mm/ bulan, dan pada periode 2001-2010 adalah 332 mm/bulan dengan kisaran 111-694 mm/bulan.
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produksi Padi Walaupun sektor pertanian juga penyumbang emisi GRK, pertanian adalah sektor yang paling menderita dan terancam akibat perubahan iklim, terutama tanaman padi. Sistem produksi padi sangat rentan (vulnerable) dan akan mengalami dampak paling serius akibat perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan penurunan produktivitas dan produksi padi akibat peningkatan suhu udara, banjir, kekeringan, intensitas serangan hama dan penyakit, serta penurunan kualitas gabah dan/atau rendemen beras. Peningkatan fluktuasi pola curah hujan dan intensitas anomali iklim sejak dua dasawarsa terakhir telah berdampak luas terhadap luas areal tanam dan panen, awal musim tanam musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK), yang berimplikasi serius terhadap produksi pangan, terutama padi (Las 2000; Boer 2006; Naylor et al. 2007). Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim (KP3I 2009), Badan Litbang Pertanian, mempre-
79
Antisipasi perubahan iklim dalam ...
diksi bahwa perubahan iklim akibat ElNino akan memperluas areal pertanaman yang terancam kekeringan. Areal pertanaman padi sawah yang terancam kekeringan meningkat dari 0,3-1,4% menjadi 3,1-7,8%, sementara areal yang mengalami puso akibat kekeringan meningkat dari 0,04-0,41% menjadi 0,04-1,87%. Sementara itu La-Nina menyebabkan peningkatan luas areal pertanaman yang rawan banjir dari 0,75-2,68% menjadi 0,97-2,99%, dan areal pertanaman yang mengalami puso akibat banjir meningkat dari 0,24-0,73% menjadi 8,7-13,8%. Secara agregat, perubahan iklim berpotensi meningkatkan penurunan produksi nasional dari 2,455,0% menjadi lebih dari 10%. Perubahan iklim juga berdampak terhadap degradasi dan penciutan lahan pertanian. Peningkatan permukaan air laut akan menggenangi dan mendorong instrusi air laut di sebagian lahan sawah di sepanjang pantai, terutama pantai utara Jawa. Genangan tersebut selain mengakibatkan hilangnya (menciutkan) lahan sawah, juga menyebabkan degradasi dan penurunan produktivitas lahan akibat salinitas. Sebagai contoh, Kabupaten Karawang dan Subang yang merupakan sentra produksi pangan di Jawa Barat dapat mengalami penurunan produksi beras sekitar 300.000 ton akibat genangan (Boer et al. 2009). Hasil penelitian tahun 2010 mengindikasikan bahwa jika pada tahun 2050 peningkatan permukaan laut mencapai 50100 cm maka sekitar 5.251-14.950 ha atau 0,30-0,86% dari 1.732.124 ha lahan sawah di sepanjang pantai utara Jawa akan tergenang air laut (Boer et al. 2011). Walaupun persentasenya relatif kecil, secara agregat produksi padi yang akan hilang secara permanen berkisar antara 50.000150.000 t/tahun.
