TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN DRYOBALANOPS SP. UNTUK PENINGKATAN NILAI TAMBAH
1. 2. 3. 4. 5.
Gunawan Pasaribu, S.Hut., M.Si Dra. Gusmailina, M.Si Dra. Sri Komarayati Dra. Zulnely R. Esa Pangersa Gusti, S.Hut
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BOGOR, DESEMBER 2014
TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN DRYOBALANOPS SP UNTUK PENINGKATAN NILAI TAMBAH
Bogor, Desember 2014 Ketua Tim Pelaksana,
Mengetahui Ketua Kelti,
Gunawan Pasaribu, S.Hut, M.Si. NIP. 19770527 200212 1 003
Gunawan Pasaribu, S.Hut, M.Si NIP. 19770527 200212 1 003
Menyetujui Koordinator,
Mengesahkan Kepala Pusat,
Ir. Totok K. Waluyo, M.Si NIP. 19600506 198703 1 004
Dr. Ir. Rufi’ie, MSc. NIP. 19601207 198703 1 005
ii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN .….…….………….………….......………
ii
DAFTAR ISI ……………..…………..………………………………..
iii
DAFTAR TABEL ……………………………..……………………....
iv
DAFTAR GAMBAR…………………………..……………………….
v
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................
vi
ABSTRAK….……………………….…….…………………………..
1
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………..
2
A. Latar Belakang ……………………………………..…...
2
B. Tujuan dan Sasaran ...................................................
3
C. Luaran ...... ...................................................................
4
D. Hasil yang Telah Dicapai ……..….……………....….....
4
E. Ruang Lingkup..............................................................
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA….................................................
6
BAB III. METODE PENELITIAN .................................................
10
A. Lokasi Penelitian...........................................................
10
B. Bahan dan Peralatan......................................................
10
C. Prosedur Kerja .............................................................
10
D. Analisis Data..................................................................
15
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................
16
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN..........................................
33
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
35
LAMPIRAN...................................................................................
37
iii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Formulasi lilin aromaterapi................................................................ 10 Tabel 2. Formulasi sabun antijerawat....……………..………………………....
11
Tabel 3. Analisis Statistik (Kruskal wallis test)..............................................
24
Tabel 4. Aktivitas antimikroba C. albicans dan S. aureus pada minyak dan kristal D. aromatica……………………............................................
30
Tabel 5. Komponen kimia miyak Dryobalanops aromatica....................…….
32
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kristal D. keithii, D. lanceolata.....................................................
7
Gambar 2. Struktur kimia borneol.................................................................
8
Gambar 3. Vegetasi utama pandan duri yang tumbuh di rawa basah......
18
Gambar 4. Tegakan hutan rawa kering........................................................
18
Gambar 5. Minyak kapur (Dryobalanops aromatica) dan pengumpul.........
19
Gambar 6. Kristal kapur (Dryobalanops aromatica) kualitas 1....................
20
Gambar 7. Kristal kapur (Dryobalanops aromatica) kualitas 2....................
20
Gambar 8. Kristal kapur (Dryobalanops aromatica) kualitas 3....................
20
Gambar 9. Batang dan daun Dryobalanops aromatica..................................
21
Gambar 10. Pembuatan takik sadapan.........................................................
22
Gambar 11. Daerah penyebaran Dryobalanops aromatica di Tapanuli Utara 23 Gambar 12. Lilin aromaterapi.........................................................................
23
Gambar 13. Kesukaan aroma lilin sebelum dibakar.......................................
25
Gambar 14. Kesukaan aroma lilin setelah dibakar.........................................
26
Gambar 15. Efek aromaterapi........................................................................
27
v
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kuisioner Pengujian Organoleptik.....................................
37
Lampiran 2. Hasil uji organoleptik formulasi minyak wangi...................
38
Lampiran 3. Analisis Kruskal wallis........................................................
39
Lampiran 4. Laporan Hasil Uji Aktifitas Anti bakteri P. acnes...............
40
Lampiran 5. Laporan Hasil Uji Aktifitas Anti bakteri S. epidermis.......
41
Lampiran 6. Laporan Hasil Uji Aktifitas Antioksidan..............................
42
Lampiran 7. Kromatogram minyak Dryobalanops aromatica................
43
vi
TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN DRYOBALANOPS SP UNTUK PENINGKATAN NILAI TAMBAH Oleh: Gunawan Pasaribu, Gusmailina, Sri Komarayati, Zulnely & Esa Pagersa G
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk produk kosmetik, dengan sasaran pada pembuatan lilin aromaterapi, sabun antijerawat dan informasi hasil uji. Hasilnya menunjukkan bahwa teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk kosmetik adalah melalui teknik formulasi lilin aromaterapi dan sabun antijerawat. Formulasi lilin aromaterapi yang dibuat berupa parafin, stearin, odoran, pewarna minyak Dryobalanops dan nilam. Terdapat perbedaan yang sangat nyata tentang kesukaan sebelum lilin dibakar antar formulasi yang dibuat. Formula yang paling disukai adalah formula 1. Terhadap lilin yang sudah dibakar, tidak terlihat perbedaan yang nyata antar formulasi yang dibuat. Akan tetapi terlihat kecenderungan bahwa lilin dengan formula 2 lebih disukai. Demikian halnya tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap tingkat efek aromaterapi pada formula yang dibuat. Formulasi lilin aromaterapi nomor 1 merupakan formulasi yang memberi efek positif pada responden. Aktifitas antibakteri Propionibacterium acnes yang ditunjukkan dengannilai MIC tidak menunjukan adanya aktivitas antibakteri, dimana nilai MIC semua sampel lebih besar dari 2.0 mg/ml. Sementara, kontrol positif yang digunakan yaitu tetrasiklin dan kloramfenikol dengan MIC lebih kecil 0,016 mg/ml sedangkan sampel tidak memberikan nilai MIC yang lebih rendah dari kontrol positif tersebut. Dengan nilai aktifitas MIC yang rendah, sehingga tidak dapat dihitung nilai MBC-nya. Hasil penelitian aktivitas antioksidan pada minyak, kristal dan sabun menunjukkan bahwa semua sampel memiliki aktivitas antioksidan yang rendah karena semua sampel memiliki nilai IC50 > 10000 ppm.Analisis komponen kimia menunjukkan adanya senyawa borneol dalam hal ini sebagai senyawa penciri dari Dryobalanops aromatica dalam bentuk endo borneol. Kata kunci : Dryobalanops, produk, kosmetik
1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Dryobalanops spp merupakan jenis yang termasuk ke dalam suku
Dipterocarpaceae.
Penyebarannya mulai dari
Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau dan seluruh Kalimantan. Dryobalanops dengan nama Kapur, diantaranya yang penting adalah:
juga dikenal Dryobalanops
aromatica Gaertn. (kapur singkel), Dryobalanops fusca V.Sl. (kapur empedu), Dryobalanops lanceolata Burck (Kapur tanduk), Dryobalanops beccarii Dyer (Kapur sintuk), Dryobalanops rappa Becc. (Kapur kayat), Dryobalanops keithii Symington (kapur gumpait),
dan Dryobalanops oblongifolia Dyer
(kapur
keladan) (Heyne, 1987) Beberapa jenis Dryoblanops seperti aromatica, terkenal sebagai penghasil barus atau kamper. Di Korea dan Jepang, pohon yang menghasilkan barus atau kamper ini dikenal dengan nama Cinnamomum camphora dari keluarga Lauraceae, sedangkan kamper di Indonesia diperoleh dari pohon D. aromatica Gaertn, yang masuk dalam keluarga Dipterocarpaceae. Unsur yang dimanfaatkan dari pohon kapur ini adalah kristal kapur dan minyak kapur. Kristal kapur diperoleh pada bagian tengah (dalam) batang pohon (Gambar 1). Data tentang produksi minyak dan kristal kapur berikut perdagangannya belum tersedia sampai saat ini. Informasi produksi dan perdagangan menurut beberapa masyarakat, terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pemanfaatan produk turunan minyak kamper belum banyak dilakukan di Indonesia, padahal pengembangan produk berbahan minyak kamper akan mampu meningkatkan nilai tambah. Bahan aktif utama minyak kamper berupa borneol mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan sangat dibutuhkan dalam pengembangan produk kosmetika dan obat.
Borneol banyak dicari
sekarang, terutama yang berasal dari pohon Dryobalanops, karena manfaatnya sebagai bio medicine untuk mencegah pengentalan dan pembekuan darah (Duke, 2005).
