143
VI. EFEKTIVITAS KEBIJAKAN HARGA PANGAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN
6.1. Berbagai Bentuk Kebijakan Pertanian
Skim kebijakan pertanian merupakan suatu kebijakan sektoral terdiri dari (Ellis, 1992): (1) kebijakan output, termasuk kebijakan har ga output dan kebijakan pemasaran output, (2) kebijakan input, termasuk kebijakan harga input variabel dan sistem distribusi input varibel, (3) kebijakan kredit, yang merupakan kredit modal kerja untuk pengadaan input variabel, (4) kebijakan mekanisasi, yaitu kebijakan yang berkaitan dengan pengadaan modal tetap, (5) kebijakan land reform, yaitu kebijakan yang berkaitan dengan redistribusi dan status hukum lahan sebagai sumberdaya pertanian, (6) kebijakan penelitian, dan (7) kebijakan irigasi. Selanjutnya dikatakan, kebijakan harga output adalah kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi harga yang diterima petani dan harga yang dibayar konsumen untuk produk pertanian.
Secara umum, kebijakan harga output termasuk juga
kebijakan yang mempengaruhi harga input, peralatan pertanian, lahan dan tenaga kerja dan kredit pertanian. Instrumen yang digunakan dalam kebijakan harga terdiri dari: (1) kebijakan perdagangan seperti pajak atau subsidi impor, kuota dan pajak ekspor, (2) kebijakan nilai tukar yang juga terkait dengan kebijakan ekspor dan impor, (3) kebijakan pajak dan subsidi yang terkait dengan rantai pemasaran domestik, seperti pajak komoditas di tingkat pengolah dan pajak konsumsi di tingkat pasar grosir atau pengecer, dan (4) intervensi langsung seperti kebijakan harga dasar (floor price), kebijakan harga atap (ceiling proice) dan kebijakan harga eceran tertinggi.
Dalam studi ini yang dimaksud kebijakan harga pangan adalah kebijakan yang mempengaruhi harga pangan, dapat berupa kebijakan harga output maupun harga input termasuk kredit pertanian. Instrumen yang digunakan adalah kebijakan subsidi. Menurut sumber subsidi atau lembaga yang melaksanakannya ada subsidi yang
144 dilaksanakan oleh Bank Indonesia melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia dan yang dilaksanakan oleh Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Berbagai bentuk kredit dan subsidi yang berkaitan dengan kebijakan harga pangan dalam studi ini dapat dilihat pada Tabel 17. Berbagai bentuk kredit dan subsidi yang dilakukan keberadaannya tidak selalu kontinu tetapi berubah-ubah. Perubahan tersebut tergantung pada prioritas yang menurut pemerintah penting sesuai kondisi anggaran negara dan perekonomian nasional. Tabel 17. Jenis Kredit dan Subsidi Pertanian yang Digunakan sebagai Proksi Kebijakan Harga Pangan No
Jenis dan Sumber
Waktu Program
Cakupan Program
Kredit Pertanian
1
Kredit Usaha Pertanian – KLBI
Jan. 1975 – Des. 1988
Unsur Pertanian, Pupuk, Bimas, dll
2
Kredit Usaha Perkebunan - KLBI
Jan. 1975 – Agusutus 1994
Prioritas untuk ekspor, termasuk program PIR
3
Kredit Pengadaan Gula – KLBI
Jan 1975 – Desember 1988
-
4
Kredit Pengadaaan Pangan & Gula – KLBI
Jan. 1994 – Februari 2000
gabah/beras, terigu,kedele, jagung, gula
5
Kredit Pengadaan Pangan – KLBI
Okt. 1983 – Desember 1993
gabah/beras, terigu
6
Kredit Usaha Tani – KLBI
Nop. 1993 – Januari 2003
Tanaman Pangan: pupuk,benih, Pestisida & olah tanah
7
Kredit Koperasi/ KPPA - KLBI
Jan. 1994 – Januari 2002
Termasuk pertanian
8
Kredit Ketahanan Pangan/KKP - APBN
Jan. 2001 – Desember 2004
Tanaman Pangan, Budidaya Tebu,Peternakan,Perikanan, Pengadaan Pangan
Subsidi Pertanian 1 2
Subsidi Pengadaan Pangan – APBN
1975-1983; 1997- Gabah/Beras 2004
Subsidi Pengadaan 1975-1998; Urea, TSP, KCl, NPK Pupuk - APBN 2003-2004 Sumber: SEKI-BI (berbagai terbitan); Nota Keuangan (berbagai terbitan) dan Deptan, 2002—2004.
