LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkat, kasih dan rahmat-Nya sehingga Tim Peneliti Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri dapat menyelesaikan Laporan “Kajian Kebijakan Harga Pangan” tepat pada waktunya. Kajian ini dilatarbelakangi bahwa isu stabilitas harga tidak hanya menjadi perhatian pemerintah saat ini, tetapi juga di era pemerintahan sebelumnya, terutama sejak berawalnya krisis pada tahun 2008. Pelaksanaan kebijakan harga pangan telah lama dilaksanakan di Indonesia. Sejauh ini pelaksanaannya seolah-olah hanya terlihat dalam jangka pendek yang selanjutnya harga-harga komoditi di dalam negeri terus naik. Sehingga muncul pertanyaan bagaimana pelaksanan kebijakan harga pangan selama ini dan kemungkinan penerapan pelaksanaan kebijakan harga pangan di Indonesia.
Selama ini banyak pendekatan-
pendekatan secara struktural telah dilakukan namun implikasinya belum mengalami
perubahan
sehingga
perlu
pendekatan
yang
sifatnya
kelembagaan. Oleh karena itu kajian kebijakan harga pangan khususnya pada komoditi kebutuhan pangan pokok masyarakat penting dilakukan. Demikian, semoga hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebaiknya dan dapat menjadi informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan. Hasil kajian ini tentunya belum sempurna, maka dari itu sumbang dan saran dari pembaca kami harapkan dan untuk semua itu disampaikan terima kasih. Jakarta, September 2015 Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
i
ABSTRAK
KAJIAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN Salah satu isu dalam kebijakan pemerintah adalah kebijakan stabilisasi harga pangan. Karakteristik produk pangan yaitu harga yang fluktuatif dan produksi yang bersifat musiman. Berbagai peraturan muncul yang esensinya adalah untuk menjaga agar kenaikan harga dapat dikendalikan dan stabil serta mempunyai dampak yang minimal terhadap inflasi. Kebijakan harga pangan dalam pelaksanaannya belum terlihat efektif sehingga perlu penelaahan dari sisi kebijakan, mekanisme pelaksanaan dan kelembagaan. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk (a) menganalisis kemungkinan penerapan kebijakan harga pada bahan kebutuhan pokok di Indonesia dan (b) merumuskan usulan kebijakan harga bahan kebutuhan pokok. Kajian ini menggunakan pendekatan statistik dan deskriptif-kualitatif yaitu profitabilitas usaha tani, koefisien variasi, moving koefisien variasi dan trend. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua komoditi bahan kebutuhan pokok mendapat penetapan kebijakan harga yang sama dan perlu melihat aspek strategis dari komoditi tersebut seperti perannya terhadap inflasi, besarnya pangsa pengeluaran pangan terhadap masyarakat serta fluktuasi harga. Mengacu pada karakteristik produksi dan struktur pasar komoditas pangan pokok di dalam negeri, serta kebijakan pada masing-masing komoditas, maka (a) penetapan kebijakan harga pembelian pemerintah telah diterapkan pada komoditi gula dan beras; (b) penetapan harga eceran tertinggi dapat diterapkan pada komoditi beras, gula dan minyak goreng. Dalam pelaksanaannya, kebijakan HET dilakukan untuk mengantisipasi gejolak harga yang lebih tinggi di tingkat konsumen sehingga perlu ada intervensi operasi pasar; (c) kebijakan harga acuan telah diterapkan pada komoditi cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen serta (d) kebijakan harga khusus. Kebijakan harga khusus hanya diterapkan pada menjelang, saat dan setelah hari besar keagamaan sehingga penetapan harganya tidak perlu dilakukan pada semua komoditi. Implikasinya adalah perlu institusi yang berperan dalam hal monitoring dan evaluasi, perlu ada mekanisme controling dan monitoring serta penegakan sanksi hukum dalam bentuk pidana atau denda/sanksi yang secara eksplisit tertulis dalam suatu peraturan teknis untuk mengurangi tindakan spekulasi pasar terhadap kenaikan harga. Kata kunci: kebijakan kelembagaan
harga
pangan, koefisien
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
keragaman,
dan
ii
ABSTRACT
STUDY OF FOOD PRICE POLICY One of the main issues on government policy is the policy of stabilization of food prices. The Characteristics of food product are fluctuated on price and seasonal on production. Many regulation are produced with its essence is to keep price increases under control, stable and have minimal impact on inflation. Food pricing policy in practice still ineffective so that review of the policies, mechanisms and institutional implementation is necessary. Therefore, the aims of this study are to (a) analyze the possible application of pricing policies on staple food commodities in Indonesia and (b) to formulate policy of staple food commodities. This study uses a statistical approach and qualitative descriptive on farm profitability, coefficient of variation, the moving coefficient of variation and trends. The analysis showed that not all staple food commodities have the same pricing policy. Aspect of strategic role of the commodities on inflation, the share on food expenditure to the community, and price fluctuations are needed to look at. Referring to the characteristics of production and the market structure of essential food commodities in domestic market, as well as policies on each commodity, it can be conclude that (a) determining the purchase price of government policy has been applied to sugar and rice; (b) the determination of the highest retail price (HET) can be applied to rice, sugar and cooking oil. In practice, HET policy is to anticipate volatility of prices at the consumer level that needs to be intervene by market operations; (c) the reference pricing policy has been applied to chili and onions an also improving production management and post-harvest period, (d) special price policy. Special pricing policy only applied before, during and after religious holidays so pricing is not necessary in all commodities. The implication of this policy is the need of institution that plays a role in terms of monitoring and evaluation. The implementations of these policies need a mechanism on controlling, monitoring and law enforcement in the form of criminal sanctions or penalties. The sanctions should explicitly write in a technical regulation to reduce the action of market speculation on prices. Key words: food price policy, coefficient variation, and institutional
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i ABSTRAK ........................................................................................................ii DAFTAR ISI ...................................................................................................iv DAFTAR TABEL .............................................................................................vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1 1.1. Latar belakang ................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 4 1.3. Tujuan ................................................................................................ 5 1.4. Keluaran............................................................................................. 5 1.5. Manfaat .............................................................................................. 5 1.6. Ruang Lingkup ................................................................................... 5 1.7. Sistematika Laporan .......................................................................... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI.............................. 8 2.1. Stabilitas Harga .................................................................................. 8 2.2. Pendekatan Pengelolaan Instabilitas Harga ...................................... 9 2.3. Teori Penentuan Harga Dasar dan Harga Eceran Tertinggi ............ 11 2.4. Pengendalian Harga di Beberapa Negara ....................................... 16 2.5. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 21 BAB III METODE PENGKAJIAN ................................................................. 25 3.1. Metode Analisis ................................................................................ 25 3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data ............................... 32 BAB IV PELAKSANAAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN DI BEBERAPA NEGARA .................................................................... 36 4.1. Malaysia ........................................................................................... 36 4.2. Filipina.............................................................................................. 39 4.3. Brunei Darusalam ............................................................................ 41 4.4. Thailand ........................................................................................... 44 4.5. India ................................................................................................. 46
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
iv
4.6. Tiongkok .......................................................................................... 49 4.7. Indonesia ......................................................................................... 51 BAB V KEBIJAKAN PENGENDALIAN HARGA KOMODITAS PANGAN........................................................................................ .. 55 5.1. Karakteristik Komoditi Pangan ......................................................... 55 5.2. Kebijakan Harga Komoditi Pangan ................................................. 68 5.3. Penentuan Komoditi Pangan Yang Perlu Diprioritaskan .................. 70 5.4. Pengendalian Harga Pada Komoditi Pangan ................................... 81 5.5. Tinjauan Kristis Dari Aspek Kelembagaan & Regulasi ..................... 92 BAB VI EVALUASI KEBIJAKAN HARGA PANGAN DI INDONESIA ......... 98 BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN .................... 111 6.1. Kesimpulan .................................................................................... 111 6.2. Rekomendasi Kebijakan ................................................................ 112 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Klasifikasi Kebijakan Stabilisasi Harga........................................... 9 Tabel 2.2. Pengaturan Harga di Malaysia .................................................... 18 Tabel 2.3. Kategori Instrumen Pengelolaan Instabilitas Harga ..................... 24 Tabel 3.1. Matriks Indentifikasi Komoditi ....................................................... 28 Tabel 3.2. Jenis dan Sumber Data Sekunder ............................................... 33 Tabel 3.3. Jadwal Kegiatan ........................................................................... 35 Tabel 4.1. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Malaysia .................... 38 Tabel 4.2. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Filipina....................... 40 Tabel 4.3. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Brunei Darusalam ..... 43 Tabel 4.4. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Thailand .................... 45 Tabel 4.5. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di India .......................... 47 Tabel 4.6. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Tiongkok ................... 50 Tabel 4.7. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Indonesia .................. 52 Tabel 5.1. Rata-rata Pangsa Pengeluaran Masyarakat Terhadap Pangan Berdasarkan Kelompok Pendapatan............................................ 67 Tabel 5.2. Andil Inflasi Komoditi Selama Tahun 2009-2014.......................... 71 Tabel 5.3. Andil Inflasi, Koefisien Variasi Harga Tingkat Konsumen, Pangsa Pengeluaran Rumah Tangga .......................................... 73 Tabel 6.1. Lembaga/Institusi Yang Terkait Dalam Kebijakan Harga Pangan di Indonesia ................................................................................ 109
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Partial Equilibrium Dalam Kebijakan Price Ceillings ................ 12 Gambar 2.2. Partial Equilibrium Dalam Kebijakan Price Floors ................... 14 Gambar 2.3. Kerangka Kerja Undang-Undang 723 .................................... 19 Gambar 2.4. Mekanisme Intervensi Pemerintah di Komoditi Beras ............. 20 Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran ............................................................... 24 Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis kelembagaan ............................ 30 Gambar 3.2. Tahapan Analisis dalam Penelitian ......................................... 32 Gambar 5.1. Perkembangan Harga Komoditi Pangan ................................. 67 Gambar 5.2. Pergerakan Fluktuasi Harga Komoditi Pangan ....................... 68
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu isu dalam kebijakan pemerintah adalah kebijakan stabilisasi harga pangan serta meminimalkan dampaknya terhadap inflasi. Isu stabilitas harga tidak hanya menjadi perhatian pemerintah saat ini, tetapi juga di era pemerintahan sebelumnya, terutama sejak berawalnya krisis pada tahun 2008. Saat ini, sistem perdagangan pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas menyebabkan produk pangan di dalam negeri sulit terkendalikan sebagai akibat tranmisi dari situasi dan kondisi harga internasional. Kondisi ini serta berbagai permasalahan di dalam negeri seperti produksi dan distribusi menyebabkan harga pangan terutama bahan kebutuhan pangan pokok seperti beras, kedelai, daging ayam, cabai dan bawang merah menjadi berfluktuasi. Selain itu, secara tahunan momen hari besar keagamaan nasional
(HBKN)
memunculkan
adanya
spekulasi
harga
yang
menyebabkan harga bahan kebutuhan pangan pokok setiap tahun cenderung naik. Secara teori, harga produk pertanian khususnya produk pangan ditentukan oleh pasokan (lokal atau impor), permintaan, situasi harga pangan di pasar internasional serta ekspektasi masyarakat (Tomek dan Robinson, 1990). Undang-undang Perdagangan No 7 tahun 2014 pasal 26 ayat 3 mengamanatkan harga
barang
bahwa “dalam menjamin pasokan dan stabilisasi kebutuhan
pokok
dan
barang
penting,
Menteri
menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik serta pengelolaan ekspor dan impor”.
Dalam UU tersebut tersirat bahwa
pemerintah mempunyai pedoman dalam menetapkan kebijakan harga dengan tujuan untuk stabilisasi harga. Pemerintah dalam hal ini
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
1
Kementerian Perdagangan mempunyai indikator besaran stabilisasi harga pangan, yaitu pada kisaran 5-9% (Renstra Kementerian Perdagangan 2010-2014). Kisaran nilai tersebut mempunyai pengertian bahwa jika harga komoditi pangan secara nasional mengalami fluktuasi harga pada kisaran tersebut maka masih dianggap wajar dan jika lebih dari kisaran yang ditargetkan perlu dilakukan intervensi.
Demikian
halnya untuk menjaga stabilitas harga antar wilayah (disparitas harga) kisaran harga yang menjadi patokan ditetapkan pada kisaran 1,5-2,5%. Dengan pengertian bahwa perbedaan harga antar wilayah di Indonesia tidak boleh lebih dari 2,5%. Stabilitas harga pangan adalah kepentingan bersama antara produsen pangan dan konsumen.
Kepentingan produsen pangan
adalah menginginkan adanya kepastian usaha karena harga yang stabil dapat meningkatkan perencanaan produksi dan tentu saja adalah output yang lebih baik. Dari sisi konsumen, instabilitas harga pangan berpotensi menganggu program ketahanan pangan (ketersediaan, aksesibilitas, keterjangkauan, dan gizi pangan). Sudah barang tentu selain masalah instabilitas, persoalan yang sangat penting adalah tingkat harga. Bagi produsen, tingkat harga yang menguntungkan adalah sangat penting untuk kesinambungan usaha, sedangkan bagi konsumen harga yang terjangkau sangat penting untuk memastikan hak-hak dasarnya terpenuhi. Isu stabilisasi harga tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di beberapa negara dengan respon kebijakan yang berbeda-beda1. Untuk menjaga stabilitas harga dan tingkat harga yang wajar beberapa negara melakukan kebijakan harga, baik secara langsung maupun tidak 1
Bagi Indonesia, masalah stabilitas harga masih sangat strategis mengingat pangsa pengeluaran untuk pangan sebagian besar penduduk Indonesia masih sekitar separoh dari total pengeluaran. Sebagai contoh, pada periode 2009-2013 rata-rata pangsanya sekitar 49% (Susenas, 2013). Antar daerah (desa vs kota) maupun antar kelompok pendapatan bervariasi dengan kisaran antara 30-80%
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
2
langsung. Kebijakan harga langsung misalnya melalui pemberlakuan harga eceran tertinggi dan harga dasar serta kebijakan harga tidak langsung meliputi penetapan pajak dan pemberian subsidi. Beberapa negara yang telah menerapkan kebijakan harga eceran tertinggi adalah Filipina dan Malaysia. Bagi Malaysia, price control digunakan untuk memperbaiki pasar yang sedang terdistorsi serta merealokasi distribusi pendapatan yang sebelumnya tidak sempurna (Shariff dan Yusoff, 2013). Pemberlakuan
harga
eceran
tertinggi
oleh
banyak negara
sebetulnya mengabaikan konsensus dari para ekonom yang tidak sependapat mengenai pemberlakuan intervensi harga tersebut dalam jangka panjang. Intervensi harga melalui penetapan harga eceran tertinggi dapat memicu adanya kelangkaan pasokan yang terjadi akibat harga eceran tertinggi ditetapkan lebih rendah dari harga keseimbangan pasar dan kemudian menjadi disinsentif bagi produsen, sementara permintaan
semakin
tinggi. Pada akhirnya,
secara
keseluruhan
kesejahteraan sosial akibat penetapan harga eceran tertinggi menjadi menurun (Hammond, Maret 20142). Di samping kelemahan di atas, penetapan harga eceran tertinggi juga memiliki kelebihan yaitu menjaga terjadinya tingkat harga yang tidak wajar (melebihi nilai barangnya). Selain itu, harga eceran tertinggi juga dapat menjaga biaya hidup lebih terjangkau selama periode inflasi yang sedang tinggi. Sasaran kebijakan harga dasar adalah melindungi produsen. Dalam hal ini aspek-aspek penting yang dipertimbangkan adalah: (i) jenis komoditasnya (strategis/tidak strategis), (ii) jumlah produsen yang terlibat (hulu/hilir), (iii) kontribusi komoditas/sektor yang bersangkutan dalam penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah, serta (iv) untuk menghemat devisa. 2
Pemberlakuan harga dasar, umumnya terjadi
http://smallbusiness.chron.com/advantages-disadvantages-price-ceiling-25210.html
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
3
ketika
adanya
peningkatan
produksi
yang
signifikan,
melebihi
peningkatan permintaan dan kemudian menyebabkan harga dan keuntungannya menjadi turun. Hal ini seolah-olah memberi sinyal kepada
produsen
untuk
mengurangi
produksi
atau
bahkan
meninggalkan produksi (www2.palomar.edu/users/llee/ChapC08.pdf). Kondisi lain yang mendorong pemberlakuan harga dasar adalah kondisi struktur pasar yang tidak menguntungkan produsen. Oleh karena itu, harga dasar digunakan untuk menjaga insentif bagi produsen untuk tetap berproduksi.
1.2. Rumusan Masalah Harga pangan yang stabil adalah kepentingan bersama yaitu bagi produsen, konsumen dan juga pemerintah. Agar produksi pangan dapat berkelanjutan, dan kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi pemerintah harus melindungi masyarakat dan petani dari gejolak harga seperti harga jatuh pada saat panen raya dan harga melambung pada saat diluar panen. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah yaitu kebijakan stabilisasi harga. Harga yang tidak stabil mempunyai dampak ke produsen (disinsentif), konsumen serta ekspektasi inflasi. Kebijakan harga pangan telah lama dilaksanakan di Indonesia. Sejauh ini pelaksanaannya seolah-olah hanya terlihat dalam jangka pendek yang selanjutnya harga-harga komoditi di dalam negeri terus naik. Sehingga muncul pertanyaan bagaimana pelaksanan kebijakan harga pangan selama ini dan kemungkinan penerapan pelaksanaan kebijakan harga pangan di Indonesia. Oleh karena itu kajian kebijakan harga pangan khususnya pada komoditi kebutuhan pangan pokok masyarakat
penting
dilakukan.
stabilisasi harga pangan.
Kebijakan
harga
dalam konteks
Substansi utama yang akan dikaji adalah
jenis-jenis komoditas pangan yang memerlukan, konsep besarannya, instrumen dan kelembagaannya, strategi implementasinya serta law
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
4
enforcementnya. Dalam konteks ini pembelajaran dari studi banding dengan pengalaman beberapa negara sangat diperlukan. 1.3. Tujuan Tujuan dari kajian ini adalah untuk: a. Menganalisis kemungkinan penerapan kebijakan harga pada bahan kebutuhan pokok di Indonesia. b. Merumuskan usulan kebijakan harga bahan kebutuhan pokok.
1.4. Keluaran Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah: a. Keragaan stabilitas harga komoditas pangan dan kebijakan harga yang berlaku saat ini. b. Kemungkinan penerapan kebijakan harga pada komoditi bahan pangan pokok di Indonesia. c. Rekomendasi pelaksanaan kebijakan harga bahan pangan pokok.
1.5. Manfaat a. Kajian ini menjadi rujukan bahan masukan dalam upaya mendukung kebijakan harga barang kebutuhan pokok yang stabil dan terkendali bagi unit teknis di Kementerian Perdagangan. b. Dapat dijadikan bahan referensi bagi akademisi serta Kementerian terkait lainnya. 1.6. Ruang Lingkup Analisis dalam kajian ini mencakup 3 aspek/ substansi, yaitu: a. Cakupan
Komoditas
mengacu
pada
SK
Menko
No.
Kep-
28/M.EKON/05/2010 tentang tim koordinasi stabilisasi pangan pokok serta Renstra Kementerian Perdagangan 2010-2014, komoditi bahan pangan
pokok
dalam
pelaksanaan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
kebijakan
harga
pangan
5
mencakup 10 jenis yaitu beras, gula, minyak goreng, tepung terigu, kedelai, jagung, daging sapi, daging ayam, telur ayam, cabai merah, dan bawang merah). Namun demikian, dengan mempertimbangkan tingkat urgensi pengendalian harga maka komoditi yang menjadi fokus penelitian yaitu beras, gula, daging ayam, cabai merah, bawang merah serta minyak goreng . b. Penentuan Kebijakan harga komoditi. Tidak semua komoditi tersebut di atas relevan memperoleh kebijakan harga yang sama dan diimplementasikan sekaligus atau sangat mungkin ada komoditas yang tidak memperoleh perlakukan keduanya. Aspek Regulasi dan Kelembagaan. Aspek regulasi penting dikaji untuk memperkaya analisis terutama dalam hal perangkat-perangkat regulasi yang diperlukan dan agar kebijakan harga pangan dapat diimplementasikan secara efektif. Selain itu, aspek ini juga menganalisis perangkat-perangkat regulasi yang menyebabkan penerapan kebijakan harga pangan tidak efektif. Aspek kelembagaan yang dimaksud adalah aturan main dan penegakan hukum (law emforcement). 1.7. Sistematika Laporan Laporan kajian rencananya akan disusun dalam enam Bab, yaitu: Bab I. Pendahuluan Pada Bab ini dibahas mengenai latar belakang penelitian, tujuan penelitian, keluaran penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian dan sistematika penelitian. Bab II. Tinjauan Pustaka Pada Bab ini dibahas tinjauan literatur mengenai stabilitas harga, pengelolaan instabilitas harga, kebijakan harga pangan, penerapan kebijakan harga pangan di negara lain, urgensi dari kelembagaan dalam
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
6
kebijakan,
hasil
penelitian
terdahulu
serta
kerangka
pemikiran
penelitian. Bab III.Metode Pengkajian Pada Bab ini akan dibahas mengenai metode analisis, data dan sumber data, metode pengumpulan data. Bab IV. Pelaksanaan Kebijakan Harga Pangan di Beberapa Negara Pada bab ini akan menyajikan pelaksanaan kebijakan harga pangan (harga dasar dan harga eceran tertinggi) di beberapa negara yang meliputi kelebihan, kelemahan, mekanisme implementasi serta evaluasi dari kebijakan itu sendiri. Bab V. Kebijakan Pengendalian Harga Komoditas Pangan Pada bab ini akan dianalisis mengenai karakteristik komoditi bahan pangan pokok, kebijakan harga komoditi bahan pangan pokok, penentuan komoditi pangan yang diprioritaskan, pengendalian harga pada komoditi pangan serta tinjauan kristis dari aspek kelembagaan dan regulasi. Analisis didasarkan pada dua hal yaitu teori dan empiris dari pengalaman penerapan kebijakan harga pangan di negara lain. Bab VI. Evaluasi Kebijakan Harga Pangan di Indonesia Bab VII.Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Bab ini menyajikan kesimpulan mengenai
hasil analisis penerapan
kebijakan harga di negera lain serta kemungkinan implementasi kebijakan harga di Indonesia dan evaluasi kebijakan harga pangan di Indonesia.
Selanjutnya
berdasarkan
hasil
kesimpulan,
akan
disampaikan rekomendasi terkait implementasi kebijakan harga pangan pokok di Indonesia dan aspek pendukungnya.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
2.1. Stabilisasi Harga Pada penelitian yang dilakukan oleh Galtier (2009), krisis harga pangan pada tahun 2007-2008 yang menyebabkan pergolakan di beberapa negara berkembang yang menimbulkan pertanyaan akan pentingnya stabilitas harga. Konsep stabilitas harga didasarkan pada situasi dimana harga selalu berfluktuasi sepanjang waktu. Istilah instabilitas berasal dari variabilitas dan volatilitas yang secara langsung terkait dengan konsep keseimbangan/equilibrium. Instabilitas harga merupakan refleksi dari ketidak seimbangan antara permintaan dan penawaran. Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan karena memang terjadi ketidak seimbangan atau disebabkan oleh adanya harapan ketidak seimbangan yang salah atau benar dari pelaku ekonomi. Apa pun yang menyebabkannya, instabilitas harga selalu berarti adanya ketidak seimbangan dalam jangka pendek. Pergerakan harga dalam jangka panjang yang biasanya terjadi karena disebabkan perubahan teknologi atau perubahan permintaan tidak dapat diartikan sebagai instabilitas harga. Banyak indikator yang digunakan untuk mengukur instabilitas harga,
namun
yang
paling
sering
digunakan
adalah
koefisien
keragaman (coefficient of variation) yang dihitung dari rasio stantard deviation dan mean (Rata-rata).
Indikator ini dianggap tepat karena
dipercaya bahwa tingkat fluktuasi yang rendah di sekitar harga rata-rata dianggap tidak penting. Hanya tingkat peningkatan atau penurunan harga yang ekstrim yang diperhitungkan. Instabilitas harga pangan di negara berkembang pada level yang tinggi menimbulkan konsekuensi yang serius terhadap ketahanan pangan baik dalam jangka pendek
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
8
(akses konsumen terhadap pangan) dan jangka panjang (insentif bagi produsen untuk berinvestasi dan meningkatkan produksi). 2.2. Pendekatan Pengelolaan Instabilitas Harga Galtier, F (2009)3 dalam studinya mengenai pengelolaan instabilitas harga bahan pangan di negara berkembang, menjelaskan bahwa upaya stabilisasi
harga
dapat
ditempuh
melalui
beberapa
pendekatan
(instrument). Dalam studinya, dijelaskan bahwa bentuk pendekatan yang dapat digunakan adalah sebagaimana tertuang dalam matrik berikut: Tabel 2.1. Klasifikasi Kebijakan Stabilisasi Harga Tujuan Pemerintah
Menstabilkan Harga
Mengurangi Dampak Instabilitas Harga
Berbasis Pasar
Kategori A
Kategori B
Publik/Konsumen
Kategori C
Kategori D
Sumber: Galtier, F (2009)
Kebijakan yang menggunakan instrumen pada kategori A bertujuan untuk memfasilitasi arbitrase4 yang bersifat spasial dan temporal yang dilakukan oleh pelaku pasar (produsen, konsumen dan pedagang). Kebijakan ini pada dasarnya mengacu pada pasar cereal serta fokus pada infrastruktur (transportasi, komunikasi, dan gudang/penyimpanan) dan institusi pasar (seperti keberadaan standar, sistem resi gudang, dan bursa yang memfasilitasi permintaan dan penawaran). Ide utama kebijakan ini adalah bahwa secara teori, arbitrase para pelaku pasar menyebabkan harga menjadi homogen sepanjang waktu dan tempat, dan hal ini akan mengurangi tingkat instabilitas harga.
3
How to manage food price instability in developing countries?, Working Paper MOISA, 2009 Dalam konteks investasi, arbitrase merupakan transaksi yang mencoba mengambil kesempatan (keuntungan) dari perbedaan harga untuk suatu aset yang diperdagangkan di dua pasar yang berbeda.atau dapat juga didefinisikan sebagai tindakan spekulasi tanpa resiko (sumber: http://hedisasrawan.blogspot.com/) 4
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
9
Kebijakan yang digunakan pada instrumen kategori B bertujuan untuk mencegah instabilitas harga yang menyebabkan instabilitas pendapatan (yang pada akhirnya akan mempengaruhi konsumsi dan produksi). Secara praktis, ini berarti memungkinkan pelaku ekonomi untuk menutupi/melindungi diri terhadap risiko yang terkait dengan variasi harga (misalnya melalui kontrak berjangka) dan variasi panen (melalui asuransi tanaman atau asuransi indeks cuaca). Pada instrumen kategori C, kebijakan bertujuan untuk memastikan bahwa harga tidak melebihi batas tertentu. Dalam pemilihan kebijakan yang akan digunakan apakah dalam bentuk floor price, ceiling price atau price band tergantung dari kasus tiap komoditi. Pada kategori C, kebijakan berfokus pada pengendalian produksi dan pengelolaan stok. Kebijakan lainnya yang masuk dalam kategori ini adalah kebijakan subsidi input, pajak dan subsidi ekspor/impor (tetap atau variabel), kuota impor, larangan ekspor dan stok penyangga publik. Kebijakan kategori ini merupakan kebijakan yang banyak diterapkan di Indonesia untuk mengatasi fluktuasi harga bahan pangan pokok. Dalam kasus komoditi pangan, kebijakan ini pernah dan masih diterapkan untuk beberapa komoditi seperti beras, gula, dan kedelai. Pada komoditi beras, kebijakan
yang
diterapkan
adalah
penetapan
harga
pembelian
pemerintah untuk padi oleh BULOG, sedangkan gula adalah penetapan harga patokan di tingkat petani. Sementara untuk kedelai, penetapan harga yang diterapkan adalah harga beli di tingkat petani. Pada kategori D, instrumen kebijakan yang diterapkan merupakan alat intervensi pemerintah terhadap publik yang bertujuan untuk membantu pendapatan rumah tangga (household) ketika terjadi kenaikan harga. Kebijakan ini termasuk bantuan langsung (transfer) untuk kategori masyarakat miskin yang menjadi target kebijakan ini.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
10
Bentuk bantuan langsung ini bervariasi dalam bentuk uang, voucher, makanan atau input (bahan baku). 2.3. Teori Penentuan Harga Dasar dan Harga Eceran Tertinggi Kegagalan
pasar
adalah
ketidakmampuan
dari
suatu
perekonomian pasar untuk berfungsi secara efisien dan menimbulkan keteguhan dalam kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. Kegagalan atau kepincangan dalam mekanisme pasar memerlukan campur tangan Pemerintah dalam perekonomian.
