LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN : DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PRODUKSI TANAMAN PANGAN DI SULAWESI SELATAN Dr.Ir.Nasrullah,MSc., dkk PENDAHULUAN Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman dan halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor. Pada saat ini ketahanan pangan nasional menghadapi ancaman serius yaitu terjadinya perubahan iklim yang berpengaruh besar terhadap stabilitas ketahanan pangan. Meningkatnya frekuensi kekeringan dan banjir diperkirakan akan memberikan dampak negatif pada produksi lokal, terutama pada sektor penyediaan pangan di daerah subtropis dan tropis. Terjadinya perubahan musim di mana musim kemarau menjadi lebih panjang sehingga menyebabkan gagal panen, krisis air bersih dan kebakaran hutan. Terjadinya pergeseran musim dan perubahan pola hujan, akibatnya Indonesia harus mengimpor beras. Sulawesi Selatan yang berpenduduk sekitar 8 juta jiwa, merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mengandalkan perekonomiannya pada sektor pertanian. Dengan produksi rata-rata 2,5 juta ton beras per tahun, telah menempatkan Sulsel sebagai daerah penyangga pangan nasional. Guna mengetahui sejauhmana perubahan iklim mempengaruhi produksi pangan untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan lokal maupun nasional, diperlukan data yang diperoleh melalui suatu kajian. Menelusuri
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
hambatan dan kendala yang dihadapi akibat perubahan iklim terhadap produksi pangan di Sulawesi Selatan sehingga dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk menjaga ketahanan pangan lokal maupun nasional maupun kesejahteraan ekonomi petani.
TINJAUAN PUSTAKA Perubahan iklim merupakan suatu yang sulit untuk dihindari dan memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan. Dampak ekstrem dari perubahan iklim terutama adalah terjadinya kenaikan temperatur serta pergeseran musim. Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini akan menurunkan
produksi tambak ikan
dan udang
serta mengancam
kehidupan masyarakat pesisir pantai (Anonimous, 2009). Perubahan iklim akan menyebabkan : (a) seluruh wilayah Indonesia mengalami kenaikan suhu udara, dengan laju yang lebih rendah dibanding wilayah subtropics; (b) wilayah selatan Indonesia mengalami penurunan curah hujan, sedangkan wilayah utara akan mengalami peningkatan curah hujan.
Perubahan pola hujan tersebut menyebabkan berubahnya awal
dan panjang musim hujan. Di wilayah Indonesia bagian Selatan, musim hujan yang makin pendek akan menyulitkan upaya meningkatkan indeks pertanaman (IP) apabila tidak tersedia varietas yang berumur lebih pendek dan tanpa rehabilitasi jaringan irigasi. Meningkatnya hujan pada musim hujan menyebabkan tingginya frekuensi banjir, sedangkan menurunnya hujan pada musim kemarau akan meningkatkan resiko kekeringan. Sebaliknya di wilayah di Indonesia bagian Utara, meningkatnya hujan pada musim hujan akan meningkatkan peluang indeks penanaman, namun kondisi lahan tidak sebaik di Jawa. Tren perubahan ini tentunya sangat berkaitan dengan sector pertanian (Tim Sintesis Kebijakan, 2008).
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Dalam kondisi tidak terjadi perubahan iklim, produksi padi di Indonesia akan mengalami penurunan hingga 65 juta ton pada tahun 2050. Namun, akibat perubahan iklim, penurunan produksi padi akan mencapai 90 juta ton atau turun hingga 38 persen. Selain padi, komoditi pangan lain, seperti jagung, kedelai, gula, dan minyak sawit juga akan mengalami penurunan produksi akibat dampak perubahan iklim. Pada 2050, produksi jagung akan turun dari 5 juta ton turun hingga 27,5 juta ton. Kedelai turun dari 3 juta ton hingga 25,2 juta ton. Gula turun dari 7 juta ton hingga 30 juta ton. Minyak sawit dari semula surplus 7 juta jadi minus 17 juta ton (Muhajir, 2010). Terkait dengan perubahan iklim di Sulawesi Selatan, bulan Agustus September biasanya masih merupakan musim kemarau, namun kali ini masuk kategori musim kemarau `basah` sehingga hujan di beberapa daerah di Sulsel kerap terjadi. Adanya perubahan iklim yang disinyalir merupakan siklus 30 tahunan, turut memicu tingginya curah hujan pada musim penghujan. Namun, tidak akan terlalu berpengaruh pada target produksi beras sedikitnya 2,5 juta ton tahun ini dari optimalisasi lahan sawah sekitar 890 hektare (ha) (Mappong,2008). Pengaruh kejadian iklim ekstrim sering
kali menstimulasi ledakan
(outbreak) beberapa hama dan penyakit utama tanaman padi, seperti tikus, penggerek batang, wereng coklat dan tungro. Kejadian El-Nino pada tahun 1997 yang diiringi La-Nina tahun 1998 berdampak pada ledakan serangan hama wereng di beberapa provinsi di Indonesia, terutama di Jawa Barat. Suhu udara dan kelembaban yang meningkat menyebabkan OPT mudah berkembangbiak. Pada kondisi iklim ekstrim LaNina, peningkatan kelembabam udara sangat signifikan yang menstimulasi ledakan serangan OPT (Susanti,E dkk, 2007)
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