145 Untuk keperluan analisis data, karena kondisi data yang diskontinu maka dilakukan penggabungan dari berbagai bentuk kebijakan kredit dan subsidi tersebut menjadi empat alternatif yang dapat digunakan sebagai proksi dari kebijakan harga pertanian, sebagai berikut: 1. Kebijakan Kredit Program Pengadaan Input Pertanian (AICP), gabungan dari: Kredit Usaha Pertanian, Kredit Usaha Perkebunan, KUT dan Kredit Koperasi/KPPA. 2. Kebijakan Kredit Pengadaan Pangan (FPCP), gabungan dari: Kredit Pengadaan Gula, Kredit Pengadaan pangan dan Kredit pengadaan Pangan dan Gula. 3. Kebijakan Subsidi Pupuk untuk Pertanian (FRSP). 4. Kebijakan Subsidi Pengadaan Pangan (FPSP). Jika dengan gabungan tersebut masih banyak dijumpai data yang tidak kontinu, maka proksi kebijakan harga pangan di atas dapat digabungkan menjadi: 5. Kebijakan Kredit Program Pertanian (ACPP), gabungan AICP dan FPCP. 6. Kebijakan Subsidi Pertanian (AGSP), gabungan FRSP dan FPSP. 7. Kebijakan Harga Input (AGIP), gabungan dari FRSP dan AICP 8. Kebijakan Harga Output (AGOP), gabungan dari FPSP FPCP 9. Kebijakan Harga Pangan (IOPP), gabungan AGIP dan AGOP. Dari sembilan proksi kebijakan harga pangan tersebut, berdasarkan hasil analisis paket kebijakan yang digunakan dalam studi ini terdiri dari tiga paket, yaitu: (1) Kebijakan Harga Input (AGIP), (2) Kebijakan Harga Output (AGOP), dan Kebijakan Harga Input-Output (IOPP). 6.2. Keterkaitan Kebijakan Harga Pangan dan Ketersediaan Pangan
Salah satu tujuan kebijakan harga pangan adalah peningkatan produksi pangan. Meningkatnya produksi pangan akan berbanding lurus dengan peningkatan
146 ketersediaan pangan. Peningkatan ketersediaan pangan diharapkan akan lebih meningkatkan konsumsi pangan penduduk dan berarti meningkatkan ketahanan pangan, cateris paribus. Berdasarkan alur pikir demikian, kebijakan harga pangan yang selama ini dilakukan pemerintah lebih banyak pada peningkatan produksi tanaman pangan. Hal ini dapat dilihat dari jenis kebijakan kredit dan subsidi yang dilakukan (Tabel 17). Kredit Bimas yang bertujuan meningkatkan produksi pangan khususnya padi dan palawija, serta meningkatkan kesejahteraan petani sudah dimulai sejak tahun 1965 (Bank Indonesia, 2001). Kredit Bimas tersebut termasuk kredit modal kerja pada petani yang dananya 100 persen dari KLBI dengan tingkat bunga rendah karena disubsidi. Pada tahun 1974 dengan dukungan KLBI (90%) juga diperkenalkan skim kredit kepada Koperasi Unit Desa (KUD) untuk pengadaan pangan yang kemudian berkembang untuk pengadaan palawija. Untuk memperkuat Bimas, pada tahun 1977 disediakan skim kredit Inmas yang sumber dananya 100 persen dari KLBI. Pada tahun 1975 pemerintah melaksanakan program Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI). Kredit programnya disalurkan melalui Bank Rakyat Indonesia Unit Desa yang kemudian disalurkan melalui KUD Berubahnya UU mengenai Bank Sentral (Bank Indonesia-BI) menjadi UU No 23 tahun 1999, dimana BI tidak diperkenankan lagi menyalurkan kredit, maka KUT diganti dengan Kredit Ketahanan Pangan (KKP). KKP dimulai pada Oktober 2000, namun realisasinya baru berjalan Januari 2001 merupakan penyempurnaan dari KUT, KKPA (unggas, tebu dan nelayan) serta Kredit Koperasi Pangan ( Deptan, 2002a). Berdasarkan gambaran di atas maka untuk melihat dampak kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan lebih relevan jika hanya melihat dampaknya terhadap ketersediaan energi (EAV1), protein (PAV1), konsumsi energi (EAC1),dan protein (PAC1) yang berasal dari bahan pangan beras, jagung, kedele dan gula.
147 Selanjutnya perkembangan kredit juga berkaitan dengan program peningkatan produksi palawija. Program ini diduga juga berpengaruh pada peningkatan produksi ubi kayu dan ubi jalar. Walaupun tidak merupakan produk utama, usahatani pangan yang dilakukan petani tidak lepas dari usahatani ubi kayu dan ubi jalar, sehingga bukan tidak mungkin ada yang menggunakan fasilitas kebijakan harga pangan untuk usaha ini. Oleh karena itu untuk melihat dampak kebijakan harga pangan juga relevan memasukkan dua komoditas tersebut, sehingga proksi ketahanan pangan dapat juga menggunakan variabel EAV2, PAV2, EAC2, dan PAC2 yang merupakan EAV1, PAV1, EAC1 dan PAC1 ditambah dengan ketersediaan/konsumsi energi dan protein yang bersumber dari ubi kayu (termasuk gaplek dan tapioka) dan ubi jalar. Kebijakan harga yang berdampak pada peningkatan produksi pangan diduga berpengaruh terhadap ketersediaan bahan baku pakan yang berkaitan dengan peningkatan produksi daging dan telur ayam ras dan buras. Selain itu Kredit melalui KUD dan KKPA ditujukan juga untuk meningkatkan ternak unggas termasuk kredit intensifikasi ternak ayam daging (Broiler) dan ayam petelur serta kredit untuk peternak ayam dalam rangka Keppres 50/1981 (restrukturisasi industri unggas) (Bank Indonesia, 2001). Kredit KKP yang ada saat ini juga digunakan untuk peningkatan produksi peternakan.
