PENDUGAAN KANDUNGAN KARBON TEGAKAN KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii) PADA BERBAGAI POLA TANAM
WIRA ARY ARDANA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PENDUGAAN KANDUNGAN KARBON TEGAKAN KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii) PADA BERBAGAI POLA TANAM
WIRA ARY ARDANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
ABSTRAK WIRA ARY ARDANA. E44070063. Pendugaan Kandungan Karbon di Atas Permukaan Tanah pada Tegakan Kayu Afrika (Maesopsis eminii) Pada Berbagai Pola Tanam. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO. Mekanisme perubahan CO2 di atmosfer memicu perubahan suhu global (pemanasan global atau pendinginan global). Kondisi ini menuntut adanya pengelolaan hutan ke arah pemanfaatan jasa hutan. Hutan tidak hanya berfungsi sebagai penghasil kayu melainkan berfungsi sebagai penyerap karbon yang ada di atmosfer. Peranan pengelolaan hutan dilihat penting dalam membantu menyerap karbon, sehingga perlu diadakan penelitian mengenai pengukuran dugaan kandungan karbon pada tanaman cepat tumbuh jenis kayu afrika pada berbagai pola tanam di hutan rakyat Megamendung. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kandungan karbon di atas permukaan tanah pada tegakan kayu afrika (M. eminii) pada berbagai pola tanam dan faktor yang mempengaruhi kandungan karbon. Pengumpulan data biomassa pada tegakan kayu afrika menggunakan metode non-destruktif sedangkan tumbuhan bawah menggunakan metode destruktif. Data dianalisa mnggunakan Microsoft exel. Nilai C pada kayu afrika tergantung dari aktivitas pertumbuhannya untuk menghasilkan bobot biomassanya. Nilai C kayu afrika terbesar terdapat pada lahan dengan pola tanam monokultur. Kayu afrika pada pola tanam monokultur menunjukkan nilai C individu paling besar dibandingkan dengan kayu afrika pada pola tanam campuran dan agroforestri yaitu sebesar 0,02357 ton/ind. Faktor kerapatan tajuk yang tinggi mempengaruhi aktivitas pertumbuhan kayu afrika dalam pembentukan biomassa dan kandungan C. Jarak tanam dan pola tanam serta aktivitas pemeliharaan mempengaruhi kandungan C pada biomassa kayu afrika. Kata kunci : Kandungan C, Maesopsis eminii, Agroforestri
iii
ABSTRACT WIRA ARY ARDANA. E44070063. Prediction Carbon Stock above Ground on Wooden Stand of Afrika ((Maesopsis eminii) on a Variety of Cropping Patterns. Under supervision of NURHENI WIJAYANTO. Mechanism of changes of CO2 in the atmosphere trigger the changes in global temperature (global warming or global cooling). This condition requires a forest management toward utilization of forest services. Forests are no longer functioning as a timber but rather serves as a carbon sink in the atmosphere. The role of forest management seen important in helping to absorb carbon, so that it should be needed have a research on the measurement of the alleged of carbon content on the fast-growing plants on the Afrika wood species in a variety of cropping patterns in Megamendung Forest. This research aims to study the Content of Carbon above Ground on Wooden Stand of Afrika ((M. eminii) on a Variety of Cropping Patterns and the factors which affecting the carbon content. Collection of data biomass on wooden stand of Afrika using a non-destructive method, while the undergrowth plants using a destructive methods. The data were analyzed using the Microsoft excel. The value of C in Afrika wood depending on the growth activity to produce the biomass weight. The largest C values found on land with monoculture cropping pattern. Afrika wood on monoculture cropping pattern showed the greatest individual value of C compared with Afrika wood on mixed cropping and agroforestry in the amount of 0,02357 ton/ind. The factors of high canopy density affects the activity of the Afrika wood growth in the formation of biomass and content of C. Plant spacing and cropping pattern as well as maintenance activities affect content of C in the Afrika wood biomass. Keywords: Content of C, Maesopsis eminii, Agroforestry
iv
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pendugaan Kandungan Karbon Tegakan Kayu Afrika (Maesopsis eminii) Pada Berbagai Pola Tanam” adalah benar hasil karya saya sendiri dengan dibimbing dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun serta belum pernah dipublikasikan. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
Wira Ary Ardana NRP E44070063
v
Judul Skripsi : Pendugaan Kandungan Karbon Tegakan Kayu Afrika (Maesopsis eminii) Pada Berbagai Pola Tanam Nama : Wira Ary Ardana NIM : E44070063
Menyetujui: Dosen Pembimbing
(Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS)
Mengetahui, Ketua Departemen Silvikultur
(Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS)
Tanggal Lulus :
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana wa ta’ala atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Pendugaan Kandungan Karbon Tegakan Kayu Afrika (Maesopsis eminii) Pada Berbagai Pola Tanam”. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kandungan karbon di atas permukaan tanah pada tegakan kayu Afrika (Maesopsis eminii) pada berbagai pola tanam dan faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan karbon. Rasa syukur dan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS. selaku dosen pembimbing yang senantiasa setia dan sabar dalam memberikan arahan, nasehat dan bimbingan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Bambang Istiawan dan Ibu Rosita, Mang Encim, dan Kelompok Tani Hutan Organik Megamendung serta berbagai pihak yang ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Ungkapan hormat dan terima kasih juga disampaikan kepada abah dan ibu serta seluruh keluarga atas segala doa, harapan dan cita yang tiada batasnya. Penulis menyadari berbagai keterbatasan dalam penulisan ini, penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Februari 2013
Wira Ary Ardana
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Asahan, Sumatera Utara pada tanggal 30 Maret 1988 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Saiman S dan Suyatni. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 02 Kisaran pada tahun 2006. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan dan kepanitiaan yakni himpunan profesi Tree Grower Community (TGC)
tahun 2009-2010, ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
komisariat fakultas kehutanan IPB tahun 2008-2009, wakil sekretaris umum HMI cabang bogor 2009-2010, dan Wakil sekretaris jendral pengurus besar HMI tahun 2010-2012. Penulis juga pernah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Papandayan-Lw. Sancang Timur tahun 2008. Penulis melaksanakan Praktek Pembinaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walad (HPGW) Kabupaten Sukabumi tahun 2009. Penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM), Kulon Progo Jogjakarta. Penulis selama masa kuliah, pernah menerima beasiswa peningkatan prestasi akademik (PPA). Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pendugaan Kandungan Karbon Tegakan Kayu Afrika (Maesopsis eminii) Pada Berbagai Pola Tanam dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS.
viii
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis dengan kerendahan hati dan tulus ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada : 1.
