Topik Utama POTENSI COKING COAL INDONESIA UNTUK MENDUKUNG INDUSTRI PENINGKATAN NILAI TAMBAH (PNT) MINERAL Miftahul Huda Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara "tek-MIRA"
[email protected]
SARI Indonesia mempunyai cadangan nikel laterit terbesar di dunia. Nikel kadar rendah ini dapat diolah menggunakan blast furnace untuk menghasilkan Nickel Pig Iron (NPI). Proses peleburan dengan blast furnace membutuhkan kokas yang berfungsi sebagai energi proses peleburan dan pereduksi oksida logam. Kokas dibuat dari coking coal kualitas tertentu melalui proses karbonisasi yaitu pemanasan batubara tanpa udara sampai suhu tinggi (+ 1100oC) dalam suatu oven. Mengingat pentingnya kokas dalam blastfurnace, ketersediaan coking coal domestik dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang memenuhi syarat diperlukan untuk menjamin kestabilan pasokan kokas untuk industri NPI tersebut. Tujuan dibuat kajian ini adalah mengetahui potensi dan kualitas coking coal di Indonesia serta teknologi karbonisasi yang sesuai untuk pembuatan kokas dari batubara Indonesia. Hasil kajian menunjukkan Indonesia mempunyai potensi coking coal dalam jumlah yang cukup untuk mendukung industri peleburan nikel dengan blast furnace bila ekspor coking coal Indonesia dapat dikendalikan. Dari segi kualitas, indonesia mempunyai coking coal yang dipersyaratkan untuk bahan baku pembuatan kokas yaitu coking coal dengan nilai vitrinite reflectance 1.1-1.4 dan Crucible Swelling Number (CSN) > 3,5. Sebagai contoh batubara Asmin Koalindo Tuhup (AKT) mempunyai reflectance >1.1 dan CSN >7 lebih dan batubara ini berdasarkan nilai coke strength after reaction/reduction (CSR) dapat digolongkan sebagai hard coking coal. Dalam hal teknologi karbonisasi direkomendasikan untuk menggunakan heat recovery coke oven karena oven ini dapat menggunakan coking coal dengan kualitas lebih rendah dan mempunyai byproduct berupa energi panas yang dapat dikonversi menjadi energi listrik sehingga cocok untuk kondisi Indonesia yang umumnya masih kekurangan energi listrik. Kata kunci : blastfurnace, coking coal, heat recovery coke oven, nickel pig iron
1. LATAR BELAKANG Banyak teknologi tersedia untuk pemurnian mineral besi dan nikel salah satunya adalah peleburan dengan blast furnace. Teknologi peleburan dengan blast furnace adalah teknologi yang paling dominan untuk menghasilkan besi. Pada tahun 2011, produksi crude steel mencapai 1,5 milyar ton dan sebagian besar (1,1 milyar ton) diproduksi melalui blast
44
furnace (World Steel Association, 2012). Teknologi ini juga banyak digunakan di China untuk peleburan nikel menjadi nickel pig iron (NPI). Nikel pig iron (NPI) adalah sejenis paduan feronikel yang bila dibandingkan dengan feronikel biasa mempunyai kandungan nikel dengan jumlah yang relatif lebih kecil. Kandungan nikel dalam NPI biasanya kurang dari 15%. Tetapi,
M&E, Vol. 11, No. 1, Maret 2013
Topik Utama meskipun mengandung nikel kurang dari Ferro Nikel (FeNi), NPI dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan stainless steel. Latar belakang tumbuhnya industri NPI adalah meroketnya harga nikel di tahun 2006-2007. Tingginya harga nikel di tahun-tahun tersebut mendorong smelter stainless steel untuk menemukan sumber lain dari nikel yang lebih murah. Di sisi lain, di China pada saat itu terdapat banyak blast furnace kapasitas kecil yang tak terpakai karena orientasi Pemerintah China yang cenderung menggunakan blastfurnace kapasitas besar. Produksi NPI China meningkat pesat dari sekitar 30.000 ton nikel pada tahun 2006 menjadi lebih dari 250.000 ton nikel pada tahun 2011 (Cartman, 2012). Fakta-fakta tersebut menunjukkan penggunaan blast furnace untuk peleburan besi dan nikel secara teknologi sudah matang dan secara ekonomi nampak cukup menarik. Walaupun demikian penggunaan teknologi blastfurnace di Indonesia masih mengalami hambatan karena blast furnace memerlukan kokas sebagai energi dan pereduksi untuk proses peleburan. Indonesia memiliki sumber daya batubara yang mempunyai sifat caking tetapi kecukupan jumlah