Borneol yang beredar di pasaran internasional kebanyakan
berasal dari Cinnamommum, atau tumbuhan perdu lainnya seperti sembung, 2
kunyit atau jahe. Teknik pengolahan juga berbeda, karena bukan berasal dari getah pohon. Ibnu Masawayh dalam Guillot (2002) menyebutkan bahwa kamper merupakan salah satu dari lima rempah wewangian dasar. Kelima rempah tersebut adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, kamper dan safran. Selanjutnya disebutkan bahwa pada zaman Dinasti Abbasiyah, hanya orang kaya dan golongan pemimpin saja yang menggunakan pewangi kamper. Artinya bahwa penggunaan kamper untuk pewangi sudah menjadi tradisi di awal masehi. Pengolahan minyak kapur menjadi produk kosmetik seperti parfum menjadi pilihan yang cermat untuk meningkatkan nilai tambah. Perdagangan minyak Dryobalanops sebagian besar hanya dijual dalam bentuk minyak mentah, sehingga harganya lebih murah. Kalau diolah menjadi bentuk kristal harganya akan menjadi lebih tinggi. Apalagi kalau minyak diolah menjadi produk kosmetik akan mampu meningkatkan nilai tambahnya. Berdasarkan sejarah yang ada bahwa minyak kapur banyak dimanfaatkan untuk relaksasi dan kemampuannya sebagai antimikroba memungkinkan dikembangkannya sebagai parfum plus. Terobosan pemanfaatan yang lebih luas yang mampu meningkatkan nilai tambah perlu dilakukan secara terus menerus. Pemanfaatan minyak Dryobalanops sebagai lilin aromaterapi, antijerawat dan antioksidan akan dikaji dalam penelitian ini.
B. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah mendapatkan teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk produk kosmetik. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai yaitu tersedianya informasi teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk produk kosmetik berupa lilin aromaterapi, sabun antijerawat dan informasi hasil uji.
3
C. Luaran Luaran dari kegiatan penelitian ini adalah adalah : 1. Laporan Hasil Penelitian (LHP) yang berisi informasi teknik pembuatan produk, dan pengujian aktivitasnya. 2. Draft karya tulis ilmiah 3. Contoh produk
D. Hasil yang Telah Dicapai Hasil tahun 2011 diperoleh 4 sampel getah dari Sumatera dan Kalimantan, namun berdasarkan analisis kromatografi, hanya 2 sampel yang mengandung senyawa borneol sebagai penciri getah Dryobalanops, sedangkan 2 sampel merupakan getah keruing (Dipterocarpus sp). Data produktivitas getah Dryobalanops belum dapat dilakukan secara akurat, oleh karena keberadaan jenis pohon ini sudah sangat langka. Untuk sementara perkiraan produktivitas
getah
Dryobalanops
aromatica
yang
diperoleh
di
hutan
perbatasan Kalimantan-Serawak adalah 20 gram setelah menunggu selama 3 jam.
Hasil inventarisasi Dryobalanops yang diperoleh adalah Dryobalanops
lanceolata dan Dryobalanops oblongifolia yang terdapat di Kalimantan Timur, namun di Sumatera Utara terdapat jenis Dryobalanops aromatica C. F. Gaertn. Hasil identifikasi Dryobalanops lanceolata menunjukkan 45 senyawa penyusun yang terdeteksi, dengan senyawa dominan adalah Androstan-3-ol, 9methyl-, acetate, (3.beta.,5.alpha.)- (CAS) sebanyak 15%. Sedangkan senyawa borneol hanya 0,37%. Hasil identifikasi Dryobalanops aromatica menunjukkan 30 senyawa penyusun yang terdeteksi. Senyawa dominan yang terdeteksi adalah Caryophyllene oxide dengan konsentrasi 16,16%, sedangkan senyawa borneol hanya 0,21%. Hasil penelitian tahun 2012 menunjukkan bahwa teknik kristalisasi D. aromatica dilakukan melalui sublimasi dengan pemanasan kompor induksi 60 0
C bertahap hingga 120 0C. Rendemen yang dihasilkan mencapai 5,73%.
Berat jenis minyak dan kadar air akan berpengaruh terhadap rendemen sublimasi. Berat jenis yang kecil (0,88), kadar air yang rendah (1,77%) 4
berdasarkan hasil uji coba, menghasilkan rendemen sublimasi yang tinggi. Sifat kimia minyak D. aromatica diketahui dari bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan
ester
dan
bilangan
Yod.
Bilangan-bilangan
tersebut
akan
mempengaruhi kualitas minyak yang dihasilkan. Formula parfum minyak Dryobalanops adalah campuran Dryobalanops, etanol, minyak nilam, minyak Eucalyptus citriodora atau Palm flower. Berdasarkan uji organoleptik, Dryobalanops berpotensi sebagai bahan parfum yang disukai.
Minyak dan
kristal Dryobalanops berpotensi sebagai obat karena aktivitas antimikrob minyak dan kristal sangat baik menghambat pertumbuhan mikroba S. aureus dan C. albicans. Senyawa borneol merupakan senyawa penciri minyak dan kristal Dryobalanops. Hasil penelitian tahun 2013 menunjukkan bahwa formulasi parfum yang dibuat cukup disukai oleh responden. Formulasi yang dibuat merupakan campuran minyak Dryobalanops, odorant, etanol dan minyak nilam.
E. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini meliputi teknik pembuatan produk kosmetika meliputi lilin aromaterapi, sabun antijerawat, dan informasi hasil uji.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dryobalanops spp merupakan jenis yang termasuk ke dalam suku Dipterocarpaceae.
Penyebarannya mulai dari
Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau dan seluruh Kalimantan. Dryobalanops
juga dikenal
dengan nama Kapur, diantaranya yang penting adalah: Dryoblanops aromatica Gaertn. (Kapur singkel),
Dryobalanops fusca V.Sl. (Kapur empedu),
Dryobalanops. lanceolata Burck (Kapur tanduk), Dryobalanops beccarii Dyer (Kapur sintuk), Dryobalanops rappa Becc. (Kapur kayat), Dryobalanops keithii Symington (kapur gumpait), dan Dryobalanops oblongifolia Dyer
(kapur
keladan) (Heyne, 1987). Umumnya pemanfaatan Dryobalanops spp selama ini lebih kepada kayunya untuk balok, tiang dan konstruksi atap, papan pada bangunan perumahan dan jembatan, serta juga dipakai untuk perkapalan, peti (koper), mebel dan juga untuk peti mati. Kecuali beberapa jenis Dryoblanops seperti aromatica, terkenal sebagai penghasil barus atau kamper.
di Korea dan
Jepang, pohon yang menghasilkan barus atau kamper ini dikenal dengan nama Cinnamomum camphora dari suku Lauraceae, sedangkan kamper di Indonesia diperoleh dari pohon Dryobalanops aromatica Gaertn, yang masuk dalam suku Dipterocarpaceae. Di Pulau Sumatera, pohon kapur tumbuh liar pada tanah datar, dengan serapan air yang baik maupun pada daerah lereng bukit di hutan tropis yang mencapai ketinggian hingga 500 meter dari permukaan laut. Umumnya pohon ini tumbuh dengan ukuran diameter batang yang besar dan membentuk barisan pohon dengan ketinggian yang relatif sama dan rata (Whitten dkk.,1984 dalam Sutrisna, 2008). Pada abad ke-17, selain di daerah Barus pohon ini juga banyak tumbuh di daerah Dairi dan Kelasan yang merupakan daerah pegunungan, serta di tepi sungai Cinendang, Singkel (Vurren,1908 dalam Sutrisna, 2008). Unsur yang dimanfaatkan dari pohon kapur ini adalah kristal kapur dan minyak kapur. Kristal kapur diperoleh pada bagian tengah (dalam) batang pohon. Kedua unsur tersebut tidak selalu ada pada pohon kapur terutama pada 6
pohon yang berusia ratusan tahun (Vurren,1908 dalam Sutrisna, 2008). Dahulu proses pengambilan kristal kapur meliputi beberapa tahap, mulai dari memilih dan menebang, kemudian memotong batangnya dalam bentuk balok-balok. Tidak selamanya pemilihan pohon berhasil mendapatkan barang yang dicari. Penebanganpun
dilakukan
secara
sembarangan
sebelum
menemukan
sebatang pohon yang berisikan cukup kapur barus. Bila kemudian ditemukan pohon yang memang berisikan cukup kapur barus, barulah dilakukan proses pengumpulan/pengambilannya. Ada dua cara yang dilakukan yaitu : potongan balok kayu dibelah. Dari setiap potongan balok inilah diperoleh kristal kapur. Pengambilan kristal kapur itu juga dapat dilakukan dengan cara mentakik tiap potongan balok. Dari satu pohon yang ditebang dapat diperoleh sekitar 1,5–2,5 kilogram kristal kapur dengan kualitas yang berbeda.