Allah Subhana wa ta’ala yang senantiasa memberikan keridhoan dan keberkahan.
2.
Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS sebagai dosen pembimbing yang senantiasa memberikan nasehat ilmu, bimbingan, pengarahan dan saran selama dalam proses penelitian hingga selesainya karya ilmiah ini.
3.
Keluarga tercinta, Abah (Saiman), Ibu (Suyatni), kakak (Analia Trisna dan Evi Andriani Trisna), Adik (Widya Ayu Trisna) serta Indana Saramita yang telah memberi motivasi, semangat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
4.
Keluarga besar petani hutan organik Megamendung (Bapak Bambang Istiawan, Ibu Rosita, serta Mang Encim,) yang telah membantu proses penelitiannya serta pencerahan ilmu dalam pengelolaan hutan lestari.
5.
Sahabat setia dan seperjuangan Nichi Valentino, Adi Dzikrullah Bahri, Arifin, Alex Yungan Harahap, Rizky Mohfar, Hariadi Propantoko, Anggiana Ginanjar, Rusdi Indra, Ardiasyah Putra, Yasser Pramana, Limbong, Mustofa dan Andri terima kasih atas kritik, saran dan dukungan yang diberikan.
6.
Keluarga besar Silvikultur 44 Dhinda Hidayanti, Nurunnajah, Anindita Kusumaningrum, Lilik S Rahayu, Rinenggo Siwi, Rinal S Lubis serta kawan-kawan Silvikultur 44 lainnya terima kasih atas dukungan dan kerjasamanya.
7.
Kelompok PKP Kulon Progo Dicky Sinaga, Bayu Pranayuda, dan Bergas Cahyo Baskoro yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan.
8.
Keluarga besar Silvikultur Ida (45), Handyan AP dan Benny (42) atas diskusi dan saran-sarannya.
9.
Rekan-rekan HMI komisariat Fakultas Kehutanan IPB Sri Handayani, Laswi Irmayanti, Azizah Supardi, Rhomi Ardhiansyah, Taufik, Indra Prima yang senantiasa memberikan semangat dan doa.
ix
10.
Sahabat-sahabat Rimbawan muda di Departemen Manejemen Hutan, Hasil Hutan, Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata serta Silvikultur yang telah banyak memberikan dukungan dan semangat.
11.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
x
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL.......................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
xv
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
Latar belakang ........................................................................................
1
Tujuan penelitian ....................................................................................
2
Manfaat penelitian ..................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
4
Agroforestri ............................................................................................
4
Deskripsi singkat kayu afrika .................................................................
6
Karbon (C) .............................................................................................
6
Biomassa ...............................................................................................
8
METODE PENELITIAN............................................................................
11
Lokasi dan waktu penelitian...................................................................
11
Alat dan bahan........................................................................................
11
Prosedur penelitian .................................................................................
11
Pembuatan petak penelitian.............................................................
11
Pengukuran tinggi dan diameter......................................................
12
Pengambilan contoh tumbuhan bawah............................................
12
Persentase penutupan tajuk .............................................................
12
Pengovenan .....................................................................................
13
Pengumpulan data sekunder............................................................
13
Penelusuran sejarah pengolahan lahan ............................................
13
Analisis data ...........................................................................................
13
KONDISI UMUM ......................................................................................
15
Sejarah kelompok tani megamendung ...................................................
15
Kondisi geografis ...................................................................................
15
Letak .......................................................................................................
16
Tanah ......................................................................................................
16
Iklim .......................................................................................................
16
xi
Kondisi sosial budaya dan ekonomi.......................................................
16
HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................
17
Hasil........................................................................................................
17
Komposisi jenis dan pertumbuhan dimensi tanaman ......................
17
Dugaan rataan nilai kandungan biomassa dan perindividu ............. Kerapatan penutupan tajuk..............................................................
18 19
Dugaan nilai kanudngan biomassa dan c tumbuhan bawah ............ Pembahasan ............................................................................................
20 21
Struktur tegakan kayu afrika ...........................................................
21
Faktor pembentukan biomassa dan kandungan C tegakan..............
24
Kerapatan tajuk dalam mempengaruhi tumbuhan bawah ...............
27
Pemeliharaan dan sejarah pengolahan lahan ...................................
30
KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................
32
Kesimpulan.............................................................................................
32
Saran
...............................................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
34
LAMPIRAN................................................................................................
38
xii
DAFTAR TABEL Halaman
1 Komposisi tegakan kayu afrika ..............................................................
17
2 Rataan tinggi total dan diameter jenis tanaman kayu afrika ..................
17
3 Nilai rata-rata biomassa dan kandungan C per individu ........................
18
4 Biomassa Tumbuhan Bawah pada plot penelitian .................................
20
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Perbandingan persentase tutupan tajuk pada tipe pola tanam ................
19
2 Perbandingan total kandungan karbon tumbuhan bawah pada berbagai pola tanam................................................................................
21
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data biomassa kayu afrika pada lahan agroforestri................................
40
2 Data biomassa kayu afrika pada lahan campuran ..................................
40
3 Data biomassa kayu afrika pada lahan monokultur................................
41
4 Data biomassa tumbuhan bawah ............................................................
42
5 Data kerapatan tajuk kayu afrika pada pola tanam agroforestri .............
42
6 Data kerapatan tajuk kayu afrika pada pola tanam campuran................
42
7 Data kerapatan tajuk kayu afrika pada pola tanam monokultur.............
42
8 Gambar lokasi penelitian melalui foto udara .........................................
43
9 Foto pengambilan data di lapangan........................................................
43
xv
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Praktik kehutanan suatu negara mengalami perkembangan yang dinamis.