METODA PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan metode survey dengan mengambil data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari Dinas terkait (propinsi dan kabupaten),
gapoktan, petani, serta PPL. Wawancara
dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Data yang akan diambil adalah data perubahan iklim (curah hujan), Perubahan pola tanam, Perubahan perkembangan OPT (luasan serangan OPT, Jumlah Kerugian, Langkah penanggulangan yang telah dilakukan oleh petani dan Pemda) dan perubahan Produksi tanaman pangan serta data lain yang mendukung. Analisis data dan interpretasinya menggunakan metode deskriptif serta analisis tabulasi. Metode tersebut merupakan suatu metode untuk meneliti status sekelompok manusia, obyek, kondisi, sistem pemikiran ataupun suatu klas peristiwa pada masa sekarang. Metode tersebut bertujuan untuk
membuat
gambaran
mengenai
situasi
atau
kejadian
atau
memberikan gambaran hubungan fenomena, membuat prediksi serta implikasi suatu masalah yang dipecahkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Kabupaten Wajo Kondisi Geografis Kabupaten wajo dengan ibu kotanya Sengkang, terletak di bagian tengah Provinsi Sulawesi Selatan, lebih 250 km dari Makassar Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, memanjang pada arah laut Tenggara dan terakhir merupakan selat, dengan posisi geografis antara 3º 39º - 4º 16º LS dan 119º 53º-120º 27 BT. Batas wilayah Kabupaten Wajo sebagai berikut : sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Sidrap; sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Soppeng; sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone; dan sebelah Barat dengan Kabupaten Soppeng dan Sidrap www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Luas wilayahnya 2.506,19 Km² atau 4,01% dari luas Propinsi Sulawesi Selatan dengan rincian Penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah 86.297 ha (34,43%) dan lahan kering 164.322 Ha (65,57%). Topografi dan Kelerengan Topografi Kabupaten Wajo mempunyai kemiringan lahan cukup bervariasi mulai dari datar, bergelombang
hingga berbukit. Sebagian
besar
wilayahnya tergolong datar dengan kemiringan lahan/lereng 0 – 2 % luasnya mencapai 212,341 Ha atau sekitar 84 %, sedangkan lahan datar hingga bergelombang dengan kemiringan / lereng 3 – 15 % luas 21,116 ha (8,43%), lahan yang berbukit dengan kemiringan / lereng diatas 16 – 40 % luas 13,752 Ha (5,50 %) dan kemiringan lahan diatas 40 % (bergunung) hanya memiliki luas 3,316 Ha (1,32%). Secara morfologi, Kabupaten Wajo mempunyai ketinggian lahan di atas permukaan laut (dpl) dengan perincian sebagai berikut : (1) 0 – 7 meter, luas 57,263 Ha atau sekitar 22,85 %; (2) 8 – 25 meter, luas 94,539 Ha atau sekitar 37,72 %; (3) 26 – 100 meter, luas 87,419 Ha atau sekitar 34,90 %; (4) 101 – 500 meter, luas 11,231 Ha atau sekitar 4,50 % dan (5) ketinggian di atas 500 meter luasnya hanya 167 Ha atau sekitar 0,66 %. Karakteristik Daerah Kabupaten Wajo berada pada ketinggian antara 0.s.d. 500 meter dari atas permukaan daerah 3 dimensi yang memiliki sumberdaya alam dengan yang terbagi atas: 1. Tanah berbukit/pegunungan (ketinggian 25 s.d 100 meter dpi seluas 7.378 Ha) berjejer dari selatan, di mulai dari Kecamatan Tempe ke Utara memasuki Wilayah kecamatan Maniangpajo, Gilireng, keera, dan Pitumpanua. Hamparan luas yang merupakan sumber daya hutan berfungsi sebagai konservasi dan pengamanan tat guna air yang berkesinambungan.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
2. Tanah daratan rendah (0.s.d 25 meter dpi seluas 205.588 Ha) merupakan hamparan lahan persawahan, perkebunan/tegalan pada wilayah Timur, tengah dan Barat, 3. Danau Tempe yang merupakan danau terluas di Provinsi Sulawesi Selatan berada di kawasan, Tengah dan Barat, sedangkan sebelah Timur terbentang pantai pesisir sepanjang 103 km termasuk kawasan Teluk Bone. Kawasan ini merupakan wilayah untuk pengembangan perikanan dan budidaya tambak. Di samping itu kabupaten Wajo juga didukung potensi sumber air yang cukup besar untuk pengairan air bersih. Baik air tanah maupun pemurkaan yang terdapat di danau dan di sungai-sungai besar seperti sungai Bila, Walennai, Gilireng, Cendranai dan Aw. Tata Guna Lahan Tata Guna Lahan di Kabupaten Wajo secara umum terdiri atas sawah, perkebunan, perumahan, tambak, fasilitas sosial, fasilitas ekonomi dan lahan kosong. Tabel 1. Tata guna lahan di kabupaten Wajo, Sulsel tahun 2011. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis Penggunaan Sawah Kebun Tegalan/lading Kampung Perkebunan rakyat Hutan Alang-alang Empang Rawa-rawa Danau Jumlah
Luas (Ha) 84.555 32.887 14.850 5.932 5.648 33.040 34.683 24.687 9,209 5.128 250.619
Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Wajo 2011
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
% 33.74 13.12 5.93 2.37 2.25 13.18 13.84 9.85 3.67 2.05 100.00
Pada Tabel 1 terlihat bahwa
sebagian besar lahan di kabupaten
Wajo merupakan lahan sawah (33,74%), selanjutnya lahan yang ditumbuhi alang-alang (13,84%) dan hutan (13,18%).