Cara lain
pengambilan kristal kapur adalah dengan mengambil langsung dari batang pohon kapur yang keluar secara alami dari pori-pori kulitnya. Cara ke dua lebih baik dari cara pertama, karena untuk mendapatkan kamper tidak harus menebang pohon, cukup menyadap dari batang pohon.
Gambar 1 : Kristal D. keithii, D. lanceolata, yang terletak pada sel-sel parenkim aksial (Sumber : Toshihiro Yamada and Eizi Suzuki, 2004)
7
Gambar 2. Struktur kimia borneol
Borneol (C10H18O) banyak tersebar di alam sebagai komponen minyak atsiri (Roland et al.,1995). Di bidang industri borneol murni bersama juga isoborneol digunakan sebagai bahan baku penyusun parfum dan bahan pengester. Borneol murni bersifat racun yang dapat mengakibatkan kekacauan mental. Borneol di China dikenal juga dengan nama Bing Pian (Hugo, 1995). Salah satu penggunaannnya adalah sebagai bahan tambahan pada pembalut wanita (bio panty) yang bermanfaat untuk mengurangi kesakitan dan tekanan ketika haid, mengurangi kesakitan otot dan sendi, membantu membersihkan darah beku, dan mencegah perkembang biakan kuman (Yuhana, 1991 dan Long, 2000). Borneol banyak terdapat pada tanaman lain selain pada minyak Dryobalanops spp, antara lain seperti sembung, kencur, jahe, sage, thyme, dan masih banyak tumbuhan lainnya, bahkan pada minyak nilam juga terdapat kandungan borneol, akan tetapi hanya dalam jumlah dan konsentrasi yang relatif kecil. Borneol dari Dryobalanops banyak dicari untuk digunakan sebagai bahan pengobatan alternatif, sebagai aromaterapi.
Karena penggunaan
borneol yang tepat, dapat menghancurkan pembekuan darah pada kasus pembekuan darah pada otak atau jantung. Pada abad ke-14 dilaporkan bahwa minyak/kristal kapur dipakai untuk bahan pewangi. Sebagai rempah dasar, kapur dipakai untuk campuran pewangi. Di antara jenis campuran wangi-wangian yang mengandung kapur, nadd dan sukk merupakan yang terpenting. Nadd merupakan cara-cara membuat campuran wewangian, sementara sukk merupakan campuran wewangian berbahan dasar kapur (Ibn Masawayh dalam Guillot, 2002).
8
Berbagai bahan alami banyak digunakan sebagai sumber minyak wangi antara lain ekstrak lemon, pala, nilam, peppermint, cinnamon, bunga ros, cendana, kemenyan, melati, lavender, dll (Calkin and Jellinck, 1994). Pemanfaatan minyak Dryobalanops dalam berbagai macam produk kosmetika sangat dimungkinkan seperti produk lilin aromaterapi dan sabun antijerawat. Lilin aroma terapi adalah lilin yang jika dibakar akan mengeluarkan wangi aroma terapi yang dihasilkan dari minyak atsiri. Menurut Koo et al. (2004), bahwa hasil uji bioaktivitas senyawa borneol Dryobalanops aromatica yang ada di pasar tradisional di Yeongchon, Korea, menunjukkan bahwa minyak ini mampu memperbaiki sistim saraf dan obat penenang serta sebagai aroma terapi. Lilin aromaterapi merupakan alternatif aplikasi aromaterapi secara inhalasi (penghirupan), yaitu penghirupan uap aroma yang dihasilkan dari beberapa tetes minyak atsiri dalam wadah berisi air panas. Lilin aromaterapi akan menghasilkan aroma yang memberikan efek terapi bila dibakar. Aroma lilin dihasilkan dari minyak atsiri yang tergolong ke dalam jenis aroma yang mampu memberikan efek terapi menenangkan dan merilekskan (Primadiati, 2002). Demikian halnya dengan produk sabun kosmetik seperti sabun antijerawat, fungsinya pada pasien jerawat adalah adanya zat-zat yang bisa membunuh dan mengurangi jumlah bakteri penyebab jerawat.
Sabun
merupakan garam alkali karboksilat (RCOONa). Gugus R ber-sifat hidrofobik karena bersifat nonpolar dan COONa bersifat hidro-filik (polar). Proses yang terjadi dalam pembuatan sabun disebut sebagai saponifikasi (Girgis 2003). Ada 2 jenis sabun yang dikenal, yaitu sabun padat (batangan) dan sabun cair (Hambali et al. 2005). Sabun padat dibedakan atas 3 jenis, yaitu sabun opaque, translucent, dan transparan. Kebanyakan yang dijual bebas mengandung benzoyl
peroksida,
sulfacetamide
atau
triclosan.
Penambahan
minyak
Dryobalanops yang memiliki antimikroba, diharapkan mampu meggantikan penambahan zat-zat sintetik pada sabun antijerawat.
9
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Pengambilan bahan penelitian dilakukan di Singkil, Aceh dan Nanga Pinoh, Malawi, Kalimantan Barat. Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium
Pengolahan
HHBK
Pustekolah,
dan
Laboratorium
Kimia
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak jenis Dryobalanops aromatica, pewarna hijau dan merah, pewangi, akuades, H2SO4 20%, indikator jingga metil 1% , etanol 96 %, indikator fenolftalein, KOH 0,1N dan 0,5N, HCl 10%, 0,1N dan 0,5N, akuades, Typtic soy agar (TSA), DMSO 20%, tetrasiklin, dan suspensi bakteri Propionibacterium acnes. Peralatan-peralatan yang digunakan untuk melakukan kegiatan ini antara lain meliputi: erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, buret, kompor gas, spatula, ekstraktor, magnetic stirrer, penyaring, timbangan, termometer, stopwatch dan GCMS. C. Prosedur Kerja 1. Formulasi lilin aromaterapi Lilin aromaterapi dibuat sesuai standar formula pembuatan lilin aromaterapi yang sudah baku. Formulasinya berupa parafin, stearin, odoran, pewarna minyak Dryobalanops dan nilam. Dicobakan variasi penambahan minyak Dryobalanops (2%, 4% dan 6%) dalam formulasinya (Tabel 1).
Tabel 1. Formulasi lilin aromaterapi No
Formula
1
Parafin (75%)+Stearin(25%)+odoran(2%)+Dryobalanops(2%)+nilam(1%)
2
Parafin (75%)+Stearin(25%)+odoran(2%)+Dryobalanops(4%)+nilam(1%)
3
Parafin (75%)+Stearin(25%)+odoran(2%)+Dryobalanops(6%)+nilam(1%)
10
2. Pembuatan dan pengujian sabun antijerawat Pembuatan sabun antijerawat mengikuti standar pembuatan sabun pada umumnya dengan variasi penambahan minyak Dryobalanops (Tabel 2.). Bahan dasar pembuatannya adalah based sabun, odorant, pewarna dan minyak Dryobalanops.
Tabel 2. Formulasi sabun antijerawat No
Formula
1
Based sabun (98%)+odoran (1%)+Dryobalanops (1%)
2
Based sabun (97%)+odoran (1%)+Dryobalanops (2%)
3
Based sabun (96%)+odoran (1%)+Dryobalanops (3%)
a. Uji antibakteri Propionibacterium acnes Aktivitas antijerawat ditentukan dengan menentukan aktivitas antimikrob terhadap Propionibacterium acnes. Pengujian antibakteri terhadap P. acnes dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka. Uji antibakteri menggunakan metode mikrodilusi 96 well plate. Bakteri ditumbuhkan dalam media TSA. Pengujian dilakukan dengan menggunakan mikroplate 96 sumur steril yang terbuat dari polistirena. Sampel dilarutkan dalam DMSO. Kemudian stok sampel dibuat ke dalam beberapa variasi konsentrasi. Masing-masing sumur ditambahkan medium TSA dan larutan inokulan Propionibacterum acnes. Plate diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Digunakan DMSO 20% sebagai kontrol negatif dan tetrasiklin serta kloroamfenikol sebagai kontrol positif. Setelah inkubasi selama 24 jam, ditentukan konsentrasi hambat minimum (MIC= minimum inhibition concentration) dari sampel dengan cara melihat sumur yang jernih dengan nilai konsentrasi terendah sebagai nilai MIC. Nilai konsentrasi bunuh minimum (MBC= minimum bactericidal concentration) dari sampel MIC sebelumnya ditentukan setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Sumur yang masih jernih dengan konsentrasi terendah dipilih sebagai nilai KBM (Batubara et al. 2009).
