ISSN 0216-4329
TERAKREDITASI NO : 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
Penelitian Hasil Hutan
PENELITIAN HASIL HUTAN Vol. 32 No. 1, Maret 2014
Vol. 32 No. 1, Maret 2014
KEMENTERIAN KEHUTANAN (Ministry of Forestry) BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency (FORDA) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing BOGOR - INDONESIA Jurnal Penel. Hasil Hutan
Vol. 32
No. 1
Hlm. 1 - 81
Bogor, Maret 2014
ISSN 0216 - 4329
ISSN 0216 - 4329 TERAKREDITASI NO : 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
Vol. 32 No. 1, Maret 2014
KEMENTERIAN KEHUTANAN (Ministry of Forestry) BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency (FORDA) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing BOGOR - INDONESIA Jurnal Penel. Hasil Hutan
Vol. 32
No. 1
Hlm. 1 - 81
Bogor, Maret 2014
ISSN 0216 - 4329
ISSN 0216 - 4329 NO : 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
Vol. 32 No. 1, Maret 2014 DAFTAR ISI (CONTENTS) 1. UJI COBA MESIN KABEL LAYANG EXPO-2000 GENERASI-II DENGAN KONSTRUKSI DUA GIGI EKSENTRIK TERPISAH UNTUK EKSTRAKSI KAYU (Experiment of Trial Test Skyline Machine of Expo-2.000 Generation-II With Two Separated Eccentric Gear on Log Extraction) Wesman Endom .............................................................................................................................................
1 - 11
2. KOMBINASI PEMBERIAN ARANG HAYATI DAN CUKA KAYU TERHADAP PERTUMBUHAN JABON DAN SENGON (The Combination of Additions of Biochar and Wood Vinegar on Jabon and Sengon Growth) Sri Komarayati & Gustan Pari .......................................................................................................................
12 - 20
3. ANALISIS SENYAWA KIMIA Dryobalanops aromatica (Chemical Compound Analisys of Dryobalanops aromatica) Gunawan Pasaribu, Gusmailina, Sri Komarayati, Zulnely & Erik Dahlian ..............................................
21 - 26
4. KARAKTERISASI DAN PEMANFAATAN ASAP CAIR DARI TEMPURUNG BUAH BINTARO (Carbera manghas Linn.) SEBAGAI KOAGULAN GETAH KARET (Characterization and Utilization of Smoke Liquid from Bintaro Shell (Carbera manghas Linn.) as a Natural Rubber Coagulant) Djeni Hendra, Totok K Waluyo & Arya Sokanandi ....................................................................................
27 - 35
5. PEMBUATAN BIODIESEL DARI BIJI KEMIRI SUNAN (Making Biodiesel of Aleurites trisperma Blanco Seed) Djeni Hendra ..................................................................................................................................................
36 - 44
6. EFISIENSI PEMBALAKAN DAN KUALITAS LIMBAH PEMBALAKAN DI HUTAN TROPIKA PEGUNUNGAN : STUDI KASUS DI IUPHHK-HA PT RODA MAS TIMBER KALIMANTAN (Logging Eficiency and Quality of Logging Waste in a Tropical Mountainous Forest: Case study in the Licency Natural Forest Concessionary of PT Roda Mas Timber Kalimantan) Soenarno .........................................................................................................................................................
45 - 61
7. PEMANENAN GETAH PINUS MENGGUNAKAN TIGA CARA PENYADAPAN (Harvesting of Pine Resin Using Three Tapping Techniques) Sukadaryati ......................................................................................................................................................
62 - 70
8. HIDRORENGKAH KATALITIK MINYAK KULIT BIJI JAMBU METE (CNSL) MENJADI FRAKSI BENSIN DAN DIESEL (Catalytic Hydrocracking of Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) into Gasoline and Diesel Fractions) Lisna Efiyanti & Wega Trisunaryanti ...........................................................................................................
71 - 81
iii
Vol. 32 No. 1, Maret 2014
ISSN 0216 - 4329
Kata kunci yang digunakan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin atau biaya
ABSTRAK UDC (OSDC) 630*377.2 Wesman Endom (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Uji Coba Mesin Kabel Layang Expo-2000 Generasi-II dengan Konstruksi Dua Gigi Eksentrik Terpisah untuk Ekstraksi Kayu J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2014, Vol 32 No. 1, hlm. 1 - 11
UDC (OSDC) 630*813.6 Gunawan Pasaribu, Gusmailina, Sri Komarayati, Zulnely & Erik Dahlian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Analisis Senyawa Kimia Dryobalanops aromatica J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2014, Vol 32 No. 1, hlm. 21 - 26 Dryobalanops aromatica merupakan tumbuhan berkayu yang memproduksi hasil hutan bukan kayu seperti minyak dan kristal. Informasi komposisi senyawa kimia penting diketahui dalam rangka pemanfaatan dan penciri suatu bahan. Berdasarkan informasi dari masyarakat lokal, minyak dikelompokkan berdasarkan warnanya. Semakin putih warna minyak, semakin baik kualitas. Tulisan ini menyajikan komposisi senyawa kimia dari minyak dan kristal Dryobalanops aromatica menggunakan kromatografi gas spektrometri massa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak Dryobalanops aromatica 1 mengandung borneol sebesar 26,02%, D.aromatica 2 mengandung 13,95%, D.aromatica 3 mengandung 24,03%, D.aromatica 4 mengandung 1,09% dalam bentuk longiborneol. Sementara untuk kristal 1 mengandung 92,70% borneol dan kristal 2 mengandung 90,73%. Senyawa borneol merupakan senyawa penciri Dryobalanops aromatica.
Studi pengeluaran kayu balak cara kabel layang pada lereng curam dengan prototipe Expo-2000 generasi II bermesin 13 HP telah dilakukan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kinerja peralatan yang dibuat dalam pengeluaran kayu balak. Biaya investasi alat sekitar Rp 110 juta, biaya pemilikan dan pengoperasian seluruhnya berjumlah Rp Rp 3 111.975 /jam, produktivitas kerja sebanyak 0,59 m /jam 3 sehingga biaya per m adalah Rp Rp 189.788. Kata kunci: Teknologi kabel layang, yarder, mesin kecil, pengeluaran kayu, efektif
Kata kunci: Dryobalanops, minyak, kristal, GCMS, borneol
UDC (OSDC) 630*867.2 Sri Komarayati & Gustan Pari (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Kombinasi Pemberian Arang Hayati dan Cuka Kayu Terhadap Pertumbuhan Jabon dan Sengon J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2014, Vol 32 No. 1, hlm. 12 - 20
UDC (OSDC) 630*892.61 Djeni Hendra (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Karakterisasi dan Pemanfaatan Asap Cair dari Tempurung Buah Bintaro (Carbera manghas Linn.) Sebagai Koagulan Getah Karet J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2014, Vol 32 No. 1, hlm. 27 - 35
Anakan jabon dan sengon diberi perlakuan penambahan arang hayati dan cuka kayu, setelah lima bulan karakteristik pertumbuhan (tinggi dan diameter) diamati dan diukur. Konsentrasi 5% arang serbuk gergaji, 5% campuran arang serbuk gergaji dan 2% cuka kayu serta 10% arang kompos seresah, dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter anakan jabon sebesar 16,38 kali; 21,05 kali dan 62,74 kali serta 1,7 kali dan 3,1 kali. Untuk pertumbuhan tinggi dan diameter anakan sengon berturut-turut sebesar 22,5 kali; 21,1 kali dan 40,8 kali serta 1,03 kali dan 1,04 kali.
Tujuan penelitian adalah memanfaatkan asap cair tempurung buah bintaro sebagai alternatif bahan koagulan getah karet. Pembuatan asap cair dilakukan dengan 0 menggunakan kiln drum dengan suhu 400 C selama 7 jam. 0 Asap cair yang terbentuk didistilasi dengan suhu 200 C dan dianalisis kualitasnya. Aplikasi asap cair sebagai koagulan getah karet dilakukan dengan variasi konsentrasi asap cair yaitu 5 %, 10 %, 15 %, 20 %(b/b), asap cair dari tempurung kelapa digunakan sebagai pembanding (5%). Hasil lateks beku paling baik pada konsentrasi tempurung bintaro 20% dan waktu paling cepat pada konsentrasi asap cair tempurung kelapa 5%.
Kata kunci: Arang serbuk gergaji, arang kompos serasah, cuka kayu, anakan jabon dan sengon, arang hayati, karakteristik pertumbuhan
Kata kunci: Asap cair, bintaro, getah karet, koagulan
v
UDC (OSDC) 630*89 Djeni Hendra (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Pembuatan Biodiesel dari Biji Kemiri Sunan J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2014, Vol 32 No. 1, hlm. 36 - 44
UDC (OSDC) 630*892.61 Sukadaryati (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Pemanenan Getah Pinus Menggunakan Tiga Cara Penyadapan J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2014, Vol 32 No. 1, hlm. 62 - 70
Pembuatan biodiesel dari minyak biji kemiri sunan, mutunya sudah sesuai dengan persyaratan ketentuan standar biodiesel (SNI-2006) dengan menggunakan campuran metanol 20% (v/v) dan katalis NaOH 0,6% (b/v), menghasilkan nilai kadar air sebesar 0,05%, bilangan asam 0,76 mg KOH/g, kadar asam lemak bebas 0,38%, densitas 865 3 o 2 kg/m , viskositas kinematik pada suhu 40 C 5,41 mm /s (cSt), bilangan penyabunan 101,49 mg KOH/g, kadar alkil ester 104,55% massa, bilangan Iod 109,73 g I2/100 g, angka setana 59,08 dan rendemen minyak biodiesel sebesar 79,92%.
Getah pinus merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang sangat potensial dan Indonesia menduduki peringkat ke 3 di dunia setelah Cina dan Brazil. Peluang pasar getah pinus tersebut mendorong pengelola hutan untuk meningkatkan produksi getah pinus. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang pemanenan getah pinus dengan menggunakan tiga cara penyadapan. Cara penyadapan yang digunakan tergantung alat sadap yang dipakai, yaitu mujitech, bor dan kedukul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi getah pinus paling banyak dihasilkan dari cara penyadapan kedukul yaitu sebesar 18,0 g lebih tinggi daripada mujitech dan bor, masingmasing sebesar 11,2 g dan 11,5 g. Getah yang dihasilkan dengan cara penyadapan bor lebih bersih dibandingkan cara mujitech dan kedukul. Kadar pengotor dalam getah pinus yang dihasilkan dengan cara penyadapan bor rata-rata sebesar 4%. Namun demikian penyadapan dengan cara bor tidak disukai petani penyadap karena kurang efektif. Umumnya penerapan cara penyadapan pinus di suatu lokasi dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat setempat yang sudah berlaku secara turun temurun. Kebiasaan tersebut tidak mudah diubah meskipun sistem sadapan yang baru menghasilkan produksi getah lebih banyak.
Kata kunci: Biji kemiri sunan,minyak, biodiesel, bahan bakar diesel
Kata kunci: Getah pinus,cara penyadapan, produksi, kebiasaan masyarakat setempat UDC (OSDC) 630*31 Soenarno (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Efisiensi dan Kualitas Limbah Pembalakan di Hutan Tropika Pegunungan : Studi Kasus Di IUPHHK-HA PT Roda Mas Timber Kalimantan J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2014, Vol 32 No. 1, hlm. 45 - 61
UDC (OSDC) 630*89 Lisna Efiyanti (Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi) & Wega Trisunaryanti (Jurusan Kimia, FMIPA. Universitas Gadjah Mada) Hidrorengkah Katalitik Minyak Kulit Biji Jambu Mete (CNSL) Menjadi Fraksi Bensin dan Diesel J. Penelit. Has. Hut. Maret. 2014, Vol 32 No. 1, hlm. 71 - 81
Penelitian efisiensi pembalakan dilaksanakan di hutan tropika pegunungan di areal PT Roda Mas Timber Kalimantan, propinsi Kalimantan Timur. Rata-rata besarnya efisiensi pembalakan adalah 91,41% dengan keragam menurut topografi; yakni pada topografi datar (90,22%), landai (91,75%), agak curam (90,91%), dan curam (90,03%). Rata3 rata volume limbah kayu penebangan adalah 1,395 m /pohon, 3 dimana 0,357 m /pohon (25,58%) berkualitas baik.
Hidrorengkah katalitik minyak kulit biji jambu mete (CNSL) telah dipelajari. Proses hidrorengkah menggunakan reaktor sistem fixed-bed dan katalis NiO/ZY dengan kondisi termperatur 400°C, laju alir H2 20ml/menit variasi rasio katalis/umpan sebesar 4. Produk cair hasil reaksi berupa fraksi bensin dan diesel masing-masing sebesar 38,47% dan 25,88%. Kata kunci: Hidrorengkah, katalis, bioenergi
Kata kunci: Efisiensi pembalakan, limbah penebangan, hutan tropika pegunungan, Kalimanatan Timur
vi
Vol. 32 No. 1, March 2014
ISSN 0216 - 4329
Keywords given are free terms. Abstracts may be reproduced without permission or charge
ABSTRACT UDC (OSDC) 630*377.2 Wesman Endom (The Centre for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Experiment of Trial Test Skyline Machine of Expo-2000 Generation-II with Two Separated Eccentrict Gear on Log Extraction J. of Forest Products Research. March. 2014, Vol 32 No. 1, pp. 1 - 11
UDC (OSDC) 630*813.6 Gunawan Pasaribu, Gusmailina, Sri Komarayati, Zulnely & Erik Dahlian (The Centre for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Chemical Compound Analisys of Dryobalanops aromatica J. of Forest Products Research. March. 2014, Vol 32 No. 1, pp. 21 - 26
Study of logs extraction using skyline on steep slope of by the prototype Expo-2000 generation II with engine of 13 HP. This paper examines the performance of the prototype in order to calculate owing cost and operation costs achieved by the total of Rp 111,975/hour. The 3 pr oductivity of logs extraction about 0.59 m /hour, 3 it means cost of log extraction is about Rp 189,798/ m .
Dryobalanops aromatica is a woody plant that produces non timber forest product such oil and crystal. The chemical composition information is important for oil utilization and specific marker of the material. Traditionally, oil quality was grouped based on its colour. The whiter the colour, the better the quality. This paper examines the chemical content of four oil groups and two kinds of crystal. The examination was carried out in Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS). The results show that the oil of Dryobalanops aromatica 1 contains borneol up to 26.02%, D.aromatica 2 contains 13.95%, D.aromatica 3 contains 24.03%, and D.aromatica 4 contains 1.09% in longiborneol form. Meanwhile, crystal 1 contains 92.70% of borneol and crystal 2 contains 90.73%. Borneol compound can act as chemical marker of Dryobalanops aromatica.
Keywords: Skyline technology, yarder, small engine, removing logs, efective
Keywords: Dryobalanops, oil, crystal, GCMS, borneol
UDC (OSDC) 630*867.2 Sri Komarayati & Gustan Pari (The Centre for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) The Combination of Additions of Biochar and Wood Vinegar on Jabon and Sengon Growth J. of Forest Products Research. March. 2014, Vol 32 No. 1, pp. 12 - 20
UDC (OSDC) 630*892.61 Djeni Hendra (The Centre for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Characterization and Utilization of Smoke Liquid from Bintaro Shell (Carbera manghasLinn.) as a Natural Rubber Coagulant J. of Forest Products Research. March. 2014, Vol 32 No. 1, pp. 27 - 35
Jabon and sengon plants were treated by adding the combined stuffs of biochar and wood vinegar to the top soil, where each of those seedlings was planted; and five months afterwards their growth characteristics (i.e. height and diameter) were observed and measured. It turned out that the use of sawdust charcoal at 5% concentration, mixture of 5% sawdust charcoal and 2% wood vinegar, and 10% litter compost charcoal enabled the treated jabon seedlings to grow as many 16.38, 21.05 and 62.74 times in height as well as 1.7 and 3.1 times in diameter, as the control (untreated) seedlings. The corresponding values for treated sengon seedlings were consecutively 22.5, 21.1 and 40.8 times in height as well as 1.03 and 1.04 times in diameter.
The objective of this study is to use smoke liquid of bintaro fruit shell as an alternative coagulant ofrubber latex material. Smoke liquid was 0 made using a modified drum kiln with a temperature of 400 C, 7 hours, 0 purified by distillation up to 200 C and further analyzedits physical properties. Application of smoke liquid from bintaro shell as rubber coagulant were done using concentration of 5%, 10%, 15%, 20%, whilesmoke liquid from coconut shell was used as a comparison (5%). The results showed that the best results for coagulating latex was obtained from bintaro smoke liquid concentration of 20% and the fastest time for coagulating obtained from coconut shell smoke liquid 5%. Keywords: Liquid smoke, bintaro, latex, coagulant
Keywords: Sawdust charcoal, litter compost charcoal, wood vinegar, jabon and sengon seedlings, biochar, growth characteristics
vii
UDC (OSDC) 630*89 Djeni Hendra (The Centre for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Making Biodiesel ofAleurites trisperma Blanco Seed J. of Forest Products Research. March. 2014, Vol 32 No. 1, pp. 36 - 44
UDC (OSDC) 630*892.61 Sukadaryati (The Centre for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Harvesting of Pine Resin Using Three Tapping Methods J. of Forest Products Research. March. 2014, Vol 32 No. 1, pp. 62 - 70
Making biodiesel of Aleurites trisperma Blanco Seed which meet the Indonesian National Standard quality (SNI), chemical used were mixture of methanol 20% (v/v) and catalys NaOH 0.6% (w/v), where resulting in biodiesel with moisture content 0.05 %, acid number 0.76 3 mg KOH/g, free fatty acid content 0.38 %, density 865 kg/m , kinetic 0 2 viscocity at 40 C of 5.41 mm /s (cSt), base number 101.49 mgKOH/g, alcyl ester content 104.55% massa, iod number 109.73 g I2/100 g, cetana number 59,08, and yield of biodiesel oil 79.92 %.
Pine resin is one of non wood forest products (NWFP) that has great potency in Indonesia and made the country as the third world biggest pine resin producer after China and Brazil. The market opportunity of pine resin pushed management of forest to increase pine resin production. This paper aims to give information about harvesting of pine resin using three tapping methods. The methods vary in accord with the used tapping tools, namely mujitech, drill and kedukul. The results showed that the highest production of resin was obtained from the method using kedukul, 18.0 g higher than those of Mujitech dan drill were 11.5 g and 11.2 g respectively. The resin obtained with drill methods was cleaner than those of Mujitech and kedukul methods. The content of impurities in pine resin that produced by drill methods was 4% approximately. Nevertheless, drill tapping method is not preferred by farmers due to low effectiveness. The application of tapping method at a certain location was influenced by the habit of the local communities. The habit is not easy to be alter with new technique although the new method may produce larger amount of resin.
Keywords: Aleurites trisperma Blanco seed, oil, biodiesel, diesel fuel
Keywords: Pine resin, tapping methods, production, habit of the local communities
UDC (OSDC) 630*31 Soenarno (The Centre for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Logging Eficiency and Quality of Logging Waste in a Tropical Mountainous forest: Case study in a Licency Natural Forest Concessionary PT. Roda Mas Timber Kalimantan J. of Forest Products Research. March. 2014, Vol 32 No. 1, pp. 45 - 61
UDC (OSDC) 630*89 Lisna Efiyanti (Research and Development Center for Conservation and Rehabilitation) & Wega Trisunaryanti (Department of Chemistry, Science Faculty. Gadjah Mada University) Catalytic Hydrocracking of Cashew Nut Shell Liquid Into Gasoline and Diesel Fractions J. of Forest Products Research. March. 2014, Vol 32 No. 1, pp. 71 - 81
Logging efficiency study was conducted in a tropical mountain forests concession of PT Roda Mas Timber Kalimantan, East Kalimantan province. The average of logging efficiency is 91.41% variation for flat, sloping, rather steep, and steep topographies 90.22%, 91.75%, 90.91% and 90.03% respectively. The average of logging waste is about 1.395 3 3 m /tree in which 0.357 m /tree (25.58%) posses good quality.
Catalytic hydrocracking of Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) has been investigated. Hydrocracking process was carried out in a fixed-bed system reactor using NiO/ZY catalyst at temperature of 400°C with H2 flow rate of 20mL/min, and the ratio of feed/catalyst equal to 4. The Liquid product obtained comprised mainly gasoline and diesel fractions with percentage of 38,47% and 25,88% respectively.
Keywords: Logging eficiency, logging waste, mountainuous tropical forest., East Kalimantan
Keywords: Hidrocracking, catalyst, bioenergy
viii
UCAPAN TERIMA KASIH Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Hasil Hutan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah, analisa naskah yang dimuat pada edisi Vol. 32 No. 1, Maret 2014 : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr. (Fakultas Kehutanan IPB (Bio-Komposit)) Prof. Dr. Buchari (Fakultas MIPA ITB (Kimia Kayu/Kimia Analitik)) Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc. (Fakultas Kehutanan IPB (Wood Adhesion Technology)) Prof. (Ris) Dr. Subyakto, M.Sc. (UPT Balai Biomaterial LIPI (Pengolahan Hasil Hutan)) Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. (Fakultas Kehutanan IPB (Forest Product Chemistry)) Prof. Dr. Ir. Elias, M.Sc. (Fakultas Kehutanan IPB (Pemanfaatan Sumberdaya Hutan)) Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS (Fakultas Kehutanan IPB (Wood Properties and Quantities)) Prof. Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc. (Fakultas Kehutanan IPB (Wood Engineering))
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 1-11 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
UJI COBA MESIN KABEL LAYANG EXPO-2000 GENERASI-II DENGAN KONSTRUKSI DUA GIGI EKSENTRIK TERPISAH UNTUK EKSTRAKSI KAYU (Experiment of Trial Test Skyline Machine of Expo-2.000 Generation-II With Two Separated Eccentric Gear on Log Extraction) Wesman Endom Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp (0251) 8633378, Fax (0251) 8633413 e-mail:
[email protected] Diterima 26 Desember 2012, Disetujui 9 November 2013
ABSTRACT Studies of timber extraction was carried out in steep areas by using the prototype Expo-2000 Generation II with engine of 13 HP. Cable line stretching of about 400 m with slope of about 50%. Logs of rasamala of 2-4 m length and diameter ranged of 20-40 cm were extracted to landing around a tower. The machine was placed on the hill located in the middle of two cable stretches.The first cable stretch was used for pulling logs upward and the second cable stretch for pulling downward. The cost for machine investment was about Rp 110 millions with operation costs of Rp 111.975 /hour. Logs extraction productivity is 0.59 m3/hour, and the extraction cost was about Rp 189,788 per m3. Keywords: Skyline technology, removing logs, effective ABSTRAK Penelitian pengeluaran kayu di daerah curam menggunakan teknologi kabel layang prototipe Expo2000 Generation II bermesin 13 HP telah dilakukan pada bentangan kabel sekitar 400 m dengan kemiringan lapangan sekitar 50%. Dolok kayu rasamala dengan panjang 2-4 m dan diameter antara 2040 cm dikumpulkan ke dekat tiang (tower). Mesin yang dipakai untuk pengeluaran kayu dipasang di bukit yang berada di tengah dua bentangan kabel. Bentangan pertama untuk menarik ke atas dan bentangan kedua untuk menurunkan ke bawah. Biaya investasi sekitar Rp 110 juta, biaya pemilikan dan pengoperasian alat adalah Rp 111.975/jam, dengan produktivitas pengumpulan kayu sebanyak 0,59 m3/jam, maka biaya untuk setiap m3 adalah sebesar Rp 189.788. Kata kunci : Teknologi kabel layang, pengeluaran kayu, efektif I. PENDAHULUAN Penggunaan tenaga manusia merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat yang memberi andil penting pada kegiatan kehutanan khususnya di bidang pemanenan. Namun, karena lokasi kegiatannya sering berada pada lokasi dengan medan bertofografi berat, maka saat kegiatan pengeluaran kayu dilakukan banyak mengalami masalah. Hal ini tidak lain karena
selain jarak angkut yang cukup jauh dengan akses terbatas, juga material yang ditanganinya memiliki bobot cukup berat. Menurut Suparto (1978), untuk mengelola hutan yang baik dan berkelanjutan diperlukan penyediaan akses angkutan yang memadai. Karena pembuatan prasarana ini cukup mahal dan pertimbangan sosial ekonomi di sisi yang lain lebih menonjol, maka penggunaan blandong pada kegiatan pemanenan terutama di Jawa, masih 1
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 1-12
menjadi prioritas pilihan. Untuk mendukung antisipasi kesulitan karena tidak bisa masuknya kendaraan pengangkut ke dalam petak tebang, maka dicari jalan keluarnya dengan cara membuat jalan sogokan. Jalan sogokan yaitu akses berupa jalan tanah yang masuk ke dalam tegakan dengan lebar sekitar 1 m dan dibuat secara manual. Jalan ini dibuat mengikuti searah kontur dan digunakan hanya sementara waktu selama musim kemarau sebagai prasarana darurat saat kegiatan pemanenan kayu. Jalan sogokan ini, kini bisa juga dipakai oleh para pengojek untuk membawa kayu potongan batang utama dan berbagai jenis kayu bakar. Penggunaan motor ojek ini kini cenderung menjadi salah satu alternatif model wahana dalam kegiatan pengeluaran kayu hasil tebangan. Pada studi ini dilakukan uji coba prototipe alat pengeluaran kayu sistem kabel layang, yang konstruksinya berbeda dibanding pendahulunya Expo-2000 Generasi I. Menurut definisi, segala peralatan bantu yang menggunakan motor penggerak berkekuatan di atas 5kW (termasuk kendaraan jenis truk niaga dengan Gross Vehicle Weight (GVW) lebih dari 20 ton) dikategorikan sebagai alat berat (Society Association Engineering, SAE 2011). Dalam hal ini, sekalipun prototipe Expo-2000 tidak termasuk dalam kategori alat berat sesuai definisi karena beratnya kurang dari 1 ton, tetapi dalam penggunaannya memerlukan akses seperti kendaraan truk. Selain itu, karena untuk menaikan ke atas truk serta menurunkannya juga cukup sulit, maka dibuatlah prototipe alat sejenis Expo-2000 dengan ukuran lebih kecil agar di lapangan mudah dibawa dan dipindahpindah. Begitu juga saat dinaikkan atau diturunkan dari kendaraan pengangkutnya. Tahun 2012, prototipe Expo-2000 yang telah ada dilakukan rekontruksi dengan dasar perubahan diambil dari hasil pengamatan kegiatan pengujian sebelumnya. Hasil perekayasaan yang baru kemudian diuji coba di areal penebangan habis tegakan rasamala (Altingia excelsa) di kampung Sukarajin, Sukanegara, Kabupaten Cianjur. Tujuan penelitian ialah mendapatkan prototipe alat kabel layang yang dapat diterapkan guna mendukung kemudahan dalam pengeluaran kayu di medan berat. Aspek yang dikaji meliputi mekanisme kerja alat (mesin, kereta gantung pembawa kayu, teknik pengeluaran kayu, pasang dan bongkar muatan) dan prestasi kerjanya. 2
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada Bulan Oktober Nopember 2012 di sekitar petak tebang 27 dan 28 areal tegakan hutan rasamala (Altingia excelsa) dengan diameter pohon antara 20-50 cm, di Kampung Sukarajin BKPH Sukanegara, KPH Cianjur. Lokasi pengumpulan kayu terletak di pinggir jalan umum, sementara menuju lokasi di mana mesin dipasang, jaraknya lebih dari 500 m. Menuju lokasi tempat mesin dipasang, tidak ada jalan kendaraan roda empat, jalan yang ada hanya jalan sogokan. Kondisi lapangan uji coba dapat dikategorikan cukup berat karena panjang bentangan kabel untuk penarikan ke arah atas bukit sekitar 400 m dan untuk penarikan ke arah bawah bukit sejauh 420 m. Kedua lapangan memiliki kemiringan kurang lebih 50%. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan berupa solar untuk mesin diesel bertenaga 13 HP, kabel utama, kabel penarik, oli, sarung tangan, tambang, dan tally sheet. Peralatan yang digunakan adalah mesin prototipe Expo-2000 generasi II yang diperbaiki, seperangkat kunci dan alat bantu seperti kereta angkut kabel layang, katrol, kito, klem, tirfor, takel, kamera digital, stop watch, meteran dan tiang (tower) tempat mengikatkan kabel. C. Prosedur Kerja 1. Pemancangan tower Mengingat mesin yang akan dicoba berada di tengah areal kerja dan di tempat ini tidak ada lagi pohon karena sudah ditebang, maka sebagai pengganti pohon tiang (spar tree) kemudian dipasang 2 tiang (tower) buatan dari besi kotak berbentuk kerucut terpotong. Untuk pemasangannya dibuat lubang fondasi tiang berukuran 60 cm x 80 cm x 70 cm, tanahnya dimasukan ke dalam karung untuk ditimbunkan kembali ke dalam galian lubang tersebut. Setelah rangka fondasi ditanam dalam tanah, kemudian dipasang sambungan kotak pertama setinggi 1 m lalu disambung dengan tower setinggi 2 m. Dengan demikian tinggi tower menjadi 3 m yang dipasang pada landasan dengan cara dibaut. Agar tower ini dapat berdiri kokoh, maka ke arah belakang
Uji Coba Mesin Kabel Layang Expo-2000 Generasi-II dengan Konstruksi Dua Gigi Eksentrik Terpisah untuk Ekstraksi Kayu (Wesman Endom)
A
B
Gambar 1. Pemandangan pemasangan tower (A) dan penempatan mesin yarder setelah pemasangan tower (B) Figure 1. Setting up the tower (A) and setting up the yarder after the tower installed (B) dipasang 2-3 buah kabel pengencang (guy line) sedang di bagian depannya ditopang dengan pipa berukuran diameter 10 cm. Gambaran pemancangan tower disajikan pada Gambar 1. 2. Pemasangan jaringan kabel Ada 2 jenis kabel yang dipasang setelah tower terpasang yakni pertama kabel utama yaitu kabel beukuran 12 mm yang akan dipergunakan sebagai media mengggantung kereta angkut. Untuk bentangan ke arah pengumpulan kayu yang ditarik dari arah lembah, dipakai kabel berukuran 16 mm. Adapun kabel penarik tanpa ujung (endless cable) dari kereta kayu dan muatannya berukuran 5-6 mm. Untuk mengencangkan ke 2 bentangan kabel ini digunakan alat pengencang tirfor yang dibantu dengan takel dan winch. 3. Perbaikan perekayasaan alat a. Kereta pembawa muatan kayu Rancang bangun alat ini dibuat atas dasar realita bahwa pada pengeluaran kayu dengan model menggantung tegak (rise head) saat pertama kali dolok ditarik dan diangkat menggantung ke udara sering berputar. Di samping itu, dolok sering membentur cabang atau batang pohon yang dapat mengakibatkan kerusakan pada seling penggantung, karena akan menjadi cepat putus akibat seling terpelintir. Kedua hal tersebut
membahayakan, yang berdampak pada kapasitas kinerja alat menjadi tidak produktif. Terkait dengan permasalahan di atas dan setelah diketahui hasil uji coba tahun lalu yang menunjukkan penggunaan dengan sistem 1 takel cukup membantu maka untuk lebih memudahkan lagi dalam pengangkatan dan penarikan ke atas kereta angkut kabel layang digunakan sistem 2 takel. Dengan demikian pada tahun 2012 kayu diangkut dengan posisi menggantung horisontal (horizontal head) dengan lebih mantap, aman dan nyaman. Model konstruksi kereta angkut kayu mendatar tersebut seperti pada Gambar 2. b. Konstruksi prototipe Konstruksi prototipe pada Expo-2000 Generasi II sebagaimana telah disampaikan di depan diperbaiki konstruksinya karena ada penambahan drum yang semula hanya 1 buah menjadi 2 buah. Pada kegiatan tahun 2012 gigi eksentrik untuk pengatur putaran drum yang semula hanya satu buah juga dibuat menjadi 2 buah. Lebih jelasnya konstruksi pada Gambar 3. Perbaikan konstruksi yang dilakukan antara lain : 1) Penggantian dudukan mesin dari mesin bensin 6 PK dengan mesin di sel 13 PK; 2) Pembuatan dan pemasangan 2 buah gigi eksentrik yang terpisah;
3
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 1-12
A
B
Gambar 2. Kereta dengan satu kait (A) dan kereta dengan dua kait (B) Figure 2. Carriage with single chocker (A) and carriage with double chocker (B)
B
A Gambar 3. Dua unit gigi eksentrik dengan model menyatu dipasang pada prototipe tahun 2011 berfungsi sebagai pemindah putaran drum (A). Tahun 2012 Dua gigi eksentrik dengan pemasangan terpisah dengan masing-masing memiliki tongkat penghubung (B) Figure 3. Two unity of eccentrict gear was set-up at protoype machine made at 2011 has fuction for remove rounding drum (A). In 2012 two eccentrict gear with separated each of them has one panel
3) Penggantian drum endless dari semula ukuran diameter 30 cm menjadi 70 cm; 4) Penggantian dan pemasangan komponen pengerem putaran drum endless.
utama maupun kabel penarik, penahan tiang, katrol, rem, mesin, serta tenaga kerja. Selanjutnya dilakukan pembagian tugas.
4. Persiapan uji coba Setelah segala sesuatunya terpasang maka sebelum dioperasikan, terlebih dahulu diperiksa semua kesiapan sistem kerja alat termasuk pengecekan bahan bakar dan oli, jaringan kabel
D. Pengumpulan Data
4
Data hasil pengamatan di lapangan diolah secara tabulasi dengan beberapa perhitungan dilakukan dengan formulasi mengacu pada penelitian yang telah dilakukan Endom (2009).
