BUKU AJAR
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Oleh : IR. BAHARUDDIN, MP. IRA TASKIRAWATI, S.Hut., M.Si
FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2009
RINGKASAN MATERI
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan hasil hutan yang menjadi harapan setelah era hasil hutan kayu mengalami penurunan akibat luas hutan dan potensi semakin berkurang. HHBK ini merupakan hasil hutan yang sangat banyak jumlahnya dan memiliki banyak manfaat setiap jenisnya sehingga akan menyebabkan masalah di dalam pengelompokan dan memberian sap-sap materi pengajaran. Berdasarkan hal tersebut maka dibuatlah materi perkuliahan yang dianggap dapat memayungi semua materi walaupun secera keseluruhan tidak dapat disajikan secara tuntas dalam Satuan Acara Pengajaran (SAP) atau GBRP. Dalam materi ini diberikan dalam 8 Bab meliputi : Bab I. Pengertian Hasil Hutan Bukan kayu, Bab II. Tumbuhan Monokotil, Bab III. Minyak Atsiri, Bab IV Minyak dan Lemak, Bab V. Tumbuhan Penghasil Ekstraktif/Eksudat, Bab VI. Gaharu, Bab VII. Serangga Berguna, sedangkan Jenis-jenis Hasil Hutan Bukan Lainnya di bahas pada Bab VIII.
xiii
TINJAUAN MATA KULIAH A. Diskripsi Mata Kuliah : Buku ini memaparkan mengenai Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu, Klasifikasi Hasil Hutan Bukan Kayu, Mengetahui Potensi, Penyebaran, Pemanenan, Pengolahan, Pengujian Kualitas, dan Pemasaran Hasil Hutan Bukan Kayu. B. Tujuan Umum Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa akan dapat menjelaskan pengertian dan klasifikasi hasil hutan bukan kayu, mengetahui potensi, penyebaran, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan bukan kayu. C. Kegunaan Mata Kuliah : Mahasiswa diharapkan mampu mengenal, mengetahui, mengolah, serta memasarkan hasil hutan bukan kayu yang merupakan salah satu kekayaan hasil hutan selain kayu Kompetensi Utama
: 1. Meningkatkan produktivitas dan nilai ekonomi sumberdaya hutan dan hasil hutan secara lestari. 2. Merancang dan merekayasa produk hasil hutan.
Kompetensi Pendukung
:
Kompetensi Lainnya
: Mampu bermitra masyarakat.
1. Mampu mengkomunikasikan pikiran dan gagasan secara lisan dan tertulis serta dapat bekerjasama dengan orang lain. 2. Mampu menggunakan teknologi informasi dalam memperoleh dan menyebarkan informasi tentang hasil hutan bukan kayu. dan
bersinergi
dengan
ix
D.
Tujuan Umum dan Khusus Tiap Bab
BAB I.
Materi Tujuan Umum Tujuan Khusus Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu Menjelaskan pengertian hasil hutan Mendefinisikan, (HHBK) bukan kayu dan produk-produk Mengidentifikasi, dan klasifikasi kehutanan yang masuk dalam HHBK HHBK yang mempunyai nilai sosial ekonomi
BAB II.
Tumbuhan Monokotil
Menjelaskan jenis-jenis tumbuhan monokotil; perbedaan dengan jenis dikotil, dan klasifikasi jenis-jenis monokotil, serta beberapa pengolahan produk monokotil dan pemasarannya.
Menjelaskan bambu, rotan, aren dan nipah sebagai hasil hutan bukan kayu dari tumbuhan monokotil
BAB III.
Minyak Atsiri
Menjelaskan tentang HHBK minyak atsiri; tanaman penghasil minyak atsiri; karakteristik bahan baku minyak atsiri dan metode ekstraksi minyak atsiri dari beberapa jenis yang memberikan nilai ekonomi yang tinggi serta cara pengujian beberapa produk minyak atsiri dan pemasarannya.
Menjelaskan kayu putih, minyak eukaliptus dan minyak nilam sebagai produk hasil hutan bukan kayu dari golongan minyak atsiri
x
BAB IV
Materi Minyak dan Lemak
Tujuan Umum Menjelaskan tentang HHBK minyak/lemak; tanaman penghasil minyak/lemak; karakteristik bahan baku minyak/lemak, dan metode ekstraksi minyak/lemak dari beberapa jenis yang memberikan nilai ekonomi yang tinggi serta cara pengujian beberapa produk minyak/lemak dan pemasarannya.
Tujuan Khusus Menjelaskan jarak, kemiri, tengkawang, dan kalumpang sebagai produk hasil hutan bukan kayu dari golongan minyak/lemak
BAB V.
Tumbuhan Penghasil Ekstraktif/Eksudat
Menjelaskan jenis-jenis tumbuhan penghasil ekstraktif/eksudat, potensi dan penyebarannya, bahan baku, teknologi pengolahannya, produk turunannya, kualitas dan cara pengujian beberapa produk dan pemasarannya.
Menjelaskan resin (Kopal, damar, gondorukem, kemenyan dan jernang) dan tanin (Bahan Penyamak/Pewarna alami) sebagai produk hasil hutan bukan kayu dari golongan ekstraktif/eksudat
BAB VI.
Gaharu
Menjelaskan jenis-jenis tumbuhan Menjelaskan gaharu sebagai penghasil gaharu, potensi dan produk hasil hutan bukan kayu penyebarannya, teknologi produksi dan pengolahannya, produk turunannya, kualitas dan pemasarannya.
xi
BAB VII.
Serangga Berguna
Materi
Tujuan Umum Menjelaskan jenis-jenis serangga hutan, potensi dan budidaya, teknologi pengolahannya, produk turunannya, kualitas dan cara pengujian beberapa produk serangga hutan dan pemasarannya.
Tujuan Khusus Menjelaskan lebah madu, ulat sutera dan kutu lak sebagai serangga berguna penghasil produk hasil hutan bukan kayu
BAB VIII.
Jenis-Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Menjelaskan, jenis-jenis hasil hutan Lainnya bukan kayu lainnya, potensi dan budidaya, teknologi pengolahannya, produk turunannya, kualitas dan cara pengujian beberapa produk dan pemasarannya.
Menjelaskan HHBK turunan kayu, tumbuhan obat dan tumbuhan penghasil pati sebagai HHBK.
xii
13
KATA PENGANTAR Dalam rangka melaksanakan sistem pengajaran berbasis Student Center Learning (SCL), maka keberadaan bahan ajar dalam bentuk buku ajar menjadi sangat penting. Bukan berarti bahwa bahan ajar tersebut merupakan satu-satunya buku wajib yang harus dimiliki oleh mahasiswa tetapi merupakan acuan untuk dapat memperoleh atau mengakses materi-materi yang berkaitan dengan mata kuliah tersebut. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan mata kuliah wajib diberikan berdasarkan dengan kurikulum yang berlaku. Berdasarkan hal tersebut maka disusunlah buku ajar ini sebagai acuan untuk mempelajari lebih jauh tentang HHBK. Dalam cakupan materi tentang HHBK maka dalam buku ajar ini sangat terbatas dan difoukuskan kepada HHBK yang merupakan bernilai ekonomi dan bernilai sosial tinggi. Namun dalam cakupan pelaksanaan tugas mandiri dan berkelompok mahasiswa akan diajak untuk mempelajari HHBK lainnya walaupun tidak terdapat dalam Buku Ajar ini, namun secara klasifikasi merupakan bagian HHBK. Berdasarkan manfaat ekonomi dan sosialnya maka sumber pengetahuan tentang HHBK tidak hanya diperoleh dari ruang kuliah, perpustakaan, dan internet, tetapi dimasyarakat juga merupakan sumber utama terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan HHBK sesuai dengan masyarakat lokal atau secara etnobotani. Dengan selesainya buku ajar ini diharapkan memberikan manfaat yang besar bagi pengembangan ilmu kehutanan terutama berkaitan dengan Hasil Hutan Bukan Kayu. Namun disadari bahwa masih ditemui banyak kekurangan sehingga setiap saat perlu dilakukan perbaikan-perbaikan dan revisi sesuai dengan perkembangan dimasyarakat.
Makassar, Agustus 2009 Tim Penyususn
ii
DAFTAR ISI Halaman Judul
.................................................................................
i
Kata Pengantar
.................................................................................
ii
Daftar Isi
.................................................................................
iii
Daftar Tabel
.................................................................................
vi
Daftar Gambar
.................................................................................
vii
Tinjauan Mata Kuliah ................................................................................. Ringkasan Materi
.................................................................................
BAB I.
PENGERTIAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU.................... Tujuan Umum .......................................................................... Tujuan Khuus .......................................................................... 1.1. Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu ................................. 1.2. Klasifikasi HHBK ............................................................. 1.3. Peran Hasil Hutan Bukan Kayu bagi Kehidupan Manusia . 1.4. Bahan Diskusi .................................................................... 1.5. Bacaan/Rujukan Pengayaan .............................................. 1.6. Latihan Soal-Soal ..............................................................
I-1 I-1 I-1 I-1 I-3 I-6 I-9 I-9 I-9
BAB II.
TUMBUHAN MONOKOTIL .................................................... Tujuan Umum .......................................................................... Tujuan Khusus .......................................................................... 2.1. Mengenal Tumbuhan Monokotil ....................................... 2.2. Perbedaan Tumbuhan Monokotil dan Dikotil ................... 2.3. Klasifikasi Tumbuhan Monokotil ...................................... 2.4. Peranan Tumbuhan Monokotil bagi Manusia ................... 2.5. Beberapa Produk Monokotil dan Pemasarannya ............... 2.5.1. Rotan .............................................................................. 2.5.2. Bambu ............................................................................ 2.5.3. Sagu ................................................................................ 2.5.4. Aren ................................................................................ 2.5.5. Nipah ................................................................................ 2.6. Bahan Diskusi .................................................................... 2.7. Bacaan/Rujukan Pengayaan .............................................. 2.8. Latihan Soal-Soal ..............................................................
II-1 II-1 II-1 II-1 II-1 II-8 II-10 II-11 II-11 II-42 II-51 II-91 II-103 II-114 II-115 II-115
BAB III.
MINYAK ATSIRI .................................................................... Tujuan Umum ........................................................................... Tujuan Khusus .......................................................................... 3.1. Pengertian HHBK Minyak Atsiri ...................................... 3.2. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri ....................................
III-1 III-1 III-1 III-1 III-2 iii
3.2.1. Melaleuca Leucadendron Linn ...................................... 3.3.2. Eucalyptus deglupta ........................................................ 3.2.3. Pogostemon heyneanus Benth ....................................... 3.3. Karakteristik Bahan Baku Minyak Atsiri .......................... 3.3.1. Komposisi Kimia Minyak Atsiri .............................. 3.3.2. Proses Terbentuknya Minyak Atsiri ......................... 3.4. Kegunaan Minyak Atsiri ..................................................... 3.5. Metode Ekstraksi Minyak Atsiri ......................................... 3.6. Bahan Diskusi .................................................................... 3.7. Bacaan/Rujukan Pengayaan .............................................. 3.8. Latihan Soal-Soal ..............................................................
III-2 III-7 III-9 III-17 III-17 III-18 III-20 III-22 III-26 III-26 III-26
BAB IV. MINYAK DAN LEMAK ......................................................... Tujuan Umum .......................................................................... Tujuan Khusus .......................................................................... 4.1. Pengertian HHBK Minyak dan Lemak ............................. 4.2. Tanaman Penghasil Minyak dan Lemak ........................... 4.2.1. Minyak Jarak .................................................................... 4.2.2. Minyak Kemiri ............................................................... 4.2.3. Minyak Tengkawang ....................................................... 4.2.4. Minyak Kalumpang ......................................................... 4.3. Metode Ekstraksi Minyak dan Lemak ............................... 4.4. Bahan Diskusi .................................................................... 4.5. Bacaan/Rujukan Pengayaan .............................................. 4.6. Latihan Soal-Soal ..............................................................
IV-1 IV-1 IV-1 IV-1 IV-2 IV-2 IV-3 IV-6 IV-8 IV-11 IV-14 IV-14 IV-15
BAB V.
TUMBUHAN PENGHASIL EKSTRAKTIF/EKSUDAT ....... Tujuan Umum ........................................................................... Tujuan Khusus .......................................................................... 5.1. Tumbuhan Penghasil Resin ................................................. 5.1.1. Damar ............................................................................. 5.1.2. Gondorukem .................................................................. 5.1.3. Kemenyan ...................................................................... 5.1.4. Kopal .............................................................................. 5.1.5. Jernang ........................................................................... 5.2. Tumbuhan Penghasil Tanin (Bahan Penyamak/Pewarna Alami) ................................................................................ 5.2.1. Bahan Penyamak ............................................................ 5.2.1. Bahan Pewarna ............................................................... 5.3. Bahan Diskusi .................................................................... 5.4. Bacaan/Rujukan Pengayaan .............................................. 5.5. Latihan Soal-Soal ..............................................................
BAB VI. GAHARU .......................................................................... Tujuan Umum .......................................................................... Tujuan Khusus .......................................................................... 6.1. Jenis-jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu dan Penyebarannya .................................................................
V-1 V-1 V-1 V-1 V-2 V-6 V-8 V-10 V-12 V-13 V-13 V-16 V-18 V-19 V-19 VI-1 VI-1 VI-1 VI-2
iv
6.2. 6.3. 6.4. 6.5. 6.6. 6.7. 6.8.
Manfaat Gaharu ................................................................ Teknologi Pengolahan Gaharu ......................................... Pemanenan dan Penanganan Pasca Panen Gaharu .......... Arti Ekonomi Tanaman Gaharu ....................................... Bahan Diskusi .................................................................. Bacaan/Rujukan Pengayaan ............................................. Latihan Soal-Soal .............................................................
VI-2 VI-4 VI-5 VI-7 VI-8 VI-8 VI-8
BAB VII. SERANGGA BERGUNA ........................................................ Tujuan Umum .......................................................................... Tujuan Khusus .......................................................................... 7.1. Serangga Berguna ............................................................ 7.2. Jenis-jenis Serangga Hutan Berguna ............................... 7.2.1. Lebah Madu ................................................................... 7.2.2. Ulatsutera ....................................................................... 7.2.3. Kutu Lak ........................................................................ 7.3. Bahan Diskusi .................................................................. 7.4. Bacaan/Rujukan Pengayaan ............................................. 7.5. Latihan Soal-Soal .............................................................
VII-1 VII-1 VII-1 VII-1 VII-1 VII-1 VII-13 VII-28 VII-42 VII-42 VII-42
BAB VIII. JENIS-JENIS HASIL HUTAN BUKAN KAYU LAINNYA... VIII-1 Tujuan Umum .......................................................................... VIII-1 Tujuan Khusus .......................................................................... VIII-1 8.1. Jenis-jenis Hasil Hutan Kayu Lainnya ............................. VIII-1 8.1.1. Burung Walet ................................................................ VIII-1 8.1.2. Jamur .......................................................................... VIII-21 8.2. Bahan Diskusi .................................................................. VIII-31 8.3. Bacaan/Rujukan Pengayaan ............................................. VIII-32 8.4. Latihan Soal-Soal ............................................................. VIII-32 Daftar Pustaka
v
DAFTAR TABEL Halaman 2.1.
Perbedaan ciri pada tumbuhan monokotil dan dikotil berdasarkan ciri fisik ........................................................................ II-2 2.2. Sub-klas, ordo, dan famili dalam monocotiledoneae ....................... II-8 2.3. Potensi produksi rotan Indonesia ...................................................... II-14 2.4. Daftar jenis rotan komersil dan daerah sebaran di Indonesia ........... II-18 2.5. Penyebaran Marga Bambu ............................................................... II-43 2.6. Perkiraan potensi sagu di Indonesia, Papua Nugini, Ma1aysia. Thailand. Filipina dan Kepulauan Pasifik ....................... II-55 2.7. Perkiraan luas sagu di beberapa propinsi di Indonesia ..................... II-57 2.8. Luas areal hutan sagu di Irian Jaya ................................................... II-57 2.9. Sebaran dan luas areal sagu di Propinsi Maluku .............................. II-58 2.10. Sebaran dan luas areal sagu di Jawa Barat ........................................ II-60 2.11. Sebaran dan luas areal sagu di Riau .................................................. II-60 2.12. Populasi sagu di Pulau Seram, Buru dan Halmahera ........................ II-62 2.13. Populasi sagu siap panen berdasarkan jenisnya ................................ II-62 2.14. Produksi aci dan berbagai jenis sagu di Seram Barat ........................ II-63 2.15. Ukuran batang, umur dan hasil aci sagu di Irian Jaya ....................... II-64 2.16. Produksi rata-rata pohon sagu dari Jayapura ....................................... II-64 2.17. Produksi rata-rata aci sagu dan pohon sagu di Salawati Irian Jaya .................................................................................................... II-64 2.18. Data tanaman sagu di lembah Sungai Sepik Papua Nugini ............... II-65 2.19. Produksi aci per pohon di Riau .......................................................... II-65 3.1. Persyaratan mutu minyak kayu putih ............................................... III-6 4.1. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok minyak lemak ................................................................................................. IV-1 4.2. Perbedaan pengepresan hidrolik (Hydraulic Press) dengan pengepresan berulir (Screw Press) ................................................... IV-12 5.1. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok resin ................. V-2 5.2. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok tanin ................ V-13 5.3. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok bahan pewarna ............................................................................................. V-16 6.1. Harga glubal gaharu menurut kelas .................................................. VI-7 7.1. Persen kandungan air kokon ............................................................. VII-26 7.2. Penentuan kelas mutu kokon secara visual/fisik .............................. VII-28 8.1. Fase perkembangbiakan wallet ......................................................... VIII-14 8.2. Kandungan asam amino esensial, semi-esensial, dan nonesensial yang terdapat pada sarang wallet ........................................ VIII-19 8.3. Analisis zat gizi dari hasil uji coba 100 gram sarang burung walet dengan beberapa perlakuan ..................................................... VIII-20 8.4. Perbandingan kandungan gizi jamur dan bahan makanan lain (dalam %) .................................................................................... VIII-23
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1. Embrio pada tanaman jagung ............................................................. II-5 2.2. Perbedaan struktur tanaman dikotil (atas) dan monokotil (bawah) : akar, berkas pengangkutan, pertulangan daun, dan struktur bunga .................................................................................... II-6 2.3. Contoh berbagai bentuk pertulangan daun pada tumbuhan monokot ............................................................................................. II-6 2.4. Perakaran serabut dan akar adventif tumbuhan monocot ................. II-7 2.5. Penilaian sumber daya rotan dunia .................................................... II-17 2.6. Peta Pusat Daerah Sagu di Malaysia, Indonesia, Phillipina dan Papua Nugini .............................................................................. II-55 2.7. Peta Areal Sagu di Indonesia ............................................................. II-56 2.8. Potensi Tanaman Sagu ..................................................................... II-59 2.9. Peta penyebaran Corypha, Arenga, Euqeissona dan caryota ............. II-66 2.10. Penampang membujur batang sagu ................................................... II-73 2.11. Struktur mikrokopis empelur beberapa jenis sagu ........................ II-74 2.12. Skema pembuatan gula aren ............................................................. II-100 3.1. Mikrograf kilasan electron bahian-bagian daun 1. Eucalyptus camaldulensis 135x. 2. Ficus elastic, yang memperlihatkan litosista berisikan sistolit. Sumber FAHN A. (Anatomi Tumbuhan) ................................................................. III-20 3.2. Penyulingan dengan air ...................................................................... III-24 4.1. Biji kemiri yang sudah dikupas dari cangkangnya ........................... IV-4 4.2. Alat pemecah biji kemiri .................................................................. IV-5 4.3. Buah tengkawang ............................................................................. IV-7 4.4. Pohon Kalumpang (S. foetida Linn.) yang terdapat di Universitas Hasanuddin, Makassar .................................................. IV-9 4.5. Buah kalumpang muda (A), Buah kalumpang siap panen (B) ........... IV-10 5.1. Bubuk damar .................................................................................... V-3 5.2. Gondorukem ..................................................................................... V-6 5.3. Pabrik Gondorukem Perum Perhutani .............................................. V-8 5.4. Kopal dari Madagaskar .................................................................... V-10 7.1. Ulatsutera .......................................................................................... VII-15 7.2. Beberapa produk hasil olahan lak : a. lak putih, b. Mica, c. kayu yang telah dipernis, d. keripik lak, e. permen yang menggunakan lak sebagai pelapis .................................................... VII-29 7.3. Proses penularan kutu lak : a. Seleksi bibit, b-c. Memasukkan bibit lak dalam kantong, d. Bibit lak di bawa ke lapangan, e. Persiapan penularan lak, f-g. Peletakan bibit lak pada tanaman kesambi, h. Bibit lak yang telah diletakkan di pohon ............................................................................................ VII-33 7.4. Kutu lak yang swarming dan mulai mencari tempat pada ranting (beberapa hari setelah peletakan bibit) .................................. VII-34 7. 5. Kutu lak setelah 1 bulan penularan .................................................. VII-34 7.6. Kutu lak yang menulari ranting tanaman kesambi ........................... VII-34
vii
7.7. 7.8. 7.9.
7.10. 7.11. 7.12.
7.13. 7.14. 7.15. 8.1. 8.2. 8.3. 8.4. 8.5. 8.6. 8.7. 8.8. 8.9. 8.10. 8.11.
Pungutan bekas bibit lak dikeluarkan dari kantong untuk dikirim ke pabrik ............................................................................... VII-36 Lak siap unduh ................................................................................. VII-37 Proses pengunduhan lak batang : a-b. Pemotongan cabang dan ranting yang akan diunduh, c. Ranting hasil pemangkasan, d-f. Pemotongan dan pengguntingan lak cabang ............................................................................................... VII-38 Perlakuan unduhan prematur ............................................................ VII-38 Tanaman inang setelah dilakukan pengunduhan ............................. VII-38 Lak dari hutan yang dikumpulkan di gudang untuk diseleksi: a. lak batang yang belum diseleksi, b. lak batang yang akan dijadikan bibit, c. lak batang afkir ..................................................... VII-39 Proses pengantongan bibit lak ........................................................... VII-40 Lak cabang AII dan AIII .................................................................. VII-41 Lak cabang yang siap diangkut ke pabrik untuk diprooses menjadi lak butiran ........................................................................... VII-41 Budidaya walet pada gedung/bangunan ........................................... VIII-2 Burung walet dan sarangnya ........................................................... VIII-13 Sarang Walet Merah .......................................................................... VIII-16 Sarang Walet Putih ............................................................................ VIII-17 Sarang Walet Kuning ........................................................................ VIII-18 Sarang Walet Hitam .......................................................................... VIII-18 Jamur pada batang pohon .................................................................. VIII-21 Jamur champignon, salah satu jamur konsumsi yang sudah dibudidayakan .................................................................................... VIII-22 Jamur kuping ..................................................................................... VIII-24 Jamur tiram ........................................................................................ VIII-26 Jamur merang .................................................................................... VIII-28
viii
BAB I. PENGERTIAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU Tujuan Umum Menjelaskan pengertian hasil hutan bukan kayu dan produk-produk kehutanan yang masuk dalam HHBK
Tujuan Khusus Mendefinisikan, Mengidentifikasi, dan klasifikasi HHBK yang mempunyai nilai sosial ekonomi
1.1. Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu Hutan tropis secara tradisional dilihat sebagai sumberdaya penting : lahan dan kayu gergajian. Di dalam pemerolehan lahan, jutaan hektar hutan tropis telah dibuka dan dikonversi untuk pemanfaatan lahan alternatif. Di dalam pemerolehan kayu, banyak areal telah dipanen dengan panen pilih yang bernilai tinggi. Pada bagian ini kita akan membicarakan produk yang ke tiga yang dapat diperoleh dari hutan tropis yaitu Non Timber Forest Products (NTFPs) atau Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Produk ini meliputi resin, kulit, tanaman pangan (edible plants), material konstruksi, produk hewan dan obat-obatan. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) penting untuk konservasi, kelestarian dan ekonomi. Penting untuk konservasi sebab untuk mengeluarkan hasil hutan bukan kayu biasanya dapat dilakukan dengan kerusakan minimal terhadap hutan. HHBK penting untuk kelestarian sebab proses panen biasanya dapat dilakukan secara lestari dan tanpa kerusakan hutan. Penting untuk ekonomi karena bukantimber produk ini berharga/memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Pada beberapa keadaan (Circumtimes), pendapatan dari HHBK dapat
lebih banyak jika
dibandingkann pendapatan dari semua alternatif yang lain. Mengeluarkan HHBK dapat memperkembangkan antara pengawetan dan pengembangan hutan tropis. Keuntungan lain dari pengelolaan HHBK adalah dapat mengurangi kerusakan hutan alam, selama masyarakat lokal memperoleh pendapatan dari lahan hutan. FAO mendefinisikan Hasil Hutan Bukan Kayu adalah produk biologi asli selain kayu yang diambil dari hutan, lahan perkayuan dan pohon-pohon yang
I-1
berada di luar hutan. NWFP menggunakan pengertian yang berbeda dari pengertian umum mengenai HHBK yaitu Non-Timber Forest Product (NTFP) yang meliputi kayu untuk penggunaan selain kayu walaupun masih ada areal yang abu-abu.
Istilah NTFP memiliki pengertian produk hutan bukan kayu yang
meliputi semua material biologi selain kayu yang di sadap dari hutan untuk kebutuhan manusia. Dari Buku Non-Timber Forest Product Data Base yang diterbitkan oleh CIFOR dalam publikasi khususnya disebutkan sebagai berikut : istilah-istilah Hasil Hutan Bukan Kayu seperti “Non-timber Forest Products”, “Non-wood Forest Products”, “Minor Forest Products”, “Multi-use Forest Produce”, “Vernacular Forest Products”, “Special Forest Products” yang dikemukakan oleh setiap pengarang semata-mata untuk pertimbangan kesederhanaan. Singkatan NTFP untuk Hasil Hutan Bukan Kayu dapat juga disebut NWFP (non-Wood Forest Product), tapi istilah NTFP lebih sering didengar dan mungkin lebih gampang diterima, walaupun FAO lebih memilih istilah NWFP. Penelitian tentang Hasil Hutan Non-Kayu tidak digunakan secara konsisten hal ini disebabkan oleh laporan produk yang tercantum dalam laporan itu berbeda untuk tiap penulisnya sehingga susah untuk diperbandingkan. Contohnya ada dalam beberapa definisi berikut ini : FAO dalam www.fao.org/forestry/fop/fopw/nwfp (berlaku Juni 2001) menuliskan definisi sebagai berikut : Hasil Hutan Bukan Kayu adalah produk biologi asli selain kayu yang diambil dari hutan, lahan perkayuan dan pohon-pohon yang berada di luar hutan. Hasil Hutan Bukan Kayu yang dipungut dari alam bebas, atau dihasilkan dari hutan yang ditanami, skema agroforestry dan pohon-pohon yang berada diluar hutan. Contoh Hasil Hutan Bukan Kayu berupa makanan atau bahan tambahan (additive) untuk makanan (biji-bijian yang dapat dimakan, jamur/cendawan, buah-buahan, herba, bumbu dan rempah-rempah, tumbuhan aroma dan binatang buruan), serat (yang digunakan untuk konstruksi, furniture, pakaian atau perlengkapan), damar, karet, tumbuhan dan binatang yang digunakan untuk obat-obatan, kosmetika dan keperluan upacara adat (religi dan culture).
I-2
Dykstra & Heinrich, 1996 (FAO): “semua materi biologi, selain kayu industri, yang melalui proses ekosistem alam, baik untuk keperluan komersial, untuk keperluan sehari-hari ataupun juga untuk keperluan sosial, budaya dan agama”. Sist et al., 1998 (CIFOR) menuliskan definisi yang sama, bedanya hanya menghilangkan kata “ekosistem alam” dan menggantinya dengan kata “hutan”. Profound’s www.ntfp.org (2001) mencantumkan pemisahan yang lebih luas dengan definisi sebagai berikut: “Hasil Hutan Bukan Kayu meliputi semua bahan biologi selain kayu yang di hasilkan dari hutan untuk kebutuhan manusia”, dengan demikian maka kayu industri digantikan oleh balok dan digunakan untuk keperluan rumah tangga atau untuk keperluan sosial, budaya dan agama.
1.2. Klasifikasi HHBK Tidak ada standar umum yang dipakai dalam pengklasifikasian Hasil Hutan Bukan Kayu. Ada tiga contoh pengklasifikasian tipe produk yaitu: 1. Pancel, 1993: a. Karet dan damar b. Bahan celup dan penyamak. Bahan celup berasal dari campuran bermacam tumbuhan, kulit kayu, daun dan buah. Penyamak berasal dari phenols yang dapat larut yang berasal dari bagian-bagian tumbuhan seperti kayu atau kulit kayu. c. Tumbuhan yang dapat dimakan d. Bahan serat e. Obat-obatan f. Produk dari binatang 2.
Qwist-Hoffman et al., 1998 (RECOFTC): a.
Serat dan benang
b.
Produk yang dapat dimakan
c.
Berupa ekstrak dan cairan
d.
Tumbuhan obat-obatan
e.
Tumbuhan ornamen/ pohon hias
f.
Hasil dari binatang
I-3
3.
Profound’s webpage www.ntfp.org (2001) mengklasifikasikan Hasil Hutan Bukan Kayu menjadi lima bagian, gabungan dari kelompok produk dan tipe produk: a. Tumbuhan yang dapat dimakan 1. Makanan 2. Minyak yang dapat dikonsumsi 3. Bumbu 4. Makanan ternak 5. Tumbuhan lain yang dapat dikonsumsi 6. Tumbuhan yang tidak dapat dikonsumsi b. Tumbuhan yang tidak dapat dikonsumsi lainnya 1. Rotan 2. Bambu 3. Produk kayu 4. Pohon hias 5. Bahan kimia c. Bahan obat-obatan -
Semua bahan obat-obatan
d. Hewan yang dapat dikonsumsi 1. Binatang darat 2. Produk dari hewan 3. Ikan dan invetebrata air e. Produk hewan lainnya yang dapat dikonsumsi 1. Produk hewan yang tidak dapat dikonsumsi 2. Serangga 3. Margasatwa dan binatang hidup 4. Hewan yang tidak dapat dikonsumsi lainnya
Permasalahan utama yang terjadi dalam pengklasifikasian ini adalah masalah pengklasifikasian susunan dan manfaatnya. Struktur/susunan contohnya: serat dan ekstrak sedangkan contoh manfaat: yang dapat dikonsumsi dan obatobatan. Sebagai tambahan contohnya damar. Perbedaan kualitas suatu produk
I-4
tergantung dari spesiesnya. Damar misalnya, damar dapat digunakan sebagai produk untuk obat-obatan, sama seperti minyak yang dapat di konsumsi dan digunakan untuk industri kosmetik, damar dapat diklasifikasikan ke dalam katagori “karet dan damar” atau “obat-obatan” menurut pengklasifikasian Panchel dan termasuk katagori “ekstrak dan cairan” atau “tumbuhan obat-obatan” menurut Qwist-Hoffman tetapi tidak akan cocok bila diklasifikasikan sebagai bahan untuk kosmetika. Dalam penjelasan pengklasifikasian Profound, damar dikategorikan ke dalam kelompok vegetative. Sedangkan bambu memiliki dua katagori sebagai tumbuhan yang dapat dimakan (untuk tunas muda) dan tumbuhan yang tidak dapat dimakan. Hal ini agak membingungkan dalam mengklasifikasikannya. Hasil Hutan Bukan Kayu ini sedikit agak rumit untuk diklasifikasikan bila dilihat dari asalnya, kadang orang mengkatagorikannya ke dalam produk industri dan terkadang sebagai produk yang dipungut dari hutan. Tapi tentu saja HHBK itu merupakan produk yang dipungut dari hutan dan bukan merupakan produk industri. Contoh untuk kasus ini adalah: 1. Kayu dijadikan minyak ekstrak bagi perusahaan kimia untuk produk sabun atau parfum; 2. Damar pohon cemara dijadikan bahan industri penghasil minyak tusam; 3. Biji-bijian dari pohon dipterocarp dijadikan minyak ekstrak untuk bahan industri berskala kecil sebagai bahan baku untuk mentega. Pengklasifikasian kelompok tumbuhan merambat dianggap kurang jelas maksudnya, karena rotan menurut definisinya dikatagorikan ke dalam palem rambat yang berduri. Dalam database proyek rotan diklasifikasikan ke dalam kelompok produk “merambat” dan bukan katagori kelompok produk “palem”. Kelompok evaluasi menjadi sub-kelompok produk dalam laporan ini. Penggunaan istilah sub-kelompok memang sangat tepat, misalnya: sub-kelompok untuk rotan yang merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa rotan tetapi secara umum ia tidak disebut rotan. Lebah juga merupakan HHBK masuk dalam subkelompok madu dan lilin, yang masuk dalam satu katagori. 1. HHBK dibedakan berdasarkan keberadaannya disuatu areal tertentu atau tersebar; nilai per kg; pasar tetap; ada selama musim panen; menghasilkan uang.
I-5
2. HHBK yang paling banyak ditemui dan tersebar dimana-mana, biasanya dipanen dalam jumlah yang besar oleh kelompok tertentu; sebagian besar dipanen sebelum masa transaksi; harga memuaskan/sesuai; dilakukan ketika kegiatan alternatif (seperti menyadap karet, bertani) kurang menarik; sebagian besar dijual dan sisanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. 3. HHBK yang ada sesuai musim atau harus di pungut oleh tenaga ahli/khusus; sebagian besarnya dijual dan sisanya di konsumsi sendiri; merupakan pendapatan tambahan. 4. HHBK dipungut untuk di konsumsi sendiri atau di jual. 5. HHBK yang “sedikit” tidak dibahas secara mendalam disini.
1.3. Peran Hasil Hutan Bukan Kayu bagi Kehidupan Manusia Hasil hutan bukan kayu merupakan sumber daya alam yang sangat melimpah di Indonesia dan memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan. Sampai dengan tahun 2004, luas hutan Indonesia seluas 120,35 juta ha. Seluas 109,9 juta ha telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sebagai kawasan hutan. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi seluas 23,24 juta ha, hutan lindung seluas 29,1 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 16,21 juta ha, hutan produksi seluas 27,74 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta ha. Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan negara
dengan
kekayaan
alam
hayati
yang
tinggi,
tercermin
dengan
keanekaragaman jenis satwa dan flora. Indonesia memiliki mamalia 515 jenis (12 % dari jenis mamalia dunia), 511 jenis reptilia (7,3 % dari jenis reptilia dunia), 1.531 jenis burung (17 % jenis burung dunia), 270 jenis amphibi, 2.827 jenis binatang tak bertulang, dan 38.000 jenis tumbuhan. Jika kita mampu mengelolah dan memanfaatkan sumber daya hutan tersebut secara lestari maka sumber daya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejak zaman prasejarah hasil hutan bukan kayu telah banyak dimanfaatkan oleh manusia. Sebelum manusia mengenal peralatan logam manusia purba telah menggunakan batu gunung dan tulang binatang sebagai alat berburu. Pada saat itu, manusia purba hidup berburu dan meramu dan belum mengenal bangunan
I-6
rumah. Mereka tinggal di dalam gua. Pakaian mereka masih berupa kulit binatang, daun-daun dan kulit-kulit kayu yang yang dijalin rapi. Beberapa tumbuhantumbuhan dari hutan mereka gunakan sebagai tanaman obat. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, mereka kemudian telah mengenal teknik bercocok tanam. Mereka mulai bercocok tanaman umbi-umbian dari hutan sebagai sumber makanan mereka dan telah menjinakkan hewan sebagai hewan peliharaan untuk bahan makanan dan kendaraan mereka.
Selain itu,
mereka kemudian mengenal teknik menganyam. Mereka mengajam rotan, bambu, daun pandan sebagai alat-alat rumah tangga seperti tikar, bakul, tampi, topi, kurungan ayam dan lain-lain sebagainya. Dalam upacara-upacara adat hasil hutan bukan kayu sangat memegang peranan penting. Hasil kerajinan terkadang dijadikan mas kawin seperti sarung sutera, bakul dan perabot rumah lainnya. Selain itu, pewarna-pewarna alam juga sudah banyak dikenal sebagai pewarna makanan dalam kegiatan upacara adat. Sejak manusia mengenal kayu sebagai bahan bangunan, penggunaan hasil hutan kayu tetap tidak lepas dari kehidupan manusia. Walaupun komponen strukturalnya adalah kayu namun masih tetap mengandalkan bambu sebagai pagar, tiang, jendela, dan atap. Rotan sebagai bahan furniture dan pengikat kayu dan ijuk sebagai bahan atap rumah. Di beberapa daerah di Indonesia penggunaan hasil hutan bukan kayu sebagai komponen struktural masih tetap diminati. Bagi masyarakat pedesaaan hasil hutan bukan kayu merupakan sumber daya yang penting bahkan merupakan kebutuhan pokok mereka. Mereka memanfaatkan hasil hutan bukan kayu sebagai pangan (pati sagu, umbi-umbian, pati aren, nira aren), bumbu makanan (kayu manis, pala) dan obat-obatan. Selain itu, mereka juga menggunakan hasil hutan bukan kayu sebagai bahan pembuat pakaian seperti sarung sutera serta sebagai bahan pembuat bangunan rumah. Sampai saat ini, peranan hasil hutan bukan kayu tetaplah penting, bahkan pemanfaatannya telah mulai ditingkatkan seperti pemanfaatan bambu sebagai pembuat kertas dan papan komposit, nira aren sebagai penghasil gula, cuka dan bioetanol; rotan sebagai furniture yang menarik, bahan ekstraktif sebagai parfum dan lain-lain sebagainya. Oleh karena itu, semakin tinggi peradaban manusia semakin tinggi pula tingkat ketergantungnya pada hasil hutan bukan kayu.
I-7
Secara umum peranan hasil hutan bukan kayu bagi kehidupan manusia adalah: 1. Sebagai bahan makanan seperti pati sagu, umbi-umbian (talas, gadung, suweg dan lain-lain), biji-bijian (pangi, biji aren, biji polong-polongan dan lain-lain) dan buah-buahan (mangga, durian, sukun) 2. Sebagai komponen bangunan (bambu dan batang aren). 3. Sebagai furniture 4. Sebagai perabot rumah tangga 5. Sebagai penghasil bahan kimia dan produk-produk industri 6. Sebagai bahan obat-obatan. 7. Sebagai bahan kosmetik 8. Sebagai bahan pengawet 9. Sebagai bahan perekat 10. Sebagai bahan minuman 11. Sebagai bahan bioenergi 12. Sebagai pewarna alami 13. Sebagai bahan kerajinan tangan 14. Sebagai bahan indutri tekstil 15. Sebagai alat musik dan olahraga 16. Sebagai makanan ternak 17. Sebagai alat mainan dan boneka 18. Sebagai senjata dan peralatan berburu 19. Sebagai bahan penghiasan (tanaman hias dan kegemaran) 20. dan lain sebagainya Ciri ekonomi mata pencaharian masyarakat di pedesaan, terutama di negara-negara berkembang adalah suatu keberagaman. Masayarakat desa mengandalkan pemanfaatan langsung hasil pertanian dan hutan serta berbagai sumber pendapatan lainnya yang dihasilkan dari penjualan hasil hutan atau dari upah bekerja. Berdasarkan tingkat pendapatan tunai rumah tangga dan proporsi pendapatan dari perdagangan hasil hutan bukan kayu, maka masyarakat desa yang berkecimpung dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dapat dibagi ke dalam tiga kategori utama yaitu :
I-8
1. Rumah tangga yang bergantung penuh pada sumber daya sekadarnya (pemanfaatan langsung dari hutan). 2. Rumah tangga yang menggunakan hasil hutan bukan kayu komersial sebagai pendapatan tambahan. 3. Rumah tangga yang mendapatkan sebagian besar pendapatan tunainya dari penjualan hasil hutan bukan kayu.
1.4. Bahan Diskusi Pada bagian ini, mahasiswa secara berkelompok diminta untuk mendiskusikan dan menyampaikan pendapat tentang “Permasalahan, Peluang dan Strategi Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia”.
Diskusi ini akan
dilaksanakan dikelas dengan meknisme sebagai berikut : 1. Peserta mata kuliah dibagi menjadi 3 kelompok 2. Kelompok I memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal kelompoknya dengan tema diskusi : “Permasalahan
Pengelolaan Hasil
Hutan Bukan Kayu di Indonesia” 3. Kelompok II memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal kelompoknya dengan tema diskusi : “Peluang Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia” 4. Kelompok III memilih ketua kelompok yang akan memimpin diskusi internal kelompoknya dengan tema diskusi : “Strategi Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia” 5. Tiap kelompok membuat resume hasil diskusi yang telah dilaksanakan 6. Ketua kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lainnya
1.5. Bacaan/Rujukan Pengayaan Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya : http://www.fao.org/corp/publications/en/ www.prosea.lipi.go.id/ 1.6. Latihan Soal-Soal 1. Jelaskan pengertian hasil hutan bukan kayu ! 2. Jelaskan klasifikasi hasil hutan bukan kayu yang anda ketahui ! I-9
3. Jelaskan bagaimana peran HHBK bagi masyarakat sekitar hutan ! 4. Jelaskan permasalahan apa saja yang dihadapi dalam pengelolaan HHBK ! 5. Jelaskan peluang apa saja yang dihadapi dalam pengelolaan HHBK ! 6. Jelaskan Strategi dalam pengelolaan HHBK !
I-10
BAB II. TUMBUHAN MONOKOTIL Tujuan Umum Menjelaskan jenis-jenis tumbuhan monokotil; perbedaan dengan jenis dikotil, dan klasifikasi jenis-jenis monokotil, serta beberapa pengolahan produk monokotil dan pemasarannya.
Tujuan Khusus Menjelaskan bambu, rotan, aren dan nipah sebagai hasil hutan bukan kayu dari tumbuhan monokotil
2.1. Mengenal Tumbuhan Monokotil Monokotil merupakan salah satu kelompok hasil hutan ikutan (Hasil Hutan Bukan Kayu) yang dikenal luas oleh masyarakat, baik masyarakat pedesaan terutama masyarakat yang berkecimpun langsung dengan pemanfaatan dan pemungutan HHBK monokotil
maupun masyarakat yang lebih luas yang
memanfaatkan HHBK monokotil sebagai bahan makanan, bahan baku industri, bahan perdagangan, dan pelengkap dalam kehidupan sehari-hari. Pada tumbuhan kelas tingkat tinggi dapat dibedakan atau dibagi menjadi dua macam, yaitu tumbuh-tumbuhan berbiji keping satu atau yang disebut dengan monokotil / monocotyledonae dan tumbuhan berbiji keping dua atau yang disebut juga dengan dikotil/dicotyledonae. Ciri-ciri tumbuhan monokotil dan dikotil hanya dapat ditemukan pada tumbuhan subdivisi angiospermae karena memiliki bunga yang sesungguhnya.
2.2. Perbedaan Tumbuhan Monokotil dan Dikotil Perbedaan ciri pada tumbuhan monokotil dan dikotil berdasarkan ciri fisik pembeda yang dimiliki :
II-1
Tabel 2.1. Perbedaan ciri pada tumbuhan monokotil dan dikotil berdasarkan ciri fisik Ciri Fisik Monokotil Dikotil Bentuk akar Memiliki sistem akar Memiliki sistem akar serabut tunggang Bentuk sumsum atau pola Melengkung atau Menyirip atau menjari tulang daun sejajar Kaliptrogen / tudung akar Ada tudung akar / Tidak terdapat ada kaliptra tudung akar Jumlah keping biji atau satu buah keping biji Ada dua buah keping kotiledon saja biji Kandungan akar dan batang Tidak terdapat Ada kambium kambium Jumlah kelopak bunga Umumnya adalah Biasanya kelipatan kelipatan tiga empat atau lima Pelindung akar dan batang Ditemukan batang Tidak ada pelindung lembaga lembaga / koleoptil koleorhiza maupun dan akar lembaga / koleoptil keleorhiza Bisa tumbuh Pertumbuhan akar dan batang Tidak bisa tumbuh berkembang menjadi berkembang menjadi membesar membesar Contoh Tumbuhan Kelapa, Jagung, dan Kacang tanah, lain sebagainya Mangga, Rambutan, Belimbing, dan lainlain.
Terdapat perbedaan antara batang dikotil dan monokotil dalam susunan anatominya. 1. Batang Dikotil Pada batang dikotil terdapat lapisan-lapisan dari luar ke dalam : a. Epidermis Terdiri atas selaput sel yang tersusun rapat, tidak mempunyai ruang antar sel. Fungsi epidermis untuk melindungi jaringan di bawahnya.
Pada
batang yang mengalami pertumbuhan sekunder, lapisan epidermis digantikan oleh lapisan gabus yang dibentuk dari kambium gabus. b. Korteks Korteks batang disebut juga kulit pertama, terdiri dari beberapa lapis sel, yang dekat dengan lapisan epidermis tersusun atas jaringan kolenkim, makin ke dalam tersusun atas jaringan parenkim.
II-2
c. Endodermis Endodermis batang disebut juga kulit dalam, tersusun atas selapis sel, merupakan lapisan pemisah antara korteks dengan stele. Endodermis tumbuhan Angiospermae mengandung zat tepung, tetapi tidak terdapat pada endodermis tumbuhan Gymnospermae. d. Stele/Silinder Pusat Merupakan lapisan terdalam dari batang. Lapis terluar dari stele disebut perisikel atau perikambium. lkatan pembuluh pada stele disebut tipe kolateral yang artinya xilem dan floem. Letak saling bersisian, xilem di sebelah dalam dan floem sebelah luar. Antara xilem dan floem terdapat kambium intravasikuler, pada perkembangan selanjutnya jaringan parenkim yang terdapat di antara berkas pembuluh angkut juga berubah menjadi kambium, yang disebut kambium intervasikuler. Keduanya dapat mengadakan pertumbuhan sekunder yang mengakibatkan bertambah besarnya diameter batang. Pada tumbuhan dikotil, berkayu keras dan hidupnya menahun, pertumbuhan menebal sekunder tidak berlangsung terus-menerus, tetapi hanya pada saat air dan zat hara tersedia cukup, sedang pada musim kering tidak terjadi pertumbuhan sehingga pertumbuhan menebalnya pada batang tampak berlapislapis, setiap lapis menunjukkan aktivitas pertumbuhan selama satu tahun, lapislapis lingkaran tersebut dinamakan Lingkaran Tahun.
2. Batang Monokotil Pada batang monokotil, epidermis terdiri dari satu lapis sel, batas antara korteks dan stele umumnya tidak jelas. Pada stele monokotil terdapat ikatan pembuluh yang menyebar dan bertipe kolateral tertutup yang artinya di antara xilem dan floem tidak ditemukan kambium. Tidak adanya kambium pada monokotil menyebabkan batang monokotil tidak dapat tumbuh membesar, dengan perkataan lain tidak terjadi pertumbuhan menebal sekunder. Meskipun demikian, ada monokotil yang dapat mengadakan pertumbuhan menebal sekunder, misalnya pada pohon Hanjuang (Cordyline sp) dan pohon Nenas seberang (Agave sp).
II-3
Monokotil bercirikan adanya satu daun lembaga, daun sempit dengan tulang daun sejajar, berkas pembulu angkut dalam batang terpencar dan tidak mampu untuk meluas, jarang terdapat perkembangan membentuk kayu, dan bagian-bagian bunga tersusun dalam karangan-karangan (lingkaran)
yang
berbilangan tiga. Tumbuhan monokotil dan dikotil yang lebih populer dengan sebutan tumbuhan monokot dan dikot adalah tumbuhan yang tergabung dalam kelompok tumbuhan berbunga atau tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae). Kelompok tumbuhan ini dapat dibedakan dengan kelompok tumbuhan berbiji terbuka (Gymnospermae) karena sebagal berikut : 1. Adanya megasporangia atau bakal biji (ovule) yang diselimuti oleh megasporofil atau dinding buah (carpel). Penyelimutan dinding buah ini dapat melindungi bakal biji dalam perkembangannya menjadi biji. Akan tetapi, proses pembuahannya menjadi Iebih rumit sehingga terjadilah bentuk-bentuk kepala putik yang khusus sebagai hasil adaptasi agar terjadinya proses penyerbukan dan pembuahan menjadi lebih mudah. Megasporofil yang menyelimuti bakal biji tersebut secara keseluruhan membentuk putik (pistil) yang merupakan bentuk dasar dan organ kelamin betina atau gynoecium. Pada bagian ini terdapat kepala putik (stigma) yang merupakan tempat melekatnya tepung sari. Kepala putik ini kadangkadang mempunyai tangkai pendek atau panjang yang sedemikian rupa sehingga memudahkan tepung sari dapat melekat pada kepala putik. 2. Adanya mikrosporofil atau benang sari (stamen) yang merupakan bentuk dasar dan organ kelamin jantan atau androecium. Benang sari terdiri dari tangkai sari (filament) dan kepala sari atau kotak sari (anther). 3. Adanya daun steril yang mengelilingi putik dan serbuk sari merupakan bentuk dasar dan perhiasan bunga (pennth) yang terdiri dan kelopak (calix) dan mahkota (corolla) 4. Adanya bunga yang merupakan gabungan antara kelopak, mahkota, gynoecium, dan androecium. Tumbuhan monokot ada yang berupa tumbuhan akuatik (misalnya eceng gondok), semi akuatik (genjer), epifit (anggrek) dan teresterial. Bentuk
II-4
tumbuhannya ada yang terna (rerumputan), semak berdaging (pisang), terna berkayu
yang memanjat atau liana (rotan), dan pohon (bambu, kelapa).
Tumbuhan monokot dapat dibedakan dengan tumbuhan dikot berdasarkan ciriciri khas sebagai berikut: 1. Embrio (Gambar 2.1.) pada tumbuhan monokot hanya mempunyai keping biji (kotiledon) satu sehingga daun pertama yang tumbuh juga hanya satu.
Gambar 2.1. Embrio pada tanaman jagung 2. Batang (Gambar 2.2.) pada tumbuhan monokot mempunyai ikatan pembuluh yang tersebar, tidak mempunyai batasan korteks yang jelas kambiumnya tidak terbentuk pada batang sehingga diameter batang pada sebagian besar anggota tumbuhan monokot tidak bertambah besar setelah pertumbuhan primer berlangsung. Dengan kata lain pada tumbuhan monokot tidak ada pertumbuhan sekunder karena tidak ada kambium. Batang pada beberapa anggota tumbuhan monokot yang berbentuk pohon seperti kelapa dan bambu, mencapai diameter maksimum setelah berlangsungnya pertumbuhan primer dan besarnya diameter tetap bertahan setelah perturnbuhan primemya terhenti.
II-5
Gambar 2. 2. Perbedaan struktur tanaman dikotil (atas) dan monokotil (bawah) : akar, berkas pengangkutan, pertulangan daun, dan struktur bunga (Postletwait dan Hopson, 1995) 3. Daun (Gambar 2.2 dan 2.3.) tumbuhan monokot pada umumnya mempunyai pertulangan daun sejajar atau melengkung yang bertemu di ujung daun. Seringkali dijumpa! anak tulang daun yang bercabang dad tulang daun utamanya. Kadang-kadang anak tulang daun merupakan penghubung tulang daun utamanya sehingga menjadi bentuk seperti tangga. Beberapa anggota tumbuhan monokot mempunyal pertulangan daun menyirip atau menjari, terutama pada sub-kias Arecidae dan Zingiberidae. Walaupun demikian, secara anatomis pertulangan daun tersebut masih sangat berbeda dengan anggota tumbuhan dikot, terutama dilihat dan segi ikatan pembuluhnya yang tersebar. Pada pangkal daun kebanyakan anggota tumbuhan monokot dijumpai pelepah yang menyeilmuti batangnya.
Gambar 2.3. Contoh berbagai bentuk pertulangan daun pada tumbuhan monokot II-6
4. Bunga (Gambar 2.2.) tumbuhan monokot pada dasarnya merupakan kelipatan tiga (3-merous). Pada beberapa anggota tumbuhan monokot, kelopak dan mahkotanya dapat dibedakan dengan jenis antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, ada yang tidak dapat dibedakan karena keduanya berbentuk sama.
Bentuk perhiasan bunga yang sama tersebut dapat berbentuk seperti sepal (sepaloid), atau petal ( petaloid ) saja. Pada beberapa anggota tumbuhan monokot, bagian perhiasan bunganya tereduksi atau bahkan sampai tidak ada sama sekali. Bunga tumbuhan monokot pada umumnya mempunyai benang sari sebanyak enam buah, yang mempunyai benang sari banyak hanya pada beberapa genera.
Sebaliknya terdapat juga anggota yang benang sarinya tereduksi menjadi tiga atau kurang, bahkan kadang-kadang berubah menjadi starminodia. Organ kelamin betina pada dasarnya terdini dan tiga dinding buab, tetapi ada anggota sub klas Alismatidae yang hanya mempunyai beberapa dinding mempunyai dinding buah banyak
5. Akar (Gambar 2.2. dan 2.4.) tumbuhan monokot merupakan akar dengan diameter akar satu dengan lainnya relatif sama. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kambium sehingga diameter akar akan tetap besarnya selama berlangsungnya pertumbuhan primer. Pada beberapa anggota tumbuhan monokot mempunyai akar yang tumbuh pada batang dekat permukaan tanah yang berfungsi sebagai penguat batang.
Gambar 2.4. Perakaran serabut dan akar adventif tumbuhan monokot
II-7
2.3. Klasifikasi Tumbuhan Monokotil Tumbuhan berbunga yang ada di dunia ini diperoleh lebih dari 250.000 spesies. Lebih kurang 50.00 spesies dari jumlah tersebut merupakan tumbuhan monokot. Tumbuhan tersebut telah diberi nama dalam bahasa Latin sesuai dengan hukum tata nama dalam International Code of Botanical Nomenclature, kemudian dikelompokkan dalam katagori yang lebih tinggi berupa genera, famili, ordo, dan seterusnya berdasarkan kritenia tertentu atau berdasarkan sistem klasifikasi tertentu. Setiap pakar botani mempunyai kriteria tersendiri dalam sistem klasifikasinya sehingga hasil pengelompokkannya juga akan berbeda-beda pula. Sebagai contoh, Bentham and Hooker’s (1862—1883) membagi tumbuhan berbunga dalam 179 famili, Cronquist (1968) membagi dalam 354 famili, dan Takhtajan (1969) membagi dalam 418 famili. Tumbuhan monokot yang kadangkadang dimasukkan dalam klas Liliopsida, oleh Cronquist (1981) dibagi dalam 5 sub-klas, 19 ordo, 65 famili dan lebih kurang 50.000 spesies, seperti terlihat pada Tabel 2.2. Anggota tumbuhan monokot tersebar di seluruh belahan dunia, ada yang kosmopolit, ada yang di kawasan tropika atau kawasan beriklim sedang saja. Oleh karena itu, keanekaragaman jenis di suatu kawasan dengan sendirinya akan berbeda dengan kawasan lain. Demikian pula di Indonesia tidak semua anggota dari tumbuhan monokot ini dapat di jumpainya. Tabel 2.2. Sub-klas, ordo, dan famili dalam monocotiledoneae Sub-klas Ordo Famili Alismatidae Alismatales Butomaceae Limnocharitaceae Alismataceae Hydrocharitales
Hydrocharitaceae
Najadales
Aponogetonaceae Scheuchzeriaceae Juncaginaceae Potamogetonaceae Ruppiaceae Najadaceae Zannichelliaceae Posidoniaceae
II-8
Tabel 2.2. Lanjutan Sub-klas
Arecidae
Commelinidae
Zingiberidae
Ordo
Famili Cymodoceaceae zosteraceae
Triuridales
Petrosaviaceae Triuridaceae
Arecales
Palmae (Arecaceae)
Cyclanthales
Cyclanthaceae
Pandanales
Pandanaceae
Arales
Araceae Lemnaceae
Commelinales
Rapateaceae Xyridaceae Mayacaceae Commelinaceae
Eriocaulales
Eriocaulaceae
Restionales
Flagellariaceae Joinvilleaceae Restionaceae Centrolepidaceae
Juncales
Juncaceae Thurniaceae
Cyperales
Cyperaceae Gramineae (Poaceae)
Hydatellales
Hydatellaceae
Typhales
Sparganiaceae Typhaceae
Bromeliales
Bromeliaceae
Zingiberales
Strelitziaceae Heliconiaceae Musaceae Lowiaceae
II-9
Tabel 2.2. Lanjutan Sub-klas
Lilidae
Ordo
Famili Zingiberaceae Cannaceae Marantaceae
Liliales
Philydraceae Pontederiaceae Haemodoraceae Cyanastraceae Liliaceae Iridaceae Velloziaceae Aloeaceae Agavaceae Xanthorrhoeaceae Hanguanaceae Taccaceae Stemonaceae Smilacaceae Dioscoreaceae
Orchidales
Geosiridaceae Burmanniaceae Corsiaceae Orchidaceae
Sumber : Cronquist (1981) 2.4. Peranan Tumbuhan Monokotil bagi Manusia Tumbuhan berbunga merupakan kelompok tumbuhan berpembulu yang dominan di dunia saat ini. Anggota tumbuhan berbunga ini bukan saja terbanyak, tetapi juga merupakan kelompok tumbuhan yang mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia. Keberadaan tumbuhan berbunga sebagai salah satu komponen ekosistem sangat menentukan kelangsungan hidup manusia, ternak, satwa liar, dan tumbuhan itu sendiri. Peranannya antara lain, adanya penyedian O2 yang dihasilkan. Tumbuhan dalam proses fotosintesis bagi manusia dan hewan; adanya rantai makanan dalam ekosistem. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan pangan manusia sangat tergantung pada tumbuhan. Anggota tumbuhan monokot sebagai bagian tumbuhan berbunga sangat banyak yang mempunyai peranan penting bagi manusia. Peranan ini dapat bersifat
II-10
merugikan dan juga bersifat menguntungkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peranan yang merugikan disebabkan banyak sekali anggota tumbuhan monokot yang berperan sebagai gulma di danau, waduk, kolam, pengairan, sawah, atau lahan pertanian. Gulma yang terdapat di danau, waduk, atau kolam akan dapat mempercepat proses pendangkalan sehingga mengurangi daya tampung air dan merusak habitat ikan. Gulma yang terdapat di perairan dapat mengganggu pelayaran. Pada pengairan teknis, gulma dapat menyumbat pintu-pintu air dan mempercepat pendangkalan saluran sehingga mengurangi debit air yang diperlukan manusia. Gulma yang terdapat di sawah dan lahan pertanian dapat memperkecil produksi pertanian. Peranan yang menguntungkan disebabkan sebagian besar bahan makanan pokok manusia merupakan anggota tumbuhan monokot. Beberapa kegunaan tumbuhan monokot bagi manusia sebagai berikut : 1. Sumber karbohidrat: terutama tanaman serelia, tanaman umbi-umbian dan beberapa tanaman palma. 2. Sumber minyak goreng: terutama anggota famili Palmae dan beberapa anggota famili Gramineae. 3. Sumber bumbu dan rempah: terutama anggota famili Zingeberaceae. 4. Sumber bahan kerajinan dan bangunan : anggota famili Palmae, Pandanaceae, Cyperaceae, dan Gramineae. 5. Sumber Tanaman Hias : terutama anggota famili Orchidaceae dan banyak anggota famili lainnya. 6. Sumber kebutuhan lainnya.
2.5. Beberapa Produk Monokotil dan Pemasarannya 2.5.1. Rotan Rotan merupakan salah satu hasil hutan ikutan (Hasil Hutan Bukan Kayu) yang dikenal luas oleh masyarakat, baik masyarakat pedesaan terutama masyarakat yang berkecimpung langsung dengan pemungutan rotan maupun masyarakat yang lebih luas yang memanfaatkan rotan sebagai bahan baku industri, bahan perdagangan, dan pelengkap dalam kehidupan sehari-hari.
II-11
2.5. Beberapa Produk Monokotil dan Pemasarannya 2.5.1. Rotan Rotan merupakan salah satu hasil hutan ikutan (Hasil Hutan Bukan Kayu) yang dikenal luas oleh masyarakat, baik masyarakat pedesaan terutama masyarakat yang berkecimpung langsung dengan pemungutan rotan maupun masyarakat yang lebih luas yang memanfaatkan rotan sebagai bahan baku industri, bahan perdagangan, dan pelengkap dalam kehidupan sehari-hari.
II-11
Indonesia merupakan negara produsen rotan yang mampu memenuhi kebutuhan rotan dunia, dan selama ini mampu mensuplai kurang lebih 80 % dari kebutuhan rotan dunia dan 90 % dari produksi rotan dihasilkan dari hutan alam yang terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan sekitar 10 % dihasilkan dari budidaya rotan.
2.5.1.1. Penyebaran Rotan merupakan salah satu tumbuhan khas di daerah tropis yang secara alami tumbuh pada hutan primer maupun hutan sekunder, termasuk pada daerah perladangan berpindah dan belukar. Secara umum rotan dapat tumbuh pada berbagai keadaan, seperti : di rawa, tanah kering, dataran rendah, pegunungan, tanah kering berpasir, tanah liat berpasir yang secara periodik digenangi air atau sama sekali bebas dari genangan air. Jenis tanah yang dapat ditumbuhi rotan adalah tanah alluvial, latosol dan regosol. Pertumbuhan terbaik pada daerahdaerah lereng bukit yang cukup lembab dengan ketinggian antara 0 – 2900 m.dpl. dan memiliki iklim basah sampai kering. Menurut hasil inventarisasi yang dilakukan Direktorat Bina Produksi Kehutanan, dari 143 juta hektar luas hutan di Indonesia diperkirakan hutan yang ditumbuhi rotan seluas kurang lebih 13,20 juta hektar, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan pulau-pulau lain yang memiliki hutan alam. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan Wilayah XV Makassar bahwa di Sulawesi Selatan ditaksir sekitar 673.166 ha yang tersebar di CDK Luwu, CDK Mamuju, CDK Mapilli, dan CDK Bila. Produksi rotan di Sulawesi Selatan menurut Dinas Kehutanan pada tahun 1996 mencapai 2.627.361 ton/tahun. Pendugaan areal rotan lebih sulit karena rotan merupakan salah satu tumbuhan hutan yang penyebarannya tidak merata. Rotan tumbuh berumpun atau soliter dalam kelompok-kelompok hutan secara sporadis dan kehadirannya sebagai tegakan tidak nampak jelas, karena tumbuhnya merambat pada pohonpohon lain disekitarnya (inang). Pengetahuan tentang penyebaran rotan masih sedikit. Diperkirakan lebih dari 516 jenis rotan yang terdapat di Asia Tenggara, termasuk 11 marga.
II-12
Beberapa jenis tersebar luas, sedangkan jenis lainnya sangat terbatas, tetapi pola penyebarannya belum diketahui secara pasti. Jenis-jenis rotan tersebut adalah : Calamus 333 jenis, Daemonorops 122 jenis, Korthalsia 30 jenis, Myrialepis 2 jenis, Calopatha 2 jenis, Bejaudia satu jenis, Ceratolobus 6 jenis, beberapa jenis dari genus Carnera dan Scizophata. Jenis rotan terbanyak dan tersebar luas adalah dari marga Calamus yang menyebar dari Afrika Barat sampai kepulauan Fiji, dan dari Cina Selatan sampai Selandia Baru. Pusat keragaman jenis rotan ditemukan di Semenanjung Malaya, yaitu pada daerah pusat dangkalan Sunda sebagai salah satu daerah beriklim basah, dimana ditemukan delapan dari sembilan marga rotan yang terdapat di Asia Tenggara. Makin jauh lokasi dari daerah tersebut makin kurang jumlah keragamannya. Tiga marga rotan ditemukan di Afrika Barat menunjukkan ciri tumbuhan primitif, yaitu Calosphta, Myrialeps dan Plectocomiopsis. Dengan demikian di duga bahwa Afrika Barat merupakan daerah asal rotan yang termasuk anak suku Lepidocaryoideae. Di Indonesia terdapat delapan marga rotan yang terdiri atas kurang lebih 306 species telah teridentifikasi dan menyebar di semua pulau di Indonesia. Dari keseluruhaan yang telah teridentifikasi tersebut, sebanyak kurang lebih 50 jenis diantaranya telah dipungut, dipakai, diolah, dan diperdagangkan sejak lama oleh penduduk Indonesia yang tinggal di sekitar hutan untuk memenuhi permintaan lokal dan internasional. Dari delapan genera terdapat dua genera rotan yang bernilai ekonomi tinggi adalah Calamus dan Daemonorops. Jumlah total rotan yang sudah ditemukan dan digunakan untuk keperluan lokal mencapai kurang lebih
128
jenis.
Sementara
itu,
rotan
yang
sudah
umum
diusahakan/diperdagangkan dengan harga tinggi untuk berbagai keperluan baru mencapai 28 jenis saja. Budidaya rotan di Indonesia belum banyak dilakukan dan luas areal budidaya juga masih tergolong kecil bila dibandingkan dengan luas areal keseluruhan potensi rotan. Dari berbagai sumber diperoleh bahwa hutan tanaman rotan atau kebun rotan kurang lebih 50.000 ha dengan terluas di Kalteng kurang lebih 47.000 ha, sisanya terdapat di Jawa, Sulawesi Utara, Kalsel, Sumatera Barat, Riau dan Kendari. Ditempat lain didapatkan hanya sebagai plot-plot percobaan.
II-13
2.5.1.2. Potensi Rotan Setelah terjadi perubahan penutupan hutan maka pada tahun 80-an maka terjadi perubahan luas hutan di Indonesia sehingga luas hutan yang memiliki potensi rotan akan terjadi perubahan. Diperkirakan luas hutan pada dekade 80-an kurang lebih 120 juta ha dengan potensi rotan di 16 propinsi
di Indonesia
diperkirakan hanya 5,6 juta ha. Dari 16 propinsi yang telah di survey potensi penyedian rotannya pertahun adalah sebesar 573.890 ton/tahun. Bagaimana kondisi sekarang ? Tabel 2.3. Potensi produksi rotan Indonesia No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Propinsi (ton/tahun)
Aceh Riau Sumatera Utara Sumatera Barat Jambi Bengkulu Sumatera Selatan Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat Jumlah Sumber : Departemen Kehutanan, 1983
Potensi Produksi 45.000 2.800 6.000 34.000 6.900 23.100 5.000 24.000 92.500 24.000 7.000 11.650 87.000 18.400 150.000 36.000 573.890
Dari data tersebut dapat diprediksi data riil sepuluh kali lipat sampai duapuluh kali lipat dari data yang ada. Sehingga potensi yang sebenarnya sangat tinggi. Yang perlu diwaspadai adalah kemampuan produksi, perubahan luas areal hutan yang semakin meningkat, dan potensi yang tinggi semakin jauh dari pemukiman masyarakat lokal. Perkiraan hasil yang dilaporkan untuk perkebunan Calamus trachycoleus dan C. caesius di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Secara umum Calamus trachycoleus dikatakan siap di panen pada umur 7 – 10 tahun setelah di
II-14
tanam dengan produksi 1 – 3.5 ton/ha, 2,2 – 3,9 ton/ha, dan 7 ton/ha. Sedangkan untuk C. caesius dengan masa panen 9 – 10 tahun setelah penanaman dengan hasil beragam dari 3.5 ton/ha. 5 – 7,5 ton/ha rotan hijau dan 2,3 – 3,1 ton/ha.
2.5.1.3. Perdagangan Dalam Negeri Dan Luar Negeri Perdagangan rotan antar pulau atau dalam negeri sebagian besar dikuasai oleh daerah produsen, yaitu Kalimantan (69 %), Sulawesi (23 %). Dan daerah lainnya (8 %). Daerah yang menjadi tujuan perdagangan rotan antar pulau sebagian besar jawa (57 %), Ujung Pandang atau Makassar (31 %) dan daerah lainnya (12 %). Pada tahun 1996, pemasaran rotan antar pulau melonjak kembali hingga mencapai 58 %, yakni dari total 174.759 ton menjadi 332.432 ton.
Jumlah
tersebut terbagi atas berdasarkan asal tujuan antar pulau, yaitu dari Kalimantan sebesar 29,8 %, dari Sulawesi sebesar 69 %, dan dari daerah lainnya sebesar 1.2 %. Tujuan pemasaran rotan antarpulau terbesar masih Surabaya (69 %), Jakarta (7 %), Sampit Kalimantan Tengah (14 %), dan daerah lain (10 %). Rotan Indonesia sampai dengan tahun 1980 telah memberikan kontribusi terbesar dalam memenuhi keperluan rotan dunia, yaitu sebesar 73,8 % atau sebesar 81.26 ribu ton dari total 111,2 ribu ton perdagangan rotan dunia. Negara tujuan utama perdagangan rotan adalah Hongkong, Singapura, Taiwan dan Negara maju lainnya. Berdasarkan data dari BPS Jakarta, dari tahun 1993 sampai 2002, ada 25 negara menjadi tujuan ekspor rotan.
2.5.1.4. Pengelompokan Jenis Rotan Rotan merupakan tumbuhan monokotil yang banyak dikenal orang yang pemanfaatannya
luas
baik
orang
dipedalaman
maupun
diperkotaan.
Pemanfaatannya begitu penting sehingga muncul istilah “kalau tidak ada rotan akar-pun jadi”. Rotan berasal dari bahasa melayu yang berarti nama dari sekumpulan jenis tanaman famili Palmae yang tumbuh memanjat yang disebut “Lepidocaryodidae”, Lepidocaryodidae berasal dari bahasa Yunani yang berarti mencakup ukuran
II-15
buah.
Kata rotan dari bahasa melayu diturunkan dari “raut” yang berarti
mengupas (menguliti), atau menghaluskan. Diperkirakan lebih dari 516 jenis rotan yang terdapat di Asia Tenggara, termasuk 11 marga. Beberapa jenis tersebar luas, sedangkan jenis lainnya sangat terbatas, tetapi pola penyebarannya belum diketahui secara pasti. Jenis-jenis rotan tersebut adalah : Calamus 333 jenis, Daemonorops 122 jenis, Korthalsia 30 jenis, Myrialepis 2 jenis, Calopatha 2 jenis, Bejaudia satu jenis, Ceratolobus 6 jenis, beberapa jenis dari genus Carnera dan Scizophata. Di Indonesia terdapat delapan marga rotan yang terdiri atas kurang lebih 306 species telah teridentifikasi dan menyebar di semua pulau di Indonesia. Dari keseluruhaan yang telah teridentifikasi tersebut, sebanyak kurang lebih 50 jenis diantaranya telah dipungut, dipakai, diolah, dan diperdagangkan sejak lama oleh penduduk Indonesia yang tinggal di sekitar hutan untuk memenuhi permintaan lokal dan internasional. Dari delapan genera terdapat dua genera rotan yang bernilai ekonomi tinggi adalah Calamus dan Daemonorops. Jumlah total rotan yang sudah ditemukan dan digunakan untuk keperluan lokal mencapai kurang lebih
128
jenis.
