LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012
ANALISIS KEBIJAKAN DAN PROGRAM SLPTT MENUNJANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI NASIONAL
Oleh : Herman Supriadi I Wayan Rusastra Ashari
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012
RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan 1.
SL-PTT merupakan program andalan Kementerian Pertanian dalam mendukung peningkatan produksi padi yang dirintis sejak tahun 2008. Program SLPTT-Padi mencakup beberapa aspek yaitu (a) Pemantapan fungsi Laboratorium Lapang (LL) dengan luasan 1,0 ha melalui dukungan komponen teknologi PTT (b) Pengembangan SL padi non-hibrida dengan luasan 25 ha, dengan target areal 2,20 juta ha; (c) Pengembangan SL-padi hibrida dengan luasan 10 ha, dengan target areal 228 ribu ha; (d) Pengembangan SL-padi gogo dengan luasan 25 ha, pada target areal 350 ribu ha.
2.
Kinerja implementasi SL-PTT saat ini, dinilai masih berat oleh perencana dan pelaksana di lapangan untuk target peningkatan produksi. Beberapa aspek yang menjadi permasalahan antara lain penyeragaman alokasi jumlah bantuan benih, pengadaan benih yang sentralistik, intensitas pengawalan/pendampingan antara LL, SL-PTT, dan non SLPTT yang bervariasi
3.
Dalam rangka pemantapan peningkatan produksi dan swasembada beras kedepan dibutuhkan analisis kebijakan dan program SL-PTT, dengan sasaran pemantapan/reorientasi program SL-PTT dan perumusan opsi kebijakan pengembangan usahatani padi nasional.
4.
Tujuan umum penelitian ini adalah menghasilkan rekomendasi reorientasi kebijakan dan program-program indikatif SL-PTT untuk menunjang peningkatan produksi padi nasional. Ruang Lingkup Kegiatan meliputi menganalisis konsepsi, kebijakan, dan program SLPTT-Padi, Implementasi dampak dan merumuskan reorientasi SLPTT kedepan.
5.
Penelitian SLPTT padi dilaksanakan pada 5 agroekosistem di tujuh kabupaten yaitu: a). Agroekosistem sawah irigasi di Subang (Jawa Barat), Madiun (Jawa Timur), dan Oku Timur (Sumatera Selatan); b). Agroekosistem sawah tadah hujan draenasi baik di Sukabumi (Jawa Barat); c). Agroekosistem sawah tadah hujan draenasi buruk di Tangerang (Banten); d). Agroekosistem lahan kering di Gunung Kidul (DIY); e). Agroekosistem sawah pasang surut di Banyuasin (Sumatera Selatran).
6.
Metoda analisis yang digunakan adalah analisis kebijakan dengan melakukan review dan sintesis terhadap berbagai dokumen dan laporan terkait dengan konsepsi, implementasi, dan dampak program SLPTT-Padi di lapangan. Hasil review dan sintesis ini akan dikomplemen dengan pengumpulan data dan informasi terkait dengan kinerja dan persepsi (terhadap ketiga matra program, yaitu konsepsi/implementasi/dampak program) dari berbagai pihak di pusat dan daerah yang meliputi perencana, pelaksana, dan penerima program di lapangan.
7.
Alat analisis untuk perumusan alternatif program perbaikan SLPTT dimulai dengan dipergunakan SWOT analisis per agroekosistem, kemudian matrik i
strategi dasar kebijakan pengembangan SLPTT. Berdasarkan hasil analisis SWOT maka dibuat analisa pohon masalah, selanjutnya atas dasar analisa pohon masalah dibuat analisa pohon tujuan yang merupakan hubungan cara dan hasil, dimana teridentifikasi apa tujuan akhir (goal dari program) yang didukung oleh kegiatan, keluaran dan manfaat. Selanjutnya dapat dibuat matrik program kerangka kerja logis (logical frame work) serta program indikatif pengembangan SLPTT. Hasil Penelitian 8.