Iklim Kabupaten Wajo tergolong beriklim Type B dan Type dengan suhu antara 29oC sampai 31oC, curah hujan rata-rata 150 mm/tahun. Data Curah hujan
Curah hujan (mm)
10 tahun terakhir di kabupaten wajo dapat dilihat pada Gambar 1. 50000
45426
40000 30000
32638
27381
23178
32055
20186
15945
20000 18289
10000
18427
15870
0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 1. Data curah hujan Kabupaten Wajo 10 tahun terakhir. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pada tahun 2010 curah hujan lebih tinggi di banding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun tersebut terjadi hujan di setiap bulan. Sebaran Curah hujan per bulan pada tahun 2010 di kabupaten Wajo dapat dilihat pada gambar 2.
curah hujan (mm)
8000
6968
7110
6130
6000
3561
4000 2000
6870
4313 1098
3135
1584 2067
2230 360
0 Jan
Feb
Mar
Aprl
Mei
Juni
Juli
Agst Sept
Okt
Gambar 2. Data curah hujan kabupaten Wajo tahun 2010
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Nov
Des
Pada gambar 2 terlihat bahwa setiap bulan terjadi hujan. Peningkatan curah hujan mulai dari bulan Januari sampai Juli. Kemudian sedikit menurun pada bulan Agustus selanjutnya meningkat lagi pada bulan September dan menurun kembali pada bulan Oktober, Nopember dan Desember. Pada bulan Desember curah hujan sudah sangat sedikit. Dampak Perubahan Iklim Survey di kabupaten Wajo dilaksanakan di kecamatan Sabbangparu, Tanasitolo dan Sajoanging. - Dampak terhadap pola tanam Curah hujan di kecamatan Sabbangparu pada tahun 2010 dapat dilihat
Curah hujan (mm)
pada Gambar 3. 600
509 333
400
309
206 200
89
44
Jan
Peb
Mar
Apr
169
157
110
0
344
274
Mei
Jun
Jul
Agst
Sep
Okt
29 Nov
Des
Gambar 3. Curah hujan di kecamatan Sabbangparu tahun 2010. Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
responden
di
kecamatan
Sabbangparu, pada saat terjadi anomali iklim tahun 2010 pola tanam tidak mengalami perubahan.
Pola tanam pada sawah tadah hujan
adalah Padi – jagung – jagung, sedangkan pada lahan yang dekat dengan sungai (bantaran sungai) yang menggunakan pompanisasi adalah padi – padi - jagung. Waktu tanam yang mengalami perubahan. Pada saat tanam kedua, mundur beberpa waktu karena curah hujan yang tinggi. Sementara
di kecamatan Sajoanging yang merupakan dareah yang
letaknya agak tinggi, pada umumnya terdapat sawah tadah hujan. Pola tanam berbeda-beda.
Untuk sawah yang menggunakan pompanisasi
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
pola tanamnya Padi – Padi - Bero dengan system tanam pindah. Sementara sawah tadah hujan yang tidak menggunakan pompanisasi, pola tanamnya Padi – Palawija - Bero dengan system tanam hambur langsung. Pada saat terjadi anomaly iklim tahun 2010, ada sebagian lahan yang berubah pola tanamnya menjadi Padi – Padi - Palawija. Hal ini berarti ada peningkatan Indeks pertanaman. Curah hujan bulanan di kecamatan Sajoanging pada tahun 2010 dapat dilihat pada gambar 4.
curah hujan (mm)
1000
791 721
800
820 542
600 400 200
589 459 284
254 134
101
208
40
0 Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nop
Des
Gambar 4. Curah hujan (mm) di Kec. Sajoangin Kab. Wajo thn 2010. Sedangkan di kecamatan Tanasitolo umumnya sawah irigasi. tanamnya Padi-Palawija-Padi.
Pola
Pada saat terjadi anomaly iklim tahun
2010 pola tanam berubah menjadi Padi-Padi-Bero, karena curah hujan tinggi sehingga tidak bisa menanam palawija. Dengan demikian indeks pertanaman berkurang. Dampak terhadap Perkembangan OPT Perkembangan hama dipengaruhi oleh faktor iklim baik langsung maupun tidak langsung.