Oleh karena itu variabel ketahanan pangan EAV3, PAV3,
EAC3 dan PAC3 yang merupakan EAV1, PAV1, EAC1 dan PAC1 ditambah dengan konsumsi energi dan protein yang bersumber dari daging dan telur ayam ras dan buras juga relevan untuk digunakan. Variabel ketahanan pangan berikutnya adalah EAV4, PAV4, EAC4 dan PAC4 yang merupakan EAV3, PAV3, EAC3 dan PAC3 ditambah dengan konsumsi energi dan protein yang berasal dari ubi kayu dan ubi jalar. Untuk meningkatkan produksi produk perkebunan dengan dana KLBI juga disalurkan kredit perkebunan (Tabel 17). Untuk lebih mendukung peningkatan produksi produk perkebunan dan pendapatan pekebun, pada tahun 1986
148 diperkenalkan skim kredit PIR Trans yang didukung KLBI. Produk akhir perkebunan yang banyak dikonsumsi penduduk adalah minyak goreng (kelapa dan kelapa sawit). Dengan demikian relevan jika mengaitkan kebijakan harga pangan dengan konsumsi minyak goreng. Karena itu digunakan variabel EAV5, PAV5, EAC5 dan PAC5 yang merupakan EAV3, PAV3, EAC3 dan PAC3 ditambah dengan ketersediaan/konsumsi energi dan protein yang berasal dari minyak goreng. Proksi variabel ketahanan pangan terakhir adalah EAV6, PAV6, EAC6 dan PAC6 yang merupakan EAV5, PAV5, EAC5 dan PAC5 ditambah dengan ketersediaan/konsumsi energi dan protein yang berasal dari ubi jalar dan ubi kayu. Ikan merupakan pangan hewani yang banyak dikonsumsi berbagai lapisan masyarakat. Namun demikian tidak dimasukkan sebagai komponen dari variabel ketahanan pangan. Hal tersebut dikarenakan kebijakan harga pangan yang terkait dengan perikanan hanya pada KKPA. Kredit yang disalurkan dengan dukungan dana KLBI berupa KIK/KMKP motorisasi nelayan dan intensifikasi tambak rakyat serta kredit melalui KUD untuk nelayan guna mengantisipasi penghapusan pukat harimau (Bank Indonesia, 2001).
Rendahnya akses nelayan terhadap lembaga kredit formal
dan berdasarkan data Tabel 17 maka diasumsikan keterkaitan itu sangat kecil. Pemanfaatan KKP pada perikanan juga sangat kecil dibandingkan subsektor lain (Gambar 27). Dengan demikian bahan pangan ikan kurang relevan dimasukkan. 6.3. Keragaan Ketersediaan dan Konsumsi Kalori dan Protein
Dari uraian terdahulu, kebijakan harga pangan yang dilakukan pemerintah sejak 1965 sampai dengan sekarang lebih banyak ditujukan untuk tanaman pangan, khususnya beras sebagai pangan utama penduduk. Sesuai dengan salah satu tujuan kebijakan harga pangan yaitu meningkatkan produksi pangan maka perkembangan keragaan ketersediaan kalori dan protein merupakan indikasi untuk melihat dampak kebijakan tersebut.
149
Peternakan 10% Budidaya Tebu 78%
Perikanan 0.4% Pengadaan Pangan 3% Tanaman Pangan 9%
Sumber Deptan, 2004 (diolah)
Gambar 27.
Penyaluran Kredit Ketahanan Pangan di Indonesia Januari 2001-Desember 2004
Gambar 28 dan Gambar 29 menunjukkan program kebijakan harga pangan selama ini mampu meningkatkan ketersediaan kalori dan protein secara konsisten. Bahkan dibandingkan dengan pedoman PPH 2020, konsumsi energi 2200 kkal dan konsumsi protein 48 gram per kapita per hari, maka di tingkat ketersediaan yang dianjurkan harus sebesar 2550 kkal dan 55 gram per kapita per hari (Azwar, 2004), Indonesia sudah memenuhi ketersediaan kalori sejak tahun 1983 yaitu 2565 kkal dan protein sejak tahun 1986 yaitu 58.22 gram per kapita per hari. Akan tetapi ketersediaan yang cukup belum diikuti oleh kualitas yang memadai, karena sebagian besar dipenuhi dari sumber nabati. Padahal untuk mencapai komposisi pangan yang baik kontribusi energi dan protein hewani terhadap total energi harus sekitar 15%. (Hardinsyah dan Tambunan, 2004). Selama periode 1975-2003 kontribusi keduanya masih belum mencapai anjuran, bahkan sumber kalori yang berasal dari hewani jauh di bawah anjuran (Gambar 30).
Ketersediaan Energi (kkal)
150
3500
3000
2565 2500
2000
1500
1000
500
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
19 89
19 87
19 85
19 83
19 81
19 79
19 77
19 75
0
Tahun E-Nabati
E-Hewani
Energi
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan (berbagai terbitan-diolah)
Gambar 28.
Perkembangan Ketersediaan Energi Per Kapita Per Hari di Indonesia, Tahun 1975-2003
Jika dirinci lebih jauh, sebagian besar kalori dan protein nabati tersebut bersumber dari beras (Gambar 31 dan Gambar 32). Ini membuktikan bahwa kebijakan harga pangan selama ini bias kearah padi-padian, khususnya beras. Bahkan setelah adanya upaya penyempurnaan bidang perkreditan dengan mengurangi peran KLBI melalui Paket Kebijakan Januari 1990 (PAKJAN 90), KLBI masih mendukung upaya
pelestarian
swasembada
pangan melalui KUT; Kredit pada KUD yang
membiayai pengadaan padi, palawija, cengkeh dan pupuk; Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA) antara lain untuk membiayai Program TRI dan kredit kepada Bulog untuk Pengadaan Pangan Nasional.
151
90
Ketersediaan Protein (Gram)
80 70 58.22
60 50 40 30 20 10
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
19 89
19 87
19 85
19 83
19 81
19 79
19 77
19 75
0
Tahun P-Nabati
P-Hewani
Protein Total
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan (berbagai terbitan-diolah)
Gambar 29.
Perkembangan Ketersediaan Protein Per Kapita Per Hari di Indonesia, Tahun 1975-2003
97%
87%
13%
3% Kalori (2725)
Protein (65.57) Nabati
Hewani
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan (berbagai terbitan-diolah)
Gambar 30. Rataan Ketersediaan Energi dan Protein Per Kapita Per Hari di Indonesia Sejak Tahun 1975-2003
152
Buah/biji berminyak 9%
Lemak & minyak 8%
Lain2 5%
Gula 5%
Padi2an 65%
Pati2an 8%
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan (berbagai terbitan-diolah)
Gambar 31.
