ISBN 978-979-3132-49-5
PROSIDING EKSPOSE HASIL PENELITIAN PUSAT LITBANG KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN
Tema:
TEKNOLOGI PENINGKATAN NILAI TAMBAH HASIL HUTAN Bogor, 30 April 2013
Penyunting: Prof. (Ris) Ir. Dulsalam, M.M. Prof. (Ris) Dr. Gustan Pari, M.Si. Prof. (Ris) Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. Dr. Drs. Djarwanto, M.Si. Dr. Krisdianto, S.Hut, M.Sc.
Diterbitkan oleh: PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp/Fax: (0251) 8633378/(0251) 8633413 Website: www.pustekolah.org (www.pustekolah.litbang.dephut.go.id)
PROSIDING EKSPOSE HASIL PENELITIAN PUSAT LITBANG KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN TEMA: “TEKNOLOGI PENINGKATAN NILAI TAMBAH HASIL HUTAN” Penyunting: Prof. (Ris) Ir. Dulsalam, M.M. Prof. (Ris) Dr. Gustan Pari, M.Si. Prof. (Ris) Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. Dr. Drs. Djarwanto, M.Si. Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc. Redaksi Pelaksana: Ir. Syarif Hidayat, M.Sc. Ayit T. Hidayat, S.Hut. T, M.Sc. Drs. Juli Jajuli Deden Nurhayadi, S.Hut. Sophia Pujiastuti Copyright © Pustekolah 2014 Desain Sampul: Deden Nurhayadi Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8633413 Website: www.pustekolah.org/www.pustekolah.litbang.dephut.go.id Email:
[email protected]/
[email protected] Cetakan Pertama: November 2014 Dicetak oleh: Percetakan PT Penerbit IPB Press Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit ISBN: 978-979-3132-49-5
KATA PENGANTAR Dewasa ini kebutuhan akan kayu untuk industri maupun perumahan terus meningkat, sedangkan ketersediaan jenis pohon yang biasa digunakan semakin menurun, sehingga pihak industri mulai menggunakan beberapa jenis kayu alternatif. Penggunaan jenis kayu alternatif secara tepat guna dan memenuhi persyaratan baku mutu sangat diperlukan untuk mempertahankan kualitas dan efisiensi pemanfaatan kayu. Di sisi lain hutan kita masih memiliki potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti: rotan, bambu, getah, minyak nabati dan sebagainya yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan informasi IPTEK pemanfaatan HHBK dimaksud masih dirasakan kurang. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH) berupaya untuk dapat menyajikan informasi IPTEK yang dihasilkan melalui ekspose hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat luas, dengan maksud agar IPTEK yang dihasilkan dapat diketahui masyarakat (stakeholders) sekaligus mendapatkan masukan untuk perbaikan pelaksanaan penelitian dan pengembangan ke depannya. Prosiding ini memuat informasi yang dikumpulkan selama masa persidangan (ekspose) berlangsung yang bertema “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”, dengan harapan agar prosiding ini menjadi wahana penyebaran informasi IPTEK hasil litbang yang lebih luas jangkauannya dan memungkinkan lebih banyak pengguna menerima dan menyerap informasi IPTEK. Demikian, semoga prosiding ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2014 Kepala Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dr. Ir. Rufi’ie, M.Sc. NIP. 19601207 198703 1 005
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN pada
Pembukaan Ekpose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor, 30 April 2013
Yang terhormat, Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Para Profesor Riset dan Koordinator RPI Para Dekan Fakultas Kehutanan Pimpinan Perusahaan BUMN dan BUMS Ketua Lembaga dan Asosiasi Para Direktur, Kepala Pusat, Kepala Dinas, Kepala Balai/UPT Para Sesepuh Badan Litbang Kehutanan Para undangan sekalian yang berbahagia Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat pagi dan salam sejahtera Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Yang Masa Kuasa karena atas perkenan-Nya, kita bisa berkumpul bersama di tempat ini untuk bersama-sama mengikuti acara Ekspose Hasil Penelitian Pustekolah dan semoga kita mendapat keridhoan-Nya.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Hadirin yang saya hormati, IPTEK Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan. Jika membicarakan tentang pengusahaan hasil hutan yang baik, kita tentu dapat membayangkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Namun membicarakan hasil hutan apa pun, pertama kita harus berpijak pada prinsip sustainability. Ini adalah prinsip yang tidak bisa ditawar. Kuncinya tentu bahwa eksploitasi tidak melebihi resources-nya, peremajaan yang seimbang dengan sistem eksploitasi, dan teknik pemanenan yang tepat. Kemudian, kita menginginkan produktivitas yang tinggi (high productivity). Produktivitas tinggi dimulai dari jenis pohon yang unggul, silvikultur yang tepat, dan stimulasi produktivitas dapat diterapkan.
Hadirin yang berbahagia, Bergerak ke hilir, hasil hutan kita harus diolah menjadi high value commodity. Produk hasil hutan kita harus diolah menjadi produk bernilai tambah tinggi. Sesungguhnya ini adalah tantangan terbesar para peneliti yang menekuni penelitiannya dalam bidang pengolahan hasil hutan karena penciptaan IPTEK dalam sisi ini membutuhkan visi, science, dan juga instrument riset yang advance. Sebagai syarat, produk hasil hutan kita harus diciptakan dari proses produksi yang efisien (processing efficiency). Meskipun hasil hutan itu terbarukan, produk harus dihasilkan dari proses produksi yang efisien, rendemen tinggi dan sedikit limbah (minimun waste). Efisiensi produksi ini penting karena merupakan cerminan lain dari proses dan produk yang ekonomis. Namun, yang harus diingat, IPTEK processing yang dihasilkan itu juga harus user friendly. Hal ini penting karena banyak hasil hutan kita yang diusahakan oleh para petani, pengusaha kecil dan menengah. Terakhir yang tidak boleh ditinggalkan, produk dan proses produksinya haruslah environmentally friendly. Hal ini adalah masa di mana semua bentuk kerusakan dan pencemaran tidak dapat ditoleransi.
vi
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Hadirin yang berbahagia, Harus diakui, bahwa banyak produk hasil hutan kita saat ini masih dihadapkan pada beberapa kendala yang serius, seperti rentannya kelestarian pengusahaan dan rendahnya produktivitas, processing yang masih belum efisien, serta kurangnya nilai tambah. Satu hal yang pasti, kelemahan dan kendala tersebut terkait dengan rendahnya input teknologi, baik pada budi daya, harvesting, maupun processing. Sebetulnya kita semua maklum, bahwa hasil hutan kita, dapat diolah menjadi berbagai bentuk yang nilainya jauh lebih tinggi. Terkait input teknologi dalam pengolahan hasil hutan, ini merupakan tugas Badan Litbang Kehutanan, yang dalam hal ini Pustekolah menjadi penyedia IPTEK rujukan. Kita punya tugas besar dalam menemukan IPTEK bagi peningkatan nilai tambah dan juga mengantarkannya kepada para pelaku industri hasil hutan. Kedua tugas tersebut sama penting dan sama beratnya. Mengantarkan IPTEK hasil penelitian, meyakinkan, dan meluluhkan resistensi pengguna dengan fakta sama pentingnya dengan menemukan IPTEK itu sendiri. Karena sesungguhnya, di tangan penggunalah hasil penelitian kita dinilai bermanfaat atau tidak.
Hadirin yang berbahagia, Kegiatan ekspose seperti ini merupakan kesempatan untuk menyampaikan sekaligus ujian pertama proses diseminasi IPTEK hasil penelitian. Nilai lebih dari kegiatan ini sesungguhnya adalah tatap muka antara penyedia IPTEK hasil penelitian dan pengguna. Berbahagialah para peneliti yang berkesempatan menyampaikan hasil invensinya. Karena berbeda saat pengguna membaca hasil penelitian di jurnal dengan bertemu langsung, maka di forum ini pengguna dapat menunjukkan penerimaan, kesangsian, atau ketidakpercayaan terhadap sebuah hasil IPTEK. Dalam kaitan itu, IPTEK yang disajikan dalam ekpose ini akan mempunyai nilai lebih jika hasil penelitian sudah dikembangkan. Dengan demikian, IPTEK yang ditawarkan akan sangat dekat dengan aplikasinya oleh
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
vii
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
pengguna. Tentu kami sangat berharap hasil penelitian yang disajikan dapat bermanfaat bagi para pengguna yang hadir. Di forum ini, sebuah tawaran IPTEK mungkin mendapatkan evaluasi berharga. Namun kami berharap lebih banyak upaya peningkatan nilai tambah hasil hutan dapat bermula.
Hadirin yang berbahagia, Akhirnya, seraya mengharap keridhoan Allah SWT, dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, acara Ekspose Hasil Penelitian Pustekolah tentang IPTEK Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan, dengan resmi saya nyatakan dibuka. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bogor, 30 April 2013 Kepala Badan Litbang Kehutanan
Dr. Ir. R. Iman Santoso, M.Sc.
viii
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
RUMUSAN EKSPOSE HASIL PENELITIAN PUSTEKOLAH TEMA “TEKNOLOGI PENINGKATAN NILAI TAMBAH HASIL HUTAN” Bogor, 30 April 2013 1. Pemanfaatan hutan, khususnya implementasi keteknikan kehutanan dengan pemanenan hasil hutan perlu dilakukan secara efisien dengan memerhatikan teknologi yang ramah terhadap lingkungan. 2. Dalam rangka mewujudkan kebijakan nasional industri agro menuju revitalisasi industri kehutanan, Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian memerlukan kerja sama dengan Pustekolah, terutama dalam pengembangan terhadap proses produksi hasil hutan yang tepat guna dan meningkatkan nilai tambah. Hasil penelitian Pustekolah diharapkan dapat sejalan dengan Kebijakan Nasional Industri Agro menuju revitalisasi industri kehutanan. 3. Jenis kayu yang akan digunakan untuk konstruksi di laut/kapal, perlu pengujian ketahanan terhadap serangan penggerek di laut. Berdasarkan pengujian di laut, kayu yang tidak diawetkan akan mengalami serangan setelah 3 bulan, mulai dari intensitas serangan ringan dan berlanjut sampai intensitas serangan beratnya. Kayu yang diawetkan dengan tembagaChopper Chromated Boron (CCB) efektif mencegah serangan organisme perusak kayu di laut. Untuk pengujian disarankan menggunakan standar yang baru. 4. Teknologi pengeringan kayu dengan sistem tungku panas menggunakan bahan bakar limbah kayu layak secara teknis dan finansial diaplikasikan di Industri Kecil Menengah (IKM) mebel. Dengan kapasitas 8–10 m3, waktu pengeringan sekitar 7 hari dan biaya operasional pengeringan kurang dari Rp200.000,-/m3, lebih murah dari jasa pengeringan kayu yang saat ini ada di Jepara. Namun demikian, analisis biaya perlu dikaji lebih lanjut dengan menyertakan faktor terkait.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
5. Teknologi papan lamina dapat diterapkan untuk menggantikan penggunaan kayu utuh (solid) sebagai bahan baku mebel. Papan lamina kayu trembesi dengan corak kayu yang unik terbukti dapat digunakan untuk produk mebel di Jepara dan menjadi daya tarik tersendiri bagi produk mebel. 6. Modifikasi produk bambu lamina dengan kayu cepat tumbuh mampu meningkatkan kualitas dan nilai tambah kayu cepat tumbuh untuk digunakan sebagai bahan konstruksi. Penggunaan bambu lamina di bagian luar dan kayu cepat tumbuh seperti jabon dan manii di bagian dalam terbukti dapat meningkatkan kelas kuat kayu. Pengembangan bambu lamina perlu didukung oleh kebijakan pemerintah agar berkesinambungan melalui budi daya, alokasi lahan, dan ketersediaan mesin pengolahan. 7. Ekstrak cair limbah kayu merbau dapat digunakan untuk menggantikan perekat impor sebagai bahan perekat yang dapat diaplikasikan untuk memproduksi berbagai jenis produk perekatan yang ramah lingkungan dengan kualitas perekat eksterior. 8. Pelepah nipah dan sabut kelapa dapat dijadikan sumber bahan baku alternatif untuk papan serat. Papan serat dari pelepah nipah dengan perekat tanin (TF) memenuhi persyaratan standar produk JIS dan ISO, lebih baik kualitasnya dari bahan sabut kelapa. 9. Teknologi glulam dapat dijadikan metode alternatif untuk pembuatan komponen kapal kayu. Glulam dari kayu mangium-mangium dan mangium-jati yang sudah diawetkan dapat digunakan untuk komponen kapal kayu dan memenuhi standar Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Namun demikian, penggunaan CCB tidak disarankan karena mudah tercuci dalam air. 10. Kayu pinus bekas bidang sadapan (brongkol) yang sebelumnya dianggap sebagai limbah dapat dimanfaatkan sebagai produk kayu yang lebih bernilai seperti moulding dan kerajinan tangan. Pemanfaatan brongkol dapat dijadikan alat untuk menambah pendapatan masyarakat di sekitar hutan melalui pertanggungjawaban sosial (CSR) guna memperluas lapangan kerja, membangun kemitraan usaha, dan peningkatan pendapatan masyarakat khususnya penyadap getah pinus.
x
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
11. Buah sukun dapat dijadikan sumber alternatif pembuatan dekstrin untuk industri farmasi sebagai pengisi bagian dalam kapsul dan obat-obatan. Dekstrin yang dihasilkan telah memenuhi standar produk desktrin Indonesia (SNI). 12. Berdasarkan uji organoleptik, Dryobalanops aromatica berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan kosmetik dan obat. Bahan kosmetik yang mungkin dikembangkan berupa minyak pewangi, sedangkan pemanfaatan sebagai obat diarahkan pada keampuhan minyak dan kristal sebagai antimikroba. 13. Damar batu dapat dijadikan alternatif bahan pembuatan pernis, yang hasilnya memenuhi standar kualitas pernis, kecuali warna dan kekentalan. Namun demikian, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut sehingga kualitas pernis damar batu meningkat.
Bogor, 30 April 2013 Tim Perumus: Prof. (Ris) Ir. Dulsalam, M.M. (Ketua merangkap anggota) Ir. Soenarno, M.Si. (Anggota) Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc. (Anggota)
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
xi
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .........................................................................
iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN ............
v
RUMUSAN EKSPOSE HASIL PENELITIAN PUSTEKOLAH .......
ix
DAFTAR ISI .......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................
xvii
KEYNOTES SPEECH Kebijakan Nasional Industri Agro Menuju Revitalisasi Industri Kehutanan Oleh: Ir. Aryan Wargadalam, M.Sc. ..........................................................
1
MAKALAH ORAL 1. Teknologi Pengawetan Kayu Alternatif untuk Bangunan Kelautan Oleh: Mohammad Muslich dan Sri Rulliaty .....................................
11
2. Teknologi Glulam untuk Pembuatan Komponen Kapal Kayu Oleh: Nurwati Hadjib, Abdurachman dan Mohammad Muslich........
33
3. Pemanfaatan Kayu Trembesi untuk Furnitur dengan Teknologi Laminasi Oleh: Abdurachman dan Jamaludin Malik ...................................... 45 4. Bambu Komposit sebagai Material Alternatif Pensubstitusi Kayu Pertukangan Berkualitas Oleh: IM. Sulastiningsih dan Adi Santoso .......................................
57
5. Pemanfaatan Ekstrak Cair Limbah Kayu Merbau sebagai Bahan Perekat Balok Lamina Oleh: Adi Santoso, MI. Iskandar dan Jasni ....................................... 75
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
6. Kemungkinan Pemanfaatan Limbah Pelepah Nipah dan Sabut Kelapa untuk Papan Serat Berkerapatan Sedang Menggunakan Perekat Terbarukan TF* Oleh: Dian Anggraini Indrawan, Han Roliadi, Rossi Margareth Tampubolon dan Gustan Pari .......................................................... 87 7. Analisis Teknis dan Finansial Mesin Pengering Kayu Sistem Panas Tungku untuk Usaha Kecil Oleh: Efrida Basri, Ahmad Supriadi dan Rahmat ............................. 125 8. Potensi Ekonomi Limbah Kayu Bekas Sadapan dan Diskursus Pengelolaan Tegakan Pinus sebagai Penghasil Getah Oleh: Soenarno, Wesman Endom, Maman Mansyur Idris dan Dulsalam ................................................................................. 135 9. Teknik Pembuatan Deksrin secara Enzimatis dari Tepung Buah Sukun Oleh: D. Martono ........................................................................... 155 10. Pembuatan Pernis dari Damar Batu Oleh: Raden Esa Pangersa Gusti, Erik Dahlian dan Zulnely .............. 167 11. Potensi Pemanfaatan Minyak dan Kristal Dryobalanops aromatica untuk Kosmetik dan Obat Oleh: Gunawan Pasaribu, Gusmailina, Sri Komarayati, Zulnely dan Erik Dahlian ................................................................................. 173 MAKALAH POSTER 1. Optimalisasi Pemanfaatan Kayu Rakyat Menggunakan Teknologi Laminasi Oleh: Abdurachman dan Nurwati Hadjib ....................................... 185 2. Pemanenan Kayu Ramah Lingkungan di Hutan Tanaman Rawa Gambut di Sumatera dan Kalimantan Oleh: Sona Suhartana dan Yuniawati .............................................. 197 3. Pemahaman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Pemanenan Kayu di Satu Perusahaan Hutan di Jambi Oleh: Yuniawati dan Sona Suhartana .............................................. 209
xiv
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
4 . Pemanfaatan Limbah Penggergajian Menjadi Produk Cinderamata dalam Menunjang Industri Kreatif Oleh: Achmad Supriadi ................................................................... 225 5. Beberapa Jenis Tumbuhan Penghasil Sediaan Bahan Pengawet Kayu Oleh: Agus Ismanto dan Achmad Supriadi ........................................ 235 6.
Jernang (Dragon’s Blood) Berpotensi sebagai Antioksidan dan Koagulan Oleh: Totok K. Waluyo dan Gunawan Pasaribu ................................ 247
7.
Kabel Layang Salah Satu Cara untuk Mengeluarkan Kayu pada Topografi Sulit Oleh: Wesman Endom, Soenarno dan Maman Mansyur Idris ............ 261
8.
Stimulansia Berbahan Dasar Hayati untuk Penyadapan Pohon Pinus Oleh: Sukadaryati dan Dulsalam ..................................................... 283
9.
Kerusakan Tegakan Tingkat Pohon Akibat Penyaradan Kayu pada Areal Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) di PT Gunung Meranti, Kalimantan Tengah Oleh: Dulsalam, Sukadaryati dan Sona Suhartana ........................... 297
10. Teknologi Pengolahan Nata Pinnata untuk Peningkatan Ragam Produk dan Nilai Ekonomi Nira Aren Oleh: Mody Lempang ...................................................................... 309 11. Teknologi Sederhana untuk Perbaikan Mutu Madu Hutan dan Pelestarian Lebah Hutan (Apis dorsata Fabr) di Provinsi Riau Oleh: Avry Pribadi dan Purnomo ..................................................... 327 12. Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Jenis Alternatif Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) Oleh: Rima Rinanda ....................................................................... 341 13. Kajian Potensi Pasar, Supply-Demand serta Tren Kertas Khusus Perangko dan Materai Oleh: Pebriyanti Kurniasih .............................................................. 355 Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
xv
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
14. Sifat Fisik-Mekanik Papan Serat Kerapatan Sedang dari Kayu Jabon dan Gerunggang Oleh: Agus Wahyudi, Edi Nurrohman dan Eko Sutrisno .................... 363 15. Teknik Pembuatan Kompos dan Pupuk Ramah Lingkungan dari Limbah Industri Pulp Oleh: Siti Wahyuningsih .................................................................. 373 16. Pola Agroforestri pada Jabon untuk Meningkatkan Nilai Tambah Hutan Rakyat Penghasil Kayu Pulp Oleh: Syofia Rahmayanti ................................................................. 387 17. Karakteristik Komposit Kayu Plastik Bermatrik Polipropilena dari Jenis Kayu Jabon Oleh: Yeni Apriyanis, Tulus Swasono, Eko Sutrisno dan Fitri Windrasari .............................................................................. 399 18. Usaha Pembuatan Egg Tray Berbahan Dasar Limbah Kertas Industri Oleh: Pebriyanti Kurniasih .............................................................. 411 LAMPIRAN .......................................................................................... 425
xvi
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil diskusi/tanya jawab ...................................... 427 Lampiran 2. Daftar hadir peserta ekspose .................................. 441 Lampiran 3. Jadwal kegiatan persidangan ekspose ..................... 447 Lampiran 4. Keputusan Kepala Pusat tentang Panitia Ekspose .. 449 Lampiran 5. Foto Kegiatan Ekspose Hasil Penelitian Pustekolah 2013 ..................................................................... 452
KEBIJAKAN NASIONAL INDUSTRI AGRO MENUJU REVITALISASI INDUSTRI KEHUTANAN * Ir. Aryan Wargadalam, M.Sc. ** Yang terhormat, - Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan - Kepala Pustekolah - Para Dekan Universitas - Para Ketua Asosiasi Industri Hasil Hutan - Hadirin Peserta Ekspose yang Berbahagia Assalamu’alaikum Wr. Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera, Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat ALLAH SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga pada hari yang berbahagia ini kita dapat berkumpul bersama pada acara Ekspose Hasil Penelitian Pustekolah dengan tema “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan” yang diselenggarakan oleh Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH) Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Suatu kehormatan bagi saya dapat bertemu dengan Bapak/Ibu dalam acara yang penting ini, di mana diharapkan melalui acara ini dapat memberikan informasi mengenai teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah produk * Makalah Utama Keynotes Speech pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian 30 April 2013, Botani Square IPB ICC, Bogor ** Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Jakarta
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
hasil hutan melalui hasil penelitian Pustekolah dan kami berharap dapat sejalan dengan Kebijakan Nasional Industri Agro untuk menuju Revitalisasi Industri Kehutanan.
Hadirin yang berbahagia, Sepanjang sejarah kemerdekaan selama lebih dari 6 (enam) dasawarsa, Indonesia telah mengalami beragam kemajuan di bidang pembangunan ekonomi. Bermula dari sebuah negara yang perekonomiannya berbasis pada kegiatan pertanian tradisional, saat ini Indonesia telah menjelma menjadi negara dengan proporsi industri manufaktur dan jasa yang lebih besar. Kemajuan ekonomi juga telah membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang tercermin tidak saja dalam peningkatan pendapatan per kapita, tetapi juga dalam perbaikan berbagai indikator sosial dan ekonomi. Visi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia tahun 2025 adalah “Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur”. Visi tahun 2025 tersebut diwujudkan melalui 3 (tiga) misi yang menjadi fokus utamanya, yaitu 1. peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi; 2. mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik; serta 3. mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan menuju innovationdriven economy.
Hadirin yang berbahagia, Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat kaya akan sumber daya hutan. Hutan tropis yang dimiliki Indonesia menghasilkan bahan baku yang tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan negara lain. Indonesia memiliki kawasan hutan tropis seluas ±133,84 juta hektare (Data Strategis Kehutanan 2009), terbesar ke 3 (tiga) di dunia setelah Brasil dan Zaire. Indonesia adalah penghasil 85% rotan di dunia. Sementara itu berdasarkan data Kementerian Kehutanan, Annual Allowable Cut (AAC) tahun 2012 untuk rotan sebesar 143.120 ton dan AAC kayu sebesar 9,1 juta m3. Industri hasil hutan yang berada di bawah binaan Kementerian Perindustrian adalah industri hilir yang mengolah lebih lanjut hasil produksi
2
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
industri primer hasil hutan, yaitu industri wood working, furniture kayu dan rotan, serta pulp/kertas. Sementara industri primer hasil hutan yang mengolah langsung kayu bulat sesuai dengan PP 34 Tahun 2002 merupakan binaan Kementerian Kehutanan. Industri ini mulai berkembang sejak tahun 1980-an yang dimulai dengan adanya kebijakan pemerintah tentang larangan ekspor bahan baku berupa kayu bulat dan rotan asalan. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka industri pengolahan kayu dan rotan tumbuh di seluruh wilayah Indonesia. Kapasitas industri wood working sebesar 11,4 juta m3/tahun, furniture dan komponennya 3,4 juta m3/tahun, rotan olahan 0,43 juta ton/tahun, pulp 7,9 juta ton/tahun, dan kertas 12,2 juta ton/tahun. Dengan potensi hutan yang melimpah, Indonesia sangat potensial untuk mengembangkan industri pengolahan hasil hutan. Selama ini industri pengolahan hasil hutan telah berperan dalam menciptakan lapangan kerja karena sifatnya yang padat karya dan turut menyumbang penerimaan devisa negara.
Hadirin yang berbahagia, Ditjen Industri Agro sebagai ditjen yang menaungi, membina industri hasil hutan, dan memiliki visi terwujudnya industri agro yang berdaya saing global pada tahun 2025. Misinya antara lain menjadi wahana pemenuhan hidup masyarakat, menjadi pengganda kegiatan usaha produktif di sektor riil bagi masyarakat, menjadi wahana untuk memajukan kemampuan teknologi nasional, meningkatkan industri yang berbasis sumber daya alam, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten, mendukung ketahanan pangan, dan ketersediaan energi alternatif. Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan sebagai bagian dari Ditjen Industri Agro berkewajiban untuk mewujudkan misi tersebut, dalam hal ini untuk sektor industri hasil hutan. Berikut akan saya sampaikan kinerja industri-industri yang termasuk industri hasil hutan. Pertama, industri pulp dan kertas. Indonesia merupakan salah satu produsen pulp dan kertas terkemuka di dunia (industri pulp No. 9 dan industri kertas No. 11). Keunggulan Indonesia terutama terletak pada bahan baku kayu berdaun lebar yang menghasilkan pulp serat pendek dengan produksi 6,52 juta ton dan sudah dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri pulp serat pendek. Namun untuk kebutuhan pulp serat panjang, Indonesia masih mengimpor. Ekspor pulp Indonesia tahun 2009 sebesar 733 juta USD, Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
3
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
tahun 2010 sebesar 1,4 miliar USD, tahun 2011 sebesar 1,5 miliar USD, dan sebesar 1,5 miliar USD pada tahun 2012. Sementara untuk ekspor kertas Indonesia tahun 2009 sebesar 3,2 miliar USD, tahun 2010 sebesar 3,7 miliar USD, tahun 2011 sebesar 4,1 miliar USD, dan sebesar 4 miliar USD pada tahun 2012. Kedua, industri furniture. Industri furnitur merupakan salah satu industri berbasis kayu/rotan, memiliki nilai tambah paling tinggi, dan menyerap banyak tenaga kerja, serta memberikan kontribusi yang cukup penting terhadap perekonomian, baik dalam bentuk kontribusi pada pendapatan domestik bruto (PDB) maupun dalam perolehan devisa (ekspor). Negara utama tujuan ekspor furniture Indonesia adalah Amerika Serikat, Perancis, Jepang, Inggris, dan Belanda. Berdasarkan bahan baku, data ekspor furniture kayu cukup berfluktuasi, tahun 2009 sebesar 1,15 miliar USD, tahun 2010 naik menjadi 1,40 miliar USD, dan tahun 2011 turun lagi menjadi 1,03 miliar USD, naik kembali menjadi 1,22 miliar pada tahun 2012. Sementara data ekspor rotan olahan cenderung menurun tiap tahun, tahun 2009 sebesar 224 juta USD, tahun 2010 sebesar 212 juta USD, dan tahun 2011 sebesar 168 juta USD. Kondisi yang cukup fluktuatif ini perlu mendapat perhatian, baik dari pemerintah maupun pelaku industri furnitur. Namun dengan adanya kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan, maka ekspor barang jadi rotan mulai membaik, di mana pada tahun 2012 nilai ekspor mencapai 202 juta USD. Ketiga, industri pengolahan kayu (wood working). Data menunjukkan nilai ekspor produk pengolahan kayu (wood working) tahun 2009 sebesar 957 juta USD, tahun 2010 kembali naik menjadi 1 miliar USD, tahun 2011 sebesar 1,11 miliar USD, dan tahun 2012 sebesar 1,12 miliar USD. Dari sekitar 2000 ETPIK wood working, saat ini yang masih aktif melakukan ekspor tidak lebih dari 700 ETPIK. Industri yang mampu bertahan sebagian di antaranya menggunakan kayu yang berasal dari hutan tanaman rakyat seperti sengon dan karet serta mengembangkan engineered products yang mengombinasikan pemanfaatan kayu hutan alam/kayu impor/kayu tanaman. Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di pulau Jawa dan Sumatera banyak tumbuh industri wood working yang menggunakan kayu-kayu dari hutan rakyat dan hutan tanaman seperti sengon, karet, dan akasia. Industri kayu sengon tumbuh pesat di Jawa, sedangkan industri kayu karet banyak dijumpai di Sumatera.
4
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Hadirin yang berbahagia, Industri hasil hutan Indonesia memiliki kekuatan antara lain potensi bahan baku yang besar dan potensi SDM yang besar (padat karya) daya kreativitas yang tinggi. Namun demikian, industri hasil hutan Indonesia juga masih menghadapi permasalahan antara lain masih kurang optimalnya dukungan R&D, masih adanya kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan bahan baku, terbatasnya market intelligent dan promosi, serta kurang tersedianya informasi potensi dan penyebaran bahan baku hasil hutan. Mengikuti perkembangan saat ini, isu-isu yang perlu mendapat perhatian terkait industri hasil hutan adalah: 1. Tuntutan ekolabel (legalitas bahan baku kayu) yang diminta oleh pembeli. 2. Teknologi proses dan pengelolaan limbah harus ramah lingkungan. 3. Adanya negative campaign, terutama terkait lingkungan baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. 4. Dampak resesi global yang masih berlanjut berakibat melambatnya daya beli konsumen dan penurunan permintaan produk agroindustri di luar negeri. Hal ini juga berdampak pada pertumbuhan industri yang berorientasi ekspor seperti furnitur, kertas, dan barang cetakan yang mengalami pertumbuhan negatif. 5. Semakin berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam sebagai akibat dari tidak dilakukannya reboisasi secara optimal serta adanya konversi lahan hutan alam menjadi perkebunan dan pertambangan. Terkait kebijakan nasional industri agro menuju revitalisasi industri kehutanan, kebijakan industri agro saat ini diarahkan pada 2 (dua) hal, yaitu peningkatan nilai tambah produk (added value) dan peningkatan daya saing/kualitas produk. Tujuannya adalah agar industri hasil hutan dan perkebunan dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan (sustainable growth). Pengembangan industri hasil hutan ini merupakan bagian dari proses industrialisasi yang berwawasan lingkungan yang memberikan konstribusi penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Kebijakan nasional industri agro menuju revitalisasi industri kehutanan adalah: Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
5
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
1. peningkatan investasi dan pasar industri hasil hutan; 2. peningkatan teknologi dan efisiensi industri hasil hutan; 3. peningkatan kualitas produk hasil hutan; 4. peningkatan kualitas SDM industri hasil hutan; dan 5. peningkatan kualitas lingkungan pada industri hasil hutan. Dalam rangka peningkatan investasi industri hasil hutan, kebijakan yang diterapkan antara lain 1. Pemberian insentif kemudahan bagi investasi baru (PP No. 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah Tertentu serta 2. Promosi dan pameran hasil hutan, baik di dalam maupun luar negeri. Sementara kebijakan peningkatan teknologi dan efisiensi yang dilakukan antara lain 1. Pemberian mesin peralatan dengan teknologi baru yang lebih efisien pada industri kertas, industri furniture, dan wood working; 2. Pengembangan energi alternatif pada industri kertas; serta 3. Penggunaan kayu alternatif pada industri furnitur dan wood working. Kebijakan peningkatan kualitas produk hasil hutan antara lain penyusunan dan penerapan SNI (baik wajib maupun sukarela) pada produk-produk kertas dan furnitur. Kebijakan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) produk hasil hutan antara lain 1. Pemberian pelatihan teknis produksi furnitur; 2. Pemberian pelatihan desain untuk produk furnitur; 3. Pemberian pelatihan teknik produksi dan desain grafis untuk produk percetakan; serta 4. Penyusunan SKKNI untuk industri hasil hutan. Kebijakan peningkatan kualitas lingkungan industri hasil hutan antara lain 1. Penyusunan buku pedoman pengolahan limbah padat pulp dan kertas serta 2. Penyusunan buku pedoman carbon footprint di industri pulp dan kertas. Khusus untuk industri furnitur, kebijakan secara holistik telah diterbitkan dalam Permenperin No. 90/M-IND/PER/11/2011 tentang perubahan atas Permenperin No.119/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (road map) Pengembangan Klaster Industri Furnitur.
Hadirin yang berbahagia, Meningkatnya permintaan akan produk alami yang ramah lingkungan memberi peluang pada industri hasil hutan untuk lebih maju. Sehubungan dengan upaya pengembangan teknologi proses produk hasil hutan yang ramah lingkungan, maka perlu dilakukan koordinasi lebih lanjut antara
6
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Kementerian Perindustrian khususnya Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan dengan Pustekolah. Kami berharap hasil-hasil penelitian Pustekolah, khususnya terkait pengembangan teknologi proses produk hasil hutan yang tepat guna dan dapat meningkatkan nilai tambah.
Hadirin yang berbahagia, Akhirnya, saya berharap penjelasan singkat ini dapat bermanfaat bagi pengembangan industri kehutanan yang berkelanjutan. Industri kehutanan diharapkan bisa terus berkembang dengan tetap menerapkan prinsip ramah lingkungan dan berkelanjutan. Semoga ekspose ini bisa dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi para pelaku industri hasil hutan dan instansi terkait. Terima kasih atas perhatiannya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DIREKTUR INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN
Aryan Wargadalam
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
7
MAKALAH ORAL
TEKNOLOGI PENGAWETAN KAYU ALTERNATIF UNTUK BANGUNAN KELAUTAN* Oleh: Mohammad Muslich dan Sri Rulliaty**
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi ketahanan dari 50 jenis kayu Jawa yang diawetkan dengan Copper Chromated Boron (CCB) melalui proses sel penuh dengan tekanan 10 atmosfer selama 2 jam. Untuk menentukan kelas keterawetan, kayu dihitung menurut Metode IUFRO. Contoh uji yang diawetkan dan yang tidak diawetkan diikat bersama-sama menggunakan tali plastik dan disusun menjadi sebuah rakit. Rakit tersebut dipasang selama 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan di perairan Pulau Rambut. Untuk menentukan intensitas serangan penggerek kayu di laut, digunakan standar SNI 01-7207-2006. Hasil penelitian sifat keterawetan menunjukkan bahwa 41 jenis kayu termasuk kelas mudah diawetkan, 8 jenis kayu termasuk kelas sedang, dan 1 jenis kayu termasuk sulit. Semua jenis kayu yang diawetkan dengan CCB mampu mencegah serangan penggerek di laut. Sementara kayu yang tidak diawetkan rentan terhadap serangan penggerek di laut, kecuali mimba (Azadirachta indica Juss.), pangsor (Ficus callosa Willd.), dan ki cauk (Pisonia umbellifera (Forst) Seem.). Penggerek yang menyerang contoh uji yaitu Martesia striata Linne dari keluarga Pholadidae serta Teredo bartschi Clapp, Dicyathifer manni Wright, dan Bankia cieba Clench. dari keluarga Teredinidae. Kata kunci: Jenis kayu Jawa, CCB, proses sel penuh, penggerek di laut
I. PENDAHULUAN Kayu yang digunakan untuk membuat kapal, tiang dermaga, dan rumah yang dibangun di daerah pantai tidak bebas dari serangan penggerek di laut. Penggerek di laut umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu phylum moluska yang serangannya dikenal dengan nama shipworm dan golongan Crustacea yang serangannya dikenal dengan istilah gribble. Setiap jenis kayu mempunyai * Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian 30 April 2013, Botani Square IPB ICC, Bogor ** Peneliti Utama pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
ketahanan yang berbeda terhadap serangan penggerek di laut, bergantung dari komponen yang terkandung di dalam kayu. Bianchi (1933) dan Gongrijp (1932) melaporkan bahwa ketahanan kayu terhadap serangan penggerek di laut bergantung pada kerapatan atau kekerasan kayu, kadar silika, dan zat ekstraktif yang bersifat racun. Jenis kayu yang digunakan untuk keperluan di laut biasanya memiliki kelas kuat dan awet I-II, seperti ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.), laban (Vitex pubescens Vahl.), jati (Tectona grandis Lf), merbau (Instia bijuga O.Ktze.), dan sebagainya. Kebutuhan jenis kayu tersebut dari tahun ke tahun makin meningkat, sedangkan ketersediaannya makin berkurang, sehingga perlu mencari jenis kayu lain sebagai pengganti. Di Indonesia terdapat banyak jenis kayu yang memiliki kekuatan mekanis cukup tinggi, tetapi kelas awetnya rendah sehingga kurang layak digunakan di laut. Keawetan kayu merupakan salah satu sifat yang sangat penting karena nilai suatu jenis kayu sangat ditentukan oleh keawetannya. Bagaimana pun kuatnya suatu jenis kayu, tidak akan banyak berarti bila keawetannya rendah. Oleh karena itu, pemilihan jenis kayu yang digunakan di laut tentunya tidak hanya diperhatikan kelas kuatnya saja, tetapi juga diperhatikan keawetannya atau ketahanannya terhadap penggerek di laut. Dengan demikian, dari jenis kayu yang mempunyai kelas kuat tinggi maupun kelas awetnya rendah, dalam penggunaannya perlu diawetkan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang teknologi pengawetan kayu menggunakan bahan pengawet CCB. Informasi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pengguna kayu untuk keperluan di laut. Data yang disajikan pada tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dikumpulkan dari tahun 2003 sampai dengan 2012.
II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di perairan Pulau Rambut (Kepulauan Seribu). Perairan tersebut mempunyai salinitas sekitar 30–33 per mil dan temperatur sekitar 28–29˚C, pantainya berkarang, berpasir putih, dan bebas dari polusi atau limbah buangan. Perubahan salinitas, temperatur, arus, dan gelombang pada setiap tahunnya tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok, sehingga
12
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
populasi penggerek kayu di perairan tersebut dapat berkembang dengan baik (Muslich dan Sumarni 1987; Muslich dan Sumarni 2008).
B. Bahan dan Metode Bahan yang digunakan berupa 50 jenis kayu yang berasal dari Pulau Jawa seperti yang tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Lima puluh jenis kayu yang digunakan untuk penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama daerah Marasi Asem jawa Balobo Kundang Ki kendal Huru gading Ki sampang
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Sampora Nyatoh Ki hantap Ki kuya Ki lubang Ki bancet Ki bulu Huru mentek Huru kacang Tunggeureuk Ki endog Beleketebe Mimba Ki hiur Huru pedes
23. Huru koja 24. Ki kanteh 25. Kelapa ciung
Nama botani Hymenaea courbaril L. Tamarindus indica L. Diplodiscus sp. Ficus variegata BL. Ehretia acuminata R.Br. Litsea odorifera Val. Meliocope lunu-ankenda (Gaertn.) T.G. Hartley Colona javanica B.L. Pouteria duclitan Bachni. Stercularia oblongata R.Br. Ficus vasculosa Wall ex Miq. Callophyllum grandiflorum JJS. Turpinia sphaerocarpa Hassk. Gironniera sp. Lindera polyantha Boerl. Neolitsea triplinervia Merr. Castanopsis tunggurut A.DC. Acer niveum Bl. Sloanea sigun Szysz Azadirachta indica Juss. Castanopsis acuminatissima A.DC. Cinnamomum iners Reinw. Ex Blume. Litsea angulata Bl. Ficus nervosa Heyne. Horsfieldia glabra Warb..
Suku Leguminaceae Caesalpinaceae Euphorbiaceae Moraceae Boraginaceae Lauraceae Rutaceae Tiliaceae Sapotaceae Sterculiaceae Moraceae Guttiferae Ulmaceae Ulmaceae Lauraceae Lauraceae Fagaceae Aceraceae Elaeocarpaceae Meliaceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Moraceae Myristiceae
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
13
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
No. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Nama daerah Tangkalak Cangkring Kayu putih Ki tanah Hantap heulang Tarisi Kapinango A Cerei Hanja Hauwan Ki hiyang Rengas gunung Manglid Cempaka Baros
Nama botani Litsea roxburghii Hassak. Erythrina fusca Lour. Melaleuca cajuputi Powell. Zanthoxylum rhetsa DC. Sterculia cordata Blume.
Suku Lauraceae Papilionaceae Myrtaceae Rutaceae Sterculiaceae
Albizia lebbeck Benth. Nauclea orientalis Merr. Garcinia celebica L. Anthocephalus chinensis Lamk. Elaeocarpus floribundus Blime Albizia procera Benth. Semecarpus albescan Kurz.
Leguminaceae Rubiaceae Guttiferae Rubiaceae Elaeocarpaceae Leguminaceae Anacardiaceae
Manglietia glauca Blume. Magnolia candolii (Blume.) King. Magnolia macklottii (Korth) Dandy 41. Pangsor Ficus callosa Willd. 42. Jering/jengkol Pithecellobium rosulatum Kosterm. 43. Petai Parkia speciosa Hasak 44. Manii Maesopsis eminii Engl. 45. Balsa Ochroma grandiflora Rowlee 46. Ki cauk Pisonia umbellifera (Forst) Seem. 47. Huru manuk Litsea monopelata Pers. 48. Ki renghas Buchanania arborescens Blume 49. Ki bonen Crypteronia paniculata Blume. 50. Ki hampelas Ficus ampelas Burm f.
Magnoliaceae Magnoliaceae Magnoliaceae Moraceae Mimosaceae Mimosaceae Rhamnaceae Bombacaceae Nyctaginaceae, Lauraceae Anacardiaceae Crypteroniaceae Moraceae
Masing-masing jenis kayu dibuat contoh uji berukuran 2,5 cm x 5 cm x 30 cm sebanyak 40 buah dan dikeringkan sampai kadar air kering udara, kemudian diambil 25 buah untuk diawetkan dan 15 buah tidak diawetkan. Bahan pengawet yang digunakan yaitu CCB yang dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 3%, selanjutnya diimpregnasikan ke dalam contoh uji melalui proses sel-penuh menurut bagan berikut.
14
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Vakum awal : 50 cm Hg selama 15 menit Tekanan
: 10 atm selama 120 menit
Vakum akhir : 50 cm Hg selama 15 menit Contoh uji sebanyak 25 buah untuk setiap jenis kayu yang diawetkan, diambil 10 buah untuk diukur retensi dan penetrasi bahan pengawetnya. Retensi yang dimaksud adalah bahan pengawet kering yang diserap oleh kayu yang telah diawetkan yang dinyatakan dalam kg/m3, ditetapkan berdasarkan penimbangan berat contoh uji sebelum dan sesudah proses pengawetan dibagi volume kayu dikalikan konsentrasi bahan pengawet yang dipakai. Penetrasi diukur pada permukaan potongan melintang yang dibuat di bagian tengah contoh uji. Ke dalam penembusan/penetrasi pada kayu yang diawetkan dinyatakan dalam persentase luas bidang yang ditembus bahan pengawet. Batas penembusan bahan pengawet diperjelas dengan melabur penampang contoh uji dengan pereaksi chrom azural atau rubeanic acid. Klasifikasi keterawetan kayu ditetapkan berdasarkan metode IUFRO (Smith dan Tamblyn 1970) sebagai berikut. Kelas I II III IV
Keterawetan Mudah Sedang Sukar Sangat sukar
Luas penetrasi (%) > 90 50–90 10–50 < 10
Sisa contoh uji dari setiap jenis kayu yang diawetkan sebanyak 15 contoh uji dan yang tidak diawetkan 15 contoh uji, sehingga jumlahnya 30 contoh uji, kemudian dibagi dalam 3 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 5 contoh uji yang diawetkan dan 5 contoh uji yang tidak diawetkan. Setiap kelompok direnteng dengan tali plastik dan digunakan selang plastik sebagai penyekat (Gambar 1). Contoh uji yang sudah direnteng, dipasang di perairan Pulau Rambut secara horizontal seperti yang dilakukan oleh Muslich dan Sumarni (1987). Setelah 3, 6, dan 12 bulan contoh uji diambil, diamati intensitas serangannya dan diidentifikasi organisme yang menyerang (Turner 1966). Pengamatan contoh uji dilakukan dengan membelah menjadi 2 (dua) bagian dan dinilai intensitas serangannya menurut Muslich dan Sumarni (2005) sebagai berikut.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
15
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Kelas
Intensitas serangan (%) <7 7–27 27–54 54–79 > 79
I II III IV V
Derajat kerusakan kayu Tidak ada serangan Serangan ringan Serangan sedang Serangan berat Serangan sangat berat
Jenis organisme penggerek yang menyerang dapat dikenali dengan melihat bekas lubang gerek, bentuk palet, dan struktur cangkuk pada contoh uji Turner (1971). Tali plastik
Contoh uji
Selang plastik PLASTIK
30 cm
5 cm
2,5 cm
Gambar 1. Susunan contoh uji kayu yang dipasang di laut
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Retensi dan Penetrasi CCB Retensi dan penetrasi tembaga-chromated-boron (CCB) pada setiap jenis kayu disajikan pada Tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar jenis kayu yang diteliti termasuk mudah diawetkan. Empat puluh satu dari 50 jenis termasuk mudah diawetkan, 8 jenis kayu termasuk sedang atau agak sulit diawetkan, dan 1 jenis termasuk sulit diawetkan. Perbedaan retensi dan penetrasi disebabkan adanya perbedaan struktur anatomi dan kandungan zat ekstraktif dalam kayu. Struktur anatomi kayu seperti pori, serat, bidang
16
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
perforasi, ceruk dan kandungan ekstraktif seperti tilosis, kristal serta lainnya sangat berpengaruh terhadap masuknya bahan pengawet ke dalam kayu. Kayu yang mempunyai kadar ekstraktif rendah akan lebih permeabel terhadap masuknya larutan bahan pengawet. Sebaliknya, kayu yang mempunyai kadar ekstraktif tinggi seperti adanya tilosis dan kristal yang ada di dalam pori akan menghambat masuknya larutan bahan pengawet ke dalam kayu (Findlay 1985). Pori atau pembuluh merupakan sel yang membentuk pola struktur pada kayu daun lebar, berupa pipa panjang tidak beraturan dan berfungsi dalam proses pengangkutan zat makanan dari tanah ke daun. Sel-sel ini mempunyai bidang perforasi yang tegas pada kedua ujungnya, sehingga rongga-rongga sel yang tersusun secara vertikal dalam suatu pori berhubungan satu sama lain. Sebaliknya hubungan lateral dari satu pori ke pori lain yang berdampingan, terjadi melalui pasangan ceruk pada dinding yang berbatasan. Pori dan ceruk yang terdapat pada dindingnya sangat berperan pada proses pengawetan yang merupakan jalan masuknya larutan bahan pengawet ke dalam kayu. Sulit dan tidaknya penembusan larutan bahan pengawet masuk ke dalam kayu bergantung pada besar atau kecil, banyak atau sedikitnya pori, penyebarannya dan ada tidaknya tilosis, butir-butir silika, serta kristal Ca-oksalat di dalam kayu. Siau (1971) dan Wilkinson (1979) menyatakan bahwa subtansi ekstraktif berupa tilosis, silika, kristal, dan bentuk lainnya merupakan faktor yang menghambat masuknya larutan bahan pengawet ke dalam kayu. Seperti pada mimba (Azadirachta indica Juss.) yang sulit diawetkan karena porinya jarang, mengandung tilosis, dan endapan. Table 2. Retensi (kg/m3) dan penetrasi (%) CCB pada 50 jenis kayu No.
Jenis kayu Nama lokal
Nama botanis
Retensi Penetrasi Treatabilitas (%) kelas (kg/m3)
1. Marasi
Hymenaea courbaril L.
7,80
55,3
II (sedang)
2. Asem jawa
Tamarindus indica L.
11,00
98,0
I (mudah)
3. Balobo
Diplodiscus sp.
14,50
91,1
I (mudah)
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
17
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
No.
Jenis kayu Nama lokal
Nama botanis
Retensi Penetrasi Treatabilitas (%) kelas (kg/m3)
4. Kundang
Ficus variegata BL.
17,70
100,0
I (mudah)
5. Ki kendal
Ehretia acuminata R.Br.
12,20
94,5
I (mudah)
6. Huru gading
Litsea odorifera Val.
13,80
98,5
I (mudah)
7. Ki sampang
Meliocope lunuankenda (Gaertn.) T.G. H.
14,80
98,5
I (mudah)
8. Sampora
Colona javanica B.L.
13,30
92,2
I (mudah)
9. Nyatoh
Pouteria duclitan Bachni.
14,40
91,3
I (mudah)
10. Ki hantap
Stercularia oblongata R.Br.
17,20
100,0
I (mudah)
11. Ki kuya
Ficus vasculosa Wall ex Miq.
16,50
97,8
I (mudah)
12. Ki lubang
Callophyllum grandiflorum JJS.
11,50
97,1
I (mudah)
13. Ki bancet
Turpinia sphaerocarpa Hassk.
6,40
70,6
II (sedang)
14. Ki bulu
Gironniera sp.
6,40
70,6
II (sedang)
9,30
84,9
II (sedang)
16. Huru kacang
Neolitsea triplinervia 12,20 Merr.
94,5
I (mudah)
17. Tunggeureuk
Castanopsis tunggurut A.DC.
5,60
70,4
II (sedang)
18. Ki endog
Acer niveum Bl.
17,40
100,0
I (mudah)
19. Beleketebe
Sloanea sigun Szysz
15,40
100,0
I (mudah)
15. Huru mentek Lindera polyantha Boerl.
18
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
No.
Jenis kayu Nama lokal
Nama botanis
Retensi Penetrasi Treatabilitas (%) kelas (kg/m3)
20. Mimba
Azadirachta indica Juss.
5,70
41,3
III (sulit)
21. Ki hiur
Castanopsis acuminatissima A.DC.
16,40
93,6
I (mudah)
22. Huru pedes
Cinnamomum iners R. Ex Bl..
15,20
90,3
I (mudah)
23. Huru koja
Litsea angulata Bl.
15,20
98,6
I (mudah)
24. Ki kanteh
Ficus nervosa Heyne.
18,70
100,0
I (mudah)
25. Kelapa ciung
Horsfieldia glabra Warb.
17,10
98,9
I (mudah)
26. Tangkalak
Litsea roxburghii Hassak.
13,10
100,0
I (mudah)
27. Cangkring
Erythrina fusca Lour.
17,00
100,0
I (mudah)
28. Kayu putih
Melaleuca cajuputi Powell.
8,50
99,8
I (mudah)
29. Ki tanah
Zanthoxylum rhetsa DC.
17,20
100,0
I (mudah)
30. Hantap heulang
Sterculia cordata Blume.
10,50
97,6
I (mudah)
31. Tarisi
Albizia lebbeck Benth.
5,90
79,6
II (sedang)
32. Kapinango
Nauclea orientalis Merr.
11,30
99,4
I (mudah)
33. Cerei
Garcinia celebica L.
14,10
99,4
I (mudah)
34. Hanja
Anthocephalus chinensis Lamk.
14,50
100,0
I (mudah)
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
19
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
No.
Jenis kayu Nama lokal
Nama botanis
Retensi Penetrasi Treatabilitas (%) kelas (kg/m3)
35. Hauwan
Elaeocarpus floribundus Blime
13,50
97,8
I (mudah)
36. Ki hiyang
Albizia procera Benth.
5,40
89,9
II (sedang)
37. Rengas gunung
Semecarpus albescan Kurz.
20,30
99,1
I (mudah)
38. Manglid
Manglietia glauca Blume.
14,24
100,0
I (mudah
39. Cempaka
Magnolia candolii (Blume.) King.
16,56
100,0
I (mudah
40. Baros
Magnolia macklottii (Korth) Dandy
15,16
100,0
I (mudah
41. Pangsor
Ficus callosa Willd.
20,74
100,0
I (mudah)
42. Jering/jengkol Pithecellobium rosulatum Kost.
9,96
95,3
I (mudah)
43. Petai
Parkia speciosa Hasak
13,51
94,3
I (mudah)
44. Manii
Maesopsis eminii Engl.
14,71
100,0
I (mudah)
45. Balsa
Ochroma grandiflora 16,10 Rowlee
100,0
I (mudah
46. Ki cauk
Pisonia umbellifera F.Seem.
18,08
100,0
I (mudah)
47. Huru manuk Litsea monopelata Pers.
5,81
74,7
II (sedang)
48. Ki renghas
12,56
91,1
I (mudah)
20
Buchanania arborescens Blume
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
No.
Jenis kayu Nama lokal
Nama botanis
Retensi Penetrasi Treatabilitas (%) kelas (kg/m3)
49. Ki bonen
Crypteronia paniculata Blume.
17,54
86,9
I (sedang)
50. Ki hampelas
Ficus ampelas Burm f.
13,26
97,2
I (mudah)
B. Ketahanan Alami Kayu Hasil pengujian ketahanan alami 50 jenis kayu (tidak diawet) yang dipasang selama 3 bulan di laut, menunjukkan bahwa sebagian besar mendapat serangan sedang sampai berat. Pengamatan contoh uji yang dipasang selama 6 bulan menunjukkan bahwa intensitas serangan sudah mencapai sangat berat. Pada pengamatan contoh uji sampai 12 bulan, sudah banyak contoh uji yang hancur. Ada tiga jenis contoh uji yang masih tahan sampai 6 bulan yaitu mimba (Azadirachta indica Juss.), pangsor (Ficus callosa Willd.), dan ki cauk (Pisonia umbellifera F.Seem.). Intensitas serangan penggerek laut pada 50 contoh uji ditampilkan pada Tabel 3.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
21
22
Nama lokal
Marasi Asem jawa Balobo Kundang Ki kendal Huru gading Ki sampang
Sampora Nyatoh Ki hantap Ki kuya Ki lubang Ki bancet Ki bulu Huru mentek Huru kacang Tunggeureuk Ki endog Beleketebe
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Hymenaea courbaril L. Tamarindus indica L. Diplodiscus sp. Ficus variegata BL. Ehretia acuminata R.Br. Litsea odorifera Val. Meliocope lunu-ankenda (Gaertn.) T.G. Hartley Colona javanica B.L. Pouteria duclitan Bachni. Stercularia oblongata R.Br. Ficus vasculosa Wall ex Miq. Callophyllum grandiflorum JJS. Turpinia sphaerocarpa Hassk. Gironniera sp. Lindera polyantha Boerl. Neolitsea triplinervia Merr. Castanopsis tunggurut A.DC. Acer niveum Bl. Sloanea sigun Szysz
Nama botani
Jenis kayu
0,47 0,56 0,36 0,45 0,58 0,55 0,51 0,81 0,46 0,44 0,49 0,79
0,87 0,92 0,73 0,29 0,61 0,51 0,43
Berat jenis
50 40 70 50 40 45 50 20 65 65 65 35
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
70 60 85 75 55 70 75 35 85 85 85 55
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
85 80 x 90 80 80 90 70 x x x 75
0 0 0 0 0 3 3 5 0 2 0 0
Intensitas serangan (%) 3 bulan 6 bulan 12 bulan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan 25 0 55 0 70 6 40 0 65 0 x 0 35 0 50 0 75 0 70 0 90 0 x 0 25 0 55 0 75 0 45 0 80 0 x 2 67 0 85 0 x 0
Tabel 3. Intensitas serangan penggerek laut pada contoh uji control dan perlakuan Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Nama lokal
31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
30.
22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Huru pedes Huru koja Ki kanteh Kelapa ciung Tangkalak Cangkring Kayu putih Ki tanah Hantap heulaang Tarisi Kapinango Cerei Hanja Hauwan Ki hiyang Rengas gunung Manglid
21. Ki hiur
20. Mimba
No.
Albizia lebbeck Benth. Nauclea orientalis Merr. Garcinia celebica L. Anthocephalus chinensis Lamk. Elaeocarpus floribundus Blime Albizia procera Benth. Semecarpus albescan Kurz. Manglietia glauca Blume.
Azadirachta indica Juss. Castanopsis acuminatissima A.DC. Cinnamomum iners R. Ex Bl.. Litsea angulata Bl. Ficus nervosa Heyne. Horsfieldia glabra Warb.. Litsea roxburghii Hassak. Erythrina fusca Lour. Melaleuca cajuputi Powell. Zanthoxylum rhetsa DC. Sterculia cordata Blume.
Nama botani
Jenis kayu
0,63 0,64 0,65 0,52 0,67 0,71 0,46 0,44
0,40
0,57 0,45 0,35 0,58 0,34 0,35 0,81 0,55
0,74
0,82
Berat jenis
27 27 25 65 30 27 60 70
66 68 70 55 60 65 25 27 65 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 65 60 60 90 65 65 75 90
85
80 85 90 80 80 90 45 54
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 90 90 90 x 90 90 90 x
x x x x x x 70 80 x
6 0 0 0 0 7 0 0
0 0 0 0 0 0 5 0 0
Intensitas serangan (%) 3 bulan 6 bulan 12 bulan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan 10 0 25 0 45 2 45 0 0 80 0 65
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
23
24
Magnolia candolii (Blume.) King. Magnolia macklottii (Korth) Dandy Ficus callosa Willd. Pithecellobium rosulatum Kost. Parkia speciosa Hasak Maesopsis eminii Engl. Ochroma grandiflora Rowlee Pisonia umbellifera F.Seem. Litsea monopelata Pers. Buchanania arborescens Blume Crypteronia paniculata Blume. Ficus ampelas Burm f.
Nama botani
x = hancur 0 = tidak ada serangan - = belum diamati/hilang
Pangsor Jering/jengkol Petai Manii Balsa Ki cauk Huru manuk Ki renghas Ki bonen Ki hampelas
Baros
Cempaka
Nama lokal
Keterangan:
41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50.
40.
39.
No.
Jenis kayu
0,33 0,73 0,45 0,42 0,20 0,38 0,54 0,65 0,60 0,52
0,38
0,54
Berat jenis
5 26 15 65 65 0 28 27 27 70
78 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 20 46 25 85 75 5 52 48 32 89
90 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 -
x
-
0
Intensitas serangan (%) 3 bulan 6 bulan 12 bulan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol Perlakuan 70 0 0 x 0 89
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Mimba tahan terhadap serangan organisme penggerek di laut, dimungkinkan mimba mempunyai zat ekstraktif yang bersifat racun. Ruskin (1993) menyatakan bahwa mimba mempunyai zat ektraktif berupa azadirachtin, salanin, mehantriol, nimbin, dan nimbidin. Sementara Senrayan (1997) menyatakan bahwa zat ekstraktif yang ada pada mimba tidak bersifat membunuh secara cepat, hanya mengganggu pada proses pertumbuhan organisme perusak. Azadirachtin berperan sebagai ecdyson blocker atau zat yang dapat menghambat kerja hormon ecdyson dalam proses metamorphose yang berakibat kematian (Chiu 1988). Salanin berperan sebagai penurun nafsu makan (anti-feedant), sehingga daya serang organisme menurun (Ruskin 1993). Meliantriol berperan sebagai penghalau (repellent) yang mengakibatkan organisme perusak enggan mendekati zat tersebut (Sudarmaji 1999). Nimbin dan nimbidin berperan sebagai anti-mikro organisme seperti anti-virus, bakterisida yang sering digunakan sebagai pestisida nabati (Ruskin 1993). Hal ini serupa dengan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B.) tahan terhadap penggerek di laut karena mempunyai zat ekstraktif “eusiderin” turunan dari phenolik yang beracun (Amin et al. 2002). Demikian juga kayu jati (Tectona grandis L.f.) yang mempunyai “techtochinon” yaitu suatu zat ekstraktif yang bersifat racun (Rudman 1963 dalam Da Costa et al. 1985). Pansor dan ki cauk juga tahan terhadap serangan penggerek kayu di laut karena mempunyai banyak silika masing-masing 0,84% dan 0,55%. Seperti halnya kayu kolaka (Parinari corymbosa Miq.) mempunyai kadar silika yang relatif tinggi (0,9%). Kadar silika merupakan salah satu faktor yang dapat menahan serangan terhadap penggerek kayu di laut (Bianchi 1933; Southwell and Bultman 1971). Beenson (1946) dalam Supriana (1999) juga menyatakan bahwa ada hubungan antara kadar silika pada kayu dan daya tahan terhadap penggerek kayu di laut, terutama pada kadar di atas 0,5%. Kayu mimba mempunyai sifat fisis dan mekanis cukup baik, berat jenisnya 0,79 dan mempunyai sifat pemesinan dengan kualitas sangat baik. Kayu ini direkomendasikan untuk bangunan kelautan (Muslich dan Sumarni 2006). Untuk kayu pangsor dan ki cauk, mempunyai sifat fisis dan mekanis kurang baik, berat jenis pangsor 0,47 dan ki cauk 0,30. Kayu pangsor mempunyai sifat pemesinan kurang baik terutama pada ki cauk, sehingga kurang berarti bila digunakan untuk bangunan kelautan. Untuk suatu komponen kapal yang langsung bersentuhan dengan air laut, di samping harus digunakan jenis kayu yang mempunyai kelas awet tinggi juga mempunyai kelas kuat tinggi.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
25
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa 16 jenis kayu mempunyai sifat fisis dan mekanis cukup tinggi, termasuk kelas kuat II, sifat pemesinanannya juga cukup baik, tetapi tidak tahan terhadap serangan penggerek di laut (Muslich et al. 2012). Jenis kayu tersebut yaitu marasi (H. courboril), asem jawa (T. indica), balobo (Diplodiscus sp.), ki kendal (E.acuminata), huru mentek (L. polyantha), beleketebe (S. sigun), ki hiur (C. acuminatissima), kayu putih (M. cajuputi), tarisi (A. lebbeck), kapinango (N. orientalis), cerei (G. celebica), hauwan (E. floribundus), ki hiyang (A. procera), jengkol (P. rosulatum), ki rengas (B. arborescens), dan ki bonen (C. paniculata). Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis-jenis kayu ini hampir semuanya termasuk jenis kayu yang mudah diawetkan, kecuali marasi, asem jawa, dan ki hiyang yang termasuk agak sulit diawetkan. Dengan demikian keenam belas jenis kayu ini dalam penggunaannya dapat dipakai sebagai kayu alternatif untuk bangunan kelautan setelah diawetkan lebih dahulu. Jenis-jenis kayu lainnya juga dapat digunakan untuk bagian nonstruktural, seperti rumah kapal dan “furniture”.
C. Kayu Alternatif Bangunan Kelautan Bahan pengawet CCB yang dipakai mempunyai komposisi CuSO4 34% w/w, K2CrO7 38% w/w, dan H3BO3 25% w/w. Bahan pengawet ini akan bersifat permanen setelah terjadi fiksasi dengan dinding sel (Findlay 1985), sehingga akan sulit tercuci oleh air laut. CCB merupakan bahan pengawet yang sangat beracun terhadap organisme di perairan. Tembaga sulfat (CuSO4) adalah racun bagi invertebrata air, seperti kepiting, udang, dan tiram. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, tembaga sulfat dapat menyebabkan perubahan perilaku dari organisme hidup, seperti sekresi lendir serta merusak perkembangan telur dan embrio (Wilkinson 1979). Telah diuraikan sebelumnya bahwa mimba, ulin, dan jati tahan terhadap penggerek di laut karena mempunyai zat ekstraktif yang bersifat racun, sedangkan pangsor, ki cauk, dan kolaka mengandung banyak kandungan silika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan pengawet CCB dapat dipakai sebagai pengganti zat ekstraktif yang beracun maupun kandungan silika yang ada di dalam kayu. Dari 50 jenis contoh uji kayu yang diawetkan, dengan CCB melalui proses sel-penuh dapat meningkatkan ketahanan kayu sampai 12 bulan. Kayu kundang, ki hantap, ki kanteh, huru koja, dan lain-lainnya yang rentan terhadap penggerek di laut karena tidak mengandung banyak silika maupun zat ekstraktif yang beracun, dapat ditingkatkan daya tahannya
26
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dengan memasukkan bahan pengawet CCB ke dalam kayu. Beberapa contoh uji yang diawetkan dan yang tidak diawetkan setelah dipasang selama 6 bulan di perairan Pulau Rambut dapat dilihat pada Gambar 2. Meskipun demikian, pada pengamatan 12 bulan ada beberapa contoh uji yang mendapat serangan ringan dari penggerek di laut, yaitu kayu marasi, ki bancet, ki bulu, huru mentek, tunggeureuk, mimba, kayu putih, tarisi, dan ki hiyang. Hal ini disebabkan retensi dan penetrasi bahan pengawet pada kayu tersebut lebih rendah dibandingkan dengan jenis kayu lainnya yang belum mendapat serangan. Pada jenis kayu yang rentan terhadap penggerek cenderung mudah diawetkan, sehingga retensi dan penetrasi bahan pengawet lebih besar dan lebih dalam. Sebaliknya pada jenis kayu yang mempunyai kelas kuat dan kelas awet tinggi cenderung lebih sulit diawetkan, sehingga retensi dan penetrasi bahan pengawet lebih kecil dan dangkal. Untuk jenis kayu yang sulit diawetkan tersebut agar retensi dan penetrasinya dapat lebih besar dan dalam, maka perlu ditambah lama waktu tekan atau dengan perlakuan lain misalnya dengan proses Oscillating Pressure Method (OPM). Retensi dan penetrasi bahan pengawet yang besar dan dalam akan menambah daya tahan kayu terhadap penggerek di laut. Hal ini disebabkan bahan pengawet di dalam kayu tidak mudah tercuci oleh air laut, sehingga bahan pengawet tetap permanen di dalam kayu. Di Indonesia terdapat banyak jenis kayu yang memiliki kekuatan mekanis cukup tinggi tetapi kelas awetnya rendah, sehingga kurang layak bila digunakan untuk bangunan kelautan. Muslich dan Rulliaty (2012) telah mengumpulkan sebanyak 265 jenis kayu Indonesia yang telah diuji ketahanannya terhadap penggerek di laut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya beberapa jenis saja yang mempunyai ketahanan tinggi. Jenis kayu yang termasuk kelas awet I hanya 3%, kelas awet II 6%, dan kelas awet III 13%, sedangkan sisanya termasuk kelas awet IV 27% dan kelas awet V 51%. Dari 265 jenis kayu, yang mempunyai kelas kuat tinggi dan kelas awet rendah ada sekitar 68 jenis. Dengan demikian, bilamana 68 jenis kayu tersebut diawetkan dengan CCB sesuai dengan proses yang dilakukan tersebut, berarti akan dapat meningkatkan nilai tambah untuk bangunan kelautan sekitar 25%.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
27
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
A
B
a
b
c
d
e
f
Gambar 2. Contoh uji (A) tidak diawetkan dan (B) diawetkan dipasang selama 6 bulan di laut a. mimba, b. huru mentek, c. beleketebe, d. tunggeureuk, e. ki endog, f. huru kacang D. Identifikasi Penggerek di Laut Hasil identifikasi organisme penggerek yang menyerang contoh uji yaitu Martesia striata Linne dari famili Pholadidae; Teredo bartschi Clapp., Dicyathifer manni Wright., dan Bankia cieba Clench/Turner dari famili Teredinidae. Kerusakan yang disebabkan oleh M. striata dapat dengan mudah diketahui, berupa pengikisan bagian luar kayu dengan lubang yang dangkal. Bentuk cangkuknya seperti buah pear, panjangnya jarang lebih dari 2,5 cm, diameternya sekitar 2 cm, dan tubuhnya ada di dalam cangkok. Lubang gerek biasanya tegak lurus pada permukaan kayu, panjang dan diameternya sesuai dengan ukuran cangkoknya. Dinding lubang gerek tidak dilapisi bahan kapur seperti yang didapatkan pada Bankia atau Teredo.
28
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Teredo dan Bankia mempunyai tubuh lunak, memanjang seperti cacing, kepalanya keras berbentuk bulan sabit dengan jumlahnya sepasang yang disebut cangkok atau shell, dilengkapi dengan parut atau kikir yang berguna untuk membuat lubang. Pada bagian posterior terdapat bangunan yang keras bentuknya seperti dayung, disebut dengan palet yang sangat penting artinya untuk identifikasi. Sementara untuk keperluan metabolisme dan komunikasi digunakan sepasang siphon yang bisa ditonjolkan dan bisa ditarik kembali kemudian ditutup oleh palet. Tipe serangan Teredo dan Bankia sering disebut dengan teredine borers atau shipworm (Menon 1957; Mata dan Siriban 1972). Teredo dan Bankia membuat lubang kecil di permukaan kayu yang besarnya tidak berarti. Lubang biasanya dibuat tegak lurus terhadap arah serat kayu, kemudian membelok sejajar dengan arah serat. Dinding saluran dilapisi dengan substansi yang mengandung kapur.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sebagian besar, dari 41 jenis kayu dari Jawa mudah diawetkan dan kayu yang diawetkan tahan terhadap serangan penggerek di laut sampai 12 bulan. Jenis kayu yang tidak diawetkan, setelah dipasang 3 bulan di laut sebagian besar sudah mendapat serangan ringan sampai berat, semakin lama kayu dipasang di laut akan bertambah berat intensitas serangannya. Kayu mimba (Azadirachta indica Juss.), pangsor (Ficus callosa Willd.), dan ki cauk (Pisonia umbellifera F.Seem.) tahan terhadap serangan penggerek di laut. Bahan pengawet CCB sangat efektif untuk mencegah serangan penggerek kayu di laut. Jenis kayu yang mempunyai kelas kuat tinggi tetapi tidak tahan terhadap penggerek di laut, melalui proses sel-penuh dengan bahan pengawet CCB dapat meningkatkan ketahanannya sehingga dapat dipakai sebagai kayu alternatif bangunan kelautan. Penggerek yang menyerang kayu di laut yaitu Martasia striata Linne dari famili Pholadidae; Teredo bartschi Clapp., Dicyathifer manni Wright., dan Bankia cieba Clench/Turner dari famili Teredinidae. Masing-masing mempunyai bentuk dan tipe serangan yang berbeda.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
29
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
B. Saran Untuk mengawetkan kayu yang akan digunakan di laut, harus dipenuhi ketentuan, yaitu retensi dan penetrasi bahan pengawet yang harus tinggi dan dalam. Untuk jenis kayu yang sulit diawetkan perlu perlakuan tambahan seperti penambahan lama waktu tekan, pengukusan, proses Oscillating Pressure Method (OPM), dan sebagainya. Jenis-jenis kayu lainnya yang mempunyai kelas kuat rendah juga dapat digunakan untuk bagian nonstruktural, seperti rumah kapal dan “furniture”.
DAFTAR PUSTAKA Amin A, Asri S, S Muladi. 2002. Tinjauan sosiologis dan ekonomis pada bidang agribisnis, sektor kehutanan. http.//unmul.ac.id/dat/pub/lemit/ tinjauan sosiologis.pdf. Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman, Samarinda. Bianchi ATJ. 1933. The resistance of some Netherlands East Indian Timbers against the attack of shipworms (Teredo). Fith Pacific Congress. Canada. Pp. 3903–3906. Chiu SF. 1988. Recent Advances in Research on Botanical Insecticides in China. South China Agricultural University. Guangzhou. pp. 69–77. Da Costa EWB, Rudman P, FJ Gay. 1985. Investigation on the durability of Tectona grandis. Empire Forestry Review. Canada. Vol. 37: 291–298. Findlay WPK. 1985. Preservative of Timber in The Tropic. Martinus Nijhoff/ Dr W.Junk Publisher. Dordrect. Gonggrijp JW. 1932. Gegevens Betreffende een Onderzoek Naar Nederlandsch-Indische Houtsoorten, Welke Tegen den Pealworm Bostand Zijn. Mededeeligen van het Boschbouwproeftation. Bogor. Mata PG, FR Siriban. 1972. Resistance of wood to marine borers. Technical Note, No.171. FORPRIDECOME, College, Laguna 3720. Philippines. Menon KD. 1957. A Note on marine borers in Malayan waters. Reprinted from the Malayan Forester, Vol.XX, No.1, pp. 1–6. Issued by the Ministry for Agriculture, Kuala Lumpur.
30
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Muslich M, G Sumarni. 1987. Pengaruh salinitas terhadap serangan penggerek kayu di laut pada beberapa jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 4(2): 46–49. Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan. ____________. 2005. Keawetan 200 jenis kayu Indonesia terhadap penggerek di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 23(3):163–176. Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan. ____________. 2008. Mimba (Azadirachta A Juss.) sebagai pohon serbaguna. Buletin Hasil Hutan. 14 (2): 75–80. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. ____________. 2008. Kelas awet 25 jenis kayu andalan setempat Jawa Barat dan Jawa Timur terhadap penggerek kayu di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 26 (1): 70–80. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Muslich M, Hadjib N, Rulliaty S, Abdurrochim S, Basri E, Suprapti S, Djarwanto, Iskandar MI, Anggraini D, G Pari. 2012. Sifat dasar dan kegunaan kayu Jawa. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2003–2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Tidak diterbitkan. Muslich M, N Hadjib, Rulliaty S. 2012. Kayu alternatif untuk industri perkapalan. Prosiding Ekpose Hasil Penelitian Tahun 2012. Pusat dan Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Ruskin FR. 1993. Neem: a Tree for Solving Global Problems. Washington, D.C: National Academy Press. Senrayan R. 1997. Prospects and challenges in production and use of neem pesticides. Proc. National conference on pesticides with emphasis on neem, 24–25 November 1997. Surabaya Indonesia. Siau JF. 1971. Flow in Wood. First edition. New York: Syracus University Press. pp. 11–40. Smith DNR, N Tamblyn. 1970. Proposed Scheme for An International Standard Test for The Resistance of Timbers to Impregnation With Preservatives. Ministry of Technology, Forest Product Research Laboratory. New Zealand. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
31
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Southwell CR, JD Bultman. 1971. Marine borers resistance of untreated woods over long periods of immersion in tropical waters. Biotropica. 3(1):81–107. Naval Research Laboratory, Washington D.C. Sudarmadji D. 1991. Mimba, insektisida alami. Trubus. Thn IV, no.44, hal 20–21. Supriana N. 1999. Rayap dan kayu. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. Turner RD. 1966. A Survey and Illustrated Catalogue of the Teredinidae. Harvard University, Cambridge, Mass. __________. 1971. Identification of marine wood-boring mollusks. Marine borers, fungi and fouling organisms of wood. Organisation for Economics Co-operation and Development, Paris. Wilkinson JG. 1979. Industrial Timber Preservation. London: Associated Business Press.
32
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
TEKNOLOGI GLULAM UNTUK PEMBUATAN KOMPONEN KAPAL KAYU* Oleh: Nurwati Hadjib, Abdurachman dan Mohammad Muslich**
ABSTRAK Penggunaan jenis kayu untuk komponen kapal masih terbatas pada jenis kayu tertentu, seperti ulin, lara, laban, jati, dan merbau. Jenis kayu tersebut dikenal baik karena mempunyai sifat fisis-mekanis tinggi, tidak mudah pecah, liat, dan tahan terhadap penggerek di laut. Kayu jati, mahoni, dan mangium merupakan jenis kayu cepat tumbuh yang sudah banyak ditanam oleh masyarakat. Kayu tanaman tersebut pada umumnya dipanen pada umur muda, diameternya kecil (< 30 cm), dan berkualitas rendah, sehingga tidak sesuai jika digunakan untuk keperluan kayu struktural. Salah satu pemanfaatan kayu dengan kualitas rendah adalah dengan pembuatan balok laminasi. Tulisan ini membahas karakteristik balok laminasi (glulam) sebagai kayu struktural berdasarkan standar JAS 234 dan pengaruh kombinasi kayu jati, mahoni, dan mangium terhadap sifat kekuatan glulam serta membandingkannya dengan balok laminasi yang tidak dikombinasi. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu jati (Tectona grandis f L.), mangium (Acacia mangium Engl.), dan mahoni (Swietenia macrophylla King.) yang diperoleh dari tanaman rakyat di daerah Ciamis, Tasikmalaya, dan Sukabumi dengan ukuran diameter berkisar 25–30 cm. Perekat yang digunakan adalah isosianat. Ada 6 (enam) jenis balok laminasi yang dibuat, yaitu balok laminasi jati, mangium, mahoni, campuran jati-mahoni, jati-mangium, dan mangium-mahoni. Dari hasil penelitian, kayu glulam mangium-mangium dan mangium-jati yang sudah diawetkan dapat digunakan untuk komponen kapal kayu, pengganti jenis yang sudah lazim digunakan karena telah memenuhi standar Biro Klasifikasi Industri (BKI). Sementara jenis kayu lainnya dapat digunakan untuk bagian nonstruktural, seperti rumah kapal dan “furniture”. Kata kunci: Kayu cepat tumbuh, diameter kecil, balok laminasi, komponen kapal kayu * Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian 30 April 2013, Botani Square IPB ICC, Bogor ** Peneliti Utama pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara maritim yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil serta dua per tiga wilayahnya merupakan lautan, sehingga untuk keperluan transportasi antarpulau memerlukan infrastruktur yang memadai. Untuk mendukung keperluan tersebut diperlukan kapal, baik untuk usaha perikanan laut ataupun pariwisata bahari oleh masyarakat pesisir. Pemenuhan kebutuhan kayu tersebut dapat mengarah pada ekploitasi hutan alam secara berlebihan yang kemudian dapat mengancam kelestarian hutan itu sendiri. Tekanan tersebut akan dapat dikurangi dengan mengembangkan bahan baku kayu alternatif dari kayu hutan tanaman. Industri kapal rakyat yang kini hidup secara dinamis di beberapa daerah di Indonesia adalah industri kapal kayu tradisional dengan beragam ukuran yang dikerjakan dengan teknologi secara turun-temurun. Industri ini memerlukan dukungan penyediaan bahan baku kayu yang cukup dengan mutu baik. Namun penggunaan jenis kayu untuk komponen kapal, terutama untuk kapal rakyat masih terbatas pada jenis kayu tertentu seperti ulin, bangkirai, laban, jati, dan merbau. Jenis-jenis kayu tersebut dikenal baik karena mempunyai sifat fisis-mekanis tinggi, tidak mudah pecah, liat, dan tahan terhadap penggerek di laut (Martawijaya 1983). Di Indonesia diperkirakan terdapat 4.000 jenis kayu, sedangkan yang mempunyai kelas kuat dan kelas awet tinggi hanya 20% (Oey 1990). Pada pembuatan kapal secara tradisional biasanya digunakan jenis kayu tertentu dan teknologi yang dikenal secara tradisional (turun-temurun). Jenis kayu yang berdimensi besar dan awet yang berasal dari hutan alam keberadaannya sudah semakin langka, sehingga pemanfaatan kayu dari hutan tanaman tidak dapat dihindari lagi. Pembuatan kayu komposit (misalnya glulam) dan pengawetan diharapkan dapat meningkatkan efisensi pemanfaatan dan keawetan kayu berdiameter kecil.
II. KONSTRUKSI KAPAL KAYU Pada umumnya konstruksi kapal terdiri atas badan kapal beserta bangunan atas dan/atau rumah geladak. Badan kapal terdiri atas lambung kiri dan kanan, dasar dan satu atau beberapa geladak. Bangunan atas adalah bangunan tambahan yang terletak di bagian atas badan kapal, panjangnya adalah sebagian panjang geladak dan pada beberapa hal bisa sepanjang geladak. Dinding atas yang menutupi bangunan atas disebut geladak bangunan atas. Di sini kadang-
34
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
kadang terletak rumah geladak atau deck house, yang umumnya selalu lebih kecil dari lebar geladak. Pada arah panjang, lebar dan tinggi badan kapal dibagi oleh bidang konstruksi, menjadi ruang-ruang yang berguna untuk penempatan barang, mesin, bahan bakar, dan lain-lain. Pembagian menjadi ruangan tersendiri berguna juga untuk menjaga agar kapal tersebut tetap terapung bila salah satu ruangan terisi air, mencegah menjalarnya kebakaran, dan untuk kekuatan kapal.
A. Persyaratan Kayu untuk Komponen Kapal Persyaratan umum kayu yang sesuai untuk digunakan pada bangunan kapal antara lain (Anonim 1996): 1. Kayu yang digunakan untuk bagian konstruksi yang penting dalam pembuatan kapal harus baik, sehat, tidak ada celah (retak), dan tidak ada cacat yang membahayakan. 2. Kayu yang tidak tahan terhadap air, cuaca, jamur, serangga tidak boleh digunakan. 3. Kayu yang tidak tahan terhadap perubahan kering, basah yang permanen, diperkenankan pemakaiannya untuk bagian-bagian di bawah garis air, misalnya untuk papan alas. 4. Bagian konstruksi di atas garis air dan di dalam badan kapal harus menggunakan kayu yang telah dikeringudarakan (kadar air 15%, sedangkan konstruksi di bawah garis air dapat menggunakan kayu yang tidak begitu kering (KA ≥ 25%). 5. Geladak ruang ikan dianjurkan menggunakan dengan kadar air tinggi untuk menghindari tumbuhnya jamur. 6. Jenis-jenis kayu yang mempunyai berat jenis (BJ) minimal 0,7 digunakan untuk lunas, linggi haluan/buritan, wrang, gading, balok buritan, dan tutup atas geladak. 7. Kayu dengan BJ minimal 0,56 digunakan untuk kulit luar, balok geladak, dudukan mesin, kayu mati, dan lain-lain. 8. Untuk geladak dan galar bisa digunakan kayu yang memiliki BJ minimal 0,45. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
35
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Berdasarkan peraturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk pembuatan kapal kayu dengan persyaratan: 1. Mutu kayu A 2. Kelas kuat kayu I, II, dan III 3. Kelas awet I dan II 4. Pemakaian multipleks (marine plywood) untuk sekat dan konstruksi yang penting diizinkan dengan syarat telah diperiksa dan disetujui BKI serta mempunyai tegangan tarik pada arah memanjang minimal 450 kg/cm2, pada arah melintang minimal 320 kg/cm2. Bagian konstruksi yang tidak penting dapat menggunakan multipleks yang lulus uji.
B. Percobaan Pembuatan Glulam dari Kayu Tanaman untuk Komponen Kapal 1. Bahan Bahan yang digunakan, kayu jati umur 10 tahun berasal dari hutan rakyat Yogyakarta, mahoni umur 10 tahun dari Tasikmalaya, dan mangium umur 9 tahun dari Sukabumi. Untuk pengawetan kayu digunakan bahan pengawet yang digunakan adalah copper-chrome-boron (CCB), sedangkan bahan perekat yang digunakan adalah perekat Water Based Polymer Isocyanate (WBPI). Peralatan yang digunakan adalah gergaji belah/potong, klem, torsimeter, tangki pengawetan, alat pengempa dingin, alat ukur kekakuan papan (panter), timbangan, mesin pembuat sambungan jari (finger joint), kilang pengeringan kombinasi tenaga surya dan panas tungku, deflektometer, oven, caliper, serta Universal Testing Machine (UTM). 2. Prosedur kerja Setiap pohon yang dipilih dari bagian batang bebas cabang dan dipotong sepanjang 4 m, kemudian dibelah dan dibuat papan dengan ukuran tebal 1 dan 2 cm, sedangkan lebarnya 8 cm. Penggergajian untuk log berdiameter kecil dilakukan pola satu sisi (sawing trough-and trough atau live sawing). Papan jati, mahoni, dan mangium kemudian dimasukkan bersama-sama ke dalam satu ruang pengering, kombinasi tenaga surya, dan panas tungku. Pada proses awal ketika kayu masih basah, proses pengeringan hanya mengandalkan panas matahari (energi surya). Penambahan panas dari tungku pembakaran
36
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dilakukan ketika kayu sudah mencapai kadar air 25–30% hingga mencapai kadar air di bawah 10%. Setelah kering, papan-papan kayu tersebut diawetkan melalui proses vakum tekan. Bahan pengawet yang digunakan yaitu CCB dengan komposisi CuSO4 34% w/w, K2CrO7 38% w/w, H3BO3 25% w/w. Garam CCB tersebut dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 3% untuk diimpregnasikan ke dalam papan/sortimen dengan proses sel penuh sesuai SNI-01-7207-2006. Papan atau sortimen yang sudah dikeringkan dan diawetkan kemudian dibuat balok lamina (glulam) menggunakan perekat Water Based Polymer Isocyanate (WBPI) untuk pengaturan lapisan yang dilakukan berdasarkan nilai kekakuannya. Produk yang akan dibuat berupa balok lamina 5 dan 6 lapis dengan ukuran penampang kayu 5/12 cm dan 6/12 cm, panjang 300 cm. Perakitan balok lamina dilakukan menggunakan alat kempa dingin selama 1 jam. Sebelum pengujian sifat fisis dan mekanis dilakukan, glulam diconditioning selama ± 7 hari untuk menjaga kesempurnaan proses perekatan.
III. HASIL PENGUJIAN A. Pengawetan Papan kayu jati, mahoni, dan mangium dari berbagai ukuran yang akan digunakan untuk komponen perahu diawetkan menggunakan bahan pengawet CCB dengan proses vakum tekan. Retensi bahan pengawet CCB pada kayu jati berkisar 23,0–34,0 kg/m3 dengan rata-rata 28,8 kg/m3, sedangkan retensi pada kayu mahoni berkisar 20,9–38,1 kg/m3 dengan rata-rata 31,3 kg/m3 dan untuk retensi pada kayu mangium berkisar 28,3–38,1 kg/m3 dengan rata-rata 31,3 kg/m3. Penetrasi bahan pengawet CCB pada kayu jati berkisar 85,2– 91% dengan rata-rata 87%, mahoni sekitar 86–92% dengan rata-rata 90%, sedangkan mangium 88–91% dengan rata-rata 89% (ubah ke dalam satuan mm). Nilai rata-rata retensi bahan pengawet CCB pada kayu jati, mangium, dan mahoni memenuhi standar mutu pengawetan untuk kayu bangunan kelautan yaitu ≥ 25 kg/m3.
B. Sifat Fisis dan Mekanis 1. Sifat fisis Nilai rata-rata kerapatan glulam yang dibuat berkisar 0,41–0,67 g/cm3. Kerapatan kayu berhubungan langsung dengan kekuatannya. Dinding serat Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
37
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
yang tebal dapat menghasilkan tegangan yang lebih besar, sehingga kayu berkerapatan tinggi akan lebih kuat, lebih keras, dan lebih kaku dibandingkan dengan kayu berkerapatan rendah (Ruhendi et al. 2007). Berdasarkan hasil pengukuran kerapatan kering udara, diperoleh nilai kerapatan balok laminasi mangium-mangium berkisar 0,41–0,68 g/ cm3 dengan rata-rata 0,65g/cm3, nilai kerapatan balok laminasi mangiumjati berkisar 0,56–0,67g/cm3 dengan rata-rata 0,60 g/cm3, nilai kerapatan balok laminasi jati-jati berkisar 0,64–0,67 g/cm3 dengan rata-rata 0,52, nilai kerapatan balok laminasi campuran jati-mahoni berkisar 0,50–0,54g/cm3 dengan rata-rata 0,51g/cm3, dan nilai kerapatan balok laminasi mahonimahoni berkisar 0,47–0,52g/cm3 dengan rata-rata 0,49g/cm3 (Gambar 1). Dari hasil sidik ragam kerapatan glulam yang dibuat, ditunjukkan bahwa kerapatan glulam sangat dipengaruhi oleh komponen penyusunnya. Dari perbandingan nilai tengah perlakuan, terlihat bahwa glulam mangiummangium tidak berbeda nyata dengan glulam jati-mangium, tetapi berbeda nyata terhadap glulam jati-jati, jati-mahoni maupun mahoni-mahoni, sedangkan antara glulam jati-jati, jati-mahoni, dan mahoni-mahoni tidak berbeda nyata.
Kerapatan, gram/cm3
0.700 0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 JJ
AJ
AA
JM
MM
Glulam
Gambar 1. Histogram nilai rata-rata kerapatan glulam Keterangan: JJ = Jati-jati, AJ = Mangium-jati, AA = Mangium-mangium, JM = Jati-mahoni, MM = Mahoni-mahoni
38
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui bahwa kerapatan balok laminasi mangium memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan balok laminasi lainnya. Hal ini terjadi karena lamina penyusunnya adalah kayu mangium yang memiliki berat jenis lebih tinggi dibandingkan dengan kayu lainnya. Pandit (2008) menginformasikan bahwa berat jenis rata-rata kayu mangium adalah 0,69 dengan kisaran 0,69–0,84. 2. Sifat mekanis Pengujian sifat mekanis glulam yang meliputi keteguhan lentur statis (modulus pada batas proporsi/MPL, modulus elastisitas/MOE, dan modulus patah/MOR) dilakukan terhadap glulam pada ukuran pemakaian dengan dua titik beban. Nilai rata-rata sifat mekanis glulam yang diteliti disajikan pada Tabel 1. Nilai rata-rata sifat mekanis terendah terdapat pada glulam jatimahoni, diikuti berturut-turut mahoni-mahoni, serta tertinggi terdapat pada mangium-jati dan jati-jati. Berdasarkan nilai MOE dan MOR-nya semua glulam yang dibuat memenuhi standar JAS 234: 2003 kecuali glulam jatimahoni. Tabel 1. Nilai rata-rata sifat mekanis glulam Jenis kayu Jati-Jati Mangium-Jati Mangium-Mangium Jati-Mahoni Mahoni-Mahoni
MOEx1000 67,92 114,63 113,15 91,83 78,32
MOR
Tekan//
(kg/cm2) 206,25 323,35 469,22 347,36 417,21 361,14 373,25 347,65 321,14 279,17
Keteguhan rekat 64,45 57,47 90,51 53,03 48,75
Rata-rata keteguhan rekat glulam jati-jati, mangium-jati, mangiummangium, jati-mahoni, dan mahoni-mahoni berkisar 9,81–119,03 kg/ cm2 dengan rata-rata 56,181 kg/cm2. Nilai rata-rata tersebut memenuhi persyaratan minimum standar JAS 234:2003, kecuali glulam jati-mahoni dan mahoni-mahoni. Keteguhan rekat terendah terdapat pada glulam jatimahoni dan tertinggi pada glulam mangium-mangium. Dibandingkan dengan glulam jati (konvensional) yang digunakan dalam pembuatan kapal kayu di PT PAL (Karnasudirja 1989), maka keteguhan geser rekat glulam jati muda lebih rendah daripada jati konvensional (87,90 kg/cm2), sedangkan glulam mangium-mangium lebih tinggi (90,51 kg/cm2) daripada glulam jati konvensional yang lazim digunakan dalam pembuatan kapal kayu. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
39
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
500 450 400
MOR 300 kg/cm2 (JAS 234:2003)
Kekuatan, kg/cm2
350 300 250 200 150
MOE 75000 kg/cm2 (JAS 234:2003)
100 50 0
MP L
MO E x 1000
JJ AJ AA JM MM
MO R
K e kua ta n le ntur
Gambar 2. Histogram keteguhan lentur statis glulam yang dibuat Keteguhan rekat 100 80
JAS 2007 54 kg/cm2
60 40 20 0 JJ
AJ
AA
JM
MM
Glulam
Gambar 3. Histogram keteguhan rekat glulam Rata-rata nilai keteguhan tekan sejajar serat glulam yang diteliti berkisar 222,68–416,14kg/cm2 dengan rata-rata total 332,46kg/cm2. Keteguhan tekan sejajar serat glulam terendah pada glulam mahoni-mahoni (279,17kg/
40
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
cm2) tertinggi pada mangium-mangium (416,14 kg/cm2). Dibandingkan dengan hasil penelitian keteguhan tekan sejajar serat kayu jati konvensional 508,9 kg/cm2 dan glulam 485,4 kg/cm2 (Karnasudirdja 1989), maka glulam mangium-mangium lebih rendah daripada glulam jati maupun kapur, tetapi lebih tinggi daripada glulam meranti, sehingga diharapkan kayu mangium dapat digunakan sebagai pengganti kayu meranti dalam industri kapal kayu (Gambar 2 dan 3).
C. Pengujian di Laut Hasil pengujian kayu jati, mahoni, dan mangium terhadap penggerek di laut menunjukkan bahwa pemasangan selama 3 dan 6 bulan semua jenis kayu yang tidak diawetkan mendapat serangan penggerek dengan intensitas serangan buruk sampai sangat buruk. Sementara jenis kayu jati, mahoni, dan mangium yang telah diawetkan dan dipasang sampai 6 bulan ternyata belum ada serangan termasuk sangat tahan. Hasil pengujian ketahanan kayu terhadap penggerek di laut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Intensitas serangan pada 3 jenis kayu yang tidak diawetkan dan diawetkan dengan bahan pengawet CCB Jenis kayu Jati Mahoni Mangium
Intensitas serangan (%) Kontrol Perlakuan 3 bulan 6 bulan 3 bulan 6 bulan 60,4 86,2 0 0 62,2 88,8 0 0 63,2 89,4 0 0
Rata-rata serangan penggerek kayu di laut pada balok lamina jati-tanpa diawet yang diuji di laut selama 3 bulan adalah 35%, sedangkan jati-diawet masih utuh. Dengan demikian balok lamina jati (muda) untuk mencegah serangan penggerek kayu di laut, sebelum digunakan sebaiknya diawetkan terlebih dahulu.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
41
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
IV. KESIMPULAN Dari hasil penelitian mengenai pemanfaatan kayu cepat tumbuh untuk komponen kapal kayu, dapat disimpulkan sebagai berikut. • Glulam mangium-mangium dan jati-mangium mempunyai kekuatan lentur tertinggi dan mempunyai kerapatan yang memenuhi persyaratan untuk komponen kapal kayu. Sementara jenis kayu lainnya dapat digunakan untuk bagian nonstruktural, seperti rumah kapal dan mebel. • Retensi dan penetrasi bahan pengawet CCB pada kayu jati, mahoni, dan mangium memenuhi persyaratan untuk dipakai di laut dan sangat tahan terhadap serangan penggerek di laut.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, N Hadjib. 2001. The size and quality of timber from community forests. Paper presented at the Presentation of Research Results and Development of Forest and Nature Conservation. in Cianjur, West Java, on 4 Septembar 2001. Anonim. 1971. Identification of marine wood-boring mollusks. Marine borers, fungi and fouling organisms of wood. Organisation for Economics Cooperation and Development, Paris. ______. 1978. Kayu untuk industri perkapalan di Indonesia. Lembaga Penelitian Hasil hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Laporan No.108. ______. 1988. Petunjuk Pembuatan Perahu Kayu. Departemen Pertanian. Ditjen Perikanan. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. Semarang. ______. 1996. Buku Peraturan Klasifikasi dan Konstruksi Kapal Laut: Peraturan Kapal Kayu. Biro Klasifikasi Indonesia. Ditjen Perhubungan Laut. Jakarta. -------------. 2005. Keawetan 200 jenis kayu Indonesia terhadap penggerek di laut. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 23(3):163–176. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor.
42
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
______. 2006. SNI 01-7207-2006. Uji ketahanan kayu dan ptoduk kayu terhadap organisme perusak kayu, ICS 79.020. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. _______. 2007. Glued Laminated Timber. Japanese Agricultural Standard. MAFF, Final rev. Notification No. 1152. Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries. Japan. ______. 2008. ISO 8375. Timber structures-Glued laminated timber-Test methods for determination of phisical and mechanical properties. ISO. Geneva. ______. 2010. Wood as an engineeing materials. For. Prod. Lab. USDA Forest Service. Madison. Wisconsin. Centennial ed. Chapter 11:11– 17. ______. 2010. ISO/FDIS 20152-1. Timber structures–Bond performance of adhesives–Part 1: Basic requirements. Bharata. 1982. Mematri, Merekat, Menyusutkan dan Mengempa. Bharata. Jakarta: Karya Aksara. Kadir K. 1993. Hutan tanaman dan kualitas kayu sebagai bahan baku industri. Prosiding Diskusi Sifat dan Kegunaan Jenis Kayu HTI, 23 Maret 1989. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Karnasudirdja S. 1989. Kekuatan kayu lamina yang dibuat dari tiga jenis kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 6 (5) : 281–287. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Kininmonth JA. 1986. Wood from Fastt-grown, Short-rotattion trees. Proceedings, Ljubljana. Mardikanto TR. 1986. Sifat-sifat mekanis kayu. Diktat Kuliah Dasar-dasar Teknologi Kayu. Fak. Kehutanan IPB. Tidak diterbitkan. Martawijaya A. 1983. Keawetan Kayu yang Berasal dari Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Makalah Undangan Diskusi Hutan Tanaman Industri. P3HH, Bogor. Martawijaya A. 1990. Sifat dasar beberapa jenis kayu yang berasal dari hutan tanaman dan hutan alam. Proceedings Diskusi Hutan Tanaman Industri. Badan Litbang Kehutanan. Dephut. Jakarta (268–298). Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
43
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Oey Djoen Seng. 1990. Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan Pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktik. Pengumuman No. 1. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Senft JF, MJ Quanci, BA Bendtsen. 1986. Property Profile of 60-Year-Old Douglas-fir. Proc. of Cooperative Technical Workshop of Juvenile Wood. Forest Product Research Society. Madison. USA. Pp. 17–28. Siddiq S. 1989. Use of Glued Laminated Timber for structural components of buildings and housing. Paper presented at the seminar “Glulam”. Dept. of Forestry. Jakarta, June 15, 1989. Turner RD. 1966. A Survey and Illustrated Catalogue of the Teredinidae. Cambridge, Mass: Harvard University.
44
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
PEMANFAATAN KAYU TREMBESI UNTUK FURNITUR DENGAN TEKNOLOGI LAMINASI* Oleh: Abdurachman dan Jamaludin Malik**
ABSTRAK Trembesi adalah salah satu jenis kayu khas dari daerah tropis, khususnya Indonesia yang memiliki nilai komersial cukup baik di pasaran. Di Indonesia, kayu trembesi ini tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara serta daerah lain yang dikenal dengan nama kayu suar atau kayu meh. Masyarakat menggunakan kayu ini sebagai kayu pertukangan, yakni sebagai bahan baku untuk membuat furnitur menggantikan kayu jati yang persediaannya di alam semakin berkurang dan juga harganya yang sangat mahal. Pembuatan furnitur kayu trembesi di Jepara atau di Bali umumnya dalam bentuk kayu solid, jenis furniturnya adalah kursi dan meja taman, meja bar, dan bangku kecil yang bentuknya sangat sederhana. Penelitian dan uji coba pembuatan furnitur kayu trembesi telah dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah), PIKA, dan Jepara menggunakan teknologi laminasi. Secara teknis, hasilnya menunjukkan bahwa nilai rata-rata kerapatan kayu laminasi trembesi menggunakan perekat Isocyanat adalah 0,669 g/cm3 dan perekat polycheme adalah 0,665 g/cm3. Keteguhan geser rekat pada uji kering 97,86 kg/cm2 (isocyanat) dan 41,98kg/cm2 (Polycheme), sedangkan pada uji basah menggunakan perekat Isocyanat adalah 23,97 kg/cm2. Pada uji kering nilai keteguhan geser rekatnya memenuhi standar Jepang (JAS 2007) dapat diterapkan pada pembuatan komponen furnitur lainnya. Kata kunci: Trembesi, kayu rakyat, produktivitas, furnitur
* Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian 30 April 2013, Botani Square IPB ICC, Bogor ** Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
I. PENDAHULUAN Kayu trembesi dengan nama botanis Samanea saman (Jacq.) Merr. tergolong ke dalam famili mimosaceae adalah salah satu jenis kayu khas dari daerah tropis, khususnya Indonesia yang memiliki nilai komersial cukup baik di pasaran. Di Indonesia, kayu trembesi ini berasal dari beberapa pulau, yaitu Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Namun tidak menutup kemungkinan jika kayu yang juga dikenal dengan nama kayu suar ini bisa ditemukan di daerah lain selain dari daerah yang sudah disebutkan. Hal ini disebabkan persebaran pohon penghasil kayu trembesi memang tergolong cepat dan bisa tumbuh di daerah mana saja di Indonesia (Haekal 2013). Di Jawa Barat, kayu ini disebut ki hujan dan di Jawa Tengah (Jepara) disebut kayu meh. Menurut Seng (1990), kayu trembesi ini mempunyai berat jenis 0,61, kelas awet IV dan kelas kuat III. Di alam, persediaan kayu trembesi dengan ukuran besar masih banyak dan sering ditemukan. Oleh sebab itu, kayu ini banyak digunakan oleh masyarakat (terutama industri perkayuan) sebagai kayu pertukangan, yakni sebagai bahan baku untuk membuat furnitur menggantikan kayu jati yang persediaannya di alam semakin berkurang dari hari ke hari dan juga harganya yang mahal. Konsumsi kayu bulat di Kabupaten Jepara sebesar 1,5–2,2 juta m³/tahun, dari jumlah tersebut 9 m³ kayu bulat dapat menyokong pekerjaan seorang pekerja tetap selama satu tahun (Anonim 2007). Pada akhir tahun 1997, banyak perajin khususnya di Jepara menggunakan kayu trembesi sebagai salah satu bahan baku produk kerajinan dan furnitur. Di samping lebih murah dibanding dari kayu perhutani, kayu jenis ini mempunyai lingkaran diameter yang lebih besar dan mudah dalam pengerjaannya. Perajin di Jepara merasa terbantu dengan adanya kayu trembesi ini, terbukti untuk membeli kayu ini tidaklah sulit bahkan tanpa diminta pun banyak kayu-kayu jenis ini sudah berdatangan dari luar daerah Jepara. Tidak sedikit turis atau konsumen asing yang tertarik dengan jenis kayu ini. Dari beberapa sumber mengatakan kayu termbesi ini mempunyai sifat dan karakter sama dengan kayu jati, hanya saja tingkat keuletan dan ketahanan terhadap cuaca sedikit berbeda. Dalam upaya menjaga keberlangsungan industri pengolahan kayu dengan keterbatasan bahan baku, antara lain diatasi dengan meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan berupa
46
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
kayu. Suplai kayu ke industri pengolahan kayu saat ini umumnya dari kayu yang berasal dari hutan tanaman sehingga kualitasnya kurang baik, seperti diameter batang relatif kecil, kerapatan rendah, dan sifat fisik mekanik juga rendah. Untuk meningkatkan mutu kayu tersebut, perlu dilakukan penerapan teknologi pengolahan kayu yang dapat memperbaiki kelemahan yang ada pada jenis kayu cepat tumbuh (fast growing) tersebut, misalnya dengan teknik kayu lamina maupun teknologi pengolahan lainnya (Anonim 2004).
