LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN
STABILISASI HARGA DAGING SAPI
Oleh Saptana Nyak Ilham Bambang Winarso Valeriana Darwis
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014
KATA PENGANTAR Perkembangan data historis dan hasil proyeksi menunjukkan bahwa pasar daging sapi dunia dan Indonesia terus meningkat. Semua faktor-faktor yang mempengaruhi baik pada sisi penawaran maupun sisi permintaan terhadap daging sapi cenederung terus meningkat. Permasalahan pokok yang dihadapi kedepan adalah laju pertumbuhan konsumsi dan harga yang tumbuh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan populasi sapi dan produksi daging sapi baik ditingkat dunia maupun Indonesia. Program PSDSK 2014 bertujuan untuk mencapai swasembada daging sapi nasional melalui peningkatan populasi dan produksi berbasis sumberdaya lokal. Dalam upaya mencapai sasaran program tersebut menghadapi berbagai kendala, baik teknis, ekonomi maupun sosial kelembagaan. Kendala utama dari aspek ekonomi adalah fluktuasi harga daging sapi yang cukup tinggi baik di pasar global maupun pasar domestik. Upaya stabilisasi harga daging sapi diharapkan dapat mendukung pencapaian swasembada daging sapi. Kebijakan antisipatif dalam jangka menengah dan panjang tetap difokuskan pada upaya meningkatkan produksi daging sapi domestik dan mempertahankan populasi dengan tetap memberi kontribusi pada produk impor sebagai pelengkap. Dalam menyusun berbagai kebijakan terkait tersebut, sebaiknya dilakukan secara bersama dengan berbagai pihak terkait, diantaranya terkait kebijakan perdagangan internasional dan perdagangan dalam negeri dari Kementerian Perdagangan, peningkatan industri pengolahan daging dari Kementerian Perdagangan, kebijakan peningkatan produksi dari Kementerian Pertanian, dan kebijakan-kebijakan daerah yang mendukung produksi dan perdagangan. Dengan demikian terjadi sinergitas dari dampak kebijakan untuk mempertahankan kemampuan produksi dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan data dan informasi, bagaimana kebijakan stabilisasi harga daging sapi dapat dilakukan dengan baik. Untuk itu diperlukan penelitian analisis kebijakan dengan judul: “Stabilisasi Harga Daging Sapi”. Untuk mendapat informasi secara komprehensif, selain melakukan studi pustaka, analisis data sekunder, juga dilakukan di dua daerah sentra produksi sapi potong, yaitu di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kajian difokuskan pada analisis tentang perkembangan produksi daging sapi, perkembangan harga daging sapi, proyeksi harga daging sapi, dan kebijakan stabilisasi harga daging sapi.
i
Kami meyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan penelitian analaisis kebijakan ini, sejak dari persiapan hingga terwujudnya laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat untuk berbagai pihak untuk mendukung kemajuan industri sapi potong nasional dan kesejahteraan peternak sapi potong rakyat.
Bogor,
Desember 2014
Kepala Pusat,
Dr. Handewi Puwati Saliem NIP. 19570604 198103 2 001
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
DAFTAR ISI ..............................................................................................
iii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
vi
I.
PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1.2. Dasar Pertimbangan .................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................
1 3 5
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
7
2.1. Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Program Pencapaian Swasembada Daging Sapi .......................................................... 2.2. Perkembangan Harga Daging Dunia dan Indonesia ..................... 2.3. Kebijakan Stabilisasi Harga ........................................................
7 9 10
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................
13
3.1. Kerangka Pemikiran ................................................................... 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan ............................................................ 3.3. Lokasi Penelitian dan Responden ................................................ 3.3.1. Dasar Pertimbangan ........................................................ 3.3.2. Lokasi dan Responden ..................................................... 3.4. Data dan Metode Analisis ........................................................... 3.4.1. Jenis dan Sumber Data .................................................... 3.4.2. Metode Analisis ...............................................................
13 14 14 14 15 15 15 17
PERKEMBANGAN PRODUKSI DAGING DUNIA DAN INDONESIA ............
18
4.1. Perkembangan Produksi Daging Sapi Dunia ................................ 4.2. Perkembangan Produksi daging Sapi Indonesia ...........................
18 22
PERKEMBANGAN KONSUMSI DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA....
31
5.1. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Dunia ............................... 5.2. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Indonesia .........................
31 35
PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR STOCK DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA ...............................................................................
39
6.1. Perkembangan Ekspor Daging Sapi ............................................ 6.1.1. Perkembangan Ekspor Daging Sapi Dunia ......................... 6.1.2. Perkembangan Ekspor Daging Sapi Indonesia ...................
39 39 44
II.
IV.
V.
VI.
iii
6.2. Perkembangan Impor Daging Sapi ............................................. 6.2.1. Perkembangan Impor Daging Sapi Dunia .......................... 6.2.2. Perkembangan Impor Daging Sapi Indonesia ....................
48 48 55
VII. PERKEMBANGAN HARGA DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA .........
58
7.1. Perkembangan Harga Daging Sapi Dunia .................................... 7.2. Perkembangan Harga Daging Sapi Indonesia .............................. 7.2.1. Harga Daging Sapi pada Daerah Konsumen dan Produsen . 7.2.2. Harga Daging Sapi Nasional .............................................
58 59 60 63
VIII. HASIL ANALISIS PROYEKSI HARGA DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA ......................................................................................
67
8.1. Hasil Proyeksi Harga Daging Sapi Dunia...................................... 8.2. Hasil Proyeksi harga daging Sapi Indonesia.................................
67 69
EVALUASI KEBIJAKAN TERKAIT KEBIJAKAN STABILISASI HARGA MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI ........................................
74
IX.
X.
9.1. Kebijakan Menstabilkan Pasokan Domestik ................................. 9.2. Isu-Isu Kebijakan Aktual ............................................................ 9.2.1. Perubahan Regulasi Impor Sapi Potong dan Daging Sapi ... 9.2.2. Ketersediaan dan Permintaan (Supply and Demand) ......... 9.2.3. Penetapan Referensi Harga Daging Sapi ............................ 9.2.4. Tata Niaga dan Transportasi ............................................ 9.2.5. Analisa Perhitungan Pasokan dan Kebutuhan Sapi Potong dan Kerbau 2014 ............................................................. 9.3. Opsi Kebijakan Stabilisai Harga Daging Sapi ................................
74 91 91 92 93 94
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ..........................................
104
10.1. Kesimpulan ............................................................................. 10.2. Implikasi Kebijakan .................................................................
104 106
DAFTAR PUSTAKA
iv
94 95
DAFTAR TABEL No.
Teks
Halaman
1.
Rencana Jenis Data yang Dikumpulkan Berdasarkan Tujuan Penelitian dan Sumber Data ...........................................................
16
2.
Perkembangan produksi daging di Indonesia, tahun 2004-2012 .......
23
3.
Produksi Daging Sapi menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2009-2013 ....................................................................................
25
4.
Perkembangan Konsumsi Produk Daging Perkapita Per Tahun, Tahun 2009-2012..........................................................................
38
5.
Perkembangan Ekspor Produk Peternakan Menurut Kelompok Produknya 2005-2012 ...................................................................
45
6.
Nilai Ekspor Tenak Indonesia 2005-2012 ........................................
46
7.
Nilai dan Volume Ekspor Hasil Ternak Tahun 2012 ..........................
47
8.
Neraca Daging Dunia menurut Jenis Daging, 2010-2012..................
52
9.
Perkembangan Impor Produk Peternakan Menurut Kelompok Produknya 2005-2012 ...................................................................
56
10.
Nilai and Volume Impor Hasil Ternak Tahun 2012 ...........................
57
11.
Capaian 14 Intervensi PSDSK Tahun 2013 ......................................
88
v
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
Halaman
1.
Negara-negara Produsen Sapi di Dunia menurut Peringkat, 2014 .....
19
2.
Negara-negara Produsen Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia menurut Peringkat, 2014 ...............................................................
20
3.
Perkembangan Produksi Sapi Potong pada Beberapa Negara Produsen Utama, 1999-2014..........................................................
21
4.
Perkembangan Produksi Total Sapi Potong pada Negara Produsen Utama, 1999-2014 ........................................................................
22
5.
Sepuluh Negara Terbesar yang Mengkonsumsi Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia, 2014 ......................................................
31
6.
Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di Beberapa Negara Berkembang, 1975-2014 ...............................................................
32
7.
Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di Beberapa Negara Maju, 1975-2014 ....................................................................................
33
8.
Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di 10 Negara Konsumen Utama, 1975-2014 ........................................................................
34
9.
Negara Eksportir Utama Ternak Sapi Hidup di Dunia, 2014 ..............
42
10.
Negara Eksportir Utama Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia, 2014 ............................................................................................
43
11.
Perkembangan Ekspor Ternak dan Daging Sapi di 10 Negara Eksportir Utama, 1975-2014 ..........................................................
44
12.
Negara Importir Utama Ternak Sapi di Dunia, 2014.........................
49
13.
Negara Importir Utama Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia, 2014 ............................................................................................
50
14.
Perkembangan Impor Ternak dan Daging Sapi di 10 Negara Eksportir Utama, 1975-2014 ..........................................................
51
15.
Indikator Harga Daging di Pasar Dunia ...........................................
53
16.
Keuntungan Produsen Daging di Bawah Tekanan Ketidak Stabilan Harga Output dan Tingginya biaya Pakan .......................................
55
vi
17.
Perkembangan Harga Daging Sapi di Pasar Internasional, 20042013 ............................................................................................
58
18.
Perkembangan Indeks Harga Daging Sapi dengan Tahun Dasar 2005 di Pasar Internasional, 1980-2013 ..........................................
59
19.
Perkembangan Harga Harian Daging Sapi pada Daerah Sentra Konsumsi, Bulan Januari – Agustus 2013 ........................................
61
20.
Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi pada Daerah Sentra Konsumsi, Bulan Januari – Agustus 2013 ........................................
62
21.
Perkembangan Harga Daging Sapi di DKI Jakarta dan Sentra Produksi, Selama Jan-Agustus, 2013 ..............................................
63
22.
Perkembangan Harga Daging Sapi Nasional dari 1983-April 2014 .....
63
23.
Perkembangan Harga Daging Sapi di Pasar Internasional 2004-2013 dan Proyeksi 2014-2019 ................................................................
68
Perkembangan dan Proyeksi Indeks Harga Daging Sapi dengan Tahun Dasar 2005 di Pasar Internasional, 1980-2019 ......................
69
25.
Perkembangan Harga Daging Sapi Nasional 1983-2014 dan Proyeksi 2015-2019 ....................................................................................
70
26.
Perkembangan Harga Daging Sapi di Kota Jakarta 2009:1-2013:11 dan Proyeksi 2013:12-2015:11.......................................................
71
24.
vii
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Industri peternakan sapi potong merupakan basis ekonomi yang berpotensi
tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (growth with
equity) yang sejauh ini belum dikembangkan secara optimal. Sumber-sumber pertumbuhan industri sapi potong bersumber dari sisi permintaan maupun penawaran.
Dari sisi permintaan, komoditas dan produk industri sapi potong
ditentukan oleh faktor tingkat pendapatan, jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, semakin banyaknya jumlah penduduk kelas menengah atas, meningkatnya urbanisasi dan jumlah penduduk yang tinggal di kota, serta fenomena segmentasi pasar. Komoditas daging sapi merupakan salah satu bahan makanan asal ternak yang kaya akan protein, zat besi, dan beberapa vitamin penting terutama vitamin B. Komoditas dan produk berbasis sapi potong tergolong produk dengan nilai tinggi
(high value products), maka semakin tinggi pendapatan per kapita, semakin tinggi pula permintaan terhadap komoditas dan produk-produk berbasis sapi potong. Dengan peningkatan pendapatan maka terjadi pula pergeseran pola pengeluaran makanan melalui permintaan makanan “ready to cook” dan “ready to eat” yang terbuat dari daging sapi (Daryanto, 2009). Dari sisi penawaran, jumlah pasokan ditentukan oleh faktor-faktor populasi ternak sapi potong, produktivitas dan daya saing produk berbasis sapi potong. Hal ini sangat terkait erat dengan ketersediaan dan harga pakan, perubahan tekonologi (Inseminasi Buatan, pakan dan trasportasi), harga energi dan lingkungan kebijakan yang kondusif (antara lain kerangka insentif, regulasi pasar dan kredit, sanitary
standards, kebijakan ketenagakerjaaan dan lingkungan). Esensi perdagangan komoditas adalah daya saing dan esensi dayasaing adalah produktivitas komoditas atau produk berbasis sapi potong (Saptana dan Daryanto, 2013). Peningkatan produktivitas yang tinggi sangat diperlukan melalui perubahan dan transfer teknologi sehingga dapat memperpendek siklus produksi penggemukan sapi potong dan mortalitas yang rendah, feed convertion ratio (FCR) yang makin rendah, dan sistem produksi sapi potong yang makin terintegrasi.
1
Permasalahan utama pada komoditas daging sapi adalah masalah fluktuasi harga yang tinggi.
Oleh karena itu, upaya stabilisasi harga daging sapi menjadi
sangat penting untuk terus dilakukan.
Stabilisasi harga dapat diartikan sebagai
kegiatan pengendalian fluktuasi harga agar setidaknya sesuai dengan besaran inflasi nasional atau lebih kecil (Direktorat Bapostrat, 2013). Kebijakan untuk komoditi daging sapi harus memperhatikan aspek kesinambungan sehingga kebijakan pengendalian harga daging sapi benar-benar mampu menahan pergerakan harga yang bergerak secara tidak terkendali. Kasus melonjaknya harga daging sapi di beberapa daerah pusat konsumsi, salah satu penyebab utamanya adalah karena kelangkaan daging sapi dari sentra produksi ke sentra konsumen. Hal ini menyebabkan tidak tercapainya keseimbangan penawaran dan permintaan. Oleh karena itu untuk melakukan stabilisasi harga daging sapi harus ada upaya-upaya percepatan peningkatan produksi sapi lokal. Untuk mendukung program swasembada daging sapi 2005 dan dilanjutkan tahun 2014, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan menetapkan beberapa
kebijakan
strategis
sebagai
berikut:
(1)
pengembangan
wilayah
berdasarkan komoditas ternak unggulan, (2) pengembangan kelembagaan peternak, (3) peningkatan usaha dan industri peternakan, (4) optimalisasi pemanfatan, pengamanan, dan perlindungan sumberdaya alam lokal, (5) pengembangan kemitraaan usaha yang saling menguntungkan, dan (6) mengembangkan teknologi tepat guna. Tiga sasaran utama program tersebut adalah peningkatan populasi, penurunan impor sapi bakalan, dan peningkatan pemotongan sapi lokal. Penetapan target swasembada pada tahun 2005 oleh Yusdja at al. (2004) dianggap tidak realistik, namun ada juga yang beranggapan ide program tersebut sangat brilian (Rahardjo, 2000). Hasil kajian Yusdja et al. (2004) tentang pencanangan swasembada tahun 2005, dan Tim Peneliti Unibraw (2010) tentang pencanangan swasembada daging sapi tahun 2010 dan 2014 tidak berhasil disebabkan paling tidak terdapat lima penyebab utama, yaitu: (1) Kebijakan program yang dirumuskan tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci; (2) Programprogram yang dibuat bersifat top down dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai; (3) Strategi implementasi program disamaratakan dengan tidak memperhatikan wilayah unggulan, tetapi lebih berorientasi pada 2
komoditas unggulan; (4) Implementasi program-program tidak memungkinkan untuk dilaksanakan evaluasi dampak program; (5) Program-program tidak secara jelas memberikan dampak pada pertumbuhan populasi secara nasional. Ketidak berhasilan pencapaian program swasembada daging sapi membawa beberapa konsekuensi, yaitu: (1) Harga komoditas dan produk daging sapi sering bergejolak pada tingkat harga tinggi; (2) Gejolak dan lonjakan harga daging sapi yang semakin tidak terkendali meresahkan masyarakat industri berbasis daging sapi dan merepotkan pemerintah; (3) Meningkatnya ketergantungan terhadap komoditas sapi dan daging sapi impor; (4) Pemerintah dinilai gagal dalam menciptakan stabilitas harga pangan, tercakup daging sapi. Tumbuh tekad politik untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan nasional, termasuk pangan hewani (UU No 18/2012).
Pemerintah memutuskan untuk menerapkan
kebijakan stabilisasi harga pangan strategis (beras, kedele, jagung, gula dan daging sapi). Beberapa pertanyaan perlu dijawab: (1) Apakah stabilitas harga daging sapi diperlukan untuk mewujudkan tekad dan tujuan kemandirian dan ketahanan pangan hewani nasional? ; (2) Kebijakan stabilitas harga daging sapi seperti apa yang harus dilakukan?; dan (3) Kebijakan dan program pendukung apa saja yang harus dilakukan untuk menstabilkan harga daging sapi? 1.2. Dasar Pertimbangan Ketahanan pangan telah menjadi isu dunia selama dua dekade ini. Pembangunan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan merupakan agenda penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.
Dalam
RPJMN 2010-2014, pembangunan ketahanan pangan menjadi prioritas kelima untuk menjawab sejumlah tantangan yang dihadapi bangsa dan negara masa kini dan mendatang (DKP, 2012). KTT pangan 2009 menyepakati untuk menjamin pelaksanaan langkah-langkah yang mendesak pada tingkat nasional, regional, dan dunia untuk merealisasikan secara penuh target Millenium Development Goal (MDG) kesatu dan World Food Security (WFS) 1996, yaitu mengurangi penduduk dunia yang menderita karena lapar dan malnutrisi hingga setengahnya pada tahun 2015. Kebijakan pembangunan ketahanan pangan nasional telah dituangkan dalam 3
Rencana Strategis Kementan (2010-2014) yang diarahkan untuk mencapai empat target Kementan, yaitu: peningkatan swasembada dan swasembada berkelanjutan; peningkatan diversifikasi pangan; peningkatan nilai tambah, dayasaing, dan ekspor; serta peningkatan kesejahteraan petani (Kementan, 2012). Pencapaian empat target Kementan sangat terkait dengan stabilitas harga pangan strategis (beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi).
Asian Development Bank (ADB, 2011) dalam laporannya yang berjudul “Dunia Food Price Inflation and Developing Asia”, menyebutkan bahwa harga pangan dunia telah mengalami lonjakan 30 persen dan inflasi pangan domestik rata-rata mengalami peningkatan sebesar 10 persen pada dua bulan pertama tahun 2011 yang akan menyebabkan 64,4 juta orang di Asia jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Kenaikan harga pangan dunia berdampak terhadap peningkatan kemiskinan untuk 25 Negara Asia berkembang termasuk Indonesia, dengan pemenuhan kebutuhan $ 1,25 per kapita/hari. Kekhawatiran terhadap kekurangan pangan telah menjadi perhatian para cendekiawan sejak dua abad yang lalu. Kekhawatiran akan ketidakmampuan penyediaan pangan yang memadai bagi semua penduduk berpijak pada kenyataan adanya kecepatan pertumbuhan yang berbeda antara jumlah penduduk dengan ketersediaan pangan, sebagaimana diungkapkan dalam teori Malthus yang secara ringkas menyatakan peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung dan pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sehingga manusia pada masa depan akan mengalami ancaman kekurangan pangan. Meskipun berbagai inovasi telah diciptakan, kemampuan untuk secara terus menerus menyediakan pangan yang melampaui pertumbuhan penduduk akan terus diuji sepanjang sejarah kehidupan manusia. Ketahanan pangan nasional harus dimulai dari ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga menurut UU No. 7 Tahun 1996 adalah Kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan, yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Definisi ketahanan pangan menurut FAO (2001) adalah when all people,
at all times, have phisical and economic acces to sufficient, safe and nutricious food to meet their dietery need and food preferences for an active and healthy life. 4
Menurut UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Gejolak kenaikan harga komoditas pertanian yang tidak menentu, dapat saja memiliki dampak pengganda (multiplier effects) yang sangat tinggi, maka dikhawatirkan dalam waktu dekat akan menimbulkan gejolak sosial dan politik yang signifikan. Pemerintah dinilai gagal melakukan langkah antisipatif dalam stabilisasi harga pangan strategis, tercakup daging sapi. Walaupun Indonesia memiliki potensi sumberdaya pertanian, tetapi hingga saat ini kita masih mengimpor kedelai sebesar 70 persen, daging sapi 25 persen, jagung 10 persen, kacang tanah 15 persen, susu 90 persen dan gula 30 persen dari kebutuhan nasional (Daryanto, 2009). Secara spesifik justifikasi dari penelitian ini adalah: (1) Fenomena gejolak komoditas daging sapi diperkirakan akan terus terjadi, karena meningkatnya pertumbuhan
permintaan
yang
melampaui
kemampuan
pasokannya;
(2)
Ketergantungan daging sapi impor yang masih tetap tinggi dan diperkirakan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu; (3) Belum berhasilnya program swasembada daging sapi; (4) Pentingnya kebijakan stabilisasi harga daging sapi untuk mendukung swasembada daging sapi. Berdasar latar belakang tersebut, maka penelitian analisis kebijakan dengan judul “Stabilisasi Harga Daging Sapi” layak untuk dilakukan. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Melakukan analisis tentang perkembangan produksi daging sapi di tingkat dunia dan Indonesia 2. Melakukan analisis tentang perkembangan harga daging sapi di pasar dunia dan di pasar domestik. 3. Melakukan analisis proyeksi harga daging sapi dan kebijakan stabilisasi harga daging sapi.
5
4. Melakukan evaluasi kebijakan terkait dengan kebijakan stabilisasi harga daging sapi. 5. Memberikan rekomendasi kebijakan stabilisasi harga daging sapi mendukung program swasembada daging sapi.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Pembangunan Swasembada Daging Sapi
Peternakan
dan
Program
Pencapaian
Hampir semua negara memiliki Departemen Pertanian atau Kementerian Pertanian yang berarti memiliki kebijakan pertanian. Seorang ekonom pertanian terkemuka mengatakan “agricultural policy is ubiquitous and contentious” (Gardner, 1987). Pendapat tersebut mengungkapkan sifat umum dari kebijakan pertanian yang agak paradoksal. Pada satu sisi, kebijakan pertanian tercakup peternakan sangat dibutuhkan untul mendukung pembangunan pertanian dan peternakan, namun di sisi lain setiap kebijakan selalu dapat dijustifikasi dengan argumen yang saling bertentangan dan dampaknya bersifat dilematis (Timmer dan Pearson, 1983). Kebijakan pertanian umumnya tergolong kebijakan redistributif atau Political
Economic Seeking Transfers (PEST) sehingga merupakan isu ekonomi-politik kontraversial (Rausser, 1992). Sifat yang paradoksal itulah yang menjadi alasan pokok kenapa kebijakan pertanian harus dirancang dengan seksama melalui suatu analisis yang komprehensif (Simatupang, 2003). Kebijakan pembangunan pertanian ialah keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan pertanian guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional (Simatupang, 2003). Dengan demikian kebijakan stabilisasi harga pangan tercakup daging sapi adalah kebijakan pertanian. Kebijakan pembangunan pertanian haruslah dipandang dalam konteks pembangunan nasional yang tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan petani atau peternak saja tetapi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti, kebijakan pembangunan pertanian termasuk dalam kategori kebijakan publik, dilakukan oleh pemerintah dan berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak, baik produsen maupun konsumen. Dalam perekonomian modern, seperti perekonomian Indonesia saat ini, keragaan sektor-sektor ekonomi saling mempengaruhi dan keragaan perekonomian dalam negeri sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian inter-nasional. Oleh karena itu, berbagai kebijakan yang dibuat pada sektor non-pertanian berpengaruh nyata terhadap keragaan pembangunan pertanian, dan demikian pula sebaliknya. 7
Dengan demikian, cakupan kebijakan pembangunan pertanian tidak dapat dibatasi berdasarkan delineasi sektoral maupun secara jenjang organisasi pemerintahan. Adanya kekurangan pasokan sapi lokal dan kecenderungan peningkatan harga dari tahun ke tahun mendorong pemerintah untuk meningkatkan upaya pemenuhan kebutuhan daging sapi masyarakat dan menjadikan sebagai salah satu agenda nasional.
Pemerintah telah mencanangkan program swasembada daging
sapi dengan sasaran untuk memenuhi kebutuhan daging sapi domestik secara mandiri dengan Program P2DSK 2014 (Ditjen Peternakan, 2011) yang dalam hal ini akan bersinggungan dengan dua kebijakan penting, yaitu kebijakan impor dan revitalisasi pengembangan ternak sapi dalam negeri. Terdapat lima kegiatan pokok, yaitu: (1) penyediaan bakalan/daging sapi lokal, (2) peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal, (3) pencegahan pemotongan sapi betina produktif, (4) penyediaan bibit sapi lokal, dan (5) pengaturan stok daging sapi dalam negeri, yang mencakup stok sapi bakalan, distribusi, serta pemasaran sapi dan daging sapi. Program PSDS 2014 secara operasional dijabarkan dalam 13 kegiatan program, yaitu(Ashari et al., 2012): (1) Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal; (2) Pengembangan pupuk organik dan biogas; (3) Pengembangan integrasi ternak sapi dan tanaman; (4) Pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH; (5) Optimalisasi IB dan INKA; (6) Penyediaan dan pengembangan pakan dan air; (7) Penanggulangan gangguan dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan; (8) Penyelamatan sapi betina produktif; (9) Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha pembibitan; (10) Pengembangan usaha pembibitan sapi potong melalui Village Breeding Centre (VBC); (11) Penyediaan sapi bibit melalui subsidi bunga (KUPS); (12) Pengaturan stock sapi bakalan dan daging; dan (13) Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging. Kementan (2013) mengungkapkan perkembangan swasembada daging menunjukkan produksi daging tahun 2012 terealisasi sebesar 2.690,9 ribu ton, jika dibandingkan tahun 2004 sebesar 2.020,4 ribu ton, maka produksi daging mengalami peningkatan sebesar 24,9% (3,3%/tahun). Meskipun mengalami peningkatan yang cukup significan, namun hingga kini belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi domestik.
Kondisi belum seimbangnya antara pasokan dan
8
permintaan daging sapi di pasar domestik diperkirakan ketidak stabilan harga akan tetap terjadi di masa-masa mendatang. 2.2. Perkembangan Harga Daging Dunia dan Indonesia Pasar daging dunia menghadapi tantangan yang berat yaitu harga pakan ternak yang tinggi, tingkat konsumsi yang mengalami pelandaian atau stagnasi, dan keuntungan yang mengalami penurunan secara tajam (FAO, 2012). Dengan pertumbuhan total output melambat menjadi hanya 2 %/tahun, dengan harga dunia mendekati rekor tertinggi, menyebabkan pertumbuhan perdagangan daging dunia mengalami pelambatan. Menghadapi harga pakan ternak yang tinggi dan konsumsi daging yang melambat, produksi daging dunia pada tahun 2012 diperkirakan akan tumbuh kurang dari 2%/tahun menjadi hanya sebesar 302 juta ton.
Akibatnya margin
keuntungan industri peternakan mengalami penurunan tajam, hal ini banyak diterjemahkan bahwa keuntungan dalam bisnis peternakan lebih banyak dinikmati oleh negara maju, diperkirakan bahwa pertumbuhan daging dunia kemungkinan akan terjadi pergeseran dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang, yang kini mencapai 60 persen dari total output dunia (Gordon Butland, 2012). Kondisi yang cukup mengkawatirkan tentang profitabilitas komoditas daging telah diperparah oleh melemahnya pertumbuhan pasar ekspor, dengan ekspansi perdagangan yang diperkirakan melambat dari 8% (2011) menjadi hanya 2% (2012). Ekspor daging dunia diperkirakan akan naik tipis hanya sekitar 600 ribu ton menjadi 29,4 juta ton pada tahun 2012 (Gorgon Butland, 2012). Peningkatan tersebut terutama ditopang oleh peningkatan daging unggas dan daging babi, sedangkan daging sapi mengalami stagnasi. Kelangkaan daging sapi di pasar dunia diperkirakan akan mendorong ketidakstabilan harga daging sapi di pasar domestik. Hasil kajian outlook komoditas pertanian sub sektor peternakan berkaitan dengan perkembangan harga daging sapi di Indonesia diperoleh informasi bahwa perkembangan harga daging sapi di tingkat konsumen sejak tahun 1983 hingga tahun 2007 sedikit berfluktuasi dan cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 14,34%/tahun (Pusdatin, 2009). Proyeksi penawaran daging sapi untuk tahun 2009-2011 menunjukkan bahwa model produksi penawaran daging sapi 9
hanya dipengaruhi tahun sebelumnya dengan nilai koefisien 0,0274, sedangkan koefisien produksi sebelumnya dan harga daging sapi tidak berpengaruh secara nyata pada α=5%. Koefisien determinasi dari model penawaran daging sapi sebesar 74,4%, yang berarti bahwa ketiga variabel penawaran daging sapi, yaitu populasi, produksi, dan harga secara bersama-sama berpengaruh 74,4% terhadap penawaran daging sapi. Proyeksi permintaan daging sapi dengan menggunakan data Neraca Bahan Makanan (NBM) dengan menggunakan model time series dihasilkan proyeksi permintaan daging sapi pada tahun 2009 hingga 2011 sebesar 1,09%/kapita dan pada periode 2008-2001 mengalami peningkatan sebesar 2,29%/tahun (Pusdatin, 2009). Menurut catatan Kementerian Perdagangan, rata-rata kenaikan harga daging sapimencapai 10% per tahun selama periode 2013).
2000-2010 (Direktorat Bapostrat,
Bahkan memasuki kuartal pertama tahun 2013, terjadi kenaikan harga
daging sapi diluar kewajaran, hingga mencapai Rp 100.000,00,-/kg. 2.3. Kebijakan Stabilisasi Harga Tingginya harga beberapa komoditas pangan, sementara pendapatan masyarakat relatif tetap, membatasi akses masyarakat terhadap pangan (Siregar dan Masyitho, 2009). Hal ini mengakibatkan dayabeli masyarakat berkurang, sehingga dapat mengancam ketahanan pangan. Tingginya harga pangan juga mengakibatkan tingginya tingkat inflasi dan berakibat pada sulitnya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin.
