BAB VII
Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Bukan Kayu Melalui Pendekatan Teknologi Oleh: TA.PRAYITNO / Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas kehutanan Universitas Gadjah Mada
PENDAHULUAN
H
asil hutan bukan kayu yang disingkat HHBK merupakan potensi besar yang terpendam di hutan dan belum digali untuk dikelola secara lestari sampai saat ini.Hal ini disebabkan karena banyaknya macam HHBK yang dapat dihasilkan oleh
hutan atau memang masih terabaikan karena pilihan pengelolaan hutan untuk produksi kayu. Di beberapa tempat sudah dijumpai pengelolaan hasil hutan yang cukup maju seperti di pengolahan getah pinus sebagai HHBK hutan pinus di Perhutani. Pengelolaan lebah madu untuk menghasilkan madu yang diolah menjadi bahan makanan bercampur madu di beberapa daerah sudah cukup dikenal baik oleh masyarakat atau Perhutani. Keputusan untuk mengelola HHBK yang dapat dihasilkan oleh hutan di seluruh Indonesia merupakan pilihan yang sangat cerdas saat ini karena pengelolaan hutan sebagai produksi kayu sudah sampai pada titik yang mengkawatirkan (Ekanayake et al. 07). Kerusakan hutan sebagai hasil dari pengelolaan hutan yang kurang baik dan konsisten serta kondisi masyarakat yang kurang mendukung usaha-usaha pelestarian hutan, semakin luas dan sudah memberikan hasil yang mengerikan seperti banjir di musim hujan serta kekeringan di musim kemarau. Sepertinya bencana alam seperti itu tidak akan berkurang di tahun-tahun mendatang sebelum hutan benar-benar dapat dipulihkan kembali. Oleh sebab itu pengalihan energi manusia dari merusak hutan ke pengelolaan HHBK akan mereduksi tekanan dan hambatan pada pemulihan hutan. Keberhasilan pengalihan energi manusia kedalam pengelolaan HHBK akan merupakan salah satu pilar konservasi hutan, karena tidak hanya mempertahankan pohon-pohon sebagai penghasil kayu tetapi juga biodiversitas nabati dan hewani yang terjamin kelestariannya. Seperti disebut di atas, macam HHBK sangat banyak sekali sehingga mungkin terjadi
kebingungan
atas
pilihan
HHBK
yang
dikembangkan.
Departemen
Kehutanan
telah
merumuskan HHBK serta unggulan HHBK sehingga paling tidak mampu memberikan arahan pada pengusaha ataupun masyarakat akan macam HHBK yang mampu dikembangkan pada suatu daerah. Survei pustaka dan tinjauan lapangan menunjukkan bahwa macam HHBK yang dihasilkan oleh hutan Indonesia sangat luas dan sebagian besar mendukung kehidupan masyarakat terutama yang berdomisili di sekitar hutan. Pilihan untuk mengelola HHBK hutan Indonesia sangat tepat karena akan melestarikan teknologi tradisional HHBK atau teknik dan kearifan lokal. Hal ini sangat penting di saat sekarang karena nilai intelektual bangsa dapat terselamatkan dalam bentuk hak paten dan pemilikan ilmu yang telah dikembangkan nenek moyang dapat diwujudkan kembali dan tidak dialihkan bangsa lain.
