LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENINGKATAN NILAI TAMBAH MELALUI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI
Oleh : Supriyati Adi Setiyanto Erma Suryani Herlina Tarigan
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2006
RINGKASAN EKSEKUTIF A.
Latar Belakang
1.
Pembangunan industri di Indonesia dimulai sejak Pelita II, bersamaan dengan masuknya penanaman modal dari luar negeri (PMA). Kebijakan ini terutama untuk mendorong terciptanya struktur perekonomian yang seimbang, sehingga diharapkan terjadi transformasi struktural perekonomian dan mendorong agroindustri sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional masa depan. Paling sedikit ada lima alasan utama kenapa agroindustri penting untuk menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional masa depan, yaitu: (a) Industri pengolahan mampu mentransformasikan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif, yang pada akhirnya akan memperkuat daya saing produk agribisnis Indonesia; (b) Produknya memiliki nilai tambah dan pangsa pasar yang besar sehingga kemajuan yang dicapai dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional secara keseluruhan; (c) Memiliki keterkaitan yang besar baik ke hulu maupun ke hilir (forward and backward linkages), sehingga mampu menarik kemajuan sektor-sektor lainnya; (d) Memiliki basis bahan baku lokal (keunggulan
komparatif)
yang
dapat
diperbaharui
sehingga
terjamin
sustainabilitasnya; (e) Memiliki peluang untuk mentransformasikan struktur ekonomi nasional dari pertanian ke industri dengan agroindustri sebagai motor penggeraknya. 2.
Disadari benar bahwa pengembangan agroindustri, belum dapat mencapai sasaran seperti yang dicanangkan sejak Pelita II. Pengembangan agroindustri masih menghadapi sejumlah kendala, antara lain adalah : (a) Rendahnya jaminan ketersediaan dan mutu bahan baku; (b) Mutu produk agroindustri yang masih belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan pasar, khususnya pasar internasional. (c) Sumberdaya manusia (SDM) yang masih belum profesional; (d) Sarana dan prasarana yang belum memadai, seperti belum berkembangnya workshop-workshop yang mengembangkan alat-alat pengolahan, (e)Teknologi pengolahan yang masih belum berkembang; (f) Sumber pendanaan yang masih kecil; (g) Pemasaran yang belum berkembang; (h) Belum adanya kebijakan riil yang mampu mendorong berkembangnya agroindustri di dalam negeri.
3.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk : (1) Menganalisis peranan dan struktur agroindustri menurut skala usaha; xvi
dan (2) Menganalisis peningkatan nilai tambah komoditas pertanian melalui pengembangan agroindustri di pedesaan. Peranan agroindustri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peranan dalam penciptaan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, produktitivitas tenaga kerja, neraca perdagangan, keterkaitan dengan sektor lain (baik keterkaitan ke belakang maupun ke depan).
B.
Metodologi Penelitian
4.
Pendekatan penelitian ini mengacu pada pemikiran sebagai berikut : (a) Bahwa pengembangan agroindustri sampai saat ini belum dapat mencapai sasaran seperti yang dicanangkan sejak Pelita II; (b) Agroindustri saat ini menjadi prioritas
pengembangan
lagi,
antara
lain
untuk
mengatasi
masalah
ketenagakerjaan dan dan peningkatan produktivitas sektor pertanian; (c) Pengembangan agroindustri akan membentuk jaringan dan aliansi pelaku agribisnis sehingga menciptakan sebuah mata rantai nilai. Mata rantai nilai adalah integrasi penuh dari seluruh kegiatan sepanjang rantai nilai yang akan melibatkan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang), rancangan awal produksi,
kegiatan
perbaikan,
persiapan
prototipe,
rancangan
proses,
pengadaan komponen dan material, sub-rakitan, rakitan akhir, jaminan mutu, distribusi dan pemasaran; (d) Identifikasi mata rantai nilai agroindustri, akan mampu mengidentifikasi pada rantai nilai mana peningkatan nilai tambah akan terjadi. 5.
