SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI
Oleh: Dr.Ir. Darwo, M.Si.
Kontributor data: Ir. Djoko Wahjono, M.S. Ir. Abdurachman, M.P. Lutfi Abdullah, S.Hut.,M.Si. Dr. Farida Herry Susanty, S.Hut, M.P. Dr. Ika Herdiansyah, S.Hut., M.Agr. Dr. Ir. Diana Prameswari, M.Si. Dr. Haruni Krisnawati, S.Hut., M.Si. Rinaldi Imanuddin, S.Hut. Ir. Sudin Panjaitan, M.P. Asef K. Hardjana, S.Hut., M.Sc. Karmilasanti, S.Hut. Ir. Relawan Kuswandi.,M.Sc. Baharinawati W. Hastanti, S.Sos.,M.Sc. Aswandi, S.Hut., M.Si. Cica Ali, S.Si., M.P. Arif Irawan, S.Si
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN 2014
KATA PENGANTAR Dalam rangka mendukung suksesnya kebijakan prioritas Kementerian Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan telah menyusun program kerja yang kemudian dijabarkan dalam paket-paket kegiatan penelitian yang terpadu. Data dan informasi yang diperoleh diharapkan menjadi dasar penetapan kebijakan Kementerian Kehutanan, sekaligus diperoleh suatu paket teknologi yang aplikatif yang dapat digunakan oleh para pelaksana lapangan sebagai pedoman pengelolaan hutan alam produksi yang lestari. Salah satu kegiatan penelitian yang tergabung dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) adalah Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari. Kegiatan penelitian ini melibatkan peneliti-peneliti di pusat dan peneliti di daerah (UPT). Ruang lingkup penelitian dalam RPI ini berkaitan dengan penyelesaian permasalahan dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari. Hasil sintesa ini merupakan hasil penelitian tahap awal (5 tahun pertama) dari rencana penelitian jangka panjang 15 tahun (setengah rotasi), sehingga kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh pada umumnya masih bersifat indikatif yang masih memerlukan pengamatan dan perlakukan-perlakuan penelitian lebih lanjut. Namun demikian beberapa aspek sudah menunjukkan hasil akhir. Sangat disadari bahwa sintesa ini belum sempurna, namun demikian dengan partisipasi aktif semua yang terlibat baik peneliti maupun struktural, maka kesempurnaan akan dapat diwujudkan sehingga hasilnya akan bermanfaat bagi pengelolaan hutan alam produksi yang berkelanjutan. Bogor, Desember 2014 Penyusun
RINGKASAN Pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia telah berjalan hampir 45 tahun. Banyak hasil pembangunan di Indonesia yang merupakan andil dari hasil pemanfaatan hutan hutan alam produksi. Namun demikian, peranan hutan alam produksi tersebut tidak diimbangi dengan upaya-upaya yang signifikan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitasnya. Hutan alam produksi hanya dijadikan obyek pengurasan untuk dijadikan modal pembangunan. Hutan alam produksi mempunyai kemampuan yang sangat terbatas, rentan terhadap perubahan yang ektrem. Ekologi hutan alam produksi umumnya berada pada tanah-tanah yang sangat peka terhadap perubahan yang ektrem tersebut. Hutan alam sebagian besar telah berubah kondisinya menjadi hutan sekunder yang rusak, belukar, padang alang-alang bahkan menjadi tanah kosong yang miskin dan tandus. Kondisi tersebut di atas adalah cerminan kinerja pengelolaan hutan alam produksi yang selama ini diagung-agungkan karena dapat menghasilkan devisa, tanpa ingat bahwa hutan alam produksi juga bisa menghasilkan bencana apabila tidak dikelola dengan baik dan benar. Saat ini baru disadari oleh para pengambil kebijakan itupun setelah kondisinya sudah sangat parah dan karena adanya tekanan-tekan baik yang berasal dari dalam negeri maupun internasional. Tujuan dari sintesa ini adalah menyediakan informasi dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi dalam rangka pemanfaatan hasil hutan yang optimal, rasional dan aman secara ekologis menuju pengelolaan hutan alam produksi yang lestari. Sasarannya adalah menghasilkan data/informasi dan teknologi tepat guna yang dapat diaplikasikan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi. yaitu: pengklasifikasi tipologi hutan, rehabilitasi hutan yang rusak, pembinaan hutan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan, informasi dinamika pertumbuhan tegakan hutan dan pengaturan hasil yang lestari. Penyusunan sintesis ini menggunakan metode systematic review. Untuk mengembalikan kondisi hutan alam produksi seperti semula, diperlukan komitmen serius lintas sektoral dan usaha keras yang komprehensif. Hutan alam produksi yang sudah rusak harus segera direhabilitasi untuk meningkatkan produktifitas dan kualitasnya. Hutan alam produksi yang masih baik harus dikelola dengan hati-hati mengikuti kaidahkaidah silvikultur yang sudah ditetapkan. Untuk menunjang dan memandu upaya dan usaha dalam pengelolaan hutan alam produksi tersebut perlu segera diciptakan teknologi-teknologi tepat guna sebagai dasar atau pedoman operasional di lapangan. Beberapa teknologi yang sangat mendesak diperlukan pada saat ini antara lain: (a) sistem silvikultur yang berlaku luwes, aman dan tepat; (b) teknik pengaturan hasil tebangan yang optimal dan rasional; (c) teknik penebangan di hutan alam yang ramah lingkungan; dan (d) teknik pembinaan tegakan tinggal yang praktis; dan teknik rehabilitasi hutan yang telah rusak. Teknologi tersebut yang telah dihasilkan dari RPI ini antara lain:
1. Inventarisasi tegakan pada areal hutan yang sangat luas dan beragam kondisi kerapatannya, maka metode penarikan contoh yang digunakan harus efektif dan efisien serta memberikan hasil dugaan potensi yang akurat. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah menggunakan bantuan citra satelit dalam untuk melakukan stratifikasi sehingga intensitas sampling yang digunakan akan lebih kecil. Dengan stratifikasi citra satelit intensitas sampling yang dapat digunakan adalah sekitar 4% sedangkan apabila tidak digunakan startifikasi intensitas samplingnya sekitar 10-15%. Berdasarkan data pengambilan contoh di lapangan dan nilai pixel dari data digital citra satelit dapat disusun persamaan alometri berbentuk persamaan regresi sederhana untuk menduga potensi dan sebaran tegakan di aral hutan alam produksi dengan lebih cepat dan cukup akurat. 2. Sebagian besar IUPHHK tidak melaksanakan tahapan sistem silvikultur TPTI sesuai dengan pedoman. Dari tahapan TPTI yang ditetapkan pada umumnya tahap 1-4 dikerjakan dengan baik, tahap berikutnya kurang/tidak dikerjakan sesuai pedoman dengan berbagai alasan teknis dan ekonomis. Penyederhanaan tahapan TPTI menjadi 8 tahapan yaitu PAK, PWH, ITSP, Penebangan, ITT (pohon inti dan pohon sisa), pengkayaan (t+2),pembinaan I (t+5) dan pembinaan II (t+15) bisa menghemat biaya operasioan. Sebagai kunci pokok dalam tahapan tersebut adalah perlindungan dan pengamanan tiap tahun yang harus dilaksanakan. Pemanfaatan kayu dari hutan alam tidak boleh melebihi riap tegakannya dan sebaiknya jumlah pohon yang ditebang tidak melebihi 15 pohon per hektar. 3. Sistem silvikultur TPTJ-Silin mempunyai prospek yang baik untuk diterapkan secara operasional dalam rangka pengelolaan hutan alam produksi di LOA yang potensi tegakannya rendah atau di hutan rawang dengan potensi tegakan kurang 20 m3/ha, lokasi berdekatan dengan masyarakat agar ada pengakuan dari masyarakat bahwa hutan alam dikelola dengan baik sehingga tidak menjadi ajang perambahan lahan atau penebangan liar. Pemilihan jenis tanaman yang unggul dan pemeliharaan yang intensif menjadi kunci keberhasilannya, selain perlindungan dan pengamanan tegakan terhadap gaangguan. 4. Teknik pengkayaan yang intensif di areal bekas jalan sarad dengan menggunakan jenis S. leprosula dan S. parvifolia mampu tumbuh dengan baik. Tahapan selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah penyiapan lubang tanam dengan pemberian top soil dan pupuk organik, serta pemeliharan secara intensif akan menghasilkan tanaman pengkayaan yang prospektif sebagai andalan pohon yang produktif pada rotasi berikutnya. Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa persen jadi tanaman dan pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan pengkayaan yang asal-asalan. 5. Pembinaan tegakan merupakan kegiatan dalam suatu pengelolaan hutan produksi yang paling utama, selain untuk meningkatkan riap atau produktivitas tegakan juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kayu/pohon yang akan diperoleh pada akhir rotasi. Namun demikian, dalam pengelolaan hutan alam sangat berlaku hukum ekonomi sebagai
6.
7.
8.
9.
akibat kendala ekologis, yaitu pembatasan produktivitas harus diimbangi dengan efisiensi penggunaan anggaran. Oleh karena itu, agar lebih efektif dan efisien dalam melakukan tindakan pembinaan tegakan tinggal, maka perlu dibatasi jumlah individu pohon yang dibebaskan. Pohon inti yang berdiameter 20-39 cm sebagai pohon penyusun tegakan dimasa depan perlu mendapatkan prioritas untuk dibina, prioritas berikutnya adalah permudaan tingkat tiang berdiamater 10–19 cm. Keakuratan hasil kegiatan inventarisasi sangat didukung oleh ketersediaan perangkat pendugaan volume pohon dari setiap jenis pohon yang ada. Melalui penyusunan model pendugaan volume pohon dan sekaligus dihasilkan tabel volume pohon per jenis secara alometri terbukti menghasilkan dugaan volume yang cukup teliti dan sederhana sehingga dapat digunakan dalam praktek di lapangan. Pertumbuhan tegakan tinggal di hutan alam produksi pada tebangan lebih dari 3 tahun, menunjukkan kondisi yang masih cukup baik, srtruktur tegakan berbentuk J terbalik, pohon berdiameter lebih dari 40 cm masih tersisa cukup, pohon inti lebih dari 25 pohon/ha, dan permudaan masih cukup tinggi dan riap diameter berkisar antara 0,5–1,8 cm/tahun di hutan tanah kering sedangkan di hutan tanah basah antar 0,39–0,43 cm/tahun. Hasilnya menggambarkan bahwa riap/pertumbuhan tegakan sangat bervariasi tergantung pada site dan kinerja unit pengelola serta keamanan dari hutan tersebut. Hasil uji coba penanaman pada hutan alam produksi yang telah rusak, menunjukkan bahwa pemilihan jenis yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan rehabilitasi, selain perlakuan silvikultur seperti penyiapan lahan, pemupukan dan pemeliharaan, serta waktu pelaksanaan penanaman. Pada lahan yang terbuka (tanah semak-belukar, dan bekas TPn) telah ditemukan indikator jenis yang mampu tumbuh dengan baik pada kondisi cahaya penuh yaitu: Dryobalanops aromatica, Hopea mangarawan, Hopea odorata dan Shorea belangeran, sungkai (Peronema canescens), nyatoh (Palaquium spp.), binuang bini (Octomeles sumatrana), nyawai (Ficus veriegata), linggua (Pterocarpus indicus) dan bintangur (Calophyllum soulattri). Jenis-jenis tersebut cocok juga jika ditanam di kiri-kanan jalan utama IUPHHK-HA. Perlunya penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus berpedoman pada prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu menguntungkan secara ekonomis, dapat dipertanggungjawabkan secara ekologis, sosial dan tetap realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan, dan memungkinkan adanya pengawasan di lapangan yang bisa dilaksanakan. Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem Silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTJ, TPTJ-Silin, THPB dan THPB pola Agroforestry. Oleh karena itu, startegi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi sebagai berikut: a. Kawasan yang aman dari perambahan dan illgal logging diterapkan TPTI dan/atau TR. Jika ada lahan yang kosong, maka pemegang ijin
berkewajiban untuk merehabilitasinya dengan menanam jenis-jenis pohon yang mampu tumbuh dengan baik di kondisi lahan tersebut. b. Kawasan hutan alam bekas tebangan dengan potensi tegakan yang rendah, rawan terhadap perambahan dan illegal logging diterapkan TPTJ-Silin. c. Kawasan hutan alam bekas tebangan yang rusak (semak-belukar dan alang-alang) yang rawan terhadap perambahan diterapkan THPB dan dapat menerapkan sistem agroforestry.
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................... i RINGKASAN ...........................................................................
ii
DAFTAR ISI .............................................................................
vi
DAFTAR TABEL .....................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................
x
I.
PENDAHULUAN .............................................................. 1.1. Latar Belakang ......................................................... 1.2. Rumusan Masalah ................................................... 1.3. Tujuan dan Sasaran ................................................. 1.4. Luaran/Output ..........................................................
1 1 3 6 7
II.
METODE SINTESA ......................................................... 2.1. Kerangka Pikir .......................................................... 2.2. Metode ..................................................................... 2.3. Ruang Lingkup .........................................................
9 9 10 11
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................... 3.1. Kajian Klasifikasi Tipologi dan Potensi Sebaran Hutan Produksi .......................................................... 3.2. Teknik Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Produksi .................................................................... 3.3. Informasi Dinamika Pertumbuhan/Riap Tegakan di Hutan Alam Produksi .............................................. 3.4. Startegi Pengelolaan Hutan Alam Produksi ke
12 12 19 54 65
Depan ................................................................. 3.5. Kegiatan Penelitian Yang Diperlukan Untuk Yang Akan Datang ............................................................
75
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .............................
79
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ LAMPIRAN ..............................................................................
84 90
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 3.1. Kesalahan sampling tanpa menggunakan stratifikasi . 16 3.2. Kesalahan sampling menggunakan stratifikasi ..........
16
3.3. Persamaan pendugaan potensi tegakan dengan menggunanan citra satelit ..........................................
16
3.4. Jenis-jenis pohon yang cocok untuk ditanam di kirikanan jalan utama IPHHK -HA dan lahan kosong (bekas TPn) ...............................................................
28
3.5. Pertumbuhan jenis-jenis pohon pada sistem silvikultur Tebang Rumpang di Kintap, Kalimantan Selatan .......................................................................
54
3.6. Persamaan pendugaan volume pohon beberapa jenis pohon di hutan alam di Kalimantan ...................
57
3.7. Tabel volume lokal beberapa jenis kayu komersial pada beberapa lokasi di Papua .................................
59
3.8. Struktur tegakan di hutan alam produksi bekas tebangan ...................................................................
62
3.9. Riap diameter dan riap volume tegakan di hutan alam
62
3.10. Laju mortality, ingrowth dan upgrowth berdasarkan kelas diameter untuk jenis-jenis pohon di hutan alam
65
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 2.1 Kerangka pikir pengelolaan hutan alam ................. 9 3.1 Teknik klasifikasi tegakan dengan citra landsat ......
14
3.2 Contoh hasil klasifikasi tajuk atau penutupan hutan
15
3.3 Kegiatan penelitian inventarisasi potensi tegakan ....
17
3.4
18
Filosofi pendugaan potensi tegakan dengan Indeks Citra Landsat ...........................................................
3.5 Hasil simulasi model penduga potensi tegakan .....
19
3.6
Kondisi hutan alam produksi dua tahun pasca penebangan (LOA) ...................................................
20
3.7 Teknik pembuatan LRB di kiri-kanan dan lahan kosong (bekas jalan sarad, bekas TPn, bekas jalan cabang dan kiri-kanan jalan utama ..........................
27
3.8 Teknik penanaman meranti di jalan sarad ...............
30
3.9 Performan tanaman meranti hasil pengkayaan di jalan sarad pada umur 3 tahun ................................
31
3.10 Pembebasan tegakan tinggal ..................................
36
3.11 Kondisi hutan setelah tebang naungan dan persiapan jalur tanam ..............................................
37
3.12 Tanaman umur 2 tahun di jalur tanam di PT SBK ...
39
3.13 Tanaman umur 4 tahun di jalur tanam di PT SBK ...
39
3.14 Kurva pertumbuhan diameter dan tinggi Shorea leprosula di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah ..
40
3.15 Kondisi bibit cabutan dan persemaian untuk penanaman di TPTJ-Silin, Kalimantan Tengah .......
41
3.16 Kurva prediksi dan kurva harapan pertumbuhan diameter tanaman meranti di jalur tanam TPTJSilin di PT. SBK, Kalimantan Tengah ......................
43
3.17 Tanaman umur 9 tahun di jalur tanam di PT SBK, Kalimantan Tengah ..................................................
44
3.18 Kondisi hutan rawang yang ada di areal KHDTK Haurbentes, Jawa Barat ..........................................
45
3.19 Dryobalanops aromatica, Peronema canascens, Hopea mangarawan dan Shorea balangeran mampu tumbuh baik di tempat terbuka ..................
47
3.20 Pembuatan permudaan buatan di dalam Tebang Rumpang .................................................................
51
3.21 Pengambilan data pohon model (pohon contoh) .....
56
3.22 Pengukuran pohon pada Petak Ukur Permanen (PUP) ........................................................................
61
3.23 Kurva riap tahun berjalan (CAI) diameter tegakan di hutan alam, Maluku ..............................................
63
3.24 Strategi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi ..................................................................
75
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Karakteristik tempat tumbuh beberapa jenis 91 komersial yang sedang diamati pertumbuhannya .......... 2. Foto jenis-jenis tanaman umur 1 tahun yang sedang diuji tingkat pertumbuhan di Jalur tanam TPTJ-Silin, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah ................
101
3. Shorea pinanga pada areal hutan alam bekas tebangan (a & b) dan area l semak belukar (c & d) di KHDTK Siali-ali, Kabupaten Padang Lawas-Sumatera Utara ...............................................................................
104
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada periode tahun 1980-1996 luas hutan Indonesia terjadi penyusutan sebesar 20 juta hektar atau 1,7 juta hektar per tahun dan tahun 1990-2010 mengalami penurunan dari 118 juta hektar menjadi 94 juta hektar. Deforestasi Indonesia pada periode 20102012 sebesar 450.637 hektar per tahun (Kemenhut, 2012). Produksi kayu dari hutan alam dari kurun waktu 1994–2012 telah terjadi
penurunan.
Tahun
1994
IUPHHK-HA
masih
dapat
berproduksi 17,31 juta m3, tetapi pada tahun 2012 hanya mampu berproduksi 5,14 juta m3 (Kemenhut, 2012). Penurunan luas hutan dan produksi kayu dari hutan alam berdampak pada penurunan kontribusi sub sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Tahun 1997 PDB sub sektor kehutanan menyumbangkan 1,57%, tahun 2006 kontribusinya sebesar 0,90% dan tahun 2012 kontibusinya turun menjadi 0,67% (Rukmantara, 2014). Oleh karena itu, para pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan alam produksi harus mempunyai komitmen untuk mengelola hutan alam secara berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan pada dasarnya adalah pengelolaan hutan yang terencana.
Artinya, pada setiap level dan bentuk pengelolaan
sumber daya hutan harus dikelola berdasarkan suatu rencana pengelolaan
yang
mengarah
kepada
pemanfaatan
secara
menyeluruh, rasional, optimal, sesuai daya dukung, serta tidak semata-mata berorientasi kepada pemanfaatan masa kini, tetapi juga untuk menjamin kehidupan masa depan. Namun demikian,
2
kenyataannya sebagaian besar dari pengelolaan hutan alam yang dilakukan saat ini masih kurang atau tidak mengarah para pengelolaan hutan yang terencana sehingga dikawatirkan hutan alam yang dikelola tidak akan terjamin kelestariannya di masa depan. Kondisi ini telah diketahui dan diantisipasi oleh semua pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Secara nasional, pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, namun hasilnya masih belum signifikan. Oleh karena itu, lembaga internasional mulai memberikan tekanan yang lebih serius dalam pengelolaan hutan alam, diantaranya adalah International Tropical Timber Organisation (ITTO) dan International Monetary Fund (IMF). Sejak tahun 2000 telah dicanangkan sebagai era ekolabel bagi produk-produk kayu yang berasal dari negara yang memliki hutan tropis termasuk Indonesia. Indonesia sebagai salah satu anggota ITTO yang ikut menandatangani komitmen/kesepakatan ITTO Target 2000 di Bali, bahwa
Indonesia
harus
melaksanakan
dan
mengupayakan
pengelolaan hutan secara lestari, baik hutan tanaman maupun hutan alam. Hal ini berarti mulai tahun 2000 semua produk kayu dari Indonesia yang diperdagangkan harus berasal dari hutan yang dikelola secara lestari (Pusdiklat, 2002). Sebenarnya masalah kelestarian hutan sejak dari awal telah dijadikan azas dalam pengelolaan hutan di Indonesia, hal itu tertuang dalam UndangUndang Pokok Kehutanan Nomor 5 tahun 1967, yang saat ini sudah diperbaharuhi dengan Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, beserta peraturan-peraturan lain mengenai pengelolaan hutan yang lestari. Namun dalam pelaksanaannya
3 masih jauh dari harapan, sehingga perlu dipacu dan dilaksanakan secara lebih tegas dan terarah apabila masih mengharapkan sumber devisa dari hasil hutan. 1.2. Rumusan Masalah Permasalahan dalam pengelolaan hutan alam produksi tidak hanya masalah teknis semata, tetapi banyak masalah-masalah non-teknis yang mempengaruhi sehingga mengancam tujuan pengelolaan hutan alam yang lestari. Permasalah non-teknis antara lain: illegal logging, perambahan hutan, bencana alam, euforia reformasi, otonomi daerah, kepastian kawasan, kepastian usaha, dan lain-lain. Masalah yang satu dengan yang lain umumnya saling berkaitan sehingga perlu diselesaikan secara komprehensif; akan tetapi masalah-masalah non-teknis ini tidak termasuk dalam cakupan RPI ini. Seperti telah dijelaskan di muka, bahwa masalah teknis dalam
pengelolaan
hutan
alam
produksi
dikelompokkan
berdasarkan kondisi areal hutan yang ada saat ini, yaitu masalah teknis pada hutan alam produksi yang masih dalam kondisi baik (primer dan LOF yang masih produktif); hutan alam produksi yang sudah kurang produktif; dan hutan alam produksi yang sudah rusak menjadi belukar, alang-alang dan tanah kosong. Untuk mengatasi masalah teknis di setiap kelompok kondisi hutan tersebut, maka diperlukan teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang telah, sedang dan akan terjadi pada setiap kondisi hutan yang dikelola.