Sementara
itu,
rotan
yang
sudah
umum
diusahakan/diperdagangkan dengan harga tinggi untuk berbagai keperluan baru mencapai 28 jenis saja. Berdasarkan sistematika dalam tumbuhan maka rotan terdiri atas : Divisio/Divisi
:
Magnoliophyta
Classis/kelas
:
Liliopsida
Sub-classis/ Anak kelas
:
Arecidae
Ordo / Bangsa
:
Arecales
Famili / Suku
:
Arecaceae
Sub-Family/Anak suku
:
Lepidocaryoideae
Genus / Marga
:
Calamus, Daemonorops, Korthalisia, Plectocomia, Pectocomioopsis, Myrialepis, Calosphata, Ceratolobus, dan Bejaudia. Sedangkan perincian jumlah kegunaan rotan berdasarkan marga atau suku
rotan adalah sebagai berikut. 1. Suku/marga Korthalsia sebanyak 14 jenis rotan. 2. Suku/marga Ceratolobus sebanyak 3 jenis rotan.
II-16
3. Suku/marga Plectocomia sebanyak 2 jenis rotan. 4. Suku/marga Plepcomiopsis sebanyak 3 jenis rotan 5. Suku/marga Myrialepis sebanyak 2 jenis rotan. 6. Suku/marga Daemonorops sebanyak 31 jenis rotan. 7. Suku/marga Calamus sebanyak 73 jenis rota.
Gambar 2.5. Penilaian sumber daya rotan dunia
2.5.1.5. Rotan Terpenting Indonesia (Jenis, Sifat dan Penggunaannya) Rotan dalam sistematika tumbuh-tumbuhan termasuk divisio Spermatophyta, sub-divisio Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Spacadiciflorae, dan famili/suku Palmae. Rotan yang sampai saat ini sudah dikenal sebanyak 15 suku, yakni Calamus, Daemonorops, Khorthalsia, Plectocomia, Ceratolobus, Plectocomiopsis, Myrialepis, Calospatha, Bejaudia, Cornera, Schizospatha, Eremospatha, Ancitrophylum dan Oncocalamus. Dari jumlah suku rotan yang telah ditemukan tersebut, telah diketahui sebanyak 9 suku dengan jumlah jenisnya masing-masing, yakni Calamus (370 jenis), D'aemonorops (115 jenis), Khorthalsia (31 jenis), Plectocomia (14
II-17
jenis), Ceratolobus (6 jenis), Plectocomiopsis (5 jenis), Myrilepis (2 jenis), Calospatha (2 jenis), dan Bejaudia (1 jenis). Di Indonesia sampai saat ini ditemukan sebanyak 8 jenis rotan, yakni Calamus, Daemonorops, Khorthalsia, Plectocomia, Ceratolobus, Plectocomiopsis, Myrialepis, dan Calospatha. Dari 8 suku tersebut, total jenisnya di Indonesia mencapai tidak kurang dari 306 jenis. Penyebaran rotan tersebut meliputi pulau Kalimantan sebanyak 137 jenis, Sumatra sebanyak 91 jenis, Sulawesi sebanyak 36 jenis, Jawa sebanyak 19 jenis, Irian sebanyak 48 jenis, Maluku sebanyak 11 jenis, Timor sebanyak 1 jenis, dan Sumbawa sebanyak 1 jenis. Rotan yang benar-benar memiliki sifat dan memenuhi syarat serta kualitas baik untuk berbagai keperluan berjumlah 128 jenis (Tabel 2.4.). Dari jumlah tersebut, rotan yang memiliki nilai komersial tinggi dan banyak dipungut serta diperdagangkan berkisar 28 jenis (Tabel 2.4.). Tabel 2.4. Daftar jenis rotan komersil dan daerah sebaran di Indonesia No Nama lokal 1 Manau
2 Semambu 3 Sega/taman 4 5 6 7 8 9
Irit Tohiti Batang/air Pulut/bolet Pulut putih Seuti
10 Taman, Sego 11 Sega air 12 Sega batu 13 14 15 16
Jermasin Tabu-tabu Jernang Getah
17 Datu
Nama Botanis Calamus manna Miq.
Daerah sebaran produksi Aceh, Sumut, Sumbar, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Calamus scipionum Loure Sumbar, Bengkulu, Lampung Calamus caesius Bl. Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Bengkulu Calamus trachyoleus Becc Kalimantan Calamus inops Becc Sulawesi, Maluku Calamus zolingeri Becc Sulawesi, Maluku Kaltim, Kalsel Calamus ipar Bl Kaltim, Kalsel Calamus sp Bengkulu, Lampung, Sumbar, Calamus ornatus Bl Jawa Kaltim, Kalsel, Kalteng Calamus optimus Becc Calamus exilis Griff Calamus hetroideus Bl. Calamus leijocaulis Becc. Daemonorops sabut Becc Daemonorops draco Bl. Khorthalsia angustifolia Bl. Calamus minahasa Warb
Jambi, Sumsel, Lampung. Jambi, Sumsel, Lampung, Bengkulu, Kalsel, Kalteng Sulawesi, Maluku Sumbar, Bengkulu, Kalimantan Jambi, Sumbar, Riau NTB, Aceh, Sumbar, Jambi, Lampung Maluku, Irja
II-18
Tabel 2.4. Lanjutan No Nama lokal 18 Lilin 19 Batu 20 Lita 21 Dandan 22 Umbul 23 Duduk 24 Suwai 25 Seel 26 Wilatung 27 Balubuk 28 Telang 29 Dahan 30 Inun 31 Bulu 32 Semut 33 Cacing 34 Udang 35 Manau tikus 36 Manau Gajah 37 Pelah 38 Lacak 39 Tunggal 40 Leules 41 42 43 44 45 46 47
Epek Rawa Samuli Arasulu Buluk Terumpu Hoa
Nama Botanis Calamus javanensis Bl. Calamus filiformis Becc. Daemonorops lamprolepis Becc Calamus schistacanthus Bl. Calamus symhysipus Mart Daemonorops longopes Mart Calamus warbugii K. Schum Daemonorops melanochaetes Becc Daemonorops fissus Calamus burchianus Becc Calamus polystachys Becc Khorthalsia flagellaris Miq. Calamus scabidulus Khorthalsia celebica Bl Khorthalsia scaphigera Mart Calamus ciliaris Bl. Khorthalsia echinomerta Becc Calamus oleyanus Becc Calamus marginatus Mart. Daemonorops rubra Bl. Calamus crinatus Bl. Calamus mucronatus Becc Calamus melanoloma Mart Calamus tolitoliensis Becc Calamus tenuis Calamus picicapus Bl Calamusrumpii Bl Calamus hispidulus Becc Calamus muricatus Calamus didymocarpus Warb
Daerah sebaran produksi Sumatera, Jawa, Kalimantan Bengkulu, Lampung, Kalteng Kalbar, Kaltim, Sulawessi Sumsel, Jambi, Lampung NTB, Sulawesi Bengkulu, Sumbar,Sumsel, Lampung, Aceh, Maluku, Irja Sumatera, Jawa, Kalimantan Kalimantan Sumatera, Jawa Sumut, Aceh, Jambi, Riau, Kalimantan Jambi, Riau, Bengkulu, Jawa, Kalimantan Lampung, Jawa Sulawesi, Maluku, Irja Lampung, Jawaa Sumatera, Jawa, Kalimantan Sumbaar, Bengkulu Jambi, Sumbar, Bengkulu Sumbar, Bengkulu, Kalimantan Sumatera, Jawa, Kalimantan Riau, Jawa, Kalimantan Sumatra, Kalimantan Lampung, Jabar NTB, Sulawesi, Maluku Jambi, Sumsel, Lampung Sulawesi, Maluku Maluku, Irja Sumsel, Riau, Bengkulu, Sumbar, Lampung, Kalimantan Sulawesi Sulawesi, Maluku, Irja
II-19
Tabel 2.4. Lanjutan No 48 49 50 51
Nama lokal Lambang Selutup Kidang Leluo
Nama Botanis Calamus sp. Calamus optimus Becc. Calamus sp. Calamus maximus
Daerah sebaran produksi Sulawesi, Maluku Sumatera, Jawa, Kalimantan Lampung, Jabar Sulawesi
Habitus dan sifat-sifat rotan terpenting : 1. Rotan Jernang Besar (Daemonorops draco Blume) Rotan jernang besar, jernang beruang, dan jernang kuku adalah nama lokal yang diberikan oleh penduduk Sumatra Selatan, sedangkan di Jawa Barat disebut getik badak dan di Jawa Tengah disebut getik warak. Penyebaran rotan jernang besar tidak luas, hanya dijumpai di semananjung Malaya dan Sumatra. Secara alami, rotan ini tumbuh di dataran rendah dalam hutan meranti pada ketinggian 300 m dari permukaan laut. Rotan ini tumbuh memanjat dan membentuk rumpun. Pembiakannya terjadi melalui biji dan tunas yang tumbuh pada pangkal batang. Batangnya yang sudah kering dan telah dirunti berwarna cokelat kekuning-kuningan dan mengkilat, sedangkan bagian tengah batang berwarna putih. Batang rotan ini memiliki diameter kurang lebih 12 mm dan panjang ruas 18 cm - 35 cm. Daunnya termasuk daun majemuk menyirip, dengan anak daun berbentuk lanset seperti pita. Permukaan atas anak daun dan tulang anak daun tumbuh duri-duri halus. Duduk anak daun berhadap-hadapan, berjumlah banyak, dan berwarna cokelat kekuning-kuningan. Bunganya berbentuk malai dan tersusun dalam tandan. Tandan ketika masih kuncup diselubungi seludang berbentuk perahu dan di luar seludang tumbuh duri-duri. Buah yang masak berbentuk bulat, berwarna cokelat kemerah-merahan, dan berbiji tunggal. Dengan biji-bijinya inilah rotan jernang besar membiakkan diri. Buahnya banyak mengandung resinotanol sehingga banyak dimanfaatkan oleh rakyat untuk obat sakit murus. Batangnya dimanfaatkan untuk bahan furnitur, sedangkan getah buahnya dimanfaatkan untuk bahan pewarna dan bahan industri farmasi.
II-20
Getah jernang yang dihasilkan dari buah rotan Jernang telah diperdagangkan sejak lama untuk tujuan ekspor, paling tidak telah tercatat dalam data ekspor sejak tahun 1918. Pada saat itu, daerah pelabuhan utama ekspor getah jernang adalah pelabuhan Pontianak (Kalimantan), Belawan (Medan), Palembang, Jambi, Tanjung Balai Riau, dan Bagan Siapi-Api, dengan tujuan ekspor Malaysia dan Singapura.
2. Rotan Dahanan (Korthalsia flagellaris Miq.) Rotan dahanan banyak tumbuh di Semenanjung Malaya, Sumatra, dan Kalimantan. Lokasi tempat tumbuh yang umum adalah di daerah berawa-rawa dataran rendah sampai pada ketinggian 50 m di atas permukaan laut. Rotan dahanan tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun dapat mencapai 20 batang yang merambat pada tumbuhan lain. Perbanyakan tanaman menggunakan biji atau tunas yang tumbuh di pangkal batang yang membentuk rumpun. Batang rotan dahanan sering bercabang, diameter batang berkisar 1,5 cm - 3 cm, dan panjang ruas batang 20 cm - 50 cm. Panjang batang yang merambat dapat mencapai 50 m. Permukaan batang agak kasar, berwarna cokelat sebam, dan batang bagian dalamnya cokelat. Batang rotan ini keras dan liat, sehingga agak sukar untuk dibelah. Karena itu, rotan ini banyak digunakan untuk rangka mebel. Bentuk daunnya majemuk menyirip dan letak anak daun agak berpasangan. Anak daun berbentuk bundar telur lanset sunsang yang bagian ujungnya bergerigi. Pada tulang daun bagian bawah, tumbuh duri-duri. Bunganya berbentuk malai yang terletak diujung batang. Setelah berbunga dan berbuah, rotan ini akan mati. Buahnya berwarna kuning dan kulit buah bersisik.
3. Rotan Semambu (Calamus scipionum Louer) Rotan semambu hidup membentuk rumpun yang satu atau dua batangnya menjalar dan memanjat. Rotan ini banyak tumbuh secara alami di Semenanjung Malaya, Sumatra, dan Kalimantan. Tempat tumbuhnya tersebar di
II-21
dataran rendah sampai pada ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Selain itu, rotan ini tumbuh di daerah belukar dengan iklim basah. Rotan semambu memiliki nama lokal sumambu (Batak Karo), simambo (BatakToba), simambu (Minangkabau), semambu (Lampung), semabu (Kalbar), dan tantuwo (Dayak-Kalteng) Batang rotan ini dapat mencapai tinggi lebih dari 20 m. Diameter batangnya 3 cm dan ruas batang dapat mencapai 30 cm atau lebih. Batangnya berwarna cokelat kemerah-merahan kalau sudah kering. Daunnya berbentuk majemuk menyirip, panjang daun mencapai 2 m, daun terdiri atas anak-anak daun berbentuk lanset, dan pada ujung daun terdapat sulur panjat. Panjang tangkai daun 1 m; pelepah dan tangkai daun tumbuh duri. Bunganya ada dua macam, yaitu bunga yang subur dan bunga yang mandul. Bunga yang subur berbentuk cemeti dan berduri yang fungsinya untuk memanjatkan batangnya ke pepohonan kayu. Bunga yang subur ber bentuk malai panjang. Bunga jantan dan betina terletak pada pohon yang berlainan. Buahnya berbentuk lonjong, panjang buah 1,5 cm, dan kulit buah bersisik. Rotan semambu telah dikenal dalam perdagangan Internasional sejak awal abad XIX. Tujuan ekspor rotan ini antara lain ke benua Eropa. Karena kekuatan dan keuletannya, rotan ini banyak digunakan untuk tongkat pendaki gunung, tongkat ski, gagang payung, dan cambuk. Rotan ini juga banyak dipakai untuk rangka pembuatan mebel.
4. Rotan Jermasin (Calamus leocojolis Becc.) Batang rotan jermasin berwarna hijau kekuning-kuningan dan apabila telah kering serta dirunti berwarna hijau telur kekuning-kuningan serta nampak mengkilat. Batang rotan ini dapat tumbuh mencapai kurang lebih 50 m. Diameter batang lebih kecil daripada rotan irit, yaitu antara 6 mm -10 mm dan ruas buku antara 15 cm - 40 cm. Batang rotan ini agak keras dan kuat. Rotan ini hidup berumpun dan ketika dewasa pada setiap rumpun berjumlah antara 30 - 50 batang.
II-22
Biasanya, rotan ini tumbuh secara alami di daerah Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi pada ketinggian tempat l0 m - 100 m di atas permukaan laut. Kondisi tempat tumbuh rotan ini adalah pada tanah berbatu dan banyak pasir, pada lereng, lembah, dan punggung gunung. Daun rotan jermasin termasuk daun majemuk menyirip yang hampir sama dengan daun rotan sega; warna anak daun hijau tua baik di bagian atas maupun bagian bawah. Batang rotan ini digunakan untuk bahan baku mebel.
5. Rotan Buyung (Calamus optimus Becc.) Rotan buyung tumbuh di pinggir-pinggir sungai, daerah berbukit dengan ketinggian antara 100 m - 300 m dari atas permukaan laut. Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun sebanyak 60 batang. Di daerah Kalimantan rotan ini dikenal dengan nama rotan buyung, rotan selutup dan rotan sega bulu. Batangnya berwarna hijau tua, tetapi setelah dirunti dan kering akan berubah berwarna kuning telur mengkilap. Diameter batang antara 12 mm - 24 mm, panjang ruas 20 cm - 30 cm, panjang batang dapat mencapai 40 m. Daunnya berbentuk majemuk menyirip, anak daun berbentuk lanset, warna permukaan sama dengan rotan hijau. Kegunaan rotan buyung adalah untuk bahan baku mebel.
6. Rotan Mantang (Calamus ornatus Blume) Rotan mantang adalah nama yang diberikan oleh penduduk Jambi dan banyak tumbuh di daerah tersebut. Di beberapa daerah, rotan ini memiliki beberapa nama, yakni rotan sega badak (Semenanjung Malaya), howe kasur dan howe seuti (Jawa Barat), manau dan salian (Kalimantan), upentu dan padas mapentu (Minahasa). Rotan ini tumbuh secara alami di daerah-daerah tersebut, tetapi juga tumbuh di Thailand dan Filipina. Diameter batang termasuk pelepahnya (sebelum dipungut) dapat mencapai 40 mm, sedangkan diameter batang yang sudah dibersihkan dan dirunti berkisar 15 mm - 30 mm, sedangkan panjang ruas 16 cm - 20 cm. Batang rotan yang masih hidup berwarna hijau gelap, sementara batang yang sudah dirunti
II-23
dan kering berwarna kuning muda. Batang dari jenis rotan mantang banyak dipakai untuk keperluan pembuatan bahan baku mebel. Daun rotan ini berbentuk majemuk menyirip, panjang pelepah daun kurang lebih 4 m, dan bangun anak daun lanset. Pelepah daun berwarna hijau gelap dan ditumbuhi duri-duri tajam berwarna hitam yang panjangnya 4 cm dan lebar dasar 1 cm. Buahnya bulat telur agak runcing di ujungnya, panjang buah 3 cm dan lebar 2 cm. Buah ditutupi oleh kulit yang bersisik. Daging buahnya oleh sebagian masyarakat sering dimakan yang rasanya agak masam.
7. Rotan Dandan (Calamus Schistolantus Blume) Rotan dandan tumbuh di daerah berketinggian sedang sampai agak tinggi yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut dengan iklim basah. Rotan ini tumbuh tunggal (tidak berumpun). Karena itu, perkembangbiakannya melalui perkecambahan biji yang jatuh dari pohon induknya. Batangnya sebesar ibu kelingking atau berkisar antara 3 mm - 6 mm dan panjang ruas kira-kira 15 cm. Permukaan batang berwarna kuning mengkilat agak cokelat, dengan inti berwarna sama. Batang rotan ini dipakai untuk tali pengikat, pembuatan alat penangkap ikan, pengikat rakit, dan anyaman. Daunnya berbentuk majemuk menyirip, anak daun berbentuk lanset, memanjang sampai sunsang. Ujung daun digunakan untuk memanjat, tetapi kemudian terbebas setelah daun berikutnya memanjat menggantikannya. Tangkai daun berduri, tetapi tidak rapat. Bunganya berbentuk malai, di mana bunga jantan dan betina masingmasing terletak pada pohon yang berbeda. Panjang malai mencapai 2 m. Buahnya berbentuk lonjong.
8. Rotan Inun (Calamus scabridulus Becc.) Rotan inun tumbuh pada jenis tanah yang dipengaruhi edapis tinggi pada ketinggian 50 m - 200 m di atas permukaan laut, dengan iklim type A. Rotan ini tumbuh secara berkelompok dan merambat.
II-24
Rotan ini memiliki diameter batang kurang lebih 6 mm dan panjang ruas antara 28 cm - 40 cm. Permukaan batang agak mengkilat, berwarna kuning kecokelat-cokelatan, dan inti berwarna cokelat sebam. Batangnya memiliki sifat kuat dan lentur. Batang rotan inun banyak dipakai untuk bahan tali pengikat dan bahan anyaman Pelepah dan tangkai daun ditumbuhi duri yang rapat dan tajam. Daunnya berbentuk
majemuk
menyirip, anak daun berbentuk lanset
memanjang, letak anak daun pada tangkai daun hampir tidak beraturan. Bunganya berbentuk malai, di mana bunga jantan dan betina masingmasing terletak pada pohon yang berbeda. Panjang malai mencapai 1,5 m. Buahnya berbentuk bulat.
9. Rotan Batang (Daemonorops robustus Warb.) Rotan batang tumbuh di daerah Sulawesi dan menyukai tanah sarang sampai berbatu dan berpasir dengan ketinggian 10 m - 900 m di atas permukaan laut. Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun dapat mencapai 90 batang. Batangnya berwarna hijau tua, tetapi sesudah kering berwarna abu-abu dan ada juga yang berwarna kemerah-merahan. Diameter batang antara 2,5 cm - 6 cm dan panjang ruas 25 cm - 60 cm. Rotan ini digunakan untuk rangka pembuatan mebel
10. Rotan Manau (Calamus manan Miq.) Rotan manau secara umum memiliki warna batang kuning lansat. Diameter batang yang sudah dirunti berkisar 25 mm dan panjang ruas 35 cm. Total panjang batang bila merambat dan telah dewasa dapat mencapai 100 m. Rotan ini tumbuh secara alami di daerah Thailand, Semenanjung Malaya, Pulau Sumatra, dan Kalimantan. Kondisi iklim yang disukai adalah daerah beriklim basah, dan hidup baik pada ketinggian 50 m - 600 m dari atas permukaan laut. Rotan ini tumbuh tunggal (tidak berumpun) dan merambat di antara batang dan ranting pohon, sehingga untuk pembudidayaannya hanya melalui biji.
II-25
Daun rotan ini termasuk majemuk menyirip, tiap daun terdiri atas kurang lebih 40 pasang anak daun. Bentuk anak daun bervariasi dari bentuk lanset sampai bulat telur lanset sunsang. Pelepah dan tangkai daunnya diselimuti duri yang tajam dan rapat. Bunganya tersusun dalam tandan berbentuk malai, berukuran panjang dan letaknya menggantung. Buahnya tidak terlalu besar, panjang buah kurang lebih 3 cm, bersisik, dan berbentuk lonjong. Diameter batangnya cukup besar, kuat, dan kokoh, maka rotan ini banyak dipakai untuk rangka kursi, meja, tempat tidur, sofa, dan rangka furnitur lainya.
11. Rotan Irit (Calamus trachycoleus Becc.) Rotan irit tumbuh endemik di daerah pinggiran sungai Barito dan Kahayan di Kalimantan Tengah, dan telah sejak lama dibudidayakan oleh penduduk desa Dadahup dan Mengkatip. Rotan ini tumbuh dan berkembang di daerah rawa-rawa, baik yang tergenang air maupun tidak tergenang air pada ketinggian 0 m -15 m di atas permukaan laut. Jenis rotan ini berumpun dan setiap rumpun dapat mencapai jumlah 100 batang. Bagian pangkal batang dapat membentuk tunas ba~ng.melata di atas tanah yang disebut dengan selantar. Panjang selantar dapat melebihi 3 m. Dari selantar yang merambat, tumbuh tunas-tunas baru. Batang rotan irit yang masih hidup berwarna hijau kekuning-kuningan, tetapi setelah dirunti berubah menjadi kuning telor dan mengkilap. Panjang batangnya dapat mencapai 50 m atau lebih. Diameter batang 4 mm - 11 mm dan panjang ruas 10 cm -15 cm. Batangnya cukup kuat, mudah dibelah, dan berwarna stabil. Dengan demikian, rotan ini sangat laku diperdagangkan sebagai bahan baku anyaman, bahan baku kursi antik, lampit rotan, tirai, dan lain-lain. Daunnya berbentuk majemuk menyirip, tiap daun terdiri atas 14 pasang anak daun yang tersusun dalam 2 - 3 kelompok. Anak daunnya berbentuk lanset memanjang. Bunganya berbentuk malai yang panjangnya 1,5 m. Bunga jantan dan betina terletak pada pohon yang berlainan. Bunga-bunganya tersusun berpa-
II-26
sangan dalam bentuk bulir. Buahnya berbentuk lonjong, panjangnya mencapai 1,5 m, dan kulit buahnya bersisik.
12. Rotan Taman (Calamus caesius Blume) Rotan taman banyak tumbuh di daerah Kalimantan. Rotan ini mempunyai beberapa nama daerah, yakni rotan sega (Aceh), rotan segeu (Gayo), rotan sego (Sumatra Barat), rotan sega benar/segabuah (Malaya}. Rotan taman tumbuh di daerah yang kering dan di dataran rendah yang kering sampai berbukit-bukit. Jenis rotan ini sudah sejak lama dibudidayakan oleh masyarakat Kalimantan Tengah yang berdiam didaerah sungai Mentaya, sungai Katingan, sungai Kahayan, dan daerah lainnya. Rotan taman tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun dapat mencapai 100 batang; panjang setiap batang yang sudah dewasa mencapai 50 m atau lebih. Batang rotan taman berwarna hijau kekuning-kuningan dan berubah menjadi kuning telur dan mengkilap setelah dirunti dan kering. Diameter batang antara 4 mm - 11 mm dan panjang ruas 15 cm - 30 cm. Daunnya berbentuk majemuk menyirip. Anak daun berbentuk lanset memanjang dan permukaan anak daun bagian bawah berwarna putih kapur dan permukaan daun bagian atas berwarna hijau mengkilat. Selain itu, bagian ujung anak daun melengkung ke atas. Panjang daun berikut cirrus 0,5 m - 1,25 m. Seludang ditumbuhi duri berbentuk segitiga agak pendek. Buahnya berbentuk lonjong, panjang mencapai 1,5 cm, kulit buah bersisik, dan berwarna hijau. Warna buah akan berubah menjadi cokelat kekuning-kuningan bila sudah masak. Sama halnya rotan irit, rotan taman merupakan bahan baku untuk pembuatan lampit dan bahan baku pembuatan anyaman.
13. Rotan Lilin (Calamus javensis Blume) Rotan lilin tumbuh secara berumpun dan memanjat. Panjang batang dapat mencapai 50 m. Rotan ini secara alami tumbuh di daerah Malaya, Thailand, Sumatra, dan Kalimantan. Rotan ini menyukai daerah dataran rendah ataupun pegunungan sampai ketinggian 1200 m di atas permukaan laut.
II-27
Batangnya berwarna kuning muda, tetapi akan berubah menjadi cokelat kekuning-kuningan dan mengkilat apabila sudah kering. Batang rotan ini lemah dan mudah dibelah. Diameter batang bersama pelepahnya 2 mm - 6 mm dan bila tanpa pelepah hanya 3 mm. Panjang ruas buku 30 cm atau lebih dan panjang batang yang dapat dipungut mencapai 10 m. Kegunaan utama batang rotan lilin adalah untuk bahan pembuatan keranjang, pengikat, tikar, dan kerajinan anyaman lainnya. Bentuk anak daun bervariasi dari lonjong bundar telur sampai lanset bundar sunsang yang ujungnya meruncing. Anak daun melekat dekat batang dan tumbuh ke arah batang. Panjang tangkai daun bervariasi dari pendek sekali sampai panjang 6 cm. Tangkai daun sedikit berduri. Bunganya berbentuk malai memanjang. Bunga yang satu mandul dan berbentuk sulur yang berfungsi untuk memanjat, sedangkan bunga yang lainnya subur. Panjang bunga yang subur dan yang mandul 1 m. Bentuk buahnya bervariasi dari bulat sampai lonjong. Panjang buah yang lonjong mencapai 1,5 m. Kulit buah bersisik dan berbiji satu.
14. Rotan Korod (Calamus heteroides Bl.) Rotan korot tumbuh secara berumpun yang jumlahnya dapat mencapai 5 batang tiap rumpun. Rotan ini tumbuh di Jawa Barat di daerah dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian antara 200 m - 1500 m di atas permukaan laut. Biasanya, rotan ini mudah ditemukan di daerah yang curam. Batangnya yang masih hidup berwarna hijau tua, tetapi bila sudah kering dan dirunti berubah menjadi kuning telor. Diameter batang dapat mencapai 2,5 cm. Panjang batang dapat melebihi 40 m dan ruas buku 16 cm 35 cm. Pangkal ruas akan makin membesar ke atas.
1 5. Rotan Balukbuk (Calamus burkianus Becc.) Rotan balukbuk tumbuh di daerah dataran rendah sampai pegunungan, terutama daerah yang curam di daerah Jawa Barat. Tingkat ketinggian lokasi yang banyak ditumbuhi rotan balukbuk antara 50 m - 800 m di atas permukaan laut. Di daerah Jawa Barat, rotan ini dinamakan howe balukbuk.
II-28
Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun dapat mencapai 10 batang. Panjang batang bila sudah dewasa mencapai 40 m, diameter batang 2,5 cm, dan panjang ruas 50 cm. Batang rotan balukbuk berwarna kecokelat-cokelatan. Ujung batang (umbut) yang masih muda dimanfaatkan oleh masyarakat untuk sayuran. Daun rotan balukbuk berbentuk majemuk menyirip dan bentuk anak daun lanset. Panjang daun mencapai 3 m, panjang anak daun 60 cm dan lebar 2 cm - 4 cm. Bunganya tongkol majemuk, ibu tongkolnya bercabang-cabang dan sebelah luarnya diselimuti seludang. Bunga muncul dari ujung batang. Buahnya yang masak berwarna merah kekuning-kuningan dan besar buah antara 2,3 cm - 2,85 cm. Batang rotan ini menjadi bahan baku untuk pembuatan tali pengikat, bahan anyaman dan kerajinan yang banyak dipakai di daerah Jawa Barat.
16. Rotan Pelah (Daemonorops rubra Blume) Rotan pelah tumbuh di daerah Jawa dan Sumatra, terutama di dataran. rendah sampai pegunungan yang berketinggian 100 m - 800 m di atas per.mukaan laut. Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun 2 - 5 batang yang merupakan hasil pertumbuhan tunas batang. Diameter batangnya 2,5 cm, panjang batang 40 m, dan panjang ruas batang 15 cm - 35 cm. Rotan ini memiliki batang yang diameternya makin ke atas makin membesar. Bentuk daunnya majemuk menyirip dan letak duduk anak daun sejajar genap. Panjang daun 1 m - 1,5 m, sedangkan panjang anak daun 20 cm - 40 cm dan lebar 2 cm - 4 cm.
17. Rotan Kirtung (Myrialepis scortechinii Becc.) Rotan kirtung tumbuh di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1000 m di atas permukaan laut, terutama di kawasan Semenanjung Malaya dan Sumatra.
II-29
Rotan ini tumbuh secara berumpun dan panjang batangnya dapat mencapai 40 m atau lebih. Diameter batang bersama pelepah dapat mencapai 7 cm. Apabila sudah dirunti, diameter batang hanya berkisar 4 cm, sementantara panjang ruas batang sekitar 40 cm. Bentuk daunnya majemuk menyirip yang panjangnya 3 m - 5 m. Ana daun berbentuk lanset dan panjangnya 45 cm. Permukaan anak daun bagia atas dan bagian bawah berwarna hijau. Bunganya berbentuk tongkol majemuk, sedangkan buahnya dapat mei capai diameter 3 cm.Karena bentuk batangnya yang besar, kokoh, dan kuat, maka sebagia besar batangnya digunakan untuk rangka pembuatan bahan kerajinan dan furnitur.
18. Rotan Pulut Merah (Calamus Sp.) Rotan pulut merah, banyak tumbuh secara alami di daerah Kalimantan terutama di daerah Kalimantan Timur, yaitu di tanah aluvial daerah datara rendah dan pinggir sungai. Jenis rotan ini telah sejak lama dibudidayakan oleh masyarakat karena memiliki kualitas yang sangat baik dan hidupnya berumpun. Bila sudah dewasa, setiap rumpun dapat mencapai 50 batang. Panjang batang dapat mencapai 30 m. Batang rotan ini memiliki diameter 2 mm - 5 mm dan panjang ruas batang 40 cm. Batang rotan ini berwarna abu-abu kemerah-merahan. Jenis rotan ini paling disukai untuk bahan anyaman. Daunnya majemuk menjari, anak daun bagian ujung berwarna kemerahmerahan. Pelepah dan tangkai daun ditumbuhi oleh duri yang halus dan agak lunak. Rotan pulut termasuk rotan yang berkualitas baik, sehingga banyak digunakan untuk bahan pembuatan kerajinan karena hasilnya baik dan indah
19. Rotan Getah (Daemonorops angustifolia (Gri ff) Mart.) Daerah penyebaran rotan getah adalah daerah dataran rendah yang beriklim basah. Rotan ini tumbuh secara berumpun dan tiap rumpun dapat terdiri atas beberapa batang. Tinggi batang dapat mencapai 40 m, diameter
II-30
batang bersama pelepahnya 4 cm, dan bila telah dibersihkan dan dirunti diameter batangnya hanya 2,5 cm, panjang ruas 35 cm. Bentuk daunnya majemuk menyirip, panjang keseluruhan daun mencapai 3,5 m, termasuk tangkai daun 30 cm dan sulur panjat 1,5 m. anak daun panjangnya 35 cm dan lebar 1,5 cm. Pelepah dan tangkai daun ditumbuhi duri yang rapat dan tajam; panjang duri 2,5 cm dan lebar dasar duri 5 mm.
20. Rotan Umbul (Calamus simphysipus Mart.) Tumbuh rotan umbul banyak ditemukan di Sulawesi pada dataran rendah sampai pegunungan antara 300 m - 600 m di atas permukaan laut. Rotan ini lebih menyukai tanah yang subur dan di pinggir-pinggir sungai. Rotan ini tumbuh tunggal (tidak berumpun) dan berkembangbiak dengan bijinya. Batangnya berwarna hijau bergaris kuning. Setelah dirunti dan kering, batang rotan ini berubah menjadi kuning telur dan mengkilap. Diameter batang antara 1,5 cm - 3 cm dan panjang ruas 20 cm - 40 cm. Daun bagian atas berwarna mengkilap dan daun bagian bawah anak daun berwarna kecokelat-cokelatan. Pelepahnya diselimuti oleh duri-duri pendek dan besar dan berwarna kuning.
21. Rotan Sega Ayer (Calamus axillaris Becc.) Rotan sega ayer tumbuh di dataran rendah, terutama daerah rawa gambut. Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun terdiri atas beberapa batang. Rotan ini berkembang biak dengan tunas batang dan biji yang jatuh tersebar. Daunnya majemuk menyirip dengan panjang lebih dari 2 m termasuk sulur panjat 75 cm. Bentuk anak daun lanset. Buahnya yang sudah matang memiliki ukuran panjang 11 mm dan lebar 9 mm. Batangnya mempunyai diameter 1,3 cm, panjang ruas batang 15 cm, dan panjang batang yang sudah dewasa mencapai lebih dari 10 m. Batang rotan ini digunakan untuk kerajinan, anyaman, dan keperluan lainnya.
II-31
22. Rotan Saloso (Calamus sp.) Rotan saloso tumbuh di daerah Sulawesi Utara pada daerah dataran rendah. Rotan ini tumbuh secara berumpun. Anakan rotan tumbuh dari tunas batang atau dari biji yang telah masak dan jatuh di sekitar batang atau terbawa jauh oleh binatang. Batangnya berwarna hijau, tetapi berubah menjadi berwarna kuning bila sudah kering dan dirunti. Diameter batangnya antara 0,8 cm - 2 cm dan panjang ruas 25 cm - 40 cm. Bentuk daunnya hampir sama dengan rotan tohiti, tetapi ukurannya lebih kecil, ujung anak daun berwarna kemerah-merahan. Alat pemanjat terdapat pada ujung dan di antara pelepah dan flagelum. Karena bentuk batangnya yang relatif kecil, maka umumnya batang rotan ini dimanfaatkan untuk tali pengikat dan anyam-anyaman.
23. Rotan Manau Riang (Calamus oxleyanus T et B) Rotan manau riang tumbuh di daerah dataran rendah dan tidak menyukai tanah gambut dan aluvial. Rotan ini banyak dijumpai di Semenanjung Malaya dan Sumatra. Rotan manau riang tumbuh secara berumpun dengan beberapa batang dalam setiap rumpunnya dan memanjat dengan bantuan sulur panjat. Diameter batang termasuk dengan pelepahnya 3 cm dan bila tanpa pelepah hanya berkisar 1,5 cm. Panjang ruas 12 cm. Rotan manau riang memiliki bentuk daun majemuk menyirip yang panjangnya bisa lebih dari 3,25 m, tangkai daun 0,75 m, dan sulur panjat 1 m. Jumlah anak daun bisa lebih dari 50 buah, berbentuk lanset, panjang tiap anak daun 32 cm dan lebar 1,5 cm.
24. Rotan Tohiti (Calamus inops Becc.) Rotan tohiti secara alami tumbuh di daerah berbukit dan ditemukan hampir di seluruh daratan Sulawesi. Rotan ini tumbuh secara tunggal (tidak berumpun). Perkembangbiakannya hanya melalui biji.
II-32
Rotan ini mempunyai permukaan batang berwarna kuning mengkilat dengan gelang berwarna kelam tajam melingkari buku. Batang rotan ini agak keras dan tidak begitu mudah dibelah. Diameter batang dapat mencapai 15 mm dan panjang ruas 20 cm - 35 cm. Bentuk daunnya majemuk menyirip dengan susunan anak daun hampir sama dengan susunan anak daun rotan manau. Panjang anak daun 20 cm - 35 cm dan lebar 2 cm - 3 cm. Daunnya juga mempunyai cirrus, tetapi bukan flagellum.
Karena rotan tohiti memiliki sifat liat, keras, dan tidak mudah
dibelah, maka sangat baik untuk bahan pembuatan mebel, penahan pasir di gurun pasir, sandaran kapal, pengisi batang sepeda, dan pengganti kerangka beton baja.
25. Rotan Seel (Daemonorops melanochaetes Blume) Rotan seel banyak ditemukan di daerah belantara Sumatra dan Jawa, yaitu di daerah dataran rendah sampai kepegunungan pada ketinggian 10 m 500 m di atas permukaan laut. Batang rotan ini berwarna cokelat kekuning-kekuningan, besarnya antara 22 mm - 25 mm dan panjang ruas lebih kurang 22 cm - 28 cm. Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun dapat mencapai lebih dari 5 batang. Batang rotan ini berwarna hijau kekuning-kuningan, tetapi bila kering dan selesai dirunti berubah menjadi kuning telur. Daunnya berwarna kekuningkuningan. Batang rotan seel yang sudah tua dapat digunakan untuk bahan tali pengikat dan umbutnya dapat dijadikan sayuran.
26. Rotan Loluo (Calamus Sp.)
.
Rotan loluo banyak ditemukan di Sulawesi Tengah pada daerah pegunungan dengan ketinggian 1000 m - 2000 m di atas permukaan laut. Rotan ini kebanyakan tumbuh di punggung dan lereng bukit. Rotan loluo tumbuh secara berumpun dan panjang tiap batang dapat melebihi 80 m. Diameter batang rotan ini sekitar 3 cm - 8 cm dan ruas batang berkisar 25 cm - 40 cm. Warna batang kemerah-merahan dan bila sudah kering akan berwarna kuning.
II-33
Panjang daun mencapai 9 m termasuk cirrus sepanjang 4 m - 5 m. Bentuk daun seperti daun kelapa. Panjang anak daun 60 cm - 80 cm dan lebar 0,3 cm - 0,5 cm.
27. Rotan Udang Semut (Korthalsia scaphigera Mart) Rotan udang semut banyak tumbuh di tempat yang senantiasa tergenang air, terutama di tepi-tepi sungai yang berawa di daerah Sumatra dan Kalimantan. Selain itu, rotan ini ditemukan pula tumbuh di Malaysia dan Thailand. Rotan ini mempunyai beberapa nama daerah, yakni rotan pitet (Kalbar), rotan lalun (Dayak), dan rotan samut (Kubu/Jambi). Rotan udang semut tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun dapat mencapai 15 batang. Rotan ini merambat naik di antara ranting, cabang, dan tajuk pohon setinggi 45 m atau lebih. Bentuk permukaan batang yang sudah dipungut dan dirunti berwarna cokelat kusam, bergaris membujur, dan intinya berwarna kuning gading. Rotan ini dalam keadaan segar dapat dijadikan bahan pengikat yang cukup kuat dan mudah untuk dibelah, tetapi jika telah kering mudah putus dan rapuh. Batang rotan ini bergaris tengah tidak lebih dari 4 mm, bentuknya sangat merata dan panjang ruas antara 10 cm - 20 cm. Bentuk daun menyirip majemuk yang panjangnya mencapai l,l m termasuk sulur sepanjang 60 cm. Anak daun berbentuk belah ketupat agak lancip dan duduk anak daun berselang-seling. Jumlah anak daun pada salah satu bagian berjumlah 3 - 7 anak daun, panjang 20 cm, dan lebar 10 cm.
28. Rotan Dahan (Korthalsia rigida Blume) Rotan dahan banyak tumbuh di daerah Belitung. Di daerah Bangka rotan ini dikenal dengan nama rotan beladang/meladang. Rotan ini tumbuh di daerah dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian tempat 1.100 m di atas permukaan laut, terutama di daerah Sumatra dan Kalimantan. Rotan dahan tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun sekitar 5 batang. Panjang batang mencapai 20 m atau lebih. Diameter batang yang sudah dibersihkan rata-rata 20 mm - 25 mm dan panjang ruas buku 20 cm. Bentuk
II-34
batang tidak rata dan buku-bukunya menonjol. Warna batang cokelat kusam dan intinya berwarna cokelat muda. Batang rotan dahan ini mudah dibelah. Batang rotan ini biasanya dipakai untuk pembuatan keranjang. Panjang daun rotan dahan mencapai 1,5 m, termasuk tangkai daun 10 cm dan sulur panjat 75 cm. Bentuk daun menyirip majemuk, sedangkan anak daun berbentuk belah ketupat yang menempel secara berselang-seling.
29. Rotan Meiya (Korthalsia echinometra Becc.) Rotan meiya mempunyai beberapa nama daerah, yakni rotan meiya (Kalimantan), rotan uwi hurang (Palembang), dan rotan siu (Kubu/Jambi). Rotan ini banyak tumbuh di daerah Kalimantan dan Sumatra, terutama pada kawasan yang berawa-rawa. Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun mencapai 10 batang. Batangnya merambat naik dengan panjang melebihi 35 m. Diameter batang, termasuk pelepahnya, mencapai 30 mm, tetapi bila sudah dibersihkan hanya berkisar antara 8 mm -12 mm. Bentuk permukaan batang merata dan panjang ruas 20 cm-25 cm. Permukaan batang berwarna cokelat kusam, beralur memanjang, dan intinya berwarna cokelat muda. Bentuk daunnya menyirip majemuk dan panjang daun mencapai 1,8 m, termasuk panjang sulur 70 cm. Bentuk anak daun lanset yang menempel saling berhadapan. Anak daun pada satu sisi berjumlah 25 buah, panjang 30 cm, dan lebar 3 cm. Warna anak daun bagian atas hijau gelap dan bagian bawah berwarna abu keputih-putihan. Buahnya yang masak berbentuk bulat, memiliki ukuran panjang 2,5 cm dan lebar 1,5 cm, sedangkan bijinya berukuran 1,5 cm dan lebar 1 cm.
30. Rotan Lowa (Plepcomiopsis geminiflorus Becc.) Rotan lowa banyak tumbuh di daerah Belitung. Di daerah Lampung, rotan ini dikenal dengan nama huwi pupuran. Rotan ini tumbuh di daerah rawa-rawa gambut di Kalimantan dan Sumatra, serta di Malaysia.
II-35
Rotan lowa tumbuh secara berumpun dan panjang batang jika sudah tua berkisar antara 25 m - 30 m. Rotan ini menjalar naik di antara dahan dan ranting di hutan. Batangnya yang sudah bersih berbentuk segi tiga dan berdiameter antara 10 mm - 25 mm, tetapi bila masih dibalut pelepah, diameter batang dapat mencapai 60 mm. Panjang ruas batang berkisar 15 cm - 50 cm. Permukaan batang yang sudah kering berwarna cokelat sebam kusam, begitu pula dengan warna intinya. Daun rotan lowa berbentuk menyirip majemuk dan panjang daun 3 m, termasuk sulur 1 m. Anak daun berbentuk lanset, jumlah anak daun pada satu bagian 20 buah, panjang anak daun 40 cm, dan lebar 4 cm. Batang rotan lowa digunakan untuk pembuatan keranjang, selain sebagai tali pengikat.
31. Rotan Sabut (Daemonorops hystri.x (Griff) Mart) Rotan sabut banyak tumbuh di daerah pegunungan Sumatra. Rotan ini mempunyai beberapa nama daerah, antara lain rotan uwi kalang sintang (Palembang) dan rotan tahi landak (Semenanjung Malaka). Diameter batangnya sekitar 8 mm -15 mm, bentuk buku-buku menonjol dalam lingkaran yang agak teratur, dan panjang ruas sekitar 10 cm -15 cm. Bentuk permukaan batang kasar, agak mengkilat, sedikit beralur, dan berwarna kuning kecokelat-cokelatan. Batang rotan ini digunakan untuk bahan pengikat, tetapi rotan ini kurang komersial. Rotan sabut tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun tidak lebih dari 6 batang. Batang rotan ini jika menjulur naik dapat mencapai , panjang hingga 25 m. Panjang daun kira-kira 2,5 m, sedangkan panjang tangkai daun kira+, kira 40 cm dan berduri yang panjangnya 5 cm. Anak daun berbentuk lanse:~ panjang 35 cm, dan lebar 1,3 cm. Anak daun pada salah satu tangkai berjumlah 60 buah.
II-36
32. Rotan Pakak (Daemonorops periacantha Miq,) Rotan pakak banyak tumbuh di daerah Sumatra. Rotan ini mempunyai beberapa nama daerah, antara lain rotan uwi landak (Palembang), huwi kapuikapui (Lampung), dan rotan pakak (Belitung). Rotan ini juga tumbuh di Kalimantan pada kawasan hutan dengan ketinggian 200 m di atas permukaan laut. Rotan pakak tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun hanya 2 - 3 batang; panjang setiap batang dapat mencapai 20 m. Diameter batang bila masih diselimuti pelepah daun sekitar 30 mm atau lebih, tetapi bila sudah dibersihkan hanya 10 mm - 17 mm; panjang ruas batang tidak lebih dari 20 cm. Rotan pakak memiliki bentuk daun menyirip majemuk dan pada bagian pelepah daun banyak ditumbuhi duri-duri yang rapat berwarna hitam kecokelat-cokelatan yang panjangnya 6 cm. Selain itu, duri-duri juga menempel pada pinggiran bagian bawah tangkai tulang daun. Bentuk anak daun lanset, jumlah anak daun pada satu bagian mencapai 30 buah, panjang daun mencapai 40 cm, dan lebar anak daunnya 3 cm.
33. Rotan Uwi Koroh (Daemonorops geniculata (Griff.) Mart.) Rotan uwi koroh adalah nama jenis rotan yang diberikan oleh masyarakat di sekitar hutan Palembang (Sumatra Selatan). Rotan ini terutama tumbuh di tanah-tanah pada ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut. Rotan uwi koroh tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun 5 batang. Panjang batang dapat mencapai 15 m atau lebih. Diameter batang yang hidup dan masih diselubungi pelepah daun berkisar 3 cm, tetapi bila pelepahnya sudah dibersihkan diameternya hanya 1,5 cm. Panjang ruas batang berkisar 6 cm - 10 cm dan buku-buku ruas batang yang menonjol. Permukaan batang berwarna cokelat kekuning-kuningan dan intinya berwarna kuning gading. Batang rotan ini cukup keras dan mudah dibelah. Rotan ini banyak digunakan untuk tongkat berjalan dan pembuatan mebel dengan kualitas yang rendah. Batang rotan ini banyak digunakan untuk pembuatan keranjang kasar. Rotan uwi koroh memiliki bentuk daun manyirip majemuk, panjang daun dapat mencapai 3 m. Panjang tangkai daun mencapai 1 m atau lebih,
II-37
sedangkan panjang sulur mencapai 40-100 cm. Anak daun berbentuk lanset dan duduk berhadapan. Setiap anak daun berwarna hijau gelap, panjang 30 cm, dan lebar di bagian tengah 2 cm. Pelepah daun diselimuti duri yang tersusun berbaris sejajar mengelilingi pelepah. Pada pinggiran pelepah daun, dekat anak daun, tumbuh duri-duri yang cukup panjang.
34. Rotan Duduk (Daemonorops longipes (Griff.) Mart.) Rotan duduk adalah nama yang umum untuk jenis rotan yang tumbuh di kawasan Semenanjung Malaya. Di kawasan Indonesia, rotan ini mempunyai beberapa nama daerah, yakni rotan rundang atau rotan tanah (Bangka), rotan mentulak (Belitung), dan rotan huwi tikus (Lampung). Selain di Malaysia, rotan ini juga banyak tumbuh di luar hutan-hutan payau Sumatra dan Kalimantan. Rotan duduk tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun berkisar 5 - 10 batang; panjang batang berkisar 10 m. Diameter batang yang masih dibalut pelepah 5 cm dan bila sudah dibersihkan hanya 1,5 cm - 3,5 cm; panjang ruas 20 cm. Permukaan batang berwarna suram, sedangkan intinya berwarna cokelat sebam dan lunak. Biasanya, rotan ini digunakan untuk pembuatan perabot rotan dengan kualitas yang kurang baik. Rotan duduk memiliki daun berbentuk menyirip majemuk, panjang daun 4,5 m atau lebih, panjang tangkai daun 50 cm, dan panjang sulur 1,25 m. Bentuk anak daun lanset menempel pada tangkai daun secara berselang seling. Jumlah anak daun pada satu bagian mencapai 50 buah.
35. Rotan Ulur (Calamus ulur Becc.) Rotan ulur tumbuh di daerah yang banyak air, terutama di daerah Sumatra bagian selatan. Rotan ini tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun mencapai 6 - 8 batang. Jenis rotan ini merambat di antara ranting dan dahan pohon hingga mencapai ketinggian 40 m. Rotan ulur berdiamater sangat kecil, yaitu hanya sebesar 10 mm. Bila masih diselimuti pelepah, diameter batang tidak lebih dari 25 mm dan panj ang ruasnya 20 cm. Permukaan batang berwarna cokelat kekuning-kuningan
II-38
mengkilat dengan gelang-gelang gelap melingkari buku-bukunya, sedangkan intinya berwarna kuning sebam. Batangnya lemah, lentur, sangat mudah dibelah, kuat, dan awet. Rotan ini di daerah Sumatra banyak dipakai untuk pembuatan keranjang batu bara. Rotan ulur memiliki daun berbentuk menyirip majemuk, panjang daun mencapai 1,75 m termasuk dengan sulur sepanjang 1 m, sedangkan panjang tangkai daun hanya 5 cm. Anak daun berbentuk lanset dan duduk daun berhadapan yang semakin ke atas akan berselang-seling. Panjang anak daun 35 cm dan lebar 2,5 cm.
36. Rotan Manau Tikus (Calamus tumindus Furtado) Rotan manau tikus berdiameter besar dan banyak tumbuh di daerah Sumatra Barat dan Semenanjung Malaysia. Rotan ini tumbuh tunggal (tidak berumpun). Ketika merambat naik di sela-sela tajuk pohon, ketinggian batang dapat mencapai 60 m atau lebih. Batang rotan manau tikus yang sudah dibersihkan dari pelepahnya memiliki diamater pangkal sebesar 1,2 cm dan semakin ke ujung batang makin membesar hingga mencapai diameter 2,5 cm. Dalam keadaan masih hidup, diameter batang dapat mencapai 4,5 cm. Panjang ruas batang cukup bervariasi, yaitu antara 12 cm - 30 cm. Di dalam perdagangan, harga rotan ini cukup mahal. Jenis rotan ini digunakan untuk rangka pembuatan mebel dengan kualitas yang baik karena termasuk jenis rotan manau. Rotan manau tikus memiliki bentuk daun menyirip majemuk, panjang daun mencapai 4 m, termasuk panjang sulur 1,5 m. Anak daun berbentuk lanset, panjang 40 cm, dan lebar 6 cm. Duduk anak daun berhadapan dengan jumlah 25 pasang. Pelepah rotan manau tikus berduri panjang dan tajam yang panjangnya mencapai 4 cm dan lebar 7 mm.
II-39
37. Rotan Manau Padi (Calamus marginantus Mart.) Rotan manau padi adalah nama jenis rotan yang dikenal di daerah Bangka, sedangkan di daerah Palembang disebut dengan nama rotan besi, dan di Kalimantan Selatan dikenal dengan nama rotan pehekan. Rotan manau padi tumbuh secara tunggal (tidak berumpun) dan menyu, kai tanah-tanah ringkai pada dataran rendah. Batang rotan ini merambat naik hingga menjangkau ketinggian 40 m. Batang rotan manau padi yang sudah bersih mempunyai diameter ; 10 mm - 15 mm dan panjang ruas 12 cm - 20 cm. Permukaan batang berwarna kuning mengkilat dengan gelang-gelang hitam melingkari buku bukunya, sedangkan intinya berwarna kuning gading. Rotan manau padi memiliki sifat padat, keras, dan kokoh, sehingga rotan ini dikategorikan memiliki kualitas yang sama dengan rotan manau (C. manan). Jenis rotan ini digunakan untuk bahan pembuatan rangka mebel. yang berkualitas tinggi.
38. Rotan Tunggal (Calamus laevigatus Mart.) Sesuai dengan namanya, rotan ini tumbuh secara tunggal (tidak berumpun). Rotan ini memiliki jangkauan merambat yang cukup tinggi karena batangnya dapat memiliki panjang 30 m. Penyebaran rotan tunggal cukup luas, selain tumbuh di Kalimantan dan Sumatra, juga ditemukan di daerah Semenanjung Malaya dan Singapura. Lokasi tumbuhnya berada pada tanah dataran rendah yang kering sampai pada ketinggian 800 m di atas permukaan laut. Oleh karena itu, jenis rotan ini tidak ditemui di kawasan tanah rawa gambut dan daerah tanah rawa aluvial. Batangnya yang masih hidup dan diselimuti pelepah daun memiliki diameter 2 cm, tetapi bila telah dibersihkan hanya berdiameter 8 mm - 10 mm; panjang ruas 25 cm. Rotan tunggal memiliki daun berwarna hijau gelap ketika masih segar. Bila sudah kering, daun rotan ini berwarna hijau kecokelat-cokelatan. Bentuk daun menyirip majemuk dan anak daun berbentuk lanset.
II-40
39. Rotan Dago Kancil (Calamus conirostris Becc.) Rotan dago kancil di Palembang dikenal dengan nama rotan dalem buku. Jenis rotan ini banyak ditemukan di daerah pinggir sungai yang tidak tergenang air atau daerah pinggir sungai yang kering. Daerah penyebarannya adalah Sumatra dan Kalimantan. Rotan dago kancil tumbuh secara berumpun dan jumlah tiap rumpun berkisar 3 - 6 batang. Batang rotan ini merambat di antara pepohonan hingga mencapai ketinggian 35 m. Batangnya berdiameter sangat kecil yakni hanya 10 mm, sementara diameter batang yang masih diselimuti pelepah mencapai 35 mm; panjang ruas 35 cm atau lebih. Permukaan batang berwarna kuning sebam mengkilat dan intinya berwarna cokelat muda. Batang rotan ini lemah, lentur, lunak, sukar untuk dibelah, dan peralihan pada buku-bukunya tidak rata. Karena sifatnya itu, maka rotan ini hanya dipakai untuk bahan pengikat pada bangunan rumah di pedesaan dan untuk anyaman keranjang kasar. Rotan dago kancil memiliki pelepah daun yang diselimuti duri-duri panjang dan tajam. Bentuk daun menyirip majemuk, panjang daun mencapai 2,5 m, panjang tangkai daun 50 cm, bagian ujung daun terdapat sulur daun, dan tangkai daun diselimuti duri-duri pendek. Pada pelepah daun tumbuh sulur panjat sepanjang 75 cm. Anak daun berwarna hijau gelap dan jumlah anak daun pada salah satu bagian mencapai 35 buah. Bentuk anak daun lanset dengan panjang 40 cm dan lebar 2 cm.
40. Rotan Lita (Daemonorops lemprolepis Becc.) Rotan lita tumbuh dan dikenal oleh masyarakat suku Bugis di daerah Wajo. Karena itu, rotan ini ditemukan tumbuh di daerah Sulawesi bagian selatan. Rotan lita tumbuh di tempat-tempat berawa-rawa, baik rawa air tawar maupun rawa air asin. Garis tengah batang rotan lita antara 5 mm - 10 mm dan panjang ruas 20 cm- 35 cm. Permukaan batang berwarna kuning cerah mengkilat, sedangkan bagian dalam berwarna kuning gading. Rotan ini cukup banyak diperdagangkan untuk bahan pembuatan keranjang.
II-41
Kegunaan rotan dapat dibedakan berdasarkan batangnya. Rotan yang berdiameter kecil lebih banyak digunakan untuk tali pengikat, bahan anyaman, dan pendamping dalam pembuatan rangka mebel. Sedangkan rotan yang berdiameter besar lebih banyak kegunaannya untuk tongkat berjalan dan rangka mebel. Adapun rincian kegunaan rotan adalah sebagai berikut : a.
Kegunaan batang untuk berbagai keperluan bahan kerajinan, dan lain-lain sebanyak 117 jenis rotan.
b.
Kegunaan pucuk rotan (umbut) dan buah untuk sayuran dan bumbu masak sebanyak 9 jenis rotan.
c.
Kegunaan rotan untuk atap (daun) dan konstruksi tulangan beton sebanyak 2 jenis.
d.
Kegunaan rotan untuk obat tradisional sebanyak 2 jenis rotan
e.
Kegunaan hasil getah jernang sebanyak 7 jenis rotan.
2.5.2. Bambu Bambu merupakan salah satu jenis hasil hutan ikutan (Hasil Hutan Bukan Kayu) yang dikenal luas oleh masyarakat, baik masyarakat pedesaan terutama masyarakat yang berkecimpung langsung dengan pemanfaatan dan pemungutan HHBK bambu maupun masyarakat yang lebih luas yang memanfaatkan HHBK bambu dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya bambu ialah nama kumpulan bagi rumput-rumputan berbentuk pohon kayu atau perdu yang melengkung,
dengan batang-batangnya yang
biasanya tegak, kadang-kadang menanjak, mengayu dan bercabang-cabang, dapat mencapai umur panjang dan pada lazimnya mati tanpa bunga. Sama halnya dengan tanaman tebu, batang bambu terdiri dari buku dan ruas. Pada salah satu sisi buku, muncul cabang yang beruas-ruas dan diantara ruas cabang yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh buku cabang. Pada salah satu buku cabang muncul ranting, demikian seterusnya sehingga tanaman bambu merupakan tegakan rumpun dengan batang-batang tegak, bagian ujung batang melengkung dan kiri-kanan muncul cabang pada buku berselang-seling yang dipenuhi oleh ranting dan daun.
II-42
Sejak jaman dahulu bambu sudah dikenal sebagai tumbuhan serbaguna bahkan oleh bangsa kita, batang pohon bambu dipakai sebagai symbol senjata dalam meraih kemerdekaan dari tangan penjajah. Pohon yang termasuk suku Graminea ini merupakan
tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat
Indonesia karena tanaman ini sudah menyebar di seluruh kawasan nusantara. Bambu dapat tumbuh di daerah beriklim basah hingga kering, dari dataran rendah sampai ke daerah pegunungan. Di pedesaan seringkali dijumpai tanaman bambu rakyat yang ditanam di lahan-lahan tertentu seperti dipekarangan, di tepi sungai, tepi jurang atau pada batas-batas kepemilikan lahan. Jika melihat ciri rumah-rumah di pedesaan yang bahan bangunannya didominasi oleh bambu, itu menandakan bahwa bambu sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat desa, demikian juga dengan peralatan rumah tangga yang mereka pakai tidak terlepas dari hasil modifikasi bambu yang diraut sedemikian rupa sehingga berguna untuk peralatan rumahtangga sehari-hari. Ada juga yang disebut dengan istilah rebung. Rebung adalah tunas atau batang-batang bambu
yang masih muda yang muncul dari permukaan dasar
rumpun, tumbuh dan berkembang membentuk kerucut yang merupakan bentuk awal dari perkembangan batang. Rebung ini biasanya dipanen untuk dikonsumsi menjadi bahan makanan misalnya untuk dibuat sayur sebagai teman nasi.
2.5.2.1. Penyebaran Bambu di Indonesia Bambu dapat tumbuh di daerah tropis, sub tropis dan daerah beriklim sedang, dari dataran rendah sampai ketinggian tertetntu. Tanaman ini tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sedang di daerah tropis, hidup liar, dibudidayakan atau tumbuh di habitat yang sangat bervariasi (Tabel 2.5.). Tabel 2.5. Penyebaran marga bambu Marga Bambusa
Cephalostachyum
Dendrocalamus
Jumlah Jenis + 37
11
+ 29
Penyebaran Asia tropis dan subtropics terutama yang beriklim angin musim dan tropis basah, sebagian besar dibudidayakan Dari Timurlaut Himalaya sampai Thailan dan Mindoro; dari gunung sampai dataran rendah Dari dataran India sampai Asia Tenggara; daerah tropis kering dan lembab
II-43
Tabel 2.5. Lanjutan Marga Jumlah Jenis Dinochloa + 30
Penyebaran Malaysia, Pegunungan dan dataran rendah, hutan keruing Holttumocholoa 3 Semenanjung Malaya Kinabaluchloa 2 Malaysia; hutan Montana Maclurochloa 1 Semenanjung Malaya, hutan dataran tinggi Melokalamus 1 Bangladesh, India, Burma, Thailand, Cina daerah selatan; dataran rendah Nastus + 15 Indonesia, Papua Newgini; hutan Montana Neohouzeaua 2 Bangladesh sampai Thailand; liar atau dibudidayakan di dataran rendah Pseudostachyum 1 Burma dan India Racemobambus + 16 Malaysia; terutama di Montana Schizostachyum + 30 Asia Tenggara, liar atau dibudidayakan terutama di dataran rendah Soejatmia 1 Semenanjung Malaya; liar, di dataran rendah dan pegunungan Sphaerobambus 3 Malaysia, hutan dataran rendah Thyrsostachys 2 Thailand sampai Victoria, dataran rendah kering Vietnamosasa 3 Thailand sampai Vietnam; padang rumput kering, dataran rendah sampai hutan pegunungan Yushania 2 Taiwan sampai Sabah; hutan dataran tinggi Sumber : Pengembangam Budidaya Bambu, Departemen Kehutanan, 1996 2.5.2.2. Budidaya Tanaman Bambu Dengan meningkatnya industri atau kerajinan yang memakai komoditas bambu sebagai bahan produksinya, maka kebutuhan akan bambu juga meningkat. Namun pemenuhan kebutuhan tersebut tidak dapat sepenuhnya, tergantung pada persedian alam. Untuk itu tanaman bambu harus dibudidayakan secara intensif agar kebutuhan akan bambu sebagai bahan baku produksi dapat terjamin. Dalam pembudidayaan bambu, hal yang harus diperhatikan adalah menentukan media tumbuhnya. Karakteristik dari media tumbuh tersebut akan sangat berpengaruh terhadap tumbuhan yang akan ditanam, tapi tidak berlaku mutlak untuk tanaman bambu. Berbagai keaadaan tanah dapat ditumbuhi bambu mulai dari tanah berat sampai ringan, tanah kering sampai becek dan dari tanah subur sampai tanah kurang subur. Tanaman bambu mempunyai daerah
II-44
penyebaran yang cukup luas, baik penyebaran vertical maupun horizontal. Dengan demikian hampir semua jenis bambu dapat tumbuh pada berbagai tempat di Indonesia. Dalam pengembangbiakan tanaman bambu, ada dua cara yang dikenal yaitu cara generatif dan vegetatif. Dibandingkan tanaman yang dilakukan secara vegetatif, tanaman yang berasal dari benih/biji (generatif) membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai ukuran normal. Cara yang umum dilakukan dalam pengembangbiakan vegetatif adalah dengan stek batang, stek cabang dan stek rhizom. Ketiga cara ini biasanya dicocokkan lagi dengan jenis bambu yang akan ditanam. Di pulau Jawa, orang jarang menggunakan stek , tetapi dalam kebanyakan hal mereka memakai potongan-potongan akar (Rhizom), jenis bambu yang banyak berhasil diterapkan dengan cara ini misalnya adalah : Bambusa bambus, Bambusa spinosa, dan Bambosa vulgaris. Tanaman
bambu
yang
dibudidayakan
perlu
juga
pemeliharaan.
Pemeliharaan bambu dapat dibagi dua tahap yaitu tahap sebelum mencapai perumpunan normal, dan tahap setelah perumpunan normal. Pemeliharaan tahap pertama meliputi penyiangan dan penggemburan tanah sekitar tanaman, dan pemeliharaan tahap kedua yaitu melakukan pemangkasan cabang bawah sekitar 2 – 3 meter serta penimbunan dasar rumpun dengan tanah. Meskipun tanaman bambu pemeliharaan namun dalam pelaksanaannya tidak bgitu intensif, sehingga tidak mrepotkan pemiliknya. Tindakan pemeliharaan tanaman bambu antara lain pemangkasan, penyiangan, pembumbungan dan pemupukan. Sama halnya dengan tanaman lain, bambu juga perlu diberi pupuk. Selain mempercepat pertumbuhan, pemupukan juga berguna untuk meningkatkan jumlah batang dan rebung. Pupuk yang digunakan tanaman bambu adalah 15-15-15 NPK, Urea, TSP dan KCl. Dosis pupuk yang digunakan belum ada ketentuan yang pasti karena berapapun pupuk yang diberikan pasti diserap tanaman bambu. Tanaman bambu tergolong tumbuhan yang banyak menyerap unsur hara, sedangkan unsure hara yang dikembalikan ke tanah relatif kecil. Pemupukan dengan menggunakan 15-15-15 NPK (masing-masing 100, 100, 100, kg/ha) dapat
II-45
meningkatkan hasil buluh dan rebung. Pemupukan dilakukan pada awal dan akhir musim hujan. Tanaman yang dijuluki “The Poor Man Timber” ini ternyata juga tidak dapat luput dari serangan hama dan penyakit. Umumnya jenis gangguan yang dialami tanaman bambu adalah hama uret, kumbang bubuk atau hama buku dan rayap. Hama perusak bambu dibagi menjadi dua golongan yaitu agen biosis dan agen abiosis. Termasuk dalam agen biosis adalah bakteri, cendawan, rayap, serangga penggerek serta burung pelatuk. Sedangkan agen abiosis melibatkan api, keausan mekanis dan kelapukan. Dari sekian jenis hama yang disebutkan tadi, maka kumbang bubuk atau serangga penggereklah yang sangat ekstrim dalam melakukan perusakan tanaman, ini disebabkan karena jenisnya banyak dan merusak dengan cara memakan jaringan bambu bahkan dijadikan tempat untuk bertelur. Sebenarnya masih banyak kumbang penggerek yang dapat merusak tanaman bambu, tapi yang sudah teridentifikasi diantaranya adalah Dinederus minitus, D. brevis, Conarthus filiformis, C. paraestus, Tillus notalis dan Mycolandra exarata. Khusus untuk kumbang bubuk (hama penggerek), tidak semua jenis bambu disukainya. Sebenarnya yang disukai oleh hama ini adalah zat pati yang terdapat dalam jaringan serat bambu, setiap jenis bambu memiliki kandungan pati yang berbeda-beda. Sebagai contoh bambu apel lebih disukai hama bubuk karena kandungan patinya lebih tinggi dari pada bambu betung, bambu wulung, atau bambu bambu apus. Dari identifikasi penyakit, yang diderita oleh tanaman bambu yaitu pada saat proses pembibitan. Dalam pembibitan, yang sering menyerang adalah dumping off yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani, tetapi dapat dibasmi dengan fungisida.
2.5.2.3. Pemanenan dan Pascapanen Dalam pemanenan bambu, hal penting yang harus diperhatikan
yaitu
waktu tebang yang tepat. Maksudnya adalah batang bambu yang ditebang sudah cukup tua. Misalnya bambu yang digunakan untuk barang kerajinan sebaiknya diambil setelah berumur tigatahun. Bila bambu yang diambil terlalu muda, maka
II-46
kurang baik hasilnya. Adapun musim yang tepat untuk pemanenan bambu adalah pada awal musim kemarau atau diakhir musim penghujan.
Pada waktu
pemanenan sebaiknya pada awal atau saat musim kemarau. Hal ini dimaksudkan bila dipanen di musim kemarau maka kadar air buluh pada bambu sangat rendah juga bambu tidak mudah terserang hama pengebor buluh. Selain tepatnya waktu penebangan, hal yang tidak kalah pentingnya adalah cara penebangan. Dalam pemanenan bambu, kita mengenal dua cara penebangan yaitu tebang pilih dan tebang habis. Cara tebang pilih yakni memilih buluh yang sudah tua saja dengan tebangan berkisar 25 – 50 % buluh yang cukup tuah perrumpun. Setelah 1 – 2 tahun, penebangan berikutnya kembali dilakukan. Kelemahan dari cara ini yaitu memakan waktu lebih lama dan juga membutuhkan keahlian khusus dalam pengerjaannya. Alternatif lain adalah system tebang habis yang memang dirasakan lebih menguntungkan . Namun, cara ini kelemahannnya lebih banyak lagi. Rumpun yang sudah ditebang tidak dapat menghasilkan rebung atau menghasilkan rebung yang berukuran lebih kecil
dari ukuran normal, sementara produk batangan
bambu ikut terhenti. Setelah pemanenan, proses selanjutnya ialah pengawetan. Perlu tidaknya suatu pengawetan tergantung pada kebutuhan pemakaian bambu tersebut. Jika bambu yang dipakai sekedar hanya untuk membuat sumpit atau tusuk sate saja, rasanya tidak begitu perlu diadakan proses pengawetan. Tapi jika bambu akan digunakan sebagai bahan bangunan , sudah barang tentu pengawetan perlu dilakukan agar bambu yang dipakai bias lebih tahan lama. Ada beberapa cara dalam mengawetkan bambu diantaranya: pengawetan tradisional, dengan cara perendaman vertical, perendaman dingin, perendaman dengan metode boucherie, bahkan sekarang dikenal metode pengasapan, perebusan, pemanasan pelesteran atau dengan menggunakan air kapur. Namun Nandika & Tapa Darma (1994) mengklasifikasikan macam cara dan metode tersebut kedalam dua metode yaitu 1) pengawetan bambu tanpa bahan kimia dan 2) pengawetan bambu dengan bahan kimia. Metode pengawetan tanpa bahan kimia (metode tradisional)
dipandang cocok digunakan dalam pengawetan
bambu. Ini disebabkan karena muda pelaksanaannya, ekonomis, serta bersahabat
II-47
dengan lingkunganmeskipun beberapa hasil penelitian menunnjukkan bahwa metode tersebut hanya efektif terhadap serangan bubuk kering. Sedangkan metode denga bahan kimia yang umum dilakukan adalah metode merendam, dengan bahan pengawet yang biasa digunakan untuk wolmanit CB, TCB, ACC atau asam borak.
