PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI PENCAPAIAN KEDAULATAN PANGAN*)1 Oleh
Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI2
Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis pangan, seperti terjadi pada tahun 2007 sampai tahun 2008. Krisis pangan itu melahirkan satu pemahaman umum di banyak kalangan masyarakat dunia bahwa “agriculture should be the main agenda in economic development”. Dalam rangka pembangunan ekonomi itu pertanian haruslah menjadi agenda utama yang digarap, karena terkait dengan pemenuhan ketahanan pangan nasional. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional terus mengalami peningkatan karena adanya pertumbuhan konsumsi pangan dan pertambahan penduduk (saat ini sudah mencapai 237,641 juta jiwa). Sampai saat ini, beras merupakan komoditas yang menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan pertanian, karena beras telah menjadi komoditas politik dan menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Masyarakat telah menjadikan beras sebagai makanan pokok, sehingga beras menjelma menjadi sektor ekonomi strategis bagi perekonomian dan juga ketahanan pangan nasional. Indikator makro sektor pertanian Indonesia berdasarkan data statistik menunjukkan gambaran yang cukup baik. Dalam hal mana, produksi padi menurut Angka Ramalan (ARAM) II akan mencapai 68,061 juta ton. Dan target produksi padi sebesar 70,6 juta ton pada tahun 2011 rasanya ini akan sulit dicapai walau sudah mengalami kenaikan sekitar 2,4 persen dibandingkan produksi tahun 2010. Namun sayangnya, gambaran makro sektor pertanian tersebut tidak diikuti dengan kondisi ketahanan pangan yang semakin baik. Hal ini misalnya, dapat dilihat dari kecenderungan kenaikan harga pangan pokok dan volume impor pangan yang tidak lagi sekedar impor daging, gandum dan kedelai tetapi juga meliputi impor komoditi pangan ikan, beras dan garam yang sebelumnya dianggap cukup melimpah di dalam negeri seperti. Oleh karena itu, banyak kalangan yang menyatakan bahwa indikator makro tidak lagi mencerminkan gambaran riil kemampuan Indonesia dalam menyediakan kecukupan pangan yang berasal dari potensi pangan dalam negeri. Terlebih lagi, pada saat perubahan
1
*) Makalah yang disampaikan pada Kongres KIPNAS, diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tanggal 7-9 November 2001 di Hotel Bidakara, Jakarta. 2 Tim dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB –LIPI) dan Pusat Penelitian Ekonomi (P2ELIPI).
1
iklim, akan berakibat pada kekeringan dan kegagalan panen di sebagian besar wilayah lumbung pangan nasional, kondisi ini akan menjadi ancaman atas produksi pangan. Kita harus memiliki sikap kritis dalam memahami penyajian data statistik karena berimplikasi terhadap persoalan paradox di sektor pertanian Indonesia. Anggaplah perhitungan produktivitas telah cukup akurat jika dilakukan dengan melakukan pendataan langsung di beberapa lokasi panen. Persoalan yang kemudian muncul adalah, bahwa sejak tahun 2008 BPS tidak pernah lagi memunculkan data luasan lahan sawah. Walaupun, data tentang luasan lahan panen tersaji dan selalu menunjukkan perluasan lahan panen yang cukup signifikan. Misalnya, dari luasan lahan panen 12,347 juta ha pada tahun 2008 menjadi 13,566 juta ha di tahun 2011. Paradoxal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan dari sebagian kalangan yang menyakini bahwa tingkat konversi lahan pertanian terjadi secara massive di wilayah lumbung pangan di Jawa, akibat desakan permintaan lahan untuk permukiman dan kawasan Industri. Kementerian pertanian memang telah menargetkan tambahan lahan sawah baru sebesar 100.000 ha per tahunnya, akan tetapi Ketua KTNA, Winarno Tohir (Kompas, 14/10/11) menyatakan bahwa laju konversi lahan mencapai 110.000 ha per tahun atau terjadi setidaknya defiit 10.000 ha per tahun. Terlepas dari data mana yang lebih layak dipercaya, akumulasi perhitungan produksi dari hasil estimasi tingkat produktivitas, luasan lahan produktif dan luasan panen jika diagregasi secara makro dapat menimbulkan bias data yang semakin besar. Untuk mengetahui kemampuan produksi dalam menopang kebutuhan pangan masyarakat, harus dilihat dari data peningkatan produksi padi dibandingkan dengan data konsumsi pangan. Namun, persoalan lagi-lagi muncul dalam proses pendataan konsumsi pangan. Paparan data menunjukkan, terjadi peningkatan produksi namun tidak diikuti dengan peningkatan konsumsi pada level yang sama, maka seharusnya ada selisih data berupa supply dan demand yang besar dalam konteks penyediaan stok pangan ataupun surplus pangan. Tetapi terjadi inkonsistensi dari data yang ditampilkan, karena peningkatan produksi lebih tinggi dari peningkatan konsumsi, sementara surplus stok pangan relative tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari stabilitas harga dan komposisi impor pangannya. Dari pembacaan data yang inkonsisten tersebut, kesan yang muncul adalah adanya situasi dimana “mau tidak mau” konsumsi pangan juga harus naik agar menjaga keseimbangan data stok pangan. Hal ini terbukti dari adanya data konsumsi beras yang sempat dihitung mencapai 139 kg per kapita, atau berarti terdapat kebutuhan 32,943 juta ton beras bagi sekitar 237 juta penduduk Indonesia. Kebutuhan ini sebetulnya dapat tercukupi oleh konversi 68,061 juta ton padi atau sebanyak 40,837 juta ton beras (60 persen dari produksi padi). Berarti, stok pangan masih dalam kondisi surplus sebanyak 7,894 juta ton beras. Namun kemudian, data konsumsi ini mengalami proses penghitungan ulang sehingga diperkirakan konsumsi pangan beras menurun menjadi 113 kg per kapita (Kompas, 14/10/2011). Dengan data konsumsi pangan yang baru, maka 2
total konsumsi beras nasional turun menjadi 26,781 juta ton atau berarti terdapat tambahan surplus beras dari 6,162 juta ton menjadi 14,056 juta ton beras pada tahun 2011 ini. Gambar Grafik 1. Perkembangan Harga Beberapa Komoditi Pangan di Indonesia 2008 – 2011
Sumber: Kemendag, 2011, diolah Surplus beras sebesar 14,056 juta ton merupakan surplus yang cukup besar, karena berarti tingkat stok pangan beras mencapai 52,5 persen dari total kebutuhan pangan beras nasional. Over supply yang begitu besar tersebut tidak menghalangi niat pemerintah untuk tetap melakukan rencana impor beras yang mencapai 1,6 juta ton. Alasan yang dibuat pemerintah, karena impor beras merupakan bentuk dari upaya pemerintah untuk membangun kepercayaan terhadap stok pangan yang cukup, alasan itu sulit diterima karena stok beras yang berlimpah. Terlebih-lebih jika pemerintah juga akan melakukan kenaikan harga pangan pada saat kondisi stok melimpah. Pemerintah bisa saja berdalih bahwa distribusi, biaya transportasi, dan ulah pedagang spekulan yang mempengaruhi kenaikan harga pangan. Dalam hal ini, ada persoalan akurasi data produksi dan konsumsi pangan yang menyebabkan adanya bias data produksi pertanian. Data peningkatan harga komoditi beras kualitas medium (IR 64) secara nasional juga menunjukkan kecenderungan peningkatan dari Rp 7139/kg pada 3 Januari 2008 meningkat menjadi Rp 7600/kg, dan untuk beras kualitas medium per 20 Oktober 2011 terjadi peningkatan yang lebih besar dari perkiraan laju inflasi sepanjang tahun 2011. Pembentukan harga beras di tahun 2011 merupakan akumulasi kenaikan harga beras yang selalu mengalami peningkatan
3