Dari aspek Perencanaan (pelaksanaan PMP/KKP, penentuan CPCL, penentuan kebutuhan teknologi PTT dan perencanaan kebutuhan sarana produksi), hampir semuanya tidak sepenuhnya mengikuti Pedoman Pelaksanaan SLPTT, pada umumnya kelompok tani peserta SLPTT tinggal menerima paket teknologi muatan SLPTT, dan pelaksanaannya menyesuaikan dengan kondisi yang ada (spesifik lokasi).
9.
Jumlah dan materi pertemuan tidak selalu 8 kali seperti dalam pedum tetapi sangat bervariasi menurut spesifik lokasi, keterbatasan waktu dan kemampuan petugas pendamping.
10. Kenyataan menunjukkan bahwa hampir disetiap lokasi kajian pesertanya hanya bergantian didalam keanggotaan kelompok tertentu. Jadi besar kemungkinan satu kelompok mandapat kesempatan beberapa kali ikut SLPTT. 11. Intervensi pusat cendrung bersifat sentralistik dan dominan dalam implementasikan konsep SL-PTT, hal ini ternyata berdampak negatif terhadap alokasi anggaran. Dampak negatif lainnya adalah ketersediaan benih sering terlambat, kualitas, kuantitas dan varitas yang didistribusikan tidak sesuai dengan harapan petani. 12. Peran BPTP dalam Pengawalan dan pendampingan SLPTT, penyediaan benih padi, jagung, dan kedelai untuk uji adaptasi dan demfarm, dan sebagai nara sumber teknologi padi, rupanya tidak sinkron dengan pendampingan oleh penyuluh di lokasi SLPTT. 13. Terkait dengan prinsip dasar dan konsepsi SLPTT padi secara agregat 42,86 persen responden menyatakan bahwa SLPTT dengan filosofi tetesan minyak tidak berjalan seperti yang diharapkan. 14. Persepsi responden terhadap dimensi utama pengembangan usahatani adalah: kapasitas usahatani padi 86,81 persen;, infrastruktur irigasi/ pertanian/pedesaan 85,71 persen, eksistensi kelembagaan pendukung 92,31 persen, dan kebijakan pengembangan kemampuan manajemen petani 90,11 persen. Dalam inplementasi SLPTT di tiga kabupaten pada agroekosistem sawah irigasi nenunjukkan bahwa kajian PMP dan KKP hampir tidak dilaksanakan dengan alasan: (1) waktu yang terbatas, (2) sudah pernah dilakukan dalam tahap awal bagi penerima program SLPTT lebih dari sekali, (3) kekurangan pendamping/tenaga penyuluh, (4) potensi ii
dan peluang diasumsikan sudah dipahami oleh pelaksana SLPTT sehingga tidak perlu PMP dan KKP yang terkesan formalitas. 15. Kelemahan program SLPTT adalah tidak adanya sinkronisasi antara ujung tombak pelaksana di lapangan. Dalam hal ini antara penyuluh dan mantri tani kurang kompak karena mungkin berada dalam naungan institusi yang berbeda. Kondisi ini jika berlarut-larut mengakibatkan program sulit berkembang. Solusinya adalah antara penyuluh, mantri tani dan pengamat hama harus dapat memahami tugas pokok dan fungsi masing-masing. 16. Dalam aspek penerapan komponen teknologi SLPTT yang terdiri dari komponen teknologi dasar dan teknologi pilihan ditemukan bahwa secara umum petani terutama di agroekosistem sawah irigasi sudah menggunakan varietas unggul baru (VUB) sejak sebelum dilaksanakan kegiatan SLPTT, sehingga BLBU untuk kelompok tani ini dianggap kurang efektif dan bahkan berdampak negatif karena sering terlambat penyalurannya disamping kualitas benih yang kurang baik. 17. Menurunnya minat SLPTT padi hibrida disebabkan oleh: (1), Petani belum terbiasa tanam padi hibrida, 2), kondisi lahan kurang sesuai, (3) Hibrida memerlukan persyaratan khusus yang belum dipahami petani, (4). Hibrida rentan terhadap hama wereng, (5). Harga benih mahal, (6) Potensi hasil di tingkat petani sama dengan non hibrida dan (7). Tidak pulen, dan butiran ramping. 