Topik Utama MENAKAR PENINGKATAN NILAI TAMBAH MINERAL NONLOGAM Ngurah Ardha Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
[email protected]
SARI Hasil selisik nilai tambah beberapa mineral nonlogam produksi Indonesia ternyata masih tergolong rendah dengan harga komoditas yang murah. Perimbangan jumlah dan nilai ekspor, impor, produksi serta konsumsi beberapa komoditas mineral nonlogam sebagai bahan baku industri di Indonesia masih timpang yaitu sebagian besar kebutuhannya diperoleh dari impor, kecuali komoditas batukapur. Hal ini menggambarkan bahwa secara umum kualitas komoditas mineral nonlogam produksi Indonesia belum memenuhi standar minimal bahan baku industri. Beberapa hasil penelitian pengolahan mineral nonlogam menunjukkan bahwa dengan sentuhan sedikit teknologi pemrosesan secara fisika dan/atau kimia akan dapat meningkatkan kualitas produk sesuai spesifikasi bahan baku industri yang membutuhkannya, bahkan dapat ditakar melalui nilai harga yang cenderung berlipat ganda, sehingga menciptakan nilai tambah yang signifikan. Adanya Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang minerba, mulai saat ini hingga ke masa depan, seharusnya mampu mendorong upaya peningkatan nilai tambah komoditas mineral nonlogam Indonesia untuk pemanfaatan secara maksimal, berdaya guna dan berkelanjutan. Kata kunci : ekspor-impor-produksi-konsumsi, mineral nonlogam, peningkatan nilai tambah, pengolahan.
1. PENDAHULUAN Ada paradigma baru sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) yang tersirat dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu menempatkan minerba pada posisi yang strategis dan menumbuhkan suburkan inovasi. Salah satu nilai strategis tersebut mencerminkan upaya mendorong pengembangan teknologi berkelanjutan dalam bentuk peningkatan nilai tambah mineral dan batubara yang berwawasan lingkungan untuk meningkatkan investasi, penerimaan negara, konservasi sumber daya minerba di Indonesia yang kelak berguna untuk mensejahterakan kehidupan rakyat Indonesia.
24
Peningkatan nilai tambah sektor pertambangan dalam arti luas adalah upaya optimalisasi pengelolaan proses hulu-hilir kegiatan pertambangan, termasuk pengembangan wilayah dan masyarakat di sekitar kegiatan pertambangan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan [Suyartono, 2003]. Namun dalam bahasan ini penulis akan mempersempit arti peningkatan nilai tambah tersebut menjadi manfaat perolehan peningkatan nilai ekonomi melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral bukan logam di Indonesia. Pada hakekatnya upaya peningkatan investasi dan pengembangan teknologi sudah terjadi
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama sejak jaman orde baru. Saat itu muncul gaung euforia pertambangan, yang meluncurkan kebijakan strategis pemerintah untuk mengundang investor asing. Hasil dari kebijakan tersebut sekitar tahun 1970-1980an marak berdatangan investor-investor asing untuk membangun industri pertambangan berskala besar ataupun berskala menengah di Indonesia dengan membawa teknologinya sendiri, bahkan banyak yang masih beroperasi hingga sekarang. Namun, masa euforia industri pertambangan tersebut tidak sepenuhnya diikuti oleh upaya pengembangan teknologi pemrosesan dan pemurniannya; alih teknologi sepertinya terabaikan. Manusia Indonesia terkesan hanya menjadi pekerja dan penonton, sehingga pola pikir penerapan peningkatan nilai tambah (waktu itu) masih jauh panggang dari api. Saat ini kondisi pengelolaan sumber daya mineral di Indonesia secara umum masih berupa kepanjangan tangan periode sebelumnya, yaitu masih ada kecenderungan mengekspor mineral mentah dan/atau setengah jadi; walaupun kita tidak menutup mata bahwa sudah ada industri yang melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, misalnya peleburan dan pemurnian timah; juga sudah ada peleburan dan pemurnian tembaga. Meski kapasitasnya masih kisaran sepertiga dari produksi konsentrat tembaga yang ada, anoda slime sebagai produk sampingnya yang mengandung emas kadar tinggi malah diekspor. Sebaliknya secara umum industri-industri manufaktur yang menggunakan aneka mineral sebagai bahan baku utama sebagian besar masih memakai produk impor. Untuk mineral bukan logam kondisinya mungkin lebih tidak menguntungkan, karena banyak terjadi penambangan atau penggalian kecil-kecilan tanpa izin, penggalian dilakukan secara selektif dimana kualitas yang rendah tidak diolah dan ditinggalkan begitu saja, jumlah produksinya kecil, teknologinya masih sederhana dengan nilai tambah rendah, kualitas produknya fluktuatif dan masih rendah, nilai jual murah, pemasaran
