ISSN 0216-4329
TERAKREDITASI NO : 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
Penelitian Hasil Hutan
PENELITIAN HASIL HUTAN Vol. 32 No. 4, Desember 2014
Vol. 32 No. 4, Desember 2014
KEMENTERIAN KEHUTANAN (Ministry of Forestry) BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency (FORDA) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing BOGOR - INDONESIA Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Vol. 32
No. 4
Hlm. 243 - 354
Bogor, Desember 2014
ISSN 0216 - 4329
ISSN 0216-4329 NO : 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
Vol. 32 No. 4, Desember 2014 Jurnal Penelitian Hasil Hutan adalah publikasi ilmiah bidang hasil hutan, keteknikan hutan dan bidang terkait lainnya, yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Jurnal ini telah dinilai oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Sertifikat No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012. Journal of Forest Product Research is a scientific publication reporting research findings in the field of forest products, basic properties as well as processing, forest engineering and other related fields. The journal has been evaluated by the Indonesian National Science Institute (LIPI) and accredited as a Scientific Periodical Magazine with Certificate number: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012. Penanggung jawab (Editor in chief ) : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Dewan Redaksi (Editorial Board ): Ketua (Chairman), merangkap anggota : Dr. Ir. Maman Mansyur Idris, M.S. (Keteknikan Hutan dan Pemanenan Hasil Hutan) Anggota (Members) 1. Prof. (Ris) Ir. Dulsalam, M.M. (Keteknikan Hutan dan Pemanenan Hasil Hutan) 2. Dr. Ir. Han Roliadi, M.S, M.Sc. (Pengolahan Hasil Hutan) 3. Ir. Jamal Balfas, M.Sc. (Pengolahan Hasil Hutan) 4. Prof. (Ris) Dr. Gustan Pari, M.Si. (Pengolahan Hasil Hutan) 5. Prof. (Ris) Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. (Pengolahan Hasil Hutan) 6. Dra. Sri Rulliaty, M.Sc. (Anatomi Tumbuhan) 7. Dr. Drs. Djarwanto, M.Si. (Pengolahan Hasil Hutan) 8. Dr. Krisdianto, S,Hut, M.Sc. (Pengolahan Hasil Hutan) 9. Ir. Totok K. Waluyo, M.Si. (Pengolahan Hasil Hutan) 10. Dr. Anne Hadiyane, S.Hut, M.Si. (Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)) 11. Dr. Ragil Widyorini, S.T, M.T. (Kimia Kayu) 12. Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, M.Sc. (Wood Engineering) Mitra Bestari (Peer reviewer)
: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr. (Bio-Komposit) Prof. Dr. Buchari (Kimia Kayu/Kimia Analitik) Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc. (Wood Adhesion Technology) Prof. (Ris) Dr. Subyakto, M.Sc. (Pengolahan Hasil Hutan) Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. (Forest Product Chemistry) Prof. Dr. Ir. Elias, M.Sc. (Pemanfaatan Sumberdaya Hutan) Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. (Wood Properties and Qualities) Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc. (Wood Engineering)
Sekretariat Redaksi (Editorial Secretariat) : Ketua (Chairman) : Ir. Syarif Hidayat, M.Sc. Anggota (Members) : 1. Ayit T. Hidayat, S.Hut.T, M.Sc. 2. Drs. Juli Jajuli 3. Deden Nurhayadi, S.Hut. 4. Sophia Pujiastuti. Diterbitkan oleh (Published by): Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (The Centre for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Alamat (Address) : Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Indonesia Telepon (Phone) : (0251) 8633378, 8633413 Fax (Faximile) : (0251) 8633413 E-mail :
[email protected],
[email protected] website : www.pustekolah.org (www.pustekolah.litbang.dephut.go.id) Jurnal elektronik (E-journal ) : http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/ Percetakan (Printing Company)
: CV. Sinar Jaya, Bogor
ISSN 0216 - 4329 TERAKREDITASI NO : 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
Vol. 32 No. 4, Desember 2014
KEMENTERIAN KEHUTANAN (Ministry of Forestry) BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Forestry Research and Development Agency (FORDA) PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing BOGOR - INDONESIA Jurnal Penelitian Hasil Hutan
Vol. 32
No. 4
Hlm. 243 - 354
Bogor, Desember 2014
ISSN 0216 - 4329
UCAPAN TERIMA KASIH Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Hasil Hutan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah, analisa naskah yang dimuat pada edisi Vol. 32 No. 4, Desember 2014 : 1. 2. 3. 4.
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. (Fakultas Kehutanan IPB (Forest Product Chemistry)) Prof. Dr. Ir. Elias, M.Sc. (Fakultas Kehutanan IPB (Pemanfaatan Sumberdaya Hutan)) Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS (Fakultas Kehutanan IPB (Wood Properties and Quantities)) Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr (Fakultas Kehutanan IPB (Bio-Komposit))
ISSN 0216 - 4329 NO : 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
Vol. 32 No. 4, Desember 2014 DAFTAR ISI (CONTENTS) 1. SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK KAYU PUTIH JENIS Asteromyrtus brasii (Physico-Chemical Properties of Cajeput Oil's from Asteromyrtus brasii) Ary Widiyanto & Mohamad Siarudin ..........................................................................................................
243 - 252
2. KETAHANAN PAPAN KOMPOSIT DARI PELEPAH SAGU (Metroxylon sago Rottb.) TERHADAP JAMUR PELAPUK DAN RAYAP TANAH (Resistance of Composite Board Made from Sago Frond (Metroxylon sago Rottb.) Aagainst Rotting Fungi and Subterranean Termite) DeniZulfiana &Sukma S. Kusumah ............................................................................................................
253 - 262
3. KEMAMPUAN PELAPUKAN 10 STRAIN JAMUR PADA LIMA JENIS KAYU ASAL KALIMANTAN TIMUR (Decay Capability of Ten Fungus Strains to Five Wood Species from East Kalimantan) Djarwanto & Sihati Suprapti .........................................................................................................................
263 - 270
4. PEMANFAATAN LIMBAH TEMPURUNG KEMIRI SUNAN (Aleuriteus trisperma) SEBAGAI BAHAN BAKU PADA PEMBUATAN ARANG AKTIF (Utilization of Kemiri Sunan Shell Waste as Raw Material in Manufacturing of Activated Charcoal) Djeni Hendra, R. Esa Pangersa Gusti & Sri Komarayati ............................................................................
271 - 282
5. IMPREGNASI EKSTRAK JATI DAN RESIN PADA KAYU JATI CEPAT TUMBUH DAN KARET (Impregnation of Teak Extract and Resin on the Fast Grown Teakand Rubber Wood) Efrida Basri & Jamal Balfas ...........................................................................................................................
283 - 296
6. IDENTIFIKASI DAN KUALITAS SERAT LIMA JENIS KAYU ANDALAN SETEMPAT ASAL JAWA BARAT DAN BANTEN (Identification and Fibre Quality of Five Locally Potential Wood Species Originated from West Java and Banten) Sri Rulliaty .......................................................................................................................................................
297 - 312
7. PENGARUH ARANG DAN CUKA KAYU TERHADAP PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN SIMPANAN KARBON (The Effects of Charcoal and Wood Vinegar to Growth Increase and Carbon Store) Sri Komarayati, Gusmailina & Gustan Pari .................................................................................................
313 - 328
8. PENGGUNAAN STIMULAN DALAM PENYADAPAN PINUS (The Use of Stimulants on The Pine Tapping) Sukadaryati, Gunawan Santosa, Gustan Pari Dodik Ridho Nurrochmat & Hardjanto .........................
329 - 340
9. SIFAT ANATOMI DAN KUALITAS SERAT JENIS KAYU SANGAT KURANG DIKENAL ( THE LEAST KNOWN W OOD SPECIES ) : FAMILI CAPPARIDACEAE, CAPRIFOLIACEAE, CHLORANTHACEAE DAN COMPOSITAE (Anatomy and Fiber Quality of The Least Known Wood Species : Family Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae and Compositae) Sri Rulliaty .......................................................................................................................................................
341 - 354
iii
Vol. 32 No. 4, Desember 2014
ISSN 0216 - 4329
Kata kunci yang digunakan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin atau biaya
ABSTRAK UDC (OSDC) 630*844.1 Djarwanto & Sihati Suprapti (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Kemampuan 10 Strain Jamur untuk Melapukkan Lima Jenis Kayu Asal Kalimantan Timur J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2014, Vol 32 No. 4, hlm. 263 270
UDC (OSDC) 630*892.52 Ary Widiyanto & Mohamad Siarudin (Balai Penelitian Teknologi Agroforestry) Sifat Fisiko kimia Minyak Kayu Putih Jenis Asteromyrtus brasii J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2014, Vol 32 No. 4, hlm. 243 252 Penelitian ini bertujuan untuk melihat kandungan kimia dan sifat fisik minyak kayu putih yang disuling dari daun A. brasii yang tumbuh di TN Wasur. Analisis kandungan kimia minyak atsiri dilakukan pada sampel daun dengan metode Gas Chromatography dan Mass Spectrometer. Analisis sifat fisik dilakukan pada minyak kayu putih yang diperoleh melalui penyulingan daun A. brasii dengan metode uap. Kualitas minyak kayu putih dari jenis A. Brasii tidak memenuhi persyaratan kualitas minyak kayu putih menurut SNI 063954-2006 karena memiliki berat jenis kurang dari 0,900 dan putaran optik 9,8. Hasil analisis dengan GC-MS menunjukkan ada 29 puncak dengan intensitas tinggi diidentifikasi sebagai senyawa 1,8 cineole (kelimpahan 34,88%). Kata kunci:
Sepuluh strain jamur pelapuk diuji kemampuannya untuk melapukkan lima jenis kayu famili Dipterocarpaceae dengan menggunakan metode SNI 7207:2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuannya dalam melapukkan kayu mulai dari yang tertinggi yaitu Schizophyllum commune, Trametes sp., Pycnoporus sanguineus, Tyromyces palustris, Phlebia brevispora, Polyporus sp. HHBI-209, Polyporus sp. HHBI-371, Chaetomium globosum, Dacryopinax spathularia, dan Lentinus lepideus. Berdasarkan klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan jamur pelapuk maka lima jenis kayu yaitu keruing (Dipterocarpus pachyphyllus, D. stellatus, D. glabrigemmatus), resak (Vatica nitens) dan meranti (S. hopeifolia) termasuk kelompok kayu tahan (kelas II).
Asteromyrtusbrasii, kandungankimia, sifatfisik, kualitasminyakkayuputih
Kata kunci:
UDC (OSDC) 630*867.3 Djeni Hendra & R. Esa Pangersa Gusti & Sri Komaryati (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Pemanfaatan Limbah Tempurung Kemiri Sunan (Aleurites trisperma) Sebagai Bahan Baku pada Pembuatan Arang Aktif J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2014, Vol 32 No. 4, hlm. 271 282
UDC (OSDC) 630*862 Deni Zulfiana & Sukma S. Kusumah (Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI) Ketahanan Papan Komposit dari Pelepah Sagu (Metroxylon sago Rottb.) terhadap Jamur Pelapuk dan Rayap J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2014, Vol 32 No. 4, hlm. 253 262 Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketahanan papan komposit dari pelepah sagu menggunakan perekat polyurethane dan phenol formaldehyde (10%, 12%, dan 14%) terhadap jamur pelapuk kayu dan rayap. Pengujian berdasarkan pada standar JIS K 1571 2004 menggunakan jamur pelapuk putih Trametes versicolor, jamur pelapuk coklat Fomitopsis palustris, dan rayap tanah Coptotermes gestroi. Berdasarkan persentase kehilangan berat, semua sampel papan komposit tidak tahan terhadap serangan jamur pelapuk putih, pelapuk coklat dan rayap tanah. Kata kunci:
Jamur pelapuk, keruing, meranti, resak, ketahanan kayu
Penelitian ini bertujuan untuk membuat arang aktif dari bahan baku limbah tempurung kemiri sunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tempurung kemiri sunan dapat dibuat arang aktif yang memenuhi persyaratan arang aktif teknis dalam SNI. Kata kunci:
Karbonisasi, arang aktif, tempurung kemiri sunan, kualitas.
UDC (OSDC) 630*892.61 Efrida Basri & Jamal Balfas (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Impregnasi Ekstrak Jati dan Resin pada Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Karet J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2014, Vol 32 No. 4, hlm. 283 296
Pelepah sagu, papan komposit, polyurethane, phenol formaldehyde, jamur, rayap
Penelitian ini bertujuan memperbaiki kualitas kayu Jati Cepat Tumbuh (JCT) dan karet dengan perlakuan impregnasi ekstrak jati dan resin. Resin yang digunakan dalam penelitian ini adalah
v
UDC (OSDC) 630*892.6 Sukadaryati (Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor), Gunawan Santosa (Institut Pertanian Bogor), Gustan Pari (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan), Dodik Ridho Nurrohmat, Hardjanto (Institut Pertanian Bogor) Penggunaan Stimulan dalam Penyadapan Pinus J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2014, Vol 32 No. 4, hlm. 329 340
sirlak dan damar dalam 3 konsentrasi. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan impregnasi larutan ekstrak jati terhadap kayu JCT dan karet mampu meningkatkan stabilitas dimensi kedua jenis kayu tersebut. Penambahan resin sirlak maupun damar ke dalam larutan ekstrak jati secara nyata dapat lebih menyempurnakan sifat stabilitas dimensi kayu JCT dan karet. Kata kunci:
Ekstrak kayu jati, sirlak, damar, stabilitas dimensi kayu
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan stimulan berbahan dasar asam kuat (H2SO4), cuka kayu dan ETRAT pada penyadapan pinus. Penggunaan stimulan H2SO4 dapat meningkatkan produksi getah per pengunduhan lebih banyak dibandingkan ETRAT dan cuka kayu, baik pada penggunaan di areal dengan ketinggian di atas 500 mdpl maupun di bawah 500 mdpl. Penggunaan stimulan H2SO4 menyebabkan kayu berubah warna menjadi coklat tua hingga kemerahan bahkan perubahan warna tersebut sampai masuk kedalam kayu sejauh ¾ bagian ke arah sumbu kayu. Di sisi lain penggunaan stimulan organik tidak menyebabkan perubahan warna kayu yang berarti.
UDC (OSDC) 630*862.3 Sri Rulliaty (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Identifikasi dan Kualitas Serat Lima Jenis Kayu Andalan Setempat Asal Jawa Barat dan Banten J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2014, Vol 32 No. 4, hlm. 297 312 Ciri umum, struktur anatomi dan kualitas serat lima jenis kayu andalan setempat dari Jawa Barat dan Banten, telah diteliti untuk keperluan identifikasi kayu. Ciri utama dari kelima jenis kayu tersebut adalah sebagai berikut: Pisonia umbellifera (Forst) Seem (ki cau) kayunya agak lunak; pori umumnya bergerombol, dengan diameter agak kecil, jari-jari seluruhnya soliter, kristal bentuk rafid dalam sel jari-jari; Litsea monopetala Pers. (huru manuk) jari-jari seluruhnya sel baring dan memiliki sel minyak yang bergabung dengan parenkim aksial; Buchanania arborescens Blume (ki renghas) kayu bercorak pada bidang radial, pori berganda radial, jari-jari lebar, kristal dalam sel tegak jari-jari dan dalam parekim aksial berbilik; Crypteronia paniculata Blume (ki banen) parenkim tersebar dalam kelompok, jari-jari 1-3 seri, kristal prismatik dalam sel baring; Ficus ampelas Burm. f. (ki hampelas) tilosis umum, parenkim pita 2-8 sel lebarnya, jari-jari lebar sampai 5 seri, terdapat sel seludang. Kualitas serat kelima jenis kayu yang diteliti diklasifikasikan ke dalam kualitas I. Kata kunci:
Kata kunci:
UDC (OSDC) 630*811.1 Sri Rulliaty (Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Sifat Anatomi dan Kualitas Serat Jenis Kayu Sangat Kurang Dikenal: Suku Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae dan Compositae J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2014, Vol 32 No. 4, hlm. 341 354 Tulisan ini mempelajari sifat anatomi dan kualitas serat lima jenis kayu sangat kurang dikenal yaitu jenis Crataeva sp., Crataeva membranifolia Miq. (Capparidaceae), Viburnum sambucinum Bl. (Caprifoliaceae), Ascarina sp. (Chloranthaceae), dan Olearia sp. (Compositae). Hasilnya menunjukan jenis kayu Ascarina sp. dan Olearia sp. Mudah dikenali karena mempunyai jari-jari lebar. Jarijari agregat ditemui pada jenis kayu Crataeva membranifolia and Ascarina sp. Kayu teras Crataeva membranifolia yang berwarna kuning jerami dan memiliki arah serat lurus menyebabkan kayu ini dapat digunakan sebagai pengganti kayu ramin.
Anatomi kayu, kualitas serat, lima jenis, Jawa Barat, Banten
UDC (OSDC) 630*867.5 Sri Komarayati, Gusmailina & Gustan Pari (Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan) Pengaruh Arang dan Cuka Kayu Terhadap Peningkatan Pertumbuhan dan Simpanan Karbon J. Penelit. Has. Hut. Desember. 2014, Vol 32 No. 4, hlm. 313 328
Kata kunci:
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui respon pertumbuhan anakan sengon, jabon dan gaharu, serta kandungan karbon, nitrogen, fosfor dan kalium dalam tanah dan dalam biomasa tanaman setelah diberi arang dan cuka kayu. Aplikasi arang dilakukan dengan cara menambahkan arang secara merata pada lobang tanaman, sedangkan cuka kayu disiramkan pada tanah. Dari hasil penelitian diketahui bahwa penambahan arang 10-30% dan cuka kayu 2-4% dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter anakan sengon, jabon dan pohon penghasil gaharu. Kata kunci:
Stimulan H2SO4, ETRAT, cuka kayu, penyadapan pinus
Arang, cuka kayu, anakan, hara, tanah.
vi
Sifat anatomi kayu, jenis kayu sangat kurang dikenal, Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae dan Compositae
Vol. 32 No. 4, December 2014
ISSN 0216 - 4329
Keywords given are free terms. Abstracts may be reproduced without permission or charge
ABSTRACT UDC (OSDC) 630*892.52 Ary Widiyanto & Mohamad Siarudin (Balai Penelitian Teknologi Agroforestry) Physico-Chemical Properties of Cajeput Oil's from Asteromyrtus brasii J. of Forest Products Research. December. 2014, Vol 32 No. 4, pp. 243 252
Ten strains of decaying fungi have been exposed on five wood species from Dipterocarpaceae, evaluated using methods of SNI 7207:2014. The fungal capability to decay wood from the highest to the lowest are Schizophyllum commune Trametes sp., Pycnoporus sanguineus, Tyromyces palustris, Phlebia brevispora, Polyporus sp. HHBI-209, Polyporus sp. HHBI-371, Chaetomium globosum, Dacryopinax spathularia, and Lentinus lepideus.The fifth of wood i.e. keruing (Dipterocarpus pachyphyllus, D. stellatus, D. glabrigemmatus), meranti (Shorea hopeifolia) and resak (Vatica nitens) are belong into resistant wood (class II).
This research aimed to determine chemical and physical properties of cajuput oil distilled from the leaves of A. brasii trees which grow at the Wasur National Park. Chemical compounds were analysed using Gas Chromatography and Mass Spectrometer method. Physical analysis were undertaken on the cajuput oil distilled using steam method. Results show that qualitiesof the oil from A.brasii tree did not meet the Indonesian standard (SNI 06-3954-2006) because of low specivic gravity (below 0,900) and optical rotation of 9.8. Analysis result with GC-MS show that there are 29 peaks, with the highest intensity identified as 1,8 cineole (34,88% concentration).
Keywords: Decaying fungi, keruing, meranti, resak, wood resistance
UDC (OSDC) 630*267.3 Djeni Hendra, R. Esa Pangersa Gusti & Sri Komarayati (The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Utilization of The Wasted Kemiri Sunan Shells As Raw Material for Manufacturing Activated Charcoal J. of Forest Products Research. December. 2014, Vol 32 No. 4, pp. 271 282
Keywords: Asteromyrtusbrasii,chemical compound and physical properties, cajeput oil qualities
UDC (OSDC) 630*862 Deni Zulfiana & Sukma S. Kusumah (The Center for Research Biomaterial-LIPI) Resistance of Composite Boards Made from Sago Frond (Metroxylon sago Rottb.) against Rotting Fungi and Termites J. of Forest Products Research. December. 2014, Vol 32 No. 4, pp. 253 262
This study aims to manufacture activated carbon from the wasted Kemiri Sunan shell. Results showed that Kemiri Sunan shell can be used as raw material for activated charcoal which meets the technical requirements stated in the Indonesian standard (SNI). Keywords: Carbonization, activated charcoal, Kemiri sunanshell, quality
This study aimed to examine the resistance of composite boards made from sago frond using polyurethane and phenol formaldehyde (10%, 12% and 14%) against wood rotting fungi and termites. The boards were tested against Japanese Industrial Standard (JIS) K 1571 2004 method using white rot fungi Trametes versicolor, brown rot fungi Fomitopsis palustris and subterranean termites Coptotermes gestroi. The result shows that all samples were not resistant to decaying fungi and subterranean termites.
UDC (OSDC) 630*892.61 Efrida Basri & Jamal Balfas (The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Impregnation of Teak Extract and Resin on the Fast Grown Teak and Rubber Wood J. of Forest Products Research. December. 2014, Vol 32 No. 4, pp. 283 296 This research is aimed to improve the quality of JCT and rubber wood through impregnation of teak extract and resin. The resins used in this study consist of shellac and damar, which were added at three concentration levels.The results show that the impregnation of extractive solution into JCT and rubber wood increased dimentional stability of both woods. The addition of shellac and damar resin in the teak extractive solution significantly result in better dimensional stability of JCT and rubber wood.
Keywords: Sago frond, composite boards, polyurethane, phenol formaldehyde, fungi, termites
UDC (OSDC) 630*844.1 Djarwanto & Sihati Suprapti (The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Decay Capability of Ten Fungi to Five Wood Species from East Kalimantan J. of Forest Products Research. December. 2014, Vol 32 No. 4, pp. 263 270
Keywords: Teak wood extract, shellac, damar, wood dimensional stability
vii
UDC (OSDC) 630*892.6 Sukadaryati (Graduate School, Bogor Agricultural University), Gunawan Santosa (Bogor Agricultural University), Gustan Pari (The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Forest Product Processing), Dodik Ridho Nurrohmat, Hardjanto (Bogor Agricultural University) Identification and Fibre Quality of Five Locally Potential Wood Species originated from West Java and Banten J. of Forest Products Research. December. 2014, Vol 32 No. 4, pp. 329 340
UDC (OSDC) 630*862.3 Sri Rulliaty (The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Identification and Fibre Quality of Five Locally Potential Wood Species originated from West Java and Banten J. of Forest Products Research. December. 2014, Vol 32 No. 4, pp. 297 312 General characteristics, anatomical properties and fiber quality of five locally potential wood species from West Java and Banten, have been examined for wood identification purposes. The main characteristics of those five wood species were described in the following : Pisonia umbelliflora (Forst) Seem (ki cau) its wood rather soft, vessels clustered diameter rather small, rays exclusively uniseriate, crystals raphides type in procumbent ray cells present; Litsea monopetala Pers. (huru manuk) all ray cells procumbent and has oil cells associated with axial parenchyma; Buchanania arborescens Blume (ki renghas) wood have patterned on radial section, vessels in radial multiple, rays larger commonly up to 6 seriate, prismatic crystals present in upright ray cells and chambered axial parenchyma cells; Crypteronia paniculata Blume (ki banen) parenchyma diffuse in aggregate, rays 1-3 seriate, prismatic crystal in procumbent cel; Ficus ampelas Burm. f. (ki hampelas, tyloses common, parenchyma banded 2-8 cells wide, rays larger commonly up to 5 seriate, sheath cells present. Fibre quality of those five woods could be classified into quality class I.
This study aimed to identify the use of stimulants made from a strong acid (H2SO4), ETRAT and wood vinegar onpine tapping. Inorganic stimulant produced resin more than ETRAT and wood vinegarper collection in area with elevation above 500 ASL and below 500 ASL. The use of inorganic stimulant, however, caused the change of wood colour that will be dark brown to reddish even that going into as far as to the pith of wood. Meanwhile, the use of organic stimulant doesn't cause the change of colour in wood significantly. Keywords: H2SO4 stimulant, ETRAT, wood vinegar,tapping pine
UDC (OSDC) 630*811.1 Sri Rulliaty (The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) Anatomical properties and Fiber Quality of The Least Known Wood Species: Families of Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae and Compositae J. of Forest Products Research. December. 2014, Vol 32 No. 4, pp. 341 354
Keywords: Wood anatomy, fibre quality, five species, West java, Banten
UDC (OSDC) 630*867.5 Sri Komarayati, Gusmailina & Gustan Pari (The Center for Research and Development on Forest Engineering and Forest Products Processing) The Effects of Charcoal and Wood Vinegar to Growth Increase and Carbon Store J. of Forest Products Research. December. 2014, Vol 32 No. 4, pp. 313 328
This paper studies anatomical properties and fiber quality of five wood species of “The Least Known Wood Species”. The studied species include Crataeva sp., Crataeva membranifolia Miq.,(Capparidaceae), Viburnum sambucinum Bl. (Caprifoliaceae), Ascarina sp. (Chloranthaceae) and Olearia sp. (Compositae. Results show that anatomical properties of the studied species are distinctive for identification purposes, such as Ascarina sp. and Olearia sp. which characterized with wide ray structures. Aggregate rays were present in Crataeva membranifolia and Ascarina sp. The heartwood of Crataeva membranifolia are yellowish in colour and has straight grain which can be used for substitution of ramin wood.
The research aimed to look into the growth responses of sengon, jabon, and agarwood seedlings; and to examine the carbon (C), nitrogen (N), phosphor (P), and potash (K) contents in soil as well as in the biomass portions of those three plant species (i.e. their leaves, stems, and roots) after being added with charcoal and wood vinegar. The charcoal addition was conducted by mixing it with soil evenly and homogenously, while wood-vinegar incorporation proceeded by spraying it onto the soil.Results revealed that 10-30% of charcoal and 2-4% of wood vinegar added could increased growth in height and diameter of sengon, jabon and agarwood seedlings.
Keywords: Anatomical properties, The Least Known Wood Species, Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae, Compositae
Keywords: Charcoal, wood vinegar, seedlings, nutrients, soil
viii
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 243-252 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
SIFAT FISIKOKIMIA MINYAK KAYU PUTIH JENIS Asteromyrtus brasii (Physico-Chemical Properties of Cajeput Oil's from Asteromyrtus brasii) Ary Widiyanto & Mohamad Siarudin Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl Raya Ciamis-Banjar KM 4, Ciamis Email:
[email protected] Diterima 27 Maret 2014, Disetujui 23 Oktober 2014
ABSTRACT Asteromyrtus brasii, is one of the cajuput oil tree species in Wasur National Park, Merauke, Papua. However, theinformation on the chemical compound and physical properties (qualities) of cajuput oil produced from this species is still limited. This research aimed to measure the chemical compound and physical properties of cajuput oil distilled from the leaves of A.brasii trees which grow at the Wasur National Park.Chemical compound analysis is using Gas Chromatography and Mass Spectrometer method (GC-MS method).The analysis on the physical properties was applied to the cajuput oil distilled using steam method. The distillation lasted for 4-5 hours, and every interval of 30 minutes the distilled cajuput oil collected cumulatively and the total collected oil was examined for the yield and phsyco-chemical properties. The qualities of the overall cajuput oil from A. brasii- tree leaves couldn't satisfy the standard (SNI 06-39542006) because of the specivic gravity is below 0.9 and optical rotation of 9.8. Analysis result with GC-MS show there are 29 peak, with 5 of the them has the higher intensity identified as 1,8 cineole (34,88% concentration),Trans-.Beta.Ionon-5,6-Epoxide (21,26%), Formamide (CAS) Methanamide (11,20%), Acetic acid (CAS) Ethylic acid (8,14%) and Alpha pinene (4,39%). Keywords: Asteromyrtus brasii, chemical compound and physical properties, cajuput oil qualities ABSTRAK Asteromyrtus brasii merupakan salah jenis tumbuhan penghasil kayu putih yang banyak ditemukan di Taman Nasional (TN) Wasur, Merauke, Papua. Namun demikian, informasi mengenai kandungan kimia dan sifat fisik (kualitas) minyak kayu putih yang dihasilkan dari spesies tersebut masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kandungan kimia dan sifat fisik minyak kayu putih yang disuling daridaun A. brasii yang tumbuh di TN Wasur. Analisis kandungan kimia minyak atsiri dilakukan pada sampel daun dengan metode Gas Chromatography dan Mass Spectrometer (metode GC-MS). Analisis sifat fisik dilakukan pada minyak kayu putih yang diperoleh melalui penyulingan daun A. brasii dengan metode uap. Kualitas minyak kayu putih dari jenis A. brasii tidak memenuhi persyaratan kualitas minyak kayu putih menurut SNI 06-3954-2006 karena memiliki berat jenis kurang dari 0,9 dan putaran optik 9,8. Hasil analisis dengan GC-MS menunjukkan ada 29 puncak, 5 puncak dengan intensitas tinggi diidentifikasi sebagai senyawa 1,8 cineole (kelimpahan 34,88%), Trans-Beta-Ionon-5,6Epoxide (21,26%), Formamide (CAS) Methanamide (11,20%), Acetic acid (CAS) Ethylic acid (8,14%) dan Alpha pinene (4,39%). Kata kunci: Asteromyrtus brasii, kandungan kimia, sifat fisik, kualitas minyak kayu putih
243
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 243-252
I. PENDAHULUAN Minyak atsiri sebagai bahan wewangian, penyedap masakan dan obat-obatan sudah dipergunakan sejak lama. Minyak atsiri, minyak yang mudah menguap atau terbang merupakan senyawa yang berwujud cairan atau padatan yang memiliki komposisi maupun titik didih yang beragam, Minyak atsiri dapat diperoleh dari bagian tanaman meliputi akar, kulit, batang, daun, buah, biji maupun dari bunga (Sastrohamidjojo, 2004). Minyak atsiri pada tanaman mempunyai 3 fungsi yaitu membantu proses penyerbukan dengan menarik beberapa jenis serangga atau hewan, mencegah kerusakan tanaman oleh serangga atau hewan lain dan sebagai cadangan makanan dalam tanaman. Minyak atsiri merupakan salah satu hasil sisa proses metabolisme dalam tanaman, yang terbentuk karena reaksi antara berbagai persenyawaan kimia dalam tanaman. Minyak tersebut disintesa dalam sel kelenjar pada jaringan tanaman dan ada juga yang terbentuk dalam pembuluh resin (Ketaren, 1985). Minyak atsiri umumnya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia yang terbentuk dari unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) serta beberapa persenyawaan kimia yang mengandung unsur nitrogen (N) dan belerang (S). Pada umumnya sebagian besar minyak atsiri terdiri dari campuran persenyawaan golongan hidrokarbon dan hidrokarbon teroksigenasi (Ketaren, 1985). Potensi tanaman kayu putih sebagai salah satu jenis minyak atsiri di Indonesia cukup besar mencangkup antara lain daerah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Bali dan Papua yang berupa hutan alam kayu putih. Sementara itu yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat berupa hutan tanaman kayu putih (Mulyadi 2005 dalam Winara et al., 2012). Asteromyrtus brasii merupakan salah satu anggota genus Asteromyrtus yang secara keseluruhan terdiri dari tujuh spesies, yaitu A. brasii, A. amhernica, A. lysicephala, A. magnifica, A. angustifolia, A. tranganensis dan A. symphiocarpa (dulu masuk dalam genus Melaleuca) (Brophy et al, 1994). Penelitian dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia dan sifak fisik (kualitas) minyak kayu putih dari pohon jenis Asteromyrtus brasii yang berasal dari TN Wasur, Papua. Diharapkan 244
dengan adanya informasi sifat kimia dan fisika daun kayu putih jenis ini bisa dimanfaatkan dalam rangka pengembangan dan produksi minyak kayu putih baru selain jenis Melaleuca cajuputi dan Melaleuca leucadendron yang sudah lama dikembangkan dan dimanfaatkan. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian Sampel daun berasal dari wilayah TN Wasur pada wilayah administratif Distrik Sota dan Distrik Merauke Kabupaten Merauke Provinsi Papua. B. Analisis Sifat Fisiko-Kimia Minyak Kayu Putih Analisis kualitas dilakukan terhadap minyak hasil penyulingan sejumlah contoh daun kayu putih yang berasal dari TN Wasur (Merauke). Penyulingan dilakukan dengan metode uap (steam) dengan ketel berkapasitas 12 kg daun kayu putih segar. Penyulingan berlangsung selama 4-5 jam, dan setiap 30 menit minyak kayu putih hasil penyulingan dikumpulkan secara kumulatif. Penyulingan minyak kayu putih berikut pengujian hasil (analisis) berturut-turut dilakukan di Laboratorium Hasil Hutan Non Kayu dan Laboratorium Pengujian Penelitian Terpadu Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta). Analisis kualitas minyak kayu putih mengacu pada prosedur SNI 06-3954-2006, yaitu berat jenis (BJ), indeks bias, kelarutan dalam alkohol, putaran optik dan kadar sineol. Hasil analisis selanjutnya dibandingkan dengan standar (SNI). Selain itu dihitung pula rendemen minyak kayu putih, karena bermanfaat dan terkait dengan kelayakan finansial pengembangannya. C. Analisis Kandungan Kimia Daun Kayu Putih Analisis kandungan/komponen kimia daun kayu putih dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Puslitbang Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Analisis komponen minyak atsiri menggunakan alat GCMS pyrolisis ( Gas Chromatography dan Mass Spectrometer pyrolisis).
Sifat Fisikokimia Minyak Kayu Putih Jenis Asteromyrtus brasii (Ary Widiyanto & Mohamad Siarudin)
Hasil analisis sifat fisik minyak kayu putih disajikan pada Tabel 2.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifak Fisiko-Kimia Minyak Kayu Putih
Tabel 2. Hasil analisis kualitas hasil penyulingan daun tumbuhan jenis Asteromyrtus brasii dari TN Wasur, Papua Table 2. Analysis result in the qualities of the distilled leaves of Asteromyrtus brasii from Wasur National Park, Papua Paramater (Parameters) Berat jenis (specific gravity) (200C/200) Indeks bias (refractive index) (nD20) Kelarutan dalam etanol 70%(solubility in 70% ethanol)
Kualitas (Qualities)
Standar SNI (SNI Standard)
0,898 1,467 1:1 (Jernih/clear)
0,900 - 0,930 1,450 - 1,470 1:1 - 1:10 (Jernih/clear) (-4)o - 0o 50 – 65
Putaran optik ( optical rotation) Kadar sineol (cineole content) (%) Rendemen (yield) (%)
9,8 60 0,05
Keterangan (Remarks): 1. Data merupakan rata-rata dari lima ulangan (penyulingan) (The data obtained from the average of 5 replication (distillation)) 2. Nilai rendemen, kadar sineol dan data lain berdasarkan berat daun kering oven (Oil yield, cineole content and other related data based on oven dry weight of the leaves)
1. Berat jenis Berat jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan kemurnian minyak atsiri. Berat jenis kayu putih merupakan perbandingan berat minyak kayu putih dengan berat air dalam volume yang sama. Berat jenis minyak kayu putih jenis A. brasii sebesar 0,898 belum memenuhi standar minimal SNI yang mensyaratkan BJ minimal adalah sebesar 0,900. Handayani (1997) dalam Arnita (2011), menjelaskan bahwa berat jenis suatu senyawa organik dipengaruhi oleh berat molekul, panjang rantai karbon, jumlah ikatan karbon-karbon dan jumlah ikatan rangkap dalam senyawa tersebut. Adanya kotoran dalam minyak kayu putih akan menyebabkan berat jenis berubah. 2. Indeks bias Berdasarkan hasil analisis sebagaimana tercantum dalam Tabel 2 diketahui bahwa indeks bias kayu putih jenis A. brasii sebesar 1,462 dan masuk dalam standar SNI yang mensyaratkan nilai indeks bias pada kisaran 1,450 - 1,470. Indeks bias diperoleh jika cahaya melewati media kurang padat ke media lebih padat, maka sinar akan membelok atau membias menuju garis normal. Menurut Handayani (1997) dalam Arnita (2011), senyawa organik mempunyai nilai indeks bias
sebanding dengan panjang rantai karbon atau rantai siklis yang menyusunnya dan jumlah ikatan rangkap yang terdapat pada senyawa tersebut. Selain itu, senyawa organik yang simetris memiliki indeks bias sedikit lebih tinggi daripada indeks bias isomernya yang tidak simetris. 3. Kelarutan dalam ethanol Jenis A. brasii memiliki nilai kelarutan dalam alkohol sebesar 1:1 dan jernih, dan nilai ini memenuhi standar SNI yang mensyaratkan kelarutan dalam alkohol 1:1 - 1:10 dan jernih. 4. Putaran optik Putaran optik terjadi akibat adanya perbedaan atom dan molekul (seperti oksigen dan gugusan hidroksil) yang terikat pada atom karbon yang akan menyebabkan perbedaan elektronegativitas. Sedangkan, elektronegativitas tersebut digambarkan oleh besar polaritas dan ikatan kimia, sehingga menghasilkan momen dua kutub yang akan memutar bidang cahaya terpolarisasi ke arah kanan (dextrorotary) dan ke kiri (levorotary) (Gray, 1967 dalam Handayani, 1997). Dari hasil penelitian diketahui bahwa jenis A. brasii ini memiliki sudut polarisasi lebih mendekat ke arah kanan, dengan putaran optik sebesar 9,8. Nilai ini tidak memenuhi standar SNI 06-3954-
245
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 243-252 o
2006 yang mensyaratkan putaran optik antara (-4) o - 0 . Nilai ini berbeda dengan jenis A. symphiocarpa yang memiliki putaran optik -2.1 atau cenderung ke arah kiri (levorotary) (Winara et al., 2012). 5. Kadar sineol (%) Minyak kayu putih akan termasuk ke dalam kelas mutu U (utama) jika memiliki kadar sineol > 55%, dan mutu P (pertama) jika kadar sineol kurang dari 55%. Berdasarkan kriteria ini, kualitas minyak kayu putih jenis A. brasii termasuk dalam kualitas U. Komponen utama dalam minyak kayu putih adalah sineol, yang kadarnya mencapai 50-65%. Senyawa ini terdapat pada sejumlah besar minyak atsiri, bahkan menurut Guenther (1987), sineol terdapat dalam 260 jenis minyak atsiri. Sineol (1,8- Cineole) sebagai komponen utama minyak kayu putih memiliki rumus C10H18O senyawa tersebut dikenal dengan nama bermacam-macam seperti Cajeput hydrate , Cajuputol, dan Cajeputol (Guenther, 1987).
6. Rendemen Rendemen menjadi salah satu faktor yang penting untuk diketahui, karena nilai ini sangat bermanfaat jika suatu jenis kayu putih akan dikembangkan untuk industri. Semakin besar nilai rendemen maka akan semakin potensial pula suatu jenis kayu putih untuk diproduksi. Faktor utama yang berpengaruh terhadap perbedaan hasil rendemen minyak kayu putih yang dihasilkan dari adalah waktu pemasakan dan asal bahan baku daun kayu putih. Dalam penelitian ini, proses penyulingan dilakukan dengan metode uap (steam distillation) dalam skala laboratorium. Hasil penelitian menunjukan bahwa rendemen minyak kayu putih jenis A. brasii sebesar 0,05%. Nilai ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan rendemen jenis lain yang telah diteliti, misalnya jenis A. symphiocarpa yang memiliki rendemen 0,33% (Winara et al., 2012) dan jenis Melaleuca leucadendron yang memiliki rendemen 1-2% (Perhutani, 2012).
Tabel 1. Hasil analisis komponen daun kayu putih jenis Asteromyrtus brasii dengan GC-MS Table 1. Analysis result of chemical compound from the leaves of Asteromyrtus brasii with GCMS
246
Puncak (Peak)
Waktu retensi (Retention time) (minute)
Kelimpahan (Concentration) (%)
1 2
3.92 4.21
11.20 21.26
Formamide (CAS) Methanamide TRANS-.BETA.-IONON-5,6-EPOXIDE
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
4.51 6.35 6.81 10.38 14.76 16.43 17.17 17.35 18.47 18.66 20.65 21.26 22.80 24.56
2.36 8.14 1.37 1.34 4.39 1.89 1.23 34.88 0.87 2.14 0.93 3.04 0.79 0.83
17 18 19
24.85 25.09 26.18
0.78 1.40 1.15
2-Propanone (CAS) Acetone Acetic acid (CAS) Ethylic acid 2-Propanone, 1-hydroxy- (CAS) Acetol Propanoic acid, 2-oxo-, methyl ester (CAS) Methyl pyruvate ALPHA-PINENE Phenol l-Limonene 1,8-Cineole Benzene, 1-ethoxy-4-methyl- (CAS) p-Ethoxytoluene Phenol, 2-methoxy- (CAS) Guaiacol ALPHA. TERPINEOL 2,3-DIHYDRO-BENZOFURAN Phenol ( 4-ethenyl-2-methoxy) trans-Caryophyllene 3-Octen-5-yne, 2,2,7,7-tetramethyl- (CAS) 2,2,7,7TETRAMETHYLOCT-3EN alpha-Humulene Farnesol
Nama (Name)
Sifat Fisikokimia Minyak Kayu Putih Jenis Asteromyrtus brasii (Ary Widiyanto & Mohamad Siarudin)
B. Kandungan Kimia Minyak Kayu Putih Hasil pengukuran dengan refraktometer GMCS yang disajikan pada Tabel 1, menunjukkan terdapat 19 komponen kimia yang terdeteksi, dengan kelimpahan terbesar adalah 1,8 cineole dengan kelimpahan sebesar 34,88% dan waktu retensi 17,35 menit. Dari tabel di atas juga terdapat
kandungan lain yang ditemukan dengan kelimpahan cukup besar lainnya yaitu Trans.Beta.-Ionon-5,6-Epoxide (kelimpahan 21,26%), Formamide (CAS) Methanamide (11,20%), Acetic acid (CAS) Ethylic acid (8,14%) dan Alpha pinene (4,39%). Sedangkan untuk komponen lain jumlahnya < 3%. Hasil analisis dengan GC-MS dipaparkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kromatrogram GC Figure 1. GC chromatogram
Sineol atau 1,8-cineole adalah eter siklik alami dan anggota monoterpenoid. Eukaliptol dihasilkan dari banyak ang g ota marga Eucalyptus dan beberapa anggota suku Myrtaceae, seperti Melaleuca dan Syzygium. Sineol juga ditemukan pada genus Asteromyrtus,
sebagaimana yang ditemukan pada penelitian ini. Sineol juga dikenal dengan berbagai sinonim: 1,8cineole, eukaliptol, cajeputol, 1,8-epoksi-pmentana, 1,8-oxido-p-mentana, eucalyptol, eucalyptole, 1, 3,3-trimetil-2-oxabicyclo [2,2,2] oktan, cineol, cineole.
247
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 243-252
Gambar 2. Struktur 1,8-cineole Figure 2. 1,8-cineole structure Cineole memiliki rumus molekul C10H18O, memiliki masa molar 154,249 g/mol, kepadatan 3 0,9225 g/cm , titik lebur 1,5 °C dan titik didih 176-177 °C. Dalam penelitian ini, konsentrasi sineol yang ditemukan mencapai 34,88% dan merupakan konsentrasi tertinggi dibandingkan dengan senyawa lainnya. Kadar sineol ini lebih tinggi dari hasil penelitian Brophy et al, (1994) pada jenis A.brasii di Australia yang melaporkan sineol sebesar 24,39%. Selain pada minyak kayu putih, sineol juga ditemukan dalam kamper, daun salam, teh, mugwort, kemangi, worm wood, rosemary, sage dan dedaunan tanaman aromatik lainnya. Sineol dengan kemurnian 99,6-99,8 % dapat diperoleh
dalam jumlah besar oleh distilasi fraksional minyak kayu putih (Boland et al, 1991). Meskipun dapat digunakan sebagai penyedap makanan dan baha nobat, sineol dapat mengakibatkan keracunan jika tertelan melebihi dosis normal (ScienceLab, 2009). Trans-Beta-Ionone-5,6-Epoxide merupakan salah satu golongan karbonil dengan rumus kimia C 1 3 H 2 0 O 2 a t a u 4 - ( 2 , 2 , 6 - Tr i m e t h y l - 7 oxabicyclo[4.1.0]hept-1-yl)-3-buten-2-one yang berupa cairan bening sampai kuning muda dengan bau khas dan berat jenis 0,940-0,948 (UNEP, 2014). Ionone adalah salah satu anggota terpene, terbentuk secara alami dari hidrokarbon tak jenuh
Gambar 3. Struktur Trans-Beta-Ionon-5,6-Epoxide Figure 3. Trans-Beta-Ionon-5,6-Epoxidestructure dimana kerangka karbon tersusun secara eksklusif dari isoprena unit C5 (CH2 = C (CH3)-CH = CH2), yang terdiri dari 5 atom karbon yang melekat pada 8 atom hidrogen (C5H8). Ionone berbentuk cairan bening sampai kekuningan, memiliki titik 248
o
didih 267 C pada tekanan 1013 hPa, larut dalam air dan beberapa pelarut lain seperti alkohol dan eter wewangian(UNEP 2004; BASF AG, 2004). Ionone merupakan salah satu komponen utama minyak aroma mawar merupakan minyak
Sifat Fisikokimia Minyak Kayu Putih Jenis Asteromyrtus brasii (Ary Widiyanto & Mohamad Siarudin)
O H
C
NH 2
Gambar 4. Struktur formamide Figure 4. Formamide structure
esensial yang paling banyak digunakan dalam wewangian. Senyawa ini juga digunakan digunakan dalam pembuatan vitamin A (retinol), makanan, produksi kosmetik (zat aromatic), peralatan mandi dan peralatan rumah tangga (UNEP, 2004; Leffingwell, 2000). Formamide memiliki rumus molekul CH3NO, 3 masa molar 45,04 g/mol, kepadatan 1,133 g/cm , titik lebur 2-3°C, titik didih 210°C, tidak berwarna, dapat larut dalam air dan derajat keasaman 23,5. Formamide juga dikenal sebagai methanamide, adalah amida yang berasal dari asam format, cairan bening yang larut dengan air dan memiliki bau seperti amonia.