11
b. Penetapan sifat fisikokimia sabun 1). Penetapan kadar air sabun Penetapan kadar air dilakukan dengan cara distilasi, Sebanyak 2,5 gram sampel dimasukan ke dalam erlenmeyer asah, ditambahkan xilena sebanyak 150 ml. Kemudian erlenmeyer dihubungkan dengan alat aufhauser yeng kemudian dihubungkan dengan kondensor libig yang panjang. Selanjutnya radas dipanaskan selama kurang lebih 3 jam sampai air yang terpisah tidak bertambah lagi. Air yang telah terpisah dalam pipa berskala ditentukan volumenya. Perhitungan : a ar air
lu e air terukur B t c nt h
2). Penetapan kadar jumlah asam lemak Penetapan kadar jumah asam lemak dilakukan dengan cara cassia, sebanyak 2,5 gram sampel sabun dilarutkan dengan 50 ml air dan dipanaskan dengan menggunakan radas refluks. Setelah sabun larut, larutan tersebut dimasukan ke dalam labu cassia dan ditambahkan indikator jingga metil kemudian H2SO4 20 % sebanyak 7 ml. Labu cassia diapanasakan kembali di dalam penangas air, setelah asam lemak terpisah di permukaan larutan, ditambahkan air panas sampai asam lemak terbaca pada skala yang terdapat pada labu, labu cassia dipanaskan kembali sampai semua asam lemak terkumpul di permukaan. Perhitungan : a ar t tal asa
le ak
lu e le ak terukur B t c nt h
3). Penetapan kadar asam lemak bebas Kadar asam lemak bebas ditetukan dalam alkohol netral. Sebanyak 50 ml etanol didihkan dalam labu erlenmeyer 250 ml.Kemudian ditambahkan indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes dan didinginkan sampai suhu 70°C kemudian dititar dengan KOH 0,1 N dalam alkohol sampai titik akhir. Setelah itu, 2,5 gram sampel sabun dimasukan kedalam alkohol netral yang telah dibuat dan dipanaskan di atas penangas air dengan bantuan radas refluks, dan 12
didihkan selama 30 menit. Kemudian dinginkan sampai suhu 70°C dan titar dengan KOH 0,1 N dalam alkohol sampai warna merah timbul dan tahan selama 15 detik. Perhitungan :
Keterangan : V
= Volume KOH 0,1 N dalam alkohol yang terpakai (ml)
N
= Normalitas KOH yang digunakan
B
= Bobot contoh (g)
0,205 = Berat setara asam laurat
4). Penetapan kadar lemak tak tersabunkan Penentuan
kadar
lemak
tak
tersabunkan
dilakukan
dengan
menggunakan larutan bekas penentuan asam lemak bebas. Larutan tersebut ditambah 5 ml KOH 0,5 N alkoholis. Kemudian dipanaskan diatas penangas air dan menggunakan kondensor alin selama 1 jam.Setelah itu didinginkan sampai suhu 70°C dan dititar dengan HCl 0,5 N alkoholis sampai warna merah dari indikator fenolftalein tepat hilang. Perhitungan : (
)
Keterangan : N
= Normalitas HCl
V1
= Volume HCl untuk penitaran blanko (ml)
V2
= Volume HCl terpakai (ml)
W
= Bobot contoh (g)
0,0561= Setara bobot KOH 0,2580= Rerata bilangan penyabunanan minyak kelapa
13
5). Penetapan kualitatif lemak mineral Uji kualitatif lemak mineral dilakukan dengan menggunakan lemak yang didapat dari penentuan kadar total asam lemak. Lemak dari labu cassia dipindahkan sebanyak 0,3 ml ke dalam ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan KOH 0,5 N dalam alkohol sebanyak 5 ml. Kemudian dipanaskan di atas penangas air dan menggunakan kondensor alin, larutan didihkan selama 2 menit. Larutan diuji dengan meneteskan akuades ke dalamnya.Jika larutan mengalami kekeruhan maka contoh sabun mengandung lemak mineral, jika larutan tetap jernih setelah diuji, contoh sabun tidak mengandung lemak mineral. c. Pengujian aktivitas antioksidan Pengujian antioksidan dilakukan pada minyak dan produk sabun. Menggunakan metode dari Blois (1958) yaitu Metode Diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH). Minyak dan produk sabun dibuat dalam berbagai konsentrasi (5, 7.5, 10, 15, 25, 50, dan 75 ppm).
Masing-masing dimasukkan kedalam tabung
reaksi. Kedalam tiap tabung reaksi ditambahkan 500 µl larutan DPPH 1mM dalam metanol. Volume dicukupkan sampai 5 ml, kemudian diinkubasi pada suhu 370 C selama 30 menit, selanjutnya serapan diukur
dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 517 nm. Sebagai kontrol positif digunakan vitamin C (konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm). Nilai IC 50 dihitung masing-masing dengan menggunakan rumus persamaan regresi dan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.
3. Uji organoleptik Uji organoleptik dilakukan pada produk lilin aromaterapi. Jumlah responden sebanyak 30 orang dari berbagai tingkat umur remaja sampai dewasa pada kisaran 15-60 tahun. Parameter yang diukur meliputi kesukaan aroma lilin sebelum dibakar, kesukaan aroma lilin setelah dibakar dan efek terapi yang dirasakan.
14
D. Analisis Data Data kuantitatif hasil pengujian organoleptik dianalisa secara statistika non parametrik dengan uji Kruskall Wallis (Steel and Torrie, 1995). Analisis kualitatif
pada
pengujian
organoleptik
untuk
mengetahui
kualitas
lilin
aromaterapi dilakukan dengan cara pengujian skoring terhadap produk dengan cara
mengintruksikan
responden/panelis
untuk
memberikan
tanggapan
pribadinya terhadap respon sesuai skala yang sudah ditentukan. Skala skoring yang digunakan adalah 5 dan 12.
15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Asal Dryobalanops aromatica Lokasi penelitian yang pertama dilakukan di Kabupaten Singkil, Aceh. Kawasan hutan Singkil memiliki luasan sekitar 18.000 ha. Kebanyakan hutan di Singkil didominasi oleh hutan Rawa, namun belum ada inventarisasi yang jelas sehingga tidak ada data pasti mengenai potensi yang ada. Umumnya jenis yang diketahui berdasarkan data sepintas kebetulan melewati hutan tersebut, serta informasi dari masyarakat yang terkadang masih mengambil kayu dari hutan untuk kebutuhan sendiri. Kabupaten Singkil terletak pada 20.02 -30.0 Lintang Utara dan 970.04 - 980.12 Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara, sebelah Selatan dengan Lautan Hindia dan kabupaten Nias, Sebelah Timur dengan kabupaten Dairi/Tapanuli Tengah, sebelah Barat dengan kecamatan Trumon.
Kabupaten Singkil memiliki 9
kecamatan antara lain : 1. Kecamatan Danau Paris, 2. Kecamatan Gunung Meriah, 3. Kecamatan Kota Baharu, 4. Kecamatan Pulau Banyak,
5.
Kecamatan Simpang Kanan, 6. Kecamatan Singkil, 7. Kecamatan Singkil Utara, 8. Kecamatan Singkohor, dan 9. Kecamatan Suro Baru. Potensi sumber daya alam Kabupaten Singkil antara lain : Kehutanan berupa Hutan Produksi seluas 18.000 an hektar; Perkebunan berupa kelapa sawit seluas 150.000 an hektar, kelapa seluas 44.000 an hektar, dan karet seluas 18.140 ha; Pertanian sekitar 250.000 an hektar berupa pertanian teknis, semi teknis dan non teknis;
dan Perikanan berupa perikanan darat dan perikanan laut
sekitar 780.00 an hektar. Nilai keanekaragaman hayati yang ada di Rawa Singkil cukup tinggi. Hutan Rawa Singkil memiliki kekayaan flora yang bernilai biologis dan ekonomis tinggi. Data Dinas Kehutanan kabupaten Aceh Singkil tahun 2004 menunjukkan bahwa jenis Kayu Meranti, damar laut/semantok, Kapur, Keruing, Lesi-lesi/Medang adalah jenis-jenis kayu yang bernilai ekonomis tinggi dan sebagian besar kayu-kayu ini berasal dari hutan di sekitar Rawa singkil. Selain itu Hutan Rawa ini juga kaya akan jenis-jenis pohon bernilai ekonomi tinggi 16
seperti Alstonia pneumatophora, Campnosperma macrophylla, Dyera lowii, Pentapadon motleyi, Elaeocarpus littoralis, Palaquium leicarpum, Shorea balangeran, Lophopethalum multinervium, dan lain-lain. Hutan Rawa Singkil merupakan sebuah mosaik jenis vegetasi yang beragam. Memiliki kubah gambut dengan ketebalan yang bervariasi, tanggul dan lembah, pantai bergelombang dan padang yang lembab, dataran berlumpur, serta dasar laut yang berteras-teras. Vegetasi tumbuhan yang ada di hutan rawa Singkil merefleksikan
bentuk hutan air tawar, hutan rawa
gambut, hutan rawa, hutan bakau dan hutan aliran sungai. Kalau dilihat tipe vegetasinya, Rawa Singkil dapat dibedakan menjadi beberapa tipe ekosistem yaitu ekosistem pantai, ekosistem hutan rawa, ekosistem sungai dan ekosistem buatan.