produknya sangat tergantung dari jarak (lokasi) produsen dan konsumen. Kondisi-kondisi tersebut tentu tidak mampu meningkatkan nilai tambah terhadap mineral di dalam negeri, melainkan cenderung memunculkan ketergantungan bahan baku kualitas tinggi dari luar negeri. Dengan adanya Undang-Undang No.4/2009 yang di dalamnya terkandung klausul tentang peningkatan nilai tambah mineral, maka mau tidak mau Indonesia, mulai dari sekarang hingga terus ke masa depan, perlu membangun dan memupuk tradisi pengolahan dan pemurnian mineral yang holistis secara berkelanjutan. Mineral bukan logam yang sebelumnya disebut sebagai bahan galian industri atau mineral golongan C adalah mineral atau bahan galian bukan bijih yang pada umumnya digunakan sebagai bahan baku industri manufaktur seperti industri-industri keramik, kertas, karet, obat, dan lain-lain. Mineral bukan logam jumlahnya sangat banyak dengan kualitas yang diinginkan juga beragam untuk setiap produksi manufaktur yang membutuhkannya, contoh mineral bukan logam yaitu batu kapur, bentonit, felspar, fosfat, kaolin, kuarsa, lempung, zeolit, dan lain-lain. Penggunaan mineral bukan logam dalam industri lebih banyak ditentukan oleh sifat-sifat fisiknya, antara lain kehalusan, warna, kekerasan, plastisitas, dan lain-lain; walaupun sifat-sifat lainnya juga diperlukan seperti sifat-sifat kimia, kemurnian, termal, dan lain-lain. Untuk mendapatkan karakteristik mineral bukan logam yang sesuai dengan spesifikasi industri pemakai, maka perlu dilakukan pengolahan dan pemurnian sehingga memiliki nilai tambah yang signifikan. Di dalam terminologi pengolahan dan pemurnian mineral terdapat kriteria peningkatan nilai kualitas yang dimanifestasikan oleh sifat-sifat kimia fisika mineralnya, dan kriteria peningkatan nilai ekonomi yang dimanifestasikan oleh perolehan atau recovery sebagai pengejawantahan dari kombinasi kualitas dan tonase. Oleh karena itu, teknologi peningkatan nilai tambah harus mampu mengakomodasi kedua kriteria tersebut secara optimal.
Menakar Peningkatan Nilai Tambah Mineral Nonlogam ; Ngurah Ardha
25
Topik Utama Tulisan ini mencoba menakar secara umum sejauhmana teknologi pengolahan dan pemurnian mineral bukan logam di Indonesia mampu mendorong peningkatan nilai tambah secara signifikan. Mineral-mineral bukan logam jenisnya sangat beragam, namun karena keterbatasan, maka pembahasan difokuskan hanya untuk komoditas batu kapur, felspar, kaolin, dan bentonit saja.
2. BATU KAPUR Batu kapur merupakan sumber daya mineral yang keberadaannya paling melimpah di Indonesia; jumlahnya diperkirakan sekitar 2160 milyar ton [Anonim, 2004]. Endapannya tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Batu kapur dan produktnya telah banyak digunakan oleh berbagai industri, misalnya sebagai bahan imbuh pada industri peleburan logam dan industri kaca, bahan pengisi pada pembuatan barang-barang dari karet, plastik, karton, cat, pasta gigi, juga sebagai bahan pengisi dan pelapis kertas; pengondisi tanah dan pengatur pH dalam berbagai proses kimiawi, sebagai koagulan dalam pengolahan air; pengendap ion-ion logam dalam pengolahan limbah cair, penetral gas sulfur oksida (SOx) dan nitrogen oksida (NOx) dari cerobong pembakaran batubara, dan lain-lainnya. Menurut Aziz (2010), potensi peningkatan nilai tambah batu kapur di Indonesia melalui teknologi pengolahan sudah sejak lama dilakukan. Secara konvensional teknologinya dimulai dari penggalian dilanjutkan dengan pemecahan bongkahan batu kapur dan pembakaran (kalsinasi) menghasilkan kapur tohor "CaO", maupun kapur padam "Ca(OH)2". Peralatan kalsinasinya juga beragam mulai dari menggunakan tungku pembakaran sederhana (tobong kapur tradisional) berbentuk sumuran dalam tanah yang dikenal dengan tungku cubluk, hingga melalui proses yang agak padat modal menggunakan tungku tegak dan mesin-mesin penggiling mekanis untuk menghasilkan beberapa jenis produk, seperti kapur tohor tepung, kapur padam kualtas prima, maupun
26