Formamida dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kimia untuk pembuatan obat sulfat, herbisida, pestisida dan pembuatan asam hydrocyanic. Senyawa ini telah digunakan sebagai pelunak untuk kertas dan serat dan pelarut untuk banyak senyawa ionik termasuk pelarut untuk resin dan pembuatan plastik (Hohn, 1999). Formamida akan mulai sebagian terurai menjadi karbon monoksida dan amonia pada suhu 180° C. Jika dipanaskan dengan kuat, formamida terurai menjadi hidrogen sianida (HCN) dan uap air. Acetic acid atau asam asetat dengan rumus struktur CH3COOH biasa dikenal juga dengan
Gambar 5. Struktur asam asetat (Figure 5. Acetic acid structure) asam ethanoat merupakan salah satu bahan kimia organik. Dalam keadaan murni, asam asetat bebas dari air (asam asetat glasial) merupakan cairan berwarna bening yang menyerap air dari lingkungan (bersikap higroskopis) dan membeku di bawah suhu 16,7oC menjadi sebuah kristal padat tidak berwarna. Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat yang paling sederhana, merupakan regensia dan dalam industri kimia banyak digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan berbagai macam bahan kimia lainnya. Asam asetat memiliki masa molar 60,05g/mol, kepadatan 1,049 g/cm3, titik lebur16-17°C dan titik didih118-119°C, dapat larut dalam air, derajat keasaman 4,76 dan indeks bias 1,371. Asam asetat
banyak digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan berbagai macam bahan kimia, seperti vinil asetat monomer (VAM), asam tereptalik yang dimurnikan, asetat anhidrat, asam monokloro asetat (MCA) dan ester asetat (n-butyl asetat) (USU, 2011). Penggunannya dalam pembuatan nbutyl asetat adalah dengan melakukan reaksi esterifikasi antara asam asetat dengan butadiene ataupun juga dengan alkohol seperti buthanol. Asam asetat merupakan produk katabolisme aerob dalam jalur glikolisis atau perombakan glukosa. Asampiruvat sebagai produk oksidasi glukosa dioksidasi oleh NAD+ terion lalu segera diikat oleh Koenzim-A. Pada prokariota proses ini terjadi di sitoplasma sementara pada eukariota 249
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 243-252
H3 C H3 C CH 3 Gambar 6. Struktur α-Pinene Figure 6. α-Pinene structure berlangsung pada mitokondria. Asam asetat dapat dikenali dengan baunya yang khas. Bau yang kurang enak dari minyak kayu putih yang diperoleh dari proses penyulingan berasal dari asam asetat ini. Rumus molekul α-pinene yaitu C10H16 dan dikenal juga dengan nama (1S,5S)-2,6,6-Trimethyl bicycle[3.1.1]hept-2-ene((-)-α-Pinene). Memiliki masa molar 136,23 g/mol, kepadatan 0.858 g/ml (cair pada suhu 20°C), titik lebur -64°C, titik didih 155°C, tidak berwarna dan sulit larut dalam air. Senyawa ini bisa larut pada beberapa pelarut seperti asam asetat, etanol dan aseton. Senyawa α-pinene merupakan senyawa organik dari kelas terpene, salah satu dari dua isomer pinene (Jaoui and Kamens, 2003) dan merupakan alkena yang berisi cincin reaktif beranggota empat. α-pinene banyak ditemukan dalam minyak yang diperoleh dari pohon konifer, terutama pinus. α-pinene juga ditemukan dalam minyak esensial rosemary (Rosmarinus officinalis) (Derwich et al., 2011; Chahboun et al., 2014). Ada dua enantiomer yang dikenal di alam, yaitu 1S, 5S atau (-)-α-pinene lebih banyak ditemukan pada pinus di Eropa dan 1R, 5R atau (+)-α-isomer lebih banyak ditemukan di Amerika Utara. Brophy et al, (1994) menemukan jumlah α-pinene sebesar 6,30% pada penelitiannya di Australia pada jenis A. brasii, lebih besar dari yang ditemukan pada penelitian ini sebesar 4,39%. Pada tingkat paparan yang rendah, α-pinene adalah bronkodilator (substansi yang dapat memperlebar luas permukaan bronkus dan bronkiolus) pada paru-paru, dan membuat kapasitas serapan oksigen paru-paru meningkat pada manusia. αPinene juga dapat berfungsi sebagai anti-inflamasi dan inhibitor acetylcholinesterase (membantu daya ingat) (Nissen et al, 2010). Senyawa α-pinene dan 250
ß-pinene memiliki sifat anti septik yang kuat. Dalam bidang industri biasanya digunakan sebagai disinfektan, insektisida, pengharum ruangan dan lain-lain. Senyawa ini digunakan sebagai perasa, parfum, dan obat-obatan (seperti mengobati sinus, bronkial, dan infeksi tenggorokan, dan lainlain). Bahkan ada penemuan terbaru, dimana senyawa terpinene-4-ol, a-terpinene, d-terpinene atau campurannya dapat mencegah inveksi virus Herpes Simplex (Virus HSV-1)(WIPO, 2009). IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kualitas minyak kayu putih dari jenis Asteromyrtus brasii tidak memenuhi persayaratan kualitas minyak kayu putih menurut SNI 063954-2006 karena memiliki bobot jenis kurang dari 0,900. Hasil analisis dengan GC-MS menunjukkan 29 puncak, 5 puncak dengan intensitas tinggi diidentifikasi sebagai senyawa 1,8 cineole (kelimpahan 34,88%), Trans-.Beta.Ionone-5, 6-Epoxide (21,26%), Formamide (CAS) Methanamide (11,20%), Acetic acid (CAS) Ethylic acid (8,14%) dan Alpha pinene (4,39%). B. Saran Perlu kajian lebih lanjut tentang kelayakan usaha minyak kayu putih jenis A. brasii berdasarkan potensi kandungan kimia dan kualitas minyaknya. Minyak jenis A. brasii dikenal memiliki aroma wangi yang khas dan cukup potensial untuk dikembangkan, namun mengingat rendemen dan kualitas yang relatif rendah, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas dan rendemen
Sifat Fisikokimia Minyak Kayu Putih Jenis Asteromyrtus brasii (Ary Widiyanto & Mohamad Siarudin)
melalui pemuliaan dan penanganan pasca panen (pemilihan usia pohon yang dipanen, waktu/musim untuk melakukan pemanenan, lama penyimpanan daun, metode penyulingan dll). DAFTAR PUSTAKA Arnita, P. (2011). Pengaruh Varietas dan Kerapatan Daun Kayu Putih Melaleuca leucadendron Linn. Dalam Ketel Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Kayu Putih . Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Badan Standarisasi Nasional (BSN). (2006). SNI 06-3954-2006. Standar Mutu Minyak Kayu Putih. Jakarta. BASF AG, (2004). Product Safety, Summary of results, Beta-Ionon R,Maternal toxicity study in Wistar rats (range finding). Unpublished report, project no.10R0449/02050, 02/449-1, 12 May 2004. Brophy, JJ, J.R. Clarkson, L.A.Craven and R.I.Forrester. (1994). Essential Oil of Tropical Asteromyrtus, Callistemon and Melaleuca Species. ACIAR. Canberra. Boland, D., J.J. Brophy and A.P.N. House. (1991). Eucalyptus Leaf Oils. Use, Chemistry Distillation and Marketing. ACIAR, Canberra. Australia. Brophy, JJ and J.C. Doran. (1996). Essential Oil of Tropical Asteromyrtus, Callistemon and Melaleuca Species. ACIAR. Canberra. Chahboun, N., A. Esmail, N. Rhaiem, H. Abed, R. Amiyare, M. Barrahi, M. Berrabeh, H. Oudda, and M. Ouhssine, (2014). Extraction and study of the essential oil Rosmarinus Officinalis Cuellie in the Region of Taza, Morocco. Der Pharma Chemica 6(3): 367-372. Derwich, E., Z. Benzianeand R. Chabir, (2011). Aromatic and Medical Plants of Morocco: Chemical Composition of Essential Oils of Rosmarinus officinalis and Juniperus pheinicea. International Journal of Applied Biology and Pharmaceutical Technology 2 (1): 145-153.
Guenther, E., (1987), Minyak Atsiri Jilid I (Terjemahan). Jakarta: Penerbit UI-Press. Hohn, A. (1999). "Formamide". In Kroschwitz, Jacqueline I. Kirk-Othmer Concise Encylclopedia of Chemical Technology (4th ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc. pp. 943944. Harborne, J. B. and H. Baxter. 2001. Chemical Dictionary of Economic Plants. England. John Wiley and Son Ltd. Jaoui, M. and R.M. Kamens, (2003). Gaseous and Particulate Oxidation Products Analysis of a Mixture of α-pinene + β-pinene/O3/Air in the Absence of Light and α-pinene + βpinene/NOx/Air in the Presence of Natural Sunlight. Journal of Atmospheric Chemistry 44: 259297. Ketaren, S., (1985), Pengantar Teknologi Minyak Atsiri, Jakarta: Penerbit Balai Pustaka. Leffingwell, J.C., (2000). Rose (Rosa damascene). Leffingwell Reports Vol 1 No. 3. McNair, H.M dan E.J. Bonelli. (1998). Dasar Kromatografi Gas. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB. Nissen L, Zatta A, Stefanini I, Grandi S, Sgorbati B, Biavati B et al. (2010). Characterization and antimicrobial activity of essential oils of industrial hemp varieties (Cannabis sativa L.). Fitoterapia 81: 413419. Perhutani, (2012). Data Hasil Produksi Perusahaam Minyak Kayu Putih (PMKP) Jatimunggul, Perhutani Unit III Jawa Barat. Tidak diterbitkan. Sastrohamidjojo, H., (2004), Kimia Minyak Atsiri. , Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ScienceLab. (2009). "Material Safety Data Sheet Cineole MSDS". www.cerkamed.pl/uk/ d o w n l o a d / e u c a l y p t o l _ m s d s. p d f ? . Diunduh tanggal 22 Januari 2014. UNEP (United Nation for Environmental Program), 2004. Screening Information Data Sets (SIDS): Geneva, Switzerland. Betha-Ionon. UNEP Publication.
251
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 243-252
United Nations Environment Programme (UNEP). (2014). www.inchem.org/ documents/sids/sids/79776.pdf.Diakses tanggal 23 Januari 2014. USU. (2011). Asam asetat. http://repository. usu.ac.id/bitstream/123456789/34984/4/ Chapter%20II.pdf. Diunduh tanggal 23 Januari 2014. Wikipedia. (2014). http://en.wikipedia.org/wiki/ Alpha-Pinene. Diakses tanggal 23 Januari 2014.
252
Winara, A., M. Siarudin, Y. Indrajaya, E. Junaidi dan A. Widiyanto, (2012). Kajian Potensi Minyak Kayu Putih di Taman Nasional Wasur, Papua. Laporan Akhir Kegiatan Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Kementerian Riset dan Teknologi. Tidak dipublikasikan. World Intellectual Property Organization (WIPO). (2009). Antiviral Terpenoid Compounds. www.wipo.int/pctdb/ ja/wo.jsp?WO=2009153791&IA -. Diakses 24 Desember 2013.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 253-262 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
KETAHANAN PAPAN KOMPOSIT DARI PELEPAH SAGU (Metroxylon sago Rottb.) TERHADAP JAMUR PELAPUK DAN RAYAP TANAH (Resistance of Composite Board Made from Sago Frond (Metroxylon sago Rottb.) Against Rotting Fungi and Subterranean Termite) 1
1
Deni Zulfiana & Sukma S. Kusumah 1
Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI, Jl. Raya Bogor KM 46, Cibinong 16911, Indonesia Diterima 4 Maret 2014, Disetujui 12 Nopember 2014
ABSTRACT This study aimed to examine the resistance of composite boards made of sago frond using polyurethane (PU) and phenol formaldehyde (PF) adhesives against rotting fungi and termite. Dimension and targeted density of composite board -3 were 30 cm x 30 cm x 1 cm and 0.5 g cm , respectively. Composite boards were prepared by cold press machine for composite boards using PU resin as a binder and hot press machine for boards using PF resin under the following -2 conditions: 25 kg cm for 24 hours in cold pressing process and 10 minutes in hot pressing process with 140OC of temperature. Solid content of liquid adhesives was 50% with resin content as variations in this study i.e. 10%, 12% and 14%. The boards were tested against JIS K 1571 2004. The results show the composite boards treated with PU and PF adhesives were not resistant to rotting fungi and termites. Keywords: Sago frond, composite boards, phenol formaldehyde, polyurethane, fungi, termites ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketahanan papan komposit dari pelepah sagu menggunakan perekat polyurethane (PU) dan phenol formaldehyde (PF) terhadap jamur pelapuk dan rayap. Ukuran dan target kerapatan papan komposit adalah 30 cm x 30 cm x 1 cm3 dan 0,5 g cm-3. Papan komposit dibuat dari susunan pelepah sagu yang dikempa dingin untuk papan komposit menggunakan perekat PU dan kempa panas untuk papan yang menggunakan perekat PF dengan tekanan spesifik 25 kg cm-2 selama 24 jam untuk kempa dingin dan 10 menit untuk kempa panas pada suhu 140 °C. Kadar padatan dari perekat cair adalah 50% dengan variasi kadar perekat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 10%, 12% dan 14%. Pengujian berdasarkan standar JIS K 1571 2004. Berdasarkan persentase kehilangan berat, papan komposit menggunakan perekat PU dan PF tidak tahan serangan jamur pelapuk dan rayap. Kata kunci: Pelepah sagu, papan komposit, phenol formaldehyde, polyurethane, jamur, rayap I. PENDAHULUAN Produk komposit kayu saat ini banyak digunakan sebagai pengganti kayu solid untuk struktur bangunan ataupun untuk aplikasi interior dan ekterior seperti, papan partikel, Oriented Strand Board (OSB), papan serat (High Density Fiberboard (HDF), Medium Density Fiberboard (MDF),
Laminated Veneer Lumber (LVL), Parallel Strand Lumber (PSL), Laminated Strand Lumber (LSL), kayu lapis dan lain-lain (Laks, 2002; Lloyd et al., 2012). Penelitian pengembangan papan komposit dari bahan baku yang dapat diperbaharui selain kayu sudah banyak dilakukan. Chowet et al., (1993) mengembangkan papan komposit dari batang kenaf, limbah kayu dan residu serat tanaman, 253
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 253-262
sedangkan Hiziroglu et al., (2007), meneliti sifat Medium Density Fiberboard (MDF) yang terbuat dari bambu dan jerami. Pada tahun 2004, Gopar dan Sudiyani mempelajari perubahan sifat fisis dan mekanis panel zephyr bambu, dan Kusumah et al., (2010), memanfaatkan limbah pelepah sagu (Metroxylon sago Rottb.) sebagai bahan baku papan komposit yang bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan limbah pelepah sagu menjadi produk komposit yang bernilai ekonomi. Penggunaan papan komposit masih terbatas karena sensitivitasnya yang tinggi terhadap kelembaban dan serangan organisme perusak seperti serangga dan mikroorganisme (Barnes dan Amburgey, 1993; Baileys et al., 2003). Diantara mikroorganisme yang mampu menyerang kayu, jamur Basidiomycetes merupakan salah satu mikroorganisme berbahaya karena memiliki kemampuan yang tinggi dalam melapukkan sel-sel kayu (Yamashita et al., 1978). Rayap tanah tercatat sebagai salah satu organisme perusak yang menyerang produk komposit (Evans et al., 2000). Hal ini mendorong pemikiran untuk memodifikasi produk papan komposit agar tidak disukai jamur dan rayap, sehingga kerusakan produk papan komposit dapat dikurangi. Pada penelitian sebelumnya, Kusumah et al., (2010), membuat papan komposit dari pelepah sagu dengan menggunakan bahan perekat water based polyurethane (PU) dan phenol formaldehyde (PF) dalam kadar yang bervariasi dan diketahui bahwa limbah pelepah sagu potensial digunakan sebagai salah satu bahan baku papan komposit. Dari penelitian tersebut diketahui papan komposit pelepah sagu yang menggunakan perekat PU 14% menunjukkan hasil terbaik berdasarkan pengujian terhadap sifat fisis dan mekanisnya, papan komposit tersebut cocok digunakan sebagai bahan baku bangunan dan partisi seperti atap, meja, lemari dan sebagainya. Meskipun secara fisis dan mekanis papan komposit ini potensial untuk dikembangkan namun informasi mengenai ketahanan papan komposit pelepah sagu terhadap serangan jamur pelapuk dan rayap belum ada. Tulisan ini mempelajari ketahanan papan komposit dari pelepah sagu terhadap jamur pelapuk putih ( Trametes versicolor ), jamur pelapuk coklat (Fomitopsis palustris), dan rayap tanah (Coptotermes gestroi) secara laboratoris. 254
II. BAHAN DAN METODE A. Persiapan Bahan Baku 1. Pembuatan papan komposit Pembuatan sampel papan komposit yang menggunakan perekat PU dan PF dengan kadar masing-masing 10%, 12%, dan 14%, mengacu pada penelitian Kusumah et al., (2010). Papan komposit dibuat dari susunan pelepah sagu yang dikempa dingin untuk papan yang menggunakan perekat PU dan kempa panas untuk papan yang menggunakan perekat PF dengan tekanan spesifik sebesar 25 kg cm-2 selama 24 jam untuk kempa dingin dan 10 menit untuk kempa panas pada suhu 140 °C. Sampel papan komposit dipotong dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 1 cm. Selanjutnya ditimbang untuk mengetahui berat kering oven sebelum pengujian (ODW1). Kemudian sampel disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121OC dan selama 20 menit untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh mikroorganisme lain. 2. Inokulum jamur Inokulum jamur pelapuk kayu yang digunakan adalah jamur pelapuk putih, Trametes versicolor (L. et Fr.) Qeul.-FFPRI-1030 dan jamur pelapuk coklat, Fomitopsis palustris (Berk. et Curt.) Murr.-FFPRI1)-0507. Jamur ditumbuhkan di media PDA agar miring selama 7 hari. Inokulum jamur selanjutnya diinokulasikan ke media pasir. Kemudian jamur dibiarkan tumbuh selama 7 hari hingga miselium menutupi seluruh lapisan permukaan media pasir (JIS K 1571, 2004). 3. Media Media yang digunakan adalah media untuk menumbuhkan jamur dari kelas Basidiomycetes. Komposisi media per liter adalah sebagai berikut: KH2PO4 3 g, MgSO4.7 H2O 2 g, glukosa 25 g, pepton 5 g, ekstrak malt 10 g, air suling 1000 ml. Sebanyak 45 ml media cair dituangkan ke botol uji yang berisi 150 g pasir kuarsa, setelah itu media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121ºC dan tekanan 1 atm selama 20 menit. Media ini merupakan media yang digunakan untuk pengujian jamur (JIS K 1571 2004).
Ketahanan Papan Komposit dari Pelepah Sagu (Metroxylon sago Rottb.) Terhadap Jamur Pelapuk dan Rayap Tanah (Deni Zulfiana & Sukma S. Kusumah)
B. Metode Pengujian
D. Analis Data
Pengujian sampel papan komposit terhadap jamur pelapuk kayu menggunakan standar JIS K 1571 2004 yang telah dimodifikasi. Sampel papan komposit yang telah disterilisasi dimasukkan ke dalam media pengujian yang telah diinokulasi jamur secara aseptis. Selanjutnya media dan sampel papan komposit tersebut diinkubasi selama 12 minggu. Di akhir masa inkubasi, sampel kayu dibersihkan dari sisa-sisa miselium jamur, kemudian dikeringkan dan ditimbang untuk mengetahui berat kering oven setelah pengujian (ODW2). Hasil pengujian diketahui dari nilai kehilangan berat pada kayu sampel (weight loss). Nilai kehilangan berat diperoleh dengan rumus:
Untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan dilakukan analisis data menggunakan rancangan percobaan acak lengkap yaitu 3 faktor untuk jamur (jenis perekat, kadar perekat dan jenis jamur) dan 2 faktor untuk rayap (jenis perekat dan kadar perekat). Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Data kehilangan berat papan komposit dan mortalitas rayap dianalisis mengunakan analisis ANOVA dan uji lanjut Duncan.
(ODW 1 ODW 2) 100 % Kehilangan berat (%) = ODW1
Dimana: ODW1 = berat kering oven sampel sebelum pengujian (g) ODW2 = berat kering oven sampel setelah pengujian (g)
C. Pengujian Papan Komposit terhadap Rayap Tanah (JIS K 1571 2004) Pengujian ketahanan sampel papan komposit terhadap serangan rayap tanah menggunakan metode forced-feeding test (metode umpan paksa). Sampel yang akan diuji bersama 150 ekor rayap pekerja dan 15 ekor rayap prajurit Coptotermes gestroi dimasukkan ke dalam acrylic silinder yang bagian bawahnya telah dilapisi dental gypsum setebal 5 mm. Kertas tisu diletakkan di bawahnya untuk menjaga kelembaban. Unit-unit pengujian tersebut kemudian disimpan di tempat yang gelap bersuhu 28+2 OC dengan kelembaban di atas 85% selama 21 hari. Sebelum diumpankan, sampel terlebih dahulu dioven pada suhu 60OC selama 3 hari untuk mengetahui beratnya. Data yang diamati yaitu persentase kehilangan berat dan mortalitas rayap. Pengamatan dilakukan tiap minggu selama 3 minggu. Persentase mortalitas rayap dihitung dengan rumus: Mortalitas rayap (%) =
Jumlah rayap yang mati x 100% 150
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ketahanan Papan Komposit terhadap Serangan Jamur Pelapuk Coklat (F. palustris) dan Pelapuk Putih (T. versicolor) Ketahanan papan komposit berbahan baku pelepah sagu dengan menggunakan perekat PF dan PU dalam berbagai konsentrasi (10%, 12% dan 14%) terhadap serangan jamur pelapuk putih (T. versicolor) dan pelapuk coklat (F. palustris) disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan hasil pengujian, kehilangan berat sampel papan komposit terhadap serangan jamur pelapuk coklat (Fomitopsis palustris) yang diperlakukan dengan perekat PF 10%, 12% dan 14% yaitu 6,63%, 5,90% dan 5,45%, sedangkan untuk perekat PU dengan kadar yang sama yaitu 6,76%, 6,29% dan 6,90%. Sementara itu kehilangan berat papan komposit terhadap serangan jamur pelapuk putih (T. versicolor) yang diperlakukan dengan perekat PF 10%, 12% dan 14% secara berturut-turut yaitu 6,68%; 6,54%; dan 6,07%, sedangkan kehilangan berat pada bahan perekat PU dengan kadar yang sama yaitu 8,09%; 7,71%; dan 7,25%. Nilai kehilangan berat semua sampel papan komposit berperekat PU dan PF terhadap kedua jenis jamur pelapuk coklat (F. palustris) dan pelapuk putih (T. versicolor) melebihi 3% atau tidak memenuhi Japanese Industrial Standards (JIS). Menurut standar JIS K 1571 2004, persentase maksimum kehilangan berat dari proses pengawetan terhadap serangan jamur adalah 3%.
255
Kehilangan berat (%) Weightloss (%)
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 253-262
10%
12%
14%
Fomitopsis palustris
10%
12%
14%
Trametes versicolor
PF = Phenolformaldehyde
PU = Polyurethane
Gambar 1. Ketahanan papan komposit dengan perekat PF dan PU terhadap serangan jamur pelapuk cokelat (F. palustris) dan jamur pelapuk putih (T. versicolor). Figure 1. Resistenci of composite boards with PF and PU adhesives towards brown-rot (F. palustris) and white-rot fungi (T. versicolor) Tabel 1. Analisis keragaman kehilangan berat sampel papan komposit terhadap jamur pelapuk Table 1. Analysis of variance for weight loss of composite board samples to rotting fungi Sumber variasi (Source) Jenis perekat (A) Types of adhesives Kadar perekat (B) Levels of adhesives Jenis jamur (C) Types of fungi Interaksi (A*B) Interaction Interaksi (A*C) Interaction Interaksi (B*C) Interaction Interaksi (A*B*C) Interaction Galat Error
256
Jumlah kuadrat (Sum of squares)
df
Rata-rata kuadrat (Mean square)
F
P ( = 0,05)
13,7023
1
13,7023
90,16
0,000
4,0877
2
2,0439
13,45
0,000
8,1409
1
8,1409
53,56
0,000
0,9611
2
0,4805
3,16
0,051
1,3151
1
1,3151
8,65
0,005
0,7645
2
0,3823
2,52
0,091
1,5759
2
0,7879
5,18
0,009
7,2953
48
0,1520
Ketahanan Papan Komposit dari Pelepah Sagu (Metroxylon sago Rottb.) Terhadap Jamur Pelapuk dan Rayap Tanah (Deni Zulfiana & Sukma S. Kusumah)
Berdasarkan analisis keragaman (Tabel 1) dapat dilihat bahwa interaksi antara pemberian perlakuan jenis perekat, kadar perekat dan jenis jamur memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kehilangan berat papan komposit pelepah sagu pada taraf nyata 5%. Penggunaan perekat PF memiliki nilai kehilangan berat yang berbeda nyata dengan perekat PU pada pembuatan papan komposit. Hal ini mengindikasikan bahwa papan komposit dari pelepah sagu yang menggunakan perekat PF menunjukkan daya tahan lebih baik terhadap serangan jamur pelapuk putih (T. versicolor) dan jamur pelapuk coklat ( F. palustris ) bila dibandingkan dengan perekat PU, meskipun dari hasil uji berdasarkan pada sifat-sifat fisis dan mekanis papan komposit pelepah sagu, perekat PU menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan dengan PF (Kusumah et al., 2010; Kojima et al., 2010; Langenberg et al., 2010). Menurut Ryu et al., (1991); Furuno et al., (2004), PF dapat meresap ke dalam kayu dan masuk ke dinding sel sehingga dapat meningkatkan resistensi terhadap pelapukan dan serangan mikrorganisme serta meningkatkan stabilitas dimensi kayu. Peresapan serat kayu atau partikel dengan PF dapat mengurangi higroskopisitas, pembengkakan dan kerentanan kayu terhadap organisme pendegradasi (Paridah et al., 2006). PU merupakan perekat yang dapat berpenetrasi sampai dinding sel serat, sehingga dapat membentuk ikatan kimia dengan gugus hidroksil pada selulosa, hemiselulosa dan lignin, sedangkan PF tidak bisa membentuk ikatan kimia, hanya bisa membentuk ikatan mekanik saja, sehingga dapat membantu melindungi papan komposit dari serangan jamur (Kojima dan Suzuki, 2010; Langenberg et al., 2010; Köse et al., 2011). Namun dari hasil pengujian menggunakan standar JIS K 1571 2004, bila dibandingkan dengan PF, perekat PU kurang tahan terhadap kedua jenis jamur pelapuk (F. palustris dan T. versicolor ). Hal serupa juga diungkapkan Fojutowski et al., (2009), bahwa papan komposit berbasis kayu menggunakan perekat ureaformaldehyde (UF), melamine urea formaldehyde (MUF) dan polymeric diphenyl methane diisocyanate (PMDI) memiliki ketahanan yang rendah terhadap jamur pelapuk coklat, baik berdasarkan pada penurunan berat maupun kekuatan kompresinya.
Kehilangan berat dari sampel papan komposit pelepah sagu yang diperlakukan terhadap jamur pelapuk coklat lebih kecil dibanding jamur pelapuk putih (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa sampel papan komposit pelepah sagu dengan bahan perekat PF dan PU cenderung lebih tahan terhadap serangan jamur pelapuk coklat (F. palustris) dibandingkan dengan jamur pelapuk putih (T. versicolor). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan mekanisme penyerangan kedua jenis jamur ini. Mekanisme kehilangan berat kayu oleh serangan jamur pelapuk coklat yaitu dengan cara menguraikan dinding sel karbohidrat dan meninggalkan residu lignin. Kehilangan berat akibat serangan jamur ini dapat mencapai 70%, sedangkan untuk jamur pelapuk putih melalui depolimerisasi dan metabolisme lignin, yang merupakan komponen kimia utama dinding sel. T. versicolor merupakan salah satu jenis jamur pelapuk putih yang menyerang semua komponen dinding sel di semua tahapan pelapukan (Muin et al., 2008). Jamur pelapuk putih merupakan jamur lignolitik yang efektif menurunkan lignin dengan memproduksi satu set enzim yang terlibat langsung dalam proses degradasi lignin (Lobos et al., 2001; Sun dan Cheng, 2002). Jamur pelapuk putih ini dapat menyebabkan kehilangan berat kayu hingga 96-97%. Sementara itu, perlakuan kadar perekat memberikan pengaruh yang nyata terhadap kehilangan beratsampel. Kehilangan berat papan komposit dengan kadar perekat 10% berbeda nyata dengan kadar perekat 14%, sedangkan untuk kadar perekat 12% tidak berbeda nyata dengan kadar perekat 10% dan 14%. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan perekat PF dengan kadar 12% pada papan komposit pelepah sagu memberikan ketahanan yang paling baik diantara perekat lainnya terhadap serangan jamur pelapuk coklat (F. palustris) dan pelapuk putih (T. versicolor). B. Ketahanan Papan Komposit terhadap Serangan Rayap Tanah (C. gestroi) Hasil pengujian persentase kehilangan berat sampel papan komposit pelepah sagu berperekat PF dan PU kadar 10%, 12% dan 14% ditunjukkan pada Gambar 2. Persentase kehilangan berat
257
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 253-262
Kehilangan berat (%) Weightloss (%)
merupakan parameter yang sangat penting dalam menentukan ketahanan sampel papan komposit terhadap serangan rayap tanah (C. gestroi). Kehilangan berat sampel papan komposit menggunakan perekat PF 10%, 12% dan 14% terhadap serangan rayap tanah secara berturutturut yaitu 4,48%; 3,97%; dan 3,27% dan perekat PU yaitu 4,75%; 4,38%; 4,57%. Dari hasil di atas menunjukkan bahwa semua sampel papan
8 7 6 5 4 3 2 1 0
komposit yang diperlakukan dengan perekat PU dan PF tidak memenuhi standar JIS K 1571 2004, yaitu 3% atau dengan kata lain tidak tahan terhadap serangan rayap tanah (C. gestroi). Berdasarkan analisis keragaman (Tabel 2) dapat dilihat bahwa interaksi antara perlakuan jenis perekat dan kadar perekat memberikan pengaruh yang nyata terhadap kehilangan berat papan komposit pelepah sagu pada taraf nyata 5%.
PF
10%
PU
12%
14%
Kadar perekat Levels of adhesives
Gambar 2. Ketahanan papan komposit dengan perekat PU dan PF terhadap serangan rayap tanah (C. gestroi). Figure 2. Resistency of composite boards with PU and PF adhesives towards termites (C. gestroi) attack.
Tabel 2. Analisis keragaman untuk kehilangan berat sampel papan komposit terhadap rayap tanah Table 2. Analysis of variance for weight loss of composite board samples to subterranean termite Jumlah kuadrat (Sum of squares)
df
Rata-rata kuadrat (Meansquare)
F
P ( = 0,05)
Jenis perekat (A) Types of adhesives
3,2256
1
3,2256
75,07
0,000
Kadar perekat (B) Levels of adhesives
2,4473
2
1,2237
28,48
0,000
Interaksi (A*B) Interaction
1,5859
2
0,7930
18,45
0,000
Galat Error
1,0313
24
0,0430
Sumber variasi (Source)
258
Ketahanan Papan Komposit dari Pelepah Sagu (Metroxylon sago Rottb.) Terhadap Jamur Pelapuk dan Rayap Tanah (Deni Zulfiana & Sukma S. Kusumah)
Persentase kematian (%) Percentage of mortality (%)
Berdasarkan uji beda nyata, perlakuan jenis perekat terhadap rayap memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kehilangan berat dari sampel papan komposit pelepah sagu. Penggunaan perekat PF memiliki kehilangan berat yang berbeda secara nyata lebih rendah dibandingkan dengan perekat PU pada papan komposit akibat serangan rayap tanah C. gestroi. Ini berarti bahwa, papan komposit pelepah sagu yang diperlakukan dengan perekat PF lebih tahan terhadap serangan rayap tanah (C. gestroi)
80 70 60 50 40 30 20 10 0
PF
10%
dibandingkan dengan papan komposit yang menggunakan perekat PU. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Loh et al., (2011), bahwa perekat PF mampu meningkatkan ketahanan terhadap rayap (Coptotermes curvignathus) sebesar 38% pada kayu lapis. Perlakuan kayu kelapa sawit (KKS) dengan PF dapat meningkatkan ketahanannya terhadap serangan rayap dan hama penggerek kayu. Dimana PF mampu meningkatkan ketahanan 59-88% terhadap rayap dan hama penggerek kayu sebesar 88-93% (Abdullah et al., 2013).
PU
12%
14%
Kadar perekat Levels of adhesives
Gambar 3. Rata-rata persentase mortalitas rayap tanah C. gestroi setelah pengujian selama 3 minggu. Figure 3. Persentage average of termites C. gestroi mortality after test for 3 weeks
Tabel 3. Analisis keragaman mortalitas rayap pada sampel papan komposit setelah 3 minggu pemaparan pada rayap Table 3. Analysis of variance for termite mortality of composite board samples after exposure to termite for 3 weeks Jumlah kuadrat (Sum of squares)
df
Rata-rata kuadrat (Mean square)
F
P ( = 0,05)
Jenis perekat (A) Types of adhesives
5280,1
1
5280,1
3600,09
0,000
Kadar perekat (B) Levels of adhesives
1162,9
2
581,4
396,43
0,000
Interaksi (A*B) Interaction
121,7
2
60,8
41,48
0,000
Galat Error
35,2
24
1,5
Sumber variasi (Source)
259
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 253-262
Berdasarkan uji beda nyata serangan rayap, kehilangan berat papan komposit dengan kadar perekat 10% berbeda nyata dengan kadar perekat 14%, sedangkan untuk kadar perekat 12% tidak berbeda nyata dengan kadar perekat 10% dan 14%. Hal ini mengindikasikan bahwa kadar perekat PF 12% merupakan konsentrasi perekat yang direkomendasikan untuk mencegah serangan rayap tanah C. gestroi terhadap papan komposit pelepah sagu. Selain persentase kehilangan berat, parameter lain yang diamati yaitu persentase mortalitas rayap tanah C. gestroi setelah memakan sampel uji. Gambar 3 menyajikan data rata-rata persentase mortalitas rayap tanah setelah dipaksa memakan sampel papan komposit selama tiga minggu pengamatan. Tingkat kematian rayap tanah yang diperlakukan dengan perekat PF 10%, 12% dan 14% berkisar antara 47%-66%, sedangkan untuk perekat PU lebih rendah yaitu berkisar antara 23%-34%. Persentase mortalitas rayap tertinggi ditunjukan oleh papan komposit pelepah sagu yang menggunakan perekat PF 14%, yaitu 66%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar perekat yang digunakan maka akan semakin tinggi daya toksiknya terhadap rayap. Berdasarkan Tabel 3 didapatkan interaksi yang nyata antara perlakuan jenis perekat dan kadar perekat terhadap nilai mortalitas rayap tanah C. gestroi pada taraf nyata 5%. Penggunaan perekat PF memiliki nilai mortalitas rayap yang lebih tinggi dibandingkan dengan perekat PU. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya senyawa kimia tertentu dalam perekat PF yang mampu menahan serangan rayap. Woworontu et al., (1971) menyatakan bahwa fenol bisa memancarkan bau yang khas dan menghasilkan karakteristik antiseptik yang kuat, sehingga berfungsi sebagai regulator aktivitas enzim tertentu serta menjadi racun bagi serangga. Kematian rayap ini kemungkinan disebabkan pada saat ber interaksi dengan sampel papan komposit karena seluruh sumber makanannya ditutupi oleh perekat PF yang bersifat lebih toksik terhadap rayap. Nilai mortalitas rayap terendah didapatkan pada kadar perekat 10%, yang berbeda nyata dengan kadar perekat 14%, sedangkan untuk kadar perekat 12% tidak berbeda nyata dengan 260
kadar perekat 10% dan 14%. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan perekat PF dengan kadar 12% pada papan komposit pelepah sagu cukup toksik sehingga dapat meningkatkan mortalitas rayap, sehingga memperkuat bahwa perekat PF 12% memberikan ketahanan yang paling baik diantara perekat lainnya terhadap serangan rayap tanah C. gestroi. IV. KESIMPULAN Semua sampel papan komposit pelepah sagu yang diperlakukan dengan perekat PU dan PF dengan konsentrasi 10%, 12% dan 14% tidak tahan terhadap serangan jamur pelapuk putih (Trametes versicolor) dan pelapuk coklat (Fomitopsis palustris), maupun rayap tanah (C. gestroi) berdasarkan Japanese Industrial Standards(JIS K 1571 2004). Namun, papan komposit yang diperlakukan deng an perekat PF 12% menunjukkan daya tahan paling baik terhadap serangan jamur pelapuk dan rayap tanah berdasarkan pada persentase kehilangan berat dan mortalitas rayap. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, C. K., Jawaid, M., Shawkataly, A. K., & Rawi, N. F. M. (2013). Termite and borerresistance of oil palm wood treated with phenol formal dehyderesin. J. Ind. Res. & Technology, 3(1), 41-46. Baileys, J. K., Marks, B. M., Ross, A. S., Crawford, D. M., Krzysik, A. M., Muehl, J. H.,& Young quist, J. A. (2003). Providing moisture and fung al protection to wood-based composites. Forest Products Journal, 53 (1), 76-81. Barnes, H. M., & Amburgey, T. L. (1993). Technologies for the protection of wood composites. InA.F. Preston (ed.): International Union of Forestry Research Organizations (IUFRO) Symposium on the Protection of Wood-Based Composites. Forest Products Society. Madison, WI., pp. 7-11.
Ketahanan Papan Komposit dari Pelepah Sagu (Metroxylon sago Rottb.) Terhadap Jamur Pelapuk dan Rayap Tanah (Deni Zulfiana & Sukma S. Kusumah)
Chow, P., Bagy, M.O., & Youngquist, J.A. (1993). Furniture panels made from Kenaf stalks, wood waste, and selected crop fiber residue. th Proceedings of The 5 International Kenaf Conference, California State University at Fresno, Fresno, CA. Evans, P. D., Dimitriades, S., Cunningham, R. B., & Donnely, C. F. (2000). Medium density fiberboard manufactured from blends of white cypress pine and non-durable wood species shows increased resistence to attack by the subterranean termite, Coptotermes lacteus. Holzforschung, 54(6), 585-590. Fojutowski, A., Kropacz, A., & Noskowiak, A. (2009). Determination of wood-based panels' resistance to wood attacking fungi. Folia Forestalia Polonica, 40(B), 79-88. Furuno, T., Imamura, Y., & Kajita, H. (2004). The modification of wood by treatment with low molecular weight phenolfor maldehyde resin: a proper ties enhancement with neutralized phenolicresin and resin penetration into wood cell walls. Wood Sci. Technol, 37, 349-361. Gopar, M. & Sudiyani, Y. (2004). Perubahan sifat fisik dan mekanis panel zephyr bambu setelah uji pelapukan cuaca. J Ilmu dan Teknol. Kayu Trop, 4(1), 28-32. Hiziroglu, S., Bauchongkol, P., Feuangvivat, W., Soontonbura, W., & Jarusombuti, S. (2007). Selected properties of medium density fibreboard (MDF) panels made from bamboo and rice straw. J Forest Prod, 57(6), 46-50. Japanese Industrial Standards. (2004). Test methods for determining the effectiveness of wood preservatives and their performance requirements (JWPA/JSA JIS K 1571: 2004). Tokyo. Japanese Standards Association. Kusumah, S. S., Ruslan, Daud, M., Wahyuni, I., Darmawan, T., Amin, Y., Massijaya, M. Y., & Subiyanto, B. (2010). Pengembangan papan komposit dari limbah perkebunan sagu (Metroxylon sago Rottb.). J Ilmu dan Teknol. Kayu Trop, 8(2), 145-154.
Kojima, Y., & Suzuki, S. (2010). Evaluation of wood-based panel durability using bending properties after accelerated aging treatments. Journal of Wood Science, 56(2), 126-133. Köse, C., Terzi, E., Büyüksarı, Ü., Evci, E., Ayrılmıs, N., Kartal, S.M., & Imamura, Y. (2011). Particleboard decay resistance. BioResources,6(2), 2045-2054. Laks, P. E. (2002). Biodegradation susceptibility of untreated engineered wood products. In: Enhancing the durability of lumber and e n g i n e e r e d wo o d p r o d u c t s. F P S Symposium Proceedings No. 7249. Forest Products Society: Madison, WI., pp. 125130. Langenberg, K. V., Warden, P., Adam, C., & Milner, H. R. (2010). The durability of isocyanate-based adhesives under service in Australian conditions. The results from a 3 year exposure study and accelerated testing regime. Forest & Wood Product Australia. Australia. Lloyd, J. D., Manning, M. J., & Ascherl, F. M. ( 2 0 1 2 ) . M i xe d s o l u b i l i t y b o r a t e preservative. United Stated PatentNo. US 8,119,031 B2. Lobos, S., Tello, M., Polanco, R., Larrondo, L.F., Manubens, A., Salas, L., & Vicuna, R. (2001). Enzymology and molecular genetics of the ligninolytic system of the basidiomycete Ceriporiopsis subvermispora. Current Science,81(8), 992997. Loh, Y. F., Paridah, T. M., Hoong, Y. B., Bakar, E. S., Anis, M., & Hamdan, M. (2011). Resistance of phenolic-treated oil palm stem plywood against subterranean termites and white rot decay. International Biodeterioration & Biodegradation, 65, 14-17. Muin, M., Arif, M., & Syahidah. (2008). Deteriorasi dan perbaikan sifat kayu. Buku Ajar Mata Kuliah Deteriorasi dan Perbaikan Sifat K ayu. Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanudin. Makassar.
261
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 253-262
Paridah, T. M., Ong, L. L., Zaidon, A., Rahim, R., & Anwar, U. M. K. (2006). Improving the dimensional stability of multi-layered strand board through resin impregnation. Journal of Tropical Forest Science, 18(3), 166172. Ryu, J. Y., Takahashi, M., Imamura, Y., & Sato, T. (1991). Biological resistance of phenolresin treated wood. Mokuzai Gakkaishi, 37(9), 852-858. Sun, Y., & Cheng, J., (2002). Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol
262
production: a review Bioresource Technology, 83,1-11. Woworuntu, S.A., Sianturi, I., & Patimah, M. (1971). Sifat-sifat zat kimia. Penerbit Tarate. Bandung. Yamashita, Y., Fuzakawa, K., & Ishida., S. (1978). Histochemical observation of wood attacked by white rot fungi, Coriolus versicolor and Cryptoderma yamanoi. Bulletins of The College Experiment Forests Hokkaido University, 35(1), 109-121.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 263-270 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
KEMAMPUAN PELAPUKAN 10 STRAIN JAMUR PADA LIMA JENIS KAYU ASAL KALIMANTAN TIMUR (Decay Capability of Ten Fungus Strains to Five Wood Species from East Kalimantan) 1
Djarwanto & Sihati Suprapti
1
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor. 16610. Telp. (0251)-8633378, Fax. (0251)-8633413 e-mail:
[email protected];
[email protected] Diterima 15 April 2014, Disetujui 2 September 2014
ABSTRACT Five wood species from Dipterocarpaceae have been exposed to ten fungus strains, then were evaluated using SNI 7207:2014. The results shows that the most capable fungi to decay wood from the highest to the lowest are Schizophyllum commune (white rot fungi), Trametes sp., Pycnoporus sanguineus, Tyromyces palustris, Phlebia brevispora, Polyporus sp. HHBI-209, Polyporus sp. HHBI-371, Chaetomium globosum, Dacryopinax spathularia, and Lentinus lepideus (brown rot fungi). The highest weight loss was occured on Dipterocarpus glabrigemmatus wood by S. commune. While the lowest weight loss was on Dipterocarpus glabrigemmatus and Shorea hopeifolia wood by L. lepideus. The fifth of wood i.e. keruing (Dipterocarpus pachyphyllus, D. stellatus, D. glabrigemmatus), meranti (Shorea hopeifolia) and resak (Vatica nitens) are belong into resistant wood (class II). Keywords: Decaying fungi, keruing, meranti, resak, wood resistance ABSTRAK Sepuluh strain jamur pelapuk diuji kemampuannya untuk melapukkan 5 jenis kayu anggota famili Dipterocarpaceae dengan mengacu SNI 7207:2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Schizophyllum commune merupakan jamur pelapuk putih yang memiliki kemampuan tertinggi, kemudian diikuti oleh Trametes sp., Pycnoporus sanguineus, Tyromyces palustris, Phlebia brevispora, Polyporus sp. HHBI-209, Polyporus sp. HHBI-371, Chaetomium globosum, dan Dacryopinax spathularia, sedangkan kemampuan terendah terdapat pada jamur pelapuk coklat, Lentinus lepideus. Kehilangan berat kayu tertinggi didapatkan pada kayu Dipterocarpus glabrigemmatus yang diumpan S. commune, sedangkan kehilangan berat terendah terdapat pada kayu D. glabrigemmatus dan Shorea hopeifolia yang diumpan L. lepideus. Berdasarkan klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan jamur pelapuk maka lima jenis kayu yaitu keruing (Dipterocarpus pachyphyllus, D. stellatus, D. glabrigemmatus), resak (Vatica nitens) dan meranti (S. hopeifolia) termasuk kelompok kayu tahan (kelas II). Kata kunci: Jamur pelapuk, keruing, meranti, resak, ketahanan kayu I. PENDAHULUAN Jamur pelapuk merupakan salah satu organisme perusak yang secara nyata merusak kayu selain rayap dan kumbang bubuk. Menurut Rayner dan Body (1988), jamur dikelompokkan
menjadi pelapuk putih, pelapuk coklat dan pelunak. Jamur pelapuk putih berperan dalam penguraian seluruh komponen utama kayu, terutama selulosa dan lignin disertai dengan perubahan warna kayu menjadi putih, meskipun dalam berbagai kasus lignin dirombak secara 263
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 263-270
selektif, dan jamur pelapuk coklat biasanya menimbulkan kerusakan yang disertai dengan perubahan warna kayu menjadi coklat. Jamur ini hanya mampu merombak karbohidrat dengan menyisakan lignin tanpa diubah. Jamur pelapuk putih dan pelapuk coklat sejak lama dianggap sebagai dua kelompok besar pelapuk, sedangkan kelompok lain yaitu jamur pelunak (softrot) hanya melunakkan bagian permukaan kayu. Spray (2014) menyatakan bahwa softrot lebih menimbulkan masalah pada kayu yang berhubungan langsung dengan air hujan seperti lisplang atau menara pendingin. Kemampuan jamur dalam melapukkan kayu dan daya tahan kayu terhadap jamur berbedabeda. Menurut Martawijaya (1996), Carll dan Highley (1999), Suprapti dan Djarwanto (2013), kemampuan jamur untuk melapukkan kayu berlainan bergantung kepada jenis jamur, strain jamur, jenis kayu yang diumpankan, dan daerah asal pengambilan kayu. Jamur menyerang kayu untuk digunakan sebagai makanan dan jamur tersebut dapat tumbuh sebanyak-banyaknya di tempat gelap (Carll dan Highley, 1999). Kayu dapat menjadi lapuk oleh jamur apabila kondisi
lingkungannya selalu lembab. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan sepuluh strain jamur dalam melapukkan 5 jenis kayu dari famili Dipterocarpaceae secara laboratoris. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 jenis kayu ang g ota famili Dipterocarpaceae yang diambil dari Kalimantan Timur, seperti tercantum pada Tabel 1. Bahan kimia yang digunakan antara lain malt extract, bacto agar, potato dextrose agar, alkohol dan air suling, sedangkan jenis jamur penguji yang digunakan merupakan koleksi Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, yaitu Chaetomium globossum FRI Japan-5-1, Dacryopinax spathularia HHBI-145, Lentinus lepideus HHBI-267, Phlebia brevispora Mad., Polyporus sp. HHBI-209, Polyporus sp. HHBI-371, Pycnoporus sanguineus HHBI-324, Schizophyllum commune HHBI-204, Trametes sp. HHBI-332., dan Tyromyces palustris HHBI-232.
