LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN ANALISIS KINERJA DAN KENDALA PENYEBARLUASAN SISTEM RESI GUDANG DI INDONESIA
Oleh Erwidodo Erma Suryani Iwan Setiajie Anugerah
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang......................................................................................... 1.2. Tujuan...................................................................................................... II. METODE PENELITIAN
i x xii xiii xiv 1 1 3 4
III. SISTEM RESI GUDANG: LANDASAN TEORITIS DAN FAKTA EMPIRIS 3.1. Pengertian Sistem Resi Gudang .............................................................. 3.2. Kelembagaan Sistem Resi Gudang ......................................................... 3.3. Proses Penerbitan Resi Gudang ............................................................... 3.4. Skema Pembiayaan Sistem Resi Gudang ................................................ 3.5. Infrastruktur Pendukung Sistem Resi Gudang ........................................
5 5 5 7 8 9
IV. UNDANG-UNDANG RESI GUDANG NO.9/2006 DAN ATURAN PELAKSANAAN
13
V. KINERJA SISTEM RESI GUDANG DI INDONESIA 2008-2014
15
VI. KINERJA SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN CONTOH 6.1. Kinerja SRG di Kabupaten Indramayu ................................................... 6.1.1. Proses Penerbitan Resi Gudang .................................................... 6.1.2. Analisis Biaya Resi Gudang ......................................................... 6.1.3. Resi Gudang sebagai Alternatif Pembiayaan ............................... 6.2. Kinerja SRG di Kabupaten Subang ......................................................... 6.2.1. Potensi dan Pelaku Usaha Komoditas Padi ........................................... 6.2.2. Kinerja KSU Annisa sebagai Pengelola SRG .............................. 6.2.3. Proses Penerbitan Resi Gudang di KSU Annisa .......................... 6.2.4. Proses Penaksiran Harga .............................................................. 6.2.5. Kinerja Pengguna SRG ................................................................. 6.2.6. Prospek dan Perkiraan Keuntungan Penyelenggaraan SRG ......... 6.2.7. Kebijakan Pemerintah Daerah ...................................................... VII. KENDALA DAN PELUANG PENYEBARLUASAN SRG VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan .............................................................................................. 8.2. Implikasi Kebijakan................................................................................. IX. DAFTAR PUSTAKA
18 18 19 20 22 23 23 24 26 28 30 31 33 36 42 42 43 45
x
LAMPIRAN Lampiran 1. Kinerja Penerapan SRG di Kabupaten Indramayu.................... Lampiran 2. Kinerja Penerapan SRG di Kabupaten Subang.........................
xi
50 50 65
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
5.1. Perkembangan Penerbitan dan Nilai RG serta Nilai Pembiayaan 20082014................................................................................................................. 5.2. Nilai RG Berdasaran Jenis Komoditas Utama, 2014 ..................................... 6.1. Analisis Biaya Sistem Resi Gudang Gabah di Indramayu, 2014.................... 6.2. Analisa Simulasi Potensi Keuntungan Penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang............................................................................................................. 6.3. Analisa Simulasi Keuntungan pada Proses Penyelenggaraan SRG di Gudang KSU Annisa, Kabupaten Subang...................................................... 6.4. Analisa Simulasi Biaya Petani Pengguna SRG di KSU Annisa, di Kabupaten Subang 2014....................................................................................................
xii
15 16 21 31 32
33
DAFTAR GAMBAR Nomor 3.1. 3.2. 3.3. 6.1.
Halaman
Keterkaitan Lembaga Penyelenggara Sistem Resi Gudang............................ Alur Penerbitan Resi Gudang.......................................................................... Sistem Informasi Harga Komoditas................................................................ Skema Alur Penerbitan Resi Gudang di Gudang PT. Pertani, Kabupaten Indramayu...............................................................................................................
6.2. Bagan Alir Sistem Resi Gudang di KSU Annisa, Kabupaten Subang............ 6.3. Proses Penaksiran Harga Gabah Ketan di Pengelola Gudang KSU Annisa KabupatenSubang............................................................................................
xiii
6 7 10 20 27 29
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Kinerja Penerapan SRG di Kabupaten Indramayu......................................... 2. Kinerja Penerapan SRG di Kabupaten Subang...............................................
xiv
50 65
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan utama dalam perdagangan komoditas pertanian adalah fenomena ketidakstabilan harga. Pada saat panen raya dengan pasokan barang melimpah, umumnya harga akan anjlok dan sebaliknya saat musim paceklik, secara perlahan suplai barang di pasaran berkurang, harga mulai merangkak naik. Kondisi tersebut tentu tidak menguntungkan petani sebagai produsen, terutama petani yang berlahan sempit, karena jika hasil panennya dijual saat panen raya, maka harga yang diterima petani cenderung rendah. Kondisi tersebut membuat petani tidak memperoleh keuntungan maksimal. Ketidakstabilan harga khususnya untuk gabah sebagai komoditas pangan utama, mendorong pemerintah melakukan upaya stabilisasi harga dengan mengeluarkan kebijakan penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah yang bertujuan melindungi petani dari anjloknya harga pada saat panen raya. Bulog ditunjuk sebagai lembaga yang diberi wewenang untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi harga tersebut. Konsekuensi kebijakan tersebut, petani akan memperoleh harga gabah minimal sebesar HPP. Jika harga gabah di pasaran berada di bawah HPP, maka kewajiban Bulog untuk membeli gabah petani dengan harga HPP. Sebaliknya jika harga gabah di pasaran lebih tinggi dari HPP, maka petani bebas menjual hasil panen gabahnya ke calon pembeli selain Bulog. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa petani umumnya menjual gabahnya pada saat panen. Kondisi ini dimanfaatkan para pedagang untuk membeli gabah petani dengan harga sesuai HPP. Selanjutnya pedagang dapat menjual gabah tersebut saat musim pasokan gabah di pasaran mulai berkurang dengan harga lebih tinggi. Strategi pedagang untuk menunda jual gabah mampu memberikan margin keuntungan. Harapan pemerintah, margin keuntungan tersebut dapat dinikmati sebagian besar petani. Oleh karena itu, pemerintah merancang sistem yang dapat membantu petani untuk melakukan tunda jual hasil panennya dalam bentuk Sistem Resi Gudang (SRG). Fenomena fluktuasi harga pada perdagangan komoditas pertanian juga dialami di negara lain, terutama di negara-negara berkembang. Untuk melindungi petani dari instabilitas harga dan sekaligus memberikan alternatif pembiayaan untuk kegiatan produktif, negara lain sudah lama menerapkan pola SRG. Berdasarkan data dari konferensi Warehouse Receipt System (WRS) di Amsterdam pada tanggal 9-11 Juli 2001 maka negara-negara berkembang yang tercatat cukup berhasil menerapkan sistim resi gudang ini 1
adalah: : Rumania, Hungaria, Afrika Selatan, Zambia, Ghana, Rusia, Slovakia, Bulgaria, Cesnia, Polandia, Kazakstan, Turki, dan Mexico. Secara umum penerapan SRG mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga, meningkatkan bargaining position petani, memotivasi petani untuk berproduksi lebih tinggi dan menjaga kualitas, meningkatkan akses pembiayaan ke lembaga keuangan, membuka wawasan dan keterampilan petani terkait teknologi informasi, dan mengurangi intervensi pemerintah dalam mengatur perdagangan komoditas pertanian (Onumah, 2002; IFAD, 2012; Wikipedia, 2014). Undang-Undang SRG No. 9 Tahun 2006 mengatur dan melaksanakan SRG di Indonesia. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa SRG merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi resi gudang. Resi gudang merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Sesuai amanat UU, sebagai Penanggungjawab kegiatan SRG adalah Kementerian Perdagangan dan sebagai pengguna SRG adalah Kementerian Pertanian. Dalam pelaksanaan SRG, selanjutnya Kementerian Perdagangan membentuk Badan Pengawas SRG yang selanjutnya disebut Badan Pengawas yaitu unit organisasi di bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan SRG. Untuk mengefektifkan pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan selanjutnya mengeluarkan Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007 yang mengatur jenis barang yang dapat memanfaatkan SRG. Diterbitkannya UU SRG dan peraturan pendukungnya diharapkan seluruh pelaku SRG tidak ragu melakukan kegiatan SRG. Secara konsepsi, SRG dapat diimplementasikan di lapangan dan berpotensi memberikan keuntungan pada semua pelaku SRG, khususnya sasaran akhir yaitu petani. Namun, hasil penelusuran data sekunder ditemukan bahwa pelaksanaan SRG berjalan relatif lambat, terlihat dari perkembangan jumlah dan nilai resi gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang selama periode 2008 – 2014. Pada awal beroperasinya SRG tahun 2008, jumlah dan nilai resi gudang (RG) masing-masing sebesar 16 RG dan Rp 1,43 miliar, sedangkan pada tahun 2014 jumlah dan nilai RG masing-masing sebesar 596 RG dan Rp 124,97 miliar (Bappebti, 2014). Jumlah dan nilai RG tersebut relatif kecil jika dikaitkan dengan jumlah produksi komoditas pertanian. Selain itu, jenis komoditas yang digudangkan relatif terbatas pada komoditas gabah, beras, jagung, dan kopi meskipun menurut UU SRG dimungkinkan untuk menyimpan beragam jenis komoditas.
2
Pertanyaannya, mengapa pelaksanaan SRG berjalan relatif lambat, tidak sesuai yang diharapkan pemerintah ? 1.2. Tujuan Untuk mengetahui penyebab lambatnya implementasi dan penyebarluasan SRG, tujuan penelitian difokuskan untuk (1) mengetahui pelaksanaan SRG, khususnya di wilayah sentra padi, mengingat padi merupakan komoditas dominan SRG, dan (2) menggali permasalahan yang terjadi di lapangan serta memberikan alternatif pemecahannya.
3
II. METODE PENELITIAN Aspek pokok yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini ada tiga bagian. Pertama, terkit potensi keuntungan dan manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan SRG yang mengacu pada dasar hukum Resi Gudang. Kedua, menyajikan fakta terkait kinerja penyelenggaraan SRG. Ketiga, memaparkan permasalahan dalam implementasi SRG dan alternatif pemecahannya sehingga SRG dapat berkembang dan menyebar secara luas. Aspek pertama dijabarkan dengan memanfaatkan hasil-hasil penelitian/kajian sebelumnya. Aspek kedua, selain menganalisis data sekunder, juga dilakukan survey ke lokasi contoh (Kabupaten Indramayu dan Subang). Kegiatan survey difokuskan pada penggalian informasi terkait permasalahan penyelenggaraan SRG. Pemilihan kabupaten Indramayu ditujukan untuk melihat kinerja SRG yang melibatkan gudang milik BUMN (PT. Pertani), sedangkan di Kabupaten Subang untuk melihat kinerja SRG yang melibatkan gudang milik swasta (koperasi). Aspek ketiga difokuskan pada pembahasan terkait permasalahan implementasi SRG dan alternatif pemecahannya. Pengumpulan data primer dilakukan secara berjenjang dengan metode wawancara yang melibatkan seluruh stakeholder, yaitu Dinas Perdagangan, Dinas Pertanian, Bank yang ditunjuk untuk memfasilitasi SRG, Pengelola Gudang, dan Kelompok Tani/Petani. Data dan informasi dari berbagai sumber tersebut diharapkan memberikan informasi pelaksanaan SRG, permasalahan yang dihadapi, dan harapan keberlanjutan dan pengembangan SRG kedepan.
4
III. SISTEM RESI GUDANG: LANDASAN TEORITIS DAN FAKTA EMPIRIS 3.1. Pengertian Sistem Resi Gudang Sistim Resi Gudang (SRG) merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang (RG). Sejak tahun 2006, pemerintah mengeluarkan kebijakan SRG yang didasarkan pada Undang-Undang No.9 Tahun 2006, tentang SRG yang dikembangkan untuk membantu mengatasi persoalan petani padi musim panen (Erawan, 2008). Dalam UU SRG No 9/2006 dinyatakan bahwa RG merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Ada dua macam RG, yaitu (1) RG yang dapat diperdagangkan ("negotiable warehouse receipt") yaitu suatu resi gudang yang memuat perintah penyerahan barang kepada siapa saja yang memegang resi gudang tersebut atau atas suatu perintah pihak tertentu; dan (2) RG yang tidak dapat diperdagangkan ("nonnegotiable warehouse receipt") yaitu resi gudang yang memuat ketentuan bahwa barang yang dimaksud hanya dapat diserahkan kepada pihak yang namanya telah ditetapkan. Selain RG, juga bisa diterbitkan derivatif RG berupa warkat yang keduanya dapat diperdagangkan di bursa komoditi (Wikipedia, 2014). 3.2. Kelembagaan Sistem Resi Gudang Dalam UU No.9/2006 dinyatakan bahwa Kebijakan umum terkait SRG ditangani oleh Menteri Perdagangan. Dalam operasionalnya, penyelenggaraan SRG dijalankan oleh beberapa lembaga, yaitu : (1) Badan Pengawas, (2) Pengelola Gudang, (3) Lembaga Penilaian Kesesuaian, dan (4) Pusat Registrasi. Keterkaitan antar lembaga tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1. Badan Pengawas SRG ditangani oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), unit Eselon-1 Kementerian Perdagangan, yang bertanggungjawab langsung ke Menteri Perdagangan. Tugas pokok dan fungsi masing-masing lembaga sudah tertuang dalam UU No.9/2006 dan penjelasan secara rinci dapat ditelusuri pada beberapa sumber, seperti Putri (2010), Riana (2010), Bappebti (2011), dan Ashari (2011). Pengelola Gudang memegang peranan penting dalam penyelenggaran SRG, karena lembaga tersebut secara langsung berhubungan dengan pemilik barang dan menerbitkan dokumen resi gudang. Pengelola Gudang memiliki tanggung jawab atas pemeliharaan barang yang disimpan dalam gudang dan menanggung risiko jika terjadi kerusakan barang. 5
Oleh karena itu, untuk menjaga kualitas barang, Pengelola Gudang mensyaratkan standar mutu barang yang akan dimasukkan dalam gudang. Dalam operasionalnya, Pengelola Gudang bekerjasama dengan lembaga uji mutu barang dan lembaga penjamin barang. Besarnya tugas dan tanggung jawab Pengelola Gudang, sesuai dengan UU No.9/2006, Pengelola Gudang harus badan usaha berbadan hukum dan telah mendapat persetujuan Bappebti. Persyaratan menjadi Pengelola Gudang diatur dalam Peraturan Kepala Bappebti No. 01/Bappebti/Per-SRG/7/2007 dan No.11/Bappebti/Per-SRG/5/2009 (Bappebti, 2011).
Sumber : Bappebti, 2011
Gambar 3.1. Keterkaitan Lembaga Penyelenggara Sistem Resi Gudang Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) merupakan salah satu lembaga dalam SRG yang bertanggung jawab atas keterangan yang tercantum dalam sertifikat untuk barang. LPK tidak bertanggung jawab atas perubahan mutu barang yang diakibatkan oleh kelalaian Pengelola Gudang. Seluruh data yang dikeluarkan LPK selanjutnya oleh Pengelola Gudang akan dikirimkan ke Bappebti. Lebih lanjut data tersebut akan dikirimkan ke Pusat Registrasi untuk diberikan kode registrasi. Kode registrasi tersebut selanjutnya akan diberikan ke Pengelola Gudang. Keberadaan Pusat Registrasi dalam SRG sangat penting, karena lembaga ini bertanggung jawab dalam penyimpanan data-data seluruh barang yang diresigudangkan dan selanjutnya dapat diakses oleh lembaga perbankan dan asuransi untuk kepentingan pemberian kredit dan penjaminan barang.
6
3.3. Proses Penerbitan Resi Gudang Berdasarkan Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, jenis komoditas yang dapat diresigudangkan diutamakan barang untuk ekspor dan untuk ketahanan pangan. Persyaratan komoditas SRG, yaitu (1) mempunyai usia simpan yang cukup lama, minimal 3 bulan, (2) harga berfluktuasi, (3) mempunyai standar-mutu tertentu, (4) mempunyai pasar dan informasi harga yang jelas, dan (5) komoditi potensial dan sangat berperan dalam perekonomian daerah setempat dan nasional. Jenis komoditas SRG mencakup gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, dan rumput laut, dan tahun 2011 ditambah rotan dan garam. Selain komoditas tersebut, dapat juga disimpan di gudang dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Pemerintah Daerah, instansi terkait, atau asosiasi komoditas dengan tetap memperhatikan persyaratan komoditas yang diatur dalam Permendag. Penerbitan RG memiliki beberapa tahapan yang prosedurnya telah diatur oleh Bappebti. Alur penerbitan RG disajikan pada Gambar 3.2. Prinsipnya, barang yang akan diresigudangkan harus memenuhi standar yang ditetapkan Pengelola Gudang. Oleh karena itu, seluruh barang harus melewati tahap uji mutu dan penjaminan barang. Dokumen RG akan diterbitkan Pengelola Gudang setelah seluruh persyaratan terpenuhi. Seluruh data yang terkait dengan penerbitan RG akan masuk ke sistem informasi RG di Pusat Registrasi. Sistem Informasi Resi Gudang PUSAT REGISTRASI Pemilik Barang Asuransi
Uji Mutu Gudang Dokumen Resi Gudang
Agunan ke Bank/LKNB
Jual-Beli Pasar Lelang Jual langsung
Disimpan/ tanda kepemilikan barang
Sumber : Bappebti (2011)
Gambar 3.2. Alur Penerbitan Resi Gudang 7
3.4. Skema Pembiayaan Sistem Resi Gudang Dalam UU No.9/2006 telah dinyatakan bahwa dokumen RG dapat dijadikan agunan ke bank atau Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) untuk memperoleh kredit. Ada dua jenis kredit yang bisa diakses pemilik RG, yaitu kredit komersial dan kredit subsidi. Pengertian kredit komersial dengan jaminan RG adalah pemberian kredit kepada pemegang RG yang merupakan pemilik barang atau pihak yang menerima pengalihan dari pemilik barang atau pihak lain yang menerima pengalihan lebih lanjut. Sedangkan kredit modal kerja skema subsidi resi gudang (S-SRG) adalah kredit yang mendapat subsidi bunga dari Pemerintah dengan jaminan Resi Gudang yang diberikan Bank kepada petani, kelompok tani, gapoktan dan koperasi. BRI (2011) memaparkan skim S-SRG meliputi : (1) kredit diperuntukan bagi Petani, Kelompok Tani, Gapoktan dan Koperasi, (2) pola kredit executing, sumber pendanaan 100% dana masyarakat, (3) peserta tidak sedang memperoleh fasilitas kredit program dari pemerintah, (4) RG tercatat di Pusat Registrasi, (5) jenis komoditas mencakup gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet dan rumput laut, (6) plafon kredit sebesar 70% dari nilai RG, maksimal Rp 75 juta per petani, (7) jangka waktu kredit maksimum 6 bulan dan tidak dapat diperpanjang, (8) suku bunga kredit 6 %, selisih tingkat bunga S-SRG dengan beban bunga peserta S-SRG merupakan subsidi Pemerintah, dan (9) provisi dan biaya komitmen tidak dikenakan. Dasar hukum skema S-SRG adalah UU No.9/2006, PP No.36/2007, Peraturan Menteri Keuangan No. 171/PMK.05/2009 dan pelaksanaannya mengacu pada Permendag No. 66/M-DAG/PER/12/2009 (BRI, 2011). Sebagai penyalur kredit bersubsidi (S-SRG) tidak hanya bank pemerintah, tetapi bank swasta, LPDB Kementerian Koperasi dan UKM, serta
PKBL PT Kliring Berjangka Indonesia juga
dilibatkan. Dasar hukum skema S-SRG adalah UU No.9/2006, PP No.36/2007, Peraturan Menteri Keuangan No. 171/PMK.05/2009 dan pelaksanaannya mengacu pada Permendag No. 66/M-DAG/PER/12/2009 (BRI, 2011). Pengalaman negara India untuk akses pembiayaan yang berbasis pergudangan, dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu (1) Public Warehousing, (2) Private Warehousing, dan (3) Farmer focused approaches. Ketiga pendekatan tersebut memiliki sasaran yang berbeda, namun tujuannya akhirnya memberi keuntungan kepada seluruh pelaku SRG (Mahanta, 2012).
8
3.5. Infrastruktur Pendukung Sistem Resi Gudang Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan SRG, koneksi antar lembaga difasilitasi dengan jaringan beberapa sistem untuk mempermudah aktifitas masing-masing lembaga yang terlibat SRG. Beberapa sistem tersebut, yaitu (1) Sistem Informasi Resi Gudang (IsWare) dari Pusat Registrasi, (2) Sistem prosedur pengelolaan gudang SRG dari Pengelola Gudang, (3) Sistem Pelayanan dari lembaga SRG lainnya seperti LPK, Asuransi, Lembaga Keuangan (Bank/Non Bank), (4) Sistem tarif/biaya SRG yang wajar & kompetitif di setiap tahapan proses SRG, dan (5) Sistem informasi harga dari Bappebti. IS-WARE merupakan aplikasi sistem informasi di Pusat Registrasi yang dibangun untuk mempermudah akses data-data terkait SRG yang dibutuhkan oleh pengguna, seperti lembaga perbankan atau lembaga penjamin untuk melakukan verifikasi atau konfirmasi data. Sistem prosedur dibangun untuk memfasilitasi Pengelola Gudang untuk memperlancar kegiatan manajemen barang yang akan masuk-keluar gudang. Selain itu infrastruktur lain yang disediakan adalah sistem pelayanan yang memberikan akses lembaga SRG seperti LPK, Asuransi, Lembaga Keuangan (Bank/Non Bank). Sistem tarif/biaya SRG juga telah dibangun, agar tarif yang dikenakan ke pengguna memiliki standar tertentu. Contoh, untuk tarif sewa gudang, meskipun besarannya berbeda antar pemilik gudang, namun komponennya harus sudah memperhitungkan biaya survey gudang, biaya asuransi gudang, biaya kantor (tagihan PLN, PAM, akses internet), biaya kebersihan/sanitasi gudang, biaya keamanan gudang, biaya perawatan gudang, dan jasa pemilik gudang (iPasar, 2011). Sistem lainnya yang tidak kalah penting adalah sistem informasi harga yang dibangun Bappebti (Gambar 3.3). Melalui sistem informasi harga, pengguna dapat mengakses data harga komoditas yang diperdagangkan, tetapi masih terbatas pada komoditas yang ditentukan melalui Permendag. Tersedianya infrastruktur pendukung terkait berbagai sistem secara online diharapkan dapat mempermudah kegiatan SRG yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan SRG. Secara konsepsi, rancangan SRG cukup memadai untuk membantu petani pada saat menghadapi fluktuasi harga komoditas pertanian. Selain itu melalui SRG petani dapat memperoleh alternatif pembiayaan untuk kegiatan produksi lebih lanjut. Operasionalisasi SRG di Indonesia dimulai sejak
tahun 2008, namun sebelum
muncul Undang-Undang No.9/2006 Tentang SRG, berbagai macam terobosan telah 9
ditempuh baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha dalam sistem tata niaga komoditi pertanian. Beberapa diantaranya yang hampir mirip dengan SRG adalah sistem tunda jual, gadai gabah, dan yang terakhir adalah CMA (Collateral Management Agrement) seperti yang dikemukakan Putri (2012).
Indramayu Jombang Banyumas Makasar
Beras & Gabah Gabah Beras & Gabah Kakao & Jagung
Babel
Lada
Lampung
Kopi
Surabaya
Kedelai
http : //infoharga.bappebti.go.id
SMS Gateway
Informasi harga komoditas
SMS request : 0813-1430-2222
Email & Fax (Mingguan) : Bank, Pengelola Gudang, Prosesor & Buyer
Kontributor : Petani/Kelompok Tani Sumber : Bappebti (2011)
Gambar 3.3. Sistem Informasi Harga Komoditas Ditinjau dari kelengkapan infrastrukur sistem dan keamanannya, SRG merupakan sistem yang paling aman dan “canggih” jika dibandingkan dengan beberapa sistem yang pernah ada di Indonesia. Dalam SRG terdapat jaminan keamanan bagi perbankan karena semua data penatausahaan RG terpusat di Pusat Registrasi dan diawasi oleh BAPPEBTI. Selain itu terdapat kepastian mutu bagi pemilik barang maupun calon pemilik barang karena barang yang disimpan dikelola dengan baik oleh Pengelola Gudang dan diuji mutu sebelumnya oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian independen yang telah mendapat sertifikasi dari KAN dan disetujui oleh BAPPEBTI (Putri, 2012). Bappebti bekerja sama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) sejak tahun 2009. Hingga tahun 2013 telah dibangun 98 gudang SRG di 78 kabupaten di 21 provinsi. Khusus di Provinsi Jawa Barat, telah dibangun 11 gudang SRG yang tersebar di 10 kabupaten. Pada tahun 2014, Bappebti dibawah koordinasi Kementerian Perdagangan bersama dengan Pemda kembali melakukan pembangunan fasilitas gudang sebanyak 19 unit dan dilengkapi dengan mesin pengering (dryer) di 19 kabupaten (Bappepti, 2008 dan 2014). 10
Pembahasan tentang konsep dan pendekatan SRG telah banyak dikemukakan dalam berbagai tulisan, sebagaimana yang disampaikan oleh Ashari (2007, 2010, 2012), Yulistiyono (2014), Wahyudin (2011), Sunarto (2012), Sanuri (2008), Putri (2012), Prayitno (2011), Noviyanto (2011), Herlindah (2013), Haryotejo (2013), Devita (2012), Boen (2007), Erawan (2008) serta berbagai informasi terkait SRG dari media. Beberapa pendekatan konseptual yang terkait peserta S-SRG disebutkan bahwa : (1) Petani adalah perorangan warga negara Indonesia yang mengelola usaha di bidang pertanian/perkebunan/budidaya perikanan; (2) Kelompok Tani adalah kumpulan Petani/ pekebun/pembudidaya perikanan yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya, tempat) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota; (3) Gabungan Kelompok Tani adalah kumpulan beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha dan (4) Koperasi adalah koperasi primer sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang anggotanya terdiri dari Petani/pekebun/pembudidaya perikanan. Persyaratan komoditas pertanian yang dapat diresigudangkan, sebagaimana diatur dalam Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007, yaitu: (1) memiliki daya simpan paling sedikit tiga bulan, (2) memenuhi standar mutu tertentu, dan (3) jumlah minimum barang yang disimpan. Sedangkan jika dilihat dari ketentuan perdagangan berjangka komoditas, persyaratan komoditas yang dapat diperdagangkan berjangka adalah: (1) memiliki harga yang berfluktuasi, (2) tidak ada intervensi pemerintah, semata-mata atas dasar permintaan dan pasokan, dan (3) tersedia dalam jumlah yang cukup, bersifat homogen, dan tidak dimonopoli oleh kelompok tertentu, serta (4) merupakan komoditas potensial dan sangat berperan dalam perekonomian daerah setempat dan nasional karena menyangkut ketahanan pangan dan ekspor. Konsep tentang infrastruktur penyelenggaraan SRG, meliputi : (1) Gudang, adalah semua ruangan yang tidak bergerak dan tidak dapat dipindah-pindahkan dengan tujuan tidak dikunjungi oleh umum, tetapi untuk dipakai khusus sebagai tempat penyimpanan barang yang dapat diperdagangkan secara umum dan memenuhi syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri; (2) Barang, adalah setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum; (3) Barang Bercampur, adalah barang-barang yang secara alami atau kebiasaan dalam praktik perdagangan dianggap setara serta sama satuan unitnya dan dapat disimpan secara bercampur. Dalam 11
manajemen SRG dikemukakan bahwa Pemegang RG adalah pemilik barang atau pihak yang menerima pengalihan dari pemilik barang atau pihak lain yang menerima pengalihan lebih lanjut. Hak Jaminan atas RG, yang selanjutnya disebut Hak Jaminan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada RG untuk pelunasan utang, yang memberikan kedudukan untuk diutamakan bagi penerima hak jaminan terhadap kreditor yang lain. Pengaturan tugas dan peran lembaga penentu kebijakan yang terkait dengan SRG, disebutkan bahwa urusan Pemerintah Pusat di bidang pembinaan SRG meliputi: (1) penyusunan
kebijakan
nasional
untuk
mempercepat
pengembangan
SRG;
(2)
pengkoordinasian antar sektor pertanian, keuangan, perbankan, dan sektor terkait lainnya untuk pengembangan SRG; (3) pengoordinasian antara SRG dan Perdagangan Berjangka Komoditi; (4) pengembangan standardisasi komoditas dan pengembangan infrastruktur teknologi informasi; (5) pemberian kemudahan bagi sektor koperasi, usaha kecil dan menengah, serta kelompok tani di bidang SRG; dan (6) penguatan kelembagaan SRG dan infrastruktur pendukungnya, khususnya sektor keuangan dan pasar lelang komoditas. Urusan Pemerintah Pusat di bidang pembinaan SRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh Menteri. Terkait dengan peran dan fungsi Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa urusan Pemerintah Daerah di bidang pembinaan SRG meliputi: (1) pembuatan kebijakan daerah untuk mempercepat pelaksanaan SRG; (2) pengembangan komoditas unggulan di daerah; (3) penguatan peran pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan SRG; dan (4) pemfasilitasian pengembangan pasar lelang komoditas. Urusan Pemerintah Daerah di bidang pembinaan SRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan Badan Pengawas.
