ISSN 0216-4329 TERAKREDITASI: A NO
: 179/AU1/P2MBI/8/2009
J PENELITIAN HASIL HUTAN Joumd of Forest Products Resemh Vol. 29 No. 4, Desember 2011
KEMENTERLAN KEHUTANAN (Ministry of Forestry) BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency (FOBDA) PUSAT P E N E L I T I A N DAN P E N G E M B A N G A N K E T E K N I K A N K E H U T A N A N DAN P E N G O L A H A N H A S I L H U T A N The Centerfor Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing BOGOR - INDONESIA Jurnal Penel Hasil Hutan
Vol. 29
No. 4
Him. 287 - 387
Bogor, Des 2011
ISSN 0216-4329
ISSN 0216-4329 N O : 179/AU1/P2MBI/08/2009
JPE
I
EUTIAN HASIL HUTAN
JourmJ of Forest Products Research
Vol. 29 No. 4, Desember 2011 Jurnal Penelitian Hasil Hutan adalah publikasi ilmiah bidang hasil hutan, keteknikan hutan dan bidang terkait lainnya, yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Jurnal ini telah dinilai oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan diakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah yang masuk Predikat A dengan Sertifikat No.: 179/AUl /P2MBI/8/2009.
Journal of Forest Product Research is a scientificpublicatoin reporting researchfindings in thefield offorest products, basic p asprocessing,forest engineering and other related fields. Thejournal has been evaluated by the Indonesian National Scienc and accredited as a Scientific Periodical Magazine of Good Category (A-gtade) with Certificate number: 1791A U1 /P2MBI/8/2009.
Penanggung jawab {Editor in ctiief)
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
Dewan Redaksi {EditorialBoard): Ketua (Chairman), merangkap anggota Anggota (Members)
Dr. Jr. Maman Mansyur Idris, M.S. 1. Prof. Dr. HR. Sudradjat, M.Sc. 2. Prof. Ir. Dulsalam, MM. 3. Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si. 4. Barly, B.Sc. S.H., M.Pd. 5. Dr. Ir. Han RoUadi, MS, M.Sc. 6. Ir, Jamal Balfas, M.Sc. 7. Dr. Ir. Bambang Wiyono, M.Sc. 8. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. 9. Dra. Gusmailina, M.Si. 10. Dra. Sri Rulliaty, M.Sc. ; 1. Prof Dr. YusufSudoHadi, M.Sc.(Fakultas Kehutanan IPB) Mitta bestari {Peer reviewei) 2. Prof. Dr. Surdiding Ruhendi (Fakultas Kehutanan IPB) 3. Prof Dr. Wasrin Syafii, M.Agr. (Fakultas Kehutanan IPB) 4. Prof Dr. EUas, M.Sc. (Fakultas Kehutanan IPB) 5. Prof Dr. Imam Wahyudi, M.S. (Fakultas Kehutanan IPB) 6. Dr. Ir. Ketot N. Pandit (Fakultas Kehutanan IPB) 7. Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc (Fakultas Kehutanan IPB) Sektetariat Redaksi {Editorial Secretariat) : Ketaa (Chairmati) : Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Penelitian Anggota (Members) : 1. Kepala Subbidang Data, Informasi dan Diseminasi 2. Drs. JuU Jajuli 3. Sophia Pujiastuti
Diterbitkan oleh (Publishedby): Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan {The Centre for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing Jl. GunungBatuNo. 5,Bogor 16610, Indonesia Alamat (Address) (0251) 8633378,8633413 Telepon (Phone) (0251)8633413 Fax (Faximile)
[email protected] E-mail VetccXak3in(PrintingCompany)
: CV. Sinarjaya,Bogor
ISSN 0216 - 4329 TERAKREDITASI: A N O : 179/AU1/P2MBI/8/2009
IfURNAL
PENEUHAN HASIL HUTAN
Journal of Forest Products Research
Vol. 29 No. 4, Desember 2011
KEMENTERIAN KEHUTANAN Ministry of Forestry) BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency (FORDA) PUSAT P E N E L I T I A N DAN PENGEMBANGAN K E T E K N I K A N KEHUTANAN DAN P E N G O L A H A N HASIL HUTAN The Centerfor Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing BOGOR - INDONESIA Jurnal Penel Vol. 29 Hasil Hutan
No. 4
Him. 287 - 387
Bogor, Des. 2011
ISSN 0216-4329
ISSN 0216 - 4329 N O : 179/AU1/P2MBI/08/2009
URNAL
PENELITIAN HASIL HUTAN
Journal of Forest Products Research Vol. 29 No. 4, Desember 2011 UAFTARISI 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
(CONTENTS)
K E M U N G K I N A N PEMANFAATAN BEBERAPA JENIS BAMBU TERTENTU, BERDASARKAN POLA PENYUSUNAN BERKAS PEMBULUH, SEBAGAI B A H A N B A K U PULP D A N KERTAS (Possible Uses of Several Particular Bamboo Species, Scrutini^d through the Pattern of Their Vascular Bundle Arrangement, asKawMaterialPulp andPaper) Nani Nuriyatin & Kurnia Sofyan 287 - 300 KUALITAS PAPAN PARTIKEL KAYU KARET {Hevea brasiliensis MueU. Arg) D A N BAMBU T A L I {Gigantochloa afus Kurz) D E N G A N PEREKAT L I K U I D A KAYU (Quality of Particle Board of Poibber Wood (Hevea brasiliensis Muell.Arg) and Tali Bamboo (Gigantochloa apus Kurz) with WoodUquidsAdhesive) AryWidiyanto 301-311 PEMANFAATAN L I G N I N HASIL ISOLASI DARI L I N D I H I T A M PROSES BIOPULPING BAMBU B E T U N G (Dendrocalamus asper) SEBAGAI M E D I A SELEKTIF JAMUR PELAPUK PUTIH (Lignin Use of Isolation Process from Black Uquor on The Biopulping of Betung Bamboo (Dendrocalamus asper) as Selective MediaforWhite-rotFungi) Sita Heris Anita, Dede Heri Yuli Yanto & Widya Fatriasari 312 - 321 AKTWITAS A N T I O K S I D A N D A N TOKSISITAS EKSTRAK K U L I T KAYU RARU (Cotylelobium sp.) (Antioxidant andToxicity Activity of Ram (Cotylelobium sp.) Stem Bark GunawanPasaribu&TitiekSetyawati 322-330 SAWING RECOVERY OF SEVERAL SAWMILLS I N JEPARA (Rendemen Penggergajian Beberapa KilangPenggergajian diJepard) Jamaludin MaUk& Gary P. Hopewel 331 -342 ESTIMASI POTENSI BIOMASSA D A N MASSA KARBON H U T A N T A N A M A N Acacia crassicarpa D I L A H A N GAMBUT (Studi Kasus di Areal H T I Kayu Serat di Pelalawan, Propinsi Riau) (Estimating Biomass and Carbon Mass Potency of Wood Plantation of Acacia crassicarpa Growing on PeatEand Site (A Case Study on Fiber Wood Plantation Area atPelalawan, Riau Province)) Yuniawati, Ahmad Budiaman & Elias 343-355 PERBANDINGAN CIRI A N A T O M I KAYU D A N K U L I T 3 JENIS PULAI (Alstonia sp.) (The Comparison of Wood and BarkAnatomj on Three Pulai Species (Alstonia sp.j) Andianto 356 - 368 PENINGKATAN PRODUKTIVITAS P E M A N E N A N KAYU M E L A L U I T E K N I K P E M A N E N A N K A Y U R A M A H L I N G K U N G A N : KASUS D I SATU PERUSAHAAN H U T A N RAWA GAMBUT D I K A L I M A N T A N BARAT (Increasing loggingproductivity through reduced impact logging technique: A case study at a peat swamp forest company in West Kalimantan) Sona Suhartana & Yuniawati 369-384 IndeksPengarang 385-387
iii
PRNAL J
PENEUTIAN HASH HUTAN
Journal of Forest Products Research
ISSN 0216 - 4329
Vol. 29 No. 4, Desember 2011
Kata kunci yang digunakan adalah istUah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin atau biaya
ABSTRAK UDC (OSDC) 630*832.29 AryWidiyanto (Balai Penelitian Teknologi Agroforestry) KuaUtas Papan Partikel Kayu Karet (HeveaBrasiliensisMacil. Arg) dan Bambu Tali (gigantochloa Apus Kurz) dengan Perekat Likuida Kayu J. PeneUt. Has. Hut. Des. 2011, Vol 29 No. 4, Mm. 295 - 306
UDC (OSDC) 630*861 Nani Nuriyatin & Kurnia Sofyan (Program Pascasarjana Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB) Pemanfaatan Pola Ikatan Pembuluh Bambu Sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas J. PeneHt. Has. Hut. Des. 2011, Vol 29 No. 4, him. 287 - 294
Pemakaian perekat alami likuida kayu (wood liquids adhesive) dengan campuran kayu karet dan bambu taU dimaksudkan sebagai upaya pemanfaatan limbah kayu karet dan bambu tali, di samping sebagai substitusi perekat sintetis. Dalam penelitian ini digunakan analisis faktorial 3x3 dalam rancangan acak lengkap dengan dua kali ulangan. Faktor-faktor yang diteliti adalah jenis partikel (karet, bambu tali dan campurannya dengan perbandingan 50: 50 berdasarkan berat kering tanur) dan kadar perekat (10%, 15% dan 20%). Hasil penelitian menunjukan bahwa perekat likuida kayu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pH kurang dari 1, viskositas sebesar 2,03 poise, kadar padat perekat 91%, waktu gelatinasi (90) 9 menit 48 detik, berat jenis 1,153 dan warna perekat hitam. Berdasarkan ciri tersebut, perekat likuida kayu belum memenuhi syarat SNI 06-0121-1987 untok perekat phenol formaldehida. Papan partikel campuran kayu karet dan bambu taH memiliki kerapatan 0,83 g/cm, kadar air 6,9%, pengembangan tebal 19%, daya serap air 28%, MOE 10540 kgf/cm", MOR 258 kgf/cm\n Internal Bond (IB) 2,2 kgf/cml Berdasarkan ciri tersebut, papan partikel tersebut belum memenuhi syarat SNI 032105-1996 untuk papan partikel berkerapatan sedang (medium density particleboard).
Ketersediaan bahan baku bambu yang berlimpah diharapkan dapat menggantikan posisi kayu terutama dalam peranarmya sebagai bahan baku dalam pembuatan pulp dan kertas. Adapun tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi mengenai kemungkinan penggunaan bambu sebagai bahan baku pulp dan kertas setelah bambu terlebih dahulu dikelompokan ke dalam pola ikatan pembuluh. Pendekatan yang dilakukan adalah melalui pengukuran dimensi serabut dan turimannya. Bahan penelitian adalah 8 jenis bambu yang mewakili 4 pola ikatan pembuluh.Pengolahan data menggunakan fungsi peluang serta anaHsa keragaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap pola ikatan pembuluh pada bambu memiliki panjang serabut dan daya tenun yang termasuk ke dalam kelas I sementara rulai mrunan lain seperti fleksibilitas, koefisien kekakuan, runkel ratio dan muhlstep ratio termasuk ke dalam kelas III. Karakter khas yang dimiliki oleh pola ikatan pembuluh 1 adalah mempunyai fleksibilitas yang paling tinggi dibandingkan dengan pola-pola lain serta memiliki rulai koefisien kekakuan serta runkel ratio yang paling rendah dibandingkan dengan pola-pola lain. Sedangkan pola ikatan pembuluh 4 mempunyai karakter dengan panjang serabut dan daya tenun yang paling tinggi dibandingkan dengan pola-pola lain. Kata kunci:
Kata kunci:
Perekat, likuida kayu, kualitas, papan partikel.
Pola ikatan pembuluh, dimensi serabut dan turunarmya. UDC (OSDC) 630*811.7 Gunawan Pasaribu & Titiek Setyawari (Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Aktivitas Antioksidan dan Toksisitas Ekstrak Kulit Kayu Raru (Cotylelobium sp.) J. PeneUt. Has. Hut. Des. 2011, Vol 29 No. 4, him. 316 - 324
U D C (OSDC) 630*813.11 Sita Heris Anita, Dede Heri Yuli Yanto & Widya Fatriasari (UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial, LIPI, Cibinong -Bogor) Pemanfaatan Lignin Hasil Isolasi dari Lindi Hitam Prosesbiopulping Bambu Betung {dendrocalamus Asper) Sebagai Media Selektif Jamur Pelapuk Purih J. Penelit. Has. Hut. Des. 2011, Vol 29 No. 4, him. 307 - 315
Penelitian tumbuhan obat terus berkembang seiring dengan minat masyarakat pada bahan obat yang berasal dari alam yang berhubungan dengan keamanannya dibanding dengan obat sintetik. Salah satu kulit kayu yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara yang Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat lebih dikenal dengan sebutan raru diidentifikasi sebagai Cotylelobium sp, Ugnin hasil isolasi proses biopulping sebagai media selektif untuk sudah sangat luas dimanfaatkan oleh masyarakat di Sumatera Utara. Kulit jamur pelapuk putih. Lignin hasil isolasi ditambahkan pada kayu ini biasanya digunakan oleh masyarakat sebagai campuran minuman media untuk uji selektifitas Phanerochaete crysosporium dan Trametes tuak (minuman tradisional Batak). Masyarakat juga meyakini kulit kayu raru dapat digunakan sebagai obat penurun kadar gula darah (and diabetes). versicolor. Pengujian selektifitas jamur pada media lignin Penelitian ini bertajuan untuk mendapatkan data potensi antioksidan dari menunjukkan fungi T. versicolor mensekresi enzim lebih cepat kulit kayu raru dengan metoda DPPH dan mengetahui toksisitas ekstrak daripadaP. chrysosporium. menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSUT) • HasU penelitian menunjukkan bahwa rendemen ekstrak Cotyklobium melanoxjilon Pierre Kata kunci: Lignin, lindi hitam, biopulping, jamur pelapuk adalah 30,11% dan Cotylelobium lanceolatum Craib sebesar 14,50%. Uji putih, media selektif fitokimia menunjukkan kedua jenis ekstrak mengandungflavonoid,tanin, saponin, triterpenoid dan hidrokuinon. Ekstrak Cotyklobium melanoxylon Pierre memiliki aktivitas antioksidan terhadap radikal DPPH dengan nilai ICjo sebesar 108,487 ppm dan Cotylelobium lanceolatum Craib memiliki nilai ICso sebesar 77,909 ppm. Selanjumya, toksisitas Cotylelobium melanoxjilon Pierre memiliki nilai LC,, sebesar 643,550 ppm and Cotyklobium lanceolatum OTeOTaSf>faLC;„sebesar 767,191 ppm. . Kata kunci:
V
Tumbuhan obat, raru, antioksidan, toksisitas
U D C (OSDC) 630*836.1 Jamaludin MaHk (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Gary P. Hopewel (Forest Product Innovations, Agri-Science Queensland Salisbury Research Centre) Rendemen Penggergajian Beberapa KUang Penggergajian di Jepara J. PeneHt. Has. Hut. Des. 2011, Vol 29 No. 4, him. 325 - 336
U D C (OSDC) 630*114.444 Yuniawati, A. Budiaman & EUas (Pusat PeneUtian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan HasU Hutan) Estimasi potensi biomassa dan massa karbon hutan tanaman Acacia Crassicarpa di lahan gambut (Studi kasus di areal H T I kayu serat di Pelalawan, Propinsi Riau) J. PeneUt. Has. Hut. Des. 2011, Vol 29 No. 4, him. 337 - 349
Dalam situasi kekurangan bahan baku, para pengrajin furnitur harus mcmanfaatkan kayu secara efisien. Peningkatan efisiensi yang bertujuan untuk meningkatkan rulai tambah industri kecil menengah (IKM) furnitur di Jepara perlu dilakukan sejak tahap pertama pengolahan kayu, yaitu penggergajian yang mengkonversi log menjadi kayu gergajian. PeneHtian telah dilakukan terhadap peningkatan angka rendemen kayu gergajian melalui pembuatan papan jeblosan sebagai bahan baku furnitur di Jepara. Pola penggergajian yang digunakan adalah pola satu sisi. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran angka rendemen dari proses penggergajian selama sam hari penuh di setiap empat sampel iadustri penggergajian dan sam pengrajin yang menggergaji kayu dengan gergaji rantai. Hasil peneUtian menunjukkan bahwa angka rendemen dari kilang penggergajian di Jepara mencapai 70 - 80 %. Angka ini relatif lebih tinggi karena pola penggergajian yang digunakan adalah pola sam sisi dan kayu gergajian yang dihasilkan tidak mengalami perataan sisi atau digergaji ulang menjadi papan persegi. Dibandingkan dengan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah, kilang penggergajian di Jepara telah mempraktekan penggergajian yang efisien..
Tujuan peneUtian adalah mendapatkan potensi biomassa dan massa karbon pohon A . crassicarpa yang mendominasi tegakan hutan tanaman kayu serat berlokasi di areal lahan gambut, sektor Pelalawan, propinsi Riau. HasU peneUtian menunjukkan bahwa potensi biomassa tegakan A . crassicarpa pada kelas umur 2,3,4 dan 5 tahim berturut-torut sebesar 44,98; 70,35; 134,5; dan 234,78 tons/ha, dan potensi massa karbon pohon tegakannya berturut-turut sebesar 12,09; 36,23;76,09 dan 133,10 tons/ha. Kata kunci: Hutan gambut, tegakan pohon Acacia crassicarpa, nUai dan potensi biomassa dan massa karbon, perhitungan persamaan alometrik
Kata kunci: Rendemen penggergajian, papan jeblosan, bahan furnitur,Jepara U D C (OSDC) 630*811.1 Andianto (Pusat PeneHtian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Perbandingan Ciri Anatomi Kayu dan KuHt 3 Jenis Pulai [alstonia Sp.) J PeneHt. Has. Hut. Des. 2011, Vol 29 No. 4, him. 350 - 362 Pulai (Alstonia sp.). yang termasuk ke dalam suku Apocynaceae banyak diinformasikan mengandung getah yang sering digunakan sebagai obat tradisionil. Dalam berbagai Hteratur, jenis pohon berkhasiat obat sudah banyak disinggvmg namun diskripsi anatomi kayu maupun kuUt (pepagan) jenis Pulai hingga tingkat species masih belum banyak ditemui. Contoh kayu dan kuHt Alstonia scholaris, A.angustikba dan A . pneumatophora disayat dengan mikrotom untuk memperoleh sayatan tipis guna pengamatan struktur anatomi. Dimensi sel pembuluh dan serat kajru diukur melalui preparat maserasi. HasU pengamatan menunjukkan bahwa kayu dari ketiga jenis Pulai ini dapat dibedakan diantaranya berdasarkan perbedaan diameter dan frckuensi sel pembuluh, tipe dan susunan sel parenkim serta lebar sel jari-jari. KuHt ketiga jenis ini dapat dibedakan melalui bentuk sel sklereid dan kehadiran jari-jari terdilatasi (sel jari-jari yang mengalami pelebaran). Kata kunci: Apocynaceae, pulai, kayu dan kuHt (pepagan), struktur anatomi
U D C (OSDC) 630*38 Suhartana, S. & Yuniawati. 2011. (Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan HasU Hutan). Peningkatan Produktivitas Pemanenan Kayu melalui Teknik Pemanenan Kayu Ramah Lingkungan: Kasus di Satu Perusahaan Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Barat. J. PeneUt. Has. Hut. Des. 2011, Vol 29 No. 4, him. 363 - 378 Tujuan peneUtian ini adalah unmk mengetahui besarnya peningkatan produktivitas, penurunan biaya produksi, subsidensi dan fluktuasi tinggi muka air dari penerapan teknik pemanenan R I L di hutan rawa gambut. HasU peneUtian menunjukkan bahwa apabUa R I L diterapkan pada kegiatan penebangan, penyaradan, muat-bongkar dan pengangkutan, 1. Dapat meningkatkan produktivitas masing-masing sebesar 0,946 m'/jam, 2,449 mVjam, 1,96 mVjam, 1,871 mVjam, dan 2,158 m /jam; 2. Dapat mengurangi biaya produksi masing-masing sebesar Rp 992,1 /m', Rp 3.088,6/m', Rp 127,9/m', Rp 99,7/m', dan Rp 158,6/m'; 3. ApabUa menerapkan teknik R I L dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu sebesar 6% yang setara dengan tambahan keuntungan Rp 74.400.000/tahun. Dengan demikian terbuka peluang bagi perusahaan untuk serius menerapkan teknik penebangan R I L ; 4. Rata-rata subsidensi adalah 0,375 cm/tahun lebih kecU daripada PP Nomor 150 Tahun 2000. 5. Rata-rata tinggi muka air di petak tebang dan di kanal adalah 61,75 cm dan 52,25 cm. Kata kunci: Teknik R I L , lahan gambut, produktivitas, biaya, efisiensi.
vi
f» "=
0
•U]
PE EUHAN HASIL HUTAN
Jouina / of Forest Products Research Vol. 29 No. 4, December 2011
ISSN 0216 - 4329
Keywoords given are free terms. Abstracts may be reproduced without permission or charge ABSTRACT UDC (OSDC) 630*861 Nani Nuriyatin <& Kurnia Sofyan (Graduate School of Forestry Science Studies hogorAgricultural University) Manufacture of PulpfromEmptyOil-PalmFruitBunchesforPaperhoard J. of Forest Products Research. Dec2011, Vol29NO. 4,pp 287-294
UDC (OSDC) 630*832.29 Ary Widiyanto (BalaiPenelitian Teknologi Agroforestry) Quality of Particle Board of Rubber Wood (Hevea brasiliensis Muell.Arg) and Tali Bamboo (Gigantochloa apus Kurz) with Wood UquidsAdhesive J. of ForestProducts Research. Dec2011, Vol29 NO. 4,pp 295 - 306 The abundance of bamboo offers a possibility of replacing wood by bamboo, includingin theproduction of pulp and paper. Thepurpose of this As an effort to utili:^ rubber wood waste and the abundant resource researchis toexaminethe possibility to use bambooasraw material forpulp of tali bamboo a study of producingparticle board using a mix of the two andpaper after the bamboo isfirstgrouped into apatternof vascular bundles. materials was conducted. In addition, in order to find an alternative to The approach used is measurement of fiber dimensions and its derivatives.synthetic adhesive, natural adhesive of wood liquid was used. This research The research materials areSspecies representing 4 bamboo patternsofwas conducted in a 3x3 factorial analisys in acomplete randomis^ed block vascular bundle. Datawas analy^d using the opportunity functionand design with two replicates. The factors studied were the type of particles analysis of variance. The results howed that any pattern of vascular (rubber, bamboo rope and mixtures with a ratio of 50: 50 by oven dry bundlesin bamboofibersandweavingpower belongs toclass I, while thevalue weight) and levels of adhesive (10%, 15% and 20%. Results show that of other derivatives such asflexibility,stiffness coefficient, runhelratio and wood liquids adhesive is characterised with pH < 1, viscosity 2,03 poise, muhlstepratio belong to class III. Vascular bundlepatem 1 has the highestsolid content 91%, gelatin time (90) 9 min 48 sec, spesiftcgravity 1,153 flexibility andthe lowest coefficient of stiffness and runkel ratioas and having black colour. The characteristics do notfulfil requirement of comparedwiththe otherpatterns. Whilethe patternof vascular bundles 4 SNI is 06-0121-1987for phenol adhesive. Theproduccedparticle board has characterised with longestfiber and the highest weavingpower as comparedto a density of 0,83 glcm\ content 6,9%, thickness swelling 19%, theotherpatterns. water adsorbtion 28%, MOE 10540 kglcm\ 258 kg/cm', and Internal Bond (IB) 2,2 kg/ cm'. The characteristics also do notfulfill the Keyword: Patternof vascular bundles,fiber dimension and derivative. requirement of SNI 03-2105-1996for medium density particleboard. Further research is still needed to meet the SNI requirements. Keyword: Adhesive, wood liquids, quality, particle board
UDC (OSDC) 630*811.7 UDC (OSDC) 630*813.11 Gunawan Pasaribu Titiek Setyawati (The Centre for Research and Sita Heris Anita, Dede Heri Yuli Yanto <& Widya Fatriasari (UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial, LIPI, Cibinong -Bogor) Development on ForestFngtneering and ForestProducts Processing) AntioxidantandToxicity Activity of Raru (Cotylelobium sp.) StemBark Ugnin Use of Isolation Process from Black Uquor on The Biopulping of Betung Bamboo (Dendrocalamus asper) as Selective Media for White- J. of ForestProductsResearch. Dec2011, Vol29NO. 4,pp 316-324 rotFungi Research on natural medicinal plants has been growing due to the J. of ForestProducts Research. Dec2011, Vol29 NO. 4,pp. 307-315 increasing interest to natural meMcinal material that is considered safer than synthetic medicines. In North Sumatera, bark of Cotylelobium sp which is The purpose of study was to evaluate the isolated lignin from locally known as raru, has been widely utilii^ed by the local community. The ski biopulping as medium selective for white-rotfungi. The isolated lignin wasbark of this species is commonly used as a mixture of "nira" to produce "tuak" added to media to test the selectivity of Phanerochaete crysosporium and(Batak's traditional alcoholic liquor). In addition, local community has been Trametes versicolor. En^me secretionfromT. versicolor occurs more rapidly using this species for traditional healing as well This research is to study the potency of raru's skin bark inproducingantioxidantusingDPHHmethod. The than P. chrysosporium on selective media. toxicity activity of the material was also examined using Brine Shrimp Tethality Keyword-.Ugnin, black liquor, biopulping, white-rot fungi, selective mediaTest (BSLT) method. Results show that the yield extract of Cotylelobium melanoxylon Pierre was 30.11% and Cotylelobium lanceolatum Craib was 14.50%. Both extracts contains flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid and hidroquinon. The extract of Cotylelobium melanoxylon Pierre has antioxidant activity against DPPH radical with value of IC„ as much as 108.487ppm and 77.909ppm for Cotylelobium lanceolatum Craib. Furthermore, the toxicity of Cotylelobium melanoxylon Pierre was 643.550 ppm and Cotyklobium lanceolatum Craib was 767.191ppmU,^ Keyword: Medicinalplant, raru, antioxidant, toxicity
vii
UDC (OSDC) 630*836.1 Jamaludin Malik (Pj&D Centrefor Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Gary P. Hopewel (Forest Product Innovations, Agri Science Queensland Salisbury Research Centre) SawingRecoveiy of Several Sawmills in Jepara J. of ForestProductsR£search. Dec2011, Vol29NO. 4,pp 325-336
UDC (OSDC) 630*114.444 Yuniawati, A . Budiaman <& Elias (The Centre for Research and Development on Forest Engineering and ForestProducts Processing Estimating Biomass and Carbon Mass Potency of Wood Plantation of Acacia crassicarpa Growing on PeatEand Site (A Case Study on Fiber Wood Plantation atPelalawan, Riau Province J. of ForestProducts Research. Dec2011, Vol29 NO. 4,pp 337 - 349
In the situation of wood material shortage, it is important to furniture manufacturers to efficiently utili^ie the wood. Increasing efficiency The research obfectives was to obstain the biomass and carbon m for improving value added of small medium enterprises of woodfurniturepotency of A crassicarpa tree. Pledominantly growing on fiber wood industries in jepara should be carried out from the first stage in wood plantation forest, situated at a peat land area, Pelalawan sector, Riau processing: sawing that will convert logs into sawn timber. Province. The result showed that the biomasspotency of thosestandof 2,3 A study has been carried out on improving sawing recovery of and 5years old was consecutively 44.98; 70.35; 134.05; and 234.78 sawntimber by live-sawing pattern to make loseware lumber for furniture tons! ha. Meanwhile, the corresponding value for carbon mass pote material in Jepara region. This study was done by investigating the currentamountedto 12.09;36.23;76.09andl33.10tons/ha, respectively sawing recovery data as determined during onefull day'sprocessing at each of thefour bandsaw mill facilities and one chainsaw/ carvingfarility. Keyword: Peat forest. Acacia crassicarpa, tree stands, biomass and The results indicate that the current recovery rate of sawmilling carbon mass content and potency, allometric equation services companies in Jepara reached 70 - 80 %. These recoveries are estimation. relatively high due to the live sawing pattern used and the fact that sawn boards were not edged or resawn into square pieces at the mill Compared to existing rules and the Government standardfor calculating the recovery rate, sawmilling service companies in Jepara have practiced efficientprocessing in sawing. Keyword: Sawn-recovery, live-sawing, loseware lumber, furniture material, Jepara
UDC (OSDC) 630*811.1 UDC (OSDC) 630*38 Andianto (The Centrefor Research and Development on Forest Engineering Suhartana, S. <&Yuniawati. 2011. (CenterforResearchandDevelopme and ForestProducts Processing) on Forestry Engineering and ForestProducts Processing). The Comparison of Wood and Hark Anatomy on Three Pulai Species (Alstonia Increasing loggingproductivity through reduced impact logging techniq sp) case study at apeat swampforest company in West Kalimantan) J of ForestProductsResearch. Dec2011, Vol29N0.4,pp 350-362 J of ForestProductsResearch. Dec2011, Vol29N0.4,pp 363 - 378
Pulai (Alstonia sp.j belonging to thefamily Apocynaceae, produces This study examinedpossibility of increasingproductivy, decrea latex which isfrequently used as a traditional medicine. Various literatureslogging on cost, subsidence, and waterfluctuationusing R I L technique. R medicinal tree speciesfrequently mention about it, but a description of the wood revealed that the use of RIL infelling, skidding, loading, un-loading, an and bark anatomy of pulai up to the species level is hardly found. Anatomical hauling atpeat swampforest could: 1. Increase productivityfor each activ structure of wood and bark of Alstonia scholaris, A. angustiloba and A. of consecutively 0,946 m'1 hour, 2,449 m'1 hour, 1,96 m'1 hour, 1,871 pneumatophora were observed on samples produced using a microtome. m'/hour, and 2,158 m'/hour; 2. Decreased production cost of R Dimensions of woodfiberand vessel cells also were measured. Observations 992,11m', Rp 3.088,6/m', Rp 127,9/m', Rp 99,7/m', and Rp showed that the three species of pulai wood can be distinguishedfrom the differences 158,6/m consecutively; 3. Inceased timber efficiency utilisation (TU in diameter andfrequency of vessel cells, type and arrangement of parenchyma cells, width and composition of the ray cells. The bark of these species can be about6% equal toRp74,400,000/year;4.Subsidenceproceededat0.375 distinguished based on theform of sklereid cells and thepresence of dilationedcm/year ray rate, which corresponded to 1.875 cm infiveyears. Thisfigurew cells (widening ray cell). still lower than that stipulated in the Indonesia's Government Decree (P No. 150-2000. The averages of water level at logging site and canal we Keyword: Apocynaceae, pulai, woodandbark, anatomical structure 61.75 cm and52.25 cm, respectively. Keyword: RIL technique,peatlands,productivity, cost, effidency.
viii
KEMUNGKINAN PEMANFAATAN BEBERAPA JENIS BAMBU TERTENTU, BERDASARKAN POLA PENYUSUNAN BERKAS PEMBULUH, SEBAGAI BAHAN BAKU PULP DAN KERTAS (Possible Uses of Several Particular Bamboo Species, Scrutinized through the Pattern of Their Vascular Bundle Arrangement, as Raw Material Pulp and Paper) Oleh/By :
Nani Nuriyatin & Kurnia Sofyan Program Pascasarjana Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Telp. +62 251 862677 Fax. +62 251 862 256 e-mail :
[email protected] Diterima 17 Januari 2011, disetujui 7 Oktober 2011
ABSTRACT
The abundant availability of bamboos in Indonesia has prompted their possible uses as raw material for pulp and paper. This is expected to replace its corresponding conventional raw materials (i.e. woods),which nowadays tend to be dwindling, scarce, and limited. In relevant, this research aims to assess the suitability of bamboo stem for such comprision several species. The grouping of bamboo species brought out the results,i.e. Arundinaria hundsii and Arundinaria javonica as pattern 1; Cephalostachyum pergracile and Melocanna baccifera as pattern 2; Dendrocalamus strictus and Dendrocalamus giganteus as pattern 3; and Dendrocalamus asper and Gigantochloa apus as patterns 3 and 4). In assessing the bamboo suitability for pulp and paper, an approach was taken whereby the bamboo species in the particular pattern was examined of fiber dimensions (i.e. fiber length, fiber flexibility, rigidity coefficient, Runkel ratio, and Muhlstep ratio). To evaluate whether there were significant differences in the examination/determination results among those 4 patterns, the analysis of variances (probability levels)with completely standardized one-factor design was employed followed with the different range test of the resulting means (i.e. Tuckey procedures). The factor was those four bamboo patterns. Results revealed that each of those four patterns based on fiber length and felting power belonged to class I, indicating as the most favourable for pulp and paper. Meanwhile, other scrutiny based on fiber flexibility, rifidity coefficient, Runkel ratio, and Muhlstep ratio turnd out that all the patterns belonged to class III. Further, bamboo species catagoried as pattern I exhibited species characters such as affording the highest fiber flexibility and lowest rigidity coefficient as well as runkel ratio compared to those of the ather patterns. Meanwhile, bamboo species in pattern 4 exhibited the highest fiber length and felting power. Ultimately, assessment on the overall fiber dimensions and their derived values came about that all the four bamboo pattern belonged to class III, as indicative qualities of the resulting pulp and paper However, to make sure whether such indication proved true, further in-depth research on the pulp and paper processing from those entire bamboos (pattern 1 until 4) deserves carrying out. Keyword : Abundant availability, pulp and paper, bamboo spesies, patterns of vascular bundles arrangement, fiber dimension and their derivative values.