4
Sampai saat ini teknologi yang tersedia untuk mengatasi masalah-masalah teknis tersebut masih belum tepat dan praktis. Teknologi yang sudah ada masih perlu disempurnakan agar lebih baik lagi dan luwes untuk diterapkan. Tanpa dukungan teknologi dari hasil penelitian/kajian, maka niscaya harapan pengelolaan hutan alam lestari sulit untuk tercapai.
Permasalahan teknologi
yang dimaksud antara lain: 1. Dinamika perubahan hutan alam produksi saat ini sangat cepat sehingga sangat menyulitkan untuk mengetahui kondisi hutan dan sebarannya dengan cepat dan akurat. Untuk itu diperlukan penelitian/kajian untuk mendapatkan teknologi yang tepat dalam melakukan klasifikasi tipologi, potensi dan sebaran hutan alam produksi, sehingga dapat membantu menetapkan kebijakan pengelolaan yang akan diputuskan. 2. Kondisi
hutan
alam
produksi
sangat
beragam,
ada
kecenderungan penggunaan sistem silvikultur yang tidak tepat, sementara itu, sistem silvikultur yang telah tersedia masih belum sempurna, terindikasi kurang efektif dan efisien sehingga penerapannya tidak optimal untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian/pengkajian terhadap penerapan sistem silvikultur yang telah ada, dan perlu pula diupayakan sistem silvikultur alternatif yang sesuai dengan kondisi hutan dan lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan kualitas hutan alam produksi. 3. Hutan alam produksi yang telah rusak perlu direhabilitasi, sementara itu teknologi dalam rangka rehabilitasi hutan alam yang telah rusak saat ini belum lengkap tersedia, sehingga
5 untuk mengatasi hal ini pemerintah mengambil kebijakan/solusi yang paling mudah, yaitu mengkonversi hutan alam menjadi hutan tanaman monokultur, walaupun solusi ini sebenarnya juga tidak salah ditinjau dari kebutuhan kayu yang sangat mendesak sementara bahan baku dari hutan alam semakin berkurang,
dan
pemerintah
tidak
mampu
membiayai
rehabilitasi hutan alam yang sangat luas (mencapai lebih dari 15 juta hektar). Oleh karena itu, agar eksistensi hutan alam tidak semakin berkurang, maka perlu diupayakan pencegahan kerusakan hutan alam dan menyediakan teknologi rehabilitasi hutan alam yang tepat, murah dan praktis sehingga hutan alam dapat dikembalikan lagi sesuai dengan fungsinya semula. 4. Potensi
dan
pertumbuhan
tegakan
hutan
alam
harus
meningkat atau paling tidak sama antar rotasi tebang berikutnya, salah satu upaya yang belum dilakukan dengan baik adalah pembinaan tegakan tinggal pasca tebangan. Teknologi pembinaan tegakan tinggal yang ada belum mampu meningkatkan produktivitas tegakan bahkan cenderung kurang efektif dan efisien. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian dan kajian terhadap teknik silvikultur khususnya teknik pembinaan (pembebasan tegakan tinggal dan teknik pengayaan) yang intensif, efektif dan efisien, sehingga pertumbuhan/riap tegakan akan meningkat untuk rotasi tebang berikutnya. 5. Sistem pengaturan hasil yang berlaku saat ini di TPTI menggunakan rumus 1/30 dari standing stock dengan asumsi pertumbuhan hutan alam selalu sama, sementara itu kondisi hutan saat ini sudah sangat berubah dan berbeda dengan
6
kondisi awalnya dengan riap tegakan yang berbeda untuk setiap tapak (site) dan kondisi hutannya, sehingga ada kecenderungan pemanfaatan hutan alam kurang rasional dan optimal. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian/kajian untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai dinamika pertumbuhan tegakan di hutan alam produksi yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan preskripsi kunci pengaturan hasil dan mendapatkan metode pengaturan hasil yang paling tepat sesuai dengan kemampuan pertumbuhan tegakan di tiap site dan unit manajemen, sehingga besarnya kayu yang dipanen (etat) lebih optimal dan tidak melebihi besarnya riap tegakan. 6. Jenis-jenis pohon di hutan alam sangat banyak dengan nilai komersial
yang
cukup
tinggi.
Sampai
saat
ini
baru
diperoleh/diketahui beberapa jenis unggul yang telah dikuasai persyaratan tumbuh dan teknik silvikulturnya. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih intensif untuk mendapatkan jenis-jenis lainnya yang prospektif untuk dikembangkan pada berbagai kondisi areal hutan produksi, sehingga hutan produksi Indonesia mempunyai nilai kompetitif yang tinggi dalam perdagangan kayu di dunia. Penelitian-penelitian untuk mendukung tersusunnya teknologi yang diperlukan di atas sebagian sudah dilakukan, sebagian sedang dilakukan dan sebagian belum dilakukan. 1.3. Tujuan dan Sasaran Tujuan yang ingin dicapai dari sintesa ini adalah menyediakan informasi dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hutan alam
7 produksi dalam rangka pemanfaatan hasil hutan yang optimal, rasional dan aman secara ekologis menuju pengelolaan hutan alam produksi yang lestari. Sasaran yang hendak diwujudkan dalam RPI ini adalah menghasilkan data/informasi dan teknologi tepat guna yang dapat diaplikasikan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi. yaitu: pengklasifikasi tipologi hutan, rehabilitasi
hutan
yang
rusak,
pembinaan
hutan
untuk
meningkatkan potensi dan kualitas hutan, informasi dinamika pertumbuhan tegakan hutan dan pengaturan hasil yang lestari. 1.4. Luaran/Output Luaran/output yang diharapkan dari RPI ini dapat diperoleh dari setiap kegiatan kajian/penelitian yang akan dilakukan antara lain adalah: 1. Teknik pengklasifikasian tipologi hutan alam lahan kering, peta klasifikasi tipologi, potensi dan sebaran hutan alam lahan kering, untuk mempermudah menetapkan langkah kebijakan dalam pengelolaannya. 2. Teknik rehabilitasi dan pembinaan hutan alam bekas tebangan (LOF) yang tepat dan praktis sehingga mampu mengembalikan fungsi dan kualitas hutan alam secara cepat dan ekonomis. Penyempurnaan sistem silvikultur yang sudah operasional (TPTI/TPTJ/TR) yang dapat digunakan dalam pengelolaan hutan alam produksi. 3. Perangkat pengaturan hasil di hutan alam produksi meliputi: model pendugaan volume pohon (tabel volume) jenis/kelompok jenis pohon-pohon di hutan alam, teknik pendugaan cepat
8
potensi (inventarisasi) tegakan di hutan alam, model kuantifikasi dinamika pertumbuhan (struktur tegakan) dan riap tegakan di hutan alam dan pengaturan hasil di hutan alam.
9 II. METODOLOGI 2.1. Kerangka Pikir Saat ini kebutuhan teknologi pengelolaan hutan alam produksi sudah sangat mendesak, maka dukungan hasil penelitian untuk dapat menghasilkan teknologi yang tepat guna yang mampu meningkatkan kembali kualitas hutan alam sebagai sumber bahan baku kayu perlu segera diwujudkan.
Gambar 2.1. Kerangka pikir pengelolaan hutan alam Berdasarkan Roadmap dan Program Badan Litbang Kehutanan tahun 2010‒2014 dalam upaya pengelolaan hutan alam adalah yang berkaitan dengan: (1) teknologi pengklasifikasian tipologi kondisi hutan alam produksi; (2) teknik rehabilitasi hutan untuk
10
mengembalikan fungsi hutan baik fungsi produksi, fungsi ekologi maupun fungsi sosial; (3) teknik pembinaan intensif untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan hutan; (4) kajian-sistemsistem silvikultur yang tepat sesuai dengan site dan kondisi hutan; (5) teknik pengaturan hasil yang mengakomodasi kondisi dan dinamika pertumbuhan tegakan hutan yang dikelola. 2.2. Metode Untuk memberikan arah yang jelas dalam penyusunan sintesis
sesuai
metodologinya Systematic
dengan
tujuan
menggunakan
review
adalah
yang
metode
suatu
diharapkan, systematic
metode
penelitian
maka review. untuk
melakukan identifikasi, evaluasi dan interpretasi terhadap semua hasil penelitian yang relevan terkait permasalahan, topik tertentu dan fenomena yang menjadi perhatian.
Pada prinsipnya
systematic review merupakan metode penelitian yang merangkum hasil-hasil penelitian primer untuk menyajikan fakta yang lebih komprehensif dan berimbang melalui analisis deduktif dan induktif. Dalam metode systematic review dilakukan meta-analisis yaitu salah satu cara untuk melakukan sintesa hasil secara teknik kuantitatif, dan juga melakukan sintesis hasil melalui teknik naratif. Systematic review akan sangat bermanfaat untuk melakukan sintesis dari berbagai hasil penelitian yang relevan dengan pengelolaan hutan alam produksi lestari, sehingga fakta yang disajikan kepada penentu kebijakan menjadi lebih komprehensif dan berimbang. Fokus analisis sintesa dalam RPI ini dilakukan di kawasan hutan alam produksi yang pada saat ini masih terdapat unit-unit
11 pengelolaan hutan alam produksi dalam bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang potensial dan cukup representatif terhadap keterwakilan adanya Unit Pelaksana Tugas Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2.3. Ruang Lingkup Sintesa hasil penelitian ini mencakup beberapa hal yang berkaitan dengan permasalahan yang menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas hutan alam sehingga apabila permasalahan tersebut tidak segera diatasi, maka tujuan pengelolaan hutan alam lestari tidak akan tercapai. Berdasarkan hal tersebut, maka ruang lingkupnya dititikberatkan pada beberapa aspek yang diperlukan dalam pengelolaan hutan alam produksi yang lestari, meliputi hutan alam produksi yang masih primer, hutan alam produksi bekas tebangan (LOF) yang masih baik, LOF yang kurang produktif maupun LOF yang sudah terdegradasi/rusak berupa belukar atau alang-alang di kawasan hutan alam produksi baik yang telah dikelola melalui ijin pemanfaatan.
12
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek-aspek penelitian yang tercakup dalam RPI ini pada umumnya adalah penelitian yang berjangka panjang. Namun demikian secara bertahap dapat dihasilkan data dan informasi antara
walaupun
masih
bersifat
sementara
sudah
dapat
dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyusun kebijakan teknis dalam rangka pengelolaan hutan alam produksi yang lestari. Sampai dengan tahun kelima (tahun 2014) dari taget lima tahun pertama (tahap 1), telah dihasilkan data dan informasi hasil penelitian yang mengindikasikan hasil penelitian yang prospektif walaupun secara keseluruhan masing terdapat banyak kekurangan yang perlu disempurnakan. Hutan alam produksi termasuk hutan yang sangat rentan terhadap
perubahan
lingkungan,
produktivitasnyapun
sangat
rendah. Oleh karena itu, dalam pemanfaatan hutan alam produksi diperlukan suatu teknologi dari hasil penelitian yang praktis, tepat dan akurat agar hutan yang dikelola tetap lestari dengan produktivitas meningkat sehingga memberikan manfaat ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. 3.1. Kajian Klasifikasi Tipologi dan Potensi sebaran Hutan Produksi Dalam inventarisasi tegakan pada areal hutan yang sangat luas dan beragam kondisi kerapatannya, maka metode penarikan contoh yang digunakan harus efektif dan efisien serta memberikan hasil dugaan potensi yang akurat. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah menggunakan bantuan citra satelit untuk
13 melakukan
stratifikasi
sehingga
intensitas
sampling
yang
digunakan akan lebih kecil. Adapun tujuan kajian/penelitian teknik inventarisasi potensi tegakan menggunakan kombinasi antara citra satelit dan cara teristris adalah: 1. Mendapatkan gambaran sampai sejauhmana sebaran kelas kerapatan tegakan (spatial) dengan ciri kerapatan jumlah pohon atau massa tegakannya dapat dideteksi oleh citra satelit (Landsat ETM, SPOT, Radarsat, Ikonos atau Quickbird). 2. Mendapat suatu teknik/metode/kunci pengenalan kerapatan hutan pada citra satelit tersebut yang cukup memadai untuk dipakai sebagai alat menstratifikasi dalam kegiatan inventarisasi hutan. 3. Sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah tersedianya metode stratifikasi hutan alam untuk kegiatan inventarisasi hutan. Penggunaan citra satelit cukup relevan karena hal-hal berikut: 1. penggunaan citra satelit di lapangan sudah umum dilakukan oleh para pengelola pengusahaan hutan, 2. kemudahan memperoleh data tersebut di pasar, 3. data citra satelit yang ada dapat ditemui dalam bentuk data digital maupun hasil cetakan, 4. data satelit direkam dalam berbagai gelombang yang mana setiap gelombang mencirikan selang kemampuan obyek-obyek dalam memantulkan cahaya, 5. perekaman
data
dilakukan
secara
teratur
sehingga
ketersediaan data terkini sangat memungkinkan untuk diperoleh dengan mudah di pasar.
14
Secara sederhana prinsip atau pendekatan yang dapat dilakukan dalam melaksanakan teknik inventarisasi mengunakan bantuan citra satelit dan validasi teristris adalah sebagai berikut:
METODOLOGI
CITRA SATELIT
KLASIFIKASI
GROUNDCHECK
Jumlah Kelas/ Strata
Jumlah Sample/ Plot
Teknik Inventarisasi
Gambar 3.1. Teknik klasifikasi tegakan dengan citra landsat Setelah data terkumpul maka analisis selanjutkan dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Pengolahan Awal Citra (Interpretasi Visual Citra Satelit, Pemilihan kombinasi band terbaik, Koreksi Radiometrik dan Geometrik) 2. Pengolahan Citra Satelit (Klasifikasi Citra Digital Satelit, Klasifikasi Terbimbing) 3. Persamaan Regresi pendugaan potensi (N dan V) dengan peubah bebas Nilai Band (DN) 4.
SE =
t0, 05 x Se X
x 100%
15 Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan stratifikasi citra satelit intensitas sampling yang dapat digunakan adalah 4% sedangkan
apabila
tidak
digunakan
startifikasi
intensitas
samplingnya 10-15%. Berdasarkan data pengambilan contoh di lapangan dan nilai-nilai pixel dari data digital citra satelit dapat disusun
persamaan
alometri
berbentuk
persamaan
regresi
sederhana untuk menduga potensi dan sebaran tegakan di areal hutan alam produksi dengan lebih cepat dan cukup akurat, dibandingkan dengan inventarisasi
secara manual atau teristris
saja pada intensitas sampling yang sama kesalahan samplingnya bisa lebih besar mencapai 1,5 kalinya, bahkan kalau kesalahan samplingnya samapun cara kombinasi ini lebih unggul dalam kecepatan waktu pelaksanaan, lebih mudah dan tentunya lebih hemat dalam biaya.
SKALA 1 : 1000000
Gambar 3.2. Contoh hasil klasifikasi tajuk atau penutupan hutan
16
Tabel 3.1. Kesalahan sampling tanpa menggunakan stratifikasi Intensitas sampling (%)
Kesalahan dugaan (%) Jumlah batang (N) Volume (V)
20
16,50
14,35
10
18,32
16,91
4
21,58
23,33
2
22,19
23,92
Tabel 3.2. Kesalahan sampling menggunakan stratifikasi Intensitas sampling (%)
Kesalahan dugaan (%)
20
Jumlah batang (N) 12,87
Volume (V) 12,73
10
13,98
13,51
4
16,84
14,04
2
22,01
23,61
Adapun rumus yang dapat digunakan dalam menduga potensi tegakan berdasarkan citra satelit (Tabel 3.3). Tabel 3.3. Persamaan pendugaan menggunanan citra satelit Lokasi PT. Sindo Lumber Kalimantan Tengah
PT. Segara Indochem Kalimantan Timur
potensi
tegakan
Persamaan
dengan
Koefisien determinasi
V = 1240,229 + 6,135 B5 – 33,589 B4 + 11,808 B3
0,913
N = 1172,308 + 0,198 B5 – 30,714 B4 + 16,118 B3
0,432
V = 887,455 + 4,134 B5 – 15,647 B4 + 2,856 B3
0,958
N = 713,484 + 4,373 B5 + 3,147 B4 – 9,598 B3
0,319
Secara umum rumus pendugaan potensi menggunakan cara digital citra setelit tersebut cukup baik khususnya dalam menduga
17 potensi tegakan, namun untuk menduga jumlah batang masih diperlukan modifikasi atau perbaikan model yang lebih akurat lagi, disamping itu dalam penampilan citra memang sangatlah sulit untuk
mengetahui
jumlah
pohon
dalam
suatu
penampilan
penutupan tajuk, ini satu kelemahan yang perlu dicarikan solusinya lebih lajut.
Gambar 3.3. Kegiatan penelitian inventarisasi potensi tegakan Metode
klasifikasi
tipologi
dengan
citra
landsat
dapat
menggunakan indeks vegetasi dan indeks tanah. Kedua indeks ini kemudian dikorelasikan dengan hasil survey potensi pada petakpetak pengamatan berukuran 30 x 30 m. Berdasarkan Gambar 3.4, maka wilayah berhutan lebat jika NDVI lebih dari 0 dan cenderung turun begitu mendekati +1. Sementara indeks tanah berada pada angka 80-150. Hasil overlay kedua indeks ini akan dibangun model penduga statistika dengan basis data GCP (Ground Check Point). Adapun persamaan penduga NDVI dan BI adalah sebagai berikut:
18
1. NDVI è 2. BI è
Kerapatan Tegakan
NDV I
(BI)
-1 (0)
+0 (100)
+1 (200)
Gambar 3.4. Filosofi pendugaan potensi tegakan dengan Indeks Citra Landsat Model penduga potensi tegakan yang dihasilkan sebagai berikut:
Dimana X = indeks hasil overlay NDVI dan BI. Adapun hasil simulasi model statistik disajikan pada Gambar 3.5. Berdasarkan model tersebut dapat dihasilkan sebaran potensi tegakan.
19
Gambar 3.5. Hasil simulasi model penduga potensi tegakan 3.2. Teknik Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Produksi Kondisi hutan alam lahan kering sangat beragam. Penerapan sistem silvikultur pada suatu areal hutan alam akan menentukan tingkat produktivitas hutan. Hasil-hasil penelitian yang telah diteliti dalam RPI ini diharapkan bisa memberikan informasi dan rekomendasi dalam pengelolaan hutan alam produksi yang tepat sesuai dengan karakteristik tipologi hutannya. Sistem silvikultur yang dikaji meliputi sistem silvikultur TPTI, TPTJ-Silin dan Tebang Rumpang. 3.2.1. Sistem Silvikultur TPTI Dalam pengelolaan hutan alam produksi salah satu kunci keberhasilannya adalah dalam pemilihan sistem silkultur yang tepat serta penerapannya secara konsekuen. Sistem silvikultur TPTI adalah salah satu sistem silvikultur yang digunakan dalam pemanfaatan hutan alam produksi. Namun karena kondisi hutan alam di Indonesia sangat beragam, maka penggunaan sistem
20
silvikultur TPTI yang berlaku seringkali menemukan banyak masalah.
Berdasarkan
kajian/penelitian
menunjukkan
bahwa
sebagian besar IUPHHK tidak melaksanakan tahapan sistem silvikultur TPTI sesuai dengan pedoman.
Dari 11 tahapan TPTI
yang ditetapkan pada umumnya hanya tahap 1‒4 dikerjakan dengan baik, selebihnya tahap 5‒11 berikutnya kurang/tidak dikerjakan sesuai pedoman dengan berbagai alasan teknis dan ekonomis.
Gambar 3.6. Kondisi hutan alam produksi dua tahun pasca penebangan (LOA) Tahapan yang penting dalam rangka penerapan sistem silvikultur TPTI adalah pembinaan tegakan tinggal belum atau bahkan tidak dilaksanakan di lapangan, padahal tegakan tinggal adalah merupakan aset utama tegakan pada rotasi mendatang. Kondisi tegakan setelah tebangan umumnya (sampai t+5) masih sangat baik dan cukup potensial sebagai standing stock rotasi berikutnya (tegakan sisa, pohon inti dan permudaan). Hal ini dapat dilihat dari hasil inventarisasi tegakan tinggal (ITT). Namun kondisi LOA setelah t+5 umumnya mulai rusak, kurang terpelihara dan kurang terjaga, hal ini ditunjukkan oleh kerapatan dan potensinya yang cenderung menurun, serta ditunjukkan oleh banyaknya
21 penebangan-penebangan liar di lapangan dan pengelola tidak mampu mencegahnya. Pembinaan tegakan tinggal yang seharusnya merupakan kunci utama dalam upaya peningkatan produktivitas hutan juga belum
dilaksanakan
secara
konsisten
di
lapangan.