Tujuan dari campur tangan
pemerintah adalah untuk (Sukirno, 2008): a. Menjamin agar kesamaan hak untuk setiap individu tetap terwujud dan menghindari penindasan; b. Menjaga
agar
perekonomian
dapat
tumbuh
dan
mengalami
perkembangan yang teratur dan stabil; c. Mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan, terutama perusahaanperusahaan besar yang dapat mempengaruhi pasar agar mereka tidak menjalankan praktek-praktek monopoli yang merugikan; d. Menyediakan “barang bersama” (public goods) yang penggunaannya dilakukan
secara
kolektif
oleh
masyarakat
mempertinggi
kesejahteraan sosial masyarakat; e. Mengawasi agar eksternalitas kegiatan ekonomi yang merugikan masyarakat dapat dihindari atau dikurangi. Pemerintah menyadari adanya beberapa kelemahan dalam pasar bebas, oleh karena itu Pemerintah di berbagai negara melakukan intervensi dalam kegiatan perekonomian. Beberapa bentuk kebijakan Pemerintah
pada
pasar
persaingan
sempurna
adalah
melalui
pengenaan pajak, subsidi kepada produser, harga atap, harga dasar, kuota produksi, tariff impor, dan kuota impor.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
11
Harga suatu komoditi merupakan hasil dari keseimbangan permintaan dan penawaran. Tingkat harga yang dicapai pada keseimbangan untuk komoditi-komoditi tertentu terutama pangan pokok terkadang menimbulkan ketidakpuasan. ketidakpuasan
menimbulkan
tekanan
Pada beberapa kasus, politik
dari
publik
kepada
Pemerintah yang kemudian diharapkan dapat menjaga harga pada tingkat tertentu agar tidak meningkat terlalu tinggi atau jatuh terlalu rendah melalui kebijakan harga (price control) berupa penetapan harga eceran tertinggi dan harga eceran terendah. Harga eceran tertinggi (price ceilings) dan harga eceran terendah (price floors) merupakan praktek dari intervensi Pemerintah kepada pasar terbuka yang merubah keseimbangan pasar. Kebijakan tersebut akan memberikan dampak kepada masyarakat dan produsen yang diharapkan akan memberikan insentif serta meminimalkan biaya dan tradeoff. Harga Eceran Tertinggi (Ceiling Price) Ceiling Price adalah harga maksimal yang ditetapkan oleh Pemerintah pada komoditi dan jasa tertentu yang diyakini telah dijual pada tingkat harga yang lebih tinggi dari wajar yang merugikan konsumen. Namun akan ada konsekuensi jika price ceilings ditetapkan pada tingkat harga di bawah harga keseimbangan pasar.
Gambar 2.1. Partial Equilibrium Dalam Kebijakan Price Ceilings Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
12
Ketika Price Ceilings ditetapkan pada tingkat harga di bawah harga pasar, maka akan terdapat kelebihan permintaan (excess demand) atau kekurangan supply. Jumlah produksi akan lebih sedikit ketika harga rendah, sedangkan permintaan akan semakin banyak karena harga yang lebih murah. Permintaan akan lebih besar dari pada supply dimana akan lebih banyak orang yang ingin membeli pada harga yang lebih murah namun supply terbatas. Jika kurva permintaan elastis maka total dampak kepada surplus konsumen akan positif. Di sisi produsen, surplusnya akan mengalami penurunan dimana akan ada produsen yang keluar dari pasar karena tidak bisa berproduksi pada tingkat harga yang ditentukan dan produsen yang tinggal di pasar harus menerima tingkat harga yang rendah. Price Ceilings ditujukan untuk melindungi konsumen dari gejolak kenaikan harga tak terhingga. Kebijakan Price Ceilings akan efektif jika diiringi dengan kebijakan operasional pendukung seperti Operasi Pasar pada waktu tertentu dimana pemerintah menambah jumlah barang yang ditawarkan ke pasar. Penerapan
Price
Ceilings
di
bawah
harga
keseimbangan
(equilibrium price) pasar pada kurva permintaan dan supply yang elastis akan berdampak sebagai berikut (Besanko dan Braeutigam, 2011): a. Terjadi kelebihan permintaan (excess demand) b. Produksi yang di supply di pasar lebih rendah relatif terhadap tingkat yang efisien yaitu jumlah yang di supply saat tidak ada intervensi Pemerintah c. Surplus produsen lebih rendah dibandingkan sebelum penerapan Price Ceilings d. Sebagian dari surplus produsen yang hilang ditransfer ke konsumen e. Karena adanya excess demand, besar surplus konsumen tergantung pada aksesibilitas konsumen terhadap produk. Oleh karena itu
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
13
surplus konsumen dapat meningkat atau bahkan turun jika barang tidak tersedia karena penerapan Price Ceilings. f. Akan terjadi deadweight loss yaitu berkurangnya surplus total (surplus konsumen dan surplus produsen) yang terjadi karena pasar tidak beroperasi secara optimal. Dalam hal ini karena output yang tersedia terbatas. Harga Dasar (Floor Price) Floor Price adalah harga minimum yang ditetapkan Pemerintah untuk komoditi dan jasa tertentu yang diyakini dijual pada tingkat harga yang lebih rendah dari yang layak diterima oleh produser. Harga dasar akan menimbulkan dampak jika ditetapkan pada tingkat harga di atas tingkat harga keseimbangan. Jika harga dasar ditetapkan di bawah tingkat harga keseimbangan maka kebijakan intervensi ini tidak akan memberikan dampak kepada pasar. Ketika Price Floors ditetapkan di atas tingkat harga ekuilibrium maka akan terjadi surplus supply (excess supply). Hal ini terjadi ketika produsen akan berproduksi lebih banyak namun permintaan justru akan menurun karena harga barang yang lebih tinggi.
Gambar 2.2. Partial Equilibrium Dalam Kebijakan Price Floors
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
14
Terdapat deadweight loss yang direfleksikan oleh kerugian di sisi konsumen dan surplus produsen pada tingkat produksi yang lebih rendah. Produsen dapat memperoleh keuntungan dari kebijakan ini hanya jika kurva supply relatif elastis sehingga tidak terjadi net loss. Konsumen dirugikan dalam kebijakan ini karena harus membayar dengan harga yang lebih tinggi. Kebijakan harga eceran terendah ditujukan untuk melindungi produsen dari penurunan harga barang sampai tak terhingga. Mekanisme kebijakan ini akan efektif jika pemerintah berperan dalam membeli surplus produksi. Berbagai menetapkan
strategi harga
dapat
dasar
dilakukan
dan
oleh
pemerintah
dalam
menghadapi dampaknya.
Pilihan
kebijakan lain mendukung kebijakan harga dasar antara lain kebijakan price support, atau menetapkan kuota produksi. Price support dilakukan dengan menetapkan harga minimum namun tidak hanya itu. Pemerintah dalam hal ini membeli berapapun kelebihan supply (excess supply). Metode ini tidak efisien, mahal dan merugikan tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga secara sosial dari pada jika pemerintah memberikan subsidi langsung kepada perusahaan atau produsen yang terkena dampak penetapan harga dasar. Kuota produksi meningkatkan harga secara artificial melalui restriksi produksi menggunakan aturan kuota atau memberikan insentif usaha agar produsen mengurangi produksi. Cara ini dilakukan di Amerika terutama di sektor pertanian. Pemerintah membayar petani untuk mengatur jumlah produksinya agar harga terjaga. Sama halnya dengan price support, kebijakan ini akan efisien dan murah jika pemerintah memberikan subsidi langsung kepada petani dari pada melakukan restriksi produksi.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
15
Saat pemerintah menetapkan Price Floors lebih tinggi dari pada harga keseimbangan pasar, maka dampak yang terjadi adalah sebagai berikut: a. Akan terjadi kelebihan produksi (excess supply) di pasar b. Konsumen akan membeli lebih sedikit dari pada di pasar sempurna c. Surplus konsumen lebih rendah dari pada jika tidak ada harga dasar d. Sebagian surplus konsumen akan ditransfer kepada produsen e. Karena harga dasar menyebabkan kelebihan supply, besarnya surplus produsen akan tergantung pada produsen mana yang benarbenar memasok produk. Surplus produsen dapat meningkat atau menurun karena penetapan harga dasar. 2.4. Pengendalian Harga di Beberapa Negara Pengendalian harga (Price control) oleh pemerintah biasanya diterapkan pada barang dan jasa untuk menjaga ketersediaan pangan penting dan mencegah gejolak harga saat kekurangan (Thuraisingham, 2010). Negara-negara maju dan berkembang mempunyai UndangUndang dan regulasi terkait pengaturan harga. Malaysia mempunyai Price Control Act 1946 dan the Control of Supplies Act 1961; Filipina mempunyai The Price Act (Republic Act 7851); Singapura dengan the Price Control Act, Chap 244; Thailand the Price Fixing dan Anti Monopoly Act 1979 serta the ‘Price Lists’ of the Ministry of Commerce and Internal Trade Departments; Bangladesh dengan The Essential Articles Act 1953. Venezuela Pemerintah Venezuela pada tahun 2003 menetapkan price ceiling untuk beberapa pangan pokok sebagai reaksi terhadap tingkat inflasi. Pada akhir tahun 2009 terdapat sekitar 400 komoditi pangan yang dikenakan price ceiling (Besanko dan Braeutigam, 2011). Praktek price
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
16
ceiling untuk komoditi beras di Venezuela diperlihatkan oleh gambar di bawah ini. Pada tingkat harga price ceiling, kuantitas yang di supply menjadi lebih rendah dari permintaan sehingga menciptakan kelangkaan beras. Venezuela mengalami beberapa kali gangguan karena kurangnya pasokan pangan sejak penerapan price control pertama kali diterapkan. Konsumen mengalami kesulitan mendapatkan pangan pada tingkat harga yang ditetapkan pemerintah sehingga sering terjadi antrian ketika membeli. Produsen pangan mengajukan keluhan karena tingkat harga yang ditetapkan pemerintah berada dibawah biaya rata-rata sehingga produsen terancam bangkrut. Sebagai contoh, harga beras pada tahun 2009 ditetapkan sebesar 2.15 bolivares per kilogram, sementara biaya yang dikeluarkan produsen per kilogram sebesar 4.41 bolivares. Untuk menghindari price ceiling, produsen pangan berupaya mengalihkan bentuk produknya ke jenis yang tidak terkena regulasi. Produsen mengalihkan produknya dari beras putih menjadi beras beraroma sehingga dapat meningkatkan harga jual.
Pemerintah
kemudian menetapkan kuota produksi kepada banyak produsen pangan untuk memaksa produsen menghasilkan produk pangan dengan ceiling price. Produsen beras dikenakan kewajiban 80% dari produksinya dijual dalam bentuk beras putih. Pada tahun 2009 pemerintah memperluas kontrol pada produsen pangan lain selain beras untuk memaksa peningkatan
produksi.
Pemerintah
juga
menghadapi
banyak
penyelundupan pangan di perbatasan yang membawa produk pangan dengan harga murah ke Colombia. Malaysia Salah satu faktor yang mempengaruhi inflasi di Malaysia adalah mekanisme administered price. Harga beberapa komoditi penting di
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
17
Malaysia diatur oleh pemerintah karena perubahan harga komoditikomoditi tersebut mempunyai dampak yang signifikan terhadap biaya hidup
masyarakat
pada
kelompok
berpendapatan
rendah
dan
menengah. Secara umum ada dua jenis pengaturan harga di Malaysia. Kelompok pertama terdiri dari produk yang disebutkan dalam Control Act (1946) dimana pemerintah menentukan harga eceran dari komoditikomoditi tersebut. Contoh komoditi dalam kelompok ini adalah bahan bakar dan gula. Kelompok kedua terdiri dari komoditi-komoditi yang membutuhkan persetujuan pemerintah jika ingin merubah tingkat harga contohnya tariff listrik dan ongkos transportasi publik. Penetapan mekanisme administered price menyebabkan dampak dari supply shocks dan perkembangan harga eksternal berkurang secara dan tidak segera. Tabel 2.2. Pengaturan Harga di Malaysia
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
18
Kebijakan Price Control Act 1946 (Act 121) adalah salah satu peraturan perlindungan konsumen pertama yang dikeluarkan oleh pemerintahan colonial Malaya untuk mengontrol harga dan inflasi. Kebijakan tersebut kemudian direvisi pada tahun 1973 dan efektif pada 17 September 1973. Namun dalam pelaksanaanya, harga-harga tetap mengalami peningkatan di atas harga yang ditetapkan. Selanjutnya kebijakan tersebut diperbaiki dan diganti dengan Price Control and Anti Profiteering Act 2011 (Act 723). Kebijakan baru ini mereformasi kebijakan
kontrol
harga
dan
menetapkan
ketentuan
mengenai
pelarangan profiteering. Tujuan kebijakan ini adalah memberikan mandate kepada pemerintah untuk menentukan harga suatu komoditi atau biaya jasa dan pada saat yang sama mencegah tindakan mencari untung berlebihan.
Gambar 2.3 Kerangka Kerja Undang-Undang 723
Berdasarkan kerangka kerja UU 723, Menteri Domestic Trade & Consumerism yang akan menentukan harga dan mekanisme untuk penentuan besarnya tingkat profit yang dianggap tingginya tidak wajar. Price Advisory Council dapat dibentuk oleh Menteri untuk memberikan masukan dan pertimbangan mengenai isu terkait profiteering dan masalah lain terkait harga.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
19
Filipina Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi supply beras di Filipina (Cororaton, 2006) yaitu produksi local, buffer stok, dan impor. Di sisi permintaan tiga faktor utama yang mempengaruhi adalah pasar domestik, buffer stock, dan ekspor.
Dua instrumen kebijakan utama
yang digunakan pemerintah untuk komoditi beras adalah tariff dan kuota untuk impor. Gambar 2.4. berikut menunjukkan bagaimana intervensi pemerintah mempengaruhi sektor beras.
Gambar 2.4 Mekanisme Intervensi Pemerintah di Komoditi Beras Sumber: Cororaton (2006)
Kebijakan harga yang dilakukan pemerintah Filipina meliputi harga dasar dan harga atap. Selain itu juga meminimalisasi variasi harga di beberapa wilayah. Pemerintah memonopoli ekspor dan impor beras melalui
pengaturan
operasi
pengadaan
dan
penjualan
untuk
mempengaruhi tingkat harga domestik. Intervensi pemerintah dilakukan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
20
melalui the National Food Authority (NFA) yang merupakan institusi di bawah Departemen Pertanian. Kebijakan pemerintah lebih berhasil mempertahankan harga atap (harga eceran tertinggi) di tingkat konsumen dari pada kebijakan harga dasar. Sebagai akibatnya, harga di tingkat petani tetap lebih rendah dari pada harga dasar yang sudah ditetapkan. Hal ini terjadi karena terbatasnya anggaran NFA dan keterlambatan pembelian. Margin yang mengalami penurunan di tingkat produsen menyebabkan menurunnya investasi pada fasilitas pasca panen dan rendahnya keinginan menanam karena harga yang tidak menarik. Dalam jangka panjang, kebijakan harga dengan orientasi konsumen gagal untuk memberikan keuntungan
bagi
konsumen
karena
menyebabkan
berkurangnya
ketersediaan atau supply beras.
2.5. Kerangka Pemikiran Parameter utama kinerja pasar adalah harga, karena perilaku harga mencerminkan dinamika permintaan dan penawaran. Harga terbentuk pada keseimbangan permintaan dan penawaran. Harga akan meningkat jika terjadi kelebihan permintaan dan sebaliknya harga akan turun jika terjadi kelebihan pasokan. Dengan demikian variasi harga antar waktu (fluktuasi) maupun antar lokasi (variasi spatial) adalah hal yang normal. Persoalannya adalah bahwa fluktuasi harga yang terlalu tajam dapat mengganggu proses pengambilan keputusan konsumen maupun produsen dan secara makro mengganggu pertumbuhan ekonomi; sementara itu kecenderungannya yang tajam apabila hal itu terjadi pada komoditas strategis maka akan mendorong inflasi. Di sisi lain, variasi spatial yang ekstrim mencerminkan sistem logistik tidak optimal,
integrasi
ekonomi
antar
wilayah
yang
lemah,
dan
mengindikasikan adanya ketimpangan kinerja ekonomi antar wilayah.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
21
Suatu
kebijakan
akan
efektif
jika
rancangannya
tepat,
instrumennya tepat, dan strategi penerapannya tepat. Untuk itu, langkah pertama yang perlu diketahui adalah akar penyebab instabilitas harga komoditas yang bersangkutan. Secara garis besar akar penyebab instabilitas harga dapat dibedakan menjadi 3 tipe sebagai berikut: a.
Instabilitas bawaan/alami atau “natural instability”. Dalam kasus ini, instabilitas harga disebabkan oleh variabilitas pasokan antar musim atau antar waktu sebagai akibat dari variasi musiman dan atau gangguan alam (hama penyakit, kekeringan, dan sebagainya. Contoh paling nyata adalah instabilitas harga beras, cabai, bawang merah, dan sebagainya.
b.
Instabilitas yang diimpor (imported) yakni instabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri akibat harga di pasar internasional volatil, sementara itu sebagian besar pasokan di dalam negeri berasal dari impor (Byerlee et al, 2005).
c.
Instabilitas endogen (endogenous instability), yakni instabilitas yang tercipta dari perilaku pasar itu sendiri (Boussard, 1996; Boussard et al, 2006). Instabilitas tipe ini terkait dengan ekspektasi yang berlebihan pada pelaku pasar atas fenomena “Cob Web” dalam pasar komoditas yang bersangkutan. Adalah fakta bahwa kelembagaan ekonomi yang berperan
dominan dalam distribusi barang dan jasa adalah pasar sehingga rancangan kebijakan harga juga harus berbasis pada ekonomi pasar. Implikasinya, kebijakan pemerintah dalam stabilisasi harga adalah melakukan intervensi pasar tanpa menihilkan peran pasar. Pada aspek tertentu, fluktuasi harga adalah “engine” dari mekanisme pasar dan keseimbangan tidaklah statis. Oleh karena itu kebijakan pemerintah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
22
dalam menghadapi instabilitas harga lazimnya diorientasikan untuk: (i) mengurangi instabilitas, dan (ii) mengurangi dampak instabilitas harga. Dengan orientasi seperti itu, secara teoritis pengelolaan instabilitas harga dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu kategori A menggunakan instrumen pasar untuk stabilisasi harga dengan mengacu pada infrastruktur dan kelembagaan pasar, kategori B menggunakan instrumen pasar dengan tujuan untuk mengurangi stabilisasi harga.
Kategori C adalah alat
intervensi publik yang bertujuan untuk memastikan bahwa harga tidak melebihi batas-batas tertentu. Tergantung pada kasus ini alat mungkin termasuk harga dasar, harga eceran tertinggi atau
price band.
Instrumen C focus pada control produksi, kontrol perbatasan atau kontrol stok. Intervensi ini termasuk instrument yang beragam seperti subsidi input, impor dan pajak ekspor dan subsidi (Fixed atau variable), kuota, larangan atau stok penyangga publik. Instrumen D adalah alat intervensi publik yang bertujuan untuk mendukung pendapatan rumah tangga ketika harga tinggi. Dalam penelitian ini, fokusnya adalah pada instrumen kategori C. Argumennya: (i) secara empiris selama ini yang pernah diterapkan di Indonesia
adalah
instrumen
ini,
terutama
pada
beras
dengan
pengelolaan stok oleh pemerintah (BULOG), (ii) lebih sesuai dengan struktur pertanian Indonesia, (iii) dengan sejumlah modifikasi dan perbaikan kelembagaan peluang penerapan untuk beberapa komoditas pangan lainnya cukup terbuka, dan (iv) terkait dengan upaya pengendalian harga.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
23
SupplyDemand
Spekulasi
Kurs Rupiah Thdp Dollar
Kebijakan Pemerintah h
Stabilitas Harga Pangan Dasar Hukum:
Dasar Hukum: UU No 18/2012 tentang Pangan: Pasal 55 (1)
UU No 7/2014 tentang Perdagangan: Pasal 26 (3)
Kebijakan Produksi
1. Peningkatan Produksi 2. Peningkatan Produktivitas
Kebijakan Harga
Komoditi Prioritas
Kebijakan Pendukung (Supporting Policies): Buffer stock, OP, ekspor/impor
Kebijakan Harga Komoditi Pangan
Kelembagaan: SDM, Regulasi (aturan main), Sistim Adm Nyak Ilham, 2006 Besanko & Braeutigam, 2011
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
24
BAB III METODE PENGKAJIAN
3.1. Metode Analisis Sejalan dengan tujuan dari penelitian, pendekatan yang digunakan dalam kajian ini yaitu analisis deskriptif kualitatif dan analisis deskriptif kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan analisis yang paling mendasar untuk menggambarkan keadaan data secara umum atau sebagai cara merumuskan dan menapsirkan data yang ada sehingga memberikan gambaran yang jelas mengenai hal yang diteliti. Sejalan dengan hal tersebut, Sugiyono (2008) juga menjelaskan bahwa analisis deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis fakta-fakta yang ada serta menjelaskan tentang hubungan variabel yang diteliti dengan cara mengumpulkan
data,
mengolah
data,
menganalisis
dan
menginterpretasikan data. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan dengan cara melakukan studi pustaka dan verifikasi empiris serta mengkombinasikan data kuantitatif dan data kualitatif yang diperoleh berdasarkan hasil diskusi di lapangan. Untuk menjawab tujuan pada bab I, analisis deskriptif dengan melakukan studi pustaka dan verifikasi empiris dilakukan untuk mengidentifikasi pelaksanaan kebijakan harga pangan di negara lain. Metode deskriptif dengan mengkombinasikan data kuantitatif dan data kualitatif yang diperoleh berdasarkan hasil diskusi di lapangan digunakan untuk melihat kemungkinan penerapan kebijakan harga pangan dengan pendekatan kelembagaan serta merumuskan usulan kebijakan harga pangan.
Metode analisis deskriptif kuantitatif juga
digunakan untuk mengidentifikasi komoditi-komoditi secara preliminary memenuhi syarat (eligible) menerapkan kebijakan harga.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
25
Kedua metode analisis di atas dipilih secara bersamaan karena penelitian ini erat terkait dengan dinamika yang bersifat sosial seperti kebijakan dan sekaligus dinamika variabel-variabel yang sifatnya numerik seperti perkembangan harga, pangsa pengeluaran masyarakat untuk pangan, andil inflasi pangan, fluktuasi harga dan lain-lain. Parameter ini juga digunakan untuk melihat keragaan komoditi pangan. Menurut Musianto (2002), di era ini suasana yang semakin majemuk menuntut penelitian/analisis bersifat komprehensif, misalnya, kata-kata “kebijakan” mengandung nilai-nilai kuantitatif dan kualitatif.
3.1.1. Analisis Kemungkinan Penerapan Kebijakan Harga Pangan di Indonesia Informasi yang diharapkan dapat dihasilkan pada tahapan analisis ini, yaitu: (i) kebijakan harga akan diterapkan pada komoditas pangan apa, (ii) Kemungkinan jenis penerapan kebijakan harga, (iii) konsep penentuannya (iv) bagaimana strategi implementasinya, dan (v) bagaimana pelembagaan dan pengorganisasiannya agar penerapannya efektif. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa analisis deskriftif kuantitatif digunakan untuk pemilihan komoditi yang memungkinkan untuk diterapkan kebijakan harga.
Metode deskriftif kuantitatif yang
digunakan adalah sisi produsen: profitabilitas usaha tani serta pertumbuhan produksi. Sisi konsumen: peran komoditi tersebut dalam pengeluaran masyarakat, andil terhadap inflasi serta variasi harga di tingkat konsumen. Jawaban atas pertanyaan (i) dilandasi filosifi bahwa semestinya kebijakan harga (kontrol pemerintah) tidak diberlakukan untuk
semua
komoditas
pangan
karena
tidak
kondusif
untuk
mendukung efiensi ekonomi. Oleh karena itu langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi komoditas pangan strategis yang dari sudut pandang kemaslahatan memang memerlukan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
26
intervensi pemerintah. Indikator yang digunakan untuk mengkaji hal ini adalah: (a) peranan komoditas tersebut dalam pengeluaran masyarakat, (b) kontribusi komoditas tersebut dalam penciptaan nilai tambah dan penciptaan lapangan kerja, (c) kontribusinya terhadap inflasi, dan (d) menghitung
volatilitas
harga
masing-masing
komoditas
yang
bersangkutan. Volatilitas/Fluktuasi adalah variasi temporal. Salah satu ukuran kuantitatif yang paling sederhana tetapi lazim dipakai adalah standard deviasi dan koefisien variasi. Formula standard deviasi adalah: Dimana standard deviasi adalah: 2
n n Pt Pt t 1 t 1 , …………………………………………….. (1) STDEV n n 1 n
2
n = jumlah observasi
sedangkan koefisien variasi (CV) adalah: CV
Volatilitas harga (
STDEV Mean
…………. (2)
)
…………………………………. (3)
Dimana: : Rata-rata tingkat volatilitas harga dalam tahun satuan (%) : jumlah tahun dari sampai dengan : koefisien variasi = (standar deviasi/rataan)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
27
Untuk menjawab pertanyaan (i) dan untuk lebih mempermudah pemilihan, semua variabel tersebut kemudian dipetakan dalam sebuah matriks sebagaimana disajikan pada Tabel 3.1. Tabel ini digunakan untuk memetakan komoditi dan kemudian membuat rangking untuk menentukan prioritas komoditi yang kemungkinan akan diterapkan kebijakan harga. Tabel 3.1. Matriks Identifikasi Komoditi No.
Komoditi
1
Skor ......
......
......
......
......
(ranking: ...)
(ranking:
(ranking:
(ranking:
(ranking: ...)
...)
...)
...)
A ......
2
B
(ranking: ...)
......
...
...
N
......
......
......
......
(ranking:
(ranking:
(ranking:
(ranking: ...)
...)
...)
...)
......
......
......
......
(ranking:
(ranking:
(ranking:
(ranking: ...)
(ranking: ...)
...)
...)
...)
......
......
......
......
......
(ranking: ...)
(ranking:
(ranking:
(ranking:
(ranking: ...)
...)
...)
...)
N
Ranking
Masing-masing cell di-rangking berdasarkan variabel di kolom
menjawab pertanyaan (ii) dan (iii), analisis akan dibedakan dalam penentuan kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi. a.
Penentuan kebijakan harga dasar, yang menjadi pertimbangan perhitungan: (1) Rata-rata
dan
kisaran
harga
serta
kaitannya
dengan
keuntungan usaha tani. Variabel yang menjadi indikator adalah struktur
ongkos
usaha
tani,
volatilitas harga
produsen,
profitabilitas usaha tani, dan produktivitas usaha tani.
Yang
menjadi pertimbangan dalam perhitungan ini adalah besaran keuntungan normal yang diterima petani. Profitabilitas usaha tani ( ) ……………………………………………. (4)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
28
Dimana: : Keuntungan petani dari usaha tani : Penerimaan = Harga jual*volume produksi : Total biaya usaha tani Data ini diperoleh dari beberapa hasil penelitian mengenai analisa usaha tani, seperti publikasi Kementerian Pertanian dan BPS. Pertumbuhan produksi komoditi pangan per tahun dalam periode tertentu.
…………………………………. (5)
Dimana: : pertumbuhan produksi per tahun : volume produksi : tahun terakhir periode : tahun awal periode (2) Produktivitas kerja pada usaha tani komoditi yang bersangkutan vs produktivitas kerja dengan usaha tani komoditi lainnya. Variabel yang digunakan adalah perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas. b.
Penentuan Harga Eceran Tertinggi, indikator yang menjadi pertimbangan dalam penentuan harga eceran tertinggi yaitu peranan komoditas tersebut dalam pengeluaran masyarakat, besarnya andil terhadap inflasi, dan volatilitas harga di tingkat konsumen Jawaban
atas
pertanyaan
(iv)
dan
(v)
membutuhkan
pengkajian atas data dari diskusi terbatas dengan pakar di bidang ekonomi pertanian dan kebijakan pangan baik yang berkerimpung Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
29
dalam pemerintahan maupun akademisi, serta stakeholder yang lazimnya dijadikan sumber informasi utama dalam kajian ini. c.
Analisis Kelembagaan Kajian atas pertanyaan mengenai kemungkinan penerapan suatu kebijakan
membutuhkan
analisis
kelembagaan.
Untuk
itu,
pendekatan yang akan diterapkan mengacu pada kerangka pemikiran IAD (Institutional Analysis and Development) yang dikembangkan oleh Ostrom (2005; 2010; 2011) yang secara ringkas dapat dipresentasikan pada Gambar 3.1. Penerapan IAD dalam kajian ini didasarkan atas kondisi empiris bahwa pada dasarnya implementasi kebijakan harga melibatkan berbagai pihak dan bentuk kelembagaan yang beragam yang saling berinteraksi sehingga outcomes dari kebijakan tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal dari aksi atau berbagai kegiatan dalam kelembagaan tersebut secara dinamis. Sudah barang tentu dalam kajian ini yang akan diaplikasikan adalah prinsip-prinsip dasarnya karena prosedur aplikasi kerangka pemikiran ini sesungguhnya sangat
kompleks
dan
melibatkan
berbagai
variabel
yang
pengukurannya membutuhkan survey yang mendalam. Variabel Eksternal
Gambar Kerangka Pemikiran Pemikiran untuk Analisis Kelembagaan Gambar 3.1. Kerangka untuk Analisis Kelembagaan Sumber : Ostrom (2010)
Sumber : diadaptasi dari Ostrom (2005; 2010; 2011).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
30
Jawaban atas tujuan no (2) merupakan sintesis atas jawaban tujuan no (1) dengan memanfaatkan expertise dalam bidang perumusan kebijakan. Dalam konteks ini prinsip dasar yang perlu dijadikan pedoman adalah sebagai berikut: (1)
Pemerintah adalah fasilitor, stimulator, dan pembuat regulasi sehingga kehadirannya di lapangan disarankan tidak eksesif,
(2)
Kebijakan harga yang baik adalah yang memperbaiki kinerja pasar, bukan menihilkan peran pasar,
(3)
Efektivitas kebijakan memerlukan rancangan, instrumen, strategi penerapan, dan penegakan aturan yang konsisten dan
nuansanya
adalah
merupakan
insentif,
bukan
punishment, (4)
Pelembagaan
dan
pengorganisasian
dari
implementasi
kebijakan harus efisien, dan untuk itu yang perlu diprioritaskan adalah meningkatkan kinerja kelembagaan yang telah ada atau jika belum ada maka pembentukannya harus sinergis dengan kelembagaan yang telah ada. (5)
Koordinasi antar pihak yang terkait adalah kunci utama keberhasilan implementasi kebijakan; dan untuk itu perlu menjaga terwujudnya konsistensi dan harmoni antar kebijakan yang terkait. Secara keseluruhan tahapan analisis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
31
Pengumpulan data sekunder:
Tahap 1: Identifikasi Komoditi
a. Volatilitas harga dalam kurun waktu tertentu, misalnya dalam 10 tahun terakhir. b. Profitabilitas usaha tani. c. Pangsa pengeluran komoditi dalam total pengeluaran rumah tangga/masyarakat. d. Andil inflasi komoditi dalam inflasi umum. e. Pertumbuhan produksi komoditi pangan.