Tipe ekosistem ini dapat dijumpai sepanjang sungai utama yang
melintasi kawasan ini, yaitu Sungai Alas dan sungai-sungai kecil yang berhulu di sungai ini. Hutan rawa Singkil memiliki fungsi yang penting tidak hanya bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya namun juga bagi masyarakat Aceh Singkil pada umumnya. Beberapa jenis tumbuhan kayu dengan nilai ekonomi tinggi yang dapat ditemukan dalam ekosistem hutan rawa di kawasan Rawa Singkil seperti kayu meranti, kayu kapur, keruing, damar laut, dan medang. Masyarakat lokal memanfaatkan hutan rawa untuk berbagai keperluan, kayunya untuk membuat perahu, rumah dan kayu bakar, sebagai sumber tanaman obat dan lain-lain. Selain itu kelapa sawit yang telah lebih dahulu mendominasi sebagai tanaman perkebunan rakyat ataupun perkebunan perusahaan
telah
memberikan
sumbangan
masyarakat.
17
terbesar
bagi
pendapatan
Gambar 3. Vegetasi utama pandan duri yang tumbuh di rawa basah.
Gambar 4. Tegakan hutan rawa kering Pengumpul minyak dan kristal di Singkil adalah Bapak Haji Hasyim. Beliau sudah sejak lama melakukan usaha pengumpulan komoditi hasil hutan bukan kayu seperti gaharu, damar, kristal kapur dan minyak kapur yang berpusat di Rimo, Singkil.
Semua komoditi diperoleh dari perorangan baik
warga Singkil, Rimo, bahkan terkadang juga dari Subulussalam serta daerah lainnya. Kristal dan minyak kapur diambil dari hutan alam yang terdapat di 18
Kabupaten Singkil masih dengan cara penebangan, walaupun secara selektif. Salah seorang pengumpul menjelaskan bahwa persediaan stok dari komoditi yang diusahakan terutama minyak dan kristal kapur tidak bisa dipastikan waktu atau musimnya, tergantung dari kemauan dan keinginan masyarakat pencari minyak dan kristal kapur. Umumnya komoditi yang diperdagangkan terutama minyak dan kristal kapur (Dryobalanops aromatica) biasanya si pembeli datang. Umumnya pembeli datang dari Medan dan Jakarta, namun terkadang dijual langsung ke Medan bahkan ke Jakarta. Terkadang juga diekspor sendiri ke China. Kristal kapur yang diperoleh terdiri dari tiga kualitas dengan harga yang cukup tinggi.
Yang membedakan antara kualitas adalah ukuran kristalnya.
Kualitas satu kristalnya paling besar, dan kecil untuk kualitas dua, dan kualitas tiga terlihat seperti bubuk yang tercampur dengan serbuk kayu (Gambar 6,7,8), namun mempunyai aroma yang sama.
Gambar 5. Minyak kapur (Dryobalanops aromatica) dan pengumpul
19
Gambar 6. Kristal kapur (Dryobalanops aromatica) kualitas 1
Gambar 7. Kristal kapur (Dryobalanops aromatica) kualitas 2
Gambar 8. Kristal kapur (Dryobalanops aromatica) kualitas 3 20
Lokasi penelitian berikutnya dilakukan di areal kerja IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma (PT. SBK) di Kamp Tontang, Sintang-Kalimantan Barat. Secara administratif kehutanan, areal PT. SBK termasuk ke dalam Kesatuan Pemangkuan Kehutanan Sintang Selatan, Dinas Kehutanan Sintang Propinsi Kalimantan Barat. Termasuk dalam kelompok hutan sungai Lekawai. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 150 mdpl. Dari kegiatan eksplorasi yang dilakukan, diketahui bahwa jenis yang ada di lokasi penelitian adalah jenis Dryobalanops aromatica (Gambar 9.). Jenis ini tumbuh berkelompok di punggung-punggung bukit. Lokasi penelitian merupakan areal bekas tebangan tahun 2010, walaupun demikian, komposisi tegakan terlihat sangat baik. Diameter pohon Dryobalanops aromatica bervariasi mulai dari 30 cm sampai 71 cm. Jenis pohon lain yang berasosiasi dengan Dryobalanops aromatica antara lain Meranti (Shorea sp.), Keruing (Dipterocarpus sp), Kempas (Koompassia excelsa), Ulin (Eusideroxylon zwageri), Geronggang (Cratoxylon sp), Medang (Litsea sp) dan Nyatoh (Palaquium sp). Regenerasi alamnya juga sangat baik, terlihat dengan banyaknya anakan Dryobalanops aromatica
di
sekitar pohonnya.
Gambar 9. Batang dan daun Dryobalanops aromatica
Pada kegiatan ini juga dilakukan percobaan penyadapan minyak pada pohon Dryobalanops aromatica sebanyak 12 pohon. Teknik yang digunakan 21
adalah dengan cara membuat takikan dengan cara digergaji sampai kedalaman mendekati empulur (Gambar 10).
Gambar 10. Pembuatan takik sadapan
Sebanyak 12 pohon yang disadap, kemudian dilihat hasilnya berturutturut selama 2 hari. Dari 12 pohon yang disadap, terlihat hasil sadapan yang berbeda-beda mulai dari 50 ml sampai dengan 1 liter. Terhadap 2 pohon yang lain, yang tampak sudah tua, dilakukan penebangan. Dari hasil penebangan, didapatkan minyak yang lebih banyak, dengan cara membuat beberapa takikan di sepanjang batang rebah. Tidak ditemukan deposit kristal pada bantang kayu. Akan tetapi sudah mulai terlihat titik-titik putih bakal calon kristal kapur. Adapun harga minyak di pedagang bervariasi mulai dari Rp 200.000 s.d Rp 500.000 per liter. Dari hasil koordinasi di Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara di Tarutung, diketahui bahwa kawasan hutan di Tapanuli Utara merupakan daerah penyebaran pohon Kapur (Dryobalanops aromatica). Daerah sebaran ini meliputi kawasan yang berbatasan dengan kabupaten Tapanuli Tengah. Daerah ini mencakup Simanungkalit, Adian Koting dan Lobu Sikkam di Sipoholon (Gambar 11 dengan warna hijau tua). Menurut informasi, tegakan kapur masih dapat dijumpai dengan diameter 240 cm. Masyarakat sudah mengetahui keberadaan minyak dan kristal kapur yang bernilai ekonomi tinggi, akan tetapi tidak mengetahui peruntukannya.
22
Gambar 11. Daerah penyebaran Dryobalanops aromatica di Tapanuli Utara
B. Formulasi Lilin Aromaterapi Formulasi lilin aromaterapi yang dibuat berupa parafin, stearin, odoran, pewarna minyak Dryobalanops dan nilam. Berbagai formula yang dibuat seperti pada Tabel 1, menghasilkan lilin yang cukup keras dan dapat menyala dengan sempurna. Lilin aromaterapi yang dibuat (Gambar 12) memiliki karakter yang hampir sama pada berbagai sifat lilin yang diuji.
Gambar 12. Lilin aromaterapi
23
Lilin aromaterapi akan memberi efek terapi bagi konsumen karena adanya penambahan minyak atsiri sebagai aroma lilin. Aroma tersebut memiliki fungsi terapi menenangkan pikiran dan hati, disamping sebagai penyegar ruangan. Hasil 3 (tiga) macam formulasi lilin aromaterapi sesuai dengan rancangan penelitian kemudian diujikan organoleptik (uji indra) kepada responden sebanyak 30 orang. Hasil pengujian organoleptik terhadap 30 orang responden disajikan pada Gambar 13,14 dan 15.
Tabel 3. Analisis Statistik (Kruskal wallis test) Test Statisticsa,b Parameter Kesukaan sebelum dibakar Kesukaan setelah dibakar Efek aromaterapi
data Chi-square df
12,520 2
Asymp. Sig. Chi-square df Asymp. Sig. Chi-square df
,002 2,954 2 ,228 8,609 2
Asymp. Sig.