Hasil
penelusuran melalui data pengambilan contoh di lapangan dan dialog dengan pengelola diperoleh informasi bahwa kegiatan pembinaan tegakan tinggal
memang belum atau hanya sedikit
dilakukan, selain belum dikuasainya teknik-teknik pembinaan tegakan, mereka juga menilai prakteknya cukup sulit dan kurang bisa
terukur
menganggap
kinerjanya
di
dis-insentive.
lapangan Hal
ini
serta
mereka
sebenarnya
masih
mengingkari
komitmen yang sudah disepakati sewaktu mereka mengajukan permohonan IUPHHK. Sementara itu hasil pengamatan terhadap tahapan pasca tebangan terutama pedoman atau petunjuk teknis pembinaan tegakan tinggal yang terdapat dalam pedoman TPTI dan pelaksanaannya di lapangan terdapat hal-hal yang sekiranya perlu dikaji dan disempurnakan. Berdasarkan hasil kajian dari 7 kegiatan tahapan pasca tebangan, beberapa kegiatan nampaknya bisa diringkas atau disatukan, diantaranya adalah perapihan dan ITT. Dalam kegiatan ini intinya hanya untuk mengetahui areal-areal mana yang sekiranya akan dilakukan tindakan atau kegiatan yang lebih intensif khususnya tindakan silvikulutur pengayaan. Sedangkan tindakan pembebasan sebaiknya dilakukan hanya dua kali saja. Pertama yaitu ketika tanaman hasil pengayaan sudah cukup besar dan perlu dilakukan seleksi, dan dilaksanakan sekaligus bersamaan dengan tindakan pembebaan pohon-pohon binaan yang prospektif.
22
Pembebasan yang kedua, dilakukan apabila tanaman pengkayaan dan pohon-pohon binaan terseleksi sudah mulai menunjukkan penurunan riapnya yaitu ketika terjadi persaingan antar tajuk dengan pohon-pohon lain di sekitarnya.
Tindakan silvikultur
penjarangan sudah tidak diperlukan lagi, selain karena sudah terakomodasikan dalam tahap pembebasan kedua juga untuk efisiensi biaya sementara hasil penjarangan juga belum jelas pemanfatannya, bahkan apabila dilakukan penjarangan cenderung akan dapat menyebabkan kerusakan tegakan yang sudah dibina dengan baik. Mengingat sebaran dan kondisi tegakan hutan alam yang berpola acak dengan struktur tajuk yang berlapis-lapis, tidak seperti tegakan di hutan tanaman yang teratur sehingga mudah diantisipasi dalam pelaksanaan penjarangannya. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk
dapat dilakukan penyederhankan tahapan TPTI yaitu
menjadi 8 tahapan yaitu PAK, PWH, ITSP, Penebangan, ITT (t+1), Pengkayaan (t+2), Pembinaan I (t+5) dan Pembinaan II (t+10), dan ditambahkan tahapan perlindungan dan pengamanan. Saran-saran ini telah terakomodir dalam penyempurnaan pedoman TPTI tahun 2010 sebagaimana tertuang dalam Keputusan Dirjen BPK No. P.9/BPK/2009. Tahapan penebangan dalam sistem silvikultur TPTI sematamata bukan hanya bertujuan untuk memanen kayu saja tetapi sebenarnya adalah suatu tindakan silvikultur yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dari suatu kondisi hutan alam produksi yang sudah mencapai pertumbuhan klimak dimana pada kondisi ini riap tegakan sudah sangat kecil atau sama dengan nol. Mengingat struktur tegakan hutan alam klimak yang padat dan berlapis-lapis
23 dan terdiri dari pohon tua, dewasa dan muda, maka perlu segera dilakukan pembebasan atau penjarangan agar pohon-pohon yang dewasa dan pohon-pohon muda yang prospektif mendapatkan peluang untuk tumbuh lebih cepat dan lebih baik. Pohon-pohon tua yang sudah miskin riap bisa dimanfaatkan secara ekonomi daripada nantinya mati dan membusuk di dalam hutan tak termanfaatkan. Tindakan pemanfaatan kayu pada kondisi hutan yang telah optimal/klimak ini tidak lain adalah penebangan/ pemanenan karena dari hasil kegiatan ini pohon-pohon yang ditebang adalah pohon-pohon yang berdiameter besar dan mempunyai nilai ekonomis untuk dimanfaatkan. Mengingat kondisi hutan alam produksi (virgin) umumnya sangat rapat, dimana letak dan posisi pohon per pohon tersebar acak, maka dalam proses pemanfaatan menggunakan teknik merebahkan pohon, menyarad dan mengangkut melalui darat, tidak bisa dihindari terjadinya kerusakan tegakan tinggal, bahkan pada tempat-tempat tertentu akan terbuka seperti bekas jalan/jalur sarad, jalan cabang dan tempat penimbunan kayu sementara. Demikian pula pada tempat-tempat tertentu yang pemanfaatan kayunya cukup intensif sebagai akibat pola sebaran pohon yang terkadang bisa juga mengumpul pada satu tempat, maka pasca pemanenan kondisinya akan sangat terbuka dan biasanya permudaannya juga akan sangat kurang ketika belum terjadi masa berbuah sewaktu pemanenan dilakukan. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi pasca pemanenan ini sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas tegakan hutan alam menjadi lebih baik dari kondisi semula sebelum pemanenan
24
dilakukan,
maka
diperlukan
tindakan-tindakan
silvikultur
diantaranya adalah pengayaan dan pembebasan tegakan tinggal. Pengayaan adalah suatu tindakan silvikultur untuk menanami kembali areal-areal terbuka pasca penebangan menggunakan jenis-jenis pohon yang unggul dan prospektif mempunyai nilai ekonomi tinggi diantaranya pada areal-areal bekas jalan sarad dan bekas TPn. Kegiatan ini sebenarnya identik dengan kegiatan rehabilitasi areal hutan yang rusak, namun pemberdaannya pada lokasi kegiatannya. Kegiatan pengayaan dilakukan pada petakpetak
pasca
dilakukan
penebangan,
sedangkan
rehabilitasi
dilakukan pada areal hutan yang telah lama rusak dari berbagai sebab antara lain illegal logging, kebakaran dan perambahan hutan. Mengingat kondisi fisik dan kesuburan tanah pada lokasilokasi tersebut sudah kurang baik, umumnya tanahnya padat, topsoil mengelupas dan kesuburan tanah rendah atau miskin hara, maka
untuk
melaksanakan
pengayaan
harus
dilakukan
menggunakan teknik silvikultur yang tepat agar tanamana hasil pengayaan dapat hidup dan tumbuh dengan baik sebagai aset tegakan masa depan. Berkenaan
dengan
telah
terbitnya
Permenhut
Nomor
P.11/Menhut-II/2009, dimana telah diputuskan untuk menurunkan limit diameter tebang dari 50 cm menjadi 40 cm di hutan alam produksi lahan kering, maka dapat dipastikan akan meningkatkan jumlah kayu yang dimanfaatkan atau jumlah pohon yang ditebang apabila
tidak
hati-hati
di
dalam
pelaksanaan
penebangan.
Akibatnya kerusakan tegakan tinggal akan semakin tinggi dengan areal yang terbuka menjadi lebih luas. Menurut Heriansyah (2012) bahwa dampak pemanenan kayu dengan limit diameter 40 cm
25 telah menimbulkan banyak pohon-pohon yang rusak, sehingga tegakan tinggal menjadi tegakan yang kurang produktif dan jauh dari harapan. Pemanenan kayu baik di hutan primer maupun di hutan bekas tebangan menyisakan hutan produksi yang sulit untuk dipulihkan
kembali.
Tingkat
kerusakan
yang
terjadi
akibat
pemanenan lebih dari 40%. Sesungguhnya, penurunan limit diameter tidak masalah dan tidak bertentangan dengan kaidah ilmiah dalam PHAPL, karena di hutan alam banyak terdapat pohon-pohon tua dan bernilai ekonomi tinggi, tetapi diameternya tidak besar atau kurang dari 40 cm. Namun demikian, mengingat adanya korelasi yang positif antara jumlah pohon yang ditebang dengan kerusakan tegakan tinggal, maka haruslah dilakukan antisipasi agar tidak terjadi kerusakan yang dapat mengancam kelestarian hutan, antara lain dengan membatasi jumlah pohon yang ditebang dan/atau membatasi jumlah produksi kayu agar tidak melebihi riap tegakan dengan membatasi jumlah pohon yang ditebang tidak melebihi 15 pohon per hektar. Oleh karena itu, penurunan limit diameter pohon yang bisa ditebang tidak bisa diterapkan di semua tipe hutan alam, perlu memperhatikan karakteristik dan kondisi hutan alamnya.
Tidak
harus semua diameter pohon komersial di atas 40 cm ditebang semua, prioritaskan diameter pohon yang besar-besar terlebih dahulu. Mengingat insentif yang diberikan berupa penurunan limit diameter tebang, maka seyogyanya ada kompensasi yang harus diberikan oleh pemegang IUPHHK-HA, yaitu jaminan kelestarian hutan alam produksi yang salah satunya adalah aktualisasi nyata kegiatan re-investasi berupa penanaman di areal-areal kosong
26
sebagai kewajiban melakukan pengayaan intensif di hutan bekas tebangan khususnya pada areal-areal yang terbuka seperti bekas jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama. Kondisi lahan di bekas jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama pada umumnya mengalami kerusakan adalah sifat fisik, kimia dan biologi yang disebabkan oleh pemadatan, erosi dan hilangnya top soil. Sifat fisik tanah yang mengalami kerusakan akibat penyaradan kayu di hutan alam antara lain pemadatan tanah dan permiabilitas tanah (Rab, 2004), porositas tanah (Muhdi, 2001; Najafi et al., 2009), kandungan air. Sifat kimia tanah juga terpengaruh oleh aktivitas pemanenan. Pembuatan jalan sarad dan TPn menyebabkan penurunan kesuburan tanah akibat hilangnya bahan organik di lapisan top soil, erosi tanah, miskin hara dan kehilangan permudaan alami yang relatif besar di areal bekas jalan sarad (Elias, 2008). Hilangnya bahan organik dapat berdampak terhadap populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah (Makineci et al., 2007). Untuk itu, teknologi yang efektif untuk merehabilitasi dan pengkayaan di lahan-lahan yang mengalami pemadatan seperti di areal bekas jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama dengan menerapkan teknik kombinasi antara pembuatan guludan (cross drain) dan Lubang Resapan Berpori (LRB).
Teknik ini
mampu menurunkan pemadatan tanah di sekitar tanaman, mengurangi erosi, meningkatkan resapan air, meningkatkan kesuburan tanah dan menurunkan aliran permukaan. Hasilnya berdampak positif terhadap peningkatan geometri akar (akar tanaman berkembang dengan baik) dan pertumbuhan meranti meningkat secara signifikan (Prameswari, 2014).
Lebih lanjut
27 Prameswari (2014) menyatakan bahwa bangunan guludan dibuat setiap 40 m dengan lebar guludan 4 m dan tinggi 1 m.
Agar
bangunan guludan tidak mudah berubah posisi, maka diperkuat dengan papan untuk mengurangi limpasan air. Untuk membuat LRB, maka teknik pembuatannya sebagai berikut: a. Lubang tanam berukuran 30 x 40 x 40 m (ukuran lubang 40 x 40 dengan kedalaman lubang 30 cm). b. Lubang tanam diisi top soil sebanyak volume lubang tanam. c. LRB dibuat sebanyak 4 buah dengan jarak 25 cm dari tanaman. Ukuran LRB berdiameter 10 cm dengan kedalaman 50 cm. LRB diisi kompos/serasah hutan yang berfungsi untuk sarana menampung limpasan air, menambah kesuburan tanah dan meningkatkan
kapasitas
memegang
air
(Gambar
3.7).
Pembuatan LRB bersamaan saat pembutan lubang tanam. d. Jarak tanam di kiri-kanan jalan 2 m x 5 m, lahan kosong (bekas TPn 2 m x 3 m), jalan sarad dan jalan cabang 3 m x 3 m.
Tanaman Lubang Resapan Berpori (LRB)
Gambar 3.7. Teknik pembuatan LRB di kiri-kanan dan lahan kosong (bekas jalan sarad, bekas TPn, bekas jalan cabang dan kiri-kanan jalan utama
28
e. Jenis-jenis pohon yang cocok untuk ditanam di kiri-kanan jalan dan lahan kosong (bekas TPn) disajikan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4. Jenis-jenis pohon yang cocok untuk ditanam di kirikanan jalan utama IPHHK-HA dan lahan kosong (bekas TPn) No.
Jenis pohon
Famili
Jenis tanah Tekstur tanah
Tipe Iklim
Ketinggian tempat (m dpl)
A.
Kelompok Dipterocarpaceae:
1.
Kapur (Dryobalanops aromatica)
Dipterocarpaceae - Aluvial - Tanah liat berpasir
A, B
60 – 400
2.
Merawan (Hopea mengarawan Miq.)
Dipterocarpaceae - Tanah berpasir, tanah liat atau tanah berbatu
A, B
≤ 1.000
3.
Hopea odorata
Dipterocarpaceae Tanah berpasir, tanah liat atau tanah berbatu
A, B
≤ 1.000
B.
Kelompok Non Dipterocarpaceae:
1.
Nyatoh (Palaquium spp.)
Sapotaceae
Tanah berpasir, tanah liat
A
2.
Sungkai (Peronema canescens Jack.)
Verbenaceae
Tanah berpasir, tanah liat
A, B, C
≤ 600
3.
Gmelina (Gmelina arborea Roxb.)
Verbenaceae
Tanah lembab, drainase baik
A, B, C
≤ 800
4.
Mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni)
Meliaceae
Tanah liat dan tanah berpasir
A, B, C
50 – 1.000
5.
Pulai (Alstonia scholaris R.Br.)
Apocynaceae
Tanah liat dan tanah berpasir yang kering atau digenangi air dan lereng bukit berbatu
A, B, C
≤ 1.000
6.
Agathis (Agathis dammara A.B. Lamb)
Araucariaceae
Tanah berpasir, berbatubatu atau liat yang selamanya tidak tergenangi air
A, B
≤1.700
7.
Nyawai (Ficus variegata Bl.)
Moraceae
A, B
≤ 1.500
8.
Binuang bini (Octomeles sumatrana Miq.)
Datiscaceae
9.
Sengon (Falcataria molucana)
Leguminosae
10.
Jabon putih (Antocepalus cadamba Miq.)
Rubiaceae
11.
Puspa (Schima walichii Korth.)
Theaceae
- Aluvial lembab -Tanah liat,tanah liat berpasir -Aluvial, podsolik - Tanah liat, tanah liat berpasir - Aluvial lembab - Tanah liat, tanah lempung - Podsolik coklat, tanah tuf halus atau tanah lempung berbatu yang tidak sarang Tidak memilih keadaan tekstur dan kesuburan tanah
20 – 500
A, B, C
≤ 600
A, B
≤ 1.000
A,B,C
A, B, C
≤ 600
250–1.600
Sumber:Martawijaya et al. (2005); Darwo & Effendi (2013); Darwo et al. (2014)
29 Hal
lain
yang
perlu
diperhatikan
untuk
mendukung
keberhasilan pengkayaan adalah menyediakan bibit yang baik. Bibit yang ditanam pada kegiatan pengkayaan di IUPHHK-HA masih menggunakan bibit cabutan alam. Keberhasilan pembuatan bibit cabutan masih rendah.
Untuk itu, hasil penelitian Darwo
(2004) menyatakan bahwa teknik pengemasan bibit dan teknik pembuatan sungkup mampu menghasilkan persen tumbuh bibit cabutan di atas 80%. Tata cara pengemasan bibit dan pembuatan sungkup sebagai berikut: a. Material bibit cabutan berupa anakan yang berdaun lebih dari 2 daun sampai tinggi anakan kurang dari 30 cm. b. Material anakan alam dari lapangan digunting sebagian daunnya untuk mengurangi penguapan. c. Jika material anakan akan dibawa jauh (butuh waktu diperjalanan 1-4 hari), maka material anakan dibalut dengan kertas koran basah dan dimasukan dalam kardus yang telah dilapisi plastik untuk mengurangi penguapan. d. Cari lokasi tegakan yang teduh dengan kelembaban udara di atas 80%. e. Siapkan polybag berisi media top soil berukuran 17 x 20 cm. f.
Polybag disiram sampai jenuh.
g. Anakan langsung ditanam dalam polybag tanpa diberi perangsang pertumbuhan dan bibit disiram kembali, lalu disungkup dengan plastik benih sampai rapat. h. Periksa sungkup setiap hari, jika dalam
sungkup plastik
tersebut banyak embun air (titik-titik air), maka kelembaban udara masih di atas 80%. Selama embun tersebut tetap
30
banyak, maka sungkup tidak boleh dibuka dan tidak perlu disiram. i.
Jika sungkup ada yang bolong terkena ranting yang jatuh, sungkup plastik tersbut ditambal dengan selotif benih.
j.
Jika embun dalam sungkup tersebut sedikit, segera disiram bibit tersebut sampai jenuh dan sungkup ditutup rapat.
k. Sungkup plastik bisa dibuka setelah bibit tumbuh daun baru lebih dari 4 helai (dibutuhkan waktu 3 bulan). l.
Sungkup plastik dibuka selama 4 bulan.
m. Setelah bibit berumur 7 bulan, maka bibit sudah siap ditanam di lapangan. Hasil ujicoba pengkayaan di areal bekas lajan sarad dengan menggunakan meranti (Shorea leprosula, S. Johoriensis dan S. parvifolia).
Teknik
silvikultur
yang
diterapkannya
yaitu
menggunakan tinggi bibit 50-70 cm, lubang tanam 30 x 40 x 40 cm dan diberi topsoil sebanyak volume lubang tanam (Gambar 3.8).
Gambar 3.8. Teknik penanaman meranti di jalan sarad
31 Tanaman meranti pada umur 3 tahun persen hidup 80%, diameter antara 6–10 cm (MAI diameter 2,0–3,3 cm/tahun) dan tinggi mencapai 6–10 meter (MAI tinggi riap 2–3,3 m/tahun). Kondisi pertumbuhan tanaman tersebut sangat memberikan harapan sebagai aset tegakan di masa yang akan datang (rotasi berikutnya) (Gambar 3.9.). Penelitian akan diteruskan untuk melihat perkembangan tajuk dan riap (MAI dan CAI) sebagai dasar penetapan waktu penjarangan dilakukan.
Gambar 3.9. Performan tanaman meranti hasil pengkayaan di jalan sarad pada umur 3 tahun Hasil penelitian melalui teknik pengkayaan intensif di bekas jalan
sarad
dan
bekas
TPn
cukup
memberikan
harapan
peningkatan produktivitas hutan alam produksi di masa yang akan datang. Disamping itu, pengkayaan intensif di bekas jalan sarad dan bekas TPn mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan kegiatan sejenis misalkan TPTJ-Silin, yaitu: a. Biaya lebih rendah, karena tidak diperlukan pembuatan jalur tanam, jalur tanam sudah tersedia yaitu bekas jalan sarad dan TPn.
32
b. Bentuk/pola jalan/jalur sarad mengikuti kontur sehingga secara ekologi lebih tepat. c. Ukuran lebar jalan/jalur sarad cukup ideal dan optimal untuk pertumbuhan tanaman Dipterocarpaceae (meranti) yaitu sekitar 5-6 meter. d. Penanaman/pengkayaan di bekas jalan sarad akan mencegah terjadinya erosi, mencegah akses pencuri kayu dan perambah masuk
ke
dalam
hutan,
dan
tentunya
meningkatkan
produktivitas hutan alam produksi. f. Penanaman pengkayaan di bekas jalan sarad dan bekas TPn merupakan bentuk kompensasi terhadap insentif penurunan limit diameter tebang (> 40 cm), sehingga sudah selayaknya dan sepantasnya pengelola melaksanakan re-investasi dalam bentuk penanaman pengkayaan di bekas jalan sarad dan bekas TPn. g. Hasil pengkayaan di bekas jalan sarad dan bekas TPn dapat dijadikan indikator atau tolok ukur utama keberhasilan/kinerja PHAPL dalam sertifikasi mandatory atau voluntury. h. Setiap petak tebang dibuatkan peta sebaran pengkayaan di bekas jalan sarad, di lapangan diberi tanda-tanda yang jelas sebagai pengumuman terhadap pengelolaan hutan. i. Menurut Elias (2002), pasca tebangan TPTI dengan sistem konvensional mengakibatkan keterbukaan tajuk antara 28‒45%, termasuk di dalamnya adalah luas jalan sarad 4‒6% (luas jalan sarad 400‒600 m2 per hektar luas hutan bekas tebangan) (Ruslim,
2011).