Pengumpulan data primer:
Tahap 2:
a. Pandangan pakar b. Inventarisasi ketersediaan/kapasitas/kapabilitas faktor-faktor utama untuk implementasi kebijakan harga dasar dan/atau harga eceran tertinggi. c. Bencmarking dari negara lain
Menganalisis keragaan komoditi pangan di Indonesia dan Kebijakan Harganya Mengambarkan implementasi penerapan kebijakan harga pangan di negara lain Menganalisis kemungkinan penerapan kebijakan harga pangan di Indonesia Tahap 3: Perumusan Kebijakan
Gambar 3.2. Tahapan Analisis dalam Penelitian
3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data 3.2.1 Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah: a. Data sekunder meliputi harga, pangsa pengeluaran komoditi, profitabilitas usaha tani, andil inflasi komoditi dan produksi. Data-data tersebut diperoleh dari publikasi instansi tertentu, khususnya Kementerian Pertanian, Bappenas dan BPS; b. Data primer terdiri dari pandangan pakar dan dokumen yang terkait dengan kebijakan harga dasar dan atau harga eceran tertinggi di negara lain. Data tersebut diperoleh dari diskusi dengan akademisi serta para pakar/praktisi dan hasil diskusi di negara lain.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
32
Tabel 3.2. Jenis dan Sumber Data Sekunder No.
Jenis Data
Penjelasan
Sumber Data
1
Harga eceran ditingkat konsumen (nasional) dan harga eceran di tingkat produsen. Periode 2005 – 2014 (bulanan) Analisa Biaya Usaha Tani
Data ini digunakan untuk menghitung tingkat volatilitas harga ( )
BPS dan Ditjen Perdagangan Dalam Negeri
Data ini digunakan untuk menghitung tingkat profitabilitas usaha tani Data ini digunakan untuk menghitung pertumbuhan produksi Data ini digunakan untuk salah satu persyaratan identifikasi komoditi terpilih Data ini digunakan untuk salah satu persyaratan identifikasi komoditi terpilih
Kementerian Pertanian, BPS dan sumber informasi lainnya BPS dan Kementerian Pertanian
2
3
4
5
Produksi nasional Periode 2005 – 2014 (tahunan) Pangsa pengeluran komoditi dalam total pengeluaran rumah tangga/masyarakat. Andil inflasi komoditi dalam inflasi nasional.
SUSENAS, Table I-O dan Indikator EkonomiBPS BPS
6
Pandangan pakar
Pandangan pakar ini digunakan untuk memperoleh informasi mengenai pemilihan komoditi yang memungkinkan diterpakan kebijakan harga, pandangan tenteng kebijakan harga pangan serta menggali informasi usulan kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi komoditi pangan di Indonesia.
Hasil dari forum diskusi baik di daerah maupun Jakarta
7
Kebijakan harga pangan di negara lain
Yang akan dianalisis implementasi penerapan kebijakan harga pangan (tujuan, mekanisme, anggaran, eksekusi serta evaluasinya)
Studi literature, verifikasi ilmiah serta melakukan Benchmarking di Thailand
3.2.2 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari berbagai lembaga dan pengumpulan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
33
data primer yang diperoleh dari diskusi dengan para pakar (akademisi) maupun expert/praktisi baik di daerah maupun di pusat serta benchmarking di negara lain, yaitu Thailand. Diskusi terbatas dilakukan dalam dua bagian yang terpisah, yaitu di DKI Jakarta dan Daerah. Diskusi terbatas di daerah dilakukan di Yogyakarta, Jawa Timur dan Sumatera Barat.
Pemilihan ketiga daerah ini didasarkan atas
pertimbangan: (i) bobot komoditi pangan terhadap inflasi di wilayah tersebut serta (ii) sentra produksi/konsumsi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode diskusi terbatas.
Diskusi terbatas I dilaksanakan setelah pembahasan ROP
yang dilaksanakan di Jakarta melalui panduan diksusi.
Adapun
informasi yang akan dikumpulkan meliputi: a. Mengidentifikasi komoditi pangan pokok yang akan menjadi fokus pelaksanaan kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi; b. Mengidentifikasi kelembagaan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi; c. Mengidentifikasi perangkat-perangkat regulasi apa yang dapat mendukung implementasi kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi berjalan efektif efektif; dan d. Mengidentifikasi perangkat-perangkat regulasi apa yang diperlukan agar kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi dapat diimplementasikan secara efektif. Diskusi terbatas 2 dilaksanakan sebelum diskusi terbatas di daerah. Diskusi terbatas 2 menggunakan panduan diskusi II. Pada diskusi ini yang lebih difokuskan pada menyusun rumusan usulan kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi komoditi pangan di Indonesia. Kemudian diskusi ke 3 dilakukan setelah diskusi terbatas di daerah selesai dilaksanakan dengan menggunakan panduan diskusi 2
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
34
untuk mensingkronkan para pendapat pakar di daerah dalam menyusun rumusan usulan kebijakan harga pangan di Indonesia. Pelaksanaan
diskusi
Benchmarking di Thailand.
terbatas
ke
4
dilaksanakan
setelah
Pada tahapan ini diharapkan semua
informasi sudah diperoleh termasuk pelaksanaan kebijakan harga pangan di beberapa negara lain melalui studi literatur. Pada diskusi terbatas ke 4 ini menggunakan panduan diskusi III dengan tujuan untuk membandingkan kebijakan harga pada komoditi bahan pangan pokok di negara-negara lain dengan usulan kebijakan yang sudah dirumuskan serta memantapkan rumusan usulan kebijakan harga pada komoditi pangan pokok di Indonesia. Kajian akan dilaksanakan dalam waktu 8 bulan, yaitu mulai dari Bulan Februari 2015 hingga September 2015. Tabel 3.3. Jadwal Kegiatan
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kegiatan
2015 Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 12 3 4 1 2 341 2 3 4 1234
Penyusunan Rencana Operasional Penelitian (ROP) Pembahasan ROP Pengumpulan Data Sekunder Diskusi I Penyusunan Panduan Diksusi Finalisasi Panduan Diskusi Diskusi II Diskusi Terbatas di Daerah Tabulasi Data Pengolahan dan analisis data Diskusi III Penyusunan Laporan Sementara Diskusi IV Penyusunan Laporan Akhir Penulisan Memo Kebijakan Pendistribusian Laporan Akhir No
Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Feb
Mar
Apr
Mei
2015 Jun Jul
Agus
Penyusunan Rencana Operasional Penelitan (ROP) Pembahasan ROP Pengumpulan Data Sekunder Diskusi Terbatas I Penyusunan Panduan Diksusi Finalisasi Panduan Diskusi Diskusi Terbatas II Pelaksanaan Diskusi di daerah Pengolahan dan analisis data Diskusi Terbatas III Penyusunan Draft Laporan Pendahuluan Diskusi Terbatas IV Penyusunan Laporan Akhir/Final Penulisan Memo Kebijakan Pendistribusian Laporan Akhir
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
K E G IA TA N
Fe b
M ar
Apr
M ei
Ju n
Ju l
Ags
Sep
Okt
Nop
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
P e n g u m p u la n D a t a P edagang S t u d i L it e r a t u r Fin a lisa si r u t e P e n y u su n a n K u e sio n e r P r e -t e st
Fin a lisa si K u e sio n e r P e r sia p a n S u r v e y (list t a r g e t r e sp o n d e n, t r a in in g e n u m e r a to r, d ll)
S u r v e y k e P e d a ga n g A sa l S u r v e y k e Fr e ig h t Fo r w a r d e r d i k o t a a sa l
35
BAB IV PELAKSANAAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN DI BEBERAPA NEGARA
Pangan merupakan komoditi penting bagi semua Negara. Oleh karena itu pemerintahan di hampir semua negara memiliki regulasi untuk melakukan intervensi pada harga komoditi pangan yang dianggap mempengaruhi kesejahteraan ekonomi maupun sosial masyarakat di negara tersebut. Kebijakan tersebut dilakukan dalam rangka stabilisasi harga baik di tingkat produsen atau di tingkat konsumen. Kebijakan harga di beberapa negara yang dibahas dalam Bab ini dilihat dari lima hal yaitu (i) jenis kebijakan, (ii) lembaga pelaksana, (iii) mekanisme pelaksanaan, (iv) komoditi yang diatur, dan (v) pelanggaran dan sanksi.
4.1. Malaysia Pengaturan harga di Malaysia diatur dalam kebijakan setara Undang-Undang yaitu Price Control Act nomor 121 tahun 1946 yang kemudian diganti oleh Price Control and Anti-Profiteering Act (PCPA) nomor 723 tahun 2011 yang mulai berlaku 1 April tahun 2011. Beberapa perbaikan pada regulasi yang baru diantaranya memberikan ewenang kepada pemerintah untuk menentukan harga barang dan jasa; pelarangan pencatutan; memastikan masyarakat tidak terbebani oleh shock peningkatan harga; dan melindungi kepentingan konsumen. Substansi utama yang diatur dalam PCPA adalah kontrol harga (price control) dan anti-pencatutan (anti-profiteering). Pengaturan harga terdiri dari dua skema yaitu skema price control dan skema festive price control. Gula dan masker kesehatan merupakan dua produk yang diatur dalam skema price control. Dalam skema ini, harga maksimal di tingkat pengecer untuk gula dan masker ditetapkan oleh pemerintah dan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
36
berlaku sepanjang tahun. Pelaksanaan ketentuan ini diawasi oleh pemerintah dan pelanggarnya akan dikenakan sanksi. Skema festive price control adala skema kontrol harga yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu pada perayaan hari besar agama. Tujuannya adalah untuk mengendalikan peningkatan harga selama periode hari raya untuk barang-barang penting pada hari raya tersebut
dan
mengendalikan
potensi
kenaikan
harga
karena
peningkatan permintaan. Pemerintah Malaysia menetapkan hari raya keagamaan dalam skema ini yaitu hari raya Puasa, tahun baru China, Deepavali, Natal, Kaamatan (Sabah), dan Gawai (Sarawak). Komoditi yang diawasi antara lain ayam, daging lokal (sapi/ kambing/ babi), telur ayam, kubis bulat import, tomat, cabai merah, kelapa bijji/ parut, bawang merah, bawang putih, kentang, kacang, ikan kembung, ikan bawal putih, udang putih besar. Mekanisme skema festive price control diawali dengan penentuan komoditi yang akan diatur dan besaran harga yang akan ditetapkan berdasarkan masukan dari pemerintah daerah, produsen, pedagang dan stakeholder lain. Tiap wilayah dapat mengajukan tingkat harga yang berbeda disesuaikan dengan kondisi setempat. Setelah ditetapkan oleh Menteri
Perdagangan,
daftar
komoditi
yang
diawasi
akan
disebarluaskan melalui media masa, minimal satu bulan sebelum pelaksanaan. Skema ini umumnya berlaku selama 9 sampai 12 hari sebelum dan sesudah hari raya.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
37
Tabel 4.1. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Malaysia No. 1. 2.
Elemen Pengendalian Aturan Institusi
3.
Mekanisme
4.
Komoditi
5.
Pelanggaran dan Sanksi
Malaysia Price Control and Anti-profiteering Act 2011 (Act 723) Menteri Perdagangan menunjuk seorang Price Controller, beberapa Deputy Price Controllers, dan beberapa Assistant Price Controllers dalam rangka pelaksanaan regulasi ini. Price Controller berada dibawah pengawasan dan bertanggung jawab pada Menteri Perdagangan. Deputy Price Controllers, Assistant Price Controllers berada dibawah pengawasan dan bertanggung jawab pada Price Controller. Price Controller menentukan harga maksimum, minimum atau tingkat harga tertentu produk pada tingkat produsen, grosir, dan eceran. Penentuan harga dapat berbeda berdasarkan wilayah. Setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri, daftar harga yang dikontrol akan diumumkan di media masa. Komoditi dalam skema price control ditentukan diawal tahun dan berlaku sepanjang tahun tersebut. Komoditi dalam skema festive price control ditentukan satu bulan sebelum pelaksanaan dan berlaku 9-12 hari sebelum dan sesudah hari raya. Menteri Perdagangan mengatur mekanisme untuk mencegah pengambilan untung atau profit yang tidak wajar dengan memperhitungkan pajak, biaya supplier, kondisi supply dan demand, kondisi dan situasi geografi atau pasar dari produk tersebut. Skema price control: gula, bensin, diesel, LPG, tepung gandum, minyak goreng sawit, dan masker Skema festive price control (berbeda berdasarkan hari keagamaan tertentu): ayam, daging lokal (sapi/ kambing/ babi), telur ayam, kubis bulat import, tomat, cabai merah, kelapa bijji/ parut, bawang merah, bawang putih, kentang, kacang, ikan kembung, ikan bawal putih, udang putih besar. Melanggar jika menjual atau menawarkan menjual dengan harga di atas atau di bawah harga yang ditetapkan; membeli atau menawarkan membeli di atas atau di bawah harga yang ditetapkan dianggap melanggar. Pelanggar institusi atau corporat dikenakan denda maksimal dari 500 ribu RM, dan jika berulang dikenakan denda maksimal 1 juta RM. Pelanggar individu dikenakan denda maksimal 100 ribu RM atau kurungan maksimal 3 tahun atau berlaku keduanya. Untuk pelanggaran berulang dikenakan denda maksimal 250 ribu RM atau kurungan maksimal 5 tahun atau berlaku keduanya.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
38
4.2. Filipina Pengaturan harga di Filipina didasarkan pada regulasi setara Undang-Undang yaitu Price Act Nomor. 7581 tahun 1992. Harga Kebutuhan Pokok di Filipina diatur dalam bentuk Undang – Undang, Republic Act No. 7581 atau lebih kenal sebagai The Price Act tahun 1992. Instansi yang bertanggung jawab dalam menerapkan kebijakan tersebut adalah
Departemen
Pertanian, Departemen
Kesehatan,
Departemen Lingkungan dan Sumberdaya, Kepolisian dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang selanjutnya disebut lembaga pelaksana (Implementing Agencies). Untuk mendukung Implementing Agencies, kepala negara membentuk Price Coordinating Council yang terdiri dari Departemen Perdagangan dan Industri serta instansi teknis terkait. Pemerintah Filipina menetapkan komoditas pokok yang perlu diatur meliputi komoditi: beras, jagung, roti, ikan dan produk laut lainnya, daging babi, sapi, unggas baik segar, kering, atau kaleng, telur, susu segar dan susu hasil proses, sayuran segar, roots crops, kopi, gula, minyak goreng, garam, sabun cuci, deterjen, kayu bakar; batubara, lilin, obat-obatan yang diklasifikasikan penting oleh Departemen Kesehatan. Pada saat terjadi gejolak harga akibat gangguan bencana, ancaman yang menimbulkan bahaya, tindakan manipulasi harga, dan kejadian yang menyebabkan harga kebutuhan pokok naik dalam batasan yang tidak wajar, pemerintah melakukan penetapan harga atap (ceiling price). Dalam kondisi khusus, yaitu daerah mengalami bencana, keadaan
darurat,
daerah
sengketa
hukum,
daerah
wilayah
pemberontak/perlawanan, daerah dalam kondisi perang pemerintah akan memberlakukan harga secara sepihak (automatic price control). Pada bagian lain dari Act ini, pemerintah melarang segala tindakan yang dapat memanipulasi harga seperti penimbunan (jumlah persediaan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
39
50% lebih tinggi dari biasanya dalam tiga bulan terakhir); pemburu rente dan kartel. Segala bentuk pelanggaran yang dilakukan baik oleh pelaku usaha maupun pemerintah dijabarkan dengan jelas dalam Act. Tabel 4.2. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Filipina No. 1. 2.
Elemen Pengendalian Aturan Institusi
3.
Mekanisme
4.
Komoditi
5.
Pelanggaran dan Sanksi
Filipina Republic Act No. 7581 The Price Act Tahun 1992 Kepala negara membentuk Price Coordinating Council terdiri dari Departemen Perdagangan dan Industri serta instansi tekhnis terkait Menetapkan komoditas pokok; Melakukan penetapan harga atap (ceiling price) jika terjadi gejolak harga akibat gangguan bencana, ancaman yang menimbulkan bahaya, tindakan manipulasi harga, dan kejadian yang menyebabkan harga kebutuhan pokok naik dalam batasan yang tidak wajar; Melarang segala tindakan yang dapat memanipulasi harga seperti penimbunan (jumlah persediaan 50% lebih tinggi dari biasanya dalam tiga bulan terakhir); pemburu rente, penjualan barang tanpa label harga, kualitas yang tidak sesuai, barang palsu, dan menjual bahan pokok dengan marjin diatas 10%; dan kartel; Dalam kondisi khusus, yaitu daerah mengalami bencana, keadaan darurat, daerah sengketa hukum, daerah wilayah pemberontak/ perlawanan, daerah dalam kondisi perang pemerintah akan memberlakukan harga secara sepihak (automatic price control). Kebutuhan dasar termasuk: beras, jagung, roti, ikan segar, kering, atau kaleng dan produk laut, daging babi, daging sapi dan unggas, telur, susu segar dan susu hasil proses, sayuran segar, umbiumbian (roots crops), kopi, gula, minyak goreng, garam, sabun cuci, deterjen, kayu bakar, batubara, lilin, obat-obatan yang diklasifikasikan penting oleh Departemen Kesehatan. Tindakan manipulasi harga, dikenakan hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal 5 ribu Peso maksimal 2 juta Peso. Pelanggaran harga atap (price ceiling), dikenakan hukuman penjara minimal 1 tahun maksimal 10 tahun dan denda minimal 5 ribu Peso maksimal 1 juta peso. Pelanggaran dilakukan oleh pihak asing izin usaha dicabut dan dideportasi. Pelanggaran dilakukan oleh pegawai pemerintah dikenakan hukuman sesuai peraturan yang berlaku dan dikenakan hukuman tambahan berupa pencopotan jabatan secara permanen.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
40
4.3. Brunei Darusalam Brunei memiliki beberapa kebijakan terkait pangan, antara lain kebijakan tentang hambatan non-tarif seperti
Kesehatan pangan
Masyarakat/Public Health (Food) Act dan Halal Food/Halal Meat Act ) untuk melindungi petani lokal dan menjaga kualitas makanan impor serta Kebijakan harga (Price Control Act) yang berisi (i) pengaturan terhadap pemasaran dan pergerakan barang dan atau jasa serta (ii) bahan pangan/price labeling. Brunei memiliki tarif yang sangat rendah untuk barang, yaitu ratarata sekitar 2%. Sedangkan Bahan makanan pokok dan barang industri manufaktur bebas dari bea masuk.
Produk pangan, Brunei masih
tergantung impor kecuali beras dan telur lokal.
Oleh karena itu,
mekanisme kontrol/pengendalian harga penting terutama untuk bahan makanan pokok. Kebijakan stabilisasi harga di Brunei Darussalam tertuang dalam Lows of Brunei - Price Control Act (Chapter 142).
Price control Act
S50/74, 184 Ed. Chapter.142, yang diubah dengan S48 /99, S6/00 mengalami perubahan pada tahun 2002. Peraturan ini bertujuan untuk mengontrol harga gula dan produk-produk terkait seperti tebu, gula pasir (disebut butir halus) dan gula putih, beras, minyak goreng, susu dan tepung terigu.
Selain itu , tujuan dari peraturan ini adalah untuk
memastikan bahwa harga makanan pokok stabil dan terjangkau konsumen. The Price Control Act (Chapter 142) diberlakukan sejak tanggal 13 Maret 1974 dan terakhir diubah pada tanggal 26 Desember 2012. Perubahan pada Price of Control termasuk daftar item pengendalian harga dan kontrol harga (harga jual murah/promosi). Tujuannya adalah untuk mengontrol harga barang-barang kebutuhan yang dipilih dalam membantu konsumen terutama masyarakat yang berpenghasilan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
41
rendah serta memastikan bahwa setiap kegiatan promosi dan harga jual yang murah dilakukan dengan cara yang sehat dan setiap kenaikan harga dilakukan pada tingkat yang wajar. Kebijakan mekanisme harga juga termasuk pada saat menjelang puasa dan lebaran dengan cara melakukan pengawasan pasokan. Hal ini dikarenakan permintaan meningkat lebih dari biasanya untuk menambah stok makanan.
Kebijakan mekanisme kontrol harga ini
menghasilkan inflasi pada tingkat yang rendah di Brunei, yaitu kisaran 1-2% setiap tahun. Lembaga yang berperan dalam mekanisme kontrol harga ini ada yang disebut Price Inspector.
Price Inspector berada di bawah
Departement of Economic Planning and development (atau Bappenas) atau di bawah Jabatan Perancangan dan Kemajuan Ekonomi (JPKE). JPKE menetapkan harga untuk semua produk kecuali barang bersubsidi; harga untuk gula dan beras diatur oleh The Supply and State Store Departement (SSSD), sedangkan harga bahan bakar minyak (bensin) ditetapkan oleh Departemen Energi. Price Inspector ini ditunjuk oleh Menteri terkait setelah mendapat persetujuan dari Sultan Brunei Darussalam.
Atau bisa menunjuk
langsung Controller Harga atau Controller Deputi harga
dan sejenis
asisten Controller Harga yang dianggap memiliki kemampuan dalam mengontrol harga. Selain itu, Menteri atas persetujuan Sultan Brunei Darussalam dapat membentuk Advisory Council Nasional untuk Perlindungan Konsumen. Lembaga ini terdiri dari seorang Ketua dan 8 orang perwakilan dari Pemerintah, sektor publik dan organisasi lainnya yang dianggap relevan untuk melakukan pengawasan harga. Bentuk Penalties/hukuman jika terdapat pelanggaran terhadap Price Control Act. dikenakan denda sebanyak $ 5.000 dan penjara selama 2 tahun. Kemudian jika melakukan pelanggaran untuk kedua
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
42
kalinya maka dikenakan denda sebesar $ 20.000 dan penjara selama 5 tahun. Tabel 4.3. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Brunei No. 1.
Elemen Pengendalian Aturan
2.
Institusi
3.
Mekanisme
4.
Komoditi
5.
Pelanggaran dan Sanksi
Brunei Darusalam Price Control Act (Chapter 142) yang diberlakukan sejak tanggal 13 Maret 1974 dan terakhir diubah pada tanggal 26 Desember 2012 Price Inspector berada di bawah Departement of Economic Planning and development (atau Bappenas) atau dibawah Jabatan Perancangan dan Kemajuan Ekonomi. Price Inspector ini ditunjuk oleh Menteri terkait setelah mendapat persetujuan dari sultan Brunei Darussalam. Atau bisa menunjuk langsung Controller Harga atau Controller Deputi harga dan sejenis Asisten Controller Harga yang dianggap memiliki kemampuan dalam mengontrol harga. Menteri atas persetujuan Sultan Brunei Darussalam dapat membentuk Advisory Council Nasional untuk Perlindungan Konsumen terdiri dari seorang Ketua dan 8 orang perwakilan dari Pemerintah, sektor publik dan organisasi lainnya yang dianggap relevan untuk melakukan pengawasan harga Tujuannya adalah untuk mengontrol harga barang-barang kebutuhan yang dipilih dalam membantu konsumen terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah serta memastikan bahwa setiap kegiatan promosi dan harga jual yang murah dilakukan dengan cara yang sehat dan setiap kenaikan harga dilakukan pada tingkat yang wajar. Kebijakan mekanisme harga juga termasuk pada saat menjelang puasa dan lebaran dengan cara melakukan pengawasan pasokan karena permintaan masyarakat meningkat lebih dari biasanya untuk menambah stok makanan. Kebijakan mekanisme kontrol harga ini menghasilkan inflasi pada tingkat yang rendah di Brunei. Peraturan ini bertujuan untuk mengontrol harga gula dan produkproduk terkait seperti tebu, gula pasir (disebut butir halus) dan gula putih, beras, minyak goreng, susu dan tepung terigu. Bentuk Penalties/hukuman jika terdapat pelanggaran terhadap Price Control Act. dikenakan denda sebanyak $ 5.000 dan penjara selama 2 tahun. Kemudian jika melakukan pelanggaran untuk kedua kalinya maka dikenakan denda sebesar $ 20.000 dan penjara selama 5 tahun.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
43
4.4. Thailand Thailand merupakan
salah
satu
negara yang menerapkan
kebijakan dan mekanisme dalam rangka stabilisasi harga domestik. Kebijakan tersebut didukung oleh Undang-Undang Price of Goods and Services Act B.E. 2542 tahun 1999. Lembaga pelaksana dalam mekanisme pemantauan harga adalah Central Commission on Prices of Goods and Services (CCP) untuk tingkat nasional dan Provincial Commission on Prices of Goods and Services (PCP) untuk tingkat propinsi. CCP diketuai oleh Menteri Perdagangan sedangkan anggota komisi terdiri dari 4 sampai 8 orang yang ditunjuk dimana setengahnya merupakan pihak swasta. Komisi inilah yang menentukan barang atau jasa apa saja yang dikontrol dan diawasi serta menentukan harga eceran untuk komoditi-komoditi tertentu. Sedangkan PCP diketuai oleh Gubernur setempat dimana terdapat komisi yang terdiri dari 5 sampai 9 orang pakar yang ditunjuk dimana sepertiganya berasal dari pihak swasta. Komisi ini mengusulkan barang atau jasa yang dianggap perlu untuk dikontrol dan diawasi serta menetapkan harga eceran regional untuk komoditi tertentu. Pada tahun 2015 ditetapkan sebanyak 40 barang dan 3 jasa yang dikontrol. Selain 40 jenis barang yang dikontrol, terdapat 205 barang lain yang diawasi. Barang yang masuk dalam daftar yang dikontrol dan diawasi dibagi ke dalam 3 kelompok yaitu sensitive list adalah barang yang dipantau setiap hari; priority watch list adalah barang yang dipantau dua kali dalam satu minggu; dan watch list adalah barang yang dipantau dua kali setiap bulannya. Dari kesemua jenis barang tersebut hanya dua komoditi yang ditentukan harga ecerannya yaitu gula dan daging babi. Sedangkan untuk barang yang lain yang dilakukan adalah pengawasan harga dan pasokan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
44
Tabel 4.4. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Thailand No. 1. 2.
Elemen Pengendalian Aturan Institusi
3.
Mekanisme
4.
Komoditi
Thailand Prices of Goods and Services Act, B.E. 2542 Tahun 1999 Central Commission on Prices of Goods and Services (CCP) untuk tingkat pusat yang diketuai oleh Menteri Perdagangan dan Provincial Commission on Prices of Goods and Services (PCP) untuk tingkat daerah. Dengan persetujuan Council of Ministers, menentukan barang/ jasa yang harganya dikontrol. Daftar barang/ jasa yang dikontrol dipublikasikan dalam surat kabar nasional. Menetapkan harga pembelian atau biaya distribusi dari barang/ jasa dalam pengendalian. Menetapkan tingkat laba maksimum per unit dari barang/ jasa yang dikontrol yang diterima distributor. Mengatur dan mengawasi produksi, impor, ekspor, pembelian, distribusi dan penyimpanan barang/ jasa yang dikontrol. Menginformasikan kepada Instansi terkait jumlah, tempat penyimpanan, biaya produksi, rencana produksi, rencana pembelian, rencana distribusi, rencana variasi harga, potongan distribusi, proses produksi dan metode distribusi dari barang/ jasa yang dkontrol. Mengeluarkan ijin dan pelarangan penyaluran barang/ jasa yang dikontrol untuk keluar atau masuk wilayah tertentu. Kabinet menyetujui 43 komoditi dalam Controlled Goods and Services List untuk tahun 2015 berdasarkan usulan Central Council For Price of Goods and Services. Daftar tersebut mencakup 40 barang penting dan 3 jasa (services) sebagai berikut: 1. Kategori pangan (food category): terdapat 14 komoditi yaitu (1) bawang putih (2) padi dan beras (3) jagung (4) singkong dan produk turunannya (5) telur ayam (6) babi dan daging babi (7) gula (8) minyak dan lemak nabati dan hewani (9) susu kental manis (10) susu bubuk, susu segar (11) tepung terigu (12) paket makanan dalam kemasan kedap (13) paket makanan siap makan dalam kemasan kedap (14) TBS sawit. 2. Kategori barang konsumsi harian (daily consumables category): terdapat 5 produk (15) deteren bubuk (16) sanitary napkin (17) toilet paper and facial tissue (18) shampoo (19) soap 3. Kategori input pertnian (agricultural inputs category): terddapat 6 produk (20) pupuk (21) obat-obatan dan pestisida (22) pakan konsentrat (23) pompa air (24) traktor padi (25) alat panen padi. 4. Kategori bahan bangunan (construction materials category): terdapat 3 produk (26) semen (27) steel bar, structural steel, steel plate (28) electric wire (29) pipa PVC. 5. Kategori kertas dan produk kertas (paper and paper products category): terdapat 3 produk (30) paper for corrugated board
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
45
5.
Pelanggaran dan Sanksi
production and Kraft paper (31) printing dan writing paper (32) pulp 6. Kategori peralatan transportasi (transport equipment category): terdapat 3 produk (33) car batteries (34) ban motor dan mobil (35) motor, mobil penumpang, dan truk. 7. Kategori bahan bakar (petroleum products category): terdapat 3 produk (36) liquefied petroleum gas (37) fuel oil (38) plastic resin 8. Kategori obat-obatan (drugs category): (39) obat-obatan 9. Lainnya: (40) seragam sekolah 10. Kategori jasa (services category): (41) authorizing dissemination of copyright songs for commercial use (42) jasa pergudangan (43) jasa pertanian. Penolakan memberikan informasi dan dokumen terkait biaya produksi, komposisi dari barang atau jasa dalam pengawasan dikenai hukuman penjara maksimal 3 bulan atau denda maksimal 5 ribu Baht. Pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan CCP dikenai hukuman penjara maksimal 1 tahun atau denda maksimal 100 ribu Baht. Pelanggaran terhadap ketentuan jumlah, tempat penyimpanan, biaya produksi, rencana produksi, rencana pembelian, rencana distribusi, rencana variasi harga, potongan distribusi, proses produksi dan metode distribusi dari barang atau jasa dalam pengendalian dikenai hukuman penjara maksimal 1 tahun dan/atau denda 20 ribu Baht dan denda harian maksimal 2 ribu Baht per hari selama pelanggaran masih dilakukan. Jika tidak mencantumkan harga dikenai denda maksimal 10 ribu Bhat. Jika pelaku usaha menyebabkan fluktuasi harga atau melakukan penimbunan dikenai hukuman penjara maksimal 7 tahun dan/atau denda maksimal 140 ribu Baht.
