119
PENDEKATAN SISTEM PENDUGAAN NILAI HASIL HUTAN KAYU DAN NON KAYU Model Dinamika Tegakan dan Hasil Hutan Dinamika Tegakan Hutan Alam Hutan alam primer yang ada di lokasi penelitian ini telah melalui proses suksesi alam dalam kurun waktu panjang, dan dapat dianggap telah mencapai tahap klimak yang stabil (steady state) dengan kondisi keseimbangan keseluruhan unsur dalam ekosistem hutan ini. Kondisi hutan saat kini sebagian besar sudah berupa hutan bekas tebangan dengan sistem TPTI dari 1979/1980 – 1997. Sejak 1998, dikelola dengan sistem silvikultur intensif, yang merupakan pengembangan dari pola Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), direalisasikan di lapangan mulai tahun 1999/2000. Dinamika tegakan hutan alam menggambarkan perubahan struktur tegakan menurut waktu setelah penebangan. Hal ini menyangkut pertumbuhan semai, pancang tiang dan pohon dari waktu ke waktu melalui suksesi sekunder, dengan atau tanpa disertai tindakan silvikultur tertentu. Model dinamika tegakan bekas tebangan yang digunakan disini menggambarkan pertumbuhan alami, tidak memasukan pengaruh tindakan silvikultur. Model tegakan dibangun dari tingkat pancang sampai pohon, semai tidak dimasukkan karena tidak cukup tersedia data tentang ingrowth semai. Pada hutan sekunder fertilitas pohon berdiameter >10 cm sebesar 19,86% dan yang berdiameter >50 cm sebesar 66,02% (Nguyen & Sist, 1998 dalam Indrawan,2000). Data produksi biji setiap pohon fertil belum ada, data produksi S. contorta di Philipina sebesar 185.000 buah/musim buah puncak, sekitar 4-5 tahun sekali (Prosea,1994) sehingga belum cukup untuk data ingrowth semai. Model Subsistem Tegakan disajikan pada Lampiran 1. Kewajaran model dievaluasi melalui validasi struktural sedangkan keteradalan model melalui validasi empiris. Secara struktural model dinamika tegakan mencakup variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bersih tegakan dari waktu ke waktu. Variabel ini adalah ingrowth, upgrowth, kematian alami dan akibat penebangan, serta hasil panen. Tegakan (state variable) berupa kerapatan tegakan dikelompokkan menurut kelas diameter dan jenis
120
(komersial dan non komersial) untuk memberikan gambaran perilaku individu pohon dan memudahkan pengaturan hasil menurut jumlah pohon (Vanclay, 1994; Suhendang, 1999). Kerapatan pancang, tiang dan pohon mengalami penambahan dan pengurangan selama perjalanan waktu. Penambahan dari upgrowth pancang ke tingkat tiang dan dari tiang ke pohon. Perpindahan ke tingkat pertumbuhan di atasnya berarti juga pengurangan kerapatan pada tingkat pertumbuhan semula yang ditinggalkannya. Data dinamika tegakan yang digunakan pada model adalah hasil pengukuran pada plot ukur permanen di areal hutan alam PT Inhutani II Kalsel (Indrawan,2000). Upgrowth rate tiang dan pohon diameter 20-40 cm masing-masing sebesar 0,0481 (4,81%/thn) dan, pohon diameter 50 cm sebesar 0,0219. Tiang memiliki laju kematian alami 0,032, pohon diameter 20-40 cm sebesar 0,00263 dan pohon 50 cm sebesar 0,00219. Pengurangan pada masing-masing tingkat pertumbuhan, diakibatkan oleh kematian secara alami dan kegiatan penebangan tegakan. Kematian alami tegakan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal tegakan. Secara umum tegakan pada hutan alam hujan tropis yang didominasi oleh famili dipterocarpaceae merupakan jenis semi toleran terhadap cahaya. Peningkatan kerapatan tegakan meningkatkan persaingan hara dan ruang serta memerlukan adaptasi terhadap cahaya. Faktor ini bersama dengan faktor biologis hama penyakit mengakibatkan kematian alami (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974; Soerianegara dan Indrawan, 1983). Laju kematian pengaruh penebangan diolah dari data Elias et.al., (1993), diperoleh Ymt(%) = 0,3597 /[1 + 5,68Exp(−0,348X )] , dengan R2=1 dan p=0,000; dimana Ymt adalah prosentase kematian dan, X adalah jumlah pohon ditebang. Pengaruh variabel-variabel tersebut diasumsikan konstan, sehingga pertumbuhan akan linier seiring pertambahan jangka waktu setelah penebangan. Dinamika tegakan setelah penebangan akan menuju kondisi klimaks,dengan kapasitas (daya dukung) tertentu. Pada model dinamika tegakan kondisi hutan klimaks ini dianggap direpresentasikan oleh hutan primer semula. Pertumbuhan (kerapatan) tegakan bersih akan mendekati nol (grafik pertumbuhan relatif mendatar) setelah mencapai kapasitas pertumbuhan ini.
121
Kewajaran model secara grafis ditunjukkan oleh pola pertumbuhan biologis yang sigmoid (logistik) yang diharapkan dapat dipenuhi di dalam model ini dengan adanya kapasitas maksimum pertumbuhan tersebut. Hal ini disajikan pada Gambar 3, pada kondisi tanpa penebangan kerapatan tegakan diameter > 20 cm kelompok komersial dan non komersial menunjukkan laju pertumbuhan mulamula semakin meningkat kemudian melambat dan relatif datar. Jenis komersial mengalami perlambatan laju pertumbuhan sekitar tahun ke 15 dan sekitar tahun 34-38 mulai mencapai kondisi relatif stabil (steady state) dengan kerapatan 125141 btg/ha. Pada jenis non komersial laju pertumbuhan melambat sekitar tahun ke 10 dan relatif stabil mulai tahun ke 28 dengan kerapatan 69-75 btg/ha.
1: teg tot [kom]
1: 2:
1: 2:
Kerapatan tegakan (btg/ha)
1: 2:
2: teg tot [non kom]
200 80 2 2
2 1
1 1
100 60 2
1
56
40 1.