2.5.2.4. Manfaat Bambu Bambu merupakan jenis vegetasi yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya. Bambu dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas dalam setiap aspek kehidupan sehingga setiap orang sejak masih kecil sudah mengenal vegetasi bambu. Bambu dimasyarakat memiliki arti baik dari aspek ekonomi, ekologi, dan sosial budaya. Pemanfaatan
bambu oleh masyarakat meliputi
setiap aspek
kehidupan masyarakat. Upacara-upacara keagamaan, perkawinan, kelahiran, kematian, dan banyak kegiatan kebudayaan tidak terlepas dari pemanfaatan bambu sebagai bahan dan alat bantu untuk melaksanakan segala aspek kegiatan dalam masyarakat. Bambu runcing, bambu gila yang memiliki kekuatan magis, bambu sebagai bahan untuk membuat rakit sebagai sarana transportasi. Bambu digunakan sebagai alat bantu memasak masakan tradisional tertentu masyarakat di Sulawesi Selatan seperti tusuk sate, ikan asap, lemmang atau piong, beberapa negera Asia menggunanakan bambu sebagai alat bantu untuk makan (sumpit). Setelah makan bambu digunakan sebagai alat tusuk gigi untuk membersihkan sisa makanan disela-sela gigi. Bambu memberikan manfaat langsung sejak masih merupakan rumpun bambu sebagai tanaman pencegah longsor pada tebing sungai, sebagai pemecah angin (windsbreak),tunas bambu yang masih mudah (rebung) digunakan sebagai bahan makanan, ranting sebagai bahan mainan anak-anak, dan bambu di ekstrak sebagai bahan suplement dan obat untuk berbagai jenis penyakit. Bambu dikatakan sebagai vegetasi serbaguna karena hampir semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan, seperti akar, tunas, batang, dan ranting dapat dimanfatkan, misalnya untuk bahan kerajinan, tunas untuk bahan makanan, batang bambu yang sangat serbaguna dalam penggunaannya.
II-48
Industri tertentu membutuhkan bambu sebagai bahan baku utama seperti industri pulp dan kertas. Meubel, kerajinan tangan, bahan knstruksi. Pemanfatan bambu dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai berikut : a.
Kebudayaan (ganrang bulo, meriam bambu, bola soji, baruga, maddebang, sarafo, alat pengiris (cawile), senjata (surah, panah, sumpit), membuat obor, kentongan)
b.
Konservasi (pencegah longsor, pemecah angin, tanaman hias)
c.
Kebutuhan sehari-hari (keranjang, tusuk sate, masakan khas)
d.
Konstruksi (Tiang rumah, pagar, sebagai pengganti pipa saluran air di daerah pegunungan, atap rumah, lantai, dinding, plafon, bambu cement)
e.
Kerajinan (bahan ukuiran, anyaman)
f.
Alat musik (suling, kulintang)
g.
Industri kecil (skala rumah tangga, skala kecil)
h.
Industri besar (pulp dan kertas)
i.
Tanaman hias
j.
Bahan bakar (arang) Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dari akar hingga pucuk tanaman
bambu semuanya bermanfaat. Misalnya akar bambu bias berfungsi sebagai penahan erosi dan kebanjiran. Batang bambu adalah bagian yang banyak sekali dimanfaatkan seperti untuk bahan bangunan, untuk kerajinan anyaman bambu, aneka peralatan rumah tangga seperti tikar, kerei, tirai, kap lampu, keranjang sampah, tempat nasi dan lain-lain. Bisa digunakan sebagai bahan pembuatan mebel seperti kusi, meja, rak, tempat tidur, dan lemari. Selain itu batang bambujuga digunakan untuk bahan baku pembuatan kertas dan pulp serta manfaat lain untuk peralatan musik, senjata, alat olah raga maupun rekreasi. Adapun daunnya berfungsi sebagai bahan pembungkus dan obat-obatan. Buluh untuk bahan pembungkus dan pembuatan kertas, rebung, atau tunas muda bambu dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan sayur-sayuran. Dari rincian banyaknya benda atau barang yang memakai bambu sebagai bahan dasar, maka timbul pertanyaan berapa batang atan berapah ton-kah bambu yang dikomsumsi untuk keperluan industri di Indonesia?. Sebagai bahan acuan
II-49
dalam perhitungan jumlah konsumsi , berikut ini adalah data statistik konsumsi bambu di Indonesia. Selain untuk berbagai macam kegunaan, tanaman bambu itu sendiri ternyata dapat dijadikan hiasan yang indah di halaman rumah misanya bambu china (Phyllostachys spp.). Bambu china jika ditata dengan selaras akan memberikan nuansa yang asri dan sejuk serta memiliki daya tarik tersendiri. Sedangkan bambu
kuning (Bambusa vulgaris Schrad) selain indaj untuk
dijadikan tanaman hias dan dapat dijadikan tanaman obat, juga menurut kepercayaan sebagian orang, bambu ini sanggup mengusir roh-roh jahat yang ada disekitar rumah dimana bambu tersebut ditanam. Terlepas dari benar atau tidaknya mitos tersebut, paling tidak kita telah mengetahui dan mengakui bahwa tanaman bambu adalah tanaman yang sudah teruji banyak kegunaannya.
2.5.2.5. Produktifitas Bambu Produktivitas Thyrsostachys siamensis di Thailand rata-rata 1500 buluh/ha pertahun. Produksi bambu ini pada tahun panen raya 3 x pada panenan biasa yakni 3 – 5 ton/h. Produktivitas Bambusa bambos 5000 – 8000 buluh/ha/tahun, 24,7 ton/tahun pada saat panenan raya atau 5 -8 ton/ha pada panenan biasa per tahun. Di Filipina Bambusa bluncana memproduksi 960 – 16000 buluh/ha/tahun. Di India Bambusa bambos rata-rata 32 t/ha/thn. Hasil rebung Dendrocalamus asper pada tahun 1984 di Thailan sekitar 38.000 ton/ha. Di Indonesia, produksi batang mencapai 43,4 ton/ha dengan rotasi 2 tahun.
2.5.2.6. Pemasaran Bambu Mengingat kebutuhan akan bambu cukup tinggi, pamasaran dan pengusahaan bambu tentunya memiliki prospek yang baik. Jenis pemasaran bambu dapat dibagi
dalam bentuk yang yang masih gelondongan, kerajinan
tangan, mebel, bahan makanan (rebung) sumpit, tanaman hias dan lain-lain. Selain untuk dipasarkan di dalam negeri, Indonesia juga mengekspor komoditas ini ke berbagai negara. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu dari tahun 1992-1997 ini negara yang menjadi tujuan pasar atau ekspor bambu adalah jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapore, Arab Saudi, Amerika Serikat
II-50
dan beberapa negara besar di belahan Eropa misalnya Inggris, Belanda, Francis, Jerman, Belgia, Austria, Denmark, Italy, Spanyol dan Rusia. Melihat data ekspor di atas, bambu dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan dan penurunan atau bisa dikatakan tidak stabil. Hal ini bisa saja dikarenakan semakin banyaknya negara pesaing ekspor, dan beraneka ragamnya permintaan negara pengimpor yang kadang membuat harga tidak stabil. Untuk dapat meningkatkan ekspor barang-barang kerajinan bambu, perlu kiranya tetap dilanjutkan upaya pembinaan pemerintah yang bekerjasama dengan pengusaha dalam meningkatkan kualitas produksi kerajinan bambu, misalnya dengan mengurangi kelemahan-kelemahan baik dari segi teknik industri, peningkanan mutu produk dan peralatan produksi yang dimiliki. Selain itu sangat diperlukan informasi mutakhir tentang pemasaran hasil kerajinan bambu misalnya: informasi mutu, desain yang sedang trend saat itu, atau informasi tentang pasaran negara yang akan dituju. Dengan demikian kiranya dipastikan bahwa produk kerajinan bambu Indonesia dapat lebih bersaing di pasaran dunia.
2.5.3. Sagu Sagu merupakan salah satu komoditi tanaman pangan yang dapat dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada dasarnya sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Kapan sagu dikenal di Indonesia belum ada data yang pasti. Yang jelas sagu sudah lama membudaya di kalangan penduduk Kepulauan Maluku dan IrianJaya. Sagu di kedua tempat tersebut dapat dijumpai di kawasan hutan dengan banyak ragamnya. Sagu ada yang berduri panjang, ada yang tidak berduri, sedangkan di daerah lain di Indonesia biasanya hanya dijumpai satu atau dua macam sagu saja. Dilihat dan keanekaragaman dan keasliannya, diduga sagu berasal dan daerah Maluku dan Irian Jaya. Penyebaran sagu hanya terbatas di wilayah Asia Tenggara.
II-51
Sagu merupakan salah satu jenis monokotil yang memberikan banyak manfaat yang sangat besar terutama masyarakat Indonesia Bagian Timur. Komoditi tanaman pangan ini dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur yang pada dasarnya sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Penduduk Kepulauan Maluku, Irian Jaya, Sulawesi merupakan propinsi yang paling banyak memanfaatkan sagu sebagai makanan pokok. Upaya budidaya tidak banyak dilakukan malah banyak dikonversi untuk dijadikan sebagai lahan persawahan, pemukiman dan perkebunan. Komunitas sagu merupakan bagian dari satu ekosistem yang khas tetapi terancam oleh alih fungsi lahan. Negara-negara produsen sagu yang sudah dikenal hanyalah Indonesia, Malaysia dan Papua New Guinea (PNG). Sagu di negara-negara tersebut tampaknya masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja. Ada informasi bahwa Jepang pernah melakukan impor tepung sagu sekitar 20.000 ton yang digunakan sebagai bahan dasar produksi Glukosa, sirup berfruktosa tinggi, Sorbitol dan sebagainya. Secara komersial dikenal tiga jenis sagu yaitu: sagu Ihur (Metroxylon rumphii, Mart.var.Sylvestre, Mart), sagu Tuni (Metroxylon rumphii), dan sagu Molat (Metroxylon sagu, Rottb.). Diperkirakan potensi sagu di Indonesia tidak kurang dan 740.000 ha, setara dengan 5.180.000 — 8.510.000 ton tepung sagukering per tahun. Sampai sekarang pemanfaatan sagu di Indonesia pada umumnya masih dalam bentuk pangan tradisional, misalnya di-konsumsikan sebagai bahan makanan pokok dalam bentuk papeda. Di samping sebagai makanan pokok sagu juga dikonsumsi sebagai makanan pendamping seperti: sagu lempeng sinali, bagea dan lain-lain. Pada umumnya pangan tersebut diproduksi dalam skala industri kecil. Sagu di Jawa Barat, hanya daunnya dimanfaatkan sebagai bahan atap. Teknologi yang digunakan dalam pengolahan tepung sagu di Indonesia masih tradisional dan hanya sebagian kecil yang menggunakan cara rnekanik. Pengolahan sagu secara industri baru dilakukan di daerah-daerah seperti Jambi Riau dan Sumatera Selatan. Produksinya terutama untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri dan dalam jumlah terbatas pernah diekspor. Di Malaysia,
II-52
teknologi pengolahan sagu sedikit lebih maju yakni pengambilan sagu sudah dilaksanakan secara fabrikasi. Karena cara pengolahan sagu di Indonesia masih tradisional, maka produksi serta mutu tepungnya pun masih tergolong rendah. Budidaya tanaman sagu di Indonesia pada umumnya masih primitif, atau dapat dikatakan masih tumbuh secara liar. Yang jelas masih banyak petani sagu belum melaksanakan teknik budidaya sagu seperti teknik budidaya umbi-umbian atau serealea lainnya. Sagu di Indonesia masih menuntut teknik bercocok tanam secara intensif.
2.5.3.1.
Penyebaran Sagu dan Sejarah Singkat Sagu
Sagu diduga berasal dari Maluku dan Irian, karena itu sagu mempunyai arti khusus sebagai pangan tradisional bagi penduduk setempat. Hingga saat ini belum ada data yang pasti yang mengungkapkan kapan awal mula sagu ini dikenal. Diduga budidaya sagu di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat sama kunonya dengan pemanfaatan kurma di Mesopotamia. Sagu sudah dikenal sejak tahun 1200 berdasarkan catatan-catatan dalam tulisan-tulisan Cina. Misalnya Marco Polo menemukan sagu di Sumatra pada tahun 1298 dan pabrik sagu di Malaka sudah tercatat dalam tahun 1416. Ada juga ahli yang berpendapat bahwa kultur padi di Asia Tenggara telah didahului oleh suatu tahap hortikultur yang berintikan suatu kompleks pertanian vegetatif yang terdiri dari Uwi (Yam) talas dan sagu. Usaha pertanian tanaman pangan yang dibiakkan tanpa biji ini berkembang dalam kelompok masyarakat yang bermukim di lembah-lembah sekitar muara sungai atau sepanjang pantai. Pada abad ke 15 sagu dan buah-buahan masih digambarkan sebagai sumber pangan pokok di beberapa tempat di Semenanjung Melayu. Dewasa ini padi memang sudah menyebar di Indonesia seperti di Jawa, Sumatra Sulawesi dan sebagainya. Dalam istilah bahasa Jawa nasi disebut “sego ‘dan menurut para ahli bahasa kata tersebut berasal dan kata “sagu” Kata sagu sendiri masih tetap dikenal dan digunakan dalam pemberian nama panganan-panganan di Jawa, misalnya Jenang sagu, walaupun bahannya bukan berasal dari pohon sagu melainkan pohon aren.
II-53
Di wilayah Indonesia Bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya, terutama di Maluku dan Irian Jaya. Diperkirakan 30 persen penduduk Maluku dan 20 persen penduduk Irian Jaya meng-konsumsi sagu sebagai makanan pokok. Teknologi eksploatasi, budidaya dan pengolahan sagu yang paling maju saat ini adalah di Malaysia. Indonesia, khususnya dari daerah Riau sudah mulai melakukan ekspor produk sagu dalam bentuk sagu kotor
pada
tahun
1879.
Ekspor sagu bersih dan Indonesia dimulai pada tahun 1901 dan mulai ekspor dalam bentuk sagu mutiara pada tahun 1917. Sejarah yang pantas dicatat dalam perkembangan industri sagu di Indonesia adalah didirikannya sebuah industri pengolahan sagu oleh PT. Sagindo Sari Lestari pada pertengahan tahun 1989. di Arandai, Bintuni, Manokwari, Irian Jaya. Industri pengolahan sagu ini adalah yang paling modern pada saat itu. Kapasitas produksinya berkisar antara 36 - 150 ribu ton sagu kering per tahun. Hal mi benar-benar memberikan indikasi bahwa sagu, selain sebagai bahan pangan modern, merupakan bahan baku untuk berbagai macam industri. Banyak para ahli memperkirakan bahwa pusat dan asal sagu (Metroxylon sp) khususnya Metroxylon rumphii Martius dan Metroxylon sagus Rottbol adalah Maluku dan Irian. Perkiraan tersebut berdasarkan penemuan hutan sagu yang luas di daerah Maluku dan Irian yang terdiri dari kedua species di atas dan jenis lain yang hampir mirip dengan species tersebut. Diduga jenis yang mirip Metroxylon rumphii, Martius dan Metroxylon sagus Rottbol merupakan hasil perkawinan silang kedua spesies tersebut. Tanaman sagu di Halmahera, Seram dan Bum menyebar ke arah utara sampai ke Mindanao, kemudian ke arah timur sampai ke Pulau Vanikoro, ke selatan sampai di Kepulauan Aru, Pulau Damer dan pulau Timor. dan ke arah barat sampai ke Sulawesi terutama di pesisir timur. Selanjutnya menyebar ke Kalimantan, Pulau Natuna, Kepulauan Riau, Sumatra, pulau-pulau sebelah barat Sumatra, Jawa, Malaysia dan Singapura. Diduga jenis sagu yang menyebar ke arah timur adalah jenis Metroxylon rumphii Martius, dan yang menyebar ke bagiain barat adalah Metroxylon sagus Roitbol.
II-54
Sagu yang baik pertumbuhannya terutama ditemukan di Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Pasifik Selatan yang meliputi areal sekitar 2,2 juta hektar. Luas areal sagu yang terdapat di Papua Nugini dan Indonesia masing-masing diperkirakan satu juta hektar. Penyebaran dan rincian potensi sagu disetiap daerah disajikan pada Gambar 2.6 dan Tabel 2.6.
Gambar 2.6. Peta pusat daerah sagu di Malaysia, Indonesia, Phillipina dan Papua Nugini (Flach, 1983). Tabel 2.6.
Perkiraan potensi sagu di Indonesia, Papua Nugini, Ma1aysia. Thailand. Filipina dan Kepulauan Pasifik Negara/ Daerah Tumbuh Liar (Ha) Dibudidayakan (ha) INDONESIA : Irian Jaya 14.000 Malukia 980.000 10.000 Sulawesi 20.000 10.000 Kalimantan 20.000 Sumatra 60.000 Total 1.000.000 114.000 PAPUA NUGINI: Propinsi Sepik 500.000 33.000 Propinsi Gulf 400.000 5.000 Propinsi lain 100.000 10.000 Total 1.000.000 48.000
II-55
Tabel 2.6. Lanjutan Negara/ Daerah MALAYSIA: Sabah Serawak Malaysia Timur THAILAND FILIPINA KEPULAUAN PASIFIK Total Sumber: Flach (1983)
Tumbuh Liar (Ha)
Dibudidayakan (ha)
2.000.000
10.000 20.000 3.000 5.000 5.000 10.000 187.000
Sagu di Indonesia meliputi areal 850.000 ha yang tersebar terutama di daerah Irian Jaya (Inanwatan, Sentani, Waropen, Membramo, Paniai, Salawati, dan Agats), Maluku, Kalimantan Selatan (bagian selatan dan tengah), Kalimantan Timur (di sepanjang sungai Mahakam), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah (bagian selatan), Bengkulu, Pulau Mentawai, pantai barat Sumatra Barat, Pantai timur Riau, dan Sumatra Utara serta beberapa tempat di Aceh, Bogor, Banten, Sukabumi, Cianjur dan pantai utara Jawa Tengah. Daerah-daerah penyebaran sagu di Indonesia disajikan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Peta areal sagu di Indonesia (Soekarto dan Wijandi. 1983)
Sebenarnya sampai saat ini luas areal Sagu di Indonesia belum diketahui secara pasti. Akan tetapi berdasarkan prakiraan Darmawan Soedewo dan Bambang Hariyanto (1983) luas areal Sagu di Indonesia sekitar 716.000 ha, sedangkan Soekarto dan Wijandi (1983) memperkirakan potensi sagu di Indonesia seluas 850.000 (Tabel 2.7).
II-56
Tabel 2.7. Perkiraan luas sagu di beberapa propinsi di Indonesia Propinsi Irian Jaya Maluku Sulawesi Selatan dan lainnya di 1uar Sulawesi Tenggara Sulawesi Tenggara Kalimantan Barat dan Lainnya
Perkiraan luas Daerah/Lokasi (x 1.000 ha) 600 Sorong, Paniai, Waropen, Membramo, Sentani, Fakfak, dan Merauke. 30 – 77,7 Kolaka. Kendari dan Buton P. Seram, Buru. 4 – 37,0 Halmahera, Bacan Ambon dan Saparua. Mamuju, Luwu, Sulawesi
5 — 13,7 Tengah dan Minahasa Timur. 2—50 Sambas, Pontianak,lembah mahakam,Barito dan Kapuas, dan KalTeng. Sumatra tanpa Riau 40 Aceh Sumut dan Bengkulu Riau 30 - 3 1,90 Indragiri Hilir, Bengkalis,Kampar dan Kep. Riau. Pandeglang, Lebak. Jawa Barat dan Jawa 0,3 - 2,0 Pandeglang, Lebak, Bogor. Sukabumi, Banten dan Pantai Utara Jawa Tengah. TOTAL 716,30 - 852,30 Sumber : Darmawan Soedewo dan Bambang Harianro (1983),Sukarto dan Wijandi (1983) Di Irian Jaya yang merupakan salah satu pusat penyebarañ sagu di Indonesia, Manan dan Supangkat (1986) memperkirakan luas areal hutan sagu sekitar 4,2 juta hektar yang tersebar di beberapa daerah (Tabel 2.8). Secara kontroversial Manan dan Supangkat (1986) yang menyebutkan bahwa luas areal sagu di kabupaten Sorong sekitar 81.000 hektar. BPPT (1987) mencatat bahwa luas hutan sagu, khusus di kecamatan Inanwatan yang terletak di Kabupaten Sorong, adalah sekitar 270 000 ha yang tersebar di daerah Bintuni sekitar sungai Kamundan, sungai Kais, sungai Metamani, Inanwatan dan Teminabuan. Tabel 2.8. Luas areal hutan sagu di Irian Jaya Daerah Merauke Fakfak Jayapura Serui Sorong 1) Sorong 2): a. Bintuni b. Sungai Kamundan
Luas (ha) 3.569.130 89.840 36.670 88.020 81.810 50.200 66 .050 94.600
II-57
Tabel 2.8. Lanjutan Daerah c. S. Kais dan Metamani d. Inanwatan e. Teminabuan Manokwari Biak Total Irian Jaya: Sumber: 1) Manan dan Supangkat (1986)
Luas (ha) 53.050 6.200 270. 100 11.330 6.500 4.183.300 – 4.371.590
Potensi sagu di Maluku berdasarkan hasil survei BPPT dan Universitas Pattimura pada tahun 1981, luas areal sagu adalah 30.048 hektar yang tersebar di Pulau Seram, Halmahera, Pulau Buru dan Pulau Bacan (Tabel 2.9). Tabel 2.9. Sebaran dan luas areal sagu di Propinsi Maluku Kabupaten/Kecamatan 1.
2.
3.
Maluku Tengah. Seram Barat I Seram Barat II Werinama Amahai Buru Utara Barat Buru Utara Timur Buru Selatan Maluku Utara Kao Bacan
Luas Areal ( ha) 3.200 2.350 4.200 1.150 240 588 10 11.736
Lokasi (Kecamatan)
Peru, Ariate dan Sekitarnya. Hatusua dan Sekitarnya. Werinama, Atiahu dan sekitarnya. Waraka dan Sekitarnya. Air Buaya Waisuhan dan Sekitarnya Kawiri
10.000 Toliwang dan sekitarnya 2.235 Labuhan dan sekitarnya 12.235
Halmahera Tengah Oba Wasile
5.625 Payahe, Toseho dan Akelamo 450 Soebaem dan sekitarnya 6075 Sumber : BPP Teknologi (1982), Buku. I. 11 Win III
II-58
Gambar 2.8. Potensi tanaman sagu
Tanaman sagu, khususnya jenis Metroxylon sagus Rottbol, banyak dijumpai di daerah Jawa Barat, terutama di daerah-daerah Kabupaten Sukabumi, Bogor, Lebak dan Pandeglang. Berbeda dengan daerah lainnya, sagu di Jawa Barat menyebar dalam bentuk kelompok-kelompok kecil di sepanjang aliran sungai atau di sekitar sumber air lainnya. Kelompok sagu yang lebih luas jarang ditemui di daerah ini. Berdasarkan hasil survei BPPT bersama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1981 luas areal Sagu di daerah ini sekitar 260 hektar yang sebarannya dapat dilihat pada Tabel 2.10.
II-59
Tabel 2.10. Sebaran dan luas areal sagu di Jawa Barat Kabupaten Luas (ha) Lokasi (Kecamatan) Pandeglang 191 Labuan Menes dan Pagelaran Lebak 30 Malimping dan Banjarsari Bogor 32 Jasinga, Parung Panjang dan Cigudeg Sukabumi 9 Cibadak. Pelabuhari Ratu dan Cisolok. Tota1 262 Suinber: BPP Teknologi (1982 c), Buku IV. V dan VI
Areal sagu di Sulawesi Tenggara diperkirakan seluas 13.706 hektar yang tersebar di tiga Kabupaten, yaitu Kendari (10.812 ha), Kaloka sekitar 2 821 ha dan Buton sekitar 73 ha. Sagu di daerah ini dikenal ada empat macam atau jenis sesuai nama lokalnya, yaitu sagu Runggu Manu, sagu Rui, sagu ROl, dan sagu Boruwila. Penyebaran sagu di Sulawesi Selatan tampaknya berpusat di Kabupaten Luwu, dan diperkirakan mençapai 29.500 hektar. Produksi sagu dan daerah ini mencapai sekitar 70.000 ton per tahun. Areal sagu di kabupaten ini tersebar di sembilan kecamatan yaitu Kecamatan Masamba (terluas), Wotu, Malangke, BoneBone, Larompong, Bajo, Bupon, Suli dan Wara. Sagu yang terdapat di Wilayah Kalimantan Barat tumbuh Secara alamiah dan tidak teratur. Luasnya mencapai sekitar 2.430 hektar yang tersebar di Kabupaten Sambas, Pontianak, Ketapang dan Kabupaten Sanggau. Sagu di daerah ini tersebar dalam kelompok-kelompok rumpun-rumpun kecil yang terdapat di daerah sepanjang bantarn sungai, rawarawa dan ada juga yang tumbuh berdampingan dengan pohon karet. Sagu di Kalimantan Tabel 2.11. Sebaran dan luas areal sagu di Riau Kabupaten Indragiri Hilir Bekalis Kepulauan Riau Kampar Sumber : Rosyid dkk (1982)
Luas Daerah (ha) 1.160.577 3.064.683 809.970 2.829.186
Luas Areal Sagu (ha) 16.279 12.035 2.433 919
Barat hanya tersebar di empat Kabupaten: Sambas, seluas 1.380 ha (tersebar di sepanjang bantaran sungai Sambas Kecil, S Bantanan S Tebes dan S Selakau), Pontianak 650 ha (sepanjang bantaran S Kapuas Besar-Kecil S Landak, II-60
S. Ambawang dan sepanjang jalan raya Pontianak ke Ngambang); Kabupaten Ketapang 230 hektar (sekitar S. Pawan, S. Melano dan S. Tengar) dan Kabupaten Sanggau 170 ha (sepanjang bantaran S. Sekayarn, S. Sekadau dan S. Kapuas). Tanaman Sagu di Propinsi Riau telah dikelola oleh Petani dalam bentuk kebun Sagu yang tersebar di empat Kabupaten yaitu Indragiri Hilir Bengkalis Kepulauan Riau dan Kampar Luas areal sagu di Riau sekitar 31. 666 hektar atau sekitar 0.33 % dari luas daerah Riau. Selain itu di Riau, khususnya di Kabupaten Bengkalis, telah dilakukan usaha perluasan areal sagu yang pada tahun 1982 sudah mencapai 2.400 hektar.
2.5.3.2.
Populasi dan Produksi Sagu
Pada umumnya tanaman sagu tumbuh secara liar, namun ada juga yang sengaja ditanam oleh petani meskipun jarak tanam dan tata ruangnya belum memenuhi syarat agronomi.
Populasi tanaman sangat tergantung dari jenis,
daerah produksi dan perlakuan yang diberikan selama masa pertumbuhan. Pertumbuhan sagu yang diusahakan atau dibudidayakan populasinya lebih padat daripada yang tumbuh secara liar. Demikian juga jumlah pohon yang dapat dipanen dalam satu hektar pun setiap tahunnya berbeda-beda. Di daerah Maluku, populasi pohon sagu per hektar cukup padat, bahkan mencapai ribuan pohon. Dan hasil survei BPP Teknologi dan Universitas Pattimura pada tahun 1981 terlihat bahwa populasi tanaman sagu di daerah Maluku sangat bervariasi, baik dalam tingkat pertumbuhannya maupun jumlah pohon di setiap daerah atau pulau tempat sagu tersebut tumbuh. Populasi sagu paling banyak adalah pada tingkat semai, dan semakin tinggi tingkat pertumbuhannya semakin berkurang populasinya. Populasi sagu per hektar di pulau Buru umumnya lebih padat daripada di pulau-pulau lainnya. (Tabel 2.12.).
II-61
Tabel 2.12. Populasi sagu di Pulau Seram, Buru dan Halmahera TingkatPertumbuhan
Populasi (pohon per ha) Seram Buru Semai 1455- 4252 2900 - 4427 Sapihan 60 - 250 966 - 1483 Tiang 82 - 154 107 - 150 Pohon 32 - 130 10 - 183 Masak Tebang 10 - 114 34 - 88 Sumber: BPPTeknologi (1982), Buku I, II dan III
Halmahera 1352- 4648 82 - 1640 136 - 140 40 - 68 28 - 51
Di daerah Inanwatan (Irian Jaya), populasi pohon sagu dalam satu hektar lebih kecil daripada populasi sagu di daerah Maluku. Akan tetapi, populasi sagu pada tingkat pohon di Inanwatan lebih besar. Hasil survei BPP Teknologi bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor dan Universitas Cendrawasih pada tahun 1986 menunjukkan kerapatan pohon sagu per hektarnya terdiri atas: 1. tingkat semai 90 - 140 pohon 2. tingkat sapihan dan tiang 40 - 65 pohon 3. tingkát pohon 141 - 200 pohon 4. tingkat masak tebang 30 - 40 pohon Menurut perkiraan jumlah pohon sagu yang siap dipanen di daerah Maluku berkisar antara 15 - 60 batang per hektar, tergantung jenisnya (Tabel 2.13.). Tabel 2.13. Populasi sagu siap panen berdasarkan jenisnya Jenis Sagu M. silvester MART (Ihur) M. rumphii MART (Tuni) M. sagus ROTTB (Molat) M. longispinut MART (Makanaru) M. micracamthum MART (Rotan) Sumber: Soekarto dan Wijandi (1983)
Populasi SiapTebang 40 - 60 40 - 60 25 - 30 20 15
Peneliti lain melaporkan bahwa jumlah tanaman sagu yang dapat ditebang setiap tahunnya rata-rata 20 batang per hektar. Sedangkan di Riau, populasi sagu per hektar cukup padat, yaitu mencapai 125 batang/ha, dan per hektarnya mencapai 60 batang yang siap dipanen per tahun. Sedangkan di Irian Jaya, populasi dan produktivitas sagu per hektar per tahun lebih rendah daripada di
II-62
Riau, yaitu sekitar 30 batang per hektar. Di Inanwatan, menurut hasil penelitian BPP Teknologi, jumlah pohon sagu yang dapat ditebang diperkirakan 35—40 pohon per hektar per tahun, yang produksinya mencapai sekitar 120 — 175 kg aci kering per pohon. Apabila tanaman sagu tersebut dibudidayakan diperkirakan bahwa jumlah pohon sagu yang dapat dipanen mencapai sekitar 100 pohon /ha/tahun. Produksi aci sagu sangat bervarasi tergantung dari jenis dan keadaan lingkungan tempat sagu tersebut tumbuh. Sagu yang tumbuh di hutan-hutan secara a1amiah di Indonesia dan di Papua Nugini terdapat 40 – 60 pohon/ha yang dapat dipanen setiap tahun, yang produksinya mencapai antara 7— 11 ton aci sagu kering dan nilainya mencapai 28- 44x 104 kcal. Sedangkan apabila sagu telah dibudidayakan dalam bentuk perkebunan, setiap tahun dapat dipanen sekitar 138 pohon/ha dengan produksi aci sagu kering mencapai 25 ton dengan nilai 100 x 106 kcal. Di Pulau Seram produksi sagu per pohon rata-rata 280 kg aci sagu basah. Di Irian Jaya dari sejumlah 25 pohon/are/tahun diperoleh aci sagu basah sekitar 3.125 - 4.375 kg dengan kadar air 35 - 45 persen. Pertumbuhan tanaman sagu yang baik di Serawak rata-rata dapat dipanen 30 pohon/are/tahun dengan produksi 8.100 kg aci sagu kering. Data lain dari Ambon menyebutkan bahwa setiap batang sagu menghasilkan 400—640 kg sagu basah. Setiap batang sagu manghasilkan aci sagu basah 500 - 600 kg. Produksi setiap pohon sagu dari berbagai jenis di Seram Barat. Pada umur di atas 11 tahun, setiap pohon sagu dapat menghasilkan aci sagu kering sekitar 144 - 265 kg (Tabel 2.14.). Tabel 2.14. Produksi aci dan berbagai jenis sagu di Seram Barat Jenis Sagu
Berat batang (kg) 1.M. rumphii 1.281 2. M. sagus 1.250 3. M. sylvester 1.244 4.M.longispinum 1.190 Sumber: Rumalatu (1981)
Tinggi batang (m) 15,9 14,7 16,0 15,2
Berat empulur (kg) 1.057 1.007 1.001 964
Hasil aci kering 265 237 227 144
Kadar air (%) 12,3 14,0 12,1 14.8
II-63
Di Irian Jaya produksi aci dalam setiap pohon sagu berbeda-beda, yakni berkisar antara 300 - 700 kg aci basah (Tabel 2.15.). Tabel 2.15. Ukuran batang, umur dan hasil aci sagu di Irian Jaya Daerah
Tinggi Diameter batang batang (m) (cm) 1.Jayapura 10—15 52 2.Kaimana 10—20 50—75 3.Sorong 8—12 45—60 4.Paniai 10—14 60—80 5.Yapen Waropen 10—15 50—65 6.Merauke 7—10 50—60 Sumber: Universitas Cenderawasih (1979)
Umur panen (th) 8—10 7—10 8—10 7—10 10—12 10—15
Hasil Aci Basah (kg/bt) 400 400 — 700 300—375 360 —500 400 — 500 300—500
Produksi aci dan setiap pohon sagu di Jayapura rata-rata 250 kg. Sedangkan komposisi setiap batangnya dapat kita lihat pada Tabel 2.16. Tabel 2.16. Produksi rata-rata pohon sagu dari Jayapura Perbandingan Total Berat terhadap total segar Segar (kg) (kg) Batang 1250 100 Kulit 400 32 Kadar Aci 850 68 Kadar Air 425 34 Sisa Lainnya 175 14 Sumber : Colon (1958) dalam Flach (1983) Bagian
Perbandingan terhadap Empulur (%) 100 50 21
Berdasarkan analisis statistik dan jumlah pohon sagu yang terdapat di hutan Su1awesi, Irian Jaya, diduga bahwa produksi aci dalam satu pohon sagu rata-rata 150 kg dengan kisaran 90 kg - 325 kg (Tabel 2.17.). Tabel 2.17. Produksi rata-rata aci sagu dan pohon sagu di Salawati Irian Jaya Bagian Rata-rata Kisaran Kulit 25% Kadar air Empulur 66% 60 — 70% Tepung pada Empulur 20.2% 15 — 30% Kandungan tepung perpohon 150kg 90 kg—325 kg Sumber : Vegter, dkk (1983)
II-64
Sebagai perbandingan dapat kita lihat data sagu di Papua Nugini yang dilaporkan oleh Toyo Menka Kaisha, Ltd. (1972). Hasilnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan tanaman sagu di Irian Jaya (Tabel 2.18.). Tabel 2.18. Data tanaman sagu di lembah Sungai Sepik Papua Nugini Ukuran Keliling Batang (m) Tinggi Batang (m) Diameter (cm) Specific Gravity Berat Batang Kotor (kg) Kandungan Aci (%) Kandungan Aci per batang (kg) Perbandingan Pohon sagu liar terhadap yang dibudidayakan Sumber: Toyo Menka Kaisha, Ltd (1972)
Hasil 1,34 6,1 43 0,88 800 21,4 137,7 8:2
Di daerah Riau, produksi aci dari setiap pohon sagu berkisar antara 150 300 kg (Tabel 2.19.). Di Sulawesi Tenggara produksi aci dari setiap pohon sagu berkisar antara 200 - 450 kg sagu basah. Di Kalimantan Barat produksi aci dari setiap pohon sekitar 175 - 210 kg sagu basah dan di Kepulauan Mentawai produksi aci dari setiap pohon sekitar 300 - 400 kg sagu basah. Tabel 2.19. Produksi aci per pohon di Riau Daerãh Sampel Produksi Aci Basah (kg/bt) 1. Kampar 150 -200 2. Indragiri Hilir 138—267 3. Bengkalis 200 — 300 4. Kepulauan Riau 300 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dati I Riau (1980)
2.5.3.3.
Sistematika
Sagu terrmasuk tumbuhan monokotil dan keluarga (famili) Palmae marga (genus) Metroxylon dan ordo Spadiciflorae. Di kawasan Indo pasifik terdapat lima marga Palma yang zat tepungnya telah dimanfaatkan. yaitu Metrexylon, Arenga, Corypha, Euqeissona dan Caryota. Wilayah pemeliharan kelima marga tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
II-65
Gambar 2.9.
Peta penyebaran Corypha, Arenga, Euqeissona dan caryota (Ruddle, dkk, 1976).
Sagu jenis Arenga banyak ditemukan di Filipina dan Indonesia seperti di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Genus yang banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga, karena kandungan acinya cukup tinggi. Nama Metroxylon berasal dar bahasa Yunani yang terdiri dari kata Metra dan Xylon. Metra beranti isi batang atan empulur (pith) dan xylon berarti xylem. Sagu hampir dikenal oleh seluruh masyarakat Indonesia, tetapi namanya berbeda-beda di setiap daerak Metroxylon sp dikenal dengan nama Rumbia di Minangkabau; Kirai di Jawa Barat; bulung, kresuia, ambulung, bulu, rembulung atau resula di Jawa tengah: lapia atau napia di Ambon; bak meurauya atau bak sagee di Aceh; meriue, rembiue atau Rumbieu di Gayo; Rumbia atau baruhur di daerah Batak; Saku di Nias; pohon sagu di Malaysia; rembiau di Serawak; bhulung di Madura; ambulung di Bali; rambia atau humbia di Sangir Talaud; tumba di Gorontalo: puntaworo di Toli-toli; Pogalu atau tabaro di Toraja; rambiam atau rabi di Kepulauan Aru; er di Kepulauan Kai; bai atau bonfia di Pulau Seram; empi honi di Pulau Aru; huda di Ternate dan hula ma rohi di Tidore. Secara garis besar sagu digolongkan dalam dua golongan, yaitu yang hanya berbunga atau berbuah sekali dan yang berbunga atau berbuah dua kali atau lebih. Golongan pertama sangat penting nilai ekonominya karena kandungan acinya tinggi. Golongan ini terdiri dan lima jenis atau species, yaitu: II-66
- Metroxylon rumphii Martius - Metroxylon sagus Rottbol - Metroxyion sylvester Martius - Metroxylon longispinum Martius dan - Metroxylon micracantum Martius Golongan kedua terdiri dan species Metroxylon filarae dan Metroxylon elatum, yang banyak tumbuh di dataran-dataran yang relatif tinggi, tetapi kandungan acinya rendah. Walaupun secara umum dikenal lima jenis sagu yang berbunga sekali dan bernilai ekonomi penting, tetapi di P. Seram terdapat beberapa jenis sagu yang berbunga atau berbuah satu kali, dan morfologinya sangat berbeda dengan kelima jenis utama tadi. Jenis-jenis sagu tersebut dikenal dengan nama sagu “molat berduri” sa gu duri puti atau sagu “tuni putih” dan sagu “tuni hitam”. Jenis molat berduri hampir sama dengan Metroxylon sagus Rottbol, sedangkan jenis putih atau tuni putih dan tuni hitam hampir menyerupai Metroxylon rumphii Martius. Jenis sagu yang diuraikan dalam buku ini terutama dari golongan sagu berbunga atau berbuah sekali.
2.5.3.4.
Jenis-jenis Sagu
1. Metroxylon rumphii Martius. Jenis sagu ini di P. Seram dan Ambon dikenal dengan nama Lapia Tuni. Lapia berarti sagu dan tuni berarti murni. Jadi menurut penduduk setempat jenis sagu turi adalah asli. Di daerah Ternate sagu ini disebut harumabai, sedangkan di daerah Bacan disebut tirus dan di Sulawesi Tenggara disebut lunggumonu. Ciricirinya adalah sebagai: a. Tinggi batangnya sekitar 10 – 15 bahkan dapat mencapai 18 m atau lebih, dan tebal kulit sekitar 2 – 3 cm. b. Kulit pada bagian pangkal batang lebih tebal daripada kulit pada bagian tengah atau bagian ujung batang. c. Diameter pada pangkal sampai pada ujung batang hampir sama, kecuali pada dasar pangkal karena perakarannya dangkal.
II-67
d. Daunnya berwarna hijau tua, dan panjang tangkai (pelepah) daun sekitar 5 - 7 m. Tangkai daunnya berduri pada bagian pangkal sampai ujung, juga pada pinggiran daunnya. e. Panjang daun 1 - 4 cm dan pada anakan sagu durinya sangat banyak dan rapat. f. Setiap tangkai daun terdiri dari 100 - 200 anak daun yang panjangnya 80 - 120 cm dan lebarnya 5 - 10 cm. g. Jenis sagu ini mempunyai perakaran yang dangkal dan banyak terubusnya. h. Berat batang pada umur panen lebih dari 1 ton. Empulurnya lunak dan sedikit mengandung serat sehingga mudah ditokok. i. Kadar empulurnya mencapai sekitar 82 persen dari berat batang dan kandungan aci sekitar 20%. j. Acinya berwarna putih dan enak rasanya. Setiap pohon dapat menghasilkan 170 - 500 kg aci kering. Sagu ini merupakan jenis sagu yang paling besar ukurannya dibandingkan dengan jenis lainnya.
2. Metroxylon Sagus Rottbol Jenis sagu ini terdapat di seluruh Indonesia dan acinya telah lama diperdagangkan di pasaran Eropa. Jenis sagu ini oleh masyarakat Maluku Tengah dikenal dengan nama sagu “Lapia Molat” atau “Molaty” atau sagu “betina” karena tidak berduri. Di daerah Ternate sagu ini dikenal dengan nama hanai putih dan molat putih (khususnya di daerah Saparua), sedangkan di Sulawesi Tenggara disebut sagu roe. Jenis sagu ini banyak dijumpai di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut: a.
Tinggi batang sekitar 10 - 14 m, diameter sekitar 40 - 60cm dan
b.
berat batang mencapai 1,2 ton atau Iebih.
c.
Jenis sagu ini tidak berduri, ujung daun panjang meruncing sehingga dapat melukai orang bila tersentuh.
d.
Letak daun berjauhan panjang tangkai daun sekitar 4,5 m, panjang lembaran dauri sekitar 1 5 m dan lebamya kira-kira 7 cm.
e.
Bunganya adalah bunga majemuk berwarna sawo matang kemerah-merahan
II-68
f.
Empulurnya lunak dan berwarna putih, oleh karena itu acinya berwarna putih dan enak rasanya sehingga sangat disukai oleh penduduk.
g.
Berat empulur sekitar 80 persen dari berat batang, dan kandungan aci sekitar 18 persen. Setiap pohon dapat menghasilkan aci basah sekitar 800 kg atau sekitar 200 kg aci kering.
3. Metroxylon Sylvester Martius Sagu jenis ini di Seram Barat dan di Maluku Tengah dikenal dengan nama Lapia Ihur atau sagu Ihur dan banyak terdapat di Halmahera. Ciri-cirinya adalah Sebagai berikut: a.
Pohonnya relatif lebih tinggi daripada jenis yang lain. yaitu sekitar 12 – 16 m bahkan dapat mencapai 20 m.
b.
Diameter batang sekitar 60 cm, berat batang sekitar 1,2 ton dan tebal kulit 1 3 cm.
c.
Tangkai daun sekitar 4 - 6 m. Daunnya berwarna hijau tua, tulang daun yang lunak, dan ujungnya membengkok ke arah bawah. Di sekitar pelepah dan sepanjang tangkai daun terdapat duri yang panjangnva sekitar 1- 5 cm.
d.
Empulurnya agak keras, mengandung banyak serat dan berwarna kemerahmerahan, sehingga aci yang dihasilkan berwarna kemerah-merahan. Berat empulur sekitar 81 persen dari berat batang, dan kandungan aci sekitar 17 18 persen. Setiap pohon dapat menghasilkan sekitar 150 kg aci kering.
4. Metroxylon longispinum Martius Sagu ini banyak dijumpai di Maluku. terutama di P. Ambon dan di Pulau Seram dikenal dengan nama lapia makanaru. Di daerah Ambon sering juga disebut sagu merah, karena warna acinya kemerah-merahan. Sedangkan di daerah Bacan disebut siksi dan di daerah Ternate disebut nau. Ciri-cirinya adalah Sebagai berikut: a. Tinggi batang sekitar 12 — 15 m, diameter sekitar 50 cm. Berat batang sekitar satu ton dan empulur sekitar 80 persen dari berat batang. b. Tangkai daun pendek, yaitu sekitar 4 - 6 m, dan banyak berduri. Anak daun kecil-kecil, panjagnya sekitar 80 - 120 cm, dan pada pinggir daun penuh duri.
II-69
c. Kandungan aci dalam empulur hanya sekitar 200 kg per pohon dan rasanya kurang enak.
5. Metroxylon microcanthum Martius Di Maluku Tengah jenis sagu ini dikenal dengan nama lapia luliuma atau sagu daun rotan, karena daunnya penuh dengan daun yang agak pendek seperti daun rotan. Sedangkan di Sulawesi Tenggara disebut saga daun. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut: a.
Tinggi batang sekitar 8 m, dan diameter sekitar 40 cm.
b.
Produksi aci dalam tiap pohon hampir sama dengan Metroxylon sylvester Martius.
c.
Empulurnya tidak cepat mengalami proses fermentasi atau pengasaman, sehingga tidak cepat busuk setelah dipanen.
2.5.3.5.
Botani Sagu Klasifikasi
Sagu, sago, lapia atau angkrik (Metroxylon, sp), termasuk ordo: Spadicif1orae. Familia: Palmae. Dari famili palmae, banyak yang dapat menghasilkan tepung karbohidrat. Tepung sagu tulen diambil dan salah satu anggota famili Palmae, yaitu dan genus Metroxylon, yang selanjutnya lazim disebut palma sagu, lapia, sago atau angkrik. Palma sagu (Metroxylon sp) dalam botani digolongkan menjadi dua yaitu: Palma sagu yang berbunga/berbuah sekali (Hapaxanthic) dan palma sagu yang berbunga/berbuah dua kali atau lebih (Pleonanthic). Dari dua golongan tersebut, yang memiliki arti ekonomis penting adalah golongan hapaxanthic, palma sagu ini mengandung karbohidrat lebih banyak dibanding dengan Pleonanthic; sagu Pleonanthic tidak akan dibicarakan dalam buku ini. Golongan Hapaxanthic terdiri dan lima varietas penting, yaitu: a. Metroxylon sagus, Rott.atau Sagu MOLAT b. Metroxylon rumphii, Mart.atau Sagu TUNI c. Metroxylon rumphii, Mart .var . Sylvestre Mart, atau sagu IHUR
II-70
d. Metroxylon rumphii, Mart.var.Longispinum Mart, atau sagu MAKANARU e. Metroxylofl rumphii, Mart.var.Micrcanthum Mart, atau sagu ROTAN. Dari kelima varietas ini yang memiliki arti ekonomis penting adalah Ihur, Tuni dan Molat. Ihur dan Tuni berduri sedangkan Molat tidak berduri sehingga disebut sagu perempuan. Sagu Tuni dan Molat enak rasanya, sedangkan sagu Ihur kurang enak. Sagu Tuni dan Ihur mempunyai kesanggupan beranak yang tinggi, sedang sagu molat pada umumnya anakan yang dibentuk jauh lebih sedikit. Habitus Ihur dan Tuni tumbuh lebih kuat daripada Molat, tinggi batang Ihur 10-20 m; Tuni 10-12 m dan Molat 9-10 m.
Morfologi Sagu Sagu mempunyai tanda-tanda morfologi seperti Aren (Arecha sp), perbedaannya, Aren tidak membentuk rumpun, sedangkan sagu tumbuh dalam bentuk rumpun. Batang Aren hampir seluruhnya diliputi ijuk hitam, sedangkan sagu hanya mempunyai ijuk hitam sedikit pada pinggiran pelepah daunnya sehingga batang sagu tampak jelas, mirip pohon pinang. Pada rumpun sagu rata-rata terdapat 1-8 batang, pada setiap pangkal batang tumbuh 5-7 batang anakan. Pada kondisi liar, rumpun sagu ini akan melebar dengan jumlah anakan yang banyak dalam berbagai tingkat pertumbuhan. Anakan tersebut sedikit sekali yang tumbuh menjadi pohon dewasa. Tingkat pertumbuhan batang dibedakan sebagai berikut: a.
Tingkat semai : tinggi batang sampai 0,50 m
b.
Tingkat sapihan : tinggi batang 0,50—1,50 m
c.
Tingkat tiang : tinggi batang 1,50—5 m.
d.
Tingkat pohon : tinggi batang lebih dan 5 m.
1. Batang Batang
sagu
merupakan
silinder
yang
berfungsi
untuk
mengakumulasi/menumpuk karbohidrat. Tinggi batang sagu dan permukaan tanah sampai pangkal bunga berkisar antara 10-15 m, dengan diameter batang pada bagian bawah mencapai 35-50 cm. Pada waktu panen batang sagu bisa mencapai berat 1 ton, di mana ±20% empulur mengandung tepung, sehingga 1
II-71
pohon sagu mampu menghasilkan 150-300 kg tepung sagu basah. Berat tersebut masih ditambah berat akar dan mahkota daun - + 50 kg. Sagu berakar serabut dengan jumlah yang besar, sehingga sagu dapat menyesuaikan din pada lahan yang air tanahnya anaerobik Batang sagu merupakan bagian yang terpenting, kareña merupakan gudang penyimpanan aci atau karbohidrat yang lingkup pemanfaatannya dalam industri sangat luas, seperti industri pangan, pakan, alkohol dan bermacammacam industri kimia lainnya. Ukuran batang sagu berbeda-beda, tergantung dari jenis, umur dan 1ingkungan atau habitat pertumbuhannya. Pada umur 3 11 tahun tinggi batang bebas daun sekitar 3 - 16 m, bahkan dapat mencapai 20 m. Sagu memiliki batang tertinggi pada umur panen, yakni 11 tahun ke atas. Pada tingkat umur ini perbedaan tinggi batang untuk setiap jenis sagu tidak jauh berbeda, tetapi pada umur di bawah 11 tahun perbedaannya sangat mencolok. Perbedaan tinggi batang dari setiap jenis sagu pada tingkat umur dan lingkungan yang sama tergantung dari sifat genetis dan kemampuan pertumbuhannya. Jenis sagu yang memiliki sifat genetis dan daya adaptasi terhadap lingkungan yang baik akan memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik pula. Batang sagu berbentuk silinder, dan diameter sekitar 50 cm bahkan dapat mencapai 80 – 90 cm. Umumnya diameter batang bagian bawah agak lebih besar daripada bagian atas, dan batang bagian bawah umumnya mengandung pati yang lebih tinggi daripada bagian atas. Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat dan aci. Tebal kulit luar yang keras sekitar 3 - 5 cm dan bagian ini di daerah Maluku sering digunakan sebagai bahan bangunan. Pohon sagu yang umurnya masih muda, kulitnya lebih tipis dibandingkan dengan sagu dewasa. Berat batang sagu berbeda-beda, tergantung dari tingkat umur dan lingkungan
pertumbuhannya. Selama pertumbuhan, sagu menyimpang aci
dalam batangnya, sehingga apabila berat batang semakin bertambah sesuai dengan pertambahan tinggi dan diameternya, kandungan acinya pun
II-72
bertambah. Pada umur panen (11 tahun) berat batang sagu mencapai 1,2 ton. Bahkan di daerah Inanwatan, Irian Jaya, terdapat sagu yang berat empulur batangnya mencapai 1,7 ton atau berat seluruh batangnya sekitar 2 ton, sedangkan di daerah Jawa Barat terdapat sagu berat batangnya hanya sekitar 300 kg pada umur panen, karena daunnya sering diambil untuk atap selama pertumbuhannya. Berat kulit batang sagu sekitar 17 - 25 persen dari berat batang, sedangkan berat empulurnya sekitar 75 - 83 persen. Perbandingan antara berat kulit dan empulur selama pertumbuhan sagu relatif tetap. Secara makroskopis struktur batang sagu dari arah luar terdiri dari lapisan sisa-sisa pelepah daun, lapisan kulit luar yang tipis dan berwarna kemerah-merahan lapisan kulit dalam yang keras dan padat berwarna coklat kehitam-hitaman kemudian lapisan serat dan akhirnya empulur yang mengandung aci dan serat-serat (Gambar 2.10.).
Gambar 2.10. Penampang membujur batang sagu (Rumalatu, 1981)
Lapisan kulit paling luar berupa lapisan sisa-sasa daun dari sebagian pelepah sagu yang terlepas, sehingga yang kelihatan hanya lapisan kulit tipis membungkus kulit dalam yang keras. Pada tanaman sagu yang masih muda, kulit dalam ini tipis dan tidak begitu keras. Serat dan empulur pada sagu muda masih lunak dan banyak mengandung air, sedangkan pada sagu dewasa sampai umur panen empulur dan serat-seratnya sudah mulai agak kering dan keras. Kandungan aci dalam empulur batang sagu berbeda-beda, tergantung dari umur, jenis dan lingkungan tempat sagu itu tumbuh. Makin tua umur tanaman sagu, kandungan aci dalam empulur makin besar, dan pada umur
II-73
tertentu kandungan aci tersebut akan menurun. Penurunan kandungan aci dalam batang sagu biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga. Karena itu para petani sagu dengan mudah dapat mengenal saat rendemen aci sagu mencapai maksimum. Pada umur 3 - 5 tahun, empulur batang belum banyak mengakumulasi aci, akan tetapi pada umur 11 tahun ke atas, sekitar umur panen, empulur sagu mengandung aci sekitar 15 - 20 persen. Di daerah Inanwatan Irian Jaya terdapat sagu yang empulurnya mengandung pati sampai 25 persen, sehingga satu pohon dapat menghasilkan aci sampai 400 kg. Penumpukan karbohidrat sebagai hasil proses fotosintesis mencapai tingkat maksimal dalam semua jaringan batang sagu pada saat sagu mencapai umur dewasa sampai panen, sehingga pada tingkat umur ini empulur mengandung aci tinggi. Dalam kondisi ini berlangsung proses perubahan gula menjadi molekul-molekul aci. Peningkatan kadar aci berlangsung sampai fase pembentukan primordia bunga. Setelah lewat fase primordia, kandungan pati mulai menurun karena dipergunakan sebagai energi untuk proses pembentukan bunga dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah, batang akan menjadi gabug (kosong), kemudian sagu akan mati. Struktur empulur secara mikroskopis terdiri dari butiran-butiran dan serat-serat halus yang berbeda menurut jenis dan umur sagu. Bentuk butiran ini tidak bundar tetapi bulat telur dan pinggirnya ada yang tidak rata. Sedangkan serat-seratnya sangat halus, hampir tidak kelihatan (Gambar 2.10).
Gambar 2.11. Struktur mikrokopis empelur beberapa jenis sagu (Rumalatu, 1981)
II-74
Pembuluh-pembuluh Xylem menyebar secara tidak beraturan di atas penampang atau potongan transversal, hal ini sesuai dengan maknah ilmiah sagu yaitu Metroxylon. Pembuluh xylem yang paling besar berdiameter sekitar 1.4 mm. Jaringan di antara pembuluh adalah empulur, yang terdiri dari sel-sel yang penuh dengan butir-butir aci dengan ukuran 40 – 50 milimicron. Empulur sagu yang masih muda memiliki butiran yang relatif kecil, bening dan sedikit mengandung serat. Pada sagu yang sudah dewasa sampai menjelang umur panen, empulurnya terdiri dari butiran yang lebih besar, berwarna agak kecoklatan dan banyak mengandung serat.
2. Daun Daun merupakan bagian sagu yang peranannya sangat penting, karena merupakan dapur pembentukan aci melalui proses fotosintesis. Apabila pertumbuhan dan perkembangan daun berlangsung dengan baik, maka secara keseluruhan pertumbuhan dan perkembangan organ-organ lain seperti batang, kulit dan empulur akan berlangsung dengan baik pula dan proses pembentukan aci dari daun yang kemudian disimpan di dalam batang sagu akan berlangsung secara optimal. Sagu memiliki daun sirip, menyerupai daun kelapa yang tumbuh pada tangkai daun. Sagu yang tumbuh pada tanah liat dengan penyinaran yang baik pada umur dewasa memiliki 18 tangkai daun yang panjangnya sekitar 5 - 7 m. Dalam setiap tangkai terdapat Sekitar 50 pasang daun yang panjangnya bervariasi antara 60 - l80 cm, dan lebarnya sekitar 5 cm. Sagu yang masih muda memiliki tangkai daun yang lebih sedikit jumlahnya yaitu 12 – 15 buah. Setiap bulan sagu membentuk satu tangkai daun dan diperkirakan berumur rata-rata sekitar 18 bulan, kemudian akan gugur setelah tua. Daun sagu muda pada umumnya berwarna hijau berangsur-angsur berubah menjadi hijau tua kemudian berubah lagi menjadi coklat kemerah-merahan apabila suda tua atau matang. Tangkai daun yang sudah tua akan lepas dari batang dan meninggalkan bekas pada kulit batang. Daun sagu berbentuk memanjang lanset (Lanceolotus), agak lebar dan berinduk tulang daun di tengah. Bertangkai daun, di mana antara tangkai daun
II-75
dengan lembar daun terdapat ruas yang mudah dipatahkan. Pada waktu muda daun berwarna hijau muda kemudian dengan Semakin bertambahnya umur berangsur-angsur menjadi hijau tua. Daunnya memiliki pelepah seperti daun pisang, pada waktu muda pelepah tersusun secara berlapis, tetapi setelah dewasa terlepas dan melekat sendiri-sendiri pada ruas batang.
3. Bunga dan Buah Tanaman sagu berbunga dan berbuah pada umur sekitar 10— 15 tergantung jenisnya dan kondisi pertumbuhannya, dan sesudah itu pohon sagu mati. Munculnya bunga menandakan hahwa sagu tersebut telah mendekati akhir daur pertumbuhannya. Fase ini didahului dengan munculnya daun bendera yang ukurannya lebih pendek daripada daun-daun sebelumnya. Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau puncak batang sagu, berwarna merah kecoklat-coklatan seperti karat. Bunga sagu bercabang banyak seperti tanduk rusa yang terdiri dari cabang-cabang primer, sekunder dan cabang tersier. Pada cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan mengeluarkan tepung sari sebelum bunga betina terbuka. Dengan demikian diduga bahwa penyerbukan terjadi secara silang maka bila tumbuh soliter jarang sekali berhasil membentuk buah. Putik pada bunga betina mengandung tiga sel induk telur, tetapi hanya satu yang keluar membentuk kecambah, sedangkan dua induk telur lainnya bersifat rudimenter.
Waktu antara bunga mulai muncul sampai fase
pembentukan buah diduga berlangsung sekitar 2 tahun. Pohon sagu mengandung aci maksimum pada fase antara waktu setelah berbunga (florasi) dan sebelum buah terbentuk sempurna. Bunga sagu berbentuk rangkaian yang keluar pada ujung batang dengan didahului adanya tanda mengecilnya daun bendera. Sagu mulai berbunga pada umur 8 - 15 tahun tergantung pada kondisi tanah, tinggi tempat dan varietas. Bunga sagu tersusun dalam manggar secara rapat berukuran kecil-kecil Warnanya putih berbentuk seperti bunga kelapa jantan dan tidak berbau. Bilamana sagu tidak segera ditebang pada saat berbunga bunga dapat membentuk buah. Buahnya bulat-bulat kecil dan tersusun pada tandan mirip
II-76
buah kelapa. Buahnya bersisik dan berwarna coklat kekuningan. Sagu budidaya merupakan tanaman menahun yang hanya berbunga atau berbuah sekali pada masa hidupnya Setelah berbunga dan berbuah sagu akan mati.
3.5.3.5.1. Cara Menentukan Umur Sagu Pada umumnya palma sagu yang tumbuh pada suatu tempat merupakan tegakan-tegakan liar yang tumbuh dengan sendirinya tanpa atau sedikit campur tangan manusia, bahkan palma sagu yang dibudidayakan pun sering kali sulit untuk mengetahui secara tepat umurnya. Hal mi disebabkan corak morfologis dan sagu berupa rumpun yang terdiri atas banyak pohon dan anakan dan berbagai tingkat umur. Penentuan umur sagu sangat penting terutama dalam hubungan dengan penentuan saat panen yang lebih tepat. Umur sagu berkorelasi positif dengan kandungan pati dalam empulur sagu. Untuk penentuan umur sagu telah dikembangkan suatu cara, yaitu dengan menggunakan metode estimasi dengan berpijak pada proses pembentukan daun sagu. Terbentuknya daun pada tumbuhan sagu mempunyai tenggan waktu tertentu, yakni mulai dan terbentuknya daun yang pertama hingga membentuk batang dan akhirnya tumbuhan memasuki fase pembungaan dan pembuahan. Estimasi umur sagu merupakan angka komulatif dan umur pembentukan pangkal batang, umur pembentukan batang seluruhnya serta umur pembentukan sisa daun yang masih ada. Dan estimasi umur pohon sagu tersebut dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut Umur Pohon Sagu (UPS) = Up +
( Bd + D) D1
Dimana: Up = Umur pada saat terbentuknya pangkal batang. Umur pembentukan pangkal batang sagu rata-rata adalah 3-5 tahun. Bd = Bekas daun yang terdapat pada kulit batang sagu. D = Jumlah daun yang masih duduk pada batang sagu. Dt = Jumlah daun yang terbentuk dalam satu tahun. Banyaknya daun yang terbentuk dalam satu tahun rata-rata 3-4 tangkai.
II-77
Contoh perhitungan : Suatu batang sagu, pangkal batang terbentuk pada umur 3 tahun enam bulan. Bekas daun yang terdapat pada kulit batang adalah 12 buah, sedangkan jumlah daun yang tersisa (yang masih duduk pada batang) sebanyak 28 buah. Jumlah daun yang terbentuk dalam satu tahun = 3 tangkai. Dugalah umur sagu tersebut? Penyelesaian : UPS = Up + Up Bd D Dt
= = = =
( Bd + D) D1
3½ tahun = 42bulan l2buah l8buah 3 per tahun = 3 per 12 bulan
Dimasukkan dalam rumus: 42 (12 + 18) UPS = + 12 3
Jadi : UPS = 31/2 + 10 tahun = 13 tahun 6 bulan. Dari pengetahuan estimasi umur ini, maka penentuan jadwal tebang dapat memperoleh kemudahan. 3.5.3.5.2. Perkembangan Kematangan Sagu Dalam
pertumbuhannya,
sagu
rnenunjukkan
tingkatan-tingkatan
pertumbuhan yang runtut. Setiap tingkatan pertumbuhan palma sagu menentukan tinggi rendahnya kadar tepung sagu dalam empulur. Dengan mengetahui kondisi tingkatan masing-masing, diharapkan dalam menentukan saat-saat pemeliharaan tanaman dan saat panen diperoleh waktu yang tepat, artinya pemeliharaan tanaman benar-benar memberikan manfaat dengan daya guna yang tinggi dan panen benar-benar dilakukan pada waktu kadar sagu dalam empulur pada kondisi rnaksimum. Tampaknya secara umurn sagu rnenunjukkan dua fase pertumbuhan yaitu: 1.
Fase pemasakan vegetatif
2.
Fase pertumbuhan generatif
1.
Fase Pertumbuhan Vegetatif Fase mi dimulai sejak sagu ditanam atau sejak trubus sagu dibentuk,
sampai dengan terbentuknya organ-organ vegetatif dalam kondisi maksimal, yaitu II-78
saat di mana ukuran tinggi dan diameter batang tertinggi/terbesar telah dicapai; jumlah dan luas daun (LAI = Leaf Area Indeks) maksimal; dan jumlah serta volume perakaran terbanyak/terbesar telah dicapai. Selama fase pertumbuhan vegetatif berlangsung, unsur-unsur kehidupan sagu sepenuhnya diarahkan untuk pembentukan kerangka sistern fotosintesis per batang dan pembentukan anakan. Dengan demikian fase ini sangat menentukan kapasitas pertanaman untuk membentuk fotosintat yang dapat diakumulasikan (ditumpuk) di dalam empulur.
Fase Pemasakan Vegetatif
Fase ini sangat berhubungan erat dengan saat panen (penebangan). Setiap jenis sagu memiliki jangka waktu kemasakan yang berda-beda tergantung pada jenis atau varietas dan habitatnya. Selama fase pemasakan vegetatif sagu menampakkan adanya kemunduran laju pertumbuhan organ vegetatif yang berbarengan dengan semakin meningkatnya akumulasi (penumpukan) tepung sagu dari ujung batang yang berangsur-angsur menumpuk ke arah pangkal dan bertepatan dengan mulai dibentuknya primordia bunga, kandungan tepung sagu maksimum akan dicapai. Penumpukan tepung sagu adalah usaha tanaman sagu untuk menyediakan energi kimiawi dalam rangka pembentukan organ generatif, dengan demikian bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya organ generatif secara berangsurangsur kandungan tepung pada batang akan menurun terus selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan organ vegetatif sampai nilai kandungan tepung sagu yang terendah. Dalam praktek dibedakan dalam empat fase pemasakan vegetatif,yaitu: 1)
Wela atau putus duri atau fase Wali Tua Fase ini ditandai dengan lenyapnya sebagian besar daun pada pelepah daun. Pada saat ini tanaman belum mencapai kematangan sempurna, seluruh batang sudah mengandung tepung akan tetapi masih dalam jumlah sedikit, dan sebagian besar masih terlokalisasi pada bagian ujung batang.
II-79
2). Fase Maputih atau Putih Masa Fase ini ditandai dengan mulai rnenguningnya pelepah daun. Duri-duri pada pelepah seluruhnya telah lenyap, kecuali sedikit pada pangkal pelepah. Pada fase ini pada ujung batang keluar daun-daun muda tetapi ukurannya lebih pendek dibanding dengan daun biasa. Masa ini berlangung dari pembentukan daun yang pendek sampai dengan mulai terbentuknya “jantung” (karangan bunga). Pada fase ini sagu Tuni sudah mencapai kandungan tepung maksimal.
3)
Fase Jantung Fase jantung adalah fase kemasakan sagu yang berlangsung antara timbulnya jantung (kuncup bunga) sampai pada waktu jantung terbuka. Jika batang pada fase ini dipanen, hasilnya adalah sama dengan fase Maputih, tetapi sagunya mempunyai rasa lebih baik terutama sagu Ihur. Pada sagu Tuni bila dipanen pada fase ini tepungnya kurang enak. Sagu Ihur sangat tepat bila dipanen pada fase ini.
4)
Fase Siri Buah Fase siri buah berlangsung sejak kuncup bunga telah mekar dan bercabang menyerupai tanduk rusa sampai dengan terbentuknya buah sirih, yaitu buah-buah sagu yang masih kecil-kecil dan bersisik mirip buah salak. Fase kematangan ini adalah terbaik untuk jenis sagu Makanaru. Akan tetapi untuk sagu-sagu jenis lainnya, sampai fase kematangan ini, kandungan tepung sagunya hampir seluruhnya habis, hal ini dikarenakan tepung sudah ditransfer menjadi energi yang dipergunakan dalam pembentukan bunga dan buah (pertumbuhan organ generatif). Untuk beberapa jenis sagu pada saat ini batang sudah hampa. Dengan demikian pada fase ini untuk jenis sagu selain Makanaru semestinya sudah dipanen, sebab kalau tidak panenan sagu akan gagal, keterlambatan panen berarti mengurangi kandungan sagu pada batang, yang selanjutnya pohon akan berangsur-angsur mati. Fase jantung dan siri buah sebenarnya merupakan fase pertumbuhan generatif.
II-80
2.
Fase Pertumbuhan Generatif Fase pertumbuhan generatif sagu, adalah masa pertumbuhan organ-organ
generatif sagu yakni dan pembentukan primordia bunga, bunga mekar, pembentukan buah sampai dengan pemasakan buah. Mengingat produk utama sagu adalah organ vegetatif, maka untuk kepentingan bercocok tanam sagu masalah pertumbuhan generatif kurang perlu diperhatikan.
3.5.3.6.