batu kapur yang digiling menjadi tepung (tepung kalsium karbonat). Peningkatan nilai tambah yang padat modal sarat teknologi dan energi juga sudah ada di Indonesia, seperti pabrik semen portland yang telah berdiri sejak lama di beberapa kota di berbagai propinsi, serta tungku pembakaran batu kapur modern seperti yang dimiliki PT. Krakatau Steel di Cilegon, Banten. Pemrosesan batu kapur yang relatif baru dan mungkin belum ada di Indonesia adalah pembuatan tepung kalsium karbonat presipitat (PCC) melalui proses karbonatasi terhadap kapur hasil kalsinasi. PCC merupakan produk baru untuk aplikasi-aplikasi baru, seperti untuk pengisi dan pelapis kertas, produk ini dilaporkan mampu mensubstitusi sebagian kaolin yang telah lama digunakan karena dapat menghasilkan kertas dengan kualitas yang lebih baik (Aziz, 2010). Selain batu kapur untuk keperluan semen portland, Tabel 1 memperlihatkan data tipikal peningkatan nilai tambah batu kapur menjadi produkta kapur yang telah melalui berbagai pemrosesan dibandingkan dengan batu kapur tanpa disentuh pengolahan ditinjau dari kenaikan harga produknya. Peningkatan nilai tambah dari batu kapur bongkah menjadi PCC cukup signifikan, yaitu sebesar 99 kali lipat dengan kenaikan nilai mulai dari harga Rp 50/kg menjadi Rp 5.000/kg. Sudah termasuk ongkos produksi. Peningkatan nilai tambah kapur tohor dan kapur padam dari batu kapur bongkah juga relatif tinggi, yaitu berturut-turut sebesar 19 kali dan 17 kali. Pasokan dan permintaan batu kapur dan produktanya di Indonesia selama kurun waktu 2003-2008 ditunjukkan pada Tabel 2. Jumlah konsumsi dan produksi kelihatan seimbang, jumlah ekspor lebih tinggi dari impor. Hal ini mencerminkan bahwa kondisi perbatukapuran di Indonesia sudah berjalan cukup baik, yaitu sejak tahun 2004 nilai ekspor produkta batu kapur terus meningkat secara signifikan. Oleh karena itu, peningkatan nilai tambah batu kapur di Indonesia sudah maju lebih dulu dibandingkan komoditi mineral bukan logam lainnya, walaupun produktanya dalam bentuk kapur padam, kapur tohor dan kalsium karbonat giling (GCC).
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama Peluang dunia usaha untuk peningkatan nilai tambah batu kapur adalah mendirikan pabrik/ industri pembuatan PCC.
dimanfaatkan oleh industri-industri gelas/kaca, elektroda-pengelasan, plastik, karet, lem, cat. Pada industri keramik, pemakaian felspar hanya sekitar 25-30% dari seluruh campuran bahan bakunya (felspar + kaolin + ball-clay + kuarsa, kadang-kadang ditambah lime-stone). Walaupun demikian, karena jumlah produksi keramik di Indonesia cukup tinggi, maka penggunaan felspar juga menjadi tinggi. Felspar yang memiliki kandungan oksida kalium dan natrium tinggi (K2O+Na2O sekitar 10 - 13%) dan besi yang rendah (Fe 2O 3<0,1%) sangat berguna dan dibutuhkan sebagai bahan fluks atau pelebur dan perekat dalam proses pembakaran keramik, sehingga dapat menurunkan suhu pembakaran dan mempercepat waktu pembakaran. Dengan demikian, produk keramik menjadi padat, kuat
3. FELSPAR Felspar adalah grup mineral bukan logam yang mengandung komponen-komponen K, Na, Ca, dan Al silikat. Sebagian besar dari kebutuhan felspar di Indonesia dimanfaatkan sebagai bahan campuran komposisi bodi keramik, baik untuk keramik halus seperti porselen, insulator listrik, maupun untuk keramik halus bukan porselen seperti wall tile, sanitair, alat rumah tangga, barang seni (art ware) termasuk sebagai bahan baku glasir. Hanya sebagian kecil
Tabel 1. Peningkatan nilai tambah batu kapur melalui pemrosesan di luar semen portland Jenis Produk
Pemrosesan
Batu kapur, bongkah 20-25 cm
Harga per kg Rp.
Kenaikan nilai Rp.
kali
-
50,-
-
-
Kapur tohor (CaO), bongkah 10-15 cm
Kalsinasi
750,-
700,-
14
Kapur tohor (CaO), tepung, 100 mesh
Kalsinasi, penggilingan
1.000,-
950,-
19
Hidratasi
900,-
850,-
17
Kalsium karbonat giling (GCC),1500 #
Penggilingan
1.000,-
950,-
19
Kalsium karbonat presipitat (PCC)
Karbonatasi
5.000,-
4.950,-
99
Kapur padam (Ca(OH)2)
Sumber : Kurnia, 2009; Aziz , 2010
Tabel 2. Pasokan dan permintaan batu kapur di Indonesia, 2003-2008 Produksi Tahun
(ton)
Konsumsi volume nilai (ton) (Juta Rp.)
Impor volume nilai (ton) ( 000 $ AS)
Ekspor volume nilai (ton) (000 $ AS)
2003
65.916.966
66.108.476
423.101,6
42.326,3
2.056,46
23.175,3
1.824,31
2004
69.916.968
69.727.144
662.986,9
16.272,6
735,81
35.255,0
2.803,05
2005
73.271.741
72.933.895
719.738,6
16.803,1
670,83
50.,587,7
5.063,94
2006
76.509.676
76.288.152
-
17.103,6
816,6
39.258,7
4.739,40
2007
79.996.855
79.796.616
-
21.040,3
889,8
41.064,2
4.957,43
2008
83.912.800
78.005.700
-
32.600,2
1.764,5
116.040,1
16.007,7
Sumber : BPS (Statistik Industri Besar dan Sedang, 2003-2008, diolah kembali) dari Harta Haryadi Keterangan : Impor dan ekspor dalam bentuk produk flux, quicklime, slaked lime, chalk calcium carbonate dan lain-lain.