18. Pembelajaran yang baik SLPTT padi hibrida terdapat di Madiun dimana terdapat 3 varietas yang disukai petani yaitu Bernas Prima, SL-8 dan Sembada-9 dengan potensi hasil mencapai 13 ton GKP/Ha.Produktivitas hibrida paling tinggi jika ditanam pada MK 1. Walaupun harga mungkin selisih 10-20 ribu per kwintal, tetapi dengan hasil 2-3 ton lebih tinggi dibanding padi non-hibrida menjadikan program SLPTT di Madiun cukup berhasil. 19. Permasalahan koordinasi antara pelaksana SLPTT, terutama pihak Dinas Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan (Penyuluhan Pertanian) masih memerlukan harmonisasi sehingga dapat bersinergi dengan baik. 20. Manajemen sentralistik dinyatakan berdampak buruk terhadap prinsip enam tepat dalam ketersedian benih, dan juga berdampak negatif terhadap pengembangan industri perbenihan di daerah, maing-masing dengan tingkat partisipasi 80,22 persen dan 76,92 persen. 21. Dampak yang diharapkan dari pelaksanaan SLPTT padi dapat tercapai khususnya pada kelompok tani kajian di empat agroekosistem, yaitu: (1) peningkatan produktivitas padi non hibrida 0,5-1,0 ton/ ha di areal SLPTT; padi hibrida sekitar 1,5-2,5 ton/ha dan padi gogo sekitar 0,5-1,0 ton/ha; dan (2) teradopsinya berbagai alternatif pilihan komponen teknologi PTT padi. 22. Kendala pengembangan dan kesenjangan hasil pada program SLPTT di lahan sub-optimal (lahan tadah hujan,/lahan kering/lahan pasang surut/lahan rawa)lebih besar dibandingkan lahan irigasi. iii
23. Persepsi responden mengindikasikan kehadiran varietas hibrida yang sudah mulai dapat diterima responden/masyarakat karena produktifitasya yang lebih tinggi dari inbrida dan dengan rasa nasi yang semakin sesuai keinginan konsumen. 24. Posisi usaha pengembangan produksi padi dalam program SLPTT di lahan irigasi (Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera Selatan), lahan tadah hujan draenase baik di Sukabumi dan lahan kering Gunung Kidul berada pada kwadran I yang menunjukkan bahwa SLPTT padi berada pada posisi yang terbaik untuk pengembangan lebih lanjut, sehingga bisa menerapkan strategi agresif dengan mengandalkan kekuatan yang ada dan membuka peluang-peluang yang potensial untuk pengembangan. 25. Posisi usaha pengembangan produksi padi melalui program SLPTT di lahan sub optimal (lahan sawah tadah hujan draenase buruk dan lahan pasang surut )berada pada kwadran III, pada posisi kurang baik untuk pengembangan lebih lanjut, sehingga harus menerapkan strategi putar haluan dengan mengatasi kelemahan-kelemahan yang lebih dominan dari kekuatan yang ada dan memanfaatkan peluang-peluang yang potensial untuk pengembangan. Selain itu juga harus mewaspadai beberapa ancaman antara lain kecemburuan sosial dan sistem pengadaan benih. 26. Bedasarkan analisis SWOT ada 4 garis besar strategi yaitu:a). Strategi SO: Motivasi petani dan, produktivitas dapat ditingkatkan lagi dengan koordinasi antar instansi yang lebih baik,ketersediaan teknologi inovatif dan perbaikan sistem subsidi benih. b)Strategi WO: Kelemahan petani dalam akses modal, pemilikan lahan yang sempit dan biaya produksi tinggi dapat diatasi dengan koordinasi yang baik program pembangunan, menggunakan teknologi terobosan dan memperbaiki sistem subsidi benih,c Strategi ST: Motivasi petani yang kuat dan peningkatan produktivitas padi agar lebih ditingkatkan untuk mengurangi ancaman kurang baiknya koordinasi antar instansi terkait dan kebijakan sentralistik termasuk