ISBN 979-3132-14-0
ABSTRAK
HASIL PENELITIAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU Edisi I
Penyusun: Drs. Lukman Nulhakim, MM Cece Hediana, SE Drs. Mardiansyah Indah Rahmawati, Amd. Penyunting: Dr. E. Suwardi Sumadiwangsa, MS Ir. Totok K. Waluyo
DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN BOGOR, SEPTEMBER 2005
KATA PENGANTAR Abstrak Hasil Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu diterbitkan dalam rangka meningkatkan dayaguna dan hasil guna penyebarluasan informasi hasil penelitian di bidang hasil hutan bukan kayu. Terbitan ini merupakan edisi pertama abstrak hasil penelitian hasil hutan. Pada edisi pertama ini diuraikan mengenai informasi hasil penelitian hasil hutan bukan kayu mulai tahun 1972 sampai tahun 2004. Namun demikian masih banyak hasil-hasil penelitian lain yang belum masuk dalam buku ini karena belum tersusun abstraknya, dan mudah-mudahan dapat dimasukkan dalam edisi berikutnya. Abstrak hasil penelitian HHBK ini baru mencakup 7 kelompok jenis HHBK, 25 komoditi dari 96 judul tulisan. Sumber abstrak diambil dari publikasi yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan yang terdiri dari Jurnal Penelitian Hasil Hutan, Info Hasil Hutan, Buletin Penelitian Hasil Hutan, Laporan dan lain-lain. Kritik dan saran perbaikan baik dari para pengguna, pakar maupun pustakawan sangat kami harapkan untuk penyempurnaan di masa yang akan datang. Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penyusunan buku ini, semoga buku ini berguna dan dapat dimanfaatakan dengan sebaik-baiknya. Bogor, September 2005 Kepala Pusat,
Dr. Ir. Maman Mansyur Idris, MS NIP. 080036705
PETUNJUK PEMAKAIAN CONTOH: 001 1/1, 2005 2 Pembuatan Minyak Cendana dengan Cara Penyulingan Uap Langsung (Manufacturing of sandahwood oil by using direct steam distilation method )3. Oleh: Erik Dahlian & Hartoyo4. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (6) 1998: 385 – 394 5. Pusat Litbang Hasil Hutan6. Bogor7. Penelitian pembuatan minyak cendana dengan menggunakan destilasi uap langsung dibahas dalam tulisan ini. Tujuan penelitian ini untuk menemukan kondisi optimum perlakuan bahan baku dan lama penyulingan untuk menghasilkan rendemen minyak yang tertinggi dan kualitas yang baik. Perlakuan terhadap ukuran partikel kayu yang digunakan ada 3 macam masing-masing lolos saringan 40 mesh, terhadap saringan 40 mesh dan campuran partikel kayu dari 50% lolos 40 mesh dan 50% tertahan 40 mesh. Proses destilasi untuk setiap perlakuan dilakuk an selama 25 jam di dalam alat gelas yang berkapasitas 500 gr contoh dalam bentuk serbuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perlakuan ukuran partikel dan lama penyulingan memberikan pengaruh terhadap rendemen minyak. Rendemen minyak tertinggi adalah 2,25% diperoleh dari hasil penyulingan selama 21 jam terhadap campuran 50% partikel kayu berukuran lolos saringan 40 mesh dan 50% tertahan saringan 40 mesh. Besarnya rendemen tersebut setara dengan rendemen minyak cendana yang diproduksi dari pabrik minyak cendana di Kupang yaitu berkisar 2 3%. Analisis fisiko-kimia minyak cendana menunjukkan hasil sebagai berikut: kadar total santalol sebesar 93,32%, berat jenis 0,9729, indek bias 1,5006, bilangan asam 4,94, bilangan ester 6,35, bilangan ester setelah asetilasi 201,9 dan nilai tersebut semuanya memenuhi syarat SNI. Kandungan santalol minyak cendana dari hasil percobaan (93,32%) menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada persyaratan SNI (minimal 90%). Kendatipun demikian sifat lain seperti putaran optik (-11°) dan kelarutan dalam alkohol 70%, (1 : 6) masih belum sesuai dengan spesifikasi SNI yang menyatakan untuk putaran optik (-15°) - (-200 o) dan
kelarutan dalam alkohol 70% (1 : 5). -------------------------------------------------------------------------------8 Kata kunci: Minyak cendana, metode destilasi, ukuran partikel kayu, rendemen & kualitas9 Keterangan: 1. Nomor urut abstrak 2. Edisi, tahun terbit abstrak 3. Judul bahasa Indonesia dan atau bahasa Inggris 4. Pengarang 5. Nama terbitan, volume (nomor) tahun : halaman 6. Penerbit 7. Kota terbitan 8. Abstrak (Abstract) 9. Kata kunci
I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki kekayaan aneka ragam hayati yang luar biasa, terbesar ketiga setelah Brazilia dan Zaire atau bahkan terbesar pertama bila biota laut ikut diperhitungkan. Di Indonesia tumbuh sekitar 30.000 40.000 jenis tumbuhan yang menyebar di seluruh kepulauan. Di antara ribuan jenis tumbuhan yang tumbuh di Indonesia, sebagian di antaranya merupakan penghasil hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang memiliki nilai jual yang cukup potensial, dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan masyarakat lokal bahkan sebagai sumber devisa negara. Dengan semakin berkurangnya hasil hutan berupa kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu merupakan pilihan yang bijaksana dalam upaya pemanfaatan hutan secara lestari. FAO (2000) mendefinisikan bahwa HHBK adalah barang (goods) yang dihasilkan benda hayati selain kayu yang berasal dari hutan atau lahan sejenis. Jenis-jenis HHBK meliputi: resin, minyak atsiri, minyak lemak, tanin, karet alam, rotan dan bambu, pati dan buah-buahan. Resin: Gondorukem, kopal, damar, kemenyan, gaharu, kemendangan, shellak, jernang, embalau, frankensence, kapur barus, balam dan sebagainya. Minyak atsiri: Gondorukem, kopal, damar, kemenyan, gaharu, kemendangan, shellak, jernang, embalau, frankensence, kapur barus, balam dan sebagainya. Minyak lemak: Tengkawang, kemiri, (jarak), wijen, saga pohon, minyak buah merah, kenari, minyak intaran, (lilin lebah). Pati dan buah-buahan: Sagu, telur terubuk, nipah, lontar, aren, iles-iles, nira, ubi, makadamia, buah merah, asam, mente, burahol, sukun, gadung, rebung, umbut, saga, (jamur, madu), garut, kolang-kaling, suweg. Tanin dan bahan pewarna: Akasia (mangium), bruguiera, rizhophora, pinang, gambir, tingi, saninten, kayu kuning, secang, soga, nila, angsana, niri, segawe, kesambi, ketapang. Karet dan getah: Jelutung, perca, ketiau, getah merah, hangkang, getah pinus, karet hutan, sundik, gemor, kiteja. Rotan dan bambu: Aneka jenis rotan, bambu dan nibung. Tumbuhan obat: Aneka jenis tumbuhan obat asal hutan (medang landit, raru).
Tumbuhan hias: Anggrek hutan, palmae, pakis, aneka jenis pohon indah. Hasil hewan: Shellak (sarang burung, sutera alam, madu, lilin lebah, buaya, ular, telur, daging ikan, burung tanduk, tulang kulit, taring gigi, aneka hewan yang tidak dilindungi). Jasa hutan: Air, udara bersih, rekreasi/ekoturisme, penyangga ekosistem alam. Ragam pohon penghasil HHBK (Sumadiwangsa dan Mas’ud, 2002) dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Pohon khusus penghasil HHBK antara lain: cendana, gaharu, sagu, rotan, aren, sukun, bambu, jernang, kemenyan, kayu putih, kayu manis, gambir, kilemo, pinang, gemor, masohi, kuli lawang, sutera alam, madu, aneka tumbuhan obat dan tanaman hias. 2. Tumbuhan penghasil HHBK yang dapat dipakai sebagai tanaman tumpangsari atau tanaman sela: nilam, lada, kopal, jahe, akar wangi, pasak bumi, tabat barito, vanili, ubi, sereh dapur, sereh wangi, jarak, wijen, gadung, iles-iles, garut, talas, suweg, anggrek dan tanaman obat lainnya. 3. Pohon penghasil HHBK dan kayu, terdiri dari: a. Pohon penghasil buah-buahan, seperti: macadamia, burahol, duren, dukuh, dan buah-buahan lainnya. b. Penghasil biji, seperti: tengkawang, kemiri, saga pohon, kenari, pala, nimba, genitri, kelor, lerak, picung, mente dan kesambi. c. Penghasil bahan karet seperti: jelutung, hangkang, perca, ketiau, getah merah, balam dan lame. d. Penghasil bahan aris (resin), seperti: agathis, shorea, hopea, pinus dan kemenyan. e. Penghasil minyak atsiri atau bahan obat, seperti: keruing, kilemo, kayu putih, masohi, lawang, ylang-ylang, kenanga, eucalyptus, kayu manis, cassia, lame, bakau-bakau dan akasia.
II. ABSTRAK (ABSTRACT) A. Karet dan Getah 1. Getah Jelutung 001/1, 2005 Pengaruh Lingkaran Pohon dan Lebar Torehan terhadap Hasil Getah Jelutung (Dyera lowiii) di Kalimantan Tengah (The Effect of Tree Girth and Tapping width on the Yield of Jelutung (Dyera lowii) Latex in Central Kalimantan) Oleh: Zulnely, Tati Rostiawati dan Ihak Sukardi. Buletin Penelitian Hasil Hutan 16 (1) 1998: 49-60. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Getah jelutung diperoleh dari pohon jelutung (Dyera lowii) dan merupakan komoditas ekspor. Penelitian yang dilakukan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah bertujuan untuk mengetahui pengaruh lingkaran pohon dan lebar torehan terhadap getah jelutung yang dihasilkan. Jumlah pohon yang diamati dalam penelitian ini sebanyak 60 batang dengan parameter yang diamati adalah lingkaran pohon (X 1) lebar torehan (X2) serta getah yang dihasilkan (Y). Data dianalisis dengan menggunakan regresi linear ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik lingkaran pohon jelutung maupun lebar torehan memberikan pengaruh yang nyata secara positif terhadap hasil getah, menurut persamaan regresi berganda (dalam bentuk transformasi ln) yaitu: Ln Y = 4,45 + 0,0102 X 1 + 0,00628 X2. Hal ini berarti hasil getah dapat diduga dari lingkaran pohon dan lebar torehan. Kata kunci: jelutung, penyadapan, hasil getah. 002/1, 2005 Pembuatan Permen Karet dari Jelutung (Chewing-Gum Making from Jelutong) Oleh: R. Sudradjat Laporan (170) 1984: 19-28. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The material base for chewing-gum was jelutong exudate. Before mixing the exudate is coagulated by alumn and acetie acid, and by NaOH at 2,5% and 5% levels. Other materials such as sugar, glucose, syroop, calcium carbonate, amylum, palm butter in form of C1 or C2 formula are usually added to improve taste and flavor.
Jelutong coagulated by acetic acid offers better quality than that of alumn as was indicated by the high rubber content, low dust and ash. The water content were from 1,91 to 2,90%. Ash content of 1,16 -1,84% organoleptic value were 4,0 - 5,79 and haramful mineral was negatif. The ash content of jelutong chewing-gum coagulated by 20% acetic acid was higher than that of 10%. The use of 5% of (NaOH) tends to decrease moisture but increases the ash content. Ash content also increases by using the palm butter B formula than the A formula. Organoleptic properties is still inferior to that of commercial chewinggum. Keywords: jelutung, pembuatan permen karet. 2. Getah Pinus 003/1, 2005 Pengaruh Kadar Stimulan terhadap Produktivitas Getah Pohon Pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) pada Berbagai Tingkat Umur di Daerah Sumedang, Jawa Barat (The Effect of Stimulant Percentage on Productivity of Pine Gum from Pine (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) Trees at Different Age Levels, Growing in Sumedang, West Java). Oleh: Erra Yusnita, S. Sumadiwangsa, Dendi Setyawan dan Erik Dahlian. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19 (3) 2001: 165-174. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Pohon tusam (Pinus merkusii Jungh et de. Vriese) merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang memegang peranan penting dalam berbagai bidang industri, karena selain menghasilkan kayu juga menghasilkan getah. Pada proses penyadapan pohon untuk menghasilkan getah, faktor yang dapat berpengaruh terhadap produksi getah adalah genotip, asal pohon umur, diameter pohon, cara penyadapan, macam dan kadar bahan perangsang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur, kadar stimulan dan diameter pohon terhadap produktivitas getah pinus. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh lain yang diduga berpengaruh terhadap produktivitas getah seperti arah mata angin penyadapan. Sasarannya adalah untuk mengetahui cara penyadapan yang paling efisien, ekonomis dan aman terhadap pohon dan para penyadap dengan hasil produksi getah optimum dan berkelanjutan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur pohon sangat berpengaruh terhadap produktivitas getah. Pohon yang berumur 16, 26 dan 31 tahun, masing-masing menghasilkan getah sebesar 50,15 gram, 81,94 gram dan 9,17 gram per pohon. Pemanenan getah pinus untuk tegakan pohon umur 16 tahun, penggunaan kadar stimulan yang menghasilkan getah optimum adalah 15 atau 20% dengan arah sadapan Timur. Tegakan pohon umur 26 tahun dengan penggunaan kadar stimulan 15% dengan arah sadapan Selatan atau Utara. Sedangkan unluk tegakan pohon umur 31 tahun hasil getah optimum pada pemakaian kadar stimulan 25% dengan arah sadapan Barat. Kata kunci: getah, produktivitas, kadar stimulan, umur pohon. 004/1, 2005 Pengujian Kwalitas Gondorukem. Oleh: Bambang Djatmiko, Suwardi Sumadiwangsa dan Semangat Kataren. Laporan (10) April 1972. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. The qualiti of Indonesia pine rosin has been determinasi by a very simple way on the basis of its color, opacity, purities and brittleness. This method, however, have been praticed for quite sometime although it rendered several disadvantageous in grading of the products. To cope with the expanding market of pine rosin, a more accurate determination is keenly required. This could only be achieved by enforcement of measuring cartain devices. In this study, the pine rosin characteristics covering determination of color, impurities, unsaponifiable matter, melting point, brittleness, turpentine content, acid value, saponification number and iodine value were thoroughly investigated. It was found that the last three characters exhibited values at a certain range. Also, a correlation analysis concluded that melting point and color could favourably determine the quality. A color standard containing solution of caramel in water has been prepared for color determination as suggested by Gardner. Based on the melting point and color, the Indonesian pine rosin was classified into 4 groups. Each of which having acid values range from 159.8 to 191.7; saponification numbers 169.0 to 209.4 and the iodine values by Hanus method was from 27.12 to 51.53. Keywords: gondorukem, kwalitas.
005/1, 2005 Pengaruh Gondorukem terhadap Kualitas Sabun Cuci. Oleh: Sudradjat. Laporan (182) 1982: 31-35. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Washing soap were made using eight different raw material compositions cosisting of coconut oil, palm oil, and varying contents of pine rosin. The soaps were classified into three groups, ie. T3, T4 and T5. The results indicated that raw material composition affects all soap’s properties while grouping affects only total fatty acid. Soaps containing 100% rosin showed the lowest moisture content. Soaps with 0%, 50% and 75% rosin contained the lowest unsanpinified fatty acid. Except for composition containing 50% rosin, all compositions resulted in the lkow free alkali. High total fatty acid was indicated by all compositions but the one containing 10% rosin. Keywords: gondorukem, kualitas, sabun cuci. 006/1, 2005 Pengolahan dan Pengawasan Kwalitas Godorukem dan Terpentin. Oleh: Toga Silitonga, Suwardi Sumadiwangsa dan Sutarna Nayasaputra . Laporan (9) Maret 1973. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. This paper is a review of the past work on pine gum distillations. It describes the endeaver to acquire better quality of pine resin and tupentine, and in due course, to attain a stable quality of the products. Pine resin is presentyly revealing its significant potentials in the economy of pine forests in Indonesia. Conversely, the low and apparently unstable quality of the pine resin has come out to be a limitation in its use consequently in its marketability. It is the purpose of this study to present a scientific approach to the portaining problems. This study revealed that precleaning systems the gum and instalation of devices for measuring duration and temperature throughout the process have a positive hearing on the quality of pine resin and turpentine. Such measures will also result in a more stablke quality of the products. Keywords: godorukem, terpentin, kwalitas. 007/1, 2005 Kualitas Gondorukem Jawa Tengah dan Perubahannya Selama Penyaringan. Oleh: Suwardi Sumadiwangsa. Laporan (119) Maret 1978. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
The study reported in this paper dealt with the testing of the physico-chemical properties of gum rosin from 12 plants in Central Java. Properties tested included colour, softening point, and acid number. It was thought that filtration of liquid rosin at the end of processing line ehich takes one to cwo hours at high temperature might degrade the rosin quality. The results showed that the physico-chemical properties and quality of rosins varied from plant to plant. There was to indication of quality change due to filtration process. Keywords: gondorukem, kualitas, penyaringan. 008/1, 2005 Penurunan Kualitas Gondorukem Selama Penyaringan di Jawa Timur (Degradatition of Resin Quality During Filtration in East Java). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa & Toga Silitonga. Laporan (87) Mei 1977: 9 halaman. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. The study has been conducted in three rosin factories in East Java namely Campurejo, Pulung and Kare in 1973. The rosin factories aat Pulung and Kare have an intake capacity of about 350 kg and Campurejo has about 1.000 kg of pine gum per batch respectively. Gum is processed by the fire still pocess which comprises of there stage namely preheating, distillation and rosin filtration. Each stoge endure three, seven and two hours respectively. There is during the filtration stage a tendency of quality degradation especialilly with regard to colour due to isomerization and browning reaction of resin acid. Keywords: gondorukem, kualitas, penyaringan. 009/1, 2005 Pengaruh Diameter Pohon, Umur dan Kadar Stimulan terhadap Produktivitas Getah Tusam (Pinus merkusii Jungh et. de. Vries) (The Effect of Pine Trees (Pinus merkusii Jungh et.de.Vries) Diameter, Ages, and Dosages of Stimulant on the Productivity of Their Exudates). Oleh: R. Sudradjat, Dendi Setyawan & S. Sumadiwangsa. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20 (2) 2002: 143-158. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Tulisan ini bertujuan untuk menelaah pengaruh diameter pohon, umur, kadar stimulan dan periode pemungutan terhadap produktivitas getah tusam yang dihasilkan pada petak dan beberapa jalur pengamatan. Penelitian dilakukan pada tiga buah petak sadapan (petak I umur 15 tahun, petak II umur 18 tahun dan petak III umur 24 tahun) dimana masing-masing petak dibagi dalam beberapa jalur pengamatan. Pada petak I, keragaman produksi rata-rata pada jalur pengamatan berkisar antara 120,25 – 44,63 gram/pohon/periode. Produksi rata-rata tertinggi dicapai pada pemakaian kadar stimulan 15% (80,08 gram/ periode/pohon), diikuti oleh pemakaian kadar stimulan 20% (76,76 gram/pohon/periode), kadar stimulan 10% (61,79 gram/pohon/periode) dan terkhir tanpa pemakaian stimulan (47,81 gram/pohon/periode). Hubungan antara diameter pohon dengan tingkat pemakaian kadar stimulan pada beberapa jalur pengamatan terhadap produktivitas rata-rata getah tusam adalah garis lurus. Pada petak II, produksi rata-rata getah tusam tertinggi dihasilkan pada periode pemungutan kedua (62,89 gram/pohon), diikiuti oleh periode ketiga (56,32 gram/pohon) dan selanjutnya periode pertama (47,71 gram/pohon. Keragaman produksi rata-rata jalur pengamatan berkisar antara 81,97 – 39,21gram/pohon/periode. Produksi rata-rata tertinggi dicapai pada pemakaian kadar stimulan 20% (68,08 gram/ periode/pohon), diikuti oleh pemakaian kadar stimulan 10% (54,04 gram/pohon/periode), kadar stimulan 15% (52,15 gram/pohon/periode) dan terakhir tanpa pemakaian stimulan (48,35 gram/pohon/periode). Sama seperti petak I, hubungan antara diameter pohon dengan tingkat pemakaian kadar stimulan pada beberapa jalur pengamatan terhadap produktifitas rata-rata getah tusam adalah garis lurus. Pada petak III, produksi rata-rata terbesar dihasilkan pada periode pemungutan ketiga (50,71 gram/pohon), disusul oleh periode kedua (49,89 gram/pohon) dan selanjutnya periode pertama (43,56 gram/ pohon). Keragaman produksi rata-rata pada jalur pengamatan berkisar antara 63,84-36,06 gram/pohon/periode. Produksi rata-rata tertinggi dicapai pada pemakaian kadar stimulan (42,17 gram/pohon/periode). Hubungan antara diameter pohon dengan tingkat pemakaian kadar stimulan pada beberapa jalur pengamatan terhadap produktivitas rata-rata getah tusam cenderung linier. Semakin tinggi (tua) umur pohon yang digambarkan dengan pembagian petak, cenderung (18 tahun) masing-masing sebanyak 71,46
gram/pohon dan 46,07 gram/pohon, relatif lebih banyak dari produksi getah pada petak III (24 tahun) sebanyak 41,17 gram/pohon. Kata kunci: pohon tusam, umur, diameter, kadar stimulan, periode pemungutan, pembagian jalur, produktivitas, getah tusam.
