Jurnal Keuangan dan Bisnis Vol. 5, No. 3, November 2013
ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN IKLIM YANG EKSTREM DAN ANCAMAN TERHADAP PRODUKSI BERAS DI PROPINSI SUMATERA UTARA Zahari Zen (
[email protected]) Dosen STIE-Harapan Medan ABSTRACT The aims of this study is to understand the substance of decreasing areal of rice field and the threat to food security particularly rice in North Sumatera due to climate variability and climate change. It is expected that the Government of North Sumatera could develop strategies to anticipate extreme climate events and to mainstreaming farmers’ adaptation to climate change in the form of necessary steps to secure the rice production in North Sumatera. North Sumatera Government should also refer to the Presidential Decree No. 5 year 2011 concerning safeguarding the national rice production facing extreme climate conditions. The result of the study shows that rice planting area in North Sumatra was 1,619,792 ha in 2011 with cropping index were still low at only 1.6 or less than 2 harvests per year. Climate change particularly erratic rainfall in many districts in North Sumatra, have caused area of rice declined since 2002 to 2009, although rice production increased notably from 2006 to 2010 due to the intensification programs and expanding rice field. Poorly, there is only 23% of technical irrigated rice field in North Sumatra. Decreasing in rice field is not only attributed to the lack of irrigation water, but also due to bad irrigation infrastructure conditions in some districts. The impact of climate change along with poor irrigation infrastructure plus government price policy (HPP) that below the village market price led to the increasing conversion of paddy fields into plantations. It threatens food security in North Sumatra. North Sumatra rice imports have increased since 2005 -2007. Of particular concern is the condition of the small farmers whose acreage is less than ½ ha of rice fields were not able to do the conversion because of the initial investment costs is high and long immature period of the trees. Many strange sights which have small area of rice fields surrounded by palm oil plantations in North Sumatra and some rice farmers have sold their rice field to wealthy farmers to grow oil palm. Recommendations for adaptation action plans in North Sumatra is to extend the use of the new high yielding varieties that more resistant to climate change, the need for expanding rice fields programs and the need to rehabilitate damaged irrigation infrastructure. Very important program supports are the development of Integrated Crop Management Field School (SL-PTT), Field School for Pest and Disease Control (SLPHT); Climate Field School (SLI), Integrated Planting Calendar (Katam); and Sapta Usaha Tani program. It has been proposed to coordinate the development of new integrated strategies in empowering agriculture extension officers; meeting coordination and socialization between related institution; post coordination center at Sub-District level, District/ City and Provincial level. The expected output is increasing cropping index (IP); increased planted and harvested area; increased rice production, and improve food self-sufficiency. The impact of these programs and activities are expected to increase the adaptability of rice farmers on extreme climate change. Keywords : Extreme Climate Events, Climate Change, Rice Production, Cropping Index and Vulnerability
Utara dipengaruhi oleh keadaan usaha tani cuaca dan iklim dan kebijakan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan petani dan masyarakat konsumen beras. Luas tanam
LATAR BELAKANG Kondisi penyediaan beras dalam rangka pengamanan pangan di Sumatera 190
2013
Zahari Zen
padi di Sumatera Utara adalah 754.679 ha pada tahun 2011 dengan indeks pertanaman masih rendah yaitu hanya 1,6 atau kurang dari 2 kali panen setahun. Dari data statistic sejak tahun 2002 hingga tahun 2011 terus terjadi penurunan areal padi walaupun usaha pemerintah dalam pencetakan sawah telah mulai dilakukan sejak 2009 namun masih kalah dibandingkan laju konversi lahan sawah ke tanaman perkebunan.
khususnya masalah tanaman padi dan menguji seberapa jauh kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam menghadapi masalah ketahanan pangan khususnya masalah beras di Sumatera Utara.
METODE PENELITIAN Data sekunder yang berkaitan dengan iklim, produksi beras di Sumatera Utara, data indeks pertanaman setiap Kabupaten, data curah hujan sepuluh tahun terakhir merupakan metode utama melihat secara umum fenomena iklim dan produksi beras. Kemudian darta sekunder dilengkapi untuk mengetahui kebijakan pemerintah pusat dalam menetapkan Harga Patotan Pemerintah (HPP) . Pada tahap ke dua dilakukan kunjungan ke daerah sentra produksi padi di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Simalungun, Kabupaten Batubara dan Kabupaten Asahan dimana fasilitas irigasi yang sangat memprohatinkan karena kurangnya pemeliharaan dan kerusakan. Interview dengan petani juga dilakukan untuk mengetahui berbagai aspek usahatani termasuk harga gabah, harga pupuk, maslaha konversi lahan dan sebagainya, interview juga dilakukan dengan petugas Dinas Pertanian Kabupaten tersebut dan PU Pengairan atau Dinas Sumberdaya air. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011- 2012.