Selanjutnya diperoleh kesimpulan bahwa variasi harga
pangan lebih dipengaruhi oleh guncangan terhadap harga pangan itu sendiri, yang dapat bersumber teknologi produksi dan kebijakan pemerintah terkait. Sementara itu, variasi inflasi secara dominan dipengaruhi oleh harga pangan. Oleh karena itu, kebijakan stabilisasi harga pangan tercakup daging sapi merupakan salah satu kebijakan penting dalam pembangunan pertanian. Erwidodo (2013) mengemukakan bahwa aturan WTO tidak melarang negara anggota melakukan stabilisasi harga pangan di pasar domestik. Namun, mengingat stabilisasi harga mencakup intervensi pasar (penentuan HPP & HJP), mengatur impor dan ekspor, dan mengelola stock penyangga, maka pilihan instrumen 10
kebijakan harus konsisten dengan aturan WTO. Secara empiris hampir semua Negara “net-food importing” melaksanakan program stabilisasi harga pangan. Negara-negara anggota WTO yang menerapkan program stabilisasi harga pangan antara lain adalah: India, China, Pakistan, Singapura, Malaysia, Philipina, Korea Selatan, Thailand, Turki, Swiss, Finlandia dan Estonia. Kelompok G33 mengusulkan agar subsidi untuk „public-stockholding‟ dalam rangka ketahanan pangan di negara berkembang/LDCs tidak menjadi bagian Aggregate Measurement
of Support (AMS) tetapi menjadi „deliverable‟ di KTM Bali, 3-6 Des 2013. Hasil kajian Erwidodo (2013) terkait dengan kebijakan stabilisasi harga dan ketahanan pangan menyimpulkan beberapa temuan penting, di antaranya adalah: (1) Gejolak dan lonjakan harga eceran beberapa produk pangan akhir-akhir ini merupakan indikator kelangkaan pasokan, artinya peningkatan laju produksi domestik tidak dapat mengimbangi laju peningkatan konsumsi, kondisi ini dapat memicu ketidakstabilan harga pangan; (2) Terus berkurangnya lahan pertanian pangan tercakup padang penggembalaan akibat konversi lahan dipastikan akan semakin meningkatkan defisit pangan tercakup daging sapi dan ketergantungan terhadap pangan impor makin tinggi; (3) Perluasan lahan pertanian pangan dan pencetakan sawah (beririgasi) di luar Jawa harus menjadi program nasional prioritas untuk mewujudkan ketahanan sekaligus kemandirian pangan, pengembangan food
estate atau rice estate di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat yang melibatkan beberapa stakeholder (Perum Syang Hyang Seri, BPN, Dinas Pertanian, Masyarakat Petani) perlu didukung semua pihak tert; (4) Pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak
sapi
dengan memanfaatkan sumberdaya lahan perkebunan
merupakan langkah strategis dan bersifat simbiose mutualistme; (5) Tujuan untuk mencapai „ketahanan‟ dan „kemandirian‟ pangan merupakan „legitimate objective‟ yang perlu didukung semua pihak, namun untuk mencapainya perlu strategi, kebijakan, program dan instrumen kebijakan yang tepat, tidak hanya terbatas kepada langkah melarang dan/atau membatasi impor; (5) Pembatasan impor komoditas pangan dengan kuota harus dihindari karena hanya menguntungkan „rent seeker‟ dan tidak koonsisten dengan aturan WTO; (6) Kebijakan stabilisasi harga pangan merupakan salah satu kebijakan penting dalam menjamin harga layak dan kelangsungan usaha petani dan tetap terjangkau oleh konsumen; dan (7) Kebijakan 11
stabilisasi harga pangan yang dikombinasikan dengan kebijakan impor secara transparan dan terbuka dapat berjalan efektif tanpa perlu anggaran (stok penyangga) yang besar. Beberapa model kebijakan stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah untuk melindungi petani atau peternak dapat dilakukan melalui (Ditjen P2HP, 2014): (1) Harga Pembelian Pemerintah (HPP), sudah diterapkan pada komoditas gabah dan atau beras; (2) Harga Minimum Regional (HMR), sudah diterapkan pada komoditas jagung; (3) Stabilisasi Harga Komoditas (SHK), sudah diterapkan pada komoditas kedelai; dan (4) Harga referensi.
12
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Permintaan terhadap daging sapi di pasar domestik terus meningkat, sedangkan pasokannya hingga kini belum mampu mencukupi kebutuhan, sehingga kekurangannya masih harus diimpor dari luar negeri. Oleh karena itu, pemenuhan permintaan daging sapi dengan hanya menghandalkan dari pemotongan sapi potong lokal
akan meningkatkan
harga
dan ketidak
stabilan
harga
daging sapi.
Meningkatnya harga daging sapi selanjutnya akan memicu pemotongan sapi potong termasuk pemotongan sapi betina produktif yang berdampak terhadap pengurasan populasi sapi potong. Hasil kajian Yusdja dan Pasandaran (2005) mengungkapkan bahwa penyebab terjadinya pengurasan populasi sapi potong lokal adalah ketidakmampuan meningkatkan produksi daging sapi dengan mengembangkan teknologi maju dan manajemen pemeliharaan ternak sapi. Kenaikan harga pakan dan melambatnya pertumbuhan produksi daging telah mendorong kenaikan harga daging di pasar dunia pada akhir 2012, ke tingkat mendekati harga tertinggi sejak tahun 2011. Dengan demikian, indeks harga daging telah melonjak 5% sejak Juli 2012, rata-rata 174 poin antara Januari dan Oktober 2012, yang membandingkan dengan 176 poin untuk periode yang sama pada tahun 2011.
Sebagian
besar
dari
kenaikan
indeks
harga
daging
baru-baru
ini
mencerminkan kenaikan harga untuk daging berkisar antara 9% hingga 12%, sejak Juli 2011. Kencenderungan meningkatnya harga daging sapi di pasar dunia tersebut dapat memicu peningkatan harga dagang sapi domestik dan memicu ketidak stabilan harga daging di pasar domestik. Kebijakan stabilisasi harga pangan tercakup pangan hewani merupakan salah satu kebijakan penting dalam menjamin harga layak dan kelangsungan usaha petani/peternak
serta terjangkau konsumen secara luas
(Erwidodo, 2013).
Beberapa model kebijakan stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah untuk melindungi petani atau peternak dapat dilakukan melalui: (1) Harga Pembelian Pemerintah (HPP), sudah diterapkan pada komoditas gabah dan atau beras; (2) Harga Minimum Regional (HMR), sudah diterapkan pada komoditas jagung; (3)
13
Stabilisasi Harga Komoditas (SHK), sudah diterapkan pada komoditas kedelai; dan (4) Harga referensi. Untuk dapat mengambil kebijakan yang tepat terkait dengan stabilisasi harga daging sapi, diperlukan informasi yang cepat dan akurat terkait dengan kebutuhan, produksi, ekspor-impor dan perkembangan harga baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Data dan informasi tersebut diharapkan dapat memberikan informasi tentang berbagai hal terkait dengan kebijakan stabilisasi harga daging sapi, sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan yang tepat terkait dengan pemenuhan dan distribusi daging sapi, baik bersumber dari produksi dalam negeri maupun impor.
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Penelitian ini secara umum akan membahas aspek kebijakan kebijakan stabilisasi harga daging sapi mendukung swasembada daging sapi. Secara terperinci ruang
lingkup
kegiatan
penelitian
mencakup,
melakukan
analisis
tentang
perkembangan produksi daging sapi dunia dan domestik, perkembangan harga daging sapi di pasar dunia dan di pasar domestik, melakukan analisis proyeksi harga daging sapi dan kebijakan stabilisasi harga daging sapi, evaluasi kebijakan terkait stabilisasi harga daging sapi, dan memberikan rekomendasi kebijakan stabilisasi harga daging sapi mendukung program swasembada daging sapi.
3.3. Lokasi Penelitian dan Responden 3.3.1. Dasar Pertimbangan Pada dasarnya kajian ini merupakan kajian dalam perspetif makro atau nasional, sehingga kajian dilapang hanya merupakan elaborasi dan klarifikasi dari hasil kajian berdasarkan data-data sekunder, terutama data produksi dan data harga dunia dan domestik. Lokasi kajian akan dilakukan di daerah sentra produksi dan daerah dekat dengan pusat pasar utama sapi potong Jakarta. Diharapkan pada lokasi penelitian dapat diproleh data dan informasi yang dapat mendukung kebijakan stabilisasi harga daging sapi potong.
14
3.3.2. Lokasi dan Responden Berdasarkan kriteria diatas maka lokasi penelitian akan dilakukan secara nasonal berdasarkan data sekunder dan studi literatur dan kajian empiris di lapang. Kajian empiris akan dilakukan di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jakarta untuk elaborasi dan klarifikasi hasil kajian data sekunder dan studi literatur. Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah dikenal sebagai daerah sentra produksi sapi potong dan sekaligus berdekatan dengan pusat pasar daging sapi Jakarta.
Provinsi DKI
Jakarta merupakan pusat pasar daging sapi potong dan sekaligus lokasi dimana kantor-kantor pemerintah pusat sebagai pengambil kebijakan pengembangan peternakan sapi potong dan Program Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (P2DSK), seperti Direktorat Jenderal Peternakan dan Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil (P2HP). Sumber data dan informasi yang akan diwawancarai terdiri dari : instansi terkait (Direktorat Jenderal Peternakan, Ditjen P2HP, Dinas Peternakan, dan Badan Pusat Statistik), Kelompok Peternak, dan pelaku usaha terkait dengan usahaternak sapi potong. 3.4. Data dan Metode Analisis 3.4.1. Jenis dan Sumber Data Untuk mendukung kelengkapan informasi dalam penelitian, maka ada beberapa data yang dibutuhkan baik data primer maupun data sekunder. Data sekunder dikumpulkan melalui berbagai dokumen dari instansi terkait. Data primer dikumpulkan melalui wawancara kepada responden kelompok peternak dan pelaku usaha peternakan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang lebih merupakan panduan wawancara dan penggalian data kualitatif terkait kebijakan stabilisasi harga daging sapi potong. Informasi kebutuhan data selengkapnya ditampilkan dalam Tabel 1.
15
Tabel 1. Rencana Jenis Data yang Dikumpulkan Berdasarkan Tujuan Penelitian dan Sumber Data No 1
2
3
Tujuan Penelitian Melakukan analisis perkembangan produksi daging sapi di tingkat dunia dan di Indonesia
Melakukan analisis tentang perkembangan harga daging sapi di pasar dunia dan di pasar domestik.
Melakukan analisis proyeksi harga daging sapi dan kebijakan stabilisasi harga daging sapi.
4
Melakukan evaluasi kebijakan terkait dengan kebijakan stabilisasi harga daging sapi.
5
Memberikan rekomendasi kebijakan stabilisasi harga daging sapi mendukung program swasembada daging sapi.
Jenis Data 1. Data produksi daging sapi dunia, 510 tahun terakhir 2. Data produksi daging menurut jenis daging di Indonesia, data 5-10 tahun terakhir 3. Data konsumsi daging menurut jenis daging sapi di Indoensia, data 5-10 tahun terakhir 1. Data perkembangan harga daging menurut jenis hewan di pasar dunia, 5-10 tahun terakhir 2. Data perkembangan harga daging sapi menurut negara produsen utama di pasar dunia, 5-10 tahun terakhir 3. Data perkembangan harga daging menurut jenis hewan di pasar domestik, 5-10 tahun terakhir 4. Data perkembangan harga daging sapi menurut provinsi utama/kota besar di pasar domestik, 5-10 tahun terakhir 1. Data perkembangan harga daging menurut jenis hewan di pasar dunia, 5-10 tahun terakhir 2. Data perkembangan harga daging sapi menurut negara produsen utama di pasar dunia, 5-10 tahun terakhir 3. Data perkembangan harga daging menurut jenis hewan di pasar domestik, 5-10 tahun terakhir 4. Data perkembangan harga daging sapi menurut provinsi utama/kota besar di pasar domestik, 5-10 tahun terakhir 1. Data dan informasi terkait dengan kebijakan pembangunan peternakan, khususnya sapi potong 2. Data dan informasi terkait dengan Program P2DSK 3. Data dan informasi terkait kebijakan stabilisasi harga daging sapi 4. Studi literatur terkait kebijakan stabilisasi harga daging sapi 1. Hasil analisis data 2. Sintesis kebijakan berdasarkan hasil analisis data 3. Rumusan opsi kebijakan
16
Sumber Data 1. Data sekunder 2. Data sekunder 3. Data sekunder 1. Data sekunder 2. Data sekunder
3. Data seunder 4. Data sekunder
1. Data sekunder diolah 2. Data sekunder diolah
3. Data sekunder diolah 4. Data sekunder diolah
Informasi sekunder dan primer, serta informasi kualitatif dari lapang
3.4.2. Metode Analisis Untuk menjawab tujuan pertama, yaitu: “Melakukan analisis perkembangan produksi daging sapi di tingkat dunia dan di Indonesia”. Berdasarkan data dan informasi tersebut dan mengacu pada hasil penelitian sebelumnya maka dapat diidentifikasi perkembangan pasokan daging sapi ditingkat dunia dan Indonesia. Informasi ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan dan stabilitas harga daging sapi di pasar domestik. Analisis data dan informasi dilakukan dengan analisis rata-rata (mean), pertumbuhan (growth), coevisien variasi (coefficient variation) dengan teknik tabulasi. Untuk
menjawab
tujuan
kedua,
yaitu:
“Melakukan
analisis
tentang
perkembangan harga daging sapi di pasar dunia dan di pasar domestik”, diperlukan informasi berupa harga daging menurut jenis daging, baik data pada level dunia maupun di pasar domestik. Berdasarkan data dan informasi yang tersedia dapat ketahui perkembangan harga daging sapi baik di pasar dunia maupun pasar domestik. Analisis data dilakukan dengan analisis mean (rata-rata), pertumbuhan (%/tahun), dan analisis coevisien variasi harga dengan teknik tabulasi. Untuk menjawab tujuan ketiga, yaitu: “Melakukan analisis proyeksi harga daging sapi dan kebijakan stabilisasi harga daging sapi”, diperlukan analisis proyeksi harga. Analisis proyeksi harga dilakukan pada harga daging sapi dunia maupun harga daging sapi domestik. Analisis proyeksi dilakukan dengan menggunakan komputer program evious. Untuk menjawab tujuan keempat, yaitu: “Melakukan evaluasi kebijakan terkait dengan kebijakan stabilisasi harga daging sapi”, diperlukan analisis evaluasi kebijakan terkait dengan stabilisasi harga daging sapi. Analisis akan difokuskan pada kebijakan menstabilkan pasokan daging sapi domestik, kebijakan impor sapi bakalan dan daging sapi, dan kebijakan pengembangan sistem distribusi rantai dingin. Untuk
menjawab tujuan kelima: “Memberikan rekomendasi kebijakan
stabilisasi harga daging sapi mendukung program swasembada daging sapi” diperlukan informasi yang didasarkan hasil analisis dari tujuan pertama, kedua dan ketiga. Informasi yang diperoleh disintesakan dengan pendekatan deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Dengan mengetahui kondisi eksisting, kendala-kendala pokok diharapkan akan dapat direkomendasikan perbaikan dan penyempurnaan stabilisasi harga daging sapi mendukung program pencapaian swasembada daging sapi. 17
IV. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAGING DUNIA DAN INDONESIA 4.1. Perkembangan Produksi Daging Sapi Dunia Produk peternakan menyumbang 17% konsumsi kilokalori global dan 33% konsumsi protein global (FAOSTAT 2008; Daryanto, 2010). Secara global produksi daging dunia masih didominasi jenis daging babi (pig), unggas (poultry), sapi (beeff),
dan
daging
domba
(ovine).
Namun
dilihat
dari
produksi
yang
diperdagangkan di pasar global memberikan gambaran yang berbeda, dimana secara berturut-turut adalah daging unggas, daging sapi, babi, dan daging domba. Hal ini sangat terkait dengan perbedaan pola konsumsi antar negara, dimana penduduk muslim dunia tidak mengkonsumsi daging babi. Terdapat 19 negara produsen ternak sapi utama di dunia, diantaranya adalah Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa, beberapa negara produsen juga merupakan negara konsumen (Gambar 3). Penduduk pada ketiga negara itu sebagian besar berpendapatan tinggi dan jumlahnya besar, sehingga sebagian besar produksi ternak sapi dikonsumsi untuk kebutuhan domestik dan bahkan beberapa negara masih mengimpor dari luar negeri. Sebaliknya, negara Australia dan Selandia baru, walaupun produksi ternak sapinya tidak sebesar dengan Amerika Serikat, China dan Uni Eropa, karena jumlah penduduknya relatif kecil maka selain untuk kebutuhan memenuhi kebutuhan domestik juga melakukan ekspor baik dalam bentuk ternak hidup dan daging sapi beku. Peringkat produksi sapi dan daging sapi antara 1- 7 terdiri dari negara-negara yang sama, namun dengan posisi urutan yang berbeda. Informasi secara komparatif dapat dibandingkan antara Gambar 1 dan Gambar 2.
18
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Negara
Produksi (000 ekor)
India Brazil China Amerika Serikat EU-27 Argentina Australia Rusia Meksiko Kolumbia Selandia Baru Kanada Uruguay Ukraina Mesir Belarus Jepang Venezuela Korea Selatan
65.500 51.300 42.350 33.300 29.900 14.300 8.750 6.820 6.675 5.000 4.985 4.435. 3.000 2.590 1.700 1.350 1.240 950 830
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 1. Negara-negara Produsen Sapi di Dunia menurut Peringkat, 2014 Sebagai contoh, India merupakan produsen sapi utama, namun hanya menduduki peringkat kelima dalam memproduksi daging sapi. Secara sosial-budaya masyarakat India sangat dekat dengan ternak sapi dan penduduk India lebih memanfaatkan
susu
sapi
dibandingkan
daging
sapi.
India
juga
terkenal
keberhasilannya dalam melakukan revolusi putih, karena tingginya konsumsi susu penduduk India. Oleh karena itu dengan jumlah penduduk yang besar dan konsumsi susu yang tinggi menyebabkan populasi ternak sapi juga besar. Tingginya satus ternak sapi pada masyarakat India meningkatkan peluang bahwa ternak dipelihara dengan sungguh-sungguh sehingga kemampuan produksinya juga baik. Dari
sisi
produksi
daging
sapi,
umumnya
masyarakat
India
tidak
mengkonsumsi daging sapi sehingga sapinya tidak banyak dipotong menjadi bentuk produksi berupa daging sapi, tetapi lebih memanfaatkan tenaga kerja dan hasil susunya. Selain itu, ukuran sapi yang ada di India termasuk Bos Indicus yang ditujukan untuk tenaga kerja dan produksi susu dengan ukuran tubuh lebih kecil dibandingan sapi Bos Taurus yang ada di Amerika Serikat, Eropa, serta Brazil dan Argentina. Kondisi ini menyebabkan produksi daging per ekor sapi di India jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Amerika Serikat, Eropa, serta Brazil dan Argentina. 19
Kemampuan produksi ternak sapi dan daging sapi di Negara-negara produsen utama sangat menentukan jumlah, stabilitas dan kontinyuitas pasokan ternak dan daging sapi yang tersedia di pasar dunia. Kelangkaan pasokan dapat menyebabkan kenaikan harga daging sapi melonjak tinggi, demikian pula sebaliknya jika terjadi kelebihan
pasokan
terjagi
fenomena
penurunan
harga.
Faktor-faktor
yang
menentukan jumlah pasokan adalah ketersediaan bibit/bakalan unggul (genetic
base) yang terkonsentrasi, ketersediaan hijauan pakan/padang penggembalaan, ketersediaan pakan ternak jadi, serta ada tidaknya gangguan penyakit menular yang mematikan dan penyakit gangguan reproduksi yang menurunkan pertambahan populasi sapi.
No
Produksi (1000 MT CWE)
Negara
1
Amerika Serikat
2
Brazil
9.900
3
Uni Eropa
7.760
4
China
5.750
5
India
3.950
6
Argentina
2.840
7
Australia
2.265
8
Meksiko
1.795
9
Pakistan
1.600
10
Rusia
1.380
11
Kanada
1.020
12
Kolumbia
13
Afrika Selatan
825
14
Selandia baru
640
15
Uruguay
590
16
Paraguay
540
17
Jepang
495
18
Uzbekistan
475
19
Ukraina
440
11.018
885
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 2. Negara-negara Produsen Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia menurut Peringkat, 2014 20
Untuk dapat memprediksi kemampuan produksi daging sapi yang didekati dengan produksi sapi potong, berikut diuraikan perkembangan produksi sapi di negara-negara produsen utama. Dari sisi pertumbuhan produksi terdapat tiga kelompok Negara: (1) negara dengan pertumbuhan produksi menurun yaitu Amerika Serikat dan Uni Eropa, (2) negara dengan pertumbuhan produksi stabil yaitu Australia dan Selandia Baru, dan (3) negara dengan pertumbuhan menaik yaitu India, Brazil dan China (Gambar 3).
Gambar 3. Perkembangan Produksi Sapi Potong pada Beberapa Negara Produsen Utama, 1999-2014
Secara total produksi sapi potong pada ketujuh negara tersebut masih menunjukkan pertumbuhan yang positip, meskipun mengalami pelambatan pada periode 2010-2014 (Gambar 4). Hal ini mengandung makna bahwa pasokan daging sapi di pasar dunia selama lima tahun kedepan diduga masih mencukupi dan tetap tumbuh positip, namun karena pertumbuhan yang melambat maka ketersediaan daging sapi di pasar dunia makin terbatas. Hal inilah yang menjadi salah satu argumen beberapa negara besar dengan penduduk besar seperti Indonesia untuk mampu berswasembada daging sapi. 21
Gambar 4. Perkembangan Produksi Total Sapi Potong pada Negara Produsen Utama, 1999-2014 4.2. Perkembangan Produksi daging Sapi Indonesia Total produksi daging pada tahun 2004 sebesar 2.020,4 ribu ton, kemudian meningkat menjadi 2.169,7 ribu ton pada tahun 2008, dan pada tahun 2012 mencapai 2.691 ribu ton atau mengalami pertumbuhan sebesar 3.85%/tahun pada periode tersebut. Indonesia mempunyai 10 jenis komoditas yang memberikan banyak peran dalam menyumbangkan produksi daging, yakni sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, babi, ayam petelur, broiler, ayam buras dan itik. Informasi secara terperinci tentang perkembangan produksi daging di Indonesia pada periode 20042012 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan produksi daging menurut jenis ternak. Tahun 2004, dari total produksi daging Indonesia sumbangan dari ayam ras pedaging (41,88 %), sumbangan ternak sapi potong (22,15 %), ayam buras (14,67%), babi (9,64%), serta kambing (3,27%) dan domba (2,83%). Pada tahun 2008, keenam komoditas utama penghasil daging tetap merupakan penyumbang besar tetapi mengalami pergeseran, yakni broiler (45,75%), sapi potong (16,24%), ayam buras (14,17%), dan babi (10,86%), serta kambing (2,87%) dan domba (3,20%). Selanjutnya pada tahun 2012, broiler (53.10%), sapi potong (18.79%), ayam buras (10,90 %), dan babi (8.72%), serta kambing (2,55%) dan domba (1.73%). 22
Tabel 2. Perkembangan produksi daging di Indonesia, tahun 2004-2012 (000 ton) No.
Jenis
Tahun
Trend (%/th)
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Rerata
Daging
2020.4
1817.0
2062.9
2069.5
2136.6
2204.9
2366.2
2554.2
2690.9
2213.6
447.6
358.7
395.8
339.5
392.5
409.3
436.5
485.3
505.5
419.0
2.27
2
Sapi potong Kerbau
40.2
38.1
43.9
41.8
39.0
34.6
35.9
35.3
35.3
38.2
-1.33
3
Kambing
57.1
50.6
65.0
63.6
66.0
73.8
68.8
66.3
68.6
64.4
2.95
4
Domba
66.1
47.3
75.2
56.9
47.0
54.3
44.9
46.8
46.5
53.9
-1.17
5
Babi
194.7
173.7
196.0
225.9
209.8
200.1
212.0
224.8
234.7
208.0
2.74
6
Kuda
1.6
1.6
2.3
2.0
1.8
1.8
2.0
2.2
2.2
1.9
5.23
7
Ayam Buras
296.4
301.4
341.3
294.9
273.5
247.7
267.6
264.8
274.2 284.6
-0.60
8
Ayam Ras Petelur
48.4
45.2
57.6
58.2
57.3
55.1
57.7
62.1
63.7 56.1
3.92
9
Ayam Ras Pedaging
846.1
779.1
861.3
942.8
1018.7
1101.8
1214.3
1337.9
1428.8 1059.0
6.94
10
Itik
22.2
21.4
24.5
44.1
31.0
25.8
26.0
28.2
30.8
28.2
7.86
11
Kelinci
-
-
-
-
-
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
-
12
Burung puyuh
-
-
-
-
-
0.2
-
0.1
0.2 0.2
-
13
Merpati
-
-
-
-
-
0.3
0.4
0.1
0.3
0.3
-
1
3.85
Keterangan : *) Angka sementara Sumber : Statistik Peternakan, Tahun 2008 dan 2012
Dari ke 10 komoditas tersebut selama periode 2004-2012, terdapat delapan komoditas yang memberikan peningkatan kontribusi yakni sapi potong, kambing, babi, kuda, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, itik dan kelinci. Sementara itu terdapat tiga komoditas yang mengalami penurunan kontribusi, yaitu kerbau, domba, dan ayam buras. Penerapan manajemen usahaternak, teknologi bibit, penggunaan pakan jadi telah mengangkat usahaternak komersial, seperti ayam ras petelur, ayam ras pedaging dan sapi potong. Produksi total daging mengalami pertumbuhan 3.85%, namun jika dicermati memperlihatkan adanya ketimpangan dalam pertumbuhan dan bersifat fluktuatif terutama untuk jenis ternak tradisional. Dampak penerapan teknologi dan manajemen usahaternak yang rendah telah menyebabkan tingkat pengurasan yang relatif tinggi pada komoditas ternak tradisional, seperti jenis kerbau, domba dan ayam buras. Berdasarkan penelitian Badan Litbang Pertanian (2005) telah terjadi pengurasan untuk ternak sapi, kerbau, kambing-domba, dan ayam buras. Namun dengan program percepatan swasembada daging sapi dan dilanjutan percepatan daging sapi dan kerbau telah meningkatkan pertumbuhan populasi sapi potong. Dikhawatirkan beberapa komoditas sampai pada titik ambang keseimbangan, dimana angka kelahiran tidak mungkin lagi menjamin 23
konsumsi, maka dalam situasi semacam ini, akan mendorong kepunahan produksi jenis produk ternak tradisional. Pertumbuhan produksi daging sapi tumbuh sejalan dengan pertumbuhan populasinya. Hal ini disebabkan adanya perdagangan sapi hidup antar wilayah, yaitu dari daerah sentra produksi ke pusat konsumsi. Jumlah total daging sapi pada tahun 2009 mencapai 409.310 ton dan terus meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 545.620 ton pada tahun 2013, atau mengalami perkembangan sebesar 7.48% pertahun.
Pertumbuhan tersebut tergolong tinggi dan jauh lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan populasinya, yang menunjukkan makin dikuasainya teknologi budidaya dan manajemen usahaternak sapi potong oleh peternak dan perusahaan peternakan (feed lotter). Dari total produksi daging sapi yang mencapai 545.620 ton pada tahun 2013, terutama disumbang oleh 10 provinsi daerah sentra produksi utama, yaitu Provinsi Jawa timur sebesar 118.363 ton (21.69%), Jawa Barat menyumbang sebesar 81.254 ton (14.89%), Jawa tengah sebesar 62.720 ton (11.50%), Sumatera Utara sebesar 32.171 ton (590%), Banten 31.914 ton (5.85%), Sumatera Barat 23.543 ton (4.32%), NTT sebesar 13.595 ton (2.49%), Kalbar sebesar 13.375 ton (2,45%), Sulsel sebesar 12.979 ton (2.38%), dan DKI Jakarta sebesar 12.847 ton (2.36%) (Ditjennak dan Keswan, 2013).
Informasi secara terperinci dapat disimak pada
Tabel 3 berikut. Dari 10 provinsi daerah sentra produksi secara keseluruhan mengalami pertumbuhan produksi daging sapi positip, secara berturut-turut Provinsi Jawa timur tumbuh sebesar 2,42%/tahun, Jawa Barat tumbuh sebesar 3,71%/tahun, Jawa tengah tumbuh sebesar 6,93 %/tahun, Sumatera Utara tumbuh sebesar 25,27%/ tahun, Banten tumbuh sebesar 15,95%/tahun, Sumatera Barat tumbuh sebesar 6,60%/tahun, NTT sebesar 29,66%/tahun, Kalbar tumbuh sebesar 25,27%, Sulsel tumbuh sebesar 4,78%/tahun, dan DKI Jakarta sebesar 24,35%/tahun.