010/1, 2005 Pengaruh Wadah dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Hasil Penyulingan Getah Pinus dari Sumatera Barat (Effect of Storage on the Quality of the Processed Product of Pine Resin from West Sumatra ). Oleh: Bambang Wiyono, Poedji Hastoeti & Evi Kusmiyati. Buletin Penelitian Hasil Hutan 21 (1) 2003: 45-54. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Getah Pinus (Pinus merkusii) merupakan salah satu produk HHBK dari Provinsi Sumatera Barat. Getah ini diperoleh dengan cara penyadapan sistem koakan yang disertai pembakaran ringan untuk membantu memperlancar keluarnya getah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh wadah dan lama penyimpanan getah pinus yang diperoleh dari penyadapan tersebut terhadap rendemen dan kualitas hasil pengolahannya. Penyulingan getah yang disimpan dalam wadah besi-plastik menghasilkan rendemen gondorukem antara 58-63%, sedangkan rendemen minyak terpentinnya berkisar antara 20-26%. Penyulingan getah yang disimpan dalam aluminium-plastik menghasilkan rendemen gondorukem yang berkisar antara 57-63% dan minyak terpentin yang berkisar antara 22 - 27%. Sidik ragam menjelaskan bahwa wadah plastik berpengaruh sangat nyata, sedangkan waktu penyimpanan getah berpengaruh nyata terhadap kadar abu gondorukem lebih kecil dibandingan kadar abu gondorukem yang dihasilkan dari pengolahan getah yang disimpan dalam wadah besi-plastik. Penyimpan getah pinus dalam wadah aluminium-plastik sampai 6 minggu masih memenuhi persyaratan kualitas prima atau setara dengan kualitas WW, sedangkan penyimpanan getah pinus dalam wadah besi-plastik hanya sampai 4 minggu yang memenuhi persyaratan tersebut. Perpanjangan waktu penyimpanan getah pinus mengakibatkan penurunan kualitas hasil penyulinganya.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa wadah besi plastik masih dapat digunakan untuk menyimpan getah sampai dengan 6 minggu karena kualitas yang dihasilkan masih memenuhi standar SNI. Kata kunci: getah pinus, waktu penyimpanan, tempat penyimpanan, gondorukem, sifat fisiko-kimia. 011/1, 2005 Analisis Kimia Daun Pinus dan Pemanfaatannya (Chemical Analyses of Pine Needles and Their Utilization). Oleh: Bambang Wiyono & Abdul Hakim Lukman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (2) 1989: 125-128. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. At present, pine needles have no commercial value. The needles are fire hazard to both natural and plantation grown trees when they accumulate on the ground, couple with inhibition of the growth of the surrounding trees. The research purpose is to determine chemical component of pine needles of three pine i.e Pinus merkusii, P. caribaea, and P. insularis. This endeavor is conducted to explore a wider of such material. The results indicated that the moisture content of P. merkusii. P. caribaea, and P. insularis needles were 4.69%, 3.54%, and 14.79% respectively; cellulose content being 12.31%, 17.19%, and 18.54%; lignin content 29.46, 39.54, and 26.65%; pentosan content 7.04%, 5.78%, and 12.11%; ash content 3.06%, 2.40%, and 7.30%; silica content 0.44%, 0.48%, and 0.19%; acidity 5.32, 5.33, and 6.15; solubility in cold water 23.38%, 23.09%, and 17.84%; solubility in hot water 26.51, 29.62, and 17.82%; solubility in alcohol-benzene (1 : 2) 19.30, 19.14, and 11.08%. Based on this component, the pine needless may be utilized as sources of raw material for production of glucose, fructose, ethanol, ethylene, pine needle oil for pharmaceutical and perfumary industries, etc. The needles can also be used as raw material for gasification and anaerobic fermentation processes for energy production. Keywords: daun pinus, analisis kimia, pemanfaatan. 012/1, 2005 Effect of Supercritical CO 2 Extraction Temperature on the Yield of Waxes of Radiata Pine (Pinus radiata D.Don) Needles (Pengaruh Suhu
Ekstraksi Superkritikal Fluida CO 2 Pada Rendemen Lilin dari Daun Pinus Radiata). Oleh: Bambang Wiyono dan P.J. Jordan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 12 (5) 1994: 175-179. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Teknologi ekstraksi superkritikal fluida merupakan teknologi yang relatif baru yang saat ini sedang dikembangkan, terutama dalam ektraksi senyawa kimia. seperti minyak atsiri, dari produk alami. Penelitian ini bertujuan untuk mengekstraksi lilin dari daun Pinus radiata D. Don dengan teknologi eksrtaksi superkritikal fluida CO 2 pada tekanan ekstraksi 30 MPa dan pada beberapa tingkat suhu ekstraksi (40, 56 dan 72°C) selama 30 menit. Lilin ditangkap oleh perangkap dingin pertama dengan kondisi tekanan sedang 6-7 MPa dan 12-13 MPa, dan suhu 0°C. Sisanya ditangkap oleh perangkap dingin kedua pada kondisi tekanan sedang 0,1 MPa dan suhu 0°C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu ekstraksi pada tekanan sedang 6-7 MPa menyebabkan rendemen yang dihasilkan menurun, baik yang diperoleh dari perangkap dingin pertama maupun kedua. Pada tekanan sedang 12-13 MPa, rendemen yang dihasilkan mulamula turun, kemudian naik pada suhu ekstraksi 72°C, terutama pada perangkap dingin pertama. Penyebab peningkatan rendemen ini adalah setiap habis ekstraksi, pipa dan katup dimana lilin terperangkap di situ tidak dibilas dengan pelarut khloroform atau dibilas dengan cara diekstraksi lagi dengan superkritikal fluida tanpa sampel di sel ekstraksi. Untuk menunjang hasil penelitian ini, lilin hasil ekstraksi metode superkritikal fluida perlu dianalisis dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Keywords: daun pinus radiata, suhu ekstraksi, rendemen lilin. 013/1, 2005 Ekstraksi Lilin Daun Pinus dengan Teknologi Superkritikal Fluida CO 2 (Extraction of Pine Needles' Waxes by Using Supercritical Fluid CO 2 Technology). Oleh: Bambang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13 (7) 1995: 283292. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. The objectives of this research is to study the influence of flushing activities on crude waxes yield, and to study the extraction of waxes from pine needles by using supercritical fluid CO 2 technology. The extraction was carried out at an 40°C extraction temperature and at various
extraction pressures, consisting of 9,14,24 and 30 MPa. Crude waxes were precipitated in the first cold trap at 6-7 MPa intermediate pressure and 0°C, and the rest of it was precipitated in the second cold trap at an 0,1 MPa with a similar temperature. After extraction, it was always followed by flushing activities through two steps to get waxes which still remained in the valves and or in the line on the system. First flushing was performed with supercritical fluid extraction without any sample in the extraction cell. The second flushing was conducted with a chloroform solvent. Pure waxes of were purified and analysed by using High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Results indicated that the flushing activities with supercritical fluid extraction without any sample in the extraction cell followed by a chloroform solvent had agreat effect on crude waxes yield. At a 30 MPa extraction pressure and at an 40°C extraction temperature, supercritical fluid extraction with flushing gave crude wax yield four time greater than the crude waxes yield obtained by supercritical fluid extraction without any flushing, even to the crude waxes yield from the chloroform solvent extraction. The increase in extraction pressure caused an increase in crude waxes, both obtained from the first and the second cold traps. Moreover, HPLC analysis of pure waxes revealed that the elution of pure waxes took 3.70 -3.90 minutes. It was also shown that an increase in extraction pressure led to an increase in pure waxes. Keywords: daun pinus, ekstraksi lilin, teknologi superkritikal fluida.
014/1, 2005 Pengaruh Wadah dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Hasil Penyulingan Getah Pinus dari Sumatera Barat (Effect of Storage on the Quality of the Processed Product of Pine Resinfrom West Sumatra). Oleh: Bambang Wiyono, Poedji Hastoeti dan Evi Kusmiyati. Buletin Penelitian Hasil Hutan 21 (1) 2003: 45-54. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Oleoresin of pine (Pinus merkusii) is a Non Wood Forest Products commodity from West Sumatra. This oleoresin was obtained by tapping pine trees with square system followed by light burning to stimulate more oleoresin exudate to bleed. This research was carried out to assess the effect of storage time and kind of plastic laminated container for pine resin collected from the field with square tapped method, on rosin recovery rate and its physico-chemical properties.
Prior to distillation.. the pine oleoresin was kept in two kinds of containers.. i.e. plastic laminated steel and plastic laminated aluminium. The distillation of pine oleoresin kept in plastic laminated container produced about 58-63% of rosin and 20-26% of turpentine oil, respectively. Meanwhile, the distillation products of pine oleoresin previously kept in plastic laminated aluminium amounted to 56-63% of rosin recovery and 22-27% of turpentine. Analysis of variance of the experimental results indicated that container and storage time caused significant effect on ash content of rosin. The ash content of rosin from pine oleoresin after being kept in plastic laminated steel container was somewhat lower than that of the one being kept in plastic laminated steel container. The storage time of pine oleoresin up to 6 weeks in aluminium container could produce the rosin still comply with its prime quality and equivalent to WW (Water White) quality of rosin. Meanwhile, the storage time of pine oleoresin in steel container could last only for 4 weeks to meet the requirement to produce at such quality. The prolonged storage time of pine oleoresin caused the decrease in rosin quality. It is concluded that a plastic laminated container can be used to keep pine oleoresin up to 6 weeks, and still rendering a prime quality rosin based on the Indonesian National Standard. Key word: pine oleoresin, storage time, plastic laminated container, rosin, physico-chemical properties. 015/1, 2005 Pengaruh Anhidrida Asam Maleat terhadap Sifat-sifat Sabun Gondorukem (The Influence of Maleic Unhydride Acid on Rosin Soap Properties). Oleh: Toga Silitonga. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (4) 1988: 173 -176. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Levopimaric acid, with its two double bonds conjugated in the same ring, can react with -, - unsaturated carbonyl compounds in a Diels-Alder reaction. This reaction is the basis for preparation of fortified rosin soap by addition of maleic unhydride. The research purpose is to study the influence of maleic unhydride addition on moisture content, total rosin, combined rosin, free rosin, and unsaponifiable matter of rosin soap properties. Results indicate that the inclusion of maleic unhydride during the soap making process has a highly significant effect on the overall rosin
soap properties. Furthermore, the LSD test of the difference between unfortified and fortified rosin soap properties appeared to be highly significant in favor of the fortified one. Therefore, it is advisable to fortified rosin soap for better and efficient result in the rosin size manufactures. Keywords: gondorukem, anhidrida asam maleat, sifat sabun. 016/1, 2005 Pengaruh Jenis Pelarut Organik dan Umur Daun Pinus terhadap Rendemen Lilin (Effect of Organic Solvents and Pine Needles Age on Wax Yields). Oleh: Bamhang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13 (2) 1995: 52-59. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. The objective of this research is to study the effect of organic solvents and pine needles’ age on wax yields. The organic solvents used in extracting wax consisted of chloroform, n-hexane and ethanol; however, the radiata pine needles' age used as raw materials for the extraction were primary pine needles (one year old or less), secondary pine needles (two or more years old), and mixture of both. The data were analyzed with an A x B factorial design, where A represented organic solvents and B depicted pine needles' age. The difference between means of wax yields calculated with an LSD method in the SAS computer packages. Result showed that organic solvents, pine needles' age and the interaction of both gave a highly significance on wax yields. Compared to the other combinations, a combination of a chloroform solvent and secondary pine needles produced the highest of wax yield. A wax yield obtained by, extracting secondary pine needles was statistically similar to a wax yield obtained from a mixture of both primary and secondary pine needles. A chloroform solvent is a good solvent to extract pine needle waxes from any kind of pine species. Keywords: daun pinus, pelarut organik, rendemen lilin.
017/1, 2005 Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Rendemen Lilin Daun Tusam (Pinus Merkusii Jung Et De Vriese). Oleh: Bambang Wiyono. Info Hasil Hutan 3 (2) 1996: 23-28. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Sampai saat ini daun Pinus merkusii Jung et De Vriese belum banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, antara lain untuk produksi lilin. Sehubungan dengan hat tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh lama penyimpanan daun tusam terhadap rendemen lilin yang dihasilkan. Lama penyimpanan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 0 dan 4 minggu. Hubungan antara lama penyimpanan dan rendemen lilin yang dihasilkan dianalisis dengan regresi dalam paket SAS. Penelitian menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen lilin yang dihasilkan. Daun yang tidak disimpan atau dalam keadaan segar memberikan rendemen lilin tertinggi dibandingkan lama penyimpanan lainnya. Hubungan antara rendemen lilin clan lama penyimpanan dinyatakan dalam persamaan Y = 0,94917 0,05875 x, di mana Y adalah rendemen lilin dan X adalah lama penyimpanan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa setelah pemanenan, daun Pinus merkusii Jung et De Vriese harus segera di ekstraksi untuk memperoleh rendemen lilin yang tinggi. Kata kunci: lilin, daun tusam, penyimpanan, rendemen. 018/1, 2005 Percobaan Fraksionasi-Distilasi Minyak Terpentin dari Pinus Merkusii Jung Et De Vriese (Fractional Distillation Experiment of Pinus merkusii Jung Et De Vriese Turpentine Oil). Oleh: Bambang Wiyono & Toga Silitonga. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (4) 1989: 231-234. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Turpentine oil was optained from rosin factory in Paninggaran, Central Java, and Sukun, East Java. Both samples were separated by fractional distilation into several fractions. The distilling was conducted at boiling temperature with atmospheric pressure. The boiling point ranges were 156 –164°C for the first fraction; 164 -167°C for the second fraction; 167 -170°C for the third fraction; and 170°C and upward for the residual fraction.
The results indicated that the amount of turpentine fractions from Paninggaran and Sukun were consecutively 73.60 and 70.0% of first fraction: 13.40 and 15.80% of second fraction; 3.17 and 3.79% of third fraction; and 9.97 and 9.86% of the residual. Based on the boiling temperoture of each component, the first froction IS assumed to (contain n-heptane; β-thurene, α-pinene, and camphene; β-pinene and myrcene in the second fraction; myrcene, (β-phellandrene, and Δ3-carene in the third froction; and the residual fraction contains, β-phellandrene. Δ3-carene, pcymene, limonene, α- and Y-terpinene, etc. The major components of turpentine oil are α-and β-pinene. These components can be obtained by decreasing the boiling range to 154 -158°C for α-pinene and 164 -166°C for β-pinene. The fractional destillation with these temperatures is expected to increase the utilization of turpentine as raw material for synthetic pine oil, per-fumery, etc. Keywords: Pinus merkusii, fraksionasi distilasi, minyak terpentin. 019/1, 2005 Analisis Kimia Daun Pinus dan Pemanfaatannya (Chemical Analyses of Pine Needles and Their Utilization). Oleh: Bambang Wiyono & Abdul Hakim Lukman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (2) 1989: 125-128. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. At present, pine needles have no commercial value. The needles are fire hazard to both natural and plantation grown trees when they accumulate on the ground, couple with inhibition of the growth of the surrounding trees. The research purpose is to determine chemical component of pine needles of three pine i.e Pinus merkusii, P. caribaea, and P. insularis. This endeavor is conducted to explore a wider of such material. The results indicated that the moisture content of P. merkusii, P. caribaea, and P. insularis needles were 4.69%, 3.54%, and 14.79% respectively; cellulose content bei/'!/;' 12.31%, 17..19%, and 18.54%; lignin content 29.46%, 39.54, and 26.65%; pentosan content 7.04 %, 5.78%, and 12.11%; ash content 3.06%, 2.40%, and 7.30%; silica content 0.44%, 0.48%, and 0.19%; acidity 5.32, 5.33, and 6.15; solubility in cold water 23.38%, 23.09%, and 17.84%; solubility in hot water 26.51%; 29.62%, and 17.82%; solubility in alcohol-benzene (1 ..2) 19.30%, 19.14%, and 11.08%. Based on this component, the pine needli!s may be utilized as sources of raw materail for production of glucose, fructose,
ethanol, ethylene, pine needle oil for pharmaceutical and perfumary industries, etc. The needles can also be used as raw material for gasification and anaerobic fermentation processes for energy production. Keywords: daun pinus, analisis kimia, pemanfaatan. 020/1, 2005 Modifikasi Teknik Penyadapan Tusam (Pinus merkusii Jungh et. de. Vriese) untuk Meningkatkan Produktivitas Getah. Oleh: Dendi Setyawan dan Erra Yusnita. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan, 2000: 387 – 397. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Penyadapan getah tusam (Pinus merkusii Jungh et.de. Vriese) yang dilakukan Perum Perhutani selaku pengelola hutan di Jawa cukup lama dan menunujukkan hasil yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat da ri perkembangannya yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Ditinjau dari kenaikan produksinya, laju pertumbuhan tersebut cukup menggembirakan dan hal ini menunjukkan bahwa kesempatan dan prospek pemasarannya masih sangat terbuka luas. Sejalan dengan hal itu, maka upaya meningkatkan produksi getah tusam perlu ditingkatkan. Secara intensif Perum Perhutani sendiri malakukan sadapan baru. Selain itu juga melakukan percobaan untuk mendapatkan sistem sadap yang lebih tepat. Penyadapan yang dilakukan diharapkan mampu meningkatkan produksi getah dan meminimalisasi kerusakan batang akibat sadapan. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian mengenai pengaruh umur dan kadar stimulan terhadap produktivitas getah tusam. Selain itu untuk mengetahui pengaruh faktor lain seperti diameter pohon dan arah penyadapan. Adapun sasarannya adalah untuk mengetahui dan mendapatkan modifikasi teknik penyadapan yang paling efisien, ekonomis dan aman terhadap pohon dan para penyadap dengan hasil produksi getah optimum dan berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur pohon sangat berpengaruh terhadap produktivitas getah. Pada tegakan umur 16 tahun, penggunaan kadar stimulan dan arah mata sadap yang menghasilkan getah optimum adalah 15% atau 20% dan arah sadapan timur. Pada tegakan umur 26 tahun dengan penggunaan kadar stimulan 15% dan arah sadapan Selatan atau Utara. Sedangkan tegakan umur 31 tahun
pemakaian kadar stimulan 25% dengan arah sadapannya adalah arah Barat. Kata kunci: modifikasi, teknik, getah, penyadapan, produktivitas, kadar stimulan, umur pohon. 3. Vernis 021/1, 2005 Pembuatan Vernis dari Damar dan Kopal. Oleh: Nenny Sumarliani dan Hartoyo. Prosiding Lokakarya Penelitian hasil Hutan, 2000: 353-361. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Telah dilakukan percobaan pendahuluan pembuatan vernis dari damar dan kopal dengan kualitas rendah (serbuk dan asalan) dengan berbagai jenis pelarut (toluen teknis untuk damar dan alkohol bensin teknis untuk kopal) dan berbagai perbandingan antara bahan baku dan pelarut untuk menemukan formula terbaik. Hasilnya menunjukkan bahwa vernis dari bahan baku damar yang berkualitas rendah dengan formula campuran 70% gr larutan damar (1 : 2) + 20% syntetic alkyd + 8,8% minyak tanah + 0,3% dry cobalt + 0,9% dry calcium menghasilkan vernis terbaik. Sedangkan vernis yang terbuat dari bahan baku kopal asalan dengan formula campuran 70% larutan kopal (1 : 5) + 20% syntetic alkyd + 8,8% minyak tanah + 0,3% dry cobalt + 0,9% dry calcium menghasilkan pernis dengan sifat sedang, stabil dan lama keringnya baik. Kata kunci: vernis, damar, kopal, formula campuran.