Menakar Peningkatan Nilai Tambah Mineral Nonlogam ; Ngurah Ardha
27
Topik Utama dan lenturan yang tinggi, permukaannya halus mengkilap dan kedap air. Selain itu, felspar juga berfungsi sebagai sumber silika (bahan pengisi) dalam bodi keramik. Pada industri pembuatan glasir, felspar jenis potash dan soda-spar (ortoklas atau mikroklin yang mengandung K2O+Na2O minimum 10%) banyak digunakan sebagai sumber utama alumina dan alkali yang memiliki sifat menggelas. Pada industri gelas/ kaca, felspar dibutuhkan sebagai sumber alumina yang dapat meningkatkan daya lebur dan meningkatkan stabilitas kimia-fisika produk selain itu juga sebagai sumber silika. Industri keramik di Indonesia berkembang pesat, bahkan pada tahun 1996 Indonesia pernah tercatat sebagai produsen keramik tile peringkat ke 5 dunia (Kusuma, 2000). Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan permintaan pasar produk keramik tile. Seiring dengan pertumbuhan sektor konstruksi seperti gedunggedung bertingkat, apartemen, hotel, perumahan, dan lain-lain. Sebaliknya pada saat terjadi krisis ekonomi (1977 - 1988), produksi keramik tile pernah mengalami kemunduran drastis karena sebagian besar bahan bakunya, terutama feldspar, tidak tersedia di pasaran karena umumnya dipasok dari impor dengan harga dolar yang sangat tinggi (Kusuma 2000). Pada kurun waktu 2003 - 2008, kebutuhan felspar di Indonesia masih tinggi dan masih tetap mengandalkan felspar impor. Dari kenyataan yang terjadi, seyogyanya dapat dijadikan pelajaran yang berharga, bahwa industri yang memiliki ketergantungan terhadap bahan baku maupun teknologi impor sangat rawan terhadap krisis ekonomi. Saat ini, felspar Indonesia masih dimanfaatkan, walaupun hanya sebagai bahan imbuh (blending) terhadap felspar impor dengan jumlah pemakaian yang relatif kecil. Hal ini disebabkan karena felspar Indonesia berkualitas rendah (kadar K2O + Na2O sekitar 5 - 6%). Oleh karena itu, pemanfatan felspar Indonesia melalui peningkatan nilai tambah dengan cara pengolahan yang efisien sangat diperlukan agar mempu menggantikan sebagian atau seluruh felspar impor.
28
Sumber daya felspar Indonesia yang potensial terdapat di 14 propinsi, yaitu di Banten, Bengkulu, Gorontalo, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Lampung, NAD, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara, dengan total sumber daya sebesar 7,436 miliar ton, yang terdiri atas sumber daya hipotetik 3,817 miliar ton, terduga 3,585 miliar ton, terindikasi 32,289 juta ton, dan terukur sebanyak 1,5 juta ton. Propinsi dengan jumlah cadangan sumber daya terbesar adalah Sumatera Utara 2,653 miliar ton, NAD 1,671 miliar ton, dan Kalimantan Barat sebesar 1,010 miliar ton [Anonim, 2009; Sule dan Ngurah, 1996]. Tabel 3 meperlihatkan bahwa produksi felspar Indonesia masih sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhannya, artinya hampir sebagian besar kebutuhan felspar dipasok dari impor. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kualitas felspar Indonesia yang belum sesuai spesifikasi yang diinginkan oleh industri. Impor felspar selama kurun 2003-2008 meningkat rata-rata sebesar 7,60%, berasal dari China, Thailand, Malaysia, dan Australia. Kondisi yang tidak seimbang antara produksi dan konsumsi felspar di Indonesia, seharusnya menjadi pendorong untuk berupaya mengolah dan memurnikan felspar Indonesia agar menjadi felspar berkualitas sama dengan felspar impor, sehingga nilai tambah meningkat. Ada dua alternatif teknologi pengolahan felspar, yaitu: Pertama, perusahaan-perusahaan tambang felspar menengah ke bawah dengan lokasi yang berdekatan perlu bergabung membentuk industri tepat guna (Custom Plant) dan/atau semacam Trading House, yaitu suatu unit penyelaras kualitas felspar dengan teknologi sederhana seperti penggerusan dan pencampuran (blending). Kadar tinggi dicampur dengan kadar rendah pada porsi tertentu agar menghasilkan felspar berkadar sesuai dengan keinginan pembeli. Motor penggerak usaha mungkin koperasi, BUMD atau pabrik keramik pemakai felspar. Custom plant dapat membantu industri tambang kecil dalam hal: pengumpul data/