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Luas Tanam Padi Pola tanam tanaman pangan dalam setahun dapat dipilah menjadi tiga musim tanam, yaitu musim hujan (MH), musim kemarau pertama (MK-1), dan musim kemarau kedua (MK-2). Potensi luas tanam tiap musim tanam berbeda sesuai dengan potensi ketersediaan air. Atlas Kalender Tanam (Las et al. 20072010) menunjukkan bahwa anomali iklim memengaruhi secara siginifikan luas tanam potensial padi sawah (Tabel 1). Luas tanam potensial tersebut diperoleh berdasarkan analisis ketersediaan air dengan tiga skenario perubahan pola curah hujan, yaitu tahun atau musim basah (La-Nina/ IOD negatif), kering (El-Nino/IOD positif), dan normal (rata-rata), yang dikaitkan dengan luas baku lahan sawah dan luas tanam eksisting (petani) pada masingmasing kecamatan pada setiap musim. Pada kondisi kering (El-Nino), luas tanam potensial menurun sekitar 14% dari luas tanam eksisting, sedangkan pada kondisi basah (La-Nina), luas tanam potensial meningkat sekitar 10%. Penurunan luas tanam potensial yang paling nyata terjadi pada MK-1, yaitu 24,8% dari luas tanam eksisting, sedangkan pada MH luas tanam turun menjadi 11,5%. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Litbang Pertanian, dan lembaga internasional memprediksi bahwa pada tahun 2011 La-Nina (musim basah) masih akan berlangsung hingga akhir MK-1 (April/Mei), yang diikuti oleh kondisi iklim normal pada MK-2. Berdasarkan prediksi iklim tersebut maka perkiraan total luas tanam padi potensial pada tahun 2011 adalah 12.951.000– 13.363.000 ha, sedikit lebih tinggi diban-
80
Irsal Las et al.
Tabel 1. Dampak perubahan iklim terhadap potensi luas tanam padi pada lahan sawah. Luas tanam (juta ha)
Sifat iklim Eksisting (2009) Normal (potensi) Basah (La-Nina)1) Kering (El-Nino)
Musim hujan
Musim kemarau-1
Musim kemarau-2
Total
6,451 (100,0) 6,638 (102,9) 7,050 (109,3) 5,708 (88,5)
5,023 (100,0) 5,158 (102,7) 5,572 (110,9) 3,889 (75,2)
1,510 (100,0) 1,663 (110,1) 1,775 (117,6) 1,497 (99,1)
12,984 (100,0) 13,459 (103,7) 14,397 (110,0) 11,094 (86,0)
Angka dalam kurung adalah persentase terhadap luas tanam eksisting (2009). Sumber: Las et al. (2007-2010).
ding sasaran luas tanam 2011 yaitu 12.915.000 ha (Ditjen Tanaman Pangan 2011), dengan asumsi bahwa kondisi iklim pada MH 2011/2012 adalah normal. Angka luas tanam potensial tersebut diperoleh dari luas tanam potensial pada MH seluas 6.638.000-7.050.000 ha, MK-1 5.158.000-5.572.000 ha, dan MK-2 seluas 1.663.000-1.775.000 ha.
ANTISIPASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM UNTUK PENGAMANAN PRODUKSI PADI Strategi Umum Antisipasi perubahan iklim dimaksudkan untuk menyiapkan arah, strategi, dan kebijakan serta pedoman dan teknologi pertanian yang adaptif menghadapi perubahan iklim. Strategi adaptasi adalah berbagai upaya penyesuaian, baik aktivitas atau praktik pertanian, pengelolaan sumber daya maupun penerapan teknologi pertanian untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Sistem produksi tanaman padi sangat rentan terhadap perubahan iklim, seperti pola tanam, waktu tanam, poduktivitas, kualitas gabah, dan rendemen beras. Oleh karena itu, adaptasi tanam padi merupakan prioritas utama dalam pengamanan produksi beras. Secara konseptual, adaptasi tersebut dilakukan melalui: (1) optimalisasi pengelolaan sumber daya lahan dan air/ irigasi; (2) penyesuaian pengelolaan pola tanam, waktu tanam, serta rotasi tanaman dan varietas; (3) pengembangan dan penerapan teknologi adaptif serta penyusunan berbagai pedoman dan perangkat; dan (4) penerapan teknologi adaptif (produksi, perlindungan tanaman, panen dan pascapanen) yang ramah lingkungan. Upaya adaptasi perlu didukung oleh beberapa program, antara lain: 1. Percepatan arus informasi iklim dan teknologi dengan dukungan teknologi informasi seperti situs dan media massa, serta pembentukan kelompok kerja perubahan iklim, baik di pusat maupun daerah. 2. Pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan petani, seperti peng-
81
Antisipasi perubahan iklim dalam ...
3.
4.
5.