Ekologi , Habitat dan Pertumbuhan Sagu Ekologi
Zona tanaman sagu tersebar di daerah Asia Tenggara, akan tetapi sagu sebagai tanaman asli, zona penyebarannya dapat dikatakan tidak mencerminkan batas potensi produksinya. Di Indonesia sagu banyak terdapat di Aceh, Tapanuli, Sumatera Timur, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bali, Sulawesi Utara, Gorontalo, Ujung Pandang dan terutama banyak terdapat di Maluku dan Irian Jaya. Di Irian Jaya dan Maluku, sagu tumbuh liar di rawa-rawa, dataran rendah dengan daerah yang sangat luas. Di Sumatera sagu banyak ditanam pada daerahdaerah rawa yang membentang dari propinsi Sumatera Selatan sampai Sumatera Utara melalui Jambi dan Riau. Bentangan ini merupakan daerah tempat belasan sungai bermuara, seperti Musi, Batang Hari, Indragiri, Siak, Rokan, Kampar hingga Asahan, beserta puluhan anak sungainya bersama-sama membentuk daerah-daerah rawa yang ajeg (kontinu) direndam air tawar. Sagu dari daerah Indonesia bagian timur dapat menyebar ke Indonesia Barat sampai dengan Malaysia, diduga ada yang membawa kemudian menanamnya, akan tetapi sampai saat ini sagu di daerah Indonesia Barat dan Malaysia tumbuh secara agak liar kecuali di Riau. Sagu umumnya dijumpai antara 90º - 180º Bujur Timur dapat tumbuh di semua hutan hujan daerah khatulistiwa, di daerah rendah, tepi pantai dan di sepanjang aliran sungai pada garis lintang antara 19° LU sampai dengan 10º LS, dan pada garis tinggi dari daerah tingkat laut sampai dengan 300 m — 700 m dari permukaan air laut, dan mempunyai curah hujan lebih dari 2.000 mm/tahun. Namun dalam hal produksi, yang terbaik hanya dapat diperoleh pada daerah
II-81
dengan ketinggian dekat permukaan air laut sampai ketinggian 400 m di atas permukaan air laut. Tampaknya para ahli sependapat bahwa pada umumnya tanaman sagu lebih baik pertumbuhan dan produksinya pada dataran rendah. Tanaman sagu tumbuh baik pada kondisi lingkungan dengan lembap udara nisbi (RH) 60% dan pertumbuhannya akan terhambat bila lembap udara nisbi kurang dan 40% sedangkan suhu udara berkisar antara 24°-30°C. Lingkungan hidup yang baik bagi sagu adalah daerah ber1umpur basah dengan air tanah yang berwarna coklat dan bereaksi sedikit asam karena mengandung hancuran bahan organis sehingga akar napas tidak terendam dalam air dan menciptakan kondisi yang sesuai dengan kehidupan mikro organisme. Lingkungan yang selalu basah tidak selamanya cocok untuk pertubuhan sagu, karena bila air menggenang terus diperkirakan akan mempengaruhi akumulasi tepung di dalam batang. Namun begitu sagu juga kurang baik pada lahan yang kering. Kekurangan air tanah secara terus menerus pada 1ingkungungan akar lebih dari satu bulan tidak dapat ditahan oleh sagu, akan tetapi di Ambon sagu yang paling tinggi produksi tepungnya dijumpai pada lahan atau daerah kering, sebab meskipun demikian tanahnya masih lembap. Kekurangan air tanah sementara, umumnya mampu ditahan oleh sagu yang pertumbuhannya, baik sagu dengan kulitnya yang tebal tampaknya berfungsi sebagai isolasi yang istimewa sehingga seluruh tanaman tahan kekeringan yang nisbi dan umumnya memiliki tekanan kekurangan air (water stress) buktinya sagu yang baru saja menderita kebakaran, sagu itu akan cepat membentuk daun baru dan kuncup ujung yang dilindunginya dengan baik. Produk utama sagu adalah tepung atau karbohidrat, tepung adalah produk dari fotosintesis dengan demikian untuk pertumbuhan sagu harus diusahakan agar cukup mendapat sinar matahari. Untuk pertumbuhan tanaman dibutuhkan unsur unsur hara yang kebanyakan disuplai oleh air, yakni K, P, Ca dan Mg di samping itu tentu saja N. Dari kenyataan bahwa sagu dapat tumbuh di daerah gambut yang asam, dapat disimpulkan bahwa sagu besar kemungkinannya lebih tahan terhadap Fe, Al dan Mn yang tinggi daripada kebanyakan tanaman lain. Sagu yang paling baik pertumbuhannya pada tanah lumpur, bendungan yang tinggi dan pinggiran
II-82
kelok-kelok sungai. Sagu tahan terhadap tanah padas, tanah berat yang kedap air dan tanah gambut asam. Populasi sagu tampaknya juga seakan-akan mempunyai efek menstabilitasi iklim, terutama bila populasinya luas. Meskipun kalah bila dibandingkan dengan hutan hujan tropis, perlindungan sagu setinggi 12-15 m memungkinkan efek memantapkan secara baik terhadap iklim. Kapasitas mengendalikan banjir cukup baik, efek spon vegetasi dan penanaman secara perkebunan di bendungan dan melemparkan tanah ke lahan, sagu memiliki kemampuan untuk membersihkan air buangan industri dan air buangan masyarakat kota. Dengan demikian sagu berpotensi besar untuk menjaga pencemaran air akibat limbah pabrik ataupun limbah sampah perkotaan. Pelarutan tanah pada suatu perkebunan sagu diduga minimal, dapat dipersamakan dengan hutan primer dan menimbulkan kurang lumpur daripada tanaman perkebunan lain. Keanekaragaman sagu dapat dikatakan sangat kurang akibat sifat klonnya. Untuk tanaman lain dalam kondisi seperti ini besar kemungkinannya untuk menjadi penumpukan hama dan penyakit tertentu, akan tetapi sagu tidak demikian halnya. Sagu dalam kenyataannya tidak mudah diserang hama dan penyakit.
Habitat
Sagu pada umumnya tumbuh dengan baik di daerah antara 10° LS - 15° LU dan 90° - 180° BT pada ketinggian 0 - 700 m di atas permukaan air laut. Akan tetapi pertumbuhan optimum dapat dicapai pada ketinggian 400 m dari permukaan air laut kebawah. Sagu tumbuh di daerah-daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah-daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air atau di hutan-hutan rawa yang kadar garamnya (salinitas) tidak terlalu tinggi. Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, di mana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak asam. Habitat yang demikian cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman sagu. Pada tanah-tanah yang tidak cukup mengandung mikroorganisme, pertumbuhan sagu akan kurang baik. Selain itu pertumbuhan sagu juga
II-83
dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama unsur potasium, fosfat, kalsium dan magnesium. Apabila akar napas sagu terendam terus-menerus, maka pertumbuhan sagu akan terhambat, sehingga pembentukan aci atau karbohidrat dalam batang juga terhambat. Dengan kondisi yang optimum tersebut, sagu akan mampu bersaing dengan tumbuhan pengganggu di sekitarnya sehingga pertumbuhan sagu akan berlangsung dengan baik. Pada tanah yang terlalu lembab, jenis-jenis rumputan dan gulma perdu lainnya akan berkembang lebih pesat daripada sagu. Sebaliknya pada tanah yang terlalu kering, tumbuhan pengganggu jenis pohon-pohonan akan tumbuh lebih pesat dan akan menutupi sagu, sehingga pertumbuhannya terhambat bahkan sagu akan mati. Selain kondisi tersebut di atas, sagu juga dapat tumbuh pada tanah-tanah organik, akan tetapi sagu yang tumbuh pada kondisi tanah demikian menunjukkan berbagai gejala kekahatan (defisiensi) terhadap beberapa unsur hara tertentu yang ditandai oleh kurangnya jumlah daun dan umur sagu akan lebih panjang yaitu dapat mencapai 15 - 17 tahun. Sagu banyak juga yang tumbuh dengan baik secara alamiah pada tanah liat yang berawa dan kaya akan bahan-bahan organik seperti di pinggir hutan mangrove atau nipah. Selain itu sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning alluvial hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya.
Pertumbuhan Sagu
Sagu adalah tanaman tahunan yang dapat berkembang biak kalau dikembangbiakkan dengan anakan atau dengan biji. Anakan sagu mulai membentuk batang pada umur sekitar 3 tahun. Kemudian pada sekitar pangkal batang tumbuh kuncup-kuncup (tunas) yang berkembang menjadi anakan sagu. Anakan sagu tersebut memperoleh unsur hara dan pohon induknya sampai akarakarnya mampu mengabsorbsi unsur hara sendiri dan daunnya mampu melakukan fotosintesis.
Pola pertumbuhan sagu demikian berlangsung terus sehingga
tumbuhan sagu membentuk rumpun. Dalam setiap rumpun sagu terdiri dari beberapa tingkat pertumbuhan, yaitu:
II-84
a.
tingkat semai atau anakan : tingkat semai yaitu sagu yang masih kecil yang memiliki batang bebas daun 0 -0,5 m
b.
tingkat sapihan (sapling) : tingkat sapihan yaitu sagu yang memiliki batang bebas daun 0,5 - 1,5 m
c.
tingkat tiang (pole) : tingkat tiang, yaitu sagu dengan tinggi batang bebas dáun 1,5- 3m
d.
tingkat pohon (tree) : sagu dengan tinggi batang bebas daun di atas 5 m.
Penggolongan tingkat pertumbuhan sagu tersebut didasarkan atas tinggi batang sagu bebas daun atau pelepah, yakni: Pola Tumbuh Sagu Membentuk Rumpun. Dalam satu rumpun sagu umumnya terdapat 1 - 3 pohon dewasa (tingkat pohon), beberapa pohon muda (tiang dan sapihan) dan puluhan anakan (semai). Dalam satu rumpun biasanya hanya ada satu pohon masak atau siap panen. Satu rumpun rata-rata ada dua pohon sagu yang dapat dipanen setiap 3 tahun.
3.5.3.7.
Peranan Sagu
Sagu sebagai salah satu sumber karbohidrat memiliki peranan yang sangat penting pada berbagai bidang, meskipun pada saat ini peranan sagu masih berkembang secara tradisional dengan teba yang terbatas.
Dalam pasaran
internasional tepung sagu tampaknya baru dimanfaatkan oleh Jepang sebagai bahan dasar pembuatan glukosa, sirup berfruktosa tinggi dan sorbitol. Di Indonesia peranan sagu sangat mendukung pelaksanaan Inpres No.20 tahun 1979 tentang usaha diversivikasi pangan, sebab sagu di Indonesia di samping potensi produksinya tinggi, sagu berpeluang besar dipakai sebagai makanan yang disukai masyarakat. Dengan teknologi pangan yang tinggi sagu dimungkinkan sebagai bahan pangan yang lezat dan bergizi tinggi. Mengingat bahwa kandungan kalori relatif sama dengan kalori jagung kering atau beras giling, bahkan dinyatakan sebagai jauh lebih tinggi dibanding dengan kalori yang dikandung oleh ubi kayu atau kentang, maka sagu adalah salah satu komoditi pangan yang dapat menjawab tantangan di bidang pangan pada Pelita V dan VI yang akan datang, di mana diperkirakan menjelang tahun 2000 Indonesia harus mampu menyediakan pangan yang cukup zat gizi dan terbeli oleh sekitar 226 juta
II-85
penduduk. Kebutuhan bahan pangan efektif pada tahun-tahun tersebut diperkirakan sangat besar, yaitu sekitar 48 juta ton bahan pangan ekuivalen beras. Pada sagu, memang kandungan proteinnya lebih rendah dibanding dengan bahan pangan lain, akan tetapi kekurangan ini dapat diganti dengan mengkonsumsi sumber bahan pangan lainnya, mengingat sagu adalah tanaman daerah penghasil ikan, yaitu di sekitar lahan rawa, tepi-tepi sungai dan muaramuara sungai dekat laut. Dengan demikian sagu berperan dalam intensifikasi pemanfaatan lahan juga. Hal ini mengingat bahwa lahan di mana sagu tumbuh, merupakan lahan yang untuk komoditi tanaman lain tidak mampu tumbuh dengan baik dan produktif, dan sementara itu lahan pertanian mengalami penyempitan untuk pemukiman dan industrialisasi Sagu di masa yang akan datang berpeluang besar dalam hal industri bahan pangan, industri makanan ternak, bahan energi dan industri Iainnya.
3.5.3.8.
Pengembangan Tanaman Sagu
Dalam pengembangan suatu jenis tanaman di Indonesia, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan gizi. Di samping usaha pengadaan karbohidrat maka agar seiring dengan usaha pengadaan karbohidrat diproduksikan pula unsurunsur gizi yang lain. Memperhatikan pola usaha tani di daerah penanaman sagu (khususnya Maluku), di mana dalam usaha taninya terdiri dan berbagai jenis usaha terdapat di dalam satu unit produksi, maka tidak diperlukan pendekatan gizi. Pendekatan yang lebih tepat adalah pendekatan menu. Karbohidrat di dapat dan tanaman penghasil karbohidrat, sedang protein, lemak, vitamin dan mineral dapat diambil dan sumber lain. Dalam pengembangan sagu sebagai sumber karbohidrat, lebih tepat dengan pendekatan menu. Dengan demikian sebaiknya tidak perlu rnemperbandingkan sagu dengan padi dalam usaha pengembangannya. Untuk pengembangan sagu dibutuhkan teknologi baru, antara lain: teknologi pengembangan dan teknologi perbaikan pertanaman sagu alami.
II-86
Teknologi Pengembangan Sagu
Dan segi budidaya, sagu memiliki sifat-sifat baik yaitu: 1. Potensi produksinya tinggi. 2. Dapat tumbuh dan berproduksi pada daerah rawa, di mana bila dikembangkan untuk tanaman lain memerlukan investasi modal yang tinggi. 3. Tanaman sagu tergolong kelompok tanaman tahunan dan cocok untuk daerah basah, dataran rendah tropis yang basah, di mana daerah ini untuk usaha tanaman semusim tanpa irigasi masih merupakan suatu usaha yang sulit dilaksanakan. 4. Keragaman genetiknya besar. 5. Pada saat ini terdapat area sagu yang cukup luas yang tersebar dan Irian Jaya sampai dengan Riau. Di samping itu sifat-sifat yang buruk dan tanaman sagu, yaitu: 1. Perkembangbiakannya lambat. 2. Daur hidupnya panjang, hal mi sebenarnya tidak menjadi masalah bila pada tempat yang bersangkutan sudah ada tanaman sagu. Akan tetapi problemnya menjadi lebih besar bila sagu dibudidayákan pada lahan baru. Dari segi agronomis diperlukan suatu teknologi untuk peningkatan sifat baik dan tanaman sagu, baik dalam hal peningkatan kemampuan produksi pada areal pertanaman yang ada maupun untuk kemampuan perluasan areal. Dari segi lingkungan fisik (ekologi) untuk pertumbuhan dan produksi sagu dengan baik, Indonesia sangat mendukung karena Indonesia merupakan daerah asal tanaman sagu.
Teknologi Perbaikan Tanaman Sagu
Pengalaman di Papua New Guinea (PNG) menunjukkan bahwa rata-rata 1 ha pertanaman sagu dapat menghasilkan 25 pohon masak tebang per tahun, dengan produksi rata-rata per pohon 100 kg sagu kering. Dengan demikian hasil taksasi perhektar adalah 2,5 ton tepung kering. Setelah diperbaiki dengan jalan peningkatan teknis bercocok tanam produksi dapat meningkat 10 ton per hektar
II-87
per tahun. Tingkat hasil tepung tergantung pada varietas, tingkat kemasakan pada saat dipanen dan keadaan lingkungan fisik. Tindakan yang harus dilakukan dalam teknis bercocok tanam sagu dalam rangka memperbai pertanaman alami, antara lain: 1)
Menghilangkan vegetasi bukan sagu yang tumbuh pada lahan sagu dengan maksud agar cahaya matahari secara maksimal dapat diterima oleh sagu.
2)
Pengendalian rumpun sagu disarankan dalam satu hektar jangan lebih dari 204 rumpun.
3)
Pengendalian pertumbuhan anakan per rumpun, dengan cara pemangkasan, disarankan dalam satu rumpun hendaknya dipelihara 3-4 pohon pada semua tingkat pertumbuhan, dengan perhitungan begitu pohon pokok dipanen secara beruntun, tetap dapat diganti.
4)
Sanitasi terhadap pohon sagu, dengan jalan membersihkan daun-daun kering dan pohon sagu.
5)
Penyiangan secara intensif.
6)
Eksploitasi secara terus-menerus selama bertahun-tahun akan menguras unsur hara dan dalam tanah, maka perlu tindakan pemupukan.
Untuk
pertumbuhan sagu, jumlah N, P dan K yang diabsorpsi dan dalam tanah kuantitasnya tidak terlalu tinggi, tetapi untuk Ca dan Mg cukup tinggi. Tampaknya kebutuhan unsur hara bagi sagu lebih banyak disuplai melalui air yang mengalir, sehingga kekurangan unsur hara tidak berjalan cepat. Selanjutnya untuk mengimbangi tindakan pengembangan sagu tersebut, maka perlu diadakan penelitian untuk menentukan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kondisi fisik, ekonomi, dan varietas yang ada, serta pengembangan pasca panen dan pemasaran.
3.5.3.9.
Sagu di Sumatera
Di Sumatera sagu dikenal dengan nama RUMBIA. Rumbia ada tiga jenis yang dibedakan daunnya yaitu: 1)
Rumbia berduri (Metroxylon, sp)
2)
Rumbia tidak berduri (Metroxylon bomban) dan
3)
Rumbia Sangkam, rumbia ini sebenarnya tergolong rumbia berduri.
II-88
Rumbia Sangkam merupakan rumbia yang tidak populer. Rumbia Sangkam sewaktu rnasih muda bagian pelepah daun ditumbuhi duri kasar dan besar serta cukup banyak jumlahnya, namun setelah tua, duri-duri tersebut semakin jarang dan bentuknya semakin mengecil. Rumbia berduri hanya tumbuh baik pada lahan rawa-rawa yang terletak dekat permukaan air laut sampai ketinggian 400 m dari permukaan air laut. Sedangkan Rumbia tidak berduri/mulus, masih baik pertumbuhannya sampai dengan 500-600 m dan permukaan air laut, tumbuh dengan baik pada daerah rawa-rawa maupun daerah kering sekali pun. Dan ke tiga rumbia tersebut yang produksi dan kualitas sagunya tinggi adalah jenis yang berduri, sehingga sagu berduri inilah yang sudah banyak dibudidayakan oleh petani sagu. Klasifikasi pertumbuhan Rumbia (sagu Sumatera) adalah sebagai berikut: 1)
Masa Batita (bawah tiga tahun): Pada masa mi daun sagu masih merupakan daun-daun yang masih lengket satu sama lain pada pelepahnya, gambarannya seperti janur (daun kelapa muda). Pohon sagu belum tampak dan daun-daun belum mekar. Masa ini lazim disebut “ABUT RUMBIA”. Umur sagu 0-3 tahun.
2)
Masa Abut Dara: Masa ini sagu/rumbia berumur 3-5 tahun. Pada masa ini batang rumbia mulai membesar, masa ini juga dikenal sebagai masa sandar antan, karena keadaan pelepah sudah mulai kuat khususnya bila disandari
antan (antan = batang penumbuk padi) pelepah tidak akan patah. 3)
Masa Sagu Muda: Adalah masa rumbia mulai berbatang dan mulai tampak ruas-ruasnya. Pada masa ini sagu berumur antaara 5-8 tahun.
4)
Masa Sesah Ujung: Masa ini berlangsung antara umur 8-9 tahun sagu mulai beranjak tua, di mana daun-daqun yang menempel pada pelepah daun mulai menjadi pendek-pendek.
5)
Masa Membuang Duri. Masa ini berlangsung 6 bulan setelah masa Sesah Ujung, pada masa ini duri-duri rontok berguguran hingga pelepah menjadi licin.
6)
Masa Ekor Buntak. Masa ini berlangsung 6 bulan setelah masa membuang duri, ukuran daun semakin memendek, yang semula 6 – 7 m panjangnya ± 2
II-89
m saja. Di samping itu pucuk daun berbentuk melingkar mirip ikan buntok, dari bentuk inilah maka masa tersebut disebut masa ekor buntok. 7)
Masa Menjorong atau Menjari. Pada masa ini berlangsung 6 bulan setelah masa ekor buntok, pada masa ini sagu sudah memunculkan bakal bunga dari tengah-tengah pucuk batang. Pada saat ini daun-daun muda sudah tidak dibentuk lagi, sehingga batang tampak menjorong atau menjari. Satu bulan setelah masa ini bunga baru mekar (Florasi).
8)
Masa Pembungaan dan Pembentukan Buah. Masa ini berlangsung sejak bunga-bunga sagu mulai melakukan penyerbukan sampai dengan buah masak. Pada masa ini kandungan tepung pada batang suda merosot sekali, akibat dipergunakan untuk pertumbuhan bunga dan buah. Selanjutnya tiga bulan kemudia, pohon sagu secara perlahan-lahan akan mati. Dari masa-masa pertumbuhan tersebut, disimpulkan, bahwa pada masa
ekor buntok atau masa menjorong, yaitu kira-kira pada umur 10 tahun. Pada saat ini tinggi pohon rata-rata 10 – 15 m, denga garis tengah batang 60 – 70 cm, tebal klit luar ±10 cm, dan diameter empulur yang diambil tepung sagunya 50 – 60 cm.
Sagu dari Nusa Utara
Di daerah Nusa Utara, yaitu kepulauan Sangihe – Talaud, juga dijumpai satu jenis sagu yang dikenal dengan ”SAGU BARUK”, sampai saat buku ini ditulis belum ada informasi tentang sistematikanya. Dibandingkan dengan sagu pada umumnya, sagu baruk mempunyai batang yang relatif lebih kecil dengan diameter batang kurang lebih 20 – 25 cm. Tinggi tanaman bervariasi antara 6 – 16 m, tergantung pada kesuburan tanahnya. Keistimewaan sagu baruk adalah kemampuannya tumbuh baik pada lahan kering, bahkan pada lahan yang terletak pada 1ereng-lereng bukit di mana tanaman lain sulit tumbuh dan berkembang, sagu masih mampu tumbuh dan bererkembang. Sagu baruk tumbuh dan berkembang dengan baik dan ketinggian dekat permukaan air laut sampai 600 m dari permukaan air laut. Satu batang sagu baruk dengan panjang kurang lebih 8 m dan diameter 15-20 cm dapat
II-90
menghasilkan 25 kg sagu basah, dan diduga dengan intensifikasi sagu ini masih memiliki potensi untuk ditingkatkan produksinya.
2.5.4. Aren
Salah satu jenis monokotil yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat adalah aren (Arenga sp). Tumbuhan ini tumbuh secara liar baik di hutan-hutan maupun di lahan milik masyarakat. Aren ini bukan hanya memberikan manfaat langsung dari pemanfaatan seluruh bagian tumbuhan, akan tetapi manfata lain terhadap ekosistem sangat penting terutama untuk konservasi. Namun dalam perkembangannya terjadi pergeseran pemanfaatan lahan dan penggantian komoditi sehingga terjadi perubahan potensi, sehingga perlu menjadi perhatian khusus melihat dari segi manfaatnya. Usaha yang perlu dilaksanakan adalah diversifikasi produk sehingga dapat bersaing dengan komoditi lain agar masyarakat menjaditertarik untuk mengembangkannya secara swadaya.
2.5.4.1. Gambaran Umum Aren Sistematika
Aren merupakan tumbuhan berbiji tertutup dimana biji buahnya terbungkus daging buah. Pohon aren banyak terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dulu tanaman aren dikenal dengan nama botani Arenga saccharifera. Tetapi sekarang lebih banyak dipustakan dengan nama Arenga pinnata Merr. Konon, tanaman yang termasuk dalam keluarga Palmae atau Aracaceae ini berasal dari Indonesia.Pohon aren merupakan salah satu kelas monokotil yang tergolong hasil hutan non kayu. Menurut Steenis (1988), aren mempunyai sistematika sebagai berikut : Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Arecales
Famil
: Aracaceae (Palmae)
Genus
: Arenga
Species
: Arenga pinnata Merr
II-91
Aren termasuk famili Aracaceae (pinang-pinangan) merupakan tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae), biji buahnya selalu terbungkus daging buah. Tanaman ini berbatang besar dengan diameter dapat mencapai 65 cm dengan tinggi 25 m, daun berbentuk sirip, anak daun selalu berdiri tegak di puncak batang, mempunyai perakaran yang menyebar dan cukup dalam (akar serabut), batang tidak berduri dan tidak bercabang. Pohon ini hampir mirip dengan pohon kelapa. Perbedaannya, pohon kelapa mempunyai batang yang bersih sedangkan batang pohon aren sangat kotor karena batangnya terbalut ijuk sehingga pelepah daun yang sangat tua sulit diambil atau lepas dari batangnya. Oleh karena itu, batang pohon aren sering ditumbuhi banyak tanaman paku-pakuan. Tangkai daun pohon ini dapat mencapai panjang 1.5 m, helaian daun yang panjangnya dapat mencapai 1.45 m dan lebar 7 cm. Selain itu, pohon ini akan mulai berbunga pada umur 6 – 12 tahun, dimana proses pembungaannya dimulai dengan munculnya tunas bunga yang berada diantara pelepah dan diikuti oleh tunas-tunas berikutnya kearah pangkal batang. Umur pohon aren dapat mencapai lebih dari 50 tahun dan di atas umur ini pohon aren sudah sangat berkurang dalam memproduksi buah, bahkan sudah tidak mampu lagi memproduksi buah sedangkan penyadapan dimulai setelah pohon aren mencapai umur 12 – 16 tahun. Buah aren terbentuk setelah terjadinya proses penyerbukan dengan perantaraan angin atau serangga. Buah ini berbentuk bulat dengan diameter 4 – 5 cm dan didalamnya berisi biji tiga buah dan masing-masing berbentuk seperti satu siung bawang putih.
Syarat Tumbuh Aren lebih senang tumbuh di daerah yang curah hujannya merata sepanjang tahun. Daerah hujan semacam ini kebanyakan berada di lereng gunung. Disamping itu jenis tanahnya yang mudah meneruskan kelebihan air, misalnya tanah yang gembur, tanah vulkanis di lereng gunung, dan tanah liat berpasir di sepanjang tepian sungai. Aren dapat tumbuh pada daerah pegunungan, di lembah-lembah dekat aliran sungai, mata air dan tempat terbuka. Curah hujannya yang merata sepanjang tahun atau yang hujannya jatuh selama 7 – 10 bulan dalam setahun. Daerah hujan semacam ini kebanyakan berada di lereng
II-92
gunung. Di daerah yang bulan basahnya kurang dari itu, Aren tidak mau berbuah lebat. Temperatur udara rata-rata 25°C dan umumnya tumbuh baik pada tanahtanah yang relatif subur dan mengandung banyak humus, tanah-tanah liat, berkapur, dan berpasir. Jika diperhitungkan dengan perumusan Schmidt dan Ferguson, iklim yang paling cocok untuk tanaman ini adalah iklim sedang sampai iklim agak basah. Dengan demikian tanaman ini tidak membutuhkan sinar matahari yang terik sepanjang hari. Pohon aren dapat tumbuh di mana-mana baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi, bahkan sampai pada ketinggian 1.400 m dpl. Tanaman aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah-daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500 - 800 m dpl. Pada daerah-daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 500 m dan lebih dari 800 m, tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buahnya kurang memuaskan.
Potensi dan Penyebarannya Arenga pinnata Merr, merupakan tanaman asli dari Asia Tenggara dan Indonesia. Banyak dijumpai mulai dari pantai barat India sampai ke selatan china dan di kepulauan Guam. Di Indonesia pohon aren dijumpai di mana-mana dengan penyebaran mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan ketinggian di atas permukaan laut mencapai 1400 m. Tanaman aren bisa dijumpai dari pantai barat India sampai ke sebelah selatan China dan juga kepulauan Guam. Habitat aren juga banyak terdapat di Filipina, Malaysia, Dataran Assam di India, Laos, Kamboja, Vietnam, Birma (Myanmar), Srilangka dan Thailand. Saat ini tercatat sekitar 2.800 jenis tanaman anggota palmae yang terdiri dari 215 genus. Sebanyak 460 jenis dari 35 genus diantaranya berada di Indonesia dan tersebar diberbagai pulau, baik di pulau kecil maupun di pulau besar. Dari sekian ratus jenis tanaman keluarga palmae di Indonesia, maka tanaman aren termasuk unggulan bila dilihat dari potensi dan kegunaannya. Wilayah penyebaran aren terletak antara garis lintang 20° LU - 11° LS yaitu meliputi : India, Srilanka, Bangladesh, Burma, Thailand, Laos, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Hawai, Philipina, Guam, dan berbagai pulau di sekitar Pasifik. Di Indonesia tanaman ini hampir tersebar di seluruh wilayah Nusantara,
II-93
khususnya di daerah-daerah lembah perbukitan dan memiliki berbagai nama daerah seperti Aceh (Bak Juk), Banjarmasin (Hanau), Madura (Aren), Bali (Hano), Bima (Nao), Flores (Inoke), Toraja (Onao), Sumbawa (Pola), Manado (Pohon Seho), Maluku (Pohon Sageru). Hampir seluruh tanaman aren yang ada, tumbuh secara liar (tidak sengaja ditanam orang). Penyebarannya secara alami dengan bantuan binatang, yaitu luwak (Paradoxurus hermaphroditua). Binatang ini sangat menyukai buah aren yang sudah tua, dimana daging buahnya lunak dan manis serta tidak menimbulkan rasa gatal. Biji buah aren yang keras itu ikut termakan luwak dan dikeluarkan bersama kotoran disembarang tempat terutama di tempat-tempat yang terlindung dan lembab. Biji-biji buah aren yang terbuang bersama kotoran luwak inilah yang tumbuh dan dapat menyerupai semak belukar.
Kegunaan Pohon aren berfungsi sebagai tanaman konservasi yaitu pencegah erosi tanah karena perakaran yang dangkal dan melebar. Demikian pula dengan daun yang cukup lebat dengan batang yang tertutup dengan lapisan ijuk, akan sangat efektif untuk menahan turunnya air hujan yang langsung ke permukaan tanah. Di samping itu, pohon aren tumbuh baik pada tebing-tebing, sangat baik sebagai pohon pencegah erosi dan longsor. Fungsi produksi dapat diperoleh mulai dari akar, batang, daun, bunga, dan buah. Seluruh bagian tanaman aren dapat digunakan diantaranya batang, ijuk, tandan bunga aren, akar, daun mudahnya, dan lain-lain. Akar yang segar dapat menghasilkan arak yang dapat digunakan sebagai obat sembelit, obat disentri dan obat penyakit paru-paru. Daun muda, tulang daun dan pelepah daunnya dapat dimanfaatkan untuk membuat sapu lidi dan tutup botol sebagai pengganti gabus. Tangkai bunga bila dipotong menghasilkan cairan yang berupa nira yang mengandung zat gula dan dapat diolah menjadi gula aren. Batang bagian dalam dapat menghasilkan sagu sebagai sumber karbohidrat, sedangkan buahnya dapat diolah menjadi bahan makanan seperti kolang-kaling yang banyak digunakan untuk campuran es, kolak atau manisan kolang-kaling . Nira aren segar yang manis, banyak diminum orang sebagai sedap-sedapan dan pemakainannya dianjurkan untuk mengobati tuberkolosis, disentri, wasir, dan melancarkan buang air besar. Selain itu digunakan juga untuk jamu tradisional
II-94
dan dapat mengobati sariawan dengan hasil yang memuaskan. Nira aren dapat juga digunakan sebagai perangsang haid, menyembuhkan sembelit, sariawan, pneumnonia, disentri, radang paru-paru dan mejen.
Gula arennya sering
digunakan dalam ramuan obat tradisional dan memiliki khasiat sebagai obat demam dan sakit perut. Akarnya direbus dan diminum sebagai obat penyakit ginjal berbatu atau penyakit batu dalam kandung kencing (menghancurkan batunya).
2.5.4.1. Produksi Nira Nira adalah cairan yang rasanya manis dan diperoleh dari bagian dan jenis tumbuhan tertentu. Proses pengambilan nira biasa dilakukan dengan cara digiling, diperas dan disadap. Selanjutnya dijelaskan bahwa nira dalam keadaan segar mempunyai rasa manis, berbau harum dan tidak berwarna. Komponen utama yang terdapat dalam nira selain air adalah karbohidrat dalam bentuk sukrosa sedangkan komponen lainnya adalah protein, lemak, vitamin dan mineral tetapi dalam jumlah yang relatif kecil. Komposisi tersebut memungkinkan nira untuk direkayasa lebih lanjut menjadi berbagai ragam produk baru seperti aneka macam pemanis, minuman ringan (tuak, anggur, nata), asam cuka, alkohol, dan juga sebagai media tumbuh yang baik bagi mikroorganisme terutama bakteri dan khamir. Menurut kajian BPPT Banteng, dalam setahun setiap pohon aren bisa memproduksi nira 300 – 4000 liter/ tandan bunga.selama 3 – 4 bulan. Jadi dalam satu pophon aren mampu menghasilkan nira kurang lebih 900 – 1.600 liter / tahun, dan untuk setiap liter nira dapat diolah menjadi sekitar 0,15 – 0,177 kg gula semut. 1. Persiapan Penyadapan Nira Persiapan penyadapan nira berperan penting dalam mendapatkan masa penyadapan yang lama dan mendapatkan jumlah nira yang banyak. Peralatan yang perlu disiapkan adalah pisau tajam untuk memotong tangkai bunga, palu pemukul yang dibuat dari kayu, dan bumbung untuk tempat menampung nira. Bumbung dibuat dari bambu yang berukuran besar, seperti bambu betung atau bambu gembong yang terdiri dari 2 – 3 ruas. Bumbung besar dipilih agar
II-95
kapasitas tampung niranya besar dan nira tidak tumpah. Jumlah bumbung yang harus disediakan untuk setiap tandan bunga, paling tidak sebanyak dua buah agar dapat dipakai secara bergiliran. Pohon aren mempunyai bunga jantan dan bunga betina. Kedua bunga dapat disadap niranya dan yang selalu disadap adalah bunga jantan karena jumlah dan mutu yang dihasilkan lebih memuaskan dibanding bunga betina. Bunga jantan lebih pendek dibanding bunga betina. Panjangnya sekitar 50 cm, sedangkan bunga betina mencapai 175 cm. Tumbuhnya bunga berawal dari puncak pohon kemudian disusul tumbuhnya bunga-bunga yang lain yang semakin ke bawah pada batang pohon dan yang terakhir bunga itu sudah mendekati permukaan tanah. Sebelum penyadapan, pohon aren dibersihkan kemudian pelepah daunnya dipotong dan serabut-serabut ijuknya dibersihkan agar tidak mengganggu pemanjatan. Untuk memanjat aren digunakan tangga yang dibuat dari sebatang bambu yang diberi lubang kecil sebesar ibu jari kaki di setiap batas atas bukunya atau dengan membuat dua lubang sebesar ibu jari tangan pada masing-masing batas ruas buku dan dalam lubang tersebut dimasukkan sepotong kayu.
2. Proses Penyadapan Nira Penyadapan nira aren tidak memandang musim, sebab pohon aren (enau) berbunga sepanjang tahun. Meskipun demikian, kualitas nira yang dihasilkan akan menurun pada musim hujan, tetapi kuantitasnya akan bertambah. Sebaliknya pada musim kemarau yang panjang, kuantitas nira biasanya akan menurun. Waktu yang paling baik adalah pada waktu terang dimana tidak turun hujan dan bukan pada musim kemarau panjang. Ada beberapa petunjuk yang biasa dipergunakan para penyadap nira aren untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk melakukan penyadapan. Ada yang mengatakan penyadapan dapat dilakukan apabila tepung sari sudah banyak yang gugur. Ada pula yang menggunakan tanda setelah keluarnya getah berminyak dari kuntum bunga saat diiris pisau.
II-96
Kegiatan penyadapan nira meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut : 1. Pembersihan tongkol yang dilakukan dengan cara membersihkan ijuk yang ada di sekitar tongkol dan menghilangkan pelepah daun yang berada di atas dan di bawah tongkol untuk mempermudah penyadapan. 2.
Memukul-mukul tandan (tongkol) kemudian mengayun-ayunkannya, hal ini dimaksudkan untuk memperlancar keluarnya nira. Kegiatan tersebut dilakukan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari dengan frekuensi pemukulan tongkol sekitar 250 kali. Kegiatan ini berlangsung sekitar 3 minggu dengan selang waktu 2 hari.
3.
Menyadap nira setelah kegiatan pemukulan tongkol selesai. Indikator yang digunakan adalah apabila tongkol ditoreh akan mengeluarkan cairan. Jika telah ditemukan ciri demikian, maka tongkol kemudian dipotong dengan parang tajam. Pada bagian bawah tongkol dipasang bumbung bambu untuk menampung nira. Pengambilan hasil sadapan dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Setiap kali pengambilan hasil sadapan, potongan tongkol diperbaharui dengan cara mengiris tipis ujung tongkol yang telah terpotong. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar nira tetap keluar dengan lancar. Setelah bumbung dipasang dan diikat untuk menampung nira, maka
mulut bumbung ditutup dengan kain atau daun pisang untuk mencegah masuknya kotoran terutama debu atau kumbang.
Hasil penampungan
dikumpulkan setiap pagi dan sore. Bumbung tidak boleh digunakan dua kali sebab sisa-sisa nira yang menempel pada bumbung akan mempengaruhi keasaman nira yang lain. Nira tersebut tidak menghasilkan gula melainkan menghasilkan cuka.
3. Sifat dan Kualitas Nira Aren Selain dapat diolah menjadi gula karena rasanya yang manis dan berbau harum, nira dapat pula digunakan sebagai bahan minuman seperti tuak, minuman segar dan dapat pula dibuat asam cuka. Bila nira dibiarkan beberapa waktu tanpa adanya usaha pengawetan, maka akan timbul perubahan kimia dan fisik. Perubahan ini disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme
II-97
(enzim) terhadap kandungan sukrosa. Nira aren yang masih segar (baru) rasanya manis, aromanya khas dan tidak berwarna. Setelah dituangkan dari bumbung dan disimpan, perubahan rasa nira akan segera terjadi. Rasa nira yang manis menjadi rasa cuka, disebabkan oleh kegiatan jasad-jasad renik tertentu atau mengalami proses fermentasi. Biasanya jasad renik yang mengubah gula menjadi alkohol dalam nira adalah khamir (Saccharomyces sp). Selanjutnya dijelaskan bahwa nira merupakan bahan yang mudah mengalami kerusakan. Penyebab utamanya adalah akibat adanya kontaminasi oleh mikroorganisme khususnya khamir dan bakteri. Khamir dapat tumbuh dalam media cair dan padat dengan cara yang sama seperti bakteri. Jenis mikroorganisme tersebut adalah Saccharomyces sp dan Acetobacter sp. Nira yang telah terkontaminasi oleh mikroorganisme, akan mengalami proses fermentasi atau perombakan terhadap senyawa-senyawa penyusunnya yang mengakibatkan sukrosa yang terdapat dalam nira akan berubah menjadi alkohol dan berubah lagi menjadi asam asetat sedangkan komponen lain akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme penyebab kontaminasi untuk memacu pertumbuhannya. Kerusakan nira bisa terjadi sejak nira diambil dari pohonnya sehingga aktifitas mikroorganisme penyebab kerusakan tersebut harus dihentikan. Beberapa langkah terpenting dalam usaha mencegah kerusakan nira adalah sebagai berikut : a. Wadah atau bumbung tempat menampung nira harus tetap dalam keadaan bersih dengan cara mencucinya dengan air panas beberapa kali setiap habis dipakai dan mengasapinya sampai bumbung mengering. b. Cara sanitasi bumbung sadap nira, juga dilakukan dengan mencuci bumbung sampai bersih dengan penambahan Natrium metabisulfit atau dengan Natrium benzoat. c. Memasukkan bahan tertentu yang disebut sebagai laru. Jenis laru yang digunakan antara lain campuran kapur sirih dengan irisan kulit manggis, akar kawao atau dengan menambahkan Natrium metabisulfit. d. Pemasangan bumbung sadap diusahakan sedemikian rupa sehingga nira
II-98
langsung menetes kedalam bumbung. e. Tidak menyimpan nira terlalu lama karena proses fermentasi akan tetap berlangsung meskipun bumbung telah mendapat perlakuan pencegahan. f. Nira yang tidak langsung diproses menjadi gula, sebelumnya dididihkan dahulu sekitar 1 jam untuk mematikan mikroorganisme yang mungkin mencemari nira.
2.5.4.2. Pembuatan Gula Aren Nira mempunyai sifat yang mudah menjadi asam, karena adanya proses fermentasi oleh bakteri Saccharomyces sp.
Nira harus segera diolah setelah
diambil dari pohon paling lambat 90 menit setelah dikeluarkan dari bumbung. Nira dituang sambil disaring dengan kasa kawat yang dibuat dari bahan tembaga, kemudian dituang ke atas tungku perapian untuk segera dipanasi
(direbus).
Pemanasan berlangsung selama 1-3 jam, tergantung banyaknya (volume) nira. Pemanasan tersebut sambil mengaduk-aduk nira yang mendidih, buih-buih yang muncul di permukaan nira harus dibuang, agar dapat diperoleh gula aren tidak berwarna terlalu gelap (hitam), kering dan tahan lama.
Pemanasan diakhiri
setelah menjadi kental dengan volume sekitar 8 % dari volume awal
yaitu
sebelum di panaskan. Panasnya api hendaknya melebihi 1000C, atau pada tingkat panas yang tinggi. jika tidak maka tidak akan menjadi gula. Apabila nira terasa berat bila diaduk dan mengental, sebaiknya digunakan sutil agar tidak terlalu banyak gula yang mengering di pinggir wadah.
Setelah benar-benar menjadi gula, maka
rebusan yang sudah menjadi adonan itu diangkat dari api (Proses pembuatan gula aren dapat dilihat pada skema pembuatan gula aren di Gambar 2.12.). Sebelum dicetak dalam bumbung pencetak, nira yang kental diaduk agar panasnya lebih merata. Pengadukan tidak boleh terlalu lama untuk mencegah timbulnya kristalkristal gula yang menyulitkan pencetakan. Kegagalan pembuatan gula merah disebabkan dua hal. Pertama karena temperatur yang sangat tinggi (melebihi 120°C) menyebabkan gula menjadi gosong (hangus), hingga warnanya menjadi tua sampai hitam dan baunya tidak normal (bau karamel), bisa juga disebabkan oleh tingginya kandungan gula
II-99
pereduksi dalam gula akan menyebabkan gula lebih bersifat higroskopis dan cepat gosong (karamelisasi). Kedua karena bahan bakunya (nira) sudah asam hingga gula yang terbentuk tidak bisa menjadi padat.
Pengambilan dari Pohon
NIRA
kapur + akar rebet
2 menit
Kayu bakar + panas lebih dari 100°C
DIREBUS
metafisolfide
3-4 jam
DIANGKAT DARI API/DIARE
0,5 jam
Kerekan
DICETAK
Tataan
10 menit DIBUNGKUS
Daun aren/tali
Penyelesaian hasil akhir
SIAP DIPASARKAN
Plastik/label
Gambar 2.12. Skema pembuatan gula aren
Kualitas/ Mutu Kualitas berarti cocok dengan penggunaannya dimana produk itu sesuai dengan spesifikasi dan kelonggaran yang disyaratkan oleh rangcangan, yang
II-100
antara lain dipengaruhi oleh pemilihan proses pembuatan, latihan dan pengawasan angkatan kerja, dan jenis sistem jaminan kualitas. Kualitas merupakan keistimewaan produk meliputi pemenuhan kebutuhan pelanggan, memenuhi syarat persaingan, meminimalkan biaya kumulatif, sesuai dengan standarisasi dan bebas defesiensi/kesalahan. Kualitas adalah keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa yang mencakup pemasaran, rekayasa, pembuatan dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa tersebut dapat memenuhi harapan pelanggan, atau kesesuaian terhadap kebutuhan pemakaian dan pengertian yang mencakup kualitas barang dan jasa, kualitas biaya, kualitas penyampaian/penyerahan, kualitas keselamatan dan kesehatan kerja dan kualitas semangat para pelaksana dan pimpinan. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu/kualitas gula aren adalah : mutu bahan baku (nira), proses pembuatan nira menjadi gula (antara lain temperatur), penambahan bahan-bahan pembantu seperti buli daun atau buli akar, dan pengemasan atau pembungkusan.
2.5.4.3. Proses Pembuatan Gula Kristal Pada prinsipnya proses pembuatan gula pasir nipah sama dengan proses pembuatan gula pasir tebu atau aren. Perbedaannya terletak pada nira sebagai bahan bakunya. Tahap yang penting dalam pembuatan gula putih yaitu ekstraksi nira, penjernihan, penguapan, kristalisasi, pemisahan kristal dan pengeringan. Gula kristal dapat dibuat melalui 2 cara yaitu cara tradisional (langsung) dan cara modern (tidak langsung). Perbedaannya hanyalah pada penggunaan alat yang modern pada proses modern sedangkan cara tradisional tidak. Secara garis besar tahap-tahap proses pembuatan gula putih adalah : 1. Penjernihan dengan penambahan kapur yang dilanjutkan dengan pemanasan nira mencapai suhu antara 60 -90°C. 2. Pompa vakum dihidupkan untuk membuang uap air yang dihasilkan dari proses penguapan. Proses penguapan dimaksudkan untuk menghilangkan sebagian air yang terdapat dalam nira dari hasil penjernihan. 3. Pengentalan dari sirup (consentrating). 4. Pengeringan menjadi gula pasir.
II-101
5. Pengepakan dan pengemasan.
Kualitas Gula Kualitas berarti cocok dengan penggunaannya dimana produk itu sesuai dengan spesifikasi dan kelonggaran yang disyaratkan oleh rangcangan, yang antara lain dipengaruhi oleh pemilihan proses pembuatan, latihan dan pengawasan angkatan kerja, dan jenis sistem jaminan kualitas.
Kualitas juga merupakan
keistimewaan produk yang meliputi pemenuhan kebutuhan pelanggan, memenuhi syarat persaingan, meminimalkan biaya kumulatif, sesuai dengan standarisasi dan bebas defesiensi/kesalahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu/kualitas gula aren adalah tempat tumbuh, cuaca dan iklim, mutu bahan baku (nira), proses penyadapan nira, proses pembuatan nira menjadi gula (antara lain temperatur), penambahan bahan-bahan pembantu seperti buli daun atau buli akar, dan pengemasan atau pembungkusan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi nira adalah cuaca, keadaan tanah, bentuk dan pertumbuhan pohon. Produksi nira pada musim kemarau lebih tinggi dibanding pada musim hujan. Umur Aren diatas 8 tahun juga lebih mengeluarkan banyak nira dibanding dengan umur dibawahnya.
Kristalisasi Kristal adalah bahan padat dengan susunan atom atau molekul yang teratur. Kristalisasi adalah pemisahan bahan padat berbentuk kristal dari suatu larutan atau suatu lelehan. Kristal-kristal yang terbentuk pada umumnya masih harus dipisahkan dari sebagian besar larutan dengan cara penjernihan atau penyaringan. Selanjutnya, pengkristalan dalam pembuatan gula putih terjadi dari sukrosa yang semula larut dan kemudian memisahkan diri.
Penjernihan dan
penyaringan pada tahap kristalisasi dilakukan untuk mencegah terjadinya karamelisasi serta mencegah terbentuknya kerak akibat pemanasan yang terus menerus.
II-102
Pengaruh Lama Penyimpan Bahan pangan dalam kondisi penyimpanan normal akan mengalami reaksi-reaksi atau perubahan, sehingga bahan pangan tersebut tidak dapat dipakai lagi. Setiap perubahan dari bahan pangan yang masih segar maupun setelah diolah dimana perubahan sifat-sifat kimiawi dan fisik dari bahan pangan tersebut mengakibatkan ditolaknya bahan pangan tersebut oleh konsumen. Pada saat penyadapan, nira disimpan atau ditampung dalam bumbung yang terbuat dari bambu yang telah dibersihkan dan diasapi, namun pada saat itu perubahan mulai terjadi. Bumbung bagian dalam harus bersih dan steril agar nira yang ditampung tidak cepat menjadi asam. Sebelum digunakan untuk menampung nira, bumbung diisi atau dicuci dengan air panas kemudian diberi kapur. Nira merupakan bahan yang mudah sekali mengalami kerusakan oleh karena itu sebaiknya nira yang telah disadap harus secepatnya diolah.
Nira
sebagai bahan baku pembuatan gula harus dalam keadaan segar. Apabila nira yang digunakan telah rusak yang ditandai dengan berubahnya rasa manis menjadi asam, berbuih dan berlendir maka mutu gula yang dihasilkan akan mengecewakan. Penyimpanan nira jika diberi bahan pengawet seperti buli atau daun manggis, akan menghambat kerusakan nira ± 90 menit setelah penyadapan. Wadah yang digunakan untuk penyimpanan juga berpengaruh sehingga harus bebas dari kontaminasi, karena jika terkontaminasi maka akan terjadi proses fermentasi atau perombakan terhadap senyawa-senyawa penyusunnya dimana sukrosa berubah menjadi alkohol dan berubah lagi menjadi asam asetat.
2.5.5. Nipah Nipah merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang sudah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Jenis ini tumbuh subur di daerah pasang surut, sungai-sungai besar dan rawa-rawa yang berair payau dimana kondisi ini hampir di semua pulau yang ada di Indonesia, mulai dari Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, Irian dan pulau-pulau lainnya. Luas hutan nipah di Indonesia diperkirakan sekitar 700.000 hektar atau 10% dari luas daerah pasang surut yang luasnya sekitar 7 juta hektar. Sedangkan populasi
II-103
tanaman nipah diperkirakan tidak kurang dari 8000 pohon setiap hektar, sehingga jumlah keseluruhan tanaman nipah sekitar 5.600 juta pohon. Nipah termasuk tanaman multifungsi, di mana hampir semua bagian dari tanaman tersebut dapat dimanfaatkan mulai dari daun untuk atap rumah, batang atau pelepah daun untuk bahan bakar, akar untuk obat-obatan, berfungsi sebagai penyangga ekosistem dan yang paling utama adalah sebagai penghasil nira. Nira nipah diperoleh dari penyadapan tangkai bunga atau malai tanaman nipah. Pada dasarnya nira adalah hasil fotosintesis dari daun yang berupa sukrosa. Agar sukrosa tersebut dapat tersimpan dalam buah atau biji, maka arus pengiriman sukrosa tersebut dipercepat melalui proses fisiologis tanaman dan diubah menjadi zat gula berbentuk cair yang dikenal dengan nira. Nira nipah selain dimanfaatkan untuk pembuatan gula merah, gula semut, cuka dan minuman fermentasi yang mengandung alkohol, juga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan gula putih atau gula kristal.
2.5.5.1. Pengenalan Tanaman Nipah Sistematika dan Morfologi Sistematika nipah adalah sebagai berikut : Kingdom Devisio Sub Devisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: : : : : : : :
Plantae Spermatophyta Angiospermae Monocotyledoneae Arecales Arecaceae (Palmae) Nypah Nypah fructicans Wurmb
Tanaman nipah tumbuh berumpun dengan batang yang sangat pendek sehingga tidak kelihatan. Dari fokus indera mata yang cukup jauh, sosok rumpun nipah mirip dengan rumpun sagu. Tetapi dengan adanya batang yang tersembul di antara rumpun, biasanya menjadi pedoman untuk membedakan sagu dengan nipah. Secara keseluruhan tanaman nipah dapat mencapai tinggi hingga 8 m. Setiap batang nipah biasanya terdiri atas 3-5 tangkai atau pelepah daun dengan panjang antara 5-7 m. Setiap pelepah daun rata-rata mempunyai 25-100 helai anak daun yang bertulang seperti daun aren atau kelapa. Anak daun panjangnya
II-104
mencapai 100 cm dan lebar 4-7 cm berbentuk pita dan ujungnya meruncing. Warna daun nipah muda menyerupai janur kelapa lalu berubah menjadi hijau kalau sudah tua. Bunga nipah sangat menarik dan aneh. Hal ini dijumpai terutama pada bentuk bunga betina yang berupa kumpulan bunga yang rapat dan membentuk sebuah kepala. Bunga nipah terdiri atas dua macam bunga yaitu bunga jantan dan bunga betina. Letaknya menjadi satu pada pohon yang sama. Bunga jantan berwarna kuning oranye dan keluar dari bagian samping tangkai yang menggantung. Tumbuhnya tegak dengan panjang mencapai 5 cm. Bunga jantan diselimuti oleh kelopak bunga, serbuk sarinya tersembul keluar. Adapun bunga betina berbentuk bulat peluru, tumbuh bengkok, dan mengarah ke samping. Satu tangkai bunga nipah memiliki 2-3 cabang dan setiap cabang terdiri atas 2 – 3 bulir bunga jantan. Pada setiap pohon nipah dewasa dapat tumbuh 1 – 3 tandan bunga. Bila tangkai tandan bunga dipotong sebelum buahnya masak, akan keluar getah manis yang dikenal dengan nira nipah. Nira merupakan sumber bahan baku murah pembuatan gula dan alkohol. Tanaman nipah memiliki akar serabut, buahnya terdiri atas kulit luar, sabut atau daging buah dan biji. Ukuran biji nipah kira-kira sebesar kepalan tangan dengan panjang antara 8-13 cm, berbentuk kerucut, dan memiliki tempurung yang keras jika sudah tua. Jumlah buah untuk setiap tangkainya berkisar antara 30-50 butir yang tumbuh berdempetan sehingga tampak menjadi bundar.
2.5.5.2. Penyebaran dan Tempat Tumbuh Nipah dikenal dengan nama daerah loso (Filipina), nipah palm (Inggris), nipah (Indonesia dan Malaysia).
Tanaman nipah tersebar luas di sepanjang
kawasan tropik mulai dari Srilanka sampai Kepulauan Solomon dan Australia dan sebagai batas penyebarannya di sebelah utara adalah Kepulauan Ryu Kyu. Tanaman ini termasuk suatu jenis flora yang sudah sangat tua, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya fosil-fosil nipah di Afrika, Amerika Selatan dan Eropa. Secara keseluruhan potensi tanaman nipah tidak kalah dibandingkan dengan komoditi lain, yakni merupakan tanaman serba guna.
II-105
Nipah tergolong tanaman dataran rendah yang menyukai iklim pantai dan tumbuh liar pada ketinggian 0-10 m dari permukaan laut. Oleh karenanya, nipah hanya tumbuh subur di sepanjang daerah pasang surut dekat dengan pantai dan di tepi muara sungai atau rawa-rawa yang berair payau. Nipah liar tumbuh subur, sebagian tubuhnya (batang dan akar) terendam di dalam lumpur halus yang berair payau. Derajat keasaman (pH) yang sesuai antara 6 – 6,5 dan kadar salinitasnya antara 50-100 mmosh/cm3.
Kadar salinitas yang tinggi akan menyebabkan
tanaman kerdil serta produksi malai dan buahnya menjadi rendah. Kondisi suhu lingkungan yang cocok berkisar 20-250C. Suhu rendah sangat mempengaruhi pertumbuhan nipah karena nipah sangat toleran terhadap suhu lingkungan. Tanaman nipah dikenal di Indonesia dengan nama bak nipah (Aceh), nipah (Kano, Lampung), nipa (Bugis, Makassar), tangkal daun (Sunda), byuk (Jawa), bhuyuk (Madura), nifa (Bima), libra (Sumba), ipal, nypa, perumpong (Kalimantan), dungkun (Sangir), bobo (Manado), nipa, enduk (Toraja, Enrekang).
2.5.5.3. Kegunaan Nipah Nipah masih sering dianggap sebagai tanaman liar yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu, sampai saat ini tanaman nipah belum banyak dibudidayakan orang, kecuali penduduk di sekitar hutan nipah yang telah lama memanfaatkannya untuk berbagai keperluan hidupnya. Daun nipah yang tua banyak digunakan untuk pembuatan atap rumah yang daya tahannya dapat mencapai 3-5 tahun. Sedangkan daunnya yang masih muda dapat dianyam untuk membuat dinding rumah yang disebut kajang. Selain itu juga dapat dianyam untuk membuat tikar, tas dan klobot untuk pembungkus rokok. Sedangkan lidinya dapat digunakan untuk pembuatan sapu, bahan anyam-anyaman dan tali. Pelepah daun nipah dapat digunakan sebagai bahan kayu bakar dan bahan baku pembuatan pulp (bubur kertas) karena mengandung selulosa.
Selain itu pelepah daun nipah dapat
digunakan sebagai bahan baku particleboard yang berkualitas baik karena warnanya sangat khas dan menarik. Buah nipah yang masih muda, yang disebut tembatuk, dapat dijadikan kolang-kaling. Sedangkan buah nipah yang sudah tua ditumbuk untuk dijadikan tepung roti. Di Kalimantan arang dari akar nipah digunakan untuk obat sakit gigi dan sakit kepala.
II-106
Daun nipah yang dikeringkan dimanfaatkan secara tradisional sebagai bahan atap, dinding, dan aneka keranjang anyaman. Di Sumatera, pada masa silam daun nipah yang muda dijadikan daun rokok yaitu lembaran pembungkus untuk melinting tembakau setelah dikupas kulit arinya yang tipis, dijemur sampai kering dan dipotong-potong sesuai ukuran rokok.
Nipah dapat pula disadap
niranya, yakni cairan manis yang diperoleh dari bunga yang belum mekar. Di Filipina, nira ini diperam untuk menghasilkan semacam tuak yang dinamakan Tuba (dalam bahasa setempat).
Fermentasi lebih lanjut dari tuba akan
menghasilkan cuka. Pucuk nipah dan buah yang masih muda dapat dimakan. Beberapa suku bangsa di Indonesia seperti suku Sunda, Jawa, Madura, Bali, Palembang, Aceh, Batak dan Makassar telah memanfaatkan buah nipah untuk dimakan dalam keadaan segar, bahkan suku bangsa Sunda dan Madura telah menfaatkan buah nipah untuk pembuatan kue (tepung buah). Bila dilihat dari potensi dan manfaatnya maka buah nipah tersebut cukup memberikan nilai ekonomis yang baik sebagai sumber pangan. Tanaman nipah berpotensi besar dijadikan sumber bahan baku pembuatan gula. Hal ini disebabkan nipah merupakan bahan baku yang murah dan mudah. Harganya murah karena tanpa harus memelihara dan menanamnya, kita telah mendapatkan bahan baku gulanya. Penyadapannya mudah karena tidak perlu memanjat terlebih dahulu. Nira nipah selain diolah menjadi gula juga dapat diolah menjadi cuka dan alkohol. Fungsi lain tanaman nipah adalah sebagai tanaman penyangga ekosistem seperti halnya tanaman bakau.
Fungsi yang
terpenting adalah menahan erosi tanah di tepian muara sungai dan menahan abrasi (pengikisan tanah) yang disebabkan oleh angin dan air laut ketika pasang.
2.5.5.4. Nira Nipah Kata “nira” berasal dari bahasa sansekerta “neer” yang berarti air. Dalam keadaan segar mempunyai rasa manis, tak berwarna dan berbau harum. Rasa manis nira karena adanya sukrosa. Nira adalah cairan yang rasanya manis dan diperoleh dari bagian dan jenis tumbuhan tertentu. Adapun jenis tanaman yang dapat menghasilkan nira antara lain: tebu, bit, mapel, siwalan, bunga dahlia, dan tanaman dari dari keluarga palma seperti aren, kelapa, nipah, sagu, kurma dan
II-107
sebagainya. Pengambilan nira biasa dilakukan dengan cara digiling, diperas dan disadap. Gula terutama diperoleh dari tebu dan bit. Selain digunakan sebagai bahan pangan, gula juga menjadi bahan kimia yang sangat penting dalam bidang industri dan menghasilkan berbagai produk yang berbeda-beda. Jika berbicara tentang gula, yang kita maksud biasanya adalah gula tebu,
akan tetapi ada
beberapa jenis gula tertentu yang mempunyai tempat dan kegunaannya masingmasing. Sumber sukrosa tersebut antara lain jagung, shorgum, palma tertentu dan madu. Komponen utama yang terdapat dalam nira selain air adalah karbohidrat dalam bentuk sukrosa sedangkan komponen lainnya adalah protein, lemak, vitamin dan mineral tetapi dalam jumlah yang relatif kecil. Komposisi tersebut menyebabkan nira dapat menghasilkan beberapa produk baru seperti aneka macam pemanis, minuman ringan (tuak, anggur, nata), asam cuka, dan alkohol. Kandungan alkohol dalam nira nipah dapat mencapai 6-7 %.
Nira nipah
mengandung sukrose 15-20%, gula reduksi 0,2-0,5%, dan abu 0,3-0,7%. Oleh karena itu, nira nipah ini sangat potensial untuk dijadikan gula merah ataupun gula pasir. 1. Persiapan Penyadapan Nira Nipah Tanaman nipah sudah dapat disadap niranya apabila telah berbunga. Biasanya tanaman nipah mulai berbunga pada umur lima tahun. Jika bunga dibiarkan tumbuh, maka bunga tersebut (bunga betina) akan berubah menjadi buah. Waktu penyadapan yang paling baik adalah pada saat buah masih dalam fase degan atau buah nipah masih mudah. Pada fase ini tanaman sedang aktif mengumpulkan bahan makanan untuk pembentukan biji. Fase ini ditandai dengan isi biji yang berwarna putih bening dan lunak, seperti halnya buah kelapa. Sebelum penyadapan dimulai tangkai bunga nipah diberi perlakuan khusus.
Perlakuan tersebut meliputi pemukulan, penggoyangan, dan
pelenturan tangkai tandan selama 3 hari. Setelah itu, distirahatkan selama 2-3 hari. Selanjutnya diulangi dengan perlakuan yang sama sampai seminggu menjelang penyadapan. Semua perlakuan prasadap harus dilakukan secara hati-hati, agar tidak terjadi kerusakan tangkai bunga yang akan disadap
II-108
sehingga penyadapan dapat berjalan dengan baik. Tandan yang dipilih harus memenuhi persyaratan sadapan.
Persyaratan sadapan antara lain panjang
bidang sadapan harus lebih dari 45 cm dan diameter tangkai tandan sekurangkurangnya 3 cm. Tangkai buah dibersihkan dan dililitkan tali rotan tipis terlebih dahulu sampai menutupi bagian yang besar dari tangkai bunga yang akan disadap. Perlakuan ini bertujuan untuk menghindari kerusakan tangkai tandan bunga sewaktu mengalami perlakuan.
2. Proses Penyadapan Nira Nipah Waktu penyadapan yang paling baik adalah pada saat buah belum menjadi tua, yakni pada fase buah nipah masih muda. Pada fase ini tanaman nipah sedang aktif mengumpulkan bahan makanan untuk pembentukan biji. Nira nipah dalam keadaan segar mempunyai rasa yang manis, tidak berwarna dan berbau khas nira. Rasa manis ini disebabkan oleh kandungan sukrosa. Penyadapan nipah mirip penyadapan dari keluarga palma lainnya. Namun, saat penyadapan tidak diperlukan tangga untuk mencapai tangkai buah yang akan disadap.
Cara penyadapan dilakukan dengan memotong
miring bidang sayatan dari tangkai buah atau mayang. Dengan cara ini, nira yang dihasilkan akan lebih banyak dan keluar dengan lancar.
Hal ini
disebabkan karena pembuluh floem pada tanaman nipah terletak menyebar di antara jaringan xilem. Sebelum penyadapan di mulai tangkai dibersihkan terlebih dahulu.
Selanjutnya tali rotan yang dililitkan pada mayang
dilepaskan, bersamaan dengan itu waktu pengistirahatan perlakuan prasadap yaitu seminggu sebelum penyadapan. Nira yang keluar dari tandan bunga ditampung dengan menggunakan kantong plastik karena lebih praktis, mudah, ekonomis, dan bersih dari kotoran-kotoran yang dapat mencemarkan nira. Kantong plastik ini diikatkan pada leher tangkai sadap dengan tali rafiah atau karet. Ikatannya harus kuat dan rapi agar air tidak masuk ke dalam kantong plastik dan kantong tidak terlepas. Selain itu pengikatan yang rapi diharapkan dapat mencegah kontaminasi dengan kotoran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penyadapan nira nipah sangat baik dilakukan pada pagi dan sore hari, karena pada saat itu tegangan turgor sedang naik sehingga nira yang diperoleh lebih
II-109
banyak. Banyaknya nira yang dihasilkan antara 0,5-2 liter setiap kali panen. Di Papua Nugini rata-rata 1,8 liter per tandan per satu kali panen. Penyadapan dapat berlangsung sekitar 40-60 hari bahkan bisa lebih lama tergantung pada ketebalan sayatan tandan yang disadap dan tempat tumbuh tanaman serta musim pada saat pemanenan.
3. Penanganan Nira Nipah Pascapanen Nira yang sudah dikumpulkan dari hasil sadapan sebelum dimasak perlu disaring dengan saringan agar bebas dari berbagai kotoran yang terikat bersama dengan nira selama penyadapan berlangsung. Kotoran kasar tersebut dapat berupa serangga, daun-daun dan sebagainya. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan nira adalah usaha menghindari proses fermentasi oleh mikroba dan enzim-enzim yang dapat mengurangi kemurnian nira nipah. Karena kadar gula pada nira dapat mencapai 15%-20%, maka hal ini dapat menjadi tempat yang ideal bagi perkembangan bakteri dan jamur. Oleh karena itu sebelum nira tersebut dimasak menjadi gula perlu diawetkan terlebih dahulu agar tahan paling tidak selama 12 jam sebelum diproses menjadi gula. Cara pengawetan nira nipah yang baik agar tidak terjadi fermentasi oleh bakteri mikroba dan enzim-enzim adalah menjaga kebersihan tempat penyimpanannya. Di samping itu, nira yang telah dikumpulkan harus diberi kapur atau bahan natrium benzoat atau natrium biculpit. Nira nipah yang baik untuk dijadikan gula adalah yang mempunyai pH antara 6-7. Dan akan lebih baik lagi bila nira nipah hasil sadapan tersebut segera diolah, setidak-tidaknya 12 jam setelah ditampung. Bila penampungan nira nipah itu lebih dari 12 jam, kemurnian dan kualitas gula yang dihasilkannya akan menurun. Ada beberapa cara yang penting dalam usaha mencegah kerusakan nira yaitu : 1. Wadah atau bumbung nira harus bersih dengan pencucian berulang-ulang, kemudian dikeringkan/pengasapan di atas api kurang lebih 10 menit atau beberapa pembilasan akhir ditambahkan natrium metasulfit atau natrium benzoate 0,01 %.
II-110
2. Pencegahan juga dilakukan dengan menambahkan bahan larutan tertentu. Jenis larutan yang biasa dipakai adalah : campuran sirih dengan irisin kulit manggis atau manggis 15 g/10 liter, akar kawao (6,23 g/liter atau natrium bisulfit (NaHSO3) 20 ml/l) 3. Nira diusahakan tidak terlalu lama di dalam bumbung sadapan karena proses fermentasi terus berlangsung hanya saja prosesnya diperlambat. Idealnya nira tidak lebih dari 12 jam dalam bumbung.
4. Sifat dan Kualitas Nira Nipah Nira mempunyai sifat mudah menjadi asam karena adanya proses fermentasi oleh bakteri Saccharomyces sp, di mana bakteri ini dapat merubah gula menjadi alkohol, selanjutnya menjadi asam asetat. Oleh karena itu nira harus segera diolah setelah diambil dari pohonnya (Soesono, 1992). Nira yang tidak segera diolah akan menjadi rusak ditandai dengan warna nira menjadi keruh atau putih berbuih, karena telah mengalami fermentasi. Warna menjadi keruh seperti susu dan agak kekuning-kuningan seperti susu, rasa asam dan bau menyengat. Hal ini disebabkan karena terjadi pemisahan sukrosa menjadi gula reduksi. Adapun proses perubahannya sbb : Sukrosa → Glukosa dan Fruktosa → Alkohol → Asam Asetat → Karbondioksida dan Air.
Perubahan dari sukrosa sampai dengan alkohol
terlibat kegiatan ragi, selanjutnya ke asam asetat terlibat kegiatan bakteri dan hasilnya berupa cuka yang berasa asam. Nira yang disadap di tepi sungai/laut bila telah menjadi gula rasanya akan agak asin, karena salinitasnya tinggi dan kandungan garamnya juga tinggi. Sedangkan kawasan yang agak jauh dari tepi laut/sungai biasanya tingkat kesuburan tanahnya lebih baik, sehingga hasil niranya pun akan lebih banyak daripada nipah yang ada ditepi sungai/laut. Rasa manis pada nira disebabkan oleh kandungan sukrosa.
Akan tetapi rasa manis ini juga tergantung dari tempat
tumbuh nipah dan juga dipengaruhi oleh musim, jika musim kemarau maka derajat kemanisan nira akan tinggi tetapi bila musim hujan tiba maka tingkat kemanisan akan berkurang karena diduga adanya air hujan yang merembes ke dalam batang nipah maupun pada saat proses penyadapan.
II-111
2.5.5.5. Gula Kristal Gula merupakan komoditas strategis mengingat keberadaannya sebagai salah satu dari sembilan bahan kebutuhan pokok masyarakat. Peningkatan jumlah penduduk, beragam menu makanan masyarakat dan tumbuhnya industri makanan dan minuman telah menjadi pemicu meningkatnya kebutuhan akan gula. Diperkirakan pada tahun 2020 ketika jumlah penduduk Indonesia mencapai 290 juta dan komsumsi 17,6 kg/kapita/tahun, kebutuhan gula nasional akan mencapai 5,1 juta ton. Gula sebagai pemanis yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan dalam kegiatan industri makanan dan minuman adalah gula murni atau refinery sugar karena dapat menghasilkan produk yang bermutu baik. Gula yang kita kenal ada beberapa macam di antaranya: gula putih (gula kristal), gula merah, gula semut dan gula cair fruktosa. Seperti halnya jenis gula yang lain, gula putih atau yang biasa dikenal sebagai gula pasir atau gula kristal merupakan senyawa kimia yang digunakan sebagai bahan pemanis dengan memanfaatkan nira dalam bentuk karbohidrat, di mana karbohidrat tersebut disalurkan ke biji melalui jarigan floem yang secara alami diubah menjadi sukrosa dan berbentuk nira. Gula putih atau biasa dikenal dengan gula pasir atau gula kristal merupakan senyawa kimia yang termasuk golongan karbohidrat, rasanya manis dan mudah larut dalam air. Sebuah gula adalah bentuk dari karbohidrat, jenis gula yang paling sering digunakan adalah kristal sukrosa padat. Gula digunakan untuk merubah rasa dan keadaan makanan atau minuman.
Gula sederhana seperti
glukosa (yang diproduksi dari sukrosa dengan enzim atau hidrolisis asam) menyimpan energi yang digunakan oleh sel. Gula kristal merupakan gula bit atau gula tebu berbentuk granulasi seperti gula pada umumnya yang dijual dalam bentuk gula butiran/pasir atau dicetak dalam bentuk gula kubus. Pada gula terdapat sukrosa yang bersumber dari tebu, jagung, mapel gula (acer), shorgum (cantle), palma tertentu, dan madu. Selanjutnya dijelaskan bahwa tinggi rendahnya kandungan sukrosa dapat dipengaruhi oleh proses pengolahan, jarak tempat pengolahan dengan tempat penyadapan serta bahan pengawet yang digunakan untuk mempertahankan mutu nira. Gula secara umum adalah turunan
II-112
dari karbohidrat yang dapat digunakan sebagai bahan pemanis di dalam industri makanan dan disebut sukrosa. 1.
Proses Pembuatan Gula Kristal Pada prinsipnya proses pembuatan gula pasir dari nipah ini sama dengan cara pembuatan gula pasir dari tebu, hanya saja pada nipah tidak perlu menggunakan alat penggiling seperti pada penggilingan tebu. Nira nipah
tidak
mengandung
ampas
seperti
halnya
tebu,
sehingga
penyaringannya pun lebih mudah. Tahap yang penting dalam pembuatan gula putih yaitu ekstraksi nira, penjernihan, penguapan, kristalisasi, pemisahan kristal dan pengeringan. Gula kristal dapat dibuat melalui 2 cara yaitu cara tradisional (langsung) dan cara moderen (tidak langsung). Perbedaannya hanyalah pada penggunaan alat yang moderen pada proses moderen sedangkan cara tradisional tidak. Secara garis besar tahap-tahap proses pembuatan gula putih adalah : 1. Penjernihan dengan penambahan kapur setelah pemanasan nira mencapai suhu antara 60 – 900C. 2. Pompa vakum dihidupkan untuk membuang uap air yang dihasilkan dari proses
penguapan.