Uji Coba Mesin Kabel Layang Expo-2000 Generasi-II dengan Konstruksi Dua Gigi Eksentrik Terpisah untuk Ekstraksi Kayu (Wesman Endom)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Konstruksi Mesin Sebagaimana telah disampaikan di depan bahwa pada kegiatan penelitian tahun 2012 ini telah dilakukan rekonstruksi struktur dari komponen pemutar drum penarik kabel. Pada tahun 2011 gigi eksentrik yang digunakan hanya satu buah yang berfungsi untuk menggerakkan dan memisahkan putaran drum melalui tongkat pengendali. Gigi eksentrik ini dipasang berdekatan pada dua buah gir, yang apabila tongkat pada gigi eksentrik digerakkan ke atas maka drum ke 1 dapat berputar, bila tongkat
dipindah ke bawah, drum ke 2 yang berputar, sedangkan bila tongkat pada gigi eksentrik dipasang di tengah maka tak satupun drum yang berputar (Gambar 3 A). Pada tahun 2012, dua buah gigi eksentrik dibuat secara terpisah sehingga dapat dioperasikan sendiri-sendiri atau bersamaan. Dengan cara ini pada dasarnya fungsi mesin yarder dapat dioperasikan dengan prinsip “two in one” yakni sistem operasi yang dapat menjalankan dua tugas sekaligus dengan menggunakan satu mesin. Dari perbedaan struktur konstruksi gigi eksentrik yang terpisah kelebihan dan kelemahannya dibanding yang menyatu disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelebihan dan kelemahan mesin penarik kayu kabel layang model gigi eksentrik yang menyatu dan terpisah Table 1. The adventages and disadventages of machine skyline with unity and separated gear model Mesin dengan struktur gigi eksentrik menyatu (Machine with unity of eccentrict gear) Kelebihan Kelemahan (Adventages) (Disadventages) Terpisah bila ada Kebutuhan rantai gangguan masih lebih banyak dapat dijalankan (Demand of chain more untuk yang lain number) (Separated if there is any disturbance but it can be drive for other activity)
Mesin dengan struktur gigi eksentrik terpisah (Machine with unity eccentrict gear) Kelebihan Kelemahan (Adventages) (Disadventages) Kebutuhan rantai lebih Menyatu bila terjadi gangguan sedikit pada bagian inti tidak dapat (Demand of chain less digunakan untuk memutarkan number) kedua drum (Unity if there is disturbance at central it can not be used to move both of drum)
2. Posisi gigi ekentrik (Position of eccentrict gear)
Terpisah (Separate)
Menyatu (United)
3. Putaran rantai (Rolling of chain)
Terpisah (Separate)
Berada di pingir konstruksi mesin sehingga tidak terlalu menyulitkan pengoperasian Located ot central machine frame so may difficult to be operated) Semua putaran bergerak mendatar (All of rolling move horizontally)
4. Dudukan gigi eksentrik (Frame position of eccentric gear)
Ditempatkan di tengah rangka mesin (Placed at central of the frame)
Ditempatkan di pinggir rangka sehingga relatif mudah dalam perbaikan (Located at edge of frame so may easy for fixing)
Konstruksi dudukan perlu pengelasan maksimal (Construction frame need maximum strong welding)
5. Kecepatan putar (Rolling speed)
Ada yang cepat karena drum yang satu berukuran besar (100-140 m/menit) (There is faster drum because on of drum has big diameter size)
Tak membahaya kan dan pengenda lian dapat diikuti karena kecepatannya relatif rendah. (There is no dangerous effect and control can be followed due to low speed)
Tidak begitu cepat (70-100 m/menit) Not so faster (70-100 m/minute)
Uraian (Description) 1. Posisi rantai penghubung (The position of conechting chain)
Berada di tengah konstruksi mesin sehingga agak menyulitkan pengoperasian (Located ot central machine frame so may difficult to be operated) Satu pasang rantai penghubung bergerak atas bawah (One pair of chain connection move up and down) Untuk perbaikan mengalami kesulitan (To improve may have difficult) Perlu tambahan sistem pengereman yang mantap (Need system break well)
Menyatu (United)
5
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 1-12
Tabel 1 terlihat masing-masing komponen ada kelebihan dan kelemahannya dari prototipe yang dibangun. Kendati demikian, pengalaman telah memberikan pelajaran bahwa pertimbangan operasi yang efektif, efisien dengan produktivitas yang tinggi harus menjadi perhatian utama dari penggunaan alat. Terkait dengan itu maka konstruksi yang terkait dengan daya tarik beban harus mendapat perhatian serius agar tidak mudah rusak atau terganggu karena akan mengakibatkan kegiatan terhenti. B. Kinerja Alat Secara teknis pada jam-jam pertama mesin dapat berjalan dengan baik. Untuk awal uji coba diharapkan mesin dapat digunakan untuk 2 perjalanan langsung yakni menarik dari kayu bawah kemudian menurunkannya di atas (dekat
tower) dan disiapkan untuk dipindah pada jalur penurunan kayu. Dengan proses ini kabel penarik harus terhubung untuk semua jarak bentang yang panjang bentangannya lebih dari 800 m. Dengan demikian panjang kabel penarik yang diperlukan hampir mencapai panjang 1800 m, karena kabel harus terpasang bolak balik. Dalam perjalanannya, pengeluaran kayu tidak dapat berjalan mulus lama karena kayu yang ditarik dari bawah membentur tunggak sehingga merusak dudukan dan sistem penarikan. Selain itu, karena drum yang dipakai untuk pengangkutan adalah drum kecil (diameter 30 cm) maka kecepatannya sekalipun semula dirancang dapat mencapai 70 m/menit yang seharusnya setelah 7-9 menit sampai di tujuan, ternyata melebihi dari waktu yang direncanakan. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kinerja pengeluaran kayu menggunakan drum kecil Table 2. The performance of extraction logs using small drum Uraian (Descript.)
Ø (cm)
Panjang (Length) (m)
Volume (m3)
Waktu operasi (menit/minute) Penyiapan (Prepart.)
Perjalanan muatan (Traveling)
Bongkar (Release)
Balik kosong (Empty)
Jumlah (Total)
Jarak (Dist.) (m)
Produktivitas (Productiity) (m3/jam) (m3/hour)
26
4
0,2114
3
12
4
13
32
375
0,3918
20-31
4
0.1256-0.3018
1.02 - 4.03
11.2 - 21.51
3.27-4.55
8.1-24.34
30.21-45.41
450-400
0,225 -0,445
Sd
5,657
0,000
0,085
1,096
2,906
0,120
0,361
4,243
35,355
0,119
Sx
0,943
0,000
0,014
0,183
0,484
0,020
0,060
0,707
5,893
0,020
CV(%)
3,67
-
6,72
6,58
4,02
0,51
0,45
2,21
1,57
5,05
Rata-rata (Average) Kisaran (Ranged)
Keterangan (Remarks) Sd = Simpangan baku (Standard deviation), Sx = Simpangan baku rata-rata (Standard error of the mean) Cv = Koefisien variasi (Coefficient of variation)
Tabel 2 terlihat bahwa produktivitas masih 3 relatif rendah hanya sekitar 0,225-0,445 m /jam 3 atau rata-rata 0,3918 m /jam untuk jarak rata-rata 375 m. Diduga karena jarak yang cukup jauh dan di lapangan tidak mudah untuk mengendalikan perjalanan kereta muatan mengingat adanya variasi kondisi lapangan, maka bentangan kabel pada tempat tertentu melengkung rendah. Hal inilah yang kemudian mengapa muatan membentur tebing dan tunggak. Setelah dilakukan perbaikan deng an melakukan pemasangan tiang pembantu, dan 6
dalam operasi ini kayu ditarik ke atas mendekati tower menggunakan satu drum dengan menggunakan drum lebih besar yang berjarak sekitar antar 30-400 m. Hasil yang diperoleh disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa rata-rata produktivitas yang dapat dicapai kini menjadi lebih baik dengan kisaran 0,185-2,138 m3/jam 3 atau rata-rata 0,79 m /jam untuk jarak angkut rata-rata 196,54 m. Dari Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa penyiapan untuk pengeluaran kayu cukup lama
Uji Coba Mesin Kabel Layang Expo-2000 Generasi-II dengan Konstruksi Dua Gigi Eksentrik Terpisah untuk Ekstraksi Kayu (Wesman Endom)
bahkan dapat mencapai 8 menit lebih. Cukup lamanya waktu penyiapan terjadi karena kayu yang akan ditarik tidak berada dekat di bawah jalur, melainkan tersebar dalam posisi sulit yang berada di lereng. Oleh karena itu, potongan kayu itu terlebih dahulu harus ditarik dengan menggunakan rantai dari takel yang rantainya
cukup panjang (5 m). Bila jaraknya lebih dari itu, maka penarikan potongan kayu ke dekat jalur kabel dilakukan dengan menyambung rantai dengan seling lain. Dengan demikian pada jalur selebar 10-15 m dari kiri kanan jalur dapat ditarik dan dibawa ke tempat pengumpulan.
Tabel 3. Kinerja prototipe pada penarikan kayu ke arah atas lereng dengan menggunakan drum besar. Table 3. The performance of log extraction toward up hill using big drum Uraian (Descript.)
Ø (cm)
Panjang (Length) (m)
Volume (m3 )
Waktu operasi (menit/minute) Penyiapan (Prepart.)
Perjalanan muatan (Traveling)
Bongkar (Release)
Balik kosong (Unloading )
Jumlah (Total)
Jarak (Dist.) (m)
Produktivitas (Productivity) (m3/jam) (m3/hour)
Rata-rata (Average) Kisaran (Ranged) Sd
23,42
3,62
0,15
4,09
4,15
1,92
3,93
14,09
196,54
0,778
15 32
2-4
0,071-0,286
0,89-8,13
1,35-6,47
0,84-3,05
1,07-6,67
4,12-22,85
30 355
0,185-2,138
5,14
0,80
0,05
1,87
1,75
0,58
1,90
5,28
127,23
0,48
Sx
0,20
0,03
0,00
0,07
0,07
0,02
0,07
0,20
4,89
0,02
CV(%)
21,94
22,23
32,96
45,65
42,10
30,06
48,46
37,44
64,73
61,10
Keterangan (Remark) : Jumlah contoh adalah 23 buah (The number of samples was 23) Sd = Simpangan baku (Standard deviation), Sx = Simpangan baku rata-rata (Standard error of the mean) Cv = Koefisien variasi (Coefficient of variation)
C. Pembahasan 1. Konstruksi prototipe mesin Konstruksi mesin sebelum ada penambahan drum berupa reducer (pengecil kecepatan) berada di sebelah mesin penggerak, sedangkan gear box marine (pengecil dan pengendali putaran maju atau mundur) berada di bagian atas unit alat. Namun, karena ada perubahan konstruksi dengan menambah drum baru, maka konstruksi untuk pengoperasian pun berubah. Pada prototipe yarder tahun 2011 untuk memudahkan saat mesin penggerak dihidupkan dibuat suatu pelonggar dudukan mesin. Dengan cara ini belt atau tali yang terhubung dengan reducer maupun gear box tidak kencang, sehingga saat ditarik mesin menjadi lebih mudah hidup. Namun, pada prototipe mesin tahun 2012 karena mesin yang digunakan adalah mesin disel bertenaga 13 PK dengan putaran untuk penggerak dinamo pada mesin dapat langsung dihidupkan sepanjang memiliki putaran tinggi, maka belt tidak perlu dilonggarkan seperti pada prototipe tahun sebelumnya.
Pada dasarnya kedua model prototipe dibangun dengan konstruksi yang berkekuatan maksimal. Pada kenyataan penguatan tambahan dudukan posisi komponen baik pada reducer, gear box serta mesin penggerak, maupun gigi eksentrik dan gigi penghubung masih tetap diperlukan. Dari hasil pengamatan diketahui pangkal utama adanya kerusakan adalah karena adanya pergerakan pada dudukan gigi eksentrik dan dudukan penghubung yang bersambung dengan putaran drum yang berubah akibat muatan membentur tonggak sebelumnya yang kemudian berpengaruh pada dudukan gigi eksentrik dan reducer. Dampak tersebut membuat putaran gir menjadi kurang normal. Oleh karena itu untuk kegiatan penelitian berikutnya akan dipertimbangkan merubah struktur pergerakan menjadi sebagai berikut: a. Putaran drum dapat tetap berasal dari mesin bensin atau mesin diesel b. Putaran dari mesin dihubungkan dengan pulli ke penghubung putaran gigi eksentrik 7
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 1-12
c. Melalui penghubung putaran, tongkat pada unit gigi eksentrik-1 dapat dihubungkan atau dilepas untuk disambung ke transmisi (reducer-1). d. Dengan tersambungnya pada gigi yang ada pada reducer, putaran selanjutnya dihubungkan dengan drum penggulung kabel. Dengan demikian kereta angkut dan muatan kayu dapat ditarik dari lokasi tebangan ke tempat pengumpulan. e. Dengan cara yang sama pada unit gigi eksentrik-2 dapat dilakukan penarikan sebagaimana pada proses penarikan kereta dengan menggunakan gigi eksentrik -1 f. Dengan cara yang sama maka berarti dua drum peng gulung dapat dijalankan secara bersamaan, atau satu jalan satu tidak, atau kedua-duanya berhenti. 2. Kereta angkut Kereta angkut yang dibuat tahun 2011 dirancang serupa dengan kereta angkut model peluru yang dapat dioperasikan secara mulus. Namun, pada kereta angkut ini ternyata kait agak sulit turun antara lain terjadi karena tertahan oleh beban kabel dan katrol dengan keseimbangan penahan pembawa muatan rawan patah, proses membuka pengunci lebih rumit serta cara pengunciannya kurang mulus. Oleh karena itu pada uji coba di tahun 2012, kereta yang dibangun tahun 2011 hanya dipakai pada bagian dimana ada rodanya saja untuk kemudian dikombinasi dengan menggunakan 2 takel untuk menarik muatan kayu model mendatar (horizontal head). Adanya kemudahan dalam menaikan dan menurunkan muatan kayu dari kereta angkut dengan menggunakan 1 takel pada tahun 2011 kemudian dijadikan pengalaman menarik dalam upaya meningkatkan produktivitas dan keamanan maka pada tahun 2012. Oleh karena itu pada uji coba ini kayu diangkat pada kereta angkut dan ditur unkan deng an menggunakan sistem 2 takel. Dengan bantuan ke 2 takel tersebut proses pemasangan dan pembongkaran kayu balok dapat dilakukan lebih mudah sekalipun bahkan dengan 1 orang. Bertolak dari kemudahan dan lebih amannya cara melakukan pemuatan maupun pembongkaran muatan kayu tersebut, maka hasil uji coba atas penggunaan sistem takel ini dapat digunakan ke arah capaian yang baik dan baku, yaitu bahwa 8
sistem takel (1 atau 2 buah lebih baik) dapat dibakukan untuk operasi pemuatan dan bongkar kayu pada sistem kabel layang. Uji coba juga memperlihatkan bahwa sekalipun operasi kabel layang dilakukan dengan sistem kabel tanpa ujung (endless system), akan tetapi penggunaan sistem takel dapat dipakai untuk menarik kayu yang berada di sekitar jarak 10-15 m dari jalur kabel. Oleh karena itu, untuk lebih mengefektifkan penggunaan sistem takel dalam operasi pemuatan dan pembongkaran kayu pada sistem kabel layang, perlu ada perbaikan kereta angkut yakni berukuran lebih kecil, kuat dan aman. 3. Jarak bentang Dari kenyataan lapangan diketahui bahwa semakin jauh jarak bentang dengan konfigurasi lapangan bervariasi maka semakin besar lengkungan kabel dan semakin banyak diperlukan penyangga. Dalam hal pemasangan penyangga kenyataan menunjukkan, bahwa penyangga terkadang harus dipasang berada dekat pinggir tebing agar kayu terangkat dan tidak menumbuk tebing. Selain itu penyangga harus cukup tinggi karena bentangannya terkadang masih cukup jauh. Idealnya, jarak antara penyangga yang disiapkan berkisar 30-40 m. Namun, sebagai pelajaran ke depan dapat dikatakan operasi kabel layang dengan bentangan yang jauh (s/d 400 m) cukup sulit dan dinilai kurang operasional baik dilihat dari sisi transportasi peralatan, pemasangan bentangan (posisi dan arah bentangan), kebutuhan penyangga, kekuatan konstruksi dan pengawasan operasi. Menur ut Hall (2005), ada beberapa permasalahan dalam penggunaan alat terkait dengan konfigurasi lapangan yaitu daya dukung tanah (Ground firmness) dalam pengertian bisakah sistem yang dipakai keberadaannya mendukung kegiatan alat/mesin beroperasi, kekasaran (roughness) yakni adakah rintangan (seperti tanggul atau tunggak) atau lapangannya merupakan daerah berawa dan lereng (slope) yakni apakah kemiringan lapangan memungkinkan alat/mesin dapat dibawa, menaiki atau menuruni dengan kemungkinan bahaya yang terjadi seperti tergelincir. Kenyataan menunjukkan bahwa kelerengan akan selalu menjadi faktor pembatas dan menjadi masalah pada mesin yang dipakai. Cuaca terutama hujan dan perubahan yang terjadi
Uji Coba Mesin Kabel Layang Expo-2000 Generasi-II dengan Konstruksi Dua Gigi Eksentrik Terpisah untuk Ekstraksi Kayu (Wesman Endom)
dalam arti dampak pada lokasi setempat apakah mesin masih dapat bekerja secara efektif dan aman saat kondisi basah. Oleh karena itu, perencanaan yang matang seperti penyapuan tanah badan jalan yang jelek dan lembek dapat mengurangi kelancaran pengeluaran kayu serta penggunaan bahan yang tepat untuk perbaikan konstruksinya agar ekstraksi kayu dapat berjalan dengan lancar sangat diperlukan. Perlu
dipertimbangkan pula bahwa saat beroperasi perlu informasi yang matang mencakup informasi tentang tempat dan akses ke lokasi, karena hal ini berpengaruh langsung pada kegiatan operasi yang akan datang. Terkait dengan itu berikut disampaikan gambaran kelebihan maupun kelemahan operasi kabel layang jarak dekatsedang dengan jarak jauh seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Kelebihan dan kelemahan cara pengeluaran kayu menggunakan sistem kabel layang berdasarkan analisis dan pengalaman lapangan. Table 4. The strongness and weakness of extraction system using skyline based on analysis and experience No Kelebihan (Adventages)
Kelemahan (Disadventages)
Jarak bentang kabel (Distance of cable line stretching) Dekat-sedang (40-200 m ) Jauh (>200 m) (Near –medium of about 40- 200 m) (Far of about > 200m) Kabel yang harus di bawa jaraknya lebih pendek Jangkauan kemampuan pengeluaran lebih jauh sehingga lebih mudah dan ringan dibanding untuk hingga dapat mencapai 450m. penggunaan jarak yang jauh (The ability of log extraction is far then up to 450 m) (Cable should be carried easier and light in shorter distance) Pemasangan bentangan kabel lebih mudah Memunginkan dapat melintasi lembah atau sungai (Setting of stretching cable is easier) cukup lebar (There is possibility in crossing the valley or wide river) Pemantauan kegiatan dan proses yang terjadi di lapangan jauh lebih jelas dan mudah terkontrol (Control of field activities is cleares and casier to monitor) Memungkinkan tidak perlu dukungan banyak penyangga (No need hanger supporter support devices) Lebih operasional mengingat kepraktisan pekerjaan di lapangan (Operation is more practical in the field) Jangkauan kemampuan pengeluaran lebih terbatas Kabel yang harus di bawa lebih panjang sehingga (<200 m) lebih sulit dan berat (The capacity of log extraction is limited (<200m ) (Cable line should be longer, there of more difficult and harder) Ada kemunginkan tidak dapat melintasi lembah Pemasangan bentangan kabel lebih sulit atau sungai cukup lebar. (Setting cable is more difficult) (There is no possibility in crossing the valley or wide river) Pemantauan atas jalannya kegiatan dan proses yang terjadi di lapangan sulit terkontrol (Monitoring of fields activity hard to control) Memungkinkan perlu dukungan penyangga banyak mengingat bentangan kabel yang lendut (Need a lot of supprting devices because of long stretching cable line) Agak sulit dilaksanakan secara operasional mengingat kesulitan membawa kabel, seting kabel dan lain-lainnya termasuk melakukan komuniasi antar pekerja di lapangan (Hard to be done operationally because of the difficulties in bringing the cable, setting and others, include the communication among the loperator)
9
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 1-12
Dari tabel 4 dapat dikatakan bahwa operasi kabel layang akan jauh lebih operasional pada jarak pendek-sedang (< 200 m) dibanding jarak bentang yang jauh. D. Analisis Biaya Perhitungan biaya dilakukan dengan pendekatan asumsi berdasarkan harga sejumlah kelengkapan utama dari unit prototipe kabel
layang ini yakni untuk perangkat mesin kabel layang sebesar Rp 50.000.000, tirfor sebesar Rp 7.500.000; takel Rp 5.000.000 dan kabel utama dan kabel penarik sebesar Rp 10.000.000. Secara keseluruhan biaya ini dihitung sebagai satu perangkat untuk dipakai bagi perhitungan penyusutan, pemeliharaan dan lain-lainya yang seluruhnya berjumlah Rp 72.500.000. Dari perhitungan pembiayaan di atas maka besaran harga per jamnya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Biaya pemilikan dan operasi pengeluaran kayu dengan menggunakan prototipe alat Expo-2000 Generasi II Table 5. Owing and operation cost of logs extraction using prototype of Expo 2000 Generation II Uraian (Description)
Jenis biaya (Cost aspects)
Biaya tetap (Fixed cost)
Biaya penyusutan (Depreciation cost) Bunga modal (Interest rate cost) Biaya pajak (Tax cost) Biaya asuransi (Insurance cost) Jumlah (Total ) A
Biaya variabel (Variable cost)
Operator mesin (Machine operator) Upah tenaga kerja pembantu (Labor) Biaya bahan bakar (Fuel cost) Oli dan pelumas (Grease and oil) Biaya perawatan (Maintenance cost) Jumlah (Total) B Pasang dan bongkar jalur kabel (Set-up and set-off of cable line)
Persiapan (Preparation) Jumlah semua (Total)
Biaya persiapan dan bongkar pada Tabel 5 diperoleh dari perhitungkan 4 kali operasi setahun dengan biaya Rp 1.500.000 per sekali pasang. Dengan pemasangan dan bongkar diperlukan selama 3-5 hari/operasi dan sehari bekerja 10 jam maka biaya persiapan per jamnya adalah Rp 7.500. Dengan demikian biaya pemilikan dan operasi pengeluaran kayu secara keseluruhan berjumlah Rp 111.975 /jam. Dengan prestasi kerja per jam saat ini rata-rata sebesar (0,79 + 0,39) m3/jam atau rata-rata 0,59 m3/jam, berarti biaya ekstraksi tersebut sebesar Rp 189.788/m3. Secara manual biaya ekstraksi yang diberlakukan menurut keterangan petugas Perhutani setempat adalah sebesar Rp 300.000/m3. Dengan demikian dilihat dari sisi pembiayaan alat sistem kabel layang relatif lebih murah. Dilihat dari sisi waktu, dalam sehari 10
Rp/jam 67.500 8.100 900 1.350 77.850 9.375 4.375 5.000 375 7.500 26.265 7.500 11.975
para blandong antara 4-8 orang maksimal dapat mengeluarkan kayu sebanyak 12 batang atau setara 3 dengan 2-3 m . Sedangkan dengan menggunakan sistem kabel layang masih baru tercapai sekitar 6-8 3 m . Masih rendahnya produktifitas alat antara lain disebabkan akibat terjadinya kerusakan di saat awal dilakukan muatan kayu yang ditarik membentur tunggak sehingga berdampak cukup serius bagi konstruksi. Di sisi lain terlalu jauhnya bentangan kabel juga membuat kontrol yang lemah. Oleh karena itu berdasarkan pengalaman dan pertimbangan ke depan, maka konstruksi alat perlu ada perubahan sistem pada bagian yang terhubung dengan drum penggulung. Konstruksi dimaksud adalah transmisi reducer dipakai sebagai media penghubung dengan drum dan bukan dengan bagian yang menyatu dengan gigi
Uji Coba Mesin Kabel Layang Expo-2000 Generasi-II dengan Konstruksi Dua Gigi Eksentrik Terpisah untuk Ekstraksi Kayu (Wesman Endom)
eksentrik. Selain itu pertimbangan jarak bentang agar lebih operasional dan ideal adalah untuk jarak pendek-sedang sejauh maksimum 250 m. Di sisi lain perbaikan lebih baik diarahkan untuk membantu pembuatan media angkut kayu yang saat ini berupa roda kayu sederhana dengan melakukan modifikasi agar pengangkutan itu tidak menjadi beban yang berlebihan, terutama saat jalan/jalan sogokan nanjak. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pembaharuan prototipe Expo-2000 Generasi II sebagai penyederhanaan prototipe terdahulu menghasilkan alat yang dapat dibawa pada lokasi kegiatan tebangan melalui jalan sogokan dengan jarak cukup jauh dan berlereng curam. Pada persiapan pemuatan kayu ke kabel layang, diperlukan adanya proses penyaradan untuk mengumpulkan kayu tersebut ke bawah jalur kabel. Dengan biaya investasi sekitar Rp 110 juta diketahui biaya pemilikan dan pengoperasian seluruhnya berjumlah Rp 111.975 /jam yang terbagi atas biaya tetap sebesar Rp 77.850/jam dan biaya tidak tetap sebesar Rp 26.625/jam dan biaya pemasangan dan bongkar kabel sebesar Rp 7.500/jam. Dengan produktivitas pengumpulan kayu sebanyak 0,59 m3/jam maka biaya per m3 adalah sebesar Rp 189.788/m3. B. Saran Untuk meningkatkan produktivitas kerja pengeluaran kayu pada medan berat serta membantu kemudahan para blandong, perlu
dipertimbangkan kembali konstruksi prototipe alat yang lebih baik dengan penggunaan jarak bentang tidak terlalu jauh. DAFTAR PUSTAKA FAO. (1974). Logging and log transport in tropical high forest. Rome: FAO Forestry Development Paper. Endom, W. (2008). Uji coba penggunaan mesin expo2000 modifikasi untuk pengeluaran kayu pinus di Gunung Gadog, Nyalindung, Sukabumi . Bogor: Draft Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Endom, W. (2009). Pengeluaran kayu sistem kabel layang gaya gravitasi dengan kereta pengangkut kayu ber rem kito pada daerah bertopogtafi sulit di Sukabumi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 27( 2), 167-180. Hall, A. (2005). Small-scale systems for harvesting woodfuel products. Journal Technical Note Forestry Commission 2005 No. FCTN009. pp 12 . Record Number 20063160887. Edinburg. Llyold, A. H. (2007). Extraction of timber by Skyline Crane. Unasylva Vol. 7 (2). Imperial Forestry Institute, Oxford, England: h t t p : / / w w w. f a o. o r g / d a c r o p / x 5 3 9 6 e / x5369e05.htm. Suparto, R.S. (1978). Standarisasi jalan hutan. Prosiding Seminar Pembuatan Jalan Hutan. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Kerja-sama Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Direktorat Bina Produksi Kehutanan. Bogor. Ditjen Kehutanan.
11
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 12-20 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
KOMBINASI PEMBERIAN ARANG HAYATI DAN CUKA KAYU TERHADAP PERTUMBUHAN JABON DAN SENGON (The Combination of Additions of Biochar and Wood Vinegar on Jabon and Sengon Growth) Sri Komarayati & Gustan Pari 1
1
Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil.Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Telp./Fax. : (0251) 8633378 / 8633413 Email :
[email protected] dan
[email protected] Diterima 26 Februari 2013, Disetujui 27 November 2013
ABSTRACT Biocharcoal is a specific charcoal that can store carbon in soil almost permanently, and be able to improve its humidity as well as fertility. This paper observes the use of biocharcoal and wood vinegar to stimulate jabon and sengon seedlings. Biochar and wood vinegar were made of sawdust, charcoal, compost charcoal (a mixture of sawdust charcoal and compost) and wood vinegar (the condensed gas/vapor fractions that evolved during sawdust carbonization). Sawdust and compost charcoals were mixed thoroughly and evenly with the top soil for jabon and sengons media. Wood vinegar in 2% concentration was then poured and sprayed onto the planted seedlings. Similar seedlings were also planted on the untreated soil media as a control. After five months seedlings growth characteristics (i.e. height and diameter) were observed and measured. Results show that in general, height and diameter of the seedlings planted in treated media are improved. Seedlings of Jabon are increased by 16.38 , 21.05 , and 62.74 times in height as well as 1.70 and 3.10 times in diameter than those of control. Seedlings of Sengon are increased by 22.50, 21.10, 40.80 times in height as well as and 1.04 and 1.03 in diameter than those of control. Keywords: Sawdust charcoal, compost charcoal, wood vinegar, seedlings, concentration ABSTRAK Arang hayati (biochar) merupakan arang yang berkemampuan menyimpan karbon secara stabil di dalam tanah dan mampu meningkatkan kelembaban dan kesuburan tanah. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian pemanfaatan arang hayati berupa arang serbuk gergaji, arang kompos serasah dan cuka kayu sebagai media tumbuh anakan jabon dan sengon selama lima bulan di persemaian. Cuka kayu dengan konsentrasi 2% disiramkan pada anakan jabon dan sengon. Untuk mencegah serangan hama dan penyakit cuka kayu disemprot pada batang, tangkai dan daun. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan arang serbuk gergaji, arang kompos serasah dan cuka kayu terhadap pertumbuhan anakan jabon dan sengon. Hasil penelitian menunjukkan arang serbuk gergaji, arang kompos serasah, campuran arang serbuk gergaji dengan cuka kayu serta campuran arang kompos serasah dan cuka kayu, dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter anakan jabon dan sengon. Konsentrasi 5% arang serbuk gergaji, 5% campuran arang serbuk gergaji dan 2% cuka kayu serta 10% arang kompos serasah, dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter anakan jabon sebesar 16,38 kali; 21,05 kali dan 62,74 kali serta 1,7 kali dan 3,1 kali. Untuk pertumbuhan tinggi dan diameter anakan sengon berturut-turut sebesar 22,5 kali; 21,1 kali dan 40,8 kali serta 1,03 kali dan 1,04 kali. Kata kunci : Arang serbuk gergaji, arang kompos serasah, cuka kayu, anakan, konsentrasi 12
Kombinasi Pemberian Arang Hayati dan Cuka Kayu terhadap Pertumbuhan Jabon dan Sengon (Sri Komarayati & Gustan Pari)
I. PENDAHULUAN
II. METODE PENELITIAN
Salah satu upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah adalah dengan memperbesar kandungan karbon dalam tanah. Peningkatan kandungan karbon dilakukan dengan menambahkan bahan organik seperti biochar yang diketahui dapat tahan lama berada dalam tanah sampai ribuan tahun (Sinar Tani, 2012). Arang hayati (biochar ) merupakan hasil pembakaran dari bahan mengandung karbon yang berbentuk padat dan berpori. Penggunaan arang tidak hanya sebagai bahan bakar alternatif, namun secara inovatif dapat diaplikasikan di bidang pertanian atau kehutanan sebagai pembangun kesuburan tanah. Walaupun bukan sebagai pupuk, arang hayati dapat memperbaiki kualitas dan kondisi tanah secara fisik, kimia dan biologi. Penelitian penggunaan arang hayati sudah pernah dilakukan pada tanaman brokoli dapat meningkatkan produksi sebesar 1,30 kali lipat dan pada tanaman kehutanan dari jenis bulian terjadi peningkatan pertumbuhan tinggi dan diameter 3 kali dan 1,3 kali lebih baik daripada kontrol, pada anakan mengkudu terjadi peningkatan pertumbuhan tinggi, diameter, panjang daun maupun lebar daun (Gusmailina et al., 2004, Gani, 2009 , Hidayat, 2010, Komarayati & Santoso, 2011). Selain itu, penambahan arang ke dalam tanah, selain berguna untuk meningkatkan simpanan karbon, juga dapat mengurangi emisi yang dikeluarkan oleh tanah seperti gas CH4 dan N2O yang dapat memperburuk efek rumah kaca dalam atmosfer dengan cara mengikat gas tersebut ke dalam pori arang (Pari, 2009). Arang kompos serasah adalah campuran arang serbuk gergaji dan serasah yang dikomposkan dengan bantuan mikroba lignoselulotik. Cuka kayu atau asap cair adalah cairan warna kuning kecokelatan atau coklat kehitaman yang diperoleh dari hasil samping pembuatan arang (Komarayati et al., 2003 ; Nurhayati, 2007 dan Komarayati et al., 2011). Tulisan ini menyajikan hasil penelitian tentang pengaruh arang serbuk gergaji, arang kompos serasah dan cuka kayu terhadap respon pertumbuhan anakan sengon dan jabon. Selain itu, untuk memperoleh komposisi optimum penggunaan arang serbuk gergaji, arang kompos serasah dan cuka kayu yang tepat pada anakan sengon dan jabon.
