LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN STUDI AWAL PENUMBUHAN DAN PERSIAPAN AGRO TECHNO PARK BADAN LITBANG PERTANIAN (KOTA PAGAR ALAM, SUMATERA SELATAN DAN KABUPATEN TANAH LAUT KALIMANTAN SELATAN)
Oleh Syahyuti Saptana Bambang Sayaka Ketut Kariyasa
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 0
Ringkasan Sesuai dengan visi dan misinya, Badan Litbang Pertanian memiliki fungsi untuk mengaplikasikan hasil-hasil penelitian yang telah dihasilkannya ke tengah masyarakat. Sementara, Indonesia telah menerapkan kebijakan Otonomi Daerah semenjak tahun 2000, dimana pemerintah daerah diberikan kekuasaan dan kesempatan yang lebih besar dalam pembangunan wilayahnya. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan struktur kekuasaan saat ini, pemerintahan daerah dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Namun, demikian, setelah lebihdari 10 tahun berjalan, masih banyak permasalahan pembangunan pertanian di level daerah. Beberapa masalah dimaksud adalah perencanaan pembangunan yang disusun kurang berbasis sumber daya dan potensi setempat, alokasi anggaran untuk pertanian kurang memadai, serta pemahaman dan motivasi untuk pembangunan pertanian rendah terutama dari kalangan legislatif. Selain itu, koordinasi dan sinkronisasi kegiatan lemah dan tumpang tindih, sistem pendataan statistik yang menurun kualitasnya, tata organisasi pemerintahan belum kondusif dan tidak efisien, dan adanya fenomena petani yang kurang memiliki saluran dan kekuatan politis
(voice-less). Keberadaan organisasi petani lemah terutama untuk level kabupaten, sehingga tidak memiliki kekuatan politis dalam pengalokasian sumber daya daerah. Kecilnya alokasi anggaran untuk kegiatan pembangunan pertanian misalnya tidak dapat disuarakan petani, karena lemahnya posisi tawar berhadapan dengan kalangan legislatif dan eksekutif. Pengembangan pembangunan pertanian akan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan bersaing dari komoditas yang dikembangkan melalui proses produksi yang efisien. Dalam hal ini, kemampuan wirausaha petani yang dicirikan oleh kemampuannya dalam memilih komoditas sesuai dengan potensi daerahnya dan 1
mengolahnya menjadi produk yang mempunyai nilai jual lebih tinggi merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian ke depan. Di sisi lain, dukungan teknologi pertanian yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian untuk pemanfaatan lahan-lahan secara optimal melalui pengembangan pertanian di perdesaan telah tersedia melalui jasa penelitian maupun pengkajian. Beberapa inovasi teknologi tersebut mampu menjadi aspek pendorong utama pertumbuhan dan perkembangan usaha dan sistem agribinsis berbagai komoditas pertanian. Sebagian teknologi tersebut
telah
tersebar
di
tingkat
pengguna
dan
stakeholder, namun
pengembangannya ke target area yang lebih luas perlu dilakukan upaya percepatan. Berbagai upaya dapat dilakukan dalam upaya mempercepat adopsi inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian, dimana salah satunya adalah melalui pengembangan Laboratorium Lapang.
Kegiatan ini merupakan kerjasama
antara Badan Litbang Pertanian dengan Pemerintah Daerah, Swasta, dan pemangku kepentingan lainnya dalam upaya memperderas penerapan inovasi teknologi pertanian ke lahan pertanian. Laboratorium lapang juga menjadi media umpan balik untuk memperbaiki dan menyempurnakan inovasi teknologi sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan pengguna. Oleh karena itu, kegiatan pengembangan dilakukan
di Kota Pagar Alam (Sumatera Selatan) dan Kabupaten Tanah Laut
(Kalimanatan pertanian
Agrotechnopark yang akan
Selatan)
melalui
(pengelolaan
air
pemberdayaan irgasi,
input,
dan
penguatan
produksi,
panen
kelembagaan dan
pasca
panen/pengolahan, pemasaran, keuangan, dan sumberdaya manusia) menjadi penting dan relevan untuk dilakukan. Pada hakekatnya kegiatan ini merupakan langkah awal untuk memahami kondisi biofisik dan sosial ekonomi sebagai bahan informasi untuk menyusun Rancang Bangun Agrotechnopark di Kota Pagar Alam dan Kabupaten Tanah Laut yang akan dijalankan bersama-sama dengan stake holders secara partisipatif. Adapun tujuan kegiatan secara rinci adalah: (1) Mengumpukan data dan informasi pokok berkenaan dengan potensi dan permasalahan pembangunan pertanian di lokasi rencana pelaksanaan Agrotechnopark; (2) Mempelajari kondisi biofisik dan sosial ekonomi sumber daya pertanian serta komoditas pertanian utama di lokasi rencana
pelaksanaan
Agrotechnopark;
(3)
Mendikusikan
dan
mendapatkan 3
pemahaman awal dengan stakholders di daerah dalam upaya mewujudkan Agrotechnopark Mendapatkan
di
lokasi
model
dan
rencana pola
pelaksanaan Agrotechnopark; dan pengembangan
Agrotechnopark
(4)
dengan
berbasiskan potensi SDA serta komoditas unggulan setempat di Kota Pagar Alam dan Kabupaten Tanah Laut. Hasil pengumpulan data di lapangan mendapatkan bahwa potensi untuk membangun dan mengembangkan laboratorium lapang berupa agrotechnopark di kedua wilayah sangat berpotensi dikembangkan. Dukungan dari pemerintah daerah juga sangat tinggi, dan akan menjadi sumberdaya penting di dalam pelaksanaan nantinya. Namun demikian, dibutuhkan kajian yang lebih dalam dan detail sehingga penyusunan rancang bangun menjadi lebih aplikatif.
4
Daftar Isi Ringkasan Kata pengantar Lembar pengesahan Daftar Isi Hal. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Justifikasi Kegiatan 1.3. Dasar Hukum 1.4. Tujuan kegiatan 1.5. Penerima Manfaat
1 1 3 5 5 6
II. TINJAUAN PUSTAKA
7
III. METODE KEGIATAN
9
3.1. Metode Pelaksanaan 3.2. Tahapan Pelaksanaan 3.3. Cakupan Kegiatan 3.4. Pendekatan kegiatan : 3.5. Mobilisasi Sumber Daya Manusia
9 9 10 12 13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
13 4.1. Karakter Pertanian dan Peluang Pengembangan Agrotechnopark 13 Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan 4.2. Karakter Pertanian dan Peluang Pengembangan Agrotechnopark di Kota 24 Pagar Alam, Propinsi Sumatera Selatan V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
33
DAFTAR PUSTAKA
35
Lampiran
36
5
Daftar Tabel Hal. Tabel 1. Perkembangan Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Beberapa Tanaman Pangan di Kalsel, 2012-2013
15
Tabel 2. Luas Panen, Produktivtas dan Produksi Jagung Menurut Kabupaten di Provinsi Kalsel, 2013
16
Tabel 3. Analisa Kelayakan Usahtani Jagung pada Lahan Kering per ha di Desa Tajo Pecah, Kec. Batu Ampar, Kab Tanah Laut-Kalsel, 2014
19
Tabel 4. Kondisi Wilayah Kota Pagar Alam
25
Daftar Gambar Hal. Gambar 1. Distribusi Luas Panen Jagung di Kalsel, 2013
17
Gambar 2. Distribusi Produksi Jagung di Kalsel, 2013
17
Gambar 1. Keragaan Produktivitas Jagung di Kalsel, 2013
18
6
Bab I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sesuai dengan visi dan misinya, Badan Litbang Pertanian berperan langsung untuk mendiseminasikan hasil-hasil penelitian yang telah dihasilkannya ke tengah masyarakat. Penerapan hasil penelitian setiap bidang ilmu membutuhkan wadah dan lingkungan yang berbeda, termasuk pula penerapan pengetahuan bidang sosial ekonomi pertanian. Indonesia telah menerapkan kebijakan Otonomi Daerah semenjak tahun 2000, dimana pemerintah daerah diberikan kekuasaan dan kesempatan yang lebih besar dalam pembangunan wilayahnya. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan semangat otonomi daerah, maka urusan pemerintahan pusat terbatas hanya untuk enam bidang yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, hukum, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sementara, Kewenangan Pemerintah Daerah sesuai UU 32/2004, dimana urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Terdapat 16 urusan wajib bagi pemerintah daerah antara lain dalam bidang pemerintahan, pendidikan, kesehatan, pertanian,
tata
guna lahan, dan alokasi anggaran.
Sementara, urusan pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dengan struktur kekuasaan saat ini, pemerintahan daerah dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Namun, demikian, setelah lebihdari 10 tahun berjalan, masih banyak permasalahan pembangunan pertanian di 1
level daerah. Beberapa masalah dimaksud adalah perencanaan pembangunan yang disusun kurang berbasis sumber daya dan potensi setempat, alokasi anggaran untuk pertanian kurang memadai, serta pemahaman dan motivasi untuk pembangunan pertanian rendah terutama dari kalangan legislatif. Selain itu, koordinasi dan sinkronisasi kegiatan lemah dan tumpang tindih, sistem pendataan statistik yang menurun kualitasnya, tata organisasi pemerintahan belum kondusif dan tidak efisien, dan adanya fenomena petani yang kurang memiliki saluran dan kekuatan politis
(voice-less). Keberadaan organisasi petani lemah terutama untuk level kabupaten, sehingga tidak memiliki kekuatan politis dalam pengalokasian sumber daya daerah. Kecilnya alokasi anggaran untuk kegiatan pembangunan pertanian misalnya tidak dapat disuarakan petani, karena lemahnya posisi tawar berhadapan dengan kalangan legislatif dan eksekutif. Di sisi lain, patut disadari bahwa pembangunan pertanian selama orde baru belum menunjukkan kinerja seperti yang diharapkan. Hal ini diduga karena selama periode tersebut pendekatan pembangunan pada sektor pertanian dilakukan melalui pendekatan komoditi (Kasryno dan Suryana, 1992). Menurut Simatupang (2004), pendekatan pembangunan seperti ini dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan berdasarkan pengembangan komoditi secara sendiri-sendiri (parsial) dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, dengan beberapa kelemahan mendasar, seperti: (1) tidak memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditi, (2) tidak memperhatikan paduan horizontal, vertikal, dan spasial berbagai kegiatan ekonomi, dan (3) kurang memperhatikan
aspirasi
dan
pendapatan
petani.