Analisis peranan agroindustri berdasarkan data I-O (Input-Output), yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peranan dalam penciptaan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, produktitivitas tenaga kerja, neraca perdagangan, keterkaitan dengan sektor lain (baik keterkaitan ke belakang maupun ke depan). Peranan dan struktur agroindustri menurut skala usaha dianalisis berdasarkan Statistik Industri Besar/Sedang, Statistik Industri Kecil/ Rumahtangga.
6.
Sementara itu, analisis peningkatan nilai tambah, mengambil kasus tiga komoditas
yaitu
kopi,
pisang
dan
ubikayu
sesuai
dengan
prioritas
pengembangan yang dilakukan Departemen pertanian dan Perindustrian. Untuk setiap komoditas, dipilih secara purposive satu propinsi. yaitu Provinsi Bali utnuk komoditas kopi, provinsi Jawa Timur untuk komoditas pisang, dan Provinsi Lampung untuk komoditas ubikayu. Penelitian agroindustri kopi di Bali dilakukan
xvii
di Kabupaten Bangli dengan pertimbangan sebagai berikut : (1) Di Kabupaten Bangli telah terjadi perubahan pengolahan dari olah kering menjadi olah basah; (2) Kopi arabika di kabupaten Bangli khususnya Kintamani akan dikembangkan sebagai komoditas khusus yang menunjukkan
indikasi geografis yang
berpeluang untuk komoditas ekspor. Penelitian agroindustri pisang di Jawa Timur dilakukan di Kabupaten Lumajang dengan pertimbangan sebagai berikut : (1) Ada pisang khas yaitu pisang Agung, yang tidak terdapat di lokasi lain; (2) Pisang Agung berpeluang besar untuk dikembangkan menjadi agroindustri dengan berbagai skala; (3) Pasar produk agroindustri pisang Agung terbuka untuk dalam negeri dan ekspor. Penelitian agroindustri ubikayu dilakukan di Provinsi Lampung, dimana di wilayah tersebut merupakan salah satu sentra produksi ubikayu di Indonesia dan telah berkembang Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) yang merupakan konsep pengembangan industri kluster ubikayu.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.
Hasil analisis I-O tahun 1995 dan 2000 menunjukkan bahwa peranan agroindustri adalah sebagai berikut : (a) Dalam pembentukan nilai tambah bruto (PDB) relatif besar, ada kecenderungan meningkat meskipun tidak sebesar industri lainnya; (b) Penyerapan tenaga kerja pada agroindustri relatif besar dibandingkan
dengan
industri
lainnya.
Ada
kecenderungan
penurunan
penyerapan tenaga kerja pada semua sektor, kecuali sektor jasa dan lainnya.; (c) Produktivitas tenaga kerja pada agroindustri lebih kecil dibandingkan dengan industri lainnya, namun masih lebih besar dibandingkan dengan sektor pertanian;
(d)
Ketergantungan
impor
pada
agroindustri
lebih
rendah
dibandingkan dengan industri lainnya; (e) Agroindustri dan sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai keterkaitan ke depan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Sementara itu dalam keterkaitan ke ke belakang, agroindustri dan sektor jasa dan lainnya yang mempunyai keterkaitan yang lebih besar. 8.
Peranan agroindustri dalam perekonomian relatif besar, walau masih agak lebih rendah dibandingkan industri lainnya. Pengembangan agroindustri diharapkan bisa sekaligus sebagai alternatif untuk mengatasi masalah pengangguran dan
xviii
pengentasan keimiskinan. Namun ada indikasi bahwa peningkatan nilai tambah tidak diikuti oleh peningkatan penyerapan tenaga kerja yang signifikan. 9.
