II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Hutan tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi hutan juga menghasilkan aneka ragam benda hayati lainnya berupa hasil hutan bukan kayu antara lain bambu, rotan, buah-buahan, rumput-rumputan, jamur-jamuran, tumbuhan obat, getah-getahan, madu, satwa liar, satwa elok, serta sumber plasma nuftah. Selain itu hutan juga menghasilkan jasa lingkungan berupa pengatur hidrologis, pembersih udara, jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan serta jasa perburuan (Supriadi 2003). Sesuai dengan Permenhut Nomor 35 Tahun 2007 tentang hasil hutan bukan kayu, bahwa yang dimaksud dengan hasil hutan bukan kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Hasil hutan bukan kayu yang terdapat di Indonesia terbagi menjadi HHBK nabati dan HHBK hewani dan masing-masing kelompok dibagi lagi, seperti yang diuraikan berikut ini: 1. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) nabati, yaitu meliputi semua hasil bukan kayu dan turunannya yang berasal dari tumbuhan dan tanaman dan yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain: a. Kelompok resin, antara lain damar, gaharu, kemenyan, pinus, kapur barus; b. Kelompok minyak atsiri, antara lain cendana, kayu putih, kenanga; c. Kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan, antara lain buah merah, rebung bambu, durian; d. Kelompok tannin, bahan pewarna dan getah, antara lain kayu kuning, jelutung, perca; e. Kelompok tumbuhan obat-obatan dan tanaman hias, antara lain akar wangi, brotowali, anggrek hutan; f. Kelompok palma dan bambu, antara lain rotan manau, rotan tohiti; g. Kelompok alkaloid antara lain kina. h. Kelompok lainnya, antara lain nipah, pandan, purun.
2. Hasil hutan bukan kayu (HHBK) hewani, yaitu meliputi semua hasil bukan kayu dan turunannya yang berasal dari hewan dan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain: a. Kelompok hewan buru (babi hutan, kelinci, kancil, rusa, buaya). b. Kelompok hewan hasil penangkaran (arwana, kupu-kupu, rusa, buaya). c. Kelompok hasil hewan (sarang burung walet, kutu lak, lilin lebah, ulat sutera, lebah madu). HHBK dalam pemanfaatannya memiliki beberapa keunggulan dibanding hasil hutan kayu, sehingga HHBK memiliki prospek yang besar dalam pengembangannya. Pemanfaatan HHBK tidak menimbulkan kerusakan yang besar terhadap hutan dibandingkan dengan pemanfaatan kayu. Pada umumnya pemanenan HHBK tidak dilakukan dengan menebang pohon melainkan dengan cara yang ramah lingkungan seperti dengan cara penyadapan, pemetikan, pemangkasan, pemungutan. Pemanfaatan HHBK dilakukan oleh masyarakat secara luas dan membutuhkan modal kecil sampai menengah. Dengan demikian pemanfaatannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan usaha pemanfaatannya dapat dilakukan oleh banyak kalangan masyarakat. Teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan dan mengolah HHBK adalah teknologi sederhana sampai menengah. Bagian yang dimanfaatkan adalah daun, kulit, getah, bunga, biji, kayu, batang, buah dan akar cabutan. Dengan demikian pemanfaatan HHBK tidak menimbulkan kerusakan ekosistem hutan (Dephut 2009). Pemanfaatan HHBK memiliki potensi cukup besar untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pemanfaatan HHBK saat ini masih terkendala beberapa faktor antara lain skala pemanfaatan HHBK masih rendah, dilakukan dalam skala kecil oleh petani, terbatasnya modal petani untuk mengembangkan HHBK, data dan informasi HHBK belum tersedia, pola pengembangan HHBK belum terfokus pada komoditas tertentu sehingga upaya pengembangan belum dilakukan secara intensif. Pemanfaatan HHBK masih bertumpu pada pemungutan dan belum berbasis pada budidaya sehingga kelestarian hasil HHBK belum terjamin. Di samping itu pemanfaatan HHBK belum didukung regulasi dan kewenangan yang jelas. Untuk mengembangkan HHBK agar lebih intensif maka kebijakan dan strategi pengembangan dilakukan
secara selektif terhadap jenis tertentu yang ditetapkan melalui penetapan jenis unggulan dilakukan pada sentra wilayah tertentu. Permasalahan yang terkait dengan produk HHBK yang saat ini mendesak untuk diperhatikan secara serius adalah terjadinya penurunan potensi sebagai akibat adanya pemanfaatan dan belum dikuasainya teknologi budi daya yang tepat. Hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan produk HHBK untuk memasok kebutuhan masyarakat, baik permintaan dari dalam maupun luar negeri (Dephut 2009).