Dampak
pendekatan
pembangunan seperti di atas menyebabkan pengembangan suatu komoditi menjadi tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan proteksi pemerintah. Selain itu, pendekatan ini juga tidak mampu mendorong peningkatan pendapatan petani secara signifikan. Ke
depan, pengembangan pembangunan pertanian akan lebih banyak
ditentukan oleh kemampuan bersaing dari komoditas yang dikembangkan melalui proses produksi yang efisien. Dalam hal ini, kemampuan wirausaha petani yang dicirikan oleh kemampuannya dalam memilih komoditas sesuai dengan potensi
2
daerahnya dan mengolahnya menjadi produk yang mempunyai nilai jual lebih tinggi merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian ke depan. Di sisi lain, dukungan teknologi pertanian yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian untuk pemanfaatan lahan-lahan secara optimal melalui pengembangan pertanian di perdesaan telah tersedia melalui jasa penelitian maupun pengkajian. Beberapa inovasi teknologi tersebut mampu menjadi aspek pendorong utama pertumbuhan dan perkembangan usaha dan sistem agribinsis berbagai komoditas pertanian (Simatupang, 2005). Sebagian teknologi tersebut telah tersebar di tingkat pengguna dan stakeholder, namun pengembangannya ke target area yang lebih luas perlu dilakukan upaya percepatan (Badan Litbang Pertanian, 2011). Berbagai upaya dapat dilakukan dalam upaya mempercepat adopsi inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian, dimana salah satunya adalah melalui pengembangan Laboratorium Lapang.
Kegiatan ini merupakan kerjasama
antara Badan Litbang Pertanian dengan Pemerintah Daerah, Swasta, dan pemangku kepentingan lainnya dalam upaya memperderas penerapan inovasi teknologi pertanian ke lahan pertanian. Laboratorium lapang juga menjadi media umpan balik untuk memperbaiki dan menyempurnakan inovasi teknologi sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan pengguna. .1.2. Justifikasi Kegiatan Dalam
konteks
“pengembangan”,
Balitbangtan
dituntut
untuk
mengimplementasikan pengetahuan dan kemampuannya dalam dunia riil. Namun, sebagai sebuah kantor penelitian, peran ini dijalankan dengan strategi kaji tidak (action research). Kegiatan pengembangan Agrotechnopark merupakan salah satu bentuk yang dapat mewadahi ini. Bidang sosial ekonomi memiliki dimensi yang lebih luas dibandingkan dengan bidang ilmu teknis. Dalam konteks ini dicakup misalnya hal-hal terkait menyusun perencanaan yang lebih baik, membangun dan melakukan penguatan lembaga dan organisasi, peningkatan koordinasi dan sinkronisasi antar stakeholders, perbaikan data base, serta melakukan monitoring dan evaluasi yang lebih powerfull untuk pembangunan pertanian. Kegiatan pengembangan Agrotechnopark meskipun secara intensif hanya pada beberapa desa secara terbatas, namun pada hakekatnya dijalankan di level 3
“atas desa”, yakni satu unit kabupaten. Sesuai dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah, kabupaten (dan kota) saat ini memiliki wewenang yang sangat kuat dalam menata dan mendistribusikan berbagai sumber daya untuk pembangunan pertanian.
Pemerintahan
kabupaten
memiliki
otoritas
dalam
hal
anggaran,
perencanaan pembangunan, penataan organisasi, sumber daya manusia, dan lainlain. Penataan pemerintahan dalam makna luas di level kabupaten merupakan objek yang selama ini cenderung dilupakan, meskipun berbagai keluhan sering dilontarkan. Beberapa hasil penelitian PSEKP, misalnya berkenaan dengan ketahanan pangan lokal, penataan anggaran dan politik pertanian lokal; menunjukkan bahwa hal ini semestinya dapat diperkuat dengan dukungan keilmuan yang tepat dan kuat. Berbagai penelitian PSEKP selain mempelajari langsung level petani (misalnya farming system, pola usaha, konsumsi, dan pendapatan rumah tangga), cukup banyak pula yang
melahirkan rekomendasi tentang
bagaimana semestinya
pembangunan pertanian di level lokal (kabupaten). Hasil-hasil riset yang sudah banyak ini belum pernah diimplementasikan secara langsung di lapangan. Untuk dapat mendayagunakan hasil-hasil ini dengan efektif, maka laboratoirum lapang sangat urgen dijalankan agar diperoleh pola dan model pengimpelementasian yang sesuai dengan kondisi yang bersangkutan. Terkait dengan upaya pencapaian swasembada padi, jagung, kedelai dalam 3 tahun ke depan, serta peningkatan produksi gula dan daging, maka keberadaan laboratorium lapang (berupa Agrotechnopark) pada sentra-sentra produksi padi, jagung, dan kedelai menjadi penting sebagai tempat petani untuk melihat dan mempraktekan secara langsung cara-cara penerapan inovasi teknologi secara tepat dalam upaya meningkatkan produksi pangan secara signifikan. Petani bisa melihat secara langsung cara-cara penggunaan input produksi, sistem pengelolaan air secara berkelanjutan, teknologi panen, dan pasca panen secara baik. Melalui penumbuhan dan pengembangan inovasi pertanian/kelembagaan, petani juga bisa belajar banyak terkait cara-cara penyediaan input produksi dan permodalan, serta membangun kemitraan dalam pemasaran hasil. Leboh jauh juga diharapkan melalui pendekatan ini akan tumbuh usaha-usaha abru yang mampu meningkatkan nilai tambah dan sekaligus sebagai sumber baru pendapatan keluarga petani. 4
Oleh karena itu, kegiatan pengembangan Agrotechnopark yang akan dilakukan
di Kota Pagar Alam (Sumatera Selatan) dan Kabupaten Tanah Laut
(Kalimanatan Selatan melalui pemberdayaan dan penguatan kelembagaan pertanian (pengelolaan air irgasi, input, produksi, panen dan pasca panen/pengolahan, pemasaran, keuangan, dan sumberdaya manusia) menjadi penting dan relevan untuk dilakukan. 1.3. Dasar Hukum Dasar hukum yang melandasi kegiatan ini adalah: a. UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara b. UU No 1 Tahun 2001 tentang Perbendaharaan Negara c. Peraturan Menteri Pertanian No. 61/Permentan/OT.140/10/2010, tentang tugas utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) 1.4. Tujuan Kegiatan Pada hakekatnya kegiatan ini merupakan langkah awal untuk memahami kondisi biofisik dan sosial ekonomi sebagai bahan informasi untuk menyusun Rancang Bangun Agrotechnopark di Kota Pagar Alam dan Kabupaten Tanah Laut yang akan dijalankan bersama-sama dengan stake holders secara partisipatif. Adapun tujuan kegiatan secara rinci adalah: 1.
Mengumpukan data dan informasi pokok berkenaan dengan potensi dan
permasalahan
pembangunan
pertanian
di
lokasi
rencana
pelaksanaan Agrotechnopark. 2.
Mempelajari kondisi biofisik dan sosial ekonomi sumber daya pertanian serta komoditas pertanian utama di lokasi rencana pelaksanaan Agrotechnopark.
3.
Mendikusikan dan mendapatkan pemahaman awal dengan stakholders di daerah dalam upaya mewujudkan Agrotechnopark di lokasi rencana pelaksanaan Agrotechnopark.
5
4.
Mendapatkan model dan pola pengembangan Agrotechnopark dengan berbasiskan potensi SDA serta komoditas unggulan setempat di Kota Pagar Alam dan Kabupaten Tanah Laut.
1.5. Penerima Manfaat Dengan melihat gambaran umum dan tujuan yang akan dicapai, maka penerima manfaat terbesar dari kegiatan ini adalah petani di lokasi pengembangan. Peraih manfaat lainnya adalah pemda daerah dan stakeholder terutama terkait dengan langkah-langkah dan strategi peningkatkan produksi, nilai tambah, serta pola-pola kemitraan dalam meningkatkan daya saing produk pertanian ke depan. Hasil analisis kegiatan ini yang juga merupakan bahan rekomendasi bagi pengambil kebijakan Kementerian Pertanian dalam rangka percepatan pencapaian swasembada pangan ke depan. Sementara, manfaat tidak langsung dari kegiatan ini, adalah tersedianya data informasi yang penting baik bagi kalangan peneliti, pemerintah daerah, dan masyarakat secara luas. Berbagai catatan dan pelajaran dari kegiatan lapang ini dapat menjadi bahan pembelajaran yang penting ke depan, sehingga kegiatan pemberdayaan akan semakin efektif.
6
Bab II. TINJAUAN PUSTAKA Pada hakekatnya, Agro Techno Park (ATK) adalah suatu tempat yang digunakan untuk
mengimplementasikan
corporate program LITKAJIBANGDIKLATLUHRAP
bidang pertanian dalam sistem usahatani skala luas dengan menerapkan prinsip partisipatif, adaptif dan Interdisciplinary Fields;
dalam rangka pemberdayaan
masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan pembangunan pertanian nasional yakni peningkatan produktivitas, produksi dan kesejahteraan petani. Pelaksanaan Agrotechnopark memiliki tujuan dalam konteks research and development serta bagi penerima manfaat ( beneficiaries). Dalam konteks penelitian dan pengembangan, kegiatan ini berupaya mencapai tujuan-tujuan validasi hasilhasil penelitian, customization dan promosi, invention dan innovation, sebagai wahana pembelajaran dan pelatihan, serta mengimplementasikan konsep corporate
management dalam bentuk program dan pelaksanaan. Sedangkan bagi pihak penerima, kegiatan ini berupaya memberdayakan masyarakat dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam kegiatan Agrotechnopark mencakup pendekatan Corporate Program yang melibatkan berbagai UK dan UPT Badan Litbang Pertanian sekaligus dengan berbasiskan integrasi dalam perencanaan dan pelaksanaan. Sedangkan dalam kontek research and development, kegiatan ini merupakan bagian dari LITKAJIBANGDIKLATLUHRAP, dengan mengedepankan
Adaptive Research dan interdisciplinary, serta participative stakeholders. Semantara, prinsip pengembangan kegiatan Agrotechnopark mencakup: (1) Implementasi hasil penelitian dalam skala luas, (2) Adaptif stream research dengan melibatkan stakeholders secara lebih luas dengan fokus pada aktivitas sesuai dengan komoditas unggulan lokal, (3) Partsipatif Stakeholders (sharing planning, cost, dan
risk), (4) Interdisiplinary Fields of Study (Cross Cuttting Issues), (5) Corporate Program dengan koordinator oleh salah satu UK tiap lokasi Agrotechnopark, (6) Kegiatan dan output yang terukur (kuantitatif) dengan Time Frame yang jelas, (7) mengimplementasikan
LITKAJIBANGDIKLATLUHRAP
dengan
keterlibatan
aktif
peneliti, perekayasa, pengkaji dan penyuluh dari hulu sampai hilir, serta (8) mengoptimalkan internal Badan Litbang Pertanian (centralized budget atau sharing). 7
Demi memperoleh hasil yang lebih baik, maka basis kegiatan berdasarkan kepadal komoditas unggulan daerah bersangkutan untuk meningkatkan efisiensi usaha dan nilai
tambah
produk,
serta
menerapkan
prinsip
agroekosistem
untuk
mengoptimalkan penggunaan sumberdaya pertanian secara terintegratif. Pihak yang terlibat dalam kegiatan ini bersifat lintas instansi karena berbasiskan multi disiplin, melibatkan stakeholders Pusat, propinsi sampai kabupaten. Penangung jawab utama tentu saja pihak internal Badan Litbang Pertanian. Dengan gambaran ini, maka cakupan kegiatan lebih luas mulai dari aspek teknologi, aspek kelembagaan pelaku (kerjasama dan net working), aspek promosi produk dan teknologi, aspek capacity building, serta aspek pengembangan ekonomi produktif masyarakat setempat. Pada akhirnya, sasaran akhir adalah pemberdayaan masyarakat melalui inovasi pertanian. Hal ini dicapai melalui percepatan
inovasi
teknologi hasil Litbang Pertanian, perluasan jangkauan inovasi teknologi ke pengguna (petani dan stakeholder), penggunaan sumberdaya pertanian menjadi lebih optmal, serta terjadinya peningkatan produktivitas, efisiensi usaha dan pendapatan serta kesejahtraan petani. Indikator
untuk
mengukur
kinerja
keseluruhan
kegiatan
Agrotechnopark
mencakup: (1) Meningkatnya produktivitas, produksi dan pendapatan petani, (2) Meningkatnya nilai tambah produksi atau terjadinya diversifikasi produk sesuai permintaan
pasar,
(3)
Meningkatnya
aktivitas
kelompok
tani
akibat
dari
pemberdayaan, (4) Terbangunnya kemitraan dengan pihak luar, (5) tumbuhnya apresiasi Pemda setempat yang diwujudkan berupa
dana atau material lainnya
untuk mendukung kegiatan, (6) Dimanfaatkannya sumberdaya pertanian
lebih
optimal , (7) Meningkatnya jumlah petani adopter, serta (8) Meluasnya diseminasi hasil kegiatan ke berbagai pihak yang ditunjukkan salah satunya dengan banyaknya jumlah petani dan stakeholder lain berkunjung ke lokasi kegiatan.