287
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 287-300
ABSTRAK
Ketersediaan bahan baku bambu yang berlimpah di Indonesia telah mendorong kemungkinan penggunaan bambu sebagai bahan baku untuk pulp dan kertas. Hal ini diharapkan untuk menggantikan bahan baku konvensional (dalam hal ini kayu) yang mana sekarang cenderung menurun, langka dan terbatas. Terkait dengan hal ini, penelitian bertujuan untuk menilai kesesuaian batang bambu dari spesies tertentu untuk hal trsebut diatas. Pengelompokan spesies bambu menetapkan hasil yaitu Arundinaria hundsii dan Arundinaria javonica sebagai pola 1, Cephalostachyum pergracile dan Melocanna baccifera sebagai pola 2, Dendrocalamus strictus dan Dendrocalamus giganteus sebagai pola 3, Dendrocalamus asper dan Gigantochloa apus sebagai pola 3 dan 4. Dalam penilaian kesesuaian bambu untuk pulp dan kertas, sebuah pendekatan diambil dengan cara spesies-spesies bambu dalam pola tertentu diamati dimensi serabutnya (yaitu panjang serabut, fleksibilitas serabut, koefisien kekakuan, nisbah Runkel dan nisbah muhlstep). Untuk mengevaluasi apakah ada perbedaan signifikan dalam pengamatan/ penentuan hasil diantara ke-4 pola, analisis keragaman berpola acak lengkap satu factor diterapkan yang diikuti oleh uji perbedaan rata-rata hasil tersebut (prosedur Tuckey). Dan sebagai factor adalah 4 pola. Hasilnya menyatakan bahwa setiap pola berdasarkan panjang serabut dan daya tenun termasuk ke dalam kelas I, menunjukkan sebagai bahan terbaik untuk pulp dan kertas. Sementara pencermatan berdasarkan fleksibilitas serabut, koefisien kekakuan, nisbah Runkel, dan nisbah Muhlstep seluruhnya termasuk ke dalam kelas III. Lebih lanjut, spesies bambu dikatagorikan sebagai pola I menunjukkan karakter spesies seperti menghasilkan fleksibilitas serabut tertinggj dan koefisien kekakuan dan nisbah Runkel terendah dibandingkan dengan pola-pola lain. Sementara itu spesies bambu dalam pola 4 memiliki panjang serabut dan daya tenun tertinggi. Pada akhirnya, pencermatan pada seluruh dimensi serabut dan nilai turunannya menyatakan bahwa seluruh 4 pola bambu termasuk ke dalam kelas III sebagai indikasi mutu dari pulp dan kertas yang dihasilkan. Bahkan untuk menjamin apakah indiksi ini benar, memerlukan riset mendalam pada proses pembuatan pulp dan kertas dari seluruh bambu (pola 1 sampai 4) yang sebaiknya dikerjakan. Kata kunci : Ketersediaan yang berlimpah, pulp dan kertas, spesies bambu, susunan pola ikatan pembuluh, dimensi serabut dan turunannya.
I. PENDAHULUAN Keperluan serat pulp untuk pembuatan kertas terus meningkat. hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Hal ini dipicu dengan ketersediaan kayu khususnya dari hutan alam yang semakin terbatas dengan harga semakin mahal. Khusus untuk Indonesia yang berada di daerah tropis, tanaman bambu merupakan salah satu alternatif pilihan bahan baku pulp dan kertas paling penting (Lybeer et al. 2006). Bambu memiliki keunggulan jika digunakan sebagai bahan baku kertas antara lain adalah laju pertumbuhan yang cepat dan mudah diputihkan setelah diolah menjadi pulp menggunakan proses kraft karena tekstur bambu sebagai tanaman monokotil (di mana lebih banyak jaringan parenkim) sehingga tidak sepadat kayu (Stephenson 1952; Casey 1980). Sebaliknya kerugiannya adalah adalah kandungan lignin yang lebih tinggi dan keberadaan jaringan parenkim tersebut berakibat konsumsi bahan kimia pemasak selama pengolahan pulp menjadi lebih tinggi daripada pemasakan kayu. Di samping itu serabut bambu lebih kaku dibanding ikatan serat kayu karena dinding sel yang tebal serta lumen yang sempit (Rowell et al 1997). Sementara itu Pasaribu dan Silitonga (1974) dan Patt et al. (2005) menyatakan bahwa selain komponen kimia dan kondisi pengolahan, morfologi serat bahan berlignoselulosa juga merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan pulp dan kertas karena komposisi jaringan tanaman 288
Kemungkinan Pemanfaatan Beberapa Jenis Bambu Tertentu, Berdasarkan ..... (Nani Nuriyatin & Kurnia Sofyan)
dalam sel yang beragam dalam ketebalan dinding sel mempunyai efek yang besar terhadap penggunaan bambu dalam proses industri kayu. Secara khusus serat yang panjang, fleksibilitas yang tinggi, dan nisbah tebal dinding terhadap lumen yang rendah adalah dikehendaki dalam pembuatan pulp dan kertas (Xu et al. 2005). Di antara berbagai jenis bambu yang ada ternyata bambu memiliki berbagai pola ikatan pembuluh. Menurut Grosser dan Liese (1971), pola ikatan pembuluh yang terdapat pada bambu terdiri atas 4 jenis yaitu tipe 1, 2, 3 dan 4 yang menjadi pembeda antar genus dan spesies. Pada bagian pangkal batang tidak menutup kemungkinan tersusun atas lebih dari 1 pola ikatan pembuluh seperti yang terdapat pada pola/tipe 2, 3 dan 4. Gabungan pola/tipe yang dapat terjadi pada bagian pangkal adalah pola 2 bergabung dengan pola 3 seperti dalam genus Schizostachyum, Melocanna, dan Teinostachyum. Sementara gabungan pola lain seperti pola 3 bergabung dengan pola 4 dapat muncul pada genus Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa, dan Thyrsostachys. Dalam hal ini khusus untuk genus Cephalostachyum dari mulai bagian pangkal ke bagian ujung murni tersusun atas satu pola, yaitu pola 2 demikian pula yang terjadi pada genus Oxynanthera spp yang memiliki pola 3 murni pada keseluruhan bagian batang. Diantara ke-4 pola ikatan yang ada, setiap pola memiliki ciri yang berbeda dan perbedaan ini signifikan diantara spesies dan genus. Hal ini dapat berdampak nyata terhadap sifat pengolahan pulp bambu dan sifat pulp/kertasnya. Terkait dengan seluruh uraian, telah dilakukan pencermatan pola ikatan pembuluh bambu, sehubungan dengan pemanfaatannya untuk pulp dan kertas. Bahan baku bambu dalam penelitian dipilih berdasarkan keterwakilan pola-pola tersebut yang dimiliki oleh bambu yaitu Arundinaria hundsii dan Arundinaria javonica (mewakili pola 1), Melocanna baccifera dan Cephalostachyum pergracile (mewakili pola 2), Dendrocalamus gigantus dan Dendrocalamus strictus (mewakili pola 3) serta Dendrocalamus asper dan Gigantochloa apus (mewakili pola 3 dan 4). Tujuan penelitian adalah mendapatkan informasi secara lengkap mengenai kemungkinan penggunaan bambu yang terwakili dalam bentuk pola ikatan pembuluh sebagai bahan baku pulp dan kertas serta menentukan karakteristiknya pada setiap pola ikatan pembuluh. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah bambu terdiri dari 4 macam pola ikatan pembuluh dimana masing-masing pola terwakili oleh 2 jenis bambu yaitu berturutturut Arundinaria hundsii (Ah), Arundinaria javonica (Aj); Melocanna baccifera (Mb), Cephalostachyum pergracile (Cp); Dendrocalamus giganteus (Dg), Dendrocalamus strictus (Ds); dan Dendrocalamus asper (Da), Gigantochloa apus (Ga). Dalam hal ini khusus untuk Dendrocalamus asper (Da) dan Gigantochloa apus (Ga) mewakili pola 3 dan 4 karena adanya perbedaan pola antar bagian batang. Pengambilan contoh bambu dilakukan di Kebun Raya Bogor dan sekitar lokasi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. B. Penetapan Contoh Uji Contoh uji ditetapkan pada jenis-jenis bambu yang mewakili pola ikatan pembuluh 1 sampai 4 dengan dibantu panduan dari Grosser dan Liese (1971). Contoh uji tersebut diambil 289
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 287-300
dari bagian pangkal, tengah dan ujung pada tengah-tengah ruas dengan ulangan masingmasing 3 kali berupa bagian bambu kecuali untuk untuk Arundinaria hundsii dan A. javonica hanya dilakukan pada bagian tengah bambu saja karena keterbatasan bahan baku terkait dengan kecilnya diameter batang jenis bambu tersebut (±1.63 cm). C. Penyiapan Contoh Semua contoh dimaserasi dengan metode Schultze (Sass, 1951) menggunakan KClO3 , HNO3 50%, dan pewarna safranin 2 %. D. Pencermatan Karakteristik Hasil Maserasi Contoh Karakteristik yang dicermati mencakup dimensi serat dan nilai turunannya. Dimensi serat yang diukur adalah panjang serat (L), diameter serat (D), diameter lumen (l), dan tebal dinding sel (w). Tahap selanjutnya adalah menghitung nilai turunan dimensi serat (Casey 2 2 2 1980) yang meliputi nisbah Runkel (2w/l), daya tenun (L/D), nisbah muhlsteph [(D - l )/D ] x 100, fleksibilitas (l/D), koefisien kekakuan (w/D). E. Analisis Data Data dimensi serat dan nilai turunan dimensi dari beberapa macam bambu (yang diklasifikasikan ke dalam 4 macam pola ) diolah dengan analisa keragaman berfola acak lengkap satu faktor (Lampiran 2) dilanjutkan uji Tuckey (Lampiran 3), dan sebagai faktor adalah pola penyusunan ikatan pembuluh sebanyak 4 buah. Hasil olahan tersebut lalu dibandingkan dengan mengacu kepada standar persyaratan kayu sebagai bahan baku pulp dan kertas (Lampiran 1). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengukuran Dimensi Serabut dan Nilai Turunannya Pengukuran dimensi serabut bambu pada berbagai pola memberikan hasil seperti yang tercantum pada Tabel 1. Dalam hal ini pengamatan difokuskan pada pola bambu (tidak kepada jenis bambu), sehingga nilai dimensi serat dan turunannya juga dihitung berdasarkan pola. Untuk lebih jelas, hasil yang diperoleh seperti tercantum pada Tabel 1 dan 2. Terlihat bahwa panjang serabut (serat) bambu pada pola 1 memiliki nilai yang terendah sedangkan panjang serabut cenderung meningkat dengan urutan pola ke 2, 3, hingga ke 4 dimana pada pola 4 memiliki nilai yang tertinggi. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil analisa keragaman dan uji Tuckey (Lampiran 3). Dalam hal diameter rongga (lumen) serabut bambu ternyata nilainya tertinggi pada pola 1 dan cenderung menurun dengan urutan pola ke 3, 4 hingga ke dua (terendah). Mengenai diameter serabut terlihat nilai diameter yang tertinggi dimiliki oleh pola 4 dan berturut-turut menurun nilainya mulai dari pola 3, pola 1 hingga pola 2. Demikian pula ketebalan dinding sel menunjukkan kecenderungan yang tidak teratur dengan dinding serabut yang paling tebal dimiliki oleh bambu dengan pola 4 dan berturut-turut cenderung menurun dengan urutan pola ke 3, pola 2 hingga ke pola 1 (terendah).
290
Kemungkinan Pemanfaatan Beberapa Jenis Bambu Tertentu, Berdasarkan ..... (Nani Nuriyatin & Kurnia Sofyan)
Tabel 1. Rerata dimensi serat bambu (mikron) pada pola 1 hingga 4 dari 8 jenis bambuu Table 1. Average fibre dimension of bamboo fibre (micron) at pattern 1 until 4 overall covering 8 bamboo species Jenis bambu (Bamboo species)
Pola*) (Pattern)
Panjang serabut (Fiber length) L
Diameter serabut (Fibre diameter) D
Tebal dinding (Fibre wall) w
Lebar rongga (Lumen diameter) l
Ah dan Aj (t) Mb dan Cp (p, t, u)
1 2
2373.626 2571.403
17.241 15.776
5.741 6.171
5.759 3.434
Dg (p, t, u) , Ds (p, t, u) , Da (t, u), Ga (u)
3
2841.406
17.350
6.752
3.845
Da (p), Ga(t, u)
4
3734.514
18.422
7.317
3.787
Keterangan (Remarks): *) Terkait dengan pola ikatan pembuluh pada bambu (Related to the pattern of vascular bundle of bamboo in bamboo stem/culm; Pola (patterns) 1, 2, 3, 4 berarti pada bagian batang bambu terdapat berturut-turut berkas pembuluh sebanyak 1,2,3,4 (imply there are consecutively vascular bundles 1, 2, 3, and 4 in the portion of bamboo culm). Ah = Arundinaria hundsii ; Aj = Arundinaria javanica ; Mb = Melocanna baccifera ; Cp = Cephalostachyum pergracile ; Dg = Dendrocalamus giganteus ; Ds = Dendrocalamus strictus ; Da = Dendrocalamus asper; Ga = Gigantochloa apus ; p = bagian pangkal (lower portion) ; t = bagian tengah (middle portion) ; u = bagian ujung (upper portion), masing-masing bagian tersebut diambil dari bagian tengah ruas bambu (each of these portion taken approximately halfway axially between internodes at bamboo stem/culm) ; (p, t, u), (t,u), (t), (p), (u) masing-masing mencakup berturut-turut / Each covers -6 (p, t, u) portions, (t, u) portions, t portion, p portion, and u portion, respectively; mikron (micron) = 10 m (meter). Tabel 2. Nilai turunan dimensi serat 8 jenis bambu dirinci menurut 4 macam pola Table 2. Derived fiber dimension values of 8 bamboo species, scrutinized into 4 patterns Pola (Pattern)
Daya tenun (Felting power) L/D
1
140.294
Fleksibilitas serat ( Fiber flexibility) L/D 0.329
2
162.222
3 4
Koef. kekakuan (Rigidity coeff) w/D
Nisbah Runkel (Runkel ratio) 2w/l
Nisbah Muhlsteph (Muhlstep ratio) [100 [(D2-l2)/D2]
0.336
2.125
88.939
0.217
0.391
3.788
95.093
168.435
0.224
0.388
4.023
94.416
205.366
0.209
0.396
4.245
95.237
291
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 287-300
Mengulas satu persatu terhadap nilai dimensi dan turunannya antara lain yang pertama adalah panjang serabut. Panjang serabut yang lebih dari 2000 mikron berindikasi kalau diolah menjadi pulp dan kertas memiliki keteguhan sobek kertas yang tinggi yang artinya semakin panjang serabut maka keteguhan sobeknyapun akan semakin tinggi (Haygreen dan Bowyer 1996). Demikian pula daya tenunnya akan memiliki mutu yang baik karena jalinan antar seratnya akan sangat baik pada proses pembentukan kertas. Kekurangan yang dimiliki oleh bambu sebagai bahan dasar pulp dan kertas dalam penelitian ini adalah nilai fleksibiltas yang rendah (di bawah 0.5), koefisien kekakuan yang tinggi (>0.15), nisbah Runkel yang bernilai tinggi (lebih dari 1) dan nisbah Muhlstep yang juga bernilai tinggi pula (lebih dari 80). Dengan nilai fleksibilitas yang rendah maka kertas yang dihasilkan tidak plastis demikian pula dengan koefisien kekakuan yang tinggi maka kertas yang dihasilkan akan kaku, dan serat sukar menggepeng pada saat pembentukan lembaran kertas. Apabila melihat hasil olahan data (Lampiran 2) terutama panjang serabut untuk berbagai pola ikatan pembuluh maka terlihat bahwa panjang serabut pola 1 sama dengan pola 2 dan 3 namun berbeda dengan pola 4 . Melihat pada nilai panjang serabut yang dimiliki oleh pola 1, 2 dan 3 dengan 4 ternyata panjang serabut yang dimiliki pola 4 mempunyai nilai yang paling panjang artinya bahwa bambu yang memiliki pola 4 bila diolah menjadi pulp dan kertas berindikasi mempunyai kekuatan sobek yang paling tinggi dibandingkan dengan pola-pola lain. Panjang serabut merupakan salah satu faktor untuk mengontrol sifat-sifat kekuatan kertas karena terkait dengan kemampuan mengikat dan jalin-menjalin diantara serabut (Wangaard dan Woodson 1973) dalam Mohmod et al. (1972). Lapierre (2006) juga menegaskan bahwa panjang serabut berpengaruh positif terhadap kekuatan kertas. Mengamati nilai daya tenun untuk ke-4 pola ikatan pembuluh pada bambu ternyata memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 2). Melalui uji Tukey (Lampiran 3) terlihat bahwa nilai daya tenun untuk pola 1, 2 dan 3 berbeda dibandingkan dengan daya tenun pada pola 4. Melihat nilai daya tenun untuk seluruh pola terdapat kecenderungan nilai daya tenun yang meningkat dari mulai dari pola 1 sampai pola 4. Hal ini berarti bahwa kertas yang akan dihasilkan dari bambu dengan pola 4 cenderung akan memberikan susunan serat kertas yang lebih rapat sehingga kekuatan sobeknya lebih tinggi. Semakin tinggi nilai daya tenun maka kertas akan memiliki kekuatan lentur yang lebih baik yang mengindikasikan berpengaruh positif terhadap keteguhan lipat kertas tersebut. Nilai fleksibilitas, berdasar analisa keragaman nilai tersebut dipengaruhi secara nyata (P<0.05) menurut pola ikatan pembuluh (Lampiran 2). Melalui uji nilai tengah ternyata nilai fleksibilitas pola 1 berbeda dengan pola-pola lain. Dengan uji Tukey (Lampiran 3) terlihat bahwa nilai fleksibilitas pola 2 sama dengan nilai fleksibilitas pola 3 dan 4. Fleksibilitas merupakan nisbah diameter lumen dengan diameter serabut, nilai fleksibilitas yang semakin besar maka semakin baik kualitas serabut. Pada pola 1 terlihat bahwa nilai fleksibilitas paling tinggi yang juga berarti bahwa diameter lumennya paling lebar sehingga mudah untuk menggepeng dan kertas yang dihasilkan memiliki kekuatan panjang putus yang baik walaupun dalam hal ini keseluruhan nilai fleksibilitas masih jauh di bawah persyaratan kelas III. Menurut Xu et al. (2005) dengan nilai fleksibilitas yang tinggi diharapkan akan mempunyai efek positif pada kekuatan tarik dan sobek. Sementara hasil analisa keragaman untuk nilai koefisien kekakuan menunjukkan bahwa nilai koefisien kekakuan untuk berbagai pola menunjukkan adanya perbedaan (Lampiran 2). Melihat lebih jauh pada uji Tuckey (Lampiran 3) terlihat bahwa koefisien kekakuan pola 1 292
Kemungkinan Pemanfaatan Beberapa Jenis Bambu Tertentu, Berdasarkan ..... (Nani Nuriyatin & Kurnia Sofyan)
berbeda dengan nilai kekakuan pada pola-pola lain namun nilai koefisien kekakuan pola 2 sama dengan nilai koefisien kekakuan pada pola 3 dan 4. Melalui uji Tuckey terbaca bahwa nilai koefisien kekakuan untuk pola 1 paling rendah dibanding dengan nilai koefisien kekakuan untuk pola lain yang berarti bahwa kualitas kertas yang akan diperoleh dari bambu yang mempunyai pola 1 relatif cenderung memiliki kerapatan yang lebih rendah sehingga lembaran kertas yang dihasilkan lebih lentur, ketahanan lipatnya lebih baik dan cenderung memiliki ketahanan tarik yang lebih baik. Berdasarkan hasil analisa keragaman pada Lampiran 2 ternyata pola ikatan pembuluh pada bambu tidak berpengaruh nyata terhadap nilai nisbah Runkel walaupun dalam hal ini terdapat kecenderungan bahwa nilai nisbah Runkel semakin meningkat nilainya dari mulai pola ikatan pembuluh 1 sampai ke pola 4. Diantara ke-4 pola yang ada maka nisbah runkel pola 1 memiliki nilai yang terendah artinya dibandingkan pola-pola lain maka nisbah Runkel pola 1 adalah yang terbaik. Hal ini berarti bahwa serat bambu pada pola 1 memiliki dinding sel yang paling tipis dengan diameter lumen yang paling besar. Dengan nisbah Runkel yang paling rendah maka kertas yang dibentuk dari bambu yang memiliki pola 1 akan bersifat relatif lebih baik dalam kekuatan tarik dan lipat dibandingkan pola-pola lain. Bila ditinjau dari analisa keragaman ternyata pola ikatan pembuluh berpengaruh nyata terhadap nilai nisbah Muhlstep (P<0.05) (Lampiran 2). Berdasar uji Tuckey (Lampiran 3) untuk melihat lebih jauh posisi nisbah Muhlstep pada pola ikatan pembuluh ternyata nisbah pada pola 1 berbeda nyata dengan nilai nisbah muhlstep pada pola ikatan pembuluh 2, 3 dan 4. Nilai-nilai nisbah Muhlstep pada bambu dengan pola ikatan pembuluh 2 sama dengan nilai nisbah Muhlstep pola 3 dan 4. Nisbah Muhlstep sebagaimana diuraikan sebelumnya merupakan nisbah antara luas penampang tebal dinding serabut dengan luas penampang lintang serabut. Semakin kecil nilai nisbah muhlstep berarti semakin besar diameter lumen sehingga sel semakin mudah menggepeng dan mempunyai daya lipat yang tinggi (tidak kaku). Pengamatan terhadap keseluruhan pola, nilai nisbah Muhlstep pada pola 1 paling kecil sehingga nilai nisbah Muhlstep pada pola 1 paling baik dibandingkan dengan pola-pola lain. Dengan nilai nisbah Muhlstep yang semakin kecil berarti pola 1 mempunyai diameter lumen yang besar. Memang diantara pola-pola lain (Tabel 1), diameter lumen pola 1 paling besar dengan dinding yang juga paling tipis sehingga sel akan dengan mudah pipih serta akan memiliki ketahanan tarik dan retak yang baik. B. Peluang Bambu pada Berbagai Pola sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas Hasil penelaahan dimensi serat dan nilai turunan serat bambu dari 4 macam pola yang dibandingkan standar (Lampiran 1) disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa semua pola memiliki panjang serabut kelas 1 demikian pula daya tenunnya sementara untuk nilai dimensi turunan lainnya yaitu fleksibilitas, koefisien kekakuan, nisbah Runkel dan nisbah Muhlstep memiliki kelas kualitas III (dengan catatan bahwa pengelompokan ke dalam kelas III untuk nilai-nilai yang berada dan di bawah kelas III). Kalau setiap nilai turunan dikonversi ke dalam bentuk nilai maka sebenarnya seluruh pola pada bambu termasuk dalam kategori kelas II (bernilai 300) yang artinya kalau semua bahan tersebut dijadikan lembaran pulp (kertas) maka daya jalin serat cukup baik tetapi serat masih agak kaku sehingga sukar menggepeng dan kontak antar serat menjadi kurang efektif. Kesesuaian indikasi tersebut perlu diuji lebih lanjut melalui pengolahannya menjadi pulp dan kertas, terutama terkait dengan porsi kerapatan ikatan pembuluh. Berdasarkan hasil 293
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 287-300
penelitian Nuriyatin (2011) tentang sifat anatomi pada 8 jenis bambu, ternyata kerapatan ikatan pembuluh berturut-turut yang tertinggi ke yang terendah dimiliki oleh pola 1, pola 2, pola 4 dan pola 3. Tabel 3. Hasil penetapan nilai serat bambu berdasar dimensi serat dan nilai turunannya 8 jenis bambu yang dikelompokan menjadi 4 macam pola mengacu kepada standar kriteria*) Table 3. Results of determination of values for bamboo fibre based on fiber dimensions and their derived values of 8 bamboos species further grouped into 4 patterns by referring to the criteria standard*). Dimensi serat dan nilai turunannya (Fibre dimensions and their derivated values) Panjang serat (Fibre length), µ Daya tenun (Felting power) Fleksibilitas (Flexibility) Koefisien kekakuan (Rigidity coefficient) Nisbah runkel (Runkel ratio) Nisbah muhlstep (Muhlstep ratio) Total nilai (Total value)
Pola ikatan pembuluh pada batang bambu (Patterns of vascular bundle arrangement in bamboo stem) Pola (Pattern) 1 Nilai Y ** (value) >2000 100
Pola (Pattern) 2 Nilai Y** (value) >2000 100
Pola (Pattern) 3 Nilai Y** (value) >2000 100
Pola (Pattern) 4 Nilai Y** (value) >2000 100
>90
100
>90
100
>90
100
>90
100
<0.5
25
<0.5
25
<0.5
25
<0.5
25
>0.15
25
>0.15
25
>0.15
25
>0.15
25
>1
25
>1
25
>1
25
>1
25
>80
25
>80
25
>80
25
>80
25
300
300
300
300
Keterangan (Remarks): *) Lihat Lampiran 1 (Refer to Appendix 1), µ = Mikron/Micron **) Angka rata-rata (Mean figure)
Hal ini terkait dengan porsi serat yang cenderung semakin menurun sedangkan jaringan parenkim semakin banyak. Meningkatnya jaringan parenkim akan meningkatkan konsumsi bahan kimia pemasak selama pengolahan pulp sehingga bila kondisi pemasakan sama akan menurunkan efektifitas bahan kimia dalam pemisahan serat (delignifikasi) menjadi pulp. Sebaliknya dengan porsi serat yang menurun maka pada kondisi pemasakan yang sama akan memungkinkan banyak serat terdegradasi sehingga rendemen pulp dan sifat kekuatan kertas menurun. Dengan demikian maka dugaan-dugaan tersebut perlu ditelaah kebenarannya melalui uji pengolahan pulp dan kertas.
294
Kemungkinan Pemanfaatan Beberapa Jenis Bambu Tertentu, Berdasarkan ..... (Nani Nuriyatin & Kurnia Sofyan)
Hasil penelitian Fatriasari dan Hermiyati (2008) terhadap 6 jenis bambu sebagai bahan baku pulp dan kertas memberikan hasil dimana 83% bambu memiliki daya tenun kualitas I dengan sisanya termasuk kualitas II, sementara nilai turunan lainnya termasuk ke dalam kelas III. Hasil yang sama juga diungkapkan oleh Nuriyatin (2000) yang melakukan penelitian terhadap 5 jenis bambu namun dengan nilai daya tenun semuanya termasuk ke dalam klas I. Di dalam pelaksanaan di lapangan pada umumnya bahan baku pembuatan pulp dan kertas merupakan perpaduan antara berbagai macam ukuran serabut sehingga diharapkan akan diperoleh hasil yang lebih solid dalam pembentukan lembaran (Casey 1980). IV. KESIMPULAN Penggunaan bambu sebanyak 8 jenis sebagai bahan baku pulp dan kertas yang terwakili mulai dari bambu dengan pola ikatan pembuluh 1 sampai 4 memberikan hasil yang sama, yaitu setiap pola menghasilkan daya tenun kelas I sementara untuk nilai fleksibilitas, koefisien kekakuan, nisbah runkel dan nisbah muhlstep semuanya termasuk ke dalam kelas III. Pengamatan lebih mendalam terhadap karakter pola ikatan pembuluh terkait dengan perannya sebagai bahan baku bambu terlihat bahwa bambu pada pola 1 mempunyai ciri tertentu yaitu memiliki fleksibilitas yang paling tinggi dibandingkan dengan pola-pola lain juga mempunyai nilai koefisien kekakuan serta nisbah Runkel yang paling rendah dibandingkan dengan pola-pola lain. Pola ikatan pembuluh 4 mempunyai ciri yaitu memiliki panjang serabut dan daya tenun yang paling tinggi dibandingkan dengan pola-pola lain. Berdasarkan telaahan dimensi serat dan turunannya dibandingkan dengan persyaratan standar maka keseluruhan serat bambu dari pola 1 hingga 4 termasuk katagori kelas II (nilai 300). Dengan demikian berindikasi cukup baik untuk digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Selanjutnya untuk mengetahui kebenaran indikasi tersebut perlu penelaahan lebih lanjut melalui pengolahan bambu (mulai pola ke 1 hingga ke 4) menjadi pulp dan kertas. DAFTAR PUSTAKA Anonim 1976. Penentuan dimensi serat dan nilai turunannya pada kayu dan bahan berserat lingo-selulosa menurut cara LPHH (Lembaga Penelitian Hasil Hutan). Laporan LPHH No. 75. Bogor. Casey JP. 1980. Pulp and Paper Vol. I. New York: Interscience Publishers. Fatriasari W, Hermiati E. 2008. Analisis morfologi serat dan sifat fisis-kimia pada enam jenis bambu sebagai bahan baku pulp dan kertas. J Ilm Teknol Has Hut 1(2): 67-72. Grosser D, Liese W. 1971. On the anatomy of Asian bamboos, with special reference to their vascular bundles. W Sci Technol V 5: 290-312. Haygreen JG, Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Lapierre L, Bouchard J, Berry R. 2006. On the relation between fibre length, cellulose chain length and pulp viscosity of a softwood sulfite pulp. Hoizforschung, V 60: 372-377. 295
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 287-300
Lybeer B, Van Acker J, Goetghebeur P. 2006. Variability in fibre and parenchyma cell walls of temperate and tropical bamboo culms of different ages. Springer-Verlag Mohmod AL, Amin A, Kasim J, Jusuh MZ. 1972. Effect of anatomical characteristics on the physical and mechanical properties of Bambusa blumeana. J Tropc For Sci 6(2): 159170. Nuriyatin N. 2000. Studi analisa sifat-sifat dasar bambu pada beberapa tujuan penggunaan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nuriyatin N. 2011. Sifat anatomi 8 jenis bambu [bagian draft disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pasaribu RA, Silitonga T. 1974. Pulp campuran kayu daun lebar dan bambu. Laporan (report) no 35, Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Bogor. Patt R, Kordsachia O, Fehr J. 2005. European hardwoods versus Eucalyptus globules as a raw material for pulping. Rowell RM, Young RA, Rowell JK. 1997. Paper and Composites from Agro-based Resources. New York: Lewis Publishers. Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique . Iowa: The Iowa State College Press. Stephenson JN. 19952 Pulp and Paper Manufacture, Vol. I & II. Mc Graw-Hill Book Co, Inc. New York-Toronto-London. Xu F, Zhong XC, Sun RC, Lu Q, Jones GL. 2005. Chemical composition, fibre morphology, and pulping of P bolleana Lauche.