cadangan dan kualitas batubara tersebut perlu diklarifikasi. Tujuan dibuat kajian ini adalah mengetahui potensi dan kualitas coking coal di Indonesia serta teknologi karbonisasi yang sesuai untuk pembuatan kokas dari batubara Indonesia. Adanya industri pembuatan kokas akan mendorong tumbuhnya industry peleburan nikel yang menggunakan blastfurnace untuk menghasilkan NPI. 2. POTENSI DAN KUALITAS COKING COAL INDONESIA 2.1. Klasifikasi Coking Coal Batubara berdasarkan penggunaannya dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu steaming coal/thermal coal yang digunakan di PLTU dan metallurgical coal yang digunakan di Industri metalurgi. Thermal coal seperti lignit, batubara sub-bituminous dan batubara
bituminous tidak menggumpal saat dipanaskan (non-agglomerating) sehingga cocok digunakan di PLTU. Metallurgical coal terdiri dari 3 jenis, yaitu jenis batubara untuk pembuatan kokas (coking coal), injeksi ke dalam blast furnace (pulverized coal injection/PCI), dan carbon riser. Pada makalah ini hanya akan dibahas coking coal sebagai bahan baku pembuatan kokas. Coking coal dapat didefinisikan secara sederhana sebagai batubara yang bila dipanaskan tanpa kontak dengan udara akan meleleh kemudian mengeras menghasilkan residu berupa kokas yang mempunyai sifat fisik kuat. Berdasarkan kekuatan kokas yang dihasilkannya coking coal dibedakan menjadi hard coking coal dan soft coking coal. Batubara yang dapat membentuk kokas kuat tanpa pencampuran (blending) dengan batubara yang lain dalam istilah dagang dinamakan hard/prime coking coal. Batubara yang menghasilkan kokas dengan kekuatan lebih rendah tetapi mempunyai fluidity atau nilai crucible swelling number (CSN) yang tinggi dinamakan soft coking coal. Zimmerman mengklasifikasikan batubara dengan nilai CSN lebih dari 3.5 sebagai coking coal dan sebaliknya batubara dengan nilai CSN kurang dari 3.5 sebagai non coking atau thermal coal (Zimmerman, 1979). Untuk mengukur kekuatan kokas banyak metode pengujian dikembangkan, seperti CSR (coke strength after reaction/reduction), Micum index, Drum index dan lain-lain. Metode pengujian juga telah banyak dikembangkan untuk mengetahui perilaku batubara saat karbonisasi dan memprediksi kekuatan kokas yang dihasilkan setelah proses karbonisasi. Metode tersebut secara umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok pengujian sifat caking dan pengujian sifat coking batubara. Pengujian sifat caking dilakukan untuk mengetahui kemampuan batubara dalam menggumpal (agglutinating) saat proses karbonisasi dan dilakukan pada kecepatan pemanasan (heating rate) yang tinggi. Contoh dari pengujian sifat caking adalah pengujian free swelling index (crucible swelling
Potensi Coking Coal Indonesia Untuk Mendukung Industri.... ; Miftahul Huda
45
Topik Utama number, coke button index), caking power (Roga Index), fluidity dan lain-lain. Pengujian sifat coking dilakukan untuk mengetahui perilaku penyusutan dan pengembangan batubara selama proses karbonisasi dalam coke oven dan dilakukan pada heating rate yang lambat serupa dengan heating rate pada pembuatan kokas komersial. Contoh dari pengujian sifat coking adalah pengujian dilatometry. Platts sebuah perusahaan penyedia informasi dan harga energi dan metal mengkategorikan hard coking coal sebagai batubara yang mempunyai persyaratan kualitas seperti diuraikan pada Tabel 1. Hard coking coal menurut Platts adalah batubara yang mempunyai sifat antara lain mampu menghasilkan kokas dengan nilai CSR lebih dari 50% dan mengandung zat terbang kurang dari 34% (adb). Untuk menentukan harga jual coking coal telah ditetapkan benchmark kualitas coking coal. Batubara dengan kualitas lebih rendah dari benckmark akan dikenai pinalti. Pinalti untuk kandungan abu misalnya adalah $1. 50 per 1% kenaikan dari kadar abu batubara benchmark dan pinalti untuk kandungan belerang adalah $1.50 per 0,1% kenaikan dari kadar belerang batubara benchmark. Parameter kualitas seperti yang dipublikasikan Platts ini akan dipakai untuk mengklasifikasikan batubara metalurgi Indonesia.