8
Bab III. METODE KEGIATAN .3.1. Metode Pelaksanaan Kegiatan ini dilaksanakan melalui kegiatan kaji tindak langsung di lapangan dengan melibatkan berbagai UK/UT lingkup Balitbangtan, Pemda, swasta, dan pemangku kepentingan lainnya.
Petani merupakan mitra utama di lapangan dan
terlibat langsung dan ikut mengobservasi bagaimana proses kegiatan mulai dari perencanaan sampai dengan penerapan inovasi kelembagaan dan teknologi di lapangan. Penelitian dilakukan dengan survei terbatas dengan wawancara secara terbuka dengan berbagai stakeholder, baik di Pemerintah Kota, Dinas Teknis terkait (Dinas Pertanian, UPTD, PPL) dan kelembagaan petani (Gapoktan dan kelompok tani) serta tokoh-tokoh masyarakat petani (pengusaha benih/bibit, petani maju, dan pedagang hasil pertanian). DI Tanah Laut, dilakukan kunjungan dan wawancara dengan petani di kecamatan Batu Ampar. Komoditas utama yang dipelajari adalah jagung, serta peluang pengembangannya dengan mengintegrasikan dengan komoditas lain. Sedangkan di Pagar Alam mencakup tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Dempo Utara, Dempo Tengah, dan Dempo Selatan.
Lokasi Survai adalah: (1)
Dempo Utara: mewakili komoditas hortikultura terutama sayuran , kopi robusta, peternakan sapi potong, dan padi; (2) Dempo Tengah: mewakili komoditas tanaman pangan (padi, jagung, kacang tanah), kopi robusta; dan (3) Dempo Selatan: komoditas tanaman pangan (padi, jagung, dan kacang tanah). .3.2. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
diawali
dengan
penyusunan
proposal
operasional,
seminar,
penyusunan Juklak, workshop untuk menyamakan persepsi, pembahasan proposal operasional dan persiapan pelaksanaan.
Di tingkat lapang, kegiatan dilanjutkan
dengan indentifikasi potensi sumberdaya pertanian di lokasi yang akan dijadikan pengembangan laboratorium lapang, serta sosialisasi ke berbagai instansi terkait 9
baik
di
tingkat
pengembangan
kabupaten
maupun
laboratorium
lapang
kecamatan. melalui
Tahap
engineering
berikutnya
approach
adalah yang
mengkombinasikan scientific approach dan creativity approach. Setelah itu akan dilakukan evaluasi kinerja dan prospek pengembangan laboratorium lapang, dan dilanjutkan dengan kegiatan advokasi untuk mendorong scaling up dan replikasi adopsi dan penerapan inovasi teknologi yang ada ke masyarakat luas. .3.3. Cakupan Kegiatan: Pada dasarnya, kegiatan ini memiliki cakupan yang luas, karena berhadapan dengan berbagai stakeholders mulai dari level kabupaten sampai desa dan komunitas masyarakat. Intensitas perhatian dan keterlibatan dalam berbagai level ini tidak sama, karena permasalahan dan potensi aplikasi solusinya juga berbeda. Secara keseluruhan, berbagai kegiatan yang akan dicakup dalam kegiatan ini dibagi atas tiga level yaitu, kegiatan di lapang (project site) yang lebih intensif, pengembangan di wilayah lain di luar area project site dalam konteks diseminasi teknologi dan pengembangan dalam satu kabupaten sebagai satu unit bisnis, serta manajemen pembangunan pertanian di level kabupaten. Selengkapnya kegiatan adalah sbb.: A. Level Laboratorium Lapang: 1.
Mempelajari potensi sumberdaya alam dan manusia serta perkembangan agribisnis komoditas unggulan di berbagai wilayah, untuk menetapkan lokasi laboratorium lapang Agrotechnopark yang potensial, yakni telah memiliki basis yang cukup, petani dan pemerintahnya kooperatif, serta strategis sebagai lokasi show off kegiatan demonstrasi area.
2.
Menyusun rencana kegiatan laboratorium lapang dengan melibatkan berbagai pihak mulai dari petani, petugas setempat, Pemda dan jajaran di Badan Litbang Pertanian untuk menyusun rencana teknis dan pengembangan sistem agribisinsi jagung sesuai potensi setempat.
3.
Mengoperasikan kegiatan laboratorium lapang dengan mengembangkan komoditas utama dan dilengkapi dengan berbagai peluang penerapan teknologi terutama yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian,
10
termasuk penerapan paket teknologi yang berbasiskan bioindustri dengan mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada. 4.
Melakukan pencatatan, observasi dan evaluasi terus menerus kegiatan laboratorium lapang sehingga dapat menjadi data dan informasi yang baik untuk
kepentingan
karya
tulis
ilmiah
dan
terutama
untuk
strategi
pemberdayaan serupa di masa mendatang. 5.
Membangun sistem agribisnis komoditas utama di wilayah kecamatan dan mencakup wilayah kabupaten secara satu kesatuan skala bisnis.
6.
Melakukan temu lapang untuk mensosialisasikan dan mendiseminasikan hasil kegiatan kepada berbagai pihak di sekitar, terutama petani dari wilayah lain, penyuluh, peneliti, pemerintah daerah, swasta dan lain-lain.
B. Level kabupaten di luar area Laboratorium Lapang: 1.
Mempelajari
kondisi,
permasalahan
dan
potensi
usahatani
komoditas
unggulan di seluruh wilayah kabupaten, serta sistem agribisnis yang telah berjalan. 2.
Menyusun rencana pengembangan sistem agribisnis komoditas utama dalam satu
kabupaten
sebagai
satu
kesatuan
unit
bisnis,
beserta
sektor
pendukungnya, misalnya pengembangan aspek pengolahannya. 3.
Mendiseminasikan hasil kegiatan dan temuan laboratorium lapang kepada petani lain sekabupaten, termasuk tenaga penyuluh dan staf pemerintah daerah dan stakeholders lain.
4.
Mengoperasionalkan
sistem
agribisnis
komoditas
utama
yang
lebih
berkembang dengan berbasiskan kepada potensi, permasalahan sumber daya alam, teknologi dan kelembagaan serta struktur dan peluang bisnis di wilayah bersangkutan. C. Level Manajemen Pembangunan Pertanian Kabupaten: 1.
Mempelajari potensi dan permasalahan pembangunan pertanian di level kabupaten,
terutama
berkenaan
dengan
kondisi,
permasalahan
dan
pengembangan agribisnis komoditas utama di wilayah berangkutan.
11
2.
Mempelajari manajemen pembangunan pertanian khususnya dalam hal pengembangan perencanaan,
agribisnis
komoditas
keterpaduan,
utama,
penggunaan
lalu
memperbaiki
indikator,
proses
penilaian,
serta
pengambilan keputusan dalam perencanaan. 3.
Mempelajari penataan penggunaan sumber daya pertanian serta mendorong kepada pengunaan yang lebih pro pertanian, pro petani berazaskan ekonomi kerakyatan dan keadilan.
4.
Mempelajari
dan
meningkatkan
kesadaran
dan
pengetahuan
seluruh
stakeholders tentang pertanian dan pembangunan pertanian khususnya agribisnis komoditas utama, terutama untuk kalangan legislatif, Bappeda, LSM, dan lain-lain. 5.
Mempeajari dan memperbaiki kondisi dan kinerja penyuluhan, terutama penguatan BPP dan SDM penyuluh.
6.
Mempelajari dan memperkuat koordinasi dan sinkronisasi antar pelaku dalam pembangunan pertanian, khususnya berkenaan dengan pengembangan agribisnis komoditas utama.
7.
Mempelajari politik lokal serta menciptakan komunikasi yang lebih baik antar pelaku serta mendorong partisipasi seluruh pihak dala pembangunan pertanian, khususnya dalam pembangunan agribisnis komoditas utama.
8.
Mempelajai pelaksanaan monitoring dan evaluasi, serta melakukan perbaikan kualitas dan validitas serta daya adaptasi dari hasil monev tersebut.
9.
Mempelajari potensi dan permasalahan SDM serta memperkuat kapasitas mereka untuk pembangunan pertanian, terutama pada kalangan muda dan perempuan.
.3.4. Pendekatan kegiatan : Kegiatan laboratorium lapang ini menggunakan beberapa pendekatan sebagai berikut, yaitu: 1.
Pendekatan action research. Pada hakekatnya, ini adalah kegiatan penelitian dengan pendekatan kaji tindak.
2.
Partisipatif, dengan menjadikan stakeholders sebagai
mitra dan
mendorong agar mereka mau dan mampu lebih baik dan mandiri. 12
3.
Berorientasi jangka panjang, dengan membangun potensi pokok yang berkait dengan pembangunan pertanian ke masa depan, misalnya membangkitkan
kesadaran
bertani
yang
lebih
sustainable,
meningkatkan kecintaan kaum muda terhadap pertanian, dan lain-lain. Kegiatan ini dirancang untuk jangka menengah yakni 3 tahun berturutturut (tahun 2015 sampai 2017). 4.
Berbasiskan prinsip sustainable dan pro lingkungan, karena sebagian lahan di wilayah ini berupa lahan marjinal.
5.
Demokratis, dengan mendorong semua pihak untuk terlibat dalam pembangunan pertanian serta tata kelola yang lebih terbuka di level pengambil kebijakan (legislatif dan eksekutif).
.3.5. Mobilisasi Sumber Daya Manusia Laboratorium ini memiliki objek yang sangat beragam, sehingga juga dibutuhkan
kemampuan
SDM
pelaksana
yang
beragam.