II. KLASIFIKASI DAN CIRI MORFOLOGI KAYU TREMBESI A. Klasifikasi Menurut Steenis (2006), kayu trembesi (ki hujan) dapat diklasifikasi sebagai berikut. Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Rosales
Famili
: Fabaceae
Subfamili
: Mimosaceae
Genus
: Samanea
Species
: Samanea saman (Jacq.) Merr.
B. Ciri Morfologi Pohon trembesi atau ki hujan (Samanea saman (Jacq.) Merr) mudah dikenali dari karakteristik kanopinya yang berbentuk seperti payung. Tinggi maksimum pohon trembesi dapat mencapai 15–25 m dengan dimaketer puncak tanaman mencapai 30 m, bahkan pada tanaman yang sangat besar dapat mencapai 50–60 m. Pohon trembesi biasanya memiliki cabang yang pendek dengan diameter 1–2 m (Staples and Craig 2008).
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
47
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
III. MANFAAT KAYU TREMBESI Sebelum dikenal sifat-sifatnya oleh masyarakat, kayu ini dimanfaatkan sebagai pohon peneduh yang biasanya berada di taman, pinggir jalan, lahan pertanian, dan padang rumput (Purnamasari 2009). Pemanfaatan kayu trembesi di Indonesia digunakan sebagai tanaman obat, pelindung jalan, dan hutan kota. Selain itu trembesi juga dikembangkan sebagai kayu industri atau kayu komersial yang memiliki karakteristik tekstur lebih lembut, terang, dan kuat. Oleh karena itu, kayu trembesi dapat digunakan untuk furnitur, bahan dasar kerajinan mangkok, dan hiasan untuk interior rumah (Sa’idah 2008). Saat ini pemanfaatan kayu trembesi dapat dikembangkan sebagai kayu industri atau komersial yang mempunyai karakteristik tekstur kayu lebih lembut, terang, dan kuat, antara lain dapat digunakan untuk furnitur, bahan dasar kerajinan mangkok, dan hiasan untuk interior rumah. Para pengrajin furnitur di Jepara saat ini sudah banyak menggunakan kayu trembesi atau kayu meh ini sebagai bahan baku kerajinan patung dan mebel.
Gambar 1. Patung dari kayu meh (trembesi)
48
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 2. Meja dan kursi dari kayu trembesi Berdasarkan hasil penelitian, kayu trembesi ini memiliki sifat-sifat: berat jenis (BJ) rata-rata 0,61, tergolong kelas awet IV, dan kelas kuat III dapat digunakan sebagai bahan bangunan, kayu lapis, mebel, lantai, papan dinding, rangka pintu/jendela, perkapalan, patung, ukiran, dan kerajinan tangan.
A. Kayu Trembesi sebagai Bahan Furnitur Kayu trembesi di sentra-sentra industri furniture dan kerajinan dijumpai dalam bentuk log atau kayu gergajian yang didatangkan dari luar daerah, misalnya di Jepara kayu trembesi berasal dari daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ukurannya bervariasi, dalam bentuk log pada umumnya berdiameter antara 80–100 cm dan panjang sekitar 120–200 cm. Untuk kayu gergajian biasanya pengrajin memesannya di tempat penggergajian yang ada di sekitar sentra industri. Produk furnitur maupun barang kerajinan dibuat dari kayu meh dalam bentuk kayu solid dan di-finishing secara natural karena hal ini lebih disukai oleh pembeli, baik domestik maupun mancanegara. Sesungguhnya produk furnitur kayu yang diminati orang adalah produk yang memiliki nilai seni dan budaya. Oleh karena itu dalam desainnya perlu ditekankan paduan dari kedua nilai tersebut. Pembuatan furnitur dan barang kerajinan menggunakan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
49
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
kayu solid sudah tentu menimbulkan limbah yang tidak sedikit (rendemen rendah) sehingga kurang ekonomis. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan sentuhan teknologi laminasi, di mana hal ini akan mengurangi limbah dan penampilannya juga bernilai seni dan dapat menyesuaikan dengan selera pembeli. Kenyataan ini telah dilakukan di Jepara pada pembuatan garden furnitur berupa kursi yang terbuat dari kayu trembesi dengan teknik laminasi, hasilnya cukup diminati pembeli luar negeri terutama dari negara China.
B. Teknologi Laminasi Teknologi perekatan kayu (glulam) telah lama dikenal dan telah banyak diaplikasikan pada produk-produk kayu olahan, mulai dari komponen kecil pada furnitur hingga kayu laminasi berukuran besar untuk konstruksi bangunan. Saat ini perekatan menggunakan bahan baku bambu sudah banyak dilakukan di industri. Kualitas perekatan sangat ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu jenis kayu, jenis perekat, dan sistem perekatan. Ketiga faktor tersebut masingmasing memiliki persyaratan khusus, yaitu kayu yang akan direkat harus dalam kondisi kering udara (± 14%), kerapatan kayu, dan cacat kayu terutama mata kayu hidup. Jenis perekat yang digunakan harus sesuai dengan kegunaan produk yang dihasilkan untuk interior atau eksterior. Pada proses perekatannya dikenal ada perekat thermosetting dan thermoplastic. Metode perekatan kayu laminasi juga ada dua cara, yaitu press dingin (could press) dan press panas (hot press). Pada perekatan komponen mebel (furnitur) seperti komponen kursi, meja, lemari, dan sebagainya memiliki persyaratan tertentu baik bahan maupun teknik perekatannya. Standar dan spesifikasi perekatan bervariasi di berbagai negara mensyaratkan kualitas perekatan kayu yang berbeda-beda. Namun demikian, dari standar dan spesifikasi tersebut terdapat dua kesamaan kriteria perekatan kayu, yaitu: • Kekuatan ikatan perekat disyaratkan tinggi (minimal sama kuatnya dengan kayu yang direkat; sebagai contoh pada saat pengujian, 50% kerusakan terjadi di pada kayu, bukan pada lapisan perekatnya). • Kekuatan perekat yang tinggi harus dipertahankan dalam waktu yang lama dalam berbagai kondisi lingkungan.
50
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Faktor utama yang memengaruhi kualitas perekatan komponen mebel adalah sama dengan perekatan kayu laminasi lainnya, yaitu berat jenis kayu, kadar air kayu, zat ekstraktif yang terkandung dalam kayu dan kualitas permukaan kayu.
C. Pembuatan Furnitur dari Kayu Trembesi yang Sudah Laminasi Pada tahun 2011 telah dilakukan percobaan pembuatan furnitur berupa kursi teras yang terbuat dari kayu trembesi dengan laminasi. Desain kursi ditentukan oleh pembuat, yang dalam hal ini adalah pengrajin mebel di Jepara, sedangkan desain kayu laminasinya dirancang oleh peneliti Pustekolah pada proyek kerja sama dengan ACIAR seperti Gambar 3. Perekat yang digunakan adalah Isocyanat tipe B4 dengan cara press dingin pada tekanan kempa 10 kg/ cm2. Langkah-langkah pekerjaan adalah: 1. Persiapan bahan kayu berupa papan trembesi tebal 2,5 cm, lebar 15–20 cm, dan panjang 125 cm 2. Papan dikeringkan dalam kiln drying sampai mencapai kadar air ± 14% 3. Papan diserut pada keempat sisinya sampai rata, kemudian diampelas supaya permukaannya halus 4. Papan direkat ke arah lebar untuk mendapatkan lebar balok laminasi sesuai ukuran desain menggunakan mesin kempa dingin selama 24 jam. 5. Papan direkat ke arah tebal sampai membentuk balok laminasi berukuran 60 cm x 60 cm x 120 cm 6. Balok laminasi dibiarkan (conditioning) selama 1 minggu. 7. Balok laminasi dibentuk sesuai desain kursinya menggunakan chainsaw. 8. Kursi yang sudah terbentuk dihaluskan dan finishing.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
51
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 3. Desain kayu laminasi untuk bahan kursi
Gambar 4. Balok laminasi pada saat conditioning
52
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 5. Kursi yang belum di-finishing
Gambar 6. Kursi yang telah di-finishing
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
53
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
IV. PROSPEK PRODUK MEBEL INDONESIA Produk mebel Indonesia semakin diakui pasar dunia, pertumbuhan industri mebel dan kayu mencapai angka tujuh persen. Khusus di Asia, permintaan terhadap produk kerajinan dan mebel buatan pengrajin asal Indonesia meningkat pesat. Kondisi ini didorong peningkatan kualitas dan sosialisasi para pengrajin di pameran regional dan internasional. Pasar Asia dikenal selektif dalam memilih produk. Ciri khas produk mebel asal Indonesia dinilai memiliki daya saing di antara produk sejenis di negara lain se-Asia. Sentuhan seni dan budaya berpadu dengan kualitas internasional. “Kita tetap harus waspada dengan manuver yang dilakukan negara tetangga”, ujar Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) Ambar Tjahyono di sela pameran International Furniture and Craft Fair Indonesia (IFFINA). Pada tahun 2013, Indonesia kembali menggelar IFFINA untuk keempat kali. Tercatat, sebanyak 4.000 pembeli dari 150 negara hadir dalam pameran furnitur dan kerajinan terbesar di Indonesia itu. Jumlah tersebut meningkat sebesar 30% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. ASMINDO menargetkan total transaksi sebesar 400 juta dolar AS dalam IFFINA ini. Tahun 2012 total transaksi mencapai 300 juta dolar AS. Setengah dari total pembeli menjadi target kelanjutan perdagangan furnitur dan kerajinan dalam negeri. Usai pameran, biasanya para pembeli akan langsung datang ke sentra-sentra industri, termasuk di daerah. Mereka akan meninjau kondisi perusahaan atau bengkel pengrajin. Proses ini pun diakhiri dengan order pembelian. Industri furnitur kini menjadi salah satu andalan pemerintah. Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kehutanan tengah menyiapkan program hilirisasi untuk pengembangan kayu olahan. Selain itu, nilai ekspor furnitur menunjukkan neraca positif. Produk kayu olahan cukup laris diekspor ke AS, Prancis, Jepang, Inggris, dan Belanda. Nilai ekspor produk kayu olahan Indonesia pada tahun 2012 sebesar 1,41 miliar dolar AS. Angka ini lebih meningkat jika dibandingkan dengan nilai ekspor tahun 2011, yakni 1,34 miliar dolar AS, ditopang turunnya daya beli di negara tujuan ekspor. Pemerintah berkomitmen mengembangkan industri olahan agar dikenal pasar dunia.
54
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
V. PENUTUP Kayu trembesi atau kayu ki hujan memiliki prospek yang baik untuk mendukung industri kayu pertukangan maupun industri furnitur karena memiliki sifat-sifat yang tidak jauh berbeda dengan jenis kayu lain yang biasa digunakan. Potensinya cukup banyak di Indonesia terutama di Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara. Teknologi perekatan kayu atau kayu laminasi yang menghasilkan produk-produk kayu olahan baik untuk struktur berat, struktur ringan termasuk furnitur dapat diaplikasikan pada industri manufacturing dan perlu dikembangkan serta disosialisakan kepada setiap pemangku kepentingan. Prospek industri furnitur Indonesia kini semakin meningkat di pasar dunia yang didukung oleh kegiatan-kegiatan pameran berskala nasional maupun internasional.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Glue Laminated Timber. Japanese Agricultural Standard. MAFF, Final rev. Notofication No. 1152. Ministry Of Agriculture, Forestry and Fisheries. Japan. Dinas Kehutanan Jawa Tengah. 2008. Pemilihan Jenis Tanaman. http : // www.dinashut-jateng.go.id. Diakses tanggal 13 Oktober 2008. Flores EM. 2008. Samanea saman (Jacq.) Merr. http ://www.mgn.net. Diakses tanggal 9 September 2008. Haekal C. 2013. Tentang Kayu Trembesi atau Kayu Suar, Kayu Meh. Rimba Kita. Jakarta. Loveless AR. 1989. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropis. Jakarta: Gramedia. Purnamasari D. 2009. Pengaruh Konsentarsi dan Lama Perendaman dalam Asam Sulfat Terhadap Perkecambahan Biji Ki Hujan (Samanea saman (Jacq.) Merr.) [Skripsi]. Jurusan Biologi Fakultas Sain dan Teknologi Universitas Negeri Malang. Manuscript.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
55
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Sa’idah. 2008. Trembesi (Samanea saman (Jacq.) Merr. Tanaman Pelindung yang Terlupakan. http://www.worldkids.woodpress.com. Diakses tanggal 13 Oktober 2008. Seng OD. 1990. Berat Jenis Kayu-kayu Indoesia dan pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktik. Pengumuman LPHH No.1 Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Staples GW, Craig. 2008. Samanea saman (rain tree). http ://www.agroforestry. net. Diakses tanggal 9 September 2008. Steenis V dkk. 2006. Flora. Jakarta: Pradnya Paramitha.
56
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
BAMBU KOMPOSIT SEBAGAI MATERIAL ALTERNATIF PENSUBSTITUSI KAYU PERTUKANGAN BERKUALITAS* Oleh: IM. Sulastiningsih dan Adi Santoso**
ABSTRAK Saat ini pasokan kayu pertukangan berkualitas khususnya untuk mebel dan perumahan belum mencukupi kebutuhan yang ada. Kondisi ini mendorong usaha pencarian material alternatif sebagai substitusi kayu pertukangan terus meningkat. Bambu adalah salah satu bahan yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut. Pemanfaatan bambu di Indonesia saat ini masih terbatas dan dilakukan secara konvensional dengan menggunakan bambu bulat. Oleh karena itu perlu ditingkatkan diversifikasi produk pengolahan bambu, khususnya yang dapat berfungsi sebagai kayu pertukangan. Agar tujuan tersebut tercapai, produk bambu yang dihasilkan harus dapat menggantikan fungsi papan atau balok kayu yang memiliki dimensi tertentu. Dengan perekat tertentu, bambu yang bentuk aslinya bulat dan berlubang dapat diolah menjadi produk bambu komposit berbentuk papan bambu atau balok bambu (bambu lamina). Sementara itu, kayu pertukangan yang tersedia di pasaran saat ini banyak menggunakan jenis kayu cepat tumbuh yang berasal dari hutan tanaman dengan umur yang masih muda, sehingga keawetan dan kekuatannya rendah. Jalan keluar yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan memanfaatkannya sebagai lapisan penyusun bambu komposit. Penelitian pembuatan bambu komposit (bambu lamina) dengan lapisan tengah dari jenis kayu cepat tumbuh maupun yang semua lapisannya dari bambu menggunakan beberapa jenis perekat telah dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa papan bambu lamina (3 lapis) dari bambu andong yang dibuat dengan perekat urea formaldehida setara dengan kayu kelas kuat II. Penggunaan lapisan bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) sebagai lapisan luar balok kayu jabon (Anthocephalus cadamba) dan balok kayu manii (Maesopsis eminii) dapat meningkatkan kelas kuat kayu jabon dan kayu manii dari kelas kuat IV menjadi kelas kuat III. Di samping itu permukaan bambu * Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian 30 April 2013, Botani Square IPB ICC, Bogor ** Peneliti Utama pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
komposit yang dihasilkan memiliki corak penampilan serat yang bagus dan unik (fancy) dengan adanya buku pada bilah bambu penyusun bambu komposit tersebut sehingga sangat sesuai untuk bahan mebel dan desain interior. Bambu komposit berupa bambu lamina dengan berbagai komposisi lapisan penyusunnya merupakan produk pengolahan bambu yang sangat sesuai sebagai substitusi kayu pertukangan berkualitas. Kata kunci: Bambu komposit, kayu jabon, kayu manii, kayu pertukangan
1. PENDAHULUAN Saat ini pasokan kayu pertukangan berkualitas, khususnya untuk mebel dan perumahan belum mencukupi kebutuhan yang ada. Kondisi ini mendorong usaha pencarian material alternatif sebagai substitusi kayu pertukangan terus meningkat. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai substitusi kayu pertukangan adalah bambu karena sejak zaman dahulu manusia telah menggunakan bambu sebagai bahan bangunan, mebel, alat rumah tangga, dan barang kerajinan. Indonesia sebagai salah satu negara tropis di dunia memiliki sumber daya bambu yang cukup potensial. Di Indonesia bambu dapat dijumpai, baik di daerah pedesaan maupun di dalam kawasan hutan. Semua jenis tanah dapat ditanami bambu kecuali tanah di daerah pantai. Pada tanah ini kalau pun terdapat bambu, pertumbuhannya lambat dan batangnya kecil. Tanaman bambu dapat dijumpai mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, dari pegunungan berbukit dengan lereng curam sampai landai (Sastrapraja et al. 1977). Menurut Widjaja (2012), bambu di Indonesia terdiri atas 160 jenis; 38 jenis di antaranya merupakan jenis introduksi dan 122 jenis merupakan tanaman asli Indonesia. Luas tanaman bambu di Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan sebesar 2.104.000 ha yang terdiri atas 690.000 ha luas tanaman bambu di dalam kawasan hutan dan 1.414.000 ha luas tanaman bambu di luar kawasan hutan (FAO dan INBAR 2005). Saat ini bambu telah banyak ditanam dalam rangka pengembangan hutan rakyat, khususnya di daerah yang merupakan sentra industri kerajinan bambu. Sumber daya bambu yang cukup melimpah di Indonesia perlu ditingkatkan pemanfaatannya agar dapat memberi sumbangan terhadap pertumbuhan
58
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
ekonomi nasional. Pemanfaatan bambu di Indonesia saat ini masih terbatas dan dilakukan secara konvensional menggunakan bambu bulat. Oleh karena itu perlu ditingkatkan diversifikasi produk pengolahan bambu, khususnya yang dapat berfungsi sebagai kayu pertukangan. Untuk tujuan tersebut, maka produk bambu yang dihasilkan harus dapat menggantikan fungsi papan atau balok kayu, sehingga produk bambu tersebut harus memiliki ukuran tebal, lebar, dan panjang tertentu. Masalah yang timbul dalam pemanfaatan bambu sebagai kayu pertukangan adalah keterbatasan bentuk dan dimensinya. Dalam bentuk pipih, bambu mempunyai ketebalan yang relatif kecil (tipis) sehingga untuk menambah ketebalannya perlu dilakukan usaha laminasi. Kemajuan dalam teknologi perekatan diharapkan dapat mengatasi keterbatasan bentuk dan dimensi bambu sebagai bahan mebel dan bangunan (kayu pertukangan). Dengan perekat tertentu, bambu yang bentuk aslinya bulat dan berlubang dapat diolah menjadi produk bambu komposit berbentuk papan bambu atau balok bambu (bambu lamina). Sebagai bahan komponen mebel dan konstruksi ringan seperti kaki kursi, kaki meja, kusen pintu, dan kusen jendela, ukuran bambu lamina harus cukup tebal dengan dimensi seperti balok kayu sehingga diperlukan jumlah lapisan yang cukup banyak. Konversi bambu bulat menjadi bilah bambu sampai siap untuk direkat menjadi bambu lamina memerlukan waktu, energi, dan biaya yang cukup tinggi. Sementara itu kayu pertukangan yang tersedia di pasaran saat ini banyak menggunakan jenis kayu cepat tumbuh yang berasal dari hutan tanaman dengan umur yang masih muda, sehingga keawetan dan kekuatannya rendah. Jalan keluar yang dapat ditempuh untuk mengatasi kedua masalah tersebut adalah dengan memanfaatkan jenis kayu cepat tumbuh sebagai kombinasi lapisan penyusun bambu komposit, sehingga diperoleh balok bambu komposit yang cukup tebal. Prinsip dasar yang diterapkan dalam pembuatan produk lamina adalah konstruksi seimbang. Kekuatan balok baik yang terbuat dari kayu utuh maupun produk komposit dalam nenahan beban lentur terletak pada bagian luar atau lapisan luar, di mana lapisan atas menahan beban tekan dan lapisan bawah menahan beban tarik, sedangkan bagian tengah netral. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalam pembuatan balok bambu komposit (balok bambu lamina) susunan lapisan diatur sedemikian rupa sehingga kayu kelas kuat rendah dengan ukuran yang cukup tebal digunakan sebagai lapisan Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
59
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
tengah. Sementara lapisan luarnya terbuat dari papan bambu tipis (satu atau dua lapis) yang terdiri atas beberapa bilah bambu yang memiliki kekuatan yang tinggi. Di samping itu bilah bambu sebagai bahan dasar penyusun papan bambu tipis tidak hanya memiliki kekuatan yang tinggi, tetapi permukaannya bersifat fancy karena memiliki corak penampilan serat yang bagus dan unik dengan adanya buku pada bilah tersebut, sehingga sayang bila ditempatkan sebagai lapisan tengah. Dalam tulisan ini dikemukakan kualitas berbagai macam bambu komposit berupa bambu lamina yang dibuat dengan variasi komposisi lapisan, macam perekat, dan kondisi pengempaan.
II. PROSES PEMBUATAN BAMBU KOMPOSIT Komposit adalah suatu produk yang diperoleh dengan jalan menggabungkan beberapa elemen kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya menggunakan perekat. Marra (1969) dalam Maloney (1977) mengemukakan 14 macam elemen kayu dari yang terbesar sampai terkecil, yaitu dolok, kayu gergajian, papan tipis atau venir tebal, venir, selumbar panjang atau venir pendek, serpih, selumbar, wol kayu (ekselsior), untai, serbuk, berkas serat, serat kertas, tepung kayu, dan selulosa. Sepuluh jenis elemen kayu di antaranya dapat diproduksi dari limbah kayu atau dari kayu yang tidak sesuai untuk kayu gergajian dan kayu lapis. Pada umumnya, jenis elemen kayu tersebut dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu kayu gergajian (balok, papan dan bilah), venir, partikel, dan serat. Dalam tulisan ini, elemen penyusun bambu komposit yang digunakan adalah bilah bambu. Bambu yang digunakan untuk bambu kompsit (bambu lamina) harus mempunyai diameter yang cukup besar dan dinding bambunya tebal sehingga diperoleh bilah bambu yang cukup tebal. Untuk efisiensi bahan baku, lapisan tengah dapat diganti dengan kayu. Pada prinsipnya, proses pembuatan bambu komposit berupa bambu lamina adalah:
A. Pembuatan Bilah Bambu Bambu dipotong bagian pangkalnya sepanjang ± 50–80 cm (bergantung kondisi bambu tersebut) untuk menghilangkan bagian batang bambu yang tidak lurus (cacat) dan panjang ruas yang tidak beraturan. Batang bambu tersebut dipotong menjadi beberapa bagian dengan panjang ± 1,2–2 m bergantung dari kelurusan batang bambu, tebal dinding bambu, dan tipe
60
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
mesin pembelah bambu yang tersedia. Hasil potongan bambu harus lurus, silindris, dan dinding bambunya cukup tebal. Potongan bambu yang telah dipilih kemudian dibuat bilah menggunakan mesin pembelah bambu. Bilah bambu yang digunakan adalah yang betul-betul lurus pada kedua sisi panjangnya. Bilah bambu hasil pembelahan selanjutnya diserut pada bagian atas dan bawah untuk mendapatkan permukaan bilah yang rata. Bilah bambu yang telah diserut, kedua permukaannya kemudian dibiarkan mengering atau dikeringkan dengan sinar matahari. Jika diperlukan, bagian tepi (sisi panjang) bilah bambu yang terlalu kasar diampelas supaya halus dan mudah direkat secara mendatar ke arah lebar.
B. Perlakuan Pendahuluan Bilah Bambu Seperti kita ketahui bahwa bambu mudah sekali diserang oleh bubuk kayu kering karena bambu mempunyai kandungan pati yang cukup tinggi. Oleh karena itu, untuk memperpanjang umur pakainya, perlu dilakukan pengawetan bambu. Cara pengawetan bambu telah diuraikan dengan jelas oleh Barly (1999). Cara pengawetan yang bisa diterapkan untuk bilah bambu kering adalah proses rendaman dingin atau rendaman panas-dingin. Target retensi pengawetan bilah bambu menggunakan larutan boron adalah 6 kg/m3 atau lebih bergantung dari tujuan penggunaannya. Dalam proses pengawetan bilah bambu kering ini, hal yang harus diperhatikan adalah bilah bambu yang akan diawetkan harus siap pakai, sehingga setelah diawetkan bilah bambu tersebut tidak memerlukan proses pemotongan lagi. Bilah bambu yang telah diawetkan selanjutnya dikeringkan dengan sinar matahari atau dikeringkan dalam dapur pengering hingga kadar airnya mencapai ± 10–12%. Bila dikehendaki warna bilah bambu yang lebih cerah atau putih, maka perlakuan pendahuluan bilah bambu yang dilakukan adalah pemutihan (bleaching). Bilah bambu diputihkan memakai larutan H2O2, konsentrasi 15% dengan cara rendaman dingin selama 5 jam. Kemudian ditiriskan dan selanjutnya direndam dalam larutan bahan pengawet dalam waktu tertentu, bergantung dari jenis bahan pengawet yang digunakan. Bilah tersebut kemudian dikeringkan dengan sinar matahari dan dilanjutkan dalam dapur pengering hingga kadar airnya mencapai ± 10–12%. Bila dikehendaki warna cokelat, maka bilah bambu yang sudah diputihkan dan dikeringkan dilanjutkan dengan proses karbonisasi.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
61
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
C. Perekatan Bilah Bambu ke Arah Lebar Pada tahap ini perlu dilakukan kegiatan penyiapan perekat. Jenis perekat yang digunakan bergantung pada tujuan penggunaannya. Jenis perekat yang umum digunakan adalah urea formaldehida, melamin formaldehida, penol formaldehida, serta isosianat atau menggunakan perekat alami seperti tanin formaldehida dan tanin resorsinol formaldehida. Perekat dan bahan lain (ekstender, pengisi, pengeras, dan air) disiapkan dan ditimbang sesuai dengan komposisi yang dikehendaki. Bahan tersebut selanjutnya diaduk dalam mesin pengaduk perekat dan pengadukan harus merata. Beberapa bilah bambu yang telah disiapkan dan dipilih kemudian direkat ke arah lebar menggunakan perekat yang telah disiapkan dengan berat labur sesuai anjuran pabrik pembuat perekat atau berdasarkan hasil penelitian. Perekatan bilah bambu ke arah lebar bisa dilakukan secara mendatar (horizontal) atau secara tegak (vertikal). Bilah bambu (bahan papan) yang telah dilaburi perekat pada sisi tebal sepanjang bilah bambu (perekatan secara mendatar) atau pada sisi lebar sepanjang bilah bambu (perekatan secara tegak) dan direkat dengan target lebar tertentu. Selanjutnya dikempa dalam waktu tertentu, bergantung dari jenis perekat dan anjuran pabrik pembuat perekat yang digunakan. Proses pengempaan dapat dilakukan dengan kempa dingin atau kempa panas, bergantung dari mesin yang tersedia. Hasil perekatan bilah bambu secara mendatar berupa papan-papan bambu tipis (tebal < 10 mm). Sementara perekatan bilah bambu secara tegak berupa papan bambu lamina yang memiliki tebal sama dengan lebar bilah bambu penyusunnya.
D. Pembuatan Papan Kayu Untuk efisiensi bahan baku, maka lapisan tengah bambu lamina bisa menggunakan kayu. Jenis kayu yang digunakan sebaiknya kayu cepat tumbuh dari hutan tanaman yang pada umumnya memiliki keawetan dan kekuatan yang rendah karena merupakan kayu muda. Dolok kayu yang tersedia dipotong menjadi beberapa bagian dengan panjang ± 1,2–2,5 m bergantung dari tujuan penggunaannya, kemudian dibelah menggunakan gergaji pita untuk mendapatkan papan dengan ketebalan tertentu. Papan yang dihasilkan kemudian dikeringkan dan selanjutnya diserut pada kedua permukaannya dan diampelas hingga diperoleh ketebalan yang ditargetkan. Selanjutnya, papan kayu tersebut diawetkan dengan larutan boron 7% dengan cara rendaman dingin dan target retensi 6 kg/m3 atau lebih bergantung dari
62
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
tujuan penggunaannya. Lama proses pengawetan dengan cara perendaman bervariasi, bergantung dari tebal papan yang diawetkan (4–24 jam atau lebih). Papan yang sudah diawetkan kemudian dikeringkan dengan sinar matahari dan dilanjutkan dalam dapur pengering hingga kadar air mencapai ± 10– 12%.
E. Pembuatan Bambu Komposit Berupa Bambu Lamina Bambu lamina yang dibuat terdiri atas beberapa lapis papan bambu tipis. Jumlah lapisan dapat bervariasi, bergantung dari tujuan penggunaan serta pertimbangan teknis dan ekonomis. Komposisi lapisan bambu lamina dapat dikombinasikan dengan kayu atau produk kayu (papan sambung, kayu lapis). Bambu lamina dibuat dengan merekatkan beberapa buah papan bambu tipis (hasil perekatan bilah bambu ke arah lebar) dengan arah serat sejajar. Perekat yang telah dipersiapkan dilaburkan pada permukaan papan yang akan direkat dengan berat labur dan komposisi perekat seperti pada butir 3. Bahan bambu lamina tersebut kemudian dikempa dingin atau panas dalam waktu tertentu sesuai dengan jenis perekat yang digunakan, mesin kempa yang tersedia dan tebal bahan yang dikempa. Bambu lamina yang dihasilkan kemudian dibiarkan selama beberapa waktu untuk proses penyesuaian dengan kondisi lingkungan (conditioning).
F. Pemotongan Menjadi Ukuran Akhir dan Pengampelasan Bambu komposit berupa bambu lamina yang telah dibuat selanjutnya dipotong pada keempat sisinya untuk mendapatkan ukuran yang ditargetkan. Pemotongan harus benar-benar siku pada keempat sisinya dan dilanjutkan dengan pengampelasan. Pengampelasan dilakukan untuk menghaluskan permukaan bambu lamina menggunakan mesin ampelas. Pengampelasan dilakukan pada kedua permukaan bambu lamina.
III. KUALITAS BAMBU KOMPOSIT Bambu komposit berupa bambu lamina dengan variasi komposisi lapisan, jenis perekat, dan kondisi pengempaan telah dibuat. Untuk mengetahui kualitas bambu komposit yang dibuat, maka perlu diuji sifat fisis dan mekanis bambu komposit yang dihasilkan. Mardikanto et al. (2009) menyatakan bahwa sifat mekanis kayu merupakan ukuran kemampuan kayu untuk menahan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
63
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
gaya yang datangnya dari luar, yang biasa disebut gaya luar atau beban. Hal tersebut berlaku juga pada produk komposit. Pada Tabel 1 disajikan sifat fisis dan mekanis bambu komposit (bambu lamina) dengan berbagai macam bahan penyusun, komposisi lapisan, jenis perekat yang digunakan dan waktu kempa yang diterapkan.
A. Kadar Air Bambu Komposit Kadar air berbagai macam bambu komposit yang dibuat dengan variasi bahan penyusun, komposisi lapisan, jenis perekat, dan waktu kempa berkisar antara 9,2% hingga 13,6% (Tabel 1). Kadar air bambu komposit ini memenuhi persyaratan kadar air untuk produk panel kayu pada umumnya karena nilainya kurang dari kadar air maksimum yang diperkenankan untuk produk panel kayu di Indonesia, yaitu 14%. Tabel 1. Kualitas bambu komposit Sifat fisis dan mekanis bambu komposit Macam bambu (bambu lamina) komposit (jenis perekat; No. PT, KL, KT, KR, Kelas KA, KRP, g/ berat labur; waktu 3 % kg/ kg/ kg/ kuat cm kempa yang diterapkan) % cm2 cm2 cm2 kayu*) 1 2
3
4
5
64
Papan bambu lamina andong 3 lapis (TRF; 170 g/m2; 20 jam) Papan bambu lamina andong 3 lapis, lapisan tengah mangium (TRF; 170 g/m2; 20 jam) Papan bambu lamina andong 3 lapis, lapisan tengah tusam (TRF; 170 g/m2; 20 jam) Papan bambu lamina mayan 3 lapis (TRF; 20% ekstender; 170 g/m2; 20 jam) Papan bambu lamina andong 3 lapis (TRF; 2,5% ekstender; 180 g/m2; 4 jam)
11,7
0,80
1,03 1.241
-
242,2
II - I
12,2
0,70
1,82 1.130
-
86,8
II - I
12
0,64
3,32
962
-
51
II
12,8
0,71
4,08
895
572
55,8
II
9,16
0,78
4,61 1.131
-
64
II - I
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Sifat fisis dan mekanis bambu komposit Macam bambu (bambu lamina) komposit (jenis perekat; No. KT, KR, Kelas KA, KRP, g/ PT, KL, berat labur; waktu % kg/ kg/ kg/ kuat cm3 kempa yang diterapkan) % cm2 cm2 cm2 kayu*) 6
7
8
9
10
11
12
13 14
Papan bambu lamina andong 3 lapis (bilah diputihkan; TRF; 2,5% ekstender; 180 g/m2; 4 jam) Papan bambu lamina andong 3 lapis (UF; 10% ekstender; 180 g/m2; 4 jam) Papan bambu lamina andong 3 lapis (UF; 10% ekstender; 180 g/m2; 5 jam) Papan bambu lamina andong 3 lapis (UF; 15% ekstender; 170 g/m2; 3 jam) Papan bambu lamina mayan 3 lapis (UF; 15% ekstender; 170 g/m2; 3 jam) Papan bambu lamina andong 3 lapis (UF; 10% ekstender; 180 g/m2; 4 jam) Papan bambu lamina andong 3 lapis (bilah diputihkan; UF; 10% ekstender; 180 g/m2; 4 jam) Papan bambu lamina andong 3 lapis (IS; 250 g/m2; 1 jam) Papan bambu lamina andong 3 lapis (bilah diputihkan; IS; 250 g/m2; 1 jam)
9,32
0,77
6,74 1.098
-
42
II
10,5
0,78
4,71 1.220
578
64,8
II - I
10,3
0,77
3,64 1.224
580
70,7
II - I
12
0,77
3,31 1.237
701
86,2
II - I
11,8
0,60
4,57 1.107
595
67
II - I
10,3
0,78
4,71 1.220
578
65
II - I
9,6
0,78
3,67 1.192
540
76
II - I
9,7
0,78
1.169
558
75
II - I
9,4
0,73
4,9 1.091
539
70
II
5
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
65
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Sifat fisis dan mekanis bambu komposit Macam bambu (bambu lamina) komposit (jenis perekat; No. KT, KR, Kelas KA, KRP, g/ PT, KL, berat labur; waktu % kg/ kg/ kg/ kuat cm3 kempa yang diterapkan) % cm2 cm2 cm2 kayu*) 15 Papan bambu lamina mayan 3 lapis (IS; 250 g/m2; 1 jam) 16 Papan bambu lamina mayan 3 lapis (bilah diputihkan; IS; 250 g/m2; 1 jam) 17 Papan bambu lamina andong susun tegak (IS; 250 g/m2; 2 jam) 18 Papan bambu lamina andong susun tegak (bilah diputihkan; IS; 250 g/m2; 2 jam) 19 Papan bambu lamina mayan susun tegak (IS; 250 g/m2; 2 jam) 20 Papan bambu lamina mayan susun tegak (bilah diputihkan; IS; 250 g/m2; 2 jam) 21 Balok kayu lamina manii dengan permukaan luar 1 lps bambu andong (TRF; 170 g/m2; 20 jam) 22 Balok kayu lamina manii dengan permukaan luar 2 lps bambu andong (TRF; 170 g/m2; 20 jam) 23 Balok bambu lamina andong (IS; 250 g/m2; 1 jam) 24 Balok bambu lamina mayan (IS; 250 g/m2; 1 jam)
66
10
0,74
3,2 1.176
543
56
II - I
10
0,69
6,8 1.061
460
62
II
11,8
0,76
2,4 1.280
671
-
II - I
10,4
0,71
1.166
653
-
II - I
11
0,72
2,3 1.172
687
-
II - I
11,2
0,66
2,5
858
494
-
II
13,6
0,50
-
597
335
-
III
13,6
0,66
-
744
427
-
II
10,3
0,77
-
566
527
58
III - II
10
0,72
-
647
555
66
III - II
2
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Sifat fisis dan mekanis bambu komposit Macam bambu (bambu lamina) komposit (jenis perekat; No. KT, KR, Kelas KA, KRP, g/ PT, KL, berat labur; waktu % kg/ kg/ kg/ kuat cm3 kempa yang diterapkan) % cm2 cm2 cm2 kayu*) 25 Balok kayu jabon dengan permukaan luar 1 lapis bambu andong (IS; 250 g/m2; 1 jam) 26 Balok kayu jabon dengan permukaan luar 2 lapis bambu andong (IS; 250 g/m2; 1 jam) 27 Balok kayu jabon dengan permukaan luar 1 lapis bambu mayan (IS; 250 g/m2; 1 jam) 28 Balok kayu jabon dengan permukaan luar 2 lapis bambu mayan (IS; 250 g/m2; 1 jam)
11,3
0,46
-
559
285
63
III
10,8
0,51
-
708
335
62
III
12,1
0,41
-
518
278
64
III
11
0,48
-
513
357
60
III
Keterangan: KA = Kadar air (%); KRP = Kerapatan (g/cm3); PT = Pengembangan tebal (%); KL = Keteguhan lentur (kg/cm2); KT = Keteguhan tekan (kg/cm2); KR = Keteguhan rekat (kg/cm2); - = Data tidak tersedia *) = Klasifikasi kelas kuat kayu menurut Oey Djoen Seng (1964) berdasarkan nilai berat jenis (kerapatan), keteguhan lentur dan keteguhan tekan TRF = Tanin Resorsinol Formaldehida UF = Urea Formaldehida IS = Perekat Isosianat (Water Based Polymer-Isocyanate Adhesive)
B. Kerapatan Bambu Komposit Pada umumnya, sifat mekanis suatu bahan berhubungan erat dengan berat jenis atau kerapatannya. Hal tersebut telah dikemukakan oleh Oey Djoen Seng (1964) bahwa semakin tinggi berat jenis suatu jenis kayu, semakin tinggi pula kekuatannya. Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa papan bambu lamina 3 lapis dari bambu andong yang dibuat menggunakan beberapa macam perekat dan penerapan waktu kempa yang berbeda, memiliki kerapatan bervariasi antara 0,73–0,80 g/cm3, sedangkan yang dibuat dari bambu mayan memiliki Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
67
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
kerapatan bervariasi antara 0,66–0,74 g/cm3. Papan bambu lamina 3 lapis dari bambu andong dengan lapisan tengah kayu mangium memiliki kerapatan 0,70 g/cm3, sedangkan yang lapisan tengahnya kayu tusam memiliki kerapatan 0,64 g/cm3. Dibandingkan dengan klasifikasi kelas kuat kayu Indonesia dan berdasarkan nilai kerapatannya, maka papan bambu lamina 3 lapis dari bambu andong dan bambu mayan tersebut setara dengan kayu kelas kuat II. Balok bambu lamina (10 lapis) dari bambu andong dan bambu mayan memiliki kerapatan berturut-turut 0,77 g/cm3 dan 0,72 g/cm3. Balok bambu komposit dengan lapisan tengah kayu jabon dan lapisan luar bambu andong berturut-turut 1 lapis dan 2 lapis memiliki kerapatan berturut-turut 0,46 g/ cm3 dan 0,51 g/cm3. Sementara balok bambu komposit yang lapisan luarnya dari bambu mayan memiliki kerapatan berturut-turut 0,46 g/cm3 dan 0,51 g/cm3. Balok bambu komposit dengan lapisan luar bambu andong 1 lapis dan lapisan tengah kayu jabon memiliki kerapatan 0,46 g/cm3, sedangkan yang lapisan luarnya bambu andong 2 lapis memiliki kerapatan 0,51 g/cm3. Balok bambu komposit dengan lapisan luar bambu mayan 1 lapis dan lapisan tengah kayu jabon, memiliki kerapatan 0,41 g/cm3, sedangkan yang lapisan luarnya bambu mayan 2 lapis memiliki kerapatan 0,48 g/cm3. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa bambu komposit dari bambu mayan memiliki kerapatan lebih rendah dibanding bambu komposit dari bambu andong. Hal ini disebabkan berat jenis bambu andong lebih tinggi daripada bambu mayan (Sulastiningsih dan Santoso 2010). Seperti diketahui bahwa kerapatan produk komposit dipengaruhi oleh kerapatan atau berat jenis bahan baku penyusunnya di samping oleh adanya perekat dan proses pengempaan. Dibandingkan dengan klasifikasi kelas kuat kayu Indonesia dan berdasarkan nilai kerapatannya, maka balok bambu komposit dengan lapisan luar bambu andong atau bambu mayan dan lapisan tengah kayu jabon tersebut setara dengan kayu kelas kuat III. Kerapatan kayu jabon yang sudah diawetkan adalah 0,34 g/cm3 dan termasuk kayu kelas kuat IV. Dengan demikian penggunaan bambu sebagai lapisan luar balok kayu jabon meningkatkan kerapatan balok bambu komposit yang dihasilkan. Besarnya peningkatan nilai kerapatan tersebut pada balok bambu komposit dengan lapisan tengah kayu jabon dan lapisan luar bambu andong berturut-turut adalah 35,3% (1 lapis) dan 50% (2 lapis), sedangkan kalau lapisan luar bambu mayan peningkatan nilai kerapatan tersebut berturut-
68
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
turut 20,6% (1 lapis) dan 41,2% (2 lapis).
C. Kesetabilan Dimensi Bambu Komposit Salah satu indikator untuk menilai kesetabilan dimensi bambu komposit adalah sifat pengembangan tebal. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa pengembangan tebal bambu komposit yang dibuat dengan berbagai macam bahan penyusun, komposisi lapisan, jenis perekat yang digunakan dan waktu kempa yang diterapkan berkisar 1,03–6,80%. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa bambu komposit yang paling stabil adalah papan bambu lamina andong 3 lapis yang dibuat dengan perekat tanin resorsinol formaldehida (TRF), berat labur 170 g/m2, dan waktu kempa 20 jam. Bambu komposit yang memiliki kestabilan dimensi paling rendah adalah papan bambu lamina mayan 3 lapis yang bilahnya diputihkan dan dibuat menggunakan perekat isosianat, berat labur 250 g/m2, dan waktu kempa 1 jam. Pengembangan tebal bambu lamina 4 lapis yang dibuat dari pelupuh bambu moso dan direkat dengan perekat berbahan dasar resorsinol bervariasi antara 11,9–12,4% (Nugroho dan Ando 2001). Pengembangan tebal lantai bambu yang diperdagangkan di pasaran Amerika Serikat dan bambu lamina 3 lapis yang dibuat di laboratorium menggunakan bambu moso berturutturut adalah 0,69% dan 0,96% (Lee dan Liu 2003). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa lantai bambu yang ada di pasaran Amerika Serikat memiliki pengembangan tebal yang sangat kecil. Hal ini terjadi karena produk lantai bambu tersebut sudah dilapisi bahan finishing, sehingga air yang masuk ke dalam produk tersebut hanya dapat melalui bagian atau permukaan yang tidak di-finishing. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa bambu komposit yang elemen penyusunnya berupa bilah bambu dan dibuat dengan berbagai komposisi lapisan, jenis perekat yang digunakan, dan waktu kempa yang diterapkan mempunyai sifat kesetabilan dimensi yang cukup baik.
D. Keteguhan Lentur Bambu Komposit Keteguhan lentur bambu komposit yang dibuat dengan berbagai macam bahan penyusun, komposisi lapisan, jenis perekat, dan waktu kempa yang diterapkan berkisar 513 kg/cm2 hingga 1.280 kg/cm2 (Tabel 1). Papan bambu lamina 3 lapis dari bambu andong maupun bambu mayan yang dibuat dengan variasi jenis perekat dan waktu pengempaan, memiliki keteguhan lentur Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
69
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
setara dengan kayu kelas kuat I karena nilainya tidak kurang dari 1.100 kg/ cm2. Kecuali papan bambu lamina mayan yang dibuat dengan perekat tanin resorsinol formaldehida dengan waktu kempa 4 jam. Papan bambu lamina andong dengan lapisan tengah kayu tusam dan papan bambu lamina yang bilahnya diputihkan, memiliki keteguhan lentur setara dengan kayu kelas kuat II karena nilainya tidak kurang dari 725 kg/cm2. Keteguhan lentur papan bambu lamina susun tegak, baik dari bambu andong maupun bambu mayan setara dengan kayu kelas kuat I, kecuali papan dari bambu mayan yang bilahnya diputihkan setara dengan kayu kelas kuat II. Hasil penelitian Nugroho dan Ando (2001) menunjukkan bahwa keteguhan lentur (modulus patah) papan bambu lamina 4 lapis yang dibuat dari pelupuh bambu moso dan direkat dengan perekat berbahan dasar resorsinol berkisar 639–707 kg/cm2 (uji datar) dan antara 755–877 kg/cm2 (uji tegak). Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa papan bambu lamina yang dibuat dari bilah bambu andong maupun bambu mayan lebih kuat dibanding bambu lamina yang dibuat dari pelupuh bambu karena nilai keteguhan lenturnya lebih besar. Di samping itu tampilan permukaan papan bambu lamina dari bilah bambu lebih baik dibanding papan bambu lamina dari pelupuh bambu karena papan yang terbuat dari bilah bambu terlihat utuh (solid). Sementara permukaan papan yang terbuat dari pelupuh masih terlihat adanya serat-serat bambu yang terpisah berupa celah. Keteguhan lentur balok bambu komposit (10 lapis) yang direkat dengan perekat isosianat dan waktu kempa 1 jam adalah 566 kg/cm2 (andong) dan 647 kg/cm2 (mayan). Balok bambu komposit dengan lapisan tengah kayu lamina manii dengan lapisan luar bambu andong 1 lapis dan 2 lapis, memiliki keteguhan lentur berturut-turut 597 kg/cm2 dan 744 kg/cm2. Balok bambu komposit dengan lapisan tengah kayu jabon dan lapisan luar bambu andong 1 lapis dan 2 lapis memiliki keteguhan lentur berturut-turut 559 kg/cm2 dan 708 kg/cm2. Sementara balok bambu komposit dengan lapisan tengah kayu jabon dan lapisan luar bambu mayan memiliki keteguhan lentur berturut-turut 518 kg/cm2 dan 513 kg/cm2. Berdasarkan nilai keteguhan lentur tersebut makan balok bambu komposit yang dibuat dengan berbagai komposisi lapisan setara dengan kayu kelas kuat III karena nilainya tidak kurang dari 500 kg/cm2. Kayu manii (Maesopsis eminii) termasuk kayu ringan dengan berat jenis 0,41, kelas kuat IV dan kelas awet IV. Menurut Oey Djoen Seng (1964),
70
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
keteguhan lentur kayu kelas kuat IV adalah 500–360 kg/cm2. Kayu jabon (Anthocephalus cadamba) yang sudah diawetkan memiliki keteguhan lentur sebesar 408 kg/cm2. Berdasarkan uraian di atas, penggunaan bambu pada lapisan luar balok bambu komposit dengan lapisan tengah kayu meningkatkan keteguhan lentur produk bambu komposit yang dihasilkan. Besarnya peningkatan nilai keteguhan lentur tersebut bervariasi dari 23,05– 73,6% bergantung dari jenis bahan baku yang digunakan dan variabel proses pembuatan yang diterapkan. Penggunaan bambu sebagai lapisan luar balok bambu komposit meningkatkan kelas kuat kayu manii dan kayu jabon dari kelas kuat IV menjadi kelas kuat III. Di samping itu lapisan bambu tersebut memberi tampilan permukaan yang berkesan indah dibanding corak penampilan kayu manii dan kayu jabon.
E. Keteguhan Tekan Keteguhan tekan bambu komposit yang dibuat dengan variasi bahan penyusun, komposisi lapisan, jenis perekat yang digunakan dan waktu kempa yang diterapkan, berkisar 278–701 kg/cm2 (Tabel 1). Papan bambu lamina 3 lapis dari bambu andong maupun bambu mayan yang dibuat dengan variasi jenis perekat dan waktu pengempaan, memiliki keteguhan tekan setara dengan kayu kelas kuat II karena nilainya tidak kurang dari 425 kg/cm2, kecuali papan bambu lamina andong 3 lapis yang dibuat dengan perekat urea formaldehida dengan waktu kempa 3 jam memiliki keteguhan tekan setara dengan kayu kelas kuat I karena nilainya tidak kurang dari 650 kg/cm2. Keteguhan tekan papan bambu lamina susun tegak baik dari bambu andong maupun bambu mayan setara dengan kayu kelas kuat I kecuali papan dari bambu mayan yang bilahnya diputihkan setara dengan kayu kelas kuat II. Keteguhan tekan balok bambu komposit (10 lapis) yang direkat dengan perekat isosianat dan waktu kempa 1 jam adalah 527 kg/cm2 (andong) dan 555 kg/cm2 (mayan). Dibandingkan dengan klasifikasi kelas kuat kayu Indonesia, maka balok bambu komposit tersebut setara dengan kayu kelas kuat II karena nilainya tidak kurang dari 425 kg/cm2. Keteguhan tekan balok bambu komposit dengan lapisan tengah kayu manii atau kayu jabon dan lapisan luar bambu andong atau bambu mayan, setara dengan kayu kelas kuat III karena nilainya tidak kurang dari 300 kg/cm2.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
71
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
IV. PENUTUP Produk bambu komposit berupa papan bambu lamina 3 lapis dan papan bambu lamina susun tegak baik dari bambu andong maupun bambu mayan, dengan kerapatan papan bambu lamina lebih rendah (0,70–0,80 g/cm3) dibandingkan dengan klasifikasi kelas kuat kayu Indonesia, pada umumnya memiliki keteguhan lentur setara dengan kayu kelas kuat I, sedangkan keteguhan tekannya setara dengan kayu kelas kuat II. Produk bambu komposit berupa balok bambu lamina yang semua lapisannya dari bambu andong atau bambu mayan memiliki keteguhan lentur setara dengan kayu kelas kuat III dan keteguhan tekannya setara dengan kayu kelas kuat II. Sementara produk bambu komposit berupa balok bambu lamina dengan lapisan tengah jenis kayu cepat tumbuh memiliki keteguhan lentur dan keteguhan tekan setara dengan kayu kelas kuat III. Sumber daya bambu yang cukup potensial di Indonesia khususnya bambu yang berdiameter besar dan dindingnya tebal perlu ditingkatkan pemanfaatannya agar dapat memberi sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Diversifikasi produk pengolahan bambu perlu ditingkatkan khususnya produk bambu yang dapat digunakan sebagai substitusi kayu pertukangan. Pengembangan industri pengolahan bambu khususnya bambu komposit di Indonesia, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh dapat mengurangi tekanan terhadap hutan alam sebagai sumber bahan baku kayu untuk industri pengolahan kayu. Kebijakan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena mereka dapat ambil bagian dalam proses produksi serta memperoleh nilai tambah yang tinggi dari tanaman bambu yang mereka miliki atau mereka kelola. Pengembangan industri bambu lamina harus didukung oleh kebijakan pemerintah, tersedianya pasokan bambu secara berkesinambungan, sosialisasi budi daya bambu kepada masyarakat luas khususnya bambu yang berdiameter besar dan dindingnya tebal, alokasi lahan untuk tanaman bambu, mesin pengolahan bambu yang murah, dan kegiatan penelitian diarahkan untuk meningkatkan teknologi pembuatan bambu lamina.
72
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
DAFTAR PUSTAKA FAO, INBAR. 2005. Global Forest Resources Assessment Update 2005. Indonesia. Country Report on Bamboo Resources. Forest Resources Assessment Programme Working Paper (Bamboo). Food and Agriculture Organization of the United Nation (FAO), Forestry Department and International Network for Bamboo and Rattan (INBAR), Jakarta, May, 2005. Lee AWC, Liu Y. 2003. Selected physical properties of commercial bambu flooring. Forest Products Journal. 53(6): 23–26. Maloney TM. 1977. Modern Particleboard & Dry-Process Fibreboard Manufacturing. California, USA: Miller Freeman Publication, San Francisco. Mardikanto TR, L Karlinasari, ET Bahtiar. 2009. Sifat Mekanis Kayu. Bogor:. Fakultas Kehutanan IPB. Nugroho N, N Ando. 2001. Development of structural composite products made from bambu II: fundamental properties of laminated bambu board. Journal of Wood Science. 47(3): 237–242. Oey Djoen Seng. 1964. Berat Jenis dari Jenis-Jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktik. Pengumuman LPHH No 1. Bogor. Sastrapraja S, EA Widjaja, S Prawiroatmodjo, S Soenarko. 1977. Beberapa Jenis Bambu. Bogor: Lembaga Biologi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sulastiningsih IM, N Hdjib, A Santoso. 2005. Pengaruh lapisan kayu terhadap sifat bambu lamina. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 23(1): 15–22. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Indonesia. Sulastiningsih. 2008b. Beberapa Sifat Bambu Lamina yang terbuat dari tiga jenis bambu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 26(3):277–287. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Sulastiningsih IM, N Hadjib. 2008. Beberapa sifat kayu lamina yang terbuat dari kayu manii dengan lapisan luar bambu andong. Prosiding Seminar
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
73
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XI tanggal 8-10 Agustus 2008 di Palangka Raya. Hlm. 532–537. Kerjasama Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) dengan Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya. Sulastiningsih IM, Nurwati. 2009. Physical and mechanical properties of laminated bamboo board. Journal of Tropical Forest Science. 21(3): 246–251. Sulastiningsih IM, A Santoso. 2010. Karakteristik jenis bambu sebagai bahan baku bambu komposit. Laporan Hasil Penelitian 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Indonesia. Tidak terbit. Sulastiningsih IM, A Santoso, Barly, MI Iskandar. 2012. Pengaruh kadar ekstender dan perlakuan pendahuluan bilah bambu terhadap sifat bambu lamina. Proceeding Simposium Nasional Rekayasa dan Budidaya Bambu I. 30 Januari 2012, Yogyakarta, Indonesia. Hlm. 53– 59. Kerjasama Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada dan Persatuan Pecinta Bambu Indonesia (PERBINDO). Sulastiningsih IM, A Santoso, M Iqbal. 2012. Pembuatan Produk Bambu Komposit. Laporan Hasil Penelitian 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Indonesia. Tidak terbit. Sulastiningsih IM, A Santoso. 2012. Pengaruh jenis bambu, waktu kempa dan perlakuan pendahuluan bilah bambu terhadap sifat papan bambu lamina. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 3(3):198–206. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Indonesia. Widjaya EA. 2012. The Utilization of Bamboo: At present and for The Future. Proceedings of International Seminar Strategies and Challenges on Bamboo and Potential Non Timber Forest Products (NTFP) Management and Utilization. 23–24 November 2011, Bogor, Indonesia 79–85. Center for Forest Productivity Improvement Research and Development. Bogor. Indonesia.
74
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
PEMANFAATAN EKSTRAK CAIR LIMBAH KAYU MERBAU SEBAGAI BAHAN PEREKAT BALOK LAMINA* Oleh:
Adi Santoso, MI. Iskandar dan Jasni** email:
[email protected]
ABSTRAK Pemanfaatan ekstrak cair limbah kayu merbau (Intsia spp) sebagai sumber senyawa fenolik untuk bahan perekat di Indonesia pada masa mendatang diperkirakan semakin berkembang berkenaan dengan upaya optimalisasi hasil hutan. Sampai saat ini pemanfaatan sisa potongan pemanenan pohon di hutan maupun serbuk kayu gergajian sebagian besar ditinggalkan di hutan atau di sekitar pabrik sebagai limbah. Padahal limbah tersebut bila diekstrak dengan air bisa menghasilkan ekstrak cair senyawa fenolik (resorsinol) yang besar manfaatnya. Dalam upaya mengurangi kebergantungan pada perekat impor dan memenuhi kebutuhan perekat dalam negeri dengan bahan baku yang berasal bukan dari minyak bumi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) telah mengembangkan perekat berkualitas Weather Boiling Proof yang terbuat dari ekstrak cair limbah gergajian kayu merbau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teknis ekstrak cair limbah kayu merbau sangat potensial sebagai sumber resorsinol untuk bahan baku perekat. Perekat ini bisa diaplikasikan untuk memproduksi berbagai jenis produk perekatan yang ramah lingkungan, seperti balok lamina dan sejenisnya dengan kualitas eksterior. Kata kunci: Ekstrak cair, limbah kayu gergajian, merbau, resorsinol, perekat
I. PENDAHULUAN Pengembangan industri pengolahan kayu dengan mengolah kayu bulat sebanyak mungkin di dalam negeri, secara penuh dititikberatkan pada pembinaan hutan sebagai sumber daya alam agar terjaga kelestariannya. Peran hutan dalam hal sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi * Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian 30 April 2013, Botani Square IPB ICC, Bogor ** Peneliti Utama pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
penduduk sekitarnya bertujuan menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan. Dengan demikian, pembangunan industri pengolahan kayu merupakan bagian dari usaha jangka panjang untuk memperluas kesempatan kerja, meratakan kesempatan berusaha, meningkatkan ekspor, menghemat devisa, menunjang pembangunan daerah, serta memanfaatkan sumber daya alam dan energi dan sumber daya manusia. Dalam upaya mencapai maksud tersebut, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan guna menunjang penyediaan bahan baku di dalam negeri, sehingga di masa depan Indonesia diharapkan mampu mandiri dan mengekspor produksi barang jadi dengan harga bersaing. Sejalan dengan perkembangan industri pengolahan kayu di Indonesia, baik industri hulu maupun hilir, pada saat ini terdapat beberapa buah pabrik perekat sintetis yang menghasilkan perekat termoplastik seperti polivinil asetat dan perekat termoseting seperti urea formaldehida (UF), melamin urea formaldehida (MUF), dan phenol formaldehyde (PF). Perekat termoplastik banyak dipakai pada industri mebel dan korek api, sedangkan perekat termoseting banyak dipakai pada industri kayu lapis, papan partikel, kabinet mesin jahit, dan formika. Selain kedua jenis perekat sintetis tersebut, dikenal pula perekat sintetis coldseting berbasis resorsinol seperti resorsinol formaldehida (RF), resorcinol phenol formaldehyde (RPF), dan phenol resorcinol formaldehyde (PRF) sampai saat ini sebagian besar masih diimpor. Penggunaan perekat jenis ini terutama untuk pembuatan kayu konstruksi (Santoso 2011). Tradisi impor bahan baku industri merupakan satu kelemahan yang perlu dibenahi dalam restrukturisasi industri kehutanan. Dalam upaya menanggulangi atau mengurangi kebergantungan kepada produk impor, Pustekolah mencari bahan perekat substitusi yang setara kualitasnya dengan perekat impor. Salah satu formula yang dikembangkan adalah perekat berkualitas Weather Boiling Proof (WBP) dari bahan baku berupa resorsinol, yang berasal dari limbah serbuk kayu gergajian merbau (Intsia spp.). Pemanfaatan resorsinol, yang berasal dari ekstrak cair limbah serbuk kayu gergajian merbau (Intsia spp.) ini ditujukan sebagai pengganti resinresin fenolik sintetis. Hal itu sesuai dengan pertimbangan bahwa performance bahan tersebut menyerupai perekat fenolik sintetis meskipun dalam beberapa hal reaksinya mungkin sangat berbeda. Selain itu, dikaitkan dengan upaya mengurangi ketergantungan pada perekat sintetis sebagai hasil olahan asal
76
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
minyak bumi yang merupakan sumber daya tidak terbarukan, mengurangi pencemaran lingkungan, dan menekan biaya perekat, serta upaya penghematan devisa dengan meningkatkan pemanfaatan limbah yang berasal dari sumber daya alam. Resorsinol yang merupakan senyawa fenol monosiklik sederhana diyakini terdapat dalam jumlah banyak dalam tumbuh-tumbuhan. Peran senyawa fenolik salah satunya sebagai bahan pembangun dinding sel dan sistem pertahanan tumbuhan terhadap serangga penggerek tanaman (Hans 2006). Salah satu jenis tanaman yang mengandung senyawa tersebut adalah merbau, yang merupakan salah satu jenis kayu komoditas ekspor Indonesia, mudah dikenal dari seratnya yang berwarna merah kecokelatan, memiliki keunggulan dalam kekerasan, dan tektur halus kayunya. Kegunaannya cukup luas sebagai property karena sifat fisik dan mekanik yang dimilikinya membuat kayu merbau menjadi sebuah simbol eklusivitas dalam interior (Martawijaya 2005). Kelemahan kayu ini adalah dalam keadaan hujan atau lembap, menyebabkan kayu merbau mengeluarkan senyawaan ekstraktif berwarna merah yang menurut hasil penelitian terdahulu ternyata senyawa fenolik yang didominasi oleh resorsinol (Santoso dan Malik 2011). Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan Pustekolah mengenai pemanfaatan resorsinol yang berasal dari ekstrak cair limbah serbuk gergajian kayu merbau sebagai bahan baku perekat dalam upaya peningkatan kualitas dan diversifikasi produk industri pengolahan kayu melalui produk perekatan yang ramah lingkungan.
II. BAHAN DAN METODE A. Pembuatan/Formulasi Perekat Pembuatan perekat terdiri atas serangkaian kegiatan mulai dari ekstraksi limbah kayu merbau hingga pembuatan perekat dengan komposisi tertentu dari komponen penyusunnya. Limbah kayu merbau berupa serbuk diekstrak dengan cara mencampurkannya dengan air pada perbandingan 1 : 4 (b/b) dan dipanaskan pada suhu 80˚C selama 3 jam. Ekstrak yang diperoleh dipisahkan dari serbuknya melalui penyaringan. Ampas yang telah diekstrak dapat diekstrak ulang sampai 3 kali dengan perbandingan volume air yang sama.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
77
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pembuatan perekat dilakukan dengan mereaksikan ekstrak merbau dengan resorsinol teknis dan formaldehida. Penambahan resorsinol dalam formulasi ini dimaksudkan sebagai ‘pengumpan’ untuk mengaktifkan senyawa fenolik dari ekstrak merbau. Formulasi ditetapkan dengan mengacu pada Santoso (2003).
B. Pengujian Sifat Fisiko-Kimia Perekat Perekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perekat dari formulasi hasil penelitian yang telah dilakukan terdahulu, yaitu dengan nisbah mol ekstrak merbau : resorsinol teknis : formaldehida = 1 : 0,25 : 0,8 (Santoso dan Malik 2011). Perekat dengan formula tersebut diuji sifat fisiko-kimianya dengan pembanding perekat PRF (Akzonobel 2000). Pengujian mencakup penentuan viskositas, densitas, visual, benda asing, pH, kadar padatan (SNI 1998). Selain itu, dilakukan juga penetapan bobot molekul dan waktu retensi (menggunakan GPC), titik gelas dan dekomposisi/disosiasi (menggunakan TGA-DTA), derajat kristalinitas (menggunakan XRD), analisis komponen senyawa organik (menggunakan Py-GCMS dan IR), dan formaldehida bebas (menggunakan spektrofotometer UV-vis).
C. Pembuatan Balok Lamina dan Cross Laminated Timber Aplikasi perekat dalam pembuatan balok cross laminated timber (CLT) dan lamina non-CLT ini masing-masing 5 lapis, dibuat dari 4 (empat) jenis kayu, yaitu pangsor (Ficus callosa), mindi (Melia azedarach), pinus (Pinus merkusii), dan mangium (Acacia mangium). Produk yang dibuat masingmasing berukuran tebal 70 mm, lebar 150 mm, dan panjang 980 mm. Banyaknya contoh produk yang dibuat 5 ulangan per jenis kayu.
Keterangan: : Lapisan
sejajar : Lapisan silang Gambar 1. Penampang melintang balok CLT 5 lapis
78
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pelaburan perekat dilakukan pada satu permukaan dengan berat labur 150 g/cm2 dan dikempa selama lebih kurang 3 jam pada suhu ruangan. Selesai pengempaan, produk perekatan ini dikondisikan pada suhu ruangan, kemudian diserut dan di-finishing.
D. Pengujian Produk Produk yang telah dibuat, ditempatkan di ruang pengkondisian selama 7 hari setelah dilepas dari alat kempa. Sebanyak 3 dari 5 ulangan produk perekatan diambil untuk pembuatan contoh uji. Contoh uji balok lamina terdiri atas kadar air, kerapatan, emisi formaldehida, keteguhan rekat dan delaminasi, serta keteguhan patah/Modulus of Rupture (MOR) dan Keteguhan lentur/Modulus of Elasticity (MOE) dengan mengacu pada standar uji JAS (JIS 2003), SNI 01-7147-2005, dan SNI 01-6243-2000. Pengujian produk seluruhnya dilaksanakan di Laboratorium Penguji dan Laboratorium Produk Majemuk, Pustekolah-Bogor.
E. Analisis Data Data hasil pengamatan ditabulasi dan dirata-ratakan. Analisis dilakukan secara deskriptif dan statistik untuk mengetahui karakteristik perekat dan mutu rekatan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan percobaan faktorial (Sudjana 2002).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Formulasi dan Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Perekat Ekstrak cair limbah kayu merbau yang didominasi senyawa resorsinol dikopolimerisasi dengan formaldehida dan aditif (katalis), membentuk resin untuk aplikasi perekat kayu. Kopolimerisasi dilakukan dengan mereaksikan sejumlah kecil monomer (resorsinol) dan formaldehida 37% pada ekstrak cair limbah kayu merbau dengan katalis basa pada suhu kamar. Identifikasi terbentuknya kopolimer dengan FTIR ditunjukkan dengan terjadinya perubahan pita serapan pada bilangan gelombang yang berbeda dibandingkan dengan spektrum polimer maupun monomernya, khususnya turunnya intensitas pita serapan C-H aldehida di daerah bilangan gelombang 2.831cm-1 dari 60% (Gambar 2a) menjadi 25% (Gambar 2b).
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
79
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
105
100
%T
%T 90
778.29
3110.27
70
1019.40
1469.78
2830.59
1045.44 2955.00
3220.21
60
80
2716.78
3117.98
90
75
3431.42
60
50 1357.91
2831.55
45
30 775.40
3425.64
40
30
403.13
20
1364.66
1599.02
0
1586.48
15
10 4000
3500
3000
2500
2000
1750
ET0
(a) (a)
1500
1250
1000
750
500 1/cm
4000
3500
3000
2500
2000
1750
1500
E4
1250
1000
750
500 1/cm
(b) (b)
Gambar 2. Spektrograph produk polimerisasi (a) dan kopolimerisasi resorsinol (b) dari ekstrak kayu merbau Indikasi terjadinya reaksi tersebut dipertegas dengan hasil analisis pyGCMS (Gambar 3b) yang memperlihatkan puncak-puncak pita yang berbeda, yang didominasi turunan kopolimer senyawa resorsinol, yaitu 1,3benzenediol, 4,5-dimethyl-(CAS)-4,5-dimethylresorcinol dengan waktu retensi 24,378 menit yang berbeda dengan puncak-puncak pita turunan polimer fenolik yang dominan mengandung 5-methoxy-2,3-dimethyl (CAS)-3-methoxy5,8-dimethylphenol, dengan waktu retensi 24,747 menit (Gambar 3a).
(a)
(b)
Gambar 3. Kromatogram produk polimerisasi (a) dan kopolimerisasi resorsinol (b) dari ekstrak kayu merbau Identifikasi lebih lanjut dengan difraksi sinar-X menunjukkan senyawa yang terkandung dalam produk kopolimerisasi ekstrak cair limbah kayu merbau ini memiliki derajat kristalinitas 23,32% (Gambar 4), lebih mendekati nilai derajat kristalinitas ekstrak cair limbah kayu merbau (20,86%).
80
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 4. Difraktogram produk kopolimerisasi resorsinol dari ekstrak kayu merbau Hasil analisis dengan Differensial Thermal Analysis (Gambar 5) menunjukkan suhu transisi fase pelelehan produk kopolimerisasi ekstrak cair limbah kayu merbau ini: 115,31˚C dengan suhu dekomposisi/disosiasi: 468,77˚C. Suhu transisi fase pelelehan ekstrak kayu merbau ini lebih tinggi dibandingkan dengan suhu transisi fase pelelehan produk polimerisasi ekstrak cair limbah kayu merbau (111,08˚C) yang suhu dekomposisi/disosiasinya: 299,65˚C.
Gambar 5. Termogram produk kopolimerisasi resorsinol dari ekstrak kayu merbau Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
81
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Terbentuknya kopolimer teridentifikasi dengan alat IV-meter intrinsic viscosity yang menetapkan bobot molekul produk tersebut: 49.658, jauh lebih besar dibandingkan dengan bobot molekul produk polimerisasi ekstrak cair limbah kayu merbau (9.308). Karakteristik perekat hasil formulasi dari ekstrak merbau disajikan Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik produk kopolimerisasi ekstrak limbah serbuk gergajian kayu merbau No. 1.
2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10.
Sifat Kenampakan: Bentuk Warna Bau Kekentalan, poise Kemasaman (pH) Bobot molekul Suhu Depolimerisasi, ˚C: Titik gelas Dekomposisi/disosiasi Derajat kristalinitas, % Waktu retensi, menit Bobot jenis Solid content, % Formaldehida bebas, %
Kopolimer
Pembanding (PRF)
Cair Merah-cokelat Fenol 5,6 11 49.658
Cair Merah-cokelat Fenol 3,40 8 -
115,31 468,77 23,32 24,38 1,14 19,05 0,011
161 51,53 1,15 57,03 0,04
Keterangan: ( - ) = tidak ada data; PRF = phenol resorsinol formaldehida
B. Aplikasi Perekat pada Pembuatan Balok Lamina Aplikasi kopolimer ekstrak cair limbah kayu merbau pada produk lamina berkerapatan rendah diperoleh dari jenis kayu pangsor (< 0,45 g/cm3), menghasilkan keteguhan rekat 9,84–19,91 kg/cm2 (uji basah) dan 18,54– 36,04 kg/cm2 (uji kering), sedangkan produk berkerapatan sedang (0,46–0,55 g/cm3) dihasilkan dari jenis kayu mindi dan pinus dengan keteguhan rekat 15,41–34,34 kg/cm2 (uji basah) dan 30,77–86,44 kg/cm2 (kering). Produk berkerapatan tinggi (> 0,56 g/cm3) diperoleh dari jenis kayu mangium
82
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
menghasilkan keteguhan rekat 25,24 kg/cm2 (uji basah) dan 37,74 kg/cm2 (uji kering), seperti tercantum pada Tabel 2. Nilai keteguhan rekat produk uji coba ini lebih unggul bila dibandingkan dengan produk sejenis (5 lapis) yang berkerapatan rendah (< 0,45 g/cm3), masing-masing terbuat dari kayu jabon dan manii, menggunakan perekat komersial isosianat (Supartini 2012), walaupun nilai keteguhan rekat dalam uji kering: 49–59 kg/cm2 tetapi uji basah nilainya 0 (delaminasi). Demikian pula untuk produk berkerapatan tinggi (> 0,56 g/cm3), dari jenis kayu mangium didapatkan nilai keteguhan rekat dalam uji kering: 66 kg/cm2 dan uji basah 0 (delaminasi). Tabel 2. Sifat fisis-mekanis dan emisi formaldehida produk perekatan Parameter Uji Jenis Keteguhan rekat Jenis kayu Emisi prod. Kadar Kerapatan MOE MOR (kg/cm2) 3 2 2 Formald. (kg/cm ) (kg/cm ) air (%) (g/cm ) (mg/l) Kering Basah Pangsor Mindi Pinus Mangium
L
11,21 a
0,33 f
36,04 de 19,91 d 222,51 e 31.273 d
1,10 a
CLT 10,62 a
0,34 f
18,54 f
125,49 g 20.843 g
0,44 c
L 11,11 a CLT 11,05 a
0,46 e 0,49 d
36,45 de 34,34 a 206,36 f 29.810 e 86,44 a 16,01 e 63,24 h 24.453 f
1,04 a 0,18 d
10,62 a
0,54 c
48,48 c 22,25 cd 351,66 b 54.233 a
0,87 b
CLT 10,87 a
0,55 c
30,77 e 15,41 e 342,28 c 30.653 de
0,26 d
0,57
77,35
b
1,10 a
37,74 d 25,24 c 295,06 d 36.020 c
0,22 d
L L
10,79
CLT
8,92 c
b
b
0,63 a
b
9,84 f
42,46
a
547,73 50.113 a
Keterangan: L = laminated wood (non-CLT), CLT = cross laminated timber. Nilai hasil uji delaminasi untuk semua contoh = 0%; Huruf yang sama di belakang angka menyatakan tidak berbeda. Secara statistik (Tabel 2), nilai keteguhan rekat (uji kering) CLT mangium (37,74 kg/cm2) tidak berbeda nyata dengan balok lamina non-CLT mindi (36,45 kg/cm2) dan balok lamina pangsor non-CLT (36,04 kg/cm2), demikian pula produk CLT pinus (30,77 kg/cm2) setara dengan pangsor nonCLT. Pada uji basah, keteguhan rekat produk CLT mangium (25,24 kg/cm2) tidak berbeda nyata dengan balok lamina pinus non-CLT (22,25 kg/cm2) di mana produk ini sekelas dengan balok lamina pangsor non-CLT (19,91 kg/ cm2), sedangkan CLT mindi (16,01 kg/cm2) setara dengan CLT pinus (15,41 kg/cm2). Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
83
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Nilai MOR produk uji coba ini berkisar 63,24–547,73 kg/cm2 (Tabel 2), di mana yang tertinggi diperoleh dari balok lamina mangium non-CLT, sedangkan nilai MOR paling rendah diperoleh dari produk CLT mindi. Produk tersebut lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Supartini (2012) pada produk CLT 5 lapis (MOR 394–604 kg/cm2), dari jenis kayu manii, jabon, dan mangium dengan kombinasi penyusunannya terdiri atas 2 lapisan sejajar bagian luar, 2 lapisan silang, dan 1 lapisan sejajar bagian dalam. Nilai MOE produk penelitian ini berkisar 20.843–54.233 kg/cm2 (Tabel 2). Secara statistik, MOE produk CLT pinus (30.653 kg/cm2) tidak berbeda nyata dengan balok lamina pangsor non CLT (31.273 kg/cm2), sedangkan balok lamina mindi non-CLT (29.810 kg/cm2) sekelas dengan CLT pinus. Produk tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Supartini (2012) pada produk CLT 5 lapis dari jenis kayu manii, jabon dan mangium dengan kombinasi penyusunannya terdiri atas 2 lapisan sejajar bagian luar, 2 lapisan silang dan 1 lapisan sejajar bagian dalam, yang memiliki nilai MOE: 49.000–74.000 kg/cm2. Emisi formaldehida pada produk uji coba ini rata-rata berkisar 0,18–1,10 mg/L. Secara statistik, emisi formaldehida dari balok lamina pangsor non-CLT (1,10 mg/l) tidak berbeda nyata dengan produk sejenis dari kayu mindi (1,04 mg/l) dan mangium (1,10 mg/L) yang tergolong kategori F***, sedangkan produk CLT mindi (0,18 mg/L) setara dengan produk sejenis dari kayu pinus (0,26 mg/L) dan mangium (0,22 mg/l), tergolong produk tipe F****.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Kopolimerisasi ekstrak cair limbah kayu merbau dengan monomer resorsinol dan formaldehida dalam suasana basa menghasilkan kopolimer yang dapat diaplikasikan sebagai perekat dalam pembuatan produk balok lamina maupun cross laminated timber (CLT) dari 4 (empat) jenis kayu, yaitu pangsor, mindi, pinus dan mangium. 2. Identifikasi terjadinya kopolimerisasi dapat dilakukan dengan spektofotometer UV-Vis, FTIR, Py-GCMS, XRD, DTA dan IV-meter intrinsic viscosity.
84
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
3. Kualitas perekatan dan sifat mekanik produk perekatan tersebut sebanding dengan produk sejenis berperekat impor serta tergolong tipe eksterior rendah emisi.
B. Saran 1. Perekat ekstrak cair limbah kayu merbau dapat digunakan untuk produk eksterior. 2. Penggunaan perekat ekstrak cair limbah kayu merbau dapat digunakan untuk pembuatan produk perekatan yang mensyaratkan emisi formaldehida rendah.
DAFTAR PUSTAKA Akzonobel. 2000. Synteko Phenol-Resorcinol Adhesive 1711 with Hardeners 2620, 2622, 2623. Jakarta: Casco Adhesive Anonim, 2000. Standar Nasional Indonesia: Venir Lamina. Badan Standardisasi NasionalBSN, Jakarta. SNI-5008.9-2000. _______. 2003. Japanese Agricultural Standard for Structural Glued Laminated Timber. Japanese Agricultural Standard (JAS), Japanese Plywood Inspection Corporation (JPIC), Tokyo. Donegan V, J Fantozzi, C Jourdain, K Kersell, A Migdal, R Springate, J Tooley. 2007. Understanding Extractive Bleeding. Website http:// www.calredwood.org/ref/pdf/extract.pdf. Diakses tanggal 20 November 2007. Hans. 2006. Concise International Chemichal Assasment: Resorcinol. Hanover. WHO Library Cataloguing. Malik J, A Santoso. 2009. Peningkatan pemanfaatan kayu merbau untuk produk pertukangan melalui penanggulangan zat ekstraktif. Bahan Laporan Hasil Penelitian 2009. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. Martawijaya. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Media Aksara. Santoso A. 2003. Sintesis dan pencirian resin lignin resorsinol formaldehida untuk perekat kayu lamina. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
85
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Santoso A. 2011. Tanin dan lignin dari Acacia mangium Willd. sebagai bahan perekat kayu majemuk masa depan. Orasi pengukuhan Profesor riset bidang pengolahan Hasil Hutan. Jakarta, 25 Oktober 2011. Kementerian Kehutanan. ________, J Malik. 2011. Teknik produksi resorsinol alami untuk bahan perekat produk kayu komposit. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2011. PUSTEKOLAH, Bogor. Tidak diterbitkan. Soerianegara.1994. Plant Resources of South East Asia Timber Tree. Bogor: Prosea Fondation. Standard Nasional Indonesia. 1998. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
Kumpulan
SNI
Perekat.
___________. 2000. Standar Nasional Indonesia: Venir Lamina. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional-BSN. SNI-5008.9-2000. ___________. 2005. Emisi Formaldehida pada Panel Kayu. SNI 01-71402005. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Sudjana. 2002. Disain dan Analisis Eksperimen. ‘Tarsito Bandung. Supartini. 2012. Karakteristik Cross Laminated Timber dari Kayu Cepat Tumbuh dengan Jumlah Lapisan yang Berbeda [Thesis]. Sekolah Pascasarjana IPB-Bogor. Tidak diterbitkan.
86
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
KEMUNGKINAN PEMANFAATAN LIMBAH PELEPAH NIPAH DAN SABUT KELAPA UNTUK PAPAN SERAT BERKERAPATAN SEDANG MENGGUNAKAN PEREKAT TERBARUKAN TF * Oleh: Dian Anggraini Indrawan, Han Roliadi, Rossi Margareth Tampubolon dan Gustan Pari **
ABSTRAK Papan serat memiliki banyak kegunaan, antara lain untuk bahan isolasi (peredam suara), dinding penyekat, produk furnitur, bagian peralatan listrik (radio, televisi), bagian interior kendaraan bermotor, dan konstruksi ringan hingga berat. Berdasarkan kerapatannya, papan tersebut dibagi menjadi beberapa kelas, di antaranya kelas berkerapatan sedang/medium density fiberboard (MDF). Saat ini Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga perlu diusahakan bahan alternatif serat berligno-selulosa yang potensinya berlimpah dan belum banyak dimanfaatkan seperti limbah pelepah nipah dan sabut kelapa. Telah dilakukan percobaan pemanfaatan dua macam bahan serat tersebut untuk MDF, menggunakan perekat urea formaldehida (UF) yang dikombinasikan dengan arang aktif. Pencermatan terhadap sifat dasar bahan serat, pengolahan pulp, sifat fisis/kekuatan MDF, dan emisi formaldehida mengindikasikan pelepah nipah lebih berprospek untuk MDF daripada sabut kelapa. Arang aktif sedikit menurunkan sifat kekuatan MDF, tetapi memperbaiki kestabilan dimensinya. Sebagian besar produk MDF banyak yang tidak memenuhi persyaratan JIS dan ISO. Percobaan penyempurnaan sifat MDF juga dilakukan dari dua macam bahan serat tersebut, tetapi menggunakan perekat tanin formaldehida (TF) yang dikombinasikan pula dengan arang aktif. Gejala serupa terjadi seperti pada hasil MDF sebelumnya dengan perekat UF, yaitu intinya pelepah nipah tetap lebih berprospek (pencermatan skala nano memperkuat prospek tersebut). Akan tetapi di sini lebih banyak produk MDF (khususnya dari pepelah nipah 100%) dengan sifat memenuhi persyaratan standar (JIS dan ISO). Sabut kelapa tetap dapat dimanfaatkan untuk MDF dengan mencampurkannya * Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian 30 April 2013, Botani Square IPB ICC, Bogor ** Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
(bentuk pulp) dengan pulp pelepah nipah pada proporsi (b/b) 25%+75% dan 50%+50%. Diharapkan kekurangan yang masih terjadi, baik dari serat pelepah nipah 100% atau campurannya dengan serat sabut kelapa dapat diatasi dengan penggunaan perekat TF lebih banyak, dikombinasikan dengan partikel arang aktif berskala nano dan/atau cross-linking agent. Kata kunci: Papan serat, MDF, bahan berserat lain, pelepah nipah, sabut kelapa, emisi formaldehida, persyaratan standar
I. PENDAHULUAN Papan serat didefinisikan sebagai salah satu produk panel hasil rekonstitusi kayu atau bahan berserat ligno-selulosa lain. Papan serat tersebut dibuat dengan pertama-tama mencerai-beraikan kayu atau bahan berserat berlignoselulosa lain menjadi serat-serat terpisah (pulp). Selanjutnya, serat-serat terpisah tersebut dibentuk menjadi lembaran papan serat dengan bantuan media air (proses pembentukan basah) atau media udara (proses kering). Ikatan antarserat bisa berasal dari bahan kimia serat sendiri (lignin). Guna memperbaiki sifat-sifat papan serat (seperti kekuatan, ketahanan air, dan ketahanan api), bahan lain bisa ditambahkan selama pembentukan lembaran (aditif internal) atau sesudah lembaran terbentuk (aditif external/ finishing), seperti perekat thermosetting, lilin, bahan laminasi/coating, bahan pengawet, bahan tahan api, dan perlakuan minyak (oil tempering). Salah satu keuntungan papan serat adalah dapat dibuat dari kayu bermutu rendah, limbah kayu, atau kayu (bahan berserat ligno selulosa lain) berukuran kecil. Papan serat banyak digunakan untuk bahan isolasi (peredam suara), dinding penyekat, produk furniture, bagian peralatan listrik (radio, televisi), bagian interior kendaraan bermotor, dan konstruksi ringan hingga berat (Anonim 2003, 2009, 2012). Berdasarkan kerapatan, papan serat terdiri atas 3 macam, yaitu rendah (insulation board; 0,02–0,40 g/cm3), sedang (medium density fiberboard/MDF; 0,40–0,80 g/cm3), dan tinggi (hardboard; 0.80–1,20 g/cm3). Semakin tinggi kerapatan papan serat, maka semakin besar pula kemampuannya terkait dengan tujuan konstruksi/struktural (Tsoumi 1993; Anonim 2003, 2009a, 2012, 2012a). Di Indonesia, produk papan serat didominir oleh MDF (Anonim 2009, 2011). Di samping itu, kayu masih merupakan bahan baku serat umum MDF
88
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
tersebut. Di lain hal, kayu hutan tropis alam sebagai bahan baku konvensional untuk MDF, potensinya semakin terbatas dan langka (Anonim 2008, 2008a, 2012). Hal ini mendorong penggunaan bahan serat berligno-selulosa lain, di mana potensinya cukup berlimpah dan belum banyak dimanfaatkan seperti limbah pelepah nipah dan sabut kelapa. Nipah (Nypa frutican Wumb) merupakan jenis palma (golongan monokotil) yang banyak tumbuh di lingkungan hutan bakau (mangrove forest), di daerah pasang-surut dekat tepi laut atau lepas pantai (De Bos dan Adnan 1958; Anonim 2009b). Tumbuhan nipah dapat didadap niranya, yaitu cairan manis yang diperoleh dari tandan bunga nipah yang belum mekar. Nira yang dikeringkan dengan dimasak dipasarkan sebagai gula nipah (palm sugar). Selanjutnya, jika gula nipah bila difermentasikan, akan dihasilkan pula cuka. Usia produktif tumbuhan nipah untuk disadap niranya sekitar 10–12 tahun. Melewati umur tersebut, maka penyadapan nira nipah sudah tidak ekonomis, sehingga menyisakan sejumlah besar limbah berupa pelepah nipah. Pelepah nipah merupakan bahan serat berligno-selulosa, sehingga diharapkan secara teknis dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pulp, kertas, turunan selulosa lainnya, termasuk papan serat/MDF (Haygreen dan Bowyer 1999). Luas hutan nipah di Indonesia mencapai 20–30 juta ha (Anonim 2008, 2011) dan sekiranya produksi niranya tak produktif lagi menghasilkan limbah pelepah yang cukup potensial untuk MDF. Bahan alternatif lain yang terdapat dalam jumlah besar adalah sabut kelapa. Sabut kelapa merupakan bagian mesokarp buah kelapa dan menyusun sekitar 30% dari total berat buah kelapa (Iskandar dan Supriadi 2010). Pohon kelapa (Cocos nucifera), sama halnya dengan nipah, juga termasuk golongan monokotil. Diperkirakan areal tanaman kelapa di Indonesia mencapai sekitar 3,2 juta ha pada tahun 2010 dan produksi buah kelapa di tahun yang sama sebesar 5,6 juta ton (Anonim 2011). Atas dasar itu diperkirakan potensi sabut kelapa Indonesia sebesar 1,7 juta ton per tahun. Sabut kelapa juga mengandung antara lain selulosa, lignin, dan hemiselulosa (Arsyad 2010). Dengan demikian, secara teknis sabut tersebut dapat pula dimanfaatkan untuk pulp, kertas, dan MDF. Sebagai kaitannya, percobaan pemanfaatan serat nipah dan serat sabut kelapa telah dilakukan untuk MDF menggunakan bahan perekat urea formaldehida (UF) dan aditif arang aktif (Roliadi et al. 2012). Penggunaan arang aktif dapat menurunkan emisi formaldehida MDF, tetapi menurunkan Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
89
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
sifat kekuatannya. Sebagian besar sifat fisis dan kekuatan (mekanis) MDF tidak memenuhi persyaratan JIS dan ISO (Anonim 2003, 2009a). Tulisan ini melaporkan usaha perbaikan sifat MDF dengan tetap menggunakan kedua macam bahan serat tersebut dan campurannya dalam berbagai proporsi. Bahan perekat yang digunakan adalah tanin formaldehida (TF), dikombinasikan dengan aditif lain (larang aktif, alum, dan emulsi lilin). Dalam usaha perbaikan tersebut dilakukan pencermatan secara menyeluruh mulai dari aspek sifat bahan baku (serat), sifat pengolahan pulp, mutu/kualitas produk akhir (MDF), dan kaitan antara aspek satu terhadap lainnya (Roliadi et al. 2012a).
II. SIFAT DASAR BAHAN SERAT BERLIGNOSELULOSA Sifat dasar bahan serat (pelepah nipah dan sabut kelapa) yang dicermati mencakup berat jenis/kerapatan, komposisi kimia, dimensi serat, dan nilai turunannya. Guna pencermatan sifat dasar, dilakukan pengadaan contoh kedua macam bahan serat tersebut. Contoh pelepah nipah yang diambil diutamakan dari pohon yang sudah tidak ekonomis, disadap niranya di daerah sekitar Cijulang dan Pangandaran (Jawa Barat). Untuk sabut kelapa, contoh diambil dari daerah sekitar Malingping (Provinsi Banten). Pemeriksaan kadar air, berat jenis/kerapatan, dan komposisi kimia bahan serat dilakukan menurut standar TAPPI (Anonim 2007), sedangkan dimensi serat dan nilai turunannya menurut prosedur LPHH (Silitonga et al. 1972; Apriani 2010). Penelaahan data hasil pemeriksaan sifat dasar dibantu dengan analisis keragaman berpola acak lengkap dengan faktor tunggal, yaitu macam bahan serat (pelepah nipah dan sabut kelapa). Penelaahan lanjutan dilakukan dengan uji jarak beda nyata jujur (BNJ), jika pengaruh faktor nyata.
A. Kadar Air, Berat Jenis, dan Komposisi Kimia Analisis keragaman terhadap kadar air, berat jenis, dan komposisi kimia menunjukkan bahwa perbedaan macam bahan serat (pelepah nipah dan sabut kelapa) berpengaruh nyata (Tabel 1). Berat jenis sabut kelapa jauh lebih rendah dibandingkan dengan pelepah nipah. Mungkin ini karena sabut kelapa memiliki tebal dinding serat lebih tipis dan volume rongga lumen lebih besar dibandingkan dengan pelepah nipah (Tabel 1). Kadar air nipah sedikit lebih tinggi daripada sabut kelapa. Dalam hal kadar abu, kadar silika,
90
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
kadar holoselulosa, kadar alfa-selulosa, kadar hemiselulosa, kelarutan dalam alkohol-benzena 1:2, kelarutan dalam air dingin, kelarutan dalam air panas, dan kelarutan dalam NaOH 1%, nilai pada nipah lebih tinggi dibandingkan dengan sabut kelapa. Sebaliknya, untuk kadar lignin, kadar selulosa, dan kadar pentosan, nilainya pada nipah lebih rendah daripada sabut kelapa. Papan serat yang dikehendaki adalah bahan serat dengan kadar air rendah, kadar selulosa (juga alfa-selulosa), dan kadar lignin tinggi karena selulosa merupakan komponen utama serat dan lignin berperan sebagai bahan pengikat alami pada pembentukan lembaran papan serat. Di samping itu, kadar lignin awal pada bahan serat berligno-selulosa terkait erat dengan sifat kekakuan sel serat dan berperan sebagai bahan pengikat antarserat tersebut (Labosky 1997; Haygreen dan Bowyer 1999; Anonim 2007). Kadar pentosan dan hemiselulosa tinggi juga dikehendaki untuk memudahkan proses penggilingan pulp. Sebaliknya, berat jenis, kadar abu dan silika yang tinggi serta kelarutan dalam air dingin, dalam air panas, dalam alkohol-benzena, dan dalam alkali 1% yang tinggi tidak dikehendaki. Berat jenis dan kadar abu (silika) yang tinggi cenderung memerlukan kondisi pengolahan lebih keras, mengonsumsi lebih banyak energi, cepat mempertumpul peralatan logam, serta berakibat negatif terhadap sifat fisik dan kekuatan MDF. Kelarutan dalam pelarut netral (air) dan pelarut organik (alkohol-benzena) berindikasi kandungan ekstraktif yang tinggi, sehingga meningkatkan konsumsi bahan kimia pemasak. Kelarutan dalam NaOH 1%, selain terkait erat dengan kandungan ekstraktif, juga berindikasi pada tingkat degradasi bahan serat berligno-selulosa, sehingga berpengaruh negatif terhadap sifat fisik/kekuatan pulp. Untuk pelepah nipah, ternyata kadar ligninnya lebih rendah dibanding pada sabut kelapa, sedangkan kelarutan dalam pelarut netral (air) dalam pelarut organik (alkohol-benzena) dan dalam NaOH 1% lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa serat pelepah nipah bersifat lebih polar (hidrofilik) dan terindikasi memiliki porsi jaringan parenkim yang lebih tinggi dibandingkan dengan serat sabut kelapa. Hal ini ikut berperan lebih tingginya kadar air pelepah nipah. Berdasarkan telaah, nilai total skor (TS) yang merupakan hasil manipulasi uji BNJ terhadap sifat dasar tersebut di mana masing-masing aspek sifat dasar (kadar air, berat jenis, dan komposisi kimia), baik dikehendaki ataupun tidak dikehendaki untuk produk MDF, dibobot sama (Tabel 2), ternyata TS untuk serat pelepah nipah (44) lebih rendah
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
91
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dibandingkan dengan TS sabut kelapa (54). Dengan demikian berdasarkan sifat dasar ini, sabut kelapa berindikasi lebih prospektif sebagai bahan baku serat untuk MDF.
B. Dimensi Serat dan Nilai Turunannya Analisis keragaman terhadap dimensi serat dan nilai turunannya menunjukkan bahwa perbedaan macam bahan serat juga berpengaruh nyata (Tabel 2). Penelaahan lebih lanjut menunjukkan bahwa panjang serat, tebal dinding serat, daya tenun, bilangan Muhlstep, bilangan Runkel, dan koefisien kekakuan nilainya untuk nipah lebih tinggi daripada untuk sabut kelapa. Sebaliknya, nilai diameter serat, diameter lumen, dan koefisien kelemasan pada pelepah nipah lebih rendah daripada sabut kelapa. Keadaan di mana dinding serat yang lebih tipis dan diameter lumen lebih besar pada sabut kelapa dibandingkan dengan pelepah nipah memperkuat penjelasan sebelumnya mengapa berat jenis sabut kelapa lebih rendah dibandingkan dengan pelepah nipah (Tabel 1). Tabel 1. Data sifat dasar (kadar air, berat jenis, dan komposisi kimia) bahan serat berligno-selulosa (pelepah nipah dan sabut kelapa), yang diikuti dengan hasil uji anova (analisis keragaman) dan uji jarak beda nyata jujur/Tukey (BNJ)–dinyatakan dalam skor (S) Berat jenis dan komposisi kimia Kadar air (%) Berar jenis/kerapatan (g/cm3) Kadar selulosa (%) Holoselulosa (%) Alfa-selulosa (%) Hemiselulosa (%) Pentosan (%) Lignin (%) Kadar abu (%) Kadar silika (%) Kelarutan dalam Alcohol-benzen (%)
92
Pelepah nipah Anova/ M Skor BNJ 12,59 > 3
Sabut kelapa Anova/ M Skor BNJ 9,23 < 4
0,208
>
3
0,162
<
4
-
44,66 62,40 28,75 22,97 17,80 17,75 7,80 1,79
< > < > < < > >
3 4 3 4 3 3 3 3
55,60 55,44 30,92 21,40 20,84 34,75 4,,65 0,64
> < > < > > < <
4 3 4 3 4 4 4 4
+ + + + + + -
3,20
>
3
1,87
<
4
-
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
+/-
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Berat jenis dan komposisi kimia Kelarutan f dalam air dingin (%) Kelarutan dalam air panas (%) Kelarutan dalam NaOH 1% (%) Total skor (TS)
Pelepah nipah Anova/ M Skor BNJ
Sabut kelapa Anova/ M Skor BNJ
+/-
6,62
>
3
5,01
<
4
-
16,10
>
3
6,13
<
4
-
34,09
>
3
17,52
<
4
-
44
54
Keterangan: M = rata-rata dari 5 ulangan; > / < = perbedaan (lebih besar/ lebih kecil) nyata menurut anova/BNJ; S dan TS = semakin tinggi skor (dan total skor) semakin baik pengaruhnya terhadap produk MDF; + / - = + (semakin besar nilai rata-rata, semakin dikehendaki untuk pulp/MDF) dan (semakin rendah nilai, semakin tidak dikehendaki untuk pulp/MDF Untuk pembentukan lembaran papan serat, bahan serat yang dikehendaki adalah yang berserat panjang; berdinding tipis; diameter lumen besar; kekakuan serat, bilangan Muhlstep, dan bilangan Runkel rendah; serta koefisien kelemasan dan daya tenun tinggi. Semua hal tersebut akan berpengaruh positif pada sifat menggepeng serat, fleksibilitas serat, dan struktur anyaman serat pada pembentukan lembaran papan serat (Silitonga et al. 1972; Apriani 2010). Berdasarkan nilai TS, hasil manipulasi uji BNJ terhadap sifat dasar (dimensi serat dan nilai turunan dimensi tersebut) pada bahan serat berligno-selulosa, di mana masing-masing aspek sifat dasar ini juga dibobot sama (Tabel 2), ternyata TS untuk serat pelepah nipah (32) juga lebih rendah dibandingkan dengan TS sabut kelapa (34). Dengan demikian berdasarkan telaahan dimensi serat dan nilai turunannya, sabut kelapa lebih prospektif sebagai bahan baku serat untuk MDF.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
93
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 2. Data sifat dasar (dimensi serat dan nilai turunannya) bahan serat berligno-selulosa (pelepah nipah dan sabut kelapa), yang diikuti dengan hasil uji anova (analisis keragaman) dan uji jarak beda nyata jujur/Tukey (BNJ)–dinyatakan dalam skor (S) Dimensi serat dan nilai turunannya Panjang serat, L (µm) Diameter serat, d (µm) Diameter lumen, l (µm) Tebal dinding serat, w (µm) Daya teniun, L/d Bilangan Runkel, 2w/l Koef. fleksibilitas serat, l/d Koef. kekakuan serat, w/d Biangan Muhlstep, 100*[(d2-l2)/d2] Total skor (TS)
Pelepah nipah Sabut kelapa Anova/ Anova/ M Skor M Skor BNJ BNJ 2.634,49 > 4 1.543,40 < 3
+/-
22,99
<
3
29,71
>
4
+
18,56
<
3
25,15
>
4
+
2,22
>
3
1,93
<
4
-
111,36 0,24
> >
4 3
55,06 0,16
< <
3 4
+ -
0,81
<
3
0,87
>
4
+
0,10
>
3
0,08
<
4
-
35,00
>
3
25,12
<
4
-
32
34
Keterangan: M = rata-rata dari 10 ulangan; > / < = perbedaan (lebih / lebih kecil) nyata menurut anova/BNJ; S dan TS = semakin tinggi skor (dan total skor) semakin baik pengaruhnya terhadap produk MDF; + / - = + (semakin besar nilai rata-rata, semakin dikehendaki untuk pulp/MDF) dan - (semakin rendah nilai, semakin tidak dikehendaki untuk pulp/MDF
III. SIFAT PENGOLAHAN PULP Sebelum dibuat menjadi pulp, masing-masing bahan serat (pelepah nipah dan sabut kelapa) secara terpisah dijadikan serpih berukuran panjang 2–3 cm, lebar 2–2,5 cm, dan tebal 2–3 mm secara manual. Selanjutnya dikeringkan di tempat terbuka (di bawah atap) hingga mencapai kadar air kering udara.