dari tahun ke tahun, misalnya untuk beras kualitas medium harganya Rp 4360/kg pada tahun 2006, lalu meningkat menjadi Rp 5444/kg pada tahun 2008 dan mencapai Rp 6507/kg pada tahun 2010. Selain terjadi bias data produksi dan konsumsi, ada data peningkatan produksi beras namun tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani selaku produsen pangan. Hal ini menunjukkan, tidak adanya korelasi positif antara peningkatan produksi pangan dengan tingkat kesejahteraan petani dan adanya kesenjangan yang tinggi di sektor pertanian yang berpotensi sebagai ancaman bagi penurunan daya tarik sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memperburuk kemampuan Indonesia dalam memproduksi pangan. Selain itu, kenaikan harga komoditi pangan seharusnya menguntungkan petani selaku produsen, namun ternyata marjin keuntungan usaha tani masih kalah dengan marjin keuntungan yang dinikmati oleh pedagang komoditi sehingga menggambarkan adanya persoalan di sisi hulu dan hilir pertanian. Pemerintah telah menetapkan harga pokok pembelian (HPP) untuk komoditi pangan beras, namun penetapan ini ternyata tidak efektif dalam menyerap komoditi pangan karena tidak mampu bersaing dengan harga pasar komoditi pangan. Inpres No. 8 tahun 2011 tentang Kebijakan Pengamanan Cadangan Beras Yang Dikelola Oleh Pemerintah Dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim memberikan keleluasaan kepada Perum Bulog (selaku pihak yang diberi kewenangan untuk dapat melakukan pembelian gabah/beras petani) untuk membeli gabah/beras pada harga pasar yang lebih tinggi dari HPP dengan memperhatikan harga pasar yang dicatat oleh BPS dalam kondisi iklim yang ekstrim. HPP terakhir yang dikeluarkan pemerintah melalui Inpres No 7/2009 adalah sebesar Rp 2685/kg, sehingga dengan adanya ketentuan Inpres No 8/2011 seharusnya Bulog bisa membeli Gabah lebih tinggi dari HPP (yang pada bulan Juli 2011 sudah mencapai Rp 4067/kg untuk gabah kering giling di tingkat harga penggilingan). Oleh karena itu, selama institusi BPS belum mencatat adanya kenaikan harga gabah dan tidak dalam kondisi cuaca ekstrim, maka Bulog tak akan punya dasar dalam menaikkan tawarannya atas komoditi gabah/beras tersebut yang tentu saja berdampak pada daya serap Bulog dalam mempertahankan stok pangan. Selain itu, pembelian gabah/beras oleh Bulog tidak dilakukan secara langsung kepada petani produsen tetapi melalui mitra kerja Bulog yang umumnya merupakan pedagang atau pemilik penggilingan gabah skala besar sehingga petani sama sekali tidak menikmati keuntungan. Peran pemerintah dalam pembangunan pertanian menuju kepada penguatan ketahanan pangan sudah cukup banyak. Berbagai kebijakan dan program di sektor pertanian sudah dilakukan dalam upaya meningkatkan hasil produksi pertanian, seperti pemanfaatan benih unggul, penyediaan pupuk dan obat-obatan hingga pengolahan lahan pertanian. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah merealisasikan anggaran belanja dalam kurun waktu 2005-2010 yang terus meningkat rata-rata 25,1 persen per tahun, yaitu dari Rp 2,7 dalam tahun 2005 dan menjadi Rp 8,2 triliun (0,1 persen terhadap 4
PDB) dalam tahun 2010. Porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian terhadap total belanja Kementerian/Lembaga Pemerintah Indonesia, meningkat sebesar 0,1 persen, yaitu dari 2,2 persen dalam tahun 2005 menjadi sebesar 2,3 persen dalam tahun 2010 (Departemen Keuangan, 2010). Perkembangan realisasi subsidi di bidang pangan meliputi subsidi raskin yang meningkat dari Rp 6,4 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 13,0 triliun pada tahun 2009 atau sebesar 0,2% dari PDB. Subsidi pupuk juga terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 48,8% dari sebesar Rp 2,5 triliun menjadi Rp Rp 18,3 triliun pada periode tahun 2005 – 2010. Demikian juga, terdapat peningkatan alokasi subsidi benih yang cukup besar yaitu dari Rp 0,1 triliun menjadi Rp 1,6 triliun pada periode tahun 2005 – 2009 atau alokasi subsidi benih tumbuh rata-rata 72,7% per tahun. Peningkatan porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian selama kurun waktu 20052010, masih tetap berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Yaitu dalam bentuk penciptaan lapangan kerja terutama di perdesaan, dan pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan ketahanan pangan nasional. Tingkat ketersediaan pangan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik, hal ini untuk mengamankan kemandirian pangan. Akan tetapi, persoalan pertanian tidak sebatas pada aktivitas budidaya semata. Persoalan yang paling mendasar adalah ketersediaan lahan dan infrastruktur pertanian. Dari sisi infrastruktur pertanian, diketahui bahwa sebagian besar jaringan irigasi dalam kondisi yang kurang baik. Padahal pada tahun 2011, alokasi anggaran untuk pengelolaan sumberdaya air mencapai Rp 6,3 triliun, sedangkan program penyediaan dan pengembangan sarana dan prasarana pertanian sebesar Rp 2,7 triliun. Meskipun,
jaringan irigasi terus mengalami
peningkatan dari tahun 2005 – 2009, namun menurut Nainggolan (2009) masih ada sekitar 22,4 persen jaringan irigasi yang rusak. Kondisi ini tentu saja mengurangi kapasitas sektor pertanian dalam meningkatkan hasil produksi. Disamping ketersediaan lahan, infrastruktur usahatani merupakan isu penting untuk meningkatkan produktivitas pertanian . Persoalan lain yang selalu menjadi masalah klasik di sektor pertanian, adalah kondisi kemiskinan di tingkat petani perdesaan masih cukup tinggi. Data statistik menunjukkan dari jumlah 30,018 juta penduduk miskin Indonesia pada tahun 2011, sebanyak 18,900 juta di antaranya adalah penduduk miskin yang tinggal perdesaan. Penurunan laju penduduk miskin di perdesaan juga lebih lambat daripada di perkotaan, dimana persentase penduduk miskin di perkotaan hanya ada 9,23%, sedangkan di perdesaan ada sebesar 15,72% penduduk miskin. Padahal, sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian utama bagi sekitar 41.611.840 penduduk yang tinggal di perdesaan, dan sektor pertanian ini telah memberikan kontribusi sebesar 39,68% dari total 104.870.663 penduduk yang bekerja. Apabila upaya peningkatan pembangunan sektor pertanian tidak menyentuh persoalan peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak akan merubah kondisi kemiskinan di perdesaan. Sehingga, penduduk miskin di perdesaan yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian akan 5
tetap menjadi kaum marginal dan seringkali terabaikan oleh intervensi program dan bantuan penanggulangan kemiskinan. Padahal, kondisi kemiskinan dapat memengaruhi ketahanan pangan apabila dikaitkan dengan kemampuan daya beli masyarakat miskin dalam mengakses kebutuhan pangannya. Karena, konsumsi pangan secara umum merupakan pengeluaran terbesar dari rumah tangga di wilayah perdesaan yang rata-rata mencapai 58,57% dari total pengeluaran rumah tangga. Khususnya untuk konsumsi padi-padian, rumah tangga di perdesaan harus menyediakan 13,25% dari total pendapatannya untuk membeli komoditi pangan ini. Kondisi demikian menunjukkan terjadinya ketergantungan yang tinggi terhadap konsumsi pangan padi-padian telah menyebabkan besarnya alokasi pendapatan rumah tangga. Pada tingkat nasionalpun negara Indonesia sangat tergantung kepada sumber pangan karbohidrat seperti beras dan gandum/tepung terigu. Kondisi itu dibuktikan dengan upaya melakukan impor pangan karbohidrat beras secara berkesinambungan yang melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah, yakni lebih dari 62%. Ketergantungan negara akan pangan beras ini, merupakan cerminan dari pola konsumsi pangan masyarakat (foodhabits) yang cenderung ke beras, padahal sumber pangan non beras masih melimpah ruah, seperti ketela, ubi jalar, jagung, kedele dan umbi-umbi lainnya. Menyikapi kondisi demikian, pemerintah berupaya mendorong diversifikasi pangan untuk mengurangi beban konsumsi pangan karbohidrat kepada komoditi pangan lain yang lebih murah dan terjangkau. Ketergantungan terhadap beras tidak hanya dialami oleh Indonesia, seperti disinyalir oleh Food Agriculture Organisation (FAO), beras adalah salah satu pangan kunci di dunia dan dimakan oleh sekitar 3 miliar orang setiap harinya. Sedangkan di Asia, beras merupakan makanan pokok untuk sekitar 600 juta penduduk.3 Lebih dari 60 persen penduduk dunia atau satu milyar orang yang tinggal di Asia tergantung pada beras sebagai makanan pokok dan hidup dalam kemiskinan serta kekurangan gizi.4 Oleh karena itu, jika terjadi penurunan produksi padi, maka berarti akan lebih banyak orang tergelincir ke dalam jurang kemiskinan dan kelaparan. Jika Indonesia mampu melakukan diversifikasi pangan tentu akan mengurangi konsumsi beras antara 90 sampai 100 kilogram per kapita per tahun. Selama ini, konsumsi beras rata-rata mencapai 139 kilogram per kapita per tahun. Thailand produksi beras sebanyak 20 juta ton, namun konsumsi beras hanya 70 kilogram per kapita per tahun. Begitu pula negara Vietnam produksi beras sebanyak 17 ton, namun kebutuhan konsumsi hanya 90 kilogram per kapita per tahun. Padahal pada tahun 2007 konsumsi beras di Indonesia masih sekitar 139,15 kg/kapita/tahun. Jadi selama tiga tahun saja, konsumsi beras per kapita per tahun mengalami kenaikan sebesar 8 kg.