6.
integrasian sekolah lapang iklim (SPI) ke dalam sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SLPTT) dan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT). Identifikasi wilayah rawan banjir dan kekeringan serta potensi sumber daya air alternatif dan lahan suboptimal seperti lahan kering (STL-KIK) dan lahan rawa potensial. Sosialisasi perangkat dan pedoman penyesuaian pola tanam dan teknologi, seperti Atlas Kalender Tanam, PHT, PTT, SPTL-KIK, dan Cetak Biru Pengelolaan Banjir dan Kekeringan Partisipatif. Pengembangan sistem penyiapan sarana produksi yang antisipatif terhadap anomali iklim, terutama benih varietas unggul baru (VUB) adaptif dan pupuk yang siap pakai. Pengembangan teknologi dan alat mesin panen dan pascapanen, terutama sistem pengeringan dan penggilingan gabah.
c.q. Badan Litbang Pertanian dan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian telah menyusun dan menerbitkan Atlas Kalender Tanam dan Cetak Biru Pengelolaan Banjir dan Kekeringan. Atlas Kalender Tanam (Cropping Calendar) merupakan pedoman penyesuaian waktu dan pola tanam padi sesuai dengan kondisi iklim. Kalender tanam disusun hingga pada tingkat kecamatan untuk seluruh provinsi di Indonesia yang memberikan arah dan opsi awal tanam dan pola tanam berdasarkan kondisi iklim, yaitu basah (La-Nina), normal (rata-rata), dan kering (El-Nino). Cetak Biru Pengelolaan Banjir dan Kekeringan merupakan pedoman pengelolaan risiko banjir dan kekeringan secara partisipatif, terutama pada wilayah penanganan prioritas. Cetak biru ini didasarkan pada pendekatan partisipatif petani dan keterpaduan kelembagaan dalam pengeloalaan banjir dan kekeringan yang bertitik tolak dari analisis iklim dan neraca air.
Penyiapan Teknologi Adaptif Penyesuaian Pola Tanam dan Pengelolaan Air Strategi utama upaya adaptasi untuk pengamanan produksi padi adalah penyesuaian awal tanam serta pola dan waktu tanam guna mengindari risiko kekeringan, banjir, dan serangan OPT yang sekaligus meningkatkan luas areal tanam dan panen. Strategi berikutnya adalah penerapan teknologi adaptif dan pengelolaan risiko banjir dan kekeringan untuk mengurangi dampaknya terhadap penurunan produktivitas dan/atau risiko gagal panen. Untuk mengefektifkan opsi penyesuaian tersebut, Kementerian Pertanian,
Sesuai dengan berbagai jenis ancaman yang timbul akibat perubahan iklim terhadap tanaman padi maka inovasi teknologi adaptif tanaman padi untuk perubahan iklim meliputi: (1) teknologi pengelolaan lahan dan air untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan air; (2) varietas unggul tahan/toleran kekeringan dan banjir, tahan garam (salinitas) dan serangan OPT, dan berumur genjah; (3) teknologi pengendalian OPT (PHT); dan (4) teknologi panen dan penangan pascapanen. Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai teknologi tanaman padi yang adaptif terhadap perubahan iklim, seperti disajikan pada Tabel 2.
82
Irsal Las et al.