27
54
80
Page 3
106
11:55 AM Tue, Jan 15, 2008
Waktu setelah penebangan (thn)
Gambar 4 Kurva pertumbuhan tegakan komersial dan non komersial diameter > 20 cm tanpa penebangan
Evaluasi
keterandalan
model
divalidasi
secara
empiris
dengan
membandingkan hasil pendugaan oleh model dengan data aktual di PT SBK. Kerapatan tegakan diameter > 20 cm seluruh jenis hasil pendugaan oleh model-1 menggunakan data PUP PT Inhutani II (Indrawan, 2000) pada waktu 6 dan 10 tahun setelah penebangan lebih kecil 15-20,4% dari kerapatan tegakan aktual. Untuk tahun ke 3, 5, 15 dan 35 setelah penebangan, kerapatan tegakan dihasil oleh
122
model-1 dan aktual relatif sama masing-masing 4%, 0,3%, 8% dan 4,9%. Secara keseluruhan selisih kerapatan tegakan hasil pendugaan dan aktual rata-rata 7,5% . Ini menunjukkan pertumbuhan bersih pada pendugaan lebih kecil dari aktual. Hal ini karena pengaruh laju pertumbuhan yang kecil, atau laju kematian alami yang terlalu besar, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4. Data pengukuran selama delapan tahun pada plot permanen di lokasi penelitian menunjukkan riap diameter seluruh jenis untuk tiang 0,7159 cm/thn, untuk pohon diameter 20-29 cm, 30-39 cm, 40-49 cm dan >50 cm masing-masing sebesar 0,8400 cm/thn; 0,8935 cm/thn; 0,8463 cm/thn; dan 0,7485 cm/thn. Berdasarkan data riap diameter dan asumsi pohon tersebar merata di setiap kelas diameter diduga upgrowth dari tiang sampai pohon diameter >50 cm berturutturut adalah 0,0716; 0,0840; 0,0894; 0,0864; 0,0749. Jika digunakan data riap pada lokasi penelitian PT SBK (model-2), menghasilkan kerapatan tegakan yang lebih besar dari aktual berkisar antara 11,9-23,2% pada waktu 3, 5, 15 dan 35 tahun, serta kerapatan pada waktu 6 dan 10 tahun lebih kecil berkisar 2,3-6,4% atau rata-rata keseluruhan lebih besar 9,9%. Disimpulkan meskipun melalui uji χ2 kedua model tidak berbeda nyata, model tegakan yang dibangun (model-1) cukup
Tegakan 20-up cm (btg/ha)
handal, lebih mendekati kondisi aktual,.
250 200 150 100 50 0 3
5
6
10
15
35
Waktu setelah penebangan (thn) Model-1
Aktual
Model-2
Gambar 5 Perbandingan kerapatan tegakan seluruh jenis diameter > 20 cm hasil pendugaan oleh model dan aktual di areal hutan alam PT SBK Unit Seruyan Pertumbuhan menghasilkan peningkatan kerapatan tegakan diameter > 20 seiring dengan jangka waktu setelah penebangan. Struktur tegakan menunjukkan perkembangan tegakan menurut kelas diameter, pada hutan primer maupun hutan
123
bekas tebangan. Data seluruh jenis hasil inventarisasi tegakan hutan primer digunakan untuk menduga struktur hutan primer rata-rata seluruh areal (saat kini hampir seluruh areal berupa hutan bekas penebangan), diperoleh model eksponensial negatif, yaitu Y = 253,43302 exp(-0,047X), dimana R2= 0,747 dan p=0,057. Hasil pendugaan struktur tegakan dengan model ini dianggap menggambarkan kondisi klimaks yang dapat dicapai di areal hutan ini, atau menggambarkan hutan primer rata-rata pada awal masa pengelolaan hutan alam produksi di areal ini. Kerapatan tegakan rata-rata sebagai kondisi awal hutan bekas tebangan pada model didasarkan atas hasil inventarisasi tegakan tinggal (ITT) setelah penebangan di lokasi penelitian tahun 1989/1990-1998/1999. Berdasarkan hasil ITT setelah penebangan diperoleh struktur tegakan setelah penebangan dengan model Y = 38,9945 eks(-0,0238X), dimana R2= 0,903 dan p= 0,013.
Pendugaan struktur tegakan hutan alam klimaks dan bekas tebangan
disajikan pada Gambar 5, dan data inventarisasi hutan alam primer dan bekas tebangan pada Lampiran 2.
Kerapatan tegakan (btg/ha)
Hutan alam primer
Hutan alam setelah penebangan
75
75
65
65
55
55
45
45
35
35
25
25
15
15
5
5 20
30
40
50
60
70
20
Diameter tegakan (cm) (a)
30
40
50
60
70
Diameter tegakan (cm) (b)
Gambar 6 Struktur tegakan hutan di areal penelitian (a) hutan alam primer, (b) hutan alam setelah penebangan
Dinamika Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu Model hasil hutan kayu dan non kayu dari tumbuhan dan satwaliar menggambarkan perkembangan hasil hutan kayu dan non kayu setelah
124
penebangan sampai siklus tebang tegakan berikutnya. Premis sifat hubungan saling meniadakan (trade off) antara hasil hutan kayu dan non kayu, akan dibuktikan melalui simulasi intensitas penebangan tegakan (panen hasil kayu). Model Subsistem Hasil Hutan (hasil dari tumbuhan dan satwaliar) dibangun dari tegakan penghasil kayu dan non kayu, tumbuhan rotan dan bambu serta satwaliar. Variabel-variabel yang digunakan dikelompokan sebagai variabel keadaan seperti akumulasi hasil kayu dan non kayu, variabel penggerak seperti laju panen, produktivitas getah dan buah, yang secara lengkap telah disajikan pada Tabel 3 di atas, dan konstruksi model pada program stella disajikan pada Lampiran 3. Secara struktural model subsistem hasil hutan dikembangkan berdasarkan sifat multifungsi dalam satu wujud tegakan dan sifat agregatif dari hutan (Gregory, 1972; Soerianegara dan Indrawan, 1985). Sifat multifungsi dalam satu wujud tegakan ini membawa konsekuensi di saat pengambilan hasil kayu dilakukan maka sekaligus juga menghilangkan pabrik penghasil kayu dan pabrik hasil non kayu tersebut. Pengaruh pengambilan hasil kayu terhadap hasil damar, getah dan buah ditentukan oleh besar perubahan kerapatan tegakan akibat kegiatan penebangan tegakan tersebut. Sifat agregatif hutan melekat sebagai ekosistem hutan, keberadaan dan kondisi tegakan mempengaruhi bentuk dan kualitas hutan yang menjadi habitat bagi komponen biotis lainnya.