Jika
dibandingkan
dengan
TPTJ-Silin
keterbukaan tajuk bisa mencapai >70%. j. Teknik
silvikultur
Pengkayaan
yang
Intensif,
dapat
dengan
diterapkan beberapa
adalah
Teknik
perlakuan
untuk
33 meningkatkan kualitas pertumbuhan tanaman di bekas jalan sarad dan bekas TPn. Menurut Darwo et al. (2014), bekas jalan sarad dapat dilakukan pengkayaan dengan menggunakan S. leprosula sebanyak dua larikan dengan jarak tanam 3 m x 3 m dan pola tanam selang-seling (zig-zag). maka jumlah pohon yang bisa ditanam antara 44-66 pohon per hektar. k. Perkiraan produksi akhir rotasi (khusus di bekas jalan sarad) adalah dengan asumsi riap diameter pada akhir daur 30 tahun sebesar 1,33 cm/tahun (1 m3/pohon) dan persen hidup 60%, maka akan diperoleh tambahan potensi tegakan dari bekas jalan sarad antara 26-39 m3/ha pada siklus tebang 30 tahun. Untuk pengamatan
lebih
memantapkan
akan
diteruskan
hasil sampai
penelitian
ini,
maka
mendapatkan
teknik
pengkayaan, khususnya teknik pembinaan sehingga diperoleh hasil tanaman pengkayaan yang maksimal sebagai potensi tegakan pada rotasi yang akan datang. Selain kegiatan pengkayaan intensif, kegiatan lainnya yang sangat diperlukan dalam upaya peningkatan produktivitas tegakan tinggal (pasca penebangan) adalah kegiatan pembebasan tegakan tinggal. Kegiatan ini dilakukan untuk membebaskan permudaan alam baik berupa pohon dewasa dan pohon muda, yang mempunyai prospek sebagai pohon-pohon penyusun tegakan yang akan dimanfaatkan pada rotasi yang akan datang. Pembebasan yang
dimaksudkan
adalah
menebang
pohon-pohon
yang
mengganggu pohon-pohon binaan baik terhadap persaingan untuk mendapatkan hara tanah (horizontal) maupun terhadap cahaya matahari (vertikal).
34
Teknik pembebasan yang telah dilakukan adalah melakukan peneresan terhadap pohon-pohon yang berdiameter besar (>20 cm) dan/atau dengan menebang terhadap pohon-pohon yang berdiameter kecil, dan diamati efektifitasnya untuk mendapatkan ukuran dan kadar arborisida yang paling tepat dan aman terhadap lingkungan. Jumlah pohon yang dibina/dibebaskan adalah dipilih pohon-pohon yang mempunyai prospek tumbuh mencapai limit diameter tebang sesuai ketentuan TPTI yaitu ≥ 40 cm. Pohonpohon yang ditebang agar tidak menimbulkan kerusakan tegakan yang bisa ditolerir yaitu tidak melebihi kerusakan tegakan tinggal lebih dari 40%. Diharapkan akan diperoleh jumlah pohon inti yang memadai sehingga akan menghasilkan tegakan pada akhir daur dengan potensi yang cukup tinggi serta kualtitas kayu yang baik (besar dan lurus). Teknik pembebasan yang digunakan adalah kombinasi pembebasan horisontal dan vertikal. Teknik ini telah diujicobakan sebelumnya dan menunjukkan hasil peningkatan pertumbuhan tegakan yang paling optimal. Jumlah pohon yang ditebang tergantung pada posisinya terhadap pohon binaan, intinya bahwa pohon binaan tajuknya tidak ternaungi oleh tajuk pohon di sekitarnya. Hasil penelitian teknik pembebasan tegakan menunjukan bahwa teknik pembebasan (horisontal + vertikal) nampaknya cukup prospetif untuk menghasilkan riap/pertumbuhan diameter yang cukup meningkat mencapai lebih dari 1 cm/tahun, dibandingkan dengan tanpa tindakan pembebasan yang umumnya kurang dari 0,7 cm/tahun. Pohon-pohon berdiameter 10‒20 cm menunjukkan pertumbuhan yang meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan pohon-pohon berdiameter lebih dari 20 cm. Hal ini disebabkan
35 pohon-pohon yang masih muda berada dalam phase pertumbuhan yang cepat dibanding pohon-pohon berdiameter lebih dari 20 cm. Namun demikian, ada juga diameter pohon yang berukuran kurang dari 20 cm pertumbuhannya lambat, hal ini dikarenakan telah lama ternaungi oleh pohon-pohon yang besar di sekitarnya sebelum penebangan, dan kemungkinan pohon-pohon ini sudah berumur tua. Sedangkan jumlah pohon tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kecepatan pertumbuhan tegakan, artinya berapapun jumlah pohon per hektar dari yang diujicobakan yang menjadikan penyebab perbedaan kecepatan pertumbuhan adalah ukuran diameter pohon dan posisi tajuk yang terbebas dari pohonpohon di sekitarnya. Riap tegakan pada perlakuan pembebasan untuk jenis Dipterocarpaceae sekitar 1,4 cm/tahun, sedangkan non-Dipterocarpaceae sekitar 0,6 cm/tahun. Namun, ada juga ditempat
lain
seperti
hasil
penelitian
Abdurachman
(2012)
menyatakan bahwa antara perlakuan pembebasan, penjarangan dan kontrol tidak mempengaruhi riap diameter pohon dengan ratarata riap diameter pohon untuk kelompok komersial sebesar 0,65 cm/tahun dan kelompok non komersial sebesar 0,33 cm/tahun. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan kegiatan pembebasan sebaiknya hanya dipilih pohon-pohon prospektif yang masih muda untuk dibebaskan, tidak terpaku pada jumlahnya, hanya saja sebaiknya diupayakan tersebar merata dalam satu petak tebang, dan disesuaikan dengan jumlah pohon yang akan ditebang di akhir rotasi yang menimbulkan kerusakan minimal, dalam hal ini pembebasan 25 pohon per hektar bisa menjadikan pilihan.
36
Gambar 3.10. Pembebasan tegakan tinggal Hanya saja beberapa teknik yang lebih tepat dan efisien masih perlu dilakukan penelitian dan kajian lanjutan agar diperoleh perlakuan yang terbaik dalam rangka peningkatan produktivitas tegakan di hutan alam produksi bekas tebangan, khususnya teknik pengkayaan intensif dan teknik pembinaan tegakan yang intensif. Sistem silvikultur TPTI jika diterapkan sesuai dengan aturan yang ada, maka kelestarian hutan alam produksi dapat terwujud dengan memperhatikan tiga aspek, yaitu fungsi produksi, ekologi dan sosial. Prinsip dasar yang diterapkan dalam mengelola hutan alam melalui sistem silvikultur TPTI adalah pemanenan kayu tidak boleh melampaui produktivitas hutannya (riap tegakan). Jika para pemegang ijin berkomitmen menjalankan prinsip tersebut, maka hutan alam akan tetap lestari. 3.2.2. Sistem Silvikultur TPTJ-Silin Selain TPTI pada saat ini telah dikembangkan sistem silvikultur baru yaitu Sistem silvikultur TPTJ (TPTII). Penelitian ini hampir sama dengan penelitian TPTI yaitu mengkaji semua
37 tahapan TPTJ-Silin ditinjau dari aspek teknis, ekonomis dan ekologis. Berdasarkan
kajian
secara
teknis
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa walaupun secara teori yang telah dituangkan dalam pedoman pelaksanaan cukup jelas dan mudah untuk dilaksanakan, baik dari tahap perencanaan, tahap pembukaan naungan, penyiapan jalur tanam, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan, namun kenyataan dalam praktek di lapangan diperlukan keahlian, keseriusan dan kehati-hatian yang cukup tinggi. Diperlukan perencanaan yang sangat matang dalam rangka pembukaan
naungan
sebagai
upaya
memberikan
peluang
masuknya cahaya yang lebih optimal guna memacu pertumbuhan tanaman khususnya di jalur tanam. Kondisi topografi dan kemiringan lahan haruslah menjadikan pertimbangan yang sangat serius, agar pelaksanaan operasional tebang naungan tidak menimbulkan kerusakan, baik tegakan tinggal (jalur antara) maupun kerusakan lingkungan (Gambar 3.11).
Gambar 3.11. Kondisi hutan setelah persiapan jalur tanam
tebang
naungan
dan
38
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan hal-hal yang masih belum secara serius mengupayakan kerusakan tegakan yang minimal, kerusakan tegakan tinggal khususnya di jalur antara masih sangat tinggi bisa mencapai lebih 60%, pohon-pohon yang tersisa di jalur tanam kondisinya sangat memprihatikan karena tertimpa pohon-pohon sebagai akibat pembuatan jalur tanam yang sekedar merobohkannya ke jalur antara. Karena jarak antara dua jalur
tanam
yang
hanya
sekitar
20
meter,
maka
akibat
penebangan/pembuatan jalur tanam ini, maka jalur antara menjadi semakin parah. Dampaknya pada akhir rotasi akan menimbulkan menurunya potensi kayu di jalur antara. Demikian pula penyiapan jalur bersih 3 meter sebagai jalur tanam yang lurus memotong kontur harus dilaksanakan secara hati-hati. Walaupun disebut sebagai jalur bersih bukan berarti tumbuhan bawah harus dibersihkan sampai hanya kelihatan tanahnya saja. Praktek di lapangan menunjukkan hal-hal yang demikian, umumnya dibuat bersih dengan membabat dan mendongkel tanaman/tumbuhan bawah yang terdapat di jalur tanam. Ini cukup membahayakan akan menyebabkan erosi yang cukup tinggi khususnya pada areal dengan lereng yang curam. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang menunjukkan terjadi peningkatan erosi menjadi lebih dari dua kali dibandingkan dengan areal yang tidak dibabat. Pada tahun ketiga pasca penanaman jalur terjadi erosi sebesar 0,279 ton/ha/tahun, sedangkan di jalur antara hanya sekitar 0,114 ton/ha/tahun.
Namun, erosi yang terjadi di jalur bersih sampai
kemiringan lahan kurang dari 15% di TPTJ-Silin dengan kondisi tebal solum tanah kurang dari 30 cm termasuk kategori tingkat bahaya erosi yang aman.
39
Gambar 3.12. Tanaman umur 2 tahun di jalur tanam di PT. SBK
Gambar 3.13. Tanaman umur 4 tahun di jalur tanam di PT. SBK Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman di jalur tanam pada awal-awal penanaman sangat memberikan harapan yang sangat signifikan. Persen jadi tanaman mencapai lebih dari 90 persen sampai tanaman berumur tiga tahun dengan riap pertumbuhan diameter lebih dari 3 cm/tahun. Namun demikian, setelah tanaman berumur lebih dari tiga tahun, percepatan pertumbuhan tanaman mulai menurun, dan sangat terlihat nyata pada tanaman berumur lebih dari lima tahun. Data hasil pengamatan di lapangan terhadap tanaman yang berumur lebih dari lima tahun, baik di PT Sari Bumi Kusuma maupun di PT. Erna Juliawati menunjukan pertumbuhan riap diameter tanaman mulai menurun (1,6 cm/tahun) (Gambar
40
3,12 dan 3,13). Hasil penelitian kawasan hutan alam produksi di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa pada umur 4 tahun, tanaman di jalur tanam pada TPTJ-Silin terjadi perpotongan riap tahun berjalan (CAI) dan riap rata-rata tahunan (MAI) (Gambar 3.14). TPTJ-Silin ini dilaksanakan pada hutan alam bekas tebangan (LOA) dengan potensi tegakan yang tinggi (baik).
Umur (tahun)
Gambar 3.14. Kurva pertumbuhan diameter dan tinggi Shorea leprosula jalur tanam TPTJ-Silin di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah Oleh karena itu, setelah umur 4 tahun perlu dilakukan pelebaran jalur tanam agar pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman meningkat. Hal ini disebabkan telah terjadi persaingan, baik persaingan untuk mendapatkan sinar matahari maupun dalam mengambil unsur hara. Tajuk-tajuk pohon yang berada di kanankiri jalur tanam sudah mulai menutupi jalur tanam, akibatnya sinar matahari semakin sedikit yang masuk ke jalur tanaman. Apabila tidak dilakukan tindakan silvikultur berupa pembukaan naungan lebih lebar, maka kerugian terhadap tegakan hutan alam sudah pasti akan terjadi yaitu tanaman jalur sebagai andalan potensi
41 tegakan di masa depan tidak akan terwujud. Dalam waktu singkat bisa menimbulkan degradasi hutan alam sebagai akibat penerapan TPTJ-Silin yang tidak menggunakan teknik silvikultur yang tepat.
Gambar 3.15. Kondisi bibit cabutan dan persemaian untuk penanaman di TPTJ-Silin, Kalimantan Tengah Berdasarkan hasil kajian ini disarankan untuk memperjelas persyaratan areal yang akan dilakukan untuk sistem silvikultur TPTJ-Silin. Sistem silvikultur TPTJ-Silin diperlukan pembukaan tajuk secara bertahap hingga mencapai 60% agar tanaman di jalur tanam dapat tumbuh secara maksimal (Herdiansyah, 2008). Persyaratan lainnya yang perlu diperhatikan adalah topografi dengan kemiringan lahan maksimal 25%, dan apabila terdapat suatu bagian areal yang mempunyai lereng > 25%, maka sebaiknya TPTJ-Silin di lokasi tersebut tidak dilakukan untuk menghindari resiko yang mungkin terjadi seperti erosi dan kerusakan lingkungan lainnya yang lebih parah. Selain itu, disarankan untuk menyempurnakan teknik-teknik silvikultur yang diterapkan dalam TPTJ-Silin seperti jumlah jalur tanam dari 5 jalur menjadi 3 jalur, dan lebar jalur tanam supaya diperlebar secara bertahap mengikuti perkembangan pertumbuhan tegakan atau
42
sesuai kebutuhan sinar matahari. Selanjutnya perlu dipilih jenisjenis pohon unggulan setempat yang mampu tumbuh cepat dengan intensitas sinar matahari yang rendah. Bibit tanaman segera dihasilkan dari stek pucuk yang terjamin asal pohon induk plus dan hindari menggunakan bibit cabutan alami asalan dan waktu pengambilan yang sudah jauh dari masa berbuahnya (cabutan tua). Saat ini di areal TPTJ-Silin sedang dilakukan pengamatan tingkat
pertumbuhannya
untuk
jenis
Shorea
leprosula,
S.
mecisopteryx, S. palembanica, S. parvifolia, S. smithiana, Hopea odorata, Dryobalanops aromatica., Vatica resak, nyatoh (Palaquim sp.),
nyawai
(Ficus
variegate),
binuang
bini
(Octomeles
sumatrana), dan Sungkai (Peronema canescens). Karaketeristik tempat tumbuh dan kegunaan jenis-jenis tersebut disajikan pada Lampiran 1. Foto uji jenis di areal TPTJ-Silin, Kabupaten Barito Utara-Kalimantan
Tengah
dapat
dilihat
pada
Lampiran
2,
sedangkan hasil penanaman di areal hutan alam bekas tebangan di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil penelitian tanaman S. lepeosula di jalur tanam pada TPTJ-Silin jika diterapkan di LOA yang baik dengan lebar jalur bersih 3 m, rata-rata diameter tegakan akan mencapai 35 cm pada akhir daur 25 tahun sehingga target diameter tegakan di atas 40 cm pada daur 25 tahun tidak bisa tercapai. Padahal S. leprosula jika ditanam pada kondisi keterbukaan tajuk yang tepat diameter tegakan bisa mencapai 55 cm pada daur tebang 25 tahun dan untuk mencapai diameter tegakan 50 cm dibutuhkan waktu 21 tahun (Gambar 3.16). Apabila TPTJ-Silin di LOA yang baik dan
43 melakukan pelebaran jalur tanam secara bertahap, maka akan beresiko terjadi kerusakan tegakan di jalur antara maupun dijalur tanam dan akan menambah biaya operasional.
Gambar 3.16. Kurva prediksi dan kurva harapan pertumbuhan diameter tegakan S. leprosula di jalur tanam TPTJSilin Saran penerapan sistem silvikultur TPTJ-Silin sebaiknya tidak dilakukan di hutan alam bekas tebangan (LOA) dalam kondisi yang baik, mestinya TPTJ-Silin diterapkan pada kondisi LOA sedang dan bahkan bisa diterapkan di hutan rawang (potensi tegakan < 20 m3/ha).
44
Gambar 3.17. Tanaman umur 9 tahun di jalur tanam di PT. SBK, Kalimantan Tengah Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teknis hutan rawang bisa pulihkan asalkan faktor non teknis bisa atasi (seperti: perambahan, kebakaran, konflik lahan serta gangguan lainnya). Untuk merehabilitasi hutan rawang dengan menggunakan jenisjenis andalan setempat.
Pola tanamnya menggunakan sistem
jalur, yaitu jalur bersih (jalur tanam) selebar 2 m, jalur antara 3 m dan jarak antar tanaman dalam jalur tanam 2,5 m sehingga jarak tanamnya 2,5 m x 5 m (jumlah tanaman 800 tanaman per hektar). Karakteristik tempat tumbuh hutan rawang yang ada di KHDTK Haurbentes sebagai berikut: 1. Lokasi berada pada ketinggian ± 250 m dpl dan jenis tanah termasuk Podsolik. 2. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, termasuk tipe curah hujan A dengan tidak memiliki bulan kering. Rata-rata curah hujan tahunan 4.276 mm/tahun dengan curah hujan tertinggi jatuh pada bulan April (475 mm/bulan) dan terendah pada bulan Agustus (199 mm/bulan). Rata-rata suhu tertinggi 28ºC dan terendah 23ºC; kelembaban udara antara 70-83%; dan intensitas cahaya antara 9.000–20.600 lux.
45 3. Jenis-jenis yang sedang diujikan adalah Shorea leprosula, S. pinanga, S. mecistopteryx, S. selanica, S. palembanica, S. Stenoptera Burma., S. stenoptera Burck., H. mangarawan, Dipterocarpus sp. dan V. resak. Sampai umur 1 tahun, jenisjenis tersebut mampu tumbuh baik di hutan rawang. Kondisi hutan rawang dapat dilihat pada Gambar 3.18.
Gambar 3.18. Kondisi hutan rawang yang ada di areal KHDTK Haurbentes, Jawa Barat Selanjutnya pada lahan kosong dan lahan tidak produktif lainnya di hutan alam produksi perlu direhabilitasi. Ada beberapa areal hutan alam bekas tebangan yang perlu direhabilitasi yaitu areal bekas TPn, bekas jalan cabang, kiri-kanan jalan utama, bekas perladangan dan semak belukar. Pemilihan jenis yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan rehabilitasi, selain perlakuan silvikultur seperti penyiapan lahan, pemupukan dan pemeliharaan, serta waktu pelaksanaan penanaman yang tepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis yang cocok untuk merehabiliasi di areal bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama
46
dapat
menggunakan
jenis
Dryobalanops
aromatica,
Hopea
mangarawan, Hopea odorata, sungkai (Peronema canescens), nyatoh (Palaquium sp.) dan gmelina (Gmelina arborea) (Darwo et al., 2014). Jika jenis-jenis tersebut akan dikembangkan di areal tersebut, maka persyaratan tempat tumbuh menjadi mutlak harus diperhatikan. Untuk areal bekas perladangan dan semak belukar dapat juga menggunakan jenis-jenis yang sama seperti di areal bekas jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama (Tabel 3.4). Hasil penelitian Irawan (2014) menunjukkan bahwa rehabilitasi di areal semak belukar muda di Kabupaten Bolaangmondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara pada ketinggian 412 m dpl dapat menggunakan jenis bintangur (Calophyllum soulattri Bruu.f.var.), nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) dan linggua (Pterocarpus indicus Willd.). Ketiga jenis tersebut mampu tumbuh baik dengan persen hidup di atas 80% pada umur 12 bulan. Aswandi et al. (2014) menyatakan bahwa rehabilitasi di areal terbuka terdegradasi pada kondisi tipe iklim C di KHDTK Siali-ali, Kabupaten Pandang Lawas, Provinsi Sumatera Utara dapat menggunakan jenis mahoni (Swietenia macrophylla). Pada areal terbuka di lahan gambut dan peralihan lahan gambut dapat menggunakan Shorea belangeran (Gambar 3.19). Jenis Dipterocarpaceae (Dryobalanops aromatica, Hopea mangarawan, Hopea odorata dan Shorea belangeran) mampu tumbuh baik di areal terbuka. Keempat jenis tersebut memiliki karakterisitk berdaun tebal dan mengkilap permukaannya. Karakteristik tempat tumbuh dan kegunaan dari jenis-jenis tersebut disajikan pada Lampiran 1.