3
Ahmad Taufiqurrakhman - Okezone , 10 Agustus 2010.
4
Sumber: Ruddabby.files.wordpress.com/2010/8.
6
Sementara prediksi data tingkat kebutuhan lahan/beras untuk tahun 2007-2030 menurut Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan Air mengalami penurunan, yakni sebagai berikut. Gambar 2. Tabel Prediksi Kebutuhan beras dan Lahan pada tahun 2030 Tahun
Jumlah Penduduk
Kebutuhan Beras
Kebutuhan lahan
2007
220 juta
32,96 juta ton
11,6 juta hektar
2030
425 juta
59 juta ton
23,4 juta hektar
Kekurangan
26,04 juta ton
11, 8 juta hektar
Sumber: James, 2007, Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan Air.
Berbagai persoalan yang ada di sektor pertanian tentu saja akan berpengaruh pada tingkat ketahanan pangan nasional. Undang-undang No. 7/1996 tentang Pangan secara eksplisit menjelaskan, bahwa persoalan ketahanan pangan tidak harus tergantung pada kondisi kemampuan penyediaan pangan dalam negeri dalam pemenuhan kebutuhan pangan. UU No. 7/ 1996 tentang Pangan mendefinisikan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, namun UU ini tidak menyebutkan ketentuan yang mengharuskan pemerintah untuk menyediakan pangan dari hasil produksi dalam negeri. Maka dari itu, tidak mengherankan jika kemudian pemerintah lebih suka memecahkan persoalan kekurangan stok pangan dengan cara membuka peluang impor komoditi pangan. Terlebih lagi, harga beberapa komoditi pangan impor memiliki harga yang lebih murah daripada melakukan pembelian komoditi pangan dari produsen (baca= petani) lokal. Padahal, ketergantungan terhadap pangan impor yang semakin besar sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai suatu kondisi ketahanan pangan yang baik. Kondisi ini, sebenarnya hanya memberikan kondisi ketahanan pangan yang semu karena negara menjadi rapuh oleh ketergantungan impor pangan yang dapat berfluktuasi sewaktu-waktu, ketika terjadi gejolak produksi pangan dunia. Implikasinya, akan sangat memengaruhi kondisi ketahanan pangan apabila terjadi perubahan harga yang tidak dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat. Oleh karena itu, desakan terhadap perbaikan pembangunan ketahanan pangan yang diarahkan pada upaya pencapaian kedaulatan pangan menjadi semakin mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Pembangunan ketahanan pangan harus diarahkan pada upaya peningkatan kemandirian pangan sebagai langkah transisi menuju kepada tercapainya kedaulatan pangan. Pemerintah melalui Kebijakan dan Strategi Pangan 2010-2014 sudah menyebutkan adanya pengembangan diversifikasi pangan dan memantapkan ketahanan pangan melalui pendekatan yang komprehensif, yaitu : 1) Menjamin ketersediaan pangan berbasis produksi dalam negeri 2) Peningkatan produktivitas melalui insentif bagi petani 7
3) Pertanian modern, efisien, ramah lingkungan dan berkelanjutan Kebijakan di atas secara implisit sebetulnya sudah mengarah pada upaya penguatan ketahanan pangan yang berbasis kemandirian dan diversifikasi produksi dalam negeri, dan penciptaan iklim usaha tani yang kondusif, serta mempertahankan keberlanjutan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, seharusnya paradigma ketahanan pangan yang kuat tidak lagi sekedar untuk mencapai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan semata. Tetapi, juga harus di arahkan kepada pemenuhan kebutuhan pangan secara mandiri berbasis sumber pangan lokal, dan melalui penciptaan iklim usaha tani yang kondusif, serta dapat mensejahterakan petani. Selain itu, kondisi ketahanan pangan dan kemandirian pangan seharusnya tidak hanya sekedar memberikan gambaran makro dari kondisi pangan di Indonesia, tetapi harus secara nyata menggambarkan kondisi mikro hingga di tingkat pelaku rumah tangga. Tentu saja kedaulatan pangan secara mutlak tidak akan dapat dipenuhi oleh Negara manapun ketika sebuah Negara tidak mampu menghasilkan semua jenis komoditi pangan, karena adanya keterbatasan potensi sumberdaya pertaniannya. Namun demikian, upaya mencapai kemandirian pangan merupakan langkah penting untuk mencapai kondisi ideal dari kedaulatan pangan. Kemandirian pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik dapat dicapai dengan cara mengurangi atau meminimalkan ketergantungan akan pangan impor. Membangun ketahanan dan kemandirian pangan menjadi sangat penting dan strategis, sebagai penegasan atas upaya penyediaan pangan yang dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Upaya penyediaan pangan dengan mengembangkan sistem produksi pangan, kelembagaan, dan budaya lokal tidak bisa dipisahkan dari prinsip kedaulatan pangan itu sendiri. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), kedaulatan pangan merupakan hak untuk memiliki pangan secara teratur, permanen dan bisa didapatkan secara bebas, baik secara cuma-cuma maupun membeli dengan jumlah dan mutu yang mencukupi, serta cocok dengan tradisi-tradisi kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya. Maka dari itu, muncul kritik atas konsep ketahanan pangan yang dilontarkan oleh pemerintah karena tidak dianggap mempertimbangkan kemampuan sebuah negara untuk memproduksi dan mendistribusi pangan utama secara adil kepada rakyatnya. Dan, konsep ini dinilai telah mengabaikan realitas sosial yakni semakin meluas dan limpah ruahnya ekspor produk pertanian murah dan bersubsidi tinggi ke negara-negara terbelakang. Praktek ini cendrung dibiarkan, bahkan didorong atas nama perdagangan bebas ataupun liberalisasi sektor pertanian yang disokong penuh oleh negaranegara maju. Kondisi demikian, berpengaruh pada pemahaman kedaulatan pangan yang seharusnya diartikan menjunjung tinggi hak masyarakat sebagai satu kesatuan untuk memproduksi, mendistribusikan dan memenuhi kebutuhan pangan diatas semua kepentingan lain. Kedaulatan pangan seharusnya memberikan keleluasaan kepada petani selaku produsen untuk menentukan pilihan 8
secara mandiri dan tanpa paksaan dalam mengembangkan ketahanan dan kemandirian pangan sesuai dengan kapasitas dan potensi sumber daya pertanian lokal yang dimilikinya, sehingga petani mampu meningkatkan produksi dan kesejahteraannya. Peran pemerintah tentu saja tetap dibutuhkan sebagai regulator dan fasilitator kebutuhan di sektor pertanian melalui berbagai instrument kebijakan, regulasi, dan program pangan yang mendukung upaya kedaulatan pangan tersebut. Tetapi yang terjadi kebalikannya, kedaulatan pangan untuk pemenuhan ketahanan pangan diartikan dengan cara melakukan impor pangan. Dua analisis di bagian bawah ini merupakan kajian yang dilakukan Tim PMB-LIPI, pertama dilakukan pada kurun waktu 20089 dalam bentuk riset aksi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dan kedua pada tahun 2009-20011 dalam bentuk penelitian di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur dan Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Keduanya berupaya menganalisis penerapan kebijakan ketahanan pangan untuk mencapai kemandirian pangan atau kedaulatan pangan di tingkat masyarakat. Namun demikian, penting dicatat, upaya membangun ketahanan pangan di tingkat masyarakat melalui pendirian lumbung pangan beras atau non beras tanpa terlebih dahulu mengatasi kemiskinan petani adalah sesuatu pekerjaan yang sia-sia. Oleh sebab itu, yang dituju dalam riset aksi ini adalah bagaimana menghilangkan lapisan buruh tani dan sekaligus membangun ketahanan pangan mereka. Apa yang disajikan di bawah ini merupakan
suatu pelajaran berharga dalam rangka
membentuk ketahanan pangan masyarakat melalui pembentukan bank pangan beras dan bank pangan non beras di tingkat komunitas petani di perdesaan.