Kualitas
habitat ini mempengaruhi potensi tumbuhan penghasil non kayu lainnya, di dalam penelitian ini mencakup berbagai jenis rotan dan bambu serta populasi satwaliar. Sifat multifungsi dimiliki oleh berbagai jenis pohon yang mampu menghasilkan kayu, damar, getah dan buah. Hasil kayu diperoleh dari potensi tegakan komersial yang dibagi atas Kelompok Meranti dan Non Meranti (rimba campuran). Jenis-jenis pada famili Dipterocarpaceae di lokasi ini mencakup Shorea leprosula, S.hopeifolia, Hopea sp dan Vatica sp potensial menghasilkan damar. Di lokasi penelitian ini jenis S. stenoptera merupakan potensi penghasil buah tengkawang, sedangkan Dyera costulata mampu menghasilkan getah jelutung dan getah nyatoh dihasilkan oleh Palaquium gutta. Hasil damar, getah dan buah tengkawang ini berasal dari jenis kayu komersial, berbeda dengan potensi hasil buah berasal dari jenis non komersial. Potensi buah ini mencakup berbagai jenis buah seperti Ubai atau Ubah (Eugenia sp), Durian cakau (Durio
125
dulcis), Rambutan hutan (Nephelium sp), Manggis hutan (Garcinia sp), Pihing (Artocarpus sp) Embak atau Kapul (Baccaurea sp). Pada penelitian ini sifat agregatif hutan dikaitkan dengan komponen biotis penghasil non kayu lainnya. Hasil hutan non kayu lainnya dari tumbuhan berupa rotan umumnya rotan sega (Calamus caesius) dan bambu serta berbagai jenis satwaliar yang meliputi Rusa sambar (Cervus unicolor), Kijang (Muntiacus muntjak), Kancil (Tragulus javanicus), Babi jenggot (Sus barbatus) dan berbagai jenis burung. Pada model subsistem hasil hutan kayu, damar, getah dan buah terkait langsung dengan model subsistem dinamika tegakan, karena potensi hasil kayu maupun damar, getah dan buah secara bersama-sama dipengaruhi oleh stok (kerapatan) setiap kelas diameter tegakan. Pada model hasil hutan kayu digunakan konstanta volume pohon setiap kelas diameter pohon yang ditebang untuk mendapatkan volume kayu hasil penebangan. Berdasarkan pengolahan data hasil inventarisasi tegakan bekas tebangan pada Blok Rencana karya Lima Tahun (RKL) I-V (PT SBK, 2004) diperoleh volume rata-rata pohon diameter 40-49 cm sebesar 1,62 m3/btg, diameter 50-59 cm sebesar 2,76 m3/btg, dan diameter > 60 cm sebesar 5,63 m3/btg. Hasil kayu diperoleh dari penebangan tegakan komersial, dengan pengaturan intensitas penebangan pada setiap kelas diameter tegakan. Pada model disediakan pilihan penebangan pada kelas diameter 40-60 cm, sehingga memungkinkan dilakukan simulasi penebangan yang lebih intensif. Pada penelitian ini simulasi penebangan hanya untuk kelas diameter > 50 cm, sebagai sistem tebang pilih di hutan alam (TPTI). Dinamika potensi tegakan penghasil damar, getah dan buah adalah fungsi dari perkembangan kerapatan tegakan diameter 30-60 cm (damar dan getah dari tegakan komersial, sedangkan buah dari tegakan non komersial) dan proporsi (komposisi) tegakan penghasil non kayu terhadap tegakan total. Pada model perkembangan potensi rotan, bambu dan berbagai jenis satwaliar terkait dengan perkembangan kualitas habitat. Perkembangan kualitas habitat dipengaruhi oleh perkembangan tegakan menurut jangka waktu setelah penebangan, yang mempunyai kedudukan sebagai komponen penciri utama suatu ekosistem hutan. Oleh karena itu formulasi perkembangan komposisi jenis tegakan penghasil damar, getah, buah dan dinamika potensi tumbuhan rotan, bambu serta populasi
126
satwaliar direpresentasikan melalui pendekatan jangka waktu setelah penebangan sebagai variabel yang menjelaskan dinamika potensi sumberdaya penghasil non kayu tersebut, yang saling terkait dengan perkembangan tegakan setelah penebangan. Komposisi potensi hasil non kayu dari tegakan tersebut dianggap mencapai kondisi stabil pada saat siklus tebang berikutnya (35 tahun), yang jika tidak ada penebangan tegakan kondisi ini akan terus stabil (konstan). Kondisi stabil pada hutan primer, berdasarkan hasil inventarisasi di lokasi penelitian, diperoleh komposisi tegakan penghasil damar 43,7% tengkawang 2,6% jelutung 0,3% nyatoh 2,3% dan buah-buahan 0,5%. Tabel 4
Model penduga potensi sumber hasil hutan non kayu hutan alam produksi di lokasi penelitian
Komponen Damar Tengkawang Jelutung Nyatoh Buah Rotan Bambu Rusa
R2 (%)
Model penduga
Fhit
Yp = 0,0530 + 0,0116 X
20,81** **
Yp = 0,0048 + 0,000697 X
109,47
Yp = 0,003/35 X
-
Yp = 0,0131 + 0,000317 X
a)
47,2
**
92,3
48,78
Yrb = 76,9 + 203/35 X Yrb = 186/35 X 2
Ys = 0,136 + 0,0564 X – 0,0013 X
-
a)
-
a)
*
74,7
*
70,6
14,73
2
3
Kijang
Ys = 1,639 - 0,1858X + 0,0092 X – 0,00013 X
9,62
Kancil
Ys = 0,003 + 0,0535 X – 0,0014 X2
19,47**
2
93,1
*
8,14
Yp = 0,358 - 0,0108 X
73,9
79,6
*
48,2 80,0
Babi
Ys = 2,52 – 0,213X + 0,00781X
4,71
Burung
Ys = (15,387x1,8 1016 + 139,8X15,426) /( 1,8 1016+X15,426)
8,60 *
a)
** hasil uji F sangat nyata (p<0,01), * hasil uji F nyata (p<0,05). pendekatan matematika, Yp=prosentase tegakan penghasil non kayu dari tegakan komersial diameter >30 cm (kecuali untuk buah dari tegakan non komersial), Yrb= jumlah rotan atau bambu (kg/ha) diasumsikan selama siklus (35 thn) kembali pada kondisi semula,Ys= populasi satwaliar (ekor/ha), X= jangka waktu setelah penebangan
Tabel 4 di atas menunjukkan perkembangan komposisi tegakan penghasil damar, tengkawang, jelutung, nyatoh dan berbagai jenis buah dapat diduga dengan baik (secara statistik pada tingkat sangat nyata dan nyata) oleh variabel jangka waktu setelah penebangan (X). Model penduga berbentuk linier, dengan pengaruh X positif, kecuali untuk model pada buah pengaruh X negatif. Kondisi ini menjelaskan bahwa komposisi jenis tegakan komersial semakin dominan
127
seiring dengan perkembangan waktu, sebaliknya proses suksesi pada tegakan ini menjadikan komposisi jenis non komersial semakin berkurang.