A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan yaitu arang serbuk gergaji (ASG), arang kompos serasah (AKS) dan cuka kayu, serta anakan sengon (Falcataria mollucana L. Nielsen) dan jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Peralatan yang digunakan antara lain polybag, alat pengukur tinggi dan diameter, timbangan dan selang plastik. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di persemaian Kebun Penelitian Pasir Hantap, Sukabumi, dari bulan Agustus 2011 - Desember 2011 selama lima bulan. C. Prosedur Penelitian Perlakuan yang diterapkan ada 12 taraf, yaitu : A = kontrol ; B = ASG 5% ; C = ASG 5% + cuka kayu 1% ; D = ASG 5% + cuka kayu 2%; E = ASG 10% ; F = ASG 10% + cuka kayu 1% ; G = ASG 10% + cuka kayu 2% ; H = AKS 10% ; I = AKS 10% + cuka kayu 1% ; J = AKS 10% + cuka kayu 2% dan K = AKS 20% ; L = AKS 20% + cuka kayu 1%. Ulangan dilakukan masing-masing sebanyak tiga kali. D. Pembuatan Media dan Penyiraman Tanah (top soil) dicampur secara merata dengan masing-masing perlakuan, dan dimasukkan ke dalam polybag, kemudian ditanami anakan sengon dan jabon. Setiap hari dilakukan penyiraman secukupnya. Respon pertumbuhan yang diamati meliputi pertumbuhan tinggi dan diameter batang. Arang hanya diberikan satu kali pada saat penanaman, sedangkan cuka kayu diberikan satu minggu sekali sebanyak 100 ml dengan cara disiramkan pada media tanam dan disemprotkan pada batang dan daun dengan tujuan untuk mencegah serangan hama dan penyakit. E. Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Petak Terbagi dengan perlakuan menurut pola faktorial 3 x 12 (Steel & Torrie, l991), dengan rumus : Yij = m + Ti = eij
13
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 12-20
di mana : Yij = Pertumbuhan sengon dan jabon (Y1dan Y2). Ti = Macam perlakuan ke i : i = 0, 1, 2, 3, .......... R = Ulangan masing-masing 3 kali Y1 = Tinggi tanaman (cm), Y2 = Diameter tanaman (cm). Data yang diperoleh dianalisis statistik (uji F) dengan menggunakan program SAS dan apabila berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji beda jarak t (Snedecor & Cochran, 1990).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis statistik pengaruh ASG, ASG dicampur cuka kayu, AKS dan AKS dicampur cuka kayu pada anakan jabon dan sengon, disajikan pada Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5. Pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa semua perlakuan memberikan perbedaan sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan perbedaan nyata terhadap pertumbuhan diameter. Pada
Tabel 1. Hasil uji t pengaruh penambahan ASG, AKS dan cuka kayu terhadap pertambahan tinggi dan diameter anakan jabon Table 1. T test of sawdust charcoal, compost charcoal and wood vinegar treatments onto jabon seedlings Perlakuan (Treatment)
Rataan pertambahan tinggi (Height increment average, cm)
Uji t (t test)
A B C D E F G H I J K L
0,39 6,39 3,20 8,21 13,02 3,34 9,20 24,27 22,67 25,83 30,59 24,93
f d e cd c e cd b b b a b
Perlakuan (Treatment)
Rataan pertambahan diameter ( Diameter increment average, cm)
Uji t (t test)
0,34 0,59 0,47 0,54 0,47 0,50 0,49 1,06 0,94 1,03 1,12 0,83
e bc d c d cd cd a a a a b
A B C D E F G H I J K
L
Keterangan (Remarks) : A = Kontrol (Control) ; B = ASG 5% (5% sawdust charcoal) ; C = ASG 5% + cuka kayu 1% ( 5% sawdust charcoal + 1% wood vinegar) ; D = ASG 5% + cuka kayu 2% (5% sawdust charcoal + 2% wood vinegar) ; E = ASG 10% (10% sawdust charcoal) ; F = ASG 10% + cuka kayu 1% (10% sawdust chacoal + 1% wood vinegar) ; G = ASG10% + cuka kayu 2% (10% sawdust charcoal + 2% wood vinegar) ; H = AKS 10% (10% compost charcoal) ; I = AKS 10% + cuka kayu 1% (10% compost charcoal + 1% wood vinegar) ; J = AKS 10% + cuka kayu 2% ( 10% compost charcoal + 2% wood vinegar) ; K = AKS 20% (20% compost charcoal) ; L = AKS 20%+ cuka kayu 1% (20% compost charcoal + 1% wood vinegar). Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata (Figures followed by the same letters are not significantly different a > b > c > d > e > f )
14
Kombinasi Pemberian Arang Hayati dan Cuka Kayu terhadap Pertumbuhan Jabon dan Sengon (Sri Komarayati & Gustan Pari)
Tabel 1 dapat diketahui bahwa anakan jabon yang diberi ASG, campuran ASG dengan cuka kayu, AKS maupun campuran AKS dengan cuka kayu mengalami peningkatan pertumbuhan tinggi, bila dibandingkan dengan kontrol. Anakan jabon yang diberi ASG 5-10% menunjukkan peningkatan pertumbuhan tinggi sebesar 16,38-33,38 kali lipat, diikuti dengan perlakuan penambahan campuran ASG dengan cuka kayu 2%, terjadi peningkatan pertumbuhan sebesar 21,05-23,59 kali lipat. Untuk perlakuan penambahan campuran ASG dengan cuka kayu 1%, peningkatan hanya sebesar 8,20 - 8,56 kali lipat. Selanjutnya perlakuan penambahan AKS 10 20%, dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi sebesar 62,74-78,47 kali lipat, sedangkan campuran AKS dan cuka kayu 2% dapat meningkatkan 66,23 kali lipat dan diikuti dengan perlakuan penambahan campuran AKS dan cuka kayu 1% yaitu sebesar 58,13-63,92 kali lipat. Pemberian arang serbuk gergaji (biochar) dengan konsentrasi 5% sudah memberikan perbedaan nyata pada peningkatan pertumbuhan tinggi jabon. Hal ini terjadi karena ASG merupakan pembenah tanah yang dapat meningkatkan kelembaban dan kesuburan tanah, juga dapat
digunakan sebagai amelioran yang mampu bertahan ribuan tahun di dalam tanah. Hasil penelitian Gani (2009), membuktikan bahwa pemberian arang hayati pada tanah dapat meningkatkan sifat kimia tanah seperti pH, kapasitas tukar kation dan kadar Ca, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, sekaligus menguntungkan bagi lingkungan dalam jangka panjang. Selanjutnya ASG yang dicampur cuka kayu sebesar 2% memberikan perbedaan sangat nyata, bila dibandingkan dengan penambahan ASG tanpa penambahan cuka kayu. Hal ini menunjukkan bahwa cuka kayu merupakan larutan yang dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, karena cuka kayu mengandung beberapa komponen kimia, antara lain asam asetat dan metanol. Seperti pernyataan Yatagai (2002) bahwa cuka kayu (asap cair) mengandung komponen kimia seperti asam asetat, yang berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan tanaman dan pencegah penyakit tanaman, metanol untuk mempercepat pertumbuhan tanaman, serta phenol dan turunannya untuk mencegah serangan hama dan penyakit tanaman.
Tabel 2. Analisis keragaman pengaruh penambahan ASG, AKS dan cuka kayu terhadap pertambahan tinggi dan diameter anakan jabon. Table 2. Analysis of variance of sawdust charcoal, compost charcoal and wood vinegar treatment onto jabon sedlings Sumber keragaman (Source of variance)
F Hitung (F Calculated)
Db (df) Y1
Y2
35 12 23
235,66 **
50,22*
Rata-rata pertambahan (Means of increment, cm)
-
14.31
0,69
Koefisien keragaman (Coefficient of divercity)
-
38,23
27,94
Total (Total) Perlakuan (Treatment) Galat (Error)
Keterangan (Remarks) : Y1= tinggi (height) ; Y2 = diameter (diameter) ; tn = tidak nyata (not significant); * = nyata pada taraf 5% (significant at 5%) ; ** = nyata pada taraf 1% (significant at 1%)
15
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 12-20
Tabel 3. Hasil uji t pengaruh penambahan ASG, AKS dan cuka kayu terhadap pertambahan tinggi dan diameter anakan sengon Table 3. T test of sawdust charcoal, compost charcoal and wood vinegar treatment onto sengon seedlings Perlakuan (Treatment)
Rataan pertambahan tinggi (Height increment average, cm)
Uji t (t test)
A B C D E F G H I J K L
2,06 4,64 3,48 4,33 6,89 6,64 7,60 8,40 7,66 6,34 9,85 12,14
f e ef e d d c bc c d b a
Perlakuan (Treatment)
Rataan pertambahan diameter (Diameter increment average, cm)
Uji t (t test)
A B C D E F G H I J K L
0,25 0,17 0,19 0,22 0,26 0,22 0,22 0,34 0,33 0,20 0,25 0,34
b d c bc b bc bc a a bc b a
Keterangan (Remarks) : A = Kontrol (Control) ; B = ASG 5% (5% sawdust charcoal) ; C = ASG 5% + cuka kayu 1% (5% sawdust charcoal + 1% wood vinegar) ; D = ASG 5% + cuka kayu 2% (5% sawdust charcoal + 2% wood vinegar) ; E = ASG 10% (10% sawdust charcoal); F = ASG 10% + cuka kayu 1% (10% sawdust chacoal + 1% wood vinegar) ; G = ASG 10% + cuka kayu 2% (10% sawdust charcoal + 2% wood vinegar) ; H = AKS 10% (10% compost charcoal); I = AKS 10% + cuka kayu 1% (10% compost charcoal + 1% wood vinegar) ; J = AKS 10% + cuka kayu 2% (10% compost charcoal + 2% wood vinegar) ; K = AKS 20% (20% compost charcoal) ; L = AKS 20% + cuka kayu 1% (20% compost charcoal + 1% wood vinegar). Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata (Figures followed by the same letters are not significantly different a > b > c > d > e > f )
Penambahan cuka kayu sebesar 2% pada campuran arang hayati dapat meningkatkan pertumbuhan anakan jabon, dibandingkan dengan penambahan cuka kayu sebesar 1%. Demikian juga dengan hasil penelitian Nurhayati (2007) menyimpulkan bahwa aplikasi cuka kayu pada stek pucuk eboni, pulai dan shorea dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi sebesar 30,70% ; 17,10% dan 18,50%. 16
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan AKS 10% dan 20% dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi anakan jabon. Adanya tambahan AKS pada media tumbuh tanaman akan merangsang pertumbuhan tanaman karena AKS mengandung unsur hara makro yang lengkap dan berguna bagi tanaman, nisbah C/N yang sesuai dan KTK yang relatif tinggi, sehingga pertumbuhan anakan menjadi
Kombinasi Pemberian Arang Hayati dan Cuka Kayu terhadap Pertumbuhan Jabon dan Sengon (Sri Komarayati & Gustan Pari)
lebih baik dibandingkan dengan perlakuan media lainnya (Komarayati et al., 2003, Gusmailina, 2010). Ada kecenderungan bahwa makin besar konsentrasi AKS yang diberikan, maka per tumbuhan anakan makin baik. Ini menunjukkan bahwa anakan mampu beradaptasi dengan media tumbuh, karena akar menyerap hara dari media. Selain itu karena keberadaan arang dalam AKS, media tumbuh menjadi lebih gembur dan sarang. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Gusmailina (2010), serta didukung juga oleh beberapa hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Gusmailina et al., (2000a) ; Gusmailina et al., (2000b) ; Komarayati et al., (2003) ; Komarayati et al., (2004) dan Komarayati (2004). Begitu pula pada perlakuan campuran AKS 10% dan cuka kayu 2% yang sangat berpengaruh pada peningkatan pertumbuhan tinggi, dengan hasil beberapa kali lipat bila dibandingkan dengan kontrol. Selain pertumbuhan tinggi, pertumbuhan diameter juga mengalami peningkatan setelah diberi ASG, campuran ASG dan cuka kayu, AKS dan campuran AKS dengan cuka kayu.
Tabel 4. Analisis keragaman pengaruh penambahan ASG, AKS dan cuka kayu terhadap pertambahan tinggi dan diameter anakan sengon. Table 4. Analysis of variance of sawdust charcoal, compost charcoal and wood vinegar treatment onto sengon sedlings Sumber keragaman (Source of variance)
Db (df)
Total (Total)
35
Perlakuan (Treatment)
12
Galat (Error)
23
F Hitung (F calculated) Y1
Y2
114,43**
0,01tn
Rata-rata pertambahan (Means of increment), cm
-
3,07
0,09
Koefisien keragaman (Coefficient of divercity)
-
46,38
36,27
Keterangan (Remarks) : Y1= tinggi (height) ; Y2 = diameter (diameter) ; tn = tidak nyata (not significant) ; * = nyata pada taraf 5% (significant at 5%) ; ** = nyata pada taraf 1% (significant at 1%)
Pada Tabel 4 dapat diketahui pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi, menunjukkan perbedaan sangat nyata, sedangkan terhadap per tambahan diameter tidak memberikan perbedaan nyata. Pada Tabel 3, dapat diketahui hasil uji t pengaruh ASG, campuran ASG dengan cuka kayu, AKS dan campuran AKS dan cuka kayu terhadap pertambahan tinggi anakan sengon tanpa diberi perlakuan (kontrol). Anakan sengon yang diberi ASG 5%-10% menunjukkan peningkatan pertambahan tinggi sebesar 2,25-6,89 kali lipat, diikuti dengan perlakuan ASG dengan cuka kayu 2%, terjadi peningkatan sebesar 2,10-3,69 kali lipat. Untuk perlakuan campuran ASG dengan cuka kayu 1%, peningkatan hanya sebesar 1,69-3,22 kali lipat.
Selanjutnya AKS 10 - 20%, dapat meningkatkan pertambahan tinggi sebesar 4,08 - 4,78 kali lipat; campuran AKS dan cuka kayu 2% dapat meningkatkan 3,08 kali dan diikuti dengan campuran AKS dan cuka kayu 1% yaitu sebesar 3,72 - 5,89 kali lipat. Pemberian ASG dengan konsentrasi 5% sudah memberikan perbedaan nyata pada peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman sengon, bila dibandingkan dengan kontrol. Makin tinggi konsentrasi arang hayati maupun AKS yang diberikan, makin meningkat pertumbuhan tinggi anakan sengon. Apalagi bila diberi campuran cuka kayu 2%, karena pori-pori arang dapat mengikat dan menyimpan air serta unsur hara bagi tanaman, sehingga apabila diperlukan dapat dikeluarkan 17
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 12-20
kembali sesuai kebutuhan tanaman. Cuka kayu mengandung C, N, P dan K yang merupakan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Juga adanya kandungan komponen kimia cuka kayu seperti asam asetat dan metanol yang berfungsi memacu pertumbuhan tanaman (Komarayati, et al., 2011; Yatagai, 2002). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, campuran AKS dengan cuka kayu 2% pada tanaman mengkudu, terbukti bahwa campuran tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter, panjang daun dan lebar daun sebesar 347%, 233%, 221% dan 225% (Komarayati dan Santoso, 2011). Setelah diamati, ternyata pertumbuhan diameter anakan seng on tidak sebaik pertumbuhan tinggi, walaupun sudah diberi perlakuan yang sama yaitu penambahan ASG, campuran ASG dengan cuka kayu; AKS dan campuran AKS dengan cuka kayu. Perlakuan yang dapat meningkatkan pertumbuhan diameter adalah penambahan AKS 10% - 20% , yang dapat meningkatkan pertumbuhan diameter sebesar 1,00 - 1,36 kali lipat, begitu juga campuran AKS dan cuka kayu 1%, dapat meningkatkan dimeter sebesar 1,32 - 1,36 kali lipat. Bila dibandingkan dengan pertumbuhan anakan jabon, ternyata perkembangan anakan sengon memberikan respon lebih lambat, walaupun sudah diberi
perlakuan yang sama. Hal ini terjadi karena jabon dan sengon mempunyai karakteristik dan sifat yang berbeda. Pada Tabel 5 dapat diketahui perbandingan pertumbuhan tinggi dan diameter anakan jabon dan sengon. Walaupun diberi perlakuan yang sama, ternyata respon yang diberikan oleh masing-masing berbeda. Respon pertumbuhan anakan jabon lebih besar daripada anakan sengon, baik untuk pertumbuhan tinggi maupun diameter, yaitu untuk jabon 13,96 cm dan 0,74 cm, sedangkan sengon 7,21 cm dan 0,20 cm. Bila ditinjau dari semua perlakuan yang diberikan pada anakan jabon dan sengon selama lima bulan, ternyata adanya arang hayati pada tanah sebagai media tumbuh tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, apalagi ditambah dengan kompos dan cuka kayu. Semua bahan organik ini sangat mempengaruhi laju perkembangan dan ketahanan hidup tanaman. Untuk itu pemanfaatan limbah lignoselulosa menjadi arang hayati, arang kompos maupun cuka kayu perlu terus dikembangkan dan disosialisasikan kepada masyarakat khususnya petani, dengan tujuan untuk meningkatkan penggunaan bahan organik yang murah dan mudah untuk memacu pertumbuhan tanaman, maupun memperbaiki tanah yang rusak akibat menggunakan pupuk anorganik secara terus menerus.
Tabel 5. Hasil uji t pengaruh penambahan ASG, AKS dan cuka kayu terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter anakan jabon dan sengon. Table 5. T test of sawdust charcoal, compost charcoal and wood vinegar treatment onto jabon and sengon seedlings Jenis (Species)
Rataan pertambahan tinggi (Height increment average, cm)
Jabon
13,96
Sengon
7,21
Jenis (Species)
Rataan pertambahan diameter (Diameter
Uji t (t test) a b
Uji t (t test)
increment average, cm)
18
Jabon
0,74
a
Sengon
0,20
b
Kombinasi Pemberian Arang Hayati dan Cuka Kayu terhadap Pertumbuhan Jabon dan Sengon (Sri Komarayati & Gustan Pari)
IV. KESIMPULAN Penggunaan arang serbuk gergaji, arang kompos serasah dan campuran arang serbuk gergaji dan cuka kayu serta campuran arang kompos serasah dan cuka kayu pada media, dapat meningkatkan pertambahan tinggi dan diameter anakan jabon dan sengon. Pengaruh penambahan ASG 5%, ASG 5% + cuka kayu 2% dan AKS 10% dapat meningkatkan pertambahan tinggi dan diameter anakan jabon sebesar 16,38 kali ; 21,05 kali ; 62,74 kali dan 1,70 kali ; 3,10 kali. Pada anakan sengon terjadi peningkatan sebesar 22,50 kali ; 21,10 kali ; 40,80 kali dan 1,04 kali ; 1,03 kali. Konsentrasi arang serbuk gergaji sebesar 5% ; campuran arang serbuk gergaji 5% dan cuka kayu 2% ; arang kompos 10%, merupakan konsentrasi yang terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan anakan jabon dan sengon. DAFTAR PUSTAKA Gani, A. (2009). Potensi arang hayati sebagai komponen teknologi perbaikan produktivitas lahan pertanian. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (Vol. 4). Jakarta: Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Gusmailina, S. Komarayati & G. Pari. (2004). Assesment on the utilization of charcoal and compost charcoal as an enhancement of soil fertility. Proceeding of The International Workshop on ” Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environment. Bogor: Kerjasama Puslitbang Teknologi Hasil Hutan dan JIFRO. Gusmailina. (2010). Pengaruh arang kompos bioaktif terhadap pertumbuhan anakan bulian (Eusyderoxylon zwageri) dan gaharu (Aquilaria malaccensis). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 28 (2), 93 - 110. Hidayat. (2010). Pemanfaatan arang sebagai biochar yang ramah lingkungan. Arief Hidayat Blog, 16 Desember 2010. Di akses tanggal 14 April 2012. Imanuddin, R., C.A. Siregar and I. Nobuo., (2005). Growth of Shorea leprosula and Shorea
macrophylla plantation as affected by charcoal application in West Kalimantan. Proceeding of the 2nd workshop on demonstration study on carbon fixing forest management in Indonesia. Bogor: Kerjasama Forda dan JICA. Komarayati, S., Gusmailina & G. Pari. (2003). Aplikasi arang kompos pada anakan tusam (Pinus merkusii). Buletin Penelitian Hasil Hutan, 21 (1), 15 - 21. Komarayati, S. Gusmailina., & G. Pari., (2004). Application of compost charcoal on two species of forestry plants. Proceeding of The International Workshop on “Better Utilization of Forest Biomass for Local Community and Environment. Bogor: Research and Development Center for Forest Products Technology (RDCFPT, Indonesia) in collaboration with Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center (JIFPRO, Japan). Komarayati, S. (2004). Penggunaan arang kompos pada media tumbuh anakan mahoni. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 22(4), 193-203. Komarayati. S., & E. Santoso., (2011). Arang dan cuka kayu : Produk HHBK untuk stimulan pertumbuhan mengkudu (Morinda citrifolia) . Jurnal Penelitian Hasil Hutan , 29 (2), 155178. Komarayati. S.,Gusmailina., & G. Pari. (2011). Produksi cuka kayu hasil modifikasi tungku arang terpadu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(3), 234-247. Nurhayati, T. (2007). Produksi arang terpadu dengan cuka kayu dan pemanfaatan cuka kayu pada tanaman pertanian. Makalah disampaikan pada Pelatihan pembuatan arang terpadu dan produk turunannya. Di Dinas Kehutanan K abupaten Bulung an, Kalimantan Timur, tanggal 17-26 Juli, 2007. Pari, G. (2009). Laporan mengikuti 1 Asia Pasific Biochar Conference Gold Coast. Australia, 17-20 Mei 2009. Bogor. Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Tidak Diterbitkan. st
Sinar Tani. (2012). Biochar yang tepat untuk tanah yang tepat. Majalah Sinar Tani Edisi No. 3433, 22 Pebruari 2012. 19
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 12-20
Siregar, Ch. A.I., Heriansyah and M. Kyoshi. (2003). Studi pendahuluan efek aplikasi arang terhadap pertumbuhan awal Acacia mangium, Pinus merkusii dan Shorea leprosula. Buletin Penelitian Hutan (Vol. 634, hal. 27-40). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Siregar, C. ( 2005). Effect of charcoal application on early growth stage of Acacia mangium nd and Michelia montana. Proceeding of the 2
20
workshop on demonstration study on carbon fixing forest management in Indonesia. Bogor: Kerjasama FORDA dan JICA. Snedecor, G.W & W.G. Cochran. (1990). Statistical Methods. Ames, USA: Iowa State College Press. Yatagai. (2002). Utilization of charcoal and wood vinegar in Japan. Tokyo: Graduate School of Agricultural and Life Sciences. The University of Tokyo.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 21-26 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
ANALISIS SENYAWA KIMIA Dryobalanops aromatica (Chemical Compound Analisys of Dryobalanops aromatica) Gunawan Pasaribu, Gusmailina, Sri Komarayati, Zulnely & Erik Dahlian Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No.5 Bogor 16610 Telp. (0251) 8633378 Fax. (0251) 8633413 E-mail:
[email protected] Diterima 15 Maret 2013, Disetujui 20 Desember 2013
ABSTRACT Dryobalanops aromatica is a woody plant that produces non timber forest product such oil and crystal. The chemical composition information is important for oil utilization and specific marker of the material. Traditionally, oil quality was grouped based on its colour. The whiter the colour, the better the quality. This paper examines the chemical content of four oil groups and two kinds of crystal. The examination was carried out in Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS). The results show that the oil of Dryobalanops aromatica 1 contains borneol up to 26.02%, D. aromatica 2 contains 13.95%, D. aromatica 3 contains 24.03%, and D. aromatica 4 contains 1.09% in longiborneol form. Meanwhile, crystal 1 contains 92.70% of borneol and crystal 2 contains 90.73%. Borneol compound can act as chemical marker of Dryobalanops aromatica. Keywords: Dryobalanops, oil, crystal, GCMS, borneol ABSTRAK Dryobalanops aromatica merupakan tumbuhan berkayu yang memproduksi hasil hutan bukan kayu seperti minyak dan kristal. Informasi komposisi senyawa kimia penting diketahui dalam rangka pemanfaatan dan penciri suatu bahan. Berdasarkan informasi dari masyarakat lokal, minyak dikelompokkan berdasarkan warnanya. Semakin putih warna minyak, semakin baik kualitas. Tulisan ini menyajikan komposisi senyawa kimia dari minyak dan kristal Dryobalanops aromatica menggunakan kromatografi gas spektrometri massa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak Dryobalanops aromatica 1 mengandung borneol sebesar 26,02%, D. aromatica 2 mengandung 13,95%, D. aromatica 3 mengandung 24,03%, D. aromatica 4 mengandung 1,09% dalam bentuk longiborneol. Sementara untuk kristal 1 mengandung 92,70% borneol dan kristal 2 mengandung 90,73%. Senyawa borneol merupakan senyawa penciri Dryobalanops aromatica. Kata kunci : Dryobalanops, minyak, kristal, GCMS, borneol I. PENDAHULUAN Dryobalanops aromatica merupakan jenis pohon yang termasuk ke dalam suku Dipterocarpaceae yang utamanya sebagai penghasil kayu untuk pertukangan, bangunan dan perkapalan. Selain itu, jenis pohon ini juga dikenal sebagai penghasil komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) berupa minyak dan kristal. Di Indonesia terdapat sekitar 7 marga Dryobalanops, salah satu jenis
Dryobalanops yang sudah dikenal sejak lama adalah jenis aromatica/kamper. Penyebaran mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan seluruh Kalimantan. Dryobalanops juga dikenal dengan nama Kapur, di antaranya yang penting adalah Dryobalanops aromatica Gaertn. (kapur singkel), Dryobalanops fusca V.Sl. (kapur empedu), Dryobalanops. lanceolata Burck (kapur tanduk), Dryobalanops beccarii Dyer (kapur sintuk), Dryobalanops rappa Becc. (kapur 21
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 21-26
kayat), Dryobalanops keithii Symington (kapur gumpait), dan Dryobalanops oblongifolia Dyer atau kapur keladan (Heyne, 1987). Umumnya pemanfaatan Dryobalanops spp. selama ini lebih kepada kayunya untuk balok, tiang dan konstruksi atap, papan pada bangunan perumahan dan jembatan, serta juga dipakai untuk perkapalan, peti (koper) dan mebel. Kecuali beberapa jenis Dryoblanops seperti aromatica, terkenal sebagai penghasil barus atau kamper. Di Korea dan Jepang, pohon yang menghasilkan barus atau kamper ini dikenal dengan nama Cinnamomum camphora dari Famili Lauraceae, sedangkan kamper di Indonesia diperoleh dari pohon Dryobalanops aromatica Gaertn, yang masuk dalam Famili Dipterocarpaceae. Di Pulau Sumatera, pohon kapur tumbuh liar pada lahan datar, dengan serapan air yang baik maupun pada daerah lereng bukit di hutan tropis yang mencapai ketinggian hingga 500 meter dari permukaan laut. Umumnya pohon ini tumbuh dengan ukuran diameter batang yang besar dan membentuk barisan pohon dengan ketinggian yang relatif sama dan rata (Whitten A.J., 1984; Simarangkir, 2000). Pada abad ke-17, selain di daerah Barus pohon ini juga banyak tumbuh di daerah Dairi dan Kelasan yang merupakan daerah pegunungan, serta di tepi sungai Cinendang, Singkel (Vurren,1908 dalam Sutrisna, 2008). Getah diambil dari batang pohon dan selama ini langsung dijual, sehingga nilai jual lebih rendah dibanding apabila getah diolah terlebih dahulu.
(a)
Padahal hasil olahan getah D. aromatica ini di pasaran dikenal dengan nama Borneol mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi, tetapi belum banyak yang mengetahui bagaimana cara mengolah getah Dryobalanops menjadi kristal Borneol. Oleh sebab itu perlu dicari teknologi yang tepat untuk mengolah getah menjadi kristal, sehingga kemurnian borneol tetap terjaga. Dalam rangka optimalisasi pemanfaatan HHBK bersumber getah dan minyak perlu dilakukan penelitian menyeluruh terhadap minyak dan kristal Dryobalanops sehingga dalam pengembangannya sudah dikuasai teknologi pengolahannya. Tulisan ini menyajikan sifat fisik dan analisis senyawa borneol dari minyak dan kristal Dryobalanops aromatica dengan menggunakan kromatografi gas spektrometri massa (GCMS). II. METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah sebanyak empat jenis minyak dan dua jenis kristal Dryobalanops aromatica yang diperoleh dari Subulussalam, Propinsi Aceh (Gambar 1). Peralatan yang digunakan antara lain: erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, buret, kompor gas, spatula, ekstraktor, magnetic stirrer, penyaring, timbangan, termometer, stopwatch dan kromatografi gas spektrometri massa serta alat-alat bantu lainnya.
(b)
Gambar 1. Minyak (a) dan kristal (b, c) Dryobalanops aromatica Figure 1. Oil (a) and crystal (b, c) of Dryobalanops aromatica
22
(c)
Analisis Senyawa Kimia Dryobalanops aromatica (Gunawan Pasaribu, et al.)
B. Metode 1. Pemurnian minyak dan kristal Pemurnian minyak dilakukan dengan cara menyaring minyak dengan kertas saring sampai tidak ditemukan pengotor di dalam minyak. Dalam hal pemurnian kristal hanya dilakukan pada kristal yang bercampur dengan serbuk kayu. Kristal campuran dibersihkan dengan cara melarutkannya dengan etanol, kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring. Eluat kemudian diuapkan sehingga diperoleh kembali kristal yang bebas dari pengotor dan pelarut. 2. Sifat fisik minyak dan kristal Pengujian sifat fisik meliputi warna, bobot jenis, kadar air dan kelarutan. a. Pengujian warna Metode ini didasarkan pada pengamatan visual yaitu contoh disandarkan pada kertas karton berwarna putih, dan diamati warnanya secara langsung dengan mata. b. Penentuan bobot jenis Uji bobot jenis berdasarkan perbandingan antara berat minyak dan air pada volume dan suhu yang sama. Piknometer dicuci dan dibersihkan kemudian dibilas secara berturutan dengan etanol dan dietil eter. Selanjutnya, bagian dalam piknometer tersebut dikeringkan dengan arus udara kering dan ditimbang sebagai bobot piknometer kosong. Piknometer kemudian diisi dengan air suling dan ditimbang kembali untuk mendapatkan berat air dalam piknometer. Piknometer tersebut kemudian dikosongkan dan dicuci dengan etanol dan dietil eter sebelum dikeringkan kembali dengan arus udara kering. Piknometer kemudian diisi dengan minyak Dryobalanops dan ditimbang. Untuk mencapai kondisi pengukuran pada suhu 20oC, piknometer ditempatkan pada wadah yang berisi es yang dilengkapi dengan termometer. Bobot jenis dihitung sebagai berikut; (m2-m) Bobot jenis = (m1-m) Keterangan : m1 = massa piknometer yang berisi air pada 20oC (g) m2 = massa piknometer yang berisi sampel pada 20oC (g) m = massa piknometer kosong pada 20oC (g)
c. Kadar air Penentuan kadar air dilakukan dengan metode Aufhauser, yaitu destilasi dengan pelarut xilol yang bobot jenisnya lebih rendah dari air. (Chon dan Ta'minuddin, 1978). Contoh uji dimasukkan dalam tabung bola (flask), kemudian dipanaskan. Setelah air dan pelarut menguap, diembunkan, dan jatuh pada tabung Aufhauser yang berskala (5 ml). Air yang mempunyai berat jenis lebih besar ada di bagian bawah, sehingga jumlah air yang diuapkan dapat dilihat pada skala tabung aufhauser tersebut. Kadar air dihitung sebagai berikut: ml air Kadar air = x 100% g contoh d. Penentuan kelarutan dalam etanol (Gunther, 1990) Sebanyak 1 ml contoh uji ditempatkan ke dalam gelas ukur 10 ml atau 25 ml dan diukur dengan teliti. Etanol 70% ditambahkan ke dalam gelas ukur tersebut setetes demi setetes. Pengocokan dilakukan setiap saat setelah penambahan etanol sampai diperoleh suatu larutan yang sebening mungkin pada suhu 20oC. Bila larutan tidak bening, kekeruhan yang terjadi dibandingkan dengan kekeruhan larutan pembanding melalui cairan yang sama tebalnya. Larutan pembanding untuk kekeruhan dibuat dengan menambahkan 0,5 ml larutan perak nitrat 0,1 N ke dalam 50 ml natrium klorida 0,0002 N dan dikocok. Setelah itu ditambahkan satu tetes asam nitrat encer (25%) dan diamati setelah 5 menit. 3. Analisis kimia minyak dan kristal Analisis kimia dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas spektrofotometri massa (GCMS). Meng gunakan GC-MS merk Shimadzu QP 2010 ULTRA dengan Kolom: BD 5 pada suhu 60°C. Suhu detektor: 290°C, suhu injektor: 270°C, suhu program: suhu awal 60°C, kenaikan 8°C per menit sampai suhunya 280°C. Waktu analisa selama 27,5 menit. Tekanan: 80,2 kpa dengan laju alir: 1,32 mL/menit. Split ratio : 200 dan linear velocyti: 41,7 ml/menit.
23
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 21-26
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. S i f a t F i s i k M i n y a k d a n K r i s t a l Dryobalanops aromatica Hasil pengujian sifat fisik minyak dan kristal Dryobalanops aromatica disajikan pada Tabel 1. Hasil pengujian sifat fisik minyak dan kristal Dryobalanops aromatica menunjukkan bahwa berat jenis minyak berkisar antara 0,88-0,98. Berat jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam penentuan mutu dan kemurnian minyak. Nilai bobot jenis minyak didefinisikan sebagai perbandingan antara bobot minyak dengan berat air pada volume air yang sama dengan volume minyak pada yang sama pula. Berat jenis mendekati 1 mengindikasikan kualitas minyak yang semakin buruk.
Kelarutan dalam etanol 70% dihitung berdasarkan banyaknya etanol yang ditambahkan pada minyak sampai tercampur dengan sempurna dan berwarna bening. Hasil pengujian menunjukkan bahwa hanya minyak 4 yang dapat larut dalam etanol 70%. Hal ini menunjukkan kandungan minyak yang semakin kecil akan mudah larut dalam air. Hasil pengujian kadar air minyak menunjukkan bahwa minyak hasil sadapan (Minyak 4) memiliki kandungan air yang sangat tinggi dibanding dengan minyak yang lainnya di mana kandungan airnya di bawah 5%. Hal ini disebabkan dalam proses penyadapan masih sangat banyak pengotor, termasuk banyaknya air yang tercampur dari batang pohon.