Adanya perubahan iklim khususnya curah hujan yang tidak menentu diberbagai Kabupaten di Sumatera Utara, telah menyebabkan luas areal padi menurun sejak periode tersebut diatas, meskipun demikian produksi padi meningkat khususnya sejak 2006 hingga 2010 karena adanya program dan kegiatan intensifikasi. Sebagai gambaran hanya 23 % lahan sawah beririgasi tehnis artinya yang dapat menjamin penanaman padi bisa dilakukan 2 kali setahun atau bahkan dengan usha yang terkoordinir bersama petani bisa dilakukan 5 kali dalam 2 tahun. Sedang sisanya sebanyak 77 % sangat terancam tidak saja karena kekurangan air karena kemarau yang sangat kering, tetapi juga terlalu banyak air karena banjir. Penurunan luas areal padi selain disebabkan oleh debit air irigasi menurun, juga disebabkan kondisi infrstruktur irigasi yang semakin rusak dibeberapa Kabupaten. Dampak perubahan iklim dan infrastruktur irigasi yang buruk ditambah kebijakan harga patokan pemerintah (HPP) beras dibawah harga pasar menyebabkan semakin meningkatnya konversi lahan sawah ke areal perkebunan (JICA, 2012). Impor beras Sumatera Utara telah meningkat sejak tahun 2005 -2007.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertanian memegang peranan yang penting di Sumatera Utara karena hampir separuh tenaga kerja di Sumatera Utara, yaitu sekitar 48%, bekerja di sektor pertanian. Jumlah rumah tangga pertanian tanaman pangan di Sumatera Utara mencapai 1,2 juta kepala keluarga dengan PDRB sektor pertanian mencapai 22,58% pada tahun 2011.
Kondisi yang memprihatinkan adalah petani kecil yang areal sawahnya kurang dari ½ ha tidak mampu melakukan konversi karena biaya investasi awal perkebunan yang tinggi. Banyak pemandangan aneh dimana areal sawah yang sempit telah dikelilingi oleh perkebunanperkebunan sawit di Sumatera Utara dan sebagian sawah petani kecil telah dijual kepada petani kaya untuk perkebunan kelapa sawit . Dengan gambaran diatas penelitian ini akan mengeksplorasi keterkaitan berbagai faktor yang saling berkaitan satu dengan lainnya dan mengevaluasi kebijakan 191
190 - 197
Jurnal Keuangan & Bisnis
November
Tabel 2. Indeks Pertanaman Sumatera Utara Indeks Pertanaman 2011
Luas Lahan (Hektar)
IP < 1
123.217
1 < IP < 1,5
114.267
1,5 < IP < 2
203.010
IP > 2
42.291
JUMLAH Gambar 1.
Perbandingan Tenaga Kerja Pertanian Dan Non Pertanian Di Sumatera Utara
Tabel 1. Perkembangan Indikator Utama Perekonomian Sektor Pertanian N o.
Uraian
1
PDRB Sektor Pertanian
23,03
22,92
22,58
2
Nilai Tukar Petani (NTP) Sektor TPH
100,82
102,36
103,44
- NTP Pangan
97,64
98,47
99,67
- NTP Hortikultura
115.03
109,68
113,29
Pertumbuhan sektor Pertanian
4,81
5,08
5,61
3
2009
2010
2011*
482.785
Sumber: Lusyantini, 2011
Dari Tabel 2 terlihat hanya sekitar 42 ribu ha yang memiliki IP diatas 2 sedangkan sebagian besar IP dibawah dua atau lebih dari 90% areal dibawah 2. Ini berarti masih adapotensi untuk meningkatkan produksi beras sepanjang infrastruktur irigasi bisa ditingkatkan kapasitasnya dan intensifikasi pertanian. Siklus produksi padi di Sumatera Utara mencapai puncaknya pada bulan Desember sampai Maret setiap tahunnya dengan periode puncak tanam sekitar bulan September sampai Desember ( Gambar 2).