4.5. India Kebijakan stabilisasi harga di India adalah Essential Commodities Act 1955. Dalam kebijakan ini yang diatur adalah produksi, supply, distribusi
serta
perdagangan
komoditas
tertentu.
Kebijakan
pengendalian harga dilakukan dengan mekanisme penentuan harga yang didasarkan pada hasil kesepakatan antara pemerintah dengan pelaku usaha, referensi controlled price, atau didasarkan dengan harga pasar. Komoditi khusus seperti padi-padian, minyak nabati dan minyak makan, diatur berbeda dimana periode harga yang berlaku disesuaikan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
46
dengan masa panen. Harga yang ditetapkan dapat berbeda antar wilayah. Tabel 4.5. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di India No. 1.
Elemen Pengendalian Aturan
2.
Institusi
3.
Mekanisme
4.
Komoditi
India Essential Commodities Act, Tahun 1955 Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penerapan kebijakan dan Pemerintah Pusat memonitor kinerja Pemerintah Daerah secara rutin Menentukan harga berdasarkan hasil kesepakatan; Jika tidak tercapai maka harga ditentukan berdasarkan referensi dari controlled price; Jika kedua cara tidak tercapai, maka harga akan ditetapkan sesuai dengan harga pasar di daerah tertentu pada saat transaksi jual beli terjadi; Jika dianggap perlu untuk mengendalikan kenaikan harga atau mencegah penimbunan, Pemerintah Pusat mengumumkan harga melalui Koran Nasional dan berlaku maksimal 3 bulan; Khusus untuk padi-padian, minyak nabati dan minyak makan, periode pengaturan harga disesuaikan dengan masa panen; Harga gula ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan harga minimum tebu, biaya produksi gula, pajak, dan tingkat laba yang wajar bagi produsen gula.
Komoditas penting adalah komoditas sebagai berikut: produk peternakan, batu bara, komponen dan aksesoris mobil, produk tekstil
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Public Distribution System (Control) Order Tahun 2001 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah mengidentifikasi rumah tangga BPL dan rumah tangga Anthodaya; Pemerintah Daerah menerbitkan ration card untuk rumah tangga BPL dan Anthodaya; Berdasarkan jumlah ration card Pemerintah Pusat menetapkan jumlah pasokan dan tingkat harga komoditas yang diatur dalam Public Distribution System (PDS); Pemerintah Pusat menunjuk Food Coorporation of India (FCI) untuk melakukan pendistribusian ke agen pemerintah daerah; Agen pemerintah daerah kemudian mendistribusikan komoditas yang diatur dalam PDS ke Fair Price Shop; Fair Price Shop bertindak sebagai retailer yang melayani pembelian dengan ration cards oleh rumah tangga BPL dan Anthodaya; Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap pasokan dan kualitas komoditas yang diatur dalam PDS. Komoditas yang diatur adalah beras, gandum, gula dan minyak tanah
47
5.
Pelanggaran dan Sanksi
(katun, rami dan wool), obatobatan, gula, makanan (termasuk minyak nabati), besi dan baja, kertas, petroleum dan produk petroleum, kapas mentah, rami mentah, pupuk, biji-bijian bahan pokok, buah dan sayuran. Penolakan memberikan informasi produksi, pasokan, atau distribusi essential commodity, 1 tahun penjara serta hukuman denda. Pelanggaran lain terkait pengendalian produksi, pasokan, dan distribusi essential commodity dikenakan hukuman penjara minimal 3 bulan dan dapat diperpanjang sampai 7 tahun serta hukuman denda. Barang bukti pelanggaran disita oleh Pemerintah. Pelanggaran kedua dikenakan hukuman penjara minimal 6 bulan dan dapat diperpanjang sampai dengan 7 tahun serta hukuman denda. Pemberian pernyataan palsu (laporan, pembukuan, deklarasi, dan lain-lain), dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan/atau hukuman denda. Pelanggaran perusahaan, penanggung jawab perusahaan dan perusahaan dinyatakan bersalah dan keduanya diproses dan dihukum. Pengadilan memiliki wewenang untuk mempublikasikan nama dan alamat usaha perusahaan yang terbukti melanggar.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Penolakan memberikan informasi produksi, pasokan, atau distribusi essential commodity, 1 tahun penjara serta hukuman denda. Pelanggaran lain terkait pengendalian produksi, pasokan, dan distribusi essential commodity dikenakan hukuman penjara minimal 3 bulan dan dapat diperpanjang sampai 7 tahun serta hukuman denda. Barang bukti pelanggaran disita oleh Pemerintah. Pelanggaran kedua dikenakan hukuman penjara minimal 6 bulan dan dapat diperpanjang sampai dengan 7 tahun serta hukuman denda. Pemberian pernyataan palsu (laporan, pembukuan, deklarasi, dan lain-lain), dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan/atau hukuman denda. Pelanggaran perusahaan, penanggung jawab perusahaan dan perusahaan dinyatakan bersalah dan keduanya diproses dan dihukum. Pengadilan memiliki wewenang untuk mempublikasikan nama dan alamat usaha perusahaan yang terbukti melanggar undang-undang.
48
4.6. Tiongkok Pengendalian harga di China diatur dalam President’s Decree of PRC Nomor 92 tahun 1997. Pengaturan harga barang dan jasa pada President’s
decree
dikelompokkan
dalam
dua
kategori,
yaitu
Government-Set Prices yaitu pengaturan harga yang ditetapkan oleh departemen terkait dan Government-Guided Prices yang didasarkan pada harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha sebagai harga acuan sedangkan kisaran harga ditetapkan oleh instansi teknis terkait. Dalam pelaksanaannya, mekanisme kebijakan pengendalian harga dilakukan
dengan
menetapkan
Government-Set
Prices
atau
Government-Guided Prices untuk barang dan jasa dengan karakteristik sebagai berikut: a. Barang yang memiliki peran penting dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat. b. Barang yang sumber dayanya terbatas. c. Barang yang mempunyai kegunaan publik. d. Barang yang memiliki potensi monopoli alamiah. e. Jasa yang secara alamiah penting bagi kesejahteraan masyarakat. Harga yang ditetapkan dalam Government-Set atau GovernmentGuide Prices untuk suatu barang dapat berbeda antara harga beli dan jual, antara harga grosir dan eceran, mupun antar daerah atau antar musim. State Council dan pemerintah daerah dapat menetapkan disparitas harga atau tingkat keuntungan, menetapkan harga tertinggi atau bentuk intervensi lainnya jika terjadi kenaikan harga.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
49
Tabel 4.6. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Tiongkok No. 1. 2. 3.
Elemen Pengendalian Aturan Institusi Mekanisme
Tiongkok Presiden Decree of PRC No. 92 Tahun 1997 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pemerintah mengeluarkan Government-Set Prices atau Government-Guided Prices untuk barang dan jasa yang memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Barang yang memiliki peran penting dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat. b. Barang yang sumber dayanya terbatas. c. Barang yang mempunyai kegunaan publik. d. Barang yang memiliki potensi monopoli alamiah. e. Jasa yang secara alamiah penting bagi kesejahteraan masyarakat. Penetapkan Government-Set atau Government-Guide Prices, dimungkinkan adanya perbedaan harga yang rasional antara harga beli dan harga jual, antara grosir dan eceran antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, dan antara musim yang satu dengan musim yang lain. Penetapan Government-Set atau Government-Guide Prices, Price Department melakukan investigasi terhadap biaya dan harga, mendengar pandangan dari konsumen, pelaku usaha dan lain-lain. Ketika harga jual padi-padian dan produk pertanian lainnya terlalu rendah, pemerintah melakukan proteksi, ketika harga barang/ jasa mengalami kenaikan tinggi, State Council dan pemerintah daerah, dan pemerintah daerah otonomi menetapkan tingkat keuntungan, harga tertinggi atau bentuk intervensi lainnya sebagai sistem untuk mencatat kenaikan harga. Ketika fluktuasi harga terjadi State Council menetapkan harga yang berlaku bagi seluruh daerah atau daerah-daerah tertentu untuk jangka waktu tertentu. Pelaku usaha dilarang melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan perilaku harga menjadi tidak normal seperti: a. Berkolaborasi dengan pihak lain untuk mengontrol harga pasar. b. Melakukan dumping. c. Membuat dan menyebarkan informasi kenaikan harga untuk mendorong harga pada tingkat yang tinggi. d. Menyebarkan informasi yang misleading. e. Melakukan diskriminasi harga terhadap barang dan kondisi yang sama. f. Menyembunyikan kenaikan atau penurunan harga pada kisaran yang tidak rasional melalui peningkatan atau penurunan kualitas barang atau jasa. g. Mengambil keuntungan berlebihan dengan melanggar hukum dan regulasi. h. Tindakan-tindakan lain yang melanggar hukum.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
50
4. 5.
Komoditi Pelanggaran dan Sanksi
Pelanggaran kebijakan ini mendapat peringatan, sedangkan pendapatan dari hasil tindakan ilegalnya disita, dan dikenakan denda maksimal 5 kali nilai pendapatan dari tindakan ilegalnya. Jika tidak ada pendapatan dari hasil tindakan ilegal, tetap dikenakan denda. Untuk kasus yang serius, pelaku usaha diperintahkan untuk menutup usahanya. Mekamisme pelanggran oleh Pelaku usaha: a. peringatan; b. penyitaan; c. denda 5 (lima) kali nilai pendapatan hasil tindakannya melanggar hukum; dan d. mencabut dan menutup izin usah Penolakan menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk monitoring harga atau dikenakan denda. Sanksi untuk pemerintah a. Pemerintah daerah atau instansi terkait yang menolak pelaksanaan kebijakan intervensi harga dikenakan hukuman administratif sesuai dengan hukum yang berlaku. b. Pegawai pemerintah yang membocorkan rahasia negara, rahasia bisnis atau memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau menerima suap dan kasusnya sangat serius sehingga dianggap kejahatan, maka dikenakan sanksi hukum. Jika kasusnya tidak dianggap serius sebagai kejahatan, maka dikenakan hukuman administratif.
4.7. Indonesia Kebijakan terkait upaya stabilisasi harga komoditi di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. UU Nomor 8 menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban mengelola stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat. Sedangkan UU Nomor 7 menyatakan Pemerintah berkewajiban menjamin pasokan dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting yang dilakukan untuk menjaga keterjangkauan harga di tingkat konsumen dan melindungi pendapatan produsen. Pelaksana
kebijakan
harga
adalah
Pemerintah
Pusat
dan
Pemerintah Daerah dimana pada Pasal 51 dalam UU Pangan Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
51
menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban mengatur Perdagangan Pangan yang bertujuan untuk: a. stabilisasi pasokan dan harga Pangan, terutama Pangan Pokok; b. manajemen Cadangan Pangan; dan c. penciptaan iklim usaha Pangan yang sehat. Dalam menjamin pasokan dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting, Menteri menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan Ekspor dan Impor. Pengaturan lebih lanjut mengenai kebijakan harga serta jenis komoditi atau barang yang diatur akan ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Draf terakhir dari Rancangan Peraturan Presiden mengenai Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting menetapkan jenis barang kebutuhan pokok yaitu beras, kedelai, cabe, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar (tongkol/ tuna/ cakalang). Jenis barang penting terdiri dari: benih (padi, jagung, dan kedelai), pupuk, gas elpiji 3 kilogram, triplek, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan. Perbedaan dengan kebijakan pengendalian harga di negara lain terletak pada peran pemerintah yang terwujud pada instansi teknis yang bertanggung jawab langsung dalam law enforcement dan pemberian sanksi hukum bagi pelaku usaha dan aparat pemerintah yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Tabel 4.7. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Indonesia No. 1.
Elemen Pengendalian Aturan
2.
Institusi
3.
Mekanisme
Indonesia Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Dalam hal Perdagangan Pangan, Pemerintah menetapkan mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal. Pelaku Usaha Pangan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, BUMN Barang kebutuhan pokok dan barang penting ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Dalam menjamin pasokan dan stabilisasi harga Barang
52
4.
Komoditi
5.
Pelanggaran dan Sanksi
dilarang menimbun atau kebutuhan pokok dan Barang menyimpan Pangan Pokok penting, Menteri menetapkan melebihi jumlah maksimal. kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta penyimpanan Pangan Pokok pengelolaan Ekspor dan oleh Pelaku Usaha Pangan. Impor. Stabilisasi pasokan dan harga Dalam rangka pengendalian Pangan Pokok dilakukan ketersediaan, stabilisasi melalui: harga, dan Distribusi Barang a. penetapan harga pada kebutuhan pokok dan Barang tingkat produsen sebagai penting, Pemerintah dapat pedoman pembelian menunjuk Badan Usaha Milik Pemerintah; Negara. b. penetapan harga pada tingkat konsumen sebagai pedoman bagi penjualan Pemerintah; c. pengelolaan dan pemeliharaan Cadangan Pangan Pemerintah; d. pengaturan dan pengelolaan pasokan Pangan; e. penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif yang berpihak pada kepentingan nasional; f. pengaturan kelancaran distribusi antarwilayah; dan/atau g. pengaturan Ekspor Pangan dan Impor Pangan. Pemerintah Daerah dapat menentukan harga minimum daerah untuk Pangan Lokal yang tidak ditetapkan oleh Pemerintah. Bahan kebutuhan pokok dan barang penting Pelanggaran terhadap aturan Pelaku Usaha yang menyimpan Barang penimbunan akan dikenakan kebutuhan pokok dan/atau sanksi administratif berupa: Barang penting dalam jumlah a. denda; dan waktu tertentu pada saat b. penghentian sementara dari terjadi kelangkaan Barang, kegiatan, produksi, dan/atau gejolak harga, dan/atau peredaran; dan/atau hambatan lalu lintas c. pencabutan izin. Perdagangan Barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
53
puluh miliar rupiah). Pelaku Usaha yang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
Pelaksanaan kebijakan harga di Indonesia sudah didukung oleh peraturan perundangan yang jelas yaitu UU pangan dan UU Perdagangan serta dukungan institusi/lembaga. Bahkan di tahun 2015 muncul peraturan baru terkait dengan ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga yaitu Peraturan Presiden No 17/2015 tentang ketahanan pangan dan gizi serta Peraturan Presiden No 71/2015 tentang penentapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting.
Namun, pelaksanaan kebijakan harga di Indonesia
masih
kelemahan
memiliki
aransemen kelembagaan.
baik dalam hal
koordinasi
maupun
Salah satunya pelanggaran/sanksi dalam
pelaksanaan kebijakan harga di Indonesia masih lemah sehingga perlu adanya law enforcement. Kondisi empiris menunjukkan bahwa selama ini masih ada kelemahan dalam hal instrumen kebijakan, infrastruktur serta kelembagaan pendukung.
Contohnya infrastruktur pendukung
sistem logistik belum memadai, kelembagaan pendukung produksi belum terbentuk dengan baik akibat struktur pertanian yang tidak terkonsolidasi dan biaya penegakan aturan di Indonesia cukup mahal sangat mahal dari pada manfaat yang diperoleh.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
54
BAB V KEBIJAKAN PENGENDALIAN HARGA KOMODITAS PANGAN
5.1.
Karakteristik Komoditas Pangan Karakteristik Petani Sebagian besar petani pangan Indonesia adalah petani kecil.
Lazimnya definisi petani kecil yang selama ini banyak diacu terkait dengan "smallness" dari "size" lahan usahatani dan atau jumlah ternak yang dimiliki atau dikelolanya (von Braun, 2004). Dari sudut pandang tenaga kerja, petani kecil adalah rumah tangga yang mata pencaharian utamanya berusahatani dan dalam usahataninya itu mayoritas tenaga kerjanya adalah tenaga kerja dalam keluarga (Narayana and Gulati, 2002).
Dari
sudut
pandang
pendapatan,
petani
kecil
lazimnya
diasosiasikan dengan tingkat pendapatannya yang rendah.
Terdapat
konvergensi antara skala usaha – penggunaan tenaga kerja upahan – penerapan teknologi - akses pasar – pendapatan, namun sampai saat ini data yang diperlukan untuk itu belum tersedia sehingga dengan segala keterbatasannya, yang lazim dipergunakan masih mengacu pada skala usaha. Pengertian mengenai skala usaha mengacu pada konsep "retuns to scale". Selama ini konsep tersebut telah banyak diterapkan sebagai pendekatan teoritis mengenai skala optimal usahatani (Chavas, 2001). Penerapannya dalam studi empiris menghasilkan beragam kesimpulan. Di negara maju terdapat kecenderungan "increasing returns to scale". Sebagai contoh, studi Kumbhakar (1993) tentang profitabilitas usahatani sapi perah di Utah ataupun analisis Hall and Leveen (1978) mengenai hubungan antara skala usaha dan efisiensi usahatani di California diperoleh kesimpulan bahwa secara rata-rata profitabilitas usahatani skala kecil relatif lebih rendah daripada usahatani skala menengah – besar. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
55
Menurut Hall and Leveen (1978), sumber keunggulan skala besar tersebut terletak pada penghematan biaya pengadaan input. Untuk kasus di negara berkembang kondisinya berbeda. Sebagai contoh, studi Sen (1962) di India menemukan adanya hubungan terbalik antara luas garapan dengan produktivitas pada usahatani di India. Kemudian, pada dekade 70-an, studi Yotopoulos and Lau (1973) dan Berry and Cline (1979) memperoleh kesimpulan bahwa pada usahatani di India ternyata skala kecil relatif lebih efisien daripada skala besar; dan tidak disarankan untuk mengkondisikan konsolidasi usahatani karena secara umum ternyata berada pada kondisi "constant returns to scale". Menurut Binswanger and Rozensweig (1986) hal itu disebabkan karena tenaga kerja keluarga lebih murah dan efisien daripada tenaga kerja luar keluarga (buruh) karena: (i) tenaga kerja keluarga memperoleh bagian dari keuntungan sehingga curahan perhatian dan kualitas pekerjaannya lebih baik, (ii) dengan tenaga kerja keluarga tidak diperlukan adanya biaya pencarian tenaga kerja, (iii) setiap individu tenaga kerja dalam keluarga menganggap
bahwa
apa
yang
dikerjakan
dalam
usahataninya
berimplikasi pada risiko yang akan dihadapi dalam usahataninya. Senada dengan berbagai temuan tersebut, Hayami (1998) juga menyatakan bahwa dalam banyak kasus ternyata usahatani skala rumah tangga adalah optimal. Namun "outcomes" yang terjadi tidaklah paralel dengan berbagai keunggulan tersebut. Meskipun usahatani rumah tangga mempunyai "labor cost advantage" tidak demikian halnya dengan masalah pendanaan usahatani dan berbagai implikasinya terhadap akses pasar dan lobi politik. Usahatani skala besar memiliki "credit cost advantage" yang jauh lebih besar daripada usahatani rumah tangga. Demikian pula dengan pemanfaatan peluang-peluang pengembangan dalam interaksinya dengan sektor non pertanian (Binswanger and Rozensweig, 1986).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
56
Kesimpulan umum berbagai hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa berbekal keunggulannya masing-masing, pertanian skala kecil maupun skala besar akan terus eksis. Baik yang besar maupun yang kecil akan mengalami pasang surut dan dinamika lingkungan strategis global
akan
mempengaruhi
eksistensinya
masing-masing.
Namun
demikian satu hal penting yang harus digaris bawahi adalah bahwa pasang surut pertanian skala kecil di negara-negara berkembang berimplikasi lebih serius terhadap perekonomian sebagian besar negaranegara berkembang karena berkaitan erat dengan masalah kemiskinan, ketahanan pangan, dan kesempatan kerja sebagian besar penduduknya. Di Indonesia studi tentang hubungan antara skala usaha dengan efisiensi juga telah banyak dilakukan (paruh kedua dekade 70-an – paruh awal dekade 90-an), baik melalui pendekatan ekonometrik maupun akunting sederhana5. Secara umum, hasil-hasil penelitian tersebut memperoleh kesimpulan bahwa usahatani tanaman pangan di Indonesia berada dalam kondisi "constant returns to scale"; dan mungkin terkait dengan itu pula maka sampai saat ini konsolidasi usahatani secara mandiri oleh petani belum menjadi "trend". Struktur Penguasaan Lahan Petani Pangan di Indonesia Meskipun ada data Sensus Pertanian Tahun 2013 namun yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Pendataan Usahatani Tahun 2009 (PUT09). Alasannya adalah: (i) data ini lebih fokus ke petani pangan, (ii) definisi tentang petani pada Sensus Pertanian 2013 berbeda dari 2003 sehingga jika diperbandingkan secara langsung dapat menghasilkan kesimpulan yang kurang tepat. Kegiatan PUT09 dilakukan oleh BPS dan mencakup petani penghasil komoditas pangan utama (padi, jagung, kedele, dan tebu). Rumah tangga pertanian tersebut proporsinya 5
Pembaca dapat melacaknya pada berbagai hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Agroekonomi periode 1985 – 1994, proseding hasil penelitian PAE 1985 – 1990, maupun berbagai disertasi pada periode tersebut.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
57
mencapai sekitar 70 % dari seluruh populasi rumah tangga pertanian Indonesia
sehingga
dapat
dianggap
cukup
memadai
untuk
menggambarkan kondisi seluruh rumah tangga petani Indonesia. Menurut data tersebut, pada tahun 2009 ini jumlah rumah tangga usahatani penghasil komoditas pertanian utama adalah sekitar 17.8 juta (jika petani mengusahakan lebih dari satu jenis komoditas maka tetap dihitung satu, mengacu pada komoditas utamanya). Rincian jumlah unit usahatani menurut jenis komoditas yang diusahakan adalah sebagai berikut. Untuk komoditas padi, jagung, kedele masing-masing adalah sekitar 14.99, 6.71, 1.16 juta unit usahatani; sedangkan tebu adalah sekitar 195 ribu unit usahatani. Sebarannya menurut (kelompok) pulau adalah menunjukkan bahwa sebagian besar (58.6%) berada di Pulau Jawa. Di Luar Pulau Jawa, yang terbanyak adalah di Sumatera (18.6%), sedangkan yang terkecil adalah di Maluku dan Papua (1.3%). Sebaran petani menurut luas penguasaan menunjukkan bahwa bagian terbesar adalah petani dengan luas penguasaan antara 0.1 – 0.49 hektar. Khusus untuk di P. Jawa, dengan batas atas 1 hektar saja sekitar 90% diantaranya sudah termasuk dalam kategori petani kecil, dan selanjutnya jika batas atas yang digunakan adalah 0.5 hektar maka persentase petani yang tercakup dalam kelompok tersebut juga masih lebih dari dua pertiga (69%). Produktivitas usahatani tanaman pangan, khususnya padi dan jagung di Indonesia sebenarnya termasuk tinggi. Rata-rata produktivitas petani padi Indonesia memang masih lebih rendah daripada petani China ataupun Jepang, setara dengan petani India, namun lebih tinggi daripada petani Thailand ataupun Vietnam. Bahwa sampai saat ini untuk Indonesia seringkali masih harus mengimpor beras terutama karena sangat kecilnya garapan usahatani. Sekedar ilustrasi, rata-rata luas lahan usahatani padi per kapita (total luas lahan usahatani padi dibagi total jumlah penduduk)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
58
Indonesia hanya sekitar 646 M2/kapita. Bandingkan dengan Vietnam (986 M2/kapita), China (1120 M2/kapita), ataupun India (1590 M2/kapita); apalagi Thailand (5 230 M2/kapita) (Pasaribu, 2009). Dalam
rangka
melindungi
produsen
(petani
kecil)
maupun
konsumen (yang sebagian besar juga miskin), pemerintah meluncurkan kebijakan harga terutama untuk komoditas pangan strategis. Sebagai contoh, untuk mengkondisikan agar harga gabah pada saat panen tidak merosot tajam maka Pemerintah menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah (dahulu Harga Dasar gabah) dan untuk menstabilkan harga beras agar pada saat paceklik tidak melonjak tajam maka
pemerintah
menetapkan
Harga
Eceran
Tertinggi
Beras.
Bekerjasama dengan Departemen Pertanian serta Departemen terkait lainnya, lembaga yang secara khusus ditugaskan untuk mengeksekusinya adalah Badan Urusan Logistik (BULOG). Gambaran tentang distribusi pemilikan lahan dapat disimak dari sebaran rumah tangga menurut kelompok pemilikan.
Tampak bahwa
jumlah petani dengan penguasaan lahan kurang 0.5 hektar ke bawah adalah sekitar 44%. Pada kelompok ini, jumlah terbanyak adalah pada luasan seperempat hektar ke bawah (27%), sedangkan petani tunakisma (tidak memiliki lahan sendiri sehingga menggarap milik orang lain adalah sekitar 9%). Di Pulau Jawa, jumlah petani yang luas pemilikannya 0.5 hektar ke bawah mencapai 57%, sedangkan di Luar Pulau Jawa adalah sekitar 37%.
Demikianpun halnya dengan petani penggarap murni, di
Pulau Jawa mencapai 12% sedangkan di Luar Pulau Jawa sekitar 7%. Secara umum distribusi pemilikan lahan usahatani di Indonesia berada pada tingkat ketimpangan sedang (indek gini berkisar 0.42 – 0.64) dan dalam sepuluh tahun terakhir ini cenderung semakin timpang (Sudaryanto et al, 2009).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
59
Secara garis besar penyebab utama makin mengecilnya skala usahatani terkait dengan pertambahan jumlah rumah tangga pertanian yang jauh lebih tinggi dari pertambahan luas areal pertanian baru, konversi lahan pertanian ke non pertanian, dan pewarisan. Itu adalah gambaran rata-rata, sedangkan yang terjadi di lapangan beragam. Sejumlah besar petani luas pemilikannya bertambah kecil karena dibagibagikan kepada keturunannya (warisan) atau sebagian dijual, sebagian lainnya tak lagi memiliki lahan pertanian dan beralih profesi (tidak lagi menjadi petani), dan sebagian lainnya (sebagian kecil) lahan pertaniannya bertambah luas karena membeli dari petani lainnya baik di dalam desa maupun di luar desa. Peningkatan jumlah petani kecil menyebabkan: (1) posisi tawar petani petani di pasar input maupun pasar output pertanian menjadi semakin lemah, (2) kemampuan untuk melakukan investasi dalam usahatani menurun, (3) adopsi teknologi melambat, (4) kontribusi usahatani dalam pendapatan rumah tangga semakin kecil, dan (5) meningkatnya alokasi tenaga kerja rumah tangga petani ke sektor non pertanian dan migrasi tenaga kerja kerja ke kota. Secara keseluruhan hal tersebut menyebabkan berimplikasi pada suksesi usahatani maupun terjadinya involusi pertanian. Melemahnya posisi tawar petani di pasar input maupun output pertanian tidaklah mudah diatasi. Meskipun secara teoritis dapat diatasi melalui pengembangan asosiasi petani namun secara empiris tidak mudah diwujudkan karena: (1) kepentingan petani sangat heterogen, (2) secara agregat, net benefit dari pengembangan kelambagaan asosiasi petani sangat kecil (bahkan di beberapa kasus negatif), sementara itu campur
tangan
pemerintah
untuk
menekan
social
cost
dari
pengembangan kelembagaan seperti itu sangat tidak memadai.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
60
Semakin melambatnya adopsi teknologi petani antara lain tercermin dari levelling off pertumbuhan produksi padi di Indonesia. Sejak awal dasawarsa 90-an berbagai terobosan di bidang teknologi usahatani padi sebenarnya cukup banyak dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian terkait di Indonesia. Cukup banyak varietas-varietas padi yang baru dengan produktivitas yang lebih tinggi telah berhasil diciptakan, namun adopsinya di kalangan petani relatif rendah. Saat ini diperkirakan lebih dari 70% pertanaman padi di Indonesia didominasi oleh varietas IR 64 dan Ciherang; dan hal itu telah berlangsung kurang lebih dalam periode 10 tahun terakhir ini. Semakin rendahnya kontribusi usahatani dalam struktur pendapatan rumah tangga dapat dilihat dari fenomena berikut. Di perdesaan Pulau Jawa kontribusi pendapatan dari pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga turun dari 50% menjadi 25% dalam periode 1995 – 2007 (Sudaryanto and Sumaryanto, 2008). Khusus untuk rumah tangga petani, kontribusi pendapatan dari usahatani terhadap pendapatan rumah tangganya adalah sebagai berikut. Di agroekosistem pesawahan di Pulau Jawa dan Luar Jawa masing-masing adalah 58 dan 46 %. Dengan urutan yang sama, pada agroekosistem lahan kering berbasis usahatani tanaman pangan dan hortikultura adalah 52 dan 48%. Sedangkan di lahan kering barbasis tanaman perkebunan, di Luar P. Jawa adalah 67% (PSEKP, 2008). Meningkatnya alokasi tenaga kerja rumah tangga petani ke pekerjaan non pertanian berimplikasi menguatnya sifat "part time" dalam aktivitas usahatani. Hasil penelitian (PSEKP, 2008) menunjukkan bahwa partisipasi rumah tangga petani pada kegiatan berburuh tani, usaha non pertanian, dan berburuh di sektor non pertanian masing-masing adalah 6%, 36%, dan 22%. Jika unit analisisnya adalah individu maka terdapat tiga kelompok kegiatan yang partisipasinya sangat menonjol yaitu: (i) di
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
61
usahatani sendiri saja (37%), (ii) di usahatani sendiri + berburuh tani (20%), dan (iii) di usahatani + usaha rumah tangga sektor non pertanian (12%). Implikasi Globalisasi Terhadap Pertanian Skala Kecil Berpangkal pada asimetri penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, modal, kemampuan lobi politik, dan mungkin juga jejak kolonialisme masa lalu; sistem perdagangan komoditas pertanian di pasar internasional kurang adil terhadap negara berkembang. Upaya untuk menciptakan sistem perdagangan bebas yang adil (fair trade) telah banyak dilakukan melalui serangakaian perundingan namun belum membawa hasil yang sesuai dengan harapan. Putaran Doha 2001 berlangsung sangat alot dan belum berhasil mencapai kesepakatan untuk menciptakan sistem perdagangan yang lebih adil6. Sampai saat ini pangsa pasar internasional komoditas pangan didominasi negara maju dan cenderung mengerucut ke sejumlah kecil yakni Amerika Serikat (jagung, minyak kedele, gandum, daging unggas, beras, kedele, buah dan sayuran, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju), Uni Eropa (buah dan sayuran, jagung, gula, gandum, daging sapi, daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju), Australia (jagung, gula, gandum, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju), Selandia Baru (daging sapi, susu bubuk skim, mentega, dan keju), dan Kanada (mentega, daging sapi, buah dan sayuran, minyak kedele, gandum, dan jagung) (Sawit, 2007; Sawit, 2008).