Proses
penguapan
dimaksudkan
untuk
menghilangkan sebagian air yang terdapat dalam nira dari hasil penjernihan. 3. Pengentalan dari sirup (consentrating). 4. Pengeringan menjadi gula pasir. 5. Pengepakan dan pengemasan. 2.
Pengaruh Lama Penyimpan Pada saat pemanenan atau pegolahan bahan pangan akan dihasilkan mutu yang lebih baik, tetapi hal ini hanya berlangsung sementara. Tergantung lama bahan tersebut disimpan, beberapa bahan pangan dapat menurun mutunya dalam satu atau dua hari, atau dalam beberapa jam setelah pemanenan. Efek kerusakan ini disebabkan oleh pertumbuhan mikroba, keaktifan enzim, gangguan serangga, pengaruh pemanasan, pendinginan dan kadar air
Pada umumnya waktu yang lebih lama akan menyebabkan
kerusakan bahan yang lebih besar, kecuali untuk bahan-bahan tertentu
II-113
misalnya pada keju, minuman anggur dan lain-lain. Bahan pangan dalam kondisi penyimpanan normal akan mengalami reaksi-reaksi atau perubahan, sehingga bahan pangan tersebut tidak dapat dipakai lagi. Setiap perubahan dari bahan pangan yang masih segar maupun setelah diolah dimana perubahan sifat-sifat kimiawi dan fisik dari bahan pangan tersebut mengakibatkan ditolaknya bahan pangan tersebut oleh konsumen. Nira merupakan bahan yang mudah sekali mengalami kerusakan oleh mikroba yang ada dalam nira. Kehadiran mikroorganisme dalam nira akan mempercepat proses fermentasi gula yang terdapat dalam nira sehingga menyebabkan nira menjadi cepat rusak.
Kerusakan nira nipah ditandai
dengan perubahan rasa yang menjadi asam, berbuih dan berlendir. Kerusakan ini dapat menurunkan kualitas gula yang dihasilkan. Oleh sebab itu, nira yang telah disadap harus secepatnya diolah dan
apabila disimpan
maka nira harus di beri bahan pengawet berupa buli, kulit pohon manggis, dan natrium metabisulfit. Cara pemberiannya yaitu dengan memasukkan bahan pengawet ke dalam tempat penampungan sebelum nira diolah lebih lanjut. Setelah itu, sebaiknya nira segera dimasak.
2.6. Bahan Diskusi Pada pertemuan terakhir, mahasiswa telah di bagi menjadi 6 (enam) kelompok besar. Tugas tiap kelompok adalah sebagai berikut : 1. Membuat paper dengan judul : I.
Pemanfaatan tumbuhan monokotil oleh masyarakat sekitar hutan
II.
Potensi Budidaya Rotan di Indonesia
III. Potensi Budidaya Bambu di Indonesia IV. Potensi Budidaya Sagu di Indonesia V.
Potensi Budidaya Nipah di Indonesia
VI. Potensi Budidaya Aren di Indonesia Format paper sebagai berikut : halaman paper maksimal 10 lembar, menggunakan kerta A4, tipe huruf yang digunakan teks adalah Times New Roman font 12 dengan spasi 1.5, dan menyertakan bahan rujukan/daftar pustaka yang digunakan dalam pembuatan paper.
II-114
2. Membuat bahan presentasi dalam bentuk power point 3. Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan paper yang telah dibuat di depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lain.
2.7. Bacaan/Rujukan Pengayaan Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya : http://www.fao.org/corp/publications/en/ www.prosea.lipi.go.id/ 2.8. Latihan Soal-Soal 1. Tuliskan karakteristik HHBK monokotil 2. Tuliskan perbedaan dikotil dan monokotil 3. Tuliskan pembagian monokotil berdasarkan famili. 4. Tuliskan potensi dan penyebaran rotan baik di dunia dan khususnya di Indonesia 5. Tuliskan jenis-jenis rotan yang dimanfaatkan dan spesifikasi pemanfaatan masing-masing jenis di Indonesia. 6. Tuliskan karakteristik HHBK bambu. 7. Tuliskan potensi dan penyebaran sagu baik di dunia dan khususnya di Indonesia 8. Tuliskan pemanfaatan sagu di dalam dan luar negeri. 9. Tuliskan jenis-jenis sagu yang dimanfaatkan. 10. Tuliskan potensi dan penyebaran sagu. 11. Tuliskan potensi sagu berdasarkan data-data terbaru yang tersedia. 12. Tuliskan pemanfaatan sagu bagi masyarakat dan aspek ekologinya. 13. Tuliskan potensi dan penyebaran aren baik di Indonesia 14. Tuliskan jenis-jenis rotan yang dimanfaatkan dan spesifikasi pemanfaatan masing-masing jenis di Indonesia. 15. Tuliskan potensi dan penyebaran nipah. 16. Tuliskan potensi nipah berdasarkan data-data terbaru yang tersedia. 17. Tuliskan pemanfaatan nipah bagi masyarakat dan aspek ekologinya. 18. Tuliskanjenis-jenis pemanfaatan nipah terutama nira nipah.
II-115
2.7. Bacaan/Rujukan Pengayaan Astawan, M. 1989. Teknologi Sederhana Pembuatan Gula Pasir. Teknologi No. 2, th III/Juni 1989, hal 32 dan 33. PT. Dharma Yasamas Teknindo, Jakarta. Bandini, Y. 1996. Nipah Pemanis Alami Baru. Penebar Swadaya. Jakarta. Biro Pusat Statistik. 2002. Jakarta. Bolin, H.R dan Jackson, R. 1986. Journal of Food Processing and Preservation. Vol. IX, No. 1. Food and Nutrition, Inc. Westport, Connecticut. Buckle, K.A., R.A. Edwards G.H. Fleet, M.Wootton. 1987. (terjemahan). Universitas Hasanuddin Press. Jakarta.
Ilmu Pangan
Harsanto, P.B. Budidaya dan Pengolahan Sagu. Penerbit Kanisius. Jakarta. Citrosupomo, G. 1991. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.BioPengolahan Rotan Lepas Panen. Prosea Indonesia-Yayasan Prosea. Bogor Indonesia. [Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Departemen Kehutanan. Jakarta
Pengembangam Budidaya Bambu.
Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statitistik . 2004. Potensi Hutan Rakyat Indonesi. Jakarta Departemen Pertanian. 2002. Berita Standarisasi dan Mutu Kegunaan Pangan. Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia, Jakarta. Dransfield S., and E. A. Widjaya. 1996. Plant Resources of South-East Rattan. Prosea Indonesia-Yayasan Prosea. Bogor Indonesia
Asia 6.
Dransfield, S. and E. A. Widjaya. 1995. Prosea. Plant Resources of South-East Asia. No. 7. Bogor Indonesia. Elsppat, T. 1997. Pengawetan Kayu dan Bambu. Puspa Swara. Jakarta FAHN, A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Fardiaz S, Winarno F.G, dan Dedi F. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia. Jakarta. II-115
Food-Info net Gula. 2007. Jenis-jenis Gula dan berbagai Produk Terkait. An iniatiave of Wageningen University, The Netherlands. Http://www.produk.makanan.com [18 Oktober 2007]
Heyne, K. 1979. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Kehutanan. Jakarta.
Litbang Departemen
Hutabarat, BSM. 1998. Konsep Dasar Pengembangan Industri Gula Nasional. Gula Indonesia. Vol XXIII/4 ISSN 0216/2954. Hal 27 http//www//: inbar Januminro, CFM. 2000. Rotan Indonesia. Kanisius. Yogyakarta. Karyadi, M. Hatibu dan M.T Andarias. 1975. Penelitian Mutu Gula Merah di Sulawesi Selatan. Departemen Perindustrian, Balai Penelitian Kimia, Makassar Litbang Kehutanan. 2000. Himpunan Sari Hasil Penelitian Rotan dan Bambu. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor Indonesia Lutony, T.L. 1993. Tanaman Sumber Pemanis. Penebar Swadaya, Jakarta. Matanubun H, dan L. Maturbongs. 2005. Sago Palm Potential, Biodiversity and Socio-Cultural Considerations for Industrial Sago Development in Papua, Indonesia. Proceeding of the Eighth International Sago Symposium. Universitas Negeri Papua, Manokwari. Moctar, H.M. 1996. Penafsiran Produk dan Masakan Rafinasi. Gula Indonesia, Vol XX1/2-3. Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Institut Teknologi Bandung Polunin N. 1994. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. (terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Polunin, N. 1994. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. Gadjah Mada University Press. Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.
II-116
Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan. 1996. Jakarta Rachman, A.K, dan Y. Sudarto. 1992. Nipah Sumber Pemanis Baru. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Rampengan, V, J. Pontoh dan D.T Sembel. 1985. Dasar-Dasar Pengawasan Mutu Pangan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur. Makassar. Sardjono, E.A. Basrah, dan S. Oyok. 1987. Penelitian Pengemasan Gula Merah Cetak. Warta Info Hasil Hutan Vol 4, No. 1. Simon, H. 1996. Metode Inventore Hutan. Aditya Media. Soesono, S. 1992. Bertanam Aren. Penebar Swadaya. Jakarta Somaatmadja, D. 1980. Ketela sebagai Bahan Pembuatan Gula. Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia edisi 5.
Buletin
Sudarnadi H. 1995. Tumbuhan Monokotil. Penebar Swadaya. Jakarta. Sutiyono dkk. 1996. Paket Modul Partisipatif: Budidaya Bambu Guna Meningkatkan Produktivitas Lahan. Prosea Indonesia. Yayasan Prosea. Bogor Indonesia. Sumiasri, N. 1995. Pemanfaatan Nipah (Nypah fruticans Wurmb) oleh Beberapa Suku Bangsa di Indonesia. Proseding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani II, Ikatan Pustakawan Indonesia, Jakarta. Widjaya, E. A. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense. Bogor Indonesia. Widjaya, E. A. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense. Bogor Indonesia. Wikipedia Indonesia. 2007. Gula. Wikipedia Indonesia, Http://id.wikimedia.org/wiki/Gula. [27 Juli 2007].
Jakarta.
Zulnely. 2002. Beberapa sifat Buah Nipah (Nypah fruticans). Info Hasil Hutan Vol. 9 No. 1.
2.8. Latihan Soal-Soal 1. Tuliskan karakteristik HHBK monokotil 2. Tuliskan perbedaan dikotil dan monokotil
II-117
3. Tuliskan pembagian monokotil berdasarkan famili. 4. Tuliskan potensi dan penyebaran rotan baik di dunia dan khususnya di Indonesia 5. Tuliskan jenis-jenis rotan yang dimanfaatkan dan spesifikasi pemanfaatan masing-masing jenis di Indonesia. 6. Tuliskan karakteristik HHBK bambu. 7. Tuliskan potensi dan penyebaran sagu baik di dunia dan khususnya di Indonesia 8. Tuliskan pemanfaatan sagu di dalam dan luar negeri. 9. Tuliskan jenis-jenis sagu yang dimanfaatkan. 10. Tuliskan potensi dan penyebaran sagu. 11. Tuliskan potensi sagu berdasarkan data-data terbaru yang tersedia. 12. Tuliskan pemanfaatan sagu bagi masyarakat dan aspek ekologinya. 13. Tuliskan potensi dan penyebaran aren baik di Indonesia 14. Tuliskan jenis-jenis rotan yang dimanfaatkan dan spesifikasi pemanfaatan masing-masing jenis di Indonesia. 15. Tuliskan potensi dan penyebaran nipah. 16. Tuliskan potensi nipah berdasarkan data-data terbaru yang tersedia. 17. Tuliskan pemanfaatan nipah bagi masyarakat dan aspek ekologinya. 18. Tuliskanjenis-jenis pemanfaatan nipah terutama nira nipah.
II-118
BAB III. MINYAK ATSIRI Tujuan Umum Menjelaskan tentang HHBK minyak atsiri; tanaman penghasil minyak atsiri; karakteristik bahan baku minyak atsiri dan metode ekstraksi minyak atsiri dari beberapa jenis yang memberikan nilai ekonomi yang tinggi serta cara pengujian beberapa produk minyak atsiri dan pemasarannya.
Tujuan Khusus Menjelaskan kayu putih, minyak eukaliptus dan minyak nilam sebagai produk hasil hutan bukan kayu dari golongan minyak atsiri
3.1.
Pengertian HHBK Minyak Atsiri Di alam ini kita mengenal ada tiga jenis minyak utama yaitu minyak bumi,
minyak dari hayati (nabati dan hewani) yang terdiri dari minyak dan atau lemak, dan yang khusus diproduksi oleh tanaman adalah adanya minyak atsiri (essential oil). Minyak atsiri dikenal dengan nama minyak terbang atau minyak eteris (essential oil atau volatile). Minnyak atsiri dapat dihasilkan dari berbagai tanaman,seperti akar, batang, ranting, daun, bunga, atau buah. Jenis tanaman penghasil minyak atsiri ada 150 – 200 spesies. Sementara itu, minyak atsiri yang beredar di pasaran dunia ada sekitar 70 jenis. Di Indonesia terdapat sekitar 40 jenis tanaman penghasil minyak atsiri. Minyak atsiri merupakan kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas. Di dalam perdagangan, sulingan minyak atsiri dikenal sebagai bibit minyak wangi. Minyak atsiri bersifat mudah menguap karena titik uapnya rendah. Minyak atsiri atau minyak eteris adalah minyak yang bersifat menguap, yang terdiri dari campuran zat yang menguap, dengan komposisi dan titik didih yang berbeda-beda. Minyak atsiri juga disebut minyak terbang (menguap) pada suhu kamar (250C) tanpa mengalami dekomposisi. Aroma minyak atsiri umumnya khas sesuai dengan jenis tanamannya. Minyak atsiri bersifat mudah larut dalam
III-1
pelarut organik, tapi tidak larut air. Selanjutnya dikemukakan bahwa pada tanaman, minyak atsiri mempunyai 3 fungsi yaitu : membantu proses penyerbukan dengan menarik beberapa jenis serangga, mencegah kerusakan tanaman oleh serangga, dan sebagai cadangan makanan bagi tanaman. Bau khas dari tanaman ternyata ditimbulkan secara biokimia sejalan dengan perkembangan proses hidupnya sebagai suatu produk metabolit sekunder yang disebut minyak atsiri. Minyak ini dihasilkan oleh sel tanaman atau jaringan tertentu dari tanaman secara terus menerus sehingga dapat memberi ciri tersendiri yang berbeda-beda antara tanaman satu dengan tanaman lainnya. Minyak ini bukan merupakan senyawa tunggal, tetapi tersusun oleh gabungan dari berbagai senyawa pencetus bau lainnya yang jenis, sifat dan khasiatnya berbeda. Secara kimia tersusun dari berbagai macam komponen yang secara garis besar terdiri dari kelompok terpenoid dan fenil propana. Melalui asal usul biosintetik, minyak atsiri dapat dibedakan menjadi turunan terpenoid dan fenil propanoid. Adapun sifat – sifat minyak atsiri yaitu : memiliki bau khas yang mewakili bau tanaman aslinya; memiliki rasa getir, berasa tajam, menggigit, memberi rasa hangat sampai panas atau justru dingin ketika dikulit, tergantung dari jenis komponen penyusunnya; bersifat tidak dapat disabunkan dengan alkali dan tidak berubah menjadi bau tengik, berbeda dengan minyak lemak; tidak dapat bercampur dengan air,tetapi dapat memberi baunya pada air walaupun kelarutannya sangat kecil; sangat mudah larut dalam pelarut organik. Di Indonesia terdapat sekitar 40 jenis tanaman penghasil minyak atsiri. Jenis yang telah lama dikenal adalah minyak kayu putih, minyak nilam, sedangkan minyak eukaliptus (leda) belum diusahakan walaupun dikawasan timur Indonesia adalah termasuk jenis yang banyak tumbuh secara alami..
3.2.
Tanaman Penghasil Minyak Atsiri
3.2.1. Melaleuca Leucadendron Linn Sistematika Pohon Kayu Putih Sistematika pohon kayu putih menurut adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
III-2
Sub Divisio
: Angiospermae
Class
: Dicotyledonae
Ordo
: Myrtales
Family
: Myrtaceae
Genus
: Melaleuca
Species
: Melaleuca Leucadendron Linn
Taksonomi pohon kayu putih ini adalah berupa pohon atau perdu dengan tinggi 10-20 m, kulit batangnya berlapis-lapis, berwarna keabu-abuan dengan permukaan kulit yang terkelupas tidak beraturan. Batang pohonnya tidak terlalu besar, dengan percabangan menggantung ke bawah. Daun tunggal, agak tebal seperti kulit, bertangkai pendek, letak berseling. Helaian daun berbentuk jorong atau lanset, panjang 4,5 - 15 cm, lebar 0,75 - 4 cm, ujung pangkalnya runcing, tepi rata, tulang daun hampir sejajar. Permukaan daun berambut, warna hijau kelabu sampai hijau kecoklatan. Daun bila diremas atau dimemarkan berbau minyak kayu putih. Perbungaan majemuk bentuk bulir, bunga berbentuk seperti lonceng, daun mahkota warna putih, kepala putik berwarna putih kekuningan, keluar di ujung percabangan. Buah panjang 2,5 - 3 mm, lebar 3 - 4 mm. Warnanya coklat muda sampai coklat tua. Bijinya halus, sangat ringan seperti sekam, berwarna kuning kecoklatan. Ada beberapa varietas pohon kayu putih, ada yang kayunya berwarna merah dan ada yang kayunya berwarna putih.
Penyebaran Di Indonesia tegakan kayu putih terutama terdapat di sebelah timur kepulauan Indonesia (Seram, Buru, NTT) dan di pulau Jawa. Selain di Indonesia, tanaman kayu putih terdapat pula di Australia dan kawasan Asia Tenggara dengan daerah penyebarannya mulai dari dataran hingga daerah pegunungan.
Tempat Tumbuh dan Nama Daerah Pohon kayu putih tidak memerlukan persyaratan dan jenis tanah tertentu, dapat tumbuh pada tanah yang dangkal berbatu-batu, lembab berawa-rawa dengan variasi kesuburan mulai dari yang tidak subur dan gersang sampai tanah yang baik dan subur. Di Australia yang merupakan sumber utama tanaman kayu putih,
III-3
tanaman ini dapat tumbuh pada tanah podsol, laterit, alluvial dengan banyak variasi batuan induk yang terdiri dari batuan pasir, granit dan sedimen. Pertumbuhannya cepat dan selalu hijau sepanjang tahun. Tahan terhadap air asin, angin dan kekeringan dan tahan pula terhadap kebakaran. Jika tanaman kayu putih terbakar, tunasnya akan segera muncul kembali dan ternyata lebih cepat jika dibandingkan dengan jenis-jenis kayu lainnya. Tanaman kayu putih ini tumbuh baik mulai dari dataran rendah sampai daerah pegunungan (0 - 1000 m dpl), bahkan masih dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian 1500 m dpl. Di Irian Jaya di sekitar danau Sentani (200 m dpl), kayu putih banyak dijumpai tumbuh secara alami dengan ukuran pohon besar. Tanaman ini dikenal di Indonesia dengan beberapa nama menurut daerahnya masing-masing seperti Gelam (Sunda, Jawa), Ghelam (Madura), Inggolom (Batak), Gelam;Kayu gelam;Kayu putih (Melayu), Bru gelang;Waru gelang (Sulawesi), Nggielak;Ngelak (Roti), Iren;Sekaten (Piru), Irano (Amahai), Ai kelane (Hila), Irono (Haruku), Ilano (Nusa Laut Saparua), Elan (Buru).
Minyak Kayu Putih (Cajeput Oil) Minyak atsiri yang dihasilkan dari proses penyulingan daun kayu putih disebut dengan minyak kayu putih atau dalam perdagangan dikenal dengan nama Cajeput oil. Aroma minyak kayu putih sangat khas dan minyaknya memberikan rasa hangat pada kulit. Minyak kayu putih hingga saat ini banyak digunakan dalam industri farmasi, khususnya sebagai obat gosok kulit, sebagai penghangat tubuh, atau sebagai pengusir serangga khususnya nyamuk. Minyak Kayu Putih bisa berasal dari beberapa jenis pohon seperti M. leucadendron dan Eucalyptus spp. Namun yang paling populer di Indonesia umumnya minyak kayu putih yang berasal dari M. leucadendron atau Melaleuca cajuputi. Melaleuca ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda di Indonesia dan di mancanegara. Pohon ini juga mampu tumbuh di daerah dengan curah hujan rendah maupun curah hujan tinggi. Namun pohon yang menghasilkan rendemen minyak kayu putih yang tinggi umumnya berasal dari daerah kering.
III-4
1. Sifat Fisik Minyak kayu putih yang kasar berwarna biru sampai hijau. Sedangkan minyak kayu putih yang telah dimurnikan berwarna kuning sampai tidak berwarna dan berbau seperti kamper. Minyak kayu putih yang murni bila dikocok di dalam botol, maka gelembung-gelembung yang terbentuk di permukaan akan cepat menghilang. Bila minyak kayu putih dipalsukan, yaitu dicampur dengan minyak tanah atau bensin, maka gelembung-gelembung yang terbentuk setelah dikocok tidak akan cepat hilang. 2. Kandungan dan Sifat Kimia Senyawa aktif yang terkandung dalam minyak atsiri kayu putih adalah 1,8-sineol 50-65%, linalool, alfaterpineol, terpinen 4-ol,terpinil asetat, pinene, nerolidol, laevo-pinene, 20(29)-ene-3beta, 17beta-diol, (2E,6E)-farnesol, fitol, squalene,
alloaromadendrene,
ledene,
palustrol,
viridiflorol,
ledol,
betulinaldehid, asam betulinat, asam 3beta-asetil-lup-20(29)-en-28-at, asam 3oxolup-20(29)-en-28-oat,
asam
platanat,L-limonen,
dipenten,
azulen,
sesquiterpen, valerianik aldehid dan benzaldehide. Minyak kayu putih dapat larut dalam alkohol, ester, benzil benzoat dan tidak larut dalam gliserin. 3. Kegunaan Minyak kayu putih digunakan sebagai obat-obatan dan wangi-wangian. Sebagai obat, minyak kayu putih dapat bersifat analgesik dan stimulan. Kayu putih digunakan untuk obat gosok maupun obat diminum, mengurangi kejang, sakit kepala, kuping, sakit gigi, reumatik, sakit dada, kejang di kaki, bengkak, luka iris, luka bakar, sakit otot dan juga sebagai bahan insektisida dan perfumeri.
Perlakuan Pasca Panen Pemanenan daun kayu putih sudah dapat dilakukan setelah tanaman berumur 2 tahun. Produksi dapat berlangsung sampai pohon berusia 30 tahun, tergantung pada pemeliharaan. Bahan yang digunakan untuk pembuatan minyak kayu putih adalah helai daun kurang lebih 20 cm dari pucuk. Daun sebaiknya disuling dalam keadaan segar, karena penyimpanan akan menurunkan kualitas minyak. Namun, penyulingan daun dalam keadaan segar sukar dilaksanakan,
III-5
karena jumlah daun kayu putih hasil panen tidak selalu sama dengan kapasitas ketel, sehingga perlu dilakukan penyimpanan. Penyimpanan dilakukan tidak lebih dari satu minggu dengan menebarkan di lantai setinggi kurang lebih 20 cm pada suhu kamar, di tempat kering dengan sirkulasi udara terbatas. Bila daun dimasukkan ke dalam karung, min minyak yang dihasilkan akan berbau apek dan kadar sineolnya menjadi rendah.
Kualitas Minyak Kayu Putih Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas minyak kayu putih
secara
umum adalah jenis tanaman, cara penyimpanan dan proses penyulingan. Mutu minyak kayu putih dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu mutu Utama (U) dan mutu Pertama (P). Keduanya dibedakan oleh kadar sineol yang terdapat dalam minyak kayu putih tersebut. Selama penyulingan berlangsung, jumlah dan kualitas minyak yang tersuling akan terus menurun. Penurunan jumlah minyak disebabkan oleh minyak yang terkandung dalam daun makin lama makin berkurang. Penurunan kualitas disebabkan oleh kadar sineol yang sebagian besar sudah tersuling pada awal penyulingan karena komponen tersebut memiliki titik didih yang rendah. Bila penyulingan minyak dilakukan tanpa pemisahan ke dalam fraksi menurut periode penyulingan, akan diperoleh campuran minyak dengan kadar sineol tinggi dan rendah yang tidak memenuhi persyaratan ekspor. Untuk mengatasi hal tersebut minyak perlu ditampung dalam dua atau tiga tempat penampungan menurut periode waktu penyulingan. Dengan cara tersebut akan diperoleh minyak dengan tiga kualitas yaitu tinggi, sedang dan rendah. Berdasarkan ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia (SNI), syarat mutu minyak kayu putih yang diperkenankan adalah seperti yang terlihat pada tabel berikut: Tabel 3.1. Persyaratan mutu minyak kayu putih No 1 2 3 4
Persyaratan Berat Jenis pada 15ºC Indeks Bias pada 20ºC Putaran Optik pada 27,5ºC Kelarutan dalam alkohol 80 %
Nilai atau Komposisi 0,90-0,93 1,46-1,47 (-4)º - 0º Jernih pada perbandingan 1: 1 sampai 1: 10 III-6
Tabel 3.1. Lanjutan No
Persyaratan Minyak lemak Minyak pelikan Kadar sineol mutu Utama (U) Kadar sineol mutu Pertama (P) Uji bau
5 6 7 8 9
Nilai atau Komposisi Negatif (tidak diperkenankan) Negatif (tidak diperkenankan) ≥ 55 % < 55 % Bau khas minyak kayu putih
3.2.2. Eucalyptus deglupta Sistematika dan Morfologi Leda Sistematika tanaman leda menurut adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub division : Angiospermae Class
: Dicotyledonae
Ordo
: Myrtales
Famili
: Myrtaceae
Genus
: Eucalyptus
Species
: Eucalyptus deglupta
Pohon ini mempunyai batang tegak, tinggi dan bertajuk pohon tinggi. Kulitnya sangat licin yang sebagian putih tapi terus-menerus mengelupas tidak teratur. Tinggi pohon leda sekitar 10-25 m dengan kulit berwarna coklat sampai abu kecoklatan, daun berbentuk bulat telur memanjang sampai bentuk lanset, bunga berbentuk payung
dan buah berbentuk lonceng. Bulan April – Juli
merupakan musim berbunga leda, buah yang masak berwarna hijau tua sampai hitam. Tanaman ini mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun serta mampu tumbuh dengan cepat. Tumbuhan ini berbuah dan berbiji dengan cepat pada usia yang dini dan patahan pohon muda akan dengan cepat membentuk ranting baru. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada tanah berpasir, terdapat abu vulkanik (dengan pH 6 – 7,5) dan mampu tumbuh dengan baik pada tanah liat vulkanik yang memilki status nutrisi rendah. Tanaman ini banyak dijumpai di Australia, Papua New Guinea, Timor dan kepulauan Filipina. Selain itu, tanaman ini juga dikembangkan di Algeria,
III-7
Spanyol, Amerika Selatan, Kongo, Belgia dan bagian lain di dunia menggunakan bibit berasal dari Australia.
Minyak Eukaliptus (Eucalyptus oil) Pohon eukaliptus merupakan tanaman yang dapat menghasilkan minyak atsiri. Ada beberapa jenis eukaliptus yang diketahui sebagai penghasil minyak atsiri dan minyak atsiri yang dihasilkannya mempunyai sifat-sifat yang berbedabeda. Minyak atsiri yang dihasilkan dari pohon eukaliptus dikenal sebagai minyak eukaliptus. Minyak ini diperoleh dari proses destilasi daun dan ranting pohon eukaliptus. Minyak eukaliptus yang sering diproduksi secara besar hanya minyak yang kaya akan sineol dan diperoleh melalui proses destilasi untuk memisahkan komponennya melalui titik didih. Pada proses penyulingan minyak eukaliptus ini akan mengapung di atas air karena memiliki berat jenis yang rendah sehingga dapat dipisahkan dengan mudah. Hasil penyulingan dari daun ini menghasilkan rendemen yang bervariasi tergantung jenis eukaliptus. Jenis kayu eukaliptus yang telah banyak dikembangkan adalah E. radiata, E. globulus, E. polybractea, E. kochii ssp., E. horistes, E. loxophleba. Namun minyak eukaliptus dengan banyak kompenen dan rendemen diperoleh dari jenis E. polybractea. Eukaliptus merupakan tanaman asli Australia yang mengandung minyak dengan bahan kimia sehingga banyak dimanfaatkan dalam farmasi. Hasil sulingan dari daun eukaliptus mengandung komponen sineol yang paling banyak dan paling aktif. Sineol merupakan penentu mutu dari minyak eukaliptus dan minyak yang dihasilkan dengan proses penyulingan uap memiliki karakteristik aroma dan kandungan sineol tertentu. Di daerah Australia hasil penyulingan minyak eukaliptus menghasilkan kadar sineol yang berbeda-beda tergantung jenisnya. Jenis E. aromaphloia, E. badjensis, E. cephalocarpa,
E. cinerea, E. globulus, E. goniocalyx, E.
kartzoffiana, E. mannifera subsp. Maculosa, E. nicholii,
E. perriniana, E.
saxatilis, E. smithii.
III-8
Rendemen dan Kadar Sineol Minyak Eukaliptus Rendemen adalah perbandingan volume bahan yang dihasilkan (output) terhadap volume bahan bakunya (input) yang dinyatakan dalam persen. Tinggi rendahnya rendemen dalam suatu proses produksi dapat dijadikan suatu kriteria (ukuran) keberhasilan proses produksi tersebut.
Rendemen merupakan dasar
dalam perhitungan biaya produksi. Rendemen yang dihasilkan berbeda-beda tergantung
jenis
tumbuhan,
varietas,
tempat
pembudidayaan
dan
cara
melaksanakan penyulingan. Selama penyulingan berlangsung, jumlah dan mutu minyak yang tersuling akan terus menurun. Penurunan jumlah minyak disebabkan oleh minyak yang terkandung dalam daun makin lama makin berkurang. Penurunan mutu disebabkan oleh kadar sineol yang sebagian besar sudah tersuling pada awal penyulingan karena komponen tersebut memiliki titik didih yang rendah. Bila penyulingan minyak dilakukan tanpa pemisahan ke dalam fraksi menurut periode waktu penyulingan. Dengan cara tersebut akan diperoleh minyak dengan tiga mutu yaitu tinggi, sedang dan rendah. Mutu merupakan suatu tolak ukur yang telah melekat dalam semua aspek kehidupan manusia modern. Untuk minyak atsiri, mutu minyaknya dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: jenis atau varietas tanaman, umur tanaman sebelum dipanen, perlakuan bahan mentah sebelum penyulingan, cara penyulingan, bahan alat penyulingan, perlakuan terhadap minyak sesudah penyulingan dan penyimpanan minyak. Minyak eukaliptus tersusun atas sineol 70-88%, asam butirat, aldehida, dan prenena. Minyak leda tidak larut dalam air, tidak berwarna sampai sedikit kuning, larut dalam alkohol 70% sampai 90% dan pelarut-pelarut organik, indeks refraksi 1,4580-1,4700, berat jenis 0,905-0,925 (25º C), putaran optik -5º sampai +5º, berbau khas seperti kamper. 3.2.3. Pogostemon heyneanus Benth Bagi tanaman nilam, minyak yang dikandungnya mampu menarik kehadiran serangga penyerbuk sekaligus aromanya dapat mengusir serangga perusak tanaman, yang pasti ia berfungsi sebagai cadangan makanan bagi tanaman
III-9
itu. Daun nilam yang kering mengandung 1,4%-4% minyak atsiri, minyak ini mengandung sekitar 40% patchouli alcohol. Komponen penting penyusun minyak nilam (Patchouli Oil) meliputi Patchouli alcohol, Patchouli camphor, Eugenol, Benzaldehyde, Cinnamic aldehuyde dan Cadinene. Tetapi komponen penyusun yang paling menentukan mutu minyak nilam adalah Patchouli alcohol yang kadarnya tidak kurang dari 30%. Tanaman nilam merupakan tanaman penghasil minyak atsiri yang terdiri dari berbagai jenis, dimana setiap jenis memiliki kadar dan kualitas minyak yang berbeda, antara lain : 1.
Pogostemon cablin Benth Nilam jenis ini terdapat di Filipina, Brazilia, Malaysia, Paraguay, Madagaskar dan Indonesia. Di Indonesia nilam jenis ini lebih populer dengan sebutan “nilam Aceh”. Daunnya agak membulat seperti jantung, di bagian bawah daun terdapat bulu-bulu rambut sehingga warnanya nampak pucat. Nilam jenis ini tidak atau jarang sekali berbunga
2.
Pogostemon heyneanus Benth Nilam jenis ini sering tumbuh secara liar di pekarangan-pekarangan rumah atau ditempat yang jarang dijamah oleh manusia. Oleh karena itu disebut “nilam hutan”, juga disebut nilam jawa. Daunnya lebih tipis daripada daun nilam jenis pogostemon cablin Benth dan ujungnya agak runcing.
3.
Pogostemon hortensis Backer Nilam jenis ini dapat digunakan sebagai pengganti sabun, sehingga disebut “nilam sabun”. Bentuknya hampir sama dengan Pogostemon heyneanus. Daunnya tipis, ujung daun agak runcing dan tidak berbunga Dari ketiga jenis nilam tersebut, nilam yang mempunyai kadar minyak atsiri
yang paling tinggi adalah nilam Aceh. Jika nilam sabun dan nilam hutan rata-rata hanya mengandung rendemen minyak atsiri antara 0,5%-1,5%. Kadar minyak atsiri nilam Aceh rendemennya mencapai 2,5%-5,0%. Oleh sebab itu pula, nilam Aceh merupakan jenis yang sangat tepat dipilih guna dibudidayakan secara komersial.
III-10
Sistematika dan Morfologi Sistematika dari tanaman nilam jawa (Pogostemon heyneanus Benth) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Division
: Spermatophyta
Sub division
:
Angiospermae
Class
:
Dicotyledonae
Ordo
:
Tubiflorae
Family
:
Labiatae
Genus
:
Pogostemon
Species
:
Pogostemon heyneanus Benth
Tanaman nilam yang termasuk famili Labitae memiliki ciri-ciri yaitu akar serabut, bentuk daun tunggal yang berbentuk bulat telur dan lonjong, melebar di tengah, meruncing ke ujung dan tepinya bergerigi. Tulang daunnya bercabangcabang ke seluruh penjuru. Batang berkayu dengan diameter 10-20 mm, lunak dan berbuku-buku, batangnya mengembang dan berair, berwarna hijau kecoklatan dan percabangannya bertingkat mengelilingi batang antara 3-5 cabang bertingkat. Setelah berumur enam bilan, tingginya mencapai 1 meter dengan radius cabang 60 cm. Penyebaran dan Tempat Tumbuh Nilam yang lebih dikenal dengan nama ilmiah pogostemon sp., telah dikenal sejak lama di Indonesia. Daerah asalnya tidak diketahui secara pasti. Ada yang mendakwanya berasal dari India dan ada pula yang menduga dari Srilangka bahkan Filipina. Yang jelas, semenjak tahun 1653 tanaman ini telah digunakan orang untuk keperluan mandi karena aromanya yang khas dan harum. Tahun 1895, seorang Belanda membawa tanaman nilam yang berasal dari Filipina di Indonesia dan untuk pertama kalinya nilam ditanam sebagai tanaman sela diperkebunan kopi di kaki gunung Pasaman, Sumatera Barat. Seusai perang Aceh, tanaman ini mulai menyebar ke daerah sekitar Aceh serta ditanam sebagai tanaman sela di perkebunan tembakau dan kelapa sawit. Kemudian pada tahun 1920, pemerintah Belanda mendirikan unit-unit usaha penyulingan minyak nilam
III-11
di daerah tersebut dan terbukti hasilnya tidak sia-sia sebab hingga kini proses penyulingan minyak nilam tetap berlangsung. Tanaman nilam dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, gembur dan banyak mengandung bahan organis. Jenis tanah yang dapat ditumbuhi adalah regosol, latosol, dan alluvial. Tekstur tanahnya adalah lempung berpasir, atau lempung berdebu dan keasaman tanah antara pH = 6-7, mempunyai daya resapan tanah yang baik dan tidak menyebabkan genangan air pada musim hujan. Tanaman nilam dapat tumbuh di dataran rendah maupun pada dataran tinggi yang mempunyai ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut. Akan tetapi nilam akan tumbuh dengan baik dan berproduksi tinggi pada ketinggian tempat 10-400 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini menghendaki suhu yang panas dan lembab serta memerlukan curah hujan yang merata yaitu berkisar antara 23003500 mm/tahun dan merata sepanjang tahun, sedangkan suhu yang baik untuk tanaman ini adalah 240C-280C dengan kelembaban lebih dari 75%.
Pemanenan Panen pertama dapat dilakukan 7-9 bulan setelah tanam dan panen berikutnya dapat dilakukan setiap 3-4 bulan sekali, hingga umur produktif 3 tahun. Setelah umur produktif terlampaui, tanaman harus diremajakan. Waktu pemanenan nilam harus dilakukan pagi atau sore hari. Panen nilam tidak dapat dilakukan pada siang hari ketika panas hari cukup menyengat. Hal ini disebabkan karena pada siang hari, sel-sel pada daun masih menjalani proses metabolisme sehingga dapat mengurangi laju pembentukan minyak. Selain itu akan menyebabkan terjadinya proses transpirasi daun yang lebih cepat dan kondisi daun menjadi kurang elastis serta mudah sobek. Kesemuanya akan mengakibatkan jumlah minyak yang dihasilkan menurun. Sebelum proses penyulingan biasanya dilakukan perlakuan pendahuluan terhadap bahan yang akan disuling. Perlakuan tersebut yaitu pengeringan atau pelayuan dan pengecilan ukuran. Pengecilan ukuran
perlu dilakukan karena
minyak atsiri di dalam tanaman dikelilingi oleh kelenjar minyak, pembuluhpembuluh, kantong minyak atau rambut glandular. Apabila bahan dibiarkan utuh, kecepatan pengeluaran minyak hanya tergantung dari proses difusi yang
III-12
berlangsung sangat lambat. Pengeringan atau pelayuan bertujuan untuk menguapkan sebagian air dalam bahan sehingga penyulingan berlangsung lebih mudah dan lebih singkat. Selain itu, juga bertujuan untuk menguraikan zat yang tidak berbau wangi menjadi wangi. Pengeringan nilam biasa dilakukan dengan dihamparkan di atas tikar dan dikeringkan dengan matahari langsung, dan dibalik dari waktu ke waktu supaya keringnya merata dan terhindar dari proses fermentasi. Lama pengeringan berkisar 3-4 hari, tergantung pada teriknya matahari dan kelembaban udara. Pengeringan dihentikan apabila sudah tercium bau yang lebih keras dan khas dibandingkan daun segar. Panen dan pengolahan pasca panen (Nilam) 1. Pemanenan Pemanenan pertama dapat dilakukan pada umur 6 – 9 bulan jika pertumbuhan tanaman baik. Pemanenan berikutnya dapat dilakukan setiap 3 – 4 bulan Pemanenan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : a. Pemangkasan Pemanenan dilakukan dengan cara memangkas seluruh tanaman dan hanya menyisahkan satu cabang, tidak membedakan pemanenan cabang atau daun muda.Pada panen pertama, bagian yang boleh dipangkas dari tanaman nilam adalah cabang-cabang dari tingkat dua ke atas, sedangkan cabang-cabang tingkat pertama ditinggalkan. Jarak panen setiap enam bulan b. Pemetikan cabang atau daun mudah Pemanenan dilakukan dengan cabang atau daun muda (3 pasang daun muda). Pemanenan bisa dilakukan empat kali setiap 6 bulan dan atau jarak panen 3 – 4 bulan c. Pelayuan/Pengeringan Pelayuan dan pengeringan bahan bertujuan untuk menguapkan sebagian air dalam bahan sehingga proses penyulingan berlangsung lebih singkat. Pelayuan dan pengeringan dapat dilakukan secara : a. sinar matahari langsung Penjemuran dilakukan 5 – 8 jam atau sampai daun menjadi layu. Sumber lain menganjurkan 4 jam (10.00 – 14.00) selama 3 – 4 hari
III-13
ada juga yang mengeringkan 3 – 5 hari dengan waktu empat jam perhari. b. secara tidak langsung. secara tidak langsung adalah penurunan kadar air didalam ruangan namun waktu yang dibutuhkan adalah sangat lama dan harus dijaga supaya tidak terjadi fermentasi sehingga mengakibatkan penurunan kualitas. c. kombinasi a dan b kombinasi a dan b adalah pengeringan secara langsung kemudian dilanjutkan dengan pengangin-anginan di dalam ruangan dalam beberapa hari. d. dengan cara pengovenan cara ini belum ada sumber literatur yang menyebutkan tapi untuk kedepan laboratorium Hasil Hutan Bukan Kayu akan mengkaji cara pengeringan dengan menggunakan teknologi pengeringan. Masalah yang akan dihadapi adalah jika kondisi cuaca yang tidak menentu maka tempat pengeringan harus dirancang sedemikian rupa sehingga proses pengeringan tidak menjadi masalah. 1. Indikator selesainya pengeringan a. Berdasarkan waktu jika cuaca bagus Jika pengeringan dilakukan dibawah sinar matahari langsung maka waktu pengeringan 3 – 5 hari (sekitar empat jam perhari), bergantung pada cuaca b. Kondisi fisik bahan Kondisi bahan jika digenggam atau diremukkan tidak kaku atau masih elastis c. Kadar air Kadar air yang diharapkan adalah 12 – 15 % d. Aroma minyak sudah mulai muncul
III-14
2. Penyimpanan Jika proses penyimpanan setelah pengeringan harus dilakukan maka dianjurkan tidak menyimpan daun nilam kering lebih dari satu minggu karena dapat menurunkan produksi minyaknya. 3. Pengecilan ukuran Pengecilan ukuran dilakukan sebaiknya sesudah pelayuan/pengeringan untuk menghindari banyaknya kehilangan minyak akibat pengeringan, tetapi ada juga yang melakukan setelah panen sebelum dikeringkan, hal ini perlu dikaji pengaruh pengecilan sebelum pengeringan dan setelah pengeringan yang langsung akan masuk ke ketel penyulingan. Pengecilan ukuran meliputi : a. diiris b. dipotong c. dirajang
Rendemen dan kualitas minyak Minyak nilam atau patchouli alcohol (C15H26) karena didominasi oleh persenyawaan tersebut. Rendemen dan kualitas minyak dipengaruhi oleh beberapa faktor : 1.
Jenis dan varietas Berdasarkan jenis maka nilam terdiri atas P. cablin Benth dengan kadar minyak 2,5 – 5 %, P.heyneanus Benth dengan kadar minyak 0,5 – 1,5 %, dan P. hortensis Backer dengan kadar minyak 0,5 – 1,5 %.. Balai penetian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah menghasilkan sumber bibit berupa empat klon unggul nilam dengan kadar patchouli alcohol-nya diatas mutu yang disyaratkan (30 %). Ke empat klon unggul tersebut adalah Cisaroni (33,1 %), Lhokseumawe (30,5 %), Sidikalang (37,3 %), Tapak Tuan 35,0 % dan Standar > 30 %.
2. Tempat tumbuh Komponen tempat tumbuh yang menjadi parameter untuk penanaman nilam adalah ketinggian, pH tanah, Suhu, kelembaban, cahaya matahari dan curah hujan.
III-15
Dari beberapa sumber didapatkan bahwa nilam merupakan tanaman tropis dan dapat tumbuh pada kisaran ketinggian 0 – 1200 m dpl. Namun tinggi ideal bervariasi, ada yang menyatakan ideal pada ketinggian 0 – 400 m ada juga 100 – 400, bahkan ada yang menyatakan
10 – 700 dan 400 – 700 m
dpl. Nilam yang ditanam pada dataran tinggi kadar patchouli alcohol-nya lebih tinggi tapi kadar minyaknya rendah dan sebaliknya pada daerah dataran rendah kadar patchouli alcohol-nya lebih rendah namun kadar minyaknya lebih tinggi. Nilam menghendaki tanah dengan pH mendekati netral yaitu 6 – 7. Nilam merupakan tanaman yang tidak haus akan air tapi membutuhkan ketersedian air yang mencukupi sehingga butuh curah hujan yang merata sepanjang tahun jika kondisi hujan yang tidak merata sepanjang tahun maka sistem pengairan dibutuhkan untuk menghadapai masa kemarau yang panjang. 3.
Waktu panen , umur panen dan penanganan pasca panen Waktu panen dianjurkan dilakukan pada pagi hari dan sore menjelang malam. Panen pertama dapat dilakukan pada umu 6 – 9 bulan, jika pertumbuhannya baik yaitu pada daur fisiologis yang optimum namun kadar minyaknya masih rendah, kadar minyak tertinggi setelah pertumbuhan vegetatif berikutnya sampai umur dua tahun. Jangka waktu pemanenan dapat dilakukan sampai umur 3 tahun namun pada umur tiga tahun kadar minyak sudah menurun. Panen dilakukan pada saat kandungan minyaknya tertinggi yaitu ketika daunnya masih berwarna hijau tua dan belum berubah warna jadi coklat
4.
Teknik budidaya Pertumbuhan vegetatif yang subur tidak menjamin kadar minyak dalam tanaman menjadi tinggi, Nilam yang ditanam dibawah naungan opertunbuhan vegetatifnya bagus, ukuran daun besar dan warna agak hijau memiliki kandungan minyak yang rendah disbanding dengan yang ditanam pada daerah terbuka dengan kondisi daun agak kuning dan kecil. - Sumber bibit (stek, kultur jaringan - Jarak tanam
III-16
- Sistem bedengan - Monokultur - Dengan Pohon penaung - Penggunaan pupuk organic dan anorganik 5.
Bioteknologi Peningkatan
produksi
minyak
dapat
dilakukan
dengan
penerapan
bioteknologi, mulai dari pengadaan bibit dengan kultur jaringan sampai pada rekayasa genetik untuk mendapatkan gen-gen yang memacu pembentukan minyak. Aplikasi enzim sebagai pupuk daun untuk meningkatkan kadar minyak dalam tanaman.
3.3.
Karakteristik Bahan Baku Minyak Atsiri
3.3.1.
Komposisi Kimia Minyak Atsiri Minyak atsiri mengandung campuran dari berbagai bahan hayati seperti
alkohol, aldehida, ester dan terpena. Bahan-bahan ini kemungkinan merupakan sisa metabolisme tumbuhan yang digunakan untuk menarik serangga yang membantu penyerbukan serta mengusir serangga perusak. Unsur yang mengandung aroma diduga terbentuk dalam hijau daun (chloroplast). Unsur – unsur tersebut bersatu dengan glukosa, menciptakan glukosida yang disalurkan ke seluruh tubuh tumbuhan. Minyak atsiri secara umum terdiri atas unsur-unsur karbon (C), hidrogen (H) dan Oksigen (O), kadang-kadang juga terdiri atas nitrogen (N) dan belerang (S). Minyak atsiri mengandung resin dan lilin dalam jumah kecil yang merupakan komponen yang tidak dapat menguap. Berdasarkan komposisi kimia dan unsurunsurnya atsiri dibagi dua, yaitu : hydrocarbon dan oxygeneted hydrocarbon. Minyak atsiri mengandung bermacam-macam komponen kimia yang berbeda, komponen itu dapat digolongkan ke dalam empat kelompok besar yang menentukan sifat minyak atsiri ; (1) terpen yang ada hubungannya dengan isopentana (2) persenyawaan yang tidak mengandung rantai cabang (3) turunan benzena dan (4) bermacam-macam persenyawaan lainnya seperti alil isotiosianat, dialil sulfide.
III-17
Hydrocarbon/hidrokarbon memiliki unsur-unsur hidrogen (H) dan karbon (C). Hidrokarbon terdiri atas senyawa terpene. Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam minyak sebagian besar terdiri atas : monoterpen (2 unit isoprene), sesquiterpen (3 unit isoprene), diterpen (4 unit isoprene), politerpen, parafin, olefin dan hidrokarbon aromatik. Komponen hidrokarbonyang dominan menenttukan bau dan sifat khas dari setiap jenis minyak, sebagai contoh minyak jeruk mengandung 90 % limonen. Oxygeneted Hydrocarbon mengandung unsurunsur karbon (C), hidrogen (H) dan Oksigen (O). Yang termasuk osygeneted hydrocarbon adalah persenyawaan alkohol, aldehida, keton, oksida ester dan eter. Ikatan karbon dalam oxygeneted hydrocarbon ada yang jenuh dan ada yang tidak jenuh. 3.3.2. Proses Terbentuknya Minyak Atsiri Proses penciptaan minyak atsiri di dalam tumbuh – tumbuhan masih merupakan perdebatan para ahli. Namun yang pasti, minyak atsiri mengandung campuran dari bahan - bahan hayati, ternasuk di dalamnya adalah aldehide, alcohol, ester. ketone, dan terpene. Bahan – bahan ini kemungkinan merupakan sisa metabolisme tumbuh – tumbuhan. Unsur yang mengandung aroma terbentuk dalam hijau daun (chloroplast).
Di situ unsur
bersatu dengan glukosa,
menciptakan glukosida yang disalurkan ke seluruh tubuh tumbuhan. Di tempat – tempat tertentu khususnya bunga, tumbuhan menghasilkan zat penawar (enzim) yang menyerbu glukosida itu, yang mengakibatkan terciptanya minyak atsiri. Daya tarik yang dapat diambil dari minyak atsiri ialah aroma yang beraneka ragam. Bahkan satu jenis tumbuhan yang sama bila ditanam pada tempat yang berlainan mampu manghasilkan aroma yang berbeda. Iklim, keadaan tanah, sinar matahari, cara pengolahan, tidak hanya mempengaruhi rendemen minyak atsiri tetapi juga berpengeruh terhadap aromanya. Minyak atsiri merupakan hasil dari metabolisme sekunder, dimana metabolisme sekunder menghasilkan senyawa-senyawa metabolite sekunder (secondary metabolite) yang berfungsi untuk melindungi tumbuhan dari serangan serangga, bakteri, jamur, dan jenis pathogen lainnya. Terbentuknya minyak atsiri bukan diakibatkan oleh adanya metabolisme semata tetapi didukung oleh adanya
III-18
sel atau kelompok sel tanaman (jaringan sekretori) yang meproduksi (mensekresi) minyak tersebut seperti idioblas sekretori, saluran resin, nektari, dan trikoma glandular (kelenjar minyak). Substansi yang disekresi dapat terkumpul dalam ruang interinsuler yang spesifik Ruang-ruang ini mempunyai bentuk dan asal yang berbeda-beda. Minyak atsiri sendiri merupakan salah satu hasil proses metabolisme dalam tanaman, yang terbentuk karena reaksi berbagai persenyawaan kimia dengan adanya air. Minyak tersebut disintesa dalam sel glandular (glandular cell) pada jaringan tanaman dan ada juga yang terbentuk dalam pembulu resin (resin duct), misalnya minyak terpentin dari pohon pinus. Metabolisme dalam tanaman terdiri atas : a. Metabolisme primer (primary metabolite) Senyawa organik yang dihasilkan dari metabolisme primer adalah karbohidrat, protein, lemak, membrane lipids, nucleid acids, chlorophyl and hemes. b. Metabolisme skunder (secondary metabolite or secondary plant product or natural products ) Metabolisme sekunder menghasilkan alkaloids, terpene, (meliputi steroid dan getah), tannin, flavonoids etc. Metabolisme sekunder atau produk sekunder tanaman dapat dikelompokkan atas tiga kelompok yaitu : a. Isoprenoid compound or terpenes e.g., essensial oil, steroids, rubber etc. b. Nitrogen containing secondary metabolites e.g., alkaloids non-protein, amino acids etc. c. Phenolic compounds or phenolics e.g., lignin, tannins, flavonoids etc.
III-19
Gambar 3.1. Mikrograf kilasan electron bahian-bagian daun 1. Eucalyptus camaldulensis 135x. 2. Ficus elastic, yang memperlihatkan litosista berisikan sistolit. Sumber FAHN A. (Anatomi Tumbuhan) 3.4.
Kegunaan Minyak Atsiri Minyak atsiri digunakan secara luas dalam berbagai bidang industri antara
lain animal food industry (makanan kucing), automobile industry (pengkilap, pembersih dan sabun), baked good industry (biskuit dan crackers), canning industry (pengalengan ikan), chewing gum indsutry (permen karet), obat pembasmi dan insektisida (obat nyamuk dan racun tikus), industri farmasi (sirup obat batuk, salep, tonik, obat gosok, hospital sprayer), industri minuman beralkohol (rums, vermouths, whiskies dan wines), industri difersifikasi (lilin, keramik, bahan pengawet mayat, lensa optik dan gas air mata). Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau minyak gosok (untuk pengobatan) alami. Di dalam perdagangan, sulingan minyak atsiri dikenal sebagai bibit minyak wangi.
Minyak atsiri bersifat mudah menguap
karena titik uapnya rendah. Selain itu, susunan senyawa komponennya kuat
III-20
mempengaruhi saraf manusia (terutama di hidung) sehingga seringkali memberikan efek psikologis tertentu (baunya kuat). Setiap senyawa penyusun memiliki efek tersendiri, dan campurannya dapat menghasilkan rasa yang berbeda. Minyak atsitri digunakan sebagai bahan wewangian, penyedap masakan dan obat-obatan. Produk-produk dari minyak atsiri seperti Champaca Oil, Cananga Oil, Melaueca Oil, Clove Oil, Nutneg Oil dan Patchouli Oil. Minyak atsiri dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan berupa
jamu dan juga
sebagai bahan penyedap makanan. Pemakaian luar (tropical/external use) seperti pemijatan, lulur, obat luka, parfum. Pernapasan (inhalasi atau aromaterapi) dan pestisida nabati seperti anti jamur, pengusir nyamuk dan pengendali hama lalat buah. Fungsi minyak atsiri yang paling luas dan paling umum diminati adalah sebagai pengharum, baik itu sebagai parfum untuk tubuh, kosmetik, pengharum ruangan, pengaharum sabun, pasta gigi, pemberi cita rasa pada makanan maupun produk rumah tangga lainnya.
Hanya beberapa jenis minyak atsiri yang
digunakan sebagai bahan terapi terhadap suatu jenis penyakit atau lebih populer disebut terapi aroma. Kebanyakan minyak atsiri memiliki bau yang spesifik, hal ini terrjadi karena setiap minyak atsiri memiliki komponen kimia yang berbeda. Komposisi atau kandungan masing – masing komponen kimia tersebut adalah hal yang paling mendasar dalam menentukan aroma maupun kegunaannya (sebagai bahan pengharum, kosmetik, obat dan lain – lain). Jadi penentuan komponen penyusun dari masing – masing komponen tersebut di dalam minyak atsiri merupakan hal yang sangat penting
dalam menentukan kegunaan dan mutu
minyak atsiri. Minyak atsiri digunakan sebagai bahan wewangian, penyedap masakan, obat-obatan dan penarik ataupun penolak serangga.
Minyak atsiri yang
disemprotkan ke udara dapat membantu membasmi bakteri dan jamur terutama bakteri Eacherichia coli dan Staphycoccus aureus. Selain itu aroma alami minyak atsiri juga dapat menenangkan emosi dan pikiran serta menciptakan suasana tentram dan harmonis sehingga banyak digunakan sebagai aroma terapi. Minyak atsiri murni adalah substansi yang amat kuat, 75 - 100 kali lebih potensial dibandingkan dengan bahan asalnya. Karena itu dalam penggunaannya
III-21
harus hati-hati, misalnya dengan selalu melarutkannya dengan cairan pembawa. Penelitian menunjukkan, minyak atsiri yang disemprotkan ke udara membantu menghilangkan bakteri, jamur, pengap dan bau yang tidak mengenakkan. Selain menyegarkan udara, aroma alami minyak atsiri juga dapat mempengaruhi emosi dan pikiran serta menciptakan suasana tenteram dan harmonis. Penggunaan minyak atsiri di Indonesia bisa melalui beberapa cara : 1.
Melalui mulut atau dikomsumsi (oral), antara lain jamu yang mengandung minyak atsiri atau bahan penyedap makanan (bumbu).
2.
Pemakaian luar (topical/external use), antara lain pemijatan lulur dan obat luka atau memar.
3.
Pernapasan (inhalasi atau aromateraphy), antara lain wangi-wangian (parfum) dan aromaterapi.
3.5.
Metode Ekstraksi Minyak Atsiri Minyak atsiri dapat diekstrak dengann 4 macam cara, antara lain :
A.
Penyulingan (distillation). Penyulingan adalah pemisahan komponen-komponen suatu campuran dari dua jenis cairan atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut. Campuran cairan yang disuling dapat berupa cairan yang tidak larut dan selanjutnya membentuk dua fasa atau cairan yang saling melarutkan secara sempurna yang hanya membentuk satu fasa. Minyak nilam merupakan minyak atsiri yang diperoleh dengan menyuling atau mengekstraksi daun nilam kering. Penyulingan minyak atsiri dapat dilakukan dengan tiga cara atau model, yakni penyulingan dengan air, penyulingan dengan uap dan penyulingan dengan air dan uap. Dari ketiga cara penyulingan minyak atsiri tersebut, cara yang paling sesuai untuk minyak nilam adalah cara penyulingan dengan uap air (dikukus) dan dengan uap. Cara penyulingan dengan air tidak sesuai untuk minyak nilam karena bahan yang disuling sulit bisa bergerak menyebabkan rendemen dan mutu minyak yang diperoleh rendah. Pada penyulingan dengan air dan uap bahan tanaman yang bahan disuling diletakkan diatas rak-rak atau plat berlubanglubang, lalu ketel penyuling diisi dengan air hingga permukaannya tidak jauh
III-22
dari bagian bawah rak. Ciri khas model ini uap yang dihasilkan selalu dalam keadaan basah, jenuh dan bahan yang disuling hanya berhubungan dengan uap tidak dengan air panas. Kelemahan cara ini yaitu kecepatan penyulingan rendah sehingga untuk memperoleh rendemen minyak yang tinggi perlu waktu penyulingan yang panjang. Penyulingan minyak nilam sebaiknya dilakukan dengan uap langsung dibanding dengan cara uap dan air (dikukus), karena cara penyulingan dikukus merupakan penyulingan dengan tekanan uap rendah, cara ini tidak menghasilkan uap dengan cepat sehingga panjangnya waktu penyulingan cukup penting artrinya baik ditinjau dari mutu maupun rendemen minyaknya. Lamanya penyulingan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti berat daun nilam dan kecepatan penyulingan yang dilakukan. Waktu penyulingan yang terlalu pendek akan menghasilkan rendemen yeng rendah karena masih banyak senyawa minyak yang belum terbebaskan dari dalam daun. Sebaliknya penyulingan yang terlalu lama dapat memboroskan biaya produksi juga dapat mengakibatkan kegosongan minyak. Pengolahan minyak atsiri dikenal 3 macam sistem penyulingan yaitu : 1.
Penyulingan dengan air (water distillation). Pada sistem ini bahan yang akan disuling berhubungan langsung dengan air mendidih. Keuntungan sistem penyulingan ini baik digunakan untuk menyuling bahan yang berbentuk tepung dan bunga-bungaan yang mudah membentuk gumpalan jika terkena panas. Kelemahan dari penyulingan ini yaitu tidak baik digunakan untuk bahan yang larut dalam air dan bahan yang sedang disuling dapat hangus jika tidak diawasi.
III-23
Gambar 3.2. Penyulingan dengan air 2.
Penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation). Pada sistem ini bahan tidak berhubungan langsung dengan air dalam ketel penyuling. Keuntungan sistem ini uap berpenetrasi secara merata ke dalam jaringan bahan, rendemen minyak lebih besar dan mutunya lebih baik dibandingkan dengan minyak hasil dari penyulingan dengan air
3.
Penyulingan dengan uap (Steam distillation). Pada sistem ini air sebagai sumber uap panas terdapat dalam boiler yang letaknya terpisah dari ketel penyuling dan bahan tidak berhubungan langsung dengan air. Sistem penyulingan ini baik digunakan untuk mengekstraksi kayukayuan yang umumnya mengandung komponen minyak yang bertitik didih tinggi seperti cengkeh, kayu manis, kayu putih, eukaliptus. Sistem penyulingan ini tidak baik digunakan terhadap bahan yang mengandung minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan dan air.
B.
Pressing. Ekstraksi minyak atsiri dengan cara pengepresan umumnya dilakukan terhadap bahan berupa biji, buah atau kulit buah. Karena tekanan pengepresan naka sel-sel yang mengandung minyak akan pecah dan minyak akan mengalir kepermukaan bahan. Cara ini dibagi atas 2 tipe, yaitu :
III-24
1. Hydraulic pressing. Pada tipe ini minyak diperoleh dengan cara memberikan tekanan pada bahan yang mengandung minyak yang dibungkus dengan kain pengepres. Kelemahan cara ini terbatas hanya pada bahan yang minyaknya dapat diekstrak dengan tekanan rendah 2. Expeller pressing. Alat pengepres ini dilengkapi dengan poros berbentuk spiral yang berputar secara kontinyu dalam wadah berbentuk silinder. Kelebihan pressing ini yaitu pengepresan bahan dapat dilakukan secara kontinyu dan tidak memerlukan kain pengepres. C.
1.
Ekstraksi dengan pelarut menguap (Solvent Extraction). Prinsip dari ekstrak ini adalah melarutkan minyak atsiri dalam bahan dengan pelarut organik
yang
mudah
menguap.
Umumnya
digunakan
untuk
mengekstrak minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan dengan uap dan air seperti bunga-bungaan (cempaka, melati, mawar, lily). Bunga yang masih segar dimasukkan ke dalam extractor. Pelarut organik akan berpenetrasi dalam jaringan bunga dan akan melarutkan minyak serta bahan non volatile yang berupa resin, lilin, dan zat warna, lalu dilakukan proses penyaringan. 2.
Ekstraksi dengan lemak padat. Proses ekstraksi ini digunakan khusus untuk mengekstraksi minyak bunga-bungaan untuk mendapatkan mutu dan rendemen minyak yang tinggi. Ekstraksi ini dapat dilakukan pada suhu rendah.
D.
1.
Enflourasi. Absorbsi minyak atsiri oleh lemak dilakukan pada suhu rendah sehingga minyak terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh panas
2.
Maserasi. Absorbsi minyak atsiri oleh lemak dalam keadaan hangat. Kebaikan cara ini daya absorbsi minyak atsiri oleh lemak terhadap bau bertambah besar, dan kelemahannya komponen minyak mengalami kerusakan oleh panas.
III-25
3.6.
Bahan Diskusi
1. Pada bagian ini, mahasiswa dibagi menjadi 6 (enam) kelompok dan secara berkelompok melakukan proses ekstraksi berbagai sumber bahan baku minyak atsiri yang berbeda satu dengan lainnya, misalnya : cendana (Santalum album), kamper (Cinnamomum camphora), kenanga (Cananga curassava), lawang (Cinnamomum cullilawan). 2. Tiap kelompok melaksanakan dan mengamati setiap tahapan-tahapan dalam proses ekstraksi minyak atsiri 3. Membuat paper mengenai : proses ekstraksi serta potensi minyak atsiri tersebut. Format paper sebagai berikut : halaman paper maksimal 10 lembar, menggunakan kerta A4, tipe huruf yang digunakan teks adalah Times New Roman font 12 dengan spasi 1.5, dan menyertakan bahan rujukan/daftar pustaka yang digunakan dalam pembuatan paper. 4. Membuat bahan presentasi dalam bentuk power point 5. Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan paper yang telah dibuat di depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lain.
3.7.
Bacaan/Rujukan Pengayaan
Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya : http://www.fao.org/corp/publications/en/ www.prosea.lipi.go.id/
3.8.
Latihan Soal-Soal
1.
Tuliskan defenisi minyak atsiri.
2.
Tuliskan sifat kimia dan komponen penyusun minyak atsiri
3.
Tuliskan proses terbentuknya minyak atsiri.
4.
Tuliskan minyak atsiri yang dimanfaatkan dan spesifikasi pemanfaatan masing-masing jenis minyak tersebut
III-26
BAB IV. MINYAK DAN LEMAK Tujuan Umum Menjelaskan tentang HHBK minyak/lemak; tanaman penghasil minyak/lemak; karakteristik bahan baku minyak/lemak, dan metode ekstraksi minyak/lemak dari beberapa jenis yang memberikan nilai ekonomi yang tinggi serta cara pengujian beberapa produk minyak/lemak dan pemasarannya.
Tujuan Khusus Menjelaskan jarak, kemiri, tengkawang, dan kalumpang sebagai produk hasil hutan bukan kayu dari golongan minyak/lemak
4.1. Pengertian HHBK Minyak dan Lemak Minyak dan lemak merupakan campuran ester gliserol dan asam lemak yang sangat kompleks. Asam yang banyak terdapat dalam minyak dan lemak adalah asam palmitat, asam oleat dan asam stearat. Proses mengeluarkan minyak adalah dengan pelarut minyak dan secara pressing (pengempaan). Jenis minyak/lemak yang termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu seperti pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok minyak lemak No
Jenis Komoditi Nama Indonesia Nama Latin 1. Balam Palaquium walsurifolium 2. Bintaro Cerbera manghas
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Buah merah Croton Kelor Kemiri Kenari Ketapang Ketiau Lena Makadamia Mimba Nyamplung Nyatoh
Pandanus conoideus Croton argyratus Moringa oleifera Aleurites mollucana Canarium odoratum Terminalia catappa Ganua motleyana Sasanum orientale Macadamia sp. Azadirachta indica Callophyllum inophyllum Palaquium javense
Produk Minyak balam Minyak cerbera/bintaro Minyak buah merah Minyak croton Minyak kelor Minyak kemiri Minyak kenari Minyak ketapang Minyak ketiau Minyak lena Minyak makadamia Minyak intaran Minyak nyamplung Minyak nyatoh
IV-1
Tabel 4.1. Lanjutan No
Jenis Komoditi Nama Indonesia Nama Latin 15. Picung Pangium edule 16. Saga pohon Adenanthera povinina 17. Seminai 18. Suntai 19. Tengkawang
Maducha crassipes; Palaquium ridleyi Palaquium burekii Shorea seminis; S.pinanga; S. macrophylla; S.splendida; S. mecistopteryx;S. lepidota; S.martiniana; S.stenoptera; S. beccariana; S.macrantha; S.palembanica;S.acabrima; S.compressa;S.gysbertsiana; S. singkawang; S.amplexicaulis
Produk Minyak picung Minyak saga pohon Minyak seminai Minyak suntai Minyak tengkawang
4.2. Tanaman Penghasil Minyak dan Lemak Beberapa tanaman penghasil minyak/lemak : 4.2.1. Minyak Jarak Bangsa Jepang memperkenalkan tanaman jarak pagar kepada masyarakat Indonesia pada tahun 1942-an. Minyak jarak pagar ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan untuk perang pada masa itu. Nama lain dari minyak jarak adalah castor oil, kastroli, ricinus oil.
Sistematika dan Morfologi Minyak jarak diperoleh dari hasil pengempaan biji jarak (Jatropha curcas Linn.) termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu. Sistematika tanaman jarak adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub division
: Angiospermae
Class
: Dicotyledonae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Jatropha
IV-2
Species
: Jatropha curcas Linn
Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris, dan bila terluka mengeluarkan getah. Daun tunggal berlekuk dan bersudut 3 atau 5, daunya lebar berbentuk jantung atau bulat telur melebar dengan panjang 5 – 15 cm. Bunga majemuk berbentuk malai, berwarna kuning kehijauan, berkelamin tunggal dan berumah satu. Buah jarak pagar berupa buah kotak berbentuk bulat telur dengan diameter 2-4 cm. Buah jarak terbagi menjadi 3 ruang, masing-masing ruang berisi satu biji sehingga dalam setiap buah terdapat 3 biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna cokelat kehitaman. Biji inilah yang mengandung minyak dan mengandung toksin sehingga tidak dapat dimakan.
Proses Produksi minyak jarak Buah jarak dibelah, kemudian diambil bijinya. Kemudian biji jarak tersebut kemudian dipecahkan dengan cara ditumbuk, setelah itu kulit biji dengan daging biji dipisahkan. Daging biji jarak kemudian dihancurkan dengan blender setelah itu diekstrak dengan menggunakan pengepressan hidrolik. Ekstrak daging biji jarak disaring dengan kain saring untuk memisahkan bungkil yang masih terikut dengan ekstrak minyak jarak kasar. Minyak jarak kasar disentifusi selama kurang lebih 30 menit. Hasil sentrifusi diperoleh pemisahan yaitu minyak di bagian atas dan endapan gum di bagian bawah.
Kegunaan minyak jarak Minyak jarak banyak digunakan sebagai bahan pembuat sabut, tekstil, karet, bahan pelumas, pengawet kulit, isolasi-listrik, kosmetik, plastik dan obatobatan terutama sebagai obat pencahar dan cairan hidrolik. Saat ini minyak jarak banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati yang disebut biodiesel.
4.2.2. Minyak Kemiri Kemiri (Aleurites moluccana Willd) berasal dari kepulauan Maluku, dan menurut Burkill (1935) berasal dari Malaysia. Tanaman ini menyebar dari sebelah timur Asia hingga Fiji di kepulauan Pasifik. Di Indonesia kemiri tersebar luas
IV-3
dihampir seluruh wilayah Nusantara. Tanaman kemiri berkembang di Indonesia di daerah-daerah seperti Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa Barat, Kalimanatan Selatan, Kalimanatan Timur, Bali, Lombok, Sulawesi, Maluku, Kalimantan Barat, Bau-Bau dan sekitarnya. Di Sumatera, kemiri disebut kereh, kemili, kembiri, tanoan, kemiling, atau buwa kare; di Jawa, disebut midi, pidekan, miri, kemiri, atau muncang (Sunda); sedangkan di Sulawesi, disebut wiau, lana, boyau, bontalo dudulaa atau saketa. Minyak kemiri dihasilkan dari biji pohon Aleurites fordii, Aleurites moluccana, dan Aleurites tripesma dari famili Euphorbiaceae Nama lain dari minyak kemiri adalah tungya, muyu, kiranggu, Chinese hout olie, kemiri olie, kamere, dan derekan. Adapun sistematika tanaman kemiri adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Ordo
: Malpighiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Aleurites
Species
: Aleurites moluccana Willd
Tanaman ini memiliki tinggi mencapai sekitar 15-25 meter. Daunnya berwarna hijau pucat. Kacangnya memiliki diameter sekitar 4–6 cm; Biji yang terdapat di dalamnya memiliki lapisan pelindung yang sangat keras dan mengandung minyak yang cukup banyak.