Tabel 1. Sifat fisik minyak dan kristal Dryobalanops aromatica*) Table 1. Physical Properties of Oil and Crystal of Dryobalanops aromatica*)
*)
No
Jenis minyak/ kristal (Oil/crystal sample)
1
Minyak /Oil 1
Cokelat/brown
0,98
3,96
2
Minyak/Oil 2
0,88
1,77
3
Minyak/Oil 3
Putih kekuningan/ Yellowish white Kuning/Yellow
0,93
1,97
4
Minyak/Oil 4
0,99
83,47
5
Kristal /Crystal 1
6
Kristal /Crystal 2
Cokelat kemerahan/ Reddish brown Putih kekuningan/ Yellowish white Putih/White
Warna (Colour)
Rata-rata dari 3 ulangan (Average from 3 replications)
B. Analisis Kualitas Minyak dan Kristal Hasil analisis minyak dan kristal tersebut disajikan disajikan pada Tabel 2. Dari analisis yang dilakukan pada 4 jenis minyak, menunjukkan bahwa minyak 1 memiliki senyawa borneol yang paling tinggi, diikuti minyak 3, minyak 2 dan minyak 4. Kandungan senyawa borneol pada penelitian ini lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan oleh Koo et al. (2004). Bahwa hasil identifikasi senyawa Dryobalanops aromatica dan uji bioaktifitasnya yang ada di pasar tradisional di Yeongchon, Korea, 24
Bobot jenis (Specific gravity)
Kadar air (Moisture content) (%)
Kelarutan dalam Etanol 70% (Solubility in Ethanol 70%) Tidak larut/ insoluble Tidak larut/ insoluble Tidak larut/ insoluble Larut/soluble 1:5
0,85
- -
0,83
- -
yaitu senyawa borneol 21,30% dan endo-borneol sebanyak 33,30%. Hasil uji bioaktivitas menunjukkan bahwa minyak ini mampu memperbaiki sistim saraf dan obat penenang serta sebagai aroma terapi. Senyawa borneol pada kristal 1 (Gambar. 2) dan 2 sangat tinggi, karena berada pada kisaran diatas 90%. Kandungan senyawa borneol pada kristal ini hampir mendekati kemurnian. Kandungan borneol pada minyak dan kristal yang cukup tinggi berpotensi dimanfaatkan dalam bidang farmasi. Hal ini disebabkan karena borneol dalam dunia pengobatan sangat banyak
Analisis Senyawa Kimia Dryobalanops aromatica (Gunawan Pasaribu, et al.)
dimanfaatkan terutama untuk aplikasi eksternal. Aplikasi yang banyak terutama untuk luka, luka bakar, nyeri reumatik, wasir, penyakit kulit, dan ulserasi dari mulut, telinga, mata, dan hidung. Hampir selalu digunakan dalam formula kompleks, dan biasanya terdiri atas 1,6-8,5% dari total resep (Dharmananda, 2003). Di bidang industri, borneol murni bersama juga isoborneol digunakan sebagai bahan baku penyusun parfum dan bahan pengester. Borneol
murni bersifat racun yang dapat mengakibatkan kekacauan mental. Borneol di China dikenal juga dengan nama Bing Pian (Huo, 1995). Salah satu penggunaannnya adalah sebagai bahan tambahan pada pembalut wanita (bio panty) yang bermanfaat untuk mengurangi kesakitan dan tekanan ketika haid, mengurangi kesakitan otot dan sendi, membantu membersihkan darah beku, dan mencegah perkembang biakan kuman (Yuhana, 1991).
Tabel 2. Analisis komponen kimia minyak dan kristal D. aromatica Table 2. Analysis of chemical compound of oil and crystal D. aromatica No 1
2
3
4
5
6
Jenis /Type
Komponen (Component)
Minyak/Oil 1 Caryophyllene 1-BORNEOL 3-Cyclohexene-1-methanol, .alpha.,.alpha.,4 -trimethyl-, (S) - (CAS) p Menth-1-en-8-ol, (S)-(-)1,4,7,-Cycloundecatriene, 1,5,9,9-tetramethyl-, Z,Z,Z3-Cyclohexen-1-ol, 4-methyl-1-(1-methylethyl)- (CAS) 4-Terpineol Minyak/Oil 2 1R-.alpha.-Pinene 1-BORNEOL Bicyclo[5.2.0]nonane, 2-methylene-4,8,8-trimethyl-4-vinyl2-.BETA.-PINENE 3-Cyclohexene-1-methanol, .alpha.,.alpha.4-trimethylMinyak/Oil 3 1-BORNEOL 1R-.alpha.-Pinene Caryophyllene Camphor Cyclohexene, 1-methyl-5-(1-methylethenyl)-, (R)- (CAS) Sylvestrene Minyak/Oil 4 Humulane-1,6-dien-3-ol Dammarane-3,12,25-triol, 20,24-epoxy-, 3-(hydrogen propanedioate), (3.alpha.,12.beta.,24R)9-Octadecenoic acid, 1,2,3-propanetriyl ester, (E,E,E)Dammarane-3,12,25-triol, 20,24-epoxy-, 3-(hydrogen propanedioate), (3.alpha.,12.beta.,24R)LONGIBORNEOL Kristal 1-BORNEOL /Crystal 1 Bicyclo[2.2.1]heptan-2-ol, 2,3,3-trimethyl Bicyclo[2.2.1]heptan-2-one, 1,7,7-trimethyl-, (1R)1R-.alpha.-Pinene Methane, sulfinylbis- (CAS) Dimethyl sulfoxide Kristal 1-BORNEOL /Crystal 2 1R-.alpha.-Pinene Bicyclo[2.2.1]heptan-2-ol, 2,3,3-trimethyl Camphene Bicyclo[2.2.1]heptan-2-ol, 2,3,3-trimethyl
% 30,72 26,02 15,93 11,97 4,59 29,01 13,95 12,31 8,63 8,01 24,03 13,08 12,16 6,90 6,76 11,96 9,31 8,99 8,27 1.09 92,70 2,25 0,28 0,03 0,03 90,73 2,46 1,91 0,54 0,30
25
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 21-26 BORNEOL
Gambar 2. Kromatogram kristal Dryobalanops aromatica Figure 2. Chromatogram of Dryobalanops aromatica's crystal IV. KESIMPULAN DAN SARAN Minyak Dryobalanops aromatica 1 mengandung borneol sebesar 26,02%, minyak 2 mengandung 13,95%, minyak 3 mengandung 24,03%, dan minyak 4 mengandung 1,09% dalam bentuk longiborneol. Kristal Dryobalanops aromatica 1 mengandung 92,70% borneol dan kristal 2 mengandung 90,73%. Senyawa borneol merupakan senyawa penciri minyak dan kristal Dryobalanops aromatica. Minyak dan kristal Dryobalanops aromatica potensial dimanfaatkan dalam bidang farmasi. DAFTAR PUSTAKA Chon Ahmad & Ta'minuddin. (1978). Penuntun praktikum khusus. Sekolah Analisis Kimia Menengah Atas. Bogor: Pusat Pendidikan dan Latihan. Departemen Perindustrian. Dharmananda S. (2003). Dryobalanops for medicine. Portland, Oregon: Director, Institute for Traditional Medicine. Ernest., G. (1990). Minyak Atsiri. (Jilid I). (Ketaren, Penerj.) Jakarta: UI Press.
26
Heyne. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. (B. L. Kehutanan, Penerj.) Jakarta: Departemen Kehutanan. GZ., H. (1995). Bing pian's anti-inflammation and analgesia effects on laser burn wounds. China Journal of Pharmacy, 30(9), 532-534. Koo, B.S., S-I. Lee, J-H. Ha. & D-U. Lee. (2004). Inhibitory effects of the essential oil from suhexiang wan on the central nervous system after inhalation. Biol. Pharm. Bull. , 27(4), 515519. Simarangkir B.D.A.S. (2000). Analisis Riap Dryobalanops lanceolata Burck pada lebar jalur yang berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Frontir Nomor 32. Kalimantan Timur. Sutrisna, D. (2008). Kapur barus : pohon dan sumber tertulis asing. Medan: Balai Arkeologi. Whitten, A. (1984). The Ecology of Sumatera. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Yuhana, C. (1991). Usaha mengembangkan teknikteknik analitik dan isolasi untuk memperoleh borneol kristal dari minyak Dryobalanops aromatica. Laporan Penelitian. Bandung: Laporan Penelitian. Fakultas MIPA Universitas Padjajaran.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 27-35 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
KARAKTERISASI DAN PEMANFAATAN ASAP CAIR DARI TEMPURUNG BUAH BINTARO (Carbera manghas Linn.) SEBAGAI KOAGULAN GETAH KARET (Characterization and Utilization of Smoke Liquid from Bintaro Shell (Carbera manghas Linn.) as a Natural Rubber Coagulant) Djeni Hendra, Totok K Waluyo & Arya Sokanandi
1
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl.Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Tlp./Fax: (0251) 8633378/8633413. Email:
[email protected] [email protected];
[email protected] Diterima 20 Mei 2013, Disetujui 20 Desember 2013
ABSTRACT Smoke liquid is a condensation product of raw material combustion containing cellulose, hemicellulose and lignin. It produces many compounds that have antimicrobial, antibacterial, and antioxidant effect such as organic acids and its derivatives. Bintaro fruit shell is a waste of oil processing bintaro that are not utilized. Generally, latex coagulation uses formic acid or acetic acid that it's expensive and less environmentally friendly. Bintaro shell pieces is unused material and containing cellulose, hemicellulose, and lignin made into smoke liquid that is acidic and could reduce pH so the latex will coagulate faster. The purpose of this study was to use smoke liquid of shell bintaro fruit shell as an alternative coagulant for rubber latex material. Smoke liquid wasmade using a modified drum kiln with a temperature of 4000C for 7 hours. Smoke liquid is purified 0 by distillation up to 200 C. Smoke liquid that has been purified, further analyzed of its physical properties such as water content, viscosity, specific gravity, pH, acidity and phenol. Application of smoke liquid as rubber coagulant where done using smoke liquid concentration of 5%, 10%, 15%, 20%, while smoke liquid from coconut shell was used as a comparison. The results showed that the best results for coagulating was obtained from bintaro shell concentration of 20% and the fastest time for coagulating obtained from coconut shell smoke liquid concentration of 5%. Bintaro shell smoke liquid can be used as a rubber coagulant but for coagulation time isnot as fast as coconut shell smoke liquid. Keywords: Smoke liquid, bintaro, latex, coagulant, acidity ABSTRAK Asap cair adalah larutan hasil kondensasi dari pembakaran bahan baku yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin sehingga banyak mengandung senyawa yang bersifat sebagai antimikroba, antibakteri, dan antioksidan seperti senyawa asam organik dan turunannya. Tempurung buah bintaro merupakan limbah dari pengolahan minyak bintaro yang tidak dimanfaatkan. Penggumpalan getah karet umumnya menggunakan asam formiat atau asam cuka yang mahal dan kurang ramah lingkungan. Tempurung buah bintaro yang tidak dimanfaatkan dan mempunyai kandungan selulosa, hemiselulosa, dan lignin dibuat menjadi asap cair yang bersifat asam dan mampu menurunkan pH getah karet sehingga akan lebih cepat menggumpal. Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan asap cair dari tempurung buah bintaro sebagai alternatif bahan koagulan getah karet. Pembuatan asap cair dilakukan dengan menggunakan kiln drum yang dimodifikasi dengan suhu 4000C selama 7 jam. Asap cair yang terbentuk dimurnikan dengan distilasi dengan suhu 2000C. 27
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 27-35
Kemudian dianalisis kualitasnya asap cair yaitu kadar air, viskositas, berat jenis, pH, asiditas dan fenol. Aplikasi asap cair sebagai koagulan getah karet dilakukan dengan variasi konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, asap cair dari tempurung kelapa digunakan sebagai pembanding (5%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas lateks beku terbaik dihasilkan pada penggunaan konsentrasi tempurung bintaro 20%, dan waktu paling cepat pada konsentrasi asap cair tempurung kelapa 5%. Asap cair tempurung bintaro dapat digunakan sebagai koagulan getah karet akan tetapi tidak secepat asap cair tempurung kelapa dalam proses penggumpalannya. Kata kunci : Asap cair, bintaro, getah karet, koagulan, keasaman I. PENDAHULUAN Asap cair merupakan hasil distilasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran tidak langsung maupun langsung dari bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawasenyawa lain. Bahan baku yang banyak digunakan adalah kayu, tempurung kelapa, bongkol kelapa sawit, limbah hasil penggergajian kayu dan lain sebagainya (Darmaji, 2002). Asap terbentuk karena pembakaran yang tidak sempurna, yaitu pembakaran dengan jumlah oksigen yang terbatas dengan melibatkan reaksi dekomposisi bahan polimer menjadi komponen organik dengan bobot yang lebih rendah. Sebaliknya, apabila pembakaran sempurna, karena pengaruh panas dan tersedianya oksigen, akan dihasilkan gas CO2, uap air, dan abu, sedangkan asap tidak terbentuk. Menurut Haji (2007), asap cair hasil pirolisis bahan organik dapat digunakan untuk berbagai keperluan karena umumnya bersifat asam dan banyak mengandung senyawa fenolik sehingga banyak menghasilkan senyawa-senyawa yang memiliki efek sebagai antimikroba, antibakteri, dan antioksidan seperti senyawa asam dan turunannya. Pohon bintaro (Carbera manghas L.) termasuk tumbuhan non pangan atau tidak untuk dimakan karena biji dan semua bagian pohonnya mengandung racun bagi manusia. Meskipun demikian, pohon bintaro mempunyai banyak potensi untuk dimanfaatkan antara lain akarnya digunakan sebagai obat pencahar. Kayunya yang putih, rapuh menghasilkan arang yang ringan, sangat halus dan berguna untuk pembuatan mesiu, minyak biji bintaro dapat dijadikan sebagai bahan baku biodiesel (Heyne, 1987). Buah bintaro dapat berbuah sepanjang tahun, buahnya terdiri dari tiga lapisan yaitu bagian luar/tempurung, bagian tengah berupa serat dan bagian dalam 28
berupa biji. Pemanfaatan biji bintaro sebagai bahan baku biodisel menyisakan tempurung buah sebagai limbah yang belum dimanfaatkan. Dalam industri pengolahan karet, proses penggumpalan/koagulasi getah umumnya menggunakan senyawa asam organik seperti asam formiat/asam semut atau asam asetat. Tujuan dari penambahan asam untuk menurunkan pH lateks pada titik isoelektriknya sehingga lateks akan membeku atau berkoagulasi, yaitu pada pH antara 4,5-4,7. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian tentang pemanfaatan asap cair tempurung buah bintaro sebagai alternatif bahan koagulan getah karet dengan harapan pemberian asap cair dapat menurunkan pH getah karet sehingga akan lebih cepat menggumpal. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan, dan Laboratorium Terpadu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. B. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan tempurung buah bintaro dan lateks (getah karet), NaOH 0.02N, BrO3, NaOH 2N, Na2S203 0,1N, H2SO4 0,1N , KI 15%, KIO3, amilum, indikator jingga metil, indikator fenolptalien, dan aquades. Alat yang digunakan ialah Viskometer Brookfield, oven, rotavapor, Gas Chro-matography Mass Spectrometry (GC-MS) Shimadzu QP2010, tanur, perangkat destilasi, buret, statif, hotplate, neraca analitik, gelas piala, Erlenmeyer, gelas ukur,
Karakterisasi dan Pemanfaatan Asap Cair dari Tempurung Buah Bintaro (Carbera manghas Linn.) sebagai Koagulan Getah Karet (Djeni Hendra, et al.)
labu didih, labu takar, cawan porselin, pipet Mohr, pipet volumetrik, pipet tetes, kaca arloji, piknometer, dan pirolisator. C. Prosedur Penelitian 1. Pembuatan asap cair Pembuatan asap cair dilakukan dengan menggunakan kiln drum kapasitas 200 l yang telah dimodifikasi, yang dilengkapi dengan kondensor yang terbuat dari baja tahan karat. Setelah tempurung bintaro ditimbang, kemudian dimasukkan kedalam kiln drum sampai padat lalu ditutup dengan rapat dengan penutup kiln drum.Pembakaran berlangsung selama 7 jam dengan suhu mencapai 400°C. Asap cair yang terbentuk keluar dari kolom pendingin melalui pipa penyalur asap yang terhubung pada drum penampung asap cair. Asap cair keluar melalui keran kemudian ditampung ke dalam jerigen. Kemudian didiamkan pada suhu kamar untuk memisahkan asap cair. Bagian atas larutan asap cair adalah pyroligneous liquor, sedangkan bagian bawah adalah endapan ter. Pada tahap ini asap cair disebut crude smoke liquid. 2. Pemurnian asap cair Pemurnian asap cair dilakukan dengan cara distilasi. Asap cair sebanyak 1.000 ml dimasukkan kedalam labu distilasi, lalu dipanaskan menggunakan hotplate hingga tercapai suhu maksimum 200°C. Suhu tersebut merupakan suhu yang ideal untuk mendapatkan distilat yang baik dari asap cair. 3. Analisis kualitas Analisis kualitas asap cair antara lain kadar air, viskositas, berat jenis, pH, asiditas,phenol total, dan analisis komponen kimia asap cair dilakukan di laboratorium Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan dan laboratorium terpadu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Analisis komponen kimia asap cair dilakukan dengan menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrosmetry (GC-MS).
4. Aplikasi asap cair Sebanyak 500 ml getah karet murni dimasukkan ke dalam 4 gelas piala, kemudian pada masing-masing gelas piala ditambahkan crude asap cair dan asap cair destilat dengan konsentrasi 5%,10%,15%, dan 20%. Setelah itu diamati selama beberapa menit. Hal yang sama dilakukan untuk asap cair tempurung kelapa (5%). 5. Analisis data Data yang diperoleh kemudian, ditabulasi, dianalisa secara deskriptif dan dibandingkan dengan asap cair dari tempurung kelapa dengan konsentrasi 5%. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen dan Karakteristik Pembuatan asap cair pada penelitian ini menggunakan tempurung buah bintaro sisa pembuatan biodiesel sebanyak 30.2 kg dengan kadar air 17.02 %. Setelah mengalami proses pirolisis pada suhu 400°C selama7 jam menghasilkan asap cair sebanyak 24.5 l. Sehingga rendemen asap cair yang diperoleh sebesar 79,08%. Rendemen asap cair ini lebih besar dari asap cair yang dihasilkan dari tempurung nyamplung (Wibowo, 2012) yaitu sebesar 19,848,8% dan lebih besar dari asap cair bahan baku limbah sebetan kayu sengon dengan kulit sebesar 7,35% oleh Komarayati, 2011. Perbedaan rendemen asap cair ini disebabkan oleh jenis kayu/bahan baku yang digunakan terutama disebabkan oleh kadar lignin dan selulosa bahan. Bahan berselulosa yang mempunyai kadar lignin yang tinggi umumnya menghasilkan asap cair yang lebih banyak. Untuk mengetahui kualitas asap cair sebagai koagulan getah karet,dilakukan beberapa pengujian antara lain pengujian fisik dan kimia asap cair, seperti warna, bau, transparansi, pH, viskositas, kadar asiditas, kadar fenol, densitas dan analisis senyawa dengan menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS). Hasil pengujian sifat fisik dan kimia dapat dilihat pada Tabel 1.
29
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 27-35
Tabel 1. Sifat fisik dan kimia asap cair Table 1. Physical and chemical properties of smokeliquid Sifat fisik dan kimia (Physical and chemical properties) Sifat fisis (Physical properties)
Sifat kimia (Chemical properties)
Asap cair dari TBB (Crude liquid smoke of BFS)
Distilat asap cair dari TBB (Distillate liquid smoke of BFS)
Asap cair dari TK (Liquid smoke of ES)
Mutu cuka kayu Jepang*) (Quality of Japan wood vinegar)*)
Bau (Odor)
Menyengat (Strong odor)
Menyengat
Menyengat
-
Warna (Color)
Kuning kecoklatan ((Brownish yellow)
Kuning bening (Yellow clear)
Coklat kehitaman (Blackish brown)
Transparasi (Transparancy)
Tidak transparan (Not transparent)
Transparan (Transparent)
Tidak transparan (Not transparent)
Viskositas (Cp) (Viscosity)
8.3
1.1
8.3
Kuning coklat kemerahan (Yellow-reddish brown) Tidak keruh, tidak ada endapan (No cloud, no suspended particle) -
pH(pH) Bobot jenis(gram/ml) (Specific gravity)
4 1.039
3 1.018
2.75 1.113
1,5-3,70 > 1,005
Kadar fenol % (b/b) (Phenol content) Asiditas % (mg/L CH3COOH) (Acidity)
6.01
11.66
1.40
-
80
28
8.390
-
Keterangan (Remarks) : TBB = Tempurung Buah Bintaro (Bintoro fruit shell) TK = Tempurung Kelapa (Coconut shell) ) * = (Yatagai, 2000)
Kualitas asap cair ditentukan oleh sifat fisik dan kimia. Sifat fisik yang diamati adalah bobot jenis, sedangkan sifat kimia yang diamati meliputi pH, kadar fenol, dan asiditas. pH yang sangat diinginkan dari asap cair adalah bersifat asam. Karena dengan pH asam dapat menurunkan pH dari getah karet yang bersifat basa yang menyebabkan terjadinya penggumpalan pada getah karet. Tingkat keasaman (pH) distilat asap cair dari tempurung buah bintaro (TBB) sebesar 3,0 dan asap cair dari tempurung kelapa sebesar 2,75 30
sesuai dengan standar Jepang (Yatagai, 2002) tetapi pH asap cair dari crude smoke liquid sebesar 4,0 belum sesuai dengan mutu cuka kayu Jepang. Bobot jenis baik crude maupun distilat asap cair tempurung buah bintaro dan asap cair dari tempurung kelapa sudah sesuai dengan standar Jepang. Bobot jenis menunjukkan banyaknya komponen yang ada di dalam asap cair yang mempengaruhi berat asap cair. Kadar fenol distilat asap cair dari tempurung buah bintaro paling tinggi diantara yang lain yaitu sebesar 11,66.
Karakterisasi dan Pemanfaatan Asap Cair dari Tempurung Buah Bintaro (Carbera manghas Linn.) sebagai Koagulan Getah Karet (Djeni Hendra, et al.)
Kadar fenol dan asiditas menentukan kualitas dari asap cair. Kadar fenol dan asiditas asap cair yang tinggi, merupakan salah satu parameter mutu dalam proses penggumpalan latex. Kadar fenol yang rendah menunjukkan senyawa asam organik yang terkandung dalam asap cair juga rendah atau nilai pH juga rendah, sehingga tidak dapat menggumpalkan lateks dengan cepat. Senyawa fenol menyebabkan aroma/bau dan warna pada asap cair, selain itu bersifat antibakteri dan antioksidan (Maga, 1987). Kadar fenol dalam asap cair dipengaruhi oleh kandungan lignin dan bahan yang digunakan. Fenol pada dasarnya adalah suatu pecahan lignin yang dihasilkan pada proses pirolisis dengan suhu 300-5000C (Djatmiko et al, 1985). Kadar asam asap cair dari tempurung kelapa paling tinggi diantara yang lain yaitu sebesar 8.390. Senyawa asam yang terdapat pada asap cair merupakan asam organik yang terbentuk akibat proses pirolisis komponen kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin.
B. Analisis Komponen Asap Cair Hasil analisis sekaligus komponen kimia bertujuan untuk mengetahui kualitas asap cair yang dihasilkan untuk memastikan bahwa pada tempurung buah bintaro terdapat asam organik yang sangat berpengaruh terhadap penentuan kualitas asap cair. Hasil analisis ini menghasilkan 6 komponen kimia utama yang terdapat pada asap cair tempurung buah bintaro (Tabel 2). Pada Tabel 2 diketahui bahwa komponen yang mendominasi distilat asap cair acetic acid. Kadar acetic acid tertinggi terdapat pada distilat asap cair tempurung buah bintaro sebesar 46,51%. Kadar acetic acid yang tinggikan berdampak baik terhadap uji coba yang dilakukan yaitu sebagai koagulan karet. Tabel 2. menunjukan 6 komponen utama yang terdapat dalam asap cair buah bintaro mengandung fenol. Kandungan fenol ini tidak ditemukan pada distilat asap cair tempurung buah bintaro dan asap cair tempurung kelapa. Hal tersebut menunjukkan asap cair dari tempurung bintaro lebih baik dari pada asap cair dari tempurung kelapa.
Tabel 2. Komponen kimia asap cair tempurung buah bintaro dan tempurung kelapa Table 2. Chemical components of coconut shell and bintoro shell liquid smoke Sampel (Sample) Asap cair tempurung buah bintaro (Smoke liquid of bintaro shell) Distilat asap cair tempurung buah bintaro (Smoke destillationliquid of bintaro shell) Asap cair tempurung kelapa (Smoke liquid of coconut shell)
Persentase (%) (Percentage) 18,76 12,28 8,47 8,10 6,36 5,56 46,51 27,62 7,54 3,25 2,77 2,08 69,01 8,12 7,90 5,35 4,89 4,73
Komponen kimia (Chemical components) Acetic Acid Propanedioic acid Phenol,2-methoxy 2,6-dimethoxyphenol Phenol Cyclopropyl carbinol Acetic acid Hexanoic acid, 5-oxo- , methylester Guaiacol Butyrolactone 2-Methoxy-4-methylphenol 3-Methylpyridine 2,6,10,14,18,22-Tetracosahexane 2,6,10,15,19,23-Hexamethyl Acetic acid 2-Vinylfuran Trans-.Beta.-Ionon-5,6-epoxide Cyclobuta(1,2:3,4)dicyclooctene,hexadecahydro-6a alpha., 6b alpha., 12a alpha., 12b alpha (+,-)-3-ethylnyl-1,2,3,4,4a.beta.,12. Beta. hexahydro-6,11. 31
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 27-35
C. Aplikasi Asap Cair sebagai Koagulan Setelah dilakukan pengujian sifat fisik dan analisis komponen asap cair dari tempurung buah bintaro, dilakukan uji coba asap cair untuk mengetahui kualitas asap cair tempurung buah
bintaro sebagai koagulan getah karet. Aplikasi asap cair tempurung buah bintaro sebagai koagulan getah karet yang dibandingkan dengan tempurung kelapa dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengamatan asap cair dan distilat asap cair tempurung buah bintaro sebagai koagulan getah karet yang dibandingkan dengan asap cair tempurung kelapa Table 3. Result of observation on crude smoke liquid and smoke distillate liquid from bintaro shell as a natural rubber coagulant compared with smoke liquid from coconut shell Asap cair (Crudeliquid smoke)
Pengamatan(Observations) Sampel (Sample)
Asap cair (Crude smoke liquid)
Konsentrasi (Concentration) (%)
5
Distilat asap cair (Smoke distillat liquid) Asap cair ( Crude smoke liquid) Tempurung buah bintaro (Bintaro fruit shell)
10
Distilat asap cair (Smoke distillate liquid)
Asap cair (Crude smoke liquid)
Waktu (Duration) (menit/minute)
Koagulasi (Coagulation)
Tekstur (Texture)
8 14 16
+ ++ +++
Tidak begitu keras dan berwarna coklat (Not so strong in odor with brown color)
7 9 17
+ ++ +++
Tidak begitu keras dan berwarna coklat (Not so strong in odor with brown color)
4 8 10
+ ++ +++
Tidak begitu keras dan berwarna coklat (Not so hard in texture with brown color)
7 10 13
+ ++ +++
Keras, bau menyengat dan berwarna coklat (Strong, very strong in odor, strong smell and and brown color)
1
+ ++ +++
Keras, bau menyengat dan dan berwarna coklat (Strong, very strong in odor, strong smell and brown color)
2 5
Distilat asap cair (Smoke distillate liquid)
15
3 6 9
+ ++ +++
Keras, bau menyengat dan berwarna coklat Strong, very strong in odor, strong smell and brown color)
Asap cair ( Crude smoke liquid)
20
1 3
+ +++
Keras, bau menyengat dan berwarna coklat Strong, very strong in odor, strong smell and brown color)
Keterangan (Remarks) : + sedikit membeku (slightly coagulated); ++ membeku (coagulated); +++ sangat membeku (srongly coagulated)
32
Karakterisasi dan Pemanfaatan Asap Cair dari Tempurung Buah Bintaro (Carbera manghas Linn.) sebagai Koagulan Getah Karet (Djeni Hendra, et al.)
Pada uji coba asap cair sebagai koagulan getah karet, penggumpalan atau koagulasi merupakan suatu peristiwa perubahan dimana fasa sol ke fasa gel dengan bantuan bahan penggumpal. Penggumpalan getah karet disebabkan oleh penurunan pH. Asap cair dapat menggumpalkan lateks karena mengandung asam-asam organik seperti asam asetat. Adanya asam asetat dalam asap cair dapat menurunkan pH lateks yang memiliki pH 7.0-7.2 sampai titik isolistrik (pH 4.7). Pada titik ini molekul karet kehilangan muatan atau netral sehingga tidak terdapat lagi gaya tolak karet yang selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya peng gumpalan. Konsentrasi sangat berpengaruh terhadap penggumpalan. Konsentrasi yang digunakan sebesar 5%, 10 %, 15 %, dan 20 %. Masing-masing konsentrasi menghasilkan data pangamatan yang berbeda, dengan menggunakan asap cair dari tempurung kelapa sebagai pembanding. Menurut pengamatan, waktu yang paling cepat dan baik dihasilkan oleh crude asap cair dan distilat asap cair dari tempurung bintaro dengan konsentrasi 20%. Namun tidak sebaik waktu dari asap cair dari tempurung kelapa. Asap cair tempurung kelapa lebih cepat menggumpalkan getah karet dengan konsentrasi 5%. Asap cair tempurung kelapa lebih unggul untuk waktu pembekuan, namun tidak lebih baik bila dilihat dari hasil karet dikarenakan asap cair tempurung kelapa memiliki warna yang cenderung hitam dan membuat tekstur getah karet kurang baik. Hasil uji coba asap cair tempurung kelapa pada getah karet menyebabkan banyak terdapat bintik-bintik hitam. IV. KESIMPULAN Rendemen asap cair yang dihasilkan dengan proses distilasi adalah 79.08 % (b/b). Karakterisasi dengan menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS) menunjukkan bahwa komponen kimia yang terdapat pada asap cair tempurung buah bintaro adalah senyawa-senyawa dari fenol, karbonil, hydrocarbon, dan keton. Asap cair tempurung buah bintaro dapat digunakan sebagai koagulan getah karet yang lebih
baik dari asap cair tempurung kelapa tetapi lebih lambat dalam proses penggumpalannya. DAFTAR PUSTAKA Darmadji, P. (2002). Optimasi pemurnian asap cair dengan metoda redistilasi. Teknologi dan Industri Pangan, Vol. XII(3). Haji, G.A., Mas'ud, A. Z., Lay, W.B., Sutjahjo H Surjono, & Pari, G. (2007). Karakterisasi asap cair hasil pirolisis sampah organik padat dengan reaktor pirolisis. Jurnal Teknologi Industri, 16(3), 111-118. Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III (cetakan ke-1). (B. P. Kehutanan., Penerj.) Ja k a r ta . : Ba d a n Pen e l i t i a n d a n Pengembangan Kehutanan. Komarayati, S., Gusmailina &G. Pari,. (2011). Produksi cuka kayu hasil modifikasi tungku arang terpadu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29(3), 234-247. Maga, J. A. (1987). The flavor chemistry of wood smoke. Dalam Food Rev. Int. 3 (hal. 139183). Miler, K. B. M., & Z. E. Sikorski. (1990). Smoking. Seafood: Resources, Nutritional Composition, and Preservation. Boca Raton, Florida: CRC Press. Simon, R. B. Calle. S. Palme. D. Meier and E. Anklam. (2005). Composition and analysis of liquid smoke flavouring primary products. J. Sep. Sci. , 28, 871-882. Wibowo, S. (2012). Karakteristik asap cair tempurung nyamplung. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30(3), 218-226. Yatagai, M. (2000). Utilization of charcoal and wood vinegar in Japan. Tokyo: Graduate School of Agricultural and Life Sciences. The University of Tokyo. Yulistiani, R. (1997). Kemampuan penghambatan asap cair terhadap pertumbuhan bakteri patogen dan perusak pada lidah sapi. Prosiding Seminar Nasional. Yogyakarta: Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Gajah Mada.
33
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 27-35
Lampiran 1. Kromatogram destilat asap cair dan crude asap cair
34
Karakterisasi dan Pemanfaatan Asap Cair dari Tempurung Buah Bintaro (Carbera manghas Linn.) sebagai Koagulan Getah Karet (Djeni Hendra, et al.)