24
Tabel 3. Produksi Daging Sapi menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2009-2013 (ton) No
Provinsi
Tahun 2009
2010
2011
2012
2013
*)
Rerata
Trend (%/th)
1
Aceh
7614
7914
8303
6569
7478
6097
0.45
2
Sumut
13261
14256
18299
24537
32171
18372
25.27
3
Sumbar
18322
20442
20287
22638
23543
17170
6.60
4
Riau
7294
10950
12658
11317
11473
8238
14.13
5
Jambi
3868
6349
6515
6507
8034
5257
22.53
6
Sumsel
12482
12703
13601
14649
16114
11483
6.64
7
Bengkulu
2411
2691
3276
3761
4183
2694
14.84
8
Lampung
10694
9527
10064
9833
9226
7735
-3.44
9
Babel
2004
3024
3932
2917
3209
2289
16.28
10
Kepri
579
450
532
585
592
443
1.78
11
DKI Jakarta
5657
6058
9413
12206
12847
7482
24.35
12
Jabar
70662
76066
78476
74312
81254
61847
3.71
13
Jateng
48340
51001
60322
60893
62720
44956
6.93
14
DIY
5384
5690
7657
8896
10408
6378
18.36
15
Jatim
107768
109016
112447
110762
118363
90702
2.42
16
Banten
18728
20326
25806
36121
31914
20576
15.95
17
Bali
6283
6238
8081
8759
8832
6037
9.51
18
NTB
6567
9287
10958
11228
11565
7797
16.22
19
NTT
6486
4507
8668
13595
13595
7637
29.66
20
Kalbar
6567
7074
10437
7263
13375
8078
27.25
21
Kalteng
2564
5224
3116
4154
4322
3286
25.19
22
Kalsel
5946
7058
8459
9610
9678
6472
13.22
23
Kaltim
6729
7530
8240
8069
8473
6241
6.07
24
Sulut
4571
4386
4446
4501
4568
3619
0.01
25
Sulteng
3359
3672
3058
4250
5126
3457
13.05
26
Sulsel
11323
9056
11026
12725
12979
9267
4.78
27
Sultra
3737
3902
2709
3328
3428
2899
-0.08
28
Gorontalo
3063
3926
3985
4347
4419
3165
10.10
29
Sulbar
1361
1795
3917
3053
3202
1912
33.23
30
Maluku
1338
1420
1320
1496
1699
1231
6.50
31
Malut
223
243
274
578
562
318
32.48
32
Papua Barat
1696
1899
2316
2533
3153
1980
16.94
33
Papua Indonesia
2427
2770
2737
2903
3116
2286
6.59
409310
436452
485333
508906
545620
387400
7.48
Pertumbuhan produksi daging sapi selama lima tahun terakhir (2009-2013) tergolong tinggi (7.48%/tahun). Peningkatan produksi daging sapi di Indonesia disebabkan oleh: (1) Adanya pertumbuhan populasi sapi potong yang cukup tinggi; (2) Adanya peningkatan produktivitas usahaternak sapi potong. Namun jika 25
dicermati, ternyata pertumbuhan produksi lebih cepat dibandingkan pertumbuhan populasi, yang merefleksikan beberapa hal pokok : (a) teknologi budidaya ternak sapi potong makin dikuasai dengan baik oleh peternak dan perusahaan peternakan (feed lotter); (b) sistem pengusahaan yang sudah mengarah dari secara tradisional ke semi intensif dan mulai berorientasi pasar (komersial), sehingga menyebabkan efisiensi produksi makin meningkat, yang direfleksikan makin membaiknya Feed
Convertion Ratio (FCR) dan makin rendahnya tingkat mortalitas; dan (c) skala pengusahaan yang terbagi, dimana usahaternak sapi potong rakyat antara 2-10 ekor dan perusahaan peternakan antara 25-2000 ekor dan makin mendekati skala usaha optimal. Secara umum Jawa Tengah merupakan daerah sentra produksi sapi potong, sedangkan Jawa Barat masih merupakan daerah pusat konsumen daging sapi. Jumlah populasi di Jawa Barat sebanyak 382.949 ekor (2013) merupakan jumlah populasi ternak sapi yang masih jauh dari kebutuhan konsumsi masyarakat Jawa Barat. Menurut informasi bahwa pemotongan ternak sapi dari sebagian jumlah populasi tersebut hanya mampu menyediakan daging ternak sapi potong sebesar 30% dari kebutuhan. Sementara kekurangannya sebesar 70% masih harus didatangkan dari provinsi-provinsi yang merupakan sentra produksi, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, NTT dan NTB. Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis merupakan daerah sentra produksi daging sapi di Jawa Barat. Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis merupakan daerah surplus produksi daging sapi. Hal ini disamping ditunjang oleh jumlah populasi yang cukup besar, juga di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis terdapat lokasi feedlotter “PT. Nandini Perkasa” yang juga melakukan penggemukan dan pemotongan ternak sapi BX asal impor. Hasil pemotongan dari feedlotter tersebut tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging setempat, akan tetapi juga dikirim ke luar daerah sekitar terutama daerah-daerah Jawa Barat bagian Timur, khususnya Tasikmalaya dan Ciamis, yang dalam hal pemenuhan kebutuhan konsumsi dagingnya masih kurang. PT. “Nandini Perkasa” merupakan salah satu pengusaha feedlotter di Jawa Barat yang dalam tahun 2014 ini telah menandatangani MOU dengan pemerintah daerah Kabupaten Ciamis untuk memanfaatkan RPH yang ada yang nantinya akan 26
digunakan
untuk
operasional
pemotongan
sapi
milik
perusahaan
tersebut.
Sementara untuk pemotongan ternak sapi lokal dilakukan di daerah Lakbok. Besarnya omset pemotongan sapi oleh PT “Nandini Perkasa” tersebut, disamping nantinya daging hasil pemotongan sapi diperuntukan untuk memenuhi konsumsi daging di wilayah Jawa Barat, terutama Jawa Barat bagian Timur, juga khususnya untuk memenuhi kebutuhan daging di wilayah Kabupaten Ciamis. Dalam
upaya
meningkatkan
jumlah
populasi
maupun
dalam rangka
memenuhi kebutuhan daging di Jawa Barat, maka pemerintah setempat mengambil kebijakan disamping harus mendatangkan sapi bibit baik bibit jantan maupun betina dari luar daerah. Setidaknya selama tahun 2013 pemasukan sapi bibit di wilayah Provinsi Jawa Barat tidak kurang dari 23.538 ekor bibit sapi jantan dan 16.828 ekor bibit sapi betina. Sementara untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging ternak sapi, maka pada tahun 2013 telah masuk sapi bakalan ke wilayah Jawa Barat sebanyak 66.915 ekor. Sapi bakalan tersebut dimaksudkan untuk digemukkan lebih jauh. Sedangkan jumlah sapi siap potong yang masuk ke wilayah ini pada tahun yang sama sekitar 181.091 ekor yang merupakan sapi siap potong untuk memenuhi kebutuhan daging di wilayah ini. Dilihat dari besarnya produksi daging ternak sapi potong yang ada diwilayah Provinsi Jawa Barat, data tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah produksi daging secara keseluruhan sekitar 709,70 ribu ton, dimana produk daging sapi pada tahun tersebut sebanyak 71,88 ribu ton (85,23%) merupakan hasil pemotongan ternak sapi lokal sementara sisanya (14,77%) merupakan daging impor. Sapi merupakan hewan yang hasilnya digunakan secara luas antara lain untuk konsumsi rumah tangga, industri pengolahan, serta konsumen institusi (Hotel, Restaurant, dan Catering/HORECA). Hasil utama dari usahaternak sapi potong adalah daging sapi, serta hasil tambahan berupa kulit dan kotorannya. Selain itu, sapi juga menghasilkan berbagai produk turunannya. Seekor ternak sapi dianggap baik apabila dapat menghasilkan karkas sebesar 59% dari bobot tubuh sapi tersebut. Untuk jenis Sapi Eropa (Hereford, Shortom, dan Angus) berkisar antara 51,4% hingga 60,3%, Sapi Brahman berkisar antara 52% hingga 55,8%.
Sementara itu untuk sapi lokal Indonesia, Sapi PO sebesar
45%, Sapi Madura 47%, dan Sapi Bali 56%. 27
Untuk memudahkan dalam distribusi dan pemasaran karkas sapi dipotong menjadi empat bagian, karkas sapi dibelah menjadi dua bagian dan masing-masing belahan karkas dipotong lagi menjadi bagian perempat depan (fore quarter) dan bagian
perempat
belakang
(hind
quarter).
Untuk
kepentingan
pemasaran
selanjutnya, karkas sapi dipotong lagi menjadi recahan karkas utama (primal cut), juga lazim disebut wholesale cuts, dan recahan karkas kecil (sub primal) juga lazim disebut retail cuts. Daging dari karkas sapi mempunyai beberapa golongan kualitas/kelas sesuai dengan lokasinya pada rangka tubuh, sebagai berikut (Direktorat Bapostrat, 2013): (1) Kualitas I: daging di daerah paha ( round) dengan proporsi kurang lebih 20%; (2) Kualitas II: daging di daerah pinggang (loin) dengan proporsi kurang lebih 17%; (3) Kualitas III: daging di daerah punggung dan tulang rusuk ( rib) dengan proporsi kurang lebih 9%; (4) Kualitas IV: daging di daerah bahu ( chuck) dengan proporsi kurang lebih 26%; (5) Kualitas V: daging di daerah dada ( brisk) dengan proporsi kurang lebih 5%; (6) Kualitas VI: daging di daerah perut (frank) dengan proporsi kurang lebih 4%; (7) Kualitas VII: daging di daerah rusuk bagian bawah hingga sampai perut bagian bawah (plate and suet) dengan proporsi kurang lebih 11%; dan (8) Kualitas VIII: daging di bagian kaki depan (fore shank) dengan proporsi kurang lebih 2,1%. Sementara itu, daging sapi juga digolongkan ke dalam empat bagian besar menurut kualitasnya, yaitu (Direktorat Bapostrat, 2013): (1) Daging potongan primer (primer cut), potongan daging yang memiliki keempukan, juiciness, dan merupakan kualitas daging sapi terbaik; (2) Daging potongan sekunder ( secondary cut), potongan daging di luar potongan primer yang memiliki keempukan, juiciness, dan kualitas di bawah kualitas prime cut; (3) Daging variasi (variety/fancy meat): Bagian daging selain daging prime cut, secondary cut, dan daging industri; dan (4) Daging industri (manufacturing meat): bagian daging selain prime cut, secondary cut, dan daging variasi, yang terdiri atas prosot depan (fore quarter), prosot belakang (hind
quarter), tetelan (trimming) 65-95 CL, daging giling (disnewed minced meat), dan daging kotak (diced meat) untuk keperluan industri. Dalam pengembangan usahaternak sapi potong dalam rangka meningkatkan produksi daging sapi, peternak menghadapi beberapa kendala baik teknis, ekonomi, 28
maupun sosial kelembagaan. Beberapa kendala teknis adalah: (1) Kurangnya ketersediaan semen beku yang memenuhi aspek jumlah, jenis, dan kualitas; (2) Belum semua kelompok peternak dan peternak melakukan IB dengan baik; (c) Terbatasnya
tenaga
inseminator
dan
penyuluh
peternakan;
(d)
Belum
berkembangnya pusat perbibitan sapi potong di daerah-daerah pengembangan baru yang mampu menghasilkan bibit unggul; (e) Makin terbatasnya hijauan pakan ternak dan padang penggembalaan; (f) Belum berkembangnya pakan ternak berbasis bahan pakan lokal, terutama limbah pertanian dan industri; dan (g) Belum berlakunya sistem penjualan ternak sapi dengan sistem timbang, namun pedagang lebih memilih melalui taksiran. Kemampuan managerial dalam usahaternak sangat tergantung dari kondisi masing-masing kelompok peternak dan individu peternak.
Kelompok peternak di
daerah sentra produksi di Pati dan Boyolali, Jawa Tengah dan di Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat umumnya memiliki keterampilan teknis usahaternak sapi potong yang baik, namun kapabilitas manajerialnya rata-rata masih rendah. Salah satu Gapoktan yang telah memenuhi persyaratan managerial adalah ASPIN (Asosiasi Sapi Potong Nogosari) yang anggotanya berjumlah 36 kelompok. ASPIN merupakan gabungan kelompok peternak yang terdiri dari beberapa kelompok yang tersebar di Kabupaten Boyolali, Klaten dan Sragen. Dari skala penguasaan ternak masingmasing anggota secara rata-rata telah memiliki 8 ekor ternak sapi potong. Dengan kinerja demikian maka Gapoktan
ASPIN dapat dipercaya oleh bank
dan
mendapatkan kucuran dana KKPE. Beberapa kendala ekonomi adalah : (1) Lemahnya permodalan kelompok peternak dan peternak rakyat; (2) Masih banyak peternak yang belum dapat akses kredit program (KKP-E, KUR, dan KUPS) karena tidak adanya agunan; (3) Pihak perbankan memandang usaha peternakan yang dilakukan oleh para peternak masih dipandang tidak memiliki kelayakan dari sisi bisnis (bankable) dan memiliki resiko tinggi; (3) Tingginya harga bakalan sapi di daerah-daerah sentra produksi; (4) Tingginya harga pakan ternak pabrikan; (5) Kalah bersaing dengan harga daging sapi impor terutama dalam hal harga. Beberapa kendala sosial-kelembagaan dalam pengembangan usahaternak sapi potong adalah: (1) Lemahnya konsolidasi kelembagaan kelompok peternak sapi 29
potong, baik dari aspek keanggotaan, manajemen dan permodalan; (2) Lemahnya permodalan kelompok peternak dan anggotanya; (3) Tidak adanya alat sebagai kohesi sosial dalam kelembagaan kelompok peternak; (4) Lemahnya koordinasi secara internal antar bagian dalam kelompok peternak; dan (5) Lemahnya koordinasi secara eksternal, terutama dengan Dinas Peternakan dan Lembaga Perbankan. Syarat-syarat keberhasilan dalam mengembangan usahaternak sapi potong dalam
rangka
meningkatkan
produksi
dagaing
sapi
domestik
adalah:
(1)
Ketersediaan semen beku yang memenuhi aspek jumlah, jenis dan kualitas; (2) Jumlah dan kualitas SDM tenaga IB dan penyuluh peternakan; (3) ketersediaan hijauan pakan yang memenuhi dari aspek jumlah, kualitas dan kontinyuitas pasokannya; (4) Perlu pembuatan pakan ternak berbasis limbah pertanian dan limbah industri dengan fermentor yang memenuhi standar nutrisi; (5) Perlu banyak
pilot project perbibitan dan penggemukan sapi potong dengan pendekatan action research secara terpadu langsung dilapangan; (6) Penguatan kelembagaan peternak baik dalam aspek keanggotaan, manajemen dan permodalannya; (7) Terus melanjutkan
kebijakan
insentif
kepada
peternak,
seperti
insentif
larangan
pemotongan betina produktif, sapi bunting, dan pengembangan pusat-pusat perbibitan diperdesaan; (8) Mendorong kemitraan usaha agribisnis sapi potong antara Perusahaan Peternakan dengan Kelompok Peternak yang melibatkan lembaga perbankan,
Lembaga
Penelitian/Perguruan
Tinggi
yang
bersifat
saling
membutuhkan, memperkuat, dan menguntungkan; (9) Adanya keterpaduan program antar Dinas Teknis terkait (Dinas Peternakan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian) dalam mendukung swasembada daging sapi; dan (10) Dukungan alokasi pendanaan dalam pengembangan usahaternak sapi potong secara terpadu yang bersumber dari APBN dan APBD.
30
V.
PERKEMBANGAN KONSUMSI DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA
5.1. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Dunia Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan (Daryanto, 2009): (1) jumlah penduduk dan pertumbuhannya, (2) tingkat urbanisasi, (3) revolusi peternakan, (4) tingkat pendapatan dan pertumbuhannya, (5) fenomena segmentasi pasar yang menuntut kualitas produk yang makin tinggi, (6) Relative cost price advantage, dan (7) Supermarket revolution. Daging sapi merupakan jenis barang normal, konsumsi daging sapi dunia akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia. Gambar 5 menunjukkan 10 negara terbesar konsumen daging sapi di dunia. Dari 10 negara tersebut empat negara konsumen utama adalah Amerika Serikat, Brazil, Uni Uropa, China, Argentina, Rusia, India, Meksiko, Pakistan, dan Jepang. Jika dipilah berdasarkan tingkat kemajuan negara, 10 negara terbesar dalam konsumsi daging sapi tersebut sebagian merupakan negara maju dan sebagian negara sedang berkembang. Beberapa negara maju terdiri atas Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, beberapa negara-negara yang berada pada transisi dari negara berkembang ke arah negara maju seperti Brazil, Argentina, Rusia, dan India, dan negara berkembang, yaitu Meksiko dan Pakistan .
No
Negara Konsumsi Total (100 mT CWE)
1
Amerika Serikat
11 014
2
Brazil
8 000
3
EU-27
7 840
4
China
6 198
5
Argentina
2 620
6
Rusia
2 392
7
India
2 200
8
Meksiko
1 810
9
Pakistan
1 552
10
Jepang
1 278
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 5. Sepuluh Negara Terbesar yang Mengkonsumsi Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia, 2014 31
Trend konsumsi daging sapi secara global mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Konsumsi terbesar secara berturut-turut adalah Amerika Serikat, Brazil, Uni Eropa, China, Argentina, Rusia, India, Meksiko, Pakistan, dan Jepang. (FAO, 2008). Produk peternakan menyumbang 17% konsumsi kilokalori global dan 33% konsumsi protein global (FAOSTAT, 2008). Peternakan menyediakan pangan paling tidak untuk 830 juta masyarakat yang rentan terhadap ketahanan pangan. Terdapat perbedaan konsumsi kilokalori yang signifikan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang, tetapi laju pertumbuhan konsumsi tertinggi terjadi di negara-negara berkembang. Gambar 6 menunjukkan perkembangan konsumsi daging sapi selama 39 tahun baik negara maju maupun di negara sedang berkembang. Dari 10 negara konsumen daging sapi utama, terdiri atas empat negara maju dan enam negara yang merupakan kelompok negara sedang berkembang. Secara umum pada kelompok negara sedang berkembang konsumsi daging cenderung meningkat. Peningkatan konsumsi yang tinggi dan stabil terjadi negara Brazil dan China. Adanya peningkatan status sebagai menjadi negara industri baru (new industries contries) yang antara lain dicirikan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi mendorong terjadinya peningkatan konumsi daging sapi di Negara-negara berkembang.
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 6. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di Beberapa Negara Berkembang, 1975-2014
32
Fenomena di negara maju seperti di Jepang dan Amerika Serikat, konsumsi daging sapi juga masih tetap meningkat, namun mengalami pelambatan. Bahkan di Rusia dan Uni Eropa terjadi penurunan konsumsi daging sapi (Gambar 7). Dengan demikian, secara keseluruhan dari 10 negara konsumen daging sapi utama di dunia, menunjukkan adanya kecenderungan konsumsi daging sapi yang terus meningkat (Gambar 8).
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 7. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di Beberapa Negara Maju, 19752014 Gambaran tersebut menunjukkan bahwa kedepan kecenderungan permintaan daging sapi akan terus meningkat, terutama disebabkan peningkatan konsumsi negara-negara berkembang. Dengan keterbatasan sumberdaya lahan alam terutama ketersediaan padang penggembalaan sapi akan terus menurun dan makin tingginya harga bahan baku pakan ternak menyebabkan melambatnya laju pasokan daging sapi. Sementara itu pada sisi permintaan melambatnya pertumbuhan pendapatan di negara-negara maju dan negara-negara tertinggal menyebabkan menurunnya dayabeli masyarakat menyebabkan melambatnya laju permintaannya. Kondisi terjadinya melambatnya pasokan ditengah meningkatnya harga-harga bahan pakan dan melambatnya permintaan akibat melambatnya dayabeli penduduk ditengah meningkatnya harga daging sapi berimplikasi melambatnya jumlah volume daging sapi yang di perdagangkan di pasar dunia. 33
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 8. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi di 10 Negara Konsumen Utama, 1975-2014
Untuk kawasan Asia dan Asia Tenggara, China merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar dengan volume ekonomi yang sangat besar, dan dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, maka diperkirakan konsumsi daging sapi negara China akan terus meningkat.
Saat ini konsumsi daging sapi negara
China menduduki urutan keempat di dunia (Gambar 5). Kekurangan pasokan untuk memenuhi konsumsi negara ini dipenuhi dari impor. Hal yang sama juga terjadi di Negara-negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Peningkatan impor daging sapi China, selain dapat menjadi tantangan, juga dapat sebagai peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri untuk memenuhi konsumsi domestik dan jika memungkinkan sebagai pemasok ke negara China. Sebaliknya jika produksi domestik tidak mampu meningkat, persaingan dengan China sebagai negara importir diduga akan memicu meningkatnya harga daging di kawasan Asia dan Asia Tenggara. Hasil kajian Octaviani (2010) dampak FTA ASEAN-China terhadap ekonomi makro dan ekonomi sektoral Indonesia dengan memfokuskan kajian pada produk peternakan memberi beberapa hasil yang menarik. Beberapa komoditas dan produk peternakan yang mengalami peningkatan ekspor adalah animal product nec meningkat 3,769 persen, wool dan ulat sutera (silk worm cocoons) meningkat 3,206 34
persen, dan produk daging sapi, domba dan kambing meningkat hanya sebesar 0,221 persen, serta produk susu (dairy product) meningkat sebesar 0,749 persen. Sementara itu, beberapa komoditas dan produk peternakan yang mengalami penurunan ekspor adalah ternak sapi, domba dan kambing, serta kuda menurun sebesar -1,515 persen, bahan baku susu (raw milk) menurun sebesar -3,738 persen, serta daging product nec menurun sebesar -6,997 persen. Komoditas dan produk peternakan yang mengalami kenaikan ekspor adalah komoditas dan produk peternakan yang memiliki dayasaing, sedangkan komoditas dan produk peternakan yang mengalami penurunan adalah komoditas atau produk yang tidak atau kurang memiliki dayasaing. Beberepa komoditas dan produk peternakan yang mengalami peningkatan impor adalah : Lembu (cattle), domba (sheep), kambing (goats), dan kuda (horse) meningkat sebesar 0,896 persen; animal product nec meningkat sebesar 1,742 persen, bahan baku susu (raw milk) meningkat sebesar 0,081 persen; wool dan ulat sutera (silk worm cocons) meningkat 0,849 persen, dan produk daging sapi,domba dan kambing meningkat hanya sebesar 2,286 persen, meat product nec meningkat sebesar 2,286 persen, serta produk susu (dairy product) meningkat sebesar 5,486 persen. Seluruh komoditas dan produk peternakan mengalami kenaikan impor, hal tersebut menunjukan adanya peningkatan permintaan domestik yang tidak seluruhnya dapat dipenuhi dari produksi domestik. Artinya komoditas dan produk peternakan memiliki potensi pasar yang sangat besar di dalam negeri dan oleh karenanya layak mendapatkan prioritas pengembangan, jika tidak maka akan mendorong masuknya komoditas dan produk peternakan dari Cina. 5.2. Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Indonesia Secara teoritis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan atau konsumsi produk daging sapi adalah: (1) jumlah penduduk dan pertumbuhannya, (2) tingkat pendapatan dan pertumbuhannya, (3) preferensi atau selera konsumen, (4) tingkat urbanisasi penduduk, (5) fenomena segmentasi pasar, dan (6) berkembangnya pasar modern (super market/hyper market) disamping pasar tradisional.
35
Beberapa gejolak eksternal, seperti krisis ekonomi (1997-1998), krisis finansial global, dan krisis pangan memberikan dampak terhadap perdagangan global dan penurunan trend konsumsi daging, terutama jenis daging sapi yang harganya tergolong mahal. Pada tahun 1998 saat konsumsi daging sapi mengalami penurunan, pada tahun 1999 merupakan saat konsumsi daging sapi mencapai titik terendah sebagai dampak krisis, namun kemudian konsumsi daging sapi dipasar domestik meningkat kembali pada tahun 2000-2005. Pada periode setelah krisis laju pertumbuhan konsumsi daging termasuk daging sapi meningkat kembali, bahkan tingkat konsumsi daging sapi melampaui kondisi sebelum krisis ekonomi. Secara umum pemulihan produksi dan konsumsi produk daging sapi akibat krisis ekonomi cukup cepat, meskipun tidak secepat produk daging broiler. Dukungan industri daging sapi tidak sebaik dukungan industri perunggasan nasional. Industri perunggasan sangat yang responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, sedangkan industri sapi tidak seresponsif industri perunggasan. Dampak negatif krisis ekonomi dan krisis finansial dunia terhadap sektor industri peternakan sapi potong terutama disebabkan karena sebagian bahan baku pakan adalah impor. Secara umum dampak krisis finansial dunia terhadap konsumsi produk daging sapi relatif kecil, karena kondisi makro ekonomi yang cukup stabil dan pelaku usaha industri peternakan lebih siap menghadapi, serta cukup besarnya volume permintaan pasar domestik. Jika dirinci menurut jenis daging, penduduk Indonesia lebih banyak mengkonsumsi daging broiler dan sapi potong. Kebutuhan konsumsi daging sapi sekitar 65% dipenuhi dari produk impor dan 25% di antaranya berasal dari impor sapi bakalan (Badan Litbang Pertanian, 2005). Dalam kondisi nilai tukar rupiah yang stabil, kecenderungan impor daging sapi semakin meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan impor tersebut dapat disebabkan oleh permintaan daging berkualitas (prime cut) yang meningkat terutama untuk Hotel, Restaurant dan Catering (HORECA). Berdasarkan hasil proyeksi yang dilakukan Bappenas (2006) diperkirakan bahwa selama 2005-2010 Indonesia mengalami surplus produksi daging unggas, daging non unggas dan daging non sapi dan telur, sedangkan untuk daging sapi masih mengalami defisit. Untuk kasus daging sapi, prediksi tersebut sesuai dengan 36
kenyataan, dimana Indonesia pada tahun 2012 masih mengalami defisit produk daging sapi, sedangkan produk daging broiler dan telur dapat dikatakan swasembada. Hasil kajian Bappenas (2006) menunjukkan bahwa tantangan utama yang dihadapi adalah masalah pencapaian swasembada daging sapi, baik masalah yang bersifat teknis, ekonomi, sosial-kelembagaan, maupun masalah kebijakan pemerintah. Perkembangan konsumsi daging sapi pada periode (2005-2012) memberikan beberapa gambaran pokok sebagai berikut: (1) Rata-rata konsumsi dalam bentuk daging sapi segar sebesar 4,72 Kg/kapita/tahun; (2) Rata-rata konsumsi daging sapi olahan/diawetkan sebesar 0,262 Kg/kapita/tahun; (3) Rata-rata lainnya (hati, jeroan lainnya, tetelan dan tulang) sebesar 0,313 Kg/kapita/tahun; dan (4) Daging dari makanan jadi untuk soto/gule/sop sebesar 5,49 Kg/kapita/tahun, sate/tongseng sebesar 3,481 Kg/kapita/tahun, ayam dan daging goreng sebesar 4,64 Kg/ kapita/tahun. Pertumbuhan konsumsi daging sapi pada periode (2005-2012) memberikan beberapa informasi pokok sebagai berikut: (1) Pertumbuhan konsumsi dalam bentuk daging sapi segar sebesar 4,01%/tahun; (2) Pertumbuhan konsumsi daging sapi olahan/diawetkan sebesar 287,94%/tahun; (3) Pertumbuhan daging sapi lainnya (hati, jeroan lainnya, tetelan dan tulang) sebesar 17,72%/tahun; dan (4) Pertumbuhan konsumsi daging dari makanan jadi untuk soto/gule/sop sebesar 2,89%/tahun, sate/tongseng sebesar – 2,66%/tahun, dan ayam dan daging goreng sebesar 6,16%/tahun (Tabel 4). Berdasarkan rata-rata tingkat konsumsi dan pertumbuhan konsumsi daging sapi menunjukkan bahwa permintaan daging sapi domestik memiliki kecenderungan yang terus meningkat. Secara relatif peningkatan pertumbuhan konsumsi daging sapi domestik lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan di level global. Hal ini membawa konsekuensi pentingnya percepatan peningkatan produksi daging sapi domestik. Oleh karena itu, program percepatan swasembada daging sapi dan kerbau perlu mendapatkan dukungan semua pihak, baik pemerintah, akademisi/peneliti, maupun masyarakat peternakan. Pemerintah harus memberikan alokasi anggaran yang besar sesuai dengan target yang mau dicapai.
37
Tabel 4. Perkembangan Konsumsi Produk Daging Perkapita Per Tahun, Tahun 2009-2012
2009
Tahun 2010 2001
2012
Daging Segar
4,224
4,849
5,110
4,693
4,719
1. Sapi
0,313
0,365
0,417
0,365
0,365
2. Kerbau
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
3. 4. 5. 6. 7. 8.
0,000 0,209 3,076 0,521 0,052 0,052
0,000 0,209 3,546 0,626 0,052 0,052
0,052 0,261 3,650 0,626 0,052 0,052
0,000 0,209 3,494 0,521 0,052 0,052
0,013 0,222 3,441 0,574 0,052 0,052
0,063
0,063
0,120
1,048
0,262
1. Dendeng 0,000 0,000 2. Abon 0,010 0,010 3. Daging kaleng 0,000 0,000 4. Daging diawetkan lainnya 0,052 0,052 C. Lainnya 0,261 0,261 1. Hati 0,052 0,052 2. Jeroan selain hati 0,052 0,052 3. Daging tetelan 0,052 0,052 4. Tulang 0,052 0,052 5. Lainnya 0,052 0,052 D. Daging dari makanan jadi 1. Soto/gule/sop 5,266 5,423 2. Sate/tongseng 3,441 3,650 3. Ayam/daging (goreng, dll) 4,171 4,589 Sumber : Statistik Peternakan, Tahun 2008 dan 2013
0,000 0.016 0,000 0,104 0,313 0,104 0,052 0,052 0,052 0,052
0,000 0,005 0,000 1,043 0,417 0,156 0,052 0,052 0,052 0,104
0,000 0,010 0,000 0,260 0,313 0,091 0,052 0,052 0,052 0,065
287.94 0.00 -2.92 0.00 334.29 17.72 50.00 0.00 0.00 0.00 33.33
5,527 3,702 5,162
5,736 3,129 4,954
5,488 3,481 4,640
2.89 -2.66 6.16
No.
Komoditi
A.
B.
Kambing Babi Ayam Ras Ayam kampung Unggas lainnya Daging lainnya
Daging Diawetkan
Rerata
Trend (%/th) 4.01 6.13 0.00 -50.00 1.65 4.65 1.13 0.00 0.00
Kenaikan permintaan yang diikuti oleh kenaikan harga yang cukup tinggi menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Data BPS 2011 menunjukkan bahwa pasokan daging sapi seharusnya cukup jika merujuk pada data jumlah sapi siap potong yang lebih besar dari jumlah permintaan daging sapi nasional (BPS, 2011). Pada kenyataannya, ketersediaan sapi potong lokal tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat akan daging sapi. Hal tersebut yang mendorong peluang pedagang untuk menaikkan harga daging sapi lokal. Berdasarkan data BPS, jumlah pasokan dalam negeri pada tahun 2012 sebesar 414.870 ton atau setara 530.000 ekor sapi. Sementara itu, impor sapi pada tahun 2013 meningkat hingga mencapai 862.000 ekor (Direktorat Bapostrat, 2013).