12
IV. UNDANG-UNDANG RESI GUDANG NO.9/2006 DAN ATURAN PELAKSANAAN Dasar hukum pelaksanaan SRG di Indonesia diatur dalam UU No.9/2006. Pelaksanaan amanat UU No.9/2006 selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2007. Pasal-pasal dan ayat yang termuat dalam PP No.36/2007 lebih mengarah pada penjelasan teknis sehingga diharapkan dapat mempermudah pengoperasian SRG di lapangan. Beberapa peraturan pendukung UU No.9/2006, antara lain Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 26/M-DAG/PER/6/2007 yang menjelaskan jenis komoditas yang dapat disimpan di gudang SRG, yaitu gabah, beras, jagung, kopi, kakao, lada, karet, dan rumput laut. Pada tahun 2011, Permendag No. 26/M-DAG/PER/6/2007 dinyatakan tidak
berlaku
ketika
diterbitkan
Permendag
No.37/M-DAG/Per/11/2011
yang
menambahkan komoditas rotan dapat disimpan di gudang SRG, selain 8 jenis komoditas yang diatur sebelumnya. Untuk pengaturan teknis penyelenggaraan SRG selanjutnya diatur oleh Peraturan Kepala Bappebti. Pada tahun 2007 telah dikeluarkan 4 peraturan Bappebti No. 03, 04, 05, 06/BAPPEBTI/PER-SRG/7/2007 yang mengatur (i) Persyaratan umum dan persyaratan teknis gudang, (ii) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh persetujuan sebagai lembaga penilaian kesesuaian dalam SRG, (iii) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh persetujuan sebagai Pusat Registrasi, dan (iv) Penetapan hari dalam SRG. Pada tahun 2008 dikeluarkan 3 peraturan Bappebti No. 08, 09, 10/ BAPPEBTI/PERSRG/7/2008 yang mengatur tentang (i) Pedoman teknis pengalihan RG, (ii) Pedoman teknis penjaminan RG, dan (iii) Pedoman teknis penyelesaian transaksi RG. Pada tahun 2009, telah dikeluarkan 3 peraturan Bappebti No. 11, 12, 13/ BAPPEBTI/PERSRG/5/2009 yang mengatur tentang (i) Persyaratan keuangan bagi pengelola gudang, (ii) Tata cara penyampaian laporan pengelola gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian dan Pusat Registrasi, dan (3) Tata cara pemeriksaan teknis kelembagaan dalam SRG. Untuk penilaian kualitas aktiva bank umum berdasarkan peraturan Bank Indonesia No. 9/6/PBI/2007. Dalam perjalanannya UU No.9 Tahun 2006 mengalami beberapa perubahan pada beberapa pasal dan ayat, selanjutnya dilakukan amandemen dengan UU No.9/2011. Beberapa pasal dan ayat yang diubah dalam amandemen, antara lain mencakup Lembaga Jaminan RG dan hak penerima jaminan (Pasal 1), terkait hal-hal yang harus dimuat dalam Resi Gudang (Pasal 5), terkait wewenang Badan Pengawas (Pasal 21), 13
terkait sertifikat RG (Pasal 29), dan beberapa pasal terjadi penambahan ayat untuk penjelas.
Dasar hukum SRG secara rinci telah dibahas oleh Herlindah (2013) dan Ashari
(2011).
14
V. KINERJA SISTEM RESI GUDANG DI INDONESIA 2008-2014 Data Bappebti (2008) dan kajian Putri (2012) menunjukkan bahwa sejak SRG diinisiasikan pada tahun 2008 dan perkembangannya hingga tahun 2010, secara nasional jumlah penerbitan RG mencapai 85 RG dengan volume 2.971,88 ton atau nilai setara Rp 10,45 miliar. Dari nilai RG yang diterbitkan, pengguna dapat mengajukan pembiayaan kepada lembaga keuangan Bank dan non Bank dengan jaminan kepemilikan RG. Nilai pembiayaan yang diterima dari lembaga keuangan sebesar Rp 4,47 miliar atau 42,8 persen dari nilai RG yang diterbitkan. Data resmi dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan memperlihatkan bahwa pelaksanaan SRG masih terbatas, meskipun terjadi peningkatan cukup nyata dalam penerbitan resi gudang selama tiga tahun terakhir (Tabel 5.1). Sejak 2008 - Desember 2014, dilaporkan 1.812 resi gudang telah diterbitkan dengan total nilai Rp 362 miliar. Dari total RG yang telah diterbitkan, sebanyak 1.544 pemilik RG memperoleh kredit dari lembaga keuangan/perbankan dengan total nilai kredit Rp 226 miliar. Dari perkembangan jumlah RG selama periode tahun 2008-2014, terlihat pada tahun 2011 terjadi lonjakan jumlah RG sekitar lima kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Lonjakan jumlah RG diduga karena adanya penambahan pembangunan gudang SRG di lima provinsi melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu di Provinsi Sumatera Utara (2 kabupaten), Lampung (5 kabupaten), Jawa Timur (2 kabupaten), Jawa Tengah (5 kabupaten) dan Gorontalo (1 kabupaten). Penambahan gudang SRG melalui DAK dilanjutkan pada tahun 2012 di 11 provinsi yang tersebar di 14 kabupaten (Bappebti, 2011). Penambahan jumlah gudang SRG berpengaruh pada peningkatan jumlah RG yang diterbitkan. Tabel 5.1. Perkembangan Penerbitan dan Nilai RG serta Nilai Pembiayaan 2008-2014 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Total
Penerbitan Jumlah RG Nilai (Rp Juta ) 16 1.432 13 553 57 8.679 271 40.068 379 93.183 480 93.210 596 124.966 1.812 362.090
Sumber: Bappebti, Kementerian Perdagangan (2014)
15
Pembiayaan Jumlah RG Nilai (Rp juta) 6 313 5 136 35 4.216 218 24.050 334 58.654 377 53.363 569 84.780 1.544 225.513
Berdasarkan jenis komoditas, jumlah dan nilai RG masih didominasi komoditas gabah. Jumlah RG untuk komoditas lain seperti beras, jagung, dan kopi terlihat relatif rendah. Dari total RG, 90,4 persen RG diterbitkan untuk komoditas gabah, 5,1 persen untuk komoditas beras, 3,7 persen untuk komoditas jagung, dan 0,4 persen untuk komoditas kopi. Akumulasi persentase jumlah penerbitan dan pembiayaan RG hingga Desember 2014 berdasarkan jenis komoditas utama disajikan dalam Tabel 5.2 (Erwidodo, 2014). Tabel 5.2. Nilai RG Berdasaran Jenis Komoditas Utama, 2014 Penerbitan Komoditas Gabah Beras Jagung Kopi
Jumlah RG 1.636 93 66 15
Pembiayaan
Nilai (Rp miliar) 306,291 38,322 15,034 1,111
Nilai (Rp miliar) 192,614 23,666 9,082 151
Jumlah RG 1.407 83 44 10
Sumber: Bappebti, Kementerian Perdagangan (2014)
Menurut Menteri Perdagangan (2013), baru ada 81 unit gudang dan hanya mampu menampung 5 persen kebutuhan pangan (beras) nasional. Kondisi ini sangat merugikan petani, yang sulit mendapatkan kepercayaan kredit dari bank, karena tidak ada bukti kepemilikan hasil produksi yang dapat dijadikan jaminan (agunan) untuk memperoleh kredit
perbankan.
Terbatasnya
ketersediaan
gudang
akan
sangat
menghambat
pengembangan SRG. Berdasarkan informasi dari Bappebti, beberapa gudang yang berpotensi untuk dijadikan gudang SRG, antara lain PT. Pertani memiliki 404 unit gudang yang tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, NTB, dan NTT. Sementara untuk PT. Bhanda Ghara Reksa (BGR)
memiliki 99 unit gudang yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, NTB, dan
Sulawesi, gudang PT. PPI sebanyak 108 unit. Selain itu, gudang milik Koperasi/KUD dan gudang swasta lainnya juga berpotensi untuk dijadikan gudang SRG. Sebagaimana UU RG No.9/2006, penyelenggara SRG dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, perusahaan swasta dan koperasi. Namun data Bappebti memperlihatkan masih sangat terbatasnya jumlah penyelenggara jasa RG. Pada akhir tahun 2014, Bappebti melaporkan lima besar penyelenggara RG menurut nilai RG yang diterbitkan, yakni PT Pertani (Rp 315 miliar), Koperasi Niaga Mukti (Rp 16,9 miliar), Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa (Rp 16,8 miliar), PT Bhanda Ghara Reksa (Rp 6,6 miliar), dan PT Food Station Cipinang Jaya (Rp 2,2 miliar). Atas dasar data tersebut, dipilih penyelenggaraan 16
SRG oleh PT Pertani di Kabupaten Indramayu dan SRG di Subang oleh KSU Annisa untuk mengetahui lebih rinci operasionalisasi SRG di lapangan.
17
VI. KINERJA SISTEM RESI GUDANG DI KABUPATEN CONTOH 6.1. Kinerja SRG di Kabupaten Indramayu Hasil survey di Kabupaten Indramayu menunjukkan bahwa penyelenggaraan SRG belum maksimal, terlihat dari sebagian besar petani yang masih enggan memanfaatkan SRG untuk mengatasi fluktuasi harga dan sekaligus sebagai alternatif pembiayaan. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh Kepala Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan Kabupaten Indramayu, antara lain : (1) petani keberatan pembebanan ongkos untuk hal-hal yang berkaitan pengemasan, karena biaya tersebut tidak diperhitungkan pada saat penentuan harga jual gabah; (2) Biaya transportasi atau angkutan dari tempat panen ke lokasi Gudang SRG yang dibebankan ke petani, dirasakan sangat memberatkan dan semakin jauh jarak lokasi panen ke gudang SRG akan semakin mahal ongkos angkutnya; dan (3) Kurangnya pemahaman petani tentang SRG, khususnya petani berlahan sempit (kurang 0.5 hektar). Petani yang berlahan sempit umumnya berpikir praktis, ketika saat panen tiba menginginkan segera menjual hasil panennya dan memperoleh uang tunai. Kebutuhan dana tunai yang ingin segera diperoleh petani berlahan sempit dan banyaknya pedagang yang menawarkan sistem tebasan mendorong petani yang berpikir praktis akan segera menjual hasil panennya dengan sistem tebasan tersebut. Berkembangnya sistem tebasan dianggap menguntungkan bagi petani berlahan sempit, karena petani akan langsung mendapat uang tunai dan tidak dibebani biaya panen, ongkos angkut, dan ongkos pengemasan. Sistem tebasan di Kabupaten Indramayu selama 3 tahun terakhir menawarkan harga relatif bagus, setara HPP gabah, artinya dari sisi perhitungan finansial petani masih memperoleh keuntungan yang memadai, sedangkan penebas (pedagang) berpeluang memperoleh keuntungan dengan cara tunda jual melalui pemanfaatan SRG. Terciptanya harga tebasan relatif bagus, akibat persaingan penebas yang datang tidak hanya dari Jakarta dan Bandung, tetapi juga dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Banyaknya jumlah penebas, menyebabkan bargaining position petani cukup kuat. Kondisi tersebut mendorong para petani berlahan sempit yang berpikir praktis memilih segera menjual hasil panennya dengan sistem tebasan daripada menggunakan SRG. Lambatnya penyebarluasan SRG di Kabupaten Indramayu, salah satunya karena ketersediaan gudang SRG relatif terbatas. Hal ini menyulitkan petani yang memiliki lahan sawah relatif jauh dari gudang, karena makin jauh jarak sawah ke gudang, beban biaya transportasi makin mahal. Gudang SRG yang tersedia di Kabupaten Indramayu masih terbatas pada gudang PT.Pertani yang berlokasi di Kecamatan Haurgeulis. Kapasitas 18
gudang Haurgeulis mampu menampung dan menyimpan gabah sebanyak 1876 ton gabah. Namun, kapasitas terpasang gudang tidak berhasil digunakan sepenuhnya (full capacity) karena belum tersedianya alat pengangkat untuk menumpuk karungan gabah yang tingginya lebih dari 10 meter. Pengguna jasa RG baik di Indramayu tidak hanya petani perorangan, tetapi juga Kelompok Tani (KT), Gapoktan, koperasi SBU, pedagang, dan perusahaan huller (RMU). Dari 78 RG yang dikeluarkan pengelola gudang di Indramayu, sekitar 10 persen (8 RG) diantaranya atas nama KSU. PT Pertani, sebagai Pengelola Gudang, menerbitkan RG dengan volume (nilai) yang berbeda untuk masing-masing RG, disesuaikan jenis varietas gabah dan status kepemilikan, yaitu: (i) 20 ton/RG untuk varietas IR, (ii) 16-17 ton/RG untuk varietas Pandan Wangi, (iii) 200 ton/RG untuk varietas IR bagi Gapoktan, dan (iv) 400 ton/RG bagi KSU Bina Hasil Tani. Untuk kasus di Subang, kemasan minimum ditetapkan 10 ton/RG. Sistem pengemasan masih diserahkan ke petani/pemilik barang, namun kedepan pengelola gudang SRG di Indramayu dan Subang akan memberlakukan karung kemasan yang seragam. SRG di Indramayu umumnya dimanfaatkan petani/pedagang/kelompok pada saat musim panen raya, yaitu sekitar bulan April-Mei. Jangka waktu RG atau lama penyimpanan yang berlaku adalah tiga bulan. Jangka waktu ini disesuaikan dengan jangka waktu tibanya musim panen berikutnya. Ketentuan ini bertujuan agar gudang RG sudah kosong saat musim berikutnya panen tiba. Disamping itu, untuk menghindari kerusakan/penyusutan serta turunnya harga jual gabah yang disimpan di gudang. 6.1.1. Proses Penerbitan Resi Gudang Pada proses penerbitan dokumen RG, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan calon pengguna RG. Alur penerbitan dokumen RG di Indramayu dapat dilihat pada Gambar 6.1. Pada prinsipnya sebelum barang masuk gudang penyimpanan, kualitas barang harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan pengelola gudang. Selanjutnya gabah yang sudah kering, dikemas dalam karung sebanyak 50 kg GKG/kemasan dan dijahit secara mekanis. Sebelum masuk gudang, dilakukan uji mutu oleh lembaga uji mutu dengan beberapa kriteria, salah satunya kadar air tidak boleh lebih dari 14 persen, karena kandungan kadar air berpengaruh pada kualitas gabah. Pada proses persiapan ini, ketersediaan alat pengering (dryer) sangat vital. Ketersediaan dryer yang dimiliki gudang PT. Pertani masih dirasakan 19
kurang memadai untuk menampung gabah yang akan diresigudangkan. Untuk gudang KSU Annisa, belum dilengkapi dryer hingga akhir 2014. Informasi yang diperoleh dari pengelola gudang, pengadaan dryer masih dalam proses. Sebelum barang masuk gudang, terlebih dahulu dilakukan proses uji mutu barang oleh Ujatasma (anak perusahaan Bulog), penaksiran nilai barang, asuransi, dan registrasi. Taksiran harga didasarkan pada harga pasar di wilayah tersebut. Setelah kelengkapan dokumen administrasi terpenuhi, selanjutnya barang diangkut ke gudang pengelola RG. Proses dari barang masuk gudang hingga penerbitan RG membutuhkan waktu kurang lebih 3 hari. Selanjutnya RG tersebut dapat digunakan sebagai agunan untuk memperoleh kredit dari bank, dalam hal ini bank yang ditunjuk menjadi rekanan untuk pengelolaan RG adalah Bank BJB KCP Haurgeulis. Gabah Basah/Kering Panen milik petani, kelompok, pedagang, pengepul, penggilingan padi
Pengeringan dan Pengemasan
GKG milik Perorangan/ Kelompok - Lulus uji mutu - Registrasi
- Penaksiran harga - Asuransi Masuk Gudang PT.Pertani
permohonan Persyaratan RG terpenuhi Penerbitan Resi Gudang
Jaminan Kredit Bank BJB Sumber : Gudang Pengelola SRG PT.Pertani Kabupaten Indramayu (2014)
Gambar 6.1. Skema Alur Penerbitan Resi Gudang di Gudang PT. Pertani, Kabupaten Indramayu
6.1.2. Analisis Biaya Resi Gudang Biaya penyimpanan barang di gudang SRG bervariasi tergantung lamanya waktu simpan. Untuk gudang PT.Pertani di Indramayu biaya gudang ditetapkan : Rp 75/kg untuk 20
3 bulan, Rp 90/kg untuk 4 bulan, Rp 105/kg untuk 5 bulan, dan Rp 120/kg untuk 6 bulan (maksimum). Biaya gudang mencakup empat komponen, yaitu (1) biaya bongkar sebesar Rp 10/kg, (2) biaya uji mutu sebesar Rp 5/kg, (3) biaya psrg & asuransi sebesar Rp 10/kg, dan (4) biaya perawatan sebesar Rp 10/kg. Namun sebelum barang digudangkan, proses pengeringan hingga pengemasan memakan biaya Rp 200/kg gabah basah atau Rp 250/kg GKG. Untuk memperoleh gambaran tentang perhitungan resi gudang, berikut dijelaskan analisis biaya RG kasus penyimpanan barang sebanyak 20 ton GKG varietas Ciherang dengan lama penyimpanan 3 bulan di Gudang PT. Pertani, Indramayu. Rincian perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1. Analisis Biaya Sistem Resi Gudang Gabah di Indramayu, 2014 No.
Uraian
Nilai (Rp)
1. 2.
Nilai taksiran barang (Rp 5.000/kg x 20 ton) Biaya : a. Biaya pra-gudang (pengeringan, pengemasan dengan karung, jahit karung dengan mesin) (Rp 250/kg GKG x 20 ton) b. Biaya gudang - Biaya bongkar (Rp 10/kg x 20 ton) - Biaya uji mutu (Rp 5/kg x 20 ton) - Biaya registrasi & asuransi (Rp 10/kg x 20 ton) - Biaya perawatan (Rp 10/kg x 20 ton) c. Jasa sewa gudang (Rp 40/kg x 20 ton) d. Total biaya (2a + 2b)
100.000.000
Pangsa thd. Nilai Barang (%) 100,00
5.000.000
5,00
200.000 100.000 200.000
0,20 0,10 0,20
200.000 800.000 6.500.000
0,20 0,80 6,50
Sumber : Gudang PT.Pertani Kabupaten Indramayu (2014)
Berdasarkan Tabel 6.1, pangsa biaya pra-gudang ternyata lebih besar (5 %) dibandingkan biaya gudang sebesar 1,5 persen. Komponen terbesar dari biaya pra-gudang terletak pada biaya pengeringan dari gabah basah ke gabah kering. Proses pengeringan tidak diharuskan di dryer milik PT.Pertani, petani boleh melakukan pengeringan sendiri asal memenuhi standar mutu gudang (kadar air 14 %). Pengelola gudang hanya mewajibkan petani untuk menjahit karung kemasannya di PT.Pertani, karena harus menggunakan jahit mesin agar kemasan kuat dan tidak mudah rusak. Biaya pra-gudang belum memperhitungkan ongkos angkut dari sawah petani ke gudang PT.Pertani. Untuk biaya gudang, terdapat beberapa komponen yang harus dibayar pemilik barang. Bongkar barang ditangani langsung oleh tenaga kerja PT.Pertani. Uji mutu barang dilakukan lembaga di luar PT.Pertani dengan biaya Rp 5/kg GKG. Untuk barang yang 21
akan diresigudangkan, barang harus diregistrasi ke Kliring Berjangka Indonesia (KBI) dan diasuransikan, dalam hal ini PT.Pertani menggunakan rekanan PT.Sinar Mas sebagai penjamin risiko barang. Kegiatan registrasi dan asuransi tersebut dikenakan biaya sebesar Rp 5/kg. Biaya sewa gudang merupakan penerimaan PT.Pertani atas jasa penyewaan gudang. Biaya keseluruhan dari pra-gudang hingga diterbitkannya RG, seluruhnya sebesar 6,5 persen dari nilai RG, dengan catatan biaya angkut gabah dari sawah ke lokasi gudang belum diperhitungkan. Biaya angkut gabah berbanding lurus dengan jarak, makin jauh jarak sawah ke gudang PT.Pertani, maka ongkos angkut makin mahal. Oleh karena itu, PT.Pertani akan membatasi barang yang masuk ke gudang maksimal jarak dari lokasi sawah ke gudang sekitar 40 km. Jika jaraknya lebih dari 40 km, maka disarankan untuk memanfaatkan gudang PT.Pertani lainnya yang jaraknya dari lokasi sawah relatif lebih dekat. Proses penerbitan resi gudang rata-rata memakan waktu sekitar 3 hari. 6.1.3. Resi Gudang sebagai Alternatif Pembiayaan Resi Gudang hanya dapat diterbitkan oleh Pengelola Gudang yang telah memperoleh persetujuan Bappebti. Resi gudang yang telah diperoleh, selanjutnya dapat dijadikan agunan untuk memperoleh pinjaman dari bank, dalam hal ini Bank BJB Indramayu. Sebelum kredit dicairkan, akan dilakukan survey dengan cara mengecek kondisi barang di gudang PT.Pertani. Secara paralel seorang Analis akan melakukan pengecekan dokumen RG ke kantor Kliring Berjangka Indonesia (KBI) melalui sistem online (IS-WARE). Melalui sistem online ini juga RG yang akan dijaminkan didaftarkan ke KBI sebagai resi yang mengajukan permohonan kredit. Menurut informasi dari Bank BJB Indramayu, pemberian kredit kepada pemilik resi gudang atas nama kelompok maksimum 70 persen dari nilai RG. Jika pemilik resi gudang atas nama perorangan, nilai kredit yang diberikan maksimum Rp 75 juta. Bank tidak mengenakan biaya administrasi untuk setiap permohonan pinjaman melalui agunan RG. Bahkan pemilik RG akan memperoleh subsidi bunga dari pemerintah, sehingga tingkat bunga yang dibebankan pemilik RG relatif kecil. Tingkat suku bunga SRG ditetapkan sebesar tingkat bunga pasar yang berlaku dengan ketentuan paling tinggi sebesar suku bunga penjaminan simpanan pada bank umum yang ditetapkan oleh lembaga penjaminan simpanan ditambah 6,75 %. Beban bunga kepada peserta SRG ditetapkan sebesar 6%. Selisih tingkat bunga SRG dengan beban bunga peserta SRG merupakan subsidi pemerintah. Jika diasumsikan nilai RG sebesar Rp 100 juta (mengacu pada Tabel 6.1) dan barang disimpan selama 2 bulan dengan tingkat bunga 6 %/thn, maka biaya bank yang 22
harus ditanggung pengguna sebesar Rp 700 ribu atau 0,7 persen dari nilai RG. Penyaluran kredit resi gudang selama periode tahun 2010-2012 berjalan lancar, namun pada tahun 2013-2014 sedikit ada masalah. 6.2. Kinerja SRG di Kabupaten Subang 6.2.1. Potensi dan pelaku usaha komoditas padi
Kabupaten Subang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat setelah Indramayu dan Karawang, sekaligus menjadi penyumbang/kontributor produksi padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Potensi lahan sawah pada tahun 2013 mencapai luasan 84.928 hektar atau 41,39 persen dari total luas wilayah Kabupaten Subang dan sebagian besar lahan sawah berpengairan teknis. Dari luasan sawah tersebut potensi produksi padi sawah di Kabupaten Subang pada tahun 2013 mencapai 1,2 juta ton, dengan luas panen 177,5 ribu hektar dan rata-rata produksi mencapai 6,79 ton per hektar. Potensi produksi padi sawah paling besar tercatat di Kecamatan Ciasem (99.843 ton), Patokbeusi (84.297 ton), Tambakdahan (77.623 ton), serta Kecamatan Blanakan (68.692 ton) (BPS Kabupaten Subang, 2014). Berdasarkan produksi padi yang dihasilkan dari 30 wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Subang (1,2 juta ton), diperkirakan baru sebagian kecil produksi yang telah diikutsertakan dalam program SRG. Selain penyelenggaraan SRG masih terkonsentrasi pada beberapa kecamatan juga spesifikasi jenis padi yang ditangani masih terfokus pada padi ketan sebagai komoditas yang dikelola oleh SRG. Dengan mengacu pada jumlah produksi padi yang dihasilkan dari setiap wilayah produksi tersebut, maka potensi pengembangan program SRG, khususnya untuk komoditas gabah dan beras masih sangat prospektif dilaksanakan di wilayah Kabupaten Subang. Disisi lain data pengelolaan usahatani padi di Kabupaten Subang pada tahun 2013 (BPS Kabupaten Subang, 2014), menunjukkan bahwa jumlah petani penggarap mencapai 461.634 orang, terdiri atas pemilik sawah 33,08 persen dan sebagian besar (66,92 %) sebagai penggarap bukan pemilik sawah. Jika dikaitkan dengan luas areal sawah yang ada di Kabupaten Subang pada tahun 2013, maka rata-rata lahan yang digarap oleh petani pemilik dan bukan pemilik, menunjukkan rata-rata pengusahaan lahan hanya 0,184 hektar per penggarap serta hasil produksi yang diperoleh rata-rata hanya mencapai 2,61 ton untuk setiap petani penggarap.