94
+
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pembuatan pulp pelepah nipah dan pulp sabut kelapa masing-masing dilakukan dengan proses semi-kimia soda panas terbuka, dengan memasak serpih dalam larutan alkali (NaOH). Kondisi tetap pemasakan adalah nilai banding serpih terhadap larutan pemasak alakli 1:8, dengan suhu maksimum pemasakan 100˚C selama (3 jam). Konsentrasi NaOH dibuat dalam dua variasi (8% dan 10%). Selesai pemasakan, serpih lunak pelepah nipah dan sabut kelapa masingmasing dipisahkan dari larutan pemasak, dicuci sampai bebas sisa larutan pemasak. Selanjutnya sisa larutan pemasak hasil pencucian diambil contohnya untuk penetapan konsumsi alkali. Serpih lunak kedua macam bahan serat tersebut difiberasi secara mekanis menjadi serat-serat terpisah (pulp) dalam Hollander beater pada konsistensi 2,0–2,5% hingga mencapai derajat kehalusan pulp TKKS mencapai 600–700 CSF (15–17˚SR) dan waktu yang diperlukan giling dicatat. Seluruh hasil pulp TKKS dikurangi kadar airnya pada alat untuk dibentuk menjadi karton. Pulp yang diperoleh selanjutnya diturunkan kadar airnya, diambil contoh untuk penetapan rendemen dan sebagian besar sisanya untuk keperluan pembentukan lembaran MDF. Data sifat pengolahan pulp (rendemen, konsumsi alkali, dan derajat kehalusan) ditelaah dengan rancangan acak lengkap faktorial dan sebagai faktor adalah macam bahan serat dan konsentrasi alkali. Sekiranya pengaruh faktor tersebut, penelaahan dilanjutkan pula dengan uji jarak BNJ. Ternyata rendemen pulp nipah lebih rendah dibandingkan dengan rendemen pulp sabut kelapa (Tabel 3). Mungkin ini disebabkan kadar lignin pada sabut kelapa lebih tinggi dibanding pada nipah (Tabel 1). Alkali pada proses semi-kimia hanya melunakkan lignin dan melarutkannya secara parsial. Dengan demikian lignin yang tersisa pada pulp sabut kelapa lebih banyak dibanding pada pulp nipah. Untuk sabut kelapa, peningkatan konsentrasi alkali (8–12%), tidak banyak menurunkan rendemen pulpnya, tetapi lebih banyak menurunkan rendemen pulp nipah. Diduga ini ada kaitannya dengan lebih tingginya porsi bahan jaringan bukan serat (parenkhim) pada nipah dan kandungan ekstraktif yang diindikasikan dengan lebih tingginya kelarutannya dalam NaOH 1%, dalam alkohol-benzen, dalam air dingin, dan dalam air panas (Tabel 1). Konsentrasi alkali yang makin tinggi selain mendegradasi lignin juga lebih banyak melarutkan bahan ekstraktif. Hal ini mengindikasikan pula bahwa porsi senyawa polimer berantai pendek pada serat pelepah nipah lebih tinggi. Ini mengakibatkan pula seluruh rendemen
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
95
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
pulp nipah (54,33–58,60%) terletak di bawah selang rendemen yang umum untuk pulp semi-kimia (60–85%), sedangkan seluruh rendemen pulp sabut kelapa (73,06–75,97%) memenuhi kriteria tersebut. Tabel 3. Data sifat pengolahan pulp, yang diikuti dengan hasil uji jarak beda nyata jujur/Tukey (BNJ)–dinyatakan dalam mutu dan skor (S) Sifat pengolahan*) Kombinasi perlakuan (SK) s1k1 s1k2 s2k1 s2k2 +/-
Rendemen pulp (%) Y1 G 58,60 C 54,33 D 75,97 A 73,06 B +
S1 1 2 4 3
Derajat kehalusan (ml CSF) Y2 700 670 710 700
Konsumsi alkali (5)
G S2 Y3 G S3 AB 3,5 6,77 B 4 B 4 10,92 A 3 A 3 6,78 B 4 AB 3,5 11,08 A 3 -
Waktu giling 600–700 ml CSF (menit) Y4 G S3 55 C 3 53 D 4 60 A 1 58 B 2 -
Keterangan: Macam bahan serat (S): s1 = pelepah nipah; s2 = sabut kelapa; Konsentrasi alkali (K): k1=4%, k2=8%, k3=12%; *)Rata-rata dari 5 ulangan; Angka (dalam kolom Y) yang diikuti secara horizontal oleh huruf (kolom G) dan skor (kolom S) yang sama tak berbeda nyata A > B > C > D; TS = Total skor : S1 + S2 + S3 + …… + Sn; + / - = + (semakin besar nilai rata-rata, semakin dikehendaki untuk pulp/MDF) dan - (semakin rendah nilai, semakin tidak dikehendaki untuk pulp/MDF) Dalam hal derajat kehalusan pulp (ml CSF), ternyata nilai untuk pulp nipah lebih rendah dibanding untuk pulp sabut kelapa dan waktu giling guna mencapai 600–700 ml CSF untuk pulp nipah tersebut juga lebih singkat daripada untuk pulp sabut kelapa (Tabel 3). Ini mengindikasikan bahwa pulp nipah lebih mudah digiling daripada pulp sabut kelapa. Hal ini terjadi karena kadar hemiselulosa (yang bersifat lebih hidrofilik) pada pelepah nipah lebih tinggi dan juga kadar ligninnya (lebih bersifat hidrofobik) dan lebih rendah dibandingkan dengan sabut kelapa (Tabel 1). Semakin tinggi konsentrasi alkali hingga 12%, derajat kehalusan pulp nipah cenderung menurun lebih drastis hingga mencapai 670 ml CSF dan waktu giling semakin singkat pula. Sementara untuk pulp sabut kelapa penurunan derajat kehalusan hanya mencapai 700 ml CSF, waktu gilingnya lebih lama (Tabel 6). Kemungkinan yang terjadi untuk pelepah nipah karena kadar lignin awalnya lebih rendah,
96
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
TS
11,5 13,0 12,0 11,5
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
pelarutan lignin menyebabkan sifat hidrofilik pulp meningkat sehingga lebih mudah digiling. Selanjutnya, untuk sabut kelapa diduga kadar lignin awal yang tinggi dan kelarutan dalam NaOH 1% yang rendah (Tabel 1) berakibat delignifikasi lebih sulit dan mengindikasikan lagi bahwa tekstur sabut kelapa lebih padat, sehingga berakibat pulp sabut kelapa lebih sukar digiling. Hal ini menjelaskan pula bahwa walaupun diameter lumen sabut kelapa lebih besar dan dinding serat lebih tipis dibanding pada pelepah nipah (Tabel 2), akan tetapi kadar lignin sabut kelapa yang jauh lebih tinggi (Tabel 1) menyebabkan struktur internal serat sabut kelapa lebih kaku. Seluruh derajat kehalusan pulp (Tabel 6) terletak pada selang yang umum untuk pembentukan papan serat/MDF (600–700 ml CSF) (Casey 1980). Adanya perbedaan nyata antara derajat kehalusan pulp pelepah nipah dan pulp sabut kelapa, mengindikasikan bahwa pengolahan pulp campuran kedua macam bahan serat tidak layak dilakukan dalam satu kondisi proses. Namun yang lebih layak adalah pencampuran antarpulp pelepah nipah dengan pulp pelepah sabut kelapa pada proporsi tertentu, di mana masing-masing pulp tersebut diolah menggunakan kondisi pengolahan (pemasakan dan penggilingan) yang saling berbeda satu terhadap lainnya. Konsumsi alkali meningkat drastis dengan peningkatan konsentrasi alkali (Tabel 3). Konsumsi alkali selama pengolahan pulp pelepah nipah cenderung lebih rendah dibandingkan dengan selama pengolahan pulp sabut kelapa. Diduga fenomena tersebut terkait dengan lebih tingginya kadar lignin pada sabut kelapa dibandingkan dengan nipah (Tabel 1). Angka konsumsi alkali (NaOH) dapat sebagai bahan pertimbangan perlu atau tidaknya dilakukan daur ulang bahan kimia pemasak (NaOH), sekiranya percobaan ini diterapkan secara komersial (Casey 1980). Secara umum sifat pengolahan pulp yang dikehendaki adalah rendemen pulp tinggi karena terkait dengan efisiensi pengolahan/produksi pulp; konsumsi alkali rendah (menghemat pemakaian bahan kimia); dan derajat kehalusan pulp rendah pula (ml CSF) atau waktu giling sesingkat mungkin (terkait dengan pemakaian energi listrik atau bahan bakar) (Casey 1980; Smook dan Kocurek 1993). Kriteria tersebut dipakai sebagai dasar penentuan nilai total skor (TS) yang merupakan hasil manipulasi uji BNJ terhadap sifat pengolahan pulp tersebut, di mana masing-masing aspek sifat pengolahan terkait dibobot sama pula (Tabel 3). Ternyata untuk pelepah nipah lebih Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
97
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
berprospektif dibuat menjadi pulp pada konsentrasi alkali 8–10% (TS =11,5–13), sedangkan untuk sabut kelapa prospeknya sedikit lebih rendah pada konsentrasi alkali 10% (TS = 11,5–12,0)
III. KARAKTERISTIK PRODUK MDF Ada dua macam papan MDF yang dibentuk berdasarkan macam bahan perekat, yaitu perekat urea formaldehida (UF) dan tanin formaldehida (TF).
A. Produk MDF dengan Perekat UF Perekat urea formaldehida (UF) merupakan polimer sintesis yang bersifat termoset. Di samping itu terdapat polimer sintesis lain yang juga termoset, yaitu fenol formaldehida (PF). Penggunaan kedua macam polimer tersebut untuk perekat dimulai sejak awal abad 20 dan banyak diterapkan pada produk berdasar kayu atau bahan serat berligno-selulosa lain seperti kayu lapis, papan partikel, papan serat, dan produk majemuk lainnnya. Penggunaan perekat UF lebih berkembang dibandingkan dengan PF karena tidak menimbulkan noda gelap dan harganya lebih murah (Santoso 2011). Untuk pembuatan MDF dengan perekat UF, digunakan bahan serat yaitu pulp pelepah nipah dan pulp sabut kelapa dari hasil percobaan sebelumnya, yaitu menggunakan 2 taraf konsentrasi alkali (8% dan 10%). Sebelum dibentuk lembaran, dilakukan pencampuran pulp pelepah nipah dan pulp sabut kelapa (bentuk tersuspensi dalam air) dalam 4 taraf proporsi yaitu 100%+0%, 75%+25%, 50%+50%, dan 0%+100% (berdasarkan berat serat kering, b/b). Pembentukan lembaran MDF menggunakan cara basah dengan target kerapatan 0.70 g/cm3. Bahan aditif yang digunakan adalah alum (4%), perekat UF (4%), dan arang aktif pada 2 taraf (0% dan 5%). Sebagai pembanding (kontrol), dibentuk pula MDF pada 4 proporsi campuran tersebut tanpa aditif. Dengan demikian penambahan aditif melibatkan 3 taraf (termasuk kontrol). Ukuran lembaran MDF adalah 30 cm x 30 cm x 1 cm, dengan alat pencetak deckle box, dilanjutkan dengan pengempaan (suhu kamar, tekanan 5 kg/cm2, 10 menit), perlakuan panas (suhu >100˚C, 30 menit), pengempaan panas (170˚C, 30 kg/cm2, 10 menit). Lembaran MDF yang terbentuk dikondisikan (24 jam) dan siap diuji sifat fisis, kekuatan (mekanis), dan emisi formaldehida menurut standar JIS (Anonim 2003). Data sifat fisis/kekuatan MDF, berikut emisi formaldehida disajikan pada Tabel 4. MDF yang dikehendaki konsumen memiliki sifat fisis/kekuatan
98
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
tertentu, yaitu kerapatan (Y1) tinggi; kadar air (Y2) rendah; keteguhan lentur/MOE (Y3), keteguhan patah/MOR (Y4), dan keteguhan internal/IB (Y5) tinggi; penyerapan air (Y6) dan pengembangan tebal (Y7) rendah; daya hantar panas (Y8) rendah dan ketahanan panas (Y9) tinggi; emisi formaldehida (Y10) rendah. Nilai Y1, Y2, Y3, ..., hingga Y10 tersebut merupakan nilai sifat MDF yang sudah dibakukan (standardized). Seperti diketahui MDF dengan sifat fisis/kekuatan dan emisi formaldehida tertentu tersebut, dibentuk dari kombinasi perlakuan perlakuan berupa konsentrasi alkali (8% dan 10%), proporsi campuran pulp pelepah nipah dan pulp sabut kelapa (4 taraf), dan bahan aditif (3 taraf). Lebih lanjut atas dasar sifat MDF yang dikehendaki konsumen, dapat ditentukan urutan (ranking) kombinasi perlakuan mulai dari yang terbaik hingga terendah dengan bantuan analisis diskriminan. Dari analisis tersebut, dapat dbentuk persamaan diskriminan (Y), yaitu Y = ∑ bi Yi = +57,09 Y1 -55,12 Y2 +24,56 Y3 +36,39 Y4 +32,99 Y5 – 1,61 Y6 -31,68 Y7 -46,98 Y8 +100,52 Y9 -100,54 Y10. Persamaan tersebut dianggap memadai (representatif) karena memiliki nilai koefisien determinasi kanonik nyata (R2 = 0,962**). Selanjutnya, berdasarkan koefisien persamaan tersebut (bi), maka peranan masing-masing sifat MDF (Yi) tak sama terhadap nilai ranking, yaitu Y10>Y9>Y1>Y2 >Y8>Y4>Y5>Y7>Y3>Y6. Dengan demikian, atas dasar persamaan diskriminan, diperoleh rincian kombinasi perlakukan yang mengindikasikan bahwa serat pelepah nipah lebih berprospek untuk MDF dibandingkan dengan serat sabut kelapa (setelah keduanya diolah menjadi pulp) dengan rincian untuk MDF dari pulp pelepah nipah 100% pada konsentrasi alkali 8–10%, memiliki selang nilai ranking diskriminan Y = 74,00-101,10 (Tabel 4); disusul berturut-turut dari campuran pulp pelepah nipah (75%) dan pulp sabut kelapa (25%) pada konsentrasi alkali 8–10%, dengan selang Y = 63,90-94,75; dari campuran pulp pelepah nipah (50%) dan pulp sabut kelapa (50%) juga pada konsentrasi alkali 8–10%, dengan selang Y = 51,96-71.01; hingga nilai Y terendah (29,4470,42) yaitu MDF dari pulp sabut kelapa 100% pada konsentrasi alkali 10%. Penggunaan perekat UF cenderung memperbaiki sifat fisis/kekuatan MDF dibandingkan dengan MDF control (Tabel 4). Penggunaan arang aktif mengurangi emisi formaldehida, tetapi menurunkan sifat kekuatan. Secara keseluruhan, sifat fisis dan mekanis MDF (berikut emisi formaldehida) yang dibuat dari pulp pelepah nipah dan campurannya dengan pulp sabut kelapa pada proporsi tertentu sebagian besar tidak memenuhi persyaratan JIS dan ISO (Anonim 2003, 2009a), sehingga diperlukan usaha perbaikan intensif diperlukan (Tabel 4). Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
99
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 4. Data sifat fisik-mekanis dan emisi formaldehida papan serat kerapatan sedang (MDF) Serat pelepah nipah I II III 0,658- 0,623- 0,5730,799 0,763 0,684 15,29- 14,97- 14,74MC (%), Y2 15,60 17,30 15,88 7613- 7264- 7092MOE (kg/ 10163 11878 7547 cm2), Y3 85,7- 98,0 82,9MOR, kg/ 86,3 -143,0 101,0 cm2, Y4 Keteguhan 0,87- 1,10- 1,03internal / IB 2,14 2,82 1,86 (kg/cm2), Y5 121,1- 115,9- 115,9WA (%),Y6 151,5 123,2 133,1 21,39- 18,62- 25,43TS (%), Y7 36,65 47,60 56,60 0,092- 0,087- 0,072HC (W.m1 .K-1), Y8 0,104 0,101 0,087 TR 0,107- 0,109- 0,127(m2.K.W -1), 0,129 0,146 0,167 Y9 FE (mg/L), 3,96- 1,88- 0,13Y10 4,30 8,75 0,37 74,1- 72,3- 68,2Y-discr 101,1 94,5 90,3 Sifat (Properties) Kerapatan (g/cm3), Y1
Serat sabut kelapa Persyaratan ISO **) I II III JIS*) 0,628- 0,598- 0,578- 0,350,65-0,80 0,731 0,692 0,726 0,80 11,56- 12,28- 13,665-13 13,19 13,50 14,39 4026- 3324- 3164≥20260 ≥23467,82 5905 6855 6503 77,658,7- 63,3≥255 ≥204,07 132,2 136,7 141,6 0,392,73
0,794,60
0,511,51
≥2,0
≥5,10
99,6113,9 21,7728,74 0,0820,097
87,45- 109,5108,0 126,4 21,51- 21,9530,20 34,27 0,068- 0,0670,086 0,071
≤12
≤16
0,1240,134
0,134- 0,1550,140 0,166
0,558,06 49,470,4
4,898,78 48,369,2
≤1,5
≤0,7
0,220,47 47,265,7
Keterangan: I = dengan aditif (perekat UF 5%+arang aktif 5%+alum 4%; II = dengan aditif (perekat UF 5%+alum 4%); III = control (tanpa aditif); MC = kadar air; IB = keteguhan internal; WA = penyerapan air; TS = pengembangan tebal; HC = daya hantar panas; TR = ketahanan panas; FE = emisi formaldehida; Y-discr (nilai diskriminan) =+57,09 Y1 -55,12 Y2 +24,56 Y3 +36,39 Y4 +33,00 Y5 – 1,61 Y6 -31,68 Y7 -46,98 Y8 +100,52 Y9 -100,54 Y10, dengan koef. determinasi kanonik nyata (R2=0,962**), yang menunjukkan tingkat peranan absolut masing-masingmasing sifat dari yang terbesar hingga terkecil (Y10>Y9>Y1>Y2 >Y8>Y4>Y5>Y7>Y3>Y6); *) JIS (Anonim 2003); **) ISO (Anonim 2009a)
100
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
B. Produk MDF dengan Perekat TF Pembentukan lembaran MDF dengan perekat TF (tanin formaldehida) dilakukan sebagai usaha memperbaiki usaha pembuatan MDF sebelumnya menggunakan perekat UF (Roliadi et al. 2012; 2012a). TF merupakan senyawa hasil polimerisasi secara kondensasi antarmonomer-monomer yang terbentuk akibat reaksi antara tanin dan formaldehida. Tannin dapat diperoleh dari ekstrak kulit jenis tumbuhan tertentu (terutama Acacia spp.), sehingga perekat TF memiliki sifat terbarukan. Tanin merupakan polifenol, dengan demikian diharapkan sifat dan kemampuannya sebanding dengan perekat lain yang juga berbasis fenol yaitu fenol-formaldehida (PF). Perekat PF bersifat termoset dan water proof, sehingga sesuai untuk tujuan eksterior. Pencermatan lebih rinci mengindikasikan bahwa sifat dan kemampuan perekat TF dapat menyamai perekat PF. Perekat PF merupakan produk dari turunan minyak bumi atau batu bara yang sifatnya tidak terbarukan, sehingga kurang ramah lingkungan. Penggunakan perekat TF yang terbarukan diharapkan berdampak lingkungan yang posistif (Santoso 2011). Pembuatan MDF dengan perekat TF juga menggunakan bahan serat pulp pelepah nipah dan campurannya dengan pulp sabut kelapa pada proporsi tertentu. Prosedur pembentukan MDF dengan perekat TF serupa dengan yang menggunakan perekat UF, seperti dalam hal pembentukan lembaran (cara basah), ukuran lembaran, pengempaan dingin, perlakuan panas, pengempaan panas, conditioning, dan pengujian sifat fisis/kekuatan berikut emisi formaldehida. Kombinasi perlakukan yang diterapkan juga hampir sama dengan pada pembentukan MDF menggunakan perekat UF, yaitu sebagai bahan serat adalah pulp pelepah nipah dan pulp yang juga dari 2 taraf konsentrasi alkali untuk pulping (8% dan 10%). Dalam hal proporsi, campuran serat dan bahan aditif agak sedikit berbeda. Proporsi campuran pulp pelepah nipah dan pulp sabut kelapa dibuat dalam 3 taraf proporsi (100%+0%, 75%+25%, dan 50%+50%). Bahan aditif yang digunakan terdiri atas 4 taraf, yaitu perekat PF 5% + emulsi lilin 5% + tawas 5%; TF 5% + emulsi lilin 5% + tawas 5%; perekat TF 5% + emulsi lilin 5% + tawas 5% + arang aktif 4%; dan tanpa aditif sama sekali (kontrol). Penggunaan perekat PF (fenol formaldehida) ditujukan sebagai pembanding terhadap TF. Aspek pengujian sifat fisis/kekuatan MDF berikut emisi formaldehida serupa pula dengan yang dilakukan dengan perekat UF. Data sifat MDF dan emisi formaldehida ditelaah dengan rancangan acah lengkap faktorial; dan sebagai faktor adalah konsentrasi alkali, proporsi campuran serat, dan bahan aditif Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
101
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
(Tabel 5). Sama seperti sebelumnya, pelelaahan lanjutan dilakukan dengan uji BNJ. Tabel 5. Analisis keragaman terhadap sifat fisis dan mekanis papan serat kerapatan sedang (MDF), berikut emisi formaldehida Sumber db keragaman Total A
Sifat fisis dan mekanis (Physical and mechanical properties) Keteguhan Keteguhan Keteguhan Kerapatan Kadar air lentur patah internal (IB) (MOE) +) (MOR) F-hitung P F-hitung P F-hitung P F-hitung P F-hitung P
119 1
3,64
*
4,78
*
4,98
*
7,11
**
4,84
*
B
2
9,33
**
2,16
tn
5,12
*
6,15
**
5,23
**
C
3
4,58
*
4,87
*
5,45
*
4,32
*
5,68
*
A*B
2
1,28
tn
8,34
**
7,53
**
7,41
**
1,02
tn
A*C
3
6,01
*
9,12
**
9,66
**
4,12
*
5,77
*
B*C
6
5,68
*
4,34
*
4,28
*
5,03
*
4,01
*
A*B*C
6
3,39
*
4,86
*
4,21
*
4,54
*
4,31
*
Galat (Residuals)
96
Rata-rata (Means) Satuan (Units) KK, % D 0.05
-
0,693 g/cm3
10,856 %
13.682,17 kg/cm2
131,01 kg/cm2
1,9775 kg/cm2
-
7,29 0,0049
8,54 2,512
9,43 83,65
6,42 7,91
9,43 0,15
Keterangan: A = Konsentrasi alkali; B = Komposisi campuran pulp pelepah nipah dan pulp dari sabut kelapa (b/b); C = Bahan aditif; * = nyata pada taraf 5%; ** = nyata pada 1%; tn = tak nyata; KK = Koefisisien keragaman, P = peluang; D0.05 = nilai kritis uji jarak beda nyata jujur (BNJ) Tukey pada taraf at 5%
102
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 6. Analisis keragaman terhadap sifat fisis dan mekanis papan serat kerapatan sedang (MDF), berikut emisi formaldehida–sambungan Sifat fisis dan mekanis (Physical and mechanical properties) Ketahanan Sumber Penyerapan Pengembangan Daya hantar panas Emisi keragaman air (Water tebal (Thickness panas (Heat db (Thermal formaldehida (Sources of absorption) swelling) conductivity) resistance) variation) F-hitung P F-hitung P F-hitung P F-hitung P F-hitung P (F-calc.) (F-calc.) (F-calc.) (F-calc.) (F-calc.) Total 119 A 1 4,69 * 4,09 * 6,03 ** 7,21 ** 6,03 ** B
2
7,23
**
4,16
*
5,26
*
6,83
**
7,27
**
C
3
4,61
*
4,87
*
5,47
*
5,49
*
5,65
*
A*B
2
1,31
tn
8,34
**
7,96
**
7,51
**
1,08
tn
A*C
3
6,07
*
8,12
**
12,57
**
4,50
*
4,89
*
B*C
6
5,23
*
1,39
tn
4,49
*
5,01
*
4,94
*
A*B*C
6
4,33
*
5,86
*
4,78
*
4,58
*
4,37
*
Galat (Residuals)
96
Rata-rata (Means) Satuan (Units) KK, % D 0.05
-
114,7125 %
40,7261 %
0,0892 W.m -1,K-1
0,1290 m2.W-1
0,3010 mg/L
-
5,21 10,36
9,86 4,32
5,28 0,00432
6,48 0,02641
4,57 0,02543
Keterangan: A = Konsentrasi alkali; B = Komposisi campuran pulp pelepah nipah dan pulp sabut kelapa (b/b); C = Bahan aditif; * = nyata pada taraf 5%; ** = nyata pada1%; tn = tak nyata; KK = Koefisisien keragaman, P = peluang; D0.05 = nilai kritis uji jarak beda nyata jujur (BNJ) Tukey pada taraf at 5% Data hasil pengujian sifat MDF yang mencakup kadar air, kerapatan, MOE, MOR, IB, penyerapan air, pengembangan tebal, daya hantar panas, ketahanan panas, dan emisi formaldehida disajikan pada Tabel 6. Kadar air papan MDF cenderung meningkat dengan peningkatan konsentrasi alkali (Tabel 5 dan 6). Alkali pada konsentrasi tersebut menyebabkan degradasi Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
103
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dan pelarutan polimer lignin (yang lebih bersifat hidrofob). Akibatnya, lebih banyak polimer selulosa (bersifat lebih hidrofil) terekspose pada permukaan serat sehingga higroskopisitas serat meningkat. Di lain hal, atas dasar uji BNJ, peningkatan porsi pulp sabut kelapa terhadap porsi pulp pelepah nipah (hingga 50%+50%) cenderung menurunkan kadar air. Diduga ini terkait dengan lebih tingginya kadar lignin (bersifat kurang polar) dan lebih sedikitnya porsi jaringan parenkhim dalam sabut kelapa (diindikasikan dari rendahnya kelarutan dalam air panas dan alkali 1%) dibandingkan dengan pada pelepah nipah (Tabel 1), sehingga mengurangi polaritas (higroskopis) serat pulp campuran. Dugaan lain adalah pulp pelepah nipah lebih mudah digiling daripada pulp sabut kelapa (Tabel 3) karena kadar hemiselulosa awalnya lebih tinggi dibanding pada sabut kelapa (Tabel 1). Hal ini memperkuat indikasi bahwa pulp pelepah nipah lebih mudah terfibrilisasi sehingga sifatnya lebih higroskopis pula. Hasil uji BNJ (Tabel 5) menunjukkan bahwa kadar air MDF dengan penggunaan bahan aditif (berupa perekat PF + emulsi lilin, perekat TF + emulsi lilin, perekat TF + emulsi lilin + arang aktif) lebih rendah dibandingkan dengan MDF kontrol (tanpa aditif). Selanjutnya, penggunaan arang aktif cenderung menurunkan kadar air MDF (Tabel 6). Diduga penggunaan perekat PF atau TF banyak membantu ikatan antarserat melalui reaksi kondensasi dengan lignin/selulosa (terutama di permukaan serat). Hal tersebut banyak menutup gugusan polar (OH bebas khususnya) sehingga menurunkan sifat higroskopis serat pada saat lembaran MDF terbentuk. Di samping itu, emulsi lilin ikut berperan pula menurunkan higroskopisitas serat. Pada kombinasi perekat TF dengan arang aktif, kadar air MDF lebih rendah dibanding pada MDF kontrol (tanpa aditif) dan dengan TF saja (tanpa arang aktif). Diduga ini karena arang tersebut berupa partikel kecil yang menyebabkan luas permukaan bertambah besar. Akibatnya air yang terdapat dalam serat pulp teradsorpsi oleh arang tersebut dan air tersebut selanjutnya menguap pada saat papan MDF mengalami perlakuan panas (heat treatment dan hot pressing). Ini berakibat lebih menurunkan lagi kadar air papan MDF.
104
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 7. Analisis keragaman terhadap sifat fisis dan mekanis papan serat kerapatan sedang (MDF), berikut emisi formaldehida–sambungan Sifat fisis dan mekanis Sumber Penyerapan Pengembangan Daya hantar Ketahanan Emisi db keragaman air tebal panas panas formaldehida F-hitung P F-hitung P F-hitung P F-hitung P F-hitung P Total 119 A 1 4,69 * 4,09 * 6,03 ** 7,21 ** 6,03 ** B
2
7,23
**
4,16
*
5,26
*
6,83
**
7,27
**
C
3
4,61
*
4,87
*
5,47
*
5,49
*
5,65
*
A*B
2
1,31
tn
8,34
**
7,96
**
7,51
**
1,08
tn
A*C
3
6,07
*
8,12
**
12,57
**
4,50
*
4,89
*
B*C
6
5,23
*
1,39
tn
4,49
*
5,01
*
4,94
*
A*B*C Galat
6 96
4,33
*
5,86
*
4,78
*
4,58
*
4,37
*
Rata-rata Satuan KK, % D 0.05
-
114,7125 % 5,21 10,36
40,7261 % 9,86 4,32
0,0892 W.m -1.K-1 5,28 0,00432
0,1290 m2.K.W-1 6,48 0,02641
0,3010 mg/L 4,57 0,02543
Keterangan: A = Konsentrasi alkali; B = Komposisi campuran pulp pelepah nipah dan pulp sabut kelapa b/b, w/w); C = Bahan aditif; * = nyata pada taraf 5%; ** = nyata pada 1%; tn = tak nyata; KK = Koefisisien keragaman, P = peluang; D0.05 = nilai kritis uji jarak beda nyata jujur (BNJ) Tukey pada taraf 5%; +) transformasi bentuk log untuk MOE
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
105
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Table 8. Ringkasan data sifat fisis-mekanik dan emisi formaldehida papan serat berkerapatan rendah No.
Serat pelepah nipah (100%) *))
Sifat C1
C2
C3
C4
1 Kerapatan (g/cm3), Y1
0,676-0,727 **)
0,693-0,741
0,673-0,728
0,673-0,679
2 MC (%), Y2
9,931-11,164
6,538-14,372
10,748-11,027
9,931-10,887
3 MOE (kg/cm2), Y3
12.213-13.250
12,831-14,642
18.453-20.095
13.081-15.562
4 MOR (kg/cm ), Y4
106,29-108,80
106,59-117,18
154,18-185,90
116,84-121,38
1,68-1,18
1,70-1,18
3,52-2,66
2,76-2,73
2
5 IB (kg/cm ), Y5 2
6 WA (%), Y6
133,796-141,735 108,964-131,459 107,579-114,237 114,711-119,571
7 TS (%), Y7
48,55-72,78
37,91-49,00
32,37-44,62
33,03-44,12
8 HC (W.m .K ), Y8
0,0771-0,0763
0,0745-0,0785
0,0702-0,0973
0,0896-0,0981
9 TR (m-2.K.W-1), Y9
0,1572-0,1476
0,1473-0,14007
0,1568-0,1234
0,1228-0,1224
10 FE (mg/L), Y10
0,1243-0,1830
0,4170-0,0890
0,2975-0,2700
0,2555-0,1785
94,3-89,3
118,3-110,4
121,8-113,2
119,5-111,7
-1
11 Y-discr
-1
Keterangan: *) = Bentuk pulp, C2 = dengan aditif (perekat PF 5% + emulsi lilin 5% + alum 5%) ,C3 = dengan aditif (perekat TF 5% + emulsi lilin 5% + alum 5%) ; C4 = dengan aditif (perekat TF 5% + emulsi lilin 5% + alum 5% + arang aktif 5%), C1 = tanpa aditif (control); PF = fenol formaldehida; TF = tanin-; MC = kadar air; IB = keteguhan internal; WA = penyerapan air; TS = pengembangan tebal; HC = daya hantar panas; TR = ketahanan panas; FE = emisi formaldehida; Y-discr (nilai diskriminan) = Y = +58,09141 Y1 -54,42325 Y2 +24,56737 Y3 +37,39214 Y4 +33,99775 Y5 -1,62342 Y6 -32,67778 Y7 -45,97774 Y8 +100,52651 Y9 -101,53992 Y10; dengan koef. determinasi kanonik nyata (R2=0,952**), yang menunjukkan tingkat peranan absolut masing-masing-masing sifat dari yang terbesar hingga terkecil (i.e. Y10>Y9>Y1>Y2 >Y8>Y4>Y5>Y7>Y3>Y6); JIS = Anonim (2003); **) urutan angka dalam bentuk selang menunjukkan kecenderungan (meningkat atau menurun) akibat peningkatan konsentrasi alkali (8–12%); JIS (Anonim 2003); **) ISO (Anonim 2009a)
106
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Campuran pelepah nipah dan sabut kelapa (50%+50%) *) C1
C2
C3
C4
0,649-0,718
0,696-0,700
0,686-0,725
0,680-0,687
JIS
Persyaratan ISO
11,291-11,687
9,379-15,089
10,022-10,678
8,599-10,609
0,35-0,80
0,65-0,80
10.219-10.839
10.858-11.417
12.514-15.065
13.947-12.529
5-13
-
119,18-112,64
123,94-122,27
150,66-168,00
130,13-126,87
≥20,200
≥23.468
1,72 -1,54
1,70-1,59
2,10-1,74
1,90-1,85
≥225
≥204
138,667-138,499
97,156-102,674
96,340-102,204
101,078-102,789
≥2,0
≥5,10
41,23-57,09
31,90-40,41
26,90-37,04
28,31-32,64
0,0657-0,1097
0,0797-0,0951
0,0814-0,0942
0,0936-0,1004
≤12
≤16
0,1675-0,1094
0,1380-0,1262
0,1352-0,1168
0,1176-0,1096
0,2365-0,1860
0,8145-0,1815
0,2410-0,0625
0,5980-0,0505
70,7-78,9
95,2-101,3
97,5-103.5
95,0-102,6
≤1,5
≤0,7
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
107
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pada keadaan tanpa arang aktif, uji BNJ mengindikasikan bahwa kadar air MDF dengan perekat TF sedikit lebih rendah dibandingkan dengan perekat PF (Tabel 6). Hal ini dapat dimengerti karena tanin merupakan polifenol, akibatnya lebih mengintensifkan reaksi kondensasi antara gugusan fenol pada tanin dan formaldehida, sehingga lebih menurunkan sifat higroskopisitas perekat TF dibandingkan dengan PF (Pizzi et al. 1994; Hussein et al. 2011). Secara umum, kadar air pada MDF yang dikehendaki adalah serendah mungkin sebab akan mengurangi berat, mempertinggi keawetan dan meningkatkan ketahanan terhadap serangan organisme dan memudahkan pengerjaan selanjutnya (Anonim 2009, 2009a). Kadar air papan MDF berkisar 6,54–15,09% dan sebagian besar banyak memenuhi persyaratan JIS, yaitu 5–13% (Anonim 2003). Hasil uji BNJ (Tabel 5) menunjukkan bahwa kadar air MDF dengan penggunaan bahan aditif (berupa perekat PF + emulsi lilin, perekat TF + emulsi lilin, perekat TF + emulsi lilin + arang aktif) lebih rendah dibandingkan dengan MDF kontrol (tanpa aditif). Selanjutnya, penggunaan arang aktif cenderung menurunkan kadar air MDF (Tabel 6). Diduga penggunaan perekat PF atau TF banyak membantu ikatan antar serat melalui reaksi kondensasi dengan lignin/selulosa (terutama di permukaan serat). Hal tersebut banyak menutup gugusan polar (OH bebas khususnya) sehingga menurunkan sifat higroskopis serat pada saat lembaran MDF terbentuk. Di samping itu, emulsi lilin ikut berperan pula menurunkan higroskopisitas serat. Pada kombinasi perekat TF dengan arang aktif, kadar air MDF lebih rendah dibanding pada MDF kontrol (tanpa aditif) dan dengan TF saja (tanpa arang aktif). Diduga ini karena arang tersebut berupa partikel kecil yang menyebabkan luas permukaan bertambah besar. Akibatnya air yang terdapat dalam serat pulp teradsorpsi oleh arang tersebut dan air tersebut selanjutnya menguap pada saat papan MDF mengalami perlakuan panas (heat treatment dan hot pressing). Hal ini berakibat lebih menurunkan lagi kadar air papan MDF. Pada keadaan tanpa arang aktif, uji BNJ mengindikasikan bahwa kadar air MDF dengan perekat TF sedikit lebih rendah dibandingkan dengan perekat PF (Tabel 6). Hal ini dapat dimengerti karena tanin merupakan polifenol, akibatnya lebih mengintensifkan reaksi kondensasi antara gugusan fenol pada tanin dan formaldehida sehingga lebih menurunkan sifat higroskopisitas perekat TF dibandingkan dengan PF (Pizzi et al. 1994; Hussein et al. 2011). Secara umum kadar air pada MDF yang dikehendaki adalah serendah mungkin sebab akan mengurangi berat, mempertinggi keawetan dan meningkatkan ketahanan terhadap serangan organisme, serta memudahkan pengerjaan
108
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
selanjutnya (Anonim 2009, 2009a). Kadar air papan MDF berkisar 6,54– 15,09% dan sebagian besar banyak memenuhi persyaratan JIS, yaitu 5–13% (Anonim 2003). Peningkatan konsentrasi alkali juga cenderung meningkatkan kerapatan papan MDF yang terbentuk (Tabel 6). Diduga peningkatan tersebut berakibat delignifikasi bahan serat (baik pelepah nipah ataupun sabut kelapa) semakin intensif. Hal ini menyebabkan fleksibilitas (kelemasan) bahan serat meningkat. Menurut Haygreen dan Bowyer (1999), lignin berperan nyata terhadap kekakuan bahan serat berligno-selulosa. Akibatnya dengan berkurangnya kandungan lignin, maka serat mudah menggepeng dan ikatan/ anyaman antarserat menjadi lebih kompak (rapat). Berdasarkan uji BNJ (Tabel 5 dan 6), diketahui peningkatan porsi campuran pulp sabut kelapa terhadap pulp nipah (hingga 50%+50%) cenderung menurunkan kerapatan MDF. Hal ini berindikasi pula bahwa tekstur serat pulp sabut kelapa lebih kaku (keras) dan juga lebih sukar digiling dibandingkan dengan serat pulp nipah (Tabel 3) karena kadar lignin awalnya lebih tinggi dibanding pada serat nipah (Tabel 1). Penggunaan perekat PF dan TF cenderung meningkatkan kerapatan papan MDF, sebagaimana diindikasikan dari hasil uji BNJ (Tabel 5 dan 6). Diduga perekat tersebut membantu mengintensifkan ikatan serat-perekat dan ikatan serat-serat, sehingga menurunkan volume rongga kosong antarserat saat pembentukan lembaran MDF. Penggunaan perekat TF dikombinasikan dengan arang aktif sedikit menurunkan kerapatan MDF. Kemungkinan yang terjadi partikel-partikel arang aktif menyebabkan gangguan ikatan antarserat, sehingga terbentuk rongga-rongga kosong antarserat yang berakibat menurunnya kerapatan MDF. Lebih lanjut dari hasil uji BNJ, ternyata kerapatan MDF menggunakan perekat TF tidak berbeda dengan yang menggunakan PF. Secara umum, MDF yang dikehendaki adalah memiliki kerapatan tinggi karena berpengaruh positif pada sifat fisis dan mekaniknya (Anonim 2009a). Keseluruhan kerapatan MDF berkisar 0,647–0,741 g/cm3 (Tabel 6) dan seluruhnya memenuhi persyaratan JIS, yaitu 0,35–0,80 g/ cm3 (Anonim 2003). Sebagian nilai kerapatan MDF riil yang lebih rendah daripada kerapatan target (0,70 g/cm3), diduga disebabkan adanya fraksi serat terdegradasi hingga lolos saringan pada saat pembentukan lembaran MDF. Sebaliknya nilai kerapatan riil yang melebihi kerapatan target tersebut diduga terkait dengan penambahan aditif (perekat, emulsi lilin, dan arang aktif). Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
109
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Keteguhan lentur (MOE) dan keteguhan patah (MOR) papan MDF meningkat dengan meningkatnya konsentrasi alkali berdasarkan hasil uji BNJ (Tabel 5 dan 6). Hal ini dapat dipahami karena alkali menyebabkan delignifikasi bahan serat lebih intensif dan mengakibatkan serat pulp lebih fleksibel. Ini berpengaruh positif pada ikatan dan anyaman antarserat pada saat pembentukan lembaran MDF, sehingga MOE/MOR meningkat. Sebaliknya untuk IB (keteguhan rekat internal), nilanya menurun dengan meningkatnya konsentrasi alkali dari 8% menjadi 10% (Tabel 6). Peningkatan alkali selain mengakibatkan delignifikasi serat pulp (baik pelepah nipah ataupun sabut kelapa) semakin intensif, juga mengakibatkan degradasi polimer rantai selulosa pada serat tersebut. Akibatnya kekuatan individu serat pulp menurun (Casey 1980; Anonim 2009a). Lebih lanjut, hasil uji BNJ menunjukkan bahwa semakin tinggi porsi campuran pulp sabut kelapa terhadap porsi pulp pelepah nipah mengakibatkan penurunan MOE/MOR/IB (Tabel 6). Hal ini mungkin disebabkan oleh tekstur serat sabut kelapa yang lebih keras (kaku) dibandingkan dengan serat nipah dan juga pulp sabut kelapa yang lebih sukar digiling daripada pulp pelepah nipah (Tabel 3). Di samping itu serat pelepah nipah yang lebih panjang dan daya tenun lebih besar dibandingkan dengan serat sabut kelapa (Tabel 2) diduga juga ikut berperanan terhadap fenomena tersebut. Akibatnya, serat pulp sabut kelapa kurang fleksibel dan ikatan antarserat di dalamnya kurang sempurna pada saat pembentukan lembaran MDF. Hal ini menyebabkan sifat kekuatan (MOE/MOR/IB) MDF menurun. Di lain hal, MOE, MOR, dan IB MDF dengan penggunaan perekat PF atau TF lebih tinggi dibandingkan dengan MDF kontrol (Tabel 6). Hal ini dapat dimengerti baik perekat PF ataupun TF membuat ikatan serat-serat lebih intensif sehingga berpengaruh positif pada kerapatan (volume rongga udara lebih sedikit) dan ikatan serat-perekat-serat pada saat pembentukan lembaran MDF. Berdasarkan uji BNJ, penggunaan perekat TF yang dikombinasikan dengan arang aktif ternyata sedikit menurunkan MOE/MOR/IB MDF dibandingkan dengan tanpa arang aktif. Diduga, arang aktif dalam bentuk partikel kecil mengganggu ikatan antara serat dalam MDF dan selanjutnya menurunkan MOE/MOR/IB tersebut. Lebih lanjut, MOE/MOR/IB MDF dengan perekat TF sedikit lebih tinggi dibanding MDF dengan PF. Diduga karena molekul tanin banyak mengandung gugusan fenol (polifenal), akibatnya pada TF yang terbentuk, struktur ikatan serat-perekat-serat dalam MDF lebih kuat dibanding pada PF (Hussein et al. 2011). Secara umum,
110
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
MOE, MOR, dan IB MDF dikehendaki setinggi mungkin (Anonim 2009b). Sebagian besar MOE MDF hasil percobaan: 10.219–20.095 kg/cm2 (Tabel 6) tidak memenuhi persyaratan JIS, yaitu ≥20.260 kg/cm2 (Anonim 2003) dan yang memenuhi adalah MDF dari bahan serat nipah 100%, dengan perekat TF (tanpa arang aktif). Untuk MOR MDF, nilai hasil percobaan berkisar 106,29–189,11 kg/cm2 (Tabel 6) dan seluruhnya tidak dan seluruhnya tidak memenuhi persyaratan JIS, yaitu ≥ 255 kg/cm2 (Anonim 2003). MOR MDF dari pelepah nipah dengan perekat TF (tanpa arang aktif) paling mendekati persyaratan minimum JIS untuk MOR (Tabel 6). Dalam hal IB, dibandingkan dengan persyaratannya menurut JIS yaitu ≥ 2,00 kg/cm2 (Anonim 2003), maka dari IB hasil percobaan (1,18-3,52 kg/cm2) yang memenuhi syarat tersebut adalah MDF (dari pulp nipah 100% dan campurannya dengan pulp sabut kelapa pada porsi 75%+25%) dengan penggunaan perekat PF dan TF (tanpa atau dengan penambahan arang aktif). . Daya hantar panas (thermal conductivity) papan MDF meningkat dengan peningkatan konsentrasi alkali (8–12%), sedangkan ketahanan panas (heat resistance) sebaliknya (menurun), sebagaimana diindikasikan dari uji BNJ (Tabel 5 dan 6). Fenomena tersebut terjadi karena ketahanan panas berbanding terbalik dengan daya hantar panas (Anonim 2012). Diduga peningkatan alkali berakibat delignifikasi lebih intensif sehingga bahan serat lebih fleksibel, selanjutnya berakibat ikatan serat selama pembentukan MDF menjadi lebih kompak dan volume rongga udara menurun (sebagaimana diindikasikan pada peningkatan kerapatan MDF). Selanjutnya, peningkatan porsi campuran pulp sabut kelapa terhadap pulp serat nipah, berdasarkan hasil uji BNJ juga cenderung meningkatkan daya hantar panas (menurunkan ketahanan panas) papan MDF. Diduga ini terkait dengan lebih tingginya kadar lignin serat sabut kelapa dibanding pada serat nipah, yang mengakibatkan porsi lignin dalam MDF meningkat terhadap porsi selulosa. Daya hantar panas senyawa organik (termasuk lignin dan selulosa) dipengaruhi oleh kandungan unsur atomnya, seperti karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), dan nitrogen (N). Unsur C mendominir daya hantar panas senyawa organik karena daya hantar panas C relatif besar yaitu 25470 W.m-1.K-1, sedangkan unsur H, O, dan N pada suhu kamar berbentuk gas yang umumnya berdaya hantar panas rendah (Anonim 2004). Kadar C pada selulosa hanya 44,44%, sedangkan pada lignin lebih tinggi yaitu 67,50% (Browning 1967; Casey 1980).
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
111
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Uji BNJ juga mengindikasikan bahwa nilai daya hantar panas MDF yang diberi perekat PF dan TF lebih tinggi dibandingkan dengan nilai untuk MDF kontrol (tanpa bahan perekat) (Tabel 5 dan 6). Diduga kuat, hal ini terkait dengan lebih intensifnya ikatan serat-perekat-serat dan peningkatan kerapatan MDF dibandingkan dengan MDF kontrol (tanpa perekat). Peningkatan kerapatan dan lebih intensifnya ikatan serat-perekat-serat berakibat volume rongga udara menurun (baik rongga antarserat ataupun rongga lumen), sehingga daya hantar panas MDF meningkat (ketahanan panas menurun). Lebih lanjut, daya hantar panas papan MDF dan perekat TF yang dikombinasikan dengan arang aktif lebih tinggi dibanding MDF menggunakan perekat TF saja (tanpa arang aktif). Diduga kadar unsur C pada MDF meningkat dengan penggunaan arang aktif karena kadar C pada arang aktif relatif tinggi, yaitu ≥ 80% (Saptadi 2009). Fenomena ini memperkuat lagi indikasi bahwa unsur C sangat berperan terhadap daya hantar panas senyawa organik (MDF). Tanpa arang aktif, ternyata daya hantar dan ketahanan panas MDF menggunakan perekat TF tidak berbeda nyata dengan yang menggunakan perekat PF (Tabel 6). Hal ini mengindikasikan bahwa performans perekat TF sebanding dengan PF dalam hal sifat ini. MDF yang dikehendaki memiliki ketahanan panas tinggi atau daya hantar panas rendah (Tsoumi 1993; Anonim 2009a). Berdasarkan hasil uji BNJ, penyerapan air dan pengembangan tebal papan MDF cenderung meningkat dengan peningkatan konsentrasi alkali (Tabel 5 dan 6). Sebaliknya, semakin tinggi porsi campuran pulp sabut kelapa terhadap porsi pulp pelepah nipah, maka penyerapan air dan pengembangan tebal menurun. Segala fenomena ini berindikasi serupa dengan yang terjadi sebelumnya pada kadar air MDF. Lebih lanjut, menurunnya penyerapan air berarti lebih sedikit molekul air yang memasuki struktur serat MDF, dengan demikian potensi pengembangannya menurun pula. Di samping itu, berat jenis dan tebal dinding serat sabut kelapa yang lebih rendah dibandingkan dengan pelepah nipah (Tabel 1) berperan pula terhadap lebih rendahnya pengembangan tebal MDF tersebut. Berat jenis dan tebal dinding serat bahan berligno-selulosa berkorelasi positif dengan pengembangan tebalnya (Haygreen dan Bowyer 1999). Uji BNJ menunjukkan bahwa penyerapan air dan pengembangan tebal MDF dengan perekat PF dan TF lebih rendah dibandingkan dengan pada MDF kontrol (tanpa perekat) (Tabel 5 dan 6). Fenomena ini terjadi pula pada kadar
112
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
air MDF. Lebih lanjut, MDF yang diberi perekat TF dan dikombinasikan dengan arang aktif menunjukkan penyerapan air lebih tinggi dibandingkan dengan MDF dengan TF saja. Partikel arang aktif memiliki luas permukaan relatif besar, sehingga memperbanyak peluang berkontak dengan air dan ikut berperan terhadap peningkatan penyerapan air MDF. Untuk pengembangan tebal, MDF yang diberi perekat TF dan dikombinasikan dengan arang aktif menunjukkan pengembangan tebal lebih rendah dibanding MDF dengan TF saja (tanpa arang aktif). Fenomena ini ternyata tidak sejalan (bahkan sebaliknya) dengan perubahan penyerapan air yang cenderung meningkat. Kemungkinan yang terjadi adalah partikel arang aktif bersifat polar dan juga memiliki luar permukaan yang besar. Hal ini mengakibatkan molekul air banyak teradsorpsi oleh arang aktif dan lebih sedikit yang memasuki struktur serat MDF. Dengan demikian, walaupun penyerapan air meningkat MDF (pada kombinasi TF dan arang aktif), pengembangan tebalnya menurun. MDF yang dikehendaki memiliki penyerapan air dan pengembangan tebal serendah mungkin karena ada kaitan erat dengan kestabilan dimensi papan serat dan ketahanannya terhadap serangan organisme dan degradasi. Pengembangan tebal MDF hasil percobaan (29,90–72,78%), dibandingkan dengan persyaratan JIS yaitu ≤ 12,0% (Anonim 2003) seluruhnya tidak memenuhi syarat. Mengenai emisi formaldehida, peningkatan porsi porsi campuran pulp sabut kelapa terhadap pulp nipah, berdasarkan uji BNJ cenderung meningkatkan emisi tersebut dari papan MDF (Tabel 5 dan 6). Diduga ini terjadi karena kadar lignin sabut kelapa lebih tinggi dibanding pada pelepah nipah (Tabel 1). Pada lembaran MDF terdapat lignin terfragmentasi dan memang dikehendaki karena diperlukan pula sebagai pengikat alami antarserat selama pembentukan lembaran tersebut. Diindikasikan bahwa fragmen lignin pada serat ligno-selulosa (dalam lembaran MDF) berpotensi mengalami karbonisasi (charring) pada saat perlakuan panas (heat treatment) dan pengempaan panas (hot pressing) dengan suhu di atas 100˚C (pada keadaan oksigen terbatas). Di antara produk karbonisasi tersebut adalah gas-gas dengan berat molekul rendah seperti karbon monoksida (CO), hydrogen (H2), dan formaldehida (HCOH) (Sjostrom 1993; Anonim 2009). Lebih lanjut, uji BNJ mengindikasikan pula bahwa emisi formaldehida MDF menurun dengan meningkatnya konsentrasi alkali selama pemasakan pulp. Kemungkinan yang terjadi adalah delignifikasi semakin intensif dengan meningkatnya alkali dan sebagian lignin terfragmentasi/terdegradasi terlarut dalam larutan pemasak.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
113
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Hal ini mengakibatkan penurunan kadar lignin pada pulp serat lignoselulosa untuk pembentukan MDF pada tahap berikut, sehingga menurunkan pula potensi terbentuknya formaldehida. Hal ini memperkuat indikasi lagi bahwa lignin ikut terkait pula dengan terbentuknya (emisi) formaldehida. Uji BNJ menunjukkan bahwa emisi formaldehida MDF yang dibentuk menggunakan perekat PF dan TF jauh lebih tinggi dibandingkan dengan MDF kontrol (tanpa perekat) (Tabel 6). Lebih lanjut, emisi formaldehida MDF yang dibentuk dengan TF tetapi melibatkan penambahan arang aktif cenderung menurun dibanding pada MDF dengan TF saja. Ini membuktikan arang aktif yang bersifat polar dan memiliki luas permukaan yang besar ternyata berperan mengadsorpsi formaldehida dan mengurangi emisinya akibat penggunaan TF. Emisi formaldehida yang terjadi pada MDF kontrol (Tabel 4 dan 6) juga memperkuat indikasi bahwa lignin terfragmentasi yang berfungsi sebagai perekat alami ternyata juga ikut berperan terbentuknya formaldehida, yang diduga kuat terjadi pada tahapan heat treatment dan hot pressing, di mana lignin mungkin mengalami karbonisasi (charring). Emisi MDF yang dibentuk menggunakan perekat berbasis formaldehida (termasuk TF) dikehendaki seminimal mungkin. Emisi MDF hasil percobaan (0,0505– 0,8145 mg/L) seluruhnya memenuhi persyaratan JIS (Anonim 2003) yaitu ≤1,5 m/L. Emisi formaldehida terendah ditunjukkan pada MDF dengan perekat TF dikombinasikan dengan arang aktif, disusul oleh penggunaan TF saja (Tabel 6). Hal tersebut disebabkan tanin merupakan polifenol sehingga lebih efektif mengikat fenol pada saat terjadai polimerisasi TF dibandingkan dengan hanya satu unit fenol saja pada saat polimerisasi PF (Hussein et al. 2011). Ini menunjukkan pula bahwa penggunaan perekat berbasis polifenol antara lain tanin ternyata efektif mengikat formaldehida pada saat reaksi polimerisasi terbentuknya TF, sehingga mengurangi emisi formaldehida (Pizzi 1994; Santoso 2011). Arang aktif yang dikombinasikan dengan TF, ternyata efektif lebih menurunkan lagi emisi tersebut (Saptadi 2009). Lebih lanjut, sama halnya pada pembuatan MDF dengan perekat UF, untuk menentukan urutan kombinasi perlakukan terbaik hingga terendah pada pembuatan MDF dengan PF, juga diterapkan analisis diskriminan. Analisis tersebut menghasilkan persamaan diskriminan yang representatif, yaitu Y = ∑ bi*Yi = +58,09141 Y1 (kerapatan) -54,42325 Y2 (kadar air) +24,56737 Y3 (MOE) +37,39214 Y4 (MOR) +33,99775 Y5 IB) -1,62342 Y6 (penyerapan air) -32,67778 Y7 (pengembangan tabal) -45,97774 Y8
114
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
(daya hantar panas) +100,52651 Y9 (ketahanan panas) -101,53992 Y10 (emisi formaldehida) dengan nilai R2=0,957** (Tabel 6). Hampir sama dengan percobaan MDF dengan perekat UF, maka peranan masing-masing sifat MDF (Yi) dengan perekat TF tidak sama terhadap nilai ranking, yaitu Y10>Y9>Y1>Y2 >Y8>Y4>Y5>Y7>Y3>Y6. Seperti hal sebelumnya, dari persamaan diskriminan tersebut diperoleh rincian kombinasi perlakuan yang mengindikasikan bahwa serat pelepah nipah tetap lebih prospektif untuk MDF, di mana pulp pelepah nipah 100% pada konsentrasi alkali 8–10%, memiliki selang nilai ranking diskriminan (Y) 89,3–119,3; disusul berturut-turut oleh campuran pulp pelepah nipah (75%) dan pulp sabut kelapa (25%) pada konsentrasi alkali 8–10%, memiliki selang nilai Y 82,5-109,7; dari campuran pulp pelepah nipah (50%) dan pulp sabut kelapa (50%), memiliki selang Y 78,9-103,5 (sebagai nilai diskrininan terendah) hanya pada konsentrasi alkali 10%. Indikasi lebih berprospeknya serat pelepah nipah tersebut daripada sabut kelapa menunjukkan bahwa aspek atau karakteristik positif serat pelepah nipah yang dikehendaki untuk MDF (antara lain serat lebih panjang, daya tenun serat lebih tinggi, kadar selulosa dan hemiselulosa lebih tinggi, pemakaian alkali lebih rendah, pulp nipah lebih mudah digiling, dan waktu giling pulp lebih singkat) mendominir/mengalahkan aspek negatifnya (antara lain dinding serat lebih tebal, diameter lumen lebih kecil, kadar abu/silika tinggi, porsi jaringan parenkhim lebih tinggi, rendemen pulp lebih rendah, pemakaian alkali pada pengolahan pulp lebih tinggi, dan daya hantar panas MDF lebih rendah) (Tabel 1, 2, dan 3). Lebih lanjut, nilai diskriminan papan MDF dengan perekat PF (101,3– 118,3) ternyata tidak jauh berbeda dengan nilai dengan perekat TF tanpa arang aktif yaitu 103,5–121,8 (Tabel 6). Hal ini pengindikasikan pula bahwa kemampuan TF (dibuat dari bahan terbarukan) untuk MDF bisa menyamai PF (dari bahan tidak terbarukan). Pada hasil percobaan MDF dengan perekat TF menunjukkan sifat fisis/ kekuatan yang lebih baik dan emisi formaldehidanya jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil MDF dengan perekat UF serta lebih banyak yang memenuhi persyaratan JIS dan ISO (Tabel 4 dan 6). Hal ini mengindikasikan bahwa penggunakan perekat TF yang berbasis polifenol di samping dapat memperbaiki sifat fisik-mekanik MDF, juga dapat menurunkan emisi
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
115
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
formaldehida secara efektif (Pizzi 1994; Hussein 2011; Santoso 2011). Rincian produk MDF dengan sifat yang paling mendekati persyaratan JIS dan ISO (Tabel 6) adalah dengan penggunaan bahan serat nipah 100% (bentuk pulp) pada konsentrasi alkali 8% dan dengan perekat PF dan TF (tanpa atau dikombinasikan dengan arang aktif) dengan nilai mutu diskriminan (Y) = 118,3-121,8. Meskipun demikian, sabut kelapa diharapkan tetap bisa prospektif untuk MDF dan mencampurnya dengan serat nipah (keduanya berbentuk pulp) pada proporsi 25%+75% dan 50%+50% dengan nilai mutu diskriminan (Y) berturut-turut (menggunakan perekat TF, tanpa arang aktif) 108,4-109,7 dan 103,5. Pada proporsi tersebut, sifat produk MDF-nya banyak mendekati persyaratan JIS dan ISO (Tabel 6). Untuk yang tidak memenuhi syarat tersebut, diharapkan dapat diperbaiki dengan penambahan perekat TF yang lebih banyak, pemakaian arang aktif berskala nano, dan penggunaan cross-linking agent.
V. PENCERMATAN SKALA NANO Pencermatan ini dilakukan sebagai tambahan atau pelengkap data/ informasi yang diperoleh dari hasil pengujian secara konvensional, yaitu karakteristik berskala nano bahan serat (pelepah nipah dan sabut kelapa), dalam bentuk bahan mentah dan produk jadi (MDF). Alat yang digunakan adalah X-ray diffraction (XRD) dan scanning electron microscope (SEM). Pencermatan dengan XRD terhadap bahan serat menunjukan bahwa kristalinitas pelepah nipah lebih tinggi dibanding pada sabut kelapa (Tabel 7). Hal ini ikut membantu menjelaskan lebih tingginya kadar lignin dan lebih rendahnya kadar selulosa pada sabut kelapa serta ikut membantu menjelaskan lebih kakunya serat sabut kelapa dan kadar airnya yang lebih rendah. Lebih tingginya kristalinitas tersebut berperan positif pada kekuatan individu serat pelepah nipah, sehingga lebih memperkuat penjelasan antara lain pulp pelepah nipah lebih mudah digiling (tidak mudah rusak) dan sifat fisik-kekuatan MDF dari pelepah nipah (kerapatan, MOR, MOE, dan IB) lebih tinggi dibandingkan dengan MDF sabut kelapa. Fenomena ini sejalan dengan hasil pencermatan oleh peneliti-peneliti terkait (Smook dan Kocurek 1993; De Bolt 2008; Anonim 2012b) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kristalinitas bahan serat berligno-selulosa, maka rantai-rantai polimer semakin terorientasi sejajar satu dengan yang lainnya sehingga porsi amorfnya berkurang. Hal ini berakibat kadar senyawa
116
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
bukan selulosa (khususnya lignin) selulosa menurun, sehingga bahan serat lebih fleksibel (kekakuan berkurang) dan kekuatan individu serat meningkat baik secara lateral atupun memanjang, selanjutnya berpengaruh positif terhadap sifat produk turunannya seperti pulp, kertas, rayon, dan MDF. Sudut mikrofibril (MFA) serat pelepah nipah (Tabel 9) ternyata lebih rendah dibandingkan dengan selang MFA pada beberapa jenis kayu daun lebar (19.48–31.68) (Roliadi et al. 2010). Diduga perbedaan tersebut terjadi karena pelepah nipah termasuk golongan tumbuhan monokotil, sedangkan kayu daun lebar termasuk dikotil, walaupun keduanya termasuk golongan Angiospermae. Tabel 9. Kristalinitas dan sudut mikrofibril (MFA) bahan serat No. 1 2
Macam bahan serat Bentuk utuh - Pelepah nipah - Sabut kelapa Bentuk serbuk - Pelepah nipah - Sabut kelapa
Kristalinitas
MFA
38,52 -
13,16 -
38,30 21,18
-
Keterangan: - tidak bisa dilakukan karena berbentuk serbuk Pencermatan serupa dengan SEM terhadap profil permukaan MDF yang dibentuk dari pulp pelepah nipah 100%, pada konsentrasi alkali 8%, tanpa bahan perekat (kontrol) menunjukkan bahwa penyusunan seratseratnya kurang kompak dibanding pada profil MDF (juga dari pulp pelepah nipah dan pada konsentrasi alkali yang sama), tetapi menggunakan perekat TF (Gambar 1–2). Hal ini ikut menjelaskan lebih tingginya sifat kekuatan MDF dengan perekat TF dibandingkan dengan MDF kontrol (Tabel 6). Fenomena serupa juga terjadi pada profil MDF yang dibentuk dari campuran pulp pelepah nipah dan pulp sabut kelapa (50%+50%), pada konsentrasi alkali 10%, juga dengan perekat TF dibandingkan dengan profil MDF dari campuran yang sama (5%+50%) dan pada konsentrasi alkali yang sama, tetapi tanpa TF (Gambar 3–4). Lebih lanjut, pencermatan dengan SEM terhadap profil permukaan MDF dari pulp pelepah nipah 100%, dengan perekat TF yang dikombinasikan dengan arang aktif menunjukkan bahwa penyusunan seratnya kurang kompak dibanding pada MDF yang sama dengan perekat TF tanpa arang aktif (Gambar 2 dan 5). Hal ini ikut memperkuat dugaan bahwa Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
117
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
arang aktif dapat mengakibatkan gangguan ikatan dan anyaman serat dalam MDF, sehingga menurunkan kekuatannya (Tabel 6).
Gambar 1. Foto SEM (scanning electrone microscope) profil permukaan MDF yang dibentuk dari pulp pelepah nipah 100%, pada konsentrasi alkali 8%, tanpa bahan perekat (kontrol)
Gambar 2. Foto SEM profil permukaan MDF yang dibentuk dari pulp pelepah nipah 100%, pada konsentrasi alkali 8%, dengan bahan perekat TF (tanin formaldehida)
118
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 3. Foto SEM profil permukaan MDF yang dibentuk dari campuran pulp pelepah nipah dan pulp sabut kelapa (50%+50%), pada konsentrasi alkali 10%, tanpa bahan perekat (kontrol)
Gambar 4. Foto SEM profil permukaan MDF yang dibentuk dari campuran pulp pelepah nipah dan pulp sabut kelapa (50%+50%), pada konsentrasi alkali 10%, dengan perekat TF
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
119
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 5. Foto SEM profil permukaan MDF yang dibentuk dari pulp pelepah nipah 100%, pada konsentrasi alkali 8%, dengan bahan perekat TF dan dikombinasikan dengan arang aktif
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Berdasarkan penceratan sifat bahan baku, pengolahan pulp, dan fisis/ kekuatan MDF (baik dengan perekat UF, PF, ataupun TF) berikut emisi formaldehida, pelepah nipah nipah lebih prospektif dibandingkan dengan sabut kelapa untuk MDF. Individu serat pelepah nipah memiliki kekuatan yang lebih tinggi. 2. Hasil pencermatan sifat fisis/kekuatan dan emisi formaldehida MDF, ternyata produk MDF yang dibentuk dengan perekat PF dan TF lebih banyak memenuhi persyaratan JIS dan ISO dari pada MDF dengan perekat UF. Hal ini berindikasi penggunaan perekat PF dan TF lebih berpotensi memperbaiki sifat MDF dari pada perekat UF. 3. Perekat TF memiliki performa yang sebanding dengan perekat PF. TF memiliki keunggulan karena bersifat terbarukan dan diharapkan lebih ramah lingkungan.
120
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
4. Penggunaaan arang aktif yang dilibatkan dengan perekat TF memperbaiki kestabilan dimensi MDF, tetapi sedikit menurunkan sifat kekuatannya. 5. Pencermatan pada skala nano (XRD dan SEM) dapat membantu menjelaskan fenomena perubahan karakteristik yang terjadi dari bahan baku serat hingga produk jadi (MDF). 6. MDF dari serat nipah 100%, dengan perekat TF (tanpa arang aktif) memberikan performa yang paling mendekati persyaratan JIS dan ISO. Meski demikian, MDF sabut kelapa dapat mendekati performa tersebut, dengan mencampurkan pulp sabut kelapa dan pulp serat nipah dengan komposisi 25% + 75% atau 50% + 50%. 7. Kekurangan yang masih dijumpai pada MDF dari serat nipah 100% ataupun campurannya dengan sabut kelapa, diharapkan dapat diatasi dengan menambah porsi perekat TF dikombinasikan dengan arang aktif skala nano dan atau cross linking agent.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Japanese Industrial Standard (JIS): Fiberboard. JIS A 5905. Tokyo, Japan. _______. 2007. Technical Association of the Pulp and Paper Industry (TAPPI)’s Test Methods. Atlanta, Georgia: TAPPI Press.. _______. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan. _______. 2008a. Selamat tinggal hutan alam. Harian Kompas. Tanggal 15 Maret 2008. Hlmn. 21. Jakarta. ________. 2009. Masari Board. Environmentally Friendly Product. PT Masari Dwisepakat Fiber. Jakarta-Karawang. _______. 2009a. ISO/DIS (International Organization for Standard/Draft for International Standard) 27769-2, Wood-based panels-Wet process fiberboard, part 1: Specification; and ISO/DIS 16895-2, Wood based panels-Dry process fiberboard: Requirements. SC/TC 89/SC1. Geneva, Switzerland.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
121
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
________. 2009b. Nipah. Website: http://id.wikipedia.org/wiki/Nipah. Diakses 14 Januari 2011. ________. 2011. Statistik Indonesia 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.. ________. 2012. Fiberboard. http://en.wikipedia.org/wiki/Fiberboard. Diakses pada: 15 Juni 2012. ________. 2012a. Medium-density fiberboard. http://en.wikipedia.org/wiki/ Medium-density fiberboard. Diakses pada: 15 Juni 2012. _______. 2012b. Cellulose. en.wikipedia.org/Cellulose. Diakses pada tanggal 26 Pebruari 2012. ________. 2012c. Data hutan: laju deforestasi hutan 0,5 juta hektar. Lingkungan. Harian Kompas. tanggal 9 Mei 2012. Jakarta. Apriani Y. 2010. Kemungkinan pemanfaatan kayu mahang sebagai bahan baku alternatif untuk pulp yertas. Buletin Hasil Hutan. 16 (2): 141– 149. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Arsyad AJ. 2010. Kajian proses produksi pulp berbahan baku sabut kelapa (Cocos nucifera) dengan metode soda pulping [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor (Tidak Diterbitkan). Casey JP. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Techology. Third edition. Vol. I. New York-Brisbane-Toronto: A Wiley-Interscience Publication. De Bolt S. 2008. Relative crystallinity of plant biomass: Studies on assembly, adaptation and acclimation. www.plosone.org/article/info:doi/ 10.1371/jurnal.pone.0002897. Diakses: 25 Februari 2012. De Bos TU, BM Adnan. 1958. Ilmu Tumbuh-tumbuhan untuk Murid-murid SMP. Cetakan ke Lima. Jakarta: JB Wolters. Haygreen JG, JL Bowyer. 1999. Forest Products and Word Science: An Introduction. Ames. Iowa: Iowa State University. Hussein AS, KI Ibrahim, KM Abdulla. 2011. Tannin-phenol Formaldehyde Resins as Binders for Cellulosic Fibers: Mechanical Properties. Natural
122
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Resources, (2), 98–101. Polymer Research Center, University of Basrah; State Company for Petrochemical Industries, Basrah, Iraq. www.scirp. org/journal/paperdownload.aspx?paperid=5262. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012. Labosky P, RD Yobp, JJ Janowiak, PR Blankenhorn. 1997. Effect of steam pressure refining and resin levels on the properties of UF-bonded red maple MDF. Forest Products Journal. 43 (11/12): 82–87. Iskandar MI, A Supriadi. 2010. Pengaruh kadar perekat terhadap sifat papan partikel sabut kelapa. Buletin Hasil Hutan. 16 (2): 87–92. Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan. Pizzi A, J Valenezuela, C Westerrmeyer. 1994. Low formaldehyde emission, fast pressing, pine and pecan tannin adhesives for exterior particleboard. Holz als Roh- und Werkstoff, October 1994, (52): 311–315. http:// link.springer.com/ article/ 10.1007%2FBF02621421?LI=true. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2012. Roliadi H, D Anggraini, G Pari. 2010. Uji coba pembuatan kertas bungkus skala usaha kecil dari jenis-jenis pohon alternatif. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Laporan Hasil Penelitian tahun 2010. Roliadi H, D Anggraini, G Pari, RM Tampubolon. 2012. Potensi teknis pemanfaatan pelepah nipah dan campurannya dengan sabut kelapa untuk pembuatan papan serat berkerapatan sedang (MDF). Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol. 30 (3) : 171–181. Bogor: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.. Roliadi H, D Anggraini, G Pari, RM Tampubolon. 2012a. Teknologi pembuatan papan serat: Penyempurnaan sifat papan serat tipe MDF dari nipah dan campurannya dengan sabut kelapa. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2012. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Santoso A. 2011. Tanin dan Lignin dari Acacia mangium Willd sebagai Bahan Perekat Kayu Majemuk Masa Depan. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Pengolahan Hasil Hutan, di Jakarta tanggal 25 Oktober 2011. Kementrian Kehutanan-LIPI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementrian Kehutanan. Jakarta. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
123
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Saptadi D. 2009. Kualitas papan isolasi dari campuran kayu mangium dan arang aktif. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol. 27 (4): 291–302. Bogor: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Silitonga T, RM Siagian, A Nurachman. 1972. Cara pengukuran dimensi serat kayu dan bahan berligno-selulosa lain di Lembaga Penelitian Hasil Hutan (LPHH). Publikasi khusus No. 12. LPHH. Bogor. Smook GA, MJ Kocurek. 1993. Handbook for Pulp and Paper Technologists. Atlanta, Georgia: Joint Textbook Committee of the Paper Industry. Tsoumi G. 1993. Science and Technology of Wood: Structure, Properties, and Utilization. New York: Van Nostrand Reinhold Co.
124
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
ANALISIS TEKNIS DAN FINANSIAL MESIN PENGERING KAYU SISTEM PANAS TUNGKU UNTUK USAHA KECIL* Oleh: Efrida Basri, Ahmad Supriadi dan Rahmat**
ABSTRAK Telah dilakukan uji coba teknis dan finansial terhadap demplot pengeringan kayu sistem panas tungku untuk kapasitas 8–10 m3 di salah satu industri/pengrajin kayu di Desa Sinanggul, Kecamatan Mlonggo, Jepara, Jawa Tengah. Pembuatan demplot alat pengering ini merupakan solusi atas kebutuhan perajin untuk menghasilkan produk kayu yang berkualitas. Uji coba dilakukan terhadap sortimen kayu jati (Tectona grandis) ukuran 3–5 cm (T) x 30 cm (L) x 200 cm (P). Kebutuhan panas pengeringan diperoleh dari tungku pembakaran dengan bahan bakar limbah kayu hasil kegiatan penggergajian dan pengerjaan kayu. Proses pengeringan menggunakan suhu bertahap 50– 60˚C. Hasil uji coba pada volume kayu jati 8 m3 menunjukan untuk mencapai kadar air akhir 10% dari kadar air awal rata-rata 40% memerlukan waktu sekitar 8 hari. Biaya energi (kayu bakar dan listrik) untuk mengeringkan 1 m3 kayu rata-rata Rp135.000. Penelahan finansial terhadap mesin pengering tersebut dengan asumsi harga jual kayu jati kering Rp11.000.000/m3, BEP tercapai pada produksi kayu jati kering 29m3, dan IRR 116,62%. Dengan discount factor 10% diperoleh NPV Rp692.857.000, maka biaya investasi dapat kembali dalam waktu 2 tahun sejak mesin berproduksi, sehingga mesin pengering tersebut layak untuk dioperasikan. Kata kunci: Mesin pengering, usaha kecil, jati, kelayakan teknis dan finansial
I. PENDAHULUAN Salah satu problem pengeringan di industri kecil Jepara adalah konstruksi alat pengering dan tata letak komponen penunjang pengeringan belum memenuhi standar (Basri et al. 2012). Ada yang sistem pengeringannya dengan * Makalah Utama pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian 30 April 2013, Botani Square IPB ICC, Bogor ** Peneliti Utama pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
cara tungku pembakaran di bawah dan kayu langsung dikeringkan di atasnya. Hal ini sangat rawan karena kayu sering terbakar dan kadar airnya tidak merata. Ada juga yang alat pengering tanpa sirkulasi udara dan pembuangan asap, sehingga udara basah bercampur asap terjebak dalam ruang pengering. Hal tersebut menyebabkan kualitas pengeringan kayu dari pengrajin rendah, boros bahan bakar, serta kadar airnya masih tinggi dan tidak merata. Sebagaimana, pengeringan merupakan suatu proses penguapan air dari bahan basah melalui introduksi panas dari suatu material padat ke udara bebas (Widjanarko et al. 2012). Dua fenomena penting dalam proses pengeringan, yaitu perpindahan panas dari media pengering ke bahan yang dikeringkan dan perpindahan masa air dari bahan yang dikeringkan ke media pengering secara simultan. Kecepatan penguapan air dari bahan yang dikeringkan bergantung pada kecepatan udara, tingkat kelembapan nisbi, dan temperatur ruang pengering (Djaeni 2008). Sirkulasi udara yang normal untuk pengeringan kayu adalah 2 m/detik (Simpson 1999). Pengeringan kayu dapat dilakukan dengan berbagai cara, bisa secara alami maupun pengeringan buatan. Sistem pengeringan buatan secara sederhana merupakan pengembangan dari sistem pengeringan alami yang tidak lagi bergantung pada kondisi cuaca. Sumber panas bisa dari tungku pembakaran kemudian dialirkan ke dalam chamber (ruangan tempat kayu dikeringkan). Sirkulasi udara bisa dikendalikan dengan fan dan besaran suhu maupun kelembapan dalam chamberdapat dimonitor. Jepara dikenal sebagai sentra furnitur jati dan mahoni Indonesia. Produk furnitur dari daerah ini tidak hanya dipasarkan secara domestik, tetapi juga mampu menembus pasar ekspor di berbagai benua. Kemampuan menembus pasar ekspor tersebut membuktikan mutu furnitur produksi Jepara telah memenuhi standar mutu furnitur yang dipersyaratkan di negara-negara tersebut. Dalam upaya memperkenalkan sistem pengeringan yang sederhana dan bisa diaplikasikan pada skala usaha kecil atau kelompok perajin, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH) sebagai institusi Litbang Kementerian Kehutanan pada tahun 2012 telah membuat demplot pengering kayu berkapasitas 8–10 m3 di Desa Sinanggul, Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
126
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pembuatan demplot pengering ini merupakan solusi atas kebutuhan kelompok perajin di Jepara untuk menghasilkan produk kayu yang berkualitas. Tulisan ini mengemukakan hasil uji coba teknis dan finansial mesin pengering kayu sistem panas tungku berbahan bakar limbah dari kayu bukan jati pada volume kayu 8 m3.
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Peralatan Kayu untuk bahan uji coba adalah jati (Tectona grandis) umur 30 tahun ke atas, diambil dari Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Jati merupakan bahan baku utama pengrajin kayu di Jepara. Peralatan utama yang digunakan adalah mesin pengering sistem panas tungku (Gambar 1). Bangunan pengeringan dan tungku tersebut dibuat pada tahun 2012 di salah satu industri/pengrajin kayu di Desa Sinanggul, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Ukuran bangunan pengeringan adalah panjang 6 m; lebar 4 m; tinggi bangunan 3 m.
a. Kayu bakar
b. Tungku pembakaran
c. Ruang pengering
Gambar 1. Alat pengering kayu dengan sistem panas tungku limbah kayu Sumber panas berasal dari tungku dengan bahan bakar limbah kayu (Gambar 1a). Dengan bantuan blower pendorong (Ø 24”, 1 phase, 400 watt) sebanyak 2 buah, udara panas dari tungku langsung dialirkan ke dalam ruang pengering. Aliran panas yang datang dari tungku tersebut kemudian didistribusikan secara merata oleh inhaust fan (Ø 24”, 1 phase, 400 watt) yang berjumlah 2 buah ke setiap bagian permukaan kayu. Kelembapan dalam chamber diatur dengan exhaust fan (Ø 18”, 1 Phase, 380 watt) sebanyak 2 buah. Peralatan penunjang yang digunakan antara lain alat ukur kadar air (moisture meter) dan meteran kayu. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
127
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
B. Metode 1. Uji coba alat Sortimen kayu berbentuk papan ukuran 3–5 cm (T) x 30 cm (L) dan 200 cm (P). Ukuran tersebut lazim digunakan pengrajin di Jepara. Volume kayu yang diuji cobakan 8 m3. Sortimen kayu yang dikeringkan disusun secara horizontal dengan ganjal tebal 3 cm. Kayu mulai dikeringkan dalam dapur pengering ketika kadar air sudah mencapai 35%. Bagan pengeringan yang digunakan adalah suhu 50–60˚C dan kelembapan 40–64% karena umur kayu bervariasi. Sampel kadar air kayu dari setiap tumpukan (bagian atas, tengah, dan bawah) diukur secara berkala menggunakan moisture meter. Agar udara panas dapat sampai ke tumpukan kayu paling bawah secara merata, maka antara lantai ke kayu diberi ganjal pembatas setinggi 15 cm dan ada ruang kosong antara kayu dengan dinding dan langit-langit ruang pengering. 2. Pengumpulan data terkait dengan uji coba Data teknis yang dikumpulkan, antara lain lama (waktu) pengeringan dan rendemen kayu kering tanpa kerusakan. Analisis finansial meliputi biaya investasi, biaya produksi, dan harga jual kayu gergajian kering per m3.
C. Analisis Data Data teknis digunakan untuk mengevaluasi kelayakan teknis mesin pengering, sedangkan data finansial/ekonomi dilakukan untuk mengevaluasi kelayakan alat, keuntungan atau kerugian yang akan diperoleh bila mengoperasikan alat tersebut (Basri dan Supriadi 2006). Kelayakan finansial mencakup biaya investasi, biaya produksi dan harga pokok, proyeksi pendapatan, titik impas atau break-even point (BEP), net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan jangka waktu pengembalian modal investasi (PBP). BEP, NPV, IRR dihitung menggunakan rumus (Riyanto 2005): BEP (unit)=
NPV
128
FCBEP (Rp) = FC ............................... (1) P/u – VC/u 1 – TVC/TS =
n ∑ t=0
At (1 + k)t
...................................................... (2)
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
IRR (%) Di mana: FC = P/u = VC/u = TVC = TS = = P1 P2 = C1 = C2 =
= P 1 – C1
P2 – P1 C2 – C1
...................................................... (3)
Biaya tetap Harga jual per unit Biaya variabel per unit Total biaya variabel Total penjualan Tingkat bunga ke-1 Tingkat bunga ke-2 Net present value (NPV) ke-1 Net present value (NPV) ke-2
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kelayakan Teknis Hasil pengujian di Laboratorium Pengeringan Pustekolah, Bogor diperoleh berat jenis (BJ) kayu jati yang diuji coba bervariasi antara 0,55– 0,66. Hasil yang diperoleh dari percobaan ini adalah waktu untuk mengeringkan kayu jati dari kadar air rata-rata 35% menjadi 10% rata-rata 7 hari dengan kualitas baik. Data yang diuji merupakan rata-rata dari hasil pengamatan selama 2 kali percobaan dengan volume kayu setiap proses 8 m3. Jika setiap bulan melakukan kegiatan pengeringan 3–4 kali, volume kayu yang dikeringkan bisa sekitar 300 m3/tahun. Dibandingkan dengan alat pengering yang lazim dimiliki industri kecil Jepara, contoh alat pengering dari Pustekolah memiliki kelebihan, antara lain waktu pengeringan lebih pendek, kualitas kayu hasil pengeringan lebih baik, dan penggunaan bahan bakar lebih hemat.
B. Kelayakan Finansial 1. Investasi Investasi yang diperlukan untuk membangun satu unit mesin pengering kayu adalah Rp100.000.000 (Tabel 1). Investasi ini meliputi pengadaan bangunan pengeringan, 1 unit tungku panas, 2 buah inhaust fan, 2 buah exhaust fan, 2 buah blower, dan berbagai peralatan penunjang. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
129
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 1. Biaya investasi pembangunan unit mesin pengering di Jepara No. Uraian 1. Bangunan pengering 2.
1 unit tungku panas, 2 buah exhaust fan, 2 buah inhaust fan, 2 buah blower, dan alat penunjang lainnya Jumlah
Biaya (Rp) 55.200.000 44.800.000
100.000.000
2. Harga pokok produksi kayu kering Biaya produksi kayu kering meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Perhitungan biaya produksi sangat bergantung pada hasil penelitian aspek teknis, harga/satuan yang berlaku, dan asumsi-asumsi yang digunakan, sebagai berikut. a. Harga kayu jati gergajian basah per m3 sebesar Rp10.000.000 b. Produksi kayu kering tiap tahun sama yaitu sebesar 300 m3, kecuali untuk tahun pertama produksi diasumsikan sebesar 60% atau 180 m3 c. Harga kayu bakar per m3 sebesar Rp75.000 d. Biaya pemakaian listrik per bulan (setara dengan pengeringan 25 m3 kayu) sebesar Rp1.500.000 atau Rp60.000/m3 e. Sewa tanah per tahun sebesar Rp5.000.000 f.
Biaya pemeliharaan alat per tahun (10% dari investasi tungku, kipas, dan alat penunjang) sebesar Rp4.480.000
g. Biaya penyusutan bangunan dan mesin per tahun sebesar Rp10.000.000, selama 10 tahun h. Suku bunga bank per tahun sebesar 10% i.
Pajak penghasilan 15%
Pengeluaran untuk bangunan kantor, kelengkapan kantor, dan pemakaian air tidak dimasukkan dalam perhitungan biaya karena kegiatan pengeringan terpadu dengan kegiatan pengerjaan kayu. Dengan mengacu pada aspek teknis dan informasi biaya/harga, seluruh biaya yang terjadi dapat dihitung. Untuk menghasilkan 300 m3 kayu jati kering, dibutuhkan biaya produksi
130
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
sebesar Rp3.069.580.000, sehingga harga pokok produksi kayu jati kering per m3 sebesar Rp10.191.267. Rincian biaya dan harga pokok produksi disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Biaya produksi dan harga pokok produksi pengeringan kayu No. A.
B
Uraian Biaya tetap: - Sewa tanah - Pemeliharaan - Penyusutan bangunan dan mesin - Gaji operator pengeringan Biaya variabel: - Kayu jati basah - Kayu bakar - Listrik - Upah penumpukan dan pengeluaran Jumlah biaya produksi Harga pokok produksi kayu kering per m3
Biaya produksi 300 m3 kayu jati kering (Rp) 25.480.000 5.000.000 4.480.000 10.000.000 6.000.000 3.044.100.000 3.000.000.000 22.500.000 18.000.000 3.600.000 3.069.580.000 10.191.267
3. Proyeksi pendapatan Proyeksi pendapatan diperoleh dengan asumsi harga jual sortimen kayu jati yang sudah dikeringkan per m3 Rp11.000.000 dan tingkat produksi setiap tahun stabil sebesar 300 m3, kecuali untuk tahun pertama produksi sebesar 60%. Dengan demikian diperoleh pendapatan bersih sebelum bunga dan pajak (EBIT) pada tahun ke-1 sebesar Rp100.420.000 dan tahun ke-2 sampai 10 tahun masing-masing sebesar Rp220.420.000. Setelah dikurangi dengan bunga dari pinjaman investasi (10%), pajak penghasilan (15%), maka diperoleh laba bersih setelah bunga dan pajak tahun ke-1 sebesar Rp187.357.000 atau Rp1.771.570.000 untuk 10 tahun. 4. Kelayakan finansial Untuk mengetaui kelayakan finansial dari pemanfaatan mesin pengering digunakan analisis BEP (titik impas), NPV, dan IRR. BEP adalah kondisi kegiatan suatu perusahaan dalam keadaan tidak memperoleh keuntungan, tetapi juga tidak menderita kerugian. Sementara IRR adalah suatu nilai petunjuk yang identik dengan seberapa besar suku bunga dapat diberikan oleh
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
131
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
investasi tersebut dibandingkan suku bunga bank yang berlaku umum. Bila IRR > tingkat suku bunga yang berlaku, suatu usaha layak untuk dilaksanakan (Gray et al. 2002). Dengan asumsi harga jual kayu jati kering per m3 Rp11.000.000 dan discount factor 10%, maka biaya investasi dapat kembali (payback period) dalam waktu 2 tahun sejak mesin berproduksi, BEP tercapai pada produksi 29 m3, NPV Rp692.857.000, dan IRR 116,62%. Hasil analisis kelayakan finansial mesin pengering kayu tersebut dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel 3 Kelayakan finansial mesin pengering No. 1. 2. 3. 4.
Analisis Payback period (tahun) BEP (m3) NPV (x Rp 000) IRR (%)
Nilai 2 29 692.857 116,62
Keterangan: BEP = Titik impas; NPV= Nilai neto saat ini Pada Tabel 3, tampak IRR yang diperoleh sangat tinggi. Hal ini karena proporsi biaya yang dikeluarkan untuk investasi relatif kecil (Rp100.000.000) dibandingkan dengan modal kerja dan keuntungan yang diperoleh. Biaya operasional pengeringan dengan mesin pengering tersebut untuk setiap m3 pada kapasitas 8 m3 kayu basah adalah Rp191.267 atau Rp191.300 (pembulatan). Sementara harga jasa pengeringan kayu saat ini untuk setiap m3 kayu basah berkisar Rp250.000–300.000. Berdasarkan uraian tersebut, sudah memberikan indikasi akan kelayakan pengoperasian mesin pengering tersebut, baik dalam memproduksi kayu kering maupun dalam penjualan jasa pengeringan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Pada tahun 2012, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan telah membangun demplot alat pengeringan kayu sistem panas tungku berkapasitas 8–10 m3 kayu basah di Kabupaten Jepara. Hasil uji coba pengeringan kayu jati sebagai berikut.
132
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
1. Waktu untuk mengeringkan 8 m3 kayu gergajian jati dari kadar air ratarata 35% hingga mencapai 10%, sekitar 7 hari dengan kualitas baik. Secara teknis alat pengering tersebut sudah layak untuk diaplikasikan di tingkat usaha kecil menengah (UKM). 2. Penelahan finansial/ekonomis terhadap mesin pengering tersebut adalah titik impas (BEP) pada produksi kayu jati kering 29 m3, harga jual kayu kering Rp11.000.000/ m3 dan harga pokok produksi sekitar Rp10.191.267. Jangka waktu pengembalian modal relatif singkat yaitu 2 tahun sejak mesin berproduksi. 3. Biaya operasional pengeringan dengan mesin pengering tersebut per m3 pada kapasitas 8 m3 kayu basah adalah sebesar Rp191.267 atau Rp191.300 (pembulatan). Sementara harga untuk jasa pengeringan kayu saat ini untuk setiap m3 kayu basah berkisar antara Rp250.000–300.000. 4. Dari penelahan terhadap kinerja mesin pengering tersebut pada butir 2 dan 3, mengindikasikan mesin tersebut layak dioperasikan baik untuk memproduksi kayu jati kering maupun untuk kegiatan usaha jasa pengeringan kayu. 5. Disarankan modifikasi terhadap mesin pengering produksi Pustekolah tetap dilakukan untuk mengoptimalkan penggunaan alat dan menekan biaya produksi, terutama biaya energi.
DAFTAR PUSTAKA Basri E, GA Harris, B Ozarska, J Malik, R Damayanti, YS Hadi. 2012. Wood Drying Problems and Possible Solutions for Small Enterprises of Wood Furniture Industries in Jepara Region. Proceedings INAFOR 2011: Strengthening Forest Science and Technology for Better Forestry Development, 5–7 December 2011 in Bogor. INAFOR11E-036. Pp 298–306. Djaeni M. 2008. Energy Efficient Multistage Zeolite Drying for Heat Sensitive Products [Doctoral Thesis]. Wageningen University. The Netherlands. Gray C, S Payaman, KS Lien, PFL Maspaitella, RCG. Varley. 2002. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Penerbit Gramedia..
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
133
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Riyanto B. 2005. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta: BPFE. Simpson WT. 1999. Drykiln Operator’s Manual: Drying defects. U.S. Department of Agriculture, Forest Prod. Laboratory. Agric. Handbook 188, Madison Wisconsin. Pp. 179–2005. Widjanarko A, Ridwan, M Djaeni, Ratnawati. 2012. Penggunaan Zeolite Sintetis dalam pengeringan gabah dengan proses fluidisasi indirect contact. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. Vol. 1: 157–164. Universitas Diponegoro. Semarang.
134
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
POTENSI EKONOMI LIMBAH KAYU BEKAS SADAPAN DAN DISKURSUS PENGELOLAAN TEGAKAN PINUS SEBAGAI PENGHASIL GETAH* Oleh : Soenarno, Wesman Endom, Maman Mansyur Idris dan Dulsalam**
ABSTRAK Hingga saat ini di kalangan praktisi lapangan masih sering terjadi kegamangan pengelolaan tegakan pinus sebagai kelas usaha penghasil getah atau kayu. Kendatipun getah yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi tinggi, tetapi kayu bekas bidang sadapan (brongkol) masih dianggap sebagai limbah. Potensi brongkol tersebut berkisar 17,16–28,17% dari total potensi volume pohon. Potensi brongkol tersebut apabila diolah lebih lanjut menjadi produk barang kerajinan, mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat penyadap. Oleh karena itu, sebaiknya potensi brongkol dapat dimanfaatkan oleh penyadap sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial corporates social responsibilty (CSR) guna perluasan lapangan kerja, membangun kemitraan usaha, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya para penyadap. Tegakan pinus yang disadap getahnya lebih menguntungkan sebesar 26,00– 46,72% dibandingkan dengan yang tidak disadap. Kata kunci: Pinus, penyadapan, getah, brongkol, nilai ekonomi
I. PENDAHULUAN Kendatipun pada awalnya penanaman pinus bertujuan untuk mempercepat reboisasi dan rehabilitasi lahan kosong, tetapi dalam perkembangannya memberikan manfaat ekonomi ganda. Hutan pinus selain dapat menghasilkan kayu sebagai bahan baku industri kayu lapis, kertas, korek api, dan lain sebagainya juga dapat menghasilkan getah untuk diolah menjadi gondorukem dan terpentin. Adanya manfaat ganda tersebut menyebabkan kegamangan (diskursus) pandangan tentang pengelolaan tegakan pinus pada sebagian praktisi lapangan dalam mengambil keputusan kelas usaha. * Makalah utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Di sisi lain, kondisi tersebut menjadikan pinus andalan kedua setelah jati bagi Perum Perhutani. Selain itu menyatakan bahwa penyadapan pinus berpeluang menurunkan kemiskinan masyarakat sekitar hutan (Cahyono et al. 2011). Pohon pinus dapat menghasilkan getah dalam waktu cukup lama (≥ 20 tahun) mencapai umur masak tebang untuk produksi kayu. Pada umumnya, pohon pinus akan ditebang pada umur 20–25 tahun atau setelah mencapai kelas umur (KU) IV–V. Pada KU. III (umur ≥ 10 tahun) batang pohon pinus sudah dapat disadap untuk produksi getah dengan sistem kowakan (quare), bor, ataupun jalur (riil). Pemungutan getah dilakukan setiap 3–5 hari sekali sekaligus dilanjutkan dengan pembaharuan luka sadap Penyadapan getah akan berhenti setelah pohon pinus mencapai umur daur teknis. Daur teknis kayu pinus yang ditentukan berdasarkan sifat fisis dan mekanisnya adalah umur 23–26 tahun atau setelah mencapai KU V (Hadjib 2009). Diameter pohon pinus pada umur tersebut umumnya sudah mencapai antara 30–40 cm. Pohon pinus yang telah mencapai akhir daur (KU V-VI) selanjutnya ditebang untuk produksi kayu. Dalam kaitannya dengan penyadapan getah, panjang bidang sadapan tidak boleh lebih dari 2 meter untuk menjaga keselamatan pekerja dan kualitas produksi kayu pada akhir daur. Faktanya, sering kali ditemukan panjang bidang sadapan melebihi 2 meter dan jumlah sadapan aktif lebih dari satu. Akibatnya, volume batang pinus bekas sadapan (brongkol) menjadi lebih banyak dengan tingkat kerusakan yang lebih buruk. Kondisi brongkol yang demikian tidak laku dijual sebagai bahan baku industri karena tidak ekonomis digunakan sebagai bahan pembuatan pulp dan kertas, korek api, maupun bahan industri lainnya. Selain itu, pohon pinus menjadi rapuh dan mudah roboh karena tiupan angin. Di beberapa wilayah Perhutani, brongkol tersebut dikategorikan sebagai kayu limbah. Sebagian masyarakat menggunakan brongkol sebagai kayu bakar untuk industri pembakaran batu kapur, bata, dan genting. Namun sebagian masyarakat memanfaatkan untuk bahan pembuatan arang dan serbuk sebagai penetralisir bau kotoran di kandang peternakan ayam. Tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi nilai ekonomi tegakan pinus yang disadap dan yang tidak disadap serta nilai manfaat brongkol bagi peningkatan kesejahteraan penyadap.
136
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
II. METODE PENDEKATAN A. Objek dan Metode Kajian Dalam tulisan ini, yang menjadi objek kajian utama adalah data hasil pengamatan penyadapan getah pinus di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Cianjur. Kajian hasil pengamatan produksi getah pinus dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu dengan cara menelusuri dan mengkaji hasilhasil penelitian yang terkait dengan permasalahan penyadapan getah pinus yang umum dilakukan di lapangan. Melalui metode ini, dikaji lebih seksama nilai ekonomi tegakan pinus yang disadap dan yang tidak disadap. Selain itu, dilakukan juga evaluasi nilai ekonomi hasil getah, potensi produksi kayu bagian atas bidang sadap dan potensi kayu bekas bidang sadap (brongkol), serta peluangnya sebagai insentif pendapatan masyarakat penyadap.
B. Prosedur Kajian Prosedur kajian dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut. 1. Mengumpulkan data yang diperlukan (hasil penelitian penyadapan getah pinus dan berbagai pustaka terkait). 2. Mambahas data penelitian yang terkumpul baik secara deskriptif maupun dari aspek produksi dan potensi nilai ekonomi. 3. Menyusun hasil kajian dikaitkan dengan aspek ekonomi dan sosial untuk mendukung peningkatan pendapatan penyadap.
III. SEKILAS TENTANG TEKNIK PENYADAPAN GETAH PINUS Menurut Lempang dan Soenarno (2000), terdapat 3 metoda penyadapan getah pinus yang pernah dilakukan di Indonesia, yaitu Kowakan (quare), India (riil), dan Bor. Masing-masing metode penyadapan tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian, seperti disajikan Tabel 1. Namun pada umumnya penyadapan getah pinus di Pulau Jawa dilakukan dengan metode kowakan (quare). Metode ini dipilih karena pertimbangan mudah dilakukan oleh para penyadap yang berasal dari masyarakat sekitar. Penyadapan pembuka dilakukan pada bidang sadapan dengan membuat kowakan berukuran lebar 10 cm dan panjang 10 cm serta kedalam luka sadapan 2 cm. Proses penyadapan Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
137
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
selanjutnya dilakukan dengan membuat kowakan pada bidang sadapan berukuran panjang ± 180 cm dan lebar ± 8 cm yang dasar bidang sadapan dibuat pada ± 10 cm dari permukaan tanah. Untuk menjaga kesinambungan aliran getah pinus maka setiap 3–5 hari sekali, dilakukan pembaharuan kowakan dengan menambah tinggi kowakan ke arah bagian atas ± 0,5 cm dan kedalaman kowakan ± 2 cm. Tabel 1. Deskripsi keuntungan dan kerugian beberapa metode penyadapan No. 1.
2.
138
Metode Keuntungan penyadapan Kowakan a. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan keterampilan tinggi b. Harga alat dan biaya operasional murah c. Produksi getah 3–6 g/ pohon/hari
India
a. Pembuatan luka sadap mudah tetapi sedikit memerlukan keterampilan b. Harga alat dan biaya operasional murah c. Produksi getah lebih banyak (4–7 g/pohon/ hari) d. Luka sadapan tidak banyak dan cepat pulih
Kerugian a. Luka sadap lebih besar b. Kedalaman sadapan sulit dikontrol c. Risiko pohon roboh > besar bila terjadi angin kencang d. Kualitas getah kurang baik e. Kehilangan getah dalam wadah penampung tinggi (bila hujan) f. Penyembuhan luka sadap lama (8–9 tahun) a. Memerlukan ketrampilan lebih terlatih/teliti b. Kedalam luka lebih mudah dikontrol c. Kualitas getah kurang baik
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
No. 3.
Metode penyadapan Bor
Keuntungan
Kerugian
a. Kerusakan pohon lebih sedikit b. Kedalam luka sadap mudah dikontrol c. Produksi getah tergantung kedalaman pengeboran (8–14 g/ pohon/hari) d. Kualitas getah baik/ bersih
a. Memerlukan keterampilan lebih khusus b. Harga alat dan biaya operasi lebih mahal
Sumber: Lempang dan Soenarno (2000); Soenarno dan Lempang (2000); Soenarno, Basuki, dan Lempang (2000). Data diolah sesuai keperluan
Salah satu kelemahan metode quare adalah memerlukan kontrol yang intensif baik terkait dengan jumlah, lebar, maupun kedalaman kowakan yang berpotensi dapat mengancam kesehatan pohon pinus. Terancamnya kesehatan pohon pinus semakin mengkhawatirkan karena dalam praktiknya Perhutani masih mengandalkan sistem pembelian getah kepada para penyadap tanpa dimbangi kontrol sadapan yang memadai di lapangan. Akibat dari lemahnya kontrol sadapan tidak saja berpengaruh terhadap taksasi produksi kayu pada akhir daur tebang, tetapi juga memperpendek jangka waktu sadap. Untuk tetap dapat menyadap getah pinus, para penyadap biasanya membuat bidang sadapan baru kendatipun harus melanggar ketentuan jumlah maksimal bidang sadapan yang dipersyaratkan. Kendati pun pohon pinus dapat tumbuh pada lahan mulai dekat dengan permukaan laut sampai daerah pegunungan dengan ketinggian 2.500 m dpl, tetapi pertumbuhan yang baik adalah 400–1.500 m dpl. Sementara kerapatan tegakan yang baik sebagai penghasil getah pinus adalah berkisar 200–400 pohon/ha (Rochidayat dan Sukarwi 1979 dalam Lempang dan Soenarno 2000). Dalam kegiatan penyadapan getah pinus dikenal 3 proses penyadapan, yaitu: a. Sadap buka merupakan penyadapan awal pada pohon pinus berumur 11 tahun (KU II) untuk prakondisi sadap produksi. b. Sadap produksi adalah proses penyadapan yang dilakukan untuk memperoleh getah secara normal dengan memerhatikan aspek pertumbuhan tegakan. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
139
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
c. Sadap mati yaitu proses penyadapan akhir untuk memperoleh getah sebanyak-banyaknya terhadap tegakan pinus yang akan ditebang baik tebang produksi maupun tebang penjarangan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Volume Brongkol dan Hasil Sadapan Getah Pinus 1. Volume brongkol Ketidaktaatan penyadap umumnya berupa pembuatan luka sadapan (kowakan) baru sebelum bidang sadapan habis dikerjakan dan/atau jumlah kowakan yang melebihi ketentuan. Gambaran jumlah dan panjang sadapan rata-rata disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Panjang kowakan dan proporsi brongkol pinus Diameter Jumlah Panjang Jumlah pohon kowakan Lokasi pohon kowakan rata-rata rata-rata (batang) (buah) (cm) (m) 1 33 35 4 1,89 2 39 32 4 1,74 3 41 39 5 2,06 Rata-rata 37,67 35,34 4,34 1,90
Volume brongkol
Volume pohon (m3)*)
(m3)
(%)
0,646 0,816 1,082 0,848
0,182 0,140 0,246 0,189
28,17 17,16 22,73 22,69
Sumber: Endom et al. 2005 (data diolah sesuai keperluan)
Keterangan: *) Berdasarkan Tabel volume jenis pohon di hutan tanaman, Bustomi et al. 2002 Dari Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata diameter pohon yang disadap berkisar antara 33–41 cm dengan panjang luka sadapan rata-rata 1,74–2,06 m. Proporsi volume brongkol akibat penyadapan metode kowakan adalah 0,140–0, 246 m3/pohon atau sebesar 27,58–28,96% terhadap volume pohon. Jumlah yang dinilai cukup mempunyai potensi ekonomi sebagai suplemen pendapatan apabila dioleh sebagai bahan baku industri kerajinan rumah tangga (home industry) oleh masyarakat penyadap. Ironisnya, akibat tidak tertibnya cara penyadapan sering kali menyebabkan brongkol pinus banyak cacat dan rusak akibat bekas luka sadapan yang berlebihan, seperti dapat dilihat pada Gambar 1.
140
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 1 memperlihatkan bahwa jumlah dan panjang kowakan adalah berbeda-beda bergantung pada kreativitas dan tinggi tubuh penyadap bahkan beberapa pohon pinus terdapat lebih dari 1 buah bidang sadapan aktif. Hal ini merupakan indikasi bahwa dalam praktik para penyadap hanya berorientasi untuk mendapat getah pinus sebanyak-banyaknya. Selain melanggar jumlah bidang sadap aktif bahkan beberapa pohon panjang luka sadapan mencapai lebih 2 m (Endom et al. 2005). Akibatnya, volume brongkol menjadi meningkat tetapi kualitasnya semakin tambah buruk.