VII-1
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) sudah dirumuskan oleh pemerintah melalui Departemen Kahutanan (Permenhut: 35/MENHUT-II/2007). Definisi HHBK adalah hasil hutan baik nabati dan hayati beserta produk turunannya dan budidayanya kecuali kayu. Sebagai contoh hasil hutan nabati adalah hasil hutan dari pohon yaitu daun, buah, akar, getah dan lain sebagainya yang bias dimanfaatkan baik untuk menunjang kehidupan atau sebagai komoditi kebudayaan serta ritual keagamaan. HHBK hayati berupa satwa liar yang ada di hutan maupun budidayanya di luar
dan di dalam kawasan hutan. HHBK yang lain dapat
berupa pangan, obat seperti jamur dan lain sebagainya. Sepanjang sejarah pengelolaan hutan di Indonesia seperti hutan jati oleh Perhutani, sudah banyak ditemukan HHBK yang dikomersialkan seperti sarang semut, kepompong, daun jati dan lain sebagainya. Komersialisasi HHBK terbukti sudah dilakukan oleh nenek moyang bangsa ini. Kelestarian pengelolaan HHBK ini yang justru tidak cukup diperhatikan kalau tidak disebut sebagi keteledoran pemerintah karena terbius berkilaunya pancaran sinar pengelolaan kayu. Meskipun begitu sampai saat ini sudah banyak HHBK komersial yang dijumpai baik pada tingkat lokal, nasional dan bahkan internasional. HHBK komersial yang telah diinventarisir oleh Badan Litbang Kehutanan disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 tersebut terlihat bahwa penggolongan jenis HHBK mungkin masih membingungkan bila dihubungkan dengan Permenhut 35/2007, tetapi usaha untuk menggolongkan berdasarkan kelompok atau kluster bahan yang diperoleh merupakan usaha yang bagus sehingga dapat dilanjutkan ke tingkat yang lebih baik. Sebagai contoh kelompok minyak lemak disatukan dengan karbohidrat, tannin dan getah, tanaman obat dan tanaman hias merupakan cara atau teknik pengelompokkan yang kurang teliti. Laporan FAO pada tahun 2000 pada saat pembahasan HHBK 15 negara di Asia menunjukkan bahwa Indonesia masih belum menunjukkan klasifikasi HHBK yang terstruktur, tetapi masih mengandalkan data pemanenan pada suatu daerah atau oleh suatu perusahaan, dan belum berdasarkan potensi yang ada dalam suatu hutan suatu daerah ataupun teknologi warisan yang telah dilestarikan atau bahkan dikembangkan. Laporan produksi HHBK tahun 2007 (Anonim, 2007c) berdasarkan komoditi didominasi oleh rotan (21856 ton), bamboo (5616 ton) dan minyak kayu putih (3416 ton). Pengelompokkan sesuai dengan peraturan pemerintah lebih kepada ketelitian asal bahan sehingga dapat terbentuk pohon HHBK yang sangat diperlukan dalam aspek budidaya dan pengelolaan secara lestari pada pengembangan pengelolaan hutan berbasis multiproduk. Pertemuan para peneliti serta semua pihak yang terkait diperlukan untuk membuat kesepakatan klasifikasi HHBK ini serta sekaligus dapat dilakukan inventarisasi jenis serta kapasitas produksi lokal, tingkat pembudidayaan dan lainnya sehingga pengelolaan HHBK Indonesia menjadi lebih efektif dan efisien.
VII-2
Tabel 1. Daftar HHBK yang dikembangkan di Indonesia No 1
Jenis HHBK
Golongan HHBK
Resin
Gondorukem, kopal loba, kopal melengket, damar mata kucing, d. daging, d. rasak, d. pilau, d. batu, kemenyan, gaharu, kemedangan, shellak, jernang, frankensence, kapur barus, biga 2 Minyak atsiri Minyak cendana, m. gaharu, m. kayu putih, m. keruing, m. lawang, m. terpentin, m. kenanga, m. ilang-ilang, m. eukaliptus, m. pinus, kayu manis, vanili, cendana, m. sereh, m. daun cengkeh, m. pala, m. kembang mas, m. trawas, minyak kilemo 3 Minyak lemak, - Minyak lemak : tengkawang, kemiri, jarak, wijen, saga pohon, kenari, karbohidrat dan biji mangga, m. intaran buah-buahan - Karbohidrat atau buah-buahan : sagu, aren, nipah, lontar, asam, matoa, makadamia, duren, duku, nangka, mente, burahol, mangga, sukun, saga, gadung, iles-iles, talas, ubi, rebung, jamur, madu, garut, kolang-kaling, suweg 4 Tanin dan getah - Tanin : akasia, bruguiera, rizophora, pinang, gambir, tingi - Getah : jelutung, perca, ketiau, getah merah, balam, sundik, hangkang, getah karet hutan, getah sundik, gemor 5 Tanaman obat - Tanaman obat : aneka jenis tanaman obat asal hutan dan hias - Tanaman hias : anggrek hutan, palmae, pakis, aneka jenis pohon indah 6 Rotan dan Segala jenis rotan, bambu dan nibung bambu 7 Hasil hewan Sarang burung, sutera alam, shellak, buaya, ular, telur, daging, ikan, burung, lilin lebah, tandung, tulang, gigi, kulit, aneka hewan yang tidak dilindungi 8 Jasa hutan Air, udara (oksigen), rekreasi/ekoturime, penyanggah ekosistem alam 9 Lain-lain Balau, kupang, ijuk, lembai, pandan, arang, sirap, ganitri, gemor, purun, rumput gajah, sintok, biga, kalapari, gelam, kayu salaro, pohon angin, uyun, rumput kawat Sumber : Sumadiwangsa dan Setyawan, 2001 dalam Anonim, 2007b
NILAI TAMBAH
Nilai tambah secara umum didefinisikan sebagai pertambahan nilai jual yang diakui oleh pembeli pada setiap tahapan pengelolaan dan pengolahan suatu bahan, dalam hal ini HHBK. Nilai tambah juga bisa diinterpretasikan sebagai kenaikan nilai jual suatu produk yang disetujui atau dianggap penting oleh pembeli (Vlosky, 2005). Jelas dari definisi tersebut bahwa suatu nilai tambah mesti diakui oleh pembeli, oleh sebab itu diperlukan negosiasi antara produsen dan pembeli sehingga dicapai kesepakatan pada nilai tambah tersebut. Pada umumnya suatu nilai tambah yang diyakini pembeli berupa kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan dan pengolahan bahan terdiri atas antara lain: 1. tambahan energi yang diberikan ke dalam suatu produk sehingga kualitas produk semakin meningkat. VII-3
2. tambahan teknologi yang diterapkan pada kegiatan budidaya, pemanenan bahan, pengolahan bahan menjadi bahan yang lebih mendekati penggunaan akhir bahan tersebut, diversifikasi produk atu perubahan bahan menjadi bahan yang berfungsi lebih tinggi tingkatannya. 3. nilai tambah baru yang didasarkan atas peluang pencemaran lingkungan. Seperti yang diuraikan di atas, suatu nilai tambah akan diberikan oleh pembeli bila kegiatan penambahan energi dan teknologi dianggap penting untuk dilakukan. Bila teknologi yang diterapkan tidak dianggap penting dan harus dilakukan maka pembeli tak mau memberikan nilai tambah pada nilai jual produk tersebut. Oleh sebab itu perlu sekali kegiatan pemasaran produk dengan memberikan jaminan kualitas produk akibat diterapkannya suatu teknologi. Secara umum yang berlaku saat ini adalah nilai tambah akan besar bila energi yang diperlukan untuk mengolah bahan tersebut juga besar. Berdasarkan pemahaman tersebut maka pengolahan sekunder atau pengolahan produk yang lebih lanjut (advanced technology) akan menghasilkan nilai tambah yang besar pula. Di lain pihak pengolahan primer masih dianggap sebagai teknologi sederhana dan tak memerlukan energi besar sehingga nilai tambah pada produk primer seringkali cukup kecil. Konsep nilai tambah yang tradisional ini akan berubah bila alasan pencemaran dilibatkan mulai dari budidaya bahan tersebut. Oleh sebab itu porsi nilai tambah produk bias diubah sesuai dengan perubahan paradigma baru tentang energi dan teknologi yang ditambahkan pada suatu bahan.
PENINGKATAN NILAI TAMBAH HHBK DENGAN TEKNOLOGI Bagaimana meyakinkan pembeli adanya nilai tambah yang harus mereka bayar pada suatu produk HHBK? Ini pertanyaan utama yang harus dicermati agar HHBK dapat digunakan sebagai komoditi hasil hutan yang bersifat lestari. Kata kunci yang utama adalah energi dan teknologi yang diterapkan pada produksi HHBK. Oleh karenanya semua kegiatan yang berhubungan dengan produksi harus dilakukan dengan masukan energi dan teknologi. Dengan demikian pengelolaan produksi HHBK harus dimulai dengan teknologi budidaya, teknologi pemanenan, teknologi pengolahan primer, teknologi pengolahan sekunder dan disertai teknologi penjaminan mutu atau kualitas serta teknologi pemasaran.