23
Besarnya persentase petani penggarap yang bukan pemilik lahan garapan, baik itu dilakukan dengan sistim sewa, maro, bagi hasil dan pola penggarapan lainnya akan sangat menentukan pada proses pengambilan keputusan dalam penjualan hasil panen (jual langsung atau tunda-jual). Kelembagaan lain terkait usahatani di kabupaten Subang seperti bawon, borongan dan lainnya turut mewarnai keputusan yang akan diambil terkait pemasaran hasil panen terutama yang mengarah pada penerapan SRG. 6.2.2. Kinerja KSU Annisa sebagai Pengelola SRG Penyelenggaraan Skim SRG di Kabupaten Subang dilaksanakan melalui model kegiatan usaha yang dikelola oleh Koperasi. Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa yang berlokasi di Kecamatan Binong, memulai usahanya pada tahun 2008 dengan mengelola komoditas khusus (gabah dan beras ketan) yang diprogramkan oleh Ditjen P2HP Kementerian Pertanian di wilayah Kecamatan Binong dan kecamatan sekitarnya di Kabupaten Subang. Pelaksanaan program tersebut ditujukan untuk mengurangi substitusi impor sebesar 10 persen. Dalam percepatan penyelenggaraan SRG di wilayah kerjayanya, KSU Annisa pada tahun 2010 memperoleh kesempatan untuk menggunakan/mengelola fasilitas gudang milik Bappebti yang ada di Kecamatan Binong.
Jenis komoditas yang diusahakan dalam
penyelenggaraan SRG, difokuskan pada komoditas gabah ketan varietas Derti dan Gebro yang banyak ditanam masyarakat di sekitarnya. Penanaman beras ketan di Kabupaten Subang secara intensif dilakukan sejak tahun 2002 di Desa Citra Kecamatan Binong, Subang, Jawa Barat. Pola tanam padi ketan dilakukan petani dua kali setahun. Musim panen raya biasanya terjadi pada bulan April dan Agustus. Rata-rata produksi pada bulan April mencapai 7,5 ton/hektar, sedangkan pada bulan Agustus rata-rata 6 ton/hektar. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen P2HP) telah menggalang kemitraan antara petani beras ketan dengan penggilingan dan importir melalui program substitusi beras ketan impor di Subang Jawa Barat. Selama periode tahun 20102011, luas areal ketan mencapai ± 7.250 ha yang tersebar di 8 kecamatan dan 30 desa. Kebijakan substitusi impor sebesar 75 persen yang diprogramkan Ditjen P2HP berdampak pada penyerapan beras ketan lokal. Program ini cukup berhasil, terlihat dari minat petani untuk tetap memilih komoditas gabah ketan sebagai komoditas usahataninya. Meningkatnya produksi gabah ketan dan tidak adanya kebijakan HPP untuk gabah ketan, mendorong harga gabah ketan berfluktuasi di pasaran (Sinar Tani, 2011). Untuk 24
melindungi petani dari ketidakstabilan harga tersebut, instrumen SRG yang dikelola KSU Annisa diharapkan mampu menjadi solusi pengguna. Pada akhir tahun 2014, Bappebti melaporkan lima besar penyelenggara RG menurut nilai RG yang diterbitkan. KSU Annisa merupakan salahsatu penyelenggara SRG yang termasuk berhasil berdasarkan jumlah RG yang diterbitkan. Jumlah RG yang diterbitkan oleh pengelola SRG KSU Annisa mencapai 173 dengan nilai Rp 16,85 miliar. Dari jumlah RG yang diterbitkan, sebanyak 170 RG (98,27 %) diajukan menjadi sumber pembiayaan dengan nilai kredit sebesar Rp 11,56 miliar melalui Bank BJB (Bank JabarBanten) Cabang Kabupaten Subang. Hanya 1,73 persen RG yang disimpan sebagai tanda bukti kepemilikan barang di gudang SRG dan tidak diajukan untuk jaminan kredit. Pelaksanaan SRG oleh KSU Annisa terus berkembang, sejalan dengan program pengembangan komoditas padi ketan yang diintroduksikan. Pengelolaan gudang SRG yang semula hanya 1 unit tidak mampu menampung produksi gabah ketan petani yang terus bertambah. Meningkatnya jumlah petani yang menjadi pengguna SRG, KSU Annisa memutuskan untuk menambah gudang melalui sistem sewa. Berdasarkan informasi pengelola gudang, biaya sewa gudang mencapai Rp 11.500/m 2 per 5 bulan atau Rp 27.600/m2 per tahun. Hingga akhir 2014, gudang SRG yang dikelola KSU Annisa seluruhnya menjadi 4 unit gudang SRG dimana, 3 unit dalam bentuk sewa dan 1 unit melalui pinjam pakai milik Bappebti. Lokasi gudang berada di Kecamatan Binong (3 desa) dan di Kecamatan Compreng (1 desa). Luas keempat gudang mencapai 2.180 m2 dengan daya tampung sebanyak 2.790 ton. Kondisi pada bulan Desember 2014, pengisian gudang baru mencapai 2.636,5 ton (94,5 %), artinya gudang masih memiliki kapasitas simpan sebesar 5,5 persen, jika terjadi penambahan barang dari pengguna. Salah satu gudang yang disewa KSU Annisa pada dasarnya merupakan milik pengurus kelompok tani yang juga menjadi anggota KSU Annisa dan pengelola SRG. Hal ini dilakukan karena jumlah dan ketersediaan gudang yang ada di wilayahnya juga terbatas. Lokasi gudang tersebut berada diantara lahan usahatani yang dikelola petani yang menjadi anggota kelompok. Pemanfaatan gudang tersebut dapat mengurangi beban biaya transportasi, khususnya untuk ongkos angkut yang harus dikeluarkan petani pada saat membawa gabah hasil panen atau beras yang akan disimpan ke gudang SRG KSU Annisa. Gudang SRG umumnya menerima banyak gabah pada bulan April – Mei serta pada bulan Oktober - Desember dan mulai terjual pada bulan Januari - Februari. Jangka waktu penyimpanan gabah ketan di gudang tergantung kualitas gabah yang ditentukan dari kadar 25
airnya. Proses pengeringan gabah yang dilakukan sangat memegang peranan penting, terkait dengan proses penyimpanan dan kualitas gabah yang dihasilkan. Penanganan maupun sarana pengeringan akan menentukan kandungan kadar air dan kualitas gabah yang selanjutnya akan berpengaruh pada masa penyimpanan. Pengeringan gabah dengan dryer dapat menghasilkan gabah dengan kadar air 14 persen, sedangkan pengeringan dengan panas matahari menghasilkan gabah dengan kadar air lebih dari 14 persen. Gabah dengan kadar air hingga 14 persen dapat disimpan di gudang selama 3-6 bulan, sebaliknya jika kadar air lebih dari 14 persen, maka gabah hanya tahan disimpan selama 2-3 bulan. 6.2.3. Proses penerbitan Resi Gudang di KSU Annisa Penerbitan RG diawali dengan proses permohonan yang dilakukan pemilik barang baik atas nama individu atau kolektif. Setiap pemohon resi gudang harus mengikuti aturan yang ditetapkan pengelola gudang, sesuai ketentuan yang sudah dipersyaratkan dalam peraturan Menteri Perdagangan. Proses penerbitan resi gudang yang dilakukan di KSU Annisa dapat dilihat pada Gambar 6.2. Dalam permohonan penerbitan RG, pengelola gudang mensyaratkan bahwa untuk mendapatkan satu sertifikat RG atau untuk satu nama (pemohon) kepemilikan RG, pengajuan barang (gabah) minimal 10 ton gabah yang dipersyaratkan. Oleh karena itu, jika volume barang yang dimiliki petani kurang dari 5 ton atau dari jumlah yang ditetapkan, maka petani tersebut harus bergabung dengan petani lain atau kelompok tani, hingga mencapai volume minimal yang disyaratkan pengelola gudang. Berdasarkan pengalaman pengelola gudang, proses pengusulan untuk permohonan RG melalui satu nama yang tergabung dalam Gapoktan ataupun Koptan, akan sangat memudahkan dalam pengaturan administrasi pengelola gudang. Namun keinginan pengelola gudang ini perlu mempertimbangkan kepentingan dan fleksibilitas pemilik barang untuk sewaktu-waktu menarik dan menjual barangnya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bagi pengelola gudang menerbitkan RG dalam volume besar mungkin lebih efisien karena mengurangi waktu pengurusan dan proses administrasi penerbitan RG. Sebaliknya, bagi pemilik barang, RG dalam pecahan volume kecil akan memberikan flexilibitas bagi pemilik dalam melakukan strategi pemasaran untuk memperoleh keuntungan maksimum, sebagaimana ungkapan ”do not put your eggs in one basket”. Kegiatan pra-gudang untuk gabah yang akan diresigudangkan di KSU Annisa, seluruhnya dilakukan pemilik barang. Hal ini mengingat sejak beroperasi hingga Desember 26
2014, KSU Annisa belum memiliki fasilitas untuk kegiatan pra-gudang, seperti pengeringan, pengemasan, dan proses penjahitan karung. Secara teknis, pengelola gudang menerima barang yang sudah dikemas oleh pemilik barang. Namun demikian sebelum barang diterima untuk masuk ke gudang, pengelola terlebih dahulu melakukan pengecekan atas ketersediaan tempat di gudang dan uji mutu barang melalui Ujastasma Bulog Subdrive Kabupaten Subang sebagai lembaga kompeten yang ditunjuk untuk melakukan hal tersebut. Permohonan Simpan Barang
tidak
tidak Ruang Tersedia
Mutu Barang Sesuai?
Ya
Ya
Pengalihan Resi Gudang
Asuransi barang
Pembongkaran, penimbangan dan penumpukkan barang
Penerbitan Resi Gudang
Penjaminan Resi Gudang
tidak Cidera janji?
Ya
Penyimpanan dan Perawatan Barang
Perubahan pembebanan hak jaminan
tidak Ya
RG dijaminkan
Penyelesaian Transaksi
Penghapusan pembebanan hak jaminan
tidak
Penyerahan obyek hak jaminan
STOP Sumber : KSU Annisa (diolah)
Gambar 6.2. Bagan Alir Sistem Resi Gudang di KSU Annisa, Kabupaten Subang
27
Setiap barang yang akan diresigudangkan harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan pengelola gudang. Standar mutu ditetapkan menurut jenis komoditas yang dikelola oleh SRG. Standar mutu beras giling yang ditetapkan gudang KSU Annisa sesuai SNI 01-6128-1999. Standar yang sudah ditetapkan untuk mutu beras giling, meliputi derajat sosoh, kadar air maksimum, persentase beras kepala dan keutuhan butiran, benda asing serta tingkat kebersihan dalam proses pengilingan gabah menjadi beras. Sementara untuk penetapan mutu gabah sesuai SNI 01-0224-1987. Standar mutu gabah yang dipersyaratkan meliputi, persentase jumlah kadar air, gabah hampa, kwalitas butiran gabah, benda asing maupun jenis varietas gabah yang akan disimpan di gudang SRG. Pada saat proses barang sudah lolos uji mutu dan tempat di gudang masih tersedia, maka pengelola gudang akan menerima barang tersebut untuk diproses masuk penyimpanan di gudang. Sebelum RG diterbitkan, pengelola gudang juga harus mengurus asuransi sebagai penjamin risiko kerusakan atau kehilangan barang selama disimpan di gudang. Dalam dokumen Resi Gudang tercantum bahwa barang yang disimpan di gudang SRG diasuransikan terhadap resiko kebakaran, melalui perusahaan Asuransi Central Asia. Setelah seluruh tahapan dalam proses SRG dilakukan, pengelola gudang akan segera menerbitkan RG. Selanjutnya RG tersebut dapat dijadikan sebagai agunan untuk mengajukan kredit di bank BJB cabang Kabupaten Subang. Proses permohonan kredit di Bank BJB Kabupaten Subang relatif sama dengan proses permohonan kredit di Bank BJB lainnya yang memberikan fasilitas kredit melalui kegiatan SRG. Hal ini karena kebijakan perbankan BJB dalam proses kredit untuk kegiatan SRG telah ditentukan melalui standar ketentuan secara terpusat. Besaran skim kredit melalui instrumen RG ditetapkan 70 persen dari nilai RG atau maksimum sebesar Rp. 75 juta untuk perorangan/individu. 6.2.4. Proses penaksiran harga Proses penaksiran harga pada komoditas gabah ketan yang diresigudangkan di KSU Annisa, dilakukan pengelola gudang dengan beberapa tahapan. Tahapan yang dilakukan, yaitu; (1) melakukan survey harga pasar; (2) memperkirakan biaya angkut gabah dari lokasi sawah ke gudang; dan (3) memperhitungkan biaya penyusutan barang pada proses pengeringan. Sebagai ilustrasi, dengan menggunakan harga pasar gabah dan komponen biaya 2014, tahapan penaksiran harga gabah ketan yang akan diresigudangkan disajikan pada Gambar 6.3.
28
Pada tahap awal, survey harga pasar dilakukan dengan cara melihat harga pasaran gabah ketan dengan beragam kualitas di beberapa bakul, Penggilingan Beras (PB) dan calo-calonya serta berdasarkan harga standar musim sebelumnya. Setelah diperoleh harga rata-rata, selanjutnya memperhitungkan biaya angkutan dari sawah ke gudang SRG, dan biaya penyusutan gabah setelah proses pengeringan. Biaya angkutan dari sawah ke gudang
SURVEY HARGA PASAR - Gabah ketan kualitas rendah Rp 5500/kg - Gabah ketan kualitas sedang Rp 5800/kg - Gabah ketan kualitas tinggi Rp 6100-6200/kg
Rp 580/kg
Biaya penyusutan pada proses pengeringan sekitar 15-20 %
Harga Rata-rata Rp. 6.000/kg Harga taksiran gabah ketan Rp 7.000/kg
Sumber : Informasi dari KSU Annisa, 2014 (diolah) Gambar 6.3. Proses Penaksiran Harga Gabah Ketan di Pengelola Gudang KSU Annisa KabupatenSubang
Proses penaksiran harga harus didasarkan pada harga yang terjadi di pasaran. Jika taksiran harga lebih tinggi dari pasaran (over-estimate), akan berpotensi menimbulkan masalah ketika RG dijaminkan ke bank untuk memperoleh kredit. Taksiran harga yang cenderung tinggi, berpeluang barang sulit terjual hingga batas jatuh tempo dan pada akhirnya muncul NPL (Non-Performing Loan) atau kredit macet. Pada umumnya pembeli gabah dari gudang KSU Annisa adalah unit Penggilingan Beras. Jika pembelinya penggilingan beras, maka yang dijadikan patokan harga untuk pembelian gabah adalah konversi harga eceran beras ketan. Dalam proses penggilingan gabah ke beras rata-rata rendemennya sebesar 54 persen. Sebagai gambaran jika gabah yang digiling sebanyak 10 ton, maka akan diperoleh beras ketan sebanyak 5,4 ton. Pembeli (PB) akan memperoleh keuntungan dari produk sampingan hasil pengolahan gabah ke beras, berupa menir sebesar 10 persen dan dedak 1 persen dari total volume gabah yang digiling. Menir dan dedak sebagai hasil sampingan pada saat penggilingan gabah, mempunyai nilai jual masing-masing Rp. 8.500/kg dan Rp. 2.300/kg.
29
6.2.5. Kinerja Pengguna SRG Pengguna SRG yang dikelola KSU Annisa, baru mencapai 200 orang petani, baik secara individu maupun tergabung dalam kelompok tani dan Gapoktan “Tani Sejahtera”. Selain petani dan kelompok tani, pengguna SRG juga terdiri atas 6 orang pedagang yang sekaligus merupakan anggota kelompok tani yang secara bersama-sama memanfaatkan 4 gudang yang disediakan oleh pengelola. Jumlah anggota gapoktan seluruhnya mencapai 426 orang yang terdiri atas 8 kelompok tani, dan 6 kelompok diantaranya yang telah aktif memanfaatkan SRG. Total luas sawah dari seluruh anggota gapoktan (420 petani) mencapai 517 hektar. Dengan demikian tidak seluruh anggota gapoktan memafaatkan SRG sebagai sarana untuk memasarkan hasil panennya. Bagi petani yang tidak memanfaatkan SRG, hasil panen langsung dijual lepas ke kelompok tani dan langsung mendapat uang tunai. Petani tidak bisa menahan gabah hingga kering karena tidak memiliki tempat penyimpanan maupun tempat jemur. Dorongan kebutuhan untuk pemenuhan konsumsi dan keperluan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga menjadi alternatif para petani, khususnya petani berlahan sempit harus segera menjual gabah. Sebagian petani dengan terpaksa menjual gabah ke tengkulak dengan konsekuensi memperoleh harga rendah (Bappepti, 2008). Sebagian besar petani yang berlahan terbatas, umumnya menjual hasil panennya secara tebasan. Kecenderungan menggunakan sistem tebasan karena : (1) pertimbangan perhitungan biaya panen dan proses penanganan hasil yang harus dikeluarkan; (2) adanya kebutuhan dana tunai yang mendesak, (3) tidak mau menjalani proses SRG yang dianggap rumit; (4) kurangnya pemahaman SRG, dan (5) berkaitan dengan kurangnya sosialisasi awal dan para petani belum merasakan manfaat SRG. Dalam memanfaatkan SRG, Gapoktan juga tidak hanya mengandalkan pembelian gabah dari anggotanya. Secara aktif gapoktan melakukan pembelian gabah dari luar anggota gapoktan. Pemahaman pengurus tentang konsep SRG, mendorong pengurus gapoktan lebih aktif melakukan pembelian gabah untuk diresigudangkan, sekaligus melakukan sosialisasi SRG kepada para petani. Dalam aktivitas ini, pengurus tidak hanya berperan sebagai petani atau ketua kelompok, tetapi juga berperan sebagai pedagang. Pemanfaatan SRG dilakukan melalui kelompok secara intensif pada tahun 2011. Pada tahun 2014, jumlah gabah yang diikutsertakan dalam kegiatan SRG mencapai 2.800 ton. Proses pengajuan RG pada tahap I dilakukan atas nama Gapoktan yang mewakili 426 anggota. Pada tahap II pengurusan RG menggunakan atas nama perorangan. Berdasarkan 30
pengalaman kelompok, pengajuan secara perorangan dirasakan lebih rumit dibandingkan dengan sistem gabungan kelompok tani (gapoktan). Pengajuan melalui gapoktan dianggap lebih efisien, sederhana dan lebih nyaman dalam proses pengajuan di Bank, karena proses kelengkapan dokumen yang harus disiapkan secara kelompok lebih mudah. Meskipun masih banyak petani yang enggan mengimplementasikan SRG, KSU Annisa dianggap cukup sukses mengelola gudang SRG, terlihat dari ekspansi pengadaan gudang yang tersebar di beberapa desa di Kecamatan Binong. Keberhasilan ini tidak terlepas dari hasil sosialisasi secara gencar yang dilakukan selama tahun 2012-2013, hingga petani mendapat informasi tentang manfaat adanya SRG. Proses sosialisasi dilakukan dari anggaran pemanfaatan RG. Pada periode selanjutnya, intensitas pertemuan petani untuk kegiatan sosialisasi dilakukan di gapoktan. Kegiatan sosialisasi juga dilakukan di kabupaten dengan penyuluh swadaya, dan kemudian dengan RMU. 6.2.6. Prospek dan perkiraan keuntungan penyelenggaraan SRG Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Bappebti dan Putri (2012), tentang manfaat penerapan SRG bagi pengelola maupun pengguna khususnya yang dilaksanakan di KSU Annisa pada bulan Oktober, secara finansial menguntungkan (Tabel 6.2). Asumsi yang digunakan pada Tabel 6.2, berdasarkan volume gabah ketan yang disimpan sebanyak 60 ton dengan harga pasar Rp. 5.000/kg. Biaya penyimpanan yang dibayarkan kepada PT. Pertani selaku Pengelola Gudang di Kabupaten Subang adalah sebesar Rp. 4,5 juta. Pada bulan Desember gabah ketan yang disimpan selama 2 bulan dibeli dengan harga Rp 5.900/kg. Dalam selang waktu 2 bulan KSU Annisa memperoleh selisih harga sebesar Rp 900/kg. Tabel 6.2. Analisa Simulasi Potensi Keuntungan Penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang Uraian Gabah dijual langsung Biaya penyimpanan 2 bln Biaya bunga bank Harga jual setelah simpan 2 bln Keuntungan *)
Rincian 60 ton x Rp. 5.000/kg 6 % x 2/12 x Rp 189 juta 60 ton x Rp 5.900/kg
Nilai (Rp 000) 300.000 4.500 1.890 354.000 47.610
Sumber : Putri (2012) Keterangan : *) Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya penyimpanan + biaya bunga)
Analog dengan simulasi perhitungan Tabel 6.2, jika digunakan untuk kondisi data yang diperoleh dari hasil penelitian Analisis Kebijakan pada Desember 2014, dengan 31
volume gabah yang disimpan di 4 lokasi Gudang KSU Annisa mencapai 2.636,5 ton gabah ketan. Biaya sewa gudang sebesar Rp 11.500/m 2/ 5 bulan dengan luas/kapasias total 3 unit gudang (sewa) mencapai 1.480 m2. Harga pembelian gabah ketan Rp 6.000/kg GKG. Harga jual setelah masa simpan 2 bulan diproyeksikan dengan harga Rp 7.000/kg. Analisa keuntungan pada proses pengelolaan gudang SRG di KSU Annisa dapat dilihat pada Tabel 6.3. Tabel 6.3. Analisa Simulasi Keuntungan pada Proses Penyelenggaraan SRG di Gudang KSU Annisa, Kabupaten Subang Uraian Gabah dijual langsung Biaya sewa gudang 2 bln Biaya bunga Bank Harga jual setelah disimpan 2 bln Keuntungan *** Keterangan :
Rincian 2.636,5 ton x Rp 6.000/kg 6 % x 2/12 x Rp 11.563 juta** 2.636,5 ton x Rp 7.000/kg
Nilai (Rp 000) 15.819.000 6.808* 115.630 18.455.500 2.514.062
* = Penggunaan gudang milik Bappepti (700 m²) tidak dikenakan biaya sewa ** = Data terakhir Bappepti 2014 : Asumsi dari 170 RG yang diajukan KSU Anisa dengan nilai kredit Rp 11,563 miliar, melalui Bank BJB Cabang Kabupaten Subang *** = Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya penyimpanan + biaya bunga)
Sementara untuk biaya operasional gudang dan lainnya, secara tidak langsung ditanggung oleh pemilik barang (pengguna), melalui jasa penyimpanan gabah petani/pengguna di gudang sebesar Rp 100/kg untuk perhitungan biaya penyimpanan maksimal gabah selama 4 bulan atau Rp 50/kg per 2 bulan. Biaya penyimpanan tersebut, meliputi; biaya uji mutu, asuransi, tagihan KBI, perawatan dan fumigasi, gaji karyawan dan biaya lain. Biaya-biaya pra-gudang yang dibayar/dikeluarkan oleh petani/pengguna, meliputi ; biaya pengeringan, karung dan bongkar-muat, diperhitungkan mencapai rata-rata Rp 275 per kg dan untuk proses penyimpanan gabah di Gudang SRG Rp100/kg. Jumlah biaya keseluruhan yang dibayar petani/pengguna, mencapai Rp 375 per kg atau setara dengan 5,36 persen dari taksiran nilai gabah jenis ketan (Rp 7.000/kg), dimana rata-rata harga penjualannya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis gabah dari varietas padi lainnya (Tabel 6.4). Berdasarkan analisis simulasi data pada Tabel 6.2 dan 6.3, pengelolaan SRG untuk komoditas gabah ketan menunjukkan potensi keuntungan dan cukup propektif, sekalipun dalam tulisan ini nilai atau hasil keuntungan akhir yang diperoleh pengelola maupun pengguna sebagai pendapatan riel, belum diperhitungkan dengan pengurangan seluruh biaya manajemen usaha pengelola maupun biaya usahatani yang dikeluarkan petani 32
sebagai pengguna. Namun demikian diperoleh gambaran awal bahwa jika kapasitas dan volume gabah ketan yang tersimpan melalui pengelola SRG dalam jumlah cukup banyak, maka kegiatan pengelolaan SRG sebagai pendekatan bisnis, sangat memungkinkan menjadi peluang bagi para pelaku usaha lain, melakukan investasi dalam pengelolaan jasa SRG, serta usaha jasa pendukung lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan program SRG di Kabupaten Subang. RG juga akan menjadi peluang bisnis bagi kalangan perbankan dan pengembangan layanan jasa kredit bagi para nasabahnya (Erawan, 2008). Tabel 6.4. Analisa Simulasi Biaya Petani Pengguna SRG di KSU Annisa, di Kabupaten Subang 2014 No
Uraian
1 2.
Nilai Taksiran Barang (10 Ton) Biaya-Biaya a. Biaya Pra Gudang - Biaya Pengeringan (10 Ton) - Biaya Karung (10 Ton) - Biaya Angkut (10 Ton) - Biaya Bongkar-Muat (10 Ton) Biaya Total Pra-Gudang b. Biaya Penyimpanan/Gudang (Biaya Uji Mutu, Asuransi, Tagihan KBI, Perawatan/Fumigasi, Gaji Karyawan dan Biaya lain) (10 ton) Biaya Total Gudang Total Biaya
3. 4.