Untuk
mengeimpelementasikan kegiatan ini, maka karakteristik ilmu yang dibutuhkan di antaranya adalah ilmu eknomi dan perencanaan wilayah, ilmu pemberdayaan masyarakat, ilmu agribsinis, budidaya pertanian, ilmu pengolahan pangan, serta ilmu penyuluhan dan komunikasi pertanian. Karena itu, dibutuhkan berbagai pihak mencakup berbagai UK/UPT di Litbang Pertanian termasuk BPTP Kalimantan Selatan, BPTP Sumatera Selatan, serta Pemerintah Daerah. Bab IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum, bagian pada hasil dan pembahasan ini menyampaikan karakteristik pembangunan pertanian di wilayah kajian dan peluang penerapan agrotechnopark di wilayah tersebut. .4.1. Karakter Pertanian dan Peluang Pengembangan Agrotechnopark Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan
13
Pembangunan pertanian di Kabupaten Tanah Laut mengandalkan kepada tanaman pangan sebagai komoditas pokok. Kinerja Pembangunan Tanaman Pangan Dalam dua tahun terakhir, yaitu 2012-2013,
produksi padi di Provinsi
Kalimantan Selatan cenderung menurun yaitu dari 2,086 juta ton menjadi 2,031 juta ton (Tabel 1). Penurunan ini akibat terjadinya penurunan luas panen dari 496,08 ribu ha pada tahun 2012 menjadi 479, 7 ribu ha pada tahun 2013 yang tidak bisa diimbangi oleh kenaikan produktivitas yang relatif lamban, yaitu dari 4,21 ton/ha menjadi 4,23 ton/ha. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa produksi tanaman pangan lainnya, kecuali untuk komoditas kedelai dan ubi jalar.
Khusus untuk
jagung, walaupun produksinya menurun namun rata-rata produktivitas jagung di Provinsi Kalimantan Selatan, seperti ditunjukkan oleh data 2 tahun terakhir, diatas rata-rata produtkivitas nasional. Pada tahun 2012, produktivitas jagung di Provinsi Kalimantan Selatan mencapai 5,16 ton/ha dan sekitar 7,5% lebih tinggi dari ratarata produktivitas jagung nasional.
Namun demikian, produktivitas tanaman
pangan lainnya seperti padi, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar masih dibawa rata-rata nasional. Sebagai contoh, produktivitas padi di provinsi ini pada tahun 2012 dan 2013 baru 82% dari rata-rata produktivitas nasional, atau sekitar 18% dibawah produktivitas nasional.
14
Tabel 1. Perkembangan Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Beberapa Tanaman Pangan di Kalsel, 2012-2013 2012 Komoditas 1. Padi 2. Jagung 3. Kedelai 4. Kacang Tanah 5. Kacang Hijau 6. Ubi Kayu 7. Ubi Jalar
Produksi
Luas P.
(ton) 2.086.220 (3,02) 112.067 (0,58) 3.860 (0,46) 12.377
(ha) 496.082 (3,69) 21.773 (0,55) 2.878 (0,51) 10.162
(1,74) 842 (0,30) 90.044 (0,37) 19.607 (0,79)
2013 Produktivita s
Produksi
Luas P.
Produktivitas
(Kw/ha) 42,05 (82,45) 51,59 (107,48) 13,41 (95,79) 12,18
(ton) 2.031.029 (2,85) 107.043 (0,58) 4.072 (0,52) 11.238
(ha) 479.721 (3,47) 20.629 (0,54) 3.038 (0,55) 9.148
(Kw/ha) 42,34 (82,18) 51,89 (107,12) 13,4 (94,63) 12,28
(1,82) 787
(101,50) 10,7
(1,60) 757
(1,76) 703
(90,83) 10,77
(0,32) 5.862 (0,52) 1.644 (0,92)
(97,27) 153,61 (71,78) 119,26 (85,80)
(0,37) 87.323 (0,36) 16.534 (0,69)
(0,39) 4.902 (0,46) 1.336 (0,83)
(95,82) 178,14 (79,31) 123,76 (83,92)
Sumber: BPS Kalsel dan Indonesia, 2014, diolah. Walaupun produktivitasnya lebih tinggi dari produktivitas nasional, akan tetapi Kalimantan Selatan bukan sebagai sentra produksi jagung di Indonesia.
Hal ini
terbukti dalam dua tahun terakhir jumlah jagung yang diproduksi di provinsi ini hanya 0,58%.
Kondisi ini menunjukkan bahwa luas pertanaman jagung di
Kalimantan Selatan masih sangat rendah, sekalipun produkvitasnya sudah tinggi. Kontribusi Kalimantan Selatan sebagai penghasil padi juga relatif rendah, yaitu hanya 2,9% - 3,0%.
Demikian juga untuk komoditas pangan lainnya (kedelai,
kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar), kontribusi Kalimantan Selatan terhadap produksi nasional hanya berkisar 0,3% - 1,74%. Dari informasi di atas tampak bahwa jagung merupakan salah satu komoditas pangan yang mempunyai prospek bagus untuk dikembangkan di provinsi.
Oleh
karena itu, cukup menarik untuk melihat lebih lanjut sebaran luas panen, produksi dan produktivitas jagung menurut kabupaten di provinsi ini, seperti disajikan pada Tabel 2. Dengan menggunakan data tahun 2013, tampak bahwa kabupaten Tanah Laut merupakan Sentra produksi jagung di provinsi ini. Sebanyak 73% dari total 15
jagung di Kalimantan Selatan berasal dari Kabupaten Tanah Laut.
Luas panen
jagung di Kabupaten ini juga cukup tinggi, mencapai 70% dari total luas panen jagung di Kalimantan Selatan. Hal lainnya yang cukup menarik adalah produktivitas jagung di Kabupaten ini juga sangat tinggi, 5,4 ton/ha atau sekitar 4,2% di atas produktivitas provinsi yang rata-rata 5,2 ton/ha. Kabupaten lainnya sebagai sentra produksi jagung adalah Kota Baru, dengan kontribusi sekitar 17,6%. Bahkan ratarata produktivitas jagung di kabupaten ini paling tinggi dibandingkan kabupaten lainnya, yaitu 5,62 ton/ha atau sekitar 8,3% diatas rata-rata provinsi.
Kontribusi
produksi jagung dari masing-masing kabupaten lainnya sangat kecil, kurang dari 2% dengan tingkat produktivitasnya dibawah rata-rata provinsi. Tabel 2. Luas Panen, Produktivtas dan Produksi Jagung Menurut Kabupaten di Provinsi Kalsel, 2013 N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kabupaten Tanah Laut Kota Baru Banjar Barito Kuala Tapin Hulu Sungai Selatan Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Utara Tabalong Tanah Bumbu Balangan Banjarmasin Banjar Baru Kalimantan Selatan
Persentase Thp Provinsi Produktivita Produks Luas P. s i 69,90 104,24 72,87 16,23 108,33 17,59 2,37 77,90 1,85 0,41 62,38 0,26 1,11 67,45 0,75
Produktivita s (Kw/ha)
Produksi (ton)
14420 3349 489 85 228
54,09 56,21 40,42 32,37 35,00
77998 18825 1977 275 798
221
38,19
844
1,07
73,60
0,79
416
40,54
1686
2,02
78,13
1,58
127 403 453 437 0 1
28,94 29,76 36,63 32,28 0,00 36,59
368 1199 1659 1411 0 4
0,62 1,95 2,20 2,12 0,00 0,00
55,77 57,35 70,59 62,21 0,00 70,52
0,34 1,12 1,55 1,32 0,00 0,00
20629
51,89
107043
100,00
100,00
100,00
Luas P. (ha)
Sumber: BPS Kalsel, 2014, diolah. Gambar 1, 2, dan 3 berturut-turut menyajikan sebaran dan keragaan luas panen, produktivitas, dan produksi jagung dalam satu tahun. Tampak bahwa luas panen jagung tertinggi terdapat pada bulan Januari sampai April, yaitu mencapai
16
47,24%, disusul pada Bulan Mei sampai Agustus sekitar 36,34%, dan relatif paling sedikit adalah bulan September sampai Desember, yaitu hanya 16,41% (Gambar 1). Distribusi Luas Panen Jagung di Kalsel, 2013 Sept-Des 16,41%
Jan-April 47,24% Mei-Agust 36,34%
Gambar 1. Distribusi Luas Panen Jagung di Kalsel, 2013 Sumber: BPS Kalsel, 2014, diolah Sejalan dengan distribusi luas panen ini, jumlah produksi jagung tertingi di Provinsi Kalimantan Selatan juga terdapat pada Bulan Januari-April, dengan produksi sekitar
49,09%,
sementara pada Bulan Mei- Agustus
dan Bulan September-
Desember masing-masing 37,18% dan 13,72% (Gambar 2). Distribusi Produksi Jagung di Kalsel, 2013 Sept-Des 13,72%
Jan-April 49,09% Mei-Agust 37,18%
Gambar 2. Distribusi Produksi Jagung di Kalsel, 2013 Sumber: BPS Kalsel, 2014, diolah
17
Tidak hanya luas panen dan produksi, ternyata produktivitas jagung tertinggi juga terdapat pada Bulan Januari-April, yaitu 55,39 ton/ha.
Produktivitas jagung
pada Bulan Mei-Agustus juga masih cukup tinggi, 5,31 ton/ha, sementara pada Bulan September-Desember relatif paling rendah, yaitu 4,34 ton/ha (Gambar 3).
Produktivitas Jagung di Kalsel, 2013
60 50 40 30 20 10 0
Jan-April 53,92
Mei-Agust 53,09
Sept-Des 43,39
Gambar 1. Keragaan Produktivitas Jagung di Kalsel, 2013 Sumber: BPS Kalsel, 2014, diolah
Prospek Pengembangan ATP Berbasis Jagung di Kabupaten Tanah Laut Prospek pengembangan ATP berbasis jagung di Kabupaten Tanah LautKalimantan Selatan dapat dilihat dari beberapa aspek, seperti ketersediaan lahan, pasar, pemanfaatan limbah, dan keuntungan usahatani jagung itu sendiri. Prospek pengembangan Agro Techno Park (ATP) berbasis jagung di Kabupaten Tanah Laut-Kalimantan Selatan cukup baik, karena didukung oleh pemilikan lahan per rumah tangga petani cukup tinggi. Rata-rata luas tanam jagung per petani sekitar 5 ha, dan bahkan banyak petani yang menanam jagung di atas 7 ha.
Bagi sebagian besar petani, usahatani jagung sudah merupakan sumber
pendapatan utama rumah tangga petani.
Oleh karena itu, bagi petani yang
termasuk dalam kelompok ini akan sangat respon sekali terhadap teknologi baru 18
jagung. Dengan demikian mendorong petani untuk menerapkan inovasi teknologi usahatani jagung secara baik akan lebih mudah. Selain itu, pasar jagung Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Tanah Laut-Kalimantan Selatan berjalan cukup baik. Hal ini didukung oleh adanya Japfa Comfeed Indonesia TBK, yang membutuhkan jagung cukup banyak. Kapasitas produksi pakannya perusahaan ini sekitar 200 ton per hari. Sampai saat ini produksi jagung dari Kabupaten Tanah Laut belum mampu memenuhi permintaan dari pabrik ini. Namun demikian, tidak semua petani akses untuk mensuplai pabrik ini, karena persyaratannya cukup ketat. Seringkali jagung yang dikirim petani ditolak karena alasan kualitasnya rendah (kasar air masih tinggi), disamping kapasitas gudang penyimpanan (silase) yang dipunyai Japfa Comfeed masih terbatas. Petani punya alternatif untuk menjual kepada pedagang lainnya ketika jagungnya ditolak oleh Japfa Comfeed.