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama informasi, pelaksana promosi, pelaksana kontak dan negosiasi, penyandang dana, penyelaras kualitas/kuantitas produk, pelaksana distribusi produk hasil penyelarasan kualitas. Kedua, perusahaan tambang joint venture dapat mengolah felspar kadar rendah (K2O+Na2O sekitar 5-6%) menjadi felspar kadar relatif tinggi (K 2 O+Na 2 O sekitar 10 - 13%) dengan menggunakan teknologi menengah melalui jalur proses berturut-turut: pencucian, penggerusan, klasifikasi ukuran, flotasi besi, flotasi mika, dan flotasi felspar. Produk utama yang dihasilkan adalah konsentrat felspar, sedangkan produk sampingnya adalah konsentrat kuarsa, pengotor besi oksida, konsentrat mika dan lanau berfelspar (feldspatized slime). Semua produk olahan ini mempunyai peningkatan nilai ekonomi yang cukup tinggi dibandingkan dengan felspar tanpa diolah. Felspar tanpa diolah hanya berharga sekitar Rp. 230/kg, tetapi setelah melalui proses flotasi dapat menghasilkan felspar berkadar cukup tinggi dengan harga sekitar Rp.1150/kg, berarti ada kenaikan nilai sebesar 5 kali lipat, belum termasuk nilai produk sampingnya berupa kuarsa berfelspar berharga sekitar Rp.250/kg dan lempung berfelspar berharga sekitar Rp.160/kg, bahkan mungkin mika dan besi oksida juga masih mempunyai nilai ekonomi (Tabel 4). Sampai saat ini industri pengolahan felspar belum ada di Indonesia. Batuan felspar
ditambang/digali langsung diangkut ke pabrik keramik, tentunya dengan kualitas minimal sebagai pencampur felspar impor. Berdasarkan data Tabel 3 terlihat sekitar 90% kebutuhan felspar untuk industri keramik di Indonesia masih berupa felspar impor. Hal ini disebabkan karena, menurut pembicaraan tidak resmi antara penulis dan salah seorang pelaku industri keramik, membeli felspar kualitas tinggi melalui impor lebih murah dan cepat daripada mendirikan pabrik pengolahan di dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengundang investor, baik lokal maupun joint venture, untuk bekerja sama dengan industri keramik dalam membangun pabrik pengolahan feldspar; atau dalam jangka pendek, seyogyanya industri keramik mau membina penambang-penambang felspar untuk mendirikan custom plant sehingga produk felspar yang dihasilkan memiliki kualitas yang konstan sesuai dengan spesifikasi minimal industri keramik. Di lain pihak, pemerintah seyogyanya memberikan fasilitas keringanan pajak dalam jangka waktu tertentu, sehingga kegiatan pengolahan felspar menjadi menarik.
4. KAOLIN Kaolin merupakan massa batuan lapuk yang tersusun dari material lempung dengan kandungan besi oksida rendah yang pada umumnya berwarna putih atau agak putih. Kaolin mempunyai komposisi hidrous aluminium
Tabel 3. Pasokan dan permintaan felspar Indonesia, tahun 2003 - 2008 Impor Tahun
Produksi (Ton)
Konsumsi (Ton)
Ekspor
Volume (Ton)
Nilai ( 000 $AS)
Nilai (000 $AS)
Volume (Ton)
2003
9.806,3
175.577,0
186.479,1
10.527,2
1.095,7
147,6
2004
5.212,1
175.720,0
181.103,2
11.948,5
171,1
2.147,7
2005
24.903,6
190.761,6
165.868,0
11.349,5
10,0
5,9
2006
7.969,3
207.090,8
201.454,5
12.716,7
2.333
207,9
2007
34.019,2
224.817,7
190.798,5
12.366,9
-
-
2008
21.037,6
162.234,4
147.897,8
9.864,6
2.649
265,2
Sumber : BPS (Statistik Industri Besar dan Sedang, 2003-2008, diolah kembali) dari Harta Haryadi
Menakar Peningkatan Nilai Tambah Mineral Nonlogam ; Ngurah Ardha
29
Topik Utama Tabel 4. Perkiraan keekonomian pengolahan felspar cara flotasi (data hasil percobaan laboratorium Ngurah, 2002, diolah/disesuaikan dengan harga tahun 2009) NO .
URAIAN/JENIS PRODUK
1. 2.
Bahan baku felspar Ongkos produksi felspar
10.000 3.500
230 280
BIAYA/ HARGA PER TON (Rp) 230.000 280.000
3.
Produk yang dihasilkan a.Konsentrat felspar b.Kuarsa berfelspar c.Lempung berfelspar Total produk
3.500 3.400 3.000
1.150 250 160
1.150.000 250.000 160.000
4.