6
Deklarasi Doha (WTO, 2001) menyebutkan: (i) substancial reduction in trade-distorting domestic support, (ii) the reduction of, with a view to phasing out, all forms of export subsidies, (iii) substantial improvements in market acces, (iv) special and differential treatment for developing members in all elements of the negotiations. Kerangka kerja persetujuan disepakati anggota WTO pada Bulan Juli 2004 dengan menyisakan agenda menyangkut aspek negosiasi pertanian (WTO, 2004).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
62
Selain keunggulannya dalam akses pasar, dominasi negara-negara tersebut sebenarnya juga karena ditopang subsidi yang ternyata jauh lebih besar daripada subsidi yang diterapkan oleh negara-negara berkembang. Pendapatan petani produsen beras, petani produsen gula, dan petani produsen daging sapi yang berasal dari subsidi pemerintah mencapai masing-masing 78%, 51%, dan 33% (Sawit, 2007). Belum lagi sistem perdagangan internasional yang "fair" terbentuk, ekspansi perusahaan agribisnis skala raksasa dari negara-negara maju semakin
dalam
menancapkan
dominasinya
di
berbagai
negara
berkembang. Melalui integrasi vertikal dari hulu – hilir, dominasinya sangatlah kokoh sehingga ruang persaingan yang terbuka untuk negaranegara berkembang menjadi sempit. Di hulu, mereka menguasai pasar peralatan pertanian, agrokimia, dan benih; di tengah mendominasi industri pengolahan (agro-processing dan agro-manufacturing); dan di hilir membanjiri
pasar eceran (supermarket)
dengan beragam produk
pertanian segar maupun olahannya di seluruh dunia baik di negara maju maupun negara-negara berkembang.
Dua dekade yang lalu, "Top Ten"
MNC penghasil benih mengendalikan sekitar 30% dari nilai perdagangan benih internasional (US 24.4 milyar) dan "Top Ten" perusahaan agrokimia mengendalikan sekitar 84% pangsa pasar agrokimia (US$ 30 milyar) di pasar global. Kini (setelah proses akuisisi dan merger dari sejumlah perusahaan agribisnis raksasa) lima teratas perusahaan raksasa yang bergerak di bidang bioteknologi pertanian mendominasi pasar: Pharmacia (Monsanto), DuPont, Syngenta, Aventis, dan Dow. Implikasi Terhadap Eksistensi Pertanian Skala Kecil Interaksi agribisnis skala besar dari negara-negara maju dengan pertanian skala kecil dari negara-negara berkembang bersifat asimetris. Terkendala oleh isolasi geografis, terbatasnya penguasaan informasi,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
63
penguasaan modal yang terbatas, penguasaan teknologi yang kurang berkembang, dan dukungan infrastruktur yang kurang memadai maka sebagian besar pertanian skala kecil di negara-negara berkembang tetap berkutat pada persoalan internalnya yakni rendahnya pendapatan usahatani. Di sisi lain, berbekal penguasaan informasi dan
teknologi
maju, modal yang besar, sistem manajemen usaha yang canggih, dan lobi politik yang kuat maka perusahaan-perusahaan agribisnis skala raksasa dari negara maju mengembangkan eksistensinya secara ekspansif. Bagaikan dua makhluk dari alam yang berbeda, sebagian besar petani kecil
di
negara-negara
berkembang
tidak
menyadari
bahwa
di
hadapannya telah berdiri sosok pesaing yang siap mengancam eksistensinya. Secara agregat liberalisasi perdagangan memang berdampak positif terhadap surplus konsumen maupun surplus produsen. Namun efeknya terhadap distribusi pendapatan dan pengentasan kemiskinan belum jelas karena penelitian bidang ini masih sangat langka. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa pada saat ini petani kecil berada pada situasi yang kritis. Kondisi yang dihadapinya dilematis. Sementara sebagian besar petani masih tetap berkutat dengan pendapatan usahataninya yang rendah, tenaga kerja muda semakin tidak tertarik untuk menekuni pertanian. Stagnasi ekonomi dan terbatasnya kesempatan kerja di pedesaan mendorong tenaga kerja pedesaan usia muda bermigrasi di kota meskipun tanpa jaminan bahwa di lokasinya yang baru itu akan dapat hidup lebih baik (Huvio et al, 2004). Keragaman adalah warna dasar eksistensi. Implikasi liberalisasi perdagangan terhadap eksistensi petani kecil tidaklah homogen. Dari sudut pandang akses petani terhadap pasar (Torero and Gulati, 2004), eksistensi petani kecil dapat dipilah menjadi tiga tipe: (1) petani kecil subsisten dengan akses pasar lokal, (2) petani kecil dengan akses pasar
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
64
domestik, dan (3) petani kecil dengan akses pasar internasional. Fenomena tersebut perlu dipertimbangkan secara seksama dalam perumusan kebijakan dan program pemberdayaan petani kecil yang antara lain mencakup trade financing, perbaikan infrastruktur, inovasi kelembagaan, serta penguatan koperasi dan contract farming (Huvio et al, 2004). Pengaruh liberalisasi perdagangan terhadap eksistensi pertanian skala kecil dalam ekonomi domestik tergantung pada kondisi keterkaitan pasar domestik – pasar internasional sebelum liberalisasi dan kapasitas aktor utama (pertanian skala kecil) untuk meresponnya. Efeknya muncul dari: (i) perubahan tingkat harga input dan output, (ii) perubahan volatilitas harga, (iii) efek tak langsung melalui proteksi relatif di pertanian versus sektor lain dalam keseluruhan sektor perekonomian, dan (iii) nilai tukar dan pengaruh makro ekonomi lainnya (von Braun, 2004). Secara teoritis, pengaruh jangka pendek diakibatkan oleh terjadinya perubahan harga relatif (produksi dan pola konsumsi tetap). Dalam konteks ini, karakteristik "household economy" yang melekat pada sebagian besar petani kecil beserta implikasinya dalam perilaku produksi dan konsumsi harus dielaborasikan dengan baik dalam pemodelan. Dalam
jangka menengah dan jangka panjang, pola usahatani akan
bergerser ke arah komoditas yang menghasilkan keuntungan yang lebih besar, atau setidaknya yang tidak menyebabkan pendapatan riilnya turun. Respon jangka panjang akan mencakup pula investasi dan migrasi. Sejumlah pertanian skala kecil yang dapat memanfaatkan peluang yang terbuka dari liberalisasi perdagangan akan melakukan investasi untuk mengembangkan eksistensinya. Di sisi lain, sejumlah petani tidak mampu bertahan dan karena itu beralih profesi ke sektor lainnya. Di tengah (mungkin bagian terbesar) akan berada pada situasi yang dilematis: tetap berusahatani dengan pendapatan yang rendah dan prospeknya kurang
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
65
jelas atau beralih profesi ke bidang lain tetapi tak pula ada jaminan kehidupannya akan membaik. Terkait dengan itu, strategi yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut (von Braun, 2004): (i) mengembangkan usahatani bernilai ekonomi tinggi
(spesialisasi,
diversifikasi,
dan
komersialisasi),
(ii)
mencari
tambahan pendapatan dari luar usahatani dan menjadi "part-time farmer", dan (iii) beralih profesi ke sektor non pertanian (termasuk migrasi). Jalur (i) dapat ditempuh oleh petani yang dapat mengakses pasar modern yang terintegrasi dengan pasar internasional misalnya melalui pola kemitraan dengan perusahaan agribisnis, agro-processing, agro-manufacturing, ataupun supermarket. Kelembagaannya dapat berupa contract farming ataupun melalui suatu sistem koordinasi vertikal. Jalur (ii) adalah strategi yang mungkin paling populer karena secara historis – empiris telah merupakan
pola
dominan
dalam
strategi
rumah
tangga
petani
mempertahankan eksistensinya. Namun berbeda dengan pola yang selama ini ditempuh, upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja di usahataninya maupun pada kegiatan luar pertanian harus terus dilakukan karena jika berada dalam status quo maka dalam jangka menengah peranan usahataninya dalam ekonomi rumah tangga akan terus menyusut. Jalur (iii) merupakan strategi yang paling layak ditempuh oleh rumah tangga petani yang skala usahanya sangat kecil dan selama ini kontribusinya untuk menopang ekonomi rumah tangga sangat minor.
Karakteristik Konsumsi Pangan Terhadap Pengeluaran Dalam waktu 10 tahun, terdapat perubahan karakteristik konsumsi pangan terhadap pengeluaran yang tercermin dari angka pangsa pengeluaran masyarakat terhadap pangan.
Ada kenaikan persentase
pengeluaran masyarakat terhadap pangan baik desa maupun kota pada tahun 2002 dari 66,06% menjadi 68,04% tahun 2012. Masyarakat yang
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
66
memiliki penghasilan dalam kelompok pendapatan 1-4 memiliki pangsa pengeluaran terhadap pangan yang meningkat dari tahun 2002 ke 2012. Sementara, pengeluaran masyarakat pada kelompok 5-10 pangsa pengeluaran terhadap pangan menurun dan cenderung meningkat untuk non pangan. Hal ini berimplikasi bahwa kenaikan harga pada komoditi pangan
akan
memberikan
dampak
pada
makin
meningkatkan
pengeluaran masyarakat pada kelompok 1-4. Tabel 5.1 Rata-rata Pangsa Pengeluaran Masyarakat Terhadap Pangan Berdasarkan Kelompok Pendapatan Kelompok Pendapatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kota 61,31 60,31 59,41 58,42 57,19 55,68 53,74 50,88 46,78 30,79
2002 Desa Desa+Kota 67,40 66,06 67,33 65,48 66,97 64,70 66,47 63,59 65,69 62,40 64,67 60,92 63,27 58,96 61,37 56,52 58,69 52,25 43,94 35,31
Kota 62,18 62,69 61,08 59,09 57,13 54,58 52,32 49,61 45,22 30,69
2012 Desa Desa+Kota 68,73 68,04 69,67 67,75 70,11 66,08 67,06 63,76 64,93 61,80 63,10 60,04 61,53 57,89 59,90 55,40 57,55 50,84 43,29 34,95
Sumber: Susenas, 2002 dan 2012, diolah
Perkembangan Harga dan Stabilitasnya (MA-Average) Perkembangan
Harga
komoditi
pangan
menunjukkan tren positif dengan cenderung naik.
ditingkat
eceran
Data selama tahun
2009-2014 periode mingguan menunjukkan harga tingkat eceran komoditi beras, gula dan minyak goreng cenderung naik.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecenderungan harga naik yaitu musim, harga komoditi di pasar internasional serta kebijakan pemerintah. Ribu
Ribu
13
80
12
70
11
60
10
50
9
40
8
30
7
20
6
10
5 2009
2010 HGULA
2011
2012
HMINYAKGORENG
2013
2014
0 2009
2010
2011
2012
2013
2014
HBERAS
HCABAIMERAH HDAGINGAYAM HBAW ANGMERAH
Gambar 5.1 Perkembangan Harga Komoditi Pangan Sumber: BPS, diolah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
67
Stabilitas
harga
dapat
diukur
dengan
melihat
fluktuasinya.
Pergerakan fluktuasi harga komoditi pangan pokok antar waktu selama tahun 2009-2014 terlihat makin mengecil.
Pada periode tertentu
pergerakan fluktuasi harga komoditi (beras, gula pasir dan minyak goremg) cukup tinggi yaitu selama tahun 2009 dan selama tahun 2013 dan awal 2014. Demikian halnya dengan komoditi daging ayam, cabai merah dan bawang merah.
Pergerakan fluktuasi harga daging ayam
relative rendah namun harga nominal cenderung meningkat tajam. Fluktuasi harga yang tinggi menimbulkan banyak resiko dari harga nominal yang terjadi dibandingkan dengan fluktuasi harga yang relative rendah.
Implikasinya, stabilisasi harga dapat meminimalkan tingginya
fluktuasi harga dan menjaga stabilitas harga secara nominal sehingga dapat memperkecil dampaknya terhadap inflasi. %
% 50
8 7
40 6 5
30
4
20
3 2
10 1
0
0 2009
2010
2011
2012
2013
2014
GULAPASIR MINYAKGORENG BERAS
2009
2010
2011
2012
2013
2014
BAWANGMERAH CABAIMERAH DAGINGAYAM
Gambar 5.2 Pergerakan Fluktuasi Harga Komoditi Pangan Sumber: BPS, diolah
5.2.
Kebijakan Harga komoditas Pangan Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-
Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan merupakan kebijakan terkait upaya stabilisasi harga komoditi di Indonesia tertuang dalam. Secara ringkas, regulasi harga beberapa pangan pokok seperti beras, gula, daging ayam, cabai, bawang merah, dan minyak goreng pada Lampiran 1. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
68
Secara umum dapat dikatakan bahwa harga komoditi pangan di Indonesia cenderung fluktuatif dan terus mengalami peningkatan. Pengaruh
musim
dan
siklus
produksi
sangat
mempengaruhi
perkembangan harga komoditi pangan di tingkat eceran. Kebijakan harga yang ditetapkan pada komoditi pangan berlaku sepanjang tahun, padahal karakteristik produksi pangan memiliki pola dalam setiap tahun terutama untuk beras, gula, cabai merah, dan bawang merah. Permasalahan dalam penerapan kebijakan harga di Indonesia diantaranya adalah masih rendahnya komitmen politik dan ekonomi dalam mendukung kebijakan yang sudah ditetapkan sehingga pelaksanannya menjadi kurang komprehensif, sistematis dan konsisten. Banyaknya kebijakan-kebijakan yang dikeluaran oleh Kementerian/ Lembaga terkait terkadang menjadi masalah sebab ada yang saling tidak sejalan dan tidak harmonis sehinga menghambat implementasi kebijakan.
Misalnya
kebijakan peningkatan produksi dengan kebijakan alih fungsi lahan, contoh kasus pada padi, jagung, kedelai dan gula. Masalah lain yang juga menghambat pelaksanaan kebijakan harga adalah masalah infrastruktur yang dalam hal ini adalah sistem logistik yang belum baik yang menyebabkan masih terdapat disparitas harga antar wilayah dan belum adanya
kelembagaan
pangan
sebagai
leading
agency
implementasi regulasi harga dan pangan di Indonesia
dalam
sehingga
kelembagaan sistem pangan yang ada terlihat masih kurang solid, tidak fokus dan cenderung Parsial. Baru-baru ini Pemerintah mengeluarkan peraturan presiden No 71 tahun 2015 tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting yang diterbitkan pada bulan Juni 2015. Peraturan ini menitikberatkan pada peran pemerintah dalam melakukan penetapan harga. Adapun penetapan harga yang dimaksud yaitu harga acuan, harga pembelian pemerintah pusat, harga khusus (harga
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
69
menjelang, saat dan setelah hari besar keagamaan nasional dan/atau pada saat terjadi gejolak harga, harga eceran tertinggi (dalam rangka operasi pasar). Penetapan harga ini tercantum dalam pasar 4 dan pasal 5 ayat (4) butir (a) dan (b) pada peraturan tersebut. Penetapan harga dilakukan pada barang kebutuhan pokok yang mana cakupan kebutuhan bahan pokok di dalam peraturan tersebut meliputi beras, kedelai, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras dan ikan segar.
5.3.
Penentuan Komoditas Pangan Yang Perlu Diprioritaskan Kebijakan
harga
pangan
dapat
dirumuskan
dengan
mempertimbangkan kepentingan konsumen dan kepentingan produsen. Pertimbangan kepentingan konsumen pada prinsipnya untuk menjaga menjaga daya beli konsumen, sedangkan pertimbangan kepentingan produsen terkait dengan menjaga profitabilitas usaha tani/ternak sehingga tetap bertani/berternak. Dua kepentingan ini menurut banyak pengamat ekonomi pertanian tidak dapat dicapai bersama-sama (trade-off), sehingga dalam pembahasan penentuan komoditi yang menjadi fokus dalam kebijakan harga akan dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama menentukan komoditi berdasarkan kepentingan konsumen dan tahap kedua menentukan komoditi berdasarkan kepentingan produsen. Dalam menentukan komoditi berdasarkan kepentingan konsumen ada tiga hal yang perlu menjadi pertimbangan, yaitu andil inflasi, koefisien variasi harga di tingkat konsumen, pangsa pengeluaran rumah tangga. Andil inflasi dan pangsa pengeluaran rumah tangga sebagai kombinasi yang sangat eksplisit sebagai faktor untuk menggambarkan tingkat daya beli masyarakat. Semakin tinggi hasil perkalian nilai kedua variabel tersebut, maka urgensi komoditi tersebut bagi kepentingan masyarakat juga semakin besar. Sedangkan koefisien variasi harga di tingkat
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
70
konsumen sebagai indikator untuk menunjukan apakah pemerintah perlu intervensi dalam menstabilkan harga komoditi tertentu. Andil inflasi komoditi menunjukkan bahwa seberapa besar komoditi tersebut memberikan sumbangan terhadap inflasi nasional. Besar atau kecilnya suatu komoditi memberikan andil inflasi tergantung pada bobot komoditi tersebut terhadap inflasi dan besarnya perubahan harga. Semakin tinggi andil inflasi maka kontribusi komoditi tersebut terhadap inflasi juga semakin besar dan sebaliknya. Komoditi yang mempunyai kenaikan harga (inflasi) dan bobot terhadap inflasi tinggi, maka komoditi tersebut akan memberikan andil yang tinggi terhadap inflasi. Saat ini terjadi dimana komoditi yang mempunyai andil terhadap inflasi rendah justru menjadi sumber terjadinya inflasi. Hal ini dikarenakan komoditi tersebut memiliki kenaikan harga yang cukup signifikan seperti aneka cabe dan aneka bawang, meski bobot komoditi ini terhadap inflasi relatif kecil yaitu kurang dari 0,5%.
Komoditi beras, mempunyai andil
inflasi yang tinggi, karena bobot beras terhadap inflasi cukup tinggi sekitar 3-4%.
Implikasinya kenaikan harga yang kecilpun akan memberikan
dampak terhadap andil inflasi yang cukup besar, upaya stabilisasi harga pada komoditi ini penting mengingat beras menjadi produk pangan utama masyarakat Indonesia. Tabel 5.2 Andil Inflasi Komoditi selama Tahun 2009-2014 Andil Inflasi (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Komoditi Beras Gula Pasir Kedelai Tepung terigu Daging ayam ras Daging sapi Telur ayam ras Cabe merah Bawang merah Jagung manis Minyak Goreng
2009 0.27 0.32 -0.02 0.00 0.06 0.02 -0.01 -0.03 0.03 0.00 -0.04
2010 1.28 0.06 0.02 0.00 0.14 0.03 0.07 0.28 0.24 0.02 0.12
2011 2.27 -0.03 0.15 0.02 0.21 0.10 0.02 0.43 0.03 0.01 0.14
2012 0.33 0.14 0.08 0.00 0.03 0.16 0.04 -0.25 0.09 0.00 -0.01
2013 0.20 -0.03 0.07 0.07 0.11 0.11 0.03 0.31 0.38 0.30 0.03
2014 0.38 -0.03 0.00 0.00 0.07 0.03 0.07 0.43 0.01 0.00 0.07
Rata2' 09-14 0.79 0.07 0.05 0.01 0.10 0.08 0.04 0.20 0.13 0.06 0.05
Sumber: BPS, diolah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
71
Selama tahun 2009-2014, komoditi pangan yang memberikan andil cukup besar terhadap inflasi yaitu beras, cabe merah, bawang merah, dan daging ayam ras dengan andil lebih dari 0,5%. Komoditi ini merupakan bagian dari volatile food dalam pengelompokkan inflasi nasional. Dengan andil yang cukup besar tersebut mempunyai arti bahwa fluktuasi harga dari komoditi tersebut perlu dijaga supaya tidak terlalu tinggi sehingga kebijakan pengendalian harga penting dalam upaya memperkecil dampaknya terhadap inflasi nasional. Salah satu peran kebijakan stabilisasi harga adalah pengendalian harga komoditi, memperlancar pasokan dan jalur distribusi. Pengendalian harga
komoditi
mempunyai
arti
bahwa
untuk
meminimalkan besarnya fluktuasi harga yang terjadi pada batas toleransi tertentu yang tidak merugikan konsumen ataupun produsen. Langkah ini merupakan salah satu upaya di dalam pengendalian inflasi khususnya inflasi bahan makanan yang merupakan bagian dari volatile food di dalam pengelompokkan komoditi inflasi nasional. Fluktuasi harga dapat terjaga bilamana pengaturan pasokan serta distribusi berjalan dengan dengan baik sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat tercukupi dengan harga yang terjangkau. Harga komoditi yang terkendali akan berdampak pada perubahan harga tertinggi antar waktu menjadi minimal dan memberikan andil inflasi yang relatif kecil. Fluktuasi harga komoditi dapat diminimalkan melalui pengaturan produksi dan waktu impor dalam memenuhi permintaan yang angkanya cenderung meningkat, dalam jangka menengah dan panjang dapat menurunkan peran komoditi tersebut dalam inflasi. Koefisien variasi (CV) harga komoditi dihitung berdasarkan data harga komoditi bulanan dari BPS mulai tahun 2008 sampai dengan 2014, kecuali komoditi bawang merah yang di hitung menggunakan data mulai
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
72
tahun 2010. Berdasarkan hasil perhitungan, koefisien variasi harga tertinggi terdapat pada komoditi cabe merah sebesar 31,68%, disusul oleh bawang merah 20,88%, daging ayam 8,00%, minyak goreng 7,16% dan telur ayam 5,77%. Adapun koefisien variasi harga terendah terdapat pada komoditi terigu sebesar 1,24 % disusul oleh kedelai 2,33%, beras 2,96%, gula 3,73%, jagung 4,03% dan daging sapi 4,14%. Koefisien keragaman harga komoditi masih berkisar antara 5-9% yang menunjukkan bahwa fluktuasi harga komoditi tersebut relatif stabil kecuali untuk komoditi cabe merah dan bawang merah. Secara umum fluktuasi semua harga komoditi pangan dipengaruhi oleh pola konsumsi atau permintaan meningkat pada hari raya perayaan keagamaan dan adat. Pengaruh peningkatan permintaan pada hari raya keagamaan dan adat lebih dominan pada harga komoditi daging ayam dan telur. Fluktuasi harga cabe dan bawang merah yang tinggi lebih cenderung disebabkan oleh tekanan dari sisi suplai yaitu pola tanam tanaman cabe yang bersifat musiman dan jenis komoditasnya yang bersifat perishabel. Untuk harga komoditi terigu dan kedelai relatif lebih stabil karena sebagian besar suplainya berasal dari impor. Tabel 5.3. Andil Inflasi, Koefisien Variasi Harga Tingkat Konsumen, Pangsa Pengeluaran Rumah Tangga No Komoditi Andil Inflasi (%) Rank Koefisien Variasi Tk. Kons (%) Rank Pangsa Pengeluaran RT 1 Beras 0.79 *** 4.43 ** 16.88 2 Gula 0.07 * 3.73 * 2.30 3 Kedelai 0.05 * 2.33 * 2.62 4 Terigu 0.01 * 1.24 * 5.63 5 Daging Ayam 0.10 ** 8.00 ** 2.23 6 Daging Sapi 0.08 * 4.14 ** 0.76 7 Telur Ayam 0.04 * 5.77 ** 2.35 8 Cabe Merah 0.20 ** 31.68 *** 0.86 9 Bawang Merah 0.13 ** 20.88 *** 1.05 10 Jagung 0.06 * 4.03 * 11 Minyak Goreng 0.05 * 7.16 ** 3.19 Sumber: BPS (2014), SUSENAS (2011), diolah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Rank *** ** ** *** ** * ** * * * ***
Total Rank ********1 **** **** ***** ******2 **** ***** ******2 ******2 *** ******2
73
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa untuk komoditi beras, walaupun tingkat fluktuasi harganya relatif moderat (dilihat dari nilai koefisien variasi harga tingkat konsumen), pangsa pengeluaran dan andil inflasi untuk beras paling tinggi dibanding komoditi lainnya yang ada di Tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi beras sangat penting bagi masyarakat. Jika asumsinya alokasi budget pengeluaran rumah tangga untuk beras adalah konstan, maka pengendalian inflasi beras menjadi penting. Dan pengendalian beras ini sangat erat terkait dengan stabilisasi harga beras di tingkat konsumen. Untuk gula, ketiga faktor yang dipertimbangkan menunjukkan tingkat yang moderat. Dari faktor koefisien variasi harga, sebagaimana karakteristik produk industri, dimana pengelolaan distribusinya (baik proses maupun kelembagaannya) sudah berjalan dengan baik, maka harganya cukup stabil. Dari faktor pangsa pengeluaran rumah tangga, jauh lebih rendah daripada pangsa pengeluaran untuk beras. Dengan kondisi harga yang stabil dan pangsa pengeluran yang kecil maka andil inflasi dari gula juga rendah. Seperti halnya gula, untuk kedelai dan jagung ketiga faktor yang dipertimbangkan menunjukkan tingkat yang moderat, bahkan berada pada tingkat rendah untuk andil inflasi. Konsumsi kedelai oleh rumah tangga porsinya cukup kecil, sehingga dalam hal ini pangsa pengeluaran rumah tangga menggunakan pangsa pengeluaran untuk tempe dan tahu. Untuk terigu, dari sisi pangsa pengeluaran rumah tangga cukup tinggi, tetapi dari sisi andil inflasi dan koefisien variasi harga tingkat konsumen kinerjanya cukup baik. Pangsa pengeluaran rumah tangga untuk terigu merupakan terbesar setelah beras. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi terigu perannya sangat penting bagi masyarakat. Untuk sumber protein hewani, komoditi yang penting bagi konsumen adalah daging ayam. Dari sisi andil inflasi, nilainya paling besar
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
74
setelah beras, bahkan untuk tingkat fluktuasi harganya justru lebih tinggi dari pada beras. Sedangkan dari sisi pangsa pengeluaran rumah tangga, tingkatnya relatif moderat. Jika dibandingkan dengan pangsa pengeluaran untuk telur ayam ras tidak berbeda jauh dan dengan daging sapi lebih tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan komoditi daging ayam memiliki urgensi untuk mendapatkan perhatian dalam stabilitas harga. Pada produk hortikultura, yaitu cabai merah dan bawang merah, walaupun pangsa pengeluarannya rendah, tetapi fluktuasi harganya sangat tinggi. Hal ini kemudian mendorong andil inflasi dari cabai merah dan bawang merah menjadi tinggi, tertinggi setelah beras. Kondisi di atas menunjukkan bahwa cabai merah dan bawang merah memiliki urgensi untuk mendapat perhatian dalam stabilisasi harga. Fluktuasi harga yang cukup tinggi juga tidak hanya terjadi untuk produk hortikultura dan daging ayam, tetapi juga untuk minyak goreng curah. Koefisien variasi minyak goreng curah mencapai 7,16%. Selain itu, minyak goreng juga berperan besar dalam pangsa pengeluaran rumah tangga, paling besar setelah terigu dan beras. Pertimbangan historis kebijakan, komoditi gula juga merupakan salah satu komoditas pokok dan strategis di Indonesia. Pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang mempunyai efek langsung dan tidak
langsung
terhadap
pasang-surutnya
industri
gula
nasional.
Kebijakan pergulaan nasional diterapkan secara intensif, identik dengan intensitas kebijakan yang berkaitan dengan industri beras. Di samping intensitasnya tinggi, kebijakan pemerintah tersebut
juga mempunyai
dimensi yang cukup luas, mulai dari kebijakan lahan, input, produksi, distribusi, kelembagaan, hingga kebijakan harga. Secara garis besar kebijakan tersebut dapat dibagi ke dalam tiga regim yang dilandasi oleh aspek esensi dan periode waktu. Ketiga regim kebijakan tersebut adalah: (i) Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi (1971-1997); (ii) Regim
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
75
Kebijakan Liberalisasi (1997-2002); dan (iii) Regim Kebijakan Proteksi dan Promosi (2002-sekarang). Untuk melindungi produsen, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 282/KPTS-IV/1999 yang kembali menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2.500 per kg. Kebijakan harga provenue tersebut ternyata tidak efektif karena tidak didukung oleh rencana tindak lanjut yang memadai. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah
melalui
mengeluarkan
Departemen
Keputusan
Perindustrian
Menperindag
No.
dan
Perdagangan
364/MPP/Kep/8/1999.