47
. Kapur (Dryobalanops aromatica)
Hopea mangarawan
Sungkai (Peronema canescens)
S. balangeran di lahan Gambut
Gambar 3.19. Dryobalanops aromatica, Peronema canascens, Hopea mangarawan dan Shorea balangeran mampu tumbuh baik di tempat terbuka 3.2.3. Sistsem silvikultur Tebang Rumpang Sistem tebang rumpang (TR) merupakan hasil kajian dan ujicoba Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru sejak 1985 di Hutan Penelitian Kintap, Kalimantan Selatan. Sistem TR ini sering disebut juga sebagai ”Gap Simulation System”. Sistem Tebang Rumpang
48
ini berbasis permudaan alami, dan menjadi salah satu sistem yang ditawarkan kepada pemerintah untuk dijadikan suatu sistem silvikultur alternatif untuk pengelolaan hutan alam produksi (Sagala, 1994). Sistem TR ini pada awal pembentukannya dilakukan pada areal hutan yang relatif masih primer, dimana permudaan alami jenis-jenis primer masih tidak menjadi masalah. Pada areal hutan yang telah terfragmentasi berat, TR ini belum diujicoba secara tuntas. Pada saat ini, apakah tebang rumpang berbasis permudaan alami ini masih efekif untuk areal hutan yang telah terfragmentasi. Pertanyaan ini, perlu dijawab melalui serangkaian ujicoba kembali TR di areal hutan yang telah terfragmentasi berat, dimana keberadaan permudaan alami jenis primer menjadi kendala. Apapun sistem silvikutultur yang digunakan pada dasarnya adalah menciptakan ruang-ruang terbuka di dalam hutan. Ruangruang
terbuka
tersebut
dapat
menjadi
suatu
triger
bagi
keberlangsungan proses dinamika hutan yang lebih cepat, tetapi dapat menjadi penghancur keberlangsungan proses dinamika hutan yang ada. Semua itu sangat tergantung dari luas, bentuk dan pola penyebaran ruang terbuka yang tercipta, serta tergantung dari kualitas ruang terbuka bagi perkembangan regenerasi (Brokaw, 1985). Hutan produksi dengan misi ekonomi dan ekologi yang sama pentingnya dapat diterapkan sistem slivikultur TR . Dalam hal ini yang dapat direkayasa adalah ”spatial rumpang”, bukan struktur dan komposisi tegakan hutan seperti pada sistim silvikultur tebang pilih (Sagala, 1999; Panjaitan dan Supriadi, 2004). Rumpang (gap) merupakan pembukaan kanopi hutan yang disebabkan oleh
49 tumbangnya satu atau lebih pohon. Hal ini adalah bentuk utama dari gangguan alami (disturbance) dalam suatu sistem hutan alam. Rumpang ini memainkan peranan penting dalam ekologi hutan yaitu pengaturan keanekaragaman dalam hutan, mempengaruhi siklus hara, dan memfasilitasi proses suksesi. Bukaan kanopi hutan (rumpang) akan memfasilitasi cahaya untuk mencapai lantai hutan. Cahaya yang sampai lantai hutan ini sangat berperan dalam regenerasi alam (Hu, et al., 2010). Rumpang ini akan membentuk mosaik yang kontinyu sebagai suatu proses dari regenerasi hutan.
Penelitian Amir (2012)
menunjukkan proses regenerasi hutan berupa mosaik rumpang akan mencapai 25,5 ± 6,9 tahun. Hal tersbut menunjukkan bahwa dinamika rumpang akan mewujudkan kondisi hutan yang lestari. Rumpang adalah faktor kunci dalam regenarasi alami seperti halnya di hutan mangrove. Waktu pulih tersebut dijadikan dasar dalam rotasi tebangan pada pengelolaan hutan. Ukuran rumpang sangat beragam dari 10 m2 hingga lebih dari 5.000 m2. Menurut Schliemann et al. (2011) menyarankan bahwa luas rumpang optimal adalah 1.000 m2. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru dalam penelitiannya tidak memberikan luasan rumpang dalam angka luas yang mutlak tetapi berdasarkan tinggi pohon tepi pada tapak aktual yang akan dibuat rumpang, yaitu lingkaran lahan yang berdiameter 1–1,5 kali tinggi pohon tepi. Indikasi dari luas optimal ini adalah tetap terjaganya iklim mikro dan tidak melonjaknya pertumbuhan tumbuhan bawah seperti alang-alang, pakis-pakisan dan lain-lain. Prosedur pembuatan rumpang berikut:
(Panjaitan, 1997) sebagai
50
a. Pemilihan tempat penumpukan kayu sementara (TPn). TPn ini merupakan tempat penumpukan log penyaradan, yang berada di tepi areal tebangan. b. Memetakan semua jaringan sarad yang menuju ke TPn tersebut. c. Menentukan titik-titik tebang sebagai calon rumpang. d. Penandaan batas pada setiap calon rumpang (diameter rumpang 1–1,5 kali pohon tepi), dan penandaan semua pohon yang ditebang untuk disarad/dimanfaatkan. e. Sensus semua tingkat pohon yang tidak dimanfaatkan, yaitu vegetasi berdiameter ≥ 10 cm. f. Inventorisasi tingkat permudaan, yaitu tiangkat semai dan pancang.
Penentuan permudaan ini dilakukan dengan Line
Intercept Method (LIM).
“LIM” ini adalah semua permudaan
yang menyinggung garis pengamatan. Garis pengamatan yang dibuat
adalah
dua
garis
tengah
rumpang
yang
saling
berpotongan tegak lurus. Karatersitik yang diamati adalah jenis dan jumlah individu. h. Penebangan pohon di dalam rumpang. i. Penyaradan batang pohon yang dimanfaatkan. j. Perapihan rumpang, yaitu dengan cara penebangan dan pencincangan semua individu di dalam rumpang. k. Jika permudaan alamnya kurang, maka dapat dilakukan pengkayaan dengan menanam jenis andalan setempat. Apabila permudaan alaminya tidak ada, maka bisa dibuat permudaan buatan dengan menanam jenis andalan setempat dengan jarak tanam 2,5 m x 2,5 m yang dimulai dari titik tengah menuju 4 m sebelem sampai ke tepi rumpang (Panjaitan, 2014) (Gambar 3.20).
51 l. Pada rumpang dengan permudaan alami dan buatan harus dilakukan penandaan dengan menggunakan ajir.
Gambar 3.20. Pembuatan permudaan buatan di dalam Tebang Rumpang
Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman meranti di dalam rumpang berumur 16 tahun dan berumur 17 tahun, menunjukan bahwa tanaman dapat hidup baik pada kondisi tidak terganggu naungan pohon sekitarnya. Berdasarkan data tersebut, tanaman mampu tumbuh dengan riap diameter 1,6 cm/tahun untuk Shorea parvisipulata, sedangkan untuk jenis Shorea johorensis sebesar 1,3 cm/tahun pada umur 16‒17 tahun.
Lebar tajuk sebagai
indikator penutupan ruang tumbuh 4,6‒9,0 m dengan rasio diameter tajuk dengan diameter batang adalah 27,5‒31,5. Rasio ini mengindikasikan bahwa untuk tumbuh normal, maka pohon tersebut memerlukan ruang terbuka (bebas naungan) 30 kali diameter batang pohonnya (Panjaitan, 2014). Ukuran
individu
tanaman
ternaungi
jauh
lebih
kecil
dibandingkan dengan individu normal. Pengaruh naungan tersebut terlihat sangat signifikan baik terhadap pertumbuhan.
Kondisi
naungan ekstrim mengakibatkan tajuk menipis dan pertumbuhan
52
tanaman mengalami stagnasi. Fakta di atas mengindikasikan bahwa dinamika tegakan di hutan tropika basah (pertumbuhan dan komposisi jenis) sangat ditentukan oleh ukuran atau luas, bentuk dan periodisitas pembukaan kanopi (gaps) (Brokaw, 1985). Jenisjenis komersil yang dibalak, hampir semuanya merupakan jenis kanopi utama. Pertumbuhan permudaan jenis kanopi atas memerlukan ruang terbuka berupa rumpang (gaps), pada fase ini pertumbuhan tinggi paling dominan, setelah mencapai kanopi atas, maka pertumbuhan tinggi melambat dan secara praktis berhenti kemudian pertumbuhan tajuk pohon dan pertumbuhan diameter berlangsung
(Whitmore,
1975;
Halle
et
al.,1978).
Tingkat
pertumbuhan tanaman dalam TR disajikan pada Tabel 3.5. Tabel 3.5. Pertumbuhan jenis-jenis pohon pada sistem silvikultur Tebang Rumpang di Kintap, Kalimantan Selatan Diameter pohon (cm)
No.
Jenis pohon
Umur (tahun)
1.
Shorea parvistipulata
17
27,2
2.
Shorea johorensis
17
3.
Shorea voiciflora
4.
Shorea stenoptera
Tinggi total (m)
Riap Diameter (cm/th)
Tinggi (m/th)
-
1,60
-
22,1
-
1,30
-
6
4,0
4,40
0,66
0,73
4
3,4
3,45
0,84
0,86
Hasil penelitian pertumbuhan tanaman pada dalam TR di KHDTK Kintap, Kalimantan Selatan menunjukan bahwa rata-rata riap tahunan (MAI) diameter meranti pada umur 13 tahun mencapai 2,1 cm. Kondisi kontras terjadi pada rumpang permudaan alam umur 14 tahun di PT AYI, Kalimantan Selatan yang hanya memiliki MAI sebesar 0.9 cm/tahun. Gambaran ini menunjukkan adanya
53 perbedaan riap tegakan dikarenakan kondisi tapak yang berbeda, perbedaan perlakuan, dimana di Kintap dilakukan pembebasan sampai umur 2 tahun, sedangkan di PT AYI tidak ada pembebasan. Riap diameter di dalam rumpang permudaan alam lebih tinggi dibandingkan dengan permudaan buatan. Hal ini disebabkan oleh karaktersitik permudaan alam sudah mampu beradaptasi daripada bibit yang ditanam, terutama dalam sistem perakarannya. Menurut Sagala (1994) bahwa keuntungan TR sebagai berikut: a. TR secara alami mampu mengelola unsur tanah, iklim mikro, dan seresah terdekomposisi dengan baik. b. Areal tebangan bisa dikelola karena mempunyai Unit Homogen. c. Manajemen mempunyai kepastian usaha. d. Sistem ekologi hutan tidak rusak sebab proses rumpang adalah bagian dari sistem ekologi hutan. e. Areal tebangan tidak rawan kebakaran karena pada kondisi iklim mikro rumpang populasi rumput tidak melonjak. f. Tidak akan terjadi erosi/kepunahan genetik sebab tidak melakukan tebang pilih. g. Penyebaran jenis mudah dipetakan. h. Kayu berdiameter besar untuk plywood, kayu ukuran sedang untuk penggergajian, sedangkan kayu kecil, rotan, anggrek, tumbuhan obat untuk penduduk setempat. Jadi kuvio bentuk rumpang dapat diterima baik dari segi manajemen, teknik, ekologi, bahaya api, ekonomi dan penduduk setempat. Untuk itu, mengelola hutan alam harus dilakukan secara sistematik artinya kawasan hutan harus dikelola bagian per bagian
54
ke dalam unit pengelolaan. Sagala (1999) menyatakan bahwa hutan alam dituntut untuk dapat berperan sebagai: .a. Tempat tinggal jutaan makhluk hidup dalam keadaan seimbang yang terdiri dari masyarakat tumbuhan, masyarakat fauna dan masyarakat jasad renik. b. Menekan pelonjakan populasi organisme tertentu yang dapat membahayakan organisme lain. c. Gudang penyimpanan bahan genetik atau plasma nutfah. d. Sumber kayu dan hasil hutan lain seperti rotan, tumbuhan obat, anggrek dan lain-lain. e. Pengendalian debit air dan sumber air bersih. f. Penyimpan karbon dan penghasil udara bersih. g. Sumber ilmu pengetahuan. h. Tempat rekreasi dan lain sebagainya. Sagala (1994) menyatakan bahwa ada beberapa sifat hutan alam yaitu: (a) hutan alam merupakan mosaik rumpang, (b) tanah, iklim mikro dan tumbuhan merupakan satu kesatuan, (c) komposisi dan struktur tegakan yang beragam dengan jumlah jenis banyak dan struktur mulai tingkat pohon, tiang, pancang dan semai bercampur. Oleh karena itu, dalam TR diperlukan lima tingkat desain lapangan, yaitu: (a) desain tingkat tegakan rumpang, (b) desain tingkat jalan sarad, (c) desain tingkat kuvio, (d) desain tingkat petak, dan (e) desain tingkat unit pengelolaan. 3.3. Informasi Dinamika Pertumbuhan/Riap Tegakan di Hutan Alam Produksi Kelestarian hutan alam produksi selain sangat dipengaruhi oleh pemilihan sistem silvikultur yang tepat disertai dengan
55 tindakan-tindakan
silvikultur
dalam
rangka
peningkatan
produktivitasnya, tidak kalah pentingnya adalah dalam rangka pengaturan produksi kayu yang boleh dimanfaatkan. Pemanfaatan kayu yang berlebihan akan dapat merusak hutan sekaligus menghambat pertumbuhan tegakan tinggal atau memperpanjang rotasi, tetapi pemanfaatan yang kayu yang sedikit akan menjadi tidak
ekonomis.
Pemanfaatan
kayu
yang
optimal
adalah
pemanfaatan kayu yang didasarkaan pada besarnya riap tegakan. Menurut pengalaman secara perhitungan ekonomis pemanfaatan kayu sesuai riap tegakan sudah cukup layak dalam suatu operasional pengelolaan hutan. Untuk melakukan pengaturan hasil yang tepat diperlukan suatu teknik kuantifikasi pertumbuhan yang tepat yang diperoleh dari hasil penelitian yang konsisten. Adapun hasil penelitian sementara aspek-aspek kuantifikasi pertumbuhan yang sudah dilakukan. Telah dihasilkan model pendugaan volume pohon dari beberapa jenis pohon komersial di hutan alam produksi. Model pendugaan volume yang dihasilkan cukup praktis dan akurat, sehingga dapat digunakan sebagai dasar penyusunan tabel volume pohon yang dapat digunakan dalam membantu kegiatan inventarisasi potensi tegakan. Namun mengingat volume pohon dipengaruhi jenis dan tempat tumbuh, maka perlu disusun model pendugaan volume untuk setiap jenis dan lokasi unit pengelolaan hutan produksi. Adapun model yang digunakan adalah: Vdu = f(D,H,hdu) Vh = f(D,H,h)
56
Dimana: Vdu : volume batang pohon sampai diameter ujung tertentu (m3), Vh
: volume batang pohon dengan panjang tertentu (m3),
D
: diameter setinggi dada (cm),
H
: tinggi pohon (m) → tinggi sampai pucuk atau bebas cabang,
hdu : tinggi diameter ujung tertentu (m).
Gambar 3.21. Pengambilan data pohon model (pohon contoh) Sampai dengan tahun kelima telah disusun tabel volume pohon di hutan alam produksi di beberapa lokasi penelitian yaitu: Shorea semithiana, Vatica sp., Dipterocarpus spp. (keruing), bangkirai, meranti merah, kapur, medang, dan jenis-jenis Diperocarpaceae lainnya (Hardjana, 2014). Model persamaan tabel volume yang telah disusun untuk beberapa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3.6 dan model pendugaan volume pohon untuk di wilayah Papua disajikan pada Tabel 3.7 (Kuswandi, 2014).
57 Tabel 3.6. Persamaan pendugaan volume pohon beberapa jenis pohon di hutan alam di Kalimantan Jenis
Persamaan Regresi Terpilih 2
Lokasi
Shorea laevis
Vbc = 0,0015(D) ‒ 0,0254(D) + 0,0448
Samboja, Kab. Kutai Kartanegara, Kaltim
Shorea smithiana
log Vbc = ‒2,986511 + 2,08686 log (D) ‒5,217938 (1/D)
Labanan, Kab. Berau, Kaltim
Vatica sp.
log Vbc = ‒2,290659+1,738784 log (D) ‒12,09475 (1/D)
Hopea sp.
log Vbc = 1,9388 log D + 0,9309 log T ‒ 4,0872
Labanan, Kab. Berau, Kaltim
Dipterocarpus sp.
log Vbc = ‒4,2058 + 2,1295 log D + 0,6646 log T
Tanjung, Kalsel
log Vbc = ‒4,0560 + 2,5478 log D Dipterocarpaceae
log Vbc = ‒3,4216 + 1,8989 log D + 0,9287 log T
Segah, Kab. Berau, Kaltim
Dipterocarpus acutangulus
log Vbc = ‒3,6751 + 2,4022 log D
Labanan, Kab. Berau, Kaltim
Dipterocarpus sp.
Vbc = 0,333 – 0,023(D) + 0,001(D )
Dipterocarpus lanceolata
log Vbc = –3,336 + 2,205(log D) – 6,956(1/D)
Dipterocarpus sp.
Vbc = 0,184 – 0,0204(D) + 0,001(D )
Dipterocarpus lanceolata
log Vbc = –4,0621 + 2,449(log D)
Dipterocarpus sp.
log Vbc = –3,808 + 2,416(log d) – 2,530(1/d)
Dipterocarpus lanceolata
log Vbc = –3,703 + 2,391(log d) – 1,868(1/d)
Parashorea spp.
Vbc = ‒0,4123 + 0,0059 D + 0,0012 D
Dipterocarpus confertus
Vbc = 0,2758 ‒ 0,0286 D + 0,0014 D
Shorea macrophylla
log Vbc = ‒3,3545 + 2,2249 log D ‒ 3,9328(1/D)
2
2
PT. Ratah Timber, Kab. Kutai Barat PT. Kemakmuran Berkah Timber, Kab. Kutai Barat
2
2
PT. Rizki Kacida Reana, Kab. Paser Labanan, Kab. Berau, Kaltim Muara Wahau, Kab. Kutim, Kaltim Muara Wahau, Kab. Kutai Timur, Kaltim
58 Jenis
Persamaan Regresi Terpilih
Lokasi
Dipterocarpus glabrigemmatus
log Vbc = 0,64229 + 0,4443 log D
Labanan, Kab. Berau, Kaltim
Dipterocarpus stellatus
Log Vbc = ‒1,995519 + 1,0198 log D – 1.3262 (1/D)
Labanan, Kab. Berau, Kaltim
Bangkirai
Vbc = 0,00008 D
2,61996
Vbc = 0,00007 D
2,28586
(Shorea aevifolia)
V7 = 0,00007 D
2,65279
V7 = 0,00006 D
2,40252
Mersawa
Vbc = 0,00011 D
2,51110
(Anisopthera sp.)
Vbc = 0,00009 D
2,17697
V7 = 0,00009 D
2.60524
V7 = 0,00008 D
2,47890
Ulin
Vbc = 0,00029 D
2,19842
(Eusideroxylon zwageri)
Vbc = 0,00022 D
2,09417
Keruing
Vbc = 0,00014 D
2,44480
(Dipterocarpus sp.) Vbc = 0,00013 D
2,22417
V7 = 0,00011 D
2,52320
V7 = 0,00010 D
2,38990
Medang
Vbc = 0,00022 D
2,39477
(Litsea spp.)
Vbc = 0,00009 D
2,08420
V7 = 0,00030 D
2,37143
V7 = 0,00017 D
2,18600
T
T
T
T
0,52249
0,39138
0,53113
0,20084
T
0,26747
T
0,35545
T
0,69790
0,41680
Vbc = 0,00007979 D
2,67646
Shorea dasyphylla Vbc = 0,00005024 D
2,80036
Shorea parvifolia
Shorea leprosula
Vbc = 0,000082137 D
PT Telagamas, Kaltim
0,21477
T
T
PT Hutanindo Lestari Raya Timber, Kalteng
2,67286
PT. Intraca wood Manufacturing, Kab. Tarakan, Kaltar
3
3
Keterangan: Vbc = volume tinggi bebas cabang (m ); V7 = Volume sampai diameter ujung 7 cm (m ); D = diameter setinggi dada (cm); dan T = tinggi sampai bebas cabang (m).
59 Tabel 3.7. Tabel Volume Lokal Beberapa Jenis Kayu Komersial pada Beberapa Lokasi di Papua No.
Jenis Pohon
Lokasi
Angka Bentuk
Model pendugaan volume 3 pohon (m )
1.
Merbau (Intsia sp.)
BonggoJayapura
0,69
Vbc = 0,003898 D
1,56222
2.
Merbau (Intsia sp.)
BintuniManokwari
0,70
Vbc = 0,001471 D
1,89844
3.
Merbau (Intsia sp.)
KuatisoreNabire
0,70
Vbc = 0,00082 D
4.
Merbau (Intsia sp.)
Sorong
0,71
Vbc = 0,00026 D
5.
Merbau (Intsia sp.)
Wasior-Biak
0,70
Vbc = 0,00029D
6.
Merbau (I. palembanica)
P.Salawati Sorong
0,71
Vbc = 0,00026D
7.
Matoa (Pometia sp.)
BintuniManokwari
0,65
Vbc = 0,002414 D
8.
Matoa (Pometia sp.)
BonggoJayapura
0,66
Vbc = 0,00055 D
9.
Matoa (Pometia sp.)
KuatisoreNabire
0,64
Vbc = 0,00035 D
2,1104
10.
Matoa (Pometia sp.)
WasiorManokwari
0,65
Vbc = 0,00002 D
2,9941
11.
Resak (Vatica Sp)
KuatisoreNabire
0,71
Vbc = 0,00072 D
12.
Ketapang (Terminalia sp.)
KaimanaFakfak
0,70
Vbc = 0,00061 D
2,2076
13.
Mersawa (Anisopthera sp.)
WasiorManokwari
0,74
Vbc = 0,00025 D
2,6754
14.
PT. Manokwari Mandiri Lestari
-
-
Vbc = 0,000427 D
1,9872
2,3764
2,4468
2,3764
1,731491
1,936867
1,9892
2,15
(untuk semua jenis) 15.
PT. Wapoga Mutiara Timber
-
-
Vbc = 0,000457 D
2,16
(untuk semua jenis) 3
Keterangan: Vbc = volume tinggi bebas cabang (m ); dan D = diameter setinggi dada (cm).