2.2. Hutan Kemenyan 2.2.1. Budidaya Kemenyan Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, menetapkan bahwa kemenyan masuk dalam kategori hasil hutan bukan kayu (HHBK) nabati kelompok resin. Pada kelompok resin ini ada dua komoditi selain kemenyan, yaitu damar dan gaharu. Getah kemenyan diperoleh dari pohon kemenyan (Styrax spp) dengan cara penyadapan. Pohon kemenyan berukuran sedang sampai besar, diameter antara 20-30 cm dan tinggi mencapai 20-30 meter. Batangnya lurus, percabangannya sedikit dan kulit batangnya berwarna coklat kemerah-merahan. Tanaman kemenyan berdaun tunggal, tersusun spiral, dan berbentuk oval, yaitu bulat memanjang dan ujungnya meruncing. Buah kemenyan berbentuk bulat, dan lonjong (agak gepeng) dan di dalamnya terdapat biji berwarna coklat (Sasmuko 2003). Tempat tumbuh tanaman kemenyan bervariasi, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu pada ketinggian tempat 60-2.100 meter dari permukaan laut. Tanaman kemenyan tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang istimewa. Tanaman ini dapat tumbuh pada jenis-jenis tanah: podsolik, andosol, lotosol, dan regosol. Kemenyan juga dapat tumbuh pada berbagai asosiasi lainnya, mulai dari tanah yang bertekstur berat sampai ringan, dan tanah yang kurang subur sampai yang subur. Selain itu, tanaman ini juga dapat tumbuh pada tanah yang berporositas tinggi, yaitu yang mudah meneruskan atau meresapkan air. Tanaman Kemenyan termasuk jenis tanaman setengah toleran. Anakan kemenyan memerlukan naungan sinar matahari dan setelah dewasa, pohon
kemenyan memerlukan sinar matahari penuh. Selain itu, untuk pertumbuhan optimal kemenyan memerlukan curah hujan yang cukup tinggi, dan intensitas merata sepanjang tahun (Sasmuko 2003). Budidaya tanaman kemenyan diawali dengan pengambilan benih kemenyan dari pohon induknya. Kriteria pohon induk kemenyan adalah : bergetah banyak dan berkualitas baik; bebas hama dan penyakit; berbatang lurus dan silindris; bertajuk normal dan baik; serta bercabang sedikit dan berbatang bebas cabang relatif tinggi. Buah kemenyan yang dipilih untuk benih adalah yang masak dan berwarna coklat tua. Pembuatan bibit kemenyan dilakukan dengan cara: persemaian dan cabutan anakan dari permudaan alam. Cara lainnya, yaitu: stump, stek dan kultur jaringan masih dalam tahap penelitian pihak-pihak terkait. Persemaian merupakan cara yang mudah dilakukan. Awalnya benih kemenyan ditabur pada bedeng tabur. Setelah berkecambah, kemudian dipindahkan pada polybag dan dipelihara sampai bibitnya siap tanam di lapangan. Sebelum penanaman bibit kemenyan, terlebih dahulu dilakukan persiapan lapangan, yaitu membuat jalur tanam dan lubang tanam. Jarak tanamnya disesuaikan dengan kondisi tanah dan kelerengan lahannya. Karena setengah toleran, anakan kemenyan yang ditanam di tempat terbuka harus diberi naungan. Anakan kemenyan bisa juga ditanam di bawah pohon lainnya, misalnya di bawah pohon durian dan kaliandra Menurut Sasmuko (2003), pohon kemenyan yang berdiameter lebih kurang 20 cm sudah bisa disadap kemenyannya. Sebelum penyadapan kemenyannya, terlebih dahulu tumbuhan di sekitar pohonnya dibersihkan telebih dahulu dengan parang. Begitu juga tumbuhan yang melekat pada kulit pohonnya, dibersihkan dengan “guris”. Penyadapan kemenyan dilakukan pada bagian pohon yang berada di bawah bagian tajuk yang berdaun hijau muda dan rindang. Mulamula kulit ditakik (dicongkel sampai sedikit terangkat, dan tidak sampai lepas) dengan “panuktuk” alat pemukul, lalu, permukaan kulit ini dipukul-pukul dengan gagang “panuktuk” sebesar lingkaran lubang penyadapan yang diharapkan. Setelah 2-3 bulan, umumnya dalam takikan ini sudah terdapat kemenyan, dengan menggunakan “agat” alat pemanen, kulit (yang menutup) takikan dibuka untuk mengambil kemenyan dari lubang takikan.