Implikasinya
potensi tegakan penghasil damar, tengkawang, jelutung dan nyatoh semakin besar dengan semakin lama waktu setelah penebangan sampai saat siklus tebang berikutnya. Kondisi sebaliknya semakin lama setelah penebangan potensi tegakan penghasil berbagai buah-buahan semakin kecil. Model penduga potensi hasil non kayu rotan dan bambu didekati secara matematika, karena keterbatasan data. Potensi rotan didekati dari potensi rotan di hutan alam di daerah Kalimantan Timur, yaitu potensi berbagai jenis rotan pada hutan primer sebesar 281 kg/ha, sedangkan pada hutan bekas penebangan sebesar 82,8 kg/ha (Kim, 2001). Diasumsikan selama satu siklus penebangan hutan alam potensi rotan akan kembali seperti pada kondisi hutan primer, sehingga diformulasikan potensi bambu dan rotan mempunyai hubungan linier positif dengan perkembangan waktu setelah penebangan (Tabel 4). Potensi rotan pada model relatif lebih kecil dari potensi rotan di hutan alam produksi lainnya maupun potensi di kebun rotan rakyat. Pertimbangan menggunakan data potensi rotan di hutan alam Kalimantan Timur yang relatif rendah, adalah kesamaan ekosistem hutan dengan lokasi penelitian, dan lokasi penelitian memiliki tanah Podsolik Merah Kuning serta pada ketinggian sekitar 500 m dpl yang menurut Fakultas Kehutanan IPB (1991) termasuk klasifikasi tapak potensi rotan sedang. Di samping itu didukung oleh data statistik kehutanan (Baplan Kehutanan Dephut, 2001) potensi rotan di Kalbar 253 kg/ha, di Kalteng 83 kg/ha dan Kaltim 231 kg/ha. Potensi rotan di beberapa lokasi dapat dijadikan komparasi mengenai perbedaan potensi rotan karena lokasi dan bentuk penggunaan lahannya. Potensi rotan di hutan alam produksi Sulawesi Tenggara yang mencakup semai sampai rotan masak panen adalah 2.476 btg/ha (1.968 kg/ha). Adapun rotan masak panen sebanyak 210 btg/ha (1.667 kg/ha), dan semai sebanyak 2.070 btg/ha (Burhanuddin, 1997). Menurut Baplan Kehutanan Dephut (2001) potensi rotan di Sultra 1.579 kg/ha, di Sulteng 591 kg/ha dan Kalsel 1.456 kg/ha, merupakan daerah penghasil rotan potensial. Potensi kebun rotan rakyat (didominasi rotan sega atau taman Calamus caesius) di desa Tb Samba Katung Kecamatan
128
Katingan, produksi rata-rata 2,15 ton/ha dengan rotasi panen 3-4 tahun, sehingga rata-rata produksi 537,5 kg/ha/thn (Bahruni, 2001). Dransfield & Manokaran (1994) melaporkan informasi dari beberapa peneliti tentang hasil kebun rotan rakyat berupa Rotan irit (C. trachycoleus) di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yaitu sebesar 1-3,5 ton/ha (Godoy & Tan,1989); 2,2-3,9 ton/ha (Priasukmana, 1989); 7 ton/ha (Menon, 1980). Sedangkan, potensi C. caesius juga bervariasi yaitu berkisar 3,5 ton/ha (Menon, 1980); 5-7,5 ton/ha (Tardjo, 1986) dan 2,3-3,1 ton/ha (Priasukmana, 1986). Secara statistik populasi satwaliar dapat dijelaskan dengan baik (hasil uji F nyata dan sangat nyata) oleh variabel jangka waktu setelah penebangan. Di hutan bekas tebangan dengan berbagai jangka waktu setelah penebangan menunjukkan jumlah populasi satwaliar yang berbeda-beda untuk setiap jenis satwaliar yang diteliti. Perkembangan populasi satwaliar terkait dengan perkembangan tegakan hutan bekas tebangan. Jangka waktu setelah penebangan diasumsikan mewakili perkembangan kualitas hutan bekas tebangan yang sekaligus menjelaskan kondisi habitat satwaliar, yang antara lain menyediakan sumber pakan maupun ruang untuk berbagai aktivitas kehidupan satwaliar tersebut. Pola perkembangan populasi rusa, kijang dan kancil sebagai respon terhadap jangka waktu setelah penebangan berbeda-beda. Secara umum pertumbuhan digambarkan dengan pola logistik.
Semula teori pertumbuhan
menurut Malthus bahwa populasi akan bertumbuh eksponensial. Proses pertumbuhan deterministik dengan asumsi organisme mampu bereproduksi secara pasti dan mutlak. Jika populasi awal No, populasi pada waktu t adalah Nt, dan laju pertumbuhan intriksik per individu adalah r yang berpengaruh seketika itu juga dan kontinu selama t; maka model populasi eksponensial Nt = No exp (rt), dengan laju pertumbuhan dN/dt = rN.
Model logistik atau sigmoid menunjukkan
pertumbuhan populasi terpaut kerapatan atau density dependent model sebagai modifikasi dari model eksponensial Malthus yang tidak memperhitungkan pengaruh kerapatan, persaingan dan lain-lain (Tarumingkeng, 1994; Alikodra, 2002). Model pertumbuhan logistik adalah dN/dt = N(r-aN), adalah faktor
129
penurunan proporsional; persamaan ini dipecahkan dengan integral dan substitusi diperoleh model kontinu Nt =
No. exp rt (Tarumingkeng, 1994). 1 + {No(e rt − 1) / K }
Model pertumbuhan satwaliar pada Tabel 4 menunjukkan untuk rusa, kancil dan babi model kuadratik, kijang model polinomial dan aneka burung dengan model sigmoid. Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi tidak selalu mengikuti model logistik tersebut. Model pertumbuhan populasi yang lebih realistik adalah model logistik diperluas atau model logistik Berryman didasarkan atas model polinomial tingkat 4, yaitu r = ao + a1N + a2N2 + a3N3 ,dimana ao adalah laju pertumbuhan spesifik maksimum, a1 adalah efek negatif terpaut kerapatan mempengaruhi populasi pada kerapatan rendah, a2 efek positif yang terpaut kerapatan mempengaruhi populasi pada kerapatan sedang, a3 efek negatif terpaut kerapatan mendominasi populasi pada kerapatan sangat tinggi (Tarumingkeng, 1994). Model kuadratik pada rusa, kancil dan babi diduga akibat pengaruh signifikansi dari parameter ai pada model polinomial itu. Semua parameter a dipengaruhi oleh faktor genetik dan kondisi lingkungan serta faktor migrasi. Pola pertumbuhan satwaliar ini akan dijelaskan berdasarkan dugaan faktor kondisi lingkungan dan migrasi, karena diduga tidak terjadi perubahan faktor genetik pada satwaliar tersebut. Jenis rusa dan kancil secara umum populasinya semakin meningkat seiring dengan perkembangan hutan setelah penebangan. Kedua jenis satwaliar ini lebih menyukai hutan yang terbuka, yang memungkinkan ketersediaan pakan rumput serta tumbuhan bawah lainnya cukup banyak. Populasi rusa meningkat dan mencapai puncak kepadatan populasi sebesar 0,77 ekor/ha pada hutan 23 tahun setelah penebangan. Sedangkan, kancil mencapai puncak sebesar 0,51 ekor/ha pada hutan sekitar 19 tahun setelah penebangan. Pada kondisi hutan mulai tertutup dengan kerapatan tegakan yang semakin besar, populasi rusa mulai agak berkurang hingga pada hutan klimaks sekitar 0,58 ekor/ha dan populasi kancil berkurang cukup signifikan pada hutan klimaks yaitu 0,16 ekor/ha (model kuadratik). Penurunan populasi rusa dan kancil ini diduga terkait dengan persaingan pakan maupun ruang untuk beraktivitas lainnya dengan satwaliar lain,
130
antara lain kijang dan babi. Secara visual pola perkembangan populasi satwaliar yang diteliti ditunjukkan pada Gambar 7. (b) Kancil hutan alam PT SBK