B. Minyak Atsiri 1. Minyak Cendana 022/1, 2005 Pembuatan Minyak Cendana dengan Cara Penyulingan Uap Langsung (Manufacturing of Sandalwood Oil by Using Direct Steam Distilation Method ). Oleh: Erik Dahlian & Hartoyo. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (6) 1998: 385 – 394. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Penelitian pembuatan minyak cendana dengan menggunakan destilasi uap langsung dibahas dalam tulisan ini. Tujuan penelitian ini untuk menemukan kondisi optimum perlakuan bahan baku dan lama penyulingan untuk menghasilkan rendemen minyak yang tertinggi dan kualitas yang baik. Perlakuan terhadap ukuran partikel kayu yang digunakan ada 3 macam masing-masing lolos saringan 40 mesh, terhadap saringan 40 mesh dan campuran partikel kayu dari 50% lolos 40 mesh dan 50% tertahan 40 mesh. Proses destilasi untuk setiap perlakuan dilakukan selama 25 jam di dalam alat gelas yang berkapasitas 500 gr contoh dalam bentuk serbuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, perlakuan ukuran partikel dan lama penyulingan memberikan pengaruh terhadap rendemen minyak. Rendemen minyak tertinggi adalah 2,25% diperoleh dari hasil penyulingan selama 21 jam terhadap campuran 50% partikel kayu berukuran lolos saringan 40 mesh dan 50% tertahan saringan 40 mesh. Besarnya rendemen tersebut setara dengan rendemen minyak cendana yang diproduksi dari pabrik minyak cendana di Kupang yaitu berkisar 2 3%. Analisis fisiko-kimia minyak cendana menunjukkan hasil sebagai berikut: kadar total santalol sebesar 93,32%, berat jenis 0,9729, indek bias 1,5006, bilangan asam 4,94, bilangan ester 6,35, bilangan ester setelah asetilasi 201,9 dan nilai tersebut semuanya memenuhi syarat SNI. Kandungan santalol minyak cendana dari hasil percobaan (93,32%) menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada persyaratan SNI (minimal 90%). Kendatipun demikian sifat lain seperti putaran optik (-11°) dan kelarutan dalam alkohol 70%, (1 : 6) masih belum sesuai dengan
spesifikasi SNI yang menyatakan untuk putaran optik (15°) - (-20 o) dan kelarutan dalam alkohol 70% (1 : 5). Kata kunci: minyak cendana, metode destilasi, ukuran partikel kayu, rendemen, kualitas. 023/1, 2005 Analisis Komponen Kimia Minyak Kayu Cendana Hasil Penyulingan Metode Kukus (Chemical Component Analysis of Sandalwood Oil Distilled by the Steam and Water Method). Oleh: Abdul Hakim Lukman & Bambang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 10 (1) 1992: 1-6. Pusat Penelitian dan pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The purpose of this research is to identify the chemical components of sandalwood oil by using the Gas Chromatography. The sandalwood oil was obtained by steam and water distillation of sandalwood particles which are passing and not passing through a 40 mesh screener, each for 18 and 24 hours distilling times. The identification of the peak of chemical components were done by comparing the relative retention time of the peak of chemical components to that of the chemical solution standard. The peak area of each chemical component was calculated by normalization method. The result showed that the distilling of sandalwood particles not passing 40 mesh screener for 18 and 24 hour distilling times each produced oils having as many as 26 and 28 peaks of chemical components, respectively. On the other hand, the particles passing 40 mesh screener, distilled for 18 and 24 hours exhibited as many as 28 peaks. Nevertheles, only eight chemical components could be identified from them, they are: -pinene, limonene, Q-santalene, terpineol-4, santalene nerolidol. -santalol and farnesol Teroineol-4. nerolidol. santalol and farnesol components constituted the sandalwood oil. Those where usuall, Y categoried as the total santalol. The sandalwood oil distilled from the larger particles not passing 40 mesh screener for 18 and 24 hour distilling times contained the total santalol of 79.81 and 81.45 percent, respectively. Furtheremore, the particles passing 40 mesh screener distilled for 18 and 24 hours produced oil containing 81.74 and 80.88 percent of total santalol for each distilling time. Keywords: komponen kimia, kayu cendana, penyulingan metode kukus.
024/1, 2005 Analisis Komponen Kimia Minyak Kayu Cendana dengan Kromatografi Gas (Analyses of Chemical Components of Sandalwood Oil by Gas Chromatography). Oleh: Abdul Hakim Lukman & Bambang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (7) 1988: 437 – 441. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The purpose of this research is to identify chemical components of sandalwood oil by using the gas chromatography method. The sandalwood oil was obtained by steam and water distillation for 18, 24, and 30 hours distilling times. The condition of the gas chromatography employed was adjusted to: injector temperature 200 oC, detector temperature 0 oC, initial column temperature 140 oC, final temperature column 200 oC, speed temperature column 5 oC/min, with nitrogen gas as carrier, and the using the flame ionization detector system. The identification of the peak components was done by comparing the relative retention time of the peak component with the peak retention time chemical solution standard. The peak area of each components was calculated by normalization method. The results indicated that chemical components of sandalwood oil, which was produced by the steam and water distillation for 18, 24, and 30 hours, include 0.0391, 0.0271, and 0.0313% of α-pinene; 0.0065, 0.0034, and 0.0027% of limonene; 0.9147, 0.7799, and 1.0393% ofa':santalene; 2.4375, 1.9802, and 2.3474% of terpineol-4, 1.2184, 0.7922, and 0.7921% of β-santalene; 5.7263, 3.8800, and 3.9335% of nerolidol; 48.0481, 51.1802, and 50.3507% of β-santalol; 22.4367, 24.7127, and 24,2864 70 of farnesol, Unidentified component in each distilling time were 19.1727, 15.6443, and 17.2166%, respectively. The β-santalol component occupies the mayor component of sandalwood oil. The amount of this component at each treating condition was 48.0481% for 18 hours; 51.1802% for 24 hours; and 50.3507% for 30 hours. Telpineol-4, nerolidol, β-santalol, and farnesol components constitute the sandalwood oil and is usually calculated as the total santalol. Keywords: komponen kimia, kayu cendana, kromatografi gas.
2. Minyak Eucalyptus 025/1, 2005 Percobaan Penyulingan Daun Eucalyptus dengan Cara Kukus dan Rebus (Distillation of Eucalyptus Leaves by Cohobation and Vaporization). Oleh: R. Sudradjat. Laporan (165) 1983: 1-5. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. The aim of this experiment is to learn about the yield and characteristics of oil from the leaves of four different species of Eucalyptus distilled by the cohobation and vaporization process. The result indicates that oil yield varies between 0.10 – 1.74 percent, with cineole content between 11.57 – 41.61%, specific gravity between 0.8820 – 0.9230, refractive index between 1.4682 – 1.4730 and optical rotation between (-) 2 025’48’’ – (+) 23 022’12”. E. Umbellata yields highest in oil and cineole content. The vaporization process gives a higher yield than the cohobation process. The oil’s specific gravity, refractive index and optical rotation are affected neither by Eucalyptus species nor by distillation method. Keywords: daun eucalyptus, penyulingan, kukus dan rebus. 3. Minyak Gaharu 026/1, 2005 Kuantifikasi Beberapa Parameter Kualitas Gaharu (Quantification of Several Parameters on Garro Wood Quality). Oleh: Bambang Wiyono, Neni Sumarliani, Umi Kulsum & Evi Kusmiyati. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19 (3) 2001: 137 –146. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Konsep SNI kualitas gaharu memiliki kelemahan di mana parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas bersifat kualitatif sehingga menyulitkan orang yang menentukannya. Salah satu upaya untuk mengurangi kelemahan tersebut adalah dengan membuat parameter penentu kualitas gaharu secara kuantitatif. Sehubungan dengan hal tersebut, kegiatan ini bertujuan untuk memperbaiki konsep SNI mengenai gaharu sehingga penilaian dapat dilakukan secara kuantitatif. Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan damar wangi dapat dinilai dengan kandungan resin, bobot dinilai dengan berat jenis, dan warna dinilai dengan alat kromameter. Hasil analisis parameter tersebut
menunjukkan adanya korelasi positif antara peningkatan kualitas gaharu dengan peningkatan kandungan resin, berat jenis dan warna dari contoh yang diuji. Perbaikan konsep standar kualitas gubal gaharu yang disarankan dipaparkan dalam tulisan ini. Kata kunci: kualitas gaharu, warna, berat jenis, kadar resin. 027/1, 2005 Sifat dan Kualitas Gaharu (Gonystillus Spec) (Properties and quality of gaharu (Gonystillus Spec.)). Oleh: Tjutju Nurhayati Syahri. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (2) 1989: 129 – 132. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Gaharu of Gonystillus Spec. From South Kalimantan has the following properties moisture content 5%, essential oil content 51%, caloriffic value 5655 cal/g, ash content 0.24%, and specific gravity 0.76. According to the quality clasification, the gaharu of Gonystillus spec, belong to no.1 – b, and its sales was Rp. 250.000,Lignin content of gaharu was about the same as lignin content of wood, cellulose and pentosan are somewhat lower. It was meant that lignin was not be degradated, but cellulose and pentosan was degradated by fungi in the production of gaharu. Keywords: gaharu, sifat dan kualitas. 028/1, 2005 Penentuan Parameter Persyaratan Kualitas Gaharu. Oleh: Bambang Wiyono, Erdi Santosa dan Illa Anggraeni. Info Hasil Hutan 3 (2) 1996: 29 – 36. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Sampai saat ini penentuan kualitas gaharu secara nasional belum ada. Penetuan kualitas yang dilakukan masih bersifat kuantitatif dan tidak seragam di setiap daerah. Penetuan kualitas ini dilakukan secara visual sehingga penentuan kualitas lebih banyak tergantung pada orang yang menentukannya. Dalam mengatasi hal ini perlu disusun persyaratan penetapan kualitas gaharu yang bersifat kuantitatif dan lebih obyektif. Penelitian ini merupakan langkah awal untuk mencari parameter secara kuantitatif dan kualitatif dalam menentukan kualitas gaharu.
Berdasarkan hasil pembahasan, parameter yang disarankan dalam menentukan kualitas gaharu adalah warna, kadar resin, kadar minyak, bilangan ester dan ukuran serta bentuk serpih. Untuk menilai apakah parameter tersebut dapat dijadikan sebagai kriteria, sebagai langkah awal, hanya kadar resin saja yang dinilai. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar resin meningkat dengan meningkatnya kualitas gaharu. Hal ini membuktikan bahwa kadar resin dapat di gunakan sebagai salah satu parameter dalam penentuan kualitas kayu gaharu. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk menilai kadar minyak dan bilangan ester sebagai parameter dalam penentuan kualitas gaharu. Berdasarkan hasil ini persyaratan kualitas gaharu secara kuantitatif dan lebih obyektif akan dapat disusun. Kata kunci: gaharu, persyaratan kualitas, kadar resin. 029/1, 2005 Rekayasa Alat Pendugaan Kandungan Gaharu pada Tegakkan Pohon. Oleh: Bambang Wiyono, Dendi Setyawan & Achmad Junaedi. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan 2000: 363-376. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan alat penduga kandungan gubal gaharu pada pohon sehingga dapat mengurangi penebangan pohon gaharu. Rancangan alat penduga kandungan gubal gaharu yang dibuat merupakan modifikasi dari alat untuk menentukan riap pohon. Alat penduga kandungan gubal gaharu dengan sistem bor ini dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan gubal gaharu pada pohon. Pada pohon gaharu yang diinfeksi secara alami, sebaiknya pengeboran dilakukan pada pusat infeksi yang dimulai dari pangkal pohon. Sedangkan pada pohon gaharu yang diinokulasi pengeboran dilakukan di sekitar lokasi inokulasi yang merupakan pusat infeksi. Kelemahan alat penduga kandungan gubal gaharu dengan sistem bor ini adalah contoh kayu hasil pengeboran terputus-putus dan kurang bagus. Untuk itu ketajaman mata bor dan diameter setengah lingkaran sepanjang alat penampung tersebut perlu diseragamkan agar hasilnya lebih baik. Pendugaan potensi kandungan gubal gaharu pada inokulasi buatan secara teoritis mengikuti volume prisma, sedangkan pendugaan potensi
kandungan gubal gaharu pada pohon yang terinfeksi secara alami memerlukan pengamatan lebih lanjut untuk menentukan rumus yang diperlukan untuk itu. Kala kunci: pohon gaharu, alat bor, kandungan gaharu. 4. Minyak Kayu Manis 030/1, 2005 Pengaruh Pelarut Organik dan Waktu Perkolasi terhadap Sifat Oleoresin Kulit Kayu Manis. Oleh: Bambang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 8 (6) 1991: 219-222. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. This paper is to study the effect of organic solvent and percolation time on oleoresin properties of Cassia vera bark. The organic solvents used during the percolation process to extract the oleoresin consist of ethanol and acetone. Each extraction required percolation time, consecutively 2, 3 and 4 hours. The temperature of each process was maintained at 40ºC. The experiment was conducted using the factorial design, and the trend effect of percolation time was assessed by using polynomial orthogonal analysis. The results indicated that the essential oil and cinnamaldehyde contents extracted with ethanol solvent were both significantly higher than those using acetone solvent. The polynomial orthogonal analysis revealed that the increaseing percolation time was linearly correlated with an increase in oleoresin yield and the essential oil contents. As for the ethanol the increase in percolation time tent to decrease the cinnamaldehyde only. After the percolation process, only the ethanol after solvent could be recovered by the redistillation process. Keywords: kulit kayu manis, pelarut organik, waktu perkolasi. 5. Minyak Kayu Putih 031/1, 2005 Teknik Pengolahan dan Kualitas Minyak Kayu Putih. Oleh: Suwardi Sumadiwangsa. Laporan (7) Oktober 1976. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Cajuput oil is an essential oil mainly produced by Indonesia, derived by steam distilation from leaves of Melaleuca leucadendron L. (Myrtaceae). There are three ways of steam distillation namely, water, water and steam, and direct steam distillation. Cajuput stands in Indonesian are estimated at 248,756 hectare and the production of cajuput oil at 232,545 kg or an average of 1.1 kg oil per hectare per year. This value is insignifificant considering the theoretical posible production of 28 kg oil per hectare per year. Export of cajuput oil can be increased among others by improvement of processing, marketing and quality. Since 1974 The Directorate General of Forestry has established grading rules for cajuput oil. This paper deals with the study of quality effecting factors including the processing methols on yield and quality of cajuput oil. Keywords: minyak kayu putih, teknik pengolahan, kualitas. 032/1, 2005 Penyulingan Daun Kayu Putih dengan dan Tanpa Ranting. Oleh: Suwardi Sumadiwangsa, Han Roliadi & Sunendar Djumria. Laporan (126) 1978. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Cayeput trees (Maleuca leucandendron L.) is grown extensively in the reforestation/affore station program in several part in Indonesia. Apart from protective function on the forest soil other from this tree is related to its cajuput oil content that can be extracted from the leaves. This oil has a remarkable demand at home as well as in foreign market. Extraction of such oil can be done by steam distillation of the leaves and in same cases the leaves including twigs up to 20 cm in length. Oil content in twigs is so small that can be negligible. Distillation of leaves only and of leaves including twigs were partly carried out at the cayeput oil factory in Tasikmalaya (West Java), whileother trials were conducted at the chemical laboratory of the Forest Products Research Institute (FPRI), Bogor. Oil obtained from the distillation trials was devided into three parts being the first, second, and third fraction. The devision were based on the time inteval when each fraction is collected during the distilation process. The investigation reveals that yield of oil varies between 0.70 – 0.80 percent, cineole content 0.44 – 0.48 percent, optical rotation 2.997 to –
6.653, refractive index 1.463 – 1.473, and cineole content in oil 53.4 – 60.5 percent. Both yield of oil and cineole from leaves only are higher than that of leaves with twigs. For optical rotation, however, the result is the verse. Refractive index of oil from fraction three is apt to increase whereas cineole content and optical rotation are reverse. In 80 percent alkohol, all fractions of oil obtained from the leaves with or without twigs are completely soluble in all ratios. According to the FPRI classitication scheme (1973), all fraction of cayeput oil in this experiment are categorized into prime quality. Keywords: daun kayu putih, penyulingan. 033/1, 2005 Penetapan Kualitas Minyak Kayu Putih Menurut Metode Kristalisasi. (Determination of Cajuput Oil Quality by the Cristalization Method). Oleh: Yacob Ando & Suwardi Sumadiwangsa. Laporan (167) November 1983: 13-16. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Until recently, the determination of cineol contents has been done by the mixing method, according to the Indonesian standard testing method for cayeput oils. The disadvantage of this method lies in the use of relatively large quantities and expensive resorcinol pro analyses reagent. The modification of the method, i.e. the crystallization method turn out to be valid. This method requires smaller quantities of resorcinol and has been adopted for the determination of cineol content of eucalypt oil. The objectve of this study in to test suitability of the cristallizatin method for determining cineol content of cayeput oil. The result of this study reveals that the crystallization nethod for determining cineol content of cayeput oil. Keywords: minyak kayu putih, kualitas, kristalisasi. 6. Minyak Kenanga 034/1, 2005 Pengaruh Metode dan Waktu Penyulingan terhadap Rendemen dan Sifat Fisiko Kimia Minyak Kenanga (Influence of Distilling Time And Methods on
Yield And Physico-Chemical Properties of Cananga Oil). Oleh: Bambang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 7 (1) 1990: 25-27. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. This paper described the study on the effect of distilling time and methods on yield and physico-chemical properties of cananga oil. The distillation methods applied were water distillation and water-steam distillation with the distilling time being 8, 16, and 24 hours, consecutively. The results were analysed using the randomized completely block design, and the difference between means were tested with the Least Significant Difference method. The results showed that the distilling method appeared to have significant effect on the saponification and ester numbers, whereas, the oil yield was significantly increased with prolonged distilling time. Water distillation method produced higher quality of cananga oil than that produced by the water-steam distillation one. This was indicated by a higher ester number of the oil obtained by the water distillation. Keywords: minyak kenanga, penyulingan, rendemen, sifat fisiko kimia. 7. Minyak Keruing 035/1, 2005 Sifat Dasar Minyak Keruing dan Kemungkinan Penetapan Baku Mutunya (Basic Properties of Keruing Oil and Determining Possibility on its Standard ). Oleh: Bambang Wiyono, Hartoyo, Poedji Hastoeti. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18 (2) 2000: 123 –135. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang sifat dasar minyak keruing. Sedangkan sasarannya adalah untuk mengetahui kemungkinan penetapan standar mutunya. Data sifat fisiko-kimia minyak keruing yang diperoleh dari laboratorium maupun dari penelusuran pustaka disusun dan disatukan berdasarkan cara ekstraksinya. Selanjutnya, nilai tengah, kesalahan standar, standar deviasi dan koefisien variasi dianalisis dengan menggunakan Microsoft excel. Nilai rataan sifat fisiko-kimia ditentukan berdasarkan nilai selang kepercayaan. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari sifat fisiko-kimia minyak keruing yang dianalisis, sifat yang meliputi berat jenis, indek bias dan
bilangan ester mempunyai koefisien variasi yang kecil (di bawah 20%), sedangkan ketiga sifat lainnya yang terdiri dari putaran optik, bilangan asam dan bilangan penyabunan mempunyai koefisien variasi yang tinggi, di atas 20%. Tidak semua jenis kayu keruing mempunyai kandungan utama a-gurjune dalam minyaknya. Kandungan a-gurjune tertinggi 86%, terendah adalah tidak mengandung komponen a-gurjune sama sekali. Berdasarkan hal tersebut di atas, kemungkinan persyaratan mutu minyak keruing yang diusulkan adalah: - Berat jenis 0,9180 - 0,9636 - lndek bias 1,4979 - 1,5041 - Putaran optik -37,57 - -3,81 0 - Bilangan asam 1.63 - 7,95 - Bilangan penyabunan 2,28 - 11,48 - Bilangan ester 3.24 - 4,32 - Kandungan a-gurjune, min 50% Kata kunci: konsep standar, minyak keruing, sifat fisiko-kimia. 036/1, 2005 Sifat Fisiko-kimia Minyak Keruing yang Dihasilkan dari Metode Penyulingan Uap (The Physico-Chemical Properties of Keruing Oils Obtained by Steam Distillation Technique). Oleh: Bambang Wiyono. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14 (1) 1996: 24 –30. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Minyak keruing dapat diperoleh melalui pemisahan minyak dari getah keruing dengan cara penyulingan atau penyulingan secara langsung dari kayu keruingnya. Sehubungan dengan cara yang terakhir, tujuan penelitian ini untuk mempelajari sifat fisiko-kimia minyak keruing yang diperoleh dari penyulingan metode uap limbah dari berbagai campuran jenis kayu keruing. Limbah ini diambil tiga kali dari industri pengolahan kayu lapis di Kalimantan Timur. Setiap contoh limbah disuling dengan metode uap dan minyak yang dihasilkan diuji sifat fisiko-kimianya. Perbedaan nilai rataan sifat minyak dari limbah tersebut diuji dengan Beda Nyata Terkecil menurut prosedur SAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah kayu keruing berpengaruh sangat nyata terhadap nilai indek bias, putaran optik, bilangan asam dan bilangan esternya; dan berpengaruh secara nyata terhadap bilangan penyabunannya. Analisis selanjutnya menunjukkan
bahwa sifat bilangan asam dan bilangan esternya minyak yang berwama jernih berbeda nyata dibandingkan dengan minyak yang berwama kuning muda pucat atau kuning muda; sedangkan bilangan penyabunan minyak yang berwama kuning berbeda nyata dibandingkan sifat bilangan penyabunan kedua minyak yang lainnya. Di antara minyak keruing yang dihasilkan tersebut, sifat indek biasa dan putaran optiknya berbeda secara nyata satu dengan yang lainnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, apabila limbah kayu keruing akan dijadikan sebagai bahan baku untuk produksi minyak keruing, sebaiknya dilakukan pemisahan antara limbah kayu keruing yang mengandung minyak atau getah dengan limbah kayu keruing yang tidak mengandung minyak atau getah sebelum diproses lebih lanjut. Kata kunci: minyak keruing, Diptetocarpus spp, penyulingan uap, sifat fisiko-kimia minyak.