Ketentuan Pengelola Gudang GKG
Harga dan Biaya (Rp/kg) 7000
70.000
Pangsa Thd Nilai Barang (%) 100,00
Nilai (Rp 000)
200-240/kg 4.000/kw 50.000/ton 3.000/kw
200 40 5 30
2.000 400 50 300 2.750
2,86 0,57 0,07 0,43 3,93
100/kg*
100
1.000
1,43
1.000 3.750
1,43 5,36
Sumber data : KSU Annisa, Desember 2014 (diolah) Keterangan : * Perhitungan biaya untuk penyimpanan selama 4 bulan
6.2.7. Kebijakan Pemerintah Daerah Keterkaitan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang dengan Pemda, sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan UU No.9/2006 dan perubahannya, menegaskan bahwa urusan Pemerintah Daerah di bidang pembinaan SRG, meliputi : pembuatan kebijakan daerah untuk mempercepat pelaksanaan SRG; pengembangan komoditas unggulan di daerah; penguatan peran pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan SRG; dan pemfasilitasian pengembangan pasar lelang komoditas. Semua urusan Pemerintah Daerah di bidang pembinaan SRG ini dilakukan melalui koordinasi dengan Badan Pengawas. Dalam implementasi kegiatan SRG di Kabupaten Subang, peran serta dan kebijakan Pemerintah Daerah belum sepenuhnya memfasilitasi pelaku usaha yang mengembangkan kegiatan SRG maupun kepada pengguna. Begitu pula dalam melakukan fungsi Pemerintah 33
Daerah, dalam hal : percepatan pengembangan pelaksanaan SRG di wilayah potensial dan untuk komoditas lainnya; pengembangan komoditas unggulan yang bisa disinergiskan dengan SRG; penguatan kebijakan bagi pelaku usaha dan pengguna yang mengembangkan SRG,
maupun
fasilitasi
pengembangan
usaha-usaha
yang
terintegrasi
dengan
pengembangan SRG belum menjadi prioritas nyata dalam implementasinya. Peran serta yang telah dilakukan oleh pemda setempat selama ini, adalah dengan kegiatan sosialisasi terbatas melalui dinas instansi terkait yang disesuaikan dengan tupoksi SKPD. Peran institusi melalui dinas/instansi terkait dalam pelaksanaan kegiatan SRG berdasarkan kompetensinya, melibatkan Dinas Perdagangan dan Dinas Pertanian serta Dinas Koperasi. Peran Dinas Pertanian dalam kaitan SRG, secara tidak langsung hanya terkait dalam sosialisasi di tingkat petani dan kelompok tani, sesuai dengan kegiatan teknis yang selama ini dilaksanakan. Peran serta dinas terkait dalam penyelenggaraan kegiatan SRG juga dilakukan Dinas Perdagangan maupun Dinas Koperasi, hanya saja masih tergantung pada kegiatan berdasarkan struktur organisasi diatasnya. Aktivitas pembinaan dalam kaitan SRG selama ini belum optimal, terbatas pada kegiatan sosialisasi pada sasaran yang masih terbatas. Dinas Pertanian selama ini melaksanakan program lebih kearah pembinaan petani dan kelompok tani dari aspek teknis usahatani dan penerapan teknologi pertanian. Keterkaitan secara institusional juga masih terbatas atau hanya pada kegiatan yang bersifat koordinasi dan belum pada proses kebijakan “aksi” yang terkait dengan implementasi SRG. Kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan di tingkat Pemda belum terintegrasi dengan berbagai pemangku kepentingan/stakeholders dalam satu tujuan untuk percepatan pengembangan SRG. Peran Pemda dalam fasilitasi penyediaan sarana dan prasarana pendukung yang dibutuhkan, sangat dinantikan oleh penyelenggara maupun pengguna (kebutuhan petani secara umum). Upaya yang dilakukan melalui fasilitasi kerjasama penguatan modal, penyediaan sarana prasarana SRG serta mendorong peran serta lembaga kuangan bank/non bank, melalui skim yang dibuat dengan melibatkan kebijakan Pemda untuk pembiayaan pengembangan SRG, belum banyak dilakukan. Koordinasi kebijakan secara vertikal dengan beberapa lembaga dan Kementerian yang terkait penyelenggaraan SRG, masih sangat diperlukan untuk mensinergikan ketentuan yang menjadi urusan Pemerintah Daerah dan wewenang Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan SRG. Kekhawatiran pengelola yang selama ini sudah menyelenggarakan SRG, menjadi masukan buat Pemda setempat 34
maupun pengambil kebijakan di Pusat, terutama tentang konsep pewilayahan usaha yang akan menjadi wilayah kerja pengelola SRG dibeberapa lokasi potensi produksi lainnya, agar antar pengelola SRG tidak terkonsentrasi pada satu wilayah dan saling tumpang tindih, termasuk untuk membuka peluang pengembangan penyelenggaraan SRG untuk komoditas potensial lainnya selain gabah dan beras yang selama ini juga mengalami fluktuasi harga.
35
VII. KENDALA DAN PELUANG PENYEBARLUASAN SRG Beberapa permasalahan yang menyebabkan lambannya penerapan SRG dapat dilihat dari hasil kajian SRG di beberapa wilayah di Indonesia. Ashari (2010 dan 2011) telah menjelaskan berbagai kendala penerapan SRG yang didasarkan dari hasil kajian Ariyani (2008), BRI (2008), Riana (2010), dan Sadaristuwati (2008). Selain itu temuan Sanur (2008) dalam melakukan kajian SRG di Cirebon, Jawa Barat turut menambah masukan terkait permasalahan penerapan SRG di Indonesia. Secara ringkas, permasalahan penyelenggaraan SRG dapat dikelompokkan dalam beberapa aspek. (1) Pemahaman SRG Masih Terbatas Beberapa hasil kajian menyatakan bahwa lambatnya pengembangan SRG di daerah disebabkan kurangnya kegiatan sosialisasi pada stakeholder (Riana, 2010; Listiani dan Haryotejo, 2013; iPasar, 2011). Informasi yang diperoleh dari responden petani di Subang, kegiatan sosialisasi SRG kurang menekankan manfaat finansial yang akan diperoleh petani, sosialisasi lebih menekankan pada penjelasan prosedur dan tata cara SRG. Atas dasar permasalahan tersebut, gerakan sosialisasi SRG harus menjadi program prioritas Dinas Perdagangan di daerah. Kegiatan sosialisasi seyogyanya tidak hanya memberi pemahaman tata cara penyelenggaraan SRG, tetapi lebih ditekankan pada potensi keuntungan finansial yang akan diperoleh petani/kelompok tani/gapoktan. Bagi petani berlahan sempit (kurang 0.5 ha) dan adanya persyaratan pengelola gudang untuk volume minimal per kemasan (10-20 ton/ha), telah mendorong petani untuk berkelompok. Hal ini cukup merepotkan, apalagi masih dibebani berbagai biaya untuk memperoleh RG dan harus menunggu beberapa waktu untuk memperoleh kebutuhan uang tunai. Selain itu, pada beberapa kasus petani seringkali terjerat pada pinjaman rentenir untuk kebutuhan dana, baik untuk produksi maupun konsumsi, sehingga petani berlahan sempit umumnya ingin segera memperoleh uang tunai segera setelah panen. Oleh karena itu,
sistem jual lepas/tebasan ke pedagang/kelompok tani dengan harga sesuai HPP
dianggap paling praktis dan rasional. Perubahan pola perdagangan dari jual langsung ke sistem tunda jual membawa konsekuensi perubahan mindset petani. Perubahan ini membutuhkan waktu, tidak semudah membalik telapak tangan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, langkah awal pemerintah seyogyanya melakukan pendampingan dan pengawalan hingga petani siap menerapkan SRG. Disisi lain, perlu dilakukan penguatan modal kelompok tani untuk 36
menampung hasil panen petani yang masih berkeinginan jual lepas ke kelompok tani. Sampai saat ini, kelompok tani yang berperan aktif memanfaatkan SRG. Dengan berjalannya waktu diharapkan petani akan tertarik mengadopsi SRG dalam pemasaran hasil panennya. Penguasaan informasi mengenai harga spot produk hasil panen petani masih rendah, apalagi terhadap harga prediksi dimasa mendatang (futures). Kondisi asymmetric information ini mengakibatkan petani dalam posisi yang tidak diuntungkan. Kondisi ini disebabkan akses informasi harga yang masih terbatas dan kenyataan tingkat pendidikan sebagian besar petani relatif rendah. Untuk mengatasi permasalahan terkait penguasaan teknologi informasi, diharapkan penyuluh lapangan dapat berperan aktif membantu petani memberi pemahaman terkait teknologi informasi. (2) Sarana dan Prasarana Prasarana jalan yang buruk menjadi kendala petani untuk mengangkut hasil panennya ke gudang SRG, karena berpengaruh pada biaya transportasi. Makin buruk kondisi jalan, maka biaya transportasi makin mahal, hal ini terjadi di kabupaten Tasikmalaya. Ketersediaan gudang SRG yang terbatas, juga menyulitkan petani jika akan memanfaatkan SRG. Jauhnya jarak dari sawah petani ke lokasi gudang SRG membawa konsekuensi mahalnya biaya transportasi, hal ini secara langsung akan membebani petani dalam pengurusan RG. Untuk mengatasi masalah infrastruktur jalan dan transportasi, Pemerintah diharapkan meningkatkan alokasi anggaran pembangunan/rehabilitasi jalan dan transportasi, khususnya di wilayah-wilayah sentra produksi agar distribusi barang berjalan lancar baik menuju gudang SRG maupun ke pusat-pusat pasar. Kondisi pergudangan (warehousing) yang tersedia, secara umum kurang memadai termasuk
di Indramayu dan Subang. Kondisi ini menjadi kendala petani dalam
menyimpan hasil panennya, sebagai upaya tetap menjaga kondisi hasil penennya tetap baik sambil menunggu harga yang diinginkan. Dibanyak lokasi pertanian (farm area) terlihat gabah hasil panen hanya ditutup dengan terpal seadanya didalam lumbung yang sudah rusak, hal ini tentunya menyebabkan kualitas produk hasil panen menjadi rusak. Pada aspek ini juga termasuk didalamnya kendala transportasi dan sarana jalan raya yang kurang baik. Terbatas dan buruknya kondisi gudang tidak terlepas dari aspek investasi pembangunan gudang SRG yang relatif mahal. Belum meluasnya petani untuk 37
memanfaatkan SRG, membuat investor belum berani berinvestasi membangun gudang. Di Indramayu, sejauh ini, baru PT Pertani yang mempunyai gudang yang memenuhi syarat dan fasilitas yang memadai untuk menyelenggarakan jasa SRG. Pada kasus di Subang, pengelola gudang KSU Annisa menggunakan gudang yang dibangun oleh Bappebti. Karena melihat besarnya potensi keuntungan dalam menyelenggaran jasa SRG, KSU Annisa berani berinvestasi dengan menambah gudang SRG dengan cara sewa. Pada kasus di Surakarta, SRG tidak menguntungkan karena tidak seimbang antara besarnya investasi yang dikeluarkan, sementara biaya yang dibebankan ke petani relatif kecil. Jenis komoditas yang potensial diresigudangkan adalah padi, jagung, kedelai, dan ketela pohon (Primartantyo, 2012). Mengingat investasi pembangunan gudang dianggap relatif mahal, untuk menambah jumlah gudang SRG, ada beberapa alternatif, yaitu (1) Kementerian Perdagangan melalui Bappebti meningkatkan alokasi anggaran untuk pembangunan gudang SRG di wilayah sentra produksi; (2) pemerintah dapat memanfaatkan gudang-gudang milik BUMN yang ada di daerah, (3) pemerintah memberikan subsidi kredit pembangungan gudang dan jasa pergudangan, (4) pembangunan gudang SRG hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga satu gudang menjangkau wilayah dengan radius tertentu, sehingga menekan biaya transportasi dari sawah ke gudang pengelola yang umumnya ditanggung petani; (5) melanjutkan program pemanfaatan DAK untuk membangun gudang SRG seperti yang dilakukan di beberapa provinsi pada tahun 2011 dan 2012. Pembangunan gudang untuk SRG sebaiknya dilengkapi dengan sarana pendukung, misalnya dryer dengan kapasitas yang memadai untuk gudang gabah. Dryer ini sangat dibutuhkan, karena gabah yang akan diresigudangkan harus memenuhi standar mutu yang disyaratkan pengelola gudang SRG, salah satunya kadar air maksimal 14 persen. Ketersediaan teknologi penyimpanan di gudang pengelola juga masih terbatas. Jenis teknologi penyimpanan erat kaitannya dengan jenis barang yang akan diresigudangkan. Mengingat teknologi penyimpanan gabah/beras relatif lebih sederhana dan murah, oleh karena itu komoditas yg memanfaatkan SRG sebagian besar masih terbatas gabah/beras, meskipun dalam Permendag dimungkinkan menyimpan komoditas selain gabah/beras. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pengelola
gudang terkait
peningkatan
kedepan pemerintah perlu memfasilitasi kemampuan
untuk
menguasai
teknologi
penyimpanan barang non gabah/beras. Kegiatan pelatihan ke pengelola gudang dan
38
stakeholder terkait merupakan strategi alternatif untuk meningkatkan kemampuan para pelaku SRG. (3) Kelembagaan SRG dan Koordinasi antar Instansi Keterlibatan Dinas Perdagangan dan Dinas Pertanian baru sebatas kegiatan sosialisasi. Pemerintah daerah belum sepenuhnya memahami manfaat SRG yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan petani. Alokasi anggaran daerah untuk mengawal kegiatan SRG belum terlihat, bahkan kasus di Subang, gapoktan atau pengelola gudang merasa „putus asa‟ saat melakukan usulan-usulan untuk kelancaran penerapan SRG, kurang mendapat respon positif. LPK/Petugas uji mutu barang belum tersedia di seluruh daerah (Riani, 2010). Jumlah bank yang terlibat dalam pelaksanaan SRG masih terbatas. Tidak seluruh bank bersedia menjadi stakeholder SRG untuk memberikan fasilitas kredit. Untuk kasus di Indramayu dan Subang, bank yang bersedia menyalurkan kredit untuk SRG hanya Bank BJB. Kondisi ini membuat tidak adanya kompetisi antar bank dalam memberikan layanan kepada pemiliki RG. Bagi pemilik RG, hal ini kurang menguntungkan, karena tidak ada pilihan untuk mengajukan kredit. Petani „terpaksa‟ menerima semua aturan yang diberikan bank terkait. Permasalahan lain yang terkait perbankan adalah terjadinya Non Performing Loan (NPL) dan potensi NPL ketika barang di gudang belum terjual saat jatuh tempo. Kasus ini terjadi pada musim panen terakhir (MK 2014) dimana beberapa RG di gudang Haurgeulis, Indramayu belum terjual padahal sudah melewati waktu jatuh tempo, sehingga urusan kredit Bank BJB belum selesai. Hal ini terjadi karena adanya „over-estimasi‟ nilai RG gabah yang disimpan setelah memperhitungkan harga pasaran gabah, biaya pengeringan, harga pengemasan dan harga transportasi. Banyaknya lembaga yang terlibat dalam penerapan SRG, seperti lembaga uji mutu, asuransi, pusat registrasi, pengelola gudang, dan perbankan, hal ini membuat rumit urusan birokrasi. Rantai birokrasi yang relatif panjang, tidak semua petani memahaminya yang notabene sebagian besar tingkat pendidikannya lulus SD. Umumnya pedagang lebih punya akses memanfaatkan SRG, karena mampu melihat „peluang‟ untuk memperoleh keuntungan. Jika demikian halnya, maka tujuan SRG belum mencapai sasaran yang diharapkan.
39
Agar implementasi SRG dapat berjalan lancar dan cepat meluas penyebarannya, maka seluruh lembaga yang berpartisipasi harus bersinergi menjalankan tugas masingmasing sesuai fungsinya. Menanggapi permasalahan penyediaan LPK yang tidak merata di daerah potensial SRG, pemerintah melalui Bappebti, Kementerian Perdagangan seyogyanya membantu dalam penyediaan LPK. Jumlah petugas LPK harus proporsional di setiap wilayah SRG. Terkait perbankan, untuk penyelenggaraan SRG umumnya telah ditetapkan bank yang akan mendukung pembiayaan melalui jaminan RG. Seyogyanya jumlah bank yang berpartisipasi dalam penerapan SRG tidak terbatas hanya satu bank dalam satu wilayah SRG, sehingga petani mempunyai pilihan dalam mengajukan permohonan kreditnya. Disisi lain, kompetisi antar bank dalam memberikan layanan ke pemilik RG akan mendorong kinerja perbankan lebih optimal. (4) Kebijakan Pemerintah Daerah Untuk kasus di Kabupaten Subang, secara umum permasalahannya hampir sama, yaitu
mencakup
Permasalahan
infrastruktur
pergudangan
termasuk
peralatan
kelengkapannya.
yang terlihat spesifik yang dihadapi KSU Annisa yaitu adanya
kekhawatiran pengelola SRG terhadap munculnya persaingan tidak seimbang dengan BUMN. Kekhawatiran ini muncul seiring adanya rencana pemerintah daerah untuk memberikan ijin pengelolaan SRG untuk gudang-gudang BUMN. Masuknya pemain baru, baik BUMN maupun swasta dan KSU lain, akan menurunkan tingkat keuntungan KSU Annisa. Hal ini menjadi kecemasan bagi pihak pelaku yang selama ini telah mengembangkan SRG diluar BUMN, sekaligus mempertanyakan tentang perlindungan daerah
terhadap
kegiatan
SRG
yang
sudah
jalan/dilakukan
perusahaan
pribadi/petani/koperasi/CV yang ada di daerah dalam pergudangan SRG ke depan. Eksistensi pengelola juga dihadapkan pada keterbatasan dukungan pihak Pemda dalam memfasilitasi kinerja pengelolaan SRG untuk percepatan implementasi SRG di wilayah Kabupaten Subang lainnya. Sinergisitas antar institusi SKPD terkait dengan pelaksanaan SRG di Kabupaten Subang, belum terbangun dalam satu kepentingan untuk peningkatan kinerja SRG dari berbagai aspek. Alternatif pemecahan masalah tersebut, Pemerintah Daerah bisa saja menghimbau pusat (BUMN) atau membuat aturan untuk membatasi ruang usaha BUMN dan BUMD (pembagian wilayah), tetapi tidak bisa membatasi KSU lain dan swasta untuk menyelenggarakan SRG. Pembagian wilayah usaha yang terkait dengan SRG menjadi 40
bahan pemikiran kebijakan ke depan. Pengaturan kebijakan dalam pewilayahan kegiatan dan komoditas yang di SRG-kan, menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dalam menjaga iklim usaha dan pelaksanaan SRG sesuai ketetapan dalam undang-undang, sehingga tidak overlapping dengan usaha yang sudah ada saat ini. Pemda juga harus melakukan pemetaan terlebih dahulu terhadap potensi dan kegiatan usaha yang akan dilakukan oleh pihak swasta serta pihak lain yang membuka usaha SRG di daerah, sehingga pengembangan SRG dapat mempercepat perekonomian wilayah tanpa terpusat pada satu wilayah usaha. Perhatian kepada pelaku di tingkat daerah terutama bagi kelompok tani atau gapoktan yang berpotensi didorong menjadi pengelola SRG baik berdasarkan kemampuan sendiri ataupun secara bermitra, sehingga bisa menjadi dasar untuk membantu peningkatan harga di tingkat petani serta memperluas pelaksanaan SRG. Koordinasi seluruh stakeholder SRG harus ditingkatkan kedepan agar masingmasing stakeholder memahami peran masing-masing dalam SRG. Pemerintah Daerah seyogyanya memberi dukungan penuh terhadap penyelenggaran SRG melalui kebijakan yang tidak menimbulkan potensi konflik pada para pengelola SRG.
41
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan, sebagai kesimpulan dapat dikemukakan, sebagai berikut : (1) Penyelenggaraan SRG di Indonesia selama 6 tahun, ternyata belum mampu menarik minat bagi sebagian besar petani untuk memanfaatkan SRG sebagai alternatif pemasaran hasil panen dan pembiayaan kegiatan usaha taninya sesuai amanat UU No.9/2006. Hal ini menyebabkan perkembangan SRG relatif masih lambat, dilihat dari perkembangan jumlah dan nilai RG dibandingkan potensinya. (2) Secara konseptual, SRG tidak hanya mampu meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi juga dapat meningkatkan perekonomian wilayah secara luas. SRG akan membiasakan dan mendorong petani serta pelaku lain untuk menghasilkan produk yang memenuhi standar mutu. Namun secara operasional, masih banyak ditemukan kendala dan permasalahan, tidak hanya pada keterbatasan pemahaman tentang SRG, tetapi juga sarana dan prasarana, lemahnya koordinasi dan sinergitas antar kementerian, serta masalah kelembagaan lainnya. Kendala dan permasalahan tersebut mengakibatkan
tujuan
pemerintah
untuk
mempercepat
penyebarluasan
penyelenggaraan SRG belum tercapai. (3) SRG di Kabupaten Indramayu dan Subang belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pengguna dalam hal ini para petani, terkait dengan berbagai kendala dan permasalahan dalam proses pemasaran produk yang dihasilkan. Selain terbatasnya sosialisasi tentang SRG, peran pengelola SRG juga masih terbatas dalam penyediaan fasilitas pendukung kegiatan SRG, khususnya sarana pergudangan, pengiringan, pengemasan dan penggilingan. Dalam kegiatan sosialisasi kurang menekankan penjelasan terkait manfaat dan potensi keuntungan SRG, sehingga tidak seluruh petani antusias berpartisipasi dalam penyelenggaraan SRG. (4) Untuk mengatasi permasalahan dalam penyelenggaraan SRG, perlu segera dirumuskan alternatif pemecahan sesuai permasalahan yang dihadapi. Agar permasalahan tidak berkelanjutan, kegiatan pengawasan secara periodik perlu ditingkatkan dengan melibatkan Dinas Perdagangan setempat sebagai instansi yang memperoleh mandat dalam penyelenggaran SRG di Daerah. Selain itu perlindungan usaha melalui kebijakan dan pengaturan sistem yang menjadi kewenangan Pemda setempat juga 42
sangat diperlukan, agar usaha yang dilakukan pengelola tetap menjadi prioritas Pemda dalam pembinaannya. 8.2. Implikasi Kebijakan (1) Untuk mempercepat implementasi SRG, pemerintah agar lebih serius mendorong dan memfasilitasi penyebarluasan SRG, terutama di wilayah-wilayah potensial. Tidak hanya meningkatkan gerakan sosialisasi ke seluruh pelaku SRG, tetapi juga melakukan pembenahan kelembagaan dan kebijakan tata kelola SRG serta mendorong dan memfasilitasi pembangunan sarana dan prasarana penyelenggaraan SRG, misalnya melalui subsidi bunga untuk pembangunan sarana pergudangan. Selain itu, juga perlu dilakukan penyempurnaan sistem online untuk memperlancar akses data dan informasi antar lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan SRG. (2) Mengingat besarnya potensi dan manfaat penyelenggaraan SRG, pemerintah perlu lebih serius untuk mempercepat perkembangan SRG ke seluruh wilayah dengan cakupan komoditas yang lebih luas. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, perlu disusun peta-jalan (road map) untuk masing-masing komoditas yang memuat langkah strategis dan taktis dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Konsekuensinya, pemerintah seyogyanya meningkatkan alokasi anggaran untuk pembenahan dan penyempurnaan fasilitas SRG agar biaya SRG yang ditanggung petani dapat ditekan serendah mungkin. Kondisi ini diharapkan dapat menarik minat petani untuk memanfaatkan SRG. (3) Pengguna SRG umumnya adalah petani dan pedagang, baik secara perorangan maupun secara kolektif melalui kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan). Oleh karena itu seyogyanya urusan penyelenggaraan SRG seperti pembinaan dan penyuluhan kepada petani/kelompok tani, penyediaan sarana dan prasarana pergudangan, kelembagaan, dan permodalan, tidak hanya dibebankan pada Kementerian Perdagangan sebagai penerima mandat penyelenggaran SRG sesuai UU No.9/2006, tetapi juga melibatkan Kementerian Pertanian, khususnya unit kerja yang menangani aspek yang bersentuhan dengan kegiatan SRG, misalnya Ditjen P2HP dapat membantu dalam penanganan pasca panen, peningkatan standar mutu dan penyediaan sistem informasi harga komoditas pertanian, Direktorat Pembiayaan dapat menjadi fasilitator untuk penguatan modal kelompok tani dan gapoktan dalam memanfaatkan kredit perbankan dan institusi keuangan lainnya, Badan SDM dapat 43
membantu kegiatan sosialisasi SRG melalui tenaga-tenaga lapangan dan penyuluh yang dikelolanya. Untuk mensukseskan kegiatan-kegiatan tersebut, harus dilakukan koordinasi secara efektif dengan seluruh pemangku kepentingan baik di pusat maupun di daerah dimana SRG diimplementasikan. (4) Komitmen
dan
langkah
Kementerian
Perdagangan,
untuk
mempercepat
penyebarluasan SRG merupakan langkah tepat dan perlu didukung oleh kementerian terkait dan pihak-pihak lainnya. Koordinasi dan sinergi antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koperasi mutlak diperlukan untuk mempercepat penyebarluasan SRG di sektor pertanian, terutama dalam memfasilitasi dan mendorong pembangunan sarana dan prasarana pergudangan yang memenuhi persyaratan. Keterlibatan dan dukungan kongkrit Pemerintah Daerah Kabupaten Subang dalam penciptaan iklim usaha yang kondusif menjadi kunci sukses dalam penyelenggaraan dan penyebar-luasan SRG di wilayah Kabupaten Subang.
44
IX. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Analisa Resi Gudang Sebagai Surat Berharga. http://www. hukumonline.com/berita/baca/hol17277/analisa-resi-gudang-sebagai-surat-berharga: diunduh tanggal 11/12/ 2014, jam 16.31. Anonim. 2010, Kemitraan Untuk Mengurangi Impor Beras Ketan (10 Agustus 2010) : admin. http://118.97.186.221/index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/472 : diunduh tanggal 28/01/2015, jam 14.21. Anonim. 2011. Kajian Atas Hak Jaminan Resi Gudang. http://hukumindonesiakita. blogspot. com/2011/02/kajian-atas-hak-jaminan-resi-gudang.html: diunduh tanggal 11/12/2014, jam 16.34. Ariyani, RR. 2008. Sistem Resi Gudang akan Diberlakukan Nasional. http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/04/16/brk.20080416-121425.id. html/. Ashari. 2007. Resi Gudang : Alternatif Model Pemasaran Komoditas Pertanian. WartaPenelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 29 No 4, 2007. Bogor. Ashari. 2010. Prospek Sistem Resi Gudan (SRG) Sebagai Alternatif Pembiayaan Sektor Pertanian. ICASEPS Working Paper No. 102. Januari 2010. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Ashari. 2011. Potensi dan Kendala Sistem Resi Gudang (SRG) Untuk Mendukung Pembiayaan Usaha Pertanian di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.29 No.2 : 129-143. Bappepti. 2011. Sistem Resi Gudang Sebagai Instrumen Pembiayaan. Makalah disampaikan pada Workshop Penguatan Kelembagaan Sistem Resi Gudang dalam Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian, Best Western Mangga Dua Hotel & Residence. Menko Perekonomian, 7 Desember 2011. Jakarta. Berita. 2013. Resi Gudang, Tingkatkan Kesejahteraan Petani. http://www.blitarkab. go.id/2013/04/6465.html. Diakses 12/12/2014. BRI.