0.83
0.52
0.72
0.44
Kepadatan (ekor/ha)
Kepadatan (ekor/ha)
(a) Rusa di hutan alam PT SBK
0.60 0.49 0.37
0.35
0.26
0.18
0.25
0.09
0.14
0.00
0.02 0.1
6.5
12.9
19.2
25.6
0.1
38.4
32.0
6.5
Jangka waktu setelah penebangan (thn)
4.86
1.40
4.14
Kepadatan (ekor/ha)
Kepadatan (ekor/ha)
IP 100
1.19 0.98 0.77 0.56
6.5
12.9
19.2
25.6
32.0
19.2
25.6
32.0
38.4
(d) Babi di hutan alam PT SBK
(c) Kijang hutan alam PT SBK
0.36 0.1
12.9
Jangka waktu setelah penebangan (thn)
38.4
3.43 2.71 1.99 1.28 0.56 1.0
5.0
9.0
13.0 17.0 21.0 25.0 29.0 33.0 37.0
Jangka waktu setelah penebangan (thn)
Jangka waktu setelah penebangan (thn)
(e) Aneka burung di hutan alam PT SBK Kepadatan (ekor/ha)
201
167
134
101
67
34 0.5
0.1
7
13
20
26
32
38
Jangka waktu setelah penebangan (thn)
Gambar 7 Pola hubungan populasi satwaliar dan jangka waktu setelah penebangan (a) populasi rusa (b) populasi kancil, (c) populasi kijang (d) populasi babi, (e) populasi aneka burung Empiris di lapangan menunjukkan populasi kijang pada berbagai kondisi hutan setelah penebangan berbeda dengan rusa dan kancil, meskipun mereka sama-sama satwa herbivora. Secara hipotetis populasi satwa herbivora meningkat pada hutan setelah penebangan, karena keterbukaan areal akan merangsang
131
pertumbuhan rumput dan tumbuhan bawah lainnya yang menjadi sumber pakan herbivora. Kasus pada kijang tidak demikian, karena diduga kijang cukup sensitif terhadap kebisingan dari kegiatan penebangan, sehingga berpindah menghindari kebisingan cukup jauh dari lokasi hutan tebangan. Populasi terendah sebesar 0,46 ekor/ha pada hutan sekitar 15 tahun setelah penebangan, kemudian secara perlahan populasinya meningkat dan mencapai 0,73-0,77 ekor/ha pada hutan klimaks.
Pada waktu peningkatan populasi kijang di hutan bekas tebangan,
populasi rusa dan kancil menurun, khususnya penurunan populasi kancil yang merupakan satwa kecil cukup besar. Selain kijang, untuk babi populasinya juga berkurang pada hutan yang baru saja ditebang, kedua satwaliar ini lebih menyukai hutan yang relatif lebih tertutup oleh tajuk tegakan. Beragam jenis burung antara lain Kuau raja (Argusianus argus), Bubut besar (Centropus sinensis), Tiong emas (Gracula religiosa), Ayam hutan hijau (Gallus varius), Enggang jambul (Aceros comatus), Rangkong gading (Bucceros vigil), Puyuh sengayan (Rollulus rouloul) dan lain-lain terdapat di hutan bekas tebangan. Berbagai jenis burung pada hutan yang baru ditebang populasinya hanya sekitar 14 ekor/ha, lebih kurang 10% populasi di hutan klimaks. Pada hutan 10 tahun setelah penebangan dimana kerapatan tegakan semakin tinggi, tajuk tegakan dominan dan ko-dominan melingkupi areal, maka aneka burung kembali berkembang, hingga mencapai 139 ekor/ha di areal hutan klimaks. Perkembangan populasi satwaliar ini secara umum dipengaruhi tingkat natalitas, mortalitas, dan migrasi. Pada penelitian ini tidak menggali secara khusus mengenai faktor-faktor tersebut, oleh karena itu pola empiris perkembangan populasi satwaliar ini dijelaskan oleh dugaan faktor yang mempengaruhinya. Faktor sensitivitas satwaliar terhadap kebisingan kegiatan penebangan akan mempengaruhi migrasi satwaliar tersebut. Kasus pada kijang migrasi temporal setelah beberapa tahun setelah penebangan kembali lagi ke hutan bekas tebangan tersebut. Ketersediaan pakan dan persaingan satwaliar herbivora ini terhadap pakan tentu sangat mempengaruhi daya dukung habitat. Kondisi iklim diduga juga berpengaruh terhadap preferensi kondisi hutan sebagai habitatnya. Keterbukaan tajuk akibat penebangan tegakan berpengaruh terhadap iklim (suhu dan kelembaban) untuk aktivitas kehidupan satwaliar bukan saja untuk makan
132
tetapi juga untuk berkembangbiak, berlindung dari faktor pengganggu dan lain lain. Faktor adanya predator seperti Harimau akar (Felis marmota), Harimau dahan atau Macan dahan (Neofelis nebulosa) akan mengurangi populasi satwaliar mamalia yang diteliti ini, melalui pemangsaan. Disamping faktor predasi, pengurangan populasi satwaliar juga dipengaruhi oleh kegiatan perburuan yang dilakukan oleh masyarakat. Populasi satwaliar berupa rusa sambar, kijang, kancil dan babi di hutan alam primer lokasi penelitian (areal hutan SBK) ini relatif sama dengan populasi satwaliar di hutan alam primer areal kerja PT Kayu Tribuana Rama (KTR) yang lokasinya juga di Kalimantan Tengah maupun kondisi populasi satwaliar yang ada di hutan alam produksi Sumatera Selatan. Di Sumatera Selatan populasi babi lebih kecil dari populasi babi yang ada di Kalimantan Tengah. Hal ini diduga karena kondisi hutan di Sumatera Selatan relatif lebih terbuka, sebagai bagian areal hutan alam yang memerlukan tindakan restorasi, karena kurang produktif (terdegradasi). Hal ini selaras dengan model perkembangan populasi babi pada Gambar 7(b) di atas, pada areal terbuka populasi babi relatif lebih sedikit. Perbandingan populasi satwaliar yang ada di hutan alam primer disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Perbandingan kepadatan populasi satwaliar di lokasi penelitian dengan lokasi lain Jenis Rusa sambar (C. unicolor) Kijang (M. muntjak) Kancil (T. javanicus) Babi (S. barbatus)
SBK 0,6 0,5 0,2 4,5
Hutan alam primer Restorasi a) 0,7 0,1 0,1 0,8
KTR b) 1,0 1,0 0,5 11,5
a) Restorasi adalah areal restorasi ekosistem hutan alam produksi di Sumatera Selatan (Fahutan IPB dan PT Reki, 2006) b) KTR adalah hutan alam produksi areal kerja PT Kayu Tribuana Rama di Kalimantan Tengah (Lamin P, 1997)
Pemanfaatan hasil hutan non kayu oleh masyarakat desa-desa contoh di sekitar hutan berkisar 1,6 – 9,3%, pemanfaatan rata-rata untuk kelompok tumbuhan dan satwaliar sebesar 5,4% (di dalam simulasi digunakan intensitas pemanfaatan 5%) dari potensi hasil hutan non kayu hutan alam primer. Simulasi intensitas penebangan dilakukan untuk mengetahui sifat hubungan antara hasil
133
hutan kayu dan non kayu. Hasil simulasi pengaruh intensitas penebangan tegakan terhadap hasil kayu dan non kayu disajikan pada Tabel 6. Hasil simulasi menunjukkan bahwa antara hasil hutan kayu dan non kayu mempunyai sifat hubungan negatif (trade off), dan bentuk hubungan ini tidak linier. Perbandingan tingkat produksi setiap jenis hasil hutan pada basis intensitas penebangan 100% menunjukkan, jika produksi kayu turun menjadi 76%, maka produksi hasil hutan non kayu yang berasal dari tumbuhan meningkat 2,6 kali produksi semula. Apabila produksi kayu semakin menurun menjadi 50% dan 0% (tanpa produksi kayu), maka produksi non kayu dari tumbuhan masing-masing meningkat menjadi 4,3-4,7 kali dan 10-39 kali produksi semula (saat produksi kayu 100%). Kondisi yang sama juga terjadi pada hasil hutan satwaliar, jika produksi kayu turun menjadi 76%, produksi atau hasil perburuan satwaliar meningkat menjadi 2,6-4,9 kali jumlah semula.