Analisis I-O pada jenis industri pada agroindustri pertanian menunjukkan bahwa masing-masing industri mempunyai keunggulan pada aspek-aspek tertentu, seperti berikut : (a) Industri tekstil dsb, mempunyai nilai tambah, penyerapan tenaga kerja yang tinggi, sementara keterkaitan ke belakang maupun ke depan relatif rendah, ketergantungan impor industri ini cukup tinggi juga.; (b) Industri makanan lainnya, mempunyai nilai tambah, penyerapan
tenaga
kerja,
produktivitas tenaga kerja, dan keterkaitan ke belakang maupun ke depan yang tinggi, sementara ketergantungan impor industri ini cukup tinggi juga; (c) Industri rokok, mempunyai nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, yang tinggi, ketergantungan impor relatif rendah, sementara dan keterkaitan ke belakang maupun ke depan relatif rendah; (d) Industri minyak dan lemak, mempunyai nilai tambah, produktivitas tenaga kerja, dan keterkaitan ke belakang yang tinggi; (e) Industri penggilingan padi, mempunyai produktivitas tenaga kerja dan keterkaitan ke belakang yang tinggi. 10.
Pengembangan jenis industri pada agroindustri harus disinkronkan dengan permasalahan yang dihadapi saat ini, yaitu pengangguran dan pengentasan keimiskinan. Maka agroindustri yang dikembangkan adalah industri-industri yang mampu menyerap tenaga kerja, berbahan baku lokal serta mempunyai nilai tambah yang cukup tinggi.
11.
Analisis struktur menunjukkan : (a) Jumlah industri agregat, agroindustri maupun non agroindustri pada tahun 1998-2003, didominasi oleh IKR yang proporsinya di atas 90 persen, sementara jumlah industri pada Industri Besar dan Industri Sedang relatif kecil (dibawah 1 persen; (b) Penyerapan tenaga kerja pada sektor industri sebagian besar pada Industri Besar dan Industri Sedang (60 persen) sementara pada IKR (28.5 persen) dan IK (11 persen). Sementara itu. pada penyerapan tenaga kerja agroindustri masih didominasi oleh IKR yang mencapai 45 persen; (c) Industri Besar pada industri agregat, agroindustri maupun non agroindustri mempunyai nilai output, nilai tambah dan produktivitas tenaga kerja yang jauh lebih besar dibandingkan dengan skala usaha yang lain.
12.
Dinamika jenis industri yang termasuk dalam agroindustri menurut skala usaha adalah sebagai berikut : (1) Pada Industri Besar dan Industri Sedang jenis
xix
industri didominasi oleh industri makanan dan industri rokok, sementara pada Industri Kecil (IK) dan Industri Kerajinan dan Rumah tangga (IKR) jenis industri yang berkembang adalah industri makanan; (2) Pada Industri Besar, jumlah industri rokok lebih sedkit dibanding dengan industri makanan. Namun proporsi penyerapan tenaga kerja, output dan nilai tambah, serta produktivitasnya lebih tinggi. Sementara pada Industri Sedang, proporsi penyerapan tenaga kerja, output dan nilai tambah lebih rendah dari proporsi jumlah industri, dan produktivitas tenaga kerja relatif rendah; (3) Tahun 1998, pada IK, proporsi terbesar adalah industri makanan lainnya, dan terjadi konsistensi antara jumlah industri dengan penyerapan tenaga kerja, nilai tambah dan produktivitas tenaga kerja. Pada tahun 2003 terjadi pergeseran, terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja; (4) IKR pada tahun 1998, terkonsentrasi pada industri makanan, dan konsisten dengan penyerapan tenaga kerja, nilai output dan nilai tambah, namun ternyata produktivitas tenaga kerja pada industri ini paling rendah diantara industri lainnya; (5) Pada periode 1998-2003 produktivitas tenaga kerja pada Industri Sedang, IK dan IKR, menurun kecuali untuk industri minuman. Namun pada IB, produktivitas tenaga kerja untuk semua jenis industri cenderung meningkat.; (6) Ada 21 jenis industri pada industri besar dan sedang yang mempunyai ketergantungan impor bahan baku yang relatif besar, 11 industri mempunyai kecenderungan menurun, dan sisanya cenderung meningkat. Ketergantungan impor bahan baku tertinggi terutama terjadi pada agroindustri yang berbahan baku susu, kedele, terigu, malt, dan tembakau. 13.