037/1, 2005 Pengaruh Jenis Pelarut dan Ratio Getah dan Volume Pelarut terhadap Rendemen dan Sifat Fisiko-kimia Minyak Keruing (Effect of Organic Solvent and Keruing Gum and Solvent Ratio on Oil Yield and its Physico-Chemical Properties). Oleh: Bambang Wiyono. Buletin Penelitian Hasil Hutan 16 (3) 1998: 149 –161. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian terdahulu dengan tujuan untuk mengetahui rendemen dan sifat fisiko-kimia minyak hasil ekstraksi minyak dari getah keruing dengan pelarut organik. Sedangkan sasarannya adalah untuk mengetahui kondisi yang cocok untuk memisahkan minyak keruing dari getahnya. Getah hasil perebusan dolog dalam larutan garam dilarutkan dalam petroleum eter atau heksana, dievaporasi dan didistilasi untuk memperoleh minyak keruing murni. Untuk melihat pengaruh jenis pelarut dan ratio getah dan volume pelarut dianalisis dengan rancangan acak lengkap faktorial, sedangkan nilai rataannya dianalisis dengan uji Duncan menurut prosedur SAS. Rendemen minyak keruing kasar yang dihasilkan sekitar 33,07% (b/b), sedangkan hasil pemurnian minyak kasar berwarna jernih dengan rendemen sekitar 17,95% dari getah. Minyak keruing murni ini mempunyai sifat berat jenis sekitar 0,9735 – 0,9771; indeks bias 1.4952 1,4989; putaran optik -13.04 - -12,17 0; bilangan asam 0,3942 – 0,8792;
bilangan penyabunan 3,4816 – 5,254; bilangan ester 2,752 – 4,958 dan kadar sisa pelarut 1,013 - 3.910% (v/v). Jenis pelarut petroleum eter dan heksana, tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen maupun sifat fisiko-kimia minyak, tetapi tingkat perbandingan getah dan volume pelarut memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap rendemen, berat jenis, bilangan penyabunan dan bilangan ester, sedangkan kombinasinya hanya berpengaruh nyata terhadap bilangan ester dan bilangan penyabunan. Semakin tinggi tingkat perbandingan pelarut cenderung menurunkan berat jenis, indeks bias, bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan ester dan meningkatkan kadar sisa pelarut dan putaran optik. Kombinasi pelarut heksana atau petroleum eter dengan perbandingan getah dengan volume pelarut dapat digunakan untuk mengekstrak minyak keruing dari getahnya. Kata kunci: getah keruing, ekstraksi, hidrodistilasi, pelarut organik, sifat fisiko-kimia minyak. 8. Minyak Masoy 038/1, 2005 Penyulingan Kulit Masoy (Cinnamomum xanthoneuron BL.) Bagian I: Pengaruh Cara dan Waktu Penyulingan Kulit Masoy [Distillation of Masoy bark (Cinnamomum xanthoneuron BL.). Part I: The Effect of Distilling Method and Time]. Oleh: Abd. Hakim Lukman, Bambang Wiyono & Poedji Hastoeti. Jurnal Penelitian Hasll Hutan 9 (7) 1991: 291 -293. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. This paper describes a preliminary experiment on the effect of distillation method and time on yield of masoy bark oil. The methods applied were cohobation and water-steam method with distilling times of 3, 9, 18, 30 and 36 hours, consecutively. The result shows that the distilling time and method appeares to have a highly significant effect on oil yiekl and the cohobation method produces higher oil yield compared with water steam distillation. Keywords: kulit masoy, penyulingan, cara dan waktu.
9. Minyak Sabal-sabal 039/1, 2005 Beberapa Sifat Minyak Sabal-sabal (Cinnamomum subavenium) (Some Properties of Sabal-sabal (Cinnamomum subavenium) Oil). Oleh: Gustan Pari. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11 (2) 1993: 45-48. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The physico-chemical properties and identification of new essential oils from Cinnamomum subavenium Miq (Sabal-sabal) bark prepared by using vacum destillation process is presented in this paper. The bark used was subjected to three different position i.e.: top, middle and bottom. The physico-chemical properties observed are specific gravity, acid value, ester content, solubility in ethanol 80%, refractive index at 20°C, and optical rotation. The major components of essential oils were identified by using peak enrichment technique and retention data from essential oil standart of the Gas Liquid Chromatographic method. In addition, the yield was determined. The result shows that the yield ranges from 1.73 -1.87% specific gravity at 25°C from 0.93689 - 0.94454, refractive index at 20°C from 1.47966 - 1.48542, optical rotation at 25°C from -11°9’ to - 12°39’, acid value from 1,02 -1.34, ester content from 6.45 - 8.29 and solubility in ethanol 80% is soluble in 1 : 1. The composition of major components of the Sabal-sabal oil were iso borneol ranges from 17.75 - 22.15%, aldehyde C-11 from 6.09 - 17.11%, cineol from 13.20 - 14.23%, iso bornyl acetate from 5.28 - 8.47%, terpinyl acetate from 5.21 - 8.81%. Furthermore some components found in the oil wereaa pinen, pinen, terpinene, caryophyllene, aldehyde C-9, cinamaldehyde and hidroxy citronellol. Based on major components and its derivatives the oil is used in the perfumery and flavor industry. Keywords: minyak sabal-sabal, sifat fisiko kimia. 10. Minyak Terpentin 040/1, 2005 Analisis Komponen Kimia Minyak Terpentin dari Cianjur dan Pekalongan Timur (Analysis of Chemical Components of Turpentine Oil from Cianjur and Pekalongan Timur). Oleh: Abdul Hakim Lukman & Bambang
Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 8 (6) 1991: 243-246. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The purpose of the study is to identify chemical components of turpentine oils fraom Cianujur, West Java, and Pekalongan Timur, Central Java. The analysis was conducted using Gas Chromatography method. The relative retention time of the standard solution before the emergence of α-pinene peak was predetermined prior to the analysis of the α-pinene of the samples. The peak area of each chemical components was then calculated by normalization method. The result showed that there are respectively, 12 and 7 components of turpentine identified from samples from Cianjur and Pekalongan Timur. The chemical components of turpentine oil from Cianjur consistsed of α- and β-pinene, camphene, ∆-3-carene, limonene, βphellandrene, α- and γ-terpinene, p-cymene, terpinolene, caryophyllene, and humulene. Those from Pekalongan Timur comprised α and βpinene, camphene, ∆-3-carene, terpinene, limonene, and caryophyllene. The α-pinene forms the mayor portion of turpentine oil, amounting to. 72.9% from Cianjur and 71.3% from Pekalongan Timur. Keywords: terpentin, komposisi kimia, Cianjur, Pekalongan Timur.
C. Minyak Lemak 1. Minyak Kemiri 041/1, 2005 Pengaruh Suhu dan Waktu Pemasakan Biji Kemiri terbadap Sifat Minyaknya (Effect of Temperature and Cooking Time of Candle-nut Seed on its Oil Properties). Oleh: Erra Yusnita, Bambang Wiyono & Dendi Setyawan. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17 (2) 1999: 101-112. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu dan waktu pemasakan biji kemiri terhadap sifat fisiko-kimia minyak kemiri, sehingga didapat kondisi pemasakan biji yang terbaik. Rancangan percobaan yang dipergunakan adalah Acak Lengkap Faktorial, yang terdiri dari dua faktor, yaitu suhu pemasakan (A) dan waktu pemasakan (B). Faktor A dalam 3 taraf yaitu 95, 105 dan 115˚C, sedangkan faktor B dalam 4 taraf yaitu 20, 30, 40 dan 50 menit. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa suhu dan waktu pemasakan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen, bobot jenis, indeks bias dan bilangan peroksida minyak kemiri. Waktu pemasakan berpengaruh nyata pada viskositas dan kadar asam lemak bebas tetapi berpengaruh sangat nyata pada bilangan iod. Juga didapatkan bahwa suhu dan waktu pemasakan serta interaksi kedua faktor berpengaruh sangat nyata pada bilangan penyabunan minyak kermiri. Interaksi kedua faktor hanya berpengaruh terhadap kejernihan (transmisi). Hasil menunjukkan bahwa rendemen minyak kemiri yang tinggi dengan sifat fisiko kimia yang baik diperoleh dari kombinasi suhu 95˚C dan waktu pemasakan 30 menit, yaitu 52,72%; dengan sifat fisiko kimia yang dapat bersaing dengan minyak biji ramin yaitu: bobot jenis 0,9268; indeks bias 1,4739; viskositas 50,37 cp; transmisi 79,30%; kadar asam lemak bebas 1,6380%; bilangan iod 158,75; bilangan peroksida 1,1572 mg O² per 100 gr dan bilangan penyabunan 191,12. Alternatif lain kombinasi suhu dan waktu pemasakan adalah pada suhu 105°C dan waktu pemasakan 20 menit. Kata kunci: biji kemiri, rendemen, suhu pemasakan, sifat fisiko kimia, waktu pemasakan.
042/1, 2005 Pengaruh Perlakuan Pendahuluan Biji Kemiri terhadap Rendemen dan Sifat Minyaknya. Oleh: Bambang Wiyono dan Poedji Hastoeti. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11 (5) 1993: 174-178. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The purpose of this research is to study the pretreatment effects of candle nut seed oil on oil yield and its properties. Pretreatments consisted of dry-frying, steaming and unpretreatment. The dry frying was carried out at 100ºC for 15 minutes, and steaming was carried out for 30 minutes at the same temperature. Each preteatment was pressed at 110 kg/cm² and at a room temperature for 5 – 15 minutes. The data obtained were analyzed by using the completely randomized design, and the difference between means were tested with the LSD prosedure. The results showed that pretreatment gave a higly significant effect on oil yield, specific gravity, saponification number and unsaponifiable matter. It also provided a significant effect on acid number and acid content calculated as oleic acid. The dry frying prodeced the highest of oil yield, a higher specific gravity, and a lower acid number, acid content and unsaponifiable matter than the steaming pretreatment. Compared to the untreatment, the dry-frying gave a higher saponification number and unsaponifiable matter. Based on the oil yield, specific gravity and acid number, the dry-frying method is the best pretreatment compared to the others. Keywords: biji kemiri, perlakuan pendahuluan, rendemen, sifat minyak. 043/1, 2005 Pengaruh Lama Pemasakan Biji terhadap Rendemen dan Sifat FisikoKimia Minyak Kemiri (The Effect of Cooking Duration of Kemiri Nut on the Yield and Physico-Chemical Properties of the Oil). Oleh: Erra Yusnita, B.Wiyono & Haryono. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19 (1) 2001: 1-8. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Tanaman kemiri tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Sedangkan di Indonesia tanaman kemiri tersebar luas hampir di seluruh wilayah nusantara. Biji kemiri (Aleuritus mollucana Will) selain digunakan untuk bumbu penyedap masakan, dapat pula dimanfaatkan untuk obat
tradisional. Daging biji kemiri memiliki kadar gizi dan energi yang sangat tinggi (terlebih kadar minyaknya). Minyak kemiri mempunyai sifat-sifat khusus, dimana minyak ini mudah mengering bila dibiarkan di udara terbuka. Oleh karena itu minyak kemiri dapat digunakan sebagai minyak pengering dalam industri cat dan vernish. Sifat minyak kemiri yang dihasilkan, antara lain dipengaruhi oleh metode ekstraksi dan mutu bahan bakunya. Sehubungan dengan itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu pemasakan biji kemiri terhadap rendemen dan sifat fisiko kimia minyak yang dihasilkan, dan sasarannya adalah untuk memperoleh kondisi waktu pemasakan biji kemiri yang optimal, sehingga persyaratan kualitas minyak kemiri yang dihasilkan memadai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan waktu pemasakan berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen, berat jenis, transmisi, kadar asam lemak bebas dan bilangan iod minyak yang dihasilkan. Minyak yang dihasilkan dengan lama pemasakan 30 menit merupakan kondisi pemasakan yang terbaik, dengan rendemen sebesar 49,94%, bilangan iod = 158,657; kadar asam lemak bebas = 1,1399; berat jenis = 0,9211 dan tranmisi = 76,45. Kata kunci: rendemen, sifat fisiko kimia, waktu pemasakan. 2. Minyak Tengkawang 044/1, 2005 Ekstraksi Lemak dari Biji Tengkawang Tungkul (Shorea stenoptera Burck) dengan Beberapa Pelarut Organik (Fat Extraction of Illipe nut Kernels (S. stenoptera Burck) with Several Organic Solvents). Oleh: Bambang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (2) 1989: 121-124. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The purpose of this research is to study the effect of several organic solvents and storage time on fat content, acidity, and free fatty acid content of Illipe nut kernels (S. stenoptera Burck). The treatment effect was analysed by using a randomized complete block design. The result indicated that storage time reduced moisture content of Illipe nut kernels (S. stenoptera Burck), but on the contrary the storage treatment tended to increased the ash content. Extended storage time
decreased fat content significantly. Acetone solvent extraction produced highly significantly effect on fat and free fatty acid content than that of the other solvents. Biochemical activity of Illipe nut kernels (S. stenoptera Burck) degraded the quality, optimum storage condition is desired. Keywords: tengkawang tungkul, ekstraksi lemak, biji, pelarut organik. 045/1, 2005 Pengaruh Pengukusan Terhadap Kualitas Biji Tengkawang (Shorea stenoptera). (Effect of Steaming on The Quality of Tengkawang (Shorea stenoptera) Seed). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11 (2) 1993: 53-56. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The experiment is to study the steaming effect of tengkawang seed (Shorea stenoptera) on both yield and quality. The steam period of samples is 0, 15, 20, 25, and 30 minutes at temperature of 97.5°C, and at ambient pressure. A sample was extracted by hydraulic pressing at 25 kg/cm2 and temperature of 90°C for one hour. The determinations including yield of fat, acid value, peroxid value, saponification value, iodine value, impurity, water content, melting point, and specific gravity. The experiment shows that the more steaming period, the less yield of fat. Fat qualities are affected by steaming periods, except Iodine value, Melting point, and Impurity. However, the fat yield and its quality of the untreated seed is better than the treated ones. Keywords: biji tengkawang, kualitas, pengukusan. 046/1, 2005 Pengolahan Lemak Tengkawang dengan Cara Pengempaan Hidraulik (Fat Processing of Illipe Nuts With a Hydraulic Pressing Technique). Oleh: Bambang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13 (6) 1995: 215-221. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Observations in this research were conducted in the Illipe fat industry and in the laboratory. The observation in the fat industry was to get a clear description of the fat processing of Illipe nut, whilts in the laboratory was to study the extraction process of Illipe fat with a hydraulic pressing technique. The pressure were conducted at several pressing levels: 25, 50, and 75 kg/cm2, at a pressing temperature of 50 60ºC for 20 minutes, respectively. To produce Illipe fats, the industry applies a combination technique of hydraulic pressure and hexane extraction. The yield of fat with this combination technique is around 40 - 50%. However, the results of experiment in the laboratory showed that at an 50 kg/cm 2 pressure produced yield of fat with a high quality indicated by the highest value of iodine number. Keywords: lemak tengkawang, pengolahan, pengempaan. 047/1, 2005 Pengaruh Tempat Tumbuh, Jenis dan Diameter Batang terhadap Produktivitas Pohon Penghasil Biji Tengkawang (The Effect of Growth Site, Species, and Steam Diameter of Tengkawang Trees on Seed Productivity). Oleh: Ina Winarni, E.S. Sumadiwangsa & Dendy Setyawan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22 (1) 2004: 23-33. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Tengkawang merupakan komoditi andalan dari Kalimantan Barat yang dijual dalam bentuk biji kering yang umumnya untuk ekspor dan sebagian hasil olahannya diimpor kembali oleh Indonesia dalam bentuk bahan jadi dan setengah jadi untuk aneka industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lokasi (tempat tumbuh), jenis dan diameter terhadap produktivitas pohon penghasil biji tengkawang, sedangkan sasaranya adalah menghasilkan informasi produktivitas dan daur teknis yang dapat dipakai sebagai acuan pengembangan pengusahaan biji tengkawang. Penelitian menunjukan bahwa produksi tengkawang tertinggi dihasilkan dari pohon yang berdiameter 60-90 cm yang menghasilkan biji sebanyak 555,7 kg/pohon/panen. Produktivitas rata-rata tertinggi dihasilkan dari jenis Shorea stenoptera Burk di Sanggau yang menghasilkan biji sebanyak 620,9 kg/pohon/panen. Beberapa saran untuk pengembangan budidaya tengkawang adalah seperti berikut: Shorea
stenoptera Burk dapat ditanam di Sanggau dan di Sintang, Shorea stenoptera Burk Forma Ardikusuma dapat ditanam di Sintang dan Sanggau, Shorea palembanica Miq dapat ditanam di Sanggau dan di Sintang. Kata kunci: tempat tumbuh, jenis, diameter, biji tengkawang, produktivitas. 048/1, 2005 Pengaruh Waktu Penyimpanan dan Cara Pengolahan terhadap Kualitas Biji Tengkawang (Shorea stepnoptera) (Effect of Stroge Time and Processing Method on the Quality of Tengkawang Seeds). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa, Han Roliadi, Siti Hasanah. Laporan (74) 1976. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Samples of seed used in this investigation include six species i.e.: Shorea compressa Burck, S. pinanga Scheff., S. stenoptera Burck, S. seminis W.SI., S. palembanica Miq., and S. lepidota Bl. From the experimental forest in Haurbentes, Bogor. Eash seed species undergoes steaming and soaking, after which seed samples are divided into four separate groups, to be stored for 0, 4, 8 and 12 months. Physico-chemical properties of each group tested include moisture content, impurities, fat content and acid number. Moisture content varies from 6.3 to 15.0 percent; impurities from 0.02 to 36.6 percent; fat content from 48.4 to 65.2 percent, and acid number from 4.12 to 115.2 percent. Highest moisture content is found on both steamed and soaked s. palembanica seed, when stored for 0 and 4 months. Decreasing values of moisture content are fond according to the following order: S. seminis, S. lepiodata, S. compressa, S. pinanga and S. stenoptera, except when stored for 8 and 12 months, aftar which no significant difference in moisture content is observed. In general it turns uc that the longer the storage duration, the lower moisture contant and fat content, while for impurities and acid number the reserve is true. Storage time exceeding 8 months, causes the acid number to decrease. Steaming results in lower fat content, higher moisture content, impurities and acid number compared to soaking. Considering the Indonesia requirements for tengkawang seed, only S. stenoptera and S. pinanga processed by soaking and stored for 4 months
can be classified as Iic quality, however, when stored for 0 – 3 months it is of Iia qulity. The all tested seed species have lower durability when processed by the steaming method. To remedy this shortcoming, an investigation is considered necessry to find suitable condition and processing method, and the possibility for the use of preservatives. Keywords: biji tengkawang, kualitas, waktu penyimpanan, cara pengolahan.
049/1, 2005 Biji Tengkawang sebagai Bahan Baku Lemak Nabati (Tengkawang Kernels as Raw Material for Vegetable Fat). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa. Laporan (91) Juli 1977. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Tengkawang fat is also know as “borneo tallows” or “green butter” used edible oil, cocoa, lipstick and margarine. This fat can be isolated from tengkawang kernels by mechanical or chemical extraction. Tengkwang kernels are produced by several tengkawang tree species, which grow sporadically in the jungle, especially in the western and central region of Kalimantan. Their fruits have to be collected as soon as possible after they fall to the ground to avoid germation or consumption by animals. The potential production of tengkawang kernels in Kalimantan is appoxi mately 90.000 ton per annum. Export of this commodity was 16,676 ton in 1973. The larger portion of the production has not been utilized. One of the problems in the intensification of tengkawang exploitation in Kalimantan is due to the high production of kernels in the dry season, but low production in the rainy season, which causes difficulties in marketing. In addition, poor processing technique causes kernels to deteriorate during storage or transportation. Both problems may be solved by swiching the system from kernels merketing to fat marketing which prolongs safe storing time, extends marketing, simplifies transportation and provides more job opotumities. Keywords: biji tengkawang, lemak nabati.