Perkembangan ini diharapkan sejalan dengan perkembangan populasi dan masyarakat setempat. Berkembangnya susunan masyarakat dan bertambahnya populasi penduduk menjadikan kebutuhan sumberdaya alam akan meningkat baik intensitas dan diversitasnya. Konsekuensinya diperlukan praktik pengelolaan hutan yang dinamis dan lestari. Tingginya laju pertumbuhan populasi manusia berimplikasi pada persaingan penggunaan lahan. Tingginya aktivitas manusia dalam pengelolaan industri serta laju kebakaran hutan diperkirakan memberi dampak negatif terhadap kondisi iklim dunia. Saat ini pengelolaan hutan juga telah bergeser ke arah pemanfaatan jasa hutan yang tidak mengedepankan kayu sebagai komoditas utama. Hutan tidak lagi dianggap sebagai penghasil kayu melainkan berfungsi sebagai penyerap karbon yang ada atmosfer. Kondisi tersebut menjadikan peranan hutan harus dioptimalkan secara fungsional, baik dari peningkatan produktivitas kayu maupun fungsi ekologi. Dampak nyata dari terjadinya perubahan iklim adalah meningkatnya suhu bumi. Ini terjadi akibat terakumulasinya gas-gas rumah kaca seperti gas karbondioksida (CO2) sekitar 50%, diikuti chloro fluoro carbon (CFC) 25%, gas methan 10% dan sisanya adalah gas lainnya. Gas-gas tersebut merupakan indikasi bagaimana sebuah sistem perubahan iklim terjadi dan mempengaruhi kehidupan di bumi (Sughandy 2007). Penutupan lahan meliputi tumbuhan bawah dan biomassa yang memiliki kemampuan dalam menyerap karbon di atmosfer. Umumnya karbon menyusun 45–50% dari biomassa tumbuhan sehingga karbon dapat diduga dari setengah jumlah biomassa. Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown 1997). Selain itu, karbon juga tersimpan dalam material yang sudah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore 1985). Karbon tiap tahunnya dapat dipindahkan dari atmosfer ke dalam ekosistem muda, seperti hutan tanaman atau hutan baru setelah
2
penebangan, kebakaran atau gangguan lainnya. Potensi penyerapan karbon ekosistem dunia tergantung pada tipe dan kondisi ekosistemnya yaitu komposisi jenis, struktur, dan sebaran umur (khusus untuk hutan) (Hairiah et al. 2000). Faktor iklim seperti suhu dan curah hujan merupakan faktor yang mempengaruhi laju peningkatan karbon biomassa pohon (Kusmana 1993). Agroforestri
merupakan
sistem
penggunaan
lahan
yang
mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), terkadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya (Huxley 1999). Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri diperkirakan memiliki potensi menyerap karbon yang cukup tinggi hal ini dikarenakan sistem ini meliputi tanaman campuran yang terdiri dari tanaman hutan, tumbuhan bawah (rumput, sayuran, perdu). Kayu afrika (Maesopsis eminii) merupakan tanaman yang memiliki karakter tanaman pionir dan tergolong kedalam fast growing spesies. Kayu afrika memiliki prospek dan proyeksi yang baik untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman. Pada pola agroforestri kayu afrika ditanam sebagai penaung coklat, kopi, kapulaga dan teh. Kayu afrika juga dapat berfungsi sebagai pengendali erosi. Daunnya dapat digunakan sebagai pakan ternak karena kandungan bahan keringnya mencapai 35% dan dapat dicerna dengan baik oleh ternak (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2002). Pengelolaan lahan berperan penting dalam membantu tanaman untuk meyerap karbon, sehingga perlu diadakan penelitian mengenai pengukuran dugaan kandungan karbon pada tanaman cepat tumbuh jenis kayu afrika pada berbagai pola tanam di Megamendung. 1. 2.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui kandungan karbon tegakan kayu afrika
(M.eminii) pada berbagai pola tanam dan faktor yang mempengaruhi kandungan karbon. 1. 3.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
3
1.
Memberi informasi nilai kandungan karbon pada tegakan kayu afrika (M. eminii) di lahan agroforestri dan faktor yang mempengaruhi.
2.
Sebagai salah satu sumber referensi perbandingan nilai kandungan C kayu afrika pada sistem pengelolaan jenis tanaman dan lahan yang lain.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Agroforestri Sejarah panjang pengelolaan hutan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
peran tumpangsari. Tumpangsari yang diadopsi dari pola tanam taungya (taung= bukit atau upland, dan ya= tanaman) di Myanmar, adalah bentuk agroforestri paling awal yang dikenal rimbawan Indonesia. Tumpangsari yang merupakan cara efisien untuk membangun tanaman hutan yang telah menjadi penyokong utama keberhasilan pengelolaan hutan bagi pemiliknya tetapi tidak demikian bagi pesanggemnya. Segala bentuk penggunaan lahan permanen yang menggabungkan produksi produk pertanian, hewan, tanaman pohon atau tanaman hutan secara bersamaan dan berurutan pada unit tanah yang sama didefinisikan sebagai agroforestri. Bertujuan untuk mengoptimalkan keberlanjutan beberapa produksi peningkatan edafis dan iklim mikro serta disesuaikan dengan kondisi praktik budaya penduduk lokal (Wiersum 1981). Konsep agroforestri pertama kali dihadirkan oleh tim dari Canadian International Development Centre (CIDA) sewaktu mempresentasikan hasil penugasannya untuk mengidentifikasi prioritas penelitian kehutanan tropika (Veer 1981).
Dua
tujuan
agroforestri
dinyatakan
waktu
itu,
yaitu
pertama,
mendomestikasikan perladangan berpindah dan memaksimumkan produksi secara lestari. Kedua, memanfaatkan tanpa merusak lingkungan, lahan terlantar atau lahan yang tidak tergolong sebagai arable land. Dasar pemikiran agroforestri adalah untuk alasan biologis dan sebagian lagi untuk alasan sosial-ekonomi. Secara umum agroforestri dimaksud mengkombinasikan karakteristik protektif dan produktif hutan dengan sifat produktif pertanian, atau dalam istilah it conserves and produces (King 1979). Definisi agroforestri merupakan istilah kolektivitas sistem dan teknologi penggunaan lahan secara terencana dan dilaksanakan pada satu unit lahan yang dikombinasikan antara tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem bambu dan lainlain) dengan tanaman pertanian dan atau hewan (ternak), yang dilakukan pada waktu yang bersaman atau secara bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada (Lundgren dan Raintree 1982). Agroforestri adalah suatu bentuk kolektif (collective name) dari sebuah
5
sistem nilai masyarakat yang berkaitan dengan model penggunaan lahan lestari (Andayani 2005). Bentuk-bentuk agroforestri dalam implementasinya seperti: 1.
Agrisilvikultur, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dari hutan.
2.
Sylvopastural, yaitu sistem pengelolaan hutan dimana hutan dikelola untuk menghasilkan kayu sekaligus juga untuk memelihara ternak.
3.
Agrosylvo-pastoral,
yaitu
sistem
dimana
lahan
dikelola
untuk
memproduksi hasil pertanian dan hasil kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak. 4.