2008. Sistem Resi Gudang : Peluang, Tantangan, dan Hambatan, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional „Sistem Resi Gudang, Pengembangan Alternatif Pembiayaan Melalui Sistem Resi Gudang‟ pada tanggal 4 November 2008, Jakarta.
____. 2011. Penjaminan Resi Gudang ke Bank Sebagai Alternatif Pembiayaan. Makalah disampaikan pada Workshop Penguatan Kelembagaan Sistem Resi Gudang dalam Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian, Best Western Mangga Dua Hotel & Residence. Menko Perekonomian, 7 Desember 2011. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Subang dalam Angka 2014. BPS Kabupaten Subang. 45
Bappepti. 2008. Sistem Resi Gudang Memberdayakan Bangsa. Bappepti-Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta. Bappebti. 2008. Bappebti Kaji Lembaga Jaminan Sistem Resi Gudang. https://www.ipotnews.com/index.php?jdl=Bappebti_kaji_lembaga_jaminan_sistem _resi_gudang&level2=newsandopinion&level3=&level4=politics&id=615993#.VIo QZskxF1Y: diunduh tanggal 12/12/ 2014, jam 16.46. Bappebti. 2014. Kemendag Sosialisasi Sistem Resi Gudang kepada Civitas Akademika Universitas Padjajaran. http://www.bappebti.go.id/id/news/press_release/detail/3390 .html: Bandung 26 Juni 2014. Diunduh tanggal 19/01/ 2015, jam 10.30. Bappebti. 2014. Bappebti kaji lembaga jaminan sistem resi gudang. https://www. Ipotnews .com/index.php?jdl=Bappebti_kaji_lembaga_jaminan_sistem_resi_gudang&level2=n ewsandopinion&level3=&level4=politics&id=615993#.VIoQZskxF1Y: diunduh tanggal 12/12 /2014, jam 16.46. Boen, HS. 2007. Analisa Resi Gudang Sebagai Surat Berharga. http://www.hukumonline. com/berita/baca/hol17277/analisa-resi-gudang-sebagai-surat-berharga: diunduh tanggal 11/12/ 2014, jam 16.31. Coleman, A. and L.M. Valeri. 2006. Storage and Warehouse Receipts as Financing Instruments. http://www.eea-esem.com/files/papers/EEA-ESEM/2006/2046/WR_ malaguzzivaleri.pdf. Devita, I. 2012. Sistem Resi Gudang sebagai Alternatif Hak Jaminan. irmadevita.com/2012/ sistem-resi-gudang-sebagai-alternatif-hak-jaminan : diunduh tanggal 11/12/2014, jam 16.29. Erawan, B. 2008. Prinsip Hak Jaminan Resi Gudang dalam Perspektif Perbankan : Kajian Normatif Pemberdayaan Petani Gabah pada Musim Panen. Jurnal Argumentum Volume 8 Nomor 1, Desember 2008. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman. Lumajang. Erwidodo, 2013(a). Kebijakan Perdagangan Mendukung Upaya Peningkatan Daya-Saing Komoditas Pangan di Era MEA 2015. Prosiding, Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-33 “Optimalisasi Sumberdaya Loka Melalui Diversifikasi Pangan Menuju Kemandirian Pangan dan Perbaikan Gizi Masyarakat Menyonsong MEA 2015”, Padang, Sumatera Barat, 21-22 Oktober 2013. Erwidodo, 2013(b). Kebijakan Perdagangan mendukung Kemandirian dan Ketahanan Pangan Nasional. Dalam : Ariani, M dkk 2013 (eds). Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. IAARD Press, Jakarta.
46
Erwidodo. 2014. Materi Pembahas tentang : 15 Tahun Dinamika Ketahanan Pangan Indonesia. Disampaikan dalam acara Diskusi Panel ‟15 Tahun Dinamika Ketahanan Pangan Indonesia yang diselenggarakan PERHEPI di Gedung Bulog, 2 Oktober 2014, Jakarta. http://www.perhepi.org/wp-content/uploads/2014/10/Erwidodotanggapan-thd-presentasi-Dr-Achmad-Suryana.pdf. Diunduh tanggal 28/02/2015, jam 18.29. Haryotejo, B. 2013. Analisis Korelasi Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Sistem Resi Gudang (SRG) di Daerah. Jurnal Bina Praja, Volume 5 Nomor 2, Juni 2013. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Bidang Pemerintahanan Dalam Negeri. Badan Litbang Kementerian Dalam Negeri. Jakarta. Herlindah. 2013. Hukum Jaminan ”Resi Gudang”. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. http://herlindahpetir.lecture.ub.ac.id. IFAD. 2012. Warehouse Receipts for Smallholders to Access Credit and Increase Incomes. http://www.ifad.org/operations/projects/regions/pf/seeds/5.htm. iPasar. 2011. Implementasi Pelaksanaan Pasar Lelang Dalam Mendukung Sistim Resi Gudang. Makalah disampaikan pada Workshop Penguatan Kelembagaan Sistem Resi Gudang dalam Mendukung Pembiayaan Sektor Pertanian, Best Western Mangga Dua Hotel & Residence. Menko Perekonomian, 7 Desember 2011. Jakarta. Listiani, N. dan B. Haryotejo. 2013. Implementasi Sistem Resi Gudang pada Komoditi Jagung: Studi Kasus di Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, VOL.7 No.2, Desember 2013. Mahanta, D. 2012. Review of Warehouse Receipt As an Instrument for Financing in India. International Journal of Scientific & Technology Research, Volume 1, Issue 9, October 2012. www.ijstr.org. Menteri Perdagangan. 2009. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 66/M-DAG/PER/12/2009, Tentang Pelaksanaan Skema Subsidi Resi Gudang. Noviyanto. 2011. Penerbitan Resi Gudang Capai 84 Resi Gudang : Pentingnya Peran SRG bagi Komoditi Berjangka Seperti Petani. http://www.lensaindonesia.com /2011/11/24/pentingnya-peran-srg-bagi-komoditi-berjangka-seperti-petani.html. diunduh tanggal 12/12/2014 jam 17.48. Onumah, J.C.G. 2002. The Role of Warehouse Receipt Systems in Enhanced Commodity Marketing and Rural Livelihoods in Africa. Food Policy 27 (2002) 319–337. Pemda Blitar. 2013. Resi Gudang, Tingkatkan Kesejahteraan Petani. Berita http://www.blitarkab.go.id/2013/04/6465.html: diunduh tanggal 12/12/2014 jam 16.56. Peraturan Menteri Perdagangan RI, Nomor : 26/M-DAG/PER/6/2007 Tentang Barang yang Dapat Disimpan di Gudang Dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang. Sekretariat Jenderal Departemen Perdagangan. 47
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 36 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4735. Pio. 2013. Resi Gudang Permudah Pelaku Usaha Dapat Pinjaman Bank. in TREN UKMLeave a comment. http://blog.indotrading.com/resi-gudang-permudah-pelakuusaha-dapat-pinjaman-bank/: diunduh tanggal 19/01/2015, jam 10.27. Prayitno, B. 2011. Resi Gudang. http://prayitnobambang.blogspot.com/2011_11_01_ archive.html. (diakses 12/12/2014). Primartantyo, U. 2012. Penerapan Resi Gudang di Solo Tak Menguntungkan. http://www. tempo.co/read/news/2012/12/19/090449267/Penerapan-Resi-Gudang-di-Solo-TakMe-nguntungkan (diakses 20/1/ 2015). Putri, N.P. 2010. Sistem Resi Gudang Solusi Bagi Petani. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. http://www.bappebti.go.id/id/edu/articles/detail/1044.html. Putri NP. 2012. Sistem Resi Gudang Solusi bagi Petani. (Bappepti_2012_Sistem_Resi_ Gudang_Solusi_Bagi_Petani.pdf). http://www.bappebti.go.id/id/topdf/create/1044.html: diunduh tanggal 26/01/2015, jam 17.25 Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 59. Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5231. Riana, D. 2010. Penggunaan Sistem Resi Gudang Sebagai Jaminan Bagi Perbankan di Indonesia. Tesis Program Magister, Universitas Indonesia, Jakarta. Sadarestuwati. 2008. Pentingnya Sistem Resi Gudang bagi Petani. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional „Sistem Resi Gudang, Pengembangan Alternatif Pembiayaan Melalui Sistem Resi Gudang‟ pada tanggal 4 November 2008, Jakarta. Sanur, A. S. 2008. Strategi Pengembangan Sistem Resi Gudang. https://cireboninstitute. wordpress.com/2008/12/15/strategi-pengembang-an-sistem-resi-gudang/diunduh. Sanuri, AS. 2008. Strategi Pengembangan Sistem Resi Gudang. https://cireboninstitute. wordpress.com/2008/12/15/strategi-pengembangan-sistem-resi-gudang/:diunduh tanggal 12/12/2014 jam 16.59. Sunarto, H. 2012. Merancang Put Option dalam Sistem Resi Gudang sebagai Elemen Pasar Lelang Forward Agro. Proceeding for call paper : Pekan Ilmiah Dosen FEB, UKSW-14 Desember 2012.
48
Sinar Tani. 2011. Kemitraan untuk Mengurangi Impor Beras Ketan. http://118.97.186 .221/index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/472/2704. diunduh tanggal 26/01/ 2015, jam 17.15.
Varangis, P. and D. Larson. How Warehouse Receipts Help Commodity Trading and Financing. https://agriskmanagementforum.org/sites/agriskmanagementforum. org/files/Documents/How%20warehouse%20receipts%20help%20commodity%20 trading%20and%20finance.pdf. Wahyudin. 2011. Resi Gudang sebagai Alternatif Pembiayaan bagi Koperasi dan UKM. Jurnal Ilmiah Ekonomi, Koperasi dan Kewirausahaan, ”Co-Value” Volume II, Nomor I/April/Tahun 2011. IKOPIN. Jatinangor. Wikipedia. 2014. Resi Gudang. http://id.wikipedia.org/wiki/Resi_gudang (diakses 3/12/ 2014). Yulistiyono, H. 2014. Penerapan Sistem Resi Gudang dalam Perspektif Peningkatan Pendapatan Asli Daerah : http://asp.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads /2014/02/ Penerapan-Sistem-Resi-Gudang-Dalam-Perspektif-Peningkatan-Pendapatan-AsliDaerah.pdf
49
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kinerja Penerapan Sistem Resi Gudang di Kabupaten Indramayu Pendahuluan Undang-Undang Resi Gudang telah diterbitkan pada tahun 2006. Undang-Undang ini diterbitkan dalam rangka melindungi petani ketika dihadapkan pada
fluktuasi harga
komoditas. Fenomena yang umum terjadi adalah harga anjlok pada saat panen raya dan harga melonjak pada masa paceklik. Diterbitkannya kebijakan tentang sistem resi gudang diharapkan para petani produsen dapat menunda penjualan komoditi hasil produksinya dengan cara menyimpan di gudang dan kemudian dapat menjual ke pasar pada saat harga cukup baik. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa SRG merupakan kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi resi gudang. Resi gudang merupakan dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang. Dalam UU disebutkan bahwa Penanggungjawab kegiatan SRG adalah Kementerian Perdagangan dan sebagai pengguna SRG adalah Kementerian Pertanian. Dalam pelaksanaan SRG, Kementerian Perdagangan membentuk Badan Pengawas SRG yang selanjutnya disebut Badan Pengawas yaitu unit organisasi di bawah Menteri yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pelaksanaan SRG. Hasil penelusuran data sekunder ditemukan bahwa pelaksanaan SRG berjalan lambat, hal ini terlihat dari perkembangan jumlah dan nilai resi gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang selama periode 2008 – 2014. Selain itu, jenis komoditas yang digudangkan relatif terbatas, meskipun dalam UU dimungkinkan untuk menyimpan beragam jenis komoditas. Pertanyaannya, mengapa SRG berjalan relatif lambat ? Untuk mengetahui permasalahannya, maka diperlukan survey ke lapangan (lokasi sampel di Kabupaten Indramayu) untuk melihat secara langsung implementasi SRG. Kegiatan ini difokuskan untuk menggali informasi dari berbagai institusi dan kelembagaan, serta pemangku kepentingan yang terkait dengan Sistem Resi Gudang (SRG) yang dijalankan oleh PT Pertani (Persero), sebagai salahsatu responden Pengelola Resi Gudang yang mewakili Badan Usaha Milik Negara. Kegiatan lapangan dilakukan dengan metode penggalian informasi sejalan dengan alur informasi yang diperoleh secara berjenjang. 50
Peran Instansi Pemerintah dalam Pelaksanaan Sistem Resi Gudang 1. Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Hasil wawancara dengan Kepala Dinas telah diperoleh informasi bahwa SRG telah dilaksanakan dengan melibatkan gudang milik BUMN (PT.Pertani). Gudang PT. Pertani sebagai pengelola SRG yang berada di Kabupaten Indramayu ada dua, yaitu (1) Gudang Indramayu Losarang yang berlokasi di Jalan Komplek Perberasan Desa Muntur, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, dan (2) Gudang Indramayu yang berlokasi di Jl. Jend. Sudirman No. 17 RT. 01, RW. 02 Desa Cipancuh, Kecamatan Haurgeulis Kabupaten Indramayu. Untuk saat ini komoditas yang diresigudangkan masih terbatas komoditas padi (gabah), sedangkan komoditas hortikultura (buah mangga) belum memanfaatkan SRG. Hal ini diduga belum tersedianya gudang-gudang yang dilengkapi teknologi penyimpanan komoditas hortikultura. Komoditas padi masih menjadi komoditas dominan, terlihat dari dari target produksi Jawa Barat sebesar 16 ribu ton, 250 ton khususnya dihasilkan daerah Kabupaten Indramayu. Sebagai daerah sentra padi, tentu produksi padi akan melimpah pada saat panen raya, hal ini berpotensi harga padi akan anjlok. Untuk mengatasi agar petani produsen tidak menerima harga rendah di musim panen raya, SRG merupakan alternatif solusi yang ditawarkan pemerintah, dimana petani dapat menunda penjualan hasil panennya dengan cara menitipkan ke gudang SRG dalam jangka waktu tertentu dan akan menjualnya pada saat harga lebih tinggi. Dalam pelaksanaan SRG, peran Diskoperindag tidak secara langsung mengawasi teknis pengelolaan SRG, baru sebatas pelaksanaan sosialisasi dan fasilitasi pertemuan para pelaku yang terkait dengan seluruh aspek kegiatan SRG serta kegiatan koordinasi dengan pengelola SRG di Indramayu. Pihak pengelola resi gudang tidak diwajibkan menyampaikan laporan tertulis secara rutin ke pemerintah daerah.
Oleh karena itu
pemerintah daerah tidak dapat memonitor perkembangan kinerja pengelola gudang secara kontinyu. Hasil pengamatan Diskoperindag tentang pelaksanaan SRG di Kabupaten Indramayu, terdapat beberapa keluhan petani di wilayah ini. Keluhan para petani tersebut dikemukakan Kepala Dinas bahwa : (1) Ongkos untuk hal-hal yang berkaitan pengemasan, seperti penggunaan karung sesuai standar yang ditetapkan gudang SRG, termasuk untuk biaya pengemasan dan menjahit
51
karung. Sementara pada proses penjualan gabah, biaya-biaya tersebut belum diperhitungkan atau tidak termasuk dalam komponen harga. (2) Biaya transportasi atau angkutan dari tempat panen ke lokasi Gudang SRG yang dibebankan petani, dirasakan sangat memberatkan. Makin jauh jarak lokasi panen ke gudang SRG, maka akan semakin mahal ongkos angkutnya. (3) Pemahaman para petani tentang SRG, khususnya petani berlahan sempit (kurang 0.5 hektar). Petani yang berlahan sempit umumnya berpikir praktis, ketika saat panen tiba menginginkan segera menjual hasil panennya dan memperoleh uang tunai. Banyaknya pedagang yang menawarkan sistem tebasan, memungkinkan para petani yang berpikir praktis akan segera menjual hasil panennya dengan sistem tebasan tersebut. Keuntungan dengan sistem tebasan, petani akan langsung mendapat uang tunai dan tidak dibebani biaya panen, ongkos angkut, dan ongkos pengemasan. Sistem tebasan di Kabupaten Indramayu selama 3 tahun terakhir menawarkan harga relatif bagus, artinya dari sisi perhitungan finansial, petani masih memperoleh keuntungan yang memadai, sedangkan penebas (pedagang) berpeluang memperoleh keuntungan dg melakukan dengan cara tunda jual mealui pemanfaatan SRG. Terciptanya harga tebasan relatif bagus, karena terjadi persaingan penebas yang datang tidak hanya dari Jakarta dan Bandung, tetapi juga dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Banyaknya jumlah penebas, menyebabkan bargaining position petani cukup kuat. Kondisi tersebut mendorong para petani berlahan sempit yang berpikir praktis memilih segera menjual hasil panennya dengan sistem tebasan daripada menggunakan SRG. Keterkaitan pedagang/Penebas, Petani, SRG, dan Pembeli dapat dilihat pada Gambar 1.
Pembeli Luar Daerah
Harga Dasar
Pembeli 1 Petani Gabah Petani
SRG
Pembeli 2 Pembeli 3
Penebas Lokal
Gambar 1. Keterkaitan Pedagang, Petani, SRG dan pembeli di Indramayu
52
2. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu Peran aktif Dinas Pertanian dalam kegiatan SRG saat ini, masih terfokus pada kegiatan pembinaan aktivitas di tingkat petani dan kelompok tani serta terkait dengan dinamika mereka dalam kegiatan usahatani dan produksi padi maupun tanaman lainnya yang diusahakan oleh para petani di wilayah setempat. Kegiatan sosialisasi tentang SRG juga menjadi bagian kegiatan Dinas untuk memotivasi masyarakat petani memanfaatkan SRG pada saat harga produk tidak menentu ataupun memberikan pilihan dan alternatif pembiayaan petani dengan SRG dalam konteks meningkatkan harga produk dengan sistim menunda penjualan saat harga sedang dibawah harga rata-rata pasar. Fasilitasi Dinas melalui Pemkab setempat maupun provinsi dan Pusat, dalam kaitan dengan komoditas utama yang diusahakan para petani dan Rice Centre yang didirikan/sudah ditetapkan di Losarang. Membangun keterkaitan antara program Rice Center dengan para pedagang, petani melalui Resi Gudang maupun pasar lelang. Gambar 2. Menyajikan pola keterkaitan Program Rice Center, SRG, pengolahan beras dan pasar lelang. Pola pemanfaatan SRG melalui kelompok tani, seperti yang sudah dilakukan oleh Kelompok Tani Jayatani di Desa Mangunjaya Kecamatan Anjatan yang senatiasa mendapat pendampingan hingga pembinaan kerjasama dalam kaitan penjualan produk petani dengan pola SRG. Sehingga diharapkan bahwa SRG ke depan harus disemua kelompok tani yang ada dan tidak hanya di satu kelompok saja, seperti yang dilaksanakan pada saat sekarang. Pembeli
SRG
Rice Centre
Beras
Pasar Lelang
diolah Gabah Petani Pasar Umum
Gambar 2. Pola Keterkaitan Program Rice Center, SRG, Pengolahan Beras dan PasarLelang
53
Implementasi Pengelolaan Gudang dengan Sistem Resi Gudang 1. Profil Gudang PT. Pertani sebagai Pengelola Resi Gudang Gudang Haurgeulis dibawah pengelolaan PT Pertani (Persero) berlokasi di Jln. Jend. Sudirman, Desa Cipancuh, Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu. Gudang tersebut ditangani oleh seorang Manager Gudang dibantu 6 orang tenaga tetap dan puluhan buruh gudang lepas. Gudang Haurgeulis mulai beroperasi tahun 2008, sempat terhenti dan kemudian beroperasi kembali tahun 2010 sampai saat ini (2014), dengan kapasitas gudang 2500 ton. Gudang Haurgeulis memiliki 4 unit gudang, 2 unit gudang digunakan untuk stok pengadaan gabah PT Pertani, 1 unit gudang untuk lokasi jasa pengeringan dengan fasilitas 4 mesin dryer skala besar dan dilengkapi dengan proses penyosohan, 1 unit gudang digunakan untuk kegiatan SRG. Gudang Haurgeulis dilengkapi dengan gudang peralatan dan mesin pertanian (mesin pengiringan dan pengarungan), gudang dan mesin penggilingan gabah, dan Gudang untuk Resi Gudang (RG). Komoditas utama yang masuk gudang berupa Gabah Kering Giling (GKG) dengan beberapa varietas, yaitu Ciherang, Pandan Wangi (PW), IR-64, Muncul, dan Ketan. Pengelolaan jasa gudang melalui SRG di gudang ini tidak dilakukan untuk produk beras, dengan alasan bahwa penyimpanan untuk komoditas beras banyak mengandung resiko disamping biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima sehingga tidak dapat menutupi biaya operasional SRG dibandingkan dengan jasa penyimpanan dalam bentuk gabah. Wawancara difokuskan kepada pelaksanaan SRG untuk musim panen MH 2014, dimana Gudang Haurgeulis berhasil menampung dan menyimpan gabah sebanyak 1876 ton gabah. Gabah yang akan disimpan harus dikemas dengan volume 50 kg/kemasan. Untuk tahun 2014 kapasitas gudang terisi gabah yang dititip jual petani hasil panen musim gadu dan rendeng tahun 2013 dan satu musim panen tahun 2014. Kapasitas terpasang gudang tidak berhasil digunakan sepenuhnya (full capacity) karena belum tersedianya alat „lifter‟ untuk menumpuk karungan gabah yang tingginya lebih dari 10 meter. Tumpukan gabah tidak bisa dimaksimalkan, karena petugas kesulitan untuk mengangkat karung gabah pada tumpukan yang terlalu tinggi. Menurut Manajer gudang, alat lifter tersebut sedang dibeli sehingga kedepan kapasitas terpasang gudang dapat sepenuhnya dimanfaatkan.
54
2. Pengguna Resi Gudang Jumlah RG yang diterbitkan pada periode 2014 sebanyak 78 RG, dengan pengguna jasa mulai dari petani perorangan, Kelompok Tani (KT), Gapoktan, koperasi SBU, pedagang, dan perusahaan huller (RMU). Dari 78 RG yang dikeluarkan, sekitar 10 persen (8 RG) diantaranya atas nama KSU. Pengelola Gudang menerbitkan RG dengan volume (nilai) yang berbeda untuk masing-masing RG, yaitu (1) 20 ton/RG untuk varietas IR, (2) 16-17 ton/RG untuk varietas Pandan Wangi, (3) 200 ton/RG untuk varietas IR bagi Gapoktan, bahkan untuk KSU Bina Hasil Tani jumlah penitipan barang melalui SRG bisa mencapai 400 ton/RG. SRG umumnya dimanfaatkan petani/pedang/kelompok pada saat musim panen raya, yaitu sekitar bulan April-Mei. Jangka waktu RG atau lama penyimpanan yang berlaku adalah 3 bulan. Jangka waktu ini disesuaikan dengan jangka waktu tibanya musim panen berikutnya. Ketentuan ini bertujuan agar gudang RG sudah kosong saat musim berikutnya panen tiba. Disamping itu, untuk menghindari kerusakan/penyusutan serta turunnya harga jual gabah yang disimpan di gudang. Pada tahun 2014 pemilik barang menyimpan rata-rata 2 bulan. 3. Proses Penerbitan Resi Gudang Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan calon pengguna RG untuk memperoleh RG. Secara ringkas, tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Sebelum barang masuk gudang penyimpanan, barang harus dipersiapkan sesuai standar yag ditetapkan pengelola gudang. PT. Pertani tidak selalu menerima barang yang siap masuk gudang sesuai standar pengemasan PT.Pertani, tetapi bisa pula menerima gabah basah. Untuk penyimpanan ke gudang, gabah basah harus melalui proses pengeringan hingga mencapai kadar air + 14 %. Selanjutnya gabah yang sudah kering, dikemas dalam karung sebanyak 50 kg GKG/kemasan dan dijahit secara mekanis. Untuk sementara ini, karung yang digunakan masih milik petani dan penyediaannya dilakukan oleh pemilik barang masing-masing, sehingga karung yang digunakan tidak seragam. Gabah yang sudah dikemas selanjutnya dilakukan uji mutu dengan beberapa kriteria, salah satunya kadar air tidak boleh lebih dari 14 persen, karena kandungan kadar air berpengaruh pada kualitas gabah. Jasa pengeringan (dryer) merupakan kunci dalam proses awal mendapatkan RG dari pihak pengelola SRG. Manajemen usaha jasa dryer terpisah dari SRG, sehingga pembayaran jasa dryer langsung kepada pihak pengelola jasa dryer, secara langsung atau 55
secara diperhitungkan. Kapasitas mesin dryer yang dimiliki PT Pertani gudang Haurgeulis mencapai 30 ton. Jasa dryer yang disediakan pengelola SRG dibayar oleh pengguna setelah dilakukan pengeringan (gabah kering simpan di karung). Besarnya biaya untuk proses dryer dari gabah basah (petani) hingga menjadi gabah kering simpan sebesar Rp. 200 per kilogram. Dalam proses pengeringan umumnya terjadi penyusutan sebesar 20 persen.