296
Kemungkinan Pemanfaatan Beberapa Jenis Bambu Tertentu, Berdasarkan ..... (Nani Nuriyatin & Kurnia Sofyan)
Lampiran 1. Kriteria serabut kayu Indonesia dan bahan berlignoselulosa lain untuk bahan baku pulp dan kertas Appendix 1. Indonesia fiber wood criteria and other ligno-cellulose as raw material for pulp and paper
No
Kelas (Class) I
Sifat serat (Fiber characteristics)
Kelas (Class) II
Kelas (Class) III
Syarat
Nilai
Syarat
Nilai
Syarat
Nilai
1
Panjang (Fiber length), µ
> 2000
100
1000- 2000
50
< 1000
25
2
Perbandingan Runkel (Runkel ratio)
< 0.25
100
0.25 - 0.5
50
0.5 – 1
25
3
Daya Tenun (Felting power)
> 90
100
50 - 90
50
< 50
25
4
Perbandingan Muhlsteph (Muhlstep ratio)
< 30
100
30 - 60
50
60 – 80
25
5
Perbandingan Fleksibilitas (Flexibility ratio)
> 0.80
100
0.5 - 0.8
50
< 0.5
25
6
Koefisien kekakuan (Rigidity coefficient)
< 0.10
100
0.10 - 0.15
50
> 0.15
25
Selang (Range)
450-600
225-449
< 225
Sumber /Source : Anonim (1976)
297
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 287-300
Lampiran 2. Analisis sidik ragam dimensi serabut bambu dan nilai turunannya Appendix 2. Analysis of variances on fiber dimensions of bamboo and their derived values a. Panjang serabut versus pola ikatan pembuluh bamboo (Fiber length against patterns of bamboo vascular bundle) Sumber keragaman (source of variance) Total Pola (Pattern) Error Koefisien keragaman/ Coefficient of variatin (%)
Db (df) 57 3 54 -
Jumlah kuadrat (sum of squares) 21544072 8798305 12745766
Kuadrat tengah (mean square) 2932768 236033
F-hitung (calculated)
12,43
Peluang (P)
0,000*
40,84
*berbeda nyata (Significantty) b. Daya tenun versus pola ikatan pembuluh bambu (Felting power against patterns of bamboo vascular bundle) Sumber keragaman (Source of variance) Total Pola (Pattern) Error Koefisien keragaman/ Coefficient of variatin (%)
Db (df) 57 3 54 -
Jumlah kuadrat (Sum of squares) 76418 15666 60752
Kuadrat tengah (Mean square) 5222 1125
F-hitung (Calculated)
4,64
Peluang (P)
0,006*
20,50
*berbeda nyata (significantty) c. Fleksibilitas versus pola ikatan pembuluh bambu (Flexibility ratio against patterns of bamboo vascular bundle) Sumber keragaman (Source of variance)
Db (df)
Total Pola (Pattern) Error
57 3 54
Koefisien keragaman/ Coefficient of variatin (%)
-
*berbeda nyata (Significantty)
298
Jumlah kuadrat (Sum of squares) 0,28806 0,05641 0,23166
Kuadrat tengah (Mean square) 0.01880 0.00429
F-hitung (Calculated)
4,38 19,58
Peluang (P)
0,008*
Kemungkinan Pemanfaatan Beberapa Jenis Bambu Tertentu, Berdasarkan ..... (Nani Nuriyatin & Kurnia Sofyan)
d. Koefisien kekakuan versus pola ikatan pembuluh bambu (Rigidity coefficient agains patterns of bamboo vascular bundle) Sumber keragaman (Source of variance ) Total Pola (Pattern) Error Koefisien keragaman/ Coefficient of variatin (%)
Db (df) 57 3 54 -
Jumlah kuadrat (Sum of squares) 76418 15666 60752
Kuadrat tengah (Mean square) 5222 1125
F-hitung (Calculated)
4,38
Peluang (P)
0,006*
19,58
*berbeda nyata (Significantty)
e. Perbandingan runkel versus pola ikatan pembuluh bambu (Runkel ratio agains patterns of bamboo vascular bundle)
Sumber keragaman (source of variance) Total Pola (Pattern) Error Koefisien keragaman/ Coefficient of variatin (%)
Db (df) 57 3 54 -
Jumlah kuadrat (sum of squares) 132,91 16,96 115,96
Kuadrat tengah (mean square) 5,65 2,15
F-hitung (calculated)
2,63
Peluang (P)
0,059
12,76
f. Nisbah muhlstep versus pola ikatan pembuluh bambu (Muhlstep ratio against patterns of bamboo vascular bundle) Db Sumber keragaman (source of variance) Total Pola (Pattern) Error Koefisien keragaman/ Coefficient of variatin (%)
(df ) 57 3 54 -
Jumlah kuadrat (sum of squares) 745,7 162,9 582,7
Kuadrat tengah (mean square) 54,3 10,8
F-hitung (calculated)
5,03
Peluang (P)
0,004*
20,85
*berbeda nyata (Significantly)
299
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 287-300
Lampiran 3. Uji beda jarak beda nyata rata-rata nilai dimensi serat bambu dan nilai turunannya (Prosedur Tukey) Appendix 3. Significant different range test on means of fiber dimensions and their derived value for bamboo (Tukey procedure) No 1
Sifat (Properties ) Panjang serabut
Perlakuan (Treatment ) P ola
(Fiber length )
(Pattern)
2
Daya tenun (Felting power )
P ola (Pattern)
3
Fleksibilitas (Flexibility )
P ola (Pattern)
4
Koefisien kekakuan (rigidity coefficient )
5
Perbandingan runkel (Runkel ratio )
6
Nisbah muhlstep (Muhlstep ratio)
Nilai rata -rata yang dibandingkan (Comparison of mean value s) Pola 1
Pola 2
Pola 3
Pola 4
P ola (Pattern)
P ola (Pattern)
P ola (Pattern)
Keterangan (Remark): Nilai rat-rata yang diberi garis bawah tidak berbedanyata( Mean value with underline are from each other)
300
KUALITAS PAPAN PARTIKEL KAYU KARET (Hevea brasiliensis Muell. Arg) DAN BAMBU TALI (Gigantochloa apus Kurz) DENGAN PEREKAT LIKUIDA KAYU (Quality of Particle Board of Rubber Wood (Hevea brasiliensis Muell.Arg) and Tali Bamboo (Gigantochloa apus Kurz) with Wood LiquidsAdhesive) Oleh/By :
Ary Widiyanto e-mail:
[email protected] Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl Raya Ciamis-Banjar Km 4, Ciamis. Diterima 9 Juni 2011, disetujui 17 November 2011
ABSTRACT
As an effort to utilize rubber wood waste and the abundant resource of tali bamboo a study of producing particle board using a mix of the two materials was conducted. In addition, in order to find an alternative to synthetic adhesive, natural adhesive of wood liquid was used. This research was conducted in a 3 x 3 factorial analisys in acomplete randomized block design with two replicates. The factors studied were the type of particles (rubber, bamboo rope and mixtures with a ratio of 50: 50 by oven dry weight) and levels of adhesive (10%, 15% and 20%. Results show that wood liquids adhesive is characterised with pH < 1, viscosity 2,03 poise, solid content 91%, gelatin time (90) 9 min 48 sec, spesific gravity 1,153 and having black colour. The characteristics do not fulfil requirement of SNI 06-0121-1987 for 3 phenol adhesive. The producced particle board has a density of 0,83 g/cm , moisture content 6,9%, thickness swelling 2 2 2 19%, water adsorbtion 28%, MOE 10540 kgf/cm , MOR 258 kgf/cm , and Internal Bond (IB) 2,2 kgf/cm . The characteristics also do not fulfill the requirement ofSNI 03-2105-1996for medium density particleboard. Further research is still needed to meet the SNI requirements. Keyword : Adhesive, wood liquids, quality, particle board ABSTRAK
Pemakaian perekat alami likuida kayu (wood liquids adhesive) dengan campuran kayu karet dan bambu tali dimaksudkan sebagai upaya pemanfaatan limbah kayu karet dan bambu tali, di samping sebagai substitusi perekat sintetis. Dalam penelitian ini digunakan analisis faktorial 3 x 3 dalam rancangan acak lengkap dengan dua kali ulangan. Faktor-faktor yang diteliti adalah jenis partikel (karet, bambu tali dan campurannya dengan perbandingan 50 : 50 berdasarkan berat kering tanur) dan kadar perekat (10%, 15% dan 20%). Hasil penelitian menunjukan bahwa perekat likuida kayu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pH kurang dari 1, viskositas sebesar 2,03 poise, kadar padat perekat 91%, waktu gelatinasi (90) 9 menit 48 detik, berat jenis 1,153 dan warna perekat hitam. Berdasarkan ciri tersebut, perekat likuida kayu belum memenuhi syarat SNI 06-0121-1987 untuk perekat phenol formaldehida. 3 Papan partikel campuran kayu karet dan bambu tali memiliki kerapatan 0,83 g/cm , kadar air 6,9%, 2 2 pengembangan tebal 19%, daya serap air 28%, MOE 10540 kgf/cm , MOR 258 kgf/cm , dan Internal
301
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 301-311
Bond (IB) 2,2 kgf/cm2. Berdasarkan ciri tersebut, papan partikel tersebut belum memenuhi syarat SNI 03-2105-1996 untuk papan partikel berkerapatan sedang (medium density particle board). Kata kunci : Perekat, likuida kayu, kualitas, papan partikel
I. PENDAHULUAN Ketersediaan kayu, khususnya dari hutan alam sebagai bahan baku industri pembuatan papan partikel semakin berkurang. Hal ini diakibatkan berbagai macam aktivitas manusia yang menyebabkan berkurangnya stok kayu, diantaranya alih guna lahan, illegal logging, kebakaran dan pembakaran lahan dan sebagainya. Untuk itu, harus dicari bahan baku alternatif, yang memeliki ketersediaan cukup banyak untuk menjamin kelangsungan ketersediaan bahan baku. Pertimbangan pemakaian kayu karet dan bambu tali (dan campurannya) sebagai bahan baku papan partikel mengingat sifat-sifat bahan baku ini yang sudah dikenal, dengan tingkat konsumsi yang cukup tinggi. Meskipun demikian, tidak perlu dikhawatirkan akan terjadinya kelangkaan terhadap kedua bahan baku tersebut. Bambu misalnya, luasnya diperkirakan mencapai lima juta hektar (Nasendi, 1995) serta masih adanya keseimbangan antara pertumbuhan dan pemakaiannya, meskipun tingkat konsumsi yang cukup tinggi. Sedangkan kayu karet merupakan salah satu bahan baku dengan karakteristik yang cukup unik, karena memiliki tingkat keawetan yang rendah, meskipun memiliki kekuatan yang cukup tinggi (kelas kuat II-III). Pembuatan papan partikel yang tidak mensyaratkan bentuk, ukuran, dan umur pohon memberi peluang ketersediaan bahan baku. Misalnya untuk kayu karet yang telah melewati masa sadap (sampai dengan umur 30 tahun) atau bisa juga untuk memanfaatkan limbah dari industri yang memakai kayu karet sebagai bahan baku industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas papan partikel kayu karet (Hevea brasiliensis Muell.Arg) dan bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) dengan perekat likuida kayu(wood liquids). Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi tentang kualitas perekat likuida kayu dari serbuk kayu karet dan bambu tali serta sifat fisis dan mekanis papan partikel kayu karet (Hevea brasiliensis Muell.Arg) dan bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) dengan perekat likuida kayu sehingga bisa diketahui kelayakan papan partikel tersebut untuk produk atau proses pengerjaan selanjutnya dan diharapkan bisa mengurangi biaya pembuatan papan partikel dan mengurangi pencemaran akibat emisi formaldehida. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah partikel kayu karet, bambu tali, epoxy, katalis NH4Cl 1%. serbuk kayu karet dan bambu tali berukuran 40 mesh, larutan fenol teknis, larutan H2SO4 98%, larutan NaOH 40%, formalin dan air destilata. Sedangkan peralatan yang digunakan meliputi parang, gergaji, hammer mill, timbangan, karung, glue sprayer, alat kempa, circular saw, gelas piala. Gelas ukur, piknometer, pengaduk, cawan petri, botol, viscotester, indikator pH, kantong plastik, karet, wadah, saringan, alat pencetak, kaliper, oven, alat uji Universal Testing Machine dan alat tulis. 302
Kualitas Papan Partikel Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan ..... (Ary Widiyanto)
B. Metode Penelitian 1. Rancangan percobaan Dalam penelitian ini digunakan analisis faktorial 3 x 3 dalam rancangan acak lengkap dengan dua kali ulangan. Faktor-faktor yang diteliti adalah jenis partikel (karet, bambu tali dan campurannya dengan perbandingan 50 : 50 berdasarkan berat kering tanur) dan kadar perekat (10%, 15% dan 20%). Model statistika rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut : Yijk= m + ai + bj + (ab)ij + Eijk dimana : Yijk = Nilai pengamatan pada ulangan ke-k yang disebabkan oleh taraf ke-i faktor dan taraf ke-j faktor = Nilai rata-rata sebenarnya m ai = Pengaruh jenis partikel pada taraf ke- i = Pengaruh kadar perekat pada taraf ke- j bj (ab)ij = Pengaruh interaksi antara faktor pada taraf ke- i dan faktor pada taraf ke j Eijk = Galat (kesalahan percobaan) Untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan terhadap sifat fisis dan mekanis papan partikel maka dilakukan analisis keragaman (ANOVA), selanjutnya F-hitung yang diperoleh dari ANOVA tersebut dibandingkan dengan F-tabel pada selang kepercayaan 95% dan 99%. 2. Persiapan bahan Partikel yang digunakan sebagai bahan baku dalam penelitian ini bersumber dari kayu bulat dan bambu. Partikel kayu karet didapatkan dari PT Paparti Pertama, Cibadak, Sukabumi, sedangkan bambu tali didapatkan dari kebun rakyat di sekitar desa Babakan. Kulit bambu tali tersebut dibuang, lalu dipotong dan dibuat serpihan. Lalu serpihan itu dimasukkan ke dalam hammer mill untuk mendapatkan partikel. Setelah itu dikering udarakan, lalu dimasukkan ke dalam oven hingga kadar airnya berkisar antara 2-5%. Selanjutnya, partikel-partikel tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diikat dengan karet, agar tidak terjadi peningkatan kadar air (Tambunan, 2000). Untuk membuat satu papan partikel berukuran 25 cm x 25 cm x l cm diperlukan ± 0,8 kg berat kering oven (BKO) bahan baku. Sehingga untuk membuat 18 papan partikel diperlukan ± 14,4 BKO bahan baku yang terdiri atas 7,2 kg BKO kayu karet dan 7,2 kg BKO bambu tali. 3. Pembuatan perekat likuida campuran kayu karet dan bambu tali Pembuatan perekat likuida kayu ini mengacu pada Ruhendi dkk (2000). Serbuk kayu karet dan bambu tali berukuran 40 mesh dengan kadar sekitar 6% disiapkan untuk modifikasi dengan cara mencampurkan serbuk dengan fenol teknis dengan perbandingan 1 : 5 berdasarkan berat serta penambahan H2S04 98% sebanyak 5% dari jumlah fenol. Campuran kemudian diaduk hingga merata dan dipanaskan pada suhu 1000C selama 30 menit atau sampai campuran telah larut (bercampur) menjadi suatu larutan yang homogen. Larutan tersebut kemudian didinginkan dan dipersiapkan untuk dikarakterisasi sebagai bahan utama perekat papan partikel (panil). Sebelum diaplikasikan, tambahkan NaOH 40% sampai pH perekat meningkat menjadi 10-11. Lalu campurkan formalin dengan 303
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 301-311
perbandingan molar F/P : 2,1. Selanjutnya, perekat yang sudah jadi siap diaplikasikan sebagai perekat papan partikel. 4. Pembuatan papan partikel dan penyiapan contoh uji Partikel kayu dimasukkan ke dalam glue sprayer, lalu disemprotkan perekat likuida campuran kayu karet dan bambu tali yang dicampur dengan katalis NH4C1 1%. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam alat pencetak dan dilakukan pengempaan panas 2 0 pada tekanan 23 kg/cm dan suhu 160 C selama 10 menit dengan kecepatan kempa 2-12 s/mm. Ukuran papan yang dibuat adalah 25 cm x 25 cm x 1 cm sebanyak 18 buah untuk 3 jenis partikel, 3 kadar perekat dan 2 kali ulangan, dengan target kerapatan 0,7 g/cm3, kemudian dilakukan pengkondisian selama ±10 hari. Skema pembuatan papan partikel secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1. Kayu Karet + Bambu Tali (Rubber wood +Tali Bamboo)
Chipping & Hammer Milling Partikel Kayu Karet + Bambu Tali (KA 7 -9%) (Rubber wood +Tali Bamboo Particle) (MC 7-9%)
Katalis (Catalist)
Perekat Likuida Kayu (wood liquids adhesive) Pencampuran (Mixing)
Pembentukan lembaran (Mat forming)
Pengempaan (Pressing)
23 kg/cm 3, 160 0, 10 menit/minutes Pengkondisian (Conditioning)
Penyiapan Contoh Uji (Sample preparation)
2 minggu/ weeks
Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis (Physical and mechanical testing )
Gambar 1. Skema pembuatan papan partikel Figure 1. Particle board making scheme
304
Kualitas Papan Partikel Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan ..... (Ary Widiyanto)
Setelah pengkondisian, contoh uji diambil dari panil dengan cara seperti pada gambar di bawah ini : 25 cm C A D
25 cm
Keterangan/Remarks : A = Kerapatan dan Kadar air (Density and moisture content) (10 cm x 10 cm x 1 cm) B = Modulus Elastisitas dan Modulus Patah (Modulus of elasticity and Modulus of rupture) (20 cm x 5 cm x 1 cm) C = Pengembangan tebal dan penyerapan air (Thickness swelling and water apsorbtion ) (5 cm x 5 cm x l cm) D = Keteguhan rekat internal (Internal bond) (5 cm x 5 cm x 1 cm)
B
Gambar 2. Pembuatan contoh uji Figure 2. Sample extracting 5. Pengujian perekat Kualitas perekat yang diukur adalah kualitas perekat menurut Houwink dan Salomon (1967) dalam Ruhendi dkk (2000) yang terdiri atas berat jenis, viskositas perekat, kadar padat perekat, pH dan waktu gelatinasi. 6. Pengujian papan partikel Pengujian dilakukan untuk mendapatkan data sifat fisis dan mekanis papan partikel tersebut. Adapun sifat fisis dan mekanis yang diuji meliputi : kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, daya serap air, modulus elastisitas, modulus patah dan keteguhan rekat internal. Cara pengujian tiap contoh uji mengacu pada pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-2105-1996untuk papan partikel berkerapatan sedang (medium density particleboard). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kualitas Perekat Likuida Kayu Penelitian yang telah dilaksanakan menghasilkan perekat likuida kayu (wood liquids) dengan kualitas sebagaimana tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Kualitas perekat likuida kayu (Tabel 1. Quality of wood liquids adhesive) Ciri-ciri perekat Likuida kayu (Adhesive characteristic) (Wood liquids) pH <1 Viskositas (Viscosity) 2,03 poise Kadar padat perekat (Solid content) 91,232% Waktu gelatinasi (90°) (Gelatin time) 9 menit 48 detik Berat jenis (Specific gravity) 1,153 Warna (Colour) Hitam
Phenol formaldehida (SNI 06-0121-1987) Minimal 7 0,5 - 5 poise Minimal 42% 3 - 30 menit 1,194 Cairan coklat hitam
305
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 301-311
1. Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman atau pH perekat likuida kayu yang dihasilkan menunjukkan nilai ratarata kurang dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa perekat tersebut bersifat asam. Sebelum diaplikasikan, perekat utama tersebut dicampur dengan NaOH 40% sampai pH-nya menjadi 11. Fungsi penambahan NaOH adalah sebagai katalis dalam percepatan pembentukkan metilol, disamping untuk mempercepat pengerasan resin(Ruhendi dkk, 2000). Katalis basa NaOH digunakan untuk pembuatan papan partikel dengan perbandingan formaldehidafenol beragam mulai dari 1 : 1 sampai 3 : 1 (biasanya 1,8 - 2,4 : 1) (Achmadi, 1990). Setelah penambahan NaOH 40% pH perekat berkisar antara 10 sampai 11, sehingga memenuhi syarat SNI 06-0121-1987 untuk perekat phenol formaldehida(PF) yaitu minimum 7. Peningkatan pH ini diperlukan karena pH yang sangat rendah dapat merusak kayu (Ruhendi dkk, 2000). 2. Viskositas Nilai viskositas perekat likuida kayu rata-rata adalah 2,03 poise. Nilai ini masih memenuhi kisaran viskositas perekat PF berdasarkan SNI 06-0121-1987 yaitu berkisar antara 0,5-5 poise. Viskositas perekat dapat diturunkan dengan meningkatkan nisbah formalin terhadapfenol. Viskositas menunjukkan kemampuan perekat untuk mengalir dari suatu permukaan ke permukaan yang lain pada kayu yang direkat untuk membentuk suatu lapisan yang kontinu, menyebar merata pada seluruh permukaan. Selain itu viskositas perekat juga mempengaruhi kemampuan penetrasi perekat dan pembasahan oleh perekat. Semakin kecil viskositas perekat maka semakin besar kemampuan perekat untuk mengalir, berpindah dan mengadakan penetrasi serta pembasahan. Hal ini akan semakin meningkatkan kualitas perekatan yang dihasilkan. Tetapi jika viskositas perekat terlalu rendah (encer) akan menyebabkan rendahnya nilai keteguhan rekat. Untuk itu kekentalan harus diatur agar jangan sampai terlalu kental atau pun terlalu encer (Ruhendi dkk, 2000) 3. Kadar padat perekat Kadar padat perekat likuida kayu adalah sebesar 91,232%. Nilai ini telah memenuhi syarat perekat PF menurut SNI 06-0121-1987, yaitu minimum 42%. Dari tiga kali ulangan diperoleh nilai kadar padatan tertinggi 97,445% dan terendah 89,697%. Kadar padatan perekat menunjukkan banyaknya zat yang tidak menguap selama proses pemanasan pada o suhu 135 C. Menurut Vick (1999) dalam Ruhendi (2000) peningkatan kadar padatan berarti peningkatan molekul-molekul perekat yang akan bereaksi dengan kayu pada proses perekatan, sehingga sampai batas tertentu kadar padatan yang tinggi dapat meciptakan keteguhan perekat yang lebih baik. Nilai kadar padatan perekat likuida kayu yang jauh lebih tinggi dari syarat minimum perekat PF menunjukkan bahwa perekat likuida kayu tersebut dapat menciptakan keteguhan perekat yang cukup baik jika diaplikasikan. 4. Waktu gelatinasi Waktu gelatinasi adalah waktu yang dibutuhkan perekat untuk mengental atau membentuk gel, sehingga tidak dapat digunakan lagi setelah dicampur atau ditambah bahan lain seperti katalis (Salomon, 1967 dalam Ruhendi, 2000). 306
Kualitas Papan Partikel Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan ..... (Ary Widiyanto)
Penentuan waktu gelatinasi dilakukan dengan cara menambahkan perekat dengan o katalis NH4C1, kemudian memanaskannya pada suhu 90 C. Waktu gelatinasi likuida kayu rata-rata adalah 9 menit 48 detik, masih memenuhi persyaratan SNI 06-0121-1987 untuk perekat PF yaitu antara tiga sampai 30 menit. Nilai yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa perekat likuida kayu cukup baik untuk diaplikasikan, karena tidak mudah mengental (membentuk gel). 5. Berat jenis Berat jenis perekat berkaitan erat dengan komponen-komponen penyusun perekat, semakin banyak komponen perekat yang berat jenisnya tinggi, maka berat jenis perekat akan semakin tinggi pula. Berat jenis rata-rata likuida kayu adalah 1,153. Nilai ini mendekati standar berat jenis untuk perekat PF menurut SNI 06-0121-1987 yaitu sebesar 1,194. Hal ini berarti untuk volume yang sama perekat likuida kayu memiliki komponen penyusun dengan berat jenis yang lebih rendah dibanding perekat PF. 6. Warna Dalam dua kali ulangan semuanya menunjukkan bahwa warna perekat likuida kayu adalah hitam. Warna hitam ini disebabkan oleh adanya : lignin pada kayu dan bahan kimia lain yang merupakan hasil konversi komponen holoselulosa pada kayu akibat kombinasi perlakuan panas dan dingin (Pu, 1991 dalam Ruhendi dkk, 2000). Warna perekat likuida kayu ini berubah menjadi kecokelatan setelah penambahan NaOH 40% dan penambahan formalin sebelum perekat diaplikasikan. Meskipun demikian, warna cokelat pada perekat likuida kayu tidak sedominan perekat PF. Untuk papan partikel, warna hitam perekat likuida kayu ini tidak terlalu berpengaruh terhadap kualitas papan partikel, khususnya penampilannya. B. Kualitas Papan Partikel Kualitas papan partikel yang diteliti meliputi sifat fisis; kerapatan, kadar air, pengembangan tebal dan daya serap air serta sifat mekanis yang meliputi; Modulus of elasticity (MOE), Modulus of rupture (MOR) dan Internal bond (IB). Secara keseluruhan, kualitas papan partikel kayu karet, bambu tali dan campurannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Kualitas papan partikel dengan perekat likuida kayu Tabel 2. Quality of particle board with wood liquids adhesive Jenis partikel dan kadar perekat (Particle and adhesive percentage) Karet (Rubber) 10% Karet (Rubber) 15% Karet (Rubber) 20% Bambu(Bamboo) 10% Bambu (Bamboo) 15% Bambu (Bamboo) 20%
Sifat fisis dan mekanis (Physical and mechanical properties) KA PT DSA MOE MOR IB (kgf/ (kgf/ (kgf/ (g/cm) (%) (%) (%) cm2) cm2) cmZ) 0.805 6.99 18.32 29.86 9147.35 203.90 2.26 0.830 6.53 17.40 2636 13333.88 277.69 2.73 0.920 5.71 16.63 26.51 16002.08 322.68 3.21 0.820 7.30 27.71 45.SS 14117.74 211.19 2.12 0.840 7.07 25.49 35.47 16095.48 277.65 2.59 0.875 6.52 25.61 42.48 19315.80 30S.S7 2.76 p
307
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 301-311
Tabel 2. Lanjutan Tabel 2. Continued Jenis partikel dan kadar perekat (Particle and adhesive percentage) Campuran (Mix) 10% Campuran (Mix) 15% Campuran (Mix) 20% Rata-rata (average) SNI 03-2105-1996
Sifat fisis dan mekanis (Physical and mechanical properties) p KA PT DSA MOE MOR IB (kgf/ (kgf/ (kgf/ (g/cm) (%) (%) (%) cm2) cm2) cmZ) 0.805 7.12 20.68 28.30 6813.92 208.03 1.77 0.830 7.04 19.11 26.19 10710.61 261.56 2.01 0.855 6.67 18.30 28.66 14095.12 304.99 2.67 0.842 6.77 21.03 32.10 13299.11 264.03 2.45 0.5-0.9 12 14 15000 80 1.5
Keterangan (remarks): p = Kerapatan (Density) KA = Kadar air (Moisture content) PT = Pengembangan tebal (Thickness swelling) DSA = Daya scrap air (Water apsorbtion) MOE = Modulus elastisitas (Modulus of elasticity) MOR = Modulus patah (Modulus of rupture) IB = Daya rekat internal (Internal bond)
C. Sifat Fisis Papan Partikel 1. Kerapatan 3
Kerapatan rata-rata papan partikel sebesar 0,83 g/cm telah memenuhi target kerapatan 3 dan persyratan SNI 03-2105-1996 yaitu 0,5- 0,9 g/cm untuk papan partikel berkerapatan sedang (medium density particle board).Berdasarkan sidik ragam kerapatan papan partikel hanya dipengaruhi oleh kadar perekat. Sedangkan jenis partikel dan interaksi antara jenis partikel dan kadar perekat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hasil uji lanjut menunjukkan secara statistik pemakaian kadar perekat 10% akan menghasilkan papan partikel dengan kualitas yang sama dengan kadar perekat 15%, meskipun sebenarnya memiliki nilai yang berbeda. Sehingga, dalam aplikasi pemakaian papan partikel dengan kadar perekat 10% lebih disarankan, karena lebih efisien dengan kerapatan yang sudah memenuhi standar. 2. Kadar air Berdasarkan penelitian, diperoleh nilai kadar rata-rata 6,9%. Keseluruhan nilai kadar air papan partikel telah memenuhi SNI 03-21051996 yaitu maksimum 12%. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa baik jenis partikel ataupun kadar perekat berpengaruh nyata terhadap kadar air papan partikel. Sedangkan interaksi antara jenis partikel dan kadar perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata. Nilai kadar air dari bambu tali yang lebih besar diduga disebabkan oleh karakteristik bambu yang berbeda dengan kayu, dimana bambu mulai menyusut sesudah dipotong, tetapi tidak secara bersamaan (Dranfield dan Widjaya, 1995). Dengan demikian, pada saat partikel bambu digunakan sebagai bahan baku papan partikel, masih dimungkinkan kadar air bambu relatif tinggi, yang kemudian berpengaruh terhadap kadar air papan partikel. 308
Kualitas Papan Partikel Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan ..... (Ary Widiyanto)
Nilai kadar air papan partikel dengan kadar perekat 20% lebih rendah dibandingkan dengan kadar perekat 15% dan 10% disebabkan dengan semakin banyaknya perekat maka ikatan antar partikel semakin kuat, sehingga mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam mencegah masuknya air ke dalam papan partikel. 3. Pengembangan tebal Pengembangan tebal (thickness swelling) papan partikel menyatakan besarnya persentase pertambahan tebal papan partikel dibandingkan tebal awalnya, setelah contoh uji direndam oleh air selama 24 jam pada suhu kamar. Pengembangan tebal papan partikel rata-rata adalah 21,03%. Baik nilai pengembangan tebal rata-rata maupun pengembangan tebal tiap papan partikel ternyata jauh di atas standar SNI 03-2105-1996 yaitu sebesar maksimum 14%. Berdasarkan sidik ragam diketahui bahwa pengembangan tebal papan partikel hanya dipengaruhi oleh jenis partikel. Sedangkan kadar perekat dan interaksi antara jenis partikel dan kadar perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata. Nilai pengembangan tebal untuk kayu karet adalah sebesar 17,45%, untuk bambu tali sebesar 26,27% dan untuk papan partikel campuran sebesar 19,36%. 4. Daya serap air Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai daya serap air rata-rata adalah 32,10%. Hasil sidik ragam daya serap air papan partikel hanya dipengaruhi oleh jenis partikel. Haygreen dan Bowyer (1992) menyatakan bahwa air terikat yang terdapat pada kayu terletak pada daerah amorf selulosa, yakni daerah yang bentuknya tidak teratur dengan gugus hidroksil (-OH) yang terbuka untuk adsorpsi air, dimana air terikat oleh kekuatan adsorpsi yang sifatnya fisikokimia dan bukannya secara absorpsi yang berupa ikatan permukaan. Teori ini menjelaskan kenapa daya serap air bambu tali lebih besar dibanding daya serap kayu karet atau campurannya, karena kadar selulosa bambu tali lebih besar dibandingkan kayu karet (Ruhendi dkk, 2000). D. Sifat Mekanis Papan Partikel 1. Modulus elastisitas 2
Nilai MOE rata-rata papan partikel adalah sebesar 13299,11 kgf/cm dengan nilai MOE 2 yang terendah sebesar 6466,25 kgf/cm untuk papan partikel campuran dengan kadar perekat 2 10%. Sedangkan nilai MOE tertinggi yaitu sebesar 20413,49 kgf/cm untuk papan partikel bambu tali dengan kadar perekat 20%. Berdasarkan sidik ragam (analisys of variance) ditunjukkan kerapatan papan partikel dipengaruhi oleh jenis partikel dan kadar perekat. Sedangkan interaksi antara jenis partikel dan kadar perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata. Nilai MOE papan partikel naik secara signifikan seiring dengan peningkatan kadar perekat (Tabel 2). Haygreen dan Bowyer (1992) menyatakan bahwa semakin banyak resin yang digunakan maka akan semakin tinggi sifat mekanis dan stabilitas papan partikel. MOE 2 rata-rata pada kadar perekat 10% adalah sebesar 10026 kgf/cm pada kadar perekat 15% 2 sebesar 13380 kgf/cm dan pada kadar perekat 20% sebesar 16471 kgf/cm2. Sedangkan MOE rata-rata untuk kayu karet sebesar 12828 kgf/cm2dan bambu tali sebesar 16510 kgf/cm2, serta papan partikel campuran sebesar 10540 kgf/cm2. MOE rata-rata papan partikel sebesar 309
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 301-311
13299 kgf/cm2 belum memenuhi standar MOE papan partikel menurut SNI 03-2105-1996, yaitu minimum sebesar 15000 kgf/cm2. 2. Modulus patah Hasil penelitian pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai MOR cukup variatif, dengan nilai MOR yang terendah sebesar 185,78 kgf/cm2 untuk papan partikel campuran dengan kadar perekat 10% dan nilai MOR tertinggi yaitu sebesar 325,13 kgf/cm2 untuk papan partikel kayu karet dengan kadar perekat 20%. Nilai MOR rata-rata papan partikel adalah sebesar 264,03 kgf/cm2, relatif memenuhi syarat SNI 03-2105-1996, yaitu minimum 80,00 kgf/cm. Hasil sidik ragam pada selang kepercayaan 95% atau taraf nyata 5% menunjukkan bahwa MOR papan partikel hanya dipengaruhi oleh kadar perekat. Sedangkan jenis partikel dan interaksi antara jenis partikel dan kadar perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata. Sebagaimana MOE, nilai MOR juga meningkat seiring peningkatan kadar perekat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haygreen dan Bowyer (1986) bahwa semakin banyak resin yang digunakan maka akan semakin tinggi sifat mekanis dan stabilitas papan partikel. MOR ratarata pada kadar perekat 10% adalah sebesar 208,71 kgf/cm2, sedangkan pada kadar perekat 15% sebesar 272,3 kg f/cm2 dan pada kadar perekat 20% sebesar 311,08 kgf/cm2. 3. Daya rekat internal Nilai IB rata-rata papan partikel adalah sebesar 2,45 kgf/cm2 dengan nilai IB terendah sebesar 1,77 kgf/cm2 untuk papan partikel campuran dengan kadar perekat 10%. Sedangkan nilai IB tertinggi yaitu sebesar 3,21 kgf/cm2 untuk papan partikel kayu karet dengan kadar perekat 20%. Berdasarkan sidik ragammenunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95% atau taraf nyata 5% IB papan partikel dipengaruhi oleh jenis partikel dan kadar perekat. Sedangkan interaksi antara jenis partikel dan kadar perekat tidak memberikan pengaruh yang nyata. Nilai IB papan partikel naik seiring dengan peningkatan kadar perekat. IB rata-rata pada kadar perekat 10% adalah sebesar 2,05 kg f/cm2 pada kadar perekat 15% sebesar 2,44 kgf/cm2 dan pada kadar perekat 20% sebesar 2,88 kgf/cm2. Nilai IB rata-rata untuk kayu karet sebesar 2,73 kgf/cm2, untuk bambu tali sebesar 2,43 kg f/cmz dan untuk papan partikel campuran sebesar 2,15 kg f/cm2 . IB rata-rata papan partikel sebesar 2,45 kgf/cm2 telah memenuhi standar IB papan partikel menurut SNI 03-2105-1996 yaitu minimum sebesar 1,50 kgf/cm2. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Perekat likuida kayu belum memenuhi syarat SNI 06-0121-1987 untuk perekat phenol formaldehida. 2. Papan partikel campuran kayu karet dan bambu tali memiliki kerapatan 0,83 g/cm3 kadar air 6,9%, pengembangan tebal 19%, daya serap air 28%, MOE 10540 kgf/cm2, MOR 258 kgf/cm2, dan Internal Bond (IB) 2,2 kgf/cm2.