Tabel 2. Teknologi tanaman padi adaptif terhadap perubahan iklim. Jenis/kelompok teknologi
Teknologi
Varietas unggul adaptif (VUA) rendah emisi gas rumah kaca VUA toleran salinitas
Ciherang, Cisantana, Tukad Balian, Memberamo, IR36, Dodokan, dll Way Apoburu, Margasari, Lambur, GH-TS-1, GH-TS-2, Banyuasin, Indragiri, Siak Raya, Pakali, Dendang Dodokan, S-3382, BP-23, Inpari 10, Situ Bagendit, Situ Patenggang, Towuti, Gajah Mungkur, Silugonggo, Kelimutu, Jatiluhur, IR234-27, Jongkok, Way Rarem, Inpari 13 Dodokan, Silugonggo, Inpari 10, Inpari 12, Inpari 13, S-3382, BP-23, Situ Bagendit, Mekongga Inpara 3, Inpara 4, Inpara 5, Ciherang-Sub-1, IR64Sub-1, IR7018, IR70213, dan berbagai VUB padi lahan rawa Inpari 3, Inpari 6, Inpari 13
VUA tahan kekeringan
VUA umur genjah VUA tahan rendaman/ genangan VUA tahan organisme pengganggu tanaman (OPT)/wereng batang coklat Teknologi budi daya (pengelolaan lahan, air, pemupukan, pengendalian OPT, dll)
Teknologi panen dan pascapanen
Teknologi olah tanah sederhana/TOT, pemupukan berimbang spesifik lokasi, SITT dan teknologi tanpa limbah (termasuk biogas), pengelolaan tanah-hara dan air terpadu, PTT/SRI, SPTL-KIK, irigasi berselang, panen hujan, TMC, PHT, biopestisida, dll Mesin pengering, penggilingan, dll
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI IKLIM DAN TEKNOLOGI Sistem Prediksi Iklim/Cuaca Fenomena iklim ekstrem, baik akibat ElNino dan La-Nina maupun IOD yang menyebabkan kemarau yang sangat kering dan panjang atau hujan yang tinggi dan lama, diperkirakan akan semakin sering terjadi. Demikian pula peningkatan variabilitas iklim yang menyebabkan pergeseran/perubahan pola curah hujan dan musim hujan cenderung semakin kerap terjadi (KP3I 2009). Perubahan dan dinamika tersebut juga mendorong makin tingginya tingkat ketidakmenentuan (uncertainty) jumlah atau pola curah hujan
dan awal musim, sekaligus makin rendahnya tingkat akurasi prediksi. Namun demikian, iptek analisis dan prediksi iklim juga makin berkembang dengan metode dan teknik analisis yang komprehensif, serta dukungan teknologi hi-tech perangkat keras (komputer dan pemantau iklim). Berbagai metode sudah dikembangkan, baik berdasarkan pendekatan stokastik maupun deterministik atau gabungan keduanya yang dikemas dalam pendekatan pemodelan, seperti down scalling analysis dan General Circulation Model. Permasalahan utama dalam sistem prediksi dan informasi iklim adalah tingkat akurasi, bentuk, jenis, dan kecepatan penyampaian informasi iklim yang sangat bergantung pada aspek koordinasi dan kelembagaan. Sesuai dengan dinamikanya, semakin jauh rentang waktu prediksi,
Antisipasi perubahan iklim dalam ...
semakin banyak faktor yang berperan sehingga semakin rendah tingkat akurasinya. Prediksi iklim/cuaca beberapa hari ke depan jauh lebih mudah dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi dibanding prediksi curah hujan atau musim beberapa bulan ke depan. Di sisi lain, kunci sukses pengamanan produksi padi dalam menghadapi perubahan iklim bergantung pada kesiapan dan ketepatan teknologi adaptasi yang sangat ditentukan oleh informasi iklim. Oleh karena itu, informasi iklim untuk perencanaan pertanian harus diperoleh lebih dini dan tepat waktu, baik oleh peneliti dan pemangku kepentingan, maupun oleh penyuluh dan petani. Untuk mengatasi hal tersebut, prediksi iklim dilakukan secara bertingkat, yaitu 3-6 bulan sebelum musim tanam, kemudian diperbarui secara periodik yang didukung sistem kelembagaan yang efektif.