Terjadinya anomali musim, yakni masih
adanya hujan di musim kemarau juga dapat menstimulasi serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Pengaruh kejadian iklim ekstrim seringkali menstimulasi ledakan (outbreak) beberapa hama dan penyakit utama tanaman padi, seperti tikus, penggerek batang, wereng coklat dan tungro. Suhu udara dan www.sulsel.litbang.deptan.go.id
kelembaban
yang
meningkat
menyebabkan
OPT
mudah
berkembangbiak. Pada kondisi iklim ekstrim La-Nina, peningkatan kelembabam udara sangat signifikan yang menstimulasi ledakan serangan OPT (Susanti E, dkk 2007). Hal tersebut juga terjadi di kabupaten Wajo. Pada tahun 2010 hama yang paling dominan pada tanaman padi adalah penggerek batang dan tikus. Data serangan dan intensitas hama tersebut dapat dilihat pada
Luas serangan (Ha)
Gambar 5. 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Jan Peb Mar Apr Mei Jun
Jul
Ags Sep Okt Nop Des
P.Batang
79
200
78
92
230 444 504 328
0
158 194 231
Tikus
193 163
68
0
75
234 291 207
15
12
182 874
Keong Mas 56
0
0
69
0
120
34
0
0
14
85
62
W. Sangit
45
81
47
0
2
23
140
54
0
4
27
0
Gambar 5. Luas serangan (ha) OPT (Penggerek Batang, Tikus, Keong Mas dan Walang sangit) di kab. Wajo Tahun 2010 Selain itu hama kepik hitam menyerang pada bulan September dengan luas serangan 33 ha, dan bulan Desember dengan luas serangan 8 ha. Hasil wawancara di kecamatan Sabbangparu, Sakkoli dan Tanasitolo menyatakan bahwa hama penggerek batang dan tikus yang banyak menyerang tanaman padi. Ada beberapa tempat yang terserang keong mas, namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Hama yang sebelumnya belum pernah ada, pada tahun 2010 muncul yaitu kepik hitam. Meskipun tidak banyak tapi menurunkan kualitas gabah, karena rasa berasnya pahit.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Pada daerah yang dekat dengan sungai (tempat yang rendah) tidak terlalu banyak tikus yang menyerang. Sedangkan pada daerah yang lebih tinggi, banyak diserang tikus. Di kecamatan Tanasitolo tanaman padi juga terserang Kresek. Pada tanaman jagung serangan hama tidak seberat pada tanaman padi. Tercatat pada bulan Januari serangan ulat grayak seluas 44 ha dan penggerek tongkol seluas 20 ha, dan pada bulan Pebruari serangan tikus seluas 5 ha. Dampak terhadap Biaya Produksi Biaya produksi ikut terkena imbas anomaly iklim tahun 2010. Hasil wawancara di kecamatan Sabbangparu menunjukkan adanya penambahan biaya akibat banjir. Ada persemaian yang diulang sampai 3 kali karena terkena banjir. Pada persemaian pertama menggunakan benih BLBU. Kemudian terkena banjir, persemaian kedua masih menggunakan benih BLBU. Setelah banjir lagi, persemaian ketiga menggunakan benih sendiri. Dengan demikian ada penambahan biaya benih. Selain itu pupuk yang digunakan di persemaian juga bertambah karena harus diulang. Biasanya di persemaian digunakan pupuk urea sebanyak 30 kg. Biaya pengolahan tanah juga bertambah, karena tanah harus di traktor 2 kali. Setelah ditraktor terjadi banjir, akibatnya banyak lumpur/endapanendapan yang membuat tanah tidak rata sehingga harus ditraktor ulang. Biaya traktor Rp 600.000/ha. Biaya pestisida juga bertambah karena serangan hama lebih banyak dari musim sebelumnya. Hasil wawancara di kecamatan Sajoanging, biaya produksi betambah karena IP bertambah. Biaya pestisida lebih besar dibanding musim
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
sebelumnya karena jumlah pestisida yang digunakan lebih banyak akibat dari serangan hama yang meningkat. Selain itu, biaya panen juga bertambah. Biasanya panen dengan bagi hasil 7 : 1, tahun 2010 berubah menjadi 6 : 1. Alasan pemanen merubah hal tersebut karena panen pada saat hujan sehingga pengerjaannya lebih sulit. Dampak terhadap Produksi tanaman Pangan Anomali iklim tahun 2010 akhirnya berdampak terhadap produksi tanaman pangan dalam hal ini Padi dan Jagung. Luas tanam, luas panen, lahan puso, Produksi dan produktivitas tanaman padi di kabupaten Wajo selama 5 tahun terakhir (tahun 2006-2010) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Luas tanam (ha), Luas Panen (ha), Lahan puso (ha),Produksi (ton) dan Produktivitas (ton/ha) tanaman padi di kab. Wajo tahun 20062010. Uraian 2006
2007
Padi Luas Tanam (ha) 97,208 126,534 Luas Panen (ha) 78,936 92,966 Puso (ha) 25,457 13,217 Produksi (ton) 350,107 383,924 Produktivitas (t/ha) 4,43 4,13 Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan Kab.