Sumber: Endom 1999
Gambar 1. Beberapa bentuk kesalahan dalam praktik penyadapan metode kowakan Jumlah maksimal bidang sadapan ditetapkan menggunakan rumus Riyanto TW (1980) sebagai berikut. Qmax =
(3/5) D Dq
Di mana: Qmak = Jumlah bidang sadapan maksimal D = Diameter pohon (cm) Dq = Lebar bidang sadapan Dalam pedoman penyadapan getah pinus yang diterbitkan Perum Perhutani pada tahun 1990 mensyaratkan bahwa panjang kowakan maksimal adalah 2 meter dan ke dalam luka sadapan tidak lebih dari 2 cm (Soenarno dan Lempang 2000). Untuk mengurangi ketidaktertiban proses penyadapan yang dapat menimbulkan terancamnya keberlanjutan produksi getah, maka diperlukan pendampingan, bimbingan, dan pengawasan yang memadai. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
141
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Apabila dianggap perlu, penerapan sangsi (punishment) tegas bagi penyadap yang melakukan pelanggaran aturan penyadapan. Sebagai kompensasi, Perum Perhutani juga harus berani memberikan penghargaan (reward) bagi penyadap yang berprestasi mencapai target produksi getah maupun yang melaksanakan penyadapan sesuai kaidah-kaidah teknis yang telah ditetapkan oleh pihak manajeman. Saat ini, brongkol pinus dianggap tidak bernilai ekonomi oleh Perhutani dan hanya digunakan oleh masyarakat sebagai kayu bakar. Namun penggunaan brongkol tersebut sebenarnya kurang disukai karena dibakar banyak mengeluarkan asap jelaga sehingga sangat mengotori lingkungan maupun tempat memasak. Pengambilan brongkol pinus dilakukan dengan beragam cara, sebagaimana disajikan pada Gambar 2.
Sumber: Endom 2006 dan 2007
Gambar 2. Brongkol pinus dan cara tradisional pengeluaran kayu Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pengambilan brongkol pinus dari lokasi tebangan dilakukan dengan cara tradisional, yaitu dipikul melalui jalan setapak untuk dikumpulkan di suatu tempat tertentu. Apabila tersedia akses jalan, dapat menggunakan kendaraan angkutan seperti sepeda motor, mobil pick-up, atau truk sehingga pemikulan brongkol tidak terlalu jauh. Saat ini cara pengeluaran kayu pinus menggunakan sepeda motor sewaan (ojek) menjadi model di Pulau Jawa. Pada tempat-tempat yang sulit, brongkol pinus tetap dibiarkan ditinggal di hutan atau dijadikan arang lebih dahulu. Berdasarkan uraian di atas maka pekerjaan menyadap pohon pinus diperlukan kesungguhan dalam bekerja dengan tingkat disiplin yang tinggi serta harus paham cara menyadap pohon pinus yang baik dan benar. Dengan pemahaman, kesungguhan, dan disiplin menyadap, maka tidak saja
142
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
bermanfaat bagi kesehatan pohon, tetapi juga menghasilkan uang yang dapat memberikan kontribusi untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. 2. Produksi getah pinus Apabila intensitas pemungutan getah pinus dilakukan setiap 5 hari sekali dan penambahan luka sadapan setinggi ± 0,50 cm/pemungutan getah, dengan asumsi produksi getah rata-rata sebanyak 6 g/hari/pohon maka dari Tabel 2 dapat dihitung volume produksi getah pinus seperti disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa produksi getah pinus untuk panjang sadapan 1,89 m; 1,74 m; dan 2,06 m masing-masing adalah 45,36 kg/pohon; 41,76 kg/pohon; dan 49,44 kg/pohon. Tabel 3. Produksi getah pinus Pembaharuan sadapan Produksi Jumlah Diameter Jumlah Panjang Intesitas Panjang getah*) Lokasi pohon pohon kowakan kowakan pemungutan pelukaan (batang) (cm) (kg/pohon) (m) (buah) (cm) (hari) 1 33 45,36 35 4 1,89 5 0,50 2 39 41,76 32 4 1,74 5 0,50 3 41 49,44 39 5 2,06 5 0,50 Rata37,67 45,6 35,34 4,34 1,90 5 0,50 rata
Keterangan: *) Asumsi produksi getah rata-rata sebanyak 6 g/pohon/hari, (Soenarno dan Lempang 2000) Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebenarnya produksi getah pinus dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya ketinggian tegakan dari permukaan laut, jenis dan dosis stimulan yang dipakai, arah menghadapnya sadapan, diameter pohon, manajemen pengelolaan tegakan dan genetik pohon. Pohon pinus yang berasal dari strain Aceh mempunyai potensi produksi paling tinggi dibandingkan dengan srtrain Kerinci maupun Tapanuli. Saat ini, H2SO4 merupakan jenis stimulan anorganik terbaik untuk meningkatkan produksi getah pinus, selain HCl dan H2NO3. Penelitian di KPH Pekalongan Timur, produksi getah selain dipengaruhi umur pohon juga kelas bonita (Andayani 2006), seperti disajikan pada Tabel 4.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
143
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 4. Produksi getah pinus di bagian hutan bumi Jawa, KPH Pekalongan Barat No.
Umur (tahun)
1 2 3 4
15 20 25 30
Produksi getah (g/hari/pohon) Bonita 3 Bonita 4 6,87 6,36 7,52 9,79 10,13 8,62 10,78 10,01
Sumber: Andayani W 2006
Untuk mendukung program produk yang ramah lingkungan, saat ini sedang dilakukan uji coba penggunaan stimulan organik dari cuka kayu dalam penyadapan getah pinus di P. Jawa. Walaupun produksi getah belum memuaskan, yaitu maksimal berkisar 40,3–62,4 g/pohon/15 hari atau 2,7–4,2 g/pohon/hari bergantung pada tinggi tempat dan diameter pohon (Sukadaryati et al. 2012). Untuk memperoleh hasil penyadapan yang optimal, penelitian menggunakan cuka kayu ini masih terus dikembangkan melalui perbaikan metode, pemilihan jenis, dan dosis cuka kayu yang digunakan. Dengan Tabel 3, apabila seorang penyadap untuk 3 jam kerja/hari dapat menyadap 200–300 pohon dan intensitas pengumpulan dilakukan setiap 5 hari sekali, untuk 30 hari kerja jumlah getah pinus yang dapat dikumpulkan sebanyak 144–216 kg/bulan atau sebanyak 1,728–2,592 ton/tahun. Apabila upah menyadap getah pinus Rp1.950/kg, besarnya pendapatan yang diperoleh penyadap adalah berkisar Rp331.200–496.800/bulan atau sebesar Rp3.974.400–5.961.600/tahun. Nilai pendapatan penyadap ini masih lebih rendah dibandingkan dengan upah minimum regional provinsi (UMP) di P. Jawa yang berkisar Rp675.000–1.042.000. Bahkan, apabila dibandingkan dengan standar kebutuhan hidup layak (KHL) yang ditetapkan pemerintah setempat yaitu Rp1.108.000/bulan, dapat dikatakan kejehteraan ekonomi mereka sungguh memprihatinkan. Walaupun demikian, pendapatan rumah tangga di pedesaan pada umumnya tidak berasal dari satu sumber, tetapi berasal dari dua atau lebih sumber pendapatan. Kendati pun penelitian menunjukkan bahwa penyadapan pinus dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga sebesar 76,67% (Sitorus 2011), tetapi faktor harga getah dan ekonomi keluarga lebih mendorong
144
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
ketersediaan petani menjadi penyadap getah pinus (Cahyono 2011). Hal ini menjadi faktor penyebab rendahnya minat masyarakat menjadi petani penyadap getah pinus. Memerhatikan tingkat pendapatan para penyadap getah pinus tersebut sudah sepatutnya ada perbaikan kebijakan dari pihak manajemen yang dapat memperbaiki kesejahteraan mereka. Untuk meningkatkan taraf kesejahteraan penyadap getah pinus, menurut pandangan penulis dapat ditempuh melalui 2 alternatif pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan bersifat ekonomi Kendatipun kebijakan bersifat ekonomi ini dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh para penyadap, tetapi sebaiknya pihak manajemen harus tetap berhati-hati khususnya yang berkaitan dengan nilai besaran nominal yang akan diberikan. Hal paling mudah diterapkan dalam pendekatan ekonomi ini adalah perbaikan terhadap upah kerja penyadap dan/atau pemberian insentif hasil keuntungan usaha pada akhir tahun kegiatan. Mempertimbangkan harga pasar getah nasional/internasional yang berlaku dan melihat kenyataan rendahnya pendapatan penyadap dari kebutuhan UMP, maka sudah selayaknya ada kebijakan perbaikan upah kerja penyadapan getah pinus. Apabila dasar kebijakan perbaikan upah tersebut mengacu pada UMR, upah penyadapan getah minimal adalah 2 kali tarif sebelumya, yaitu menjadi Rp3.900/kg. Pengaruh perubahan tingkat pendapatan penyadap yang lebih baik diyakini akan menjadi motivasi untuk bekerja lebih baik dan tertib. Agar kebijakan ini berjalan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak, maka perlu dilandasi komitmen, transparansi, kerja sama, dan kontinuitasnya.
b. Pendekatan sosial Pendekatan sosial dilakukan untuk mendorong peningkatan keterampilan, kapasitas, dan kapabilitas penyadap. Diharapkan, melalui pendekatan sosial ini dapat memacu kreativitas dan kinerja para penyadap sehingga akan dapat membangun kepercayaan dengan manajemen. Secara makro, bentuk kebijakan non-ekonomis yang dapat diterapkan antara lain sistem upah sadap berdasarkan perkembangan harga pasar getah, akses informasi harga getah atau pemberian hak para penyadap untuk memanfaatkan brongkol pada areal Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
145
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
kerja mereka paska penebangan. Hal terpenting yang ingin disasar dalam pendekatan sosial ini adalah terbangunnya kepercayaan para penyadap getah dengan pihak pengelola hutan pinus. Untuk itu, diperlukan transparansi dan kesadaran terkait hubungan kerja secara proporsional sesuai fungsi dan perannya masing-masing. Pengalaman pengelolaan hutan pinus di wilayah KPH Banyumas Timur yang melibatkan masyarakat penyadap warga sekitar hutan dengan sistem pembagian keuntungan sadapan getah pinus berhasil menekan kasus pencurian kayu hingga 0%. Padahal sebelumnya, kasus pencurian kayu sering terjadi.
B. Nilai Ekonomi Tegakan Pinus Disadap dan Tidak Disadap Sampai kini, perdebatan tentang pengelolaan hutan pinus masih belum tuntas. Sebagian berpendapat bahwa hutan pinus sangat menguntungkan apabila dikelola sebagai kelas perusahaan kayu, tetapi pendapat lain cukup optimis apabila diperuntukan sebagai kelas perusahaan penghasil getah. Terlepas dari dilematika tentang pengelolaan hutan pinus tersebut, tentu saja masing-masing pilihan kelas usaha mempunyai kelebihan dan kekurangan. Seandainya pengelolaan hutan pinus hanya ditujukan untuk kelas perusahaan produksi kayu maka akan terjadi kevakuman aliran pendapatan (idle revenue) selama > 20 tahun atau sampai pohon pinus mencapai daur tebang (KU. IV – VI). Akan tetapi, apabila hutan pinus hanya diperuntukan sebagai kelas perusahaan penghasil getah juga kurang bijaksana karena pada akhir daur sadap masih cukup potensial terdapat bagian batang diatas bidang sadap masih dapat diproduksi. Selain itu, brongkol bekas sadapan juga memiliki potensi ekonomi dan sosial yang bermanfaat apabila dapat diolah lebih lanjut menjadi barang kerajinan. 1. Potensi ekonomi brongkol Berdasarkan Tabel 2 dan Tabel 3, dapat dihitung nilai ekonomi getah pinus dibandingkan dengan pengorbanan kayu brongkol sebagai akibat luka sadap, seperti disajikan pada Tabel 5. Dari Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai ekonomi dari getah pinus lebih menguntungan dibandingkan dengan pengorbanan batang kayu pinus yang rusak sebagai brongkol. Nilai ekonomi getah rata-rata adalah Rp364.160, sedangkan nilai kayu sebagai brongkol Rp142.000 atau 1,6 kali lebih menguntungkan.
146
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 5. Perbandingan nilai ekonomi getah dengan brongkol Lokasi 1 2 3 Ratarata
Diameter Brongkol Getah pinus Keuntungan pohon (m3) (Rp) (kg) (Rp) (Rp) (%) (cm) 35 0,182 136.500 0,464 362.880 226.380 165,85 32 0,140 105.000 0,676 334.080 229.080 218,17 39 0,246 184.500 0,836 395.520 211.020 114,37 35,34
0,189 142.000 0,659 364.160 222.160
156,45
Keterangan: harga getah pinus diasumsikan Rp8.000/kg, harga dolok kayu pinus Rp750.000/m3 Kendatipun volume limbah brongkol pinus hanya rata-rata sebanyak 0,189 m3/pohon (Tabel 2), tetapi masih sangat potensial untuk diolah menjadi berbagai bentuk produk bernilai ekonomi. Bentuk produk yang dihasilkan antara lain barang setengah jadi (raw material) industri mendukung moulding dan barang jadi berupa ukiran, kerajinan rumah tangga, mainan kreatif, dan sebagainya, sebagaimana contoh pada Gambar 3. Dengan asumsi setiap batang brongkol dapat dibuat sebanyak ± 100–200 buah barang kerajinan dengan harga Rp2.000/buah, maka akan dapat diperoleh nilai ekonomi berkisar Rp200.000–400.000/brongkol. Apabila kemampuan penyadap getah adalah 200–300 pohon, setiap penyadap akan memperoleh pendapatan tambahan sebagai insentif sebesar Rp40 juta–120 juta selama daur tebang pinus (umur 25 tahun) atau sebesar Rp1.600.000–4.800.000/tahun atau Rp134.000– Rp400.000/bulan.
Sumber: Endom W 2006 dan 2007
Gambar 3. Contoh produk kerajinan tangan yang dapat dibuat dari bahan brongkol
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
147
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Kendatipun tidak terlalu besar nilainya, paling tidak bisa membantu penyadap untuk menambah pendapatan mereka. Oleh karena itu, hal mendesak yang diperlukan adalah segera dilakukannya perbaikan kebijakan pemanfaatan brongkol untuk masyarakat penyadap getah di wilayah sekitar hutan pinus. Hal ini sesuai prinsip pengelolaan sumber daya hutan kini harus dijalankan lebih berlandaskan nilai-nilai keadilan yang demokratis, efisien, dan profesional guna menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaatnya untuk kesejahteraan masyarakat (Surjadibroto 1999). Di sisi lain peningkatan ketrampilan masyarakat penyadap getah pinus juga perlu diupayakan, sehingga pohon pinus betul-betul dapat menjadi sumber ekonomi baik bagi pengelola hutan pinus maupun masyarakat khususnya para penyadap getah. Sementara untuk menjamin agar tidak terjadi persaingan terhadap harga jual barang kerajinan yang dihasilkan sebaiknya dapat dibentuk koperasi dan dibangun akses pasar kepada masyarakat. Oleh karena itu, pemberian hak penggunaan brongkol dan peningkatan program ketrampilan penyadap agar lebih kreatif dan akses fasilitasi pasar dapat merupakan satu paket program dari wujud tangggung jawab sosial (corporate social responsilibity) Perum Perhutani. Hal tersebut akan mempunyai dampak ekonomi yang semakin nyata bagi masyarakat apabila dapat disinergikan dengan program peningkatan ekonomi kreatif dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2. Potensi ekonomi kayu diatas bidang sadap Berdasarkan volume pohon dan brongkol (Tabel 2), maka dapat dihitung volume dan nilai ekonomi kayu pinus di atas batang sadap, seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Potensi nilai ekonomi produksi kayu pinus di atas bidang sadap Lokasi 1 2 3 Rata-rata
Volume kayu di atas Diameter Volume Volume bidang sadap kayu pohon brongkol rata-rata (m3/ (m3/pohon) (m3/pohon) (Rp/pohon)*) (cm) pohon) 35 0,646 0,182 0,464 348.000 32 0,816 0,140 0,676 507.000 39 1,082 0,246 0,836 627.000 35,34 0,848 0,189 0,659 494.250
Keterangan: *) Asumsi harga dolok kayu pinus ø ≥ 30 cm (Rp750.000/m3)
148
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa volume batang pinus diatas bidang sadap masih cukup potensial untuk diproduksi sebagai penghasil kayu dengan kualitas baik. Rata-rata potensi kayu di atas bidang sadap adalah 0,659 m3/pohon atau ± 3, 5 kali lebih besar dibandingkan dengan volume brongkol, yaitu 0,168 m3/pohon. Sementara potesi nilai ekonominya berkisar Rp348.000–627.000/pohon. Potensi nilai ekonomi kayu diatas bidang sadap ini sangat bergantung dari tingginya bidang sadap dan cara penebangan. Cara penebangan yang benar akan dapat mengurangi risiko terjadinya kerusakan kayu akibat arah rebah yang tidak terkendali. 3. Potensi nilai ekonomi pohon disadap dan tidak disadap Berdasarkan atas Tabel 3 dan Tabel 4, maka secara lebih utuh dapat dihitung potensi nilai ekonomi seandainya tegakan pinus yang disadap dan tidak disadap, seperti disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 diperoleh gambaran bahwa pengelolaan hutan pinus untuk kelas perusahaan getah masih menguntungkan. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari keuntungan nilai ekonomi tegakan pohon pinus yang disadap dibandingkan dengan yang tidak disadap, yaitu Rp211.020–Rp229.080/pohon atau sebesar 26–46,72%. Nilai keuntungan ekonomi tegakan pinus yang disadap akan menjadi lebih besar lagi mengingat kecenderungan harga getah di pasar internasional yang makin membaik. Pada awal tahun 2011 adalah US$1700/ ton atau sekitar Rp15.300/kg (US$1 = Rp9.000). Tabel 7. Potensi nilai ekonomi pohon pinus disadap dan tidak disadap
Getah/pohon
Lokasi
1
Disadap Kayu di atas bidang sadapan/pohon
Tidak disadap
Keuntungan Jumlah Volume Pendapadisadap pendapa- kayu/ tan**) Pendapatan pohon Volume Volume Pendapatan**) tan*) (kg)
(Rp)
(m3)
(Rp)
(Rp)
(m3)
45,36
362.880
0,464
348.000
710.880
0,646
841.080
0,816
612.000 229.080 37,43
1.022.520 1,082
811.500 211.020 26,00
2
41,76
334.080
0,676
507.000
3 Ratarata
49,44
395.520
0,836
627.000
45,6
364.800
0,659
494.250
859.050
0,848
(Rp)
(Rp)
(%)
484.500 226.380 46,72
636.000 223.050 35,07
Keterangan: *) Harga getah pinus diasumsikan Rp8.000/kg **) Harga kayu pinus Rp750.000/m3 (Ø ≥ 30 cm) Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
149
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dengan demikian, kegiatan penyadapan getah dalam pengelolaan hutan pinus secara finansial tidak akan menimbulkan kerugian karena kerugian produksi kayu yang terjadi akibat batang bekas sadapan dapat dikompensasi lebih dengan nilai pendapatan hasil getah. Dari kenyataan tersebut cukup menegaskan betapa pentingnya penetapan kelas perusahaan sebelum melangkah lebih jauh untuk membangun hutan tanaman pinus. Dalam kaitannya dengan penetapan kelas perusahaan, sebaiknya dipertimbangkan 2 hal prinsip (utama) karena akan berpengaruh langsung terhadap perolehan nilai produksi yaitu:
a. Pemilihan jenis Pemilihan jenis pinus yang akan ditanam harus menjadi pertimbangan utama karena sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan mutu hasil. Pinus strain Kerinci misalnya merupakan jenis yang cocok ditanam untuk kelas perusahaan penghasil getah walaupun bentuk batang pada umumnya tidak lurus. Namun pinus strain Aceh dan Tapanuli lebih cocok untuk kelas perusahaan produksi kayu karena batangnya yang lurus kendati pun sedikit menghasilkan getah bila disadap.
b. Proses produksi Strategi proses produksi menyangkut 2 hal pokok yang saling memengaruhi yaitu aspek teknis dan ekonomis. Dari aspek teknis, maka untuk kelas perusahaan produksi getah misalnya, pihak pengelola dapat memulai penyadapan pohon pada KU II sampai akhir daur (KU. V atau VI). Bahkan, apabila dianggap perlu maka pada menjelang akhir daur semua tegakan pinus dapat dilakukan sistem sadap mati. Namun apabila penanaman pinus diperuntukan sebagai kelas perusahaan produksi kayu, untuk mendapatkan produksi kayu maksimal sebaiknya penyadapan getah tidak dimulai dari umur muda (KU II) karena dapat memengaruhi pertumbuhan pohon pinus. Memerhatikan 2 prinsip tersebut, secara teknis tampaknya pengelolaan hutan pinus untuk tujuan kelas perusahaan getah lebih mudah diterapkan. Sebab terjadinya brongkol bukan merupakan hal yang merugikan secara ekonomi. Namun, untuk tujuan kelas perusahaan produksi kayu, faktor teknis penyadapan harus benar-benar dikontrol agar tidak menimbulkan bekas luka sadapan yang berlebihan. Ketidaktertiban dalam praktik penyadapan
150
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
tidak saja berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas brongkol tetapi juga pertumbuhan pohon pinus.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Diameter pohon pinus yang disadap berkisar 33–41 cm dan panjang kowakan berkisar 1,74–2,06 meter. Volume limbah batang bekas sadapan (brongkol) dengan metode kowakan berkisar 0,140–0, 246 m3/pohon atau sebesar 27,58–28,96% terhadap volume pohon. 2. Secara ekonomi, tegakan pinus yang disadap getahnya masih lebih menguntungkan dibandingkan dengan pengorbanan potensi produksi kayu yang cacat sepanjang bidang sadap. Nilai ekonomi yang diperoleh dari tegakan pinus yang disadap berkisar Rp710.880–Rp1.022.500/ pohon dan yang tidak disadap berkisar Rp484.500–811.500/pohon atau lebih menguntungkan sebesar 26,00–46,72%. 3. Besarnya pendapatan penyadap getah pinus berkisar Rp331.200–496.800/ bulan masih lebih rendah dibandingkan dengan upah minimum regional provinsi (UMP) di Pulau Jawa yang berkisar Rp675.000–Rp1.042.000. 4. Brongkol pinus yang selama ini dianggap sebagai limbah dan hanya dijadikan kayu bakar atau dibuat arang sangat prospektif dapat memberikan pendapatan tambahan apabila diolah lebih lanjut baik menjadi barang setengah jadi pendukung industri moulding maupun barang kreasi kerajinan tangan.
B. Saran 1. Perlu ada perubahan kebijakan dari pengelola hutan pinus untuk meningkatkan pendapatan penyadap getah antara lain perbaikan tarif upah sadap, pemberian insentif keuntungan dalam Corporate Social Responsibility (CSR) dan/atau pemberian hak pemanfaatan brongkol pada areal kerja mereka. 2. Untuk menjadi penyadap getah pinus profesional diperlukan kesungguhan dalam bekerja dengan tingkat disiplin yang tinggi serta paham bagaimana menyadap pohon pinus yang baik dan benar.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
151
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
3. Perlu adanya peningkatan ketrampilan masyarakat penyadap getah pinus melalui pelatihan kreativitas agar brongkol pinus dapat diolah menjadi barang kerajinan dengan berbagai bentuk dan model mengikuti dinamika selera konsumen. 4. Untuk menghindari persaingan yang tidak sehat diantara pengrajin brongkol perlu dibentuk suatu wadah/asosiasi/koperasi khusus dan dibangun akses pasar yang dapat dibantu difasilitasi oleh pihak pengelola huatan pinus.
DAFTAR PUSTAKA Andayani W. 2006. Analisis keuntungan pengusahaan hutan pinus di KPH Pekalongan Barat. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol. XII No. 3: 26–39. Bustomi S, Wahjono D, Harbagung, Sumarna K. 2002. Tariff dan Tabel Volume Berapa Jenis Pohon di Hutan Tanaman. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Cahyono SA. 2011. Faktor-faktor yang memengaruhi petani menyadap pinus di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Gombong. Tekno Hutan Tanaman. 4 (2): 49–56. Endom, Wesman, Y Sugilar, H Basri. 2005. Proporsi volume kayu kowakan jenis pohon pinus. Info Hasil hutan 11 (2): 97–103. Pusat Penelitiaan dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Endom W. 2006. Kajian operasi pengeluaran kayu sistem kabel layang Expo2000 dengan penggunaan alat pendukung. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 24 (4): 339–357. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. -----------. 2007. Perbaikan katrol dan drum balik pada system kabel layang Expo-2000 untuk ekstraksi kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 25 (4): 342–361. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Hadipoernomo. 1980. Beberapa Faktor yang Memengaruhi Produksi Getah Pinus. Jakarta: Duta Rimba 37/VI. Perum Perhutani.
152
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Hadjib N. 2009. Daur teknis pinus tanaman untuk kayu pertukangan berdasar sifat fisis dan mekanis. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 27 (1): 76–87. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Lempang M, Soenarno. 2000. Sistem penyadapan getah pinus. Diktat materi pengajaran pada pelatihan teknik penyadapan getah pinus. Balai Latihan Kehutanan Ujung Pandang. Tidak diterbitkan. Perum Perhutani. 1990. Suplemen ke I Pedoman Penyadapan Getah Pinus. PHT. 57 Seri Produksi 34. Jakarta: Perum Perhutani. Soenarno, M Lempang, dan Winurdin. 2000. Intensifikasi penyadapan getah pinus untuk mendukung grateks-II yang berkelanjutan. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. _______, Lempang M, M Aksar. 2000. Intensitas pembaharuan luka dan penggunaan jenis stimulan serta dampaknya terhadap jangka waktu sadan dan produktivitas getah pinus. Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. _______, Basuki S, M Lempang. 2000. Kajian biaya produksi dan kebutuhan tenaga kerja pada penyadapan getah pinus sistem riil. Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. _______, M Lempang. 2000. Opersional penyadapan getah pinus. Diktat materi pengajaran pada pelatihan teknik penyadapan getah pinus. Balai Latihan Kehutanan Ujung Pandang. Tidak diterbitkan. Sitorus HM. 2011. Kontribusi penyadapan getah pinus (Pinus merkusii) terhadap tingkat pendapatan penyadap [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Sukadaryati, Dulsalam, Yuniawati. 2012. Teknik pemanenan resin dan getah untuk peningkatan produksi dan kualitas. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Tidak diterbitkan. Surjadibroto W. 1999. Pengelolaan sumberdaya hutan secara adil demokratis, efisien dan profesional guna menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaatnya untuk kesejahteraan masyarakat. Diskusi Nasional Pola
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
153
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Sinergi Ekonomi, Ekologi dan Sosial dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Produksi Sebagai Kesatuan Ekosistem. Kerjasama Perum Perhutani Fakultas Kehutanan IPB dan PERPHINDO. Bogor. Riyanto TW. 1980. Sedikit tentang penaksiran hasil getah Pinus merkusii. Jakarta: Duta Rimba 37/VI. Perum Perhutani.
154
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
TEKNIK PEMBUATAN DEKSTRIN SECARA ENZIMATIS DARI TEPUNG BUAH SUKUN* Oleh: D Martono ** Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode pengolahan tepung sukun yang optimal menjadi dekstrin secara enzimatis, hasil dekstrin yang memenuhi kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI) baik untuk dekstrin pangan dan dekstrin industri, bahan tepung sukun yang optimal sebagai bahan pembuatan dekstrin secara enzimatis. Penelitian dilakukan melalui tahapan pembuatan tepung, pembuatan pati, pembuatan dekstrin, dan pengujian hasil. Data hasil pengamatan uji sifat tepung dan sifat fisiko kimia dekstrin ditabulasi dan diolah dibandingkan dengan persyaratan SNI produk tepung maupun dekstrin untuk pangan dan industri penelitian memberikan hasil nilai rendemen bahan serpihan kering 40% dan rendemen tepung 14,5–16,1%. Kadar karbohidrat 84,4%, kadar protein 6,04–7,01%, kadar air 11–12%. Dekstrin yang dihasilkan kekentalan yaitu 1,9 cp dan kelarutan air dingin 80%, 68%, kadar abu 0,25%, dengan kadar air 7,35%, dekstrosa yang terbentuk 18,20% dengan derajat putih 74,60%, warna dalam lugol ungu memenuhi standar SNI 4591, 2010. Kata kunci: Tepung sukun, enzimatis, standar, dekstrin
I. PENDAHULUAN Buah sukun sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu yang berasal dari tanaman sukun (Artocarpus altilis), kandungan karbohidrat yang tinggi merupakan sumber bahan pangan alternatif (diversifikasi) yang memiliki prospek bagus di masa depan (Anonim 2005). Jika dihubungkan dengan program ketahanan pangan nasional yang potensial dan cakupan dalam areal yang luas berfungsi sebagai hutan cadangan pangan atau sumber karbohidrat * Makalah utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
(Sadjad 2000; Winarno 2000). Buah sukun dapat diolah menjadi tepung agar dapat disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan yang masih segar ataupun hanya dikeringkan dalam bentuk serpihan keripik kering mentah. Namun dalam pembuatan tepung juga ada kendala agar dapat memenuhi standar bahan baku pangan. Demikian juga dalam pembuatan produk lanjutan yaitu pati dan pati termodifikasi yang memberi nilai ekonomi lebih tinggi. Pati sebagai salah satu jenis polisakarida merupakan senyawa kompleks yang memiliki berat molekul lebih dari 60.000 molekul polisakarida (Winarno 1992). Selain itu, pati merupakan campuran 2 polisakarida, yaitu amilosa (27%) dan amilopektin (73%) yang mudah larut, sehingga penggunaannya sangat luas (Hartoyo dan Wiyono 1998). Usaha peningkatan pemanfaatan tepung dari buah sukun dapat meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomis komoditas sukun salah satunya adalah mengolah menjadi dekstrin. Untuk menjaga keamanan bahan pangan tentunya dekstrin ini merupakan pati yang termodifikasi dengan penggunaan bahan kimia meskipun berupa enzim yang juga akan terurai pada saat inaktivasi, tetapi perlu penyelasaran yang dituangkan dalam proses pembuatannya. Dekstrin banyak digunakan dalam aneka bidang industri, pada industri tekstil dekstrin digunakan sebagai pengental pada proses pencelupan benang, industri kertas menggunakan dekstrin sebagai bahan pelapis dan pembentuk permukaan kertas yang halus, industri farmasi menggunakan dekstrin sebagai bahan pengisi dalam kapsul dan obat-obatan. Selain itu dekstrin digunakan pula sebagai bahan pengisi dan pengental pada industri makanan dan minuman (Winarno 1992). Menurut Somaatmadja dalam Hartoyo dan Wiyono (1998) membuat dekstrin pada prinsipnya adalah memotong rantai panjang pati dengan katalis asam atau enzim menjadi molekul-molekul yang berantai lebih pendek dengan jumlah unit glukosa di bawah sepuluh. Tepung yang dihasilkan pada buah sukun sangat berbeda dengan produk pertanian tanaman pangan lain mengingat secara umum tepung dihasilkan dari bahan umbi-umbian atau bahan serealia (Marsono et al. 2002), sedangkan tepung sukun dari buah yang sudah terkandung enzim dalam buah jika terlalu masak akan busuk atau terjadi perubahan sifat kandungan bahan yaitu karbohidratnya akan menjadi protein atau lemak.
156
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pada umumnya umbi-umbian dan buah-buahan mudah mengalami pencokelatan setelah dikupas. Hal ini disebabkan oksidasi dengan udara sehingga terbentuk reaksi pencokelatan oleh pengaruh enzim (browning enzymatic) yang terdapat dalam bahan pangan tersebut (Winarno 1992). Pencokelatan karena enzim merupakan reaksi antara oksigen dan suatu senyawa fenol yang dikatalisis oleh polyphenol oksidase (Hollnagel and Kroh 2000). Untuk menghindari terbentuknya warna cokelat pada bahan pangan yang akan dibuat tepung dapat dilakukan dengan mencegah kontak antara bahan yang telah dikupas dan udara dengan cara merendam dalam air atau larutan garam 1% dan atau menginaktifkan enzim dalam proses blansir (Widowati dan Damardjati 2001).
II. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan meliputi beberapa tahap kegiatan yaitu pemetikan buah yang tepat kemasakannya, pembuatan tepung, pembuatan pati, pembuatan dekstrin, dan pengujian kualitas hasil. Pembuatan pati sukun, buah sukun dikupas, dipotong, dicelup dalam air panas untuk menghindari proses pencokelatan. Daging buah diiris tipis-tipis menggunakan serutan putar, kemudian dikeringkan dengan oven dengan suhu 50–60˚C atau dapat juga dikeringkan dengan panas matahari. Bahan yang sudah kering, digiling dengan alat penggiling kemudian bahan yang sudah menjadi tepung, diekstrak patinya menggunakan air. Pati yang didapat dikeringkan dalam oven dengan suhu 50–60˚C. Setelah itu digiling dengan alat giling dan diayak 80 mesh. Metode pembuataan dekstrin yang dilakukan mengikuti prosedur Ghapar dalam Hasler (1988). Diagram alir proses pembuatan dekstrin secara enzimatis dapat dilihat pada Gambar 1. Pati yang digunakan dibersihkan terlebih dahulu. Setelah kering dan bersih ditimbang sebanyak 200 gram dengan kadar air 8.41%. Setelah itu dibuat suspensi dengan konsentrasi 30% substrat kering dengan menambahkan air sebanyak 410 g air. Kemudian ke dalam suspensi ditambahkan enzim α-amilase sebanyak 0,1649 g atau setara dengan dosis enzim 0,9 g/kg substrat kering. Enzim yang digunakan adalah dari jenis α-amilase dengan merk dagang Sigma A 3176 from porcine pancreas 500 ku.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
157
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Proses pembuatan dekstrin secara enzimatis diawali dari pembuatan pati yang telah diayak. Pati yang dihasilkan dari pengayakan pada tingkat kehalusan 100 mesh. Selanjutnya ditimbang sesuai bobot substrat perlakuan untuk dibuat suspensi, dimasukkan ke dalam tabung fermentor yaitu dari konsentrasi 25%; 30% dan 35% substratnya, sedangkan dosis enzim 0,5; 0,7 dan 0,9 g/kg substrat. Sebelum dimasukkan, fermentor tabung harus benar-benar bersih dari bahan-bahan lain yang mungkin berpengaruh proses enzimatis. Untuk itu harus dicuci dengan alkohol 96% dan disemprot udara panas. Lama proses enzimatis pada suhu 76–80˚C selama 30 menit dengan proses pengadukan secara mekanis dengan alat. Selama proses pemanasan dan pengadukan enzim dimasukkan ke dalam fermentor sebanyak 0,1649 g sesuai dosis 0,9 g/kg substrat kering. Selama proses dekstrinisasi, pengawasan suhu harus tepat agar tidak terlalu panas yang menyebabkan enzim bisa rusak atau bahan menjadi masak dan akan gagal. Warna pada suspensi akan berubah sedikit demi sedikit menjadi kecokelatan yang menunjukkan proses berlangsung baik. Setelah dekstrinisasi, reaksi enzim harus dihentikan dengan memanaskan bahan dekstrin ini pada suhu 120˚C agar tidak over proses enzimasinya ke dalam autoclave selama 15–20 menit. Setelah itu dituang pada nampan yang dilapisi aluminium foil agar tidak melekat ke nampan selanjutnya didinginkan setelah kering dianalisis kadar sifat fisiko kimia dekstrin yang dihasilkan. Selama proses dekstrinisasi berlangsung, suhu yang dapat dicapai alat adalah 80–90˚C. Suhu tersebut sudah berada di atas suhu gelatinisasi pati sagu yang berkisar antar 60–70˚C. Proses dekstrinisasi dilakukan selama 30 menit sambil terus diaduk dengan mixer. Selanjutnya dekstrin cair yang diperoleh diinaktivasi pada autoclave pada suhu 120˚C selama 5 menit. Tujuan dari inaktivasi adalah menghentikan kerja enzim α_amilase dalam proses dekstrinisasi. Dekstrin cair yang telah diinaktivasi pada autoclave dituang ke dalam loyang alumunium yang telah dilapisi alumunium foil setebal 1–2 mm. Penggunaan aluminium foil adalah mempermudah pelepasan dekstrin kering dari loyang. Selanjutnya dilakukan pengeringan dalam oven selama 3–4 hari pada suhu 43–46˚C. Setelah kering, dekstrin diambil dari wadah dan dipisahkan dari alumunium foil. Selanjutnya dekstrin kasar yang diperoleh dihancurkan dengan penggiling dan diayak dengan ayakan 80 mesh untuk mendapatkan ukuran dekstrin yang seragam. Selanjutnya dilakukan analisis
158
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
sifat fisiko kimia yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar dekstrose, warna produk dengan larutan lugol, dan kelarutan (Anonim 1992). Kemudian dekstrin hasil percobaan dibandingkan dengan dekstrin yang beredar di pasaran dan Standar Nasional Indonesia untuk dekstrin pangan (SNI 138885).
PROSEDUR KERJA PEMBUATAN DEKSTRIN Pati sukun
Penambahan Enzim
Air
Pembuatan suspensi
Pemanasan (80–90˚C) dan Pengadukan selama 30 menit
Inaktivasi enzim alfa-amilase (autoclave 121˚C selama 5 menit)
Pengeringan
Penggilingan
Pengayakan
Hasil tepung dekstrin
Gambar 1. Diagram alir pembuatan dekstrin Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
159
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses pembuatan tepung sukun diawali dengan pemetikan buah sukun dengan tingkat kemasakan yang berbeda, disesuaikan perlakuan yang berasal dari daerah Kabupaten Cilacap dan Ciamis. Daerah ini ditetapkan sebagai daerah pengambilan karena sejak dahulu sebagai sentra penghasil sukun (Heyne 1987). Kedua daerah ini menunjukkan bahwa masa kemasakan dan terbentuknya buah-buah dari hasil pembungaan dalam setahun pohon sukun berbuah dua kali, tetapi musim buahnya tidak bersamaan waktunya. Untuk setiap wilayah ternyata mulainya masa pembungaan hingga tingkat kemasakan buah tidak sama, sehingga jika untuk mengumpulkan buah dalam jumlah agak banyak mengalami kesulitan, demikian juga antarkabupaten waktu pembungaan juga tidak sama. Dengan adanya sifat ini, di satu sisi menguntungkan, tetapi di sisi lain juga menyulitkan bagi industri kecil yang mengolah sukun terpaksa mendapatkan buah sukun dari tempat yang agak jauh jika berproduksi terus-menerus. Namun bagi industri yang akan mengolah menjadi tepung atau bahan lanjutan lain ketersediaan buah sepanjang tahun akan ada meski dari lokasi yang agak jauh yang berbeda dengan sifat buah mangga atau durian hanya sekali setahun. Ciri tingkat kemasakan buah sukun jika biasa dipetik untuk keperluan sebagai bahan makanan yang direbus atau dikukus ataupun digoreng, yaitu berkisar dua minggu setelah terlihat pada bagian kulit buah warna mulai menguning dan telah mengeluarkan getah melalui saluran getah sel parenkim pada bagian epidermis kulit buah. Dalam waktu singkat, jika buah tidak dipetik akan busuk di pohon ataupun jatuh sendiri tapi sudah busuk terlalu tua. Buah sukun setelah dipetik dalam waktu 3–4 hari akan busuk matang dan biasanya dibuang. Dengan pengolahan untuk pembuatan dekstrin yang pengolahannya melalui pembuatan tepung dan pati, maka waktu pengambilan buah tingkat kemasakannya sangat menentukan rendemen dan mutu bahan yang akan dihasilkan, mengingat buah yang baik jika kadar karbohidrat sudah tinggi dan belum terbentuk protein. Namun hal ini harus didasari uji coba berulang-ulang menganalisis setiap tingkat kemasakan buah sukun. Hal ini akan menyulitkan dalam praktik pelaksanaan untuk kriteria setiap buah yang masak petik untuk bahan baku tepung. Dari hasil yang telah diuji coba pada beberapa sampel buah sukun dengan ciri tingkat kemasakan seragam dicoba dibuat menjadi bahan keripik mentah kering, selanjutnya dibuat tepung. Hasil analisis tepung tersebut kandungan proksimatnya menunjukkan beberapa hal
160
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
yang perlu dicermati, baik rendemen maupun mutu produk yang dihasilkan sebagai berikut pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil rendemen pengolahan dan uji analisis proksimat buah sukun Macam bahan Sukun muda Sukun cukup masak Sukun masak tua Keripik sukun (mentah) Tepung sukun masak
Rendemen Rendemen Kadar Kerapatan/ Kadar Kadar keripik tepung (%) air densitas protein lemak ( %) (% ) (g/ml) (%) (%) 40,26 14,68 79,5 2,264 --38,24 15,35 69,3 2,384 -
Kadar karbohidrat ( %) 18. 48 76,46
36,85
15,82
65,7
2,136
-
-
82,72
-
32,36
16,4
1,486
6,04
0,398
83,8
--
-
12,25
1,6604
7,003
0,42
84,4 (38,525 ppm)
Keterangan: Jumlah sampel buah sukun setiap kelompok kemasakan 50 buah. Sumber data: Hasil pengamatan dan pengujian di Laboratorium Kimia Fakultas MIPA Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
Sifat bahan tepung yang dihasilkan dari buah sukun muda warna lebih putih, tetapi saat digiling dari bahan keripik tepung sukun masih banyak serat kasar yang sulit jika diayak halus. Sementara pada buah sukun yang masak tua, dalam waktu singkat cepat busuk setelah dipetik, sehingga segera di buat keripik kering dengan cara blansing agar tidak browning. Namun hasil tepung yang diperoleh tetap tidak berwarna putih mutlak dan ada sedikit kekuningan. Hal ini kemungkinan kadar protein yang tinggi pada buah yang cukup masak hal itu terbukti buah yang masak hampir busuk setelah diparut untuk diambil patinya ternyata telah terbentuk gula dan protein yang larut dalam air dingin, demikian juga hasil pati yang diperoleh sangat kecil. Sebaiknya, untuk pembuatan tepung dari buah yang masih belum terlalu tua artinya jika pada pohon salah satu buah telah keluar getah, buah yang lain sudah cukup untuk dipetik dijadikan tepung karena kadar karbohidrat telah berubah jadi protein dan gula yang tidak terbentuk pati lagi sehingga warna tepung jadi kekuningan. Dari hasil analisis tepung yang dihasilkan menunjukkan memenuhi syarat SNI untuk produk tepung bahan makanan (SNI 06-4591-1998
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
161
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dekstrosa monohidrat), mengingat kadar air jika dikeringkan lebih lama dalam penjemuran akan dihasilkan kadar air yang lebih kecil lagi, tetapi karena kelembapan udara di Bogor cukup tinggi dalam waktu singkatpun kadar air naik kembali. Warna tepung putih tidak terbentuk browning dan sifat kelarutan dalam air dingin sukar larut sebagai pertanda belum terjadi degradasi kadar karbohidrat ataupun proteinnya, pada kelarutan air panas menunjukkan sebesar 0,3164–0,3233 g/ml ini sesuai uji SNI 01-3751-2006 dan ternyata sesuai untuk produk pangan karena masih segar (fresh). Hasil pengujian sifat fisiko-kimia dekstrin menunjukkan bahwa konsentrasi suspensi substrat 25% dan enzim 0,5 g/kg substrat terlalu encer dan hasilnya lama mengental meskipun telah terbentuk gumpalan padat tetapi warna cokelat pucat kadar air 11,6%, kadar abu 0,19%, dekstrosa 13,34%, derajat putih 78,65%, warna dalam lugol masih sedikit keunguan dan kecokelatan. Sementara pada suspensi substrat 35% dan dosis enzim 0,9 g/ kg substrat berbeda nyata dengan perlakuan lainnya dan sudah bagus, artinya dekstrin lebih kental yaitu 1,9 cp dan kelarutan air dingin 80,68%, kadar abu 0,25%, dengan kadar air 7,35%, dekstrosa yang terbentuk 18,20%, dengan derajat putih 74,60%, warna dalam lugol ungu. Hal tersebut memenuhi standard SNI 4591, 2010 yang merupakan revisi SNI 06-4591-1998 tentang dekstrosa monohidrat demikian juga jika kita telaah dan didasarkan pada SNI 01-2593-1992 tentang proses pembuatan dekstrin untuk industri pangan juga memenuhi. Artinya bahan yang dihasilkan dapat sebagai susbstitusi bagi keperluan dekstrin untuk menambah tingkat kemanisan, tetapi mengurangi kadar gula bebas yang sering tidak baik untuk kesehatan. Rendemen dekstrin yang dihasilkan 52–60% dari bobot substrat tepung yang dibuat. Bahan ini jika dipakai sebagai bahan untuk meningkatkan daya rekat suatu bahan dalam industri juga memenuhi karena tingkat kekentalan yang cukup tinggi dan mudah larut untuk memudahkan proses pencampuran. Dengan demikian bahan dekstrin dari tepung sukun mampu sebagai produk diversifikasi produk pangan yang menunjang ketahanan pangan nasional. Selama ini buah sukun hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang dikonsumsi langsung dengan dikukus atau digoreng. Dengan cara pengolahan ini jika saat panen yang jumlahnya banyak dapat disimpan selain dalam bentuk tepung juga untuk penyedia bahan baku industri dalam keadaan bahan tahan lama yaitu dekstrin.
162
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Buah sukun yang dipanen secara bersamaan jika dalam jumlah banyak akan cepat busuk. Namun dengan pengolahan pembuatan tepung secara blansing masalah tersebut dapat diatasi, juga perubahan warna terjadinya bowning dapat dicegah. 2. Pemilihan buah siap petik warna kuning muda sebelum keluar getah pada kulit. Kadar karbohidrat tinggi (> 83% dan protein > 6,8% warna tepung lebih putih). Kadar protein lebih tinggi dari beras untuk diversifikasi pangan. Rendemen buah menjadi keripik ± 40%, rendemen tepung 14,5–16,1%. 3. Buah yang terlewat masak, kadar tepung telah menjadi gula tidak baik untuk bahan baku tepung maupun diambil patinya dan tidak baik untuk pembuatan dekstrin. Warna tepung kekuningan dan lebih lengket lama kering. 4. Dekstrin dari tepung sukun sebagai substitusi dekstrin dari bahan pangan lain dan sebagai bahan yang tahan disimpan lama. Dekstrin yang dihasilkan tingkat kekentalannya 1,9 cp, kelarutan air dingin 80,68%, kadar abu 0,25%, kadar air 7,35%, dekstrosa yang terbentuk 18,20% dengan derajat putih 74,60%, warna dalam lugol ungu telah memenuhi untuk standar bahan industri pangan (SNI 4591, 2010) maupun proses pembuatan dekstrin pangan (SNI 01-2593-1992).
B. Saran 1. Pemetikan buah sukun sebaiknya untuk setiap wilayah secara bersamaan tetapi wilayah lain yang belum masak serentak, tidak dipetik buahnya agar pemanenan tidak menyebar pada wilayah yang luas. 2. Proses pemotongan buah sukun sebelum di-blansing sebaiknya tidak terlalu tebal dan besar agar pengukusan tidak terlalu lama dan seluruh permukaan dapat terkena uap panas yang mencegah enzim buah aktif bekerja. 3. Proses dekstrinisasi perlu kecermatan pengawasan keteraturan suhu pemanasan jika masih di bawah 70˚C enzim sudah dimasukkan akan mengalami kesulitan terbentuknya penggumpalan dekstrin. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
163
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhatara Karya.. Anonim. 2005. Country Report: On The Status of Forest Genetic Resources Conservation and Management in Indonesia. Yogyakarta: Centre for Plantation Forest Research and Development.. Anonim. 1992. SNI 01-2593-1992 tentang Prosedur Pembuatan Dekstrin Pangan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Anonim. 2006. SNI 01-3751-2006 tentang Prosedur Uji Penetapan Kelarutan Tepung. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Anonim. 2010. SNI 4591, 2010 tentang Dekstrosa Monohidrat Revisi SNI 06-4591-1998 tentang Dekstrosa Monohidrat. Jakarta: Badan Standadrdisasi Nasional. Hartoyo, B Wiyono. 1998. Proses pembuatan dekstrin secara enzimatis dari tepung sagu dan tepung sukun. Jurnal Hasil Hutan. No. 12. Vol. 3. Holnagel A, LW Kroh. 2000. Degradation of oligosaccharides in nonenzymatic browning by formation of alpha-dicarbonyl coumponds via a “peelingoff” mechanism. J.Agric.Food Chem. 48: 6219–6226. Hasler CM. 1998. Functional foods: their role in disease prevention and health promotion. J. Food Technology. 52: 63–70. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Jakarta: .Badan Litbang Kehutanan, Departemen Pertanian. Marsono Y, P Wiyono, Z Noor. 2002. Indeks glikemik kacang-kacangan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. XIII: 211–216. Institut Pertanian Bogor. Sadjad S. 2000. Kasus bahan pangan sumber karbohidrat. Kompas. 28 Juni 2000. Jakarta. Widowati S, DS Damardjati. 2001. Menggali sumberdaya pangan lokal dalam rangka ketahanan pangan. Majalah PANGAN. No 36/X/Jan /2001. Jakarta: BULOG.
164
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG. 2000. Potensi dan Peran tepung-tepungan bagi Industri Pangan dan Program Perbaikan Gizi. Makalah pada Sem Nas Interaktif: Penganekaragaman Makanan untuk Memantapkan Ketersediaan Pangan.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
165
PEMBUATAN PERNIS DARI DAMAR BATU* Oleh: Raden Esa Pangersa Gusti, Erik Dahlian dan Zulnely**
ABSTRAK Pernis merupakan suatu cairan yang komposisinya terdiri atas resin oil, pelarut, dan bahan pengering. Pernis tersebut ketika diaplikasikan pada suatu permukaan dapat membentuk lapisan kering, keras, dan rekat. Salah satu resin yang umum digunakan dalam pembuatan pernis adalah damar batu. Damar batu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu dari golongan gum resin yang terdapat dalam pohon meranti yang sudah mati dan tertimbun oleh tanah dalam waktu yang cukup lama. Damar batu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pernis. Sifat damar batu yang tidak larut dalam toluene menjadi keunikan tersendiri dalam proses pembuatan pernis. Dalam penelitian ini dilakukan pembuatan pernis dari damar batu. Pengujian pernis hasil penelitian meliputi sifat, kualitas, dan aplikasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat, kualitas, dan aplikasi pernis memenuhi standar apa? Namun parameter warna dan viskostitas tidak memenuhi standar. Kata kunci: Damar batu, pernis, kualitas, warna, viskositas
I. PENDAHULUAN Damar adalah getah pohon dari genus Shorea dan Hopea (famili Dipterocarpaceae) dan famili Burseraceae yang telah dibersihkan (SNI 1999). Penyebaran pohon meliputi daerah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Penghasil damar terluas di Indonesia adalah Lampung (Jafarsidik 1982). Dalam dunia perdagangan, dikenal beberapa jenis damar seperti damar mata kucing, damar batu, damar biru, damar hitam, dan damar merah. Damar tersebut diekspor sebagai bahan baku untuk berbagai macam industri, seperti pernis, perekat, cat, lilin, dan plastik (Tambunan 1975). * Makalah utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pernis adalah suatu cairan yang komposisinya tersusun dari resin oil, pelarut, pigmen, bahan pengering, dan zat aditif lain yang apabila diaplikasikan pada suatu permukaan bahan dapat membentuk lapisan kering, keras, dan rekat pada permukaan (Dahlian et al. 2003). Damar mata kucing merupakan kelompok damar yang paling banyak digunakan sebagai pembuat pernis. Penggunaan kelompok damar lain dalam pembuatan pernis tergolong jarang dilakukan. Tulisan ini memaparkan pembuatan pernis dari damar batu.
II. METODE PENELITIAN Bahan utama yang digunakan adalah damar batu kualitas dari Lampung. Proses pembuatan pernis meliputi pelarutan damar batu dalam Spirit Mineral Turpene (SMT) kemudian ditambahkan resin alkyd, dry calcium, dan dry cobalt hingga menjadi homogen. Pernis yang berasal dari damar batu ini kemudian dianalisis mutunya mengikuti standar mutu pernis PT ICI meliputi kekuatan geser, viscositas, warna, lama pengeringan, berat jenis, serta analisis deskriptif terhadap aplikasi pernis meliputi daya kilap, kesan raba, kontaminasi udara, dan kayu cerah.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Fisiko Kimia Damar Batu Hasil analisis sifat fisiko kimia damar batu disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat fisiko kimia damar batu Parameter Kadar abu % Bilangan asam Bilangan penyabunan Bilangan ester Titik lunak Titik leleh Kadar bahan tak larut dalam toluene
Damar batu kualitas jumbo 1,20 30,73 84,69 59,68 124 138
Damar mata kucing 0,5-40 1) 19-36 1) 90,14 2) 19,75 2) 95-120 1) -
7,24
0,40-4,50 1)
Sumber: 1) SNI (1999); 2) Larasati (2007)
Kadar abu merupakan indikator penting yang perlu diketahui sebelum damar digunakan sebagai bahan baku industri cat dan pernis. Hal ini
168
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
disebabkan memengaruhi tekstur produk yang dihasilkan. Nilai kadar abu damar batu bila merujuk pada Standar Nasional Indonesia (SNI 1999) tentang damar mata kucing, masih memenuhi persyaratan. Bilangan asam damar batu masih memenuhi syarat standar damar. Bilangan asam mengindikasikan jumlah asam lemak bebas yang terkandung di dalam damar. Dari nilai ini dapat diketahui indikasi daya simpan dari resin tersebut, di mana semakin tinggi nilai bilangan asam berbanding lurus dengan jumlah asam lemak bebas semakin rendah daya simpannya. Bilangan penyabunan merupakan parameter untuk mengukur panjang molekul asam lemak. Nilai bilangan penyabunan damar batu lebih kecil dibandingkan dengan damar mata kucing. Nilai bilangan penyabunan yang rendah akan menyebabkan produk pernis pada saat digunakan akan cepat mengering. Bilangan ester adalah jumlah asam organik yang bersenyawa sebagai ester serta mempunyai hubungan (selisih) antara bilangan asam dan bilangan penyabunan. Proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak dalam bentuk ester, hidrokarbon rantai pendek dalam asam lemak dapat ditukar dengan rantai panjang yang bersifat tidak menguap (Ketaren 1986). Bilangan ester berkaitan dengan bau (odour). Bilangan ester yang rendah menunjukan difat damar yang tidak berbau. Hasil analisis menunjukan bahwa bilangan ester damar batu yang tinggi, hal ini akan menyebabkan produk yang akan dibuat memiliki bau khas damar batu. Titik lunak damar adalah keadaan suhu yang sudah mulai naik, di mana pengaruh kenaikan suhu tersebut mengakibatkan damar mulai melunak atau berubah wujud dari padat menjadi lembek (semi padat), sedangkan titik leleh adalah suhu pada saat damar mulai meleleh. Titik lunak damar batu tidak memenuhi persyaratan SNI damar (1999), hal ini diduga karena jumlah ikatan rangkap dan panjang rantai karbon senyawa-senyawa penyusun damar batu yang bervariasi. Titik leleh damar batu berada pada kisaran suhu 138˚C. Kadar bahan tak larut dalam toluene bertujuan untuk menentukan jumlah bahan pada organik atau anorganik yang tidak larut dalam toluena seperti pasir, serbuk dan kulit kayu, lilin, serta mineral dalam resin yang tidak larut dalam toluena. Kadar bahan tak larut dalam toluena damar batu tidak memenuhi persyaratan SNI damar, hal ini diduga karena damar batu masih banyak mengandung bahan organik maupun anorganik karena keberadaannya yaitu di dalam timbunan tanah. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
169
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
B. Analisis Mutu Pernis Damar Batu Dengan karakteristik damar batu seperti tertera sebelumnya, kemudian dibuat pernis. Analisis mutu pernis dari damar batu seperti tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Analisis mutu pernis
Sifat pernis
Pernis standar pabrik ICI
Kekuatan geser, cm Viskositas, cp
6–7 6–7
Warna
Cokelat bening
Lama pengeringan, 2–4 jam Berat jenis 0,91–0,94
Pernis komersial 6 6 Cokelat muda bening
Pernis hasil percobaan dari damar batu
Pernis hasil percobaan dari damar mata kucing 7 7
6 8
Cokelat bening
Cokelat pekat
4
2
4
0,91
0,93
0,94
Mutu pernis dari damar batu bila merujuk pada standar pernis yang diproduksi oleh PT ICI untuk kekuatan geser memenuhi persyaratan. Lama pengeringan dan berat jenis masih dalam batas akhir yang dipersyaratkan, sedangkan untuk viskositas tidak memenuhi persyaratan. Dalam hal warna, pernis yang terbuat dari damar batu menghasilkan warna cokelat pekat. Hal ini diduga disebabkan karakteristik warna dari damar batu itu sendiri, berbeda dengan pernis standar PT ICI, pernis komersial, maupun pernis dari damar mata kucing hasil penelitian sebelumnya yang menghasilkan warna cokelat bening.
C. Analisis Deskriptif Pernis Pernis yang dibuat dari bahan baku damar batu dan selanjutnya dilakukan uji coba pemakaian. Hasil analisis deskriptif pemakaian pernis damar batu sebagaimana tersaji pada Tabel 3.
170
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 3. Analisis deskriptif aplikasi pernis damar batu Pernis hasil percobaan dari damar mata kucing Daya kilap Kurang baik Baik sekali Kesan raba Licin tipis Licin agak tebal Kontaminasi udara Mengental Tebal membeku Warna kayu cerah Tetap Agak pekat Parameter
Pernis komersial
Pernis hasil percobaan dari damar batu Baik Licin agak tebal Mengental Pekat
Pernis yang terbuat menggunakan bahan baku damar batu menghasilkan daya kilap baik, berada di antara pernis komersial dengan pernis dari damar mata kucing seperti yang ditunjukan hasil percobaan. Kesan raba yang dihasilkan pernis damar batu bersifat licin dan agak tebal, berbeda dengan pernis komersial yang bersifat licin dan tipis. Kontaminasi udara yang dihasilkan oleh pernis damar batu bersifat mengental, sama halnya dengan pernis komersial. Dalam hal pengaplikasiannya pada kayu cerah, pernis dari damar batu menghasilkan warna kayu menjadi pekat. Hal ini karena karakteristik damar batu itu sendiri yang berwarna cokelat pekat, berbeda dengan pernis komersial yang menghasilkan warna kayu tetap cerah.
IV. KESIMPULAN Damar batu memiliki karakteristik yang khas, yaitu warna cokelat pekat. Bila merujuk pada SNI Damar mata kucing, sifat fisiko kimia damar batu berupa nilai kadar abu dan bilangan asam memenuhi persyaratan, sedangkan titik lunak dan kadar bahan tak larut dalam toluena tidak memenuhi persyaratan. Pernis yang terbuat dari damar batu menghasilkan kekuatan geser yang sesuai dengan persyaratan standar pernis PT ICI. Lama pengeringan dan berat jenis pernis berada pada batas akhir persyaratan standar, sedangkan viskositas pernis damar batu dan warna tidak memenuhi persyaratan. Aplikasi pernis yang terbuat dari damar batu menghasilkan perubahan warna kayu yang dioleskan menjadi agak pekat, daya kilap baik, dan kesan raba licin. Hal ini mengindikasikan pemakaian pernis dari damar batu ini bisa
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
171
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
digunakan sebagai pilihan untuk konsumen yang ingin melapisi kayu dengan sifat pekat, halus, lembut, dan elegan (doff).
DAFTAR PUSTAKA Dahlian E, Hartoyo, E Yusnita. 2003. Optimasi Pembuatan Pernis dari Damar. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol. 21 No. 1: 23–30. Bogor: Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Jafarsidik Y. 1982. Jenis-Jenis Pohon Penghasil Damar di Sumatera. Duta Rimba 51/VIII/1982. Perum Perhutani. Ketaren S. 1986. Pengantar teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Larasati F. 2007. Pemurnian Beberapa Kualitas Damar Mata Kucing (Shorea javanica) Dengan Sistem Pemanasan [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Standar Nasional Indonesia (SNI) No 01-2900-1999. 1999. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Tambunan B. 1975. Damar dan Cara Pengolahannya. Kehutanan Indonesia.
172
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
POTENSI PEMANFAATAN MINYAK DAN KRISTAL Dryobalanops aromatica UNTUK KOSMETIK DAN OBAT*
Oleh: Gunawan Pasaribu, Gusmailina, Sri Komarayati, Zulnely, dan Erik Dahlian** e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Dryobalanops aromatica yang dikenal dengan pohon kapur merupakan pohon penghasil minyak dan kristal kapur yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Produk hasil hutan bukan kayu ini tersebar di wilayah Sumatera bagian Utara, meliputi Aceh dan Sumatera Utara. Pada tulisan ini disajikan potensi pemanfaatan minyak dan kristal kapur sebagai bahan kosmetik dan obat. Bahan kosmetik diarahkan pada pemanfaatan untuk minyak pewangi dengan berbagai formulasi dan dilakukan pengujian organoleptik pada 30 orang responden. Sementara dalam rangka pemanfaatan sebagai bahan obat diarahkan pada keampuhan minyak dan kristal sebagai antimikroba menggunakan metode cakram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari uji organoleptik, formula minyak pewangi berbahan minyak kapur diminati oleh para responden. Selanjutnya, aktivitas antimikroba minyak dan kristal kapur sangat baik dalam menghambat pertumbuhan mikrob Staphylococcus aureus dengan zona hambat mencapai 13,5 mm dan Candida albicans dengan zona hambat mencapai 32,5 mm. Hasil ini menunjukkan bahwa minyak dan kristal kapur potensial dikembangkan untuk bahan minyak pewangi dan obat alami. Kata kunci: Dryobalanops aromatica, minyak, kristal, wangi, antimikroba
* Makalah utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
I. PENDAHULUAN Dryobalanops aromatica merupakan pohon penghasil kayu berkualitas baik, dengan nama dagang kayu kapur atau kayu kamper. Di samping kayunya yang bagus, pohon ini juga menghasilkan minyak dan kristal yang pemanfaatannya sangat luas. Namun, kedua unsur tersebut tidak selalu ada pada pohon kapur terutama pada pohon yang berusia ratusan tahun (Vurren 1908 dalam Sutrisna 2008). Penyebarannya terutama di wilayah Sumatera bagian Utara, meliputi Aceh dan Sumatera Utara. Kristal kapur ini dikenal juga dengan nama barus. Di Korea dan Jepang, pohon yang menghasilkan barus atau kamper ini dikenal dengan nama Cinnamomum camphora dari keluarga Lauraceae, sedangkan kamper di Indonesia diperoleh dari pohon Dryobalanops aromatica yang masuk dalam Famili Dipterocarpaceae (Whitten et al. 1984 dalam Sutrisna 2008). Senyawa borneol yang dihasilkan dari minyak maupun kristal Dryobalanops aromatica ini mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan sangat dibutuhkan dalam pengembangan produk kosmetika dan obat. Borneol banyak dicari karena manfaatnya sebagai bio medicine untuk mencegah pengentalan dan pembekuan darah (Duke 2005). Borneol yang beredar di pasaran internasional kebanyakan berasal dari Cinnamomum atau tumbuhan perdu lainnya seperti sembung, kunyit, atau jahe. Teknik pengolahan juga berbeda karena bukan berasal dari getah pohon. Menurut beberapa eksportir, akhir-akhir ini borneol asal Dryobalanops banyak dicari untuk digunakan sebagai bahan pengobatan alternatif sebagai aromaterapi. Penggunaan borneol yang tepat dapat menghancurkan pembekuan darah pada kasus pembekuan darah pada otak atau jantung. Atas dasar itulah perlunya penelitian mendalam tentang pemanfaatan minyak dan kristal Dryobalanops aromatica. Penulis Arab menyebutkan bahwa kapur merupakan salah satu dari lima rempah wewangian dasar. Kelima rempah tersebut adalah kesturi, ambar abuabu, kayu gaharu, kamper, dan safran (Ibn Masawayh dalam Guillot 2002). Selanjutnya disebutkan bahwa pada zaman Dinasti Abbasiyah, hanya orang kaya dan golongan pemimpin saja yang menggunakan pewangi kamper. Artinya, penggunaan kapur untuk pewangi sudah menjadi tradisi di awal tahun masehi. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh data potensi Dryobalanops aromatica sebagai bahan kosmetik dan obat.
174
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak dan kristal Dryobalanops aromatica yang diperoleh dari Aceh. Peralatan-peralatan yang digunakan untuk melakukan kegiatan ini antara lain erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, buret, kompor gas, spatula, ekstraktor, magnetic stirrer, penyaring, timbangan, termometer, stopwatch, dan alat-alat bantu lainnya.
B. Metode Penelitian Untuk mengetahui potensi Dryobalanops aromatica sebagai bahan kosmetik, dilakukan formulasi minyak sebagai parfum dan dilakukan uji organoleptik. Sementara untuk mengetahui potensi Dryobalanops aromatica sebagai obat dilakukan pengujian aktivitas antimikrob terhadap minyak dan kristal (Gambar 1).
(a)
(b)
Gambar 1. Minyak (a) dan kristal (b) Dryobalanops aromatica Prosedur penelitian dilakukan sebagai berikut. 1. Formulasi minyak untuk parfum dan uji organoleptik Formulasi beberapa formula minyak parfum/pewangi yang diuji coba dengan campuran minyak Dryobalanops aromatica, etanol pada berbagai konsentrasi, ekstrak Eucalyptus citriodora, ekstrak Palm flower, dan nilam sebagai pengikat. Formula tersebut seperti pada Tabel 1.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
175
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 1. Formula parfum Dryobalanops aromatica No 1
Formula 20 ml D.aromatica : Etanol (1:2) + 0,5 ml E.citriodora + 0,2 ml nilam
2
20 ml D.aromatica : Etanol (1:2) + 0,5 ml Palm flower + 0,2 ml nilam
3
20 ml D.aromatica : Etanol (1:3) + 0,5 ml E.citriodora + 0,2 ml nilam
4
20 ml D.aromatica : Etanol (1:3) + 0,5 ml Palm flower + 0,2 ml nilam
5
20 ml D.aromatica : Etanol (1:4) + 0,5 ml E.citriodora + 0,2 ml nilam
6
20 ml D.aromatica : Etanol (1:4) + 0,5 ml Palm flower + 0,2 ml nilam
Keterangan: E. citriodora = Eucalyptus citriodora Untuk mengetahui tingkat keharuman, ketajaman, dan kesukaan terhadap berbagai formulasi minyak wangi, dilakukan pengujian organoleptik (uji berdasarkan indra) melalui pengisian kuisioner kepada 30 orang responden awam dan tiga orang ahli parfum. 2. Pengujian antimikrob minyak dan kristal Dryobalanops aromatica Pengujian antimikrob dilakukan pada dua jenis mikrob, yaitu bakteri Staphylococcus aureus dan khamir Candida albicans. Pengujian dilakukan menggunakan metode cakram (Arora dan Bharwaj (1997)) di Laboratorium IPB Culture Collection.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Formulasi Minyak untuk Parfum dan Hasil Uji Organoleptik Parfum atau minyak wangi adalah campuran bahan kimia yang digunakan untuk memberikan bau wangi untuk tubuh manusia, objek, binatang atau ruangan. Parfum telah diketahui ada di beberapa peradaban manusia yang paling awal baik melalui teks kuno atau dari penggalian arkeologi. Wewangian modern dimulai pada akhir abad 19 dengan sintesis komersial senyawa aroma seperti vanili atau kumarin yang memungkinkan untuk membuat parfum dengan bau yang sebelumnya belum dikenal dengan hanya menggunakan bahan senyawa aromatik alami.
176
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Hasil pengujian organoleptik terhadap 30 orang responden sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengujian organoleptik parfum No. Tingkat organoleptik A
B
C
Tingkat Ketahanan Amat sangat harum Sangat harum Harum Agak harum Agak tidak harum Tidak harum Sangat tidak harum Tingkat Ketajaman Amat sangat tajam Sangat tajam Tajam Agak tajam Agak tidak tajam Tidak tajam Sangat tidak tajam Tingkat Kesukaan Amat sangat suka Sangat suka Suka Agak suka Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
Jumlah pemilih pada nomor parfum 1 2 3 4 5 6 2 2 12 7 5 2 0
0 2 12 12 4 0 0
2 1 7 10 2 7 1
0 10 9 7 1 3 0
0 2 7 13 4 4 0
3 5 15 6 0 1 0
2 6 8 7 2 5 0
1 1 8 10 5 3 2
2 2 9 8 3 6 0
2 2 10 10 3 3 0
1 4 7 10 6 2 0
2 2 9 9 4 4 0
0 0 5 5 9 10 1
0 0 5 12 3 8 2
0 0 5 7 8 7 3
0 1 10 12 2 4 1
0 2 1 11 6 9 1
1 4 12 6 2 5 0
Sumber: Pasaribu et al. (2012)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden menyatakan bahwa minyak wangi Dryobalanops aromatica parfum 1 dan parfum 6 termasuk agak harum sampai harum. Tingkat ketajaman bervariasi mulai dari sangat tajam sampai dengan tidak tajam. Formula parfum nomor 4 dan nomor 6 paling disukai oleh responden.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
177
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Uji organoleptik pada tiga orang ahli parfum menunjukkan bahwa parfum nomor 2 sampai nomor 6 dinilai harum, dengan tingkat ketajaman berada pada tidak tajam sampai sangat tajam. Parfum 1 dan 2 umumnya paling disukai ahli. Artinya formulasi dengan konsentrasi minyak Dryobalanops aromatica tertinggi relatif disukai para ahli parfum.
B. Aktivitas Antimikrob Minyak dan Kristal Dryobalanops aromatica Sebanyak empat jenis minyak Dryobalanops aromatica dari berbagai kualitas dan kristalnya diujikan terhadap mikrob (bakteri dan khamir). Empat jenis minyak tersebut merupakan penggolongan subjektif dari masyarakat. Hasil pengujian aktivitas antimikrob minyak dan kristal D. aromatica disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Aktivitas antimikroba minyak dan kristal Dryobalanops aromatica
No.
Jenis
1 2 3 4 5
Minyak 1 Minyak 2 Minyak 3 Minyak 4 Kristal
Aktivitas antimikroba Candida albicans Staphylococcus aureus Diameter Indeks Diameter zona Indeks zona (mm) (mm) 32,5 4,42 13,5 1,25 27,5 3,58 12,5 1,08 30,0 4,00 9,0 0,50 0,0 0,00 0,0 0,00 7,5 0,25 8,0 0,30
Aktivitas khamir Candida albicans yang ditandai dengan besarnya diameter zona hambat (Gambar 2) tertinggi berturut-turut pada minyak 1, minyak 3, minyak 2, kristal, dan minyak 4. Hasil penelitian sejenis dengan bahan minyak atsiri rimpang temu giring yang dilakukan oleh Rahmawati et al. (2010) menunjukkan zona hambat terhadap Candida albicans maksimal 2,3 mm. Demikian halnya dengan aktivitas bakteri Staphylococcus aureus berturut-turut adalah pada minyak 1, minyak 2, minyak 3, kristal, dan minyak 4. Dalam hal ini terlihat bahwa hasil sadapan (minyak 4) tidak memiliki aktivitas antimikroba.
178
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Penelitian yang dilakukan Poelungan dan Praptiwi (2010) terhadap bakteri Staphylococcus aureus menunjukkan bahwa ekstrak kulit manggis menghasilkan zona hambat maksimal 11 mm pada konsentrasi 50%. Selanjutnya Pramuningtyas dan Rahardiyan (2009) melaporkan aktivitas antibakteri ekstrak cocor bebek terhadap S. aureus memiliki zona hambat sebesar 5,1 mm. Dalam pengembangan minyak D. aromatica sebagai parfum atau produk kosmetik lainnya memiliki keunggulan dibandingkan dengan odorant yang lain. Selain baunya yang harum, minyak ini bisa juga sebagai antibakteri dan antijamur. Antimikrob ini banyak diaplikasikan pada berbagai produk parfum, sabun, pewangi, dan sebagainya dengan penambahan antimikrob dan bahan sintetis seperti halnya triclosan. Minyak D. aromatica ini bisa menjadi pilihan produk kosmetik alami yang bisa dikembangkan dalam rangka meningkatkan nilai tambah.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
179
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Zona hambat CA pada Kristal
Zona hambat SA pada Kristal
Zona hambat CA pada M4
Zona hambat SA pada M4
Zona hambat CA pada M3
Zona hambat SA pada M3
Zona hambat CA pada M2
Zona hambat SA pada M2
Zona hambat CA pada M1
Zona hambat SA pada M1
Gambar 2. Zona hambat Candida albicans dan Staphylococcus aureus (CA=C. albicans; SA=S. aureus; M1,2,3,4=Minyak 1,2,3,4)
180
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Formula parfum minyak Dryobalanops adalah campuran minyak Dryobalanops, etanol, minyak nilam, minyak Eucalyptus citriodora atau Palm flower. Berdasarkan uji organoleptik, Dryobalanops berpotensi sebagai bahan parfum yang disukai. 2. Minyak dan kristal Dryobalanops berpotensi sebagai obat karena aktivitas antimikrob minyak dan kristal sangat baik menghambat pertumbuhan mikroba S. aureus dan C. albicans.
B. Saran Minyak Dryobalanops aromatica dapat dikembangkan sebagai parfum plus. Selain memiliki aroma wangi, minyak ini juga memiliki kemampuan anti jamur maupun antibakteri yang diperlukan dalam aplikasi bersamaan.
DAFTAR PUSTAKA Arora DS, Bhardwaj. 1997. Antibacterial acttivity of some medicinal plants. Geo.Bios. 24: 127–131. Duke S. 2005. Plants containing Borneol. Phytochemical and Ethnobotanical Databases. Institute for Traditional Medicine, Portland, Oregon. Guillot C. 2002. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Yayasan Obor Indonesia. Pasaribu G, Gusmailina, Komarayati S, Zulnely, Dahlian E. 2012. Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Dryobalanops sp. untuk Meningkatkan Nilai Tambah. Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan). Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Poelungan M, Praptiwi. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana). Jakarta: Media Litbang Kesehatan 20(2). Pramuningtiyas R, WB Rahardiyan. 2009. Uji aktivitas antimikroba ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap bakteri
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
181
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Staphylococus aureus dan Escherichia coli. Biomedica. Vol. 1(2). FK UMS Solo. Rahmawati D, S Anita, I Peni. 2010. Formulasi krim minyaka rimpang temu giring (Curcurma heyneana Val &Zijp): Uji sifat fisik dan antijamur terhadap Candida albicans secara In vitro. Majalah Obat Tradisional. 15 (2), 56–63. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Sutrisna D. 2008. Kapur barus: pohon dan sumber tertulis asing. Laporan Penelitian Arkeologi Ekskavasi Permukiman Kuna Di Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Balai Arkeologi Medan (tidak diterbitkan).
182
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
MAKALAH POSTER
OPTIMALISASI PEMANFAATAN KAYU RAKYAT MENGGUNAKAN TEKNOLOGI LAMINASI* Oleh: Abdurachman dan Nurwati Hadjib**
ABSTRAK Penelitian teknologi pembuatan kayu laminasi telah dilakukan dalam rangkan pemanfaatan kayu cepat tumbuh yang berasal dari hutan tanaman. Kualitas kayu laminasi struktural tidak berbeda dari kayu solidnya. Hal itu menunjukkan bahwa kayu laminasi dapat digunakan sebagai bahan struktur dan mampu menahan beban tinggi sesuai ukuran yang direncanakan. Produk laminasi dari beberapa jenis kayu, di antaranya dari sengon, karet, melina, mangium menggunakan perekat pabrikan maupun perekat hasil penelitian sudah diuji coba dan hasilnya memenuhi standar Jepang. Pembuatan produk tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh masyarakat luas, sehingga dapat dirasakan manfaatnya Kata kunci: Kayu laminasi, bahan struktur bangunan, tanaman rakyat, perekatan
I. PENDAHULAN Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga setelah Brazil dan Zaire, sehingga memiliki tanggung jawab dalam melestarikannya agar tetap dapat berfungsi sebagai paru-paru dunia (Suryaningsih 2012). Fungsi hutan tropis menurut Suparmoko (1997) antara lain mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara kesuburan tanah; menyediakan hasil hutan untuk keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk keperluan pembangunan industri dan ekspor sehingga menunjang pembangunan ekonomi; melindungi suasana iklim dan memberi daya pengaruh yang baik, memberikan keindahan alam pada umumnya dan khususnya dalam bentuk cagar alam, suaka margasatwa, taman perburuan, dan taman wisata, serta sebagai laboratorium untuk ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pariwisata; merupakan salah satu unsur strategi pembangunan nasional. * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Permasalahan serius yang dihadapi hutan di Indonesai yaitu degradasi hutan dan meluasnya lahan kritis. Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan melalui pembentukan hutan rakyat sebagai salah satu pola rehabilitasi lahan kritis secara vegetasi. Caranya melalui pembangunan hutan rakyat akan terjadi peningkatan produktivitas lahan serta menunjang konservasi tanah dan air (Andayani 1995). Pengembangan hutan rakyat telah lama dilakukan oleh masyarakat sebelum ada kebijakan yang mengaturnya. Masyarakat di daerah jawa menanami lahan kering dengan pola tanam campuran atau tumpang sari dengan mengombinasikan tanamankeras/kayukayuan dengan tanaman pangan (umbi, padi), buah, dan empon-empon. Dengan pola semacam itu masyarakat dapat memperoleh keuntungan tambahan. Pola pencampuran berbagai jenis tanaman dalam satu lahan (mix plantation) memiliki nilai lebih bagi petani, ini untuk menyikapi dan dapat mengantisipasi ketidakstabilan harga produk pertanian. Jika salah satu produk harganya jatuh, akan tertutupi harga produk lain yang stabil atau bahkan meningkat harganya. Aneka jenis tanaman dan musim panen yang berbeda-beda juga mencerminkan prinsip kelestarian hasil (Jariyah dan Wahyuningrum 2008). Salah satu permasalahan kehutanan Indonesia yaitu meluasnya lahan kritis yang mengakibatkan produktivitas lahan berkurang, menimbulkan bencana baik banjir dan tanah longsor, pemerintah meluncurkan program upaya untuk menanggulangi permasalahan tersebut, di antaranya dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui hutan rakyat. Melalui pembangunan hutan rakyat diharapkan akan terjadi peningkatan produktivitas lahan dan konservasi tanah dan air (Andayani 1995). Pengembangan hutan rakyat telah lama dilakukan oleh masyarakat meski kebijakan yang mengaturnya belum sempurna. Masyarakat di daerah Jawa menanam lahan kering dengan pola campuran atau tumpang sari dengan mengombinasikan tanaman keras/kayu-kayuan dengan tanaman pangan (umbi, padi), buah, dan empon-empon. Tanaman keras berupa pohon penghasil kayu umumnya mempunyai sifat inferior dibandingkan dengan kayu sejenis yang berasal dari hutan alam (Martawijaya et al. 1990).
186
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tujuan penulisan makalah ini ialah untuk memberi informasi/gambaran mengenai spesifikasi teknis kayu yang berasal dari hutan rakyat agar pemakai/ user dapat menentukan pilihan jenis dan membuat ukuran yang tepat sesuai dengan tujuan pemanfaatannya.
A. Hutan Rakyat Hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50% dan/atau pada tanaman tahunan pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per hektar (Anonim 2005). Sementara kayu rakyat adalah kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat. Data perkembangan hutan rakyat di Indonesia disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan hutan rakyat di Indonesia No
Provinsi
HR Swadaya (ha)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Babel Bengkulu Lampung DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim
16.563,40 45.692,10 38.993,80 10.337,00 5.591,00 12489,25 0,00 3.349,00 222,50 0,00 86.900,74 8.861,00 174.125,59 26.760,70 84.738,07 6.610,24 8.610,58 147.300,00 4.419,00 10.054,00 94.271,50 8.424,00
HR Subsidi (ha)
HR KUHR (ha)
6.763,20 2.226,00 1.075,00 677,00 0,00 0,00 0,00 600,06 1.110,00 0,00 7670,00 6137,95 0,00 0,00 62,50 0,00 1000,000 0,00 0,00 0,00 15.012.00 12.521.40 0,00 1.150,66 44.351,19 4.796,43 14.154,00 0,00 18.980,75 7.005,83 3.582,50 0,00 1.405,00 1.000,58 8.595,00 0.00 85,00 0,00 0,00 0,00 705,00 0,00 0,00 650,00
HR DAK DR (ha)
HR Gerhan (ha)
2.295,32 3.000,00 280,00 8.480,00 80,00 14.682,00 719,00 7.375,00 488,00 2.475,00 85,00 5.100,00 0,00 645,00 340,00 1.000,00 0,00 13.700,00 0,00 0,00 1.538,00 50.552,00 0,00 9.600,00 5.313,20 97.143,00 411,70 13.690,00 1.660,00 100.987,00 155,00 2.730,00 0,00 5.350,00 0,00 5.850,00 300,00 6.780,00 495,00 5.000,00 3.080,00 10.380,00 0,00 2.700,00
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Jumlah (ha) 3.0847,92 56.204,10 53.755,80 19.031,06 9.664,00 31482,20 645,00 4.751,50 14.022,50 0,00 166.524,14 19.611,66 325.729,41 53.016,40 213.371,65 13.077,74 16.366,16 161.745,00 11.584,00 15.549,00 108.436,50 11.774,00
187
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
No 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Provinsi
HR Swadaya (ha)
Sulut 4.481,00 Gorontalo 14,071,00 Sulteng 8.049,55 Sultra 705,00 Sulsel 134.962,25 Malut 0,00 Maluku 0,00 Papua 9.180,00 Irjabar 2.960,00 Jumlah 966.722,27
HR Subsidi (ha)
HR KUHR (ha)
HR DAK DR (ha)
HR Gerhan (ha)
Jumlah (ha)
33,00 350,00 25,00 3.500,00 8.389,00 0,00 150,00 0,00 4.238,00 18.459,00 100,00 0,00 300,00 3.550,00 12.099,55 450,00 0,00 725,00 3.100,00 4.980,00 6.856,39 3.520,00 308,00 18.937,00 164.583,64 0,00 0,00 0,00 4.650,00 4.650,00 0,00 1.000,00 0,00 2.900,00 3.900,00 0,00 0,00 219,70 1.255,00 10.654,70 0,00 0,00 0,00 550,00 3.510,00 131.090,53 41.785,91 18.917,92 409.899,00 1.568.415,63
Pengembangan pengelolaan hutan rakyat yang sudah ada sejak lama dan terus dikembangkan oleh masyarakat, kini dikerjakan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Hal ini terkait dengan adanya prospek yang cerah akan keberadaan hutan rakyat untuk mendukung pasokan bahan baku industri tanpa mengabaikan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan pemilik lahan khususnya. Berikut disajikan potensi hutan rakyat yang terdiri dari populasi 7 (tujuh) jenis tanaman yang dikembangkan di hutan rakyat dan tersebar di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa (Tabel 2). Tabel 2. Populasi 7 jenis pohon yang ditanam di hutan rakyat (batang) No Jenis pohon 1 2 3 4 5 6 7
Akasia Bambu Jati Mahoni Pinus Sengon Sonokeling Jumlah
Potensi di daerah Jawa Luar jawa 22.611.068 9.409.011 29.139.388 8.786.890 50.119.621 29.592.858 39.990.730 5.268.811 3.521.107 2.302.757 50.075.525 9.758.776 2.008.272 344.379 197.465.711 65.463.482
Jumlah 32.020.079 37.926.278 79.712.479 45.259.541 5.823.864 59.834.301 2.352.651 262.929.193
Siap tebang 12.069.695 6.721.780 18.446.024 9.497.192 2.715.576 24.613.228 742.543 74.806.038
Sumber: Sukadaryati (2006)
Sampai saat ini kebutuhan akan kayu sebagai bahan untuk berbagai keperluan terus meningkat. Kayu-kayu yang beredar di pasaran sebagian besar
188
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
berasal dari hutan alam yang dikelompokkan atas jenis-jenis komersial seperti kamper, bangkirai, keruing, kayu campuran (borneo), dan lain-lain. Karena kecepatan antara pemanenan dan penanaman tidak seimbang, menyebabkan pasokan kayu dari hutan alam kian menurun baik volume maupun mutunya yang mengakibatkan harga kayu menjadi relatif mahal. Berbagai upaya telah dilakukan dalam mengatasi keterbatasan jumlah pasokan kayu hutan antara lain dengan mengalihkan perhatian kepada jenis-jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat atau hutan tanaman. Akan tetapi, jenis, ukuran, dan mutu kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat sangat bervariasi sehungga pemakai (user) sering kali merasa kebingungan dalam memilih jenis dan ukuran yang akan dipakai. Oleh karena itu, perlu adanya upaya lain yaitu pemasyarakatan/penyeragaman jenis dan ukurannya kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat tersebut.
B. Kayu Berdiameter Kecil (Small Diameter Logs) Jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat ialah jenis kayu yang diusahakan atau dibudidayakan oleh rakyat dengan lokasi atau tempat tumbuh tidak teratur atau tidak terpola, biasanya ditanam pada areal dekat hutan alam/ hutan tanaman atau tanah-tanah negara yang belum dimanfaatkan Hak Guna Garap (HGG). Jenis-jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat bervariasi tergantung banyaknya jenis yang diminta/dipesan oleh pemakai atau kayu buah yang sudah tumbuh secara alami. Jenis-jenis kayu yang sering dijumpai di hutan rakyat antara lain kayu mindi, mahoni, sengon, kihiang, kiputri, karet, pinus, lame (pulai), kayu buah seperti kecapi, nangka, kemang, kemiri, manggis, dan lain-lain yang memiliki diameter 30–40 cm. Mutu atau kualitas kayu secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu ukuran ciri-ciri kayu yang memengaruhi sifat produk-produk yang dibuat dari padanya. Definisi kualitas yang lebih tepat mungkin sukar dipahami karena sifat penting kayu yang digunakan untuk suatu produk sering berbeda dengan sifat penting untuk produk yang lain. Dalam satu hal, kualitas mungkin diukur dalam kerapatan, keseragaman lingkaran tumbuh, persen kayu bebas mata kayu, sedangkan dalam hal lain sifat-sifat seperti proporsi kayu akhir, hasil selulosa, dan perbandingan antara serat dan pembuluh mungkin merupakan petunjuk kualitas yang utama.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
189
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pada umumnya mutu dari suatu jenis kayu ditentukan oleh sifat fisiknya seperti warna, tekstur, serat, kekerasan, kesan raba, bau dan rasa, nilai dekoratif dan sifat-sifat pengerjaan seperti sifat pengetaman, pembubutan, pemboran, dan pengampelasan. Selain itu mutu kayu ditentukan pula oleh cacat pada kayu tersebut yang akan memengaruhi sifat kayu pengerjaan maupun pemakaiannya. Sifat-sifat fisik kayu yang perlu diperhatikan karena berkaitan langsung dengan penggunaannya antara lain kadar air, kembang susut, berat jenis/ kerapatan, daya hantar listrik, dan daya tahan api.
C. Teknologi Laminasi (Papan Sambung, Glulam) Teknologi laminasi bertujuan memanfaatkan bahan baku kayu yang bersifat inferior dan berdimensi kecil yang menghasilkan produkproduk rekatan seperti papan sambung, glulam, papan broti laminasi, dan Cross Laminated Timber (CLT). Teknologi ini mencakup perekatan dan penyambungan, keduanya mempunyai metoda tersendiri tetapi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
II. HASIL PENELITIAN KAYU LAMINASI A. Papan Bambung Hasil penelitian Abdurachman dan Krisdianto (2007) tentang papan sambung yang dibuat dari kayu Eucalyptur pelita dan Acacia crassicarpa dengan perekat TRF, PF, dan PVAc menunjukkan modulus elastisitas (MOE) yang paling tinggi dicapai oleh sambungan kayu E. pellita yang disambung menjari dengan perekat PVAc, dengan modulus elastisitas 115.232,89 kg/ cm2. Sementara modulus elastisitas patah (MOR) paling tinggi dicapai oleh sambungan kayu A. crassicarpa dengan perekat Phenol Formaldehia yaitu 425,03 kg/cm2. Secara umum, sambungan kayu E. pellita memiliki modulus elastisitas lebih tinggi dari kayu A. crassicarpa. Berdasarkan model sambungannya, tipe menjari memiliki modulus elastisitas dan keteguhan lentur patah lebih baik dari sambungan tipe lidah dan beralur pada kedua jenis kayu yang diuji. Sementara itu, berdasarkan nilai modulus elastisitas dan keteguhan lentur patahnya, penggunaan tiga jenis bahan perekat, yaitu TRF, PF, dan PVAc tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
190
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Rachman dan Hadjib (2008) telah meneliti efisiensi sambungan jari pada lima jenis kayu rakyat dengan hasil seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata keteguhan rekat, lentur statis, dan efisiensi sambungan jari pada lima jenis kayu hutan tanaman Keteguhan rekat kg/cm2
Jenis kayu
Lentur statis, kg/cm2 MOE
MOR
Efisiensi sambungan, %
Gmelina/GM
47,1
58437
260
72
Mangium/ MG Manii/ MN Karet/ KR Sengon/SG
48,9 49,0 50,4 51,0
67059 59760 60708 46499
294 273 244 184
76 76 80 86
Data tersebut menunjukkan bahwa kayu dengan kerapatan rendah perekatannya lebih efektif, tetapi pada kerapatan yang terlalu tinggi efektivitas perekat akan menurun (Ruhendi et al. 2007). Kekuatan sambungan terbesar tercapai pada kerapatan 0,492 dan MOR sambungan terbesar tercapai pada kerapatan kayu 0,474 g/cm3. Nilai ini sesuai dengan hasil penelitian Ratnasingam (2001) yang menyebutkan kayu dengan kerapatan lebih-kurang 0,45 kg/m3 biasanya cukup sesuai untuk sambungan jari.
B. Glulam Beberapa jenis kayu yang berasaldari hutan tanaman industri maupun tanaman rakyat telah dicoba untuk dibuat glulam dengan hasil sebagai berikut. 1. Glulam yang dibuat dari mangium dan sengon dengan perekat tanin, 6 dan 8 lapis menunjukkan bahwa kekuatan glulam mangium lebih tinggi dibandingkan dengan glulam sengon. Kayu yang diteliti sebagian besar tergolong pada mutu B (menurut PKKI NI-5) dan sebagian lagi tergolong mutu A. Cacat yang ada umumnya berupa mata kayu segar mi-ring serat, cacat bentuk, dan pingul. Glulam yang dibuat memenuhi persyaratan kekuatan glulam menurut JAS (2003). Kekuatan glulam dengan perekat lignin lebih tinggi dibandingkan dengan kekuatan glulam dengan perekat. Rasio kekuatan contoh kecil bebas cacat terhadap glulam ukuran pemakaian 2,68 untuk MOR dan 0,87 untuk MOE.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
191
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
2. Pada pembuatan glulam dari kayu karet, jabon, dan gmelina menghasilkan kayu yang diteliti sebagian besar tergolong pada mutu B (menurut PKKI NI-5) dan sebagian lagi tergolong mutu A. Cacat yang pada umumnya berupa mata kayu segar, kulit terisip miring serat, cacat bentuk, dan pinggul. Kekuatan glulam kayu karet 8 lapis lebih tinggi dibandingkan dengan kekuatan glulam 6 lapis, walaupun demikian glulam yang dibuat memenuhi persyaratan kekuatan glulam manurut JAS (2003). Rasio kekuatan contoh kecil bebas cacat terhadap glulam ukuran komersial 2,68 untuk MOR dan 0,87 untuk MOE. 3. Glulam yang dibuat berdasarkan komposisi lapisan dua jenis kayu yang berbeda yaitu mangium pada bagian luar dan sengon pada bagian dalam telah menghasilkan glulam yang memenuhi syarat kelenturan (MOE) maupun kekuatan (MOR) standar mutu kayu lamina struktural (JAS 2003; PKKI NI-5 2002). Nilai MOE dan MOR tertinggi pada glulam 6 lapisan dengan lapisan sengon ditempatkan pada bagian tengah (komposisi 1/3 tebal). Namun yang memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan komponen struktur bangunan. 4. Glulam lengkung yang dibuat berdasarkan komposisi lapisan dua jenis kayu mangium pada bagian sisi terluar dan sengon pada bagian tengah memenuhi syarat kekakuan (MOE) maupun kekuatan (MOR) menurut standar mutu kayu lamina struktural (JAS 1996) dan (PKKI NI-5 2002). 5. Glulam lengkung yang dibuat menggunakan alat Curved-press dengan kempa dingin belum menghasilkan glulam bermutu baik karena bentuk busur lengkung, terutama pada bagian tengah bentang masih nampak seperti bentuk polygon (garis patah). Kekuatan geser rekat terbesar terjadi pada bidang geser mangium-mangium (MM) yang diawetkan dan terendah terjadi pada bidang geser sengon-sengon yang tidak diawetkan. Sementara bidang geser mangium-sengon (MS), baik yang diawetkan maupun yang tidak diawetkan menunjukkan nilai yang mendekati bidang geser lainnya. Nilai rata-rata tegangan radial 332,17 kg/cm2 untuk radius lengkung (R) dan jarak sangga (L) tetap serta faktor kelengkungan untuk R lebih dari 1 m mendekati nilai 1,0 yang berarti bahwa pada radius lengkung 5,725 m tidak perlu dikalikan dengan faktor kelengkungan tersebut karena tidak terjadi tegangan awal pada saat proses pelengkungan.
192
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Hasil penelitian Sulistiyawati (2006) menunjukkan bahwa glulam yang dibuat dari kayu manii dan kayu mangium memenuhi standar untuk kayu struktural.
C. Balok-I MOE balok-I yang dibuat dari kayu karet dan jabon berkisar 99,768– 143,471 kg/cm2 dan MOR rata-ratanya berkisar 183,18–211,37 kg/cm2. Nilai S/W berkisar 543,56–644,42. Nilai ini sesuai standar Jepang untuk kayu struktural.
III. PROSPEK Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap beberapa jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat. Sebagian besar jenis-jenis kayu tersebut dapat dikembangkan sebagai kayu struktural dengan dimensi yang lebih besar daripada diameter kayunya, yaitu dengan membuat kayu komposit seperti papan sambung dan glulam. Selain itu, untuk meningkatkan umur pakainya, kayu-kayu tersebut perlu diawetkan terlebih dahulu. Berdasarkan hasil pengujian sifat mekanik, ternyata pengawetan glulam pada saat setelah perekatan tidak memengaruhi kekuatan lentur maupun kekutan geser rekat. Glulam lengkung dan lurus yang telah dibuat dari campuran kayu mangium dan sengon dapat dibuat komponen struktur bangunan berbentuk lengkung (curved). Struktur yang telah dibuat adalah struktur kuda-kuda tipe Bowstring yang merupakan model struktur pelengkung tiga sendi (three hinged arches). Selain struktur peleng-kung tiga sendi, dibuat pula struktur portal peleng-kung dua sendi (two hinged arches). Untuk kekokohan struktur konstruksi pelengkung tiga sendi digunakan sambungan lidah beralur dan sambungan ekor burung (dovetail) menggunakan perekat PVAc. Sementara untuk struktur portal pelengkung dua sendi digunakan sambungan pelat sisi dari pelat besi 5 mm dan baut ∅ 12 mm.
IV. PENUTUP Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa jenis kayu yang berasal dari hutan rakyat yang biasanya berdimeter kecil dan bersifat inferior dibandingkan dengan kayu dari hutan alam, dapat ditingkatkan pemanfaatannya dengan: Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
193
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
• Pengawetan yang bisa dilakukan sebelum atau sesudah menjadi produk kayu olahan. • Untuk keperluan struktural yang memerlukan dimensi dan bentuk yang lebih besar, bisa dibuat papa/bilah sambung dengan sambungan jari atau glulam. • Pengaturan lapisan kayu yang mempunyai sifat fisis dan mekanis yang lebih rendah diatur sedemikian rupa sehingga kayu dengan sifat yang lebih rendah diletakkan pada bagian tengah dan maksimum 1/3 tebal. • Glulam yang dibuat dari kayu rakyat dapat dimanfaatkan untuk kudakuda baik sederhana maupun lengkung.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2010. ISO/FDIS 20152-1. Timber Structures–Bond Performance of Adhesives–Part 1: Basic Requirements. Geneve. Switzerland: International Standard Organization. _________. 1999. ISO 10983. Timber structures –Finger Jointing-Production and Testing Requirements. Geneve. Switzerland: International Standard Organization. Sukadaryati. 2006. Potensi hutan rakyat di Indonesia dan permasalahannya. Prosiding Seminar HasilLitbang Hasil Hutan 2006: 49–57. Martawijaya A. 1990. Sifat dasar beberapa jenis kayu yang berasal dari hutan tanaman dan hutan alam. Proceedings Diskusi Hutan Tanaman Industri. Badan Litbang Kehutanan. Dephut. Jakarta (268–298). Abdurachman, Krisdianto. 2007. Pengaruh jenis perekat terhadap kekuatan sambungan jari kayu Eucalyptus pellita dan Acacia crassicarpa. Info Hasil Hutan Vol 13 No 2: 175–182. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Rachman O, N Hadjib. 2008. Keteguhan lentur statis sambungan jari pada beberapa jenis kayu hutan tanaman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Senft JF, BA Bentsen, WL Galligan. 1986. Weak wood, Fast-grown trees make problem lumber. Journal of Forestry.
194
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Hadjib N, IM Sulastiningsih, Jasni, Abdurachman, E Basri, J Malik. 2010. Peningkatan sifat kayu jenis andalan setempat prioritas nasional untuk produk kayu bangunan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Hasil Hutan. Tidak diterbitkan. Senft JF, BA Bentsen, WL Galligan. 1986. Weak wood, Fast-grown trees make problem lumber. Journal of Forestry. Siddiq. 1989. Penggunaan Glulam untuk komponen struktur bangunan gedung dan perumahan. Paper disajikan pada Seminar Glued Laminated Timber. Departemen Kehutanan. Jakarta 15 Juni 1989. Wijomartono S. 1958. Konstruksi Kayu Berlapis Majemuk. Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
195
PEMANENAN KAYU RAMAH LINGKUNGAN DI HUTAN TANAMAN RAWA GAMBUT DI SUMATERA DAN KALIMANTAN* Oleh: Sona Suhartana dan Yuniawati** E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tipe hutan tanaman rawa gambut sangat rapuh, sedangkan kegiatan pemanenan kayu masih terus berlangsung intensif. Hal tersebut merupakan suatu permasalahan yang dapat berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem hutan tanaman rawa gambut menjadi tidak terkendali. Pada umumnya kerusakan yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu di hutan tanaman rawa gambut berupa subsidensi dan fluktuasi air gambut. Teknik pemanenan ramah lingkungan (RIL) dapat mengurangi kerusakan hutan, sehingga dapat meningkatkan produksi kayu dan menjamin keberlangsungan hutan yang lestari. Untuk itu perlu dikaji penerapan teknik RIL di hutan tanaman rawa gambut dalam upaya mengatasi kekurangan bahan baku kayu dan gangguan lingkungan akibat pemanenan hutan. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pemanenan kayu ramah lingkungan di hutan tanaman rawa gambut terhadap produktivitas, efisiensi, biaya dan subsidensi, serta fluktuasi air. Studi pustaka dilakukan di Perpustakaan RI Ardi Kusuma, perpustakaan IPB, dan hasil penelitian penulis selama 2008–2010. Hasil kajian sebagai berikut: 1. Penerapan teknik RIL di Hutan Tanaman Industri (HTI) Sumatera (Riau, Jambi) dapat meningkatkan produktivitas antara 6,201–10,022 m3/jam, efisiensi pemanfaatan meningkat antara 5,6–7,9% yang setara dengan tambahan keuntungan antara Rp15.680.000.000– 25.438.000.000/th, menurunkan biaya produksi antara Rp5.618,0– 11.032,2/m3, subsidensi berkisar 4,67–4,72 cm/th, tinggi muka air di petak tebang dan di kanal masing-masing 61–63,77 cm dan 63,84–65 cm; 2. Penerapan teknik Reduced Impact Logging (RIL) di HTI Kalimantan Barat dapat meningkatkan produktivitas 7,863 m3/jam, efisiensi pemanfaatan meningkat 6,8% yang setara dengan tambahan keuntungan 464.400.000/ * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
th, menurunkan biaya produksi Rp7.306,9/m3, subsidensi 0,375 cm/th, tinggi muka air di petak tebang dan di kanal masing-masing 61,75 cm dan 52,25 cm; serta 3. Berdasarkan aspek produktivitas, efisiensi pemanfaatan kayu dan fluktuasi tinggi muka air di kanal dan di petak tebang, maka penerapan teknik RIL di HTI rawa gambut Sumatera ternyata lebih baik daripada di Kalimantan. Kata kunci: Pemanenan kayu, HTI rawa gambut, kerusakan hutan, RIL
I. PENDAHULUAN Pemanenan kayu pada hakekatnya merupakan upaya untuk mengubah pohon yang terdapat di petak tebang termasuk memindahkannya sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan sosial budaya masyarakat, di mana kegiatan pemanenan kayu sebagai kunci mata rantai pemanfaatan hutan produksi yang dituntut untuk dilaksanakan secara terencana agar tidak merusak keseimbangan dinamis dari unsur lingkungan hutan. Dalam praktiknya, kegiatan pemanenan tersebut memerlukan arahan yang rinci tentang bagaimana menata prakondisi dan bagaimana cara melaksanakan serangkaian kegiatan pemanenan kayu dengan syarat yang harus dipenuhi tidak merusak keseimbangan dinamis unsur lingkungan hutan, untuk itu dalam pelaksanaannya haruslah didasarkan pada pendekatan ekosistem. Pelaksanaan pemanenan kayu secara umum pada perusahaan hutan di Indonesia tidak dapat lepas dari kerusakan hutan. Menurut Alrasyid (2001), akibat kegiatan penebangan dengan limit diameter 40cm, setelah 3 bulan terjadi penurunan potensi hutan cukup drastis. Rata-rata jumlah bidang dasar pohon per ha turun sebesar 54,6% dan volume tegakan per ha turun sebesar 63,4%. Pada tingkat permudaan jumlahnya mengalami penurunan drastis, sedangkan kerusakan tegakan tinggal untuk tingkat pohon dan tiang rata-rata mencapai 52,3% dan 60,3%, kerusakan ini umumnya disebabkan kegiatan penebangan dan penyaradan. Penurunan potensi hutan, penurunan luas areal hutan, deforestasi di Indonesia akibat HPH, perambahan hutan, penebangan pohon illegal, pertambangan rakyat maka dalam 10 tahun terakhir telah terjadi kerusakan hutan seluas 1,6 juta ha setiap tahunnya. Sementara data dari Pelangi (2002) menyebutkan bahwa kawasan hutan yang telah rusak lebih dari 43 juta ha.