2.2. Tambang Penghasil Coking Coal dan Kualitasnya Tambang batubara penghasil kokas di Indonesia terletak di Sumatera Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Perusahaanperusahaan yang sedang mengembangkan tambang dan yang sudah berproduksi, antara lain Asmin Koalindo Tuhup (AKT), Marunda Graha Mineral (MGM), Bayan, Cokal (BBM1 dan BBM2), Multi Tambangjaya Utama, Kartika Selabumi Mining (KSM), Suprabari Mapanindo Mineral, Indomet Project dan lainnya. Tabel 2 menampilkan kualitas batubara kokas Indonesia. PT. Asmin Koalindo Tuhup (AKT) memiliki konsesi PKP2B (perjanjian karya pengusaha pertambangan batu bara) seluas 21.630 hektar di Muara Tuhup, Kabupaten Murung Raya, provinsi Kalimantan Tengah. PT. AKT telah melakukan studi kelayakan pada bulan April 2005 dan pada tahun 2010 telah memproduksi 1,95 juta ton batubara. Berdasarkan standar JORC (Joint Ore Reserves Committee) mengenai "Cadangan dan Sumber Daya" yang dikeluarkan oleh konsultan (PT SMG), cadangan batubara terbukti dan terduga pada tambang AKT diperkirakan sebesar 69,2 juta ton dan agregat sumber daya diperkirakan sebesar 378,8 juta ton.
Tabel 1. Parameter kualitas hard coking coal (Platts, 2010)
Coke Strength after Reduction (CSR) Volatile Matter (VM) Crucible Swell Number (CSN)
50% min 17,5-34,0% air dried 5,5 min
Hard Coking Coal Benchmark 64% 25,5% air dried 7,5
Ash Sulfur (S) Phosphorous (P) Total Moisture (TM) Maceral Composition Vitrinite Mean Max Vitrinite Reflectance (VR)
10,5% max air dried 1,0% max air dried 0,08% max air dried 10,5% max as received 48-80% Ro 0,90-1,65%
9% air dried 0,6% 0,05% 9,5% as received 62% Ro 1,20%
Parameter
46
Hard Coking Coal
M&E, Vol. 11, No. 1, Maret 2013
Topik Utama Tabel 2. Kualitas Kokas Indonesia Parameter Total Moisture, % (ar) Moisture, % (adb) Ash, % (adb) Volatile matter, % (adb) Fixed Carbon, % (adb) Sulfur, % (adb) CSN, Fluidity, ddpm Reflectance, Ro Max
AKT 9 1,8 7,5 26,5 64 0,85 9 450 1,22
MGM 7-8 3-5 5-7 38-40 54 0,7-0,8 2-4 < 500 NA
Hasil analisis batubara di laboratorium PT Geoservice Balikpapan dan Australian Coal Industry Research Laboratory (ACIRL) di Ipswich, Australia menunjukkan bahwa batubara metalurgi AKT adalah kokas berkualitas tinggi, ditunjukkan dengan nilai CSN sebesar 8 hingga 9, kandungan vitrinite tinggi (lebih dari 90%), kandungan abu dan belerang kategori rendah sampai menengah, nilai CSR tinggi,dan memiliki Ro(max) cukup yaitu 1,22% (Borneo Lumbung Energy & Metal, 2010). PT. Marunda Grahamineral (PT. MGM) adalah perusahaan multinasional yang sahamnya sebagian (23,5%) dimiliki Itochu Corp Jepang. PT MGM memperoleh kontrak PKP2B untuk mengembangkan konsesi pertambangan batubara di Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan hasil eksplorasi batubara yang dilakukan antara tahun 1994-1999 cadangan tertambang MGM adalah sekitar 39,6 juta ton (open-cut), sedangkan sumber daya batubara tereka adalah sekitar 150 juta ton. Saat ini kapasitas produksi penambangan terbuka MGM adalah 2.000.000 ton per tahun yang terdiri dari 80% semi-soft coking coal dan 20% batubara termal (MGM company brochure). PT. Kartika Selabumi Mining (PT. KSM) didirikan pada tahun 1990. Pada perusahaan ini eksplorasi batubara telah dilakukan sejak tahun
Nama Perusahaan/proyek KSM BBM1 BBM2 NA NA NA 0,9-3,88 0,.3-0,4 0,2-0,3 2,72-11,3 4,6-5,7 3,6-4,2 30,8-37,3 15,4-15,7 18,2-19,3 49,2-60,6 78,5-79,4 76,5-77,4 0,5-3,9 0,33-0,35 0,4-0,49 6-9 4,5-7 9 Max 1000 NA NA NA NA NA