Lampiran 2. Kondisi GC/MS Metode yang digunakan yaitu menggunakan alat Gas Cromaography Mass Spectrometry (GC/MS) QP-2010. Kondisi GC : Ionisation mode Electron energy Kolom Suhu Oven Suhu Injeksi Suhu Sumber Ion Interface (DET) Gas Pembawa Model Kolom Flow coloumn Volume injeksi
: : : : : : : : : : :
Electron Impact 70eV DB-5MS, 0.25mm ID, 30m, 0.25 MICRONS FILM THICKNESS 50 °C 250 °C 230 °C 230 °C Helium Constant flow 0.6 µL/minutes 1 µL
Kondisi MS : Mass Range Scan Interval Solvent Cut Start Time End Time Threshold
: : : : : :
60-310 0.5 sec 5min 6min 11min 0
35
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 37-45 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
PEMBUATAN BIODIESEL DARI BIJI KEMIRI SUNAN (Making Biodiesel of Aleurites trisperma Blanco Seed) Djeni Hendra 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610 Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8633413 Email:
[email protected] Diterima 30 Mei 2013, Disetujui 28 Januari 2014
ABSTRACT Due to limitation of resources the availability offossil fuel is become decreasing, an alternative fuel is needed such as Aleurites trisperma Blancoseed before of big potential as source for plantation, the composition of seed kernel hasa high level of oil (43.3%). Biodiesel production process was done in the laboratory, its objective to establish the optimum condition. The addition of catalyst H3PO4 (degumming process) of 0,5%, 0,75%, 1%. The esterification treatment use a methanol catalyst mixture of 10%, 15%, 20% with HCl and H2SO4 of 0,5%, 0,75% and 1%. The transestrification treatment use a methanol catalyst mixture of 10%, 15% and 20% with KOH and NaOH of 0,2%, 0,4%, 0,6%. Optimum results will be apllied to biodiesel production in large scale. In making Aleurites trisperma Blanco biodiesel which meet the Indonesian National Standard quality (SNI), chemical used were mixture of methanol 20% (v/v) and catalys NaOH 0.6% (w/v), where resulting in biodiesel with 3 moisture content 0.05 %, acid number 0.76 mg KOH/g, free fatty acid content 0.38 %, density 865 kg/m , kinetic 0 2 viscocity at 40 C of 5.41 mm /s (cSt), base number 101.49 mg KOH/g, alcyl ester content 104.55% massa, iod number 109.73 g I2/100 g, cetana number 59,08, and yield of biodiesel oil 79.92 %. Keywords: Aleurites trisperma Blanco seed, oil, biodiesel, diesel fuel ABSTRAK Ketersediaan bahan bakar minyak semakin menipis, oleh karena itu dibutuhkan bahan bakar alternatif. Biji kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) merupakan salah satu bahan yang memiliki potensi cukup besar untuk dijadikan biodiesel, karena inti bijinya memiliki kandungan minyak mentah yang cukup tinggi yaitu sebesar 43,3%. Proses pembuatan biodiesel dilakukan secara laboratorium dengan tujuan untuk menetapkan kondisi optimum. Penambahan katalis H3PO4, (proses degumming) sebesar 0,5%, 0,75%, 1%, perlakuan esterifikasi menggunakan campuran katalis metanol sebesar 10%, 15%, 20% dengan HCl, dan H2SO4 sebesar 0,5%, 0,75% dan 1%. Pada perlakuan transesterifikasi digunakan campuran katalis metanol sebesar 10%, 15%, 20% dengan KOH dan NaOH sebesar 0,2%, 0,4%, 0,6%. Hasil yang optimum akan diterapkan pada pembuatan biodiesel skala besar. Pembuatan biodiesel dari minyak biji kemiri sunan, mutunya sudah sesuai dengan persyaratan ketentuan standar biodiesel (SNI-2006) dengan menggunakan campuran metanol 20% (v/v) dan katalis NaOH 0,6% (b/v), menghasilkan nilai kadar air sebesar 0,05%, bilangan asam 0,76 mg KOH/g, kadar asam lemak bebas 0,38%, densitas 865 kg/m3, viskositas kinematik pada suhu 40oC 5,41 mm2/s (cSt), bilangan penyabunan 101,49 mg KOH/g, kadar alkil ester 104,55% massa, bilangan Iod 109,73 g I2/100 g, angka setana 59,08 dan rendemen minyak biodiesel sebesar 79,92%. Kata kunci : Biji kemiri sunan, minyak, biodiesel, bahan bakar diesel 36
Pembuatan Biodiesel dari Biji Kemiri Sunan (Djeni Hendra)
I. PENDAHULUAN Penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar ternyata selain tidak terbarukan juga memberikan beberapa efek negatif bagi lingkungan seperti dapat memicu terjadinya pemanasan global.Hasil pembakaran yang tidak sempurna dari minyak bumi sangat berbahaya bagi lapisan ozon yang juga dapat memicu terjadinya hujan asam (Reijnders, 2006). Oleh karena itu, diperlukan suatu bahan bakar alternatif yang bersifat baru, terbarukan dan ramah lingkungan. Biodiesel pada umumnya diklasifikasikan sebagai mono-alkil ester dari lemak atau minyak yang mempunyai potensi sangat besar untuk dikembangkan sebagai bahan bakar karena mempunyai banyak keuntungan dari segi lingkungan. Keuntungan penggunaan biodiesel diantaranya adalah dapat diperbahar ui, peng gunaan energi lebih efisien, dapat menggantikan penggunaan bahan bakar diesel dan turunannya dari bahan bakar minyak serta dapat digunakan pada kebanyakan motor diesel dengan tidak perlu modifikasi, dapat mengurangi emisi yang menyebabkan pemanasan global, mengurangi emisi gas beracun dari knalpot, bersifat “biodegradable” dan mudah digunakan (Tyson, 2004). Penelitian pembuatan biodiesel yang telah dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan diantaranya adalah menggunakan bahan baku dari biji jarak pagar, nyamplung, kepuh, kesambi dan bintaro, dari semua bahan baku minyak nabati ini sifat fisiko-kimianya berbedabeda dan jug a proses peng olahannya. Sehubungan dengan itu, penelitian tentang pemanfaatan jenis-jenis pohon dari hutan tanaman yang bijinya menghasilkan minyak sebagai bahan baku pembuatan biodiesel perlu terus dilakukan dan ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat biodiesel yang di buat dari minyak biji kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco). Tanaman kemiri sunan tumbuh pada daerah sebaran luas dari elevasi 0 - 1.200 m dpl, dan tumbuh optimal pada ketinggian sekitar 0 - 750 m dpl, dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, dan tipe iklim. Biji kemiri sunan terdiri dari cangkang (35 - 45%) dan daging buah (55 - 65%), danging buah mengandung 55% minyak yang berwarna
kuning agak kegelapan. Kandungan asam lemak minyak kemiri sunan terdiri atas asam stearat, oleat, linoleat, dan asam α-eleostearat (BPPP2009). Minyak ini mengandung racun sehingga tidak dapat dikonsumsi karena mengandung asam α-eleostearat dalam minyak merupakan senyawa yang mengakibatkan minyak kemiri sunan beracun (Vossen dan Umali, 2002). II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah biji kemiri sunan asal Jawa Barat, akuades, KOH, metanol pa, etanol pa, asam asetat glasial, asam sulfat, asam klorida, indikator fenolftalein, indikator universal, asam oksalat, kloroform pa, kalium iodida kristal, CCl4 pa, natrium tiosulfat kristal, larutan kanji 0,5%, larutan wijs, KIO3 kering dan batu didih. Alat yang digunakan adalah: mesin pengering, mesin ekstraksi minyak sistim kontinyu, mesin filter bertekanan, alat degumming multi fungsi, neraca analitik, gelas piala, dan peralatan gelas kaca lainnya, hot plate, magnetik stirer, cawan porselen, viskometer Brookfield, aluminium foil, genset, stop watch (timer), dan alat uji asap. B. Metodologi penelitian 1. Penelitian pendahuluan Proses pembuatan biodiesel dilakukan secara laboratorium dengan tujuan untuk menetapkan kondisi optimum. Penambahan katalis H3PO4, (proses degumming) sebesar 0,5%, 0,75%, 1%, perlakuan esterifikasi menggunakan campuran katalis metanol sebesar 10%, 15%, 20% dengan HCl, dan H2SO4 sebesar 0,5%, 0,75% dan 1%. Pada perlakuan transesterifikasi digunakan campuran katalis metanol sebesar 10%, 15%, 20% dengan KOH dan NaOH sebesar 0,2%, 0,4%, 0,6%. Hasil yang optimum akan diterapkan pada pembuatan biodiesel skala besar. 2. Penelitian utama Dalam penelitian utama dilakukan prosedur baku seperti yang dilakukan pada minyak nabati lain yaitu menggunakan perlakuan degumming, esterifikasi-transesterifikasi (estrans) seperti di bawah ini. Pemakaian konsentrasi bahan kimia 37
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 36-44
yang akan digunakan pada proses degumming, esterifikasi dan transesterifikasi, ditentukan dari hasil penelitian pendahuluan. Minyak mentah (crude oil) yang sudah disaring dengan mesin filter bertekanan, kemudian di degumming menggunakan mesin degumming multi fungsi (maksimum 100 liter/batch) dengan penambahan H3PO4 teknis sebanyak 1% (v/v) sambil diaduk selama 60 menit pada suhu 50-60oC. Diendapkan minimal selama 3 jam, dipisahkan minyaknya dan dianalisis bilangan asamnya, jika bilangan asamnya sudah mencapai kurang dari 2 mg KOH/g dapat dilanjutkan langsung ke proses transesterifikasi, akan tetapi jika bilangan asam minyak diatas 2 mg KOH/g harus melalui proses esterifikasi. Proses esterifikasi dilakukan jika bilangan asam dalam minyak di atas 2 mg KOH/g. Minyak yang sudah bebas gum minimal sebanyak 30 liter dimasukkan ke dalam reaktor degumming multi fungsi, selanjutnya dipanaskan sambil diaduk pada suhu 60 °C, kemudian sejumlah campuran katalis metnol 20% (v/v) dan H2SO4 teknis 1% (v/v) ditambahkan ke dalam minyak, proses pemanasan dijaga pada suhu 50-60°C sambil diaduk selama 1 jam, dikeluarkan dari reaktor dan didiamkan dalam tangki pemisah minimum selama 3 jam, selanjutnya dipisahkan antara minyak dan katalis metanol asam sisa reaksi. Dalam penelitian ini proses transesterifikasi langsung dilakukan jika bilangan asam dalam minyak di bawah 2 mg KOH/g. Minyak yang sudah dipisahkan dari katalis metanol asam minimal sebanyak 30 liter dimasukkan ke dalam reaktor degumming multi fungsi, kemudian dipanaskan sambil diaduk hingga suhunya mencapai 60°C setelah itu sejumlah campuran metanol 10% (v/v) dan katalis NaOH 0,6% (b/v) ditambahkan ke dalam minyak, proses pemanasan dijaga pada suhu 50 - 60°C sambil diaduk selama 1 jam, dikeluarkan dari reaktor dan didiamkan dalam tangki pemisah minimum selama 3 jam, selanjutnya dipisahkan antara minyak dan katalis metanol basa sisa reaksi. Proses pencucian minyak biodiesel dari sisa metanol dan air yaitu dengan cara minyak dimasukan kembali ke dalam reaktor pencuci, dipanaskan pada suhu ± 35°C kemudian
38
dimasukan air hangat sebanyak 30% (v/v) sambil diaduk dengan putaran rendah selama 2-5 menit di ulang tiga kali sampai air cucian pH netral (pH = 7). Proses pemurnian minyak biodiesel yaitu dengan cara minyak dimasukan kembali ke dalam reaktor degumming kemudian dipanaskan pada suhu 105°C, sampai warna minyak kuning muda dan jernih. 3. Pengujian biodiesel Pengujian sifat fisiko kimia minyak biodiesel dari bahan baku minyak biji kemiri sunan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu : kadar air, bilangan asam, kadar asam lemak bebas, densitas, viskositas kinematik, bilangan penyabunan, kadar alkil ester, bilangan iod, bilangan setana (BSN, 2006) dan uji emisi. C. Pengolahan Data Data yang dihasilkan pada penelitian ini berupa data hasil pengujian fisiko-kimia biodiesel, data pengujian kinerja biodiesel, data pengujian aplikasi biodiesel di lapangan pada kendaraan darat bermesin diesel, dan motor diesel. Data hasil penelitian biodiesel dianalisa secara tabulasi dan dibandingkan dengan bahan bakar solar. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pada Tabel 1 dan 2 dapat diketahui bilangan asam, kadar air, densitas, viskositas kinematik, rendemen dan penampakan minyak mentah dari biji kemiri sunan yang digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan biodiesel. Hasil analisis sifat fisiko kimia minyak mentah dari biji kemiri sunan dapat di lihat pada Tabel 1. Hasil ekstraksi biji kemiri sunan menghasilkan minyak mentah berwarna kuning kecoklatan, hal ini menunjukkan bahwa masih banyaknya kandungan gum (getah) atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, dan resin yang terkandung pada biji kemiri sunan, disamping itu sangat dipengaruhi oleh tempat tumbuh, waktu panen, penyimpanan biji, faktor genetik, dan cara ekstraksi minyak (Sudradjat et al., 2007).
Pembuatan Biodiesel dari Biji Kemiri Sunan (Djeni Hendra)
Tabel 1. Sifat fisiko kimia minyak mentahdari biji kemiri sunan Table 1. Physico chemical characteristics of crude oil from Aleurites trisperma seed No.
Parameter (Parameters)
Nilai (Value)
1.
Bilangan asam (Acid number), mg KOH/g
13,26
2.
Kadar asam lemak bebas (Free fatty acid content), %
6,63
3. 4. 5. 7. 8.
Kadar air (Moisture content), % Densitas (Density), kg/m³ Viskositas kinematik (Kinematic viscosity), mm2/s(cSt) Rendemen (Yield), % Penampakan minyak mentah (Crude oil appearance)
9,6 985,49 26,57 43,33 Kuning kecoklatan (Yellowish-brown)
Tabel 2. Rendemen minyak biodiesel dari minyak biji kemiri sunan Table 2. Biodiesel oil yield from Alurites trisperma seed oil Perlakuan (Treatment) NaOH 0,2% ME 10% NaOH 0,4% ME 15% NaOH 0,6% ME 20% KOH 0,2% ME 10% KOH 0,4% ME 15% KOH 0,6% ME 20%
Minyakhasil deguming (Refined oil), ml
Minyak biodiesel (Biodiesel oil), ml
Rendemen (Yield), % v/v
1.000
518
51.8
1.000
796
79.6
1.000
873
87.3
1.000
848
84.8
1.000
792
79.2
1.000
640
64.0
Keterangan (Remarks) : ME = Metanol (Methanol)
Rendemen minyak biodiesel tertinggi terdapat pada perlakuan transesterifikasi yang menggunakan campuran katalis metanol 20% (v/v) dan NaOH 0,6% (b/v) yaitu sebesar 87,3%, sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan transesterifikasi yang menggunakan campuran katalis metanol 10% (v/v) dan NaOH 0,2% (b/v) yaitu sebesar 51,8%. Hal ini dikarenakan reaksi antara minyak dengan campuran metanol basa pada proses transesterifikasi kurang bereaksi sehingga metil ester yang dihasilkan sedikit (Tabel 2). Minyak biodiesel yang dihasilkan dari penelitian pendahuluan menunjukan bahwa nilai
bilangan asam telah memenuhi persyaratan standar biodiesel (SNI-2006), kecuali pada perlakuan penambahan campuran katalis metanol 10% (v/v) dengan NaOH 0,2% (b/v) sebesar 0,89 mg KOH/g dan campuran katalis metanol 10% (v/v) dan KOH 0,2% (b/v) sebesar 0,92 mg KOH/g, (Tabel 3). Menurut Sonntag (1982), proses esterifikasi terjadi bila asam lemak direaksikan dengan gliserol atau alkohol dan membentuk ester serta akan melepaskan molekul air. R1COOH + CH3OH R1 COOCH3 + H2O Asam lemak bebas Metanol Metil ester Air (Free fatty acid )
(Methanol) (Methil ester) (water)
39
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 36-44
Proses esterifikasi menghasilkan produk dengan dua lapisan yang sangat berbeda, sehingga mudah dipisahkan. Lapisan atas adalah campuran gliserol dengan sisa katalis metanol asam,
sedangkan lapisan bagian bawah adalah campuran metil ester dengan pengotor, untuk mendapatkan pemisahan secara sempurna perlu didekantasi (aging) minimal selama 3 jam.
Tabel 3. Sifat fisiko kimia minyak biodiesel dari minyak biji kemiri sunan Table 3. Physico characteristics of biodiesel oil from Aleurites trisperma seed oil Bilangan asam (Acid number) (mg NaOH/g)
Densitas (Density) (g/ml)
Kadar air (Moisture content) (%)
Bilangan iod (Iod number) (g I2/100g)
Viskositas (Kine-matic visco-sity) (cSt)
0.89
0.899
0.25
62.951
12.5
Kadar ester alkil (Alcyl ester content) (mg KOH/g) 120.901
0.78
0.892
0.23
67.447
9.5
121.805
NaOH 0,6% ME 20%
0.74
0.891
0.05
55.545
5,65
113.055
KOH 0,2% ME 10% KOH 0,4% ME 15%
0.92
0.894
0.21
62.951
11.0
103.216
0.79
0.894
0.35
41.055
10.2
104.666
KOH 0,6% ME 20%
0.78
0.888
0.02
46.148
9.2
106.221
SNI-2006 biodiesel
Maks 0,80
0,850-0,890
Maks 0,05
Maks 115
2,3-6,0
Min 96,5
Perlakuan (Treatment) NaOH 0,2 ME 10% NaOH 0,4% ME 15%
Keterangan (Remarks): ME = Metanol (Methanol)
1. Kadar air minyak Nilai kadar air minyak biodiesel pada proses transesterifikasi yang menggunakan campuran katalis metanol 20% (v/v) dan NaOH 0,6% (b/v) sebesar 0,05% sedangkan yang menggunakan campuran katalis metanol 20% (v/v) dan KOH 0,6% (b/v) sebesar 0,02%, sudah memenuhi persyaratan standar biodiesel (SNI-2006). Kandungan air tinggi dalam minyak nabati akan menyebabkan terjadinya hidrolisis dan akan menaikkan kadar asam lemak bebas dalam minyak nabati. Fukuda et al. (2001) menyatakan bahwa keberadaan air yang berlebihan dapat menyebabkan sebagian reaksi berubah menjadi reaksi saponifikasi antara asam lemak bebas hasil hidrolisis minyak dengan katalis metanol basa yang akan menghasilkan sabun. Sabun akan mengurangi efisiensi katalis metanol basa, sehingga akan meningkatkan viskositas, terbentuk gel, dan menyulitkan pemisahan gliserol dengan metil ester. 40
2. Bilangan iod Bilangan iod minyak biodiesel berkisar antara 41,055-67,447 g I2/100 g, nilai tersebut masih berada pada kisaran yang disyaratkan standar biodiesel (SNI-2006), yaitu maksimum 115 g I2/100g (Tabel 3). Mesin diesel dengan bahan bakar minyak biodiesel yang memiliki bilangan Iod lebih besar dari 115 g I2/100g, maka akan terbentuk deposit di lubang saluran injeksi, cincin piston, dan kanal cincin piston. Keadaan ini disebabkan lemak ikatan rangkap mengalami ketidakstabilan,akibat suhu panas sehingga terjadi reaksi polimerisasidan terakumulasi dalam bentuk karbon atau pembentukan deposit (Pasae et al., 2010). Apabila hasil ini dibandingkan dengan bilangan Iod minyak biodisel dari bahan baku biji kepuh yaitu sebesar 91,20 g I2/100g masih jauh lebih baik. 3. Densitas Densitas minyak biodiesel kemiri sunan berkisar atara 0,888 - 0,899 g/ml (Tabel 3), nilai densitas tertinggi terdapat pada perlakuan
Pembuatan Biodiesel dari Biji Kemiri Sunan (Djeni Hendra)
transesterifikasi dengan campuran katalis metanol 10% (v/v) dan NaOH 0,2 % (b/v), yaitu sebesar 0,899 g/ml, sedangkan densitas terendah dan memenuhi standar SNI terdapat pada perlakuan transesterifikasi dengan campuran katalis metanol 20% (v/v) dan KOH 0,6% (b/v) yaitu sebesar 0,888 g/ml. Minyak biodiesel dengan nilai densitas melebihi ketentuan persyaratan standar biodiesel (SNI-2006) yaitu berkisar antara 0,850 0,890 g/ml, akan meningkatkan keausan mesin, tingginya nlai emisi, dan merusak komponen mesin. 4. Viskositas Viskositas minyak biodiesel (Tabel 3), yang dihasilkan dari berbagai perlakuan pada proses pembuatan biodiesel tidak memenuhi persyaratan standar biodiesel (SNI-2006), kecuali pada perlakuan transesterifikasi menggunakan campuran katalis metanol 20% (v/v) dan NaOH 0,6% (b/v) sebesar 5,65 mm2/s (cSt). Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya oleh kandungan trigliserida yang tidak bereaksi dengan campuran katalis methanol basa, komposisi asam lemak penyusun metil ester, serta senyawa antara seperti monogliserida dan digliserida yang mempunyai polaritas dan bobot molekul yang cukup tinggi. Selain itu, kontaminasi gliserin juga mempengaruhi nilai viskositas biodiesel (Bajpai dan Tyagi. 2006).
5. Bilangan ester Bilangan ester terbanyak dimiliki oleh minyak biodiesel pada perlakuan transesterifikasi yang menggunakan campuran katalis metanol 15% (v/v) dan NaOH 0,4% (b/v) sebesar 121,805 mg KOH/g. Bilangan ester dihitung sebagai selisih antara bilangan asam dan bilangan penyabunan. Meskipun tidak menunjukkan jumlah senyawa ester sebenarnya, tetapi secara teoritis bilangan ini dapat memperkirakan jumlah asam organik yang sebenarnya sebagai ester. Hasil penelitian menunjukan bahwa biodiesel yang dihasilkan memiliki jumlah asam organik yang tinggi (Tabel 3). Nilai tersebut masih di atas nilai standar biodiesel (SNI-2006) yaitu minimum sebesar 96,5 mg KOH/g. B. Penelitian Utama Berdasarkan sifat fisiko kimia pada penelitian pendahuluan, hasil terbaik didapat pada perlakuan degumming yang menggunakan katalis H3PO4 1% (v/v), esterifikasi menggunakan campuran katalis metanol 10% (v/v) dan H2SO4 0,5% (v/v) dan transesterifikasi menggunakan campuran katalis metanol 20% (v/v) dan NaOH 0,6% (b/v). Perlakuan pada penelitian pendahuluan ini akan dijadikan acuan pada pembuatan minyak biodiesel pada skala besar (penelitian utama).
Tabel 4. Sifat fisiko kimia minyak biodiesel dari minyak biji kemiri sunan skala besar Table 4. Physico-chemical characteristic of biodiesel oil from Aleiurites trisperma Seedoilat high intake scale No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Parameter (Parameters) Kadar air (Moisture content), % Bilangan asam (Acid value), mg KOH/g Kadar asam lemak bebas (Free fatty acid number), % Densitas (Density), Kg/m³ Viskositas kinematik (Kinematic viscosity), mm²/s (cSt) Bilangan penyabunan (Base number), mg KOH/g Kadar ester alkil (Alkil ester content), % massa Bilangan Iod (Iod number), g I2/100g Bilangan setana (Cetane number) Penampakan minyak biodiesel (Biodiesel oil appearance)
Nilai (Value)*
Standar biodiesel SNI**
0,05 0,76 0,38 865 5,41 101,49 104,55 109,73 59,08 Kuning encer
0,05 0,80 850-890 2,3-6,0 Min.96,5 Mak.115 Min.51 -
Sumber (Source) :* Penelitian (Research) **, BSN. 2006
41
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 36-44
Minyak biodiesel umumnya dipengaruhi oleh nilai bilangan asam, densitas, viskositas, bilangan setana dan nilai kadar air (Tabel 4). 1. Bilangan asam Bilangan asam adalah jumlah milligram basa yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari 1 gram minyak atau lemak, sedangkan asam lemak bebas (FFA) merupakan persentasi asam lemak bebas yang terdapat pada minyak. Bilangan asam pada minyak biodiesel dari minyak biji kemiri sunan sebesar 0,76 mg KOH/g dengan kadar asam lemak bebas (FFA) 0,38%. Nilai bilangan asam hasil produksi ini sudah memenuhi persyaratan standar biodiesel (SNI2006) yaitu maksimum sebesar 0,8 mg KOH/g. Semakin rendah bilangan asam pada minyak biodiesel, maka semakin baik mutunya dan aman dalam penggunaannya, akan tetapi tingginya nilai bilangan asampada minyak biodiesel dapat menyebabkan korosi dan kerusakan pada mesin diesel. Apabila hasil ini dibandingkan dengan minyak biodisel dari biji kepuh tidak jauh berbeda yaitu sebesar 0,66 mg KOH/g dengan kadar asam lemak bebas (FFA) 0,33%. 2. Densitas Densitas menunjukkan nisbah berat persatuan volume dari suatu cairan pada suhu tertentu. Nilai densitas minyak biodiesel hasil produksi sebesar 865 kg/m3, jika dibandingkan dengan persyaratan standar biodiesel (SNI-2006), ternyata minyak biodiesel yang diproduksi telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan (Tabal 4). Minyak biodiesel dengan nilai densitas melebihi ketentuan persyaratan standar biodiesel akan meningkatkan keausan mesin, tingginya nilai emisi, dan merusak komponen mesin, selain itu nilai densitas ini dapat dipergunakan untuk menentukan bilangan setana. semakin rendah densitas maka bilangan setana akan semakin tinggi (Srivastava dan Prasad 2000). 3. Viskositas Viskositas minyak biodiesel hasil produksi sebesar 5,41 mm2/s (cSt), nilai viskositas ini sudah memenuhi persyaratan standar biodiesel yaitu berkisar antara 2,3-6,0 mm2/s (cSt). Tingginya viskositas minyak biodiesel dikarena adanya ikatan hidrogen intermolekular dalam asam luar gugus karboksil. Nilai viskositas sebanding dengan densitas, semakin tinggi viskositas maka densitas
42
akan semakin tinggi (Demiebas 2008).Viskositas merupakan sifat biodiesel yang paling penting karena viskositas memperngaruhi kerja sistem pembakaran bertekanan, semakin rendah viskositas biodiesel tersebut semakin mudah dipompa dan menghasilkan pola semprotan yang lebih baik. Viskositas biodiesel dipengaruhi oleh kandungantrigeliseridayangtidak bereaksi dengan metanol, komposisi asam lemak penyusun metil ester, serta senyawa antara monogliserida dan digliserida yang mempunyai polaritas dan bobot molekul yang cukup tinggi. 4. Bilangan setana Bilangan setana minyak biodiesel hasil produksi sebesar 59,08 nilai ini telah memenuhi persyaratan standar biodiesel yaitu minimum 51. Nilai bilangan setana merupakan ukuran kualitas pembakaran atau waktu tunggu pembakaran, hal ini berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan bahan bakar cair untuk terbakar setelah dipompa ke mesin pembakaran, semakin tinggi bilangan setana, semakin cepat pula waktu tunggu pembakaran, hal ini mengakibatkan pembakaran menjadi lebih efektif dan efisien (Demiebas 2008). 5. Kadar air Nilai kadar air minyak biodiesel yang disyaratkan standar biodiesel (0,05%), nilai ini sesuai dengan kadar air hasil produksi minyak biodiesel yaitu sebesar 0,05%. Kandungan air yang ting gi dalam minyak nabati akan menyebabkan terjadinya hidrolisis yang akan menaikkan kadar asam lemak bebas dalam minyak nabati. Fukuda et al. (2001) melaporkan bahwa keberadaan air yang berlebihan dapat menyebabkan sebagian reaksi berubah menjadi reaksi saponifikasi antara asam lemak bebas hasil hidrolisis minyak dengan katalis basa yang akan menghasilkan sabun. Sabun akan mengurangi efisiensi katalis sehingga meningkatkan viskositas, terbentuk gel, dan menyulitkan pemisahan gliserol dengan metil ester. 6. Rendemen Rendemen minyak biodiesel hasil produksi berkisar antara 79,42-80,42 %, tinggi rendahnya rendemen biodiesel yang dihasilkan dipengaruhi oleh bahan baku pada pembuatan minyak mentah yaitu tempat tumbuh, ketepatan waktu panen, penyimpanan biji, faktor genetik, dan kadar air
Pembuatan Biodiesel dari Biji Kemiri Sunan (Djeni Hendra)
kernel, sehingga minyak yang dihasilkan mempunyai bilangan asam tinggi. Disamping itu juga sangat dipengaruhi oleh reaksi antara minyak dengan campuran katalis metanol asam dan basa pada perlakuan esterifikasi dan transesterifikasi kurang bereaksi sehingga metil ester yang dihasilkan sedikit. Rendemen biodiesel dari
minyak biji kemiri sunan dapat dilihat pada Tabel 5. Minyak biodiesel hasil produksi jika dibandingkan dengan viskositas, densitas dan bilangan setana minyak solar mutunya masih lebih baik, kecuali nilai densitas masih diatas minyak solar yaitu sebesar 865 kg/m3 (Tabel 6).
Tabel 5. Rendemen biodiesel dari minyak biji kemiri sunan Table 5. Biodiesel yield from Aleurites trisperma seed oil No.
Parameter (Parameters)
Minyak hasil degumming (Refined oil), ml
Minyak biodiesel (Biodiesel oil), ml
Rendemen (Yield),%
1.
Campuran katalis metanol 20% dan NaOH 0,6% (b/v)
(v/v)
60.000
48.250
80,42
2.
Campuran katalis metanol 20% dan NaOH 0,6% (b/v)
(v/v)
60.000
47,950
79,92
3.
Campuran katalis metanol 20% dan NaOH 0,6% (b/v)
(v/v)
60.000
47,650
79,42
Tabel 6. Perbandingan mutu biodiesel kemiri sunan terhadap minyak nabati lainnya serta minyak solar. Table 6. Comparison of biodiesel quality between aleurites trisperma with another vegetable oil and solar oil
No.
Metil ester (Methil ester)
1.
Kedelai (Soybean)*
2.
Sawit (Palm)*
3.
Biji bunga matahari (sun flower seed)*
4.
Kepuh(Sterculia f)**
5.
Minyak Solar (Solar oil)**
6.
Kesambi (Schleichera oleosa L.)**
7.
Minyak kemiri sunan ( Aleurites trisperma Blanco oil)**
Viskositas Kinematik (Kinematic viscosity), mm2/s (cSt)
Densitas (Density), kg/m3
Bilangan Setana (Cetanenumber)
4,0
880
45,7 – 56
4,3 – 4,5
872 – 877
63,4 – 70
4,2 4,24
882 874
51 – 59,7 64,0
3,5 – 12
830 – 840
51
5,41
865
59,08
12,7-16,4
906-920
-
Sumber (Source):*Fukuda et al. (2001), **Penelitian (Research)
43
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 36-44
7. Aplikasi Aplikasi penggunaan minyak biodiesel kemiri sunan untuk bahan bakar mesin diesel 7 PK tanpa beban dengan tekanan gas sedang, menghabiskan minyak biodiesel sebanyak 1 l selama 3 jam. Minyak biodiesel kemiri sunan lebih irit 1 jam dibandingkan dengan minyak solar dengan mesin diesel yang sama. Aplikasi penggunaan minyak biodiesel pada mobil pick-up mesin diesel 2500 cc tahun 1999, diperoleh konsumsi bahan bakar biodiesel dengan perbandingan 1 : 13,29 artinya untuk 1 liter minyak biodiesel kemiri sunan dapat menempuh jarak sejauh 13,29 k dengan kecepatan antara 40 - 100 km/jam dalam keadaan tanpa beban, dengan kelebihan polusi yang dikeluarkan lebih bersih dan putih warna asapnya dibandingkan dengan asap warna hitam yang dikeluarkan dari gas buang bahan bakar minyak solar.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
IV. KESIMPULAN
Reinjders, L. (2006). Conditions for the sustainability of biomass based fuel use. Energy Policy, 34, 863-876.
Pembuatan biodiesel berbahan baku minyak biji kemiri sunan telah menghasilkan mutu yang seluruh ktiteria kualitasnya sudah sesuai dengan persyaratan standar biodiesel, yaitu kadar air sebesar 0,05%, bilangan asam 0,66 mg KOH/g, kadar asam lemak bebas 0,33%, densitas 874 kg/m3, viskositas kinematik pada suhu 40oC 4,24 mm2/s (cSt), bilangan iodium 91,20 g I2/100 g, bilangan setana 64 dan rendemen minyak biodiesel yang dihasilkan sebesar 79,68%. Aplikasi penggunaan minyak biodiesel kemiri sunan untuk bahan bakar mesin diesel 7 PK tanpa beban dengan tekanan gas sedang, menghabiskan minyak biodiesel sebanyak 1 l selama 3 jam. Aplikasi penggunaan minyak biodiesel pada mobil pick-up mesin diesel 2500 cc tahun 1999, diperoleh konsumsi bahan bakar biodiesel dengan perbandingan 1 : 13,29 artinya untuk 1 l minyak biodiesel kemiri sunan dapat menempuh jarak sejauh 13,29 km dengan kecepatan antara 40 - 100 km/jam dalam keadaan tanpa beban. DAFTAR PUSTAKA BSN. (2006). Biodiesel. SNI 04-7182-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. 44
(2009). Tanaman perkebunan penghasil bahan bakar nabati (BBN). Bogor: IPB Press. Bajpai, D., & Tyagi, V.K. (2006). Biodiesel Source, Production, Composition, Pro-perties and its Benefits. Journal of Oleochemical Science, 10, 487 502. Demiebas, A. (2008). Biodiesel a realistic fuel alternative for diesel fuel. London: SpringerVerlag. Fukuda, H., Kondo, A., & Noda, H. (2001). Biodiesel fuel production by transesterification of oil. Journal of Bioscience and Bioengineering, 92, 405 - 416. Pasae, Y., Jalaluddin, N., Harlim, T., &Firman. (2010). Pembuatan ester metil dan ester isopropil dari minyak kepoh sebagai produk antara aditif biodiesel. Jurnal Industri Hasil Pertanian, 5(2), 98-103.