Peningkatan hasil perburuan
satwaliar menjadi 4-8 kali, pada saat produksi kayu 50%, dan menjadi 3-15 kali pada saat tidak ada penebangan tegakan untuk produksi kayu. Tabel 6 Hasil hutan kayu dan non kayu per hektar selama 35 tahun pada berbagai simulasi intensitas penebangan Jenis Hasil Hutan
Kayu (btg/ha) Kayu (m3/ha) Damar (kg/ha) Tengkawang (kg/ha) Jelutung (kg/ha) Nyatoh (kg/ha) Buah (kg/ha) Rotan (kg/ha) Bambu (kg/ha) Rusa (ekor/ha) Kijang (ekor/ha) Kancil (ekor/ha) Babi (ekor/ha) Burung (ekor/ha)
Intensitas Penebangan (%) 100 76 50 Tumbuhan 19,3 14,6 9,6 75,03 57,0 37,5 10,78 28,11 49,62 7,79 20,32 35,97 0,87 2,25 3,96 7,99 20,93 37,34 157,02 411,68 707,42 29,91 77,78 127,14 15,82 41,16 67,27 Satwaliar 0,16 0,77 1,26 0,20 0,50 0,82 0,10 0,25 0,41 0,53 1,37 2,24 25,17 65,44 106,96
0 0 0 312,53 203,70 29,23 180,20 70,42 308,00 204,60 1,02 0,79 0,28 7,88 243,25
134
Pola peningkatan hasil non kayu yang berasal dari tumbuhan pada setiap intensitas penebangan tegakan relatif seragam, karena pola perkembangan potensi setiap hasil hutan non kayu itu linier. Sebaliknya pada satwaliar polanya tidak seragam karena perkembangan potensi setiap satwaliar tidak linier dan berbedabeda (pola kuadratik, polinomial dan sigmoid) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4 di atas.
Model Pendugaan Nilai Guna Kayu dan Non Kayu Hutan Alam Model subsistem nilai guna langsung dari tumbuhan dan satwaliar menggambarkan dinamika nilai ekonomi hasil hutan kayu, non kayu dari kelompok tumbuhan dan satwaliar selama siklus tebang pada berbagai intensitas penebangan tegakan. Penghitungan nilai ekonomi kayu dan non kayu selama siklus tebang 35 tahun dinyatakan dengan nilai kiwari (present value).
Besar
nilai ekonomi kayu dan non kayu dipengaruhi oleh dua komponen penting yaitu besar hasil kayu dan non kayu serta harga masing-masing jenis hasil hutan tersebut. Harga-harga yang digunakan adalah harga konstan, sehingga dinamika nilai ekonomi kayu dan non kayu selama jangka 35 tahun ditentukan oleh dinamika potensi hasil hutan tersebut pada berbagai intensitas penebangan yang disimulasikan dan laju panen panen hasil non kayu atau laju perburuan satwaliar yang disimulasikan pada tingkat 5% dari potensinya. Macam-macam variabel pada subsistem nilai guna kayu dan non kayu telah disajikan pada Tabel 3 di atas, dan konstruksi model pada program stella dapat dilihat pada Lampiran 5. Pada saat kini, tegakan sebagai penghasil kayu memiliki komposisi jenis komersial yang semakin besar yaitu mencapai 66% (semula +51%) dari keseluruhan pohon berdiameter > 20 cm dan sisanya masih non komersial 34%. Faktor perubahan teknologi pengolahan kayu, peningkatan kebutuhan kayu yang cukup tinggi pada saat kini, adanya kesadaran sumberdaya hutan yang mulai terbatas serta perubahan preferensi masyarakat mempengaruhi penambahan jenisjenis komersial. Kayu yang berat (tenggelam) yang sulit diangkut melalui sungai dan kayu keras yang sulit diolah pada waktu dulu termasuk jenis-jenis non komersial, atau sangat sedikit dimanfaatkan, namun pada saat kini menjadi jenis-
135
jenis komersial. Komposisi jenis komersial ini terkonsentrasi pada kelas diameter besar, yaitu pada kelas diameter 20-39 cm sebesar 48-66%, kelas diameter 40-59 cm sebesar 81-88%, sedangkan kelas diameter > 60 cm sebesar 91%. Hasil kayu komersial dari penebangan tegakan terdiri atas 72% kelompok meranti dan 28% non meranti (rimba campuran). Penebangan yang dilakukan oleh perusahaan pengelola hutan menghasilkan logs berkisar 47-56 m3/ha atau dalam bentuk tegakan sebesar 67-79 m3/ha. Intensitas penebangan yang dipraktekan oleh pengelola hutan saat ini minimal 76% dari stok tegakan dengan limit diameter 50 cm. Nilai ekonomi hasil kayu diukur dengan nilai tambah kegiatan ekonomi pemanfaatan hasil hutan kayu. Penggunaan konsep nilai tambah sebagai nilai ekonomi dengan pertimbangan adanya kegiatan pengelolaan ekosistem hutan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, bukan saja nilai tegakan tetapi juga pendapatan bagi pihak yang terkait di dalam kegiatan pengelolaan hutan ini. Di dalam nilai tambah terdapat nilai sumberdaya berupa nilai tegakan, pendapatan perusahaan dan pekerja pengelola hutan. Nilai tegakan disini mencakup pungutan iuran kehutanan berupa dana reboisasi (DR) dan provisi sumberdaya hutan (PSDH) serta pajak bumi dan bangunan (PBB), yang menjadi pendapatan pemerintah. Conversion return (CR) merupakan nilai sisa turunan (derived residual value) yang terdiri atas nilai tegakan dan pendapatan bersih pengelola. Conversion return diturunkan dari harga logs, sedangkan harga logs diturunkan dari harga kayu olahan berupa kayu lapis, moulding dan kayu gergajian yang sebagian besar (+ 90%) dijual untuk pasar internasional dan sisanya untuk pasar domestik. Berdasarkan perhitungan harga kayu olahan dikurangi dengan biaya produksi kayu olahan beserta marjin keuntungan industri pengolahan kayu yang diestimasi sebesar 30% dari harga jual kayu olahan, diperoleh harga logs sebesar Rp 785.500/m3. Hasil penghitungan menunjukkan conversion return sebesar Rp 321.800/ m3, yang terdiri atas nilai tegakan sebesar Rp 181.300/ m3 dan pendapatan kegiatan pengelola hutan produksi kayu sebesar Rp 140.500/ m3.