Penggunaan kata
teknologi pada setiap tahapan produksi HHBK ini harus bermakna betul sehingga pembeli meyakini bahwa itu memang harus dilakukan. Arahan Dirjen RLPS sepertinya sejalan dengan pemikiran ini. Perkembangan teknologi saat ini sudah sampai pada tataran teknologi yang selalu tidak mengubah dunia atau mencemari lingkungan dan tidak mengubah diversitas botani dan hayati pada suatu lingkungan atau kawasan hutan. Dengan demikian penerapan teknologi mulai dari tahapan budidaya suatu komoditi HHBK sampai pada pengolahan primer atau pengolahan
sekunder
sehingga
menghasilkan
diversifikasi
produk
juga
harus
mempertimbangkan tentang pencemaran lingkungan dan konservasi ekologi ini. Oleh sebab itu pemahaman teknologi ramah lingkungan yang diterapkan di setiap tahapan produksi dimulai VII-4
dari budidaya di lapangan sampai ke pabrik pengolahan harus sesuai dengan yang dipahami oleh pembeli.
Teknologi Budidaya Teknologi budidaya HHBK harus didasarkan atas penguasaan pertumbuhan tanaman atau hewan produksi komoditi tersebut. Sebagai contoh penguasaan pertumbuhan tanaman atau pohon pinus sebagai penghasil getah dan bukan untuk tujuan penghasil kayu perkakas atau kayu serat sangat membantu dalam penentuan penyadapan getah pohon berdasarkan umur. Selanjutnya Riset budidaya pinus penghasil getah dimulai dari pemilihan jenis, pemuliaan pohon, penanaman, pemeliharaan tegakan, pertumbuhan pohon, produksi getah berdasar physiologi dan lain-lain harus segera dilakukan untuk mengelola tegakan pinus sebagai penghasil getah. Menurut sejarah pengelolaan hutan pinus, tegakan pinus penghasil getah saat ini sebenarnya bukan untuk penghasil getah tetapi tegakan pinus untuk serat. Kualitas pohon untuk penghasil getah berbeda dengan pohon penghasil serat ataupun untuk penghasil kayu perkakas. Teknologi budidaya seperti contoh pinus ini harus dan merupakan suatu prasyarat untuk pengembanngan HHBK getah pinus. Hal yang sama berlaku pada HHBK yang lain.
Teknologi Pemanenan Teknologi pemanenan getah pinus kembali diambil contoh dalam uraian ini masih menggunakan teknologi yang sangat sederhana yang bila diperlihatkan pada pembeli mungkin tidak mengundang inisiasi pemberian nilai tambah. Oleh sebab itu harus dilakukan penelitian teknologi pemanenan yang menghasilkan getah yang berkualitas. Kualitas getah yang diterima di suatu unit pengolah primer getah pinus tidak pernah dihubungkan dengan teknologi pemanenan. Kejadian yang umum dijumpai adalah pihak pengolah primer selalu menerima apa adanya getah tersebut, tanpa melakukan penelitian korelasi kualitas getah pinus dengan teknologi yang diterapkan sebelum sampai pada pabrik pengolah primer. Hal ini berakibat pembeli tidak memandang perlu memberikan nilai tambah atas teknik pemanenan yang diterapkan. Demikian seterusnya hal-hal seperti itu berlanjut sehingga setiap langkah yang diterapkan atau dipilih dalam pemanenan tidak menghasilkan nilai tambah. Untuk memperoleh nilai tambah, maka teknik pemanen harus berdasarkan pemilihan teknologi yang dikuasai sebelumnya dan dikembangkan agar kualitas HHBK lebih baik di kemudian hari. Berbagai teknik pemanenan atas HHBK diwarisi dari nenek moyang seperti penebangan rotan dan bamboo, penyadapan getah pohon, pemetikan daun kayuputih, pencabutan jamur dan lain sebagainya. Setiap teknik pemanenan yang dinventarisir belum berubah dari tahun ke tahun utnuk meningkatkan kualitas HHBK yang dipanen. Saat ini perhatian dunia atas ekologi dan perubahan lingkungan dunia semakin tajam. Semua kegiatan yang
berhubungan dengan bumi seperti budidaya tanaman harus
mempertimbangkan pencemaran terhadap lingkungannya ataupun kapasitas konservasi VII-5
lingkungan yang dipunyainya. Teknologi budidaya yang menguruskan tanah dan merubah lingkungan atau ekologi habitat dianggap sebagai pencemar lingkungan sehingga harus dicari teknologi budidaya yang bersahabat dengan lingkungan.