38
VI. PERKEMBANGAN EKSPOR DAN IMPOR STOCK DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA 6.1. Perkembangan Ekspor Daging Sapi 6.1.1. Perkembangan Ekspor Daging Sapi Dunia Pemerintah dalam perekonomian modern mempunyai tiga fungsi sentral, yaitu : (1) meningkatkan efisiensi; (2) menciptakan pemerataan dan keadilan; serta (3) memacu pertumbuhan ekonomi secara makro dan memelihara stabilitasnya (Samuelson dan Nordhous, 1993). Isu paling relevan dalam hubungan antarnegara di era liberalisasi perdagangan ini adalah bagaimana menata kembali sistem produksi dan perdagangan sehingga dapat memperkokoh fundamental ekonomi. Kebijakan dibidang produksi tercakup daging sapi seharusnya dikembalikan pada komoditas-komoditas pertanian yang memiliki keunggulan komparatif tinggi. Kebijakan di bidang perdagangan diarahkan untuk memacu komoditas ekspor dan promosi ekspor untuk mampu memasuki pasar internasional serta menahan arus komoditas dengan mengembangkan komoditas substitusi impor melalui kebijakan tarif dan insentif lainnya sejauh masih dalam koridor WTO. Pengenaan tarif di Indonesia sebagai negara importir neto (net importer) untuk kasus daging sapi akan memberikan manfaat bagi para petani produsen, karena tarif merupakan pajak pada barang-barang sejenis yang diproduksi di luar negeri (Lindert dan Kindleberger, 1993). Sejauh ini penerapan tarif pada komoditas daging sapi dan bakalan masing-masing hanya sebesar 5% dan 3,5% masih jauh di bawah bound tarifnya masing-masing sebesar 50% dan 40% (Erwidodo, 2013). Kebijakan terbaru pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 57/M-DAG/PER/9/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan. Pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 : (1) Pasal 14 ayat 1 disebutkan bahwa dalam hal harga daging sapi jenis potongan sekunder (secundary cut) di pasaran di bawah harga referensi maka importasi Hewan dan Produk Hewan sebagaimana tercantum 39
pada Lampiran I Peraturan Menteri ini ditunda importasinya sampai harga kembali mencapai harga referensi; (2) Pasal 14 ayat 2, harga referensi harga daging sapi jenis potongan sekunder (secundary cut) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar Rp 76.000,00 (tujuh puluh enam ribu rupiah); (3) Pada pasal 14 ayat 3, penetapan harga referensi daging sapi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dievaluasi sewaktu-waktu oleh Tim Pemantau Harga Daging Sapi yang dibentuk oleh Menteri yang keanggotaannya terdiri dari unsur instansi terkait; dan (4) Pada pasar 14 ayat 4, berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Tim Pemantau Harga Daging Sapi mengusulkan harga referensi kepada Menteri untuk ditetapkan kembali menjadi harga referensi baru. Keputusan
Menteri
Perdagangan
Republik
Indonesia
DAG/KEP/9/2013 tentang Tim Pemantau Harga Daging Sapi.
Nomor
1013/M-
Dalam konsiseran
menimbang dikemukakan : (a) bahwa dalam rangka menjamin terciptanya stabilisasi harga daging sapi jenis potongan sekunder (secondary cut) di pasaran dan untuk melaksanakan Pasal 14 ayam (3) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/MDAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan, perlu mebentuk Tim pemamtau harga daging sapi; (b) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri tentang Tim Pemantau Harga Daging Sapi. Tim Pemantau Harga Daging Sapi terdiri dari: (1) Tim Pengarah yang teriri dari ketua dan anggota, ketua bertugas memberikan arahan terkait pelaksanaan Pemantauan Harga Daging Sapi dan anggota bertuga memberikan masukan kebijakan terkait pelaksanaan Pemantauan Harga Daging Sapi; (2) Tim teknis yang terdiri dari ketua dan anggota. Ketua bertugas: (a) mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan pembahasan: (i) pemantauan harga daging sapi; dan (ii) perumusan harga referensi; (b) mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan pemantauan/evaluasi harga daging sapi; (c) mengkoordinasikan penyusunan laporan hasil pemantauan dan evaluasi; (d) mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyusunan rekomendasi; dan (e) menyampaiakan hasil rekomendasi kepada Menteri Perdagangan (Direktorat bahan Pokok dan Barang Strategi, 2013). Ketua Tim Pengarah adalah Wakil Menteri Perdagangan dan anggota terdiri dari: (1) Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Sumberdaya Hayati, Kementerian 40
Koordinator Bidang Perekonomian; (2) Direktur jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan; (3) Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian; (4) Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian; (5) Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, kementerian Pertanian; (6) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian; (7) Kepala Badan Ketahanan Pangan, kementerian Pertanian; dan (8) Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Badan Pusat statuistik. Sementara itu, anggota Tim Teknis bertugas: (a) melakukan pengumpulan data dan informasi terkait stabilisasi harga daging sapi; (b) melakukan penghitungan harga refernsi daging sapi untuk 3 bulan ke depan/selanjutnya; (c) melakukan perumusan harga referensi daging sapi berdasarkan harga pantauan harian; (d) mengusulkan
harga
referensi
daging
sapi
kepada
Tim
Pengarah;
(e)
merekomendasikan usulan harga referensi daging sapi kepada Tim Teknis; dan (f) melakukan evaluasi sewaktu-waktu terhadap harga referensi daging sapi yang ditetapkan. Ketua Tim Teknis adalah Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri dan anggota terdiri dari: (1) Asisten Deputi Kelautan, Perikanan dan Peternakan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; (2) Direktur Impor, Kementerian Perdagangan; (3) Direktur Bahan Pokok dan Barang Strategis, Kementerian Perdagangan; (4) Direktur Pemasaran Domestik, Kementerian Pertanian; (5) Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kementerian Pertanian; (6) Direktur Budidaya Ternak, Kementerian Pertanian; (7) Direktur Statistik Harga, Badan Pusat Statistik; (8) Direktur Statistik Distribusi, Badan Pusat Statistik; (9) Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan dalam negeri; (10) Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan; (11) Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, Badan Ketahanan Pangan; (12) Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian; dan (13) Peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian. Ekspor komoditas atau produk daging sapi dapat berupa ternak hidup/bakalan dan daging beku. Suatu negara eksportir dapat melakukan ekspor dalam kedua bentuk produk tersebut berdasarkan permintaan negara importer. Hambatan perdagangan dapat diterapkan pemerintah yang dapat disebabkan adanya penyakit 41
tertentu, jarak antar negara eksportir dan importir, perhitungan, serta kebijakan ekonomi dan perdagangan suatu negara. Kebijakan perdagangan yang pernah diterapkan di Indonesia adalah kebijakan kuota, tarif, dan harga refernsi. Untuk perdagangan antar negara yang jaraknya relatif dekat, seperti antara Indonesia dengan Australia, konsumen di Indonesia memiliki preferensi yang lebih menyukai daging segar, Australia bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) dan kebijakan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah usaha peternakan sapi di Indonesia, maka Indonesia lebih banyak mengimpor ternak sapi hidup dari Australia terutama dalam bentuk bakalan. Hal yang sebaliknya, perdagangan antara Indonesia dengan India dan Brazil, dimana jarak antar negara jauh, dimana merupakan negara eksportir ternak dan daging sapi, namun karena kedua negara tersebut endemik penyakit PMK, maka sebagian besar dalam bentuk daging beku dan sebagian lainnya mengekspor dalam ternak hidup. Mahalnya biaya kegiatan di rumah potong hewan (RPH) dan tuntutan konsumen untuk memperoleh daging segar, seringkali menyebabkan suatu negara lebih suka mengekspor dalam bentuk ternak hidup daripada dalam bentuk daging sapi beku. Gambar 9 dan 10 menunjukkan terdapat 10 negara eksportir terbesar di dunia dalam melakukan kegiatan ekspor ternak sapi hidup dan daging sapi beku. Eksportir kedua produk tersebut didominasi dari Amerika Selatan, Amerika Utara, dan Australia. Hingga kini Australia mampu mempertahankan sebagai negara yang bebas dari berbagai penyakit ternak sapi terutama PMK, sehingga negara tersebut mengekspor dalam baik dalam bentuk ternak hidup maupun daging beku. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Ekspor (1000 Head) Negara Meksiko 1 050 Kanada 915 Australia 620 Brazil 550 EU-27 500 Colombia 325 Amerika Serikat 180 Uruguay 90 Selandia Baru 42 China 23
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 9. Negara Eksportir Utama Ternak Sapi Hidup di Dunia, 2014 42
Berbeda dengan India dan Brazil lebih dominan mengekspor dalam bentuk daging beku dibandingkan dalam bentuk ternak hidup. Hal itu disebabkan karena kedua negara tersebut secara countrybase masih endemik penyakit PMK. Akibatnya banyak negara importir tidak mau mengimpor dalam bentuk ternak hidup, karena resiko tinggi terinfeksinya industri sapi domestiknya. Untuk kasus Indonesia, hingga kini belum pernah melakukan impor dari India dan Brazil, baik dalam bentuk daging beku maupun dalam bentuk ternak hidup, walaupun harganya relatif murah. Oleh karena itu, Indonesia harus mencari sumber-sumber daging sapi selain Australia, namun negara-negara alternatif tersebut harus bebas PMK, seperti Selandia Baru dan beberapa negara Atlantik lainnya.
No Negara 1 Brazil
Ekspor (1000 MT CWE) 1 940
2 India
1 750
3 Australia
1 545
4 Amerika Serikat
1 043
5 Selandia Baru
536
6 Uruguay
415
7 Paraguay
325
8 Canada
325
9 EU-27
270
10 Meksiko
220
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 10. Negara Eksportir Utama Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia, 2014
Data
secara
agregat
menunjukkan
bahwa
terdapat
kecenderungan
meningkatnya ekspor ternak sapi dan daging sapi pada 10 negara ekportir terbesar tersebut. Ekspor dalam bentuk daging sapi meningkat lebih cepat dibandingkan dalam bentuk ternak sapi. Hal ini disebabkan makin berkembangnya pola perdagangan daging sapi antar negara melalui sistem rantai dingin (cold chain), sehingga memungkinkan distribusi dan perdagangan daging sapi secara lebih luas. Namun jika dicermati perdagangan antar kedua jenis produk tersebut, menunjukkan 43
nilai covarian volume ekspor daging sapi lebih besar yaitu 0,473 dibandingkan nilai covarian ekspor ternak sapi yaitu 0,398. Hal ini menunjukkan bahwa volume ekspor daging sapi lebih fluktuatif dibandingkan ekspor ternak sapi (Gambar 11). Penyebabnya adalah sebagian besar negara importir menginginkan impor dalam bentuk ternak hidup yang ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah produk melalui pengembangan usahaternak, kegiatan pemotongan hewan, dan industri pengolahan berbasis sapi. Dapat disimpulkan bahwa bahwa potensi ekspor, baik ternak sapi hidup maupun daging sapi memiliki prospek pasar di pasar global yang cukup baik terutama dalam waktu lima tahun ke depan.
9000
y = 205.2x R² = 0.870 Cov = 0.473
8000 7000 6000 5000 4000
y = 130.5x R² = 0.680 Cov = 0.398
3000 2000
1000
Ternak sapi
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
1980
1979
1978
1977
1976
1975
0
Daging Sapi
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 11. Perkembangan Ekspor Ternak dan Daging Sapi di 10 Negara Eksportir Utama, 1975-2014
6.1.2. Perkembangan Ekspor Daging Sapi Indonesia Perkembangan ekspor produk peternakan selama kurun waktu 2005 sampai 2012 dikemukakan dalam Tabel 5. Apabila data ekspor diperinci lebih lanjut berdasarkan kelompok produk peternakan maka terlihat bahwa ekspor produk peternakan didominasi oleh hasil ternak dan produk hewani non pangan. Apabila didasarkan atas perkembangan data ekspor pada setiap kelompok produk ternak 44
saja, maka Indonesia boleh dikatakan tidak memiliki daya saing dalam industri peternakan.
Dengan demikian dalam perspektif perdagangan global Indonesia
hanyalah menjadi pangsa ekspor Negara lain yang industri peternakannya telah berkembang pesat, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Brazil dan Argentina, serta beberapa negara di Asia, seperti Thailand dan Malaysia. Tabel 5. Perkembangan Ekspor Produk Peternakan Menurut Kelompok Produknya 20052012 (000US$) 2005
2006
2007
2008
2009
2010
26,239
15,760
36,204
43,577
40,434
50,554
61,819
62,345
NA
NA
NA
NA
NA
585,118
1,161,288
174,251
99,125
136,423
60,713
359,324
125,779
129,496
143,709
122,935
128,817
56,480
202,653
719,815
506,422
5,347
22,447
22,337
5. Lain-Lain
NA
NA
NA
NA
NA
181,147
209,809
174,658
Total Ekspor
354,645
288,785
377,672
1,155,15 1
772,318
951,662
1,599,071
556,527
1. Ternak 2. Hasil Ternak 3. Produk Hewani Non Pangan 4. Obat Hewan
2011
2012
Sumber: Ditjennak dan Keswan (2013)
Apabila dimamati lebih lanjut terhadap produk peternakan, nampak bahwa produk peternakan yang mempunyai kemampuan untuk ekspor hanya ditemukan pada beberapa perusahaan yang mampu melakukan ekspor dan bersaing dipasar global. Beberapa perusahaan ini merupakan perusahaan yang mampu melihat peluang pasar di pasar global dan mampu bersaing dengan perusahaan lain dari negara-negara eksportir. Kelihatannya ada apa yang dinamakan “Niche Market” ata yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan “Ceruk Pasar” yang di mana Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sehingga bisa bersaing di pasar global. Dari pengamatan di lapangan juga terlihat bahwa untuk kelompok ternak, ada perusahaan peternakan babi di Pulau Bulan dan Sumatera Utara yang telah mempu mengekspor babi hidup terutama babi muda ke pasar Singapura dalam waktu lebih dari 15 tahun. Untuk kelompok produk hewan non pangan, terlihat ada perusahaan tepung tulang yang mampu mengekspor ke negara lain terutama untuk tujuan pasar Jepang dalam beberapa dekade terakhir ini. Sementara itu, untuk kelompok obat hewan, perusahaan vaksin ternak Indonesia telah mampu mengekspor produknya ke beberapa negara didunia (Tangenjaya, 2014).
45
Apabila dayasaing didasarkan atas kemampuan ekspor produk peternakan maka akan terlihat bahwa pada tahun 2012 dari kelompok ternak, ternak babi, sapi dan kambing/domba memberikan surplus perdagangan masing-masing sebesar US$ 62 juta, sapi sebesar US$ 0,27 juta dan US$ 0,08 juta (Tabel 6). Untuk ekspor jenis sapi, diduga bahwa daging sapi yang dihasilkan oleh jenis sapi lokal terutama jenis sapi bali memiliki segmen pasar tersendiri, terutama di Singapura dan Malaysia karena memiliki kadar lemak yang sangat rendah. Ekspor ternak jauh lebih kecil dibandingkan impor ternak dan mengalami neraca perdagangan mengalami defisit sebesar US$ 310 juta. Impor ternak didominasi oleh ternak ruminansia besar terutama sapi hidup baik untuk dipotong atau digunakan untuk bibit/bakalan, sedangkan impor ternak kambing sebesar US$ 0,2 juta dan unggas hanya US$ 0,02 juta. Jumlah impor unggas mungkin mengalami kekeliruan data melihat kenyataan impor bibit ayam GPS broiler yang mencapai 543 ribu ekor pada tahun 2012 (ASOHI, 2013) padahal harga bibit broiler GPS bisa mencapai US$ 30 per ekor sehingga nilai impor unggas dari bibit ayam saja dapat mencapai lebih dari US$ 15 juta dolar. Tabel 6. Nilai Ekspor Tenak Indonesia 2005-2012 (US$) Ternak Babi Kambing/ Domba Sapi Total
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
25898,7
14312,8
34238,82
42048,96
39666,65
50341569
61392146
62124790
340,1
1442
1788,13
1330,18
663,89
155856
132465
646
0,5
4,8
176,77
197,56
103,6
0
1007
2733
26239,3
15759,6
36203,72
43576,7
40434,14
50497425
61525618
62128169
Sumber: Ditjennak dan Keswan (2013)
Hasil ternak di Indonesia umumnya dibagi ke dalam 3 produk utama yaitu daging, susu dan telur. Tabel 7 menunjukkan Nilai dan Volume ekspor hasil ternak pada tahun 2012. Terlepas dari besaran volume dan nilai ekspor, Indonesia sesungguhnya
mampu mengekspor berbagai produk daging, susu, telur, dan berbagai produk peternakan lainnya. Untuk produk daging volume dan nilai ekspor yang tergolong tinggi adalah daging babi dan daging sapi. Kemudian untuk produk susu volume dan nilai ekspor yang tergolong tinggi adalah susu dan kepala susu serta mentega. Selanjutnya untuk produk-produk lainnya volume dan nilai ekspor tergolong besar adalah lemak, makanan olahan, dan madu. Namun kalau didasarkan atas data volume dan nilai ekspor yang relatif kecil, maka Indonesia tidak memiliki daya saing 46
untuk memasarkan hasil ternak, karena kebutuhan dalam negeri yang sangat besar dan terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Tabel 7. Nilai dan Volume Ekspor Hasil Ternak Tahun 2012 Ekspor Volume (Kg) 78443 1857 21125 281 0 900 30 0 760237 52173929 38413250 713561 12298051 749067 5597 765413 74035363 7029917 134794649
1 Daging a Sapi b Babi c Kambing/domba d Kuda e Unggas f Jeroan sapi g Jeroan Non sapi h Daging lainnya 2 Susu a Susu dan kepala susu b Yogurt c Mentega d Keju 3 Telur 4 Madu 5 Lemak 6 Makanan-olahan Total hasil ternak
Nilai (US$) 1127275 11866 11703 458 0 2433 44 0 1078874 92766308 72035528 689825 17278800 2762155 10315 3316086 72028157 5003171 174251312
Sumber: Ditjennak dan Keswan (2013)
Sejalan
dengan
globalisasi
ekonomi
dan
liberalisasi
perdagangan
sebagaimana disepakati dalam WTO, di masa mendatang hanya komoditi atau produk yang memiliki dayasaing yang akan memenangkan persaingan dipasar, baik pasar domestik maupun pasar global. Kini dan kedepan persaingan tidak hanya terjadi antar komoditas atau produk, tetapi akan lebih intens terjadi persaingan antar rantai pasok. Upaya peningkatan dayasaing harus lebih bertumpu pada upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi pada seluruh rantai pasok produk peternakan, dalam hal ini produk daging sapi. Dalam konteks inilah peran pemerintah menjadi sangat krusial, sebagai fasilitator, regulator, dan bahkan dinamisator, melalui berbagai kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi, seperti kebijakan penelitian dan pengembangan, penyuluhan 47
dan pendampingan,
peningkatan akses peternak terhadap sumber kredit, peningkatan akses peternak terhadap pasar input dan output, serta perbaikan infrastruktur dan sarana informasi pasar. Dalam perspektif jangka panjang upaya-upaya demikian lebih memberikan penlindungan (proteksi) bagi masyarakat dan mendorong promosi ekspor dalam perdagangan global. 6.2. Perkembangan Impor Daging Sapi 6.2.1. Perkembangan Impor Daging Sapi Dunia Dengan meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization (WTO) (persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) maka Indonesia telah secara formal menjadi anggota WTO. Ratifikasi ini diumumkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564. Undang Nomor 7 tahun 1994 terdiri dari 2 (dua) pasal, yaitu: (a) Pasal 1: Mengesahkan Agreement Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia); dan (b) Pasal 2: Undang-undang ini mulai berlaku pada saat berlakunya secara efektif persetujuan
sebagaimana
mengetahuinya,
dimaksud
memerintahkan
dalam
Pasal
pengundangan
1.
Agar
setiap
Undang-undang
ini
orang dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Dengan meratifikasi melalui Undang Nomor 7 tahun 1994 Indonesia dengan sendirinya tunduk pada aturan perdagangan yang dimuat dalam kesepakatan tersebut.
Untuk
itu
Indonesia
harus
menyesuaikan
peraturan
perundang-
undangannya, khususnya dalam kaitannya dengan bidang-bidang yang terkait perdagangan yang diatur dalam WTO. Hal ini membawa konsekuensi bahwa Indonesia telah meliberalisasi sisitem perdagangannya dengan menghapuskan hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional, baik hambatan yang sifatnya distorsi pasar maupun distorsi akibat kebijakan pemerintah.
Kebijakan-kebijakan
pemerintah boleh dilakukan sejauh dalam koridor WTO. Sebagai (Agreement on
anggota
WTO
Indonesia terikat pada Perjanjian Pertanian
Agricultural, AoA), di samping perjanjian SPS (Agreement on 48
Sanitary and Phytosanitary). Secara garis besar, ada tiga bidang yang diatur oleh AOA, yaitu: (1) Market Acces (akses pasar): mewajibkan negara-negara menurunkan tarif dasar impor pertanian, (2) Domestic Support (dukungan domestik): mewajibkan dibatasinya subsidi dan proteksi pemerintah terhadap sektor pertanian dalam negeri, dan (3) Export Subsidy (subsidi ekspor): mewajibakan dibatasi atau bahkan dihapuskannya subsidi ekspor produk pertanian. Dengan liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi, diperkirakan Indonesia akan menghadapi serbuan impor produk-produk peternakan dari luar negeri. Informasi tentang negara utama pengimpor ternak sapi dan daging sapi dapat disimak pada Gambar 12 dan 13. Jika dibandingkan Gambar 9 dan 10 merefleksikan beberapa hal pokok sebagai berikut: (1) sebagian besar negara eksportir juga merupakan negara importer, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, China dan Meksiko, dua peran ganda tersebut disebabkan oleh tingginya konsumsi untuk memenuhi pasar domestik; (2) Selain itu dapat juga disebabkan adanya segmen pasar tertentu yang harus melakukan impor atau ekspor untuk kualitas tertentu; serta (3) Ada kebijakan perdagangan yang diterapkan antar negara, baik yang ditujukan untuk subtitusi impor maupun promosi ekspor, kebijakan tersebut berupa proteksi, promosi, serta kerjasama perdagangan dan kebijakangan karantina.
No Negara Impor (1000 ekor) 1 Amerika Serikat 1 950 2 Venezuela 625 3 China 125 4 Rusia 110 5 Mesir 105 6 Kanada 50 7 Meksiko 20 8 Jepang 15 9 Ukraina 3 10 Belarus 1 Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 12. Negara Importir Utama Ternak Sapi di Dunia, 2014 Negara-negara yang berstatus eksportir murni adalah Australia, Brazil, India, Selandia Baru, Kolumbia, Uruguay, dan Paraguay. Kesemua negara ini merupakan negara produsen utama dan tingkat konsumsinya tidak terlalu tinggi, kecuali Brazil. 49
Kalau kita cermati negara-negara tersebut memiliki basis sumberdaya alam yang besar dan pemerintahnya memberikan perhatian yang tinggi pada pengembangan industri peternakannya. No Negara
Impor (1000 MT
1 Amerika Serikat
1 028
2 Rusia
1 020
3 Jepang
781
4 Hong Kong
550
5 China
475
6 Korsel
398
7 EU-27
350
8 Kanada
315
9 Meksiko
235
10 Mesir
230
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 13. Negara Importir Utama Daging Sapi (Beef dan Veal) di Dunia, 2014
Sejalan dengan kecenderungan ekspor, kecenderungan impor ternak dan daging sapi terus meningkat. Impor daging sapi lebih besar dari impor ternak sapi. Perbedaannya impor ternak sapi lebih fluktuatif dibandingkan dengan impor daging sapi dengan nilai coefisoien variasi 0,485 lebih besar dari nilai koefisien variasi impor daging sapi dengan nilai 0,449 (Gambar 14).
Lebih tingginya impor daging sapi
dalam perdagangan global disebabkan makin berkembangnya sistem distribusi atau logistik dengan rantai dingin (cold chain) pada produk daging sapi. Selain itu, pola distribusi dan pemasaran dalam bentuk daging sapi beku melalui sistem rantai dingin dirasakan lebih aman dan dapat mengurangi tertularnya berbagai penyakit menular yang bersifat lintas negara. Sementara itu, bagi negara-negara yang lebih memilih melakukan impor dalam bentuk sapi hidup terutama dalam bentuk bakalan lebih ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah produk di dalam negeri.
50
7000
y = 152.8x R² = 0.804 Cov = 0.449
6000 5000 4000 3000
y = 106.1x R² = -0.24 Cov = 0.485
2000 1000
1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
0
Daging
Ternak
Sumber: World Bank, 2014 (tahun 2014 data perkiraan)
Gambar 14. Perkembangan Impor Ternak dan Daging Sapi di 10 Negara Eksportir Utama, 1975-2014
Pasar daging dunia menghadapi tantangan yang berat, dimana industri ternak sapi dihadapkan pada harga pakan ternak dan bahan baku ternak yang tinggi, sedangkan tingkat konsumsi daging sapi mengalami pelandaian atau stagnan, dan tingkat keuntungan yang turun tajam (FAO, 2012).
Dengan pertumbuhan total
output melambat yang hanya tumbuh sekitar 2%, dengan harga internasional mendekati rekor tertinggi, pertumbuhan perdagangan dunia diperkirakan juga mengalami pelambatan. Menghadapi harga pakan ternak yang tinggi dan konsumsi daging ayam yang melambat, produksi daging dunia pada tahun 2012 diperkirakan akan tumbuh kurang dari 2% menjadi hanya sebesar 302 juta ton. Akibat margin keuntungan industri peternakan termasuk sapi potong juga mengalami penurunan tajam. Kondisi ini banyak diterjemahkan ke dalam pertumbuhan dan keuntungan yang sebelumnya dinikmati oleh negara maju, sebagian besar pertumbuhan dan keuntungan dunia kemungkinan akan bergeser ke negara-negara berkembang, yang kini mencapai 60 persen dari total output dunia. Hampir sebagian besar pertumbuhan industri peternakan pada 2012 secara berturut-turun berasal dari
51
daging unggas, daging babi, daging sapi, dan daging domba.
Secara terperinci
neraca daging dunia dapat dilihat pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Neraca Daging Dunia menurut Jenis Daging, 2010-2012
Sumber: Gorgon Butland, 2012
Kondisi yang cukup mengkawatirkan tentang profitabilitas sektor peternakan telah diperparah oleh melemahnya pertumbuhan pasar ekspor, dengan ekspansi perdagangan diperkirakan melambat dari 8% (2011) menjadi hanya 2% (2012). Ekspor daging dunia diperkirakan akan naik tipis hanya sekitar 600 ribu ton menjadi 29,4 juta ton pada tahun 2012, terutama ditopang oleh peningkatan daging unggas dan daging babi, sedangkan peran daging sapi mulai berkurang. Pertumbuhan pasar 52
pasar daging, baik broiler, babi maupun sapi kemungkinan terbesar akan ditangkap oleh negara-negara berkembang, khususnya Brazil, Argentina, India, dan Thailand. Kenaikan harga pakan dan melambatnya pertumbuhan produksi daging telah mendorong kenaikan harga daging internasional pada akhir 2012, ke tingkat mendekati tertinggi dicapai pada tahun 2011. Dengan demikian, indeks harga daging ayam telah melonjak 5% sejak Juli 2012, rata-rata 174 poin antara Januari dan Oktober 2012, yang membandingkan dengan 176 poin untuk periode yang sama pada tahun 2011. Sebagian besar dari kenaikan indeks harga daging baru-baru ini mencerminkan kenaikan harga untuk daging unggas dan daging babi, yang masingmasing meningkat sebesar 9% dan 12%, sejak Juli 2011. Informasi tentang pergerakan harga daging menurut jenis daging di pasar dunia dapat disimak pasa Gambar 15 berikut.
FAO International Meat Price Indices (2002-2004 = 100) Sumber: Gorgon Butland, 2012
Gambar 15. Indikator Harga Daging di Pasar Dunia
Pertumbuhan produksi peternakan komersial melemah dalam menghadapi harga pakan ternak yang tinggi dan mengakibatkan beberapa pelaku usaha industri peternakan mengalami penurunan dalam hal keuntungan. Harga pakan ternak yang 53
tinggi dan pertumbuhan konsumsi yang stagnan menyebabkan penurunan pertumbuhan produksi daging dunia dari 3,4% (2011) menjadi 2,0% (2012). Hal ini mencerminkan hilangnya momentum pertumbuhan industri peternakan baik di negara berkembang maupun negara maju. Produksi dunia sekarang diperkirakan akan naik 2,2 juta ton menjadi 104.500.000 metrik ton, dengan dua-pertiga dari pertumbuhan berasal dari Kawasan Asia. Prospek yang lebih positif terjadi di Uni Eropa dan Federasi Rusia dengan memperluas output peternakannya (daging broiler, daging babi, dan daging sapi) untuk memenuhi permintaan domestik yang kuat. Peningkatan investasi dan pergeseran konsumen dari daging sapi dan babi ke unggas mendasari ekspansi output di Cina.
Diperkirakan akan terjadi pergeseran produksi daging dunia dari
ruminansia besar dan non ruminansia ke arah daging unggas. Keuntungan produksi peternakan juga diramalkan terjadi dewasa ini di India, Indonesia, Jepang, Malaysia dan Thailand, dengan terjadinya pasokan berlebih (oversupply) dilaporkan menekan harga dan profitabilitas turun. Tidak seperti di Brazil, sektor peternakan diperkirakan akan tumbuh tinggi di Argentina, yang telah pindah ke posisi sebagai produsen peternakan terbesar kelima di dunia, mencerminkan tahun terakhir pemerintah didukung investasi dan harga pakan yang kompetitif . Di Arab Saudi, subsidi pakan ternak diimpor mendukung ekspansi output peternakan komersial, yang akan mengangkatkan tingkat swasembada negara dari 38% (2011) menjadi 46% (2012). Dengan ketersediaan yang memadai di banyak pasar Asia menyebabkan permintaan impor daging baik unggas maupun sapu, di Kawasan Asia menjadi yang lebih rendah, perdagangan peternakan dunia diperkirakan naik hanya 2,4% menjadi 13 juta ton pada tahun 2012. Ekspansi produksi awal tahun 2012 terjadi di Jepang, Republik Korea dan Filipina sehingga membatasi pasokan impor ke wilayah ini, meskipun pengiriman yang lebih besar terjadi ke Singapura dan Viet Nam. Pengiriman ke Federasi Rusia pada tahun 2012 diperkirakan akan kembali meningkat setelah empat tahun mengalami kontraksi, lebih sebagai hasil dari perjanjian khusus dengan Ukraina dan Belarus dibandingkan sebagai kenggotaan baru dalam WTO. Berbeda dengan daerah lain, pertumbuhan impor untuk Afrika secara keseluruhan diperkirakan akan tetap bertahan pada sekitar 12% pada 2012. 54
Kecenderungan ini mencerminkan efek positif dari pertumbuhan pendapatan di beberapa negara Afrika, seperti Angola, Benin, Ghana dan Republik Kongo, yang menyebabkan meningkatnya permintaan dua digit impor domestik terhadap daging unggas. Bahkan pengiriman ke Afrika Selatan terus bergerak naik, meskipun negara ini memberlakukan kebijakan anti-dumping pada pengiriman daging unggas asal Brasil. Impor Mesir juga mengalami lonjakan pada tingkat tertinggi, sebaliknya impor daging oleh Republik Islam Iran, yang pasokannya semakin didominasi oleh negara tetangga Turki, telah dilanda dampak dari sanksi. Informasi tentang keuntungan produsen daging ternak di bawah tekanan ketidak stabilan harga output dan tingginya biaya pakan ternak dapat dilihat pada Gambar 16 berikut.