Tabel 1. Jenis kayu yang diteliti terhadap 10 strain jamur Table 1. Wood species tested to 10 fungus strains No (Nr) 1 2 3 4 5
Jenis kayu (Wood species) Dipterocarpus pachyphyllus Meijer Dipterocarpus stellatus Vesque Dipterocarpus glabrigemmatus P.S. Ashton Vatica nitens King Shorea hopeifolia Sym.
Nama daerah (Local name)
Suku (Family)
Nomor register (Register number)
Keruing
Dipterocarpaceae
34352
Keruing
Dipterocarpaceae
34353
Keruing
Dipterocarpaceae
34354
Resak Meranti
Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae
34355 34356
B. Metode 1. Pembuatan contoh uji Contoh uji berukuran 5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm, dengan panjang 5 cm se arah serat diambil dari papan bagian teras 5 jenis kayu. Papan digergaji dan diserut sehingga tebalnya 1,5 cm, kemudian masing-masing dipotong sepanjang 5 cm, selanjutnya diampelas, diberi nomor, dikeringkan 264
dengan oven pada suhu 103+2 oC sampai kering oven, dan dibiarkan di dalam ruang terbuka selama 2 minggu. 2. Pembuatan media jamur Media uji yang digunakan adalah malt-ekstrakagar (MEA) dengan komposisi malt-ekstrak 3% dan bacto-agar 2% dalam air suling dan khusus untuk Chaetomium globosum digunakan media potato
Kemampuan Pelapukan 10 Strain Jamur pada Lima Jenis Kayu asal Kalimantan Timur (Djarwanto & Sihati Suprapti)
dextrose agar 39 g per liter air suling. Media yang telah dilarutkan secara homogen dimasukkan ke dalam piala Kolle sebanyak 80 ml per-piala. Mulut piala disumbat dengan kapas steril, kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C, dengan tekanan 1,5 atmosfir, selama 30 menit. Media yang telah dingin masing-masing diinokulasi biakan murni jamur penguji, selanjutnya disimpan di ruang inkubasi sampai pertumbuhan miseliumnya rata dan tebal (BSN, 2014). 3. Pengujian kemampuan jamur melapukkan kayu Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 7207:2014 (BSN, 2014). Contoh uji kering udara dimasukkan ke dalam piala yang berisi biakan jamur. Setiap piala diisi 2 buah contoh uji dari jenis kayu sama, diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak saling bersinggungan, kemudian diinkubasikan selama 12 minggu di ruangan
o
dengan suhu sekitar 25 C. Untuk setiap jenis jamur dan jenis kayu disediakan 3 buah piala. Pada akhir pengujian contoh uji dikeluarkan dari piala, dibersihkan dari miselium yang melekat, dan ditimbang pada kondisi sebelum dan sesudah dikeringkan dengan oven, guna mengetahui kehilangan beratnya. Kehilangan berat dihitung berdasarkan selisih berat contoh sebelum dengan sesudah perlakuan dibagi berat awal contoh uji dalam kondisi kering oven dan dinyatakan dalam persen (BSN, 2014) C. Analisis Data Persentase kehilangan berat contoh uji dianalisis menggunakan rancangan faktorial 10x5 (jenis jamur dan jenis kayu), dengan 6 ulangan. Rata-rata kehilangan berat kayu dikelompokkan dengan menggunakan nilai atau skala kelas ketahanan kayu terhadap jamur pelapuk menurut BSN (2014) sesuai Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap jamur pelapuk berdasarkan persentase kehilangan berat Table 2. Classification of wood resistance to destroying fungus based on its weight loss Kelas (Class) I II III IV V
Ketahanan (Resistance)
Kehilangan berat rata-rata (Average weight loss), %
Sangat tahan (Very resistant)
< 0,5 (less than 0.5)
Tahan (Resistant) Agak tahan (Moderately resistant) Tidak tahan (Non-resistant) Sangat tidak tahan (Perishable)
0,5 – 4,9 (0.5 to 4.9) 5,0 - 9,9 (5.0 to 9.9) 10,0 – 30,0 (10.0 to 30.0) > 30,0 (more than 30.0)
Sumber (Source): BSN (2014)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan, tampak bahwa pada minggu kedua setelah kayu diumpankan, jamur pelapuk mulai menyerang kayu ditandai dengan tumbuhnya miselium di permukaan kayu. Miselium baru nampak tumbuh setelah minggu kedua, diduga karena perlu penyesuaian atau adaptasi terhadap substrat kayu yang baru dimasukkan dan kayunya sendiri dengan sifatnya yang higroskopis secara lambat menyerap air dari media melalui proses difusi sehingga menjadi lembab. Kadar air awal kayu pada saat
diumpankan adalah berkisar antara 8,79-10,03%. Pada kayu dengan kadar air tersebut jamur tidak dapat tumbuh. Hal ini sejalan dengan Carll dan Highley (1999) yang menyatakan bahwa jamur pelapuk tidak menyerang kayu pada kondisi kadar air kayu di bawah titik jenuh serat. Dalam masa dua minggu tersebut, kayu menyerap air dari media sehingga kadar air kayu meningkat dan kayu menjadi lembab sehingga jamur dapat tumbuh. Salah satu tanda kerusakan atau pelapukan kayu oleh jamur adalah kehilangan berat contoh uji yang dapat diukur secara kuantitatif dengan gravimetri. Dinwoodie (1981) menyatakan bahwa 265
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 263-270
kehilangan berat contoh uji kayu menjadi ciri penanda pelapukan kayu. Baldwin dan Streisel (1985) juga menyatakan bahwa pada pelapukan tingkat lanjut, kehilangan berat merupakan indikator yang digunakan untuk menyatakan tingkat kerusakan kayu. Kehilangan berat kayu dalam proses pelapukan tersebut mencerminkan kerusakan dinding sel akibat proses metabolisme jamur. Kehilangan berat tersebut disebabkan oleh adanya proses degradasi komponen kimia kayu terutama selulosa dan lignin (Antai dan Crawford,
1982; Fortin dan Poliquin, 1976). Kemampuan jamur untuk melapukkan kayu memiliki arti yang sama dengan ketahanan kayu terhadap jamur. Ketahanan kayu terhadap jamur dapat dikelompokkan menjadi 5 kelas seperti yang diuraikan pada Tabel 2. Rata-rata kehilangan berat dan kelas ketahanan contoh kayu tercantum pada Tabel 3. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jenis jamur dan jenis kayu berpengaruh nyata terhadap kehilangan berat contoh uji (p < 0,05).
Tabel 3. Persentase kehilangan berat lima jenis kayu famili Dipterocarpaceae dan kelas ketahanannya Table 3. Weight loss percentage of five Dipterocarpaceae wood species and their resistance class Persentase kehilangan berat dan kelas ketahanan pada jenis kayu (Weight loss percentage and resistance class of wood species) Jenis jamur (Fungal species)
Chaetomium globosum Dacryopinax spathularia Lentinus lepideus Phlebia brevispora Polyporus sp. HHBI-209 Polyporus sp. HHBI-371 Pycnoporus sanguineus HHBI-324 Schizophyllum commune Trametes sp. Tyromyces palustris
Dipterocarpus pachyphyllus Kb (Wl) 0,86
Dipterocarpus stellatus
Dipterocarpus glabrigemmatus
Vatica nitens
Shorea hopeifolia
Kk (Rc) II
Kb (Wl) 0,65
Kk (Rc) II
Kb (Wl) 0,55
Kk (Rc) II
Kb (Wl) 0,69
Kk (Rc) II
Kb (Wl) 0,31
Kk (Rc) I
0,61
II
0,52
II
0,54
II
0,51
II
0,52
II
0,51 1,97 0,57
II II II
0,39 4,48 3,48
I II II
0,11 3,78 3,17
I II II
1,28 2,52 3,44
II II II
0,11 0,51 0,28
I II I
0,90
II
1,61
II
2,68
II
2,32
II
0,81
II
1,72
II
6,58
III
4,99
II
8,30
III
0,81
II
5,06
III
8,79
III
10,48
IV
14,14
IV
3,74
II
4,90 4,82
II II
10,16 5,51
IV III
8,12 3,49
III II
5,15 5,35
II III
0,37 0,26
I I
Keterangan (Remarks): Kb= kehilangan berat (Wl=weight loss), Kk= kelas ketahanan (Rc= resistance class)
Data rata-rata kadar air contoh uji setelah diumpankan ke jamur penguji disajikan pada Tabel 4. Kadar air kayu berkisar antara 21,8243,95% di mana jamur masih dapat tumbuh dan kayu menjadi lapuk. Secara umum jamur pelapuk dapat tumbuh tumbuh pada kadar air 20-25% (Carll dan Highley, 1999; dan O'hEanaigh, 2000). 266
Menurut Schmidt (2007), kadar air optimum untuk pertumbuhan jamur pelapuk berkisar antara 36-210%, sedangkan Spray (2014) menyatakan bahwa jamur dapat bertahan bertahun-tahun di dalam kayu meskipun dalam kondisi kering, namun dapat tumbuh kembali jika kayu tersebut meningkat kadar airnya. Hal ini
Kemampuan Pelapukan 10 Strain Jamur pada Lima Jenis Kayu asal Kalimantan Timur (Djarwanto & Sihati Suprapti)
diperkuat pernyataan Carll dan Highley (1999) bahwa jamur akan mengalami dormansi jika kadar air jauh di bawah titik jenuh serat dan tumbuh kembali pada suasana lembab, dan suhu yang lebih
hangat agar dapat tumbuh, sedangkan suhu optimal untuk pertumbuhan jamur pelapuk o berkisar 21 - 32 C (Carll dan Highley, 1999; Spray, 2014).
Tabel 4. Rata-rata kadar air akhir kayu setelah diumpan jamur Table 4. Average final moisture content after fungal exposure Jenis jamur (Fungal species) Chaetomium globosum Dacryopinax spathularia Lentinus lepideus Phlebia brevispora Polyporus sp. HHBI-209 Polyporus sp. HHBI-371 Pycnoporus sanguineus HHBI-324 Schizophyllum commune Trametes sp. Tyromyces palustris
Rata-rata kadar air akhir (The average final moisture content), % Dipterocarpus pachyphyllus
D. stellatus
D. glabrigemmatus
27,44 + 1,05
39,71 + 1,68
25,19 + 1,74
31,18 +2,83
24,52 +2,00
24,27 + 1,01 22,24 + 0,88 25,60 + 1,53
38,91 + 0,70 30,44 + 3,38 36,37 +1,96
24,35 + 0,74 21,82 + 0,70 28,49 + 1,20
28,30 +2,90 29,00 +1,48 31,35 +5,29
22,82 +0,97 23,55 +1,04 26,81 +1,13
25,58 + 1,94
29,92 + 2,37
34,65 + 1,70
31,36 +2,90
31,52 +2,53
25,41 + 1,90
37,19 + 3,67
30,06 + 2,60
32,39 +4,95
25,57 +1,39
25,68 + 3,63
35,74 + 4,80
32,10 + 2,73
42,15 +7,52
32,97 +3,20
29,75 + 2,52 24,67 + 1,47
41,45 + 3,34 27,57 + 3,41
36,49 + 1,80 27,54 + 2,20
43,95 +5,05 29,04 +3,27
35,23 +2,03 27,63 +2,29
27,96 + 1,94
30,96 + 3,36
31,56 + 1,49
30,46 +3,68
28,26 +0,37
Vatica nitens
Shorea hopeifolia
Keterangan (Remarks): + Standar deviasi (Deviation standard)
Pada Tabel 5 ditunjukkan variasi kemampuan jamur dalam melapukkan lima jenis kayu. Hasil uji beda Tukey (p < 0.05) menunjukkan bahwa Schizophyllum commune merupakan jamur yang memiliki kemampuan tertinggi, kemudian diikuti oleh Trametes sp., P. sanguineus dan Tyromyces palustris. Suprapti dan Djarwanto (1995) menyebutkan bahwa S. commune ditemukan dimana-mana (bersifat cosmopolitan), dapat menyerang kayu yang ditunjukkan oleh tumbuhnya tubuh buah pada hampir semua jenis kayu. Ramirez (1939) menyatakan bahwa S. commune merupakan jamur perusak hasil hutan (forest-product rotting fungi) dan dapat menyerang semua hasil hutan seperti kayu, bambu, rotan, buah-buahan dan biji. Kemampuan Polyporus sp. HHBI-209 melapukkan kayu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0.05) dengan kemampuan Polyporus sp. HHBI-371.
Suprapti dan Djarwanto (2000) dan Djarwanto et al. (2008) menyatakan bahwa Polyporus sp. HHBI-209 termasuk kelompok jamur yang mendegradasi selulosa (jamur pelapuk coklat), sedangkan Polyporus sp. HHBI-371 termasuk kelompok jamur pelapuk putih yang memiliki kemampuan mendegradasi selulosa dan lignin (Djarwanto & Tachibana, 2009). Kemampuan melapukkan kayu yang terendah tampak pada Lentinus lepideus, D. spathularia dan C. globosum. Hal ini mungkin disebabkan karena D. spathularia merupakan biakan murni yang telah lama digunakan dan telah mengalami mutasi. Oleh karena itu, D. spathularia HHBI-145 tidak lagi digunakan untuk menguji ketahanan kayu terhadap jamur pelapuk coklat. Menurut Suprapti dan Djarwanto (2012) bahwa kemampuan dalam melapukkan kayu yang tinggi dijumpai pada P. 267
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 263-270
sanguineus HHBI-324. kemudian T. palustris, S. commune, D. spathularia dan Polyporus sp., sedangkan kemampuan yang rendah dijumpai pada C. globosum dan L. lepideus. Kemampuan C. globosum (soft-rot fungi) dalam melapukkan kayu umumnya lambat seperti kemampuan bakteri (Freas, 1982). Menurut Spray (2014), kerusakan kayu akibat serangan softrot hanya berdampak kecil.
Pada Tabel 6 disajikan rata-rata kehilangan berat kayu, dan kelas ketahanannya terhadap jamur. Hasil uji beda Tukey (p < 0.05) terhadap lima jenis kayu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kehilangan berat terendah terjadi pada kayu meranti (Shorea hopeifolia). Sedangkan kehilangan berat tertinggi terjadi pada kayu resak (Vatica nitens).
Tabel 5. Rata-rata kehilangan berat kayu oleh jamur pelapuk Table 5. Average of wood weight loss due to destroying fungi Jenis jamur (Fungal species)
Kelompok jamur (Group of fungi)
Kehilangan berat (Weight loss), %
Chaetomium globosum
Pelunak (Soft rot fungi)
0,61 c
Dacryopinax spathularia
Pelapuk coklat (Brown rot fungi)
0,54 c
Lentinus lepideus
Pelapuk coklat (Brown rot fungi)
0,48 c
Phlebia brevispora
Pelapuk coklat (Brown rot fungi)
2,65 bc
Polyporus sp. HHBI-209
Pelapuk coklat (Brown rot fungi)
2,19 bc
Polyporus sp. HHBI-371
Pelapuk putih (White rot fungi)
1,66 bc
Pycnoporus sanguineus HHBI-324
Pelapuk putih (White rot fungi)
4,48 abc
Schizophyllum commune
Pelapuk putih (White rot fungi)
8,44 a
Trametes sp.
Pelapuk (Wood rotting fungi)
5,74 ab
Tyromyces palustris
Pelapuk coklat (Brown rot fungi)
3,88 abc
Keterangan (Remarks): Angka-angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey p < 0.05 (The number within a column followed by the same letter, means non-significantly different, Tukey test p < 0.05)
Tabel 6. Rata-rata kehilangan berat dan kelas ketahanan lima jenis kayu Table 6. Average weight loss and resistance class of five wood species Jenis kayu
Kehilangan berat
Kelas ketahanan
(Wood species)
(Weight loss), %
(Resistance class)
Dipterocarpus pachyphyllus
2,19
II (I-III)
Dipterocarpus stellatus
4,21
II (I-IV)
Dipterocarpus glabrigemmatus
3,79
II (I-IV)
Vatica nitens
4,37
II (II-IV)
Shorea hopeifolia
0,77
II (I-II)
Keterangan (Remarks): Angka romawi dalam kurung merupakan kisaran kelas ketahanan contoh kayu (Rome numbers in parenthesis mean resistance range classes of wood samples).
268
Kemampuan Pelapukan 10 Strain Jamur pada Lima Jenis Kayu asal Kalimantan Timur (Djarwanto & Sihati Suprapti)
Berdasarkan klasifikasi ketahanan kayu terhadap jamur pelapuk secara laboratoris maka lima jenis kayu termasuk kelompok kayu tahan (kelas II). Menurut Martawijaya dan Barly (2010), kayu dengan kelas ketahanan II dapat digunakan untuk bahan bangunan, namun apabila memiliki kelas III-V harus diawetkan terlebih dahulu sebelum dipakai untuk meningkatkan kelas ketahanannya terhadap organisme perusak. Dengan demikian, kelima jenis kayu tersebut dapat dipergunakan untuk bahan bangunan. Kayu Dipterocarpus spp. dan S. hopeifolia memiliki kelas ketahanan yang lebih tinggi atau lebih tahan terhadap serangan organisme perusak terutama jamur pelapuk dibandingkan dengan laporan Oey (1990) yaitu kelas III-IV, yang dinilai berdasarkan usia pakai kayu tanpa disebutkan jenis atau strain organisme perusak yang menyerangnya. Sedangkan kelas ketahanan V. nitens masih mendekati kelas ketahanan Vatica spp., menurut Oey (1990) yakni kelas I-III. Rata-rata kadar air akhir kayu terendah didapatkan pada kayu D. pachyphyllus dan kadar air tertinggi dijumpai pada kayu S. hopeifolia. IV. KESIMPULAN Kemampuan sepuluh strain jamur pelapuk dalam melapukkan 5 jenis kayu famili Dipterocarpaceae bervariasi. Kemampuannya dalam melapukkan kayu mulai dari yang tertinggi yaitu Schizophyllum commune, Trametes sp., Pycnoporus sanguineus, Tyromyces palustris, Phlebia brevispora, Polyporus sp. HHBI-209, Polyporus sp. HHBI-371, Chaetomium globosum, Dacryopinax spathularia, dan Lentinus lepideus. Kehilangan berat tertinggi dihasilkan oleh jamur S. commune pada kayu Dipterocar pus glabrigemmatus yaitu 14,14%, sedangkan kehilangan berat terendah dihasilkan oleh jamur L. lepideus pada kayu D. glabrigemmatus, dan Shorea hopeifolia yakni 0,11%. Berdasarkan klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan jamur pelapuk, maka ke 5 jenis kayu yaitu keruing ( Dipterocar pus pachyphyllus , D. stellatus, D. glabrigemmatus), resak (Vatica nitens) dan meranti (S. hopeifolia) termasuk kelompok kayu tahan (kelas II). Saat dipergunakan untuk kayu bangunan disarankan tetap kering dengan kadar air di bawah titik jenuh serat agar usia pakainya lebih panjang.
DAFTAR PUSTAKA Antai, S. P., & Crawford, D. L. (1982). Deg radation of extractive-free lignocelluloses by Coriolus versicolor and Poria placenta. European J. Appl. Microbiol Biotechnol, 14, 165-168. Baldwin, R. C., & Streisel, R.C. (1985). Detection of fungal degradation at low weight loss by differential scanning calorimetry. Wood and Fibre Science, 17(30), 315-326. BSN. (2014). Uji ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu. Standar Nasional Indonesia, SNI 7207:2014. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Carll, C. G., & Highley, T. L. (1999). Decay of wood and wood-based products above ground in buildings. Journal of Testing and Evaluation, 27(2), 150-158. Dinwoodie, J. M. (1981). Timber its nature and behaviour. Van Nostrand reinhold Co. Ltd. 190 p. Djarwanto, Suprapti, S., & Martono, D. (2008). Koleksi, isolasi dan seleksi fungi pelapuk di areal HTI pulp mangium dan ekaliptus. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 26(4), 361-374. Bog or: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Djarwanto, & Tachibana, S. (2009). Screening of fungi capable of degrading lignocelluloses from plantation forest. Pakistan Journal of Biological Sciences, 12(9), 669-675. ANSInet. Faisalabad, Pakistan. Freas, A. D. (1982). Evaluation maintenance and upgrading of wood structure. A guide and commentary. The American Society of Civil Engineers. ISBN 0-87262-317-3. Fortin, Y., & Poliquin, J. ( 1976). Natural durability and preservation of one hundred tropical African woods. International Development Research Centre. IDRC-017e. 131 p. Martawijaya, A. (1996). Keawetan kayu dan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Petunjuk Teknis. 47 hal. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. 269
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 263-270
Martawijaya, A., & Barly. (2010). Pedoman pengawetan kayu untuk mengatasi jamur dan rayap pada bangunan rumah dan gedung. 77 p. Bogor: IPB Press. O'hEanaigh, D. (2000). Rot in timber. http://homepage.eircom.net/ ~woodworkwebsite/matwood/rot.htm. Diakses 13 Maret 2014 Oey, D. S. (1990). Berat jenis dari jenis-jenis kayu Indonesia dan pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek. Pengumuman No. 3. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Rayner, A. D. M., & Boddy, L. (1988). Fungal decomposition of wood its biology and ecology. John wiley & Sons Ltd. 587 p. Ramirez, I. (1939). Schizophyllum commune Fr. A forest-products rotting fungus. The Philippine Journal of Foresty, 2, 121-144. Schmidt, O. (2007). Indoor wood-decay basidiomycetes: damage, causal fungi, physiology, identification and characterization, prevention and control. German Mycologycal Society and Springer. 40p. Spray, R. A. (2014). Moiture content in wood structural members in residences with decay damage: result of the field studies.
270
web.or nl.g ov/sci/buildings/2012/ 1985%20B3%20 papers/083.pdf. Diakses 13 Maret 2014. Suprapti, S., & Djarwanto. (1995). Biokonversi limbah lignoselulosa menjadi biomasa yang dapat dimakan. Prisiding Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VI tanggal 11-15 September 1995. Buku II. Hal. 1050-1072. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Suprapti, S., & Djarwanto. (2000). Seleksi fungi pelapuk lignin untuk biopulping. Prosiding Seminar Nasional Industri Ensim dan Bioteknologi tanggal 15-16 Pebruari 2000 di Jakarta. Hal. 43-50. Jakarta: Direktorat Teknologi Bioindustri BPPT. Suprapti, S., & Djarwanto. (2012). Ketahanan enam jenis kayu terhadap jamur pelapuk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30(3), 227-234. Bog or: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Suprapti, S., & Djarwanto. (2013). Ketahanan lima jenis kayu asal Cianjur terhadap jamur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(3), 193-199. Bog or: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 271-282 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
PEMANFAATAN LIMBAH TEMPURUNG KEMIRI SUNAN (Aleurites trisperma) SEBAGAI BAHAN BAKU PADA PEMBUATAN ARANG AKTIF (Utilization of Kemiri Sunan Shell Waste as Raw Material in Manufacturing of Activated Charcoal) 1
1
Djeni Hendra , R. Esa Pangersa Gusti & Sri Komarayati
1
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610 Telp. 0251-8633378, Fax. 0251-8699413 e-mail :
[email protected] ;
[email protected] Diterima 10 September 2014, Disetujui 1 Desember 2014
ABSTRACT Charcoal is a porous solid material which is resulted from combustion of material that containing the carbon element (C). Charcoal can be used as raw materials in the manufacture of batteries, charcoal briquettes, and charcoal compost, can also be further processed in to activated charcoal. This study aims to manufacturing activated carbon from Kemiri Sunan shell waste as raw materials, determining it's optimum conditions and physico-chemical properties. The results showed that Kemiri Sunan shell can be used as raw material for activated charcoal with the following qualities: adsorb capacity of iodine solution 138.46-768.31 mg/g, adsorb capacity of benzene 2.99-21.37%, and adsorb capacity of methylene blue 18.239-260.237 mg/g. The optimum conditions of manufacturing of activated charcoal is produced at temperature of 850°C that are soaked in a solution of 10% H3PO4 with steam activation time for 90 minutes results adsorb capacity of iodine and methylene blue which meets the technical requirements of activated charcoal in the Indonesian standard (SNI) number 06-3730-1995. Keywords: Carbonization, activated charcoal, kemiri sunan shell, quality ABSTRAK Arang adalah suatu bahan padat yang berpori-pori dan merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung unsur karbon (C). Arang dapat digunakan selain untuk bahan baku pada pembuatan baterai, briket arang, dan arang kompos, juga dapat diolah lebih lanjut menjadi arang aktif. Penelitian ini bertujuan untuk membuat arang aktif dari bahan baku limbah tempurung kemiri sunan, menentukan kondisi optimum dalam pembuatan arang aktif dan sifat fisiko-kimianya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tempurung kemiri sunan dapat dibuat arang aktif dengan kualitas sebagai berikut: daya jerap terhadap larutan iodin berkisar antara 138,46-768,31 mg/g, daya jerap terhadap benzena 2,99-21,37%, dan daya jerap terhadap biru metilena berkisar antara 18,239260,237 mg/g. Kondisi optimum pembuatan arang aktif dihasilkan pada suhu 850oC yang direndam dalam larutan H3PO4 10% dengan waktu aktivasi uap air panas selama 90 menit, menghasilkan daya jerap iodin dan daya jerap biru metilena yang memenuhi persyaratan arang aktif teknis dalam SNI nomor 06-3730-1995. Kata kunci: Karbonisasi, arang aktif, tempurung kemiri sunan, kualitas
271
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 271-282
I. PENDAHULUAN Arang adalah suatu bahan padat yang berporipori dan merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung unsur karbon (C). Arang dapat digunakan selain untuk bahan baku pada pembuatan baterai, briket arang dan arang kompos, juga dapat diolah lebih lanjut menjadi arang aktif. Bahan baku pada pembuatan arang aktif berasal dari bahan yang mengandung karbon baik organik maupun anorganik yang dapat dikarbonisasi. Arang aktif digolongkan ke dalam produk kimia dan bukan bahan energi seperti arang atau briket arang yang sebagian besar dari pori-pori arang masih tertutup dengan hidrokarbon dan senyawa organik, sedangkan arang aktif mampu melakukan adsorpsi karena permukaannya lebih luas dan pori-porinya telah terbuka (Harsanti dan Ardiwinata, 2001). Salah satu bahan baku yang dapat dikembangkan sebagai bahan arang aktif adalah tempurung biji kemiri sunan (Aleurites trisperma) yang merupakan limbah dari pengolahan minyak kemiri sunan dan belum dimanfaatkan. Kemiri sunan mengandung minyak yang dapat diproses menjadi minyak pengganti solar atau biodiesel. Biji kemiri sunan menjadi alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak, agar pemakaian bahan bakar minyak dapat berkurang (Deptan, 2012). Setiap proses produksi biodiesel dari kemiri sunan akan menghasilkan limbah berupa tempurung yang dapat mencemari lingkungan dan mengganggu estetika. Pemanfaatan limbah adalah salah satu cara untuk mengatasinya. Limbah ini berpotensi untuk diubah menjadi arang dan arang aktif yang kemudian dapat dimanfaatkan lebih lanjut, karena ukuran dan sifat tempurung kemiri sunan hampir mirip dengan tempurung kemiri biasa yang sudah sering dijadikan arang aktif.
272
Penelitian ini bertujuan untuk membuat arang aktif dari bahan baku limbah tempurung kemiri sunan, menentukan kondisi optimum dalam pembuatan arang aktif dan menganalisis sifat fisiko-kimianya. II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah tempurung biji kemiri sunan yang diperoleh dari Kabupaten Garut, Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan antara lain larutan H3PO4 10%, larutan iod 0.1 N, larutan natrium tio-sulfat 0.1 N, larutan kanji 1 %, larutan biru metilena 1200 ppm, benzena, dan akuades. Alat yang digunakan adalah tungku drum yang dimodifikasi, tungku aktivasi (retort), mortar, saringan halus (100 mesh), oven, tanur, desikator, cawan porselin, neraca analitik, neraca kasar, spektrofotometer ultraviolettampak (UV-Vis), gegep, buret, cawan petri, gelas piala, Erlenmeyer, labu ukur, gelas arloji, pipet Mohr, pipet volumetrik, dan pipet tetes. B. Metode Penelitian 1. Pembuatan arang aktif Aktivasi arang aktif menggunakan 2 cara yaitu cara fisika dan cara kimia. Aktivasi cara fisika tidak merendam arang dalam larutan H3PO4, sedangkan untuk cara kimia arang direndam dalam larutan H3PO4 10% selama 24 jam, setelah itu arang dicuci, dan ditiriskan. Selanjutnya arang tanpa perendaman dan dengan perendaman larutan H3PO410% dimasukkan ke dalam retort dan dipanaskan pada suhu 750oC dan 850oC. Setelah suhu retort tercapai, dialirkan uap panas (steam) selama 0, 60 dan 90 menit. Alur proses pembuatan arang aktif secara lengkap disajikan pada Gambar 1.
Pemanfaatan Limbah Tempurung Kemiri Sunan (Aleuriteus trisperma) Sebagai Bahan Baku Pada Pembuatan Arang Aktif (Djeni Hendra, R. Esa Pangersa Gusti & Sri Komarayati)
Limbah tempurung biji kemiri s unan Karbonisasi (24 jam) Arang Perendaman dalam H3PO 4 10% (24 jam)
Tanpa perendaman
1. Aktivasi tanpa H2O 2. Aktivasi dengan H 2O (750OC; 60, 90 menit) (850OC 90 menit)
Aktivasi
Arang aktif
Analisis: 1. Rendemen 2. Kadar air, abu, zat terbang, karbon terikat 3. Daya jerap iodin, benzena, biru metilena
Gambar 1. Diagram alur proses pembuatan arang aktif Figure 1. Diagram of activated charcoal manufacturing process 2. Pengujian kualitas arang aktif Arang aktif yang dihasilkan diuji kualitasnya berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 063730-1995) yang meliputi penetapan rendemen, kadar air, abu, zat terbang, karbon terikat, daya jerap iodin, benzena dan biru metilena menggunakan alat spektroskopi UV-Vis dengan panjang gelombang 664 nm. V x (Co - Ca) x Fp m
Daya jerap biru metilena (mg/g) =
Keterangan (Remark): V = Volume biru metilena (mL) fp = Faktor pengenceran Co = Konsentrasi awal biru metilena (ppm) m = Bobot arang aktif (g) Ca = Konsentrasi akhir biru metilena (ppm)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen Arang Aktif Rendemen arang aktif dari tempurung kemiri sunan yang dihasilkan berkisar antara 43.0078.33%. Rendemen tertinggi (78.33%) dihasilkan oleh arang aktif tanpa perendaman H3PO4 10% dan diaktivasi pada suhu 750oC selama 90 menit tanpa steam uap air (A1B1). Rendemen terendah (43.00%) dihasilkan oleh arang aktif yang direndam dalam H3PO4 10% dan diaktivasi dengan steam uap air pada suhu 850oC selama 90 menit (A2B4)(Gambar 2).
273
Rendemen arang aktif (Yoeld of activated charcoal), %
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 271-282
Perlakuan (Treatment) Keterangan (Remark) : A1 = Tanpa H3PO4 (Without H3PO4) A2 = Dengan H3PO4 10% (With 10% of H3PO4) B1 = Tanpa steam uap air 0 menit, suhu 750oC (Without H2O steam, 0 minutes, temperature at 750oC) B2 = Steam uap air 60 menit, suhu 750oC (H2O steam, 60 minutes, temperature at 750oC) B3 = Steam uap air 90 menit, suhu 750oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 750oC) B4 = Steam uap air 90 menit, suhu 850oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 850 oC)
Gambar 2. Nilai rendemen arang aktif pada berbagai perlakuan Figure 2. Yield of activated charcoal in various treatment
Aktivasi uap air dan penggunaan bahan pengaktif akan berpengaruh terhadap rendemen arang aktif. Proses aktivasi akan menurunkan rendemen karena permukaan arang aktif akan menjadi lebih luas akibat asam-asam organik dan hidrokarbon yang awalnya ada dipermukaan arang aktif telah dihilangkan oleh zat pengaktif (Sudrajat, 1985). Senyawa karbon yang terbentuk mengalami reaksi pemurnian dengan uap air, sehingga senyawa non-karbon yang melekat pada permukaan arang menjadi menguap. Namun atom C yang terbentuk akan bereaksi kembali dengan atom O dan H membentuk CO, CO2, CH4 sehingga rendemen arang aktif yang dihasilkan akan lebih rendah dibandingkan dengan arang aktif yang dibuat hanya dengan perlakuan panas. Untuk membuat arang aktif dengan rendemen tinggi, diperlukan perlakuan panas (Pari et al., 2006).
274
B. Kadar Air Arang Aktif
Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui sifat higroskopis arang aktif. Kadar air arang aktif dari tempurung kemiri sunan yang dihasilkan berkisar antara 3,56-9,28%. Kadar air tertinggi (9,28%) dihasilkan oleh arang aktif yang direndam dalam H3PO410% dan diaktivasi dengan steam uap air pada suhu 750oC selama 60 menit (A2B2). Kadar air terendah (3,56%) dihasilkan oleh arang aktif yang direndam dalam H3PO410% dan diaktivasi dengan steam uap air pada suhu 850oCselama 90 menit (A2B4) (Gambar 3). Nilai kadar air dari berbagai perlakuan ini telah memenuhi SNI Arang Aktif Teknis yaitu kadar air maksimal sebesar 15% (SNI, 1995). Jika dibandingkan dengan arang aktif komersial, rendemen arang aktif dari berbagai perlakuan ini nilainya lebih rendah.
Kadar air arang aktif (Moisture content of activated charcoal), %
Pemanfaatan Limbah Tempurung Kemiri Sunan (Aleuriteus trisperma) Sebagai Bahan Baku Pada Pembuatan Arang Aktif (Djeni Hendra, R. Esa Pangersa Gusti & Sri Komarayati)
Perlakuan (Treatment) Keterangan (Remark) : A1 = Tanpa H3PO4 (Without H3PO4) A2 = Dengan H3PO4 10% (With 10% of H3PO4) B1 = Tanpa steam uap air 0 menit, suhu 750oC (Without H2O steam, 0 minutes, temperature at 750oC) B2 = Steam uap air 60 menit, suhu 750oC (H2O steam, 60 minutes, temperature at 750oC) B3 = Steam uap air 90 menit, suhu 750oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 750oC) B4 = Steam uap air 90 menit, suhu 850oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 850 oC) SNI = Standar Nasional Indonesia (Indonesian standard) Ar = Arang tempurung kemiri sunan (Kemiri sunan shell charcoal) AAK = Arang aktif komersial (Commercial activated charcoal)
Gambar 3. Nilai kadar air arang aktif pada berbagai perlakuan Figure 3. Moisture content of activated charcoal in various treatment Besar kecilnya kadar air arang aktif yang dihasilkan disebabkan oleh sifat higroskopis dari arang aktif sehingga pada waktu proses pendinginan, uap air dari udara terserap ke dalam pori (Pari et al., 2008). Kadar air yang tinggi selain disebabkan oleh sifat higroskopis arang aktif, juga adanya molekul uap air yang terperangkap di dalam kisi-kisi heksagonal arang aktif terutama pada proses pendinginan (Pari et al., 2006). Kadar air yang rendah disebabkan permukaan arang aktif lebih sedikit mengandung gugus fungsi yang bersifat polar sehingga interaksi antara uap air yang bersifat polar juga sedikit. Arang aktif yang baik adalah arang yang diaktivasi secara kimia (Pari et al., 2008). C. Kadar Zat Terbang Arang Aktif Penentuan kadar zat terbang bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa yang belum menguap pada saat karbonisasi dan aktivasi,
sehingga dapat diketahui besarnya kandungan zat selain karbon pada permukaan arang aktif. Kadar zat terbang dari arang aktif tempurung kemiri sunan yang dihasilkan berkisar antara 6,5716,73%. Kadar zat terbang tertinggi (16,73%) dihasilkan oleh arang aktif yang direndam dalam H3PO410% dan diaktivasi dengan steam uap air pada suhu 850oC selama 90 menit (A2B4). Kadar zat terbang terendah (6,57%) dihasilkan oleh arang aktif yang direndam dalam H3PO410% dan diaktivasi pada suhu 750oC selama 90 menit tanpa steam uap air (A2B1) (Gambar 4). Nilai kadar zat terbang dari berbagai perlakuan ini telah memenuhi SNI Arang Aktif Teknis yaitu kadar zat terbang maksimal sebesar 25%. Kadar zat terbang arang aktif komersil yang dihasilkan nilainya telah memenuhi standar. Namun untuk kadar zat terbang arang tempurung kemiri sunan, nilainya melebihi SNI, yaitu sebesar 32.77% (Gambar 4). 275
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 271-282
bahwa permukaan arang aktif masih ditutupi oleh senyawa bukan karbon sehing ga dapat mengurangi kemampuan daya jerapnya (Pari et al., 2008). Kadar zat terbang yang kecil menunjukkan adanya reaksi antara atom karbon dengan uap air membentuk senyawa non-karbon yang mudah menguap seperti CO, CO2, dan H2 pada waktu proses aktivasi (Pari et al., 2006).
Kadar zat terbang arang aktif (Volatile matter of activated charcoal), %
Arang aktif yang menghasilkan kadar zat terbang tinggi masih mengandung senyawa nonkarbon yang menempel pada permukaan arang aktif terutama atom H yang terikat kuat pada atom C pada permukaan arang aktif. Gugus OH dan H yang menempel pada permukaan arang aktif selama proses aktivasipun dapat menghasilkan kadar zat terbang yang tinggi (Pari et al., 2006). Besarnya zat terbang ini menunjukkan
Perlakuan (Treatment) Keterangan (Remark) : A1 = Tanpa H3PO4 (Without H3PO4) A2 = Dengan H3PO4 10% (With 10% of H3PO4) B1 = Tanpa steam uap air 0 menit, suhu 750oC (Without H2O steam, 0 minutes, temperature at 750oC) B2 = Steam uap air 60 menit, suhu 750oC (H2O steam, 60 minutes, temperature at 750oC) B3 = Steam uap air 90 menit, suhu 750oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 750oC) B4 = Steam uap air 90 menit, suhu 850oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 850 oC) SNI = Standar Nasional Indonesia (Indonesian standard) Ar = Arang tempurung kemiri sunan (Kemiri sunan shell charcoal) AAK = Arang aktif komersial (Commercial activated charcoal)
Gambar 4. Nilai kadar zat terbang arang aktif pada berbagai perlakuan Figure 4. Volatile matter of activated charcoal in various treatment D. Kadar Abu Arang Aktif Penentuan kadar abu bertujuan untuk mengetahui kandungan logam oksida dalam arang aktif. Kadar abu arang aktif dari tempurung kemiri sunan yang dihasilkan berkisar antara 20.3446,85%. Kadar abu tertinggi (46.85%) dihasilkan oleh arang aktif tanpa perendaman H3PO410% 276
dan diaktivasi dengan steam uap air pada suhu o 750 C selama 90 menit (A1B3). Kadar abu terendah (20,34%) dihasilkan oleh arang aktif yang direndam dalam H3PO4 10% dan diaktivasi o pada suhu 750 C selama 90 menit tanpa steam uap air (A2B1). Nilai kadar abu arang dan arang aktif dari berbagai perlakuan ini tidak memenuhi SNI Arang Aktif Teknis yaitu kadar abu maksimal
Kadar abu arang aktif (Ash content of activated charcoal), %
Pemanfaatan Limbah Tempurung Kemiri Sunan (Aleuriteus trisperma) Sebagai Bahan Baku Pada Pembuatan Arang Aktif (Djeni Hendra, R. Esa Pangersa Gusti & Sri Komarayati)
Perlakuan (Treatment) Keterangan (Remark) : A1 = Tanpa H3PO4 (Without H3PO4) A2 = Dengan H3PO4 10% (W ith 10% of H3PO4) B1 = Tanpa steam uap air 0 menit, suhu 750oC (Without H2O steam, 0 minutes, temperature at 750oC) B2 = Steam uap air 60 menit, suhu 750oC (H2O steam, 60 minutes, temperature at 750oC) B3 = Steam uap air 90 menit, suhu 750oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 750oC) B4 = Steam uap air 90 menit, suhu 850oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 850 oC) SNI = Standar Nasional Indonesia (Indonesian standard) Ar = Arang tempurung kemiri sunan (Kemiri sunan shell charcoal) AAK = Arang aktif komersial (Commercial activated charcoal)
Gambar 5. Nilai kadar abu arang aktif pada berbagai perlakuan Figure 5. Ash content of activated charcoal in various treatment sebesar 10% (SNI, 1995). Namun untuk kadar abu arang aktif komersial, nilainya telah memenuhi SNI, yaitu sebesar 6,03% (Gambar 5). Besarnya kadar abu yang dihasilkan dapat mengurangi daya jerap arang aktif, karena poripori arang aktif akan tertutup mineral seperti K, Na, Ca, dan Mg yang menempel pada permukaan arang aktif (Pari et al., 2008). Untuk itu, agar daya serap arang aktifnya maksimal, diusahakan kadar abu yang dihasilkan bisa sekecil mungkin. Arang aktif dengan kandungan kadar abu yang baik dapat diperoleh dengan aktivasi secara kimia (Pari et al., 2006). E. Kadar Karbon Terikat Arang Aktif Penentuan kadar karbon terikat bertujuan untuk mengetahui potensi arang yang baik untuk dijadikan arang aktif. Kadar karbon terikat arang aktif dari tempurung kemiri sunan yang dihasilkan berkisar
antara 44,75-73,09%. Kadar karbon terikat tertinggi (73,09%) dihasilkan oleh arang aktif yang direndam dalam H3PO410% dan diaktivasi pada suhu 750oC selama 90 menit tanpa steam uap air (A2B1). Kadar karbon terikat terendah (44.75%) dihasilkan oleh arang aktif tanpa perendaman H3PO410% dan diaktivasi dengan o steam uap air pada suhu 750 C selama 90 menit (A1B3). Nilai kadar karbon terikat beberapa arang aktif dari berbagai perlakuan ini telah memenuhi SNI Arang Aktif Teknis yaitu kadar karbon terikat minimal 65% (SNI, 1995). Arang aktif yang telah memenuhi SNI adalah arang aktif dengan perlakuan A1B1 dan A2B1. Jika dibandingkan dengan arang aktif komersial, kadar karbon terikat arang aktif dari berbagai perlakuan ini nilainya lebih rendah. Nilai kadar karbon terikat dari arang aktif komersial adalah sebesar 79,22% (Gambar 6).