Ada beberapa pedagang jagung yang sekaligus berperan untuk
mengolah jagung untuk jadi pakan, yang mau memberli jagung walaupun kualitasnya relatif rendah. Akan tetapi pedagang ini biasanya menghargai jagung petani sekitar Rp 200 - 500/kg lebih rendah dari haarga di Japfa Comfeed. Namun demikian harga ini pada dasarnya masih cukup menarik bagi petani. Sebagai contoh, pada sekitar Nopember 2014, harga jagung di Jafpa Comfeed sekitar Rp 3200/kg, sementara di pedagang Rp 2700/kg. Sudah cukup banyak petani yang menggunakan pupuk kandang pada usahatani jagung di Kabupaten Tanah Laut. Namun demikian, pemanfaatan biomas jagung sebagai salah satu alternatif sumber pakan bagi ternak sapi belum dimanfaatkan. Dengan demikian, peluang untuk mengintegrasikan pengelolaan tanaman jagung dengan pemeliharaan ternak bisa dilakukan.
Pola integrasi bisa
dilakukan pada petani itu sendiri atau berdasarkan kelompok. Artinya ada kelompok petani jagung dan ada kelompok peternak, namun kedua kelompok ini terintegrasi dan saling ketergantungan. Produktivitas dan keuntungan usahatani jagung di Kabupaten Tanah Laut cukup tinggi sekalipun pada lahan kering sehingga mampu cukup bersaing dengan tanaman lainnya. Walaupun pada tingkat provinsi dan kabupaten rata-rata produktivitas jagung masih 5 ton per hektar, namun ketika wawancara dilakukan di tingkat petani di Kecamatan Batu Ampar-Kabupaten Tanah Laut mengatakan bahwa 19
tingkat produktivitas jagung yang ditanam petani pada lahan keirng sekitar 7 ton per hektar merupakan hal yang biasa dicapai, dengan penggunaan input yang sangat intensif ada petani bisa mencapai produktivitas mencapai 12 ton/ha. Tabel 3. Analisa Kelayakan Usahtani Jagung pada Lahan Kering per ha di Desa Tajo Pecah, Kec. Batu Ampar, Kab Tanah Laut-Kalsel, 2014 MH
Uraian
Jumlah
MK-1 Harga
I. Total Biaya
Nilai
Jumlah
Total Harga
8443000
Nilai
(per thn)
6893000
16336000
A. Biaya Produksi a. Benih (kg)
17
70000
1190000
17
70000
1190000
2380000
1. Kandang (karung)
100
16000
1600000
0
16000
0
1600000
2. Urea (kg)
300
1860
558000
300
1860
558000
1116000
3. NPK-Phonzka (kg)
200
2400
480000
200
2400
480000
960000
8
60625
485000
8
60625
485000
970000
1. Mengolah lahan (traktor)
1
600000
600000
0
600000
0
600000
2. Balur (traktor)
1
350000
350000
0
350000
0
350000
3. Menanam (Rp30000/kg)
17
30000
510000
17
30000
510000
1020000
4. Menyemprot (HOK)
4
80000
320000
4
80000
320000
640000
5. Panen (Pp9000/karung)
200
9000
1800000
200
9000
1800000
3600000
6. Angkut (Rp4000/karung)
200
4000
800000
200
4000
800000
1600000
1
500000
500000
1
500000
500000
1000000
250000
500000
18900000
35000000
b. Pupuk
c. Obat-obatan (lt) d. Tenaga Kerja/Alsin
B. Lain-lain 1. Sewa Lahan 2. Karung, dll II. Penerimaan
250000 7000
III. Keuntungan
2300
16100000
7000
2700
6657000
12007000
18664000
RCR
1,70
2,74
2,14
BEY
4106
2553
3267
BEP
1349
985
1167
Sumber: Data Primer, 2014 (diolah) Hasil kelayakan finansial usahtani jagung pada lahan kering pada petani contoh di Desa Tajo Pecah, Kecamatan Batu
Ampar, Kabupaten Tanah Laut-
Kalimanatan Selatan, seperti disajikan pada Tabel 3.
Adanya keterbatasan air,
dalam setahun petani hanya menanam jagung dua kali. Pada MT-1 (MH) dan MT-2 (MK-1) jumlah input yang dipakai petani persis sama. penggunaan pupuk kandang dan kegiatan balur.
Bedanya hanya pada
Pupuk kandang yang diberikan
20
pada MT-1 masih tersisa didalam tanah pada MT-2 sehingga tidak perlu lagi memberikan pupuk kandang.
Demikian juga pada MT-2 tidak perlu lagi ada
pembaluran, cukup dilakukan pada MT-1 saja. Produktivitas jagung antara MT-1 dan MT-2 relatif sama, namun demikian harga jagung pada MT-2 relatif lebih tinggi dibanding MT-1 (Rp 2.700/kg vs. Rp 2.300/kg), karena kandungan air (KA) jagung pada MT-2 lebih rendah dari MT-1 (KA 19% vs. KA30%). Pada tingkat produksi 7 ton/ha, rata-rata keuntungan petani jagung dalam setahun mencapai Rp 18,7 juta/ha dan sangat menarik. Dengan luas tanam jagung rata-rata 5 ha per petani, maka besarnya pendapatan bersih petani dari tanaman jagung sekitar Rp 93,5 juta per tahun. Pak Thomas sebagai salah satu petani jagung yang menanam jagung sekitar 15 ha dengan pendapatan bersih Rp 280,5 juta per tahun mengaku setiap tahun mereka mampu membeli tanah untuk memperluas tanaman jagung. Dari kondisi di atas menginformasikan bahwa pengembangan model Agro Techno Park (ATP) berbasis jagung di Kabupaten Tanah Laut dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif. Namun demikian, pengembangan ini akan dihadapkan pada berbegai kendala seperti persaingan penggunaan lahan dengan kelapa sawit yang sedang giat-giatnya dikembangkan oleh pihak swasta, masalah pengeringan dan penyimpanan, serta lemahnya SDM petani dan belum adannya atau kurang berfungsinya kelembagaan kelompok tani. Kendala-kendala ini ke depan justru bisa dibalik sebagai peluang untuk pengembangan ATP. Dalam dua tahun terakhir, yaitu 2012-2013,
produksi padi di Provinsi
Kalimantan Selatan cenderung menurun yaitu dari 2,086 juta ton menjadi 2,031 juta ton. Penurunan ini akibat terjadinya penurunan luas panen dari 496,08 ribu ha pada tahun 2012 menjadi 479, 7 ribu ha pada tahun 2013 yang tidak bisa diimbangi oleh kenaikan produktivitas yang relatif lamban, yaitu dari 4,21 ton/ha menjadi
4,23
ton/ha. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa produksi tanaman pangan lainnya, kecuali untuk komoditas kedelai dan ubi jalar. Khusus untuk jagung, walaupun produksinya menurun namun rata-rata produktivitas jagung di Provinsi Kalimantan Selatan, seperti ditunjukkan oleh data 2 tahun terakhir, diatas rata-rata produtkivitas nasional. Pada tahun 2012, produktivitas jagung di Provinsi Kalimantan Selatan mencapai 5,16 ton/ha dan sekitar 7,5% lebih tinggi dari rata-rata produktivitas jagung nasional. 21
Produktivitas tanaman pangan lainnya seperti padi, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar masih dibawa rata-rata nasional. Sebagai contoh, produktivitas padi di provinsi ini pada tahun 2012 dan 2013 baru 82% dari rata-rata produktivitas nasional, atau sekitar 18% dibawah produktivitas nasional. Jagung merupakan salah satu komoditas pangan yang mempunyai prospek bagus untuk dikembangkan di provinsi. Dengan menggunakan data tahun 2013, tampak bahwa kabupaten Tanah Laut merupakan Sentra produksi jagung di provinsi ini. Sebanyak 73% dari total jagung di Kalimantan Selatan berasal dari Kabupaten Tanah Laut. Luas panen jagung di Kabupaten ini juga cukup tinggi, mencapai 70% dari total luas panen jagung di Kalimantan Selatan. Hal lainnya yang cukup menarik adalah produktivitas jagung di Kabupaten ini juga sangat tinggi, 5,4 ton/ha atau sekitar 4,2% di atas produktivitas provinsi yang rata-rata 5,2 ton/ha.
Kabupaten
lainnya sebagai sentra produksi jagung adalah Kota Baru, dengan kontribusi sekitar 17,6%.
Bahkan rata-rata produktivitas jagung di kabupaten ini paling tinggi
dibandingkan kabupaten lainnya, yaitu 5,62 ton/ha atau sekitar 8,3% diatas ratarata provinsi.
Kontribusi produksi jagung dari masing-masing kabupaten lainnya
sangat kecil, kurang dari 2% dengan tingkat produktivitasnya dibawah rata-rata provinsi. Prospek pengembangan Agro Techno Park (ATP) berbasis jagung di Kabupaten Tanah Laut-Kalimantan Selatan cukup baik dilihat dari ketersediaan lahan, karena didukung oleh pemilikan lahan per rumah tangga petani cukup tinggi. Rata-rata luas tanam jagung per petani sekitar 5 ha, dan bahkan banyak petani yang menanam jagung di atas 7 ha. Bagi sebagian besar petani, usahatani jagung sudah merupakan sumber pendapatan utama rumah tangga petani.
Oleh karena
itu, bagi petani yang termasuk dalam kelompok ini akan sangat respon sekali terhadap teknologi baru jagung. Dengan demikian mendorong petani untuk menerapkan inovasi teknologi usahatani jagung secara baik akan lebih mudah. Selain itu, pasar jagung Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Tanah Laut-Kalimantan Selatan berjalan cukup baik. Hal ini didukung oleh adanya Japfa Comfeed Indonesia TBK, yang membutuhkan jagung cukup banyak. Namun demikian,
tidak
semua
petani
akses
untuk
mensuplai
pabrik
ini,
karena
persyaratannya cukup ketat. Seringkali jagung yang dikirim petani ditolak karena 22
alasan kualitasnya rendah (kasar air masih tinggi), disamping kapasitas gudang penyimpanan (silase) yang dipunyai Japfa Comfeed masih terbatas. Petani punya alternatif untuk menjual kepada pedagang lainnya ketika jagungnya ditolak oleh Japfa Comfeed. Sudah cukup banyak petani yang menggunakan pupuk kandang pada usahatani jagung di Kabupaten Tanah Laut. Namun demikian, pemanfaatan biomas jagung sebagai salah satu alternatif sumber pakan bagi ternak sapi belum dimanfaatkan. Dengan demikian, peluang untuk mengintegrasikan pengelolaan tanaman jagung dengan pemeliharaan ternak bisa dilakukan.