Mamahak 3 1,9 8 41 49 0,9 7,5 13500 0.7
1996 di areal seluas 62,190 + Ha. Pada tahun 2000, PT. KSM melakukan studi kelayakan dan analisis dampak lingkungan (ANDAL) di lokasi paling potensial yang meliputi luas sekitar 17,550 Ha. Sumber daya batubara di konsesi PT.KSM adalah sekitar 53,7 juta ton. Umumnya sifat caking batubara KSM sangat tinggi seperti dapat dilihat dari nilai Crucible Swelling Number (CSN) tetapi dengan kandungan zat terbang tinggi pula. Cokal (ASX: CKA) merupakan perusahaan yang terdaftar di Australia yang mempunyai ambisi menjadi produsen batubara metalurgi yang dikenal secara global. Cokal memiliki ketertarikan dengan empat konsesi tambang batubara di Kalimantan Tengah, yaitu konsesi milik PT. Barito Bumi Mineral (BBM), PT. Kalimantan Bara Prima (BBP), PT. Anugerah Alam Katingan (AAK) dan PT. Anugerah Alam Manuhing (AAM). Saat ini Cokal memiliki saham 60% di PT. BBM dan PT. BBP dan 75% di PT. AAK dan PT. AAM (SRK consulting, 2010). PT. BBM mempunyai konsesi seluas 19.920 ha, berdekatan dengan konsesi Juloi milik BHP Billiton yang dekat dengan Sungai Barito. Pada 28 Desember 2011 Cokal Ltd mempublikasikan laporan geologi awal untuk Bumi Barito Mineral (BBM). Berdasarkan standard JORC, BBM mempunyai sumber daya batubara tereka sebesar 60 juta ton. Batubara BBM mempunyai kualitas batubara metalurgi yaitu Coking Coal (60%) dan PCI (40%). Coking coal tersebut
Potensi Coking Coal Indonesia Untuk Mendukung Industri.... ; Miftahul Huda
47
Topik Utama selanjutnya dikelompokkan menjadi blend coking coal (BBM1) dan premium coking coal (BBM2) (Cokal, 2011). Proyek pengembangan yang cukup menjanjikan adalah proyek yang dikembangkan oleh PT. Adaro Energy dan BHP Billiton yang diberi nama indomet project. Proyek Batubara IndoMet memiliki batubara dengan kualitas metalurgi dan thermal di tujuh kontrak kerja batubara (PKP2B) yakni di PT Maruwai Coal, PT Juloi Coal, PT Kalteng Coal, PT Sumber Barito Coal, PT Lahai Coal, PT Ratah Coal dan PT Pari Coal. Ke tujuh PKP2B tersebut berada dalam cekungan batubara di Kalimantan Tengah. Total luas ke tujuh PKP2B tersebut adalah 331.000 ha dengan sumber daya batubara kurang lebih 774 juta ton. Proyek ini 75 persen dimiliki oleh BHP Billiton dan 25 persen dimiliki oleh PT Adaro Energy (Adaro energy, 2010). 3. KARBONISASI BATUBARA UNTUK PEMBUATAN KOKAS 3.1. Teori Blending Batubara Untuk Pembuatan Kokas Blending batubara adalah kegiatan mencampur beberapa jenis batubara untuk mengatur komposisi batubara sehingga setelah proses karbonisasi dapat dihasilkan kokas yang mempunyai kualitas fisik (kekuatan ) dan kimia (kandungan karbon tertambat, C P, S , abu dll) sesuai dengan yang disyaratkan tetapi dengan biaya yang relatif lebih murah. Kekuatan adalah sifat fisik yang paling penting dari kokas sehingga banyak usaha dilakukan untuk membuat korelasi antara kekuatan kokas dengan kualitas batubara dengan tujuan untuk membuat formula yang dapat dipakai sebagai alat bantu pemilihan batubara yang akan di blending. Saat ini telah banyak formula blending dibuat tetapi tidak ada formula yang bersifat universal. Semua pabrik kokas mempunyai formula masing-masing untuk penggunaan internal dan besar kemungkinan formula pabrik yang satu berbeda dengan pabrik kokas yang lainnya.