Pemeliharaan penyiangan,
tanaman
pendangiran,
kemenyan
penyulaman,
yang
biasa
pemupukan,
dilakukan
adalah:
penjarangan,
dan
perlindungan tanaman dari hama dan penyakit. Kegiatan ini dilakukan pada tahun pertama, kedua dan ketiga. Penjarangan pohon pelindung perlu dilakukan secara bertahap untuk memberi ruang tumbuh lebih luas kepada tanaman kemenyan, agar memperoleh banyak sinar matahari. Kemenyan hasil sadapan yang masih bercampur aduk dengan kulit pohon kemenyan, selanjutnya disortir menjadi empat golongan, yaitu: mata kasar, mata kacang/mata halus, “jurur” dan “tahir”. Golongan pertama harganya lebih mahal dan golongan selanjutnya lebih murah. Selain itu, dikenal juga kemenyan tampangan, yaitu kemenyan yang dicampur dengan damar. Pengolahannya melalui pemanasan, pencampuran dan pencetakan. Perbandingan campurannya disesuaikan dengan permintaan konsumen/pembeli (Sasmuko 2003).
2.2.2. Potensi dan Peluang Pasar Kemenyan di Sumatera Utara Sebelumnya telah disampaikan bahwa Sumatera Utara memiliki dua jenis kemenyan yang telah dikenal, yaitu Styrax sumatrana ”J.J.SM” atau yang dikenal dengan nama kemenyan toba dan Styrax benzoin “DRYAND” yang dikenal dengan nama kemenyan durame. Secara umum kedua jenis tersebut dibedakan berdasarkan aroma yaitu getah kemenyan toba beraroma lebih tajam dibandingkan dengan kemenyan durame. Secara botani kedua jenis tersebut juga dapat dibedakan dari bentuk dan ukuran daun serta buahnya. Kemenyan durame mempunyai ukuran daun lebih besar dan berbentuk bulat memanjang (oblongus). Di antara kedua jenis ini, kemenyan toba lebih banyak diproduksi oleh masyarakat karena harga jualnya di pasar lokal lebih tinggi (Sasmuko 1998). Pada awal abad 20-an yaitu sekitar 1910, produksi kemenyan Tapanuli Utara sekitar 1.200 ton, kemudian naik menjadi sekitar 2.300 ton pada tahun 1930 dan pada tahun 1950 produksi meningkat menjadi sekitar 3.400 ton. Luas tanaman kemenyan pada tahun 1990 adalah lebih kurang 22.793 ha. Kabupaten Tapanuli Utara memiliki tanaman paling luas yaitu 21.119 ha dengan produksi sekitar 4.000 ton. Pada tahun 1993 luas tanaman kemenyan di Tapanuli Utara adalah 17.299 hektar dengan produksi 3.917 ton (Sasmuko 2003). Pada tahun 2007 data
luasan dan jumlah produksi hutan kemenyan di Provinsi Sumatera Utara seperti yang ditampilkan pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Luasan dan produksi getah kemenyan di Provinsi Sumut tahun 2007 No Kabupaten 1
Tapanuli Tengah
2
Tapanuli Utara
3
Luas (ha)
Produksi (ton)
5,00
1,35
16.395,00
3.634,12
Toba Samosir
370,75
54,06
4
Dairi
213,00
107,29
5
Humbang Hasundutan
5.593,00
1403,23
6
Pakpak Bharat
1.501,20
860,80
Total
24.077,95
6.060,89
Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara, 2008
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan merupakan dua kabupaten yang memiliki luasan hutan kemenyan terbesar dan potensial untuk dikembangkan menjadi sentra produksi getah kemenyan di Sumatera Utara. Penggunaan getah kemenyan di dalam negeri sebagian besar untuk bahan baku industri rokok dan dupa dan pemasarannya terutama ke pulau Jawa. Sementara untuk pemasarannya ke luar negeri antara lain: Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Jepang UEA, Switzerland, Perancis dan USA. Produk kemenyan yang dipasarkan biasanya kemenyan yang sudah diolah atau kemenyan tampangan, namun ada juga dalam keadaan mentah (Yuniandra 1998). Getah kemenyan merupakan komoditi ekspor yang memiliki peminat di pasar internasional. Harga dan peluang pasarnya yang cukup prospektif seharusnya memberikan motivasi bagi berbagai pihak untuk mengembangkan tanaman kemenyan ini. Oleh karena itu, kemenyan diharapkan dapat dijadikan komoditi unggulan dalam pengembangan hutan rakyat dan hutan tanaman.