Pola integrasi bisa
dilakukan pada petani itu sendiri atau berdasarkan kelompok. Artinya ada kelompok petani jagung dan ada kelompok peternak, namun kedua kelompok ini terintegrasi dan saling ketergantungan. Produktivitas dan keuntungan usahatani jagung di Kabupaten Tanah Laut cukup tinggi sekalipun pada lahan kering sehingga mampu cukup bersaing dengan tanaman lainnya. Ketika wawancara dilakukan di tingkat petani di Kecamatan Batu Ampar-Kabupaten Tanah Laut mengatakan bahwa tingkat produktivitas jagung yang ditanam petani pada lahan keirng sekitar 7 ton per hektar merupakan hal yang biasa dicapai, dengan penggunaan input yang sangat intensif ada petani bisa mencapai produktivitas mencapai 12 ton/ha. Pada tingkat produksi 7 ton/ha, rata-rata keuntungan petani jagung dalam setahun mencapai Rp 18,7 juta/ha dan sangat menarik. Dengan luas tanam jagung rata-rata 5 ha per petani, maka besarnya pendapatan bersih petani dari tanaman jagung sekitar Rp 93,5 juta per tahun. Dari kondisi di atas menginformasikan bahwa pengembangan model Agro Techno Park (ATP) berbasis jagung di Kabupaten Tanah Laut dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif. Namun demikian, pengembangan ini akan dihadapkan pada berbegai kendala seperti persaingan penggunaan lahan dengan kelapa sawit yang sedang giat-giatnya dikembangkan oleh pihak swasta, masalah pengeringan dan penyimpanan, serta lemahnya SDM petani dan belum adannya atau kurang berfungsinya kelembagaan kelompok tani. Kendala-kendala ini ke depan justru bisa dibalik sebagai peluang untuk pengembangan ATP.
23
.4.2. Karakter Pertanian dan Peluang Pengembangan Agrotechnopark di Kota Pagar Alam, Propinsi Sumatera Selatan Pembangunan
pertanian
di
Kota
Pagar
Alam
menghadapi
beberapa
permasalahan pokok, baik yang bersifat teknis, ekonomi, sosial-kelembagaan dan kurangnya dukungan kebijakan pemerintah. Aspek teknis terkait dengan masalah pengelolaan sumberdaya alam yang belum optimal, adopsi teknologi yang masih tergolong rendah, dan dukungan infrastruktur yang masih terbatas. Aspek ekonomi terkait dengan masalah ketersediaan sarana produksi, masalah harga sarana produksi yang tinggi, harga hasil pertanian yang berfluktuasi, dan masalah lemahnya permodalan petani. Aspek sosial kelembagaan terutama terkait dengan belum sinerginya antara kelembagaan komunitas, kelembagaan ekonomi, dan kelembagaan pemerintah ditingkat lokal.
Sementara itu, aspek dukungan kebijakan pemerintah
menghadapi permasalahan belum padu padannya kebijakan pemerintah pusat dengan daerah dan antara dinas teknis terkait di daerah. Kondisi Wilayah dan Potensi Pengembangan Komoditas Pertanian Potensi pengembangan komoditas pertanian di Kota Pagar Alam (Kec. Dempo Selatan dan Dempo Utara). Program Pemda Kota Pagar Alam dalam implementasi pembangunan pertanian baik nasional dan daerah. Upaya Balitbangtan dalam penderasan inovasi ke daerah melalui LLIP.
24
Tabel 4. Kondisi Wilayah Kota Pagar Alam: Luas Wialayah
633.66 Ha
Ketinggian
694 – 2.700 mdpl
Jumlah penduduk
157.719 jiwa
Tanaman Sayuran: kubis, sawi, bw daun,
3.810 Ha dr potensi lahan
wortel, kentang, buncis, cabai, tomat, dll
tegalan 10.187 Ha
Tanaman Buah
311,39 Ha
Padi sawah
5.965 Ha
Jagung
358 ha
Ubikayu
174 ha
Kopi (rakyat)
7.570 Ha
Berdasarkan potensi sumberdaya alam dan lingkungan, terutama dari aspek sumberdaya lahan dan air, maka wilayah Kota Pagar Alam sangat cocok untuk beberapa komoditas pertanian, yaitu: (1) Komoditas sayuran dataran tinggi: kubis, kentang, sawi, bawang daun, wortel, cabai merah besar, cabai merah keriting, tomat, terong, buncis, labu siam; (2) Komoditas buah dataran tinggi: manggis, salak, duku, durian, rambutan; (3) Komoditas ternak: sapi potong dan sapi perah; (4) Komoditas perkebunan : Kopi Robusta dengan klon unggul dan Teh; (5) Komoditas pangan: padi, jagung, kacang tanah, serta kacang-kacangan lain. Kecamatan Dempo Utara Kunjungan pada lokasi Kecamatan Dempo Utara dilakukan : (1) Kelurahan Kerinjing dengan melakukan wawancara dengan Gapoktan Kerinjing Raya yang berada pada ketinggian 1271 mdpl; (2) Desa Gunung Agung Pauh, melakukan wawancara dengan Kelompok Tani Lawang Dempo yang berada pada ketinggian 1095 m dpl; (3) melakukan wawancara dengan kelompok tani perbenihan kentang (Bp Sidarhan) pada ketinggian 1129 mdpl yang membibitkan kentang granola dan Semeru; (4) Kunjungan ke Kelurahan Muara Siban dengan komoditas utama Kopi Robusta; (5) Lokasi pengembangan sayuran di Kelurahan Tanjung Keling dengan 25
melakukan wawancara dengan Kelompok Tani KaruniaMu yang berada pada ketinggian 1027 m dpl; (6) Kunjungan ke Kelurahan Pagerwangi, Kelompok Tani Tunas Maju dengan komoditas sayuran dan Kelompok Jangkar Mas, dengan komoditas utama Cabai Merah Besar (dipanen hijau), kentang granola, seledri, kol (bulat dan gepeng), tomat, terong ungu, kubis, wortel, kopi, padi, serta ternak sapi potong. Komoditas Cabai Merah Besar (dipanen hijau) yang ditanam adalah jenis hibrida dengan Varietas (Lado, Taro, dll), sebagian besar dipanen dalam kondisi buah hijau, tergantung kondisi tanaman di lapang dan harga cabai di pasar. Teknologi budidaya tergolong sudah intensif, yaitu dengan menggunakan mulsa plastik, pemupukan an-organik dan organik, penggunaan pestisida sintetis, serta herbisida.
Kendala utama adalah serangan OPT, antara lain virus daun kuning,
antracknosa, serta fluktuasi harga yang sangat tajam. Untuk komoditas Kubis adalah: (1) Varietas yang banyak ditanam adalah Grand 11; (2) Ada dua jenis kol, yaitu Kol Bulat dan Kol Gepeng; dan (3) Penyakit yang banyak ditemukan adalah penyakit akar gada. Usahatani kol/kubis tergolong komoditas sayuran dataran tinggi yang teknologinya telah dikuasai dengan baik oleh petani. Komoditas ini tergolong memberikan keuntungan moderat dengan resiko yang juga moderat.
Introduksi pengendalian hama secara terpadu (PHT) baik
dengan menggunakan pestisida nabati maupun musuh alami penting dilakukan. Untuk Komoditas Kentang, varietas yang ditanam adalah: Granola L, Merbabu 17. Pernah ada kerjasama dengan dengan PT Indofood Fritolay Makmur untuk menanam kentang jenis Atlantik untuk keripik (potatoes chipping), tetapi tidak berkelanjutan karena tidak terjaminnya pasokan dan kurangnya komitmen petani. Permasalahan utama adalah keterbatasan benih kentang berkualitas, terbatasnya fasilitas (screen house G1) dan teknologi perbenihan, keterbatasan teknologi budidaya. Rata-rata tingkat produktivitas kentang hanya mencapai 14,30 ton/Ha atau masih tergolong rendah. Produksi kentang pada musim hujan turun, akibat penyakit busuk daun (PI). Untuk Komoditas Kopi Robusta, tingkat produktivitas tergolong masih rendah, yaitu 750-800 Kg/Ha. Menggunaakan metode stek sambung. Pada tanaman yang sudah tua dilakukan sambung samping dan sambung pucuk. Teknologi budidaya 26
belum optimal (pemupukan belum lengkap dan kurang berimbang), pemangkasan dan pembuangan wiwilan kurang, pengendalian OPT juga kurang. Hama dan penyakit pada tanaman kopi adalah serangan jamur dan penggerek buah. Pasca panen dan pengolahan hasil masih sederhana, pada umumnya dilakukan dengan olah kering, sedangkan PTPN telah mengembangkan sistem pengolahan buah basah. Kondisi peternakan Sapi Potong di Kecamatan Dempo Utara: (1) Usahaternak Sapi Potong belum merupakan bibit unggul, sebagian menggunakan Sapi Bali dan Sapi PO; (2) Merupakan usaha integrasi antara komoditi pertanian lain: Hortikultura, Tanaman pangan, perkebunan dengan ternak Sapi Potong; (3) Umumnya ternak Sapi dikandangkan, pakan utama adalah rumput alam dan rumput gajah, hijauan pakan ternak disediakan dikandang, ada beberapa peternak yang menggembalakan sapi di tempat tertentu; (4) Kepemilikan ternak per peternak relatif sedikit, 1-3 ekor; (5) Kelompok Tani Lawang Dempo pada Tahun 2012-2013 mampu memproduksi pupuk organik sebesar 27.75 ton/tahun dan periode Januari-Juni 2014 mampu memproduksi pupuk organik sebesar 19 ton dengan harga pupuk organik antara Rp 200-500/Kg; dan (6) Pengalaman beternak relatif kurang, baik dari aspek keterampilan teknis maupun kapabilitas manajerialnya. Potensi dan peluang pengembangan Sapi Potong masih sangat prospektif yang direfleksikan oleh: (1) Hijauan pakan ternak baik rumput alam maupun rumput gajah masih tersedia cukup melimpah; (2) Kelompok peternak sudah terbentuk dan berjalan dengan cukup baik; (3) Prospek pasar untuk daging sapi dan pupuk organik sangat baik; (4) Kebutuhan pupuk organik untuk tanaman hortikultura dan kopi sangat tinggi; (5) Pemeliharaan ternak sapi selain sebagai penghasil sapi bakalan juga penghasil pupuk organik; (6) Pupuk organik padat telah banyak digunakan, sedangkan pupuk organik cair belum banyak dimanfaatkan; (7) Pemanfaatan limbah dan sisa hasil ikutan pertanian sebagai pakan ternak; (8) Pengembangan biogas ke depan dapat meningkatkan penghasilan usahaternak sapi potong. Alternatif pengembangan Sapi Potong: (1) Peningkatan kemampuan peternak baik dari aspek keterampilan teknis maupun kapabilitas manajerialnya; (2) Introduksi teknologi difokuskan pada bibit unggul, budidaya ternak, pengolahan pakan,
kesehatan
hewan,
serta
manajemen
usahaternak;
(3)
Pentingnya 27
pengembangan leguminosa sebagai sumber protein pakan; (4) Pengembangan HPT di lokasi lahan yang tidak dimanfaatkan tanaman utama (pematang, sela tanaman, pinggir jalan, dll); (5) Pemanfaatan limbah dan hasil ikutan pertanian; (6) Pengembangan
peternakan
sejalan
dengan
Konsep
pertanian-bioindustri
berkelanjutan; dan (7) Mengintegrasikan beberapa komoditas saling mendukung. Komoditas padi : (1) Sebagian besar menerapkan IP 200 dan beberapa lokasi ada yang IP 300; (2) Sistem mina padi; (3) Hama ulat grayak (siklus 5 tahunan); (4) Sumber air cukup tersedia; (5) Penggunaan alsin untuk: olah tanah, penggilingan padi; (6) Ketersediaan traktor kurang, meminjam dari Kec. Dempo Selatan; (7) Untuk penangkaran benih 10 ha; (8) Mulai pertanian organik; dan (9) Memerlukan alsin tanam bibit padi untuk mendukung tanaman padi 3 kali. Kecamatan Dempo Tengah Lokasi Kecamatan Dempo Tengah berada pada ketinggian 865 mdpl. Lokasi yang dikunjungi adalah Kelurahan Pelang Kenidai. Komoditas utama adalah padi, kacang tanah, kopi robusta. Terdapat lokasi rencana pencetakan lahan sawah baru seluas 3000 Ha, hasil identifikasi awal baru tersedia 500 Ha. Pada lahan sawah tadah hujan menerapkan pola tanam: padi – jagung/kacang tanah. Kondisi lahan cenderung datar adalah cocok untuk lahan sawah, sedangkan yang berlereng seyogyanya tetap dipertahankan untuk tanaman perkebunan atau hortikultura buahbuahan. Ketersediaan traktor tangan cukup memedai, namun perlu penambahan jika ada pencetakan lahan sawah baru. Jenis alsin tersedia adalah traktor tangan (Kelompok Tani & perseorangan), perontok padi, RMU (jumlah cukup banyak & bersaing).