310
Kualitas Papan Partikel Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan ..... (Ary Widiyanto)
3. Jenis partikel berpengaruh terhadap kadar air, pengembangan tebal, daya serap air, modulus elastisitas dan keteguhan rekat internal papan partikel sedangkan faktor kadar perekat berpengaruh terhadap kadar air, kerapatan, daya serap air, modulus elastisitas, modulus patah dan keteguhan rekat internal. 4. Papan partikel campuran kayu karet dan bambu tali dengan perekat likuida kayu belum memenuhi persyaratan SNI 03-2105-1996 untuk papan partikel berkerapatan sedang (medium density particleboard). B. Saran 1. Kombinasi bahan, waktu perlakuan dan perbandingan formalin-fenol perlu dilakukan untuk menentukan komposisi terbaik dalam membuat perekat likuida kayu. 2. Aplikasi perekat likuida kayu untuk papan partikel dengan jenis bahan/partikel dan komposisi perekat yang berbeda. 3. Perlu upaya lanjutan untuk meningkatkan MOE papan partikel dan menurunkan pengembangan tebal papan partikel sehingga memenuhi persyaratan standar. DAFTAR PUSTAKA Achmadi, S.S. 1990. Kimia Kayu. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Bogor Haygreen, J.G. dan J.L. Bowyer. 1992. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Ruhendi, S., F.Febrianto dan N.Sahriawati. 2000. Likuida Kayu Untuk Perekat Kayu Lapis Eksterior. J.II.Pert. Indon. Vol 9 (1): 1-11 Standar Nasional Indonesia. 1987. Kualitas Perekat Phenol Formaldehida. SNI 06-0121-1987 Standar Nasional Indonesia. 1996. Mutu Papan Partikel. SNI 03-2105-1996 Tambunan, B. 2000. Bio Based Composit. Diktat Kuliah Jurusan Teknologi Hail Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
311
PEMANFAATAN LIGNIN HASIL ISOLASI DARI LINDI HITAM PROSES BIOPULPING BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper) SEBAGAI MEDIA SELEKTIF JAMUR PELAPUK PUTIH (Lignin Use of Isolation Process from Black Liquor on The Biopulping of Betung Bamboo (Dendrocalamus asper) as Selective Media for White-rot Fungi) Oleh/By :
Sita Heris Anita1, Dede Heri Yuli Yanto1 & Widya Fatriasari1 e-mail:
[email protected];
[email protected] UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial, LIPI, Cibinong -Bogor, Telp. 021-87914511, Fax: 021-87914510 Diterima 18 Agustus 2011, disetujui 20 November 2011
ABSTRACT
The utilization of black liquor produced in pulp and paper production has been limited for adhesive. In microbiology, black liquor can be used as a selective medium. The purpose of this study was to evaluate the performacne of lignin isolated from black liquor of biopulping process as a selective medium for white-rot fungi. Lignin, from black liquor of soda and kraft pulping of bamboo petung was isolated by acid addition. Lignin solid was then purified using dioxan solution, weighted and qualitatively analyzed using a spectrophotometer. The isolated lignin was added to agar media to test the white-rot fungi selectivity (Phanerochaete crysosporium and Trametes versicolor). The results showed that pretreatment of bamboo for 30 days give more lignin than the 45-days treated bamboo. Lignin solid from kraft process was also higher than lignin from soda process. Enzyme secretion from fungi T. versicolor occurs more rapidly than P. chrysosporium on selective media alkali-lignin. Keyword : Lignin, black liquor, biopulping, white-rot fungi, selective media ABSTRAK
Lindi hitam merupakan limbah industri pulp yang belum termanfaatkan dengan baik. Pemanfaatan lignin dari lindi hitam selama ini biasanya hanya digunakan sebagai perekat. Dalam bidang mikrobiologi lignin dari lindi hitam dapat dimanfaatkan sebagai media selektif untuk isolasi jamur pelapuk putih. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat lignin hasil isolasi proses biopulping sebagai media selektif untuk jamur pelapuk putih. Lignin dari lindi hitam hasil biopulping bambu, dengan proses pemasakan soda dan kraft, diisolasi dengan penambahan asam. Padatan lignin kemudian dimurnikan menggunakan larutan dioksan dan ditimbang berat serta dianalisa secara kualitatif menggunakan spektrofotometer. Lignin hasil isolasi ditambahkan pada media agar untuk uji selektifitas jamur pelapuk putih Phanerochaete crysosporium dan Trametes versicolor. Pretreatment bambu pada 30 hari inkubasi menghasilkan lignin yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan inkubasi selama 45 hari. Padatan lignin yang diperoleh dari hasil biopulping proses kraft juga lebih tinggi jika dibandingkan pada proses soda. Pengujian selektifitas jamur pada media alkali lignin menunjukkan bahwa fungi T. versicolor mensekresi enzim lebih cepat daripada P. chrysosporium. Kata kunci : Lignin, lindi hitam, biopulping, jamur pelapuk putih, media selektif
312
Pemanfaatan Lignin Hasil Isolasi dari Lindi Hitam Proses ..... (Sita Heris Anita, Dede Heri YY & Widya Fatriasari)
I. PENDAHULUAN Perkembangan industri pulp di Indonesia meningkat pesat selama dua puluh tahun terakhir, dari 0,5 juta ton pada tahun 1987 menjadi 6,5 juta ton pada tahun 2010 (IWGFF 2010). Perkembangan tersebut tidak diimbangi dengan penanganan limbah yang dihasilkan. Limbah tersebut pada dasarnya masih memiliki daya guna lebih apabila ditangani secara serius. Limbah cair hasil samping pabrik pulp biasa disebut lindi hitam. Lindi hitam merupakan salah satu hasil sampingan yang belum termanfaatkan dengan baik. Lindi hitam mengandung bahan- bahan sisa proses pemasakan pulp. Lignin dan bahan organik lain keluar dari digester sebagai lindi hitam. Kandungan lignin pada lindi hitam sisa pemasakan pulp proses soda yaitu sekitar 7,4 g/L (Syamsudin et al. 2007). Lignin dari lindi hitam dapat dimanfaatkan sebagai perekat karena adanya kecenderungan penurunan sumber perekat sintetik dari minyak bumi yang merupakan sumber daya tidak terbarukan. Selain sebagai perekat lignin juga dapat dimanfaatkan secara komersial sebagai bahan pengikat, pengisi, surfaktan, produk polimer, dispersan dan sumber bahan kimia lainnya terutama turunan benzena (Santoso et al. 2004). Dalam bidang mikrobiologi, lignin juga dapat digunakan sebagai media selektif untuk isolasi jamur pelapuk putih kelas Basidiomycetes (Thorn et al. 1996). Kadar lignin pada lindi hitam dari proses biopulping diduga masih tinggi dan masih dapat dimanfaatkan. Bilangan kappa pulp dari proses biopulping bambu dengan jamur pelapuk putih Trametes versicolor dan Pleurotus ostreatus lebih rendah jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan jamur pelapuk putih (Fatriasari et al. 2010). Hal tersebut menunjukkan bahwa kandungan lignin dalam lindi hitam dari pemasakan pulp dengan pretreatment jamur pelapuk putih lebih tinggi daripada tanpa pretreatment jamur. Untuk mengetahui hal tersebut maka diperlukan proses isolasi untuk menguji besarnya kandungan lignin pada lindi hitam setelah proses biopulping. Proses isolasi lignin dari lindi hitam pada umumnya dengan cara pengendapan asam menggunakan asam sulfat, asam klorida, asam fosfat atau asam nitrat. Jenis asam yang digunakan berpengaruh terhadap rendemen lignin yang dihasilkan (Ibrahim et al. 2004). Pada penelitian ini isolasi dilakukan menggunakan metode konvensional yaitu dengan pemisahan zat-zat lain selain lignin, seperti selulosa. Lignin hasil isolasi kemudian digunakan sebagai media selektif untuk pengujian jamur pelapuk putih Trametes versicolor dan Phanerochaete chrysosporium. Jamur pelapuk putih kelas Basidiomycetes merupakan jamur yang efektif mendegradasi lignin. Hal tersebut karena jamur pelapuk putih mampu menghasilkan enzim lakase (Lac), lignin peroksidase (Li-P) serta Mn-peroksidase (Mn-P) dengan aktivitas yang bervariasi. Jamur yang termasuk dalam jenis Basidiomycetes yang umum digunakan untuk mendegradasi lignin antara lain Omphalina sp., Marasmius sp., Phanerochaete chrysosporium, Trametes versicolor, dan lain-lain (Lobos et al. 2001; Sun dan Cheng 2002; Siswanto et al. 2007). Penelitian Siagian et al. 2003 menunjukkan bahwa jamur pelapuk putih salah satunya yaitu Schizophyllum commune dapat digunakan untuk biodelignifikasi kayu sengon, ditinjau dari terjadinya penurunan kadar lignin dan juga zat ekstraktif kayu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja lignin hasil isolasi dari proses biopulping sebagai media selektif untuk jamur pelapuk putih. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memanfaatkan lignin hasil isolasi dari proses biopulping untuk digunakan sebagai media isolasi jamur pendegradasi lignin. 313
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 312-321
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitia
Penelitian dilakukan di UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial, LIPI pada bulan Juli- Oktober 2009. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur Trametes versicolor, + Phanerochaete chrysosporium, lindi hitam, EDTA-2Na , H2SO4 pekat, akuades, 1,4-dioksan, KH2PO4, MgSO4.7H2O, KCl, NaNO3, Yeast Extract, Malt Extract, KOH, agar-agar, aseton, etanol, chloramphenicol, guaicol, benomyl, penyaring kaca masir IG1; IG3, corong Buchner, erlenmeyer, gelas ukur, gelas piala, pipet tetes, pengaduk magnet, kertas pH universal, oven, spektrofotometer u-2001 Hitachi, sentrifus Centricone 1550 rpm, pengaduk kaca, cawan petri, Laminar Air Flow, microsyringe, pompa vakum, dan inkubator. C. Prosedur Penelitian 1. Isolasi lignin Lignin yang diperoleh dari proses biopulping bambu yang sudah diberi perlakuan jamur Trametes versicolor selama 30 dan 45 hari dengan proses pemasakan soda dan kraft disaring dengan penyaring kaca masir IG3 hingga volume filtrat mencapai 100 ml, kemudian ditambahkan 0,5 g + EDTA-2Na lalu dihomogenkan. Larutan sampel dinetralkan dengan H2SO4 pekat kemudian diaduk teratur selama 1 jam. Selanjutnya larutan diasamkan hingga ± pH 3, kemudian didinginkan hingga suhu -20 oC. Setelah larutan menjadi beku, larutan di thawing dan endapan dicuci dengan air dingin kemudian endapan disaring dengan kaca masir IG1. Endapan yang telah bersih di keringkan dalam oven 60 oC hingga menjadi padatan yang kering. 2. Purifikasi lignin Padatan lignin yang belum murni direndam dalam larutan dioksan-air 9:1 selama 1 jam. Larutan lignin disentrifugasi dengan kecepatan 1550 rpm selama 10 menit. Supernatan dipisahkan, sedangkan endapan dilarutkan kembali menggunakan larutan dioksana-air dengan nisbah 9:1 dan disentrifugasi kembali. Supernatan yang diperoleh merupakan lignin murni yang masih telarut dalam dioksan. 3. Analisis kualitatif dengan spektrofotometer Lignin yang terlarut dalam dioksan yang telah dimurnikan dipipet sebanyak 0,3 ml dan ditambahkan 10 ml dioksan. Kemudian di masukkan ke dalam kuvet yang terbuat dari kwarsa kemudian di scanning. 4. Penggunaan lignin sebagai media selektif a. Persiapan inokulum. Biakan jamur T. versicolor yang didapatkan dari Puslit Kimia, LIPI, Serpong dikultur pada media MEA slant (dalam 250 ml aquades ditambahkan 8,875 g MEA dan 0,125 g chloramphenicol) selama 7 hari. Sebanyak 5 ml aquades steril dimasukkan ke dalam setiap slant, 314
Pemanfaatan Lignin Hasil Isolasi dari Lindi Hitam Proses ..... (Sita Heris Anita, Dede Heri YY & Widya Fatriasari)
jamur kemudian dirontokkan dengan ose. Sebanyak 1 ml suspensi tersebut kemudian diinokulasikan ke dalam cawan petri. Kemudian ke dalam cawan petri yang mengandung 1 ml inokulum jamur dimasukkan media JIS agar sebanyak 25 ml (dalam 1 L aquades ditambahkan 3 g KH2PO4, 2 g MgSO4.7H20, 25 g glukosa, 5 g pepton, dan 10 g malt extract, 20 g agar) dan diratakan kemudian diinkubasi selama 7 hari pada suhu 27 °C. b. Persiapan media alkali lignin. Dalam 1 liter aquades (sambil dipanaskan di atas hotplate-stirrer) ditambahkan bahanbahan berikut: 1,5 g KH2PO4; 0,3 g MgSO4.7H2O; 0,3 g KCl, 3 g NaNO3; 0,3 g Yeast Extract; 1,5 g Malt Extract; 3 butir KOH, dan 30 g agar-agar. Kemudian media di sterilisasi dalam o autoclave selama 15 menit. Media dibiarkan dingin hingga temperatur ± 50 C, kemudian secara aseptik ditambahkan 60 µL guaicol; 300 µL lignin; 0,75 g klorampenikol, dan 300 µL benomyl. Kemudian dituangkan ke dalam cawan petri 10-12 ml, dibiarkan hingga padat. c. Uji media selektif alkali lignin. Kultur jamur T.versicolor yang telah ditumbuhkan di media JIS agar diuji dengan media alkali lignin dengan metode inokulasi langsung (direct plating method). Pada media JIS agar yang mengandung jamur dilubangi dengan menggunakan cork borer dengan diameter 0,6 cm, kemudian inokulum tersebut diinokulasikan ke dalam media alkali lignin dan diinkubasi pada suhu 27 °C. Pengamatan pertumbuhan jamur dilakukan setiap hari selama 1 minggu dengan melihat pertumbuhan miselium dan perubahan warna merah pada media. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Lindi hitam, yang diperoleh dari proses biopulping bambu betung dengan pra-perlakuan jamur T. versicolor dengan proses pemasakan soda dan kraft, dikumpulkan dan dilakukan proses isolasi. Pengolahan pulp secara biologi merupakan proses pemanfaatan mikroba untuk melemahkan struktur dinding sel bahan berlignoselulosa dengan mendegradasi lignin. Penurunan kandungan lignin dalam bahan berlignoselulosa karena degradasi jamur akan mengurangi pemakaian bahan kimia. Keuntungan biopulping lainnya yaitu menurunkan kebutuhan energi pada proses refining, kekuatan fisik dari pulp juga meningkat, dan juga ramah lingkungan (Siagian et al. 2003; Yang et al. 2007). Hasil samping proses pulping adalah lindi hitam (black liquor). Lindi hitam dari masingmasing perlakuan diisolasi ligninnya dengan proses pengendapan. Perlakuan jamur selama 45 hari akan mendegradasi lignin pada bambu lebih banyak daripada perlakuan selama 30 hari, sedangkan kontrol tidak diberi perlakuan apapun. Penelitian Fatriasi et al. (2010) menunjukkan bahwa semakin lama waktu inkubasi T. versicolor pada bambu dengan proses pemasak soda dan kraft menghasilkan bilangan kappa yang lebih rendah dibanding kontrol. Bilangan kappa berhubungan dengan derajat keputihan atau delignifikasi pulp. Semakin rendah bilangan kappa maka semakin tinggi tingkat delignifikasi pulp yang artinya tingkat degradasi lignin pada bambu lebih intensif. Penelitian Wijaya et al. (2006) menunjukkan hal yang sama yaitu terjadi penurunan bilangan kappa sebesar 4,16% pada pulp tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang telah diberi perlakuan jamur Phanerochaete crysosporium. Penurunan bilangan kappa tersebut menunjukkan bahwa aktivitas metabolism P. crysosporium dapat mengurangi kadar lignin pada pulp TKKS. 315
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 312-321
+
Proses isolasi lignin dari lindi hitam dilakukan dengan penambahan 2Na -EDTA. Penambahan tersebut berguna untuk mengkelat ion Na+ yang terdapat dalam lindi hitam yang berasal dari penggunaan NaOH pada proses soda dan penggunaan NaOH serta Na2S pada proses kraft. Larutan lindi hitam kemudian dinetralkan hingga mencapai pH 6-7, sehingga terbentuk endapan dan larutan yang berwarna cokelat. Proses penetralan bertujuan untuk melarutkan komponen -selulosa. Menurut Fengel dan Wegener (1995), -selulosa larut dalam suasana netral, sedangkan endapan yang tidak larut merupakan -selulosa. Kandungan lignin dari proses soda dan kraft dengan perlakuan jamur T. versicolor selama 30 dan 45 hari tertera pada Gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan bahwa lignin yang diperoleh dari proses kraft lebih banyak daripada lignin yang diperoleh dari proses soda. Bobot lignin proses soda dengan pra-perlakuan jamur T. versicolor selama 30 hari (Tv 30) diperoleh hasil yang lebih besar dibandingkan dengan T. versicolor selama 45 hari (Tv 45). Hal tersebut karena jumlah lignin yang didegradasi oleh jamur Tv 30 lebih sedikit dibandingkan dengan Tv 45, sehingga pada saat proses isolasi, sisa lignin Tv 30 yang diperoleh menjadi lebih banyak yaitu sebesar 2,3123 g, sedangkan bobot lignin Tv 45 diperoleh sebesar 0,6651 g (Gambar 1). Respon perolehan lignin dari proses kraft cenderung sama dengan proses soda dimana perlakuan pendahuluan dengan jamur Tv 45 menghasilkan lignin isolasi yang lebih sedikit yaitu sebesar 4,9944 g, sedangkan Tv 30 diperoleh lignin isolasi sebesar 9,5840 g, hal ini dikarenakan perlakuan pendahuluan Tv 45 lebih banyak mendegradasi lignin daripada Tv 30. Proses kraft menghasilkan perolehan lignin yang lebih banyak daripada proses soda, karena dalam proses kraft ditambahkan bahan kimia pemasak lain (Na2S) selain NaOH Na2S berfungsi sebagai akselerator proses pendegradasi lignin dari dinding sel lignoselulosa.
Gambar 1. Perolehan lignin pada proses soda dan kraft dengan pra-perlakuan Trametes versicolor Figure 1. Lignin content on soda and kraft pulping after pretreatment using Trametes versicolor
316
Pemanfaatan Lignin Hasil Isolasi dari Lindi Hitam Proses ..... (Sita Heris Anita, Dede Heri YY & Widya Fatriasari)
Lignin hasil isolasi diuji dengan spektrofotometer UV-VIS untuk mengetahui pergeseran panjang gelombangnya akibat proses isolasi serta proses perlakuan pendahuluan dengan jamur. Spektrum UV-VIS lignin proses soda dan kraft tertera pada Gambar 2 dan 3. Spektum UV dari lignin proses soda terlihat empat puncak yaitu dari panjang gelombang 260-410 nm, dengan intensitas absorbansi dari yang tertinggi berturut-turut yaitu Tv 30, kontrol, Tv 45. Nilai kontrol yang lebih kecil diakibatkan oleh galat yang ditimbulkan saat proses isolasi lignin pada tahap pengendapan ada sejumlah kecil lignin yang belum terendapkan. Spektrum UV-VIS dari lignin proses kraft menunjukkan nilai absobansi yang tertinggi pada Tv 45 kemudian dilanjutkan dengan Tv 30 dan kontrol. Berbeda dengan lignin proses soda, puncak lignin kraft terlihat di panjang gelombang 230-430 nm dengan empat puncak terlihat jelas. Lignin murni mempunyai puncak penyerapan pada panjang gelombang 280 nm (Feist dan Hon 2011). Pergeseran panjang gelombang lignin hasil isolasi terjadi karena lignin diperoleh dari lindi hitam sisa pembutan pulp yang sudah mengalami perubahan fisik dan kimia. Struktur lignin mengalami perubahan setelah proses pemasakan dan isolasi. Proses delignifikasi mengakibatkan perubahan dan hilangnya gugus fungsional struktur lignin asal karena lignin mengalami degradasi (Salminah 2001). Perubahan gugus fungsional lignin inilah yang dapat menyebabkan pergeseran panjang gelombang lignin hasil isolasi. Hal tersebut juga terlihat pada penelitian ini, lignin hasil isolasi dari proses biopulping baik dengan pemasakan soda maupun kraft menunjukkan pergeseran panjang gelombang ke arah kanan dari kontrol. Pada proses biopulping terjadi delignifikasi dalam bahan berlignoselulosa karena degradasi jamur (Siagian et al. 2003; Yang et al. 2007). kontrol proses soda/ control soda process Tv30 proses soda/ Tv30 soda process Tv45 proses soda/ Tv45 soda process
Gambar 2. Spektrum UV-VIS lignin proses soda Figure 2. UV-VIS Spectrum of lignin on soda pulping Lignin yang telah diisolasi kemudian digunakan sebagai media selektif untuk jamur pendegradasi lignin. Jamur yang dapat mendegradasi lignin akan tumbuh pada media selektif dengan ditandai terbentuknya lapisan warna merah disekitar tumbuhnya jamur. Lapisan merah yang terbentuk menandakan bahwa jamur menghasilkan enzim lignolitik yang dapat mendegradasi lignin pada media selektif (Thorn et al. 1996). 317
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 312-321
kontrol proses kraft/ control kraft process Tv30 proses kraft/ Tv30 kraft process Tv45 proses kraft/ Tv45 kraft process
Gambar 3. Spektrum UV-VIS lignin proses kraft Figure 3. UV-VIS Spectrum of lignin on kraft process Tabel 1. Viabilitas dan aktivitas enzim P. chrysosporium dan T. versicolor pada media alkali-lignin Table 1. Viability and enzyme activity of P. chrysosporium and T. versicolor on alkali-lignin media
318
Pemanfaatan Lignin Hasil Isolasi dari Lindi Hitam Proses ..... (Sita Heris Anita, Dede Heri YY & Widya Fatriasari)
Gambar 4. Pertumbuhan dan aktivitas enzim P. chrysosporium pada media selektif alkali-lignin;kiri: awal inkubasi; kanan: akhir masa inkubasi Figure 4. The growth and enzyme activity of P. chrysosporium on selective media alkali-lignin; left:early incubation; right: the end of incubation.
Gambar 5. Pertumbuhan dan aktivitas enzim T. versicolor pada media selektif alkalilignin;kiri: awal inkubasi; kanan: akhir masa inkubasi Figure 5. The growth and enzyme activity of T.versicolor on selective media alkalilignin; left:early incubation; right: the end of incubation. Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 1. menunjukkan bahwa lignin hasil isolasi dari proses biopulping masih dapat digunakan sebagai media isolasi jamur pelapuk putih. Lignin yang terdapat pada media masih dapat digunakan sebagai indikator bahwa jamur pelapuk putih yang diujikan menghasilkan enzim lignolitik sehingga mampu mendegradasi lignin tersebut. Aktivitas enzim lignolitik, berdasarkan Gambar 4 dan 5, menunjukkan bahwa jamur T.versicolor lebih cepat mensekresi enzim dibandingkan dengan jamur P. crysosporium. Hal tersebut dilihat dari warna merah yang terbentuk pada media di hari pertama inkubasi. Warna merah tersebut merupakan indikator mulai dihasilkannya enzim lakase dan peroksidase oleh jamur pelapuk putih (Thorn et al. 1996; Akhtar et al.1997).
319
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 312-321
KESIMPULAN Lignin hasil isolasi masih dapat digunakan sebagai indikator bahwa jamur pelapuk putih menghasilkan enzim lignolitik. Lignin hasil isolasi dari proses biopulping secara umum dapat dimanfaatkan sebagai media isolasi jamur pendegradasi lignin. DAFTAR ACUAN Akhtar, M., M.J. Lentz, R.A. Blanchette, & T.K. Kirk. 1997. Corn Steep Liquor Lowers the Amount of Inoculum for Biopulping. TAPPI Journal Online 80 (6):161-164. Fatriasari, W., R. A. Ermawar, F. Falah, D. H. Y. Yanto, D. T. N. Adi, S. H. Anita, & E. Hermiati. 2010. Biopulping of betung bamboo using white rot fungi (Pleurotus ostreatus and Trametes versicolor) with kraft and soda processes. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Accepted). Feist, W.C. & D.N.S. Hon. 2011. Kimia Pelapukan dan Perlindungan. http://www.scribd.com/doc/26807362/Kimia-Pelapukan-Dan-an. 29 hlm Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Edisi 2, Sastrohamidjojo, penerjemah; Prawirohatmodjo, penyunting. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood; Chemistry, Ultra Structure, Reaction Ibrahim, M.N.M., S.B. Chuah, & W.D. Wan Rosli. 2004. Characterization of lignin precipitated from the soda black liquor of oil palm empty fruit bunch fibers by various mineral acids. AJSTD, 21 (1): 57-67. Ismiyati. 2009. Perancangan Proses Sulfonasi Lignin Isolat Tandan Kosong Kelapa Sawit menjadi Surfaktan Natrium Lignosulfonat (NLS). [Disertasi]. Istitut Pertanian Bogor. Bogor. IWGFF (Indonesian Working Group on Forest Finance). 2010. Perkiraan penggunaan sumber bahan baku industri pulp & paper,Studi advokasi PT RAPP & PT IKPP di propinsi Riau. http://www.savesumatra.org/app/webroot/upload/report/ IWGFF_Studi Riau pdf. 38 hlm. Jusuf E, Muliani A, Halim G.A. 1994. Pemanfaatan Isolat Bakteri Aerob dari Lumpur Aktif Pabrik Kertas untuk Penurunan Warna Lindi Hitam. Hayati 1(2): 42-46. Lobos, S., M. Tello, R. Polanco, L.F. Larrondo, A. Manubens, L. Salas, dan R. Vicuna. 2001. Enzymology and molecular genetics of the ligninolytic system of the basidiomycete Ceriporiopsis subvermispora. Current Science 81 (8): 992-997. Salminah, M. 2001. Karakteristik lignin hasil isolasi larutan sisa pemasak pulp proses semi kimia pada berbagai tingkat PH. Skripsi Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor. 50 hlm. Santoso, A., S. Ruhendi, Y. S. Hadi, & S. S. Achmadi. 2004. Sintesis dan karakterisasi resin lignin resorsinol formaldehida sebagai perekat kayu lamina. Majalah IPTEK-ITS, 15 (3):89-98.