sistem pengadaan benih yang mengedepankan BUMN maupun sistem tender. Strategi WT: Meningkatkan akses modal menambah luas pemilikan lahan/pemanfaatan lahan terlantar dan efisiensi usahatani untuk mengantisipasi ancaman kurang baiknya koordinasi antar instansi terkait dan kebijakan sentralistik termasuk sistem pengadaan benih yang mengedepankan BUMN maupun sistem tender. Kesimpulan 27. Dari segi konsepsi program SLPTT sudah relatif tidak banyak permasalahan. Walaupun demikian, sifat program yang didominaasi pemerintah pusat (sentalistik) perlu mendapat perhatian untuk direkontruksi ulang dengan melibatkan pihak pemerintah daerah sejak mulai perencanaan program. Diakui bahwa dalam pelaksanaan (implementasi) SLPTT banyak terdapat kekurangan sehingga belum bisa secara nyata meningkatkan produksi padi nasional.
iv
28. Filosofi tetesan minyak dalam pengembangan SLPTT padi ternyata tidak berproses seperti yang diharapkan. Program SLPTT dengan pendekatan penyuluhan seperti Laboratorium Lapang (LL) dan Sekolah Lapang (SL) belum efektif meningkatkan adopsi maupun difusi teknologi untuk peningkatan produktifitas padi. Dikarenakan kinerja program SLPTT belum berjalan secara optimal, maka dampaknya terhadap peningkatan produksi padi nasional tidak tercapai secara memuaskan. 29. Bantuan benih dengan sistem distribusi sentralistik (pelaku utama BUMN) ternyata tidak mampu menjamin azas enam tepat benih untuk kebutuhan petani. Penunjukkan terhadap BUMN tertentu sebagai pemegang wewenang penuh dalam pengadaan dan penyaluran benih/pupuk subsidi, belum menjamin ketersediaan saprodi tersebut tepat waktu dan tepat kualitasnya. Sistem pengadaan benih dan bahkan bantuan benih dinilai tidak tepat, dan dinilai mengganggu pengembangan sistem perbenihan formal dan kinerja industri perbenihan di daerah. 30. Pemahaman PTT sebagai suatu pendekatan, bukan suatu pilihan komponen/paket teknologi, yang membutuhkan adaptasi dan modifikasi sesuai dengan kondisi sumberdaya dan karakteristik petani setempat perlu lebih dimantapkan. SLPTT sesuai dengan kebutuhan lapangan membutuhkan komitmen pembinaan dan pendanaan lintas sektor/dinas teknis, serta kebijakan pendukung keberhasilan pengembangan agribisnis/ ekonomi padi. 31. Permasalahan pokok dalam pelaksanaan SLPTT dari awal program tahun 2008 sampai 2011 relatif sama yaitu keterlambatan benih dan kualitas benih. Hal ini menunjukkan masih kurangnya perhatian pengelola program terhadap permasalahan yang berulang–ulang terjadi. Hal ini juga mencerminkan tantangan yang dihadapi di SLPTT sangat kompleks sehingga perlu penanganan yang integratif lintas stakeholder. 32. Kompleksitas permasalahan dalam implementasi SLPTT adalah lemahnya koordinasi dan konsolidasi antar institusi terkait. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan jajarannya (Dinas Pertanian Propinsi maupun Kabupaten) sebagai pelaksana program terlihat kurang koordinasi dengan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) ditingkat pusat dan juga Badan Ketahanan Pangan Daerah yang membawahi penyuluhpenyuluh sampai ditingkat kecamatan (Balai Penyuluhan Pertanian/BPP). 33. Keberhasilan pengembangan SLPTT dalam peningkatan produksi padi nasional memerlukan peningkatan kapasitas produksi pertanian, pengembangan infrastruktur, kemampuan manajemen petani, dan kelembagaan pendukung pengembangan. Kesemuanya ini membutuhkan dukungan lintas sektor dan lintas dinas melaui sinergi dan integrasi program strategis sesuai dengan kebutuhan spesifik di tingkat lapangan. 34. SLPTT padi hibrida masih belum banyak diminati petani, karena tidak toleran terhadap hama penyakit, belum dikuasainya teknologi budidaya secara baik, harga benih yang relatif mahal, kualitas benih yang tidak stabil, serta akses terhadap benih masih sulit karena belum ada kios yang v