2.2.3. Pemanfaatan dan Pengolahan Kemenyan Potensi kemenyan cukup besar yang tersebar di beberapa daerah penghasil dan telah sekian lama dikenal masyarakat secara luas. Pemanfaatan kemenyan oleh masyarakat di beberapa daerah telah menjadi sumber pendapatan mereka terutama petani kemenyan yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Selain itu, perdagangan kemenyan yang berlangsung sejak permulaan abad ke-17 telah membangkitkan pergerakan perekonomian masyarakat. Dampak dari perdagangan kemenyan tersebut telah nyata dirasakan oleh para petani dan pedagang lokal meskipun kontribusinya bagi pemerintah daerah belum signifikan (Sasmuko 1998). Sejak permulaan tahun 1985, perdagangan kemenyan di Tapanuli Utara terutama di tingkat petani mengalami penurunan. Masalah ini terjadi seiring dengan penurunan potensi kemenyan. Sistem tata niaga yang ada kurang menguntungkan petani dan harga kemenyan menjadi tidak stabil sehingga kurang merangsang petani untuk tetap mengusahakan kebun kemenyannya. Harga kemenyan di tingkat petani pada waktu itu berkisar Rp. 7.000 per kg tidak sebanding dengan biaya (cost) produksi sebesar Rp. 8.000 per kg. Kondisi ini menyebabkan beralihnya sebagian besar petani kemenyan menjadi petani tanaman semusim dan perkebunan. Kebun kemenyan menjadi terlantar dan sebagian telah dikonversi untuk tanaman perkebunan. Petani yang masih bertahan adalah mereka yang tidak memiliki pilihan usaha lain. Jumlah petani kemenyan di Tapanuli Utara pada tahun 1990 adalah 18.098 KK sedangkan pada tahun 2001 menjadi 28.320 KK (Sasmuko 2003). Kemenyan hanya dihasilkan dari provinsi Sumatera Utara dan sampai saat ini belum ada daerah lain di Indonesia yang menghasilkan komoditi serupa. Pengelolaan kemenyan di Sumatera Utara sebagai sentra produksi nasional relatif belum dilakukan secara optimal dan cenderung mengalami penurunan potensi dan nilai ekonomis pada dasawarsa terakhir ini. Penurunan ini mengakibatkan berkurangnya produksi dan pendapatan petani kemenyan yang dapat mengancam kelangkaan komoditi ini di masa yang akan datang (Sasmuko 1998). Pengolahan kemenyan saat ini masih dilakukan secara tradisional tanpa ada pengolahan lanjut dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas. Kemenyan
yang dipasarkan baik lokal maupun ekspor pada umumnya masih berupa bahan mentah (raw material). Pengolahan kemenyan menjadi bentuk barang setengah jadi (semifinal goods) atau barang jadi (final goods) berupa hasil-hasil ekstrak sesuai dengan kandungan kimianya belum ada industri yang melakukannya di Sumatera Utara. Pemanfaatan kemenyan yang diketahui oleh masyarakat secara umum masih terbatas pada penggunaannya untuk industri rokok dan kegiatan tradisional atau religius (Sasmuko 2003). Pohon kemenyan merupakan satusatunya jenis pohon yang menghasilkan getah yang mengandung senyawa asam balsamat. Senyawa ini digunakan secara luas dalam industri farfum dan kosmetik. Kegunaan getah kemenyan secara tradisional adalah sebagai bahan pembantu dalam kegiatan-kegiatan ritual dan industri rokok. Sedangkan sebagian besar kegunaan lainnya adalah sebagai bahan baku dalam industri antara lain industri parfum, farmasi, obat-obatan, kosmetik, sabun, kimia dan industri pangan. Ekstraksi kimia getah kemenyan menghasilkan tincture dan benzoin resin yang digunakan sebagai fixative agent dalam industri parfum. Ekstraksi kemenyan juga dapat menghasilkan beberapa senyawa kimia yang diperlukan oleh industri farmasi, antara lain asam balsamat, asam sinamat, benzyl benzoat, sodium benzoat, benzophenone, dan ester aromatis (Sasmuko 1995). Perdagangan kemenyan di dalam negeri telah mengenal penggolongan kualitas baik lokal maupun standar kualitas kemenyan nasional menurut SII. 2044-87. Kualitas lokal hanya berlaku untuk perdagangan kemenyan toba bukan durame. Sedangkan kemenyan durame tidak terbagi dalam kelas kualitas karena bukan komoditi utama yang diperdagangkan (Sasmuko 1995). Tabel 2. Standar lokal kualitas kemenyan Mutu
No
Kualitas
1
Warna
Putih
Ukuran (cm)
2
I
II
III
IV
Putih
Putih
Coklat
kekuningan
kekuningan
kemerahan
L:3–4
L:2–3
L:1–2
L : 0,5 – 1
P:5–6
P:3–5
P:2–3
P:1–2
Sumber : Sasmuko (1995)
Abu Campur Bentuk kerikil-pasir
Tabel 3. Standar mutu berdasarkan sifat fisis dan kimia kemenyan No
Kualitas
1
Mutu I
II
III
IV
Abu
Kadar Asam Balsamat (%)
33,2
32,7
25,3
21,8
20,1
2
Kadar Air (%)
1,56
1,75
2,35
2,19
2,29
3
Kadar Abu (%)
0,99
0,91
1,48
1,44
1,52
4
Kadar Kotoran (%)
2,89
3,44
12,0
11,2
12,5
58,9
59,3
64,3
65,7
57,8
5
0
Titik Lunak ( C)
Sumber : Sasmuko (1995)
2.3. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan upaya dalam membangun kerjasama sinergis antara masyarakat dan pemerintah dalam mengelolala sumberdaya hutan. Diharapkan dari pola pengelolaan ini, masyarakat tidak lagi merasa sebagai obyek dalam pengelolaan sumberdaya hutan melainkan berlaku sebagai subjek. Beberapa tujuan yang ingin dicapai dengan pola ini, antara
lain:
mewujudkan
kelestarian
dan
keberlanjutan
fungsi
hutan,