Model Bank Pangan Beras : Lesson Learned from Indramayu5 Transaksi jual-beli (sewa) pada lahan garapan adalah bentuk pasar lahan yang tidak sehat karena menghasilkan bentuk monopoli dan percaloan lahan. Kasus yang terjadi di Indramayu menunjukkan, bahwa untuk mendapatkan lahan garapan milik negara (tanah pangonan), masyarakat petani harus melalui dua jenjang proses penyewaan, yaitu melalui calo dan pemilik modal. Sistem sewa lahan sawah-tanah pangonan ini rupaya lebih menguntungkan penduduk yang memiliki modal dan memiliki relasi dengan pemerintah daerah, dan mereka yang biasa mengikuti lelang tanah-sawah pangonan walaupun sebenarnya mereka bukan bagian dari komunitas petani. Mereka tidak pernah menggarap lahan sawah. Oleh sebab itu, sawah-tanah pangonan dari hasil lelang selanjutnya akan dijual-sewa kepada petani penggarap. Sementara di lain pihak, petani penyewa sawah atau petani penggarap tidak memiliki akses langsung ke pemenang lelang, maka petani penggarap harus membeli atau menyewa lahan sawah garapan melalui sistem pencaloan. Proses untuk mendapatkan sawah garapan dari tanah milik negara sangat panjang, kondisi demikian menyebabkan harga sewa di tingkat 5
Riset aksi yang dilakukan tim peneliti PMB-LIPI di Indramayu pada petani landless tahun 2008.
9
petani garapan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan harga sewa pada waktu pelelangan. Petani penggarap memperoleh lahan sawah dengan harga mencapai 7 (tujuh) kali lipat dari harga lelang (pada saat itu harga pasar tanah garapan/ pangonan sebesar 4.5 ton gabah/hektar/tahun). (lihat, Gambar 2). Gambar 3. Mata Rantai Proses Lelang Tanah Pangonan Di Indramayu. Pemda Kabupaten
Proses Lelang Tanah garapan
Pemilik Modal/Pemenang Lelang
Calo Penyewaan
Petani Penggarap/ Penyewa
Penguasaan lahan sawah di Indramayu dikenal dengan model penggarapan lahan sawah milik negara (tanah pangonan). Untuk mendapatkan hak garap tanah negara ini dilakukan melalui sistem lelang. Dan, penguasaan lahan sawah di kabupaten Indramayu sekitar 70% dimiliki oleh orang luar desa, dimana sebagian dari mereka tidak menggarap sawah sendiri. Lahan persawahan yang tidak digarap pada umumnya disewakan kepada orang lain dengan sistem bagi hasil (maro). Model sistem penggarapan lahan yang kedua ini yang digunakan untuk membangun ketahanan pangan melalui pengembangan kelembagaan bank pangan beras di tingkat masyarakat dengan target sasaran golongan petani buruh atau petani landless. Terkait dengan pengembangan bank pangan beras di kabupaten Indramayu, penguasaan lahan menjadi faktor penentu ketahanan pangan masyarakat. Cara pandang seperti ini dirasa penting karena sebagian besar lahan sawah dikuasai oleh pemerintah daerah Indramayu, namun demikian dalam pengelolaannya atau penggarapan sawah tetap diberikan kepada masyarakat melalui sistem lelang. Pemerintah daerah memberikan kesempatan kepada warga masyarakat petani untuk menyewa lahan persawahan melalui sistem lelang yang digelar pada setiap musim tanam. Berangkat dari situasi seperti itu, tim PMB-LIPI memutuskan untuk mengambil sikap sebagai fasilitator bagi buruh tani, 10
yakni dengan cara menfasilitasi kaum buruh tani agar dapat ikut lelang penggarapan lahan sawah. Ideologi yang coba dibangun oleh tim sebenarnya menginginkan pemerintah daerah dapat merespon golongan miskin petani melalui sistem lelang garapan sawah tersebut. Pengembangan kelembagaan masyarakat petani untuk mencapai ketahanan pangan, berangkat dari idiologi “keberpihakan kepada kelompok petani miskin perdesaan”, dengan cara mengangkat petani golongan miskin melalui pemanfaatan sistem lelang lahan sawah. Pendekatan ini dikembangkan, dengan alasan bahwa golongan petani miskin tidak dapat mengikuti sistem kontrak sewa-menyewa lahan pertanian dengan pemerintah daerah.