JUMLAH PRODUK (TON)
Nilai Tambah sebelum pajak, dll.
silikat (2H 2O Al 2O 3 2SiO 2) dengan disertai beberapa material penyerta. Total sumber daya kaolin di Indonesia sebesar 732,857 juta ton yang terdiri dari sumber daya hipotetik 591,989 juta ton, terduga 31,530 juta ton, indikasi 97,149 juta ton, dan terukur sebanyak 12,189 juta ton (Anonim, 2004). Produksi kaolin Indonesia selama kurun waktu 2003 sampai 2008 mengalami peningkatan yang fluktuatif. Menurut laporan BPS (2009), tingkat produksi kaolin mencapai 268,88 ribu ton pada tahun 2003, meningkat cukup besar pada tahun 2007 hingga mencapai 407,71 ribu ton, atau meningkat hampir mencapai 2 kali lipat. Pada tahun 2008, produksi menurun tajam menjadi 274,69 ribu ton. Peningkatan konsumsi kaolin Indonesia cukup signifikan seiring dengan tingkat produksinya, dari 243,81 ribu ton pada tahun 2003 menjadi 354,86 ribu ton pada tahun 2008, melebihi tingkat produksinya akibat permintaan industri pemakai yang terus meningkat. Industri-industri pemakai kaolin di antaranya adalah industri keramik dan glasir, refraktori, kapur tulis, semen, gelas, ban, kertas, cat, pestisida, kosmetika, dan obatobatan. Hingga tahun 2008, permintaan
30
HARGA Per Kg (Rp)
TOTAL NILAI (Rp) 2.300.000.000 980.000.000 4.025.000.000 850.000.000 480.000.000 5.355.000.000 2.075.000.000
konsumsi kaolin domestik masih besar, namun demikian ada beberapa jenis industri yang memakai kaolin impor, seperti industri kertas, cat, kosmetik, dan bata tahan api. Produksi kaolin domestik yang pada umumnya berkualitas rendah, menyebabkan perusahaan pemakai kaolin memilih kaolin impor. Berdasarkan data dari BPS (2008) seperti terlihat pada Tabel 5, volume impor kaolin selama kurun waktu 2003-2008 cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 7,24%. Pada tahun 2003 impor kaolin oleh berbagai industri tersebut tercatat sebesar 98,88 ribu ton dengan nilai sebesar US$ 21,69 juta, dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 157,94 ribu ton dengan nilai sebesar US$ 33,76 juta. Sebagian besar impor kaolin berasal dari China, Amerika Serikat, dan Australia. Sampai tahun 2008, kebutuhan kaolin di pasar luar negeri cukup besar. Peluang tersebut dimanfaatkan pengusaha kaolin Indonesia untuk memasuki pasar ekspor, terutama ke Jepang, Korea Selatan, Filipina, Malaysia, dan Pakistan. Perkembangan ekspor dalam kurun pengamatan relatif meningkat; pada tahun 2003 tercatat sebesar 73,81 ribu
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama ton dengan nilai US$ 4,96 juta, dan pada tahun 2008 mencapai 57,76 ribu ton dengan nilai sebesar US$ 8,92 juta, meski kondisi tahun 2008 merupakan penurunan dari tahun 2007.(Tabel 5). Tabel 5 juga mengindikasikan bahwa nilai impor kaolin jauh lebih besar daripada nilai ekspor, yang berarti kaolin Indonesia kemungkinan berkualitas rendah dan hanya digunakan sebagai pencampur kaolin impor. Oleh karena itu, perlu ada industri pengolahan dan pemurnian kaolin Indonesia agar menghasilkan kaolin kualitas impor dan mampu menggantikan kaolin impor, sehingga dapat menciptakan nilai tambah yang signifikan untuk Indonesia. Proses pengolahan kaolin umumnya sederhana, meliputi klasifikasi, sedimentasi, filtrasi, dryin, dan penggilingan [Rasyad dkk, 2009]. Secara kuantitatif, peningkatan nilai tambah kaolin, jika diolah dan dibandingkan dengan kaolin yang belum diolah, adalah: harga kaolin mentah sekitar Rp. 350/kg, setelah diolah dengan ukuran mesh -325 (kaolin powder) menjadi Rp. 1.600/kg, sehingga ada nilai tambah (value added) sebesar 78,13% per kg, atau ada peningkatan sebesar 3 kali lipat dibanding dijual dalam bentuk bahan mentah. Selama tahun 2003-2008 rata-rata produksi kaolin sebesar 342.632,17. ton. Apabila dijual dalam bentuk bahan baku senilai 119,921 miliar rupiah, dan apabila dijual dalam bentuk olahan senilai 548,211 miliar rupiah.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam upaya mendirikan industri pengolahan kaolin di Indonesia dalam rangka peningkatan nilai tambah adalah menginventarisasi deposit kaolin yang akurat, infrastruktur yang baik untuk mempermudah transportasi, perijinan yang mudah dan cepat, membatasi impor kaolin dan melarang ekspor kaolin mentah, serta menghapus pungutan-pungutan liar.