Dari analisis Statistik Industri dapat disimpulkan bahwa (a) peranan agoindustri dalam penyerapan tenaga kerja dan penciptaan nilai tambah lebih rendah dibandingkan dengan industri lainnya; (b) Pada agroindustri, proporsi jumlah Industri Besar yang kurang dari 1 persen, dan proporsi penyerapan tenaga kerja sekitar 19 persen mampu menguasai nilai tambah yang sangat besar (sekitar 84 persen), akibatnya produktivitas tenaga kerjanya sangat besar dibandingkan dengan skala usaha yang lainnya; (c) IKR sub sektor agroindustri yang menyerap 45 persen dari tenaga kerja hanya mampu menciptakan nilai tambah 6.6 persen, kinerja yang relative sama terjadi juga pada industri sedang, dan industri kecil. Pada agroindustri skala sedang, kecil dan rumahtangga, jenis industri yang meyerap tenaga kerja dan menciptakan nilai tambah yang tinggi adalah industri makanan dan industri makanan lainnya.
xx
14.
Ke depan, agroindustri yang dikembangkan adalah agroindustri skala kecil dan rumah tangga yang mampu menyerap tenaga kerja relatif banyak dan jumlah banyak, menyebar di pedesaan. Pengembangan agroindustri skala kecil dan rumah tangga diharapkan mampu mengatasi masalah pengangguran. Dalam pengembangannya perlu dukungan kuat pemerintah, agar agroindustri skala kecil dan rumah tangga mempunyai nilai tambah yang lebih besar.
15.
Kopi Arabika merupakan salah satu dari tujuh komoditas unggulan Provinsi Bali. Daerah sentra kopi Arabika berada di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Produksi kopi Arabika di Provinsi Bali.selama lima tahun terakhir (1999-2004) cenderung menurun, hal ini disebabkan penurunan luas areal penanaman dan produktivitas. Salah satu pendekatan yang digunakan pemerintah daerah dalam membangun sub sektor perkebunan yaitu melalui pendekatan wilayah yang lebih dikenal dengan pendekatan ‘Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan’ (KIMBUN).
Hingga saat ini telah dikembangkan empat KIMBUN, salah
satunya KIMBUN Kopi Arabika.
Dalam KIMBUN tersebut telah dirintis
agroindustri skala kelompok. 16.
Sebagian besar kopi Arabika di Provinsi Bali diusahakan oleh Perkebunan Rakyat. Kualitas kopi Arabika tergolong masih rendah, karena sebagian besar petani melakukan petik asalan dan menggunakan olah kering.
Pemerintah
daerah melalui Dinas Perkebunan bekerjasama dengan PPKKI melakukan pembinaan dan sosialisasi terus menerus tentang petik merah dan pengolahan ke arah olah basah. Sehingga dalam lima tahun terakhir mutu kopi Arabika yang dihasilkan petani sudah mulai meningkat. Peningkatan mutu kopi harus terus menerus dilakukan mengingat semakin ketatnya persaingan pasar. 17.
Agroindustri kopi Arabika di Provinsi Bali merupakan kegiatan pasca panen yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk agar petani memperoleh nilai jual kopi lebih tinggi. Rantai nilai usaha agroindustri kopi mencakup berperannya lembaga/instansi terkait dalam kegiatan penyediaan bahan baku, pengolahan, penyediaan produk akhir, dan pemasaran/distri- busi.
Antar mata rantai
mempunyai keterkaitan yang erat dan saling berpengaruh. Jaringan usaha dalam agroindustri kopi , yaitu petani, pedagang, subak pengolah, koperasi, eksportir, mediator (dinas perkebunan dan PPKKI), dan lembaga permodalan.
xxi
18.