320
Pemanfaatan Lignin Hasil Isolasi dari Lindi Hitam Proses ..... (Sita Heris Anita, Dede Heri YY & Widya Fatriasari)
Siagian, R.M., H. Roliadi, S. Suprapti, & S. Komarayati. 2003. Studi peranan fungi pelapuk putih dalam proses biodelignifikasi kayu sengon Paraserianthes falcataria (L) Nielsen. Jurnal Ilmu & Teknologi Kayu Tropis, 1(1): 47-56. Siswanto, Suharyanto, Fitria R. 2007. Produksi dan karakterisasi lakase Omphalina sp. Menara Perkebunan, 75(2):106-115. Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu, Dasar-dasar Penggunaan. Edisi 2, Sastrohamidjojo, penerjemah; Prawirohatmodjo, penyunting. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood; Chemistry Sun, Y. dan J. Cheng. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production: a review. Bioresource Technology 83: 1-11. Syamsudin, S. Purwati, & I. Rostika. 2007. Pemanfaatan campuran limbah padat dengan lindi hitam dari industri pulp dan kertas sebagai bahan biobriket. Berita Selulosa, 42 (2): 6774. Taherzadeh, M.J. dan K. Karimi. 2008. Pretreatment of lignocellulosic wastes to improve ethanol and biogas production: A review. International Journal of Molecular Sciences. 9:1621-1651. Thorn, R.G., C. A. Reddy, D. Harris, & E.A. Paul. 1996. Isolation of saprophytic Basidiomycetes from soil. Applied and Environmental Microbiolgy 62 (11): 4288-4292. Wijaya, R., P. D. Islamy, & D. A. Iryani. 2006. Delignifikasi tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dengan Phanerochaete chrysosporium. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat, Lembaga Penelitian Universitas Lampung, 213-217. Yang, Q., H. Zhan, S. Wang, S. Fu, & K.Li. 2007. Bio-modification of Eucaliptus chemithermo-mechanical pulp with different white-rot fungi: peer-reviewed. BioResources 2 (4): 682-692.
321
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN TOKSISITAS EKSTRAK KULIT KAYU RARU (COTYLELOBIUM SP.) (Antioxidant and Toxicity Activity of Raru (Cotylelobium sp.) Stem Bark) Oleh/By : 1
2
Gunawan Pasaribu & Titiek Setyawati
e-mail:
[email protected] Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No.5 Bogor 16610 2 Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Jl. Gunung Batu No.5 Bogor 16610
1
Diterima 9 Agustus 2011, disetujui 17 November 2011
ABSTRACT
Research on natural medicinal plants has been growing due to the increasing interest to natural medicinal material that is considered safer than synthetic medicines. In North Sumatera, bark of Cotylelobium sp which is locally known as raru, has been widely utilized by the local community. The skin bark of this species is commonly used as a mixture of “nira” to produce “tuak” (Batak's traditional alcoholic liquor). In addition, local community has been using this species for traditional healing as well. This research is to study the potency of raru's skin bark in producing antioxidant using DPHH method. The toxicity activity of the material was also examined using Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) method. Results show that the yield extract of Cotylelobium melanoxylon Pierre was 30.11% and Cotylelobium lanceolatum Craib was 14.50%. Both extracts contains flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid and hidroquinon. The extract of Cotylelobium melanoxylon Pierre has antioxidant activity against DPPH radical with value of IC50 as much as 108.487 ppm and 77.909 ppm for Cotylelobium lanceolatum Craib. Furthermore, the toxicity of Cotylelobium melanoxylon Pierre was 643.550 ppm and Cotylelobium lanceolatum Craib was 767.191 ppm LC50. Keyword : Medicinal plant, raru, antioxidant, toxicity ABSTRAK
Penelitian tumbuhan obat terus berkembang seiring dengan minat masyarakat pada bahan obat yang berasal dari alam yang berhubungan dengan keamanannya dibanding dengan obat sintetik. Salah satu kulit kayu yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara yang lebih dikenal dengan sebutan raru diidentifikasi sebagai Cotylelobium sp, sudah sangat luas dimanfaatkan oleh masyarakat di Sumatera Utara. Kulit kayu ini biasanya digunakan oleh masyarakat sebagai campuran minuman tuak (minuman tradisional Batak). Masyarakat juga meyakini kulit kayu raru dapat digunakan sebagai obat penurun kadar gula darah (anti diabetes). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data potensi antioksidan dari kulit kayu raru dengan metoda DPPH dan mengetahui toksisitas ekstrak menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen ekstrak Cotylelobium melanoxylon Pierre adalah 30,11% dan Cotylelobium lanceolatum Craib sebesar 14,50%. Uji fitokimia menunjukkan kedua jenis ekstrak mengandung flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid dan hidrokuinon. Ekstrak Cotylelobium melanoxylon Pierre memiliki aktivitas antioksidan
322
Aktivitas Antioksidan dan Toksisitas Ekstrak Kulit ..... (Gunawan Pasaribu & Titiek Setyawati)
terhadap radikal DPPH dengan nilai IC50 sebesar 108,487 ppm dan Cotylelobium lanceolatum Craib memiliki nilai IC50 sebesar 77,909 ppm. Selanjutnya, toksisitas Cotylelobium melanoxylon Pierre memiliki nilai LC50 sebesar 643,550 ppm and Cotylelobium lanceolatum memiliki LC50 sebesar 767,191 ppm. Kata kunci : Tumbuhan obat, raru, antioksidan, toksisitas
I. PENDAHULUAN Salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan manusia dalam pengobatan adalah keseimbangan antara kandungan radikal bebas dan antioksidan di dalam tubuh. Kurangnya asupan antioksidan yang cukup dari makanan yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat saat ini merupakan penyebab ketidakseimbangan tersebut. Ketidakseimbangan ini menjadi penyebab radikal bebas dominan di dalam tubuh, sehingga timbul berbagai macam penyakit seperti, jantung koroner, kanker, diabetes, hati, dan penuaan dini (Widjaya, 1996). Antioksidan yang berasal dari luar tubuh antara lain dapat diperoleh dari tumbuhan seperti asam fenolat, flavonoid, tokoferol dan tanin tersebar pada berbagai bagian tumbuhan seperti daun, akar, batang, biji, dan bunga (Sidik, 1997 dalam Kurtubi, 2006). Salah satu tumbuhan yang diduga kaya akan flavonoid dan tanin yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan adalah raru. Raru merupakan sebutan untuk kelompok jenis kulit kayu yang ditambahkan pada nira aren yang bertujuan untuk meningkatkan cita rasa dan kadar alkohol minuman tuak. Menurut laporan Hildebrand (1954), disebutkan bahwa ada beberapa jenis kayu yang digolongkan sebagai kayu raru, antara lain Shorea maxwelliana King, Vatica songa V.Sl. dari famili Dipterocarpaceae dan Garcinia sp. dari famili Guttifera. Penelitian Erika (2005), menyebutkan bahwa jenis Shorea faguetiana Heim. termasuk juga sumber kulit raru. Penelitian Pasaribu, dkk (2007), menemukan bahwa salah satu kulit kayu raru yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah diidentifikasi sebagai Cotylelobium melanoxylon Pierre. Lebih lanjut disebutkan bahwa jenis ini memiliki komponen kimia kayu berturut-turut adalah sebagai berikut : hemiselulosa 29,26%, alphaselulosa 37,35%, lignin 22,26% dan pentosan 17,31 %. Selanjutnya kadar ekstraktif kayu raru yang larut dalam air dingin 3,19%, air panas 9,08%, alkohol benzena 1,76%, NaOH (1%) 19,27%. Menurut pengalaman masyarakat lokal, sudah dipakai untuk keperluan pengobatan tradisional. Dalam rangka mengelola sumber daya hutan tropis Indonesia yang berkelanjutan, pemanfaatan hasil hutan selain kayu atau yang lebih dikenal sebagai HHBK, salah satunya adalah potensi sebagai obat-obatan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data potensi antioksidan dari kulit kayu raru (Cotylelobium sp.) dengan metoda DPPH dan mengetahui toksisitas ekstrak menggunakan metode BSLT. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan penelitian berupa kulit kayu raru (Cotylelobium sp) dari dua lokasi yang berbeda yang diambil dari Kawasan Hutan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara,
323
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 322-330
Provinsi Sumatera Utara. Bahan lain yang dibutuhkan antara lain : kloroform, diklorometana, etil asetat, etanol, metanol, aquades, eter, NH4OH, NaOH, HCl, H2SO4, kertas saring, anhidrida asetat, pereaksi Meyer, Dragendrof, Wagner, vitamin C, DPPH 1mM. Peralatan yang diperlukan antara lain hammer mill, alat-alat kaca, alat-alat ekstraksi, vacuum 0 rotary evaporator, botol uji, pipet ukur, mikropipet, neraca analitik, inkubator suhu 37 C, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800, oven, vortex, hot plate, kertas saring. B. Metode Penelitian 1. Penyiapan bahan Bahan penelitian berupa sampel kulit kayu sebanyak 5 kg yang diperoleh dengan cara menguliti pohon yang masih hidup. Di samping itu daun diambil untuk keperluan identifikasi jenis di Herbarium Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor. Sampel kulit kayu selanjutnya dikeringkan dengan oven pada suhu ± 400C. 2. Ekstraksi Sampel kulit kayu digiling menggunakan hammer mill dan disaring untuk menghasilkan serbuk 40-60 mesh. Serbuk kulit kayu raru diekstraksi dengan teknik maserasi (perendaman) dengan etanol 70%. Ekstrak kemudian disaring dan dipekatkan dengan rotary vacum evaporator. Melalui proses ini, diperoleh rendemen ekstrak jenis raru dari dua lokasi yang berbeda. Rendemen ekstrak dihitung dengan rumus : bobot ekstrak pekat (g) Rendemen = x 100% bobot sampel yang diekstrak (g) 3. Uji kualitatif fitokimia (Harborne, 1987) a. Uji alkaloid Sebanyak 2 g contoh ditambah 10 ml kloroform dan beberapa tetes amoniak. Fraksi kloroform dengan cara menghisap fraksi kloroform perlahan-lahan dengan pipet tetes. Selanjutnya fraksi kloroform diasamkan dengan H2SO4 2M. Fraksi H2SO4 diambil kemudian ditambahkan pereaksi Meyer, Dragendorf, Wagner. Jika terdapat endapan putih dengan pereaksi Meyer, endapan merah jingga dengan pereaksi Dragendorf dan endapan coklat dengan pereaksi Wagner, maka positif terdapat alkaloid. b. Uji saponin Sebanyak 1 g contoh ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama 5 menit. Setelah itu didinginkan dan dikocok kuat. Adanya saponin ditandai dengan timbulnya busa yang stabil selama 10 menit. c. Uji flavonoid dan senyawa fenolik Sebanyak 1 g contoh ditambah metanol sampai terendam lalu dipanaskan. Filtrat diuji pada spot plate. Jika setelah ditambahkan NaOH 10% (b/v) timbul warna merah, maka positif tedapat flavonoid. d. Uji triterpenoid atau steroid Sebanyak 2 g contoh ditambahkan 25 ml etanol lalu dipanaskan dan disaring. Filtrat diuapkan lalu ditambah eter. Lapisan eter dipipet dan diuji pada spot plate. Jika ditambahkan pereaksi Liberman Buchard (3 tetes) terbentuk warna merah/ungu, positif mengandung triterpenoid. Jika terbentuk warna hijau, maka positif mengandung steroid.
324
Aktivitas Antioksidan dan Toksisitas Ekstrak Kulit ..... (Gunawan Pasaribu & Titiek Setyawati)
e. Uji tanin Sebanyak 10 g contoh ditambah air, lalu dididihkan selama beberapa menit, kemudian disaring. Filtrat ditambah FeCl3 1% (b/v). Jika terbentuk warna biru atau hitam kehijauan, maka positif mengandung tanin. 4. Uji aktivitas antioksidan Pengujian antioksidan sesuai dengan metode dari Blois (1958) yaitu Metode Diphenyl-2picrylhydrazyl (DPPH). Ekstrak kasar kulit kayu raru dari 2 lokasi yang berbeda dibuat dalam berbagai konsentrasi (5, 7.5, 10, 15, 25, 50, dan 75 ppm). Masing-masing dimasukkan kedalam tabung reaksi. Kedalam tiap tabung reaksi ditambahkan 500 μl larutan DPPH 0 1mM dalam metanol. Volume dicukupkan sampai 5 ml, kemudian diinkubasi pada suhu 37 C selama 30 menit, selanjutnya serapan diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 517 nm. Sebagai kontrol positif digunakan vitamin C (konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm). Nilai IC50 dihitung masing-masing dengan menggunakan rumus persamaan regresi dan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Mekanisme reaksi dari metode DPPH (Molyneux, 2004) ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Mekanisme reaksi metode DPPH Figure 1. The reaction mechanism of DPPH method 5. Pengujian toksisitas Pengujian toksisitas dilakukan dengan menggunakan metode BSLT (brine shrimp lethality test). Telur udang Artemisia salina Leach. ditetaskan dalam air laut dengan bantuan lampu TL, kemudian larva udang yang telah menetas dan berusia kurang lebih 48 jam, dimasukkan ke dalam sampel yang dibuat dalam 3 konsentrasi berbeda dengan menggunakan pelarut air laut. Kemudian jumlah larva udang yang mati dan yang masih hidup di hitung kemudian digunakan untuk menentukan tingkat toksisitasnya (Lc50). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Dari hasil identifikasi dua jenis raru di Kabupaten Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah diketahui sebagai Cotylelobium melanoxylon Pierre, dan Cotylelobium lanceolatum Craib. Pada kedua jenis raru ini dilakukan ekstraksi dengan metode maserasi dengan pelarut etanol 70%. Metode maserasi dipilih dalam memisahkan senyawa-senyawa aktif kulit kayu raru 325
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 322-330
selain berdasarkan pada efektivitas, kepraktisan, keamanan dan ekonomis dalam penggunaannya juga bertujuan untuk menghindari rusaknya senyawa-senyawa aktif yang tidak tahan dengan panas. Pemilihan pelarut etanol sebagai larutan pengekstrak dikarenakan etanol merupakan pelarut serbaguna yang baik untuk ekstrak pendahuluan. Tabel 1. Rendemen ekstrak kasar dua jenis raru Table 1. Crude extract yield of two raru's species No 1
Jenis/ Species Cotylelobium melanoxylon Pierre
2
Cotylelobium lanceolatum Craib
Ulangan/ Replication 1 2 3 Rataan/ Average Simpangan/ St.Dev 1 2 3 Rataan/ Average Simpangan/ St.Dev
Rendemen/ Yield (%) 31,54 31,13 27,65 30,11 0,29 13,31 15,16 15,05 14,50 1,31
Berdasarkan nilai rendemen yang diperoleh, diketahui bahwa rendemen ekstrak Cotylelobium melanoxylon Pierre lebih tinggi dari ekstrak Cotylelobium lanceolatum Craib (Tabel 1). Rendemen ekstrak ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan rendemen ekstrak kulit kayu pada umumnya yang berkisar antara 10-20 %. (Haygreen & Bowyer, 1985) Pelarut etanol memiliki dua gugus yang berbeda kepolarannya yaitu gugus hidroksil yang bersifat polar dan gugus alkil yang bersifat non polar. Dengan adanya dua gugus ini diharapkan senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran yang berbeda akan terestrak ke dalam etanol. B. Penapisan Fitokimia Analisis fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan kualitatif senyawa metabolit sekunder dari suatu bahan alam. Golongan utama dari senyawa aktif ekstrak tumbuhan dapat diketahui melalui analisis ini. Pengujian fitokimia dilakukan pada ekstrak kasar kedua jenis kulit kayu raru. Hasil pengujian kualitatif fitokimia disajikan pada Tabel 2. Secara umum kedua jenis raru ini mengandung flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid dan hidrokuinon. Komponen dari Vitamin C, Vitamin E, β-karoten, flavonoid, isovlavon, flavon, antosianin, isokatekin banyak dilaporkan sebagai antioksidan (Kahkonen, et.al., 1999 dalam Winarsi, 2007).
326
Aktivitas Antioksidan dan Toksisitas Ekstrak Kulit ..... (Gunawan Pasaribu & Titiek Setyawati)
Tabel 2. Hasil uji fitokimia ekstrak kulit kayu raru Table 2. Result of phytocemical testing from stem bark of raru Senyawa/ Cotylelobium melanoxylon Cotylelobium lanceolatum Compound Flavonoid ++ ++ Tanin ++ ++ Saponin ++ ++ Triterpenoid + ++ Steroid Hidrokuinon + ++ Alkaloid: Dragendorf Wagner Meyer Keterangan (Remarks): (-): tidak terdeteksi (none); (+): positif (positive) ; (++): positif kuat (strong positive)
C. Uji Aktivitas Antioksidan Hasil pengujian antioksidan untuk dua jenis kulit kayu raru disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Aktivitas antioksidan dua jenis ekstrak raru Table 3. Antioxidant activity of two species of raru No 1
Jenis / species Cotylelobium melanoxylon Pierre
2
Cotylelobium lanceolatum Craib
3
Standar (Vitamin C)
Ulangan/Replication 1 2 3 Rataan (Average ) Simpangan (St.Dev) 1 2 3 Rataan (Average ) Simpangan (St.Dev)
IC50 (ppm) 125,65 114,38 85,41 108,48 20,75 78,01 78,54 77,17 77,91 0,69 5,35
Prinsip penentuan aktivitas antioksidan diukur dengan melihat kemampuan ekstrak kulit kayu raru dalam menangkap radikal bebas DPPH. Kemampuan penangkapan radikal DPPH oleh suatu antioksidan dinyatakan dalam persen penangkapan radikal. Metode DPPH dipilih karena metode ini sederhana, mudah, cepat, dan peka serta memerlukan sedikit sampel. Parameter yang digunakan untuk melihat aktivitas antioksidan adalah inhibitory concentration (IC). IC50 adalah konsentrasi larutan contoh yang menyebabkan berkurangnya aktivitas DPPH sebesar 50%. IC50 didapat dari kurva hubungan antara persen penangkapan radikal dengan konsentrasi (ppm) menggunakan persamaan regresi. Semakin kecil konsentrasi larutan contoh untuk mengurangi aktivitas DPPH sebesar 50% maka aktivitas antioksidannya semakin kuat. Hasil penelitian aktivitas antioksidan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa sampel ekstrak etanol kulit kayu Cotylelobium lanceolatum Craib mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih kuat bila dibandingkan ekstrak Cotylelobium 327
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 322-330
melanoxylon Pierre. Akan tetapi kedua ekstrak tergolong memiliki aktivitas antoksidan yang kuat karena IC50 kurang dari 200 ppm (Winarsi, 2007). Jika dibandingkan dengan aktivitas antioksidan dari vitamin C, aktivitasnya masih lebih rendah dimana vitamin C memiliki IC50 sebesar 5,35 ppm. Hasil penelitian tentang aktivitas antioksidan yang lain di antaranya pada buah dan bunga burahol (Stelechocarpus burahol Blume Hook & Thomson) yang dilaporkan oleh Tisnadjaja, dkk (2006), menyatakan bahwa hasil analisis antioksidan menggunakan metode DPPH, menghasilkan IC50 terendah pada ekstrak n-butanol pada bunga sebesar 22,44 ppm dan ekstrak etil asetat pada buah sebesar 29,12 ppm. Bagian bunga dengan ekstrak etil asetat menunjukkan IC50 sebesar 35,07 ppm. Daya antioksidan dari ekstrak daun kemuning (Murraya paniculata Jack) yang dilakukan oleh Rohman dan Sugeng (2005) dengan metode DPPH menunjukkan bahwa ekstrak daun ini mempunyai nilai IC50 sebesar 126,17 ppm. Kuncahyo dan Sunardi (2007) melaporkan aktivitas antioksidan belimbing wuluh dengan metode DPPH menghasilkan nilai IC50 pada fraksi eter sebesar 50.36 ppm dan fraksi air sebesar 44,01 ppm. Selanjutnya Hasan et.al. (2009) melaporkan aktivitas antioksidan beberapa bahan alam dari tumbuhan obat yang berasal dari Bangladesh seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Aktivitas peredaman radikal DPPH pada beberapa tumbuhan obat Bangladesh Table 4. DPPH radical scavenging activities of some Bangladeshi medical plants Nama tumbuhan/ Plant name
Famili/ Family
Artocarpus lacucha Buch.-Ham.
Moraceae
Baccaurea ramiflora Lour. Butea monosperma (Lam.) Taub. Caesalpinia pulcherrima Linn. Cocos nucifera Linn. Commelina benghalensis Linn. Curcuma alismatifolia Gangnep. Feronia limolia Linn. Hopea odorata Roxb. Ipomoea quamoclit Linn. Michelia champaca Linn. Punica granatum Linn. Syzygium cumini Linn. Tinospora cordifolia (Wild.). Xanthium indicum Koenig.
Phyllanthaceae Papilionaceae Ceasalpiniaceae Arecaceae Commelinaceae Zingiberaceae Rutaceae Dipterocarpaceae Convolvulaceae Magnoliaceae Punicaceae Myrtaceae Menispermaceae Asteraceae
328
Bagian yang dimanfaatkan / Part (s) used
IC 50
Daun/Leaves Kulit buah/ Fruit pericarp. Kulit buah/ Fruit pericarp Daun/ Leaves Daun/ Leaves Kernel/ kernel Aerial parts Daun/ Leaves Daun/ Leaves Daun/ Leaves Bag. Menggantung/ Aerial parts Daun/ Leaves Kulit buah/ Fruit peel Biji/Seeds Bag. Menggantung/Aerial parts Daun/ Leaves
54,74 39,93 31,38 25,96 16,00 13,67 21,53 18,72 17,60 33,03 25,96 22,43 10,82 4,25 29,87 23,44
Aktivitas Antioksidan dan Toksisitas Ekstrak Kulit ..... (Gunawan Pasaribu & Titiek Setyawati)
D. Pengujian Toksisitas Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode skrining untuk menentukan toksisitas suatu ekstrak ataupun senyawa. Kematian Artemia salina Leach digunakan sebagai parameter untuk menunjukkan adanya kandungan zat aktif tanaman yang bersifat sitotoksik. Metode ini juga sering dikorelasikan dengan potensi ekstrak sebagai anti kanker. Hasil pengujian tingkat toksisitas pada dua jenis ekstrak diperoleh hasil LC50 masingmasing untuk Cotylelobium melanoxylon Pierre memiliki nilai LC50 sebesar 643,550 ppm dan Cotylelobium lanceolatum memiliki LC50 sebesar 767,191 ppm. Suatu zat dikatakan aktif atau toksik bila nilai LC50 <1000 ppm untuk ekstrak dan <30 ppm untuk suatu senyawa. Sehingga, berdasarkan data yang didapatkan, kedua ekstrak termasuk dalam kategori toksik berpotensi sebagai bahan obat (Meyer, 1982). Akan tetapi dalam pemanfaatannya perlu kehati-hatian dalam hal pembuatan konsentrasi atau dosis sediaan obatnya. Penelitian Juniarti, dkk (2009) menyebutkan bahwa hasil uji sitotoksik ekstrak daun saga menggunakan metode BSLT diketahui bahwa fraksi yang bersifat toksik adalah fraksi metanol dengan nilai LC50 606,736 ppm. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Rendemen ekstrak Cotylelobium melanoxylon Pierre adalah 30,11% dan Cotylelobium lanceolatum Craib sebesar 14,50%. 2. Kedua jenis ekstrak mengandung flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid dan hidrokuinon. 3. Ekstrak Cotylelobium melanoxylon Pierre memiliki aktivitas antioksidan terhadap radikal DPPH dengan nilai IC50 sebesar 108,487 ppm dan Cotylelobium lanceolatum Craib memiliki nilai IC50 sebesar 77,909 ppm, sehingga potensial dikembangkan sebagai sumber antioksidan alami. 4. Toksisitas Cotylelobium melanoxylon Pierre memiliki nilai LC50 sebesar 643,550 ppm and Cotylelobium lanceolatum memiliki LC50 sebesar 767,191 ppm. B. Saran Perlu dilakukan analisis kuantitatif terhadap kandungan metabolit sekunder kulit kayu raru (Cotylelobium sp.) sebelum dikembangkan lebih lanjut sebagai tumbuhan obat alami (produk jamu) atau sebagai obat herbal terstandar. DAFTAR PUSTAKA Blois, M.S. 1958 Antioxidant determinations by the use of a stable free radical. Nature, 181 1199-1200 329
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 322-330
Erika, S.S., 2005. Uji Toksisitas Ekstrak Kulit Batang Raru (Shora faguetiana Heim) Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Edisi ke-2. Penerjemah Padmawinata K. Bandung: ITB. Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer. 1985. Forest products and wood science. Fourth ed. Ames. Iowa. The Iowa State University Press. Hildebrand, F.H., 1954. Daftar Nama Pohon-Pohonan 'Tapanuli' Sumatera Utara. Laporan Balai Penyelidikan Kehutanan No.67. Balai Penyelidikan Kehutanan Bogor. Indonesia. Juniarti, Delvi Osmeli, dan Yuhernita. 2009. Kandungan Senyawa Kimia, Uji Toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test) dan Antioksidan (1,1-Diphenyl-2-Pikrilhydrazyl) dari Ekstrak Daun Saga (Abrus precatorius L.). Makara, Sains, Vol. 13, No. 1, Hal. 50-54 Kuncahyo I. Dan Sunardi. 2007. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Belimbing Wuluh (Averrhoa ilimbi, L.) terhadap 1,1-Diphenyl-2-Picrylhidrazyl (DPPH). Seminar Nasional Teknologi 2007 (SNT 2007). Yogyakarta. Kurtubi M. 2006. Potensi Ekstrak Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L) Merr) sebagai Antioksidan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Meyer, B.N. 1982. Brine Shrimp : A convenient general Bioassay for Active Plant Constituent. Journal of Medicinal Plant Research, Vol.45 Pasaribu, G., Bonifasius S., dan Gustan P. 2007. Analisis Komponen Kimia Empat Jenis Kayu Asal Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 25 N0.4, Agustus 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Rohman, A. dan Sugeng, R. 2005. Daya Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Kemuning (Murraya paniculata Jack) secara in vitro. Majalah Farmasi Indonesia, 16 (3), 136-140, 205. Tisnadjaja, D., Edward S., Silvia dan Partomuan S. 2006. Pengkajian Burahol (Stelechocarpus burahol Blume Hook & Thomson) sebagai Buah yang Memiliki Kandungan Senyawa Antioksidan. Biodiversitas. Vol. 7 No.2. Hal 199-202. Widjaya, A. 1996. Radikal Bebas dan Parameter Status Antioksidan. Forum Diagnosticum 4: 1-6. Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Potensi dan aplikasinya dalam Kesehatan. Penerbit Kanisius. Zuhud, E.A.M dan Haryanto. 1994. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. Kerjasama Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, FAHUTAN IPB dan Lembaga Alam Tropika Indonesia.
330
SAWING RECOVERY OF SEVERAL SAWMILLS IN JEPARA (Rendemen Penggergajian Beberapa Kilang Penggergajian di Jepara) Oleh/By :
Jamaludin Malik1 & Gary P. Hopewell2 R&D Centre for Forestry Enginering and Forest01 Product Processing, 5 Gunung Batu Street, Bogor 16610, Indonesia 2 Forest Product Innovations, Agri-Science Queensland Salisbury Research Centre 50 Evans Road Salisbury Q 4107, Queensland, Australia, e-mail :
[email protected] Diterima 3 September 2011, disetujui 8 Desember 2011
ABSTRAK
Dalam situasi kekurangan bahan baku, para pengrajin furnitur harus memanfaatkan kayu secara efisien. Peningkatan efisiensi yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah industri kecil menengah (IKM) furnitur di Jepara perlu dilakukan sejak tahap pertama pengolahan kayu, yaitu penggergajian yang mengkonversi log menjadi kayu gergajian. Penelitian telah dilakukan terhadap peningkatan angka rendemen kayu gergajian melalui pembuatan papan jeblosan sebagai bahan baku furnitur di Jepara. Pola penggergajian yang digunakan adalah pola satu sisi. Penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran angka rendemen dari proses penggergajian selama satu hari penuh di setiap kilang dari empat sampel industri penggergajian dan satu pengrajin yang menggergaji kayu dengan gergaji rantai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka rendemen dari kilang penggergajian di Jepara mencapai 70 - 80 %. Angka ini relatif lebih tinggi karena pola penggergajian yang digunakan adalah pola satu sisi dan kayu gergajian yang dihasilkan tidak mengalami perataan sisi atau digergaji ulang menjadi papan persegi. Dibandingkan dengan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah, kilang penggergajian di Jepara telah mempraktekan penggergajian yang efisien. Keyword : Rendemen penggergajian, papan jeblosan, bahan furnitur, jepara ABSTRACT
In the situation of wood material shortage, it is important to furniture manufacturers to efficiently utilize the wood. Increasing efficiency for improving value added of small medium enterprises of wood furniture industries in Jepara should be carried out from the first stage in wood processing: sawing that will convert logs into sawn timber. A study has been carried out on improving sawing recovery of sawntimber by live-sawing pattern to make loseware lumber for furniture material in Jepara region. This study was done by investigating the current sawing recovery data as determined during one full day's processing at each of the four bandsaw mill facilities and one chainsaw/carving facility. The results indicate that the current recovery rate of sawmilling services companies in Jepara reached 70 - 80 %. These recoveries are relatively high due to the live sawing pattern used and the fact that sawn boards were not edged or resawn into square pieces at the mill. Compared to existing rules and the Government standard for calculating the recovery rate, sawmilling service companies in Jepara have practiced efficient processing in sawing. Kata kunci : Sawn-recovery, live-sawing, loseware lumber, furniture material, Jepara
331
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 331-342
I. INTRODUCTION Jepara has been well known as a centre of wood carving and furniture industries in Indonesia due to of uniqueness of the products. As a result, such industries bring Jepara to be well recognised both in domestic market and worldwide. Roda et al. (2007) stated that the reputation has driven to a large extent the economics activities related to wood production and processing, particularly to furniture manufacturing. the industry has created a focal point for developing additional activities and industries. Besides serving a huge Indonesian domestic market, Jepara also supplies overseas market, such as USA, Europe, Japan, Honkong and Australia, and consequently it takes the role of the bridge between local community, forest and global market. Although Jepara has become an established furniture industries centre, Ozarska et al. (2010) reported that significant improvements and developments are necessary to make the Jepara Furniture Industry competitive on overseas markets, numerous opportunities can be identified which indicate that the industry has a good chance of succeeding. Increasing efficiency for improving value added of small medium enterprises of wood furniture industries in Jepara should be carried out from the first stage in wood processing: sawing that will convert logs into sawn timber. Based on the sawmill owners claim, Anon. (2010d) reported that Jepara sawmills achieved high recoveries of approximately 80%. However, there is no clear records of their achievements. This report presents results of the study on the current recovery rate as observed in 5 (five) sawmill services in Jepara. For this report the definition of efficient processing excludes variables other than green-off-saw recovery. II. METHODOLOGY A. Research Location
There are limited sawmilling companies that serve many furniture enterprises in Jepara, so the investigated companies can represent most of the sawmills there. Current sawing recovery data were determined by one shift (8 hours) processing at each of the four bandsaw mill facilities and one chainsaw/carving facility in Jepara. All the investigated companies are coded as I, II, III, IV, and V. More information regarding the nominated industry champion sawmilling companies could refer to ACIAR Project FST/2006/117 Report 2.1 (Anon. 2010d). B. Material
Four wood species were sawn during the recovery investigation as can be seen in Table 1.