5. BENTONIT Bentonit merupakan mineral lempung yang pada umumnya dominan mengandung mineral monmorilonit, dengan ciri-ciri mempunyai kilap lilin, lunak, plastis, berwarna putih pucat atau hijau muda atau kelabu atau merah muda. Bentonit memiliki daya serap yang kuat terhadap air, sehingga apabila singkapan bentonit terkena air atau hujan, maka akan berubah menjadi bubur halus, sedangkan jika kekeringan akan menghasilkan rekahan-rekahan. Ada dua jenis bentonit yang ditemukan di alam, yaitu sodium bentonit (tipe mengembang) dan kalsium bentonit (tipe tidak mengembang). Sodium bentonit terutama digunakan sebagai lumpur pembilas dalam pemboran minyak bumi, gas bumi dan uap panas bumi. Selain itu, dapat digunakan dalam industri kimia, farmasi, sebagai bahan penyumbat kebocoran (filler), pencampur semen, insektisida, sabun, dan lain-lain. Sedangkan kalsium bentonit dapat digunakan
Tabel 5. Pasokan dan permintaan kaolin Indonesia, 2003-2008 Produksi Tahun
ton
Konsumsi volume nilai (ton) (Juta Rp.)
Impor Volume nilai (ton) ( 000 $ AS)
Ekspor volume nilai (ton) (000 $ AS)
2003
268.879,6
243.808,4
70.348,1
98.877,9
21.689,2
73.806,6
4.964,8
2004
327.283,5
264.678,4
121.384,8
135.291,6
28.271,2
72.686,5
4.894,4
2005 2006
354.094,2 423.143,6
280.559,1 296.270,4
123.525,0 130.442,4
141.482,0 160.200,0
28.639,8 34.040,9
67.947,0 33.326,8
5.491,0 3.554,6
2007
407.710,8
312.861,6
137.747,2
143.379,0
30.466,6
36.659,5
3.910,1
2008
274.686,6
354.864,3
165.244,1
157.937,1
33.764,8
57.759,4
8.923,7
Sumber : BPS (Statistik Industri Besar dan Sedang, 2003-2008, diolah kembali) dari Harta Haryadi.
Menakar Peningkatan Nilai Tambah Mineral Nonlogam ; Ngurah Ardha
31
Topik Utama untuk penjernih minyak sawit, industri penyaringan lilin, minyak kelapa, sebagai perekat pasir cetak, zat pemutih, tinta cetak, dll. Endapan bentonit alam ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, dengan jumlah cadangan diperkirakan sekitar 611.351.020 ton, terdiri atas 446.838.500 ton cadangan hipotetik, 106.263.520 ton cadangan terduga, dan 58.249.000 ton cadangan terindikasi [Anonim, 2009]. Endapan bentonit ini ditemukan di beberapa daerah antara lain di Karangnunggal, Cianjur Selatan, Sangiran, Boyolali, Nanggulan, Pacitan, Karo, Simalungun, dan Muara Tiga (Sumsel). Tabel 6 memperlihatkan jumlah produksi bentonit di Indonesia sedikit di atas konsumsinya. Kelebihan produksi ini mungkin ditujukan untuk ekspor. Dari Tabel 6 terlihat juga jumlah ekspor relatif lebih tinggi daripada impor dengan nilai jual lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan kualitas bentonit dalam negeri relatif lebih baik daripada bentonit impor. Kualitas bentonit Indonesia yang baik tersebut cenderung diperoleh melalui penambangan selektif, dengan bentonit kualitas baik diseleksi lalu ditambang, sebaliknya kualitas jelek ditinggalkan. Ditinjau dari aspek peningkatan nilai tambah sebaiknya sistem penambangan selektif harus dihentikan secara bertahap dan mulai mengaplikasikan teknologi pengolahan bentonit. Ada beberapa cara pengolahan bentonit, antara lain pengolahan dalam bentuk bubuk atau granul, aktifasi secara asam, aktifasi secara basa, dan
aktifasi secara organo. Setiap jenis teknologi pengolahan yang digunakan menghasilkan produk dengan spesifikasi tertentu untuk aplikasi dalam bidang tertentu. Bentonit alam dalam bentuk bubuk digunakan sebagai bahan penyerap, penghilang warna ekstraksi bitumen, sebagai bahan pengisi, pembawa dan pemurni pada berbagai industri kimia, pembuatan cream pada industri farmasi dan kosmetika, bahan perekat pelet bijih besi, aditif pada semen, pengecoran dan lain-lain, aditif pada pakan ternak dan penghilang bau kotoran ternak serta pembawa cairan pestisida, penambah plastis pada bodi keramik dan glasir, perekat dan pengikat, dan lain-lain. Bentonit alam berbentuk granul bisa langsung dimanfaatkan sebagai bahan penyerap bau kotoran ternak. Bentonit aktifasi asam digunakan sebagai bahan penyerap, penghilang warna ekstraksi bitumen, bahan pengisi, pembawa dan pemurni pada berbagai industri kimia, aditif pada semen, pengecoran, aditif pada makanan ternak dan penghilang bau kotoran ternak serta pembawa cairan pestisida, dan lain-lain. Bentonit aktifasi basa digunakan sebagai bahan pengisi, pembawa dan pemurni pada berbagai industri kimia, pembuatan cream dan kosmetika, bahan perekat pelet bijih besi, aditif pada semen, pengecoran, perekat dan pengikat, obatobatan, industri keramik, bahan untuk lumpur pemboram migas, dll. Bentonit aktifasi organo digunakan untuk ekploitasi tar, pengisi pada industri cat, perekat pada industri cetak, penghilang warna, pemurni dan katalisator.