050/1, 2005 Biji Tengkawang untuk Produksi Lemak dan Kemungkinan Pemanfaatannya sebagai Bahan Pangan. Oleh: Lina Rusliana dan Suwardi Sumadiwangsa. Laporan (164) 1982: 13 - 21. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Kalimantan is an important source of tengkawang kernel. However most of the tengkawang kernel production from this island has been destined for export. Further processing of the raw material within Indonesia is actually possible, as tengkawang kernel is rich in fatty sustance, which after extraction and purification can be used as edible oil known as cacao butter. Other possible uses of the fat are for the manufacture of candle, soap, cosmetics and dissolving. Viewing its potential role as industrial raw matrial, an investigation on the extraction method, of tengkawang kernel species, namely tengkawang terendak (Shorea seminis V.Sl.), tengkawang layar (Shorea gysbertsiana Burck) and tengkawang tungkul (Shorea stenoptera Burck). All species were extracted through pressing method (temperature 115 o- 140 oC, pressure 60 kg/Cm2) rendering method (100 oC), dissolving method (benzene), followed then by purification. The result of the chemical analyses and statistical test shows that tengkawang species have significant effect on the yield of crude and purified fat, ash content, specific gravity, and acid number of the tengkawang fat. Extraction method on the other hand has significant effects on the yield of crude fat acid number and free fatty acid content. Free Fatty Acid is one of the criteria to determine the quality of tengkawang fat. For example the allowable free fatty acid content for fat or edible oil should be not meore than 5%. As the tengkawang fat produced in this study has free fatty acid content which wxceeds 5%, this fat is hence unsuitable to be used for edible oil. Keywords: produksi lemak, pemanfaatan, bahan pangan. 051/1, 2005 Analis Sifat Fisiko-kimia Tengkawang dari Kalimantan. (The Physicochemical Analysis of Tengkawang from Kalimantan). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa dan Toga Silitonga. Laporan (31) 1974: 15 halaman. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Tengkawang is considered to be one of the forest products other than wood that is included as one of the export commodities. Its quality depends on the location, species, method of processing and aging Shorea stenoptera Burck, Shorea gysbertsiana Burck, Shorea lepidota BL. and Shorea seminis B.SL. are among the species bearing oonsiderable amount of tengkawang seeds from West, Central and South Kalimantan. Two processing method are known as wet and dry method.The aging of seeds has also been used for olassification, i.e., less than one year storage time and one year or over. Seed tests including moisture content, impurities, fat content, free fatty acids (FFA) and size were made on 8 samples. The wet method appear to produoe blaok seeds of good quality and the dry method produoes brown of inferior quality. Apparently, the seed origins also detel'mined the quality. Seed obtained from West Kalimantan offer poor quality. The quality will decrease when seeds were stored too long. Bigger seeds tend to have low moisture and high fat content. Keywords: tengkawang, analisis fisiko kimia, Kalimantan.
D. Pati dan Buah-buahan 1. Gula dan Alkohol 052/1, 2005 Pembuatan Gula dan Alkohol dari Beberapa Jenis Kayu (Production of Sugar and Alcohol from Several Wood Species). Oleh: Gusmailina & Hartoyo. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (5) 1988: 259-261. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. This article describes the experiment of sugar and alcohol contents from 3 wood species, i.e. jelutung (Dyera costulata, Hook. F), keruing (Dipterocarpus appendiculatus, Sheff) and durian (Durio exelsus, Bakh) by using hydrolisis and fermentation process. Treatment condition for hydrolisis were at 3 levels of sulfuric acid concentration which were 1%, 2%, and 3% respectively. The fermentation methods agent for producing alcohol from sugar of wood hydrolisis was the yeast of bread containing Saccharomyces cereviceae. The result of this experiment indicated that the yield of sugar ranges from 9.71% -11.89% with average of 1,06%. This average yield of sugar falls in the range of the sugar yield obtained from other researches which have range from 11-18%. The average alcohol yield obtained from sugar fermentation was 2.62%. This yield was lower compared with other experiment producing alcohol from wood abroad, i.e. 8 -15%. The result showed that the yield of sugar is not affected by the wood species and low concentration of sulfuric acid treatment. Keywords: gula, alkohol, pembuatan, jenis kayu. 2. Nipah 053/1, 2005 Beberapa Sifat Buah Nipah (Nipa fruticans). Oleh: Zulnely. Info Hasil Hutan 9 (1) 2002: 23-31. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Nipah (Nipa fruticans) merupakan tumbuhan yang termasuk famili Palmae dan tumbuh di daerah pasang surut. Hampir setiap bagian dari tumbuhan ini dapat dimanfaatkan seperti daun untuk atap rumah, nira untuk dibuat gula dan buah untuk makanan segar atau dibuat tepung.
Untuk mempelajari sifat buah nipah dilakukan analisis kimia buah. Tujuan analisis kimia adalah untuk mengetahui sifat buah nipah yang berbeda tingkat kematangannya. Hasil percobaan menunjukkan bahwa buah nipah agak tua mengandung kadar lemak 4,49%, protein 3,74% dan serat makanan 69,12%. Kadar lemak protein dan serat makanan dari buah nipah agak tua, lebih tinggi nilainya dari pada buah nipah muda yang mempunyai kadar lemak 1,32%, protein 0,27% dan serat makanan 10,13%. Selain itu buah nipah muda rnemiliki kadar gula total yang lebih tinggi dibandingkan buah nipah agak tua. Kadar gula total buah nipah muda 4,92%, sedangkan buah nipah agak tua 1,02%. Kata kunci: buah nipah, kematangan, lemak protein, serat makanan. 3. Sagu 054/1, 2005 Modification to Make Sago Flour Close to the Extender of Urea Formaldehyde Adhesive Properties (Modifikasi Agar Sifat Sagu Sesuai dengan Sifat Ekstender Perekat Urea-Formaldehida). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa, J. Karchesy & P. Humphrey. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (8) 1998: 463-474. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Sejak tahun 1970, baik jumlah maupun kapasitas pabrik kayu lapis di Indonesia meningkat dengan pesat. Pada tahun 1995 produksi kayu lapis Indonesia mencapai sekitar 13,6 juta meter kubik. Untuk memenuhi produksi sebesar itu diimpor sekitar 240.930 ton tepung gandum. Dapat diduga bahwa tepung gandum dapat diganti oleh bahan pati lain seperti tepung sagu. Tepung sagu seperti tepung gandum, mengandung kadar pati yang tinggi. Karena itu tepung sagu berpotensi tinggi untuk mengganti tepung terigu sebagai bahan ekstender perekat urea-formaldehida (UF). Tetapi perbedaan besar molekul dan kandungan bahan kimia lain seperti gluten menyebabkan sifat fisiko-kimia sagu berbeda dengan terigu bila digunakan sebagai bahan ekstender perekat UF. Tepung sagu adalah hasil ekstrak batang pohon sagu (Metroxylon sagus Roxb.). Pohon sagu terutama tumbuh di Indonesia dan Papua Nugini. Selain itu, dalam jumlah kecil juga tumbuh di Malaysia, Thailand
dan Philipina. Dari potensi pohon yang tersedia diperkirakan bahwa setiap tahun di Indonesia tersedia sebanyak 3,6 juta ton tepung sagu. Bila tidak dipanen tepung sagu tersebut akan terbuang bersama pohon yang segera mati setelah pembuahan. Dalam penelitian ini sifat fisiko kimia tepung sagu yang dimodifikasi diuji dan diharapkan memiliki sifat seperti tepung gandum sebagai bahan ekstender perekat UF. Tepung sagu dimodifikasi dengan dua cara yaitu dengan penambahan asam klorida (HCl) dan dengan fosforilasi (campuran mono- dan di-sodium fosfat) sampai mencapai padanan sifat bahan ekstender perekat UF yang lazim digunakan. Kata kunci: sagu modifikasi, fosfat modifikasi, sifat fisiko-kimia, sifat ekstender. 055/1, 2005 Mempelajari Sifat Fisiko-kimia Dekstrin Sagu Buatan dan Komersial (A Study on the Fhysico-chemical Properties of the Experimental and the Commercial Sago Dextrin). Oleh: Bambang Wiyono & Toga Silitonga. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6 (1) 1989: 18-20. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Sago starch contains about 84.7% carbohydrate. Further analysis of the carbohydrate indicate that about 73% consist of amylopectin (the branched polymers) and 27% amylose (the linear polymers). These components are potentially contributing of the production of sagodextrin. The purpose of this research is to analyse the physico-chemical properties of the laboratorymade sago-dextrin and the properties of the commercial one, to compare with the Indonesian Industrial Standard requirements for dextrin. The results indicated that the ash content and acidity, of both the experimental and the commercial sago dextruns have met the Indonesian Industrial Standard. The solubility in cold water, dextrose content of the commercial dextrin, and the moisture content of the experimental one have not met the Indonesian Industrial Standard. Hegher yield can be obtained by using acid concentration below 0.05 M as catalyst and or hydrolyzing time under 5 minutes during the dextrin making process. Keywords: dekstrin sagu, sifat fisiko-kimia.
056/1, 2005 Percobaan Pendahuluan Pembuatan Sirup Berfruktosa Tinggi dari Pati Sagu. (Preliminary experimental of high fructose syrups manufacturing from sago starch). Oleh: Bambang Wiyono, Toga Silitonga & Eduard A.S. Sijabat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 8 (4) 1990: 140-145. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The purpose of this work is to study the effect of isomerization time and dosage of glucose isomerase enzyme on the high fructose syrups (HFS) properties of sago starch. The basic raw material of HFS was glucose which made by the enzymatic acid hydrolysis process using hydrochloric acid and amiloglucosidase enzyme as catalyst. The isomerization time varied from 18, 24, and 30 hours. The amount of enzyme applied was consecutively 1.2, 1.7, and 2.2 g/kg based on dryweight of glucose syrups for each of the isomerization time. The result indicated that the isomerization time gave highly significant effect on the fructose. The isomerization time also gave a significant effect on the dextrose equivalent. Increased isomerization time tends to give quadratic relationship with the dextrose equivalent, fructose content, and with the degree of converssion. Substituting and interpolating these quadratic equation, revealed that isomerization time of 24.66 to 25 hours, produced dextrose equivalent of 91.22 to 91.34, fructose content from 32.81 to 32.84%, and degree of conversion of 36.17 to 36.34%. These value are somewhat lower than the minimum acceptable HFS requirements which posses the sweetness level as invert sugar, for dextrose equivalent, fructose content and degree of conversion of 96, 42%, and 50%, respectively. Consequently, the HFS produced from sago starch low sweetness level than that of the invert sugars. Keywords: pati sagu, pembuatan sirup, fruktosa tinggi.
057/1, 2005 Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Asam terhadap Kualitas Dekstrin Sagu. Oleh: Poedji Hastoeti, Bambang Wiyono dan Hartoyo. Info Hasil Hutan 8 (1) 2001: 11-19. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi hasil Hutan. Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi asam terhadap dekstrin sagu yang dihasilkan, sedangkan
sasarannya adalah untuk mengetahui kondisi pengolahan dekstrin yang menghasilkan dekstrin dengan daya larut yang terbaik. Pembuatan dekstrin dengan berbagai jenis asam dan konsentrasi ini dilakukan secara kering. Larutan asam yang digunakan adalah asam klorida dan asam sulfat, di mana masing-masing jenis asam konsentrasinya terdiri dari 0%, 1.25%, 1,50%, 1,75%, dan 2%. Pengaruh jenis asam dan konsentrasinya terhadap kualitas dekstrin dianalisis dengan menggunakan rancangan faktorial dan nilai rataan setiap kualitas dianalisis dengan Tukey prosedur dalam paket SAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa katalis asam klorida menghasilkan dekstrin dengan sifat kelarutan dalam air yang lebih tinggi dibandingkan dengan dekstrin yang dihasilkan katalis asam sulfat. Sedangkan faktor konsentrasi sangat nyata mempengaruhi bilangan asam dan derajat asam dekstrin yang dihasilkan. Bilangan asam dekstrin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi katalis asam yang digunakan. Kosentrasi asam yang menghasilkan nilai derajat asam yang berbeda nyata terhadap konsentrasi lainnya hanya 1,25% saja, sedangkan di antara konsentrasi asam 1,50%, 1,75% dan 2% tidak. Untuk nilai bilangan asamnya, baik di antara jenis maupun konsentrasi asam yang digunakan menghasilkan nilai bilangan asam yang berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Penggunaan asam klorida dengan konsentrasi 1,50% menghasilkan dekstrin yang mempunyai daya larut dalam air yang terbaik, dengan nilai derajat asam yang memenuhi persyaratan standar SNI. Disarankan untuk mengolah pati menjadi dekstrin menggunakan katalis asam klorida dengan kosentrasi 1,50%. Kata kunci: dekstrin, pati sagu, asam klorida, asam sulfat, sifat fisika kimia. 058/1, 2005 Pengaruh Cara Ekstraksi terhadap Sifat Fisika dan Kimia Sagu (The Effect of Extraction Methodes on Physical and Chemical Properties of Sago). Oleh: R. Sudradjat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2 (1) 1985: 18-21. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The aim of this investigation is to evaluate the effect of extraction methodes on physical and chemical properties of sago. Extraction methodes comprise of fermentation, mechanical, and traditional.
The result indicated that sago yield varies from 20,19 - 40,12%, acidity 0,89 - 0,98, moisture 13,39 - 14,29%, ash 0,15 - 0,32%, protein 0,38 - 0,46%, crude fiber 0,27 - 0,31%, fat 0,17 - 0,23% and amylum 72,64 - 88,12%. Mechanical extractions gave the highest yield and amylum content. Fermentation methode show more acid than traditional. The traditional methode presents the highest ash content. This included that the mechanical methode seemed to be preferable for commercial application. Keywords: sagu, sifat fisiko-kimia, cara ekstraksi. 059/1, 2005 Semimicro Determination of Cellulose Content in Sago and Pith Flour (Penetapan Kadar Selulosa Tepung Sagu dan Tepung Empulur Sagu dengan Metoda Semimikro). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa. Jurnal penelitian Hasil Hutan 11 (2) 1993: 49-52. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Tepung sagu serta tepung empulur sagu selain mengandung komponen utama pati, juga mengandung komponen lain seperti protein, lemak, sellulosa, flavan, dan polyphenol. Kadar komponen abus (minor) sering menunjang peranan penentu untuk menyimak kualilas pati, sehingga analisis kuantitatifnya perlu dilakukan. Study ini adalah untuk memantau keampuhan metoda Anthrone dalam penetapan kadar selulosa pada tepung sagu dan tepung empulur sagu melalui hidrolisis dengan katalis asam. Dalam kajian ini, asam aseto nitrat digunakan sebagai bahan pengendap selulosa dan pengusir komponen lain seperti pati, lignin, ksilosan, dan hemiselulosa. Endapan selulosa dihidrolisa dengan 67% H2SO4 agar diperoleh komponen -D-glukosa. Kadar -D- glukosa setelah direaksikan dengan senyawa Anthrone diukur dengan alat spektrophotometer pada gelombang 620u, dimana senyawa selulosa murni (Avicell) digunakan sebagai senyawa baku yang dibandingkan dengan larulan blanko. Tepung empulur sagu mengandung kadar selulosa yang jauh lebih tinggi dibanding yang terkandung dalam tepung sagu. Kata kunci: tepung sagu, tepung empulur sagu, metoda semimikro, kadar selulosa.
060/1, 2005 Percobaan Pembuatan Dekstrin dari Tepung Sagu (Metroxylon spp.) (An Experimental Study of Dextryn Manufacture from Sago Flour (Metroxylon spp.). Oleh: Yacob Ando dan Toga Silitonga. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (2) 1988: 42-46. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The experimental study of dextryn manufacture was conducted at the Forest Products Research and Development Centre laboratory in Bogor. The sago flour was obtained from Riau, originally extracted from female sago as signified by the absence of spine on the leaves. The sago starch was manufactured into dextryin at 80°C starting reaction temperature. Prior to the reaction, sufficient amount of sago starch was bleached with 1% CaOCl 2. The starch was allowed to settle down and dried. Umbleached sago starch was prepared as control. During the dextryn manufacture the HCI was gradually sprayed to the starch while elevating the temperature to 120°C, at which it was maintained for 2 hours. The reaction products were then tested and the properties compared with that of the existing standard. The quality of the dextryn manufactured was evaluated and discussed. The result of the experiment was slightly inverior compared with that of the superior and prima quality due to the low dextryn content. Keywords: tepung sagu, dekstrin. 061/1, 2005 Pembuatan Glukosa dan Alkohol dari Sagu (Metroxylon spp.) (Production of Glucose and Alcohol from Sago (Metroxylon spp.)). Oleh: Tjutju Nurhayati, Syahri dan Hartoyo. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (2) 1988: 93 -96. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. A study for production of glucose and alcohol from sago (Metroxylon spp) was conducted on a laboratory scale in the Forest Product Research and Development Centre, Bogor. Treatment condition given for hudrolysis of sago in order to produce glucose was three levels of sulfuric acid (of 0.5 N; 0.75 N and 1.0 N) with three levels of temperature and pressure (of 250°F/15 psi,
259°F/20 psi, and 274°F/30 psi). The reaction time for hydrolysis at each treatment combination were three levels (of 90 minutes, 120 minutes and 150 minutes). Glucose obtained from sago hydrolysis in this experiment was then fermented for producing alcohol by means of Sacharomyses cereviciae enzym activity from yeast. The result showed that glucose yield during these experiment ranged from 42.8 to 77,6%. The maximum glucose yield is obtained from the 274˚F/30 psi treating condition and sulfuric acid consentration of 1.0 N within 120 minutes of hydrolysis time. Until 120 minutes of hydrolysis period the glucose yield tend to increase with the increasing treatment combination level. The results of glucose tends to decrease after wards at hydrolysis period of 150 minutes. The highest alcohol yield is 14.2% and is obtained from fermentation of highest glucose yield of 77.6%. Based on the result of chromatographic analysis of alcohol revealed that alcohol produced is classified as ethanol (C2H50H). Keywords: sagu, glukosa, alkohol. 062/1, 2005 Campuran Terigu dan Sagu sebagai Ekstender Perekat Kayu Lapis (Mixture of Wheat and Sago Flour as Extender for Plywood Adhesive). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 3 (4) 1986: 9 -12. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. In I983 Indonesian plywood industries consumed about 45.000 tons of wheat flour as an extender of ureaformaldehyde adhesive. This material is imported from foreign country, although Indonesia, as an agricultural country, is rich with carbohydrate resources such as palm trees. The result of a laboratory study on the effect of four wheat and sago flour mixtures and four levels of extender content on plywood property is presented in this paper. The mixtures of wheat and sago flour were 100/0, 80/20, 60/40, and 40/60. Each of them was mixed with the UF glue at four different composition, namely 15, 20, 25, and 30 percent of each total glue weight. The experiment was based on the 4 x 4 factorial design with 4 replications.
The result shows that the wheat and sago flour mixture does not significantly affect the glue shear as well as the wood failure. The extender content on the other hand, affects significantly the above properties, in which higher extender content has resulted in lower plywood quality. The study reveals also that all of the plywood samples tested conform with the Indonesian Standard (SII) for plywood type II. Keywords: sagu, terigu, ekstender, perekat kayu lapis. 063/1, 2005 Pengolahan Dekstrin Sagu (Metroxylon rumphii) Secara Enzimatis (Enzymatic Processing of Sago (Metroxylon rumphii) Starch for a Dextrin). Oleh: R. Sudradjat dan Erra Yusnita. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20 (1) 2002: 55-69. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Sagu (Metroxylon rumphii) adalah salah satu jenis pohon penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang potensial dan dalam areal yang luas berfungsi sebagai hutan cadangan pangan (sumber karbohidrat). Peningkatan pemanfaatan pati sagu menjadi dekstrin akan dapat meningkatkan nilai kegunaan dan nilai ekonomis komoditi sagu. Salah satunya adalah dengan mengolah menjadi dekstrin. Kegunaan dekstrin dalam aneka bidang industri antara lain industri tekstil, industri pulp/kertas, dan industri farmasi. Tujuan penelitian adalah mendapatkan metode proses pengolahan sagu menjadi dekstrin secara enzimatis yang optimal, sehingga menghasilkan dekstrin yang memenuhi kualitas Standar Nasional lndonesia (SNI) untuk dekstrin pangan dan dekstrin industri. Sedangkan sasaran kegiatan adalah tersedianya teknologi pengolahan sago menjadi dekstrin secara enzimatis yang dapat meningkatkan nilai ekonomis dan manfaat komoditi sagu. Hasil penelitian diperoleh bahwa kelarutan dekstrin yang mernenuhi standar SNI dekstrin industri pangan adalah pada konsentrasi substrat 25% dan dosis enzim 0,9 g/kg substrat kering, sedangkan kadar dekstrosa yang dapat memenuhi standar SNI dekstrin untuk industri pangan adalah pada konsentrasi substrat 25% dan dosis enzim 0,5 g/kg substrat kering. Kata kunci: dekstrin, enzim, pengolahan sagu, katalis.