Rata-rata Proporsi Kalori yang Tersedia Per Kapita per Hari Menurut Bahan Pangan di Indonesia sejak Tahun 1975-2003
Ikan 8%
Daging 3%
Pati2an 3%
Lain2 5%
Buah/biji berminyak 19% Padi2an 62%
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan (berbagai terbitan-diolah)
Gambar 32.
Rata-rata Proporsi Protein yang Tersedia Per Kapita Per Hari Menurut Bahan Pangan di Indonesia Tahun 1975-2003
153 Timpangnya kebijakan pangan tersebut dapat dilihat juga dari rendahnya kontribusi ikan (8%) dan daging (3%) dibandingkan buah/biji berminyak (19%) sebagai sumber protein. Apalagi kontribusi sayur dan buah yang dalam norma gizi (PPH) memiliki bobot tertinggi, kontribusinya terhadap ketersediaan kalori dan protein sangat kecil sekali.
Pemerintah baru mengeluarkan skim kredit untuk
membiayai hortikultura pada tahun 1994, melalui pengembangan skim KUT dan Kredit untuk KUD (Bank Indonesia, 2001). Selama 29 terakhir (1975-2003) kelihatan belum ada dampak signifikan hasil kebijakan harga pangan yang mampu menggeser proporsi ketersedian padi-padian di sekitar 60-an persen sebagai sumber kalori (Gambar 33). Sensitifnya stabilitas sosial terhadap perubahan akses penduduk terhadap pangan utama, sedangkan upaya peningkatan kesejahteraan belum memberikan hasil yang berarti mungkin menyebabkan hal tersebut dilakukan oleh pemerintah. Tingginya inflasi pada tahun 1966 dan kerusuhan Mei 1998 suatu bukti empirik kerusuhan sosial yang harus dibayar mahal akibat naiknya harga sehingga pangan sulit diakses penduduk. Pemerintahan manapun tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Tidak seperti pada ketersediaan kalori, proporsi ketersediaan protein menurut bahan pangan mengalami perubahan walaupun masih didominasi dari sumber padipadian. Terlihat ada kecenderungan hubungan yang saling substitusi antara protein yang berasal dari padi-padian dengan buah/biji berminyak (Gambar 34). Demikian juga sumber protein yang berasal dari ikan, walaupun lamban, tetapi ketersediaannya cenderung meningkat. Gambaran ini dapat dijadikan indikasi bahwa upaya-upaya diversifikasi protein potensial dilakukan melalui upaya peningkatan produksi buah/biji berminyak seperti kedele, kacang tanah dan kacang hijau serta produk perikanan.
154
80
Proporsi Kalori Tersedia (%)
70
60 Padi2an Pati2an Gula
50
Buah/biji Berminyak Buah2an Sayur2an
40
Daging Telur Susu Ikan
30
Minyak & Lemak
20
10
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
19 89
19 87
19 85
19 83
19 81
19 79
19 77
19 75
0 Tahun
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan (berbagai terbitan-diolah)
Gambar 33.
Rata-rata Proporsi Kalori yang Tersedia Per Kapita Per Hari Menurut Bahan Pangan di Indonesia Tahun 1975-2003
155
Proporsi Protein Tersedia (%)
80
70
60
Padi2an Pati2an
50
Gula Buah/biji Berminyak Buah2an Sayur2an
40 Daging Telur Susu Ikan
30
Minyak & Lemak
20
10
19 75 19 77 19 79 19 81 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03
0
Tahun
Sumber: BPS dan Badan Bimas Ketahanan Pangan (berbagai terbitan-diolah)
Gambar 34. Rata-rata Proporsi Protein yang Tersedia Per Kapita Per Hari Menurut Bahan Pangan di Indonesia Tahun 1975-2003
156
6.4. Pengaruh Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan
Seperti diuraikan sebelumnya, dalam penelitian ini ketahanan pangan diproksi dari ketersediaan energi dan protein untuk tingkat nasional serta konsumsi energi dan protein penduduk pada tingkat rumah tangga.
Untuk kebijakan harga pangan,
awalnya dianalisis beberapa alternatif variabel kebijakan harga pangan, namun hanya tiga variabel yang memberikan hasil terbaik. Berikut diuraikan tahapan analisis yang dilakukan. 6.4.1. Ketersediaan Pangan 6.4.1.1. Ketersediaan Energi
Hasil uji stasionaritas menunjukkan bahwa variabel yang digunakan dalam model ketahanan pangan adalah variabel pada beda pertama. Sementara itu, hasil uji kointegrasi persamaan pengaruh kebijakan harga pangan (IOPP; AGIP dan AGOP; AGSP dan ACPP) terhadap ketersediaan energi (EAVn, dimana n = 1, 2, ….6) tidak menunjukkan adanya kointegrasi.
Kalaupun dilakukan pendugaan pengaruhnya
secara statistik tidak signifikan. Oleh karena itu dilakukan respesifikasi dengan memasukkan variabel Produk Domestik Bruto Nasional (PDB). Variabel ini dapat dijadikan proksi tingkat pendapatan atau kesejahteraan. Dengan menambah variabel PDB sebagai variabel bebas maka persamaan ketahanan pangan dengan kebijakan harga pangan (IOPP) dan PDB sebagai variabel bebas dan ketersediaan energi (EAVn; n = 1, 2, .. 6) sebagai variabel terikat menjadi saling berkointegrasi. Namun demikian hasil pendugaan menunjukkan bahwa hanya persamaan ketahanan pangan EAVn dimana n = 1, 2 ..4 saja yang secara ekonomi dan statistik tidak menghadapi masalah. Pada persamaan EAV5 dan EAV6 memiliki masalah pada nilai T-Ratio ECM-nya. Hasil lengkap dapat dilihat pada Lampiran 15, sedangkan kasus untuk satu persamaan ketahanan pangan (EAV4) dapat dilihat pada Tabel 18.