198
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lahan gambut sebagai lahan yang memiliki banyak fungsi sangat penting untuk menjaga dan mengatur proses berlangsungnya lingkungan kehidupan seperti reservoir air, rosot dan simpanan karbon, keanekaragaman hayati. Kebutuhan permintaan kayu dari hutan tropis memaksa dilakukan kegiatan pemanenan kayu terhadap lahan gambut akan terus berlangsung. Menurut Wibisono et al. (2005), lahan gambut didefinisikan sebagai suatu ekosisitem lahan basah yang dibentuk oleh adanya penimbunan bahan organik di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan yang basah atau tergenang tersebut. Karena sifatnya yang unik, maka kesuburan gambut sangat rendah sehingga tidak tepat untuk dijadikan lahan budi daya. Pemanenan kayu terdiri atas beberapa tahapan kegiatan yaitu penebangan, penyaradan, muat bongkar, dan pengangkutan kayu. Tahapan dan elemen kegiatan pemanenan kayu dengan implementasi RIL diuraikan oleh Elias et al. (2001) adalah keseluruhan elemen kegiatan pemanenan kayu harus dilakukan dengan baik, sehingga dapat meminimalkan gangguan terhadap sumber daya hutan dan sumber daya tersebut dapat berkembang dan berproduksi baik pada siklus berikutnya. Kecenderungan kerusakan hutan lahan gambut yang umumnya sering terjadi di lahan gambut adalah peningkatan subsidensi dan flktuasi air gambut. Adanya pembuatan kanal pada lahan gambut menyebabkan penurunan muka air tanah, sehingga memengaruhi karakteristik kimia gambut. Penelitian Goosen (1967) menunjukkan bahwa kanal berpengaruh terhadap peningkatan bulkdensity dan terjadi subsidence serta penurunan retensi air tanah di tanah gambut Albarta Kanada dihasilkan bahwa setelah 7 tahun pembuatan kanal, rata-rata bulk density (kedalaman 0–40 cm) meningkat 63% dan retensi air tanah turun dari -5 sampai -15.000 cm atau penurunannya 66% lebih besar daripada daerah gambut yang tidak ada kanal. Air tanah adalah air yang mengisi sebagian atau seluruh pori tanah baik pori antar-agregat tanah maupun pori di antara partikel penyusun agregat tanah (Rachman 1992). Jumlah air yang dapat ditahan oleh suatu jenis tanah bergantung pada distribusi ukuran partikel tanah (tekstur) dan susunan dari partikel tanah (struktur). Kedua sifat fisik tersebut paling menentukan kadar air tanah. Di samping itu, Ridlo (1997) menyatakan bahwa banyaknya air yang dapat diserap bergantung dari kandungan bahan organik tanah. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
199
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Upaya peningkatan produksi kayu dapat dicapai melalui upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan kayunya karena peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu dapat meningkatkan produksi kayu. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui implementasi Reduced Impact Logging (RIL) atau pemanenan berwawasan lingkungan (PBL). Dengan penerapan RIL disamping peningkatan produksi kayu dapat dicapai juga upaya meminimalkan terjadinya subsidensi dan fluktuasi air gambut akibat pemanenan kayu di lahan gambut. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pemanenan kayu ramah lingkungan di hutan tanaman rawa gambut terhadap produktivitas, efisiensi, biaya dan subsidensi, serta fluktuasi air sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan bagi keluarnya kebijakan pengelolaan hutan lestari di lahan gambut.
II. PENINGKATAN PRODUKSI KAYU Penerapan sistem pemanenan kayu di hutan tanaman lahan gambut harus dilaksanakan mengingat kondisi fisik gambut yang rapuh dan cendrung sulit untuk pulih kembali apabila mengalami kerusakan. Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan produktivitas, efisiensi pemanfataan kayu, dan biaya produksi dengan menerapkan teknik pemanenan kayu ramah lingkungan ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Produktivitas, biaya produksi, dan efisiensi pemanfaatan kayu Penelitian A B C
Produktivitas (m3/jam) 6,201 10,022 7,863
Efisiensi Tambahan Biaya produksi pemanfaatan keuntungan (Rp/m3) kayu (%) (Rp/th) 11.032,2 7,9 25.438.000.000 5.618,0 5,6 15.680.000.000 7.306,9 6,8 464.400.000
Keterangan: A (Jambi) & B (Riau) = Suhartana dan Yuniawati (2010a); C = Suhartana et al. (2010), Kalimantan Barat Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa penerapan teknik pemanenan kayu ramah lingkungan di lahan gambut dapat meningkatkan produktivitas antara 6,201 m3/jam sampai 10,022 m3/jam dengan rata-rata 8,029 m3/jam sehingga dapat menekan biaya produksi rata-rata Rp 7.985,9/m3. Peningkatan
200
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
produktivitas tersebut juga diiringi dengan peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu rata-rata sebesar 6,8% dapat memberikan tambahan keuntungan bagi perusahaan rata-rata sebesar Rp1.386.080.000.000.000/th. Pada areal lahan gambut di Riau pada Tabel 1 di poin B menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi daripada areal lahan gambut di Jambi maupun di Kalimantan Barat. Hal tersebut karena perbedaan keterampilan operator alat. Di areal penelitian Riau memiliki operator chainsaw dengan pengalaman kerja lebih lama dengan keterampilan kerja yang lebih tinggi daripada di Jambi maupun Kalimantan Barat. Keterampilan kerja operator alat sangat menentukan produksi hasil pemanenan. Walaupun telah memiliki pengalaman kerja bertahun-tahun, tetapi tidak memiliki keterampilan kerja dalam menerapkan pemanenan kayu ramah lingkungan tidak ada gunanya. Keterampilan tersebut meliputi teknik penebangan dan penyaradan yang dapat meminimalkan terjadinya kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan areal, penggeseran top soil, pemadatan tanah, dan kerusakan hasil tebangan, sehingga diperlukan adanya pendidikan dan pelatihan bagi para pekerja dalam menerapkan pemanenan kayu ramah lingkungan. Peningkatan efisiensi pemanfaatan kayu sebagai upaya guna meningkatkan produksi kayu melalui penerapan pemanenan kayu ramah lingkungan volume kayu yang dihasilkan lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan tinggi tunggak yang ditinggalkan di petak tebang lebih rendah, sehingga volume kayu yang dapat dimanfaatkan menjadi meningkat. Dari Tabel 1 tersebut juga menunjukkan bahwa penerapan pemanenan kayu ramah lingkungan di Sumatera lebih baik daripada di Kalimantan di mana rata-rata produktivitas yang dihasilkan sebesar 8,111 m3/jam. Di Kalimantan sebesar 7,863 m3/jam, rata-rata efisiensi pemanfaatan kayu di Sumatera sebesar 6,75%, sedangkan di Kalimantan sebesar 6,8% dan rata-rata tambahan keuntungan bagi perusahaan di Sumatera dengan menerapkan pemanenan kayu ramah lingkungan adalah Rp205.590.000.000.000/th, di Kalimantan sebesar Rp464.400.000/th. Produktivitas rata-rata pemanenan kayu di lahan rawa gambut lebih rendah daripada di lahan kering. Hasil penelitian Suhartana dan Yuniawati (2005) menyatakan bahwa rata-rata produktivitas penebangan menggunakan Chainsaw Stihl tipe 070 adalah 12,810 m3/jam. Hal tersebut karena waktu tebang yang digunakan di hutan rawa gambut lebih lama, yaitu rata-rata 0,106 jam di mana waktu tebang terdiri atas waktu pembuatan takik rebah, takik balas, ngerencek, dan pembagian batang. Dari beberapa kegiatan tersebut, Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
201
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
kegiatan ngerencek (membersihkan ranting dan penghalang lain) memakan waktu paling lama, yaitu lebih dari separuhnya (± 60%). Lamanya waktu untuk ngerencek tersebut disebabkan karakteristik dan anatomi tanaman kayu lahan gambut yang memiliki banyak cabang dan ranting serta berdaun lebat sehingga tanaman ini cocok sebagai tanaman naungan. Banyaknya cabang dan ranting merupakan kendala tersendiri dalam membersihkan batang kayu. Di samping itu kondisi dasar permukaan lahan gambut yang tidak kokoh apabila dipijak membuat pekerjaan pemanenan dilakukan secara hati-hati sehingga waku yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan menjadi lama.
III. SUBSIDENSI DAN FLUKTUASI AIR Kegiatan pemanenan kayu di lahan gambut tidak terlepas dari terjadinya kerusakan areal gambut. Kerusakan tersebut dapat diakibatkan oleh penerapan pemanenan kayu yang tidak memerhatikan aspek kelestarian lahan gambut. Penerapan pemanenan kayu ramah lingkungan di lahan gambut dapat meminimalkan terjadinya kerusakan hutan akibat subsidensi dan fluktuasi air gambut. Pada Tabel 2 disajikan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan nilai subsidensian dan fluktuasi air gambut di beberapa hutan rawa gambut. Tabel 2. Subsidensi dan fluktuasi air gambut Penelitian A B C
Subsidensi (cm/ tahun)
Tinggi muka air di petak tebang (cm)
4,72 4,67 0,375
Tinggi muka air di kanal (cm)
63,77 61 61,75
63,84 65 52,25
Keterangan: A = Suhartana dan Yuniawati (2010b); B = Suhartana et al. (2008) C = Suhartana et al. (2010) Tabel 3. Hasil penelitian lainnya tentang subsidensi Penelitian
Daerah
Chambers (1979) Delta Upang, Sumatera Selatan Tim IPB (1982) Telang, Sumatera Selatan Sabiham (1996) PT Riau Sakti, Riau
Subsidensi (cm/tahun) 2–5 6,5 10
Sumber: Sabiham (2002) dalam Bintang et al. (2005)
202
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa akibat pemanenan kayu di tiga lokasi HTI lahan gambut terjadi laju subsidensi yang berbeda. Pada penelitian A dengan lokasi di HPHTI PT Arara Abadi, petak tebang 365, Distrik Berbari memiliki laju subsidensi lebih tinggi daripada hasil penelitian lain yaitu 4,72 cm/th. Tingginya laju subsidensi tersebut disebabkan rata-rata ketebalan gambut pada lokasi lebih tebal yaitu > 3 m sehingga dengan semakin tebal gambut maka rata-rata subsidensi semakin besar (Barchia 2006). Semenatar pada hasil penelitian C berlokasi di areal hutan campuran HPHTI KSP Kalimantan Barat menunjukkan laju subsidensi lebih rendah daripada hasil penelitian lain. Rendahnya laju subsidensi tersebut disebabkan rata-rata ketebalan gambut pada lokasi penelitian berkisar 1–2 m lebih tipis daripada di lokasi A. Namun hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 2 memiliki laju subsidensi lebih rendah jika dibandingkan dengan PP No. 150 tahun 2000 tentang kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa (35 cm/5 th untuk ketebalan gambut ≥ 3 m atau 10%/5 tahun untuk ketebalan gambut < 3m). Dengan demikian subsidensi yang terjadi di lokasi penelitian lebih kecil dari kriteria ambang batas. Subsidensi menyebabkan menurunnya kemampuan gambut menahan air. Apabila kubah gambut sudah mengalami penciutan satu meter, lahan gambut akan kehilangan kemampuan menyangga air sampai 90 cm atau setara dengan 9.000 m3/ha. Dengan kata lain lahan di sekitarnya akan menerima 9.000 m3 air lebih banyak bila terjadi hujan deras. Sebaliknya karena sedikitnya cadangan air yang tersimpan selama musim hujan, maka cadangan air yang dapat diterima oleh daerah sekelilingnya menjadi lebih sedikit dan daerah sekitarnya akan rentan kekeringan pada musim kemarau (Agus dan Made 2009). Dari hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 2 di areal HPHTI setelah pemanenan kayu menghasilkan laju subsidensi lebih rendah daripada laju subsidensi yang ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 merupakan hasil penelitian pembukaan areal hutan gambut menjadi pertanian dan perkebunan. Di mana rata-rata laju subsidensi pada setiap lokasi penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 3 sebesar 7,17cm/tahun lebih tinggi daripada hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 2. Dengan demikian melalui penerapan pemanenan kayu ramah lingkungan di lahan gambut dapat meminimalkan laju subsidensi.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
203
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Hasil perhitungan tinggi mukai air gambut yang disajikan pada Tabel 2 setiap lokasi penelitian berbeda-beda. Pada hasil penelitian A memiliki ratarata tinggi muka air di petak tebang dan di kanal masing-masing sebesar 63,77 cm dan sebesar 63,84 cm lebih tinggi daripada lokasi penelitian yang lain, hal ini disebabkan turunnya hujan selama penelitian berlangsung. Apabila dilihat dari selisih dari kedua tinggi muka air tersebut sebesar 0,07 cm, tidak memiliki selisih yang besar. Dapat dikatakan fluktuasi air yang terjadi pada lokasi tersebut masih normal. Keadaan berbeda ditunjukkan pada penelitian C di mana rata-rata tinggi muka air di petak tebang sebesar 61,75 cm/tahun dengan tinggi air di kanal 52,25 cm. Perubahan tinggi muka air tanah yang terjadi selama 4 bulan pada areal petak tebang menunjukkan bahwa areal terbuka akibat pemanenan kayu dapat menimbulkan fluktuasi tinggi muka air. Selisih tinggi muka air antara areal petak tebang dan di kanal sebesar 9,5 cm/4 bulan termasuk besar. Kondisi ini tidak diperbolehkan. Tinggi muka air tanah pada kedua tempat tersebut dipertahankan sama atau tidak memiliki selisih yang jauh. Fluktuasi yang berbeda jauh tersebut mengindikasikan terjadinya pengeringan gambut yang tinggi. Kondisi areal penelitian C merupakan areal hutan alam yang memiliki jenis tanaman campuran untuk dijadikan HTI. Kondisi tanaman campuran terutama dengan diameter pohon yang besar memiliki kemampuan akar untuk menyerap air lebih banyak. Namun, bila pohon dengan diameter besar tersebut ditebang, menyebabkan penurunan kemampuan menyerap air sehingga dengan kondisi areal tersebut yang terbuka menyebabkan air dapat masuk ke tanah. Hal tersebut menyebabkan terjadinya fluktuasi tinggi muka air pada areal petak tebang dengan kanal memiliki selisih yang besar. Terjadinya pengurangan penutupan lahan akibat pemanenan kayu menyebabkan hujan efektif (yang dapat masuk ke dalam tanah) meningkat. Hal ini disebabkan dengan berkurangnya penutup lahan, air hujan yang ditahan oleh bagian tanaman berkurang (intersepsi) berkurang. Air hujan yang masuk ke dalam tanah merupakan input bagi perubahan tinggi muka air gambut. Semakin banyak air hujan yang masuk, maka makin besar perubahan tinggi muka air gambut. Lahan dengan penutupan tajuk yang rendah akan meloloskan air hujan ke dalam tanah lebih banyak, yang mengakibatkan tinggi muka air gambut mengalami peningkatan lebih tinggi dan kondisi tanah lebih jenuh (Hidayah 2004).
204
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Driessen (1978) pada kondisi hutan rawa gambut masih utuh dan virgin forest di mana fluktuasi muka air tanah di pusat kubah gambut 19 cm sedangkan di bagian tepi kubah 10 cm, hasil penelitian C di areal yang ditebang memiliki fluktuasi air tanah yang lebih besar. Semakin besar fluktuasi air tanah, maka semakin berkurang ketersediaan air dalam gambut. Akibatnya pada musim kemarau, gambut akan mengalami kesulitan melepaskan simpanan airnya, hal ini dapat memicu terjadinya kebakaran hutan. Terjadinya pengurangan penutupan lahan akibat pemanenan kayu menyebabkan hujan efektif (yang dapat masuk ke dalam tanah) meningkat. Hal ini disebabkan dengan berkurangnya penutup lahan air hujan yang ditahan oleh bagian tanaman berkurang (intersepsi) berkurang. Air hujan yang masuk ke dalam tanah merupakan input bagi perubahan tinggi muka air gambut. Semakin banyak air hujan yang masuk, maka makin besar perubahan tinggi muka air gambut. Lahan dengan penutupan tajuk yang rendah akan meoloskan air hujan ke dalam tanah lebih banyak, yang mengakibatkan tinggi muka air gambut mengalami peningkatan lebih tinggi dan kondisi tanah lebih jenuh (Hidayah 2004). Kedalaman muka air tanah merupakan faktor utama penentu kecepatan subsiden. Secara keseluruhan penerapan pemanenan kayu ramah lingkungan di lokasi penelitian di Sumatera lebih baik daripada di Kalimantan. Hal ini dapat dilihat dari selisih terjadinya fluktuasi air di petak tebang dan kanal lebih rendah daripada di Kalimantan yaitu masing-masing sebesar 0,07–4 cm dan 9,5 cm.
IV. KESIMPULAN 1. Pemanenan kayu ramah lingkungan di lahan gambut dapat meningkatkan produksi kayu dengan meminimalkan kerusakan gambut berupa penurunan laju subsidensi dan fluktuasi muka air gambut. 2. Penerapan pemanenan kayu ramah lingkungan di lahan gambut HTI Sumatera dapat meningkatkan produktivitas antara 6,201–10,022 m3/ jam, efisiensi pemanfaatan meningkat antara 5,6–7,9% yang setara dengan tambahan keuntungan antara Rp15.680.000.000–25.438.000.000/th, menurunkan biaya produksi antara Rp5.618,0–11.032,2/m3, subsidensi berkisar 4,67–4,72 cm/th, tinggi muka air di petak tebang, serta di kanal masing-masing 61–63,77 cm dan 63,84–65 cm. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
205
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
3. Penerapan teknik RIL di HTI Kalimantan (Barat) dapat meningkatkan produktivitas 7,863 m3/jam, efisiensi pemanfaatan meningkat 6,8% yang setara dengan tambahan keuntungan 464.400.000/th, menurunkan biaya produksi Rp7.306,9/m3, laju subsidensi sebesar 0,375 cm/th, tinggi muka air di petak tebang, serta di kanal masing-masing 61,75 cm dan 52,25 cm. 4. Penerapan teknik RIL di HTI rawa gambut Sumatera ternyata lebih baik daripada di Kalimantan, dapat dilihat dari tingginya produktivitas sehingga meningkatnya efisiensi pemanfaatan dengan memberi tambahan keuntungan relatif tinggi dan selisih water table dengan water level tidak besar.
DAFTAR PUSTAKA Agus F, IG Made. 2009. Lahan Gambut Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Alrasyid. 2001. Uji coba silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ) di kelompok hutan Seruyan, Kalimantan Tengah. Buletin Hutan. 6 (2): 15–19. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Barchia MF. 2006. Gambut Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Bintang, B Rusman, Basyarudin, EM Harahap. 2005. Kajian subsidensi pada lahan gambut di Labuhan Batu Sumatera Utara. Jurnal Ilmiah IlmuIlmu Pertanian Agrisol. 4(1): 35–41. Medan: Universitas Sumatera Utara. Driessen PM. 1978. Peat Soils. Philippines: International Rice Research Institute. Elias, G Applegate, K Kartawinata, Machfudh, A Klassen. 2001. Pedoman Reduced Impact Logging Indonesia. Bogor: CIFOR. Goosen. 1967. Physiography and Soils. International Institute for Aerial Survey and Earth Science. Netherlands: Enschede.
206
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Hidayah PN. 2004. Perubahan tinggi muka air gambut akibat intensitas perubahan penutupan lahan hutan [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Diterbitkan. Pelangi. 2002. Hutan lindung dikorbankan untuk tambang: Akankah hutan di Indonesia tinggal kenangan? http://www.Pelangi.or.id. Diakses 8 Juni 2009. Wibisono ITC, L Siboro, INN Suryadiputra. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Bogor: Wetlands InternationalIP. Rachman AK. 1992. Pengelolaan tanah gambut ombrogen oleh petani di Pontianak. Prosiding Seminar Gambut I 9–10 September 1998. Hlm. 36–48. Yogyakarta. Ridlo R. 1997. Emisi CO2 pada pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah. Alami. 2(1): 57–58. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi. Suhartana S, Yuniawati. 2010a. Studi komparasi aplikasi penebangan ramah lingkungan di Riau dan Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 28(2): 119–129. Bogor: Pusat penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. ___________. 2010b. The Effect of Logging on Peat Land Conditions: A Case Study at a Peat Swamp Forest Company in Riau. Proceedings The First International Symposium of Indonesian Wood Research Society. ”Contribution of Scientific Profession Society on the Development of Wood Science and Technology in Indonesia”, date 2nd–3rd Novembe 2009 in Bogor, Indonesia. Pp. 300–306. Indonesia Wood Research Society. Bogor, Indonesia. __________, Yuniawati, Dulsalam. 2010. Pemanenan hutan berdampak minimal terhadap lingkungan di hutan lahan basah. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Tidak Diterbitkan. __________, Sukanda, Yuniawati, Dulsalam. 2008. Teknik pemanenan hutan ramah lingkungan di hutan tanaman lahan rawa gambut. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Tidak Diterbitkan. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
207
PEMAHAMAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA PEMANENAN KAYU DI SATU PERUSAHAAN HUTAN DI JAMBI* Oleh: Yuniawati dan Sona Suhartana** Email:
[email protected]
ABSTRAK Kegiatan pemanenan kayu berisiko besar terhadap kecelakaan kerja karena penggunaan peralatan mesin yang berat dan besar, lokasi areal hutan jauh dari pusat kesehatan, kondisi lahan terkadang bertopografi tidak selalu datar, serta cuaca Indonesia yang tidak menentu. Penelitian dilaksanakan di PT Wirakarya Sakti Jambi pada bulan Mei tahun 2010. Tujuan penelitian adalah mengetahui tingkat pemahaman pekerja pemanenan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Penelitian dilakukan melalui wawancara kepada sejumlah pekerja di lapangan dan studi pustaka. Hasil wawancara kemudian dianalisis menggunakan skala Likert. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pemahaman pekerja terhadap K3 di perusahaan ini menghasilkan kategori “baik” dengan skor rataan 4,13, sedangkan penyaradan, muat, bongkar, dan pengangkutan “sangat baik” masing-masing skor rataan yaitu 4,5, 4,3, 4,3 dan 4,7. Rendahnya nilai kategori K3 pada penebangan dan muat bongkar disebabkan rendahnya kesadaran pekerja menggunakan pakaian kerja lengkap K3 sehingga berakibat sering terjadi nyeri di mata dan kelelahan pada otot. Namun secara keseluruhan, penerapan K3 pada pemanenan kayu pada perusahaan tempat penelitian sudah baik. Hasil analisis korelasi, hubungan antara K3 terhadap produktivitas dan biaya untuk kedua teknik pemanenan kayu tidak ada beda nyata/tidak berkorelasi berarti menunjukkan pemahaman responden terhadap K3 dapat meningkatkan produktivitas dan penurunan biaya produksi. Pemahaman K3 dapat ditingkatkan melalui penerapan aturan yang tegas dan pemberian sangsi bagi yang melanggar. Kata kunci: Pemanenan kayu, kecelakaan kerja, nilai K3, produktivitas, biaya * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
I. PENDAHULUAN Pemanenan kayu merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengubah pohon atau memindahkan kayu dari satu tempat ke tempat lain, sehingga bermanfaat bagi kehidupan masyarakat (Departemen Kehutanan 1999; Suparto 1982). Pemanenan kayu terdiri dari kegiatan penebangan, penyaradan, muat bongkar, dan pengangkutan. Kegiatan tersebut sangat berisiko terhadap K3 para pekerja sehingga perlu upaya untuk mengatasinya. K3 dipandang penting di sektor kehutanan karena pengelolaan hutan termasuk dalam kategori kegiatan berisiko tinggi. Hal tersebut ditunjukkan Gani (1992) dengan data kecelakaan kerja pada kegiatan kehutanan 4 kali lebih besar dibandingkan dengan angka kecelakaan pada industri lain. Pemanenan kayu sebagai kegiatan mengeluarkan kayu dari dalam hutan dengan banyak tahapan dan penggunaan peralatan besar dan berat berisiko terhadap kecelakaan kerja. Kesalahan yang ditimbulkan akibat kelalaian dan ketidak sesuaian tindakan operator dengan ketentuan yang berlaku dapat menimbulkan masalah. Menurut Suma’mur (1981), kecelakaan adalah kejadian tak terduga dan tidak diharapkan serta mengakibatkan kerugian hilangnya hari kerja. Menurut Dessler (1997), terdapat tiga alasan dasar kecelakaan di tempat kerja, yaitu (1) kejadian yang bersifat kebetulan membantu terjadinya kecelakaan tetapi kurang lebih di luar kontrol manajemen; (2) kondisi tidak aman merupakan alasan utama dari kecelakaan; dan (3) tindakan-tindakan yang tidak aman dilakukan oleh pihak karyawan seperti membuang bahan berbahaya, bekerja dengan kecepatan tidak aman, dan membuat peralatan keamanan tidak beroperasi. Keselamatan kerja menunjukkan kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan kerja menunjukkan pada kondisi yang bebas dari gangguan fisik, mental, emosi, atau rasa sakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja (Mangkunegara 2001). Risiko keselamatan merupakan aspek-aspek dari lingkungan kerja yang dapat menyebabkan kebakaran, ketakutan, terpotong, luka memar, keseleo, patah tulang, kerugian alat tubuh, penglihatan, dan pendengaran. Semua itu sering dihubungkan dengan perlengkapan perusahaan atau lingkungan fisik dan mencakup tugas-tugas kerja yang membutuhkan pemeliharaan dan latihan.
210
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Kesehatan kerja adalah usaha untuk menciptakan keadaan lingkungan kerja yang aman dan sehat bebas dari bahaya kecelakaan di mana menunjukkan pada kondisi yang bebas dari gangguan fisik, mental, emosi, atau rasa sakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Keselamatan kerja merupakan keselamatan yang berhubungan dengan mesin, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, tempat kerja dan kondisi lingkungan (Santoso 2004). Risiko kesehatan dan keselamatan merupakan faktor-faktor dalam lingkungan kerja yang bekerja melebihi periode waktu yang ditentukan, lingkungan yang dapat membuat stres emosi atau gangguan fisik. Manfaat menerapkan K3 (Arep dan Tanjung 2004) yaitu: 1. Manfaat ekonomi, di mana dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas kerja yang nyaman dan aman serta motivasi kerja yang meningkat; 2. Manfaat psikologis, di mana dapat meningkatkan kepuasan kerja sehingga meningkatkan motivasi kerja dan selanjutnya akan meningkatkan produktivitas dan kualitas kerja. K3 secara filosofi adalah suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja. Dari aspek keilmuan, maka K3 dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Skala Likert berguna untuk menunjukkan tanggapan responden terhadap pernyataan yang diberikan. Skala ini dikembangkan oleh Rensis Likert (1932) dalam Nazir (2003) dikenal juga dengan nama skala sikap. Skala Likert merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam inventori kepribadian karena bentuknya yang sederhana dan mudah dalam penggunaan serta tidak sulit dalam melakukan skoring. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial (Ridwan dan Sunarto 2007). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman pekerja pemanenan tentang K3 di PT Wirakarya Sakti, Jambi.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
211
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2010 di areal kerja HPHTI PT Wirakarya Sakti, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Bahan yang digunakan adalah cat, kuas, tambang plastik, pita-phi, meteran, pengukur waktu (stopwatch). Alat yang digunakan adalah alat tulis, komputer dan chainsaw Stihl tipe 070, tallysheet, alat penyaradan, alat muat-bongkar, dan pengangkutan.
B. Prosedur Penelitian Penelitian dilaksanakan melalui tahap kegiatan sebagai berikut. 1. Melakukan wawancara secara langsung kepada responden dengan bantuan kuesioner untuk mengetahui tingkat pemahaman pekerja mengenai K3. Wawancara dilakukan pada pekerja penebangan, penyaradan, pengangkutan, dan muat-bongkar masing-masing 5 orang sehingga jumlah responden 20 orang. Pengambilan responden dilakukan dengan metode random sampling. 2. Pengukuran aspek K3 menggunakan skala Likert seperti disajikan pada Tabel 1 dan contoh bentuk kuesioner persepsi pekerja terhadap pelaksanaan K3 berdasarkan pengetahuan penebangan, penyaradan, muat=bongkar, dan pengangkutan disajikan pada Lampiran 1, 2, 3. 3. Data produktivitas dan biaya penebangan, penyaradan, muat-bongkar, dan pengangkutan diambil dari Suhartana et al. (2010). 4. Pengumpulan data sekunder meliputi keadaan umum lapangan, keadaan umum perusahaan, dan data penunjang lainnya yang dikutip dari perusahaan dan wawancara dengan karyawan.
C. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan skala Likert (Tabel 1) karena skala ini dapat digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompk orang. Di mana dilakukan pembobotan dengan nilai skor rataan yaitu hasil perkalian antara bobot nilai jawaban berdasarkan skala dengan jumlah jawaban responden, kemudian dibagi
212
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dengan jumlah responden. Berdasarkan nilai responden tersebut, maka posisi keputusan penilaian mempunyai rentang skala yang ditunjukkan pada Tabel 2. Kemudian untuk mengetahui hubungan antara K3 dengan produktivitas dan biaya pemanenan kayu dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson (Tabel 5). Tabel 1. Skala likert Jawaban responden Selalu/sangat mengetahui/sangat bisa Sering/mengetahui/bisa Kadang-kadang/cukup mengetahui/kurang bisa Pernah/tidak mengetahui/tidak bisa Tidak pernah/tidak penah mendengar/belum pernah mencoba
Bobot 5 4 3 2 1
Tabel 2. Nilai skor rataan Skor rataan 1,00–1,80 1,90–2,60 2,70–3,40 3,50–4,20 4,30–5,00
Keterangan Sangat buruk Buruk Cukup baik Baik Sangat baik
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi K3 pada Kegiatan Pemanenan Kayu Dalam kegiatan pemanenan kayu dibutuhkan berbagai perlengkapan dan keterampilan kerja yang memenuhi standar keselamatan kerja pekerja. Perlengkapan kerja tersebut meliputi penggunaan pelindung kepala/helm, kacamata pelindung (melindungi mata dari debu/serbuk gergaji/kayu), penutup telinga (melindungi dari kebisingan chainsaw, ekskavator), sarung tangan, dan sepatu boot. Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan responden pada areal penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian pekerja yang melengkapi diri mereka dengan perlengkapan kerja, itu pun tidak selengkap yang seharusnya. Perlengkapan K3 yang biasa mereka gunakan di lapangan (saat beraktivitas) yaitu helm, sarung tangan, dan sepatu boot. Penggunaan kacamata pelindung Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
213
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dan penutup telinga tidak pernah mereka gunakan. Dari hasil wawancara dengan operator chainsaw menyatakan bahwa mereka sering mengalami pusing kepala dan nyeri di mata terkadang sering merasakan nyeri otot. Hal ini menunjukkan bahwa kurang lengkapnya penggunaan alat pelindung kerja dapat mengurangi kesehatan pekerja yang pada akhirnya memengaruhi produktivitas kerja. Di setiap distrik yang ada di perusahaan selalu mencantumkan logo dan slogan untuk mengutamakan K3 bagi pekerja. Hal ini menunjukkan bahwa dari pihak perusahaan sebenarnya sangat memerhatikan K3 bagi karyawannya. Dapat dikatakan bahwa lingkungan kerja di perusahaan mendukung pekerjaan para karyawan. Dari 20 responden yang rata-rata usianya 25–40 tahun dengan pengalaman kerja 2–10 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Dari hasil wawancara dengan para pekerja menyatakan bahwa keterampilan kerja yang mereka miliki diperoleh dari adanya pelatihan oleh para Accesor lapangan (perusahaan). Pelatihan tersebut mereka peroleh satu tahun sekali. Namun yang menjadi permasalahan bagi pekerja adalah kelengkapan pakaian kerja tidak sepenuhnya tanggung jawab perusahaan tetapi kontraktor. Dari kuisioner, responden menjawab bahwa pengetahuan mereka cara menebang pada berbagai kondisi topografi, cara penggunaan alat, dan penyebab kickback termasuk baik.
B. Analisis K3 Pemanenan Kayu 3.
Hasil analisis dari K3 menggunakan skala Likert dapat dilihat pada Tabel
Tabel 3. Hasil jawaban responden pemanenan kayu tentang K3 Kegiatan Penebangan 1 2 3 4 5
214
(5) ST
(4) T
(3) CT
6 0 2 0 1
4 12 10 11 11
0 0 0 1 0
Rataan skor 54 : 12 = 4,5 48 : 12 = 4 50 : 12 = 4,17 47 : 12 = 3,91 49 : 12 = 4,08
Keterangan Sangat baik Baik Baik Baik Baik
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
(5) ST
(4) T
(3) CT
Penyaradan 1 2 3 4 5
5 4 5 3 3
3 4 3 5 5
0 0 0 0 0
Muat 1 2 3 4 5
37 : 8 = 4,63 36 : 8 = 4,5 37 : 8 = 4,63 35 : 8 = 4,38 35 : 8 = 4,38 22,52:5 = 4,50
Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik
1 2 4 3 5
6 7 5 5 4
2 0 0 1 0
Baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik
Bongkar 1 2 3 4 5
35 : 9 = 3,9 38 : 9 = 4,22 40 : 9 = 4,44 38 : 9 = 4,22 41 : 9 = 4,55 21,33 : 5 = 4,27
1 2 4 3 5
6 7 5 5 4
2 0 0 1 0
Baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik
Pengangkutan 1 7 2 5 3 6 4 6 5 7
35 : 9 = 3,9 38 : 9 = 4,22 40 : 9 = 4,44 38 : 9 = 4,22 41 : 9 = 4,55 21,33 : 5 = 4,27
2 3 3 3 2
0 0 0 0 0
43 : 9 = 4,77 37 : 9 = 4,11 42 : 9 = 4,66 42 : 9 = 4,66 43 : 9 = 4,77 22,97 : 5 = 4,59
Sangat baik Baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik
Kegiatan
Rataan skor
Keterangan
20,66 : 5 =4,13 Baik
Keterangan: ST (sangat tahu); T (tahu); CT (cukup mengetahui)
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
215
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dari hasil jawaban para responden yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada kegiatan penebangan, menghasilkan rataan skor 4,13 (baik) termasuk kriteria kegiatan pemanenan kayu dengan K3 yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pernyataan jawaban responden lebih dominan “tahu” daripada “sangat tahu”. Mengindikasikan bahwa pada perusahaan tersebut masih kurang memerhatikan aspek K3 bagi pekerja penebangan. Sementara untuk kegiatan penyaradan, muat-bongkar dan pengangkutan semuanya termasuk kategori sangat baik dengan masingmasing rataan skor 4,5, 4,3, 4,3, dan 4,6. Kuesioner yang diisi oleh pekerja menunjukkan bahwa pada kelompok penebangan dengan rata-rata usia 25–40 tahun dan pengalaman kerja maksimal 10 tahun (2 orang) rataan skor masuk kategori “baik”. Walaupun pengalaman kerja mereka sudah lama, tetapi kesadaran terhadap K3 mereka masih rendah. Hal tersebut dilihat dari kurang lengkapnya pakaian K3 yang harus digunakan.
C. Produktivitas dan Biaya Pemanenan Kayu Tabel 4. Rata-rata produktivitas dan biaya pemanenan Penebangan Teknik terkontrol Biaya Produktivitas (Rp/m3) (m3/jam) 11.230 5,918.8 Penyaradan Teknik terkontrol Biaya Produktivitas (Rp/m3.hm) (m3.hm/jam) 38.941 9,076.3 Muat Teknik terkontrol Biaya Produktivitas (Rp/m3.m) (m3.m/jam) 466.844 893.8 Bongkar Teknik terkontrol Biaya Produktivitas (Rp/m3.m) (m3.m/jam) 523.476 783.3
216
Produktivitas (m3/jam)
Teknik setempat Biaya (Rp/m3) 10.120 6,606.1
Teknik setempat Produktivitas Biaya (m3.hm/jam) (Rp/m3.hm) 33.779 10,395.5
Produktivitas (m3.m/jam)
Teknik setempat Biaya (Rp/m3.m) 455.912 915.0
Produktivitas (m3 m/jam)
Teknik setempat Biaya (Rp/m3.m) 509.518 804.7
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Penebangan Teknik terkontrol Teknik setempat Pengangkutan Teknik terkontrol Teknik setempat Biaya Produktivitas Biaya Produktivitas (Rp/m3.km) (m3km/jam) (Rp/m3.km) (m3.km/jam) 258.146 1,111.7 234.951 1,220.4 Sumber: Suhartana et al. (2010)
Tabel 4 menunjukkan bahwa kegiatan penebangan dan muat bongkar menghasilkan rata-rata produktivitas yang rendah dibanding penyaradan dan pengangkutan. Sementara itu rata-rata biaya produksi pemanenan kayu adalah bervariasi, seperti kita ketahui bahwa produktivitas berbanding terbalik dengan biaya produksi. Dengan demikian semakin rendah produktivitas pemanenan kayu, maka semakin tinggi biaya produksinya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan menerapkan K3 dapat meningkatkan produktivitas kerja. Penerapan K3 tersebut dapat mengurangi kelelahan kerja dan kecelakaan kerja. Seperti yang dikatakan para pekerja, bahwa selama ini mereka memang diberikan pelatihan dari perusahaan dan pada awal kerja telah diberikan pakaian kerja lengkap K3. Namun mereka merasa kurang nyaman dan gerah setiap menggunakan pakaian kerja lengkap K3. Akibatnya, dari pengalaman kerja salah seorang operator chainsaw, sudah 5 tahun lebih merasakan pegal dan cedera otot setiap selesai melakukan penebangan. Hal ini jelas menunjukkan bahwa karena tidak terbiasa menggunakan sarung tangan (yang dapat meredam getaran chainsaw) berakibat timbulnya cedera di masa akan datang. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produktivitas kerja pemanenan kayu di perusahaan tersebut maka perlu adanya penerapan peraturan yang tegas dan tepat kepada pekerja tentang K3 melalui pengawasan yang ketat dari pihak mandor dan pemberian sangsi apabila peraturan tersebut dilanggar.
D. Korelasi K3 dengan Produktivitas dan Biaya Produksi Pemanenan Kayu Analisis hubungan antara K3 dengan produktivitas dan biaya pemanenan kayu dilakukan menggunakan uji korelasi pearson disajikan pada Tabel 5.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
217
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 5. Hubungan antara K3 dengan produktivitas dan biaya pemanenan kayu No
Kegiatan
Nilai korelasi
Produktivitas Biaya TT = 0,280 TT = 0,298 TS = 0,110 TS = 0,122 Penyaradan TT = 0,359 TT = 0,339 TS = 0,782 TS = 0,769 Muat TT = 0,359 TT = 0,339 TS = 0,782 TS = 0,769 Bongkar TT = 0,042 TT = 0,042 TS = 0,925 TS = 0,925 Pengangkutan TT = 0,179 TT = 0,660 TS = 0,961 TS = 0,928
Angka Taraf signifikan nyata
1 Penebangan
0,00
0,05
2
0,00
0,05
0,00
0,05
0,00
0,05
0,00
0,05
3 4 5
Hubungan antara K3 dengan PK Produktivitas Biaya Tidak ada Tidak ada korelasi korelasi Tidak ada Tidak ada korelasi korelasi Tidak ada Tidak ada korelasi korelasi Ada korelasi, ada korelasi, postif negatif Tidak ada Tidak ada korelasi korelasi
Tabel 5 menunjukkan bahwa hanya kegiatan bongkar yang memiliki korelasi positif untuk produktivitas dan negatif untuk biaya baik teknik TG maupun TS. Hubungan yang berkorelasi tersebut dapat dilihat dari nilai sig = 0,00 < taraf nyata = 0,05 maka keputusan yang diambil tolak Ho (-). Hal ini berarti bahwa pemahaman responden terhadap K3 mengenai produktivitas (TG, TS) dan biaya (TG,TS) berbeda nyata/ada korelasi. Maksudnya pemahamam K3 pada responden/operator alat bongkar bisa dikatakan belum dapat meningkatkan produktivitas dan pengurangan biaya produksi. Untuk kegiatan penebangan, penyaradan, muat, dan pengangkutan tidak memiliki hubungan korelasi atau tidak terdapat perbedaan yang nyata antara K3 dengan pemanenan kayu. Artinya pada 4 kegiatan tersebut pemahaman responden terhadap K3 dapat meningkatkan produktivitas dan penurunan biaya produksi Dari hasil analisis korelasi Pearson secara keseluruhan bahwa tingkat pemahaman responden terhadap K3 untuk peningkatan produktivitas dan penurunan biaya termasuk tinggi, di mana nilai korelasi untuk K3 terhadap produktivitas (TG, TS) masing-masing adalah 0,684 dan 0,642 dan biaya (TG,TS) masing-masing adalah 0,454 dan 0,471 dengan taraf nyata 0,05 karena pvalue pada masing-masing kegiatan lebih besar dari alpha 5% maka tidak tolak Ho artinya tidak ada korelasi.
218
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
IV. KESIMPULAN 1. Rata-rata pemahaman pekerja terhadap K3 di perusahaan ini menghasilkan kategori “baik” dengan skor rataan 4,13, sedangkan penyaradan, muat, bongkar, dan pengangkutan “sangat baik” masing-masing skor rataan yaitu 4,5; 4,3; 4,3; dan 4,7. 2. Rendahnya nilai kategori K3 pada penebangan dan muat bongkar disebabkan rendahnya kesadaran pekerja menggunakan pakaian kerja lengkap K3, sehingga berakibat sering terjadi nyeri di mata dan kelelahan pada otot. Namun secara keseluruhan penerapan K3 pada pemanenan kayu pada perusahaan tempat penelitian sudah baik. 3. Hasil analisis korelasi, hubungan antara K3 terhadap produktivitas dan biaya untuk kedua teknik pemanenan kayu tidak ada beda nyata/tidak berkorelasi berarti menunjukkan pemahaman responden terhadap K3 dapat meningkatkan produktivitas dan penurunan biaya produksi 4. Pemahaman K3 dapat ditingkatkan melalui penerapan aturan yang tegas dan pemberian sangsi bagi yang melanggar.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1992. Cost Control in Forest Harvesting and Road Construction. FAO Forestry Paper 99. Anonim. 2010. Rencana Kerja Tahunan Tahun 2010. Jambi: PT Wirakarya Sakti. Arep I, H Tanjung. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Universitas Trisakti. Departemen Kehutanan. 1999. UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta. Dessler G. 1997. Manajemen Sumber Daya manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gani S. 1992. Ketenagakerjaan dan Keselamatan Kerja. Bogor.: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Mangkunegara AAAP. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
219
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: .Ghalia Indonesia. Ridwan, Sunarto H. 2007. Pengantar Statistika. Bandung: Alfabeta. Santoso G. 2004. Manajeman K3. Jakarta: Prestasi Pustaka. Suhartana S, Yuniawati, Dulsalam. 2010. Pemanenan Hutan Berdampak Minimal Terhadap Lingkungan Di Hutan Lahan Basah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Tidak Diterbitkan. Suma’mur PK. 1981. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: PT Gunung Agung. Steel RGD, JH Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics. New York: McGraw-Hill Book Co., Inc. 633 pp. Suparto RS. 1982. Pemanenan Hasil Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. pp 56.
220
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lampiran 1. Kuesioner K3-penebangan Nama Umur Pendidikan Terakhir Pengalaman Kerja (Tahun) Daerah Asal No. 1
: : : : :
Pernyataan
Mengetahui cara merencanakan arah rebah pohon 2 Mengetahui jarak aman (batas zone penebangan) 3 Mengetahui cara menebang pada beragam kondisi topografi 4 Mengetahui kebutuhan alat kerja sesuai volume kerja 5 Mengetahui peralatan pendukung harus tersedia 6 Mengetahui cara pemeliharaan alat 7 Mengetahui cara penggunaan chainsaw 8 Mengetahui cara pengoperasiaan alat 9 Mengetahui teknik penebangan sesuai petunjuk teknis 10 Mengetahui aspek penyebab kickback 11 Mengetahui besar pendapatan berpengaruh terhadap cara kerja 12 Mengetahui besar pendapatan berpengaruh terhadap hasil kerja
ST
Tanggapan T CT TT TPD
Keterangan: ST = Sangat tahu, T = Tahu, CT = Cukup tahu, TT = Tidak tahu, TPD = Tidak pernah dengar
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
221
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lampiran 2. Kuesioner K3-penyaradan Nama Umur Pendidikan Terakhir Pengalaman Kerja (Tahun) Daerah Asal
: : : : :
No.
Pernyataan
1
Mengetahui cara menyarad sesuai kondisi topografi di lokasi Mengetahui cara memperkecil kerusakan tegakan tinggal Mengetahui cara pengoperasian alat Mengetahui penggunaan kelengkapan K3 Mengetahui cara menyarad sesuai arah sarad Mengetahui cara pemeliharaan alat Mengetahui besar pendapatan berpengaruh terhadap cara kerja Mengetahui besar pendapatan berpengaruh terhadap hasil kerja
2 3 4 5 6 7 8
ST
Tanggapan T CT TT
TPD
Keterangan: ST = Sangat tahu, T = Tahu, CT = Cukup tahu, TT = Tidak tahu, TPD = Tidak pernah dengar
222
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lampiran 3. Kuesioner K3-pengangkutan Nama Umur Pendidikan Terakhir Pengalaman Kerja (Tahun) Daerah Asal
: : : : :
No.
Pernyataan
1
Mengetahui penggunaan alat angkut yang efisien dan efektif Mengetahui kondisi jalan angkut disesuaikan cuaca saat pengangkutan Mengetahui penggunaan alat sesuai kapasitas kemampuan Mengetahui peraturan keselamatan lalu lintas angkut Mengetahui batas maksimum beban muatan Mengetahui waktu yang tepat melakukan pengangkutan Mengetahui penggunaan kelengkapan K3 Mengetahui besar pendapatan berpengaruh terhadap cara kerja Mengetahui besar pendapatan berpengaruh terhadap hasil kerja
2 3 4 5 6 7 8 9
ST
T
Tanggapan CT TT
TPD
Keterangan: ST = Sangat tahu, T = Tahu, CT = Cukup tahu, TT = Tidak tahu, TPD = Tidak pernah dengar
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
223
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lampiran 4. Kuesioner K3-muat-bongkar Nama Umur Pendidikan Terakhir Pengalaman Kerja (Tahun) Daerah Asal No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
: : : : :
Pernyataan Mengetahui penggunaan alat MB yg efisien dan efektif Mengetahui kondisi alat muat bongkar Mengetahui penggunaan alat sesuai kapasitas kemampuan Mengetahui cara pemeliharaan alat MB Mengetahui batas maksimum beban muatan Mengetahui cara melakukan kegiatan MB yang memperhatikan K3 Mengetahui penggunaan kelengkapan K3 Mengetahui besar pendapatan berpengaruh terhadap cara kerja Mengetahui besar pendapatan berpengaruh terhadap hasil kerja
ST
Tanggapan T CT TT
TPD
Keterangan: ST = Sangat tahu, T = Tahu, CT = Cukup tahu, TT = Tidak tahu, TPD = Tidak pernah dengar
224
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
PEMANFAATAN LIMBAH PENGGERGAJIAN MENJADI PRODUK CINDERAMATA DALAM MENUNJANG INDUSTRI KREATIF* Oleh: Achmad Supriadi** Email:
[email protected]
ABSTRAK Industri kreatif adalah sekumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan pengetahuan dan informasi. Berbagai inovasi teknologi sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan industri kreatif. Salah satu aktivitas masyarakat yang menunjang industri kreatif adalah pembuatan produk cinderamata. Keberadaan produk ini berkaitan erat dengan perkembangan sektor pariwisata suatu daerah karena banyak wisatawan mencari berbagai produk cinderamata sebagai buah tangan sekembalinya mereka ke daerah asal. Pembuatan produk cinderamata dengan memanfaatkan limbah penggergajian berupa sebetan kayu dan sisa-sisa potongan kayu merupakan suatu kegiatan kreatif yang positif karena selain ramah lingkungan. Kegiatan ini juga meningkatkan nilai tambah limbah kayu dan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Makalah ini menyajikan tentang pemanfaatan limbah penggergajian menjadi produk cinderamata khususnya di Carita Banten. Pengumpulan data meliputi luas hutan sebagai sumber kayu dan industri penggergajian sebagai sumber limbah kayu, proses pembuatan produk cinderamata dari limbah kayu, dan kemungkinan tantangan pengembangannya. Kata kunci: Limbah penggergajian, produk cinderamata, industri kreatif, hutan
I. PENDAHULUAN Sumber pendapatan Negara Indonesia berasal dari dua sumber besar yaitu penerimaan dari minyak dan gas (migas), serta penerimaan dari * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
nonminyak dan gas (nonmigas). Penerimaan dari sektor migas terus menurun seiring dengan semakin menurunnya kemampuan sumber-sumber penghasil migas, sehingga penerimaan dari sektor ini sudah tidak lagi menjadi andalan pendapatan Negara. Pemerintah bermaksud menggenjot konstribusi sektor non migas terhadap produk domestik bruto (PDB) dari 23% pada tahun 2008 menjadi 30% pada tahun 2020. Pemerintah berharap peran industri pengolahan nonmigas dapat menjadi motor utama penciptaan nilai tambah dalam perekonomian (Indopos 15 Juli 2009). Harapan pemerintah ini akan sulit dilakukan pada sektor kehutanan khususnya pada industri pengolahan kayu. Jika industri pengolahan kayu ditingkatkan kapasitasnya, akan membutuhkan bahan baku kayu yang lebih banyak lagi. Padahal industri ini banyak mengalami kekurangan bahan baku terutama kayu bundar karena semakin menurunnya suplai kayu bundar terutama dari hutan alam. Kebutuhan bahan baku kayu tahun 2008 sekitar 50.000.000 m3, sedangkan realisasi produksi kayu bulat sebesar 31.491.584 m3 (Anonim 2009a). Kemungkinan yang dapat dilakukan adalah mendorong kegiatan usaha pemanfaatan limbah kayu yang dihasilkan dari industri pengolahan kayu dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan efisiensi pemanfaatan kayu. Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang penting dalam menunjang perkembangan ekonomi suatu negara. Keberadaan sektor ini erat kaitannya dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh Negara tersebut. Indonesia, terkenal kaya dengan berbagai tempat wisata alam berupa pegunungan, pantai, dan berbagai ragam corak budaya suku bangsa yang menarik. Dengan masuknya wisatawan dari mancanegara, menjadikan sektor ini penting dalam menunjang PDB di Indonesia yaitu berupa pendapatan devisa bagi negara. Sebagai contoh para wisatawan melakukan kunjungan ke Yogyakarta mengeluarkan berbagai komponen biaya, antara lain untuk akomodasi yang biasanya merupakan pengeluaran tertinggi, pembelian cinderamata, makanan, transportasi, pertunjukkan, dan lain-lain (Supriadi 2008). Wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata banyak yang mencari sesuatu produk yang khas hasil buatan daerah setempat sebagai oleh-oleh (buah tangan) sekembalinya mereka ke daerah asal. Oleh-oleh yang diinginkan biasanya bersifat khas, menarik, ringan, dan mudah dibawa. Pembuatan produk cindera mata dari kayu sudah lazim
226
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dilakukan pengrajin dengan menggunakan bahan baku berupa kayu bulat (dolok). Dari dolok kayu dibuat berbagai jenis produk cinderamata dalam berbagai ukuran. Jenis dan ukuran produk disesuaikan dengan kondisi dolok yang digunakan. Tulisan ini menyajikan pembuatan produk cinderamata dengan menggunakan limbah kayu dari perusahaan penggergajian kayu. Tujuannya adalah memberikan gambaran tentang pemanfaatan limbah kayu menjadi suatu produk bernilai tambah tinggi dan meningkatkan efisiensi penggunaan kayu.
II. METODE PENELITIAN Pengumpulan data meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari lokasi penelitian, sedangkan data sekunder diperoleh melalui telusuran pustaka. Data yang dikumpulkan antara lain luas dan potensi hutan di Provinsi Banten, potensi limbah kayu dari industri penggergajian di Carita, proses pembuatan produk cinderamata dan kemungkinan tantangan pengembangannya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Keberlangsungan produksi suatu perusahaan ditentukan oleh kemampuan perusahaan tersebut dalam mengolah berbagai komponen/faktor produksi menjadi suatu barang sesuai dengan keinginan konsumen. Salah satu faktor tersebut adalah sumber bahan baku. Demikian juga keberlangsungan suatu industri pengolahan kayu erat kaitannya dengan kemampuan industri tersebut dalam memperoleh bahan baku kayu dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Dengan demikian kondisi hutan sekitar turut mendukung terhadap penyediaan bahan baku kayu bagi industri setempat.
A. Luas Hutan dan Potensi Kayu Keberadaan hutan di Provinsi Banten memegang peranan penting sebagai sumber bahan baku kayu bagi industri pengolahan kayu setempat. Provinsi Banten memiliki hutan baik milik negara maupun hutan rakyat. Luas areal hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa BaratBanten adalah 253.218,27 ha yang terdiri atas 208.161,27 ha berupa daratan dan 45.057,0 ha perairan. Produksi kayu secara ekonomis diusahakan di kawasan hutan produksi seluas 72.292,58 ha, terbagi ke dalam 6 (enam) kelas perusahaan yaitu jati, mahoni, akasia mangium, damar, meranti dan payau, Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
227
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
pada umumnya didominasi oleh kelas umur muda (Anonim 2009b). Luas kawasan hutan di Provinsi Banten disajikan pada Tabel 1 (Anonim 2010). Tabel 1. Luas kawasan hutan di Provinsi Banten
1
Hutan produksi
72.292,58
Persentase terhadap luas kawasan hutan daratan (%) 34,73
2
Hutan lindung
9.471,39
4,55
3
Kawasan konservasi
171.454,30
60,72
No.
Fungsi kawasan hutan
Luas (ha)
a. KSA dan KPA (daratan)
126.397,30
b. KSA dan KPA (perairan) Luas kawasan hutan (daratan)
45.057,00 208.161,27
Luas kawasan hutan daratan dan perairan
253.218,27
100
Selain hutan negara, Provinsi Banten juga memiliki hutan rakyat. Luas hutan rakyat tahun 2004 menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten tercatat 7.882,25 ha (Anonim 2004). Sementara luas hutan rakyat indikatif di propinsi Banten tahun 2008 adalah 322.152,59 ha dengan potensi kayu/tegakan mencapai 9.011.156,44 m3. Besaran potensi ini cukup mendukung terhadap ketersediaan kayu bagi industri penggergajian setempat. Hutan rakyat didominasi oleh jenis pohon sengon, durian, tangkil, jati, mahoni, dan lain-lain (Anonim 2010). Luas hutan rakyat indikatif di Provinsi Banten disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Luas hutan rakyat di Provinsi Banten tahun 2008 No. Kabupaten 1 Kota Tangerang 2
Lebak
3
Pandeglang
4
Serang
5
Tangerang Jumlah
228
Luas (ha) Keterangan kayu/tegakan 143,46 Potensi mencapai 9.011.156,44 m3 158.058,46 108.255,12 37.111,11 18.584,44 322.152,59
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Bahan baku industri cinderamata dapat menggunakan berbagai jenis kayu. Menurut Lelana et al. (2006), jumlah produksi dari berbagai jenis kayu di Kabupaten Pandeglang tahun 2004 sebesar 31.248,78 m3. Kondisi hutan rakyat di Provinsi Banten cukup mendukung terhadap kegiatan enam industri penggergajian di Kecamatan Carita Banten.
B. Potensi Limbah Kayu dari Industri Penggergajian Di Kecamatan Carita terdapat 6 (enam) unit penggergajian kayu dengan kapasitas yang hampir sama dan satu unit penggergajian kayu kelapa. Jenis kayu yang digergaji antara lain kayu durian (Durio zibethinus Murr.), kecapi (Sandoricum koetjape Merr.), limus (Mangifera sp.), jeungjing (Paraserianthes falcataria Niel.), manii (Maesopsis eminii Engl.), dan sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.). Dari kegiatan penggergajian kayu dihasilkan limbah berupa sebetan kayu sekitar 0,5 m3/hari/unit penggergajian, sehingga dari enam unit penggergajian dihasilkan limbah sebetan sekitar 3 m3/hari atau 750 m3/tahun. Sementara itu potensi limbah industri penggergajian kayu kelapa berupa sebetan 0,6 m3/hari atau 150 m3/tahun. Dengan demikian potensi limbah indutri penggergajian kayu dan kayu kelapa yang terdapat di Kecamatan Carita sekitar 3,6 m3/hari atau 900 m3/tahun (Lelana et al. 2006). Potensi limbah ini akan lebih besar lagi bila memperhitungkan limbah yang dihasilkan dari industri penggergajian di berbagai kecamatan lainnya di Propinsi Banten.
C. Proses Pembuatan Produk Cinderamata dari Limbah Kayu Proses pembuatan produk cinderamata dari limbah kayu diawali dengan pengambilan/pengangkutan limbah kayu berupa sebetan dan sisa-sisa potongan kayu dari industri penggergajian. Di lokasi tempat pembuatan cinderamata, limbah tersebut kemudian dipilah-pilah menurut ukuran limbah. Jenis dan ukuran produk cinderamata yang akan dibuat disesuaikan dengan ukuran limbah yang diperoleh. Selanjutnya dibuat bentukan pada limbah kayu sesuai dengan pola yang telah dibuat. Setelah terbentuk produk cinderamata tertentu, kemudian dilakukan pengampelasan agar permukaan produk menjadi halus. Produk cinderamata setengah jadi siap untuk dipasarkan atau dilanjutkan dengan finishing (pengecatan atau dipernis). Pada pembuatan produk cinderamata dari limbah kayu di Carita Banten baru sampai tahap barang setengah jadi dengan hasil kurang baik sampai cukup baik. Rendemen berkisar 20–50% terhitung dari limbah kayu. Foto contoh
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
229
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
peralatan dan proses pembuatan cinderamata disajikan pada lampiran, sedangkan skema proses pembuatan produk cinderamata dari limbah kayu disajikan pada Gambar 1.
D. Tantangan Usaha Pembuatan Cinderamata dari Kayu Limbah Industri Rintisan usaha pembuatan produk cinderamata memiliki beberapa kelemahan, antara lain keterbatasan modal, keterbatasan mesin, peralatan dan prasarana lainnya, serta minimnya keahlian. Tantangan terbesar untuk berkembangnya usaha ini adalah diperlukan adanya dana operasional yang cukup, peningkatan jumlah mesin, dan peralatan untuk kelancaran proses produksi, serta peningkatan keahlian para pekerja. Usaha ini membutuhkan tenaga kerja yang memiliki keahlian, ketelitian dan ketekunan dalam memahat/ mengukir kayu untuk menjadi berbagai produk yang menarik. Faktor tenaga kerja menjadi faktor yang “sensitif” karena seiring dengan perkembangan Propinsi Banten yang pesat menciptakan peluang bagi penduduk sekitarnya terutama para pemuda untuk bertarung hidup di perkotaan. Kondisi ini dapat saja terjadi pada pemuda setempat, kemungkinan mereka lebih tertarik untuk hijrah ke kota dan meninggalkan usaha pembuatan cinderamata.
230
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Sebetan dan sisa-sisa potongan kayu
Pemilahan
Bentukan sesuai pola
Pengampelasan
Barang setengah jadi
Finishing
Konsumen Gambar 1. Skema proses pembuatan produk cinderamata dari limbah kayu Dukungan (polical will) pemerintah daerah dan dukungan penyandang dana (perbankan) sangat diharapkan untuk pengembangan usaha ini karena usaha ini bersifat ramah lingkungan, mengurangi tingkat pengangguran, dan mendukung sektor pariwisata sehingga dapat meningkatkan pendapatan bagi negara (pemda). Dukungan dari perbankan antara lain pemberian berbagai kemudahan dalam memperoleh paket untuk industri kecil dan mikro ini. Dari segi persaingan pasar, industri cinderamata di Carita saat ini hanya sebuah (Lelana et al. 2006), sehingga peluang pasar masih sangat terbuka untuk berbagai produk cinderamata dari limbah kayu tersebut.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
231
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
III. KESIMPULAN DAN SARAN Keberlangsungan usaha pembuatan cinderamata dari limbah kayu bergantung kepada kondisi hutan dan industri penggergajian setempat. Luas hutan di Provinsi Banten tahun 2008 meliputi hutan negara 253.218,27 ha dan hutan rakyat indikatif 322.152,59 ha dengan potensi kayu/tegakan mencapai 9.011.156,44m3. Potensi limbah indutri penggergajian kayu dan kayu kelapa yang terdapat di Kecamatan Carita sekitar 3,6 m3/hari atau 900 m3/tahun. Potensi ini cukup mendukung terhadap ketersediaan bahan baku bagi usaha cinderamata dari limbah kayu. Produk yang dihasilkan kurang baik sampai cukup baik. Rendemen berkisar 20–50% terhitung dari limbah kayu. Tantangan terbesar untuk berkembangnya usaha ini adalah diperlukan adanya dana operasional yang cukup, peningkatan jumlah mesin dan peralatan untuk kelancaran proses produksi, peningkatan keahlian para pekerja dan dukungan pemerintah daerah. Peluang pasar masih sangat terbuka karena baru ada satu unit pengrajin penghasil produk cinderamata dari kayu di Carita Banten.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Penyusunan Potensi Hutan Rakyat. Serang: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten. ----------. 2009a. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan. ----------. 2009b. Statistik tahun 2004–2008. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten. ----------. 2010. Potret Hutan Provinsi Banten. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IX Jawa-Madura. Yogyakarta: Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan. Indopos, 15 Juli 2009. Lelana EN, Jasni, Ismanto A. 2006. Potensi Bahan Baku Kayu dan Kemungkinan Pengembangan Industri Cinderamata di Carita. Info Hasil Hutan 12(1). Bogor.
232
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Supriadi A. 2008. Persepsi Konsumen Cinderamata Kayu di Daerah Istimewa Yogyakarta. Economicus 1(1). Bogor. Supriadi A. 2008. Potensi dan peluang pemanfaatan kayu dari hutan rakyat di propinsi Banten. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XI. 8–10 Agustus 2008. pp. 1011–1014. Palangkararaya. Kalimantan Tengah.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
233
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lampiran
Gambar 1. Satu set alat ukir kayu
Gambar 2. Proses pengerjaan cinderamata dari limbah kayu pola
234
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
BEBERAPA JENIS TUMBUHAN PENGHASIL SEDIAAN BAHAN PENGAWET KAYU* Oleh: Agus Ismanto dan Achmad Supriadi** Email:
[email protected] dan
[email protected]
ABSTRAK Teknologi pengawetan kayu sudah lama dikenal oleh masyarakat. Bahan pengawet yang digunakan pada umumnya berupa bahan kimia tunggal atau campuran. Bahan pengawet tersebut memiliki beberapa kelemahan antara lain kurang ramah lingkungan, sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan peliharaan. Bahan pengawet kayu dapat juga dibuat dari tumbuhan yang diduga berpotensi mengandung bahan aktif sebagai pencegah rayap perusak kayu. Proses pembuatannya relatif sederhana sehingga mudah dilakukan oleh masyarakat. Tulisan ini menyajikan beberapa jenis tumbuhan di Indonesia, yang diduga mengandung bahan aktif pestisida nabati antara lain mimba (Azadirachta indica), sirsak (Annona muricata), nona sebrang (Annona glabra), bengkuang (Pachyrrhizus erosus Urban), jeringau (Acorus calamus L.), dan tuba (Derris eliptica (Roxb.) Benth.). Kandungan bahan aktif dari tumbuhan tersebut adalah azadirachtin, anonain, asimisin, pachyrrhizin, asaron, dan rotenon. Bahan aktif tersebut berperan sebagai racun kontak dan racun perut bagi serangga perusak kayu, sehingga dapat digunakan sebagai bahan alternatif pengawet kayu. Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran pustaka. Kata kunci: Jenis tumbuhan, pengawet kayu nabati, serangga perusak kayu
I. PENDAHULUAN Bahan pengawet kayu adalah bahan kimia yang berfungsi mencegah serangan organisme perusak kayu. Penggunaan bahan pengawet pada kayu bertujuan untuk melindungi kayu dari serangan organisme perusak seperti rayap tanah, rayap kayu kering, bubuk kayu kering, bubuk kayu basah * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013 ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
(kumbang ambrosia), serta jamur. Penggunaannya dapat memperpanjang umur pakai kayu yang pada akhirnya dapat menghemat pemakaian kayu. Bahan pengawet kayu dapat berupa bahan kimia tunggal, campuran atau dari tumbuhan (nabati). Masing-masing bahan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bahan pengawet kayu kimiawi relatif murah dan mudah mendapatkannya, akan tetapi memerlukan syarat pembelian yang ketat, sehingga tidak setiap orang bisa bebas membelinya. Sementara bahan pengawet kayu dari nabati mudah diperoleh di alam, mudah dibuat, relatif aman karena mempunyai sifat tidak meracuni (nontoksik), dan mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan. Dengan demikian, bahan pengawet nabati cocok untuk negara-negara yang mempunyai keterbatasan teknologi maju. Indonesia kaya akan berbagai jenis tumbuhan penghasil bahan pengawet nabati, yaitu kira-kira 2.400 jenis tumbuhan dari 235 famili (Kardinan 1999). Famili Asteraceae, Meliaceae, Euphorbiaceae, Anonaceae banyak mengandung bahan pestisida nabati (Rejesus 1986 dalam Kardinan 1999). Pestisida ini dimasukkan ke dalam kelompok pestisida biokimia karena mengandung bio toksin yang secara alami dapat mengendalikan hama perusak kayu dengan mekanisme nontoksik. Tumbuhan banyak mengandung bahan kimia yang merupakan metabolit sekunder. Bahan tersebut digunakan oleh tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu yang oleh para ahli disebut sebagai bahan bioaktif. Banyaknya 2.400 jenis tumbuhan penghasil bahan pengawet kayu nabati, ditambah dengan proses pembuatan yang sederhana dan murah, memberikan peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai pengawet nabati. Makalah ini menyajikan tentang jenis dan bagian tanaman yang dapat berperan sebagai bahan pengawet kayu nabati, kandungan bahan aktif, dan proses pembuatannya.
236
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
II. JENIS TUMBUHAN PENGHASIL SEDIAAN BAHAN PENGAWET KAYU Beberapa jenis tumbuhan dan bagian tanamannya mengandung bahan pengawet kayu antara lain mimba (Azadirachta indica), sirsak (Annona muricata), nona sebrang (Annona glabra), srikaya (Annona squamosa), dan tembakau (Nicotiana tabacum).
A. Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Mimba termasuk famili Meliaceae, merupakan salah satu tanaman hutan yang termasuk golongan tanaman serba guna (multipurposes tree species) dan tumbuh pada ketinggian 1–100 m dpl. Pohon ini dapat mencapai ketinggian 10–15 m. Daun mimba bersirip genap berbentuk tombak bergerigi. Buah lonjong membulat sebesar biji kacang tanah. Buah yang masih muda berwarna hijau dan yang sudah tua berwarna kuning. Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai pengawet kayu adalah biji dan daunnya. Biji dan daun dapat berperan sebagai insektisida, antifeedant, pengganggu pertumbuhan, anti fertilitas/chemosterilant (pemandul), pengganggu proses penggantian kulit serangga dan penghambat proses pembentukan serangga dewasa (growth inhibitor) (Basunando 2012).
B. Sirsak (Annona muricata L.) Sirsak termasuk famili Annonaceae, merupakan pohon dengan tinggi dapat mencapai 8 meter, batang berkayu, bulat, dan bercabang. Daun tunggal berbentuk bulat telur atau lanset dengan ujung runcing dan tepi rata, panjang antara 6–18 cm dan lebar 2–6 cm, berwarna hijau kekuningan. Buah majemuk berbentuk bulat telur, panjang antara 15–35 cm, diameter 10–15 cm, berwarna hijau. Biji bulat telur, keras berwarna hitam. Tanaman sirsak dapat tumbuh hampir di semua tempat sampai ketinggian sekitar 900 m dpl. Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pengawet kayu adalah biji dan daun. Biji dan daun sirsak dapat berperan sebagai insektisida, larvasida, repellent (penolak) dan anti-feedant (penghambat makan) dengan cara kerja sebagai racun kontak dan racun perut (Kardinan 1999).
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
237
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
C. Buah nona sebrang (Annona glabra L.) Buah nona sebrang termasuk famili Annonaceae, merupakan perdu tahunan atau berupa pohon kecil dengan tinggi antara 2–5 m, dengan percabangan batang rendah. Tanaman ini tumbuh baik di daerah topis dan subtropis pada tanah berbatu, kering, dan terkena sinar matahari langsung. Nona sebrang dapat tumbuh pada ketinggian 1–800 m dpl. Tumbuhan tersebut umumnya tumbuh di daerah rawa dan sepanjang tepi aliran sungai. Daunnya berbentuk bulat memanjang, bagian bawah dan tengah helaian daun melebar, ujungnya meruncing pendek. Panjang daun 5–8 cm dengan warna permukaan hijau tua. Buah berbentuk oval, tanpa duri, dan berwarna kuning jika matang, rasanya tidak enak dan berbiji banyak dengan warna biji kuning kecokelatan (Bailey 1913). Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pengawet kayu adalah bijinya. Biji nona sebrang mengandung bahan aktif squamosin dan asimisin (Dadang dan Priyono 2008).
D. Bengkuang (Pachyrrhizus erosus Urban) Bengkuang adalah tanaman semusim, tumbuh merambat dengan cara melilitkan batangnya kekiri. Daun majemuk, satu tangkai berisi 3 lembar, daun berwarna hijau tua berbentuk bulat telur dengan bagian tepi rata serta ujung meruncing, pangkal daun tumpul, tulang daun menyirip, dan pada permukaan daun terdapat bulu. Panjang daun antara 7–10 cm, dengan lebar 5–9 cm (Depkes 1985). Bunganya berbentuk kupu-kupu berwarna ungu atau putih, merupakan bunga majemuk yang berbentuk tandan dengan panjang antara 15–25 cm dan tersusun indah dalam tangkai yang memanjang dengan panjang 0,5 cm. Buahnya berupa polong berwarna hijau lumut sampai cokelat, bentuknya mirip polong buncis, satu polong biasanya berisi 4–9 biji. Biji berbentuk pipih, persegi sampai bulat dengan ukuran 3–9 mm (Lingga et al. 1993). Akar tanaman berupa umbi yang berwarna putih berbentuk gasing dengan diameter 5–15 cm (Heyne 1987).
E. Jeringau (Acorus calamus L.) Jeringau termasuk famili Araceae merupakan herba menahun dengan tinggi sekitar 75 cm. Tanaman ini biasa hidup di tempat yang lembap seperti rawa, pada semua ketinggian tempat. Batang basah, pendek, membentuk
238
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
rimpang, dan berwarna putih kotor. Daun tunggal, berbentuk lanset, ujung runcing, tepi rata. Panjang daun sekitar 60 cm, lebar sekitar 5 cm, dan berwarna hijau. Bunga majemuk berbentuk bonggol, ujung meruncing, panjang bunga 20–25 cm, terletak di ketiak daun dan berwarna putih (Kardinan 1999). Bagian tumbuhan yang mengandung bahan pengawet kayu adalah rimpangnya. Bentuk rimpang jeringo agak bulat beruas-ruas, dengan jarak antar ruas panjangnya 1–3 cm. Panjang rimpang antara 15–60 cm, dengan dikelilingi banyak akar serabut dan dapat mencapai panjang 60–70 cm saat umur 2 tahun (Indo 1972). Sementara menurut Heyne (1987), ukuran rimpang jeringau yang masih segar sebesar kelilingking, bagian dalam berwarna putih, aromanya seperti bau rempah, rasanya tajam tetapi tidak pedas, sedikit pahit. Rimpang jeringau dapat digunakan dalam dua bentuk, yaitu berbentuk tepung dan minyak. Tumbuhan ini bersifat sebagai insektisida, repellent, antifeedant, dan anti fertilitas/chemosterilant (pemandul), dengan cara kerja sebagai racun kontak dan perut. Di Malaysia rimpang jeringau dimanfaatkan untuk membasmi rayap, sedangkan di Philipina untuk mengusir walangsangit. Di Tiongkok dan India dimanfaatkan untuk membasmi beberapa jenis kutu. Sementara di Indonesia dimanfaatkan untuk mengendalikan hama gudang makanan (Sitophilus sp.) (Kardinan 1999).
F. Tuba (Derris eliptica (Roxb. Benth.) Tuba termasuk famili Papilionaceae, merupakan perdu memanjat dengan tinggi dapat mencapai 10 m. Batang berkayu bercabang monopodial dengan warna batang hijau ketika muda dan setelah tua berwarna cokelat kekuningan. Daun majemuk, helaian anak daun berbentuk bulat telur, ujung runcing, tepi rata, pangkal tumpul, pertulangan menyirip, panjang daun antara 15–25 cm dan lebar 5–8 cm, berwarna cokelat saat muda, dan hijau ketika tua. Buahnya polong berbentuk bulat telur, bersayap, panjang antara 3,5–7 cm, diameter sekitar 2 cm berwarna cokelat muda. Biji bulat diameter sekitar 1 cm dan berwarna cokelat. Tuba dapat tumbuh baik di semak-semak, hutan atau dipinggiran sungai, pada ketinggian antara 1–700 m dpl (Kardinan 1999). Bagian tumbuhan yang mengandung bahan pengawet kayu adalah akarnya. Akar tuba dapat digunakan sebagai insektisida penghambat metabolisme dan sistem saraf yang bekerja secara perlahan serta anti-feedant. Akar tuba sangat beracun terhadap hama gudang pangan (Callosobruchus analis) (Kardinan 1999). Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
239
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
III. KANDUNGAN BAHAN AKTIF DAN CARA PEMBUATAN SEDIAAN A. Kandungan Bahan Aktif 1. Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Senyawa bahan aktif yang dikandung mimba adalah Azadirachtin (C35H44O6), meliantriol, dan salanin. Bahan aktif ini terdapat di semua bagian tanaman dan tertinggi di bagian biji sekitar 35–45%. Pembuatan insektisida dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dengan menghaluskan biji atau daun mimba, lalu mencampur dengan air. Dapat pula merendam 25 gram tepung biji mimba yang dicampur 10–20 liter air dan dibiarkan selama 24 jam. Mimba mempunyai spektrum yang luas, efektif untuk mengendalikan serangga bertubuh lunak seperti rayap tanah, rayap kayu kering, dan bubuk kayu kering (Basunando 2012). 2. Sirsak (Annona muricata L.) Senyawa bahan aktif yang dikandung sirsak adalah annonain. Bahan aktif ini terdapat pada buah yang mentah, biji, daun, dan akar sirsak. Bijinya mengandung minyak antara 42–45% (Kardinan 1999). Pada konsentrasi 25% dapat membunuh rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus (Nurlailly 1999) dan bubuk kayu kering Heterobostrychus aequalis sampai 100% (Yuliastuti 1999). Untuk membunuh rayap tanah Coptotermes curvignathus 100% diperlukan konsentrasi ekstrak biji nona sebrang 75% (Margiyana 1999). 3. Nona sebrang (Annona glabra L.) Bahan aktif yang banyak terkandung di dalam biji nona sebrang adalah asimisin, squamosin, dan desasetiluvarisin. Ketiga bahan aktif tersebut termasuk senyawa asetogenin yang bersifat insektsidal dan vermisidal. Bahan aktif tersebut terdapat pada biji, buah yang mentah, dan daun (Ohsawa et al. 1991). Menurut Priyono et al. (1994), ekstrak biji nona sebrang dapat menimbulkan pengaruh pada serangga seperti menghambat perkembangan, menghambat aktivitas makan, dan bersifat letal terhadap larva.
240
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
4. Bengkuang (Pachyrrhizus erosus Urban.) Bagian tumbuhan yang mengandung bahan pengawet kayu (insektisida) adalah daun, batang, akar, polong masak, dan biji. Senyawa racun yang terkandung dalam biji bengkuang, yaitu rotenon dan pachyrrhizin. Rotenon mempunyai mekanisme kerja menghambat proses metabolisme (Burkill 1935). Sementara pachyrrhizin bekerja menghambat aktivitas enzim kolinesterase, yaitu menghambat loncatan transmisi rangsang pada sambungan saraf. Selain mengandung kedua bahan aktif tersebut, biji bengkuang juga mengandung senyawa 1-isoflavanon, 2-3-fenilfurano kumarin, erosenon, 1-2-α-hidroksil, munduseron, dan 1-2-α–hidroksi eroson (Sasongko 1987). 5. Jeringau (Acorus calamus L.) Bagian tanaman jeringau yang mengandung bahan aktif adalah rimpangnya. Bahan aktif yang dikandung jeringau terdiri atas asaron, kolamenol, kolamen, kolameon, metil eugenol, dan eugenol dengan besarnya persentase berturutturut 82%, 5%, 4%, 1%, 1 %, dan 0,3% (Kardinan 1999). 6. Tuba (Derris eliptica (Roxb.) Benth. Akar tuba mengandung bahan aktif rotenon, yang termasuk ke dalam golongan flavonoid. Selain itu akar tuba juga mengandung deguilin, tefrosin, dan toksikarol. Rotenon adalah racun kuat bagi insekta dan ikan, oleh karena itu akar tuba yang telah kering digunakan sebagai insektisida. Akar tuba yang tumbuh secara liar mempunyai kandungan rotenon yang rendah (0,5%). Akar tuba yang telah dibudidayakan mengandung rotenon yang cukup tinggi (12– 13%). Akar tuba dengan diameter 2–10 mm mempunyai kandungan rotenon paling tinggi, sedangkan akar yang lebih besar kadang-kadang kadar rotenonnya sudah tidak ada lagi (Wesphal dan Jansen 1986 dalam Edy 1996). Rotenon 15 kali lebih toksik dibandingkan dengan nikotin dan 25 kali lebih toksik dibandingkan dengan kalium ferrosianida. Namun demikian, rotenon sedikit atau tidak ada efeknya terhadap manusia atau hewan berdarah panas (Hill 1952). Rotenon berwujud kristal berwarna putih sampai kuning, tidak berbau, dan larut dalam pelarut polar tetapi tidak larut dalam air. Akan tetapi rotenon dalam larutan organik tertentu terurai setelah perubahan waktu terutama oleh sinar matahari, radiasi ultra violet, serta oksidasi (Tarumingkeng 1992). Dalam penggunaannya, rotenon efektif terhadap banyak hama khususnya serangga resisten, misalnya Artona catoxantha, Plutella xylostella, Crocidolomia binotalis, Helopelthis sp., Dasynus piperis, dan Thrips sp. (Ratnawati 1986).
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
241
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
B. Cara Pembuatan Sediaan Semua bagian tumbuhan yang mengandung bahan aktif seperti biji, buah mentah, daun maupun akar dijemur sampai kering. Khusus untuk biji setelah kering kemudian dikupas, biji yang telah dikupas maupun buah mentah, daun, dan akar dihaluskan menggunakan blender, bila perlu dapat dipotong-potong terlebih dahulu. Setelah halus, bahan pengawet nabati tersebut ditempatkan pada sebuah wadah. Dalam wadah tersebut kemudian ditambahkan etanol teknis 95% dan didiamkan selama 3 hari. Selanjutnya disaring dengan menggunakan kain kasa halus. Ekstrak yang berupa cairan kental berwarna cokelat kemudian diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator untuk menghilangkan etanol. Selanjutnya ekstrak siap digunakan. Penggunaannya adalah dengan cara ekstrak tersebut terlebih dahulu diencerkan dengan air. Ekstrak yang telah diencerkan tersebut kemudian dilaburkan pada seluruh permukaan kayu yang akan diawetkan. Pelaburan ekstrak diulangi lagi sampai 3 kali.
IV. HASIL UJI EFEKTIVITAS TERHADAP SERANGGA Hasil uji efektivitas jenis dan bagian tanaman menunjukkan bahwa ekstrak biji mimba konsentrasi 15% dapat membunuh rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus (Nurlailly 1999) dan bubuk kayu kering Heterobostrychus aequalis sampai 100% (Ismanto 2010). Ekstrak biji sirsak pada konsentrasi 75% sudah membunuh rayap tanah Coptotermes curvignathus mencapai 100% dan terhadap bubuk kayu kering Heterobostrychus aequalis pada konsentrasi 25% sudah dapat membunuh 100% (Windayani 1999). Sementara terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus untuk mencapai mortalitas 100% harus menggunakan konsentrasi 100% (Nurrahmah 1999). Ekstrak daun sirsak pada konsentrasi 75% mampu membunuh rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus 50% (Irawati et al. 2007). Pada konsentrasi 75% ekstrak biji bengkuang dapat membunuh rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus sampai 100%, sedangkan terhadap bubuk kayu kering Heterobostrychus aequalis pada konsentrasi 50% dapat membunuh 100% (Purnama 1999). Pada konsentrasi 55% dapat membunuh rayap tanah Coptotermes curvignathus sampai 100% (Komariah 1999). Ekstrak akar tuba konsentrasi 25% dapat membunuh 90% rayap tanah Coptotermes curvignathus (Ismanto dan Sumarni 2000) dan 90% rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus pada konsentrasi 50% (Setiyowati 1999).
242
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
V. PENUTUP Teknologi pengawetan kayu berbasis bahan kimia sudah lama dikenal oleh masyarakat. Berbagai jenis tumbuhan mengandung bahan aktif sebagai pengawet kayu nabati antara lain mimba, sirsak, buah nona sebrang, bengkuang, jeringau, dan akar tuba. Ekstrak dari tumbuhan mimba, sirsak, nona sebrang, bengkuang, jeringau, dan tuba dapat membunuh rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. Tumbuhan nona sebrang, bengkuang, dan tuba dapat membunuh rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren. Sedangkan mimba, nona sebrang dan bengkuang dapat membunuh bubuk kayu kering Heterobostrychus aequalis Wat. Proses pembuatan pengawet kayu nabati relatif sederhana, mudah dilakukan oleh masyarakat, sehingga berpeluang menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Bailey.1913. The Standard Cyclopedia of Horticulture. Vol. I. Mac Millan, New York. Basunando. 2012. Masih perlukah pestisida alam? Bakti Rimba Edisi ke 1/ Tahun I/2012. Buletin Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. Burkill JH.1935. A Dictionary of the Economic Product of Malay Peninsula. London: Millibank. Dadang, D Priyono. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan dan Pengembangan. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman. Faperta IPB.. Departemen Kesehatan RI. 1985. Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Depkes. Edy D. 1996. Pengujian efikasi ekstrak akar tuba (Derris eliptica (Roxb.) Benth.) terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light [Skripsi]. S1 THH Fahutan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II (Terjemahan). Jakarta: Badan Litbang Kehutanan, Dephut. Hill AF. 1952. Economic Botany. A Text Books of Usefull Plants and Plan Product. New York: Mc. Graw Hill Book Co.Inc. Second Edition. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
243
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Irawati D, SN Marsoem, A Ismanto. 2007. Uji larutan ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) sebagai bahan pengawet kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) terhadap serangan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI X. 9-11 Agustus. 2007 hal 113–117. Pontianak. Ismanto A. 2010. Efektifitas ekstrak biji nona sebrang dan mimba sebagai pencegah serangan larva. Prosiding Seminar Nasional Biologi. 10 Desember 2009 hal. 142–147. Yogyakarta. -----------, Nurhartati. 2009. Efikasi ekstrak jeringau terhadap rayap kayu kering. Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman. 5–6 Agustus 2009 hal. 125–129. Bogor. -----------, Sumarni. 2000. Pengaruh bahan pengekstrak dan tingkat konsentrasi ekstrak akar tuba terhadap serangan rayap tanah. Prosiding Seminar MAPEKI III tanggal 22–23 Agustus 2000 hal. 127–131. Jatinangor, Bandung. Kardinan A. 1999. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Cetakan Kesatu. Jakarta: Penebar Swadaya. Komariah. 1999. Efikasi ekstrak biji bengkuang (Pachyrrhizus erosus Urban.) terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. Skripsi S-1 Jurusan THH, Fahutan UNWIM Bandung. Tidak dipublikasikan. Lingga P, M Sukawidana, J Sugito. 1993. Bertanam Umbi-umbian. Jakarta:. Penebar Swadaya. Margiyana YS. 1999. Efikasi ekstrak biji buah nona sebrang (Annona glabra L.) terhadap serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light [Skripsi]. S-1 Jurusan THH, Fahutan UNWIM Bandung. Tidak dipublikasikan. Nurlailly R. 1999. Ekstrak biji mimba (Azadirachta indica A. Juss) dan biji buah nona sebrang (Annona glabra L.) serta efikasinya terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light [Skripsi] S1 Jurusan THH, Fahutan UNWIM Bandung. Tidak dipublikasikan.
244
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Nurrahmah GP. 1999. Pengaruh ekstrak biji sirsak (Annona muricata L.) dan ekstrak biji bengkuang (Pachyrrhizus erosus Urban.) terhadap serangan serangga perusak kayu [Skripsi]. S-1 Jurusan THH, Fahutan UNWIM Bandung. Tidak dipublikasikan. Ohsawa K, S Atsuzawa, T Mitsui, I Yamamoto. 1991. Isolation and insecticidal activity of tree acetogenins from seeds of pond apple (A. glabra L.). J. Pest. Sci. 16: 93–96. Prijono D. 1994. Teknik pemanfaatan insektisida botanis. Pelatihan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan para teknisi dalam manajemen penelitian Pengendalian Hama Terpadu. Faperta IPB Bogor. Purnama R. 1999. Pengaruh ekstrak biji bengkuang (Pachyrrhizus erosus Urban.) terhadap serangan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. dan bubuk kayu kering Heterobostrychus aequalis [Skripsi]. S-1 Jurusan THH, Fahutan UNWIM Bandung. Tidak dipublikasikan. Ratnawati E. 1986. Penelitian pembuatan bahan aktif pestisida dari sumber hayati. Buletin Penelitian Balai Besar Industri Kimia. No. 34 (1985/1986): 1–9. Jakarta. Sasongko DHS. 1987. Isolasi dan karakteristik pachyrrhizin dari biji bengkuang Pachyrrhizus erosus Urban. serta studi mekanisme reaksi hambatannya terhadap enzim tripsin dan kolinesterase [Skripsi]. S-1. Jurusan Kimia, FMIPA-ITB. Bandung. Hal 1–47. Setiyowati H. 1999. Pengaruh ekstrak buah picung (Pangium edule Reinw.) dan akar tuba (Derris eliptica (Roxb.) Benth.) terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light [Skripsi]. S-1 Jurusan THH, Fahutan UNWIM Bandung. Tidak dipublikasikan. Tarumingkeng RC. 1992. Insektisida: Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. Jakarta: Ukrida Press. Windayani. 1999. Pengaruh ekstrak biji sirsak (Annona muricata L.) terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan bubuk kayu kering Heterobostrychus aequalis Wat [Skripsi]. S-1 Jurusan THH, Fahutan UNWIM Bandung. Tidak dipublikasikan.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
245
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Yuliastuti Y. 1999. Efikasi ekstrak mimba (Azadirachta indica A. Juss) dan biji buah nona sebrang (Annona glabra L.) terhadap serangan bubuk kayu kering Heterobostrychus aequalis Wat [Skripsi]. S-1 Jurusan THH, Fahutan UNWIM Bandung. Tidak dipublikasikan.
246
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
JERNANG (Dragon’s Blood) BERPOTENSI SEBAGAI ANTIOKSIDAN DAN KOAGULAN* Oleh: Totok K. Waluyo dan Gunawan Pasaribu** Email:
[email protected]
ABSTRAK Jernang adalah resin berwarna merah merupakan hasil sekresi buah rotan jernang. Jernang yang berasal dari Indonesia di pasaran Internasional dikenal dari jenis Daemonorops sp. Jernang banyak dimanfaatkan untuk obat-obat tradisional. Untuk itu dilakukan evaluasi fitokimia, uji aktivitas antioksidan dan antikoagulasi tiga jenis jernang, yaitu jernang kalamuai (Daemonorops longipes Mart), Jernang rambai (Daemonorops draco BL.), dan jernang umbut (Daemonorops melanochaetes BL.). Uji aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH (1,1-difenil-2-pikril-hidrazil) dan uji aktivitas antikoagulasi menggunakan darah kelinci. Hasil evaluasi ekstrak jernang menunjukkan bahwa ketiga jenis jernang mengandung golongan senyawa flavonoid, triterpenoid, tanin yang berpotensi sebagai antioksidan. Potensi tertinggi sebagai antioksidan adalah jernang kalamuai (D. longipes Mart) dengan nilai IC50 71,89 + 3,89 mgL-1. Ekstrak etil asetat jernang berpotensi sebagai prokoagulasi darah, terutama ekstrak etil asetat jernang kalamuai (D. longipes Mart.). Kata kunci: Jernang, pelarut organik, fitokimia, antioksidan, antikoagulasi
I. PENDAHULUAN Jernang (dragon’s blood) adalah resin berwarna merah hasil sekresi buah rotan (Daemonoropsfamili Aracaceae). Jernang jenis ini berasal dari Indonesia dan semenanjung Malaysia. Di samping itu ada jernang yang berasal dari jenis lainnya, yaitu Dracaena famili Dracaenaceae berasal dari Kepulauan Canary, Croton famili Euphorbiaceae berasal dari Afrika Selatan, dan Pterocarpus famili Fabaceae (Pearson and Prendergast 2001; Pearson 2002). Jernang dari 3 famili tersebut (Dracaenaceae, Euphorbiaceae, dan Fabaceae) terdapat pada * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
bagian batang pohon dan untuk mendapatkannya dengan cara disadap (Yi et al. 2011). Jernang termasuk ke dalam kelompok resin keras, yaitu padatan yang mengkilat, bening, atau kusam, rapuh, meleleh bila dipanaskan, serta mudah terbakar dengan mengeluarkan asap dan bau yang khas. Sumadiwangsa (1973) dan Coppen (1995) juga memasukkan jernang ke dalam kelompok resin keras, berwarna merah, berbentuk amorf, berat jenis (BJ) 1,18–1,20; bilangan asam rendah, bilangan ester sekitar 140, titik cair sekitar 120˚C, larut dalam alkohol, eter, minyak lemak, dan minyak atsiri, sebagian larut dalam kloroform, etil asetat, petroleum spiritus, dan karbon disulfide, serta tidak larut dalam air. Kegunaan jernang sebagai bahan pewarna pernis, keramik, marmer, alat dari batu, kayu, rotan, bambu, kertas, cat, dan sebagainya. Selain itu, jernang telah digunakan sebagai obat tradisional sejak beberapa abad yang lalu. Pemanfaatan sebagai obat antara lain antiseptik, merangsang sirkulasi darah, antimikroba, antivirus, antitumor, obat luka, dan lain-lain (Gupta et al. 2008). Untuk mengetahui potensi manfaat obat dari jernang yang berasal dari buah rotan, maka dilakukan skreening fitokimia, uji aktivitas antioksidan, dan uji aktivitas antikoagulasi darah secara in vitro.
II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium pengolahan HHBK Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH) Bogor dan di laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB Bogor.
B. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam penelitian 3 jenis resin jernang yaitu rambai (Daemonorops draco BL.), kalamuai (Daemonorops longipes Mart.), dan umbut (Daemonorops melanochaetes Blume) berasal dari Kabupaten
248
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Sarolangun, Jambi. Selanjutnya untuk uji aktivitas antikoagulasi digunakan 5 ekor kelinci. Bahan kimia yang digunakan antara lain metanol, etil asetat, heksana, warfarin, 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), dimethyl sulfoxide (DMSO), pereaksi Meyer, Dragendorf, Wagner, dan Lieberman-Buchard. Alat-alat yang digunakan adalah peralatan kaca, penguap putar, botol uji (vial), neraca analitik, spektrofotometer, soklet, stopwatch, dan lain-lain.
C. Metode 1. Ekstraksi jernang Resin jernang yang digunakan berasal dari 3 jenis rotan, yaitu rambai (D. draco BL.), kalamuai (D. longipes Mart.), dan umbut (D. melanochaetes Blume). Resin diekstraksi menggunakan pelarut metanol, etil asetat dan heksana masing-masing sebanyak 5 gram. Ekstraksi menggunakan metode maserasi yang dikembangkan oleh Hashimoto et al. (1985). Rendemen ekstraksi dihitung menggunakan rumus sebagai berikut. Kadar resin (%) =
berat ekstrak berat sampel
Gambar 1. Buah rotan jernang
X 100%
Gambar 2. Resin jernang
2. Skreening fitokimia Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak jernang, yaitu alkaloid, steroid, flavonoid, tanin, saponin, dan triterpenoid. Metode uji yang digunakan menurut Harborne (1987), Niranjan et al. (2010), dan Xu et al. (2012). Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
249
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
a. Alkaloid Sebanyak 1 g ekstrak dilarutkan dalam 10 ml CHCl3 dan beberapa tetes NH4OH kemudian disaring. Filtratnya (ekstrak CHCl3) dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup dan dikocok dengan 10 tetes H2SO4 2 M sampai terbentuk 2 lapisan. Lapisan asam (tak berwarna) diteteskan pada lempeng tetes lalu ditambahkan pereaksi Meyer, Wagner, dan Dragendorf yang akan menimbulkan berturut-turut endapan putih, cokelat, dan merah jingga.
b. Saponin Sebanyak 1 g ekstrak dididihkan dengan 25 ml etanol selama 25 menit, disaring dalam keadaan panas, kemudian pelarut diuapkan sampai kering. Residu dikocok kuat dengan CHCl3, ditambahkan air suling lalu dibiarkan sampai terbentuk 2 lapisan. Sebanyak 1 ml lapisan air dikocok selama 1 menit. Terbentuknya busa yang tidak hilang dalam 5 menit menandakan adanya saponin. c. Steroid dan Triterpenoid Lapisan kloroform pada uji saponin diteteskan pada lempeng tetes dan dibiarkan kering. Ditambahkan 3 tetes anhidrat asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat (pereaksi Liebermann Buchard). Terbentuknya warna merah atau ungu menunjukkan kandungan senyawa triterpernoid, sedangkan warna hijau atau biru menunjukkan kandungan steroid.
d. Flavonoid Sebanyak 0,1 g ekstrak ditambahkan 10 mL air panas dan dididihkan selama 5 menit. Setelah itu, disaring dan filtratnya digunakan untuk pengujian. Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 0,5 g serbuk Mg, 1 mL HCl pekat, dan 1 mL amil alkohol, lalu dikocok kuat. Warna merah/ kuning/jingga pada lapisan alkohol menunjukkan kandungan flavonoid.
e. Tanin Sebanyak 0,1 g ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 10 mL air panas dan dikocok sampai dingin. Setelah itu, ditambahkan 4 tetes NaCl 10%, disaring, dan filtratnya dibagi dua. Filtrat pertama diberi 5 tetes gelatin 1%, endapan putih menunjukkan kandungan tanin. Filtrat kedua diberi 5 tetes FeCl3 1%, warna hijau-kebiruan menunjukkan kandungan tanin.
250
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
3. Aktivitas antioksidan Pengujian antioksidan dilakukan berdasarkan metode Arung (2006), di mana sebanyak 467 µl etanol dimasukkan dalam cuvvet lalu ditambahkan 33 µl ekstrak yang telah dilarutkan dengan DMSO kemudian dikocok secara perlahan. Setelah larutan tercampur merata, ditambahkan 500 µl DPPH (1,1- difenil - 2 - pikril - hidrazil) 0,0027% (b/v) lalu diinkubasi selama 30 menit. Selanjutnya diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada gelombang 514 nm. Aktivitas antioksidan dapat ditentukan melalui dekolorisasi dari DPPH. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai IC50, yaitu konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH. 4. Aktivitas antikoagulasi Metode uji aktivitas antikoagulasi darah secara in vitro menggunakan darah kelinci yang dikembang oleh Koffuor dan Amoateng (2011).
a. Jangka waktu pendarahan (kelinci) sebagai kontrol Jangka waktu pendarahan berarti lama/waktu darah menjadi beku. Kelinci sehat ditusuk telinganya dengan jarum hingga mengeluarkan darah dan diamati berapa lama darah kelinci tersebut mengalir. Untuk mengetahui darah mengalir dan berhenti mengalir, yaitu dengan cara menempelkan kertas tisu/kertas saring pada luka tusukan setiap 5 detik. Lama darah mengalir dicatat.
b. Jangka waktu pendarahan (kelinci setelah diberi warfarin) Warfarin adalah antikoagulan yang beredar di pasaran. Warfarin merupakan terapi oral antikoagulasi salah satunya untuk pencegahan gangguan kardiovaskuler (Miura et al. 2009; Nicolls et al. 2010). Kelinci diberi warfarin (0,75–1,5 mg/kg berat kelinci), setelah 30 menit kelinci ditusuk telinganya dengan jarum dan diamati berapa lama darah mengalir dengan cara seperti di atas.
c. Jangka waktu darah beku (darah kelinci setelah diberi ekstrak jernang) Kemampuan ekstrak jernang untuk menghambat atau mempercepat koagulasi darah dilakukan secara in vitro. Darah kelinci sebanyak 1 ml diambil dari telinga yang ditusuk jarum dimasukkan dalam tabung reaksi
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
251
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dan ditambahkan 0,2 ml ekstrak jernang (5% dan 10% b/v). Selanjutnya tabung tersebut dimasukkan ke waterbath dengan suhu 37˚C dan diamati berapa lama darah menjadi beku. Uji antikoagulasi ini dilakukan sebanyak 5 kali ulangan. 5. Analisis data a. Ekstrak jernang disebut sebagai bahan antioksidan apabila besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai IC50 kurang dari 200 mg L-1 b. Ekstrak jernang berfungsi atau tidak berfungsi sebagai antikoagulasi darah apabila lama darah menjadi beku memerlukan waktu yang lebih lama dibanding kontrol, sama, atau lebih lama dibandingkan dengan darah yang diberi warfarin. Analisis data menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), di mana parameter yang diamati adalah waktu yang diperlukan hingga darah menjadi beku (Clotting time), sedangkan perlakuan ada 8 (kontrol, warfarin, ekstrak jernang rambai) (konsentrasi 5% dan 10%), ekstrak jernang kalamuai (konsentrasi 5% dan 10%), dan ekstrak jernang umbut (konsentrasi 5% dan 10%). Persamaan rancangan sebagai berikut. Yij = µ + αi + ε, Di mana :
Yij = respons clotting time terhadap perlakuan µ = nilai rataan umum αi = pengaruh faktor perlakuan ke-i (i = 1,2,.....8) ε = error j = 1, 2, .....5 (ulangan) Hasil analisis berupa sidik ragam dan bila hasilnya menunjukkan adanya perbedaan, maka dilakukan uji lanjut menggunakan uji perbandingan ratarata Newman-Keuls (Mattjik dan Sumertajaya 2002).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Jernang Rendemen ekstrak jernang dari 3 jenis rotan menggunakan 3 pelarut yaitu metanol (polar), etil asetat (semi polar), dan heksana (nonpolar) tercantum pada Tabel 1. Rendemen tertinggi ekstrak jernang menggunakan pelarut etil asetat di mana etil asetat termasuk pelarut semi polar dan terendah
252
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
pelarut heksana. Dengan demikian senyawa-senyawa yang terkandung pada resin jernang banyak mengandung senyawa-senyawa semi polar dan sedikit senyawa-senyawa nonpolar. Dalam proses ekstraksi bahan menggunakan pelarut organik yang akan dihasilkan senyawa-senyawa yang mempunyai tingkat kepolaran sama dengan pelarutnya (Harborne 1987; Achmadi 1992). Rendemen ekstrak tertinggi adalah jernang kalamuai 97,34% (pelarut etil asetat), sedangkan rendemen terendah jernang rambai 10,20% (pelarut heksana). Tabel 1. Rendemen ekstrak resin jernang Jernang Kalamuai Rambai Umbut
Rendemen ekstrak jernang (%) Pelarut metanol Pelarut etil asetat 93,07 97,34 85,14 90,34 86,41 90,40
Pelarut heksana 12,67 10,20 11,16
B. Skreening Fitokimia Skreening fitokimia merupakan analisis awal suatu bahan tumbuhan untuk mengetahui golongan-golongan senyawa yang dikandung, sehingga dapat dengan mudah memperkirakan pemanfaatannya. Tumbuhan banyak mengandung bahan hasil metabolisme sekunder yang berguna untuk bahanbahan obat seperti golongan alkaloid, terpenoid, flavonoid, dan lain-lain (Harborne 1987; Tiwari et al. 2011). Ekstrak 3 jenis jernang menggunakan pelarut metanol, etil asetat terdeteksi mengandung senyawa golongan flavonoid dan triterpenoid. Sementara tanin terdeteksi pada ekstrak jernang umbut menggunakan pelarut etil asetat (Tabel 2). Senyawa golongan flavonoid adalah kelompok senyawa polyphenol yang secara alami banyak terdapat pada buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji, bunga, daun, kulit pohon, dan lain-lain. Manfaat senyawa flavonoid antara lain sebagai antibakteri, antivirus, antiimflamasi, antialergi, antikanker, antioksidan, dan lain-lain (Cook et al. 1996). Senyawa-senyawa flavonoid yang terkandung pada jernangasal china telah teridentifikasi yaitu dracorhodin, 4,6 – dihydroxy - 2 – methoxy – 3 methyldihydrochalcone, 4,6 – dihydroxy – 2 –methoxy – 3 - methylchalcone, (2S) - 5,7 – dihydroxy - dihydroflavone, (2S)
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
253
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
– 5 –methoxyflavan – 7 - ol dan (2S) – 5 – methoxy – 6 – methyl – flavan – 7 - ol (Yi et al. 2012). Tabel 2. Skreening fitokimia ekstrak metanol, etil asetat, dan heksana jernang Jernang kalamuai
Senyawa Kimia
Jernang rambai
Jernang umbut
Ekstrak Ekstrak Ekstrak Ekstrak Ekstrak Ekstrak Ekstrak Ekstrak Ekstrak metanol etil asetat heksana metanol etil asetat heksana metanol etil asetat heksana
Alkaloid Steroid Flavonoid Tanin Saponin Triterpenoid
+ +
+ +
-
+ +
+ +
-
+ +
+ + +
-
Keterangan: + ada; - tidak ada Kelompok senyawa triterpenoid terdiri atas lebih 4.000 senyawa. Senyawa triterpenoid bermanfaat untuk antiimflamasi, hepatoprotektif, analgesik, antimikroba, dan lain-lain (Dzubak et al. 2006). Kelompok senyawa tanin bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah tinggi, antikarsinogen, antimutasigen, antimikroba, dan lain-lain (Chung et al. 1998). Berdasarkan hasil skreening fitokimia 3 jenis resin jernang yang mengandung senyawa flavonoid, triterpenoid, dan tanin, maka jernang berpotensi sebagai antibakteri, antivirus, antiimflamasi, antialergi, antikanker, antioksidan, analgesik, hepatoprotektif, antikarsinogen, menurunkan darah tinggi, dan antimutasigen.