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat (dan pemerintah daerah) setempat dalam pemanfaatan sumber daya hutan, peningkatan manfaat hutan serta distribusi manfaat sumber daya hutan yang berkeadilan. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2007, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan. Pada pasal 84 disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan melalui hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
2.3.1. Hutan Desa Pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan pola hutan desa diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P. 49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa. Dengan Permenhut ini, tentunya hasil yang ingin dicapai adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan sekaligus pemanfaatan sumber daya hutan secara bertanggung jawab oleh masyarakat yang memiliki
pengetahuan lokal tentang hutan dan mengerti arti penting hutan dalam kehidupan mereka. Dalam regulasi tentang Hutan Desa, penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan Bupati/Walikota yang ditembuskan kepada Gubernur. Areal kerja hutan desa sendiri merupakan hutan lindung atau hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan dan berada dalam wilayah administrasi desa. Sementara itu, aspek penentuan kriteria dilakukan oleh komponen pemerintahan, yaitu didasarkan atas rekomendasi dari Kepala Kawasan Pengelolaan Hutan (KPH) atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan. Partisipasi masyarakat dalam penetapan areal kerja hutan desa terbatas pada pengajuan permohonan Kepala Desa kepada Bupati/Walikota. Oleh karena itu, pada tingkat ini diperlukan keaktifan yang tinggi dari masyarakat untuk melakukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa. Kecil kemungkinan bagi masyarakat untuk melewatkan potensi pemanfaatan hutan yang ada di sekitar mereka, apalagi bagi masyarakat yang berinteraksi dengan hutan secara intensif. Agar dapat mengelola hutan dan kelestariannya secara lebih terorganisir, masyarakat desa perlu membentuk suatu kelompok yang memang dikhususkan untuk pengelolaan hutan desa. Aspek yang dicakup dalam penatausahaan hutan desa cukup luas, mulai dari tahap pengusulan penetapan areal hutan desa sampai dengan pengelolaan hutan desa itu sendiri. Karenanya diperlukan kompetensi yang memadai dari lembaga desa bukan hanya dalam aspek pengelolaan hutan, tapi juga dari segi administrasi dan hukum yang terkait (Dephut 2008). Selanjutnya dalam Dephut (2008) juga disebutkan bahwa pemerintah perlu melakukan fasilitasi untuk melancarkan tahap-tahap pembentukan lembaga desa dan meningkatkan kompetensinya. Kegiatan fasilitasi ini harus dimasukkan ke dalam program kerja Dinas Kehutanan Pemerintah Daerah setempat. Pemerintah diantaranya dapat melakukan bimbingan teknis tentang hal-hal yang mungkin belum diketahui secara umum oleh masyarakat desa, seperti penyusunan rencana kerja hutan desa dan pemberian informasi pasar dan modal. Masyarakat terutama harus diberitahu tentang manfaat hutan desa dan pengelolaannya. Selain itu,
masyarakat juga perlu dibantu agar dapat menyusun Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD) dan Rencana Tahunan Hutan Desa (RTHD). Manajemen hutan lestari atau Sustainable Forest Management harus mampu mengakomodir tiga macam fungsi kelestarian, yaitu kelestarian fungsi produksi (ekonomi), kelestarian fungsi lingkungan (ekologi) dan kelestarian fungsi sosial, ekonomi, dan budaya bagi masyarakat setempat. Ketiga hal ini akan diakomodir sekaligus dalam pengelolaan hutan desa. Masyarakat desa merupakan pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya hutan, karenanya kelestarian fungsi produksi dapat terjaga dengan mengedepankan pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal yang didukung penguasaan teknologi. Masyarakat desa bertempat tinggal di sekitar hutan dan secara otomatis merupakan bagian dari ekosistem hutan yang juga akan terpengaruh oleh perubahan-perubahan pada hutan, karenanya kelestarian fungsi lingkungan dapat terjaga dengan mempertahankan kesadaran masyarakat akan fakta tersebut. Ujung tombak pengelolaan hutan desa berada pada masyarakat. Kearifan lokal sangat dihargai dalam pola pengelolaan hutan desa sehingga adanya diversifikasi pola pengelolaan hutan desa di daerah yang berbeda merupakan suatu hal yang sangat mungkin dan ini merupakan hal yang positif. Ditambah lagi, pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat desa sebenarnya relevan dengan konsep konservasi hutan menurut ilmu pengetahuan modern. Kemampuan dan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari ini merupakan hal yang perlu dijaga agar tidak memudar, misalnya melalui pendidikan dan pelatihan yang dapat dilaksanakan secara periodik dalam lembaga desa pengelola hutan. Dengan mendorong masyarakat desa untuk mengelola hutan desa secara optimal maka kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan juga akan terbangun dengan sendirinya.