064/1, 2005 Pengaruh Konsentrasi Asamchlorida terhadap Produksi Gula dari Beberapa Jenis Sagu (The Effect of Hydrochloric Acid Concentration on the Yield of Sugar From Several Sago Species). Oleh: Lina Rusliana & Hartoyo. Laporan (162) 1982: 1-5. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. A preliminary research in sago hydrolysis for sugar making with 1.5; 2.0 and 2.5% hydrochloric acid was conducted at the Forest Products Research Institute using sago samples from Metroxylon longispinum Mart (sagu makanaru), Metroxylon rumphii Mart (sagu tuni), and Metroxylon sylvester Mart (sagu ihur). The result indicated that the yield of sugar is highly affected by the concentration of hydrochloric acid, but not by the sago species. The average sugar contents obtained from each hydrochloric acid treatment indicated above, are respectively 59.6; 64.1 and 67.7%. A chemical analysis on the three sago species shows that their carbohydrate contents are relatively high, varying from 79.2 to 81.1%. Keywords: sagu, produksi gula, konsentrasi asam khlorida. 065/1, 2005 Percobaan Pemutihan Tepung Sagu (Metroxylon Sp.) dengan Kaporit (Experimented Calcium Hypochlorite Bleaching of Sago Flour). Oleh: Abdul Hakim Lukman. Jumal Penelitian Hasil Hutan 9 (7) 1991: 259-267. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The effect of the bleaching of sago flour by calcium hypochlorite solution at several concentration levels (0; 1.5; 2.0; and 2.5%) and soaking time (30, 45 and 60 minutes) on sago flour quality were studied at the Forest Products Research and Development Centre Laboratory in Bogor. Results showed that unbleached sago flour when soaked for 60 minutes gave the highest yield (89.48 percent). At 1.5 percent hypochlorite concentration and 30 minutes soaking time, the proximate analysis including moisture, ash, fat, starch, protein and crude fiber contents are consecutively 9.34, 0.5, 0.28, 87.60, 0.56, and 0.74%. Application of 1.5% calcium hypochlorite concentration and 30 minutes soaking time could improved pH value (7.70), whiteness (83.60%) organoleptic color test (5.04), and organoleptic odor test (4.20), while viscosity (17.85 cP), and reduced melanin content down to 0.05%. Keywords: tepung sagu, pemutihan, kaporit.
066/1, 2005 Pengaruh Cara Ekstraksi terhadap Sifat Fisika dan Kimia Sagu (The Effect of Extraction Methods on Physical and Chemical Properties of Sago). Oleh: R. Sudradjat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2 (1) 1985: 18-21. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The aim of this investigation is to evaluate the effect of extraction methodes on physical and chemical properties of sago. Extraction methodes comprise of fermentation, mechanical, and traditional. The result indicated that sago yield varies from 20.19 – 40.12%, acidity 0.89 – 0.98, moisture 13.39 – 14.29%, ash 0.15 – 0.32%, protein 0.38 – 0.46%, crude fiber 0.27 – 0.31%, fat 0.17 – 0.23% and amylum 72.64 – 88.12%. Mechanical extractions gave the highest yield and amylum content. Fermentation methode show more acid than traditional. The traditional methode presents the highest ash content. This included that the mechanical methode seemed to be preferable for commercial application. Keywords: sagu, sifat fisiko-kimia, cara ekstraksi.
E. Resin 1. Damar 067/1, 2005 Teknik Pembuatan Pernis dari Damar untuk Usaha Kecil (The Manufacture of Varnish from Shorea Resin for a Small-Scale Industry). Oleh: E. Edriana, Erik Dahlian dan E. Suwardi Sumadiwangsa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22 (4) 2004: 205-213. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Penelitian ini bertujuan menentukan formula yang sesuai dalam pembuatan pernis dari damar untuk usaha skala kecil. Bahan baku utama yang digunakan adalah damar abu dan damar asalan dengan jenis pelarut (toluen teknis) dan berbagai bahan pembantu lainnya yang diramu dengan menggunakan beberapa komposisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernis dari bahan baku damar yang berkualitas rendah dengan formula campuran 65% larutan damar, 25% alkyd sintetis, 8.8% minyak tanah, 0.3% cobalt kering, dan 0.9% calcium kering menghasilkan kualitas pernis yang baik. Pernis yang dihasilkan memerlukan waktu pengeringan selama 3 jam dengan daya kilap dan kesan raba yang baik. Pernis yang dihasilkan memiliki karakteristik setara dengan pernis komersil, kecuali sifat pengentalan akibat kontaminasi udara relatif lebih cepat. Pernis yang dibuat dengan formula di atas memiliki biaya produksi lebih rendah daripada harga pernis di pasaran. Kata kunci: damar, pembuatan pernis, usaha kecil. 068/1, 2005 Pengaruh Lama Penyulingan Secara Kering pada Kondisi Vakum pada Kondisi Vakum terhadap Rendemen dan Sifat Fisiko-Kimia Residu Damar Mata Kucing (The Effect of a Vacuum Dry Distillation Time on Yield and the Physico-Chemical Properties of the Dammar Residue). Oleh: Bambang Wiyono, Kurnia Sofyan, Dedeh Kurniasih, Poedji Hastoeti. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19 (2) 2001: 89-101. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Damar mata kucing yang minyak atsirinya sudah disuling masih dapat digunakan untuk tujuan industri. Sehubungan dengan hal tersebut,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama penyulingan secara kering pada kondisi vakum terhadap rendemen dan sifat fisikokimia residu damar mata kucing. Penyulingan damar dilakukan secara kering dalam kondisi vakum pada tekanan 0,06 Pa dan suhu 65-85 oC dengan lama penyulingan yang terdiri dari 0,5; 1; 1,5; 2; dan 2,5 jam, di mana setiap perlakuan diulang 3 kali. Pengaruh peningkatan lama penyulingan terhadap kualitas residu damar dianalisis dengan rancangan acak lengkap. Perbedaan nilai rataan antarperlakuan dianalisis dengan metode Tukey, sedangkan kecenderungan perubahan sifat fisiko-kimia residu damar sejalan dengan meningkatnya lama penyulingan dianalisis dengan polinomal ortogonal menurut prosedur SAS. Lama penyulingan berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen, bilangan asam, titik lunak, kadar abu, bilangan penyabunan dan bilangan iod residu damar mata kucing dalam toluena. Peningkatan lama penyulingan menurunkan rendemen dan bilangan asam residu, namun meningkatkan sifat titik lunak, kadar abu, bilangan penyabunan, bilangan iod dan kadar bahan tak larut dalam toluena. Penyulingan damar mata kucing 2,5 jam merupakan lama penyulingan yang optimum karena menghasilkan titik lunak residu yang tinggi dan bilangan iod yang tinggi, yang disertai bilangan asam yang rendah. Lama penyulingan mempunyai hubungan secara nyata dengan rendemen dan sifat fisiko kimia residu damar mata kucing, kecuali bahan yang tak larut dalam toluena. Dibanding dengan standar SNI untuk damar mata kucing, residu damar mata kucing yang telah dipisahkan minyak atsitirinya belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan baik sifat titik lunak, bilangan asam maupun kadar abunya. Agar sifat residu damar ini dapat masuk dalam persyaratan kualitas yang ditetapkan, maka dalam proses penyulingan minyak damar mata kucing secara vakum perlu dicoba dengan menggunakan tekanan yang lebih besar yang disertai kondensasi yang tepat untuk tekanan tersebut. Kata kunci: damar mata kucing, penyulingan kering secara vakum, residu penyulingan, rendemen, sifat fisiko-kimia.
069/1, 2005 Pengaruh Jenis Pelarut dan Kualitas Damar terhadap Rendemen dan Sifat Fisiko-Kimia Damar yang Dimurnikan. (Effect of Solvent Kinds and Dammar Qualities on Yield and Physico-Chemical Properties of Purified Dammar). Oleh: Bambang Wiyono & Toga Silitonga. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19 (2) 2001: 103-115. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis pelarut dan kualitas damar terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia damar yang dimurnikan, sedangkan sasarannya adalah untuk mencari pelarut organik yang dapat digunakan untuk memurnikan damar mata kucing dengan tetap memperhatikan kualitas damar yang dihasilkan. Berbagai kualitas damar mata kucing dimurnikan dengan menggunakan pelarut organik, kemudian dianalisis sifat fisiko-kimianya. Pengaruh jenis pelarut dan kualitas damar terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia damar yang dimurnikan dianalisis dengan rancangan faktorial A x B dengan 2 kali ulangan. Faktor perlakuan A merupakan jenis pelarut yang terdiri dari benzena, toluena dan tanpa perlakuan, sedangkan faktor B adalah kualitas damar mata kucing yang terdiri dari kualitas A, B, C, D dan kualitas E. Perbedaan nilai rataan antarperlakuan dianalisis dengan metode Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pelarut organik dan kualitas damar mata kucing berpengaruh sangat nyata terhadap bilangan asam, bilangan iod, kadar abu dan kadar bahan tak larut dalam toluena, dan berpengaruh nyata terhadap bilangan penyabunan damar yang telah dimurnikan. Pemurnian damar mata kucing dengan menggunakan pelarut benzena menghasilkan sifat fisiko-kimia yang lebih baik dibandingkan dengan pelarut toluena. Berdasarkan persyaratan bilangan asam dan kadar bahan tak larut dalam toluena menurut SNI, pemurnian damar dengan pelarut organik mampu menaikan kualitasnya. Kualitas damar mata kucing dari kualitas E menjadi damar kualitas D, sedangkan damar kualitas C dan B meningkat kualitas menjadi damar kualitas A. Pemurnian damar dengan pelarut organik dapat meningkatkan kualitasnya dan damar dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan yang memudahkan dalam pengiriman ke luar negeri. Kata kunci: damar mata kucing, pelarut organik, pemurnian.
070/1, 2005 Optimalisasi Pembuatan Pernis dari Damar (Shorea javanica) (Optimization of the Manufacturing Varnish from Damar (Shorea javanica)). Oleh: Erik Dahlian, Hartoyo & Erra Yusnita. Buletin Penelitian Hasil Hutan 21 (1) 2003: 23-30. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Pernis (varnish) adalah suatu cairan yang komposisinya tersusun dari resin oil, pelarut, pigmen, bahan pengering, aditif atau bahan tambahan yang apabila diaplikasikan pada suatu permukaan bahan dapat membentuk lapisan kering, keras dan rekat pada permukaan. Dalam upaya meningkatkan pemanfaatan damar telah dilakukan penelitian pembuatan pernis dari damar mata kucing kualitas asalan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode pembuatan pernis dari damar yang lebih efisien yang dapat meningkatkan pemanfaatan dan nilai komersial dari damar sehingga menghasilkan pernis bermutu baik dengan harga yang dapat bersaing di pasaran. Sedangkan sasarannya adalah pengenalan teknologi proses investasi rendah yang dapat diaplikasikan pada sentra penghasil damar. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa metode perlakuan formula 66,0/24,0 k; 65,5/24,5 s dan 65,5/24,5 k telah menghasilkan pernis yang kualitasnya memenuhi standar yang telah dipersyaratkan oleh pabrik ICI. Penggunaan damar mata kucing kualitas asalan dan pelarut campuran yang terdiri dari toluen dan minyak tanah, ternyata dapat menekan biaya produksi pembuatan yang relatif rendah dan dapat memberikan kelayakan ekonomi untuk diusahakan dalam skala industri kecil. Kata kunci: damar, optimalisasi, asalan, pernis, proses.
071/1, 2005 Percobaan Pemisahan Minyak Damar Mata Kucing dengan Penyulingan Secara Kering pada Kondisi Vakum (Experiment on Separating Essential Oil from Dammar with a Vacuum Dry Distillation Technique). Oleh: Bambang Wiyono. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18 (1) 2000: 27-39. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Soft dammar contains essential oil which can be used for industrial purposes. This oil can be distilled from dammar with using a vacuum dry distillation technique. Relating to this. the objective of the research is to
investigate the condition for separating essential oil from dammar which produced high yield and better in physico-chemical properties. A vacuum dry distillation technique of dammar was carried out at 0.5, 1, 1.5, 2, and 2.5 hours, where each of the distilling times was replicated for 3 times. The effect of distilling time on the yield of oil and its properties were ana lysed by using a completely randomized design with the distilling times regarded as a treatment level, and further there differences in the average values between the treatment levels were tested with the Tukey's range prosedure. The relationship between distilling time and oil yield and its physico-chemical properties was analyzed with a polynomial orthogonal regression in a SAS package. The results showed that distilling time gave a highly significant effect on oil yield, specific gravity, optical rotation, acid number, saponification number, and ester number, but did notfor refractive index. Moreover, Tukey test indicated that distilling time of 2.5 hours gave the highest values of oil yield, acid number, saponification number and ester number with a highly significant difference among others. Polynomial orthogonal anal.vsis revealed that there were relationship between distilling time and oil yield as well as its properties with a highl}! significant level as indicated by regression equations with their determination coefficients (R"' ) as follows: Y = - 0.5771 X2 + 3.4794 X + 0.7567 = 0.8607 Specific gravity Y = - 0.0286 X4 - 0.1727 X3 + 0.3636 X2 - 0.2921 X + 0.9847 = 0.8527 Optical rotation Y = -3.8643 X2 + 19.594 X -14.884 = 0.9601 Acid number Y = - 5.1822 X4 + 30.04 X3 - 58.064 X2 + 45.73 X - 7.6033 = 0.9789 Saponification number Y = 22.16000 X3 - 46.90889X2 + 40.07000 X + 25.58000 = 0.9662 Ester number Y = + 9.9222 X4 - 62.34 X3 + 135.73 X2 112.66 X + 34.09 = 0.9855 Oil yield
Increasing the distilling time tended to change the colour of dammar oil from being pale brown to being dark brown. It was also tending to increase oil yield, specific gravity, optical rotation,refractive index, acid number, saponification number and ester number. The optimum time to distil essential oil from soft dammar was 3 hours which produced the highest oil yield around 6%.
Keywords: dammar, essential oil, vacuwn dry distillation, oil yield, physico-chemical properties. 072/1, 2005 Pengolahan Damar di Krui Lampung. Oleh: Zulnely. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan, 2000: 399-407. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Damar merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang sudah sejak lama dipungut dan diusahakan oleh masyarakat sekitar hutan di daerah Krui Lampung Barat. Di daerah ini jenis damar yang diusahakan ialah damar mata kucing yang berasal dari hasil penyadapan pohon Shorea javanica. Damar mata kucing ini masih diperjualbelikan dalam bentuk damar asalan (gumpalan getah). Pengolahan yang dilakukan terhadap getah damar untuk siap diperdagangkan atau diekspor meliputi pekerjaan membersihikan getah damar dari kotoran, menyortir getah damar berdasarkan besar butiran dan warna. Pengolahan atau sortasi yang dilakukan di daerah Krui Lampung Barat sangat sederhana dan masih manual. Kata kunci: damar, sortasi, Krui Lampung Barat.
073/1, 2005 Karakteristik Damar dan Pemanfaatannya. Oleh: Zulnely, Abdul Hakim Lukman & Nurmawati Siregar. Prosiding Diskusi Hasil Penelitian 1994: 141 – 149. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Damar merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu yang cukup penting peranannya. Komoditi ini memiliki kandungan resin alam yang dihasilkan oleh pohon yang termasuk famili Dipterocarpaceae dan Burceraceae. Damar merupakan bahan padat dengan warna yang bervariasi tergantung dari jenisnya, mempunyai kandungan senyawa kimia yang kompleks.
Keteguhan damar cukup luas, seperti untuk bahan mentah dalam industri cat, lilin, lak, vernis, plastik, korek api, bahan isolator, bahan percetakan dan industri bahan peledak. Di dalam perdagangan dikenali berbagai jenis damar di antaranya damar mata kucing, damar biru, damar merah dan damar hitam. Damardamar tersebut kebanyakan ditujukan untuk ekspor sebagai bahan baku industri, terutama damar mata kucing yang memiliki kualitas paling baik. Kata kunci: damar, karakteristik, pemanfaatan.
074/1, 2005 Mempelajari Pemisahan Minyak Atsiri dari Damar Mata Kucing dan Sifat Fisiko-Kimia Residunya (Study on the Essential Oil Separation of Damar Mata Kucing and its Residual Physico-Chemical Properties). Oleh: Bambang Wiyono. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (6) 1998: 363–370. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi minyak atsiri dari berbagai kualitas damar mata kucing dan menganalisis sifat fisiko-kimia residunya. Setiap kualitas damar mata kucing disuling secara kering pada suhu 120 - 130 oC selama 7 jam. Hubungan antara waktu penyulingan dan rendemen distilat dianalisis dengan regresi linier mengikuti prosedur SAS. Sedangkan sifat fisiko-kimia residu penyulingan dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia untuk damar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa damar berkualitas rendah mengandung minyak atsiri lebih tinggi dibandingkan dengan damar berkualitas tinggi, yang ditunjukkan oleh tingginya distilat yang dihasilkan. Sidik regresi antara waktu pemisahan minyak dari getah damar dan rendemen destilat adalah secara sangat nyata untuk semua kualitas damar, di mana hubungannya ditunjukkan oleh persamaan regresi dengan koefisien sebagai berikut: Damar dengan kualitas A : Y = 0,2375 X + 0,057143; R = 0,886 Damar dengan kualitas B : Y = O,176786 X - 0,121429; R = 0,923 Damar dengan kualitas C : Y = 0,3875 X - 0,057143; R = 0,868 Damar dengan kualitas D : Y = 0,587314 X - 0,371429; R = 0,975 Damar asalan (E) : Y = 0,591071 X -0,1000; R = 0,880
Residu penyulingan damar kualitas A, B dan C memenuhi persyaratan SNI kecuali sifat titik lunaknya. Sedangkan residu dari kualitas D dan asalan belum memenuhi persyaratan standar tersebut. Agar residu ini memenuhi persyaratan tersebut, bahan baku dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran yang ada, lalu disuling pada kondisi vakum dengan waktu penyulingan sekitar 2 - 3 jam. Kata kunci: damar mata kucing, penyulingan kering, sisa penyulingan, minyak atsiri.
2. Kopal 075/1, 2005 Sifat Fisiko Kimia Kopal Manila (Physico-Chemical Properties of Manila Copal). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa. Laporan (125) 1978. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Manila copal is a resin exudate obtained from tapped or wounded Agathis trees. The resin is generally collected every other two weeks. This produsct is known as melengket or soft manila copal. When resin exudate collected after one or more months, the product gets harder in its nature and therefore is designated as loba or half hard Manila Semi fossil of a few years age of resin is commonly known as hard manila or Pontianak where as the hard buried product termed as fossil manila or bua. A whice bua can be obtained from the living trees in the forest although this is a burdensome to the collectors due to location up high on the trees. Each one of these classes, size, and the presence or absence of foreign matter. Ecfore world war II, a great number of copal was exported from Indonesia. Until then the quantity has been continously decreasing. This situation happens due to degrading and uncertainity of quality, and facing a hard compentition from substitute commodity known as plastics or synthetic resins. This study deals with simplification of the existing classification of Indonesia copal by judging the appropirate properties which will be employed in quantitative classification. Keywords: kopal manila, sifat fisiko-kimia.
076/1, 2005 Percobaan Pembuatan Pernis dari Kopal Asal Probolinggo (An Experiment on Varnish Making with Copal from Probolinggo). Oleh: Totok K. Waluyo, Erik Dahlian dan Enen Edriana. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22 (1) 2004: 35-41. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Pernis adalah suatu cairan yang komposisinya tersusun dari resin oil, pelarut, pigmen, bahan pengering, aditif atau bahan tambahan yang apabila diaplikasikan pada suatu permukaan bahan dapat membentuk lapisan kering, keras dan rekat pada permukaan. Kopal merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang menguasai 80% pasar dunia yang mana salah satu daerah penghasilnya adalah Probolinggo. Dalam upaya pemanfaatan kopal di dalam negeri telah dilakukan penelitian pembuatan pernis dari kopal kualitas utama/UT Probolinggo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat pernis yang dihasilkan dengan menggunakan pelarut propanol-2 + Etyl acetat (1 : 2) dan ditambahkan 0,3% dry cobalt, 0,9% dry calcium dan 18% synthetic alkyd. Bahan-bahan tersebut menghasilkan pernis dari kopal asal Sukabumi yang mempunyai sifat-sifat pernis sama dengan pernis komersial dan memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh ICI. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pernis dari kopal Probolinggo sifat-sifatnya masih di bawah pernis komersial dan tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh ICI, yaitu dalam hal lama mengering, kesan raba, warna, kekuatan geser dan kerataan pelaburan. Hal ini disebabkan oleh kekentalan pernis yang dihasilkan tinggi (7,5 cp) di atas standar (6-7cp). Kata kunci: propanol-2, etyl acetat, dry cobalt, dry calcium, synthetic alkyd.