C. Aktivitas Antioksidan Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat memberikan satu atau lebih atom hidrogen pada radikal bebas, sehingga aktivitasradikal bebas tersebut dapat diredam. Antioksidan memiliki peranan yang cukup penting bagi kesehatan khususnya dalam mempertahankan tubuh dari kerusakan sel akibat adanya spesies radikal bebas. Berdasarkan sumbernya, terdapat antioksidan alami dan sintetik. Antioksidan alami mampu melindungi tubuh
254
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dari kerusakan yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif. Antioksidan alami umumnya memiliki gugus fenolik dalam struktur molekulnya (Sunarni 2005). Antioksidan sintetik seperti butil hidroksi toluena (BHT), butil hidroksi anisol (BHA), dan t-butil hidro kuinon (TBHQ) dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Selain itu, antioksidan sintetik mempunyai kelarutan yang rendah dibandingkan dengan antioksidan alami (Barlow 1990). Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak jernang tercantum pada Tabel 3. Ekstrak metanol 3 jenis jernang (kalamuai, rambai, dan umbut) berpotensi sebagai antioksidan, sedangkan ekstrak etil asetat hanya pada jernang kalamuai yang berpotensi sebagai antioksidan. Ekstrak heksana untuk ketiga jernang tidak berpotensi sebagai antioksidan. Hal ini berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Blouis (1958), bahwa suatu bahan dapat berpotensi sebagai antioksidan yang kuat jika memiliki nilai IC50 kurang dari 200 mgL-1. Semakin kecil nilai IC50-nya, menunjukkan semakin besar aktivitas antioksidannya (Molyneux 2004). Tabel 3. Aktivitas antioksidan ekstrak jernang Jernang Kalamuai Rambai Umbut
Ekstrak Metanol Etil asetat Heksana Metanol Etil asetat Heksana Metanol Etil asetat Heksana
IC50 (mgL-1) 76,59 + 3,84 71,89 + 3,89 5635 + 273,88 117,63 + 3,02 260,64 + 1,70 1851,8 + 32,21 103,20 + 6,98 218,38 + 2,73 7131 + 231,41
Dengan demikian ekstrak etil asetat jernang kalamuai yang sangat berpotensi sebagai antioksidan dengan nilai IC50 71,89 mgL-1. Secara umum ketiga jenis jernang berpotensi sebagai antioksidan, hal ini sama dengan jernang dari Pterocarpus famili Fabaceae, Dracaena famili Dracaenaceae, dan Croton famili Euphorbiaceae (Silva et al. 2010; Gupta et al. 2011).
D. Aktivitas Antikoagulasi Hasil uji aktivitas antikoagulasi ekstrak jernang menggunakan pelarut etil asetat dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 3. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
255
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 4. Rata-rata waktu koagulasi darah Perlakuan A = kontrol B = warfarin C = ekstrak D. draco 5% D = ekstrak D. draco 10% E = ekstrak D. longipes 5% F = ekstrak D. longipes 10% G = ekstrak D. melanochaetes 5% H = ekstrak D. melanochaetes 10%
Jangka waktu koagulasi (detik) 22,77 43,54 24,21 13,96 12,96 9,75 21,27 12,36
Jangka waktu koagulasi darah tanpa perlakuan (kontrol) yaitu 22,77 detik, sedangkan setelah pemberian warfarin (obat antikoagulasi) waktu koagulasi meningkat menjadi 43,54 detik. Perlakuan dengan pemberian ekstrak jernang justru mempersingkat waktu koagulasi, bahkan pemberian ekstrak jernang kalamuai (D. longipes) 10% menghasilkan waktu koagulasi yang sangat singkat/cepat.
Gambar 3. Waktu koagulasi A = kontrol; B = warfarin; C = ekstrak D. draco 5% D = ekstrak D. draco 10% E = ekstrak D. longipes 5% F = ekstrak D. longipes 10% G = ekstrak D. melanochaetes 5% H = ekstrak D. melanochaetes 10%
256
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 5. Sidik ragam perlakuan dan jangka waktu koagulasi Sumber keragaman
Db
JK
KT
F hit.
Perlakuan Acak Total
7 32 39
4.223,69 603,38 3,44** 5.550,23 173,44
F tab. 5% 2,32
F tab. 10% 3,25
Tabel 6. Uji perbandingan rata-rata Newman-Keuls Perlakuan F Rata-rata 9,75 0,05
H E D G C A B 12,36 12,96 13,96 21,27 24,21 24,77 43,54
0,01 Hasil analisis sidik ragam dan uji perbandingan Newman-Keuls (Tabel 5 dan 6) menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan perlakuan (pemberian ekstrak jernang) terhadap jangka waktu koagulasi yaitu koagulasi semakin cepat. Pemberian ekstrak jernang kalamuai (D. longipes) 10% tersingkat/tercepat terjadi koagulasi. Dari hasil uji aktivitas, antikoagulasi ini mengindikasikan bahwa ekstrak jernang berpotensi sebagai bahan prokoagulasi yaitu mempercepat darah menjadi beku. Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi yaitu apabila mereka mengalami luka maka luka tersebut ditaburi serbuk jernang untuk menghentikan pendarahan pada luka tersebut.
IV. KESIMPULAN Ketiga jenis resin jernang yaitu jernang kalamuai (Daemonorop longipes Mart.), jernang rambai (Daemonorops draco BL.), dan jernang umbut (Daemonorops melanochaetes Blume.) sebagian besar mengandung senyawasenyawa semipolar yang termasuk golongan senyawa flavonoid, triterpenoid, dan tanin. Resin jernang berpotensi sebagai antioksidan terutama resin yang diekstrak menggunakan pelarut metanol. Potensi tertinggi sebagai antioksidan adalah jernang kalamuai (D. longipes Mart) yaitu nilai IC50 71,89 + 3,89 mgL-1. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
257
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Ekstrak etil asetat jernang berpotensi sebagai prokoagulasi darah (koagulan), terutama ekstrak etil asetat jernang kalamuai (D. longipes Mart.).
DAFTAR PUSTAKA Achmadi SS. 1992. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anung ET. 2006. Melanin Biosynthesis Inhibitory Compounds from Arthocarpus heterophyllus [Dissertation]. Kyushu University. Japan. Barlow SM. 1990. Toxicological aspect of antioxidants used as food additives. Elsevier. London. Blouis MS. 1958. Antioxidant determinations by the use of a stable free radical. Nature. 181: 1199–1200. Chung KT, TY Wong, CI Wei, YW Huang, Y Lin. 1998. Tannins and Human Health. Critical Review in Food Science and Nutrition. 38(6): 421–464. Cook NC, S Samman. 1996. Flavonoids-Chemestry, metabolism, cardioprotective effects, and dietary sources. Nutritional Biochemestry. 7: 66–76. Coppen JJW. 1995. Gum, resins, and latexes of plant origin. Non Wood Forest Products. No. 6. FAO, Roma. Dzubak P, M Hajduch, D Vydra, A Hustova, M Kvasnica, D Biedermann, L Markova, M Urban, J Sarek. 2006. Pharmacological activities of natural triterpenoids and their therapeutic implications. Nat.Prod.Rep. 23: 394–411. Gupta D, B Bleakley, RK Gupta. 2008. Dragon’s blood: Botany, chemistry and therapeutic uses. Journal of Ethnopharmacology. 115(3): 361–380. Gupta D, RK Gupta. 2011. Bioprotective properties of Dragon’s blood resin: In vitro evaluation of antioxidant activity and antimicrobial activity. Complementary and Alternative Medicine. 11: 1–9.
258
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB Bandung. (terjemahan) Hashimoto K, S Nakahara, T Inoue, Y Sumida, M Takahashi, Y Masada. 1985. A New Chromone from Agarrwood and Pyrolysis Products of Chromone Derivatives. Chem. Pharm. Bull. 33(11): 5088–5091. Koffour GA, P Amoateng. 2011. Antioxidant and Anticoagulant Properties of Phyllanthus fraternus GL Webster (Family: Euphorbiaceae). Journal of Pharmacology and Toxycology. 6 (7): 624–636. Molyneux P. 2004. The use of stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimazing antioxidant activity. Songklanakarin J Sci Technol. 26: 211–219. Mattjik A, I Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Jilid I. IPB PRESS Bogor. Miura T, T Nishinaka, T Terada, K Yonezawa. 2010. Relationship between aging and dosage of warfarin: The current status of warfarin outpatients in a department of cardiovascular medicine. Journal of Cardiology. 53: 355–360 Nicholl IA, BCG Karlsson, AM Rosengren, H Henschel. 2010. Warfarin: an environment-dependent switchable molecular probe. Journal of Molecular Recognition. 23: 604–608. Niranjan MH, MS Sudarshana. 2010. Preliminary phytochemical studies of Lagerstroemia indica Linn. Journal of Pharmacy. 3(2): 216–218. Pearson J, DV Prendergast. 2001. Collection corner: Daemonorops, Dracaena and other Dragon’s Blood. Economic Botany. 55: 474–477. Pearson J. 2002. Dragon’s Blood. Horticulturist. 11(2): 10–12. Silva BM, RP Santos, LS Mendes, PG Pinho, P Valentao, PB Andrade, JA Pereira, M Carvalho. 2010. Dracaena draco L. fruit: Phytochemical and antioxidant activity assessment. Food Research International, doi:10.1016/j.foodrres.2010.09.031 Sumadiwangsa S. 1973. Klasifikasi dan Sifat Beberapa Hasil Hutan Bukan Kayu. Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Bogor. Laporan No. 28. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
259
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Sunarni T. 2005. Aktivitas antioksidan penangkap radikal bebas beberapa kecambah dari biji tanaman familia Papilionaceae. J. Farm Indonesia. 2: 53–61. Tiwari P, B Kumar, M Kaur, G Kaur, H Kaur. 2011. Phytochemical screening and Extraction: A Review. Internationale Pharmaceutica Sciencia. 1(1): 98–106. Yi T, HB Chen, ZZ Zhao, ZL Yu, ZH Jiang. 2011. Comparison of the chemical profile and anti-platelet aggregation effects of two “Dragon’s Blood” drugs used in traditional Chinese medicine. Journal of Ethnopharmacology. 133: 796–802. Yi T, Y Tang, J Zhang, Z Zhao, Z Yang, H Chen. 2012. Characterization and determination of six flavonoids in the ethnomedicine “Dragon’s Blood” by UPLC-PAD-MS. Chemestry Central Journal. 6: 1–7. Xu Z, LR Howard. 2012. Analysis of Antioxidant-Rich Phytochemicals. A John Wiley $ Sons, Ltd.
260
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
KABEL LAYANG SALAH SATU CARA UNTUK MENGELUARKAN KAYU PADA TOPOGRAFI SULIT* Oleh: Wesman Endom, Soenarno dan Maman Mansyur Idris** Email:
[email protected]
ABSTRAK Pemanenan hutan merupakan kegiatan penting di bidang usaha perkayuan. Di Jawa, pengeluaran kayu hasil panen biasa dilakukan dengan cara dipikul, cara diguling, cara digusur, menggunakan roda atau motor ojek. Di beberapa tempat, pengeluaran kayu juga biasa dilakukan menggunakan sistem rakit. Penggunaan sistem kabel layang adalah cara lain yang perlu dikembangkan. Pada makalah ini disampaikan rekayasa peralatan sistem kabel layang untuk mempermudah pengeluaran kayu pada kegiatan pemanenan. Upaya ini diharapkan bisa menjadi mendorong perbaikan dan produktivitas pengeluaran kayu sehingga mampu mendukung industri kreatif. Kata kunci: Rekayasa alat, pemanenan, efisiensi, pemanfaatan, hasil hutan
I. PENDAHULUAN Hingga saat ini, hasil pemanenan kayu di areal hutan yang mempunyai aksesibilitas rendah belum ditemukan cara yang secara teknis finansial layak dan mampu meningkatkan pemanfaatan kayu dari setiap pohon yang ditebang. Hal itu terbukti dari jumlah kayu yang terbuang dan ditinggal di hutan masih tinggi, yaitu mencapai ± 13 juta m3/tahun (Sasmita 2003). Permasalahan ini menjadi salah satu sebab mengapa industri pengolahan kayu semakin sulit mendapatkan pasokan kayu terutama jenis kayu pertukangan bermutu tinggi. Terkait upaya efisiensi sumber daya alam hutan, Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia No Und-92/D.III.M.Ekon* Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
5/9/2009 tanggal 30 September 2009 telah menerbitkan edaran perihal pemanfaatan Biomassa Limbah Agroindustri dan Kehutanan. Kebijakan ini memberikan insentif dan disinsentif kepada para pengusaha untuk mengisi masalah kesejangan masyarakat. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka hasil hutan kayu didorong dapat diolah menjadi produk yang lebih bernilai ekonomis tinggi dan mampu memberikan nilai tambah khususnya bagi masyarakat. Untuk itu dalam kegiatan pengusahaan kayu diperlukan terobosan alat yang lebih efisien untuk bisa mengeluarkan kayu dari tebangan ke tempat pengumpulan kayu. Pada makalah ini disajikan hasil perekayasaan alat kabel layang untuk pengeluaran kayu pada lokasi dengan topografi sulit. Oleh karena sistem kabel layang hanya menjangkau jarak yang terbatas, sedangkan di lain pihak seringkali proses pengeluaran kayu harus berbelok, maka diperlukan media lain yang bisa menghantarkan muatan kayu dari jalur kabel yang satu ke jalur kabel yang lainnya. Berdasarkan pertimbangan, rekayasa alat kabel layang yang dilengkapi dengan sistem pemindah jalur angkutan kayu sangat diperlukan dengan syarat mesin yang digunakan harus mudah dibongkar pasang sehingga mudah diangkut. Produk rekayasa alat ini tidak menggunakan teknologi tinggi dan masih berupa prototipe. Diharapkan prototipe alat ini dapat menjadi pendorong bagi pengembangan alat/mesin yang lebih praktis, ekonomis, aman, dan manusiawi.
II. METODOLOGI Bahan penulisan diperoleh hasil uji coba rekayasa alat kabel layang di lapangan. Panjang bentangan kabel berkisar 50–400m. Lokasi uji coba dilakukan pada tebangan di hutan jati, pinus, dan rasamala di wilayah KPH Sukabumi dan KPH Cianjur. Perbedaan kondisi lapangan dan jarak angkut memperlihatkan respons terhadap kinerja alat dalam pengoperasiannya. Aspek yang dikaji meliputi mekanisme kerja alat (mesin, kereta gantung pembawa kayu, teknik pasang, dan bongkar muatan), prestasi kerja, serta pembiayaan. Berdasarkan hasil percobaan, dilakukan perbaikan untuk mendapatkan model prototipe, perlengkapan, serta sistem yang lebih standar dan layak
262
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
untuk digunakan. Perbaikan dan perubahan secara berulang sejak tahun 2008, mulai dari prototipe I (Endom et al. 2007) dan II (Endom 2012). Hasil uji coba dibahas dengan metode deskriptif komparatif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Masalah Kondisi Lapangan Faktor alam berupa lembah, lereng curam, dan sungai, serta akses yang rendah menjadi penyebab mengapa kayu hasil tebangan sulit dikeluarkan. Kemampuan manusia untuk mengangkat dan membawa/mengangkut kayu hasil tebangan sampai di tempat pengumpulan terbatas, juga tidak jarang jaraknya mencapai 1 km lebih. Oleh karena itu, hanya kayu yang bisa dikeluarkan dengan cara manual sangat mahal. Sebagai gambaran, kesulitan pada lapangan agak curam berjarak < 5 m dari lokasi penebangan ke pinggir jalan angkutan disajikan pada Gambar 1A, sedangkan kondisi medan dengan topografi berat dan jarak pikul mencapai ratusan meter dapat dilihat pada Gambar 1B. Pada Gambar 1C terlihat tumpukan kayu yang harus diangkut melewati lembah dan sungai lebar 2,5 m.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
263
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
A
B
C
A Gambar 1. Kesulitan mengeluarkan kayu dari petak tebang B C (A) Lokasi tebangan bertopografi berat dan jarak angkut cukup jauh (B). Kayu yang berat harus dikeluarkan melewati lembah dan sungai kecil cukup dalam (C)
Pada kondisi di mana jalan angkut berada di bawah areal tebangan, cara guling, cara gusur dan/atau cara nglebeg biasa dilakukan melalui jalan setapak mengikuti lereng (Idris 2004). Cara lain dilakukan menggunakan roda kayu yang ditarik oleh 4–12 orang, disajikan pada Gambar 2.
A
B
C
A
B
C
Gambar 2. Cara guling (A), digotong beramai-ramai (B), dan persiapan penarikan kayu menggunakan roda kayu sederhana (C) Pada lokasi di mana jalan darat sulit digunakan sistem rakit yang bisa dilakukan saat terjadi hujan besar. Kayu dirakit lalu dihilirkan melalui sungai (Gambar 3).
264
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
A
B
A
B
Gambar 3. Pada lapangan yang miring kayu digusur cukup dengan dua pekerja (A) dan para pekerja sibuk saat rakitan kayu sampai di tempat tertentu untuk diangkat ke darat (B)
A
A
Gambar
B
B
C
C
4. Penggunaan jalan sogokan untuk pengeluaran kayu dengan ojek motor (A, B) dan roda kayu dengan cara ditarik dengan pundak
Sebagai antisipasi, di lapangan terkadang dibuat jalan sogokan agar bisa dipakai sistem roda kayu. Jalan sogokan yaitu jalan tanah yang dibangun mengikuti pinggir lereng searah kontur dengan lebar ± 1 m. Jalan sogokan ini juga dapat digunakan oleh ojek motor atau cara pikul/dorong. Penggunaan ojek biasanya dilakukan pada tebangan pinus dan pengangkutan kayu bakar. Untuk kayu yang cukup panjang (2–4 m) seperti rasamala, digunakan roda tarik/dorong atau cara pikul.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
265
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa kegiatan mengeluarkan kayu hasil tebangan bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Fakta ini juga memperlihatkan dengan jelas bahwa cara-cara manual dapat tergolong pekerjaan yang kurang manusiawi. Oleh karena itu penggunaan alat lain yang lebih baik dan ekonomis sangat diperlukan.
B. Rekayasa Alat Kabel Layang 1. Konstruksi mesin Penelitian tahun 2012 dihasilkan prototipe mesin sejenis yarder yang konstruksinya merupakan perbaikan dari prototipe yang dibangun tahun 2010. Pada waktu itu drum penggulung penarik kayu hanya ada satu, sehingga tidak memerlukan gigi eksentrik sebagai pemisah dan pengatur putaran. Prototipe sederhana dan pemanfaatannya disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Prototipe yarder generasi baru dengan satu drum penggulung kabel dan uji coba pemanfaatannya untuk mengangkat dan menarik kayu Dari prototipe sederhana ini kemudian diperbaiki dengan memasang satu unit gigi eksentrik yang berfungsi menghubungkan putaran mesin drum model I yang memutarkan kabel penarik tanpa ujung (drum model 1) dan drum II yang berfungsi ganda (kabel tanpa ujung dan penarik langsung pada muatan). Bila tongkat pada gigi eksentrik ditarik ke atas, drum model I jalan, sedangkan bila tidak ditarik ke bawah drum model II yang jalan. Namun bila dipasang di tengah, kedua drum tidak berputar. Perbaikan kontruksi prototipe dengan memasang satu gigi untuk operasi penarikan kayu disajikan pada Gambar 6.
266
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 6. Prototipe yarder generasi –II yang telah diperbaiki tahap I yang mengoperasikan dua buah drum dengan satu unit gigi eksentrik Dalam perkembangannya, sistem satu unit tunggal gigi eksentrik sebagai media dinilai memiliki kelemahan, sehingga dipisah dibuat masing-masing satu gigi eksentrik untuk dioperasikan pada setiap satu drum. Dengan konstruksi baru, maka penggunaannya dapat dilakukan untuk pergerakan atau 1) hanya drum model –I yang dapat berputar, 2) hanya drum model-II yang dapat berputar, 3) kedua model drum berputar bersamaan, dan 4) kedua model drum tidak berputar. Dengan pertimbangan konstruksi, diharap mesin lebih efektif dan efisien sedang gangguan terhadap konstruksi mesin menjadi minimal. Perkembangan prototipe alat kabel layang disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Model prototipe yarder generasi –II hasil perbaikan tahap II yang mengoperasikan penggunaan dua buah gigi eksentrik
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
267
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dari percobaan lapangan diketahui bahwa keberadaan gigi penghubung putaran harus memiliki rumah konstruksi yang sangat kuat, gir cukup besar, dan sproket dengan gigi cukup besar (ukuran No. 60) atau gigi 50 tetapi dibuat sepasang, serta bahan as berdiameter 6–10 cm yang mengandung baja cukup. Hal ini perlu diperhatikan mengingat kekuatan mesin cukup besar (13 PK) yang akan terus berputar dan melalui rantai (sprocket) akan memutarkan komponen lainnya, sehingga bila penempatan keduanya kurang tepat bisa menyebabkan rusaknya bagian-bagian komponen tersebut. Oleh karena itu, disadari pengoperasian sistem kabel layang dari rekayasa alat yang ada perlu dipertimbangkan untuk tidak sampai jarak 400 m, agar: a. Mesin mudah dibawa ke lokasi dan ringan karena meskipun tidak termasuk kategori alat berat, pada medan sulit membawa alat dan peralatan lainnya bukan merupakan hal mudah (Gambar 7). b. Bentangan operasi kabel layang diupayakan berjarak pendek-sedang (≤ 250 m) c. Tersedia alat pendukung secara memadai (penyangga, katrol, kito, takel, tirfor, winch, kait pengatur, tool set, baud, sakel). d. Tersedia kereta pengangkut kayu sesuai keperluan dan alat komunikasi antarpetugas. Hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah pengecekan komponen untuk mencegah berbagai hal yang tidak diinginkan serta memberi kesempatan kerja kepada penduduk setempat untuk membantu kegiatan lapangan. Adapun kelebihan ataupun kelemahan dari sistem kabel layang disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan kelebihan dan kelemahan itu, dapat dilihat bahwa untuk lebih operasional, praktis, produktif, serta efisien, maka pilihan penggunaan sistem kabel layang lebih baik pada sistem kabel layang jarak pendek-sedang (jarak maksimal sekitar 220 m). Terkait dengan itu maka perlu ada perubahan: a. Jarak angkut diupayakan lebih dekat untuk mengurangi risiko pengangkutan peralatan. Untuk hal ini dilakukan upaya dengan membuat alat dan peralatan pendukung dengan sistem pasang-copot (knock-down).
268
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
b. Penempatan posisi mesin terkait dengan penerapan kombinasi pengeluaran bisa saling melengkapi antara cara manual sistem roda dan motor yang tidak saling mengganggu. Untuk itu diperlukan ketersediaan komponen pendukung yang memadai (tower, pancang, kabel pengencang). Tabel 1. Kelebihan dan kelemahan cara pengeluaran kayu menggunakan sistem kabel layang berdasarkan analisis dan pengalaman lapangan No. Kelebihan
Jarak bentang kabel Dekat-sedang (40–200 m ) Jauh (> 200 m) Kabel yang harus dibawa lebih Jangkauan kemampuan pendek sehingga lebih mudah pengeluaran lebih jauh dan ringan dibanding untuk hingga dapat mencapai 450 pengguanaan jarak yang jauh m Memunginkan dapat Pemasangan bentangan kabel melintasi lembah atau lebih mudah sungai cukup lebar Pemantauan atas jalannya kegiatan dan proses yang terjadi di lapangan jauh lebih jelas dan mudah terkontrol Memungkinkan tidak perlu dukungan banyak penyangga mengingat bentangan kabel yang tidak terlalu jauh Dapat memungkinkan lebih operasional mengingat kepraktisan pekerjaan di lapangan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
269
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
No. Kelemahan
Jarak bentang kabel Dekat-sedang (40–200 m ) Jauh (> 200 m) Jangkauan kemampuan Kabel yang harus dibawa pengeluaran lebih terbatas lebih panjang sehingga sulit (< 200 m) dan berat dibanding untuk pengguanaan bentang jarak pendek/sedang Ada kemunginkan tidak dapat Pemasangan bentangan kabel melintasi lembah atau sungai lebih sulit cukup lebar Pemantauan atas jalannya kegiatan dan proses yang terjadi di lapangan kurang jelas dan sulit terkontrol Memungkinkan perlu dukungan penyangga banyak mengingat bentangan kabel yang lendut Agak sulit dilaksanakan secara operasional mengingat kesulitan dalam membawa kabel, setting kabel dan, lainlainnya termasuk melakukan komuniasi antarpekerja di lapangan
c. Kontrol yang terus-menerus selama berjalannya kegiatan dengan sistem komunikasi yang cepat agar operator bisa secara cepat menindaklanjutinya, sehingga tidak akan menyebabkan kerusakan terhadap mesin lebih berat. d. Melakukan pemilihan lokasi bentangan kabel yang lebih banyak sehingga dapat ditetapkan di mana lokasi percobaan yang lebih baik berada. 2. Kinerja alat Sesuai dengan perjalanan yang terus berkembang, percobaan, serta pengujian alat terus mengalami perubahan dan perbaikan (Lampiran 2). Hasil masing-masing kinerja dalam bentuk kemudahan mengoperasikan dan kendala disajikan pada Tabel 2.
270
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 2. Konstruksi dan karakteristik dari mesin yarder generasi II Rekayasa alat Expo-Generasi –II Perbaikan tahap Perbaikan tahap II I Kelengkapan Tanpa gigi Satu gigi Dua gigi eksentrik, eksentrik, eksentrik, tanpa tanpa katrol ganda, katrol ganda, dioperasikan dua dipasang dua drum dilengkapi drum penggunaan katrol ganda, satu drum Kontrol operasi Mudah atau Satu pilihan Dua pilihan mesin maju mundur penggunaan penggunaan drum tinggal drum, mana bersamaan atau menarik atau bergantung pada sendiri-sendiri, mendorong gigi eksentrik, tergantung pada tongkat dari dan maju atau gigi eksentrik, maju box marine mundur tinggal atau mundur drum menarik atau tinggal menarik atau mendorong mendorong tongkat tongkat dari box dari box marine marine Kendala yang Gangguan Gangguan pada Gangguan pada masih terjadi pada konstruksi konstruksi dudukan konstruksi dudukan gigi gigi eksentrik sehingga katrol ganda eksentrik menyebabkan dan putaran sehingga kerusakan pada gir kabel licin. menyebabkan dan putaran rantai Butuh keruskan pada tidak normal persediaan gir dan putaran kabel lebih rantai tidak banyak untuk normal bisa dipasang pada sistem penarikan katrol ganda Mesin/daya Mesin bensin Mesin bensin 6 Mesin diesel 13 HP 6 HP HP dan diesel 6 HP Kecepatan 70 m/menit 70–100 m/menit 70–100 m/menit No.
Awal
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
271
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
No. Cara kerja Kinerja Biaya Bahan bakar Jarak
Rekayasa alat Expo-Generasi –II Perbaikan tahap Perbaikan tahap II I Operasi untuk Operasi untuk Operasi bisa untuk satu arah satu arah dua arah < 0,3 m3/jam 0,30–1,42 m3/ 0,75 m3/jam jam Rp61.758/m3 Rp76.843/r m3. Rp145.491/ m3 < 1 liter /jam < 1 liter/jam < 1 liter/jam 50 m 200 m 400m Awal
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa kinerja alat sistem kabel layang itu bervariasi sebagaimana juga jarak maupun kelengkapan yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, perlu disampaikan bahwa dari berbagai pengalaman itu menarik untuk dibuat penegasan bahwa pertimbangkan jarak dan kelerengan merupakan penentu dalam meningkatkan produktivitas pengeluaran hasil kayu dibanding faktor-faktor lainnya.
C. Kelengkapan Peralatan Pendukung 1. Media penyambung lintasan kabel Alat ini dibangun karena kayu yang diturunkan dengan sistem gaya gravitasi (SGS) tidak dapat secara langsung dipindahkan muatannya ke jalur kabel yang lain terkecuali harus diturunkan dibawa dan dinaikan kembali pada kereta pengakut kayu. Untuk itu dibangun dengan rekayasa media pemindah muatan dari jalur kabel yang satu ke jalur lainnya dengan hasil cukup baik.
Gambar 8. Permasalahan perlunya alat pemindah jalur kereta angkut kayu
272
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 9. Teknik pemindahan muatan pada jalur kabel lain Dengan media ini, maka persoalan jarak sebenarnya tidak lagi ada masalah karena pengeluaran kayu dapat dilanjutkan sepanjang ada media pemindah dan jalur-kabel lain penyambungnya tersedia. Pada waktu itu yang masih dirasakan sebagai kendala ialah saat menyangga beban waktu pindah (dulu), tetapi sekarang akan menjadi lebih mudah menggunakan sistem takel. Hal ini berarti akan menghasilkan kinerja pengeluaran kayu yang lebih cepat dibanding sebelumnya. 2. Tiang penyangga Alat ini sangat diperlukan karena pada kenyataannya setelah kabel utama dipasang baru kemudian diketahui bahwa bentangan kabel terkadang tetap masih terlalu rendah akibat rentang yang jauh. Hal ini sebagaimana terjadi pada saat uji coba di Cianjur (Gambar 2) terpaksa dipasang tiang penyangga agar kayu yang ditarik tidak menumbuk tebing, tunggak dan/atau hingga menggali permukaan tanah.
A
B
Gambar 10. Tiang penyangga kabel model pindahan (A) dan permanen (B) Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
273
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dengan adanya tiang penyangga baik permanen (Gambar 10B) maupun tidak permanen (Gambar 10A) maka bentangan dapat diangkat, sehingga kayu yang ditarik tidak menyentuh tebing, tunggak, atau permukaan tanah di sepanjang jalur. Hal ini sangat berpengaruh pada kemudahan di dalam mengeluarkan kayu hasil tebangan. 3. Katrol kabel penarik Perbaikan terhadap katrol model lama yang digunakan pada tahun 1980an dengan model katrol baru yang dilakukan tahun 1995. Gambar katrol model lama dan katrol hasil perbaikan disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Katrol model lama (kiri) dan katrol model baru (kanan) Berdasarkan pengalaman, kereta angkut kabel layang perlu luwes agar bisa disesuaikan untuk operasi pengeluaran kayu secara aman, kuat, dan lancar. Bahkan, Anonim (1988) menyebutkan keluwesan kereta angkut sangat diperlukan baik pada sistem kabel bergerak maupun tetap. Dari perjalanan penelitian diketahui peran katrol sangat penting karena bisa berpengaruh terhadap kelancaran penarikan kabel. Pada katrol model lama konstruksinya kaku dan kabel sering ke luar dari roda, dengan katrol model bari kontruksi bisa berputar sesuai arah penarikan kabel. Selain itu di atas roda dipasang bos penghalang ke luar kabel yang bisa berputar pada porosnya, sehingga kabel penarik akan terjaga ke luar dari roda dengan aman.
274
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
4. Kereta penarik kayu Kereta penarik kayu terdapat dalam beberapa model dan ukuran. Di negara maju sudah dalam versi remote control (Biller dan Jihnson 1988). Terkait dengan kegiatan penelitian, perkembangan hasil perekayasaan alat ini dapat dilihat pada Gambar 12. Dari perkembangan terakhir uji coba diketahui bahwa penggunaan dua takel (Gambar 13 C) sangat efektif dan efisien untuk dipasang pada kereta kayu karena sangat membantu bagi kemudahan mengangkat, menurunkan, atau menarik kayu untuk digantung pada kereta muatan dengan lancar dan aman. Oleh karena itu, teknik ini ke depannya dapat dijadikan sebagai standar pada operasi kabel layang sehingga operasi kabel layang menjadi lebih cepat dan manusiawi.
A
B
A
C B
E
D C
D
F E
F
Gambar 12. Kereta kayu hasil rekayasa yang tidak tersedia sistem penguncian (A) Kereta kayu KM Exp-I hasil rekayasa dilengkapi dengan sistem penguncian (B dan C). Kereta kayu sistem mengunci kabel lama (D) dan dengan penguncian sistem kito (E dan F)
A
A
B B
C C
Gambar 13. Model kereta kayu satu takel sebagai alat menaik dan menurunkan muatan (A) dan dengan dua takel (B dan C)
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
275
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pada awalnya kereta kayu yang dimiliki adalah pada Gambar 12A. Pada kereta angkut ini tidak memiliki pengunci, sehingga kayu saat ditarik naik turun dan sering berputar sehingga bisa membahayakan. Oleh karena itu dibangun kereta angkut model Gambar 12B yang dengan model ini kayu yang terangkat akan terkunci, tidak lagi naik turun atau berputar. Karena kereta angkut ini cukup berat, maka kemudian dibangun dalam bentuk mini (Gambar 12C). Uji coba menunjukkan kereta ukuran ini masih mampu dipakai untuk pengeluaran kayu jati berdiameter 40 cm panjang 3 m dengan berat sekitar 350 kg. Untuk pengeluaran kayu dari petak tebang pada cara kabel tanpa ujung (endless system), kareta kayu pada awalnya seperti pada Gambar 3D. Kereta ini cepat mengalami slack pada baud penguncinya, sehingga diganti dengan model Gambar 3E dengan pengunci sistem satu kito. Pada kereta ini penguncian hanya bersifat searah (ke atas atau ke bawah). Oleh karena itu, disempurnakan lagi menjadi kereta model 3F yang menggunakan penguncian sistem 2 kito, sehingga baik penarikan ka bawah lereng maupun ke atas lereng muatan tetap terkunci dengan baik. Bidang kehutanan di negara maju, teknologi kabel layang sudah banyak dipakai untuk kegiatan pengeluaran kayu pada medan berat dan sulit (melewati sungai, jurang atau, lembah) dengan kemiringan maksimum 45˚ (100%). Pada medan seperti ini, penggunaan traktor tidak lagi efektif dan efisien. Kendati demikian, penerapan teknologi ini bukannya tidak ada masalah karena untuk mencari orang yang memiliki keahlian memasang jaringan kabel yang baik, cepat dan aman, sangat sulit (Olund 2001). Namun bila dibanding traktor, biaya operasi dan pemeliharaannya jauh lebih murah dengan umur alat lebih panjang (Lloyd 2007).
D. Pembahasan Dari uraian di atas, telah dilakukan beberapa serangkaian perbaikan perekayasaan dan ada peningkatan kinerja yang secara keseluruhan dapat disajikan seperti pada Tabel 3.
276
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 3. Hasil perbaikan perekayasaan bagi peningkatan kinerja pengeluaran kayu sistem kabel layang No. Jenis alat rekayasa 1 Media penyambung lintasan kabel
2
Kito alat pendukung pengencang kabel
3
Tiang penyangga
4
Katrol kabel penarik
5
Kereta penarik kayu dengan sistem penguncian
Perbaikan dan peningkatan kinerja Tidak perlu menurunkan muatan dan jarak angkut bisa disambung sepanjang tersedia media pemindah jalur. Ada penghematan tenaga dan waktu serta keamanan lebih baik apalagi bila digunakan sistem takel Penarikan dan pengecangan kabel lebih kuat yang juga berfungsi untuk tujuan lain seperti menarik kayu atau mobil yang terjebak pada lumpur Lendutan kabel diperkecil sehingga kemampun menarik dengan mesin menjadi tidak terlalu berat, pengeluaran kayu aman dari tumbukan baik terhadap tunggak atau permukaan tanah/tebing sehingga akan memperlancar pengeluaran kayu Lebih operasional dan luwes sehingga proses penarikan lebih lancar Pada gambar 3A, tidak ada pengunci muatan sehingga muatan naik turun selama perjalanan dan terkadang muntir sehingga membahayakan. Perbaikan dilakukan dengan merekontruksi kereta kayu yang lebih aman dengan membuat penguncian pada kereta. Pengeluaran kayu dapat dilakukan dengan cara diangkat pada jarak cukup jauh (>50m) dengan model kereta angkut peluru (Gambar 3B dan 3C) atau diangkat pada jarak pendek (<5 m) dengan kereta angkut sistem endless (Gambar 3D) dengan perbaikan membuat penguncian sistem kito (Gambar 3 E dan F)
Dari perbaikan ini, yang diperlukan lebih lanjut ialah upaya pengembangan dari serangkaian hasil yang dinilai cukup baik dan perlu dicoba pada skala yang lebih besar sehingga akan lebih jelas diketahui tingkat efektif dan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
277
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
efisiensinya dan berupaya bisa mengikuti dengan standar yang telah dibuat oleh Trzesniowski (1989) (Lampiran 1 dan 2) sehingga alat menjadi lebih praktis dan operasional.
IV. KESIMPULAN Kegiatan pengeluaran kayu hasil pemanenan bukan pekerjaan yang mudah. Kesulitan terjadi karena kondisi topografi berat dan prasarana akses jalan yang rendah. Untuk meningkatkan dukungan cara manual yang produktivitasnya rendah, penggunaan teknologi kabel layang diharapkan mampu mengatasi kelemahan ini. Upaya rekayasa prototipe alat dan manfaatnya perlu terus disempurnakan terkait dengan pengoperasiannya yang tidak mudah seperti jarak, konfigursi lapangan, perlengkapan dan kelengkapan alat, ukuran alat, kemudahan membawa dan keterampilan pekerja. Untuk itu kajian lebih lanjut menuju alat lebih standar, layak, dan ekonomis sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA Biller CJ, DD Johnson. 1988. US Patent. Radio contolled downhill skyline logging carriage and system. http://www.patentstorm.us/patents/ 47357327/description. html. Diakses pada tanggal 17 Juli 2008. Endom W. 2007. Kajian operasi pengeluaran kayu sistem kabel layang Expo2000 dengan penggunaan alat pendukung. Jornal Penelitian Hasil Hutan. 24 (4): 339–357. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Endom W. 2012. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2012. Pusat Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan. Llyold AH. 2007. Extraction of timber by Skyline Crane. Unasylva vol 7 (2). Imperial Forestry Institute, Oxford, England: http://www.fao.org/ dacrop/ x5396e/ x5369e05.htm. Diakses pada tanggal 4 Juli 2007. Mansyur MI. 2004. Pengeluaran Kayu Pinus Dengan Cara Nglebek. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
278
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Olund D. 2001.The Future cable logging. The International Mountain Logging and 11th Pacific Northwest Skyline Symposium. http://depts. washington.edu/ sky2001/proceedings/papers/olund.pdf. Diakses pada tanggal 25 Juni 2007. Sastrodimedjo S. 1965. Perhitungan Biaya Pemakaian Alat-alat Setiap Satuan. Naskah. Lembaga Penelitian Ekonomi Kehutanan. Bogor. Sasmita RL. 2003. Limbah Pemanenan Hutan Alam di Indonesia [Skripsi]. Sarjana Kehutanan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasi. Schiess P, F Krogstad. 2010. Forest Harvest and Transportation. College of Forest Resources, University of Washington, Seattle, Washington USA. Trzesniowski A. 1989. Wood transport in steep terrain. Website: http://www. fao. org/ docrep/ X0622E/x0622e15.htm. FAO. Diakses pada tanggal 15 Maret 2013.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
279
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lampiran 1. Categorization of skyline systems (Trzesniowski 1996) FEATURES NAME MOBILITY ENGINE ANCHORING of the skyline ADDITIONAL DEVICES NUMBER OF ROPES
YARDING DISTANCE CABLE SYSTEMS YARDING DIRECTION
280
cable way stationary fixed driving force
cable crane semi-stationary conventional winches
fixed
fixed
tension tower one, two, three-rope cable ways
sledge winches
> 10 (12) km all-terrain (gravitation)
mobile yarders mobile tower multiselfyarders purpose propelled machines carriages lowering possible
trailer, tractor, truck, tension processor device two-rope-system two, three, four-rope- one-rope skyline and main systems system line 2 - skyline and main skyline (+ line hoist line) 3 - skyline, main line, haulback line 4 - skyline, main line, haulbackline, straw line short 300 (400) short > 300 (400) m > 250 m m middle 300 - middle > 500 (600) m > (400) 800 m long 800tall > 800 m m 1600 m gravitation gravitation u. all-terrain all-terrain ••
∅∅
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
∅∅
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lampiran 2. Features of conventional and mobile cable cranes Range, output/working-hour, charge/year of different types of cable cranes (according to Trzesniowski 1982; FPP 1986; Heinimann 1986; Fernsebner 1996) Small Medium range (skyline-length in m) Trzesniowski < 1.600 < 350 < 500 FPP < 1.000 (2 000) < 300 < 500 Heinimann < 2.300 < 400 < 600 output/h (m3/h) Trzesniowski 5 (3–8) 4 (3–8) 8 (4–15) FPP 3–7 1,5–6 6–11 Heinimann 4,9 (2–9) SV: 4 (2–9) 7,1 (3–12) 5,0 BV: 2 (1,4–2,4) 7,5 5,5 output/year (m3/a) Trzesniowski 4.000 3.000–6.000 5.000– 10.000 FPP 2.400–7.700 1.050–7.800 4.800– 15.400 Heinimann 3.300–3.900 4.800–5.600 6.500–7.700 Fernsebner 4.000 5.000 8.000 Author
Conventional
Large < 800 < 800 < 800 12 (8–25) 8 - 20 11,2 (6–20)
8.000–15.000 6.400–28.000 12.500
SV : cut to length method BV : tree method FPP : Cooperation agreement between forestry, fiberboard and paper industry in Austria
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
281
STIMULANSIA BERBAHAN DASAR HAYATI UNTUK PENYADAPAN POHON PINUS* Oleh: Sukadaryati dan Dulsalam**
ABSTRAK Stimulansia atau dikenal sebagai zat perangsang dalam penyadapan pohon pinus berguna untuk memperlancar keluarnya getah dari batang pinus yang dilukai. Penggunaan stimulansia berbahan dasar asam kuat yaitu CAS (Cairan Asam Sulfat) dalam penyadapan pinus di areal Perhutani sudah lama dikembangkan. Di satu sisi penggunaan stimulansia CAS dapat meningkatkan produksi getah pinus yang diperoleh, tetapi ternyata di sisi lain dapat minimbulkan gangguan kesehatan baik terhadap pernyadap, pohon yang disadap juga lingkungannya. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi penggunaan stimulansia berbahan dasar hayati terhadap produksi dan kebersihan getah pinus yang dihasilkan menggunakan alat sadap Mujitech, bor, dan kedukul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan stimulansia berbahan dasar lengkuas, jahe, kencur, bawang merah, dan bawang putih dapat meningkatkan rata-rata produksi getah dengan alat Mujitech berturut-turut sebesar 339,8%; 90,1%; 7,9%; 132%; dan 54,8%. Jika menggunakan alat bor, penggunaan stimulansia lengkuas, jahe, dan bawang merah dapat meningkatkan rata-rata produksi getah berturut-turut sebesar 46,3%; 86%; dan 99,4%, sedangkan menggunakan alat kedukul stimulansia lengkuas, kencur, dan bawang putih dapat meningkatkan getah berturut-turut sebesar 58%; 122,2%; dan 46,2%. Penyadapan getah pinus menggunakan teknik bor lebih bersih dibandingkan dengan teknik Mujitech dan kedukul. Penggunaan stimulansia berbahan dasar hayati dirasa lebih aman karena dapat meminimalkan gangguan kesehatan yang ditimbulkan. Oleh karena itu, penggunaan stimulansia berbahan dasar hayati diharapkan dapat menggantikan stimulansia berbahan dasar asam kuat. Alternatif stimulansia berbahan dasar hayati yang lainnya masih terus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Kata kunci: Stimulansia hayati, pinus, produksi getah, gangguan kesehatan * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
I. PENDAHULUAN Tahun 2012, pihak Perhutani mendapatkan kontrak dagang dengan perusahaan Jepang yakni Marubeni Plax Corporation dalam hal pembelian gum rosin (Perum Perhutani 2012). Konsekuensi dari kerja sama tersebut merupakan bentuk keseriusan Perum Perhutani untuk meningkatkan pendapatan dari produk getah pinus di masa mendatang dengan jaminan kontinuitas bahan baku yang disuplai ke industri luar negeri. Oleh karena itu peningkatan produksi getah pinus tetap menjamin kelanggengan pasokkannya, tetapi menjadi tantangan tersendiri bagi Perhutani. Cara yang telah dilakukan untuk meningkatkan produksi getah pinus, salah satunya dengan pemberian stimulan atau zat perangsang. Stimulan atau zat perangsang merupakan cairan tertentu yang diberikan pada luka sadap pinus yang berguna untuk lebih memperlancar keluarnya getah dari dalam batang pinus, sehingga getah yang dapat dikumpulkan menjadi lebih banyak pada saat itu. Cairan yang digunakan sebagai stimulan biasanya berbahan dasar asam. Berbagai penelitian teknik penyadapan pinus, baik tentang cara atau alat atau model yang digunakan dalam penyadapan getah maupun pemberian stimulan atau zat perangsang telah dikembangkan, yaitu: 1. Perbaikan teknik sadapan, yaitu dengan alat bor, kedukul, model ‘V’ bahkan hingga percobaan penyadapan dengan alat semi mekanik yang dikenal dengan nama “Mujitech”. Tujuannya untuk meningkatkan produksi getah pinus, peningkatan kualitas getah yang dihasilkan, menjaga kesehatan pohon pinus, dan mengatasi kekurangan tenaga kerja penyadap. Berdasarkan penelitian tersebut, sebagian besar tenaga penyadap di Perum Perhutani menggunakan alat kedukul dalam melukai batang pinus (penyadapan pinus) dengan pertimbangan lebih sederhana alatnya, mudah dikerjakan, lebih murah, dan hasil getah yang diperoleh cukup banyak. Di Perhutani sendiri sudah mengatur bagaimana pelaksanaan penyadapan pinus menggunakan alat kedukul tersebut. Sementara itu cara atau alat penyadap getah yang lainnya digunakan untuk tujuan tertentu, misalnya cara bor selama ini digunakan untuk menyadap pohon pinus di areal hutan lindung sedang alat “Mujitech” digunakan untuk mengatasi kekurangan tenga kerja penyadap pada kondisi lapangan yang cukup sulit maupun di daerah-daerah tertentu yang memang sulit mendapatkan tenaga kerja.
284
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
2. Pemberian stimulan berbahan dasar asam kuat, seperti stimulan Cairan Asam Sulfat (CAS), Superfarm, dan SOCEPAS atau merek dagang lainnya dengan tujuan untuk meningkatkan produksi getah pinus. Hampir seluruh areal Perhutani menggunakan CAS sebagai stimulan dalam penyadapan getah pinus dengan komposisi pemberian stimulan yang berbeda-beda bergantung tinggi tempat tumbuh pohon pinus tersebut. Efek penggunaan CAS yang berbahan dasar asam kuat (H2SO4) tersebut ternyata mengganggu kesehatan pohon dan juga penyadapnya serta menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, Perum Perhutani juga mengatur takaran pemberian stimulan tersebut. Dalam praktik di lapangan banyak dijumpai kondisi tegakan pinus yang disadap tidak sesuai dengan aturan atau pedoman yang sudah ditetapkan, baik dalam pembuatan koakan dengan alat kedukul maupun dosis stimulan. Teknik penyadapan pohon pinus terkesan “memaksa” pohon untuk mengeluarkan getah banyak tanpa memberi kesempatan pohon untuk “recovery”. Akibatnya, akan membahayakan kesehatan pohon pinus dan penyadap getah serta tidak ramah lingkungan. Semua cara itu dilakukan semata-mata hanya untuk mengejar target produksi getah yang tinggi yang berimbas juga pada penghasilan masyarakat penyadap. Kondisi tersebut mendorong dikembangkannya penelitian tentang jenis stimulansia yang aman digunakan, baik terhadap lingkungan, kesehatan pohon, dan penyadapnya, tetapi tetap dapat memperlancar keluarnya getah. Alternatif stimulansia berbahan dasar hayati mulai dilirik untuk diujicobakan. Bahan dasar hayati yang dimaksud adalah bahan stimulansia yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan. Penggunaan stimulansia berbahan dasar hayati diharapkan dapat memenuhi tujuan penggunaan stimulansia dalam menjamin kelangsungan produksi getah pinus. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi penggunaan stimulansia berbahan dasar hayati terhadap produksi getah pinus yang dihasilkan menggunakan alat sadap Mujitech, bor, dan kedukul.
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan pada areal tegakan pinus di anak petak 29C, kelompok hutan Pasir Bitung, RPH Pasir Awi, bagian hutan Jampang Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
285
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tengah, BKPH Bojong Lopang, KPH Sukabumi (Wilayah Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten). Tegakan pinus yang disadap berumur 11 tahun (tahun tanam 2000) dan termasuk dalam kelompok umur (KU) III.
B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah pohon pinus siap sadap dan stimulan hayati, yaitu jahe, kunyit, lengkuas, bawang putih, bawang merah, dan kencur. Alat-alat yang digunakan adalah pita ukur, alat sadap Mujitech, kedukul, dan bor, talang sadap ukuran 10 x 3 cm, mangkuk penampungan getah, alat timbangan dengan ketelitian 0,01 g, alat tulis, parang, batu asah, peta kerja, plastik, palu, dan paku penahan tampungan getah.
C. Prosedur Kerja Uji coba penggunaan stimulan: 1. Menentukan pohon sampel secara purposif sebanyak 81 batang untuk semua perlakuan termasuk untuk kontrol. 2. Mencatat kondisi awal pohon pinus yang akan disadap, seperti diameter pohon dan tinggi pohon. 3. Membersihkan perdu atau semak sedemikian rupa sehingga sinar matahari dapat langsung mengenai bidang sadap dan juga untuk memudahkan pengerjaan penyadapan. Teknik penyadapan yang dicobakan adalah Mujitech, bor, dan kedukul. Teknik Mujitech: 1. Batang pinus yang sudah dibersihkan dari semak belukar kemudian dilukai dengan alat sadap semi mekanis Mujitech, dengan ukuran lebar ± 5 cm, tinggi ± 15 cm, dan tebal ± 3 mm atau sampai menyentuh kayu bagian dalam. 2. Getah yang dikeluarkan ditampung di batok. 3. Bidang perlukaan kemudian disemprot stimulan sebanyak ± 1 cc per batang pohon pinus.
286
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
4. Dilakukan pembaharuan luka setiap 3 hari sekali selama 15 hari dengan arah di atas koakan yang pertama dan diulang penyemprotan stimulan sebanyak ± 1 cc per batang pohon pinus. 5. Pengambilan getah dilakukan setelah 15 hari penyadapan.
1
2
3
Gambar 1. Alat Mujitech dan cara penyadapannya Teknik penyadapan bor: 1. Batang pohon dibor dengan diameter bor kurang lebih 1 cm dan 1 kedalaman 7 cm dengan 2arah miring ke atas untuk 3 mempermudah pengaliran getah. 2. Getah dialirkan melewati talang berbentuk pipa dan ditampung dalam kantong plastik. 3. Bidang perlukaan kemudian disemprot stimulan sebanyak ± 1 cc per batang pohon pinus. 4. Dilakukan pembaharuan perlukaan setiap 3 hari sekali selama 15 hari dan disemprot ulang dengan stimulan sebanyak 1 cc. 5. Pengambilan getah dilakukan setelah 15 hari penyadapan. 1
2
3
1
2
3
Gambar 2. Alat bor dan cara penyadapannya
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
287
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Teknik kedukul: 1. Setelah batang pinus yang akan disadap bersih dari semak belukar, kemudian dilukai dengan alat sadap yang disebut kedukul dengan ukuran koakan lebar ± 5 cm, tinggi 20–30 cm, dan tebal ± 3 mm atau sampai menyentuh kayu bagian dalam. 2. Getah yang dikeluarkan ditampung di batok. 3. Bidang perlukaan kemudian disemprot stimulan sebanyak ± 1 cc per batang pohon pinus. 4. Dilakukan pembaharuan luka setiap 3 hari sekali selama 15 hari dengan arah di atas koakan yang pertama dan diulang penyemprotan stimulan sebanyak ± 1 cc per batang podon pinus. 5. Pengambilan getah dilakukan setelah 15 hari penyadapan.
1
2
3
Gambar 3. Alat kedukul dan cara penyadapannya
D. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) untuk menguji pengaruh stimulan hayati terhadap produksi getah yang dihasilkan. Stimulan hayati yang diuji coba ada 6 jenis dan teknik sadapan yang digunakan 3 macam, masing-masing dibuat 3 ulangan baik untuk pohon pinus yang diberi stimulan hayati maupun untuk kontrol (tanpa perlakukan).
288
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
III. DESKRIPSI BAHAN-BAHAN STIMULAN HAYATI Penelitian tentang uji coba stimulan hayati ini merupakan penelitian awal untuk mencari bahan alternatif stimulan dalam penyadapan pinus untuk meningkatkan produksi getah, tetapi aman bagi penyadap dan pohon pinus yang disadap serta dapat meminimalkan gangguan lingkungan yang terjadi. Pemilihan stimulan hayati dari bahan dasar tumbuh-tumbuhan berupa jahe, lengkuas, kunyit, kencur, bawang merah, dan bawang putih bertolak dari pemikiran sederhana, yaitu jenis-jenis tanaman tersebut mudah diperolah, relatif terjangkau harganya, sudah dikenal oleh masyarakat, dan mudah dibudidayakan. Selain itu penggunaannya jenis-jenis tanaman tersebut mampu memberikan efek “panas”, sehingga dimungkinkan dapat merangsang mengalirnya keluarnya getah lebih lancar. Namun demikian, masih perlu dipikirkan lebih lanjut perihal penggunaan stimulansia hayati khususnya jenis tanaman tersebut dalam skala besar, terutama penggadaan bahan bakunya. Oleh karena itu masih perlu dikaji lagi dari aspek ekonomi dan teknologi pengolahannya. Bawang merah (Allium cepa) mengandung belerang, yaitu zat yang berperan sebagai pencetus rasa pedas dan aroma khas bawang merah serta keluarnya gas yang menyebabkan mata berair saat barang merah dikupas. Lebih jauh dijelaskan bahwa zat belerang ini juga berperan dalam mencegah pembekuan darah (Detik Health, tanpa tahun). Kandungan minyak atsiri dalam bawang merah dapat berperan sebagai antibakteri dan antiseptik, selain itu juga dapat melancarkan sirkulasi darah. Komponen bawang merah mengandung vitamin C, kalium, serat, dan asam folat. Selain itu, bawang merah juga mengandung kalsium dan zat besi. Bawang merah juga mengandung zat pengatur tumbuh alami berupa hormon auksin dan giberelin. Bawang putih (Alium sp.) mentah penuh dengan senyawa-senyawa sulfur, termasuk zat kimia yang disebut alliin yang membuat bawang putih mentah terasa getir atau angur. Selain itu juga mengandung kalsium, saltivin, sulfur, fosfor, zat besi, protein, vitamin A, vitamin B, dan vitamin C. Kegunaan bawang putih sendiri tidak jauh berbeda dengan bawang merah. Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan salah satu dari lima jenis tumbuhan yang dikembangkan sebagai tanaman obat asli Indonesia. Bagian rimpangnya digunakan sebagai bahan baku industri obat tradisional, bumbu
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
289
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dapur, bahan makanan, maupun minuman penyegar lainnya. Kencur mengandung minyak atsiri dan digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati radang (Nur Hasanah dkk. 2011). Menurut Tewtrakul dkk. (2005) dalam Gholib (2011), ekstrak air suling rimpang kencur mengandung ethylpmethoxycinnamate, methylcinnamate, carvone, eucalyptol dan pentadecane telah dilaporkan sebagai antifungi. Selain itu ekstrak etanol rimpang kencur juga mempunyai efek daya hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Lengkuas (Alpinia galanga L.) merupakan anggota familia Zingiberaceae yang lain dan biasanya dimanfaatkan untuk bumbu dapur selama bertahuntahun tanpa menimbulkan efek samping. Rimpang lengkuas juga manjur sebagai obat gosok untuk penyakit jamur kulit (panu) sebelum obat-obatan modern berkembang seperti sekarang. Penelitian Yuharmen dkk. (2002) dalam Handajani dan Tjahjadi Purwoko (2008) menunjukkan adanya aktivitas penghambatan pertumbuhan mikrobia oleh minyak atsiri dan fraksi metanol rimpang lengkuas pada beberapa spesies bakteri dan jamur. Komponen bioaktif yang menyebabkan aroma pedas menyengat pada lengkuas telah dibuktikan dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis jamur. Komponen tersebut adalah linalool, geranyl acetate, dan 1,8- cineole yang dapat menghambat water molds, seperti jenis Carassius auratus dan Xiphoporus maculates (Chukanhom dkk. 2005). Khasiat antijamur ekstrak lengkuas merah telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Parutan rimpang lengkuas merah telah banyak digunakan sejak zaman dahulu sebagai obat bagi beberapa penyakit kulit, seperti panu, kurap, eksim, jerawat, koreng, bisul, dan sebagainya. Akhir-akhir ini penelitian tentang pemanfaatan lengkuas banyak difokuskan sebagai pengobatan dan pencegahan (chemopreverent) kanker (Widjaja 2009). Lebih lanjut disebutkan bahwa ekstrak etil asetat lengkuas dapat menghambat proliferasi sel kanker dalam kultur, baik menggunakan alur sel kanker maupun sel kanker primer manusia. Jahe (Zingiber officinale) mempunyai ciri kahs dengan adanya minyak atsiri dan oleoresin. Aroma harum jahe disebabkan oleh minyak atsiri, sedangkan oleoresinnya menyebabkan rasa pedas. Kandungan minyak atsiri dalam jahe kering sekitar 1–3%. Komponen dalam oleoresin jahe terdiri atas gingerol dan zingiberen, shagaol, minyak atsiri, serta resin. Pemberi rasa pedas dalam jahe yang utama adalah zingerol (Koswara 2009), sedangkan gingerol bersifat antikoagulan, yaitu mencegah penggumpalan darah. Jahe adalah salah satu bahan pangan yang mengandung senyawa fenol yang berperan sebagai antioksidan.
290
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Kunyit (Curcuma longa Linn) termasuk dalam kelompok jahe-jahean dan dan biasa digunakan untuk bumbu rempah-rempah selain itu juga banyak dimanfaatkan untuk kesehatan (jamu) dan kecantikan. Produk bahan jadi dari ekstrak kunyit berupa suplemen makanan dalam bentuk kapsul (Vitaminplus) pasar dan industrinya sudah berkembang. Suplemen makanan dibuat dari bahan baku ekstrak kunyit dengan bahan tambahan Vitamin B1, B2, B6, B12, Vitamin E untuk konsumsi anak-anak yang susah makan. Kunyit berkhasiat untuk mendinginkan badan, membersihkan, memengaruhi bagian perut khususnya pada lambung, merangsang, melepaskan lebihan gas di usus, menghentikan pendarahan, dan mencegah penggumpalan darah, selain dari itu juga digunakan sebagai bahan dalam masakan. Kunyit mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid terdiri dari kurkumin, desmetoksikumin sebanyak 10%, serta bisdesmetoksikurkumin sebanyak 1–5% dan zat- zat bermanfaat lainnya seperti minyak atsiri yang terdiri atas Keton sesquiterpen, turmeron, tumeon 60%, Zingiberen 25%, felandren, sabinen, borneol, dan sineil. Kunyit juga mengandung lemak sebanyak 1–3%, karbohidrat sebanyak 3%, protein 30%, pati 8%, vitamin C 45–55%, dan garam-garam mineral, yaitu zat besi, fosfor, dan kalsium (Wikipedia).
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Stimulan hayati yang digunakan sebanyak 6 jenis, yaitu jahe, lengkuas, kunyit, kencur, bawang merah, dan bawang putih. Semua stimulan hayati tersebut diperoleh dengan cara mengekstrak dari umbinya, yaitu dengan cara diparut kemudian diperas dan disaring. Hasil perasannya kemudian ditampung dalam jeligen. Perlu dicatat bahwa cairan hasil perasan tersebut harus segera digunakan di lapangan karena tidak tahan lama. Berdasarkan pengalaman, cairan hasil ekstrak stimulan hayati hanya bertahan 1 hari di udara terbuka, sedangkan bila dimasukkan ke dalam kulkas mampu bertahan 1 minggu. Selama dibawa menuju lokasi penelitian, ekstrak tersebut juga harus ditempatkan di wadah tertutup atau di kotak pengawet makanan (container makanan) supaya tetap terjaga kesegarannya. Dikhawatirkan bila ekstrak stimulan hayati tersebut rusak tidak akan efektif sebagai stimulan. Penelitian uji coba penggunaan stimulansia berbahan dasar hayati didahului dengan pengukuran diameter pohon pinus yang akan digunakan sebagai bahan uji cobanya. Hasil pengukuran diameter pohon pinus dituangkan dalam Tabel 1. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
291
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 1. Rata-rata diameter pohon pinus yang digunakan untuk uji coba Jenis stimulan Lengkuas Jahe Kunyit Kencur Bawang merah Bawang putih Kontrol
Teknik penyadapan Mujitech (cm) Bor (cm) Kedukul (cm) 25,80 24,20 24,20 28,03 23,25 23,25 23,99 21,02 22,40 23,25 26,00 21,44 23,78 22,82 21,55 23,25 25,26 23,78 23,99 23,57 27,60
Berdasarkan Tabel 1 tersebut, dapat dilihat bahwa diameter pohon pinus yang digunakan untuk uji coba penelitian berkisar 21,02–28,03 cm. Hasil getah penyadapan pinus yang diperoleh setelah penggunaan stimulansia hayati sebanyak 6 jenis dan dilakukan dengan 3 cara penyadapan dapat dilihat pada Tabel 2. Pemberian 6 jenis stimulan hayati yaitu lengkuas, jahe, kunyit, kencur, bawang merah, dan bawang putih dengan 3 teknik sadapan pinus yaitu Mujitech, bor, dan kedukul menghasilkan getah yang bervariasi jumlahnya. Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa pemberian stimulan hayati lengkuas dengan teknik penyadapan Mujitech menghasilkan getah sadapan pinus yang lebih tinggi dibandingkan dengan stimulan lainnya, yaitu 26,65 g dan lebih tinggi dibanding kontrol. Kemudian diikuti stimulan bawang merah dan jahe, masing-masing 14,06 g dan 11,52 g. Pada teknik sadapan kedukul, pemberian stimulan kencur, lengkuas, dan bawang putih berturutturut menghasilkan getah lebih banyak daripada kontrol, yaitu 31,04 g; 22,6 g; dan 20,43 g sedang kontrol sebesar 13,97 g. Sementara itu pada teknik penyadapan dengan menggunakan bor, pemberian 3 jenis stimulan yaitu bawang merah, jahe, dan lengkuas menghasilkan getah yang cukup tinggi dibandingkan dengan kontrol, yaitu masing-masing sebesar 18,80 g, 17,54 g, dan 13,80 g.
292
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 2. Getah hasil penyadapan berdasarkan 6 jenis stimulan hayati dan 3 teknik penyadapan
Perlakuan Lengkuas Jahe Kunyit Kencur Bawang merah Bawang putih Kontrol
Mujitech
Teknik penyadapan Bor
Kedukul
(g) 26,65 11,52 4,34 6,54 14,06 9,38 6,08
(g) 13,80 17,54 1,18 5,60 18,80 5,97 9,43
(g) 22,60 10,49 8,13 31,04 11,20 20,43 13,97
Penggunaan stimulansia berbahan dasar lengkuas, jahe, kencur, bawang merah, dan bawang putih dapat meningkatkan rata-rata produksi getah dengan alat Mujitech berturut-turut sebesar 339,8%; 90,1%; 7,9%; 132%; dan 54,8%. Jika menggunakan alat bor, penggunaan stimulansia lengkuas, jahe, dan bawang merah dapat meningkatkan rata-rata produksi getah berturutturut sebesar 46,3%; 86%; dan 99,4%, sedangkan menggunakan alat kedukul stimulansia lengkuas, kencur, dan bawang putih dapat meningkatkan getah berturut-turut sebesar 58%; 122,2%; dan 46,2%. Hasil uji kadar kotoran terhadap getah yang dihasilkan seperti tersaji dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar kotoran getah bervariasi begantung teknik penyadapan. Kotoran yang ditemukan berupa sisa ranting, daun jarum pinus yang kering, rumput, tanah, dan kerikil. Hal ini terjadi pada saat pembaharuan penyadapan. Sisa batang/kulit yang terkoak banyak yang jatuh di tempat penampungan getah, yaitu pada teknik Mujitech dan kedukul, sedangkan pada teknik bor tidak ditemukan. Pada pengamatan di lapangan, pembaharuan luka sadap dengan teknik Mujitech dan kedukul biasanya tidak memindahkan sementara tempat penampungan getah pada saat pembaharuan dilakukan sehingga sisa-sisa batang atau kulit yang terkoak jatuh di dalam tempat penampungan tersebut. Hal ini dilakukan untuk mempersingkat waktu kerja panyadap. Sementara itu pada teknik bor, tempat penampungan getah (pipa dan plastik) disingkirkan sementara pada saat pembaharuan dilakukan.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
293
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Kadar kotoran dalam getah pinus 6,83% untuk teknik Mujitech; 3,96% untuk teknik bor dan 7,49% untuk teknik kedukul. Sementara itu kadar kotoran getah dalam kontrol 7,92% dengan teknik kedukul. Secara keseluruhan, kadar kotoran getah pada teknik bor memang lebih bersih dibandingkan Mujitech dan kedukul. Hanya saja waktu yang dibutuhkan untuk membuat maupun memperbaharui luka sadap bor lebih lama dan cukup menyita tenaga dibandingkan dengan Mujitech dan kedukul. Akibatnya teknik ini tidak dipilih oleh petani penyadap. Tabel 3. Kadar kotoran dalam getah pinus berdasarkan teknik penyadapan Teknik penyadapan Mujitech Bor Kedukul Kontrol
Kadar kotoran (%) 6,83 3,96 7,49 7,92
V. KESIMPULAN DAN SARAN Penggunaan stimulansia berbahan dasar lengkuas, jahe, kencur, bawang merah, dan bawang putih dapat meningkatkan rata-rata produksi getah dengan alat Mujitech berturut-turut sebesar 339,8%; 90,1%; 7,9%; 132%; dan 54,8%. Jika menggunakan alat bor, penggunaan stimulansia lengkuas, jahe, dan bawang merah dapat meningkatkan rata-rata produksi getah berturutturut sebesar 46,3%; 86%; dan 99,4%, sedangkan menggunakan alat kedukul stimulansia lengkuas, kencur, dan bawang putih dapat meningkatkan getah berturut-turut sebesar 58%; 122,2%; dan 46,2%. Penyadapan getah pinus menggunakan teknik bor lebih bersih dibandingkan dengan teknik Mujitech dan kedukul. Penggunaan stimulansia berbahan dasar hayati diharapkan dapat menggantikan stimulansia berbahan dasar asam kuat. Alternatif stimulansia berbahan dasar hayati yang lainnya masih terus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, social, dan ekologi. Penggunaan stimulansia berbahan dasar hayati dirasa lebih aman karena dapat meminimalkan gangguan kesehatan yang ditimbulkan. Oleh karena itu penggunaan stimulansia berbahan dasar hayati diharapkan dapat menggantikan stimulansia berbahan dasar asam kuat. Alternatif stimulansia berbahan dasar hayati yang lainnya masih terus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi.
294
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
DAFTAR PUSTAKA Perum Perhutani. 2012c. Marubeni beli gum rosin Perhutani. http:// perumperhutani.com (18 Mei 2012). Nur Hasanah A, F Nazaruddin, E Febrina, A Zuhrotun. 2011. Analisis Kandungan Minyak Atsiri dan Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L,). Jurnal Matematika & Sains. 16(3). Fakultas Farmasi. Universitas Padjadjaran. Bandung. Gholib D. 2011. Uji Daya Antifungi Ekstrak Etanol Rimpang Kencur (Kaemfera galanga L,) terhadap Pertumbuhan Jamur Trichophyton verrucosum Secara In Vitro, Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner (hal. 865–869). Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor, Chukanhom K, P Borisuthpeth, K Hatai. 2005. Antifungal Activities of Aroma Components from Alpinia galanga against Water Molds. Biocontrol Science. Vol. 10, No. 3 September 2005. Japan. Handajani NS, Tjahjadi P. 2008. Aktivitas Ekstrak Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga) terhadap Pertumbuhan Jamur Aspergillus spp, Penghasil Aflatoksin dan Fusarium moniliforme. Biodiversitas. 9(3): 161–164. Fakultas MIPA. Universwitas Sebelas Maret. Surakarta. Widjaja N. 2009. Pengaruh Alpinia galanga (Lengkuas) Terhadap Aktivitas Proliferasi Sel dan Indeks Apoptosis Pada Adenokarsinoma Mamma Mencit C3H [Thesis]. Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik Dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I Patologi Anatomi Universitas Diponegoro, Semarang. Tidak diterbitkan.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
295
KERUSAKAN TEGAKAN TINGKAT POHON AKIBAT PENYARADAN KAYU PADA AREAL TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII) DI PT GUNUNG MERANTI, KALIMANTAN TENGAH* Oleh: Dulsalam, Sukadaryati dan Sona Suhartana**
ABSTRAK Penyaradan kayu terutama pada sistem silvikultur intensif dapat menimbulkan kerusakan tegakan tinggal tingkat pohon. Tegakan tinggal ini diharapkan akan menjadi sumber daya yang dapat menggantikan pohon yang dimanfaatkan. Publikasi kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan pada sistem TPTII masih terbatas. Teknik penyaradan kayu berdampak negatif rendah diduga dapat mengurangi tingkat kerusakan tegakan tinggal. Untuk itu telah dilakukan penelitian kerusakan tegakan tingkat pohon akibat penyaradan kayu di PT Gunung Meranti, Kalimantan Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan tegakan tingkat pohon akibat kegiatan penyaradan kayu secara konvensional berkisar 9,42–13,46% dengan rata-rata 11,70% dan koefisien variasi sebesar 10,21%. Sementara kerusakan tegakan tinggal tingkat pohon akibat kegiatan penyaradan kayu secara berdampak negatif rendah berkisar antara 9,17–10,71 dengan ratarata 9,98% dan koefisien variasi sebesar 4,48%. Penyaradan kayu berdampak minimal perlu diimplementasikan oleh pelaksana di lapangan. Kata kunci: Penyaradan, berdampak negatif rendah, kerusakan tegakan, tingkat pohon
* Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan di Botani Square IPB ICC, Bogor.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
I. PENDAHULUAN Penyaradan kayu merupakan kegiatan pemindahan kayu dari tempat di mana pohon ditebang dan telah mengalami pemotongan batang tingkat pertama ke tempat pengumpulan kayu melalui jalan sarad yang tidak dipersiapkan secara maksimal. Penyaradan kayu dilakukan oleh satu regu penyarad menggunakan alat penyarad untuk penyaradan kayu. Alat yang dikaitkan dengan sistem pemanenan adalah alat penyaradan. Apabila alat penyaradannya dengan kabel, sistem pemanenannya disebut sistem kabel. Apabila penyaradan menggunakan trakor, sistem pemanenannya disebut sistem trakor. Apabila penyaradan menggunakan hewan kuda, sistem pemanenannya disebut sistem kuda-kuda. Pemilihan sistem penyaradan bergantung pada kondisi hutan seperti kemiringan, ukuran sortimen, dan jarak sarad (Suparto 1979). Kegiatan penyaradan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jarak sarad, jumlah muatan, topografi, cuaca, kondisi tanah, dan keterampilan pekerja (Dipodiningrat 1980). Cara penyaradan yang dikenal sampai saat ini ada 7 cara yang salah satunya adalah penyaradan dengan traktor (Elias 1988). Suparto (1979) menyatakan bahwa keuntungan penggunaan traktor sebagai alat sarad adalah dapat bergerak leluasa di antara pohon inti pada sistem tebang pilih, dapat digunakan dengan aman sampai tingkat kelerengan 40% dan dapat digunakan pada jarak yang cukup aman. Penyaradan dengan traktor dapat menimbulkan kerusakan tegakan tinggal dan tanah lantai hutan. Kegiatan penyaradan kayu dalam implementasi sistem silvikultur TPTII juga dapat menimbulkan kerusakan tegakan tinggal. Teknik penyaradan kayu berdampak negatif rendah diharapkan dapat mengurangi kerusakan tegakan tingkat pohon. Untuk itu telah diteliti kerusakan tegakan tinggal tingkat pohon akibat kegiatan penyaradan kayu di PT Gunung Meranti di Kalimantan Tengah. Hasil penelitian disajikan dalam tulisan ini. Tujuannya adalah memberikan informasi sejauh mana kerusakan tegakan tingkat pohon akibat kegiatan penyaradan kayu pada teknik penyaradan berdampak negatif rendah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penentu kebijakan dan pelaksana di lapangan.
298
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di areal HPH yang menerapkan sistem silvikultur TPTII, yaitu di PT Gunung Merenti di Kalimantan Tengah.
B. Bahan dan Peralatan Bahan dalam kajian ini adalah kayu yang siap disarad, solar, cat kayu, tambang plastik, dan kabel baja. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan lapangan yang meliputi meteran, alat pengukur waktu, traktor penyarad kayu.
C. Prosedur Penelitian Prosedur kerja penelitian kerusakan tegakan tingkat pohon akibat penyaradan kayu seperti diuraikan berikut ini. 1. Menentukan lokasi kajian secara purposif didasarkan pada kemudahan pelaksanaan penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan tetap mempertimbangkan keterwakilan populasi. 2. Membuat plot pengamatan pada lokasi terpilih. Plot pengamatan terdiri atas plot pengamatan secara konvensional dan plot pengamatan secara berdampak minimal. 3. Mengamati implementasi sistem TPTII (penyaradan untuk penyiapan lahan baik secara konvensional dan secara berdampak negatif rendah) pada lokasi terpilih. Penyaradan secara konvensional dilakukan menurut kebiasaan penyaradan di lapangan. Penyaradan berdampak negatif rendah dilakukan sebagai berikut. a. Jalan sarad direncanakan dengan baik b. Adanya kerja sama yang baik antara regu penebang dan regu penyarad c. Keterampilan operator traktor ditingkatkan d. Operator traktor membuat jalan sarad e. Traktor hanya beroperasi di atas jalan sarad Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
299
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
f.
Operator menggunakan jalur winching yang telah dipersiapkan
g. Penyaradan diusahakan tidak melintasi sungai/alur h. Pada waktu menyarad, bagian depan kayu yang disarad terangkat i.
Tenaga motor alat sarad yang digunakan maksimal 180 HP
j.
Pengawasan pada kegiatan penyaradan dilakukan secara teratur
4. Untuk mengamati kerusakan tegakan, dibuat plot contoh berukuran 40 m x 40 m sebanyak 3 buah. Pengamatan dilakukan pada tingkat pohon. Pohon disebut rusak apabila kerusakan pada pohon tersebut roboh atau mengalami kerusakan batang lebih dari 50%.
D. Analisis Data Data data diolah secara tabulasi. Alat analisis adalah rata-rata, standar deviasi, dan koefisien variasi. Kerusakan tegakan tinggal dihitung dengan rumus:
KT =
JR JS
Di mana: KT = kerusakan tegakan tinggal (%) JR = jumlah tegakan tinggal rusak (pohon) JS = jumlah tegakan tinggal (pohon)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan potensi tegakan dan kerusakan tegakan tinggal tingkat pohon per plot di PT Gunung Meranti disajikan pada Lampiran 1. Kerusakan tegakan tinggal pada tingkat pohon di PT Gunung Meranti disajikan pada Tabel 1. Sebagai gambaran, jalan sarad yang mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal disajikan pada Gambar 1. Gambar 2 menyajikan jalan sarad yang digunakan berulang-ulang.
300
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 1. Kerusakan tegakan tinggal tingkat pohon Teknik penebangan Berdampak negatif Perusahaan Konvensional rendah No. Kerusakan Kerusakan Plot Plot (%) (%) PT Gunung Meranti 1 9,42 1 9,17 2 12,22 2 10,71 3 13,46 3 10,10 Jumlah 35,10 Jumlah 29,98 Rata-rata 11,70 Rata-rata 9,99 SD 1,19 SD 0,45 KV 10,21 KV 4,48 Keterangan: SD = Standar deviasi; KV = Koefisien variasi Kerusakan tegakan tinggal pada tingkat pohon akibat penyaradan kayu juga bervariasi antara teknik penyaradan yang satu dan keteknik penyaradan yang lain (Tabel 1). Rata-rata kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan pada teknik penyaradan konvensional cenderung lebih tinggi apabila dibandingkan dengan rata-rata kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan pada teknik penyaradan berdampak negatif rendah, yaitu secara berurutan 11,70% dibandingkan dengan 9,99. Variasi kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan secara berdampak minimal di PT Gunung Meranti lebih kecil dibandingkan dengan variasi kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan secara konvensional, yaitu secara berurutan dengan koefisien variasi 4,48% dibandingkan dengan koefisien variasi 10,21%. Secara umum dapat dikatakan bahwa penyaradan kayu berdampak negatif rendah menimbulkan kerusakan tegakan tinggal tingkat pohon yang relatif rendah sebagai akibat dari semakin sedikitnya kayu yang rusak akibat kegiatan penyaradan kayu.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
301
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 1. Jalan sarad
Gambar 2. Jalan sarad yang digunakan berulang-ulang
302
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pada pelaksanaan penebangan dan penyaradan yang dilakukan sesuai kebiasaan mereka pada sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI), yaitu sebelum penebangan tidak dilakukan penghilangan banir, jalan sarad tidak dibuat sebelumnya, pembuatan takik rebah, dan takik balas belum dilakukan sebagaimana mestinya, kerusakan tegakan tinggal rata-rata berkisar 11,75– 20,20% (Idris dan Suhartana 1997; Suhartana 1997; Sukadaryati; Dulsalam 2002). Faktor dominan yang memengaruhi terjadinya kerusakan tegakan tinggal adalah jumlah pohon ditebang, kerapatan tegakan, dan kemiringan lapangan. Makin tinggi tingkat kerapatan tegakan, makin tinggi tingkat kerusakan tegakan tinggal yang terjadi (Dulsalam et al. 1989). Jumlah pohon ditebang per satuan luas dan kemiringan lapangan berpengaruh sangat nyata terhadap kerusakan tegakan tinggal (Suhartana dan Dulsalam 1994). Hasil penelitian pada tegakan tinggal dalam kegiatan pemanenan kayu dengan sistem traktor dan highlead memperlihatkan bahwa keragaan kedua sistem tersebut dipandang dari segi pohon inti, maka pada sistem traktor, 52,6% dari HPH, tegakan tinggalnya masih memenuhi ketentuan TPI, sedangkan pada sistem highlead tidak ada satu pun HPH yang tegakan tinggalnya memenuhi ketentuan tersebut. Pada sistem traktor kerusakan bervariasi antara 3,8–50,8% untuk kelompok jenis perdagangan dan 3,9– 52,2% untuk kelompok semua jenis. Pada sistem highlead, besar kerusakan tersebut berkisar 68,7–71,7% (Thaib 1985a). Hasil penelitian pengaruh penggunaan traktor terhadap tegakan tinggal di 10 HPH di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa secara resmi semua HPH yang diteliti menganut sistem TPI untuk pelaksanaan kegaiatan TPI, tetapi belum ada satu pun di antaranya yang menerapkan ketentuan tersebut secara penuh. Dalam keadaan seperti itu terjadi penurunan jumlah pohon berdiameter 20 cm ke atas per hektare sekitar 6,7–23,5% untuk penebangan 1 sampai 4 pohon/ha, 11,7–31,8% untuk penebangan 5–9 pohon/ha, dan 22–40,1% untuk penebangan 10 pohon/ha atau lebih (Thaib 1985b). Pelaksanaan pemanenan kayu berdampak negatif rendah atau terkendali dapat dicapai apabila kegiatan penebangan dan penyaradan dilakukan dengan cara: membuat perencanaan jalan sarad berdasarkan topografi dan lokasi penyebaran pohon dengan tanda yang jelas (cat kuning) di lapangan; jalan sarad dibuat sependek mungkin dan menghindari rusaknya pohon inti dan pohon induk serta tegakan tinggal yang rapat; melakukan pembersihan semak belukar di sekitar pohon yang akan ditebang; menetapkan arah rebah Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
303
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
pohon sehingga membentuk sudut lancip dengan arah penyaradan yang akan dilakukan; menghindari jatuhnya pohon ke arah pohon inti dan pohon induk serta lereng bawah/jurang; melakukan penghilangan banir pada pohon tebang yang berbanir; membuat alas takik rebah dan takik balas serendah mungkin (± 54 cm dari permukaan tanah); pada waktu penyaradan dilakukan bagian depan kayu yang disarad terangkat dari permukaan tanah dengan bantuan tenaga dari traktor; traktor sarad tidak membuat gerakan membelok yang tajam dan mendadak yang akan mengakibatkan kayu yang disarad menyapu kiri-kanan tegakan tinggal; dilakukan teknik “winching” bila traktor sarad tidak kuat menyarad kayu pada arah mendaki, yaitu traktor tetap bergerak maju dengan mengulur kabel sehingga kayu yang disarad tidak bergerak untuk selanjutnya traktor sarad berhenti/tidak bergerak, sedangkan kabel sarad digulung dengan tromol sehingga kayu yang disarad dapat ditarik; traktor sarad pada waktu menuruni lereng bergerak membentuk sudut lancip dengan arah lurus menurunnya lereng. Apabila kegiatan penebangan dan penyaradan dilakukan secara terkendali, maka kerusakan tegakan tinggal rata-rata yang terjadi berkisar 7,05–11,30% (Idris dan Suhartana 1997; Suhartana 1993, 1997, 2001; Suhartana dan Dulsalam 2000; Sukadaryati dan Dulsalam 2002). Kerusakan tegakan tingkat pohon akibat kegiatan penyaradan kayu dengan teknik berdampak negatif rendah di PT Gunung meranti sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penyaradan menurut Idris dan Suhartana (1997), Suhartana (1993, 1997, 2001), Suhartana dan Dulsalam (2000), serta Sukadaryati dan Dulsalam (2002). Hal ini disebabkan selain perbedaan kondisi lapangan, juga disebabkan oleh perbedaan tingkat tegakan yang diamati.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kerusakan tegakan tinggal tingkat pohon akibat kegiatan penyatradan kayu secara konvensional berkisar 9,42–13,46% dengan rata-rata 11,70%, sedangkan kerusakan tegakan tinggal tingkat pohon akibat kegiatan penyaradan kayu secara berdampak negatif rendah berkisar 9,17–10,71 dengan rata-rata 9,98%. Penyaradan kayu berdampak negatif rendah perlu diimplementasikan.
304
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
DAFTAR PUSTAKA Dipodiningrat S. 1980. Prestasi dan biaya sarad traktor sarad (Studi kasus di HPH PT BFI Kalimantan Timur). Proceedings Seminar Eksploitasi Hutan. Tanggal di Cisarua, Bogor. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Dulsalam, Sukanda, I Sumantri. 1989. Kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan kayu dengan traktor pada berbagai tingkat kerapatan tegakan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 6(6): 349–352. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Elias. 1988. Pembukaan Wilayah Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Idris, S Suhartana. 1997. Pembalakan ramah lingkungan untuk minimasi kerusakan tegakan tinggal: kasus di suatu perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 15(3): 212–222. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan. Suhartana S. 1993. Kajian keberadaan tegakan tinggal dan keterbukaan lahan pada kegiatan penyaradan dan penebangan di suatu perusahaan hutan di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 11(3): 117–121. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. ___________. 1994. Penetapan besarnya limbah penebangan serta upaya penekanannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 9(3): 25–31. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. ___________, Dulsalam. 1994. Kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan: kasus di suatu perusahaan di Riau. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 12(1): 25–29. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan. ____________. 1997. Penyaradan yang direncanakan untuk minimasi kerusakan tegakan tinggal: kasus di dua perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 15(1): 60–67. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
305
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
____________, Dulsalam. 2000. Pemanenan berwawasan lingkungan untuk minimasi kerusakan hutan. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 18(2): 87–103. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. __________. 2001. Pengaruh penebangan terkendali dan konvensional terhadap kerusakan tegakan tinggal dan produktivitas kerja. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 19(4): 219–230. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Sukadaryati, Dulsalam. 2002. Kerusakan tegakan tinggal, pergeseran tanah dan biaya pada penyaradan terkendali. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 20(5): 379–399. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Suparto RS. 1979. Eksploitasi Hutan Modern. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Thaib J. 1985a. Pengaruh penggunaan traktor terhadap tegakan tinggal pada beberapa pengusahaan hutan di Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 2(3): 10–14. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. ______. 1985b. Kerusakan tegakan sisa akibat eksploitasi hutan dengan sistem traktor dan highlead. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 2(4): 14– 18. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
306
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lampiran 1. Potensi tegakan dan kerusakan tegakan tinggal tingkat pohon akibat penyaradan kayu di PT Gunung Meranti Teknik penyaradan/ Plot A. Konvensional 1 2 3 B. Berdampak negative rendah 1 2 3 3
Potensi tegakan (pohon/ha)
Kerusakan tegakan (pohon/ha)
Persentase kerusakan (%)
276 180 156
26 22 21
9,42 12,22 13,46
240 168 198 166
22 18 20 16
9,17 10,71 10,10 9,43
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
307
TEKNOLOGI PENGOLAHAN NATA PINNATA UNTUK PENINGKATAN RAGAM PRODUK DAN NILAI EKONOMI NIRA AREN* Oleh: Mody Lempang**
ABSTRAK Aren (Arenga pinnata Merr.) adalah pohon serbaguna yang sejak lama telah dikenal menghasilkan bahan industri. Hampir semua bagian tumbuhan ini dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi. Namun yang banyak diusahakan oleh petani adalah menyadap niranya untuk dimanfaatkan sebagai minuman dan terutama diolah menjadi gula aren. Penyadapan nira aren dan pengolahannya menjadi gula memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi peningkatan ekonomi petani. Kontribusi nilai ekonomi nira aren tersebut masih dapat ditingkatkan melalui teknologi pengolahannya untuk menghasilkan produk nata pinnata karena rendemen pengolahan nata pinnata (94,22%) jauh lebih tinggi daripada rendemen pengolahan gula aren (10,48%). Teknologi pengolahan nata pinnata selain dapat meningkatkan nilai ekonomi, ragam produk dan efisiensi pemanfaatan nira aren, juga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Kata kunci: Teknologi pengolahan, nira aren, produk, nata pinnata
I. PENDAHULUAN Pohon aren atau enau (Arenga pinnata Merr.) merupakan tumbuhan yang menghasilkan bahan-bahan industri sejak lama kita kenal. Hampir semua bagian pohon aren (daun, umbut, bunga, batang, akar, ijuk dan kawul, nira, buah dan pati/tepung) bermanfaat dan dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan. Begitu banyak ragam produk yang dipasarkan setiap hari yang bahan bakunya berasal dari pohon aren dan permintaan produk-produk tersebut baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor semakin meningkat. Selama ini permintaan produk-produk yang bahan bakunya dari pohon aren masih dipenuhi dengan mengandalkan pohon aren yang tumbuh * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013 ** Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Makassar
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
liar. Penebangan pohon aren untuk diambil tepungnya, perambahan hutan, dan konversi kawasan hutan alam untuk penggunaan lain telah menyebabkan populasinya mengalami penurunan yang cepat. Namun, tumbuhan ini kurang mendapat perhatian untuk dikembangkan atau dibudidayakan secara sungguh-sungguh oleh berbagai pihak. Pohon aren adalah salah satu jenis tumbuhan palma yang menghasilkan nira yang diperoleh melalui penyadapan tandan bunga jantan. Selain dapat dikonsumsi langsung sebagai minuman, nira aren dapat juga diolah untuk menghasilkan berbagai produk baik melalui proses fermentasi maupun tanpa fermentasi. Salah satu produk nira aren yang dapat dihasilkan melalui proses fermentasi adalah nata pinnata. Nata selama ini telah dikenal sebagai bahan pangan rendah kalori yang dikonsumsi sebagai makanan pencuci mulut (food dissert) dan produk ini banyak digunakan sebagai pencampur es teler, cokelat buah, sirup, jelly, dan sebagainya. Saat ini nata de coco yang diproduksi dari air buah kelapa maupun nira yang disadap dari tandan bunga kelapa telah menjadi komuditas yang dipasarkan secara luas, baik dalam negeri maupun ekspor. Secara fisik, nira aren tidak berbeda nyata dengan nira kelapa sehingga ada peluang untuk mengolah nira aren menjadi produk nata pinnata. Pengolahan nira aren untuk menghasilkan nata pinnata selain dapat meningkatkan ragam produk yang dihasilkan, juga dapat meningkatkan nilai ekonomi nira aren.
II. PENYEBARAN DAN TEMPAT TUMBUH AREN Salah satu tanaman yang paling penting dan umumnya tumbuh jauh di daerah pedalaman adalah aren. Jenis tanaman ini tumbuh menyebar secara alami di negara-negara kepulauan bagian tenggara, antara lain Malaysia, India, Myanmar, Laos, Vietnam Kepulauan Ryukyu, Taiwan, dan Philipina (Hadi 1991a). Di Indonesia, tanaman aren banyak terdapat dan tersebar hampir di seluruh wilayah nusantara, khususnya di daerah-daerah perbukitan yang lembap (Sunanto 1993), dan tumbuh secara individu maupun secara berkelompok (Alam dan Suhartati 2000). Heyne (1950) melaporkan bahwa tanaman aren sering tumbuh mulai dari permukaan laut sampai ketinggian 1.300 m dari permukaan laut (dpl). Namun tanaman ini lebih menyukai tempat dengan ketinggian 500–1.200 m dpl (Lutony 1993) dan bila dibudidayakan pada tempat-tempat dengan ketinggian 500–700m dpl, akan memberikan hasil yang memuaskan (Soeseno 1991). Kondisi tanah yang
310
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
cukup sarang, seperti tanah yang gembur, tanah vulkanis di lereng gunung, dan tanah yang berpasir di sekitar tepian sungai merupakan lahan yang ideal untuk pertumbuhan aren. Suhu lingkungan yang terbaik rata-rata 25˚C dengan curah hujan setiap tahun rata-rata 1.200 mm.
III. POTENSI HUTAN AREN Data pasti tentang jumlah populasi tanaman aren di Indonesia hingga tahun 2012 memang belum ada. Tanaman ini tumbuh tersebar di berbagai pulau dan sebagian besar populasinya masih merupakan tanaman liar yang tumbuh subur dan menyebar secara alami pada berbagai tipe hutan. Areal hutan aren umumnya berada dalam kawasan hutan negara yang dikelola masyarakat secara turun-temurun dan hanya sebagian kecil yang berada pada tanah milik. Di kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat, luas hutan aren tercatat 2.915 ha dimiliki oleh 9.576 petani dan pada tahun 1986 menghasilkan gula aren sebanyak 3.584,509 ton (Antaatmadja 1989). Alam dan Suhartati (2000) melaporkan bahwa luas areal hutan aren di Desa Umpungeng Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi Selatan adalah 620 ha (4% dari luas kawasan hutan) dengan kerapatan pohon rata-rata 5 pohon/ha, maka potensi hutan aren di desa tersebut adalah 3.100 pohon. Selanjutnya dilaporkan bahwa setiap petani di Desa Umpungeng mengelola hutan aren yang luasnya ratarata 7 ha (2–20 ha) dengan jumlah pohon aren rata-rata 36 pohon (12–60 pohon).
IV. PRODUKSI NIRA AREN Nira aren adalah cairan yang berasal dari hasil penyadapan tandan bunga aren. Aren mulai berbunga pada umur 12–16 tahun, bergantung pada ketinggian tempat tumbuh dan sejak itu aren dapat disadap untuk diambil niranya dari tandan bunga aren jantan selama 3–5 tahun (Heyne 1950). Sesudah itu, pohon aren tidak produktif lagi dan lama kelamaan mati. Dari hasil survei di Sulawesi Utara, dilaporkan bahwa rata-rata hasil nira setiap pohon aren adalah 6,7 liter/hari (Mahmud et al. 1991). Sementara Soeseno (1991) mengemukakan bahwa dari setiap tandan bunga aren yang disadap seharinya hanya dapat dikumpulkan 2–4 liter/tandan. Sementara Sunanto (1993) menyatakan bahwa satu tandan bunga dapat menghasilkan 4–5 liter nira per hari. Pada tanaman aren yang sehat, setiap tandan bunga jantan bisa menghasilkan nira sebanyak 900–1.800 liter/tandan, sedangkan pada Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
311
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
tanaman aren yang pertumbuhannya kurang baik hanya rata-rata 300–400 liter/tandan (Lutony 1993). Di beberapa daerah dalam setahun dapat disadap sampai 4 tandan bunga per pohon dan setiap tandan bunga dapat disadap 3–5 bulan. Hasil penelitian Lempang dan Soenarno (1999a) di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa volume produksi nira aren dari setiap tandan bunga jantan pohon aren rata-rata 4,5 liter/hari dengan kisaran 2,8–7,0 liter/hari dengan waktu penyadapan setiap tandan 1,5–3 bulan (rata-rata 2,5 bulan).
V. MANFAAT NIRA AREN Dalam keadaan segar nira berasa manis, berbau khas nira dan tidak berwarna. Nira aren mengandung beberapa zat gizi antara lain karbohidrat, protein, lemak, dan mineral. Rasa manis pada nira disebabkan kandungan karbohidratnya mencapai 11,28%. Nira yang baru menetes dari tandan bunga mempunyai pH sekitar 7 (pH netral), akan tetapi pengaruh keadaan sekitarnya menyebabkan nira aren mudah terkontaminasi dan mengalami fermentasi sehingga rasa manis pada nira aren cepat berubah menjadi asam (pH menurun). Produk-produk nira dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu yang tidak mengalami proses fermentasi dan yang mengalami fermentasi (Barlina dan Lay 1994). Nira aren yang masih segar dapat langsung diminum atau dapat dibiarkan terlebih dahulu mengalami fermentasi sebelum diminum. Nira yang masih segar digunakan untuk obat sariawan, TBC, disentri, wasir, dan untuk memperlancar buang air besar (Ismanto et al. 1995). Nira aren yang telah mengalami fermentasi (peragian) berubah menjadi tuak. Tuak dari hasil fermentasi nira aren juga berguna sebagai perangsang haid dan cukup ampuh untuk melawan radang paru-paru dan mejan (Lutony 1993). Selain sebagai minuman, nira aren segar juga terutama digunakan sebagai bahan baku pengolahan gula aren. Pengolahan nira aren secara langsung setalah penyadapan dari pohon menghasilkan gula 104,8 gram per liter nira atau rendemen produksi 10,48% (Lempang 2000). Pengolahan langsung nira menghasilkan gula aren yang berwarna cokelat kemerahan, sifat lebih solid, dan memiliki rasa lebih manis. Sementara nira yang terlambat diolah akan menghasilkan gula yang berwarna kekuningan, lunak, atau tidak mengeras sehingga tidak dapat dicetak. Sampai saat ini produk utama pohon aren adalah gula aren. Gula aren ada tiga jenis, yaitu gula cetak (kerekan, batok, dan
312
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
balok), gula pasir, dan gula semut (Sapari 1994). Produk ini sejak lama sudah dikenal oleh masyarakat dan banyak digunakan dalam pembuatan kue, roti, kecap, dan produk pangan lainnya. Gula aren sering juga digunakan dalam ramuan obat tradisional dan diyakini memiliki khasiat sebagai obat demam dan sakit perut (Lutony 1993). Gula aren mengandung glukosa cukup banyak yang dapat membersihkan ginjal, sehingga dapat menghindarkan orang yang mengonsumsinya dari penyakit ginjal (Sapari 1994). Kekhasan gula aren dari segi kimia, yaitu mengandung sukrosa kurang lebih 84% dibandingkan dengan gula tebu dan gula bit yang masing-masing hanya 20% dan 17%, sehingga gula aren mampu menyediakan energi yang lebih tinggi dari gula tebu dan gula bit (Rumokoi 1990). Selain itu, kandungan gizi gula aren (protein, lemak, kalium, dan posfor) lebih tinggi dari gula tebu dan gula bit. Selain sebagai minuman dan bahan baku pembuatan gula, nira aren dapat juga digunakan sebagai bahan pengembang adonan (cake). Dari hasil penelitian Lempang dan Mangopang (2012), dilaporkan bahwa efektivitas nira aren sebagai bahan pengembang adonan roti rendah, sehingga kurang baik digunakan sebagai bahan pengembang adonan roti akan tetapi dapat digunakan sebagai bahan pengembang adonan cake yang membutuhkan pengembangan yang tidak terlalu besar. Produk-produk dari nira aren yang dihasilkan melalui proses fermentasi antara lain cuka, alkohol, dan nata pinnata. Proses fermentasi yang terjadi dalam pembuatan minuman beralkohol biasanya berlangsung secara spontan oleh adanya aktivitas organisme yang ada dalam nira itu sendiri. Mikroorganisme yang dominan dalam fermentasi nira adalah Saccharomyces cerevisae di samping jenis khamir yang lain seperti Schizosaccharomyces sp. dan Candida sp. serta beberapa jenis bakteri (Rumokoi 1990). Salah satu produk minuman beralkohol yang dihasilkan petani aren di daerah Sulawesi Utara adalah arak atau cap tikus yang mengandung alkohol antara 30–50% dan untuk mendapatkan 1 liter cap tikus dibutuhkan bahan baku nira antara 7–8 liter (Torar dan Kindangen 1990). Usaha pembuatan arak (minuman beralkohol) ini sudah semakin terbatas oleh berbagai ketentuan yang ada. Di samping itu harga arak yang dipasarkan juga rendah, sehingga selain sebagai minuman lebih baik jika produksinya diarahkan untuk bahan baku industri kosmetika dan farmasi (Torar dan Kindangen 1990) serta bahan bakar. Cuka dapat juga diperoleh melalui proses fermentasi berlanjut dari nira aren, di mana lama kelamaan alkohol dalam nira aren akan terurai dan Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
313
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
terbentuk menjadi cuka (asam asetat). Jika pebuatan alkohol dari nira dilakukan dalam wadah tertutup, sebaliknya pembuatan cuka justru dilakukan di dalam wadah terbuka dan setelah 8 hari seluruh nira sudah berubah menjadi cuka. Di Ambon, untuk mempercepat pembentukan asam cuka ini nira dibubuhi tumbukan biji galoba kusi (Horstedtia rumphii) dan prosesnya dilakukan dalam wadah tertutup yang dijemur di matahari atau dipanasi di dapur (Soeseno 1991). Setelah disaring dan dibersihkan dari kotoran yang mengendap di dasar wadah, cuka aren boleh dipakai sebagai bumbu masak. Karena kadar asam asetatnya hanya 3%, cuka aren ini tidak tahan lama disimpan.