Nilai tambah kuantitatif dari inovasi petik merah dan olah basah adalah harga kopi petik merah 30 persen di atas harga kopi petik asalan, olah basah dengan dari gelondong merah ke produk HS memberikan nilai tambah sekitar Rp 10 ribu per kg, nilai tambah dari kopi ose ke bubuk memberikan nilai tambah sekitar Rp 15 ribu per kg. Namun, satu kasus pengolahan dari HS ke ose justru menimbulkan kerugian. Artinya, harga beli kopi ose oleh eksportir/pengusaha masih terlalu rendah, atau ada inefiensi (skala ekonomi tidak tercapai) dalam kegiatan pengolahan ini. Sementara itu, nilai tambah non kuantitatif antara lain : peluang kesempatan kerja, peningkatan pengetahuan dan keterampilan sumberdaya manusia; peningkatan akses informasi harga; dan peningkatan asset subak, terutama peralatan pengolahan kopi; dan lain-lain.
19.
Provinsi Jawa Timur salah satu sentra produksi pisang di Indonesia, Kabupaten Lumajang adalah daerah sentra produksi pisang agung yang khas, dan sudah mengarah ke agroindustri pisang (keripik pisang).
Kebijakan pembangunan
pertanian dan pengembangan industri yang dilakukan pemerintah setempat sudah mengarah pada pembangunan terpadu dan berorientasi pada upaya peningkatan nilai tambah dan pemerataan pendapatan. 20.
Usaha agroindustri keripik pisang di Lumajang umumnya industri berskala kecil atau rumahtangga dengan pengelolaan usaha oleh industri utama dilakukan dari mengolah bahan baku hingga pemasaran.
Belum ditemukan usaha yang
mengarah ke spesialisasi lembaga pada bagian bahan baku saja, bahan setengah jadi saja, pengolahan lanjutan dan pengemasan saja atau pemasaran saja.
Hal ini berakibat pada sulitnya pengembangan industri dengan sistem
kluster,
terhambatnya
pemerataan
pelaksanaan pendalaman struktur.
dalam
perolehan
nilai
tambah
dan
Agro industri keripik pisang di Lumajang
dapat dipotret sebagai suatu rantai nilai yang yang memberikan kontribusi nilai tambah kuantitatif relatif kecil dan terpusat, namun secara kualitatif pada aspek pengetahuan dan sosial ekonomi lingkungan cukup baik. Pada jejaring usaha yang terbentuk belum ditemukan kemitraan yang sifatnya formal. Keterjaminan dan
misi
saling
menguntungkan
lebih
berdasarkan
kepercayaan
dan
pengalaman berinteraksi. 21.
Provinsi Lampung adalah salah satu sentra produksi ubikayu di Indonesia. Di wilayah ini telah sejak lama berkembang pabrik-pabrik tapioka berskala besar
xxii
yang cenderung bersifat oligopsoni. Tingkat produktivitas ubikayu belum optimal, peningkatan produksi ubikayu disebabkan disebabkan adanya peningkatan luas areal.
Kebijakan komoditas ubikayu antara lain adalah perluasan areal tanam,
dan pemberian permodalan yang ditujukan intensifikasi, untuk meningkatkan produktivitas. Pengembangan ITTARA pada akhir 1990an bertujuan untuk mengurangi dominasi pabrik besar dalam menentukan harga beli ke petani. Dalam program ITTARA, pengelolannya diserahkan ke kelompok tani. Dalam perkembangannya sampai saat ini, ITTARA yang dikelola kelompok tani kurang berhasil, dan ITTARA yang mampu bertahan adalah ITTARA yang bersifat swadaya. 22.