Profitability for pork and poultry producers hit by inability to raise prices to factor in high feed costs Sumber: Gorgon Butland, 2012
Gambar 16. Keuntungan Produsen Daging di Bawah Tekanan Ketidak Stabilan Harga Output dan Tingginya biaya Pakan
6.2.2. Perkembangan Impor Daging Sapi Indonesia Perkembangan impor produk peternakan selama kurun waktu 2005 sampai 2012 dapat disimak pada Tabel 9. Apabila data impor produk peternakan diperinci lebih lanjut berdasarkan kelompok produk peternakan maka impor produk peternakan didominasi oleh hasil ternak, ternak dan produk hewani non pangan. 55
Jika diperbandingkan dengan data ekspor menunjukkan bahwa neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, defisit neraca perdagangan mencapai kurang dari 0,5 miliar dolar tetapi pada tahun 2012 mencapai lebih dari 2,1 miliar dolar. Apabila didasarkan atas neraca perdagangan disetiap kelompok produk ternak saja, maka Indonesia boleh dikatakan tidak memiliki daya saing dalam industri peternakan sehingga Indonesia hanyalah menjadi pangsa ekspor negara lain yang industri peternakannya telah maju seperti AS, Australia, Selandia Baru, Brazil, serta negara lain di Asia seperti Thailand dan Malaysia. Tabel 9. Perkembangan Impor Produk Peternakan Menurut Kelompok Produknya 20052012 (000US$) 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
A TERNAK
117,889
117,032
227,074
380,776
464,322
450,479
328,509
309,748
B HASIL TERNAK C PRODUK HEWANI PANGAN
699,779
769,723
1,159,409
1,485,869
1,573,643
1,723,326
1,909,966
1,846,600
NA
NA
NA
NA
NA
436,459
593,927
481,712
NA
NA
NA
NA
NA
46,465
47,745
51,451
NON
D OBAT HEWAN E LAIN - LAIN Total Impor
NA
NA
NA
NA
NA
111,610
164,654
8,589
817,668
886,754
1,386,483
1,866,645
2,037,965
2,768,339
3,044,801
2,698,100
Hasil ternak umumnya dibagi ke dalam tiga kelompok besar yaitu daging, susu, dan telur. Tabel 10 menunjukkan neraca perdagangan berbagai jenis hasil ternak dan produk hasil olahannya.
Hampir semua jenis hasil ternak mengalami
neraca perdagangan yang defisit, defisit pada produk daging mencapai US$ 200 juta, susu US$ 1,1 miliar dan telur US$ 0,75 juta. Kalau didasarkan atas data impor maka Indonesia tidak mempunyai daya saing untuk memasarkan produk hasil ternak, karena kebutuhan dalam negeri yang sangat besar dan dipenuhi oleh impor dari Negara lain. Berdasarkan data statistik Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013 menunjukkan adanya surplus neraca perdagangan yang besar dari hasil ternak dalam bentuk lemak. Tabel menunjukkan bahwa pada tahun 2012 Indonesia mampu mengekspor 74 ribu ton lemak dengan total nilai lebih dari US$ 72 juta dolar AS, sehingga mencapai surplus lebih dari US$ 62 juta dolar. Terdapat dua kemungkinan dari data tersebut: (1) Lemak yang diekspor merupakan lemak yang dihasilkan oleh 56
feed lotter, karena peluang menghasilkan produksi lemak dalam jumlah yang cukup besar adalah perusahaan peternakan, karena hampir semua bagian hewan dikonsumsi untuk manusia terutama yang dipotong melalui RTP dan TPH skala kecil menehgah; dan (2) Diperkirakan ekspor lemak yang dilaporkan dalam Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013 adalah ekspor lemak nabati yang digunakan untuk pakan ternak. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ada perusahaan Agroindustri sawit (Asian Agri) yang mengolah Palm Oil Fatty Acids (hasil samping industri minyak goreng dari sawit) menjadi lemak padat untuk pakan sapi dan diekspor ke beberapa negara di dunia termasuk Eropa dan Pakistan. Didasarkan atas nilai ekspor dibanding dengan volume ekspor maka diperkirakan nilai bahan ini hanyalah < US$ 1 per kg, sehingga bahan ini kemungkinan besar adalah turunan lemak dari hasil samping industri minyak sawit, bukan lemak hewan. Tabel 10. Nilai and Volume Impor Hasil Ternak Tahun 2012 Impor 1 Daging a Sapi b Babi c Kambing/domba d Kuda e Unggas f Jeroan sapi g Jeroan Non sapi h Daging lainnya 2 Susu a Susu dan kepala susu b Yogurt c Mentega d Keju 3 Telur 4 Madu 5 Lemak 6 Makanan-olahan Total hasil ternak
Volume (Kg) 50223428 39419157 1049793 1270086 0 586219 7898173 0 0 386116371 233566083 265621 128389465 23895202 1416964 2510172 4493844 577578597 1022339376
57
Nilai (US$) 199054896 164887147 4511440 8753690 0 1641275 19261344 0 0 1228330179 813744787 77678 310448037 103360575 7533407 9851783 9862451 391966874 1846599590
VII. PERKEMBANGAN HARGA DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA 7.1. Perkembangan Harga Daging Sapi Dunia Perkembangan harga daging sapi di pasar dunia yang digunakan dalam studi ini merujuk pada harga impor (CIF) Amerika Serikat dari negara eksportir terbesar dunia yaitu Australia dan Selandia Baru. Perkembangan harga tersebut diwakili oleh potongan daging dengan kelas 85% lean fores. Harga daging sapi di pasar dunia menunjukkan adanya pergeseran (shift) dari awalnya yaitu tahun 2004-2009 stabil di kisaran 115 – 121 US cents per Pound dengan rata-rata pertumbuhan 0,63%/tahun, kemudian meningkat tajam pada tahun 2010 menjadi 152,48 US cents dan tahun 2011 menjadi 183,18 US cents per Pound dengan rata-rata pertumbuhan selama dua tahun adalah 23,8%/tahun (Gambar 17). Pada tahun 2012-2013 harga daging sapi stabil pada tingkat harga baru yang berkisar antara 183 – 188 US cents per Pound dengan rata-rata pertumbuhan 0,14%/tahun. Perilaku harga daging sapi di pasar dunia untuk beberapa negara asal impor utama Autralia dan Selandia Baru dengan tujuan Amerika Serikat menunjukkan adanya fluktuasi harga tahunan yang bervariasi antar tahun, yaitu dari fluktuasi rendah hingga tinggi.
Sumber: World Bank, 2014
Gambar 17. Perkembangan Harga Daging Sapi di Pasar Internasional, 2004-2013 58
Indeks harga daging sapi dengan tahun dasar 2005 untuk kualitas 85% lean
fores selama 24 tahun pada Gambar 18, mendukung bahwa selama masa itu lonjakan harga tertinggi terjadi saat tahun 2010 dan 2011. Pada saat ini indeks harga mencapai 54,13 - 60,24 persen diatas harga dasar tahun 2005. Sementara itu dimasa lalu antara tahun 1995 – 2000 pernah terjadi penurunan indeks harga sebesar 26,06 - 34,06 persen dibawah harga dasar. Hasil proyeksi indeks harga daging sapi pada periode 2011-2013 dapat disimak pada
Gambar 2. Dengan demikian perilaku harga yang diproyeksikan
mendekati harga aktualnya. Berdasarkan analisis perbandingan perilaku kedua data tersebut dapat diperkirakan bahwa untuk 2-3 tahun kedepan harga daging sapi kualitas 85% lean fores bertahan pada kisaran 180 – 190 US cents per Pound.
Sumber: World Economic Outlook, 2014
Gambar 18. Perkembangan Indeks Harga Daging Sapi dengan Tahun Dasar 2005 di Pasar Internasional, 1980-2013 7.2. Perkembangan Harga Daging sapi Indonesia Perkembangan harga daging sapi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran. Penawaran daging sapi domestik bersumber dari daging sapi lokal dan impor. Jika penawaran lebih rendah dari permintaan maka harga daging sapi akan meningkat, dan sebaliknya jika penawaran lebih besar dari permintaan harga daging sapi akan menurun. Untuk menjaga stabilitas harga di pasar domestik, maka jika 59
penawaran dari produksi daging sapi lokal masih kurang dari permintaan yang ada maka diperlukan tambahan penawaran melalui impor. Untuk mengetahui kapan terjadi kelangkaan penawaran dapat dihitung dengan pendekatan selisih permintaan dan penawaran. Namun hal itu tidak mudah dilakukan karena perkiraan ketersediaan sapi siap potong di peternak tidak identik dengan ketersediaan daging di pasar. Hal itu disebabkan usaha peternak sapi masih belum semua berorientasi komersil. Motif peternak memelihara sapi masih banyak untuk tabungan sehingga tidak respon terhadap pasar. Demikian juga dari sisi konsumsi, perkiraan tingkat konsumsi secara agregat nasional merupakan angka yang masih sangat kasar. Oleh karena itu, pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menentukan kelangkaan pasokan adalah dinamika harga dapat dijadikan indikasi. Pada tahun 2013 Indonesia menerapkan kebijakan harga referensi daging sapi sebesar Rp 76.000,-/kg untuk daging secondary cut (Kemendag, 2013). Artinya jika harga yang terjadi dipasar konsumen melebihi harga referensi, maka pemerintah akan membuka kran impor dengan tujuan untuk stabilisasi harga daging sapi.
7.2.1. Harga Daging Sapi pada Daerah Konsumen dan Produsen Penggunaan daging sapi lokal untuk memasok kebutuhan pasar DKI Jakarta dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan lokal setempat. Jika tidak, pengeluaran daging sapi yang berlebihan dari sentra produksi akan mengurangi pasokan di daerah sentra produksi tersebut. Jika hal itu terjadi harga daging di daerah sentra produksi akan naik, jika dayabeli konsumen tinggi maka akan terjadi pengurasan populasi sapi lokal dan jika dayabeli rendah maka akan menyebabkan permintaan menurun. Penurunan volume permintaan akan menurunkan omset penjualan pedagang pengumpul (blantik), pedagang pejagal (distributor) dan pengecer lokal. Tujuan pasar daging sapi dari daerah-daerah sentra produksi di Pulau Jawa dewasa ini tidak terbatas untuk tujuan DKI Jakarta, terapi juga memasok daerah sentra konsumsi baru seperti Samarinda, Banjarmasin dan Pekanbaru. Harga harian dan bulanan daging sapi di Jakarta masih berada di bawah harga di Pasar Samarinda dan Banjarmasin, serta hampir sama dengan harga di Pakanbaru (Gambar 19).
60
Sumber: Disperindag Provinsi
Gambar 19. Perkembangan Harga Harian Daging Sapi pada Daerah Sentra Konsumsi, Bulan Januari – Agustus 2013
Berdasarkan Gambar 20 menunjukkan bahwa urutan tingkat harga bulanan dan harian menunjukkan hal yang sama dengan fluktuasi yang berbeda. Diduga, relatif rendahnya harga di pasar DKI Jakarta dibandingkan harga pasar di Pakanbaru disebabkan ada pengaruh pasokan daging asal impor di pasar DKI Jakarta. Hal ini dilandasi argumen bahwa sebagian besar importir dan pengusaha feedloot berada di DKI Jakarta dan sekitarnya. Tingginya harga pasar di Samarinda akan mendorong daging sapi impor masuk ke daerah itu. Pada periode belakang ini sudah ada pasokan daging impor ke pasar Samarinda yang masuk dari Jakarta. Namun sebagian besar daging sapi yang beredar di pasar Samarinda berasal dari pemotongan sapi yang masuk dari NTT, sebagian kecil dari daerah NTB, Gorontalo, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
61
Gambar 20. Perkembangan Harga Bulanan Daging Sapi pada Daerah Sentra Konsumsi, Bulan Januari – Agustus 2013 Untuk melihat asal daerah mana saja yang masih potensial memasukkan daging sapi ke Jakarta berdasarkan perbedaan harga, dapat dilihat pada Gambar 21. Di Denpasar, harga daging sapi masih relatif rendah dan memungkinkan untuk diperdagangkan antar pulau ke Jakarta. Pada periode dewasa ini ada juga daging sapi beku yang dipasok dari Kupang ke Kota Surabaya dan DKI Jakarta dengan jumlah terbatas menggunakan alat angkut pesawat terbang. Selain itu ada juga daging beku yang dikirim dari NTT ke Makasar menggunakan kapal laut. Sebenarnya dengan menggunakan kapal laut masih ada peluang untuk memasok daging sapi beku dari Kupang ke Surabaya, Makasar, dan DKI Jakarta. Untuk daerah sentra produksi Bali, akan lebih mudah memasarkan daging sapi beku langsung ke pasar DKI Jakarta karena dapat menggunakan angkutan darat.
62
Gambar 21. Perkembangan Harga Daging Sapi di DKI Jakarta dan Sentra Produksi, Selama Jan-Agustus, 2013
Harga daging sapi dari pasar Kota Mataram NTB, jika ditambah dengan ongkos angkut terlihat sudah tidak jauh berbeda dengan harga yang terjadi di DKI Jakarta. Daerah Mataram (Lombok) selama ini lebih banyak mengeluarkan sapi bibit, kecuali untuk Kabupaten Sumbawa dan Bima yang masih mengeluarkan sapi potong ke luar provinsi. Daerah lain yang berpotensi mengirimkan daging sapi ke Jakarta adalah Surabaya dan Semarang. Namun akhir-akhir ini, adanya batasan ternak sapi dan daging sapi impor masuk ke Jawa Timur, sementara itu pengeluaran sapi dari Jatim tidak dibatasi membuat daerah ini mulai kekurangan pasokan sapi dan daging sapi akibatnya harga daging sapi di Kota Surabaya mendekati harga daging sapi yang terjadi di pasar Jakarta. 7.2.2. Harga Daging Sapi Nasional Perkembangan harga eceran daging sapi rata-rata secara nasional dari tahun 1983-2014
dapat
dilihat
pada
Gambar
22.
Berdasarkan
gambar
tersebut
menunjukkan adanya kecenderungan harga meningkat ketahun dari tahun ke tahun. 63
Selama periode 1983-2014 hanya satu kali terjadi sedikit penurunan harga antar tahun sebesar Rp 29/Kg, yaitu dari sebesar Rp 35.814/Kg pada tahun 2003 menjadi Rp 35.785/Kg tahun Rp 2004. Sementara itu, besarnya kenaikan harga per tahun minimal Rp 211/Kg pada tahun 1987 ke 1988 dan maksimal Rp 16.103 pada tahun 2012 ke 2013.
Sumber: BPS
Gambar 22. Perkembangan Harga Daging Sapi Nasional dari 1983-April 2014 Jika
dipilah
menurut
periode
sebelum
dan
sesudah
krisis
moneter
memberikan gambaran yang menarik, yaitu periode 1983-1997 dan 1998-2014. Pada periode 1983-1997 atau periode sebelum terjadi krisis moneter dan krisis ekonomi, harga daging sapi tingkat nasional dapat dikatan relatif stabil dengan nilai koefisien variasi 0,421. Setelah periode terjadi krisis moneter dan krisis ekonomi harga daging sapi terus meningkat dengan nilai koefisien variasi yang lebih besar dari periode sebelumnya yaitu 0,486. Pada periode krisis moneter dan krisis ekonomi Lembaga keuangan internasional IMF melakukan intervensi terhadap kebijakan ekonomi Pemerintah Indonesia (Letter of Intent/LoI) untuk melakukan deregulasi perdagangan dalam negeri, termasuk perdagangan sapi antar daerah dan antar negara. Perubahan prinsip yang terjadi pada perdagangan sapi antar daerah di Indonesia adalah Departemen Pertanian saat itu melalui Direktorat Jenderal 64
Peternakan tidak lagi melakukan kebijakan alokasi kuota pasokan ternak sapi dari berbagai sentra produksi ke DKI Jakarta. Krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan nilai tukar rupiah melemah dan harga sapi bakalan dan daging sapi impor mengalami lonjakan luar biasa. Akibatnya permintaan terhadap ternak sapi dan daging sapi lokal meningkat dengan sangat cepat, sehingga harganya juga mengalami lonjakan yang tinggi. Banyak usahaternak terutama usahaternak sapi komersial mengalami masalah yang serius, karena melambungnmya harga pakan ternak pabrikan. Pasca krisis ekonomi, peningkatan harga domestik masih terus berlanjut. Dengan makin stabilnya ekonomi makro Indonesia yang direfleksikan makin stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, memberi insentif kembali bagi importir untuk melakukan impor ternak dan daging sapi yang terus mengalami peningkatan dan terus berlanjut hingga saat ini. Pada periode pasca krisis 2004-2009, harga daging sapi di pasar dunia dalam kondisi yang relatif stabil (Gambar 1). Ada paradoks antara yang terjadi dipasar dunia dengan kondisi yang terjadi di pasar domestik, yaitu harga stabil dipasar dunia dan meningkatnya harga dipasar domestik. Kondisi ini tentunya memberikan windfall
profits
bagi
perusahaan
feedloot
dan
importir
yang
mendorong
makin
berkembangnya jumlah importir ternak sapi dan daging sapi. Pada sisi lain, pemerintah mengalami kesulitan mengendalikan harga daging sapi dengan hanya bertumpu pada pasokan daging sapi lokal yang jumlah produksi dan pasokannya meningkat
secara lambat dibandingkan peningkatan jumlah permintaannya.
Disamping itu kebijakan pengendalian harga dimasa lalu dalam bentuk alokasi kuota perdagangan antar daerah juga tidak dapat dilakukan. Dinamika yang demikian jika tidak ada upaya keras melakukan peningkatan produksi dalam negeri maka kebutuhan impor diperkirakan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk,
pendapatan,
berkembangnya
hotel-restaurant-catering,
serta
supermarket/hyper market dan industri kuliner berbasis daging sapi. Hasil kajian empiris di Jawa Tengah dan Jawa Barat menunjukkan bahwa perkembangan harga daging sapi kelas medium ditingkat konsumen masing-masing diperkirakan sekitar Rp 80.000-90.000,-/Kg dan 85.000/kg s/d Rp 95.000/kg. Gejolak fluktuasi harga daging sapi terjadi umumnya pada hari raya terutama 65
menjelang lebaran (puasa), hari raya lebaran dan hari besar lainnya. Pada hari-hari besar tersebut terutama hari raya Idul Fitri, harga di Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing dapat mencapai diatas Rp 100.000/kg dan Rp 110.000,-/Kg. Sementara pada hari-hari biasa harga daging umumnya stabil, hal ini disebabkan disamping adanya pasokan ternak hidup dari luar Jawa Barat maupun sapi impor, wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat merupakan wilayah surplus daging ayam. Daging ayam merupakan komoditas substitusi yang mampu meredam fluktuasi harga daging sapi. Dengan melimpahnya daging ayam tersebut, maka kebutuhan pangan asal daging sebagian bisa dipenuhi oleh produk daging unggas tersebut. Harga daging sapi dipasaran Jawa Tengah dan Jawa Barat memang tetap normal, akan tetapi pedagang ternak lokal mengalami stagnasi kegiatan sebab tidak berani ambil resiko kerugian dengan harga sapi bakalan yang cukup tinggi tersebut. Harga daging dipasaran masih normal berkisar antara Rp 85.000 s/d Rp 95.000/kg. Artinya penetapan harga referensi Rp 76.000/kg yang ditentukan oleh pemerintah masih jauh dibawah harga normal daging sapi yang terjadi di pasar-pasar eceran. Penurunan pemotongan ternak sapi lokal dimanfaatkan oleh pengusaha feedlotter yang juga importir untuk memasok daging-daging sapi asal impor. Kondisi inilah yang mampu menormalisir harga daging sapi setempat, yang pada akhirnya importir jugalah yang bisa memanfaatkan peluang bisnis tersebut. Dengan demikian wilayah Jawa Barat sebenarnya merupakan wilayah pasar daging yang sangat potensial yang diperebutkan oleh dua kekuatan pelaku pasar yaitu pedagang lokal dan importir. Sementara
peternak
setempat
belum
sepenuhnya
mampu
memanfaatkan
kesempatan tersebut, sebab masyarakat Jawa Barat kurang berminat untuk berusaha mengembangkan budidaya ternak sapi potong.
66
VIII. HASIL ANALISIS PROYEKSI HARGA DAGING SAPI DUNIA DAN INDONESIA
8.1. Hasil Proyeksi Harga Daging sapi Dunia Industri sapi potong memiliki peranan besar dalam membangun industri peternakan dari dulu hingga kini. Pengembangan industri sapi potong dapat membangun keterkaitan yang kuat antara industri hulu hingga hilir. Tidak dapat dipungkuri, peranan industri sapi potong dalam pembangunan nasional dapat diukur melalui kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan, pengentasan kemiskinan, menciptakan peluang usaha dan menumbuhkan sentrasentra industri pengolahan (abon, bakso, sosis, dendeng), industri kuliner (nasi rendang, nasi empal gentong, nasi rawon, dan nasi gandul) dan industri lainnya sehingga mampu dijadikan sebagai penggerak perekonomian diperdesaan. Disamping itu, industri sapi potong erat kaitannya dengan bisnis penyediaan produk makanan protein hewani yang bernilai strategis sebagai sumber utama daging. Produk daging sapi memiliki nilai ekonomi tinggi yang dapat menjangkau masyarakat luas dan cukup digemari oleh masyarakat Indonesia karena mempunyai rasa dan tekstur yang baik. Tidak heran, permintaan terhadap produk daging sapi terus meningkat seiring dengan adanya pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan, perbaikan tingkat pendidikan, peningkatan kesadaran akan gizi seimbang, serta preferensi/selera konsumen. Prospek pasar suatu komoditas atau produk juga dapat dilihat dari trend harga komoditas/produk yang mencerminkan kekuatan penawaran (produksi) dan permintaan (konsumsi). Untuk mempertemukan kegiatan produksi dan konsumsi dilakukan melalui kegiatan ekspor dan impor. Berikut disajikan dan diulas prospek pasar daging sapi didunia dengan menggunakan pendekatan proyeksi. Berdasarkan data perkembangan harga historis, proyeksi harga daging sapi hingga tahun 2019 diperkirakan terus mengalami peningkatan. Harga aktual daging sapi dunia tahun 2014 sebesar US Cents 183,59/pound menjadi US Cents 219,17/pound pada tahun 2019, atau naik sebesar 19,4 persen pada periode tersebut. Gambarannya secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 23. 67
Berdasarkan perkembangan data harga historis aktuan dan hasil proyeksi harga memberikan beberapa gambaran pokok: (1) Secara keseluruhan perkembangan harga
aktual
perkembangan
daging relatif
sapi
dari
lambat
tahun pada
2004-2013 periode
mengalami
2004-2009
dan
peningkatan, mengalami
perkembangan yang pesat pada periode 2009-2012, serta sedikit meurun pada tahun 2012-2013; dan (2) Hasil proyeksi berdasarkan perkembangan harga historis aktual 2004-2013, menunjukkan bahwa perkembangan harga daging sapi secar aktual pada periode 2013-2019 terus mengalami peningkatan pada level moderat.
Sumber: World Bank, 2014
Gambar 23. Perkembangan Harga Daging Sapi di Pasar Internasional 2004-2013 dan Proyeksi 2014-2019
Sejalan dengan naiknya harga daging sapi secara nominal didunia, indeks harga daging sapi dunia juga terus meningkat dari 168,9 pada tahun 2014 menjadi 189 atau meningkat sebesar 11,9 persen (Gambar 24). Berdasarkan perkembangan data harga historis aktuan dan hasil proyeksi indeks harga memberikan beberapa gambaran pokok: (1) Secara keseluruhan perkembangan indeks harga daging sapi dari tahun 1980-2010 mengalami fluktuasi yang rendah, perkembangan relatif lambat pada periode 1986-1994 dan terus mengalami pelambatan, bahkan 68
penurunan pada periode 1994-2002, sejak
2004
hingga 2013 mengalami
perkembangan yang tergolong tinggi; dan (2) Hasil proyeksi berdasarkan perkembangan indeks harga historis 2004-2013, menunjukkan bahwa hasil proyeksi perkembangan indeks harga daging sapi pada periode 2013-2019 terus mengalami peningkatan pada level tinggi.
Sumber: World Bank, 2014
Gambar 24. Perkembangan dan Proyeksi Indeks Harga Daging Sapi dengan Tahun Dasar 2005 di Pasar Internasional, 1980-2019
8.2. Hasil Proyeksi harga daging sapi Indonesia Perkembangan industri peternakan sapi potong di pasar domestik masih cukup cerah, tetapi harus disertai dengan adanya peningkatan daya saing dan iklim investasi yang kondusif. Peningkatan dayasaing harus dilakukan pada seluruh rantai komoditas atau produk daging sapi potong. Iklim investasi yang kondusif ditujukan untuk memperkuat industri hulu, on farm dan industri hilir. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan masih cukup cerah, diperkirakan masih tumbuh 5 hingga 6%/tahun. Baik di pasar global maupun pasar domestik terjadi pergeseran selera konsumen ke komoditas dan produk yang lebih bernilai tinggi ( high values
commodities). 69
Analisis prospek pasar daging sapi potong di pasar domestik difokuskan pada peubah harga daging yang merupakan cerminan produksi, komsumsi dan impor. Peubah ekspor tidak dianalisis karena Indonesia merupakan negara importir dimana impor telgolong besar dan ekspor daging sapi sangat terbatas. Berikut disampaikan hasil analisis prospek pasar daging sapi didunia dengan menggunakan pendekatan proyeksi harga daging sapi potong. Pada satu sisi terjadinya peningkatan permintaan terhadap produk daging sapi sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat, sedangkan pada sisi lain populasi sapi nasional pada empat tahun terakhir ini mengalami penuruan, maka diproyeksikan harga daging sapi nasional (HDSN) terus meningkat hingga tahun 2019 (Gambar 25). Jika pada tahun 2013 rata-rata harga daging sapi nasional mencapai Rp 100.000/Kg maka diproyeksikan pada tahun 2019 naik menjadi Rp 137.635/Kg. Kondisi ini sesuai dengan tipikal harga daging sapi yang cenderung terus naik dari tahun ketahun tanpa pernah mengalami penurunan yang signifikan.
Sumber: BPS (Diolah) Gambar 25. Perkembangan Harga Daging Sapi Nasional 1983-2014 dan Proyeksi 2015-2019
70
Hal yang hampir sama terjadi pada proyeksi harga daging sapi di Kota Jakarta dengan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 26). Namun demikian jika dicermati peningkatan harga daging sapi di pasar DKI Jakarta tidak setajam dengan peningkatan harga daging sapi secara nasional. Hal ini disebabkan DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangeran, dan Bekasi dan sekitarnya merupakan lokasi dimana banyak perusahaan feedloot yang juga berperan sebagai importir. Proyeksi perkembangan harga daging sapi bulanan di Jakarta dilakukan hingga Nopember 2015. Hasil proyeksi menunjukkan harga daging sapi pada bulan Nopember 2013 sebesar Rp 90.960/Kg naik menjadi Rp 101.342/Kg pada bulan Nopember 2015. Laju pertumbuhan harga yang terus meningkat mengindikasikan bahwa prospek pasar daging sapi baik di pasar nasional maupun di pasar DKI Jakarta masih prospektif.
Sumber: Dinas Perindag Provinsi (Diolah)
Gambar 26. Perkembangan Harga Daging Sapi di Kota Jakarta 2009:1-2013:11 dan Proyeksi 2013:12-2015:11 Harga daging sapi yang terjadi di pasar domestik sangat dipengaruhi oleh produksi, komsumsi dan impor. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan antara lain: (1) Harga daging sapi, semakin rendah harga daging sapi semakin tinggi permintaan terhadap daging sapi, (2) Harga barang subtitusi daging sapi (daging kerbau, daging kambing/domba, daging babi, daging ayam, dan telur ayam), semakin tinggi harga barang substitusi semakin tinggi permintaan daging sapi, (3) Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhannya, jumlah penduduk Indonesia tahun 71
2015 diperkirakan mencapai 259 juta jiwa dengan pertumbuhan 1,49%/tahun, merupakan pangsa pasar yang sangat besar; (4) Tingkat Urbanisasi, meningkatnya jumlah penduduk yang migrasi dari desa kekota dan dari sektor pertanian ke sektor industri merupakan fenomena umum yang terjadi di negara-negara berkembang; (5) Revolusi peternakan, terutama didukung oleh perkemabngan industri hulu dan hilir, seperti terjadinya revolusi putih di India dan revolusi pada unggas komersial baik di negara maju maupun negara berkemabang, sedangkan pada sapi potong revolusi masih sangat terbatas; (6) Peningkatan pendapatan masyarakat, terutama terjadi pada golongan menengah, terutama terjadi di wilayah Jabodetabek; (7) Fenomena segmentasi pasar (konsumen rumah tangga, industri pengolahan, hotel, restaurant, dan catering) yang menuntut atribut produk daging sapi yang lebih lengkap dan rinci; (8) Keunggulan relatif antara harga terhadap biaya ( relative cost price
advantage), diperkirakan kini dan kedepan Indonesia akan kebanjiran produk daging sapi impor karena kalah dalam bersaing terutama dengan Australia, Brazil, dan India; dan (9) Terjadinya revolusi pasar modern (supermarket revolution), menjamurnya
pasar
modern
seperti
supermarket
dan
hypermarket
akan
meningkatkan permintaan daging sapi. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran atau pasokan daging sapi antara lain adalah: (1) Harga daging sapi, semakin tinggi harga daging sapi mendorong peternak untuk meningkatkan produksi daging sapi; (2) Harga input produksi (bakalan, pakan, dan obat-obatan), semakin rendah harga input produksi semakin
tinggi
motivasi
peternak
untuk
meningkatkan
produksinya;
(3)
Perkembangan teknologi yang lebih maju, teknologi yang lebih maju akan menggeser fungsi produksi ke atas; (4) Perkembangan ilmu genetika berbasis sapi, perkembangan ilmu dan teknologi genetika akan menekan harga bakalan dan meningkatkan produksi daging sapi; (5) Genetic base yang terkonsentrasi, seperti pemurnian Sapi Bali, Sapi PO, Sapi Madura, Sapi Sumbawa, dan Sapi Aceh, dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi usahaternak sapi potong; (6) Harga bahan baku pakan dan distribusi penggunaannya; dan (7) Katagori konsumsi pakan, pengembangan formula pakan yang memenuhi kandungan nutrisi berbasis bahan pakan lokal.