157 Tabel 18. Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan (LEAV4) Dependent variable: LEAV4 Periode pendugaan dari 1976 – 2004: 29 observasi Nilai koefisien jangka panjang: Regressor
Koefisien
Standar Error
T-Ratio [Prob]
LRIOPP
0.0586
0.0250
2.2965 [0.030]
LPDB
0.4345
0.0356
12.1967 [0.000]
A0
5.9431
0.3996
14.8734 [0.000]
Nilai koefisien jangka pendek
dLRIOPP
0.0330
0.0142
2.3220 [0.029]
dLPDB
0.2453
0.0817
3.0015 [0.006]
dA0
3.3543
0.1603
3.8024 [0.001]
ecm(-1)
-0.5644
0.1603
-3.5219 [0.002]
ecm = LEAV4 -0.058551*LRIOPP -0.43453*LPDB -5.9431*A0 R-Squared 0.40572 R-Bar-Squared 0.33441 S.E. of Regression 0.038935 F-stat. F( 3, 25) 5.6893 [0.004] DW-statistic 2.4117
Hasil analisis ekonometrika menunjukkan bahwa baik jangka pendek maupun jangka panjang kebijakan harga pangan dan produk domestik bruto berpengaruh positif terhadap ketersediaan energi di tingkat nasional dan secara statistik pengaruh tersebut sangat signifikan. Artinya dana yang dikeluarkan Pemerintah selama ini untuk membiayai pengadaan pangan melalui kebijakan harga pangan berpengaruh terhadap ketersediaan energi yang bersumber dari beras, jagung, kedele, gula, ubi kayu, ubi jalar, telur dan daging ayam ras dan ayam buras. Namun demikian jika dilihat dari nilai elastisitasnya, ketersediaan energi tersebut tidak respon terhadap perubahan kenaikan biaya untuk melakukan kebijakan harga tersebut.
Karena jika biaya untuk kebijakan harga dinaikkan 10 persen
ketersediaan energi hanya meningkat 0.33 persen dalam jangka pendek dan 0.59 persen dalam jangka panjang. Demikian juga jika PDB meningkat 10 persen maka
158 ketersediaan energi dari sumber bahan pangan tersebut hanya meningkat 2.45 persen dalam jangka pendek dan 4.35 dalam jangka panjang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan harga pangan tidak efektif pengaruhnya terhadap ketersediaan energi di tingkat nasional. Adapun pengaruh PDB, walaupun juga tidak efektif, tampak memberikan respon yang lebih tinggi. Jika PDB merupakan representasi dari pembangunan ekonomi dari semua sektor, maka wajar jika kebijakan harga pangan yang merupakan bagian dari pembangunan ekonomi memberikan respon yang lebih kecil. Hasil ini sesuai dengan penelitian Saliem et al. (2004) yang menyimpulkan bahwa kebijakan stabilisasi harga pangan dengan instrumen Harga Dasar Gabah dan Harga Dasar Pembelian Pemerintah tidak efektif untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani yang berarti juga tidak efektif meningkatkan ketahanan pangan. Akan tetapi dari hasil tersebut bukan besarannya saja yang perlu dilihat, pengaruhnya yang signifikan mengindikasikan pentingnya kebijakan harga pangan untuk mendukung ketahanan pangan. Karena efektivitas suatu kebijakan tidak hanya ditentukan oleh kebijakan tersebut tetapi juga harus didukung dengan kebijakan lain (Ramdan, 2003). Kebijakan pendukung tersebut termasuk kebijakan pembangunan irigasi, infrastruktur pasar, kebijakan penelitian dan pembukaan areal baru mengkompensasi areal yang terkonversi (Kasryno et al. 2001). Pengaruh eksternal seperti harga pangan di pasar dunia dan melemahnya nilai tukar juga mempengaruhi ketidakefektifan kebijakan tersebut (Saliem et al. 2004). Di samping itu manajemen dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut juga mempengaruhi keefektifannya. Banyaknya kebocoran-kebocoran dana pembangunan dan tidak efektifnya kebijakan tataniaga pupuk diperkirakan juga mempengaruhi efektivitas kebijakan harga pangan. Jika kebijakan harga pangan tersebut didekomposisi dapat juga diketahui kebijakan apa saja yang mempengaruhi ketersediaan pangan. Hasil pengolahan data
159 menunjukkan bahwa hanya dekomposisi berdasarkan kebijakan harga input pertanian dan kebijakan terhadap harga output pertanian saja yang memberikan hasil baik, sedangkan dekomposisi berdasarkan kebijakan subsidi pertanian dan kebijakan kredit pertanian tidak memberikan hasil yang baik karena ada masalah dengan nilai T-Ratio ECM-nya. Hasil lengkap pengaruh kebijakan harga input dan kebijakan harga output pertanian terhadap ketahanan pangan dapat dilihat pada Lampiran 16, sedangkan kasus untuk satu persamaan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Input dan Kebijakan Harga Ouput terhadap Ketahanan Pangan (LEAV4) Dependent variable: LEAV4 Periode pendugaan dari 1976 – 2004: 29 observasi Nilai koefisien jangka panjang: Regressor
Koefisien
Standar Error
T-Ratio [Prob]
LRAGIP
0.0123
0.0252
0.4875 [0.630]
LRAGOP
0.0343
0.0219
1.5665 [0.130]
LPDB
0.4221
0.0510
8.2783 [0.000]
A0
6.2339
0.63921