,014
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: parfum
1. Kesukaan aroma sebelum dibakar Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa lilin aromaterapi formula 1 sebelum dibakar disukai, sementara formula 2 dan 3 agak disukai (Gambar 13). Dari hasil analisis statistik (Tabel 3) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata tentang kesukaan sebelum lilin dibakar antar formulasi yang dibuat. Formula yang paling disukai adalah formula 1. Formula ini adalah dengan konsentrasi minyak Dryobalanops aromatica yang rendah. Tidak terdapat pengaruh tingkat umur terhadap kesukaan aroma lilin sebelum dibakar. Baik tingkat umur 15-30 tahun, 31-50 tahun dan lebih besar dari 50 tahun menilai formula 1 yang paling 24
disukai. Dari analisis perbedaan jenis kelamin terhadap kesukaan terhadap aroma lilin sebelum dibakar, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan preferensi. Baik perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan kesukaan terhadap formula 1.
3%3%
10%
23%
27%
13%
7%
23%
23%
67% 54% sangat suka agak suka
suka tidak suka
sangat suka agak suka
Formula 1
47% suka tidak suka
Formula 2
sangat suka agak suka
suka tidak suka
Formula 3
Gambar 13. Kesukaan aroma lilin sebelum dibakar
2. Kesukaan aroma setelah dibakar Tingkat kesukaan lilin aromaterapi setelah lilin dibakar menunjukkan bahwa responden umumnya menilai formula yang dibuat berada pada kisaran agak disukai sampai sangat disukai (Gambar 14). Secara statistik tidak terlihat perbedaan yang nyata antar formulasi yang dibuat. Akan tetapi terlihat kecenderungan bahwa lilin dengan formula 2 lebih disukai. Artinya formula yang memiliki konsentrasi sedang minyak Dryobalanops aromatica yang lebih disukai. Pengaruh tingkat umur terlihat dimana kelompok umur 15-30 tahun lebih menyukai formula 2. Berbeda dengan tingkat umur 31-50 tahun dan lebih besar dari 50 tahun lebih menyukai formula 1. Dari analisis perbedaan jenis kelamin terhadap kesukaan terhadap aroma lilin setelah dibakar, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan preferensi. Baik perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan kesukaan terhadap formula 2.
25
0% 30%
13%
3%
7%
37% 37%
40%
40%
43% 33% sangat suka agak suka
17% suka tidak suka
Formula 1
sangat suka agak suka
suka tidak suka
Formula 2
sangat suka agak suka
suka tidak suka
Formula 3
Gambar 14. Kesukaan aroma lilin setelah dibakar
3. Efek aromaterapi Responden menilai formula 1 memiliki efek aromaterapi segar dan hangat, formula 2 memiliki efek ngantuk dan kurang segar. Sementara formula 3 memiliki efek hangat dan agak pusing (Gambar 15).
Hasil analisis statistik
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap tingkat efek aromaterapi pada formula yang dibuat. Formulasi lilin aromaterapi nomor 1 merupakan formulasi yang memberi efek positif pada responden. Formula yang memberi efek disukai responden adalah formula dengan konsentrasi minyak Dryobalanops aromatica yang paling rendah. Berdasarkan tingkat umur terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan efek aromaterapi yang dirasakan pada semua tingkat umur. Semua tingkat umur lebih menyukai aroma formula 1. Dari analisis perbedaan jenis kelamin terhadap efek aroma yang ditimbulkan, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan preferensi. Baik perempuan dan lakilaki memiliki menyatakan bahwa formula 1 memberi efek yang lebih positif.
26
7% 7% 3% 10%
27% 6%
20% segar hangat agak tenang pusing
20% senang kurang segar ngantuk sesak
Formula 1
10%7%3% 7% 10% 7% 3% 23% 20% 7%3%
segar hangat agak tenang ngantuk agak pusing sesak
senang kurang segar kurang tenang ingin tidur pusing
Formula 2
13%
7%7%3% 20%
17%
3% 7%3% 17% 3%
segar hangat kurang segar ngantuk agak pusing
senang agak segar kurang tenang ingin tidur pusing
Formula 3
Gambar 15. Efek aromaterapi
C. Pembuatan dan Pengujian Sabun Antijerawat 1. Penetapan Sifat Fisikokimia Sabun Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam suatu sampel sebagai persen bahan kering. Pada penentuan kadar air sabun ini menggunakan metode distilasi karena banyak zat mudah menguap pada sabun terutama yang berasal dari bahan aktif yang ditambahkan. Metode distilasi biasa menggunakan pelarut diantaranya toluena, xilena, dan heptana yang berat jenisnya lebih rendah daripada air namun titik didihnya lebih tinggi dari air. Sampel dimasukan ke dalam labu bulat bersama dengan pelarut, dan dihubungkan dengan radas aufhauser dan dipanaskan, sehingga jumlah air yang diuapkan dapat dilihat pada skala tabung aufhauser tersebut. Kadar air untuk sabun F (sabun warna hijau), MM (sabun warna merah dengan pewarna jernang, K (sabun kristal dengan pewarna jernang), dan KH (sabun kristal dengan pewarna hijau) masing-masing sebesar 29,83%, 27,84%, 29,77%, dan 33,43%. Kadar air maksimal yang diijinkan menurut SNI 06-35321994 tentang syarat mutu sabun mandi padat adalah 15%. Sangat jelas ditunjukan bahwa kadar air sabun jauh diatas ambang batas menurut SNI. Hal ini disebabkan dalam industri sabun mandi padat terdapat proses pengeringan, sedangkan dalam penelitian ini tidak dilakukan. Menurut Sukarno (2012), proses drying berfungsi untuk menurunkan kadar air dalam sabun dan mengatur tingkat asam lemak bebas dalam sabun. Pembandingan data yang didapat menunjukan bahwa sabun dengan pewarna hijau lebih besar kadar
27
airnya, karena pewarna hijau yang dipakai adalah cairan sedangkan pewarna merah adalah pewarna alami dari serbuk jernang. Pengukuran jumlah asam lemak dilakukan untuk mengetahui jumlah asam lemak yang terdapat dalam sabun dengan memutus ikatan antara asam lemak dengan Na pada sabun menggunakan asam kuat. Jumlah asam lemak pada sabun menunjukkan total jumlah asam lemak yang tersabunkan dan asam lemak bebas yang terkandung pada sabun (Yuspita 2011). Dari perlakuan yang dilakukan pada setiap sabun baik dari jumlah penambahan zat aktif ataupun base sabun tidak semuanya menunjukan hubungan yang linear dengan semakin banyaknya penambahan zat aktif. Namun menunjukan tren yang semakin menurun dengan semakin banyaknya zat aktif yang ditambahkan. Salah satu penyebab hal ini terjadi dapat karena kurang homogennya sabun yang telah dibuat dan penambahan zat aktif yang perbedaanya hanya 1%. Kadar jumlah asam lemak yang didapat dari semua jenis sabun yang telah dibuat berkisar antara 27-33%. Menurut SNI 06-3532-1994, kadar minimal jumlah asam lemak adalah 70%. Hal ini terjadi karena base sabun yang digunakan mempunyai kadar jumlah asam lemak sebesar 30%. Base sabun yang digunakan merupakan sabun transparan. Hal tersebut disebabkan adanya penambahan transparent agent dan berbagai bahan lain yang membuat sabun transparan mengandung lebih sedikit asam lemak daripada sabun mandi biasa. Asam lemak dalam sabun transparan berperan sebagai pengatur konsistensi sabun. Hal ini disebabkan sabun memiliki kemampuan terbatas untuk larut dalam air (Spitz 1996) , sehingga jika jumlah asam lemak sabun rendah maka sabun akan cepat habis ketika digunakan (Yuspita 2011). Fraksi tak tersabunkan dalam konteks ini dapat berupa alkali bebas, asam lemak bebas, lemak netral, dan minyak mineral. Adanya alkali bebas dapat disebabkan karena penambahan alkali yang berlebih saat proses penyabunan, ataupun adanya asam lemak bebas dalam sabun disebabkan asam lemak yang berlebih saat proses penyabunan sehingga asam lemak tidak bereaksi semuanya dengan alkali menjadi sabun. Sabun yang telah dibuat memilki kadar alkali bebas yang negatif, artinya sabun yang dihasilkan tidak kelebihan basa, melainkan memiliki asam lemak yang berlebihan. Hal ini juga 28
dapat dilihat pada saat melakukan analisis awal, dimana sabun yang berubah warna menjadi merah muda setelah ditetesi fenoftalein yang menandakan bahwa sabun tersebut kelebihan basa, maka dilakukan pengujian alkali bebas. Namun apabila tidak terjadi perubahan warna berarti sabun kelebihan asam maka dilakukan pengujian asam lemak bebas (Purnamawati 2006) atau biasa disebut bilangan asam. Kadar asam lemak bebas dari setiap jenis sabun yang telah dibuat berada pada kisaran 0,69%-0,79%. Menurut SNI 06-3532-1994, kadar maksimum asam lemak bebas adalah sebesar 2,5%, berdasarkan hal tersebut kadar asam lemak bebas masih memenuhi syarat mutu SNI. Apabila NaOH yang ditambahkan terlalu pekat atau jumlahnya berlebih, maka alkali bebas yang tidak berikatan dengan trigliserida atau asam lemak akan terlalu tinggi dan mamberikan pengaruh negatif yaitu iritasi pada kulit. Sebaliknya, apabila NaOH yang ditambahkan terlalu encer atau jumlahnya terlalu sedikit, maka sabun yang dihasilkan akan mengandung asam lemak bebas yang tinggi. Asam lemak bebas pada sabun mengganggu proses emulsi dan kotoran pada saat sabun digunakan (Purnamawati 2006). Menurut SNI (1994) lemak tak tersabunkan merupakan lemak netral atau trigliserida netral yang tidak bereaksi selama proses penyabunan atau yang sengaja
ditambahkan
untuk mendapatkan
hasil
sabun
superfat. Kadar
maksimum yang diperbolehkan adalah sebesar 2,5% dan 7,5% untuk tipe sabun superfat. Kadar lemak tak tersabunkan dari semua sabun yang dibuat berkisar antara 0,99% - 1,99%. Hasil analisis lemak taktersabunkan tidak menunjukan linearitas, namun menunjukan tren yang semakin tinggi dengan penambahan zat aktif yang lebih banyak. Kadar fraksi tak tersabunkan merupakan jumlah komponen yang tidak tersabunkan karena tidak bereaksi dengan senyawa alkali (biasanya natrium) namun dapat larut dalam minyak pada saat pembuatan sabun. Adanya fraksi tak tersabunkan dapat menurunkan kemampuan membersihkan (deterjensi) pada sabun (Spitz, 1996). Ketaren (1986) menambahkan bahwa senyawasenyawa yang larut dalam minyak dan tidak dapat disabunkan dengan soda alkali termasuk di dalamnya yaitu sterol, zat warna dan hidrokarbon. Semua
29
sabun Dryobalanops aromatica yang telah dibuat menunjukan hasil yang negatif untuk kandungan minyak mineral.