332
Sawing Recovery of Several Sawmills in Jepara (Jamaludin Malik & Gary P. Hopewel)
Table 1. Wood species sawn Tabel 1. Jenis kayu yang digergaji Codes of sawmilling companies I.
Wood species Teak (Tectona grandis) 1. Teak (Tectona grandis) 2. Mahogany (Swietenia sp) 3. Mango (Mangifera sp) Teak (Tectona grandis) 1. Teak (Tectona grandis) 2. Mahogany (Swietenia sp) Trembesi (Samanea saman)
II. III. IV. V.
C. Method The main activity for determining recovery rate of the sawn timber is measurement of log volumes as the input and sawn timber volumes as the output. Log measurements on the beginning (large end, dp) and the end of each log (small end, du) were undertaken twice per each cross section of the logs: the longest (d1) and the shortest (d2) diameters for the log-base and the longest (d3) and the shortest (d4) for the log-end. Log diameter (D) was then calculated as the average of the base and the end of log diameters. The length of logs (L) was measured to provide the final factor to calculate the volume for each (Vi) (Rachman et al., 2003; Rachman & Malik, 2011; Anon., 2010a). For the sawn board output, the length (P) was measured once while the width and the thickness were measured three times on each sawn board as can be seen in Figure 1. d 1 d 2 ...................................................... (1) dp 2 du d 3 d 4 ...................................................... (2) 2 dp du ...................................................... (3) D
2
0.25
Vi
D 2P ...................................................... (4) L w2
w1 t1
t2
w2 t3 15 cm
15 cm
Figure 1. Measurement method for sawn timber Gambar 1. Metode pengukuran kayu gergajian
333
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 331-342
From the above measurements, the averages of width (w) and thickness (t) can be calculated using formula (5) and (6), and then the volume of each piece of the sawn timber (Voi) is determined as follows:
w1 w 2 w3 ............................ (5) 3 t 1 t2 t3 average thickness t ............................ (6) 3 Voi P. w. t ................................................................. (7) average width w
Volume of the sawn boards for furniture loseware lumber (Vo) is a total of Voi: n
Vo i 1
Voi ................................................................. (8)
where: n = number of sawn timber boards. The sawn timber recovery from each sawn out log (Ri) is determined by: Vo Ri x 100% ......................................................... (9) Vi The recovery rate from all the studied sawn out logs (R) is calculated as the average of Ri:: n Ri .................................................................. (10) R i 1
n
where: n = number of sawn out logs Specifically for sawing in carving produced by Sholikin, the recovery was determined by comparing the weight of semi finished products as output (Wo) with their original material mass (Wi) due to difficulties to measure the irregular shaped output. It was assumed that the change in mass due to moisture loss would be negligible and therefore no adjustment was taken into account for moisture content difference between the initial log measurement and semi-finished product weighing. Therefore, the recovery was calculated as: R
wo w i x 100 ................................................................... (11)
III. RESULTS AND DISCUSSION A. Wood Species According to the previous sawing assessment described in Project Report 2.1 (Anon. 2010d), there are many species sawn in sawmilling services in Jepara. The services only process wood from the customers and as a consequence it is possible the sawn wood species can change depending on availability of resource. However, teak and mahogany are still the most favorable common species. 334
Sawing Recovery of Several Sawmills in Jepara (Jamaludin Malik & Gary P. Hopewel)
B. Sawing Pattern and Sawn Timber During this investigation, the sawing pattern used by the four sawmilling services companies is live sawing. According to Ginoga et al., (1999), this pattern is fit to be used for small diameter logs such as those typically used by the Jepara industry. This pattern is the simplest sawing method, the easiest to apply and obtains higher green-off-saw recovery rates as well as faster sawing time than alternative and more complex patterns which involve more handling time, for example turning the log. Nevertheless, Rachman and Malik (2011) stated that the live sawing pattern generally produces sawn timber with low quality due to flat sawn timber that is susceptible to change its dimension (crook) and damage (crack) during the drying process. This method is often not suitable for fast-grown logs containing high levels of growth stress. Such logs need a more balanced sawing pattern to minimise degrade or splits as stresses are relieved. The range of thicknesses of the sawn timber accords with the lumber uses in the furniture products, such as the lumber thickness 1 or 1.5 cm used for making ornament, 3 cm for table top components, and 4 cm for table and chair legs. The different lumber thicknesses are in accordance with the customers' specifications. Except Company-V who uses a chainsaw, each sawmilling company uses bandsawing equipment in a through-and through or live sawing pattern as shown in Figure 2. This pattern produces flat sawn timber type which is desirable for species such as teak to display the grain to best effect. No edging or resawing to make square was undertaken, therefore, the boards still have sapwood along both board edges. According to Indonesian Standard SNI 7537.1:2010, the lumbers called as loseware lumber (Figure 3). In Company-V, logs were converted directly into the semi finished product using a chainsaw to sculpt out the primary shape of the finished, hand-carved product (Table 2e).
Figure 2. Live sawing pattern Gambar 2. Pola penggergajian satu sisi
335
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 331-342
Figure 3. Loseware lumber Gambar 3. Papan jeblosan C. Recovery Rates Results from the measurements logs dimensions and the recovery rates are shown in Tables 2a to 2e. Table 2a. Log dimension and recovery rate of the sawn timber of sawmill company I Tabel 2a. Dimensi dolok dan rendemen kayu gergajian di kilang penggergajian I Species: Teak (Tectona grandis, 44 logs) Volume of log (cm3)
Minimum
21.5
130
47722.73
Volume of sawn timber each log (cm3) 35537.67
Maximum
37.0
300
271912.25
200775.00
85
Average
27.8
198
125506.01
94038.88
75
4.9
38
54720.35
39850.09
6
Diameter (cm)
Standard deviation
Length (cm)
Recovery (%) 61
Table 2b. Log dimension and recovery rate of the sawn timber of sawmill company II Tabel 2b. Dimensi dolok dan rendemen kayu gergajian di kilang penggergajian II Species: Teak (Tectona grandis, 6 logs) Diameter (cm)
Length (cm)
Volume of log (cm3)
Volume of sawn timber each log (cm3)
Recovery (%)
Minimum
22.6
134
72482.48
63038.67
77
Maximum
28.5
253
131986.64
109841.10
87
Average
25.7
202
104111.41
83776.33
81
1.9
45.5
24925.95
18951.13
4
Standard deviation
336
Sawing Recovery of Several Sawmills in Jepara (Jamaludin Malik & Gary P. Hopewel)
Species: Mahogany (Swietenia sp., 11 logs) Diameter (cm)
Length (cm)
Volume of log (cm3)
Volume of sawn timber each log (cm3)
Recovery (%)
Minimum
20.6
137
64206,72
43452.00
61
Maximum
34.5
275
143889,32
114960.00
82
Average
27.5
198
116238,36
87289.53
71
3.5
47.3
28458.19
24421.74
7
Volume of log (cm3)
Volume of sawn timber each log (cm3)
Recovery (%)
Standard deviation
Species: Mango (Mangifera spp. , 5 logs) Diameter (cm)
Length (cm)
Minimum
24.1
104
47515.76
36576.80
62
Maximum
50.6
136.
253495.51
221718.00
87
Average
35.0
124
132432.64
110020.16
80
Standard deviation
11.2
12.6
87585.75
80686.05
11
Table 2c. Log dimension and recovery rate of the sawn timber of sawmill company III Tabel 2c. Dimensi dolok dan rendemen kayu gergajian di kilang penggergajian III Species: Teak (Tectona grandis, 54 logs) Diameter (cm)
Length (cm)
Volume of log (cm3)
Volume of sawn timber each log (cm3)
Recovery (%)
Minimum
11.5
190
Maximum
22.5
250
79481.25
65800
83
Average
16.7
202
45211.16
31930.81
70
2.4
7.5
13411.71
11144.47
6
Standard deviation
20944. 25
14388
59
337
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 331-342
Table 2d. Log dimension and recovery rate of the sawn timber of sawmill company IV Tabel 2d. Dimensi dolok dan rendemen kayu gergajian di kilang penggergajian IV Species: Teak (Tectona grandis, 22 logs) Diameter (cm) Minimum
19.6
Maximum Average Standard deviation
Length (cm)
Volume of sawn timber each log (cm3)
Volume of log (cm3)
Recovery (%)
130
53363.86
40534.00
57
30.0
220
136629.25
103566.67
89
25.2
179.6
90639.15
68711.14
77
3.1
26.3
26016.69
18234.31
7
Species: Mahogany (Swietenia sp., 16 logs) Diameter (cm)
Length (cm)
Volume of log (cm3)
Volume of sawn timber each log (cm3)
Recovery (%)
Minimum
19.8
120
54259.20
36576.00
60
Maximum
32.1
252
183900.02
71988.00
75
Average
25.1
182.7
91620.52
67650.10
72
3.4
37.3
33760.67
31030.76
7
Standard deviation
Table 2e. Log dimension, and recovery rate of the of sawmill company V Tabel 2e. Dimensi dolok dan rendemen kayu gergajian di kilang penggergajian V Species: Trembesi (Samanea saman)
No
Type of products
Length (cm)
Material (log) size Diameter Weight (cm) (kg)
Volume (cm3)
Products weight1 (kg)
Recovery2 (%)
1
Crab big size
135
70
258
519277.5
163
63
2
Elephant
120
70
258
461580
198
77
3
King crab
150
80
300
753600
195
65
4
Rose table
40
80
50
200960
35
70
5 Crab A 125 65 136 414578,1 Remarks: 1. Semi finished product; 2. Based on the weight change Keterangan: 1. Produk setengah jadi; 2. Berdasarkan perubahan berat
106
78
Tables 2a to 2d show the highest and the lowest recovery rates from all four sawmilling companies where the highest recovery is 80% and the lowest is 57%. These recoveries are high rates of sawn timber recovery due to the live sawing pattern used and the fact that the 338
Sawing Recovery of Several Sawmills in Jepara (Jamaludin Malik & Gary P. Hopewel)
sawn timbers were not edged or resawn into square pieces. These results consolidate the recovery rate estimated by industry champions which claimed the recovery of 80%. However in this study, the sawmill (IV) recovery rates are lower than 80% : 77% for teak and 72% for mahogany. There are several factors affecting recovery rate, such as dimension, straightness, taper, logs quality, kerf, target size, personnel, condition and maintenance of the machines, and sawing pattern (Rachman and Malik, 2011) as well as method for calculation. As mentioned in the method above, board thickness and the width in this study was measured three times for each dimension and the average used for the recovery calculation. This way is different to the SNI method where the principle of measurement taken is the lowest value. For the example, from Company-IV obtained measuring result data as shown in Table 3 below Table 3. Data sample from company IV for comparing obtained recovery rate with measuring based on SNI Tabel 3. Data dari kilang penggergajian IV untuk membandingkan angka rendemen yang diperoleh dengan metode pengukuran berdasarkan SNI a. Log dimension
Diameter (cm) No. Log
Base
3
End
d1
d2
d3
d4
24
21
20
19
Average
Length (cm)
Volume (cm3)
21
201
69583.19
b. Measured sawn timber and its recovery from teak log 3 No Lumber
Length (cm)
Width Base
Middle
End
Average
Thick
Volume (cm3)
3.1
201
10
7
15
10.67
2
4288
3.2
201
17
10
19
15.33
2
6164
3.3
201
24
19
20
21
8
33768
3.4
201
19
19
24
20.67
2
8308
3.5
201
15
16
24
18.33
2
7370 59898
Recovery (%)
86
339
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 331-342
c.
Measuring the sawn timber and the recovery based on SNI No Lumber
Length (cm)
Width
Thick
Recovery (%)
Volume (cm3)
3.1
201
7
2
2814
3.2
201
10
2
4020
3.3
201
19
8
30552
3.4
201
19
2
7638
3.5
201
15
2
6030 51054
73
Based on Table 3 part b and c, there is significant difference between this study result and SNI 7537.2:2010. The difference is approximately 13%. The current recovery in this study is higher than the recovery calculated based on SNI dimension measurement because of no edging or resawing before manufacturing furniture components. Furniture manufacturers in Jepara re-cut their sawn timber to match the size of the furniture components required for orders. If they will require narrow components, they will cut the narrow lumber. If the lumber is made square first before manufacturing the components, it will make the slabs larger (Figure 4). Referring to the recovery rate and their practices, it could be stated that the sawmilling services companies have been efficient in the sawing stage of furniture production processes as far as recovery is concerned. Other measures of efficiency such as productivity, wastes and profitability were outside the scope of this study.
Figure 4.
Cutting method for making furniture components: a. Current method, b. Making square prior to make component Gambar 4. Metode pemotongan papan dalam pembuatan komponen furnitur: a. Metode yang digunakan pengrajin saat ini; b. Pembuatan papan persegi sebelum membuat komponen 340
Sawing Recovery of Several Sawmills in Jepara (Jamaludin Malik & Gary P. Hopewel)
If this current recovery rate of sawmilling services in Jepara is compared to sawing recovery rate from the Rule of Director General of Forest Production Management, Ministry of Forestry, Republic of Indonesia No. 13/2009, this current sawing recovery rate in Jepara is higher. The DG ruled that the sawn timber recovery of small diameter logs from plantation forest are to be within the range 61 to 77% (Anon., 2009). It is difficult to compare these rates with the published recovery data for other plantation species due to the difference in sawing patterns. For example a study on four plantation eucalypts aged from 11 to 14-years-old in Argentina (Hopewell, 2002) provided an average green-off-saw recovery of 35.7%, less than half achieved by the Jepara sawmills for similar sized logs. The difference is attributed to different sawing patterns, where the Argentinean material was sawn into edged boards, resulting in higher waste at the sawmilling stage. In the Jepara situation, the re-sawing is conducted at a latter stage of processing, by the furniture manufacturer. IV. CONCLUSION 1. Current recovery rate of sawmilling services companies in Jepara reached 70 - 80 %. These recoveries are relatively high due to the live sawing pattern used and the fact that sawn boards were not edged or resawn into square pieces at the mill. 2. Comparing to existing rules and the Government standard for calculating the recovery rate, sawmilling service companies in Jepara have practiced efficient processing in sawing. For this report the definition of efficient processing excludes variables other than greenoff-saw recovery. ACKNOWLEDGMENT The work was supported by Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) FST 2006/117. Also thanks to the champion industries of Karya Jati, Prasetya Indra Brata, Sumber Jati, Bakti Usaha, and Sholikin Furniture Company where the investigation undertaken. BIBLIOGRAPHY Anon. 2009. Rule of Director General of Forest Production Management No. P.13/VIBPPHH/2009 dated 9 November 2009 about Recovery of Processed Wood of Primary Forest Products Industry. Jakarta. Anon. 2010a. SNI 7533.1:2010 Log Part-1: Term and Definition. National Standardization Agency of Indonesia, Jakarta (in Indonesian Language). Anon. 2010b. SNI 7537.2:2010 Sawn Timber Part-2 Dimension Measurement. National Standardizatioan Agency of Indonesia, Jakarta (in Indonesian Language). Anon. 2010c. SNI 7537.1:2010 Sawn Timber Part-1 Term and Definition. National Standardizatioan Agency of Indonesia, Jakarta (in Indonesian Language). 341
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 331-342
Anon. 2010d. Jepara Sawmilling Assessment. ACIAR Project FST/2006/117 report no 2.1. Ginoga, B. O. Rachman and J. Malik, 1999. Technical Guideline for Sawing on Small Log Diamater. Centre for Forest Products and Forestry Socio-economical Research and Development, Bogor (in Indonesian Language). Hopewell, G. 2002. Sawing recovery and utilisation potential of fast-grown Argentinean eucalypts. FWPRDC Cullity Fellowship Report. Ozarska, G. Hopewell, J. Norton, G. Harris and W. Darmawan. 2010. General Assessment. ACIAR Project FST/2006/117 report no 2.1. Rachman, O. S. Kliwon, N. Hadjib, J. Malik, A. Santoso, I.M. Sulatiningsih, and M.I. Iskandar, 2003. Study on recovery rate for sawn timber and plywood and their secondary products. Project Report. Forest Products Research and Development Centre, FORDA. Bogor. Rachman, O. and J. Malik, 2011. Wood Sawing and Machining for Indonesian Wood Industries. FORDA, Jakarta (in Indonesian Language). Roda, Jean-Marc, P. Cadène, P. Guizol, L. Santoso, and A. U. Fauzan. 2007. Atlas Industri Mebel Kayu di Jepara. French Agricultural Research Centre for International Development. Montpellier.
342
ESTIMASI POTENSI BIOMASSA DAN MASSA KARBON HUTAN TANAMAN Acacia crassicarpa DI LAHAN GAMBUT (Studi Kasus di Areal HTI Kayu Serat di Pelalawan, Propinsi Riau) (Estimating Biomass and Carbon Mass Potency of Wood Plantation of Acacia crassicarpa Growing on Peat Land Site (A Case Study on Fiber Wood Plantation Area at Pelalawan, Riau Province) Oleh/By : 1
Yuniawati Ahmad Budiaman2 & Elias2 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp. 0251 8633378, Fax. 0251 8633413 e-mail :
[email protected] 2 Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16001 Telp. 0251 8621677, Fax. 0251 8621256 Diterima 19 September 2011, disetujui 17 November 2011
ABSTRACT
The role of forests as carbon sink and carbon store is undoubtedly important to reduce the carbon amount in the earth atmosphere thereby preventing greenhouse (GHG) effect that can induce the global warming. Among the various types of forest, peat swamp forest serves as the largest carbon store. A research has been carried out at the fiber wood plantation forest comprising mostly Acacia crassicarpa species that grew on a peat land, at the Pelalawan sector, Riau Province. The research was to obtain allometric equatios that related the growth parameters of A. crassicarpa trees (i.e. tree diameter (D) and height either a total (Htot) or branch free (Hbc)) to their growth products i.e.biomass (W) and carbon mass (C). It was found that the best fitted and most representative allometric equations were consecutively W = 0.398918D2,041Hbc0.165 (for estimating biomass potency) and C = 0.131D1.246 Htot1.175(for carbon mass potency). Furthremore, samples A. Crassicarpa tree from different stand ages (2,3,4, and 5 years old) covering particular tree portions (i.e main stems, branches, twigs, leaves, and roots) were tested for moisture contents, spesific gravity/density, ash content, volatile matter and fixed carbon. The allometric equations obtained were used to measure and estimate the biomass and carbon mass potencies of A. crassicarpa tree stands at their age group, i.e. 2,3,4 and 5 years old. Using those allometric equations, the estimates of biomass (W) of A. Crassicarpa for age 2, 3, 4 and 5 years old are 44.98 tons/ha, 70.35 tons/ha, 134.05 tons/ha, and 234.78 tons/year. The potency of carbon mass are 12.09 tons/ha, 36.23 tons/ha, 76.09 tons/ha and 133.10 tons/ha, for stand age 2,3,4 and 5 respectively. Keyword : Peat forest, Acacia crassicarpa tree stands, biomass, carbon mass, allometric equation. ABSTRAK
Peran hutan sebagai penyerap dan penyimpan karbon tidak diragukan lagi untuk mengurangi jumlah karbon di atmosfer bumi sehingga mencegah efek gas rumah kaca (GRK) yang dapat menyebabkan pemanasan global. Diantara berbagai jenis hutan, terdapat jenis hutan gambut yang
343
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 343-355
berfungsi sebagai penyimpan karbon terbesar. Penelitian dilaksanakan di hutan tanaman kayu serat spesies Acacia crassicarpa yang tumbuh di lahan gambut, secara administratif di bawah perusahaan pulp dan kertas di Pelalawan, propinsi Riau. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh persamaan alomterik yang terkait parameter pertumbuhan pohon A. crassicarpa yaitu diameter pohon (D) dan tinggi baik sebagai total (Htot) atau cabang bebas (Hbc) untuk hasil pertumbuhan biomassa (W) dan massa karbon ( C). Metode penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan contoh dari pohon A. crassicarpa dengan umur berturut-turut 2,3,4 dan 5 tahun (antara lain batang utama, cabang, ranting, daun dan akar). Contoh tersebut dilakukan pengujian di laboratorium, dengan menguji kadar air, berat jenis, kadar abu, kadar zat terbang dan kadar karbon. Hasil persamaan alometrik yang diperoleh digunakan untuk mengukur dan memperkirakan potensi biomassa dan massa karbon dari tegakan pohon A. crassicarpa pada kelompok umur, yaitu 2,3,4 2,041 0.165 dan 5 tahun. Persamaan alometrik yang tepat dan paling mewakili adalah W = 0.398918D Hbc 1.246 1.175 (untuk menghitung potensi biomassa) dan C = 0.131D Htot (untuk menghitung potensi karbon). Penggunaan persamaan alometrik tersebut, akan menghasilkan potensi biomassa (W) A. crassicarpa untuk kelompok umur 2,3,4 dan 5 tahun berturut-turut yaitu 44,98 tons/ha, 70,35 tons/ha, 134,05 tons/ha dan 234,78 tons/ha. Sedangkan untuk nilai potensi massa karbon ( C ) sebesar 12,09 tons/ha, 36,23 tons/ ha, 76,09 tons/ha dan 133,10 tons/ha, masing-masing untuk kelompok umur pohon (2,3,4,5 tahun). Untuk menarik kesimpulan hasil penelitian ini bahwa pada berbagai umur tegakan pohon A. crassicarpa dan berbagai bagian pohon memberikan perbedaan nyata didalam biomassa dan massa karbon. Informasi penting ini patut mendapat perhatian secara menyeluruh untuk memperkirakan potensi biomassa dan massa karbon di pohon tertentu dengan tepat dan handal. Kata kunci : Hutan gambut, tegakan pohon Acacia crassicarpa, Biomassa, massa karbon, pasangan alometrik
I. PENDAHULUAN Peranan hutan sebagai penyimpan dan penyerap karbon sangat penting dalam rangka mengatasi masalah efek gas rumah kaca (GRK) yang mengakibatkan pemanasan global. Salah satu penyumbang emisi GRK adalah karbondioksida (CO2), yang berkontribusi sebesar 55% dari keseluruhan peningkatan pemanasan global. Dengan demikian, maka emisi dan penyerapan CO2 di atmosfer harus mendapat perhatian yang lebih besar. Hutan gambut sebagai biomassa merupakan tempat penyimpanan karbon terbesar diantara berbagai tipe hutan. Menurut Murdiyarso et al. (2004), hutan gambut adalah tempat pemendaman karbon yang telah berlangsung ribuan tahun. Secara global biomassa pada lahan gambut menyimpan sekitar 329-525 Gt C atau 15-35% dari total karbon terestris. Sekitar 86% (455 Gt) dari karbon di lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate atau beriklim sedang (Kanada dan Rusia), sedangkan sisanya sekitar 14% (70 Gt) terdapat di daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata lahan gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi biomassa 114 kg/m3, dengan kadar karbon 50% dan luas lahan tersebut 16 juta ha, maka stok massa karbon di lahan gambut Indonesia adalah sebesar 46 Gt. Jadi sekitar 65 % stok massa karbon di daerah tropis tersimpan di hutan gambut di Indonesia. Saat ini telah banyak hasil penelitian potensi biomassa dan massa karbon pada jenis pohon tertentu. Beberapa hasil penelitian yaitu : 1 Sumanti (2003) pada tegakan Pinus merkusii jungh. Et De Vriese umur 1,2,3,4,5,6 dan 7 tahun dimana rata-rata potensi biomassa yang dimiliki pada masing-masing kelas umur berturut-turut adalah 18,86 ton/ha, 68,66 344
Estimasi Potensi Biomassa Dan Massa Karbon Hutan Tanaman ..... (Yuniawati Ahmad Budiaman & Elias)
ton/ha, 170,48 ton/ha, 202,60 ton/ha, 186,88 ton/ha, 179,74 ton/ha dan 197, 76 ton/ha dengan potensi massa karbon masing-masing adalah 9,43 ton/ha, 34,33 ton/ha, 85,24 ton/ha, 101,13 ton/ha, 93,44 ton/ha, 89,87 ton/ha dan 98,88 ton/ha; 2 Nurhayati (2005) pada tegakan puspa (Schiima wallichii (DC.) Korth.) umur 1,2,3, dan 4 tahun setelah kebakaran hutan memiliki kandungan biomassa batang berturut-turut adalah 408,55kg/ha, 842,39 kg/ha, 3575,81 kg/ha dan 5389,06 kg/ha dengan massa karbon adalah 200,1 kg/ha, 422,20 kg/ha, 1792,15 kg/ha dan 2700,93 kg/ha; dan 3 Elias dan Wistara (2009) pada tegakan pohon Jeunjing (Paraserianthes falcataria L Nielsen) di hutan rakyat pada umur tegakan 1,2,3,4,5 dan 6 tahun memiliki potensi massa karbon berturut-turut adalah 29,262 ton/ha, 33,555 ton/ha, 39,163 ton/ha, 33,163 ton/ha dan 56,93 ton/ha. Pendugaan potensi biomassa dan massa karbon telah banyak dilakukan penelitian tetapi lebih kepada tegakan yang tumbuh di atas tanah mineral atau lahan kering, sedangkan hasil penelitian untuk tegakan di lahan basah seperti gambut terutama tegakan Acacia crassicarpa belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan model persamaan alometrik untuk menduga potensi biomassa dan massa karbon pohon A. crassicarpa, dan mengetahui potensi biomassa dan massa karbon tegakan A. crassicarpa di lahan gambut. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian
Penelitian lapangan laksanakan di areal hutan tanaman A. crassicarpa di areal HTI Pelalawan Propinsi Riau. Sedangkan penelitian di laboratorium di lakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, dan Laboratorium Pengaruh Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan administrasi pemerintahan, Pelalawan termasuk dalam Kecamatan Siak Indrapura, Pelalawan dan Kerumutan. Berdasarkan administrasi sektor kehutanan, Sektor Pelalawan termasuk dalam Pemangkuan Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan yang berada di bawah Dinas Kehutanan Propinsi Riau. Luas lahan hutan di Sektor Pelalawan adalah 75.640 ha, yang terdiri dari jenis tanah organosol hemik, fibrik seluas 52.845 ha, dan organosol saprik, hemik seluas 22.795 ha. Areal ini terletak pada DAS (Daerah Aliran Sungai) Selampayan Kanan, Sub DAS Selampayan Kiri, dengan ketinggian 20-160 m dpl. Menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson iklim di daerah ini termasuk tipe A, dengan rata-rata curah hujan 2.323 mm/tahun dan banyaknya hari hujan 150 hari/tahun. Curah hujan paling tinggi terjadi pada bulan April dan curah hujan paling rendah pada bulan Juli. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian ini adalah pohon-pohon contoh dari tegakan A. crassicarpa di lahan gambut. Bahan dan alat yang digunakan terdiri dari kompas, pita ukur, rollmeter, tali rafia, spidol permanen, cat warna kuning dan merah, timbangan besar kapasitas 25-100 kg, timbangan kecil 0,5-2,0 kg, chainsaw, sekop, kuas kawat, parang, label, kantong plastik ukuran 1 kg, terpal, tanur, ayakan dengan ukuran lubang 40-60 mess, oven, cawan aluminium, alat tulis, kalkulator, komputer dan perangkat lunak Microsoft Word, Microsoft Excel dan SPSS 15. 345
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 343-355
C. Prosedur Penelitian Penelitian dilaksanakan melalui tahapan kegiatan sebagai berikut : 1. Inventarisasi potensi biomassa dan massa karbon pohon dilakukan dengan menggunakan metode survey sistem jalur selebar 20 m pada petak ukur seluas 1 ha. Survei dilakukan pada masing-masing areal tegakan dengan kelas umur 2,3,4, dan 5 tahun. Jumlah petak ukur pada masing-masing kelas umur tersebut sebanyak 3 buah sehingga jumlah total petak ukur tersebut adalah 4 x 3 atau 12 buah. 2. Pengukuran biomassa pohon dilakukan dengan metode destruktif. Jumlah pohon sampel yang diambil sebanyak 40 pohon yang merupakan pohon-pohon yang mewakili populasi setiap kelas diameter dari 4 kelas diameter pohon A. crassicarpa dalam tegakan (Tabel 1). Maisng-masing kelas diameter tersebut diambil dari areal tegakan berdasar kelas umur tertentu (2,3,4,5 tahun) sehingga dianggap mewakili tegakan pohon dengan umur berturut-turut 2,3,4, dan 5 tahun tersebut. Pemilihan pohon sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Metode pengukuran dan pengumpulan data pohon contoh mengikuti tahapan kerja yang telah dijelaskan oleh Elias dan Wistara (2009). Tabel 1. Jumlah pohon contoh A. crassicarpa dan sebaran kelas diameternya di lokasi penelitian Table 1. Number of sampled A. crassicarpa trees and distribution of their diameter as further grouped into four classes, at the research site No
Kelas diameter (Diameter classes), cm
Jumlah pohon contoh (Sum of sample trees)
1
4,6 -< 9,3
15
2
9,3 - < 14,1
8
3
14,1 - < 18,8
8
4
18,8 – 23,5
9
Jumlah total pohon (Total of sample trees)
40
3. Contoh bahan uji diambil dari batang utama, cabang, ranting, daun dan akar dari tiap-tiap pohon contoh masing-masing sebanyak 3 buah (sub contoh ) yang selanjutnya dianggap sebagai ulangan, sehingga jumlah sampel uji sebanyak 40 x 5 x 3 atau 600 buah. Cara pengambilan contoh bahan uji di lapangan mengikuti cara yang telah dijelaskan oleh Elias dan Wistara (2010). 4. Pengujian yang dilakukan pada contoh bahan uji terdiri dari penetapan kadar air (Haygreen dan Bowyer, 1989), berat jenis (Karnasudirdja, 1987), kadar zat terbang (Anonim, 1990a), kadar abu (Anonim, 1990b) dan kadar karbon (SNI 06-3730-1995 dalam Elias dan Wistara , 2010) 5. Persamaan alometrik dan uji t Beda nyata kadar karbon Persamaan alometrik merupakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel tidak bebas (dependent variable yang dinyatakan dalam persamaan eksponensial. Persamaan alometrik yang dibuat dalam 346
Estimasi Potensi Biomassa Dan Massa Karbon Hutan Tanaman ..... (Yuniawati Ahmad Budiaman & Elias)
penelitian ini adalah hubungan antara diameter pohon setinggi dada (1,3 m dari permukaan tanah) dengan biomassa atau massa karbon pohon, dan hubungan diameter setinggi dada dan tinggi pohon (sampai cabang utama dan total) dengan biomassa atau massa karbon pohon. Model hubungan tersebut dinyatakan dalam persamaan eksponensial (alometrik) sebagai berikut (Brown, et al.,1989): 1. Model dengan satu peubah bebas: b W = a D …………………………………………………………….……… (1) b C = a D …………………………………………………………………….. (2) 2. Model dengan dua peubah bebas b c W = a D Hbc ………………………………………………………….…….(3) b c C = a D Hbc ………………………………………………………….…….(4) b c W = a D Htot ……………………………………………………………….(5) b c C = a D Htot ………………………………………………………………..(6) Keterangan: W = Biomassa pohon (kg); C= Massa karbon pohon (kg); W,C = Dianggap sebagai peubah tidak bebas; D = Diameter pohon setinggi dada (cm); Hbc = Tinggi pohon bebas cabang (m) ; Htot = Tinggi pohon total (m); a,b,c = Konstanta D, Hbc, Htot = Dianggap sebagai peubah bebas D. Analisis Data Pengujian terhadap kecermatan hasil perhitungan persamaan alometrik menggunakan 2 kriteria nilai simpangan baku (s), koefisien determinasi R adjusted, dan PRESS (Predicted residual sum of square). Berdasarkan kriteria tersebut, model yang terbaik adalah model yang memiliki 2 nilai s terkecil, R adjusted yang terbesar, dan PRESS yang paling kecil. Sedangkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kadar karbon biomassa pada bagian-bagian pohon (batang utama, cabang, ranting, daun, dan akar), dan apakah terdapat perbedaan antara kadar karbon biomassa pohon dari berbagai kelas umur tegakan A. crassicarpa dipergunakan uji analisa keragaman (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji beda nilai tengah uji t (least square means for t-test) menggunakan software SPSS 15. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kadar Karbon A. crassicarpa Hasil penelitian di laboratorium terdiri dari kadar air (%), berat jenis (gr/cm3 ), kadar zat terbang (%), kadar abu (%), dan kadar karbon (%) pada setiap bagian pohon dan kelas umur disajikan pada Tabel 2.