Tabel 6. Pasokan dan permintaan bentonit Indonesia, 2003-2008 Tahun
Produksi ton
Konsumsi volume nilai (ton) (Juta Rp.)
Impor volume (ton)
nilai ( 000 $ AS)
Ekspor volume nilai (ton) (000 $ AS)
2003
163.285,5
113.564
113.357
22.791,3
4.375,03
72.512,8
14.931,8
2004 2005
155.284,2 154.977,3
123.285 133.838
123.061 133.595
148.930,1 68.506,7
10.557,12 10.180,37
80.929,3 89.645,7
15.153,8 16.835,5
2006
115.062,5
145.295
145.030
91.928,4
9.173,7
61.696,0
8.603,5
2007
160.476,3
157.732
157.445
65.121,4
8.195,3
67.865,6
9.463,9
2008 148.859,9 135.040 155.323 28.733,8 3.766,9 65.567,3 10.422,8 Sumber : BPS (Statistik Industri Besar dan Sedang, 2003-2008, diolah kembali), dari Harta Haryadi
32
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama Harga bentonit alam hasil penambangan tanpa diolah sekitar Rp. 160/kg. Setelah melalui proses pengolahan aktifasi harga jual bentonit aktif menjadi sekitar Rp.1650/kg, meningkat sekitar 10 kali lipat. Karena itu, peningkatan nilai tambah bentonit menjadi sangat signifikan. Di Indonesia bentonit hasil penggalian hanya dikeringkan lalu langsung dijual, Untuk itu perlu upaya pendirian pabrik aktifasi bentonit sehingga nilai tambah menjadi tinggi.
6. PENUTUP Potensi sumber daya mineral bukan logam khususnya batu kapur, felspar, kaolin, dan bentonit di Indonesia cukup besar dengan kualitas sangat beragam namun cenderung rendah. Perimbangan produksi dan konsumsi serta nilai ekspor dan impornya menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan yaitu nilai impor jauh lebih besar dari pada nilai ekspor, kecuali komoditas batu kapur. Hal ini menyiratkan bahwa kualitas bahan galian bukan logam Indonesia secara umum masih dibawah spesifikasi bahan baku industri dan dapat dikatakan belum memiliki nilai tambah. Di lain pihak, industri pemakai bahan galian membutuhkan mineral bukan logam yang berkualitas tinggi, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan dengan jalan pintas melalui impor. Dengan demikian yang menikmati nilai tambah mineral bukan logam ini adalah negara asal mineral bukan logam tersebut diproduksi. Sejalan dengan paradigma Undang-Undang No.4 Tahun 2009, maka mineral bukan logam Indonesia yang masih berkualitas rendah dituntut agar ditingkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas produk mineral bukan logam dapat dicapai dengan mengaplikasikan proses pengolahan, baik proses pengolahan yang berteknologi tepat guna dalam jangka pendek, maupun proses pengolahan yang sarat teknologi dalam jangka panjang. Proses pengolahan dalam rangka peningkatan nilai tambah ekonomi yang lebih besar sehingga dapat menciptakan multiplier effect.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Drs. Harta Haryadi di Puslitbangtek Mineral dan Batubara yang telah memberikan sumbangan data perimbangan pemasokan dan permintaan mineral bukan logam Indonesia, 2003-2008.
DAFTAR PUSTAKA Agra Kusuma IB., 2000; Kebijakan Pengembangan Industri Keramik di Indonesia Dalam Menghadapi Era Globalisasi, Seminar dan Open House Balai Besar Keramik, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Bandung. Anonim, 2004; Direktorat Inventarisasi Mineral, DESDM, Bandung. Anonim, 2009; Pusat Sumber Daya Geologi, DESDM, Bandung Aziz, Muchtar, 2010; Batu kapur dan Peningkatan Nilai Tambah Serta Spesifikasi untuk Industri, Jurnal tekMIRA, Vol.6, No.3, Juli, hlm 116 - 131. Djamhur Sule dan Ngurah Ardha, 1996; Potensi dan Kualitas Felspar Indonesia Sebagai Bahan Baku Keramik dalam Menyongsong Era Globalisasi, Workshop Industri Keramik Indonesia 6 - 7 Agustus, Pusat Penelitian Energi dan Material, ITB, Bandung. Kurnia, 2000; Informasi Harga dan Jenis Produk di Industri Kapur Padalarang, Bandung. Ngurah Ardha, dkk, 2002; Peningkatan Kualitas Felspar Lampung, untuk Bahan Baku Keramik, Laporan Teknik Pengolahan No.215, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung. Suyartono, 2003; Good Mining Practice, Konsep Tentang Pengelolaan Pertambangan yang Baik dan Benar, Cetakan ke 2, Studi Nusa, Semarang, hlm. 206. Rasyad, Syafei S., dkk, 2009, Laporan Internal Pengolahan Kaolin di Pilot Plant Citatah, Puslitbang tekMIRA.
Menakar Peningkatan Nilai Tambah Mineral Nonlogam ; Ngurah Ardha
33