Gabah Basah/Kering Panen milik petani, kelompok, pedagang, pengepul, penggilingan padi
Pengeringan dan Pengemasan
GKG milik Perorangan/ Kelompok - Lulus uji mutu - Registrasi
- Penaksiran harga - Asuransi
Masuk Gudang PT.Pertani
Persyaratan permohonan resi terpenuhi
Penerbitan Resi Gudang
Jaminan Kredit Bank BJB KCP Haurgeulis
Gambar 3. Skema Alur Penerbitan Resi Gudang Sebelum barang masuk gudang, terlebih dahulu dilakukan proses uji mutu barang oleh Ujatasma (anak perusahaan Bulog), penaksiran nilai barang, asuransi, dan registrasi. Taksiran harga didasarkan pada harga pasar di wilayah tersebut. Harga yang berlaku untuk menaksir nilai barang, Pengelola Gudang melakukan kegiatan suvey harga secara internal yang dilakukan oleh para petugas dari PT. Pertani di masing-masing gudang. Hal ini karena PT Pertani juga melakukan tugas pengadaan gabah untuk stok kebutuhan dan stabilisasi ketersediaan pangan daerah disamping usaha komersil dalam proses mencari 56
keuntungan usaha perusahaan (PT Pertani). Menurut informasi pengelola bahwa pada tahun 2013, SRG yang dijalankan cukup sukses setelah dua tahun sebelumnya tidak terlalu memberikan banyak keuntungan. Hasil survey harga diperoleh harga Rp 5000/kg – Rp 5500/kg untuk varietas Ciherang, IR-64, Muncul, dan Ketan, sedangkan untuk varietas Pandan Wangi ditetapkan Rp 6.500/kg. Setelah kelengkapan dokumen administrasi terpenuhi, selanjutnya barang diangkut ke gudang pengelola RG. Untuk kelengkapan administrasi penerbitan RG, calon pengguna RG diwajibkan melengkapi beberapa dokumen, yaitu : (1) fotocopy KTP, (2) fotocopy surat nikah, (3) surat keterangkan petani/usaha dari desa setempat, dan (4) membuka rekening Bank BJB. Proses dari barang masuk gudang hingga penerbitan RG membutuhkan waktu kurang lebih 3 hari. Selanjutnya RG tersebut dapat digunakan sebagai agunan untuk memperoleh kredit dari bank, dalam hal ini bank yang ditunjuk menjadi rekanan untuk pengelolaan RG adalah Bank BJB KCP Haurgeulis. 4. Pembiayaan Resi Gudang Biaya penyimpanan barang di gudang SRG bervariasi tergantung lamanya waktu simpan, dengan rincian sebagai berikut : Rp 75/kg untuk 3 bulan, Rp 90/kg untuk 4 bulan, Rp 105/kg untuk 5 bulan, dan Rp 120/kg untuk 6 bulan (maksimum). Biaya gudang mencakup empat komponen, yaitu (1) biaya bongkar sebesar Rp 10/kg, (2) biaya uji mutu sebesar Rp 5/kg, (3) biaya psrg & asuransi sebesar Rp 10/kg, dan (4) biaya perawatan sebesar Rp 10/kg. Namun sebelum barang digudangkan, proses pengeringan hingga pengemasan memakan biaya Rp 200/kg gabah basah atau Rp 250/kg GKG. Untuk memperoleh gambaran tentang perhitungan resi gudang, berikut dijelaskan analisis biaya RG kasus penyimpanan barang sebanyak 20 ton GKG varietas Ciherang dengan lama penyimpanan 3 bulan. Rincian perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, pangsa biaya pra-gudang ternyata lebih besar (5 %) dibandingkan biaya gudang sebesar 1.5 persen. Biaya pra-gudang belum memperhitungkan ongkos angkut dari sawah petani ke gudang PT.Pertani. Proses pengeringan tidak diharuskan di dryer milik PT.Pertani, petani boleh melakukan pengeringan sendiri asal memenuhi standar mutu gudang (kadar air 14 %). Pengelola gudang hanya mewajibkan petani untuk menjahit karung kemasannya di PT.Pertani, karena harus menggunakan jahit mesin agar kemasan kuat dan tidak mudah rusak. Karung kemasan selam ini masih menggunakan karung milik petani pemilik gabah. Rencana PT.Pertani akan melakukan 57
penyeragaman karung kemasan pada tahun 2015, dan akan dikenakan biaya tambahan untuk karung kemasan. Tabel 1. Analisis Biaya Sistem Resi Gudang Gabah di Indramayu, 2014 No.
Uraian
1. 2.
Nilai taksiran barang (Rp 5000/kg x 20 ton) Biaya : e. Biaya pra-gudang (pengeringan, pengemasan dengan karung, jahit karung dengan mesin) (Rp 250/kg GKG x 20 ton) f. Biaya gudang - Biaya bongkar (Rp 10/kg x 20 ton) - Biaya uji mutu (Rp 5/kg x 20 ton) - Biaya registrasi & asuransi (Rp 10/kg x 20 ton) - Biaya perawatan (Rp 10/kg x 20 ton) g. Jasa sewa gudang (Rp 40/kg x 20 ton) h. Total biaya (2a + 2b)
Nilai (Rp) 100.000.000
Pangsa thd. Nilai Barang (%) 100,00
5.000.000
5,00
200.000 100.000 200.000
0,20 0,10 0,20
200.000 800.000 6.500.000
0,20 0,80 6,50
Untuk biaya gudang, terdapat beberapa komponen yang harus dibayar pemilik barang. Bongkar barang ditangani langsung oleh tenaga kerja PT.Pertani. Uji mutu barang dilakukan lembaga di luar PT.Pertani dengan biaya Rp 5/kg GKG. Untuk barang yang akan diresigudangkan, barang harus diregistrasi ke Kliring Berjangka Indonesia (KBI) dan diasuransikan, dalam hal ini PT.Pertani menggunakan rekanan PT.Sinar Mas sebagai penjamin risiko barang. Kegiatan registrasi dan asuransi tersebut dikenakan biaya sebesar Rp 5/kg. Biaya sewa gudang merupakan penerimaan PT.Pertani atas jasa penyewaan gudang. Biaya keseluruhan dari pra-gudang hingga diterbitkannya RG, seluruhnya sebesar 6.5 persen dari nilai RG, dengan catatan biaya angkut gabah dari sawah ke lokasi gudang belum diperhitungkan. Biaya angkut gabah berbanding lurus dengan jarak, makin jauh jarak sawah ke gudang PT.Pertani, maka ongkos angkut makin mahal. Oleh karena itu, PT.Pertani akan membatasi barang yang masuk ke gudang maksimal jarak dari lokasi sawah ke gudang sekitar 40 km. Jika jaraknya lebih dari 40 km, maka disarankan untuk memanfaatkan gudang PT.Pertani lainnya yang jaraknya dari lokasi sawah relatif lebih dekat. Proses penerbitan resi gudang rata-rata memakan waktu sekitar 3 hari. 5. Penataan Barang dalam Gudang Menurut Undang-Undang Resi Gudang Pasal 25 disebutkan bahwa Pengelola Gudang, berdasarkan kesepakatan, dapat mencampur barang yang jenis, standar mutu, dan unit satuannya setara atau menurut kebiasaan praktik perdagangan. Dalam prakteknya, sistem penyimpanan gabah yang di SRG kan, secara teknis telah diatur berdasarkan barang 58
pada slop-slop penyimpanan yang sudah ditata berdasarkan pembagian tempat yang sudah disediakan untuk masing-masing penyimpan, selanjutnya diberi nama pemilik barang dan keterangan identitas lain tentang penjelasan yang terkait dengan status barang titipan yang digudangkan. Dengan cara ini akan lebih memudahkan sekaligus membantu pengelola gudang dan pemilik untuk melakunan pengaturan pengontrolan maupun mekanisme dalam manajemen SRG yang dilaksanakan. Sesuai prosedur, kepemilikan satu resi gudang hanya diberikan untuk satu nama dari sejumlah barang tunda jual yang dititipkan pemiliknya kepada pengelola SRG. Sebagai gambaran, penataan barang dalam gudang dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Penataan Barang di Gudang PT. Pertani Haurgeulis, Indramayu Peran Perbankan dalam Pelaksanaan Resi Gudang Dalam UU Resi Gudang No.9 Tahun 2006 Pasal 4 dinyatakan bahwa : (1) Resi Gudang dapat dialihkan, dijadikan jaminan utang, atau digunakan sebagai dokumen penyerahan barang. (2) Resi Gudang sebagai dokumen kepemilikan dapat dijadikan jaminan utang sepenuhnya tanpa dipersyaratkan adanya agunan lainnya. Bank BJB Indramayu adalah lembaga keuangan yang ditunjuk untuk pemberi pinjaman kepada pemilik RG. Kredit RG yang disalurkan melalui kelompok tani yang sudah di tetapkan adalah Kelompok Tani di Indramayu dan satu kelompok tani di Subang. Sebagai bank pelaksana SRG, Bank BJB melakukan koordinasi dengan BI Cirebon di Haurgeulis. Kegiatan koordinasi juga dilakukan melalui Seminar dan Lokakarya. Alur proses pemberian fasilitas kredit resi gudang dapat dilihat pada Gambar 5. Pihak yang dapat menerima kredit SRG adalah : (1) Petani, (2) Kelompok tani, (3) Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), dan (4) Koperasi. Resi Gudang hanya dapat diterbitkan oleh Pengelola Gudang yang telah memperoleh persetujuan Badan Pengawas. Resi gudang yang telah diperoleh, selanjutnya 59
dapat dijadikan agunan untuk memperoleh pinjaman dari bank, dalam hal ini Bank BJB Indramayu. Sebelum kredit dicairkan, akan dilakukan survey dengan cara mengecek kondisi barang di gudang PT.Pertani. PETANI, GAPOKTAN
1
2
PENGELOLA GUDANG
BAPPEBTI (No. Resi)
BARANG DI GUDANG
PETANI, GAPOKTAN
3
4
PENGAJUAN KREDIT
BANK BJB (Pemberi Kredit)
5 SYSTEM IS WARE (didaftarkan sebagai jaminan)
SURVEY
6 PELUNASAN KREDIT
Keputusan Kredit (komite kredit)
7
8
PETANI, GAPOKTAN (pencairan fasilitas kredit dipindahbukukan ke rekening petani, gapoktan masuk ke tabungan Petani, gapoktan)
Gambar 5. Alur Proses Pemberian Fasilitas Kredit Resi Gudang Secara paralel seorang Analis akan melakukan pengecekan dokumen RG ke kantor Kliring Berjangka Indonesia (KBI) melalui sistem online yang diberi nama System is Ware. Melalui sistem online ini juga RG yang akan dijaminkan didaftarkan ke KBI sebagai resi yang mengajukan permohonan kredit. Pengecekan dokumen RG ke KBI, meliputi : (1) Legalitas Pengelola Gudang; (2) Keabsahan pihak pemberi hak jaminan; (3) Keabsahan 60
resi gudang; (4) Jangka waktu Resi Gudang; (5) Nilai Resi Gudang pada saat diterbitkan; (6) Nama pemegang terakhir Resi Gudang; (7) Status Resi Gudang (terikat Hak Jaminan atau tidak) dari Pusat Registrasi Resi Gudang, dan (8) Bukti pelunasan biaya pengelolaan yang dikeluarkan oleh Pengelola Gudang. Menurut informasi dari staf Bank BJB Indramayu, bahwa Bank BJB tidak mengenakan biaya administrasi untuk setiap permohonan pinjaman melalui agunan RG. Bahkan pemilik RG yang mengajukan pinjaman akan memperoleh subsidi bunga dari pemerintah, sehingga tingkat bunga yang dibebankan pemilik RG relatif kecil. Tingkat suku bunga SRG ditetapkan sebesar tingkat bunga pasar yang berlaku dengan ketentuan paling tinggi sebesar suku bunga penjaminan simpanan pada bank Umum yang ditetapkan oleh lembaga penjaminan simpanan ditambah 6.75 %. Beban Bunga kepada peserta SRG ditetapkan sebesar 6%. Selisih tingkat bunga SRG dengan beban bunga peserta SRG merupakan subsidi pemerintah. Pemberian kredit kepada pemilik resi gudang atas nama kelompok maksimum 70 persen dari nilai RG. Jika pemilik resi gudang atas nama perorangan, nilai kredit yang diberikan maksimum Rp 75 juta. Penyaluran kredit resi gudang selama periode tahun 2010-2012 berjalan lancar, namun pada tahun 2013-2014 sedikit ada masalah. Beberapa permasalahan yang dihadapi bank terkait pelaksanaan SRG, sebagai berikut : (1) Nilai taksiran barang yang tertulis di resi gudang terlalu tinggi dan nilai barang turun ketika jatuh tempo pinjaman. Secara penghitungan finansial, pemilik resi gudang akan rugi. (2) Terkait pemberian pinjaman, bank umumnya memberikan pinjaman dalam jangka waktu rata-rata 3 bulan. Permasalahan akan muncul jika mendekati jatuh tempo belum ditemukan calon pembeli RG. Jika sampai jatuh tempo tidak ada pembeli RG, maka pelunasan kredit akan tertunda, kondisi ini berdampak pada kinerja bank. Proses pembelian gabah yang dilakukan oleh Pembeli (bisa pemilik RMU atau pembeli lain) dilakukan setelah menghubungi pengelola gudang untuk mengecek fisik gabah yang ada di gudang termasuk kualitas barang yang akan dijual dan kepemilikannya. Setelah proses tersebut, selanjutnya dilakukan transaksi dan diteruskan ke BJB untuk verifikasi data SRG, sekaligus verifikasi jumlah transaksi yang harus dibayarkan melalui BJB sebelum RG diserahkan kepada pembeli. Verifikasi di BJB juga dengan memperhitungkan jumlah plafon kredit petani atau kelompok tani sebagai pemilik barang 61
atas pinjaman kredit ke Bank BJB. Bank menerima pembayarannya berdasarkan resi gudang oleh pembeli termasuk untuk pelunasan biaya ke Bank. Pembeli melakukan pembayaran ke rekening pemilik barang melalui Bank BJB dan melunasi kewajiban pemilik barang ke bank. Proses tersebut selesai, kemudian uang hasil transaksi dan pengurangan pihak Bank BJB diserahkan kepada para petani atau kelompok tani pemilik barang dan RG dibawa oleh pembeli dan pemilik barang kepada pengelola SRG untuk pengambilan barang di gudang. Pihak pengelola gudang kemudian melakukan verifikasi tentang jumlah biaya yang harus diselesaikan oleh pemilik barang dengan pengelola gudang. Setelah proses tersebut selesai, maka dibuat berita acara penyerahan barang dan barang baru bisa dikeluarkan dari gudang setelah seluruh tahapan proses diselesaikan. Permasalahan Implementasi dan Pengembangan SRG Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa penerapan SRG masih menghadapi beberapa kendala sebagai berikut: (1)
Belum meluasnya pemahaman manfaat SRG, baik oleh petani maupun pengurus kelompok tani/gapoktan. Petani berlahan sempit, pada umumnya langsung menjual gabahnya kepada pedagang karena mereka memerlukan uang tunai dalam waktu cepat. Mereka menjual gabahnya kepada pengumpul yang juga petani anggota KT/Gapoktan yang sama. Selanjutnya Gapoktan memproses gabahnya untuk memenuhi standar dan ketentuan kemasan/pengantongan SRG untuk memperoleh resi gudang.
(2)
Petani perorangan masih menilai pengurusan SRG, proses untuk memanfaatkan jasa SRG termasuk pemenuhan standar mutu gabah/beras dan estimasi nilai gabah/beras ribet dan memakan waktu. Disamping itu petani juga menganggap biaya pengarungan, biaya transportasi dan biaya jasa RG cukup mahal dan tidak ada kepastian harga jual gabahnya 2-3 bulan kemudian sehingga tidak ada kepastian apakah mereka untung untuk menyimpan di gudang RG. Bagi mereka lebih menjual secara cepat dengan harga layak, yakni harga „HPP‟ dianggap lebih menguntungkan dibandingkan kalau harus mengikuti seluruh prosedur „tunda jual‟ dari SRG, karena memerlukan waktu untuk memperoleh „uang tunai‟ dan/atau „kredit pembiayaan‟ dari Bank terkait.
(3)
Masih banyaknya praktek tebasan, dimana petani menjual padinya disawah menjelang musim panen. Pembelinya adalah penebas baik pedagang di dalam maupun
dari
luar
desa/kabupaten 62
Indramayu.
Sebagian
pedagang/penebas
selanjutnya memanfaatkan SRG baik langsung berhubungan ke Pengelola Gudang atau ada yang melewati kelompok Gapoktan, karena sebagian pedagang yang bertindak sebagai penebas bagian juga petani. Dengan demikian pedagang yang lebih banyak menanfaatkan sistem resi gudang untuk komoditas gabah dan beras. (4)
Pada musim panen terakhir (MK 2014) telah terjadi NPL atau potensial NPL, karena beberapa RG di gudang Haurgeulis belum terjual padahal sudah melewati waktu jatuh tempo, sehingga urusan kredit pembiayaan Bank BJB belum selesai. Hal ini terjadi karena adanya „over-estimasi‟ nilai RG gabah yang disimpan setelah memperhitungkan harga pasaran gabah, biaya pengeringan, harga pengemasan dan harga transportasi. Untuk mengatasi masalah yang berpotensi NPL, seminggu sebelum RG jatuh tempo, Bank akan mengingatkan pengelola gudang dan pemilik RG tentang waktu jatuh temponya. Selanjutnya Pengelola gudang turut mencarikan pembeli yang menawarkan harga terbaik bagi pemilik resi sehingga tidak mengalami kerugian.
(5)
Keberadaan HPP gabah/beras dihipotesakan akan menjadi salah satu penyebab SRG tidak berkembang meluas, karena berbenturan dengan kebijakan stabilisasi harga dan pengelolaan stok penyangga (Public Stock Holding-PSH) yang dilakukan Perum BULOG. Secara potensial SRG akan menghadapi NPL mengingat pemerintah lewat operasi pasar Perum BULOG tidak akan membiarkan harga gabah kelewat tinggi yang pada gilirannya menyebabkan harga beras terlalu tinggi dan membebani konsumen. Sementara, dengan penaksiran nilai RG yang kelewat tinggi karena mengacu kepada HPP ditambah biaya RG dan biaya pembiayaan dari Bank, akan memaksa pemilik RG untuk menjual/melepas gabah/berasnya dari gudang bila harga jualnya melebihi nilai RG. Hal ini secara potensial akan menyebabkan NPL yang tentu saja tidak dikehendaki oleh Bank pendukung.
(6)
Teknis pengemasan gabah terutama volume gabah untuk setiap karung tidak seragam, dengan menggunakan jahitan karung secara manual menggunakan tali rapia, sedangkan dalam proses yang ditangani SRG pengepakan diseragamkan dengan volume karung ukuran 50 kg dan jahitan karung sudah menggunakan alat penjahit mekanis. Penyeragaman ini masih menjadi kendala bagi petani atau pemilik barang terutama jika menjadi beban tambahan biaya yang harus dibayar oleh petani atau pemilik barang, sehingga sebagian petani masih menolak persyaratan ini. Untuk sementara proses pengarungan masih diserahkan kepada petani dan pemilik barang, 63
dan pada proses ke depan akan diseragamkan oleh fihak pengelola SRG. Kendala lain pada proses uji mutu yang dilakukan oleh Bulog dan biaya asuransi dianggap cukup besar. Untuk keseragaman pengemasan, PT.Pertani berencana melakukan pengemasan dengan karung yang seragam dan akan dimulai pada tahun 2015. Kendala lainnya terkait dengan masalah pergudangan, terutama untuk pemeliharaan gudang.
64
Lampiran 2. Kinerja Penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang
Pendahuluan Fluktuasi harga yang terjadi pada komoditas pertanian khususnya untuk gabah dan beras serta kebutuhan modal untuk pembiayaan usahatani seringkali menjadi permasalahan yang harus dihadapi oleh para petani dalam proses pelaksanaan kegiatan usahatani. Terjadinya penurunan harga produk pertanian hingga titik terendah pada saat terjadinya panen raya, tidak sedikit menyebabkan para petani harus menerima kerugian. Sehingga hasil penjualan produk tidak bisa digunakan untuk sumber pembiayaan kegiatan usahatani pada musim tanam berikutnya. Mengingat sebagian besar petani mengandalkan modal usahatani (modal sendiri) dari perputaran pendapatan berdasarkan hasil penjualan produk pertanian yang diusahakannya. Sebaliknya, pada saat harga komoditas melambung tinggi akibat produksi komoditas pertanian yang terbatas di pasaran, juga tidak serta merta dapat dinikmati oleh para petani yang mengusahakannya. Karena harga pasar sudah terdistorsi oleh peran kelembagaan lain yang terlibat dalam proses panen, pasca panen maupun pemasaran hasil. Situasi dan kondisi seperti ini, seakan terus berlangsung pada berbagai jenis produk komoditas pertanian, tanpa ada solusi dan pemecahan masalah yang lebih komprehenship menanganinya, dalam satu sistem yang lebih holistik dan terintegrasi satu sama lain. Langkah dan tindakan komprehensip dalam satu sistem, menuntut semua pihak terkait ikut memikirkan satu upaya agar para petani tetap dapat menikmati hasil usahatani, melalui nilai keuntungan dari komoditas pertanian yang diusahakannya. Sistem tunda jual yang diimplementasikan melalui kegiatan Sistem Resi Gudang (SRG), diharapkan oleh para petani maupun kelompok tani menjadi salahsatu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menjembatani persoalan yang selama ini dihadapi dalam proses usahatani hingga pemasaran hasil, atau dengan kata lain antara produk yang dihasilkan oleh para petani dengan pasar atau pembeli, pada saat tingkat harga tertinggi yang bisa diterima oleh petani. Sistem tunda jual ditengarai juga dapat memberikan peluang pada peningkatan kwalitas produk hasil pertanian, sehingga mendorong pada nilai jual komoditas petani kearah yang lebih kompetitif. Namun demikian, dalam pelaksanaan sistem tunda jual melalui kegiatan SRG yang diinisiasikan khususnya di Kabupaten Subang, belum digunakan secara optimal oleh para petani dan pelaku lainnya, sebagai sarana yang dapat memfasilitasi proses transaksi produk 65
pada tingkat harga yang cukup tinggi. Dengan gambaran ini maka perkembangan aktivitas/kegiatan penyelenggaraan SRG relatif masih terbatas, baik dari jumlah produk maupun jangkauan kemampuan kegiatannya, bahkan memberikan indikasi bahwa proses percepatan penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang berjalan secara lambat, jika dibandingkan dengan potensi produksi padi (gabah dan beras) yang dihasilkan di Kabupaten Subang. Potensi dan Pelaku Usaha Komoditas Padi Kabupaten Subang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat setelah Indramayu dan Karawang. Kabupaten Subang juga sekaligus merupakan penyumbang/ kontributor produksi padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Data luas lahan sawah pada tahun 2012 tercatat 84.929 hektar atau sekitar 41,39 persen dari total luas wilayah Kabupaten Subang. Sementara jumlah potensi produksi padi sawah dan padi ladang di Kabupaten Subang pada tahun 2012 mencapai 1.184.010 ton. Data pada tahun 2013, luas sawah di Kabupaten Subang mencapai 84.928 hektar dengan luas panen 177.547 hektar dan jumlah potensi produksi padi mencapai 1.204.829 ton dan rata-rata produksi mencapai 67,86 kwintal/hektar (BPS Kabupaten Subang, 2014). Tabel 1. Luas Sawah, Luas Panen, Hasil dan Produksi Padi di Kabupaten Subang 20092013 Tahun
Luas Sawah (Ha)
Luas Panen (Ha)
2013 2012 2011 2010 2009
84.928 84.928 84.928 84.929 85.362
177.547 171.102 178.541 171.559 182.912
Hasil (Ku/ha) 67,86 67,16 66,12 55,32 61,32
Produksi (Ton) 1.204.829 1.149.147 1.180.594 949.210 1.121.600
Sumber : Subang Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang 2014
Lebih lanjut, memperhatikan data produksi per kecamatan sesuai dengan areal sawahnya, sebagian besar berpengairan teknis. Produksi padi (sawah dan ladang) terbesar masih dihasilkan dari kecamatan Ciasem yang mencapai produksi sebesar 99.924 ton pada tahun 2012. Khusus padi ladang produksi tertinggi pada tahun 2012 terdapat di Kecamatan Pabuaran dengan angka produksi 1.326 ton. Berdasarkan data tahun 2013 menunjukkan bahwa potensi produksi padi sawah, tercatat di Kecamatan Ciasem (99.843 ton); Patokbeusi (84.297 ton); Tambakdahan (77.623 ton) serta Kecamatan Blanakan (68.692 ton). Jumlah produksi yang dihasilkan dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Subang, baru sebagian kecil yang telah diikutsertakan dalam program SRG. Dengan 66
gambaran data pada Tabel 2 dibawah ini maka dengan mengacu pada jumlah produksi padi yang dihasilkan dari setiap wilayah, potensi pengembangan program SRG masih sangat prospektif dilaksanakan di Kabupaten Subang. Tabel 2. Luas Panen, Hasil Per Hektar dan Produksi Padi Sawah Menurut Kecamatan di Kabupaten Subang Tahun 2013 No. 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kecamatan 2 Sagalaherang Serang Panjang Jalan Cagak Ciater Cisalak Kasomalang Tanjungsiang Cijambe Cibogo Subang Kalijati Dawuan Cipeundeuy Pabuaran Patokbeusi Puwadadi Cikaum Pagaden Pagaden Barat Cipunagara Compreng Binong Tambakdahan Ciasem Pamanukan Sukasari Pusakanagara Pusaka Jaya Legon Kulon Blanakan Jumlah
Luas Penen (Ha) 3 2.900 2.640 2.338 1.962 3.577 1.910 3.376 4.809 4.779 3.656 2.092 5.289 3.170 8.728 11.653 3.072 4.417 5.732 9.198 11.228 10.252 7.596 9.490 12.753 3.824 7.338 6.301 7.889 5.295 10.343 177.547
Hasil (Kuintal/ha) 4 53,59 54,98 58,12 63,54 60,24 56,96 62,62 60,97 68,44 54,34 55,53 62,78 62,85 67,54 72,34 61,28 67,59 62,74 65,79 63,98 40,51 82,59 82,32 78,29 71,65 78,56 77,45 81,90 74,39 66,41 67,86
Produksi (Ton) 5 15.541 14.516 13.589 12.467 21.546 10.879 21.139 29.320 32.709 19.867 11.617 33.205 19.323 58.949 84.297 18.824 29.856 35.963 60.510 71.835 41.532 62.737 77.623 99.843 27.399 57.651 48.800 64.608 39.392 68.692 1.204.829
Sumber : Subang Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang, 2014
Berdasarkan data pengelolaan usahatani padi di Kabupaten Subang pada tahun 2013, menunjukkan bahwa jumlah petani penggarap mencapai 461.634 orang. Jika 67
dikaitkan dengan luas areal sawah yang ada di kabupaten Subang pada tahun 2013, lahan yang digarap oleh petani pemilik dan bukan pemilik, menunjukkan rata-rata penguasaan hanya 0,184 hektar per penggarap serta hasil produksi yang diperoleh rata-rata hanya mencapai 2,61 ton untuk setiap petani penggarap. Besarnya prosentasi petani penggarap yang bukan pemilik lahan garapan, baik itu dilakukan dengan sistim sewa, maro, bagi hasil dan pola penggarapan lainnya akan sangat menentukan pada proses pengambilan keputusan, apakah produksi padi akan dijual langsung atau diikutsertakan pada program SRG, jika pada saat panen raya didapati harga pembelian yang sangat rendah. Disisi lain dalam proses pengelolaan usahatani padi di Kabupaten Subang, juga masih akan terkait dengan pola bawon, borongan maupun pola lainnya yang diterapkan, sehingga jumlah produksi kotor masih harus dikurangi dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan serta menjadi tanggungjawab penggarap. Dengan demikian bagi para penggarap yang bukan pemilik lahan sawah, serta luas garapan yang relatif terbatas, proses penjualan tebasan merupakan alternatif yang menguntungkan jika dibandingkan dengan pola SRG yang ditawarkan. Tabel 3. Jumlah Petani Penggarap menurut Status Kepemilikan Lahan di Kabupaten Subang Tahun 2009-2013 Tahun 2013 2012 2011 2010 2009
Pemilik 152.715 163.404 161.079 150.116 161.743
Petani Penggarap Bukan (%) Pemilik 33,08 308.919 33,11 330.094 33,39 321.390 55,20 121.849 59.74 109.005
Jumlah (%)
(orang)
(%)
66,92 66,89 66,61 44,80 40,26
461634 493498 482469 271965 270748
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber : Subang Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang 2014
Proses Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang : Kasus KSU Annisa Penyelenggaraan Skim SRG di Kabupaten Subang, dilaksanakan melalui model kegiatan usaha yang dikelola oleh Koperasi. Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa ditetapkan Bappepti menjadi pengelola SRG tahun 2008, sebagai pengembangan unit usaha KSU yang secara khusus membidangi kegiatan SRG untuk komoditas padi dan beras. Wilayah produksi padi yang dikelola SRG ini meliputi beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Subang. Usaha awal dilakukan pada tahun 2008 dan kemudian mengembangkan usaha SRG yang dilakukan dengan pengelolaan sarana gudang pada tahun 2010. Usaha SRG dilakukan terhadap penanganan komoditas khusus yang 68
diprogramkan oleh Dirjen P2HP Kementerian Pertanian di Wilayah Kecamatan Binong dan Kecamatan sekitarnya di Kabupaten Subang. Komoditas khusus dimaksud adalah padi jenis ketan dan kemudian dikelola dalam bentuk gabah dan beras ketan yang diproyeksikan untuk mengurangi substitusi impor sebesar 10 persen. Penanaman beras ketan di Kabupaten Subang secara intensif mulai dilakukan tahun 2002 di Desa Citra Kecamatan Binong, Subang, Jawa Barat. Namun dihadapkan dengan beberapa kendala, diantaranya: adanya fluktuasi harga gabah/teras ketan yang tinggi sehingga sulit diprediksi dan menimbulkan ketidakpastian harga. Budidaya tanaman ketan relatif lebih rentan terhadap hama karena perhatian baik dari pemerintah maupun petugas masih kurang. Kemudian benih masih menjadi masalah utama karena masih terbatasnya penangkar benih yang bergerak di varietas ketan sehingga pengadaan benih dilaksanakan oleh petani sendiri. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen P2HP) menggalang kemitraan antara petani beras ketan dengan penggilingan dan importirnya melalui program substitusi beras ketan impor di Subang Jawa Barat. Di kabupaten Subang pada perkembangan tahun 2010-2011 luas areal ketan mencapai ± 7.250 ha tersebar di 8 kecamatan dan 30 desa, meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan substitusi impor sebesar 75 persen posisi Mei 2011 telah berdampak kepada penyerapan beras ketan lokal sebesar 5.437,5 ton dari kuota impor yang sudah dikeluarkan 72.500 ton dan terbagi kepada 2 kabupaten yaitu Kabupaten Subang Jawa Barat dan Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Program ini dinilai berhasil dan akan dikembangkan ke daerah Indramayu dan lokasi lainnya di Jawa Barat. Pada akhir tahun 2014, Bappebti melaporkan 5 (lima) besar penyelenggara RG menurut nilai RG yang diterbitkan Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa (Rp 16.8 milyar). Jumlah RG yang diterbitkan oleh pengelola SRG KSU Annisa mencapai 173 dengan nilai Rp 16 851 Milyar. Dari jumlah RG yang diterbitkan tadi, sejumlah 170 RG yang kemudian diajukan menjadi sumber pembiayaan dengan nilai kredit sebesar Rp 11.563 milyar, melalui Bank BJB Cabang Kabupaten Subang. Pelaksanaan SRG yang dikelola melalui unit usaha KSU ini terus berkembang, sejalan dengan program pengembangan komoditas padi ketan yang diintroduksikan, sehingga memerlukan tambahan fasilitas untuk gudang penyimpanan hasil produksi yang diikutsertakan dalam kegiatan usaha SRG yang dikelola oleh KSU Annisa. KSU Annisa kemudian memanfaatkan 4 gudang untuk mendukung kegiatan SRG. Status gudang 69
tersebut, meliputi 3 unit dalam bentuk sewa dan 1 unit melalui pinjam pakai milik Bappepti. Kapasitas Gudang I milik Bappepti yang berada di lokasi Gudang Binong mencapai 1000 ton dan saat penelitian ini dilakukan, gudang I terisi gabah jenis ketan sebanyak 1089 ton. Gudang II di lokasi Sri Ampeli dengan kapasitas 840 ton dan terisi gabah ketan 632,15 ton. Gudang III di Blok Jungklang Desa Mulyasari Kecamatan Binong, dengan kapasitas 250 ton dan terisi gabah ketan 244,850 ton, serta Gudang IV yang berada di desa Jatimulyo Kecamatan Compreng mempunyai kapasitas 700 ton, tetapi baru terisi gabah ketan 670,5 ton. (Tabel 4). Tabel 4. Alamat, Luas, Kapasitas, dan Isi Gudang per Desember 2014 Gudang
Alamat
Gudang I (milik Bappepti)
Desa Binong, Kecamatan. Binong Desa Sri Ampeli Kec. Binong Desa Mulyasari, Kec. Binong Desa Jatimulyo, Kec. Compreng
Gudang II (sewa) Gudang III (sewa) Gudang IV (sewa) Total
Luas (m2) 700
Kapasitas (ton) 1000
Isi (ton) 1 089
700 180 600
840 250 700
632.15 244.85 670.50
2180
2790
2636,50
Sumber : KSU Annisa, (2014)
Sampai saat ini banyak petani yang berminat untuk masuk menjadi peserta SRG, tetapi pihak pengelola masih terkendala dengan masalah ketersediaan jumlah gudang yang memadai untuk kegiatan SRG. Biaya sewa/kontrak gudang, seperti yang dilakukan pada gudang II hingga gudang IV dihitung per meter persegi senilai Rp 11.500 per lima bulan atau Rp 27.600 per m2 per tahun. Luas areal gudang I dan II masing-masing 700 meter persegi; gudang III 180 meter persegi; dan gudang IV luasnya mencapai 600 meter persegi. Gudang yang disewa KSU Annisa pada dasarnya merupakan milik pengurus kelompok tani yang juga menjadi anggota KSU Annisa dan pengelola SRG. Hal ini dilakukan karena jumlah dan ketersediaan gudang yang ada di wilayahnya juga terbatas. Lokasi gudang tersebut berada diantara lahan usahatani yang dikelola oleh para petani yang menjadi anggota kelompok. Sehingga pemanfaatan gudang tersebut dapat mengurangi beban biaya transpotasi, khususnya untuk ongkos angkut yang harus dikeluarkan oleh para petani pada saat membawa gabah hasil panen atau beras yang akan disimpan ke gudang SRG yang dikelola KSU Annisa.