VI. PRODUK NATA PINNATA Penganekaragaman produk nira aren merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatan petani aren. Salah satu jenis produk yang saat ini dapat dihasilkan dari pengolahan nira aren adalah nata pinnata. Nata berasal dari bahasa spanyol yang bahasa Inggrisnya berarti cream (Afri 1993), sedangkan pinnata merupakan kata yang diambil dari nama botanis pohon aren, yaitu Arenga pinnata. Nata adalah selulosa sintetik yang terbentuk dari proses fermentasi yang bersifat anabolik pada media cair, untuk menghasilkan senyawa kompleks selulosa dari pembentukan senyawa sederhana (gula). Acetobacter xylinum sangat penting dalam pembentukan nata karena bakteri ini dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk polisakarida yang dikenal dengan ekstracelluler selulosa. Bakteri nata dapat mengubah kurang lebih 90% gula menjadi selulosa dan selulosa yang dihasilkan bersama-sama dengan polysakarida berlendir membentuk suatu jalinan seperti tekstil (Barlina dan Lay 1994). Hasil penelitian Lempang (2006) melaporkan bahwa pengolahan nata pinnata melalui proses fermentasi yang menggunakan nira aren umur 6 jam dengan penambahan pupuk ZA sebanyak 2,5 g dan asam cuka 25% sebanyak 20 ml per liter nira aren dihasilkan rendemen rata-rata 94,22% (92,43–95,50%). Teknologi pengolahan nata pinnata juga dapat mengatasi masalah nira aren yang mengalami fermentasi lanjut karena terlambat diolah menjadi gula atau tidak laku dalam penjualan langsung. Pengolahan nata pinnata dari nira aren yang berumur 30 jam setelah disadap yang ditambahkan 2,5 g pupuk ZA dan tanpa penambahan gula menghasilkan rendemen 50,15%. Nilai rendemen tersebut masih perpeluang untuk ditingkatkan melalui penambahan gula pada bahan baku nira aren yang digunakan (Lempang
314
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
2006). Namun berapa banyak gula yang perlu ditambahakan per liter nira aren untuk menghasilkan rendemen yang maksimal, masih perlu penelitian.
VII. KANDUNGAN NUTRISI DAN MANFAAT NATA PINNATA Menghasilkan suatu produk makanan/minuman tidak cukup dengan hanya menguasai teknologi pengolahannya saja, tetapi perlu juga mengetahui bagaimana nilai nutrisi produk tersebut dan apa manfaatnya kalau dikonsumsi. Hasil analisis kandungan nutrisi nata pinnata yang diolah dari nira aren tidak berbeda jauh dengan nutrisi nata de coco yang diolah dari air kelapa atau dari nira kelapa maupun kandungan nutrisi kolang kaling. Nata pinnata mengandung kadar air 97,42%; protein 0,156%; vitamin C 0,003%; serat kasar 0,828%; lemak 0,028%; abu 0,093%; kalsium 0,012%; dan posfor 0,044% (Lempang 2006). Perbandingan kandungan nutrisi nata pinnata dengan nata de coco dan kolang kaling disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan kandungan nutrisi nata pinnata dengan nata de coco dan kolang kaling Komponen Kadar air Protein Vitamin C Vitamin B3 Serat kasar Lemak Kadar abu Kalsium Pospor
Nata de coco Nata de coco Kolang-kaling (Nata dari air (Nata dari kelapa) nira kelapa) 97,70 89,84 93,75 0,09 0,017 0,08 - 1,05 0,95 0,20 1,00 0,51 – 0,67 0,012 0,002 -
Nata pinnata (Nata dari nira aren) 97,42 0,156 0,003 0,828 0,028 0,093 0,012 0,044
Keterangan: Data dalam kolom 2, 3, dan 4 dikutip dari Barlina (1994) dan kolom 5 dari Lempang (2006). - = data tidak tersedia/kandungan unsur tidak diukur Secara fisik, nata pinnata tidak berbeda dengan nata de coco. Nata pinnata bertekstur lembut, berwarna putih, kenyal, serta rasa hambar. Produk nata merupakan bahan makanan dan banyak digunakan sebagai pencampur es teler, Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
315
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
cokelat buah, sirup, jelly, dan sebagainya. Nilai gizinya rendah, kandungan terbesarnya adalah air sehingga produk makanan ini banyak digunakan sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet dan juga mengadung serat pendek yang bermanfaat untuk meperlancar proses pencernaan. Barlina dan Lay (1994) mengemukakan bahwa nata merupakan jenis makanan penyegar atau pencuci mulut (food dissert) yang memegang andil yang cukup berarti untuk kelangsungan fisiologi secara normal. Selanjutnya dilaporkan bahwa nata de coco yang berasal dari air kelapa digemari oleh konsumen Jepang karena dianggap berkhasiat mencegah terjadinya kanker usus dan sebagian besar produk ini diimpor dari Filipina. Khasiatnya dalam mencegah kanker usus erat kaitannya dengan sifat kimia nata yang termasuk makanan rendah kalori atau non nutritif.
VIII. TEKNOLOGI PENGOLAHAN NATA PINNATA Teknologi pengolahan nira aren menjadi produk nata pinnata kemasan dilakukan dalam tiga tahapan proses sebagai berikut. 1. Produksi starter Starter adalah media cair dari nira aren bersama bahan tambahan lainnya (substrat) yang ditempatkan di dalam botol dan diinokulasi menggunakan larutan yang mengandung kultur murni bakteri Acetobacter xylinum yang kemudian diinkubasi selama beberapa waktu hingga bakteri tersebut berkembang. Starter digunakan sebagai inokulan pada media fermentasi nira nipah dalam nampan (baki fermentasi) untuk menghasilkan nata dalam bentuk lembaran. Untuk membuat starter, setiap satu liter nira nipah segar yang manis ditambahkan 2–2,5 g pupuk ZA (NH4)2SO4, dan 2–2,5 ml asam asetat. Apabila nira yang digunakan sudah rasa asam karena mengalami fermentasi yang cukup lama, dapat ditambahkan gula pasir 50–100 g/liter nira, akan tetapi penambahan asam asetat harus dikurangi menjadi 1–1,5 ml/ liter nira. Larutan dari bahan-bahan tersebut ditempatkan dalam panci perebus dan dipanaskan hingga mendidih. Larutan yang panas kemudian dimasukkan ke dalam botol inkubasi sebanyak 550 ml setiap botol. Mulut botol ditutup dengan kertas koran dan diikat dengan karet gelang, kemudian didinginkan selama 6 jam. Setelah larutan nira nipah dalam botol telah dingin, kemudian diinokulasi dengan larutan yang berisi kultur murni Acetobacter xylinum
316
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
sebanyak 50 ml yang telah disiapkan sebelumnya. Mulut botol ditutup kembali dengan kertas koran dan botol diletakkan dalam ruangan dengan suhu 28–30˚C selama proses inkubasi. Larutan induk A. xylinum dalam botol setelah diinkubasi 7–10 hari dapat digunakan sebagai starter pada proses produksi nata lembaran. Untuk tujuan penyimpanan stok bibit bakteri A. xylinum, maka proses inkubasi harus diperlambat atau dihentikan dengan cara menyimpan botol di dalam alat pendingin pada suhu 10–15˚C.
Gambar 1. Starter untuk produksi nata pinnata lembaran
Gambar 2. Nata pinnata lembaran dalam baki fermentasi
2. Produksi nata pinnata lembaran Setelah starter diinkubasi selama 7–10 hari, nira aren yang masih segar disaring lagi dan dimasukkan ke dalam panci perebus, dipanaskan hingga mendidih kemudian ditambahkan 2–2,5 g pupuk ZA dan 2–2,5 ml asam asetat per liter nira. Penggunaan nira yang telah mengalami fermentasi cukup lama sehingga kadar gulanya berkurang dan rasa asam, maka perlu penambahan gula sebanyak 50–100 g per liter nira, akan tetapi penambahan asam asetat harus dikurangi menjadi 1–1,5 ml per liter nira. Sambil dipanaskan, larutan harus diaduk sehingga merata. Selanjutnya pemanasan dihentikan dan dibiarkan sejenak agar larutan dalam panci panasnya agak berkurang. Kemudian dalam keadaan yang masih cukup panas larutan sebanyak 800 ml dimasukkan ke dalam baki fermentasi (nampan nomor 4) yang berukuran 32 x 25 x 5 cm. Baki kemudian ditutup dengan kertas koran dan diletakkan dalam ruangan selama 4 jam sehingga larutan nira di dalamnya menjadi dingin. Setelah larutan dingin, kertas penutup baki dibuka dan larutan nira, di dalamnya ditambahkan starter (inokulasi dengan A. xylinum) yang sudah diinkubasi selama berumur 7–10 hari. Permukaan baki fermentasi ditutup
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
317
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
kembali dengan kertas koran dan diletakkan dalam ruang dengan suhu 28–30˚C sehingga proses fermentasi berlangsung. Setelah proses fermentasi berlangsung selama 9–11 hari, nata pinnata lembaran terbentuk dan hasil produksi tersebut dapat dipanen. 3. Pengolahan nata pinnata lembaran menjadi produk kemasan Nata lembaran yang telah dipanen lansung dicuci dan direndam dalam air dingin selama tiga hari dengan cara mengganti air rendaman dengan air bersih setiap hari agar supaya dihasilkan nata lembaran yang berwarna putih, bersih, dan keasamannya berkurang. Nata lembaran lembaran yang telah bersih selanjutnya diiris menjadi ukuran yang lebih kecil (1x1x1cm) berbentuk seperti dadu yang selanjutnya ditiriskan selama 2–3 jam. Potongan nata kemudian direbus, ditiriskan lagi selama 2–3 jam dan dicuci dengan air dingin. Nata yang telah bersih dan berwarna putih memiliki rasa tawar, sehingga untuk memberi rasa maka dibuat adonan. Pembuatan adonan nata dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan dengan komposisi sesuai Tabel 2. Tabel 2. Komposisi bahan untuk adonan nata pinnata Bahan
Nata pinnata Air Gula Garam Asam sitrat Natrium benzoat/Sodiumbenzoat Essence (Vanilla)
Satuan kg l kg g g g g
Volume atau berat 10 10 4 50 20 10 100 (Secukupnya)
Suatu pangan mempunyai rasa asin, manis, asam, atau pahit dengan aroma yang khas. Nata pinnata merupakan pangan yang tidak memiliki rasa (hambar), sehingga adonan nata pinnata perlu ditambahkan bahan penyedap rasa. Bahan penyedap mempunyai beberapa fungsi dalam bahan pangan sehingga dapat memperbaiki, membuat lebih bernilai atau diterima dan menarik (DEPKES RI 1988). Penambahan gula pasir dan garam dilakukan untuk memberikan rasa manis dan sedikit rasa asin. Selain memberikan rasa manis, gula juga berfungsi mengurangi kekenyalan nata pinnata sehingga lebih mudah dikunya pada saat dikonsumsi. Penambahan asam sitrat pada adonan nata pinnata berfungsi sebagai pengatur keasaman (asidulan). Asidulan yang
318
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
sengaja ditambahkan ke dalam bahan pangan bertujuan untuk memperoleh rasa asam yang tajam, sebagai pengontrol pH atau sebagai pengawet (Cahyadi 2006). Penambahan Natrium benzoat pada adonan nata pinnata berfungsi sebagai bahan pengawet. Natrium benzoat (C7H5NaO2) berupa granul atau serbuk berwarna putih, tidak berbau, stabil di udara, dan mudah larut di dalam air, kelarutan dalam air pada suhu 25˚C sebesar 660 gram/liter dengan bentuk yang aktif sebagai pengawet sebesar 84,7% pada pH 4,8, sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan khamir dan kapang (Cahyadi 2006). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/ Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan (DEPKES RI 1988) persyaratan penggunaan bahan pengawet Natrium benzoat pada bahan pangan jenis minuman ringan maksimum 0,6 g/kg. Suatu pangan mempunyai rasa dengan aroma yang khas. Nata pinnata merupakan bahan pangan yang tidak memiliki aroma yang khas, sehingga penambahan vanilla pada adonan nata pinnata sebagai komponen untuk membentuk aroma baru.
Gambar 3. Produk nata kemasan pinnata kemasan dalam botol
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
319
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 4. Produk nata pinnata kemasan dalam cup Adonan nata pinnata yang telah dibuat harus direbus sampai mendidih dan selanjutnya dikemas. Pada pengemasan yang menggunakan wadah yang terbuat dari bahan kaca, misalnya stoples, maka adonan nata dapat dikemas dalam keadaan panas. Untuk pengemasan yang menggunakan wadah yang terbuat dari bahan plastik, misalnya cup plastik, maka adonan nata didinginkan lebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cup. Cup yang sudah berisi adonan kemudian ditutup dengan seal menggunakan alat pres (Sealer machine). Nata yang sudah dikemas menggunakan cup selanjutnya dipanaskan (pasteurisasi) dengan cara merebus di dalam panci. Perebusan dilakukan menggunakan panas yang agak rendah (kurang dari 100˚C) agar seal penutup kemasan tidak terbuka. Setelah dipanaskan sekitar 15 menit, kemasan nata fruticans dalam cup plastik dikeluarkan dari panci perebus dan dianginkan hingga bagian luar kemasan kering.
IX. NILAI EKONOMI PENGOLAHAN NATA PINNATA Walaupun pohon aren memiliki berbagai kegunaan, tetapi yang banyak diusahakan oleh petani adalah pemanfaatan niranya untuk pembuatan gula. Untuk dapat mengetahui pendapatan petani dari pengolahan nira aren menjadi produk nata pinnata, maka nilai ekonomi kegiatan tersebut perlu
320
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dibandingkan dengan nilai ekonomi pengolahan gula aren, di mana kedua produk tersebut dihasilkan dari bahan baku yang sama (nira aren). Baik pengolahan gula aren maupun nata pinnata terdiri atas dua macam aktivitas, yakni penyadapan nira dan pengolahan gula aren atau nata pinnata, maka perlu dilakukan asumsi sebagai berikut. a. Penyadapan nira aren dan pengolahannya menjadi produk gula aren dilakukan oleh satu orang tenaga kerja, sedangkan penyadapan nira aren dan pengolahannya menjadi produk nata pinnata lembaran dilakukan oleh dua orang. b. Penyadap nira aren menyadap 9 pohon/hari dengan produktivitas penyadapan nira rata-rata 44,1 liter/orang/hari (Alam dan Suhartati 2000). c. Upah kerja penyadapan nira, pengumpulan kayu bakar dan pengolahan gula aren atau nata pinnata lembaran Rp40.000/orang/hari (UMP Sulawesi Selatan) diperhitungkan sebagai biaya produksi. d. Rendemen pengolahan gula aren 10,48% (Lempang dan Soenarno 1999 b) dengan harga produk gula aren Rp12.000/kg dan rendemen pengolahan nata pinnata 94,22% (Lempang 2006) dengan harga produk nata pinnata lembaran Rp4.000/kg. Berdasarkan asumsi di atas, maka perbandingan pendapatan harian petani dari kegiatan pengolahan gula aren dengan nata pinnata seperti disajikan dalam Tabel 3.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
321
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 3. Perbandingan pendapatan petani dari kegiatan pengolahan gula aren dengan nata pinnata Uraian Volume
Gula aren Harga Harga satuan (Rp)
Nata pinnata lembaran Volume Harga Harga satuan (Rp)
(Rp) I. Rencana Pendapatan Produksi gula aren II. Biaya Produksi Nira aren Bahan tambahan Kayu bakar Penyusutan peralatan Tenaga kerja Total biaya produksi Pendapatan bersih (I–II)
(Rp)
4,6 kg
12.000
55,200
41,5 kg
4.000
166.000
44,1 ltr 0,1 m3 1 HOK
40.000
44,1 ltr 1.000 0,03 m3 1.500 40.000 2 HOK 42.500
40.000
1.000 7.500 98.000 141.500
12.700
68.000
Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa jika upah tenaga kerja pada aktivitas penyadapan nira, pengumpulan kayu bakar, dan pengolahan gula aren atau nata pinnata lembaran dibebankan sebagai biaya produksi, maka pendapatan bersih harian dari kegiatan pengolahan gula aren adalah Rp12.700, sedangkan dari pengolahan nata pinnata lembaran Rp68.000. Apabila upah tenaga kerja tidak dibebankan sebagai biaya produks, pendapatan bersih harian pengolahan aren adalah Rp52.700 (pendapatan harian satu orang), sedangkan pendapatan bersih harian pengolahan nata pinnata lembaran adalah Rp157.500 atau pendapatan harian setiap orang adalah Rp78.750. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan setiap orang baik dalam kegiatan pengolahan gula aren maupun nata pinnata lembaran masingmasing lebih tinggi dari upah minimum regional (UMR) di Provinsi Sulawesi Selatan yang besarnya Rp40.000/hari. Antaatmadja (1989) melaporkan bahwa kegiatan pengusahaan aren di Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat memberikan kontribusi sebesar 21,92% dari seluruh pendapatan petani. Penghasilan tersebut diperoleh dari gula aren sebanyak 95,44%, sedangkan dari manfaat lain (kolangkaling, ijuk, dan tepung) hanya 4,59%. Selanjutnya, penelitian Hadi (1991 b) di tiga desa
322
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
(Sukaraja, Ulak Ketapang, dan Panyandingan) Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan bahwa sumbangan usaha gula aren terhadap total pendapatan petani adalah sebesar 54–91%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan nira aren yang diolah untuk menghasilkan gula aren memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap ekonomi petani. Kontribusi nilai ekonomi nira aren tersebut terhadap pendapatan petani dapat ditingkatkan melalui teknologi pengolahan nata pinnata. Teknologi pengolahan nata pinnata juga dapat mengatasi masalah tidak termanfaatkannya nira aren yang telah mengalami fermentasi lanjut karena terlambat diolah menjadi gula atau tidak laku dalam penjualan langsung. Nira aren yang telah mengalami penurunan kadar gula dan rasanya telah berubah menjadi asam akibat proses fermentasi melalui teknologi pengolahan nata pinnata masih dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produk nata pinnata yang bernilai ekonomi, asalkan dalam pengolahannya dilakukan penambahan gula pasir. Selain dapat meningkatkan nilai ekonomi dan ragam produk serta efisiensi pemanfaatan nira aren, teknologi pengolahan nata pinnata juga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
X. KESIMPULAN Nira aren dapat dimanfaatkan dan diolah untuk menghasilkan berbagai produk baik melalui teknologi tanpa fermentasi maupun fermentasi. Pengolahan nira aren melalui teknologi tanpa fermentasi menjadi produk gula menghasilkan rendemen 10,48%, sedangkan melalui teknologi fermentasi menjadi produk nata pinnata menghasilkan rendemen 94,22%. Setiap petani penyadap nira aren dan mengolah nira hasil sadapannya menjadi gula memperoleh pendapatan harian Rp52.700, sedangkan jika nira hasil sadapannya diolah menjadi produk nata pinnata dapat memperoleh pendapatan harian Rp78.750. Teknologi pengolahan nata pinnata dapat meningkatkan nilai ekonomi, ragam produk, dan efisiensi pemanfaatan nira aren, serta penyerapan tenaga kerja.
DAFTAR PUSTAKA Alam S, Suhartati. 2000. Pengusahaan hutan aren rakyat di desa Umpunge kecamatan Lalabata kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan. Buletin Penelitian Kehutanan. Vol. 6 No. 2 2000: 59–70. Ujung Pandang: Balai Penelitian Kehutanan. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
323
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Afri AS. 1993. Kelapa. (Kajian Sosial-Ekonomi). Yogyakarta: Aditya Media. Antaatmadja S. 1989. Aspek sosial ekonomi tanaman aren. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol. 6 No. 1 1989: 63–69. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Barlina R, A Lay. 1994. Pengolahan nira kelapa untuk produk fermentasi nata de coco, alkohol dan asam cuka. Jurnal Penelitian Kelapa. Vol. 7 No. 2 Thn. 1994. Manado: Balai Penelitian Kelapa. Cahyadi W. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: PT Bumi Aksara. DEPKES RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES RI), Jakarta. Hlm. 3–13, 75–85. Hadi S. 1991 (a). Distribution and potential of arenga palm in the outer islands of Indonesia. Pengumuman (Edisi khusus) No.15 Thn.1991: 3–8. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Hadi S. 1991 (b). Sosio-economic of arenga brown sugar farming in South Sumatera. Pengumuman (Edisi khusus) No.15 Thn.1991: 9–16. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Heyne K. 1950. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Terjemahan. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. 615 p. Ismanto A et al. 1995. Pohon Kehidupan: Aren (Arenga pinnata Merr.). Jakarta: Badan Pengelola Gedung Manggala Wanabakti dan Prosea Indonesia. Hal. 7–13. Lempang M, Soenarno. 1999 (a). Mengenal ragam manfaat fisik aren. Eboni. No.4 Thn 1999 hal.50–59. Ujung Pandang: Balai Penelitian Kehutanan. Lempang M, Soenarno. 1999 (b). Teknik penyadapan aren untuk meningkatkan produksi nira. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian (Tgl. 8 Februari 1999, Ujung Pandang). Hal. 25–35. Ujung Pandang: Balai Penelitian Kehutanan.
324
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lempang M. 2000. Rendemen produksi gula aren (Arenga pinnata Merr.). Buletin Penelitian Kehutanan. Vol. 6 No. 1 Tahun 2000 hal. 17–28. Ujung Pandang: Balai Penelitian Kehutanan. Lempang M. 2006. Rendemen dan Kandungan Nutrisi Nata Pinnata Yang Diolah dari Nira Aren. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol. 24 No. 2 Tahun 2006 hal.133–144. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Lempang M, Mangopang AD. 2012. Efektivitas nira aren sebagai bahan pengembang adonan roti. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 1 (1): 26–35. Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Lutony TL. 1993. Tanaman Sumber Pemanis. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Mahmud Z, D Allorerung, Amrizal. 1991. Prospek tanaman kelapa, aren, lontar dan gewang untuk menghasilkan gula. Buletin Balitka. No. 14 Tahun 1991 hal. 90–105. Manado: Balai Penelitian Tanaman Kelapa. Rumokoi MMM. 1990. Manfaat tanaman aren (Arenga pinnata Merr). Buletin Balitka. No. 10 Thn 1990 hal. 21–28. Manado: Balai Penelitian Kelapa. Sapari A. 1994. Teknik Pembuatan Gula Aren. Surabaya: Karya Anda. Soeseno A. 1991. Bertanam Aren. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Sunanto H. 1993. Aren (Budidaya dan Multigunanya). Yogyakarta: Kanisius. Torar DJ, JG Kindangen. 1990. Pendapatan petani arak aren (kasus Desa Rumoong Atas, Sulawesi Utara). Buletin Balitka. No. 10 Thn 1990 hal. 29–33. Manado: Balai Penelitian Kelapa.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
325
TEKNOLOGI SEDERHANA UNTUK PERBAIKAN MUTU MADU HUTAN DAN PELESTARIAN LEBAH HUTAN (Apis dorsata Fabr) DI PROVINSI RIAU* oleh: Avry Pribadi dan Purnomo** Email:
[email protected]
ABSTRAK Riau merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi produksi madu hutan yang tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kekonsistenan produksi madu hutan yang berasal dari Riau. Permasalahan yang kemudian muncul dalam pengelolaan madu hutan di Provinsi Riau ini adalah belum adanya standar yang jelas dalam penentuan kualitas madu hutan. Standar untuk madu yang sekarang digunakan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) no 01-3545-2004 yang merupakan standar untuk madu ternak. Selain itu permasalahan yang kedua adalah mutu atau kualitas madu hutan yang masih rendah yang salah satunya disebabkan oleh kadar air yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan madu ternak (Apis mellifera). Permasalahan selanjutnya adalah teknik pemanenan yang digunakan oleh sebagian pemungut madu hutan yang belum mengarah pada kelestarian dan keberlanjutan hidup Apis dorsata. Hasil analisis laboratorium dari beberapa contoh madu yang diambil dari petani tradisional (petani yang belum pernah mendapat pembinaan teknis) menunjukkan bahwa uji aktivitas enzim diastase, air, keasaman, dan kadar abu nilainya tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan (SNI 013545-2004). Tahapan dalam proses pemanenan madu untuk mendapatkan mutu madu yang lebih baik meliputi (1) penentuan umur sisiran madu, (2) pemisahan sisiran madu dari lebah, (3) teknik pemotongan sisiran madu, (4) seleksi sisiran madu, (5) ekstraksi, (6) penyaringan, (7) pengurangan kadar air, dan (8) penyimpanan. Sementara pada teknik perlakuan dengan pembersihan sarang tua menunjukkan bahwa koloni lebah A. dorsata lebih cepat 8 hari menempati dahan yang telah dibersihkan dari sisa sarang tua koloni A. dorsata sebelumnya jika dibandingkan dengan dahan yang tidak dibersihkan, maka diharapkan pengenalan dua teknik ini dapat meningkatkan mutu madu hutan * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok, Riau.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dan menjaga kelestarian (sustainability) A. dorsata yang akan berdampak pada kelangsungan usaha petani pemungut madu itu sendiri. Kata kunci: Teknologi, madu hutan, Apis dorsata, teknik panen madu hutan
I. PENDAHULUAN Aktivitas dan produk dari lebah hutan (Apis dorsata F.) memiliki beberapa nilai positif (manfaat) bagi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup (ekologi) hutan. Manfaat ekonomi diperoleh karena lebah hutan merupakan salah satu penghasil komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di antaranya madu sebagai produk utama, bee pollen dan lilin lebah. Produk-produk tersebut sampai saat ini masih diminati konsumen dengan kecenderungan positif ditunjukkan oleh jumlah permintaan yang cenderung terus meningkat. Manfaat sosial diperoleh karena usaha perlebahan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk kegiatan dalam rangka program pemberdayaan masyarakat hutan dan sekitar hutan. Manfaat ekologi diperoleh karena usaha perlebahan merupakan salah satu jenis usaha yang kegiatannya tidak merusak areal hutan. Riau merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi produksi madu hutan yang tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kekonsistenan produksi madu hutan yang berasal dari Riau (Purnomo et al. 2006). Produksi madu tersebut berasal dari berbagai kabupaten yang tersebar di Provinsi Riau, antara lain Kabupaten Pelalawan, Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Sengingi. Berdasarkan hasil pengamatan yang selama ini telah dilakukan, potensi produksi yang tinggi tersebut disebabkan tersedianya secara luas faktor-faktor yang mendukung produktivitas madu hutan, antara lain keberadaan lebah hutan yang mencapai puluhan ribu koloni dengan produksi madu lebih dari 600 ton/tahun pada tahun 2006 (Purnomo et al. 2007), dukungan lingkungan, dan tanaman pakan lebah yang tersedia sangat luas, sumber daya manusia pengelola yang jumlahnya terus meningkat, dan dukungan teknologi yang terus diupayakan. Lebah hutan kebanyakan dapat dijumpai pada hutan primer, tetapi mereka juga bersarang pada hutan sekunder maupun di perkampungan atau perkotaan, mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 2.500 m dari permukaan laut asal cukup pakannya (Ruttner 1988; Salmah et al. 1990;
328
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
observasi pribadi). Seperti halnya dengan jenis lebah madu lainnya, lebah hutan adalah serangga yang hidup membentuk koloni yang anggotanya terdiri atas seekor lebah ratu, puluhan sampai ratusan lebah jantan, dan puluhan ribu lebah pekerja dengan tugas yang berbeda. Menurut Qayyum dan Nabi (1968 dalam Ruttner 1988), lama perkembangan jenis lebah ini dari telur sampai imago agak lebih pendek dari Apis mellifera. Untuk lebah pekerja 16–20 hari, lebah ratu 13–13,5 hari, dan lebah jantan 20–23,5 hari. Permasalahan yang muncul dalam pengelolaan madu hutan di Provinsi Riau adalah belum adanya standar yang jelas dalam penentuan kualitas madu hutan. Standar untuk madu yang sekarang digunakan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) no. 01-3545-2004 yang merupakan standar untuk madu ternak. Selain itu permasalahan yang kedua adalah mutu atau kualitas madu hutan yang masih rendah yang salah satunya disebabkan oleh kadar air yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan madu ternak (Apis mellifera). Permasalahan selanjutnya adalah teknik pemanenan yang digunakan oleh sebagian pemungut madu hutan yang belum mengarah pada kelestarian dan keberlanjutan hidup lebah hutan. Teknik panen yang buruk ini akan berdampak pada kelangsungan usaha dari para petani pemungut madu hutan tersebut pada masa yang akan datang. Mutu madu pada dasarnya dilihat dari susunannya, keasliannya, penampakannya, dan faktor daya gunanya. Selama ini, penilaian mutu madu hutan masih belum mempunyai standar baku dan lebih mengacu pada kepentingan yang bersifat komersial, misalnya dengan melihat adanya letupan gas ketika kemasan dibuka, nyala api, tepung sari, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu diperlukan teknologi yang sederhana dan mudah diaplikasikan oleh masyarakat pemanen madu hutan untuk kemudian dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas madu hutan yang kemudian akan berdampak pada peningkatan pendapatan. Adapun tujuan dari studi ini adalah untuk menginformasikan teknologi sederhana kepada masyarakat pemungut madu hutan untuk meningkatkan kualitas dan kelangsungan usaha madu hutan.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
329
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
II. PERBANDINGAN MUTU MADU SNI DENGAN LEBAH HUTAN DAN TEKNIK PERBAIKANNYA A. Perbedaan Mutu Madu SNI dengan Madu Hutan di Provinsi Riau Madu adalah cairan yang umumnya memiliki rasa manis yang berasal dari aneka bunga (nectar floral) atau bagian tanaman (extra floral nectar) yang diproses secara alami oleh lebah di sarangnya. Nectar tersebut masih mengandung kadar air tinggi (± 85%) dan memiliki kandungan sukrosa tinggi. Setelah lebah mengubah nectar menjadi madu, kandungan air menjadi rendah, serta sukrosa diubah menjadi glukosa dan fruktosa (monosacharidae) yang mudah dicerna dan sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia. Mutu suatu produk pada hakikatnya mencakup susunan (komposisi), keaslian (purity), penampakan (appearance), faktor daya guna (performance), dan sebagainya. Untuk madu barangkali yang menjadi penting adalah keaslian, susunan, dan penampakan. Untuk menetapkan mutu madu ditetapkan berbagai kriteria. Sudah sejak dahulu orang berusaha menetapkan kriteria yang cocok dengan keadaannya dalam menyatakan mutu madu lebah, di antaranya terdapat kriteria terjadinya letupan bila tutup kemasannya dibuka; menyala bila dibakar; terdapat tepung sari, dan sebagainya. Belakangan mutu madu tersebut ditetapkan dengan suatu standar, sesuai peruntukannya. Secara nasional pada saat ini yang umum diketahui adalah Standar Nasional Indonesia (SNI). Adapun persyaratan mutu madu yang berlaku pada saat ini adalah sebagai berikut (Tabel 1).
330
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 1. Persyaratan mutu madu sesuai (SNI 01–3545 Tahun 2004) No. Jenis uji 1 Aktivitas enzim diastase 2
Hidroksimetilfurfural (HMF)
Satuan DN
Persyaratan Minimum 3
mg/kg
Maksimum 50
%
Maksimum 22
%,b/b
Minimum 65
%,b/b
Maksimum 5
ml Na OH1 N/Kg
Maksimum 50
%,b/b
Maksimum 0,5
%,b/b
Maksimum 0,5
3
Kadar air
4
Gula pereduksi (dihitung sebagai glukosa)
5
Sukrosa
6
Keasaman
7
Padatan yang tak larut dalam air
8
Abu
mg/kg
Maksimum 1,0
9
Cemaran logam
mg/kg
Maksimum 5,0
- Timbal (Pb)
mg/kg
Maksimum 0,5
- Tembaga (Cu) 10
Cemaran arsen (As)
Pada saat ini, mutu madu yang ada di pasar masih belum merata. Sebagian dapat dianggap buruk karena jauh menyimpang dari ketentuan SNI 013545 Tahun 2004. Hasil analisis laboratorium dari beberapa contoh madu yang diambil dari petani tradisional (petani yang belum pernah mendapat pembinaan teknis) (Tabel 2) terlihat bahwa uji aktivitas enzim diastase, air, keasaman, dan kadar abu nilainya tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
331
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 2. Hasil uji rata-rata mutu madu hasil panen tradisional No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis uji Aktivitas enzim diastase Hidroksimetilfurfural (HMF) Air Gula pereduksi (dihitung sebagai glukosa) Sukrosa Keasamanan Padatan yang tak larut dalam air Abu Cemaran logam : - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu)
10 Cemaran arsen (As)
Satuan DN mg/kg % b/b % b/b
Nilai 2,10 51,30 24,10 69,1
% b/b Ml NaOH % b/b % b/b
1,20 52,40 Negatif 0,70
Mg/kg Mg/kg Mg/kg
<0,005 1,11 Negatif Gutzeit
Tabel 3. Tahapan kegiatan pemanenan madu dari petani tradisional Parameter Umur sisiran madu Waktu pemanenan Pemisahan sisiran madu dari lebah Cara pemotongan sisiran madu Cara ekstraksi Cara penyaringan Cara penyimpanan
Hasil pengamatan Rata-rata kurang dari 20 hari (sel madu masih terbuka) Umumnya dilakukan pada malam hari Disapu dengan bara api Masih tercampur dengan tepungsari, larva dan telur Diperas dengan tangan Menggunakan kain seadanya Menggunakan alat/tempat seadanya tanpa memperhatikan faktor kebersihan
Hasil indentifikasi cara panen tradisional dengan melakukan pengamatan langsung terhadap tahapan kegiatan yang dilakukan mulai dari umur sisiran madu yang dipanen, pemisahan sisiran madu dari kerumunan lebah, cara pemotongan sisiran madu, cara mengeluarkan madu dari sarang, dan cara menyaring madu dapat dikatakan masih banyak kekurangan
332
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
sehingga hasil madu yang didapat mempunyai kualitas yang buruk. Hasil identifikasi tahapan panen tradisional dapat dilihat pada Tabel 3.
B. Teknik Sederhana Perbaikan Mutu Madu Hutan di Provinsi Riau Seperti halnya produk pertanian yang lain, maka keadaan awal dari pada madu akan menentukan hasil akhirnya. Sebelum suatu nektar dapat mencapai konsumen dalam bentuk madu, ia telah mengalami langkah yang panjang. Langkah yang satu erat kaitannya dengan langkah berikutnya. Mutu produk yang dihasilkan suatu tingkat proses akan memengaruhi mutu produk tingkat seterusnya. Untuk menjamin bahwa itu produk akhir sebaik-baiknya, maka tidak boleh terjadi suatu penyimpangan atas penurunan mutu dalam setiap langkah produksi. Selain itu dibutuhkan keterampilan yang memadai dan pengetahuan yang cukup untuk mengatasi masalah yang mungkin timbul, di setiap tahap proses. Dari serangkaian penelitian dan uji coba yang dilakukan di daerah Riau tahun 2005–2006 dalam upaya memperbaiki mutu madu pada tingkat petani diperoleh beberapa hasil sebagai berikut (Tabel 4). Keuntungan yang diperoleh setelah dilakukan usaha perbaikan mutu madu (salah satunya dengan penurunan kadar air) adalah menurunnya kecepatan proses fermentasi. Menurut Júnior (1978), yeast tertentu yang terkandung dalam madu hutan akan menyebabkan peningkatan proses fermentasi. Yeast tersebut berasal dari tubuh lebah itu sendiri. Pemanasan yang dilakukan pada proses dehumidifier selain mengurangi kadar air pada madu, juga akan mematikan yeast yang merupakan mikroorganisme yang mengakibatkan proses fermentasi madu menjadi asam. Selain itu proses penurunan kadar air (dehumidified) tidak menyebabkan penurunan secara kualitas madu (Carvalho 2008).
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
333
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 4. Serangkaian tahapan proses pemanenan madu sampai pada mendapatkan mutu madu hutan yang lebih baik Tahapan proses Penentuan Umur Sisiran Madu
Masalah kritis
Langkah
< 20 hari sarang madu sel terbuka > 80% > 20 hari sarang tua sel tertutup > 80%
Kadar Air Tinggi
Jangan dipanen
Kadar Air Ideal
Siap dipanen
Pemisahan Sisiran Madu Dari Lebah
Disapu dengan sikat lebah (panen siang hari) Dihembus dengan asap pada sisiran madu saja. (panen siang hari) Dipancing dengan sinar neon (panen malam hari)
Hindari kematian lebah Hindari kontaminasi abu ke sel-sel madu Hindari kematian lebah
Keterampilan supervisi
Cara Pemotongan Sisiran Madu
Panen sunat (hanya sisiran madu yang dipotong)
Ditampung dengan alat yang higienis
Supervisi
Seleksi Sisiran Madu
Sel tertutup dipisah dari sel yang masih terbuka
Sortasi awal
Menggunakan ekstraktor Sistem sentrifugal Sistem gravitasi
Alat yang higienis Higienis Jangan dilakukan pada udara terbuka Temperatur mak 40˚C Hindari penggunaan bahan alumunium
Supervisi sanitasi Supervisi
Ekstraksi
Penyaringan
Pengurangan Kadar Air
Penyimpanan
Gunakan alat saring vertikal Alat dehydrator Alat dehumidifier
Gunakan tempat yang higienis dan kedap udara
Supervisi Keterampilan supervisi
Supervisi
III. TEKNIK PEMANENAN MADU HUTAN YANG LESTARI A. Teknik Pemanenan Sarang Lebah Hutan dengan Pembersihan Sarang Tua Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 2 jenis sarang tua yang diberi perlakuan pembersihan dan tidak dilakukan pembersihan pada pohon sialang (pohon yang dijadikan tempat untuk bersarang lebah hutan) berjenis Kapuk Randu (Ceiba petandra) bahwa sampai pada minggu III menunjukkan tidak adanya perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah belum adanya tanda-
334
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
tanda bekas sarang tersebut akan ditempati atau dibangun oleh koloni baru (Tabel 5). Tabel 5. Rekapitulasi pengamatan terhadap 2 perlakuan yang diujicobakan terhadap dahan yang terdapat sarang A. dorsata Waktu pengamatan (minggu ke-i) Perlakuan
Ulangan
Sarang tua dibersihkan (dibuang dari dahan)
Sarang tua tidak dibersihkan (dibiarkan melekat pada dahan)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
1
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
2
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
3
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
4
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
5
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
6
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
3
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
5
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
6
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
Keterangan: + : terbentuk koloni lebah hutan : belum terbentuk koloni lebah hutan Hal ini diduga dikarenakan belum adanya respon dari koloni lebah untuk kembali membangun sarangnya diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu disorientasinya lebah pekerja terhadap keberadaan ratunya (sebagai akibat putusnya komunikasi akibat penggunaan asap) dan beberapa lebah melakukan pemecahan koloni karena adanya gangguan. Hal ini dapat dilihat pada pengamatan pohon sialang lain jenis kapuk randu yang berada pada radius 500 m dari pohon pengamatan. Pada pengamatan jumlah pohon sialang jenis kapuk randu yang berada pada radius 500 m diperoleh hasil bahwa hampir 50% pohon sialang jenis kapuk randu ditempati koloni lebah A. dorsata (Tabel 6).
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
335
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 6. Kondisi pohon sialang jenis kapuk randu pada radius 500 m dari pohon sialang yang diobservasi Status pohon sialang jenis kapuk randu Belum pernah ditempati koloni lebah hutan Pernah ditempati koloni lebah lebah hutan Sedang ditempati koloni lebah lebah hutan
Jumlah 8 3 4
Tabel 5 juga menginformasikan bahwa pada pengamatan minggu IV, pada dahan yang diberi perlakuan pembersihan dari sarang tua muncul tandatanda koloni lebah hutan sebanyak 5 dari 6 dahan yang diberi perlakuan pembersihan tersebut mulai ditempati koloni lebah hutan. Sementara pada dahan yang tidak diberi perlakuan pembersihan sarang belum menunjukkan adanya kehadiran koloni lebah hutan. Pada minggu V sebanyak 6 perlakuan yang diujicoba dengan dibersihkan menunjukkan adanya keberadaan koloni baru sedangkan untuk sarang tua yang tidak dilakukan pembersihan dan dibiarkan di dahan, belum menunjukkan keberadaan koloni baru, bahkan mengalami pelapukan mulai pada minggu VIII dan pada minggu X, seluruh sarang tua yang diperlakukan dengan tidak dibersihkan mengalami pelapukan dan jatuh. Koloni lebah hutan akan mulai menempati dahan tersebut pada minggu ke XII. Pada pengamatan produktivitas madu menunjukkan bahwa rata-rata jumlah madu yang berhasil dipanen pada akhir pengamatan (hari XII) menunjukkan nilai tertinggi pada perlakuan dahan yang dibersihkan (19,25 kg/ koloni). Sementara pada perlakuan dahan yang tidak dibersihkan belum menghasilkan madu sampai akhir hari pengamatan karena belum ditempati oleh koloni lebah hutan (Tabel 5). Terdapat beberapa persyaratan bagi pohon sialang untuk dapat ditempati oleh lebah hutan, yaitu: 1. Pohon relatif tinggi jika dibandingkan dengan keberadaan pohon lain di sekitarnya. 2. Cabang ataupun dahan pohon memiliki sudut yang relatif datar dengan batang 3. Pada cabang pohon sialang, kulit pohonnya tidak mudah terkelupas sehingga jika koloni lebah hutan menggantung pada cabang tersebut tidak akan jatuh (Rahman 1992).
336
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut, keberadaan sisa sarang tua dari koloni lebah hutan yang tidak dibersihkan akan mengganggu koloni baru A. dorsata untuk mulai bersarang pada cabang tersebut kembali. Hal ini tampak pada perlakuan sarang yang tidak dibersihkan, koloni lebah hutan akan mulai menempati cabang tersebut pada hari XII dan menunggu sarang tua tersebut lapuk dan jatuh terlebih dahulu.
B. Teknik Pemanenan Sisiran Madu Lebah Apis dorsata dengan Pembersihan Sisa Sisiran Madu yang Melekat pada Dahan Berbeda dengan teknik pemanenan sebelumnya, teknik pemanenan ini dilakukan dengan cara hanya memotong sisiran madunya saja dan meninggalkan sisiran anakan (brood). Pengamatan pada teknik ini menunjukkan bahwa komposisi sarang lebah hutan yang mengandung madu dan pollen hanya 10% saja, sedangkan sisanya sebesar 90% merupakan anakan (brood). Pemotongan sisiran madu dilakukan pada bagian sisiran sarang yang terjauh dari batang utama karena sisiran madu terletak pada daerah terjauh jika dilihat dari batang utama. Perlakuan yang diberikan setelah pemotongan sisiran madu tersebut adalah dengan pembersihan sisa sisiran madu yang melekat pada dahan dan tidak dilakukan pembersihan (dibiarkan begitu saja sehingga meninggalkan sarang tua). Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada hari pertama setelah dilakukan pemanenan madu, kedua perlakuan masih menunjukkan adanya kerumunan lebah lebah hutan. Setelah 7 hari, pengamatan menunjukkan pada perlakuan dengan pembersihan sisa sisiran madu telah terlihat dibangunnya sisiran sarang baru oleh lebah pekerja lebah hutan. Sementara pada sisa sisiran madu yang tidak diberi perlakuan pembersihan, sarang terlihat sudah ditinggalkan oleh koloni lebah lebah hutan yang sebelumnya menempati sarang tersebut. Setelah 28 hari sejak perlakuan, pada perlakuan dengan pembersihan sisa sisiran madu menunjukkan bahwa pada bagian tersebut telah terbentuk kembali dan menggembung. Hal yang berkebalikan terjadi pada sarang yang sisiran madunya tidak dibersihkan menunjukkan bahwa terjadi perubahan fungsi sisiran yang sebelum perlakuan merupakan sisiran untuk anakan (brood) menjadi sisiran madu.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
337
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 7. Rata-rata luas masing-masing jenis sisiran sarang (madu, pollen, dan brood) pada hari ke-28 setelah perlakuan Letak sisiran sarang Sisiran bekas panen madu (ujung/bagian terjauh dari batang utama/ bagian yang dipanen)
Madu (cm2) Pollen (cm2) Brood (cm2) DibersihTak DibersihTak DibersiTak kan dibersihkan dibersih- hkan dibersihkan kan kan 1050 0 264 0 0 0
Sisiran sarang bagian tengah (bagian yang ditinggalkan)
210
960
380
520
7210
6580
Sisiran sarang bagian pangkal (bagian yang dekat batang utama)
0
0
0
0
1027
1550
1260
960
644
520
8237
8130
Jumlah
Pada perlakuan dengan membersihkan sisa sisiran madu didapat luas sisiran memiliki nilai lebih tinggi (1260 cm2) jika dibandingkan dengan sisiran madu yang tidak dibersihkan (960 cm2). Kecenderungan yang sama juga tampak pada sisiran pollen dan brood yang memiliki nilai lebih tinggi pada perlakuan dengan pembersihan jika dibandingkan dengan perlakuan tidak dibersihkan (Tabel 7). Kecenderungan rendahnya luas sisiran setiap bagian sarang pada perlakuan tidak dibersihkan diduga diakibatkan oleh keberadaan sisa sarang tersebut yang menjadi busuk sehingga memancing organisme pengurai (fungi dan decomposer) untuk berdatangan sehingga menjadikan sarang tua menjadi lebih lembab dan busuk. Keadaan ini diduga tidak disukai oleh lebah, terutama dengan meningkatnya kelembaban pada daerah sisiran tersebut akan mendatangkan penyakit yang disebabkan oleh fungi dan bakteri. Fungi dan bakteri memiliki kemampuan untuk hidup pada daerah-daerah yang memiliki kelembaban tinggi. Menurut Renich et al. (2011), beberapa penyakit lebah
338
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
yang disebabkan oleh kehadiran mikroorganisme antara lain busuk larva (disebabkan oleh bakteri Bacillus larvae) dan fungi Nosema spp.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Tahapan dalam proses pemanenan madu untuk mendapatkan mutu madu yang lebih baik meliputi a. penentuan umur sisiran madu, b. pemisahan sisiran madu dari lebah, c. teknik pemotongan sisiran madu, d. seleksi sisiran madu, e. ekstraksi, f. penyaringan, g. pengurangan kadar air, dan h. penyimpanan. 2. Pada teknik perlakuan dengan pembersihan sarang tua menunjukkan bahwa koloni lebah hutan lebih cepat 8 hari menempati dahan yang telah dibersihkan dari sisa sarang tua koloni lebah hutan sebelumnya jika dibandingkan dengan dahan yang tidak dibersihkan.
B. Saran dan Rekomendasi Mutu madu hutan perlu ditingkatkan kualitasnya melalui asas pengawasan mutu dari setiap tahapan sejak dari penetapan waktu panen, pemisahan sisiran madu dari kerumunan lebah, pemotongan sisiran madu, seleksi sisiran madu, ekstraksi, penyaringan sampai saat madu siap disalurkan ke konsumen. Madu yang diperoleh dari ekstraksi sisiran madu dari sel madu yang masih terbuka masih perlu tindakan lanjutan dengan mengurangi kadar air madu dengan alat penurun kadar air. Jika selama ini sebagian besar petani pemungut madu hutan lebah hutan melakukan usaha pemanenan cenderung pada usaha yang destruktif dan kurang memperhatikan kelestarian serta keberlanjutan kehidupan koloni lebah hutan di alam, maka diharapkan pengenalan dua teknik ini dapat mengurangi potensi kerusakan dan penurunan hasil lebah hutan yang akan berdampak pada petani pemungut madu itu sendiri.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
339
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
DAFTAR PUSTAKA Carlos AL Carvalho, Genis S, Fonseca AAO, Alves RM, Souza BA, Clarton L. 2008. Physicochemical characteristics and sensory profile of honey samples from stingless bees (Apidae: Meliponinae) submitted to a dehumidification process. Analis da Academia Brasileira de Ciências vol. 81(1); pp. 143–149. Purnomo, Yeni Aprianis, Ahmad Junaedi, Yanto Rochmayanto, Agus Winarsih, Suhendar. 2006. Peta Sebaran Koloni Lebah Hutan (Apis dorsata) dan Produksi Madu di Riau I. Laporan Hasil Penelitian 2006. Loka Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu, Kuok. Purnomo, Yeni Aprianis, Ahmad Junaedi, Yanto Rochmayanto, Agus Winarsih, Suhendar. 2007. Peta Sebaran Koloni Lebah Hutan (Apis dorsata) dan Produksi Madu di Riau II. Laporan Hasil Penelitian 2006. Loka Litbang Hasil Hutan Bukan Kayu, Kuok. Purnomo, Aprianis Y, Junaedi A, Rochmayanto Y, Winarsih A, Suhendar. 2006. Standarisasi dan Diversifikasi Produk Lebah Madu Hutan (Apis dorsata F). Laporan Hasil Penelitian (tidak dipublikasikan), Kuok. Purnomo. 2008. Langkah-langkah Memaksimalkan Nilai Jual Produk Lebah Madu Lokal. Gelar Teknologi: IPTEK untuk kesejahteraan masyarakat Padang Pariaman, Padang Pariaman. Rennich K, Petitis J, Vanengelsdrop D, Hayes J. 2011. National Honey Bee Pests and Diseases Survey Report. Pennsylvania State University, Pennsylvania. White Junior. 1994. The Role of HMF and Diastase Assay in Honey Quality Evaluation. Bee World. (75); p. 104–107.
340
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
SIFAT DASAR DAN KEGUNAAN KAYU JENIS ALTERNATIF JABON (Anthocephalus cadamba Miq.)* Oleh: Rima Rinanda**
ABSTRAK Pengembangan jenis alternatif perlu diupayakan untuk meningkatkan ketersediaan bahan baku industri, diantaranya jenis jabon (Antocephalus cadamba Miq.). Penelitian ini bertujuan menyediakan informasi sifat dasar kayu jabon pada 3 kelas umur, sebagai dasar untuk menentukan penggunaan jenis kayu yang tepat dan efisien. Sifat dasar yang diteliti meliputi struktur anatomi dan dimensi serat, sifat fisis dan mekanis dan sifat kimia kayu. Hasil penelitian menunjukkan kayu jabon umur 4, 5, dan 6 termasuk dalam kelas kualitas I untuk bahan baku pulp, kelas kuat IV-III, dan tergolong kayu ringan. Kayu jabon dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp untuk konstruksi ringan, bahan kerajinan atau bahan pembuatan panel kayu. Kata kunci: Sifat dasar, kegunaan, jenis alternatif, kayu jabon
I. PENDAHULUAN Kebutuhan bahan baku untuk industri perkayuan nasional sekitar 39,2 juta m3 (Simangunsong et al. 2008). Sementara berdasarkan Direktorat Bina Produksi Kehutanan (2010) jumlah produksi kayu dari hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat dan kayu perkebunan hanya 34,32 juta m3. Rendahnya produktivitas HTI tersebut, disebabkan beberapa kendala di antaranya pengembangan jenis tanaman yang dikembangkan pada hutan tanaman industri (HTI) masih terbatas pada jenis tertentu. Jenis tanaman serat yang dikembangkan sebagai tanaman pokok pada hutan tanaman industri untuk kayu pulp (HTI-Pulp) khususnya untuk wilayah Sumatera adalah Acacia sp. dan Eucalyptus sp. Jenis-jenis tersebut termasuk jenis eksotik (exotic species) untuk Pulau Sumatera. Kelemahan * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Kuok, Riau.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
jenis eksotik diantaranya daya adaptasinya lebih rendah dibanding jenis lokal (native species) dari aspek ekologi dapat mengubah ekosistem lingkungan biotik. Oleh karena itu perlunya jenis lokal (native species), dipilih sebagai jenis alternatif kayu serat untuk bahan baku industri, salah satunya adalah jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Anthocephalus cadamba Miq. memiliki prospek tinggi untuk hutan tanaman industri dan tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia, karena pertumbuhannya yang sangat cepat, kemampuan beradaptasinya pada berbagai kondisi tempat tumbuh, perlakuan silvikulturnya yang relatif mudah, serta relatif bebas dari serangan hama dan penyakit yang serius. Jenis diharapkan menjadi semakin penting bagi industri perkayuan di masa mendatang, terutama ketika bahan baku kayu pertukangan dari hutan alam diperkirakan akan semakin berkurang (Nair dan Sumardi 2000 dalam Krisnawati et al. 2011). Ketersediaan jabon sebagai jenis alternatif perlu didukung dengan kajian yang mendalam mengenai pengetahuan sifat dasar kayunya dan kemungkinan pemanfaatannya yang lebih luas. Sifat dasar dapat berubah akibat umur pohon, lingkungan dan tempat tumbuh (Haygreen dan Bowyer 1982). Sifat dasar sangat penting diketahui sebelum suatu jenis kayu digunakan untuk suatu tujuan, karena setiap jenis kayu memiliki sifat yang berbeda dan setiap penggunaannya membutuhkan persyaratan tertentu. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian sifat dasar kayu jabon pada tiga kelas umur yaitu umur 4, 5, dan 6 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi ilmiah sifat dasar dan kegunaan kayu jabon sebagai dasar diversifikasi penggunaan bahan baku industri, atau untuk berbagai tujuan pemakaian dalam rangka efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan.
II. METODOLOGI A. Lokasi penelitian Pengambilan kayu jabon umur 4 dan 5 tahun dilakukan di PT Arjuna Perdana Mahkota Plywood, Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, pengambilan kayu jabon umur 6 tahun dilakukan di Pematang Siantar Propinsi Sumatera Utara. Pengujian sifat dasar kayu dilakukan di Laboratorium Pusat
342
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) Bogor.
B. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan adalah kayu jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) masing-masing yang berumur 4, 5, dan 6 tahun. Bahan kimia yang dipakai yaitu hydrogen peroxide, asam asetat glasial, alkohol, benzena, NaOH, dan lain-lain. Peralatan yang digunakan antara lain gergaji belah, gergaji potong, alat serut, alat pengukur panjang (penggaris, meteran, dial caliper), timbangan, gelas piala, eksikator, oven dan UTM, serta perlengkapan lapangan (meteran, GPS, tali, camera, chainsaw, dan alat tulis menulis).
C. Prosedur Kerja 1. Penebangan pohon dan pengambilan sampel kayu Pohon yang akan ditebang dipilih dalam bentuk lurus, tidak bengkok, tidak cacat dan dalam keadaan sehat. Penebangan dilakukan setinggi dada (130 cm diatas permukaan tanah) atau 20 cm diatas banir dengan menggunakan chain saw. Setelah ditebang selanjutnya diambil sampel batang pohon pada bagian pangkal, tengah dan ujung. Sampel untuk pengujian anatomi dan kimia diambil dalam bentuk lempengan dengan ketebalan 10 cm, sedangkan untuk pengujian fisis mekanis dalam bentuk stage berukuran 5 cm x 5 cm sepanjang 100–200 meter (dikondisikan dengan ukuran batang yang tersedia). 2. Pengenalan struktur anatomi dan dimensi serat Pengenalan ciri-ciri suatu jenis kayu dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil yang diperoleh dikombinasikan menjadi satu kesatuan ciri pengenalan suatu jenis kayu. Pengamatan ciri makroskopis dilakukan langsung pada contoh uji yang dipilih sedangkan pengamatan ciri mikroskopis dilakukan pada sayatan mikrotom dan preparat maserasi yang dipersiapkan secara khusus. Pengamatan mikroskopis dilakukan tiga tahap yaitu (1) pembuatan preparat, (2) pengamatan, (3) pengolahan data dan analisis. Sayatan yang dibuat meliputi penampang transversal, radial, dan tangensial (Sass 1961).
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
343
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
3. Pengujian sifat fisis dan mekanis Ukuran contoh uji dan pengujian sifat fisis dan mekanis kayu dilakukan sesuai dengan ASTM D.143-94. Banyaknya contoh uji untuk setiap jenis kayu tergantung pada diameter pohon contoh. Pengujian dilakukan terhadap contoh uji dalam keadaan kering udara. 4. Pengujian sifat kimia Analisis komponen kimia kayu yang diteliti meliputi kadar selulosa, kadar lignin, pentosan, kadar abu, kadar silika, kelarutan dalam alkohol benzena, kelarutan dalam air dingin dan panas dan kelarutan dalam NaOH 1%.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengumpulan data morfologi (tinggi bebas cabang, diameter, dan kulit pohon) bahan penelitian jenis jabon disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data morfologi kayu jabon di lapangan Jenis Jabon (Anthocephalus cadamba Miq)
Umur
Tinggi Diameter Kulit bebas (cm) cabang (m) 4 tahun 5,22 25,47 Tebal kulit ± 0,7 cm 5 tahun 9,41 31,05 mudah dipisahkan 6 tahun 7,30 34 dari batangnya, warna kulit abu-abu kecoklatan
Sumber: hasil identifikasi lapangan 2012
Hasil pengamatan struktur anatomi dan dimensi serat, pengujian sifat fisis dan mekanis, dan pengujian sifat kimia kayu dari jenis jabon dipaparkan berikut ini.
A. Pengamatan Struktur Anatomi dan Dimensi Serat Secara makroskopis kayu jabon berwarna putih kekuningan. Antara kayu gubal dan kayu teras tidak terdapat perbedaan warna yang jelas. Kayu bertekstur agak halus, saat diraba memberi kesan agak licin. Permukaan kayu agak mengkilap. Penampang makro dan penampang mikro (transversal, radial,
344
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dan tangensial) kayu jabon pada tiga kelas umur disajikan pada Gambar 1, 2, dan 3.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1. Penampang makro (a), penampang transversal mikro (b), penampang radial mikro (c), penampang tangensial mikro (d) kayu jabon umur 4 tahun
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2. Penampang makro (a), penampang transversal mikro (b), penampang radial mikro (c), penampang tangensial mikro (d) kayu jabon umur 5 tahun
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
345
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Penampang makro (a), penampang transversal mikro (b), penampang radial mikro (c), penampang tangensial mikro (d) kayu jabon umur 6 tahun Berdasarkan pengamatan ciri mikroskopis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kayu jabon memiliki lingkaran tumbuh yang tidak jelas. Pembuluh baur, panjang pembuluh 641,96±145,73 mikron, diameter 172,94±26,50 mikron pada umur 4 tahun, panjang pembuluh 778,51±166,75 mikron, diameter 222,68±42,09 mikron pada umur 5 tahun, dan panjang pembuluh 624,47±151,60 mikron, diameter 241,67±55,21 mikron pada umur 6 tahun, frekuensi 5 atau kurang per mm, pembuluh bergabung radial 4 atau lebih kadang sampai 6 biasa dijumpai. Bidang perforasi sederhana dengan ceruk antarpembuluh selang-seling dengan ukuran kecil > 4–7 mikron, pada kayu yang lebih tua kecenderungan ukuran ceruk sedang > 7–10 mikron dijumpai, ceruk antar pembuluh berumbai. Ceruk antarpembuluh dan jarijari dengan halaman yang sempit, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh. Parenkim: parenkim aksial apotrakea bentuk tersebar, dan tersebar dalam kelompok. Jari-jari: jari-jari 1–3 seri, dan jari-jari besar umumnya 4–10 seri, pada kayu yang umur 4 dan 5 tahun kecenderungan jari-jari satu seri lebih banyak. Jari-jari 2 ukuran yang jelas. Komposisi sel jarijari dengan 1 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal. Sel seludang kadang dijumpai pada kayu dengan umur 6 tahun. Serat: dengan ceruk berhalaman yang jelas, serat tanpa sekat dijumpai. Pada jabon umur 4 tahun panjang serat 1537,25±151,94 mikron, diameter serat 36,90±2,42 mikron, diameter lumen 31,47±2,06 mikron, dan tebal dinding serat 2,72±0,43 mikron; pada jabon umur 5 tahun panjang serat 1856,25±160,71 mikron, diameter serat 41,59±3,78 mikron, diameter lumen 36,16±3,67 mikron, dan tebal dinding serat 2,72±0,39 mikron; pada jabon umur 6 tahun panjang serat 1680,53±143,98 mikron, diameter serat 39,93±3,28 mikron, diameter lumen
346
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
34,67±3,34 mikron, dan tebal dinding serat 2,64±0,33 mikron, dinding serat termasuk kategori tipis sampai tebal. Nilai kualitas serat kayu dapat diketahui berdasarkan perhitungan turunan dimensi serat. Hal ini menentukan kemungkinan penggunaan kayu untuk bahan baku pulp dan kertas. Nilai kualitas serat kayu jabon selengkapnya disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Nilai kualitas serat kayu jabon Kriteria Panjang serat (µm) Felting power Muhlsteph ratio (%) Flexibility ratio Runkel ratio Coefficient of Rigidity Total nilai Kelas kualitas
Nilai rataan 4 tahun 1537,25 40,28 27,20 0,85 0,17 0,07
5 tahun 1856,25 44,32 24,49 0,87 0,15 0,07
6 tahun 1680,53 42,74 24,77 0,87 0,15 0,07
Nilai kualitas* 50 25 100 100 100 100 475 I
Sumber: hasil analisis 2012
Keterangan: *Rachman dan Siagian (1976) dalam Supartini dan Listya (2010)
B. Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis Pengujian sifat fisis mekanis dilakukan untuk melihat perbedaan kelas umur (jabon) terhadap sifat mekanis kayu. Sifat fisis yang diuji dalam penelitian ini adalah berat jenis. Hubungan berat jenis dengan jenis kayu lebih lanjut ditampilkan dalam gambar 4. Sementara untuk kayu pertukangan umumnya ditentukan dari kekuatan lentur (MOE dan MOR) dan kekuatan tekan sejajar serat (Gambar 5). Nilai yang ditampilkan adalah nilai rata-rata dari 3 ulangan pada masing-masing kelas umur.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
347
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 4. Histogram hubungan antara berat jenis dengan umur kayu jabon
Gambar 5. Histogram nilai kekuatan kayu jabon Dapat dilihat pada gambar 4 nilai berat jenis tertinggi pada kayu jabon diperoleh pada umur 4 tahun sebesar 0,517 dan terendah pada umur 5 tahun sebesar 0,342. Berdasarkan berat jenisnya kayu jabon tergolong kelas kuat IV–III, sejalan dengan atlas kayu indonesia yang menyatakan berat jenis jabon 0,42 (0,29–0,56) kelas kuat III–IV (Martawijaya et al. 2005).
348
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pada umumnya klasifikasi kekuatan kayu di Indonesia didasarkan pada keteguhan lentur dan keteguhan tekan sejajar serat. Sifat-sifat mekanik lainnya juga penting diketahui dalam hubungannya dengan pengolahan dan pemanfaatan kayu untuk keperluan tertentu. Nilai MOE, MOR, dan C // tertinggi diperoleh pada jabon umur 4 tahun dan terendah pada umur 5 tahun. Berdasarkan sifat fisis dan mekanis, dapat dilihat bahwa umur kayu belum menunjukkan menyebabkan perbedaan pada sifat kayu yang diteliti, kecuali pada modulus elastisitas, keteguhan tekan sejajar serat dan tarik sejajar serat. Hal ini kemungkinan karena kayu yang diteliti masih sangat muda, sehingga hampir semuanya masih mengandung kayu jouvenille yang tinggi. Berdasarkan nilai berat jenis, keteguhan lentur, keteguhan tekan sejajar seratnya, kayu jabon yang diteliti tergolong kayu ringan. Kayu dari kelompok ini dapat dimanfaatkan untuk konstruksi ringan, bahan kerajinan atau panel kayu (Haygreen dan Bowyer 1986).
C. Pengujian Komponen Kimia Kayu Hasil pengujian komponen kimia kayu dari jenis jabon dan gerunggang disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 hasil data yang diperoleh kemudian dikaitkan dengan kemungkinan penggunaannya. Kadar abu dan silika tertinggi diperoleh dari jenis jabon umur 5 tahun. Dalam hubungannya dengan klasifikasi komponen kimia kayu daun lebar Indonesia (Tabel 4), kayu yang diteliti termasuk dalam kelas komponen sedang karena nilainya berkisar 0,2–6% sehingga memungkinkan penggunaannya dalam pembuatan pulp. Menurut Pasaribu et al. (2007) kadar abu yang tinggi tidak diharapkan dalam pembuatan pulp karena dapat memengaruhi kualitas kertas. Sementara besarnya kadar silika dalam kayu dapat mempercepat proses penumpulan bilah mata gergaji atau mesin pembuat serpih kayu.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
349
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 3. Analisis komponen kimia kayu jabon dan gerunggang Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar silika (%) Kadar zat ekstraktif: Kelarutan dalam air dingin Kelarutan dalam air panas Kelarutan dalam alkohol - benzena Kelarutan dalam NaOH 1% Kadar lignin (%) Kadar pentosan (%) Kadar selulosa (%)
4 tahun 7,242 0,811 0,043
5 tahun
6 tahun
7,495 8,211 1,119 0,925 0,448 0,432
Kelas kualitas pulp II* -
2,10
2,54
3,64
-
3,50
5,91
4,24
-
1,66
1,35
1,91
I*
14,54
14,70 12,92
-
30,18 18,29 53,09
30,97 31,89 18,04 18,05 54,73 50,91
II* III* I*
Keterangan Sedang
Baik
Sedang Rendah Baik
Sumber: hasil analisis 2012
Keterangan: *Pasaribu dan Tampubolon 2007 dalam Junaedi dan Yeni 2010 Ditinjau dari kadar zat ekstraktif kelarutan dalam alkohol benzena terlihat bahwa kayu jabon dari semua umur yang diteliti memiliki kadar zat ekstraktif rendah (< 2%). Perbedaan zat ekstraktif dapat disebabkan karena perbedaan tempat tumbuh dan iklim. Dalam hubungannya pada proses pembuatan pulp kimia, kandungan ekstraktif yang tinggi lebih tidak disukai karena akan terjadi reaksi dengan larutan pemasak dan menurunkan rendemen pulp (Pasaribu et al. 2007).
350
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 4. Klasifikasi jenis kayu daun lebar Indonesia atas dasar komponen kimia Komponen kimia (%) Selulosa Lignin Pentosan Zat ekstraktif Abu
Tinggi >45 >33 >24 >4 >6
Kelas komponen Sedang 40–45 18–33 21–24 2–4 0,2–6
Rendah <40 <18 <21 <2 <0,2
Sumber: Anonim 1976
Kandungan pentosan dalam jabon berkisar 18,04–18,29%, tertinggi pada umur 4 tahun. Berdasarkan klasifikasi kayu daun lebar, semua jenis yang diteliti digolongkan dalam kelas rendah (< 21%). Kandungan lignin berkisar antara 30,01–31,89%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan Atlas kayu Indonesia sebesar 25,4% pada jabon (Martawijaya et al. 2005). Untuk keperluan bahan baku pulp termasuk dalam kualitas rendah karena di atas 30% (Anonim 1980; Syafii dan Siregar 2006 dalam Junaedi dan Yeni 2010). Lebih lanjut dikemukakan untuk pembuatan pulp kandungan lignin yang rendah lebih dikehendaki karena akan lebih efesien dalam penggunaan bahan pada saat pemasakan kayu (pembuatan pulp). Sebaliknya kandungan lignin sebesar ini dapat digunakan sebagai bahan konstruksi seperti kayu lapis, kayu pertukangan. Haygreen dan Bowyer (1996) dalam Supartini (2009) menyatakan bahwa dengan bertambahnya kandungan lignin dalam sel akan menimbulkan kekuatan mekanik kayu. Namun hal ini harus didukung dengan hasil yang diperoleh dari pengujian mekanisnya. Komponen kimia berupa kadar selulosa menunjukkan nilai tertinggi pada umur 5 tahun (54,73%). Dari hasil analisis memperlihatkan bahwa kadar selulosa dari jenis kayu yang diteliti tergolong tinggi karena nilainya >45%. Kadar selulosa yang tinggi sangat dibutuhkan dalam pembuatan pulp. Menurut Sudomo et al. (2007), selulosa merupakan zat penyusun serat yang dibutuhkan di dalam pembuatan pulp dan kertas dan menentukan kekuatan ikatan kertas, sehingga hal ini memungkinkan penggunaan jenis kayu jabon umur 4, 5, dan 6 tahun sebagai bahan baku pulp.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
351
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
IV. KESIMPULAN Berdasarkan dimensi serat dan turunannya, kayu jabon dan termasuk dalam kelas kualitas I untuk bahan baku pulp. Sementara dilihat dari nilai kerapatan, keteguhan lentur, keteguhan tekan sejajar seratnya, maka kayu jabon termasuk dalam kelas kuat IV–III dan tergolong kayu ringan. Perbedaan umur kayu yang masih muda belum menunjukkan perbedaan sifat kayunya Kemungkinan pemanfaatan kayu jabon umur 4, 5, dan 6 tahun adalah untuk konstruksi ringan, kerajinan atau bahan pembuatan panel kayu dan bahan baku pulp.
DAFTAR PUSTAKA Ditjen Bina Produksi Kehutanan. 2010. Statistik Direktorat Jenderal Bina Kehutanan 2009. Direktorat Jenderal Bina Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Haygreen JY, Bowyer. 1986. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu (Terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada Univ Press. Junaedi A, Yeni A. 2010. Sifat kayu geronggang sebagai jenis pulpable alternative pada lahan gambut. Buletin Hasil Hutan. Vol. 16, No. 1. Krisnawati H, Maarit K, Markku K. 2011. Anthocphalus cadamba Miq. Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR. Martawijaya A, Iding K, YI Mandang, Soewanda AP, Kosasi K. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Edisi revisi. Departemen Kehutanan. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pasaribu G, Bonifasius S, Gustan P. 2007. Analisis komponen kimia empat jenis kayu asal Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Volume 25, Nomor 4 Tahun 2007. www.forda-mof.org/index.php/content/jurnal/24. Diakses tanggal 24 Januari 2013. Rachman AN, RM Siagian. 1976. Dimensi serat jenis kayu Indonesia Bagian III. Laporan LPHH No.75. Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan. Sass JE.1961. Botanical Microtechnique. The IAWA State University Press.
352
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Simangunsong BC, Elias, Tambunan A, Manurung T, Ramadhan S. 2008. Indonesia forestry outlook’s Ministry of Forestry. Jakarta: Center for Forestry Planning and Statistic. Sudomo A, Pipin P, Encep R. 2007. Kajian kontrol silvikultur hutan tanaman terhadap kualitas kayu pulp. Info Teknis Vol. 5 No. 2 September 2007. Balai Besar Penelitian Bioteknologi Dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Supartini, 2009. Komponen kimia kayu meranti kuning (Shorea macrobalanos). Jurnal Penelitian Dipterokarpa. Vol. 3 No.1. Supartini, Listya MD. 2010. Struktur anatomi dan kualitas serat kayu Parashorea malaanonan (Blanco) Merr. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
353
KAJIAN POTENSI PASAR, SUPPLY DEMAND, SERTA TREN KERTAS KHUSUS PERANGKO DAN MATERAI* Oleh: Pebriyanti Kurniasih**
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi tentang potensi pasar, kapasitas supply demand, dan tren perkembangan kertas perangko dan meterai Indonesia. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif menggunakan pendekatan permintaan dan penawaran perangko dan materai, menggunakan metode pengumpulan data interview dan analisis data secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam penyusunan strategi serta kebijakan pemanfaatan dan pengembangan kertas perangko dan meterai di Indonesia. Dari penelitian ini diketahui bahwa 1) kertas perangko dan materai masih memiliki peluang yang positif di dalam negeri. 2) Rata-rata demand perangko per tahun adalah 45 juta keping dan untuk memenuhi demand tersebut dibutuhkn bahan baku kertas khusus sebanyak 18 ton. Rata-rata demand materai per tahun adalah 326.877.691 keping, untuk memenuhi demand tersebut dibutuhkan bahan baku kertas sebanyak 131 ton. 3) Proses produksi perangko dan materai dipengaruhi juga oleh kondisi sosial politik Indonesia. Kata kunci: Potensi pasar, supply demand, perangko, materai
I. PENDAHULUAN Kertas merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari pengolahan serat tanaman kayu dan tanaman nonkayu. Salah satu jenisnya adalah kertas khusus. Kertas khusus merupakan salah satu produk kertas yang dibuat dengan teknik dan perlakuan khusus, memiliki sifat-sifat khusus yang lain dengan kertas biasanya, serta memiliki peruntukan yang khusus pula. * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Kuok, Riau.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Perkembangan kertas khusus di Indonesia perlu dikaji lebih lanjut mengingat kertas khusus masih tetap dibutuhkan, tetapi keterbatasan teknologi dalam negeri menyebabkan sebagian bahan baku masih diimpor dari luar negeri. Jenis kertas khusus yang dikaji dalam kajian ini adalah kertas khusus untuk perangko dan meterai. Kondisi tingkat konsumsi masyarakat (demand) terhadap perangko dan meterai akan berdampak pada kapasitas bahan baku kertas yang dibutuhkan. Demiter wujudnya kestabilan ketersediaan perangko dan meterai Republik Indonesia dan untuk mengetahui kebutuhan bahan baku yang diperlukan, maka perlu adanya kajian tentang kapasitas supply demand perangko dan materai Indonesia serta kecenderungan perkembangan penggunaan perangko dan materai Republik Indonesia dalam memenuhi kebutuhan. Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan data dan informasi tentang potensi pasar, kapasitas supply demand, dan tren perkembangan kertas perangko dan meterai Indonesia.
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif menggunakan pendekatan permintaan dan penawaran perangko dan materai, menggunakan metode pengumpulan data interview dan analisis data secara deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan di instansi-instansi pemerintahan dan BUMN yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan objek penelitian. Berikut daftar instansi pemerintah dan BUMN yang menjadi sumber informasi dan data penelitian.
356
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 1. Daftar instansi pemerintah dan BUMN yang menjadi sumber informasi penelitian No. 1
2
3
4
Instansi Seksi Perangko dan Filatteli, subdirektorat perangko dan filatelli, Direktorat Pos, Direktorat Jendral Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informasi Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan
Direktorat Pemasaran Bisnis Materai dan Filatteli, Diektorat Pemasaran dan Pengembangan Bisnis, PT Pos Indonesia Kantor PosPusat Operasional Bandung
5
Kantor pos pusat operasional Pekanbaru
6
Kantor pos pusat operasional Payakumbuh
Alamat
Data dan informasi yang diperoleh Gedung Sapta Informasi kebijakan pasar Pesona produksi dan distribusi perangko Republik Jl. Medan Indonesia Merdeka Barat No. 17 Jakarta 10110
Jakarta Selatan Informasi tentang proyeksi peningkatan konsumsi materai per tahun, informasi tentang faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi materai Jl. Jakarta Informasi supply demand Bandung, perangko dan materai tahun berjalan 2011– Jawa Barat 2012 Jl. Asia Afrika Informasi penjualan Bandung perangko dan materai tahun berjalan 2011– 2012 Jl. Sudirman Informasi penjualan Pekanbaru perangko dan materai tahun berjalan 2011– 2012 Payakumbuh Informasi penjualan perangko dan materai tahun berjalan 2011– 2012
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
357
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Pasar Kertas Perangko dan Meterai Ada tidaknya peluang pasar dapat dilihat dengan langkah-langkah: 1. Mengamati kebutuhan apa yang paling banyak diperlukan oleh masyarakat sekitarnya; 2. Mengetahui kapan saja konsumen membutuhkan perangko dan materai; 3. Memerhatikan bagaimana daya beli (kemampuan bayar) konsumen; dan 4. Memerhatikan apakah ada pesaing atau tidak. Empat langkah tersebut memperlihatkan bahwa perangko dan materai memiliki peluang pasar yang berbeda satu sama lain. Perangko memiliki peluang pasar yang tidak sepotensial materai. Dengan melihat dari sudut pandang permintaan perangko dan materai Republik Indonesia, dapat diketahui bahwa kertas khusus bahan baku pembuatan perangko tidak sepotensial kertas khusus bahan baku pembuatan materai. Hal ini disebabkan jumlah permintaan perangko lebih kecil dari jumlah permintaan materai, intensitas penggunaan perangko tidak sesering penggunaan materai karena perangko memiliki barang pengganti sedangkan materai tidak, tarif penggunaan perangko dan materai sama-sama terjangkau oleh masyarakat Indoensia, tetapi masyarakat lebih memilih untuk menggunakan barang pengganti perangko seperti surat kilat ataupun surat elektronik yang tidak memakan waktu lama, sehingga membuat permintaan terhadap perangko menjadi menurun dibandingkan dengan materai.
B. Kebutuhan Kertas Khusus Perangko dan Materai Republik Indonesia Tabel 2 Perbandingan jumlah rata-rata kebutuhan kertas khusus materai dan perangko dalam 1 tahun produksi Produk Perangko Materai
Jumlah rata-rata cetakan (keping) 45.000.000 326.877.691
Perkiraan kebutuhan kertas khusus (ton) 18 131
Sumber: data primer diolah
358
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dari tabel tersebut diketahui bahwa dalam satu tahun, dibutuhkan ratarata sebanyak 18 ton kertas khusus untuk mencetak 45.000.000 keping perangko Republik Indonesia. Untuk mencetak 326.877.691 keping materai Republik Indonesia dalam satu tahun dibutuhkan sebanyak 131 ton kertas khusus. Jumlah tersebut dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat terhadap perangko dan materai dalam satu tahun. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa permintaan terhadap perangko jauh lebih sedikit dibandingkan dengan permintaan terhadap materai. Karena permintaan yang sedikit tersebut, untuk efisiensi biaya dan bahan baku, pemerintah menetapkan batas minimal cetak untuk perangko, sedangkan materai tidak. Untuk alasan efisiensi juga, pemerintah menggunakan data permintaan pada tahun sebelumnya sebagai dasar untuk mencetak perangko dan materai di tahun berikutnya, sehingga jumlah produksi materai dan perangko berbanding lurus dengan permintaan perangko pada tahun sebelumnya.
C. Tren Perkembangan Perangko dan Materai Republik Indonesia Naik-turunnya permintaan terhadap perangko tidak menentu setiap waktunya. Menurut informasi yang diperoleh berdasarkan hasil interview dengan beberapa pihak, perkembangan perangko mulai menurun sejak tahun 2000, hal ini disebabkan oleh: 1. Perkembangan zaman yang ditandai dengan semakin canggihnya teknologi komunikasi sehingga perangko semakin berkurang peminatnya. 2. Banyaknya pilihan untuk berkomunikasi dalam waktu singkat seperti misalnya SMS, kilat khusus, email, dan lain-lain. 3. Konsumen perangko kebanyakan dari golongan filatelis yang regenerasinya minim. Perkembangan produksi perangko sama berbanding lurus dengan permintaan perangko. Jumlah perangko yang dicetak sama dengan jumlah permintaan terhadap perangko setiap tahunnya. Berikut perkembangan perangko di Indonesia menurut PT Pos Indonesia dari tahun 1994 hingga tahun 2011.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
359
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 3. Perkembangan produksidan permintaan perangko tahun 1994– 2011 Tahun
Jumlah cetak (set/seri)
Tahun
Jumlah konsumsi (set/seri)
1995
5.000.000
1994
5.000.000
1998
4.000.000
1997
4.000.000
2000
3.000.000
1999
3.000.000
2006
800.000
2005
800.000
2010
300.000
2009
300.000
2011
300.000
2010
300.000
Sumber: data primer
Bila dicerminkan pada grafik tampak sebagai gambar berikut.
Demand perangko
Supply perangko
6,000,000
6,000,000
4,000,000
4,000,000
2,000,000
2,000,000
0 1994 1995 1999 2005 2009 2010 demand perangko
0 1995 1998 2000 2006 2010 2011 supply perangko
Sumber: data primer 2012
Gambar 1. Grafik supply dan demand perangko tahun 1994–2011 Sama halnya dengan perangko, perkembangan produksi/supply materai juga berbanding lurus dengan permintaan masyarakat terhadap materai. Tren penggunaan materai setiap tahunnya mengalami peningkatan lebih kurang 8%. Berikut perkembangan penggunaan materai di Indonesia menurut PT Pos Indonesia dari tahun 2005 hingga tahun 2011.
360
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 4. Kapasitas supply dan demand materai tahun 2006–2011 Kapasitas produksi materai tahun 2006–2011
Kapasitas permintaan materai tahun 2006–2011
Tahun
Jumlah produksi (keping)
Tahun
Jumlah konsumsi (keping)
2006
251.030.970
2005
251.030.970
2007
272.859.750
2006
272.859.750
2008
296.586.685
2007
296.586.685
2009
322.376.832
2008
322.376.832
2010
350.409.600
2009
350.409.600
2011
380.880.000
2010
380.880.000
2012
414.000.000
2011
414.000.000
Ratarata
326.877.691
Ratarata
326.877.691
Sumber: data primer 2012
Bila digambarkan dalam grafik maka akan tampak seperti berikut.
sumber: data primer 2012
Gambar 2. Kondisi supply demand materai 2006–2011 Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
361
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Kenaikan permintaan materai sebesar kurang lebih 8% per tahun dapat disebabkan karena beberapa faktor, yaitu: a. Tidak adanya barang pengganti lainnya, dalam hal pelunasan bea materai. b. Harga yang terjangkau, yaitu enam ribu rupiah dan tiga ribu rupiah. c. Kebijakan pemerintah bahwa pelunasan bea materai harus menggunakan materai tempel.
IV. PENUTUP Perangko dan materai Republik Indonesia masih memiliki peluang pasar yang positif di dalam negeri. Jumlah supply perangko dan materai berbanding lurus dengan jumlah demand perangko dan materai. Supply dan demand perangko dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang mengalami penurunan jumlah, sedangkan supply dan demand materai dalam kurun waktu 5 tahun terakhir mengalami kenaikan jumlah. Dengan mempertimbangkan sumber daya alam yang dimiliki dan standar serta kriteria pembuatan perangko dan materai yang telah diketahui, maka selanjutnya perlu adanya suatu penelitian lebih lanjut mengenai teknologi pembuatan kertas khusus sebagai bahan baku kertas perangko dan materai sehingga dapat mengurangi pasokan bahan baku kertas khusus dari luar negeri. Sebagai bahan baku serat panjang, dapat memanfaatkan potensi tanaman nonkayu yang notabene dapat dengan mudah didapatkan seperti misalnya serat nanas.
DAFTAR PUSTAKA Moleong Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Cet. 21. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sukirno Sadono. 2012. Mikro Ekonomi, TeoriPengantar. Ed. Ketiga. Jakarta: PT Raja Grafindo. Soerjono. 2003. Mengenal Dunia Fillateli. Bandung: Unit Bisnis Filatteli PT Pos Indonesia (Persero). Pinayani Ani. 2004. Modul: Menganalisis potensi pasar. Jakarta: Dirjen Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional.
362
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
SIFAT FISIK-MEKANIK PAPAN SERAT KERAPATAN SEDANG DARI KAYU JABON DAN GERUNGGANG* Oleh: Agus Wahyudi, Edi Nurrohman dan Eko Sutrisno**
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisis mekanis papan serat kerapatan sedang yang dibuat dengan proses basah dari campuran kayu alternatif jenis jabon dan gerunggang. Pembuatan pulp dilakukan dengan semi kimia (soda panas terbuka), dengan konsentrasi NaOH 8%, perbandingan larutan pemasak 1 : 8 dan waktu pemasakan 3 jam pada suhu 100°C. Komposisi campuran kayu jabon dan kayu gerunggang terdapat 5 taraf perlakuan (100 : 0, 90 : 10, 80 : 20, 70 : 30, 60 : 40) dengan perekat tanin formaldehid sebanyak 3%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kadar air papan serat memenuhi standar JIS A 5905, kerapatan memenuhi standar FAO-1966, sedangkan daya serap air dan pengembangan tebal tidak masuk dalam kedua standar tersebut. Sifat mekanis papan serat pada umumnya tidak masuk dalam standar FAO-1966, tetapi dalam standar JIS A 5905-2003 termasuk pada tipe 5. Kata kunci: Sifat fisis, sifat mekanis, papan serat, jabon, gerunggang
I. PENDAHULUAN Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan salah satu upaya strategis dalam mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu domestik di Indonesia. Produksi kayu bulat Indonesia pada tahun 2006 sebesar 21,8 juta m3 dengan rincian hutan tanaman sebesar 11,5 juta m3, hutan alam 5,5 juta m3, Perum Perhutani 0,3 juta m3, Izin Pemanfaatan Kayu 3,4 juta m3, dan sisanya 1,1 juta m3 dari kayu izin sah lainnya. Sementara kebutuhan bahan baku industri perkayuan nasional sebesar 39,2 juta m3 kayu bulat (Simangunsong et al. 2008).
* Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan–Kuok, Jl. Raya Bangkinang–Kuok km 9, Kotak Pos 4/BKN Bangkinang 28401–Riau
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, menempati posisi ke tiga untuk luasan hutan hujan tropika basah setelah Brasil dan Republik Kongo. Sumber daya hutan Indonesia mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan berkayu lebih dari 4000 jenis, tetapi hanya beberapa jenis yang sudah dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan bahan baku kayu nasional. Dalam era globalisasi, semua kegiatan harus memerhatikan aspek lingkungan tak terkecuali di bidang industri perkayuan nasional, sehingga diperlukan kearifan yang tinggi dalam memanfaatkan sumber daya hutan. Penurunan produksi kayu solid tropis di beberapa negara mengakibatkan produk panel kayu seperti papan partikel, OSB, dan papan serat di dunia meningkat. Bahan baku produk panel pada umumnya berasal dari limbah industri kayu, kayu-kayu berdiameter kecil dan/atau dari jenis-jenis kayu yang kurang dikenal. Kebutuhan kayu nasional semakin meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan ketersediaan kayu semakin terbatas terutama kayu berdiameter besar dari hutan alam. Fenomena ini berdampak terhadap perkembangan industri panel kayu, seperti produk papan partikel dan papan serat yang menggunakan kayu berdiameter kecil dan menggunakan jenis-jenis kayu yang belum dikenal. Untuk itu diperlukan suatu informasi sifat-sifat produk papan serat berkerapatan sedang (MDF) dari jenis-jenis kayu kurang dikenal/ jenis kayu alternatif tersebut.
II. METODOLOGI A. Bahan dan Peralatan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis kayu jabon (Anthochepalus cadamba A. Rich) dan gerunggang (Cratocylon arborescens Bl) dan bahan kimia lainnya. Peralatan yang digunakan di antaranya chain saw untuk menebang pohon, golok untuk membuat serpih, ember stainless steel dan kompor gas untuk pemasakan serpih, holander beater untuk menguraikan serat, decle box dan alumunium foil untuk membentuk papan, hot press untuk mencetak papan dan universal testing mechine (UTM) untuk menguji sifat mekanis serta peralatan lainnya.
364
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
B. Prosedur Kerja Papan serat yang dibuat adalah papan serat berkerapatan sedang dengan nilai kerapatan berkisar antara 0,4–0,8 g/cm3. Setiap sample jenis kayu dibuat serpih dengan ukuran 3 x 2 x 0,2 cm kemudian dikeringudarakan selama satu minggu hingga diperoleh kadar air kesetimbangan. Sebelum serpih dibuat papan serat, terlebih dahulu dibuat pulp. Pembuatan pulp dilakukan dengan proses semi kimia (soda panas terbuka). Pengolahan pulp menggunakan larutan NaOH teknis dengan konsentrasi soda sebesar 8%, perbandingan serpih dan larutan pemasak 1 : 8 dan suhu pemasak 100°C selama 3 jam. Serpih hasil pemasakan dicuci hingga bersih dari bahan kimia kemudian digiling menggunakan hollander beater (konsistensi 3%) hingga diperoleh derajat kehalusan serat sekitar 600–700 ml CSF. Dalam pembuatan papan serat MDF, serat pulp kayu Jabon ( J ) dan kayu Gerunggang (G) dicampur dan diaduk sampai homogen, masing-masing proporsi campuran (Jabon : Gerunggang ) sebesar 100 : 0, 75 : 25, 50 : 50, 25 : 75, 0 : 100 berdasarkan berat kering oven. Pada pembentukan lembaran papan serat MDF tersebut menggunakan perekat tanin formaldehyde (TF) sebanyak 3%. Kondisi pengempaan dilakukan pada suhu 160°C selama 10 menit dengan tekanan sekitar 25 kg/cm2. Papan serat dibuat melalui proses basah dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 0,5 cm dan sasaran kerapatan 0,6 g/cm3. Setelah pengempaan dilakukan pengkondisian selama 2 minggu, kemudian dilakukan pengujian sifat fisis dan mekanis berdasarkan SNI 014449-2006 tentang papan serat (Anonim 2006).
C. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Sifat fisis dan mekanis papan serat MDF ditelaah dengan rancangan percobaan acak lengkap. Faktor perlakuan adalah komposisi campuran serat kayu jabon dan kayu gerunggang sebanyak 5 taraf, yaitu 100 : 0, 75 : 25, 50 : 50, 25 : 75, 0 : 100. Setiap perlakuan dilakukan ulangan sebanyak 2 kali. Data sifat papan serat MDF tersebut mencakup kerapatan, kadar air, daya serap air, pengembangan tebal, keteguhan lentur, keteguhan patah, dan keteguhan rekat internal. Jika pengaruh perlakuan berbeda nyata terhadap sifat atau pengamatan tertentu, penelaahan dilanjutkan dengan uji beda Duncan (Matjik dan Sumertajaya 2002).
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
365
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Kayu Jabon dan Gerunggang Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan papan serat MDF adalah jenis kayu jabon (Anthochepalus cadamba A. Rich) dan gerunggang (Cratocylon arborescens Bl) yang berasal dari hutan sekunder di wilayah Provinsi Riau. Kayu jabon dan gerunggang yang digunakan dalam pembuatan papan serat kerapatan sedang adalah tumbuhan kayu jabon dan gerunggang yang berdiameter < 15 cm. Berdasarkan hasil analisis sifat morfologis dan kimiawi bahan kayu jabon dan gerunggang, keduanya tidak memiliki perbedaan yang mencolok dari sifat dimensi serat dan turunannya. Kayu jabon mempunyai panjang serat yang lebih besar dibandingkan dengan panjang serat kayu gerunggang. Berdasarkan klasifikasi Pustekolah, kualitas serat kayu sebagai bahan baku pulp untuk papan serat panjang serat kayu jabon dan kayu gerunggang masuk dalam kelas kualitas II yaitu antara 1,0–2,0 mm, sedangkan untuk nilai turunannya seperti bilangan runkel, kekakuan, dan muhlstep rasio masuk ke dalam katagori kelas kualitas III. Hasil pengukuran sifat morfologis dan kimia kayu jabon dan gerunggang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat morfologis dan kimia kayu jabon dan gerunggang No. A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
366
Sifat-sifat kayu Sifat Morfologis Panjang serat (mm) Diameter serat (µ) Diameter lumen (µ) Tebal dinding serat (µ) Bilangan runkel Kelangsingan Kekakuan Kelenturan Muhlstep rasio (%)
Jenis kayu Jabon Gerunggang 1,90 30,90 18,08 6,41 0,71 61,49 0,21 0,59 65,76
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
1,35 25,48 14,85 5,32 0,72 52,98 0,21 0,58 66,03
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
No. B. 1. 2. 3. 4. 5.
Sifat-sifat kayu Sifat Kimia Selulosa (%) Hemiselulosa (%) Lignin (%) Ekstraktif (%) Abu (%)
Jenis kayu Jabon Gerunggang 52,40 16,20 25,40 0,80
53,10 18,40 22,20 1,00
B. Sifat Fisis Papan Serat MDF Kayu Jabon dan Gerunggang Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat fisis papan serat MDF dengan perlakuan komposisi campuran kayu jabon dan gerunggang tidak berbeda nyata. Nilai rata-rata sifat fisis papan serat MDF dari campuran kayu jabon dan gerunggang dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai kerapatan papan serat dari semua komposisi campuran kayu jabon dan kayu gerunggang memenuhi standar jenis papan serat kerapatan sedang yang ditetapkan FAO yaitu sebesar 0,40–0,80 g/cm3. Menurut Koch (1985), kerapatan papan serat ditentukan oleh derajat kerapatan lembaran papan serat selama pengempaan. Pengempaan yang rendah akan menghasilkan ikatan antar serat kurang baik dan mempunyai kekuatan yang rendah. Tabel 2. Nilai rata-rata sifat fisis papan serat MDF campuran kayu jabon dan gerunggang
No.
Komposisi papan serat/MDF (Jabon, Gerunggang)
1. 2. 3. 4. 5.
A (100 : 0) B (75 : 25) C (50 : 50) D (25 : 75) E (0 : 100)
Sifat fisis Kadar Daya Kerapatan air serap air (g/cm3) (%) (%) 0,57 12,52 143,88 0,59 13,42 147,36 0,59 12,37 142,52 0,58 12,24 145,76 0,57 11,57 137,00
Pengaruh tebal (%) 24,58 23,31 26,45 27,15 23,11
Kadar air lembaran papan serat yang diperoleh pada semua komposisi campuran kayu jabon dan gerunggang berkisar antara 11,57–13,42%. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semua komposisi campuran kayu
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
367
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
jabon dan gerunggang, kecuali komposisi 100% kayu gerunggang mempunyai nilai kadar air sekitar kadar air kesetimbangan yaitu 12–15%. Hal ini disebabkan adanya pengempaan panas sehingga menyebabkan kandungan air menjadi lebih kecil dibanding kayu asalnya. Menurut Kosasih (1973), kadar air kayu dipengaruhi oleh suhu dan kelembapan udara di sekitarnya, oleh karena itu kadar air akan berubah sesuai dengan suhu dan kelembapan di sekitarnya. Rata-rata penyerapan air papan serat campuran kayu jabon dan gerunggang pada kondisi perendaman selama 24 jam melebihi standar yang ditetapkan oleh FAO (1966) yaitu 6–40%. Hal ini mungkin disebabkan tidak dilakukan penambahan bahan penolak air sewaktu pembentukan lembaran. Koch (1985) menyatakan bahwa penambahan bahan penolak air yang berupa emulsi parafin sebanyak 0,2–0,5% terhadap berat kering serat cukup efektif untuk mengurangi daya serap air dan tidak berpengaruh terhadap sifat mekanis papan serat. Nilai pengembangan tebal dari semua komposisi campuran kayu jabon dan gerunggang mempunyai nilai antara 23,11–27,15%. Nilai ini belum memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh FAO sebesar 4–15%. Hal ini terjadi karena pada waktu pembentukan lembaran papan serat tidak dilakukan penambahan parafin. Nilai pengembangan tebal memengaruhi stabilitas bentuk produk papan. Semakin tinggi nilai pengembangan tebalnya, maka semakin rendah stabilitas papan tersebut. Nilai pengembangan tebal dijadikan sebagai acuan pada saat menentukan kococokan penggunaan produk papan terhadap kondisi lingkungannya, nilai ini juga menentukan besarnya ruang atau jarak yang harus disediakan untuk wilayah kembang susutnya.
C. Sifat Mekanis Papan Serat Kayu Jabon dan Gerunggang Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat mekanis papan serat dari komposisi campuran kayu jabon dan gerunggang, terutama modulus patah dan modulus elastisitas berdasarkan uji statistik berbeda nyata, sedangkan sifat mekanis keteguhan rekat internal tidak menunjukkan perbedaan nyata. Hasil pengujian nilai rata-rata sifat mekanis papan serat berkerapatan sedang dari campuran kayu jabon dan gerunggang dapat dilihat di Tabel 3.
368
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tebel 3. Nilai rata-rata sifat mekanis papan serat MDF campuran kayu jabon dan gerunggang No.
Komposisi papan serat / MDF (Jabon, Gerunggang)
1. 2. 3. 4. 5.
A (100 : 0) B (75 : 25) C (50 : 50) D (25 : 75) E (0 : 100)
Sifat mekanis MOE MOR IB (kg/cm2) (kg/cm2) (kg/cm2) 13.871,84* 101,05* 1,33 12.421,57* 88,57** 1,18 9.459,57** 82,10** 0,94 8.110,68** 84,34** 1,05 8.239,63** 84,94** 1,07
Keterangan: angka yang diikuti dengan jumlah bintang yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji Duncan’s P<5% Nilai modulus elastisitas (keteguhan lentur) papan serat campuran kayu jabon dan gerunggang memenuhi standar JIS A 5905-2003 tipe 5 yaitu minimal 8.000 kg/cm2, sedangkan untuk komposisi campuran kayu jabon dan kayu gerunggang 100 : 0 dan 75 : 25 juga memenuhi standar FAO yaitu minimal 10.000 kg/cm2. Semakin tinggi modulus elastisitas suatu papan, maka papan serat semakin tahan terhadap perubahan bentuk. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi komposisi campuran kayu jabon nilai modulus elastisitasnya semakin meningkat. Hal ini karena salah satu hal yang memengaruhi keteguhan lentur papan serat adalah dimensi serat kayu itu sendiri. Heygreen dan Bowyer (1989) menyatakan bahwa panjang serat memiliki pengaruh terhadap meningkatnya kekompakan ikatan antarserat, dinding sel yang tipis mudah untuk dipipihkan sehingga menghasilkan ikatan serat dan kerapatan yang lebih kompak pada saat pembentukan lembaran papan terutama pada proses pengempaan. Nilai modulus patah papan serat komposisi campuran kayu jabon dan gerunggang yang dihasilkan bervariasi, tetapi menunjukkan kecenderungan meningkat nilainya dengan semakin tingginya komposisi serat kayu jabon. Nilai yang didapatkan tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh FAO (1966), tetapi masuk dalam standar yang ditetapkan JIS A 5905 (2003) untuk semua tipe. Menurut Kollmann et al. (1975), faktor yang memengaruhi modulus patah papan serat adalah tingkat penguraian (freeness) pada serat di mana tingkat penguraian seret yang tinggi mengakibatkan penurunan nilai modulus patah. Selain itu kayu yang mempunyai dinding sel yang tipis Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
369
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dan serat yang lebih panjang akan mudah membentuk jalinan antarserat. Koch (1985) menyatakan bahwa serat yang panjang lebih memungkinkan membentuk jalinan serat. Nilai keteguhan rekat internal papan serat merupakan nilai yang menunjukkan kemampuan ikatan antarserat di dalam papan. Hasil nilai keteguhan rekat internal papan serat berada pada kisaran 0,94–1,33 kg/cm2, tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh FAO (1966) dan standar JIS A 5905 (2003). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sedikitnya perakat yang ditambahkan dalam pembuatan lembarannya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Nilai hasil pengujian sifat fisis papan dari campuran komposisi kayu jabon dan gerunggang, memenuhi standar FAO, dan standar JIS untuk parameter kerapatan dan kadar air, sedangkan daya serap air dan pengembangan tebal tidak masuk dalam standar keduanya. Nilai keteguhan rekat internal tidak memenuhi standar FAO maupun standar JIS, sedangkan keteguhan patah semua memenuhi standar JIS tetapi tidak untuk standar FAO.
B. Saran Pembuatan papan serat kerapatan sedang untuk jenis-jenis alternatif, ke depannya dapat diujicobakan dengan penambahan bahan penolak air (emulsi parafin) dan dilakukan dengan proses kering.