2.3.2. Hutan Kemasyarakatan Untuk menguatkan posisi kebijakan ini dalam peraturan perundangan, maka sebagai payung hukumnya dimuat dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 37/Menhut-II/2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan. Dalam peraturan perundangan ini yang dimaksud dengan Hutan kemasyarakatan adalah hutan
negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses
dalam
rangka
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
setempat.
Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi dengan ketentuan bahwa kawasan hutan lindung dan hutan produksi dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Dalam penyelenggaraan hutan kemasyarakatan adapun azas yang dipakai adalah manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, musyawarah-mufakat dan keadilan. Ketiga azas ini harus dipegang teguh oleh masyarakat pengelola sebagai dasar peyelenggaraan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan pola hutan kemasyarakatan. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.37/MenhutII/2007 juga disebutkan bahwa penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dapat dilakukan oleh masyarakat setelah memperoleh izin dari Menteri Kehutanan yang dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan atau disingkat dengan IUPHKm. Izin ini bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan, dengan
demikian
izin
yang
berdurasi
35
tahun
ini
dilarang
untuk
dipindahtangankan, diagunkan atau digunakan untuk untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan yang telah disahkan serta dilarang merubah status dan fungsi kawasan hutan. Kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan dalam kawasan hutan yang merupakan areal konsesi hutan kemasyarakatan seperti yang diatur
adalah pada hutan lindung, meliputi kegiatan: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu sedangkan pada hutan produksi, meliputi kegiatan: pemanfaatan kawasan, penanaman tanaman hutan berkayu, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan usaha: budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, budidaya pohon serbaguna, budidaya burung wallet, penangkaran satwa liar dan rehabilitasi hijauan makanan ternak. Sementara pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan usaha, seperti: pemanfaatan jasa aliran air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan atau penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. Dalam penyelenggaraan hutan kemasyarakatan, yang menjadi kewajiban dari masyarakat pengelola sebagai pemegang izin adalah melakukan penataan batas areal kerja, menyusun rencana kerja, melakukan penanaman, pemeliharaan dan pengamanan, membayar provisi sumberdaya hutan sesuai ketentuan dan menyampaikan laporan kegiatan pemanfatan hutan kemasyarakatan kepada pemberi izin. Sementara yang menjadi hak dari pemegang izin antara lain: mendapat fasilitasi, memanfaatkan hasil hutan non kayu, memanfaatkan jasa lingkungan,
memanfaatkan kawasan, memungut hasil hutan kayu sedangkan
khusus untuk pemegang IUPHHK HKm berhak untuk menebang hasil hutan kayu yang merupakan hasil penanamannya dan mendapat pelayanan dokumen sahnya hasil hutan sesuai ketentuan.