Petani tidak suka pengeringan dengan mesin pengering karena aroma
gabah berbeda. Pada lokasi ini beberapa petani menggali sumur untuk irigasi saat tanam kedua, tetapi saat kering panjang tidak ada air. Saat MK ada bantuan irigasi dengan mengalirkan air dari sungai melalui selang. Kualitas produksi kacang tanah kurang baik, kemungkinan benih kurang bermutu dan tidak sesuai dengan ketinggian tempat). Kualitas produksi jagung bagus.
28
Kecamatan Dempo Selatan Kecamatan Dempo Selatan berada pada ketinggian 525 m dpl. Lokasi yang dikunjungi adalah Kelurahan Atung Bungsu. Komoditas utama yang diusahakan adalah padi, jagung, dan kacang tanah. Pada lahan sawah tadah hujan menerapkan pola tanam: padi-palawija-bera. Varietas padi yang ditanam adalah Varietas Ciherang dan Mekongga (varietas untuk ketinggian < 600 m dpl), yang tidak sesuai dengan kondisi ketinggian lahan sehingga produktivitas hanya sebesar: 4,13-4,97 ton/Ha atau kurang (< 5 ton GKP/ha). Pola tanam padi tidak dilakukan secara serempak. Dominan lahan sawah berteras, kemiringan kurang dari 15%. Terdapat masalah ketersediaan air pada MK. Jarak waktu antara pengolahan tanah dan tanam terlalu lama, sehingga pertumbuhan tanaman padi tidak optimal (tanah terlalu masam). Pengolahan tanah untuk tanam kedua (palawija) dilakukan secara manual. Jenis alsintan yang tersedia: traktor tangan (milik Kelompok Tani & swasta), perontok padi (power tresher), pengering, penggilingan padi atau RMU. Pengering padi kurang dimanfaatkan karena masalah ketersediaan bahan bakar. Tidak ada lantai jemur, penjemuran banyak dilakukan dipinggir jalan.
Sudah ada 1 bengkel
khusus untuk alsintan dan dirasakan masih kurang. Dirasakan jumlah alsintan khususnya traktor dan tenaga operator traktor masih kurang. Keragaan Teknologi Eksisting Komoditas Padi Varietas dan benih padi: (1) VUB lama dataran sedang: Ciherang, Mekongga, Situbagendit, yang sesuai untuk ketinggian 500-600 dpl, padahal ketinggian tempat diatas 600 m dpl; (2) Belum banyak melakukan pergiliran VUB untuk dataran tinggi dan pergiliran tanaman (palawija dan hortikultura); (3) Benih sebagian besar menggunakan gabah hasil panen sendiri musim sebelumnya dengan jumlah penggunaan benih 30-50 kg/ha; dan (4) Varietas, mutu benih, dan waktu penyemaian belum sesuai yang direkomendasikan. Persemaian/pembibitan padi: (1) Ukuran lahan persemaian terlalu sempit < 4% x Luas Tanam; (2) Bibit terlalu rapat, sehingga kurang berkembang dan 29
pertumbuhan tidak maksimal; (3) Kebutuhan benih dipandang terlalu banyak atau terjadi pemborosan; (4) Perakaran banyak terpotong saat tanam pindah (tapin); dan (5) Terjadi stagnasi pertumbuhan bibit padi. Kondisi ini dapat mempengaruhi tingkat produktivitas yang dicapai. Perkembangan OPT dan Pengendalian penyakit pada komoditas padi: (1) Penyakit yang banyak menyerang padi adalah Blas (daun dan leher) dan HDB; (2) Hama yang menyerang pada padi antara lain Ulat Grayak, Walang sangit, Hama Putih Palsu, Kepinding tanah, Keong Mas, Tikus. Pengendalian OPT masih bertumpu pada penggunaan pestisida; (3) Pentingnya pengembangan pola tanam yang dapat memutus siklus OPT. Cara tanam pada komoditas padi: (1) Waktu tanam tidak dilakukan secara serentak; (2) Jarak tanam tidak teratur sehingga menyulitkan dalam penyiangan dan pemeliharaan tanaman; dan (3) Sebagian besar petani belum menggunakan jarak tanam legowo. Hasil Kajian terhadap Program Pembangunan Pertanian Dengan mencermati berbagai pelaksanaan program pembangunan pertanian di Kota Pagar Alam, seperti Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Program
Pengelolaan
Tanaman
Terpadu
(PTT)
dengan
SL-PTT,
diperoleh
kecenderungan masih lemahnya program pembangunan pertanian sebagai berikut: Pertama, tujuan program pembangunan masih terbatas pada peningkatan produksi jangka pendek dengan penerapan teknologi produksi, khususnya penggunaan bibit unggul, pupuk, dan obat-obatan dan belum berorientasi pada peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan nilai tambah secara berkelanjutan. Kedua, belum sepenuhnya menggunakan benih atau bibit unggul dan dosis pemupukan secara lengkap dan berimbang dengan teknologi yang bersifat spesifik lokasi dan spesifik komoditas.
Petani menggunakan teknologi lebih berdasarkan
pengalaman dari pada adopsi teknologi rekomendasi. Ketiga, pembentukan kelembagaan petani (Gapoktan, Kelompok Tani, Kelompok Peternak) lebih ditujukan untuk
memperkuat ikatan-ikatan horizontal,
namun masih lemah dalam ikatan vertikal. Kelembagaan petani adalah kelompok 30
orang yang selevel, yaitu pada kegiatan budidaya satu komoditas tertentu (pangan, hortikultura, dan ternak sapi potong). Kelembagaan petani tersekat-sekat, tanpa ada struktur yang komprehensif, khususnya untuk membangun jaringan agribisnis secara terpadu. Keempat,
kelembagaan
petani
yang
dibentuk
lebih
untuk
tujuan
memudahkan distribusi bantuan atau paket program dan memudahkan tugas kontrol dari pelaksana program, bukan untuk pemberdayaan masyarakat petani. Kelima, bentuk kelembagaan petani yang dikembangkan seragam dengan bias kepada pola kelembagaan usahatani padi sawah, yaitu ada ketua, sekretaris dan bendahara. Umumnya belum dilengkapi dengan seksi-seksi usaha yang mencakup sistem dan usaha agribisnis. Keenam, pembinaan kelembagaan petani yang telah terbentuk (Gapoktan, Kelompok Tani, Kelompok Ternak) cenderung bersifat individual, misalnya dengan memfokuskan pembinaan ke tokoh-tokoh petani dan petani maju. Pola ini sesuai dengan prinsip trickle down effect dalam penyebaran informasi yang dianut dalam penyuluhan.
Penyuluh pertanian umumnya cukup dekat dengan tokoh-tokoh
masyarakat petani dan petani maju, namun belum mampu menggerakkan masyarakat secara lebih masif. Ketujuh, pengembangan kelembagaan petani selalu menggunakan jalur structural dengan membentuk ketua, sekretaris dan bendahara. Struktur dibangun lebih dahulu, untuk kemudian berharap agar perilaku orang-orang didalamnyanya bisa mengikuti. Masih belum fokus dalam merumuskan visi dan misi, aturan main (rule of the game), deskrepsi tugas pokok dan fungsi masing-masing, serta masih lemahnya kompatibilitas antara struktur yang dibangun dengan tupoksi yang harus dijalankan. Kedelapan, introduksi teknologi pertanian lebih melalui budaya material dibanding nonmaterial, atau merupakan perubahan yang materialistik. Hal ini misalnya terlihat dalam bantuan bibit, pupuk, modal, alsintan. Budaya non material belum
banyak
tersentuh,
sehingga
pertanian yang tidak berkelanjutan.
banyak
program-program
pembangunan
Program PUAP diperkirakan hanya 20-30 %
yang dapat berkelanjutan, selebihnya mengalami kemacetan.
31
Kesembilan, introduksi kelembagaan pertanian dilakukan dalam rangka perencanaan
dan
pelaksanaan
program
pembangunan.