277
Kadar karbon terikat arang aktif (Bond carbon content of activated charcoal), %
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 271-282
Perlakuan (Treatment) Keterangan (Remark) : A1 = Tanpa H3PO4 (Without H3PO4) A2 = Dengan H3PO4 10% (W ith 10% of H3PO4) o o B1 = Tanpa steam uap air 0 menit, suhu 750 C (Without H2O steam, 0 minutes, temperature at 750 C) o o B2 = Steam uap air 60 menit, suhu 750 C (H2O steam, 60 minutes, temperature at 750 C) B3 = Steam uap air 90 menit, suhu 750oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 750oC) B4 = Steam uap air 90 menit, suhu 850oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 850 oC) SNI = Standar Nasional Indonesia (Indonesian standard) Ar = Arang tempurung kemiri sunan (Kemiri sunan shell charcoal) AAK = Arang aktif komersial (Commercial activated charcoal)
Gambar 6. Nilai kadar karbon terikat arang aktif pada berbagai perlakuan Figure 6. Bond carbon content of activated charcoal in various treatment Tinggi rendahnya kadar karbon terikat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar abu dan kadar zat terbang, selain itu juga dipengaruhi oleh kandungan selulosa dan lignin yang dapat dikonversi menjadi atom karbon (Pari, 2004). Semakin tinggi nilai kadar karbon terikat suatu arang aktif, tingkat kemurnian karbonpun akan semakin tinggi, lebih tinggi dari arangnya. Hal ini disebabkan senyawa non-karbon telah banyak hilang pada saat proses aktivasi. F. Daya Jerap Iodin Arang Aktif Tinggi rendahnya daya jerap arang aktif terhadap iod menunjukkan banyaknya diameter pori yang aktif yang berukuran 10 Angstrom dan permukaan arang aktifnya lebih bermuatan positif sehingga akan lebih menjerap senyawa yang lebih negatif (Pari et al., 2008). Daya jerap iodin arang aktif dari tempurung kemiri sunan yang dihasilkan berkisar antara 138.46-768.31 mg/g. Hanya arang aktif yang 278
direndam dalam H3PO410% dan diaktivasi dengan o steam uap air pada suhu 850 C selama 90 menit (A2B4) yang memenuhi syarat SNI yaitu daya jerap iodin minimal 750 mg/g (SNI, 1995). Nilai daya Jerap iodin arang tempurung kemiri sunan dan arang aktif komersial tidak memenuhi SNI (Gambar 7). Daya jerap iodin berbanding lurus dengan konsentrasi, suhu, serta steam yang digunakan, yaitu semakin tinggi konsentrasi dan suhu serta semakin lama steam yang digunakan, daya jerap iodin semakin tinggi, karena semakin banyak terbentuk pori-pori pada arang aktif. Semakin tinggi daya jerap iod memperlihatkan bahwa atom karbon yang membentuk kristalit heksagonal makin banyak, sehingga celah atau pori yang terbentuk di antara lapisan kristalit juga semakin besar (Pari et al., 2006). Selain itu, adanya senyawa P2O3 hasil dekomposisi H3PO4 yang terperangkap di dalam arang akan menimbulkan struktur mikropori dan struktur mesopori pada struktur bagian dalam, semakin tinggi konsentrasi
Daya Jerap iodin arang aktif (Iodine adsorb capacity of activated charcoal), mg/g
Pemanfaatan Limbah Tempurung Kemiri Sunan (Aleuriteus trisperma) Sebagai Bahan Baku Pada Pembuatan Arang Aktif (Djeni Hendra, R. Esa Pangersa Gusti & Sri Komarayati)
Perlakuan (Treatment) Keterangan (Remark) : A1 = Tanpa H3PO4 (Without H3PO4) A2 = Dengan H3PO4 10% (W ith 10% of H3PO4) B1 = Tanpa steam uap air 0 menit, suhu 750oC (Without H2O steam, 0 minutes, temperature at 750oC) B2 = Steam uap air 60 menit, suhu 750oC (H2O steam, 60 minutes, temperature at 750oC) B3 = Steam uap air 90 menit, suhu 750oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 750oC) B4 = Steam uap air 90 menit, suhu 850oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 850 oC) SNI = Standar Nasional Indonesia (Indonesian standard) Ar = Arang tempurung kemiri sunan (Kemiri sunan shell charcoal) AAK = Arang aktif komersial (Commercial activated charcoal)
Gambar 7. Nilai daya jerap iodin arang aktif pada berbagai perlakuan Figure 7. Iodine adsorb capacity of activated charcoal in various treatment H3PO4 juga menghasilkan struktur mesopori yang mempunyai luas permukaan dan volume pori yang besar (Baquero et al., 2003). Daya jerap iod yang kecil mungkin disebabkan terbentuknya oksida logam yang banyak hasil interaksi H3PO4 dengan tungku aktivasi, sehingga menutupi pori-pori arang aktif (Wibowo et al., 2010). G. Daya Jerap Benzena Arang Aktif
Penentuan daya jerap benzena bertujuan untuk menentukan kapasitas menjerap arang aktif pada fase gas (Marsh dan Reinoso, 2006). Daya jerap benzena arang aktif tempurung kemiri sunan yang dihasilkan berkisar antara 2.9921.37%. Nilai daya jerap benzena arang aktif komersial, arang tempurung kemiri sunan, dan arang aktif dari berbagai perlakuan ini tidak memenuhi SNI Arang Aktif Teknis yaitu daya
jerap benzena minimal sebesar 25% (SNI, 1995). Arang aktif yang memiliki nilai daya jerap benzena yang mendekati SNI adalah arang aktif yang direndam dalam H3PO410% dan diaktivasi o dengan steam uap air pada suhu 750 Cselama 90 menit (A2B3) yaitu sebesar 21.37% (Gambar 8). Arang aktif yang menghasilkan daya jerap benzena yang rendah disebabkan masih terdapatnya senyawa non-karbon yang menempel pada permukaan arang aktif terutama atom H dan atom O sehingga arang aktifnya lebih bersifat non-polar (Hendra, 2007). Arang aktif yang menghasilkan daya jerap benzena yang tinggi menunjukkan permukaan arang aktif yang lebih bersifat non-polar, sehingga dapat digunakan untuk menjerap polutan yang juga bersifat nonpolar (Pari et al., 2008).
279
Daya Jerap benzena arang aktif (Benzena adsorb capacity of activated charcoal), mg/g
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 271-282
Perlakuan (Treatment) Keterangan (Remark) : A1 = Tanpa H3PO4 (Without H3PO4) A2 = Dengan H3PO4 10% (W ith 10% of H3PO4) B1 = Tanpa steam uap air 0 menit, suhu 750oC (W ithout H2O steam, 0 minutes, temperature at 750oC) B2 = Steam uap air 60 menit, suhu 750oC (H2O steam, 60 minutes, temperature at 750oC) B3 = Steam uap air 90 menit, suhu 750oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 750oC) B4 = Steam uap air 90 menit, suhu 850oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 850 oC) SNI = Standar Nasional Indonesia (Indonesian standard) Ar = Arang tempurung kemiri sunan (Kemiri sunan shell charcoal) AAK = Arang aktif komersial (Commercial activated charcoal)
Gambar 8. Nilai daya jerap benzena arang aktif pada berbagai perlakuan Figure 8. Benzene adsorb capacity of activated charcoal in various treatment H.Daya Jerap Biru Metilena Arang Aktif Nilai daya jerap metilena biru mengidentifikasikan kapasitas adsorpsi arang aktif untuk menjerap molekul berdimensi besar (Marsh dan Reinoso, 2006). Daya jerap biru metilena arang aktif dari tempurung kemiri sunan yang diperoleh berkisar antara 18.239-260.237 mg/g. Hanya jenis arang aktif yang direndam dalam H3PO4 10% dan diaktivasi dengan steam uap air pada suhu 850 oC selama 90 menit (A2B4) yang memenuhi syarat SNI yaitu dengan nilai sebesar 260.237 mg/g. SNI Arang Aktif Teknis mensyaratkan untuk daya jerap biru metilena adalah minimal 120 mg/g (SNI, 1995). Nilai daya jerap biru metilena arang tempurung kemiri sunan dan arang aktif
280
komersial tidak memenuhi SNI (Gambar 9). Sama halnya dengan daya jerap iodin, daya jerap biru metilena berbanding lurus dengan konsentrasi, suhu dan steam yang digunakan, yaitu semakin tinggi konsentrasi dan suhu yang digunakan serta semakin lama steam uap air maka daya jerap biru metilena semakin tinggi. Besarnya daya jerap biru metilena menggambarkan diameter pori yang terbentuk banyak yang berukuran 15 Angstrom, sehingga arang aktif dapat digunakan untuk menjernihkan polutan yang mengandung zat warna yang bersifat polar. (Pari et al., 2009). Nilai daya Jerap yang tinggi mengimplikasikan bahwa permukaan arang aktif menjadi lebih bersifat polar, akibat kondisi aktivasi yang lebih besar (Pari et al., 2006).
Daya Jerap biru metilena arang aktif (Methylene blue adsorb capacity of activated charcoal). mg/g
Pemanfaatan Limbah Tempurung Kemiri Sunan (Aleuriteus trisperma) Sebagai Bahan Baku Pada Pembuatan Arang Aktif (Djeni Hendra, R. Esa Pangersa Gusti & Sri Komarayati)
Perlakuan (Treatment) Keterangan (Remark) : A1 = Tanpa H3PO4 (Without H3PO4) A2 = Dengan H3PO4 10% (With 10% of H3PO4) B1 = Tanpa steam uap air 0 menit, suhu 750oC (Without H2O steam, 0 minutes, temperature at 750oC) B2 = Steam uap air 60 menit, suhu 750oC (H2O steam, 60 minutes, temperature at 750oC) B3 = Steam uap air 90 menit, suhu 750oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 750oC) B4 = Steam uap air 90 menit, suhu 850oC (H2O steam, 90 minutes, temperature at 850 oC) SNI = Standar Nasional Indonesia (Indonesian standard) Ar = Arang tempurung kemiri sunan (Kemiri sunan shell charcoal) AAK = Arang aktif komersial (Commercial activated charcoal)
Gambar 9 Nilai daya Jerap metilena biru arang aktif pada berbagai perlakuan Figure 9. Methylene blue adsorb capacity of activated charcoal in various treatment
I. Pemilihan Arang Aktif Terbaik Arang aktif terbaik diambil berdasarkan nilai daya jerap arang aktif pada beberapa senyawa. Arang aktif terbaik adalah arang aktif dengan perlakuan A2B4. Meskipun pada jenis karakterisasi arang aktif lainnya A2B4 tidak terbaik. Namun berdasarkan daya jerap iodin dan biru metilena, arang aktif yang memiliki daya Jerap tertinggi adalah pada perlakuan A2B4 (arang aktif yang direndam dalam H3PO410% dan diaktivasi dengan steam uap air pada suhu 850oC selama 90 menit). IV. KESIMPULAN Tempurung kemiri sunan dapat dibuat arang aktif dengan kualitas sebagai berikut: daya jerap terhadap lar utan iodin berkisar antara 138,46768,31 mg/g, daya jerap terhadap benzena
2,99-21,37%, dan daya jerap terhadap biru metilena berkisar antara 18,239-260,237 mg/g. Kondisi optimum pembuatan arang aktif o dihasilkan pada suhu 850 C yang direndam dalam larutan H3PO4 10% dengan waktu aktivasi uap air panas selama 90 menit, sebab nilai daya jerap iodin dan daya jerap biru metilena yang dihasilkan pada perlakuan ini telah memenuhi persyaratan arang aktif teknis dalam SNI nomor 06-3730-1995. DAFTAR PUSTAKA [Deptan] Departemen Pertanian. (2012). Kemiri Sunan Tanaman Langka SumberBahan Bakar Alternatif. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Baquero MC, G. Giraldo, L. Moreno, JC Garcia, FS Alonso, AM and JMDTascon. (2003). Activated carbon by pyrolysis of coffee 281
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 271-282
beanhusks in pre-sence of phosporic acid. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 70:779-784. Harsanti, E.S dan Ardiwinata A. N. (2001). Arang Aktif Meningkatkan Kualitas Lingkungan. Sinar Tani Edisi 6-12 : 10-12. Jakarta: Badan Litbang Pertanian. Hendra D. (2007). Pembuatan arang aktif dari limbah pembalakan kayu puspadengan teknologi produksi skala semi pilot. Jurnal Penelitian Hasil Hutan25:93-107. Bogor: usat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Manalu FP. (1998). Pembuatan dan pemakaian arang asal kulit kayu Acasiamangium untuk pemurnian minyak kelapa sawit. Skripsi. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Nusa Bangsa. Marsh H and Reinoso FR. (2006). Active Carbon. Alicante: Elvecier Science &Technology Books. Pari, G. (2004). Kajian struktur arang aktif dari serbuk gergaji kayu sebagai adsorben formaldehida kayu lapis. Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pari, G., D. Hendra dan R.A Pasaribu. (2006). Pengaruh lama waktu aktivasi dan konsentrasi asam fosfat terhadap mutu arang aktif kulit kayu Acacia mangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24:33-46. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Pari, G., D. Hendra dan R.A Pasaribu. (2008). Peningkatan mutu arang aktif kulit kayumangium. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 26:214-227. Bogor: Pusat Penelitian dan
282
Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Pari, G., A. Santoso dan D. Hendra. (2006). Pembuatan dan pemanfaatan arang aktifsebagai reduktor emisi formaldehida kayu lapis. Jurnal Penelitian HasilHutan 24:425-436. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Pari, G., D. Tohir, Mahpudin danJ.Ferry. (2006). Arang aktif serbuk g erg aji kayu untukpemurnian minyak goreng bekas. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 24:309-322. Bog or: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Pari, G., T.D Widayati danM.Yoshida. (2009). Mutu arang aktif dari serbuk gergajiankayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 27:381-398. Bog or: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. [SNI] Standar Nasional Indonesia. (1995). SNI 06-3730-1995: Arang Aktif Teknis. Jakarta: Dewan Standardisasi Indonesia. Sudrajat, R. (1985). Pengaruh beberapa faktor peng olahan terhadap sifat arang aktif.Buletin Hasil Hutan 33:24-25. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Wibowo, S, W. Syafii W dan G. Pari. (2010). Karakteristik arang aktif tempurung bijiNyamplung. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28:43-54. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 283-296 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
IMPREGNASI EKSTRAK JATI DAN RESIN PADA KAYU JATI CEPAT TUMBUH DAN KARET (Impregnation of Teak Extract and Resin on The Fast Grown Teak and Rubber Wood) Efrida Basri1 & Jamal Balfas1 Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu 5, Bogor. Telp. 0251-8633378 Email:
[email protected];
[email protected] Diterima 13 Mei 2014, Disetujui 17 Nopember 2014
ABSTRACT Previous research findings have shown that the fast grown teak (JCT) has lower physical, mechanical and durability performances than those of the traditional teak. Hence, a specific effort is required to increase the JCTquality. This research is aimed to improve the quality of JCT and rubber wood through impregnation of extracts and resin.This study used extracts from traditional teak wood sawdust dissolved in methanol solution. The teak extractive solutions were then impregnated into wood structure of JCT and rubber wood with various solution concentrations according to additional organic resin. The organic resins used in this study consist of shellac and damar, which were added at three weight concentration levels of 4, 6 and 8% of the extract volume. The results show that the impregnation of extractive solution into JCT and rubber wood increased dimentional stability of both woods with Anti Shrink Efficiency (ASE) value exceeds 50%, compared to the traditional teak. The addition of shellac and damar resin in the teak extractive solution significantly result in better dimensional stability of both treated woods proportionally in accordance to the resin concentration. Keywords: Teak wood extract, shellac, damar, wood dimensional stability ABSTRAK Penelitian sebelumnya menunjukkan karakteristik fisis, mekanis dan keawetan kayu jati cepat tumbuh (JCT) relatif lebih rendah dibanding kayu jati tradisional. Berdasarkan hal tersebut, perlakuan modifikasi kayu dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas jati tersebut. Penelitian ini bertujuan memperbaiki kualitas kayu JCT dan karet dengan perlakuan impregnasi ekstrak jati dan resin. Dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi serbuk kayu jati tradisional dengan pelarut metanol. Larutan ekstrak tersebut kemudian diimpregnasi kedalam struktur kayu JCT dan karet dengan beragam konsentrasi menurut penambahan resin organik. Resin yang digunakan sebagai campuran dalam penelitian ini adalah sirlak dan damar, masing-masing dengan konsentrasi berat 4, 6 dan 8% dari volume ekstrak. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan impregnasi larutan ekstrak jati terhadap kayu JCT dan karet mampu meningkatkan stabilitas dimensi kedua jenis kayu tersebut dengan nilai ASE lebih dari 50%, hingga setara dengan stabilitas dimensi jati tradisional. Penambahan resin sirlak maupun damar ke dalam larutan ekstrak jati secara nyata dapat lebih menyempurnakan stabilitas dimensi kayu JCT dan karet secara proporsional menurut konsentrasi resin. Kata kunci: Ekstrak kayu jati, sirlak, damar, stabilitas dimensi kayu
283
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 283-296
I. PENDAHULUAN Program peningkatan volume produksi kayu jati di Indonesia telah dilakukan secara intensif melalui penanaman berbagai jenis varietas atau klon unggul jati di berbagai wilayah nusantara. Program ini berorientasi pada perolehan volume kayu secara maksimal dalam tempo yang minimal. Dewasa ini telah banyak dijumpai hasil panen kayu jati dari kelompok varietas cepat tumbuh, diantaranya adalah jenis JCT yang dikembangkan oleh Perhutani. Banyak perhatian studi atau penelitian yang dilakukan terhadap jenis kayu ini. Publikasi hasil studi secara umum menggambarkan kelemahan performa fisis, mekanis, kesan warna, stabilitas dimensi serta keawetan kayu JCT dibandingkan dengan kayu jati tradisional (Basri dan Wahyudi, 2013). Perbedaan karakteristik kayu dari varietas cepat tumbuh dibandingkan dengan kayu jenis yang sama dari varietas asal terutama berkaitan dengan kehadiran sel atau jaringan kayu muda (juvenile wood) dalam jumlah besar serta kandungan zat ekstraktif dalam jumlah sedikit (Bowyer et al, 2007). Lebih jauh diuraikan bahwa sel atau jaringan kayu muda memiliki dimensi dinding sel lebih tipis dibandingkan dengan jaringan kayu dewasa, sehingga memiliki pengaruh langsung terhadap densitas struktur kayu serta performa struktural pada kayu bersangkutan. Kandungan ekstraktif dalam jumlah sedikit pada kayu JCT menyebabkan sifat keawetan, stabilitas dimensi serta densitas kayu ini lebih rendah dibandingkan dengan kayu jati tradisional (Basri dan Wahyudi, 2013). Fenomena serupa JCT dijumpai pada kayu karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.), yang juga memiliki tatanan struktur serat tata lingkar. Kayu ini secara komersil di industri diawetkan dengan larutan borax untuk pencegahan dari serangan bubuk kayu kering. Perbedaan performa dan kesan kayu di atas menunjukkan perlu upaya penyempurnaan karakteristik pada kayu atau produk kayu yang berasal dari varietas cepat tumbuh hingga diperoleh karakteristik yang setara dengan kayu tradisional. Upaya perbaikan pada karakteristik kayu dapat dilakukan secara fisis, mekanis dan kimia, namun cara terakhir paling banyak dilakukan oleh peneliti kayu di dunia (Rowell,
284
2005; Hill, 2006; Bowyer et al., 2007; Pandey et al., 2009). Perlakuan penyempurnaan karakteristik kayu dengan cara kimia dilakukan dengan memasukkan bahan senyawa monomer atau polimer ke dalam struktur kayu, yang disertai dengan berbagai bahan katalis (Rowell, 2005; Hill, 2006). Kelompok bahan kimia yang lazim digunakan dalam modifikasi kayu, seperti furfuril alkohol, asetat anhidrida, umumnya diproduksi oleh negara maju yang banyak melakukan studi dan riset dalam bidang teknologi kayu. Bahan modifikasi kayu ini relatif mahal dan harus impor, sehingga aplikasinya seringkali tidak ekonomis. Eksplorasi perlakuan alternatif dengan menggunakan resin organik, seperti sirlak, damar, gondorukem dan lain sebagainya secara efektif mampu meningkatkan densitas, stabilitas dimensi, kekuatan dan keawetan kayu (Balfas, 2007). Dalam penelitian ini dilakukan impregnasi pada kayu JCT dan karet dengan menggunakan bahan ekstrak jati dan resin organik lokal untuk penyempurnaan karakteristik kayu tersebut. Tulisan ini melaporkan pengaruh perlakuan deposisi ekstrak jati dan campurannya dengan sirlak dan damar terhadap karakteristik kayu, terutama aspek stabilitas dimensinya. II. METODE PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan kayu yang diimpregnasi adalah jati (Tectona grandis Linn. F) cepat tumbuh umur 5 tahun dan kayu karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.) umur sekitar 30 tahun. Sebagai pembanding digunakan contoh uji pengembangan kayu jati tradisional umur 60 tahun. Bahan baku untuk pembuatan ekstrak jati adalah serbuk gergajian kayu jati umur 60 tahun dari limbah penggergajian kayu Perum Perhutani di Cepu. Resin yang digunakan, masing-masing adalah sirlak dan damar mata kucing dengan pelarut metanol teknis. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya penggerus kayu (hammermill), mesin vakum-tekan, timbangan elektrik, peralatan ekstraksi, bak penangas air, swellometer, beakerglass dan kaliper digital.
Impregnasi Ekstrak Jati dan Resin pada Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Karet (Efrida Basri & Jamal Balfas)
B. Prosedur Penelitian 1. Persiapan contoh uji Contoh uji pengembangan untuk kayu jati tua (tradisional) berukuran tebal 1 cm, lebar 10 cm, dan panjang 1 cm diambil dari papan radial dan papan tangensial kayu jati berumur lebih dari 60 tahun. Kelompok contoh uji ini sebagai kontrol
untuk mengetahui sifat pengembangan kayu jati tradisional, tanpa ada perlakuan impregnasi. Sementara itu, contoh uji serupa untuk JCT diambil dari kayu bulat pada bidang tangensial dan radial (Gambar 1). Sebelum diimpregnasi, semua contoh uji dikeringkan dalam oven pada suhu ±63oC hingga mencapai kadar air sekitar 10%.
Tangensial (Tangential) (T)
Gambar 1. Pengambilan contoh uji dari batang kayu Figure 1. Samples extracted from wood trunk 2. Pelaksanaan penelitian a. Ekstraksi serbuk Penelitian diawali dengan mengeringkan serbuk kayu jati tradisional hingga mencapai kadar air kering udara, yaitu sekitar 15%. Serbuk tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu serbuk bentuk asal (gergajian) sebagai kontrol, serbuk 100 mesh, dan serbuk 200 mesh. Serbuk sebanyak 100 gram dimasukkan ke dalam beakerglass kapasitas 2000 ml dan ditambahkan 750 ml pelarut metanol. Campuran bahan ini o kemudian dipanaskan pada suhu 70 C dengan 2 perlakuan waktu ekstraksi, yaitu 30 dan 60 menit. Kondisi ekstraksi terbaik dari percobaan pendahuluan kemudian dipilih sebagai metode ekstraksi serbuk jati untuk skala yang lebih besar. Perbandingan serbuk jati dengan metanol pada pekerjaan ekstraksi skala besar adalah 1:8, yaitu 1 kg serbuk jati dalam 8 liter metanol. Campuran ini dipanaskan pada temperatur 70oC selama 60 menit. Setelah pendinginan, campuran bahan diperas dan disaring sehingga diperoleh ekstrak jati bersih. b. Perlakuan impregnasi Bahan untuk impregnasi, masing-masing terdiri dari ekstrak jati murni sebagai pembanding (K) dan 6 macam campuran resin. Resin 1-3 terdiri dari ekstrak kayu jati dan sirlak, masing-masing
dengan konsentrasi 4%, 6%, dan 8%, sedangkan resin 4-6 terdiri dari campuran ekstrak kayu jati dan damar mata kucing, dengan konsentrasi yang sama, yaitu 4%, 6%, dan 8% dari berat larutan ekstrak jati. Semua contoh uji yang telah ditimbang beratnya, dimasukkan ke dalam tabung impregnasi yang berkapasitas 7 liter (Gambar 2). Tabung kemudian ditutup rapat dan diikuti dengan proses vakum selama 15 menit. Larutan perlakuan dimasukkan ke dalam tabung hingga mencapai tekanan sebesar 12 kg/cm2 dan dipertahankan selama satu jam. Selanjutnya contoh uji dikeluarkan dari tabung dan ditiriskan selama 10 menit, kemudian dikeringkan kembali dalam oven pada suhu 60 ± 3oC hingga mencapai kadar air 10%. Pada penelitian ini dilakukan dua macam pengujian, yaitu penambahan berat dan pengembangan dimensi (swelling). Pengembangan dimensi pada arah radial dan tangensial contoh uji dilakukan dengan mengukur perubahan dimensi contoh uji yang direndam dalam swellometer pada periode rendaman 5 menit, 10 menit, 30 menit, 1 jam, 4 jam dan 24 jam sebagaimana diuraikan dalam Balfas (2007). Efektifitas perlakuan stabilisasi dimensi pada kondisi perlakuan dan jenis kayu tertentu ditentukan melalui perhitungan 285
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 283-296
Gambar 2. Tabung vakum-tekan Figure 2. Vacuum-pressure vessel nilai anti swelling efficiency (ASE) dengan rumus sebagai berikut: ASE = (Sc"St)/Sc) x 100% Dimana: Sc = Nilai pengembangan pada contoh uji kontrol St = Nilai pengembangan pada contoh uji perlakuan C. Analisis Data Analisis data dilakukan menggunakan Rancangan Percobaan Faktorial dengan 3 faktor. Faktor pertama adalah perlakuan impregnasi, faktor ke dua adalah jenis kayu, dan faktor ke tiga adalah penampang kayu. Dalam penelitian ini terdapat 7 taraf perlakuan impregnasi, yaitu kontrol (K), resin 1 (R1), resin 2 (R2), resin 3 (R3), resin 4 (R4), resin 5 (R5), dan resin 6 (R6). Faktor jenis kayu terdiri atas kayu JCT dan kayu karet. Sedangkan faktor ke tiga adalah arah serat kayu, terdiri atas penampang radial dan tangensial. Untuk setiap taraf faktor terdiri atas 5 contoh uji sebagai ulangan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ekstraksi Kayu Jati Ekstraksi serbuk jati dengan pelarut metanol menunjukkan hasil yang beragam menurut 286
ukuran serbuk serta waktu ekstraksi (Tabel 1). Serbuk dengan ukuran lebih halus (200 mesh) menghasilkan ekstrak lebih banyak dibandingkan dengan serbuk yang lebih kasar (100 mesh dan kontrol). Pada sisi lain, waktu ekstraksi 60 menit lebih banyak menghasilkan ekstrak daripada waktu ekstraksi 30 menit. Memperhatikan hasil ekstraksi pendahuluan ini, maka pekerjaan ekstraksi pada serbuk jati dalam skala besar dilakukan dengan menggunakan serbuk 200 mesh dan waktu ekstraksi 60 menit. Hasil ekstraksi pada skala besar tersebut dengan mesin ekstraktor menghasilkan ekstrak jati rata-rata sekitar 4% dari berat kering serbuk. B. Impregnasi Kayu Perlakuan impregnasi pada contoh uji kayu JCT dan kayu karet dengan larutan ekstrak jati saja menunjukkan keragaman penambahan berat secara nyata, baik berat basah maupun berat kering menurut jenis kayu dan orientasi serat (Tabel 2, dan Lampiran 1A-1B). Penambahan berat pada contoh kayu radial lebih besar daripada contoh kayu tangensial. Hal ini terutama disebabkan oleh akomodasi infiltrasi larutan yang lebih baik pada kayu radial dibandingkan dengan kayu tangensial. Penambahan berat basah pada kayu karet lebih tinggi daripada kayu JCT untuk semua ukuran
Impregnasi Ekstrak Jati dan Resin pada Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Karet (Efrida Basri & Jamal Balfas)
diimpregnasi dengan ekstrak jati terdapat nilai negatif pada penampang tangensial kayu karet. Hal ini mungkin berhubungan dengan adanya kelarutan zat ekstraktif pada contoh uji selama proses impregnasi dengan larutan ekstrak yang menggunakan pelarut alkohol, sehingga berat kering contoh uji menjadi lebih rendah dibandingkan dengan berat awalnya.
contoh uji. Hal ini menunjukkan bahwa kayu karet memiliki sifat penetrabilitas yang lebih baik daripada kayu JCT. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kondisi pernoktahan (ceruk) dan ukuran pembuluh JCT yang lebih sempit pada struktur kayunya dibandingkan dengan struktur anatomi kayu karet. Penambahan berat kering contoh uji setelah
Tabel 1. Hasil ekstraksi menurut kekasaran serbuk dalam metanol Table 1. Extraction yields in methanol according to powder roughness Kekasaran serbuk (Powder roughness)
Waktu ekstraksi (Extraction time), Menit (Minute)
Ekstrak (Extract), %
30 60 30 60 30 60
0,91 2,81 1,73 2,53 1,50 3,93
Serbuk gergaji (Sawdust) 100 mesh 200 mesh
Tabel 2. Penambahan berat akibat perlakuan dengan ekstrak jati Table 2. Weight gain due to treatment with teak extract Jenis dan penampang kayu (Wood species and sections)
Tambahan berat (Weight gain), %
Berat (Weight), gr Awal (Initial)
Basah (Wet)
Kering (Dry)
Basah (Wet)
Kering (Dry)
JCT Radial Tangensial
5,27 (0,46) 5,40 (0,36)
9,53 (0,72) 8,81 (0,24)
5,28 (0,46) 5,40 (0,34)
80,72 (6,37) 63,34 (6,20)
0,15 (0,17) 0,04 (0,32)
Kayu karet (Rubber wood) Radial Tangensial
5,87 (0,11) 6,65 (0,17)
11,05 (0,47) 11,82 (0,19)
5,89 (0,11) 6,64 (0,17)
88,46 (6,18) 78,12 (6,59)
0,21 (0,22) -0,14 (0,22)
Keterangan (Remarks): Angka dalam kurung menunjukkan nilai standar deviasi (Numbers within brackets indicated standard deviation values)
Penambahan berat contoh uji setelah diimpregnasi dengan campuran ekstrak jati dan resin sirlak maupun ekstrak jati dan damar tampak beragam menurut jenis kayu dan orientasi serat contoh uji (Tabel 3 - 4, Lampiran 1A-1B). Keragaman nilai penambahan berat pada perlakuan ini secara umum mengikuti pola keragaman yang serupa dengan keragaman pada perlakuan dengan ekstrak jati.
Contoh uji radial memiliki penambahan berat lebih besar daripada contoh uji tangensial. Impregnasi dengan campuran ekstrak jati dan sirlak maupun ekstrak jati dan damar dapat menyebabkan penambahanberatlebihbesardibandinghanyadengan ekstrak jati murni. Semakin tinggi konsentrasi resin (sirlak atau damar) cenderung menyebabkan penambahan berat lebih tinggi pada contoh uji. 287
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 283-296
Tabel 3. Penambahan berat (%) akibat perlakuan campuran ekstrak jati dan sirlak Table 3. Weight gain due to treatment of themixture teak extract and shellac
Jenis dan penampang kayu (Wood species and sections)
Campuran (Mixture),4%
Campuran (Mixture),6%
Campuran (Mixture), 8%
Basah (Wet)
Kering (Dry)
Basah (Wet)
Kering (Dry)
Basah (Wet)
Kering (Dry)
86,96 62,63
6,18 4,75
90,98 72,68
7,37 4,32
83,66 70,90
7,75 6,19
99,45 86,38
7,25 6,52
105,29 90,07
7,72 6,72
101,06 85,71
9,00 7,32
JCT Radial Tangensial Kayu karet (Rubber wood) Radial Tangensial
Tabel 4. Penambahan berat (%) akibat perlakuan campuran ekstrak jati dan damar Table 4. Weight gain due to treatment of the mixture teak extract and damar
Jenis dan penampang kayu (Wood species and sections)
Campuran (Mixture),4%
Campuran (Mixture),6%
Campuran (Mixture), 8%
Basah (Wet)
Kering (Dry)
Basah (Wet)
Kering (Dry)
Basah (Wet)
Kering (Dry)
91,17 73,16
6,01 4,78
93,27 77,80
7,90 6,95
96,13 77,66
9,31 7,66
94,28 77,79
6,01 4,70
102,34 82,03
10,62 6,55
96,31 83,37
9,33 7,98
JCT Radial Tangensial Kayu karet (Rubber wood) Radial Tangensial
Hasil analisis keragaman pada perubahan dimensi kayu kontrol selama perendaman dalam air (Lampiran 2) menunjukkan keragaman yang nyata (p>99%) menurut jenis kayu, orientasi serat, dan perlakuan. Pengembangan radial kayu JCT lebih rendah dibandingkan pengembangan kayu jati tua maupun kayu karet (Gambar 3). Keadaan ini berbeda pada arah tangensial, di mana pengembangan tangensial JCT lebih besar
288
daripada kayu jati tua maupun kayu karet (Gambar 4). Nilai pengembangan relatif pada Gambar 3 dan Gambar 4 menunjukkan rasio pengembangan tangensial terhadap radial pada kayu JCT sekitar 3,06, lebih besar daripada rasio pada kayu jati tua sekitar 1,39, maupun rasio pada kayu karet sekitar 2,36. Dengan kata lain, nilai stabilitas dimensi kayu JCT jauh lebih rendah daripada kayu jati tua. Hal ini terkait dengan umur
Impregnasi Ekstrak Jati dan Resin pada Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Karet (Efrida Basri & Jamal Balfas)
pohon, di mana kayu JCT yang umurnya masih sangat muda (5 tahun) tentunya memiliki dinding sel yang lebih tipis dibandingkan kayu jati tua (umur di atas 40 tahun), sehingga dimensinya tidak stabil. Penebalan dinding sel terjadi secara bertahap dengan bertambahnya umur pohon (Cave dan Walker, 1994; Haygreen dan Bowyer, 1993). Perubahan dimensi pada kayu JCT yang diimpregnasi dengan ekstrak jati lebih rendah daripada pengembangan yang terjadi pada contoh uji kontrol, sedangkan pada kayu karet tidak
terdapat pengaruh yang nyata sebagaimana tampak pada hasil analisis keragaman pada Lampiran 2. Dengan demikian perlakuan deposisi ekstrak jati pada contoh uji hanya efektif menyempurnakan stabilitas dimensi pada kayu JCT. Perbedaan efektifitas perlakuan ekstrak jati pada kayu JCT dan karet belum diketahui secara sistematis. Pola pengembangan radial maupun tangensial pada kayu JCT yang diberi perlakuan ekstrak jati (Gambar 5) tampak lebih baik dibandingkan dengan pola pengembangan kayu JCT kontrol maupun jati tua.
Jati tua JCT Karet
Gambar 3. Pengembangan radial pada contoh uji kontrol Figure 3. Radial swelling on control samples
Jati tua JCT Karet
Gambar 4. Pengembangan tangensial pada contoh uji kontrol Figure 4. Tangential swelling on control samples 289
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 283-296
Gambar 5. Pengembangan pada perlakuan ekstrak jati Figure 5. Swelling on the teak extracttreatment Nilai ASE pada contoh uji JCT yang diimpregnasi dengan ekstrak jati dapat mencapai lebih dari 50%. Hasil ini menunjukkan deposisi ekstrak jati pada kayu JCT cukup efektif mengurangi laju absorpsi air dalam periode rendaman satu jam pertama, setara dengan yang dialami oleh kayu jati tua. Dengan kata lain perlakuan impregnasi ekstrak jati mampu meningkatkan stabilitas dimensi kayu JCT. Perlakuan impregnasi dengan campuran ekstrak jati dan sirlak secara nyata berpengaruh terhadap sifat pengembangan kayu (Lampiran 2). Deposisi larutan campuran tersebut memberikan efek nyata terhadap pengurangan derajat pengembangan pada kedua jenis kayu relatif terhadap kontrolnya, baik pada arah radial maupun tangensial. Pengaruh deposisi campuran larutan tersebut juga lebih efektif dalam mengurangi derajat pengembangan kayu dibandingkan dengan perlakuan hanya dengan ekstrak jati. Perlakuan ini dapat memberikan nilai ASE hingga lebih dari 80% pada penggunaan campuran sirlak 8%. Efek perlakuan impregnasi campuran tersebut me-nunjukkan keragaman menurut konsentrasi sirlak, sebagaimana tampak pada Gambar 6, 7 dan 8. Pada periode rendaman satu jam pertama tampak bahwa nilai pengembangan pada kayu JCT dan karet secara konsisten mengalami penurunan dengan pertambahan konsentrasi sirlak.
290
Perlakuan impregnasi pada kayu JCT dan karet dengan penggunaan campuran ekstrak jati dan damar memberikan pengaruh nyata terhadap laju pengembangan contoh uji selama rendaman (Lampiran 2), sebagaimana tampak pada Gambar 9, 10 dan 11 dibandingkan dengan pengembangan pada contoh uji kontrol. Perlakuan ini memberikan pengaruh pada pola serupa dengan perlakuan ekstrak jati dan sirlak, di mana kemampuan untuk menahan laju pengembangan kayu mengalami penurunan dengan pertambahan waktu rendaman. Pengaruh perlakuan ini juga lebih efektif dalam menahan proses pengembangan pada kayu JCT daripada pengembangan kayu karet. Efektifitas perlakuan ini juga dipengaruhi oleh faktor konsentrasi damar yang digunakan. Secara umum nilai penahanan pengembangan ASE meningkat dengan pertambahan konsentrasi damar. Nilai ASE tertinggi (lebih dari 80%) dicapai pada perlakuan JCT dengan konsentrasi damar 8%. Perlakuan impregnasi dengan larutan campuran ekstrak jati dan resin (sirlak atau damar) menyebabkan perubahan warna yang lebih gelap kecoklatan mendekati warna kayu jati tua pada kedua jenis kayu dibandingkan dengan hanya perlakuan ekstrak jati murni. Di samping itu, deposisi ekstrak jati dan resin pada struktur kayu JCT dan karet menyebabkan permukaan kayu menjadi keras.
Impregnasi Ekstrak Jati dan Resin pada Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Karet (Efrida Basri & Jamal Balfas)
Gambar 6. Pengembangan pada perlakuan ekstrak jati dan sirlak 4% Figure 6.Swelling on the teak extract and 4% shellac treatment
Gambar 7. Pengembangan pada perlakuan ekstrak jati dan sirlak 6% Figure 7.Swelling on the teak extract and 6% shellactreatment
Gambar 8. Pengembanganpada perlakuan ekstrak jati dan sirlak 8% Figure 8.Swelling on the teak extract and 8% shellac treatment 291
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 283-296
Gambar 9. Pengembangan pada perlakuan ekstrak jati dan damar 4% Figure 9.Swelling on the teak extract and 4% damar treatment
Gambar 10. Pengembangan pada perlakuan ekstrak jati dan damar 6% Figure 10. Swelling on the teak extract and 6% damar treatment
Gambar 11. Pengembangan pada perlakuan ekstrak jati dan damar 8% Figure 11. Swelling on the teak extract and 8% damar treatment
292
Impregnasi Ekstrak Jati dan Resin pada Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Karet (Efrida Basri & Jamal Balfas)
IV. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ekstraksi serbuk gergajian jati dengan menggunakan pelarut metanol teknis menghasilkan ekstrak padatan (solid content) yang beragam dari 1 sampai dengan 4%, tergantung pada waktu ekstraksi dan kondisi serbuk. Serbuk yang lebih halus (200 mesh) dan lama waktu ekstraksi yang lebih lama (60 menit) menghasilkan ekstrak lebih banyak. Pengaruh impregnasi larutan ekstrak jati pada kayu JCT dan karet beragam menurut jenis kayu dan arah orientasi serat kayu. Kayu karet mengalami pertambahan berat akibat impregnasi lebih tinggi dibandingkan dengan kayu JCT. Deposisi ekstrak jati pada contoh uji radial lebih besar dibandingkan dengan contoh uji tangensial. Impregnasi kayu JCT dan karet dengan larutan ekstrak jati mampu menyempurnakan stabilitas dimensi pada kedua jenis kayu tersebut. Impregnasi dengan penambahan resin sirlak atau damar pada larutan ekstrak jati dapat meningkatkan stabilitas dimensi pada kedua jenis kayu tersebut yang beragam menurut konsentrasi resin. Larutan campuran ekstrak jati dengan resin pada konsentrasi yang lebih tinggi cenderung menghasilkan stabilitas dimensi yang lebih baik.
Balfas J. (2007). Perlakuan resin pada kayu kelapa (Cocos nucifera). Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 25 (2): 108-118. Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan. Basri E, Wahyudi I. 2013.Sifat dasar kayu jati plus Perhutani dari berbagai umur dan kaitannya dengan sifat dan kualitas pengeringan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 31 (2): 93102. Bogor: Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2007. Forest Products & Wood Science: An Introduction. Iowa State Press. Ames, Iowa. (5th Edition). 576 p. Cave ID, Walker JCF. (1994). Stiffness of wood in fast-grown plantation softwoods: The influence of microfibril angle. Forest Prod. Journal 44 (5): 43-48. Hill Callum A.S. (2006). Wood Modification: Chemical, Thermal and Other Processes . England: John Wiley & Sons Ltd. West Sussex. Pandey KK, Jayashree, Nagaveni HC. (2009). Study of dimensional stability, decay resistance, and light stability of phenylisothiocyanate modified rubberwood. Bioresources 4 (1): 257-267. Rowell RM. (2005). Handbook of Wood Chemistry and Wood Composites. Taylor and Francis Group. CRC Press.