48
Hasil analisis batubara yang banyak digunakan untuk memprediksi kekuatan kokas adalah hasil analisis petrografi. Pada analisis ini, maseral diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu maseral reaktif dan maseral inert. Maseral reaktif adalah maseral yang melunak bila dipanaskan dan mengikat maseral inert kemudian mengeras menjadi karbon padat yang berpori. Dengan demikian kokas mirip dengan material komposit dengan komponen utama sebagai pengikat (binder) berasal dari maseral reaktif dan komponen pengisi (filler) berasal dari maseral inert. Untuk mendapatkan kualitas kokas yang baik, blending batubara harus menghasilkan campuran dengan proporsi maseral reaktif dan maseral inert yang optimum. Secara umum, yang termasuk maseral reaktif adalah vitrinit, liptinite, dan sepertiga dari semifusinite, sedangkan yang termasuk maseral inert adalah dua-pertiga dari semifusinite, fusinite, macrinite, micrinite, inertodetrinite, sclerotinite, dan mineral. Pendekatan yang sangat berbeda untuk memprediksi kekuatan kokas dilakukan oleh beberapa industri di Jepang. Pada pendekatan ini kekuatan kokas diprediksi berdasarkan pada hubungan antara data petrografi (Rmax) dan sifat rheologi (Gieseler maximum fluidity) dari batubara. Konsep ini dikembangkan dengan asumsi bahwa kekuatan kokas terutama diatur oleh dua sifat utama batubara, yaitu sifat caking dan peringkat batubara. Pada model yang dikembangkan oleh Nippon Kokan (NKK) di Jepang dinyatakan bahwa kokas yang kuat akan dihasilkan bila campuran batubara mempunyai reflektansi vitrinit dan fluiditas dengan nilai dalam rentang tertentu yaitu reflektan vitrinit pada kisaran 1,2-1,3% dan fluiditas pada kisaran 200 dan 1000 DDPM. Gambar 1 menampilkan target kualitas batubara untuk blending berdasarkan fluiditas dan reflektan tersebut. Diagram pada Gambar 1 membagi kualitas batubara ke dalam empat kuadran. Batubara dalam kuadran I dan II adalah batubara yang mempunyai fluiditas yang cukup untuk blending, sementara batubara dalam kuadran IV digunakan untuk menyesuaikan peringkat (rank) batubara dalam blending. Batubara dalam kuadran III mempunyai
M&E, Vol. 11, No. 1, Maret 2013
Topik Utama kualitas kurang baik untuk pembuatan kokas oleh sebab itu hanya digunakan untuk blending dalam kondisi tertentu (Diez, 2002).
Ada dua jenis proses karbonisasi batubara yaitu karbonisasi pada suhu rendah dan karbonisasi pada suhu tinggi. Karbonisasi pada suhu rendah adalah proses karbonisasi tanpa udara yang dilakukan pada suhu kurang dari 700 0 C. Karbonisasi bersuhu rendah umumnya untuk memproduksi semi kokas, bahan bakar tak berasap. Karbonisasi suhu tinggi dilakukan pada suhu di atas 7000C. Karbonisasi ini dilakukan untuk membentuk kokas metalurgi yang kuat yang digunakan pada blast furnace. Padatan yang dihasilkan memiliki kandungan karbon yang lebih tinggi. Selama proses karbonisasi berlangsung, Kandungan air di dalam batubara akan keluar pada kisaran suhu 100°C sampai 150°C. Selanjutnya sebagian besar zat terbang akan keluar dalam kisaran suhu antara 400°C sampai 500°C. Dari 600°C sampai di atas 900°C, hanya sedikit tambahan kandungan zat terbang yang lepas. Alat yang dipakai karbonisasi biasa disebut sebagai Coke Oven.