Teknologi Pengolahan Primer Teknologi pengolahan primer adalah teknologi pengolahan yang diterapkan langsung terhadap bahan HHBK yang dipanen dari hutan atau lahan budidaya. Teknologi primer berkisar dari teknologi sortir bahan, teknologi peningkatan kualitas bahan atau teknologi pengemasan bahan untuk pengiriman jarak jauh. Sebagai contoh teknologi pengolahan primer rotan berupa pemotongan panjang dan sortir diameter dan kualitas batang sehingga rotan yang dijual bias seragam kualitasnya dalam kelompok atau klas kualitas tertentu. Pengolahan selanjutnya dapat berupa pengeringan rotan, pewarnaan yang akan meningkatkan kualitas dan dipahami oleh pembeli. Nilai tambah pengolahan primer selama ini cukup kecil karena pada umumnya dianggap teknologi sederhana yang memerlukan input energi kecil dan peran teknologi dapat digantikan oleh energi alam seperti sinar matahari. Oleh sebab itu teknologi primer harus dikemas sedemikian rupa sehingga peran teknologi cukup menonjol sehingga pembeli yakin bahwa hal tersebut memang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas HHBK yang diproduksi dan dijual ke pasar.
Teknologi Pengolahan Sekunder Teknologi pengolahan sekunder adalah teknologi pengolahan lanjut dari pengolahan primer. HHBK getah pinus diolah oleh teknologi primer menjadi gondorukem dan terpentin. Teknologi pengolahan lanjut di lain pihak dapat mengolah terpentin dan gondorukem yang dihasilkan teknik primeri menjadi uraian bahan-bahan kimia lain yang berfungsi berbeda satu dengan yang lain seperti bahan kosmetik, bahan pelarut cat kualitas tinggi dan bahan hidrokarbon lainnya. Setiap jenis HHBK mempunyai teknologi sekunder yang berbeda satu dengan yang lainnya tergantung kepada produk komersial yang dituju dan bahan aslinya. HHBK yang diolah lebih lanjut untuk bahan kimia dilakukan dengan teknologi penguraian kimia dan derivatisasi. HHBK bamboo dan rotan dapat ditingkatkan sebagai bahan konstruksi dengan teknologi laminasi dan perekatan serta komposit. HHBK jenis serat alam dapat diolah lebih lanjut dengan komposit serat dan kerajinan dan mebel. Dengan demikian pengetahuan yang mendalam atas teknologi bahan HHBK dan produk yang bersifat produk kualitas tinggi (high end products) dapat diterapkan secara efisien dan efektif.
VII-6
PENGELOLAAN HHBK KEDEPAN Pengelolaan HHBK Indonesia yang diinventarisir saat ini adalah pengelolaan pada tingkat menengah dan sederhana atau bahkan belum bisa disebut sebagai pengelolaan HHBK karena dilakukan dengan cara sporadic, bersifat sesaat bila ada pesanan atau order pembeli sehingga jauh dari sifat pengelolaan yang berdasar atas kelestarian. Oleh sebab itu bila keputusan atau pilihan pengembangan HHBK ini menjadi prioritas dalam pengelolaan hutan saat ini maka diperlukan perubahan yang mendasar. Hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: 1. Pengelolaan HHBK harus diubah ke pengelolaan berbasis riset. Ini artinya suatu jenis HHBK harus diketahui seluruh data produksinya beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya, pola pertumbuhan dan physiologinya, pemanenan serta pengolahan tingkat primernya. Di setiap langkah harus ditekankan pada jaminan mutu produk sehingga selalu dihasilkan HHBK berkualitas tinggi. Pengendalian mutu terpadu dari mulai teknologi budidaya, pemanenan,
pengolahan
primer,
pengolahan
sekunder
bila
memungkinkan
serta