293
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 283-296
Lampiran 1A. Analisis keragaman penambahan berat basah contoh uji Appendix 1A. Analysis of variances on wet weight gain of wood sample db (df)
Jumlah kuadrat (Sum of square)
Kuadrat tengah (Mean square)
F-hitung (F-calculated)
F-tabel (F-table)
Jenis (S)
1
3496
3496
95,66**
0,006
Penampang kayu (C)
1
8154
8154
223,116**
0,000
Perlakuan (T)
7
129758
18536,856
507,219**
0,000
Interaksi S * C Interaksi S * T
1 7
69 1671
69 238,714
1,886** 6,531**
0,201 0,100
Interaksi C * T
7
1269
181,285
4,960**
0,220
Interaksi S*C*T Galat
7 128
242 4678
34,571 36,546
0,946**
0,473
Sumber (Source of variances)
Keterangan (Remarks): db (df)= derajat bebas (degrees of freedom); S= species; C= cross section; T= treatment
294
Impregnasi Ekstrak Jati dan Resin pada Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Karet (Efrida Basri & Jamal Balfas)
Lampiran 1B. Analisis keragaman penambahan berat kering contoh uji Appendix 1B. Analysis of variances on dry weight gain of wood sample db (df)
Jumlah kuadrat (Sum of square)
Kuadrat tengah (Mean square)
F-hitung (F-calculated)
F-tabel (F-table)
Jenis (S)
1
19
19
7,976**
0,030
Penampang kayu (C)
1
68
68
28,547**
0,000
Perlakuan (T)
7
237
33,857
14,213**
0,000
Interaksi S * C
1
0,585
0,585
0,245
0,886
Interaksi S * T
7
2,7
0,386
0,162
0,490
Interaksi C * T
7
3,7
0,528
0,222
0,330
Interaksi S*C*T
7
2,6
0,371
0,155
0,360
128
305
2,382
Sumber
Galat
Keterangan (Remarks): db (df)= derajat bebas (degrees of freedom); S= species; C= cross section; T= treatment
295
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 283-296
Lampiran 2. Analisis keragaman pengembangan dimensi selama perendaman Appendix 2. Analysis of variances on dimentional swelling during soaking Sumber (Source of variances)
db (df)
5menit (minute)
10menit (minute)
F- hitung (F-calculated) 30menit 1jam (hour) (minute)
67,54sn
90,05 sn
1
56,41 sn
143,09sn
Penampang kayu (C)
1
328,53 sn
659,18
sn
724,50 sn
Perlakuan (T)
7
64,16 sn
129,06 sn
83,56 sn
66,68sn
27,08
sn
13,50sn
Interaksi S * C
1
10,36 sn
29,32
sn
22,09 sn
50,78 sn
54,31 sn
46,16 sn
Interaksi S * T
7
10,19 sn
48,88
sn
25,11 sn
13,70sn
21,86 sn
8,50 sn
Interaksi C * T
7
7,12 sn
11,95
sn
7,74sn
11,85sn
14,76 sn
10,48 sn
Interaksi S*C*T
7
4,37 sn
5,28
3,76sn
2,92sn
19,69 sn
4,77 sn
Galat
1,78tn
24jam (hour)
Jenis (S)
sn
7,92 sn
4jam (hour)
1027,00 sn 2835,24 sn
5650,75 sn
128
Keterangan (Remarks): db (df)= derajat bebas (degrees of freedom); S= species; C= cross section; T= treatment; sn = sangat nyata (very significant)
296
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 297-312 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
IDENTIFIKASI DAN KUALITAS SERAT LIMA JENIS KAYU ANDALAN SETEMPAT ASAL JAWA BARAT DAN BANTEN (Identification and Fibre Quality of Five Locally Potential Wood Species Originated from West Java and Banten) Sri Rulliaty Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610 Telp (0251) 8633378, Fax (0251) 8633413 Diterima 1 Oktober 2013, Disetujui 20 Nopember 2014
ABSTRACT General characteristics, anatomical properties and fiber quality of five locally potential wood species from West Java and Banten, have been examined for wood identification purposes. The main characteristics of those five wood species based on IAWA List of Microscopic Features for Hardwood Identifications were described in the following : Pisonia umbelliflora (Forst) Seem (ki cau) has heartwood dry straw colored to yellow pale in distinctly demarcated from its sapwood, rather hard, grain interlocked; vessels clustered, parenchyma vascicentric and in narrow band or lines up to three cells wide, rays exclusively uniseriate, fibres with simple to minutely bordered pits, crystals raphides type in procumbent ray cells present; Litsea monopetala Pers. (huru manuk) has heartwood white cream-colored indistinctly demarcated from sapwood, rather hard, grain straight, vessels exclusively solitary, parenchyma vascicentric, all ray cells procumbent and has oil cells associated with axial parenchyma; Buchanania arborescens Blume (ki renghas) heartwood white pinkish clearly differentiated from sapwood, hard, patterned on radial section, grain interlocked, vessels in radial multiples, parenchyma diffuse, rays larger commonly up to 6 seriate, prismatic crystals present in upright ray cells and chambered axial parenchyma cells; Crypteronia paniculata Blume (ki banen) heartwood brownish to yellow slightly deep brown, grain straight slightly interlocked sometime twisted, vessel diffuse, parenchyma diffuse in aggregate, rays 1-3 seriate, fibers thin to thick, prismatic crystal in procumbent cel; Ficus ampelas Burm. f. (ki hampelas) has heartwood white creamy pinkish colored clearly differentiated from the sapwood, grain straight slightly interlocked, vessel exclusively solitary, tyloses common, parenchyma banded 2-8 cells wide, rays larger commonly up to 5 seriate, sheath cells present, fibers with simple to minutely bordered pits. Fibre quality of those five woods could be classified into quality class I. Further stydy regarding their processing for pulp and paper is preferable. Keywords: Wood anatomy, fibre quality, five species, West Java, Banten ABSTRAK Ciri umum, struktur anatomi dan kualitas serat lima jenis kayu andalan setempat dari Jawa Barat dan Banten, telah diteliti untuk keperluan identifikasi kayu. Ciri utama dari kelima jenis kayu tersebut berdasarkan Daftar Ciri Makroskopik Kayu Daun Lebar IAWA adalah sebagai berikut: Pisonia umbellifera (Forst) Seem (ki cau) kayu teras putih jerami hingga kuning muda dan tidak dapat dibedakan dengan kayu gubal, arah serat berpadu dan kayunya agak lunak; pori umumnya bergerombol, dengan diameter yang agak kecil, parenkim vaskisentrik dan pita sempit, jari-jari seluruhnya soliter, jaringan serat dasar dengan ceruk sederhana sangat kecil, kristal bentuk rafid dalam sel jari-jari; Litsea monopetala Pers. (huru manuk) kayu teras putih krem, tidak dapat dibedakan dengan gubal, arah serat lurus dan agak keras, pori hampir seluruhnya soliter, parenkim vaskisentrik, jari-jari seluruhnya sel baring dan memiliki sel minyak yang bergabung dengan parenkima aksial; Buchanania arborescens Blume (ki renghas) kayu teras putih agak merah muda berbeda dengan kayu gubal, bercorak pada bidang radial, arah serat berpadu dan kayunya 297
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 297-312
keras, pori berganda radial, parenkim tersebar, jari-jari lebar, kristal dalam sel tegak jari-jari dan dalam parekim aksial berbilik; Crypteronia paniculata Blume (ki banen) kayu teras kecoklatan sampai kuning agak coklat tua, arah serat lurus, agak berpadu kadang terpilin, pori baur, parenkim tersebar dalam kelompok, jari-jari 1-3 seri, serat tipis sampai tebal, kristal prismatik dalam sel baring; Ficus ampelas Burm. f. (ki hampelas) kayu teras putih krem agak merah muda berbeda dengan kayu gubalnya, polos, arah serat lurus dan agak berpadu, pori hampir seluruhnya soliter, tilosis umum, parenkim pita 2-8 sel lebarnya, jari-jari lebar sampai 5 seri, terdapat sel seludang, jaringan serat dasar dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil. Kualitas serat kelima jenis kayu yang diteliti diklasifikasikan ke dalam kualitas I. Pencermatan lebih lanjut perlu untuk pemanfaatannya pada pengolahan pulp dan kertas. Kata kunci: Anatomi kayu, kualitas serat, lima jenis, Jawa Barat, Banten I. PENDAHULUAN
II. BAHAN DAN METODE
Penggunaan jenis kayu kurang dikenal (lesser known species) di Indonesia semakin banyak, terutama untuk kayu-kayu yang menjadi andalan secara lokal (kayu andalan setempat) dan memiliki kesamaan karakteristik tertentu yaitu baik ciri maupun sifatnya dengan kayu perdagangan. Jenis kayu kurang dikenal tersebut sangat banyak, dari sekitar 4.000 spesies tumbuhan yang berpotensi menghasilkan kayu di hutan Indonesia hanya 400 spesies yang telah dikenal dalam perdagangan dan memiliki nama dagang yang spesifik (Mandang dan Pandit, 2002). Sisanya termasuk ke dalam lesser known species dan the least known species karena belum diketahui sifat dasarnya dan perlu terus diupayakan untuk diteliti. Data hasil pengamatan sifat anatomi kayu tersebut digunakan untuk melengkapi database Xylarium Bogoriense 1915 Pusat Litbang Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan, agar semakin mudah dan cepat ketika digunakan untuk identifikasi kayu. Tulisan ini bertujuan untuk mempelajari struktur anatomi lima jenis kayu andalan Jawa Barat dan Banten serta mengevaluasi kemungkinan penggunaannya yang sesuai.
A. Lokasi Dua jenis kayu dikumpulkan dari kawasan hutan di Desa Sodong Hilir, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat dan 3 jenis berasal dari Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten (Tabel 1). Untuk keotentikan jenis secara ilmiah, dikumpulkan juga bagian-bagian pohon yaitu daun, bunga, dan buah masing-masing jenis kayu untuk diidentifikasi di Kelompok Peneliti Botani, Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor. Pengamatan struktur anatomi dan dimensi serat bagian kayu (xylem) kelima jenis kayu tersebut dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. B. Bahan dan Alat Lima jenis kayu yang telah diidentifikasi berdasarkan herbarium, nomor koleksinya dalam Xylarium Bogorensis 1915, disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Jenis kayu andalan setempat yang diteliti Table 1. Locally potential wood species as investigated No. koleksi (Collection number) 34.370
298
Nama lokal (Local names)
Nama ilmiah (Scientific names)
Suku (Family)
Asal (Sources)
Ki cau
Pisonia umbellifera (Forst) Seem
Nyctaginaceae
Jawa Barat
34.371
Huru manuk
Litsea monopétala Pers.
Lauraceae
Jawa Barat
34.372
Ki renghas
Buchanania arborescens Blume
Anacardiaceae
Banten
34.373
Ki banen
Crypteronia paniculata Blume
Crypteroniaceae
Banten
34.374
Ki hampelas
Ficus ampelas Burm. f
Moraceae
Banten
Identifikasi dan Kualitas Serat Lima Jenis Kayu Andalan Setempat asal Jawa Barat dan Banten (Sri Rulliaty)
Untuk keperluan percermatan bagian kayu kelima jenis tersebut masing-masing diwakili oleh satu batang pohon. Sampel uji berupa lempengan cakram (disk) dengan ketebalan 5 cm, diambil dari bagian pangkal, tengah, dan ujung dari bagian batang bebas cabang Bahan kimia yang digunakan antara lain alkohol (dengan konsentrasi 30%, 50%, 70%, 99%), etanol absolut, safranin, toluen, entelan, H2O2 35%, dan asam asetat glasial 60%. Peralatan yang digunakan adalah mikrotom geser, petri dish, gelas obyek, gelas penutup, cutter, loupe, mikroskop. C. Prosedur Kerja Contoh uji untuk preparat sayatan diambil dari bagian kayu teras pada lempengan yang berasal dari bagian pangkal batang. Bagian teras pada umumnya berwarna lebih gelap. Bila bagian teras dan gubalnya sama, maka contoh yang digunakan adalah contoh uji yang berada di tengah-tengah lintasan jari-jari kayu. Pengamatan struktur anatomi meliputi ciri umum atau makroskopis dan mikroskopis. Ciri umum diamati pada contoh kayu yang telah diketam (diserut) permukaannya meliputi warna, corak, tekstur, arah serat, kilap, kesan raba, kekerasan dan bau. Permukaan kayu kemudian difoto menggunakan mikroskop makro yang dilengkapi kamera, kemudian dicetak atau dapat langsung dipindai menggunakan pemindai (scanner). Penelitian struktur anatomi kayu (ciri mikroskopis) dilakukan tiga tahap: 1. pembuatan preparat sayatan yang mewakili 3 penampang (aksial, radial dan tangensial); 2. pengamatan dan pengukuran dan 3. pembuatan foto mikroskopis dari ketiga penampang tersebut. Contoh kayu yang akan dijadikan preparat dilunakkan terlebih dahulu, kemudian disayat meng gunakan mikrotom geser dengan ketebalan 18-25 mikron. Kemudian sayatan terpilih didehidrasi bertingkat dan diwarnai selama 4-6 jam, lalu kembali di dehidrasi bertingkat menggunakan alkohol 30%, 50%, 70%, 90%, dan etanol absolut masingmasing selama 5 menit, kemudian sayatan tersebut dibeningkan dengan cara merendamnya beberapa saat berturut-turut dalam karboxylol dan toluene. Sesudah itu sayatan direkat dengan entelan di atas gelas obyek kemudian ditutup dengan gelas
penutup dan siap untuk diamati mengacu pada prosedur kerja Sass (1961). Preparat maserasi dibuat dengan menggunakan metode Forest Products Laboratory (FPL) Madison (Rulliaty, 2013). Potongan kecil contoh uji sebesar batang korek api dimasukkan dalam tabung reaksi lalu ditambahkan larutan campuran dari hidogren peroksida 35% dan asam asetat glasial 60% dengan perbandingan 1 : 1, kemudian dipanaskan di dalam penangas air (waterbath) sampai lunak dan terpisah menjadi serat. Serat yang sudah terpisah dicuci bersih dengan air kran beberapa kali hingga bebas asam, lalu diwarnai dengan safranin. Serat yang sudah diwarnai dimuat dalam gelas obyek yang sudah ditetesi gliserin. Serat disebarkan merata lalu ditutup dengan gelas penutup, dan siap diukur. Panjang serat, diameter serat dan diameter lumen diukur menggunakan mikroskop dan filar mikrometer. Ciri anatomi kayu yang diamati mengikuti anjuran Komite International Association of Wood Anatomist (Wheeler et al., 1989), dengan masingmasing ciri diikuti oleh nomor kodefikasi IAWA. Ciri kuantitatif diamati 10-30 kali per contoh tergantung pada ragam ciri yang diamati: 1) diameter pembuluh, n = 25; 2) panjang serat n = 30; 3) diameter serat dan tebal dinding, masingmasing n = 15. Kualitas serat dinilai berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Rachman dan Siagian (1976). Kriteria tersebut melibatkan dimensi serat dan nilai turunan dimensi serat, dengan rumus sebagai berikut: 1. Bilangan Runkel = 2w/l 2. Daya tenun = L/d 3. Perbandingan fleksibilitas = l/d 4. Koefisien kekakuan = w/d 5. Perbandingan Muhlstep = (d2-l2) x 100 % d2. Dimana: L = Panjang serat d = Diameter serat l = Diameter lumen w = Tebal dinding
299
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 297-312
1. Pisonia umbellifera (Forst) Seem. Nyctaginaceae Nama daerah : ki cau Ciri umum Warna: kayu teras putih jerami hingga kuning muda, sulit dibedakan dari gubal yang berwarna sama atau berwarna lebih muda. Corak: polos. Tekstur: agak kasar dan tidak merata. Arah serat: berpadu. Kilap: kusam. Kesan raba: kesat. Kekerasan: agak lunak. Bau: tidak ada bau khusus. Ciri anatomi Lingkaran tumbuh: tidak jelas (ciri 2). Pembuluh: baur (ciri 5), bergabung sampai dengan 3, bergerombol sampai dengan 6 (ciri 11); diameter 168,64 ± 32,67 mikron (ciri 42) ada juga yang 2 50100 mikron (ciri 41); frekuensi per-mm sekitar 5 atau kurang (ciri 46); bidang perforasi sederhana (ciri 13); ceruk antar pembuluh selang-seling (ciri
22), ukurannya sedang > 7-10 mikron, (ciri 26); ceruk antar pembuluh dan jari-jari ada dua ciri, yakni dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30), dan dengan halaman sempit sampai sederhana, ceruk horisontal atau vertikal (ciri 32). Parenkim: aksial paratrakea vaskisentrik (ciri 79), parenkim pita sempit ≤ 3 lapis sel (ciri 86); panjang untai parenkim dua sel per-untai (ciri 91). Jari-jari: lebar jari-jari seluruhnya 1 seri (ciri 96), komposisi seluruhnya sel bujur sangkar atau tegak (ciri 105), frekuensi > 4-12 per mm (ciri 115). Serat: jaringan serat dasar dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil (ciri 61), serat tanpa sekat ditemui (ciri 66), panjang serat 945,98 ± 87,25 mikron (ciri 72), dinding serat umumnya tipis sampai tebal (ciri 69). Inklusi mineral: kristal bentuk rafid dijumpai (ciri 149) dalam sel parenkim. Gambar kayu dan struktur anatomi Pisonia umbellifera disajikan pada Gambar 1 a-b dan 2 a-c berikut:
(a)
(b)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Struktur anatomi dan identifikasi
Gambar 1. Penampang memanjang (a) dan melintang (b) (makroskopis) kayu Pisonia umbellifera, 10x Figure 1. Longitudinal (a) and transversal (b) section of Pisonia umbellifera in macroscopic feature, x10
300
Identifikasi dan Kualitas Serat Lima Jenis Kayu Andalan Setempat asal Jawa Barat dan Banten (Sri Rulliaty)
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Struktur mikroskopis kayu Pisonia umbellifera pada (a) penampang melintang (b) radial dan (c) tangensial Figure 2. Microscopic structures of Pisonia umbellifera in (a) transversal (b) radial and (c) tangential section 2. Litsea monopetala Pers. - Lauraceae Sinonim : Tetranthera monopetala Roxb., Litsea polyantha A.L. Juss, Tetranthera alnoides Miq. Nama daerah : huru manuk, huru koneng (Sunda), gempur (Jawa) Ciri umum Warna: kayu teras putih krem, sulit dibedakan dari gubalnya. Corak: polos, pada bidang tangensial beralur dengan warna lebih tua karena perbedaan kepadatan jaringan. Tekstur: agak halus dan merata. Arah serat: lurus. Kilap: agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: agak keras. Bau: bau khas pada waktu kayu masih segar. Ciri anatomi Lingkaran tumbuh: tidak jelas (ciri 2). Pembuluh: baur (ciri 5); pori soliter dan berganda sama banyak (ciri 10), ada beberapa ditemui berganda radial hingga tiga sel; outline pembuluh soliter bersudut (ciri 12); diameter 201,39 ± 40,71 mikron (ciri 43) seringkali ditemukan 100 - 200 mikron (ciri 42); frekuensi 5-20 buah/mm2 (ciri 47); bidang perforasi sederhana (ciri 13); ceruk
antar pembuluh selang-seling (ciri 22), dengan ukuran sedang > 7-10 mikron (ciri 26); ceruk antar pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30); dengan halaman yang sempit sampai sederhana; ceruk bundar atau bersudut (ciri 31), dan dengan halaman yang sempit sampai sederhana, ceruk horizontal atau vertikal (ciri 32). Parenkim: aksial paratrakea vaskisentrik (ciri 79) dan paratrakea sepihak (ciri 84); tipe sel parenkim aksial delapan (5-8) sel per untai (ciri 93). Jari-jari: 1-3 seri (ciri 97), paling sering dijumpai sampai dengan 4 sel; komposisi sel jari-jari seluruhnya sel baring (ciri 104) dengan 1 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal (ciri 106), frekuensi jari-jari >4-12 per mm (ciri 115). Serat: jaringan serat dasar dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil (ciri 61), panjang 1465,49 ± 200,04 mikron (ciri 72); dinding serat tipis sampai tebal (ciri 69), serat bersekat dijumpai (ciri 65), juga serat tanpa sekat (ciri 66). Ditemukan adanya sel minyak bergabung dengan parenkima aksial (ciri 125). Gambar kayu dan struktur anatomi Litsea monopetala disajikan pada Gambar 3-4 berikut:
301
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 297-312
(a)
(b)
Gambar 3. Penampang memanjang (a) dan melintang (b) makroskopis kayu Litsea monopetala, 10x Figure 3. Longitudinal (a) and transversal (b) section of Litsea monopetala in macroscopic feature, x10
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Struktur mikroskopis kayu Litsea monopetala pada (a) penampang melintang (b) radial dan (c) tangensial Figure 4. Microscopic structures of Litsea monopetala in (a) transversal (b) radial and (c) tangential section
302
Identifikasi dan Kualitas Serat Lima Jenis Kayu Andalan Setempat asal Jawa Barat dan Banten (Sri Rulliaty)
3. Buchanania arborescens Blume Anacardiaceae Sinonim: Buchanania florida Schauer, B. lucida Blume, B. platyphylla Merr. Nama daerah: ki renghas, popohan, getasan (Jawa), rawa-rawa pipit (Kalimantan) Ciri umum Warna: kayu berwarna putih agak merah muda dapat dibedakan dari bagian kayu gubalnya. Corak: bercorak pada bidang radial karena perbedaan kepadatan jaringan. Tekstur: agak halus dan tidak merata. Arah serat: berpadu. Kilap: agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: keras. Bau: tidak ada bau khusus. Ciri anatomi Lingkaran tumbuh: batas lingkar tumbuh tidak jelas (ciri 2). Pembuluh: baur (ciri 5); bergabung sampai dengan 8 sel (ciri 10); bidang perforasi sederhana (ciri 13); diameter berkisar antara 50100 mikron (ciri 41) dan 164,34 ± 28,65 mikron 2 (ciri 42); frekuensi pori 5 buah/mm atau kurang (ciri 46); ceruk antar pembuluh selang-seling dan
berukuran sedang (ciri 22 dan 26); ceruk antar pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang sempit sampai sederhana; ceruk bundar atau bersudut (ciri 31); dan dengan halaman yang sempit sampai sederhana; ceruk horisontal atau vertikal (ciri 32). Parenkim: aksial apotrakea tersebar (ciri 76); paratrakea jarang (ciri 78); panjang untai sel parenkim 8 (5-8) sel per-untai (ciri 93). Jari-jari: 1-3 seri (ciri 97), jari-jari lebar umumnya sampai 6 seri (ciri 98); komposisi sel jari-jari umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal (ciri 107). Serat: jaringan serat dasar dengan ceruk berhalaman sangat kecil (ciri 61); serat tanpa sekat dijumpai (ciri 66), panjang serat 1295,61 ± 99,04 mikron (ciri 72), dinding serat 2,06 ± 0,41 mikron, tipis sampai tebal (ciri 69). Saluran interselular: saluran radial. Inklusi mineral: kristal prismatik dijumpai (ciri 136), dalam sel tegak (ciri 137) dua ukuran kristal perbilik (ciri 155), dan dalam parenkim aksial berbilik (ciri 142). Gambar kayu dan struktur anatomi Buchanania arbor escens disajikan pada Gambar 5-6 berikut:
(a)
(b)
Gambar 5. Penampang memanjang (a) dan melintang (b) (makroskopis) kayu Buchanania arborescens, 10x Figure 5. Longitudinal (a) and Transversal (b) section of Buchanania arborescens in macroscopic feature, x10
303
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 297-312
Gambar 6. Struktur mikroskopis kayu Buchanania arborescens pada (a) penampang melintang (b) radial dan (c) tangensial) Figure 6. Microscopic structures of Buchanania arborescens in (a) transversal (b) radial and (c) tangential section 4. Crypteronia paniculata Blume Cryptoreniaceae Sinonim: Crypteronia leptostachys (Planch) Planch. Ex Endl., C. lutea (Blanco) Blume, C. walichii DC. Nama daerah: ki banen (Sunda), kayu celeng (Jawa), kayu kapas (Sumatera) Ciri umum Warna: kayu teras berwarna kecoklatan, kuning agak coklat tua, kayu gubal berwarna putih krem. Corak: polos. Tekstur: halus dan merata. Arah serat: berpadu. Kilap: mengkilap. Kesan raba: licin. Kekerasan: keras. Ciri anatomi Lingkaran tumbuh: batas lingkar tumbuh tidak jelas (ciri 2). Pembuluh: baur (ciri 5); umumnya berganda radial sampai dengan 2 sel; bidang perforasi sederhana (ciri 13); diameter 187,71 2 ± 34,50 mikron (ciri 42), frekuensi 5 buah/mm atau kurang (ciri 46); terdapat endapan warna merah (ciri 58). Ceruk antar pembuluh selangseling dan berukuran kecil (ciri 22 dan 25);
304
terdapat ceruk berumbai (ciri 29); percerukan pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30). Parenkim: aksial apotrakea tersebar dalam kelompok (ciri 77), empat (3-4) sel per untai (ciri 92). Jari-jari: lebar 1-3 sel (ciri 97) dan jari-jari besar umumnya sampai dengan 4 seri (ciri 98), lebar jari-jari multiseri sama dengan lebar jari-jari 1 seri (ciri 100), komposisi sel jari-jari dengan lebih dari 4 jalur sel tegak atau bujur sangkar marjinal (ciri 108), sel baring, sel bujur sangkar dan sel tegak bercampur (ciri 109). Serat: jaringan serat dasar dengan dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil (ciri 61), dengan ceruk berhalaman yang jelas (ciri 62), serat tanpa sekat ditemui (ciri 66); panjang serat 1301,74 ± 103,71 mikron (ciri 72), tebal dinding serat 2,07 ± 0,36 mikron, dinding serat sangat tipis sampai tipis (ciri 68) dan ada yang sampai tebal (ciri 69). Inklusi mineral: kristal prismatik dijumpai (ciri 136) dalam sel baring (ciri 138). Gambar kayu dan struktur anatomi Crypteronia paniculata disajikan pada Gambar 7-8 berikut:
Identifikasi dan Kualitas Serat Lima Jenis Kayu Andalan Setempat asal Jawa Barat dan Banten (Sri Rulliaty)
Gambar 7. Penampang memanjang (a) dan melintang (b) (makroskopis) kayu Crypteronia paniculata, 10x Figure 7. Longitudinal (a) and transversal (b) section of Crypteronia paniculata in macroscopic feature, x10
(a)
(b)
(c)
Gambar 8. Struktur mikroskopis kayu Crypteronia paniculata pada (a) penampang melintang (b) radial dan (c) tangensial Figure 8. Microscopic structures of Crypteronia paniculata in (a) transversal (b) radial and (c) tangential section
305
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 297-312
5. Ficus ampelas Burm f. Moraceae Sinonim: Ficus sorsogenensis King., F. kingiana Hemsley, F. blepharosepala Warb Nama daerah: ki hampelas Ciri umum Warna: kayu teras putih krem agak merah muda berbeda dari kayu gubal yg berwarna putih krem. Corak: polos. Tekstur: agak kasar dan tidak merata. Arah serat: lurus dan agak berpadu kadang terpilin. Kilap: agak kusam. Kesan raba: agak kesat. Kekerasan: agak keras. Ciri anatomi Lingkaran tumbuh: tidak jelas (ciri 2). Pembuluh : baur (ciri 5), hampir seluruhnya soliter (ciri 9) yang bergabung juga ada sampai dengan 3 sel, bidang perforasi sederhana (ciri 13); diameter 228,23 ± 46,64 mikron berkisar antara 100-200 μm (ciri 42), 2 frekuensi 5 buah/mm atau kurang (ciri 46); ceruk antar pembuluh selang seling (ciri 22), berukuran sedang > 7 - 10 mikron (ciri 26). Percerukan pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas,
serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30), serta dengan halaman yang sempit sampai sederhana, ceruk bundar atau bersudut (ciri 31). Tilosis umum (ciri 56). Parenkim: aksial apotrakea tersebar (ciri 76), parenkim pita > 3 lapis sel (ciri 85) yaitu sekitar 2-8 lapis sel. Panjang untai sel parenkim adalah delapan (5-8) sel peruntai (ciri 93) kadang 3-4 sel per untai (ciri 92). Jari-jari: lebar umumnya > 4-10 seri (ciri 98), 2 ukuran yang jelas (ciri 103); komposisi sel jari-jari seluruhnya sel baring (ciri 104) dengan 1 jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal (ciri 106), sel seludang dijumpai (ciri 110). Serat: jaringan serat dasar dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil (ciri 61), serat tanpa sekat (ciri 66). Panjang serat 1428,93 ± 149,77 mikron (ciri 72), tebal dinding serat 2,23 ± 0,39 mikron, dinding serat sangat tipis (ciri 68). Gambar kayu dan struktur anatomi Ficus ampelas disajikan pada Gambar 9-10 berikut:
(a)
(b)
Gambar 9. Penampang memanjang (a) dan melintang (b) (makroskopis) kayu Ficus ampelas, 10x Figure 9. Longitudinal (a) and Transversal (b) section of Ficus ampelas in macroscopic feature, x10
306
Identifikasi dan Kualitas Serat Lima Jenis Kayu Andalan Setempat asal Jawa Barat dan Banten (Sri Rulliaty)
(a)
(b)
(c)
Gambar 10. Struktur mikroskopis kayu Ficus ampelas pada (a) penampang melintang (b) radial dan (c) tangensialection) Figure 10. Microscopic structures of Ficus ampelas in (a) transversal (b) radial and (c) tangential section Berdasarkan ciri umum dan ciri anatomi maka kayu ki cau (no koleksi 34. 370), huru manuk (34.371), ki renghas (34.372), ki banen (34.373), dan ki hampelas (34.374) di identifikasi dengan nama botanis masing-masing Pisonia umbellifera, Litsea monopetala, Buchanania arborescens, Crypteronia paniculata, dan Ficus ampelas menurut Lemmens et al. (1995), Metcalfe dan Chalk (1950), Sossef at al. (1998), sama dengan hasil identifikasi herbarium sampai dengan tingkat marga. Rangkuman ciri umum dan ciri anatomi yang dapat digunakan sebagai kunci identifikasi disajikan pada Tabel 2. Penulisan ciri menggunakan kode dalam Daftar IAWA 1989 sesuai dengan format data base Xylarium Bogoriense 1915, untuk memudahkan dalam identifikasi menggunakan komputer sampai tingkat marga. Secara makroskopis kayu ki cau lebih mudah dibedakan dari jenis kayu lainnya, karena ki cau berwarna putih jerami hingga kuning paling, lunak kayunya, tidak padat dan banyak berongga. Jenis kayu lainnya umumnya berwarna putih kecuali kayu ki renghas yang terasnya agak merah muda, dan kayu ki banen yang kuning agak kecoklatan. Jenis kayu yang bercorak hanya kayu ki renghas (pada bidang tangensial) dan huru manuk (pada
bidang radial). Tekstur kayu agak kasar dijumpai pada kayu ki cau dan ki hampelas, sementara jenis kayu huru manuk, ki renghas dan ki banen memiliki tekstur agak halus. Arah serat lurus hanya dijumpai pada kayu huru manuk, pada empat jenis kayu lainnya mempunyai arah serat yang berpadu atau kadang terpilin seperti pada kayu ki hampelas. Secara mikroskopis umumnya jenis kayu ki cau menonjol karena memiliki pori yang bergerombol, sedangkan pada huru manuk dan ki hampelas, kadang hampir seluruhnya soliter sementara ki renghas dan ki banen berganda radial. Parenkim pada kayu ki cau dan ki hampelas adalah parenkim pita, lebarnya yang berbeda pada kayu ki hampelas bisa lebih lebar 2-8 sel lebarnya. Sedangkan pada kayu ki cau dan huru kacang terdapat parenkim vasisentrik dan tersebar dalam kelompok pada kayu ki banen. Sel minyak pada kayu huru manuk seperti anggota marga Lauraceae lainnya tampak jelas bergabung dengan parenkim aksial. Ki renghas memiliki ciri khas dengan adanya kristal prismatik, demikian pula dengan ki banen, keduanya dibedakan dengan adanya saluran interselular radial pada kayu ki renghas.
307
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 297-312
Tabel 2. Daftar ciri makroskopis dan mikroskopis kayu Table 2. List of macroscopic and microscopics wood features No kayu (Collection number) Nama daerah (Local names)
34. 370
34.371
34.372
34.373
34.374
Ki cau
Huru manuk
Ki renghas
Ki banen
Ki hampelas
Ciri (Characteristics) Ciri umum (General characteristics)
Lingkar tumbuh (Growth rings) Pembuluh (Vessels)
Kodifikasi sesuai IAWA List, 1989 (Codification according IAWA List, 1989) Warna: kayu teras putih jerami hingga kuning muda, susah dibedakan dari gubalnya. Corak : polos. Tekstur: agak kasar dan tidak merata. Arah serat : berpadu. Kilap : kusam. Kesan raba: kesat. Kekerasan: agak lunak. Bau: tidak ada bau khusus
Warna: kayu teras putih krem, susah dibedakan dari gubalnya Corak: polos, pada bidang tangensial beralur dengan warna lebih tua Tekstur: agak halus dan merata. Arah serat: lurus. Kilap: agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: agak keras. Bau: bau khas waktu kayu masih segar.
Warna: kayu putih agak merah muda dapat dibedakan dari bagian kayu gubalnya Corak: bercorak pada bidang radial. Tekstur: agak halus dan tidak merata. Arah serat: berpadu. Kilap: agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: keras. Bau: tidak ada bau khusus
Warna: kayu teras kecoklatan, kuning agak coklat tua, kayu gubal putih krem Corak: polos. Tekstur: halus dan merata. Arah serat: berpadu. Kilap: mengkilap. Kesan raba: licin. Kekerasan: keras. Bau: tidak ada bau khusus.
Warna: kayu teras putih krem agak merah muda, kayu gubal yg putih krem. Corak: polos. Tekstur: agak kasar dan tidak merata. Arah serat: lurus dan agak berpadu kadang terpilin. Kilap: agak kusam. Kesan raba: agak kesat Kekerasan: agak keras. Bau:Tidak ditemukan bau khas.
2
2
2
2
2
5, 11, 13, 22,
5, 10, 12, 22, 26,
5, 10, 13, 22, 26,
5, 13, 22, 25, 29,
5, 9, 13, 22, 26,
26, 30, 32, 41,
30, 31, 32, 42, 47
31, 32, 41, 42
30, 42, 46
30, 31, 42, 56
79, 86, 91, 96
79, 84, 93
76, 78, 93
77, 92
76, 85, 92, 93
96,105, 115
98, 104, 106, 115
97, 98, 107
97, 98, 100, 108,
98, 103,
109
106, 110
61, 62, 66, 68,
61, 65, 68, 72
42, 46 Parenkim (Parenchyma) Jari-jari (Rays) Serat (Fibers)
61, 66, 69, 72
61, 65, 66, 69, 72
61, 66, 69, 72
69, 72 Ciri lain (Others characteristics)
308
149
125
136, 137, 142, 155
136, 138
-
104,
Identifikasi dan Kualitas Serat Lima Jenis Kayu Andalan Setempat asal Jawa Barat dan Banten (Sri Rulliaty)
Tabel 3. Daftar ciri mikroskopis kayu yang belum termasuk dalam PROSEA 5(3) Table 3. List of Wood Microscopic Characteristics not included yet in the Prosea 5(3) No kayu (Collection number) Nama daerah (Local names)
34. 370
34.371
34.372
34.373
34.374
Ki cau
Huru manuk
Ki renghas
Ki banen
Ki hampelas
Ciri (Characteristics) Lingkar tumbuh (Growth rings) Pembuluh (Vessels)
Kodifikasi sesuai IAWA List, 1989 (Codification according IAWA List, 1989) 2 5, 11, 13, 22,
10, 12, 30, 46
10, 41, 42
46
9
26, 30, 32, 41, 42, 46
Parenkim (Parenchyma) Jari-jari (Rays)
79, 86, 91, 96
84
96,105, 115
115
Serat (Fibers)
61, 66, 69, 72
66, 72
72
68, 72
149
125
142, 155
136, 138
Ciri lain (Others characteristics)
76, 78
76 98, 10 0, 108,
104,
109
Ciri-ciri tersebut sesuai dengan uraian dalam Lemmens et al. (1995) atau Sossef et al. (1998). Beberapa ciri mikroskopis yang ditemukan belum termasuk dalam ciri yang tercantum dalam Lemmens et al. (1995) atau Sossef et al. (1998), akan tetapi ciri tersebut sesuai dengan Metcalfe dan Chalk (1950). Ciri untuk kayu ki cau belum termasuk dalam Sossef et al. (1989), karena ki cau merupakan jenis kayu the least known species, sedangkan jenis kayu ki banen sedikit sekali uraian anatominya dalam Metcafe dan Chalk (1950). Dari hasil pengamatan di atas maka dapat dibuat kunci identifikasinya untuk membedakan kelima jenis kayu tersebut, sebagai berikut: 1a. Warna kayu teras putih jerami, putih krem dan tidak dapat dibedakan dari kayu gubalnya ..... 2 1b. Warna kayu teras berwarna putih agak merah muda, atau kuning agak coklat, atau kecoklatan dan dapat dibedakan dari kayu gubalnya ........................................................... 3
65, 72 -
2a. Kekerasan kayu agak lunak, parenkim pita sempit, dan jari-jari seluruhnya satu seri ................................................................... ki cau 2b. Kekerasan kayu agak keras, parenkim aksial paratrakea vascisentrik, jari-jari 1-3 seri, sel minyak bergabung dengan parenkim aksial .............................................. huru manuk 3a. Tidak memiliki inklusi material kristal prismatik, parenkim pita > 3 lapis sel, jari-jari lebar > 4-10 seri ............................. ki hampelas 3b. Memiliki inklusi material kristal prismatik, parenkim bukan pita, jari-jari tidak lebar................................................................... 4 4a. Kristal prismatik dalam sel baring, parenkim aksial apotrakea tersebar dalam kelompok............................................. ki banen 4b. Kristal prismatik dalam sel tegak, dan parenkim aksial berbilik, parenkim aksial apotrakea tersebar, paratrakea jarang, dan memiliki saluran interselular radial.................................................. ki renghas
309
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 297-312
B. Kualitas Serat Hasil pengukuran dan perhitungan dimensi serat disajikan dalam Tabel 4. Diantara kelima jenis kayu yang diteliti kayu huru manuk memiliki
ukuran serat terpanjang, diameter lumen terbesar dan paling tebal dinding seratnya. Serat terpendek dengan diameter lumen terbesar dijumpai pada kayu ki cau.
Tabel 4. Rata-rata dimensi serat 5 jenis kayu Table 4. Averages fiber dimensions of five examined wood species Diameter (Diameter), Mikron (micron)
Diameter Lumen (Lumen diameter), Mikron (micron)
Tebal dinding (w) (Cellwall thickness), Mikron (micron)
Nama lokal (Local names)
Jenis kayu (Wood species)
Panjang (Length,) Mikron (micron)
Ki cau
Pisonia umbellifera (Forst) Seem
945,98 ±87,25
46,91±5,66
25,29±3,64
2,09±0,42
Huru manuk
Litsea monopetala Pers.
1465,49±200,04
36,22±4,33
31,60±3,86
2,36±0,47
Ki renghas
Buchanania arborescens Blume
1295,61±99,04
28,89±3,19
24,73±3,32
2,06±0,41
Ki banen
Crypteronia paniculata Blume
1301,74±103,71
30,35±3,16
26,21±3,13
2,07±0,36
Ki hampelas
Ficus ampelas Burm. f
1428,93±149,77
34,68±3,17
30,21±2,79
2,23±0,39
Tabel 5. Nilai turunan dimensi dan kualitas serat Table 5. Derived values of fiber dimensions and qualities Jenis kayu (Wood species) Ki cau Huru manuk Ki renghas Ki banen Ki hampelas
Panjang serat (Fiber length), mikron 945,98 (25) 1465,49 (50) 1295,61 (50) 1301,74 (50) 1428,93 (50)
Bilangan runkel (Runkel ratio)
Daya tenun (Felting point)
Perbandingan fleksibilitas (Flexibility ratio)
Koefisien kekakuan (Coofesien of rigidity )
Perbandingan muhlsteph (Muhlsteph ratio)
Total skor (Total score)
0,14 (100)
20,38 (25)
0,88 (100)
0,06 (100)
23,32 (100)
450
0,15 (100)
40,40 (25)
0,87 (100)
0,07 (100)
24,28 (100)
475
I
0,17 (100)
45,95 (25)
0,86 (100)
0,07 (100)
26,70 (100)
475
I
0,16 (100)
42,84 (25)
0,86 (100)
0,07 (100)
25,51 (100)
475
I
0,15 (100)
41,32 (25)
0,87 (100)
0,06 (100)
24,04 (100)
475
I
Keterangan : Angka dalam kurung adalah nilai turunan dimensi serat Remarks: Number in parentheses is the value derived fiber dimensions
310
Kelas kualitas (Quality class) I
Identifikasi dan Kualitas Serat Lima Jenis Kayu Andalan Setempat asal Jawa Barat dan Banten (Sri Rulliaty)
Hasil perhitungan nilai turunan dimensi serat, disajikan dalam Tabel 5. Berdasarkan perhitungan dapat diketahui bahwa kualitas serat kelima jenis kayu sebagai bahan baku kertas termasuk dalam kelas I, dimana ki cau memiliki total skor paling rendah sementar empat jenis kayu lainnya memiliki total skor yang sama. Menurut Rachman dan Siagian (1976) kelas kualitas I adalah jenis kayu yang ringan dengan dinding serat sangat tipis dan lumen lebar. Dalam pembuatan pulp, serat akan memipih seluruhnya dengan ikatan antar serat dan tenunannya sangat kuat, sehingga lembaran pulp yang dihasilkan memiliki keteguhan sobek, pecah dan tarik yang tinggi. Hal tersebut memerlukan pencermatan lebih lanjut, karena sifat pulp/kertas juga dipengaruhi sifat dasar lain (berat jenis dan komposisi kimia) dan kondisi pengolahan pulp. IV. KESIMPULAN Secara makroskopis kayu ki cau lebih mudah dibedakan dari jenis kayu lainnya, karena ki cau mempunyai jaringan sangat lunak dan tidak padat. Jenis kayu lainnya umumnya berwarna putih kecuali kayu huru manuk yang berwarna agak merah muda, dan kayu ki banen yang berwarna agak kecoklatan. Secara mikroskopis jenis kayu ki cau menonjol pada parenkim pitanya, jenis ini termasuk jenis kayu the least known spesies, demikian pula dengan ki hampelas seperti marga Ficus pada umumnya, tampak jelas parenkim pita. Sedangkan huru manuk seperti anggota suku Lauraceae lainnya memiliki ciri khas adanya sel minyak. Ki renghas memiliki ciri khas dengan adanya kristal prismatik, demikian pula dengan ki banen, keduanya dibedakan dengan adanya saluran interselular radial pada ki renghas. Kedua ciri yaitu makroskopis (umum) dan mikroskopis (anatomi) merupakan ciri yang digunakan dalam kunci identifikasi lima jenis kayu asal Jawa Barat dan Banten. Jenis kayu tersebut memiliki serat yang termasuk dalam kualitas serat kelas I, terutama kayu huru manuk yang memiliki serat terpanjang diantara jenis kayu yang diteliti, tapi secara umum belum tergolong ke dalam kayu yg memiliki serat panjang.
SARAN Perlu diteliti lebih lanjut sifat pulp dan kertasnya, apabila baik maka dapat direkomendasikan untuk dibudidayakan dalam skala yang lebih luas.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Usep Sudarji yang telah membantu pembuatan preparat sayatan, dan Ibu Tutiana yang telah menyiapkan preparat maserasi serta melakukan pengukuran dimensi serat. DAFTAR PUSTAKA Lemmens R. H. M. J., Soerianegara, I. dan Wong, W.C. (1995). Plant resources of South East Asia, 5(2), Minor Commercial Timbers. Bogor: PROSEA Indonesia. 306-435. Mandang, Y. I. & Pandit, I. K. (2002). Pedoman identifikasi jenis kayu di lapangan. Bogor: Yayasan Prosea, Bogor dan Pusat Diklat Pegawai SDM Kehutanan, 194 hal. Metcalfe, C.R. & Chalk, L. (1950). Anatomy of the dicotyledons. Vol I dan II, Oxford: The Clarendon Press. Rachman, A. N. & Siagian, R. M. (1976). Dimensi serat jenis kayu Indonesia. Laporan No.75. Bogor: Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Rulliaty, S. (2013). Struktur anatomi dan kualitas serat lima jenis kayu andalan setempat asal Carita Banten. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(4):283 - 294. Sass, J. E. (1961). Botanical Microtehnique. New York: The IOWA State University Press. Sossef, M. S. M., Hong, L.T. & Prawirohatmodjo, S. (1998). Plant Resources of South East Asia, 5(3), 220-223 dan 597-599. Timber trees: Lesser-known timbers. Bogor: PROSEA Indonesia.
311
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 297-312
Wheeler, E. A., Baas, P. & Gasson, E. (1989). IAWA list of microscopic features for
312
hardwood identification. IAWA Bulletin. N.s,. 10(3), 219-332.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 313-328 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
PENGARUH ARANG DAN CUKA KAYU TERHADAP PENINGKATAN PERTUMBUHAN DAN SIMPANAN KARBON (The Effects of Charcoal and Wood Vinegar to Growth Increase and Carbon Store) Sri Komarayati1, Gusmailina1 & Gustan Pari1 Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16610, Telp./Fax. : (0251) 8633378 / 8633413 email :
[email protected];
[email protected] ;
[email protected] Diterima 20 Januari 2014, Disetujui 19 Desember 2014
ABSTRACT The research aimed to look into the growth responses of sengon, jabon, and agarwood seedlings; and to examine the carbon (C), nitrogen (N), phosphor (P), and potash (K) contents in soil as well as in the biomass portions of those three plant species (i.e. their leaves, stems, and roots) after being added with charcoal and wood vinegar. It also intended to explore the potency of carbon store in such plant-biomass portions. The charcoal addition was conducted by mixing it with soil evenly and homogenously, while wood-vinegar incorporation proceeded by spraying it onto the soil. For taking care of the plants, the wood vinegar was sprayed periodically to their stems, twigs, and leaves. Results revealed that the growth of sengon seedlings achieved the greatest in height (156.33 cm) and in diameter (20.08 mm), attributed to the addition of wood vinegar (2%) and charcoal (10%). For jabon seedlings, the greatest growth in height (89.17 cm) and in diameter (19.22 mm) occurred due to addition of wood vinegar (4%) and charcoal (20%). For agarwood seedlings, the greatest growth height (72.20 cm) and in diameter (18.29 mm). Besides, the addition of charcoal and wood vinegar could not also bring about the increase in consecutively nutrient contents (e.g. C, N, P. and K), biomass weight, and carbon store, which varied in the leaves, stems, and roots, in accordance to the percentages/ dosages of those two agents as added. Keywords: Charcoal, wood vinegar, seedlings, nutrients, soil ABSTRAK Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui respon pertumbuhan anakan sengon, jabon dan gaharu, serta kandungan karbon, nitrogen, fosfor dan kalium dalam tanah dan dalam biomasa tanaman setelah diberi arang dan cuka kayu. Aplikasi arang dilakukan dengan cara menambahkan arang secara merata pada lobang tanaman, sedangkan cuka kayu disiramkan pada tanah. Untuk pemeliharaan tanaman, cuka kayu disemprotkan pada batang, tangkai dan daun tanaman. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pertumbuhan anakan sengon terbaik yaitu pada perlakuan penambahan arang 10% dan cuka kayu 2%, masing-masing dengan tinggi 156,33 cm dan diameter 20,08 mm. Untuk pertumbuhan anakan jabon terbaik yaitu pada perlakuan penambahan 30% arang, masing-masing dengan tinggi 89,17 cm dan diameter 19,22 mm. Untuk pertumbuhan anakan pohon penghasil gaharu yang terbaik yaitu pada perlakuan penambahan 20% arang dan cuka kayu 4%, masing-masing dengan tinggi 72,20 cm dan diameter batang 18,29 mm. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penambahan arang dan cuka kayu tidak selalu dapat meningkatkan kandungan unsur hara tanah seperti C, N, P dan K, biomas tanaman serta simpanan karbon dengan berbagai variasi sesuai perlakuan. Kata kunci: Arang, cuka kayu, anakan, hara, tanah.
313
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 313-328
I. PENDAHULUAN
II. BAHAN DAN METODE
Salah satu tujuan Konferensi Biochar/arang Asia Pasifik tahun 2009 adalah membahas keunggulan arang dalam bidang lingkungan yang berkaitan dengan mitigasi gas rumah kaca CO2, CH4 dan N2O. Arang dalam tanah berdampak positif terhadap pertumbuhan tanaman karena banyak menyerap CO2 dibanding tanpa arang. Selain itu arang mempunyai kemampuan mengikat CO2, CH4 dan N2O di dalam tanah akibat adanya proses dekomposisi oleh mikroba tanah, sehingga emisi tidak lepas ke udara. Konferensi juga membahas kegunaan arang di bidang pertanian dan kehutanan, dalam kaitannya dengan peningkatan pertumbuhan tanaman (Pari, 2009). Menurut Steiner et al., (2007) dalam Widowati et al., (2012), arang berbeda dengan bahan organik lainnya sebagai pembenah tanah. Arang memiliki sifat rekalsitran, lebih tahan terhadap oksidasi dan lebih stabil dalam tanah sehingga mempunyai pengaruh jangka panjang terhadap perbaikan kualitas kesuburan tanah. Hasil penelitian Gani (2009), menunjukkan bahwa aplikasi arang ke tanah akan meningkatkan ketersediaan kation utama dan fosfor (P), total nitrogen (N total) dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah. Selain arang, ada juga bahan organik lainnya yang dapat memperbaiki kualitas tanah, yaitu cuka kayu. Cuka kayu atau asap cair merupakan cairan warna kuning kecoklatan/coklat kehitaman yang diperoleh dari hasil samping pembuatan arang (Komarayati et al., 2011 dan Nurhayati, 2007). Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa arang dan cuka kayu dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter sengon dan jabon, serapan karbon dan kalium dalam tanah (Komarayati et al., 2013). Hasil penelitian ini menjelaskan tentang respon pertumbuhan anakan sengon, jabon dan pohon penghasil gaharu sebagai akibat penambahan arang dan cuka kayu. Selain itu disajikan juga dampak penambahan arang dan cuka kayu terhadap kandungan karbon, nitrogen, fosfor dan kalium dalam tanah, biomasa tanaman (daun, batang dan akar) serta simpanan karbon.