Tahun 2008 133,779 117.748 3.613 544.409 4,62 Wajo
2009
2010
136.889 146.412 109.858 100.924 14.229 8.173 551.929 443.743 5,02 4,39
Pada Tabel 2 terlihat bahwa pada tahun 2010 Luas tanam meningkat dibandingkan dengan luas tanam pada tahun sebelumnya. Tetapi luas panen, produksi dan produktivitas menurun pada tahun 2010. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Berdasarkan hasil wawancara di kecamatan Sabbangparu, Tanasitolo dan Sajoanging, produksi turun karena curah hjan yang tinggi. Di kecamatan Tanasitolo(sawah irigasi) biasanya produksi rata-rata 6,5 t/ha turun menjadi 5–5,5t/ha. Di kecamatan Sajoanging (sawah tadah hujan) biasanya produksi 6,5 t/ha turun menjadi 5 t/ha karena hama tikus.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
551,929
600,000 500,000
383,924
400,000
544,409 443,743
300,000
350,107
Curah hujan (mm)
200,000 100,000
18,427
27,381
32,055
2006
2007
2008
-
45,426
15,945 2009
Produksi padi (ton)
2010
Gambar 6. Curah hujan (mm) dan Produksi Padi (ton) di Kab.Wajo th.2010 Demikian pula pada tanaman jagung, terjadi penurunan produksi yang cukup besar pada tahun 2010, dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Hal ini disebabkan oleh tingginya curah hujan. Data luas
tanam, Luas panen, lahan puso, Produksi dan produktivitas tanaman jagung di kabupaten Wajo selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Luas tanam (ha), Luas Panen (ha), Lahan puso (ha),Produksi (ton) dan Produktivitas (ton/ha) tanaman jagung di kabupaten Wajo tahun 2006-2010. Uraian 2006
2007
Tahun 2008
Jagung Luas Tanam (ha) 14,158 11,642 Luas Panen (ha) 6,714 11,540 Puso (ha) 1,632 3,029 Produksi (ton) 24,419 45,995 Produktivitas (t/ha) 3,64 3,99 Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan Kab.
2009
17.271 19.170 14.018 14.397 4.408 534 66.600 68.400 4,75 4,75 Wajo thn 2010
Pada Tabel 3 terlihat selain penurunan produksi jagung juga terjadi penurunan produktivitas.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
2010 6.258 11.251 1.067 29.039 2,58
Data Produksi Jagung (ton) dan Curah hujan (mm) di Kab Wajo
Curah hujan (mm)
Produksi (ton)
66,600
24,419 18,427 2006
58,149
45,995 27,381
32,055
2007
2008
45,426 29,039
15,945
2009
2010
b. Kabupaten Jeneponto Letak Geografi dan Luas Wilayah Kabupaten Jeneponto terletak antara 5o23'12” – 5o42’1,2” Lintang Selatan dan 119o29'12” – 119o56’44,9” Bujur Timur. Berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan Takalar di sebelah Utara, Kabupaten Bantaeng di sebelah Timur, Kabupaten Takalar sebelah Barat dan Laut Flores di sebelah Selatan. Luas wilayah Kabupaten Jeneponto tercatat 749,79 km persegi yang meliputi 11 kecamatan,yaitu: Kecamatan Bangkala, Batang, Kelara, Binamu, Tamalatea, Bontoramba, Rumbia, Turatea, Tarowang, Arungkeke, dan Bangkala Barat. Kondisi tanah (topografi) Kabupaten Jeneponto pada bagian utara terdiri dari dataran tinggi dengan ketinggian 500-1400 meter di atas permukaan laut, bagian tengah dengan ketinggian 100-500 meter dari permukaan laut dan pada bagian selatan meliputi wilayah dataran rendah dengan ketinggian 0-150 meter di atas permukaan laut. Jenis Tanah ( Soil Type) di Kabupaten Jeneponto terdapat 6 (enam) jenis, yaitu : (1) Tanah Alluvial : di Kecamatan Bangkala, Binamu dan Tamalatea, (2) Tanah Gromosal : di Kecamatan Tamalatea, Binamu , Bangkala dan Batang, (3) Tanah Maditeren : di kecamatan Bangkala, Batang, Kelara dan Binamu, (4) Tanah Latosol : di Kecamatan Bangkala Tamalatea dan Kelara, (5) Tanah Andosil : di Kecamatan Kelara dan (6) Tanah Regonal : pada 11 Kecamatan di Kabupaten Jeneponto.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Keadaan musim di Kabupaten Jeneponto pada umumnya sama dengan keadaan musim di Sulawesi Selatan yakni musim hujan (bulan Nopember s/d bulan April) dan musim kemarau (bulan Mei s/d bulan Oktober). Terdapat 2 type iklim di daerah yakni type iklim D3 dan Z4 berkisar 5 sampai 6 bulan untuk kondisi kering dan 1 sampai 3 bulan dengan kondisi basah, sedangkan type iklim C2 berkisar 5 sampai 6 bulan dengan kondisi basah dan 2 sampai 3 bulan dengan kondisi lembab di jumpai pada dataran tinggi yang pada umumnya berada di wilayah Kecamatan Kelara dan Rumbia. Walaupun
tanaman
padi
bukan
merupakan
unggulan
kabupaten
Jeneponto, namun penanaman padi yang dilakukan dapat mencukupi kebutuhan pangan di kabupaten ini. Potensi tanaman Jagung merata di 11 kecamatan dan terbesar di Sulawesi Selatan, bahkan akan menjadi menjadi pusat pengembangan dan penelitian jagung kuning terbesar di Pulau Sulawesi. Meski memiliki produksi yang besar, produksi jagung kuning masih dikelola secara tradisional, masih bersifat bahan baku. Dampak Perubahan Iklim Survey di kabupaten Jeneponto dilaksanakan di kecamatan Turatea, Kelara dan Bangkala Barat. - Dampak terhadap pola tanam Secara umum pada tahun 2010 di kabupaten Jeneponto terjadi perubahan pola tanam. Pada sawah irigasi pola tanam dari Padi-jagung-Bero berubah menjadi Padi-Padi-Bero.