Karena petani miskin memiliki
keterbatasan, yakni mereka memiliki kesulitan penyertaan modal uang dimuka sebagai uang pembayaran, yakni 8 (delapan) bulan sebelum penggarapan lahan dimulai. Selain itu, pendekatan diambil dengan pertimbangan supaya dalam sistem lelang tanah milik negara ini hasilnya dapat dinikmati oleh golongan terbanyak yakni petani miskin di pedesaan. Karena, selama ini sistem lelang hanya dinikmati golongan penduduk ber modal dan yang memiliki akses kepada pemerintah daerah. Lagi pula, para pemenang lelang tanah negara ini tidak langsung menggarap sendiri lahannya, melainkan disewakan kembali kepada warga lain dengan harga sewa sawah milik pribadi, yang harga sewanya jauh lebih tinggi. Jadi dengan demikian, pemenang sewa tidak jauh berbeda dengan ”makelar” yang mendapat keuntungan besar dari sistem lelang lahan pertanian milik negara tersebut. Tujuan utama yang hendak dicapai dalam riset aksi membangun kelembagaan pangan beras adalah untuk mengtransformasikan posisi buruh tani menjadi petani penggarap. Membangun bank pangan beras di tingkat komunitas petani miskin, diawali dengan cara memberikan modal kepada buruh tani miskin (landless) sebagai modal penyertaan untuk mengikuti lelang sawah. Dari Lahan sawah yang berhasil disewa, kemudian diberikan dan dibagikan kepada rumahtangga buruh tani. Syaratnya, setiap buruh tani harus mau bekerja secara bergotong rotong dalam penggarapan sawah, mulai dari pengolahan sawah sampai pasca panen dan lahan sawah harus digarap secara bersama-sama dan bergantian. Membangun ketahanan pangan di tingkat masyarakat melalui pendirian lumbung pangan tanpa mengatasi kemiskinan petani terlebih dahulu adalah sesuatu hal yang sia-sia. Oleh sebab itu, yang dituju dalam riset aksi ini adalah bagaimana menghilangkan lapisan buruh tani dan sekaligus membangun ketahanan pangan mereka. Lumbung pangan dibentuk untuk mengatasi kerawanan pangan, terutama pada
musim
paceklik. Pendirian lumbung pangan dilakukan dengan cara menyisihkan hasil panen secara kolektif. Pertama-tama, setelah buruh tani memperoleh lahan sewa dari pemerintah, pangonan, dilakukan penggarapan sawah secara komunal dan kemudian hasil panen secara kolektif itu akan disisihkan sebagian untuk lumbung pangan. Pendekatan komunal dalam penggarapan lahan sawah dan pembentukan lumbung pangan ini dianggap lebih efektif daripada pendekatan yang melihat petani 11
sebagai individu. Karenanya, dalam pendekatan individu seringkali kita melupakan konteks sosial petani.6 Oleh sebab itu, dalam membangun ketahanan pangan masyarakat difokuskan pada perubahan status sosial petani buruh menjadi petani penggarap, sehingga terjadi mobilitas sosial vertikal yang merupakan syarat utama terciptanya ketahanan pangan. Gambar 4. Konsep Pengembangan Bank Pangan Program Riset Aksi LIPI
Sosialisasi Petani Kecil/Buruh Tani
Pelaksanaan Program : Pengolahan lahan Penyaluran kredit Ada Cadangan Pangan
Tambahan Pendapatan Petani Kecukupan pangan
Ketahanan pangan
Kelembagaan pangan yang dibangun dalam riset aksi ini memerlukan input-input antara lain: (1) rencana permodalan (termasuk rencana untuk kredit pangan dan sewa lahan), (2) pembentukan kepengurusan, (3) penentuan keanggotaan (jumlah KK yang bisa terlibat menurut luasan lahan), (4) pembentukan organisasi bank pangan, dan (5) pembuatan analisis perkiraan kecukupan pangan dan proyeksi pertumbuhan lahan. Modal yang disediakan dalam pembentukan bank pangan pada riset aksi ini sebesar Rp. 40 juta yang rincian alokasi anggarannya, sebagai berikut : Gambar 5.Tabel Penyertaan modal awal
6
Kebijakan untuk mengatasi ketahanan pangan melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah, misalnya Kredit Usaha Tani (KUT), Bantuan Tunai Langsung (BLT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan lain-lainnya seringkali menggunakan individu sebagi obyek sasarannya. Kebijakan publik yang berlandasakan asumsi bahwa individu mengambil keputusan berdasarkan perhitungan rasional yang menguntungkan dirinya. Disini, individu diamsumsikan sebagai atom yang terisolasi dan tidak terpengaruh lingkungan sosial sekitarnya. Karena itu, fokus kebijakan publik adalah memberi insentif dan informasi yang membantu keputusan individu (Robi Muhamad, 2008).
12
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6
Uraian Modal Awal Kredit sewa lahan 12 ha/tahun Kredit saprotan/2 musim Kredit teknologi/hama Kredit pangan Lain-lain Jumlah
Anggaran (Rp)
Alokasi Anggaran (Rp)
40.000.000.12 x 1.100.000 12 x 2 2 550.000 -
13.200.000 12.200.000 3.600.000 1.000.000 40.000.000
40.000.000
Kepengurusan bank pangan didesain meliputi 5 orang dewan pengurus yang diambilkan dari unsur tokoh masyarakat, perangkat desa dan wakil peneliti, 3 orang yang masing-masing berperan sebagai ketua/menejer bank pangan,
sekretaris, dan petugas operasional untuk pengadaan dan
distribusi, dan 2 orang koordinator lapangan (korlap) untuk menangani kredit lahan, pangan dan saprotan. (lihat, Bagan ). Pengurus tidak diberikan gaji, tetapi berhak menerima insentif. Sistem insentif yang diberikan sebagai berikut : 1. Dewan pengurus diberi insentif sebear 2,5 % setiap akhir musim panen diambil dari penerimaan bank pangan (=50% hasil panen) yang dialokasikan untuk cicilan kredit sewa lahan dan saprotan, setelah dikurangi jumlah yang disisihkan untuk perluasan kredit lahan dan saprotan sebesar 1 ton GKP (setara 666,67 kg beras) per hektar. 2. Sedengkan pengelola bank pangan (diluar dewan pengurus) secara bersama diberikan insentif sebesar 2,5% setiap bulan dari jumlah komoditas yang telah disalurkan sebagai pinjaman pangan. Selain itu, pengelola juga berhak menerima 2,5% dari penerimaan cicilan kredit sebagaimana tersebut pada point 2.
Gambar 6. Struktur Organisasi Bank Pangan
Dewan Pengurus & PMB LIPI
Lembaga Keuangan
Instansi Teknis Terkiat
Manajer Koor. Pengadaan
Pendamping
Sekretaris
Seksi Lahan & Pangan
Seksi Saprotan
13 Kelompok Tani
Warga desa yang berhak menjadi anggota bank pangan adalah kepala keluarga buruh tani dan petani kecil yang mempunyai lahan garapan kurang dari 0.1 hektar. Setiap anggota bank pangan bersedia dikenakan iuran wajib sebesar Rp. 1000/bulan untuk penambahan modal dana bergulir atau biaya operasional bank pangan. Dari proses pendaftaran dan seleksi yang dilakukan di kabupaten Indramayu, terkumpul 48 kepala keluarga petani peserta bank pangan. Jumlah ini tentu bertambah sejalan dengan perkembangan modal. Komoditi yang menjadi prioritas dalam pengadaan pangan adalah padi, beras, jagung, gaplek, kentang dan ubi, disesuaikan dengan kebiasaan makan (food habits) setempat.