72
Lesson Learnt
dayasaing sapi potong di Australi dan Brazil, antara lain
direfleksikan oleh rendahnya biaya produksi, yang antara lain didukung oleh bi biaya TK yang rendah dan produksi jagung dan kedelai yang melimpah. Pengembangan industri
peternakan
dikedua
negara
tersebut
dikombinasikan
dengan:
(1)
pengembangan sistem produksi yang terintegrasi, (2) Pengembangan industri sapi potong dengan pendekatan perusahaan, perusahaan besar dengan manajemen yang baik akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas, (3) Peralatan yang moderen dapat menekan biaya produksi, (4) Inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis pasar (market driven), dan (5) Iklim investasi yang kondusif, melalui fasilitasi penyediaan infrastruktur publik yang mampu mendukung pengembangan industri peternakan. Tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan industri sapi potong adalah: (1) Peternakan menyumbang sekitar 37% methane dan 65% nitrous oxide emissions, (2) Waste emits 30 mmt of ammonia, (3) Rekomendasi kuat untuk mengurangi tingkat karbon yang dihasilkan oleh daging dan susu, serta (4) Pengembangan produk (product promossion) dan promosi produk (product
promossion), serta advokasi untuk meningkatkan konsumsi nasional.
73
IX. EVALUASI KEBIJAKAN TERKAIT KEBIJAKAN STABILISASI HARGA MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI 9.1. Kebijakan Menstabilkan Pasokan Domestik Intervensi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam bidang pertanian dapat dilakukan dengan menggunakan tiga bentuk kebijakan, yaitu kebijakan harga, kebijakan investasi publik dan kebijakan makroekonomi (Monke and Pearson, 1989; Pearson et al., 2005). Secara teoritis kebijakan yang mempengaruhi pasar daging sapi domestic adalah kebijakan yang mempengaruhi sisi penawaran dan permintaan. Secara empiris kebijakan yang mempengaruhi harga daging sapi domestik dilakukan melalui kebijakan teknis dan kebijakan perdagangan. Kebijakan teknis yang ditujukan untuk meningkatkan produksi daging sapi dilakukan dengan pengembangan teknologi produksi, seperti pengembangan industri pembibitan, teknologi pakan, teknologi budidaya, dan sistem integrasi
tanaman
ternak.
Kebijakan
perdagangan
diimplementasikan
oleh
pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah. Untuk kasus daging sapi Indonesia merupakan negara net importir, oleh karena kebijakan yang terkait adalah kebijakan impor. Sementara itu, kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk alokasi produksi dari daerah-daerah sentra produksi untuk memasok pasar DKI Jakarta. Arah kebijakan terkait dengan distribusi dan perdagangan sapi dan daging sapi dalam negeri ditujukan untuk: (1) Menjaga harga ternak sapi dan daging sapi pada tingkat yang terjangkau oleh masyarakat; (2) Memperlancar dan meningkatkan efisiensi distribusi ternak sapi dan daging sapi antar wilayah dan antar waktu; (3) Mengembangkan kebijakan perdagangan dan kerjasama luar negeri yang memihak kepada kepentingan pembangunan industri sapi potong dalam negeri; dan (4) Meningkatkan sarana usaha dan perdagangan (RPH/TPH, pasar hewan, angkutan ternak sapi/daging sapi, penampungan, dan pengelolaan limbah). Dalam kebijakan impor suatu komoditas, paling tidak ada tiga opsi kebijakan yang dapat dilakukan, yaitu: pasar bebas, kebijakan subsidi, kebijakan tarif, dan kebijakan kuota. Secara teoritis, kebijakan pasar bebas memberikan tingkat kesejahteraan tertinggi bagi masyarakat secara keseluruhan, kemudian diikuti subsidi, tariff dan kuota. Namun argumen untuk melindungi produsen dalam negeri, 74
belum semua komoditas diperdagangkan mengikuti mekanisme pasar bebas. Kebijakan tarif dan subsidi menyebabkan terjadinya distorsi pasar, sedangkan pada kebijakan kuota mekanisme pasar menjadi tidak berjalan. Kebijakan tarif yang diterapkan baik untuk sapi hidup/bakalan dan daging ditujukan untuk melindungi produsen domestik. Besarnya tarif untuk daging sapi dan sapi bakalan masing-masing hanya sebesar 5% dan 3,5% masih jauh dibawah
bound tariff masing-masing mencapai 50 dan 40%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlindungan terhadap peternak domestik sangat terbatas. Banyak argumen yang mendukung tarif, seperti argumentasi industri baru, pertahanan nasional, serta ketahanan pangan. Kebijakan tarif yang diterapkan pada komoditas sapi hidup dan daging sapi menyebabkan harga yang dibayar konsumen dalam negeri menjadi lebih tinggi dari harga yang seharusnya. Jika tingkat tarif yang diterapkan tinggi dapat berdampak terhadap menurunnya tingkat konsumsi daging sapi penduduk. Sebaliknya produksi daging sapi dalam negeri diharapkan menjadi meningkat dan pemerintah menerima pemasukan dari penerimaan tarif impor. Penerimaan tarif yang relatif kecil kurang berdampak pada sisi permintaan maupun pasokannya. Penerimaan tarif impor sebaiknya dioptimalkan penggunaannya untuk memperkuat industry sapi potong dalam negeri yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri sehingga mampu menurunkan harga yang harus dibayar konsumen dalam negeri. Pada suatu negara sebagai suatu kesatuan dapat mempengaruhi harga barang impor maka tarif yang positif dapat menjadi optimal secara nasional. Apabila kurva penawaran pihak luar negeri bersifat elastis sempurna dan apabila harga dunia tetap maka tingkat tarif yang optimal sama dengan nol. Semakin kurang elastis penawaran luar negeri semakin tinggi tingkat tarif optimal yang harus diterapkan. Meskipun demikian tarif hanya akan optimal apabila pihak luar negeri tidak melakukan pembalasan dengan tarif yang dikenakan pada barang-barang ekspor negara yang memberlakukan tarif tersebut. Dampak tarif terhadap barang impor, seperti halnya pada komoditas sapi, antara lain adalah: (1) Tarif hampir selalu menurunkan kesejahteraan dunia; (2) Tarif biasanya menurunkan kesejahteraan masing-masing negara, termasuk negara 75
yang mengenakan tarif; (3) Sebagai aturan umum, manfaat apapun yang dapat diberikan oleh pengenaan tarif bagi suatu negara, cara lain dapat dilakukan secara lebih baik; (4) Ada beberapa pengecualian pada kasus perdagangan bebas: (a) tarif “optimum suatu negara”: yaitu apabila negara tertentu dapat mempengaruhi harga pada saat ia berdagang dengan pihak luar, maka negara tersebut akan memperoleh manfaat dari tarif yang dikenakan; (b) argumentasi “terbaik kedua” untuk pengenaan tarif.
Apabila terjadi distorsi dalam perekonomian yang tidak dapat
diperbaiki maka pembebanan tarif mungkin lebih baik daripada tidak berbuat apapun; (c) dalam kasus distorsi yang kisarannya sempit, yang khusus terdapat pada perdagangan internasional, maka kebijakan tarif, kebijakan tarif lebih baik daripada kebijakan lainnya; (5) Tarif jelas akan membantu kelompok-kelompok yang ada kaitannya dengan produksi barang substitusi impor, walaupun tarif itu tidak baik akibatnya bagi negara secara keseluruhan. Kebijakan subsidi produsen merupakan kebajikan terbaik kedua (second best
policy) setelah pasar bebas, namun secara politik kegiatan subsidi sering mendapatkan kritik yang tajam dari pihak-pihak yang memiliki perberbedaan kepentingan, karena kebijakan subsidi cenderung memberikan manfaat kelompok tertentu.
Kebijakan subsidi disektor pertanian umumnya diberikan dalam bentuk
subsidi input produksi, seperti subsidi benih, subsidi pupuk, dan subsidi suku bunga. Pada sistem komoditas sapi potong pemerintah belum memberikan subsidi, meskipun ada tuntutan peternak agar pemerintah memberikan subsidi pakan ternak. Hambatan perdagangan non-tarif yang paling lazim adalah kuota impor, yakni suatu pembatasan terhadap jumlah impor yang diizinkan oleh suatu negara setiap tahunnya (Lindert dan Kindleberger, 1993). Dengan satu atau cara lain, pemerintah mengeluarkan sejumlah lisensi impor yang sah dan terbatas serta melarang impor tanpa lisensi. Kebijakan kuota impor yang dilakukan pemerintah dengan menetapkan jumlah kuota tertentu dari suatu komoditas atau produk, seperti sapi bakalan, sapi hidup, dan daging sapi yang dapat diimpor. Sepanjang jumlah impor sapi bakalan dan daging sapi yang diizinkan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah sapi bakalan dan daging sapi yang ingin diimpor apabila tanpa adanya kuota, maka izin impor tersebut bukan hanya mempunyai efek mengurangi jumlah yang diimpor, tetapi juga berdampak meningkatkan harga sapi 76
bakalan dan daging sapi di dalam negeri di atas harga dunia, pada tingkat dimana para pemegang lisensi impor membeli sapi bakalan dan daging sapi dari luar negeri. Dalam kontek demikian, maka kuota impor memiliki dampak yang sama dengan kebijakan tarif. Ada beberapa alasan mengapa pemerintah sering memilih menggunakan kebijakan kuota daripada kebijakan tarif, untuk membatasi impor (Lindert dan Kindleberger, 1993): (1) Untuk memastikan agar peningkatan pengeluaran impor lebih lanjut dapat dikendalikan terutama apabila persaingan dari luar negeri semakin meningkat; (2) Kuota dipilih bagi sebagian pejabat pemerintah dapat memberikan keluwesan dan kekuasaan administratif yang lebih besar; (3) Pejabat pemerintah memberinya kekuasaan dan keluwesan dalam menangani perusahaan-perusahaan dalam negeri, dalam menentukan siapa yang memperoleh lisensi impor; dan (4) Bagi sebagian kepentingan kaum proteksionis juga melihat kesempatan untuk memperoleh hak lisensi secara khusus, sedangkan tarif merupakan sumber penghasilan yang berada di luar jangkauan mereka. Harga ditingkat produsen jauh lebih rendah dengan harga ditingkat konsumen, sehingga produsen mendapat keuntungan besar ( windfall profit). Permasalahannya bagaimana mendistribusikan lisensi impor yang dikeluarkan pemerintah kepada para importir. Jika lisensi tersebut dilelang dan merupakan pemasukan negara akan menjadi lebih baik. Sebaliknya jika lisensi tersebut tidak didistribusikan secara terbuka, hanya diterima oleh kelompok tertentu. Hingga saat ini pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan menetapkan besarnya bea tarif impor untuk sapi bibit sebesar 0 dan besarnya bea masuk impor untuk sapi non bibit, daging sapi, dan jeroan masing-masing 5%. Besaran tarif tersebut jauh lebih rendah dari besaran yang dapat dikenakan, yaitu masing-masing 40% untuk sapi hidup termasuk bibit, 50% untuk daging sapi, dan 40% untuk jeroan (Kemenkeu, 2012). Permentan
No
50/OT.140/9/2011
tentang
Rekomendasi
Persetujuan
Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan dan/atau Olahannya kedalam Wilayah Negara Republik Indonesia perlu dicermati terkait kebijakan stabilisasi harga. Dalam konsideran menimbang pada butir b diungkapkan bahwa: impor karkas, daging sapi dan jeroan dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan dan 77
pasokan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya yang belum tercukupi dari pasokan di dalam negeri. Dalam implementasinya menghadapi permasalahan pokok, diantaranya adalah bagaimana mengukur terjadinya kekurangan kebutuhan tersebut secara akurat dan bagaimana mengatur perdagangan ternak dan daging sapi dari sentra produksi ke sentra konsumsi sehingga ketersediaan sentra produksi dapat didistribusikan dan tersedia pada daerah sentra konsumsi dengan jumlah yang dapat diperhitungkan. Hingga saat ini (2014), kebijakan penetapan jumlah yang direkomendasikan untuk diimpor dalam Permentan 50/2011 tidak dikaitkan dengan kebijakan perdagangan dalam negeri. Bahkan beberapa Pergub terkait perdagangan sapi siap potong dari sentra produksi ke sentra konsumsi banyak dilanggar oleh pelaku usaha tataniaga sapi dan daging sapi. Secara empiris terjadi bahwa sapi-sapi yang diperdagangkan beratnya dibawah batas minimal yang diatur dalam Pergub. Pengaturan Rekomendasi Persetujuan Pemasukan (RPP) karkas, daging sapi, jeroan
dan
produk
olahannya
yang
dilakukan
sesuai
Permentan
tersebut
mengandung makna bahwa kegiatan impor dilakukan dengan Kebijakan Kuota. Dengan demikian Pemerintah melakukan dua kebijakan sekaligus dalam mengatur impor karkas, daging sapi, jeroan dan produk olahannya. Pada Pasal 1 nomor 21, disebutkan bahwa Rekomendasi Persetujuan Pemasukan (RPP) adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk olehnya kepada pelaku usaha yang akan melakukan pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Pada Pasal 2, ayat (1) Pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya dapat dilakukan oleh pelaku usaha setelah mendapat izin pemasukan dari Menteri Perdagangan. Pada ayat (2) Menteri Perdagangan dalam memberikan izin pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah memperoleh RPP dari Menteri Pertanian. Pada Pasal 3 ayat (2) huruf d disebutkan bahwa dalam RPP memuat negara asal, jumlah, jenis, dan spesifikasi karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya. Hal ini mengandung makna bahwa para importir diberikan kuota tertentu oleh pemerintah yang terindikasi dari pencantuman jumlah produk yang dijinkan untuk diimpor. Pertanyaannya adalah : (1) Bagaimana mekanisme penentuan dalam pemberian ijin impor dari pemerintah kepada importir?; (2) Apakah para pemegang lisensi kuota impor yang diberikan pemerintah kepada importir dilakukan dengan 78
transaksi terbuka seperti tender atau lelang, sehingga dari kegiatan tersebut pemerintah memperoleh penerimaan sebagai pemasukan ke kas Negara? Jika tidak dibayar, maka kebijakan impor dengan tarif lebih baik dilakukan karena dapat memberikan pemasukan dari pajak kepada Negara dan mekanisme pasar tetap berjalan.
Kebijakan
pemberian
lisensi
kuota
yang
tidak
transparan
dapat
menimbulkan terjadinya pemburu rente (rentseeking) suatu transaksi yang dapat menguntungkan pihak tertentu. Secara teoritis kebijakan kuota menyebabkan mekanisme pasar tidak bekerja dan importir memperoleh keuntungan besar (windfall
profit). Pada Pasal ayat (3) disebutkan bahwa tujuan penggunaan karkas, daging, jeroan, dan produk olahannya asal impor meliputi hotel, restoran, katering, dan industri. Kebijakan-kebijakan pada periode sebelumnya, produk impor hanya digunakan untuk memasok hotel dan restoran berbintang. Namun pada Permentan ini sudah tidak lagi terbatas pada hotel dan restoran berbintang, tetapi juga sudah digunakan untuk catering dan industri pengolahan. Tinggal konsumen rumah tangga dan rumah makan kecil atau warung-warung nasi yang tidak boleh menggunakan. Secara implementasi dilapang sangat sulit untuk melakukan pengawasan secara ketat. Artinya tidak ada jaminan bahwa produk impor tersebut tidak masuk ke pasar tradisional (wetmarket). Secara empiris dilapang banyak dijumpai produk daging sapi impor yang masuk ke pasar tradisional dan supermarket/hyper market, sehingga memiliki peluang yang tinggi dibeli oleh konsumen rumah tangga dan rumah makan kecil atau warung-warung nasi. Selain itu, sejauh mana pengaturan distribusi daging sapi impor dilakukan. Secara empiris daging impor tidak hanya masuk ke pusat konsumsi utama seperti DKI Jakarta, Jabar dan Banten, namun secara riil dilapang daging sapi impor sudah masuk di beberapa kota besar di Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 84/Permentan/PD.410/8/2013 tentang pemasukan Karkas, daging, jeroan dan/atau olahannya kedalam wilayah Negara Republik Indonesia. Pada konsideran menimbang: (a) bahwa sebagai tindak lanjut amanat Pasal 59 ayat (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, telah ditetapkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan 79
Karkas, Daging, jeroan dan/atau olahannya ke dalam wilayan Negara Republik Indonesia, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 63/Permentan/OT.140/5/ 2013; (b) bahwa untuk memberikan kelancaran dan kepastian dalam pemasukan karkas,
daging,
jeroan,
dan/atau
olahannya,
Peraturan
Menteri
Pertanian
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sudah tidak sesuai lagi; (3) bahwa untuk melindungi kesehatan dan ketenteraman batin masyarakat, pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia harus
memenuhi
persyaratan
aman,
sehat,
utuh,
dan
halal
bagi
yang
dipersyaratkan; dan (d) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta optimalisasi pelayanan pemasukan karkas, daging, jeroan dan olahannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, perlu meninjau kembali Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau olahannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 63/Permentan/OT.140/5/2013. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 85/Permentan/PD.410/8/2013 tentang pemasukan sapi bakalan, sapi indukan, dan sapi siap potong kedalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Kemudian perubahan kedua atas Peraturan menteri
Pertanian No 85/Permentan/PD. 410/8/2013 tentang pemasukan sapi bakalan, sapi indukan, dan sapi siap potong ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Pada pasal 12 termaktub persyaratan sapi bakalan: (a) Sehat, dibuktikan dengan sertifikat kesehatan (health sertificate) yang diterbitkan oleh otoritas veteriner negara asal sebagai pemenuhan persyaratan kesehatan hewan ( health requirement) dan sertifikat asal ternak (sertificate of origin) dari negara asal yang diterbitkan oleh negara asal yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di negara asal; (b) residu antibiotik dan hormon pertumbuhan seperti trenbolon asetat yang membahayakan kesehatan manusia tidak melebihi ambang batas standar yang ditetapkan secara internasional sebelum dilalulintaskan, dilengkapi dokumen sistem survilans dan monitoring yang diterapkan di negara asal; dan (c) berat badan perekor maksimal 350 kg pada saat tiba dipelabuhan pemasukan, dan berumur tidak lebih dari 30 bulan serta harus digemukkan minimal 60 hari setelah masa karantina.
80
Pada pasal 14 termaktub persyaratan sapi potong: (a) Sehat, dibuktikan dengan sertifikat kesehatan (health sertificate) yang diterbitkan oleh otoritas veteriner negara asal sebagai pemenuhan persyaratan kesehatan hewan ( health
requirement) dan sertifikat asal ternak (sertificate of origin) dari negara asal yang diterbitkan oleh negara asal yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di negara asal; (b) residu antibiotik dan hormon pertumbuhan seperti trenbolon asetat yang membahayakan kesehatan manusia tidak melebihi ambang batas standar yang ditetapkan secara internasional sebelum dilalulintaskan, dilengkapi dokumen sistem survilans dan monitoring yang diterapkan di negara asal. Kebijakan terkait lainnya dituangkan dalam Permendag Nomor: 24/MDAG/PER/9/2011, Tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan. Kebijakan Kemendag ini hampir sama dengan yang dikeluarkan Kementan, yaitu terkait pengaturan dan ijin impor dan ekspor. Pada pasal 3 ayat (2) Permendag ini menyebutkan bahwa: Impor Produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila produksi dan pasokan Produk Hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat dengan harga terjangkau. Disini tegas tidak hanya ditujukan untuk hotel, retsoran, catering dan industry seperti Permentan 50/2011, tetapi juga untuk masyarakat termasuk rumah tangga dengan tujuan member akses pada konsumen terhadap produk impor dengan harga terjangkau. Pasal 3 tersebut sedikit tidak komsisten dengan pasal 7, yaitu: Impor karkas, daging, jeroan, dan atau olahannya yang termasuk dalam Produk Hewan yang tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini hanya untuk tujuan penggunaan dan distribusi komoditi yang diimpor untuk industri, hotel, restoran, katering, dan/atau keperluan khusus lainnya. Disini tidak eksplisit dikatakan untuk komsumen rumah tangga, tetapi ada untuk kegunaan khusus lainnya. Pada tahun 2013, Kementerian Perdagangan memperbaharui aturan impor dan ekspor hewan dan produk hewan dengan Permendag Nomor 46/MDAG/PER/8/2013, Tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan. Pada permendag ini, kegiatan impor mempertimbangkan harga referensi. Dimana pada Pasal 1, nomor 17 disebutkan bahwa: harga referensi adalah harga acuan penjualan ditingkat pengecer yang ditetapkan oleh Tim Pemantau Harga Daging 81
Sapi. Pada Pasal 14 ayat (1), Permendag 46/2013 disebutkan bahwa: Dalam hal harga daging sapi jenis potongan sekunder (secondary cuts) di pasaran di bawah harga referensi maka importasi Hewan dan Produk Hewan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini ditunda importasinya sampai harga kembali mencapai harga referensi. Pada ayat (2) disebutkan besarnya harga referensi adalah Rp 76.000 per Kg. Dalam Pos Tarif/HS dengan kode Ex.0201.20.00.00, uraian barang adalah potongan daging lainnya bertulang ( bone in) yang tergolong potongan sekunder (secondary cut) adalah: (1) Butt-A (Paha belakang bertulang utuh, Paha belakang bertulang tanpa sengkel; (2) Butt-D/Square cut (Paha belakang bertulang persegi); (3) Bone in Rib (Iga utuh bertulang dan potongannya); (4) Chuck square cut (Sampil persegi bertulang); (5) Neck (Leher bertulang); (6) Shin/Shank forequater (Sengkel depan bertulang); dan (7) Shin/Shank hindquater (Sengkel belakang bertulang) (Direktorat bahan Pokok dan Barang Strategi, 2013). Dalam Pos Tarif/HS dengan kode Ex.0201.30.00.00, uraian barang adalah daging tanpa tulang (boneless) yang tergolong potongan sekunder (secondary cut) adalah: (1) Rump Steak (Steak Tanjung); (2) Rump Cup (Tanjung tanpa urat), (3)
Bottom Sirloin (Pangkal tanjung bawah); (4) Rostbiff (Tanjung bersih); (5) Topside/inside meat (Penutup bersih); (6) Topside/inside cap off (Penutup tanpa urat); (7) Topside/inside cap (Penutup dengan urat); (8) Topside/inside (Penutup utuh); (9) Eye round (Gandik); (10) Outside meat (Pendasar bersih); (11) Outside (Pendasar gandik); (11) Silverside (Pendasar utuh); (12) Rib meat (Daging iga utuh dan jenis potongannya); (13) Stir fry (Daging tumis); (14) Knuckle/round (Kelapa tanpa urat); (15) Flank steak (Samcan steak); (16) Flank steak tip (Samcan steak datar); (17) Flap meat (Samcan bagian dalam bersih); (18) Internal flank plate (Samcan bagian dalam); (19) External flank plate (Samcan bagian luar); (20) Thick
Skrit/hanging tander (Lantunan gantung); (21) Thin Skrit/outside skrit (Lantunan bagian luar); (22) Inside skrit (Lantunan bagian dalam); (23) Thick flank (Kelapa dengan urat); (24) Thin flank (Samcan); (25) Chuck eye log (Mata sampil bersih); (26) Chuck eye roll (Mata sampil bulat); (27) Chuck roll long cut (Sampil bulat panjang); (28) Chuck roll (Sampil bulat); (29) Neck meat (daging leher); (30) Chuck
crest/hump meat (punuk); (31) Chuck square cut (Sampil persegi); (32) Chuck 82
(Sampil); (33) Chuck & blade (Sampil & sampil kecil); (34) Chuck tender (Kijen); (35) Oyester blade (Sampil kecil tiram); (36) Beef bolar blade (Sampil kecil bulat); (37) Blade (Sampil kecil); (38) Shin/Shank (Sengkel); dan (39) Neck chain (Rantai Leher) (Direktorat bahan Pokok dan Barang Strategi, 2013). Dalam Pos Tarif/HS dengan kode Ex.0202.20.00.00, uraian barang adalah potongan daging lainnya, bertulang (bonein) yang tergolong potongan sekunder (secondary cut) adalah: (1) Butt-A (Paha belakang bertulang utuh); (2) Butt-A (Paha belakang bertulang bola); (3) Butt-C/Shank off (Paha belakang tanpa sengkel); (4)
Butt-D/Square cut (Paha belakang bertulang persegi); (5) Bon in Rib (Iga utuh bertulang dan jenis potongannya); (6) Chuck-square cut (Sampil persegi bertulang); (7) Neck (Leher bertulang); (8) Shin/shank forequater (Sengkel depan bertulang); (9) Shin/shank hindquater (Sengkel belakang bertulang); (10) Brisket Rib
Plate/Brisket Plate (Sandung lamur tanpa iga datar bertulang); (11) Spare Rips (Iga belakang); dan (12) Konro Ribs (Iga Konro) (Direktorat bahan Pokok dan Barang Strategi, 2013). Dalam Pos Tarif/HS dengan kode Ex.0202.30.00.00, uraian barang adalah daging tanpa tulang (boneless) yang tergolong potongan sekunder (secondary cut) adalah: (1) Rumb Cap (tanjung tanpa urat); (2) D-Rump (Tanjung tanpa pangkal); (3) Rump (tanjung dengan pangkal); (4) Bottom Sirloin (Pangkal tanjung bawah); (5) Topside/inside meat (Penutup bersih); (6) Topside/inside cap off (Penutup tanpa urat); (7) Topside/inside cap (Penutup dengan urat); (8) Topside/inside (Penutup utuh); (9) Eye round (Gandik); (10) Outside meat (Pendasar bersih); (11) Outside (Pendasar gandik); (11) Silverside (Pendasar utuh); (12) Rib meat (Daging iga utuh dan jenis potongannya); (13) Knuckle/round (Kelapa tanpa urat); (14) Flap meat (Samcan bagian dalam bersih); (15) Internal flank plate (Samcan bagian dalam); (16) External flank plate (Samcan bagian luar); (17) Thick Skrit/hanging tander (Lantunan gantung); (18) Thin Skrit/outside skrit (Lantunan bagian luar); (19) Inside
skrit (Lantunan bagian dalam); (20) Thick flank (Kelapa dengan urat); (21) Thin flank (Samcan); (22) Chuck eye log (Mata sampil bersih); (23) Chuck eye roll (Mata sampil bulat); (24) Chuck roll long cut (Sampil bulat panjang); (25) Chuck roll (Sampil bulat); (26) Neck meat (daging leher); (27) Chuck crest/hump meat (punuk); (28) Chuck square cut (Sampil persegi); (29) Chuck (Sampil); (30) Chuck & 83
blade (Sampil & sampil kecil); (31) Chuck tender (Kijen); (32) Oyester blade (Sampil kecil tiram); (33) Beef bolar blade (Sampil kecil bulat); (34) Blade (Sampil kecil); (35) Shin/Shank (Sengkel); dan (36) Neck chain (Rantai Leher) (Direktorat bahan Pokok dan Barang Strategi, 2013). Pada pasal 17 disebutkan bahwa karkas, daging dan atau jeroan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Permentan 46/2013 hanya dapat diimpor untuk tujuan penggunaan dan distribusi bagi industri, hotel, restoran, katering dan atau keperluan khusus lainnya. Selanjutnya pada pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa: Pemerintah dapat menunjuk Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik untuk melakukan impor hewan dan produk hewan dalam rangka menjaga ketahanan pangan. Pada ayat (2) produk impor tersebut sebagaimana pada Lampiran I ditujukan untuk didistribusikan ke pasar ritel. Permendag 46/2013 memperbaharui Permendag sebelumnya terkait ketentuan impor dan ekspor hewan dan produk hewan dan produk olahannya. Dengan demikian peraturan sebelunya (Permendag 24/2011 dan Permendag 22/2013) sudah sudah tidak berlaku. Pada Permendag ini, kebijakan impor menggunakan harga referensi dan untuk tujuan ketahanan pangan, sama seperti Permendag 22/2013, Pemerintah dapat menunjuk Perum Bulog untuk melakukan impor dan memasok produk impor tersebut ke pasar ritel. Hal ini mengandung makna bahwa pada kondisi tertentu, seperti menjelang puasa dan lebaran, pemerintah dapat melakukan operasi pasar daging sapi dengan tujuan mengendalikan harga daging sapi sehingga akses konsumen terhadap daging sapi menjadi lebih terjangkau. Permendag 46/2013 diubah kembali dengan Permendag Nomor 57/MDAG/PER/9/2013, Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan 46/MDAG/PER/8/2013. Hal yang mengalami perubahan terkait pada peran Perum Bulog. Pada Permendag 46/2013, Pasal 18 disebutkan sebagai berikut: (1) Pemerintah dapat menunjuk Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik untuk melakukan impor Hewan dan Produk Hewan dalam rangka menjaga ketahanan pangan; (2) Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik hanya dapat mengimpor Hewan dan Produk Hewan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini untuk didistribusikan ke pasar ritel atau eceran; dan (3) Impor Hewan dan Produk Hewan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik sebagaimana dimaksud pada 84
ayat (2) harus mendapat Persetujuan Impor dengan melampirkan rekomendasi impor sebagimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) hurub b dan dikecualikan dari ketentuan mendapatkan penetapan sebagai IT-Hewan dan Produk Hewan. Pada Permendag 57/2013 tentang pemasukan sapi bakalan, sapi indukan, dan sapi siap potong, pasal 18 diubah menjadi sebagai berikut: (1) Dalam rangka menjaga ketahanan pangan, Pemerintah dapat menunjuk Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik untuk melakukan impor Hewan dan Produk Hewan sebagaimana tercantum dalam lampiran I Peraturan Menteri ini; (2) Dihapus; (3) Impor Hewan dan Produk Hewan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat Persetujuan Impor dengan melampirkan rekomendasi sebagimana dimkasud dalam Pasal 11 ayat (1) hurub b dan dikecualikan dari ketentuan mendapatkan penetapan sebagai IT-Hewan dan Produk Hewan. Dengan dihapusnya ayat (2) Pasal 18 ini, Perum Bulog menjadi dibatasi perannya sehingga tidak harus memasok ke pasar ritel atau eceran. Sangat dinamisnya peraturan-peraturan terkait impor dan ekspor hewan dan produk hewan serta produk olahannya mengindikasikan banyaknya berbagai kepentingan yang terlibat dalam kegiatan ini. Secara empiris diperoleh informasi bahwa pelaku impor hewan dan produk hewan terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini menunjukkan kegiatan perdagangan lintas negara untuk hewan dan produk hewan serta produk olahannya memang menguntungkan, dimana importir berpeluang menerima windfall profit dengan kebijakan kuota impor hewan dan produk hewan dan produk olahannya. Dengan adanya kebijakan harga referensi, bukan berarti kebijakan kuaota impor dihapuskan, namun ijin impor diberikan kepapa imortir terdaftar, jika harga yang terjadi dipasar melebihi harga referensi yang dijadikan harga acuan apakah perlu impor atau tidak. Kebijakan teknis juga mempengaruhi stabilisasi harga daging sapi domestik. Secara konseptual kemampuan produksi atau penyediaan pasokan daging sapi ditentukan oleh populasi dan pertumbuhannya (hal ini ditentukan oleh efisiensi reproduksi) dan produktivitas dalam menghasilkan daging sapi. Secara teknis terdapat tiga sumber pertumbuhan produktivitas usahaternak sapi potong, yaitu: (a) perubahan teknologi, baik teknologi genetik (pembibitan), budidaya, serta teknologi pemotongan dan pengolahannya; (2) peningkatan efisiensi produksi usahaternak 85
sapi potong; dan (3) peningkatan skala usahaternak yang mencapai skala ekonomi. Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengupayakan peningkatan produksi dalam negeri untuk meningkatkan peran pasokan produksi lokal ke pasar daging sapi domestik. Pada periode lima tahun terakhir upaya tersebut dilakukan dengan Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau tahun 2014 (PSDS 2014). Secara konseptual, kebijakan pemerintah tersebut diharapkan mampu menggeser kurva penawaran ke kanan bawah untuk meningkatkan pasokan daging sapi lokal sehingga mampu menstabilkan harga daging sapi di pasar domestik. Pada Program tersebut dilakukan melalui 13 kegiatan teknis. Kegiatan ini sebenarnya dapat dikategorikan kebijakan subsidi untuk mendukung peningkatan produksi dalam negeri. Hal yang sama banyak dilakukan oleh negara-negara lain, termasuk negara maju. Capaian Kinerja Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan dapat dilihat dari perspektif makro ekonomi dan makro teknis.