2. Uji Aktivitas Terhadap Propionibacterium acnes Nilai Konsentrasi Hambat Minimum (MIC), yaitu konsentrasi minimum yang dibutuhkan sampel untuk menghambat pertumbuhan bakteri ditentukan dalam pengujian antibakteri. Hasil pengujian sampel tidak menunjukan adanya aktivitas antibakteri, dimana nilai MIC semua sampel lebih besar dari 2.0 mg/ml. Sementara, kontrol positif yang digunakan yaitu tetrasiklin dan kloramfenikol dengan MIC lebih kecil 0,016 mg/ml sedangkan sampel tidak memberikan nilai MIC yang lebih rendah dari kontrol positif tersebut (Lampiran 4). Dengan nilai aktifitas MIC yang rendah, sehingga tidak dapat dihitung nilai MBC-nya. Pada penelitian Pasaribu, et.al. (2013) menunjukan bahwa minyak dan kristal aktif terhadap Candida albicans dan Staphylococcus aureus dengan metode difusi cakram yang menghasilkan zona bening cukup lebar (Tabel 4). Dengan demikian aktivitas zat aktif Dryobalanops aromatica terhadap P. acnes dan C. Albicans serta S. aureus sangat berbeda. Tabel 4. Aktivitas antimikroba Candida albicans dan Staphylococcus aureus pada minyak dan kristal Dryobalanops aromatica
No 1 2 3 4 5
Jenis Minyak 1 Minyak 2 Minyak 3 Minyak 4 Kristal
Aktivitas antimikroba Candida albicans Staphylococcus aureus Diameter zona Indeks Diameter zona Indeks (mm) (mm) 32,5 4,42 13,5 1,25 27,5 3,58 12,5 1,08 30,0 4,00 9,0 0,50 0,0 0,00 0,0 0,00 7,5 0,25 8,0 0,30
Uji coba terhadap bakteri yang berhubungan dengan kesehatan kulit lainnya adalah antibakteri Staphylococcus epidermis dengan metode difusi cakram. Hasil uji menunjukkan bahwa minyak, kristal maupun produk sabun yang dibuat berespon negatif terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri (Lampiran 5). Dari beberapa hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produk 30
sabun yang paling prospektif dikembangkan adalah sabun antiseptik. Hal ini didasari aktifitas antibakteri terhadap S. aureus yang sangat baik, sehingga dapat menggantikan peran kloramfenikol sebagai antiseptik pada produk sabun.
3. Uji Aktifitas Antioksidan Prinsip
penentuan
aktivitas
antioksidan
diukur
dengan
melihat
kemampuan ekstrak ataupun produk dalam menangkap radikal bebas DPPH. Kemampuan penangkapan radikal DPPH oleh suatu antioksidan dinyatakan dalam persen penangkapan radikal. Metode DPPH dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, dan peka serta memerlukan sedikit sampel. Parameter yang digunakan untuk melihat aktivitas antioksidan adalah inhibitory concentration (IC). IC50 adalah konsentrasi larutan contoh yang menyebabkan berkurangnya aktivitas DPPH sebesar 50%. IC50 didapat dari kurva hubungan antara persen penangkapan radikal dengan konsentrasi (ppm) menggunakan persamaan regresi.
Semakin kecil konsentrasi larutan contoh untuk
mengurangi aktivitas DPPH sebesar 50% maka aktivitas antioksidannya semakin kuat. Hasil penelitian aktivitas antioksidan pada minyak, kristal dan sabun (Lampiran 6) menunjukkan bahwa
semua sampel memiliki aktivitas
antioksidan yang rendah karena semua sampel memiliki nilai IC50 > 10000 ppm. Nilai antioksidan yang tergolong baik adalah berada pada nilai IC50 < 200 ppm. Hal ini berbeda dengan nilai antioksidan ekstrak bagian kayu Dryobalanops aromatica, dimana ekstrak daun dan kulit berturut-turut memiliki nilai IC50 sebesar 6,54 ppm dan 16,05 ppm. D. Analisis Komponen Kimia Hasil analisis komponen kimia minyak Dryobalanops aromatica disajikan pada Tabel 5.
31
Tabel 5. Komponen kimia minyak Dryobalanops aromatica No 1 2 3 4 5 6
Komponen Caryophylene ALPHA.-PINENE, (-)alpha.-Humulene Endo borneol ALPHA. TERPINEOL dl-Limonene
% 28,55 18,17 10,37 9,55 6,09 4,36
Senyawa borneol sebagai senyawa penciri dijumpai pada sampel minyak dalam bentuk endo borneol. Ditemukan juga senyawa-senyawa prekursor borneol lainnya seperti senyawa alpha pinene.
32
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Teknik pemanfaatan minyak Dryobalanops untuk kosmetik adalah melalui teknik formulasi lilin aromaterapi dan sabun antijerawat. 2. Formulasi lilin aromaterapi yang dibuat berupa parafin, stearin, odoran, pewarna minyak Dryobalanops dan nilam. 3. Terdapat perbedaan yang sangat nyata tentang kesukaan sebelum lilin dibakar antar formulasi yang dibuat dan formula dengan konsentrasi minyak Dryobalanops paling rendah yang paling disukai. 4. Tidak terlihat perbedaan yang nyata antar formulasi yang dibuat pada penilaian lilin setelah dibakar. Akan tetapi terlihat kecenderungan bahwa lilin dengan formula 2 (tingkat konsentrasi minyak Dryobalanops sedang) lebih disukai. 5. Tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap tingkat efek aromaterapi pada formula yang dibuat. Formulasi lilin aromaterapi dengan konsentrasi minyak Dryobalanops paling rendah merupakan formulasi yang memberi efek positif pada responden. 6. Aktifitas antibakteri Propionibacterium acnes yang ditunjukkan dengan nilai MIC tidak menunjukan adanya aktivitas antibakteri, dimana nilai MIC semua sampel lebih besar dari 2.0 mg/ml. Sementara, kontrol positif yang digunakan yaitu tetrasiklin dan kloramfenikol dengan MIC lebih kecil 0,016 mg/ml sedangkan sampel tidak memberikan nilai MIC yang lebih rendah dari kontrol positif tersebut. Dengan nilai aktifitas MIC yang rendah, sehingga tidak dapat dihitung nilai MBC-nya. 7. Hasil penelitian aktivitas antioksidan pada minyak, kristal dan sabun menunjukkan bahwa semua sampel memiliki aktivitas antioksidan yang rendah karena semua sampel memiliki nilai IC50 > 10000 ppm. 8. Ditemukan senyawa borneol dalam hal ini sebagai senyawa penciri dari Dryobalanops aromatica dalam bentuk endo borneol.