Sementara itu,
pengadaan pangan dilakukan dengan cara membeli kelebihan padi atau beras dari hasil panen para anggota setempat, DOLOG, dan pihak lainnya dengan harga patokan pemerintah, serta dari setoran cicilan kredit di akhir musim panen. Persedian awal untuk disalurkan sebagai kredit pangan sebesar Rp. 10.000.000 yang dikonversikan dalam bentuk natura (sekitar 5 ton gabah kering giling atau 3.333 kg beras) . Gambar 7. Konsep Kredit Sewa Lahan Box. 1. Konsep Kredit Sewa Lahan Asumsi :
1 Ha sawah/musim tanam = 4.000 kg Gabah Kering Giling (GKP) Konsumsi/kapita/tahun = 133 kg beras Harga beras 1 kg (HET Bulog) = Rp. 3.150 (K. 5 Sept. 98) Harga GKP 1 kg ( pasar lokal) = Rp. 1.800 Konversi 1 Kg GKP = 2/3 kg beras 1 KK = 5 jiwa 1 tahun = 2 kali musim tanam padi Hasil produksi per hektar dari lahan sewa didistribusikan seperti berikut : o 50% atau minimal 2 ton GKP = dibagikan untuk konsumsi dan tambahan pendapatan kelompok tani o 50% sisanya = disetorkan ke bank pangan untuk pemberdayaan kelompok (pengembalian pinjaman pangan /tabungan untuk perpanjangan sewa lahan dan saprotan bagi modal awal bagi kelompok baru, dan tambahan pendapatan bank pangan. Dari 50% hasil produksi yang disetor untuk pemberdayaan/ musim/ha dikenakan potongan untuk perluasan bank pangan, yakni keperluan penambahan kredit lahan dan saprotan sebesar 1.000 kg GKP = 666.67 kg beras/ha Dari setiap penerimaan setoran potongan untuk perluasan bank pangan, sebesar 15% nya dialokasikan untuk penambahan stok pangan kredit pangan, sedangkan sisanya digunakan untuk perluasan sewa lahan dan tambahan saprotan serta pembayaran 2.5% untuk anggota dewan pengurus, dan 2.5% untuk para pengelola. Kecukupan saprotan/ha/musim = Rp. 550.000,Harga sewa tanah/tahun = Rp.1.100.00.-
14
Prinsip penyaluran kredit pangan diberikan kepada anggota yang mempunyai kebutuhan mendesak untuk kebutuhan pangan. Pinjaman diberikan dalam bentuk beras atau padi, jagung, gaplek, ubi disesuaikan dengan kebiasaan makan masyarakat. Setiap anggota dapat meminjam setara dengan 30 kg beras (50 kg gabah kering giling). Anggota dapat meminjam dengan batas maksimum selama 2 bulan berturut-turt hingga mencapai total pinjaman setara dengan eras 60 kg (100 gabah kering giling). Pinjaman harus dikembalikan dalam jangka waktu satu musim tanam (4 bulan) atau pada saat musim panen. Mekanisme peminjaman dilakukan melalui kelompok, koordinator lapangan dan manajer bank pangan. Untuk menegakkan disiplin keanggotaan, dalam setiap pengembalian pinjaman menggunakan sanksi berbentuk tanggungjawab renteng. Bank pangan juga dapat melakukan penjualan stok yang dianggap berlebihan untuk dijual ke luar, hal ini dilakukan apabila terjadi tingkat peminjaman anggota rendah. Hasil keuntungan dari penjualan stok ini dibagikan sebesar 25 % kepada pengelola bank pangan, sisanya 75% untuk menambah modal dana bergulir, yang antara lain digunakan untuk pembelian stock pangan. Tabel 8. Hasil Produksi Padi Kelompok Tani Lembaga Ketahanan Pangan dalam Satu Tahun MT Rendeng MT Gadu 8000 7000 6000 5000 KG 4000 3000 2000 1000 0 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
Kelompok
Taksiran semula didasarkan pada cara pengukuran (kubikan) secara random oleh petugas Dinas Pertanian Indramayu, jumlah hasil produksi padi rata-rata yang dihasilkan per hektar sawah adalah 6 ton gabah. Namun, ternyata hasil panen menunjukkan kenaikan sekitar 7 ton gabah terutama di musim rendeng, sementara pada musim gadu, hasil panen berkurang. Namun secara keseluruhan, perolehan 15
hasil panen cukup berhasil, terutama apabila dibadingkan dengan produksi padi petani non-binaan LIPI yang rata-rata hanya mengasilkan 4.5 ton gabah. Secara rinci perkembangan hasil panen dan pertumbuhan kelompok tani selama kurun waktu tiga kali musim panen yang terlihat pada tabel 7 dan 8 dibawah ini. Grafik/Tabel 9 Perkembangan Jumlah Kelompok Tani dan Hasil Produksi Padi Lembaga Ketahanan Pangan
II X I V I X IVVIX I X I I IXXI I V I IVV II I I MT Rendeng I MT Rendeng II
9000 8000 7000 6000 5000
KG
4000 3000 2000 1000
0
Kelompok
Tabel 10. Perkembangan Pendapatan Kelompok Tani Lembaga Ketahanan Pangan
16
II X I V I X IVVIX I X I IX IXI I V I IVV II I I
12000 10000 8000
Rp. 1000 6000 4000 2000
0
Kelompok MT Rendeng I
MT Gadu
MT Rendeng
Model Bank Pangan Non Beras : Sebuah Usulan Untuk Mengembalikan Sistem Pangan Lokal
Kekuatan negara untuk menentukan kebijakan swasembada beras di seluruh daerah di Indonesia pada tahun 70-an secara perlahan telah merubah kebiasaan masyarakat dari pangan non beras menjadi pangan beras. Namun demikian, dari penelitian terdahulu (PMB-LIPI, 2009) ternyata menggambarkan bahwa tidak semua masyarakat secara serta merta beralih ke pangan beras. Karena pola konsumsi pangan non beras atau foodhabits merupakan bagian dari kebiasan sosial budaya masyarakat yang terjadi secara turun-menurun. Masih bertahannya pola konsumsi pangan non beras juga dipengaruhi oleh tingkat kemampuan ekonomi masyarakat yang tidak sama, terutama di daerah bukan penghasil beras. Dalam hal mana, tidak semua masyarakat mampu membeli beras, oleh karena itu ada sebagian masyarakat yang membeli beras yang digunakan sebagai bahan campuran. Oleh sebab itu, dengan kondisi seperti ini terbentuk “pola konsumsi pangan yang adaptif “ yaitu pangan campuran dalam bentuk nasi jagung campur nasi beras atau nasi tiwul campur beras. Oleh karena itu, pola konsumsi pangan non beras dalam bentuk pangan campuran tidak menghilang walaupun beras kini telah menjadi makanan pokok, hal ini terkait dengan berlakunya foodhabits. Sementara itu, saat ini beredar suatu pandangan bahwa untuk mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan dengan cara melakukan peningkatan produktivitas hasil pertanian, yakni dengan cara memperkenalkan jenis varietas unggul sehingga nantinya petani memperoleh peningkatan pendapatan. Melalui peningkatan pendapatan tersebut, petani diharapkan dapat membeli kebutuhan pangan mereka, selain itu upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah dengan cara melakukan impor 17
beras untuk mencukupi stock pangan nasional.
Pandangan seperti ini tidak salah, tetapi upaya
membangun ketahanan pangan yang berdampak terhadap menghilangkan sistem pangan lokal dan ketergantungan terhadap beras impor dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya rawan pangan. Karena, ketergantungan terhadap impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jangka lama pada saatnya akan memicu munculnya gejolak sosial. Misal, permintaan beras impor akan cenderung semakin meningkat seiring dengan tejadinya peningkatan jumlah penduduk, meskipun produksi beras lokal menjadi melimpah ruah tetapi ada kecenderungan pemilihan terhadap beras impor yang lebih murah dan bagus kualitasnya. Selain itu, produktivitas pertanian akan semakin menurun dan lahan pertanian semakin sempit karena terjadinya polarisasi atas lahan-lahan pertanian. Kondisi demikian menyebabkan social exclusion dimana terjadi marginalisasi buruh tani dari lahan pertanian. Jika kondisi ini
dibiarkan secara terus menerus akan mengindikasikan terjadinya
kerawanan dalam ketahanan pangan. Persoalannya, adalah bagimana meningkatkan produktivitas pertanian tanpa menghilangkan sistem pangan lokal. Upaya membangun sistem pangan lokal pada posisi demikian, merupakan rasionalitas pilihan yang cukup masuk akal karena dapat menyelamatkan sistem cadangan pangan di tingkat masyarakat. Pengembangan sistem cadangan pangan lokal dinilai dapat menjamin terpenuhinya pangan seluruh warga desa dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu. Sistem cadangan pangan lokal ini penting, terutama untuk mengantisipasi jika terjadi kelangkaan beras di pasar atau harga beras yang melambung naik sehingga tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat. Sistem cadangan pangan lokal dapat dilakukan dengan cara membangun lumbung pangan dalam bentuk kelembagaan bank pangan dan melakukan pembudidayaan tanaman cadangan pangan sehingga dapat mengatasi ketahanan pangan masyarakat di perdesaan. Untuk membangun sistem pangan lokal, pertama-tama dibutuhkan kesadaran petani akan hakhaknya untuk mandiri dengan cara mengembangkan bank pangan. Ini merupakan salah satu prinsip dari kedaulatan pangan. Karena, membangun sistem pangan lokal berarti memperjuangan hak-hak warga masyarakat untuk memiliki kedaulatan pangan. Oleh sebab itu, prinsip kedaulatan pangan berbeda dengan ketahanan pangan yang tidak mempedulikan dari mana pangan
diproduksi.