Berdasarkan indikator
makro ekonomi memberikan beberapa gambaran pokok (Kementan, 2013): (1) Produk Domestik Bruto berdasarkan harga berlaku tahun 2012 sebesar Rp.146.090 miliar, sedangkan pada tahun 2013 hingga semester I baru mencapai Rp.77.774 miliar; (2) Penyerapan tenaga kerja peternakan cenderung mengalami peningkatan, jika pada tahun 2012 sebesar 4,238 juta, meningkat pada tahun 2013 menjadi 4,3 juta orang. Namun serapan tenaga kerja peternakan dibandingkan dengan Sektor Pertanian tahun 2013 sebesar 11,5% atau menurun sekitar 0,13% dibanding 2012 yang besarnya 11,63%; (3) Nilai investasi PMDN pada tahun 2012 mencapai Rp. 97,445 miliar, namun hingga bulan September 2013 sudah mencapai Rp. 292,301 miliar. Sedangkan investasi PMA pada tahun 2012 mencapai US$ 19,822 juta, dan hingga bulan September 2013 baru mencapai US$ 9,95 juta; (4) Kesejahteraan peternak diukur dari NTP. Jika pada 2012 indeksnya sebesar 101,33, maka pada 2013 menjadi 101,95 atau terjadi peningkatan sebesar 0,6 %; (5) Neraca perdagangan ekspor-impor masih mengalami defisit. Jika pada tahun 2012 rasionya 1:4,85, maka sampai dengan bulan Agustus 2013 rasionya naik sebesar 2,02 % dan menjadi 1:5,16. Kontribusi penurunan defisit dihasilkan dari ekspor obat hewan dan produk hewani non-pangan, sehingga di masa mendatang penanganan obat hewan dapat menjadi engine of trade peternakan; (6) Total Nilai Ekspor Komoditi Pangan 86
Asal Hewan dan Produk Hewan Non Pangan Tahun 2013 sebesar 145,8 ribu ton (US$ 297,2 juta), sedangkan sampai dengan bulan Desember 2013 nilainya sebesar 103 ribu ton (US$ 215 juta); dan (7) Nilai ekspor obat hewan tahun 2012 sebesar US$ 22,3 ribu, sedangkan hingga bulan Oktober 2013 adalah sebesar US$ 8,5 ribu. Sementara itu, capaian dari makro teknis (Populasi dan Produksi Sapi dan Kerbau) merefleksikan beberapa hal pokok sebagai berikut (Kementan, 2013): (1) Hasil Sensus Pertanian (ST 2013) populasi sapi dan kerbau sebanyak 14,2 juta ekor atau terjadi penurunan sebesar 14,5% dari hasil PSPK 2011 yaitu sebesar 16,4 juta. Namun demikian pada tahun 2013 produksi daging telah mengalami peningkatan sebesar 29,50% atau sebanyak 465,16 ribu ton dibandingkan produksi daging tahun 2009 sebesar 351,3 ribu ton; (2) Jumlah pejantan unggul sebanyak 698 ekor, sedangkan targetnya adalah 565 ekor; (3) Terjadi penurunan kelahiran ternak pada tahun 2013 melalui program Inseminasi Buatan (IB) sebanyak 1.271.732 ekor (66,63 %) dari target 1.908.445 ekor jika dibandingkan dengan kelahiran IB pada tahun 2012 sebanyak 1.580.141 ekor (87,78 %) dari target 1.800.000 ekor. Demikian juga melalui program Kawin Alam (INKA) terjadi peningkatan kelahiran yaitu sebesar 457.346 ekor (32,66 %) jika dibandingkan dengan kelahiran KA pada tahun 2012 sebesar 169.984 ekor (12,14%). Capaian kinerja PSDSK 2014 Hasil evaluasi pencapaian intervensi 14 langkah kegiatan PSDSK tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Pertama, pada kegiatan aspek perbibitan mencakup kegiatan : (1) Pengembangan dan penerapan
Good Breeding Practices, kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan bibit sesuai dengan standar dengan penerapan GBP di kelompok; (2) Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 10,35% terhadap Blue Print dan 9,47% terhadap POK 2013 dari total bobot 10% atau terjadi intervensi sebesar 0,52% terhadap Blue Print dan 0.47% terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 0,5%; (3) Penguatan Kelembagaan Perbibitan. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat kelembagaan pembibitan di daerah sehingga berfungsi menghasilkan bibit sesuai standar; (4) Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan tersebut sebesar 0,11% terhadap Blue Print dan 5,14% terhadap POK 2013 dari total bobot 6%.
87
Tabel 11. Capaian 14 Intervensi PSDSK Tahun 2013. No
Parameter Kondisi Tahun 2012 Hasil Simulasi (%) (%) * Good Breeding Practices 3,50 4,00 Kelembagaan Perbibitan 41,05 41,05 Manajemen Pemeliharaan 14,60 30,00 Complete Feed 1,80 2,00 Konsentrat 13,60 14,30 Benih Hijauan 30,00 40,00 Integrasi Ternak Tanaman 6,20 12,30 Padang Penggembalaan 10,00 12,30 Teknologi Pakan 1,00 12,00 Water Reservoir 10,00 2,30 Tingkat Kematian Ternak 1,63 1,50 Tingkat Kesakitan 35,00 25,00 Rumah Potong Hewan 20,00 54,00 Indeks Distribusi TOTAL Uraian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Keterangan: (*) Hasil simulasi (**) Intervensi (***) Nilai Bobot
Intervensi Modelling (%) ** 0,50 tetap 15,40 0,20 1,30 10,00 6,10 2,00 1,30 3,00 (0,13) (10,00) -
Bobot (***) Hasil Pembobotan Hasil Intervensi Blue Print POK (%) Blue POK (%) Print 10 6 13 5 5 5 5 5 8 3 15 10 10 0 100
10,35 0,11 2,85 1,32 2,62 2,10 2,59 2,72 2,43 6,84 3,54 5,00 42,47
9,47 5,14 7,29 3,83 4,79 4,14 4,98 3,82 6,14 1,83 8,31 6,2 8,15 0 74,09
0,52
0,47
3,38 0,05 0,68 4,20 3,16 1,09 0,39 (0,06) (3,54)
8,64 0,15 1,25 8,28 6,08 1,53 1,00 1,83 (0,07) (6,20)
-
-
: hasil simulasi dengan sistem modelling untuk mencapai swasembada daging sapi tahun 2014. : selisih hasil simulasi dengan koreksi existing, artinya nilai kuantitatif yang harus dilakukan oleh PSDSK dari masing-masing kegiatan yang ada (14 kegiatan). : Penilaian Tim Monev Ditjen PKH.
Kedua, Aspek budidaya ternak mencakup manajemen pemeliharaan. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM dan kelembagaan IB dan INKA melalui berbagai latihan untuk meningkatkan kompetensinya dan merealisasikan kelembagaan IB. Peningkatan kelembagaan tersebut diikuti dengan melengkapi sarana dan prasarana, optimalisasi kegiatan, pembinaan SMD dan pengelolaan limbah. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 sebesar 2,85% terhadap Blue Print dan 7,29% terhadap POK 2013 dari total bobot 13% atau terjadi intervensi sebesar 3,38% terhadap Blue Print dan 8,64% terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 15,40%. Ketiga, aspek pakan mencakup kegiatan: (1) Pengembangan complete feed pada ternak perah, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan produksi sapi perah. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 1,32% terhadap Blue Print dan 3,83% terhadap POK 2013 dari target total bobot 5% atau terjadi intervensi sebesar 0,05% terhadap Blue Print dan 0,15% terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 0,20%. 88
Pengembangan pakan konsentrat pada ternak sapi dan kerbau. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan penggunaan konstentrat melalui pengolahan dan lumbung pakan daerah. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 2,62% terhadap Blue Print dan 4,79% terhadap POK 2013 dari target total bobot 5% atau terjadi intervensi sebesar 0,29% terhadap Blue Print dan 1,25% terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 1,30%. Penyediaan
benih
hijauan
berkualitas.
Kegiatan
ini
bertujuan
untuk
menyediakan pakan hijauan berkualitas melalui perbaikan sumber benih dan mendorong partisipasi masyarakat untuk mengembangkan pakan berkualitas dan perluasan areal kebun HPT. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 2,10% terhadap Blue Print dan 4,14% terhadap POK 2013 dari target total bobot 5% atau terjadi intervensi 4,20% terhadap Blue Print dan 4,28% terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 10%. Integrasi ternak tanaman. Kegiatan ini bertujuan untuk mengoptimalkan sumber daya melalui integrasi ternak dan tanaman ternak berfungsi menghasilkan pupuk organik dan kompos dari biomassa yang dihasilkan dari tanaman. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 2,59% terhadap
Blue Print dan 4,98% terhadap POK 2013 dari target total bobot 5% atau terjadi intervensi sebesar 3,16% terhadap Blue Print dan 6,08% terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 6,10%. Pengembangan padang penggembalaan. Kegiatan ini bertujuan untuk perluasan, perbaikan dan pembangunan areal padang penggembalaan sehingga memungkinkan
meningkatnya
kapasitas
tampung
ternak
melalui
tambahan
penyediaan HPT dan intensifnya penyediaan pakan. Pengembangan padang penggembalaan dilakukan pada koridor Nusa Tenggara, Sulawesi dan Papua. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 2,72% terhadap Blue Print dan 3,82% terhadap POK 2013 dari target total bobot 5% atau terjadi intervensi sebesar 1,09% terhadap Blue Print dan 1,53% terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 2%. Pengembangan Teknologi Pakan. Kegiatan ini bertujuan untuk menerapkan berbagai hasil penelitian menjadi paket teknologi di lapangan. Implementasinya adalah adanya teknologi pakan yang dilengkapi dengan pengembangan SDM dan 89
pelatihan pemanfaatan teknologi pakan dengan bahan baku lokal. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 2,43% terhadap Blue
Print dan 6,14% terhadap POK 2013 dari target total bobot 8% atau terjadi intervensi sebesar 0,39% terhadap Blue Print dan 1% terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 1,3%. Pengembangan Water Reservoir. Kegiatan ini bertujuan untuk menerapkan teknologi penyimpanan air, terutama di daerah yang kekurangan air untuk ternak melalui pembangunan embung, tandon air dan pengelolaannya. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 1,83% terhadap POK 2013 dari target total bobot 3% atau terjadi intervensi sebesar 1,83% terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 3%. Keempat, aspek kesehatan hewan. Pengurangan tingkat kematian ternak sebagai akibat penyakit hewan menular. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak melalui pengurangan angka kematian ternak. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 6,84% terhadap
Blue Print dan 8,31% terhadap POK 2013 dari target total bobot 15% atau mampu menurunkan tingkat kematian ternak sebagai akibat penyakit hewan menular sebesar (0,06%) terhadap Blue Print dan (0,07%) terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 0,13%. Penurunan tingkat kesakitan ternak sebagai akibat penyakit hewan tidak menular. Kegiatan ini bertujuan untuk menurunkan tingkat kesakitan ternak sebagai akibat penyakit hewan tidak menular tetapi merugikan secara ekonomis. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 3,54% terhadap
Blue Print dan 6,20% terhadap POK 2013 dari target total bobot 10% atau terjadi penurunan tingkat kesakitan ternak sebagai akibat penyakit hewan tidak menular sebesar (3,54%) terhadap Blue Print dan (6,20%) terhadap POK 2013 dari target intervensi sebesar 10%. Kelima, aspek kesehatan masyarakat veteriner dan pasca panen dalam kegiatan operasionalnya mencakup pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH. Peningkatan RPH ditargetkan untuk penerapan higiene dan sanitasi di RPH dalam upaya penyediaan pangan asal ternak yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Adapun pelaksanaan kegiatan operasionalnya mencakup: (1) Pembangunan RPH 90
baru di provinsi yang memiliki potensi dalam usaha pemotongan hewan namun belum memiliki fasilitas RPH yang memenuhi persyaratan teknis higiene sanitasi dengan cara: (a) Pembangunan RPH baru yang memenuhi persyaratan teknis
higiene sanitasi dan kesejahteraan hewan, baik dari aspek lokasi, prasarana jalan dan air bersih, bangunan dan peralatan; (b) Penyiapan Sumberdaya Manusia RPH yang terampil dan terlatih; (c) Peningkatan kemampuan pengelola RPH dalam menerapkan manajemen RPH sebagai sarana pelayanan masyarakat untuk menghasilkan produk yang ASUH. Renovasi RPH yang sudah ada, dengan cara: (a) Fasilitasi perbaikan bangunan dan/atau peralatan RPH sehingga mampu menerapkan praktek higiene sanitasi dan kesejahteraan hewan; (b) Pembinaan pelayanan teknis kesmavet di RPH; (c) Penatalaksanaan manajemen dan operasional RPH yang mengacu kepada prinsip sistem jaminan keamanan dan kehalalan pangan. Realisasi sampai dengan bulan Desember 2013 terhadap kegiatan ini sebesar 5% terhadap Blue Print dan 8,15% terhadap POK 2013 dari total bobot 10%. Keenam, aspek pengaturan dan distribusi dalam kegiatan operasionalnya mencakup peningkatan indeks distribusi yang bertujuan untuk meningkatkan potensi ternak lokal untuk memasuki tata niaga formal antara lain melalui pasar hewan, rumah potong hewan dan pasar daging. Dengan masuknya ternak lokal pada tata niaga formal akan menurunkan jumlah impor sapi bakalan maupun daging. Indeks distribusi pada tahun 2014 ditargetkan meningkat 0,70% dari 0,61% kondisi eksisting (Revisi Blue Print, 2012). Realisasi kegiatan pada setiap parameternya sampai dengan bulan Desember 2013 sangat bervariasi, ada yang baru mencapai 10%, namun ada pula yang telah selesai sehingga realisasinya sebesar 100%. 9.2. Isu-Isu Kebijakan Aktual 9.2.1. Perubahan Regulasi Impor Sapi Potong dan Daging Sapi Perubahan Permentan No. 84/Permentan/PD.410/8/2013 tanggal 30 Agustus 2013 menjadi Permentan No. 96/Permentan/PD.410/9/2013 tanggal 28 September 2013 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
91
Perubahan Permentan No. 85/Permentan/PD.410/8/2013 tanggal 30 Agustus 2013 menjadi Permentan No. 97/Permentan/PD.410/9/2013 tanggal 28 September 2013 tentang Pemasukan Sapi Bakalan, Sapi Indukan, dan sapi Siap Potong ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Prinsip dasar perubahan tersebut meliputi: (a) Penentuan kuota impor sapi dilakukan oleh Kementerian Perdagangan, sedangkan Kementerian Pertanian hanya mengeluarkan Rekomendasi Teknis Kesehatan Hewan yang ditanda tangani oleh Direktur Kesehatan Hewan; (b) Importir adalah semua perusahaan swasta dan BUMN yang telah memenuhi persyaratan. Pada tahun 2013, Kementerian Perdagangan memperbaharui aturan impor dan ekspor hewan dan produk hewan dengan Permendag Nomor 46/MDAG/PER/8/2013, Tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan. Pada peraturan ini menyertakan penetapan harga refernsi oleh pemerintah. Permendag
46/2013
diubah
kembali
dengan
Permendag
Nomor
57/M-
DAG/PER/9/2013, Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan 46/MDAG/PER/8/2013. Hal yang mengalami perubahan terkait pada peran Perum Bulog. Pada Permendag 46/2013, Pasal 18 disebutkan sebagai berikut: (1) Pemerintah dapat menunjuk Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik untuk melakukan impor Hewan dan Produk Hewan dalam rangka menjaga ketahanan pangan; (2) Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik hanya dapat mengimpor Hewan dan Produk Hewan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini untuk didistribusikan ke pasar ritel atau eceran; dan (3) Impor Hewan dan Produk Hewan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat Persetujuan Impor dengan melampirkan rekomendasi impor sebagimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) hurub b dan dikecualikan dari ketentuan mendapatkan penetapan sebagai IT-Hewan dan Produk Hewan. 9.2.2. Ketersediaan dan Permintaan (Supply and Demand) Ketersediaan dan permintaan (Supply and Demand) Daging Sapi/Kerbau dan Sapi Potong tahun 2013. Secara nasional ketersediaan daging tahun 2013 berjumlah 509,89 ribu ton yang terdiri dari: (a) Ketersediaan produksi lokal sebanyak 474,41 ribu ton; dan (b) Kekurangan penyediaan sebanyak 75,26 ribu ton. 92
Dalam Rakortas yang diadakan pada tanggal 20 November 2012, kekurangan tersebut diputuskan dibulatkan menjadi 80 ribu ton. Impor daging sapi sebanyak 80 ribu ton terdiri dari 32 ribu ton dalam bentuk daging beku dan sebanyak 48 ribu ton setara dengan 267 ribu ekor sapi bakalan. Selanjutnya dalam Rakortas tanggal 20 Juni 2013 diputuskan tambahan impor sebanyak 3.000 ton daging beku yang ditugaskan kepada Perum BULOG dan sapi siap potong sebanyak 25.000 ekor untuk memenuhi kebutuhan Hari Idul Fitri Tahun 2013. Konsumsi daging sapi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun seiring pertumbuhan ekonomi dan perubahan perilaku konsumsi masyarakat (Fabiosa, 2005).
Konsumsi daging secara nasional pada tahun 2013 sebanyak
549,67 ribu ton yang meliputi: (a) Konsumsi rumah tangga sebanyak 517,67 ton; (b) Industri pengolahan sebanyak 19.400 ton; dan (c) HOREKA (Hotel, Restoran dan Katering) sebanyak 12.600 ton. Realisasi impor daging sapi sampai dengan bulan Desember 2013 adalah sebanyak 30.840 ton (yang dilakukan oleh 67 perusahaan importir daging) dan Perum BULOG sebanyak 1.300 ton. Realisasi impor sapi bakalan sampai dengan bulan Desember 2013 adalah sebanyak 339.358 ekor yang masuk melalui 4 (empat) pelabuhan, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta; Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung; Pelabuhan Tanjung Intan, Cilacap; dan Pelabuhan Belawan, Medan. Realisasi impor sapi siap potong sampai dengan bulan Desember 2013 adalah 113.102 ekor. Sementara itu, realisasi impor sapi bibit dan kerbau bakalan sampai bulan Desember 2013 masing-masing sebesar 199 ekor dan 201 ekor. 9.2.3. Penetapan Referensi Harga Daging Sapi Harga daging sapi saat ini masih di anggap relatif tinggi yaitu antara 80.00090.000/kg dan bahkan pada hari-hari menjelang puasa dan hari raya idul fitri mencapai Rp 95.000-100.000,-/kg atau di atas harga referensi yang ditetapkan sebesar Rp 76.000/kg meskipun kuota impor tidak dibatasi lagi. Diusulkan agar harga referensi berdasarkan hasil kajian Badan Litbang Pertanian, IPB dan PPSKI yang dianggap layak untuk peternak dan tidak memberatkan konsumen adalah antara Rp 85.000,00–Rp 90.000,00/kg untuk daging kelas 2 (secondary cuts) dan antara Rp 80.000,00–Rp 85.000,00 untuk daging kelas 3. 93
Hasil kajian empiris
dilapang di Jawa Tengah dan jawa Barat juga diperoleh besaran yang sama, bahwa dengan memperhitungkan biaya pokok usahaternak, keuntungan normal 10 %, serta biaya biaya pemasaran dan margin keuntungan pelaku tata niaga maka harga referensi yang dipandang adil baik bagi peternak maupun konsumen sebesar Rp. 85.000,00-90.000,00/kg untuk daging kelas dua (secondary cut) dan Rp. 80.000,0085.000,00/kg untuk daging kelas 3. 9.2.4. Tata Niaga dan Transportasi Keterbatasan sarana prasarana pengangkutan ternak dari daerah-daerah produsen seperti NTT, NTB, Bali, dan Sulsel ke daerah konsumen seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Informasi dari Kementerian Perhubungan pada Rakonteknas di Bandung tanggal 28 November 2013 menyampaikan bahwa tahun 2014 akan tersedia kapal angkut ternak dari daerah produsen ke konsumen yang dimodifikasi dari kapal perang dengan kapasitas 400 ekor per kapal. Sedangkan kapal yang di desain khusus untuk pengangkutan ternak saat ini sedang dalam proses pembuatan dan direncanakan selesai pada bulan Juni 2015.
Adanya
komitmen dari Kementerian Perhubungan dalam distribusi ternak sapi dan daging sapi diharapkan dapat membantu menstabilkan harga daging sapi di pasar domestik. 9.2.5. Analisa Perhitungan Pasokan dan Kebutuhan Sapi Potong dan Kerbau 2014 Dalam rangka mengamankan ketersediaan daging dan ternak sapi/kerbau tahun 2014, masing-masing provinsi sudah melakukan penghitungan potensial stock dan ready stock di wilayahnya masing-masing. Perhitungan ketersediaan sapi dan kerbau tahun 2014 juga berdasarkan dengan data yang diperoleh dari hasil Sensus Pertanian Tahun 2013 (ST-13), terutama dikaitkan dengan data yang ada di masingmasing provinsi dan kabupaten untuk dapat digunakan sebagai perhitungan ketersediaan daging sapi dan kerbau tahun 2014. Berdasarkan parameter yang telah disepakati, potensial stock daging sapi dan kerbau tahun 2014 berasal dari sapi potong dan kerbau jantan dewasa dikurangi untuk pemacek, dan betina afkir, sapi perah dewasa dan betina afkir, maka
94
diperoleh potensial stock 3,25 juta ekor dan ready stock sebanyak 2,952 juta dan menghasilkan daging sebanyak 530,8 ribu ton. Berdasarkan hasil pemantauan harga sapi dan daging sapi sepanjang tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, terlihat adanya fluktuasi dan puncaknya terjadi pada bulan Agustus dan Oktober 2013 karena terkait dengan Idul Fitri, Idul Adha dan banyaknya acara perkawinan. Selanjutnya referensi harga Rp.76.000,- per kg perlu ditinjau kembali dengan mempertimbangkan harga dasar di tingkat peternak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan, keuntungan para peternak, serta biaya pemasaran dan margin keuntungan bagi pelaku tataniaga sapi dan atau daging sapi. Ijin impor sapi dan daging sapi saat ini dilakukan melalui Unit Pelayanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan secara elektronik, dimana persetujuan impor sapi dan daging sapi diberikan per triwulan, dengan mencantumkan jumlah sapi yang diimpor (ekor) dan tonase daging impor. Untuk mendapatkan surat ijin impor sapi dan daging sapi maka para importir terdaftar harus menyertakan bukti realisasi impor, minimal harus mencapai 80 % dari renaca impor pada periode satu tahunnya.
9.3. Opsi Kebijakan Stabilisai Harga Daging Sapi Produk daging sapi tergolong produk bernilai ekonomi tinggi ( high value
product) dihargai konsumen dengan harga yang relatif tinggi dibanding komoditas pangan lainnya, bahkan dibandingkan harga daging jenis lainnya. Ada fenomena pergeseran permintaan dari komoditas biji-bijian (tradisional) ke arah produk bernilai ekonomi tinggi yang dalam ekonomi (high value commodity) atau dalam ekonomi disebut fenomena value ladder. Fluktuasi harga produk daging sapi di pasar domestik terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dan permintaan. Salah satu penyebab utama kekurangan pasokan adalah ketidakmampuan produsen dalam mengatur volume pasokan baik dari aspek jumlah, kualitas dan kontinyuitas pasokan. Jika pada tahun 2013 rata-rata harga daging sapi di pasar domestik mencapai Rp 100.000/Kg maka diproyeksikan pada tahun 2019 naik menjadi Rp 137.635/Kg. 95
Sementara itu, perkembangan harga bulanan menunjukkan keterkaitan yang tinggi dengan hari-hari besar keagamaan, terutama menjelang puasa dan hari raya lebaran, serta Idul Adha. Pada umumnya, satu minggu-dua minggu sebelum memasuki Bulan Puasa, harga merambat naik hingga mencapai 10-20%, kemudian pada bulan puasa sedikit mengalami penurunan, dan kemudian melonjak lagi pada seminggu sebelum lebaran hingga mencapai 10-30%, dan selanjutnya mengalami penurunan harga pasca Hari Raya Lebaran. Pada satu-dua minggu sebelum Hari Raya Idul Adha harga sapi meningkat hingga mencapai 10-30%. Sementara itu, pada hari-hari raya keagamaan lainnya, seperti Natal dan Tahun Baru serta Imlek, biasanya harga produk daging sapi mengalami peningkatan secara terbatas dan bersifat sangat temporal, kurang lebih 5-10%. Harga produk daging sapi berfluktuatif, hal ini sangat berkaitan erat dengan dinamika fluktuasi harga bakalan dan harga pakan ternak. Artinya bahwa fluktuasi harga produk daging sapi sangat dipengaruhi faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawarannya. Menurut Irawan et al. (2001), kondisi harga yang fluktuatif pada dasarnya terjadi akibat kelebihan atau kekurangan penawaran dibandingkan dengan permintaan. Fluktuasi harga tersebut umumnya disebabkan oleh dis-sinkronisasi perencanaan produksi antar daerah produksi. Beberapa faktor lain berpengaruh adalah terbatasnya Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan Tempat Pemotongan Hewan (TPH) yang memenuhi standar kebersihan dan kesehatan, gudang/peralatan penyimpanan berpendingin (cold storage) dan moda transportasi berpendingin yang mampu mengendalikan volume penawaran. Fluktuasi harga tersebut seringkali lebih merugikan peternak daripada pelaku usaha besar. Biasanya jika terjadi peningkatan harga di pusat pasar konsumen, informasi kenaikan harga tidak ditransmisikan secara sempurna, tetapi jika terjadi penurunan harga di pusat pasar konsumen, informasi penurunan harga ditransmisikan secara sempurna. Hasil kajian data sekunder dan wawancara empiris dilapang tentang pembentukan harga produk daging sapi di pasar domestik menunjukkan: (1) Harga produk daging sapi ditentukan oleh sisi pasokan dan sisi permintaan, dan sisi kekurangan pasokan lebih sering terjadi; (2) Pada saat pasokan kurang dari permintaan, maka harga produk daging sapi meningkat secara pesat, sebaliknya pada saat pasokan berlebih dari permintaan maka terjadi fenomena anjlok harga, 96
secara empiris fenomena lonjak harga di pasar domestik lebih sering terjadi terutama pada saat menjelang bulan puasa dan menjelang lebaran, sedangkan kenaikan harga sapi hidup lebih sering terjadi menjelang Hari Raya Idul Adha; (3) Kebutuhan produk daging sapi cenderung konstan sepanjang waktu, hanya pada hari raya atau hari besar keagamaan terutama menjelang puasa dan hari raya lebaran permintaan daging sapi meningkat sekitar (10-30%); (4) Sementara pasokan berubah-rubah sepanjang waktu, karena sangat dipengaruhi oleh gejolak faktor eksternal, seperti wabah penyakit dan dinamika pasar global; (5) Sangat mendesak mengembangkan kebijakan manajemen rantai pasok ( supply chains
management/SCM) dan manajemen rantai nilai (value chain management/VCM), sehingga ada keterpaduan antara perencanaan, koordinasi dan pengendalian aktivitas bisnis dalam rantai pasok dan pembagian manfaat secara adil dalam distribusi nilai superior produk daging sapi dengan biaya termurah untuk memenuhi variabel-variabel kepuasan pelanggan (Vorst and Van Der, 2006). Selama ini bisnis industri daging sapi di dalam negeri lebih diserahkan pada mekanisme pasar, meskipun terdapat peraturan dan kebijakan pemerintah yang secara dinamis diterbitkan pemerintah. Beberapa kebijakan pemerintah yang telah dikeluarkan pemerintah adalah kebijakan tarif impor daging sapi dan bakalan yang masing-masing hanya sebesar 5% dan 3,5% padahal bound tarif untuk kedua komoditas tersebut masing-masing sebesar 50% dan 40% (Kemenkeu, 2012; Erwidodo, 2013). Perubahan Permentan No. 84/Permentan/PD.410/8/2013 tanggal 30 Agustus 2013 menjadi Permentan No. 96/Permentan/PD.410/9/2013 tanggal 28 September 2013 tentang Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Perubahan Permentan No. 85/Permentan/PD.410/8/2013 tanggal 30 Agustus 2013 menjadi Permentan No. 97/Permentan/PD.410/9/2013 tanggal 28 September 2013 tentang Pemasukan Sapi Bakalan, Sapi Indukan, dan sapi Siap Potong ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Penetapan harga referensi daging sapi sebesar Rp 76.000,-/Kg. Kebijakan tersebut dapat dikatakatan bias ke masyarakat konsumen dan minim dalam perlindungan ke peternak atau produsen (Permendag 57 Tahun 2013). 97
Untuk mengatasi gejolak harga daging sapi dapat dilakukan upaya stabilisasi harga sebagai berikut: (1) Perencanaan produksi antar wilayah sentra produksi yang didasarkan atas dinamika permintaan pasar (baik lokal, regional maupun nasional), bukan semata-mata tergantung pada hari-hari besar keagamaan; (2) Memperbaiki kelancaran sistem distribusi pasokan produk daging sapi dari daerah-daerah sentra produksi (NTT, NTB, Bali, Sulawesi, Jawa Timur, Jawa tengah) ke pusat konsumsi (Jabodetabek) dengan dukungan infrastruktur dan moda transportasi dengan sistem rantai dingin (cold chain); (3) Memperbaiki struktur pasar sapi dan daging sapi yang dikendalikan oleh feed lotter-importir-pedagang besar, sehingga tercipta mekanisme pasar yang adil dan transparan, sehingga dapat memberikan insentif berproduksi bagi peternak; (4) Mempengaruhi mekanisme pasar input (perilaku industri pembibitan, industri pakan ternak) dan pasar output (feedlotter, importir, dan pedagang besar) di pusat-pusat pasar terutama di pasar Jabodetabek yang akan berdampak secara luas ke pasar-pasar diluar wilayah Jabodetabek; dan (5) Membangun
kemitraan rantai
pasok
(supply
chain management/SCM) dan
manajemen rantai nilai (management value chain/VCM) pada industri daging sapi yang bersifat saling membutuhkan, memperkuat, dan menguntungkan, sehingga terbangun keterpaduan proses produk dan keterpaduan antar pelaku usaha. Terdapat beberapa model kebijakan stabilisasi harga untuk melindungi petani dan peternak, yaitu: (1) Harga Pembelian Pemerintah (HPP), sudah diterapkan pada komoditas gabah dan atau beras; (2) Harga Minimum Regional (HMR), sudah diterapkan pada komoditas jagung; (3) Stabilisasi Harga Komoditas (SHK), sudah diterapkan pada komoditas kedelai; dan (4) Harga referensi sudah diterapkan pada produk daging sapi dan produk hortikultura. Berdasarkan tinjuan konseptual dan kajian empiris dilapang kebijakan harga yang dipandang relefan dengan kebijakan stabilisasi harga daging sapi adalah kebijakan
Kebijakan Minimun Regional (HMR) dan Kebijakan Harga Referensi.