347
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 343-355
Tabel 2. Hasil uji Laboratorium kadar air ,berat jenis, kadar zat terbang, kadar abu, dan kadar karbon Table 2. Results of laboratory test on moisture content, specific gravity/density, volatile matter, ash content and fixed carbon. Sifat (Properties) Kelas umur (tahun) (Age group, years)
Bagian pohon (Portion in the tree)
2
Batang (main stems) Cabang (branches) Ranting (twigs) Daun (leaves) Akar (roots) Batang (main stems) Cabang (branches) Ranting (twigs) Daun (leaves) Akar (roots) Batang (main stems) Cabang (branchs) Ranting (twigs) Daun (leaves) Akar (roots) Batang (main stems) Cabang (branches) Ranting (twigs) Daun (leaves) Akar (roots)
3
4
5
Kadar air (%) (Moisture content,%)
Berat jenis/kera patan (gr/cm3) (density, gr/cm3)
Kadar abu (%) (Ash content, %)
Kadar zat terbang (%) (Volatile matter, %)
Kadar karbon (%) (Fixed carbon, %)
80,57 121,27
0,61
1,49
48,25
50,27
114,77 118,64 92,01
0,49 0,41 0,32
1,68 1,33 2,45 2,73
54,65 55,57 60,53 59,99
43,67 43,1 37,02 37,28
65,84
0,64
1,30
43,13
55,57
84,37 91,81 102 105,70
0,52 0,46 0,35
1,29 1,41 1,69 2,52
50,4 52,04 57,96 56,53
48,3 46,55 40,35 40,95
57,15 76,11 87,83 94,26 115,42
0,66 0,54 0,48 0,36
1,42 1,64 1,54 1,46 2,68
40,80 48,37 50,18 49,98 53,74
57,78 49,98 48,28 48,56 43,59
49,02
0,67
1,43
38,38
60,20
67,38 83,39 79,88 131,6
0,6 0,51 0,43
1,51 1,61 1,47 2,34
42,93 46,48 46,09 51,30
55,57 51,91 52,43 46,36
Kadar karbon biomassa adalah perbandingan jumlah berat atau massa unsur karbon yang terdapat dalam biomassa terhadap berat kering biomassa tersebut yang dinyatakan dalam persen. Massa karbon tersebut berasal dari unsur karbon yang diserap oleh vegetasi/pohon dari CO2 di udara melalui proses reaksi bio kimia yang dikenal dengan proses fotosintesis. Rata-rata kadar karbon pohon A. crassicarpa hasil penelitian ini disajikan pada Gambar 1. 348
Estimasi Potensi Biomassa Dan Massa Karbon Hutan Tanaman ..... (Yuniawati Ahmad Budiaman & Elias)
Gambar 1. Kadar karbon (%) biomassa A. crassicarpa pada berbagai bagian pohon Figure 1. Carbon content (%) of A. crassicarpa biomass at various tree portions Keterangan (Remarks) KU 2 tahun : kelas umur tegakan 2 tahun (Stand age class of 2 years) KU 3 tahun : Kelas umur tegakan 3 tahun (Stand age class of 3 years) KU 4 tahun : Kelas umur tegakan 4 tahun (Stand age class of 4 years) KU 5 tahun : Kelas umur tegakan 5 tahun (Stand age class of 5 years) Masing-maisng kelas umur tegakan / each of the age classes of the stands consecutively (2,3,4,5, years) diwakili oleh masing-masing kelas diameternya / is represented by each of their diameter class (4.6-<9.3 cm, 9.3 - < 14.1 cm, 14.1 - < 18.8 cm, 18.8-23.5 cm, respectively).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar karbon tertinggi terdapat pada biomassa bagian batang umur 5 tahun yaitu sebesar 60,20%, dan kadar karbon terendah terdapat pada biomassa daun berumur 2 tahun yaitu sebesar 37,02%. Hasil uji (Lampiran 1) terhadap perbedaan kadar karbon pada biomassa bagian pohon A. crassicarpa (batang utama, cabang, ranting, daun, dan akar) dan terhadap perbedaaan kadar karbon pada biomassa pohon dalam tegakan kelas umur 5,4,3,dan 2 tahun menunjukan adanya perbedaan yang nyata dari kadar karbon yang terdapat pada bagian pohon maupun pada biomassa pohon pada kelas umur tegakan yang berbeda. Pada Gambar 2 dapat diketahui bahwa semakin tua kelas umur tegakan A. crassicarpa, semakin tinggi kadar karbon biomassa pohon tegakan tersebut. Ini disebabkan semakin tua umur pohon, maka porsi kayu tuanya (mature wood) makin besar terhadap porsi kayu muda (juvenile wood). Lebih lanjut, kadar selulosa dan lignin pada kayu tua lebih besar dibandingkan pada kayu muda, seperti diketahui kandungan karbon (C) pada selulosa dan lignin berturut-turut 44.44% dan 67.50% (Browning, 1967, Haygreen dan Bowyer, 1989). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Elias dan Wistara (2010) yang melakukan penelitian terhadap tegakan Paraserienthes falcataria, Acacia mangium, Pinus merkusii, hutan alam tropika tanah kering ,dan hutan alam tropika gambut, dan hasil penelitian Peichl dan Arain (2006 dan 2007) di hutan Pinus di wilayah temperate. Tingginya kadar karbon pada batang disebabkan karbon merupakan unsur yang dominan dalam kayu. Kayu tersusun dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif yang sebagian besar tersusun dari unsur karbon. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan Haygreen dan Bowyer (1989) bahwa bagian batang pohon utama umumnya memiliki zat penyusun kayu (jaringan silem) lebih banyak dibandingkan bagian pohon lainnya (cabang dan ranting). Sedangkan rendahnya kadar karbon pada daun dan akar disebabkan 349
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 343-355
pada daun banyak terdapat jaringan bersifat parenkhim yang berdinding tipis dan penyusun dinding jaringan tersebut bukan hanya terdiri dari selulosa saja, tetapi juga bahan pektin dan lignin hampir tak ada. Lagi pula produk fotosintesis pada daun segera ditranslokasikan ke seluruh bagian pohon guna menjalani proses metabolisme lebih lanjut (asimilasi, biosintesis, dan sebagainya). Pada akar, selain terdapat jaringan silem (kayu), juga banyak terdapat jaringan ploem dan parenkhim. Baik jaringan ploem maupun parenkhin tersebut memiliki dinding tipis dan lignin hampir tak ada (Holman and Robbin, 1973). Kadar karbon biomassa pohon dari tegakan yang umurnya lebih tua lebih tinggi dibandingkan dengan kadar karbon biomassa pohon yang umur tegakannya lebih muda. Hal ini disebabkan pada pohon yang tua sudah lebih banyak terbentuk kayu gubal dibandingkan kayu dari pohon muda. Selanjutnya nilai kadar karbon yang saling berbeda pada bagian batang utama, cabang, ranting dan akar digunakan untuk menentukan kadar karbon keseluruhan biomassa yang mencakup bagian-bagian tersebut selama dibobot (weighted). Kadar karbon A. crassicarpa dari hasil penelitian ini berbeda dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh orang lain antara lain yaitu : (1) Limbong (2009) tegakan Acacia crasscarpa lahan gambut bekas terbakar di Sumatera Selatan dimana pada kelas umur 2 tahun (batang, cabang, ranting, daun, bunga) masing-masing adalah 16,28%, 17,25%, 20,55%, 22, 83%, dan 0%, pada kelas umur 4 tahun masing-masing pada bagian pohon adalah 17,16%, 18,22%, 19,05%, 24,40%, 22,07%, pada kelas umur 6 tahun masing-masing pada bagian pohon adalah 16,02%, 17,83%, 18,79%, 23,11% dan 22,01%; dan (2) Adiriono (2009) tegakan Acacia crasscarpa lahan gambut di Sumatera Selatan dimana hasil rata-rata kadar karbon yang dihasilkan pada bagian pohon daun, batang, cabang dan akar masing-masing adalah 68,84%, 82,15%, 82,32% dan 78,70%. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kadar karbon biomassa bagian-bagian pohon dan kadar karbon biomassa pohon dalam berbagai kelas umur tegakan adalah berbeda satu sama lainnya, sehingga besarnya kadar karbon biomassa merupakan informasi yang penting dalam menduga potensi massa karbon pohon dalam tegakan. Asumsiasumsi umum yang sering dipergunakan (a.l. Brown, 1997; Ketterings et al. 2001) yang menyebutkan bahwa massa karbon dianggap sama dengan 50% biomassa atau faktor konversinya = 0,5 dalam menduga potensi massa karbon suatu tegakan tanpa memperhatikan jenis biomassa dan umur tegakan, dapat menyebabkan ketidaktepatan hasil pendugaan. B. Potensi Biomassa A. crassicarpa Pendugaan potensi biomassa A. crassicarpa dilakukan dengan menggunakan model persamaan alometrik biomassa pohon. Persamaan alometrik pendugaan potensi biomassa pohon A. crassicarpa terbaik yang diperoleh dari penelitian ini adalah W = 2,041 0,165 0,398918D Hbc , yang mempunyai koefisien determinasi R-Sq(adj) sebesar 0,99 dan simpangan baku sebesar 0,062. Hasil pendugaaan potensi biomassa tegakan A. crassicarpa berdasarkan persamaan biomassa tersebut disajikan pada Tabel 3. Hasil perhitungan potensi biomassa tegakan A. crassicarpa tersebut di atas lebih besar dari hasil penelitian Adiriono (2009) yang mengadakan penelitian terhadap tegakan A. crassicarpa di Sumatera Selatan yang menghasilkan potensi biomassa pohon tegakan A. crassicarpa kelas umur 5,4,3,dan 2 tahun berturut-turut sebagai berikut: 154,19; 125,84; 62,47; dan 56,94 ton/ha.
350
Estimasi Potensi Biomassa Dan Massa Karbon Hutan Tanaman ..... (Yuniawati Ahmad Budiaman & Elias)
Tabel 3. Potensi biomassa pada tegakan pohon A. crassicarpa (ton/ha) Table 3. Potency of biomass A. crassicarpa tree stand (ton/ha) Kelas umur (tahun), Age group (years)
Jumlah pohon/ha (N/ha), Number of Tree /ha (N/ha)
Biomassa (kg/pohon), Biomass (kg/tree)
Biomassa (kg/ha), Biomass (kg/ha)
Biomassa (ton/ha), Biomass (ton/ha)
2 3 4 5
1043 905 820 745
43,125 77,735 163,475 315,147
44.979,3 70.350,175 134.049,5 234.784,515
44,98 70,35 134,05 234,78
Hasil penelitian ini memiliki potensi biomassa lebih tinggi daripada hasil penelitian Adiriono (2009), hal ini disebabkan karena jumlah pohon/ha pada umur tegakan 2, 3 dan 5 tahun lebih sedikit daripada penelitian ini, sehingga potensi biomassa yang ada lebih rendah. Disamping itu metode penelitian yang digunakan juga berbeda. Untuk menghitung biomassa menggunakan nilai Biomass Expansion Factor (BEF), dimana tidak dilakukan pengukuran secara langsung. Pengukurannya menggunakan data hasil inventore hutan, dengan data berupa volume batang (Fang, 2001; Schroeder, 1997 dalam Adiriono, 2009). Makin besar potensi biomassa tegakan diakibatkan oleh makin tua umur tegakan tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena diameter pohon mengalami pertumbuhan melalui pembelahan sel yang berlangsung secara terus menerus dan akan semakin lambat pada umur tertentu. Pertumbuhan tersebut terjadi di dalam kambium arah radial. Pada akhirnya akan terbentuk sel-sel baru yang akan menambah diameter batang (Sjostrom, 1998). C. Potensi Massa Karbon A. crassicarpa Pendugaan potensi massa karbon pohon tegakan A. crassicarpa menggunakan model persamaan alometrik penduga massa karbon pohon A. crassicarpa yang terbaik yang 1,246 1,175 diperoleh dari penelitian ini, yakni C = 0,131D Htot , dengan koefisien determinasi RSq(adj) sebesar 0,99 dan simpangan baku sebesar 0,062. Hasil pendugaaan potensi massa karbon tegakan A. crassicarpa disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Potensi massa karbon tegakan pohon Acacia crassicarpa Table 4. Potency of mass carbon A. crassicarpa tree stand Kelas umur (tahun), Age group (years) 2 3 4 5
Jumlah pohon/ha (N/ha), Number of Tree /ha (N/ha) 1043 905 820 745
Massa karbon (kg/pohon), mass carbon (kg/tree) 11,587 40,031 92,788 178,659
Massa karbon (kg/ha), mass carbon (kg/ha) 12.085,241 36.228,055 76.086,16 133.100,955
Massa karbon (ton/ha), mass carbon (ton/ha) 12,09 36,23 76,09 133,10
351
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 343-355
Hasil pendugaan massa karbon pohon penelitian ini lebih besar dari hasil pendugaan potensi massa karbon pohon tegakan A. crassicarpa yang dilakukan oleh Adiriono (2009), yang menunjukkan potensi massa karbon tegakan A. crassicarpa berumur 5,4,3,dan 2 tahun berturut-turut adalah 55,47; 46,25; 34,53; dan 21,71 ton/ha. Kedua hasil pendugaan potensi massa karbon tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi umur tanaman maka massa karbon pohon tegakan semakin besar. Dari Tabel 4 menunjukkan bahwa potensi massa karbon pada kelas umur 5 tahun lebih tinggi yaitu 133,10 ton/ha daripada kelas umur yang lain. Tingginya massa karbon pada tegakan hutan meningkat pada setiap peningkatan umur tanaman, hal ini disebabkan karena dengan meningkatnya umur tanaman maka pohon atau tanaman menjadi lebih besar yang dihasilkan dari proses fotosintesis. Sedangkan Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa potensi massa karbon dapat dilihat dari biomassanya tegakan yang ada. Besarnya massa karbon tiap bagian pohon dipengaruhi oleh massa biomassa vegetasi. Oleh karena itu setiap peningkatan terhadap biomassa akan diikuti oleh peningkatan massa karbon. Hal ini menunjukkan besarnya biomassa berpengaruh terhadap massa karbon. Besarnya potensi massa karbon sangat dipengaruhi diameter pohon. IV. KESIMPULAN 1. Hasil pendugaan potensi biomassa dan massa karbon pohon tegakan A. crassicarpa dengan menggunakan persamaan (eksponensial) alometrik biomassa pohon dan diantara berbagai alternatif alometrik yang dianggap paling representatif adalah persamaan 2,041 0,165 alometrik W = 0,398918D Hbc dan persamaan alometrik massa karbon pohon C = 1,246 1,175 0,131D Htot persamaan alometrik tersebut menunjukkan bahwa potensi biomassa pohon tegakan A. crassicarpa kelas umur 2,3,4 dan 5 tahun berturut-turut sebesar 44,98 ton/ha, 70,35 ton/ha, 134,05 ton/ha dan 234,78 ton/ha, dan potensi massa karbon pohonnya berturut-turut sebesar 12,09 ton/ha, 36,23 ton/ha, 76,09 ton/ha dan 133,10 ton/ha. 2. Kadar karbon biomassa bagian-bagian pohon (batang utama, cabang, ranting, daun dan akar) dan kadar karbon biomassa pohon dalam berbagai kelas umur tegakan adalah berbeda satu sama lainnya. Makin tua suatu tegakan makin besar potensi massa karbon pohon tegakan tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Tim penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia, LPPM IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB yang melalui Skema Hibah Pascasarjana telah mendukung penelitian dengan judul Integrasi Pemanfaatan Karbon dalam Pengelolaan Hutan Alam Lestari dan Program REDD Indonesia.
352
Estimasi Potensi Biomassa Dan Massa Karbon Hutan Tanaman ..... (Yuniawati Ahmad Budiaman & Elias)
DAFTAR PUSTAKA Adiriono, T. 2009. Pengukuran kandungan karbon (Carbon Stock) dengan metode karbonasi pada Hutan Tanaman jenis Acacia crassicarpa (Studi Kasus di HTI PT. Sebangun Bumi Andalas Woodbased Industries). Thesis. Program Studi S2 Ilmu Kehutanan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Tidak diterbitkan. Anonim. 1990a. Standard Test Method for Volatile Matter Content of Active Carbon. Annual Book of ASTM Standards. ASTM D 5832-98. Philadelphia. ______. 1990b. Standard Test Method for Total Ash Content of Actived Carbon. Annual Book of ASTM Standards. ASTM D 2866-94. Philadelphia. Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest: A Primer. Rome, Italy: FAO Forestry Paper. 134p. Rome. Brown, S., A.J.R. Gillespieand, A.E. Lugo. 1989. Biomass Estimation Methods for Tropical Forest with Applications to Forest Inventory Data. Forest Science Vol 35(4):881-992. Browning, B.L. 1967. The chemistry of Wood Interscience Publishes. New York-LondonTokyo-Sydney. Elias dan N.J. Wistara. 2009. Metode estimasi massa karbon pohon jeunjing (Paraserianthes falcataria L Nielsen) di Hutan Rakyat. Jurnal Managemen Hutan Tropika 15(2): 75-82. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Elias and N.J. Wistara. 2010. Innovation in the Methods of Forest Carbon Stock Estimation. Di dalam: XXIII IUFRO WORLD CONGRESS Seoul, 23-28 August 2010. Seoul. Hairiah K, dan Rahayu S. 2007. Petunjuk praktis pengukuran karbon tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan. World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia Regional Office. Bogor. Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer. 1989. Hasil hutan dan ilmu kayu. Suatu pengantar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Holman, R and W.W. Robbins. 1973. Elements of botany. Fifth edition John Wiley and Sons, Inc. New York. Toronto. London. Karnasudirdja, S. 1987. Pengetahuan bahan kayu . Sifat fisis dan mekanis. Departemen Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Ketterings, Q.M., R. Coe, M. Van Noordjwik, Y. Ambagau and C.A. Palm. 2001. Reducing Uncertainty in the Use of Allometric Biomass Equations for Predicting Above-Ground Tree Biomass in Mixed Secondary Forests. Forest Ecology and Management 120: 199209. Limbong H.D.H. 2009. Potensi karbon tegakan Acacia crassicarpa pada lahan gambut bekas terbakar (Studi Kasus IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries, Sumatera Selatan). Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.Bogor. Tidak diterbitkan.
353
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 343-355
Murdiyarso, D., U. Rosalina , K. Hairiah, L. Muslihat, N.N.N. Suryadiputra, dan A. Jaya. 2004. Petunjuk lapangan pendugaan cadangan karbon pada lahan gambut. Proyek Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia programmed an Wildlife Habitat Canada. Bogor. Nurhayati, E. 2005. Estimasi potensi simpanan karbon pada tegakan puspa (Schima wallichii (DC.) Korth) di areal 1,2,3 dan 4 tahun setelah pembakaran, di hutan sekunder Jasinga, Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. Peichl, M. and M.A. Arain. 2006. Above- and Belowground Ecosystem Biomass and Carbon Pools in an Age-sequence of Temperate Pine Plantation Forests. Agricultural and Forest Meteorology 140: 51-63. ______. 2007. Allometry and Partitioning of Above- and Belowground Tree Biomass in an Age-Sequence of White Pine Forests. Forest Ecology and Management 253: 68-80. Sumanti, P. 2003. Potensi simpanan karbon di atas permukaan tanah pada hutan tanaman Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese di KPH Lawu DS, Perum Perhutani. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan. Sjostrom, E. 1998. Kimia kayu, dasar-dasar penggunaan. Edisi 2. Penerjemah Dr. Hardjono Sastrohamidjojo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
354
Estimasi Potensi Biomassa Dan Massa Karbon Hutan Tanaman ..... (Yuniawati Ahmad Budiaman & Elias)
Lampiran 1. Tabel 5. Hasil uji t-student kadar karbon A. crassicarpa pada berbagai bagian pohon Table 5. The results of t-test student on carbon content (%) at several portions of A. crassicarpa tree Bagian pohon
Cabang Ranting Daun
Batang
0,000** 0,032*
Cabang
Akar 0,002*
0,031*
0,000** 0,000** 0,000** 0,000** 0,23 tn
Ranting Daun
0,002*
Keterangan : ** = Berbeda Sangat Nyata (p<0,01) pada selang kepercayaan 95% * = Berbeda Nyata (p 0,01-0,05) pada selang kepercayaan 95% tn= Tidak Berbeda Nyata (p>0,05) pada selang kepercayaan 95%
Tabel 6. Hasil uji t-student massa karbon pada masing-masing kelas umur Table 6. The results of t-test student on carbon mass at each age group of A. crassicarpa tree Kelas Umur (thn) 2 3 4
3 0,069 tn
4 0,003** 0,172 tn
50 0,000** 0,020* 0,139 tn
5
0,001**
Keterangan : ** = Berbeda Sangat Nyata (p<0,01) pada selang kepercayaan 95% * = Berbeda Nyata (p 0,01-0,05) pada selang kepercayaan 95% tn= Tidak Berbeda Nyata (p>0,05) pada selang kepercayaan 95%
355
PERBANDINGAN CIRI ANATOMI KAYU DAN KULIT 3 JENIS PULAI (Alstonia sp.) (The Comparison of Wood and Bark Anatomy on Three Pulai Species (Alstonia sp.) Oleh/By :
Andianto Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610 Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 86333413 e-mai :
[email protected] Diterima 17 September 2011, disetujui 17 November 2011
ABSTRACT
Pulai (Alstonia sp.) belonging to the family Apocynaceae, produces latex which is frequently used as a traditional medicine. Various literatures on medicinal tree species frequently mention about it, but a description of the wood and bark anatomy of pulai up to the species level is hardly found. Anatomical structure of wood and bark of Alstonia scholaris, A. angustiloba and A. pneumatophora were observed on samples produced using a microtome. Dimensions of wood fiber and vessel cells also were measured. Observations showed that the three species of pulai wood can be distinguished from the differences in diameter and frequency of vessel cells, type and arrangement of parenchyma cells, width and composition of the ray cells. The bark of these species can be distinguished based on the form of sklereid cells and the presence of dilationed ray cells (widening ray cell). Keyword : Apocynaceae, pulai, wood and bark, anatomical structure ABSTRAK
Pulai (Alstonia sp.). yang termasuk ke dalam suku Apocynaceae banyak diinformasikan mengandung getah yang sering digunakan sebagai obat tradisionil. Dalam berbagai literatur, jenis pohon berkhasiat obat sudah banyak disinggung namun diskripsi anatomi kayu maupun kulit (pepagan) jenis Pulai hingga tingkat species masih belum banyak ditemui. Contoh kayu dan kulit Alstonia scholaris, A.angustiloba dan A. pneumatophora disayat dengan mikrotom untuk memperoleh sayatan tipis guna pengamatan struktur anatomi. Dimensi sel pembuluh dan serat kayu diukur melalui preparat maserasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kayu dari ketiga jenis Pulai ini dapat dibedakan diantaranya berdasarkan perbedaan diameter dan frekuensi sel pembuluh, tipe dan susunan sel parenkim serta lebar sel jari-jari. Kulit ketiga jenis ini dapat dibedakan melalui bentuk sel sklereid dan kehadiran jari-jari terdilatasi (sel jari-jari yang mengalami pelebaran). Kata kunci : Apocynaceae, pulai, kayu dan kulit (pepagan), struktur anatomi
356
Perbandingan Ciri Anatomi Kayu dan Kulit 3 Jenis Pulai (Alstonia sp.) (Andianto)
I. PENDAHULUAN Pemanfaatan tumbuhan berkhasiat obat sebagai alternatif bahan baku obat sudah makin diakui keberadaannya di samping penggunaan obat konvensional yang berbahan baku kimia. Semakin berkembangnya produk industri obat/farmasi dikhawatirkan memicu gencarnya eksploitasi tumbuhan berkhasiat obat yang berasal dari hutan. Kepentingan akan kelestarian jenis tumbuhan hutan yang diketahui berkhasiat obat serta persyaratan standarisasi bahan baku mengisyaratkan pentingnya penanganan pengolahan bahan baku industri obat/farmasi dengan baik. Proses pengolahan yang baik dapat dimulai dari pemilahan jenis bahan baku secara tepat. Salah satu jenis tumbuhan yang diketahui berkhasiat obat adalah Pulai (Alstonia sp.) yang termasuk ke dalam suku Apocynaceae. Menurut Rudjiman et al., (1994) Genus (Marga) Alstonia terdiri dari 40 jenis, dimana dua jenis merupakan tumbuhan asli di daerah tropis Afrika, empat jenis di Australia, lima belas jenis di daerah Pasifik, dua belas jenis di daerah Malesiana dan sisanya di benua Asia. Selanjutnya diinformasikan bahwa kulit dan kayu jenis ini mengandung getah yang penting dan sering digunakan sebagai obat tradisionil, di daerah Fiji digunakan untuk mata yang bermasalah, di Philipina kulitnya digunakan untuk melawan malaria dan bahan obat penenang, dan jenis ini begitu populer di India dan Jawa untuk penyakit diare dan disentri. Heyne (1987) mencatat bahwa di Indonesia terdapat 11 jenis Alstonia, yaitu A.acuminata Miq, A.angustifolia Wall, A. angustiloba Miq, A.(Dyera)eximia Miq, A.(Dyera) grandifolia Miq, A. pneumatophora Backer, A.(Dyera) polyphylla Miq, A. scholaris R. BR., A. spathulata BL., dan A. villosa (Blaberopus villosus Miq). Dalam berbagai literatur jenis pohon berkhasiat obat sudah banyak disinggung, namun diskripsi anatomi kayu maupun kulitnya masih jarang ditemui. Pengetahuan struktur anatomi dapat berguna dalam memilah bahan baku guna keperluan industri obat/farmasi. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan alat
Bahan penelitian berupa contoh kayu dan kulit (pepagan) dari batang pohon Pulai jenis Alstonia scholaris, A.angustiloba dan A. pneumatophora yang diambil dari Sumatra Selatan dan Kalimantan Selatan. Bahan kimia yang diperlukan berupa asam asetat glacial, gliserin, alkohol, karbolxylol, hidrogen peroksida, safranin, canada balsam (entelan), Poly Etylen Glicol (PEG) 2000. Peralatan yang digunakan di antaranya loupe, microtome, mikroskop cahaya, oven, tabung gelas, cover glass, selotif. B. Metode Contoh kayu dan kulit diambil dari pohon berdiri, bagian yang diambil meliputi batang dan kulit. Daun dikumpulkan sebagai bahan identifikasi herbarium guna mengecek ulang nama jenis dan nama botanis tumbuhan. Dibuat potongan melintang batang pohon (lempengan/disc) setebal kurang lebih 20 cm berjarak sekitar 10 cm di atas pangkal pohon. Selanjutnya dari potongan batang ini dibuat preparat sayat kayu dan kulit, serta preparat maserasi kayu yang mengacu kepada teknik standar pembuatan preparat (Sass, 1961; Tesoro, 1989) guna pengamatan struktur anatomi. 357
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 356-368
Agar contoh kulit lebih solid/kuat dan tidak robek/rapuh saat dilakukan penyayatan, maka terlebih dahulu menginfiltrasi poly ethylen glicol (PEG) 2000 ke dalam contoh kulit sebelum di sayat. Infiltrasi dilakukan menurut petunjuk Richter dan Wijk (1990) yang dimodifikasi. Contoh kulit berukuran 1 x 1 x 1 cm di masukkan ke dalam gelas berisi larutan 20% PEG 2000 dalam alkohol teknis. Kemudian gelas dan isinya di masukkan ke dalam oven o pada suhu 60 C selama 5-6 hari hingga semua alkohol menguap. Selanjutnya gelas dan isinya dikeluarkan dari oven lalu didinginkan di udara terbuka kemudian dimasukkan dalam frezzer/pendingin hingga PEG membeku. Selanjutnya agar contoh kulit dapat dikeluarkan dan dibersihkan dari PEG, maka gelas dan isinya direndam dalam air mendidih hingga PEG mencair. Setelah bersih, contoh kulit selanjutnya dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk kubus (dibuat dari kertas dengan dasar kayu, ukuran sesuai contoh uji) lalu dituangi cairan PEG yang masih panas hingga contoh uji tenggelam. Berikutnya cetakan dan isinya dimasukkan ke dalam freezer/pendingin hingga beku kembali. Setelah PEG membeku, contoh kulit yang masih di dalam cetakan dijepit dan disayat dengan mikrotom. Agar hasil sayatan tidak sobek atau hancur, permukaan contoh dilapisi dengan pita perekat (selotif) kemudian disayat. Selanjutnya sayatan (dengan pita perekatnya) diwarnai dengan safranin dan didehidrasi dengan alkohol, karboxylol dan toluen. Sesudah itu sayatan direkat dengan entelan (cairan perekat) di atas gelas obyek dan dilapisi dengan cover glass. Objek pengamatan anatomi kayu pada bidang lintang (cross section), radial, maupun tangensial adalah berupa ciri kualitatif maupun kuantitatif, meliputi ciri-ciri anatomi kayu yang dianjurkan oleh komite Internasional Association of Wood Anatomist (Wheeler et al., 1989). Pengamatan anatomi kulit mengacu kepada Junikka (1994) dan Trockenbrodt (1990). Data dimensi sel (pembuluh dan serat) kayu dianalisis secara kuantitatif dengan bantuan program MINITAB 14. Nilai yang diperoleh dinyatakan dalam bentuk selang penduga kepercayaan nilai tengah, yaitu x ± t (0,025,db=n-1) x SE rata-rata, dimana x adalah nilai rata-rata, t adalah nilai sebaran t-student pada taraf nyata α =5%, dan SE adalah standar eror rata-rata (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Diskripsi Anatomi Kayu 1. Pulai putih (Alstonia scholaris ) Batas lingkar tumbuh: tidak jelas. Sel pembuluh: berbentuk bulat sampai lonjong, 41% soliter, beberapa bergerombol, pembuluh bergabung 2(-3-4-5), diameter agak kecil 161±9,8 mikron, frekuensi 6 per mm2 (agak jarang), panjang 753 ±86 mikron. Noktah antar pembuluh: susunannya selang-seling bersegi banyak. Noktah antar pembuluh dengan jari-jari: dengan halaman yang jelas; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan noktah antar pembuluh. Sel parenkim: apotrakea baur dan parenkim pita lebih dari 3 lapis sel dengan jarak agak teratur dan agak bergelombang, panjang untai lebih dari 8 sel. Sel jari-jari: heteroselular, lebar (1)2-3 seri, komposisi sel baring umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal. Serat: tidak bersekat dijumpai, noktah berhalaman, tebal dinding 2,42± 0,23 mikron, diameter 40,5±2,1 mikron, panjang 1577±53,8 mikron. Saluran getah: saluran getah radial. Kristal prismatik: tidak dijumpai. 358