Sontag, N. (1982). Fat Splitting, Esterifiation and Interesterification. New York: Jhon Wiley & Sons. Srivastava, a. P. (2000). Triglycerides base diesel fuels. Journal of Renewable Sustainability Energy 4, 111 - 133. Sudradjat, R., Widyawati, Y., & Setiawan, D. (2007). Optimasi proses esterifikasi pada pembuatan biodiesel dari biji jarak pagar. Jurnal Penelitian Hasil Hutan., 25(3) , 203-224. Tyson, K.S.(2004). Energy efficiency and renewable energy. U.S. Department of Energy. http://www.osti.gov/bridge, Diakses 24 Mei 2006. Kay, KH.& Yasir, SM. (2012). Biodiesel production from low quality crude jatropha oil using heterogeneous catalyst. APCBEE Procedia, 3, hal. 23-27.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 45-61 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
EFISIENSI PEMBALAKAN DAN KUALITAS LIMBAH PEMBALAKAN DI HUTAN TROPIKA PEGUNUNGAN : STUDI KASUS DI IUPHHK-HA PT RODA MAS TIMBER KALIMANTAN (Logging Efficiency and Quality of Logging Waste in a Tropical Mountainous Forest: Case study in the Licency Natural Forest Concessionary of PT. Roda Mas Timber Kalimantan) Soenarno 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl.Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Tlp./Fax: (0251) 8633378/8633413. Email:
[email protected] Diterima 18 September 2013, Disetujui 21 Januari 2014
ABSTRACT Improvement of forest management and logging techniques result in increasing of logging efficiency and reducing wood waste. The research results showed that the average of the logging efficiency in PT Roda Mas Timber Kalimantan is 91.41% with various for flat, sloping, rather steep, and steep topographies 90.22%, 91.75%, 90.91% and 90.03% 3 3 respectively. The average of logging waste is about 1.395 m /tree in which 0.357 m /tree (25,58%) in posses good 3 3 quality. The average of logging waste is 1.395 m /tree, which consists of 0.357 m /tree (25.58%) of good quality; 0.610 3 3 m /tree (43.77%) with natural defect condition, and about 0.428 m /tree (30.65%) of the poor quality. Keywords: Logging efficiency, logging waste, mountainuous tropical forest., East Kalimantan ABSTRAK Perbaikan pengelolaan hutan dan teknik pembalakan dapat meningkatkan efisiensi pembalakan serta mengurangi limbah pembalakan yang terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata besarnya efisiensi pembalakan di PT. Roda Mas Timber Kalimantan adalah 91,41%; dengan keragaman menurut topografi datar, landai, agak curam, dan curam berturut-turut adalah 90,22%; 91,75%; 90,91% dan 90,03%. Rata-rata volume limbah kayu adalah sebanyak 1,395 m3/pohon terdiri atas limbah kayu berkualitas baik sebanyak 0,357 m3/pohon (25,58%); limbah cacat sebanyak 0,610 m3/pohon (43,77%) 3 dan limbah yang pecah sebanyak 0,438 m /pohon (30,65%). Kata kunci : Efisiensi pembalakan, limbah penebangan, hutan tropika pegunungan, Kalimanatan Timur I. PENDAHULUAN Dalam pemanfaatan hasil hutan kayu (HHK), kegiatan pembalakan mempunyai peranan strategis guna mendukung terwujudnya pengelolaan hutan alam produksi lestari. Potensi tegakan yang terkandung di dalam hutan belum mempunyai nilai ekonomi apabila tidak dipanen dan dikeluarkan untuk diangkut ke industri
pengolahan kayu (Suparto, 1982). Namun demikian, dalam pemanfaatan HHK tersebut wajib berpedoman pada Peraturan Menteri Kehutanan nomor : P.50/Menhut-II/2010, yaitu tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok dan status hutan bersangkutan. Oleh sebab itu, kegiatan pembalakan harus dilakukan secara hati-hati dan benar. 45
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 45-61
Saat ini, hampir semua pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA) baik yang berlokasi di hutan tropis rawa gambut, dataran rendah maupun pegunungan telah berupaya meningkatkan efisiensi pembalakan dengan menerapkan teknik pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging /RIL). Perbaikan manajemen teknik pembalakan tersebut mempunyai dampak positif terhadap peningkatan efisiensi pembalakan yang berarti pula peningkatan faktor eksploitasi (FE). Dari segi perencanaan pemanenan, nilai FE menjadi unsur penentu dalam kaitannya dengan penetapan jatah produksi tahunan (JPT). Dari aspek ekonomi, peningkatan efisiensi pembalakan juga bermanfaat bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan besarnya provisi sumber daya hutan (PSDH) dari pemegang IUPHHK-HA. Dalam Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 Pasal 48 Ayat 5 dan Ayat 6 menyebutkan bahwa pemungutan provisi sumberdaya hutan (PSDH) didasarkan pada JPT. Kontribusi produksi kayu dari hutan alam untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu hingga kini masih sangat rendah, yaitu ± 16% sedangkan sisanya dipenuhi dari hutan tanaman maupun impor (Kementerian Kehutanan, 2011). Kontribusi kayu bulat hutan alam tersebut akan terus berkurang dengan makin merosotnya luas dan potensi kawasan hutan alam produksi. Bahkan, kecenderungan produksi kayu alam akan semakin turun dari tahun ke tahun. Selama dua tahun terakhir, produksi kayu alam turun 50% dan realisasi produksi kayu alam tahun 3 2012 hanya sekitar 5 juta m dari target sebanyak 9,1 3 juta m (Anonim, 2013a). Sedangkan impor kayu bulat rata-rata selama enam tahun terakhir (20052010) rata-rata mencapai hampir 55 ton/tahun dengan nilai mencapai ± US$ 17,129 juta/tahun (Statistik Kehutanan, 2011). Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian efisiensi kegiatan pembalakan menjadi penting dilakukan. Penelitian dimaksudkan untuk mengevaluasi efisiensi pembalakan terkini dan hasilnya diharapkan bermanfaat bagi pemerintah c.q Kementerian Kehutanan untuk penetapan JPT dan memprediksi peningkatan besarnya sumbangan hutan alam dalam pemenuhan kebutuhan industri pengolahan kayu. 46
II. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Pengumpulan Data Penelitian dilakukan pada tahun 2012 di I U P H H K - H A P T Ro d a M a s T i m b e r Kalimantan, Kabupaten Mahakam Ulu, Provinsi Kalimantan Timur. Pengumpulan data primer dilakukan langsung di 6 petak tebangan terpilih (II.11; II.12; II.13; III.9; III.10 dan III. 11) dari sebanyak 11 petak tebangan RKT tahun 2013. Waktu pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada awal hingga akhir bulan Mei 2013. B. Bahan dan Alat Penelitian Obyek penelitian adalah sebanyak 300 pohon contoh dari semua jenis komersial yang ditebang pada 6 (enam) petak tebang terpilih. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cat, kuas dan tali plastik. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah pita ukur diameter pohon/phiband, pengukur kemiringan lereng/T-Nol merk Süntho, meteran pita, kompas, buku ukur/tally sheet, parang, chain saw, traktor, dan perlengkapan lapangan (personal use). C. Prosedur Penelitian 1. Metode pengambilan contoh Penentuan petak contoh dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu mengikuti kegiatan yang sedang berlangsung di lapangan dan demi tercapainya tujuan penelitian. Petak contoh yang dipilih adalah enam petak tebang RKT tahun berjalan (2013) yang mempunyai variasi topografi datar (0-8°), landai (9-15°), agak curam (16-25°), dan curam (25º-40º). 2. Data yang dikumpulkan Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder sebagai berikut: a. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan, antara lain meliputi: 1) Volume kayu yang dimanfaatkan dan volume serta kondisi limbah pembalakan 2) Kemiringan lapangan
Efisiensi Pembalakan dan Kualitas Limbah Pembalakan di Hutan Tropika Pegunungan : Studi Kasus di ..... (Soenarno, et al.)
b. Data sekunder Data sekunder merupakan data tambahan yang diperoleh untuk mendukung penelitian yang diperoleh melalui wawancara dan atau pengutipan data dari perusahaan. Data sekunder yang dimaksud terdiri dari : 1) Kondisi umum lokasi penelitian 2) Luas dan letak petak tebang 3) Sistem pembalakan yang digunakan D. Pengertian Efisiensi pembalakan adalah perbandingan antara volume kayu batang bebas cabang yang dimanfaatkan sampai di TPn dengan total volume batang bebas cabang dikalikan 100%. Sedangkan, yang dimaksud dengan limbah tebang atau disebut juga limbah pembalakan adalah kayu sisa hasil pembalakan yang tidak dimanfaatkan lagi oleh pemegang izin/hak yang sah pada kegiatan pembalakan. Limbah tersebut dapat berasal dari pohon yang ditebang berupa sisa pembagian batang termasuk cabang, ranting, pucuk, tonggak atau sisa kayu batang bebas cabang yang mempunyai ukuran diameter kurang dari 30 cm atau panjang tidak lebih dari 2 m (Kepmenhut Nomor : 6886/Kpts-II/2002). E. Pengolahan dan Analisis Data Untuk menghitung volume kayu batang bebas cabang digunakan rumus “Smalian” sebagai berikut (Moeljono, 1984) : V = ½ (B + b) X P ............................................... (1) Di mana : V = Volume pembalakan (m3); B = luas bidang dasar pangkal batang ; b = luas bidang dasar ujung batang; dan P = panjang kayu batang bebas cabang. Untuk menghitung B dan b digunakan rumus: B = 1/4 p D2 .................................................... (2) b = 1/4 p d2 .................................................... (3) Di mana: D = diameter pangkal (m), d= Diameter ujung (m), p = 22/7 atau 3,14 Untuk menghitung efisiensi pembalakan digunakan rumus: EF =
VA VB
X 100 ........................................ (4)
Di mana : EF = Efisiensi pembalakan (%); VA = Volume kayu batang bebas cabang yang dimanfaatkan (m3); VB = Volume total 3 batang bebas cabang (m ) III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Volume Kayu yang Dimanfaatkan dan Efisiensi Pembalakan 1. Volume kayu yang dimanfaatkan berdasarkan kondisi topografi lapangan Hasil pengukuran volume kayu yang dimanfaatkan dan jumlah volume kayu sepanjang batang bebas cabang dapat dilihat pada Lampiran 1 sedangkan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 tersebut di atas rata-rata volume 3 kayu yang dimanfaatkan adalah 11,813 m /pohon 3 dengan deviasi sebesar 1,159 m /pohon. Pada topografi datar, landai, agak curam dan curam rata-rata volume yang dimanfaatkan berturut3 3 turut adalah 11,720 m ; 11,062 m /pohon; 10,959 3 3 m /pohon; dan 14,209 m /pohon. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara volume kayu yang dimanfaatkan dengan topografi lapangan dilakukan uji statistik dengan PWSAT versi 18 yang hasilnya disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 tersebut diperoleh Fhitung = 904,137 (lebih besar dari nilai F0,05 (3,296) = 2,60. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan volume kayu rata-rata yang dimanfaatkan yang disebabkan oleh perbedaan kondisi topografi lapangan. Hasil uji beda nyata terkecil (LSD) dengan taraf nyata 0,05 disajikan pada Tabel 3. Dari tabel 3 tersebut dapat diketahui bahwa ada perbedaan yang nyata antara volume kayu yang dimanfaatkan pada topografi curam dengan agak curam maupun landai. Sedangkan untuk kondisi topografi datar dengan landai, agak curam maupun curam tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata terhadap volume kayu yang dimanfaatkan. Bedasarkan pengamatan di lapangan, diduga ada hubungan antara volume kayu yang dimanfaatkan dengan diameter pohon. Hasil analisis sidik ragam menggunakan regresi disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 di bawah menunjukkan bahwa nilai Fhitung = 499,504 lebih besar dari nilai F0,05 (1,298) = 3,84. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang 47
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 45-61
nyata antara volume kayu yang dimanfaatkan dengan diameter pohon. Semakin besar diameter
pohon yang ditebang akan semakin banyak volume kayu yang dimanfaatkan (Gambar 1).
Tabel 1. Volume kayu yang dimanfaatkan berdasarkan topografi Table 1. The utilized wood based on topography Jumlah contoh (Number of sample)
Topografi (Topography )
No.
Volume kayu dimanfaatkan (Wood utilized) Dimanfaatkan (Utilized)
Limbah (Waste)
Jumlah (Total)
(pohon/tree)
(m3/ph, m3/tree)
(m3/ph, m3/tree)
(m3/ph, m3/tree)
1
Datar (flat)
68
10,574
1,529
11,720
2
Landai (sloping)
91
10,150
1,322
11,062
3
Agak curam (Rather steep)
81
9,962
1,428
10,959
4
Curam (Steep)
60
12,534
2,143
14,209
Rata-rata (Average)
8,234
1,562
11,813
Simpangan baku (Standard deviation)
0,874
0,368
1,519
Tabel 2. Hasil uji statistik antara volume kayu yang diamanfaatkan dengan topografi Table 2. Statistics test results between the utilized wood and topography Jumlah kuadrat rata-rata (Mean square )
Fhitung (Fcal.)
,002
,274
34143,915
5,181
904,137
4
91,450
,002
,274
1,690
295
48,173
,006
252,444
300
1,697
299
Derajad bebas (Degrees of (Sum of squares ) freedom)
Sumber (Source)
Jumlah kuadrat
Model terkoreksi/ Corrected model
,006a
4
Konstanta/ Intercept
5,181
1
Topografi/ Topography
,006
Kesalahan percobaan/Error
No.
Jumlah/Total Jumlah terkoreksi/ Corrected Total
2
Koefisien determinasi (R Squared/ r ) = ,004. . r yang disesuaikan (Adjusted R Squared ) = ,010 2
48
Efisiensi Pembalakan dan Kualitas Limbah Pembalakan di Hutan Tropika Pegunungan : Studi Kasus di ..... (Soenarno, et al.)
Tabel 3. Uji beda nyata terkecil volume kayu yang dimanfaatkan dengan topografi Table 3. Least significant difference (LSD) test between the utilized wood and topography
(I) Topografi
(J) Topografi
Beda rata-rata (Mean difference) (I-J)
Kesalahan baku (Std. Error)
Nyata (Significence).a
-2,572*
1,182
95% Selang kepercayaan (Confidence interval for difference)a Batas bawah (Lower bound)
Batas atas (Upper bound)
,030
-4,899
-,245
Agak curam
Curam (Steep)
(Rather steep)
Datar (Flat)
-,611
1,142
,593
-2,858
1,635
Landai (Sloping)
-,188
1,060
,860
-2,274
1,899
2,572*
1,182
,030
,245
4,899
Datar (Flat)
1,961
1,229
,112
-,459
4,380
Landai (Sloping)
2,384*
1,154
,040
,113
4,656
,611
1,142
,593
-1,635
2,858
-1,961
1,229
,112
-4,380
,459
,424
1,113
,704
-1,766
2,613
,188
1,060
,860
-1,899
2,274
-2,384*
1,154
,040
-4,656
-,113
-,424
1,113
,704
-2,613
1,766
Curam (Steep)
Agak curam (Rather steep)
Datar (Flat)
Agak curam (Rather steep) Curam (Steep) Landai (Sloping)
Landai
Agak curam
(Sloping)
(Rather steep) Curam (Steep) Datar (Flat)
Berdasarkan nilai rata-rata (Based on estimated marginal means) *. Beda rata-rata pada taraf nyata 0,5 (Mean difference is significant at the ,05 level). a. Penyesuaian perbandingan (Adjustment for multiple comparisons): Beda nyata terkecil, tanpa penyesuaian (Least Significant Difference, equivalent to no adjustments).
Tabel 4. Analisis sidik ragam Table 4. Analysis of variance (ANOVA) Jumlah kuadrat (Sum of squares)
Derajad bebas (Degree of freedom)
Rata-rata kuadrat (Mean square)
Fhitung (Fcal.)
Nyata (Sig.)
Regresi (Regression)
9102,940
1
9102,940
499,504
,000a
Sisa (Residual)
5430,742
298
18,224
Jumlah (Total)
14533,682
299
Model
Penduga (Predictors): (Tetap/Constant), Diameter. (Utilized wood)
b. Peubah bergantung (Dependent variable): Kayu dimanfaatkan
49
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 45-61
Gambar 1. Hubungan diameter pohon dengan volume kayu yang dimanfaatkan Figure 1. Relationship between tree diameters and the utilized wood 2. Efisiensi pembalakan Berdasarkan data pada Lampiran 1 juga dapat diperoleh gambaran bahwa besarnya efisiensi pembalakan pada berbagai kondisi topografi lapangan berkisar antara 65,88-100% dengan ratarata adalah 91,41% dan deviasi sebesar 7,52% sedangkan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 5. Untuk menguji perbedaan efisiensi pembalakan akibat adanya perbedaan kondisi topografi lapangan dilakukan melalui analisis statistika
menggunakan PASWSTAT.18 dan hasilnya disajikan pada Tabel 6. Hipotesis Ho : µ1 = µ2 = µ3 = µ4 dan H1 : minimal satu kondisi topografi menunjukkan perbedaan rata-rata nilai efisiensi pembalakan. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai Fhitung (0,226) < F0,05(4:297) (2,37) sehingga terima Ho dan menolak H1. Ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara efisiensi pembalakan dengan kondisi topografi datar, landai, agak curam dan curam.
Tabel 5. Efisiensi pembalakan pada berbagai topografi lapangan Table 5. Logging eficiency on various topography
No.
Topografi (Topography)
Jumlah sample (Numbers of samples)
Pohon ditebang (Felled tree) Volume pembalakan dimanfaatkan (Volume of logs used)
Volume batang bebas cabang (Total volume of cleared boles)
(pohon, tree)
(m3/ph, m3/tree)
(m3/ph, m3/tree)
Efisiensi pembalakan (Logging eficiency)
1.
Datar (Flat)
68
10,574
11,720
91,35
2.
Landai (Sloping)
91
10,150
11,062
91,81
3.
Agak Curam (Rather steep)
81
9,962
10,959
92,04
4.
Curam (Steep)
60
12,534
14,204
90,03
Rata-rata (Averages)
8,234
8,947
91,41
Simpangan baku (Standard deviation)
0,874
0,955
7,52
50
Efisiensi Pembalakan dan Kualitas Limbah Pembalakan di Hutan Tropika Pegunungan : Studi Kasus di ..... (Soenarno, et al.)
Untuk menguji perbedaan efisiensi pembalakan akibat adanya perbedaan kondisi topografi lapangan dilakukan melalui analisis statistika menggunakan PASWSTAT.18 dan hasilnya disajikan pada Tabel 6. Hipotesis Ho : µ1 = µ2 = µ3 = µ4 dan H1 : minimal satu kondisi topografi menunjukkan perbedaan rata-rata nilai efisiensi pembalakan. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai Fhitung (0,226) < F0,05(4:297) (2,37) sehingga terima Ho dan menolak H1. Ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara efisiensi pembalakan dengan kondisi topografi datar, landai, agak curam dan curam. Tidak adanya perbedaan efisiensi pembalakan pada kondisi topografi yang berbeda lebih disebabkan oleh peranan
ketrampilan para operator khususnya penebang maupun traktor sarad. Ketrampilan penebang (chain saw operator) dan operator traktor sarad ( tractor operator ) dalam penguasaan teknik penebangan dan penyaradan pada berbagai kondisi topografi lapangan mengakibatkan berkurangnya resiko terjadinya kepecahan pembalakan. Menurut Richardson R dan I Makkonen (1994) ketrampilan seorang operator membutuhkan minimal 2 tahun pengalaman kerja untuk mencapai 100% potensi produktivitasnya. Penebang dan operator traktor di PT Roda Mas Timber rata-rata sudah memiliki sertifikat pembalakan ramah lingkungan (reduced impact log ging/RIL ) dengan pengalaman sebagai penebang berkisar antara 2-4 tahun.
Tabel 6. Hasil uji statistik pengaruh topografi dengan efisiensi pembalakan Table 6. Statistics test result between topography and logging efficiency No.
Sumber (Source)
1.
Model terkoreksi (Corrected model)
2.
Konstanta (Intercept)
3.
Topografi (Topography)
4.
Kesalahan percobaan (Error)
5.
Jumlah (Total)
6.
Jumlah terkoreksi/ Corrected Total
Jumlah kuadrat (Sum of squares)
Derajad bebas (Degrees of freedom)
Jumlah kuadrat rata-rata (Mean square)
Fhitung (Fcal.)
Taraf nyata (Significancy).
38,608a
3
12,869
,226
,879
2056631,688
1
2056631,688
36050,276
,000
38,608
3
12,869
,226
,879
16886,500
296
57,049
2523826,079
300
16925,108
299
Koefisien determinasi (R Squared/ r2 ) = ,004. r2 yang disesuaiakan (Adjusted R Squared )= -,009
Namun demikian, apabila dilihat hubungannya dengan diameter pohon maka tampak makin besar diameter pohon berdampak efisiensi pembalakan yang makin rendah (Gambar 3). Gambar 3 dapat dilihat bahwa tingkat kecenderungan tersebut tidak signifikan yaitu hanya menunjukkan nilai koefisien determinasi sebesar 0,0628. Ini berarti bahwa besarnya pengaruh peubah diameter pohon terhadap efisiensi pembalakan adalah hanya sebesar 6,28%. Berkaitan dengan penyusunan jatah produksi tahunan (JPT) adanya perbaikan efisiensi pembalakan menjadi rata-rata 91,41% mempunyai akibat meningkatnya nilai faktor
eksploitasi (FE) menjadi 0,91. Dengan demikian, perhitungan formula jatah produksi tahunan akan berubah sebagai berikut : JPT : V = L x P x 0,70 x 0,80 menjadi JPT : V = L x P x 0,91 x 0,80 Di mana : V = volume pembalakan yang dapat 3 ditebang per tahun (m /th); L (etat luas) = Luas areal yang dapat ditebang (ha/tahun); P = Potensi pembalakan sesuai limit diameter fungsi hutan 3 (m /ha); 0,70 dan 0,91 = faktor eksploitasi ; 0,80 = faktor pengaman. 51
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 45-61
Gambar 3. Hubungan diameter pohon dan efisiensi pembalakan Figure 3. Relathionship beetwen tree diameter and logging efficiency Atas dasar perubahan formula JPT tersebut di atas maka berdasarkan rencana kerja tahun (RKT) 2013 dengan luas penebangan 1.010 Ha atau
3
sebanyak 50.501 m maka dapat dihitung besarnya peningkatan produksi kayu bulat, sebagaimana disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Perhitungan jatah produksi kayu bulat berdasarkan perbaikan efisiensi pembalakan sebesar 91% berdasarkan RKT 2013. Table 7. Calculation of log production quota based on 91% logging efficiency improvement according to the annual work plan of 2013
No.
Nomor petak tebang (Number of felling site)*)
Luas petak tebang (Wide of felling site)*)
Jatah produksi tahunan (Annual allowable cutting)*)
Perhitngan jatah produksi tahunan berdasarkan perbaikan faktor ekspolitasi (Annual allowable cutting based on improvement of exploitation factor)
(Ha)
(m3)
(m3/tahun, m3/year)1)
(m3)
(%)
1.
II.10
107
6.424,00
7.773,040
1.349,04
21
2.
II.11
78
2.945,00
3.563,450
618,45
21
3.
II.12
77
3.027,00
3.662,670
635,67
21
4.
III.1
111
5.016,00
6.069,360
1.053,36
21
5.
III.2
99
4.340,00
5.251,400
911,40
21
6.
III.9
85
5.917,00
7.159,570
1.242,57
21
7.
III.10
84
7.166,00
8.670,860
1.504,86
21
8.
III.11
83
3.371,00
4.078,910
707,91
21
9.
III.12
70
2.248,00
2.720,080
472,08
21
10.
III.12
104
6.046,00
7.315,660
1.269,66
21
11.
II.13
112
4.001,00
4.841,210
840,21
21
Jumlah (Total)
1010
50.501,00
61.106,210
10.605,21
Sumber (Source) : RKT (Annual work plan) PT. Roda Mas Timber, 2013. Keterangan (Remarks): *) data diolah sesuai keperluan (data processed as required)
52
Peningkatan produksi pembalakan (Increased timber production)
Efisiensi Pembalakan dan Kualitas Limbah Pembalakan di Hutan Tropika Pegunungan : Studi Kasus di ..... (Soenarno, et al.)
Perhitungan pada Table 7 menunjukkan bahwa akibat perbaikan efisiensi pembalakan sebesar 91,41% dapat meningkatkan potensi JPT kayu 3 bulat sebanyak 10.605,210 m /tahun atau dari 3 sebelumnya sebanyak 50.501 m /tahun menjadi 3 sebesar 61.106,21 m /tahun. Apabila diasumsikan harga kayu bulat jenis meranti di pasar domestik 3 sebesar US$ 120 (± Rp 1.440.000,-/m berarti perusahaan akan mendapat tambahan pendapatan sebesar ± Rp 15,27 milyar. Di lain pihak, Kementerian Kehutanan juga akan memperoleh tambahan setoran PSDH sebesar ± Rp 1,53 milyar. B. Kualitas Limbah Kayu 1. Volume limbah kayu berdasarkan kondisi
topografi Hasil pengamatan pengukuran volume limbah pembalakan pada berbagai kondisi topografi dapat dilihat pada Lampiran 1, dan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 8. Secara umum, dari Tabel 8
terlihat bahwa besarnya volume limbah 3 pembalakan berkisar antara 1,322-2,243 m / 3 pohon dengan rata-rata sebanyak 1,562 m / pohon. Limbah pembalakan tersebut terdiri dari 3 limbah tunggak sebanyak 0,011 m /pohon, 3 limbah pangkal 0,696 m /pohon, dan limbah 3 ujung sebanyak 0,667 m /pohon. Volume limbah pembalakan pada areal datar, landai, agak curam dan curam berturut-turut 3 3 adalah 1,529 m /pohon; 1,322 m /pohon; 1,428 3 3 m /pohon; dan 2,143 m /pohon. Volume limbah pembalakan pada areal dengan topografi datar sampai agak curam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata tetapi bila dibandingkan dengan jumlah limbah pada topografi curam sangat berbeda, yaitu dapat mencapai (2,143-(1,529 + 1,428)/2)/2,143 x 100%) = 33,47%. Untuk memberikan ilustrasi secara mudah, jenis limbah berdasarkan topografi lapangan disajikan pada Gambar 4.
Tabel 8. Jenis dan volume limbah berdasarkan topografi lapangan Table 8. Type and volume of logging waste based on topography Jumlah pohon (Total trees)
Diameter pohon (Tree diameters), cm
Datar (Flat)
68
Landai (Sloping)
Topografi (Topography)
Volume limbah pembalakan, m3/pohon (Volume of loggiing waste,m3/tree) Tunggak (Stump)
Pangkal (Butt)
Ujung (Top)
Jumlah (Total)
89,93
0,007
0,732
0,740
1,529
91
86,84
0,028
0,475
0,566
1,322
Agak curam (Rather steep)
81
84,48
0,001
0,538
0,529
1,428
Curam (Steep)
60
88,08
0,001
1,205
0,925
2,143
Rata-rata (Average)
75
87,33
0,011
0,696
0,667
1,562
Simpangan baku (St.deviation)
13,74
2,29
0,01
0,330
0,182
0,368
2. Volume limbah kayu berdasarkan kualitas dan sebarannya Secara umum, hasil pengukuran dan pengamatan kondisi limbah pembalakan di lapangan, dapat dilihat pada Lampiran 1. Rekapitulasi kondisi limbah kayu disajikan pada Tabel 9. Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa dari total volume limbah pembalakan rata-rata yang mencapai 1,395 m3/pohon; 0,357 m3/pohon
(25,58%) diantaranya berupa limbah pembalakan yang diketegorikan “baik” sehingga cukup layak dimanfaatkan lebih lanjut. Sedangkan sebanyak 3 0,428 m /pohon (30,66%) kondisinya “pecah”. 3 Sisanya, 0,610 m /pohon kondisinya “cacat alami” yaitu berbanir, mata buaya, bengkok, berlubang/ growong dan atau busuk. Secara sederhana, sebaran kondisi limbah pembalakan dapat dilihat pada Gambar 5. 53
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 45-61
Gambar 4. Jenis limbah pembalakan pada berbagai topografi Figure 4. Type of logging waste on various topography Tabel 9. Sebaran kualitas limbah kayu Table 9. Distribution of wood waste quality Jenis limbah kayu, (Type of wood waste, m 3/tree)
m3/pohon
Kualitas (Quality) Baik (Good)
Cacat (Defect)
Pecah (Broken)
Jumlah (Total)
Tunggak (Butt)
0,002
0,008
0,000
0,011
Pangkal (Stemp)
0,222
0,283
0,211
0,717
Ujung (Top)
0,132
0,319
0,217
0,667
Jumlah (Total)
0,357
0,610
0,428
1,395
Persentase (Percentage), %
25,58
43,77
30,66
100,00
Gambar 5. Diagram kondisi limbah pembalakan Figure 5. The condition of wood waste
54
Efisiensi Pembalakan dan Kualitas Limbah Pembalakan di Hutan Tropika Pegunungan : Studi Kasus di ..... (Soenarno, et al.)
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kepecahan kayu tersebut selain akibat tidak sempurnanya teknik penebangan juga adanya pengaruh kondisi topografi. Kesalahan yang
Takik rebah terlalu kecil (Falling notch too narrow )
sering dilakukan oleh penebang adalah membuat mulut takik rebah sempit dan pada banir pohon serta arah rebah pohon ke bagian bawah lereng (Gambar 6).
Membuat takik rebah pada banir pohon (Making falling notch on buttrees )
Arah rebah pohon ke bagian bawah lereng (Tree direction to the downhill of the slope)
Gambar 6. Beberapa kesalahan pada teknik penebangan pohon Figure 6. Several common mistake in tree felling technique Kondisi limbah pembalakan yang cacat pada umumnya terjadi pada limbah ujung berupa mata buaya/notch dan atau bengkok. Sedangkan limbah pembalakan yang pecah selain banyak terjadi pada limbah ujung juga terjadi pada limbah pangkal. Limbah pembalakan yang cacat banyak ditemukan pada limbah tunggak dan limbah pangkal karena banir, berlubang/growong dan busuk dibagian empulur kayu (hati). Mengingat potensi limbah pembalakan yang masih cukup besar sebaiknya dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu dan nilai tambah. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: P.35/MenhutII/2008 pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi, kepada pemegang IUPHHK yang telah memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari secara mandatory dengan peringkat baik dan sangat baik dan atau memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) secara voluntary, dapat diberikan ijin usaha industri primer hasil hutan kayu (IUIPHHK) di dalam areal kerjanya. Bahan, dalam Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P. 9/Menhut-II/2009 tentang perubahan Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P. 35/Menhut-II/2008 lebih lanjut dijelaskan bahwa
bagi IUPHHK pemilik IUIPHHK sudah dapat menggunakan mesin pengolahan kayu yang tidak bergerak (non portable machine) atau yang bergerak (portable machine). Mengingat masih banyak terjadi pecah pada batang akibat penebangan seyogyanya para penebang (chainsaw operator) perlu mendapatkan pendidikan dan pelatihan teknis agar trampil menguasai teknik penebangan yang benar di lapangan. Berdasarkan informasi dari pihak menajemen di lapangan, dari sebanyak 6 orang penebang yang menjadi sampel maka hanya 1 orang yang telah berpengalaman lebih dari 2 tahun, sedangkan 5 orang yang lainnya pengalamannya masih ± 4 bulan saja. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Efisisensi pembalakan di PT Roda Mas Timber Kalimantan meningkat sebesar 21,41% dari ketetapan Kementerian Kehutanan, yaitu 70%. Besarnya limbah pembalakan batang bebas cabang yang potensial dapat dimanfaatkan adalah 0,357 m3/pohon (25,58%) dari total limbah pembalakan sebanyak 1,395 m3/pohon atau 55
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 45-61
sebesar 3,02% terhadap keseluruhan volume batang bebas cabang.
Irman F & Satria., (2012). Rancangan percobaan dan korelasi dan regresi dengan PASWSTAT Versi.18. Bogor: IPB.
B. Saran
Kementerian Kehutanan. (2011 ). Statistik Kehutanan Indonesia 2010 . Jakar ta: Kementerian Kehutanan.
Guna meningkatkan efisiensi pembalakan dan pemanfaatan limbah perlu dilakukan upaya sebagai berikut: 1. Melaksanakan kegiatan pemanenan kayu dengan metode pembalakan sepanjang mungkin (tree length logging). 2. Operator gergaji mesin (chain saw operator) perlu ditingkatkan keterampilan dalam proses penebangan dan pembagian batang khususnya melakukan kebiasaan pemotongan cabang pohon. 3. Membangun industri pengolahan kayu untuk memanfaatkan limbah pembalakan terutama di areal kerja dengan menggunakan mesin pengolahan kayu yang tidak bergerak (non portable) atau yang bergerak (portable). DAFTAR PUSTAKA Anonimus., (2013a). Produksi kayu hutan alam t e r u s m e nu r u n . , h t t p : / / w w w. r egionaltimur.com/index.php/industrikehutanan-biaya-produksi-kayu-alam-tinggi/. Diakses 24 April 2013. Anonim, (2013b). Pasar dunia tawarkan harga tinggi untuk kayu log. http://cgclipping. wordpress.com/2013/04/24/pasar-duniatawarkan-har ga-ting gi-untuk-kayu-log /. Diakses 11 Oktober , 2013. Dulsalam., (2012). Pembalakan pembalakan ramah lingkungan. Prosiding Seminar Nasional teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan (hal. 41-61). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Idris MM, Dulsalam, Sukanda dan Soenarno. (2012). Revisi faktor eksploitasi untuk optimasi logging. Bogor: Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.
56
Keputusan Menteri Kehutanan nomor : 6886/Kpts-II/2002 Tentang Pedoman dan tata cara pemberian izin pemungutan hasil hutan (IPHH) pada hutan produksi. Nurrochmat, D. (2010). Prediksi keseimbangan supply-demand hasil hutan pembalakan Indonesia. Bogor: Lab Sosial Ekonomi, Fakultas Kehutanan IPB. Moeljono. S.B. (1984). Pengantar Perkayuan. Pendidikan Industri Kayu Atas (PIKA) Semarang. Semarang: Yayasan Kanisius. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 Tentang Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 1999 Tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 Tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada departemen kehutanan dan perkebunan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 9/Menhut-II/2009 jo Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2008. Tentang perubahan izin usaha industri primer hasil hutan. Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.9/ Permenhut-II/2012 tanggal 5 Maret 2012. Tentang rencana pemenuhan bahan baku industri primer hasil hutan pembalakan. Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.50/ Permenhut-II/2010 tanggal 31 Desember 2010. Tentang tata cara pemberian dan perluasan areal ker ja izin usaha pemanfaatan hasil hutan pembalakan (IUPHHK) dalam hutan alam, IUPHHK restorasi ekosistem, atau IUPHHK hutan tanaman industri pada hutan produksi.
Efisiensi Pembalakan dan Kualitas Limbah Pembalakan di Hutan Tropika Pegunungan : Studi Kasus di ..... (Soenarno, et al.)
Makkonen., Richardson R & I., (1994). The performance of cut-to-length systems in eastern Canada. Technical Report. Canada: Forest Engineering Research Institute of Canada.
Wijaya., (2000). Analisis statistik dengan program SPSS 10.0. Bandung: Alfabeta.
57
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 45-61
Lampiran 1. Hasil pengamatan dan pengukuran sortimen kayu hasil penebangan Appendix 1. Identification and measurement of felled tree
58
Efisiensi Pembalakan dan Kualitas Limbah Pembalakan di Hutan Tropika Pegunungan : Studi Kasus di ..... (Soenarno, et al.)
Lampiran 1. Lanjutan Appendix 1. Continued
59
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 45-61
Lampiran 1. Lanjutan Appendix 1. Continued
60
Efisiensi Pembalakan dan Kualitas Limbah Pembalakan di Hutan Tropika Pegunungan : Studi Kasus di ..... (Soenarno, et al.)