Kelembagaan Informasi Iklim dan Teknologi Di sektor pertanian, pengelolaan informasi iklim dilakukan oleh Ditjen/Badan Teknis terkait, namun secara ad-hoc Badan Litbang Pertanian bersama-sama dengan Ditjen/Badan terkait mengelola Kelompok Kerja Variabilitas dan Perubahan Iklim Sektor Pertanian (Pokja Iklim), dan Tim Teknis Perubahan Iklim Kementerian Pertanian (Tim Teknis). BMKG adalah sumber utama data dan informasi iklim, sedangkan Badan Litbang Pertanian adalah sumber utama informasi teknologi dan pengolah informasi iklim untuk pertanian. Kedua institusi vertikal pusat tersebut memiliki jaringan atau unit kerja di setiap provinsi, yaitu Balai Besar
83
atau Stasiun Klimatologi dan Meteorologi (BMKG) serta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian dan beberapa balai penelitian (Badan Litbang Pertanian). Di sisi lain, Pemda c.q. Dinas Pertanian tingkat provinsi dan kabupaten serta penyuluh dan petani di tingkat kecamatan dan desa merupakan pengguna utama data dan informasi iklim dan teknologi. Oleh karena itu, selain penguatan dan pemberdayaan Pokja Variabilitas dan Perubahan Iklim di tingkat Kementerian Pertanian, percepatan arus infomasi iklim dan teknologi harus pula didukung oleh kelembagaan informasi, misalnya Pokja Variabilitas dan Perubahan Iklim Provinsi. Selain sebagai pengguna utama data dan informasi iklim, petani juga merupakan sumber informasi iklim yang strategis, melalui pencermatan dan interpretasi lapangan, baik menurut kearifan lokal (local wisdom) maupun pendekatan diskriptif dengan alat sederhana. Peran tersebut diwujudkan melalui kelompok tani dan/atau sekolah lapang iklim (SLI) yang fungsinya menghasilkan, mengolah, dan mengomunikasikan informasi iklim untuk menetapkan sistem usaha tani, pola tanam, dan teknologi yang paling menguntungkan dengan risiko paling kecil. Pendekatan SLI akan sangat tepat jika diterapkan dalam pendekatan SLPTT dan SLPHT. Hubungan kerja dan komunikasi secara fungsional antara peneliti, penyuluh, dan petani atau secara struktural antara BMKG-Kementerian Pertanian dan Pemda/ Dinas Provinsi-Pemda/Dinas KabupatenBakorluh/penyuluh sangat menentukan efektivitas sistem informasi iklim. Masalah utama yang dihadapi dalam mekanisme kerja sistem informasi iklim dan teknologi adalah lemah dan kurang efektifnya sistem koordinasi dan hubungan kerja serta
84
Irsal Las et al.
rentang kendali antara Pusat-ProvinsiKabupaten-Kecamatan, terutama dalam pelaksanaan dan rentang kendali program. Tata hubungan kerja kelembagaan yang seharusnya, baik yang terkait dengan informasi iklim maupun informasi teknologi dan sarana produksi, serta dalam rentang kendali operasionalisasi program dan kebijakan digambarkan secara skematis pada Gambar 1. Secara berjenjang, arus informasi iklim dan teknologi dari Pusat (Kementerian Pertanian) ke penyuluh dan petani meliputi: (1) informasi iklim, terutama terkait dengan prakiraan musim dan sifat curah
Satgas DPI/Pokja Variabilitas dan Perubahan Iklim, BMKG
hujan yang telah diolah; (2) kalender tanam dan cetak biru banjir dan kekeringan dari Badan Litbang Pertanian dan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian; serta (3) sistem dan informasi peringatan dini (early warning) untuk OPT dari Ditjen Tanaman Pangan, melalui Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Sebaliknya, informasi dari lapangan yang bersumber dari petani/penyuluh melalui kelompok tani/gabungan kelompok tani, POPT-PHP, dan peneliti, antara lain berupa: (1) data iklim dan serangan OPT; (2) kebutuhan teknologi dan sarana produksi (pupuk, benih, pestisida); dan (3)
Menteri Pertanian
W Badan Litbang
W
W
Ditjen Teknis
BPPSDMP
Gubernur
Satgas DPI Provinsi WW
W
W W
Dinas Teknis
Bakorluh
W
BPTP
W
Bupati/Walikota
Satgas DPI Kab/Kota W W Peneliti
W W
W Bappeluh
Dinas Teknis W
Kecamatan
W
KCD/Mantri Tani
BPP W
Desa/Kelurahan
Kelompok Tani
Gambar 1. Tata hubungan kerja kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan informasi iklim, teknologi, dan sarana produksi pertanian (Kementerian Pertanian 2010).