33
B. Saran Dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan berbagai produk kosmetik dan kesehatan dengan berbagai variasi formula yang lebih disukai konsumen. Produk
sabun
antiseptik
merupakan
dikembangkan.
34
produk
yang
paling
potensial
DAFTAR PUSTAKA Batubara I, Mitsunaga T, Ohasi H. 2009. Screening antiacne potency of Indonesian medicinal plants: antibacterial, lipase inhibition, and antioxidant activities. J Wood Sci. 55: 230-235. Blois, M.S. 1958 Antioxidant determinations by the use of a stable free radical. Nature, 181 1199-1200 Calkin, R.R and Jellinck, J.S. 1994. Perfumery: Practice and Principle. A WILEY-INTERSCIENCE PUBLICATION. John Wiley & Sons, Inc. Dharmananda S., 2003. D ryobalanops for medicine. Director, Institute for Traditional Medicine, Portland, Oregon. Duke S. 2005. Plants containing Borneol. Phytochemical and Ethnobotanical Databases. Institute for Traditional Medicine, Portland, Oregon. Girgis, A.Y. 2003. Production of High Quality Castile Soap from High Rancid Olive Oil. Gracas y Aceites. 54(3):226-233. Guillot, C. 2002. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Yayasan Obor Indonesia. Hambali, E., A. Suryani, dan M. Rifai. 2005. Membuat Sabun Tranparan untuk Gift dan Kecantikan. Penebar Swadaya, Jakarta : 19-23. Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Huo G. Z. 1995. Bing pian's anti-inflammation and analgesia effects on laser burn wounds. China Journal of Pharmacy 1995;30(9):532-534. James D. White, Duncan J. Wardrop, and Kurt F. Sundermann. 2004. Organic Syntheses. Vol. 79, p.130. Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press. Koo, B.S., S-I. Lee, J-H. Ha. and D-U. Lee. 2004. Inhibitory Effects of the Essential Oil from SuHeXiang Wan on the Central Nervous System after Inhalation. Biol. Pharm. Bull. 27(4) 515—519 Long X. H., 2000. Research on quality standards of natural bing pian produced in China. Journal of Traditional Chinese Medicine Material 2000;23(7):394-395. Primadiati Rachmi. 2002. Aromaterapi: Perawatan Alami Untuk Sehat dan Cantik. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Purnamawati Dewi. 2006. Kajian pengaruh konsentrasi sukrosa dan asam sitrat terhadap mutu sabun transparan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Roland J., Keith E. D., and L. Jimenez. 1995. Borneol as an attractant for cyzenis albicans, a tachinid parasitoid of the winter moth, operophtera brumata l. (lepidoptera: geometridae). The Canadian Entomologist. 127:(3) 413-421. Canada BSN. 1994. Sabun Mandi. Standar Nasional Indonesia SNI 06-3532-1994. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Spitz, L. 1996. Soap and Detergents, A Theoretical and Practical Review. Illinois : AOCS Press. 35
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan: B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sukarno Doni. 2012. Penerapan metode taguchi untuk peningkatan kualitas produk pada unit drier proses pembuatan sabun di PT. X Indonesia [Tesis]. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Sutrisna, D. 2008. Kapur barus: pohon dan sumber tertulis asing. Laporan Penelitian Arkeologi Ekskavasi Permukiman Kuna Di Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Balai Arkeologi Medan (tidak diterbitkan) Toshihiro Yamada and Eizi Suzuki. 2004. Ecological role of vegetative sprouting in the regeneration of Dryobalanops rappa, an emergent species in a Bornean tropical wetland forest. Journal of Tropical Ecology (2004), 20 : pp 377-384. Cambridge University Press. Whitten, A.J. dkk., 1984. The Ecology Of Sumatra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Young K. Chen, Sang-Jin Jeon, Patrick J. Walsh, and William A. Nugent. 2005. Organic Syntheses. Vol. 82, p.87 Yuhana, C. 1991. Usaha mengembangkan teknik-teknik analitik dan isolasi untuk memperoleh borneol kristal dari minyak Dryobalanops aromatica. Laporan penelitian Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Bandung. Yuspita Armi KK. 2011. Pengaruh penggunaan kombinasi jenisMinyak terhadap mutu sabun transparan [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
36
Lampiran 1. Form uji organoleptik Uji Organoleptik Lilin Aromaterapi Borneol Data responden No
:
Nama
:
Jenis kelamin
:
Umur
:
Pendidikan
:
Hasil Penilaian 1.
Kesukaan aroma lilin sebelum dibakar (beri tanda √ pada kolom penilaian Anda)
No
Tingkat Kesukaan
1
Sangat suka
2
Suka
3
Agak suka
4
Tidak suka
5
Sangat tidak suka 2.
1
2
3
Kesukaan aroma lilin saat dibakar (beri tanda √ pada kolom penilaian Anda)
No
Tingkat Kesukaan
1
Sangat suka
2
Suka
3
Agak suka
4
Tidak suka
5
Sangat tidak suka 3.
Nomor Lilin
Nomor Lilin 1
2
3
Efek terapi yang dirasakan (beri tanda √ pada kolom penilaian Anda)
No
Efek terapi
1
Segar
2
Senang
3
Hangat
4
Agak segar
5
Kurang segar
6
Agak tenang
7
Kurang tenang
8
Ngantuk
9
Ingin tidur
10
Agak pusing
11
Pusing
12
Sesak
Nomor Lilin 1
2
3
Terimakasih atas partisipasi Anda...
37
Lampiran 2. Hasil uji organoleptik formulasi lilin aromaterapi No Kesukaan resp. aroma lilin sebelum dibakar 1 2 1 2 4 2 2 3 3 2 4 4 3 3 5 2 3 6 3 4 7 2 4 8 2 4 9 4 4 10 2 4 11 2 3 12 2 3 13 2 2 14 2 3 15 1 2 16 2 3 17 3 1 18 2 3 19 2 1 20 2 3 21 3 2 22 3 3 23 2 3 24 3 1 25 2 3 26 3 3 27 2 2 28 2 3 29 3 3 30 2 3
3 2 4 2 3 3 3 3 2 4 4 3 4 2 2 3 3 2 4 3 3 3 3 4 4 2 3 1 1 3 3
1 3 3 4 4 2 4 4 4 2 2 2 2 3 4 4 2 2 2 3 3 3 3 4 4 2 3 3 2 2 3
Kesukaan aroma lilin sebelum dibakar 2 3 3 4 3 4 4 4 4 4 3 2 2 4 3 2 2 2 4 5 2 4 2 4 3 3 3 4 4 2 3 2 3 4 1 4 2 4 3 2 3 3 2 2 3 3 2 2 2 4 3 3 2 2 2 2 1 2 2 2 3 3
Efek terapi yg dirasakan
1 6 1 11 5 1 3 11 3 2 1 5 3 5 6 12 2 8 3 12 1 1 5 3 1 3 1 5 1 5 6
38
2 6 10 11 5 8 1 11 5 10 7 5 8 5 12 12 3 8 3 3 12 9 5 5 2 7 8 5 1 8 8
3 11 10 11 5 9 11 11 5 10 7 10 9 12 3 5 3 8 3 1 4 10 5 2 12 3 10 1 5 3 3
J.Kel L P P P L P P P P P P L P P P L P P L L L P L P L L P P L L
Umur 27 44 50 54 31 18 18 16 51 18 51 34 52 18 17 31 54 55 26 17 22 50 16 16 28 35 15 16 50 30
Pend S2 SMA S1 S1 S1 SMA SMA SMA S1 SMA SMA S1 S1 SMA SMA SMA S2 S1 S1 SMA S1 D3 SMA SMA SMA S1 SMK SMK S1 SMA
Lampiran 3. Analisis Kruskal wallis Ranks Parameter Kesukaan aroma A
parfum data dime
N
Mean Rank
lilin 1
30
32,62
lilin 2
30
52,78
lilin 3
30
51,10
Total
90
lilin 1
30
47,08
lilin 2
30
39,40
lilin 3
30
50,02
Total
90
lilin 1
30
34,20
lilin 2
30
51,82
lilin 3
30
50,48
Total
90
nsion
2
Kesukaan aroma B
data dime
nsion
2
efek yang dirasakan
data dime
nsion
2
39
Lampiran 4. Laporan Hasil Uji Aktifitas Anti bakteri P. acnes
40
Lampiran 5. Laporan Hasil Uji Aktifitas Anti bakteri S. epidermis
41
Lampiran 6. Laporan Hasil Uji Aktifitas Antioksidan
42
Lampiran 7.Kromatogram minyak Dryobalanops aromatica
43