Pada sawah tadah hujan pola tanam Jagung –
Bero berubah menjadi Padi – Jagung. Sementara di Lahan Kering yang biasanya Jagung – Tumpangsari berubah menjadi Jagung-Tumpangsari-
Kacang-kacangan. Perubahan pola tanam terjadi karena ketersediaan air
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
yang cukup banyak. Berdasarkan data curah hujan Stasiun Klimatologi Benteng/Allu Kabupaten Jeneponto (Gambar 8), pada tahun 2010 secara umum
curah
hujan
disetiap
bulan
lebih
tinggi
dibanding
tahun
sebelumnya. 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Thn 2008 Thn 2009 Thn 2010 Jan Peb Mar Apr Mei Jun
Jul Agst Sep Okt Nov Des
Thn 2008 408 688 268
7
26
83
16
19
0
164 187 294
Thn 2009 854 445
68
20
1
12
0
0
12
Thn 2010 700 222 122 261 207 121 192
15
59
13
147
313 258 296 317
Gambar 8. Curah hujan di Kab. Jeneponto Thn 2008-2010. Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada tahun 2010, bulan Mei sampai Oktober curah hujan pada umumnya lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Pada bulan-bulan tersebut biasanya merupakan musim kemarau, sehingga petani menanam jagung. Namun di tahun 2010 petani merubah pola tanam dengan menanam padi pada bulan-bulan tersebut curah hujan masih cukup tinggi. Di kecamatan Turatea, pola tanam pada lahan kering (tadah hujan) biasanya Padi-Jagung. Pada tahun 2010 berubah menjadi Padi-Padi. Petani menanam padi pada musim tanam
kedua karena air masih
tersedia. Namun sebagian petani yang tidak merubah pola tanam, tetap menanam jagung pada musim tanam kedua, maka tanaman jagungnya tidak berhasil karena curah hujan yang tinggi. Curah hujan di kecamatan Turatea pada tahun 2010 dapat dilihat pada gambar 9. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pada bulan Mei sampai September basanya terjadi musim kemarau namun pada saat itu ternyata curah hujan masih tinggi.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
400 350 300 250 200 150 100 50 0
363
340 266
226
209 127
162
123
134
31 Jan
Peb
50
70
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
curah hujan (mm)
Gambar 9. Curah hujan di kecamatan Turatea tahun 2010. Pada tahun 2011, musim kembali normal dimana bulan Mei sampai Oktober merupakan musim kemarau. Hal ini membuat petani harus kembali ke pola tanam semula yaitu padi-jagung. Yang memakai pola ini berhasil. Namun petani yang tetap mengikuti pola tanam pada tahun 2010, padi-padi, mengalami kegagalan pada musim tanam kedua karena kekeringan. Petani mengemukakan bahwa dampak dari perubahan iklim adalah petani merasa bingung dalam menentukan pola tanam. Pada kecamatan Bangkala Barat, pola tanam juga berubah. Pola tanam yang biasa dilakukan yaitu Padi-jagung (pada lokasi yang ada pengairan desa) dan Padi-Bero (pada loasi tadah hujan) berubah menjadi Padi-Padi baik di lokasi berpengairan maupun di lokasi tadah hujan. Curah hujan di kecamatan Bangkala Barat tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 10.
800
730
600 400
226
200
271
204
129
0 Jan
Peb Mar
Apr
120 Mei
320
197 Jun
303
348
261 19
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Curah hujan (mm)
Gambar 10. Curah hujan (mm) di Kec. Bangkala Barat Kab Jeneponto tahun 2010.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Di kecamatan Kelara pada umumnya pola tanam tidak berubah, yaitu
jagung-jagung-kacang. Lokasi ini terletak di dataran tinggi ± 700 m dpl, dimana 5-6 bulan basah dan sekitar 2-3 bulan lembab. Jadi anomaly iklim pada tahun 2010 tidak terlalu berpengaruh terhadap pola tanam. Curah hujan di kecamatn Kelara dapat dilihat pada Gambar 11. 2500 2000
2254 1670
1815
1500 1000 500 0
560
498
490 Jan
0 Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
640
220 Jul
0 Ags
0 Sep
94 Okt
Nop
Des
Curah hujan (mm)
Gambar 11. Curah hujan (mm) di Kec. Kelara Kab. Jeneponto Thn 2010 Dampak terhadap Perkembangan OPT Hama yang dominan menyerang adalah tikus dan penggerek batang. Namun menurut responden, pada tahun 2010 hama tikus lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2011. Hal ini disebabkan pada tahun 2010 makanan tersedia sepanjang tahun. Dampak terhadap Biaya Produksi Pada
daerah
yang
berubah
pola
tanam
dan
bertambah
Indeks
Pertanaman, akan meningkatkan biaya produksi seperti biaya pengolahan tanah, benih, pupuk, panen, dll. Dampak terhadap Produksi Di kecamatan Turatea, anomaly iklim berdampak pada perubahan produksi, baik pada padi maupun jagung. Perubahan produksi padi dan jagung dapat dilihat pada Tabel 4.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Tabel 4. Luas Panen (ha), Produksi (ton) dan Produktivitas (t/ha) tanaman padi dan jagung di kecamatan Turatea Thn 2009-2010. Padi Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (t/ha)
2009 3.415,39 19.980,02 5,85
2010 4.056,62 26.489,74 6,53
Jagung Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (t/ha)
3.304,49 15.507,98 4,69
2.777,00 15.262,39 5,49
Sumber : Kecaamatan Turatea dalam Angka thn 2010-2011
Pada Tabel 4 terlihat bahwa Luas panen untuk tanaman padi meningkat pada tahun 2010 karena IP padi meningkat. Dengan demikian produksi padi meningkat, demikian pula produktivitasnya. Sebaliknya pada tanaman jagung terjadi penurunan, karena pertanaman jagung digantikan dengan tanaman padi.