70
Petani
Kelompok Tani
Koperasi CV Annisa
Proses Pengeringan
Proses Uji Mutu
Gudang SRG
Gambar 1. Mekanisme Penyerahan Gabah Petani Ke Gudang SRG CV Annisa Para pelaku yang memanfaatkan 4 gudang tersebut adalah sejumlah 200 orang petani baik secara individu maupun tergabung dalam kelompok, disamping ada 6 orang pedagang. Jenis gabah yang dikelola melalui kegiatan SRG adalah Gabah Ketan yang sebagian besar merupakan hasil panen para petani yang ada di wilayah Kecamatan Binong. Jenis padi ketan yang ditanam oleh para petani di wilayah ini pada umumnya padi jenis ketan dari varietas Derti dan Gebrug. Namun dalam kegiatan SRG dua varietas ini dapat dilakukan pencampuran pada saat proses pengarungan ulang di gudang SRG. Gabah masuk ke gudang biasanya pada bulan 4 (April) – 5 (Mei) serta pada bulan Oktober, November hingga bulan Desember dan dikeluarkan pada bulan 1 (Januari) - 2 (Februari). Jangka waktu penyimpanan gabah di gudang ditetapkan paling lama 2 bulan (jatuh tempo), sementara untuk perhitungan petani, penyimpanan dapat dilakukan hingga 4 bulan. Proses Penerbitan Resi Gudang Permohonan RG dapat dilakukan pemilik barang baik atas nama individu atau kolektif. Setiap pemohon resi gudang harus mengikuti aturan yang ditetapkan pengelola gudang. Dalam permohonan penerbitan RG, pengelola gudang mensyaratkan minimal volume barang 10 ton/nama pemohon. Oleh karena itu, jika volume barang yang dimiliki petani kurang dari 5 ton, atau batas yang dipersyaratkan pengelola maka petani tersebut harus bergabung untuk mencapai volume minimal yang sudah ditentukan oleh pengelola gudang. Pengelola gudang dapat melakukan pencampuran barang dengan jenis, varietas, dan kualitas yang yang sama pada saat dilakukan pengemasan ulang untuk penyeragaman jenis dan ukuran karung, melakukan pelabelan serta dalam satuan/volume yang sama, misalnya untuk satu karung rata-rata berat gabah simpan dibuat seragam menjadi 50 atau 71
100 kg, sehingga akan lebih memudahkan pengontrolan dan perhitungan pengelola gudang pada saat mencek tonase gabah yang disimpan di gudang.
Permohonan Simpan Barang
Tidak
Ya
Ruang Tersedia ?
Tidak
Mutu Barang Sesuai ? Ya
Pembongkaran, Penimbangan, dan Penumpukan Barang
Asuransi Barang
Pengalihan Resi Gudang
Penerbitan
Penjaminan
Resi Gudang
Resi Gudang
Ya
RG Dijaminkan ?
Penyimpanan & Perawatan Barang
Perubahan Pembebanan Hak Jaminan
Cidera Janji ? Penghapusan Pembebanan Hak Jaminan
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Penjualan Objek Hak Jaminan
Penyelesaian Transaksi
STOP
Sumber : KSU Annisa, 2014 Gambar 2. Bagan Alir Sistem Resi Gudang di Gudang Pengelola KSU Annisa, Kabupaten Subang Kegiatan pra-gudang untuk barang yang akan diresigudangkan seluruhnya dilakukan pemilik barang, karena sejak beroperasi hingga saat ini (Desember 2014) KSU Annisa belum memiliki fasilitas kegiatan pra-gudang, seperti pengeringan, pengemasan, dan fasilitas jahit karung. Gudang menerima barang yang sudah dikemas oleh pemilik barang 72
dengan karung dan bobot tonase yang beragam. Sebelum barang diterima masuk ke gudang, terlebih dahulu pengelola akan mengecek ketersediaan tempat di gudang dan mutu barang. Proses penerbitan resi gudang di KSU Annisa dapat dilihat pada Gambar 2. Setiap barang yang akan diresigudangkan harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan pengelola gudang. Standar mutu ditetapkan menurut jenis komoditas. Standar mutu untuk gabah dan beras giling dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Standar mutu beras giling yang ditetapkan gudang KSU Annisa sesuai SNI 01-6128-1999. Sementara untuk standar mutu gabah sesuai SNI 01-0224-1987. Tabel 5. Standar Mutu Beras Giling di Gudang KSU Annisa, Kabupaten Subang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Komponen Mutu Derajat sosoh Kadar air (maksimum) Beras kepala Butir utuh (min) Butir patah (maksimal) Butir menir (maksimal) Butir merah (maksimal) Butir kuning/rusak (maksimal) Butir mengapur (maksimal) Benda asing (maksimal) Butir gabah (maksimal) Campuran varietas lain (maksimal)
Satuan (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (butir/100 g) (%)
Mutu I 100 14 100 60 0 0 0 0 0 0 0 5
Mutu II 100 14 95min 50 5 0 0 0 0 0 0 5
Mutu Mutu Mutu III IV V 100 95min 85min 14 14 15 84min 73min 60min 40 35 35 15 25 35 1 2 5 1 3 3 1 3 5 1 3 5 0.02 0.05 0.2 1 2 3 5 10 10
Sumber : KSU Annisa, 2014
Dalam proses ini, kadar air akan sangat berpengaruh pada masa penyimpanan. Pengeringan gabah dengan dryer dapat menghasilkan gabah dengan kadar air 14 persen, sedangkan pengeringan dengan panas matahari menghasilkan gabah dengan kadar air lebih dari 14 persen. Gabah dengan kadar air hingga 14 persen dapat disimpan di gudang 3-6 bulan, jika kadar air gabah lebih dari 14 persen (mutu V), maka gabah hanya dapat disimpan 2-3 bulan. Jika barang sudah lolos uji mutu dan tempat di gudang masih tersedia, maka pengelola gudang akan menerima barang tersebut untuk diproses masuk gudang. Sebelum diterbitkan RG, pengelola gudang harus mengurus asuransi sebagai penjamin risiko kerusakan atau kehilangan barang selama di gudang. Setelah seluruh tahapan dalam proses SRG dilakukan, maka pengelola gudang akan segera menerbitkan RG. Selanjutnya RG tersebut dapat dijadikan sebagai agunan untuk melakukan kredit di bank BJB cabang 73
Kabupaten Subang. Proses permohonan kredit di Bank BJB Kabupaten Subang relatif sama dengan proses permohonan kredit di Bank BJB Kabupaten Indramayu, karena kebijakan perbankan ditentukan secara terpusat. Tabel 6. Standar Mutu Gabah di Gudang KSU Annisa, Kabupaten Subang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komponen Mutu
Satuan
Kadar air (% maksimum) Gabah hampa (% maksimum) Butir rusak dan butir kuning (% maksimum) Butir mengapur + gabah muda (% maksimum) Butir merah (% maksimum) Benda asing (% maksimum) Gabah varietas lain (% maksimum)
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
Mutu I 14.0 1.0 2.0 1.0 1.0 2.0
Mutu II 14.0 2.0 5.0 5.0 2.0 0.5 5.0
Mutu III 14.0 3.0 7.0 10.0 4.0 1.0 10.0
Sumber : KSU Annisa, 2014
Proses Penaksiran Harga Proses penaksiran harga difokuskan pada komoditas yang diresigudangkan di KSU Annisa, yaitu gabah ketan. Langkah awal yang dilakukan pengelola gudang adalah melakukan beberapa tahapan, yaitu (1) melakukan survey harga pasar; (2) memperkirakan biaya angkut gabah dari lokasi sawah ke gudang; (3) memperhitungkan biaya penyusutan barang pada proses pengeringan yang berkisar antara 15-20 persen. Informasi awal tentang penetapan harga gabah yang akan masuk ke SRG dilakukan berdasarkan hasil taksiran harga pasar pada batas maksimal Rp 6.000/kg, dan harga PB (Penggilingan Beras) Rp 5.500, dengan standar barang sudah baik dan bersih sesuai standar untuk bibit petani. Sementara itu harga pasar tercatat pada posisi Rp 5.200 – Rp 5.500 per kg dalam bentuk Gabah Basah. Dengan taksiran harga gabah kering Rp 6.000/kg, sudah memperhitungkan penyusutan dari Gabah Basah ke Gabah Kering sebesar 20 persen. Kondisi barang dari petani, biasanya banyak hampa. Tetapi barang yang akan masuk gudang sudah harus mendekati untuk standar benih, yaitu sudah bersih dan tidak ada yang hampa. Harga untuk benih mencapai Rp 9.000/kg, sementara harga beli PB hanya RP 5.500. Berdasarkan perhitungan gudang harga dasar gabah Rp 58.000/kw dari harga taksiran Rp 60.000/kw untuk SRG termasuk biaya angkut sampai dengan gudang. Mekanisme dan proses penentuan harga taksiran oleh pihak SRG, sebagai berikut : melakukan atau melihat pasaran dari tiap bakul-bakul, PB dan calo-calonya berdasarkan harga standar musim sebelumnya. Taksiran plafon Rp 7.000, harga pasar Rp 6.000, Rp 6.100 - Rp6.200, Rp 5.800, Rp 5.500. Dirata-ratakan Rp 6.000. Dengan demikian harga 74
pembelian rata-rata Rp 6.000/kg. Biaya-biaya angkut dan sebagainya Rp 580/kg. Jatuh perhitungan Rp 6.000+ Rp 580 sehingga menjadi Rp 6.580 s/d Rp 6.600/kg. Plafon diajukan Rp 7.000/kg. Harga pembelian Rp 6.600 dalam kondisi Gabah Basah. Konversi gabah basah menjadi gabah kering mengalami penyusutan antara 15-20 persen, dari 1 ton GKP menjadi 8 kw GKG. Dibayar oleh Bank sebesar 70 persen pada harga Rp 7.000. Perhitungannya Rp, 7.000 x 70% = Rp 4.900/kg atau sekitar Rp 5.000/kg. Dengan perhitungan Gudang nantinya PB yang membeli dari gudang, dengan harga Rp 6.500/kg gabah. Kemudian diolah menjadi beras dengan harga jual Rp 11.700/kg. Jenis gabah yang ditangani oleh gudang adalah jenis gabah ketan dan diolah menjadi beras ketan. Dengan begitu maka harga BP dari SRG Rp 7.500/kg. Biaya registrasi dicover oleh pemerintah, biaya donggle untuk menerbitkan resi dan biaya penerbitan, pembayarannya menjadi beban gudang. Tugas yang dilakukan oleh KSU senantiasa diawasi oleh Bappepti, termasuk untuk pembuatan gudang. Tahapan penaksiran harga gabah ketan yang akan diresigudangkan disajikan pada Gambar 3.
SURVEY HARGA PASAR
Biaya angkutan dari sawah ke gudang
- Gabah ketan kualitas rendah Rp 5.500/kg - Gabah ketan kualitas sedang Rp 5.800/kg - Gabah ketan kualitas tinggi Rp 6.100-6.200/kg
Rp 580/kg
Biaya penyusutan pada proses pengeringan sekitar 15-20 %
Harga Rata-rata Rp 6.000/kg Harga taksiran gabah ketan Rp 7.000/kg
Gambar 3. Proses Penaksiran Harga Gabah Ketan di Gudang Pengelola KSU Annisa, Kabupaten Subang
Pada saat harga taksiran mencapai Rp 7.000/kg, maka secara rasional petani akan menjual gabahnya jika harga yang ditawarkan calon pembeli lebih dari Rp 7.000/kg. Umumnya pembeli gabah dari gudang KSU Annisa adalah unit penggiling beras. Jika pembelinya penggilingan beras, yang dijadikan patokan untuk pembelian gabah adalah harga eceran beras ketan. Menurut informasi pegelola gudang, jika harga beras ketan di pasaran mencapai Rp 12.500/kg, maka pembeli akan memperoleh keuntungan dari produk sampingan pengolahan gabah ke beras, berupa menir yang mencapai 10 persen dan dedak sebanyak 1 persen dari total volume gabah yang digiling. Dalam proses penggilingan 75
gabah ke beras rata-rata rendemennya sebesar 54 persen, sebagai gambaran jika gabah yang digiling sebanyak 10 ton, maka akan diperoleh beras ketan sebanyak 5,4 ton. Menir dan dedak sebagai hasil sampingan saat penggilingan gabah mempunyai nilai jual, masingmasing Rp 8.500/kg dan Rp 2.300/kg.
Petani Panen
Dikasih ketentuan yang ada
Pemilihan masuk ke RG
1. Gabah harus kering; 2. Berdasarkan hasil uji mutu Kering oven = < 14 % (bisa 3-6 bulan simpan) Matahari > 14-15 % (2-3 bulan simpan)
Taksir untuk harga
Ke petani /kelompok tani (pemilik barang)
SRG/Pengelola Gudang
Barang Keluar
Keluar Ke Bank
Asuransi oleh SRG
Ke petani /kelompok tani (pemilik barang)
Keluar Resi (RG)
Sertifikat SRG
Penggilingan Beras (PB)
Gambar 4. Proses Pelaksanaan SRG di KSU Annisa Kabupaten Subang Pemanfaatan Sistem Resi Gudang oleh Petani, Kelompok Tani dan Gapoktan Pemanfaatan SRG yang dikelola oleh KSU Annisa, baru mencapai 200 orang petani, baik secara individu maupun tergabung dalam kelompok. Selain petani dan kelompok tani, pengguna SRG juga terdiri atas 6 orang pedagang yang sekaligus merupakan anggota kelompok tani yang secara bersama-sama memanfaatkan 4 gudang yang disediakan oleh pengelola yang tergabung dalam Gapoktan Tani Sejahtera. Jumlah anggota gapoktan secara keseluruhan mencapai 426 anggota yang terdiri atas 8 kelompok tani, dan 6 kelompok diantaranya yang telah aktif memanfaatkan SRG. Total luas sawah dari seluruh anggota gapoktan (420 petani) mencapai 517 hektar. Dengan demikian tidak seluruh anggota gapoktan memafaatkan SRG sebagai sarana untuk memasarkan hasil panennya. 76
Bagi petani yang tidak memanfaatkan SRG, umumnya hasil panen langsung dijual lepas ke kelompok tani dan langsung mendapat uang tunai. Petani tidak bisa menahan gabah hingga kering karena tidak punya tempat penyimpanan maupun tempat jemur. Dorongan kebutuhan untuk pemenuhan konsumsi dan keperluan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, menjadi alternatif para petani harus segera menjual gabah. Sebagian petani dengan terpaksa menjual gabah ke tengkulak dengan konsekuensi harga menjadi rendah. Kondisi ini seperti dikemukakan Bappepti (2008), bahwa disaat panen para petani dihadapkan pada situasi tanpa pilihan, kecuali menjual komoditi hasil panennya segera setelah panen kepada para pedagang/tengkulak, saat dimana harga hasil komoditi terkait cenderung turun. Harga dasar yang ditetapkan pemerintah atas suatu komoditi, dalam prakteknya terdistorsi di tingkat pasar dan tidak optimal memberikan manfaat kepada para petani. Nilai yang diterima atas hasil penjualan komoditi seringkali tidak memadai, baik untuk mendukung kehidupan yang layak bagi diri dan keluarganya atau lebih jauh lagi bagi modal produksi/pertanaman musim berikutnya (Bappepti, 2008). Gapoktan juga melakukan pembelian gabah di dalam kelompok tani pada saat petani sudah menjual awal tanamannnya melalui sistem tebasan, sehingga kegiatan panen dilakukan sekaligus oleh gapoktan. Sebagian besar petani yang menjual secara tebasan, adalah para petani yang mempunyai luasan lahan usahatani terbatas. Secara umum perilaku petani melakukan tindakan tersebut, diduga karena (1) kurangnya pemahaman SRG; (2) adanya kebutuhan dana tunai yang mendesak; (3) tidak mau menjalani proses SRG yang dianggap rumit dan (4) berkaitan dengan kurangnya sosialisasi awal dan para petani belum merasakan manfaat SRG. Dalam memanfaatkan SRG, Gapoktan juga tidak hanya mengandalkan pembelian gabah dari anggotanya. Secara aktif gapoktan melakukan pembelian gabah dari luar anggota gapoktan. Pemahaman pengurus tentang konsep SRG, mendorong pengurus gapoktan lebih aktif melakukan pembelian gabah untuk diresigudangkan, sekaligus melakukan sosialisasi SRG kepada para petani. Dalam aktivitas ini, pengurus tidak hanya berperan sebagai petani atau ketua kelompok, tetapi juga berperan sebagai pedagang. Pemanfaatan SRG dilakukan melalui kelompok secara intensif pada tahun 2011. Pada tahun 2012-2013 berhenti dan pada tahun 2014 aktif kembali, dengan jumlah gabah yang diikutsertakan dalam kegiatan SRG mencapai 2.800 ton. Proses pengajuan RG pada tahap I, dilakukan atas nama Gapoktan 50 % x 517 ha, meliputi 426 anggota; Kemudian tahap II tidak atas nama gapoktan tetapi atas nama perorangan. Berdasarkan pengalaman 77
kelompok, pengajuan secara perorangan dirasakan lebih rumit dibandingkan dengan sistem gabungan kelompok tani (gapoktan). Sehingga pengajuan melalui gapoktan dianggap lebih efisien, sederhana dan lebih nyaman dalam proses pengajuan di Bank. Adanya peningkatan respon petani terhadap kegiatan SRG ini, merupakan hasil sosialisasi secara gencar dilakukan selama tahun 2012-2013, hingga petani mendapat informasi tentang manfaat adanya SRG. Proses sosialisasi 50 persen dilakukan dari anggaran pemanfaatan RG. Pada periode selanjutnya, intensitas pertemuan petani untuk kegiatan sosialisasi dilakukan di gapoktan. Kegiatan sosialisasi juga dilakukan di kabupaten dengan penyuluh swadaya, dan kemudian dengan RMU. Terjadinya peningkatan respon petani yang cukup besar berakibat pada kebutuhan sarana gudang penyimpanan. Untuk pemenuhan gudang, KSU Annisa melakukan penambahan jumlah gudang dengan sistim penyewaan gudang milik swasta dan pengurus kelompok tani serta pendampingan dari PT Pertani. Ketersediaan gudang yang ada, disiapkan untuk penyimpanan gabah yang meliputi luas areal tanam di 6 kecamatan. Komoditas yang diusahakan oleh para petani yang terkait dengan SRG adalah padi ketan dengan pola tanam padi-padi 2 kali dalam setahun. Jenis komoditas padi ini dalam penentuan harga pasar tertinggi, diperkirakan belum termasuk dalam ketentuan HPP seperti pada jenis gabah lainnya. Jenis padi ketan yang ditanam pada umumnya adalah varietas Derti. Berdasarkan pola tanam dan musim tanam yang dilakukan, musim panen raya biasanya terjadi pada bulan 4 dan bulan 8, dengan rata-rata produksi 7,5 ton per hektar pada bulan 4, dan 6 ton per hektar pada panen raya bulan 8. Prospek dan Perkiraan Keuntungan bagi Pengelola SRG Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Bappepti dan Putri (2012), tentang manfaat penggunaan SRG bagi pengelola maupun pengguna, khususnya yang dilaksanakan di KSU Annisa pada bulan Oktober, disimulasikan sebagai berikut: Melalui SRG, menyimpan gabah sebanyak 60 ton gabah ketan. Pada saat itu harga pasar untuk gabah ketan adalah Rp 5.000,-/kg. Biaya penyimpanan yang dibayarkan kepada PT. Pertani selaku Pengelola Gudang di kabupaten Subang adalah sebesar Rp 4.500.000,-. Pada bulan Desember gabah ketan yang disimpan dibeli dengan harga Rp 5.900,-/kg. dalam selang waktu 2 bulan KSU Annisa dapat memperoleh selisih harga sebesar Rp 900,-/kg, maka perhitungan keuntungannya adalah sebagai berikut:
78
Jika dijual langsung: 60.000 x Rp. 5.000/kg = Rp 300.000.000 Dengan disimpan 2 bulan: Biaya Penyimpanan Rp 4.500.000 Bunga Bank 6% X 2/12 X Rp. 189.000.000 = Rp 1.890.000 Harga Jual setelah disimpan 2 bulan = 60.000 x Rp 5.900/kg = Rp 354.000.000,Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya penyimpanan + biaya bunga) = Rp 354.000.000– (Rp 300.000.000 + Rp 4.500.000 + Rp 1.890.000) = Rp 354.000.000– Rp 306.390.000 = Rp 47.610.000
Jika Simulasi yang sama digunakan pada kondisi data yang diperoleh dari hasil penelitian analisis kebijakan pada Desember 2014, dengan volume gabah yang disimpan di 4 lokasi Gudang yang dikelola oleh KSU Annisa mencapai 2.636,5 ton. Biaya sewa gudang Rp 11.500 per meter persegi selama 5 bulan, dengan luas total 3 gudang (sewa) mencapai 1.480 m persegi. Harga pembelian Rp 6.000 per kg GKG. Harga jual setelah disimpan 2 bulan diproyeksikan dengan harga Rp 7.000 per kg, maka : Jika dijual langsung : 2.636,5 ton x Rp 6.000/kg = Rp 15.819.000.000 Dengan disimpan selama 2 Bulan : Biaya Penyimpanan (Sewa Gudang) = Rp 6.808.000* Bunga Bank = 6% x 2/12 x Rp 11.563.000.000**,- = Rp 115.630.000 Harga jual setelah disimpan 2 bulan = 2.636,5 ton x Rp 7.000/kg = Rp 18.455.500.000 Keuntungan = (harga jual setelah disimpan) – (pendapatan jika dijual langsung + biaya penyimpanan + biaya bunga) = Rp 18.455.500.000 – (Rp 15.819.000.000 + Rp 6.808.000 + Rp 115.630.000) = Rp 18.455.500.000 – Rp 15.941.438.000 = Rp 2.514.062.000 Keterangan : * penggunaan gudang milik Bappepti (700 m²) tidak dikenakan biaya sewa ** Data terakhir Bappepti 2014 (Erwidodo, dkk. 2015)
Beberapa konsekuensi yang harus menjadi pembiayaan petani dalam kaitan penyelenggaraan SRG termasuk untuk biaya operasional gudang dan lainnya, secara tidak langsung ditanggung oleh pemilik barang (pengguna), melalui jasa penyimpanan gabah petani/pengguna di gudang sebesar Rp 100/kg untuk perhitungan biaya penyimpanan maksimal gabah selama 4 bulan atau Rp 50/kg per 2 bulan. Biaya penyimpanan tersebut, meliputi; biaya uji mutu, asuransi, tagihan KBI, perawatan dan fumigasi, gaji karyawan dan biaya lain. Biaya-biaya pra-gudang yang dibayar/dikeluarkan oleh petani/pengguna, meliputi ; biaya pengeringan, karung dan bongkar-muat, diperhitungkan mencapai rata-rata Rp 275 79
per kg dan untuk proses penyimpanan gabah di Gudang SRG Rp 100/kg. Jumlah biaya keseluruhan yang dibayar petani/pengguna, mencapai Rp 375 per kg atau setara dengan 5,36 persen dari taksiran nilai gabah jenis ketan (Rp 7.000/kg), dimana rata-rata harga penjualannya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis gabah dari varietas padi lainnya. Ketentuan biaya yang terkait dengan penyelenggaraan SRG yang harus dikeluarkan petani (individu) di Kabupaten Subang, meliputi biaya pengeringan Rp 200240 per kg; biaya karung Rp 4.000 per kw; biaya angkut Rp 50.000 per ton, biaya bongkarmuat Rp 3.000 per kw; serta biaya penyimpanan di gudang Rp 100 per kg untuk 4 bulan (Tabel 7). Tabel 7. Analisa Simulasi Biaya Petani Pengguna SRG di KSU Annisa, di Kabupaten Subang 2014 No 1. 2.