60
Hasil penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan perangkat pengaturan hasil adalah penelitian pertumbuhan tegakan tinggal. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan model struktur dan
dinamika tegakan tinggal serta model pendugaan riap tegakan di hutan alam bekas tebangan sebagai dasar pengelolaan hutan alam produksi yang lestari. Pendekatan yang digunakan adalah dengan membuat dan mengukur secara berulang Petak Ukur Permanan (PUP). Jumlah PUP minimal tiga buah dengan ukuran PUP biasanya seluas satu hektar atau 100 m x 100 m, dipilih pada areal hutan bekas tebangan biasanya tiga tahun setelah tebangan, yang representatif dan aksesibilitasnya mudah. Pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal di hutan alam produksi pada tebangan >3 tahun, menunjukkan kondisi yang masih cukup baik, struktur tegakan berbentuk J terbalik, pohon berdiameter >50 cm masih tersisa cukup, pohon inti > 25 pohon/ha, dan permudaan masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran berulang terhadap PUP yang telah dibuat menunjukkan riap diameter berkisar antara 0,5–1,8 cm/tahun di hutan tanah kering sedangkan di hutan tanah basah antar 0,39–0,43 cm/tahun (Wahjono, 2007; Abdurachman, 2012; Abdurachman, 2014; Abdullah dan Darwo, 2014) (Tabel 3.9). Hasil sementara ini memberikan gambaran bahwa riap/pertumbuhan tegakan sangat bervariasi tergantung pada site dan kinerja unit pengelola serta keamanan dari hutan tersebut. Mengingat riap diameter sangat beragam, sementara limit diameter tebang telah ditetapkan >40 cm, maka rotasi tebang seharusnya lebih dari 30 tahun, atau seandainya limit diameter tetap 40 cm dan rotasi tetap 30 tahun, maka limit diameter pohon inti harus dinaikan.
61
Gambar 3.22. Pengukuran pohon pada Petak Ukur Permanen (PUP)
Analisa Data Model Struktur Tegakan Awal N = k e -(aD)
Model dinamika struktur tegakan (Ingrowth, upgrowth, mortality) Nj,t+1 = Nj,t + Ij + Uj - Mj Model Proyeksi Pertumbuhan/ dinamika tegakan
ΔD = f (D,N,t) ΔG = f (D,N,t) ΔV = f (G,D,N,t)
Strategi Pengaturan Hasil
62
Tabel 3.8. Struktur tegakan di hutan alam produksi bekas tebangan No
IUPHHK/HPH
Provinsi
Persamaan
1
PT Sumalindo Lestari Jaya II
Kaltim
N = 366,072 e -0,071D
2
PT Aya Yayang Indonesia
Kalsel
N = 457,965 e -0,064D
3
PT Diamond Raya Timber
Riau
N = 204,579 e -0,041D
4
PT Intracawood Manufacturing
5
PT Asri Nusa Prima Mandiri
6
Kaltim
N = 377,907 e-0.06540 D
Riau
N = 799,169 e-0.07114D
PT Anugerah Alam Barito
Kalteng
N = 352,915 e -0,06345D
7
PT Central Kalimantan Abadi
Kalteng
N = 387,196 e -0,05612D
8
PT Aya Yayang Indonesia
Kalsel
N = 462,345 e -0,06774D
Ndit = k e-f(Di, N0di, t) Vdit = Ndit x V → Vtotal = Σ Vdit
Tabel 3.9. Riap diameter dan riap volume tegakan di hutan alam No. 1 . 2 . 3 . 4 . 5 .
Lokasi
Perlakuan
PT Sumalindo Lestari Jaya II, Kaltim PT Diamond Raya Timber, Riau PT Intracawood Manufacturing, Kaltim PT Aya Yayang Indonesia, Kalsel KHDTK Labanan, Kontrol Kaltim Pembebasan Penjarangan
6 .
Kalimantan Barat
Riap Volume (m3/ha/th)
Riap Diameter (cm/th) K
NK
S
K
NK
0,54
0,49
0,53
2,287
0,104 2,391
0,40
0,33
0,38
2,563
0,246 2,808
0,62
0,54
0,60
3,584
0,557 4,141
0,66
0,39
0,67
2,547
0,334 2,881
0,53
0,29
-
-
-
-
0,84
0,36
-
-
-
-
0,57
0,33
-
-
-
-
Anisoptera spp
0,18-0,46
-
Dryobalanops spp.
0,35-0,70
-
Hopea spp.
0,07-0,46
-
Shorea spp.
0,53-0,66
-
Keterangan: K = Komersial, NK = Non komersial, S = Seluruh jenis, Dbh = Diameter setinggi dada.
S
63 Dalam penentuan riap diameter tegakan di hutan alam, para peneliti selalu membuat rata-rata semua kelas diameter. Padahal
hasil
penelitian
Abdullah
dan
Darwo
(2014)
menunjukkan bahwa semakin besar kelas diameter, maka CAI semakin menurun. Bentuk persamaan pendugaan riap tahun berjalan (CAI) diameter di hutan alam Maluku adalah “CAI diameter = 2,54998 ‒ 0,41087 ln (Dbh)” dengan koefisien determinasi (R2 = 97%). Kurva hubungan antara CAI dengan Dbh di hutan alam, Provinsi Maluku disajikan pada Gambar 3.23.
Gambar 3.23. Kurva riap tahun berjalan (CAI) diameter tegakan di hutan alam, Maluku Produktivitas hutan dapat dianggap sebagai laju produksi biomassa yang dihasilkan oleh satu luasan tegakan hutan dalam periode waktu terentu. Dalam konteks hutan produksi, biomassa tersebut yang direpresentasikan dalam bentuk volume batang pohon.
Produktivitas
pertumbuhan
tersebut
merupakan
akumulasi
dari
pohon dan vegetasi lainnya di dalam hutan.
Produktivitas hutan sangat erat hubungannya dengan kelestarian. Kelestarian sumberdaya hutan akan terjaga, jika hutan selalu
64
berada dalam tingkat kapasitas produktif maksimumnya (Fujimori, 2001). Oleh karena itu, apapun sistem silvikultur yang digunakan dalam suatu kawasan hutan, maka kelestarian akan terjamin jika tetap mampu menjaga level kapasitas produksi maksimum hutan yang bersangkutan. Parameter lainnya yang mempengaruhi produktivitas hutan alam adalah kerapatan tegakan. Kerapatan tegakan yang diamati dari PUP-PUP yang dibangun di setiap lokasi penelitian relatif sedang sampai cukup rapat. Kondisi tegakan didominasi oleh pohon-pohon berdiameter kecil (kursng dari 30 cm). Model struktur tegakan awal yang disusun pada setiap lokasi penelitian cukup memadai untuk menduga struktur tegakan tinggal. Laju mortality lebih kecil dibandingkan laju ingrowth/upgrowth yang menunjukkan bahwa kondisi tegakan pada rotasi berikutnya relatif masih aman (Tabel 3.10). Untuk mendapatkan model pertumbuhan dan model dinamika struktur tegakan yang representatif diperlukan data hasil pengukuran yang meliputi rentang waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, penelitian (pengamatan dan pengukuran ulang) secara kontinyu dari PUP yang telah dibuat dalam penelitian ini perlu dilanjutkan, sehingga pola dan kecepatan pertumbuhan tegakan secara matematis dapat diformulasikan untuk memproyeksikan struktur tegakan pada waktu yang akan datang.
65 Tabel 3.10. Laju mortality, ingrowth dan upgrowth berdasarkan kelas diameter untuk jenis-jenis pohon di hutan alam Kelas Diameter (cm) 10 – 20 20 – 30 30 – 40 40 – 50 50 – 60 60 – 70 70 up
Laju (%) Upgrowth 2,166 1,424 0,852 0,280 0,284 0,148
Ingrowth 7,058 -
Mortality 1,074 0,799 0,408 0,117 0,030 0,078 0,000
3.4. Strategi Pengelolaan Hutan Alam Produksi ke Depan Kondisi hutan alam produksi di Indonesia termasuk dalam ekosistem
hutan
tropika
humida
dengan
ekosistem
yang
rapuh sehingga hutan alam mengalami fragmerntasi. Sejak tahun 1970-an, hutan alam Indonesia telah dipungut/dimanfaatkan, namun kondisi hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan alam akibat eksploitasi yang berlebihan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hutan yang berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus tebang kedua dan seterusnya jauh lebih rendah dari yang diharapkan. Kondisi hutan alam produksi memiliki ekosistem yang beragam, baik dalam volume standing stock, komposisi, faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan penanganan yang berbeda pula. Sampai saat ini, sistem silvikultur yang diterapkan dalam pengelolaan hutan alam menggunakan Tebang Pilih
Tanam
Indonesia
(TPTI)
dengan
menetapkan
sistem
pemanenan yang seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah
66
Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan kondisi hutannya. Bedasarkan Permenhut P11/Permenhut-II/2009 yang menetapkan batas siklus tebang dan limit diameter tebang pada hutan daratan tanah kering pada sistem silvikultur TPTI, yaitu siklus tebang 30 tahun dengan limit diameter pohon yang ditebang 40 cm pada Hutan Produksi Tetap (HP) dan/atau Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) dan limit diameter 50 cm pada Hutan Produksi Terbatas. Sistem ini bisa mengakibatkan pemanenan berlebih di banyak areal, sehingga hutan tidak dapat pulih dalam waktu 30 tahun untuk dapat menghasilkan kayu pada rotasi berikutnya. Kebijakan ini sebetulnya mengandung resiko hutan alam produksi pada rotasi berikutnya akan semakin menurun lagi. Untuk itu, perlu memperhatikan, yaitu: a. Pemanfatan/penebangan tidak melebihi riap tegakan. b. Tidak semua pohon pada batas limit diameter ditebang semua, tetapi jumlah pohon yang ditebang dibatasi yaitu batas keterbukaan tajuk aman antara 30‒40% (setara dengan jumlah pohon yang ditebang 15 pohon per hektar dengan menerapkan Reduce Impact Logging (RIL). Diharapkan tegakan persediaan pada siklus tebang berikutnya tidak turun. Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan selanjutnya sudah harus beralih ke hutan bekas tebangan. Karena itu, upaya peningkatan produktivitas dengan input energi (biaya) serendah-rendahnya dan tanpa merugikan lingkungan
(ekosistem).
Hutan
alam
telah
membentuk
keanekaragaman jenis yang tinggi sehingga akan membentuk struktur tertentu baik secara vertikal (stratifikasi tajuk dan/atau
67 perakaran) maupun horizontal. Mekanisme internal seperti inilah yang dapat membentuk stabilitas ekosistem. Sistem silvikultur TPTI yang digunakan dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di Indonesia, walaupun sistem ini adalah sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya. Hal ini, menunjukkan bahwa tidak adanya batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang dapat ditebang per satuan areal. Penebangan pohon yang terlalu banyak di setiap unit areal dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis kayu komersial. Sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan alam produksi yang dituntut untuk memberikan produk yang selalu meningkat dan kelestarian yang tetap terjamin. Untuk memenuhi tuntutan tersebut tidak mudah, tetapi pada pihak yang terlibat harus berkomitmen untuk mencari peluang sistem silvikultur alternatif agar hutan alam produksi tetap lestari. Upaya yang perlu dilakukan dalam pengelolaan hutan alam produksi ke depan antara lain: a. Sistem silvikultur jangan diterapkan secara seragam, tetapi perlu menerapkan sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya yang sesuai dengan tipe dan kondisi tipologi hutan alam produksi.
Untuk itu, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (Kepala KPHP) harus mampu menerapkan sistem silvikultur yang tepat. b. Pemanfaatan hutan alam produksi tidak hanya mengandalkan produk kayu, namun harus menjalankan kemampuan optimal suatu
ekosistem
hutan
alam.
Oleh
karena
itu,
dalam
pengelolaan hutan alam produksi penentuan AAC (Annual
68
available Cut) atau Jatah Produksi Tahunan (JPT) harus berbagai jenis produk hasil hutan. Karena itu, diperlukan reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan produktivitas hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan dalam bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem hutannya. Hal ini mendukung pendapat (Schliemann, et al., 2011), bahwa penerapan sistem silviklutur di hutan alam tidak hanya
untuk
menghasilkan
kayu
saja
tetapi
bagaimana
pengelolaan hutan didesain mirip dengan proses alami yang terjadi di hutan alam. Hal tersebut dilakukan dengan harapan sistem silvikultur yang diterapkan akan mengembalikan kondisi hutan sealami mungkin dan pada sisi lain dapat mengoptimalkan hasil panen. c. Kondisi hutan primer semakin menipis, maka pengelolaan hutan alam beralih ke hutan bekas tebangan. Para pemegang IUPHHK-HA tidak boleh ada lagi tebangan cuci mangkok (tebang ulang sebelum waktunya) dan pemerintah harus melaksanakan penegakan hukum yang tegas terhadap para pelanggar. Hutan bekas tebangan perlu dipelihara untuk terus meningkatkan produksinya atau setidaknya kembali ke keadaan semula. Oleh sebab itu, pembinaan tegakan tinggal hutan alam bekas tebangan menjadi aspek yang sangat penting. Kegiatan pembinaan hutan alam bekas tebangan pada sistem silvikultur TPTI
yang berupa perapihan, pembebasan pertama, pem-
bebasan kedua dan ketiga tidak diperlukan lagi. Namun kegiatan pengayaan dengan menanam pada areal kosong (bekas jalan sarad,
kiri-kanan
jalan
utama,
bekas
TPn
dan
hutan
rawang/rusak). Penerapan penjarangan tajuk diperlukan untuk
69 mempercepat pertumbuhan tegakan tinggal. Hal ini terjadi karena tindakan penjarangan memberikan ruang tumbuh optimal bagi pohon binaan yang terdiri atas pohon inti dan permudaan tingkat di bawahnya. Pohon-pohon yang dijarangi hanya terbatas pada pohon-pohon tidak sehat, sementara pohon binaan tetap berfungsi sebagai pembentuk struktur tegakan sehingga terus memberikan jasa lingkungan dan/atau atribut fungsionalnya. d. Dalam jangka panjang, harus mulai dipikirkan untuk mengelola hutan berdasarkan konsep kesesuaian lahan. Pengelolaan hutan alam produksi harus berbasis ekosistem. Pengelolaan hutan produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang merupakan resultante dari seluruh faktor lingkungan (biofisik dan abiotik)
sehingga
terbentuk
kesatuan
pengelolaan
yang
berkemampuan sama baiknya antara produktivitas dan jasa lingkungan. e. Penerapan sistem silvikultur yang sekiranya mampu menjanjikan peningkatan produktivitas hutan, hendaknya terlebih dahulu dikaji secara mendalam agar kerusakan hutan alam dapat lebih eliminir. f. Keberhasilan
pengelolaan
hutan
alam
produksi
sangat
tergantung sumber daya manusianya. Karena itu, penyiapannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, maka startegi pengelolaan hutan alam produksi ke depan yang perlu dilakukan yaitu: a. Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk menjamin kelestarian manfaat jangka panjang melalui rotasi tebang serta kesuburan
70
tanah melalui siklus hara. Sistem silvikultur TPTI sebaiknya diterapkan pada hutan alam primer atau hutan alam bekas tebangan yang aksesibilitasnya sulit dijangkau masyarakat (jauh dari pemukiman, aman dari penebangan liar dan perambahan lahan). Jika di areal tersebut terdapat hutan rawang dan lahan kosong, maka pemegang ijin harus merehabilitasi dengan menanam jenis-jenis andalan setempat yang cocok dengan kondisi lahannya. b. Sistim silvikultur TR dapat diterapkan sebagai sistem silvikultur alternatif yang dilakukan di areal hutan primer dan LOA baik (≥40 m3/ha) dengan permudaan alami. Pada LOA sedang (2040 m3/ha) dapat diterapkan TR dengan permudaan alami dan permudaan buatan. Hasil penelitian TR pada level teknik silvikultur bisa diimplementasikan di lapangan, namun efektivitas dan efisiensi dalam skala usaha masih perlu kajian lebih lanjut untuk menjawab aspek pengaturan hasil dan kelayakan usaha, yaitu seberapa banyak pohon yang dapat ditebang pada akhir siklus tebang, dimana arealnya, kapan waktu panen kayunya untuk mencapai limit diameter pohon yang bisa ditebang dan berapa keuntungan yang dapat diperoleh. c. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur dengan menerapkan Teknik Silvikultur Intensif (TPTJ-Silin) hanya diterapkan di areal: ● Hutan Produksi Tetap (HP) pada LOA dengan potensi tegakan yang rendah dan hutan rawang dengan potensi ≤ 20 m3/ha. Tidak boleh diterapkan pada LOA baik. ● Aksesibilitasnya
mudah
dijangkau
masyarakat
(lokasi
berdekatan dengan lahan masyarakat) agar ada pengakuan
71 masyarakat bahwa hutan dikelola dengan baik, intensif dan mudah dilihat sehingga tidak dijadikan ajang perambahan. ● Kemiringan lahan kurang dari 25%, agar tidak menimbulkan dampak erosi melebehi ambang batas yang dijinkan. ● Jenis-jenis
pohon dari famili Dipterocarpaceae
yang
direkomendasikan untuk ditanam di TPTJ-Silin adalah Shorea leprosula,
S.
parvifolia,
S.
johorensis,
S.
ovalis,
S.
platyclados, S. selanica, S. macrophylla, S. javanica, Dryobalanops sp., S. palembanica, S. mecistopteryx, S. stenoptera, S. pinanga, Hopea mangarawan, H. odorata dan Vatica resak (Soekotjo at al., 2005; Darwo, 2014). Untuk menetapkan daur tebang jenis-jenis tersebut sedang diteliti lebih lanjut. d. Sistem silvikultur THPB yang diterapkan di hutan alam produksi dilakukan di kondisi hutan rawang (< 20 m3/ha), semak belukar dan lahan kosong dengan menggunakan jenis-jenis andalan setempat. Strategi penetapan sistem silvikulutur yang diterapkan selalu mencakup tiga fungsi atau perlakuan dasar, yaitu (a) permudaan (regeneration), (b) pemeliharaan (tending) dan (c) pemanenan (harvesting). Aplikasi aktual dari semua jenis perlakuan, urutan, tata-waktu kegiatan serta intensitasnya sering berbeda dari satu tegakan hutan ke tegakan lainnya, tergantung dari tujuan pemilik dan kondisi ekologisnya. Kesinambungan yang tak terputus dari ketiga siklus fungsi dasar tersebut menjadi kriteria utama keefektifan penarapan sistem silvikultur dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari.
72
Melihat kondisi hutan alam produksi telah terfragmentasi menjadi berbagai tutupan lahan, maka pada areal IUPHHK membutuhkan
adanya
fleksibilitas
pengelolaan
yang
dapat
menyesuaikan dengan kondisi hutan serta berbagai tuntutan terhadap hutan tersebut.
Untuk itu, perlu menerapan silvikultur
alternatif yang mampu mengelola. pada berbagai kondisi areal tersebut.
Sistem silvikultur alternatif yang dimaksud adalah
Multisistem silvikultur (MSS). Multisistem Silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistim silvikultur yang diterapkan pada suatu IUPHHK dan merupakan multiusaha dengan tujuan: mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi (Indrawan, 2008). Multisistem silvikultur memanfaatkan berbagai habitat pada suatu unit IUPHHK baik hutan alam primer dan LOA TPTI yang masih
baik
potensinya
maupun
hutan
alam
yang
sudah
terdegradasi menjadi hutan sekunder yang tidak produktif, semak belukar dan alang-alang. Melalui strategi ini, diharapkan potensi hutan alam produksi di areal kerja IUPHHK dapat dipertahankan dan ditingkatkan sehingga mampu menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya secara lestari tanpa mengabaikan kelestarian fungsi ekologi dan fungsi sosial (Indrawan, 2013). Legalitas penerapan Multisistem Silvikultur di kawasan hutan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 3/2008 Pasal 38 ayat 1 yang berbunyi pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 huruf a, dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem
73 silvikultur sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dengan lingkungannya. Didukung pula oleh Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 tentang Standar Sistem Silvikultur Pada Hutan Alam Tanah Kering dan/atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa, pasal 6 ayat 2 yang berbunyi mengingat beragamnya kondisi hutan alam produksi pada KPHP atau areal IUPHHK, maka dalam satu KPHP atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dengan lingkungannya. (Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Menhut No. P11/Menhut-II/2009). Peraturan Menhut No. P11/Menhut-II/2009 juga memuat dalam satu KPHP atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dengan lingkungannya (Menimbang pada PP No. 6/2007 Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 1 Jo. PP No. 3/2008). Kepmenhut No. P40 tahun 2007 bahwa sistem silvikultur disesuaikan dengan kondisi hutan yang ada di dalam areal kerja. Sistem silvikultur yang digunakan pada suatu areal IUPHHK perlu disesuaikan dengan kondisi tapak habitat pada kawasan hutan di areal tersebut baik pada IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman. Hal ini sejalan dengan Pasal 42 ayat 1 pada UU 41 tahun tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa Rehabilitasi Hutan dan Lahan berdasarkan kondisi biofisik. Pemilihan jenis pohon harus sesuai dengan keadaan habitat dan ekologi jenis pohon terpilih. Hal
tersebut
mendasari
perlunya
penyesuaian
sistem
silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan
74
karakteristik
lingkungan
berpedoman
pada
setempat.
prinsip
Sistem
pengelolaan
tersebut
hutan
lestari,
harus yaitu
ekonomis menguntungkan ekologis dapat dipertanggungjawabkan, secara sosial kondusif dan tetap realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan sederhana, memiliki
fungsi
perlindungan
terhadap
lingkungan,
dan
memungkinkan adanya pengawasan di lapangan yang bisa dilaksanakan. Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem Silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTJ, TPTJ-Silin, THPB dan THPB pola Agroforestry. Oleh karena itu, startegi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi sebagai berikut: a. Kawasan yang aman dari perambahan dan illgal logging diterapkan TPTI dan/atau TR.