Multipurpose forest tree production system, yaitu sistem dimana berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola, tidak saja untuk menghasilkan kayu tetapi juga dedaunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia maupun dijadikan makanan ternak. Pada aktivitas praktik agroforestri akan terjadi interaksi baik positif
maupun negatif antara pohon, tanah, dan tanaman semusim. Interaksi tersebut ditekankan pengaruhnya terhadap produksi tanaman semusim dalam jangka pendek (Hairiah et al. 2002). Ada tiga prinsip interaksi di dalam sistem agroforestri, meliputi: 1.
Interaksi positif (complementary): bila peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh peningkatan produksi tanaman yang lainnya.
2.
Interaksi netral: bila kedua tanaman tidak saling mempengaruhi, peningkatan produksi tanaman semusim tidak mempengaruhi produksi pohon atau peningkatan produksi pohon tidak mempengaruhi produksi tanaman semusim
3.
Interaksi negatif (kompetisi/persaingan): apabila peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh penurunan produksi tanaman lainnya, ada kemungkinan pula terjadi penurunan produksi keduanya.
4.
Interaksi negatif (kompetisi/persaingan): apabila peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh penurunan produksi tanaman lainnya, ada kemungkinan pula terjadi penurunan produksi keduanya.
6
2.2
Deskripsi singkat Kayu Afrika Kayu Afrika (M. eminii) merupakan jenis tanaman kehutanan yang
termasuk dalam kelas biji berkeping dua dari famili Rhamnaceae. Jenis ini memiliki nama lokal yaitu pohon payung, musizi, afrika, dan manii. Terdapat dua subjenis yaitu Eminii Engl. dan Berchemoides (Pierre) N. Halle. Tumbuh dan tersebar secara alami di daerah tropika Afrika Timur. Tanaman kayu afrika merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan serbaguna berkekuatan sedang sampai kuat, untuk konstruksi, kotak, dan tiang. Banyak ditanam untuk sumber kayu bakar. Daunnya digunakan untuk pakan ternak karena kandungan bahan keringnya mencapai 35% dan dapat dicerna dengan baik oleh ternak. Pulp dari jenis ini sebanding dengan pulp sebagai jenis kayu keras umumnya. Pada pola agroforestri ditanam sebagai penaung coklat, kopi, kapulaga dan teh, juga ditanam untuk pengendali erosi. Walaupun merupakan koloni yang agresif di areal semak dan areal terganggu di hutan, jenis ini kurang dapat bersaing dengan alang-alang tinggi dan rumput Pennisetum (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2002). Penyebaran dan habitat kayu afrika Tumbuh alami di negara Afrika dari Kenya sampai Liberia antara 8°LU dan 6°LS. Kebanyakan ditemukan di hutan tinggi dalam ekozona antara hutan dansabana. Jenis tanaman ini merupakan jenis suksesi yang tumbuh pada areal hutan yang terganggu ekosistemnya. Pada sebaran alami, jenis ini tumbuh di dataran rendah sampai hutan sub pegunungan sampai ketinggian 1.800 m dpl. Pada pertanaman, biasanya ditanam di dataran rendah dan tumbuh baik pada ketinggian 600–900 m dpl dengan curah hujan 1.200–3.600 mm/tahun dan musim kering sampai empat bulan. Tumbuh pada kondisi solum tanah dalam dengan drainase baik, namun dapat tumbuh pada solum tipis asalkan terdapat air cukup (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2002). 2.3.
Karbon (C) Dalam siklus karbon, tanaman melalui fotosintesis menggunakan energi
sinar matahari untuk mereaksikan CO2 dari udara dengan air untuk memproduksi karbohidrat dan oksigen. Karbohidrat yang terbentuk disimpan oleh tanaman dan oksigen dilepaskan ke atmosfer. Jika tanaman teroksidasi melalui dekomposisi
7
alami, dibakar atau dikomposisi oleh hewan, oksigen diabsorbsi dari udara dan CO2 akan dilepas kembali ke atmosfer (Fardiaz 1992). Pada tahapan proses fotosintesis, pohon menyerap CO2 dari udara. Sebagian dari CO2 ini dilepaskan kembali dalam proses respirasi dan sebagian besar sisanya diserap dan disebarkan ke pohon terutama daun, akar dan ranting yang jatuh membusuk menjadi tanah. Proses ini dikenal sebagai herotropic respiration (Rh) yang mengeluarkan CO2 ke atmosfer. Perbedaan antara jumlah CO2 yang diserap dalam proses fotosintesis dengan yang dilepaskan kembali (Rh) merupakan jumlah serapan karbondioksida. Umumnya karbon menyusun 45–50% berat kering dari pertumbuhan. Karbon tersimpan ke dalam bahan yang sudah mati seperti serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore 1985). Karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O), hidro fluoro karbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur hexafluorida (SF6) mempunyai efek rumah kaca yaitu mengurangi jumlah radiasi gelombang panjang yang datang dari bumi dan menyebabkan suhu bumi meningkat. Mekanisme perubahan CO2 di atmosfer memicu perubahan suhu global (pemanasan global atau pendingin global). Suhu tersebut berdampak pada proses biologi dalam pengambilan karbon oleh tanaman dan penggunaan karbon dalam aktivitas dekomposer (Van Noordwijk 1999). Sumber emisi terbesar di Indonesia berasal dari kegiatan kehutanan, terutama deforestasi dan perubahan fungsi lahan. Menurut (Dury et al. 2002 dalam Ginoga 2004) dalam tegakan hutan karbon terdapat pada: 1.
Pepohonan dan akar (TR), biomassa hidup baik yang terdapat di atas permukaan atau di bawah permukaan dari berbagai jenis pohon, termasuk batang, daun dan cabang dan akar.
2.
Vegetasi lain (OV), vegetasi bukan pohon (semak, belukar, herba, rerumputan).
3.
Sampah hutan (L), biomassa mati di atas lantai hutan, termasuk sisa pemanenan.
4.