3. 4.
Uraian Nilai Taksiran Barang (10 Ton) Biaya-Biaya a. Biaya Pra Gudang - Biaya Pengeringan (10 Ton) - Biaya Karung (10 Ton) - Biaya Angkut (10 Ton) - Biaya Bongkar-Muat (10 Ton) Biaya Total Pra-Gudang b. Biaya Penyimpanan/Gudang (Biaya Uji Mutu, Asuransi, Tagihan KBI, Perawatan/Fumigasi, Gaji Karyawan dan Biaya lain) (10 ton) Biaya Total Gudang c. Total Biaya
Ketentuan Pengelola Gudang GKG
Harga dan Biaya (Rp/kg) 7000
Pangsa Thd Nilai Barang (%) 70.000 100.00
200-240/kg 4.000/kw 50.000/ton 3.000/kw
200 40 5 30
2.000 400 50 300 2.750
2.86 0.57 0.07 0.43 3.93
100/kg*
100
1.000
1.43
1.000 3.750
1.43 5.36
Nilai (Rp 000)
Sumber data : KSU Annisa, Desember 2014 (diolah) Keterangan : * Perhitungan biaya untuk penyimpanan selama 4 bulan
Biaya lain yang belum diperhitungkan sebagai pengurang pendapatan pengelola dalam penyelenggaraan SRG adalah biaya-biaya operasional dalam manajemen pengelolaan SRG, seperti biaya perijinan, sertifikasi kelayakan gudang serta biaya administrasi lainnya yang harus dikeluarkan oleh Pengelola SRG dan pengeluaran lainnya. Sementara biaya lain sebagai pengurang keuntungan petani atas penyelenggaraan SRG, meliputi biaya sewa lahan yang cukup tinggi, mencapai Rp 12,5 juta per hektar untuk satu kali musim tanam serta biaya usahatani padi per hektar per musim tanam, dimana besarnya
80
mencapai Rp 10 juta. Sehingga biaya total usahatani per hektar per satu kali musim tanam dengan sistem sewa lahan mencapai Rp 22,5 juta. Walaupun demikian dengan gambaran perhitungan data diatas, pengelolaan SRG untuk komoditas gabah ketan menunjukkan potensi keuntungan yang cukup propektif, terutama jika kapasitas dan volume gabah ketan yang tersimpan melalui pengelola SRG dalam jumlah yang cukup banyak. Kegiatan pengelolaan SRG sebagai pendekatan bisnis, memungkinkan akan menjadi harapan bagi para pelaku lain yang akan melakukan investasi dalam pengelolaan jasa SRG, sekaligus menjadi kompetitor baru bagi KSU Annisa yang sudah lebih dulu melakukan usaha pengelolaan SRG di daerahnya. Keterbatasan pengelola dalam hal pemilikan gudang dan fasilitas pendukung untuk pengembangan SRG menjadi pembatas peningkatan kapasitas volume gabah ketan yang diikutsertakan dalam SRG, sekaligus menjadi kendala, pada saat respon para petani yang berminat memanfaatkan SRG juga meningkat. Disisi lain keterbatasan fasilitas juga menjadi peluang usaha dan investasi untuk penyedia jasa pergudangan maupun pengeringan dalam mendukung pengembangan SRG dan potensi daerah melalui kebijakan Pemerintah Daerah setempat. Permasalahan dan Kendala Penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang Masalah dan kendala yang dihadapi dalam proses penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang realtif hampir sama dengan penyelenggaraan SRG di tempat lain, meliputi permasalahan dan kendala di tingkat pengelola SRG dan kendala yang dihadapi oleh petani sebagai pengguna SRG. Ketersediaan gudang yang memenuhi persyaratan, ketersediaan alat pengering dan alat pengemasan merupakan kendala penyelenggaraan SRG. Tingginya bunga bank untuk investasi pergudangan, ketidak-pastian iklim usaha dan kebijakan pemerintah merupakan beberapa penyebab rendahnya minat penyelenggara SRG. Sementara itu, kekurang-pahaman petani dan pengguna jasa RG, terbatasnya lahan usaha petani dan kecilnya volume produksi yang dihasilkan, persyaratan standar mutu/kualitas, serta desakan kebutuhan dana tunai saat panen merupakan kendala petani untuk memanfaatkan jasa SRG. Informasi tentang kendala dan permasalahan tersebut juga penulis peroleh saat kunjungan lapang dan wawancara dengan petani, kelompok tani, KSU Annisa, dan responden lainnya. Dalam uraian dibawah ini penulis hanya akan menguraikan kendala dan permasalahan terkait ketersediaan gudang, ketersediaan alat pengering dan pengemas, masih berlangsungnya sistem tebasan dan potensi munculnya persaingan tidak 81
seimbang dengan BUMN menjadi satu kecemasan bagi pihak pelaku yang selama ini telah mengembangkan SRG diluar BUMN, sekaligus mempertanyakan tentang perlindungan daerah terhadap kegiatan SRG yang sudah jalan/dilakukan perusahaan pribadi/petani/ koperasi/CV yang ada di daerah dalam pergudangan SRG ke depan. Kekhawatiran ini mengingat dalam kasus kegiatan SRG diluar BUMN tidak dipandang setara dengan pihak BUMN, khususnya untuk mendapatkan ijin pengelolaan SRG. Masuknya pemain baru, baik BUMN maupun swasta dan KSU lain, akan menurunkan tingkat keuntungan KSU Annisa tetapi tidak harus membuat KSU Annisa rugi dan bangkrut. Pemerintah Daerah bisa saja menghimbau pusat (BUMN) atau membuat aturan untuk membatasi ruang usaha BUMN dan BUMD (pembagian wilayah), tetapi tidak bisa membatasi KSU lain dan swasta untuk menyelenggarakan SRG. Pembagian wilayah usaha yang terkait dengan SRG menjadi bahan pemikiran kebijakan ke depan. Daerah juga harus melakukan pemetaan terlebih dahulu terhadap potensi dan kegiatan usaha yang akan dilakukan oleh pihak swasta serta pihak lain yang membuka usaha SRG di daerah, sehingga pengembangan SRG dapat mempecepat perekonomian wilayah tanpa terpusat pada satu wilayah potensial. Perhatian kepada pelaku di tingkat daerah terutama bagi kelompok tani atau gapoktan yang berpotensi didorong menjadi pengelola SRG baik berdasarkan kemampuan sendiri ataupun secara bermitra, sehingga bisa menjadi dasar untuk membantu peningkatan harga di tingkat petani. Pengaturan kebijakan dalam pewilayahan kegiatan dan komoditas yang di SRG-kan, menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dalam menjaga iklim usaha dan pelaksanaan ketetapan dalam undang-undang SRG, sehingga tidak overlapping dengan usaha yang sudah ada saat ini. Berdasarkan kinerja yang dilakukan oleh pengelola, keterbatasan sarana prasarana yang terkait dengan SRG menjadi kendala untuk mengembangkan kapasitas daya tampung gabah ketan dan kemungkinan produk pertanian lain yang akan di SRG-kan. Eksistensi pengelola juga dihadapkan pada keterbatsan dukungan pihak Pemerintah Daerah dalam memfasilitasi kinerja pengelolaan SRG untuk percepatan implementasi SRG di wilayah Kabupaten Subang lainnya. Sinergisitas antar institusi SKPD terkait dengan pelaksanaan SRG di Kabupaten Subang, belum terbangun dalam satu kepentingan untuk peningkatan kinerja SRG dari berbagai aspek. Dari sisi teknis produksi, kendala usahatani di tingkat petani, karena sebagian luas areal yang diusahakan hanya setara 0,5 ha dengan rata-rata produksi 2-3 ton, termasuk 82
didalamnya ada sistem sewa, maro dan buruh tani. Selain petani tidak mau ”repot-repot” juga faktor utama yang menjadi kendala dalam proses penanganan gabah di tingkat petani adalah dalam kegiatan pengeringan gabah, apalagi pada saat musim hujan. Hal ini karena hampir sebagian besar petani tidak mempunyai lantai jemur maupun dryer. Jumlah kepemilikan dryer di tingkat gapoktan juga terbatas sehingga tidak memadai dengan kebutuhan untuk pengeringan gabah pada musim panen. Permasalahan lain adalah sistem pengairan yang tidak terstruktur dalam pelaksanaan pengaturannya sehingga berpengaruh pada pelaksanaan musim tanam yang sudah dijadwalkan. Secara umum prospek SRG masih cukup bagus, namun gapoktan dan KSU Annisa sebagai penyelenggara RG mengharapkan adanya intervensi pemerintah daerah (Pemda)
dalam bentuk penetapan HMK (Harga Mimimal Kabupaten); Sistem Resi
Gudang mestinya per desa satu dan dikelola oleh kelompok tani, apalagi oleh kelompokkelompok yang sudah mempunyai fasilitas RMU, dryer dsb.; menyelesaikan harga dengan menentukan harga di tingkat petani dengan dana talangan pada saat pemasaran produk gabah kepada gapoktan, kelompok tani atau koperasi. Pemasaran pupuk juga bisa menjadi alternatif dibeli pada saat pembelian oleh petani dalam proses pemasaran hasil gabah kepada kelompok, gapoktan serta koperasi. Ketersediaan alat pengering (dryer) dan jasa pengeringan merupakan kendala penyelenggaraan SRG di Kabupaten Subang. Sampai saat ini KSU Annisa belum mempunyai dryer dengan kapasitas besar untuk melayani permintaan jasa pengeringan yang sekaligus terintegrasi dengan penyelenggaraan RG. Situasi ini berbeda dengan penyelenggaraan RG di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, dimana PT Pertani sebagai penyelenggara RG telah melengkapi gudangnya dengan alat pengeringan dan penggilingan dengan kapasitas yang cukup besar, sehingga dapat melayani permintaan jasa pengeringan dan penggilingan terintegrasi dengan jasa RG. Terkait dengan fasilitas pendukung, kendala di musim hujan tidak memilik dryer dan yang ada di gapoktan juga terbatas sehingga tidak tertampung karena tidak terlayani dengan jumlah dryer yang ada. Kemudian biaya resi gudang dibiayai gratis oleh Pemda (seperti kasus di Baritokuala). Hal ini sudah beberapa kali disampaikan oleh pengurus kepada Pemda, tetapi tidak direspon. Begitu pula untuk pembiayaan pengelolaan gudang tidak didukung oleh fasilitas Pemda terutama untuk Pemeliharaan Gudang. Gudanggudang yang ada di desa-desa pada dasarnya dapat difasilitasi untuk meringankan biayabiaya dari petani ke lokasi gapoktan. Adanya permasalahan keterlambatan pencairan 83
kepada petani peserta SRG pada tahun 2014, menjadi kendala bagi gapoktan untuk proses pengelolaan RG selanjutnya. Permasalahan dalam kebijakan pengaturan wilayah usaha dengan BUMN menjadi kekhawatiran KSU Annisa dalam melaksanakan fungsi usaha dalam kegiatan SRG. BUMN dengan segala kemampuan dan kelengkapan fasilitasnya, dan pendekatan dengan Bappepti dikhawatirkan akan melakukan kegiatan SRG yang sama di wilayah kerja yang selama ini menjadi mitra usaha KSU Annisa dalam kegiatan SRG. Respon Pemda setempat atas kekhawatiran pelaku usaha untuk pengembangan kegiatan SRG di wilayahnya juga tidak memberikan keyakinan dan kepercayaan pelaku, jika suatu saat peran usaha yang dilakukan dapat diambilalih oleh BUMN di wilayahnya. Begitu pula halnya dengan kebijakan pengaturan yang seharusnya dilakukan oleh Kementerian BUMN, Kementerian Koperasi, Kementerian Pertanian hingga Kementerian Perdagangan, untuk memberikan peluang usaha yang lebih besar kepada pelaku SRG di luar BUMN, sejajar dengan usaha yang sama dilakukan oleh BUMN di lokasi sekitar wilayah kerja KSU Annisa. Upaya dan Langkah Kebijakan Upaya yang dilakukan dalam kegiatan SRG oleh KSU Anissa dalam pengembangan usahanya adalah dengan melakukan penambahan gudang simpan melalui sistem sewa pakai. Kemudian melakukan pendekatan sistematis terhadap Pemda setempat agar kebijakan pengembangan SRG menjadi bagian dari kegiatan Pemda dalam membantu program pemasaran produk petani, dan sosialisasi program SRG agar lebih diketahui secara lebih luas oleh masyarakat khususnya para petani, untuk melakukan pemasaran hasil melalui kegiatan SRG. Upaya mendorong Pemda untuk mengambil kebijakan dalam implementasi kegiatan ini, tiada lain untuk memberikan dorongan terhadap usaha-usaha yang dilakukan masyarakat terutama KSU Anissa menjadi satu institusi yang dapat memberikan peluang kepada para petani dan kelompok tani dalam mendapatkan hasil dari usahataninya, melalui peran SRG yang diusahakan oleh KSU Annisa selama ini. Upaya lain yang terkait dengan kebijakan Bappepti, dalam hal kebijakan pengembangan SRG kepada pelaku diluar BUMN, seharusnya menjadi salahsatu peluang untuk segera melaksanakan kegiatan SRG melalui seluruh persyaratan yang sudah dipenuhi sebelumnya. Namun demikian, peluang untuk pengembangan kegiatan SRG melalui pelaku di luar BUMN nampaknya tidak sepenuhnya menjadi prioritas Bappepti, 84
yang cenderung lebih membuka peluang usaha kepada BUMN yang selama ini sudah bergerak dalam usaha SRG. Kemungkinan untuk melakukan pembagian wilayah usaha dan komoditas serta kapasistas usaha, menjadi prioritas pengaturan oleh Bappepti dan Pemda setempat agar pelaku di luar kriteria BUMN, seperti yang dilakukan oleh KSU Annisa juga bisa berkembang menjadi pelaku sejajar dengan pihak BUMN yang juga melakukan usaha dalam SRG di daerahnya. Pembinaan, pengawasan dan dukungan pembiayaan dalam kaitan dengan penguatan modal usaha untuk pengembangan SRG sebagai salahsatu usahanya, menjadi penting artinya bagi pelaku usaha setingkat KSU Annisa dalam pengembangan usaha SRG yang dikelolanya. Permasalahannya adalah terkait dengan kepemilikan sarana prasarana yang diperlukan dalam mendukung kegiatan SRG di tingkat pengelola KSU Annisa, dibandingkan dengan kemampuan kepemilikkan asset yang digunakan dalam usaha yang sama oleh BUMN. Keberpihakan dari institusi terkait, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi maupun dari Kementerian Pertanian terhadap upaya dan keikutsertaan pelaku setingkat koperasi sebagaimana yang dilakukan oleh KSU Annisa, juga mendapat prioritas dan perhatian yang lebih intensif dalam penguatan modal, tambahan sarana prasarana kelengkapan serta iklim dan kebijakan terhadap pengembagan usaha yang dilakukan terkait dengan SRG, termasuk juga dari kebijakan Pemda Kabupaten Subang dalam memperkuat usaha para pelaku yang sama, diluar kekuatan BUMN yang selama ini mendapat perhatian dan dukungan permodalan swakelola BUMN yang relatif cukup besar dibandingkan dengan pelaku lain diluar BUMN. Harapan tentang keberpihakan dan adanya kebijakan yang mengatur kegiatan usaha dalam pengembangan SRG di daerah, pembagian wilayah usaha dan kewenangan Pemda sangat dibutuhkan oleh pelaku setingkat KSU Annisa untuk menjamin kegiatan usaha SRG yang sedang dilakukan, tidak dialihkan atau diberikan pengelolaannya kepada BUMN yang selama ini juga tertarik untuk melakukan usaha yang sama di wilayah yang sedang ditangani oleh KSU Annisa di wilayah kerja dan komoditas yang diusahakan selama ini. Dalam kegiatan pelaksanaan SRG khususnya yang dilakukan oleh KSU Annisa, keterkaitan antara petani, produksi gabah, kelompok tani, jasa pengeringan dan RMU sangat penting dilakukan dalam satu sistem usaha yang terintegrasi. Hal ini mengacu pada fungsi masing-masing kegiatan tersebut, agar semua proses bisa berjalan dan saling mendukung pelaksanaan kegiatan SRG. Integrasi peran dalam proses tersebut akan lebih 85
teroganisir jika dilakukan dalam satu usaha kelompok tani atau dalam satu wadah gabungan kelompok tani, sehingga proses usaha yang dilakukan antar sub sistem berada dalam satu pengelolaan dan memungkinkan lebih terorganisir. Sebagaimana disampaikan pada bahasan sebelumnya, beberapa masukan yang terkait dengan kegiatan Gapoktan untuk mendukung pelaksanaan SRG di Kabupaten Subang, diantaranya: (1) penetapan harga gabah hendaknya ditetapkan berdasarkan Harga Minimum Kabupaten (HMK), bukan pada HPP yang berlaku secara nasional; (2) gudang pengelola RG hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga tersedia 1 gudang pada setiap desa dan dilengkapi dengan dryer dan Rice Milling Unit (RMU); (3) perlu ada penambahan jumlah dryer, khususnya pada saat panen raya. Dryer yang tersedia umumnya tidak mampu menampung hasil panen yang melimpah. Hal ini mengakibatkan munculnya kekuatiran terhadap turunnya kualitas gabah jika tidak segera dikeringkan, sehingga pemilik gabah cenderung segera menjual lepas ke pedagang; (4) Pemda diharapkan lebih serius mendukung kegiatan SRG, terutama dalam mencarikan solusi permasalahan petani. Selama ini pemerintah daerah dianggap kurang serius dalam menangani permasalahan petani. KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH Keterkaitan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang dengan Pemda, sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan UU dan perubahannya, bahwa urusan Pemerintah Daerah di bidang pembinaan SRG meliputi: (a) pembuatan kebijakan daerah untuk mempercepat pelaksanaan SRG; (b) pengembangan komoditas unggulan di daerah; (c) penguatan peran pelaku usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan pelaksanaan SRG; dan (d) pemfasilitasian pengembangan pasar lelang komoditas. Urusan Pemerintah Daerah di bidang pembinaan SRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan Badan Pengawas. Dalam implementasi kegiatan SRG di Kabupaten Subang, peran serta dan kebijakan Pemerintah Daerah belum secara nyata dirasakan oleh pelaku usaha yang mengembangkan kegiatan SRG. Begitu pula dalam melakukan fungsi Pemerintah Daerah untuk percepatan pengembangan pelaksanaan SRG, pengembangan komoditas unggulan, penguatan bagi pelaku usaha yang mengembangkan SRG, maupun fasilitasi pengembangan pasar lelang yang terintegrasi dengan pengembangan SRG. Peran serta yang telah dilakukan oleh pemda setempat terkait dengan kegiatan sosialisasi terbatas melalui dinas instansi terkait 86
yang dianggap kompeten sesuai tupoksi SKPD dengan kegiatan pengelolaan SRG dan komoditas yang ditangani dalam kegiatan SRG tersebut. Peran institusi melalui dinas/instansi terkait dalam pelaksanaan kegiatan SRG berdasarkan kompetensinya, melibatkan Dinas Perdagangan dan Dinas Pertanian, Dinas Koperasi. Peran Dinas Pertanian dalam kaitan SRG, secara tidak langsung hanya terkait dalam sosialisasi di tingkat petani dan kelompok tani, sesuai dengan kegiatan yang selama ini dilaksanakan. Peran serta dinas terkait dalam kegiatan percepatan SRG juga seharusnya lebih banyak dilakukan Dinas Perdagangan dan Dinas Koperasi berdasarkan struktur organisasi diatasnya. Aktivitas Dinas Perdagangan dalam kaitan program Resi Gudang selama ini juga terbatas pada kegiatan soisialisasi tentang SRG. Sementara Dinas Pertanian lebih kearah pembinaan petani dan kelompok tani dari aspek teknis usahatani dan penerapan teknologi pertanian. Secara umum, keterkaitan secara institusional juga terbatas hanya pada kegiatan yang bersifat koordinasi dan belum pada proses kebijakan yang terkait dengan pengembangan SRG. Kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan di tingkat Pemda belum secara langsung terlibat, terutama peran dinas untuk masuk menjadi bagian dari kelembagaan SRG. Pemantauan dan monitoring juga hanya sebatas koordinasi informasi dari pihak pengelola gudang dan pelaku SRG. KESIMPULAN SRG merupakan satu langkah nyata dalam menciptakan pasar komoditas yang didukung oleh penetapan harga pemasaran tertinggi untuk petani. Kegiatan usaha SRG yang dilakukan oleh pengelola telah berkembang menjadi satu unit usaha produktif dalam mendukung usaha pertanian kelompok, sekaligus pemasaran hasil produksi para petani yang menjadi anggotanya. Usaha SRG dipandang sangat prospektif, sehingga memungkinkan banyak pelaku usaha yang juga akan tertarik untuk melakukan usaha tersebut. Sehingga kegiatan SRG yang dilakukan oleh pengelola dimasa datang akan menghadapi persaingan usaha di bidang yang sama, termasuk aktivitas yang selama ini diusahakan oleh BUMN di bidang SRG di tempat lain. Untuk mempertahankan usaha yang dilakukan oleh pengelola, selain meningkatkan kinerja dan pelayanan juga kepercayaan dari pihak pengelola terhadap berbagai institusi terkait. Dukungan dan peran aktif Pemerintah Daerah dalam kebijakan pengembangan usaha SRG, sekaligus perlindungan usaha melalui kebijakan dan pengaturan sistem yang menjadi kewenangan Pemda setempat
87
juga sangat diperlukan, agar usaha yang dilakukan pengelola tetap menjadi prioritas Pemda dalam pembinaannya. SRG di Kabupaten Subang belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pengguna, dalam hal ini para petani dalam kaitan pemasaran komoditas yang dihasilkan. Selain tingkat sosialisasi tentang SRG yang masih terbatas, juga peran pengelola SRG masih terbatas dalam penyediaan fasilitas pendukung kegiatan SRG itu sendiri. Para petani yang selama ini belum terlibat langsung dalam kegiatan usaha SRG, pada dasarnya masih menunggu pembuktian tentang manfaat langsung dari pelaksanaan SRG hingga dengan sendirinya memperoleh pengalaman dalam keikutsertaannya. Dengan demikian maka jika SRG ini sudah diketahui secara luas tentang manfaat dan peranannya, dengan sendirinya para petani akan memanfaatkan SRG menjadi sarana pemasaran komoditas, terutama pada saat terjadinya fluktuasi harga komoditas yang diusahakannya. Pola usaha SRG sebaiknya juga diusahakan dengan melibatkan para pelaku usaha setempat yang dianggap mampu untuk disorong menjadi pengelola atau secara bermitra, terutama untuk komoditas pertanian selain padi (gabah dan beras). Hal ini agar keikutsertaan usaha para pelaku di daerah sekaligus menjadi penggerak perekonomian lokal/daerah setempat. Peran dan kebijakan Pemerintah Daerah dalam pengaturan dan penetapan iklim usaha yang terkait dengan SRG tetap berpihak pada pengembangan usahausaha ekonomi daerah, kecuali pada usaha-usaha ekonomi padat modal yang memerlukan dukungan pihak investor luar dalam pelaksanaannya. Kegiatan usaha SRG yang dikelola oleh KSU Annisa masih perlu dukungan Pemerintah Daerah maupun pengelolanya dalam hal fasilitas pendukung dan sarana yang terkait dengan SRG. Sarana dimaksud adalah yang terkait dengan pergudangan, sarana pengeringan dan perlindungan usaha dalam hal prioritas pengelolaan SRG untuk komoditas padi ketan dan produknya, baik dari Kementerian Perdagangan melalui Bappepti, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi juga dari Pemerintah Daerah setempat, agar usaha yang sudah dilakukan saat ini tetap berjalan dan lebih berkembang, menjadi penggerak perekonomian daerah setempat.
88