Pengembangan
kelembagaan pertanian berjalan selama ada program, begitu program selesai kelembagaan yang dibangun bubar, karena pengembangan kelembagaan yang bersifat
sektoral
dan
diskontinyu,
padahal
pengembangan
kelembagaan
membutuhkan waktu yang lama. Kesepuluh, pada hakikatnya, pelaksanaan program pembangunan pertanian masih lebih merupakan jargon politik daripada pemberdayaan masyarakat yang ada di lapangan. Dengan membungkus suatu kebijakan dengan “pengembangan kelembagaan” seolah-olah pelaksana program telah bersifat menghargai kearifan lokal, lebih sosial, dan lebih partisipatif. Padahal introduksi yang diutamakan adalah teknologi dengan bantuan yang bersifat material. Dalam pembangunan pertanian teknologilah entry pointnya, bukan kelembagaan petani. Penyebabnya adalah: membangun suatu kelembagaan jelas jauh lebih sulit dan lama daripada hanya mengintroduksikan suatu teknologi. Kesebelas, infrastruktur pendukung dan kelembagaan pendukung tidak dipersiapkan dengan baik, terutama infrastruktur pertanian (jaringan irigasi, jalan usahatani, sarana pemasaran/sub terminal agribisnis) serta kelembagaan petani (Gapoktan, Kelompok Tani) dan kelembagaan ekonominya (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis/LKMA, Koperasi Tani, Koperasi Agribisnis, Badan Usaha Milik Daerah, dll). Kendala-Kendala Pokok Kendala teknis : (1) Ketinggian Tempat: (a) Dempo selatan 525-800 dpl, (b) Dempo tengah kurang lebih 800 dpl, (c) Dempo Utara > 900 dpl, (d) Pagar Alam Selatan 850 dpl, dan (e) Pagar Alam Utara 800-980 dpl, sehingga perlu mengembangkan komoditas pertanian spesifik lahan ketinggian sedang dan tinggi; (2) Ketersediaan Air pada musim kemarau – jaringan irigasi sederhana, kekeringan; dan (3) Adopsi teknologi umumnya masih rendah hingga pada level moderat. Kendala ekonomi: (1) Kelangkaan input produksi terutama pupuk subsidi sering terjadi; (2) Harga benih/bibit varietas unggul bersertifikat mahal, baik untuk benih tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan ternak sapi potong; (2) Harga 32
pupuk non subsidi sangat tinggi dan kurang terjangkau petani; (3) harga pestisida dan herbisida tinggi; (4) Harga jual hasil pertanian terutama produk hortikultura relatif fluktuasi; dan (5) lemahnya permodalan petani dan kurang akses terhadap berbagai sumber-sumber permodalan. Kendala
Sosial-kelembagaan
meliputi:
(1)
Rendahnya
konsolidasi
kelembagaan petani (Kelompok Tani, Gapoktan, dll) baik dari aspek keanggotaan, manajemen, maupun permodalannya; (2) Kurangnya kepemimpinan yang visioner dan kurangnya keteladanan; (3) Kurang efektifnya sistem koordinasi baik secara internal maupun secara eksternal; (4) Rendahnya partisipasi anggota dalam aktivitas kelompok; (5) Kurang adanya alat kohesi/perekat sosial; (6) Kurang bankable karena tidak memiliki agunan tanah bersertifikat; dan (7) Kurangnya komitmen dalam membangun kemitraan usaha agribsinis secara berkelanjutan. Bab V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Dari
kedua
lokasi
penelitian
diperoleh
informasi
bahwa
kegiatan
agrotechnopark sangat berpeluang dijalankan. Cukup banyak celah penerapan teknologi yang masih dapat ditingkatkan. Sementara dukungan dari stakeholders juga sangat tinggi. Dalam
bentuk
lebih
teknis,
agrotechnopark
yang
berpeluang
diimplementasikan di Tanah Laut berupa pengembangan teknologi dan agribisnis terpadu berbasiskan tanaman jagung. Potensi sumberdaya lahan yang memadai serta permintaan jagung yang besar merupakan faktor pendorong untuk kegiatan ini. Sementara di Pagar Alam, ada banyak komoditas yang dapat dikembangkan misalnya dalam hal komoditas cabai merah dalam jangka pendek adalah berupa: (a) membuat demplot pengelolaan tanaman cabai secara terpadu (ptt), (b) introduksi varietas open polinated (op) balitsa (ciko, kencana, lingga), dan pengembangan pemasaran cabai merah besar. Sementara, dalam jangka panjang, berbagai hal yang perlu dijalankan adalah produksi benih secara mandiri, pengolahan produk cabai kering dan tepung terutama untuk mengatasi pada harga cabai merah jatuh.
33
Untuk komoditas kentang hal yang perlu dilakukan dalam jangka pendek berupa: (a) demplot varietas jenis sayur (Andina, GM 05, dll), (b) pendampingan teknologi perbenihan, (c) pendampingan teknologi PHT, pendampingan teknologi budidaya dengan good agricultural practices (gap). Dalam jangka panjang berupa: (a) penyediaan benih kentang bersertifikat, (b) budidaya kentang gap dan ramah lingkungan, (c) pengenalan kentang jenis prosesing, (d) pengembangan produk olahan; (e) promosi produk berbasis kentang. Sapi potong juga sangat berpeluang dikembangkan. Untuk komoditas sapi potong, dalam jangka pendek yang harus dilakukan adalah: (a) menambah keragaman hijauan pakan ternak, (b) menanam rumput gajah dan rumput raja; (c) mengaktifkan 2 kandang komunal lainnya, dan (d) pengembangan pupuk organik padat dan cair. Sementara, untuk jangka panjang berupa: (a) pengembangan kandang komunal, (b) pengembangan sistem integrasi tanaman ternak sapi potong; (c) membuat pakan ternak skala mini berbahan baku lokal, dan (d) pengembangan biogas. Untuk komoditas kopi, dalam jangka pendek adalah berupa intensifikasi kebun kopi, sampung samping pada tanaman tua, dan peningkatan pengolahan pasca
panen.
Dalam
jangka
panjang
dibutuhkan
pengembangan
teknologi
pengolahan, pengembangan produk dan promosi produk. Terakhir untuk komoditas padi, dalam jangka pendek adalah: (a) peningkatan ip dengan perbaikan irigasi, (b) penerapan PTT, (c) pengkajian amdal konversi lahan kopi menjadi lahan sawah, dan (d) pengkajian budidaya tanaman hortikultura. Sementara, dalam jangka panjang berupa: (a) pengkajian amdal konversi lahan kopi menjadi lahan sawah; (b) pengembangan pertanian bio-industri berbasis padi; dan (c) pencetakan lahan sawah secara selektif dengan memperhatikan sumber daya lahan.
34
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2013.Pedoman Umum Laboratorium Lapang Inovasi Pertanian (LLIP). Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 20052010. Departemen Pertanian, Jakarta. Kasryno, Faisal dan A . Suryana. 1992. Longterm Planning for Agricultural Development Related to Poverty Alleviation in Rural Areas. In E. Pasandaran, A. Pakpahan, E.B. Oyer and N. Uphoff. 1992. Poverty Alleviation with Sustainable Agricultural and Rural Development in Indonesia. CASER and CIIFAD. Rusastra, I. W., B. Rachman dan S. Friyatno. 2004. Analisis Daya Saing dan Struktur Proteksi Komoditas Palawija. Dalam: Saliem et al.(Editor). Prosiding Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Simatupang, P. 2004. Pengertian Usaha dan Sstem Agribisnis dan Implikasinya Terhadap Kajian Teknologi dan Usaha Pertanian. Makalah disampaikan dalam Pelatihan Analisa Finansial dan Ekonomi, 29 November – 9 Desember 2004 di Bogor. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. ******
35
Lampiran: PANDUAN PENGGALIAN INFORMASI LAPANG 1.
Gambaran Umum Wilayah kegiatan a. Potensi Wilayah b. Potensi Wilayah Kecamatan contoh yang dikunjungi c. Potensi Desa d. Tata Guna Lahan e. Rencana Tata Ruang Wilayah f. Ketersediaan infrastruktur baik fisik, ekonomi dan kelembagaan g. Aksessibilitas wilayah
2.
Program-program
pembangunan
ekonomi
yang
telah
berjalan
dan
permasalahannya 3.
Program-program pembangunan pertanian yang telah berjalan, hambatan, permasalahannya, dan potensinya.
4.
Kegiatan pengembangan teknologi dengan pendekatan yang menyerupai agrotechnopart, kondisi, permasalahan dan potensinya
5.
Perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas komoditas pertanian (existing condition) utama
6.
Perkembangan
harga-harga
komoditas
pertanian
utama
di
wilayah
bersangkutan 7.
Tingkat adopsi teknologi komoditas pertanian utama dan komoditas unggulan: a. Penggunaan benih/bibit b. Pemupukan (N, P, K, Pupuk Organik) c. Pengendalian OPT (nabati dan kimiawi) d. Cara panen e. Pasca panen
8.
Permasalahan adopsi teknologi pembibitan: a. Sumber-sumber teknologi b. Ketersediaan teknologi di lapang c. Efektifitas transfer teknologi d. Adanya feed back guna penyempurnaan ke depan 36
9.
Permasalahan teknologi budidaya: a. Sumber-sumber teknologi b. Ketersediaan teknologi di lapang c. Efektifitas transfer teknologi d. Adanya feed back guna penyempurnaan ke depan
10. Permasalahan teknologi panen dan pasca panen: a. Sumber-sumber teknologi b. Ketersediaan teknologi di lapang c. Efektifitas transfer teknologi d. Adanya feed back guna penyempurnaan ke depan 11. Kebutuhan teknologi yang bersifat spesifik lokasi komoditas utama: a. Teknologi pembibitan b. Teknologi budidaya c. Teknologi panen dan pasca panen 12. Kondisi kelembagaan dipedesaan: a. Kelembagaan komunitas/masyarakat (kelompok tani, Kelompok Wanita Tani, Gapoktan, dll) b. Kelembagaan ekonomi (KUD/Koperasi, Bank Nagari, Bank komersial, BUMD, Pedagang hasil pertanian, eksportir, dll) c. kelembagaan pemerintah di tingkat lokal (Nagari, Kecamatan, dll). 13. Basis penerapan agro techno park (ATP): a. Komoditas unggulan daerah b. Agroekosistem 14. Cakupan Agro Techno Park (ATP) dari beberapa aspek berikut: a. Aspek teknologi b. Aspek kelembagaan pendukung c. Kerjasama (net working) d. Aspek promosi/show window/diseminasi e. Aspek capacity building f. Pengembangan ekonomi produktif 15. Rekayasa kelembagaan terkait agro tecno park (ATP): a. Struktur organisasi 37
b. Peran atau fungsi c. Sistem koordinasi secara internak d. Sistem koordinasi secara eksternal e. Pihak-pihak yang tercakup 16. Kendala-kendala pokok pembangunan pertanian di lokasi penelitian: a. Kendala teknis (terkait biofisik dan teknologi) b. Kendala ekonomi (terkait dengan permodalan serta harga input dan harga output) c. Kendala sosial kelembagaan (terkait dengan konsolidasi kelembagaan, sistek koordinasi, serta kohesi sosial) d. Kendala infrastruktur pertanian (irigasi, jalan usahatani, jalan desa, dan akses pasar) e. Dukungan kebijakan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 17. Faktor-faktor kunci keberhasilan dalam pembangunan pertanian: a. Pemanfaatan SDA & L berdasarkan kesesuaian agroklimat b. Kapasitas SDM petani baik dari aspek keterampilan teknis maupun kapabilitas manajerial c. Peran local champion sebagai penggerak pembangunan pertanian d. Teknologi tepat guna, secara teknis dapat diterapkan, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat diterima oleh masyarakat e. Konsolidasi kelembagaan pertanian, baik
dari aspek
keanggotaan,
manajemen dan permodalannya. 18. Saran dan masukan dalam pembangunan pertanian yang berdayasaing dan berkelanjutan. 19. Pengetahuan dan persepsi berbagai pihak dengan peluang implementasi kegiatan agrotechnopark, berkenaan dengan komoditas, lokasi, pihak terlibat, dan lain-lain. 20. Identifikasi awal berkenaan dengan kendala-kendala implementasi yang mungkin akan dihadapi di lapangan. ****** 38