Gambar 4.1. Biji kemiri yang sudah dikupas dari cangkangnya
IV-4
Proses Penyulingan kemiri Biji kemiri diikeluarkan dari daging buahnya, kemudian dijemur sampai kering. Biji yang telah kering kemudian dipecakan untuk diambil daging bijinya atau menggunakan alat seperti pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Alat pemecah biji kemiri
Daging biji kemiri kemudian dihancurkan dengan blender setelah itu diekstrak dengan menggunakan pengepressan hidrolik. Ekstrak daging biji kemiri disaring dengan kain saring untuk memisahkan bungkil yang masih terikut dengan ekstrak minyak kemiri kasar. Minyak kemiri kasar disentifusi selama kurang lebih 30 menit. Hasil sentrifusi diperoleh pemisahan yaitu minyak di bagian atas dan endapan gum di bagian bawah.
Kegunaan minyak kemiri Kemiri merupakan salah satu rempah-rempah di Indonesia, yang dapat memberikan rasa pada makanan. Minyaknya digunakan dalam industri cat, minyak cat, mempercepat pengeringan vernis, sabun, pengawet kayu, tetapi juga sebagai bahan baku dalam minyak penerangan ataupun sebagai lilin, sebagai obat pencahar, water proofing agent, dan minyak rambut. Karena itulah minyak kemiri dapat menjadi bahan baku energi alternatif, walaupun masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Selain itu minyak kemiri juga digunakan sebagai obat tetapi minyak kemiri tidak digunakan untuk minyak masak. Minyak kemiri juga digunakan dalan industri batik.
IV-5
4.2.3. Minyak Tengkawang Biji tengkawang (Borneo Illipe nut) merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yg penting sbg bahan baku lemak nabati. Karena sifatnya yg khas, lemak tengkawang berharga lebih tinggi dibanding minyak nabati lain seperti minyak kelapa & digunakan sebagai bahan pengganti minyak coklat, bahan lipstik, minyak makan & bahan obat-obatan. Di Indonesia terdapat sekitar 13 jenis pohon penghasil yg tersebar terutama di Kalimantan & sebagian kecil di Sumatera. Nama lain : Borneo tallow, kawang kakowang, green butter. Minyak tengkawang diperoleh dari biji buah pohon tengkawang (Shorea sp. dan Isoptera sp.) antara lain tengkawang tungkul (Shorea stenoptera Burck), tengkawang majau (Shorea lepidota BI), tengkawang Liyar (Shorea gysbertsiana Burck), tengkawang terendak (Shorea seminis), termasuk dalam famili Dipterocapaceae. Kingdom
: Plantae
(tidak termasuk)
: Eudicots
(tidak termasuk)
: Rosids
Ordo
: Malvales
Famili
: Dipterocarpaceae
Upafamili
: Dipterocarpoideae
Genus
: Shorea Roxb. ex C.F.Gaertn.
Seperti pada dipterocarpaceae lainnya, pohon tengkawang berbunga dan berbuah tidak teratur dengan tenggang waktu antara dua sampai tujuh tahun. Buah tengkawang berbiji tunggal berkecambah dalam waktu dua atau tiga hari setelah jatuh. Pada waktu biji berkecambah, kandungan minyak pada biji menurun dengan cepat. Oleh karena itu buah tengkawang harus dikumpulkan secepat mungkin setelah jatuh.
IV-6
Gambar 4.3. Buah tengkawang
Buah tengkawang dikumpulkan dari hutan oleh suku Dayak, dibuang kulitnya kemudian dijemur di bawah matahari dan selanjutnya dijual ke pedagangpedagang Cina.
Proses Penyulingan Tengkawang Minyak tengkawang diperoleh dari biji tengkawang yang telah kering yang diperas hingga keluar lemaknya. Sebelum diproses menghasilkan minyak tengkawang. Biji tengkawang terlebih dahulu dikuliti dengan cara basah atau kering. Pengupasan secara basah dilakukan dengan membuang bagian sayap biji, kemudian bijinya dimasukkan ke dalam keranjang dan direndam dalam air mengalir selama 30 hari sampai kulitnya mudah dibuang. Biji selanjutnya dijemur selama satu minggu. Biji yang diolah dengan cara tersebut berwarna hitam, tahan lama, dan mengandung kadar lemak tinggi (± 60%). Pengupasan secara kering dilakukan dengan cara membuang sayap biji kemudian memasukkan biji ke dalam keranjang selanjutnya diasapi 1,5 meter di atas api sampai kulitnya mudah dikupas. Biji yang diolah seperti ini berwarna coklat, tidak tahan lama (± 2-3 bulan) dan mengandung lemak kurang 50%. Oleh karena, cara kering hanya dilakukan jika persediaan air kurang. Biji yang telah dikeringkan kemudian diperas sehingga keluar lemaknya yang merupakan bebas kasar yang masih banyak mengandung lemak bebas. Cara lain yaitu dengan rendering, di mana bii tengkawang ditumbuk kemudian dikukus
IV-7
selama dua jam. Lemak kemudian mencair dan mengapung di atas permukaan air. Lapisan lemak tersebuk dipisahkan sebagai minyak tengkawang
Kegunaan minyak tengkawangi Masyarakat menggunakan minyak tengkawang sebagai minyak goreng dan obat-obat. Dalam industri banyak digunakan sebagai bahan pembuatan lilin, kosmetik, farmasi, pengganti lemak coklat, sabun, margarin dan pelumas. Di Eropa komodoti ini diperas dan menghasilkan apa yang disebut Borneo talk.
4.2.4. Minyak Kalumpang Minyak dari inti biji buah pohon kalumpang tergolong minyak nabati yang unik karena komponen utama asam lemaknya adalah asam sterkulat yang berumus molekul C19H34O2 dengan rantai karbonnya mempunyai gugus cycloprpenoid. Asam sterkulat dapat dikonversi menjadi asam lemak bercabang yaitu asam 10-metil oktadekanoat C19H38O2. Asam-asam lemak ini atau turunannya dapat digunakan sebagai komponen racikan yang melahirkan karakteristik unggul pada berbagai produk seperti kosmetik, pelumas, cat, dan plastik. Ester isopropilnya diharapkan dapat digunakan sebagai bubuhan (additive), penurun titik tuang (pour point depressant) pada pelumas dan biodiesel. Sistematika (taksonomi) tanaman kalumpang sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Sub Kingdom : Viridaeplantae Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Klas
: Dicotyledoneae
Sub Klas
: Dileniidae
Ordo
: Malvales
Famili
: Sterculiaceae
Genus
: Sterculia
Spesies
: Sterculia foetida Linn. Tanaman kalumpang memiliki nama yang sangat beragam sesuai dengan
negaranya. Di Indonesia, kalumpang dikenal dengan nama kepoh (Jawa), kabu-
IV-8
kabu (Batak, Sumatra), dan kalupat (Sulawesi). Di negara lain kalumpang juga dikenal dengan nama kalumpang sari (Peninsular, Malaysia), kalumpang (General, Philipina), letpan-saw (Myanmar, Burma), samrong (Cambodia). Kalumpang merupakan salah satu kekayaan flora yang tersebar di seluruh nusantara. Biji kalumpang diketahui mempunyai komposisi lemak yang sangat tinggi.
Gambar 4.4. Pohon Kalumpang (S. foetida Linn.) yang terdapat di Universitas Hasanuddin, Makassar. Nama kalumpang berasal dari kata stercus yang berarti ”baja asli” dan foetida yang berarti ”busuk”.
Penamaan ini didasarkan dari bau yang tidak
menyenangkan dari bunga kalumpang. Kalumpang merupakan pohon berkayu dengan daun majemuk menjari, dengan panjang tangkai daun 9-45 cm, pucuk daun 5-9 buah, daun berbentuk lanset dan memanjang meruncing, duduk daun bersilang. Pohon tumbuh cepat dengan tinggi pohon mencapai 30-35 m dengan besar atau keliling batang berkisar antara 100-120 cm atau lebih. Biji kalumpang berbentuk bujur, berwarna kehitaman dengan panjang antara 1,5-1,8 cm. Jumlah biji kalumpang dalam setiap buah berkisar antara 10-15. Bunga pada tanaman kalumpang berkelompok, di ujung ranting, di ketiak atau pada batang atau cabang
IV-9
yang besar. Bunga dari sumbu utama perbungaan tidak bercabang, bentuk khusus tidak ada. Bunga berkelamin dua, yaitu satu bunga dengan satu kelamin betina dan bunga jantan pada pohon yang sama. Memiliki perhiasan bunga dan kelopak daun. Buah berbentuk kapsul, tidak berdaging, tidak majemuk dan terpecah. Biji buah sedang, berjumlah banyak pada setiap buah.
A
B
Gambar 4.5. Buah kalumpang muda (A), Buah kalumpang siap panen (B) Pohon ini tersebar di seluruh nusantara, umumnya terdapat di Jawa pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut.
Di tempat-tempat lain seperti di
Ambon, pohon ini memiliki kayu teras yang bergaris-garis kuning.
Kayu
kalumpang banyak tersebar di Sulawesi Selatan. Pohon kalumpang ini tumbuh cepat dan mencapai diameter maksimal sekitar 40 sampai 50 cm. Masyarakat di Sulawesi Selatan pada umumnya telah lama menggunakan kayu dari pohon ini, sebagai bahan bangunan, selain batangnya sebagai bahan konstruksi ringan, juga buah, daun dan bunganya yang sangat bermanfaat.
Proses Penyulingan minyak kalumpang Buah kalumpang dibelah dan diambil bijinya. Kemudian biji kalumpang dipecah dengan cara menumbuk dengan palu, setelah itu kulit biji dengan daging biji dipisahkan. Daging biji kalumpang kemudian dihancurkan dengan blender setelah itu diekstrak dengan menggunakan pengepressan hidrolik. Ekstrak daging biji kalumpang disaring dengan kain saring untuk memisahkan bungkil yang masih terikut dengan ekstrak minyak kalumpang kasar. Minyak kalumpang kasar IV-10
disentifusi selama kurang lebih 30 menit. Hasil sentrifusi diperoleh pemisahan yaitu minyak di bagian atas dan endapan gum di bagian bawah.
Kegunaan minyak kalumpang Sampai saat ini minyak kalumpang belum dimanfaatkan secara komersil. Namun minyak ini memiliki prospek yang baik sebagai bahan pembuat sabun dan biodiesel. Biji kalumpang dapat dikonsumsi karena memiliki rasa yang enak. Daunnya mengandung 2,66% kalsium, sumber protein dan phospor yang baik. Tepung bijinya mengandung 31% protein. Biji buahnya dimakan sebagai kacang, dan sebagai sumber minyak yang digunakan untuk lampu dan di beberapa pulau minyaknya digunakan sebagai campuran cat.
Bijinya juga cocok dicampur
dengan beberapa tumbuhan lain seperti kakao karena minyaknya manis, lembut dan kuning. Di Ghana bijinya digunakan sebagai obat pencuci perut. Abu kulit buah dan buah kalumpang (di daerah jawa Tengah dikenal dengan nama buah jangkang) dan kembang pulu memberikan warna merah (Jawa Tengah). Buah kalumpang, jeruk, kunyit dan kembang pulu menghasilkan warna jingga (Jawa Tengah). Di daerah Jawa biji kalumpang dipakai sebagai bahan jamu. Kayunya digunakan untuk membuat konstruksi sementara dan pekerjaan interior, pintu, dayung perahu, peralatan perahu, gitar serta mainan. Pohonnya ditanam untuk peneduh dan kadang digunakan bersama sirih.
4.3. Metode Ekstraksi Minyak dan Lemak Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak.
Adapun cara ekstraksi
bermacam-macam, yaitu rendering, pengepresan mekanis dan ekstraksi dengan pelarut. Rendering Rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak dengan kadar air yang tinggi. Pada semua cara rendering, penggunaan panas adalah suatu hal yang spesifik, yang bertujuan untuk menggumpalkan protein pada dinding sel bahan dan untuk
IV-11
memecahkan dinding sel tersebut sehingga mudah ditembus oleh minyak atau lemak yang terkandung di dalamnya.
Pengepresan Mekanis Pengepresan mekanis merupakan suatu metode ekstraksi yang dipandang ekonomis. Terdapat dua cara pengepresan mekanis yang umum dilakukan yaitu pengepresan hidrolik (hydraulic press) dan pengepresan berulir (screw press). Tabel 4.2. Perbedaan pengepresan hidrolik (Hydraulic Press) dengan pengepresan berulir (Screw Press). Keterangan Hydraulic press Screw press Tekanan yang digunakan Sekitar 140,6 kg/m atau 136 Tidak menggunakan atm tekanan Rendemen minyak 20% 27% (dari biji berkulit) Pengepresan mekanis merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak, terutama untuk bahan yang berasal dari biji-bijian. Cara ini dilakukan untuk memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30%-70%). Dua cara yang umum dalam pengepresan mekanis, yaitu : a. Pengepresan Hidrolik Pres hidrolik terdiri atas ruang pengepresan yang mempunyai perforasi, pelat penekan, handle dan di bagian bawah terdapat wadah penampung cairan. Pelat penekan dihubungkan dengan handle yang dapat diputar sehingga dapat bergerak turun. Semakin turun pelatnya, tekanan semakin besar sehingga minyak akan keluar melalui lubang perforasi. Pres hidrolik dapat menggunakan tenaga tangan maupun motor. Pada pengepresan hidrolik, tekanan yang digunakan sekitar 140,6 kg/cm² atau 136 atm dengan rendemen minyak sekitar 20% dari biji berkulit, sedangkan pada pengepresan berulir tidak menggunakan tekanan dengan rendemen minyak 27% dari biji berkulit.
b. Pengepresan Ulir Alat pres tipe berulir dikeluarkan pertama kali oleh Tim Biodiesel Institut Pertanian Bogor (IPB) dan kini telah banyak diperjualbelikan. Alat ini berupa
IV-12
mesin empat tak yang disertai perlengkapan liquid collection pan dan cake collection pan. Mesin pres ini memiliki kapasitas 50-100 kg per jam dengan kecepatan screw 30 rpm. Memiliki saringan jenis flange beralur. Penggeraknya berupa mesin diesel dengan electric starter yang dihubungkan dengan aki, sehingga ketika akan menyalakannya cukup memutar kunci kontaknya. Daya mesin ini sekitar 12 HP (horse power). Bahan bakarnya berupa solar atau biodiesel. Cara kerja alat ini menerapkan prinsip ulir, yakni bahan yang akan dipres ditekan dengan daya dorong dari ulir yang diputar. Bahan baku yang masuk ke dalam mesin ini akan terdorong dengan sendirinya ke arah depan, lalu bahan akan mendapat tekanan setelah berada di ujung alat. Semakin menuju ke bagian ujung alat, tekanan terhadap bahan akan semakin besar. Tekanan ini yang membuat minyak bisa keluar dari bahan. Minyak yang keluar dari alat ini disaring dengan menggunakan kain kasa. Alat pres tipe berulir bisa digunakan secara kontinyu (tanpa henti) dan minyak yang keluar langsung terpisah dari ampasnya (keluar melalui ujung ulir). Alat ini bisa menampung biji dalam jumlah besar sekaligus memerasnya. Kelebihan dari teknik pengempaan menggunakan alat pengepres tipe berulir (screw) adalah kapasitas produksi menjadi lebih besar karena proses pengepresan dapat dilakukan secara kontinyu, menghemat waktu proses produksi dan rendemen yang dihasilkan lebih tinggi. Mesin ini mempunyai kapasitas 100 liter/jam, dengan tingkat rendemen 25 %.
Ekstraksi Dengan Pelarut Prinsip dari proses ini adalah ekstraksi dengan melarutkan minyak dalam pelarut minyak dan lemak. Pada cara ini dihasilkan bungkil dengan kadar air yang rendah yaitu sekitar 1% atau lebih rendah dan mutu minyak kasar yang dihasilkan cenderung menyerupai hasil dengan cara expeller press karena sebagian fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi. Proses ekstraksi pelarut, mampu mengambil minyak optimal, sehingga ampasnya hanya kurang dari 0,1% dari berat keringnya. Dengan demikian, ekstraksi dengan pelarut lebih efektif untuk mengambil minyak.
IV-13
4.4. Bahan Diskusi Pada pertemuan terakhir, mahasiswa telah di bagi menjadi 6 (enam) kelompok besar. Tugas tiap kelompok adalah sebagai berikut : 1. Membuat paper dengan judul : I.
Potensi Budidaya Balam (Palaquium walsurifolium) di Indonesia
II.
Potensi Budidaya Bintaro (Cerbera manghas) di Indonesia
III. Potensi Budidaya Kelor (Moringa oleifera) di Indonesia IV. Potensi Budidaya Mimba (Azadirachta indica) di Indonesia V.
Potensi Budidaya Picung (Pangium edule) di Indonesia
VI. Peluang dan Permasalahan Pengembangan Minyak/Lemak di Indonesia Format paper sebagai berikut : halaman paper maksimal 10 lembar, menggunakan kerta A4, tipe huruf yang digunakan teks adalah Times New Roman font 12 dengan spasi 1.5, dan menyertakan bahan rujukan/daftar pustaka yang digunakan dalam pembuatan paper. 2. Paper yang dibuat dipaparkan lagi oleh tiap kelompok dengan metode Fish Bowl. Aturan metode ini adalah sebagai berikut : a. Kelompok yang akan memaparkan papernya membuat lingkaran di tengah kelas (Fish) b. Kelompok lain berada diluar lingkaran dan tidak boleh mengeluarkan pendapat atau pertanyaan (Man) c. Jika salah satu man akan bertanya, maka harus masuk ke dalam lingkaran dan langsung bertanya apa yang ingin diketahui kemudian langsung keluar dari lingkaran tersebut d. Fish mendiskusikan pertanyaan yang diajukan oleh man e. Diperlukan satu orang notulen untuk tiap sesi
4.5. Bacaan/Rujukan Pengayaan Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya : http://www.fao.org/corp/publications/en/ www.prosea.lipi.go.id/
IV-14
4.6. Latihan Soal-Soal 1.
Tuliskan minyak dan lemak yang dimanfaatkan dan spesifikasi pemanfaatan masing-masing jenis minyak tersebut
IV-15
BAB V. TUMBUHAN PENGHASIL EKSTRAKTIF/EKSUDAT Tujuan Umum Menjelaskan jenis-jenis tumbuhan penghasil ekstraktif/eksudat, potensi dan penyebarannya, bahan baku, teknologi pengolahannya, produk turunannya, kualitas dan cara pengujian beberapa produk dan pemasarannya.
Tujuan Khusus Menjelaskan resin (Kopal, damar, gondorukem, kemenyan dan jernang) dan tanin (Bahan Penyamak/Pewarna alami) sebagai produk hasil hutan bukan kayu dari golongan ekstraktif/eksudat
5.1. Tumbuhan Penghasil Resin Resin adalah campuran dari berbagai senyawa organik polimer (umumnya aneka terpen tingkat tinggi) yang terbentuk padat atau semi padat dan tidak larut dalam air namun larut dalam pelarut organik. Bahan ini merupakan suatu kelompok bahan kimia yang diperoleh sebagai hasil sekresi tanaman. Susunan kimianya sangat kompleks, sifat fisisnya hampir sama dan tak larut dalam air. Resin alam (natural resin) adalah Hasil eksudasi tumbuhan yang terjadi secara alamiah dan keluar secara alamiah atau buatn dengan ciri-ciri : padatan, mengkilat dan bening-kusam, rapuh, serta meleleh bila terkena panas dan mudah terbakar dengan mengeluarkan asap dan bau khas. Bau khas dari resin alam disebabkan oleh campuran resin dan minyak atsiri. Resin, dapat diklasifikasikan dengan beberapa cara sebagai berikut : 1. Berdasarkan cara pemanenan : a)
Penyadapan (getah pinus, damar, kopal, kemenyan)
b)
Pemetikan (lak, jernang)
c)
Penebangan (gaharu)
d)
Pemungutan (damar, kopal)
2. Berdasarkan kondisi fisik saat dipanen : a)
Hard resin : Damar, Kopal, lak, gaharu
b)
Soft resin (oleoresin) : Getah pinus
V-1
c)
Balsam : Kemenyan
Jenis tanaman penghasil resin yang termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu seperti pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok resin No
Jenis Komoditi Nama Indonesia Nama Latin 1. Agathis/Damar Agathis spp.
2. Bambu, awi jariyang, Hordium sp. bambu kapal, bambu sisik, bambu mipis, bulok numpo 3. Damar Shorea javanica, Hopea sp., Anisoptera cortata 4. Damar Araucaria beccarii 5. Damar Shorea sp. 6. Damar Agathis borneensis 7. Damar Shorea spp 8. Embalau Gardenia sp. 9. Gaharu Aquilaria spp; Gyrinops spp; Gonystylus spp; Enkleia spp; Aetoxylon spp; Wikstroemia spp; Dalbergia spp 10. Kapur barus Canarium maluense 11. Kemenyan Styrax benzoin 12. Kesambi Schleichera oleosa 13. Rotan jernang Daemonorops draco 14. Tusam Pinus merkusii
Produk Kopal loba, Kopal melengket, Kopal manila, Kopal bua. Biga
Damar mata kucing Damar daging (kopal) Damar rasak Damar pilau Damar batu Embalau Resin gaharu; Resin kemedangan
Kapur barus Resin kemenyan Shellak Resin jernang Gondorukem
5.1.1. Damar Damar adalah sekresi dari pohon Shorea, Vatica, Dryobalanops dan lainlain yang termasuk famili Dipterocarpaceae. Komposisinya adalah 23% asam damar C54H77O3(COOH)2, 40% damar resin C11H17O (larut dalam alkohol), dan 23% damar resecesulfida, benzena dan sebagian larut dalam minyak terpentin.
V-2
Gambar 5.1. Bubuk damar
Dalam perdagangan dikenal klasifikasi berdasarkan lokasi. Misalnya damar Jakarta, damar Padang, dan damar Pontianak. Selain itu, dikenal pula damar mata kucing dengan kelas A sampai F, dan kelas abu. Klasifikasi didasarkan pada ukuran butir, A paling kasar dan F paling halus. Damar, dalam perdagangan internasional memiliki nama : gum damar, damar batu, damar mata kucing. Berdasarkan warna, dikenal 5 jenis damar : damar mata kucing, damar rasak, damar putih, damar merah, damar hitam. Damar mata kucing merupakan damar dengan kualitas terbaik dan harga tinggi, dammar mata kucing memiliki karakteritik mengkilap dan bening seperti kaca
Penyebaran Salah satu jenis pohon penghasil damar adalah meranti (Shorea spp.). tanaman ini menyebar di Malaysia, Filipina, Indonesia (Lampung, Bengkulu, Aceh, Riau, Sumatera Utara, Kalimantar Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku). Secara alam terdapat dalam hutan dataran rendah pada ketinggian 0-500 m dari permukaan laut. Pada umumnya pohon ini dijumpai di daerah dengan tipe iklim A dan B, pada tanah-tanah latosol, podsolik merah kuning dan podsolik kuning.
Sistematika dan Morfologi Kayu meranti Sistematika pohon meranti adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
V-3
Sub divisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Guttiferales
Famili
: Dipterocarpaceae
Genus
: Shorea
Spesies
: Shorea sp. Pohon ini dapat mencapai tinggi 20-60 m dengan panjang batang bebas
cabang sekitar 10-45 m. Diameter batang dapat mencapai 150 cm. Bentuk batang lurus dan silindris. Batang berbanir dan biasa mencapai tinggi 3-6,5 m.
Proses Produksi Damar Damar diperoleh dari proses penyadapan getah (hasil eksudasi) pohon dari Hasil eksudasi pohon 1. Family Dipterocarpaceae : a) Shorea spp. (S. javanica; S. lamellata; S. virescens; S. retinoldes; S. guiso; S. robusta; S. lativolia) b) Hopea spp. (H. dryobalanoides; H. celebica; H. sangal; H. mengarawan) c) Vatica spp. (V. rassak) d) Vateria spp.; Balanocarpus spp. 2. Family Burseraceae : Canarium spp. Pengolahan dammar banyak dilakukan oleh masyarakat tradisional di kawasan hutan lindung/hutan produksi terbatas di KRUI, Lampung barat. Cara pengambilan hasil dammar adalah sebagai berikut : 1.
Pohon disadap berumur diatas 16-20 thn (∅25-30 cm) selama 30-50 tahun secara teratur
2.
Melukai bagian batang dalam bentuk takik segitiga sama sisi 7.5 – 12 cm kedalaman 2-4 cm atau segiempat
3.
Pembaharuan luka sadap : pembesaran takik
4.
Produksi per takik 0.20 kg (15 hari); 0.50 kg (30 hari)
V-4
Ada dua proses pengolahan pasca panen dammar (primery processing) yaitu 1. Pengolahan Sederhana di pengumpul : bongkohan dipecah lalu diseleksi menurut warna dan besar butiran menggunakan saringan bertingkat 2. Pengolahan di Industri : Pelarutan damar yang dilanjutkan dengan pemutihan dan pemurnian Di Indonesia masih menggunakan cara sederhana, damar hasil seleksi dikelompokkan dalam berbagai tingkat mutu Hasil pemantauan di lapangan, kualitas damar mata kucing dapat dibedakan : 1) Kualitas A : warna kuning bening dan merupakan bongkahan besar (berukuran 3 cm x 3 cm atau lebih) 2) Kualitas B : warna kuning bening dan merupakan bongkahan yang agak kecil (berukuran 2 cm x 2 cm atau lebih) 3) Kualitas C : warna kuning bening, bongkahan berukuran 1 cm x 1 cm atau lebih 4) Kualitas AB : warna kuning agak kehitaman, merupakan bongkahan berukuran 2 cm x 2 cm atau lebih 5) Kualitas AC : warna kehitam-hitaman dan berupa butiran kecil a. Kualitas Debu : damar berwujud debu
Kegunaan Damar Pada awalnya dammar banyak dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyalakan obor, membuat pewarna batik, dupa, dan sebagai bahan pelapis bagian-bagian sambungan kapal agar tahan air. Namun sejak abad ke-18, damar mulai dimanfaatkan dalam industry korek api, kembang api, plastik, plester, vernis, lak, cat, tinta, vernis, bahan tambahan dalam soda dan sebagaianya. Larutannya dalam kloroform atau xilena dapat dipakai untuk mengawetkan hewan dan tumbuhan guna pemeriksaan secara mikroskopis.
V-5
5.1.2. Gondorukem Gandorukem atau rosin adalah campuran asam-asam resin antara lain berbagai isomer dari anhidrida asam abietat C19H29COOH, abietat anhidrida C40H58O3, dan hidrokarbon (zat tak tersabun) yang diperoleh dari hasil pengolahan getah pinus yang berupa padatan. Selain dari penyadapan, oleoresin juga dapat diperoleh dari kayu pinus yang diolah dengan proses kraft. Terpentin terutama tersusun dari monoterpena dan seskuiterpena. Sumber gondorukem di Indonesia adalah pohon Pinus merkusii.
Gambar 5.2. Gondorukem
Penyebaran dan tempat tumbuh Pinus Selain di indonesia, jenis ini banyak terdapat di wilayah myanmar, thailand, kamboja, laos, vietnam dan philipina. Di indonesia secara alami banyak tersebar di sumetera utara dan aceh. Saat ini, tanaman ini banyak dikembangkan sebagai hutan di berbagai daerah di Indonesia. Tanaman ini tumbuh pada daerah dengan ketinggian 200-2.000 meter dari permukaan laut. Tanaman ini tidak memerlukan persyaratan yang di ideal dalam pertumbuhan bahkan dapat tumbuh pada daerah kritis. Oleh karena itu, pohon pinus banyak digunaan sebagai tumbuhan pioneer. Walaupun demikian, pertumbuhan yang baik untuk tanaman ini adalah daerah dengan ketinggian di atas 400 m dari permukaan laut dengan curah hujan 1.500-4.000 mm per tahun.
V-6
Sistematika dan Morfologi Sistematika pohon pinus adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Gymnospermae
Kelas
: Coniferae
Ordo
: Pinales
Famili
: Pinaceae
Genus
: Pinus
Spesies
: Pinus sp. Pohon ini dapat mencapai tinggi 60-70 m dengan diameter 100 cm. Kulit
batang berwarna kelabu tua, berjalur agak dalam, memanjang bersepih dalam lempeng, batang bulat panjang lurus dan kadang-kadang juga bengkok. Tajuk pohon ini tidak begitu lebar, pada waktu muda berbentuk kerucut panjang dan agak rapat dan selalu hujau. Daunnya berbentuk jarum dengan panjang 15-20 cm dan buahnya berbentuk kerucut.
Proses Produksi Gandorukem Gandorukem diperoleh dari pengolahan getah pinus yang berasala dari proses penyadapan. Getah atau oleoresin ini dikumpulkan, dan selanjutnya diolah untuk dipisahkan komponennya. Komponen yang atsiri adalah terpentin, dan komponen padatannyadisebut gandorukem atau rosin. Selain dari penyadapan, oleoresin juga dapat diperoleh dari kayu pinus yang diolah dengan proses kraft. Terpentin terutama tersusun dari monoterpena dan seskuiterpena. Sumber gondorukem di Indonesia adalah pohon Pinus merkusii.
V-7
Gambar 5.3. Pabrik Gondorukem Perum Perhutani
Kegunaan Gandorukem Gondorukem banyak digunakan untuk pembuatan minyak resin, juga digunakan dalam industri linoleum dan vernis. Selain itu, gandorukem banyak juga digunakan sebagai pelapis, bahan penggosok senar alat gesek, bahan pencampur dalam proses penyorderan, dalam pembuatan cat, tinta cetak, bahan pelitur kayu, plastik dan bahan penolak air untuk karton.
5.1.3. Kemenyan Nama lain dari kemenyan adalah benzoin, benzoe, benzoin gum, benzoin sumatera, benyamin gum, dan labah jawi. Kemenyan adalah getah yang diperoleh dari penyadapan pohon Styrax benzoin Dyran atau Styrax tonkinensis. Komposisi utama dari kemenyan siam adalah ester benzoate dari alcohol lutanol (C17H16O4), yang bernbentuk kristal, dan juga mengandung benzoate dari alcohol lain seperti siaresinol dan asam siaresinolat. Di samping itu juga terdapat vanillin. Jumlah asam bennzoat sekitar 30-38% dan asam sinamat 3-4%. Kemenyan siam mengandung 90% bahan yang larut dalam alcohol dan kurang dari 3% bahan mineral. Kemenyan sumatera mengandung lubanol dalam bentuk ester, sebagian besar asam sinamat dengan sedikit benzoate
dan suatu alcohol yang mirip
siaresinol. Selain itu, kemenyan sumatera mengandung benzaldehida, vanillin, phenilpropan, sinamat, dan sterol. Asam sinamat bebas sekitar 7%. Kemenyan sumetera mengandung 75-85% bagian yang larut dalam alcohol dan abu sekitar 5%.
V-8
Sistematika dan Morfologi Kayu Styrax Sistematika kayu styrax adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Ebenales
Famili
: Styracaceae
Genus
: Styrax
Spesies
: Styrax tonkinensis Tanaman ini tumbuh subur pada daerah dengan curah hujan 1.500-2.200
mm/tahun. Suhu 15-16. Dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur. Tanaman ini dapat mencapai tinggi 25 m dengan diameter 30 cm. Kulitnya berwarna keabuabuan ketika masih muda dan pada saat tua menjadi coklat. Daunnya sederhana, alternate, dan berbentuk bulat telur. Bunganya berwarna putih berbau harum dengan 12-15 mm. Buahnya agak bulat telur, panjangnya 10-12 mm dengan diameter sekitar 5-7 mm.
Proses Produksi kemenyan Kemenyan diproduksi melalui penyadapan pohon Styrax spp. Bagian pohon ini yang disadap adalah kulit dan bagian kayunya bagian luar. Warna resin ini adalah kuning orange, atau kuning kecoklatan dengan bercak-bercak putih. Resin ini mengandung asam benzoate 10-12%, dengan kandungan utama benzyl benzoate (65-705).
Kegunaan Gandorukem Kemenyan merupakan bahan baku asam benzoate dan asam sinamat. Sebagai perangsang ekseptoransia, obat dan sebagai bahan incluster dalam industry vernis dan kosmetik.
V-9
5.1.4. Kopal Kopal adalah hasil olahan getah (resin) yang disadap dari batang damar (Agathis alba dan beberapa Agathis lainnya) serta batang dari pohon anggota suku Burseraceae (Bursera, Protium). Kopal merupakan bahan dasar bagi cairan pelapis kertas supaya tinta tidak menyebar. Bahan ini juga dipakai sebagai campuran lak dan vernis. Nama lain dari kopal adalah rosin copal, gum copal, anime (soft copal), kauri copal, covarie, dammar daging, pepeda (bopan penampi), manila copal, dammar minyak, dammar sewa, bua loba, melengket, masihu, dammar penggal, dammar ancur, dammar madalu, dammar cukur dan dammar mature. Jenis getah ini diperoleh hasil penyadapan pohon agathis.
Komponen utamanya adalah
pinena dan alkohol yang bersifat atsiri, serta sebagian kecil resin. Daerah penghasil kopal : Amerika Serikat, Australia, Filipina, Kongo, Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya)
Gambar 5.4. Kopal dari Madagaskar
Sistematika dan Morfologi Kayu Agathis Sistematika kayu agathis adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Gymnospermae
Kelas
: Coniferae
Ordo
: Araucariales
Famili
: Araucariaceae
Genus
: Agathis
Spesies
: Agathis sp.
V-10
Kayu agathis memiliki pertumbuhan optimum pada lereng-lereng gunung yang drainasenya baik dengan ketinggian tempat antara 300 - 1200 m dari permukaan laut. Iklim tempat tumbuh tanaman ini adalah iklim basah sepanjang tahun dengan curah hujan optimum berkisar antara 3.000 - 4.000 mm/tahun. Curah hujan yang lebih kecil dari 60 mm/bulan selama 3 bulan terus-menerus dapat mengakibatkan kematian tanaman tersebut.. Tinggi pohon tersebut dapat mencapai 60 m dan diameter batang lebih dari 200 cm. Batangnya tidak berbanir, dengan warna kulit coklat-kelabu, bulat memanjang. Tajuk kurang melebar, berbentuk kerucut tajam dan sangat rapat. Bagian pangkal batang terdapat benjolan-benjolan besar yang mengeluarkan getah yang menyerupai lilin yang meleleh (Heyne, 1985a). Ketebalan kulit berkisar antara 1 - 1,5 cm, mengandung banyak damar, tanpa alur memanjang, sedikit mengelupas, kelupasankelupasannya berbentuk kepingan-kepingan bulat tebal. Rantingnya bulat, pada bagian ujung menjadi pipih, kuncup ujung tidak lancip. Daunnya berhadapan, helaian daun sedikit sedikit demi sedikit menyempit menjadi tangkai daun yang pendek dan membujur. Kerucut buah berbentuk bola, sampai diameter 8 cm. Sisik buahnya berbentuk kerucut pendek seperti baji. Biji buah berbentuk telur panjang.
Proses Produksi Kopal Jenis getah ini diperoleh hasil penyadapan pohon agathis. Cara dan bagian pohon tempat pengambilan kopal akan memberikan nama dari jenis kopal. Kopal yang diambil langsung dari pohon disebut kopal bua, jika diambil dari batang disebut buah putih, getah yang diambil dari getah yang menetes di tanah disebut buah coklat. Kopal di panen dengan cara melukai bagian kulit (inner bark), caranya : a. Primitif : memukul kulit pohon dengan batu b. Tradisional : membacok sekeliling pohon dengan parang c. Koakan/Sayatan Perbaharuan luka dilakukan 3-4 hari, dank opal dipungut 2-3 minggu, dengan produksi 1,2 kg/pohon. Pohon disadap berumur diatas 16-20 tahun (∅25-30 cm). Penentuan kualitas kopal berdasarkan warna, kekerasan, ukuran butiran, dikenal jenis kopal :
V-11
a. Kopal lunak/melengket dipungut 2-3 minggu, warna putih jernih, lembek dan lengket (mutu PWS/bebas kulit, warna terang; melengket A/sedikit kulit , warna terang; melengket B/sedikit kulit, warna gelap) b. Kopal setengah keras/loba dipungut beberapa bulan, keras, warna putih kekuningn sampai coklat (mutu berdasarkan besar pecahan dan warna A,B, C, D) c. Kopal keras/bua akibat perlukaan alami, penumpukan getah dalam waktu lama, tertimbun dalam tanah (bua coklat), diambil dari batang (bua putih)
Kegunaan Kopal Kegunaannya adalah untuk cat, vernis, bahan pelapis untuk tekstil, tinta, bahan sizing,
perekat, dan minyak pengering. Kandungan kopal adalah asam-asam
resinol, resin, dan minyak atsiri. Penggunaannya adalah sebagai bahan perekat pada penambal gigi dan plester, campuran lak dan vernis. Minyak kopal diperoleh dari penyulingan dan digunakan sebagai campuran parfum. Kopal sering dianggap sebagai atau dijadikan pengganti batu damar, dan dijadikan mata cincin.
5.1.5. Jernang Nama lain dari jernang adalah Dragon’s blood, jernang mundai, jernang beruang, jernang kuku, getah badak, dan getih warak. Jernang diperoleh dari getah pohon Daemonorops draco, famili Palmae. Selain itu jernang juga diperoleh dari Daemonorops crinitis, Daemonorops angustifolius, Daemonorops dtrichiernus. Komponen utamnya berupa resin drako, C20H44O2. Jernang larut dalam alcohol, eter, minyak lemak dan minyak atsiri. Tidak larut dalam air, sebagian larut dalam chloroform, etil asetat, petroleum spritus dan karbonadisulfidan Sistematika dan Morfologi Sistematika tanaman Daemonorops adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Kelas
: Monocotiledonae
Ordo
: Arecales
V-12
Famili
: Arecaceae (Palmae)
Genus
: Daemonorops
Spesies
: Daemonorops draco Tanaman ini merupakan tumbuhan liana dari famili arecaceae. Merupakan
kelompok rotan. Memiliki batang yang membulat (silindris) tetapi ada juga yang berbentuk persegi dan beruas-ruas
Proses Produksi Jernang Jernang diperoleh dari getah dari buah pohon Daemonorops spp. famili Palmae (Arecaceae). Warna resin yang dihasilkan tanaman ini biasanya berwarna merah.
Kegunaan jernang Kegunaannya adalah sebagai bahan pewarna keramik, marmer, alat-alat dari batu/kayu, industri cat, farmasi (pembuatan gigi) dan ekstrak tannin.
5.2. Tumbuhan Penghasil Tanin (Bahan Penyamak/Pewarna Alami) 5.2.1. Bahan Penyamak Tanin Bahan penyamak tanin diperoleh dari kulit pohon bakau dan akasia dengan cara ekstraksi dengan pelarut air. Tanin mempunyai sifat memberi warna biru kehitaman dengan garam ferro karena itu tanin digunakan sebagai bahan pembuat tinta. Jenis tanaman penghasil tanin yang termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu seperti pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok tanin No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Komoditi Nama Indonesia Nama Latin Akasia Acacia decurrens; A.mangium Bruguiera Bruguiera sp. Gambir Uncaria gambir Nyiri Xylocarpus granatum Kesambi Schleichera oleosa Ketapang Terminalia cattapa Pilang Acacia leucophloea Pinang Arreca catechu Rizopora Rhizopora sp.
Produk Tannin akasia, kuren Tannin bruguiera Tannin gambir Tannin nyiri Tannin kesambi Tannin ketapang Tannin pilang Tannin pinang Tannin rizopora
V-13
Tabel 5.2. Lanjutan No
Jenis Komoditi Nama Indonesia Nama Latin 10. Segawe Adenantera microsperma
Tannin segawe
11. Tengar 12. Tingi
Tannin tengar Tannin tingi
Ceriops tagal Ceriops roxburghiana
Produk
Salah satu tanaman penghasil bahan penyamak (tannin) yang sangat terkenal adalah gambir. Dalam perdagangan, gambir merupakan istilah untuk ekstrak kering daun tanaman gambir. Ekstrak ini mengandung catechin (memberikan pasca rasa manis enak) asam catechu tanat (memberikan rasa pahit) dan juercetine (pewarna kuning). Nama lain dari bahan penyamak dari gambir adalah terra japonica, pale catechu, cutch, jellow cutch, cubinal cutch, dan cube gambir. Gambir merupakan salah satu bahan penyamak yang diperoleh dari daun dan cabang pohon Uncaria dan Anodendrom molucanum, famili Rubiaceae, buah pohon areca catechu, dan dari kulit Ceriops candeelcana. 1. Tanaman Gambir Sistematika dan morfologi Sistematika tanaman gambir adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantarum
Devisio
: Spermatophyta
Sud Devisio
: Angiospermae
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Uncaria
Species
: Uncaria gambir
Proses Produksi Gambir Bagian pohon gambir yang dipanen adalah daun beserta ranting tanaman. Jaringan tanaman tersebut banyak mengandung cathecin. Panen dilakukan dengan memotong cabang dan ranting-ranting tanaman. Setiap tahun, panen dapat dilakukan 2-4 kali tergantung kepada pertumbuhan tanaman. Tanaman gambir dapat dipanen terus menerus selama 15 tahun semenjak pemanenan pertama. Bahan penyamak tanin diperoleh dari kulit, daun dan cabang tanaman gambir
V-14
dengan cara ekstraksi dengan pelarut air. Komponen utamanya adalah catechin hidrat yang mempunyai titik leleh 930 oC dan bentuk anhidridanya mempunyai titik leleh lebih tinggi, yaitu 174-1750 oC. Catechin tersebut larut dalam air mendidih dan alkohol dingin.
Kegunaan Gambir Gambir telah lama digunakan sebagai salah satu ramuan makan sirih. Selain itu gambir digunakan sebagai astrigen, antiseptik, obat sakit perut, pencampur kosmetika, bahan untuk memperkuat jala ikan, digunakan dalam industri tekstil, kapas dan wol, dan perjernih air baku pabrik bir, pemberi rasa pahit pada bir dan bahan penyamak kulit. Untuk bahan obat, importir Jerman Barat mensyaratkan kadar catechine gambir 40-60% dan perusahaan Ciba Geigy mensyaratkan catechin minimal 60,5%. Untuk menyamak kulit, perusahaan pengolah kulit Cuirplastek R. Bisset dan Cie mensyaratkan kandungan tanin 40 %.
2. Tanaman Akasia Sistematika dan Morfologi Sistematika tanaman gambir adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantarum
Devisio
: Spermatophyta
Sud Devisio
: Angiospermae
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Rosales
Famili
: Mimosaceae
Genus
: Acacia
Species
: Acacia catechu
Tinggi pohon akasia sekitar 15 meter dengan diameter batang sekitar 50 cm. bentuk batang tidak teratur, bercabang banyak dan bertajuk lebar dan tidak rapat.
Proses Produksi Tanin Akasia Bagian pohon akasia sebagai penghasil bahan penyamak adalah kulit
V-15
batangnya. Kulit kemudian diekstrak untuk menghasilkan tannin.
Kegunaan Tanin Tanin juga mempunyai daya anti septis yang disebabkan oleh adanya gukosida sehingga banyak digunakan sebagai antidotum pada keracunan alkaloid, penyamakan kulit dan pengobatan luka bakar. Katekol (tanin terkondensasi). digunakan untuk obat (astrigen), antiseptik, obat sakit perut dan bahan, pencampur kosmetika memperkuat jala ikan, dan bahan penyamak kulit serta digunakan dalam industri tekstil, kapas dan wol.
5.2.2. Bahan Pewarna Bahan pewarna banyak digunakan dalam industri batik tradisional. Jenis tanaman penghasil bahan pewarna yang termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu seperti pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Daftar komoditi hasil hutan bukan kayu kelompok bahan pewarna No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Jenis Komoditi Nama Indonesia Nama Latin Angsana Pterocarpus indicus Apokat Persea gratisima Bulian Eusideroxylon zwageri Jambal Peltophorum pterocarpus Jati Tectona grandis Jernang Daemonorops draco Kayu kuning Cudrania javanensis Kesumba Mahoni Marelang Mengkudu Nila Pinang Potromenggala Saninten Secang Senduduk Soga jambal Soga tengeran Soga tinggi Suren
Bixa orellana Swietenia mahagoni Pterospermum acerifolium Morinda citrifolia Indigofera tinctoria Areca catechu Caesalpinia pulchherrima Castanopsis sp. Caesalpinia sappan Melastoma affine Peltophorum pterocarpum Cudrania javanensis Ceriops candelleana Toona sinensis
Produk Pewarna angsana Pewarna hijau coklat Pewarna coklat kemerahan Pewarna beige Pewarna merah Pewarna jernang merah Pewarna kuning C. pubescens Pewarna oranye Pewarna coklat Pewarna coklat Pewarna coklat Pewarna biru Pewarna kuning emas Pewarna hijau Pewarna saninten Pewarna merah Pewarna coklat muda Pewarna merah sawo Pewarna kuning Pewarna merah Pewarna coklat
V-16
Beberapa
pewarna
batik
yang
biasa
digunakan
adalah:
soga
jambal
(Peltotophorum pterocarpum Backker). Bahan pewarna diperoleh dari kulit yang telah ditumbuk dan berwarna merah sawo. Soga tinggi diperoleh dari kulit kayu Ceriops candolleana dengan yang memberikan warna merah. Soga tegeran diambil dari kayu Cundranis javonenses yang memberikan warna kuning. Salah satu bahan pewarna alami sangat potensial dikembangankan adalah kayu secang (Caesalpinia sappan). Sistematika kayu secanga adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Rosales
Famili
: Caesalpiniaceae
Genus
: Caesalpinia
Spesies
: Caesalpinia sappan Tanaman ini menyenangi tempat terbuka sampai ketinggian 1.000 m dari
permukaan laut seperti di daerah pegunungan yang berbatu tetapi tidak terlalu dingin. Secang tumbuh liar dan kadang ditanam sebagai tanaman pagar atau pembatas kebun. Perdu atau pohon kecil, tinggi 5-10 m, batang dan percabangannya berduri tempel yang bentuknya bengkok dan letaknya tersebar, batang bulat, warnanya hijau kecoklatan. Daun majemuk menyirip ganda, panjang 25-40 cm, jumlah anak daun 10-20 pasang yang letaknya berhadapan. Anak daun tidak bertangkai, bentuknya lonjong, pangkal rompang, ujung bulat, tepi rata dan hampir sejajar, panjang 10-25 mm, lebar 3-11 mm, warnanya hijau. Bunganya bunga majemuk berbentuk malai, keluar dari ujung tangkai dengan panjang 10-40 cm, mahkota bentuk tabung, warnanya kuning. Buahnya buah polong, panjang 810 cm, lebar 3-4 cm, ujung seperti paruh berisi 3-4 biji, bila masak warnanya hitam. Biji bulat memanjang, panjang 15-18 mm, lebar 8-1 1 mm, tebal 5-7 mm, warnanya kuning kecoklatan. Panenan kayu dapat dilakukan mulai umur 1-2 tahun. Kayunya bila digodok memberi warna merah gading muda, dapat
V-17
digunakan untuk pengecatan, memberi warna pada bahan anyaman, kue, minuman atau sebagai tinta. Perbanyakan dengan biji atau stek batang. Selain sebagai pewarna alami, kayu secang juga digunakan sebagai obat untuk berbagai jenis penyakit sepertin Diare, disentri, batu darah (TBC), luka dalam, sifilis, darah kotor,; Muntah darah, berak darah, luka berdarah, memar berdarah; Malaria, tetanus, tumor, radang selaput lendir mata.
5.3. Bahan Diskusi Pada pertemuan terakhir, mahasiswa telah di bagi menjadi 6 (enam) kelompok besar. Tugas tiap kelompok adalah sebagai berikut : 1. Membuat paper dengan judul : I.
Potensi Embalau (Gardenia sp.) sebagai bahan baku penghasil resin
II.
Potensi
Kapur barus (Canarium maluense) sebagai bahan baku
penghasil resin III. Potensi Nyiri (Xylocarpus granatum) sebagai bahan baku penghasil tanin IV. Potensi Kesambi (Schleichera oleosa) sebagai bahan baku penghasil tanin V.
Potensi Angsana (Pterocarpus indicus) sebagai bahan baku penghasil bahan pewarna
VI. Potensi Jati (Tectona grandis) sebagai bahan baku penghasil bahan pewarna Format paper sebagai berikut : halaman paper maksimal 10 lembar, menggunakan kerta A4, tipe huruf yang digunakan teks adalah Times New Roman font 12 dengan spasi 1.5, dan menyertakan bahan rujukan/daftar pustaka yang digunakan dalam pembuatan paper. 2. Membuat bahan presentasi dalam bentuk power point 3. Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan paper yang telah dibuat di depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lain.
V-18
5.4. Bacaan/Rujukan Pengayaan Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya : http://www.fao.org/corp/publications/en/ www.prosea.lipi.go.id/
5.5. Latihan Soal-Soal 1. Tuliskan potensi HHBK penghasil ekstraktif/eksudat di Indonesia
V-19
BAB VI. GAHARU Tujuan Umum Menjelaskan jenis-jenis tumbuhan penghasil gaharu, potensi dan penyebarannya, teknologi produksi dan pengolahannya, produk turunannya, kualitas dan pemasarannya.
Tujuan Khusus Menjelaskan gaharu sebagai produk hasil hutan bukan kayu
Gaharu sebagai produk hasil hutan bukan kayu dikenal sebagai komoditi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Komoditi ini dihasilkan oleh tanaman hutan yang mengalami pelapukan sebagai akibat terinfeksi jamur, sehingga mnghasilkan gubal yang
mengandung dammar wangi (aromatic resin) yang
diperdagangkan sebagai bahan industri parfum, kosmetika, hio, setanggi dan obatobatan . Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk yang diiringi dengan meningkatnya kesejahtreaan hidup dan terjadinya pergeseran gaya hidup (life style) serta didukung oleh kemajuan iptek telah mendorong peningkatan permintaan akan gubal gaharu dunia. Bersamaan dengan itu, ekspor gaharu Indonesia juga mengalami peningkatan yang pesat. Menurut data BPS yang di analisis oleh Asgarin (2001) dalam Parman (2004) ekspor gaharu Indonesia dalam lima tahun terakhir meningkat rata-rata 51 %. Selama ini gaharu yang di ekspor pada umumnya berasal dari hutan seluruh Indonesia, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Sebagai akibat permintaan gaharu yang terus menerus meningkat, maka keberadaan tanaman sebagai penghasil gubal gaharu di dalam kawasan hutan semakin menurun dan terancam punah, karena dieksploitasi secara berlebihan dan kurang memperhatikan kaidah kelestarian. Karena itu dalam konperensi CITES IX di Florida AS tahun 1994, tanaman gaharu disepakati untuk dimasukkan dalam Apendix II CITES. Dengan masuknya gaharu dalam Appendix II CITES, berarti
VI-1
dalam kegiatan ekspor gaharu harus mengikiuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam CITES sesuai dengan keputusan Presiden No.43 tahun 1987.
6.1. Jenis-jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu dan Penyebarannya Tanaman Gaharu yang menghasilkan gubal gaharu terdiri dari berbagai jenis, dan umumnya termasuk suku Thymeleaceae. Jenis-jenis pohon penghasil gaharu yang telah diketahui antara lain: Aquilaria hirta Ridl., terdapat disemenanjung Malaya, Sumatera dan Bangka: A. crassna Pierr ex H. Lee, tersebar di Indo China dan Thailand; A. malaccensis Lamk. Banyak tersebar di India, Burma, Malaysia, Jawa Barat ,Kalimantan
dan Philipina. Jenis-jenis
lainnya seperti A. beccariana van Tiegh. Tersebar di Malasyia, Sumatera dan Kalimantan; Wikstroemia tenuiramis Miq. Terdapat di Malaysia dan Kalimantan sedangkan W. polyantha Merr. dijumpai di Malaysia, Jawa barat dan Kalimantan. Untuk jenis Enkleia malaccensis Griff, dapat ditemukan di India, Burma, Semenangjung Malaya, Sumatra, Kalimantan serta Philipina; Gonystylus bancanus Griff (Miq.) Kurz., G. macropyllus (Miq.)Airy Show, Aetoxylon sympetalum (Steen & Domke) Airy Show, serta serta pohon gaharu yang ditemukan di Lombok yakni Girinops verstegii (Gilg) Domke juga dijumpai di Malaya, sumbawa, NTT, Sulawesi, dan Irian.
6.2. Manfaat Gaharu Gaharu ternyata memiliki berbagai khasiat sebagai obat-obatan antara lain: sebagai anti asmatik, anti mikrobia, stimulan kerja syaraf dan pencernaan. Dari segi etnobotani di China digunakan sebagai, obat sakit perut, Aphrodisiac (perangsang nafsu birahi), anodyne (penghilang rasa sakit), kanker, diare, tersedak, ginjal, tumor paru paru dan lain-lain, demikian juaga di Eropa gaharu digunakan sebagai obat kanker. Selain itu di India gaharu juga dikenal sebagai obat tumor usus. Khasiat gaharu untuk berbagai macam obat tersebut di atas, disebabkan karena gaharu diketahui mengandung tidak kurang dari 17 macam senyawa antara lain; 3,4-dihydroxydihydroagarufuran, agaros-pirol, p-methoxybenzylacetone, aquillochin dan noroxoagarufuran.
VI-2
Pohon Gaharu yang kayunya bewarna putih dan lunak dilihat dari produk kayunya sendiri termasuk bermutu rendah., karena itu tidak memenuhi syarat untuk bahan bangunan atau bahan perabot rumah tangga. Namun gaharu termasuk komoditi yang bernilai tinggi karena produk gubalnya yang mengandung dammar wangi (aromatic resin). Oleh karena kandungan resin tersebut maka global gaharu sudah lama diperdagangkan sebagai komoditif ekspor untuk keperluan industri parfum, kosmetik, hio, setanggi dan obat-obatan. Negara-negara pengimpor utama antara lain: Singapura, Saudi Arabia, Taiwan, Uni emirat Arab dan Jepang. Selain produk gubal yang dihasilkan, bagian lain dari pohon gaharu seperti daun dan buahnya, diyakini oleh sebagian masyarakat sasak berkhasiat sebagai obat malaria. Selain itu, kulit kayunya yang memiliki serat yang sangat ulet dapat dibuat talitemali atau produk kerajinan lainnya yang cukup berharga. Meskipun pengkajian tentang pembudidayaan tanaman gaharu telah lama dilakukan tapi teknologi budidaya gaharu termasuk teknologi yang relatif baru dalam bidang pertanian. Oleh karena itu, dalam rangka pemberdayaan masyarakat perlu memperhatikan persyaratan-persyaratan dalam penerapannya, yaitu : (1) teknis bisa dilaksanakan; (2) ekonomis menguntungkan; (3) sosial tidak bertentangan bahkan menumbuhkan /mendorong motivasi petani atau pengusaha; (4) tidak mencemari lingkungan bahkan mengkonversi lingkungan yang serasi dan sehat; dan (5) dapat mendorong pertumbuhan wilayah yang bersangkutan secara berkelanjutan. Dengan demikian berarti, dalam pengembangan agroforestry gaharu harus layak bukan hanya dari aspek ekonomi, tapi juga dari aspek teknis, sosial budaya, lingkungan dan juga dari aspek pembangunan wilayah. Untuk memenuhi persyaratan tersebut berarti system dan jenis tanaman yang diusahakan haruslah dipilih sedemikian rupah agar sesuai dengan kondisi sosio-kultural dan ekonomi masyarakat setempat, lingkungan tempat pengembangan, dan mempunyai potensi pasar yang jelas.
VI-3
6.3. Teknologi Pengolahan Gaharu Teknologi produksi gubal gaharu Gubal gaharu (Aromatic resin) berasal dari bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada pohon tersebut dan pada umumnya terjadi pada jenis pohon dari suku
Thymeliceae. Pohon gaharu yang tidak
terifeksi oleh suatu mikrobia yang sesuai tidak akan menghasilkan gubal gaharu. Di belantara sering dijumpai pohon gaharu yang sudah sangat tua, diameter sampai mencapai 40 – 150 m tetapi belum dapat menghasilkan gubal gaharu. Hal ini menggambarkan bahwa untuk terbentuknya gubal gaharu, perlu adanya mikrobia yang masuk melalui luka sehingga dapat memacu pembentukan gubal gaharu. Mikrobia yang menyebabkan terjadinya pembentukan gaharu pada setiap jenis pohon gaharu biasanya berlainan, bahkan ada yang menyebutkan bahwa bagian batang dan akar mikrobianya berlainan. Keberadaan jamur Cytosphaera mangifera sebagai hasil isolasi dari gubal yang terbentuk pada batang gaharu A. malaccensis Lamk.
Jamur parasit dari jenis
Phialophora parasitica. Jamur
tersebut, kecuali dapat menginfeksi batang pohon yang masih hidup juga dapat menginfeksi potongan-potongan batang yang sudah mati. Parman, et al (1996) menemukan mikrobia penyebab terbentuknya gubal gaharu pada pohon ketimunan yakni cendawan Fusarium lateritium dan Popollaria sp. Kemudian menemukan teknik inokulasi yang paling efektif dalam memacu terbentuknya gubal, yakni dengan menggunakan gergaji. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan produksi gaharu secara artificial dengan meliputi tiga hal yang perlu dipahami yaitu : 1. Metode inokulasi 2. Evaluasi pasca inokulasi 3. Pemanenan
VI-4
Teknologi inokulasi gaharu Penyuntikan (inokulasi) yang dimaksudkan disini adalah memasukkan bibit gubal gaharu untuk memacu pembentukan gubal gaharu. Bibit gubal gaharu berupa jamur ditumbuhkan pada medium khusus. Untuk mendukung keberhasilan penyuntikan perlu dilakukan pemilihan pohon yang sesuai. Pohon yang memenuhi syarat-syarat untuk disuntik adalah : •
Pohon yang sudah berbuah, yaitu pohon yang berumur sekitar 5 - 6 tahun.
•
Pertumbuhan pesat dan subur, diameter telah mencapai lebih dari 10 cm.
•
Keadaan sekitarnya cukup teduh agar kelembaban tanah dan udara tetap terpelihara.
•
Bibit gubal gaharu tidak terkontaminasi oleh jamur lain.
•
Pertumbuhan jamur yang telah optimal, memenuhi semua media inokulum.
Bahan dan alat 1. Bahan Bibit gubal gaharu, berupa serbuk yang telah ditumbuhi jamur, spritus atau alkohol 70 %, paku reng, kawat, dan lilin lunak. 2. Alat Gergaji, bor, parang, batang besi sepanjang 35 cm, pisau tajam (cutter), corong seng, serok, hand sprayer, meteran, kuas, palu, dan tang 3. Prosedur
Pengukuran dan pembuatan tanda pada pohon yang akan disuntik
Pembuatan lubang inokulasi
Inokulasi bibit gaharu
Penutupan lubang inokulasi
6.4. Pemanenan dan Penanganan Pasca Panen Gaharu 1. Tanda-tanda morfologi pohon gaharu yang telah di inokulasi dan siap panen
Kulit batang disekitar lubang inokulasi berwarna coklat kehitaman, rapuh, apabila ditarik mudah putus.
VI-5
Jaringan disekitar lubang inokulasi berwarna coklat kehitaman atau hitam, jika bagian batang berwarna hitam diambil dan dibakar akan mengeluarkan bau harum.
Batang yang sudah diinokulasi ditumbuhi tunas adventif dalam jumlah yang cukup banyak
Kanopi pohon yang mempunyai tanda-tanda seperti merana, atau daunnya banyak menguning dan mengalami kerontokan, sehingga menyebabkan beberapa ranting tidan berdaun.
2. Pemanenan dengan cara bertahap
Pemangkasan tunas adventif
Pencuplikan jaringan kayu yang mengandung gaharu
Pengupasan dan pengerokan gubal gaharu
Pemilahan gaharu menurut kelasnya
Pengeringan gaharu hasil pemilahan
3. Pemanenan dengan cara tebang habis
Penebangan dan pemotongan batang
Pembelahan, pengupasan dan pengerokan gaharu
Pembongkaran akar
Sistem dan jadwal panen Sistem dan jadwal panen akan menentukan arus penerimaan dan periode waktu investasi. Periode investasi ditentukan oleh jadwal panen tanaman gaharu sebagai pokok. Jadwal panen ditentukan oleh system panen yang dipilih. Ada dua kemungkinan system panen gaharu yang dapat dipilih, yaitu : 1. Sistem panen habis, artinya semua tanaman gaharu yang ditanam pada tahun pertama akan dipanen habis pada akhir tahun kedelapan. Berarti penyuntikan inokulan dilakukan pada tahun keenam, karena sejak penyuntikan sampai panen membutuhkan waktu selama 2 tahun (Dephut, 2002; Parman, 2003). Dengan demikian berarti periode investasi dipandang berakhir pada akhir tahun kedelapan. Tanaman-tanaman lain yang belum habis masa panennya pada waktu itu diperhitungkan sebagai
VI-6
sisa investasi yang dimasukkan dalam arus penerimaan bersama-sama dengan hasil gaharu. 2. Sistem panen pilih, artinya tanaman gaharu yang ditanam pada tahun pertama dipanen secara bertahap sesuai dengan pertumbuhan tanaman atau pertimbangan-pertimbangan lain yang telah menguntungkan. Kalau panen misalnya dijadwalkan rata-rata 25 % sejak tahun kedelapan, berarti jadwal panen dan periode investasi akan berakhir pada ahun kesebelas. Pada akhir tahun kesebelas, kemungkinan besar tanaman-tanaman lain seperti kopi dan coklat umur ekonomisnya belum berakhir. Karena itu sisa dari tanaman-tanaman yang ada juga tetap diperthitungkan sebagai nilai sisa yang dimasukkan dalam arus penerimaan.
6.5. Arti Ekonomi Tanaman Gaharu Pohon Gaharu yang kayunya bewarna putih dan lunak dilihat dari produk kayunya sendiri termasuk bermutu rendah., karena itu tidak memenuhi syarat untuk bahan bangunan atau bahan perabot rumah tangga. Namun gaharu termasuk komoditif yang bernilai tinggi karena produk gubalnya yang mengandung dammar wangi. Oleh karena kandungan resin tersebut maka global gaharu sudah lama diperdagangkan sebagai komoditif ekspor untuk keperluan industri parfum, kosmetik, hio, setangi dan obat-obatan. Negara-negara pengimpor utama antara lain: Singapura, Saudi Arabia, Taiwan, Uni emirat Arab dan Jepang. Nilai ekonomi glubal gaharu bervariasi tergantung kelasnya. Penentuan kelas glubal gaharu tersebut didasarkan atas kandungan atau kadar resin yang dimiliki glubal gaharu tersebut. Ada beberapa kelas glubal gaharu yang dikenal dalam bisnis/perdagangan glubal gaharu seperti: kelas super, AB, BC, C1, dan C2. harga glubal gaharu yang berlaku untuk masing – masing kelas pada saat ini dapat dilihat pada table 1 berikut ini. Tabel 6.1. Harga glubal gaharu menurut kelas No.
Klasifikasi 1 2 3 4 5
Super AB BC C1 C2 (kemedangan)
Harga per Kg (Rp.) 4.000.000 – 5.000.000 2.000.000 – 3.000.000 1.000.000 – 1.500.000 500.000 – 750.00 100.000 – 250.00
VI-7
6.6. Bahan Diskusi 1. Pada pertemuan terakhir, mahasiswa telah di bagi menjadi 6 (enam) kelompok besar. Tugas tiap kelompok membuat poster dengan judul : “Peluang dan Permasalahan Pengembangan Gaharu di Indonesia” 2. Tiap kelompok akan mengomentari atau bertanya mengenai poster yang dibuat oleh kelompok lain 3. Wakil dari tiap kelompok akan memaparkan dan menjawab pertanyaan atau komentar dari kelompok lain
6.7. Bacaan/Rujukan Pengayaan Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya : http://www.fao.org/corp/publications/en/ www.prosea.lipi.go.id/
6.8. Latihan Soal-Soal 1. Tuliskan potensi dan penyebaran jenis-jenis inang terbentuknya kayu gubal gaharu baik di dunia dan khususnya di Indonesia 2. Tuliskan budidaya dan inokulasi gaharu 3. Tuliskan cara pemanenan dan pengolahan gaharu
VI-8
BAB VII. SERANGGA BERGUNA Tujuan Umum Menjelaskan jenis-jenis serangga hutan, potensi dan budidaya, teknologi pengolahannya, produk turunannya, kualitas dan cara pengujian beberapa produk serangga hutan dan pemasarannya.
Tujuan Khusus Menjelaskan lebah madu, ulat sutera dan kutu lak sebagai serangga berguna penghasil produk hasil hutan bukan kayu
7.1. Serangga Berguna Serangga memiliki nilai yang sangat bagi kehidupan manusia. Peran serangga sebagai penyerbuk, dekomposer, bahan makanan, nilai estetika dan lain sebagainya sangat berarti bagi kehidupan manusia. Pada bab ini akan dibahas beberapa serangga yang berguna bagi kehidupan manusia.
7.2. Jenis-jenis Serangga Hutan Berguna 7.2.1. Lebah Madu Lebah dan Perlebahan Lebah adalah serangga dari ordo hymenoptera yang dapat menghasilkan madu sedangkan perlebahan adalah suatu rangkaian kegiatan pemanfaatan lebah dan produk-produknya serta vegetasi penunjangnya untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat
dengan memeperhatikan
aspek kelestariaannya. Manfaat perlebahan antara lain: 1. Dapat menghasilkan produk-produk berupa madu, tepung sari, royal jelly, lilin lebah, propolis, bias lebah, larva lebah, koloni lebah dan ratu lebah. 2. Dapat membantu meningkatkan produksi tanaman pertanian terutama buahbuahan, dan sayuran oleh adanya penyerbukan tanaman oleh lebah. 3. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut berperan dalam kegiatan pelestarian hutan dan vegetasi lainnya.
VII-1
4. Meningkatkan gizi keluarga 5. Perlebahan dapat memanfaatkan tanaman pakan lebah yang telah biasanya berupa hutan, perkebunan, tanaman pakan dan holtikultura sehingga dapat meningkatkan nilai hutan.
Jenis-jenis lebah madu Jenis-jenis lebah yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan perlebahan untuk menghasilkan madu dan produk lainnya adalah sebagai berikut: 1. Apis florea Apis florae memiliki sosok tubuh yang sangat kecil. Lebah ini membangun sarang dengan cara menggantungnya pada pohon yang kecil. Diemeter sarangnya berkisar 8-10 cm. Produksi madu dari lebah Apis florae ini sangat sedikit yaitu kurang dari 1 ons per bulan. 2. Apis trigona Lebah trigona memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari Apis florae. Lebah ini bersarang pada lubang-lubang bamboo atau kayu. Lebah ini menghasilkan banyak lilin sehingg kadang juga disebut lebah lilin. Lebah ini menghasilkan madu kurang dari 2 ons per bulan. 3. Apis cerana Lebah ini disebut juga lebah lalat karena ukurannya menyerupai lalat. Di jawa disebut tawon undhuhan. Lebah ini jinak sehingga banyak dibudidayakan secara tradisional di Indonesia. Kegiatan budidaya lebah ini sering disebut dengan perlebahan lokal. 4. Apis mellifera Lebah Apis mellifera sangat beragam dan terdiri atas beberapa ras yaitu ras Asia, Afrika dan Eropa sehingga banyak yang mengelompokkan lebah ini ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan rasnya: a) Apis mellifera indica (ras Asia) Lebah ini mendiami daratan tropis Asia, seperti: India, Pakistan, Cina, Srilangka, Filipina, dan Indonesia. Hasil madu tidak terlalu tinggi.
VII-2
b) Apis mellifera indica (ras Afrika) Lebah ini banyak tersebar di Afrika yang meliputi: Mesir (Apis mellifera fasciata), Malta (Apis mellifera intermissa), Madagaskar (Apis mellifera unicolor). Produksi madunya realatif tinggi namun, lebahnya sulit disingkirkan ketika di panen madunya. c) Apis mellifera (ras Eropa) Jenis ini disebut juga dengan nama lebah eropa karena berasal dari eropa. Lebah ini banyak dikembangkan di Eropa yang meliputi: Belanda (Apis mellifera mellifera), Negara-negara Skandinavia (Apis mellifera lehzeni), dan Italia (Apis mellifera ligustica), dan lain-lain. Berbeda dengan lebah lokal, lebah eropa memiliki jenis pilihan tanaman yang terbatas. Tanaman penghasil madu yang telah dikenal sebagai pakan lebah eropa di Indonesia antara lain: kapuk randu, rambutan, lengkeng, durian, karet, dan tanaman jagung, pada musim paceklik untuk diambil tepung sarinya. Teknik budidaya lebah eropa lebih rumit dibandingkan lebah lokal. Oleh karena bukan merupakan lebah asli Indonesia, maka lebah ini sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit terutama kutu Varroa jacobsoni dan Tropilaelaps clarae sehingga dalam pemeliharaannya harus dilakukan secara hati-hati dan memerlukan perhatian khusus. 5. Apis dorsata Lebah Apis dorsata memiliki ukuran tubuh yang besar dibandingkan lebah madu lainnya. Lebah ini membuat sarang di pepohonan, gua, gua atau balok-balok kayu yang sengaja dipasang oleh pemburu lebah. Bentuk dan ukuran sarangnya bervariasi. Lebar sarangnya dapat mencapai dua meter. Jumlah lebah dalam satu koloni dapat mencapai ratusan ribu ekor. Lebah ini sangat ganas dan liar sehingga kadang juga disebut lebah liar. Satu sarang lebah ini dapat dihasilkan sekitar 20 kg. Perlebahan lebah hutan dilakukan dengan cara pemburuan madu lebah hutan (Apis dorsata). Teknik budidaya lebah ini dalam kotak sampai saat ini masih belum dapat dilakukan. Teknik perlebahan lebah hutan biasanya dilakukan dengan menggunakan gelodok yang ditempatkan ke dalam hutan kemudian
VII-3
memancing lebah hutan tersebut untuk membuat koloninya ke dalam gelodok tersebut. Selain itu, teknik perlebahan lebah hutan ini dapat juga dilakukan dengan menggunakan sanggau yaitu teknik memancing lebah dengan memberikan habitat buatan bagi lebah hutan dengan memasang batang kayu yang dipasang mendatar agak miringpada dua buah tiang atau pohon yang cukup kokoh menopang batang kayu tersebut. Sedangkan pemburuan lebah dilakukan dengan cara memburu sarang lebah hutan yang hidup msecara alami di hutan untuk mendapatkan madu dan lilinnya. Di Indonesia perlebahan lebah hutan masih banyak di lakukan di berbagai daerah. Daerah-daerah yang dikenal sebagai penghasil lebah hutan adalah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan hamper seluruh daerah Sumatera. Ada beberapa jenis pohon yang dikenal sebagai tempat yang sering dimanfaatkan oleh lebah untuk membangun koloninya. Jenis-jenis pohon tersebut antara lain: pohon sialang, kempas, rengas, cempedak, dan kayu ara. Pada umumnya satu pohon dapat dihuni puluhan koloni lebah hutan bahkan dapat mencapai seratus koloni.