A. Bahan dan Alat
314
Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu arang serbuk gergaji dari limbah kayu campuran dan cuka kayu dari limbah kayu mindi. Bibit yang digunakan adalah sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen), jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) dan pohon penghasil gaharu (Aquilaria microcarpa Baill.) Peralatan yang digunakan antara lain yaitu alat pengukur tinggi, alat pengukur diameter, timbangan, selang plastik untuk menyiram, ajir dan label. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kebun Penelitian Pasir Hantap, Sukabumi, selama 6 bulan. C. Prosedur Penelitian 1. Persiapan Sebelum dilakukan penanaman, pertama-tama dilakukan pengolahan tanah yang meliputi: pembersihan lahan, pengukuran jarak tanam 3 x 3 m, pembuatan lubang tanam 30 x 30 x 30 cm dan pemasangan ajir. 2. Penanaman Penanaman anakan sengon, jabon dan pohon penghasil gaharu pada lubang yang telah disiapkan. Penambahan arang pada lubang tanam disesuaikan dengan perlakuan yaitu 10%, 20%, 30% dari volume tanah. Arang diberikan hanya satu kali pada saat penanaman. Selanjutnya penambahan cuka kayu, disesuaikan dengan perlakuan yang diberikan. Mula - mula cuka kayu diencerkan dengan air sesuai perlakuan konsentrasi yaitu 1%, 2%, 3% dan 4%. Selanjutnya cuka kayu sebanyak 1 liter disiramkan pada tanah yang telah ditanami anakan. Penyiraman cuka kayu pada lubang tanam dilakukan 1 minggu sekali sampai dengan penelitian berakhir. Untuk mencegah serangan hama penyakit cuka kayu dengan konsentrasi 2% seminggu sekali disemprotkan pada semua bagian tanaman (batang, ranting dan daun), termasuk tanaman yang diberi perlakuan arang. Selama enam bulan penelitian, penyiraman dilakukan dua kali dalam seminggu karena pada saat penanaman tidak turun hujan.
Pengaruh Arang dan Cuka Kayu terhadap Peningkatan Pertumbuhan dan Simpanan Karbon (Sri Komarayati, Gusmailina & Gustan Pari)
3. Pengukuran dan pengamatan Respon yang diamati yaitu pertumbuhan tinggi dan diameter batang tanaman; kandungan karbon yang terdapat dalam tanah/media tumbuh; dan kandungan karbon dalam biomasa tanaman. Pertambahan tinggi dan diameter batang diperoleh dari hasil selisih pengukuran tinggi dan diameter awal tanam dengan pengukuran akhir pengamatan. Pengukuran simpanan karbon dalam biomass (daun, batang dan akar) menggunakan metode Brown (Adiriono, 2009). Penetapan kadar C organik dilakukan dengan metode oksidasi basah asam khronik Walkey dan Black, N total dengan metode Kjeldahl meliputi tahap destruksi, destilasi dan titrasi, P total, K total, ditetapkan mengikuti prosedur pengujian Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, IPB. Untuk mengetahui komponen senyawa organik cuka kayu dilakukan pengujian dengan menggunakan Pyrolisis Spektrofotometri Massa Khromatografi Gas (PyGCMS). Pengujian dilakukan di Laboratorium Proksimat Terpadu, Pustekolah, Bogor. D. Analisis Data Perlakuan yang digunakan pada aplikasi arang dan cuka kayu terhadap tanaman terdiri dari : Bo = kontrol/ tanpa arang atau cuka kayu, B1 = arang 10%, B2 = arang 20%, B3 = arang 30%, B4 = cuka kayu 1%, B5 = cuka kayu 2%, B6 = cuka kayu3%, B7= cuka kayu 4%. Ulangan dilakukan 9 kali. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap. Model : Yij = μ+ αi + €ij Yij = hasil pengamatan pada perlakuan ke i dan bilangan ke j μ = nilai tengah αi = pengaruh perlakuan ke i/ i = 1,2,3, ........ 8 €ij = pengaruh acak pada perlakuan ke i (i = 1,2,3 ....... 8) dan ulangan ke j (j = 1,2,3 .....8 Sebagai peragam adalah tinggi awal dan diameter awal. Untuk mengetahui adanya perbedaan pengaruh antar perlakuan, dilakukan uji jarak beda nyata dan uji t (Steel dan Torrie, 1991). Untuk data kandungan C, N, P, K hasil pengujian dalam tanah dan dalam biomass (batang, daun dan akar), kandungan total karbon dalam biomas dianalisa secara deskriptif, kemudian masing-masing perlakuan dibandingkan dengan kontrol.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sengon (Paraserianthes falcataria) Berdasarkan hasil uji t (Tabel 1) pemberian arang dan cuka kayu pada anakan sengon berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter. Sebagai contoh pada penambahan tinggi, perlakuan B5 berbeda dengan B3, B4 dan B7. Pemberian cuka kayu 2% menghasilkan ratarata pertambahan tinggi anakan sengon tertinggi (156,33 cm) dan terendah dengan cuka kayu 4% (75,68 cm). Sedangkan tanpa perlakuan (arang dan cuka kayu) menghasilkan rata-rata pertambahan diameter tertinggi (20,08 cm) dan terendah pemberian cuka kayu 4% (7,63 cm)s. Kandungan C dalam tanah tertinggi 2,15% yang diberi arang 20%, terendah 1,20% setelah diberi cuka kayu 1%. Tanah yang diberi arang, kandungan C organiknya lebih tinggi dibanding tanpa arang dan lebih tahan karena arang mempunyai struktur C aromatik yang lebih tahan terhadap dekomposisi (Lehman et al., 2006). Kandungan N tertinggi 0,22% setelah diberi arang 20%, dan terendah 0,12% setelah diberi cuka kayu 1%. Selanjutnya kandungan P tertinggi 8,00 ppm terjadi pada perlakuan penambahan arang 30%, yang terendah 5,70 ppm terjadi pada tanah yang tidak diberi arang maupun cuka kayu. Kandungan K tertinggi 0,52 me/100 g setelah diberi arang 10%, sedangkan terendah 0,11 me/100 g terjadi pada perlakuan penambahan cuka kayu 2%. Kandungan C, N, P dan K meningkat setelah diberi arang, hal ini terjadi karena aplikasi arang sebagai pembenah tanah berkontribusi terhadap pembenahan sifat fisika kimia tanah (Sukartono dan Utomo, 2012). Dari Tabel 3 dapat diketahui kandungan C organik tertinggi dalam daun sengon 56,64% dengan penambahan arang 20% dan yang terendah dengan penambahan cuka kayu 3% yaitu sebesar 56,05%. Kandungan N total pada penambahan arang 30% tertinggi dibanding perlakuan lainnya. Kandungan P tertinggi pada penambahan cuka kayu 4%, dan kandungan K tertinggi ada pada penambahan arang 30%. Pada batang, penambahan cuka kayu 4%, kandungan N tertinggi (1,08%) dibanding perlakuan lainnya. Sedangkan kandungan K tertinggi pada penambahan arang 10% dan cuka kayu 4% 315
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 313-328
masing-masing 0,47%. Pada akar C organik tertinggi (54,33%), N total (0,94%), P (0,09%) dan
K (0,45%) pada penambahan arang 10%, cuka kayu 2%, cuka kayu 1% dan cuka kayu 4%.
Tabel 1. Hasil uji t terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter anakan sengon Table 1. t test on height and diameter growth of sengon seedlings Rataan pertambahan tinggi (cm) (Average increase of height)
Parameter (Parameter) Komposisi (Composition) B5 B0 B6 B3 B1 B2 B4 B7
Komposisi (Composition) B0 B1 B5 B3 B6 B2 B4 B 7
Uji t (t test)
156,33 140,70 133,96 113,22 98,02 96,24 81,97 75,68
a ab ab b bc bc c c
Rataan pertambahan diameter (cm) (Average increase of diameter)
Uji t (t test)
20,08 18,27 15,30 12,18 11,56 11,02 9,58 7,63
a ab b bc bc bc c d
Keterangan (Remarks) : Bo : kontrol (control); B1 : arang 10% (10% charcoal); B2 : arang 20% (20% charcoal); B3: arang 30% (30% charcoal); B4: cuka kayu 1% (1% wood vinegar); B5: cuka kayu 2% (2% wood vinegar); B6: cuka kayu 3% (3% wood vinegar); B7: cuka kayu 4% (4% wood vinegar). Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata (Figures followed By the same letters are not significantly different a > b > c> d)
Tabel 2. Pengaruh penambahan arang dan cuka kayu pada penanaman sengon terhadap kandungan C, N, P dan K tanah Table 2. The influence of biochar and wood vinegar addition on C, N, P, K soil content at sengon plantation N0. 1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan (Treatment) B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
C org,% 2,07 1,67 2,15 1,75 1,20 1,51 2,00 2,00
Kandungan (Content) N total,% P ppm 0,19 5,70 0,17 6,20 0,22 6,80 0,17 8,00 0,12 6,00 0,15 6,20 0,19 7,30 0,18 8,00
K, me/100g 0,29 0,52 0,10 0,44 0,12 0,11 0,13 0,16
Keterangan (Remarks) : Bo: kontrol(control); B1 : arang 10% (10% charcoal); B2: arang 20% (20% charcoal); B3: arang 30% (30% charcoal); B4: cuka kayu 1% kayu 3% (3% wood vinegar); B7: cuka kayu 4% (4% wood vinegar)
316
Pengaruh Arang dan Cuka Kayu terhadap Peningkatan Pertumbuhan dan Simpanan Karbon (Sri Komarayati, Gusmailina & Gustan Pari)
Tabel 3. Kandungan C, N, P dan K dalam biomas sengon Table 3. C, N, P and K content in sengon biomass No.
Perlakuan (Treatment)
C organik %
N total %
Sengon
P %
K %
A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Daun (Leaf) B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
56,37 56,07 56,64 56,48 56,13 56,37 56,05 56,30
1,95 2,05 2,02 2,96 2,23 2,19 2,65 2,54
0,06 0,08 0,08 0,09 0,10 0,10 0,11 0,12
0,40 0,74 0,63 0,84 0,65 0,40 0,40 0,30
B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Batang (Stem) B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
55,68 54,85 55,04 54,95 54,56 54,38 54,42 55,34
0,63 0,63 0,66 0,84 0,87 1,04 1,04 1,08
0,07 0,10 0,11 0,12 0,11 0,12 0,12 0,11
0,25 0,47 0,25 0,32 0,37 0,37 0,25 0,47
C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Akar (Root) B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
54,24 54,33 54,08 54,17 53,26 53,79 53,88 53,69
0,94 0,86 0,80 0,77 0,80 0,94 0,70 0,70
0,06 0,07 0,06 0,06 0,09 0,06 0,06 0,06
0,25 0,27 0,25 0,27 0,22 0,30 0,25 0,45
Keterangan (Remarks): Bo : kontrol (control); B1: arang 10% (10% charcoal); B2 : arang 20% (20% charcoal); B3: arang 30% (30% charcoal); B4:cuka kayu 1% (1% wood vinegar); B5 : cuka kayu 2% (2% wood vinegar); B6 : cuka kayu 3% (3% wood vinegar); B7 : cuka kayu 4% (4% wood vinegar)
B. Jabon (Anthocephalus cadamba) Berdasarkan uji t (Tabel 4), pemberian arang dan cuka kayu pada anakan Jabon berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi dan diameter. Sebagai contoh pada penambahan tinggi, perlakuan B3 berbeda dengan B1/B6/B5 dan B2/B4. Pada penambahan diameter, perlakuan B3/B0 berbeda dengan B7/B5/B6/B4. Pemberian arang 30% menghasilkan pertumbuhan tinggi anakan jabon tertinggi (89,17 cm) dibandingkan dengan kontrol dan pemberian cuka kayu (Tabel 4). Pemberian cuka kayu cenderung menghambat pertumbuhan tinggi, terbukti pada semua perlakuan penambahan cuka
kayu pertambahan tinggi lebih kecil dibanding tanpa perlakuan. Hal ini disebabkan kandungan unsur hara dalam cuka kayu sangat rendah dibandingkan unsur hara dalam arang (Komarayati et al., 2011). Cuka kayu yang disiramkan dalam tanah tidak dapat bertahan lama, karena akan menguap, berbeda dengan arang yang akan tetap berada dalam tanah dan resisten sampai waktu yang lama. Selain itu, arang mempunyai pori yang dapat menyimpan air dan hara, pori tersebut dapat digunakan sebagai tempat berkembangbiak mikroba tanah. Cuka kayu yang terkandung dalam asap hasil pembakaran arang kayu berguna untuk memperbaiki mutu tanah dan membantu 317
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 313-328
pertumbuhan tanaman agar lebih baik dan kuat (Sinar Tani, 2010). Komponen kimia cuka kayu seperti asam asetat, metanol dan fenol masingmasing mempunyai fungsi dan manfaat bagi tanaman. Asam asetat berfungsi untuk memper-
cepat pertumbuhan dan pencegah penyakit tanaman. Metanol berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan tanaman, sedangkan fenol dan turunannya berfungsi untuk mencegah serangan hama dan penyakit tanaman (Yatagai, 2002).
Tabel 4. Hasil uji t terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter anakan jabon Table 4. t test on height and diameter of jabon seedlings Parameter Komposisi (Composition) B3 B0 B1 B6 B5 B7 B2 B4 Komposisi (Composition) B3 B0 B1 B2 B7 B5 B6 B4
Rataan pertambahan tinggi (Average increase of height ), cm 89,17 83,57 66,69 65,14 62,77 58,25 51,25 51,20 Rataan pertambahan diameter (Average increase of diameter), cm 19,12 18,37 13,82 13,11 11,70 11,67 11,16 10,96
Uji t (t test) a ab b b b bc c c Uji t (t test) a a ab ab b b b b
Keterangan (Remarks): Bo : kontrol (control); B1: arang 10% (10% charcoal); B2 : arang 20% (20% charcoal); B3: arang 30% (30% charcoal); B4: cuka kayu 1% (1% wood vinegar); B5: cuka kayu 2% (2% wood vinegar); B6 : cuka kayu 3% (3% wood vinegar); B7: cuka kayu 4% (4% wood vinegar). Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata (Figures followed by the same letters are not significantly different a > b > c)
Tabel 5. Pengaruh penambahan arang dan cuka kayu pada penanaman jabon terhadap kandungan C, N, P dan K tanah Table 5. The influence of biochar and wood vinegar addition on C, N, P, K soil content at jabon plantation N0. 1 2 3 4 5 6 7 8
Perlakuan (Treatment) B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
C org,% 2,37 1,67 2,31 2,07 1,43 1,75 2,07 1,75
Kandungan (Content) N total,% P ppm 0,23 8,40 0,17 6,50 0,22 7,20 0,21 6,80 0,15 6,30 0,18 7,30 0,19 8,00 0,18 5,80
K, me/100g 0,36 0,22 0,59 0,46 0,13 0,21 0,27 0,09
Keterangan (Remarks) : Bo : kontrol (control); B1: arang 10% (10% charcoal); B2: arang 20% (20% charcoal); B3: arang 30% (30% charcoal); B4: cuka kayu 1% (1% wood vinegar); B5: cuka kayu 2% (2% wood vinegar); B6 : cuka kayu 3% (3% wood vinegar); B7 : cuka kayu 4% (4% wood vinegar).
318
Pengaruh Arang dan Cuka Kayu terhadap Peningkatan Pertumbuhan dan Simpanan Karbon (Sri Komarayati, Gusmailina & Gustan Pari)
Kandungan C organik, N total dan P dalam tanah dari semua perlakuan penambahan arang dan cuka kayu ternyata hasilnya lebih kecil dari tanpa perlakuan. Sedangkan kandungan K (Kalium) tertinggi (0,59 me/100 g) dihasilkan dari penambahan arang 20% dan terendah (0,09 me/100g) dari penambahan cuka kayu 4%. Hal ini
disebabkan arang juga mengandung unsur hara K dan arang sebagai bahan amandemen tanah dapat memperbaiki keterserapan hara K. Kalium (K) yang terkandung dalam arang berada dalam larutan tanah, sehingga mudah diserap oleh tanaman (Widowati et al., 2012).
Tabel 6. Kandungan C, N, P dan K dalam biomas jabon Table 6. C, N , P and K content in biomass of sengon No.
Jabon
Perlakuan (Treatment)
C organik %
N total %
P%
K%
A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Daun (Leaf) B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
56,48 56,49 55,96 56,00 55,55 55,73 55,86 55,68
1,72 1,67 2,05 1,95 2,02 1,39 1,25 1,92
0,10 0,11 0,13 0,12 0,15 0,15 0,15 0,14
0,99 0,35 1,39 1,09 0,77 0,70 0,70 0,40
B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Batang (Stem) B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
54,56 54,90 54,26 54,89 54,63 54,18 53,54 53,52
0,77 0,59 0,49 0,87 1,08 0,77 0,59 0,35
0,10 0,08 0,08 0,08 0,09 0,08 0,07 0,06
0,55 0,25 0,90 1,02 2,02 0,40 0,60 0,22
C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Akar (Root) B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
53,36 52,73 52,91 52,73 52,45 52,65 52,51 52,91
0,63 0,52 0,49 0,60 0,59 0,80 0,44 0,80
0,06 0,05 0,06 0,17 0,18 0,09 0,11 0,08
0,50 0,30 0,75 1,36 1,56 0,42 0,77 0,35
Keterangan (Remarks): Bo : kontrol (control); B1: arang 10% (10% charcoal); B2 : arang 20% (20% charcoal); B3: arang 30% (30% charcoal); B4: cuka kayu 1% (1% wood vinegar); B5 : cuka kayu 2% (2% wood vinegar); B6 : cuka kayu 3% (3% wood vinegar); B7 : cuka kayu 4% (4% wood vinegar)
319
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 313-328
Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa kandungan C organik tertinggi dalam daun jabon 56,00% dengan penambahan arang 30% dan terendah dengan penambahan cuka kayu 1% yaitu sebesar 55,55%. Kandungan N total pada penambahan arang 20% tertinggi dibanding perlakuan lainnya. Kandungan P tertinggi ada pada penambahan cuka kayu 1-3% yaitu sebesar 0,15%. Kandungan K tertinggi ada pada penambahan arang 20% (1,39%). Pada batang, C organik tertinggi ada pada penambahan arang 10%, N total tertinggi pada penambahan cuka kayu 1% yaitu 1,08% dan kandungan K tertinggi pada penambahan cuka kayu 1% yaitu sebesar 2,02. Pada akar N total tertinggi ada pada penambahan cuka kayu 2% yaitu sebesar 0,80%. Kandungan P tertinggi dibanding perlakuan lainnya, ada pada penambahan cuka kayu 1% dan
kandungan K dengan penambahan cuka kayu 1% mempunyai nilai tertinggi yaitu sebesar 1,56%. C. Pohon Penghasil Gaharu ( Aquilaria microcarpa) Berdasarkan hasil uji t (Tabel 7), pemberian arang dan cuka kayu pada anakan gaharu berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi dan diameter. Pada penambahan tinggi, perlakuan B7/B6 berbeda dengan b%/B2 dan B3. Selanjutnya pada penambahan diameter, perlakuan B2 berbeda dengan B1 dan B5/B3. Rata-rata pertambahan tinggi anakan gaharu yang tertinggi adalah perlakuan B7 (cuka kayu 4%) yaitu 72,20 cm, sedangkan terendah perlakuan B3 (arang 30%) yaitu 48,86 cm.
Tabel 7. Hasil uji t terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter anakan pohon penghasil gaharu. Table 7. t test on height and diameter of agar wood producing trees Parameter (Parameter) Komposisi (Composition) B7 B6 B1 B5 B2 B3
Rataan pertambahan tinggi (Average increase of height ),cm 72,20 69,74 66,28 57,81 54,83 48,86 Rataan pertambahan diameter (Average increase of diameter),cm
Komposisi (Composition) B2 B1 B7 B6 B5 B3
18,29 16,61 14,26 13,31 11,19 10,09
Uji t (t test)
a a ab b b c Uji t (t test)
a b bc bc c c
Keterangan (Remarks) : B1: arang 10% (10% charcoal); B2: arang 20% (20% char-coal); B3 : arang 30% (30% charcoal); B4 : cuka kayu 1% (1% wood vinegar); B5 : cuka kayu 2% (2% wood vinegar); B6 : cuka kayu 3% (13 wood vinegar); B7 : cuka kayu 4% (4% wood vinegar); Angka yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata (Figures followed by the same letters are not significantly different a > b > c )
320
Pengaruh Arang dan Cuka Kayu terhadap Peningkatan Pertumbuhan dan Simpanan Karbon (Sri Komarayati, Gusmailina & Gustan Pari)
Kandungan C, N, P dan K dalam tanah tanaman sengon dan jabon berbeda dengan tanah yang ditanami pohon penghasil gaharu. Pada Tabel 8 dapat diketahui bahwa kandungan C tertinggi (5,58%) terjadi pada pemberian cuka kayu 3% dan terendah (2,07%) pada perlakuan arang 20%. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat tanaman yang dapat mempengaruhi kandungan hara dalam tanah. Kandungan N tertinggi (0,46%) dihasilkan dari pemberian cuka kayu 1% dan terendah (0,18%) dari pemberian cuka kayu 2%. Kandungan P tertinggi (8,70 ppm) dan terendah (7,10 ppm) dihasilkan dari pemberian arang 10% dan cuka kayu 1%. Sedangkan kandungan K tertinggi (0,47 me/100 g) dan terendah (0,08 me/100 g) dihasilkan dari pemberian arang 10% dan pemberian arang 20%. Pada Tabel 9 dapat diketahui kandungan N totaltertinggi dalam daun ada pada penambahan
arang 10% yaitu 1,39% ; kandungan K tertinggi sebesar 1,04% ada pada penambahan arang 20%. Dalam batang, kandungan C organik tertinggi (54,86%) dan terendah (54,08%) ada pada penambahan cuka kayu 3% dan arang 10%. Kandungan N total tertinggi (1,01%) yaitu pada penambahan cuka kayu 4% dan terendah (0,49%) terdapat pada penambahan cuka kayu 2%. K andung an P ter ting gi (0,08%) pada penambahan arang 10%, sedangkan K tertinggi (1,24%) ada pada penambahan cuka kayu 2%. Dalam akar, kandungan N total tertinggi (0,73%) pada penambahan cuka kayu 2%, terendah (0,49%) pada penambahan arang 10%. K andung an P ter ting gi (0,08%) pada penambahan arang 20% dan terendah (0,05%) pada penambahan cuka kayu 3%. Kandungan K tertinggi (0,84%) pada penambahn arang 10% dan terendah (0,37%) ada pada control/ tanpa arang atau cuka kayu.
Tabel 8. Pengaruh penambahan arang dan cuka kayu pada penanaman A. Microcarpa terhadap Kandungan C, N, P dan K tanah Table 8. The influence of biochar and wood vinegar addition on C, N, P, K soil content at agar wood plantation No
Perlakuan (Treatment)
1
Kandungan (Content) C org,%
N total,%
P ppm
K me/100g
B0
2,23
0,23
7,30
0,20
2
B1
2,55
0,26
8,70
0,47
3
B2
2,07
0,19
6,80
0,08
4
B3
2,25
0,30
8,42
0,15
5
B4
2,50
0,46
7,10
0,22
6
B5
5,58
0,18
7,50
0,33
7
B6
2,31
0,22
7,80
0,24
8
B7
2,78
0,32
7,95
0,36
Keterangan (Remarks): Bo : kontrol (control); B1: arang 10% (10% charcoal); B2 : arang 20% (20% charcoal); B3 : arang 30% (30% charcoal); B4 :cuka kayu 1% (1% wood vinegar); B5 : cuka kayu 2% (2% wood vinegar); B6 : cuka kayu 3% (13 wood vinegar); B7: cuka kayu 4% (4% wood vinegar).
321
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 313-328
Tabel 9. Kandungan C, N, P dan K dalam biomas anakan Aquilaria microcarpa Table 9. C, N, P and K content in biomass of eaglewood seedlings No.
Perlakuan (Treatment)
Pohon penghasil gaharu (agar wood producing trees) C organik %
N total %
P%
K%
A. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Daun (Leaf) B0 B1 B2 B5 B6 B7
56,25 56,13 55,93 56,00 55,52 55,72
0,42 1,39 1,22 0,94 0,56 0,54
0,10 0,08 0,10 0,07 0,08 0,12
0,62 0,60 1,04 0,62 0,62 0,77
B. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Batang (Stem) B0 B1 B2 B5 B6 B7
54,55 54,08 54,14 54,52 54,86 54,26
0,59 0,98 0,73 0,49 0,63 1,01
0,06 0,08 0,05 0,05 0,05 0,05
0,52 1,17 0,55 0,45 0,50 1,24
C. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Akar (Root) B0 B1 B2 B5 B6 B7
53,65 53,32 53,49 52,59 52,61 52,85
0,56 0,49 0,66 0,73 0,52 0,62
0,06 0,07 0,08 0,06 0,05 0,06
0,37 0,84 0,70 0,50 0,50 0,77
Keterangan (Remarks) : Bo : kontrol (control); B1: arang 10% (10% charcoal); B2:arang 20% (20% charcoal); B3 : arang 30% (30% charcoal); B4 :cuka kayu 1% (1% wood vinegar); B5 : cuka kayu 2% (2% wood vinegar); B6 : cuka kayu 3% (13 wood vinegar); B7 : cuka kayu 4% (4% wood vinegar).
D. Total Karbon Tabel 10 . Total kandungan karbon dalam biomas sengon Table 10. Carbon content in sengon biomass No
Perlakuan (Treatment)
Akar (Root) g
Batang (Stem) g
Daun (Leaf) g
Total karbon (Carbon total) g
1 2 3 4 5 6 7 8
B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
340,84 949,39 669,03 528,27 1.515,10 218,38 290,30 175,40
390,89 2.155,45 223,05 631,43 5.110,78 335,42 218,92 323,62
723,19 390,80 1.312,73 248,40 4.404,04 134,79 466,69 202,89
1.454,92 3.495,64 3.204,81 1.408,10 11.029,92 688,59 975,91 701,91
Keterangan (Remarks) : Bo : kontrol (control); B1 : arang 10% (10% charcoal); B2 : arang 20% (20% charcoal); B3 : arang 30% (30% charcoal); B4 : cuka kayu 1% (1% wood vinegar); B5 : cuka kayu 2% (2% wood vinegar); B6 : cuka kayu 3% (3% wood vinegar); B7 : cuka kayu 4% (4% wood vinegar).
322
Pengaruh Arang dan Cuka Kayu terhadap Peningkatan Pertumbuhan dan Simpanan Karbon (Sri Komarayati, Gusmailina & Gustan Pari)
Tabel 11. Total kandungan karbon dalam biomas jabon Table 11. Carbon content in jabon biomass No
Perlakuan (Treatment)
Akar (Root) g
Batang (Stem) g
Daun (Leaf) g
Total karbon (Carbon total), g
1 2 3 4 5 6 7 8
B0 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
354,83 1.703,25 526,96 998,51 959,42 1.674,57 536,89 1.155,27
656,92 439,77 1.108,52 572,86 171,23 775,58 1.722,51 810,35
955,01 373,46 363,11 298,48 200,56 566,61 700,81 423,30
1.966,76 2.516,48 1.998,59 1.869,85 1.331,21 3.016,76 2.960,21 2.388,92
Keterangan (Remarks): Bo : kontrol (control); B1: arang 10% (10% charcoal); B2 : arang 20% (20% charcoal); B3 : arang 30% (30% charcoal); B4 : cuka kayu 1% (1% wood vinegar); B5 : cuka kayu 2% (2% wood vinegar); B6 : cuka kayu 3% (3% wood vinegar); B7 : cuka kayu 4% (4% wood vinegar).
Tingginya kandungan karbon dalam biomass sengon dan jabon bervariasi. Selain dipengaruhi oleh pemberian arang dan cuka kayu, juga dipengaruhi umur tanaman. Umumnya semakin tua umur tanaman semakin banyak karbon yang tersimpan. Hal ini dapat dilihat pada perlakuan pemberian cuka kayu 2% (B4) pada biomas sengon, diperoleh total kandungan karbon pada akar, batang dan daun paling tinggi yaitu 11.029,92 g, dimana kandungan karbon tertinggi terdapat pada batang yaitu 5.110,78 g, diikuti pada daun sebesar 4.404,04 g dan akar sebesar 1.515,10 g. Selanjutnya pada biomas sengon yang diberi perlakuan pemberian arang 10% (B1), total kandungan karbon yang diperoleh sebesar 3.495,64 g, masing-masing karbon pada batang 2.155,45 g, pada akar 949,39 g dan pada daun 390,80 g. Bila dilihat dari total kandungan karbon yang terdapat dalam biomass jabon, perlakuan pemberian cuka kayu 2% (B5) menunjukkan total karbon paling tinggi yaitu 3.016,76 g, masingmasing karbon pada akar 1.674,57 g, pada batang 775,58 g dan pada daun 566,61 g. Perlakuan penambahan arang 30% (B3) merupakan perlakuan yang memberikan persentase karbon biomas tertinggi yaitu 37,52% yaitu pada bagian akar. Selanjutnya perlakuan penambahan cuka kayu 2% merupakan perlakuan yang memberikan persentase karbon biomass
tertinggi yaitu 48,71% yaitu pada bagian batang, diikuti oleh perlakuan cuka kayu 1% (B4) sebesar 46,33% dan cuka kayu 4% (B7) sebesar 46,10%. Sedangkan persentase simpanan karbon tertinggi pada daun, diperoleh pada perlakuan B0 (tanpa penambahan arang dan cuka kayu), yaitu 49,71%, selanjutnya diikuti pada pemberian cuka kayu 3% (B6) yaitu 47,82% dan penambahan arang 20% (B3) sebesar 40,96%. Karbon yang tersimpan dalam biomas tumbuhan bervariasi, dimana masing-masing perlakuan memberikan hasil yang berbeda. Kandungan karbon yang tersimpan dalam batang paling tinggi, baik pada perlakuan penambahan arang maupun cuka kayu. Sedangkan karbon yang tersimpan dalam biomas jabon bagian akar ternyata lebih tinggi jika dibanding dengan karbon pada batang dan daun. Kandungan karbon pada bagian tubuh pohon berbeda antar berbagai bagian tubuh pohon. Penambahan arang pada tanah akan berdampak pada peningkatan karbon yang diikat (fixed carbon) oleh tanah. Sehingga akan terjadi peningkatan deposit karbon dalam reservoir, dalam bentuk material yang stabil dan tidak mudah terdekomposisi (Adiriono, 2009). Selain itu, arang mempunyai kemampuan untuk menangkap karbon dari tanaman dan menyimpannya di bawah tanah, akhirnya akan terurai secara perlahan dan akan memberikan dampak terhadap penurunan emisi gas rumah kaca CO2 (Sinar Tani, 2012) 323
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 313-328
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pemberian arang dan cuka kayu menghasilkan pertambahan tinggi dan diameter anakan pohon/ tanaman bervariasi tergantung jenis anakan. Pertambahan tinggi dan diameter anakan sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) terbesar berturut-turut 156,33 cm dan 20,08 mm diperoleh dari pemberian cuka kayu 2% dan arang 10%. Pertambahan tinggi dan diameter anakan jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) terbesar masingmasing 89,17 cm dan 19,22 mm diperoleh dari perlakuan penambahan arang 30%. Anakan pohon penghasil gaharu A. Mycrocar pa , pertambahan tinggi dan diameter terbesar masing-masing 72,20 cm dan 18,29 mm diperoleh pada perlakuan penambahan cuka kayu 4% dan arang 20%. Pemberian arang dan cuka kayu pada tanah yang ditanami sengon dan jabon dapat meningkatkan berat biomas tanaman dan simpanan karbon, sehingga diharapkan dapat mereduksi emisi karbon ke atmosfir. B. S a r a n Pengamatan perlu dilanjutkan untuk mengetahui lebih lanjut pertumbuhan tanaman dan mengetahui seberapa besar peranannya terhadap penurunan emisi karbon.
UCAPAN TERIMA KASIH Saya ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan peneliti, teknisi dan semua orang yang telah membantu penelitian sampai penulisan naskah ini. Mudah-mudahan kebaikan Bapak dan Ibu dibalas oleh Allah SWT. Amiin YRA. DAFTAR PUSTAKA Adiriono. T. (2009). Pengukuran kandungan karbon (carbón stock) dengan metode karbonisasi pada hutan tanaman jenis Acacia crassicarpa. Program Pasca Sarjana Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. (Tesis).
324
Gani, A. (2009). Potensi arang hayati sebagai komponen teknologi perbaikan produktivitas lahan pertanian. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, vol/No IT 04/01. Hidayat. (2010). Pemanfaatan arang sebagai biochar yang ramah lingkungan. Arief Hidayat Blog, 16 Desember 2010. Di akses tanggal 14 April 2012. Komarayati, S., Gusmailina dan G. Pari. (2011). Produksi cuka kayu hasil modifikasi tungku arang terpadu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29 (3), 234-247. _____________ dan E. Santoso. (2011). Arang dan cuka kayu : Produk HHBK untuk stimulan pertumbuhan mengkudu (Morinda citrifolia). Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29 (2), 155-178. _____________, Gusmailina dan G. Pari. (2013) . Arang dan cuka kayu : Produk hasil hutan bukan kayu untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dan serapan hara karbon. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31 (1), 49-62. Lehman, J., Gaunt, J. and Rondon, M. (2006). Biochar sequestration in terrestrial ecosystems : A review. Mitigation and Adaptation Strategy of Global Change 11, 403427. Nurhayati, T. (2007). Produksi arang terpadu dengan cuka kayu dan pemanfaatan cuka kayu pada tanaman pertanian. Makalah pada acara pelatihan pembuatan arang terpadu dan produk turunannya. Di Dinas Kehutanan Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur, 17-26 Juli 2007. Pari, G. (2009). Laporan mengikuti 1st Asia Pasific Biochar Conference Gold Coast. Australia, 17-20 Mei 2009. Tidak Diterbitkan. Bogor. Sinar Tani. (2010). Cuka kayu penyubur dan penguat tanaman. Sinar Tani. Membangun Kemandirian Agribisnis. Diakses tanggal 21 Nopember, 2010. Jakarta. Sinar Tani. (2012). Biochar yang tepat untuk tanah yang tepat. Edisi no. 3433, 22 Pebruari 2012. Diakses tanggal 2 April, 2012. Jakarta.
Pengaruh Arang dan Cuka Kayu terhadap Peningkatan Pertumbuhan dan Simpanan Karbon (Sri Komarayati, Gusmailina & Gustan Pari)
Steel, R.G.D., dan Torrie, J.H. (1991). Prinsip dan Prosedur Statistika (Terjemahan) Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Sukartono dan W.H. Utomo. (2012). Peranan biochar sebagai pembenah tanah pada pertanaman jagung di tanah lempung berpasir (Sandy loam) semiarid tropis Lombok Utara. Buana Sains Vol 12, No. 1, 91-98.
Widowati, Asnah dan Sutoyo. (2012). Pengaruh penggunaan biochar dan pupuk kalium terhadap pencucian dan serapan hara kalium pada tanaman jagung. Buana Sains Vol 12, No. 1, 83-90. Yatagai. (2002). Utilization of charcoal and wood vinegar in Japan. Report.Graduate School of Agricultural and Life Sciences, The University of Tokyo. Japan.
325
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 313-328
Lampiran 1. Analisis ragam-peragam terhadap pertambahan tinggi dan diameter anakan sengon Appendix 1. Analysis of covariance on height and diameter growth of sengon seedlings Sumber keragaman (Source of variance)
db (df)
F hitung (F calculated) Y1
Y2
Total (Total) Perlakuan (Treatment) Peragam (Adjuster) Galat (Error)
46 7 1 38
2,88* 87,67**
3,14* 13,85**
Rata-rata (Means) Koeffisien keragaman (Coefficience of variation)
-
0,74
0,39
-
44,87
78,81
Keterangan (Remarks) : * = nyata pada taraf 5% (significant at 5%); ** = nyata pada taraf 1% (significant at 1%); tn = tidak nyata (not significant); Peragam (Adjuster), untuk pertumbuhan tinggi dan pertumbuhan diameter adalah berturut-turut tinggi awal dan diameter awal anakan (for height and diameter growths areconsecutively initial height and initial diameter of the seedlings); β = koef.regresi (regression coeff.); R2 = koef. determinasi (coeff. of determination); KK = koefisien keragaman (coeff. of variation)
326
Pengaruh Arang dan Cuka Kayu terhadap Peningkatan Pertumbuhan dan Simpanan Karbon (Sri Komarayati, Gusmailina & Gustan Pari)
Lampiran 2. Analisis ragam-peragam terhadap pertambahan tinggi dan diameter anakan jabon Appendix 2. Analysis of covariance on height and diameter growth of jabon seedlings Sumber keragaman (Source of variance) Total (Total) Perlakuan ( Treatment) Peragam (Adjuster) Galat (Error)
Db (df) 52 7 1 44
F hitung (F calculated) Y1
Y2
2,20* 4,48*
2,73 * 2,94*
Rata-rata (Means)
-
65,31
13,98
Koefisien keragaman (Coefficien of variation)
-
43,22
50,77
Keterangan (Remarks) : * = nyata pada taraf 5% (significant at 5%); ** = nyata pada taraf 1% (significant at 1%); tn = tidak nyata (not significant); peragam (Adjuster),untuk pertumbuhan tinggi dan pertumbuhan diameter adalah berturut-turut tinggi awal dan diameter awal anakan (for height and diameter growths are consecutively initial height and initial diameter of the seedlings); β = koef.regresi (regression coeff.); R2 = koef. determinasi (coeff. of determination); KK = koefisien keragaman (coeff. of variation)
327
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 313-328
Lampiran 3. Analisis ragam-peragam terhadap pertambahan tinggi dan diameter anakan pohon penghasil gaharu Appendix 3. Analysis of covariance on height and diameter growth of eaglewood producing tress seedlings Sumber keragaman (Source of variance) Total (Total) Perlakuan (Treatment) Peragam (Adjuster) Galat (Error)
Db (df) 20 5 1 14
F hitung (F calculated) Y1
Y2
2,85*
4,20*
6,15*
5,92*
Rata-rata (Means)
-
64,86
13,21
Koefisien keragaman (Coefficience of variation)
-
27,15
27,94
Keterangan (Remarks): * = nyata pada taraf 5% (significant at 5%); ** = nyata pada taraf 1% (significant at 1%); tn = tidak nyata (not significant); Peragam (Adjuster), untuk pertumbuhan tinggi dan pertumbuhan diameter adalah berturut-turut tinggi awal dan diameter awal semai (for height and diameter growths are consecutively initial height and initial diameter of the seedlings); β = koef.regresi (regression coeff.); R2 = koef. determinasi (coeff. of determination); KK = koefisien keragaman (coeff. of variation)
328
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 329-340 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
PENGGUNAAN STIMULAN DALAM PENYADAPAN PINUS*) (The Use of Stimulants on The Pine Tapping) 1
2
Sukadaryati , Gunawan Santosa , Gustan Pari 2 2 Dodik Ridho Nurrochmat &Hardjanto
3
1
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Jalan Raya Dramaga, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia 2 Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Jalan Lingkar Akademik, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia 3 Pulitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jalan Gunung Batu No 5, Bogor 16610, Indonesia Diterima 2 Mei 2014, Disetujui 15 Desember 2014
ABSTRACT For the formulation of policy strategies on the use of environmentally friendly stimulant in the production of pine resin, the study of innovation stimulant is a necessity. This study aimed to identify the use of stimulants made from a strong acid (inorganic), ETRAT and wood vinegar on pine tapping.Research results revealed that the use of stimulants could increase resin flux and extend. Inorganic stimulant produced resin more than ETRAT and wood vinegar per collection in area with elevation above 500 ASL and below 500 ASL. The use of inorganic stimulant, however, caused the change of wood colour that will be dark brown to reddish even that going into as far as to the pith of wood. Meanwhile, the use of organic stimulant doesn't cause the change of colour in wood significantly.Therefore the use of stimulants on tapping pine needs to consider the negative effects of trees's health, workers and the environment.The economic aspect that should be persued to achieve the financial target, is not the main factor only but the ecological and sosial aspects to achieve a yield sustainability and tree producing are requared. Keywords: Inorganic stimulant, ETRAT, wood vinegar, tapping pine, sustainability ABSTRAK Dalam rangka perumusan strategi kebijakan penggunaan stimulan ramah lingkungan dalam produksi getah pinus maka studi tentang inovasi pemanfaatan stimulan adalah suatu keniscayaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan stimulan berbahan dasar H2SO4, cuka kayu dan ETRAT pada penyadapan pinus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan stimulan dapat meningkatkan aliran getah dan memperpanjang periode aliran getah sehingga getah yang diperoleh per pengunduhan lebih banyak. Penggunaan stimulan H2SO4 dapat meningkatkan produksi getah per pengunduhan lebih banyak dibandingkan ETRAT dan cuka kayu, baik pada penggunaan di areal dengan ketinggian di atas 500 m dpl maupun di bawah 500 m dpl. Penggunaan stimulan H2SO4menyebabkan kayu berubah warna menjadi coklat tua hingga kemerahan bahkan perubahan warna tersebut sampai masuk ke dalam kayu sejauh ¾ bagian ke arah sumbu kayu. Di sisi lain penggunaan stimulan organik tidak menyebabkan perubahan warna kayu yang berarti. Oleh karena itu penggunaan jenis stimulan dalam penyadapan pinus perlu mempertimbangkan efek negatif yang ditimbulkan, baik terhadap kesehatan pohon, pekerja maupun lingkungan. Aspek ekonomi bukan satu-satunya faktor utama yang harus terus dikejar untuk mencapai target finansial namun perlu mempetimbangkan aspek ekologi dan sosial untuk mencapai sustainabilitas hasil dan pohon penghasilnya. Kata kunci: Stimulan H2SO4, ETRAT, cuka kayu, penyadapan pinus, sustainabilitas *) Naskah judul tersebut di atas merupakan bagian dari disertasi Program Doktor (S-3) pada Fakultas Kehutanan IPB
329
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 329-340
I. PENDAHULUAN Getah pinus digolongkan sebagai oleoresin yaitu cairan asam resin dalam terpentin yang akan ke luar bila pohon pinus dilukai. Pengambilan getah pinus dilakukan dengan melukai kayu gubal agar saluran getah terbuka. Pelukaan pada kayu akan menyebabkan getah mengalir, ke luar karena di dalam kayu saluran getah pinus mempunyai tekanan yang tinggi yaitu 70 atm (Soepardi, 1955). Getah pinus larut dalam alcohol, benzene, ether dan beberapa pelarut organik, tetapi tidak larut dalam air (Sutjipto, 1977). Menurut Kramer dan Kozlowsky (1960), getah pinus tersusun atas 66% asam resin, 25% terpentin, 7% bahan netral yang tidak mudah menguap dan 2% air. Getah pinus diolah menjadi produk gondorukem dan terpentin yang dimanfaatkan untuk produk non foodgrade (tidak berhubungan langsung dengan manusia) yaitu untuk industri batik, sabun, plastik, tinta cetak, bahan pelitur; dan untuk produk foodgrade (berhubungan langsung dengan manusia) yaitu untuk bahan baku parfum, desinfektan, tambal gigi, pengawet makanan (Duta Rimba 2010, Duta Rimba 2012a, Duta Rimba 2012b, Kasmudjo 1982, Kasmudjo 1992, Kasmudjo 2011). Seiring permintaan produksi getah yang meningkat, upaya peningkatan produksi getah secara teknis di lapangan dilakukan dengan penggunaan stimulan dalam kegiatan penyadapan pinus. Stimulan merupakan bahan yang bersifat asam yang dapat menghasilkan suatu reaksi, keadaan, ataupun proses yang bersifat rangsangan sehingga stimulan dikenal juga sebagai zat perangsang. Pada penyadapan pinus, penambahan substansi asam dimaksudkan untuk mengurangi pembekuan atau pengeringan getah yang keluar akibat perlukaan batang (Rodrigues at al. (2007); Rodrigues dan Neto (2009); Rodrigues at al. (2011); Sharma et al. (2013)). Penggunaan stimulan dalam penyadapan pinus pada awalnya menggunakan bahan dasar asam sulfat (H2SO4) dengan konsentrasi 40% atau 60% (Sutjipto, 1975) dan hingga sekarang stimulan berbahan dasar asam sulfat masih digunakan di wilayah Perum Perhutani namun dalam konsentrasi yang lebih rendah. Getah pinus yang dihasilkan dari penggunaan stimulan berbahan dasar H2SO4 (20%-24%) : HNO3 (0-1%) : HCl (0,5-1%) dapat menaikkan hasil produksi getah 330
sebesar 56-111% (Perum Perhutani, 2010). Penggunaan stimulan berbahan dasar asam kuat dapat meningkatkan produksi getah pinus per pengunduhan. Di sisi lain, penggunaan asam kuat seperti H2SO4 termasuk oksidator kuat sehingga dapat merusak kulit manusia, kayu dan lingkungan (LIPI, 2004). Dengan kata lain penggunaan stimulan berbahan dasar asam kuat dapat menimbulkan efek negatif bagi penyadap, pohon yang disadap dan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, stimulan yang aman dan ramah lingkungan mulai dikembangkan. Stimulan bermerk dagang ETRAT dengan bahan dasar zat etilen (C2H4) sudah digunakan dalam penyadapan pinus di beberapa areal Perum Perhutani. Menurut Moore (1979), Wattimena (1988) dan Dewi (2008), zat etilen dapat dimanfaatkan untuk merangsang eksudasi getah. Lebih lanjut Santosa (2011) menyatakan bahwa pembentukan getah di dalam tanaman dapat ditingkatkan dengan cara mengaktifkan etilen di dalam tanaman (ethylen endogen) dan pembuatan luka sadapan. ETRAT yang terdiri dari komposisi etilen dan asam sitrat berfungsi untuk meningkatkan kapasitas produksi getah dan memperlancar keluarnya getah. Cuka kayu merupakan asam cair yang diperoleh dari limbah bahan berlignoselulosa yang mengalami karbonisasi sehingga asap yang ke luar berubah bentuk menjadi cair setelah mengalami proses kondensasi atau pendinginan. Tiga komponen cuka kayu berupa asam asetat, fenol dan alkohol, komponen utamanya berupa asam asetat (Ch3COOH) sebanyak kurang lebih 50%. Asam asetat termasuk dalam kelompok asam lemah. Asam asetat merupakan senyawa yang biasa digunakan sebagai bahan pengawet makanan (menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang mungkin berkembang dalam makanan) dan bekerja sebagai pelarut lipid sehingga dapat merusak membran sel. Alkohol merupakan senyawa yang berfungsi sebagai denaturasi protein dan pelarut lipid sehingga dapat merusak membran sel, sedangkan fenol adalah senyawa yang berfungsi sebagai desinfektan, denaturasi protein dan dapat menghambat aktivitas enzim (Darmadji (2009); Pari dan Nurhayati (2009); Wijaya (2010)). Berdasarkan hal tersebut, cuka kayu sebagai bahan stimulan mempunyai peluang untuk dikembangkan. Kelebihan stimulan cuka kayu adalah mudah
Penggunaan Stimulan dalam Penyadapan Pinus (Sukadaryati, et al.)