Lampiran 1. Lanjutan Appendix 1. Continued
61
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 62-70 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
PEMANENAN GETAH PINUS MENGGUNAKAN TIGA CARA PENYADAPAN (Harvesting of Pine Resin Using Three Tapping Techniques) Sukadaryati Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp (0251) 8633378, Fax (0251) 8633413 e-mail:
[email protected] Diterima 18 Oktober 2013, Disetujui 24 Januari 2014
ABSTRACT Pine resin is one kind of non wood forest products (NWFP) that has passably potency and Indonesia occupies third rank in the world as a producer pine resin after China and Brazil. The good market opportunity of gondorukem pushed management of forest to increase pine resin production. This paper aims to give information about harvesting of pine resin using three tapping techniques. The tapping techniques depends on tapping tool is used, namely mujitech, drill and kedukul. The results showed that the highest production of resin was obtained from the technique using kedukul, 18.0 g/quare/collection whereas from Mujitech dan drill was 11.5 g/quare/collection and 11.2 g/quare/collection respectively. From visual observation, resin obtained by drill technique was cleaner than Mujitech and kedukul techniques. The content of impurities in pine resin that produced by drill technique was 4% on average. Nevertheless, drill tapping technique is not preferred by farmers to apply as less effective. The application of tapping techniques at a certain location were influenced by the customs of the local communities. And those customs were not easy to be changed with new technique although that can produce the tapping more than manually technique. Keywords: Pine resin, tapping techniques, production, customs of the local communities ABSTRAK Getah pinus merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang cukup potensial dan Indonesia menduduki peringkat ke 3 di dunia setelah Cina dan Brazil. Peluang pasar gondorukem yang potensial tersebut mendorong pengelola hutan untuk meningkatkan produksi getah pinus. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang pemanenan getah pinus dengan menggunakan tiga cara penyadapan. Cara penyadapan yang digunakan tergantung alat sadap yang dipakai, yaitu mujitech, bor dan kedukul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi getah pinus paling banyak dihasilkan dari cara penyadapan kedukul yaitu sebesar 18,0 g/quare/pengunduhan; sedang dengan mujitech dan bor masing-masing sebesar 11,2 g/quare/pengunduhan dan 11,5 g/quare/pengunduhan. Berdasarkan pengamatan visual, getah yang dihasilkan dengan cara penyadapan bor lebih bersih dibandingkan teknik mujitech dan kedukul. Kadar pengotor dalam getah pinus yang dihasilkan dengan cara penyadapan bor rata-rata sebesar 4%. Namun demikian penyadapan dengan cara bor tidak disukai petani penyadap karena kurang efektif. Umumnya penerapan cara penyadapan pinus di suatu lokasi dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat setempat yang sudah berlaku secara turun temurun. Kebiasaan tersebut tidak mudah diubah meskipun sistem sadapan yang baru menghasilkan produksi getah lebih banyak. Kata kunci : Getah pinus,cara penyadapan, produksi, kebiasaan masyarakat setempat 62
Pemanenan Getah Pinus Menggunakan Tiga Cara Penyadapan (Sukadaryati)
I. PENDAHULUAN Peluang pasar gondorukem yang potensial mendorong pengelola hutan untuk meningkatkan produksi getah pinus. Bagi Perum Perhutani, tindakan tersebut sangat diperlukan mengingat beberapa tahun terakhir, produksi getah pinus tidak hanya dimonopoli oleh Perum Perhutani yang mengelola hutan di Pulau Jawa. Perusahaan Swasta dan BUMN juga telah melakukan pengelolaan hutan pinus untuk memproduksi getah, misalnya di Sulawesi dengan areal hutan pinus seluas 130.000 ha dan di Sumatera dengan areal hutan pinus seluas 335.000 ha (Santosa, 2010 dalam Anonim, 2010). Menurut Panshin dan De Zeeuw (1980), produksi getah pinus dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari sifat dasar pohon itu sendiri seperti jenis pohon, diameter batang dan keadaan tajuk. Faktor eksternal berasal dari lingkungan dan perlakuan sadapan yang dilakukan. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi produksi getah adalah teknik penyadapan. Beberapa teknik penyadapan pinus secara manual sudah banyak dikembangkan di Perum Perhutani. Teknik yang dimaksud di sini adalah cara penyadapan yang dilakukan, seperti cara penyadapan dengan menggunakan alat bor, alat kedukul/pethel atau dengan pisau sadap khusus untuk menghasilkan bentuk “V”. Alat pembuat luka batang pada kegiatan penyadapan pinus tersebut kemudian digunakan untuk menyebutkan teknik penyadapan yang digunakan, misalnya teknik penyadapan bor berarti alat penyadapan yang digunakan adalah bor, demikian seterusnya. Sutjipto (1975) menyatakan bahwa cara penyadapan pinus yang dilakukan di Indonesia pada waktu itu (era 1975 an) adalah dengan cara quarre bentuk “U” terbalik. Lebih lanjut disebutkan bahwa teknik tersebut menyebabkan berkurangnya hasil kayu (karena pinus masih diprioritaskan untuk menghasilkan kayu bukan getah) dan pohon mudah roboh karena koakan batang pinus yang dibuat cukup lebar dan tinggi. Teknik sadapan bentuk ”V” atau disebut pola India (Sumantri dan Endom, 1989) juga sudah pernah diujicobakan dan direkomendasikan penggunaannya bersamaan dengan stimulan CAS 35% untuk memenuhi tujuan ganda pengelolaan hutan pinus, yaitu hasil
getah tinggi dan batang pohon sadap utuh di saat panen. Dulsalam dkk (1998), pernah melakukan ujicoba penyadapan pinus dengan cara bor dan menyimpulkan bahwa cara bor dapat menghasilkan getah pinus setara dengan cara koakan, hanya saja getah yang dihasilkannya lebih bersih daripada koakan. Namun demikian biaya yang diperlukan dalam penyadapan cara bor lebih tinggi daripada koakan sehingga penyadapan koakan lebih disarankan dalam penyadapan pinus. Sampai saat ini para penyadap getah pinus lebih memilih menggunakan cara penyadapan kedukul yang dilakukan secara manual atau dengan tenaga manusia, karena cara kedukul ini dirasa lebih praktis, mudah dan murah. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman kerja di lapangan, teknik penyadapan pinus terus mengalami pembaharuan. Orientasi pembaharuan cara penyadapan bertujuan untuk meningkatkan produksi getah seoptimal mungkin namun tetap memperhatikan kelestariannya, baik produk getahnya maupun pohon pinus sebagai penghasilnya. Dewasa ini teknik sadapan pinus semi mekanis telah dikembangkan yaitu dengan diciptakannya alat mujitech. Alat mujitech ini berfungsi seperti alat kedukul hanya saja menggunakan tenaga mesin dalam membuat luka sadap dan dioperasikan manusia (semi mekanis). Alat mujitech ini diharapkan dapat mengatasi per masalahan-per masalahan di lapangan terutama dari aspek tenaga kerja penyadap. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi pemanenan getah pinus dengan menggunakan tiga cara penyadapan, yaitu mujitech, bor dan kedukul. II. METODOLOGI A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, KPH Sukabumi, BKPH Bojong Lopang, Bagian Hutan Jampang Tengah, RPH Pasir Awi, Kelompok Hutan Pasir Bitung, di anak petak 29C dan 29M. Tegakan pinus yang disadap berumur 11 tahun (tahun tanam 2000) dan termasuk dalam kelompok umur (KU) III. Kondisi tegakan pinus yang digunakan merupakan sadapan lanjutan dan tumbuh pada hamparan tempat yang sama (relatif 63
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 62-70
datar). Rata-rata diameter pohon pinus yang digunakan untuk ujicoba berkisar antara 21,0228,03 cm. Kelas bonita berkisar 2- 3. B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa pohon pinus siap sadap sebanyak 72 pohon, pita ukur, alat sadap mujitech, kedukul dan bor, talang sadap ukuran 10 cm x 3 cm, batok, alat ukur berat, alat tulis, parang, batu asah, palu dan paku penahan tampungan getah. C. Prosedur Kerja 1. Mujitech : a. Batang pinus yang sudah dibersihkan dari semak belukar kemudian dilukai dengan alat sadap semi mekanis Mujitech, dengan ukuran koakan lebar ± 5 cm, tinggi ± 15 cm dan tebal ± 3 mm atau sampai menyentuh kayu bagian dalam. Arah koakan vertikal seperti pada cara kedukul. b. Getah yang dikeluarkan ditampung di batok. c. Pembaharuan luka dilakukan setiap 3 hari dengan arah di atas koakan yang pertama d. Pengunduhan getah dilakukan hari ke 15. 2. Kedukul : a. Setelah batang pinus yang akan disadap bersih dari semak belukar, kemudian dilukai dengan alat sadap yang disebut kedukul/pethel/ kadukul dengan ukuran koakan lebar ± 5 cm, tinggi 20-30 cm dan tebal ± 3 mm atau sampai menyentuh kayu bagian dalam. Arah koakan vertikal sehingga getah dapat mengalir ke bawah menuju tempat penampungan getah. b. Getah yang dikeluarkan ditampung di batok. c. Pembaharuan luka dilakukan setiap 3 hari sekali dengan arah di atas koakan yang pertama.
d. Pengunduhan getah dilakukan pada hari ke 15. 3. Bor : a. Batang pohon dibor dengan diameter bor kurang lebih 1 cm dan kedalaman 3-4 cm dengan arah miring ke atas dengan derajad kemiringan ± 30° untuk mempermudah pengaliran getah. b. Getah dialirkan melewati talang berbentuk pipa dan ditampung dalam kantong plastik. c. Dilakukan pembaharuan perlukaan yang letaknya di atas luka bor yang pertama dengan jarak ± 3-4 cm dan dilakukan setiap 3 hari. d. Pengunduhan getah dilakukan pada hari ke-15. D. Analisis Data Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan jumlah ulangan sebanyak 24. Data dianalisis dengan menggunakan software SPSS. Dengan melihat F hitung pada Tabel ANOVA dapat diketahui signifikan atau tidaknya antar perlakuan. Jika signifikan selanjutnya dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT/HSD) untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang nyata atau tidak antar setiap kombinasi perlakuan (Snedecor dan Cochran, 1980). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyadapan pinus dengan ketiga cara penyadapan yaitu mujitech, kedukul dan bor menghasilkan produksi getah yang bervariasi. Hasil penyadapan disajikan pada Tabel 1 berikut ini. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa getah yang diperoleh dengan cara mujitech berkisar 1,34 – 44,09 g dengan rata-rata 11,50 g, sedang cara bor menghasilkan getah pinus berkisar antara 0,04-39,37 g dengan rata-rata 11,16 g. Cara
Tabel 1. Getah pinus berdasarkan cara penyadapan (g/quare/pengunduhan) Table 1. Pine resin based on tapping technique (g/quare/collection)
Perihal (Item) Kisaran (Range) Rata-rata (Average) SD (Standard deviation)
Cara penyadapan (Tapping technique) Bor (Drill) Kedukul (Kedukul) Mujitech (Mujitech)
1,34 – 44,09 g
0,04 – 39,37 g
4,58 – 40,54 g
11,50 g
11,16 g
18,01 g
9,50
10,37
10,69
Keterangan (Remarks) : Jumlah sample 72 pohon (The number of sample is 72 trees)
64
Pemanenan Getah Pinus Menggunakan Tiga Cara Penyadapan (Sukadaryati)
kedukul menghasilkan getah pinus berkisar antara 4,58-40,54 g dengan rata-rata 18,01 g. Getah tersebut diperoleh dalam satu kali pengumpulan, yaitu selama 15 hari. Sumantri (1991), menyatakan bahwa teknik penyadapan akan mempengaruhi produksi getah. Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa getah pinus yang dihasilkan dengan cara kedukul lebih banyak dibanding cara mujitech ataupun bor. Perbedaan hasil getah yang diperoleh ini dipengaruhi oleh luas bidang sadap yang dibuat dengan menggunakan ketiga cara tersebut. Semakin luas bidang sadap yang dibuat akan semakin besar peluang terpotongnya saluran getah pada kayu gubalnya sehingga getah yang dihasilkan akan semakin banyak pula. Tentu saja bidang sadap yang dibuat dengan teknik kedukul lebih luas (20-30 cm) dibandingkan mujitech (15 cm) apalagi bor. Hal ini sesuai dengan pendapat Matangaran (2006) yang menyebutkan bahwa luas permukaan luka sadap menentukan banyaknya saluran getah yang terluka sehingga
getah yang keluar lebih banyak. Makin luas bagian kayu yang terluka, makin banyak hasil getahnya. Hasil uji Anova terhadap pengaruh cara penyadapan terhadap produksi getah pinus dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa cara penyadapan menunjukkan perbedaan yang nyata, di mana nilai F hitung 4,564 > F tabel 3,19 atau nilai P 0,000 < 0,05. Dengan demikian cara penyadapan berpengaruh nyata terhadap produksi getah pinus yang dihasilkan. Artinya cara penyadapan getah pinus dengan mujitech, bor dan kedukul menghasilkan getah pinus yang berbeda-beda. Hasil uji lanjut LSD terhadap pengaruh cara penyadapan seperti disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa cara kedukul memberikan nilai beda nyata terhadap cara mujitech dan bor, tetapi cara penyadapan dengan bor dan mujitech tidak berbeda nyata. Berarti cara penyadapan kedukul memberikan hasil getah yang lebih banyak dibanding cara mujitech atau bor. Sejalan
Tabel 2. Anova pengaruh cara penyadapan terhadap produksi getah pinus Table 2. Anova influence of tapping technique for pine resin production
Sumber variasi (Source of variance)
Derajat bebas (Degree of Freedom)
Jumlah kuadrat (Sum Square)
Kuadrat tengah (Mean of Square)
Cara penyadapan (A) (Tapping technique) (A)
2
716,833
358,417
Error (Galat)
69
7175,345
103,991
Total (Total)
71
7892,180
F
4,564*
F tabel
P
(F-table)
0,000
3,19
Keterangan (Remarks) : * = Beda nyata (Significant)
Tabel 3. Hasil uji LSD pengaruh cara penyadapan terhadap produksi getah pinus Table 3. LSD test results influence tapping technique on the pine resin production
Cara penyadapan (Tapping technique)
Mujitech (Mujitech)
Bor (Drill)
Kedukul (Kedukul)
-
0,347
-6,513
Bor (Drill)
-0,347
-
-6,860
Kedukul (Kedukul)
6,513*
6,860
-
Mujitech (Mujitech)
Keterangan (Remarks) : * = Beda nyata pada taraf 5% (Significant difference at the level of 5%)
65
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 62-70
dengan hasil penelitian ini, Cahyono dkk (2011) menyebutkan bahwa jumlah dan lebar koakan berpengaruh nyata terhadap produksi getah pinus dan produksi getah optimum diperoleh pada penyadapan dengan lebar koakan berukuran
4-8 cm dan kedalaman 2 cm sebanyak 2 buah dalam setiap pohon yang disadap. Pada Tabel 4 disajikan hasil uji kadar pengotor getah pinus hasil penyadapan berdasarkan ketiga cara penyadapan pinus.
Tabel 4. Hasil pengujian kadar pengotor getah pinus Table 4. The results of impurities content pine resin
Cara penyadapan (Tapping technique) Mujitech (Mujtech) Bor (Drill) Kedukul (Kedukul)
Kadar pengotor (Impurities content) (%) Kisaran (Range) (%)
Rata-rata (Average) (%)
3,05–11,85 2,30–6,88 3,55–12,00
6,83 3,96 7,49
Secara visual, cara sadapan dengan bor menghasilkan getah yang lebih bersih dan jernih dibanding dengan teknik kedukul dan mujitech. Hal ini disebabkan karena getah hasil sadapan dengan bor ditampung langsung ke dalam plastik dan tertutup rapat, sehingga pengotor-pengotor berupa daun-daun pinus, tanah, dan lain-lain tidak masuk ke dalam plastik. Sementara itu getah yang dihasilkan dari sadapan mujitech ataupun kedukul ditampung dalam batok sehingga pengotor mudah masuk dan bercampur dengan getah. Hasil uji kadar kotor terhadap getah yang dihasilkan (Tabel 4), menunjukkan bahwa kadar pengotor getah bervariasi tergantung cara penyadapan yang digunakan. Pengotor yang ditemukan berupa sisa ranting, daun pinus yang kering, rumput, tanah dan kerikil. Hal ini terjadi pada saat pembaharuan penyadapan. Sisa batang/ kulit yang terkoak banyak yang jatuh ke tempat penampungan getah, yaitu pada cara mujitech dan kedukul, sedang pada cara bor tidak ditemukan. Hasil pengamatan di lapangan pada saat pembaharuan luka sadap dengan cara mujitech dan kedukul biasanya tidak memindahkan tempat penampungan getah sehingga sisa-sisa batang atau kulit yang terkoak jatuh di dalam tempat penampungan. Hal ini dilakukan untuk mempersingkat waktu kerja panyadap. Sebaliknya pada cara bor, tempat penampungan getah (pipa dan plastik) disingkirkan sementara pada saat pembaharuan dilakukan. Kadar pengotor dalam getah pinus bervariasi antara 3,05-11,85% atau rata-rata 6,83% untuk cara mujitech; 2,30-6,88% atau rata-rata 3,96% 66
untuk cara bor dan 3,55-12,00% atau rata-rata 7,49% untuk cara kedukul. Secara keseluruhan, kadar pengotor getah pada cara bor memang lebih bersih dibanding cara mujitech dan kedukul. Wiyono (2010) meng emukakan bahwa penyadapan getah pinus dengan teknik koakan akan menghasilkan getah yang lebih tinggi dalam waktu singkat dengan biaya murah tetapi kadar pengotor tinggi. Sedangkan penyadapan dengan teknik bor memiliki kadar pengotor getah yang rendah tetapi rendemen yang dihasilkan rendah dengan biaya penyadapan yang tinggi. Rendemen getah yang rendah pada penyadapan bor disebabkan karena bidang sadap lebih kecil dibanding bidang sadap kedukul ataupun mujitech. Bidang sadap yang lebih besar ini berpeng ar uh pada kemungkinan besar tersayatnya saluran getah pada batang pohon pinus, di mana semakin banyak saluran getah yang terpotong, semakin banyak getah yang keluar. Penggunaan tempat penampung dengan kantong plastik di satu sisi dapat mengurangi pengotor yang masuk dalam getah sehingga getah yang dihasilkan lebih bersih dibandingkan dengan batok. Selain itu biaya yang dibutuhkan untuk membeli plastik juga relatif lebih murah. Namun penggunaan plastik hanya sekali pakai saja lalu dibuang sehingga akan menimbulkan banyak limbah plastik dan mencemari lingkungan karena plastik sulit terurai. Sebaliknya batok dapat digunakan berulang-ulang dan jika tidak bisa digunakan lagi tidak akan menimbulkan limbah berbahaya, karena batok atau tempurung kelapa tersebut mudah terurai secara alami. Oleh karena
Pemanenan Getah Pinus Menggunakan Tiga Cara Penyadapan (Sukadaryati)
itu perlu rekayasa alat penampung getah yang bisa menampung getah sedemikian rupa sehingga kadar pengotornya dapat dikurangi. Secara umum penerapan cara penyadapan kedukul lebih banyak disukai masyarakat karena lebih mudah dan lebih murah. Namun dalam pelaksanaannya masih tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, seperti pembuatan koakan yang terlalu dalam dan lebar atau jumlah koakan lebih dari 2 untuk setiap batangnya sehingga memicu robohnya pohon karena terpaan angin. Faktor ekonomi untuk memenuhi pendapatan baik untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun tuntutan target Perum Perhutani mempengaruhi perilaku penyadap menjadi berorientasi pada hasil getah yang banyak semata dan kurang memikirkan sustainabilitas hasil di m a s a y a n g a k a n d a t a n g. Ko n d i s i i n i mengindikasikan eksploitasi yang berlebihan. Kenyataan di lapangan juga menunjukkan bahwa alat kedukul yang digunakan mempunyai ukuran “pisau” (bagian tajam) yang lebih lebar (± 10 cm) dan berbentuk cekung ke dalam sehingga bekas luka yang dibuat juga akan lebih lebar dan dalam. Selain itu luka sadap yang dibuat secara manual/dengan tenaga manusia akan menghasilkan “bentuk” luka sadapan yang bervariasi tergantung kebiasaan penyadap. Variasi luka sadap yang dihasilkan bukan hanya terjadi antar penyadap tetapi juga dalam satu hamparan pohon pinus yang dikerjakan oleh satu penyadap pun akan menghasilkan ukuran luka sadapan yang relatif berbeda. Sebenarnya alat kedukul sudah disediakan oleh Perum Perhutani dengan ukuran tertentu (6 cm) untuk mencegah luka sadap yang dihasilkan tidak terlalu lebar dan dalam, namun penyadap sering menggantinya dengan alat kedukul yang mereka buat sendiri tentu dengan ukuran yang lebih besar dan sudah tidak sesuai lagi dengan yang disediakan Perum Perhutani. Bukan berarti pihak Perhutani tutup mata, namun jika dilarang atau dibiarkan saja tetap akan merugikan Perhutani. Hal tersebut tidak terjadi jika menggunakan alat semi mekanis mujitech, di mana ukuran pisaunya standar sehingga luka sadap yang dihasilkan juga lebih seragam. Alat mujitech ini dilengkapi dengan alat semprot berisi stimulan dan dioperasikan dengan bahan bakar solar. Pe n g o p e r a s i a n a l a t mu j i t e ch m e m a n g memerlukan keahlian khusus sehingga bagi
penyadap merasa keberatan menggunakan alat mujitech dalam penyadapan pinus. Mereka menganggap terlalu rumit dibanding alat kedukul. Penggunaan alat mujitech memerlukan modal yang cukup untuk penggadaan alat, biaya bahan bakar dan perawatan alat. Kondisi ini pula yang menjadi bahan pertimbangan penggunaan alat mujitech baik bagi Perum Perhutani maupun penyadap jika harus membeli sendiri alat tersebut. Pada awalnya Perum Pehutani mengambil kebijakan penggunaan alat mujitech dalam penyadapan pinus dilakukan pada kondisi tertentu di mana tenaga kerja penyadap sulit didapat. Namun dalam perkembangan uji coba penggunaannya muncul masalah baru yaitu ditemuinya kesulitan manakala alat mujitech ini digunakan dalam pembaharuan luka sadap. Pembaharuan luka sadap yang mengarah ke atas batang atau pelukaan yang semakin tinggi menyulitkan penggunaan alat semi mekanis mujitech ini (kurang praktis). Di sisi lain, sebenarnya penggunaan cara bor tidak banyak melukai batang pohon dan menghasilkan getah yang lebih bersih. Penelitian cara bor dengan berbagai ukuran mata bor (7 mm, 9 mm, 11 mm, 13 mm, 15 mm, 17 mm, 19 mm dan 21 mm) sudah dilakukan oleh Sukarno, dkk (2013) dengan kesimpulan bahwa produksi getah meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran mata bor. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ukuran bor yang disarankan digunakan dalam penyadapan pinus tidak boleh lebih dari 19 mm dan penggunaan mata bor yang berdiameter lebih kecil diharapkan akan cepat menutup luka sadapan. Namun teknik penyadapan dengan bor tidak dipilih dan tidak disukai oleh penyadap pinus. Bagi penyadap, pembuatan luka sadap dengan alat bor yang dilakukan secara manual lebih banyak memerlukan tenaga, belum lagi hasil getah yang diperoleh tidak sebanyak jika dengan alat kedukul. Padahal cara bor mempunyai keunggulan dalam meminimalkan kerusakan kayu akibat luka sadap, kesehatan pohon lebih terjaga dan mengurangi resiko pohon tumbang akibat angin kencang. Dengan cara bor, luka sadap yang kecil diharapkan lebih cepat menutup kembali seiring dengan pertumbuhan batang pohon. Upaya rekayasa alat bor semi mekanis perlu dikembangkan untuk mempermudah pembuatan luka sadap tentu dengan pertimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan. Secara ekonomi tidak 67
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 62-70
terlalu mahal biayanya, secara sosial dapat diterima masyarakat, sekaligus tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Pemilihan teknik penyadapan pinus tergantung pada kebiasaan masyarakat penyadap yang sudah terjadi secara temurun-temurun. Masyarakat di Jawa biasanya menggunakan alat kedukul atau pethel sedangkan penduduk dari Nias Sumatera Utara lebih suka menggunakan sistem “V” dalam membuat luka sadapannya dan mungkin juga ada daerah lain yang lebih memlilih menggunakan kedukul atau bor. Dari hasil wawancara, rata-rata penyadap keberatan mengganti alat sadap yang sudah sejak dulu digunakan secara turun temurun serta keberatan harus mengeluarkan biaya. Sesuai dengan pendapat Sudradjat dkk (2002) yang mengatakan bahwa suatu cara atau teknik penyadapan yang digunakan di suatu tempat belum tentu cocok secara menyeluruh pada semua lokasi penyadapan. Sistem penyadapan yang diterapkan di suatu lokasi dipengaruhi oleh adat ke b i a s a a n m a s y a r a k a t s e t e m p a t y a n g kemungkinan besar sulit merubah/mengganti sistem sadapan yang sudah dilakukan sejak dahulu dengan sistem sadapan yang baru, meskipun sistem sadapan yang baru dapat menghasilkan produksi getah yang lebih banyak. Dari ketiga cara penyadapan pinus yang dilakukan dalam penelitian ini (mujitech, bor dan kedukul) masih perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang jangka waktu recovery/ pemulihan luka sadap yang ditinggalkan oleh ketiga teknik tersebut. Hal ini berguna untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk memulihkan luka sadap akibat perlukaan mujitech, bor dan kedukul dan bagaimana pengaruh masing-masing teknik sadapan tersebut terhadap kondisi kesehatan pohon pinus itu sendiri. Dengan demikian informasi ini dapat digunakan untuk mendukung keberlanjutan (sustainability) pohon pinus dan getah pinus. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Produksi getah pinus paling banyak dihasilkan adalah cara penyadapan kedukul yaitu sebesar 18,01 g/ square /pengunduhan, sedang cara mujitech dan bor masing-masing sebesar 11,5 68
g/square/pengunduhan dan 11,2 g/square/ pengunduhan. Kadar pengotor dalam getah pinus yang dihasilkan dengan cara penyadapan bor lebih bersih daripada cara mujitech dan kedukul. Ratarata kadar pengotor getah yang dihasilkan dengan cara bor sebesar 4%. Penerapan cara penyadapan pinus di suatu lokasi dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat setempat yang sudah berlaku secara turun temurun. Kebiasaan tersebut tidak mudah diubah meskipun sistem sadapan yang baru dapat menghasilkan produksi getah yang lebih banyak. B. Saran
Perlu rekayasa cara penyadapan bor dengan tujuan agar lebih mudah dikerjakan dan efisien karena bor lebih berorentasi konservasi. Perlu penelitian lanjutan tentang jangka waktu recovery/pemulihan luka sadap yang ditinggal-kan oleh teknik sadapan yang digunakan sehingga kondisi kesehatan pohon pinus pasca sadap dapat diprediksi. Perlu rekayasa alat penampung getah yang bisa menampung getah sedemikian rupa sehingga kadar pengotornya dapat dikurangi. DAFTAR PUSTAKA Cahyono, S.A., D. Prakosa, D. Yuliantoro & Siswo. (2011). Produksi getah tusam pada berbagai ukuran dan jumlah kowakan. Buletin Hasil Hutan, 7(2), hal. 136-141. Dulsalam, Maman M Idris & Djaban Tinambunan. (1998). Produksi dan biaya penyadapan getah pinus dengan sistem bor : Studi Kasus di PT Inhutani IV Sumatera Barat. Buletin Penelitian Hasil Hutan, 16(1), hal. 1-16. Fachrodji, A. (2010). Model daya saing produk gondorukem di pasar internasional dan implikasi terhadap pengembangan industri gondorukem di Indonesia. (Disertasi). Tidak diterbitkan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Matangaran, J. (2006). Catatan untuk penyadap getah pinus. Dalam Duta Rimba (hal. 22-23). Jakarta: Perum Perhutani.
Pemanenan Getah Pinus Menggunakan Tiga Cara Penyadapan (Sukadaryati)
Panshin & De Zeeuw. (1970). Textbook of wood technology. New York, Toronto.: McGraw Hill Book.Company. Perhutani. (2010). Upaya meningkatkan produktivitas getah pinus menggunakan bahan yang ramah lingkungan., http://www.kphcianjur.perumperhutani.com . Diakses17 Februari 2011. Santosa, G. (2010). Pemanenan hasil hutan bukan k a y u ( H H B K ) . h t t p : / / m e m b e r s. multimania.co.uk. Diakses 17 Februari 2011. Santosa, G. (2011). Pengaruh pemberian ETRAT terhadap peningkatan produktivitas penyadapan getah pinus (Studi kasus di KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten). Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Snedecor, G.W. & W.G. Cochran. (1980). Statistic Methodes. Fifth edition. Ames, Iowa: Iowa State Univ. Press. BSN (2001). SNI 01-5009.4 Getah tusam.Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Sudradjat, D. Setyawan & S. Sumadiwangsa. (2002). Pengaruh diameter pohon, umur
dan kadar stimulan terhadap produksi getah tusam (Pinus merkusii Jungh et. de Vrise). Buletin Penelitian Hasil Hutan, 20(2), hal. 143-158. Sumantri, I. (1991). Perbaikan sistem penyadapan getah pinus untuk meningkatkan hasil getah. Duta Rimba No. 135-136/XVIII/1991, hal. 53-57. Sumantri, I & Endom. (1989). Penyadapan getah Pinus merkusii dengan menggunakan beberapa pola sadap dan tingkat konsentrasi zat perangsang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 6 (3), 152-159. Sutjipto. (1975). Penyadapan pinus dengan stimulan asam sulfat. Duta Rimba No. 5, hal. 12-15. Sutjipto. (1977). Gondorokem (Seri Kuliah HasilHasil Hutan Kayu). Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Wiyono, B. (2010). Teknologi pengolahan gondorukem hidrogenesi dari hasil penyulingan getah pinus. Bog or : Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.
69
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 62-70
LAMPIRAN
70
Gambar 1. Alat Kedukul
Gambar 2. Alat bor
Gambar 3.Alat mujitech
Gambar 4. Pisau sadapalat
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 71-81 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
HIDRORENGKAH KATALITIK MINYAK KULIT BIJI JAMBU METE (CNSL) MENJADI FRAKSI BENSIN DAN DIESEL (Catalytic Hydrocracking of Cashew Nut Shell Liquid into Gasoline and Diesel Fractions) 1,
Lisna Efiyanti & Wega Trisunaryanti
2
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, 2 Jurusan Kimia, FMIPA. Universitas Gadjah Mada. Jl. Sekip Utara Yogyakarta 55281 Email :
[email protected] Diterima 5 April 2013, Disetujui 3 Februari 2014
ABSTRACT This research aimed to look into the hydocracking potential of CNSL into fuel fraction with the aid of catalyst. The based materials of catalyst as used were Y-zeolite from Japan and Nickel metal (E-Merck). NiO/ZY catalyst was prepared with wet impregnation method using salt precursor Ni(NO3)2.6H2O into Y-zeolite as a supporting stuff. Catalyst characterization was determined by gravimetry method to examined acidity of catalyst with pyridine base as a adsorbate base and catalyst porosity using Surface Area Analyzer (NOVA-1000). Hydrocracking process was carried out in a fixed-bed system reactor using NiO/ZY catalyst at temperature of 400°C with H2 flow rate of 20mL/min, and the ratio of feed/catalyst equal to 4. The results product was analyzed using Gas Chromatography (GC). Results showed that CNSL hydrocracking with NiO/ZY catalyst brought out liquid product as much as 80.03% in portion with selectivity on gasoline, diesel and heavy oil are 38,47%, 25,88% and 15, 74%, respectively. Keywords: CNSL, bioenergy, hidrocraking, NiO/ZY ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi hidrorengkah minyak kulit jambu mete menjadi fraksi energi dengan bantuan katalis. Katalis yang digunakan berbahan dasar Zeolit-Y yang berasal dari Jepang dan logam Nikel (E-Merck). Katalis NiO/ZY dipreparasi dengan metode impregnasi basah menggunakan garam prekursor Ni(NO3)2.6H2O kedalam zeolit-Y sebagai bahan pengemban. Karakterisasi katalis ditentukan dengan metode gravimetri untuk mengetahui keasaman katalis dengan basa piridin sebagai basa adsorbat dan porositas katalis menggunakan Surface Area Analyzer (NOVA1000). Proses hidrorengkah dilakukan dengan reaktor sistem fixed bed menggunakan katalis NiO/ZY pada suhu 400°C, aliran gas H2 sebanyak 20ml/menit selama 1 jam dengan rasio umpan/katalis = 4. Produk yang dihasilkan dianalisis menggunakan Kromatografi Gas (GC). Hasil reaksi yang diperoleh menunjukkan bahwa hidrorengkah CNSL dengan katalis NiO/ZY menghasilkan produk cair sebanyak 80,03% dengan selektivitas bensin, diesel dan minyak berat masing-masing sebesar 38,47%, 25,88% dan 15, 74%. Kata kunci : CNSL, bioenergi, hidrorengkah, NiO/ZY
71
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 71-81
I. PENDAHULUAN Ketersediaan energi bersumber dari fosil semakin hari akan terancam habis, sehingga diperlukan upaya pencarian energi alternatif berbahan dasar yang dapat diperbaharui untuk mensubstitusi kebutuhan energi di masyarakat. Bioenergi yang berkembang saat ini berasal dari minyak nabati maupun hewani, akan tetapi seyogyanya bahan dasar pembuatan energi tidak berkompetisi dengan pangan, sehingga perlu diupayakan bahan baku energi yang tidak mengganggu kebutuhan lain, seperti misalnya saja tandan kosong kelapa sawit, serbuk gergaji, maupun kulit biji jambu mete. Tanaman jambu mete termasuk family Anacardiaceae (Ketaren, 1986), dan memiliki komoditas ekonomi yang tinggi. Persebaran tanaman ini cukup luas, baik di wilayah Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi maupun daerah Indonesia Timur. Tanaman jambu mete memiliki keunggulan karena dapat dikembangkan di daerah yang kondisi lahannya marginal dan beriklim kering, sehingga sekaligus dapat berfungsi untuk merehabilitasi lahan kritis. Tanaman ini umumnya dimanfaatkan secara luas hanya pada bagian biji nya saja, yaitu untuk konsumsi walaupun sebenarnya pada bagian lain seperti getah berfungsi sebagai perekat buku dan anti rayap, buah dapat dikonsumsi dan di fermentasi menghasilkan alkohol serta minyak kulit biji mete menjadi pengawet kayu (Ketaren, 1986). Produksi biji mete di Indonesia pada tahun 2003 sekitar 118,771 ton gelondongan dengan persentase kulit sebanyak 45%, sehingga dapat diestimasikan sebanyak 10,684 ton CNSL akan dapat diperoleh (Rishfaheri & Kailaku, 2005). Kulit biji jambu mete mengandung sekitar 50% minyak yang dikenal sebagai Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) (Foger, 1983). Dari 1 kg kulit biji mete dapat menghasilkan 100 gram minyak CNSL (Suwondo dan Lubis, 2001). CNSL sendiri merupakan senyawa fenolat kompleks dengan rantai cabang dan sifatnya tidak jenuh. Kandungan utama minyak ini adalah asam anarkadat sebesar 70%, kardol 18% dan kardanol 5% (Budiati, et al., 2004). Minyak CNSL ini dapat juga dimanfaatkan untuk bahan baku produksi bioenergi dengan metode reaksi hidrorengkah katalitik. Reaksi ini akan memecah rantai panjang pada CNSL menjadi hidrokarbon sederhana 72
(Atkins, 1994). Jenis katalis yang optimum yang biasa digunakan dalam proses reaksi hidrorengkah katalitik adalah katalis logam pengemban. Katalis yang digunakan adalah NiO/ZY hasil dari impregnasi logam nikel ke dalam pengemban zeolit-Y. Zeolit-Y adalah golongan faujasite yang memainkan peranan penting dalam industri petrokimia (Homberg, et. al.,2003). Aktivitas dan selektifitas katalis Ni/ZY terbukti cukup efektif dalam proses hidrorengkah aspalten (Pembajeng, 2010), dibenzitiopena dan dimetilbenzitiopena (Kaneda et.al, 1998) serta reaksi hidrogenasi benzene. Alosobaai, et.al(2007) mengungkapkan bahwa pengembanan katalis logam pada zeolit-Y dalam reaksi hidrorengkah dengan temperatur 450°C menghasilkan konversi optimum petroleum gas oil menjadi gasolin, kerosin dan diesel masing-masing sebesar 63,35%. Twaig, et.al (2003) juga mendapatkan hasil hidrokarbon cair linier pada reaksi hidrorengkah minyak sawit dengan penggunaan reaktor yang sama pada kondisi temperatur 450°C. II. B A H A N D A N M E T O D O L O G I PENELITIAN A. Bahan, Alat dan Persiapan Penelitian mengenai hidrorengkah CNSL menjadi fraksi bensin dan diesel ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika FMIPA UGM pada tahun 2010. Peralatan utama yang digunakan pada penelitian ini diantaranya seperangkat reaktor hidrorengkah, seperangkat alat gelas, Surface Area Analyzer , desikator, instr umen GC-MS, seperangkat alat sentrifus. Bahan yang digunakan adalah cangkang kulit biji jambu mete (CNSL) yang dikumpulkan dan diambil dari petani mete di daerah Gunungkidul, Yogyakarta dan diekstraksi di Laboratorium Terpadu UGM. B. Preparasi CNSL Preparasi umpan CNSL dilakukan dengan pengepresan mekanis (hidrolic press) kulit biji jambu mete sehingga didapatkan minyak CNSL. Sebanyak kurang lebih 5 kg cangkang kulit biji mete kering dapat menghasilkan minyak CNSL sekitar 1250ml. CNSL di bersihkan dari kotoran sehingga siap menjadi umpan pada proses hidrorengkah.