Tanah (S), karbon tersimpan dalam bahan organik (humus) maupun dalam bentuk mineral karbonat. Karbon dalam tanah mungkin mengalami
8
peningkatan atau penurunan tergantung pada kondisi tempat sebelumnya dan sekarang serta kondisi pengolahan. 2.4
Biomassa Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang
dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown 1997). Definisi lain biomassa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat, berat bahan organik dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang- kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight) (Chapman 1976). Biomassa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Bertambahnya biomasssa tumbuhan dikarenakan tumbuhan memiliki mekanisme dalam menyerap CO2 di udara dan diubah menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju pengikatan biomassa disebut produktivitas primer bruto. Hal ini tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu dan ciri- ciri jenis tumbuhan masing- masing. Sisa dari hasil respirasi yang dilakukan tumbuhan disebut produksi primer bersih. Lebih lanjut disebutkan bahwa jumlah biomassa di dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan (Whitten et al. 1984). 2.4.1 Pendugaan dan Pengukuran Biomassa Terdapat empat cara utama untuk menghitung biomassa yaitu sampling dengan pemanenan (Destructive sampling) secara in situ, sampling tanpa pemanenan (Non-destructive sampling) dengan data pendataan hutan secara in situ, pendugaan melalui penginderaan jauh dan pembuatan model. Untuk masing masing metode di atas, persamaan allometrik digunakan untuk mengekstrapolasi cuplikan data ke area yang lebih luas. Penggunaan persamaan allometric standard yang telah dipublikasikan sering dilakukan, tetapi karena koefisien persamaan allometrik ini bervariasi untuk setiap lokasi dan spesies, penggunaan persamaan standard ini dapat mengakibatkan galat (error) yang signifikan dalam mengestimasikan biomassa suatu vegetasi (Australian Greenhouse Office 1999 dalam Sutaryo 2009).
9
Ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari pohon, yaitu pendekatan pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian dirubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha), sedangkan pendekatan kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa atau lebih dikenal dengan persamaan Allometrik (Brown 1997). Pendugaan biomassa pada pendekatan pertama menggunakan persamaan berikut: Biomassa di atas tanah (ton/ha) = VOB x WD x BEF .... (Brown et al. 1989) Di mana: VOB WD BEF
= Volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha) = Kerapatan kayu (biomassa kering oven (ton) dibagi volume biomassa (m3)) = Perbandingan total biomassa pohon kering oven di atas tanah dengan biomassa kering oven volume inventarisasi hutan Pendekatan kedua penentuan kerapatan biomassa dengan menggunakan
persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon. Dasar dari persamaan regresi ini adalah hanya mendekati biomassa rata–rata per pohon menurut sebaran diameter, dengan menggabungkan sejumlah pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan (total) seluruh pohon untuk seluruh kelas diameter. Biomassa di atas tanah (Y) = a Db .............. (Brown et al. 1989) Di mana: Y
= berat kering per pohon (kg)
D
= diameter setinggi dada (130 cm)
a dan b merupakan konstanta Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi tentang nutrisi dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan, atau jumlah bagianbagian tertentu. Menurut Hairiah dan Rahayu (2007), pendugaan biomassa di atas permukaan tanah bisa diukur dengan menggunakan metode langsung (destructive) dan metode tidak langsung (non destructive). Metode tidak langsung digunakan untuk menduga biomassa vegetasi yang berdiameter ≥ 5 cm, sedangkan untuk menduga biomassa vegetasi yang memiliki diameter < 5 cm (vegetasi tumbuhan
10
bawah) menggunakan metode secara langsung.Jumlah simpanan karbon diestimasi dengan menggunakan persamaan: C tersimpan = biomassa (kg/ha) x 0,46 ...(Hairiah dan Rahayu 2007) Pada pendugaan cadangan biomassa atau karbon pada vegetasi, pengukuran diameter bervariasi yaitu untuk daerah kering dengan laju pertumbuhan pohon sangat lambat, biasa digunakan batas minimum 2,5 cm dan untuk daerah yang beriklim basah, batas minimum pengukuran diameter yang digunakan 2,5-10 cm, akan tetapi secara umum biasa digunakan ukuran diameter minimum 5 cm.
III. METODE PENELITIAN 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahan Tanaman Percobaan Model
Rehabilitasi Ekosistem pada Kelompok Tani Megamendung di Cipendawa, Megamendung, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2012. 3.2
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan yaitu alat tulis, tally sheet, pita ukur,
penggaris, tali plastik, haga meter, timbangan, oven, kantung plastik, parang, densio meter, dan kamera. Sementara objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman jenis kayu afrika dengan pola tanam agroforesri, tanaman campuran dan monokultur. 3.3
Prosedur Penelitian Jenis-jenis data yang akan digunakan untuk kegiatan penelitian ini yaitu
data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang secara langsung didapat dari lapangan yang meliputi, tinggi pohon dan diameter pohon, berat kering dan berat basah tumbuhan bawah. Sedangkan data sekunder merupakan data penunjang penelitian berupa kondisi umum wilayah (batas wilayah, kelerengan, ketinggian tempat), jenis tanah, vegetasi, data iklim (curah hujan, suhu, kelembaban). 3.3.1 Pembuatan Petak Penelitian
Gambar 1 Petak plot contoh (Yuliasmara dan Wibawa 2007)
12