Kehidupan Lebah Lebah adalah serangga social yang hidup bergerombol membentuk koloni. Setiap koloni lebah terdiri atas tiga jenis lebah yaitu: lebah ratu, lebah jantan dan lebah pekerja. 1. Lebah ratu Lebah ratu dalam koloni lebah berjumlah hanya satu ekor. Cirri-ciri lebah ratu ini adalah sebagai berikut: a. Mempunyai ukuran tubuh yang lebih panjang dan besar dibandingkan lebah jantan dan lebah pekerja. b. Berkelamin betina sempurna. c. Di dalam tubuh terdapat organ tubuh yang penting yaitu spermatheca (kantong sperma) dan ovariol. Spermatheca berfungsi untuk menampung
VII-4
sperma lebih jantan setelah selesai perkawinan sedangkan ovariol berfungsi untuk memproduksi telur. d. Bertugas mengembangkan keturunannya dengan bertelur sampai akhir hayatnya. Kemampuan bertelur Apis cerana sebanyak 500-900 butir per hari sedangkan ratu Apis mellifera sebesar 1.000-1.500 butir per hari. e. Umurnya dapat mencapai lima tahun namun produktifitas tertinggi umunya hanya sampai du tahun. f. Mempunyai sengat tetapi hanya dipergunakan bila terjadi peperangan antara ratu dan dapat digunakan untuk menyengat berkali-kali. 2. Lebah jantan Dalam satu koloni, lebah jantan berjumlah puluhan. Ciri-ciri lebah jantan adalah sebagai berikut: a. Tubuh pendek gemuk, sayap panjang dan lebar hamper menutupi seluruh tubuhnya, mata besar. b. Memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari lebah pekerja tetapi lebih kecil dari lebah ratu c. Berkelamin jantan dan tidak mempunyai sengat. d. Berfungsi mengawini ratu pada musim kawin. Lebah jantan ini akan mati setelah mengawini ratu. 3. Lebah pekerja Lebah pekerja merupakan jenis lebah yang paling banyak terdapat dalam koloni lebah. Jumlah lebah pekerja ini dapat mencapai ribuan. Ciri-ciri lebah pekerja adalah sebagai berikut: a. Memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil lebah ratu dan lebah jantan b. Berkelamin betina tidak sempurna sehingga tidak dapat melaksanakan perkawinan. c. Mempunyai sengat sebagai senjata untuk mempertahankan diri dan koloninya tetapi hanya dapat dipergunakan sekali. d. Pada bagian mulut dilengkapi dengan lidah penghisap (proboscis) yang panjang sehingga mampu menghisap cairan nectar/ madu dan air. e. Pada kedua pasang kaki belakang memiliki corbicula (alat pengangkut tepung sari).
VII-5
f. Tugas lebah pekerja ini adalah membersihkan sarang; memberi makan larva, ratu dan jantan; membangun sarang; menjaga keamanan sarang; mencari, mengangkut nectar, tepung sari dan air dan meprosesnya menjadi makanan dan menyimpannya ke dalam sarang; memilihara suhu sarang agar tetap hangat untuk perkembangan hidup telur, larva, pupa dan lebah. Dalam hidupnya, bentuk sarang antara lebah apis cerana dan apis mellifera memiliki perbedaan dengan lebah apis dorsata. Apis cerana dan apis melllifera membangun sarangnya bersisir-sisir secara parallel sedangkan lebah apis dorsata hanya membangun sarang selembar dengan berukuran sangat besar.
Teknik Budidaya Lebah Jenis lebah yang umum dibudidayakan saat ini adalah lebah lokal (Apis cerana) dan lebah eropa (Apis mellifera). Kedua jenis lebah ini biasanya dikembangkan dalam kotak lebah. Teknik budidaya ini sangatlah sederhana yang penting lokasi perlebahannya mendukung perkembangan lebah tersebut peternak tahu biologi lebah. 1. Persyaratan lokasi Beberapa persyaratan lokasi bagi kegiatan budidaya lebah adalah: a. Di sekitar tempat pemeliharaan lebah harus cukup tersedia tanaman pakan lebah. Pakan lebah adalah nectar yaitu cairan manis yang dihasilkan oleh tanaman, umumnya dikeluarkan dari bunga atau kuncup daun muda, kemudian oleh lebah diproses untuk menghasilkan madu. Pakan lebah lain di samping nectar adalah tepung sari yang dihasilkan oleh bunga tanaman. Jenis-jenis tanaman pakan lebah adalah kelapa, kaliandra, akasia, kapuk randu, aren, durian, rambutan, lengkeng, jambu mete, magga, alpukat, asam jawa, jagung, mentimun, bunga matahari, jambu air, karet, kopi, lamtoro, eucalyptus dan lain-lain. b. Suhu udara yang baik sekitar 20-32 oC dengan kelembaban 70-80 %. c. Tersedia cukup air bersih d. Jauh dari sumber kebisingan, polusi udara, asap dan bau-bauan yang menyengat.
VII-6
2. Peralatan Budidaya Lebah Dalam kegiatan budidaya lebah diperlukan peralatan sebagai berikut: a. Kotak lebah yang di dalamnya terdapat bingkai sarang, tutup kotak dan alas kotak serta tiang penyangga kotak. b. Pengasap untuk mengasapi lebah agar lebih jinak pada saat pemeriksaan koloni dan pemanenan. c. Pisau untuk mengiris sisiran sarang yang menempel satu dengan yang lain. d. Sikat lebah e. Alat pemanen madu: ekstraktor, penyaring madu dan drum plastic. Selain itu juga diperlukan pakaian kerja denga lengan yang panjang dilengkapi dengan masker dan sarung tangan untuk mencegah serangan sengatan lebah mengenai bagian tubuh. 3. Pengadaan koloni lebah Untuk budidaya lebah Apis cerana, pada umumnya koloni lebah diperleh dari penangkaran lebah yang hidup secara alami atau mendapatkan dari hasil penangkaran para peternaka baik yang dipelihara dalam gelodok maupun kotak lebah. Pada budi daya lebah Apis mellifera bibit/koloni lebah diperoleh dari lebah paket atau dari peternak/penjual koloni lebah. Pemindahan lebah yang berasal dari alam (lubang, pohon, wuwungan rumah, gelodok) dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Persiapkanlah terlebih dahulu peralatan budidaya yaitu kotak lebah kosong, kotak pemindah lebah, kurungan ratu, pengasap, pisau, tali rafiah, dan pakaian pemelihara lebah. b. Asapilah keluarga lebah yang akan dipindahkan c. Carilah dengan teliti ratu lebah, setelah diperoleh masukkan ke dalam kurungan ratu kemudian tempatkan ke dalam kotak lebah yang telah disiapkan. d. Pilihlah tiga atau lebih sisiran sarang yang banyak mengandung telur, larva, pupa, tepung sari dan madu. e. Mengiris sisiran-sisiran sarang tersebut dengan pisau pada pangkal di mana sisiran sarang menempel pada tempat sebelumnya.
VII-7
f. Satu-persatu sisiran sarang kemudian diikat dengan tali rafiah pada bingkai sisiran dan ditempatkan ke dalam kotak lebah yang sebelumnya telah terdapat ratunya. g. Memasukkan seluruh lebah ke dalam kotak lebah, bila terdapat lebah yang masih tersisa akan masuk ke dalam kotak lebah denga sendirinya. Biarkan beberapa saat, setelah seluruhnya masuk maka tutuplah kotak lebah. h. Angkut kotak lebah dan tempatkan di atas tiang penyangga pada lokasi yang direncanakan. i. Kurungan ratu dibuka setelah koloni lebah dalam keadaan tertib dan tenang. Koloni lebah jangan diusik setelah lebah kerasan betul. 4. Pemeriksaan Pengadaan koloni lebah Pemeriksaan koloni lebah dilakukan untuk mengetahui perkembangan koloni lebah. Pemeriksaan koloni lebah dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Setelah berpakaian kerja lengkap posisi peternak berdiri di samping atau di belakang kotak lebah untuk menghindari terhalangnya lalu lintas lebah yang keluar masuk kotak b. Membuka kotak lebah perlahan-lahan dan hembuskan sedikit asap ke dalam kotak ke dalam kotak lebah sehingga lebahnya tenang. c. Memeriksa satu-persatu sisiran sarang dimulai dari bagian pinggir dengan cepat dan teliti. Pemeriksaan sisiran tepat di atas kotak lebah. Hal ini dimaksudkan agar ketika lebah ratu terjatuh akan tetap ke dalam kotak. Halhal yang perlu diperiksa adalah keberadaan ratu, terdapatnya makanan lebah (madu dan tepung sari), telur larva dan pupa. d. Memeriksa jumlah telur, apabila dalam sarang banyak terdapat telur dapat dipastikan bahwa ratunya masih terdapat dalam koloni tersebut dan dalam keadaan produktif. e. Apabila pada sarang bagian bawah banyak terdapat tabung calon ratu (sel calon ratu), maka kondisi ratu sudah tidak baik/tua atau mungkin juga ratu sudah tidak terdapat dalam koloni tersebut. Namun apabila ratu masih ada dan keberadaanya masih diinginkan, maka sebaiknya seluruh tabung calon ratu dibuang, tetapi bila ratu keberadaannya sudah tidak kita kehendaki atau di
VII-8
dalam koloni sudah tidak terdapat ratu maka pilihlah satu tabung calon ratu yang terbaik dan biarkan sampai menetas menjadi ratu baru. 5. Menggabungkan koloni lebah Apabila terdapat satu koloni lebah yang lemah atau tidak mempunyai ratu atau sedangkan terdapat koloni lebah yang lebih kuat. Maka kedua koloni ini dapat digabung. Cara adalah dengan menempatkan koloni lebah yang lebih lemah di atas koloni lebah yang lebih kuat, di antara koloni tersebut dilapisi dengan kertas Koran yang diberi beberapa lubang, dengan masing-masing diameter lubang sekitar 0,6 cm atau sebesar pensil. Koran tersebut diolesi dengan sirup gula sehingga menarik lebah untuk berkerumun pada koran dan akhirnya terjadi kontak antara lebah-lebah yang berasal dari dua koloni yang berbeda. Pada akhirnya lebah-lebah tersebut akan bergabung menjadi satu koloni. 6. Pemecahan Koloni Lebah Jika kita ingin memperbanyak jumlah koloni lebah, maka kita dapat membagi koloni lebah menjadi dua koloni. Caranya adalah dengan membagi koloni kuat menjadi dua koloni. Koloni kuat adalah koloni yang mempunyai sisiran sekurang-kurangnya 8 sisiran yang dikerumuni secara padat oleh lebah pekerja. Di dalam sel-sel sarang penuh dengan telur-telur, larva dan pupa sertaserta sel-sel kosong lainnya berisi madu dan dan tepung sari pekerja. Setelah kedua koloni pecah maka salah satu ratu ini memiliki lebah ratu sedangkan koloni yang lain tidak memiliki ratu. Untuk menjamin kelangsungan hidup koloni ini maka koloni yang tidak mempunyai ratu ini harus diberikan ratu baru yang berasal dari penangkaran ratu (beternak ratu0 atau membeli dari penangkar ratu lebah. 7. Beternak Lebah Ratu Koloni lebah yang digunakan sebagai koloni induk harus kuat, sehat, produktif dan jinak. Pelaksanaan beternak ratu dilaksanakan pada musim berbunga tanaman agar koloni lebah cukup tersedia makanan baik berupa madu maupun tepung sari guna mendukung pertumbuhan sel-sel ratu baru.
VII-9
8. Perawatan koloni Lebah Perawatan koloni lemah adalah suatu kegiatan memberikan perlakuan tertentu pada koloni lebah agar terhindar gangguan akibat serangan hama dan penyakit, selain itu juga menyangkut pemberian makanan tambahan pada koloni lebah jika dalam koloni kekurangan makanan pada musim paceklik. Koloni lebah seringkali diserang oleh hama penyakit dan hewan pemangsa (predator). Beberapa hama dan predator yang sering menyerang koloni lebah adalah: kutu lebah, semut, katak, cicak, kecoak, dan burung pemangsa lebah. Untuk memberantas kutu lebah dapat dilakukan dengan menggunakan campuran kapur barus dan belerang. Pada musim paceklik, di mana sumber makanan lebah berupa nectar dan tepung sari sangat kurang maka koloni perlu ditambahkan makan tambahan untuk menjamin kelangsungan hidup koloni lebah tersebut. Makanan tambahan yang dapat diberikan pada koloni lebah adalah sirup gula. Apabila tidak terdapat cukup persediaan tepung sari di dalam sarang maka perlu diberikan tepung sari segar atau tepung sari tiruan. Keadaan paceklik ini dapat diatasi pula dengan memindahkan pada tempat lain yang memiliki pakan lebah yang cukup.
Pemanenan Koloni Lebah Budidaya Hasil produksi yang dapat dipanen pada koloni terdiri atas beberapa jenis antara lain: pemanenan lebah madu, tepung sari, royal jelly, dan lilin. 1. Pemanenan Madu Sisiran madu yang siap panen umumnya pada permukaannya telah dilapisi lilin oleh lebah-lebah pekerja. Cara pemanenan lebah madu ini adalah sebagai berikut: a. Mengambil sisiran madu mulai dari bagian pinggir kemudian dikumpulkan menjadi satu denga sisiran-sisiran yang lain yang telah siap panen. b. Kupas lapisan lilin yang menutupinya dengan pisau dan masukkan ke dalam ekstraktor untuk diputar. c. Cairan madu disimpan dalam bejana plastic (drum) selanjutnya disaring untuk siap dikemas dalam botol atau bentuk kemasan lain.
VII-10
2. Pemanenan Tepung sari Pemanenan tepung sari (bee pollen) dilakukan dengan cara memasang perangkap tepung sari (pollen trap) pada pintu masuk kotak lebah. Perangkap tepung sari berlubang-lubang dengan diameter setiap lubang sekitar 5 mm yang hanya pas untuk seekor lebah pekerja. Lebah pekerja yang baru kembali dari lapangan dan membawa tepung sari akan melewati lubang tersebut. Oleh karena kakai belakangnya penuh dengan tepung sari maka lebah pekerja akan merontokkan tepung sari. Ronntokan tepung sari tersebut akan tertampung dalam kotak kecil pada pollen trap. 3. Pemanenan Royal Jelly Pemanenan royal jelly biasa dilakukan pada koloni lebah eropa (Apis mellifera). Cara pemanenan royal jelly dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Mempersiapkan bingkai sisiran kosong pada bingkai yang memiliki tiga bagian batang bingkai membujur. Pada batang bingkai tersebut diletakkan tabung-tabung calon ratu yang terbuka dari plastic sebanyak ± 50 buah. b. Ke dalam masing-masing mangkuk (tabung calon ratu) diisi dengan larva berumur kurang dari tiga hari. Pemindahan larva harud dilakukan secara hatihati agar larva tetap dalam keadaan hidup. c. Tempatkan bingkai sarang tersebut ke dalam koloni yang kuat. Pada umumnya 2-3 hari kemudian tabung-tabung calon ratu telah diisi makanan oleh lebah pekerja berupa royal jelly. d. Royal jelly diambil dari tabung-tabung calon ratu dengan terlebih dahulu membuang larvanya dan royal jelly ditampung dalam gelas. Selanjutnya calon ratu yang kosong diisi lagi dengan larva untuk memproduksi royal jelly lebih lanjut. e. Setelah royal jelly disaring dengan kain khusus maka segera disimpan ke dalam freezer agar tidak membusuk. 4. Pemanenan Lilin Lilin lebah yang dapat dipanen berasal dari kupasan penutup sel-sel madu. Untuk mendapatkan lilin yang lebih banyak dapat pula dipasang bingkai sisiran
VII-11
kosong pada saat dibangun sarangnya oleh lebah pekerja maka lilin dapat dikerok atau diiris. Lilin yang dihasilkan dengan cara seperti ini memiliki kualitas yang baik. Sisiran sarang tua dapat pula diambil lilinnya namun kualitas hasilnya kurang baik.
Pemanenan Lebah Hutan Sampai saat ini, lebah hutan (Apis dorsata) belum bisa dibudidayakan dalam kotak lebah. Walaupun demikian, ada beberapa teknik memancing lebah yang biasa dilakukan oleh beberapa pemburu lebah huta. Di Belitung teknik pemancing lebah disebut system sanggau yaitu pemberian habitat buatan bagi lebah hutan dengan memasang batang kayu yang dipasang mendatar agak miring pada 2 buah tiang atau pohon yang cukup kokoh menopang batang kayu tersebut. Tiang yang satu pendek dengan ukuran ± 120 cm sedangkan yang panjang berukuran ± 2 m, sedangkan batang kayu tempat menempelnya sarang lebah berukuran panjang 2-3 m dengan diameter 15-20 cm. penempatan sanggau pada lokasi yang bebas dari rumput, ilalang, atau ranting-ranting semak yang dapat mengganggu kehidupan lebahnya. Di propinsi Kalimantan barat system ini dikenal dengan nama tikung yang telah dilaksanakan pada suaka margasatwa danau sentarum. Berbeda dengan sanggau yang menggunakan kayu utuh, tikung
terbuat dari papan. Tikung
dipasang pada daerah asang surut ketinggian ± 6 m untuk menghindari tergenangngya air pada saat pasang. Teknik lain yang sejenis dengan kedua teknik ini adalah system rafter yang telah berhasil diterapkan di hutan pasang surut Vietnam dengan tingkat penghunian sebesar 60%. Periode pemanenan dilaksanakan setiap 2 bulan sekali dengan hasil sebesar 5-10 kg madu per koloni setiap kali panen. Kelebihan dari 3 sistem tersebut bila dibandingkan dengan cara pemanenan secara tradisonal adalah: a. Resiko kecelakaan pada saat pemanenan dapat dihindari karena pemungut tidak harus memanjat pohon yang tinggi. b. Hasil madu dapat ditingkatkan dengan memasang sebanyak mungkin sunggau/tikung atau rafter.
VII-12
c. Kelestarian lebah hutan dapat lebih terjamin. Teknik pemanenan pada lebah hutan ini dilakukan dengan memburu sarangnya untuk diperoleh madu, larva dan lilinnya. Teknik pemanenan lebah hutan dilakukan sebagai berikut: a. Pemanenan lebah hutan sekurang-kurangnya dilakukan dua orang. Seorang sebagai pemanjat pohon dan lainnya sebagai sebagai pembantu yang ditempatkan di bawah pohon untuk membantu jika madu yang telah dipanen diturunkan ke bawah melalui tali oleh pemanjat. b. Peralatan yang digunakan dalam pemanenan berupa pisau atau belahan kayu yang diraut pipih untuk mengiris sarang, ember bertali dan pengasap yang terbuat dari ikatan rumput atau batang semak-semak kering. c. Setelah diasapi maka lebah-lebah akan meninggalkan sarangnya selanjutnya sarang yang berisi madu tersebut kemudian diiris dengan pisau dan dimasukkan ke dalam ember bertali. d. Untuk menjamin kelestarian lebahnya maka pemanenan harus dilakukan menyisahkan beberapa sisiran sarang yang berisi telur, larva dan larva. Lebih baik kagi jika pemanenan dilakukan terhadap sisiran sarang berisi madu saja. Dengan cara seperti ini pemanenan dapat dilakukan dua bulan kemudian. Rata-rata perolehan madu setiap kali panen adalah sekitar 10 kg. e. Menghindari terjadinya pembakaran sarang pada saat pengasapan.
Pemanfaatan Produk Lebah Beberapa produk yang dihasilkan oleh lebah madu dan manfaatnya yaitu : Madu, Royal Jelly, Serbuk Sari (Bee Pollen), Roti lebah (Bee bread), Lem/Zat Perekat (Propolis), Lilin Lebah (Beeswax), dan Racun Lebah (BeeVenon).
7.2.2. Ulat Sutera Ulat Sutera dan Persuteraan Alam Ulat sutera adalah jenis serangga yang dapat menghasilkan serat sutera yang merupakan bahan baku sutera. Sutera alam merupakan salah satu komoditi untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri maupun untuk pengembangan ekspor, baik berupa kokon maupun bahan jadi.
VII-13
Persuteraan merupakan suatu rangkaian kegiatan berupa budidaya tanaman murbei (Morus spp), pemeliharaan ulat sutera, pemintalan benang, usaha kerajinan dan penenunan yang menggunakan bahan benang sutera.
Untuk
memperoleh hasil yang cukup maksimal kegiatan tersebut perlu ditunjang oleh pengadaan sarana yang cukup, teknik yang memadai dan pemasaran yang terjamin. Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu upaya konservasi lahan melalui upaya rehabilitasi lahan dengan meningkatkan daya dukung alam melalui budidaya tanaman murbei yang dikombinasikan dengan pemeliharaan ukat sutera dan penanganan pasca panennya. Hasil produksi kegiatan persuteraan alam dapat berupa kokon, benang/serat sutera. serat sutera yang merupakan bahan baku sutera di bidang pertekstilan, benang bedah dan parasut dengan mutu yang tinggi. Serat sutera dibandingkan dengan serat alam lainnya seperti kapas, ramin dan bulu domba mempunyai banyak kelebihan antara lain lemah lembut, elastisitas, diameter benang kecil, ringan tetapi kuat dan awet, mempunyai daya tahan panas dan meresap air yang menyebabkan ia menghangatkan pada waktu dingin dan menyejukkan pada waktu panas, memiliki kemampuan menahan warna yang kuat, sehingga tidak mudah pudar serta memiliki kemilau dengan daya pantul yang sangat baik. Mutu serat sutera terkait dengan banyak faktor antara lain teknik pemeliharaan ulat sutera, jenis atau ras ulat sutera, jumlah dan mutu daun murbei yang diberikan selama pemeliharaan serta penanganan pasca panen. Perlakuan yang tepat dalam pengelolahaan kokon pasca panen sangat dibutuhkan dalam meningkatkan mutu serat yang dihasilkan. Secara teknis mutu benang dapat ditingkatkan dengan memperbaiki cara seleksi kokon, perlakuan terhadap kokon seperti pengeringan dan penyimpanan serta pemintalan. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu dari produktivitas kokon dan meningkatkan harga jual dari kokon adalah dengan pengeringan kokon. Pengeringan kokon mempunyai tujuan untuk mencegah berkembangnya pupa menjadi kupu-kupu dan keluar menembus kulit kokon yang dapat menyebabkan rusaknya kokon. Pengeringan kokon dapat memungkinkan untuk menyimpan kokon dalam jangka waktu yang lama pada kondisi dan kelembaban lingkungan yang normal. Di samping itu pengeringan
VII-14
kokon juga dapat mengurangi kandungan air sehingga menghasilkan benang sutera yang diinginkan. Manfaat dari kegiatan persuteraan alam adalah sebagai berikut: a) Meningkatkan pendapatan petani dalam waktu yang relative singkat. b) Menyediakan lapangan pekerjaan dan lapangan usahan bagi masyarakat di sekitar hutan. c) Optomalisasi lahan dan mendorong pertumbuhan ulat sutera.
Gambar 7.1. Ulatsutera
Pengenalan Ulat Sutera 1. Sistematika dan Jenis Ulat Sutera Sistematika ulat sutera (Bombyx mori) adalah sebagai berikut: Phyllum
: Artrhropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Lepidoptera
Sub Ordo
: Ditrysia
Super famili : Bombycoidea Famili
: Bomycidae
Genus
: Bombyx
Species
: Bombyx mori L.
2. Biologi Ulat Sutera Ulat sutera (B.mori L) termasuk serangga yang metamorfosisnya holometabola yaitu serangga yang perubahan bentuk/metamorfosa pada saat fasefase yang sempurna, di mana pertumbuhannya dari telur yang menetas menjadi ulat, ulat kemudian berubah bentuk menjadi pupa dalam kokon kemudian barulah
VII-15
menjadi kupu-kupu. Tahap awal dari serangga adalah bentuk telur yang berbentuk pipih (agak oval), dengan lebar sekitar 1 mm, panjang 1,3 mm, tebal 0,5 mm dan berat 0,5 mg. Ukuran dan beratnya bervariasi berdasarkan ras dan lingkungan di mana induk dipelihara.
Warna awal abu kehijauan.
berwarna abu muda dan pinggirannya jernih.
Pada tahap akhir akan
Telur berkumpul dalam satu
kumpulan berkisar ratusan. Masa inkubasi 9-12 hari dalam kisaran suhu 250 -300 C. 3. Ekologi Ulat Sutera Suhu optimal untuk pertumbuhan ulat sutera dalam semua instar adalah sekitar 20-300C dan bahkan dapat bertahan pada suhu sekitar 33-350C. Secara alami, suhu badan ulat sutera dipengaruhi oleh suhu tempat pemeliharaannya. Suhu badan ulat akan meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan atau kelembaban. Pertumbuhan ulat sutera sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim suhu, kelembaban,
kualitas
udara,
aliran
udara
dan
pencahayaan
di
lokasi
pemeliharaannya. Oleh karena itu, penyesuaian iklim mikro di tempat pemeliharaannya sangat penting sehingga pertumbuhan masing-masing instar ulat sutera berlangsung
optimal, sehingga dapat memproduksi kokon sebanyak
mungkin. Tempat budidaya ulat sutera yang ideal berkisar pada ketinggian 400 - 800 m di atas permukaan laut, kelembaban udara sekitar 70-90 % dengan curah hujan tinggi berkisar 3000-4000 mm per tahun. Curah hujan seperti ini berhubungan dengan kelangsungan hidup dan produktivitas tanaman murbei.
Penyediaan Pakan Ulat Sutera Pakan ulat sutera yang yang biasa dibudidayakan adalah murbe (Morus spp.). tanaman murbei ini mempunyai banyak jenis, namun yang dikembangkan di Indonesi adalah Morus kanva II, Morus alba, Morus chatayana, Morus multicaulis, Morus BNK 3 dan Morus khunpai. 1. Persyaratan Tempat Tumbuh Tanaman murbei paling baik tumbuh pada tanah yang bertekstur baik, subur, tersedia air yang cukup, mempunyai drainase yang baik, tidak terlalu
VII-16
miring dengan curah hujan tope A atau B berdasarkan iklim Schmidt dan Ferguson. 2. Pengolahan Tanah Untuk mendapatkan pertumbuhan murbei yang maksimal maka tanah harus diolah untuk menggerburkan tanahnya. Tujuan utama dari pengelolaan tanah adalah agar akar tanaman murbei yang baru tumbuh mudah menembus lapisan tanah untuk mendukung pertumbuhan selanjutnya. Pengelolaan tanah dapat dilakukan dengan dua cara: a. Membuat lubang tanam dan tanah hanya diolah pada bagian yang akan ditanaman saja, kedalaman lubang anatar 30-40 cm dengan lebar 30 cm. b. Tanpa pembuatan lubang tanam dan membuat guludan-guludan sesuai jarak baris tanaman. 3. Pengadaan Stek Tanaman Setelah tanah tempat budidaya telah disiapkan, maka kegiatan selanjutnya adalah pengadaan stek tanaman. Beberapa hal-hal penting yang harus diperhatikan pada kegiatan pengadaan stek tanaman ini antara lain: a. Pemilihan stek sebaiknya diambil dari tanaman murbei jenis unggul yang berumur di atas satu tahun. b. Pengangkutan sebaiknya diangkut pada pagi atau sore agar tidak kering dalam penrjalanan. c. Penyimpanan stek sebaiknya di tempat yang dingin atau lembab serta tidak kena sinar matahari langsung. d. Stek dipotong sepanjang sekitar 20 cm (± 4 -5 calon tunas) dengan alat yang tajam agar batang stek tidak pecah. 4. Penanaman Ada beberapa hal-hal penting yang harus diperhatikan pada penanaman murbei antara lain: a. Waktu tanam yang tepat pada awal atau pertengahanmusim hujan. b. Jarak tanam monokultur 0,4 m x 1,2 m. c. Jarak tanam untuk tumpang sari 1 m x 0,7 m atau 2 m x 0,6 m (tergantung jenis tumpangsarinya).
VII-17
d. Penanaman dilakukan dengan membenangkan dua mata tunas ke dalam tanah dan 2-3 mata tunas di atas tanah. 5. Pemeliharaan Tanaman Kegetiatan
pemeliharaan
tanaman
meliputi
kegiatan
penyiangan,
pendangiran dan pemupukan. a. Penyiangan adalah suatu kegiatan membuang tanaman pengganggu dan betujuan untuk mencegah persaingan dengan tanaman dalam pengambilan unsure hara. b. Pendangiran adalah kegiatan menggemburkan tanah disekitar tanaman murbei. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan Sembilan bulan sekali. c. Pemupukan adalah kegiatan pemberian unsur hara pada tanaman baik organic maupun anorganik. Kegiatan ini sangat penting bagi tanaman dalam rangka meningkatkan produksi daun. Pemberian pupuk dilakukan pada akhir musim penghujan dan waktu antara musim hujan dan musim kemarau. Pupuk yang baik diberikan adalah NPK dengan perbandingan 200 kg N, 100 kg P dan 130 kg K per hektar per tahun. Sedangkan pemupukan dengan pupuk organic dilakukan dengan pemberian pupuk kandang setahun sekali sebanyak ± 10-15 ton/ha. 6. Pengendalian Hama dan penyakit Hama yang sering mengganggu tanaman murbei adalah hama pucuk, kutu daun, penggerek batang, dan kutu batang. Sedangkan penyakit yang sering menyerang tanaman murbei adalah bintik daun, bercak daun, penyakit karat dan bakteri. Hama dan penyakit
yang menyerang tanaman murbei dapat
dibeberantas dengan beberapa cara yaitu dengan pemberian bahan kimia beracun berupa insektisida dan fungisida yang mempunyai residual efek yang sangat pendek. Pengendalian hama dan penyakit ini dapat juga dilakukan dengan cara mekanis yaitu pemangkasan cabang yang terkena serangan. 7. Pemangkasan Tanaman Pemangkasan tanaman murbei dilakukan pertama kali pada umur tanaman 9-12 bulan setelah tanam, pemangkasan selanjutnya dilakukan dilakukan setelah pemanenan daun. Cara pemangkasan dilakukan dengan
VII-18
memotong cabang dengan kemiringan 45o. Jika tanaman terserang hama/penyakit maka sebaiknya dilakukan pemangkasan pada tanaman murbei. Pemangkasan terakhir dilakukan pada saat saat pemanenan untuk produksi daun Ada tiga cara pemagkasan yaitu: a. Pemangkasan Rendah Pemangkasan rendah dilakukan dengan cara memangkas tanaman murbei setinggi 10-30 cm dari permukaan tanah. Jenis pemangkasan ini menghasilkan jumlah daun yang cukup banyak, daun tidak cepat mengeras (tua), pemungutan dan pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan dengan lebih mudah. b. Pemangkasan Sedang Pemangkasan sedang dilakukan dengan cara memangkas tanaman murbei setinggi 50-100 cm dari permukaan tanah. Jenis pemangkasan seperti ini memungkinkan untuk perakaran yang lebih dalam sehingga tanaman akan lebih tahan dalam menghadapi musim kemarau. c. Pemangkasan tinggi Pemangkasan tinggi dilakukan dengan cara memangkas tanaman murbei pada ketinggian lebih dari 100 cm dari permukaan tanah. Jenis pemangkasn ini dilakukan pada tanaman yang sering mengalami luapan air/terkena banjir. 8. Pemanenan Daun Pemanenan daun sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari untuk mencegah kelayuan daun. Setelah daun dipanen sebaiknya disimpan pada ruang khusus agar kebersihan dan kegaran daun terjaga.
Pemeliharaan Ulat Sutera Jenis ulat sutera yang paling banyak dipelihara untuk memproduksi kokon sutera alam adalah adalah Bombyx mori. Ketinggian tempat yang ideal untuk pemeliharaan ulat sutera dan produksi kokon yang optimal adalah berkisar antara 400-650 darii permukaan laut. Suhu yang diperlukan berkisar antara 22-28 oC tergantung pada perkembangan pertumbuhan ulat sutera(instar 1-5). Kelembaban
VII-19
optimal 75-85%. Apabila kelembaban yang terlalu tinggi akan meningkatkan pertumbuhan jamur yang akan mengganggu kehidupan ulat sutera. 1. Persiapan pemeliharaan Dalam budidaya ulat sutera, persyaratan bangunan harus mencukupi untuk menampung jumlah boks ulat sutera yang harus dipelihara, dan harus disesuaikan pula dengan luas tanaman murbei. Tempat di sekitar bangunan o
harus bersih, suhu optimal 26-28
C, kelembaban optimal 75-85% serta
cahaya dan sirkulasi udara yang baik. 2. Pemeliharaan Ulat Kecil Pemeliharaan ulat kecil dilakukan di unit pemeliharaan ulat kecil. Ruangan dibagi menjadi empat bagian yaitu ruang alat, ruang daun, ruang kerja dan ruang pemeliharaan ulat. Tempat pemeliharaan ulat kecil dipisahkan dengan tempat pemeliharaan ulat besar. a. Desinfeksi Desinfeksi
dilakukan
untuk
mensterilkan
ruengan
tempat
pemeliharaan ulat kecil. Desinfeksi ini dilakukan sebelum kegiatan pemaliharaan ulat kecil dengan menggunakan larutan 5 gram kaporit dalam satu liter air atau formalin 2-3%. b. Pemberian pakan pada ulat kecil Pemberian pakan pada ulat kecil dilakukan dengan memberikan daun murbei yang masih muda dengan umur pangasan 1 bulan. Untuk ulat instar 1 diberikan daun murbei yang diambil dari pucuk sampai lembaran daun keempat dari pucuk, instar 2 dan instar 3 diambil sampai lembaran daun kesepuluh dari pucuk. Pemberian pakan ulat dilakukan tiga kali sehari. Daun yang yang diberikan adalah daun murbei yang masih segar yang telah dirajang. c. Perlakuan ulat tidur Tanda-tanda ulat yang tidur adalah ulat tidak bergerak, tidak mau makan dan kepala tegak ke atas. Pada waktu ulat tidur agar ditaburi dengan kapur, kemudian tempat ulat diperluas, jendela unit pemeliharaan ulat dibuka.
VII-20
d. Pembersihan dan Pencegahan Hama Pembersihan tempat pemeliharaan ulat dilakukan jika kotoran ulat sudah banyak. Untuk mencegah serangan hama (semut, cecak, kadal dan tikus) pada ulat maka sebaiknya tempat pemeliharaan ulat tidak terlalu dekat dengan dinding dan kaki tempat pemeliharaan ulat diberi kaleng yang berisi air atau oli bekas. e. Waktu pemeliharaan ulat Waktu yang dibutuhkan dalam pemeliharaan ulat kecil berkisar 1112 hari. Pada daerah yang mempunyai suhu yang rendah umur ulat lebih lama. f. Penyaluran ulat Penyaluran ulat dilakukan pada saat ulat tidur pada instar 3. Penyaluran dilakukan pada waktu pagi, sore atau malam hari. Setelah ulat bangun tidur (ganti kulit) desinfeksi tubuh ulat menggunakan 5 gram kaporit dan 95 gram kapur. 3. Pemeliharaan Ulat Besar Pemeliharaan ulat besar dilaksanakan di unit pemeliharaan ulat besar. Ruangang pemeliharaan ulat besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruang daun, ruang alat dan ruang pemeliharaan. a. Desinfeksi Desinfeksi dilakukan dengan mencampur kaporit 5 gram setiap 1 liter air, kemudian diaduk merata. Selanjutnya disemprotkan secara merata keseluruh ruangan dengan dosis 1 liter/ m2. Bila lantai tempat pemeliharaan ulat besar agak lembab maka perlu ditaburi dengan kapur. b. Luas tempat ulat dan peralatan Luas tempat pemeliharaan ulat besar yang diperlukan untuk satu boks ulat, maksimal sekitar 16-18 m2. Pemeliharaan ulat besar dapat dilakukan di lantai tapi sebaiknya dilakukan dengan menggunakan rak pemeliharaan ulat dengan 2 atau 3 tingkat.
VII-21
c. Pemberian Pakan ulat besar Pemberian pakan ulat besar dilakukan 3 kali sehari dengan daun segar. Daun murbei untuk ulat besar adalah umur pangkasan 2-2,5 bulan dan disertai dengan cabangnya. d. Pembersihan dan Pencegahan Hama Pembersihan tempat pemeliharaan ulat dilakukan jika kotoran ulat sudah banyak. Untuk mencegah serangan hama (semut, cecak, kadal dan tikus) pada ulat maka sebaiknya tempat pemeliharaan ulat tidak terlalu dekat dengan dinding dan kaki tempat pemeliharaan ulat diberi kaleng yang berisi air atau oli bekas. e. Perlakuan dan waktu pemeliharaan ulat Pada saat ulat besar tidur, dilakukan penaburan kapur pada ulat besar tersebut. Waktu yang diperlukan untuk pemeliharaan ulat besar adalah sekitar 12-14 hari. Setelah ulat berganti kulit, ulat diinfeksi menggunakan campuran 10 gram kaporit dengan 90 gram kapur. 4. Pengokonan ulat a. Fase pengokonan ulat Fase mengokon adalah fase dimana ulat menjadi pupa sebelum berubah bentuk menjadi ngengat. Selama fase ini, ulat akan mengeluarkan serat sutera berbentuk kokon, suatu bahan yang berfungsi untuk membungkus dirinya agar terhindar dari gangguan musuh.
Kokon
sebenarnya adalah air liur yang keluar dari mulut ulat sutera yang setelah kering akan menjadi serat. Bila pengokonan dilakukan sebelum, atau lewat matang maka daya pintal (yaitu mudahnya filament kokon terurai pada saat pemintalan) menjadi kurang dan filament yang didapat akan berkurang juga. Selain itu ulat sutera yang lewat matang, cenderung membuat kokon yang rangkap, kokon yang dibuat oleh dua ulat. b. Tanda-tanda ulat yang akan mengokon Larva membuat kokon pada umumnya 2 hari.
Ulat mulai
mengokon pada hari ke 6 atau ke 7 (instar V) dengan tanda-tanda 1)
Nafsu makan berkurang sampai berhenti makan sama sekali
VII-22
2)
Mengeluarkan serat sutera dari mulutnya
3)
Tubuh ulat menjadi kekuning-kuningan dan tembus cahaya
4)
Ulat cenderung menepi dari sarang dan mencari tempat yang tinggi.
5)
Kotorannya menjadi lembek. Ulat sutera mula-mula berputar-putar mencari tempat mengokon
yang baik, kemudian menetap di tempat yang telah dipilihnya pada waktu mengokon di tempat pengokonan. Beberapa waktu kemudian ulat akan membuat serat penyanggah kokon tipis-tipis. Selanjutnya ulat akan menurunkan
bagian
abdomennya
untuk
membuang
kotoran
dan
membuang air untuk terakhir kalinya. Sesudah itu akan memasuki tingkat pengokonan utama.
Pada saat ulat mengokon gerakan berputar-putar
biasanya berlanjut tanpa berhenti, akan tetapi bila ulat sutera terganggu karena perubahan lingkungan yang tiba-tiba, akan berhenti berputar-putar, mengakibatkan daya pintal kokon menjadi rendah. Tubuh ulat sutera terdapat sepasang kelenjar yang bentuknya seperti pipa yang melingkar-lingkar disebut kelenjar sutera. Bagian belakang kelenjar menghasilkan protein yang disebuat fibroin, sedangkan bagian tengah menghasilkan protein pasta yang disebut serisin, berfungsi sebagai pembungkus yang merupakan bahan perekat diantara lembaranlembaran serat-serat. Kedua bagian kelenjar tersebut akan bergabung menjadi satu dan keluar dari tubuh ulat sutera melalui bagian bawah mulut yang disebut spiniret . c. Cara mengokonkan ulat sutera Cara mengokonkan ulat sutera adalah sebagai berikut: 1) Ulat sutera yang terlalu cepat mengokon diambil dan langsung diletakkan pada tempat pengokonan yang sudah disiapkan sedangkan sisanya dikokonkan secara serentak. 2) Apabila terdapat ulat yang sakit maka pengokonan sebaiknya dilakukan secara satu per satu. 3) Pengokonan dilakukan dengan menggunakan alat pengokonan putar, bambu atau plastik.
VII-23
4) Setelah ulat dimasukkan ke dalam alat pengokonan, alat pengokonan kemudian digantung. d. Perlakuan Ulat Sutera yang baru mengokon Ulat sutera yang baru mengokon sebaiknya perlu diperlakukan sebagai berikut: 1) Kotoran ulat ditampung dengan menggunakan kertas Koran atau jerami, kemudian dibakar di tempat pembuangan atau di tanam ke dalam tanah. 2) Sirkulasi udara dalam ruangan pengokonan harus baik 3) Ruangan tempat pengokonan jangan terlalu gelap. 5. Pemanenan Kokon Setelah kokon berumur 5 - 6 hari setelah ulat sutera mengokon, biasanya kokon sudah dapat dipanen. Waktu pemanenan harus tepat, tidak boleh terlalu cepat atau terlambat. Bila waktu pemanenan terlalu awal, pupa masih muda sehingga mudah pecah dan mengakibatkan pupa mati dan kokon menjadi kotor. Sebaliknya, jika pemanenan terlambat pupa yang ada dalam kokon akan berubah menjadi kupu-kupu dan keluar merusak kulit kokon. Untuk mengetahui bahwa kokon siap panen adalah kokon berbunyi apabila digoyangkan dan bila dikupas pupa telah berwarna coklat. Cara pemanenan dilakukan dengan memungut kokon-kokon dari tempat pengokonan dengan hati-hati dan dikumpulkan pada wadah sambil dibersihkan dan kotoran yang menempel.
Pada saat panen, sekaligus
dilakukan seleksi untuk memisahkan antara kokon yang baik, kembar, cacat (kotor, kempes, busuk,), kemudian dikumpulkan dalam wadah yang berbedabeda.
Seleksi kokon ini sangat penting sebab tingkat mutu kokon akan
menentukan mutu benang sutera yang akan dihasilkan. 6. Pengeringan Kokon Kokon yang akan dipintal di kemudian hari harus diawetkan terlebih dahulu dengan cara dikeringkan. Pengeringan kokon dimaksudkan untuk mematikan pupa serta mengurangi kandungan airnya, agar kokon dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu (lebih lama). Pengeringan kokon dapat dilakukan dengan cara dijemur atau dioven. Apabila kokon tersebut tidak
VII-24
dikeringkan harus segera dipintal agar ngengat tidak keluar. Lama penyimpanan untuk kokon yang dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari biasanya sekitar 7 hari sedangkan untuk kokon yang dikeringkan dengan oven dapat disimpan sampai satu bulan. Tujuan dari pengeringan adalah sebagai berikut : a) Mematikan pupa yang ada di dalam kokon supaya tidak menjadi kupukupu dan merusak kulit kokon pada waktu keluar dari kokon. b) Mengeringkan kokon sehingga beratnya berkurang menjadi ± 40 % dari berat kokon basah (fresh cocoon) dan tidak mudah rusak dalam penyimpanan sebelum dipintal. Tanda-tanda kokon yang telah mencapai kering standar yaitu : berat kokon lebih ringan, apabila kokon digoyang bunyinya gemerincing atau suaranya nyaring, apabila pupa dikeluarkan dan ditekan, pupa akan hancur. Penentuan tingkat kering standar dicapai apabila presentase kering sekitar 38 40 %. Cara-cara pengeringan kokon dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu sebagai berikut : a) Penjemuran dengan sinar matahari b) Dengan uap air c) Dengan suhu panas Kondisi pengeringan dan mutu kokon dipengaruhi beberapa faktor yaitu : a) Suhu pengeringan Suhu pengeringan mempunyai pengaruh besar pada lapisan sutera. Jika suhu
melampaui batas tertinggi maka serisin akan ruasak dalam proses
reeling, efesiensi daya reeling (reebility) menurun. b) Suhu akhir pengeringan Suhu pengeringan akhir yang tinggi akan meningkatkan efisiensi pengeringan, namun daya larut serisin di lapisan sutera akan menurun, jika derajat pengeringan melampaui batas.
VII-25
c) Pengaruh kelembaban udara Mutu kokon sedikit dipengaruhi oleh kelembaban udara di dalam mesin pengering. Ventilasi yang tidak memadai akan menyebakan suhu dan kelembaban menjadi tinggi dan dapat merusak daya urai kokon d) Pengaruh kecepatan angin Kecepatan angin mempunyai pengaruh pada mutu kokon. Jika tekanan angin merata dibagian mesin pengering maka akan menyebabkan pengeringan yang tidak merata. e) Derajat pengeringan Derajat pengeringan dinyatakan oleh ratio berat kokon segar terhadap kokon kering. f) Waktu pengeringan Waktu pengeringan bervariasi, tergantung dari mutu kokon, ketebalan tumpukan kokon yang dikeringkan dan kondisi udara di ruangan pengeringan. g) Ketebalan lapisan pengeringan Ketebalan lapisan pengeringan kokon pada sasag pengeringan dengan oven berkisar antara 2 - 3 butir kokon. 7.
Presentase Kandungan Air Kokon Presentase kandungan air bervariasi menurut variates ulat sutera, musim pemeliharaan, jantan atau betina,. Kondisi persentase/kandungan air pada masing-masing kokon ditunjukkan pada table . Persentase kandungan air terdapat pada pupa sehingga pada saat pengeringan kokon segar sangat dipengaruhi oleh kadar air di tubuh pupa. Jika kokon segar dimasukkan ke dalam mesin pengering, maka mula-mula air akan menguap dari lapisan sutera kemudian panas dipindahkan ke tubuh pupa melalui lapisan sutera. Setelah pupa mati penguapan air dari pupa dipercepat.
Tabel 7.1. Persen kandungan air kokon Bagian Lapisan sutera Pupa Kokon seluruhnya
Kokon Segar (%) 11-12 75-79 61-64
Kokon Kering (%) 6-7 7-13 6-12
VII-26
8. Mutu Kokon Mutu kokon hasil pemeliharaan ulat sutera ditentukan oleh sifat keturunan jenis ulat sutera, teknik pemeliharaan dan kondisi agroklimat tempat pemeliharaan ulat sutera. Perbedaan kondisi tersebut menghasilkan kokon yang mutunya berbeda. Kriteria kokon bermutu baik adalah berwarna putih bersih, bentuk bulat telur (normal), permukaan kulit kokon tidak cacat, bagian dalam pupa tidak rusak atau hancur (bila dikocok akan berbunyi), berat kokon normal 1-2 gr dan persentase kulit kokon 14-26 %. Kokon akan dinilai sebagai kokon di bawah standar pada waktu pemeriksaan jika kokon yang bermutu rendah tercampur dalam sekumpulan kokon pada waktu pengiriman. Untuk mencegah kerugian ini, kokon harus diseleksi dengan sangat seksama. Kokon berkualitas rendah yang yang harus disingkirkan termasuk kokon ganda, kokon berlubang, kokon yang kotor di luar, atau di dalam, kokon yang ujungnya tipis, kokon berkulit tipis, kokon berbekas. Kokon merupakan hasil terakhir pada pemelihara ulat sutera dan kualitasnya ditentukan oleh sifat keturunan dari jenis ulat dan keadaan luar seperti keadaan selama dalam pemeliharaan, pengokonan dan lain-lain-lain. Syarat –syarat kokon yang berkualitas baik adalah sebagai berikut : a) Kokon yang dalam keadaan normal dan sehat (tidak cacat) b) Kokon dalam keadaan bersih dan berwarna putih c) Bagian dalam kokon (pupanya) tidak rusak dan hancur d) Bagian kulit kokon (lapisan serat-serat sutera) keras jika ditekan e) Kokon memenuhi syarat pemintalan sehingga pada saat dipintal tidak mengalami kesulitan. Dalam menentukan kelas kokon dilakukan pengujian secara visual (fisik) dan cara laboratorium. Parameter yang diuji untuk menentukan klasifikasi mutu kokon secara visual (fisik) meliputi presentase kokon cacat, berat kokon, dan presentase kulit kokon. Penentuan kelas mutu kokon secara visual/fisik dapat dilihat pada tabel: Pengujian secara visual ini lebih memudahkan petani dalam hal transaksi kokon karena pelaksanaannya lebih
VII-27
mudah dan peralatan yang digunakan sederhana dan cepat diketahui hasilnya. Sedangkan uji laboratorium dilakukan apabila diperlukan kualitas kokon secara rinci termasuk mutu serat sutera. Pengujian ini memerlukan peralatan dan keahlian khusus serta memerlukan waktu yang relative lebih lama. Tabel 7.2. Penentuan kelas mutu kokon secara visual/fisik No.
Kokon Cacat
Berat Kokon
Kulit Kokon
Kelas
1
≤1
≥2
≥ 25
A
2
1,1 – 4
1,5-1,9
20 – 24,9
B
3
4,1 – 8
1 – 1,4
15 – 19,9
C
4
≥ 8,1
≤ 0,9
≥ 14,9
D
7.2.3. Kutu Lak Lak merupakan suatu jenis damar alam yang bersifat resin dihasilkan oleh sekresi insekta yang disebut L. lacca Kerr, yang mana sekresi ini digunakan oleh serangga untuk membuat rumah dan melindungi dari serangan musuhnya Lak atau laksa (dalam bahasa India) berasal dari bahasa Sangsekerta yang artinya seratus ribu.
Hal ini diartikan bahwa bahan tersebut dihasilkan oleh
ratusan ribu kutu lak yang membentuk koloni yang mempunyai ribuan anggota yang hidup disuatu cabang pohon tertentu.
Dalam lak cabang yang diolah
menjadi lak butiran terdapat 17 000 sampai 19 000 kutu lak. Kutu lak (L. lacca Kerr) pertama kali didatangkan dari India pada tahun 1963 oleh Dr. P. Van der Groot, Direktur Institut voor Plant Ziekten. Percobaan dilakukan di daerah hutan Bogor, Kedungjati, Wilangan, Pare dan Besuki. Sebagai percobaan telah ditularkan pada tanaman kesambi (S. oleosa) dan berhasil.
Percobaan budidaya kutu lak oleh Perum Perhutani pertama kali
dilakukan di SKPH Banyukerto, KPH Madiun (wilayah Sampung). Selain itu percobaan juga dilakukan diwilyah kerja Dinas Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara umum di Indonesia, lak digunakan sebagai bahan pelitur untuk barang meubel. Di luar negeri, lak digunakan sebagai bahan pelapis makanan (coklat dan permen) serta untuk industri farmasi.
Disamping itu lak banyak
VII-28
digunakan sebagai bahan isolasi listrik, bahan piringan hitam, bahan tinta cetak, bahan perekat, bahan campuran dalam industri semir sepatu, dan bahan penyamak kulit. a
b
c
e
d
Gambar 7.2. Beberapa produk hasil olahan lak : a. lak putih, b. Mica, c. kayu yang telah dipernis, d. keripik lak, e. permen yang menggunakan lak sebagai pelapis Budidaya kutu lak terdiri dari enam tahapan kegiatan, yaitu : 1). Persiapan tularan Persiapan tularan meliputi kegiatan penentuan lokasi, babat tumbuhan bawah, wiwilan pada calon-calon pohon inang untuk membuang ranting-ranting yang kering dan kurang baik. a. Persiapan awal, yaitu persiapan yang dilakukan pada lokasi yang belum pernah ditulari. - Tujuan
:
menyiapkan lokasi tularan agar diperoleh ranting yang baik dan cocok untuk ditulari kutu lak.
- Waktu
: 1.5 tahun sebelum pelaksanaan tularan
- Pelaksanaan
: dengan pemangkasan seluruh ranting pohon inang yang direncanakan untuk ditulari
b. Persiapan akhir (menjelang tularan). Persiapan ini dilakukan dengan kegiatan : - Babat tumbuhan bawah pada lokasi yang direncanakan untuk tularan
VII-29
- Rempelan/wiwilan untuk membuang ranting-ranting kering dan tidak baik agar tidak dirambati kutu lak, sehingga kutu lak tidak terlalu jauh dalam mencari ranting yang dikehendakinya. - Membuat sekat bakar, untuk tularan pada musim kemarau. 2) Penularan bibit lak Tularan yaitu menempelkan lak bibit yang telah diseleksi, dimasukkan dalam kantong dan dalam kroso kemudian diletakkan pada ranting-ranting sasaran tularan dengan cara mengkaitkan kroso berisi bibit lak pada rantingranting tertentu yang memenuhi syarat. Ranting tanaman kesambi dapat ditulari lak bibit apabila telah berumur 1.5 sampai 2 tahun. Pada umur ranting muda tersebut sangat cocok untuk kehidupan baru kutu lak.
Jumlah lak bibit yang ditularkan banyak
berpengaruh terhadap kualitas produksi lak. Penularan bibit yang terlampau banyak ternyata dapat mengakibatkan kualitas tularan menjadi sangat jelek, lapisan lak menjadi tipis–tipis. Selain itu pada musim kemarau tanaman inangnya menjadi menderita karena terlalu banyak lak yang menghisap cairan yang ada di ranting dan akhirnya kering sehingga kutu lak banyak yang ikut mati. Tanaman inang mampu menghidupi kutu lak walaupun di musim kemarau bila jumlah lak bibit yang ditularkan optimal tergantung besar kecilnya pohon kesambi. Lak yang dihasilkan menjadi tebal-tebal sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi lak. Kutu lak selama hidupnya menghisap cairan pada jaringan kulit dan jaringan kayu dari tanaman tertentu sebagai inangnya. Setelah periode swarming larva kutu lak akan menyebar, alat mulutnya menembus kulit batang hinggga mencapai jaringan pholem dan jaringan xylem dan mulai menghisap cairan pohon inang. 2.1. Metode tularan terdiri dari : a. Tularan Pas/Tetap Yaitu sistem tularan dimana jumlah bibit yang ditularkan pada semua pohon sudah tepat dengan kemampuan pohon, sehingga diperlukan perhitungan yang sangat cermat dalam menentukan jumlah bibit yang
VII-30
ditularkan pada semua pohon. Dengan perhitungan tiap hektar memerlukan bibit 250 kg yang terdiri dari 2500 kroso. Tularan pas cocok dilaksanakan pada keadaan : - Jumlah bibit yang tersedia sangat banyak - Jumlah tenaga tularan terbatas - Pohon inang tersedia dalam jumlah yang cukup Ketentuan tularan pas : - Seleksi bibit ketat - Jumlah bibit yang ditularkan pada setiap pohon inang harus benar-benar sesuai dengan kemampuan pohon - Lama tularan kurang lebih 20 hari atau sampai kutu lak di dalam lak cabang habis tertular Keuntungan tularan pas : - Tidak ada kutu terbuang karena jatuh saat pindahan - Tidak ada biaya pindahan - Tidak akan terjadi over injektion Kerugian Tularan Pas : - Apabila seleksi bibit lemah dapat terjadi salah hitungan jumlah bibit yang ditular, sehingga volume penempelan kutu lak kurang, akibatnya sekresi yang terbentuk tidak merata - Memerlukan tenaga kerja terlatih dan perhitungan cermat b. Tularan Pindahan Tularan pindahan dilakukan apabila keadaan bibit terbatas, tenaga kerja tularan tersedia cukup, tumbuhan inang dalam jumlah cukup. Pemindahan dilakukan apabila penempelan kutu pada setiap ranting sudah cukup merata. Tularan dilaksanakan dengan memindahkan lak bibit dari satu tumbuhan inang ke tumbuhan inang lainnya.
Pemindahan dilakukan
sampai dua kali, berarti satu kali ditularkan 2 kali dipindahkan sampai 3 pohon dengan imbangan waktu : tularan : pindahan pertama : pindahan kedua = 5 : 3 : 7 hari. Dan pada tularan pindahan harus selalu dikontrol keadaan penempelan kutu pada ranting.
Dengan tularan pindah,
VII-31
diharapkan tujuan penularan merata dapat dicapai dalam waktu sesingkatsingkatnya dengan memerlukan tenaga yang berpengalaman. Tularan pindahan cocok dilaksanakan pada keadaan : - Bibit yang tersedia sedikit/terbatas - Tenaga kerja tularan tersedia dalam jumlah yang cukup - Pohon inang yang tersedia dalam jumlah yang cukup. Ketentuan tularan pindahan : - Pemindahan bibit baru dapat dilaksanakan apabila volume penempelan kutu pada setiap ranting sudah cukup merata (± 0,5 panjang cabang) - Volume penempelan kutu pada ranting, maksimal : Pada musim penghujan = 2/3 panjang ranting tertular Pada musim kemarau
= 1/3 panjang ranting tertular
Keuntungan tularan pindahan : - Penyebaran bibit lebih merata - Pemanfaatan bibit lebih optimum Kerugian tularan pindahan : - Banyak kutu lak yang hilang karena jatuh dari lak cabang bibit pada waktu pemindahan bibit - Memerlukan pemantauan yang relatif lebih ketat terhadap penempelan kutu - Memerlukan biaya pemindahan 2.2. Cara Penularan : Setelah bibit lak dimasukkan ke dalam kantong dan kroso, bibit tersebut dibawa ke lokasi tularan, bibit diikatkan pada ranting-ranting pohon inang dengan arah sejajar arah ranting dan diupayakan sedekat mungkin dengan ranting muda sasaran penularan agar kutu lak dapat dengan mudah mencapai ranting-ranting yang disukai. Banyaknya kroso (bibit lak yang dibalut) tiap pohon tidak sama tergantung banyaknya jumlah cabang yang dimiliki pohon itu. Pohon inang dibagi kedalam klas pohon (KP) yaitu berdasarkan jumlah bibit yang dapat ditampung tiap pohon :
Klas Pohon I : terdiri dari 1 sampai 10 kroso.
VII-32
Klas Pohon II : terdiri dari 11 sampai 20 kroso.
Klas Pohon III
: terdiri dari 21 sampai 30 kroso.
Klas Pohon IV
: terdiri lebih dari 31 kroso.
Baik tularan pas maupun tularan pindahan setiap hari harus diperiksa untuk mengetahui keadaan penyebaran kutu lak pada setiap pohon yang ditulari. Pada waktu swarming, larva akan keluar dan mencari tempat pada ranting untuk kemudian memasukkan mulutnya pada ranting dan menghisap zat makanan berupa getah (Perum Perhutani Unit II Jawa Timur 2004). Swarming terjadi pada temperatur 24 sampai 280 C antara jam 8.00 sampai 11.00 pagi, sore hari berkisar jam 16.00 dan lama periode ini 2 minggu. Siklus hidup kutu lak (L. lacca Kerr) 5 sampai 6 bulan dan tumbuh lebih baik pada tempat yang dingin atau lembab dibanding pada tempat yang kering. Setelah umur 5 sampai 6 bulan tersebut kutu lak sudah tidak memproduksi lak cabang lagi yang dicirikan warna lak cabang kuning jernih, benang–benang lilin sudah banyak berkurang dan terdapatnya sel-sel anakan.
a
c
b
e
f
g
d
h
Gambar 7.3. Proses penularan kutu lak : a. Seleksi bibit, b-c. Memasukkan bibit lak dalam kantong, d. Bibit lak di bawa ke lapangan, e. Persiapan penularan lak, f-g. Peletakan bibit lak pada tanaman kesambi, h. Bibit lak yang telah diletakkan di pohon.
VII-33
Gambar 7.4.
Kutu lak yang swarming dan mulai mencari tempat pada ranting (beberapa hari setelah peletakan bibit)
Gambar 7. 5. Kutu lak setelah 1 bulan penularan.
Gambar 7.6. Kutu lak yang menulari ranting tanaman kesambi. 3) Pemeliharaan tularan Pemeliharaan tularan adalah kegiatan pemeliharaan tularan yang meliputi pengasapan (untuk mengatasi serangan parasit dan predator, terutama pada musim kemarau), pemberantasan hama dan penyakit, babat tumbuhan bawah serta wiwilan.
VII-34
Kegiatan pemeliharaan tularan terdiri dari : a. Pemeliharaan Rutin, meliputi : - Babat tumbuhan bawah/tumbuhan liar yang mengganggu kultur terutama tumbuhan liar yang merambat. - Wiwilan pada ranting-ranting yang tidak ada tularannya untuk memberi sinar matahari yang cukup pada ranting-ranting yang tertular, untuk menghindari serangan jamur. - Membuat ilaran untuk sekat bakar, pada musim kemarau. b. Pemeliharaan Preventif - Mengadakan pengasapan terutama pada musim penghujan untuk menaikkan temperatur dan mengusir parasit dari lokasi tularan. Pelaksanaan dilakukan pada pagi hari sebelum jam 07.00 dan pada sore hari setelah jam 16.00. - Penjagaan tularan dari bahaya kebakaran hutan. c. Pemeliharaan Represif -
Memotong ranting-ranting tularan yang terserang hama dan penyakit.
-
Pemberantasan parasit dan predator dengan pengasapan.
-
Segera mengambil tindakan apabila terjadi bahaya kebakaran hutan, pencurian lak dan gangguan lainnya.
4) Pungutan bekas bibit. Pungutan yaitu pengambilan kembali lak bibit yang ditularkan, setelah 21 hari atau setelah seluruh kutu yang ada didalam lak bibit keluar dan menulari pohon inang. Waktu pelaksanaan pungutan adalah setelah 21 hari bibit lak ditularkan. Pengambilan pungutan bekas bibit harus dilaksanakan tepat waktu.
Bila
terlalu lama akan mengakibatkan kantong rusak dan parsit akan semakin banyak keluar. Pungutan bekas bibit harus dilakukan dengan cermat, jangan sampai ada bibit yang tertinggal pada areal tularan. Pengambilan dimulai dari cabang paling atas terus turun ke bawah. Hasil pengutan diangkut ke gudang untuk dikeluarkan lak cabangnya dari kroso dan kantongan yang membungkusnya pada saat ditular, kemudian siap untuk diangkut ke pabrik.
VII-35
Gambar 7.7. Pungutan bekas bibit lak dikeluarkan dari kantong untuk dikirim ke pabrik. 5) Pengunduhan/pemanenan Unduhan yaitu kegiatan pemanenan lak cabang dengan pemotongan ranting/cabang pada pohon-pohon yang ditulari dan lak cabang yang dihasilkan telah cukup masak (berumur sekitar 155 hari) dan kutu didalamnya sudah siap keluar (swarming). Gunanya untuk mempertahankan keutuhan jumlah kutu di dalam selnya. Apabila terlambat dilakukan unduhan, kutu akan banyak yang sudah keluar sebelum diunduh dan menjadi tularan secara alami (liar), sehingga kandungan bibit di dalam lak cabang yang akan digunakan untuk bibit menjadi berkurang.
Namun, apabila pengunduhan
dilakukan lebih awal maka bibit yang berada di dalam sel pada cabang dikhawatirkan akan mati di dalam sel karena masih memerlukan makanan, sedangkan apabila diunduh kutu di dalam sel tidak mendapatkan makanannya lagi. Keluarnya kutu lak (swarming) dapat bervariasi pada setiap tularan, hal tersebut dipengaruhi oleh kelembaban udara dan temperatur, sehingga ketuaan lak tidak dapat hanya dilihat dari umurnya yang 155 hari saja, tetapi diperlukan pengamatan terhadap tanda-tanda fisik dari tularan tersebut. Tanda-tanda utama lak tua (siap unduh) : - Embun madu yang menetes dari tularan sudah berhenti - Benang lilin berwarna putih sudah berkurang - Warna stok lak kecoklatan - Permukaan sel/tonjolan-tonjolan induk sudah merata. - Bila perlu diadakan pengamatan isi sel dengan membuka sel tersebut.
VII-36
Gambar 7.8. Lak siap unduh Tiap unduhan yang dapat dijadikan lak bibit ± 50 sampai 60% dari berat lak cabang hasil unduhan semuanya. Alat yang digunakan untuk mengunduh antara lain : sabit/arit, gunting lak/gunting cabang, dan keranjang untuk meletakkan lak hasil unduhan. Cara-cara pelaksanaan unduhan : - Pemotongan cabang dan ranting dilakukan terhadap seluruh cabang dan ranting pada pohon inang yang ditulari - Pemangkasan dilaksanakan sejauh 15 cm dari pangkasan sebelumnya (yaitu pada ranting berdiameter maksimal 2 cm) - Pengguntingan jangan sampai merusak lak cabang, yaitu pada sela-sela sekresi (pada bagian ranting yang tidak ada sekresi laknya) dan diusahakan panjangnya potongan antara 10 sampai 20 cm. - Hasil potongan diangkut ke gudang. Umur unduhan lak dibagi menjadi 3 : •
Umur prematur : 110 sampai 140 hari
•
Umur normal : 155 hari
•
Umur panjang : 160 sampai 175 hari (biasanya dipengaruhi oleh cuaca)
VII-37
a
b
d
c
e
f
Gambar 7.9. Proses pengunduhan lak batang : a-b. Pemotongan cabang dan ranting yang akan diunduh, c. Ranting hasil pemangkasan, d-f. Pemotongan dan pengguntingan lak cabang.
Gambar 7.10. Perlakuan unduhan prematur
Gambar 7.11. Tanaman inang setelah dilakukan pengunduhan
VII-38
6) Seleksi bibit Seleksi lak cabang dilakukan setelah kegiatan penerimaan lak cabang hasil unduhan, dengan pemisahan lak cabang bibit dan lak cabang bukan bibit. Seleksi lak cabang bertujuan untuk : a. Memisahkan lak cabang dengan potongan kayu tanpa lak yang terbawa dari hutan. b. Memisahkan lak cabang bibit (AI) dan bukan bibit (AII dan AIII). c. Memisahkan kualitas bibit lak menurut klas bibit yaitu I, II, dan III, pengantongan bibit termasuk memasukkan ke dalam kroso dan menata bibit sampai siap di bawa ke tularan, serta menimbang hasil penerimaan.
a
b
c
Gambar 7.12. Lak dari hutan yang dikumpulkan di gudang untuk diseleksi : a. lak batang yang belum diseleksi, b. lak batang yang akan dijadikan bibit, c. lak batang afkir. Dari hasil seleksi lak cabang (stocklak) didapatkan hasil berupa : a . Lak bibit Yaitu lak cabang yang sekresinya baik, mengandung bibit/larva kutu lak. Penentuan klas bibit secara umum berdasarkan pada : - Panjangnya sekresi dan ketebalan sekresi. - Kesehatan sekresi (tingkat kandungan parasit yang ditandai adanya lubang- lubang parasit). - Warna sekresi kuning kecoklatan. - Permukaan sekresi rata dan sehat, nampak basah, bulat dan tidak terputus-putus. Setelah proses seleksi, dilakukan pengantongan bibit lak yaitu dengan memasukkan lak bibit dalam kantong kain, satu kantong berisi ± 100 gram. Pengantongan adalah kegiatan memasukkan bibit lak ke dalam kantongan, terutama pada bibit klas II dan IV. Bibit dimasukkan ke dalam kantong kain kasa dengan mata lubang kain kurang dari 0,5 mm, panjang 25 cm dan VII-39
lebar 5 cm, tujuannya adalah untuk mencegah menjalarnya perkembangan parasit dan predator. Pengisian kantong dijaga jangan sampai terlalu penuh karena akan mengakibatkan sobeknya kantong atau rusaknya jahitan kantong sehingga terdapat lubang untuk keluarnya parsit dari dalam kantong.
Apabila pengisian kantong terlalu penuh, lak bibit di dalam
kantong saling berdesakan, sehingga dapat menimbulkan tertutupnya lubang sel pada lak bibit yang akan menghambat keluarnya kutu lak dari selnya. Mulut kantong ditutup dengan cara diikat dengan menggunakan karet gelang.
Gambar 7.13. Proses pengantongan bibit lak Selesai pengantongan dengan menggunakan kain kasa, lak bibit juga dimasukkan ke dalam kroso. Kroso adalah kantong yang terbuat dari anyaman bambu. Kroso untuk setiap klas bibit diberi tanda warna tertentu pada bagian bawahnya untuk memudahkan pengenalan terhadap klas bibit yang ada di dalam kroso. Warna yang digunakan untuk membedakan klas bibit : - Kroso warna merah untuk klas I dan II - Kroso warna putih untuk klas III - Kroso warna biru untuk klas IV Setelah itu bibit lak siap untuk ditularkan. Kebutuhan bibit per hektar 300 kg dan kebutuhan per tahun normalnya 500 ton. b. Lak non bibit Yaitu lak cabang yang sekresinya jelek dan tidak mengandung bibit atau larva kutu lak. Setelah diadakan klasifikasi bibit, ada dua kemungkinan
VII-40
yaitu : apabila bibit banyak, bibit yang digunakan hanya klas I dan II. Sedangkan apabila bibit terbatas, semua klas bibit digunakan.
Lak cabang AII dan A III (produksi) Lak cabang AII adalah lak cabang yang sebenarnya masuk dalam klasifikasi lak bibit (AI). Hanya saja, keterlambatan dalam pengunduhan membuat kutu lak telah terlebih dahulu meninggalkan selnya sehingga lak bibit menjadi kosong. Sedangkan yang dimaksud dengan lak cabang AIII adalah lak cabang yang telah diseleksi dan tidak termasuk dalam klasifikasi lak cabang untuk bibit (afkir dari bibit).
AII
AIII
Gambar 7.14. Lak cabang AII dan AIII. Perlakuan lak cabang AII yaitu dikumpulkan pada suatu tempat dan secepatnya dimasukkan dalam karung goni dan ditimbang beratnya. Karung goni berisi lak cabang AIII ini ditempatkan tersendiri terpisah dari tempat penyimpanan bibit yang akan ditulari agar parsit yang keluar dari lak cabang AIII tidak terbawa pada bibit yang akan ditularkan. Lak cabang AIII setelah terkumpul siap diangkut ke pabrik.