Hidrorengkah Katalitik Minyak Kulit Biji Jambu Mete (CNSL) Menjadi Fraksi Bensin dan Diesel (Lisna Efiyanti & Wega Trisunaryanti)
C. Pembuatan Katalis NiO/Zeolit -Y Zeolit-Y diberi larutan yang mengandung logam Ni(NO3).6H2O kemudian direfluks dan diaduk selama 2 jam pada tempetatur 80°C. Metode ini disebut dengan metode impregnasi basah. Hasil refluks dikeringkan dalam oven pada temperatur 120°C sehingga diperoleh padatan Ni/Zeolit-Y. Padatan tersebut kemudian dikalsinasi menggunakan microwave selama 15 menit dengan daya 550 watt. Hasil kalsinasi kemudian dioksidasi menggunakan aliran oksigen pada temperatur 400°C selama 1 jam sehingga didapat katalis NiO/ZY. D. Karakterisasi Katalis Nilai keasaman katalis yang dibuat ditentukan secara gravimetri menggunakan piridin sebagai basa adsorbat. Luas permukaan spesifik, volume pori dan rerata jejari pori ditentukan dengan Surface Area Analyzer (SAA NOVA-1000). Kondisi instrumen dari SAA NOVA-1000 : Berat sampel : 0,149 g : 3,0 jam Outgas time Gas analisis : Nitrogen Waktu analisis : 298,2 menit : 96 Cell ID Outgas temp : 300 °C Bath temp : 77,3 K. E. Hidrorengkah Minyak Kulit Jambu Mete (CNSL) Hidrorengkah CNSL menjadi fraksi bensin dan diesel dilakukan dengan cara menempatkan katalis dan umpan pada reaktor jenis fixed-bed. Katalis diletakkan dibagian atas reaktor sementara umpan diletakkan dibagian bawah. Kemudian reaktor tersebut dipanaskan hingga mencapai temperatur konstan 400°C. Pada saat rekasi, aliran gas hidrogen diberikan dengan laju alir konstan sebesar 20ml/menit (dilihat pada petunjuk flow meter ). Setelah proses reaksi mencapai kesetimbangan, maka produk sedikit demi sedikit akan keluar melalui selang silikon dan melewati kondensor sehingga menetes pada wadah penampung. Proses hidrorengkah tersebut berlangsung selama 1 jam dan hasil akhir produk berupa produk cair, gas, dan kokas. Perhitung an konversi meng gunakan persamaan :
Konversi produk cair % = produk cair (g) : (umpan awal - umpan akhir x100) %...................(1) Konversi produk gas (% b/b) = 100 % - (konversi produk cair + kokas).............................................(2) Analisis produk akhir dilakukan dengan menginjeksikan sampel pada alat GC sehingga diperoleh data kualitatif dan kuantitatif. Data pada GC menunjukkan beberapa produk yang terbentuk. Untuk mengetahui distribusi produk fraksi cair maka dilakukan spiking menggunakan standar dodekana sehingga dapat diketahui interval waktu retensi fraksi bensin dan diesel. Kondisi instrumen dari GC : Jenis GC : QP2010S SHIMADZU Kolom : Rastex RXi-5MS ID : 0,25 mm Gas pembawa : Helium Ionisasi : EI Temperaturkolom : 60°C Mode injeksi : Split Aliran total : 80 ml/menit Aliran kolom : 0,50 ml/menit % bensin = luas kromatogram bensin : luas kromatogram GC x 100%....................................(3) % diesel = luas kromatogram diesel : luas kromatogram GC x 100%....................................(4) % minyak = luas kromatogram minyak : luas kromatogram GC x 100%....................................(5) Fraksi bensin dan diesel dalam masing-masing produk cair dapat dihitung dengan persamaan (Trisunaryanti, et al., 2008) (% bensin/diesel/minyak ÷ konversi produk) x 100%.......................................................................(6) III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. M a t e r i a l K a t a l i s u n t u k R e a k s i Hidrorengkah CNSL Pada Gambar 1, terlihat bahwa setiap jenis katalis memiliki luas permukaan yang berbeda. Katalis NiO/ZY memiliki luas permukaan yang lebih besar dibanding katalis ZY, sehingga ini menyebabkan produk hasil hidrorengkah menggunakan katalis NIO/ZY akan lebih baik. Luas permukaan yang besar akan memungkinkan terjadinya interaksi/kontak antara reaktan dan katalis dapat lebih efektif, sehingga reaksi akan lebih cepat terjadi dan produk akan terbentuk lebih optimal. Sebaliknya, apabila luas permukaan 73
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 71-81
katalis kecil, maka interaksi antara reaktan dan katalis juga akan sulit (tumbukan kurang efektif) sehingga produk yang diharapkan akan juga sulit di dapat (Augustine, 1996). Pada Gambar 2. dapat dilihat bahwa keasaman dan volume pori dari katalis hasil impregnasi logam nikel bernilai lebih besar dibanding zeolit-Y tanpa impregnasi logam. Hal ini dikarenakan logam Ni menyumbang situs aktif orbital d yang kosong sebagai penerima pasangan elektron. Dengan adanya impregnasi logam Ni ke dalam
sampel zeolit, maka situs aktif katalis bertambah Logam Ni yang dapat berperan sebagai situs asam Lewis dan orbital d pada Ni bersifat reaktif dalam menerima pasangan elektron dari basa yang terserap. Karakterisasi katalis akan berpengaruh pada reaksi, kuantitas, dan kualitas produk hidrorengkah yang dihasilkan. Fatimah (2002) mengembankan logam Ni pada zeolit-Y dan hasilnya menunjukkan bahwa adanya Ni dalam katalis dapat meningkatkan aktivitas dan selektivitas produk pada hidrorengkah kumena.
Gambar 1. Jenis katalis dengan luas permukaan Figure 1.Type of catalyst and its surface area
Volume pori (Pore volume) cc/g
Jejari rerata (Averange pore radius) (A)
Keasaman (Acidity) (mmol/g)
Gambar 2. Jenis katalis dan karakter pori Figure 2.Type of catalysts and its pore characterization
74
Hidrorengkah Katalitik Minyak Kulit Biji Jambu Mete (CNSL) Menjadi Fraksi Bensin dan Diesel (Lisna Efiyanti & Wega Trisunaryanti)
B. Produk Hasil Hidrorengkah CNSL Pada analisa kromatografi gas (GC) dapat dilihat dan dihitung beberapa macam produk hidrorengkah yang dihasilkan. Salah satu kriteria penting untuk melihat kualitas katalis dan berhasilnya suatu reaksi adalah dengan melihat selektifitas produk yang dihasilkan. Pada reaksi hidrorengkah CNSL ini, produk yang diharapkan adalah produk fraksi cair (fraksi bensin dan diesel). Untuk mengidentifikasi senyawa yang dicari, maka diperlukan spiking sampel produk dengan senyawa standar, sehingga area kromatogram fraksi bensin dan diesel dapat diketahui. Puncak pada kromatogram akan muncul pada waktu retensi tertentu, dan waktu retensi ini dapat dipakai untuk identifikasi senyawa yang belum diketahui dengan cara membandingkan retensi senyawa produk dengan retensi standar (Pembajeng, 2010). Kromatogram hasil analisis memperlihatkan bahwa standar bensin muncul pada waktu retensi 9,358 menit, sehingga dapat diperkirakan bahwa puncak yang muncul sebelum waktu retensi tersebut adalah puncak dari fraksi bensin, retensi
Cair (Liquid) %
9,358-20 menit adalah puncak dari fraksi disel serta retensi setelah 20 menit adalah fraksi dari minyak berat. CNSL tidak dapat digunakan secara langsung sebagai bahan bakar dikarenakan merupakan minyak nabati yang memiliki viskositas tinggi, sehingga hal ini akan mengakibatkan pembakaran tidak sempurna (Twaig, et al. 2004). CNSL juga tidak seluruhnya dapat dikonversi menjadi produk cair (fraksi bensin dan diesel) akan tetapi dapat menghasilkan produk samping berupa gas dan kokas. Produk cair dapat terbentuk karena adanya reaksi perengkahan langsung, terbentuk dari reaksi penggabungan senyawa hidrokarbon hasil reaksi dan dapat juga terbentuk dari hasil refor masi senyawa hidrokarbon sampel (Nazarudin, 2000). Penggunaan katalis yang bersifat asam juga dapat memicu pembentukan kokas pada akhir reaksi, sedangkan produk gas terbentuk karena kemungkinan tidak terbentuknya reaksi polimerisasi pada saat reaksi (Fessenden, 1992). Dari perhitungan persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka untuk mempermudah analisis tentang selektivitas katalis terhadap produk yang diinginkan dapat dibuat gambar seperti berikut:
Gas (Gas) %
Kokas (Coke) %
Gambar 3. Hasil dekomposisi CNSL dengan proses hidrorengkah katalitik Figure 3. Product decomposition of CNSL using catalytic hydrocracking process
75
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 71-81
Produk cair terbanyak dihasilkan oleh penggunaan katalis NiO/ZY pada kondisi reaksi temperatur 400°C dan perbandingan katalis/ umpan 4 dengan konversi total produk cair sebesar 80,03%. Pada penelitian ini juga dilakukan proses hidrorengkah dengan kondisi termal tanpa katalis, dengan tujuan sebagai kontrol untuk melihat kinerja katalis. Gambar 3 memperlihatkan bahwa hasil dekomposisi belum efektif, hal ini dikarenakan pada reaksi termal, proses perengkahan melalui pembentukan radikal bebas sehingga cenderung menghasilkan senyawa
hidrokarbon berantai pendek dan berbentuk gas (Trisunaryanti et al., 2008). Setiap katalis memiliki temperatur karakteristik dimana konversi akan maksimum dan hal ini disebut dengan temperatur optimum laju reaksi. Dari Gambar. 4 memperlihatkan bahwa ketika keasaman katalis meningkat, maka produk cair yang terbentuk juga cenderung semakin besar (Santi, et al., 2012). Dengan keasaman katalis yang besar maka diharapkan reaktan akan terserap lebih banyak pada permukaan katalis sehingga reaksi dapat terjadi dengan lebih efektif.
Gambar 4. Hubungan antara keasaman dan produk cair yang dihasilkan Figure 4. Relationship between acidity and liquid product produceed Tabel 1. Komposisi produk yang dihasilkan dari proses perengkahan dengan berbagai macam katalis Table 1. Product compositions produceed by hydrocracking of catalysts Katalis Termal ZY NiO/ZY
Temperatur (°C)
Bensin %
Diesel %
Minyak berat %
Total produk cair %
4009.33 400 400
7.58 12.33 38.47
31.131 13.50 25.88
48.05 32.73 15.74
58.68 80.03
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa hidrorengkah CNSL dapat menghasilkan produk fraksi bensin dan diesel yang hasilnya berbeda tergantung jenis katalis. Penggunaan katalis akan meningkatkan laju reaksi pembentukan karbokation sehingga terbentuk fraksi cair lebih dominan (Sie, 2003). 76
Katalis NiO/ZY menghasilkan produk bensin yang lebih banyak dibanding katalis ZY maupun dengan kondisi termal (tanpa katalis). Hal ini dkarenakan katalis tersebut memiliki keasaman dan luaspermukaan yang lebih besar sehingga distribusi situs aktif juga semakin besar,
Hidrorengkah Katalitik Minyak Kulit Biji Jambu Mete (CNSL) Menjadi Fraksi Bensin dan Diesel (Lisna Efiyanti & Wega Trisunaryanti)
karenanya akses reaktan dan rantai karbon akan lebih baik dan lebih mudah terpecah. Rerata jejari pori yang lebih besar juga dapat mengakibatkan rantai hidrokarbon yang lebih panjang lebih mudah untuk masuk ke dalam katalis dan proses pemecahan rantai karbon akan semakin optimal. Gambar 5, 6, 7, dan 8 menggambarkan perbandingan dari beberapa kromatogram sampel energi, baik bensin komersial, solar maupun produk hasil hidrorengkah CNSL. Komponen senyawa penyusun bensin adalah hidrokarbon rantai C4-C12, solar C10-C17. Setiap sampel yang dianalisis memiliki karakteristik pada masing-masing kromatogram yang terlihat. Kromatogram bensin dan solar komersial dapat menjadi referensi untuk penilaian kualitatif pada kesamaan pola kromatogram yang muncul. Secara kualitatif pada sampel produk hasil hidrorengkah CNSL baik dalam kondisi tanpa katalis maupun menggunakan katalis NiO/ZY terlihat bahwa terdapat pola kromatogram yang menyerupai kromatogram bensin dan solar. Hal ini
menandakan bahwa secara kualitatif sampel produk hasil hidrorengkah CNSL mengandung fraksi bensin dan fraksi diesel serta minyak berat. Dari beberapa pola kromatogram di atas, maka dapat dibedakan bahwa adanya perbedaan kondisi reaksi pada proses hidrorengkah menghasilkan puncak kromatogram yang intensitasnya juga berbeda. Seperti pada kromatogram hasil hidrorengkah termal yang memperlihatkan bahwa puncak kromatogram solar maupun bensin yang terbentuk, intensitas dan ketinggiannya sangat rendah, sehingga dapat diperkirakan selektivitasnya pun terhadap kedua produk sangatlah kecil hal ini telah dibuktikan dengan perhitungan kuantitatif sebelumnya. Sedangkan puncak kromatogram hasil hidrorengkah menggunakan katalis NiO/ZY semakin baik dengan intensitas solar dan bensin yang jauh lebih tinggi dibanding dengan perengkahan termal. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan katalis dengan sifat pengemban yang berbeda dapat menghasilkan selektivitas yang juga berbeda.
Gambar 5. Kromatogram bensin komersial Figure 5. Commercial gasoline chromatogram
Gambar 6. Kromatogram diesel komersial Figure 6. Commercial diesel chromatogram 77
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 71-81
Gambar 7. Kromatogram produk cair hasil hidrorengkah termal Figure 7.Chromatogramof liquid products with thermal hydrocracking
Gambar 8. Kromatogram produk cair hasil hidrorengkah dengan katalis NiO/ZY Figure 8. Chromatogram of liquid products with NiO/ZY catalyst Katalis yang menggunakan pengemban zeolitY dengan pengembanan logam nikel yang diketahui memiliki keasaman, luas permukaan serta volume pori yang jauh lebih besar dibanding tanpa pengembanan logam dan menghasilkan selektivitas terhadap produk yang lebih baik. Sehingga dalam proses reaksi hidrokrengkah CNSL menjadi fraksi bensin dan fraksi diesel diperlukan optimasi kondisi reaksi agar dapat menghasilkan produk yang optimal.
78
IV. KESIMPULAN Reaksi hidrorengkah CNSL menggunakan katalis NiO/ZY menunjukkan bahwa CNSL memiliki potensi untuk di konversi menjadi fraksi energi, seperti bensin dan diesel dengan produktivitas masing-masing produk berturutturut sebanyak 38,47dan 25,88%.
Hidrorengkah Katalitik Minyak Kulit Biji Jambu Mete (CNSL) Menjadi Fraksi Bensin dan Diesel (Lisna Efiyanti & Wega Trisunaryanti)
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh civitas akademika di Jurusan Kimia FMIPA UGM dan Mikrobiologi Hutan FORDA atas bantuan dan bimbingan sehingga penelitian dan tulisan ini dapatdiselesaikan. DAFTAR PUSTAKA Alsobaai, A.M, R. Zakarian, & B.H. Hammed. (2007). Hydrocracking of Gas Oil over NiW, Ni-Mo, Co-Mo Catalyst Supported on USY zeolite. Aiser, 3(3), 91-98. Atkins, P. (1994). Physical Chemistry, 7th edition. Oxford: Oxford University Press. Augustine, R. L. (1996.). Heterogenous Catalysis for Chemist, Marcel dekker, Inc. New York. Budiati. (2004). Synthesis and Activity test of Methyl Anarcadat as a Enzyme Inhibitor ofSulfihidril,Jakarta:JBP kolom 6, No. 2. Fatimah. (2002). Preparasi dan krakterisasi Ni/Zeolit alam sebagai katalis dalam Hydrocracking Isopropil Benzena. Prosiding Seminar Nasional Kimia X. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Foger, K. (1983). Dispersed metal catalyst. Australia: University of Melbourne. Gates, B. (1992). Catalytic Chemistry. New York: John Wiley and Sons, Inc. Kaneda, K., Wada, T., Murata, S., & Nomura, M. (1998). Hidrocracking of dibenzotiophenes catalyzed by palladium and nikel coloaded y-type zeolite, Energy and Fuels.298-303. Ketaren, S. (1986). Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan . Jakarta: Universitas Indonesia Press (UI-Press). Nazarudin. (2000). Optimasi kondisi reaksi perengkahan katalitik fraksi minyak berat dengan katalis Cr dan Ni-zeolit alam . Tesis, Yogyakarta: FMIPA UGM. Pembajeng, N. (2010). Preparasi dan karakterisasi katalis ni dan/atau mo teremban pada zeolit-y untuk hidrorengkah fraksi aspalten dari aspal
buton menjadi fraksi bahan bakar cair. Skripsi, Yogyakarta: FMIPA UGM. Rishfaheri and Kailaku, S. (2005). Teknologi pengembangan produk turunan minyak kulit biji mete. Prosiding Seminar Teknologi Inovatif untuk Pengembangan Pascapanen Pertanian Berbasis Industri. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Santi D., L. Efiyanti, W. Trisunaryanti, Triyono. (2012). The potential of cashew nut shell liquid within hydrocracking reaction to produce the gasoline and diesel fraction. Proceeding of The 2nd Korea-Indonesia Workshop and International Symposium on Bioen, (hal. 135-138). Tangerang. Sie, S. (2003). Ind. Eng. Chem. Res, 31. 1881-1889. Suwondo, A. D. & Lubis, L. (2001). Ekstraksi CNSL dari kulit biji Jambu Mete. Semarang: Laporan Penelitian Jurusan Teknik Kimia Undip. Trisunar yanti, W. (2009). Preparation, characterization and catalytic activity test of como / zno catalyst on ethanol conversion using steam reforming method. Indo.J.Chem, 9(2), 195-200. Trisunaryanti, W. E. Triwahyuni, & S. Sudiono. (2004). Preparation, Characterization and Modification of Ni-Pd/ Natural Zeolit Catalysts. Indo, J, Chem, 3 (1), 342-347. Trisunaryanti, W. (2007). Material Katalis. Yogyakarta: Dept. Kimia FMIPA. UGM. Triyono. (2002). Kimia Katalis. Yogyakarta: Dept. Kimia FMIPA. UGM. Trisunaryanti, W., S. Purwono., & A. Putranto. (2008). Catalytic hydrocracking of waste lubrican oil into liquid fuel fraction using ZnO, Nb2-O5, Activated Natural Zeolite And Their Modification. Indo, J, Chem, 8(3), 342-347. Twaiq, A.F., A.R. Mohamed, & S. Bhatia. (2003). Liquid hydrocarbon fuels from palm oil by catalytic cracking over aluminosilicate mesoporous catalysts with various Si/Al Ratios, Micro. Meso. Mater, 64, hal. 95-107.
79
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 1, Maret 2014: 71-81
Lampiran Tabel kemungkinan senyawa yang terkandung dalam produk hasil hidrorengkah CNSL Komponen kimia 1-Nonene 1-Decene Cyclopropane, 1-heptyl-2-methyl-(CAS) Decane Phenol, 3-methyl Undecane (CAS) n-Undecane Tridecane Dodecane Phenol, 3-ethyl 3-Tetradecene, Z Tetradecane Hexadecane Cyclododecane 3-Tetradecene Heptadecane 8-heptadecyne, 1-bromo Cyclododecene, Z-CAS (Z)-cyclododecene 3-tetradecene 3-Hexadecene, (Z)-(CAS) cis.3-hexadecene Tetradecene 1-naphtalenol, 5,6,7,8-tetrahydro-(CAS) Benzene, 1-(1,1-dimetylethoxy)-4-mehyl Dodecanoic acid, methyl ester Phenol, 3-buthyl Benzene, (1-methylnonadecyl) Tetradecanoic acid 10,13-octadecadienoic acid, methyl ester CAS 11-octadecenoic acid, methyl ester (Z) Octadecanoic acid, methyl ester
80
Waktu retensi 0-10 menit
10-20 menit
20-30 menit
Hidrorengkah Katalitik Minyak Kulit Biji Jambu Mete (CNSL) Menjadi Fraksi Bensin dan Diesel (Lisna Efiyanti & Wega Trisunaryanti)
Lampiran Tabel kemungkinan senyawa yang terkandung dalam produk hasil hidrorengkah CNSL Komponen kimia 1-Nonene 1-Decene Cyclopropane, 1-heptyl-2-methyl-(CAS) Decane Phenol, 3-methyl Undecane (CAS) n-Undecane Tridecane Dodecane Phenol, 3-ethyl 3-Tetradecene, Z Tetradecane Hexadecane Cyclododecane 3-Tetradecene Heptadecane 8-heptadecyne, 1-bromo Cyclododecene, Z-CAS (Z)-cyclododecene 3-tetradecene 3-Hexadecene, (Z)-(CAS) cis.3-hexadecene Tetradecene 1-naphtalenol, 5,6,7,8-tetrahydro-(CAS) Benzene, 1-(1,1-dimetylethoxy)-4-mehyl Dodecanoic acid, methyl ester Phenol, 3-buthyl Benzene, (1-methylnonadecyl) Tetradecanoic acid 10,13-octadecadienoic acid, methyl ester CAS 11-octadecenoic acid, methyl ester (Z) Octadecanoic acid, methyl ester
Waktu retensi 0-10 menit
10-20 menit
20-30 menit
81
PEDOMAN BAGI PENULIS
GUIDELINE FOR AUTHORS
1. Dewan Redaksi Jurnal menerima naskah ilmiah berupa hasil penelitian atau hasil studi dalam bidang keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, yang belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses untuk dimuat di media lain. 2. Dewan Redaksi memiliki wewenang penuh untuk mengkoreksi, dan mengembalikan untuk diperbaiki, atau menolak tulisan apabila tidak memenuhi persyaratan. Penilaian naskah secara substantif dilakukan oleh Mitra Bestari. 3. Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk soft file dan hardcopy ke alamat sekretariat redaksi yaitu: Jurnal Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia. 16610, e-mail:
[email protected].
1. Editorial boards of Journal accept only original work on forest engineering including harvesting and forest product processing, and only original manuscript which has not been published or in any process of pursuing in any scientific journal and/or media in any form of publication. 2. Editorial boards are authorized to ammend the manuscript and possibly discard the manuscript which does not meet scientific journal requirements. Peer reviewers are allowed to assess the manuscript substansially according to his/her expertise. 3. Manuscript in both hard copy and soft file must be send to the Journal secretariat address i.e: Jurnal Penelitian Hasil Hutan (Journal of Forest Product Research) Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia. 16610, e-mail:
[email protected]. 4. Manuscript must be written in A4 paper, font Times New Roman, size 12, double spaced. Left margin is 3 cm, top bottom and right margins are 2.5 cm. Maximum manuscript length is 20 pages.
4. Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4, tipe huruf Times New Roman, font 12 dengan 2 spasi. Pada tepi kiri kertas dikosongkan minimal 3 cm, dan tepi lainnya 2,5 m. Panjang naskah maksimal 20 halaman. 5. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dengan menggunakan kaidah penulisan bahasa yang telah dibakukan. 6. Struktur naskah sekurang-kurangnya tersusun sebagai berikut; 1) Judul, 2) Nama, instansi, dan alamat e-mail penulis, 3) Abstrak, 4) Kata kunci, 5) Pendahuluan (berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan, teori, dan hipotesis [opsional] ), 6) Bahan dan Metode (berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, metode analisis data), 7) Hasil dan Pembahasan, 8) Kesimpulan (Kesimpulan dan Saran), 9). Ucapan Terima Kasih (opsional), 10) Daftar Pustaka dan 11) Lampiran (opsional). 7. Naskah a. Judul, ditulis ringkas tidak melebihi 2 baris dengan huruf kapital, dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, ukuran font 14, dicetak tebal dan harus mencerminkan isi tulisan. b. Nama penulis (tanpa gelar), instansi penulis dan alamat ditulis berturut-turut dengan ukuran 12, ditulis miring dan dicetak tebal.
5. Manuscript must be well written in Bahasa Indonesia or English. 6. Manuscript must be written according to the scientific journal structure: 1) Title, 2) Corresponding authors detail, 3) Abstract, 4) Keywords, 5) Introduction, 6) Material and method, 7) Result and Discussion, 8) Conclusion (Conclusion and Recomendation, 9) Acknowledgement (optional)), 10) References and 11) Appendices (optional).
7. Manuscript a. Title, must be written concisely and represents whole text, in Bahasa Indonesia and English, should not exceed two rows, written in font size 14, bold). b. Author/s is written (without academic degree/title), corresponding author affiliation, address with font size 12, bold).
c. Abstrak , dibuat dalam satu paragraf menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan 2 bentuk, yaitu; bentuk pertama untuk lembar abstrak, maksimal 50 kata dan bentuk kedua (abstrak) maksimal 250 kata, berupa intisari dari naskah secara menyelur uh dan infor matif . Tidak diperkenankan mencantumkan sumber pustaka dalam abstrak. d. Kata kunci; maksimal 5 kata atau istilah. e. Isi dimulai dari pendahuluan, judul dari bab ditulis dengan penomoran angka romawi (I, II, III, ... dst.) dan dicetak tebal dengan huruf kapital, dilanjutkan dengan huruf (A, B, C,... dst.), kemudian angka (1.2,3.... dst. (cetak biasa)), kalau masih diperlukan poin-poin lagi bisa menggunakan huruf a,b,c, ... dst. f. Tabel. Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan jelas dan singkat. Penggunaan tanda koma(,) dan titik (.) di dalam tabel menunjukkan nilai pecahan desimal dan kebulatan seribu disesuaikan dengan format bahasa yang digunakan. g. Gambar: Foto, grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus kontras dan dibuat dengan warna hitam putih, kecuali jika warna menentukan arti. Setiap gambar diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Foto: yang dicantumkan harus mempunyai kualitas ketajaman gambar (pixels) yang tinggi. h. Daftar Pustaka; Pengacuan pustaka diutamakan terbitan 5 tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber acuan primer. Setiap penulisan pustaka harus dikutip dalam naskah dan setiap pengutipan dalam naskah harus terdapat dalam Daftar Pustaka. Format Daftar Pustaka mengacu pada salah satu model internasional APA (American Psychological Association) serta mencantumkan kode DOI (Digital Object Identifier) jika diperoleh dari sumber jurnal online sebagaimana contoh berikut:
c. Abstract, must be set in a single paragraph limit to 250 words (for format-1) and max. 50 word (for format-2) in both Bahasa Indonesia and English. Abstract must be state the nature of the investigation and summarize the important conclusions of this investigation. Avoid references in the abstract.
d. Keyworld; 5 worlds or terms maximum. e. Chapters are numbered in Roman number type (I, II, III and IV), printed in capital and bold, followed by sub chapter which is written in alphabet capital, bold (A, B, C, ...). Sub-sub chapter is written in numbering system, non-bold (1, 2, 3, ...). Sub-sub-sub chapter may be written in alphabet noncapital, non-bold (a, b, c, ...)). f. Table caption must be written concisely in both Bahasa Indonesia and English. The use of comma (,) and point (.) must be used in decimal number appropriately according to manuscript language).
g. Figure: Photos and graphs must be prepared in good contrast in grey scale that allow black and white contrast, except colour figure is necessary for meaningfull explanation. Photos must be in good contrast and high in resolution. Every figure is captioned in both Bahasa Indonesia and English and numbered normally in right order). h. Reference; References cited should be published 5 years old for majority reference and 80% from primary source, referencing must meet the APA (American Psychological Association) style. Reference list must be written in alphabetical order includes the DOI (Digital Object Identifier) for online sources, For example:
1. Artikel dalam jurnal ilmiah (1 penulis) (Article in scientific journal ( 1 author)) Endom, W. (2013). Produktivitas dan biaya alat hasil rekayasa dalam pengeluaran kayu jati di daerah curam. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30(1), 63-74.
2. Artikel dalam jurnal ilmiah (2 - 6 penulis) (Article in the scientific journal ( 2-6 authors)) Kissinger, Evrizal AMZ., Latifa K, Darusman, dan Iskandar (2013). Penapisan senyawa fitokimia dan pengujian antioksidan ekstrak daun pohon merapat (Combretocarpus rotundatus Miq.) dari hutan kerangas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(1), 9-18. Li-bing Z., Mark P.S. dan Sussane S.R. (2007). A phylogeny of Anisophylleaceae based on six nuclear and plastid loci: Ancient disjuctions and recent dispersal beetween South America, Africa and Asia. Molecuar Phylogenetics & Evolution; Spet 2007, 44(3), p 10571067, doi: 0.1016/jympev. 2007. 03.002. 3. Artikel dalam jurnal ilmiah (lebih dari 6 penulis) (Article in the scientific journal (up to 6 authors)) Pari, G., Adi S. Djeni H, Buchari, Akhirudin M, Mamat R, et. al. (2013). Karakteristik struktur nano karbon dari lignosellulosa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(1), 75-91. 4. Buku teks (1-6 penulis) Text book (1-6 authors)) Sudradjat, H.R. (2006). Memproduksi biodiesel jarak pagar. Jakarta: Penebar Swadaya. 5. Buku teks (lebih dari 6 penulis) (Text book (up to authors)) Muslich, M., M. Wardani, T. Kalima, S. Rulliaty, R. Damayanti, N. Hadjib, et. al. (2013). Atlas Kayu Indonesia Jilid IV. Bogor: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. 6. Prosiding (Proceeding) Dulsalam (2012). Pemanenan Kayu Ramah Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan Tahun 2011. Bogor: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. 7. Skripsi, Tesis, atau Disertasi (Thesis or Disertation) Widyati, E. (2006). Bioremediasi tanah bekas tambang batubara dengan sludge industri kertas untuk memacu revegetasi lahan. Disertasi. Program Pendidikan Doktor: Institut Pertanian Bogor. 8. Laporan penelitian (Research report) Djarwanto dan T.K. Waluyo. (2013). Teknologi produksi ragi untuk pembuatan bioetanol. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. 9. Artikel dari situs internet (Article on the website) Massijaya, M.Y. (2008). Upaya penyelamatan industri pengolahan kayu Indonesia ditinjau dari sudut ketersediaan bahan baku, http://www.fahutan.s5.com/sept/sept006.html, diakses 17 Februari 2010. 10. Artikel dari situs internet (tanpa nama penulis) (Article on the website (anonymous)) Dephut. (2008). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah melaksanakan penelitian pembuatan biodiesel dari biji nyamplung (Calophylum inophylum L.) tahun 2005-2008. http://www.dephut.go.id/files/ nyamplung_Ind.pdf, diakses 7 Oktober.