menjual secara bebas. Walaupun demikian, secara potensi padi hibrida dapat dijadikan sebagai salah satu terobosan untuk meningkatkan produksi beras nasional secara nyata. Kunci dari keberhasilan terletak pada ketersediaan saprodi dan akses untuk mendapatkan modal usahatani. 35. Peningkatan produktivitas dalam kegiatan SLPTT cukup beragam antar wilayah dan AEZ. Hasil analisis usahatani di tingkat mikro, menunjukkan secara umum terjadi peningkatan produktivitas dan pendapatan petani jika dibandingkan antara sebelum dan sesudah mengikuti SLPTT. Komponen teknologi SLPTT yang cukup banyak diadopsi oleh petani adalah aplikasi pupuk yang lebih berimbang, penggunaan pupuk organik, dan penerapan jajar legowo paling banyak diadopsi oleh petani. 36. Petani menilai program SLPTT cukup bermanfaat sehingga perlu disempurnakan melalui peningkatan koordinasi dan komunikasi antar institusi. Terdapat pemikiran agar SLPTT sebagai gerakan didukung dengan model SLPTT spesifik lokasi. dampak program yang tidak maksimal membutuhkan reorientasi program ke depan. Disadari adanya kompleksitas pengembangan SLPTT di lahan suboptimal, demikian juga dengan pengembangan padi hibrida. Ke depan potensi pengembangan terdapat di lahan sub-optimal, dan wilayah yang petaninya sudah maju, dimana pengembangan padi hibrida telah menunjukkan keberhasilan. 37. Program SLPTT membutuhkan reorientasi dan modifikasi dengan mengedepankan kehadiran ‘model SLPTT spesifik lokasi’ didukung dengan kebijakan pusat/daerah keberhasilan agribisnis/ekonomi padi. Opsi alternatif pengembangan program yang juga perlu dipertimbangkan adalah program SLPTT terdesentralisasi melalui ‘Percepatan Pengembangan dan Penerapan PTT (P3PTT); model pengembangan berbasis inovasi PTT (seperti MP3MI; dan pembentukan Badan Usaha Milik Petani (BUMP-Padi) melaui pembangunan industri berbasis padi dengan skala ekonomi ekonomi 10.000 ha. Ketiga opsi alternatif ini mendapatkan dukungan kuat dari peneliti, penyuluh, dan pelaksana program di lapangan.
Implikasi Kebijakan 38. Konsepsi yang perlu mendapat perhatian untuk perbaikan program adalah: (a). Sosialisasi Pedoman umum dan teknis sebaiknya dilakukan sesegera mungkin sebelum musim tanam tiba, dan (b) Surat penunjukkan dari pemerintah kepada penyalur bantuan diupayakan tidak terlambat. 39. Pemerintah harus lebih bijaksana dalam penunjukkan, pengadaan, dan penyaluran bantuan benih/pupuk, dengan memberikan sanksi yang tegas terhadap kelambatan penyaluran benih dan juga kualitas benih yang kurang baik. Pendayagunaan penangkar lokal perlu mendapatkan prioritas dalam istem pengadaan benih. 40. Permasalahan keterlambatan benih dan kualitasnya yang berulang –ulang terjadi dan menjadi keluhan petani peserta SLPTT tidak bisa ditanggulangi oleh pengelola SLPTT daerah tetapi harus dibenahi dari sistem pengadaan vi
dan penyaluran benih yang dikendalikan oleh pusat. Dalam hal ini termasuk sangsi yang tegas terhadap pendistribusian benih dengan kualitas yang buruk. Pemberdayaan penangkar lokal untuk memenuhi permintaan benih baik jumlah dan kualitas maupun jenis kiranya dapat mengatasi masalah tersebut. 41.