2.3.3. Hutan Rakyat Dalam rangka mensejahterakan masyarakat dan menjamin kelestarian hutan
Departemen
Kehutanan
meluncurkan
program-program
pelibatan
masyarakat dalam mengelola kawasan hutan negara serta di luar kawasan hutan negara atau di tanah milik. Program kehutanan di luar kawasan hutan negara tersebut adalah hutan rakyat yang sering disingkat dengan HR. Untuk menguatkan payung hukumnya pemerintah telah memuat program ini ke dalam peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/KptsII/1997 tanggal 20 Januari 1997 bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50% dan/atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per hektar. Hutan rakyat tumbuh atau berada pada areal lahan yang dibebani hak atas tanah yang dalam hal ini dibebani hak milik. Hutan rakyat sebenarnya telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu dan terbukti sangat bermanfaat, tidak hanya bagi pemiliknya tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungannya. Awalnya keberadaan dan peran hutan rakyat kurang dilirik, hingga ditemukan fakta bahwa kekurangan bahan baku kayu untuk industri pertukangan dari hutan alam disuplai dari hutan rakyat (Hardjanto 2003). Selanjutnya hutan rakyat diarahkan sebagai salah satu upaya dalam rangka rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan saat ini hutan rakyat telah mampu memberi manfaat sosial ekonomi seperti dalam menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui perdagangan kayu yang diproduksi. Hutan rakyat menyimpan potensi yang sangat besar dalam percaturan pengelolaan hutan nasional. Hal tersebut dibuktikan dengan dimasukkannya hitungan potensi hasil hutan rakyat dalam penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu. Keyakinan tersebut semakin bertambah sejak terjadinya penurunan potensi hutan negara, baik yang berasal dari hutan alam maupun hutan tanaman. Sebagaimana diketahui bahwa hutan rakyat pada umumnya diusahakan oleh masyarakat di pedesaan, sehingga kontribusi manfaat hutan rakyat akan berdampak pada perekonomian desa. Manfaat ekonomi hutan rakyat secara langsung dapat dirasakan masing-masing rumah tangga para pelakunya dan secara tidak langsung berpengaruh pada perekonomian desa. Pendapatan dari usaha hutan rakyat masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan. Hal ini lebih disebabkan karena pengusahaan hutan rakyat masih merupakan jenis usaha sambilan dan dilakukan pada lahan-lahan marginal yang kurang produktif bila ditanami dengan tanaman semusim.
Untuk meningkatkan peran hutan rakyat dalam perekonomian desa maka perlu adanya intensifikasi pengelolaan hutan rakyat, sehingga hutan rakyat lebih mampu melebarkan spektrum perannya dalam meningkatkan perekonomian khususnya di pedesaan. Makin intensifnya pengelolaan hutan rakyat secara umum akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan memberikan kontribusi pendapatan yang lebih luas, karena para pelaku yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat makin bertambah. Dengan terjadinya peningkatan pendapatan dari maing-masing individu yang terlibat maka secara tidak langsung usaha hutan rakyat ini akan mampu mendongkrak perekonomian pedesaan. Selain hal diatas mengingat kehutanan dunia sedang mengampanyekan peningkatan luas kawasan hutan dunia, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia harus ikut berpartisipasi. Upaya yang dilakukan dikombinasikan dengan tujuan pemerintah yang diwujudkan dalam program Hutan Rakyat. Dengan demikian program ini dilucurkan dengan memiliki banyak ekspektasi, antara lain : 1. Sebagai sumber bahan baku industri kehutanan yang selama ini banyak dicukupi dari hutan alam. 2. Dengan adanya hutan rakyat diharapkan mampu mengurangi tekanan masyarakat sekitar terhadap kawasan hutan. 3. Dengan adanya hutan rakyat memberi peluang kerja bagi masyarakat. 4. Hutan rakyat diharapkan sebagai adsorbsi atau penyerap emisi gas rumah kaca, kaitannya dengan pemanasan global (Hardjanto 2003).
2.4. Perumusan Strategi Pengembangan dengan Analisis SWOT Dalam mengembangkan pengelolaan hutan kemenyan diperlukan upayaupaya atau strategi pengembangan. Untuk merumuskan dan menghasilkan strategi dimaksud, ada beberapa cara, perangkat ataupun metode yang dapat dijadikan pilihan termasuk salah satunya dengan menggunakan Analisis SWOT. Analisis ini merupakan sebuah cara yang umum digunakan untuk merumuskan suatu strategi berdasarkan faktor-faktor yang terlibat ataupun yang mempengaruhi pada suatu rencana kegiatan. SWOT merupakan singkatan dari strengths (kekuatan), weaknesses (kelemahan), opportunities (peluang) dan threats (ancaman). Menurut Rangkuti (2008) Analisis SWOT adalah upaya identifikasi berbagai faktor secara
sistematik untuk merumuskan strategi, berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang dimana secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Sementara menurut Start dan Hovland (2004), analisis SWOT merupakan sebuah alat perencanaan strategis yang klasik. Dengan mempergunakan kerangka kekuatan dan kelemahan faktor internal serta peluang dan ancaman dari faktor eksternal, menyediakan sebuah cara yang sangat sederhana untuk mengkaji strategi terbaik yang dapat diterapkan. Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif harus memaksimumkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Dengan bantuan analisis SWOT, perencana menjadi realistis terhadap apa yang akan dicapai dan pada bagian mana yang harus difokuskan.