Kedaulatan pangan cenderung menjunjung tinggi hak setiap warga dan masyarakat lokal sebagai satu kesatuan untuk memproduksi, mendistribusikan dan memenuhi kebutuhan pangan di atas semua kepentingan lain, termasuk perdagangan. Namun demikian, konsep kedaulatan pangan itu sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip ketahanan pangan, keduanya justru saling mengisi. Karena upaya membangun ketahanan pangan tanpa diikuti dengan upaya meneggakkan kedaulatan pangan akan melahirkan persoalan sosial baru, seperti ketergantungan akan beras impor dan rendahnya produktivitas petani. Beberapa prinsip kedaulatan pangan adalah sebagai berikut :
18
Menghormati dan memperkuat kearifan tradisional serta pengetahuan lokal dalam memproduksi pertanian pangan lokal sebagai landasan sistem produksi pangan berkelanjutan. Pengakuan dan penghormatan terhadap budaya yang khas dalam memilih dan mengkonsumsi pangan serta hak untuk menentukan sendiri apa yang akan dimakan dalam jumlah yang cukup, bergizi, dan aman . Rakyat desa berdaulat dalam menentukan kebijakan dan strategi produksi, distribusi dan konsumsi pangannya sendiri, terutama untuk memprioritaskan peningkatan produksi anekaragam pangan dalam rangka pemenuhan pangan seluruh warga desa itu sendiri. Keluarga miskin dan kurang pangan yang ada di desa mendapat prioritas untuk mengakses berbagai sumber produktif (tanah, air, hutan, teknologi, benih dan permodalan).
Apa itu kelembagaan pangan non beras ?
Kelembagaan
pangan non beras adalah suatu forum yang terdiri dari unsur-unsur
kelembagaan yang berada di supra komunitas, yakni Dewan Kedaulatan Pangan yang anggotanya berasal dari tokoh-tokoh petani. Dewan Kedaulatan Pangan ini selalu melakukan koordinasi dengan unsur pemerintahan, antara lain para kepala desa, PPL dan pejabat pemerintah di bidang pertanian. Posisi Dewan Kedaulatan Pangan berada
di wilayah kecamatan, dan mempunyai tugas untuk
mengarahkan organisasi bank pangan non beras di dalam merumuskan program dan kegiatan bank pangan
non beras,
yang meliputi aspek ketersediaan,
distribusi,
dan konsumsi,
serta
penganekaragaman pangan untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan masyarakat. Dewan Kedaulatan Pangan ini harus sepenuhnya didukung oleh para tokoh masyarakat, karena kelembagaan pangan memiliki visi dan misi penting, yakni berkehendak mengembalikan sistem pangan lokal yang telah menghilang sejak diberlakukannya kebijakan swasembada beras. Sementara itu, tujuan pengembangan kelembagaan pangan non beras adalah sebagai berikut : Memberikan
hak kepada petani untuk menanam jenis tanaman pangan lokal sesuai dengan
kearifan lokal; Mempertahankan pola konsumsi pangan non beras yang masih dipraktekkan/eksis di masyarakat; Membangun preferensi masyarakat terhadap konsumsi pangan lokal melalui kampanye publik dan membangun gerakan sosial; Melakukan pemurnian varietas tanaman pangan lokal (jagung manado kuning), perlindungan bibit tanaman lokal dengan memanfaatkan lahan perkarangan rumah; Mengembangkan produksi pangan lokal dengan pengaturan pola tanam; Mendekatkan pasar tani dengan sentra produksi pangan non beras melalui penampungan produksi pangan lokal dan pendistribusian kepada warga petani. 19
Gambar 11. Bagan Struktur Kelembagaan Bank Pangan Non Beras Unsur Masyarakat (Tomagola, HKTI, KTNA,dll)
Dewan Kedaulatan Pangan Lokal
Unsur Pemerintah (Kecamatan, PPL, Desa, dll)
B ank Pangan Non Beras/Gaptoktan
Mitra Pengembangan Pengusaha Lembaga Keuangan PT/LIPI Pengolahan Pasca Panen
Tingkat Kecamatan
Lumbung Pangan Non Beras Tingkat Desa Kelompok Tani
Petani Tingkat Masyarakat
: Garis Koordinasi/Konsultasi/Fasilitasi : Garis Pengendalian : Garis Pendampingan/Kerjasama
Secara skematis, ruang lingkup kegiatan kelembagaan pangan non beras dapat di lihat apada gambar di bawah ini Gambar 12. Elemen Model Kelembagaan Pangan Non Beras.
20
Di tingkat supra struktur, bank pangan akan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak guna menjamin ketersediaan pangan non beras (produksi). Bank Pangan juga melakukan penyiapan pengawasan cadangan pangan di tingkat rumah tangga dengan pengembangan kebun rumah tangga yang melibatkan penyuluh/PPL, dan kepala desa. Selain di tingkat rumah tangga, bank pangan juga menggarap cadangan pangan kebun kolektif yang bermitra dengan Perhutani atau dengan para pemilik lahan luas yang bersedia meminjamkan lahannya. Oleh karena model kelembagaan pangan difokuskan pada pangan non beras maka pola
konsumsi ideal
merupakan outcome kinerja
kelembangaan bank pangan dan ini merupakan indikator dari keberhasilan bank pangan. Pola konsumsi pangan ideal disini bukan berarti kembali pada konsumsi nasi tiwul tetapi lebih pada konsumsi nasi campur sebagai bagian dari pola adaptasi konsumsi pangan yang terbentuk di masyarakat yang bukan pengkonsumsi nasi beras. Strategi ini sebagai mekanisme masyarakat mendekatkan diri dengan akses pangan lokal yang mandiri dan memimalisasi kesulitan mengakses beras serta sekaligus mengembalikan sistem pangan lokal. Di tingkat masyarakat, kelembagan pangan berupa organisasi bank pangan non beras. Bank pangan non beras adalah gabungan kelompok petani yang dibentuk dengan memanfaatkan kelembagaan petani yang sudah ada, yakni GAPOKTAN [Gabungan beberapa Kelompok Tani]. Melalui revitalisasi GAPOKTAN, bank pangan non beras ini diharapkan dapat mengembalikan sistem pangan lokal, dan kegiatan utamanya adalah membangun lumbung pangan non beras, pengolahan
21
pasca panen, dan kegiatan usaha tani lainnya dengan cara menerapkan prinsip kebersamaan dan kemitraan sehingga tujuan kelembagaan bank pangan non beras dapat terwujud.
Gambar 13.Tabel Komponen Program dan Kelompok Sasaran Kelembagaan Pangan Non Beras Komponen Program Petani Mengembalikan cara pandang masyarakat terhadap pangan non beras Menampung produksi pangan non beras Mendistribusikan pangan lokal Mendorong petani mengorganisasikan diri Pengembangan dan pemanfaatan teknologi Mendorong Pemda memiliki kemandirian pangan non beras
X
X X
Kelompok Sasaran Kelompok Bank Pangan/ Tani Gapoktan X X
X X X
X X X X
Mitra Pengembang X X X
X
Bank Pangan Non Beras adalah lembaga yang menyatukan para petani secara horizontal, dan dibentuk untuk membangun cadangan pangan non beras. Bank Pangan non beras dapat dibentuk beberapa unit dalam satu desa. Bank Pangan ini, memiliki terbatas untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal yakni ikatan keanggotaan yang memiliki aktivitas sama agar dapat terjalin kerjasama dan kebersamaan. Sehingga suatu ketika, pada tahap selanjutnya dapat ditingkatkan menjadi organisasi yang berbadan hukum, bersifat modern dan mandiri. Strategi Pengembangan Kelembagaan Bank Pangan Non Beras adalah membangun preferensi masyarakat terhadap konsumsi pangan lokal dalam rangka mengurangi tekanan konsumsi beras yang semakin tinggi, penguatan Gapoktan sebagai Lembaga Bank Pangan Non Beras dalam upaya penyediaan pangan lokal non beras, serta pengembangan Kemitraan Strategis antar pelaku (Kelompok Tani, Gapoktan/Bank Pangan, Dewan Ketahanan Pangan, dan Mitra Pengembang) dengan menekankan pada proses pembangunan kolaborasi dan sinergi dalam upaya mengembalikaan kedaulatan pangan.