dibuat/diproduksi, murah, aman digunakan, ramah lingkungan dan mempunyai nilai tambah karena memanfaatkan limbah. Pada penelitian ini cuka kayu yang digunakan berasal dari limbah pohon pinus seperti bagian ranting, dahan, sisa batang yang tumbang, dan lain-lainnya yang merupakan sisa-sisa tebangan penjarangan ataupun tebangan karena pohon roboh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penggunaan stimulanberbahan dasar H2SO4, ETRAT dan cuka kayu pada penyadapan pinus sehubungan dengan peningkatan produksi getah pinus. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian penggunaan stimulan dalam penyadapan pinus dilakukan di areal Pehutani Unit I Jawa Tengah, yaitu di KPH Banyumas Barat, BKPH Majenang, RPH Cimanggu (petak 28L, dengan ketinggian kurang dari 500 m dpl) dan RPH Majengan (6F, dengan ketinggian lebih dari 500 m dpl). Penelitian dilakukan pada bulan Oktober hingga Desember 2013. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan berupa pohon pinus (Pinus merkusii Jung. et de Vriese) strain Aceh (merupakan sadap lanjut dan termasuk dalam KU III), aquades, cuka kayu, H2SO4 dan ETRAT. Stimulan berbahan dasar H2SO4 dan ETRAT diperoleh dari lokasi penelitian. Komposisi stimulan berbahan dasar H2SO4 dan ETRAT yang digunakan sesuai dengan komposisi yang biasa digunakan di areal uji coba, sedang komposisi stimulan cuka kayu yang digunakan dibuat dengan perbandingan 1:1 (cuka kayu:minyak goreng). Alat yang digunakan berupa alat sadap (kedukul), sprayer, paku, palu, gelas plastik untuk menampung getah, plastik, alat ukur diameter pohon dan alat tulis menulis. C. Metode 1. Keadaan umum lokasi penelitian Penelitian dilakukan pada tegakan pinus yang tumbuh di petak 28L dan petak 6F. Tegakan pinus di petak 28L ditanam pada tahun 1999 pada
ketinggian tempat kurang lebih 300 m dpl, dengan luas areal 12 ha dan jumlah pohon sebanyak 4.282 pohon. Keliling batang pinus berkisar antara 42-90 cm dan sudah disadap 2-3 koakan dalam satu batang tanpa diberi stimulan. Petak 28L terletak di desa Cilempuyang, kecamatan Cimanggu, Kabupaten Cilacap. Kondisi tegakan pinus di petak 6F ditanam pada tahun 1999 pada ketinggian tempat kurang lebih 700 m dpl, dengan luas areal 38,9 ha dan jumlah pohon sekitar 17.559 pohon. Kisaran keliling batang pinus antara 50-102 cm dan sudah disadap antara 3-4 koakan per batang dengan diberi stimulan berbahan dasar H2SO4. Petak 6F terletak di desa Pangadegan, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap. Pohon pinus yang dipilih sebagai pohon sampel tidak tumbuh di tepi areal/border, tetapi yang tumbuh di baris kedua dan seterusnya. Pemilihan pohon pinus sebagai pohon sampel bertujuan untuk mendapatkan pohon sampel yang dapat mewakili tegakan pinus dalam satu areal. 2. Getah pinus Getah pinus diperoleh dari kegiatan penyadapan pinus dengan menggunakan alat kedukul, sesuai kebiasaan penyadap setempat. Cara penyadapan dilakukan sebagai berikut: a. Batang pohon dilukai dengan alat kedukul dengan ukuran perlukaan lebar ± 6 cm, tinggi koakan ± 15 cm dan tebal ± 3 mm atau sampai menyentuh kayu bagian dalam (Kayu Gubal). b. Perlukaan batang pinus dibuat sedemikian rupa sehingga luka sadap dapat terkena langsung sinar matahari. c. Pemberian stimulan sesuai perlakuan pada bidang sadap sebanyak ± 1 cc. d. Dilakukan pembaharuan perlukaan dan pengulangan pemberian stimulan setiap 3 hari sekali sampai pengunduhan getah dilakukan. e. Getah yang ke luar dialirkan lewat talang kecil dan ditampung di gelas plastik yang tertutup bagian atasnya untuk mengurangi kotoran dan air yang masuk bercampur dengan getah. f. Penimbangan getah dilakukan diakhir pengunduhan hasil getah (12 hari = 1 periode). Dalam penelitian ini dilakukan penimbangan sebanyak 4 periode pengunduhan, selama bulan Oktober sampai dengan Desember. Satu peride pengunduhan membutuhkan waktu 331
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 329-340
selama 12 hari sehingga untuk 4 periode pengunduhan dibutuhkan total waktu selama 48 hari. 3. Warna kayu Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan visual pengaruh penggunaan stimulan berbahan dasar H2SO4 dan ETRAT terhadap warna kayu pinus. Sampel anatomi kayu pinus yang digunakan dalam penelitian ini sudah terpapar stimulan H2SO4 selama ± 14 tahun. Sampel batang pinus pasca sadap yang terpapar stimulan H2SO4 diambil daripetak 33 di wilayah RPH Bendungan, BKPH Trenggalek. Sampel pohon pinus tersebut ditanam tahun 1972 dan mulai disadap pada tahun 1984 tanpa stimulan, pada tahun 1999 menggunakan stimulan H2SO4 hingga pohon tersebut tumbang terterpa angin (tahun 2012). Sampel pohon pinus yang terpapar stimulan ETRAT diperoleh dari petak 132b di wilayah RPH Kampak Utara, BKPH Kampak dan tahun tanam 1988. Sampel pohon pinus tersebut mulai disadap tahun 1999 tanpa stimulan dan menggunakan stimulan ETRAT tahun 2010 hingga pohon tersebut ditebang tahun 2013. Dengan demikian sampel anatomi kayu pinus yang digunakan sudah terpapar stimulan ETRAT selama ± 3 tahun. D. Analisis Data Data hasil getah pinus berdasarkan perlakuan pemberian stimulan dan ketinggian tempat dianalisa dengan menggunakan rancangan acak berblok berpola faktorial. Faktor perlakuan berupa jenis stimulan dan ketinggian tempat. Jenis stimulan terdiri dari 4 taraf, yaitu stimulan berbahan dasar cuka kayu, H2SO4, ETRAT dan kontrol (tanpa stimulan). Faktor ketinggian tempat uji coba terdiri dari dua tempat, yaitu ketinggian di bawah 500 mdpl (T1) dan ketinggian di atas 500 mdpl (T2). Periode pengambilan getah digunakan sebagai blok (kelompok). Masing-masing perlakuan dilakukan ulangan sebanyak 10 kali, sehingga diperlukan jumlah sampel sebanyak 4 x 2 x 10 = 80 pohon. Data yang diperoleh kemudian dianalisis sidik ragamnya. Jika hasilnya menunjukkan signifikansi pada taraf α = 0,05, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji LSD untuk mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan (Steel dan Torrie, 1991). 332
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Getah Pinus Getah hasil sadapan pinus yang diperoleh setelah diberi perlakuan jenis stimulan pada kedua ketinggian tempat yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa variasi getah pinus yang diperoleh dipengaruhi oleh perlakuan pemberian stimulan dan ketinggian tempat pada masing-masing periode pengunduhan getah. Pada setiap periode pengunduhan, getah pinus yang dihasilkan oleh masing-masing jenis stimulan cenderung meningkat jika dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan ke empat periode pengambilan getah (Tabel 1), rata-rata getah pinus yang dihasilkan stimulan cuka kayu, H2SO4 dan ETRAT pada ketinggian di bawah 500 mdpl (T1) berkisar antara 43,95-96,15 g/quare/pengunduhan sedangkan kontrol menghasilkan getah pinus sebesar 32,15 g/quare/pengunduhan atau dapat meningkatkan produksi getah sebesar 36,70%199,07% per pengunduhan. Peningkatan produksi getah per pengunduhan paling besar dihasilkan jika menggunakan stimulansi H2SO4, kemudian ETRAT dan cuka kayu masing-masing sebesar 199,07%; 101,01% dan 36,70% per pengunduhan. Demikian juga dengan produksi getah pinus yang diperoleh pada ketinggian di atas 500 mdpl, dimana kisaran produksi getah yang diperoleh karena pemberian stimulan berkisar antara 55,10-120,7 gram/quare/pengunduhan atau dapat meningkatkan produksi getah per pengunduhan sebesar 49,32%-227,10% terhadap kontrol. Penggunaan stimulan H2SO4 pada penyadapan pinus di areal dengan ketinggian di atas 500 mdpl meningkatkan produksi getah pinus paling tinggi per pengunduhan yaitu sebesar 227,10% sedangkan peningkatan produksi getah pinus per pengunduhan menggunakan stimulan cuka kayu dan ETRAT masing-masing sebesar 49,32% dan 58,13%. Hasil getah yang diperoleh pada masingmasing perlakuan sesuai Tabel 1 kemudian dianalisis untuk mengetahui sejauh mana pengaruh perlakuan jenis stimulan dan ketinggian tempat maupun interaksinya terhadap getah pinus yang dihasilkan. Hasil analisis varian pengaruh masing-masing perlakuan terhadap produksi getah yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2.
Penggunaan Stimulan dalam Penyadapan Pinus (Sukadaryati, et al.)
Tabel 1. Getah pinus yang dihasilkan dari perlakuan stimulan, ketinggian tempat dan periode pengunduhan (g/quare/pengunduhan) Table 1. The yield of pine resinbased on stimulants treatment, elevation of area and period of collection (g/quare/collection) Tinggi tempat (elevation)
Periode pengunduhan (period of collection) I
T1
Kontrol (control) 44,5
II
85,8
131
109,6
45,7
III
29,8
45,6
42
21,5
IV
25,5 43,95
86,4 96,15
35,6 64,65
16,9 32,15
199,07 155,4
101,01 57,4
-
I
36,70 38,3
31,6
II
78,9
165,6
100,2
56,4
III
59,5
75,4
40,2
33,9
IV
43,7 55,10 49,32 46,64 43,01
86,4 120,7 227,10 108,43 153,75
35,6 58,35 58,13 61,5 81,26
25,7 36,90 -
Rata-rata (Average) T1 Peningkatan (improvement) T1 (%)
T2
Stimulan (Stimulants treatment) Cuka kayu H2SO4 ETRAT (wood vinegar) 34,7 121,6 71,4
Rata-rata (average)T2 Peningkatan (improvement) T2 (%) Rata-rata (average)T1 &T2 Peningkatan (improvement) T1 &T2 (%)
Keterangan (Remarks) : jumlah sample 80 pohon dan waktu peludangan 4 periode = 48 hari (the number of sample 80 trees and the time of collections were 4 periods = 48 days)
Tabel 2. Anova pengaruh penggunaan stimulan terhadap getah pinus yang dihasilkan sesuai perlakuan Table 2. Anova of the effect of using stimulants toward resin pine yeild based on the treatments Sumber variasi (Source of variant) Stimulan (S) Ketinggian tempat (T) SxT Periode Error Total
Derajat bebas (Degree of freedom) 3 1 3 3 309 319
Jumlah kuadrat (sum of square)
Kuadrat tengah (Mean square)
F hitung (F-calculated)
213171,837 8715,316 14755,838 165853,663 243381,237 645877,887
71057,279 8715,322 4918,613 55284,554 787,641
90,22 11,07 6,24 70,19
Prob 0,0001* 0,0010* 0,0004* 0,0001*
Keterangan (Remark) : * = beda nyata (significantly defferent)
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa jenis stimulan yang digunakan dalam penyadapan pinus, ketinggian tempat, interaksi stimulan dan ketinggian tempat serta periode pngumpulan getah pinus berpengaruh nyata terhadap produksi getah yang dihasilkan. Uji lanjut pengaruh
perlakuan terhadap getah yang dihasilkan disajikan pada Tabel 3. Produktivitas getah dipengaruhi oleh faktor pemberian stimulan (Santosa, 2010; Kasmudjo, 2011; Sharma dan Lecha, 2013). Pemberian stimulan berguna sebagai zat perangsang etilen 333
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 329-340
pada tanaman yang dapat meningkatkan tekanan osmosis dan tekanan turgor yang menyebabkan aliran getah akan bertambah cepat dan lebih lama. Stimulan berbahan dasar asam kuat yaitu H2SO4 menyebabkan produksi getah meningkat per pengunduhan karena dapat memperlama waktu pengaliran getah dengan cara mereduksi tekanan turgor (turgensis) dalam sel epitel dan mencegah terjadinya kristalisasi resin serta pembentukan tylosoid
(Kossuth 1984; Sharma dan Lecha 2013). Lebih lanjut menurut Santosa (2011), mekanisme pemberian stimulan berbahan dasar asam kuat akan memberikan efek panas pada getah sehingga getah lebih lama dalam keadaan cair dengan demikian mudah mengalir keluar dari saluran getah dan mempengaruhi tekanan turgor dinding sel sehingga getah cepat keluar dan saluran getah dapat terbuka dalam waktu yang relatif lama.
Tabel 3. Hasil uji LSD pengaruh penggunaan stimulan terhadap produksi getah pinus yang dihasilkan sesuai perlakuan Table 3. LSD test on the effect of using stimulants toward resin pine yeild based on the treatments No. 1.
2. 3.
Perlakuan (Treatments) Stimulan/stimulants (S) H2SO4 ETRAT Cuka kayu Kontrol Ketinggian tempat/elevations (T) T2 T1 Interaksi S*T H2SO4*T2 H2SO4*T1 ETRAT*T1 ETRAT*T2 Cuka kayu*T2 Cuka kayu*T1 Kontrol*T2 Kontrol*T1
Rata-rata produksi getah (average of resin pine yeild) 104,27a 60,73b 49,52b 23,15c 67,76a 56,89b 120,20a 88,35b 63,10c 58,35c 55,10cd 43,95cde 36,90cde 33,40e
Keterangan (Remarks) : * = beda nyata pada taraf 5% (significantly defferent 5%), angka yang diikuti huruf yang berbeda berarti berbeda nyata (number that folowed defferent characters means significantly defferent), nilai LSD (The value of LSD) S = 7,01; T = 3,82; S*H= 14,63
Pemberian stimulan berbahan dasar cuka kayu mampu meningkatkan produksi getah yang disebabkan karena kandungan asam asetat (CH 3 COOH) yang dapat berperan untuk memperlancar keluarnya getah karena efek panas yang ditimbulkan dari kandungan asamnya meskipun tidak se ekstrim yang ditimbulkan oleh asam kuat. Minyak goreng dalam penelitian ini berfungsi sebagai media transfer panas yang diharapkan dapat mentransfer panas 334
lebih lama dari sinar matahari pada luka sadapan. Selain asam asetat, kandungan cuka kayu yang lainnya seperti metanol, fenol, karbonil diduga dapat merangsang epitel pada tanaman untuk meningkatkan tekanan osmosis dan tekanan turgor yang menyebabkan aliran getah akan bertambah cepat dan lebih lama. Menurut Hillis (1987), masuknya air ke dalam lumen sel epitel akan menyebabkan sel epitel membesar dan selanjutnya akan menekan resin yang berada di
Penggunaan Stimulan dalam Penyadapan Pinus (Sukadaryati, et al.)
dalam saluran damar sehingga resin hancur dan terdorong keluar, setelah itu sel epitel akan memproduksi zat resin kembali untuk mengisi saluran damar tersebut. Stimulan ETRAT merupakan stimulan merk dagang dan berbahan dasar etilen. Di dalam tanaman etilen merupakan salah satu zat pengatur tumbuh (zpt) dan berfungsi dalam proses fisiologi tanaman, yaitu untuk pematangan buah, menghambat pertumbuhan akar, merangsang pembentukan bung a, absisi daun dan meningkatkan permeabilitas memban (Moore, 1979). Sehubungan dengan pembentukan getah di dalam tanaman, Shar ma dan Lecha (2013)menyatakan bahwa etilen dapat menstimulasi proses sintesa oleoresin (getah) di dalam saluran getah dan juga menginduksi pembentukan saluran getah traumatis yang terjadi karena adanya stres atau perlukaan (penyadapan). Menurut Santosa (2011), selain karena adanya stress akibat perlukaan, pembentukan getah di dalam tanaman dapat ditingkatkan dengan mengaktifkan etilen di dalam tanaman (ethylen endogen). Etilen dapat menstimulan proses metabolisme sekunder di dalam tanaman atau dengan kata lain produksi getah sebagai produk metabolisme sekunder dapat ditingkatkan, namun demikian perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan stimulan berbahan dasar etilen akan meningkatkan biaya produksi karena komponen etilen lebih mahal harganya (Rodrigues et al., 2008). Lebih lanjut disebutkan bahwa perusahaan di Brasil (Brazilian Oleoresin Industry) mengambil kebijakan penggunaan bahan tambahan (adjusvant) sebagai pengganti yang lebih murah harganya. Sharma dan Lecha (2013) menyebutkan bahwa peningkatan produksi getah pinus disebabkan oleh temperatur yang tinggi, hujan yang rendah dan sinar matahari yang lebih banyak dalam jam/hari/bulan, demikian juga dengan pendapat Rodrigues et al. (2008) yang menyebutkan bahwa faktor lingkungan berupa cahaya, temperatur dan kelembaban dapat mempengaruhi emisi volatiles dan produksi getah. Hal ini berhubungan dengan produksi getah pinus merupakan produk metabolisme sekunder dari hasil fotosintesis, dengan kata lain semakin banyak fotosintesis akan menghasilkan produk metabolisme sekunder berupa getah yang lebih banyak juga. Getah pinus terdapat dalam saluran-saluran getah yang ada di dalam kayu gubal dan untuk
mengambilnya dilakukan penyadapan dengan melukai kayu gubal agar saluran getah terbuka. Saluran getah dibentuk serta dikelilingi sel-sel parenkim jari-jari atau sel-sel epitel. Getah pinus terbentuk di dalam sel-sel tersebut sebagai akibat proses metabolisme atau translokasi karbohidrat dari daun. Perubahan tekanan (keseimbangan osmotik) antara sel-sel sekitar saluran dengan saluran itu sendiri akan menyebabkan penetrasi bahan-bahan cairan atau resin ke dalam rongga saluran sehingga bila terjadi pelukaan/sayatan terhadap saluran-saluran resin tersebut membuat terbukanya saluran dan memungkinkan aliran getah keluar dengan cepat. Selain itu, saluran getah pinus di dalam kayu mempunyai tekanan yang tinggi, yaitu 70 atm sehingga pelukaan pada kayu menyebabkan getah mengalir keluar (Soepardi 1955). Pada jenis pinus tertentu, jaringan epitel dapat memproduksi getah secara terus menerus selama bagian yang dilukai berada di dalam kayu gubalnya. Perlukaan pada pohon pinus akan memicu pembentukan saluran sekunder yang disebut dengan saluran damar traumatis vertikal dan horizontal yang mempunyai arti penting karena dengan bertambahnya jumlah saluran damar maka produksi getah akan semakin meningkat (Panshin dan De Zeeuw, 1980). Tanaman konifer seperti pohon pinus, mekanisme pertahanan diri terhadap serangga, jamur ataupun mikroba lainnya diekpresikan dengan mengeluarkan getah untuk menutup luka. Penyadapan atau pelukaan pada batang pinus yang menghasilkan sejumlah getah merupakan upaya pertahanan diri untuk menutup luka sadap. Getah yang sudah terkumpul di bekas luka dan sudah terpapar udara menyebabkan zat-zat yang mudah menguap baik mono atau sesqueterpen menguap dan asam diterpen berpolimerisasi menutupi luka sadapan (Trapp dan Croeteu (2001); Martin etal (2003) dalam Rodrigues et al.(2008)), oleh karena itulah stimulan diperlukan untuk membuka dan memperlancar produksi getah pinus. Ketinggian tempat tumbuh berpengaruh terhadap produksi getah pinus, dimana semakin tinggi tempat tumbuh, getah yang dihasilkan akan menurun karena getah pinus yang dihasilkan di ketinggian tempat yang tinggi lebih cepat menggumpal dan aliran getah akan terhambat akibat rendahnya temperatur udara dan intensitas cahaya matahari (Rochidajat dan Sukawi 1979; Kasmudjo 1992). Lebih lanjut Kasmudjo (1992) 335
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 329-340
menyatakan bahwa lingkungan dengan suhu rendah (di bawah 20°C) dan kelembaban udara yang tinggi (di atas 70%) berpengaruh pada saluran getah, dimana saluran getah menjadi menyempit atau bahkan buntu sehingga getah yang keluar akan segera mengalami pembekuan di mulut saluran getah akibatnya akan menghambat getah yang seharusnya masih bisa keluar. Sharma et al. (2013) menyebutkan bahwa temperatur akan mempengaruhi hasil getah secara signifikan, dimana semakin rendah temperatur, getah yang dihasilkan juga akan rendah. Penggunaan stimulan berbahan dasar asam yang mampu menimbulkan efek panas diharapkan dapat mengencerkan getah yang cepat menggumpal pada suhu dingin seiring kenaikkan tinggi tempat. Rodrigues et al. (2008) menyebutkan bahwa faktor lingkungan ber upa cahaya juga mempengaruhi kelancaran produksi getah pinus. Cahaya matahari yang mencapai batang mampu meningkatkan suhu batang sehingga memperlancar aliran getah yang tersumbat karena penurunan viskositas getah. Hasil tersebut sesuai dengan Popp et al. (1991) pada P. taeda yang menemukan adanya peningkatan produksi getah akibat penurunan viskositas getah pada saat suhu batang yang tinggi. Beberapa pustaka menyebutkan bahwa produksi getah pinus dipengaruhi oleh faktor genetik. Penelitian terhadap Pinus taeda oleh Burczyk et al. (1998); P. sylvestris oleh Kossuths (1984) dan P. pinaster oleh Mergen et al. (1955), menyimpulkan bahwa intensitas produksi getah lebih dipengaruhi oleh faktor genetika daripada faktor lingkungan berdasarkan pendekatan nilai heritabilitas. Menurut Tiwari et al. (2012), produksi getah pinus tidak lepas dari jumlah kantung getah (resin duct) yang terdapat dalam kayu pinus itu sendiri. Pembentukan kantung getah tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Lebih lanjut Namkoong (1980) menyatakan bahwa pemeliharan tegakan juga sangat diperlukan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung ekspresi genetika suatu karakter. Hal ini berarti aplikasi teknik silvikultur yang tepat juga akan menjaga ekspresi genetika produksi getah. Teknik silvikultur intensif seperti pemupukan juga perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi getah pinus karena selama ini pohon pinus hanya diambil getahnya tetapi tidak pernah dipupuk. Beberapa jenis 336
pupuk seperti triple superphoshate (TSP) (Knebel et al. 2008) dan pupuk dengan kandungan N,P,K,Ca dan Mg (Warren 1996) dapat digunakan untuk meningkatkan produksi getah. B. Warna Kayu Gambar 1, 2, 3 dan 4 berikut ini mengilustrasikan pengaruh penggunaan stimulan H2SO4, yaitu H2SO4 dan stimulan organik ETRAT selama beberapa tahun terhadap perubahan warna kayu dan struktur anatomi kayu. Batang pohon pinus yang terpapar stimulan H2SO4 menunjukkan bahwa kayu di sekitar koakan berwarna coklat hingga kemerahan sedangkan kayu yang tidak terpapar H2SO4 berwarna coklat muda atau kekuningan. Warna coklat tua hingga kemerahan akibat stimulan H2SO4 pada bidang perlukaan terlihat masuk hingga ± ¾ bagian ke arah sumbu tengah kayu (potongan sejajar jari-jari kayu/ bidang radial). Hal ini menunjukkan bahwa kayu yang dikoak dan terpapar stimulan H2SO4 selama ± 14 tahun, perubahan warna sudah masuk hingga ¾ bagian ke arah sumbu tengah kayu. Selain itu, permukaan kayu pada bekas sadapan dan menggunakan H2SO4 selalu nampak terlapisi getah dan bila diraba seperti ada zat lilin dan terasa licin. Di sisi lain hasil pengamatan terhadap pinus yang disadap dan menggunakan stimulan organik ETRAT, warna kayu bekas koakan dan terpapar ETRAT selama ± 3 tahun hampir sama dengan bekas sadapan yang tidak menggunakan stimulan, yaitu coklat muda kekuningan. Gambar 2 berikut ini disajikan perbedaan warna kayu bekas sadap yang terpapar ETRAT dan yang tidak terpapar ETRAT. Penggunaan stimulan cuka kayu memang belum dapat meningkatkan produksi getah pinus yang lebih tinggi dibandingkan dua stimulan yang sudah biasa digunakan di areal Perum Perhutani. Keunggulan stimulan cuka kayu dalam penelitian ini memanfaatkan limbah kayu pinus (batang, cabang ataupun ranting) dan dapat diproduksi sendiri oleh Perum Perhutani karena mudah dan murah. Asam kuat (H2SO4) yang menjadi komponen utama dalam stimulan termasuk oksidator kuat dan dapat merusak kulit manusia, kayu dan lingkungan (LIPI, 2004). Kebijakan penggunaan stimulan berbahan dasar
Penggunaan Stimulan dalam Penyadapan Pinus (Sukadaryati, et al.)
asam kuat (H2SO4) yang membahayakan dan tidak ramah lingkungan, baik untuk kesehatan maupun lingkungan perlu dievaluasi. Di samping itu dengan semakin sadarnya manusia akan perlunya produk yang aman dan tidak mengandung bahan berbahaya (green product) semakin men-
a
dukung evaluasi kebijakan tersebut. Inovasiinovasi stimulan ramah lingkungan terus dikembangkan sehingga diperoleh stimulan yang dapat meningkatkan produktivitas getah hasil sadapan, murah dan mudah karena dapat diproduksi sendiri serta aman bagi penyadap dan lingkungan.
b
Gambar 1. Warna kayu tidak terpapar H2SO4 (a) dan warna kayu yang terpapar H2SO4 (b) Figure 1. The colour of wood that wasn't exposed by H2SO4 (a) and was exposed by H2SO4 (b)
a
b
Gambar 2. Warna kayu pinus tidak tepapar ETRAT (a) dan terpapar ETRAT (b) Figure 2. The colour of pine wood that wan't exposed by ETRAT (a) and was exposed by ETRAT (b) Penggunaan stimulan di lapangan memerlukan beberapa pertimbangan, seperti pertimbangan aspek teknis yaitu mudah diterapkan, aspek ekonomis dimana biaya yang dikeluarkan lebih murah namun dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi serta aspek lingkungan yaitu menimbulkan gangguan lingkungan yang rendah. Sebagai gambaran pada Tabel 4 disajikan hasil analisis biaya berdasarkan penggunaan masingmasing jenis stimulan.
Tabel 4 dihitung berdasarkan asumsi bahwa harga stimulan an-organik yang digunakan sebesar Rp6.000/liter, sedangkan harga stimulan ETRAT dan destilat cuka kayu masing-masing sebesar Rp12.000/liter dan Rp17.000/liter. Banyaknya stimulan yang digunakan dalam kegiatan penyadapan pinus sebesar 1cc (≈ 1ml) per quare (koakan) dan pemberian stimulan dilakukan setiap 3 hari sekali atau setiap pembaharuan luka sadap. Harga jual getah pinus oleh Perum Perhutani diasumsikan sebesar Rp15.000/kg. 337
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 329-340
Tabel 4. Analisis biaya berdasarkan jenis stimulan Table 4. Cost analysis based on type of stimulans Perihal (Items)
Satuan (Unit)
Jenis Stimulan (type of stimulants) H2SO4
ETRAT
Cuka kayu
Rp/quare/hari (Rp/quare/day)
2,00
4,00
5,67
g/quare/hari (g/quare/day)
73,90
26,97
12,11
3. Pendapatan yang diperoleh dari hasil getah yang menggunakan stimulan (The revenuesobtained from thesap oftheusestimulants)
Rp/kg
1108,5
404,55
181,65
2. Keuntungan yang diperoleh dari hasil getah yang menggunakan stimulan
Rp/kg
1106,05
400,55
75,98
1. Biaya stimulan (Cost of stimulant) 2. Peningkatan produksi getah (improvement of gum production)
Keterangan (Remark) : 1 2 3 4
= = = =
biaya stimulan per hari produksi getah dengan stimulan-produksi getah kontrol (Tabel 1) (No 2 : 1000) kg x Rp 15.000/kg (asumsi harga getah) (No 3-No 1)
Berdasarkan Tabel 4, biaya penggunaan stimulan organik (ETRAT dan cuka kayu) lebih tinggi sedangkan produktivitas getah pinus yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan biaya penggunaan stimulan H2SO4. Namun demikian peng gunaan stimulan organik memiliki keuntungan sehubungan dengan era green product, dimana produk hasil hutan yang dihasilkan harus aman dan ramah lingkungan. Bahkan beberapa negara sekarang ini mulai menerapkan persyaratan bahwa hasil hutan yang digunakan harus berprinsip pada produk yang ramah lingkungan dan tetap menjamin kelestarian. Produk getah berlabel green product pada umumnya digunakan untuk menghasilkan produk food grade. Namun demikian tidak berarti bahwa stimulan H2SO4 yang digunakan dalam penyadapan pinus harus diganti dengan stimulan organik yang ramah lingkungan. Pertimbangan utamanya karena adanya tuntutan untuk mencapai target produksi getah sehingga penggunaan stimulan H2SO4 masih diberlakukan karena mampu menghasilkan produk getah pinus lebih banyak. Di samping itu hanya negara-negara tertentu saja yang menjadi konsumen getah pinus yang mensyaratkan produk food grade, misalnya negara Cina (Rodrigues et.al 2008). Dengan kata lain pangsa pasar perdagangan produk getah 338
pinus food grade masih terbatas. Dengan demikian penggunaan stimulan berbahan dasar asam kuat dan stimulan ramah lingkungan hendaknya proporsional IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penggunaan stimulan digunakan untuk meningkatkan dan memperpanjang waktualiran getah sehingga getah yang diperoleh per pengunduhan lebih banyak. Penggunaan stimulan H2SO4 dapat meningkatkan produksi getah per pengunduhan lebih banyak dibandingkan ETRAT dan cuka kayu, baik pada penggunaan di areal dengan ketinggian di atas 500 mdpl maupun di bawah 500 mdpl. Penggunaan stimulan H2SO4, menyebabkan kayu berubah warna menjadi coklat tua hingga kemerahan bahkan perubahan warna tersebut sampai masuk ke dalam kayu sejauh ¾ bagian ke arah sumbu kayu. B. Saran Penggunaan jenis stimulan dalam penyadapan pinus perlu mempertimbangkan efek negatif yang ditimbulkan, baik tehadap kesehatan pohon,
Penggunaan Stimulan dalam Penyadapan Pinus (Sukadaryati, et al.)
pekerja maupun lingkungan. Aspek ekonomi bukan satu-satunya faktor utama yang harus terus dikejar untuk mencapai target finansial namun perlu mempertimbangkan aspek ekologi dan sosial untuk mencapai sustainabilitas hasil dan pohon penghasilnya. Penggunaan stimulan berbahan dasar asam kuat dan stimulan ramah lingkungan sebaiknya diterapkan secara proporsional. DAFTAR PUSTAKA
FAO. (2005). Gum Naval Stores : Turpentine and Rosin from Pine Resin. Roma, Italia. Hillis, W.E . (1987). Heartwood and Tree Exudate. Springer Verlag. Berlin Heidelberg, New York, London. Kasmodjo. (1982). Dasar-Dasar Pengolahan Gondorukem. Yogyakarta: Yayasan Pembina FakultasKehutananUniversitasGadjahMada. Kasmudjo. (1992). Usaha stimulan pada penyadapan getah pinus. Jakarta: Duta Rimba No 149/XVII.
Bina. (2012). Perhutani Menuju Era Getah Bersih. Media Berita Kehutanan dan Lingkungan. Edisi 08 Oktober 2012/tahun XXXIX. Jakarta: Perum Perhutani
Kasmodjo. (2011). Publikasi Hasil-Hasil Penelitian Laboratorium Hasil Hutan Non Kayu Fakultas Kehutanan UGM. Volume 2. Cakrawala. Yogyakarta.
Bina. (2014a). PPCL Eksport Perdana Produk Alphapinene ke India. Media Kehutanan dan Lingkungan. Edisi 03 Mei 2014/tahun XLI. Jakarta: Perum Perhutani.
Kramer, P.J and T.T Kozlowsky. (1960). Physiology of Trees. McGraw-Hill Book. Company. New York, Toronto.
Bina. (2014b). Mengenjot Primadona Getah Pinus. Majalah Kehutanan dan Lingkungan. Edisi 5 Juli 2014/tahun XLI. Jakarta: Perum Perhutani. Darmadji P. (2009). Teknologi Asam Cair dan Apliksinya pada Pangan dan Hasil Pertanian. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada tanggal 28 April 2009. Yogyakarta: Fakultas Teknologi Pertanian. UGM. Tidak diterbitkan. Dewi IR. (2008). Peranan dan fungsi fitohormon bagi pertumbuhan tanaman. Bandung: Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran. Makalah. Tidak diterbitkan. Duta Rimba. (2010). Upaya meningkatkan produktivitas getah pinus menggunakan bahan yang ramah lingkungan. Website : w w w. k p h c i a n j u r . p e r u m P e r u m Perhutani.com Diakses pada tanggal 17 Februari 2011. Duta Rimba. (2012a). Potensi Besar Getah Pinus. Duta Rimba (41) tahun 7 Januari-Februari : 58-63. Jakarta: Perum Perhutani.
Knebel, L., Robinson D.J., Whenworth T.R., Klepzig D. (2008). Resin flow responses to fertilization, wounding and fungal inoculation in Loblolly Pine (Pinus taeda) in North Carolina. Tree Physiology:28, 847-853. Kossuths, V. (1984). Multipurpose slash pinegenetics and physiology of gum naval stores production. Usda. Fol: Sew. General Tech. Report,Northeastern Sta. Ne-90: 77-83. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Lembar Data Keselamatan Bahan. http://www.kimianet.lipi.go.id. Diunduh tanggal 2 Juli 2013. Mergen, E, Hoekstra P., Echols R.M. (1955) Genetic control of oleoresin yield and viscosity in slash pine. Forest science:1(1):19-30. Moore TC. (1979). Biochemestry and Physiology of Plant Hormones. Berlin (ID): SpringerVerlag. Namkoong, Barnes R.D, Burley J. (1980). Screening in Yield in Forest Tree Breeding. Commonw.Fo, Rev:59:1. Nanos, N., Alía R., Gil L., Montero G., Tadesse W. (2000). Modelling resin production distributions for Pinus pinaster ait using two probability functions. Ann For Sci: 57: 369377. 339
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 329-340
Panshin dan De Zeeuw. (1970).Textbook of Wood Technology. Vol.1. New York, Toronto: McGraw Hill Book.Company. Pari G. dan Nurhayati Tj. (2009). Cuka Kayu dari Tusan dan Limbah Campuran Industri Penggergajian Kayu Untuk Kesehatan Tanaman dan Obat. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Tidak Diterbitkan. Perum Perhutani. (2010). Current situation of Indonesian gum rosin in the world market. Praque: Pine Chemicals Association International Conference. Popp M.P., Johnson J.D., Massey T.L, (1991). Stimulation of resin flow in slash and loblolly pine by bark beetle fungi. Can. J. For. Res: 21:1124-1126. Rochidajat dan Sukawi. (1979). Pengaruh tinggi tempat tumbuh pada produksi getah Pinus merkusii pada petak-petak coba di KPH Sumedang. Laporan. Lembaga Penelitian Hutan No. 321. Bogor: Lembaga Penelitian Hutan Rodrigues, K.C.S, Azevedo P. C. N., SobreiroL. E., Pelissari P. dan Fett-Neto A.G. (2008). Oleoresin yield of Pinus elliottii plantations in subtropical climate: Effect of tree diameter, wound shape and concentration of active adjuvants in resin stimulating paste. Journal Crops and Product 27:322-327. Rodrigues, K.C.S., Fett-Neto A.G. (20090. Oleoresin yield of Pinus elliottii plantations in subtropical climate: Seasion variation and effect of auxin and salicylic acid-based stimulant paste. Journal Crops and Product 30(2009):316-320. Rodrigues, K.C.S., Apel M.A., Henrique A.T., Fett-Neto A.G. (2011). Efficient oleoresin biomass production in pines using low cost metal containing stimulant paste. Journal Crops and Product 35(2011):4442-4448. Santosa, G. 2010. Pemanenan hasil hutan bukan k a y u ( H H B K ) . We b s i t e :
340
http://members.multimania.co.uk. Diakses pada tanggal 17 Februari 2011. Santosa, G. (2011). Pengruh pemberian Etrat terhadap peningkatan produktivitas penyadapan getah pinus (Studi Kasus di KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten). Bogor. Laporan Penelitian. Fakultas kehutanan IPB. Tidak diterbitkan. Sharma, Kulwan R. dan Lekha C. (2013). Tapping of Pinus roxburghii (Chir Pine) for oleoresin in Himachal Pradesh, India. Journal Advances in Forestry Letters (AFL) 2 : 3155. Diakses : www.afl-journal.org. Soepardi, R (1955) Pinus merkusii di Tanah Gayo. Rimba Indonesia 4(6-7-8):265-280. Jakarta: Kehutanan Indonesia. Steel, R.G.D. dan Torrie J.H. (1991).Prinsip Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sutjipto. (1975). Gondorokem (Seni Kuliah HasilHasil Hutan Kayu). Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Tiwari, Satyendra P., Kumar P., Yadav D, Chuhan D.L. (2012) Comparative morphological, epidermal, and Anatomical studies of Pinus roxburghii Needles at different altitudes in The North-West Indian Himalayas. Turkish Journal of Botany 37:65-73. Warren, J.M. (1996). The Effect of Mineral Nutrition on The Resin Flow and Phloem Nonstructural Carbohydrates and Phenolic Compounds in a Loblolly Pine (Pinus taeda L.) stand. M.S. Thesis, Dept. of Forestry, North Carolina State Univ. Raleigh, NC, 62 p. Wattimena GA. (1988). Zat Pengantar Tumbuh Tanaman. Bogor: IPB Press. Wijaya M.M. (2010). Pirolisis Limbah Kayu dan Bambu yang Ramah Lingkungan Untuk Menghasilkan asam Asetat. Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 341-354 ISSN: 0216-4329 Terakreditasi No.: 443/AU2/P2MI-LIPI/08/2012
SIFAT ANATOMI DAN KUALITAS SERAT JENIS KAYU SANGAT KURANG DIKENAL: SUKU CAPPARIDACEAE, CAPRIFOLIACEAE, CHLORANTHACEAE DAN COMPOSITAE (Anatomical Properties and Fiber Quality of The Least Known Wood Species: Families of Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae and Compositae) Sri Rulliaty Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl.Gunung Batu No. 5, Bogor 16610 Telp (0251) 8633378, Fax (0251) 8633413 E-mail:
[email protected] Diterima 2 Desember 2014, Disetujui 18 Desember 2014
ABSTRACT From the total of 34,410 wood samples collection of Xylarium Bogorienses 1915, there are about 800 species (251 genera of 77 tribes) which their anatomical properties have not been studied adequately. These wood species were grouped into “The Least Known Wood Species”. This paper studies anatomical properties and fiber quality of five wood species of “The Least Known Wood Species”. The studied species include Crataeva sp., Crataeva membranifolia Miq.,(Capparidaceae), Viburnum sambucinum Bl. (Caprifoliaceae), Ascarina sp. (Chloranthaceae) and Olearia sp. (Compositae). Samples were extracted from Xylarium Bogoriense 1915 collection. The anatomical properties were examined through sectioned samples based on the IAWA list of wood identification and fiber dimensions were observed from macerated samples. Results show that anatomical properties of the studied species are distinctive for identification purposes, such as Ascarina sp. and Olearia sp. which characterized with wide ray structures. Aggregate rays were present in Crataeva membranifolia and Ascarina sp. The heartwood of Crataeva membranifolia are yellowish in colour and has straight grain which can be used for substitution of ramin wood. Fiber quality of all the studied species are classified into class quality I for pulp and paper except Olearia sp. wood species which falls into class quality II. Keywords: Anatomical properties, The Least Known Wood Species, Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae, Compositae ABSTRAK Dari 34.410 contoh koleksi Xylarium Bogoriense 1915, masih tersisa sekitar 800 jenis kayu (tercakup dalam 251 marga dari 77 suku), yang hingga saat ini belum pernah diteliti sifat-sifat anatominya secara memadai. Jenis-jenis kayu tersebut kemudian diistilahkan sebagai “ Jenis Kayu Sangat Kurang Dikenal” atau “the Least Known Wood Species”. Tulisan ini mempelajari sifat anatomi dan kualitas serat lima jenis kayu sangat kurang dikenal yaitu jenis Crataeva sp., Crataeva membranifolia Miq. (Capparidaceae), Viburnum sambucinum Bl. (Caprifoliaceae), Ascarina sp. (Chloranthaceae), dan Olearia sp. (Compositae). Contoh kayu yang digunakan diambil dari contoh kayu Xylarium Bogoriense 1915 Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. Sifat anatomi diteliti berdasarkan preparat sayatan yang dibuat menurut metoda Sass diamati berdasarkan IAWA List, dimensi serat berdasarkan preparat maserasi. Hasilnya menunjukan jenis kayu Ascarina sp. dan Olearia sp. mudah dikenali karena mempunyai jari-jari lebar. Jari-jari agregat ditemui pada jenis kayu Crataeva membranifolia and Ascarina sp. Kayu teras Crataeva membranifolia yang berwarna kuning jerami dan memiliki arah serat lurus menyebabkan kayu ini
341
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 341-354
dapat digunakan sebagai pengganti kayu ramin. Seluruh jenis kayu yang diteliti termasuk kualitas I untuk pulp dan kertas, kecuali jenis Olearia sp. yang termasuk kualitas serat kelas II. Kata kunci: Sifat anatomi kayu, jenis kayu sangat kurang dikenal, Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae dan Compositae
I. PENDAHULUAN Identifikasi kayu merupakan langkah pertama yang harus dilakukan untuk memanfaatkan kayu secara efisien (Oteng, 1989 dalam Tesoro, 1989). Adanya ilmu anatomi kayu memudahkan manusia untuk melakukan kegiatan identifikasi kayu secara lebih tepat (Tesoro, 1989). Dari sisi ekonomi, khususnya perdagangan pengetahuan ini sangat penting untuk menetapkan harga, tarif dan biayabiaya lain sehubungan dengan pajak maupun kegiatan ekspor-impor (Miller dan Baas, 1981; Wheeler dan Baas, 1998). Di Indonesia terdapat kurang lebih 4000 jenis pohon (Mandang dan Pandit, 2002). Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan sudah menyimpan sebanyak 34.410 contoh kayu dari seluruh hutan Indonesia yang tercakup dalam 675 marga dari 110 suku. Pohon yang kayunya sudah dikenal dalam perdagangan sampai saat ini diperkirakan ada 400 jenis (spesies), tercakup dalam 198 marga (genera) dari 68 suku (famili). Sisanya, sekitar 800 jenis (tercakup dalam 251 marga dari 77 suku) sejak tahun 2007 baru beberapa yang diteliti dan diketahui sifat-sifat anatominya. Jenis-jenis tersisa ini yang kemudian diistilahkan sebagai “Jenis Kayu Sangat Kurang
Dikenal (The least known wood species)” (Rulliaty dan Damayanti, 2008) yang perlu diteliti sifat anatominya dalam upaya identifikasi jenis kayu. Tersedianya informasi ilmiah mengenai sifat anatomi The Least Known Wood Species akan memberikan sumbangan yang berarti serta memperbaharui data base Xylarium Bogoriense 1915 Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Lima jenis kayu sangat kurang dikenal masing-masing berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm diambil dari contoh kayu yang dimiliki Xylarium Bogoriense 1915, Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama terdiri dari lima jenis kayu. Jenis kayu yang diteliti, nomor koleksi dalam Xylarium Bogoriense, kelas awet dan kelas kuat menurut Oey (1990) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis kayu yang diteliti Table 1. Wood species studied Suku (Family)
Marga (Genus)
Nomor (No.)