Instrumen utama dari kebijakan tersebut adalah pembatasan jumlah importir dengan hanya mengijinkan importir produsen. Dengan kebijakan ini, pemerintah dapat membatasi dan mengendalikan volume impor di samping memiliki data yang lebih valid mengenai volume impor dan stok. Dengan demikian, harga gula dalam negeri dan harga gula di tingkat petani dapat ditingkatkan. Dari penjelasan di atas dengan mempertimbangkan andil inflasi, koefisien variasi harga di tingkat konsumen, pangsa pengeluaran rumah tangga serta historis kebijakan dapat disimpulkan 5 (lima) komoditi yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam kebijakan harga adalah beras, daging ayam, cabai merah, bawang merah dan minyak goreng. Dengan mempertimbangkan historis kebijakan komoditas gula, maka Gula masuk di komoditi prioritas. Selanjutnya
menentukan
komoditi
berdasarkan
kepentingan
produsen ada dua hal yang perlu menjadi pertimbangan, yaitu pertumbuhan produksi dan fluktuasi harga di tingkat produsen. Fluktuasi produksi merupakan faktor fundamental yang perlu diperhatikan dalam hal peningkatan produksi, distribusi dan logistik. Produksi padi pada tahun 2007 tercatat sebesar
57,15 juta ton sedangkan tahun 2014 tercatat
sebesar 70,83 juta ton atau mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
76
sebesar 3,11%. Selama rentang tahun 2007 hingga 2014, pertumbuhan produksi tahunan terbesar terjadi pada tahun 2009 yakni tumbuh sebesar 6,75%.
Meski
produksi
tahunan
padi
hampir
selalu
mengalami
pertumbuhan yang positif, namun produksi padi sempat mengalami penurunan pada tahun 2011 dan 2014 yakni masing-masing turun sebesar 1,07% dan 0,63%. Pada tahun 2007 produksi gula tercatat sebesar 2,6 ribu ton, sedangkan pada tahun 2013 produksi gula turun menjadi 2,55 ribu ton atau tumbuh negatif sebesar 0,44%. Pertumbuhan produksi tahunan gula tidaklah konsisten dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat pada data tahun 2009 yang menunjukkan penurunan produksi gula secara signifikan jika dibandingkan tahun 2008 yakni turun sebesar 12,54%. Produksi gula tahun 2011 kembali naik jika dibandingkan produksi gula tahun 2012 yakni tumbuh sebesar 15,53%. Rata-rata produksi gula nasional pada tahun 2007 hingga 2013 adalah sebesar 2,47 ribu ton. Untuk komoditi kedelai, produksi di tahun 2007 tercatat sebesar 592 ribu ton sedangkan tahun 2014 tercatat 953 ribu ton, atau mengalami pertumbuhan rata-rata tahunan adalah sebesar 7,04%. Pertumbuhan produksi tahunan kedelai cukup tinggi pada tahun 2008 dan 2009 dengan pertumbuhan masing-masing 30,91% dan 25,63%. Pada tahun berikutnya yakni tahun 2010 hingga 2013 produksi kedelai mengalami penurunan. Namun di tahun 2014 produksi kedelai kembali mengalami pertumbuhan positif yakni sebesar 22,30%. Produksi jagung mengalami pertumbuhan rata-rata tahunan positif selama periode 2007-2014 yakni tumbuh sebesar 5,27%. Jika produksi jagun pada tahun 2007 tercatat sebesar 13,28 juta ton, maka di tahun 2014 produksi jagung tercatat sebesar 19,03 juta ton. Pertumbuhan produksi tahunan jagung terbesar terjadi pada tahun 2008 dengan pertumbuhan mencapai 22,80%.
Sementara pertumbuhan pada tahun
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
77
2011 dan 2013 menunjukkan pertumbuhan negatif yakni masing-masing sebesar 3,73% dan 4,51%. Untuk komoditi daging ayam, pertumbuhan produksi tahunan positif pada kisaran 1,81% hingga 10,17%. Produksi daging ayam tahun 2007 adalah sebesar 0,94 juta ton sedangkan tahun 2014 tercatat sebesar 1,52 juta ton. Pertumbuhan rata-rata tahunan daging ayam tahun 2007-2014 adalah sebesar 7,11%. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2010 dan 2011 yakni masing-masing sebesar 10,22% dan 10,18%, sementara pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2014 yakni tumbuh hanya sekitar 1,80%. Produksi telur ayam mengalami pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 4,67% selama tahun 2007-2014. Jika dilihat pada data produksi, pertumbuhan produksi telur ayam cenderung positif dan meningkat dari tahun ke tahun. Produksi telur ayam tahun 2007 tercatat 0,94 juta ton sedangkan tahun 2014 tercacat hampir 1,3 juta ton. Meski pertumbuhan produksi tahunan telur ayam pada tahun 2008 hanya sebesar 1,26% namun pada tahun 2010 hingga 2014 pertumbuhan produksi tahunan telur ayam naik pada kisaran 3,97% hingga 10,9%. Produksi telur ayam juga pernah mengalami penurunan pada tahun 2009 yakni turun sebesar 4,86%. Produksi daging sapi cenderung tumbuh positif kecuali pada tahun 2013. Produksi daging sapi tahun 2007 adalah sebesar 339 ribu ton sedangkan produksi tahun 2014 mencapai 539 ribu ton. Pertumbuhan rata-rata tahunan daging sapi selama tahun 2007-2014 adalah sebesar 6,85%. Pertumbuhan produksi tahunan daging sapi tertinggi pada tahun 2008 yakni sebesar 15,62%, sementara pertumbuhan terendah terjadi tahun 2013 dengan pertumbuhan negatif sebesar 0,8%. Produksi tahunan cabe merah mengalami pertumbuhan positif dan berfluktuatif dengan kisaran 2,5% hingga 13,2%. Jika pada tahun 2007
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
78
produksi cabe merah tercatat 676 ribu ton, di tahun 2014 produksi cabe merah tercatat hampir 1,1 juta ton. Pertumbuhan rata-rata tahunan cabe merah
besar
Pertumbuhan
selama
tahun
2007-2014
adalah
sebesar
6,64%.
produksi tertinggi cabe merah terjadi pada tahun 2009
dengan pertumbuhan sebesar 13,2% sementara pertumbuhan terendah cabe merah terjadi pada 2010 dengan pertumbuhan sebesar 2,5%. Bawang merah mengalami pertumbuhan produksi rata-rata tahunan sebesar 6,26% selama tahun 2007-2014. Produksi bawang merah tahun 2007 adalah sebesar 0,8 juta ton sedangkan tahun 2014 produksi bawang merah mencapai 1,2 juta ton. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2014 dengan pertumbuhan mencapai 21,48% Sementara pada tahun 2011 justru terjadi penurunan produksi sebesar 14,85%. Untuk produksi minyak goreng, karena data produksi sulit diperoleh, maka digunakan pendekatan produksi minyak sawit. Produksi minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan produksi tahunan berkisar antara 1,2% hingga 11,18%. Pertumbuhan produksi rata-rata tahunan minyak sawit tahun 2007-2013 sebesar 7,23%. Jumlah produksi minyak sawit tahun 2007 sebesar 11,4 ribu ton sedangkan tahun 2013 sebesar 17,4 ribu ton. Pertumbuhan produksi terendah terjadi tahun 2010 dengan pertumbuhan hanya 1,2%.
Dengan melihat fluktuasi
produksi dan fluktuasi harga di tingkat produsen, komoditi dari sisi kepentingan produsen yaitu padi, kedelai dan jagung.
Namun, dalam
kajian ini komoditi tersebut tidak menjadi prioritas dalam penetapan kebijakan harga dikarenakan (i) ketergantungan impor masih cukup tinggi dan (ii) peruntukkannya.
Kedelai dan jagung lebih banyak digunakan
untuk kebutuhan industri dibandingkan untuk kebutuhan konsumsi langsung masyarakat. Kebijakan harga untuk stabilisasi harga pangan dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan fundamental yang pada
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
79
dasarnya bekerja dalam ruang/kurva supply-demand dan biasanya dampaknya dapat terlihat dalam jangka panjang.
Kedua adalah
pendekatan kebijakan harga itu sendiri yang bekerja untuk meng-adjust harga dan biasanya dampaknya dapat dilihat dalam jangka pendek. Seperti sudah disampaikan di atas, bahwa antara kepentingan konsumen dan produsen tidak dapat dicapai bersamaan oleh karena itu maka dalam pendekatan stabilisasi harga juga perlu memilih salah satu pendekatan yang dapat memberikan dampak pada stabilitas harga. Dalam memilih pendekatan tersebut, salah satu yang dapat dilakukan adalah melakukan perbandingan antara fluktuasi produksi dan fluktuasi harga di tingkat konsumen. Tingkat fluktuasi produksi yang lebih besar dari pada fluktuasi harganya menunjukkan bahwa profitabilitas di pasar komoditi pangan tergantung pada resiko produksi artinya pendekatan fundamental dalam stabilisasi harga perlu dilakukan. Sementara itu, jika fluktuasi harga di tingkat eceran lebih tinggi daripada fluktuasi produksi, maka pendekatan kebijakan harga perlu dilakukan. Kebijakan harga yang dimaksud dalam hal ini adalah harga acuan atau harga dasar atau harga eceran tertinggi. Untuk hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian setelah sub bab ini. Fluktuasi produksi dan fluktuasi harga untuk produk hortikultura berada pada tingkat yang tinggi. Sementara untuk produk industri seperti terigu dan minyak goreng fluktuasi produksi relatif stabil. Namun untuk gula, walaupun dihasilkan dari industri tetapi karena tergantung pada bahan baku tebu dalam negeri yang bersifat musiman, maka fluktuasi produksinya justru lebih tinggi dibanding fluktuasi harganya. Sama halnya dengan gula, fluktuasi produksi beras juga relatif tinggi dibanding dengan fluktuasi harga beras di tingkat eceran. Fluktuasi produksi beras terjadi karena ada tiga musim panen dalam produksi beras yaitu musim panen raya, musim panen gadu dan musim paceklik. Untuk
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
80
daging ayam, kondisinya mirip dengan pasar produk hortikultura. Fluktuasi produksi daging ayam dan harga di tingkat eceran berada pada tingkat yang relatif tinggi. Dengan mempertimbangkan kondisi di atas, maka walaupun pada dasarnya kepentingan konsumen dan produsen tidak dapat dicapai bersamaan secara optimal, maka dalam rangka stabilisasi harga untuk beberapa komoditi perlu mengkombinasikan antara pendekatan fundamental dan pendekatan kebijakan harga itu sendiri. Kombinasi pendekatan fundamental dan kebijakan harga perlu diterapkan pada stabilisasi harga daging ayam, beras, cabai merah dan bawang merah, gula. Dasar pertimbangannya adalah sebagai berikut: (a) bagian terbesar dari penawaran berasal dari produk domestik; (b) konvergensinya dengan kebijakan Kementerian Pertanian; (c) kebijakan harga saja tidak cukup karena melibatkan jumlah produsen yang sangat besar dan secara geografis tersebar di lokasi-lokasi yang jumlahnya sangat banyak.
Untuk minyak goreng pendekatan melalui kebijakan
harga sudah cukup efektif karena (a) struktur produksi mudah terkonsolidasi; (b) jumlah produsen pada umumnya berskala besar dan jumlah banyak ; (c) bahan baku cukup; (d) secara hostoris kebijakan yang sudah dilakukan cukup efektif. 5.4 Pengendalian Harga Pada Komoditi Pangan Beras Beras merupakan makanan pokok terpenting bagi negeri ini. Kontribusinya sebagai sumber karbohidrat lebih dari 95%. Demikian strategisnya peranan komoditas ini dalam perekonomian nasional sehingga dalam aspek-aspek tertentu telah menjadi komoditas politik. Secara historis, berbagai peristiwa penting yang berkaitan dengan instabilitas politik terkait pula dengan kelangkaan komoditas ini di pasar dalam negeri.
Dari kelompok pangan, kontribusi komoditas ini dalam
inflasi adalah yang terbesar.
Data dari BPS menunjukkan bahwa
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
81
kontribusi harga beras terhadap inflasi mencapai sekitar 4%. Oleh karena itu stabilitas harga beras berpengaruh besar terhadap pengendalian inflasi. Sebagai komoditas strategis maka kebijakan pemerintah dalam perberasan sangat intensif. Upaya-upaya untuk memperbaiki kinerja produksi, ketersediaan, dan harga terus dilakukan dari waktu ke waktu. Sejumlah keberhasilan telah dicapai akan tetapi sampai saat ini hasilnya belum memuaskan.
Beras dihasilkan dari usahatani padi.
Sebagian
besar usahatani padi dilakukan di lahan sawah beririgasi karena sebagian besar varietas padi akan berproduksi lebih tinggi jika dalam masa pertumbuhan vegetatif dan sebagian dari fase pertumbuhan generatifnya memperoleh penggenangan. Oleh karena itu pertumbuhan produksi padi suatu negara (termasuk Indonesia) sangat dipengaruhi oleh ketersediaan lahan sawah beririgasi. Terkait dengan karakteristikanya itu, penanaman padi yang terluas adalah pada musim hujan; yang untuk sebagian besar wilayah di Indonesia berlangsung antara Bulan Oktober/November – April/Mei. Pada MT II, yang suntuk sebagian besar wilayah Indonesia berlangsung Maret/April – Juni/Juli sekitar 50 – 60 % petani nasional kembali menanam padi. persentase petani yang pada MT III kembali menanam padi sangat kecil, terbatas pada wilayah pesawahan yang kondisi irigasinya sangat prima. Sebenarnya secara teoritis jika air tersedia sepanjang tahun maka penanaman padi dapat dilakukan sampai tiga kali per tahun kalender pertanian. Akan tetapi secara empiris kondisi seperti itu hanya dapat dilakukan pada daerah irigasi yang sangat baik (sekitar 4,2% dari total luas lahan baku sawah). Secara agregat, indeks pertanaman padi di Indonesia adalah sekitar 1,5 – 1,6. Artinya pada MT I hampir 100% petani yang menguasai garapan lahan sawah menanam padi dan pada MT II
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
82
ada sekitar 50 – 60% dari petani tersebut menanam padi. Dengan luas baku lahan sawah yang diperkirakan sekitar 8,27 juta hektar maka luas panen padi per tahun adalah sekitar 13,1 juta hektar. Dengan kondisi seperti itu maka fluktuasi produksi padi antar musim adalah sebagai berikut. Perbandingan produksi padi antara MT I: MT II: MT III adalah sekitar 100:58:2. Fluktuasi produksi tersebut berimplikasi pada fluktuasi pasokan beras di pasar. Oleh karena itu setiap tahun terjadi musim paceklik, yaitu musim di mana pasokan beras dari hasil panen sangat kecil dan sedang menunggu musim panen raya MT I tahun berikutnya. Itu terjadi antara Bulan Oktober/November – Januari/Februari. Rata-rata produktivitas usahatani padi pada saat ini adalah sekitar 5,2 ton Gabah Kering Panen (GKP) per hektar. Dengan angka konversi sekitar 0,57 maka produksi beras per tahun diperkirakan sekitar 38,8 juta ton per tahun. Angka ini jika dibandingkan dengan konsumsi yang diperkirakan mencapai sekitar 28,5 juta ton per tahun maka secara teoritis Indonesia swasembada bahkan mengalami surplus beras. Namun jika dikaitkan dengan fenomena harga beras yang dalam bebrapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang cukup significant maka angka-angka tersebut sulit dipahami. Secara teoritis, data tentang harga adalah paling mudah diverifikasi. Demikianpun dengan angka produktivitas karena mudah di cek di lapangan melalui survey. Akan tetapi sangatlah sulit untuk memverifikasi data tentang luas baku lahan sawah maupun luas tanam. Tampaknya, ke depan diperlukan pengecekan kembali angkaangka luas baku lahan sawah dan indeks pertanamannya. Untuk mencegah jatuhnya harga gabah yang diproduksi petani pada saat panen dan mencegah membubungnya harga beras di tingkat konsumen pada musim paceklik maka Indonesia membentuk Badan Urusan Logistik. Fungsi utamanya adalah menyerap surplus produksi saat panen raya untuk kemudian disimpan dan disalurkan ke pasar (operasi
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
83
pasar) pada saat musim paceklik. Terkait dengan perubahan iklim dan banyaknya lahan sawah produktif yang terkonversi ke penggunaan lain maka terjadi degradasi kapasitas lahan untuk memproduksi lahan sawah dan berubahnya pola panen. Berbeda dengan seperampat abad yang lalu di mana pola panen cenderung teratur dan mudah diprediksi, sejak dasawarsa terakhir pola panen makin kurang teratur. Sebaran spatial dan temporal panen padi makin sulit dipetakan secara tepat dan kondisi tersebut berpengaruh pada risiko yang dihadapi dalam sistem rantai pasok. Ditambah lagi dengan kondisi infrastruktur transportasi yang kurang lancar (banyak kemacetan) dan harga BBM yang sampai dengan dua tahun lalu cenderung makin mahal maka biaya transportasi barang (termasuk
gabah/beras)
menjadi
makin
mahal.
Akibatnya
kinerja
pemasaran gabah/beras justru makin kurang efisien. Kesulitan untuk memperbaiki efisiensi pemasaran gabah/beras juga terkait struktur usahatani padi yang didominasi skala kecil dan tidak terkonsolidasi sebagaimana dijalaskan di atas. Struktur pasar gabah cenderung oligopsonistik. Oleh karena produktivitas juga tidak mudah untuk ditingkatkan secara significant maka secara riil keuntungan yang diterima petani tidak pernah mengalami peningkatan yang berarti. Hal ini seringkali menjadi alasan paling mendasar untuk selalu menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kesimpulan yang diperoleh dari FGD yang dilakukan secara berantai dalam pelaksanaan penelitian ini menunjukkan bahwa untuk menjaga stabilitas harga beras maka dibutuhkan kebijakan harga yang dikombinasikan dengan kebijakan non harga yang kondusif untuk memperbaiki kinerja produksi. Pada kebijakan harga, yang diperlukan adalah penetapan HPP multi kualitas (medium dan premium) perlu dilakukan. Selain itu, penetapan HPP juga perlu dilakukan untuk setiap awal musim tanam, terutama musim tanam MT I dan MT II (untuk MT III
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
84
tidak perlu). Konsep perhitungannya didasarkan atas kombinasi dari tiga komponen: (a) biaya pokok gabah, (ii) ekspektasi keuntungan usahatani padi, dan (iii) implikasinya terhadap harga beras. Dalam konteks ini, mengingat bahwa dalam beberapa tahun terakhir HPP gabah cenderung lebih rendah dari harga pasar maka BULOG kesulitan untuk memenuhi target pengadaan beras dari pasar domestik. Tampaknya perhitungan ulang mengenai angka-angka dari setiap komponen tersebut perlu disesuaikan. Untuk memperbaiki kinerja produksi, perluasan lahan sawah sangat diperlukan. Selain untuk mengganti lahan sawah yang terkonversi ke penggunaan lain juga untuk menambah kapasitas produksi karena secara empiris kontribusi pertumbuhan luas panen dalam pertumbuhan produksi masih lebih tinggi daripada pertumbuhan produktivitas. Mengacu pada ketersediaan sumberdaya lahan yang ada maka yang paling layak adalah melakukan perluasan lahan sawah di Luar Pulau Jawa. Kesimpulan dari FGD juga
menyebutkan bahwa
mekanisme operasi pasar perlu
disempurnakan. Operasi pasar perlu lebih antisipatif atas kemungkinan kenaikan harga beras dan ditindak lanjuti lebih cepat dan lebih dini. Dalam arti tidak perlu menunggu sampai kenaikan harga telah terjadi secara significant karena ketika harga telah naik lazimnya sulit untuk turun ke level semula. Gula Gula yang dikonsumsi sebagian besar penduduk Indonesia adalah Gula Pasir yang dihasilkan dari usahatani tebu (sugar cane). Usahatani tebu dapat dilakukan di lahan sawah maupun di lahan tegalan. Secara empiris, produktivitas usahatani tebu maupun rendemennya lebih tinggi pada usahatani tebut di lahan sawah. Secara geografis, produsen utama tebu dan gula masih terdapat di Pulau Jawa. Di Luar Pulau Jawa, kontributor terbesar adalah dari Provinsi Lampung dan Sulawesi Selatan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
85
Indonesia belum berswasembada Gula. Oleh karena itu, untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi maka dilakukan impor. Dalam konteks ini, agar tidak berdampak negatif terhadap insentif petani tebu maka impor dikhususkan untuk pemenuhan kebutuhan Industri; dalam arti tidak dikendalikan agar tidak masuk ke pasar umum sehingga bersaing dengan Gula Pasir produksi domestik. Jika dibandingkan dengan produsen gula pasir negara lain (Kuba, India, Brasil), produktivitas gula Indonesia lebih rendah. Hal ini disebabkan produktivitas usahatani tebu di tingkat usahatani yang relatif, rata-rata rendemen gula juga rendah, dan efisiensi pabrik gula juga relatif rendah. Upaya untuk mendorong peningkatan produksi ditempuh melalui ekstensifikasi usahatani tebu di lahan kering di Luar Pulau Jawa dan peremajaan beberapa pabrik tebu di Pulau Jawa. Sejumlah perbaikan dicapai namun masih jauh dari sasarannya. Masalah di bidang pergulaan lebih banyak terkait dengan sangat terbatasnya lahan yang tersedia dan efisiensi industri pergulaan yang berkelinpung dan dengan masalah kelembagaan yang tidak mudah dipecahkan. Sejumlah upaya untuk memangkas “rent seeking behaviour” telah ditempuh namun perubahan ke arah perbaikan tidak dapat dicapai dalam waktu yang pendek. Di tingkat konsumen, persoalan yang terkait dengan harga gula pasir tidaklah semenonjol instabilitas harga beras. Yang sering terjadi adalah harga gula pasir mengalami kenaikan ketika menjelang hari-hari besar keagamaan, terutama pada Bulan Ramadhan dan akhir tahun. Hasil dari serangkaian FGD memperoleh kesimpulan bahwa untuk memelihara/meningkatkan stabilitas harga gula di tingkat konsumen adalah yang berkenaan dengan penetapan tingkat harga yang digunakan sebagai acuan untuk membuka keran impor bagi industri gula rafinasi seperti yang dilakukan selama ini. Kebijakan fundamental yang relevan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
86
dan dirasakan urgensinya adalah untuk memperbaiki produktivitas dan kapasitas produksi tebu dan gula hablur domestik. Cabai Merah dan Bawang Merah Cabai merah dan bawang merah diproduksi petani dari usahatani di lahan sawah maupun di lahan tegalan.
Berbeda dengan petani yang
mengusahakan komoditas tanaman pangan lainnya risiko yang dihadapi petani cabai merah dan bawang merah lebih besar. Sumber risiko ada dua yaitu risiko produksi dan risiko harga. Risiko produksi bersumber dari faktor iklim dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yaitu serangga, jamur, ataupun bakteri yang merusak pertumbuhan vegetatif dan atau pertumbuhan generatif tanaman. Risiko harga terkait dengan jatuhnya harga jual hasil panen karena produksi yang melimpah atau tersendatnya transportasi sehingga hasil panen
di sentra produksi
menumpuk. Hal ini disebabkan bawang merah (terlebih-lebih cabai merah) dalam bentuk sangat cepat rusak (membusuk) sehingga daya simpannya rendah; sedangkan konsumsi terbesar konsumen adalah dalam bentuk segar. Teknologi budidaya cabai merah dan bawang merah lebih rumit daripada teknologi budidaya tanaman pangan dari kelompok serealia dan biji-bijian atau umbi-umbian. Selain itu, modal dan tenaga kerja yang dibutuhkan juga jauh lebih banyak, terutama pada usahatani bawang merah. Terkait dengan itu maka perluasan usahatani cabai merah dan bawang merah biasanya cenderung terbatas pada wilayah sentra-sentra produksi yang selama ini secara turun temurun telah berkembang. Produksi cabai merah dan bawang merah di sentra-sentra produksi biasanya melimpah pada menjelang akhir musim hujan. Di sawah, petani menanam cabai merah dan bawang merah biasanya pada MT II yaitu sesudah tanam padi. Untuk petani cabai merah dan bawang merah di lahan kering (tegalan) petani mengusahakannya pada musim penghujan. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
87
Sebaran sentra produksi cabai merah dan bawang merah cenderung terkonsentrasi di wilayah yang curah hujannya termasuk kategori sedang karena risikonya sangat tinggi jika diusahakan di wilayah yang curah hujannya sangat tinggi atau yang beriklim kering. Selama ini sentra-sentra produksi cabai merah adalah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan sebagian Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Untuk Cabai Merah, sentra produksi utama adalah di Jawa Tengah khususnya di Brebes, di Jawa Barat di Majalengka, dan di Jawa Timur di kabupaten-kabupaten yang tercakup di Daerah Aliran Sungai Brantas seperti Nganjuk, Kediri, Jombang, dan Mojokerto. Terkait dengan karakteristik produknya yang cepat rusak, fluktuasi produksi dan pasokan antar musim yang tajam, sentra-sentra produksi yang kurang tersebar merata di berbagai wilayah, dan konsumsinya yang didominasi dalam bentuk segar maka secara historis instabilitas harga cabai merah dan bawang merah termasuk kategori sangat tinggi; dalam arti lebih tinggi jika dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya. Upaya-upaya untuk menstabilkan harga sesungguhnya telah ditempuh akan tetapi kendala yang dihadapi dalam pemecahan masalah tersebut di atas belum efektif. Dari serangkaian hasil FGD diperoleh kesimpulan bahwa untuk komoditas ini kebijakan yang harus ditempuh adalah: (1) adanya penetapan tingkat harga yang tepat sebagai acuan dalam menentukan impor, (2) adanya kebijakan harga yang dapat mencegah jatuhnya harga pada saat panen raya, (3) adanya kebijakan yang kondusif untuk mendorong ekspor ketika produksi mengalami surplus,
dan
(4)
adanya
kebijakan
insentif
untuk
mendorong
berkembangnya produksi cabai olahan dan bawang merah olahan yang dibarengi dengan pengembangan pola konsumsi cabai merah dan bawang merah olahan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
88
Daging Ayam Daging ayam dihasilkan dari usaha ternak ayam yang untuk di Indonesia terbagi dalam dua kategori: (i) ayam ras, dan (ii) ayam kampung/ayam buras (bukan ras). Secara agregat, produksi dan konsumsi daging ayam dihasilkan dari produksi ayam ras; baik yang dihasilkan dari peternakan ayam broiler maupun ayam jantan dan ayam afkir dari industri ternak ayam petelur. Struktur industri ayam ras terbagi menjadi tiga kategori: (i) peternakan ayam skala besar, (ii) peternakan ayam kemitraan, dan (iii) peternak skala kecil mandiri. Secara umum yang terbanyak kontribusinya adalah kategori (ii) yang sistem pengelolaannya adalah kemitraan antara peternak besar (yang merangkap penyedia sarana produksi dan pemasaran hasil) dengan peternak plasma (penyedia kandang, tenaga kerja budidaya ternak ayam). Persoalan harga daging ayam mengemuka pada setahun terakhir, dimana harga pada periode menjelang hari besar keagamaan mengalami peningkatan yang jauh lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya. Diduga, sesungguhnya kenaikan harga tersebut juga terkait dengan melambungnya harga daging sapi pada periode yang sama. Persoalan yang lebih mendasar sesungguhnya justru terletak di sisi produksi, terutama yang berkenaan dengan insentif yang sangat rendah yang dialami oleh peternak kecil mandiri. Hal ini terkait dengan harga pakan yang peningkatannya significant, sementara itu harga jual hasil produksinya tidak mengalami kenaikan yang berarti karena kenaikan harga daging ayam di tingkat eceran ternyata tidak tertransmisikan dengan baik ke harga ayam di tingkat peternak ayam skala kecil (farm gate price). Hasil FGD menyimpulkan bahwa cara pemecahan masalah atas industri perunggasan tersebut membutuhkan penataan kelembagaan yang intinya adalah bagaimana mendorong agar peternak skala besar
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
89
dapat bermain lebih banyak di pasar ekspor. Untuk peternak skala kecil mandiri
diperlukan
berkembangnya
adanya
kebijakan
terobosan-terobosan
yang
yang dapat
memungkinkan menekan
biaya
pengadaan pakan melalui pemanfaatan sumberdaya lokal. Minyak Goreng Bagian terbesar dari produksi dan konsumsi domestik minyak goreng adalah minyak goreng yang dihasilkan dari industri minyak goreng berbahan baku Crude Palm Oil (CPO). Seiring dengan peningkatan produksi CPO, ekspor CPO Indonesia ke pasar internasional maupun pasokan CPO untuk industri minyak gorang domestik semakin tinggi dan sebaliknya proporsi minyak goreng dari industri minyak goreng berbahan baku kelapa makin kecil. Secara empiris, masalah yang dihadapi dalam hal harga eceran minyak goreng tidaklah sebesar masalah yang dihadapi pada harga komoditas pangan lainnya. Kenaikan harga minyak goreng hanya terjadi pada periode-periode tertentu yang terkait dengan hari-hari besar keagamaan dan periode ketika harga CPO di pasar internasional mengalami kenaikan yang tajam. Hasil FGD menyimpulkan bahwa kebijakan yang diperlukan untuk memelihara agar kinerja harga minyak goreng di dalam negeri tetap stabil adalah kebijakan tataniaga yang intinya adalah mengatur agar pasokan CPO untuk industri minyak goreng domestik terjamin kecukupannya. Untuk itu instrumen yang dapat dimainkan adalah pajak ekspor CPO dan atau kuota. Penetapan Kebijakan Harga Khusus Kebijakan harga khusus yaitu kebijakan pengendalian harga yang dilakukan pada waktu tertentu yaitu menjelang, saat dan setelah hari besar keagamaan.