PELUANG (O)
Sel 3
Sel 1
KELEMAHAN (W)
KEKUATAN (S)
Sel 4
Sel 2
ANCAMAN (T)
Gambar 2. Diagram SWOT (Rangkuti 2008) Diagram SWOT merupakan perpaduan antara kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif sementara kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Berdasarkan letak kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada diagram akan menentukan arah strategi yang akan digunakan dalam pengembangan pengelolaan hutan kemenyan (Gambar 2). Pada diagram SWOT terdapat 4 (empat) sel sebagai hasil perpaduan
antara kekuatan-kelemahan dengan peluang-ancaman. Sel pertama merupakan situasi yang sangat menguntungkan dimana pengembangan pengelolaan hutan kemenyan memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat menggunakan peluang yang ada. Dalam situasi seperti ini strategi yang dipakai adalah mendukung kebijakan perkembangan yang agresif (support an aggressive strategy). Jika posisi rencana pengembangan pengelolaan hutan kemenyan berada pada sel kedua, meskipun menghadapi berbagai macam ancaman namun masih memiliki kekuatan dari faktor internal. Strategi pengembangan yang diterapkan dalam kondisi seperti ini adalah dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (support a diversification strategy). Apabila posisi pengembangan pengelolaan hutan kemenyan berada pada sel ketiga, berarti rencana memiliki peluang yang besar, tetapi juga menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi pada situasi ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga dapat mempergunakan, mengoptimalkan ataupun merebut peluang yang lebih baik (support a turnaround oriented strategy). Namun apabila rencana pengembangan pengelolaan hutan kemenyan berada pada posisi sel keempat, berarti rencana tersebut menghadapi situasi yang tidak menguntungkan, yakni memiliki kelemahan dari sisi internal dan menghadapi berbagai ancaman dari sisi ekternal. Dalam kondisi seperti pada sel keempat strategi yang diterapkan fokus pada strategi bertahan (support a defensive strategy). Masing-masing sel pada diagram SWOT memperlihatkan kondisi atau situasi yang berbeda, sehingga untuk rencana pengembangannya dibutuhkan strategi yang berbeda (rangkuti 2008). Selain menggunakan diagram SWOT, Rangkuti (2008) mengemukakan bahwa alat lain yang dapat digunakan untuk menyusun strategi pengembangan berdasarkan faktor internal dan eksternal yang dimiliki yaitu matrik SWOT. Berdasarkan matrik SWOT, terdapat empat alternatif strategi yang tersedia yaitu strategi Strength-Opportunity, Weakness-Opportunity, Strength-Treaths dan Weakness-Treaths (Tabel 4). Sama halnya dengan menggunakan diagram SWOT, matriks SWOT menawarkan empat strategi berbeda pada empat situasi yang berbeda pula.
Tabel 4. Matriks SWOT Internal
Kekuatan
Kelemahan
Eksternal
(Strength)
(Weakness)
SO strategies
WO strategies
ST strategies
WT strategies
Peluang (Opportunity) Ancaman (Treaths)
2.5. Analisa Finansial Kelayakan Usaha Menurut (Gittinger 1986), untuk menganalisis kelayakan usaha ada beberapa metode yang digunakan, antara lain: Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR). Net Present Value (NPV) adalah analisis manfaat finansial yang digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu usaha dilaksanakan dilihat dari nilai sekarang arus kas bersih yang akan diterima dibandingkan dengan nilai sekarang dari jumlah investasi yang dikeluarkan. Konsep net present value merupakan metode evaluasi investasi yang menghitung nilai bersih saat ini dari uang masuk dan keluar dengan tingkat diskonto atau tingkat bunga yang disyaratkan. Kriteria penilaian adalah, jika NPV>0 maka usaha yang direncanakan dan jika NPV<0, jenis usaha yang direncanakan tidak layak untuk dilaksanakan. Metode analisa kelayakan usaha yang kedua adalah Benefit Cost Ratio (BCR) atau Profitability index. Metode ini memprediksi kelayakan suatu proyek dengan membandingkan nilai penerimaan bersih dengan nilai investasi. Apabila nilai BCR lebih besar dari 1 (satu) maka rencana investasi dapat diterima, sedangkan apabila nilai BCR lebih kecil dari 1 (satu) maka rencana investasi tidak layak diusahakan. NPV dan BCR akan selalu konsisten. Internal Rate of Return (IRR) dapat didefinisikan sebagai tingkat bunga yang akan menyamakan present value cash inflow dengan jumlah initial investment dari proyek yang sedang dinilai. Dengan kata lain, IRR adalah tingkat bunga yang menyebabkan NPV sama dengan nol. Kriteria penilaian digunakan tingkat bunga bank. Jadi, jika IRR lebih besar dari tingkat bunga bank, maka usaha yang direncanakan layak untuk dilaksanakan.