22
CATATAN PENUTUP
Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan bank pangan beras maupun nonberas untuk membantu orang miskin perdesaan dalam mengatasi kerawanan pangan. Pertama, adalah ketersediaan tanah garapan. Harga sewa tanah garapan dipasaran yang setara dengan 4.5 ton GKG (harga tahun 1998) terlalu mahal jika dikoversikan dalam bentuk rupiah. Karena itu, satusatunya harapan adalah mendapatkan tanah pemerintah daerah yang dikuasai negara (tanah pangonan). Harga sewa tanah garapan lebih layak dibandingkan dengan harga sewa di pasaran. Namun demikian, untuk mendapatkan tanah pangonan pun masih menghadapi tantangan. Tanah garapan ini dalam kenyataannya dikuasai oleh pemilik modal (monopoli). Pemenang lelang tanah pangonan selalu para pemilik modal. Pada posisi demikian, untuk mewujudkan program pemerintah dalam bentuk ketahanan pangan dan mencapai kedaulatan pangan lokal, peran pemerintah daerah sangat strategis pada proses pelalangan tanah pangonan. Pada proses lelang tanah negara tersebut, pemerintah daerah harus lebih berpihak kepada para petani landless atau buruh tani dari pada kepada pemilik modal. Karena sampai saat ini, sistem pelelangan tanah pangonan sulit ditembus oleh peserta lelang di luar kelompok pemilik modal, kecuali dilakukan intervensi program pemberdayaan atau riset aksi untuk memotong mata rantai proses lelang tersebut. Kedua, kemandirian kelompok tampaknya sulit berkembang. Banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain rendahnya pendidikan para anggota bank pangan dan tidak tersedianya modal sosial (jejaringan sosial; gotong royong; rendahnya social trust; tidak adanya akses kepada pemerintah untuk memiliki tanah garapan, baik dalam bentuk informasi dan daya tawar; faktor kemiskinan; Sulit mendapatkan orang yang mampu menjadi pemimpin di kalangan mereka; dll) dan modal kapital (penyertaan modal) dari para petani miskin. Gambaran bahwa masyarakat pedesaan memiliki sifat kegotong-royongan terutama dalam pekerjaan pertanian tidak selalu benar, hal ini dipengaruhi hilangnya pekerjaan gotong royong secara sosial dan budaya dalam membuka lahan dan pengolahan lahan yang cendrung digantikan dengan natura. Jadi ada semacam perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat perdesaan, dimana solidaritas organik yang seharusnya masih menjadi ciri mereka telah berubah menjadi solidaridas mekanik yang cenderung didasarkan pada rasionalitas uang. Di satu sisi, memang pendamping berhasil menjadi ”tokoh” yang dijadikan pantutan dalam pelaksanaan program, tetapi pada sisi lain tidak ada orang muncul yang dapat dijadikan pemimpin di kalangan mereka. Jadi, terjadi ketergantungan petani peserta program kepada pendamping (LIPI) sangat tinggi. Ketiga, mentalitas yang dimiliki para buruh tani menjadi persoalan tersendiri ketika mereka berorganisasi. Pekerjaan buruh tani yang terbiasa bekerja dengan sistem upah harian (daily income) menjadi faktor penghalang untuk menumbuhkan kesadaran baru, bahwa mereka harus bersabar menunggu hasil dalam setiap musim panen. Oleh karena itu, upaya merajut kerjasama di antara buruh 23
tani untuk mendapatkan hasil bersama di kemudian hari masih menjadi kendala tersendiri. Upaya inetrvensi dengan cara mengajak buruh tani untuk bersatu dan bersama untuk mengatasi kemiskinan dengan cara membangun solidaritas sosial, terkendala pada tidak hadirnya ”tokoh panutan” yang memiliki empati terhadap golongan miskin perdesaan. Sementara itu, keberadaan elit lokal masyarakat di perdesaan (pemilik modal, petani kaya, dsb ) dan juga elit pemerintah daerah kurang memberikan perhatian kepada lapisan buruh tani ini. Mereka lebih mementingkan diri sendiri. Keempat, introduksi bibit unggul (jagung hibrida dan ubikayu) untuk memenuhi permintaan pasar jika tidak hati-hati dilakukan akan membawa implikasi pada semakin berkurangnya produksi bahan pangan lokal yang selama ini dianggap sebagai sumber cadangan utama pangan. Dimana, cadangan pangan ini akan diperlukan, terutama ketika masyarakat kesulitan mendapatkan beras karena harga beras yang melambung tinggi. Hilangnya tanaman pangan lokal dan kelangkaan beras tidak hanya
berpengaruh kepada
ketahanan pangan, tetapi kemungkinan terburuk akan
menumbuhkan gejolak sosial di masyarakat. Karena itu, upaya membangun sistem pangan lokal sama halnya dengan memberi kesadaran kembali kepada masyarakat akan pentingnya keberadaan sistem cadangan pangan yang pernah berkembang di masyarakat jangan sampai hilang karena merupakan benteng ketika menghadapi krisis pangan. Berdasarkan beberapa catatan di atas, maka hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut: a. Pengembangan kelembagaan lokal akan lebih berhasil apabila menggunakan institusi yang ada atau pernah ada di masyarakat. b. Rekruitmen anggota kelompok lebih diserahkan kepada mereka sendiri, hal ini untuk menjamin agar modal sosial mudah terbentuk. c. Jumlah anggota jangan terlalu besar. Semakin besar anggota semakin sulit membentuk hubungan erat di antara anggota. d. Seleksi terhadap tokoh masyarakat yang memiliki jiwa kepemimpinan dan mau berkorban apabila ingin dilibatkan dalam kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA Norman Uphhof. 1986. hal. 8. Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press. Nainggolan, K. 2009. Isu-isu Kemiskinan dan Penguatan Ketahanan Pangan dalam Mengatasi Krisis Global, Makalah Disampaikan Di FGD P2E-LIPI, 15 – Oktober – 2009.
24
Osmet, 1999. ”Penanggulangan Kemiskinan Struktural pada Petani Sawah”. Makalah pada Seminar dan Lokakarya Penanggulangan Kemiskinan Struktural Pada Petani Sawah. Jogjakarta, 16-18 Desember 1999. Kerjasama P3K UGM-KIKIS-PERCIK Sajogya, 1978. ”Lapisan Masyarakat yang Paling Lemah di Pedesaan Jawa”, Dalam Jurnal Prisma, No. 3, 1978, Jakarta: LP3ES. Robi Muhamad, 2008. ”Masalah Kebijakan Publik”, dalam Kompas, Sabtu 14 juli 2008. Ujud Tahajuddin dan Dede Wardiat, 2000. ”Survival Masyarakat Buruh Tani dan Petani Kecil dalam Mengupayakan Ketahanan Pangan”. Dalam Bungan Rampai Ketahanan Pangan masyarakat Melalui Penguatan Kelembagaan Sosial Lokal. Jakarta, Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI. 2000. Departemen Keuangan, 2009. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2010, Departemen Keuangan, Jakarta. Departemen Keuangan, 2010. Nota Keuangan dan RUU APBN 2011, Departemen Keuangan, Jakarta.
25