Kegiatan
pengelolaan hutan juga telah memberikan pendapatan bagi para pekerja pengelola hutan sebesar Rp 138.500/ m3.
Besar nilai ekonomi hasil hutan kayu adalah
136
fungsi dari produksi kayu yang diperoleh pada saat daur, dimana faktor-faktor harga jual dan biaya produksi per unit produk dianggap konstan.
Dengan
demikian, intensitas penebangan tegakan 0%, 50%, 76% dan 100% secara langsung mempengaruhi besar nilai ekonomi yang diperoleh dari hasil hutan kayu. Tabel 7 Harga dan nilai potensial stok hasil hutan non kayu di lokasi penelitian No
Jenis
1 Damar 2 Tengkawang 3 Jelutung 4 Nyatoh 5 Aneka buah 6 Rotan 7 Bambu Sub total 1 Rusa 2 Kijang 3 Kancil 4 Babi 5 Aneka burung Sub total Total tumbuhan dan satwaliar #)
Potensi
#)
78,336 54,9 7,03 46,2 19,2 280 186 671,666 0,58 0,73 0,6 4,5 96 144,97
Nilai potensial stok Harga +) non kayu (Rp/unit) (Rp/ha) % Tumbuhan 4.500 352.512 5,1 4.000 219.600 3,2 3.500 24.605 0,4 3.500 161.700 2,3 570 10.944 0,2 2.000 560.000 8,0 500 93.000 1,3 1.422.361 17,2 Satwaliar 795.000 461.100 6,6 230.000 167.900 2,4 68.000 10.880 0,2 450.000 2.025.000 29,1 30.000 2.880.000 41,3 5.544.880 79,6 6.967.241 100,0
unit untuk tumbuhan adalah kg/ha, satwaliar ekor/ha; +) harga aneka buah dan aneka burung adalah harga rata-rata
Penilaian hasil hutan non kayu mencakup kelompok tumbuhan yang meliputi resin atau getah dan buah; rotan dan bambu; serta kelompok satwaliar yaitu rusa, kijang, kancil, babi dan aneka jenis burung. Pendugaan nilai non kayu menggunakan metode harga pasar. Harga di pasar lokal yaitu desa lokasi penelitian yang diperoleh melalui wawancara responden dan data sekunder harga di desa lain yang ada di wilayah Kabupaten Katingan dan Seruyan.
Harga,
potensi dan nilai potensial stok hasil hutan non kayu ditunjukkan pada Tabel 7. Berdasarkan hasil inventarisasi tegakan dan satwaliar di areal penelitian hutan SBK, diperoleh pendugaan potensi stok hasil hutan non kayu kelompok tumbuhan dan satwaliar di hutan alam primer. Nilai potensial stok non kayu dari
137
kelompok tumbuhan sebesar Rp 1.422.361/ha (17,2%), dan satwaliar sebesar Rp 5.544.880/ha (79,6%). Nilai kelompok tumbuhan didominasi oleh nilai potensial stok rotan 8% dan nilai stok damar 5%; sedangkan pada satwaliar nilai stok babi dan rusa lebih dominan, dengan komposisi masing-masing 41% dan 29%. Pendugaan nilai hasil hutan kayu dilakukan melalui simulasi pengaruh intensitas penebangan tegakan menggunakan model subsistem nilai guna tumbuhan dan satwaliar. Pada siklus tebang pertama, dengan intensitas penebangan 100% diperoleh nilai kiwari Rp 3.234.634/ha, intensitas 76% diperoleh Rp 2.458.322/ha, intensitas 50% diperoleh Rp 1.617.317/ha, dan intensitas 0% berarti tanpa penebangan tegakan maka nilai kayu nol (Lampiran 6). Jika digunakan konsep nilai tanpa diskonto, untuk intensitas penebangan minimal 76% yang dipraktikan oleh pengelola hutan diperoleh produksi kayu 57 m3/ha dan nilai kayu Rp 44.658.530/ha atau Rp 1.275.960/ha/thn. Sebagai komparasi hasil penelitian di Kalimantan Tengah dan Jambi (IPB dan Dephut, 1999), yang disesuaikan dengan harga yang sama dengan penelitian ini, diperoleh nilai ekonomi kayu hutan produksi lahan kering (areal PT MJ) Rp 4.520.697 /ha/thn dan di hutan rawa sebesar (areal PT BA) Rp 2.240.761/ha/thn. Nilai hutan alam di Jambi (areal PT AL) sebesar Rp 1.174.989/ha/thn dengan riap 1,49 m3/ha/thn. Hasil IPB dan Dephut (1999) di Kalimantan Tengah lebih besar 1,83,5 kali hasil kayu di lokasi penelitian ini, yang disebabkan oleh perbedaan besar panen kayu, yaitu di hutan alam produksi lahan kering 5,77 m3/ha/thn dan hutan rawa 2,28 m3/ha/thn. Komparasi lain adalah nilai kayu hutan alam bekas tebangan di eks PT IFA (bagian barat TN Bukit Tiga Puluh Jambi) sebesar Rp 626.786/ha/thn, lebih kecil dari nilai kayu hasil penelitian di SBK ini. Hal ini karena besar panen (riap) di hutan alam produksi bagian barat TN Bukit Tiga Puluh Jambi ini hanya 0,8 m3/ha/thn (Fak. Kehutanan IPB dan Warsi, 2006). Dengan demikian, besar nilai kayu hutan alam tergantung pada besar riap (produktivitas) di tiap-tiap lokasi hutan tersebut. Seperti halnya nilai kayu, besar nilai hasil hutan non kayu adalah fungsi dari besar produksi non kayu, dalam hal ini intensitas panen ataupun perburuan ditetapkan 5% dari potensi hasil hutan. Dinamika nilai hasil hutan non kayu ini secara langsung mengikuti dinamika potensi hasil hutan pada setiap intensitas
138
penebangan tegakan. Pemanfaatan hasil hutan non kayu oleh masyarakat di lokasi penelitian hutan SBK selama 35 tahun hasil simulasi subsistem hasil hutan ditunjukkan pada Tabel 6 di atas. Hasil simulasi menunjukkan nilai guna non kayu kelompok tumbuhan pada siklus tebang pertama, yaitu pada intensitas penebangan 100% sebesar Rp 74.967/ha, intensitas penebangan 76% sebesar Rp 194.914/ha, intensitas penebangan 50% sebesar Rp 318.609 dan intensitas 0% (tanpa penebangan tegakan) diperoleh nilai Rp 499.779/ha.