9.7525 [0.000]
Nilai koefisien jangka pendek
dLRAGIP
0.0067
0.0145
0.4656 [0.646]
dLRAGOP
0.0188
0.0109
1.7235 [0.098]
dLPDB
0.2312
0.0929
2.4900 [0.020]
dA0
3.4145
0.9403
3.6314 [0.001]
ecm(-1)
-0.5477
0.1749
-3.1314 [0.005]
ecm = LEAV4 -0.012309*LRAGIP -0.034344*LRAGOP -0.42212*LPDB – 6.2339*A0 R-Squared 0.38128; R-Bar-Squared 0.27817; S.E. of Regression 0.040547 ; F-stat. F( 4, 24) 3.6975[0.018] ; DW-statistic 2.4178
Hasil analisis menunjukkan bahwa hanya kebijakan harga output yang secara statistik signifikan berpengaruh positif terhadap ketersediaan energi. Sementara itu kebijakan harga input berpengaruh positif namun pengaruhnya secara statistik tidak
160 signifikan. Temuan ini realistik karena dampak kebijakan harga input memiliki alur yang panjang terhadap ketersediaan pangan dibandingkan kebijakan harga output. Sejak dari pemberian subsidi hingga proses produksi pangan sudah banyak dijumpai permasalahan. Permasalahan
di
tingkat
produksi
input
dapat
dijumpai
adanya
ketidakefisienan produksi pabrik input (pupuk) dan keterlambatan produksi pupuk karena gangguan mesin pada pabrik. Selanjutnya adanya gangguan selama proses distribusi input. Ganguan tersebut dapat berupa terjadinya rembesan penggunaan pupuk subsidi untuk penggunaan yang tidak sesuai dengan sasaran, ekspor ilegal pupuk bersubsidi dan penimbunan. Dua permasalahan di tingkat produksi dan distribusi akan berdampak pada ketidaktepatan waktu, ketidaktepatan jumlah, ketidaktepatan kualitas input yang diterima petani. Selanjutnya hal ini akan mempengaruhi proses dan hasil produksi. Selain itu, bencana alam seperti banjir, kekeringan dan serangan hama penyakit dapat menyebabkan biaya untuk kebijakan harga input tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap hasil produksi, sehingga akan mempengaruhi ketersediaan energi. Sementara itu, pengaruh kebijakan output lebih pendek jaraknya terhadap ketersediaan pangan sehingga risiko yang dihadapi menjadi lebih kecil dibandingkan kebijakan harga input. Di samping itu karena target kebijakannya jelas, maka kemungkinan terjadi penyalahgunaan menjadi lebih kecil.
Pada kebijakan input,
biaya subsidi pupuk dapat dimanfaatkan untuk non target, contohnya: pupuk subsidi untuk tanaman pangan digunakan untuk tanaman perkebunan, industri dan ekspor. Dari hasil temuan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan harga pangan sangat mempengaruhi ketersediaan pangan, terutama kebijakan harga output, namun masih belum efektif. Untuk mengefektifkan kebijakan harga pangan perlu didukung oleh kebijakan lain, terutama yang berkaitan dengan kebijakan penyediaan
161 infrastruktur dan penelitian yang sifatnya jangka panjang. Kebijakan output, terutama dalam bentuk kebijakan harga dasar yang dilakukan selama ini perlu dijaga efektivitasnya untuk lebih merangsang petani tetap berproduksi. Namun agar pangan yang tersedia dapat diakses oleh segala lapisan masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah, maka kebijakan harga atap perlu juga dilakukan. Dengan dua kebijakan ini diharapkan konsumen dan produsen pangan saling diuntungkan. 6.4.1.2. Ketersediaan Protein
Dengan menggunakan variabel yang sama pada persamaan ketersediaan protein, hasilnya tidak sebaik seperti pada hasil pendugaan ketersediaan energi sebelumnya. Hasil uji kointegrasi menunjukkan ada variabel yang digunakan dalam persamaan tidak terkointegrasi dengan variabel lainnya. Hal ini dapat dilihat dari dua tabel DF/ADF yang digunakan untuk melihat derajat integrasi residual (RES) persamaan OLS, satu menunjukkan bahwa residual berderajat nol atau I(0) sesuai harapan dan yang lainnya berderajat satu atau I(1) tidak sesuai harapan.
Hasil
lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 17. Jika analisis dilanjutkan, hasil pendugaan yang dapat dilihat pada Tabel 20. Dalam jangka pendek, kebijakan harga pangan dan PDB tidak mempengaruhi ketersediaan protein. Namun demikian dalam jangka panjang PDB memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap ketersediaan protein.
Hasil ini sesuai
dengan yang terjadi selama ini, dimana kebijakan pemerintah lebih dititik beratkan pada upaya penyediaan pangan sumber energi, terutama beras sebagai pangan pokok. Dalam jangka panjang peningkatan PDB akan meningkatkan ketersediaan protein. Namun pada kondisi saat ini kebijakan yang dilakukan pemerintah masih tertumpu pada ketersediaan energi yang berasal dari bahan pangan pokok, sehingga . perhatian terhadap upaya peningkatan ketersediaan protein masih kurang mendapat perhatian.