Jika ada lahan yang kosong,
maka pemegang ijin berkewajiban untuk merehabilitasinya dengan menanam jenis-jenis pohon yang mampu tumbuh dengan baik di kondisi lahan tersebut. b. Kawasan hutan alam bekas tebangan dengan potensi tegakan yang rendah, rawan terhadap perambahan dan illegal logging diterapkan TPTJ-Silin. c. Kawasan hutan alam bekas tebangan yang rusak (semakbelukar dan alang-alang) yang rawan terhadap perambahan diterapkan
THPB.
Dalam
penerapan
THPB
dapat
juga
menerapkan sistem agroforestry sebagai salah satu solusi penyelesaian konflik lahan dengan masyarakat dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan..
75 Strategi penerapan sistem silvikultur di kawasan hutan alam produksi disajikan pada Gambar 3.24.
Gambar 3.24. Strategi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi 3.5. Kegiatan Penelitian Yang Diperlukan Untuk Yang Akan Datang Sampai saat ini teknologi yang tersedia untuk mengatasi masalah-masalah teknis tersebut masih belum tepat dan praktis. Teknologi yang sudah ada masih perlu disempurnakan agar lebih baik lagi dan luwes untuk diterapkan. Tanpa dukungan teknologi dari hasil penelitian/kajian, maka niscaya harapan pengelolaan hutan alam lestari sulit untuk tercapai.
Permasalahan teknologi
yang dimaksud antara lain: 1. Kondisi
hutan
alam
produksi
yang
rusak
dan
tingkat
produktivitasnya yang rendah. Ada kecenderungan penggunaan sistem silvikultur yang tidak tepat. Sementara itu, sistem silvikultur yang telah tersedia masih belum sempurna, terindikasi
76
kurang efektif dan efisien sehingga penerapannya tidak optimal untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi. Untuk itu, perlu
dilakukan
penelitian/pengkajian
terhadap
penerapan
sistem silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutan. Pada lahan tertentu dapat diterapkan teknik silvikultur intensif.
Dengan
demikian, pengelolaan hutan alam produksi perlu menerapkan lebih dari satu sistem silvikultur agar produktivitas hutan alam meningkat. 2. Hutan alam produksi yang telah rusak perlu direhabilitasi, sementara itu teknologi dalam rangka rehabilitasi hutan alam yang telah rusak saat ini belum lengkap tersedia, sehingga untuk mengatasi hal ini, maka perlu diupayakan pencegahan kerusakan hutan alam dan menyediakan teknologi rehabilitasi hutan alam yang tepat, murah dan praktis sehingga hutan alam dapat dipulihkan lagi sesuai dengan fungsi semula. 3. Jenis-jenis pohon di hutan alam sangat banyak dengan nilai komersial
yang
cukup
tinggi.
Sampai
saat
ini
baru
diperoleh/diketahui beberapa jenis unggul yang telah dikuasai persyaratan tumbuh dan teknik silvikulturnya. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian yang lebih intensif untuk mendapatkan jenis-jenis lainnya yang prospektif untuk dikembangkan pada berbagai kondisi areal hutan produksi agar produktivitas hutan alam dan nilai jual kayunya meningkat. Selain itu, dalam rangka meningkatkan persen tumbuh hasil penanaman/pengkayaan, maka
perlu
diujicobakan
teknik
“dormansi”
bibit.
Teknik
“dormansi” bibit adalah teknik penanaman dengan cara memotong batang utama dan cabang sampai tinggi tertentu untuk mengurangi penguapan yang berlebihan akibat kondisi
77 bibit yang rusak setelah sampai di tempat penanaman (seperti tanah di polybag sudah banyak yang hilang). 4. Potensi dan pertumbuhan tegakan hutan alam harus meningkat atau paling tidak sama antar rotasi tebang berikutnya, salah satu upaya yang belum dilakukan dengan baik adalah pembinaan tegakan tinggal pasca tebangan. Teknologi pembinaan tegakan tinggal yang ada belum mampu meningkatkan produktivitas tegakan bahkan cenderung kurang efektif dan efisien. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian dan kajian terhadap teknik silvikultur intensif khususnya teknik pengkayaan yang intensif, sehingga pertumbuhan/riap tegakan akan meningkat untuk rotasi tebang berikutnya. 5. Sistem pengaturan hasil yang berlaku saat ini menggunakan rumus 1/30 dari standing stock dengan asumsi pertumbuhan hutan alam selalu sama, sementara itu kondisi hutan saat ini sudah sangat berubah dan berbeda dengan kondisi awalnya dengan riap tegakan yang berbeda untuk setiap tapak (site) dan kondisi hutannya, sehingga ada kecenderungan pemanfaatan hutan alam kurang rasional dan optimal. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian/kajian untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai dinamika pertumbuhan tegakan di hutan alam produksi yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan preskripsi kunci pengaturan hasil dan mendapatkan metode pengaturan hasil yang paling tepat sesuai dengan kemampuan pertumbuhan tegakan di tiap site dan unit manajemen, sehingga besarnya kayu yang dipanen (etat) lebih optimal dan tidak melebihi besarnya riap tegakan. Selain itu, perlu dilakukan penelitian
perangkat
perencanaan
hutan
yang
meliputi:
78
penyusunan tabel volume, penentuan kriteria dan indikator dalam penerapan sistem silvikultur dengan memperhatikan karakteristik kondisi hutan, lahan dan sosial. 6. Adanya dampak negatif penerapan sistem silvikultur terhadap lingkungan hutan alam produksi.
Hal ini disebabkan karena
adanya penurunan biodiversitas, penurunan keanekaragaman genetik, penurunan kesuburan tanah, peningkatan sedimentasi, dan
kesehatan
hutan
yang
semakin
menurun.
Untuk
mengetahui sejauhmana dampak yang terjadi, maka perlu melakukan
penelitian/pengkajian
biodiversitas,
keragaman
genetik, sedimentasi, kesuburan tanah, dan tingkat serangan hama dan penyakit akibat penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi.
Oleh karena itu diperlukan dukungan IPTEK
agar dampak negatif yang terjadi bisa dieliminir. 7. Kurangnya informasi analisis finansial dan penyelesaian sosial dalam pengelolaan hutan alam produksi. Hal ini akibat dari: (a) belum adanya informasi teknik penangan konflik lahan di kawasan hutan alam produksi, (b) kurangnya informasi hasil analisis finansial dalam penerapan multi sistem silvikultur di berbagai kondisi hutan dan tapaknya, dan (c) kurangnya informasi model penanganan sosial di kawasan hutan alam produksi.
79
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Dalam melakukan inventarisasi tegakan pada areal hutan yang sangat luas dan beragam kondisi kerapatannya, maka metode penarikan contoh yang digunakan harus efektif dan efisien serta memberikan hasil dugaan potensi yang akurat. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah menggunakan bantuan citra satelit dalam untuk melakukan stratifikasi sehingga intensitas sampling yang digunakan akan lebih kecil. Dengan stratifikasi citra satelit intensitas sampling yang dapat digunakan adalah sekitar 4% sedangkan
apabila
tidak
digunakan
startifikasi
intensitas
samplingnya sekitar 10-15%. Berdasarkan data pengambilan contoh di lapangan dan nilai pixel dari data digital citra satelit dapat disusun persamaan alometri berbentuk persamaan regresi sederhana untuk menduga potensi dan sebaran tegakan di aral hutan alam produksi dengan lebih cepat dan cukup akurat. 2. Sebagian besar IUPHHK tidak melaksanakan tahapan sistem silvikultur TPTI sesuai dengan pedoman. Dari tahapan TPTI yang ditetapkan pada umumnya tahap 1-4 dikerjakan dengan baik, tahap berikutnya kurang/tidak dikerjakan sesuai pedoman dengan
berbagai
alasan
teknis
dan
ekonomis.
Namun
sebenarnya kondisi tegakan setelah tebangan umumnya masih potensial sebagai standing stock rotasi berikutnya (tegakan sisa, pohon inti dan permudaan). Penyederhanaan tahapan TPTI menjadi 8 tahapan yaitu PAK, PWH, ITSP, Penebangan, ITT (pohon inti dan pohon sisa), pengkayaan (t+2), pembinaan I (t+5)
dan
pembinaan
II
(t+15)
bisa
menghemat
biaya
80
operasional. Sebagai kunci pokok dalam tahapan tersebut adalah perlindungan dan pengamanan tiap tahun yang harus dilaksanakan. Pemanfaatan kayu dari hutan alam tidak boleh melebihi riap tegakannya dan sebaiknya jumlah pohon yang ditebang tidak melebihi 15 pohon per hektar. 3. Sistem silvikultur TPTJ-Silin menunjukkan prospek yang baik untuk diterapkan secara operasional dalam rangka pengelolaan hutan alam produksi di LOA yang kurang baik (potensi tegakan kurang 20 m3/ha), lokasi berdekatan dengan masyarakat agar ada pengakuan dari masyarakat bahwa hutan alam dikelola dengan baik sehingga tidak menjadi ajang perambahan lahan atau penebangan liar.
Pemilihan jenis tanaman yang unggul
dan pemeliharaan yang intensif menjadi kunci keberhasilannya, selain
perlindungan
dan
pengamanan
tegakan
terhadap
gaangguan. 4. Teknik pengkayaan yang intensif di areal bekas jalan sarad dengan menggunakan jenis S. leprosula dan S. parvifolia mampu tumbuh dengan baik. Tahapan selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah penyiapan lubang tanam dengan pemberian top soil dan pupuk organik, serta pemeliharan secara intensif akan menghasilkan tanaman pengkayaan yang prospektif sebagai andalan pohon yang produktif pada rotasi berikutnya. Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa persen jadi tanaman dan
pertumbuhannya
lebih
baik
dibandingkan
dengan
pengkayaan yang asal-asalan. 5. Pembinaan
tegakan
merupakan
kegiatan
dalam
suatu
pengelolaan hutan produksi yang paling utama, selain untuk meningkatkan riap atau produktivitas tegakan juga bertujuan
81 untuk meningkatkan kualitas kayu/pohon yang akan diperoleh pada akhir rotasi. Namun demikian, dalam pengelolaan hutan alam sangat berlaku hukum ekonomi sebagai akibat kendala ekologis, yaitu pembatasan produktivitas harus diimbangi dengan efisiensi penggunaan anggaran.
Oleh karena itu, agar
lebih efektif dan efisien dalam melakukan tindakan pembinaan tegakan tinggal, maka perlu dibatasi jumlah individu pohon yang dibebaskan. Pohon inti yang berdiameter 20-39 cm sebagai pohon penyusun tegakan dimasa depan perlu mendapatkan prioritas untuk dibina, prioritas berikutnya adalah permudaan tingkat tiang berdiamater 10–19 cm. 6. Keakuratan hasil kegiatan inventarisasi sangat didukung oleh ketersediaan perangkat pendugaan volume pohon dari setiap jenis pohon yang ada. Melalui penyusunan model pendugaan volume pohon dan sekaligus dihasilkan tabel volume pohon per jenis secara alometri berdasarkan persamaan regresi antara peubah volume dengan diameter dan/atau tinggi pohon terbukti menghasilkan dugaan volume yang cukup teliti dan sederhana sehingga dapat digunakan dalam praktek di lapangan. Namun mengingat volume pohon dipengaruhi jenis dan tempat tumbuh, maka perlu disusun model pendugaan volume untuk setiap jenis dan lokasi unit pengelolaan hutan produksi. 7. Hasil pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal di hutan alam produksi pada tebangan lebih dari 3 tahun, menunjukkan kondisi yang masih cukup baik, srtruktur tegakan berbentuk J terbalik, pohon berdiameter lebih dari 40 cm masih tersisa cukup, pohon inti lebih dari 25 pohon/ha, dan permudaan masih cukup tinggi dan riap diameter berkisar antara 0,5–1,8 cm/tahun di hutan
82
tanah kering, sedangkan di hutan tanah basah antar 0,39–0,43 cm/tahun. Hasil sementara ini memberikan gambaran bahwa riap/pertumbuhan tegakan sangat bervariasi tergantung pada site dan kinerja unit pengelola serta keamanan dari hutan tersebut. 8. Hasil uji coba penanaman pada hutan alam produksi yang telah rusak,
menunjukkan
merupakan
kunci
bahwa
utama
pemilihan
keberhasilan
jenis
yang
rehabilitasi,
tepat selain
perlakuan silvikultur seperti penyiapan lahan, pemupukan dan pemeliharaan, serta waktu pelaksanaan penanaman. Pada lahan yang terbuka (tanah semak-belukar, dan bekas TPn) telah ditemukan indikator jenis yang mampu tumbuh dengan baik pada kondisi cahaya penuh yaitu: Dryobalanops aromatica, Hopea mangarawan, Hopea odorata dan Shorea belangeran, sungkai (Peronema canescens), nyatoh (Palaquium spp.), binuang bini (Octomeles sumatrana), nyawai (Ficus veriegata), linggua (Pterocarpus indicus) dan bintangur (Calophyllum soulattri). Jenis-jenis tersebut cocok juga jika ditanam di kirikanan jalan utama IUPHHK-HA. 9. Perlunya penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus berpedoman pada prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu
menguntungkan secara ekonomis, dapat
dipertanggungjawabkan secara ekologis, sosial dan tetap realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan,
dan
memungkinkan
adanya
pengawasan
di
lapangan yang bisa dilaksanakan. Sistem silvikultur yang
83 disarankan dapat digunakan pada
penerapan Multisistem
Silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTJ, TPTJ-Silin, THPB dan
THPB pola Agroforestry.
Oleh karena itu, startegi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi sebagai berikut: a. Kawasan yang aman dari perambahan dan illgal logging diterapkan TPTI dan/atau TR. Jika ada lahan yang kosong, maka pemegang ijin berkewajiban untuk merehabilitasinya dengan menanam jenis-jenis pohon yang mampu tumbuh dengan baik di kondisi lahan tersebut. b. Kawasan hutan alam bekas tebangan dengan potensi tegakan yang rendah, rawan terhadap perambahan dan illegal logging diterapkan TPTJ-Silin. c. Kawasan hutan alam bekas tebangan yang rusak (semakbelukar dan alang-alang) yang rawan terhadap perambahan diterapkan THPB dan dapat menerapkan sistem agroforestry.
84
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman. 2012. Riap diameter hutan bekas tebangan setelah 20 tahun perlakuan perbaikan tegakan tinggal di Labanan Berau, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Dipterokarpa, Vol. 6 (2): 121-129. ___________. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Penelitian Pembinaan/Pengayaan Intensif di Hutan Alam Pasca Tebangan. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan. ___________. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Penelitian Pertumbuhan dan Hasil di Hutan Alam Produksi. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan. Amir, A. A. 2012. Canopy gaps and the natural regeneration of Matang mangroves. Forest Ecology and Management 269:6067 Brokaw, N.V. 1985. Treefals, Regrowth, and Community Structure in Troomi Forests. In: Pickett S.T.A. and P.S. Whde (editors): The Ecology of Natural Disturbance and Patch Dynamics. Academic Press Inc. Odarbdo, F~. p 53-69 Aswandi, C.R. Kholibrina, C. Ali, dan M.H. Saputra. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Teknik Rehabilitasi Hutan Bekas Tebangan pada Hutan Alam Lahan Kering di Sumatera Utara. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Aek Nauli. Tidak diterbitkan. Basri, A. 1980. Pengaruh penebangan dan penaradan mekanis terhadap kerusakan tegakan sisa pada keadaan lereng yang berbeda di PT. Georgia Pasific Indonesia. [Skripsi]. Universitas Mulawarman, Samarinda. Tidak diterbitkan. [BUK] Bina Usaha Kehutanan. 2013. Draft Road Map Implementasi Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur Teknik Silvikultur Intensif (TPTJ–Silin) Indonesia 2020. Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Darwo, R. Effendi dan M. Soleh. 2014. Laporan Hasil Penelitian: Uji Jenis-jenis Komersial yang Cocok untuk Rehabilitasi Hutan Alam Produksi yang Telah Rusak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
85 Elias. 2002. Reduced Impact Logging Buku 1. IPB Press.,Bogor Fujimori , T. 2001. Ecological and silvicultural strategies for sustainable forest management. Elsevier Science B.V. Amsterdam. 398 pp. Halle, F., R.A.A. Oldeman and P.B. Tomlinson. 1978. Tropical trees and forest. Springer-Verlag. Heidelberg. Hardjana, A.K. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Penelitian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Produksi. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan. Hastanti, B.W. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Efektivitas Sistem-sistem Silvikultur (TPTI/TPTJ/TR) Terhadap Kelestarian Produksi Hutan Alam Lahan Kering. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari. Tidak diterbitkan. Hendromono dan Komsatun. 2008. Nyawai (Ficus variegata Bl.) jenis yang berprospek baik untuk dikembangkan di hutan tanaman. Mitra Hutan Tanaman. Vol. 3 (3): 122-130. Heriansyah, I. 2012. Laporan Hasil Penelitian: Strategi Silvikultur dalam Rehabilitasi Areal Bekas Tabengan yang Rusak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Tidak Diterbitkan. Hu, L., B. Yan, X. Wu, J. Li. 2010. Calculation method for sunshine duration in canopy gaps and its application in analyzing gap light regimes. Forest Ecology and Management 259:350-359 Karmilasanti. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Efektivitas Sistem-sistem Silvikultur TPTJ/TPTI/TR Peningkatan Produktivitas Hutan Ditinjau dari Aspek Produksi/Ekonomi, Ekologi dan Sosial (Studi Kasus: Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur TPTJ). Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan. Kemenhut [Kementerian Kehutanan]. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Irawan, A. Kinho, J. Hidayah, N.H. Kafiar, J. Patandi, S.N. Diwi, M.S.R. Mamonto. 2011. Laporan Hasil Penelitian: Pembangunan Demplot Sumber Benih Unggulan Lokal. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Tidak dipublikasikan. Kinho, J. dan Mahfudz. 2011. Prospek Pengembangan Cempaka di Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Kuswandi, R. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Lahan Kering di
86
Papua. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari. Tidak diterbitkan. Indrawan, A. 2008. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi dalam Rangka Peningkatan Produktivitas dan Pemantapan Kawasan Hutan. Kerjasama antara Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor. __________ 2010. Konsep dan Filosofi Multisistem Silvikultur. Dipresentasikan pada Workshop Multisistem Silvikultur. Optimasi Pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi Melalui Multisistem Silvikultur. Kerjasama antara Balai Besar Penelitian Dipterocarpa (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan) dengan Balai Pemantauan Pemmanfaatan Hutan Produksi Wilayah X (Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan). Pontianak , 4 November 2010 __________. 2013. Pengelolaan Ekosistem Hutan Produksi Lestari di Indonesia dengan Penerapan Multisistem Silvikultur. Dalam Suharjito, D., dan H.R. Putro. Pembangunan Kehutanan Indonesia Baru: Refleksi dan Inovasi Pemikiran. Bogor. IPB Press. Irawan, A. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Uji Coba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Produksi yang Telah Terdegradasi. Balai Penelitian kehutanan Manado. Manado. Tidak diterbitkan. Martawijaya A, I. Kartasujana, K. Kadir, dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia, Jilid I. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Martawijaya A, I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu Indonesia, Jilid II. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Makineci, E., M. Dimer, A. Comez, and E. Yilmaz. 2007. Chemical characteristics of the surface soil, herbaceous cover and organic layer of a compacted skid road in a fir (Abies bornmulleriana Mattf.) forest. Trnasportation Research Part D 12: 453-459. Muhdi. 2001. Studi kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu konvensional dan pemanenan kayu berdampak rendah
87 di hutan alam Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Murniati. 2012. Teknik pengayaan pada lahan garapan masyarakat di Hutan Penelitian Carita. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 9:1, Hal. 69-83. Najafi, A. A. Solgi, and S.H. Sadeghi. 2009. Soil distrubance following four wheel rubber skidder logging on the steep trail in the north mountainous forest of Iran. Soil & Tillage Research 103: 165-169. Panjaitan, S., dan Supriadi. 1997. Penggunaan Kuvio Bentuk Rumpang di Areal Tebangan Hutan Perbukitan di Kintap : Pembuatan Kuvio dan Register Tegakan Rumpang. Desain Lapangan Unit Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (unit PHPL)” Menggunakan Kuvio Bentuk Rumpang Di Semua Tipe Hutan dan Kondisi Tegakan. Materi Ekspose Di Departemen Kehutanan. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Panjaitan, S. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur Tebang Rumpang terhadap Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan Alam Produksi. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru. Tidak diterbitkan. [PP] Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Huta. Jakarta. [Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P 30/MenhutII/2005, tentang Keputusan Menteri Kehutanan No. 10172/Kpts-II/2002 dinyatakan tidak berlaku lagi. Departemen Kehutanan. Jakarta. [Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P 11/MenhutII/2009, tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta. Prameswari, D. 2014. Kajian teknik cross drain, lubang resapan berpori dan penanaman meranti di bekas jalan sarad. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
88
[Pusdiklat] Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan. 2002. Materi Pelatihan Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan lestari untuk Sektor Pemerintah. Pusdiklat. Bogor. Rab, M.A. 2004. Recovery of soil physical properties from compaction and soil profil disturbance caused by logging of native forest in Victorian Central Highlands, Australia. Forest Ecology and Management 191: 329-340. Rimbawanto, A., T. Pamungkas, L. Hakim, Prastyono, dan D. Eko. 2005. Database jenis-jenis prioritas untuk konservasi genetik dan pemuliaan. Buku 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Rukmantara. 2014. Menyiasati Kompleksnya Persoalan Daya Saing Kehutanan Menghadapi Asean Economic Community 2015? http://www.jpnn.com/m/ news.php?id=219789. Diakses 26 Agustus 2014. Ruslim, Y. 2011. Penerapan Reduced Impact Logging Menggunakan Monocable Winch (Pancang Tarik). Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. Sagala, A.P.S. 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. ____________ 1999. Desain Kehutanan Holistik. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 56 p. Schliemann, S.A., and J.G. Bockheim. 2011. Methods for studying treefall gaps: A review. Forest Ecology and Management 261: 1143-1151. Setyarso, A. 1992. Analisis rotasi tebang hutan alam produksi di kawasan PT Inhutani II Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Tidak diterbitkan. Soekotjo, A. Subiakto dan S. Warsito. 2005. Project completion report ITTO. PD 41. Faculty of Forastry. Gajah Mada University. Yogyakarta. Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Suhartana, S. dan Dulsalam. 1994. Kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan: Kasus di suatu perusahaan hutan di Riau. Jurnal Penelitian Hasil Huan. Volume 12 No. 1. Sumarna. K, Wahjono.D, dan Haruni K. 2002. Proyeksi potensi hutan alam produksi bekas tebang pilih dan konsep perhitungan jatah produksi tahunan. Diskusi penentuan AAC hutan produksi alam sekunder. Jakarta.