Asal (Origin)
BJ* (Sg)
Kelas kuat* (Strength class)
Koleksi (Collection) Jenis (Species)
Kelas awet* (Durabi lity class)
Capparidaceae
Crataeva
Crataeva sp. Crataeva membranifolia Miq.
24.343 22.215
Maluku Muna
0,37
IV
V
Caprifoliaceae Chloranthaceae Compositae
Viburnum Ascarina Olearia
Viburnum sambucinum Bl. Ascarina sp. Olearia sp.
9746 26.271 26.235
Jabar Maluku Maluku
0,75 0,55 0,71
II III II
IV/V IV
* Sumber (Source) : Oey (1990) dan Data Base Xylarium (Oey (1990) and Xylarium data base)
342
Sifat Anatomi dan Kualitas Serat Jenis Kayu Sangat Kurang Dikenal: Suku Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae dan Compositae (Sri Rulliaty)
Bahan lain yang digunakan antara lain: asam asetat glacial, hidrogen peroxida, alkohol teknis konsentrasi 30%, 50%, 70%, 96%, ethanol, gliserin, safranin, toluene, karbolxylene, dan entellan. Peralatan gelas dan kaca yang diperlukan yaitu object glass, cover glass, tabung reaksi, botol timbang, watch glass dan pipet. C. Prosedur Kerja Ciri umum atau ciri makroskopis diamati pada penampang lintang kayu dan contoh kayu yang telah dihaluskan permukaannya. Pengamatan dilakukan menurut pedoman dalam Mandang dan Pandit (2002). Ciri mikroskopisnya diamati melalui sayatan mikrotom penampang lintang, radial dan tangensial yang disiapkan menurut metode Sass (1961). Ciri yang diamati meliputi ciri-ciri yang dianjurkan oleh International Association of Wood Anatomist Committee (IAWA) (Wheeler et al., 1989). Preparat maserasi untuk pengamatan dimensi dan pengukuran kualitas serat dibuat berdasarkan metode Forest Product Laboratory, Madison dalam Rulliaty (2013). Serpihan-serpihan contoh kayu sebesar batang korek api dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 35% H2O2 dengan 60% asam asetat glasial 1 : 1, kemudian dipanaskan dalam penangas air. Serat yang sudah terpisah dicuci bersih dengan air kran beberapa kali hingga kandungan dan bau asamnya hilang, lalu diwarnai dengan safranin. Serat yang sudah diwarnai dimuat dalam gelas obyek yang terlebih dahulu sudah ditetesi gliserin. Seratnya disebarkan merata lalu ditutup dengan gelas penutup. Sampai tahap ini preparat siap untuk diukur. Panjang serat, diameter serat dan diameter lumen diukur di bawah mikroskop menggunakan mikroskop dan filar mikrometer. Data hasil pengamatan struktur anatomi kayu diolah dan disajikan secara deskriptif. Ciri kuantitatif diamati 10-30 kali per contoh tergantung pada ragam ciri yang diamati: 1) diameter pembuluh, n = 25; 2) frekuensi pembuluh per-mm2, n = 10; 3) frekuensi jari-jari, n = 10; 4) tinggi jari-jari, n = 25; 5) panjang serat n = 30; 6) diameter serat dan tebal dinding, masingmasing n = 15. Kualitas serat dinilai berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Rachman dan Siagian dalam Rulliaty (2013), menggunakan rumus sebagai berikut:
1) 2) 3) 4) 5)
Bilangan Runkel = 2w/l Daya tenun = L/d Perbandinganfleksibilitas= l/d Koefisien kekakuan = w/d Perbandingan Muhlstep = (d2-l2) x 100 % 2 d. Keterangan: L = Panjang serat d = Diameter serat l = Diameter lumen w = Tebal dinding III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ciri Umum dan Struktur Anatomi 1. Crataeva sp. - Capparidaceae Nama daerah : atedwe Ciri Umum Warna: kayu teras berwarna kuning kecoklatan, pada bidang radial berwarna keperakan selang seling. Tekstur: agak halus dan tidak merata. Arah serat: lurus dan agak miring. Kilap: agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: agak keras. Corak: pada bidang radial bergaris vertikal selang-seling karena adanya jari-jari lebar. Bau: tidak ada bau khas. Ciri Anatomi Lingkaran tumbuh: batas lingkar tumbuh jelas (ciri 1). Pembuluh: baur (ciri 5), tersebar dalam pola diagonal atau radial (ciri 7), hampir seluruhnya soliter (ciri 9), bidang perforasi bentuk sederhana (ciri 13), ceruk antar pembuluh selang seling (ciri 22), kecil > 4-7 mikron (ciri 25), ceruk antar pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30), diameter lumen 50 mikron atau kurang sampai 50-100 mikron (ciri 40 dan 41), dengan frekuensi 5-20 pembuluh per mm2 (ciri 47), terdapat endapan berwarna kuning (ciri 58). Trakeida vaskisentrik dan vaskular dijumpai (ciri 60). Parenkim: parenkim aksial pratrakea vaskisentrik (ciri 79) dan paratrakea sepihak (ciri 84), parenkim pita >3 lapis sel (ciri 85), panjang untai parenkim 2 sel sampai 3-4 sel per untai (ciri 91 dan 92). Jari-jari: lebar jari-jari 1-3 seri dan sampai lebih dari 4 seri (ciri 97 dan 98), komposisi umumnya dengan 1 jalur sel tegak sampai 2-4 jalur 343
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 341-354
sel tegak atau sel bujursangkar marjinal (ciri 106 dan 107), memiliki jari-jari agregat (ciri 101) juga sel ubin (ciri 111), frekuensi >4-12 per mm (ciri 115). Serat: jaringan serat dasar dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil (ciri
61), dijumpai serat tanpa sekat (ciri 66), serat tipis sampai tebal (ciri 69). Inklusi material: tidak dijumpai. Gambar kayu dan struktur anatomi Crataeva sp. disajikan pada Gambar 1-2:
Gambar 1. Penampang memanjang (a) dan melintang (b) (makroskopis) kayu Crataeva sp. 10x Figure 1. Longitudinal (a) and transversal (b) section of Crataeva sp. in macroscopic feature, x10)
Gambar 2. Struktur mikroskopis kayu Crataeva sp. pada (a) penampang melintang (b) radial dan (c) tangensial) Figure 2. Microscopic structures of Crataeva sp. in (a) transversal (b) radial and (c) tangential section) 344
Sifat Anatomi dan Kualitas Serat Jenis Kayu Sangat Kurang Dikenal: Suku Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae dan Compositae (Sri Rulliaty)
2. Crataeva membranifolia Miq. - Capparidaceae Nama daerah: jaranan, sempalwadak, tandauli Ciri Umum Warna: kayu teras berwarna kuning jerami. Tekstur: agak halus dan tidak merata. Arah serat: lurus. Kilap: agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: agak lunak, ringan. Bau: tidak ada bau khusus. Corak: polos. Ciri Anatomi Lingkaran tumbuh: batas lingkar tumbuh jelas (ciri 1). Pembuluh: baur (ciri 5), hampir seluruhnya soliter (ciri 9), berganda sampai dengan 2 sel, outline pembuluh soliter bersudut (ciri 12), bidang perforasi sederhana (ciri 13), ceruk antar pembuluh selang seling (ciri 22), kecil > 4-7 mikron (ciri 25), ceruk antar pembuluh dan jarijari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30), diameter lumen pembuluh dan frekuensi
pembuluh berturut-turut 50-100 mikron dan 5-20 2 pembuluh per mm (ciri 41 dan 47). Trakeida vaskisentrik dan vaskular di jumpai (ciri 60). Parenkim: parenkim aksial paratrakea vaskisentrik (ciri 79), dan paratrakea sepihak (ciri 84), dijumpai parenkim paratrakea marjinal atau tampak marjinal (ciri 89), dua sel sampai 3-4 sel per untai (ciri 91 dan 92). Jari-jari: lebar 1-3 seri (ciri 97) kadang sampai 4 seri, ditemukan jari-jari agregat (ciri 101), komposisi umumnya 1 jalur sel tegak atau sel bujursangkar marjinal (ciri 106), frekuensi jari-jari 4-12 per mm (ciri 115). Serat: dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil (ciri 61), terdapat juga serat tanpa sekat (ciri 66), dinding sel tipis sampai tebal (ciri 69), dijumpai susunan bertingkat (ciri 121). Inklusi material: tidak dijumpai. Gambar kayu dan struktur anatomi Crataeva membranifolia disajikan pada Gambar 3-4.
Gambar 3. Penampang memanjang (a) dan melintang (b) (makroskopis) kayu Crataeva membranifolia 10x Figure 3. Longitudinal (a) and transversal (b) section of Crataeva membranifolia in macroscopic feature, x10
345
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 341-354
Gambar 4. Struktur mikroskopis kayu Crataeva membranifolia pada (a) penampang melintang (b) radial dan (c) tangensial Figure 4. Microscopic structures of Crataeva membranifolia in (a) transversal (b) radial and (c) tangential section
3. Viburnum sambucinum Bl. - Caprifoliaceae Nama daerah : Joloprang, jalapra Ciri Umum Warna: kayu teras coklat muda. Tekstur: halus dan merata. Arah serat: lurus. Kesan raba: agak licin. Kilap: agak mengkilap. Kekerasan: keras. Bau: tidak ada bau khusus. Corak: polos. Ciri Anatomi Lingkaran tumbuh: batas lingkar tumbuh tidak jelas (ciri 2). Pembuluh: baur (ciri 5), hampir seluruhnya soliter (ciri 9), bidang perforasi bentuk tangga (ciri 14), >20-40 palang (ciri 17), ceruk antar pembuluh berhadapan (ciri 21), kecil > 4-7 mikron sampai sedang > 7-10 mikron (ciri 25 dan 26), ceruk antar pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30),
346
diameter pembuluh rata-rata kurang dari 50 mikron (ciri 40) sampai 50-100 mikron (ciri 41), 2 frekuensi 5-20 pembuluh per mm (ciri 47). Parenkim: aksial apotrakea tersebar dalam kelompok (ciri 77), dan parenkim paratrakea jarang (ciri 78), 2 sel per untai (ciri 91). Jari-jari: 13 seri (ciri 97) kadang beberapa ditemui 4 seri lebih (ciri 98), tinggi jari-jari > 1 mm (ciri 102), komposisi dengan 1 jalur sel tegak dan atau dengan sel bujur sangkar marjinal (ciri 106), frekuensi > 4-12 per mm (ciri 115). Serat: jaringan serat dasar dengan ceruk berhalaman yang jelas, umum pada dinding radial dan tangensial (ciri 62 dan 63), ada serat tanpa sekat (ciri 66), dinding tipis sampai tebal (ciri 69). Inklusi material: kristal primatik tidak dijumpai. Gambar kayu dan struktur anatomi Viburnum sambucinum disajikan pada Gambar 5-6.
Sifat Anatomi dan Kualitas Serat Jenis Kayu Sangat Kurang Dikenal: Suku Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae dan Compositae (Sri Rulliaty)
Gambar 5. Penampang memanjang (a) dan melintang (b) (makroskopis) kayu Viburnum sambucinum 10x Figure 5. Longitudinal (a) and transversal (b) section of Viburnum sambucinum in macroscopic feature, x10
Gambar 6. Struktur mikroskopis kayu Viburnum sambucinum pada (a) penampang melintang (b) radial dan (c) tangensial Figure 6. Microscopic structures of Viburnum sambucinum in (a) transversal (b) radial and (c) tangential section
347
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 341-354
4. Ascarina sp. - Chloranthaceae Nama daerah: Pudulan Ciri Umum Warna: kayu teras kuning kecoklatan. Tekstur: agak halus dan tidak merata. Arah serat: lurus dan agak berpadu. Kilap: agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: agak keras. Bau: tidak ada bau khusus. Corak: polos. Ciri Anatomi Lingkaran tumbuh: batas lingkar tumbuh tidak jelas (ciri 2). Pembuluh: baur (ciri 5) outline pembuluh soliter bersudut (ciri 12), bidang perforasi bentuk tangga >20-40 palang (ciri 14 dan ciri 17), ceruk antar pembuluh berhadapan dan besar > 10 mikron (ciri 21 dan 27), ceruk antar pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30) serta dengan halaman
yang sempit sampai sederhana, ceruk bundar atau bersudut (ciri 31), diameter 50 mikron atau kurang 2 (ciri 40) dan frekuensi 5-20 pembuluh per mm (ciri 47). Parenkim: parenkim aksial apotrakea tersebar (ciri 76), dan paratrakea jarang (ciri 78), 34 sampai 6 sel per untai (ciri 92 dan 93). Jari-jari: besar umumnya 4-10 seri (ciri 98), dijumpai jari jari agregat (ciri 101), tinggi jari-jari > 1 mm (ciri 102), komposisi heteroseluler, umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak atau sel bujur sangkar marginal (ciri 107), dijumpai sel seludang (ciri 110), frekuensi ≤ 4 per mm (ciri 114) . Serat: jaringan serat dasar dengan ceruk berhalaman yang jelas (ciri 62), ceruk umum pada dinding radial dan tangensial (ciri 63), ditemukan adanya serat bersekat (ciri 65), dinding serat tipis sampai tebal (ciri 69). Inklusi material: kristal primatik tidak dijumpai. Gambar kayu dan struktur anatomi Ascarina sp. disajikan pada Gambar 7-8.
Gambar 7. Penampang memanjang (a) dan melintang (b) (makroskopis) kayu Ascarina sp. 10x Figure 7. Longitudinal (a) and transversal (b) section of Ascarina sp. in macroscopic feature, x10)
Gambar 8. Struktur mikroskopis kayu Ascarina sp. pada (a) penampang melintang (b) radial dan (c) tangensial Figure 8. Microscopic structures of Ascarina sp in (a) transversal (b) radial and (c) tangential section) 348
Sifat Anatomi dan Kualitas Serat Jenis Kayu Sangat Kurang Dikenal: Suku Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae dan Compositae (Sri Rulliaty)
5. Olearia sp. - Compositae Nama daerah: Pudulan Ciri Umum Warna: kayu teras berwarna kuning agak kecoklatan, atau coklat. Corak: polos, kadang ada garis-garis pada bidang tangensial karena arah serat yang bergelombang. Tekstur: agak halus sampai agak kasar dan tidak merata. Arah serat: agak berpadu dan bergelombang. Kilap: agak kusam. Kesan raba: agak kesat sampai agak licin. Kekerasan: agak keras sampai keras. Bau: tidak ada bau khusus. Ciri Anatomi Lingkaran tumbuh: batas lingkar tidak jelas (ciri 2). Pembuluh: baur (ciri 5), dalam pola radial atau diagonal (ciri 7), berganda radial 4 sampai 8 sel (ciri 10), pembuluh bergerombol biasa dijumpai (ciri 11), outline pembuluh soliter bersudut (ciri 12), bidang perforasi sederhana (ciri 13), ceruk antar pembuluh selang-seling, bentuk ceruk selang seling bersegi banyak (ciri 22 dan 23), ukuran sangat kecil ≤ 4 mikron (ciri 24) sampai sedang > 7-10 mikron (ciri 26), kadang berumbai (ciri 29), ceruk antar pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang jelas, serupa dalam ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh (ciri 30) serta dengan halaman yang sempit sampai
sederhana, ceruk bundar atau bersudut (ciri 31), diameter lumen pembuluh dan frekuensi pembuluh berturut-turut 50-100 mikron dan 5-20 2 pembuluh per mm sampai 20-40 pembuluh per 2 mm (ciri 41, 47 dan 48), berisi endapan berwarna kuning (ciri 58), ditemukan trakeida vaskisentrik dan vaskular (ciri 60). Parenkim: aksial apotrakea tersebar (ciri 76), aksial paratrakea vaskisentrik (ciri 79), parenkim paratrakea jarang (ciri 78), dan sepihak (ciri 84), 2-4 sel per untai (ciri 91 dan 92). Jari-jari: 1-3 seri (ciri 97) kadang sampai 4 seri lebih (ciri 98), frekuensi jari-jari ≤ 4 per mm sampai > 412 per mm (ciri 114 dan 115), komposisi heteroseluler, umumnya dengan 1 jalur sel tegak atau sel bujur sangkar marginal (ciri 106) dan 2-4 jalur sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal (ciri 107), sel seludang dijumpai dalam jumlah banyak (ciri 110). Serat: jaringan serat dasar dengan ceruk sederhana sampai berhalaman sangat kecil (ciri 61), serat tanpa sekat ditemui (ciri 66), dinding serat tipis sampai tebal (ciri 69). Ciri lain: dijumpai susunan bertingkat, jari-jari rendah bertingkat jarijari tinggi tidak (ciri 119); parenkim aksial atau unsur pembuluh (ciri 120); dan serat (ciri 121). Inklusi material: kristal primatik tidak dijumpai. Gambar kayu dan struktur anatomi Olearia sp. disajikan pada Gambar 9-10 berikut:
Gambar 9. Penampang memanjang (a) dan melintang (b) (makroskopis) kayu Olearia sp. 10x Figure 9. Longitudinal (a) and transversal (b) section of Olearia sp. in macroscopic feature, x10) 349
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 341-354
Gambar 10. Struktur mikroskopis kayu Olearia sp. pada (a) penampang melintang (b) radial dan (c) tangensial Figure 10. Microscopic structures of Olearia sp. in (a) transversal (b) radial and (c) tangential section) Dari hasil pengamatan di atas dibuat rangkuman ciri umum dan ciri anatomi seperti disajikan pada Tabel 2. Penulisan ciri menggunakan kode dalam Daftar IAWA, sehingga lebih memudahkan dalam melakukan identifikasi menggunakan komputer hingga tingkat marga serta telah sesuai dengan format data base yang ada dalam Xylarium Bogoriense 1915. Secara makroskopis bagian teras kayu Crataeva membranifolia berwarna kuning jerami dan agak lunak, berbeda dari jenis kayu lainnya yang diamati yaitu kuning agak kecoklatan. Corak dijumpai hanya pada kayu Crataeva sp. Tekstur, kilap hampir sama. Secara mikroskopis pengelompokan pembuluh untuk jenis kayu Crataeva sp., C . membranifolia , Viburnum sambucinum, dan Ascarina sp. hampir seluruhnya soliter, sedangkan Olearia sp. berganda radial 4 sampai 8 sel, diameter pori dari jenis kayu yang diamati tidak terlalu besar umumnya berkisar 50100 mikron, malah ada yang lebih kecil lagi yaitu pada Crataeva sp. dan V. Sambucinum. Bidang perforasi umumnya sederhana, sedangkan pada V. sambucinum dan Ascarina sp. dijumpai bentuk tangga. Hasil pengamatan untuk persebaran pembuluh, bidang perforasi, ceruk antar
350
pembuluh sesuai dengan yang dipaparkan oleh Metcalfe dan Chalk (1950). Yang tidak ditemukan pada jenis kayu sangat kurang dikenal ini adalah penebalan spiral. Parenkim pada jenis kayu yang diteliti umumnya tersebar, vaskisentrik dan paratrakea jarang bukan merupakan tipe parenkim yang mencolok kecuali pada Crataeva membranifolia dimana terdapat parenkim pita marjinal. Hasil ini sesuai dengan Metcalfe dan Chalk (1950). Jari-jari pada jenis kayu yang diteliti lebarnya berkisar dari 1 seri sampai 8 seri. Pada Crataeva sp. dan Ascarina sp. terdapat jari-jari agregat. Menurut Metcalfe dan Chalk (1950), tipe jari-jari pada kelima jenis kayu yang diteliti homogenous. Dari hasil pengamatan diperoleh beberapa memiliki 1 atau 2-4 jalur sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal. Terdapat dua jenis kayu yang memiliki tinggi jari-jari > 1 mm yaitu V. sambucinum dan Ascarina sp., sedangkan pada kayu Ascarina sp. dan Olearia sp. kadang ditemukan adanya sel seludang pada jari-jari yang tidak ada dalam laporan Metcalfe dan Chalk (1950). Serat bertingkat ditemukan pada jenis C. membranifolia dan Olearia sp., sedangkan ciri lain baik kristal maupun silika tidak ditemukan pada jenis kayu yang diteliti.
Sifat Anatomi dan Kualitas Serat Jenis Kayu Sangat Kurang Dikenal: Suku Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae dan Compositae (Sri Rulliaty)
Tabel 2. Daftar ciri makroskopis dan mikroskopis kayu yang diteliti Table 2. List of macroscopic and microscopic characteristics of examined wood Nama daerah (Local names)
Crataeva membranifolia
Crataeva sp.
Viburnum sambucinum
Ascarina sp.
Olearia sp.
Kodifikasi sesuai IAWA List, 1989 (Codification according IAWA List, 1989)
Ciri (Characteristics)
Warna: kayu teras kuning kecoklatan, Corak: bergaris vertikal selang-seling pada bidang radial Tekstur: agak halus dan tidak merata. Arah serat: lurus dan agak miring. Kilap: agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: agak keras. Bau: tidak ada bau khas.
Warna: kayu teras kuning jerami. Corak: polos.Tekstur: agak halus dan tidak merata. Arah serat: lurus. Kilap: agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: agak lunak, ringan. Bau: tidak ada bau khusus.
Warna: kayu teras coklat muda. Corak: polos. Tekstur: halus dan merata. Arah serat: lurus. Kesan raba: agak licin. Kilap: agak mengkilap. Kekerasan: keras. Bau: tidak ada bau khusus.
Warna: kayu teras kuning kecoklatan. Corak: polos. Tekstur: agak halus dan tidak merata. Arah serat: lurus dan agak berpadu. Kilap: agak mengkilap. Kesan raba: agak licin. Kekerasan: agak keras. Bau: tidak ada bau khusus.
Warna: kayu teras kuning agak kecoklatan, atau coklat. Corak: polos, kadang ada garis-garis pada bidang tangensial Tekstur: agak halus sampai agak kasar, tidak merata. Arah serat: agak berpadu dan bergelombang. Kilap: agak kusam. Kesan raba: agak kesat sampai agak licin. Kekerasan: agak keras sampai keras. Bau: tidak ada bau khusus.
1
1
2
2
2
Pembuluh (Vessels)
5, 7, 9, 13, 22, 25, 30, 40, 4 1, 47, 58, 60
5, 9, 12, 13, 22, 25, 30, 41, 47
5, 9, 14, 17, 21, 25, 26, 30, 40, 41, 47
5, 1 2, 14, 17, 21, 27, 30, 31, 40, 47
5, 7, 10, 11, 12, 13, 22, 23, 24, 26, 29, 30, 31, 41, 47, 48, 58, 60
Parenkim (Parenchyma)
79, 84, 85, 91, 92
79, 84, 89, 91, 92
77, 78, 91
76, 78, 92, 93
76, 79, 78, 84, 91, 92
Jari-jari (Rays)
97, 98, 106, 107, 101, 111, 115
97, 101, 106, 115
97, 98, 102, 106, 115
98, 101, 102, 107, 110, 114.
97, 98, 106, 107, 110, 114, 115,
Serat (Fibers)
61, 66, 69
61, 66, 69, 121
62, 63, 66, 69
62, 63, 65, 69
61, 66, 69, 119, 120, 121
Ciri lain (Others characteristics)
-
-
-
-
Ciri umum (General characteristics)
Lingkar tumbuh (Growth rings)
-
351
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 341-354
B. Kualitas Serat Hasil pengukuran dan perhitungan dimensi serat disajikan dalam Tabel 3. Jenis kayu yang diteliti tergolong kayu berserat panjang terutama Ascarina sp., dan Viburnum
sambucinum. Ini menunjukkan bahwa kedua jenis kayu tersebut lebih berpotensi digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas. Hasil perhitungan nilai turunan dimensi serat jenis kayu yang diteliti, disajikan pada Tabel 4.
Tabel 3. Rata-rata dimensi serat 5 jenis kayu Table 3. Averages fiber dimensions of five examined wood species Panjang (Length,) Mikron (Micron)
Diameter (Diameter), Mikron (Micron)
Diameter Lumen (Lumen diameter), Mikron (Micron)
Crataeva sp.
1060,88± 82,69
37,79± 4,39
32,83 ±3,84
Tebal dinding (w) (Cellwall thickness), Mikron (Micron) 2,48±0,39
Crataeva membranifolia Miq.
1128,59 ±78,12
43,±,44
38,85± 3,27
2,46 ±0,46
Viburnum sambucinum Bl..
2536,10± 245,76
45,33± 4,56
39,41± 4,279
2,96 ±0,62
Ascarina sp.
3210,96 ±345,45
52,90 ±6,39
47,10± 6,06
2,90±0,40
Olearia sp.
662,88±47,63
37,79± 3,22
32,59 ±2,66
2,6± 0,42
Olearia sp.
748,52±68 49
38,13± 2,44
32,96± 2,64
2,58 ±0,30
Jenis kayu (Wood species)
Tabel 4. Nilai turunan dimensi dan kualitas serat jenis kayu yang diteliti Table 4. Derived values of fiber dimensions and qualities woods examined Perbandingan fleksibilitas (Flexibility ratio)
Koefisien kekakuan (Coofesien of rigidity )
Perbandingan muhlsteph (Muhlsteph ratio)
Total skor (Total score)
Kelas kualitas (Quality class)
0,15 (100)
Daya tenun (Feltin g point) 29,36 (25)
0,87 (100)
0,07 (100)
24,8 (100)
(475)
I
1128,59
0,13
25,34
0,89
0,06
24,6
(50)
(100)
(25)
(100)
(100)
(100)
(475)
I
Viburnum sambucinum Bl.
2536,10
0,15
55,09
0,87
0,07
29,6
(100)
(50) 60,98
(100) 0,89
(100) 0,06
(100) 29,0
I
Ascarina sp.
(100) 0,12
(550)
3210,96 (100)
Jenis kayu (Wood species) Crataeva sp. Crataeva membranifolia Miq.
Panjang serat (Fiber length), mikron 1060,88 (50)
Bilangan runkel (Runkel ratio)
(100) (50) (100) (100) (100) (550) I 662,88 0,16 18,28 0,86 0,07 26.0 Olearia sp. (25) (100) (25) (100) (100) (100) (450) I 748,52 0,16 19,59 0,86 0,07 25,8 Olearia sp. (25) (100) (25) (100) (100) (50) (400) II Keterangan (Remarks): Angka dalam kurung adalah nilai turunan dimensi serat (Number in parentheses is the value derived fiber dimensions)
352
Sifat Anatomi dan Kualitas Serat Jenis Kayu Sangat Kurang Dikenal: Suku Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae dan Compositae (Sri Rulliaty)
Berdasarkan perhitungan Tabel 4. dapat diketahui bahwa kualitas serat empat jenis kayu dalam hubungannya sebagai bahan baku kertas masuk pada kelas I. Kelas kualitas I dimiliki oleh kayu-kayu dari marga Crataeva, Viburnum, Ascarina, dan Olearia. Kelas kualitas I menurut Rachman dan Siagian dalam Rulliaty (2013) adalah jenis kayu agak ringan sampai ringan, berdinding sangat tipis dengan lumen relatif lebar yang dalam pembuatan pulp, serat akan menggepeng seluruhnya dengan ikatan antar serat dan tenunan yang sangat kuat, sehingga lembaran pulp yang dihasilkan mempunyai keteguhan sobek, pecah dan tarik yang tinggi. Sedangkan kualitas serat kelas II adalah jenis kayu agak ringan sampai beratnya sedang, berdinding sel tipis sampai sedang dengan lumen agak lebar. Serat mudah menggepeng dengan ikatan antar serat dan tenunan yang baik. Jenis ini menghasilkan lembaran pulp dengan keteguhan sobek, pecah dan tarik yang sedang. Seluruh jenis kayu berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas, apalagi ditunjang dengan warnanya yang cerah. Namun rendahnya nilai berat jenis kayu Crataeva sp. dapat menjadi pertimbangan yang kurang menguntungkan karena rendemen yang dihasilkan kemungkinan rendah (Rahman dan Siagian dalam Rulliaty dan Damayanti, 2008), sedangkan Ascarina sp. diduga memiliki potensi yang baik sebagai bahan pulp dan kertas. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kayu Crataeva membranifolia dapat digunakan sebagai bahan kerajinan, atau pengganti ramin karena kemiripan dari segi warna kayu dan arah seratnya. Jenis kayu Ascarina sp. dan Olearia sp. mudah dikenali karena mempunyai jari-jari lebar dibandingkan dengan jenis kayu lainnya yang diamati, jari-jari agregat juga ditemukan pada Crataeva membranifolia dan Ascarina sp. Bentuk parenkim tidak ada yang mencolok, berkisar antara paratrakea jarang, dan vaskisentrik. Tidak juga ditemukan adanya inklusi mineral baik dalam parenkim maupun jari-jari. Berdasarkan dimensi seratnya, seluruh jenis yang diteliti berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Kayu dari marga
Crataeva, Viburnum dan Ascarina termasuk dalam kelas kualitas I, terutama Ascarina sp yang memiliki serat terpanjang (3210,96 mikron), sedangkan marga Olearia termasuk dalam kelas kualitas II untuk pulp dan kertas. Eksplorasi sifat-sifat kayu dari kelompok jenis kayu sangat kurang dikenal harus dilanjutkan secara lebih intensif karena kemungkinan kayu dari kelompok jenis ini memiliki potensi sebagai substitusi jenis kayu perdagangan. DAFTAR PUSTAKA Dephut. (2007). Pengenalan Jenis Kayu : manfaat pengenalan jenis kayu. http://www. dephut.go.id/INFORMASI/SETJEN/P USSTAN/INFO_III01/III_III01.htm . Diakses tanggal 23 Agustus 2007. Mandang, Y.I. dan Pandit, I.K.N. (2002). Seri Manual Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Bogor: Yayasan PROSEA dan Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan. Metcalfe, C.R. & Chalk, L. (1950). Anatomy of the Dicotyledons. Vol I dan II, The Clarendon Press, Oxford. Miller, R. B. & Baas, P. (1981). Standard List of Characters Suitable for Computerized Hardwood Identification. IAWA Bulletin n.s., Vl. 2 (2-3), Leiden Netherland. Oey D.S. 1990. Berat jenis kayu Indonesia dan pengertian berat jenisnya untuk keperluan praktek. Pengumuman Nr.13, Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Rulliaty, S. (2013). Struktur anatomi dan kualitas serat lima jenis kayu andalan setempat asal Carita Banten. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(4):283 294. Rulliaty, S. & Damayanti, R. (2008). Laporan Hasil Penelitian sifat anatomi jenis kayu sangat kurang dikenal (the least known wood species) famili Bignoniaceae dan Actinidiaceae. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan. Tidak dipublikasikan. Sass, J.E. (1961). Botanical Microtehnique. New York: The IOWA State University Press.
353
Penelitian Hasil Hutan Vol. 32 No. 4, Desember 2014: 341-354
Tesoro, F. O. (1989). Wood Structure and Quality : Bases for improved utilization of timbers. The Second Pacific Regional Wood Anatomy Conferences 1989. Philippines: Fo r e s t P r o d u c t s Re s e a r ch a n d Development Institute.
354
Wheeler, E.A., Baas, P., & Gasson P.E. (1989). IAWA List of Microscopic Features for Hardwood Identification. Leiden, Netherland: IAWA Bulletin n.s. 10 (3):219332.
JURNAL PENELITIAN HASIL HUTAN ISI VOLUME 32 Nomor 1
Wesman Endom Uji Coba Mesin Kabel Layang Expo-2000 Generasi-II dengan Konstruksi Dua Gigi Eksentrik Terpisah untuk Ekstraksi Kayu
1
Sri Komarayati & Gustan Pari Kombinasi Pemberian Arang Hayati dan Cuka Kayu Terhadap Pertumbuhan Jabon dan Sengon
12
Gunawan Pasaribu, Gusmailina, Sri Komarayati, Zulnely & Erik Dahlian. Analisis Senyawa Kimia Dryobalanops aromatica
21
Djeni Hendra, Totok K Waluyo & Arya Sokanandi Karakterisasi dan Pemanfaatan Asap Cair dari Tempurung Buah Bintaro (Carbera manghas Linn.) sebagai Koagulan Getah Karet
27
Djeni Hendra Pembuatan Biodiesel dari Biji Kemiri Sunan
37
Soenarno Efisiensi Pembalakan dan Kualitas Limbah Pembalakan di Hutan Tropika Pegunungan: Studi Kasus di IUPHHK-HA PT Roda Mas Timber Kalimantan
45
Sukadaryati Pemanenan Getah Pinus Menggunakan Tiga Cara Penyadapan
62
Lisna Efiyanti & Wega Trisunaryanti. Hidrorengkah Katalitik Minyak Kulit Biji Jambu Mete (CNSL) Menjadi Fraksi Bensin dan Diesel
71
Nomor 2 Alpian, Tiberius Agus Prayitno, Johanes Pramana Gentur Sutapa & Budiadi. Kualitas Asap Cair Batang Gelam (Melaleuca sp.)
83
Darma Santi & Lisna Efiyanti Hidrorengkah Minyak Laka Menggunakan Katalis NiO/ZEOLIT Alam Aktif dan NiOMoO/ ZeolitAlam Aktif Menjadi Fraksi Berpotensi Energi
93
Endah Suhaendah & M. Siarudin Pengawetan Kayu Tisuk (Hibiscus macrophyllus Roxb.) Melalui Rendaman Dingin dengan Bahan Pengawet Boric Acid Equivalent
103
Euis Hermiati, Lucky Risanto, Sita Heris Anita, Yosi Aristiawan, Yanni Sudiyani, Ahmad Hanafi, & HaznanAbimanyu. Sakarifikasi Serat Tandan Kosong dan Pelepah Kelapa Sawit Setelah Pretreatment Menggunakan Kultur Campuran Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium dan Trametes versicolor
111
Lis Nurrani, Julianus Kinho & Supratman Tabba Kandungan Bahan Aktif dan Toksisitas Tumbuhan Hutan Asal Sulawesi Utara yang Berpotensi Sebagai Obat
123
Mohamad Siarudin & Ary Widiyanto Karakteristik Penguapan Air dan Kualitas Minyak pada Daun Kayu Putih Jenis Asteromyrtus symphyocarpa
139
Soenarno Potensi dan Karakteristik Limbah Pembalakan Pada PT Kemakmuran Berkah Timber Provinsi Kalimantan Timur
151
Nomor 3
R. Esa Pangersa Gusti & Zulnely Sifat Fisiko Kimia Damar Mata Kucing Hasil Pemurnian Tanpa Pelarut
167
Sona Suhartana, Yuniawati & Dulsalam. Luas Petak Tebang Optimal Pemanenan Kayu di Areal Hutan Tanaman Rawa Gambut
175
Sihati Suprapti & Djarwanto Ketahanan Lima Jenis Kayu Asal Ciamis Terhadap Sebelas Strain Jamur Pelapuk
189
Mohammad Muslich & Sri Rulliaty Ketahanan Bambu Petung (Dendrocalamus asper Backer) yang Diawetkan dengan CCB Terhadap Serangan Penggerek di Laut
199
Arya Sokanandi, Gustan Pari, Dadang Setiawan & Saepuloh. Komponen Kimia Sepuluh Jenis Kayu Kurang Dikenal: Kemungkinan Penggunaan Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
209
I.M. Sulastiningsih, Surdiding Ruhendi, Muh. Yusram Massijaya Pengaruh Komposisi Arah Lapisan Terhadap Sifat Papan Bambu Komposit
221
Gunawan Pasaribu, Gusmailina & Sri Komarayati Pemanfaatan Minyak Dryobalanops aromatica Gaertn Sebagai Bahan Pewangi Alami
235
Nomor 4 Ary Widiyanto & Mohamad Siarudin Sifat Fisiko Kimia Minyak Kayu Putih Jenis Asteromyrtus brasii Deni Zulfiana Ketahanan Papan Komposit dari Pelepah Sagu (Metroxylon sago Rottb.) Terhadap Jamur Pelapuk dan Rayap Tanah Djarwanto Kemampuan Pelapukan 10 Strain Jamurpada Lima Jenis Kayu Asal Kalimantan Timur Djeni Hendra Pemanfaatan Limbah Tempurung Kemiri Sunan (Aleuriteus trisperma) sebagai Bahan Baku pada Pembuatan Arang Aktif Efrida Basri & Jamal Balfas Impregnasi Ekstrak Jati dan Resin pada Kayu Jati Cepat Tumbuh dan Karet Sri Rulliaty Identifikasi dan Kualitas Serat Lima Jenis Kayu Andalan Setempat Asal Jawa Barat dan Banten Sri Komarayati, Gusmailina & Gustan Pari Pengaruh Arang dan Cuka Kayu Terhadap Peningkatan Pertumbuhan dan Simpanan karbon Sukadaryati, Gunawan Santosa, Gustan Pari, Dodik Ridho Nurrochmat, Hardjanto Penggunaan Stimulan dalam Penyadapan Pinus Sri Rulliaty Anatomi dan Kualitas Serat Jenis Kayu Sangat Kurang Dikenal (The Least Known Wood Spescies): Family Capparidaceae, Caprifoliaceae, Chloranthaceae dan Compositae
INDEX PENULIS VOLUME 32 Alpian
83
Basri, Efrida Djarwanto Endom, Wesman Efiyanti, Lisna
1 71
Hendra, Djeni Hendra, Djeni Hendra, Djeni Hermiati, Euis
27 37 271 111
Komarayati , Sri Komarayati , Sri
12 313
Muslich, Mohammad
199
Nurrani, Lis
123
Pasaribu, Gunawan
21
Pangersa Gusti, R. Esa Pasaribu, Gunawan
167 235
Rulliaty, Sri Rulliaty, Sri
297 341
Santi, Darma Siarudin, Mohamad Soenarno Soenarno Sokanandi, Arya Suhaendah, Endah Suhartana, Sona Sukadaryati Sukadaryati Sulastiningsih, I.M. Suprapti, Sihati
93 139 45 151 209 103 175 62 329 221 189
Widiyanto, Ary243 Zulfiana, Deni253
INDEX KATA KUNCI VOLUME 32 Anakan Anatomi kayu Arah lapisan Arang Arang aktif Arang kompos serasah12 Arang serbuk gergaji 12 Asteromyrtus brasii Asteromyrtus symphiocarpa139 Asap cair 27, 83 Bahan bakar diesel Bambu petung Banten Biaya Biji kemiri sunan Bintaro Biodiesel Bioenergi Borneol Capparidaceae Caprifoliaceae Chloranthaceae Compositae Cara penyadapan CNSL Cuka kayu Dalam dolok Daun Damar Damar mata kucing Dryobalanops
12, 313 221 313 271
37 199 175 37 27 37 71 21 341 341 341 341 62 71 12, 313, 329 189 139 167 21, 235
Efisiensi pembalakan Etnobotani ETRAT
45 123 329
GCMS Getah pinus Gelam (Melaleuca sp.) Getah karet
21 62 83 27
Hara Hidrorengkah Hutan produksi terbatas Hutan tropika pegunungan Impregnasi unimetal dan bimetal Jamur
313 71, 93 151 45 93
Jamur pelapuk Jamur pelapuk putih Jawa Barat 10 jenis kayu Jenis kayu sangat kurang dikenal Kalimanatan timur Kandungan kimia Kandungan bahan aktif Karakteristik limbah pembalakan Karbonisasi Katalis ZAA Kayu kurang dikenal Keasaman Kebiasaan masyarakat setempat Kelayakan Keruing Ketahanan kayu Koagulan Komponen kimia Konsentrasi Kristal Kualitas Kualitas perekatan Kualitasminyakkayuputih Kualitas serat
189 111 209 341 45 209 123 151 93 209 27 62 209 189 27 235 12 21 83 221
Ekstrak kayu jati Lima jenis Limbah penebangan Minyak Meranti Minyak Minyak laka Minyak kayu putih NiO/ZY Organoleptik Optimal Produksi Papan komposit Papan bambu komposit Parfum Pelepah kelapa sawit Pelepah sagu Pemanenan kayu Pemurnian
45 21, 37 235 93 139 71 235 175 62 221 235 111 175 167
Penetrasi Pengawetan kayu Penggerek di laut Penguapan air penyadapan pinus Perekat isosianat Perendaman dingin Perlakuan CCB Perlakuan panas Petak tebang Phenol formaldehyde Polyurethane Potensi Pretreatment
103 103 199 139 329 221 103 199 167 175 151 111, 175
Rayap Resak Retensi
103
Sakarifikasi Sifat anatomi
111 199
Sifat anatomi kayu Sifat dasar Sifatfisik Sifat fisiko kimia Sifat fisis dan mekanis Sirlak Stabilitas dimensi kayu Standar jepang Stimulan H2SO4 Sulawesi utara Sustainabilitas Tanah Tandan kosong kelapa sawit Tegakan pohon Tempurung kemiri sunan, Tepi dolok Tingkat pertumbuhan Tisuk Toksisitas Tumbuhan hutan
341 209 167 221 83 329 123 329 313 111 189 189 139 103 123 123
PEDOMAN BAGI PENULIS
GUIDELINE FOR AUTHORS
1. Dewan Redaksi Jurnal menerima naskah ilmiah hasil penelitian atau hasil studi dalam bidang keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, yang belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses untuk dimuat di media lain. 2. Dewan Redaksi memiliki wewenang penuh untuk memeriksa dan memperbaiki atau menolak naskah apabila tidak memenuhi persyaratan. Penilaian naskah secara substantif dilakukan oleh Mitra Bestari. 3. Naskah dikirim keredaksi dalam bentuk soft file dan hard copy ke alamat sekretariat redaksi, yaitu: Jurnal Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor,Indonesia. 16610 e-mail:
[email protected].
1. Editorial board accept scientific articles related with forest engineering and forest products processing. Manuscript must be genuine, has not been published or being processed for any publication.
4. Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4, tipe huruf Calibri, font 12 dengan 2 spasi. Pada semua sisi kertas dikosongkan 3,5 cm. Jumlah halaman maksimal 25. 5. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris dengan menggunakan kaidah penulisan ilmiah. 6. Struktur naskah sekurang-kurangnya tersusun sebagai berikut; a. Judul, b. Nama, instansi, dan alamat e-mail penulis, c. Abstrak, d. Kata kunci, e. Pendahuluan, f. Bahan dan Metode, g. Hasil dan Pembahasan, h. Kesimpulan (Kesimpulan dan Saran), i. Ucapan Terima Kasih (jika perlu), j. Daftar Pustaka dan k. Lampiran (jika perlu). 7. Naskah a. Judul, maksimal 2 baris, dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, huruf kapital, ukuran font 14, dicetak tebal. b. Nama penulis (tanpa gelar akademis), instansi dan alamat penulis ditulis berurutan dengan ukuran font 12. c. Abstrak , dibuat dalam satu paragraf menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa lnggris dalam 2 bentuk, bentuk pertama maksimal 50 kata dan bentuk kedua maksimal 200 kata.
2. Editorial boardis authorized to review the manuscript and possibly discard the manuscript which does not meet scientific journal requirements. Manuscript will be considered and observed by a relevant peer reviewer. 3. Manuscript in both hard copy and soft file must be sent to the Journal secretariate address i.e: Journal of Forest Product Research The Center for Research and Development on Forestry Engineering and Forest Product Processing Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia. 16610 e-mail:
[email protected]. 4. Manuscript must be written in A4 paper, font Calibri, size 12, double spaced. All side margins are 3.5 cm. Maximum page number is 25. 5. Manuscript must be scientifically written in either Bahasa Indonesia or English. 6. Manuscript must be written according to scientific journal structure: a. Title, b. Authors name, office, and e-mail address details, c. Abstract, d. Keywords, e. Introduction, f. Material and Method, g. Result and Discussion, h. Conclusion (Conclusion and Recommendation), i. Acknowledgement (optional), j. References and k. Appendices (optional). 7. Manuscript a. Title, should not exceed two rows, written in Bahasa Indonesia and English, in capital, font size 14, bold. b. Author/s (without academic degree), office and author addresses are written with font size 12. c. Abstract, set in single paragraph Bahasa Indonesia and English in two forms; format-1 maximum 50 words and format-2 maximum 200 words.
d. Tabel. Judul tabel dan keterangan yang diperlukan ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris dengan jelas dan singkat. Penggunaan tanda koma (,) dan titik (.) di dalam tabel menunjukkan nilai pecahan desimal dan kebulatan seribu disesuaikan dengan format bahasa yang digunakan. e. Gambar: Foto, grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus kontras. Setiap gambar diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam Bahasa Indonesia danInggris. f. Daftar Pustaka; Pengacuan pustaka diutamakan terbitan 5 tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber acuan primer. Format Daftar Pustaka mengacu pada model “American Psychological Association (APA)” serta mencantumkan kode Digital Object Identifier (DOI) jika diperoleh dari sumber jurnal online.
d. Table caption must be written concisely in both Bahasa Indonesia and English. The use of comma (,) and point (.) must be used in decimal number appropriately according to manuscript language.
e. Figure: Photos and graphs must be prepared in good contrast. Every figure is numbered and captioned clearly in both Bahasa Indonesia and English. f. Reference; References cited should be published 5 years old or less for majority of reference and 80% from primary source. Referencing must meet the American Psychological Association (APA) style. Reference list must be written alphabetical order includes the Digital Object Identifier (DOI) for online sources.