162 Tabel 20. Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan (LPAV4) Dependent variable: LPAV4 Periode pendugaan dari 1976 – 2004: 29 observasi Nilai koefisien jangka panjang: Regressor
Koefisien
Standar Error
T-Ratio [Prob]
LRIOPP
0.0578
0.0639
0.9043 [0.375]
LPDB
0.6334
0.0869
7.2914 [0.000]
A0
13.5505
1.0186
13.3027 [0.000]
Nilai koefisien jangka pendek
dLRIOPP
0.0242
0.0248
0.9747 [0.339]
DLPDB
-0.3029
0.3520
-0.8605 [0.398]
dA0
5.6699
2.1437
2.6449 [0.014]
ecm(-1)
-0.4184
0.1683
-2.4861 [0.020]
ecm = LPAV4 -0.057803*LRIOPP -0.63340*LPDB -13.5505*A0 R-Squared 0.33617; R-Bar-Squared 0.22553; S.E. of Regression 0.069463 ; F-stat. F( 3, 25) 4.0513[0.018] ; DW-statistic 2.4603 Jika kebijakan harga didisagregasi menjadi kebijakan harga input dan kebijakan harga output, hasilnya juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Kebijakan harga input dan kebijakan harga ouput, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang tidak berpengaruh terhadap ketersediaan protein. PDB dalam jangka pendek tidak berpengaruh terhadap ketersediaan protein, namun dalam jangka panjang pengaruhnya sangat signifikan terhadap ketersediaan protein (Tabel 21). Rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 18. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa selama ini kebijakan pemerintah terhadap penyediaan pangan bias kepada ketersediaan energi dan tidak berpengaruh sama sekali terhadap ketersediaan protein. Kebijakan yang bias terhadap ketersediaan dan konsumsi protein terbukti seperti yang telah dibahas pada sub bab 6.3 sebelumnya. Hasil analisis menemukan bahwa dalam jangka panjang ketersediaan protein lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian upaya
163 meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dengan
indikator
makin
tingginya
pertumbuhan ekonomi suatu negara diharapkan dapat meningkatkan kualitas ketahanan pangan nasional. Tabel 21. Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Input dan Kebijakan Harga Ouput terhadap Ketahanan Pangan (LPAV4) Dependent variable: LPAV4 Periode pendugaan dari 1976 – 2004: 29 observasi Nilai koefisien jangka panjang: Regressor
Koefisien
Standar Error
T-Ratio [Prob]
LRAGIP
0.0106
0.0549
0.1922 [0.849]
LRAGOP
0.0379
0.0482
0.7869 [0.439]
LPDB
0.6189
0.1071
5.7778 [0.000]
A0
13.8441
1.3515
10.2432 [0.000]
Nilai koefisien jangka pendek
dLRAGIP
0.0045
0.0238
0.1907 [0.850]
dLRAGOP
0.0163
0.0195
0.8364 [0.411]
dLPDB
-0.3106
0.3576
-0.8687 [0.394]
dA0
5.9472
2.1912
2.7142 [0.012]
ecm(-1)
-0.4296
0.1735
-2.4761 [.021]
ecm = LPAV4-0.010550*LRAGIP-0.037896*LRAGOP-0.61888*LPDB13.8441*A0 R-Squared 0.3379 R-Bar-Squared 0.19397 ; S.E. of Regression 0.070865 ; F-stat. F( 4, 24) 2.9345[0.042]; DW-statistic 2.4665
6.4.2. Konsumsi Pangan
Pendugaan persamaan konsumsi pada awalnya menggunakan variabel yang sama dengan pendugaan ketersediaan pangan. Namun karena lingkup analisisnya bersifat mikro, yaitu tingkat konsumsi per kapita, maka variabel konsumsi energi dan protein serta produk domestik bruto yang digunakan merupakan konsumsi dan PDB per kapita. Selain itu dicoba juga menggunakan indeks harga konsumen (LIHK) sebagai proksi dari aksesibilitas ekonomi penduduk dan variabel harga minyak solar
164 (LRSOL) sebagai proksi aksesibilitas fisik.
Dari berbagai respesifikasi yang
dilakukan hanya model konsumsi energi yang memberikan hasil yang relatif baik, sedangkan untuk model konsumsi protein tidak. Berikut disajikan hasil pendugaan terbaik dari berbagai respesifikasi yang telah dilakukan (Tabel 22). Hasil pendugaan menunjukkan bahwa kebijakan harga pangan berpengaruh positif terhadap konsumsi energi per hari per kapita penduduk Indonesia. Akan tetapi pengaruh kebijakan tersebut secara statistik tidak signifikan. Demikian pula halnya dengan produk PDB per kapita. Pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi energi adalah tingkat inflasi, terutama dalam jangka panjang. Makin tinggi inflasi maka akses penduduk terhadap energi makin berkurang. Rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 19. Tabel 22. Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan (LEACK4) Dependent variable: LEACK4 Periode pendugaan dari 1976 – 2004: 29 observasi Nilai koefisien jangka panjang: Regressor
Koefisien
Standar Error
T-Ratio [Prob]
LRIOPP
0.0014
0.0294
0.0486 [0.962]
LIHK
-0.0937
0.0510
-1.8388 [0.078]
LPDBK
0.0100
0.1507
0.0663 [0.948]
A0
-0.2712
0.3300
-0.8217 [0.419]
Nilai koefisien jangka pendek
dLRIOPP
0.0092
0.0190
0.0484 [0.962]
dLIHK
-0.0605
0.0423
-1.4283 [0.166]
dLPDBK
0.0064
0.0979
0.0659 [0.948]
dA0
-0.1749
0.2185
-0.8004 [0.431]
ecm(-1)
-0.6451
0.2036
-3.1683 [0.004]
ecm = LEACK4 - 0.0014277*LRIOPP + 0.093738*LIHK -0.0099956*LPDBK + 0.27116*A0 R-Squared 0.33942 R-Bar-Squared 0.22933; S.E. of Regression 0.050582 F-stat. F( 4, 24) 3.0830 [0.035] DW-statistic 2.0136
165 Temuan-temuan ini konsisten dengan fakta yang terjadi dan hasil penelitian Hermanto (2002) yang menyatakan bahwa gejolak harga pangan akan mempengaruhi inflasi sehingga berdampak negatif terhadap daya beli konsumen dan petani produsen (net consumer) sehingga menghambat rumah tangga tersebut untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan. Tingginya inflasi, seperti pada krisis ekonomi yang terjadi pada medio 1997, menyebabkan menurunnya konsumsi penduduk. Dampaknya pada tahun 2005 banyak ditemui kasus busung lapar di berbagai wilayah di Indonesia. Jadi walaupun PDB per kapita meningkat, jika distribusinya tidak merata tidak akan memberikan pengaruh signifikan bagi sebagian besar penduduk yang tidak akses pada aktivitas ekonomi. Diduga masih banyak variabel-variabel yang sifatnya mikro yang menentukan tingkat konsumsi energi seseorang.