pengemasan dan pemasaran harus digunakan sebagai motto atau semboyan seluruh pihak yang terkait. Dengan demikian pengelolaan dapat diubah ke basis mutu atau jaminan mutu yang lestari. 2. Pengelolaan HHBK ke depan sebaiknya didasarkan atas data yang akurat dan presisi. Ini berarti pengelolaan HHBK harus didasarkan atas pengukuran dan evaluasi. Pengukuran dan evaluasi harus dilakukan di setiap tingkatan proses produksi sehingga kesalahan mutu dan kuantitas produksi dapat ditelusuri penyebabnya dan kemudian bisa dibuatkan cara pengendalian dan pencegahannya atau kemudian langkah koreksi. Konsep pencegahan didasarkan atas penekanan terjadinya kesalahan, sedangkan koreksi adalah pembetulan arah dan tindakan bila sudah terjadi kesalahan dalam produksi HHBK yang sedang dikelola. 3. Pengelompokan dan klasterisasi HHBK menurut lokasi, iklim yang optimal dan teknologi warisan nenek moyang (kearifan lokal) yang mungkin digali. Hal ini disiapkan agar jangan tercapai suatu keadaan yang bersifat boomerang dimana kenaikan produksi HHBK justru menurunkan pendapatan. Hal ini seringkali masih diabaikan oleh pengambil keputusan. Banyak contoh di masa lalu sampai sekarang yang menunjukkan bahwa produksi komoditi yang sangat besar justru menurunkan harga seperti cengkeh, plywood, kelapasawit dan lain nya. Bila suatu kawasan atau wilayah memang kurang maksimal secara alami tidak perlu direkayasa sepoerti kasus sawah di tanah gambut. 4. Pengelolaan HHBK harus dikembangkan ke arah pencapaian hak kepemilikan hasil ilmiah atau hak paten. Ini sangat penting saat ini karena dunia sudah begitu terbuka baik antar daerah, bangsa dan antar individu sehingga kesalahan masa lalu dengan wujud kehilangan hak paten jangan sampai terjadi lagi. Penelusuran sejarah teknologi HHBK tertentu dan kajian pengembangan sampai kepada hak paten perlu didorong pemerintah kepada semua yang terkait dengan HHBK tersebut. 5. Era otonomi daerah seringkali membuat pengelompokkan atau klasterisasai HHBK akan terasa sulit karena pengembangan HHBK cenderung sama dan tidak didasarkan atas penelitian kesesuaian lahan yang dipunyainya. Pemetaan HHBK diperlukan dan dibuat
VII-7
bersama-sama sehingga otonomi daerah akan terasa signifikan kontribusinya dalam pengembangan HHBK yang cocock dengan daerahnya. 6. Pemetaan pasar produk HHBK hasil olahan primer dan sekunder perlu dibuat sebagai referensi
nilai tambah yang mungkin dilakukan. Pemasaran sendiri berkontribusi pada
nilai tambah ini. 7. Pengelolaan HHBK harus memenuhi sertifikasi ramah lingkungan dan konservasi sehingga sejak saat budidaya harus dipilih teknologi yang tidak menimbulkan pencemaran serta berkontribusi mengubah kondisi lingkungan. Dengan demikian pengelolaan HHBK juga harus memenuhi sertifikasi budidaya, sertifikasi pengolahan primer dan sertifikasi pengolahan sekunder.
PENUTUP Sepertinya pengelolaan HHBK Indonesia masih perlu melakukan pembenahan yang begitu besar. Inventarisasi jenis HHBK yang telah dilakukan membuka kesempatan penelitian yang begitu banyak agar pengelolaan HHBK menjadi berbasis riset. Optimisme sangat diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaaan besar ini. Pendelegasian wewenang serta fokus penelitian HHBK dapat dilakukan oleh pemerintah (Departemen Kehutanan) bekerjasama dengan pemerintah daerah (otonomi daerah) sehingga pekerjaan besar tersebut dapat dipikul oleh seluruh pihak yang terkait. Dengan demikian HHBK akan membuka peluang pekerjaan yang besar baik ditinjau dari aspek sumberdaya manusia pekerja, peneliti, teknologi yang dikembangkan secara lokal dan nasional.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007a. Peraturan Menteri Kehutanan No 35/Menhut II/2007: tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Anonym. 2007b. Konsepsi Strategi Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia Anonim. 2007c. Produksi hasil hutan bukan kayu.tahun 2007. Departemen kehutanan. Ekayanake S., D. Angammana, S. Fernando, P. Samarawickrama, N. Perera and S. Perera. 2007. Sustainable of Extraction of Non Timber Forest Products (NTFP) in Diptorocarp Dominant Lowland Rain Forests – A Case Study in South Western Lowland Rain Forest in Sri Lanka. IUCN- The World Conservation Union. FAO. 2000. Non wood forest products in 15 countries in Asia. Vlosky,R. 2005.Developing Louisiana’s Forest Products Industry: Adding Value for the Future. School of Renewable Natural Resources. LSU.a Forest Products Development Center. LSU Agricultural Center 2005 Ag Outlook Conference-January 12, 2005
VII-8