Adapun nilai guna
satwaliar pada intensitas penebangan 100%, 76%, 50% dan 0% berturut-turut adalah sebagai berikut Rp 309.064/ha, Rp 803.567/ha, Rp 1.313.524/ha dan Rp 2.060.429/ha. Nilai guna total yang terdiri dari hasil hutan kayu dan non kayu selama siklus tebang pada intensitas penebangan 0%, 50%, 76% dan 100% berturut-turut adalah nilai kiwari Rp 2.560.208/ha; Rp 3.249.450/ha; Rp 3.456.803/ha dan Rp 3.618.665/ha. Nilai guna hasil hutan kayu dan non kayu secara lengkap hasil simulasi menurut intensitas penebangan tegakan disajikan pada Lampiran 6. Tabel 8 Perubahan nilai kiwari hasil hutan kayu dan non kayu pada simulasi berbagai intensitas penebangan tegakan hutan alam produksi Dari
Intensitas penebangan (%)
Ke
IP 0 IP 0 IP 50
0
IP 50
IP 76
689.000
897.000
1.058.000
0
207.000
369.000
0
162.000
IP 76 IP 100
IP 100
0
Pada Tabel 8 hasil simulasi menunjukkan jika pengelolaan hutan alam produksi dengan alternatif dari tanpa penebangan ke alternatif dengan penebangan tegakan dan intensitas penebangan semakin meningkat, maka akan diperoleh tambahan nilai guna yang semakin besar. Hal ini berarti adanya penebangan yang memberikan hasil nilai kayu yang semakin besar, dan dapat mengompensasi penurunan nilai non kayu akibat pengaruh penebangan.
Jika pengambilan
keputusan pengelolaan hutan alam produksi hanya mempertimbangkan hasil kayu
139
dan non kayu saja, maka penebangan dengan intensitas 100% merupakan alternatif terbaik atau ekonomis, yang menghasilkan NET maksimum. Komposisi nilai ekonomi hasil hutan kayu dan non kayu ditunjukkan pada Gambar 8. Pada intensitas penebangan 100% nilai ekonomi hasil hutan didominasi oleh nilai guna kayu 88%, komposisi nilai guna non kayu hanya 12%. Komposisi nilai guna kayu semakin kecil seiring dengan penurunan intensitas penebangan tegakan; pada intensitas penebangan 0% maka tidak diperoleh nilai
Komposisi nilai guna kayu & non kayu(%)
kayu, 100% nilai ekonomi hasil hutan bersumber dari nilai guna non kayu.
120 100 80
100 88.5
84.7 69.3
60
50.3
40
49.7 39.9
20
15.3
-
10.4
30.7 24.6 6.2
11.5 9.2 2.3
50
0
76
100
Intensitas penebangan (%) Kayu
Tumb.non kayu
Satwaliar
Total non kayu
Gambar 8 Komposisi nilai guna kayu dan non kayu menurut intensitas penebangan hutan alam produksi Potensi nilai guna hasil hutan non kayu sebagian besar berasal dari potensi nilai guna satwaliar.
Kontribusi nilai guna hasil hutan non kayu kelompok
tumbuhan terhadap nilai guna total pada berbagai intensitas penebangan tegakan dari 100% sampai 0% yang disimulasikan, urutan pertama adalah nilai aneka buah (1,29 - 5,77%), urutan kedua adalah nilai damar (0,03-4,08%), ketiga adalah nilai tengkawang (0,20-2,42%) dan nilai rotan (0,26-2,22%).Sedangkan pada kelompok satwaliar, kontribusi terbesar oleh nilai aneka burung (5,21-50,45%), kedua oleh nilai babi (2,23-23,64%) dan ketiga oleh nilai rusa (1,19-7,36%).
140
Dinamika nilai ekonomi hasil hutan kayu dan non kayu, menunjukkan perubahan yang terjadi akibat perubahan intensitas penebangan tegakan. Dilakukan analisis rasio komponen nilai guna hasil hutan terhadap masing-masing nilai guna hasil hutan pada basis intensitas penebangan 100%.
Penurunan
intensitas penebangan dari 100% menjadi 76% akan menurunkan nilai guna kayu 24% dari nilai semula. Penurunan nilai guna kayu semakin besar jika intensitas penebangan semakin kecil; disini tampak dari intensitas penebangan 100% turun menjadi tanpa penebangan 0%, nilai guna kayu turun 100% ini artinya tidak ada nilai kayu lagi; sebaliknya pada intensitas penebangan 0% terjadi kenaikan nilai non kayu sebesar 567% dari semula (Tabel 9). Tabel 9 Rasio nilai kayu dan non kayu pada basis intensitas penebangan 100% Komponen nilai guna
Intensitas penebangan (%) 0
50
76
100
Rasio thd masing-masing nilai guna Nilai kayu Nilai non kayu Nilai guna total
(1,00) 5,67 (0,29)
Nilai kayu Nilai non kayu Nilai guna total Daya substitusi nk thd ky
(0,89) 0,60 (0,29) 1,5
(0,50) (0,24) 3,25 1,60 (0,10) (0,04) Rasio thd nilai guna total (0,45) 0,34 (0,10) 1,3
(0,21) 0,17 (0,04) 1,26
-
Tanda kurung (..) menyatakan nilai negatif
Berdasarkan rasio terhadap nilai guna masing-masing tampak nilai hasil non kayu naik sangat tinggi 567% dari semula, tetapi berdasarkan rasio terhadap nilai guna total intensitas penebangan 100%, kenaikan non kayu itu hanya 60% sedangkan penurunan nilai kayu 89%.
Dengan demikian alternatif tanpa
penebangan yang menaikan nilai non kayu tidak dapat mengompensasi penurunan nilai kayu. Dari data rasio terhadap nilai guna total, diperoleh rasio nilai kayu terhadap non kayu. rasio ini menunjukkan daya substitusi non kayu terhadap kayu. Untuk mempertahankan nilai guna total semula (IP100%), maka jika intensitas penebangan diturunkan menjadi 76% diperlukan kenaikan 1,26 rupiah
141
non kayu untuk menyubstitusi penurunan setiap rupiah nilai kayu. Pada alternatif tanpa penebangan penurunan nilai kayu sangat tinggi, maka diperlukan kenaikan nilai non kayu 1,5 kali dari nilai non kayu saat tanpa penebangan kini. Untuk mencapai kondisi ini maka panen hasil hutan non kayu harus ditingkatkan, dengan tetap memperhatikan potensi dan kelestarian hasil non kayu tersebut. Hal yang tampak dari proses simulasi intensitas penebangan tegakan ini adalah antara nilai ekonomi kayu dan non kayu memiliki hubungan saling meniadakan (trade off), jika nilai kayu dinaikan dengan menaikan intensitas penebangan, maka nilai non kayu akan turun, atau sebaliknya. Dengan demikian, premis yang dikemukakan di awal pada sub bab model dinamika hasil kayu dan non kayu di atas telah terbukti. Pengetahuan ini penting di dalam merumuskan tujuan pengelolaan hutan alam produksi dengan alternatif hasil kayu dan non kayu. Pertimbangan pengelolaan hutan multiguna antara hasil hutan kayu dan non kayu dapat dilakukan dengan mengetahui daya substitusi antara kayu dan non kayu tersebut.