Penetapan kebijakan harga ini dilakukan tidak
sepanjang tahun sehingga penetapan harga ini harus dapat diumumkan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
90
secara luas agar masyarakat (konsumen) dapat menerima informasi harga secara baik. Hasil FGD menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan harga khusus perlu memperhatikan: a. Masing-masing daerah memiliki karakteristik khusus baik dari sisi produksi, konsumsi, maupun harga. b. Biaya distribusi mempengaruhi harga komoditi di suatu daerah sehingga harga komoditi di setiap daerah relatif berbeda. c. Beberapa Pemerintah Daerah telah mengeluarkan kebijakan yang mengatur perdagangan komoditi tertentu, contoh pada komoditi Sapi di Provinsi Jawa Timur. d. Penetapan kebijakan harga tidak dapat berjalan tunggal, tetapi memerlukan kombinasi dengan kebijakan lain, atau setidaknya perlu didukung dengan instrumen kebijakan non harga. e. Selama ini konsumen belum sepenuhnya mendapatkan informasi tingkat harga yang wajar. Informasi harga hanya dimiliki oleh pedagang, sehingga harga yang terjadi tidak tertransmisikan kepada konsumen maupun produsen. Jika kebijakan harga khusus akan diimplementasikan maka mekanisme implementasinya dapat dilakukan di tingkat modern.
pasar ritel
Hal ini dikarenakan (i) harga di ritel modern lebih stabil, (ii)
memiliki ijin usaha yang sudah pasti sehingga memudahkan untuk pengawasan dan (ii) lebih memudahkan dalam hal monitoring harga. Jika kebijakan harga khusus ditetapkan di tingkat pasar tradisional, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu (i) harga di pasar tradisional tercipta karena adanya tawar menawar antara pedagang dan pembeli, (ii) pengawasan di pasar tradisional, khususnya untuk bahan Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
91
kebutuhan pokok akan terkendala karena pedagang di pasar tradisional umumnya belum berijin sehingga sulit untuk menentukan sanksi jika terjadi pelanggaran dalam hal menimbun stok atau memanfaatkan margin serta (iii) harga di pasar tradisional cenderung lebih fluktuasi dibandingkan harga di tingkat pasar ritel.
5.5.
Tinjauan Kritis dari Aspek Kelembagaan dan Regulasi Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan harga, peran
institusi/kelembagaan sangat penting dalam rangka tercapai tujuan dari kebijakan
tersebut.
Efektivitas suatu kebijakan
ditentukan
oleh
terpenuhinya persyaratan yang berkenaan dengan sasaran dan tujuan, rancangan
dan
instrumen,
serta
infrastruktur
pendukung
implementasinya. Dalam konteks stabilisasi harga pangan maka langkah awal yang harus ditempuh adalah dengan memahami akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya instabilitas harga pangan. Instabilitas harga merupakan outcomes dari interaksi pasokan dan permintaan yang dinamis. Dinamika pasokan ditentukan oleh variasi produksi dan pengadaan dari luar negeri (impor) serta kinerja sistem logistik, sedangkan dinamika permintaan dipengaruhi oleh daya beli dan pola konsumsi. Variasi produksi mencakup variasi antar waktu maupun antar lokasi. Variasi antar waktu disebabkan oleh variasi musiman produksi pertanian (termasuk pangan) karena proses produksi sebagian besar produksi pertanian (usahatani) sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air yang sifatnya musiman. Variasi antar lokasi merupakan implikasi dari keragaman potensi sumberaya pertanian (lahan, air, sumberdaya manusia), aplikasi teknologi, dan sosial budaya. Pada sisi permintaan, perubahan volume yang diminta ditentukan oleh respon konsumen atas perubahan harga, baik atas harga komoditas
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
92
itu sendiri (own price elasticity) ataupun harga komoditas substitusi serta harga komoditas komplemennya. Dalam praktek, dinamika permintaan juga ditentukan oleh pola konsumsi yang dipengaruhi oleh “selera”, daya beli, dan nilai-nilai sosial budaya yang dianut. Hal ini tercermin dari perilaku permintaan masyarakat pada momen-momen khusus di bidang keagamaan seperti Ramadhan, hari-hari sekitar Natal dan Tahun Baru, dan sebagainya.
Sasaran dan Tujuan Sasaran kebijakan harga adalah terwujudnya tingkat harga yang besarannya, variasinya, dan kecenderungan perubahannya
sesuai
dengan harapan stakeholder yakni konsumen, pedagang, produsen, dan pemerintah. Oleh karena itu kebijakan stabilisasi harga dimaksudkan setidaknya untuk tiga tujuan. Pertama, adalah untuk mengkondisikan agar variasi harga berada dalam kisaran yang masih tetap kondusif bagi kepentingan konsumen maupun tujuan produsen. Kedua, adalah untuk meminimalkan dampak negatif instabilitas harga bagi produsen maupun konsumen, terutama yang terkategorikan sebagai konsumen (rakyat) berpendapatan rendah maupun produsen skala kecil yang dominan dalam perekonomian suatu negara. Ketiga, agar tetap kondusif untuk pertumbuhan ekonomi. Beberapa komoditas pangan adalah komoditas strategis. Meskipun demikian, levelnya berbeda satu dengan yang lainnya. Syarat agar kebijakan harga tepat sasaran dan tujuan maka harus disesuaikan dengan posisi strategis komoditas yang bersangkutan. Posisi strategis komoditas
ditentukan
oleh
peranan
komoditas
tersebut
dalam
perekonomian, dalam arti dari sudut pandang konsumen, produsen, dan negara. Semakin tinggi posisi strategis suatu komoditas pangan maka cakupan sasaran dan tujuan kebijakan harga akan semakin luas sehingga
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
93
lazimnya merupakan salah satu agenda kebijakan dengan skala prioritas yang tinggi. Bagi Indonesia urutan dari posisi strategis, beras adalah komoditas pangan paling strategis, kemudian diikuti dengan jagung, kedele, daging sapi, daging ayam, cabai merah, bawang merah, gula, minyak goreng, dan terigu. Secara empiris sebenarnya yang paling strategis adalah beras karena merupakan makanan makanan pokok sumber utama karbohidrat untuk lebih dari 95% penduduk negeri ini. Rancangan dan Instrumen Kebijakan Secara empiris, kelembagaan ekonomi yang paling dominan dan efisien dalam pendistribusian barang dan jasa adalah pasar. Dominan karena pada saat ini hampir semua mekanisme pertukaran dan pendistribusian hampir semua barang dan jasa yang dibutuhkan konsumen terjadi melalui mekanisme jual beli. Sebagai lembaga untuk mewujudkan pertukaran dan pendistribusian, pasar juga lebih efisien karena biaya sosial yang ditanggung masyarakat pada umumnya lebih rendah daripada kelembagaan lainnya. Rancangan dan instrumen kebijakan stabilisasi harga pangan akan efektif jika berbasis pada pemahaman komprehensif atas karakteristik pasar untuk setiap jenis komoditas yang bersangkutan. Variasi temporal dan variasi spatial harga komoditas pangan harus dapat digali penyebab utamanya. Harus pula diingat pula bahwa makin terintegrasinya pasar domestik dengan pasar global berimplikasi bahwa sumber instabilitas tidak hanya berasal dari situasi dan kondisi di dalam negeri tetapi juga dari pasar internasional. Dalam konteks ini, instabilitas harga minyak bumi di pasar internasional seringkali menjadi salah satu pemicu instabilitas harga pangan.
Selebihnya, perlu pula disadari bahwa sebagai bagian
integral dari sistem perekonomian maka instabilitas harga pangan dipengaruhi dan mempengaruhi inflasi.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
94
Dalam pasar komoditas pangan, variasi temporal volume pasokan biasanya lebih tajam daripada variasi temporal volume permintaan. Pola pasokan pangan dipengaruhi pola produksi pangan yang sifatnya musiman, sedangkan pola permintaan cenderung ajeg, meskipun pada saat-saat tertentu (biasanya terkait dengan keagamaan/adat) mengalami peningkatan. Oleh karena itu pada saat-saat tertentu terjadi kelebihan penawaran yang menyebabkan harga turun atau sebaliknya kelebihan permintaan sehingga harga naik. Mengacu pada argumen di atas dapat disimpulkan bahwa secara teoritis upaya untuk menstabilkan harga dapat ditempuh melalui pemulusan (smoothing) pasokan agar fluktuasi volume permintaan dapat diiukuti
oleh
fluktuasi
pasokan.
Ini
dapat
dilakukan
dengan
mengembangkan sistem logistik (pengadaan, penyimpanan, pengeluaran barang) yang tepat.
Pengembangan sistem logistik yang tepat adalah
yang sinergis dengan kebijakan sistem pemasaran yang efisien dan adil. Dalam konteks ini, upaya yang harus ditempuh adalah mengkondisikan agar
structure
–
conduct
–
performance
pasar
kondusif
untuk
meningkatkan kesejahteraan konsumen maupun produsen. Dalam praktek, pengembangan sistem logistik komoditas pangan lebih rumit daripada komoditas lainnya. Hal ini disebabkan komoditas pangan bersifat musiman, daya simpannya relatif rendah, dan cenderung meruah (bulky) sehingga biaya pengangkutan dari produsen ke konsumen menjadi lebih mahal. Untuk komoditas pangan yang sama, daya simpan komoditas pangan di wilayah tropis juga cenderung lebih singkat daripada di wilayah sub tropis karena iklim tropis lebih hangat dan lebih lembab sehingga serangga maupun mikroba lebih banyak dan lebih cepat berkembang. Kesemuanya itu menyebabkan biaya logistik per unit produk pangan di negara yang terletak di wilayah tropika seperti halnya Indonesia menjadi lebih mahal.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
95
Infrastruktur Pendukung Berdasarkan pengalaman selama ini, salah satu kelemahan yang paling umum di Indonesia dalam sistem kebijakan dan implementasinya terletak pada kelemahan infrastruktur pendukung. Lemahnya atau terbatasnya kebijakan
infrastruktur cenderung
pendukung
dilaksanakan
menyebabkan secara
parsial
implementasi dan
kurang
terkoordinasi, penegakan aturan tidak berjalan optimal, dan insentif tidak efektif
untuk
mendorong
motivasi
pelaku
(stakeholder)
dalam
menjalankan fungsinya. Infrastruktur pendukung mencakup infrastruktur fisik maupun non fisik.
Infrastruktur
kelancaran
sistem
fisik
mencakup
transportasi
infrastruktur dan
yang
komunikasi,
mendukung infrastruktur
pergudangan/penyimpanan, infrastruktur fisik yang dibutuhkan untuk mendukung penciptaan sistem keamanan pangan, dan lain sebagainya. Infrastruktur fisik mencakup petunjuk teknis pelaksanaan (eksekusi) kebijakan di lapangan, kelembagaan/ organisasi untuk mendukung sistem produksi, pemasaran, dan sebagainya. Mengacu pada kondisi empiris, permasalahan mendasar yang dihadapi dalam mengembangan infrastruktur pendukung yang baik tidak terlepas dari beberapa faktor. Pertama, struktur produksi pangan yang didominasi oleh ratusan ribu bahkan jutaan pelaku produksi dengan skala yang umumnya sangat kecil, beragam, dan terpencar-pencar. Kedua, persebaran kantong-kantong konsumen yang tidak merata. Lebih dari 60% penduduk di Indonesia berlokasi di Pulau Jawa, sedangkan sisanya terpencar-pencar di berbagai pulau di Luar Pulau Jawa. Selain itu, pada saat ini lebih dari 50% penduduk Indonesia adalah penduduk perkotaan yang notabene bukan merupakan wilayah pertanian pangan sehingga infrastruktur pendukung untuk menyalurkan produksi pangan dari pedesaan ke perkotaan merupakan masalah tersendiri yang makin berat
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
96
karena transportasi kurang lancar. Ketiga, struktur wilayah yang berupa kepulauan yang mengakibatkan pembangunan sistem transportasi antar wilayah menjadi lebih mahal. Jika diringkaskan, masalah yang dihadapi dalam infrastruktur pendukung implementasi kebijakan terletak pada kinerja konektivitas antar wilayah yang masih rendah dan perkembangan antar sektor perekonomian yang kurang terintegrasi. Hal tersebut menyebabkan aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen menjadi tidak lancar dan pada akhirnya menyebabkan margin pemasaran menjadi sangat tinggi terutama untuk produk pangan yang dikonsumsi segar.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
97
BAB VI EVALUASI KEBIJAKAN HARGA PANGAN DI INDONESIA
Mengingat bahwa dampak negatif dari instabilitas harga pangan terhadap perekonomian nasional sangat luas maka kebijakan stabilisasi harga pangan telah dilakukan sejak Republik ini berdiri, bahkan sejak jaman kolonial. Meskipun demikian, strategi dan instrumen kebijakannya mengalami perubahan sesuai dengan sistem politik ekonomi yang diterapkan, sumber utama instabilitas, dan dinamika lngkungan strategis. Secara umum, stabilitas harga pangan di Indonesia masih berada dalam kisaran yang tidak merusak sistem perekonomian makro, kecuali pada segmen-segmen waktu tertentu yang terkait dengan instabilitas politik. Pembelajaran atas kebijakan harga pangan pada periode-periode sebelumnya dapat memperkaya pemahaman atas kebijakan harga pangan yang efektif. Meskipun demikian yang relevan dengan situasi dan kondisi terkini tentu saja terbatas pada aspek-aspek fundamental dan simpul-simpul kritis yang menyangkut sistem produksi, pemasaran, dan pengaruh dinamika lingkungan strategis. Aspek-aspek teknis dan kelembagaan yang sifatnya ad hoc kurang relevan karena situasi dan kondisi serta masalah dan tantangan yang dihadapi berbeda. Oleh karena itu evaluasi kebijakan harga pangan dalam kajian ini hanya akan difokuskan pada simpul-simpul kritis yang dipandang relevan dengan situasi dan kondisi saat ini dan jangka menengah ke depan. Kebijakan dan implementasi kebijakan selalu melibatkan kelembagaan. Bahkan, kebijakan itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari kelembagaan, karena dari sudut pandang kelembagaan maka kebijakan itu sendiri adalah suatu “aturan permainan” yang rancangannya dilakukan oleh lembaga yang mempunyai legitimiasi untuk melakukannya (pemerintah). Memperbandingkan kebijakan stabilisasi harga pangan antar periode menunjukkan bahwa secara empiris kebijakan yang ditempuh pada periode Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
98
sebelum reformasi lebih efektif daripada pasca reformasi. Penyebabnya terkait dengan aspek produksi, konsumsi per kapita, regim perdagangan dan nilai tukar mata uang, dan peran lembaga penyangga stok pangan nasional. Pada sisi produksi, data menunjukkan bahwa stabilitas pertumbuhan produksi pangan sebelum reformasi relatif lebih stabil. Hal ini terkait dengan: (a) pertumbuhan luas panen masih selalu positif dan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian relatif kecil, (b) pertumbuhan produktivitas stabil karena infrastruktur fisik terutama irigasi sangat baik dan secara empiris tingkat produktivitas masih berada pada fase awal – tengah, (c) kebijakan harga pupuk dan harga dasar gabah kondusif, (d) dukungan kelembagaan produksi seperti kelompok tani, perkumpulan petani pemakai air (P3A), dan kinerja koperasi (Koperasi Unit Desa – KUD) cukup baik, dan (e) peranan sektor
pertanian
dalam struktur
kesempatan
kerja
dan
pendapatan
masyarakat pedesaan masih dominan (di atas 40%). Pada saat itu konsumsi beras per kapita juga masih berada pada kisaran antara 101 – 120 Kg per tahun. Hal ini terkait dengan: (a) masih rendahnya rata-rata pendapatan per kapita golongan menengah ke bawah (yang sampai saat ini elastisitas permintaannya untuk komoditas pangan pokok terhadap pendapatan masih positif), (b) diversifikasi konsumsi pangan ke sumber karbohidrat berbahan baku pangan lokal cukup berkembang. Terkait dengan pendapatan per kapita tersebut, konsumsi komoditas pangan non beras seperti gula, minyak goreng, daging sapi, daging ayam dan telur juga masih berada pada level yang tercukupi oleh produksi dalam negeri. Bahkan konsumsi terigu per kapita juga masih rendah karena berbagai makanan jadi substitusi beras masih banyak yang berbahan baku komoditas pangan lokal. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada stabilitas harga pangan adalah bahwa pasca reformasi integrasi pasar domestik dengan pasar internasional makin kuat. Sebelum reformasi, rezim perdagangan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
99
Indonesia tidak seliberal sesudah reformasi. Rezim nilai tukar juga menganut sistem peg, bukan sistem mengambang. Dengan didukung sistem politik yang sentralistik dan tegas, rezim tersebut dapat dipertahankan sampai seperempat abad. stabilitas
harga
Kebijakan tersebut cukup ampuh untuk mendukung pangan
namun
tidak
dapat
dipertahankan
karena
fundamental makro ekonomi nasional pada dasawarsa 90-an rapuh akibat besarnya rasio hutang (debt ratio) dan surplus perdagangan yang makin menurun seiring meningkatnya impor berbagai komoditas manufaktur maupun barang modal. Kemudian terjadilah perubahan yang dramatis. Dipicu oleh krisis finansial, nilai tukar Rupiah terhadap US$ turun drastis sehingga beban hutang menjadi makin berat. Bersamaan dengan itu, terjadi instabilitas politik dan keamanan yang kemudian memicu timbulnya reformasi politik dan ekonomi nasional. Berbagai perubahan yang cukup mendasar terjadi. Secara umum, sejak reformasi rezim perdagangan yang dianut Indonesia cenderung lebih liberal. Kontrol harga, terutama harga pangan pokok (beras, gula pasir, minyak goreng, terigu) menjadi lebih longgar, terutama pada periode 1999 – 2004. Meskipun pada tahun-tahun berikutnya telah dilakukan koreksi atas dampak negatif yang timbul akibat perubahan tersebut namun perilaku pasar tidak sepenuhnya dapat dikendalikan pemerintah. Situasi dan kondisi tersebut diperparah pula oleh kondisi harga energi di pasar internasional (dan Indonesia telah menjadi net importir Bahan Bakar Minyak – BBM) yang kurang stabil dan rezim nilai tukar yang diubah ke sistem mengambang. Perubahan mendasar dalam regim perdagangan dan nilai tukar mata uang tersebut secara teoritis lebih kondusif untuk mendukung sistem makro ekonomi yang lebih sehat, namun secara empiris masih belum dapat disimpulkan karena kinerja pasar domestik masih belum sepenuhnya dapat memenuhi persyaratan untuk masuk ke pasar global.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
100
Sebelum reformasi, peran lembaga penyangga kebijakan pangan yaitu Badan Urusan Logistik (BULOG) sangat efektif. Pengadaan gabah dan beras (dari impor maupun dari pengadaan dalam negeri) sesuai dengan target. Operasi pasar efektif karena adanya dukungan sistem informasi sentralistik yang efektif. Di sisi lain, perilaku pasar pangan di dalam negeri dapat dikontrol dengan baik karena kebijakan dan strategi pemerintah dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan efektif. Bersamaan dengan reformasi, tuntutan untuk mengubah peran BULOG cukup deras. Ada dua faktor yang mendasarinya. Pertama, faktor politik. Persepsi umum pada saat itu adalah bahwa BULOG ditengarai sebagai salah satu Badan Usaha Milik Pemerintah yang dijadikan tempat untuk memupuk dana politik partai penguasa (bukti atas dugaan tersebut sampai saat ini kabur). Dengan latar belakang seperti itu timbul tuntutan agar manajemen BULOG lebih terbuka. Kedua, faktor finansial/ekonomi. Terkait pula dengan rekomendasi IMF, peran Badan Usaha Milik Negara (termasuk BULOG) dituntut untuk menjadi Perum sehingga fungsinya sebagai “agent of development” dikurangi dan fungsinya sebagai “Firm” ditingkatkan. Argumen untuk mengubah menjadi Perum memperoleh legitimasi yang cukup kuat karena: (i) secara de facto anggaran pemerintah sangat terbatas, dan (ii) adanya tuntutan untuk memberikan peran swasta yang lebih besar dalam ruang bisnis di bidang pangan. Seiring dengan perubahan mendasar tersebut, peran BULOG sebagai penyangga stok pangan nasional untuk menjaga stabilitas harga pangan justru turun. Selain jumlah komoditas yang ditangani makin terbatas, kemampuannya untuk melakukan pengadaan stok pangan juga relatif menurun.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
101
Simpul-simpul Kritis Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan: Analisis Kelembagaan Berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa kendatipun stabilitas harga pangan pokok pada saat ini relatif stabil namun masih cukup rawan. Fluktuasi harga yang cukup tajam masih sering terjadi dan kini cenderung makin sulit dipastikan polanya.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
Tentang Pangan memang merupakan payung hukum untuk mengkondisikan sistem pangan yang sesuai dengan visi dan misi bangsa ini. Sudah barang tentu, pewujudannya merupakan perjalanan panjang yang memerlukan komitmen politik dan ekonomi secara komprehensif, sistematis, dan konsisten karena beberapa hal berikut. Pertama, masalah yang dihadapi dalam sistem produksi makin kompleks. Penyebabnya terkait dengan hal-hal berikut: (a) Mengacu perkembangan yang terjadi hingga saat ini, selama reformasi agraria tidak mengalami perubahan mendasar maka struktur pertanian pangan Indonesia masih akan berada dalam status quo yakni dominasi skala kecil dengan jumlah pelaku puluhan juta, pengelolaannya tidak terkonsolidasi, dan lokasinya terpencarpencar.
Seiring
dengan
meningkatnya kontribusi
sektor
non
pertanian dalam struktur kesempatan kerja dan pendapatan nasional, peran relatif sub sektor pangan yang makin mengecil berkelindan pula dengan fenomena terjadinya “aging farmer”. (b) Meningkatnya risiko produksi pada usahatani tanaman pangan akibat perubahan iklim. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa perubahan iklim nyata-nyata telah terjadi dan dampaknya terhadap pertanian termasuk tanaman pangan adalah negatif dan sangat nyata.
Perubahan
iklim
menyebabkan
risiko
banjir
maupun
kekeringan makin sering terjadi, lebih tajam, dan cenderung meluas. Terkait dengan perubahan iklim, intensitas dan frekuensi El Nino
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
102
akan makin sering terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa El Nino menyebabkan pertumbuhan produksi padi turun sekitar 2.99% dari rata-rata trend pertumbuhan normal (Sumaryanto et al, 2011). (c) Kelembagaan
sistem
produksi
yang
lemah.
Terkait
dengan
penguasaan aset pertanian (lahan, ternak) sebagian besar petani Indonesia yang skalanya sangat kecil, maka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya lebih dari 80% petani tanaman pangan Indonesia tidak hanya menggantungkan nafkahnya dari usahatani. Bahkan, lebih dari 30% rumah tangga petani tanaman pangan gantungan nafkahnya tidak lagi dari usahataninya, tetapi dari kegiatan sebagai buruh tani, buruh serabutan, pedagang kecil, tukang ojek, dan berbagai jasa non pertanian lainnya. (d) Integrasi cabang usahatani dengan industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) yang lemah. Sampai saat ini, perkembangan industri hasil pertanian belum mampu menjawab tantangan yang dihadapi. Secara empiris, rantai pasok komoditas pangan masih didominasi produk yang belum terolah, mutunya sangat beragam, dan aliran pasokannya sangat fluktuatif. Upaya untuk meningkatkan kinerja industri pengolahan dan sistem distribusinya tidak mudah dilakukan karena kelembagaan yang kondusif untuk mendukung integrasi produksi pertanian – industri pengolahan – distribusi terkendala oleh biaya transaksi yang tinggi. (e) Kebijakan yang tidak harmonis. Salah satu contoh paling konkrit adalah kebijakan yang terkait dengan pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan sektor non pertanian, dan urbanisasi (proses transformasi desa – kota) kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan pemukiman, prasarana transportasi, pengembangan kawasan industri, dan sebagainya meningkat pesat. Dalam kondisi demikian itu karena implementasi kebijakan tata ruang tidak efektif dan implementasi
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
103
kebijakan ekonomi cenderung parsial maka kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain menjadi tidak efektif. Kedua, masalah yang dihadapi dalam sistem logistik. Sistem logistik di Indonesia pada umumnya lemah karena unit-unit produksi tidak
terkonsolidasi.
mengkonsolidasikan
Pada sistem
sub
sektor
pengelolaan
pangan
upaya
untuk
terkendala
oleh
entitas
usahatani yang beragam, skalanya kecil-kecil, jumlah petaninya sangat banyak, dan latar belakang sosial yang beragam. Ketiga, masalah yang terkait dengan pengembangan kelembagaan sistem pangan yang kurang solid, tidak fokus, dan cenderung parsial. Pada saat ini Indonesia tengah menggodog kelembagaan pangan yang diharapkan solid, fokus, dan komprehensif dalam rangka mendukung terwujudnya ketahanan pangan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Mengacu pada Undang-undang tersebut, Pemerintah diberi amanat untuk membentuk suatu Badan Pangan Nasional. Secara hierarkhis, lembaga tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Namun sampai saat ini lembaga tersebut belum terbentuk. Secara garis besar terdapat lima fungsi yang dimiliki lembaga tersebut: (1) fungsi perumusan kebijakan, (2) pelaksanaan dan supervisi, (3) pemantauan dan evaluasi, (4) pengelolaan data dan informasi pangan, (5) pembinaan dan pengawasan. Badan ini akan mengkoordinasikan aktivitas Badan Usaha Milik Negara dari produksi, pengadaan, penyimpanan, distribusi, dan stabilisasi harga pangan pokok. Luasnya cakupan aspek permasalahan yang akan ditangani oleh lembaga ini berimplikasi bahwa untuk membentuknya agar dapat melaksanakan fungsinya dengan optimal maka perlu dirancang dengan seksama,
komprehensif,
dan
melibatkan pemangku
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
kepentingan
104
(stakeholder) secara intensif. Berikut ini sejumlah analisis kritis yang terkait dengan fungsi-fungsi tersebut di atas. Fungsi Perumusan Kebijakan Perumusan kebijakan pangan harus bersifat holistik karena sistem pangan terdiri dari unsur-unsur pada sub sistem produksi, distribusi, dan konsumsi secara terintegrasi dan saling mempengaruhi (interdependent). Dalam tataran teori, rancang bangun kebijakan yang holistik tersebut tidaklah sulit; namun dalam tataran empiris sangat rumit. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari fakta bahwa pada tataran empiris kepentingan dari setiap stakeholder tidaklah selalu dapat dipertemukan dalam arena yang sinergis. Di sisi lain, jika fakta tersebut diabaikan (diasumsikan dapat diabaikan) maka efeknya akan muncul pada tataran implementasi. Sebagai contoh, masalah yang muncul pada implementasi kebijakan subsidi harga pupuk. Kebijaka pemerinta menyebutkan bahwa pupuk bersubsidi hanya diarahkan untuk usahatani tanaman pangan (terutama padi), sedangkan untuk usahatani tanaman perkebunan tidak disubsidi. Untuk itu, sistem distribusi pupuk bersubsidi harus dilakukan dengan sistem tertutup melalui Kelompok Tani dengan dukungan dokumen RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok). Secara umum kebijakan ini dapat dieksekusi, namun bukanlah berita baru bahwa sebagian dari pupuk bersubsidi tersebut mengalir pula ke sektor non sasaran karena dperbedaan harga yang sangat significant telah menciptakan insentif tersendiri bagi perdagangan gelap. Contoh lain adalah yang terkait dengan distribusi beras untuk rakyat miskin (RASKIN). Secara teori, rumah tangga kelompok miskin dapat dibedakan dengan yang tidak miskin. Metode delineasi juga dapat dirumuskan dengan memanfaatkan sejumlah indikator yang relevan dan terukur. Namun apa yang terjadi? Dalam tataran empiris tidaklah mudah untuk membedakan rumah tangga “miskin” dengan “hampir miskin”. Terdapat cukup banyak kritik atas keterbatasan indikator yang relevan untuk melakukan delineasi. Selain
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
105
terkait dengan “time lag”, persoalan yang kadang-kadang muncul juga terkait dengan kesesuaian sejumlah indikator dengan situasi masyarakat yang kadang-kadang bersifat local specific. Selebihnya, implikasi dari paradigma pemberian bantuan kepada penduduk miskin seperti yang dirancang awal itu di banyak tempat justru menggerogoti kohesi sosial dari jaring pengaman sosial yang semula telah terbentuk dalam masyarakat lokal. Secara tidak disengaja, di beberapa tempat pemberian bantuan yang terfokus pada kelompok tertentu (rumah tangga yang terkategorikan sebagai rumah tangga miskin) menyebabkan terbelahnya rasa setia kawan antara penerima bantuan dengan rumah tangga non penerima bantuan yang dalam ukuran setempat mereka persepsikan layak menerima bantuan. Salah satu solusi yang kemudian dilakukan oleh sebagian desa penerima bantuan adalah “dibagi rata” ke semua rumah tangga yang menurut ukuran setempat dipandang tidak benar-benar kaya. Pembelajaran dari kasus-kasus di atas adalah bahwa dalam perumusan kebijakan, eksistensi kelembagaan yang berlaku dalam masyarakat yang seringkali beragam itu hendaknya diperhitungkan dengan seksama dalam perumusan kebijakan Ostrom (2005). Pengabaian substansi permasalahan tersebut bukan hanya mengakibatkan kebijakan tidak efektif, tetapi dapat mendorong terbentuknya sikap masyarakat yang apatis atau bahkan melecehkan aturan main yang dibentuk jika pengabaian tersebut dilakukan berulang kali. Mengingat pangan pokok merupakan komoditas strategis maka kecermatan dalam perumusan kebijakan merupakan kewajiban yang tak dapat ditawar-tawar. Perumusan kebijakan pangan harus didasarkan atas pemahaman pada fenomena empiris secara akurat yang meliputi aspekaspek produksi, distribusi, konsumsi yang dimensinya tidak hanya yang dapat diukur secara kuantitatif dari sudut pandang ekonomi semata, tetapi juga
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
106
berdasarkan
kajian
mendalam aspek
kualitatif
pada
dimensi
sosial
budaya/kelembagaan. Prinsip berikutnya yang harus dipegang adalah bahwa kebijakan yang terlampau
banyak
dan
sering
berubah
menyebabkan
biaya
sosial
eksekusinya mahal dan tidak efektif. Untuk itu, harus dilakukan pembedaan yang jelas antara diskresi dan kebijakan. Suatu kebijakan hendaknya mempunyai time frame yang jelas dan rasional untuk diberlakukan di lapangan. Model-model kebijakan yang dihasilkan dari pendekatan deduktif teoritis tanpa dilandasi analisis atas data dan informasi yang dapat menggambarkan
kondisi
obyektif
di
lapangan
seyogyanya
ditunda
peluncurannya sampai ada konfirmasi empiris berbasis data dan informasi lapangan yang representatif.