Produk ITTARA dengan pengeringan matahari mempunyai pangsa pasar tersendiri, bahan baku yang berupa ubikayu kupas akan menghasilkan produk yang mempunyai kualitas lebih baik, program ITTARA dengan memberikan unit pengolahan ke kelompok tani kurang berhasil, sekarang ini yang masih bertahan adalah ITTARA swadaya. Nilai tambah yang diperoleh dengan adanya pengembangan ITTARA antara lain : nilai tambah Rp 733-Rp 928 per kg tapioka, peluang kesempatan kerja pada pabrik pengolahan tepung tapioka, peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat setempat terhadap teknologi pengolahan tepung tapioka, terbukanya peluang usaha industri makanan olahan berbahan baku tepung tapioka, akses terhadap informasi di luar desa meningkat, pertumbuhan ekonomi wilayah meningkat, dan lain-lain.
23.
Dari ketiga kasus agroindustri yang dikaji, menunjukkan bahwa nilai tambah ditemui pada semua mata rantai nilai, dari bahan baku sampai dengan pemasaran dengan melibatkan banyak instansi. Namun, nilai tambah pada ketiga kasus tersebut belum optimal dan peranan instansi masih pada rantai nilai yang sesuai dengan mandatnya. Hal ini disebabkan berbagai kendala antara lain sumberdaya manusia, permodalan, teknologi, ketersediaan bahan baku, sarana dan prasarana, pasar produk olahan, dan belum adanya koordinasi yang kuat antar lembaga yang terlibat, kecuali pada agroindustri kopi. Simpul kritis agroindustri pada aspek pemasaran.
xxiii
IMPLIKASI KEBIJAKAN 24.
Apabila pemerintah menganggap agroindustri merupakan sektor yang akan dikembangkan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan dan kemiskinan, harus ada keberpihakan yang kuat dari pemerintah, dengan menempatkan agroindustri sebagai satu kesatuan sistem. Pengembangan agroindustri diprioritaskan pada industri makanan dan industri makanan lainnya yang menggunakan produk sektor pertanian lokal dan berlokasi di sentra produksi (pedesaan), pada skala sedang, kecil dan rumah tangga.
Pengembangan
agroindustri di pedesaan ini harus menjadi komitmen pemerintah, dalam bentuk dukungan penuh dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah. 25.
Keberpihakan yang kuat dari pemerintah dalam pengembangan agroindustri, memerlukan lembaga pemerintah yang berfungsi sebagai ‘leader’, dalam hal ini Badan
Pengolahan
dan
Pemasaran
Hasil
Pertanian
(BP2HP)
dapat
mengkoordinasikan program pengembangan agroindustri dengan lembaga lain yang
terlibat,
baik
lembaga
dari
Departemen
Pertanian,
Departemen
Perindustrian, Departemen Perdagangan, Per-bankan, Pelaku agroindustri, Pemerintah Daerah dan instansi lain yang terlibat/terkait. 26.
Adanya kompentensi usaha yang sama antara industri skala besar dengan industri skala lainnya serta penciptaan nilai tambah yang sangat timpang yang bias pada industri skala besar, sehingga perlu dikembangkan kemitraan yang sinergis antara industri besar dan industri skala sedang, kecil dan rumah tangga. Kemitraan ini ditujukan agar terjadi redistribusi nilai tambah yang proporsional antara industri skala besar dengan industri skala lainnya. Pemerintah harus mampu merumuskan dengan tegas,
pada tahap mana industri skala besar
boleh beroperasi. Sebaiknya industri skala besar tidak boleh bergerak dalam pengolahan langsung dari bahan baku primer, namun mulai dari pengolahan bahan baku setengah jadi, yang dipasok oleh industri skala sedang, kecil dan rumah tangga. 27.
Ke depan, peningkatan nilai tambah agroindustri di pedesaan dapat dilakukan pada aspek : (a) permintaan pasar; (b) faktor produksi; (c) strategi, struktur dan persaingan usaha; (d) institusi dan industri pendukung; (e) kelembagaan pemerintah. Program ini memerlukan keberpihakan yang kuat dari pemerintah, menjadikan agroindustri sebagai kesatian sistem yang perlu dikembangkan bersama-sama.
xxiv