Pembuatan petak (Gambar 1) dilakukan dilokasi lahan tanaman kayu afrika yang ditanam antara tahun 2007-2008 dan pada lokasi ini diterapkan sistem tumpangsari/agroforestri, campuran dan monokultur. Pada lahan tersebut terdapat 3 blok penanaman. Blok penanaman 1 yaitu kayu afrika dengan serai dan talas, blok penanaman 2 kayu afrika dan gmelina, sementara pada blok 3 keseluruhan tanaman adalah tanaman kayu afrika. Pengambilan data dilakukan dengan membuat plot berukuran 5 m x 40 m pada setiap blok penanaman dan masingmasing blok penanaman terdapat 1 plot contoh. Di dalam plot contoh tersebut dibuat subplot berukuran 0,5 m x 0,5 m untuk tumbuhan bawah. Ukuran area pengukuran ditentukan oleh vegetasi yang ada di dalam areal. jika dalam areal terdiri atas vegetasi dengan diameter kurang dari 30 cm maka ukuran area yang digunakan 30 5m x 40m. Apabila dalam areal penelitian terdapat vegetasi dengan diameter lebih dari 30 cm maka ukuran plot yang digunakan 20 m x 100 m (Yuliasmara dan Wibawa 2007) 3.3.2 Pengukuran Tinggi dan Diameter Pengukuran tinggi dan diameter dilakukan disetiap petak penelitian. Pengukuran dilakukan pada pohon dengan ukuran diameter minimal >5 cm. 3.3.3 Pengambilan Contoh Tumbuhan Bawah Semua tumbuhan bawah dan tanaman pertanian di atas permukaan tanah di dalam subplot diambil secara destruktif dan ditimbang berat basahnya (BB). 3.3.4 Persentase Penutupan Tajuk Persentase penutupan tajuk diukur untuk menduga besarnya jumlah radiasi sinar matahari yang menembus sampai ke tanah. Radiasi sinar matahari ini penting artinya bagi pertumbuhan tanaman khususnya tanaman pertanian dan tumbuhan bawah yang dibudidayakan dibawah tegakan kayu afrika. Pendugaan penutupan cahaya matahari oleh tajuk tegakan ini dilakukan dengan menggunakan alat spiracle densiometer yang dikembangkan oleh Supriyanto dan Irawan (2001). Titik pengukuran pada masing-masing pola tanam ditetapkan secara acak sebanyak 10 titik contoh yang tersebar merata pada lokasi yang dianggap mewakili, masing-masing titik diukur pada 4 arah mata angin. Pengamatan pada masing-masing titik dilakukan dengan cara meletakkan spiracle densiometer pada jarak 30-45 cm dari badan dengan ketinggian sejajar
13
lengan. Masing-masing kotak dihitung persentase bayangan langit yang dapat tertangkap pada cermin dengan pembobotan. Terbuka penuh memiliki bobot 4 (100%), bobot 3 (75%), bobot 2 (50%), bobot 1 (25%), bobot 0 (tidak ada bayangan langit yang bisa dilihat). Data pengukuran masing-masing titik selanjutnya dijumlahkan dan merupakan nilai pada titik. Bobot rata-rata pada masing-masing pola tanam dihitung dengan rumus:
Ti = Keterbukaan tajuk Tn = Bobot pada masing-masing titik pengukuran N = Jumlah titik pengukuran 1,04 adalah faktor koreksi Persentase penutupan tajuk (T) pada masing-masing lokasi dihitung dengan rumus: T = 100-Ti (Supriyanto & Irawan 2001). 3.3.5 Pengovenan Tumbuhan bawah di oven pada suhu 105ºC selama 1 x 24 jam untuk mendapatkan data berat kering (BK). Jika berat basah contoh tumbuhan bawah dan tanaman pertanian lebih dari 200 g yang diambil dari plot contoh, maka tumbuhan bawah yang di oven sebanyak 200 g. 3.3.6 Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder diambil dari studi pustaka (pengumpulan data yang berdasarkan pada buku-buku literatur, hasil penelitian, dan jurnal) yang dapat mendukung kegiatan penelitian. 3.3.7 Penelusuran Sejarah Pengolahan Lahan Penelusuran sejarah pengolahan lahan dilakukan untuk mendapatkan informasi sistem pengolahan yang dilakukan pada masing-masing pola tanam dalam hubungannya dengan simpanan karbon pada tanaman kayu afrika. Data dikumpulkan melalui wawancara secara langsung dengan pemilik lahan. Wawancara dilakukan dengan bebas atau semi terstruktur yang dilakukan tanpa kuisioner mengenai hal-hal yang masih berhubungan dengan penelitian. Kegiatan wawancara menekankan pada aspek kegiatan pengolahan lahan dan tahapan pembangunan hutan tanaman kayu afrika (persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan lain-lain). Responden yang dipilih untuk kegiatan
14
wawancara adalah petani pengelola lahan kayu afrika yang merupakan objek dari kegiatan penelitian. 3.4
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif terhadap dugaan simpanan
karbon pada tanaman kayu afrika dan teknik pengelolaan lahan yang dilakukan. Penghitungan data biomassa dilakukan dengan menggunakan microsoft office excel 2007 dengan rumus persamaan allometrik sebagai berikut: Jenis M. eminii (Y) = 0,2902D2,312 .....................................(Samalca 2007) Dimana: Y D
= biomassa (kg) = diameter setinggi dada (cm) Untuk jumlah simpanan karbon diestimasi dengan menggunakan
persamaan: C tersimpan = biomassa (kg/ha) x 0,46 ...(Hairiah dan Rahayu 2007)
IV. KONDISI UMUM 4.1
Sejarah Kelompok Tani Megamendung Model rehabilitasi ekosistem dan lahan kritis dilokasi Blok S Cipendawa,
Megamendung, Kabupaten Bogor, dibangun oleh penggagas sebagai ekspresi keprihatinan atas kerusakan ekosistem dan meluasnya lahan kritis (KTM 2011). Sasaran dibangunnya model rehabilitasi ekosistem dan lahan kritis ini untuk mencari metode rehabilitasi yang terukur dan dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat pelaku rehabilitasi. Model yang dibangun dilakukan secara mandiri agar dapat menjamin independenitas dalam pengelolaannya. Sosialisasi perkembangan pembangunan model rehabilitasi ini dilakukan secara periodik baik kepada masyarakat sekitar, birokrat, akademisi, NGO dan lainnya. Ide pembuatan model ini dicetuskan pada Agustus tahun 2001. Pelaksanaan fisik dimulai pada awal tahun 2002 oleh penggagas yaitu Kelompok Tani Megamendung, kelompok ini dikonsepkan sebagai kelompok non profit dan hanya menjadi spirit dari model yang direncanakan. Atas anjuran birokrat setempat selanjutnya dibentuk Kelompok Tani Hutan Organik sebagai kelompok legal teregistrasi yang berhubungan dengan masyarakat (KTM 2011) 4.2
Kondisi Geografis Kecamatan Megamendung merupakan kecamatan di Kabupaten Bogor,
terletak di sebelah selatan pusat pemerintahan Kabupaten Bogor dan berada pada titik kordinat geografis 6º38’10’’ LS dan 106º54’28” BT. Kondisi alam berupa perbukitan, berada pada ketinggian 650–1.100 m dpl. Luas wilayah Kecamatan Megamendung adalah 4.006,3 ha dengan batas wilayah kerja: 1. Sebelah Utara
: Kecamatan Ciawi
2. Sebelah Selatan
: Kecamatan Cisarua
3. Sebelah Barat
: Kecamatan Caringin
4. Sebelah Timur
: Kecamatan Sukaraja dan Jonggol
Kecamatan Megamendung terdiri dari 55 RW dan 246 RT yang terbagi dalam 11 Desa, 27 Dusun. Desa-desa tersebut antara lain Cipayung Datar, Cipayung Girang, Gadog, Kuta, Megamendung, Sukagalih, Sukakarya, Sukamahi, Sukamaju, Sukamanah dan Sukaresmi.