Fungsi Pelaksanaan dan Supervisi Perlu digaris bawahi bahwa fungsi ini sangat sensitif. Selama ini fungsi pelaksanaan dan supervisi dalam kebijakan pangan pokok nasional telah dilakukan oleh sejumlah lembaga di Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Badan Urusan Logistik. Bahkan berbagai kementerian lain juga dilibatkan (Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan sebagainya). Pelaksanaan dan supervisi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut terkait dengan tugas fungsi kementerian yang bersangkutan yang cakupannya lebih luas. Sebagai contoh, fungsi pelaksanaan dan supervisi dalam kebijakan dan program peningkatan produksi pangan; di Kementerian Pertanian merupakan tugas dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan yang didukung
oleh
Direktorat-Direktorat
Jenderal
terkait
lainnya.
Untuk
kepentingan itu berbagai lembaga formal di lingkungan Direktorat Jenderal telah dibentuk dan pengorganisasiannya juga telah disahkan berdasarkan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
107
Undang-undang dan berkoordinasi dengan Kementerian Aparatur Negara. Oleh karena itu, fungsi pelaksanaan dan supervisi yang akan dibebankan kepada Badan Pangan Nasional ini harus dapat didefinisikan secara jelas dengan semangat menghindari adanya tumpang tindih dengan lembagalembaga formal yang telah ada. Hal ini terutama pada konteks “fungsi pelaksanaan”. Batas yurisdiksi, aturan representasi, dan aspek-aspek yang berkenaan dengan “property right” harus dapat didefinisikan secara jelas dan operasional. Fungsi Pemantauan dan Evaluasi Seperti halnya pada fungsi Pelaksanaan dan Supervisi, fungsi Pemantauan dan Evaluasi juga harus jelas cakupannya dan levelnya. Penghindaran tumpang tindih perlu dilakukan semaksimal mungkin agar koordinasi dengan pihak-pihak terkait efektif. Fungsi Pengelolaan Data dan Informasi Pangan Diantara lima fungsi pokok Badan Pangan Nasional, fungsi pengelolaan data dan informasi pangan mungkin merupakan fungsi yang paling mudah dirumuskan dan dirasakan urgensinya. Hal ini terkait dengan fakta bahwa sampai saat ini pengelolaan data dan informasi pangan di negeri ini cenderung
dilakukan
secara
sektoral
oleh
lembaga-lembaga
yang
bersangkutan. Koordinasi lazimnya dilakukan pada saat akan merumuskan kebijakan, dan “kesepakatan” merupakan istilah yang seringkali harus dipergunakan dalam memutuskan data yang akan diumumkan ke publik karena hasil pendataan yang dilakukan oleh lembaga yang berbeda menghasilkan data yang juga berbeda. Salah satu fungsi penting dari lembaga ini dalam fungsi pengelolaan data dan informasi pangan adalah dalam rangka menjembatani kesenjangan data antara produksi dan konsumsi yang selama ini menjadi topik perdebatan di kalangan akademisi yang tidak berujung. Sebagian pakar berpendapat Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
108
bahwa data produksi “over estimate” sedangkan pakar lainnya berpendapat data tersebut “akurat”. Pada akhirnya yang dipergunakan untuk menalar adalah “make sense” ataukah tidak; karena keduanya tidaklah mempunyai data yang lengkap untuk membuktikan klaimnya. Fungsi Pembinaan dan Pengawasan. Fungsi ini tidak mudah diterjemahkan. Secara umum, fugsi pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan program-program pembangunan telah dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal dan Badan Pemeriksa Keuangan. Oleh karena itu definisi mengenai fungsi Pembinaan dan Pengawasan ini harus diperjelas: internal Badan Pangan Nasional ataukah mencakup pula lembaga-lembaga formal terkait lainnya? Tabel 6.1. Lembaga/Institusi Yang Terkait Dalam Kebijakan Harga Pangan di Indonesia No
Substansi/Aspek
1
Fungsi perumusan kebijakan
2
Fungsi pelaksanaan dan supervisi
3
Fungsi pemantauan dan evaluasi
4
Fungsi pengelolaan data dan informasi pangan
5
Fungsi pembinaan dan pengawasan
Lembaga yang terlibat Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan & Perikanan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan & Perikanan, Bulog Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan & Perikanan Kemenko-Perekonomian Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan & Perikanan,Bulog, BPS KPPU, Inspektorat Jenderal & Badan Pemeriksa Keuangan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Usulan Dalam satu kementerian antar fungsi pelaksana dan pemantauan harus terpisah supaya hasil pemantauan dan evaluasi lebih accountable.
109
Kelembagaan yang dimaksud dalam kajian ini adalah dari aspek aturan main. Aturan main yang sebaiknya dilakukan dalam pelaksanaan kebijaan harga pangan.
Sebelum melihat pada fokusnya yaitu aturan main maka
sebelumnya dilakukan pemetaan terlebih dahulu terhadap lembaga/institusi yang saat ini berperan dalam kebijakan harga pangan, sebagaimana disajikan pada Tabel 6.1 Pembelajaran dari literature review di beberapa Negara dan melakukan banckmarking di Thailand mempunyai peran di dalam membuat pemetaan institusi yang ada di Indonesia yang mempunyai peran dalam menjaga kestabilan pasokan dan harga pangan. Berdasarkan pemetaan Tabel diatas, maka dapat diusulkan lembag yang mendukung pangan yaitu lembaga yang mempunyai fungsi yaitu (i) perumusan kebijakan, (ii) pelaksanaan dan supervisi, (iii) pemantauan dan evaluasi, (iv) pengelolaan data dan informasi pangan serta (v) pembinaan dan pengawasan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
110
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
6.1. Kesimpulan a. Dari 10 komoditas bahan kebutuhan pokok, kajian ini difokuskan pada 6 komoditas yaitu beras, gula, daging ayam, cabai merah, cabai rawit, dan minyak goreng. b. Dalam sepuluh tahun terakhir harga eceran keenam komoditas tersebut menunjukkan trend meningkat dan kurang stabil. Kebijakan dan implementasi stabilisasi yang dilakukan selama ini belum efektif mencapai sasarannya. Dari 6 komoditas yang dikaji, permasalahan stabilitas harga ditingkat ecerannya
relatif kecil adalah gula dan
minyak goreng c. Mengacu pada karakteristik produksi dan struktur pasar komoditas pangan pokok di dalam negeri, serta kebijakan pada masing-masing komoditas, disimpulkan sebagai berikut: 1) Penetapan kebijakan harga pembelian pemerintah Kebijakan harga ini dapat dilakukan pada komoditi yang strategis, baik dilihat dari andil inflasi, pangsa pengelauran masyarakat serta fluktuasi harga. Atas dasar tersebut komoditi yang tetap menerapkan kebijakan pembelian pemerintah yaitu Beras dan gula. 2) Penetapan kebijakan harga eceran tertinggi Untuk menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen maka perlu dilakukan penetapan harga eceran tertinggi. Kebijakan ini perlu disertai dengan operasi pasar.
Komoditi yang mungkin dapat
diterapkan kebijakan harga ini yaitu beras, gula, dan minyak goreng. 3) Harga acuan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
111
Komoditi yang tetap diterapkan harga acuan yaitu bawang merah, cabai merah sebagai acuan impor.
Untuk komoditi
daging ayam dan telur ayam harga acuan dapat diterapkan dengan tujuan untuk menjaga harga di tingkat peternak. 4) Kebijakan harga khusus dapat dilakukan pada semua komoditi bahan kebutuhan pokok, namun penetapan tidak sepanjang tahun tetapi hanya pada hari besar keagamaan nasional (HKBN). d. Pembelajaran dari implementasi kebijakan harga yang selama ini terjadi menunjukkan bahwa kurangefektifnya kebijakan tersebut disebabkan oleh penegakan aturan (Law enforcement) yang rendah. Hal ini terkait dengan belum efektifnya monitoring fenomena spekulasi di bidang perdagangan pangan, kurangnya pendataan badan-badan usaha
yang
bergerak
di
bidang
perdagangan
serta
sistem
pengadministrasian yang belum efektif. 6.2.
Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan kesimpulan kebijakan harga pada komoditi yang
menjadi fokus kajian, beberapa hal yang dapat dijadikan rekomendasi kebijakan harga yaitu: a. Kemungkinan implementasi kebijakan harga pada komoditi pangan adalah sebagai berikut: 1) Kebijakan harga pembelian pemerintah Pelaksanakan kebijakan ini perlu diikuti dengan adanya perbaikan kinerja produksi, melalui: (i) peningkatan luas panen & produktivitas (ii) pengembangan sentra-sentra produksi di luar Jawa (iii) minimalisasi resiko usaha tani padi (iv) mengefektifkan kebijakan HPP & subsidi sarana produksi dengan cara:
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
112
- Penetapan HPP dilakukan setiap awal musim tanam I dan musim tanam II - Besaran harga dikaji kemungkinan rayonisasi yang didasarkan atas perbedaan varietas - Melakukan penetapan HPP multikualitas (HPP gabah) - Lembaga yang terlibat dalam penentuan HPP: Kemenko perekonomian, Keuangan, Kemendag, Kementan dan Bulog serta (jika sudah dibentuk) Badan Pangan Nasional - Lembaga yang mengeksekusi yaitu kementerian teknis (Kementan, Kemendag dan Bulog) 2) Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Kebijakan ini akan berjalan efektif, apabila: (i) Memperbaiki Supply Chain Management (SCM), contoh pada komoditi beras, dengan cara mengefektifkan peran gabungan kelompok tani (ii) Meningkatkan
kemampuan
Bulog
dalam
memupuk
stok
pemerintah melalui pengadaan dalam negeri. Dalam kondisi produksi dalam negeri tidak mencapai target dan efektivitas HPP rendah maka kemungkinan untuk impor perlu dibuka. (iii) Meningkatkan efektivitas operasi pasar dengan cara : - Mekanisme penentuan waktu operasi pasar agar lebih adaptif dan antisipatif terhadap situasi gejolak harga di pasar. - Unsur pendukung yang diperlukan perbaikan kinerja sistem monitoring harga. - Penyempurnaan tepat jumlah dan tepat tempat 3) Kebijakan Harga Acuan Pelaksanaan kebijakan harga acuan menjadi efektif bilamana: (i) Penetapan harga telah mempertimbangkan harga ditingkat produsen
(struktur
biaya
produksi)
dan
harga
ditingkat
konsumen.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
113
(ii) Untuk melindungi konsumen, dalam kondisi khusus dimana terjadi
kekurangan
pasokan
yang
ekstrim
dimungkinkan
melakukan impor dengan mempertimbangkan tingkat harga acuan sebagai indikatornya. (iii) Perbaikan sistem monitoring harga dan pendayagunaannya untuk pengawasan pelaksanaan kebijakan penetapan harga tersebut. 4) Kebijakan Harga Khusus Pelaksanaan kebijakan harga khusus dapat dilakukan melalui: (i)
Penetapan harga dilakukan pada tingkat pasar ritel modern
(ii) Penetapan harga dilakukan per wilayah berdasarkan masukan dari Pemerintah Daerah sehingga lebih tepat sasaran. (iii) Komoditi yang diatur maupun kebijakan harga yang diterapkan perlu diumumkan kepada masyarakat luas. Hal ini dilakukan agar
kebijakan
yang
ditetapkan
lebih
transparan
mengurangi tindakan spekulasi dari pelaku pasar.
dan
Bentuk
sosialisasi tersebut dapat dilakukan melalui media seperti buku, leaflet, televisi, radio atau internet (iv) Kebijakan harga perlu didukung oleh mekanisme Controlling dan Monitoring: - Mekanisme controlling dapat dilakukan oleh (i) masyarakat luas sehingga jika terjadi pelanggaran, masyarakat dapat melakukan aduan melalui lembaga yang sudah ada, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), (ii) Dinas pemerintah terkait dengan melakukan kontrol ke pasar secara berkala serta (iii) mengefektifkan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang mana selama ini perannya belum pada barang kebutuhan pokok.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
114
- Mekanisme monitoring dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Monitoring tidakhanya dilakukan
pada harga tetapi juga stok. Monitoring dapat dilakukan terhadap harga dan stok. Pelaksanaan monitoring di daerah dapat dilakukan melalui dinas pemerintah setempat dan berkoordinasi dengan tim pengendalian inflasi daerah (TPID). b. Pembelajaran dari implementasi kebijakan harga yang selama ini terjadi dimana masih lemahnya dalam hal penegakan aturan, maka upaya yang dapat ditempuh adalah: 1) Monitoring kondisi spekulasi di bidang perdagangan pangan 2) Memperbaiki pendataan badan-badan usaha yang bergerak di bidang perdagangan pangan, melalui: - Merumuskan konsep tentang cakupan badan usaha yang perlu didata - Menyempurnakan mekanisme pendataan - Meningkatkan kapasitas sumberdaya pendataan 3) Meningkatkan pendayagunaan hasil pendataan dan monitoring tersebut diatas dalam mekanisme pengawasan pelaksanaan aturan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
115
DAFTAR PUSTAKA
Besanko, D dan Ronald. RBraeutigam. (2011). Macroeconomics. 4th Edition. John Wiley & Sons, Inc. Berry, A. and W. Cline. (1979). Agrarian Structure and Productivity in Developing Countries. Baltimore and London: John Hopkins University Press. Binswanger, H. P. and M. R. Rosenzweig. (1986). Behavioral and Material Determinants of Production Relations in Agriculture. The Journal of Development Studies 22(3): 503 - 539. Boussard. (1996). When risk generates chaos. Journal of Economic Behavior and Organization 29, 433-446 Boussard J.M., Gerard F., Piketty M.G., Ayouz M. and Voituriez T. (2006). Endogenous risk and long run effects of liberalization in a global analysis framework. Economic Modelling, 23(3), 457-475. Brahmbhatt, Milan & Christiaensen, Luc. (2008). “Rising Food Price in East Asia: Challenges and Policy Options. Byerlee, D., Jayne, T. S. and Myers, R. (2005). Managing Food Price Risks and Instability in an Environment of Market Liberalization. World Bank, Washington, DC. Central Bank of Malaysia. (2011). Economic Development in 2010. Annual Report 2010 Chavas, J. P. (2001). Structural Change in Agricultural Produstion: Economics, Technology and Policy. In Gardner, B. L. and G. C. Rausser (Eds), Handbook in Agricultural Economics. Amsterdam: Elsevier. Cororaton, Caesar B. (2006). Philippine Rice and Rural Poverty: An Impact Analysis of Market Reform Using CGE. International Food Policy Research Institute (IFRI) Galtier, F. (2009). How to Manage Food Price Instability in Developing Countries. CIRAD, UMR MOISA, Montpellier F-34000. France Galtier,F and Vindel, B. (2013). Managing Food Price Instability In Developing Countries. A Critical Analysis of Strategies and Instruments . Cirad. France. Fan. S.. C. Chan-Kang. (2003). Is Small Beautiful? Farm Size. Productivity and Poverty in Asian Agriculture. Paper to be presented at the 2003 International Association of Agricultural Economists. Durban.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
116
Hall, B. F. and P. Le Veen. (1978). Farm Size and Economic Efficiency: The Case of California. American Journal of Agricultural Economics 60(4): 589 - 600. Hayami, Y. (1998). The Peasant in Economic Modernization. In Eicher, C. K. and J.M. Staatz (Eds). International Agricultural Development. Baltimore and London: John Hopkins University Press. Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström. (2004). Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. Proceeding of the Seminar on October 2004 in Haiko Finland. Publication No. 38 Agricultural Policy, Department of Economics and Management, University of Helsinki, Helsinki. Ilham, Nyak. (2006). Efektivitas Kebijakan Harga Pangan Terhadap Ketahanan Pangan dan Dampaknya Pada Stabilitas Ekonomi Makro. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Islam, Nurul & Thomas, Saji. (1996). “Foodgrain Price Stabilization in Developing Countries, “Food Policy Review 3, International Food Policy Research Institute (IFRI). Kumbhakar, S. C. (1993). Short run Returns to Scale, Farm-Size and Economic Efficiency. The Review of Economics and Statistics 75 (2): 336 - 341. Narayanan, S. and A. Gulati. (2002). Globalization and the smallholders: a review of issues, approaches and implications. Markets and Structural Studies Division 50, International Food Policy Research Institute (IFPRI). Washinton, D.C: IFPRI. Ngare, L. , F. Simtowe and J. Massingue. (2014). Analysis o Price Volatility and Implications for Price Stabilization Policies in Mozambique. European Journal of Business and Management Vol.6 No 22, 2014. Page 160-173 Pasaribu, B. (2009). Peran Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Menunjang Tata Ruang dan Kedaulatan Pangan. Bahan Presentasi yang disampaikan pada Lokakarya Pembaruan Agraria Pertanian Nasional pada 3 September 2009 di Jakarta. PSEKP. (2008). Konsorsium Penelitian Karakteristik Sosial Ekonomi Petani pada Berbagai tipe Agroekosistem. Laporan Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Ostrom, Elinor. (2005). Understanding Institutional Diversity. Princeton, NJ; Princeton University Press.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
117
Ostrom, Elinor. (2010). Beyond Markets and States: Polycentric Government of Complex Economic Systems. American Economic Review 100 (June 2010): 1 – 33. Ostrom, Elinor. (2011). Background on the Institutional Analysis and Development Framework. The Policy Studies Journal, Vol. 39, No. 1, 2011: 7 – 27. Sawit, M. H. (2007). Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi Dalam Putaran Doha WTO. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sawit, M. H. (2008). Perubahan Perdagangan Pangan Global dan Putaran Doha WTO: Implikasi Buat Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 3, No. 6, September 2008: 199 - 221. Sen, A. (1962). An Aspect of Indian Agriculture. Economic Weekly February: 243 - 246. Shariff, N., Ahmad dan Rosnelim Yusoff. (2013). Enhancing Consumer Protection Via Price Control in Malaysia. 4th International Conference on Business and Economic Research. Proceeding Sudaryanto, T., and Sumaryanto. (2008). Changing Household Income in Rural Indonesia: 1995 - 2007. Paper presented at the 6th Asian Association of Agricultural Economist International Conference: Asian Economy Renaissance: What is in It for Agriculture?. Manila, Philipinnes, 28 - 20 August, 2008. Sudaryanto, T., S.H. Susilowati, and Sumaryanto. (2009). Increasing Trend of Small Farms in Indonesia: Causes and Consequences. Paper presented at the 111th EAAE - IAAE Seminar " Small Farms: Persistence or Declined?". University of Kent, Canterbury, UK, 25 - 26 June, 2009. Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. CV ALFABETA. Bandung: hlm. 30 Sukirno, S. 2008. Mikro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Thuraisingham, Indrani. (2010). Price Control and Monitoring in Developing Countries. Consumers International Regional Officer for Asia Pacific and the Middle East. Tomek and Robinson. (1990). Agricultural Product Prices. Second Edition Ithaca. Cornell University Press. Torero, M. and A. Gulati. (2004). Conecting Small Holder to Markets: Role of Infrastrucure and Institutions. Policy Brief, International Food Policy Reserach Institute (IFPR). Washington, DC.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
118
von Braun, J. (2004). Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. In Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström (Eds.). SmallScale Farmers in Liberalised Trade Environment. Proceeding of the Seminar on October 2004 in Haiko Finland. Publication No. 38 Agricultural Policy, Department of Economics and Management, University of Helsinki, Helsinki. Yotopoulos, P. A. and L. J. Lau. (1973). A test for relatif economic efficisncy: Some Further Results. The American Economic Review 63(1): 214 223
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
119
LAMPIRAN
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
120
Lampiran 1.
Kebijakan Harga Komoditi Pangan (Beras, Gula, Minyak Goreng, Daging Ayam, Cabai Merah dan Bawang Merah)
Komoditi
Peraturan
Keterangan Kebijakan harga yaitu penentuan harga pembelian
Beras
a. Inpres No 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran beras oleh Pemerintah b. Permendag No 04/M-DAG/PER/1/2012 tentang penggunaan cadangan beras pemerintah (CBP) untuk stabilisasi harga
Komoditi
pemerintah ( HPP) - untuk pengendalian gejolak harga melalui operasi pasar, jika harga masih bergejolak menteri menetapkan kebijakan lain - Kementerian Perdagangan dan Bulog
Peraturan
Keterangan
Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No - Penentuan harga gula kristal 527/2004 tentang ketentuan impor gula putih (GKP) di tingkat petani didasarkan hasil rapat koordinasi antar instansi/lembaga & asosiasi terkait. '- impor GKP hanya dapat dillakukan oleh impor gula yang terdaftar memiliki IT
Gula
Peraturan Menteri Perdagangan DAG/PER/4/2007 (Perubahan IV)
Nomor
18/M- Penetapan HPP berdasarkan Regulasi Rp 4.900/kg
Peraturan Menteri Perdagangan DAG/PER/5/2008 (Perubahan V) Peraturan Menteri Perdagangan DAG/PER/5/2011 Peraturan Menteri Perdagangan DAG/PER/5/2012 Peraturan Menteri Perdagangan DAG/PER/6/2013 Peraturan Menteri Perdagangan DAG/PER/5/2014 Peraturan Menteri Perdagangan DAG/PER/8/2014 Peraturan Menteri Perdagangan DAG/PER/5/2015
Nomor
19/M- Penetapan HPP berdasarkan Regulasi Rp 5.000/kg 11/M- Penetapan HPP berdasarkan Regulasi Rp 7.000/kg 28/M- Penetapan HPP berdasarkan Regulasi Rp 8.100/kg 27/M- Penetapan HPP berdasarkan Regulasi Rp 8.100/kg 25/M- Penetapan HPP berdasarkan Regulasi Rp 8.250/kg 45/M- Penetapan HPP berdasarkan Regulasi Rp 8.500/kg 35/M- Penetapan HPP berdasarkan Regulasi Rp 8.900/kg - Relatif fluktuatif dan cenderung naik, terutama minyak goreng curah
Minyak Goreng Belum ada
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Nomor Nomor Nomor Nomor Nomor Nomor
121
Lampiran 1. Lanjutan Komoditi
Peraturan
Daging Ayam
Belum ada
Bawang Merah
- Permendag No 47/M-DAG/PER/8/2013 jo Permendag No 16/M-DAG/PER/4/2013 - Keputusan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kep Dirjen PDN No 118/PDN/KEP 10/2013
Cabai Merah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Keterangan - Harga berfluktuasi terutama menjelang puasa dan lebaran - Harga ditingkat peternak relatif kecil dibandingkan biaya produksinya - Penetapan harga referensi (berlaku sejak 3 Oktober 2013) sebagai acuan pengelolaan impor - Harga ditingkat eceran cukup fluktuatif dan cenderung naik menjelang dan selama hari besar keagamaan nasional (Terutama Ramadhan & Idul Fitri)
122
Lampiran 2. Matrik Hasil Diskusi Di Daerah
Surabaya No 1
2
Indikator
BI
Pandangan tentang a. Kebijakan harga Pelaksanaan Dasar Kebijakan Harga menyebabkan Pangan harga menjadi lebih tinggi (contoh penetapan HPP). b. Perlu lembaga pengawas setelah kebijakan harga di tetapkan. Syarat Penetapan Dapat dilihat dari: Kebijakan harga a. Komoditi Pangan (dpt/tidak disimpan) b. Institusi/lembaga pengawas
3
Mekanisme Pelaksanaan yang diusulkan
3
Komoditi yang diusulkan
4
Kelembagaan
Akademisi Kontrak harga dapat dilakukan selama ada intervensi dari pemerintah
Pemerintah Daerah Kontrol harga dapat dilakukan jika ada pengawasan serta aturan yang jelas
Perlu ada lembaga intervensi semacam Bulog yang dapat mengontrol dan mengawasi dilapangan, termasuk di daerah Memperkuat a. Control harga Perlu digalakkan koordinasi antar sebaiknya kembali semacam instansi dan wilayah dilaksana secara sistem informasi yang surplus dengan sentralisasi perdagangan wilayah defisit b. Butuh dukungan antar pulau untuk dana yang mengetahui memadai informasi komoditi (pasokan, stock dan harga) dalam mendukung kebijakan harga pangan Beras, gula, kedelai Beras, gula, kedelai Beras, gula, dan daging ayam dan jagung kedelai dan daging ayam, cabai
a. Koordinasi harus
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Penetapan kebijakan harga disertai dengan intervensi pemerintah
a. Ada institusi dan
a. Sanksi hukum
123
Pendukung
5
kuat b. Pendataan yang akurat c. Institusi yang berwenang Perangkat Regulasi Perlu ada aturan yang diperlukan yang lebih dalam implementatif dari implementasi UU pangan dan UU kebijakan harga perdagangan. pangan (HD & HET) Meski sudah ada Perpres No 71/2015 tentang penetapan bahan kebutuhan pokok dan barang penting namun pelaksanaannya masih belum implementatif.
b.
c. a. b.
aturan Aturan harus melekat pada satu institusi Sanksi hukum Institusi Aturan main sehingga ada sanksi hukum
dan aturan yang melekat pada satu institusi Perlu suatu aturan seperti sistem informasi perdagangan antar pulau sehingga dapat informasi mengenai komoditi
Sumber: Hasil Diskusi di Daerah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
124
Lampiran 2. Lanjutan. Yogyakarta No
Indikator
BI
Akademisi
Pemerintah Daerah
1
Pandangan tentang Pelaksanaan Kebijakan Harga Pangan(HD & HET)
Kebijakan pangan di Indonesia perlu fokus pada peningkatan produksi dan menjaga stabilitas harga.
Perlu diketahui profil komoditinya terlebih dahulu. Pemerintah pusat menyusun aturan atau pedoman yang dijadikan sebagai panduan bagi pemerintah daerah untuk menetukan harga eceran tertinggi dan terendah
2
Syarat Penetapan Kebijakan harga Pangan (HET dan HD)
Diperlukan kebijakan pemerintah berupa instrumen. Kebijakan tidak hanya menetapkan besaran harga namun perlu juga diatur dengan jelas bagaimana implementasi serta pengawasannya di daerah a. Perlu ada koordinasi pemerintah pusat dan daerah. b. Perlu koordinasi antara wilayah sentra produksi dan konsumsi.
Dapat terlaksana jika ada kebijakan pendukung lain seperti buffer stock dan resi gudang
Perlu penentuan yang berbeda tergantung pada wilayah serta perlu cukup dana untuk menjaga stabilitas harga
3
Mekanisme Pelaksanaan yang diusulkan
Perlu adanya kontrol sehingga kebijakan berjalan lebih efektif
Perlu dukungan kuat dari asosiasi seperti pada produk farmasi dan rokok.
3
Komoditi yang diusulkan
cabe merah, beras, bawang, daging ayam, dan telur ayam
cabe merah, beras, bawang, daging ayam, dan telur ayam
4
Kelembagaan Pendukung
Membangun kelembagaan pangan yang dapat berperan menjaga stabiitas harga
5
Perangkat Regulasi
Road Map
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Operasi
beras, gula, minyak goreng
Pasar,
125
yang diperlukan dalam implementasi kebijakan harga pangan (HD & HET)
Pengendalian harga
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
dengan Bulog sebagai buffer stock, kebijakan fiskal melalui penyesuaian tariff secara selektif, kebijakan pengaturan waktu impor bahan pangan pokok, kebijakan efisiensi biaya distribusi dan logistic, dan kebijakan insentif bagi produsen bahan pangan pokok.
126
Lampiran 2. Lanjutan. Sumatera Barat No
Indikator
BI
1
Pandangan tentang Pelaksanaan Kebijakan Harga Pangan(HD & HET)
2
Syarat Penetapan Kebijakan harga Pangan (HET dan HD)
Diperlukan instrument kebijakan yang aplikatif. Kebijakan tidak hanya mengenai besaran harga yang ditetapkan namun perlu juga diatur dengan jelas bagaimana implementasi serta pengawasannya di daerah Informasi dan data produksi dan konsumsi harus jelas. Data ekspor-impor antar provinsi juga penting .
3
Mekanisme Pelaksanaan yang diusulkan
Perlu adanya kontrol sehingga kebijakan berjalan lebih efektif
3
Komoditi yang diusulkan
Beras, cabe merah, bawang merah, daging ayam, telur ayam, tongkol
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Akademisi Kebijakan pangan di Indonesia perlu fokus pada peningkatan produksi dan menjaga stabilitas harga.
Dapat terlaksana jika ada kebijakan pendukung lain seperti buffer stock dan resi gudang
Beras, cabe merah, daging ayam, telur ayam
Pemerintah Daerah Pemerintah daerah sangat mendukung rencana pemerintah pusat dalam menerapkan kebijakan harga bahan pokok mengingat tingkat inflasi di provinsi Sumbar cukup tinggi Perlu penentuan yang berbeda tergantung pada wilayah.
Perlu koordinasi dan pembagian peran yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah dalam penerapan HET dan HD. Pemerintah harus memiliki peran yang lebih besar karena bersinggungan langsung Beras, cabe, daging ayam, telur ayam
127
4
Kelembagaan Pendukung
5
Perangkat Regulasi yang diperlukan dalam implementasi kebijakan harga pangan (HD & HET)
a. Gudang Inflasi a. Perlu adanya memiliki peran pusat informasi yang serupa yang berfungsi dengan pasar meng-asimetriinpres kan informasi b. Pusat Informasi antara Harga Pangan produsen dan Strategis yang konsumen. berfungsi b. Perlu dikaji tentang peran buffer stock dan resi gudang sebagai sarana pendukung kebijakan Road Map Pengendalian harga
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Perlu kejelasan peran Pemda dan dalam pelaksanaannya didukung oleh Perda.
128
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
129