Gambar 1. Target kualitas batubara untuk blending berdasarkan nilai reflektan dan fluiditas 3.2. Teknologi Karbonisasi Batubara Karbonisasi batubara merupakan proses pemanasan batubara pada suhu tinggi tanpa kontak dengan udara yang bertujuan menghasilkan padatan yang kaya karbon. Suhu yang tinggi pada proses karbonisasi menyebabkan sebagian senyawa yang mengandung hidrogen, oksigen, nitrogen atau sulfur akan terlepas dan menghasilkan by product proses karbonisasi berupa tar, gas bakar dan bahan-bahan lainnya. Selain pengayaan karbon, fungsi utama karbonisasi adalah meningkatkan kalori karena adanya pelepasan oksigen.
Berdasarkan bentuk dan cara pengolahan gasnya, coke oven komersial dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu a) By-product Coke Oven dan b). Heat Recovery Coke Oven. Gambar 2 menampilkan sketsa dua jenis oven tersebut. By product coke oven berbentuk pipih (kurus) dengan ukuran dimensi, yaitu tinggi 1,8-6,7 m, panjang 0,91- 15,8 m dan lebar 0,3-0,6 m. Ruangan pengkokasan (coking chambers) dan ruangan pemanasan (heating chambers) disusun berselang-seling untuk menghasilkan panas yang merata. Coke oven gas (COG) yang keluar dari ruang pengkokasan diproses dulu untuk diambil tar, amonia, fenol dan lainnya sebelum dibakar di ruang pemanas. COG biasanya mengandung amonia, benzen, toluen dan xylena. Amonia dapat direaksikan dengan asam sulfat untuk menghasilkan pupuk amonium sulfat. Benzena, toluena dan xilena dalam COG berada dalam bentuk bensol yang dapat diekstrak dengan pelarut tertentu sebagai media. COG dapat dibersihkan lebih lanjut menggunakan karbon aktif untuk menghilangkan belerang.
Potensi Coking Coal Indonesia Untuk Mendukung Industri.... ; Miftahul Huda
49
Topik Utama
Gambar 2. Sketsa by-product recovery (kiri) dan heat recovery coke oven (kanan) (Hein &Kaiser, 2012)
Heat recovery coke ovens mempunyai dimensi yang melebar dan tidak tinggi. Umumnya setiap oven mempunyai panjang sekitar 14,0-15,5m (45 dan 50 kaki), lebar 3,4-3,7m (11 sampai 12 kaki) dan tinggi sekitar 2 meter. Batubara dimasukkan ke dalam oven melalui pintu samping atau bukan melalui bagian atas oven seperti umumnya dilakukan pada by-product coke oven. COG yang keluar dari oven langsung dibakar pada ruang pembakaran yang ada di atas batubara dan di ruang pembakaran yang ada di bawah oven. Dengan demikian, pemanasan batubara dari ruang pembakaran bagian atas adalah pemanasan langsung melalui panas radiasi dan konveksi sedangkan pemanasan dari bagian bawah oven melalui pemanasan tidak langsung cara konduksi. Pada heat recovery coke oven tekanan dalam furnace adalah negatif sehingga gas-gas berbahaya tidak keluar dari coke oven selain itu karena COG langsung dibakar maka tidak ada proses pendinginan COG yang memerlukan banyak air dan berpotensi mencemari
50
lingkungan. Umumnya sisa energi panas dalam COG dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik sehingga menambah keunggulan teknologi ini terutama bila akan diaplikasikan di daerah terpencil atau ditempat-tempat yang tidak ada jaringan listrik di Indonesia. 3.3. Pemilihan Jenis Oven Untuk Karbonisasi Batubara di Indonesia Ketersediaan infrastruktur termasuk infrastruktur ketenagalistrikan sangat penting untuk mendorong tumbuhnya industri peningkatan nilai tambah mineral. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di beberapa daerah tempat ditemukannya mineral, energi listrik yang tersedia tidak mencukupi atau bahkan terkadang tidak ada jaringan listrik. Padahal industri peleburan mineral terutama yang menggunakan tungku listrik bukan hanya memerlukan listrik dalam jumlah yang cukup tetapi juga jaringan listrik yang handal sehingga mampu menanggung fluktuasi beban dalam waktu singkat karena dinamika beban yang terjadi pada tungku listrik tersebut.