DAFTAR PUSTAKA FAO. 1966. Food and Agricultural Organization Yearbook of Forest Product; Fibreboard and Prticleboard. Rome. Italy. Haygreen JG, JL Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Suatu Pengantar (Terjemahan). Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
370
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Japanese Industrial Standard (JIS) for Fibreboard A 5905-2003. 2003. Japan Standard Association. Japan. Kollmann FP, EW Kuenzi, AJ Stamm. 1975. Principle of Wood Science and Technology, Vol. II Wood Based Materials. Springer–Verlag Berlin Heidelberg, New York. Koch. 1985. Utilization of hand woods growing on Southern Pine Sites. Agricultural Handbook US. Departement of Agriculture Forest Service. Washington. Simangunsong BC, Elias, Tambunan A, Manurung T, Ramadhan S. 2008. Indonesia Forestry Outlook’s Ministry of Forestry. Jakarta: Center for Forestry Planning and Statistic.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
371
TEKNIK PEMBUATAN KOMPOS DAN PUPUK RAMAH LINGKUNGAN DARI LIMBAH INDUSTRI PULP* Oleh: Siti Wahyuningsih**
ABSTRAK Limbah industri pulp dapat digunakan sebagai bahan baku potensial untuk pembuatan kompos dan pupuk organik. Penambahan aktivator berupa mikroorganisme selulitik dan lignolitik dapat mempersingkat lama pengomposan bahan organik yang didominasi oleh organik kompleks, melalui produksi enzim maupun senyawa metabolit sekunder. Pada penelitian ini telah berhasil diisolasi sepuluh jenis isolat jamur dari berbagai substrat berbeda. Di antara sepuluh isolat tersebut, isolat RH dan SP memiliki kemampuan yang baik untuk tumbuh dalam medium selektif CMC, Bavendam lignin 1%, dan memiliki biomassa yang tinggi dalam medium PDB dengan tambahan limbah industri pulp sebanyak 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat SP, RH, serta kombinasi keduanya (K) yang diinokulasi ke dalam limbah industri pulp dan kertas dan dikomposkan selama 4 minggu secara berturut-turut memberikan nisbah C/N sebesar 21,38, 23,25, dan 20,37; kadar P₂O₅ secara berturut-turut 1,91%, 2,1%, dan 2,22%; kadar K₂O secara berturut-turut 2,91%, 2,97%, dan 3,22%; pH secara berturut-turut 7,26; 7,55, dan 7,28; nilai KTK secara berturut-turut 44,2, 46,58, dan 48,95 (me/100g) diakhir pengamatan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa isolat kombinasi SP dan RH memiliki kemampuan terbaik dalam merombak bahan organik dalam limbah industri pulp dan kertas. Kata kunci: Limbah industri pulp dan kertas, pengomposan, isolat jamur
* Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan – Kuok, Riau.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
I. PENDAHULUAN Kebutuhan pasar global akan produk pulp yang semakin meningkat berakibat pada peningkatan produktivitas industri pulp. Dampak serius dari peningkatan produktivitas tersebut adalah peningkatan volume limbah industri. Berdasar Widyati (2009), Indonesia termasuk 10 besar negara pengekspor pulp dan kertas dengan total produksi lebih dari 16 juta ton per tahun. Menurut Rina dalam Pasaribu dan Roliadi (2006), sludge limbah padat organik yang dihasilkan dari industri pulp dan kertas sekitar 3–4% dari produksi riil pulp/kertas. Minimasi buangan limbah industri pulp dapat dilakukan melalui pengomposan. Hal ini didasari karena limbah padat industri pulp dan kertas mengandung bahan organik sekitar 60%. Selain itu, limbah tersebut mengandung sumber karbon yang diperlukan bagi mikroorganisme dalam proses pengomposan (Anonim 2003 dalam Pasaribu dan Roliadi 2006). Komposisi bahan organik yang terkandung di dalam sludge industri pulp dan kertas antara lain serat selulosa 59–72%, lignin 6–16%, dan hemiselulose 7–10% (Sosulki 1993 dalam Soetopo dan Purwati 2006). Berdasarkan sifat fisik dan komposisi bahan organik tersebut, maka untuk memanfaatkannya sebagai kompos, diperlukan teknik pengomposan yang spesifik (Soetopo dan Purwati 2006). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa baik selulosa, hemiselulosa, maupun lignin dapat digunakan sebagai sumber C bagi organisme lignoselulotik (Widiastuti et al. 2009). Sehingga, mikroorganisme lignoselulotik tersebut dapat dimanfatkan sebagai agen pengompos hayati. Prinsip dekomposisi senyawa organik secara alami oleh mikroorganisme yang bekerja secara serentak dan simultan tersebut, dikenal sebagai metode pengomposan open air periodically-turned static pile (Valzano 2000 dalam Soetopo dan Purwati 2006). Menurut Widiastuti et al. ( 2009), beberapa manfaat yang ditunjukkan dari aplikasi pupuk organik limbah industri pulp ialah kemampuannya dalam memperbaiki mineralisasi N, meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK), pH, ketersediaan top soil, dan memperbaiki struktur tanah setelah aplikasi selama 2 tahun. Dampak positif dari pengomposan limbah industri pulp tersebut sejalan dengan isu global yang sedang populer di masyarakat yaitu kampanye go green dan zero waste. Oleh karena itu, diperlukan teknik pengomposan yang mampu memperpendek waktu pengomposan agar dapat diterapkan oleh para pelaku industri. Penelitian ini dilakukan dari bulan
374
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Januari 2012 sampai bulan November 2012 di Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Desa Kuok, Kecamatan Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
II. ISOLASI STRARTER PENGOMPOSAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari 2012 sampai bulan November 2012 di Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Desa Kuok, Kecamatan Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
B. Bahan dan Alat Sampel tanah yang mengandung limbah industri pulp yang telah melapuk dan sampel dari kayu terlapuk, air steril, alkohol 95 %, medium basal selulilitik CMC (1 g KH₂PO₄, 0,5 g K₂SO₄, 0,5 g NaCl, 0,01 g FeSO₄, 1 g NH₄NO₃, 0,01 g MnSO₄, CMC 200 ml (10 gr dalam 200 ml), agar bacto 20 g, merah kongo 1%, NaOH 1%), medium bavendam lignin 1% (medium potato dextrose agar dengan penambahan lignin 1%), medium potato dextrose agar. Erlenmeyer, cawan agar, tabung reaksi, pipet man, autoklaf, oven, petridish, laminair, pH meter, thermometer.
III. PERTUMBUHAN ISOLAT JAMUR DALAM MEDIUM CMC, BAVENDAM LIGNIN 1% A. Isolat Jamur Perombak Selulosa dan Lignin dari Berbagai Sumber Substrat Jamur pengurai bahan organik sebanyak 10 isolat telah berhasil diisolasi dari berbagai sumber substrat. Dua isolat yaitu KYJ1 dan KYJ 4 diperoleh dari kayu lapuk, tiga isolat yaitu SP, SSC, dan SH diperoleh dari limbah industri pulp, isolat PP, TB, AM, TG, dan RH secara berturut-turut diperoleh dari sumber substrat berupa limbah sabut buah kelapa sawit, tanah terbakar, pulp lapuk dari tanaman Acacia mangium, tanah gambut dan daerah perakaran tanaman Acacia mangium. Adapun isolat-isolat tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
375
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 1. Isolat jamur dari berbagai substrat yang ditumbuhkan pada medium selektif CMC (warna putih) dan Bavendam lignin 1% (warna cokelat)
B. Hasil Identifikasi Berdasarkan penampakan mikroskopik pada pengamatan slide culture dari masing-masing isolat jamur dapat dilihat pada Gambar 2.
111 111 111
SS C
SH
RH
SP
AM
Gambar 2. Isolat jamur secara mikroskopik dari berbagai substrat
376
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
TG
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan RH
SP
Berdasarkan kemampuan jamur dalam merombak selulosa, maka hanya jamur KYJ4 dan RH saja yang mampu membuat zona bening pada medium selektif CMC setelah diwarnai dengan iodium. Seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 3. Isolat KYJ4 dan RH dalam medium selektif CMC setelah diwarnai dengan iodium Isolat dengan kemampuan mendegradasi lignin diketahui dari perubahan warna medium Bavendam lignin 1%. Warna agar dalam medium Bavendam lignin 1% yang diinokulasi isolat SP dan RH menunjukkan perubahan dari cokelat kehitaman menjadi yang lebih terang. Menurut Hernandes et al. (1994) dalam Martani (2003), warna cokelat dengan intensitas tinggi berasal dari tingginya konsentrasi lignin, terutama dari lignin yang tidak teroksidasi sempurna. Isolat RH dan SP yang ditumbuhkan dalam medium bavendam lignin 1% dapat dilihat pada Gambar 4.
RH
SP
Gambar 4. Isolat RH dan SP dalam medium Bavendam lignin 1%
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
377
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
IV. KARAKTERISTIK LIMBAH PULP DAN BIOMASSA ISOLAT DALAM MEDIUM POTATO DEXTROSE BROTH Limbah industri pulp yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari PT RAPP, Pelalawan, Riau dengan pH cenderung basa yaitu 7,67 dan kadar air 80,92%. Penurunan kadar air limbah industri pulp dilakukan dengan cara pengeringan di bawah sinar matahari hingga mencapai kadar air 67,64%. Pemilihan isolat yang sesuai sebagai dekomposer limbah industri pulp dilakukan dengan menumbuhkannya secara berturut-turut dalam medium CMC dan Bavendam Lignin 1% untuk mengetahui kemampuan selulitik dan lignolitiknya. Selanjutnya masing-masing isolat ditumbuhkan dalam medium potato dextrose broth (PDB) untuk mengetahui biomassanya. Kemampuan masing-masing isolat dalam mendegradasi selulosa dari limbah industri pulp dan kertas diketahui dengan menumbuhkannya dalam medium PDB cair yang mengandung 5% limbah industri pulp dan kertas yang telah disterilkan. Biomassa jamur yang ditumbuhkan dalam medium dengan tambahan 5% limbah industri pulp dan kertas steril, biomassa jamur dalam medium PDB tanpa limbah industri pulp dan kertas dan limbah industri pulp dan kertas yang delum terdegradasi dalam medium PDB dengan tambahan 5% limbah industri pulp dan kertas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Biomassa jamur dalam medium PDB dengan dan tanpa limbah industri pulp dan limbah industri pulp yang tidak terdegradasi dalam medium PDB dengan tambahan 5% limbah industri pulp dan kertas Biomassa jamur Biomassa jamur Limbah industri pulp steril dalam medium dalam medium yang tidak terdegradasi Isolat PDB tanpa PDB + 5% dalam medium PDB dengan jamur tambahan limbah limbah pulp dan tambahan 5% limbah industri pulp dan kertas steril (g) industri pulp dan kertas (g) kertas (g) KYJ1 KYJ4 SSC PP TB
378
2,04700 1,90050 1,94870 2,18945 2,00125
0,0684 0,0339 0,0107 0,0672 0,0471
1,97860 1,86660 1,93800 2,12225 1,95415
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Biomassa jamur Biomassa jamur Limbah industri pulp steril dalam medium dalam medium yang tidak terdegradasi Isolat PDB tanpa PDB + 5% dalam medium PDB dengan jamur tambahan limbah limbah pulp dan tambahan 5% limbah industri pulp dan kertas steril (g) industri pulp dan kertas (g) kertas (g) SH AM TG RH SP
1,92945 2,47265 2,15875 1,95215 2,12865
0,1197 0,0363 0,0636 0,0740 0,1767
1,80975 2,43635 2,09515 1,87815 1,95195
Isolat SP dipilih sebagai isolat lignolitik sedang RH dipilih sebagai isolat selulitik berdasar kemampuan keduanya untuk tumbuh dalam medium CMC, Bavendam lignin 1% dan memiliki biomassa tinggi dalam medium PDB dengan tambahan 5% limbah industri pulp dan kertas. Jamur RH dan dan SP dipilih sebagai aktivator dekomposer bahan organik limbah industri pulp karena mampu hidup dalam medium CMC, Bavendam Lignin 1%, dan memiliki biomassa yang tinggi dalam medium PDB dengan tambahan 5% limbah industri pulp dan kertas. Jamur RH dipilih sebagai isolat selulitik sedang SP sebagai isolat lignolitik. Penampakan jamur RH dan SP dapat dalam medium PDA dilihat pada gambar di bawah ini.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
379
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
1)
3)
RH 4)
2)
Gambar 5. Isolat dan penampakan mikroskopisnya; RH (gb. 1,2), SP (gb.3,4) serta isolat RH dan SP yang ditumbuhkan secara bersamaan dalam medium potato dextrose agar Isolat terpilih yaitu RH dan SP dihitung kerapatannya dengan menggunakan haemacytomer sebelum diaplikasi ke dalam limbah industri pulp. Kerapatan isolat jamur terpilih yaitu RH dan SP yang digunakan dalam pengomposan limbah industri pulp dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kerapatan jamur selulitik, lignolitik, dan kombinasi keduanya yang digunakan dalam pengomposan Isolat lignolitik (RH) (spora/ml) 1 0 ⁷ 8 1 3 , 6
380
1 0 ⁸
1 0 , 4 1 8
Isolat selllulitik (SP) (spora/ml) 1 0 ⁹
1 8 3 7, 1 6
1 0 ⁷
2 2 , 4 7 4 , 4
1 0 ⁸
5 5, 4 8 1, 2 5
Isolat lignolitik dan sellulitik (RH dan SP) (spora/ml) 1 0 ⁹
2 6, 8 3 0, 8 4
1 0 ⁷
1 9 , 6 4 3 , 6
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
1 0 ⁸
2 1 , 2 2 2 , 4
1 0 ⁹
2 1 , 6 4 1 , 2
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pengomposan limbah industri pulp dilakukan dengan menimbang 1,3 kg limbah industri pulp dan kertas lalu ditambah aktivator berupa isolat terpilih yaitu RH dan atau SP yang telah dilarutkan dalam aquades steril sebanyak 13 ml atau setara dengan 30 ml dalam 3 kg limbah industri pulp dan kertas. Pengomposan dilakukan selama 4 minggu dengan pengambilan sampel dilakukan pada minggu ke 0, 3 dan 4 untuk dianalisis pH, C organik, N, P, K, Ca, Mg, Pb, Zn, Cd, dan KTK.
V. HASIL ANALISIS KOMPOS DAN PUPUK DARI LIMBAH INDUSTRI PULP SKALA LABORATORIUM
Gambar 6. Persentase C organik, N total dalam limbah industri pulp yang diinokulasi isolat SP, RH dan kombinasi keduanya (K) pada minggu ke-0, 3 dan 4 setelah pengomposan
Gambar 7. Persentase C organik, N total dan nisbah C/N dalam limbah industri pulp yang diinokulasi isolat SP, RH, dan kombinasi keduanya (K) pada minggu ke-0, 3, dan 4 setelah pengomposan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
381
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 8. Kadar hara mikro Zn dalam limbah industri pulp dan kertas yang diinokulasi isolat SP, RH, dan kombinasi keduanya (K) pada pengomposan minggu ke-0, 3, dan 4
Gambar 9. Kadar logam berat Pb dan Cd dalam limbah industri pulp dan kertas yang diinokulasi isolat SP, RH, dan kombinasi keduanya (K) pada pengomposan minggu ke-0, 3, dan 4
382
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 10. pH limbah industri pulp dan kertas yang diinokulasi isolat SP, RH, dan kombinasi keduanya (K) pada pengomposan minggu ke-0, 3, dan 4
Gambar 11. Nilai KTK limbah industri pulp dan kertas yang diinokulasi isolat SP, RH, dan kombinasi keduanya (K) pada pengomposan minggu ke-0, 3, dan 4
VI. PENUTUP Minimasi buangan limbah industri pulp dapat dilakukan melalui pengomposan. Pemilihan starter pengomposan yang sesuai dapat mempersingkat lama pengomposan limbah industri pulp. Isolat SP, RH, dan kombinasi keduanya dapat meningkatkan aktivitas perombakan bahan organik dalam limbah industri pulp. Kombinasi isolat SP dan RH memiliki kemampuan yang lebih baik dalam merombak bahan organik dari limbah industri pulp dibanding isolat SP saja atau isolat RH saja. Limbah industri Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
383
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
pulp yang diinokulasi kombinasi isolat SP dan RH serta dikomposkan selama 4 minggu memenuhi syarat sebagai pupuk organik berdasar Permentan No. 28/ Permentan/SR.130/5/2009.
DAFTAR PUSTAKA Babich H, G Stotzky. 1978. Toxicity of zinc to fungi, bacteria, and coliphages: influence of chloride ions. Applied and Environmental Microbiology. 36(6): 906–914. Carpenter A. 1987. An evaluation of pulp sludge as a componenet in manufactured topsoils. A Master Thesis. University of Maine. USA. Forbes JC, RD Watson. 1992. Plant in Agriculture. Cambridge University Press. 248p. Foth HD. 1998. Dasar-Dasar ilmu Tanah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Golueke CG. 1991. BioCycle. 31(9): 70. Hanafiah KA. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. 358p. Harada Y, A Inoko. 2012. The measurement of the cation exchange capacity of compost for the estimation of the degree of maturity. Soil Science and Plant Nutrition. 26(1): 127–134. Hartikainen ES, P Lankinen, J Rajasarkka, H Koponen, M Virta, A Hatakka, MA Kahkonen. 2011. Impact of copper and zinc on the growth of saprotropic fungi and the production of extracellular enzymes. Boreal Environment. 17: 210–18. Jackson MJ. 1998. Chemical characterisation and compost recycling of pulp and paper mill sludge. Phd Thesis. University of Tasmania. Australia. Komarayati S, Gusmailina. 2007. Pemanfaatan limbah padat industri pulp untuk pupuk organik. Jurnal Penenlitian Hasil Hutan. 25(2): 137– 146. Maranatha B. 2008. Aktivitas Enzim Isolat Asal Indonesia Pada Berbagai Substrat limbah pertanian. Skripsi. IPB. Bogor.
384
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Meryandini A, W Widosari, B Maranatha, TC Sunarti, N Rachmania, H Satria. 2009. Isolasi Bakteri Sellulitik dan Karakteristik Enzimnya. Makara Sains. 13 (1): 33–38. Micales JA, KE Skog. 1996. The decomposition of forest product in landfills. International Biodeterioration and Biodegradation. 39(2–3): 145–158. Rani F, A Sultan, F Tahir, S Ahmed, A Hameed. 2007. Biosorption of lead by indigenous fungal strains. Pakistan Journal Botechnology. 39(2): 615–622. Rasyad A, J Samiaji, E Efendi. 2008. Kandungan Logam Berat Paada Jagung yang Dipupuk Dengan Kompos IPAL Pabrik Pulp dan Kertas dan Kelayakannya Untuk Dikonsumsi. Ilmu Lingkungan, 1 (2). Rayner ADM, L Boddy. 1988. Fungal decomposition of Wood. England: Jhon Wiley and Sons Ltd. 587p. Ross SM. 1994. Toxic Metal in Soil Plant System. Chester, England: Jhon Wiley and Sons Ltd. 469p. Soetopo RS, K Septiningrum, A Surahman. 2010. Potensi kompos dari limbah padat pabrik joss paper untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Berita Sellulose. 45(1): 32–43. Syamsudin, S Purwati, I Rosita. 2007. Pemanfaatan campuran limbah padat dengan lindi hitam dari industri pulp dan keras sebagai bahan biobriket. Berita Selulose. 42(2): 62–74. Ulia H. 2007. Alternatif Penggunaan Hidrogen Peroksida Pada Tahap Akhir Pemutihan Pulp. Tesis. USU. Sumatera Utara. Wahyono S. 2000. Mengubah limbah sludge pabrik pulp dan kertas menjadi produk berguna. Jurnal tekhnologi Lingkungan. (193): 277–281. Widyati E. 2009. Pemanfaatan sludge limbah industri pulp dan kertas sebagai amelioran tanah untuk memacu rehabilitasi tambang. Berita Selulose. 44(1): 41–48. Zeng X, J Tang, H Yin, X Liu, P Jiang, H Liu. 2010. Isolation, identification and cadmium adsorption of a high cadmium-resistant Paecilomyces lilacinus. African Journal of Biotechnology. 9(39): 6525–6533. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
385
POLA AGROFORESTRI PADA JABON UNTUK MENINGKATKAN NILAI TAMBAH HUTAN RAKYAT PENGHASIL KAYU PULP* Oleh: Syofia Rahmayanti **
ABSTRAK Kegiatan pola agroforestri pada jabon dilakukan di Desa Pasir Intan, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau pada tahun 2010 dan 2011. Sebelum pembuatan plot, dilakukan pertemuan dengan masyarakat dan wawancara menggunakan kuestioner. Wawancara dilakukan untuk mengetahui minat dan pandangan masyarakat terhadap pola agroforestri pada jabon di lahan masyarakat yang ditujukan sebagai hasil kayu pulp. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari sosialisasi kegiatan pembangunan plot yang akan dilakukan, mengingat bahwa sebagian besar lahan milik masyarakat selama ini dialokasikan untuk areal kebun karet atau sawit. Pembuatan plot percontohan dilakukan pada lahan desa seluas ± 2 ha, terdiri atas plot agroforestri jabon dengan tanaman semusim dan plot mono kultur jabon. Jarak tanam jabon pada monokultur maupun pola agroforestri adalah 4 x 5 m. Tanaman semusim berupa timun, kacang panjang, dan cabai mulai ditanam pada pola plot agroforestry pada minggu ke-2 Desember 2010 (2 minggu setelah penanaman pokok). Kegiatan penanaman tanaman semusim selam 7 bulan menghasilkan tambahan pendapatan Rp455.000 atau rata-rata Rp65.000/bulan. Rendahnya nilai tambah yang diperoleh petani pada 7 bulan penanaman tanaman semusim ternyata mengakibatkan berkurangnya petani untuk melanjutkan kegiatan penanaman tanaman semusim. Pola agroforestri pada jabon belum dapat memberikan nilai tambah yang memadai karena kendala pemasaran. Dari segi pertumbuhan jabon, pola agroforestri ternyata dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter jabon dibanding monokultur. Hingga umur 21 bulan pola agroforestri dapat * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Kuok, Riau**
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
meningkatkan pertumbuhan tinggi jabon sebesar 35,71% dan pertumbuhan diameter sebesar 18,2% dibanding monokultur. Kata kunci: Agroforestry, jabon, monokultur, masyarakat, Riau
I. PENDAHULUAN Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan upaya strategis dalam mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu domestik di Indonesia. Hal ini karena persediaan pasokan bahan baku dari hutan alam produksi semakin menurun. Salah satu bentuk HTI yang saat ini memegang peranan penting dalam menunjang pengembangan industri kayu serat domestik adalah HTI kayu serat atau HTI pulp. Pentingnya pembangunan HTI Pulp antara lain dapat dilihat dari kenyataan besarnya ketergantungan jenis industri ini kepada kayu serat. Produktivitas HTI pulp sampai saat ini dilaporkan masih rendah, baik karena target luasan yang belum tercapai maupun produksi kayu dan riap volume tegakan yang masih di bawah asumsi (Hendromono dkk. 2006). Proyeksi kebutuhan kayu pulp pada tahun 2013 adalah 58,87 juta m3, sedangkan pasokannya diperkirakan hanya 41,39 juta m3 (Departemen Kehutanan 2006). Oleh karena itu, peningkatan produktivitas HTI masih perlu dilakukan, baik melalui tindakan-tindakan silvikultur maupun dengan menambah luas tanaman. Salah satu alternatif untuk menambah luas tanaman adalah dengan memanfaatkan hutan rakyat. Hutan Rakyat (HR) merupakan salah satu program kementerian kehutanan yang tujuannya selain untuk menyokong kebutuhan kayu industri pertukangan, juga sebagai upaya untuk peningkatan pendapatan masyarakat serta meningkatkan manfaat ekologis dari lahan masyarakat karena ditanami komoditas kehutanan. Pemanfaatan hutan rakyat untuk penanaman kayu penghasil pulp harus diikuti dengan penyediaan sumber pendapatan jangka pendek masyarakat dari lahan yang dimanfaatkan untuk jangka panjang dengan penanaman jenis penghasil kayu pulp. Penanaman kayu jenis penghasil pulp di hutan tanaman masih menyisakan lahan terbuka di antara pohon-pohonnya. Lahan di bawah tegakan ini belum termanfaatkan secara maksimal, terutama pada tahun-tahun pertama setelah penanaman di mana cahaya matahari masih
388
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
dapat masuk dan belum terhalang oleh tajuk pohon. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang dapat ditawarkan untuk memanfaatkan lahan di bawah tegakan hutan tanaman yang juga dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Alviya dan Suryandari (2006), agroforestri mempunyai fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi. Dengan pola agroforestri diharapkan tujuan pemanfaatan hutan rakyat untuk penanaman kayu penghasil pulp dapat mengakomodir tujuan utamanya yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengindahkan prinsip-prinsip kelestarian hutan.
II. POLA AGROFORESTRI PADA JABON A. Deskripsi Umum Lokasi Kajian Kegiatan pola agroforestri pada jabon dilakukan di Desa Pasir Intan, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau, dimulai pada bulan September 2010. Desa Pasir Intan memiliki wilayah dengan luas 22,99 km2 atau 2.460 ha. Perbatasan desa adalah sebelah utara dengan HTI PT SSL, sebelah selatan dengan Desa Pasir Agung, sebelah barat dengan Desa Bangun Purba, dan sebelah timur dengan Desa Rambah Jaya. Ketinggian tempat adalah 85 m dpl, curah hujan 247,41 mm/hari dengan suhu harian 32°C. Jenis tanah pada umumnya merah dan lempung. Terdapat kebun desa seluas 4 ha (tanah makam), sawah/ladang 896 ha, lahan pekarangan 132 ha, dan lahan perladangan 861 ha.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
389
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 1. Peta lokasi kajian agroforestri Masyarakat Desa Pasir Intan merupakan masyarakat desa transmigrasi yang berasal dari Jawa Tengah dan mulai menempati desa sejak tahun 1981. Sebagai desa transmigrasi setiap Kepala Keluarga (KK) mendapat lahan dengan luas yang sama yaitu 0,25 ha untuk rumah/pekarangan dan 2 ha untuk usaha pertanian/perkebunan. Perbedaan jumlah lahan yang dimiliki sekarang ini disebabkan ada sebagian warga yang menjual lahannya kepada warga lain disebabkan kebutuhan atau ketidakmampuan menggarap lahan. Pada tahun-tahun pertama menempati desa, masyarakat masih mengandalkan pertanian sawah dan palawija sebagai mata pencaharian utama. Sejak tahun 1995 masyarakat mulai menanam sawit dan karet pada lahan usahanya.
390
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 2. Penggunaan lahan dan luas areal agroforestri di Desa Pasir Intan
B. Pelaksanaan Pola Agroforestri Pelaksanaan pola agroforestri di Desa Pasir Intan diawali dengan melakukan pertemuan dengan masyarakat dan wawancara menggunakan kuisioner. Terdapat 48 kepala keluarga (KK) sebagai responden, yang dianggap representatif mewakili 474 KK (10% dari jumlah KK). Hasil wawancara terlihat pada Gambar 3 dan 4. respon masyarakat terhadap pola agroforestri yang ditawarkan
8.33% berminat, tidak ada lahan kosong
2.08% 6.26%
tidak berminat, tidak tahu teknik budidaya pohon tidak berminat, tidak tahu prosedur menjual kayu 83.33%
tidak berminat, banyak hama babi pada tanaman palawija
Gambar 3. Respons masyarakat terhadap pola agroforestri
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
391
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
jenis-jenis tanaman pokok yang dipilih
8.33%
6.25%
4.17% jabon
6.25%
sengon mahoni meranti akasia 75.00%
Gambar 4. Jenis tanaman pokok yang dipilih masyarakat Untuk merealisasikan pola agroforestri dengan jabon sebagai tanaman pokok seperti pilihan masyarakat, dilakukan pembuatan plot percontohan pada lahan desa seluas ± 2 ha. Untuk melihat pengaruh pola agroforestri terhadap pertumbuhan jabon, di samping plot agroforestri dibangun pula plot monokultur jabon. Lahan desa yang akan ditanami jabon bervegetasi awal semak. Setelah pembersihan semak pengolahan lahan dilakukan secara mekanis menggunakan traktor mini.
Gambar 5. Vegetasi awal plot agroforestri jabon (kiri) dan kondisi lahan setelah diolah (kanan)
392
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Penanaman jabon dilakukan pada minggu ke-4 bulan November 2010. Jarak tanam jabon pada monokultur maupun pola agroforestri adalah 4 x 5 m. Tanaman semusim berupa timun, kacang panjang, dan cabai mulai ditanam pada plot pola agroforestri pada minggu kedua Desember 2010 (dua minggu setelah penanaman tanaman pokok).
III. PERTUMBUHAN JABON
Gambar 6. Pertumbuhan tinggi jabon (cm) pada plot penelitian agroforestri di Desa Pasir Intan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
393
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 7.Pertumbuhan diameter jabon (cm) pada plot penelitian agroforestri di Desa Pasir Intan
IV. HASIL TANAMAN SEMUSIM Analisis usaha penanaman tanaman semusim di antara jabon pada plot penelitian di Desa Pasir Intan adalah sebagai berikut. Periode tanam
Komoditas
Timun, Desember 2010– kacang Maret 2011 (4 bulan) panjang April 2011–Juni Kacang 2011 panjang, (3 bulan) cabai Timun, Desember 2010–Juni kacang 2011 panjang, (7 bulan) cabai
Pengeluaran Penjualan (Rp) (Rp)
Keterangan
1.742.000
3.679.000 Keuntungan Rp1.937.000,-
2.550.000
1.068.000
4.292.000
Keuntungan 4.747.000 Rp455.000,-
Rugi Rp1.482.000,-
Komponen pengeluaran yang dimaksud pada tabel di atas meliputi biaya bibit dan sarana produksi pertanian berupa pupuk (kimia dan organik) dan insektisida/pestisida, sedangkan biaya upah buruh tidak termasuk
394
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
di dalamnya. Dari tabel di atas terlihat bahwa secara total selama 7 bulan penanaman tanaman semusim terdapat keuntungan sebesar Rp455.000,-. Dengan demikian setiap bulannya terdapat tambahan penghasilan sebesar Rp65.000,- pada petani.
Gambar 8. Jabon 2 bulan dengan kacang panjang
Gambar 9. Jabon 2 bulan dengan timun
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
395
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 10. Jabon 3 bulan dengan kacang panjang
Gambar 11. Jabon 10 bulan; monokultur (kiri); dengan agroforestri (kanan)
Gambar 12. Jabon 21 bulan; monokultur (kiri); dengan agroforestri (kanan)
396
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
V. PENUTUP Pola agroforestri jabon di Desa Pasir Intan, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau, dilakukan pada tahun pertama penanaman jabon. Kegiatan penanaman tanaman semusim selama 7 bulan menghasilkan tambahan pendapatan Rp455.000,- atau rata-rata Rp65.000,per bulan. Nilai ini sangat jauh dari yang diperoleh masyarakat dengan menanam sawit. Kendala utama yang menyebabkan rendahnya tambahan pendapatan yang diperoleh dari menanam tanaman semusim di antara jabon adalah masalah pemasaran. Penjualan hanya dilakukan di lingkungan Desa Pasir Intan, dengan cara menjual ke warung-warung yang ada di desa tersebut. Dengan demikian harga jual ditentukan oleh ada tidaknya komoditas yang sama yang terdapat di warung tersebut serta ada tidaknya sayuran lain yang diminati konsumen. Berdasarkan informasi dari petani, harga jual dapat lebih tinggi jika hasil panen dijual ke luar desa. Penjualan ke luar desa terkendala sulitnya transportasi, yaitu akses ke luar desa yang terbatas disebabkan kondisi jalan yang jelek sehingga kendaraan yang dapat ke luar masuk desa hanyalah kendaraan besar seperti truk pengangkut sawit. Rendahnya nilai tambah yang diperoleh petani pada 7 bulan penanaman tanaman semusim ternyata mengakibatkan berkurangnya minat petani untuk melanjutkan kegiatan penanaman tanaman semusim. Pola agroforestri pada jabon untuk meningkatkan nilai tambah hutan rakyat penghasil kayu pulp belum dapat memberikan nilai tambah yang memadai karena kendala pemasaran. Dari segi pertumbuhan jabon, pola agroforestri ternyata dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter jabon dibanding monokultur. Hingga umur 21 bulan pola agroforestri dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi jabon sebesar 35,71% dan pertumbuhan diameter sebesar 18,2% dibanding monokultur.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
397
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
DAPTAR PUSTAKA Alviya Iis, EY Suryandari. 2006. Evaluasi Kebijakan Pelaksanaan Sistem Agroforestri di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 3 No. 1, Maret 2006. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006–2025. Jakarta: Departemen Kehutanan. Hendromono, Y Heryati, N Mindawati. 2006. Teknik Silvikultur Hutan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
398
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
KARAKTERISTIK KOMPOSIT KAYU PLASTIK BERMATRIK POLIPROPILENA DARI JENIS KAYU JABON* Oleh: Yeni Aprianis, Tulus Swasono, Eko Sutrisno dan Fitri Windrasari**
ABSTRAK Pemanfaatan limbah kayu jabon (anthocephalus cadamba) di PT Arjuna Mahkota Playwood merupakan peluang pembuatan komposit kayu plastik (Wood Plastic Composite) dalam rangka pemenuhan kebutuhan kayu. Polimer yang digunakan sebagai matrik adalah polipropilena. Keunggulan kayu plastik di antaranya dapat didaur ulang, perawatan mudah, sifat tahan panas lebih stabil dibanding plastik, kestabilan dimensi, tahan kelembapan, tahan pembusukan, memiliki profil teknis, lebih seragam. Namun kayu plasik memiliki beberapa kelemahan, yaitu mahal, sulit dicat, kekakuan lebih rendah dibanding kayu, koefisien ekspansi panas, dan densiti yang tinggi. Dengan pertimbangan tersebut, maka penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan komposit jenis kayu jabon dengan sifat-sifat mekanis yang baik melalui perlakuan material pengisi dalam berbagai ukuran partikel dan komposisi. Kayu jabon dengan polipropena sebagai matrik dapat dikembangkan sebagai material pengganti kayu alami, dengan pencapaian komposisi serbuk kayu jabon dalam jumlah yang optimal. Kata kunci: Jabon, kayu plastik, komposit, polipropilena
I. PENDAHULUAN Pohon jabon tergolong tanaman yang cepat tumbuh. Masa panen pohon jabon berkisar antara 3–5 tahun dengan pertumbuhan rata-rata 5–10 cm per tahun. Dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti perabotan rumah tangga, pembuatan peti, bahan dasar kertas, kayu lapis, dan sebagainya. Dengan penggunaan hal tersebut, tentunya menghasilkan limbah terutama sisa veneer kayu berdiameter kecil tidak bisa dikupas lagi. * Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok-Riau.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pemanfaatan limbah kayu untuk dijadikan komposit kayu plastik telah dikembangkan merupakan salah satu upaya dalam memenuhi kebutuhan kayu. Polimer yang sering digunakan sebagai matrik antara lain polipropilena, polietilena, polivinilklorida, dan polisterin. Istilah WPC mencakup bahan penguat (matriks) berupa termoplastik polipropilena (PP) sampai polivinil klorida (PVC) dan bahan pengisi (filler) mulai dari serat kayu hingga seratserat hasil tanaman pertanian seperti jute, jerami, kenaf, flax (Huda et al. 2006; Li et al. 2007). Komposit kayu dengan perekat termoplastik sudah diproduksi di Amerika Serikat dan Eropa pada beberapa tahun yang lalu, tetapi perkembangan industri itu baru dicapai akhir-akhir tahun ini (Clemons 2002). Kayu plastik biasanya menggunakan 35–60% kayu sebagai pengisi atau penguat, di mana 13% bahan pengisi kayu plastik berasal dari serat alam (Winandy 2004). Bentuk pengisi dapat berupa serpihan, serat, ataupun serbuk kayu. Penambahan filler ke dalam matriks bertujuan meningkatkan kekakuan, mengurangi densitas, dan biaya per unit volume, sedangkan dengan adanya matriks polimer di dalamnya, maka kekuatan dan sifat fisiknya juga akan meningkat (Setyawati 2003). Produk kayu plastik bisa digunakan di dalam dan di luar ruangan seperti lantai jalan dermaga, dinding bangunan, pagar, atap, perabot, dan lain-lain. Peruntukan di luar ruangan butuh perhatian khusus terutama ketahanan terhadap jamur dan sinar ultraviolet (Risnasari 2008). Kayu plastik dengan matrik thermoplastik memiliki keunggulan, antara lain dapat didaur ulang, perawatan mudah, sifat tahan panas lebih stabil dibanding plastik, kestabilan dimensi, tahan kelembapan, tahan pembusukan, memiliki profil teknis, lebih seragam. Namun kayu plastik memiliki beberapa kelemahan, yaitu relatif lebih mahal, sulit dicat, kekakuan dan temperatur leleh lebih rendah dibanding kayu, koefisen ekspansi panas dan densiti yang tinggi. Sifat termoplastik mudah melunak jika dipanaskan dan mudah mengeras jika didinginkan memudahkan pembuatan komposit dari termoplastik dengan bahan pengisi kayu atau yang lainnya. Termoplastik memiliki massa jenis yang rendah dibanding logam dan keramik sehingga masa jenis komposit kayu plastik hampir mendekati masa jenis kayu alam. Salah satu permasalahan
400
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
utama pada produk kayu plastik adalah tingginya koefisien ekspansi panas. Hal ini sangat berpengaruh jika produk berada di daerah yang intensitas panasnya tinggi. Deformasi akibat ekspansi termal setelah produk dipasang dapat merubah dimensi dan fungsi produk serta dari sisi estetika terlihatan tidak rapi. Dengan pertimbangan tersebut maka penelitian ini difokuskan untuk mendapatkan komposit kayu jabon dengan sifat-sifat mekanis yang baik dengan koefisien ekspansi panas yang rendah melalui perlakuan material pengisi dalam berbagai ukuran mulai dari persiapan material, pemberian coupling agent, pencampuran, dan perlakuan aging setelah pembentukan komposit.
II. METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan baku jabon berasal dari PT Arjuna Mahkota Plywood, Riau sebagai partikel pengisi, PP, kompatibiliser (wetting agent) yang digunakan adalah maleic anydride polypropylene (MAPP). Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi peralatan pembuatan partikel serbuk kayu dengan ukuran 60, 80, dan 100 mesh, pembuatan material WPC (Hot mixer, Hydraulic hot press/mesin pengempa dan frais/pembentukan sampel), serta peralatan pengujian sampel lainnya.
B. Prosedur Kerja Metodologi yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar bagan berikut ini.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
401
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 1. Diagram alir pembuatan dan pengujian WPC Pencampuran material komposit kayu plastik Pembuatan sampel WPC menggunakan dimulai dengan penimbangan serbuk kayu atau wood-flour (WF) dan PP berdasarkan rasio pencampurannya yaitu: 50/50 = kode A 60/40 = kode B 70/30 = kode C Butiran PP dan MAPP dipanaskan di dalam hot mixer pada temperatur 190 C hingga mencair. Selanjutnya serbuk kayu dicampurkan secara bertahap sambil dilakukan pengadukan pada putaran 360 rpm selama 30 menit. 0
402
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pembuatan papan komposit kayu plastik Hasil keluaran dari hot mixer akan berupa komposit semi solid (slurry) yang kemudian akan dilakukan pengempaan menggunakan alat hydraulic hot press. Pertama hydraulic press di setting pada suhu 1800C dan tekanan 1.000 psi selama ± 30 menit. Hasil berupa lembaran (slab) berukuran 195 x 121 x 6 mm, yang kemudian dikondisikan selama 24 jam untuk mencapai distribusi kadar air yang seragam dan melepaskan tegangan sisa dalam lembaran sewaktu pengempaan. Kemudian sampel disimpan ke dalam plastik sebelum dilakukan pengujian.
Pembuatan sampel uji Langkah berikutnya adalah pembuatan spesimen menggunakan proses pemesinan berupa gergaji dan proses pemesinan berupa frais. Spesimen uji tarik menggunakan ASTM D 638 dan uji impak menggunakan ASTM 256. Jumlah specimen yang disiapkan masing-masing 3 buah untuk setiap komposisi komposit.
C. Analisis Data Data yang diperolah dalam kajian penelitaian ini dianalisis secara deskriptif. Dari penelitian ini diperoleh data uji kekuatan tarik, uji impact, dan data pengujian fisik (kerapatan, kadar air, daya serap air, dan pengembangan tebal).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Mekanik 1. Kekuatan tarik Uji tarik sampel ASTM D638 dilakukan pada sampel WPC 50 : 50 (A), 60 : 40 (B), 70 : 30 (C) menggunakan mesin Shimadzu pada temperatur ruang 26,7oC dan kelembapan 56%. Nilai kekuatan tarik disajikan dalam satuan mN/mm2. Secara umum berdasarkan komposisi komposit, data uji kekuatan tarik tertinggi adalah komposisi WF/PP 50 : 50 (A), sedangkan berdasarkan ukuran partikel adalah pada komposit dengan ukuran 100 mesh sebagaimana terlihat pada grafik berikut ini.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
403
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Grafik 1. Hubungan ukuran dan komposisi partikel terhadap kekuatan tarik Sebagai pendekatan bila dibandingkan kekuatan tarik kayu jabon pejal sebesar 46,44 MPa dan PP sebesar 26,78 MPa masih lebih tinggi dibanding kekuatan tarik komposit kayu plastik pada seluruh komposisi. Walaupun kayu pejal memiliki ikatan yang kuat antara serat dan adanya lignin, sedangkan partikel dengan matrik membutuhkan perantara seperti MAPP. Bila kondisi ukuran serbuk dan komposisi digabungkan, kekuatan tarik tertinggi untuk ukuran serbuk kayu 60 mesh adalah pada komposisi 50% WF/50% PP yakni sebesar 19,17 MPa. Sementara kekuatan tarik terendah adalah pada komposisi komposit 60% WF/40% PP (sampel 60.B). Hasil uji tarik ini jika dibandingkan dengan WPC komersial nilainya lebih rendah karena komposisi partikel pada penelitian ini lebih banyak bila dibandingkan dengan matrik. Adapun produk komersil WPC yang dijual di pasaran dunia memiliki kekuatan tarik sekitar 27 MPa. Rendahnya kekuatan tarik bisa diantisipasi dengan memberikan preteatment seperti pengukusan partikel sebelum dicampur dengan MAPP, ini bertujuan untuk mengaktifkan permukaan (Li et al. 2007).
404
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Grafik 2. Hubungan ukuran dan komposisi partikel terhadap kekuatan impak Tapi nilai ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan serbuk kayu kelapa sawit dengan matrik polipropilena menghasilkan kekuatan tarik maksimum 7,3 MPa (Bahruddin 2011).
Kekuatan impak Uji impak sampel ASTM 256 dilakukan pada sampel 100% kayu pejal, WPC 50 : 50 (A), 60 : 40 (B), 70 : 30 (C) menggunakan mesin Scheck treble RPS W/A pada temperatur ruang 22–25oC dan kelembapan 59%. Di mana nilai kekuatan impak dapat diihat pada Grafik 2. Energi impak sangat berhubungan dengan keuletan dan dipengaruhi oleh temperatur. Nilai kekuatan impak WPC masih lebih tinggi dibanding kekuatan impak PP (3,17 joule). Persentase dan ukuran serbuk kayu terlihat tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekuatan impak.
B. Sifat Fisik Data hasil sifat fisik secara umum dapat dilihat pada Tabel 1. Sebagai pendekatan hasil uji ini dibandingkan dengan kayu jabon pejal.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
405
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tabel 1 Sifat fisik kayu plastik jabon dengan matrik polipropilena Kode No sampel
Kerapatan Kadar Daya serap air (%) (gram/ air (%) cm3) 2 jam 24 jam
Pengembangan tebal (%) 2 jam
24 jam
1 60.A
1,206
2,439
0,294
1,916
0,000
2,463
2 60.B
1,021
3,060
5,003
8,243
0,000
1,305
3 60.C
0,924
2,506
1,398
6,093
0,000
2,683
4 80.A
1,009
0,332
0,252
1,403
0,000
1,442
5 80.B
0,903
0,505
9,301
13,367
0,209
3,921
6 80.C
1,017
2,024
19,165
22,641
0,000
2,072
7 100.A
1,025
1,299
0,266
1,333
0,751
2,656
8 100.B
0,921
0,309
15,121
16,657
0,185
1,547
9 100.C Kayu 10 pejal
1,093
0,179
0,579
2,700
0,434
2,608
0,367
15,179
75,751
92,854
2,222
8,231
Dari Tabel 1, terlihat bahwa nilai kerapatan komposit terendah adalah sampel 80.B (0,903 g/cm3), sedangkan nilai kerapatan tertinggi adalah sampel 60.A (1,206 g/cm3). Kadar air WPC terendah pada sampel 100.B (0,309 %) dan tertinggi pada sampel 60.B (3,06 %). Daya serap air terendah pada sampel 80.A (0,252%) untuk 2 jam perendaman dan 100.A (1,33%) untuk 24 jam perendaman. Daya serap air tertinggi pada sampel 80.C yaitu 19,2% pada 2 jam perendaman dan 22,64% pada 24 jam perendaman. Pengembangan tebal sampel WPC untuk perendaman 2 jam nilainya kurang dari 1%. Setelah perendaman 24 jam nilai pengembangan tertinggi pada sampel 80.B (3,9%). WPC dengan ukuran serbuk 60 mesh menunjukkan kecenderungan penurunan kerapatan terhadap peningkatan komposisi serbuk kayu. Pada ukuran serbuk 80 dan 100 mesh, kerapatan komposit tipe C (70% WF/30% PP) memiliki kerapatan tertinggi. Perbedaan kecenderungan pengaruh komposisi unsur komposit maupun ukuran serbuk terhadap kerapatan ditentukan oleh variable proses tekan panas (hot press) antara lain temperatur, gaya dan waktu penekanan.
406
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pengujian kadar air yang dilakukan pada pelat komposit sampel ukuran serbuk 100 mesh memperlihatkan dengan peningkatan komposisi serbuk kayu maka kadar air pada komposit menurun. Kadar air pada seluruh WPC masih lebih rendah dibanding kadar air serbuk kayu (9,5%) sebelum dicampur dengan PP. Penurunan kadar air WPC ini disebabkan pengadukan dengan hot mixing dilakukan pada temperatur 190oC sehingga akan mengurangi kadar air pada serbuk kayu. Dari Tabel 1 terlihat kecenderungan peningkatan persentase penyerapan air pada seluruh specimen berbanding lurus dengan lama perendaman. Pada WPC dengan ukuran serbuk 60 mesh daya serap air terendah adalah pada sampel 60.A (50% WF/50% PP). Pada WPC dengan ukuran serbuk 80 dan 100 mesh daya serap air terendah adalah pada sampel 80.A (50% WF/50% PP) dan 100.A (50% WF/50% PP). Hal ini disebabkan oleh keberadaan sifat partikel yang higroskopis mudah menyerap air dari lingkungan sekitar (Bakar 2003). Sementara pengembangan tebal yang rendah didominasi oleh oleh koposisi WPC dengan mesh 60. Keadaan ini terjadi karena komposisi WPC dengan ukuran WF yang kasar sehingga menyerap air yang mengakibatkan pertambahan tebal. Dari parameter tersebut, maka penentuan nilai optimal dari hasil penelitian ini menggunakan skoring. Skor terkecil menunjukkan nilai terbaik. Berikut tabel skoring kayu plastik dengan perlakuan ukuran partikel dan komposisi. Tabel 2. Skoring kayu plastik jabon Parameter Perlakuan
60.A 60.B 60.C 80.A 80.B 80.C 100.A 100.B 100.C
Daya Kekuatan Total Kekuatan Perpanjangan Kerapatan Kadar air serap Penebalan skor tarik (%) (g/cm3) (%) air (%) (mN/ impak (J) (%) mm2) 3 5 2 1 7 3 5 26 8 7 1 4 9 6 1 36 5 2 4 7 8 5 8 39 1 3 6 6 3 2 2 23 7 1 3 9 4 7 9 40 9 8 7 5 6 9 4 48 4 9 5 3 5 1 7 34 6 4 8 8 2 8 3 39 2 6 9 2 1 4 6 30
Pada Tabel 2, nilai optimal diperoleh pada perlakuan 80 mesh dan Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
407
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
perbandingan kayu dan matrik (50 : 50). Dengan kondisi ini antara matrik dan partikel memiliki ikatan yang lebih kuat bila dibandingkan dengan campuran yang lain. Ini mengindikasikan bahwa komposisi kayu yang sedikit akan membuat tercampur dengan matrik lebih maksimal. Hasil ini serupa yang dilakukan Adhika K.B et al. (2008) menggunakan tepung kayu pinus tetapi matrik yang digunakan adalah daur ulang HDPE. Di mana pada komposisi kayu pinus 50% dan penambahan MAPP 3% dapat memperbaiki sifat komposit dengan 70% HDPE tanpa MAPP. Berati MAPP sebagai perantara antara kayu dengan matrik sehingga meningkatkan ikatan komposit. Pada rekasinya dikatakan Kazayawoko (1997) dalam Huda et al. (2006) bahwa MAPP dapat beriktan dengan gugus OH serat sehingga membentuk ikatan estrifikasi.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pelaksanaan penelitian dan data hasil uji mekanik dan fisik menunjukan wood plastic composite (WPC) komposit serbuk kayu jabon dengan polipropena sebagai matrik dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Hasil uji kekuatan tarik maksimum dihasilkan WPC pada ukuran serbuk 80 mesh dengan komposisi 50% WF/50% PP (sampel 80.A) yakni sebesar 20,96 MPa. Berdasarkan data perpanjangan uji tarik diketahui WPC yang dihasilkan tergolong material yang getas dengan perpanjangan maksimum 4,3% dengan komposisi 70%WF/30%PP pada ukuran serbuk 100 mesh. Kekuatan impak WPC maksimum adalah 6,23 joule pada sampel dengan komposisi 60% WF/40% PP pada ukuran serbuk 80 mesh. Hasil uji kerapatan minimum adalah 0,903 g/cm3 pada komposisi 60% WF/40% PP dengan ukuran serbuk 80 mesh. Hasil uji pengembangan tebal minimum setelah 24 jam perendaman adalah 1,3% pada komposisi 60% WF/40% PP dengan ukuran serbuk 60 mesh. Hasil uji daya serap air minimum setelah 24 jam perendaman adalah 0,25% pada komposisi 50%WF/50%PP dengan ukuran serbuk 80 mesh.
408
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Kondisi optimal diperoleh pada komposit dengan serbuk kayu berukuran 80 mesh dan komposisi 50% kayu.
B. Saran Penelitian dalam bidang komposit kayu plastik ini masih membutuhkan penelitian dasar yang intensif agar diperoleh data sifat material kayu, wetting agent, dan sifat fisik yang tepat yang selanjutnya digunakan untuk pembuatan komposit kayu plastik. Sebagai penunjang pembuatan komposit katu plastik dibutuhkan juga penelitian dan pengembangan peralatan pembuatan komposit kayu plastik yang memadai seperti mesin pembuat serbuk kayu, pengering serbuk kayu, penyaring serbuk, pencampur komposit (hot mixer), pembuat pellet composit, cetakan komposit, dan mesin press panas (hot press). Hal ini akan saling terkait dan akan meningkatkan kualitas komposit kayu plastik yang dihasilkan. Pengembangan penelitian ini wood plastic composite kayu jabon dengan polipropena sebagai matrikanya dan kayu plastik jenis lain agar dapat dilanjutkan sehingga diperoleh sifat mekanis dan fisik yang baik dan layak dijadikan sebagai material pengganti kayu alami.
DAFTAR PUSTAKA Adhikary KB, Shusheng P, Mark PS. 2008. Dimensional stability and menchanical behavior of wood plastic composite based on recyled and virgin high-density polipropilena (HDPE). Composite Part. B Engineering. 807–815. Bakar ES. 2003. Kayu Sawit sebagai Substitusi Kayu dari Hutan Alam. Forum Komunikasi Teknologi dan Industri Kayu. Bahruddin. 2011. Studi pembuatan material wood plastic composite berbasis limbah batang sawit. Jurnal Teknobiologi, II. Universitas Riau. Clemons CM. 2002. Wood-plastic composites in the United States. Forest Products Journal. 52(6): 10–18. Huda MS, Drzal LT, Misra M, Mohanty AK. 2006. Wood fiber-reinforced poly (lactic acid) composite: evaluation of the physicomechanical and morphologica properties. Journal of Applied Polymer Science. (102): 4856–4856. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
409
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Li X, Lope GT, Satyanarayan P. 2007. Chemical treatment of natural fiber for use in natural fiber-reinforced composite: A review. Journal Polymer Enviromental. (15): 25–33. Risnasari I. 2008. Morfologi komposit kayu-plastik dari limbah kayu dan plastik daur ulang pada uji weathering. Depertemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara. Setyawaty D. 2003. Komposit serbuk kayu plastik daur ulang: Teknologi Alternatif Pemanfaatan Limbah Kayu dan Plastik. Winandy JE, Stark NM, Clemons CM. 2004. Considerations in recyling of wood-plastic composite. Global Wood and Natural Fibre Composite Symposium. April 27–28 in Kassel, Germany. A6-1:A6-9.
410
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
USAHA PEMBUATAN EGG TRAY BERBAHAN DASAR LIMBAH KERTAS INDUSTRI* Oleh: Pebriyanti Kurniasih** Email:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Kertas merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari pengolahan serat tanaman kayu (wood) dan tanaman nonkayu (non wood) serta serat sekunder yang berasal dari kertas bekas (waste paper). Peningkatan produksi dan konsumsi kertas nasional berdampak pada peningkatan limbah kertas. Limbah tersebut harus dimanfaatkan agar memiliki nilai tambah. Salah satu produk yang dihasilkan adalah egg tray. Makalah ini bermaksud memberikan data dan informasi tentang proses produksi egg tray berbahan dasar limbah kertas industri beserta analisis finansial usahanya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara ke-3 unit usaha pembuatan egg tray di wilayah Kabupaten Lima Puluh kota dan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Data dianalisis secara finansial. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa pembuatan egg tray dapat dilakukan di skala usaha mulai dari 120 ball/hari, 150 ball/hari, hingga 500 ball/hari, bergantung pada nilai investasi usaha. Metode pengeringan produk dapat dilakukan dengan cara manual, semi mekanik, dan mekanik. Bahan baku yang digunakan adalah limbah kertas dan karton. Untuk hasil yang maksimal diberikan bahan tambahan seperti tepung tapioca, zat pengental, dan zat pemutih. Hasil analisis finansial menunjukan bahwa pembuatan egg tray pada skala 120 ball/hari dan 500 ball/ hari layak dilakukan, tetapi tidak demikian pada skala usaha 150 ball/hari. Hal ini disebabkan hasil perhitungan finansial yang belum menguntungkan. Kata kunci: Limbah kertas dan karton, proses produksi, dan egg tray
* Makalah poster pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 30 April 2013. ** Peneliti Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Jl. Raya Bangkinang – Kuok, Riau.
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
I. PENDAHULUAN Pada kurun waktu tahun 2005–2009, produksi kertas Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,9% per tahun. Berdasarkan produksi per jenis kertas dalam kurun waktu 2005–2009, jenis kertas industri dan budaya mengalami produksi terbesar mencapai 8,6 juta ton atau sekitar 96,2% dari total produksi kertas nasional (Media data 2010). Peningkatan produksi kertas industri diikuti dengan peningkatan konsumsi kertas nasional, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan limbah kertas industri. Hal ini perlu diatasi agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat. Usaha penanganan limbah ini sebaiknya dilakukan sedini mungkin, sebanyak mungkin mendayagunakan kembali sampah, dan sedekat mungkin dengan sumbernya, yang lebih dikenal dengan istilah reuse dan recycle (Sadoko 1993 dalam Iyus 2008). Salah satu jenis produk yang dihasilkan dari pengolahan limbah kertas industri adalah egg tray atau kemasan telur. Egg tray saat ini mulai berpeluang menjadi bisnis yang prospektif. Egg tray merupakan kemasan untuk produk industri biologi, yaitu telur yang dihasilkan oleh unggas. Egg tray memiliki prospek ekonomi yang bagus karena bahan baku yang digunakan mudah diperoleh dan tersedianya pasar yang meminati (www.kontan.co.id 2012). Di Sumatera Barat, pasar dari produk egg tray adalah pedagang telur dan peternak unggas yang memproduksi telur. Jumlah produksi telur di Sumatera Barat pada tahun berjalan sebesar 6 juta butir per hari. Kabupaten penghasil telur terbesar di Sumatera Barat adalah Kabupaten Lima Puluh Kota dengan jumlah produksi telur pada tahun 2011 sebesar 37.360.779 butir atau sekitar 102.358 butir per hari (BPS Kabupaten Limapuluh Kota 2011). Berdasarkan informasi dari petugas Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat, pada wilayah ini baru terdapat 5 pabrik egg tray yang beroperasi dengan total produksi keseluruhan sejumlah 252.000 lembar per hari, sehingga masih memungkinkan untuk melakukan perluasan usaha. Peningkatan limbah kertas industri berupa kertas dan karton bekas perlu disikapi dengan bijaksana. Limbah tersebut perlu diolah sehingga memiliki nilai tambah. Perlu adanya suatu produk berbahan dasar limbah kertas dan karton yang bernilai ekonomis bagi masyarakat. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan data dan informasi tentang usaha pembuatan egg tray, dimulai dari proses produksi hingga pemasaran egg tray serta hasil analisis
412
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
finansial usaha. Makalah ini diharapkan dapat menjadi informasi awal kepada para pihak yang ingin membangun usaha pembuatan egg tray pada skala kecil, menengah dan besar.
II. METODE DAN BAHAN Objek penelitian ini adalah unit usaha pembuatan egg tray berbahan dasar limbah kertas industri. Unit usaha yang menjadi objek penelitian adalah unit usaha berskala 120 ball/hari dan 150 ball/ hari di Kabupaten limapuluh Kota dan unit usaha berskala 500 ball/hari di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan observasi (Wijaya 2012), sebagai berikut. 1. Teknik observasi, yaitu pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan langsung terhadap proses produksi dan kondisi usaha egg tray. 2. Wawancara kepada pihak managemen perusahaan, karyawan, dan pedagang egg tray tentang kondisi usaha egg tray, pasar egg tray, biaya produksi, omset penjualan, dan harga jual. 3. Studi pustaka terhadap laporan, karya ilmiah, dan hasil penelitiaan yang ada hubungannya dengan objek penelitian. Sumber data primer adalah pihak manajemen dan karyawan pabrik egg tray. Jenis data primer yang dikumpulkan adalah: 1. Komponen biaya, meliputi biaya tetap dan tidak tetap. 2. Komponen pendapatan, meliputi kapasitas produksi, jumlah produksi, dan harga jual. 3. Komponen investasi, meliputi nilai bangunan, lahan, mesin, perlengkapan dan peralatan produksi. Sumber data sekunder adalah Dinas Peternakan Kabupaten dan Provinsi, Badan Pusat Statistik Kabupaten dan Provinsi serta lembaga ekonomi lainnya. Data sekunder yang diperlukan meliputi: 1. Kondisi sosial ekonomi penduduk di wilayah penelitian. 2. Suku bunga berlaku pada tahun berjalan. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
413
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
III. ANALISIS DATA Data yang telah diperoleh kemudian disusun dan diolah dalam bentuk tabulasi untuk mendapakan informasi dan gambaran tentang biaya-biaya dalam pengusahaan egg tray di setiap unit usaha dan selanjutnya dianalisis sesuai finansial. Analisis inancial digunakan untuk menilai kelayakan usaha pembuatan egg tray pada skala usaha 120 ball/hari, 150 ball/hari, dan 500 ball/hari menggunakan indikator investasi Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR) sebagai berikut (Perkins 1994 dalam Kusumedi dan Ani Nawir 2010).
A. Net Presen Value (NPV) Suatu usaha dikatakan layak bila NPV > 0 yang artinya proyek tersebut memberikan pengembalian yang sama dengan tingkat pengembalian yang harus diterima. Rumus yang digunakan adalah:
Di mana: NPV : Net Present Value Bt : Benefit yang diperoleh pada tahun t Ct : Biaya yang dikeluarkan pada tahun t i : Tingkat suku bunga n : Umur ekonomis proyek
B. Benefit Cost Ratio (BCR) Benefit Cost Ratio digunakan untuk melihat perbandingan antara manfaat yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. BCR didapat dengan membagi jumlah hasil diskonto pendapatan dengan jumlah hasil diskonto biaya. Suatu usaha dikatakan layak apabila BCR > 1. Rumus yang digunakan adalah:
414
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Di mana: Bt : Manfaat yang diperoleh pada tahun ke-t Ct : Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t r : Tingkat suku bunga yang berlaku t : Interval waktu n : Umur kegiatan
BCR =
Beberapa asumsi yang digunakan untuk melakukan analisis finansial dalam penelitian ini antara lain: 1. Harga input dan output produksi stabil selama umur teknis ekonomis perhitungan arus kas; 2. Proses produksi dilakukan sesuai dengan kapasitas terpasang; 3. Stabilitas politik, lingkungan dan iklim terkendali serta dalam keadaan normal; 4. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah 12%; 5. Sumber modal seluruhnya adalah modal sendiri; 6. Umur kelayakan usaha dihitung berdasarkan life time mesin produksi utama (10 tahun); 7. Semua harga input dan output yang digunakan dalam analisis ini berdasarkan harga yang berlaku selama tahun penelitian, dengan asumsi harga konstan selama umur proyek.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Aspek Produksi Egg Tray Bahan yang digunakan untuk membuat egg tray terdiri atas bahan baku utama, bahan pendukung bahan baku, dan bahan bakar untuk proses pengeringan. Setiap unit usaha menggunakan bahan baku utama berupa karton bekas dan kertas bekas. Bahan pendukung bahan utama digunakan dengan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
415
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
tujuan untuk menghasilkan egg tray yang lebih berkualitas. Baik dari segi bentuk, kekuatan, dan tampilan warna. Beberapa unit usaha menambahkan zat pengental makanan seperti CMC (carboxy methyl cellulosse) untuk perekat dan zat pemutih seperti Hydrogen peroxide 50% untuk mencerahkan warna egg tray. Tabel 1 menunjukkan bahan-bahan untuk membuat egg tray yang meliputi bahan baku utama, bahan pendukung, dan bahan bakar pada proses pengeringan. Tabel 1. Bahan baku, bahan pendukung pembuatann egg tray pada unit usaha skala 120 ball/hari, 150 ball /hari, dan 500 ball/hari di wilayah Kabupaten Limapuluh Kota dan Tanah Datar Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012 Jenis bahan
Bahan baku utama
Unit usaha skala 150 ball/hari
Unit usaha skala 120 ball/hari
Unit usaha skala usaha 500 ball/ hari
Kertas bekas,
Karton bekas,
Karton bekas,
Karton bekas,
Air bersih
Kertas bekas,
Air bersih,
Air bersih Zat pengental,
Bahan pendukung
-
Zat pemutih
-
Bahan bakar proses pengeringan
Tenaga matahari
listrik
Batu bara
Pada Tabel 1 disebutkan bahwa masing-masing unit usaha menggunakan bahan bakar yang berbeda. Hal ini disebabkan proses pengeringan egg tray basah di ketiga unit usaha berbeda. Pada unit usaha skala 150 ball/hari, proses pengeringan dilakukan secara manual menggunakan sinar matahari.Metode pengeringan menggunakan sinar matahari memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah hemat biaya produksi karena tidak membutuhkan biaya untuk bahan bakar. Namun kekurangannya adalah proses penjemuran
416
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
tergantung pada cuaca. Bila cuaca mendung atau hujan, proses produksi akan terhambat dikarenakan tidak bisa menjemur egg tray basah. Begitupun halnya dengan proses pengeringan yang menggunakan oven bertenaga listrik. Oven listrik membutuhkan aliran listrik yang berdaya besar. Hal ini membuat biaya produksi menjadi bertambah. Kelebihan dari proses pengeringan ini adalah egg tray akan kering dengan sempurna dan merata. Penggunaan bahan bakar batu bara juga tidak jauh berbeda dengan penggunaan bahan bakar listrik. Secara garis besar, proses pembuatan egg tray terbagi menjadi tiga tahapan. Tahap pertama adalah tahap pembuatan bubur/pulp.Tahap kedua adalah tahap pencetakan egg tray basah.Tahap ketiga adalah tahap pengeringan dan pengepakan. Ketiga tahapan tersebut membutuhkan mesin dan perlengkapan seperti yang ditunjukan pada tabel 2. Tabel 2. Perlengkapan dan peralatan produksi di unit usaha skala 120 ball/hari, 150 ball/hari, dan 500 ball/hari di Wilayah Kabupaten Limapuluh kota dan Tanah datar Provinsi Sumatera Utara tahun 2012 Skala Usaha 150 ball/hari
• • • • • •
Mesin 3 unit mesin hydropulper 1 Mesin pencetak dengan 4 buah cetakan besI. 1 unit air compressor 1 unit mesin vacumm 1 unit genset 30 PK 1 unit mesin pompa air
• • • • • • • • • •
Perlengkapan 1 unit bak penampungan pulp ukuran 4 m3 1 unit bak penampungan air limbah ukuran 4 m3 1 unit bak penampung air bersih ukuran 4 m3 460 buah Slayan penjemur 9.000 buah tatakan pembentuk egg tray 2 unit gerobak pengangkut 1 unit timbangan bahan baku 1 unit sekop 30 buah Terpal 1 unit oven manual (tidak dipakai lagi)
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
417
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Skala Usaha 120 ball/hari
Mesin • 2 unit mesin hydropulper • 3 unit mesin pompa/ vakum • 1 unit air compressor • 1 unit mesin pencetak dengan 8 cetakan • 1 unit ban berjalan • 1 unit oven semi dryer • 1 unit mesin press
Perlengkapan • 2 unit bak mixer • 1 unit bak penampungan pulp kapasitass 18 m3 • 1 unit bak penampungan air bersih kapasitas 12 m3 • 1 unit bak penampungan air limbah kapasitas 18 m3 • 10 unit rak susun kapasitas @ 120 egg tray • 25 unit bak penjemuran tenaga matahari kapasitas @ 290 egg tray • 20 unit rak pengovenan kapasitas @100 lembar egg tray • 1200 buah alas/tatakan egg tray basah • 1 unit timbangan bahan baku
500 ball/hari
• 1 unit mesin molding dengan 24 cetakan egg tray • 1 unit mesin vakum • 1 unit mesin penyaring pulp • 3 unit baling-baling bak penampungan • 6 unit mesin pompa air • 1 unit air compressor • 1 unit ketel uap • 1 unit oven • 15 unit blower • 1 unit mesin press
• 1 unit bak pelunak kertas ukuran 7,5 m3 • 1 unit bak penampung pulp blm disaring ukuran 21 m3 • 2 unit bak penampungan pulp setelah disaring ukuran 21 m3 • 1 unit bak ukuran ukuran 12 m3 • 2 unit bak penampung air limbah ukuran 216 m3 • 2 unit tandon air bersih • 2 unit sekop • 2 unit gerobak dorong • 1 unit timbangan bahan baku
418
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Pembuatan egg tray terdiri atas beberapa tahapan. Pertama tahap pembuatan bubur/pulp, kedua tahap pembersihan pulp, ketiga tahap pencetakan, keempat tahap pengeringan, dan terakhir tahap pengepakan. Proses pembuatan bubur diawali dengan penghancuran kertas dan karton bekas (waste paper) yang ditambah air menggunakan hydropulper (mixer penghancur). Dalam proses ini, bubur kertas bisa diberi zat tambahan guna mendapatkan hasil yang lebih baik, misalnya saja CMC (Carboxy Methyl Cellulose) dan tepung tapioka. Bisa juga tanpa menggunakan zat tambahan, tetapi produk yang dihasilkan pun berbeda. Produk akhir egg tray yang tidak diberi zat tambahan cenderung agak kurang keras/lembek. Pada proses pembersihan pulp, bubur kertas/pulp dipisahkan dari kotorankotoran berupa streples, plastik, dan lain-lain. Pada proses pencetakan, digunakan mesin khusus pencetak egg tray atau dikenal dengan mesin molding. Banyak sedikitnya produktivitas egg tray suatu unit usaha, dipengaruhi oleh jumlah cetakan egg tray pada mesin ini. Mesin pencetak egg tray memiliki cetakan yang bervariasi jumlahnya mulai dari 4 sampai 24 cetakan. Proses pengeringan egg tray bisa dilakukan dengan beberapa alternatif cara, yaitu dengan bantuan tenaga matahari (manual) menggunakan oven listrik atau dengan oven tungku yang berbahan bakar arang (tempurung kelapa, cangkang sawit, dan lain-lain), batu bara, dan kayu, serta menggunakan oven yang dipasangi ban berjalan. Proses terakhir adalah pengepakan egg tray. Egg tray yang sudah kering selanjutnya dikemas menjadi beberapa ball egg tray.1 (satu) ball egg tray berisikan 100 lembar egg tray. Cara pengemasan dilakukan secara manual atau mekanik menggunakan mesin pengepres. Gambar 1 menunjukan proses pembuatan egg tray di unit usaha berskala 150 ball/hari, 500 ball/hari, dan 120 ball/hari.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
419
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
(b)
(a)
(c)
B. Analisis Finansial terhadap Kelayakan Usaha Pembuatan Egg Tray Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungan dan pada tingkat suku bunga berapa investasi tersebut memberikan manfaat. Hal tersebut dapat diperoleh melalui ukuran-ukuran kriteria investasi seperti Net Present Value (NPV) dan Benefit Cost Ratio (BCR) sebagai berikut. 1. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) adalah nilai saat ini yang mencerminkan nilai keuntungan yang diperoleh selama jangka waktu pengusahaan dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money. Untuk mengetahui nilai uang di masa datang pada saat ini, maka baik biaya maupun pendapatan usaha egg tray harus dikalikan dengan faktor diskonto yang
420
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
besarnya bergantung pada tingkat suku bunga bank yang berlaku di pasaran saat ini, yaitu 12% (dua belas persen). Usaha egg tray akan dikatakan menguntungkan apabila memiliki nilai NPV yang positif. Besaran NPV yang negatif menunjukkan kerugian dari usaha yang dilakukan sehingga tidak layak diusahakan. Makin besar nilai NPV, maka makin baik ukuran kelayakan usahanya. Hasil perhitungan analisis finansial terhadap nilai NPV dengan tingkat suku bunga 12% (dua belas persen) dan masa analisis selama 10 (sepuluh) tahun diperoleh nilai NPV pada unit usaha dengan skala usaha 150 ball/hari sebesar Rp14.699.453.000, nilai NPV pada unit usaha skala 120 ball/hari sebesar Rp-847.927.295, dan nilai NPV pada unit usaha skala 500 ball/hari sebesar Rp6.531.205.002. Angka ini menunjukkan nilai sekarang dari penerimaan bersih yang akan diterima selama 10 (sepuluh) tahun mendatang. Nilai NPV terbesar dimiliki oleh unit usaha skala 150 ball/hari yaitu Rp14.699.453.000 dan nilai NPV terkecil dimiliki oleh unit usaha skala usaha 120 ball/hari yaitu Rp-847.927.295. Nilai NPV negatif disebabkan biaya yang dikeluarkan lebih besar dari keuntungan yang diperoleh. Pada unit usaha skala 120 ball/hari, biaya produksi lebih besar dari keuntungan yang diperoleh. Biaya produksi terbesar adalah untuk pembelian bahan baku limbah kertas dan pembayaran listrik bulanan, mengingat proses pengeringan yang menggunakan dua cara yaitu dengan dijemur di bawah sinar matahari dan dengan menggunakan oven semi dryer bertenaga listrik. Sementara kapasitas produksi unit usaha ini lebih kecil dibandingkan dengan dua unit usaha lainnya karena lahan untuk menjemur egg tray dan kapasitas oven yang terbatas. Nilai NPV pada unit usaha lainnya bernilai positif karena kedua unit usaha ini mampu menutupi biaya produksi dengan hasil penjualan egg tray. Unit usaha pada skala usaha 150 ball/hari memiliki lahan untuk menjemur egg tray yang mampu menampung kurang lebih 150 (seratus lima puluh) ball egg tray basah per harinya. Walau proses produksi dilakukan secara sederhana yaitu hanya menggunakan 1 (satu) mesin molding (pencetak) dengan 4 (empat) cetakan saja, tetapi NET memiliki tenaga kerja sebanyak 28 (dua puluh delapan) orang dan lahan untuk menjemur yang cukup luas. Tenaga kerja ini yang secara bergantian menjemur egg tray basah. Manajemen produksi padat karya seperti ini menjadikan unit usaha ini mampu menghasilkan egg tray sebanyak 150 (seratus lima puluh) ball/hari. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
421
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
2. Benefit Cost Ratio (BCR) Benefit Cost Ratio atau rasio keuntungan biaya adalah perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran selama jangka waktu pengusahaan dengan memerhatikan nilai uang. Hasil perhitungan analisis finansial yang dilakukan pada tingkat suku bunga 12% diperoleh nilai BCR pada unit usaha skala 150 ball/hari, 120 ball/hari, dan 500 ball/hari adalah 2,68; 0,93, dan 1,21. Nilai BCR tersebut menunjukkan perbandingan antara manfaat dan biaya yang telah didiskonto. Nilai BCR pada unit usaha 150 ball/hari dan unit usaha skala 500 ball/hari bernilai positif artinya manfaat yang diperoleh selama umur usaha sebesar nilai BCR lebih besar dari biaya yang telah dikeluarkan sehingga usaha ini dapat dikatakan menguntungkan. Nilai BCR pada unit usaha MMS bernilai negatif artinya manfaat yang diperoleh selama umur usaha sebesar nilai BCR lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan sehingga usaha ini dapat dikatakan belum menguntungkan. Hal ini dapat disebabkan pendapatan yang diperoleh belum menutupi biaya yang dikeluarkan. Pendapatan yang minim disebabkan oleh: 1. Kapasitas produksi yang masih minim, yaitu sebesar 120 ball/hari; dan 2. Lahan yang digunakan untuk menjemur egg tray kurang luas sehingga hanya mampu menampung egg tray dalam jumlah terbatas.
IV. KESIMPULAN Usaha egg tray di Sumatera Barat dapat dilakukan dengan berbagai skala usaha. Proses pembuatan egg tray di lakukan melalui tiga tahapan utama yaitu pembuatan bubur/pulp, pencetakan egg tray basah dan pengeringan serta pengepakan. Proses pengeringan dapat dilakukan denga berbagai cara yaitu secara manual, semi mekanik dan mekanik. Perhitungan analisis finansial di unit usaha berskala 150 ball/hari dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun menghasilkan NPV senilai Rp14.699.453.000,- dan BCR senilai 2,68. Artinya unit usaha ini layak secara finansial. Perhitungan analisis finansial di unit usaha berskala 120 ball/hari menghasilkan NPV senilai Rp-847.927.295,-, dan BCR senilai 0,93. Nilai NPV yang negatif dan nilai BCR yang kurang dari 1 menunjukan bahwa unit usaha ini belum layak secara finansial. Hasil analisis finansial pada unit usaha berskala 500 ball/hari menunjukan bahwa unit usaha ini layak secara finansial dengan nilai NPV= Rp6.531.205.002,dan BCR senilai 1,21.
422
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Peluang bisnis baki telur. http://www.kontan.co.id. Diakses pada 24 april 2012. BPS Kabupaten Lima Puluh Kota. 2011. Kabupaten Lima Puluh Kota dalam angka 2011. BPS Kabupaten Lima Puluh Kota. Iyus. 2008. Studi pemanfaatan limbah kertas karton menjadi kertas pengemas telur [Tesis]. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta (Tidak dipublikasikan). Kusumedi P, Nawir A. 2010. Analisis Finansial Pengelolaan Hutan Rakyat Kemitraan di Kabupaten Bulukumba, Propinsi Sulawesi Selatan dalam Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan. 7 (1): hal 225. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Media Data Riset. 2010. Studi tentang Progres Pasar Industri Pulp dan Kertas Indonesia. Jakarta Timur: PT Media Data Riset. Wijaya Toni. 2012. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis; Teori dan Praktik. Ed. 1. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
423
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil diskusi/tanya jawab SESI 1 PERTANYAAN PESERTA 1. Dr. Rufi’ie (BBP Dipterokarpa-Samarinda) • Ir. Efrida Basri, M.Sc. (Pustekolah): Karena perhitungan menggunakan NPV, sehingga asumsi harus valid. Di hal 6 ada faktor yang tidak masuk ke perhitungan biaya sehingga hasilnya akan bias. • Tidak selalu harga itu stabil/tetap selamanya, oleh karena itu harus ada perhitungan apabila harga naik/turun sehingga akan mengurangi resiko ketidakpastian. 2. Dr. Paribotro (ASMINDO) • Pak Muslich: Saya menyarankan secara umum, mohon ke depannya acara seperti ini rutin dilakukan agar hasil Litbang bisa dimanfaatkan oleh kalangan pengguna. • Kita sudah punya SNI terbaru, kalau bisa menggunakan SNI terbaru sebagai acuan, saran kurang jelas dan daftar pustaka harus sesuai acuan. • Pak Abdurahman, ST. Apakah tidak ada SNI-nya, untuk uji basah, bagaimana hasilnya? Saran harus disebutkan yang baik memakai perekat apa? • Ibu Ir. IM. Sulastiningsih, M.Si.: Kenapa judul dalam makalah yang disampaikan oleh bu Titin terbatas hanya pada bambu saja, padahal bisa disubstitusikan dengan material lain misal pengawetan, pengeringan, dan lain-lain sehingga data yang dihasilkan akan lebih komprehensif/lebih lengkapnya? 3. Citra, S.Hut. (Direktorat IHHP-Kemenperin) • Ibu Ir. Efrida Basari, M.Sc.: Salah satu permasalahan industri pengolahan kayu adalah pasokan bahan baku, oleh karena itu perlu bahan baku alternatif. Untuk industri furnitur, kendala yang dihadapi biasanya dalam proses pengeringan bahan baku, oleh karena itu
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Kemenperin tahun 2013 ini akan mengadakan kerja sama dengan Pemda Jepara dalam hal pengadaan alat pengeringan kayu, apa prioritas yang harus dipertimbangkan dalam merealisasikan rencana kegiatan ini? • Penelitian ini tidak memperhitungan biaya-biaya lainnya sehingga menyebabkan perbedaan yang cukup tinggi dengan perhitungan Kemenperin. • Bagaimana dengan kayu hutan rakyat yang tentunya tidak dilakukan treatment seperti Perhutani dan biayanya juga pasti berbeda. • Pak Abdurahman, ST.: Untuk kesiapan bahan baku industri furnitur di Indonesia, berapa besar potensi kayu trembesi ini dapat menopang untuk bahan baku industri. 4. Susi Sugesti (BB Pulp dan Kertas, Kemenperin Bandung) • Ibu Ir. IM. Sulastiningsih, M.Sc.: Untuk mengetahui keadaan bambu yang tua pada umur berapa tahun? Bagaimana dukungan pemerintah sehingga kebutuhan bahan baku bambu dapat terpenuhi secara berkelanjutan? • Potensi bambu berapa besar? Karena BBPK juga menggunakan bambu dan ada salah satu industri bambu untuk kertas sembahyang dan hingga saat ini bahan bakunya tidak mencukupi. 5. Bambang (Industri-Solo) • Ibu IM. Sulastiningsih: Bambu dapat tumbuh hampir di seluruh Indonesia, sehingga potensi bambu ini diperkirakan banyak sekali tetapi secara mekanis pemanfaatannya masih belum optimal. • Apakah masing-masing contoh produk sudah ada analisis biayanya? • Bagaimana cara mengintegrasikan bambu dengan industri kayu? • Spesies bambu banyak sekali, tetapi yang dibahas hanya bambu andong. • Bagaimana bambu-bambu yang sifatnya unggul kita adopt dengan tissue culture. • Bagaimana potensi ke depannya untuk menjaga kontinuitas bahan baku.
428
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
• Harus dipikirkan pemanfaatan bambu kedepan untuk apa sehingga bisa terintegrasi dengan industri. 6. Dr. Nur Sumedi (BPTP Samboja) • Abdurachman, ST.: Apabila jenis kayu trembesi ini dapat mengganti sebagai bahan baku kayu untuk industri furnitur berarti informasi yang dipaparkan dalam makalah yang disampaikan dapat menjawab apa yang dipikirkan selama ini. • Banyak sekali tanaman trembesi sebelum dicanangkan oleh Presiden, di Kalimantan Timur jenis kayu sangat banyak sekali. Kalau trembesi digunakan hanya sebagai tanaman konservasi sangat disayangkan. • Mohon dijelaskan juga gambaran biaya produksinya. • Pak Muslich: Kayu mana yang potensial untuk kapal? • Selain awet dan kuat, untuk kapal, ada parameter yang menentukan juga yaitu glasticity yaitu kemampuan kayu untuk dilengkungkan. Hingga saat ini belum ada yang mengalahkan jati.
JAWABAN/TANGGAPAN PRESENTATOR 1. Ir. Efrida Basri, M.Sc. • Bapak Rufii: Alat pengeringan ini baru dibuat tahun 2012, sehingga banyak faktor-faktor yang belum diteliti. Hal yang utama adalah bagaimana pengeringan dapat dimasyarakatkan. • Terpuruknya industri-industri kecil disebabkan masalah pengeringan. Harga dimainkan oleh industri-industri besar. • Ibu Citra, di IKM yang dibina di Jepara, langsung bisa ekspor ke Perancis. Karena dengan adanya alat pengeringan yang dibuat oleh Pustekolah, buyer yang masuk langsung menanyakan ada alat pengeringan atau tidak. • Dengan membangun unit pengeringan dapat digunakan untuk segala macam komoditas yang memerlukan kekeringan, sehingga dapat mengurangi kerugian yang lebih besar. • Waktu untuk pengeringan kayu yang berasal dari hutan rakyat biasanya lebih cepat karena kayu yang berasal dari hutan rakyat masak tebangnya/umurnya lebih pendek (5–15 tahun). Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
429
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
• Proses pengeringan untuk setiap jenis kayu memang berbeda-beda, bergantung dari umur kayu dan berat jenis. 2. Drs. M. Muslich, M.Sc. • Pak Dr. Paribotro ini adalah salah seorang sesepuh Pustekolah yang masih aktif dalam pemikirannya dan saran saranya yang baik untuk kemajuan kehutanan khususnya Pustekolah, Pak Paribotro bahwa pelaksanaan kegiatan Diseminasi hasil penelitian, termasuk acara yang diselenggarakan ekspose sekarang ini memang hampir setiap tahun selalu dilaksanakan, tetapi untuk kepastian pelaksanaannya bergantung dari keputusan manajemen. Saran yang baik ini perlu mendapat dukungan. • Tidak menggunakan SNI 2006 yang sudah terbit karena penelitian diawali tahun 2003–2012, takut kodenya berubah, padahal sama saja. • Pak Nur Sumedi: Pada ekspose 2012, sudah diterangkan beberapa komponen kapal, dan betul sekali bahwa masing-masing memiliki sifat yang berbeda-beda. • Bukan semua komponen kayu harus lurus. Namun nelayan justru mencari kayu laban yang bengkok/melengkung seperti huruf V sebagai gading. 3. Abdurachman, ST. • Pak Paribotro: Pada saat pembuatan furnitur, masih berpatokan pada JAS 2007. Namun yang diuji hanya kekuatan geser keras saja. • Kami belum menyarankan tentang perekat. • Ibu Citra: Penyebaran kayu trembesi hampir dapat ditemukan di seluruh Indonesia seperti di Kalimantan, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku. Untuk potensinya kami belum melakukan survei dan menurut pengalaman, angkanya selalu berbeda. • Pak Dr. Yumedi dari Samboja: Semua bagian dari kayu trembesi dapat dimanfaatkan untuk furnitur melalui perlakuan-perlakuan sesuai kayu tersebut untuk digunakan.
430
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
• Untuk perhitungan biaya produksi furnitur dengan memakai jenis kayu trembesi, kami juga belum menghitungnya, tetapi ke depan memang perlu sebagai gambaran untuk penetapan harga barang jadi. 4. Ir. IM. Sulastiningsih, M.Sc. • Dr. Paribotro: Pada makalah yang saya sampaikan ini kami mengambil judul bambu komposit agar cakupannya lebih luas. • Mengenai keawetannya, menggunakan standar Indonesia, dan hasilnya sudah bisa menahan sernagn bubuk. • Data secara konkret mengenai data potensi bambu masih sedikit. Data masih berupa prediksi/dugaan. • Untuk produksi bambu lamina, harus menggunakan bambu-bambu yang diameternya besar seperti bambu andong atau bambu betung. • Untuk masing-masing contoh produk belum dihitung analisis biaya produksinya. Karena ditujukan untuk industri kecil, maka analisis biaya dipengaruhi oleh jenis alat dan bahan perekatnya. Kalau mau melakukan analisis biaya harus langsung di industrinya. Di Malang, Bali dan Jogja sudah ada industrinya. • Ibu Susi Sugesti: Data secara konkret mengenai data potensi bambu masih sedikit, data yang ada masih berupa prediksi/dugaan. • Untuk kebutuhan produksi bambu lamina, bambu yang digunakan harus jenis bambu yang memiliki diameternya cukup besar seperti bambu andong atau bambu betung. • Pak Bambang. • Mengenai keawetannya, menggunakan standar Indonesia, dan hasilnya sudah bisa menahan serangan bubuk. • Data secara konkret mengenai data potensi bambu masih sedikit. Data masih berupa prediksi/dugaan. • Untuk produksi bambu lamina, harus menggunakan bambu-bambu yang diameternya besar seperti bambu andong atau bambu betung.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
431
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
• Untuk masing-masing contoh produk belum dihitung analisis biaya produksinya. Karena ditujukan untuk industri kecil, maka analisis biaya dipengaruhi oleh jenis alat dan bahan perekatnya. Kalau mau melakukan analisis biaya harus langsung di industrinya. Di Malang, Bali, dan Jogja sudah ada industrinya. • Kalau bambu mau dimanfaatkan secara maksimal mulai dari akar hingga daun bisa saja. Contoh: Bonkot bambu dapat dijadikan untuk pembuatan patung/hiasan, daunnya untuk tudung.
SESI 2 A. PERTANYAAN PESERTA 1. Dr. Paribotro Sutigno (Asmindo) • Pak Adi: Kadar air yang digunakan kadar air apa? • Sudah terbukti, perekat tanin formaldehida baik, oleh karena itu harus dilanjutkan • Karena menggunakan perekat berbasis tanin, maka diharapkan ada penelitian tanin. • Penelitian mengenai perekat dimohon ada standarnya. • Pak Han: Tolong disebut di pendahuluan, bandingkan dengan papan serat yang pernah dilakukan di industri. • Pak Winarno: Kerja sama dengan perhutani membuat percontohan 2. Elim Kalisa (Balai Diklat Kehutanan Manokwari-Papua Barat) • Hasil-hasil penelitian akan disebarkan ke masyarakat melalui diklat dan penyuluhan. • Materi-materi ini dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sehingga dapat disampaikan kepada masyarakat. • Limbah dari kayu merbau banyak tersebar di Papua karena kayu gelondongan tidak boleh keluar dari Papua. Keluar sudah dalam bentuk produk jadi.
432
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
3. Maryati, M.Si. (SMK Kehutanan Samarinda) • Harapan kami, teknologi peningkatan nilai tambah hasil hutan perlu diekspose. Khususnya bagi guru dan SMK-SMK kehutanan. Mohon agar setiap tahun dikirim 5 guru agar dapat mengikuti pelatihan. • Motivasi dan dorongan dari peneliti-peneliti mengenai anggaran bagi guru. Setiap SMK kehutanan membuka jurusan-jurusan baru. 4. Barly, BSc., SH., M.Pd. (Pustekolah) • Pak Adi: Dalam pembuatan perekat, ekstrak yang mana yang digunakan? • Pengawetan dapat memperpanjang umur pakai kayu. Kalau dilihat di standar-standar australi, tidak ada CCB untuk mengawetkan kayu Kapal, oleh karena itu perlu diperhatikan. 5. Ir. Hari Setiono, M.Sc. (BPK Manokwari) • Pak Narno: Apakah harga gondorukem cukup tinggi? Seharusnya dapat disarankan agar upak penyadap lebih tinggi. • Bu Nur: Apabila dari bahan kimia yang digunakan banyak menimbulkan polusi di air laut, maka hasil penerapannya menjadi berkurang. Apakah sangat mendesak sekali melakukan penelitian ini? 6. Puslitbang Perhutani • Di Perhutani, arah produksi memang berubah, dari kayu menjadi getah. Produksi getah sampai dengan 50 tahun baru bisa disadap lagi atau ditebang. Untuk brongkol, aturannya koakan adalah sampai dengan 2 m, akan tetapi karena daurnya diperpanjang, maka koakan lebih dari 2 meter.
B. JAWABAN/TANGGAPAN PRESENTATOR 1. Ir. Soenarno, M.Si. (Kelti Keteknikan Hutan dan Pemanenan HH, Pustekolah) • Pak Paribotro: di Makassar sudah kerja sama dengan PT Inhutani II untuk industri gondorukem. Kalau untuk di Jawa baru mulai lagi setelah vakum selama 15 tahun. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
433
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
• Penggunaan stimulan organik hasilnya memang masih jauh dari yang diharapkan. Semoga dapat bekerja sama dengan peneliti kimia untuk membuat stimulan bagi pohon agar mengeluarkan getah lebih banyak. • Dukungan dari manajemen sangat penting bagi terlaksananya kegiatan ini. • Pak Hari: Sangat gembira, ternyata perhitungan salah, harga gondorukem sudah naik sebesar Rp3.000/kg. Walaupun demikian, upah akan mendekati UMR jika mendekati Rp4.000/kg. • Perhutani: sangat menggembirakan produksinya sudah ke getah.
bahwa
perhutani
arah
• Serasah dapat dijadikan wood pellet, kemudian dibakar dan asapnya dapat menjadi cuka kayu sehingga dapat menjadi stimulan. • Hal yang perlu dilakukan adalah manajemen perhutani membeli getah, harus dibarengi dengan kontrol yang ketat. • Hal yang dikhawatirkan adalah apabila kebijakan manajemen sudah berubah, harga sudah berubah, akan tetapi mandor tidak terlalu ketat maka penyadap akan mencuri-curi lagi. • Manajemen Pehutani harus transparan bahwa harga getah sesuai dengan yang di pasar. Akan tetapi, yang diketahui penyadap adalah harga jual di pasar naik tetapi upah tetap. 2. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. (Kelti Pemanfaatan Hasil Hutan, Pustekolah) • Penelitian ini memang mengacu pada standar produksi dari pabrik, bukan dari standar-standar yang ada seperti SNI dan lain-lain. SNInya juga belum ditemukan. Untuk kedepannya, SNI memang sangat diperlukan. • Bukannya tidak percaya pada SNI, tetapi mengikuti standar dari luar. • Ekstrak yang dilakukan hanya sampai 3 kali, kalau 5 kali terlalu encer. • Kadar air adalah kering udara kemudian diekstrak.
434
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
3. Ir. Nurwati Hadjib, M.S. (Kelti Kelti Pemanfaatan Hasil Hutan, Pustekolah) • SNI-nya sudah dibahas tanggal 6 dan 7 bulan lalu. • Pak Barly: menggunakan CCB, setelah diuji di laut ternyata manjur. Dan terima kasih saran Pak Barly bahwa CCB dapat digunakan tetapi tidak dianjurkan. • Pak Hari: Dikatakan mendesak iya, dikatakan tidak mendesak juga iya. Untuk kayu dilapisi dengan epoxy sehingga akan kedap, bahkan ada yang dilapisi dengan fiber, sehingga tidak akan mencemari air. 4. Dr. Ir. Han Roliadi, M.Sc. (Kelti Pemanfaatan Hasil Hutan, Pustekolah) • Tanin memang untuk penyamak kulit. • Apakah nanti akan terjadi rebutan antara tanin untuk penyamak dan perekat, sepertinya tidak karena tanin terbarukan. • Sampai sekarang, pabrik papan serat masih menggunakan UF dengan proses kering karena produksinya besar. Sementara penelitian ini menggunakan cara basah untuk produksi skala kecil. • Penggunaan proses kering banyak menimbulkan polusi udara, sedangkan proses basah hanya menimbulkan limbah cair.
SESI 3 A. PERTANYAAN PESERTA 1. Dr. Paribotro S. (Asmindo) • Kepada Drs. D. Martono, apakah produk yang dihasilkan dari buah sukun ini bisa menggantikan bahan-bahan yang diimpor? • Kepada Gunawan T. Pasaribu, bahwa data dan informasi yang telah dihasilkan dari penelitian tentang pemanfaatan Dryobalanops aromatika untuk produk kosmetik dan obat ini sebaiknya dapat dijadikan tulisan dan dapat dimuat pada jurnal sehingga dapat diketahui dan berkelanjutan.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
435
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
• Untuk R. Esa P. Gusti, untuk menindaklanjuti hasil penelitian getah damar ini agar dapat dijadikan produk lain yang lebih luas dan bersekala besar, perlu digagas kerja sama dengan perhutani berkaitan dengan pembuatan pernis dari damar batu. • Buat suatu tulisan yang lebih lengkap dan terpadu untuk dijadikan sumber bahan pembuatan Standar Nasional Indonesia tentang pernis dari bahan dasar damar batu. • Berapa banyak pohon yang harus ditanam untuk menghasilkan damar batu? 2. Maryati, M.Si. (SMK Kehutanan Samarinda) • Di Kalimantan banyak sekali ulin. • Berapa tahun harus menanam untuk menjadi damar? • SMK Kehutanan Samarinda pernah memenangkan membuat teh ulin dari daun yang bermanfaat untuk penyakit ginjal. • Sukun kalau dilihat manfaatnya banyak. Sukun dan buah sukun di Kalimantan sangat banyak sekali. Kalau sukun dibuat dekstrin dan keripik manfaatnya lebih besar yang mana? • Limbah pohon ulin banyak di daerah Kalimantan, apakah ada penelitian tentang produk teh daun ulin? • Heran juga kenapa bisa dihasilkan beratus-ratus liter minyak bisa mengucur dari pohon Dryobalanops aromatika, dikhawatirkan yang banyak mengucur itu adalah air bukan minyak kamper. • Apakah sudah ada pengujian farmakologinya? 3. Ir. Hari Setiono (BPK Manokwari) • Pak Martono: Sukun di papua lebih besar, lebih empuk, dan lebih manis daripada yang ada di Jawa. • Kira-kira dibuat dekstrin atau keripik, lebih menarik yang mana dari segi pendapatan. • Pak Gunawan: Melihat hasil analisis, jangan-jangan yang keluar bukan minyak tetapi air. Apakah sudah ada uji klinis pemanfaatan minyak dryobalanops dalam bidang kesehatan?
436
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
• Jika dibuat kripik atau dekstrin yang mana yang lebih menarik? Karena buah sukun di Papua lebih enak dan lebih manis. 4. Dr. Han Roliadi (Kelti Pemanfaatan Hasil Hutan, Pustekolah) • Bilangan penyabunan adalah penjumlahan bilangan ester dengan bilangan asam. • Warna berubah biasanya disebabkan oleh ikatan rangkapnya berubah, dapat diuji dengan bilangan Iod. 5. Ir. Ahmadi Syihabi (SMK Kehutanan Manokwari) • Ekspose hasil penelitian di litbang ini memang luar biasa. • Berharap agar dapat dimanfaatkan juga oleh penyuluh dan widyaiswara. • Diharapkan juga ekspose ini juga keluar dalam bahasa masyarakat sehingga mudah dibaca oleh masyarakat umum, contohnya adalah sukun. • Pada musim tertentu di papua, buah sukun akan berbuah dan banyak yang jatuh tidak termanfaatkan. • Apakah dapat dikawin silang sehingga menghasilkan sukun yang besar tetapi memiliki karbohidrat yang tinggi juga. • Manfaatnya lebih besar mana antara pemanfaatan buah sukun untuk keripik atau dekstrin? • Kami menilai kegiatan ini luar biasa. Hasil-hasil penelitian diharapkan dapat dikomunikasikan di antara peneliti, widyaiswara/guru dan penyuluh, sehingga hasil-hasil penelitian dapat di ekspose dan bisa di bawa keluar melalui bahasa masyarakat luas yang mudah dipahami. Di Papua, sekitar 20% produk buah sukun tidak termfaatkan sehingga perlu diinformasikan pemanfaatannya lewat bahasa yang dimengerti oleh masyarakat.
B. JAWABAN TANGGAPAN PRESENTATOR 1. Drs. Martono • Seperti halnya pada sagu, sukun sebagian digunakan untuk pangan dan sebagian untuk industri. Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
437
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
• Kita menyediakan paket teknologi pembuatan dekstrin, akan tetapi analisis finansial mana yang paling menguntungkan antara dekstrin atau keripik belum pernah dilakukan. • Buah sukun yang sudah matang disarankan untuk dibuat keripik karena tidak ada patinya dan rasanya manis. • Buah sukun papua yang besar lebih baik dibuat keripik. • Untuk teh ulin, perlu dianalisis lagi kandungannya apa. Karena orang yang terkena penyakit ginjal tidak boleh meminum teh yang terlalu pekat karena ginjal akan bekerja keras. • Sukun yang dikawin silang mampu membuat sukun yang besar dan kandungan karbohidratnya besar. • Sukun menjadi cadangan pangan pengganti gaplek. 2. Gunawan T. Pasaribu, S.Hut., M.Si. • Kristal-kristal yang dihasilkan terdeposit di dalam kayu yaitu berupa endapan pada pori-pori kayu dan akan terdeteksi apabila ditebang. • Harus ditakik Dryobalanops.
pohonnya
untuk
mengeluarkan
minyak
• Untuk penelitian-penelitian dari daun harus uji polifenol. • Dari keliling di sekitar singkil, minyak Dryobalanops yang dihasilkan bisa memperoleh sekitar 5 jeriken (1 jeriken=4 liter). • Kalau untuk penyadapan, memang sebagian besar kadar airnya tinggi, akan tetapi masih mempunyai bahan aktif. • Uji klinis/farmakologi merupakan uji lanjutan. Uji lebih lanjut minyak/Kristal menjadi produk herbal terstandarisasi. 3. R. Esa Pangersa Gusti, S.Hut. • Sewaktu pohon tertimbun belum tau pasti apa proses yang terjadi dan berapa lama proses yang diwaktukan untuk menghasilkan damar juga belum diketahui pasti. • Pak Han: Data damar mata kucing memang berbeda dari damar batu. Data damar mata kucing hanya data yang diperoleh dari hasil penelitian orang lain sebagai pembanding.
438
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
4. Dr. Amir Wardhana (BBBPTH Yogyakarta) • Peneliti akan sulit untuk menerjemahkan menjadi bahasa yang mudah dimengerti masyarakat karena sudah gaya bahasa peneliti untuk menulis secara ilmiah. • Untuk menerjemahkan ke bahasa yang mudah dimengerti dapat dilakukan oleh widyaiswara kemudian penyuluhan dapat dilakukan oleh penyuluh.
JAWABAN/TANGGAPAN PRESENTATOR 1. Drs. D. Martono Kepada Dr. Paribroto (Asmindo): • Dalam waktu dekat akan ada pertemuan yang membahas tentang HHBK produk dari pohon sukun untuk pangan dan industri. • Dekstrin dari bahan buah sukun untuk pengisi kapsul sudah bisa mengganti bahan yang diekspor dari Amerika. • Ada banyak permintaan ekspor buah sukun asal Papua ke Arab Saudi. • Paket teknologinya baru ditemukan, tetapi belum bisa menjawab pilihan mana yang lebih menguntungkan. Kepada Peserta dari SMK Kehutanan Samarinda: • Daun sukun/ulin yang berasa pahit berpotensi untuk antioksidan. • Perlu analisis lebih lanjut mengenai manfaat teh daun ulin. Kepada Peserta dari SMK Kehutanan Manokwari: • Penyebaran informasi HHBK kepada masyarakat memerlukan pendekatan teknik bahasa yang dimengerti oleh masyarakat. • Provenan sukun dapat menghasilkan buah sesuai yang diinginkan. • Sukun dapat sebagai cadangan pengganti gaplek.
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
439
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
2. Gunawan Pasaribu, S.Hut., M.Sc. Kepada Dr. Paribroto (Asmindo): • Terima kasih atas sarannya dan akan dibuat tulisan dari hasil penelitian ini sebagai bahan untuk Standar Nasional Indonesian (SNI) tentang pernis dari bahan dasar damar batu. Kepada Ir. Hari Setiono (BPK Manokwari): • Informasi yang menyatakan bahwa dapat dihasilkan minyak sebanyak 2 jeriken atau sekitar 40–50 liter berasal dari penebang pohon dan bisa subjektif. Di daerah penghasilnya masyarakat biasa menggunakannya untuk obat gosok dan gatal serta obat kembung. Hasil penyadapan minyak kamper menghasilkan kadar air yang tinggi dengan kandungan borneol kurang dari 10%. • Bongkahan kristal kemper biasanya terlihat pada saat dilakukan penggergajian kayunya. • Saat ini masih di analisis kandungan kimianya nanti ke depan apabilah data hasil analisis sudah terkumpul dan lengkap akan kami jadikan sebagai bahan diseminasi. • Uji farmakologi adalah uji lanjutan, yang terpenting juga adalah pengujian antioksidannya. Akan ada rencana tindak lanjut dalam pengembangannya melalui uji klinis yang bisa dilakukan melalui bentuk kerja sama dengan instansi terkait lainnya. 3. R. Esa Pangersa G., S.Hut. Kepada Dr. Paribroto (Asmindo): • Terima kasih atas saran dan mohon bimbingan selanjutnya sehingga apa yang kami lakukan menjadi tambahan ilmu yang dapat bermanfaat bagi kami juga bagi masyarakat. Kepada Peserta dari SMK Kehutanan Samarinda: • Damar batu merupakan resin yang dihasilkan oleh pohon/batang sisa penebangan yang dibiarkan tertimbun di dalam tanah. • Tidak diketahui berapa lama damar batu tertimbun di dalam tanah.
440
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lampiran 2. Daftar hadir peserta ekspose
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
441
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
442
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
443
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
444
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
445
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
446
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lampiran 3. Jadwal kegiatan persidangan ekspose
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
447
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
448
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lampiran 4. Keputusan Kepala Pusat tentang Panitia Ekspose
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
449
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
450
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
451
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Lampiran 5. Foto Kegiatan Ekspose Hasil Penelitian Pustekolah 2013
Gambar 1. Kepala Pustekolah dan menyampaikan sambutan
Kabadan
Litbang
Kehutanan
Gambar 2. Presenter dan Moderator pada acara paparan makalah dan diskusi
452
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Gambar 3. Suasana acara persidangan ekspose hasil penelitian Pustekolah
Gambar 4. Sesi presentasi makalah poster dan pameran Iptek
Tema: “Teknologi Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan”
453