Ket :(*) S/d Triwulan III Tahun 2011 Sumber : Lusyantini, 2011 bahan Presentansi “Dukungan yang Dibutuhkan Dalam Rangka Memberhasilkan Surplus Beras” (Dinas Pertanian Sumatera Utara)
Gambar 2. Sebagian besar lahan pertanian di Sumatera Utara masih memiliki indeks pertanaman di bawah 2, yang berarti pada sebagian besar lahan pertanian terdapat kurang dari 2 kali panen dalam satu tahun seperti terlihat pada Table 2 berikut ini.
Siklus Produksi Sumatera Utara
Beras
Dari Gambar 2 terlihat konsumsi beras pada tahun 2010 relatif konstan pada kisaran 150,000 ton tapi produksi pada bulan-bulan tertentu misalnya bulan April, Mai, Juli dan November produksi berada dibawah konsumsi artinya tanpa ada
192
2013
Zahari Zen
cadangan beras Bulog Sumatera Utara akan kekurangan bahan pokok pangan tersebut. Luas Panen, Produktivitas,Produksi Padi Dan Hubungannya Dengan Curah Hujan di Sumatera Utara Dari data statistic terlihat bahwa telah terjadi penurunan luas panen di Sumatera Utara pada tahun 2002 hingga 2006. Pada kasus penurunan luas panen tahun 2002, luas panen dapat kembali naik ke angka 800.000 hektar pada tahun berikutnya. Sementara pada kasus penurunan luas panen pada tahun 2006, sampai tahun 2009 luas panen belum dapat pulih kembali untuk mencapai angka 800.000 hektar. Sementara itu produktivitas syukurnya dapat terus bertambah terus karena semakin giatnya intensifikasi, meskipun produksi berkurang pada tahun 2006 namun terus meningkat hingga 2009.
Sumber : Dinas Pertanian 2012
Gambar 3. Curah Hujan Rata-Rata Perbulan 2009/2010 Dan Luas Tanam Padi Sawah 2010 Apabila dikaitkan dengan data seri waktu data curah hujan per Kabupaten, maka pada tahun 2005-2006 di Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan masa sulit dalam penanaman padi karena curah hujan yang tidak menentu. Pada bulan Desember 2005 sampai Januari 2006 sangat kering sementara pada bulan Februari 2006 curah hujan meningkat sangat tinggi. Bulan-bulan berikutnya cenderung kering yaitu bulan Maret sanpai Juli 2006 (Gambar 4 ).
Tabel 3. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Provinsi Sumatera Utara Tahun
Luas Panen Area (Ha)
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
838,626 847,610 801,948 765,161 825,188 826,091 822,073 705,023 750,232 748,540 768,407
Produktivitas (Kw/Ha) 41.16 41.46 41.04 41.21 41.24 41.39 41.94 42.66 43.53 44.63 45.91
Produksi (Ton) 3,451,430 3,514,253 3,291,515 3,153,305 3,403,075 3,418,782 3,447,393 3,007,636 3,265,834 3,340,794 3,527,899
Sumber : BPS Pusat “Pertanian dalam Angka 1999-2009”
Apabila dilihat hubungannya dengan produksi padi di sumatera Utara, maka pola curah hujan hamper menyamai pola produksi seperti disajikan pada Gambar 3 berikut ini.
Gambar 4.
193
Perbandingan perkembangan luas tanam padi dan komoditas perkebunan untuk Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara dan Padang Lawas
190 - 197
Jurnal Keuangan & Bisnis
November
Kabupaten Simalungun dimana terjadi penurunan luas panen padi dan peningkatan luas tanam kelapa sawit. Hal ini mengindikasikan telah terjadinya perubahan fungsi lahan untuk pertanian padi menjadi lahan kelapa sawit dan karet. Bila dikaitkan dengan ketersediaan infrastruktur irigasi , menunjukan tingkat kerentanan pangan kita sangatlah tinggi karena hanya sekitar 23 % saja lahan sawah yang beririgasi tehnis, sisanya adalah sawah tadah hujan, irigasi desa danirigasi sederhana. Jadi dari sudut indeks pertanaman masih mungkin dilakukan untuk meningkatkan produksi padi dalam mengantisipasi ketidak menentuan iklim.
Gambar 5. Perbandingan Perkembangan Luas Tanam Padi Dan Komoditas Perkebunan Untuk Kabupaten Labuhan Batu
Gambar 7. Tingkat Kerentanan Pangan
Gambar 6.