16
4.3
Letak Lokasi penelitian lahan rehabilitasi Blok S Cipendawa merupakan bagian
dari wilayah Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Blok S Cipendawa merupakan daerah berbukit, dengan kemiringan lereng bervariasi dari 0-30o dan berada pada ketinggian 709,5-772,8 m dpl. 4.4
Tanah Jenis tanah latosol, termasuk ke dalam jenis batuan gunung api muda, dan
dan merupakan daerah resapan tak berarti. Struktur tanah sarang, sedikit berbatu dengan kedalaman humus agak dalam dengan fisiografi tanah vulkan dan batu lipatan. Tanah pada umumnya berpasir dan bersifat poros. Berdasarkan hasil analis kimia tanah terlihat bahwa tanah tergolong sangat masam yang memiliki pH yang sangat rendah ( pH 3,77 - 4,86) (Mulyana 2009), terdapat 1 buah bekas mata air yang tidak berfungsi, vegetasi 70% area alang-alang, dan tidak ditemukan cacing tanah. 4.5
Iklim Kisaran suhu udara maksimun 31,2oC–33,3oC pada siang hari dan suhu
udara minimun 17,7oC–22,2oC. Suhu udara relatif konstan, sehingga tidak menimbulkan masalah bagi usaha pertanian. Curah hujan rata-rata 3.178,8 mm/th (Rused 2009). 4.6
Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi Kecamatan Megamendung merupakan wilayah karakteristik pertanian
perkebunan, dan pariwisata (Rused 2009). Kondisi ini yang mendorong masayarakat untuk mengusahakan produk hasil pertanian. Hasil produksi pertanian yang telah dibudidayakan dan dijual sebagai pendapatan ekonomi masyarakat antara lain jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, jipang, wortel, kol, sawi, kacang panjang, tomat, terong dan cabe. Sedangkan untuk produksi buah-buahan adalah pisang dan alpukat. Sebagai daerah tujuan wisata di Kabupaten Bogor, daya tarik Kecamatan Megamendung adalah panorama alam dan udara yang sejuk sehingga potensi ini dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat setempat.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Komposisi Jenis dan Pertumbuhan Dimensi Tanaman Berdasarkan hasil dan penelitian yang dilakukan di tiga petak contoh 5 m x 40 m dengan pola tanam yang berbeda di lahan percobaan model rehabilitasi ekosistem Cipendawa, Megamendung diperoleh data komposisi jenis tegakan kayu afrika sebagai berikut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi tegakan kayu Afrika No Pola Tanam 1. Agroforestri 2. Campuran 3. Monokultur Keterangan:
Jarak Tanam (m) 3x4 3x2 3x3
Jenis Tanaman kayu afrika kayu afrika kayu afrika
Jumlah Pohon (N/Plot) 17 22 23
Pola Tanam 1 : Kayu afrika, talas, serai wangi Pola Tanam 2 : Kayu afrika dan gmelina Pola Tanam 3 : Kayu afrika Pada Tabel 1 komposisi lahan terdiri dari tiga pola tanam diantaranya lahan 1 yaitu lahan dengan pola tanam agroforestri dan memiliki jarak tanam 3 m x 4 m terdiri dari 17 pohon kayu afrika. Lahan 2 dengan sistem pola tanam campuran dan memiliki jarak tanam 3 m x 2 m terdiri dari 22 pohon kayu afrika dan lahan 3 dengan pola tanam monokultur dengan jarak tanam 3 m x 3 m terdiri dari 23 pohon kayu afrika. Dalam komposisi lahan pada setiap petak contoh terdapat perbedaan jumlah individu. Kondisi ini akan dapat mempengaruhi rataan tinggi total dan diameter pohon di masing-masing lahan seperti terlihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Rataan tinggi total dan diameter jenis tanaman kayu afrika No 1. 2. 3.
Pola Tanam Agroforestri Campuran Monokultur
Jenis tanaman kayu afrika kayu afrika kayu afrika
Rata-rata tinggi total(m) 6,89 6,70 9,15
Rata-rata diameter(cm) 6,57 7,51 9,11
Kayu afrika yang terdapat pada lahan 1 dengan pola tanam agroforestri memiliki rata-rata tinggi total sebesar 6,89 m dan untuk rata-rata diameternya sebesar 6,57 cm. Pada lahan 2 dengan pola tanam campuran diperoleh data rata-
18
rata tinggi total untuk jenis kayu afrika sebesar 6,70 m dan rata-rata diameternya sebesar 7,51 cm. Sedangkan, pada Tabel 2 terjadi perbedaan pertumbuhan kayu afrika yang signifikan pada lahan monokultur dengan lahan yang lainnya. Pada lahan 3 dengan pola tanam monokultur, kayu afrika memiliki rata-rata tinggi total sebesar 9,15 m
dan untuk rata-rata diameter sebesar 9,11 cm. Kayu afrika
termasuk salah satu jenis tanaman yang memiliki karakter pertumbuhan yang cepat. Tanaman kayu afrika pada lokasi penelitian ini memiliki umur kisaran lima sampai enam tahun dengan waktu penanaman dilakukan pada tahun 2007-2008. Pertumbuhan kayu afrika pada lahan 3 dengan pola tanam monokultur yang memiliki jarak tanam 3 m x 3 m dinilai lebih tinggi tingkat pertumbuhannya dibandingkan dengan lahan 1 dan lahan 2. 5.1.2 Dugaan Rataan Nilai Kandungan Biomassa dan C Kayu Afrika Per Individu Adanya perbedaan pertumbuhan yang dikarenakan oleh pola tanam yang berbeda akan mempengaruhi jumlah kandungan biomassa pada masing-masing plot. Pada lokasi penelitian di tiga petak contoh dilakukan pengambilan data potensi biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass). Pengambilan data meliputi pengukuran tinggi total dan diameter yang dilakukan disetiap petak penelitian. Pengukuran dilakukan pada pohon yang sehat dengan ukuran diameter minimal >5 cm. Hasil potensi biomassa pada petak penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai rata-rata biomassa dan kandungan C per individu No
Pola Tanam
Jarak Tanam
1. 2. 3.
Agroforestri Campuran Monokultur
3x4 3x2 3x3
Rata–rata Biomassa (kg/ind) 22,96 31,91 51,24
Rata–rata Kandungan C (ton/ind) 0,01056 0,01468 0,02357
Rata-rata biomassa kayu afrika pada pola tanam agroforestri sebesar 22,96 (kg/ind). Sementara pada pola tanam campuran diperoleh nilai rata-rata biomassanya sebesar 31,91 kg/ind. Lahan 3 dengan pola tanam monokultur memiliki kandungan biomassa sebesar 51,24 kg/ind. Untuk lahan 3 dengan pola tanam monokultur diperoleh nilai rata-rata biomassa tegakan kayu afrika sebesar 1178,51 kg/ha.