Perbandingan Ciri Anatomi Kayu dan Kulit 3 Jenis Pulai (Alstonia sp.) (Andianto)
2. Pulai hitam (Alstonia angustiloba ) Batas lingkar tumbuh: tidak jelas. Sel pembuluh: berbentuk bulat sampai lonjong, 50% soliter, beberapa bergerombol, pembuluh bergabung 2(-3-4-5), diameter agak kecil 170±10,5 mikron, frekuensi 4 per mm2 (jarang), panjang 800±66 mikron. Noktah antar pembuluh: susunannya selang-seling bersegi banyak. Noktah antar pembuluh dengan jari-jari: dengan halaman yang jelas; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan noktah antar pembuluh. Sel parenkim: apotrakea baur dan parenkim pita sempit (1-3 lapis sel) dengan jarak tidak teratur dan agak bergelombang serta ada yang terputus/pendek yang cenderung tersebar dalam kelompok, panjang untai lebih dari 8 sel. Sel jari-jari: heteroselular, lebar 1-2 seri, komposisi seluruhnya sel bujur sangkar dan/atau sel tegak. Serat: tidak bersekat dijumpai, noktah berhalaman, tebal dinding 2,36± 0,14 mikron, diameter 40,6 ±2,63 mikron, panjang 1521± 42 mikron. Saluran getah: saluran getah radial. Kristal prismatik: tidak dijumpai. 3. Pulai rawa (Alstonia pneumatophora) Batas lingkar tumbuh: tidak jelas. Sel pembuluh: berbentuk bulat sampai lonjong, 32% soliter, beberapa bergerombol, pembuluh bergabung 2(-3-4-5), diameter agak besar 208±14 mikron, frekuensi 3 per mm2 (jarang), panjang 891±86 mikron. Noktah antar pembuluh: susunannya selang-seling bersegi banyak. Noktah antar pembuluh dengan jari-jari: dengan halaman yang jelas; serupa dalam ukuran dan bentuk dengan noktah antar pembuluh. Sel parenkim: apotrakea baur dan parenkim pita lebih dari 3 lapis sel dengan jarak agak teratur dan agak bergelombang, panjang untai lebih dari 8 sel. Sel jari-jari: heteroselular, lebar (1)2-3 seri, komposisi sel baring, sel bujur sangkar dan sel tegak bercampur. Serat: bersekat dan tanpa sekat dijumpai, noktah berhalaman, tebal dinding 2,59±0,24 mikron, diameter 39,76±1,83 mikron, panjang 1631±39 mikron. Saluran getah: saluran getah radial. Kristal prismatik: dalam parenkim aksial tak berbilik dan dalam serat. Kayu dari tiga jenis Pulai yang diamati memiliki ciri umum berupa warna kayu putih kekuningan; tidak jelas batas antara kayu teras dan kayu gubal; serat kayu lurus; tekstur kayu agak halus dan merata; agak mengkilap; kesan raba licin; kekerasan lunak hingga keras. Jenis kayu Pulai umumnya memiliki ciri anatomi berupa pori tersebar (baur), soliter dan ganda/multi radial 2(-3-4-5), terkadang bergerombol; bidang perforasi sederhana; noktah antar pembuluh susunannya selang-seling bersegi banyak; noktah antar pembuluh dengan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan noktah antar pembuluh; parenkim axial apotrakeal baur dan pita tangensial panjang agak bergelombang, panjang untai parenkim lebih dari 8 sel; serat dengan noktah berhalaman yang jelas; dan terdapat saluran getah radial. Menurut Mandang (2002), jenis kayu Pulai memiliki ciri-ciri pori baur, sebagian berganda radial 2-6 pori; bidang perforasi sederhana; parenkim umumnya apotrakea pita tangensial panjang dengan jarak agak teratur dan sedikit bergelombang; komposisi sel jari-jari heteroselular; dan terdapat saluran getah radial. Rudjiman et al. (1994) menyatakan bahwa jenis Alstonia sp. memiliki lingkar tumbuh tidak jelas; pembuluh baur dan terkadang bergerombol, frekuensi pembuluh 2-3 per mm2, gandaan radial 2-3(-6); ukuran pembuluh sedang hingga kecil; parenkim apotrakeal baur banyak, parenkim pita garis terputus dengan lebar/tebal 1-2 sel; jari-jari (1-)2-3(-4) seri. Beberapa diskripsi anatomi yang disebutkan oleh anatomist di atas adalah ciri-ciri anatomi yang terdapat pada jenis Alstonia umumnya (tingkat genus), tetapi tidak spesifik untuk jenis pulai tertentu (tingkat species). Mengingat besarnya variasi ciri anatomi yang terdapat pada kayu, besar kemungkinan masing359
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 356-368
masing atau kedua bentuk parenkim pita yang tersebut di atas terdapat pada salah satu atau pada beberapa jenis Pulai. Sehingga wajar apabila terdapat perbedaan diskripsi anatomi dalam hal bentuk parenkim, yaitu pita tangensial panjang yang dikemukakan oleh Mandang, namun disebutkan parenkim pita garis terputus dalam Rudjiman et al. Baas dan Sidiyasa (1998) mengemukakan beberapa ciri anatomi Alstonia, di antaranya memiliki lingkar tahun yang tidak jelas; sel pembuluh soliter dan gandaan radial dan jarang 2 yang bergerombol, frekuensi pembuluh 3-8 (-15)/mm dengan diameter pembuluh (76-)100 160 mikron; umumnya memiliki parenkim berbentuk jala dengan pita sempit (1-3(-4)) sel, biasanya bergelombang dan terkadang terputus serta parenkim baur. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa saluran getah selalu ada; kristal prismatik terdapat dalam parenkim aksial berbilik dan tak berbilik serta dalam jari-jari. Parenkim bentuk jala yang dikemukakan di atas menurut definisinya (Wheeler et al., 1989) adalah apabila bentuk parenkim berupa garis tangensial kontinyu dengan lebar kira-kira sama dengan lebar jari-jari. Mengingat lebar pita parenkim pada A.scholaris, A.pneumatophora serta A.angustiloba yang secara kasat mata memiliki ukuran lebar tidak sama dengan lebar jari-jari, maka bentuk parenkim pada jenis Pulai yang diamati bukan merupakan parenkim jala seperti yang dikemukakan Baas dan Sidiyasa. Hasil pengamatan struktur anatomi kayu terhadap Alstonia scholaris, Alstonia angustiloba, dan Alstonia pneumatophora ditemui beberapa ciri khas masing-masing yang dapat digunakan sebagai ciri pembeda di antara jenis-jenis tersebut. Tabel 1. Perbandingan ciri anatomi kayu Table 1. Comparison of wood anatomical features Ciri anatomi (Anatomical features) Pembuluh (Vessel) 1. Diameter, micron (Diameter, micron) 2. Frekuensi per mm 2 (Frequency per mm 2) Parenkim (Parenchyma) 1. Apotrakea (Apotracheal)
Jari-jari (Ray) 1. Homoselular (Homocellullar)
360
A.scholaris
A.angustiloba
A. pneumatophora
Agak kecil (Slighty small), 161±9,8 6 (Agak jarang) (Slighty scarce)
Agak kecil (Slighty small), 170±10,5 4 (Jarang) (Scarce)
Agak besar (Slighty large), 208±14 3 (Jarang) (Scarce)
Baur dan pita lebih dari 3 lapis sel dengan jarak agak teratur dan agak bergelombang (diffuse and bands more than three cells wide with quite regular distance and slightly wavy)
Baur, dan pita sempit (13 lapis sel) dengan jarak tidak teratur dan agak bergelombang serta ada yang terputus/pendek yang cenderung tersebar dalam kelompok (Parenchyma diffuse and parenchyma in narrow bands (1-3 cells wide) with non regular distance and some cutting off/short to tend diffuse in aggregates)
Baur dan pita lebih dari 3 lapis sel dengan jarak agak teratur dan agak bergelombang (diffuse and bands more than three cells wide with quite regular distance and slightly wavy)
+
Perbandingan Ciri Anatomi Kayu dan Kulit 3 Jenis Pulai (Alstonia sp.) (Andianto)
Tabel 1. Lanjutan Table 1. Continued Ciri anatomi (Anatomical features) 2. 3. 4.
Heteroselular (Heterocellullar) Lebar, seri (Width, seriate) Komposisi (Composition)
Serat (Fiber) 1. Bersekat (Septate) 2. Tanpa sekat (Non septate) Kristal (crystal) Kristal prismatik (Prismatic crystals)
Keterangan (Remarks) :
A.scholaris
A.angustiloba
A. pneumatophora
+
+
(1)2-3
1-2
(1)2-3
Sel baring umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal (Cells procumbent with mostly 2-4 rows of upright and/or square marginal cells)
Seluruhnya sel bujur sangkar dan/atau sel tegak (All cells upright and/or square)
Sel baring, sel bujur sangkar dan sel tegak bercampur (Cells procumbent, square and upright cells mixed)
+
+
+
+
Dalam parenkim aksial tak berbilik dan dalam serat (in non chambered axial parenchyma cells and in fibres)
+ = ada (present) - = tidak ada (absent) ( ) = jarang (scarce)
Berdasarkan diskripsi anatomi ketiga jenis Pulai tersebut dapat dibuat kunci identifikasi seperti tertera dalam Tabel 2. Tabel 2. Kunci identifikasi Table 2. (Key of Identification) 1
Pori tersebar (baur), soliter dan ganda radial 2(-3-4-5), terkadang bergerombol; bidang perforasi sederhana ; susunan noktah antar pembuluh selang-seling bersegi banyak; noktah antar pembuluh dengan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan noktah antar pembuluh; panjang untai parenkim lebih dari 8 sel ; serat dengan noktah berhalaman yang jelas; dan terdapat saluran getah. (Diffuse-porous, solitary and 2 ( -34-5) radial rows, some in clusters; simple perforation plates; arrangement of intervessel pitting alternate pits polygonal; vessel - ray pitting with distinct borders, similar to intervessel pits in size & shape; length of axial parenchyma cell strand more than 8 cells; fibres with distinctly bordered pits; and have laticifers tubes)
2
361
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 356-368
Tabel 2. Lanjutan Table 2. Continued 2A
2B
3A
3B
Komposisi jari -jari heteroselular , parenkim baur dan parenkim pita lebih dari 3 lapis sel dengan jarak agak teratur dan agak bergelombang (Heterocellular rays composition, parenchyma diffuse and parenchyma bands more than three cells wide with quite regular distance and slightly wavy) Komposisi jari -jari homoselular, p arenkim baur dan parenkim pita sempit (1-3 lapis sel) dengan jarak tidak teratur dan agak bergelombang serta ada yang terputus/pendek yang cenderung tersebar dalam kelompok; lebar jari -jari 1-2 seri (Homocellular rays composition, p arenchyma diffuse and parenchyma in narrow bands (1-3 cells wide) with non regular distance and some cutting off/ short to tend diffuse in aggregates;ray width 1 to 2 seriate) Diameter pori agak kecil, 161 ±9,8 dengan frekuensi per mm 2 6 pori (agak jarang) ; lebar jari -jari (1)2-3 seri ( Vessel diameter quite small, 161 ±9,8 with 6 vessels per square millimetre ( quite scarce ); ray width (1)2 to 3 seriate) Diameter pori a gak besar, 208 ±14 dengan frekuensi per mm 2 3 pori (jarang); lebar jari -jari (1) 2-3 seri ( Vessel diameter quite large, 208±14 with 3 vessels per square millimetre ( scarce); ray width (1)2 to 3 seriate)
1
2
3
4
5
6
3
A. angustiloba
A. scholaris
A. pneumatophora
343
Gambar bersambung Figure to be continue 362
Perbandingan Ciri Anatomi Kayu dan Kulit 3 Jenis Pulai (Alstonia sp.) (Andianto)
7
8
9
Gambar 1,4,7. A.scholaris. Gambar 2,5,8. A.angustiloba. Gambar 3,6,9. A.pneumatophora. Figure 1,4,7. A.scholaris. Figure 2,5,8. A.angustiloba. Figure 3,6,9. A.pneumatophora
10
11
13
12 3
14 5
200µm
15 6
200µ m
200µm
363
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 356-368
16 7
17 8
200µm 200µm
21 19
18
200µ m
22 20
200µ m
21
B. Kulit (Pepagan)
200µm
200µm
200µm
Gambar 10,13,16,19. A.scholaris. - 10: Parenkim pita (panah). - 13: Diameter pori agak kecil (161±9,8 mikron) (panah). - 16: Komposisi sel baring umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal (panah). - 19: Lebar jari-jari (1)2-3 seri (panah). Gambar 11,14,17,20. A.angustiloba. - 11: Parenkim pita sempit (panah). - 14: Diameter pori agak kecil (170±10,5 mikron) (panah). - 17: Seluruhnya sel bujur sangkar dan/atau sel tegak (panah). 20: Lebar jari-jari 1-2 seri (panah). Gambar 12,15,18,21. A.pneumatophora. - 12: Parenkim pita (panah). - 15: Diameter pori agak besar (208±14 mikron) (panah). 18: Komposisi sel baring, sel bujur sangkar dan sel tegak bercampur (panah). -21: Lebar jari-jari (1)2-3 seri (panah). Figure 10,13,16,19. A.scholaris. -10: Parenchyma bands (arrow). -13: Slighty small vessel diameter (161±9,8 micron) (arrow) -16: Composition of cells procumbent with mostly 2-4 rows of upright and/or square marginal cells (arrow). -19: Ray width (1)2 to 3 seriate (arrow). Figure 11,14,17,20. A.angustiloba. -11: Parenchyma in narrow bands (arrow). -14: Slighty small vessel diameter (170±10,5 micron) (arrow). -17: All cells upright and/or square (arrow). -20: Ray width 1 to 2 seriate (arrow). Figure 364
Perbandingan Ciri Anatomi Kayu dan Kulit 3 Jenis Pulai (Alstonia sp.) (Andianto)
12,15,18,21. A.pneumatophora. -12: Parenchyma bands (arrow). -15: Slighty large vessel diameter (208±14 micron) (arrow). -18: Cells procumbent, square and upright cells mixed. -21: Ray width (1)2 to 3 seriate (arrow). B. Diskripsi Anatomi Kulit (pepagan) Warna kulit batang A. scholaris dan A. pneumatophora terlihat cokelat kelabu, namun pada A. angustiloba memiliki warna hitam kelabu. Pola penampakan kulit batang A. scholaris dan A. pneumatophora adalah agak halus dengan lentisel arah horisontal, sedangkan A. angustiloba memiliki pola belahan/retakan paralel. Lentisel yang terdapat pada kulit A. scholaris cenderung berbentuk strip/garis tipis dan pendek, serta jarak satu dengan lainnya agak dekat (padat) atau bisa dikatakan banyak, sedangkan pada A. pneumatophora cenderung berbentuk bulat kecil dan memiliki jarak antar lentisel agak renggang (sedikit). Pada A. angustiloba lentisel hampir tidak terlihat dan beralur agak dalam. Ukuran tebal kulit A. Scholaris lebih besar dibandingkan kedua jenis lainnya. Secara mikroskopis, ketiga kulit jenis ini dapat dibedakan melalui bentuk sel sklereid dan kehadiran jari-jari terdilatasi (mengalami pelebaran). Pada A. scholaris ukuran sel sklereid umumnya besar dengan bentuk bulat dan lonjong, pada A. angustiloba sel sklereid umumnya bulat dan kecil, sedangkan pada A. pneumatophora memiliki sel sklereid dengan bentuk bulat kecil dan ada yang bentuknya panjang. Jari-jari terdilatasi terlihat pada A. scholaris dan A. pneumatophora, sedangkan pada A. angustiloba tidak terlihat. Secara rinci perbandingan ciri umum maupun ciri mikroskopis dari kulit ketiga jenis Pulai dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan ciri kulit (pepagan)
Warna bagian luar (Outer color)
Pulai putih (A.scholaris) Cokelat kelabu (Brown-grayish)
Pulai hitam (A. angustiloba) Hitam kelabu (Black-grayish)
Pulai rawa (A. pneumatophora) Cokelat kelabu (Brown-grayish)
Warna bagian dalam (Inner color)
putih kekuningan (white-yellowish)
putih kekuningan (white-yellowish)
Tebal, mm (Thickness, cm) Penampakan luar (Outer appearance)
2-4 cm
putih kekuningan (white-yellowish) 2-3 cm Kasar dengan belahan/retakan paralel, beralur agak dalam dan lentisel hampir tidak terlihat (Rough with a parallel slit / cracks, grooved rather deep and hardly noticeable lenticels)
Agak halus dengan susunan letak lentisel yang tidak teratur (Quite smooth with irregular lenticels formation)
Ciri (Feature) Umum (General)
Agak halus dengan deretan lentisel cenderung teratur ke arah horizontal (Quite smooth with rows of lenticels tend to form horizontal lines)
1-2 cm
365
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 356-368
Tabel 3. Lanjutan Table 3. Continued Ciri (Feature)
Mikroskopis (Microscopic)
Ukuran dan bentuk sel sklereid (sel batu) (Size and sclereid cell shape (stone cell))
Pulai putih (A.scholaris) Jumlah lentisel banyak dengan jarak agak dekat (padat) (Lenticels are numerous with quite close (dense) distance) Lentisel cenderung berbentuk strip/garis tipis dan pendek (Lentisel tend to be shaped strip/thin line and short) Umumya besar, bulat dan/lonjong (Commonly big, round and/oval)
Pulai hitam (A. angustiloba) -
Terlihat (Visible)
Tidak terlihat (Not visible)
Jari-jari terdilatasi (melebar) (Dilation of ray cells (widen))
22
366
23
-
Umumnya kecil, bulat (Commonly small, round)
24
Pulai rawa (A. pneumatophora) Jumlah lentisel sedikit dengan jarak agak renggang (Lenticels are few with quite tenuous distance) Lentisel cenderung berbentuk bulat kecil (Lentisel tend to be shaped small round)
umumnya kecil, bulat dan beberapa berbentuk panjang (Commonly small, round and some long shaped) Terlihat (Visible)
Perbandingan Ciri Anatomi Kayu dan Kulit 3 Jenis Pulai (Alstonia sp.) (Andianto)
25
26
27 sk
sk jd
jd
2 00µm
2 00µm
200µm
Gambar 22,25. A. scholaris. -22: Permukaan kulit luar. -25: Penampang lintang kulit (mikroskopis), jari-jari terdilatasi (jd). Gambar 23,26. A.angustiloba. -23: Permukaan kulit luar. -26: Penampang lintang kulit (mikroskopis), sel sklereid umumnya kecil dan bulat (sk). Gambar 24,27. A. pneumatophora. -24: Permukaan kulit luar. -27: Penampang lintang kulit (mikroskopis), sel sklereid umumnya kecil, bulat dan beberapa berbentuk panjang (sk); jari-jari terdilatasi (jd). Figure 22,25. A. scholaris. -22: Outer bark surface. -25: Cross section of bark (microscopic), dilation of ray cells (jd). Figure 23,26. A.angustiloba. -23: Outer bark surface. -26: Cross section of bark (microscopic), sclereid cell is commonly small and round (sk). Figure 24,27. A. pneumatophora. -24: Outer bark surface. -27: Cross section of bark (microscopic), sclereid cell is commonly small, round and some long shaped (sk); dilation of ray cells (jd). IV. KESIMPULAN 1. Jenis Alstonia sp. dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan perbedaan ciri makroskopis dan mikroskopis. 2. Kayu dari ketiga jenis Pulai ini dapat dibedakan di antaranya berdasarkan perbedaan diameter dan frekuensi sel pembuluh, tipe dan susunan sel parenkim serta lebar sel jarijari. 3. Kulit (pepagan) Alstonia sp. dapat dibedakan satu sama lain dari permukaan kulit luarnya. A. scholaris memiliki lentisel yang jarak antar lentiselnya agak dekat (padat), kulit pada A. angustiloba beralur agak dalam dan lentiselnya hampir tidak terlihat, sedangkan pada kulit A. pneumatophora jarak antar lentisel agak renggang. Sedangkan secara mikroskopis dapat dibedakan diantaranya berdasarkan bentuk sel sklereid dan kehadiran jari-jari terdilatasi (sel jari-jari yang mengalami pelebaran).
367
Penelitian Hasil Hutan Vol. 29 No. 4, Desember 2011: 356-368
DAFTAR PUSTAKA Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Terjemahan. Hal. 1625-1629. Badan Litbang Kehutanan. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Junikka, L. 1994. Survey of English Macroscopic Bark Terminology. IAWA Journal, Vol. 15 (1), 1994: 3-45. National Herbarium Leiden -The Netherlands. Mattjik, A. A. dan M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. IPB PRESS.Bogor. Mandang, Y.I dan Pandit, I.K. 2002. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. PROSEA INDONESIA. Yayasan PROSEA. Bogor. Richter, H.G. & A.E. van Wijk.1990. Wood and bark anatomy of Lauraceae IV. Dahlgrenodendron J.J.M. van Wyk. IAWA Bull. 11(2):173-182. National Herbarium Leiden -The Netherlands. Rudjiman, Gintings, N., Martawijaya, A., Ilic, J. 1994. Plant Resources of South-East Asia 5. (1) Timber trees: Major commercial timbers. P.82-90. PROSEA. Bogor. Sass, JE. 1961. Botanical microtechnique. The IOWA State University Press. Sidiyasa, K. & Baas, P. 1998. Ecological and Systematic Wood Anatomy of Alstonia (Apocynaceae). IAWA Journal, Vol. 19 (2), 1998: 207-229. National Herbarium Leiden The Netherlands. Tesoro, F.O. 1989. Methodology for Proyect 8 on Corypha and Livistona. FPRDI, College, Laguna, Philippines. Trockenbrodt, M. 1990. Survey and Discussion of The Terminology Used in Bark Anatomy. IAWA Bull.n.s, Vol. 11 (2), 1990: 141- 166. National Herbarium Leiden -The Netherlands. Wheeler, E.A., P. Gasson, and P. Baas. 1989. Standard list of characters suitable for hardwood identification. IAWA Bull. N.s.10(3): 219-232.
368
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PEMANENAN KAYU MELALUI TEKNIK PEMANENAN KAYU RAMAH LINGKUNGAN: KASUS DI SATU PERUSAHAAN HUTAN RAWA GAMBUT DI KALIMANTAN BARAT (Increasing Logging Productivity Through Reduced Impact Logging Technique: A Case Study at a Peat Swamp Forest Company in West Kalimantan) Oleh /By: Sona Suhartana & Yuniawati e-mail:
[email protected] Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610 Telp. (0251)-8633378, Fax. (0251)-8633413 Diterima 20 September 2011, disetujui 28 November 2011 ABSTRACT Implementation reduced impact logging (RIL) technique in peatlands may contribute optimum and sustainable yield. A study was carried out at concession area of Kalimantan Subur Permai Company, West Kalimantan. The area was a natural peat swamp forest set aside for the land-clearing in preparation for the establishment of industrial plantation forest, in which consisted of mixed hardwood trees. This study examined possibility of increasing productivy, decreasing logging cost, subsidence, and water fluctuation using RIL technique. Results revealed that the use of RIL in felling, skidding, loading, un-loading, and hauling at peat swamp forest could: 1. Increase productivity for each activity of consecutively 0,946 m /hour, 2,449 m /hour, 1,96 m /hour, 1,871 m /hour, and 2,158 m /hour; 2. Decreased production cost of Rp 992,1/m , Rp 3.088,6/m , Rp 127,9/m , Rp 99,7/m , and Rp 158,6/m consecutively; 3. Inceased timber efficiency utilization (TUE) about 6% equal to Rp 74,400,000/year; 4. Subsidence proceeded at 0.375 cm/year rate, which corresponded to 1.875 cm in five years. This figure was still lower than that stipulated in the Indonesia's Government Decree (PP) No. 150-2000. 4. The averages of water level at logging site and canal were 61.75 cm and 52.25 cm, respectively. Keyword : RIL technique, peatlands, productivity, cost, efficiency. ABSTRAK Penerapan teknik pemanenan yang ramah lingkungan (RIL) di lahan gambut diharapkan dapat mencapai hasil optimal dan lestari. Penelitian dilaksanakan di PT. Kalimantan Subur Permai, Kalimantan Barat pada bulan Juli - Oktober 2010. Areal ini merupakan hutan alam rawa gambut untuk pembukaan lahan HTI (tebang pemanfaatan penyiapan lahan) dengan jenis kayu merupakan rimba campuran (tebang pemanfaatan penyiapan lahan). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya peningkatan produktivitas, penurunan biaya produksi, subsidensi dan fluktuasi tinggi muka air dari penerapan teknik
pemanenan RIL di hutan rawa gambut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila RIL diterapkan pada kegiatan penebangan, penyaradan, muat-bongkar dan pengangkutan, 1.Dapat meningkatkan produktivitas masing-masing sebesar 0,946 m /jam, 2,449 m /jam, 1,96 m /jam, 1,871 m /jam, dan 2,158 m /jam; 2. Dapat mengurangi biaya produksi masing-masing sebesar Rp 992,1/m , Rp 3.088,6/m , Rp 127,9/m , Rp 99,7/m , dan Rp 158,6/m .km; 3. Apabila menerapkan teknik RIL dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu sebesar 6% yang setara dengan tambahan keuntungan Rp 74.400.000/tahun. Dengan demikian terbuka peluang bagi perusahaan untuk serius menerapkan teknik penebangan RIL; 4. Rata-rata subsidensi adalah 0,375 cm/tahun lebih kecil daripada PP Nomor 150 Tahun 2000; dan 5. Rata-rata tinggi muka air di petak tebang dan di kanal adalah 61,75 cm dan 52,25 cm. Kata kunci : Teknik RIL, lahan gambut, produktivitas, biaya, efisiensi
NOTES
P E T U N J U K BAGI P E N U L I S
FORAUTHOR(S)
BAHASA: Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris
LANGUAGE: Manuscripts must be mitten in Indonesian or English.
FORMAT: Naskah diketik di atas kertas putih A4, font 12, pada satu permukaan dengan 2 spasi. Pada semua tepi kertas dikosongkan minimal 3,5 cm. Jumlah halaman maksimal sekitar 20 halaman.
FORMAT: Manuscripts should be typed with double space, font 12, on oneface of A4 whitepaper. Margin of 3,5 cm should be left on all sides.
JUDUL: Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis dicantumkan di bawah judul tanpa mencantumkan gelar.
T I T L E : Title must not exceed two lines and should reflect the content of the manuscript The author's name follows immediately under the title.
ABSTRAK: Abstrak dibuat dalam dua bentuk, yaim bentuk pertama untuk lembar abstrak, maksimal 50 kata dan bentuk kedua (abstrak) maksimal 200 kata berupa intisari dari naskah secara menyeluruh dan informatif. Bila naskah dalam bahasa Indonesia, maka abstrak dibuat dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Bila naskah dalam bahasa Inggris, maka abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
ABSTRACT: Abstracts are written in twotypes.The 1" type isfor abstract sheet consists of 50 words maximum and the T' type (abstract) consists of 200 words maximum. If the manuscript is written in Indonesian, the abstracts are written in English and Indonesian. And if the manuscript is written in English, the abstract are written in Indonesian and English.
KATA K U N C I : Kata kunci dicantumkan di bawah abstrak, maksimal 5 entri.
KEYWORDS: Keywords should be written after the abstract, with 5 entries maximum.
TABEL: Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan jelas dan singkat. Tabel harus diberi nomor. Penggunaan tanda koma (,) dan titik (.) pada angka di dalam tabel masing-masing menunjukkan nilai pecahan desimal dan kebulatan seribu.
TABLE: Title of tables and all necessary remarks must be written both in Indonesian and English. Tables should be numbered. The us of comma (,) andpoint (.) in allfiguresin the table indicate a decimal fraction, and a thousand multiplication, respectively.
GAMBAR: Grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus kontras dan dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
DRAWING: Graphs and other drawing illustrations must be drawn in high contrast black ink. Each drawing must be numbere titled and§ven clear remarks in Indonesian and English.
FOTO: Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia dan Inggris. DAFTAR PUSTAKA: Daftar pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan nama pengarang, tahun terbit, judul pustaka, media (Vol., No., Him.), penerbit dan kota penerbit, seperti contoh berikut: Steel, R. G. D , and J.H. Torrie. 1960. Principles and Procedures of Statistic. Mc. Graw-Hill Book Co. Inc. New York. Artistien, S. dan Y.I. Mandang. 2002. Anatomi dan kualitas serat kayu Hibiscus macrophyllus. Roxb. dan Artocarpus horidus Jarret. Buletin Penelitian HasU Hutan 20 (3):243-257. Pusat LitbangTeknologi Hasil Hutan. Bogor. KONDISI: - Dewan redaksi berhak mengubah naskah tanpa mengurangi isi yang terkandung di dalamnya, dan juga berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan. - Penulis dari luar Instansi Badan Litbang Kehutanan, wajib menyertakan curriculum vitae singkat dan alamat yang jelas.
PHOTO: ^hoto must be titled and given clear remarks in both Indonesian and English.
REFERENCES:'Referencesmust be listedin alphabetical order of author's name eachfollowed by year, topic, medium (vol, no. page publisher, and city of publisher, as follows:
Steel, R. G. D, and J.H. Torrie. 1960. Principles and Procedures of Statistic. Mc. Graw-Hill Book Co. Inc. New York. Artistien, S. dan Y.I. Mandang. 2002. Anatomi dan kualitas serat kayu Hibiscus macrophyllus. Roxb. dan Artocarpus horidus Jarret. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20 (3):243-257. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor
CONDYTIOm: - Editors have the authorities to revise manuscript(s) witho changing the content, and to refect inappropriate manuscript(s). - Author(s) from outside the Forest Research and DevelopmentAgency must submit his/ her C. V and compl address.