Berkaitan dengan harga pupuk juga menjadi beban petani dan sangat menurunkan indeks nilai tukar komoditi padi. Grafik berikut menggambarkan harga pupuk yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Perbandingan Perkembangan Luas Tanam Padi Dan Komoditas Perkebunan Untuk Kabupaten Simalungun
Apabila diamati data luas tanam karet dan kelapa sawit dibandingkan dengan luas panen padi di Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara, dan Padang Lawas, maka terlihat adanya perkembangan luas tanam kelapa sawit terutama pada tahun 2003 sampai 2004 dan karet pada tahun 2004-2008 tetapi pada periode yang sama sebaliknya telah terjadi p penurunan luas panen padi tahun 2007-2009. Demikian pula di Kabupaten Labuhan Batu, terlihat pola dimana terjadi peningkatan luas tanam kelapa sawit sementara luas panen padi berkurang. Hal yang sama juga terlihat pada
Gambar 8. Perkembangan Harga Pupuk Urea Di Sumatera Utara 2001-2007 194
2013
Zahari Zen
Dari Grafik diatas terlihat bahwa harga pupuk urea cenderung meningkat setiap tahunnya. Kenaikan harga pupuk akan meningkatkan biaya produksi petani, yang mempengaruhi nilai tukar petani padi. Nilai tukar petani padi di Sumatera Utara pada tahun 2009 masih di bawah 100 yaitu sebesar 96,23. Dengan Nilai Tukar yang lebih rendah dari tanaman perkebunan atau petani hortikultura, maka tidak heran terjadi alih fungsi lahan atau konversi dari tanaman padi menjadi tanaman perkebunan dan tanaman lainnya.
dilakukan oleh pemerintah Grafik berikut ini.
Kebijakan Harga Patokan Pemerintah (HPP) dan Perbandingannya dengan Harga Padi di Pedesaan
Gambar 10. Perkembangan Impor Beras Dan Pengadaan Dalam Negeri
Grafik berikut menggambarkan perbandingan harga jual beras dan HPP untuk kualitas Gabah Kering Panen (GKP). Sejak tahun 2005, harga yang ditetapkan pemerintah (HPP) lebih rendah dari harga petani di pasaran sehingga BULOG tidak membeli beras dari petani.
seperti
Sebagaimana dijelaskan dimuka bahwa kegiatan intensifikasi telah dapat menghindari impor beras, maka sejak 2008 tidak ada lagi pemasukan beras dari luar Sumatera Utara. Sumatera pada dasarnya juga meng ekspor beras ke propinsi tetangga khususnya provinsi Riau. Berdasarkan temuan-temuan tersebut maka, dapat dilakukan pemetaan masalah. Perubahan iklim dan variabilitas iklim menyebabkan bencana alam seperti banjir dan kekeringan yang bersamaan dengan kurangnya pengembangan dan pemeliharaan sistem irigasi menyebabkan luas panen berkurang dan penurunan frekuensi panen. Luas panen berkurang menyebabkan tidak ada pertambahan produksi padi yang signifikan. Penurunan frekuensi panen bersamaan dengan harga pupuk yang terus meningkat, biaya produksi, kebijakan harga pemerintah yang menetapkan HPP yang terlau rendah sehingga tidak mampu bersaing dengan tengkulak, dan impor beras mempengaruhi NTP petani padi rendah yang menyebabkan petani melakukan alih fungsi lahan.
Gambar 9. Perbandingan Harga Jual Beras Petani Dan HPP
Dari data diatas terlihat bahwa petani tidak terlindungi oleh kebijakan pemerintah, sehingga petani lebih tergantung pada tengkulak. Hal ini terlihat dari data impor beras yang 195
190 - 197
Jurnal Keuangan & Bisnis
November
2039 (JICA 2012). Artinya ancaman gagal panen karena banjir diperkirakan akan semakin besar, karena meningkatnya kerentanan. Kerentanan merupakan dampak faktor-faktor selain iklim. Berdasarkan IPCC, kerentanan suatu daerah merupakan fungsi dari exposure (terpar) karena kerusakan lingkungan, sensitifitas suatu daerah, dan kapasitas adaptasi daerah tersebut. SIMPULAN dan SARAN Kesimpulan yang dapat diambil dari temuan-temuan ini adalah perubahan iklim yang tidak menentu berdampak pada sektor pertanian seperti yang terjadi pada tahun 2001-2002 dan 2005-2006. Daerah Sumatera Utara termasuk daerah dengan sensitifitas tinggi terhadap kejadian ekstrim karena lahan pertanian tanpa irigasi masih tinggi (sekitar 40%), dan sebagian besar petani di Sumatera Utara adalah petani kecil dengan kepemilikan lahan yang kecil. Terjadinya konversi lahan justru mempersulit petani padi sawah yang arealnya kurang dari ½ ha karena tidak mungkin melakukan konversi dengan hanya memiliki 60 pohon sawit tidak akan dapat menunjang kehidupan keluarga, ditambah lagi investasi awal yang mahal, masa tanaman belum menghasilkan yang panjang 3,5 th, dan harga sawit yang berflutuasi. Terdapat beberapa faktor ekonomi dan sosial yang mempengaruhi petani mengkonversi lahannya yaitu harga beras dan pupuk, meningkatnya permintaan akan kelapa sawit, dan kompetisi penggunaan lahan dan air.