Antisipasi perubahan iklim dalam ...
umpan balik terhadap informasi yang tidak akurat atau rekomendasi/teknologi yang kurang tepat. Kecepatan dan ketepatan penyampaian informasi bottom up kepada pengambil kebijakan juga sangat menentukan efektivitas sistem informasi iklim.
KESIMPULAN Perubahan iklim global yang antara lain berimbas pada peningkatan intensitas kejadian anomali iklim, berdampak sangat serius terhadap ketahanan pangan nasional, terutama sistem produksi padi. Walaupun sektor pertanian juga dapat berperan dalam upaya mitigasi perubahan iklim, prioritas utama ditujukan pada upaya adaptasi, terutama dalam menyelamatkan produksi padi nasional. Strategi yang dapat ditempuh dalam penyelamatan produksi padi adalah penyesuaian pola tanam, penerapan teknologi adaptif, terutama varietas adaptif dan tahan, teknologi antisipasi dan pengendalian OPT, teknologi panen dan pascapanen serta pengelolaan sumber daya, terutama lahan dan air. Keberhasilan berbagai upaya adaptasi tersebut bergantung pada ketepatan pilihan teknologi atau penyesuaian yang sangat ditentukan oleh arus informasi iklim dan teknologi. Selain tepat, akurat, dan lengkap, informasi iklim dan teknologi harus sampai ke penyuluh secara tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA Boer, R. and A.R. Subbiah. 2005. Agriculture drought in Indonesia. p. 330– 344. In V. S. Boken, A.P. Cracknell, and
85
R.L. Heathcote (Eds.). Monitoring and Predicting Agricultural Drought: A global study. Oxford Univ. Press. Boer, R. 2006. Pendekatan dalam mengelola risiko iklim. Makalah disajikan dalam Seminar Pelatihan Dosen-dosen Perguruan Tinggi Indonesia Bagian Barat. BIOTROP, Bogor, 7 September 2006. Boer, R., A. Buono, Sumaryanto, E. Surmaini, A. Rakhman, W. Estiningtyas, K. Kartikasari, and Fitriyani. 2009. Agriculture Sector. Technical Report on Vulnerability and Adaptation Assessment to Climate Change for Indonesia’s Second National Communication. Ministry of Environment and United Nations Development Programme, Jakarta. Boer, R., A. Buono, A. Sumaryanto, E. Surmaini, I. Las, dan Yelly. 2011. Dampak kenaikan muka air laut pada penggunaan lahan sawah di kawasan pantura. Laporan Akhir Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim Sektor Pertanian (in press). Ditjen Tanaman Pangan. 2011. Rapat Pimpinan Ditjen Tanaman Pangan 2011. Jakarta, 11-13 Januari 2011. Kementerian Pertanian. 2010. Road Map Strategi Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Kementerian Pertanian, Jakarta. 102 hlm. KP3I (Konsorium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim). 2009. Laporan Akhir Kegiatan 2008-2009. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Las, I. 2000. Peluang Kejadian EI Nino dan La-Nina Tahun 1900 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Las, I., E. Rontuwu, H. Syahbuddin, K. Subagiyono, A. Unadi, I. Amien, K.S.
86
Irsal Las et al.
Hariyanti, M.W.T. Nugroho, A. Hamdani, E. Surmaini, R. Shofiyati, F. Ramadhani, S.H. Adi, Nasrullah, dan A. Parmudia. 2007-2010. Atlas Kalender Tanam Jawa-Sumatera-Sulawesi, Kalimantan-Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Papua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Naylor, R.L., D.S. Battisti, D.J. Vimont, W.P. Falcon, and M.B. Burke. 2007. Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proceeding of the National Academic of Science 114: 7752-7757.