89 Sumarni, G, M.Muslich, N. Hadjib, Krisdianto, D. Malik, S. Suprapti, E.Basri, G. Pari, M.I. Iskandar dan R.M. Siagian. 2009. Sifat dan Kegunaan Kayu : 15 Jenis Andalan Setempat Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Susanty, F.H., A,K. Hardjana, A. Rustami, dan Edy. 2014. Laporan Hasil Penelitian: Penelitian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Produksi (Model Pendugaan Volume Pohon Jenis Dipterocarpaceae di Hutan Alam Produksi). Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Wahjono. D dan Haruni K. 2000. Penyusunan model dinamika struktur tegakan dan pendugaan riap tegakan sebagai dasar pengaturan hasil yang lestari di hutan alam bekas tebangan. Tidak diterbitkan. Wahjono, Dj. 2007. Pertumbuhan dan riap tegakan tinggal di beberapa Unit Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Info Hutan pada Pusat Penelitian dan pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Vol.: IV(5): 419-248. Whitmore, T.C., 1975. Tropical Rain Forest of The Far East, Clarendon Press, Oxford.
90
LAMPIRAN
91 Lampiran 1. Karakteristik tempat tumbuh beberapa jenis komersial yang sedang diamati pertumbuhannya 1. Kapur (Dryobalanops aromatica Gaertn) Pohon kapur termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah penyebarannya meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan seluruh Kalimantan. Tinggi pohon antara 35-45 m dengan tinggi bebas cabang sampai 30 m, diameter 80-100 cm. Bentuk batang sangat baik, lurus dan silindris dengan tajuk kecil, kadang-kadang berbanir. Umumnya tumbuh di hutan hujan tropis tanah rendah dengan tipe curah hujan A dan B, pada tanah daratan yang kering, datar dan sarang, juga pada pinggir-pinggir lembah dan di atas tanah liat berpasir pada ketinggian 60-400 m dpl. Kebanyakan tumbuh berkelompok dan hamper murni. Kebutuhan cahaya untuk permudaan kapur termasuk semi toleran. Berat jenis 0,81 (0,63 – 0,94), kelas kuat I-II, kelas awet II-III. Kayu kapur digunakan untuk balok, tiang, rusuk dan papan pada bangunan perumahan dan jembatan, serta dapat juga untuk peti mati, dan kayu lapis (Martawijaya et al., 2005; Indrawan, 2013). 2. Keruing (Dipterocarpus hasseltii Bl.) Keruing termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah penyebarannya meliputi Seluruh Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Tinggi pohon dapat mencapai 50 m
dengan tinggi bebas
cabang sampai 35 m, diameter mencapai 120 cm.
Bentuk
batang
silindris,
berbanir.
Umumnya tumbuh di hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B. Jenis ini tumbuh di tempat-tempat yang sewaktu-waktu
92
digenangi air tawar dan di tanah rawa, tetapi lebih banyak tumbuh pada tanah daratan kering di punggung bukit pada tanah berpasir, tanah liat, tanah berbatu, latosol atau podsolik merah kuning pada ketinggian sampai 1.000 m dpl (Martawijaya, 2005; Rimbawanto et al., 2005).
D. hasseltii pada umur 1 tahun setelah tanam di
Kalimantan Timur persen hidup 83,3%; riap tinggi 22,3 cm/tahun; dan riap diameter 0,18 cm/tahun. Sedangkan di KHDTK Carita persen hidup 67,3%; riap tinggi 22,7 cm/tahun dan riap diameter 0,33 cm/tahun (Murniati, 2012).
Berat jenis 0,70 (0,60 – 0,98),
kelas kuat II, kelas awet III-IV. Kayu keruing cocok untuk konstruksi bangunan,
lantai,
karoseri
(kerangka,
lantai
dan
dinding),
bangunan pelabuhan, bantalan kerata api, perkapalan (dek dan kulit tongkang), bagian rumah (balok, tiang, papan dan kerangka atap), dan plywood (Martawijaya et al., 2005; Rimbawanto et al., 2005). 3. Meranti merah (Shorea spp.) Meranti termasuk (terutama
merah famili S.
(Shorea
spp.)
Dipterocarpaceae
leprosula
Miq.,
S.
palembanica Miq., S. macrophylla Ashton, S. parvifolia Dyer, S. pinanga Scheff., S. smithiana Sym., dan S. stenoptera Burck, S. selanica Bl., S. platyclados V.SI., S. Johorensis
Foxw.),
S.
mecistopteryx
Ridley. Selanjut-nya jenis-jenis ini dikelompokkan lagi menjadi Shorea penghasil tengkawang, yaitu S. macrophylla Ashton/S. stenoptera Burma., S. stenoptera Burck, S. pinanga Scheff., S.
93 mecistopteryx Ridley dan S. splendida (de Vriese) P. (Rimbawanto et la., 2005). Shorea penghasil tengkawang ini cocok juga dikembangkan untuk pengembangan hutan kemasyarakatan. Daerah
penyebarannya
meliputi
Sumatera,
Kalimantan
dan
Maluku. Tinggi pohon dapat mencapai 50 m dengan tinggi bebas cabang sampai 30 m, diameter mencapai 100 cm.
Kulit luar
berwarna kelabu atau coklat, tebal kulit kurang dari 5 mm. Bentuk batang silindris, tidak berbanir. Meranti merah tumbuh di hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B. Jenis ini tumbuh pada tanah latosol, podsolik kuning pada ketinggian sampai 1.300 m dpl. Jenis S. stenoptera, S. pinanga, S. macrophylla, dan S. palembanica tumbuh pada tanah rendah yang tergenang air selama musim hujan dan di tepi sungai pada tanah alluvial sampai ketinggian 1.000 m dpl (Martawijaya et al., 2005; Rimbawanto et la., 2005). Kayu meranti merah dapat dibuat venir tanpa pe7rlakuan
pendahuluan.
Kayu
meranti
merah
terutama
digunakan untuk venir dan kayu lapis, di samping itu dapat juga dipakai untuk konstruksi bangunan (rangka, balok, galar, kaso, pintu, jendela, dinding, lantai dan lain-lain). Selain itu dapat juga dipakai sebagai kayu perkapalan (perahu, kapal kecil dan bagianbagian kapal), peti pengepak, mebel murah, peti mati dan alat music (pipa organ). Buah/biji tengkawang yang didapat dari pohon S. pinanga mengandung lemak sebagai bahan dasar pembuatan coklat, margarin, sabun, lilin dan kosmetik sehingga lebih sering disebut pohon tengkawang. Berat jenis dan kelas kuat masingmasing adalah S. johorensis 0,50 (0,32-0,69), III-IV; S. leprosula 0,52 (0,30-0,86), III-IV; S. macrophylla 0,40 (0,29-0,60), III-IV; S. palembanica 0,55 (0,37-0,69), III-IV; S. parvifolia 0,45 (0,29-0,83),
94
III-IV; S. pinanga 0,42 (0,31-0,57), III-IV; S. platyclados 0,67 (0,340,86), II-(IV); S. selanica 0,46 (0,39-0,52), III; S. smithiana 0,50 (0,30-0,72), III-II; dan S. stenoptera 0,49 (0,43-0,52), III. Keawetan meranti merah umumnya termasuk kelas awet III-V (Martawijaya et al., 2005). 4. Merawan (Hopea mengarawan Miq.) Merawan termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah penyebarannya meliputi seluruh Sumatera, seluruh Kalimantan dan Papua. Tinggi pohon 30-40 m dengan tinggi bebas cabang sampai 15-25 m, diameter 75-150 cm. Kulit luar berwarna kelabu-coklat, coklat sampai hitam, beralur dangkal. Berat jenis 0,71 (0,52-0,91), kelas kuat II-(III-I), kelas awet II-III. Kayu merawan banyak digunakan untuk balok, tiang, papan, kayu perkapalan, tong air, ambang jendela, kerangka rumah, talenan dan barang bubutan. Tumbuh di hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B pada dataran kering atau di rawa-rawa, pada tanah pasir, tanah liat atau tanah berbatu-batu dengan ketinggian sampai 1.000 m dpl (Martawijaya et al., 2005). 5. Resak (Vatica resak Bl.) Resak
termasuk
famili
Dipterocarpaceae
dan
daerah
penyebarannya seluruh Sumatera kecuali Lampung, Seluruh Kalimantan dan Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Papua. Tinggi pohon 25-35 m dengan tinggi bebas cabang sampai 10-20 m, diameter 40-80 cm dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna kelabuputih, tidak beralur, sedikit mengelupas, mengeluarkan dammar berwarna putih atau putih-kuning. Berat jenis 0,60 (0,49-0,65),
95 kelas kuat II, kelas awet III. Kayu resak cocok tiang dalam tanah dan air, balok, rusuk dan papan lantai, kayu pertambangan, balok gerbong, tiang listrik, perkapalan, sirap, ambang jendela, rangka pintu dan jendela, bantalan, barang bubutan dan cabinet. Tumbuh secara berkelompok atau tersebar dalam hutan tropis dengan tipe curah hujan A dan B, pada ketinggian sampai 350 m dpl, pada tanah berpasir atau tanah liat yang secara periodik tergenang air tawar seperti di pinggir sungai atau dapat juga tumbuh pada dataran kering (Martawijaya et al., 2005). 6. Nyatoh (Palaquium spp.) Nyatoh termasuk famili Sapotaceae dan
daerah
penyebarannya
seluruh
Indonesia. Di daerah Sulawesi, jenis kayu ini biasa disebut juga dengan kuma, kume, nyatoh, nato, nantu, sodu-sodu. Selain itu masyarakat juga banyak mengenal kayu ini dengan
sebutan
kayu
merah,
karena
disebabkan warnanya yang eksotis yaitu berwarna merah kecoklatan. Tinggi pohon 30-45 m dengan tinggi bebas cabang sampai 15-30 m, diameter 50-100 cm. Bentuk batang lurus dan silindris, kadang-kadang berbanir. Kulit luar berwarna coklat, merah-coklat. Berat jenis 0,73 (0,58-0,88), kelas kuat II-III, kelas awet III-IV. Kayu nyatoh umumnya baik untuk papan perumahan, tiang, balok, rusuk dan papan lantai. Tumbuh pada tipe curah hujan A, tanah berawa dan sebagian pada tanah kering, dengan jenis tanah liat atau tanah berpasir, di daerah
96
banyak hujan pada ketinggian 20 – 500 m dpl (Martawijaya et al., 2005). 7. Sungkai (Peronema canescens Jack.) Sungkai termasuk famili Verbenaceae dan daerah
penyebarannya
Jambi,
Bengkulu,
Lampung,
Jawa
Sumatera
Sumatera Barat
dan
Barat, Selatan, seluruh
Kalimantan. Tinggi pohon 20-25 m dengan tinggi bebas cabang sampai 15 m, diameter mencapai lebih dari 60 cm, batang lurus dan sedikit berlekuk dangkal, tidak berbanir, ranting penuh dengan bulu halus. Kulit luar berwarna kelabu atau sawo muda, beralur dangkal dan mengelupas kecil-kecil tipis. Berat jenis 0,63 (0,52-0,73), kelas kuat II-III dan kelas awet III. Kayu sungkai cocok untuk rangka atap karena ringan dan cukup kuat. Selain itu dipakai juga untuk tiang rumah dan bangunan jembatan. Karena mempunyai gambar yang menarik berupa garis-garis indah sehingga baik untuk vinir mewah, mebel, cabinet dan lain-lain. Tumbuh di tempat terbuka seperti belukar, alang-alang, bekas perladangan atau bekas tebangan. Sungkai tumbuh di dalam hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A sampai C pada tanah kering atau sedikit basah dengan ketinggian sampai 600 m dpl (Martawijaya et al., 2005). 8. Binuang bini (Octomeles sumatrana Miq.) Binuang bini termasuk famili Datiscaceae dan daerah penyebarannya
meliputi
Aceh,
Sumatera
Barat,
Bengkulu,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi,
97 Maluku, Papua. Tinggi pohon bisa mencapai lebih dari 45 m dengan tinggi bebas cabang sampai 30 m, diameter sampai lebih dari 90 cm. Batang tegak, berbanir, kulit luar tebal 5 mm berwarna kelabu, beralur dangkal dan mengelupas kecil-kecil tipis. Umumnya tumbuh pada tanah kering atau kadang-kadang pada tanah lembab di pinggir sungai dengan tekstur tanah liat atau tanah liat berpasir. Iklim yang dihendaki yaitu iklim basah hingga agak kering dengan tipe curah hujan A-C dan ketinggian sampai 600 m dpl. Binuang bini termasuk jenis tumbuh cepat, pada umur 11 tahun dapat mencapai tinggi 10 m dengan diameter 14 cm. Berat jenis 0,33 (0,16 – 0,48), kelas kuat IV-V, kelas awet V dan dapat dibuat vinir dengan hasil baik tanpa perlakuan pendahuluan. Kayu binuang bini cocok untuk lapisan dalam kayu lapis dan lapisan luar, peti pembungkus, cetakan beton, kotak korek api, peti mati, perahu, kano, dan pertukangan (Martawijaya et al., 2005). 9. Nyawai (Ficus variegata Bl.) Nyawai termasuk famili Moraceae yang merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan berpotensi menjadi alternatif substitusi kayu pertukangan (Mindawati, 2010). Penyebaran nyawai
meliputi
Sumatera, Sulawesi.
daerah
Kalimantan, Nyawai
dapat
Pulau
Jawa,
Maluku,
dan
tumbuh
pada
ketinggian 0-1.500 m dpl dan tipe curah hujan A dan B. Nyawai termasuk jenis yang memerlukan cahaya penuh (intoleran) dan termasuk jenis pionir yang tersebar bersama dengan jenis pionir lainnya seperti jabon putih (Neolamarkia cadamba), mahang
98
(Macaranga spp.), dan benuang bini (Octomeles sumatrana). Tinggi pohon nyawai di hutan bekas terbakar dapat mencapai 2025 m dengan batang bebas cabang 10-15 m serta diameter setinggi dada mencapai 40 cm (Hendromono dan Komsatun, 2008). Kayu nyawai dapat digunakan untuk kayu lapis, konstruksi bangunan ringan, moulding, interior, laci, kotak, pulp dan kertas (Sumarni et al., 2009). Vinir nyawai dapat digunakan untuk vinir muka (face veneer) karena bercorak kayu yang baik yaitu berwarna kuning keputihan, dan dalam proses pembuatan vinirnya tidak memerlukan perlakuan. Kayu lapis nyawai telah memenuhi Standar Nsional Indonesia (SNI), Standar Jepang (JAS), dan Standar Jerman (DIN).
Sifat fisik kayunya antara lain; berat jenis 0,27
(0,20-0,43), kelas kuat V, kelas awet V-III, dan kelas keterawetan I yaitu mudah diawetkan (Sumarni et al., 2009). 10. Bintangur (Calophyllum soulattri Bruu.f.var.) Bintangur merupakan jenis yang memiliki habitat asli di Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Bintangur merupakan kayu dengan kelas awet IV. Tinggi pohon ini dapat mencapai 30 m, panjang batang bebas cabang hingga 21 m, dengan diameter 80 cm. Bentuk batang lurus dan berdiri tegak dengan percabangan mendatar, tidak berbanir. Kulit luar berwarna kelabu atau putih. Beralur dangkal dan mengelupas besar-besar tipis. Kayu bintangur cocok digunakan sebagai bahan pembuatan kapal (kayu bengkok digunakan sebagai gading-gading, batang
99 yang lurus digunakan sebagai tiang layar dan pedayung). Selain itu,
kayu
bintangur
juga
lazim
digunakan
sebagai
bahan
perumahan seperti balok, tiang, papan lantai, peti, dan konstruksi ringan (Martawijaya et al., 2005). 11. Cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng) Jenis kayu cempaka termasuk dalam kelas awet
II
dan kelas kuat III dengan
berat jenis 0,41-0,61, kerapatan kayu 400 – 500 kg/m3, ukuran maksimum pada pohon dapat mencapai tinggi 45 m, diameter 150200 cm, tinggi bebas cabang 12-16 m, kadang-kadang dijumpai berukuran agak pendek dan bercabang banyak, batang silindris, berwarna putih abu-abu kecoklatan, stipula dan tangkai daun muda tanpa bulu. Daun berbentuk menjorong (ellipticus) dengan letak daun bersilangan, ukuran daun 7-36 x 4-16 cm, tidak berbulu atau berbulu balik dipermukaan daun. Ujung daun meruncing (acuminatus), pangkal daun membulat (rotundatus), kadang-kadang tumpul (obtusus). Tangkai daun tidak berbulu atau berindumentum seperti ranting, panjang tangkai daun 1-2,4 cm. Kayu cempaka telah diperdagangkan sejak lama baik dalam bentuk kayu bulat, kayu gergajian dan konstruksi jadi seperti furniture, lemari, pintu, jendela maupun rumah jadi, perahu, panel, alat olahraga, Cempaka
alat
merupakan
musik kolintang bahan
baku
dan
plywood.
utama dalam
Kayu
konstruksi
rumah panggung Minahasa (Kinho dan Mahfudz, 2011). Umumnya kayu nantu digunakan sebagai bahan baku untuk
100
papan perumahan, tiang, balok dan rusuk. Kayu nantu dapat pula dipakai sebagai bahan untuk membuat perahu atau kano, papan lantai, panil, dinding pemisah dan alat rumah tangga, sedangkan kayu banirnya biasa dipakai untuk dayung, roda gerobak, gagang pacul dan tangkai kapak (Irawan et. al., 2011) 12. Linggua ((Pterocarpus indicus Willd.) Linggua atau Angsana atau juga biasa disebut
dengan
sonokembang adalah
jenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi yang berasal dari suku Fabaceae. Ketinggian pohon linggua dapat mencapai 45 meter, dengan panjang batang bebas cabang berkisar antara 2 meter hingga 16 meter, dengan diameter mencapai 150 cm. Tekstur kayu agak halus sampai agak kasar, arah serat lurus atau bergelombang tidak teratur, warnanya kuning jerami, coklat karat muda, sampai coklat karat tua. Permukaan licin dan mengkilap indah. Berat jenis berkisar 0,39 hingga 0,94, termasuk golongan kelas kuat IV hingga kelas kuat I. Penggunaan pengering modern dapat menjadikan kayu linggua dapat mengering dengan baik tanpa cacat. Warna dan motif serat kayunya yang indah kemerah-merahan, menjadikan kayu linggua banyak dimanfaatkan sebagai kayu pilihan untuk pembuatan mebel,
kabinet
berkelas
tinggi,
alat-alat
musik,
lantai parket, panil kayu dekoratif, gagang peralatan, konstruksi perumahan, kayu vinir, rangka bangunan, tiang, pilar, serta untuk dikupas sebagai venir dekoratif untuk melapisi kayu lapis dan meja berharga mahal.
101 Lampiran 2. Foto jenis-jenis tanaman umur 1 tahun yang sedang diuji tingkat pertumbuhan di Jalur tanam TPTJ-Silin, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah
S. leprosula
S. mecisopteryx,
S. palembanica
S. parvifolia
102
S. smithiana
Hopea odorata
Dryobalanops aromatica
Vatica resak
103
Nyatoh (Palaquim sp.)
Nyawai (Ficus variegate)
binuang bini (Octomeles sumatrana)
Sungkai (Peronema canescens)
104
Lampiran 3. Shorea pinanga pada areal hutan alam bekas tebangan (a & b) dan areal semak belukar (c & d) di KHDTK Siali-ali, Kabupaten Padang Lawas-Sumatera Utara
a. Umur 1,5 tahun
c. Umur 1,5 tahun
b. Umur 3 tahun
d. Umur 3 tahun