Harga Minimum Regional (HMR) dapat dijadikan harga indikasi bagi petani/peternak, pedagang, importir, industri pengolahan dalam penentuan harga saat melakukan transaksi. Bagi peternak adanya harga indikasi dapat memperkuat posisi tawar dan transparansi harga sapi dan daging sapi yang dihasilkan. Mendorong terjadinya
98
perbaikan kualitas sapi dan daging sapi, karena perbedaan kualitas atau mutu akan diberikan harga yang berbeda di pasar. Dasar penetapan HMR adalah: (1) Biaya produksi dan pendapatan usahaternak, (2) Harga sapi hidup/daging sapi domestik dan internasional, (3) Nilai tukar rupiah terhadap dollar, (4) Tarif atau bea masuk sapi dan daging sapi, dan (4) Upah Minimum Regional (UMR) Wilayah. Komoditas yang sudah ditetapkan HMRnya adalah komoditas jagung di Provinsi Lampung dan Sumatera Utara. Peluang menerapkan kebijakan ini pada produk daging sapi dipandang relefan, karena komoditas daging sapi memiliki posisi perdagangan yang relatif sama dengan komoditas jagung, dimana Indonesia sebagai net importer. Namun untuk dapat mengimplementasikan kebijakan HMR harus didukung adanya kelompok/gapoktan/ asosiasi-asosiasi/koperasi peternak sapi potong di daerah-daerah sentra produksi dan dukungan pendanaan pemerintah baik melalui APBN maupun APBD yang besar, karena untuk menstabilkan harga perlu adanya operasi pasar. Kebijakan kedua yang dipandang cocok dan telah diterapkan untuk stabilisasi harga daging sapi adalah kebijakan harga referensi. Dalam upaya stabilisasi harga daging sapi di tingkat eceran, Kementerian Perdagangan melakukan kebijakan Harga Referensi Daging Sapi melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/MDag/Kep/8/2013 tanggal 30 Agustus 2013 tentang ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan. Penyebab terjadinya fluktuasi (peningkatan)
harga daging sapi (jawaban
boleh lebih dari satu) (Pedagang, Dinas Pedagangan Provinsi/Kabupaten, Dinas Peranian Prov/Kab, Kelompok Peternak) secara berturut-turut adalah: keterbatasan pasokan,
peningkatan
permintaan
karena
kebutuhan
pada
hari-hari
besar
keagamaan (puasa, hari raya idul fitri, idul adha, natal, imlek), berkembangnya industri pengolahan berbasis daging sapi (bakso, abon, dendeng, industri kuliner), berkembangnya pasar modern (Super Market/Hyper Market), kenaikan harga input (bakalan dan pakan), dan kenaikan biaya distribusi/angkutan. Sebagian besar sumber informasi dilapang mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama fluktuasi harga daging sapi adalah keterbatasan pasokan. Hal ini antara lain disebabkan oleh: (1) Adanya kebijakan pemerintah yang menghambat masuknya produk impor (sapi indukan, sapi bakalan, dan daging sapi), seperti 99
kebijakan tarif dan kuota; (2) Berkurangnya ketersediaan sapi lokal, karena tingginya tingkat pemotongan terutama pada saat Idul Adha; (3) Tingginya pemotongan sapi betina produktif, yang terjadi di daerah sentra-sentra produksi baik di Pulau Jawa maupun Luar Pulau Jawa; (4) Kurang berkembangnya industri pembibitan, karena kurangnya insentif usaha pembibitan; (5) Keterbatasan sarana dan
prasarana
pemotongan
hewan
(RPH)
modern,
dan
(6)
Keterbatasan
infrastruktur sistem distribusi dan pemasaran sapi dan daging sapi. Secara umum stakeholders yang terkait dengan industri daging sapi, baik itu pemerintah pusat (Ditjen Peternakan, Kementan; Ditjen P2HP, Kementan, Ditjen Pemasaran Dalam Negeri, Kemendag; Ditjen Pemasaran Luar Negeri, Kemendag; Dinas
Peternakan,
Dinas
Perdagangan)
mengetahui
bahwa
saat
ini
pemerintah/Kemendag telah menerapkan kebijakan harga referensi (Permendag 46 Tahun 2013 yang diubah menjadi Permendag No. 57 Tahun 2013) pada komoditas harga daging sapi potong di Indonesia. Hasil kajian terhadap Permendag tersebut diperoleh informasi tentang pokokpokok pengaturan impor hewan dan produk hewan adalah sebagai berikut: (1) Mekanisme impor dilakukan dengan menggunakan Harga referensi; (2) Harga Referensi adalah harga acuan penjualan di tingkat pengecer; (3) Harga Referensi telah ditetapkan sebesar Rp. 76.000,00/kg untuk jenis secondary cuts; (4) Harga Referensi dapat dievaluasi sewaktu-waktu oleh Tim Pemantau Harga Daging Sapi yang dibentuk oleh Menteri Perdagangan yang keanggotaannya terdiri dari inststansi terkait; dan (5) Berdasarkan hasil evaluasi, Tim Pemantau Harga Daging Sapi mengusulkan Harga Referensi kepada Menteri Perdagangan untuk ditetapkan kembali menjadi Harga Referensi baru. Mekanisme penentuan kebijakan impor sapi dan daging sapi berdasarkan Hrga Referensi adalah sebagai berikut: (1) Mekanisme impor daging sapi dilakukan berbasis harga, maka diperlukan pemantauan dan proyeksi harga daging sapi untuk jenis secondary cuts dalam menentukan “buka-tutup” impor; (2) Hasil pemantauan harga harian daging sapi selama periode tertentu akan digunakan sebagai proyeksi harga yang terjadi untuk dua bulan ke depan; dan (3) hasil proyeksi harga untuk dua bulan ke depan digunakan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan impor,
100
dengan tetap memperhatikan faktor yang mempengaruhi harga seperti iklim, ketersediaan stok, dan andil komoditi terhadap tingkat inflasi. Hasil kajian empiris di lapang untuk pelaku usaha hanya importir, pedagang besar dipusat konsumsi, pedagang besar di daerah sentra produksi, Asosiasi Sapi Potong mengetahui adanya kebijakan harga referensi. Sementara itu, pelaku usaha rakyat, seperti peternak kecil dan pedagang pengecer tidak mengetahui adanya kebijakan harga referensi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 76.000,00/kg untuk secondary cut. Menurut pendapat informan kunci baik di tingkat pusat maupun daerah terhadap besaran harga referensi daging sapi yang ditetapkan pemerintah dipandang terlalu rendah. Harga yang dipandang wajar menurut Ditjen Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Dinas Peternakan, peternak, dan pedagang sebesar Rp 80.000,00 – 90.000,00,-/kg untuk secondary cut atau rata-rata Rp 85.000,00/kg. Harga referensi adalah merupakan mekanisme penetapan harga berdasarkan pada harga ditingkat konsumen dan berkaitan dengan penawaran dan permintaan. Jika harga ditingkat konsumen tinggi berarti atau melampaui harga referensi dianggap pasokan barang dipasar kurang atau terjadi kelangkaan di pasar, sehingga untuk memenuhi permintaan dan menstabilkan harga barang di pasar, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan impor untuk mencukupi pasokan. Kebijakan referensi ini telah diberlakukan daging sapi dan produk-produk hortikultura (cabai merah dan bawang merah). Faktor-faktor yang telah dipertimbangkan dengan baik dalam penetapan harga referensi daging sapi adalah biaya pokok usahaternak dari bakalan sampai dengan sapi siap potong, biaya pemasaran (angkut) dari daerah sentra produksi ke pusat konsumsi, dan margin keuntungan masing-masing pelaku tataniaga. Kendala-kendala pokok dalam implementasi kebijakan harga referensi mencakup kendala teknis, ekonomi, sosial-kelembagaan, dan aspek kebijakan. Kendala teknis meliputi: (1) Penentuan pasokan baik yang bersumber dari sapi lokal tidak mudah, karena ternak sapi bagi peternak rakyat memiliki multi fungsi terutama sebagai tabungan (sehingga sering disebut “Rojo Koyo”); (2) Tidak mudah menentukan ketersediaan sapi impor di negara asal; dan (3) Infrastruktur terutama
101
pengangkutan baik dari daerah sentra produksi ke pusat konsumsi maupun dari negara asal ke pasar domestik. Kendala ekonomi meliputi: (1) Meningkatnya harga input produksi (sapi bakalan, indukan, dan pakan ternak); (2) meningkatnya harga sapi dan daging sapi domestik maupun pasar global; dan (3) Lemahnya permodalan peternak terutama untuk usaha pembibitan maupun usaha penggemukan sapi potong. Kendala sosial-ekonomi meliputi: (1) Lemahnya konsolidasi kelembagaan peternak (kelompok peternak, gapoktan, dan asosiasi sapi potong); (2) Stuktur pasar sapi dan daging sapi yang tidak berjalan secara baik dan sempurna; dan (3) Kurang optimalnya sistem koordinas Tim Pemantau Harga Daging Sapi, baik antara Tim Pengarah dengan Tim Teknis maupun koordinasi internal masing-masing, sehingga sistem koordinasi belum berjalan secara optimal. Kendala aspek kebijakan meliputi: (1) Berubah-ubahnya kebijakan dan peraturan pemerintah terkait komoditas pangan strategis, sehingga menyulitkan dalam operasionalisasi dilapangan; (2) Sosialisasi kebijakan kurang dilakukan melalui proses sosial yang matang; (3) Ada transisi harga dari sebelum ada kebijakan dengan setelah ada kebijakan pemerintah, ada keterlambatan waktu ( lag time) antara saat kebijakan diambil dengan dampak yang diharapkan; dan (4) Kebijakan pemerintah jika tidak dilakukan secara tepat dan cepat dapat menimbulkan rush
buying di negara sumber ternak atau daerah sentra produksi, sehingga bisa bersifat kontra produktif, yang semula ditujukan untuk menstabilkan harga malahan berakibat mendorong peningkatan haraga. Beberapa argumen pilihan kebijakan dengan kebijakan referensi harga: (1) Harga referensi ditetapkan berdasarkan masukan seluruh stakholders terkait dengan sapi
dan daging sapi (Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Dinas
Perdagangan, Dinas Peternakan, Peternak, Asosiasi Sapi Potong, Pedagang Besar, Importir); (2) Harga referensi lebih fleksibel untuk diterapkan pada daging sapi dengan sistem buka tutup impor; (3) Mekanisme pasar domestik tetap berjalan, karena pasar didasarkan kekuatan penawaran dan permintaan, impor hanya dilakukan kalau harga bergejolak melebihi harga referensi yang ditetapkan; (4) Harga daging sapi dapat distabilkan pada kisaran yang dinginkan; (5) Kepentingan peternak produsen dan konsumen dapat diakomodasikan dengan baik; dan (6) Tidak 102
memerlukan pendanaan pemerintah yang besar, karena pemerintah hanya memberi ijin impor. Beberapa keterbatasan kebijakan referensi harga: (1) Menentukan harga refernsi secara tepat tidak mudah, karena adanya perbedaan kepentingan antar pihak yang terlibat dalam penentuan harga (Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Dinas Perdagangan, Dinas Peternakan, Peternak, Asosiasi Sapi Potong, Pedagang Besar, Importir); (2) Fenomena harga daging sapi di pasar domestik dan global terus mengalami trend peningkatan, sehingga penetapan berapa lama rentang waktu penetapan harga referensi sulit ditentukan; (3) Penetapan harga refernsi yang berlarut-larut dapat menciptakan rush buying dan dapat berdampak menyebabkan peningkatan harga sapi dan daging sapi di dearah sentra produksi dan asal impor; dan (4) Penetapan harga referensi daging sapi yang dipadukan dengan kebijakan kuato impor dapat mendorong pelilaku rent seeking oleh kelompok pencari rente ekonomi. Usulan kebijakan terkait harga referensi pada produk daging sapi: (1) Penetapan besaran dan periode berlakunya harga referensi harus didasarkan pada kasil kajian dan diskusi mendalam antar stakeholders terkait; (2) Harus ada keperpihakan ke peternak produsen dan produksi daging sapi domestik, untuk kepentingan ketahanan pangan baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang; (3) Keran impor hanya bisa dibuka pada saat harga pasar (eceran) benar-benar melampaui/diatas harga referensi; (4) Harga referensi harus didasarkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh peternak dan pelaku tata niaga, harga refernsi didasarkan sebagai acuan atau patokan impor jika dan hanya jika ada mengalami lonjak harga di atas harga refernsi; dan (5) Penetapan harga referensi daging sapi harus juga didasarkan dengan daya serap pasar, baik pasar tradisional, pasar modern, industri pengolahan, serta hotel, restaurant dan katering.
103
X. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 10.1. Kesimpulan 1. Secara total produksi sapi potong pada ketujuh negara produsen utama masih menunjukkan pertumbuhan yang positip, meskipun mengalami pelambatan pada periode
2010-2014. Dari sisi pertumbuhan produksi
terdapat tiga kelompok Negara: (1) negara dengan pertumbuhan produksi menurun dialami Amerika Serikat dan Uni Eropa, (2) negara dengan pertumbuhan produksi stabil yaitu Australia dan Selandia Baru, dan (3) negara dengan pertumbuhan menaik terjadi di India, Brazil dan China. 2. Berdasarkan indikator makro teknis menunjukkan bahwa populasi dan produksi sapi domestik mengalami pertumbuhan yang tergolong moderat, namun pertumbuhan tersebut belum mampu memenuhi pertumbuhan permintaan domestik. Pertumbuhan produksi daging sapi secara nasional sebesar 7,48%/tahun. Pertumbuhan produksi daging sapi di Luar Jawa (6,60% - 29,66%) jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan di Pulau Jawa (2,42%-15,92%). 3. Perkembangan harga daging sapi secara nasional selama 10 tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan sebesar 11,6% per tahun. Perkembangan harga tersebut tergolong tinggi dan mengindikasikan adanya kekurangan pasokan daging sapi lokal. 4. Berdasarkan data historis, proyeksi harga daging sapi hingga tahun 2019 diperkirakan terus mengalami peningkatan. Harga aktual daging sapi dunia tahun 2014 sebesar US Cents 183,59/pound menjadi US Cents 219,17/pound pada tahun 2019, atau naik sebesar 19,4% pada periode tersebut. Harga rata-rata harga daging sapi nasional pada tahun 2013 mencapai Rp 100.000/Kg maka diproyeksikan pada tahun 2019 naik menjadi Rp 137.635/Kg. Kondisi ini sesuai dengan tipikal harga daging sapi yang tergolong
high
value
commodity
yang
cenderung
terus
mengalami
peningkatan dari tahun ketahun tanpa pernah mengalami penurunan yang signifikan.
104
5. Proyeksi perkembangan harga daging sapi bulanan di Jakarta dilakukan hingga Nopember 2015. Hasil proyeksi menunjukkan harga daging sapi pada bulan Nopember 2013 sebesar Rp 90.960/Kg naik menjadi Rp 101.342/Kg pada bulan Nopember 2015. Laju pertumbuhan harga yang terus meningkat mengindikasikan bahwa pasar daging sapi baik di pasar domestik cukup prospektif. 6. Hasil
evaluasi
pencapaian
intervensi
kebijakan
14
langkah
kegiatan
operasional PSDSK tahun 2013 yaitu sebesar 74,65% dengan perincian: (1) Aspek perbibitan ternak dengan realisasi 14,61% dari target 16%, (2) Aspek budidaya ternak sebesar 7,29% dari target 13%, (3) Aspek pakan ternak sebesar 29,54% dari target 36%, (4) Aspek kesehatan hewan sebesar 14,54% dari target 25%, dan (5) Aspek kesehatan masyarakat veteriner sebesar 8,11% dari target 10%. Pencapaian target program PSDSK tersebut tergolong baik, meskipun belum maksimal. 7. Terdapat beberapa opsi kebijakan stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah untuk melindungi petani atau peternak dapat dilakukan melalui: (1) Harga Pembelian Pemerintah (HPP), sudah diterapkan pada komoditas gabah dan atau beras; (2) Harga Minimum Regional (HMR), sudah diterapkan pada komoditas jagung; (3) Stabilisasi Harga Komoditas (SHK), sudah diterapkan pada komoditas kedelai; dan (4) Harga referensi, sudah diterapkan pada komoditas daging sapi dan produk-produk hortikultura. 8. Opsi kebijakan yang dipandang relefan untuk stabilisasi harga daging sapi adalah kebijakan harga referensi. Beberapa argumen yang melandasi adalah: (1) Harga referensi ditetapkan berdasarkan masukan seluruh stakholders terkait dengan sapi dan daging sapi (Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Dinas Perdagangan, Dinas Peternakan, Peternak, Asosiasi Sapi Potong, Pedagang Besar, Importir); (2) Harga referensi lebih fleksibel untuk diterapkan pada daging sapi dengan sistem buka tutup impor; (3) Mekanisme pasar domestik tetap berjalan, impor hanya dilakukan kalau harga bergejolak melebihi harga referensi yang ditetapkan; (4) Harga daging sapi dapat distabilkan pada kisaran yang dinginkan; (5) Kepentingan peternak produsen dan
konsumen
dapat
diakomodasikan 105
dengan
baik;
dan
(6)
Tidak
memerlukan pendanaan pemerintah yang besar, karena pemerintah hanya memberi ijin impor. 9. Penetapan harga referensi Rp 76.000,- per kg harga daging sapi perlu ditinjau kembali dengan mempertimbangkan biaya pokok di tingkat peternak dan tingkat keuntungan yang wajar bagi peternak. Hasil kajian empiris dilapang penetapan harga tersebut dipandang kurang berpihak pada peternak produsen, karena tingkat harga referensi yang ditetapkan masih terlalu rendah. Harga daging sapi kelas dua di Provinsi Jawa Tengah mencapai Rp 85.000,00-Rp. 95.000,00/kg. 10.2. Implikasi Kebijakan 1. Berdasarkan indikator makro teknis pertumbuhan populasi dan produksi di Wilayah Luar Jawa lebih tinggi dibandingkan di Pulau Jawa.
Implikasinya
adalah pengembangan sapi potong kini dan kedepan lebih diprioritaskan di Wilayah Luar Jawa terutama melalui pengembangan pola integrasi tanaman ternak. 2. Hasil proyeksi harga baik di pasar global maupun domestik menunjukkan harga daging sapi terus merambat naik. Hal tersebut menunjukkan bahwa prospek daging sapi baik di pasar global maupun pasar domestik cukup prospektif. 3. Upaya stabilisasi harga daging sapi dapat dipadu-padankan dengan upaya Pencapaian Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK2014). Mengingat faktor penyebab fluktuasi harga daging sapi di pasar domestik lebih disebabkan oleh masalah pasokan sapi dan daging sapi lokal. 4. Upaya Pencapaian PSDSK 2014 dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) Aspek infrastruktur meliputi antara lain (a) pembangunan dan rehabilitasi darmaga dan bongkar muat ternak; (b) pengadaan kapal khusus ternak; (c) pengadaan gerbong khusus ternak jalur Jawa-Jabodetabek; (d) pengawasan terpadu jalur tata-niaga ternak dan daging; (e) pemantauan dan pengendalian perkembangan harga komoditas ternak dan daging; (2) Aspek lahan meliputi antara lain (a) penyelesaian status lahan dan pembangunan kawasan
padang
penggembalaan 106
untuk
investasi
ternak
sapi;
(b)
pengembangan integrasi sapi-sawit; (3) Aspek bibit, indukan dan bakalan dijabarkan dalam kegiatan (a) mobilisasi sapi ke sentra-sentra produksi pengembangan; (b) importasi sapi indukan; (c) insentif betina produktif; (3) Aspek SDM meliputi kegiatan: (a) rekruitmen dan peningkatan kompetensi tenaga penyuluh dan SDM bidang peternakan dan kesehatan hewan; (4) Aspek teknologi meliputi kegiatan pengembangan lumbung pakan dan pengolahan hasil samping pertanian; (5) Aspek pembiayaan melalui kegiatan advokasi fasilitasi pembiayaan KUPS, KKPE oleh pelaku usaha. 5. Aspek pendukung yaitu : (a) advokasi penyusunan regulasi mendukung pembangunan peternakan di daerah; (b) penegakan hukum pelarangan pemotongan betina produktif dan penataan TPH; (c) pengusulan penerbitan Pergub tentang kewajiban investasi ternak di lahan perkebunan kelapa sawit; dan (d) penurunan bea masuk sapi indukan dari 5% menjadi 0%. 6. Kisaran harga yang dipandang adil baik dari sisi peternak maupun konsumen sebesar Rp. 80.000,00-90.000,00/kg atau rata-rata Rp 85.000,00/kg daging sapi secondary cut. Penetapan harga referensi harus ditinjau kembali secara periodik (jangka pendek, menengah) dan dilakukan penyesuaian harga referensi yang memenuhi aspek keadilan baik dari sisi peternak, konsumen dan pelaku tataniaga. 7. Langkah yang perlu dilakukan pemerintah diantaranya adalah melakukan sinergi optimum antar kementerian terkait, yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian. Kementerian Pertanian fokus
pada usaha pembibitan dan pengembangan produksi
nasional sejalan dengan pencapaian rencana swasembada daging sapi. Kementerian Perindustrian fokus pada kegiatan hilirisasi untuk menciptakan dan meningkatkan nilai tambah produk.
Kementerian Perindustrian fokus
dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi untuk konsumen umum, HORECA, dan stabilitas harga daging sapi dalam negeri. 8. Pentingnya efektivitas koordinasi tim pengarah, tim teknis, serta di antara tim pengarah dan tim koordinasi.
Efektivitas koordinasi harus dilakukan dari
tahap perencanaan, sosialisasi, implementasi, serta monitoring dan evaluasi sehingga kebijakan stabilisasi harga daging sapi berjalan secara efektif. 107
DAFTAR PUSTAKA ADB. 2011. Dunia Food Price Inflation and Developing Asia. Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank, 2011. BPS. 2011. Statistik Inonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta Daryanto, Arief. 2009. Dinamika Dayasaing Industri Peternakan. IPB Press. Daryanto, Arief. 2010. Poultry Industry Outlook. Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB (MB-IPB). Makalah disampaikan pada Seminar “Strategi Usaha Perunggasan dalam Menghadapi Krisis Global”. Fakultas Peternakan IPB dan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI), Bogor, 26 Oktober 2009 Daryanto, Arief. 2009. Poultry Industry Outlook. Disampaikan pada Seminar “Strategi Usaha Perunggasan dalam Menghadapi Krisis Global” Fakultas Peternakan IPB dan Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) Bogor, 26 Oktober 2009. Direktorat Bapostrat. 2013. Kumpulan Peraturan Komoditi Daging Sapi. Direktorat Bahan Pokok dan Barang strategis, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan RI. Jakarta. Direktorat Bapostrat. 2013. Profil Komoditi Daging Sapi. Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis, Kementerian Perdagangan. Jakarta. Ditjen Peternakan. 2010. Blue Print Integrasi Sapi Potong dengan Tanaman Perkebunan. Kerjasama Direktorat Jenderal Peternakan dengan Universitas Brawijaya. Jakarta. Ditjen Peternakan. 2011. Blue Print Program Swasembada daging Sapi 2014. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. DKP. 2012. Percepatan Pencapaian Swasembada Lima Komoditas Pangan Pokok. Prosiding : Konferensi Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2012. Jakarta. Erwidodo, 2013. Stabilisasi Harga dan Ketahanan Pangan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Seminar Forum Kebijakan Pembangunan Jakarta, 21 November 2013. Fabiosa, 2005. Growing Demand for Animal-Protein-Source Product in Indonesia: Trade Implication. Center for Agricultural and Rural Development, Iowa State University. FAO. 2008. http://www.fao.org/corp/statistics/en/. FAO. 2012. http://www.fao.org/corp/statistics/en/. Gordon Butland. 2012. Feed and Livestock Sector in South East Asia. August 2012.
PUKHET
Irawan et al. 2001. Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Kemenkeu. 2012. Buku Tarif Kepabeanan Indonesia 2012. Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta. 108
Kementan. 2012. Jakarta.
Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.
Kementan. 2013. Laporan Data Kinerja Kementerian Pertanian Tahun 2004-2012. Kementerian Pertanian. Jakarta. Lindert, P. H. dan Ch. P. Kindleberger. 1993. Ekonomi Internasional (Edisi Kedelapan). Alih Bahasa Burhanuddin Abdullah, Bagian Penelitian Bank Indonesia. Penerbit Erlangga. Jakarta. Monke
EA, Pearson SR. 1989. The Policy Analysis Matrix ForAgricultural Development. Itacha and London (GB) : Cornell University Press.
Oktaviani, R., Widyastutik, Amaliah, S. 2010. Dampak FTA ASEAN-China Terhadap Ekonomi Makro dan Ekonomi Sektoral Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Pearson, S., C. Gotsch, dan S. Bahri. 2005. Aplikasi Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Permendag No. 46 Tahun 2013. Tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan. Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Permendag No. 57 Tahun 2013. Tentang. Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 46 Tahun 2013. Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Pusdatin. 2009. Outlook Komoditas Pertanian Sub Sektor Peternakan. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Depatemen Pertanian. Jakarta. Rahardjo, Y. 2000. Supaya Swasembada Daging Berhasil. Indonesia-Views. apakabar@saltmine,radix.net. Samuelson, P.A. dan W.D. Nordaus. 1993. Mikro-Ekonomi. Edisi Ke Empat Belas. Penerbit Erlangga. Jakarta. Saptana dan A. Daryanto. 2013. Dinamika Kemitraan Usaha Agribisnis Berdayasaing dan Berkelanjutan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementetrian Pertanian. Bogor. Tangenjaya, B. 2014. Dayasaing Produk Peternakan: Ceruk Pasar (Niche Market). Bahan Makalah untuk Penyusunan Buku Dayasaing (belum dipublikasikan). Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak. Bogor. Undang-Undang No. 18 tentang Pangan. Vorst, G. A. Dan J. Van Der. 2006. Performance Measurement in Agri-Food SupplyChain Network-An overview, Springer, Netherlands. Yusdja, Y. dan E. Pasandaran. 2005. Keragaan Agribisnis Tanaman-ternak. Dalam: Efendi Pasandaran, A.M. Fagi dan Faisal Kasryno, hal. 185-201. Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Yusdja, Y., R. Sayuti, B. Winarso, I. Sadikin dan C. Muslim. 2004. Pemantapan Program dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.
109