Gambar 7.15. Lak cabang yang siap diangkut ke pabrik untuk diprooses menjadi lak butiran
VII-41
7.3. Bahan Diskusi Pada pertemuan terakhir, mahasiswa telah di bagi menjadi 6 (enam) kelompok besar. Tugas tiap kelompok adalah sebagai berikut : 1. Membuat paper dengan judul : I.
Peluang dan potensi pemanfaatan serangga berguna pada masyarakat sekitar hutan
II.
Potensi kupu-kupu sebagai salah satu serangga berguna
III. Potensi jangkrik sebagai salah satu serangga berguna IV. Potensi belalang sebagai salah satu serangga berguna V.
Potensi ulat sagu sebagai salah satu serangga berguna
VI. Potensi kroto sebagai salah satu serangga berguna Format paper sebagai berikut : Format paper sebagai berikut : halaman paper maksimal 10 lembar, menggunakan kerta A4, tipe huruf yang digunakan teks adalah Times New Roman font 12 dengan spasi 1.5, dan menyertakan bahan rujukan/daftar pustaka yang digunakan dalam pembuatan paper. 2. Membuat bahan presentasi dalam bentuk power point 3. Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan paper yang telah dibuat di depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lain.
7.4. Bacaan/Rujukan Pengayaan Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya : http://www.fao.org/corp/publications/en/ www.prosea.lipi.go.id/ http://www.wormspit.com/
7.5. Latihan Soal-Soal 1. Tuliskan apa yang di maksud dengan serangga berguna 2. Tuliskan contoh-contoh serangga berguna yang sudah dibudidayakan 3. Tuliskan budidaya serangga berguna yang anda ketahui
VII-42
BAB VIII. JENIS-JENIS HASIL HUTAN BUKAN KAYU LAINNYA
Tujuan Umum Menjelaskan, jenis-jenis hasil hutan bukan kayu lainnya, potensi dan budidaya, teknologi pengolahannya, produk turunannya, kualitas dan cara pengujian beberapa produk dan pemasarannya.
Tujuan Khusus Menjelaskan HHBK turunan kayu, tumbuhan obat dan tumbuhan penghasil pati sebagai HHBK.
8.1. Jenis-jenis Hasil Hutan Kayu Lainnya Pada Bab I telah dijelaskan bahwa HHBK memiliki beberapa pengklasifikasian dan HHBK sendiri memiliki banyak macam jenis dan masih banyak lagi produk HHBK yang belum di bahas, misalnya HHBK dari kelompok tanaman obat, tanaman hias, pati, buah-buahan, getah dan kelompok hewan (baik hewan buru maupun hewan hasil tangkaran), Pada bab ini akan dibahas jenis lain dari HHBK yang saat ini juga telah dikembangkan yaitu burung walet dan jamur.
8.1.1. Burung Walet Nama walet memang sudah tidak asing di telinga setiap orang karena harga jual sarangnya yang tinggi. Satu kilogram sarang walet bisa dihargai 15-20 juta rupiah. Selain mengandung nutrisi dan gizi yang tinggi, sarang walet juga berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit, kini sarang walet juga dijadikan simbol lambang kesejahteraan bagi penikmatnya. Sarang walet dapat dijadikan salah satu komoditas ekspor yang bisa diandalkan. Ekspor sarang walet dari Indonesia masih lebih besar dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Filipina. Cina dan Hongkong merupakan konsumen tetap sarang burung walet dari Indonesia. Dari Hongkong, komoditas ini kemudian disebarkan ke Asia Tengah, Eropa, Afrika, hingga Amerika.
VIII-1
Awalnya sarang walet diperoleh dari hasil tangkapan alam, yakni berasal dari gua-gua yang berada di dekat pantai. Perburuan sarang walet gua di Indonesia diperkirakan sudah berlangsung sejak tahun 1700-an. Dimulai dari gua Karangbolong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, lalu menyebar ke daerah lain seperti Gresik dan Tuban di Jawa Timur, serta Rembang, Tegal, Semarang, dan Lasem di Jawa Tengah. Perburuan paling intensif terjadi di sekitar pantai utara Pulau Jawa yang populasi penduduknya padat dan lokasi gua walet yang mudah dicapai. Akibatnya, ketersediaan sarang walet di alam semakin menipis. Selain karena perburuan liar, habitat walet juga terancam oleh adanya aktivitas penambangan yang dilakukan secara serampangan. Banyaknya habitat yang rusak memaksa walet mencari tempat baru untuk berkembang biak. Salah satu tempat yang diincarnya adalah bangunan atau gedung-gedung kosong yang berlokasi di dataran rendah. Hal inilah yang kemudian mengilhami para pebisnis walet untuk membangun gedung kosong, dengan harapan ada kawanan walet yang menempati gedung tersebut.
Gambar 8.1. Budidaya walet pada gedung/bangunan
Namun, untuk memancing walet masuk ke gedung bukan perkara mudah. Perlu perlakuan khusus agar walet tergoda dan mau hinggap ke dalam gedung. Jika merasa nyaman, walet akan mengajak kelompoknya untuk berkembang biak di habitat buatan tersebut.
Empat keuntungan membudidayakan Walet : 1.
Lokasi budi daya lebih "aman" karena milik pribadi. VIII-2
2.
Banyaknya sarang lebih bisa diperkirakan.
3.
Proses pemanenan lebih mudah dilakukan. Risikonya jauh lebih kecil dibandingkan dengan mengambil sarang langsung dari alam.
4.
Kualitas panen yang dihasilkan jauh lebih baik daripada kualitas sarang hasil berburu di gua.
Taksonomi Walet Bedasarkan taksonominya walet digolongkan sebagai berikut. Kingdom
:
Animalia
Fillum
:
Chordata
Subfillum
:
Vertebrata
Kelas
:
Aves
Ordo
:
Apodiformes
Familia
:
Apodidae
Genus
:
Collocalia
Spesies
:
Collocalia sp.
Sementara itu, beberapa name spesies walet dan kerabatnya yang sudah dikenal di Indonesia sebagai berikut.
a. Walet Sarang Putih (Aerodramus fuciphagus) Kata A. fuciphagus berasal dari bahasa latin. Fuci berarti lumut (fuci kata jamak dari fucus) dan phagus yang berarti makan. Burung ini membuat sarang dengan memanfaatkan lumut dari dinding gua, lalu direkatkan dengan air liurnya. Walet putih paling sering diburu untuk diambil sarangnya. Walet jenis ini sering disebut juga white-nest swiftlet karena memiliki sarang yang berwarna putih. Ukuran tubuhnya relatif kecil, sekitar 12 cm. Tubuh bagian atas berwarna cokelat kehitaman, dan bagian bawahnya berwarna cokelat. Daerah penyebarannya meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Kalimantan, Palawan, hingga Filipina. A. fuciphagus yang ditemukan di Jawa umumnya memiliki tunggir (bulu pantat) berwarna cokelat keabu-abuan. Sementara A.
VIII-3
fuciphagus yang hidup di Sumatera dan Kalimantan dari ras vestita tunggirnya berwarna cokelat tua. A. fuciphagus memiliki kemampuan terbang yang lebih kuat dibandingkan dengan spesies lainnya. Gaya terbang walet putih ketika mencari mangsa tampak kaku, mirip dengan spesies Aerodramus vanikorensis dan C. esculenta. Spesies ini memiliki lengking suara "tsyiir" yang sangat khas. Umumnya, A. fuciphagus mendiami tempat-tempat seperti gua kapur dan celah pada batu karang pantai.
b. Walet Sarang Hitam (Aerodramus maximus) Sepintas, penampilan fisik A. maximus mirip dengan A. fuciphagus. Namun, jika diperhatikan dengan seksama, ada titik perbedaan pada kedua burung ini, yakni terletak pada warna tunggir atau bulu di bagian pantatnya. A. maximus memiliki bulu tunggir yang berdegradasi, dari keabu-abuan hingga cokelat kehitaman. Panjang tubuhnya 15 cm, belahan ekor tidak dalam, dan memiliki postur badan agak gemuk. Selain itu, burung ini juga mempunyai bulu-bulu halus di sekitar kakinya. Bulu-bulu inilah yang membedakannya dengan spesies walet yang lain. A. maximus sering disebut juga black-nest swiftlet atau walet sarang hitam. Pasalnya, sarang yang dihasilkan burung ini cenderung berwarna lebih gelap atau tidak seputih sarang A. fuciphagus. Hal in] disebabkan sarang walet hitam lebih banyak mengandung bulu daripada air liurnya. Karena itu, nilai jualnya tidak setinggi harga sarang walet putih. Walet sarang hitam banyak dijumpai di daerah pantai berkarang dan perkotaan. Umumnya menempati bangunan kosong atau kolong jalan layang. Daerah penyebarannya meliputi bagian timur Pegunungan Himalaya, Filipina, Palawan, Kalimantan, Sumatera, dan jawa.
c. Walet Sarang Lumut (Aerodramus vanikorensis) Walet in[ memiliki bentuk dan susunan sarang yang sedikit berbeda dengan sarang walet pada umumnya. Walet sarang lumut membangun sarangnya dengan liur yang bercampur lumut (lichens).
VIII-4
d. Walet Besar (Hydrochous gigas) Penampilan walet besar mirip A. fuciphagus, termasuk gerakan terbangnya. Namun, walet ini memiliki ukuran tubuh yang lebih besar, yakni mencapai 16 cm. Tubuh bagian atas berwarna hitam dan bagian bawahnya berwarna cokelat kehitaman. Sarangnya terbuat dari rerumputan kering yang dilapisi dengan liur. Ciri khas walet ini adalah pada suaranya yang terdengar melengking. Walet besar biasanya hidup di daerah pegunungan tinggi atau di sekitar air terjun.
e. Sriti (Collocalia esculenta) Sriti memiliki bentuk fisik yang hampir serupa dengan walet. Namun, ukuran tubuhnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan walet putih, yakni hanya sekitar 10 cm. Tubuh bagian atas bewarna hitam kehijauan, sedangkan bagian bawah berwarna abu-abu gelap. Bagian perut sriti berwarna agak putih. Tanda inilah yang membedakan sriti dengan walet. Selain itu, sriti juga bisa ditandai dari lengkingan suaranya yang tinggi, berbunyi ciir-ciir. Di habitatnya, sriti tinggal di tempat yang terang dan membuat sarang dari bahan-bahan kering seperti rerumputan, bunga padi, daun cemara, lumut kering, dan ijuk. Bahan- bahan tersebut kemudian dirajut dan ditempelkan di satu bidang vertikal. Burung ini biasanya lebih senang hidup berkoloni dan sering dijumpai terbang secara bergerombol. Penyebaran burung ini hampir di seluruh wilayah nusantara. Umumnya dijumpai di Pulau Jawa, dari Merak hingga Banyuwangi. Sriti sering ditemukan bertengger di sepanjang jalur perlintasan kereta api, di kabel telepon, di bawah jembatan, dan di jalan layang. Dalam praktiknya di lapangan, C. esculenta banyak digunakan pembudidaya untuk memancing kehadiran walet dalam sebuah gedung atau rumah kosong. Burung ini mengemban dua tugas pokok, yaitu sebagai burung pemanggil walet sekaligus sebagai induk angkat bagi bayi walet.
VIII-5
Spesies Walet Berikut ini data 22 spesies burung walet yang diperkirakan berada di Indonesia. 1.
Aerodramus brevirostris Peneliti
:
Horsfield, 1840.
Nama umum
:
Himalayan swiftlet.
Penyebaran
:
Kepulauan Riau dan sebagian Bali.
Tempat hidup (ekologi)
:
Pegunungan dan open rocky (daerah bebatuan terbuka). Berkembang biak di gua dengan ketinggian 0-4.000 m di atas permukaan laut (dpl).
2.
Aerodramus fuciphagus Peneliti
:
Thunberg, 1812.
Nama umum
:
Edible-nest swiftlet.
Nama daerah
:
Walet putih.
Penyebaran
: Nias, Batu, Pulau Banyak dan Mentawai,Sumatera,
Belitung,
Kalimantan,
Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Pulau Komodo, Flores, Sumba, Timor, dan Sulawesi. Tempat hidup (ekologi)
:
Areal terbuka, pesisir pantai, dan daerah perkotaan.
Berkembang
biak
di
gua
dengan ketinggian 0-2.800 m dpl. Status 3.
:
Asli Indonesia
Aerodramus hirundinacea Peneliti
: Stersemann, 1914.
Nama umum
: Mountain swiftlet.
Penyebaran
: Papua.
Tempat hidup (ekologi)
: Di hutan dan areal terbuka. Berkembang biak di gua dengan ketinggian 0-4.000 m dpl.
Status
: Asli Indonesia.
VIII-6
4.
Aerodramus infuscata Peneliti
: Salvadori, 1880.
Nama umum
: Moluccan swiftlet.
Penyebaran
: Sulawesi, Pulau Sangihe dan Talaud, Ternate, Halmahera, Ambon, Pulau Seram, dan Pulau Buru.
Tempat hidup (ekologi)
: Hutan dan areal terbuka. Berkembang biak di gua dengan ketinggian 0-3.000 m dpl.
Status 5.
: Asli Indonesia.
Aerodramus maximus Peneliti
: Hume, 1878.
Nama umum
: Black-nest swiftle.
Nama daerah
: Walet sarang hitam.
Penyebaran
: Nias,
Pulau
Banyak
dan
Mentawai,
Sumatera, Kalimantan, Tinjil, Jawa, dan sebagian Bali. Tempat hidup (ekologi)
: Areal terbuka, pesisir pantai, daerah perkotaan. Berkembang biak di gua dengan ketinggian jelajah 0-3.900 m dpl.
Status 6.
: Asli Indonesia.
Aerodramus nuditarsus Peneliti
: Salomonsen, 1963.
Nama umum
: Bare-legged swiftlet.
Penyebaran
: Papua.
Tempat hidup (ekologi)
: Daerah pegunungan atau di hutan. Berkembang biak di gua dengan ketinggian jelajah 1.600-2.300 m dpl.
Status
: Asli Indonesia. Walet ini merupakan spesies endemik di Papua.
7.
Aerodramus papuensis Peneliti
: Rand, 1941.
Nama umum
: Papuan swiftlet.
VIII-7
Penyebaran
: Papua.
Tempat hidup (ekologi)
: Areal terbuka, delkataliran sungai, dan hutan. Ketinggian jelajah 0-1.800 m dpl.
Status
: Asli Indonesia dan merupakan spesies endemik Papua.
8.
Aerodramus salanganus Peneliti
: Streubel, 1848.
Nama umum
: Mossy-nest swiftlet.
Nama daerah
: Walet sarang lumut.
Penyebaran
: Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali
Tempat hidup (ekologi)
: Lahan terbuka dan hutan. Berkembang biak di gua dengan ketinggian 0-1.000 m dpl.
9.
Aerodramus vanikorensis Peneliti
: Quoy dan Gaimar, 1830.
Nama umum
: Uniform swiftlet.
Penyebaran
: Sulawesi, Muna, Halmahera, Ambon, Banda, Papua, Buton, Morotai, Gorong, Tayandu, Pulau Aru, Waigeo, Talaud, dan sebagian Tanimbar.
Tempat hidup (ekologi)
: Daerah
lembah
terbuka
dan
hutan.
Berkembang biak di gua. Status
: Asli Indonesia.
10. Aerodramus vulcanorum Peneliti
: Stersemann, 1926.
Nama umum
: Volcano swiftlet.
Penyebaran
: jawa.
Tempat hidup (ekologi)
: Daerah pegunungan. Berkembang biak di gua.
Status
: Asli Indonesia.
VIII-8
11. Apus nipalensis Peneliti Nama umum Penyebaran
: Hodgson, 1837. House swift. : Sumatera, Kepulauan Riau, Belitung, Kalimantan, Jawa, Bali, Panaitan, Nusa Penida, Flores, Sumba, Selayar, dan Sulawesi.
Tempat hidup (ekologi)
: Areal terbuka dan daerah perkotaan. Berkembang
biak
di
gedung-gedung
kosong. Status
: Asli Indonesia.
12. Apus pacificus Peneliti
: Latham, 1802.
Nama umum
: Fork-tailed swift.
Penyebaran
: Pulau Batu dan Mentawai, Enggano, Sumatera, Kepulauan Riau, Kalimantan, Jawa, Bali, Sumbawa, Flores, Sumba, Sulawesi, Pulau Sangihe dan Talaud, Halmahera, Pulau Buru, Papua, serta sebagian Palu.
Tempat hidup (ekologi)
:Hutan, bebatuan, dan pantai laut.
Status
:Asli Indonesia.
13. Collocalia esculents Peneliti
: Linnaeus, 1758.
Nama umum
: Glossy swiftlet.
Nama daerah
: Walet sapi.
Penyebaran
: Nias, Batu dan Kepulauan Mentawai, Enggano, Sumatera, Pulau Lingga,
Belitung, Kalimantan, Jawa, Kepulauan Seribu, Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Timor, Selayar, Sulawesi, Riau, Tidore, Halmahera, Ambon, dan Papua.
VIII-9
Tempat hidup (ekologi)
: Hutan dan areal terbuka. Berkembang biak di gua dengan ketinggian 0-3.000 m dpl.
Status
: Asli Indonesia.
14. Collocalia linchi Peneliti
: Horsfield dan Moore, 1854.
Nama umum
: Cave swiftlet.
Nama daerah
: Walet gua.
Penyebaran
: Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan sebagian Kalimantan.
Tempat hidup (ekologi)
: Hutan dan areal terbuka. Berkembang biak di gua dengan ketinggian 0-3.000 m dpl.
Status
: Asli Indonesia.
15. Cypsiurus balasiensis Peneliti
: Gray, 1829.
Nama umum
: Asian palm-swift.
Penyebaran
: Sumatera, Kepulauan Riau dan Lingga, Kalimantan, Bali, Belitung, Pulau Tambelan, Panitan, Jawa, Sulawesi,
Pulau
Talaud,
Pulau
Komodo, Flores, serta Sumbawa. Tempat hidup (ekologi)
: Pohon palem, semak belukar, dan perkotaan. Ketinggian jelajah 01.500 m dpl.
Status
: Asli Indonesia.
16. Hirundapus caudacutus Peneliti
: Latham, 1802.
Nama umum
: White-throated needletail.
Penyebaran
: Jawa,
Bali,
Lombok,
Timor,
Sulawesi, Pulau Sangihe, Pulau Buru, dan Papua.
VIII-10
Tempat hidup (ekologi)
: Hutan dan areal terbuka.
Status
: Asli Indonesia.
17. Hirundapus celebensis Peneliti
: Sclater, 1865.
Nama umum
: Purple needletail.
Penyebaran
: Sulawesi.
Tempat hidup (ekologi)
: Hutan dan areal terbuka.
Status
: Asli Indonesia dan merupakan endemik Sulawesi dan Filipina.
18. Hirundapus cochinchinensis Peneliti
: Sclater, 1865.
Nama umum
: Purple needletail.
Penyebaran
: Sumatera, Kepulauan Riau, Jawa, dan Bali.
Tempat hidup (ekologi)
: Hutan dan areal terbuka.
Status
: Asli Indonesia. Walet ini merupakan endemik Sulawesi dan Filipina.
19. Hirundapus giganteus Peneliti
: Temminck, 1825.
Nama umum
: Brown-back needletail
Penyebaran
: Sumatera, Kepulauan Riau dan Lingga, Kalimantan, jawa, dan Bali.
Tempat hidup (ekologi)
: Hutan.
Status
: Asli Indonesia.
20. Hydrochous gigas Peneliti
: Hartert dan Butler, 1901.
Nama umum
: Waterfall swift.
Nama daerah
: Walet besar.
Penyebaran
: Sumatera,
Jawa,
dan
sebagian
Kalimantan. Tempat hidup (ekologi)
: Hutan. Berkembang biak di sekitar air terjun.
VIII-11
Status
: Asli Indonesia dan merupakan spesies endemik yang hanya ditemukan di Sumatera,
Jawa,
dan
Peninsular
Malaysia. 21. Mearnsia novaeguineae Peneliti
: Albertis dan Salvadori, 1879.
Nama umum
: Papuan needletail.
Penyebaran
: Papua.
Tempat hidup (ekologi)
: Lembah pegunungan dan pesisir pantai.
Status
: Asli Indonesia dan merupakan spesies endemik Papua.
22. Rhaphidura leucopygialis Peneliti
: Blyth, 1849.
Nama umum
: Silver-rumped spinetail.
Penyebaran
: Sumatera, Kepulauan Riau, Bangka, Kalimantan, dan Jawa.
Tempat hidup (ekologi)
: Hutan, terutama di dekat aliran sungai dengan ketinggian 0-1.200 m dpl.
Status
: Asli Indonesia.
Karakteristik dan Kebiasaan Hidup Walet merupakan burung pemangsa serangga yang bersifat aerial dan suka meluncur. Sayapnya yang berbentuk sabit, sempit, dan runcing mendukung burung ini untuk terbang lebih cepat. Namun, walet termasuk burung yang tidak pernah hinggap di pohon. Kakinya yang pendek dan lemah menyebabkan burung ini tidak dapat bertengger di dahan atau batang pohon. Hidupnya lebih banyak dihabiskan di dalam gua-gua atau rumah-rumah yang lembap, remang-remang, sampai gelap. Walet hanya keluar saat mencari makan dan tidak pernah menetap di tempat terbuka. Karenanya, burung ini juga sering mendapat julukan swifts atau burung layang-layang.
VIII-12
Jika sedang istirahat, walet akan bergantung di sarang dengan cara mencengkramkan kuku kakinya yang tajam ke sarangnya. Namun, jika sampai jatuh ke tanah atau lantai, walet tidak dapat mengentakkan kakinya sebagai tumpuan sehingga lama-kelamaan burung ini mati kehabisan tenaga karena terus berusaha untuk terbang. a. Perkembangbiakan Walet berkembang biak sepanjang tahun. Musim berbiak ditandai dengan banyaknya kawanan walet yang saling berkejaran dan mengeluarkan nyanyian untuk menarik hati lawan jenisnya. Namun walet memilih musim kawin dan berkembang biak menjelang musim hujan. Hal ini disebabkan populasi serangga sebagai sumber makanan walet sangat melimpah pada musim ini.
Gambar 8.2. Burung walet dan sarangnya
Kebanyakan walet berkembang biak dua kali dalam setahun, yakni pada musim kemarau dan musim hujan. Proses perkawinan biasanya berlangsung pada malam hari ketika walet telah kembali ke dalam gua atau rumah burung walet. Namun, ada kalanya walet melakukan perkawinan di udara. Setelah 5-8 hari masa perkawinan, walet betina akan bertelur. Dalam satu kali masa bertelur, walet mampu menghasilkan dua butir telur. Interval keluarnya telur pertama dan kedua berselang 2-3 hari. Selanjutnya, telur-telur ini akan dierami selama 1 5-1 7 hari.
VIII-13
Setelah menetas, anak walet akan diasuh induknya sekitar 40 hari hingga siap terbang. Selanjutnya, anak walet mencari serangga makanannya bersama-sama dengan induk dan koloninya.
Tabel 8.1. Fase perkembangbiakan wallet Periode 1
Bulan Awal Februari Awal - Akhir Maret Awal April Mei - Juli Desember - Februari
2
Awal September Awal — Akhir Oktober Desember — Februari Juli — Agustus
Perkembangbiakan Walet mulai bertelur Sebagian besar walet sedang dan masih bertelur Sebagian kecil walet masih bertelur Walet-walet muda mulai terbang Walet-walet muda memasuki fase produksi Walet muda bertelur Sebagian besar walet sedang dan masih bertelur Walet-walet mulai terbang Walet-walet muda memasuki fase reproduksi
b. Ekolokasi Seperti halnya kelelawar, walet juga mampu melakukan ekolokasi, yakni kemampuan mengeluarkan suara berfrekuensi tertentu secara terputusputus dan kemudian menangkap, kembali pantulan suara tersebut untuk menentukan jarak dan letak sebuah benda yang memantulkannya. Kemampuan ini memungkinkan walet untuk terbang di tempat yang gelap. Namun, ekolokasi yang dimiliki walet berbeda dengan ekolokasi yang dimiliki kelelawar. Ekolokasi pada walet biasanya disertai dengan suara "lengkingan" yang mampu didengar oleh telinga manusia, sedangkan kelelawar hanya mengeluarkan suara infrasonic berfrekuensi rendah yang tidak mampu didengar manusia. Suara lengkingan pada walet dihasilkan oleh organ yang terletak di belakang tenggorokan yang disebut cyrinx. Selain untuk mendeteksi keberadaan benda dan untuk menemukan sarang, ekolokasi pada walet juga digunakan untuk berkomunikasi dan memberikan peringatan kepada walet lain agar tidak mendekati sarangnya. Namun, tidak semua jenis walet memiliki kemampuan ini. Beberapa spesies
VIII-14
yang memiliki kemampuan ekolokasi adalah walet sarang putih (A. fuciphagus), walet sarang hitam (A. maximus), dan walet papua (A. Papuensis).
Habitat Asli Tempat tinggal setiap walet umumnya berbeda-beda. Beberapa spesies walet memanfaatkan lubang di dinding batu karang, tembok-tembok gedung, atau gua-gua sebagai tempat berkembang biak. Bahkan, ada spesies walet yang sengaja bersarang di gua-gua yang letaknya tepat di belakang air terjun. Untuk masuk dan keluar dari gua tersebut, walet harus terbang menerobos air terjun. Walet putih (A. fuciphagus) merupakan burung penghuni daerah gelap (darkzone). Karena itu, habitat yang diinginkan adalah lokasilokasi yang tidak terjangkau paparan sinar matahari dengan kisaran suhu yang relatif stabil. Tidak mengherankan jika gua-gua menjadi tempat tinggal utama pilihan burung ini. Umumnya, walet putih banyak dijumpai di dalam gua-gua alam yang dikelilingi hutan lebat. Dalam membuat sarang, walet hanya memanfaatkan bagian dinding gua yang bertekstur khusus berupa tonjolan-tonjolan dan lekukanlekukan dangkal, serta memiliki kadar air yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kadar air di bagian dinding lainnya. Iklim mikro di sekitar gua yang menjadi habitat walet suhunya 24-27° C dengan kelembapan 85-95%. Berikut ini beberapa bagian gua yang sering dihuni walet. 1.
Area berputar-putar (roving area), yakni lapangan tempat walet berputarputar sebelum memasuki gua.
2.
Ruang berputar (roving room), yakni tempat walet berputar-putar sebelum keluar dari gua.
3.
Ruang ini terletak di dekat mulut gua bagian dalam. Ruang istirahat (rest room), yakni ruang tempat walet beristirahat, membangun sarang, dan berkembangbiak. Letaknya berada di dalam gua.
VIII-15
Jenis-jenis Sarang Walet dan Mutunya Sarang walet dihasilkan dari air liur walet. Air liur tersebut diproduksi oleh kelenjar saliva yang berada di bawah lidah. Sebelum melakukan perkawinan, walet betina dan jantan membuat sarang secara bersama-sama. Umumnya, walet jantan menghasilkan rajutan air liur lebih panjang dibandingkan dengan walet betina. Selanjutnya, rajutan air liur itu dibentuk mirip mangkuk kecil dan direkatkan di dinding-dinding gua. Tidak seluruh spesies walet dapat menghasilkan kualitas sarang yang balk. Tingginya kualitas sarang walet biasanya ditentukan oleh kandungan kemurnian liurnya. Berdasarkan nilai jualnya, sarang walet merah merupakan sarang termahal, kemudian disusul oleh sarang putih, sarang kuning, sarang biru, dan sarang hitam.
a. Sarang Merah (Sarang Darah) Ukuran sarang jenis ini cukup besar, diameternya 9 cm dengan bobot mencapai 9-10 gram. jika ditimbang, dalam satu kilogram berisi 110-115 sarang. Umumnya, terdapat dua jenis sarang merah yang dikenal masyarakat, yakni sarang merah bersifat permanen dan tidak permanen. Sarang berwarna merah bening permanen dianggap paling baik kualitasnya dan dipercaya berkhasiat obat, sedangkan sarang merah tidak permanen dianggap kurang baik kualitas karena warna sarang akan berubah setelah 2-3 bulan dipanen. Selain berkhasiat obat, penyebab lain mahalnya sarang walet merah adalah waktu panennya yang jauh lebih lama dibandingkan dengan sarang walet jenis lain. Proses sarang putih menjadi sarang merah alami membutuhkan waktu yang relatif lama, yakni sekitar 6 bulan. jauh lebih lama dibandingkan dengan sarang jenis lain seperti sarang putih yang bisa dipanen setelah 1-2 bulan.
Gambar 8.3. Sarang walet merah
VIII-16
b. Sarang Putih (Sarang Perak atau Sarang Kristal) Sarang putih biasanya didapat dari gedung walet yang pengelolaannya dilakukan dengan baik. Biasanya diperoleh melalui metode panen rampasan dan panen buang telur. Harga sarang putih dibedakan berdasarkan ukuran dan kebersihannya. Nilai jualnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sarang kuning atau sarang hitam.
Gambar 8.4. Sarang walet putih
c. Sarang Kuning Sarang kuning berasal dari sarang putih yang dalam proses pembentukannya mengalami perubahan warna akibat proses kimiawi. Perubahan warna kuning biasanya disebabkan oleh reaksi warna antara dinding gua tempat menempelnya sarang, kelembapan udara yang terlalu tinggi, atau pengaruh tetesan air yang jatuh ke sarang. Kadang-kadang, sarangyang berasal dari gedung walet juga bisa berwarna kuning. Beberapa faktor penyebabnya antara lain pemanenan yang terlambat dilakukan, kelembapan udara yang terlalu tinggi, pencemaran dari tempat menempelnya sarang, serta tahap pemrosesan dan penyimpanan yang tidak baik. jika dilihat dari nilai jualnya, harga sarang kuning cukup rendah. Untuk meningkatkan kualitasnya, sarang kuning harus dicuci hingga sarang berwarna putih kembali.
VIII-17
Gambar 8.5. Sarang walet kuning
d. Sarang Biru Sarang jenis ini biasanya dihasilkan dari air liur walet yang bermutu rendah. Hal ini disebabkan pakan yang dikonsumsi walet kualitasnya kurang baik, misalnya serangga yang diburu walet sudah terkontaminasi limbah pabrik, atau bisa juga air yang diminum sudah tercemar polusi. Selain itu, sarang biru juga dihasilkan dari sarang putih yang mengalami perubahan warna akibat sering terkena air atau kelembapan udara yang terlalu tinggi di dalam gua atau rumah walet.
e. Sarang Hitam Sarang walet hitam sering ditemukan di dalam gua. Terbuat dari campuran air liur dengan bulu walet. Sarang ini dihasilkan oleh spesies A. maximus. Dibandingkan dengan sarang walet lain, mutu sarang walet hitam dianggap paling rendah.
Gambar 8.6. Sarang walet hitam
VIII-18
Khasiat dan Manfaat Sarang Burung Walet Salah satu hal yang menyebabkan orang tergiur untuk mengonsumsi makanan yang terbuat dari sarang burung walet adalah khasiatnya yang bisa menjaga vitalitas dan menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk penyakit berat seperti kanker. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para pakar kesehatan diketahui bahwa sarang walet mengandung 17 asam amino, baik asam amino esensial, semi-esensial, maupun non-esensial. Sementara itu, Mardiastuti et al (1996) dalam laporannya menyebutkan, di dalam sarang walet terkandung 8,1% N; 0,02% P; 1,7% K; 1,6% Ca; 13,8% karbohidrat; 0,9% lemak; 0,29% serat kasar; 50,8% protein; 1Ij% abu; 19,9% air; 2,3 mg/g vitamin C; 9,1 IU/g vitamin A; dan 2,5 mg/g Niacin. Sementara menurut dr Cheng Ce, spesialis kanker dari Sekolah Kedokteran Tradisional di Provinsi Henan, Cina, mengatakan liur dari kelenjar glandula sub-lingualis walet terbukti dapat meningkatkan daya tahan tubuh (food supplement), tetapi tidak mengobati penyakit. Dengan mengonsumsi sarang walet secara rutin dapat menstimulus kinerja organ-organ tubuh menjadi lebih baik. Beberapa manfaat lain sarang burung walet adalah mencegah serangan bakteri, memelihara kecantikan tubuh, anti-aging, menghilangkan pengaruh alkohol, dan meningkatkan konsentrasi. Kandungan kalsium yang terkandung dalam sarang burung walet juga berguna untuk mencegah pengeroposan tulang. Tabel 8.2. Kandungan asam amino esensial, semi-esensial, dan nonesensial yang terdapat pada sarang walet No. Kandungan Zat Jumlah (%) Asam Amino Esensial 1 Leusin 5,9748 2 Valin 4,2705 3 Treonine 4,1686 4 Fenilalanine 3,9778 5 Lysin 2,2213 6 Isoleusin 2,0331 7 Methionine 0,161 Asam Amino Semi-Esensial 1 Tirosin 5,243 2 Serin 4,6602
VIII-19
Tabel 8.2. Lanjutan No. Kandungan Zat 3 Arginin 4 Glisin 5 Histidin 6 Sistin Asam Amino Non-Esensial 1 Asam Aspartat 2 Asam Glutamat 3 Prolin 4 Alanin
Jumlah (%) 4,1251 2,4528 2,0536 0,4609 5,5546 5,5079 4,0430 1,7730
Tabel 8.3. Analisis zat gizi dari hasil uji coba 100 gram sarang burung walet dengan beberapa perlakuan Hasil Rebusan Kandungan Gizi Sebelum (Zat Gizi Makro dan Mikro) Direbus*) Rebusan Rebusan Rebusan I**) II***) III****) Energi (kkal) 315,96 Air (gram) 15,83 Protein 51,25 2,84 1,52 0,99 Lemak (gram) 0,40 Karbohidrat (gram) 25,41 Serat Kasar (gram) Kadar Abu (gram) 4,46 Kalsium (mg) 39,14 2,91 1,19 Fosfor (mg) 8,29 5,94 0,32 0,31 Besi 17,00 0,61 0,46 Nitrogen 8,37 0,71 0,24 0,16 Natrium 24,41 0,77 2,62 1,92 Kalsium 4,04 0,46 0,97 0,50 Seng 0,83 2,84 0,07 0,05 Vitamin A (mg) 8,46 1,72 0,07 0f04 Vitamin C (mg) 1,25 0,11 0,22 0,23 Keterangan: *) pH air = 6,60 **) pH air 7,00 ***)pH air 7,10 ****) pH air 7,20 Dari tabel di atas diketahui jika walet juga mengandung protein yang cukup tinggi. Kandungan protein yang berasal dari sarang walet dapat berfungsi sebagai zat pembangun yang bertugas membentuk sel-sel dan jaringan baru yang berperan aktif selama proses metabolisme di dalam tubuh. Protein yang berasal dari sarang walet juga memiliki ikatan senyawa yang lebih kompleks daripada protein nabati.
VIII-20
Bahkan, salah satu senyawa turunannya, yakni azitothymidine, telah diteliti mampu melawan virus HIV.
8.1.2. Jamur Jamur merupakan tanaman yang tidak memiliki klorofil sehingga tidak bisa melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan makanan sendiri. Jamur hidup dengan cara mengambil zat-zat makanan, seperti selulosa, glukosa, lignin, protein, dan senyawa pati dari organisme lain. Dengan bantuan enzim yang diproduksi oleh hifa (bagian jamur yang bentuknya seperti benang halus, panjang, dan kadang bercabang), bahan makanan tersebut diuraikan menjadi senyawa yang dapat diserap untuk pertumbuhan. Oleh karena itu, jamur digoIongkan sebagai tanaman heterotrofik, yaitu tanaman yang kehidupannya tergantung pada organisme lain.
Gambar 8.7. Jamur pada batang pohon
VIII-21
Di seluruh dunia ada ribuan spesies jamur yang tersebar dari wilayah subtropis yang cenderung dingin sampai kawasan tropis yang hangat. Dari ribuan jenis tersebut ada jamur yang merugikan dan ada pula yang menguntungkan. jamur merugikan adalah berbagai jenis jamur (fungi) penyebab penyakit pada manusia dan tanaman, misalnya menyebabkan keracunan saat dikonsumsi; menjadi sumber penyakit kulit seperti panu, kadas, dan kurap; atau jamur yang menyebabkan kayu cepat lapuk. Jamur menguntungkan adalah berbagai jenis jamur yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, misalnya untuk menghancurkan sampah organik, menghasilkan antibiotik untuk obat; atau jamur yang bermanfaat dalam
pembuatan
tempe,
oncom
dan
alkohol.
Termasuk
jenis
yang
menguntungkan adalah jamur konsumsi, yaitu jamur yang dapat dimakan tanpa menimbulkan efek racun. Jenisnya antara lain jamur kuping, tiram, merang, shiitake, champignon, dan jamur barat. Saat ini jamur merang, kuping, shiitake, tiram, dan jamur champignon sudah dibudidayakan secara komersial untuk memenuhi kebutuhan yang semakin hari semakin meningkat. Sementara itu, jamur barat belum bisa dibudidayakan dan kebutuhannya masih sangat tergantung dari alam. Jika musimnya tiba, jamur ini banyak dijual di sepanjang jalan raya BandungSurnedang, tepatnya di kawasan Cadas Pangeran
Gambar 8.8. Jamur champignon, salah satu jamur konsumsi yang sudah dibudidayakan
VIII-22
Nilai Gizi Jamur Walaupun rasanya hampir menyamai kelezatan daging, kandungan lemak jamur lebih rendah sehingga lebih sehat untuk dikonsumsi. Jamur mengubah selulosa menjadi polisakrida yang bebas kolesterol sehingga orang yang mengosumsinya terhindar dari risiko terkena serangan stroke. Selain itu, kandungan protein jamur juga lebih tinggi dibandingkan dengan bahan makanan lain yang juga berasal dari tanaman. Gizi lain yang terkandung dalam jamur antara lain karbohidrat; berbagai mineral seperti kalsium, kalium, fosfor, dan besi; serta vitamin B, B12, dan C. Berikut ini tabel yang menunjukkan besarnya kandungan gizi beberapa jenis jamur konsumsi dibandingkan dengan bahan makanan lain. Tabel 8. 4. Perbandingan kandungan gizi jamur dan bahan makanan lain (dalam %) Bahan Makanan Protein Lemak Karbohidrat Jamur merang 1,8 0,3 4 Jamur tiram
27
1,6
58
Jamur kuping
8,4
0,5
82,8
Daging sapi
21
5,5
0,5
Bayam
-
2,2
1,7
Kentang
2
-
20,9
1,5
0,1
4,2
Seledri
-
1,3
0,2
Buncis
-
2,4
0,2
Kubis
Jenis-Jenis Jamur Konsumsi Hanya beberapa jamur yang bisa dikonsumsi dari ribuan jenis jamur yang tumbuh di bumi ini. Dari sedikit jumlah tersebut, ada lima jenis yang memiliki nilai ekonomi untuk dibudidayakan, yaitu jamur kuping, tiram, merang, champignon, dan shiitake. Tiga yang pertama, yaitu jamur kuping, tiram, dan jamur merang dapat dibudidayakan di sebagian besar wilayah Indonesia yang bersuhu hangat. Sedangkan jamur champignon dan shiitake hanya dapat dibudidayakan di tempat tempat tertentu, yaitu dataran tinggi yang bersuhu
VIII-23
dingin. Selain itu, secara ekonomi membudidayakan jamur champignon dan shiitake juga kurang menguntungkan karena pasar jamur dunia,termasuk Indonesia, sudah dibanjiri kedua jenis jamur ini dengan harga murah sehingga sulit bagi petani jamur Indonesia untuk ikut bersaing, bahkan di dalam negeri sekalipun. Oleh karena itu, hanya jamur kuping, tiram, dan jamur merang yang cocok dibudidayakan di Indonesia, baik dari segi lingkungan tumbuh maupun nilai ekonominya. A. Jamur Kuping a. Taksonomi Super Kingdom
:
Eukaryota
Kingdom
:
Myceteae (fungi)
Divisio
:
Amastigomycota
Sub Divisio
:
Basidiomycotae
Kelas
:
Basidiomycetes
Ordo
:
Auriculariales
Familia
:
Auriculariae
Genus
:
Auricularia
Spesies
:
Auricularia sp
b. Morfologi Jamur ini disebut dengan jamur kuping karena memang bentuknya mirip telinga (kuping) dengan warna cokelat muda hingga kemerah-merahan. Tubuh buah (basidiocarp) jamur yang di Cina disebut dengan be munk o atau telinga pohon ini berlekuk-lekuk selebar 3-8 cm. Permukaan atas jamur kuping agak mengilap, berurat, dan berbulu halus mirip beludru di bagian bawahnya.
Gambar 8.9. Jamur kuping
VIII-24
Tangkai buahnya pen dek, men empel di media tumbuh (subtrat) dengan cara membuat lubang di permukaannya.Tubuh buah jamur kuping dalam keadaan basah bersifat kenyal (galatinous), licin, dan lentur, tetapi dalam keadaan kering akan berubah melengkung dan kaku. Jamur kuping memiliki inti plasma dan spora yang berupa sel-sel lepas atau bersambungan membentuk benang yang tidak bersekat atau bersekat. Dalam bentuk tunggal benang tersebut disebut
hifa, dan
kumpulannya disebut dengan miselium. Miselium ini bercabang-cabang dan pada titik-titik pertemuannya membentuk bintik kecil yang disebut dengan sporangium. Sporangium inilah yang akan tumbuh menjadi calon tubuh buah (pin head) dan berkembang terus menjadi tubuh buah. c.Lingkungan Tumbuh Sebagai salah satu jenis jamur kayu, jamur kuping secara alami dapat tumbuh di berbagai jenis kayu di berbagai lokasi. Namun, lokasi tumbuh yang paling baik adalah di kayu-kayu lapuk yang ada di dataran rendah bersuhu hangat sampai pegunungan berhawa sejuk. Besaran suhu yang dapat ditoleransi oleh jamur kuping adalah 16-36° C, tetapi idealnya 26-28° C. Pada fase pembentukan miselium, jamur kuping memerlukan kadar air sekitar 62%, kelembapan udara 60-75%, dan kadar oksigen yang tidak terlalu tinggi. Saat memasuki pertumbuhan tubuh buah, jamur ini memerlukan suhu I6-22° C dengan kelembapan udara 80--90% dengan kadar oksigen tinggi.
B. Jamur Tiram a. Taksonomi Super Kingdom
: Eukaryota
Kingdom
: Myceteae (fungi)
Divisio
: Amastigomycota
Sub Divisio
: Basidiomycotae
Kelas
: Basidiomycetes
VIII-25
Ordo
: Agaricales
Familia
: Agaricaeae
Genus
: Pleurotus
Spesies
: Pleurotus sp
b. Morfologi Nama jamur tiram (Pleurotus sp.) diberikan karena bentuk tudung jamur ini agak membulat, lonjong, dan melengkung menyerupai cangkang tiram. Permukaan tudung jamur tiram licin, agak berminyak jika lembap, dan tepiannya bergelombang. Diameternya mencapai mencapai 3-15 cm. Batang atau tangkai jamur tiram tidak tepat berada di tengah tudung, tetapi agak ke pinggir. Tubuh buahnya membentuk rumpun yang memiliki banyak percabangan dan menyatu dalam satu media. Jika sudah tua, daging buahnya akan menjadi liat dan keras. Warna jamur yang sering di sebut dengan oyster mushroom ini bermacam-macam, ada yang putih, abu-abu, cokelat, dan merah. Di Indonesia, jenis yang paling banyak dibudidayakan adalah jamur tiram putih.
Gambar 8.10. Jamur tiram Sama dengan jamur kuping yang merupakan kerabat dekatnya, jamur tiram juga memiliki inti plasma dan spora yang berbentuk sel-sel lepas atau bersambungan membentuk hifa dan miselium. Pada titik-titik pertemuan percabangan miselium akan terbentuk bintik kecil yang disebut dengan pin head atau calon tubuh buah jamur yang akan berkembang menjadi tubuh buah jamur. c. Lingkungan Tumbuh Jamur tiram dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 600 meter dari permukaan laut di lokasi yang memiliki kadar air
VIII-26
sekitar 60% dan derajat keasaman atau pH 6-7. Jika tempat tumbuhnya terlalu kering atau kadar airnya kurang dari 60%, miselium jamur ini tidak bisa menyerap sari makanan dengan baik sehingga tumbuh kurus. Sebaliknya, jika kadar air di lokasi tumbuhnya terlalu tinggi,jamur ini akan terserang penyakit busuk akar. Secara alami jamur tiram banyak ditemukan tumbuh di batangbatang kayu lunak yang telah lapuk seperti pohon karet, damar, kapuk, atau sengon yang tergeletak di lokasi yang sangat lembap dan terlindung dari cahaya matahari. Pada fase pembentukan miselium, jamur tiram memerlukan suhu 22-28° C dan kelembapan 60-80%. Pada fase pembentukan tubuh buah memerlukan suhu 16-22° C dan kelembapan 8090% dengan kadar oksigen cukup dan cahaya matahari sekitar 10%.
C. Jamur Merang a. Taksonomi Super Kingdom
: Eukaryota
Kingdom
: Myceteae (fungi)
Divisio
: Amastigomycota
Sub Divisio
: Basidiomycotae
Kelas
: Basidiomycetes
Ordo
: Agaricales
Familia
: Plutaceae
Genus
: Volvariella
Spesies
: Volvariella volvocea
b. Morfologi Jamur ini sudah telanjur mendapat sebutan jamur merang walaupun tidak selalu tumbuh di media merang (tangkai padi). Sebenarnya jamur ini juga bisa tumbuh di media atau sisa-sisa Tanaman yang memiliki sumber selulosa, seperti limbah pabrik kertas, limbah biji kopi, ampas batang aren, limbah kelapa sawit, ampas sagu, sisa kapas, dan kulit buah pala.
VIII-27
Gambar 8.11. Jamur merang Sesuai dengan nama ilmiahnya, Volvariella volvacea, jamur ini memiliki volva atau cawan berwarna cokelat muda yang awalnya merupakan selubung pembungkus tubuh buah saat masih stadia telur. Dalam perkembangannya, tangkai dan tudung buah membesar sehingga selubung tersebut tercabik dan terangkat ke atas dan sisanya yang tertinggal di bawah akan menjadi cawan. Jika cawan ini telah terbuka akan terbentuk bilah yang saat matang memproduksi basidia dan basidiospora berwarna merah atau merah muda. Selanjutnya basidiospora akan berkecambah dan membentuk hifa. Setelah itu, kumpulan hifa membentuk gumpalan kecil (pin head) atau primordial yang akan membesar membentuk tubuh buah stadia kancing kecil (small button), kemudian tumbuh menjadi stadia kancing (button), dan akhirnya berkembang menjadi stadia telur (egg). Dalam budi daya jamur merang, pada stadia telur inilah jamur dipanen. c. Lingkungan tumbuh Jamur merang tumbuh di lokasi yang mempunyai suhu 32-38° C dan kelembapan 80-90% dengan oksigen yang cukup. Jamur ini tidak tahan terhadap cahaya matahari langsung, tetapi tetap membutuhkannya dalam bentuk pancaran tidak langsung. Derajat keasaman (pH) yang cocok untuk jamur merang adalah 6,8-7.
Panen dan Pascapanen A. Panen Panen jamur dilakukan secara manual menggunakan tangan atau menggunakan pisau tajam. Jamur yang dipanen harus dipotong beserta
VIII-28
akarnya karena akar yang tetinggal di dalam media akan membusuk dan menganggu pertumbuhan calon jamur di sekitar lokasi tersebut. Oleh karena itu, jika ada akar yang tertinggal di dalam media harus dicabut secara paksa menggunakan penjepit. Saat terbaik untuk memanen jamur adalah pada pagi hari sebelum pukul 10.00 atau sore hari sebelum pukul 17.00. Jika dipanen siang hari, berat jamur akan menyusut karena kepanasan. 1. Jamur kuping dipanen setelah berumur 3-4 minggu dari waktu terbentuknya calon tubuh buah (pin head). Saat itu pertumbuhan tubuh buah telah berukuran maksimal dengan berat mencapai sekitar 65 gram. Masa panen berlangsung sampai dua bulan berikutnya
dengan
interval
pemanenan 1-2 minggu sekali. 2. Jamur tiram dipanen 4-5 hari sejak pembentukan tubuh buah (pin head). Saat itu beratnya telah mencapai 50-75 gram. Masa panen mencapai empat bulan dengan interval pemanenan lima hari sekali. 3. Namur merang dipanen sebelum tubuh buah berukuran maksimal, yaitu saat pertumbuhan tubuh buah baru mencapai stadia kancing (button stage) atau sepuluh hari setelah bibit ditebarkan. Periode panen berlangsung sekitar satu bulan dengan interval pemanenan 5-7 hari sekali.
B. Pascapanen Langkah
pertama
yang
dilakukan
setelah
panen
adalah
membersihkan jamur dari berbagai kotoran yang menempel. Caranya, permukaan tubuh buah dibasahi dengan air bersih, kemudian digosok dengan tangan secara pelan-pelan sampai seluruh kotoran yang menempel hilang. Mengingat tubuh buah jamur gampang sobek, pekerjaan ini harus dilakukan dengan hati-hati. Setelah itu, barulah jamur siap dipasarkan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Untuk skala petani (bukan perusahaan besar) produk yang dipasarkan biasanya hanya berupa jamur segar dan jamur kering. a. Jamur Segar Produksi jamur segar biasanya dijual ke rumah makan, restoran, supermarket, atau hotel. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk
VIII-29
mempertahankan kesegaran jamur yang akan dijual dalam bentuk segar, yaitu menyimpannya pada suhu dinging atau menambahkan bahan kimia. 1. Penyimpanan pada Suhu Dingin Buah jamur yang telah dicuci bersih kemudian ditiriskan sampaj tidak ada lagi air yang menetes. Pastikan jamur benarbenar tiris karena air cucian yang masih menempel di jamur akan mengakibatkan munculnya bintik-bintik berwarna. jika hal ini terjadi kualitas jamur akan menurun dan harga jualnya menjadi rendah. Setelah itu, jamur dikemas dalam kantong plastik atau styrofoam chest dengan ukuran kemasan tergantung pada selera dan dimasukkan ke dalam refrigerator bersuhu 15° C. Dengan cara ini, umur kesegaran jamur dapat diperpanjang sampai lima hari. 2. Penambahan Bahan Kimia Bahan kimia yang dapat digunakan untuk memperpanjang kesegaran jamur adalah Na-bisulfit 0,2% (2.000 ppm), larutan asam sitrat 0,5%, garam dapur 15%, S02 0,1% dan K-bikarbonat 0,1%. Dosis di atas masih di bawah nilai yang diperbolehkan Ditjen POM Depkes sehingga masih aman jika dikonsumsi manusia. Penambahan bahan kimia dilakukan dengan cara menyemprotkannya ke jamur atau bisa juga dengan merendamnya selama 10 menit. Dengan penambahan bahan kimia ini pertumbuhan mikroba pembusuk bisa terhambat sehingga jamur akan tetap segar sampai satu bulan. b. Jamur Kering Pengeringan bertujuan mengurangi kandungan air yang ada di dalam tubuh buah jamur sehingga mikroba pembusuk tidak dapat hidup. Walaupun akan mengubah bentuk dan rasanya, pengeringan merupakan cara terbaik untuk memperpanjang daya simpan jamur sehingga waktu pemasarannya lebih lama. Pengeringan jamur bisa dilakukan dengan cara menjemur atau menggunakan ruang pengering khusus yang sumber panasnya berasal dari listrik atau minyak tanah. Jika pengeringan dilakukan dalam ruang khusus, jamur yang telah ditiriskan disusun di atas rak, lalu dimasukkan ke dalam
VIII-30
pengering. Awalnya suhu panas yang dialirkan sebesar 40°C dan perlahan-lahan dinaikkan sampai 45°C. Pengeringan dilakukan 3-4 jam jika dijemur langsung dan delapan jam jika dilakukan di dalam ruang pengering. Jamur kuping dan jamur tiram yang telah dicuci dan ditiriskan bisa langsung dikeringkan sambil dibolak-balik agar keringnya merata. Sementara itu, jamur merang stadia kancing sebelum dijemur harus dibelah dulu secara memanjang agar cepat kering. Jamur yang sudah kering lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik tebal. Setelah penuh, tekan sedikit sehingga udara di dalamnya keluar. Dalam keadaan hampa udara, mulut kantong plastik dilipat dan diikat menggunakan karet atau tali rafia. jamur kering ini biasanya dijual ke supermarket atau diekspor.
8.2. Bahan Diskusi Pada pertemuan terakhir, mahasiswa telah di bagi menjadi 6 (enam) kelompok besar. Tugas tiap kelompok adalah sebagai berikut : 1. Membuat paper dengan judul : I.
Potensi suweg (Amorphophallus campanulatus) sebagai bahan baku penghasil pati
II.
Potensi ketapang (Terminalia cattapa) sebagai bahan baku penghasil tanin
III. Potensi mahoni (Swietenia mahagoni) sebagai bahan baku penghasil bahan pewarna IV. Potensi pulai (Alstonia spp.) sebagai bahan baku penghasil getah V.
Potensi
bintangur (Calophyllum soulatri) sebagai bahan baku
penghasil tumbuhan obat VI. Potensi
saga (Abrus precatorius) sebagai bahan baku penghasil
tanaman obat Format paper sebagai berikut : Format paper sebagai berikut : halaman paper maksimal 10 lembar, menggunakan kerta A4, tipe huruf yang digunakan teks
VIII-31
adalah Times New Roman font 12 dengan spasi 1.5, dan menyertakan bahan rujukan/daftar pustaka yang digunakan dalam pembuatan paper. 2. Membuat bahan presentasi dalam bentuk power point 3. Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan paper yang telah dibuat di depan kelas untuk ditanggapi oleh kelompok lain.
8.3. Bacaan/Rujukan Pengayaan Website yang berhubungan dengan materi diatas misalnya : http://www.fao.org/corp/publications/en/ www.prosea.lipi.go.id/
8.4. Latihan Soal-Soal 1. Tuliskan jenis-jenis sarang wallet 2. Tuliskan keuntungan budidaya wallet 3. Tuliskan jenis-jenis jamur yang sekarang sudah dibudidayakan 4. Tuliskan salah satu budidaya jamur yang anda ketahui
VIII-32
DAFTAR PUSTAKA Adjidarna. 1990. Pengusahaan Lak Perhutani di Banyukerto. Jakarta : Duta Rimba No. 125-126/XVI : 38-42. Agusta, A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. ITB. Bandung. A site about silkworms, silkmoths, and silk. Wormspit.com. Astawan, M. 1989. Teknologi Sederhana Pembuatan Gula Pasir. Teknologi No. 2, th III/Juni 1989, hal 32 dan 33. PT. Dharma Yasamas Teknindo, Jakarta. Atjung. 1990. Tanaman yang Menghasilkan Minyak, Tepung dan Gula. CV Yasaguna, Jakarta. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2000. Lak Butiran (seed lak). SNI 015009.2-2000. Jakarta. Balai PenelitianTanaman Rempah dan Obat. 1997. Jahe. CV Riza Graha Jaya, Bogor. Bandini, Y. 1996. Nipah Pemanis Alami Baru. Penebar Swadaya. Jakarta. Biro Pusat Statistik. 2002. Jakarta. Bolin, H.R dan Jackson, R. 1986. Journal of Food Processing and Preservation. Vol. IX, No. 1. Food and Nutrition, Inc. Westport, Connecticut. Borror DJ, C A Triplehorn, dan N F Johson. 1996. Pengenalan Serangga. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Buckle, K.A., R.A. Edwards G.H. Fleet, M.Wootton. 1987. (terjemahan). Universitas Hasanuddin Press. Jakarta.
Ilmu Pangan
Budiman, A. 2008. Menentukan Lokasi Budi Daya Walet. Penebar Swadaya. Jakarta. Citrosupomo, G. 1991. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.BioPengolahan Rotan Lepas Panen. Prosea Indonesia-Yayasan Prosea. Bogor Indonesia. Daud, M. 2008. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :
P.35/Menhut-II/2007 tanggal 28 Agustus 2007 tentang Daftar Komoditi hasil Hutan Bukan Kayu yang Menjadi Urusan Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta [Dephut] Departemen Kehutanan. 1990. Departemen Kehutanan. Jakarta
Pengembangam Budidaya Bambu.
[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Tengkawang. http://www.dephut.go.id/informasi/propinsi/SUMSEL/hhnk.html [10 Agustus 2009] Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statitistik . 2004. Potensi Hutan Rakyat Indonesi. Jakarta Departemen Pertanian. 2002. Berita Standarisasi dan Mutu Kegunaan Pangan. Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia, Jakarta. Dirjen Perkebunan. 2008. Budidaya Kemiri. Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan, Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Dransfield S., and E. A. Widjaya. 1996. Plant Resources of South-East Rattan. Prosea Indonesia-Yayasan Prosea. Bogor Indonesia
Asia 6.
Dransfield, S. and E. A. Widjaya. 1995. Prosea. Plant Resources of South-East Asia. No. 7. Bogor Indonesia. Elisabetta Ghermandi. 2003. Lasifer Laka – Laccifer Lacca – Cocus Lacca – Laksha. http://www.easygrowing.org/documents/EG-LasiferLaka.doc [27 Januari 2005] Elsppat, T. 1997. Pengawetan Kayu dan Bambu. Puspa Swara. Jakarta Fahn, A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. _______. 1982. Anatomi Tumbuhan (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Fardiaz S, Winarno F.G, dan Dedi F. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia. Jakarta. Food-Info net Gula. 2007. Jenis-jenis Gula dan berbagai Produk Terkait. An iniatiave of Wageningen University, The Netherlands. Http://www.produk.makanan.com [18 Oktober 2007]
Gittinger JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-proyek Pertanian (terjemahan). Edisi Kedua. UI-Press. Jakarta. Guinther, E. 1987. Minyak Atsiri, Jilid I. Terjemahan S. Ketaren. Universitas Indonesia. Jakarta. Hadi, S. 2009. Kelangkaan dan Nilai Ekonomi Buah Tengkawang. Halim, N. A. dan Suharno. 2001. Teknik Mencangkok Royal Jelly Lebah Madu Apis mellifera lingustica. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hambali E, A. Suryani, Dadang, Hariyadi, H. Hanafie, I.K. Reksowardojo, M. Rivai, M. Ihsanur, P. Suryadarma, S. Tjitrosemito, T.H. Soerawidjaja, T. Prawitasari, T. Prakoso, dan W. Purnama. 2007. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya. Jakarta. Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB Bandung. Harris, R. 1993. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta. Harsanto, P.B. Budidaya dan Pengolahan Sagu. Penerbit Kanisius. Jakarta. Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta. Hasil Hutan Bukan Kayu dan Pengelolaan Hutan Lestari di Hulu Tabalong. 2001. EUROPEAN COMMISSION – INDONESIA FOREST PROGRAMME Deskripsi Laporan No : 92 Heyne, K. 1979. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Kehutanan. Jakarta.
Litbang Departemen
Hutabarat, BSM. 1998. Konsep Dasar Pengembangan Industri Gula Nasional. Gula Indonesia. Vol XXIII/4 ISSN 0216/2954. Hal 27 http://www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/Hasil/buletin/2001/2-1h.HTM http://www.cifor.cgiar.org/publications/Html/AR-98/Bahasa/Nonseperti yang diterima pada 11 Mei 2006 06:20:55 GMT.
Timber.html
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/LITBANG/Hasil/buletin/2001/2-1-h.HTM Info Hutan No. 139. 2001. Pembibitan Jenis Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria malacensis Lamk). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Konservasi Alam. Bogor-Indonesia.
Intari SE. 1980. Laccifer lacca Kerr. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor.
Serangga Penghasil Bahan Lak.
Intisari. 2001. Jangan Asal Semprot, Bahaya...!. Indomedia, Jakarta. http://www.indomedia.com/intisari/2001/Okt/khas_airud.htm. (4 Februari 2007). Isnaini, Y. 2003. Respon Tunas Gaharu (Aquilaria crassana dan A. filarial) terhadap Inokulasi Acremonium pada Tiga Kosentrasi Medium Kultur. SEAMEO BIOTROP. Bogor _______. 2002. Metabolit Sekunder dari Pohon Gaharu (Aquilaria spp.) yang Berasosiasi dengan Cendawan. Paper Mata Kuliah Metabolisme Sekunder Tumbuhan. IPB. Bogor Isnaini, Y dan J. Situmorang. 2004. Aplikasi Bioteknologi untuk Pengembangan Tanaman Gaharu (Aquilaria spp.) di Indonesia. SEAMEO BIOTROP. Bogor Jain V.K. 2004. Fundamentals Of Plant Physiology. S. CHAND & COMPANY LTD. RAM NAGAR, NEW DELHI -110055. Januminro, CFM. 2000. Rotan Indonesia. Kanisius. Yogyakarta. Johnson, D. V. 1997. Non-wood Forest Products:Tropical Plams. Food and Agriculture Organization of United Nations. Bangkok, Thailand. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. PT. Ichtiar Baru – van Hoeve. Jakarta. Kardinan A. dan L. Mauludi. 2004. Nilam Tanaman Beraroma Wangi Untuk Industri Parfum & Kosmetika. Agromedia Pustaka. Jakarta. Kardinan, A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri Komoditas Wangi Penuh Potensi. Agromedia Pustaka, Jakarta. Karyadi, M. Hatibu dan M.T Andarias. 1975. Penelitian Mutu Gula Merah di Sulawesi Selatan. Departemen Perindustrian, Balai Penelitian Kimia, Makassar Ketaren, S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia, Jakarta. _______. 1985. Minyak Atsiri. Teknologi Industri Pertanian. IPB, Bogor. Khayrunnisa, S. dan G . Rahayu, 1999. Senyawa Gaharu Hasil Induksi Acremium sp. Pada Kalus A. crassana. Prosiding Kongres Nasional dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi, Purwokerto, 16-18 September 1999.
Lakitan B. 2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Litbang Kehutanan. 2000. Himpunan Sari Hasil Penelitian Rotan dan Bambu. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor Indonesia Lutony T. L. dan Y. Rahmayanti. 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri. Penebar Swadaya Jakarta. Lutony, T.L. 1993. Tanaman Sumber Pemanis. Penebar Swadaya, Jakarta. Mandang Y.I. dan B. Wiyono. 2002. Anatomi Kayu Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk) dan Beberapa Jenis Sekerabat, Bulletin Penelitian Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. BogorIndonesia. Margunadi. 1994. Materi Kursus Kilat Kader Mandor Teknik Kultur Lak. BKPH Taman KPH Probolinggo Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Probolinggo. Mark. JL. 1991. Revolusi bioteknologi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Matanubun H, dan L. Maturbongs. 2005. Sago Palm Potential, Biodiversity and Socio-Cultural Considerations for Industrial Sago Development in Papua, Indonesia. Proceeding of the Eighth International Sago Symposium. Universitas Negeri Papua, Manokwari. Moctar, H.M. 1996. Penafsiran Produk dan Masakan Rafinasi. Gula Indonesia, Vol XX1/2-3. Moerdjono. 1968. Prasyarat Kultur Lak. Rapat Kerja Lak Perhutani Jawa Timur. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Surabaya. Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Institut Teknologi Bandung Mulyana AD, dan Intari SE. 1995. Jenis Pohon Inang Alternatif Kutu Lak di BKPH Taman dan Sukapura KPH Probolinggo Jawa Timur. Duta Rimba. Jakarta No. 185-186/XX/1995:15-18. Neumann R. P., and E. Hirsch. Commercialisation of Non-Timber Forest Products: Review and Analysis of Research. Bogor Indonesia. Parjimo, H dan A. Andoko. 2008. Budi Daya Jamur : Jamur Kuping, Jamur Tiram dan Jamur Merang. PT. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Parman dan T. Mulyaningsih. 2004. Makalah Teknologi Inokulasi Mikroba pada Tanaman Gaharu dan Penanganan Pascapanen Gubal. Universitas Mataram. Lombok Patulak, J. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Pengovenan terhadap Rendemen Minyak Biji Kalumpang (Sterculia foetida Linn.) dengan Metode Pengepresan Hidrolik. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar. [Tidak diterbitkan]. Partosoedjono, S. 1985. Mengenal Serangga. Agromedia. Bogor. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. 1994. Laporan Hasil Pelaksanaan Studi Banding Pengusahaan Lak di Pulau Alor. KPH Probolinggo Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Probolinggo. Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. 2004. Buku Saku : Pengelolaan Tanaman Inang Kesambi dan Kultur Lak dan Pengelolaan Lak Cabang Menjadi Seedlak. KPH Probolinggo Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Probolinggo. Perum Perhutani. Raw silk. http://perhutaniproducts.com/?page_id=35 des 2008]
[15
Polunin N. 1994. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. (terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Prihandana, R., E. Hambali, S. Mujdalipah, dan R. Hendroko. 2007. Meraup Untung dari Jarak Pagar. Agromedia Pustaka. Jakarta. Profound’s webpage www.ntfp.org (2001) Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan. 1996. Jakarta Rachman, A.K, dan Y. Sudarto. 1992. Nipah Sumber Pemanis Baru. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Rahman, A. 2008. Studi Rendemen Berbagai Jenis Produk Lebah Hutan (Apis dorsata binghamii F.) Oleh Pemburu Lebah di Desa Puosu Kecamatan Mowewe Kabupaten Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar (Tidak Diterbitkan). Rampengan, V, J. Pontoh dan D.T Sembel. 1985. Dasar-Dasar Pengawasan Mutu Pangan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur. Makassar. Redaksi AgroMedia. 2009. Buku Pintar Budi Daya dan Bisnis Walet. PT. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Retna, A. 2008. Pemanfaatan Minyak Biji Kalumpang (Sterculia foetida Linn.) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Sabun Opaque. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. [Tidak diterbitkan]. Sari, R. K., W. Syafii, K. Sofyan, dan M. Hanafi. 2004. Sifat Antirayap Resin Damar Mata Kucing dari Shorea javanica K.et V. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. 2 (1): 8-15. Sardjono, E.A. Basrah, dan S. Oyok. 1987. Penelitian Pengemasan Gula Merah Cetak. Warta Info Hasil Hutan Vol 4, No. 1. Setiadi, D. dan TE. Komar. 2001. Prospek Pengembangan Kutu Lak di Alor, Nusa tenggara Timur. Duta Rimba. Jakarta. No. 258/XXV:29-31. Simon, H. 1996. Metode Inventore Hutan. Aditya Media. Siddiq, M. 2004. Makalah Analisis Ekonomi Agroforestry Gaharu. Universitas Mataram Lombok. Siemonsma, J.S. Aleurites moluccana Miq. http://www.proseanet.org/florakita/printer.php?photoid=529 2009]
[14
April
Soepardi, R. 1955. Pinus merkusii di Tanah Gayo. Rimba, Indonesia. 4 (6): 265-279 Soesono, S. 1992. Bertanam Aren. Penebar Swadaya. Jakarta Somaatmadja, D. 1980. Ketela sebagai Bahan Pembuatan Gula. Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia edisi 5.
Buletin
Sriwahyuni. 1990. Pengaruh Pengabutan dengan Melathion 96 EC pada Tanaman Inang Schleichera oleosa Merr terhadap Produksi Lak. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta. Sudarnadi H. 1995. Tumbuhan Monokotil. Penebar Swadaya. Jakarta. Sudaryani T. dan E. Sugiharti. 2004 Budiaya dan Peyulingan Nilam. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. Sudradjat, R. 2008. Memproduksi Biodisel Jarak Pagar. Penebar Swadaya. Jakarta. Sumantri, I. 1992. Perbaikan Sistem Pemungutan Lak Dalam Rangka Peningkatan Produksi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 10 No. 2/1992:63 – 68.
Sumiasri, N. 1995. Pemanfaatan Nipah (Nypah fruticans Wurmb) oleh Beberapa Suku Bangsa di Indonesia. Proseding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani II, Ikatan Pustakawan Indonesia, Jakarta.
Sumoprastowo, R. M. dan R. A. Suprapto. 1980. Beternak Lebah Madu Modern. Penerbit Bhratara Karya Akasara. Jakarta. Susilo. A.K. 2003. Sudah Gaharu Super Pula. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Sutiyono dkk. 1996. Paket Modul Partisipatif: Budidaya Bambu Guna Meningkatkan Produktivitas Lahan. Prosea Indonesia. Yayasan Prosea. Bogor Indonesia. Suwarno. 2004. Materi Diklat Teknik Kultur Lak. KPH Probolinggo Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Probolinggo. Tan, L.C., M.R. Pérez and M. Ibach. Non-Timber Forest Product Databases. Bogor Indonesia. Thomas M. G. dan D. R. Schurman. 1993. Income Opportunities in Special Forest Products Self-Help Suggestions for Rural Entrepreneurs. Midwest Research Institute State and Private Forestry 425 Volker Boulevard USDA Forest Service Kansas City, MO 64110 One Gifford Pinchot Drive Madison, WI 53705–2398 Agriculture Information Bulletin AIB–666 U.S. Department of Agriculture Washington, DC. Umboh MIJ. 2000. Upaya Peningkatan Produksi Gubal Gaharu: mikropropagasi Aquilaria sp dan Upaya Peningkatan Bioproses Gubal Gaharunya laporan akhir penelitian RUT V. Jakarta: Menristek-DRN Widjaya, E. A. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense. Bogor Indonesia. _______. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense. Bogor Indonesia. Wikipedia
Indonesia. 2007. Gula. Wikipedia Indonesia, Http://id.wikimedia.org/wiki/Gula. [27 Juli 2007].
Jakarta.
_______. 1999. Minyak Atsiri. Wikipedia Indonesia Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_atsiri. [11 Februari 2007]. _______. Kopal. http://id.wikipedia.org/wiki/Kopal [21 Juni 2008]
_______. Damar. http://id.wikipedia.org/wiki/Damar [21 Juni 2008] _______. Kemiri. http://id.wikipedia.org/wiki/Kemiri [8 April 2009] Wollenberg E. and A. Ingles. Income from the Forest. CIFOR, IUCN. Bogor Indonesia. Wong , J.L.G., K. Thornber, and N. Baker. 2001. Non Wood Forest Products Resource Assessment Of Non-Wood Forest Products. Experience and biometric principles FAO. Wuryaningsih, 2008. Proses Ekstraksi dan Pemurnian Minyak Atsiri. Pusat Penelitian Kimia-LIPI, Jakarta. Yuan. 1995. Biotechnology in Agricultural and Forestry 33, Medicinal and Aromatic Plants VIII. Springer. Zulnely. 2002. Beberapa sifat Buah Nipah (Nypah fruticans). Info Hasil Hutan Vol. 9 No. 1.