Dengan demikian produksi
menurun karena IP berkurang. Tetapi produktivitasnya meningkat. Di kecamatan Bangkala Barat pertanaman padi dan jagung juga mengalami peningkatan luas panen dan produksi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Tabel 4. Luas Panen (ha), Produksi (ton) dan Produktivitas (t/ha) tanaman padi dan jagung di kecamatan Bangkala Barat Thn 2009-2010. Padi Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (t/ha)
2009 2.122,29 10.547,8 4,97
2010 25.062.48 167.417,4 6,68
Jagung Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (t/ha)
6.834,85 30.825,2 4,51
79.012,96 543.609,18 6,88
Sumber : Kecaamatan Bangkala Barat dalam Angka thn 2010-2011
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Pada Tabel 5 terlihat bahwa pada tahun 2010 terjadi peningkatan luas panen yang signifikan dibandingkan dengan tahun 2009. Pada tahun 2010 secara umum di Kabupaten Jeneponto mengalami peningkatan luas tanam dan produksi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Luas Panen (ha) dan Produksi (ton) padi sawah, Padi lading dan Jagung di Kab Jeneponto tahun 2007-2010. Padi Sawah Luas Panen (ha) Produksi (ton)
2007 15.337 69,110
2008 17.701 93.914
2009 14.779 79.386
2010 18.588 368.272
Padi Ladang Luas Panen (ha) Produksi (ton)
685 2.711
792 3.608
1.413 5.217
550 1.947
Jagung Luas Panen (ha) Produksi (ton)
40.251 147.393
45.904 186.111
43.693 194.582
47.402 649.734
c.
Kabupaten Luwu Letak wilayah Kabupaten Luwu berada pada 2°.34'.45′' - 3°.30,30′' Lintang Selatan dan 120°.21.15''′ - 121°.43,11′ Bujur Timur dari Kutub Utara dengan patokan posisi Propinsi Sulawesi Selatan, dengan demikian posisi Kabupaten Luwu berada pada bagian Utara dan Timur Propinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Luwu berjarak sekitar kurang lebih 400 km dari kota Makassar dan terletak di sebelah utara dan timur Propinsi Sulawesi Selatan. Letak dan Batas Wilayah Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Luwu adalah : Sebelah Utara berbatasan denga kota palopo dan Kabupaten Luwu Utara ;
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Sidenreng Rappang; Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Enrekang ; Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone. Menurut ketinggian daerah sebagian besar wilayah Kabupaten Luwu berada di ketinggian 100 m keatas. Wilayah yang berada diatas 100 m tercatat sekitar 71,70%, sisanya sekitar 28,30% wilayah berada pada ketinggian 0 - 100 m. Di Kabupaten Luwu tercatat 8 sungai yang cukup besar dan panjang, kedelapan sungai tersebut masing-masing adalah sungai Lamasi
yang
melintasi
Kecamatan
Lamasi
dan
Kecamatan
Walenrang, sungai Pareman melintasi Kecamatan Bupon dan Ponrang, sungai Bajo melintasi Kecamatan Bajo dan Kecamatan Belopa, sungai Suli melintasi Kecamatan Suli, sungai larompong melintasi Kecamatan Larompong, sungai Temboe melintasi Kecamatan Larompong, sungai Riwang melintasi Kecamatan Larompong dan sungai Siwa melintasi Kecamatan Larompong Selatan. Dari kedelapan sungai tersebut yang terpanjang adalah sungai Pareman dengan panjang tercatat sekitar 73 Km. Tujuh sungai lainnya panjangnya tercatat sekitar16-69 Km.
Dampak Perubahan Iklim Lokasi survey di kabupaten Luwu dilakukan di 2 kecamatan yaitu kecamatan Larompong dan Lamasi. Dampak terhadap pola tanam Pola tanam di kecamatan Larompong pada tahun 2010, tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pola tanam yang dilakukan adlaah Padi-Padi (di lahan sawah) dan Jagung – Cabe (di lahan kering). Pada lokasi yang rendah (dekat sungai), mengalami kebanjiran.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Curah hujan (mm)
Curah hujan di Kecamatan Larompong dapat dilihat pada Gambar 11.
600 500 400 300 200 100 0
495 334
297
213
344
180
135
173
153
130
332
Jan Peb Mar Apr Mei Jun
87
Jul Agst Sep Okt Nov Des
Curah hujan
Gambar 11. Curah hujan di Kecamatan Larompong tahn 2010 Demikian pula di kecamatan Lamasi, tidak ada perubahan pola tanam. Banjir juga terjadi di daerah pinggiran sungai.
Curah hujan (mm)
800
731
669
600
509
377
400
275
375
376
200
505
352
337
347
195 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun
Jul Agst Sep Okt Nov Des
Curah hujan
Gambar 12. Curah hujan di kecamatan Lamasi tahun 2010 Jika dibandingkan dengan kecamatan Larompong,curah hujan di kecamatan
Lamasi
lebih
tinggi.