Menurut Saliem et al, (2002), faktor-faktor
tersebut adalah pendapatan rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga/isteri, dan jumlah anggota rumah tangga, pola asuh, dan budaya setempat. Penguasaan lahan petani diduga juga mempengaruhi kenapa kebijakan harga pangan tidak berpengaruh pada tingkat konsumsi energi dan protein. Seperti diutarakan pada teori garis anggaran di depan, dampak kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan dapat melalui dua jalur. Pertama adanya rotasi garis anggran yang menyebabkan harga pangan menjadi relatif murah dan kedua melalui pergeseran garis anggaran kekanan yang menyebabkan daya beli makin meningkat. Jika sebagian besar petani penguasaan lahannya semakin mengecil, bahkan hanya sebagai petani buruh (landless) maka kebijakan harga pangan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah seperti pada sebagian besar petani menjadi kurang berarti. Kebijakan yang dilakukan justru dinikmati petani pemilik lahan luas dan pemilik lahan yang bukan petani. Petani kecil
166 hanya menerima upah buruh atau bagi hasil yang kurang signifikan pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga mereka. Data pada Tabel 23 menunjukkan bahwa distribusi petani yang menguasai lahan kurang dari setengah hektar jumlahnya makin meningkat dari 44.5% pada tahun 1983 menjadi 51.5% dan 55.0% pada tahun 1993 dan tahun 2003. Penurunan jumlah penguasaan lahan tersebut dapat disebabkan makin terkonsentrasinya penguasaan lahan pada penduduk kelompok berpendapatan tingggi dan atau dapat juga disebabkan oleh makin mengecilnya penguasaan lahan akibat adanya budaya mewariskan lahan kepada anak. Faktor kedua ini terlihat pada Tabel 23 dengan semakin banyaknya jumlah rumah tangga petani dari waktu ke waktu selama 30 tahun terakhir.
Masalah penguasaan lahan ini sebenarnya dapat dicegah dengan
mengimplementasikan dan menyempurnakan Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang hingga kini belum efektif dilakukan (Jajaki, 2005). Tabel 23. Distribusi Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai, Tahun 1983, 1993, dan 2003
Tahun
Satuan
1983
ribu unit % ribu unit % ribu unit %
1993 2003
Luas Lahan Yang Dikuasasi < 0.5 Ha 7 601 44.5 10 908 51.5 13 314 55.0
Jumlah Rumah Tangga
>= 0.5 Ha 9 475 55.5 10 253 48.5 10 909 45.0
17 076 100.0 21 161 100.0 24 223 100.0
Sumber: Sensus Pertanian 1983, 1993, dan 2003 (BPS, 2004a, 1995, 1984)
6.5. Ringkasan Hasil
Kebijakan harga pangan selama ini mampu menyediakan kalori dan protein hingga melampaui anjuran dalam pedoman Pola Pangan Harapan. Akan tetapi ketersediaan tersebut belum diikuti oleh kualitas yang memadai, karena sebagian besar (64%) dipenuhi dari sumber nabati.
167 Kebijakan harga input-output, baik jangka pendek maupun jangka panjang, sangat mempengaruhi ketersediaan pangan (energi), namun ketersediaan pangan tidak responsif (inelastis) terhadap perubahan kebijakan harga input-output. Kebijakan harga output dalam jangka pendek mempengaruhi ketersediaan pangan, akan tetapi dalam jangka panjang pengaruhnya tidak signifikan, sedangkan kebijakan harga input, baik jangka pendek maupun jangka panjang, tidak berpengaruh terhadap ketersediaan pangan. Ketiga kebijakan tersebut masih difokuskan kepada penyediaan energi serta bias terhadap penyediaan protein. Kebijakan harga input-output, baik jangka pendek maupun jangka panjang, tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi energi dan konsumsi protein. Ini membuktikan bahwa ketersediaan pangan ditingkat nasional tidak menjamin akses pangan penduduk di tingkat rumah tangga. Selain itu kebijakan harga pangan cenderung dinikmati oleh rumah tangga petani berlahan luas dibandingkan rumah tangga petani yang menguasai lahan sempit. Temuan ini sejalan dengan hasil bab lima dengan menggunakan analisis dinamika pangsa pengeluaran pangan.
PDB
mempengaruhi ketersediaan energi namun tidak mempengaruhi konsumsi energi. Terhadap ketersediaan protein PDB hanya berpengaruh dalam jangka panjang, sedangkan terhadap konsumsi protein secara statistik tidak terkointegrasi. Temuan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Saliem et al. (2001) di Lampung, D.I. Yogyakarta, Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara yang membuktikan bahwa ketahanan pangan ditingkat provinsi cukup baik, namun di tingkat rumah tanggga kaarena masih terdapat 21-33 persen rumah tangga yang rawan pangan. Hal utama yang menyebabkan kasus tersebut adalah aspek pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu kebijakan harga pangan yang dilakukan tidak hanya memperhatikan sisi produksi tetapi juga dari sisi pendapatan petani, terutama petani berpendapatan rendah.