077/1, 2005 Sifat-sifat Kopal Manila dari Probolinggo, Jawa Timur (Properties of Manila Copal Originated from Probolinggo, East Java). Oleh: Totok K. Waluyo, E.S. Sumadiwangsa, Poedji Hastuti & Evi Kusmiyati. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22 (2) 2004: 87-94. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Kopal manila berasal dari getah pohon Agathis sp., yang keluar dengan cara disadap. Kopal manila dari Indonesia menguasai hampir 80% pasar dunia. Salah satu daeah penghasil kopal manila di Indonesia yaitu Probolinggo, Jawa Timur. Sifat-sifat fisiko-kimia kopal manila Probolinggo kualitas UT/Utama dan P/Pertama adalah sebagai berikut: warna 10 YR 8/3 (abu-abu muda) dan 2,5 YR 6/1 (abu-abu kemerahan); kadar kotoran 9,7% dan 23,3%; titik lunak 144 dan 149°C; kadar abu 0,2 dan 9,2%; bilangan asam 244 dan 209; bilangan penyabunan 309 dan 245 dan berat jenis 0,91 dan 0,88. Kopal manila Probolinggo kualitasnya relatif rendah dan tidak termasuk dalam Standar Nasional Indonesia 01-1681-1989, terutama disebabkan oleh kadar kotoran yang tinggi. Kata kunci: kopal manila, Aghatis sp., sifat fisiko-kimia.
3. Lak 078/1, 2005 Percobaan Pembuatan Lak Kuning dari Lak Biji yang Telah Mengalami Pencucian Pendahuluan dengan Soda Abu (An Experiment on Shellac Production from Prewashed Shellac with ash Soda). Oleh: Han Roliadi & Suwardi Sumadiwangsa. Laporan (134) Maret 1979: 11 halaman. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. An experiment on shellac production had been carried out in the Chemical Processing Laboratory of the Forest Products Research Institute (FPRI), Bogor. Material for this experiment was branch-lac from kesambi (Sohliechera oleosa Merr) in the Banyukerto forest district, East Java, of the State Forest Enterprise Perum Perhutani.
The rosin was scraped off the branches, to which it sticks, using a sharp knife. The scarpings are then sieved through two-stage-screens (25 and 40 mesh). Fractions passing through the 25 mesh and retained on the 40 mesh screen were collected. The are mostly granular and called seed lac. The seedlac was divided into 4 parts, and each part was soaked separetly in ash – soda (Na 2CO 3) solution of 1, 2 g/l (a1), 1,6 g/l (a2), 2,0 g/l (a3) and 2,4 g/l (a4) for 12 hours. The resaulting mass was washed thorougly and each part was soaked in salt (NaCl) solution with a concentration of 30-35 per cent to remove heavy foreign matters (like stoine particles, sand, etc). lac rosin would be floating. An adequaate amount of seedlac was taken determining yield. After it was separated from salt solution and washed, clean lac rosin was placed on a 40 mesh screen, and put into an autoclave and heated under 3-4 kg/cm2 pressure for 4 hours. Melted lac would easily pass through the screen while wood and bark particles from branches were retained. The fraction passing through is considered as shellac, which was dried to an air dry moisture content for testing. Yield of seedlac as well as shellac varied considerably i.e. 49.1.54.0 and 33.00 - 41.1 respectively. Such variation occurs with phycochemical properties i.e: moisture content = 2.02 - 3.20%, solubility in cold alcohol = 93.70 - 97.81%, insolubility in hot alcohol = 0.40 - 1.70%, ash content = 0.99 - 1.71% and iod number = 18.98 - 23.32. Increase in ash soda concentration caused proportional increases of ash content and solubility in cold alcohol. On the other hand for yield (of both seedlac and sheelac) moisture content, insolubility in hot alcohol and iod number, the reverse is true. In connection with ASTM requirement for lac quality and physicochemical properties of domestic lac (Indonesia), decrease in moisture content, iod number, and insolubility in alcohol turns out to be favour able, howewer, these are accompanied by higler ash content. This problem of high ash content, may be overcome by better washing and possibly by using ion bonding agents. Keywords: lak biji, pembuatan lak kuning, pencucian, soda abu. 079/1, 2005 Beberapa Catatan Budidaya dan Pengolahan Lak. Oleh: Bambang Wiyono. Info Hasil Hutan 5 (3) 1999: 117-126. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu sumber penghasil lak cabang dan lak biji. Pada daerah tersebut, kegiatan kultur lak meliputi persiapa n tularan seleksi bibit, penularan bibit lak, pemungutan lak bekas bibit pemeliharaan tularan dan unduhan. Dalam unduhan lak cabang diklasifikasikan menjadi 2 kualitas, kualitas A1 merupakan bibit untuk penularan berikutnya dan kualitas A2 langsung dikirim ke pabrik. Lak cabang yang dikirim ke pabrik kemudian diolah menjadi lak biji. Selanjutnya, dalam penularan kutu lak pada pohon angsana, ternyata pohon angsana tidak dapat dijadikan sebagai inang kutu lak. Kata kunci: kultur lak, bibit lak, lak cabang, lak biji, pengolahan lak biji. 080/1, 2005 Percobaan Pembuatan Lak Kuning dengan Proses Pelarutan (An Experiment of Shellac Production by Solvent Process). Oleh: Abdul Hakim Lukman dan Toga Silitonga. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (3) 1988: 148-150. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Shellac can be produced by two different procedures, namely heat process and solvent process: Ordinarily, domestic shellac produced by heat process, while imported one (from India) by solvent process. Solvent process yields shellac much purer than heat processed, with relatively better properties. The physico-chemical properties of shellac produced in this experiment, i.e.: moisture content 2.36%, ash content 0.15%, matter soluble in water 0.43%, matter soluble in cold alcohol 97.86%, acid number 46.81 and Iod number 16.39. Shellac from fabric manufacturing have its properties i.e.: moisture content 4.03%, ash content 0.27%, matter soluble in water 3.26%, matter soluble in cold alcohol 89.14%, acid number 41.01 and lod number 31.35. Result of LSD test between experiment shellac and shellac from fabric are reveal highly significant different for ash content, matter soluble in water, matter soluble in cold alcohol and Iod number, but is not significantly different for the other properties. Keywords: pembuatan lak kuning, proses pelarutan.
081/1, 2005 Perbandingan Kualitas Lak Cabang dari Probolinggo dan Sambelia NTB. Oleh: Bambang Wiyono, Poedji Hastoeti & Evi Kusmiyati. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan, 2000: 377-385. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Berdasarkan tes kualitas lak cabang cara Thailand, lak cabang asal Probolinggo dan lak cabang lama asal Sambelia mempunyai kualitas yang dapat dikatakan sama. Kualitas cabang ini lebih baik dibandingkan dengan kualitas lak cabang lama asal Sambelia. Dari sidik ragam, diketahui bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap ketidaklarutan dalam alkohol panas 90%, kadar lilin, kelarutan dalam air, bilangan iod, kelarutan alam alkohol dingin, kadar abu dan bilangan asamnya, namun perlakuan ini tidak berpengaruh nyata terhadap sifat bilangan penyabunannya. Analisis beda nyata jujur (BNJ) terlihat bahwa nilai rataan kadar lilin, kelarutan dalam air dan kelarutan dalam alkohol dingin berbeda satu dengan yang lainnya. Sedangkan nilai rataan ketidaklarutan dalam alkohol panas antara lak cabang dari Probolinggo dan lak cabang lama dari Sambelia tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan nilai rataan lak cabang yang baru. Selanjutnya nilai rataan antara sifat bilangan iod, kadar abu dan bilangan asam lak cabang yang baru dengan lak cabang yang lama asal dari Sambelia tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan lak cabang yang berasal dari Probolinggo. Lak cabang asal Probolinggo lebih banyak mengandung resin, lilin dan zat warna dibandingkan dengan lak cabang asal Sambelia. Sedangkan kadar kotorannya paling rendah. Kandungan asam lemak bebas dalam lak cabang asal Probolinggo lebih kecil dibandingkan dengan kandungan asam lemak bebas lak cabang yang diperoleh dari Sambelia. Kata kunci: kualitas, lak cabang, BKPH Taman, Sambelia NTB.
4. Resin 082/1, 2005 Pemanfaatan Resin untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Sekitar Hutan. Oleh: E. Suwardi Sumadiwangsa. Prosiding Lokarya Penelitian Hasil Hutan, 2000: 117–129. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), bila ditangani dengan bijaksana dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat dan pemerintah. Komoditi
HHBK sangat banyak jenis dan ragamnya sehingga perlu dipilih menjadi beberapa kelompok yang salah satunya adalah kelompok resin. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai informasi umum komoditi resin dan permasalahan yang dihadapi serta iptek yang ditemukan para peneliti HHBK di Puslit Hasil Hutan. Beberapa di antaranya adalah alat penduga kandungan gaharu pada pohon hidup, permasalahan grading damar, pembuatan vernis kayu dari damar, manipulasi kadar stimulan pada penyadapan pinus dan perbandingan kualitas lak dari areal baru dan lama. Ternyata kesemuanya mampu meningkatkan produksi dan nilai komoditi resin yang cukup berarti dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan yang bersangkutan. Kata kunci: resin, pemanfaatan, masyarakat sekitar hutan.
F. Rotan dan Bambu 1. Rotan 083/1, 2005 Perbaikan Teknik Pelengkungan Rotan Melalui Perendaman dengan Larutan Dimetil Sulfoksida (Improvement of Rattan Bending Technique by Soaked with Dimethyl Sulfoxida Solution). Oleh: Osly Rachman, Suhadi Hardjo & Meri Suwirman. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (4) 1997: 299 – 311. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Kayu dapat dilunakkan dengan berbagai macam bahan kimia, satu di antaranya adalah larutan dimetil sulfoksida (DMSO). Oleh karena rotan mengandung struktur kimia yang sama dengan kayu maka akan diselidiki kemungkinan pemanfaatan bahan ini untuk pelengkungan rotan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh larutan DMSO pada pelunakan agar diperoleh teknik pelengkungan rotan yang lebih baik. Untuk maksud tersebut, 3 jenis rotan direndam dalam 5 tingkat konsentrasi DMSO lalu diamati sifat pelengkungannya. Pengamatan terhadap kerapatan dan penyebaran ikatan pembuluh yang paling tinggi pada rotan batang menunjukkan bahwa rotan ini perlu direndam dalam lerulan 15% DMSO agar dapat dilengkungkan dengan mudah tanpa menimbulkan cacat. Sebaliknya, rotan minong memerlukan perendaman pada larutan 5% DMSO. Kerusakan pada serat rotan sebagai akibat pelengkungan tanpa perendaman dalam DMSO sangat jelas terlihat pada rotan minong dan batang. Peningkatan konsentrasi larutan cenderung meningkatkan kemudahan dalam pelengkungan, mengurangi kerusakan fisik dan tidak mempengaruhi kilap rotan. Akan tetapi, kenaikan konsentrasi cenderung meningkatkan mulur dan pengerutan volume serta menurunkan MOE dan rasio elesto-plastisitas rotan. Kata kunci: rotan, plastisasi, pelengkungan, dimetil sulfoksida. 084/1, 2005 Pengolahan Tiga Jenis Rotan dengan Menggunakan Berbagai Komposisi Campuran Minyak Pemasak (The Processing of Three Rattan Species Using Several Different Mixed Frying Oil Compositions). Oleh: Abdul Hakim Lukman
& Zulnely. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17 (3) 2000: 169 –177. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Pengolahan tiga jenis rotan dari Jawa Barat yaitu rotan pelah (Daemonorops rubra Bl.), rotan seel (D. melanochaetes BI.) dan rotan seuti (Calamus ornatus Bl.) dengan cara menggorengnya di dalam campuran minyak tanah dan minyak kelapa sawit pada perbandingan 4 : 0; 4 : 1; 4 : 2 dan 4 : 3. Kondisi penggorengan adalah suhu pemasak 130 oC dan lamanya 20 menit. Tujuan dari penelitian ini untuk mencari komposisi campuran minyak kelapa sawit dan minyak tanah sebagai minyak penggoreng rotan yang terbaik Hasil percobaan menunjukkan bahwa komposisi minyak penggoreng memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat jenis, kadar air, keteguhan lentur statis dan keteguhan tekan sejajar serat. Sedangkan untuk jenis rotan hanya berpengaruh pada berat jenis saja. Dari percobaan juga diperoleh bahwa berat jenis rotan seuti (0,51) lebih tinggi dibandingkan dengan rotan pelah (0,44) dan rotan seel (0,47). Kondisi penggorengan yang baik diperoleh pada campuran minyak tanah dan minyak kelapa sawit dengan perbandingan 4 : 2. Pada kondisi tersebut dihasilkan rotan dengan sifat-sifat tertentu yaitu berat jenis (0,46; 0,51 dan 0,50 berturut-turut untuk jenis rotan pelah, seel, dan seuti); kadar air (13,58; 13,85 dan 13,26% untuk pelah, seel dan seuti); keteguhan lentur statis (249,46; 313,43; dan 292,19 kg/cm2 untuk pelah, seel dan seuti); dan keteguhan tekan 222, sejajar serat (212,96; 245,42 dan 205,41 kg/cm2 untuk pelah, seel dan seuti). Disarankan untuk menggoreng rotan dengan campuran minyak tanah dan minyak kelapa sawit menggunakan perbandingan 4 : 2, pada suhu 130 oC selama 20 menit. Kata kunci: rotan, minyak kelapa sawit, minyak tanah, sifat fisis mekanis.
085/1, 2005 Efisiensi Sistem Tataniaga Rotan di Kalimantan Timur (The Efficiency of Rattan Marketing System in East Kalimantan). Oleh: Satria Astana. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 9 (7) 1991: 283-290. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor The efficiency of rattan marketing system in East Kalimantan. Two creteria were developed and used to analyse. The first criterium is that the
marketing system is assumed to be efficient when its marketing margin is less than 50% of consumer price. Secondly, eventhough the marketing margin is under 50%, the marketing system is assumed to be inefficient when the profit margin of the system tends to accumulate in one trader or more. The results of the study reveal that the rattan marketing system in East Kalimanatan is in efficient. As it is shown, based on the price spread analyses, by the marketing margin of the system that is 66.67%. This high margin is due to the water content cost which accounts for 81.25% and 62,52% of the marketing costs for intermediate and inter islands tarders, respectively. Meanwhile, the profit margin of the system tends to accumulate in one trader, that is the inter island trader. In fact, the inter islands trader gains the profit of 12,01%. Marketing cost is only 21.32% of the consumer price. On the other hand, the intermediate trader who spend the marketing cost as much as 24.62% of the consumer price gains the profit of 8.72% only. The accumulation of profit margin on the inter islands trader would imply that in the case of the marketing price increases or the marketing costs decreases, profit margin could not be distributed among other operators within marketing channels, including the rattan farmers. As a result, farmers may decrease their production. This may futher compound the reduction of domestic rattan trade caused by the raatan export ban policies. Therefore, without better distribution of profit margin among operators within marketing system, the shortage of rattan supply in the domestic market may not be avoided. Keywords: tata niaga rotan, efisiensi, Kalimantan Timur. 086/1, 2005 Pengupasan dan Pemolisan Rotan dalam Keadaan Basah dan Kering (The Polishing and Scrapping of Rattan Carried Out in Dry and Wet Conditions). Oleh: Efrida Basri, Osly Rachman dan Achmad Supriadi. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (8) 1998: 475-487. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. The scrapping and polishing of large diameter rattan so far are still carned out in a dry condition, This leads to inconvenient situation since it can take one month or more to achieve approximately 16% moisture
content. This is disadvantageous because the production of rattan is hindered and also its durability becomes lower. The study of rattan scrapping and polishing in wet condition is therefore undertaken as one possible way to overcome the problems as in the dry condition, In this study, several conversion factors as the data observation were obtained from the scrapping and polishing trials, which were done in either wet or dry conditions. The factors were then used as a matter of evaluation wether wet condition of the rattan scrapping and polishing could be used as a substitute for tile dry condition. Three species of large diameter rattans were used in this trial, namely: manau (Calamus manan Miq), seuti (Calamus ornatus BL), and nunggal (Calamus ornatus BL). All tile rattans were scrapped and polished in wet (70 - 80% moisture content) and dry in (15 - 18% moisture content) conditions. The factors observed were the decrease in rattan diameter, recovery, torn and fuzzy grain, colour defect, and productivity. Wet-scrapping and polishing results in lower rattan recovery and higher torn and fuzzy grain than tile dry-scrapping and-polishing. However, the decrease in diameter and the productivity from the rattan scrapping and-polishing in wet and dry conditions showed comparable values. Referring to the machining classification, wet-scrapping andpolishing produced the rattan that could be categorized into three qualities: "good" (for manau and nunggal rattan), "moderate" (for seuti). However, if the scrapping and polishing were done in the dry condition, all the three rattan species as produced fell into "very good" quality. Considering that tile present method of dle rattan scrapping and polishing is only carried out in the dry condition, the use of wet condition can later be applied with satisfactory results of rattan quality by proper engineering in the scrapping and polishing. Keywords: rattan, scrapping, polishing, recovery, productivity, quality. 087/1, 2005 Studi Kasus Alih Teknologi Pengolahan Rotan Lepas Panen di KPH Kuningan (Case Study on the Transfer of Processing Technology of Post Harvested Rattan in Forestry District of Kuningan). Oleh: D. Martono & Triyono P.
Buletin Penelitian Hasil Hutan 16 (4) 1999: 201-208. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Industri pengolahan rotan washed and sulfurized (W&S) yang menggunakan bahan baku rotan lepas panen telah dibangun di KPH Kuningan (Jawa Barat) untuk keperluan studi alih teknologi. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi: 1) sejauh mana alih teknologi dapat diadopsi oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan di KPH Kuningan, dan 2) penerimaan pasar terhadap rotan W&S hasil pengolahan masyarakat. Hasil studi menunjukkan bahwa alih teknologi berjalan secara efektif di mana prosedur pengolahan rotan dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat sehingga kegiatan pengolahan rotan berjalan baik. Setiap hari dapat diproduksi 300 batang rotan W&S yang kualitasnya sesuai dengan pemintaan pasar. Studi ini menilai bahwa penerapan pengolahan rotan dan bermanfaat bagi petani atau masyarakat pedesaan. Meskipun demikian, penyempurnaan teknologi pengolahan rotan lepas panen yang ditunjang analisis biaya masih perlu dilakukan. Dengan cara ini, rotan W&S hasil pengolahan masyarakat dapat dijual secara bersaing di pasaran. Kata kunci: alih teknologi, rotan, petani. 088/1, 2005 Rotan Jawa: Peluang dan Tantangan Pemanfaatannya oleh Industri. Oleh: Achmad Supriadi. Info Hasil Hutan 7 (2) 2000: 57-68. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. lndustri rotan di pulau Jawa amat tergantung kepada pasokan rotan asal luar Jawa, karena bahan bakunya sekitar 90% atau lebih menggunakan rotan luar Jawa. Beberapa faktor antara lain kebakaran hutan, pemberlakuan kembali ekspor rotan segala bentuk, penyelundupan rotan dan pemberlakuan otonomi daerah yang diperkirakan dapat mengurangi pasokan rotan dari luar Jawa, sehingga memberi peluang untuk memanfaatkan rotan asal Jawa. Sejak tahun 1983 -1992 Perum Perhutani telah menanam rotan di seluruh pulau Jawa pada luas areal sekitar 32.998 hektar. Potensi rotan di wilayah Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dan Unit I Jawa Tengah
sekitar 9.364.706 potong. Ditinjau dari segi mutu rekayasa, rotan asal Jawa tidak berbeda banyak dengan rotan luar Jawa, sehingga mampu sebagai supplemen dan atau substitusi rotan luar Jawa. lndustri kecil (pengrajin) merupakan target utama pemasaran rotan asal Jawa. Berbagai tantangan yang harus segera ditangani agar rotan asal Jawa dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan antara lain manajemen sumber daya rotan (budidaya, data base, pemanfaatan), teknologi pengolahan clan usaha-usaha untuk merubah persepsi industri terhadap rotan asal Jawa. Kata kunci: rotan, potensi, mutu, pengolahan. 089/1, 2005 Analisis Teknis dan Ekonomis Pengolahan Rotan (Technical and Economical Analysis of Rattan Processing). Oleh: Achmad Supriadi, D.Martono, T. Puspitodjati dan O. Rachman. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20 (2) 2002: 127-141. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Telah dilakukan percobaan pengolahan Tolan sampai polis pada Tolan berdiameter besar jenis karokok (Calamus viminalis), seuti (Calamus ornatus) dan Jilin (Calamus spp.) asal Jawa Barat dengan menggunakan 2 alternatif cara pengolahan yaitu alternatif I (rotan segar digoreng, dijemur sampai kering udara, kemudian dikerik) dan altematif 2 (rotan segar diawetkan, dijemur sampai kering udara, kemudian dikerik). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui intensitas serangan jamur biru, harga pokok produksi dan keuntungan dari masing-masing cara pengolahan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa serangan jamur biru terjadi pada rotan yang diolah dengan alternatif 1 sebanyak 5,5% dan pada altematif 2 sebanyak 1,37%, lebih rendah dibandingkan pada industri yaitu 197%. Waktu penjemuran sampai rotan kering udara pada alternatif 1 selama 9 hari, pada alternatif 2 selama 14 hari. Waktu kering adalah sama yaitu 13 detik per potong rotan. Kata kunci: rotan, pengolahan, teknis dan ekonomis.