Hal
tersebut
mengakibatan
beberapa desa terkena banjir seperti desa Topongo, Pongsamelu dan Awogading. Dampak terhadap Biaya Produksi Meskipun pola tanam tidak berubah, namun tetap berdampak terhadap penggunaan biaya produksi. Biaya yang bertambah adalah biaya tanam, benih, pupuk dan pestisida. Petani harus menanam
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
ulang karena banjir.
Benih BLBU yang sudah ditanam kemudian
terkena banjir sehingga harus mengganti dengan benih lain. Selain itu biaya pupuk juga bertambah. Biaya pestisida bertambah karena hama juga meningkat. Dampak terhadap OPT Hama yang banyak menyerang pada tahun 2010 adalah kepik hitam, penggerek batang dan tikus.
Sedangkan penyakit yang
banyak menyerang adalah bulai pada tanaman jagung. Dampak terhadap Produksi Produksi padi pada tahun 2010 di kecamatan Larompong dan Lamasi
mengalami
penurunan
di
banding
dengan
tahun
sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Luas Panen (ha), Produksi (ton) dan Produktivitas (t/ha) Padi di kec. Larompong dan Lamasi thn 2009-2010. Uraian Larompong Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (t/ha) Lamasi Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (t/ha)
2009
2010
1.812 8.364 4,62
1.307 5.384 4,12
6.976 39.303 5,63
5.477 26.865 4,91
Sumber : Statistik Pertanian dan Peternakan Kab Luwu thn 2010
Pada Tabel 7 terlihat penurunan luas panen, Produksi dan Produktivitas padi di kecamatan Larompong dan Lamasi. Sama halnya dengan padi, pada tanaman jagung juga terjadi penurunan pada tahun 2010 dibanding tahun sebelumnya.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Luas tanam, produksi dan produktivitas tanaman jagung di kecamatan Larompong dan Lamasi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Luas Panen (ha), Produksi (ton) dan Produktivitas (t/ha) Jagung di kec. Larompong dan Lamasi thn 2009-2010. Uraian Larompong Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (t/ha)
2009
Lamasi Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (t/ha)
2010
308 1.212,10 3,93
125 500,63 4,0
198 840,00 4,24
40 160,20 4,01
Sumber : Statistik Pertanian dan Peternakan Kab Luwu thn 2010
Pada table 8 terlihat pada tahun 2010 terjadi penurunan Luas tanam sehingga mengakibatkan penurunan produksi yang cukup besar di kecamatan Larompong dan Lamasi. Secara umum pada tahun 2010 terjadi penurunan produksi dan produktivitas padi di kabupaten Luwu. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan hama penyakit tanaman. Produksi tanaman padi selama 5 tahun terakhir di kabupaten Luwu dapat dilihat pada gambar 13.
400,000 300,000
325,003 293,240
253,792
261,753
262,406
200,000
231,322
100,000 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Produksi (ton)
Gambar 13. Produksi (ton) padi di kab. Luwu Thn 2005-2010
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
KESIMPULAN Anomali iklim tahun 2010 menyebabkan perubahan pola tanam, meningkatnya OPT, perubahan biaya produksi dan produksi serta produktivitas. Pada Sawah tadah hujan terjadi peningkatan luas tanam. Pada sawah irigasi terjadi penurunan produksi dan kualitas. Sawah yang berada di sekitar DAS, banyak mengalami kerugian karena terkena banjir menyebabkan waktu tanam mundur Masalah pada pasca panen ALTERNATIF KEBIJAKAN Perlu link antara BPTP dan BMKG secara reguler dalam hal informasi prediksi musim ke depan agar dapat ditentukan kalender tanam Hasil Prediksi musim disosialisasikan ke kabupaten/BPP agar dapat diambil langkah antisipatif Perlu
sosialisasi
varietas
genjah
dan
varietas
genangan/kekeringan Lokasi yang berada di DAS, perlu pengerukan sungai
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
tahan
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2011. Sulsel Klaim Tak Khawatir Krisis Pangan. Sabtu. 15 Januari 2011. http://www.metrobalikpapan.co.id Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 2005. Kilas Balik Program Ketahanan Pangan 2005 – 2010. Diposkan Senin, 28 Desember 2009. http://sukatanibanguntani.blogspot.com/2009/12/kilas-balik-program-ketahananpangan.html Departemen Pertanian. 2000. Membangun Ketahanan Pangan Nasional Berkelanjutan. Suplemen Bahan Rapat Kerja Menteri Pertanian dengan Komisi III DPR-RI, 27 Februari 2002. Jakarta Mappong, S. 2008. Perubahan Iklim di Lumbung Pangan. Sabtu. 05 September 2008. http://www.antaranews.com Muhajir, A. 2010. Bersiaplah Kelaparan Akibat Perubahan Iklim. 22 Nopember 2010. www.balebengong.net/ Syaukat, Y. 2010. Bersiaplah Kelaparan Akibat Perubahan Iklim. Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB). 22 Nopember 2010. Tim Sintesis Kebijakan Balai besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pertanian, Serta Strategi Antisipasi dan Teknologi Adaptasi. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian Volume I No.2. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id