Laboratorium Lapang (LL) dan Sekolah Lapang (SL) agar benar-benar menjadi wadah penyuluhan dengan perlakuan teknologi yang jelas dan lebih maju dibanding non SL. Perlu lebih diintegrasikan antara pendampingan oleh penyuluh dan lembaga penelitian untuk introduksi teknologi-teknologi harapan.
42. Pemerintah beserta lembaga-lembaga penelitian sebagai sumber teknologi sebaiknya menyediakan dan mengembangkan teknologi terobosan (seperti hibrida yang adaptif dan berpotensi hasil tinggi) dan sistem tanam yang efisien seperti Tabela untuk lebih meningkatkan produksi padi nasional melalui program seperti SLPTT. 43. Pemerintah daerah perlu meningkatkan jumlah penyuluh sebagai pendamping pelaksanaan program SLPTT dan pembangunan pertanian lain dengan dengan penerimaan tenaga baru dan mempersiapkannya agar langsung dapat berkerja sebagai penyuluh yang produktif. 44. Perlu keseriusan pemerintah untuk pengembangan padi hibrida jika memang menghendaki adanya lonjakan produksi padi secara signifikan. Secara potensi peluang peningkatan hasil cukup tinggi dengan penggunaan hibrida seperti yang terjadi di Cina. 45. Perlu perhatian pemerintah agar petani yang lemah dalam permodalan mendapat kemudahan dalam mendapatkan bimbingan teknologi, modal usahatani, dan pemasaran hasil dengan harga yang layak. Tanpa intervensi dan keberpihakan pemerintah untuk petani yang dominan statusnya gurem, maka tidak mungkin terjadi peningkatan produksi dan pendapatan petani. 46. Secara teknis program SLPTT padi akan memberikan dampak positif peningkatan produksi padi nasional apabila paket teknologi anjuran sudah berdasarkan spesifik lokasi diikuti secara benar, termasuk dosis pemupukan yang optimal, penggunaan varietas ungul/hibrida yang adaptif dan berpotensi hasil tinggi, pengendalian hama/penyakit terpadu, dan kalau memungkinkan menggunakan sistem tanam yang efisien seperti Tabela untuk menggantikan/merubah budaya bercocok tanam yang kurang efisien. 47. Adopsi komponen teknologi SLPTT yang cukup beragam antar agroekosistem bisa ditingkatkan dengan teknologi yang lebih spesifik lagi, peningkatan akses petani terhadap informasi teknologi, akses modal, ketersediaan saprodi termasuk benih unggul, jaminan pemasaran hasil, jaminan infrastruktur yang menunjang (jalan dan irigasi), serta jaminan resiko kegagalan. Perlu pemikiran yang lebih maju/ terobosan teknologi untuk meningkatkan produktivitas yang akhir-akhir ini mengalami levelling off. vii
48. Secara ringkas implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah perlunya perubahan sistem pengadaan benih yang melibatkan penangkar lokal dan kios kios saprodi di desa dengan subsidi harga yang sesuai(non BLBU). Upaya peningkatan produktivitas padi perlu ditingkatkan dengan teknologi terobosan antara lain pengembangan padi hibrida yang adaptif, sedang efisiensi produksi bisa dicapai dengan sistem tanam benih langsung dan varietas berumur pendek. Pengembangan program SLPTT ke depan hendaknya tidak sebatas pendampingan teknologi dan bantuan saprodi tetapi lebih ditekankan pada pengelolaan terpadu kawasan agribisnis padi yang didukung dengan kemudahan akses modal, pemasaran, dan ketersediaan saprodi.
viii