2. Bambu 090/1, 2005 Derajat Putih dan Keteguhan Tarik Bambu (Gigantochloa apus) Setelah Mengalami Proses Pemutihan (The Brightness and Tensile Strengh of Bamboo (Gigantochloa apus) After Being Bleached). Oleh: Zulnely dan Erik Dahlian. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17 (3) 2000: 134 – 139. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Bambu tali (Gigantochloa apus) mempunyai serat yang ulet dan ruas yang panjang sehingga bambu ini banyak digunakan sebagai bahan kerajinan anyaman. Untuk meningkatkan kualitas bahan kerajinan anyaman salah satunya dengan cara meningkatkan kecerahan warna bambu melalui pemutihan. Dalam percobaan ini dilakukan pemutihan dua buah bambu yang berbeda umur panennya, dengan tiap bambu dibedakan bagian ujung, tengah dan pangkal. Untuk pemutihan bambu digunakan larutan hidrogen peroksida (H2O) dan data yang diperoleh diolah dengan petak terbagi berpola faktorial. Faktornya adalah umur dalam taraf 6 bulan dan 1 tahun. Hasil serta bagian tanaman dalam taraf ujung, tengah dan pangkal. Dari percobaan diperoleh nilai derajat putih yang tinggi pada bambu umur panen 6 bulan dan kekuatan tarik yang tinggi pada bambu umur panen 1 tahun. Hasil pemutihan bagian bambu umur panen 6 bulan adalah untuk bagian ujung dan tengah bambu mempunyai nilai derajat putih yang tinggi sedangkan bagian pangkal mempunyai kekuatan tarik yang tinggi. Dari pemutihan bagian bambu umur panen 1 tahun diperoleh nilai derajat putih yang tinggi pada bagian ujung dan pangkal, sedangkan untuk kekuatan tariknya tidak terdapat perbedaan. Kata kunci: bambu, pemutihan, kekuatan tarik, derajat putih, hidrogen peroksida.
G. Tanin dan Bahan Pewarna 1. Gambir 091/1, 2005 Pengaruh Pengukusan dan Perajangan Daun Gambir (Uncaria gambir ROXB) terhadap Mutu Ekstrak Gambir (The Effect of Steaming Duration and Chopping Size of Gambier Leaves (Uncaria gambir ROXB) on Quality of Gambier Extract). Oleh: Zulnely & Abdul Hakim Lukman. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 12 (6) 1994: 217-224. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. This experiment is to study the effect of steaming duration and chopping sizes of gambier leaves (Uncaria gambir ROXB) on both yield and quality. The steaming duration of the samples were conducted at 30, 40, 60 and 75 minutes and the chopping sizes of the sample consisted of 0.5-1 cm, 2-3 cm, 4-6 cm, and unchopping. The results were analyzed using the factorial design with two replicates and the difference between means were tested with multiple range Duncan's test. The results showed than the steaming duration and the chopping sizes had a significant effect on the yield, catechin content, insoluble matter and insoluble matter in alcohol. Combination of 0.5-1 cm chopping size and 30 minutes steaming duration was the best treatment. This combination produced 10.34% yield of gambier extract, 75.82% catechin content, 11.34% moisture content, 4.75% ash content, 4.86% insoluble matter, and 12.03% insoluble matter in alcohol. Keywords: daun gambir, pengukusan dan perajangan, mutu ekstrak.
2. Pinang Sirih 092/1, 2005 Profil dan Prospek Pengembangan Budidaya Pinang Sirih: Catatan Hasil Perjalanan Dinas/Survey ke Sumatera Barat. Oleh: Gusmailina. Info Hasil Hutan 9 (1) 2002: 32-41. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Pinang sirih (Areca catechu) merupakan salah satu komoditi yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Indonesia,
karena manfaat dan kegunaannya. Permintaan dari luar negeripun semakin hari semakin meningkat, walaupun akhir-akhir ini beberapa pengusaha biji pinang sirih sering mengeluh karena sulit untuk mendapatkannya. Meskipun disadari manfaat dan kegunaan pinang sirih ini, serta dapat diandalkan sebagai penopang perekonomian masyarakat pedesaan dan sekitar hutan, namun usaha untuk ekstensifikasi, budidaya serta peremajaan kembali tanaman ini belum banyak dilakukan. Sementara setiap tahun pohon ini akan selalu berkurang karena diperlukan dalam perayaan peringatan Ulang Tahun Kemerdekaan RI. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka sudah saatnya tanaman pinang sirih ini mulai dibudidayakan secara luas dan profesional, baik dari segi teknik silvikulturya maupun motivasi dari pengusahaan budidaya pinang sirih ini hendaknya berorientasi pada bisnis. Investasi pengelolaan dapat berupa PIR (Pola Inti Rakyat), hutan kemasyarakatan, agroforestry, swakelola, atau program lainnya yang penting masyarakat pedesaan dan sekitar hutan dapat melakukan budidaya pinang dan sekaligus menikmati hasilnya kelak, sehingga selain dapat memenuhi kebutuhan akan permintaan biji pinang sirih, juga dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan kehidupan masyarakat desa dan masyarakat sekitar hutan. Tulisan ini merupakan catatan hasil perjalanan yang dilakukan di Sumatera Barat, berisikan potensi, profil dan prospek dari biji pinang sirih yang ada di Sumatera Barat. Kala kunci: pinang sirih, biji, profil, potensi, prospek. 3. Tanin 093/1, 2005 Pengaruh Tanin – Formaldehida terhadap Sifat Fisik dan Ketahanan Tarik Papan Serat yang Dibuat dengan Proses Basah (The Effect of Tanin Formaldehyde on Physical Tensile Strength Properties of Wet Formed Fiberboard). Oleh: Bambang Wiyono. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (5) 1988: 275278. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Condensed – tannin from bark of Pinus merkusii Jungh et de Vriese, can react with formaldehyde in alkali or acid condition to from tannin-formaldehyde. The reaction product is assumed to be an excellent sizing material for fiberboard manufactures. The purpose of this research
is to study the effect of tannin-formaldehyde sizing on moisture content, density, thickness, water absorption, thickness swelling, and tensile strengh paralel to surface of fiberboard properties. The amount of tannin-formaldyhide added to pulp copnsiting of 0, 3, 6, 9 and 12 percent based on ovendry pulp. Results indicate that the addition of tannin formaldehyde during the fiberborad making process has a highy significant effect on reducing water absortion and thickness swelling. Similary, the tensile strength paralel to surface of fiberboard was significantly improved by adding tannin-formaldehyde. Overall improvement of fiberboard properties could be achieved by adding 12 percent of the sizing agent to the stok. Keywords: tanin, formaldehida, sifat fisik, ketahanan tarik papan serat, proses basah. 094/1, 2005 Potensi Tanin dari Hutan Payau Tarakan, Kalimantan Timur (The Potential of Tannin from Tarakan (East Kalimantan) Mangrove Forest). Oleh: Suwardi Sumadiwangsa & Yacob Ando. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 3 (3) 1986: 25-27. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Mangrove forest grows widely distributed throughout Indonesia, and one of the most promising resource is in East Kalimantan. Until recently the utilization of mangrove forest is only for wood, while the bark is wasted, although various literatures have indicated that the tanning material found in the bark can be a intesfactory component for glue manufacture. This paper presents a survey result on the standing stock of II mangrove species at the Forest District of Bulongan in East Kalimantan. The survey was based on a 25% sampling intensity which is jointly conducted both by PT Karyasa Kencana and District of Forestry at Bulongan, East Kalimantan. The tannin content of the bark were determined at the Forest Product Research and Development Centre Laboratory in Bogor. In this province, the mayor tannin producing mangroves are Bruguiera caryophylloides, Rhizophora macronata, and Bruguiera gymnorrhiza. Keywords: tanin, potensi, hutan payau, Tarakan Kalimantan Timur
H. Tumbuhan Obat 1. Tumbuhan Obat 095/1, 2005 Komponen Aktif Dua Puluh Jenis Tumbuhan Obat di Taman Nasional Gunung Halimun (Active Ingredients of Twenty Medicinal Plante Species Collected in Gunung Halimun National Park). Oleh: Zulnely, E.S. Sumadiwangsa, Erik Dahlian & Umi Kulsum. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22 (1) 2003: 43-50. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun merupakan salah satu hutan tropis Indonesia yang kaya dengan jenis tumbuhan obat. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi senyawa aktif dalam dua puluh jenis tumbuhan obat. Hasil uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp diperoleh sebelas contoh uji tumbuhan obat yang berkhasiat obat karena bersifat toksik. Semua contoh uji yang bersifat toksik ini mengandung senyawa golongan saponin, sepuluh contoh uji mengandung flavonoid, steroid dan tanin. Sedangkan uji contoh uji mengandung triterpenoid dan dua contoh uji mengandung alkaloid. Kata kunci: tumbuhan obat, senyawa aktif, Taman Nasional Gunung Halimun.
096/1, 2005 Prosedur Pengujian Toksisitas dan Fitokimia Tumbuhan Obat yang Berasal dari Hutan. Oleh: Umi Kulsum, Erra Yusnita dan Ahmad Junaedi. Info Hasil Hutan 10 (1) 2003: 29-34. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Senyawa kimia tumbuhan diketahui banyak yang berkhasiat obat. Khasiatnya diduga karena ada komponen kimia yang mampu menetralisir penyebab suatu penyakit. Potensi tumbuhan obat di Indonesia sangat banyak dan beragarn, maka prosedur pengujian komponen aktif dan analisis fitokimia tumbuhan obat yang berasal dan hutan perlu dibuat.
Tujuan tulisan ini adalah menyusun pedoman pengujian toksisitas dan analisis fitokimia tumbuhan yang diduga mengandung obat. Kata kunci: prosedur pengujian, fitokimia, tumbuhan obat.
III. PENUTUP Dengan diterbitkannya Abstrak Hasil Hutan Bukan Kayu ini diharapkan akan memudahkan para pengguna dalam mencari informasi hasil hutan bukan kayu yang prospektif sehingga akan meningkatkan pemanfaatan hasil hutan secara optimal.
Lampiran 1. Indeks Pengarang Ando, Y., 27, 51, 81 Anggraeni, I., 23 Astana, S., 72 Basri, E., 73 Dahlian, E., 4, 19, 57, 60, 64, 76, 83 Djatmiko, B., 5 Djumria, S., 26 Edriana, E., 57, 64 Gusmailina, 45, 79 Hardjo, S., 71 Hartoyo, 18, 19, 28, 45, 48, 51, 54, 60 Haryono, 36 Hasanah, S., 40 Hastoeti, P., 9, 12, 28, 31, 36, 48, 57, 65, 68 Humphrey, P., 46 Jordan, P.J., 11 Junaedi, A., 24, 83 Karchesy, J., 46 Kataren, S., 5 Kulsum, U., 22, 83 Kurniasih, D., 57 Kusmiyati, E., 9, 12, 22, 65, 68 Lukman, A.H., 10, 16, 20, 21, 31, 32, 54, 62, 68, 71, 79 Martono, D., 74, 76 Nayasaputra, S., 6 Pari, G., 31 Puspitodjati, T., 76 Rachman, O., 71, 73, 76 Roliadi, H., 26, 40, 66 Rostiawati, T., 3 Rusliana, L., 41, 54 Santosa, E., 23 Setyawan, D., 4, 7, 17, 24, 35, 39 Sijabat, E.A.S., 48 Siregar, N., 62 Sofyan, K., 57 Sudradjat, R., 3, 6, 7, 22, 49, 53, 55 Sukardi, I., 3
Lampiran 2. Indeks Kata Kunci Aghatis sp., 66 Alat bor, 25 Alih teknologi, 75 Alkohol, 45, 52 Analisis fisiko kimia, 43 Analisis kimia, 10, 17 Anhidrida asam maleat, 14 Asalan, 60 Asam klorida, 49 Asam sulfat, 49 Bahan pangan, 42 Bambu, 77 Berat jenis, 23 Bibit lak, 67 Biji kemiri, 35, 36 Biji tengkawang, 38, 40, 41, 42 Biji, 38, 80 BKPH Taman, 69 Buah nipah, 46 Cara dan waktu, 31 Cara ekstraksi, 50, 55 Cara pengolahan, 41 Cianjur, 33 Damar mata kucing, 58, 59, 64 Damar, 18, 57, 60, 62, 63 Dammar, 61 Daun eucalyptus, 22 Daun gambir, 79 Daun kayu putih, 27 Daun pinus radiata, 11 Daun pinus, 10, 12, 14, 17 Daun tusam, 15 Dekstrin sagu, 47 Dekstrin, 49, 51, 53 Derajat putih, 77 Diameter, 9, 40 Dimetil sulfoksida, 71 Diptetocarpus spp, 30
Dry calcium, 65 Dry cobalt, 65 Efisiensi, 73 Ekstender, 53 Ekstraksi lemak, 38 Ekstraksi lilin, 12 Ekstraksi, 31 Enzim, 53 Essential oil, 61 Etyl acetat, 65 Fitokimia, 84 Formaldehida, 81 Formula campuran, 18 Fosfat modifikasi, 47 Fraksionasi distilasi, 16 Fruktosa tinggi, 48 Gaharu, 23, 24 Getah keruing, 31 Getah pinus, 10 Getah tusam, 9 Getah, 5, 18 Glukosa, 52 Gondorukem, 5, 6, 7, 10, 14 Gula, 45 Hasil getah, 3 Hidrodistilasi, 31 Hidrogen peroksida, 77 Hutan payau, 81 Jelutung, 3, 4 Jenis kayu, 45 Jenis, 40 Kadar resin, 23, 24 Kadar selulosa, 50 Kadar stimulan, 5, 9, 18 Kalimantan Timur, 73 Kalimantan, 43 Kandungan gaharu, 25 Kaporit, 54
Karakteristik, 63 Katalis, 53 Kayu cendana, 20, 21 Kekuatan tarik, 77 Kematangan, 46 Ketahanan tarik papan serat, 81 Komponen kimia, 20, 21 Komposisi kimia, 33 Konsentrasi asam khlorida, 54 Konsep standar, 29 Kopal manila, 64, 66 Kopal, 18 Kristalisasi, 27 Kromatografi gas, 21 Krui Lampung Barat, 62 Kualitas gaharu, 23 Kualitas, 5-7, 20, 26, 27, 38, 41, 69 Kukus dan rebus, 22 Kulit kayu manis, 25 Kulit masoy, 31 Kultur lak, 67 Lak biji, 67 Lak cabang, 67, 69 Lemak nabati, 41 Lemak protein, 46 Lemak tengkawang, 39 Lilin, 15 Masyarakat sekitar hutan, 69 Metoda semimikro, 50 Metode destilasi, 20 Minyak atsiri, 64 Minyak cendana, 20 Minyak kayu putih, 26, 27 Minyak kelapa sawit, 72 Minyak kenanga, 28 Minyak keruing, 29, 30 Minyak sabal-sabal, 32 Minyak tanah, 72 Minyak terpentin, 16 Modifikasi, 18
Mutu ekstrak, 79 Mutu, 76 Oil yield, 61 Optimalisasi, 60 Pati sagu, 48, 49 Pekalongan Timur, 33 Pelarut organik, 14, 25, 31, 38, 59 Pelengkungan, 71 Pemanfaatan, 10, 17, 42, 63, 69 Pembagian jalur, 9 Pembuatan lak kuning, 67, 68 Pembuatan permen karet, 4 Pembuatan pernis, 57 Pembuatan sirup, 48 Pembuatan, 45 Pemurnian, 59 Pemutihan, 54, 77 Pencucian, 67 Pengempaan, 39 Pengolahan lak biji, 67 Pengolahan sagu, 53 Pengolahan, 39, 76 Pengukusan dan perajangan, 79 Pengukusan, 38 Penyadapan, 3, 18 Penyaringan, 7 Penyimpanan, 15 Penyulingan kering secara vakum, 58
Penyulingan kering, 64 Penyulingan metode kukus, 20 Penyulingan uap, 30 Penyulingan, 22, 27, 28, 31 Perekat kayu lapis, 53 Periode pemungutan, 9 Perlakuan pendahuluan, 36 Pernis, 60 Persyaratan kualitas, 24 Petani, 75 Physico-chemical properties, 13, 61 Pinang sirih, 80
Pine oleoresin, 13 Pinus merkusii, 16 Plastic laminated container, 13 Plastisasi, 71 Pohon gaharu, 25 Pohon tusam, 9 Polishing, 74 Potensi, 76, 80, 81 Productivity, 74 Produksi gula, 54 Produksi lemak, 42 Produktivitas, 5, 9, 18, 40 Profil, 80 Propanol-2, 65 Prosedur pengujian, 84 Proses basah, 81 Proses pelarutan, 68 Proses, 60 Prospek, 80 Quality, 74 Rattan, 74 Recovery, 74 Rendemen lilin, 11, 14 Rendemen, 15, 20, 28, 35, 36, 37 Rendemen, 58 Residu penyulingan, 58 Resin, 69 Rosin, 13 Rotan, 71, 72, 75, 76 Sabun cuci, 6 Sagu modifikasi, 47, 50, 52-55 Sambelia NTB, 69 Scrapping, 74 Senyawa aktif, 83 Serat makanan, 46 Sifat dan kualitas, 23 Sifat ekstender, 47 Sifat fisik, 81 Sifat fisiko-kimia minyak, 30, 31
Sifat fisiko-kimia, 10, 28, 29, 32, 35, 37, 47, 49, 50, 55, 58, 64, 66 Sifat fisis mekanis, 72 Sifat minyak, 36 Sifat sabun, 14 Sisa penyulingan, 64 Soda abu, 67 Sortasi, 62 Storage time, 13 Suhu ekstraksi, 11 Suhu pemasakan, 35 Synthetic alkyd, 65
Taman Nasional Gunung Halimun, 83
Tanin, 81 Tarakan Kalimantan Timur, 81 Tata niaga rotan, 73 Teknik pengolahan, 26 Teknik, 18 Teknis dan ekonomis, 76 Teknologi superkritikal fluida, 12 Tempat penyimpanan, 10 Tempat tumbuh, 40 Tengkawang tungkul, 38 Tengkawang, 43 Tepung empulur sagu, 50 Tepung sagu, 50, 51, 54 Terigu, 53 Terpentin, 6, 33 Tumbuhan obat, 83, 84 Ukuran partikel kayu, 20 Umur pohon, 5, 18 Umur, 9 Usaha kecil, 57 Vacum dry distillation, 61 Vernis, 18 Waktu pemasakan, 35, 37 Waktu penyimpanan, 10, 41 Waktu perkolasi, 25 Warna, 23
Lampiran 3. Indeks Geografi Bogor, 51, 54, 66 Cianjur, 32 Haurbentes, Bogor, 40 Indonesia, 46, 67, 79, 81, 83 Jawa Barat, 4, 72, 75 Jawa Tengah, 6, 75 Jawa Timur, 65, 66, 67 Jawa Timur, 7, 75 Kalimantan Barat, 39 Kalimantan Tengah, 3 Kalimantan Timur, 29, 72 Krui Lampung Barat, 62 Kuningan, 74, 75 Malaysia, 46 Nusa Tenggara Barat (NTB), 67 Nusa Tenggara Timur (NTT), 67 Papua Nugini, 46 Pekalongan Timur, 32 Philipina, 47 Probolinggo, 64, 65, 68, 69 Riau, 51 Sambelia NTB, 68, 69 Sanggau, 39 Sintang, 39 Sukabumi, 65 Sumatera Barat, 9, 12, 79, Sumedang, 4 Taman Nasional Gunung Halimun, 83 Tarakan Kalimantan Timur, 81 Thailand, 46, 68