Gambar 11. Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Yang Mengancam Ketahanan Pangan Dari gambar diatas juga terlihat bahwa pertumbuhan penduduk dan permintaan minyak kelapa sawit menyebabkan kompetisi dalam penggunaan lahan dan air. Kompetisi tersebut bersamaan dengan deforestasi juga mempengaruhi alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan yang terjadi juga akan menyebabkan luas panen padi terus berkurang dan sehingga tidak ada penambahan produksi padi yang signifikan Proyeksi Iklim Masa Depan (DNPI) Pada laporan DNPI, wilayah Sumatera Utara dibagi ke dalam 4 tipe wilayah berdasarkan kesamaan pola curah hujan. Pada tahun 2025 terdapat beberapa daerah yang mengalami peningkatan curah hujan lebih dari 10 % yaitu daerah tipe 3 pada bulan Maret, April, dan Juni dan daerah tipe 4 pada bulan Desember sampai Mei. Sedangkan pada tahun 2050 daerah yang mengalami kenaikan curah hujan lebih dari 10% adalah daerah tipe 2 pada bulan Juni, Juli, dan Agustus, dan daerah tipe 3 dan 4 pada bulan Desember sampai Mei. Berdasarkan proyeksi Curah Hujan (BMKG) 2015-2039. Berdasarkan proyeksi tersebut maka daerah pesisir Sumatera Utara akan menjadi lebih basah atau mengalami peningkatan curah hujan pada tahun 2015-
Dampak perubahan iklim tidak mungkin diatasi dalam waktu dekat, oleh karena itu prioritas pembangunan adalah melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat dan daya tahan lingkungan agar mampu mengantisipasi kejadian-kejadian iklim yang ekstrim. Pemerintah sebaiknya memasukkan rencana aksi adaptasi perubahan iklim dalam RPJMD dan RPJP pembangunan pertanian di Sumatera Utara, khususnya dalam mengamankan produksi beras. Kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi pupuk, meningkatkan harga HPP diatas 196
2013
Zahari Zen
harga tengkulak. Kesadaran semua stakeholder tentang ancaman bencana iklim, khususnya pada petani perlu dilakukan secara terus menerus. Pendidikan sekolah lapangan iklim, sekolah pengendalian hama terpadu, penggunaan bibit yang tahan kekeringan dan banjir segera diperluas keseluruh Kabupaten di Sumatera Utara.
Susandi, A. (2006). Projection of Climate Change over Indonesia using MAGICC/SCENGEN Model.
DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E and Djamil, S.D. (2006). Long term rainfall trend of the brantas catchment area, East Java. Indonesian Journal of Geography 38:26-40. Boer, R., A. Buono, Sumaryanto, E. Surmaini, A. Rakhman, W. Estiningtyas, K. Kartikasari, and Fitriyani. (2009). Agriculture Sector. Technical Report on Vulnerability and Adaptation Assessment to Climate Change for Indonesia’s Second National Communication. Ministry of Environment and United Nations Development Programme, Jakarta. McCarl, Adams, and Hurd (2001). Global Climate Change and Its Impact on Agriculture. http://agecon2.tamu.edu/people/fac ulty/mccarl-bruce/papers/879.pdf. Naylor, R.L., D.S. Battisti, D.J. Vimont, W.P. Falcon, and M.B. Burke. (2007). Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proceeding of the National Academic of Science 114: 77527757. Sudaryanto, T. (2009). Akselerasi Pengentasan Kemiskinan di Pedesaan: Revitalisasi Peran Sektor Pertanian. Naskah Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Sosial ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
197