M&E, Vol. 11, No. 1, Maret 2013
Topik Utama Industri peleburan nikel dengan blastfurnace yang diintegrasikan dengan heat recovery coke oven berpeluang besar untuk diaplikasikan di Indonesia karena Industri ini menghasilkan surplus energi listrik yang tentunya dapat dijual ke PLN. Sebagai contoh heat recovery coke oven dengan kapasitas 1,3 juta ton per tahun dapat menghasilkan listrik sekitar 90MW (Chawngte dan Khatri, 2010). Dengan demikian heat recovery coke oven cocok diaplikasikan untuk daerah-daerah yang tidak terdapat jaringan listrik atau daerah-daerah yang kekurangan listrik (Towsey, 2011). Di samping itu oven ini dapat menggunakan kokas kualitas lebih rendah, tidak menghasilkan limbah cair dari proses pengolahan COG dan tidak melepas polutan ke atmosfir karena tekanan dalam oven yang dalam kondisi tekanan negatif. Berdasarkan data-data tersebut disimpulkan bahwa oven jenis ini yang sesuai untuk diaplikasikan di luar Pulau Jawa yang pada umumnya kapasitas listriknya terbatas. Saat ini terdapat 36 pabrik kokas di Cina dan 18 pabrik kokas di negara lain yang menggunakan heat recovery coke oven. Selain itu di Cina juga terdapat 10-20 pabrik kokas sedang dalam tahap konstruksi. Oven jenis ini menjadi favorit di Cina karena direkomendasikan oleh suatu lembaga yaitu China National Development and Reform Commission. 4. POTENSI COKING COAL INDONESIA UNTUK MENDUKUNG INDUSTRI PELEBURAN NIKEL DENGAN BLAST FURNACE Untuk mendukung industri peleburan kokas dengan blastfurnace diperlukan ketersediaan coking coal domestik dalam jumlah yang cukup dan selain itu coking coal domestik tersebut harus mempunyai kualitas yang sesuai sehingga dapat menghasilkan kokas dengan kulitas yang diinginkan. Dari segi sumber daya, memang sumber daya hard coking coal Indonesia sangat kecil (AKT 379 juta ton, BBM 60 juta ton, Indomet project 774 juta ton termasuk thermal coal) bila dibandingkan negara lain (Australia,
Kanada, USA), namun sumber daya ini dipandang cukup untuk memenuhi kebutuhan industri peleburan nikel di Indonesia. Walaupun demikian Pemerintah diharapkan mengurangi ekspor hard coking coal karena perannya yang startegis sebagai energi dan bahan pereduksi industri pengolahan dan pemurnian nikel. Dari segi kualitas saat ini hanya batubara AKT yang masuk katagori hard coking coal (CSR > 50%) tetapi pada masa yang akan datang dengan diproduksinya batubara BBM/Cokal (Tabel 2) dan batubara dari Indomet Project maka akan ada tambahan pasokan hard coking coal. Batubara KSM dan Mamahak tidak masuk ke dalam katageori hard coking coal karena mengandung zat terbang tinggi (> 34%, adb) tetapi masih dapat dikatagorikan coking coal karena mepunyai nilai CSN lebih besar dari 3,5 (Zimmerman, 1979). Batubara jenis ini dapat dipakai untuk pembuatan kokas dengan melakukan blending dengan batubara lain yang mempunyai kadar zat terbang rendah dan nilai reflektan tinggi. Penggunaan kokas Indonesia pada teknologi blastfurnace lebih dimungkinkan untuk peleburan nikel dibandingkan besi karena volume blast furnace untuk peleburan nikel relatif kecil (200 m3) sehingga persyaratan kualitas kokasnyapun tidak berat. Blending dengan kokas impor juga dapat menjadi pilihan untuk meningkatkan kualitas kokas. Walaupun demikian mengingat jumlah hard coking coal yang terbatas, penelitian dan pengembangan untuk mengurangi porsi hard coking coal dalam blending harus dilakukan. Saat ini teknologi yang diaplikasikan untuk mengurangi porsi hard coking coal dalam blending antara lain adalah penambahan aditif (coal tar pitch), selective crushing, pembriketan soft coking coal dan stamp charging. Penambahan aditif berupa CTP banyak dilakukan pada industri-industri pembuatan kokas di Jepang. CTP dipandang cocok untuk digunakan sebagai pengganti batubara medium volatile coking coal. Pada selective crushing maseral inertinit dihaluskan dan selanjutnya diblending untuk meningkatkan densitas dan
Potensi Coking Coal Indonesia Untuk Mendukung Industri.... ; Miftahul Huda
51
Topik Utama kekuatan kokas. Untuk batubara soft coking coal, densitas kokas dapat ditingkatkan dengan melakukan pembriketan sebelum pengumpanan ke dalam oven. Pembriketan/pembuatan cake batubara dengan Stamp charging umum digunakan pada heat recovery coke oven oleh sebab itu oven ini paling cocok diaplikasikan di Indonesia yang mempunyai banyak cadangan soft coking coal.
5. KESIMPULAN
Di tengah perdebatan tentang apakah kokas Indonesia cocok untuk bahan baku kokas, sebuah perusahaan di Cilegon (PT. Indoferro), Banten telah membangun heat recovery coke oven dan menggunakan kokasnya untuk peleburan di blastfurnace menghasilkan NPI. Berdasarkan hasil diskusi penulis dengan operator pabrik tersebut diperoleh informasi bahwa blast furnace tersebut mampu menggunakan 70% kokas dalam negeri. Porsi kokas impor akan terus dikurangi dengan melakukan kelitbangan untuk meningkatkan kualitas kokas yang diproduksi dari batubara domestik. Perusahaan ini berencana meningkatkan produksi NPI menjadi 250.000 tones NPI pada tahun 2013 dan 500.000 ton NPI pada tahun 2014. Gambar 3 menampilkan foto heat recovery coke oven yang dibangun di Cilegon, Banten.
b. Penggunaan kokas pada teknologi blastfurnace untuk peleburan nikel lebih dimungkinkan karena volume blast furnace untuk peleburan nikel jauh lebih kecil dibandingkan untuk peleburan besi.
Berdasarkan data dan uraian dalam pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Coking coal untuk bahan baku pembuatan kokas yaitu batubara dengan nilai CSN > 3,5 terdapat di Indonesia bahkan batubara AKT berdasarkan nilai CSR dapat digolongkan sebagai hard coking coal.
c. Sumber daya coking coal Indonesia dianggap cukup untuk bahan kokas peleburan nikel jika ekspor hard coking coal dapat dicegah. d. Pembuatan kokas menggunakan heat recovery coke oven lebih direkomendasikan karena oven ini dapat menggunakan kokas dengan kualitas lebih rendah dan mempunyai by-product berupa energi panas yang dapat dikonversi menjadi energi listrik DAFTAR PUSTAKA Adaro Energy, 2010, Bersiap Menuai Rejeki Maruwai yang Aduhai, Asia securities media release, Borneo Lumbung Energy & Metal, 2010, Superior Value Creation, Annual Report Cartman, R., 2012, Nickel Pig Iron - A Long Term Solution?, Presented on 3rd Euronickel Conference, Helsinki. Chawngte, R.L., Khatri, V., 2010, Prospect of non/heat recovery coke oven plant in India, Proceedings of the XI International Seminar onMineral Processing Technology.
Gambar 3. Foto heat recovery coke oven di Cilegon, Banten
52
Cokal, 2011, Cokal Confirms Premium Quality Metallurgical Coal at Bumi Barito Mineral Project (BBM), ASX announcement/media release.
M&E, Vol. 11, No. 1, Maret 2013
Topik Utama Diez, M.A., Alvarez, R., Barriocanal, C., (2002), Coal for Metallurgical Coke Production: Predictions of Coke Quality and Future Requirements for Cokemaking, International Journal of Coal Geology, Vol.50, p 389- 412
Towsey, P.S., Cameron, I., Gordon, Y., 2010, Comparison of Byproduct and HeatRecovery Cokemaking Technologies, Proceedings of The Iron & Steel Technology Conference and Exposition, Pittsburgh
Hein, M., Kaiser, M., 2012, Environmental Control and Emission Reduction for Coking Plants, in Air pollution - a comprehensive perspective book edited by Budi Haryanto, ISBN 978-953-51-0705-7, InTech Croatia
Worldsteel Association, 2012 , World Steel In Figures 2012, Bulletin, ISSN 1379-9746 Zimmerman, R.E., 1979, Evaluating And Testing The Coking Properties of Coal, Miller Freeman Publications Inc., San Francisco.
Platts McGraw Hill Financial, 2010, Methodology and Specifications Guide Metallurgical Coal, www.platts.com. SRK consulting, 2010, Independent Geologist's Report on Coal Projects in Central Kalimantan Indonesia, Report.
Potensi Coking Coal Indonesia Untuk Mendukung Industri.... ; Miftahul Huda
53