19
Tingginya biomassa pada suatu lahan akan menentukan jumlah karbon pada lahan tersebut. Umumnya karbon menyusun 45–50% berat kering dari pertumbuhan. Pendugaan rata-rata nilai kandungan C pada lahan 1 dengan pola tanam agroforestri diketahui sebesar 0,01056 ton/ind. Pada lahan 2 dengan pola tanam campuran memiliki rata-rata nilai kandungan C sebesar 0,01468 kg/ind. Untuk lahan 3 dengan pola tanam monokultur memiliki nilai rata-rata kandungan C lebih besar dari lahan 1 dan lahan 2 yaitu sebesar 0,02357 ton/ind. 5.1.3 Kerapatan Penutupan Tajuk Pada lokasi penelitian di masing-masing pola tanam memiliki perbedaan dalam penutupan tajuk. Seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Gambar 1 Perbandingan persentase tutupan tajuk pada tipe pola tanam Pada lahan 1 dengan tipe pola tanam agroforestri memiliki nilai persentase penutupan tajuk 56,58%. Lahan 2 dengan pola tanam campuran memiliki nilai persentase penutupan tajuk yang cukup tinggi sebesar 94,9%. Lahan 3 dengan pola tanam monokultur memiliki nilai persentase penutupan tajuk sebesar 88,4%. Lahan dengan pola tanam agroforestri memiliki persentase penutupan tajuk yang lebih rendah dibandingkan lahan 2 dan 3 karena pada lahan ini dilakukan pemeliharaan yang cukup insentif melalui pemangkasan yang bertahap. Pemeliharaan ini dilakukan agar tanaman pertanian yang terdiri dari talas dan serai wangi mendapatkan sinar matahari yang optimal. Hal tersebut berbeda dengan lahan 2 dan lahan 3 yang minim pemeliharaan dan pemangkasan. Walaupun lahan 2 memiliki persentase penutupan tajuk yang cukup tinggi namun tidak mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan bawahnya. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 2 yang menunjukkan jumlah total biomassa pada lahan 2 memiliki bobot yang lebih tinggi dari lahan 1 dan 3.
20
5.1.4 Dugaan Nilai Kandungan Biomassa dan C Tumbuhan Bawah Kandungan biomassa karbon pada suatu lahan tidak terlepas dari komponen lain seperti tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah berperan penting dalam menentukan total kandungan biomassa dan nilai kandungan karbon pada suatu lahan. Di lokasi penelitian dilakukan pengukuran tumbuhan bawah pada subplot contoh dengan ukuran 0,5 m x 0,5 m dengan pengulangan sebanyak 5 kali. Semua tumbuhan bawah dan tanaman pertanian di atas permukaan tanah di dalam subplot diambil secara destruktif dan ditimbang berat basahnya (BB). Kemudian tumbuhan bawah di oven pada suhu 105ºC selama 1 x 24 jam untuk mendapatkan data berat kering (BK). Jika berat basah tumbuhan bawah dan tanaman pertanian lebih dari 250 g maka tumbuhan bawah yang di oven sebanyak 250 g. Dari pengukuran yang dilakukan diperoleh data sebagai berikut: Tabel 4 Biomassa Tumbuhan Bawah pada plot penelitian No 1 2 3
Pola Tanam Agroforestri Campuran Monokultur
Ukuran Plot (m²) 0,25 0,25 0,25
Total Biomassa (g/m²) 19,18 23,46 6,69
Total Biomassa (kg/m²) 0,01900 0,02346 0,00669
Hasil data dari Tabel 4 menunjukkan pada lahan 1 dan 2 terdapat persamaan total biomassa pada ukuran subplot 0,5 m x 0,5 m dengan lima kali pengulangan. Pada lahan 3 jumlah total biomassanya cenderung lebih kecil dibandingkan dengan lahan 1 dan lahan 2. Untuk lahan 3 total biomassanya sebesar 0,00669 kg/m2 pada luasan subplot yang sama. Sementara total biomasa terbesar terlihat pada pola tanam 0,02346 kg/m². Jumlah biomassa pada suatu lahan akan mempengaruhi jumlah karbon pada lahan tersebut. Hal ini juga dapat dilihat pada Gambar 2 perbandingan total kandungan karbon tumbuhan bawah pada ke tiga pola tanam dengan luasan 0,02 ha (Gambar 2). Gambar 2 kandungan karbon pada tumbuhan bawah setelah di konversi kedalam luasan hektare diperoleh nilai total kandungan karbon sebesar 0,09 ton/ha di pola tanam campuran. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan nilai kandungan karbon tumbuhan bawah di pola tanam agroforestri sebesar 0,07 ton/ha dan pola tanam monokultur sebesar 0,02 ton/ha. Seperti ditunjukkan pada
21
gambar di bawah ini.
Gambar 2 Perbandingan total kandungan karbon tumbuhan bawah pada tipe pola tanam 5.2 Pembahasan 5.2.1 Struktur Tegakan Kayu Afrika Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah meningkatkan penyerapan karbon dan menurunkan emisi karbon. Informasi yang akurat mengenai karbon hutan yang tersimpan dalam biomassa sangat diperlukan untuk menggambarkan kondisi ekosistem hutan dalam rangka pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan, dan menduga dampak yang terjadi dalam ekosistem akibat deforestasi, perubahan penggunaan lahan (Krisnawati et al. 2012). Meyer et al. (1961) dalam Istomo (1994) menggunakan istilah struktur tegakan untuk menerangkan sebaran jumlah pohon per satuan luas tertentu (biasanya dalam hektar) berdasarkan kelas diameter pohon. Struktur tegakan sangat berkaitan erat dengan penguasaan kualitas tempat tumbuh yang dipengaruhi oleh besarnya energi cahaya matahari, ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi pertumbuhan individu komponen pada ekosistem tersebut. Berdasarkan data di atas, kayu afrika pada pola tanam monokultur memiliki nilai diameter lebih besar dari pola tanam lainnya dikarenakan tidak terjadi persaingan sesama individu dalam mendapatkan sinar matahari dan ruang tumbuh. Artinya sinar matahari yang diperoleh terjadi secara merata sehingga
22
mampu menghasilkan fotosintat dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan tegakan kayu afrika. Secara fisiologis, cahaya mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruhnya pada metabolisme secara langsung yaitu melalui fotosintesis dan secara tidak langsung melalui pertumbuhan serta perkembangan tanaman. Keduanya sebagai akibat respon metabolik yang langsung, dan lebih kompleks oleh pengendalian morfogenesis (Goldsworthy dan Fisher 1992). Metabolisme yang cepat pada pertumbuhan pohon kayu afrika di pola tanam monokultur diduga disebabkan oleh adanya keseimbangan antara auksin dan sitokinin dalam menunjang pertumbuhan tanaman sehingga mempengaruhi penambahan tinggi dan diameter pada tanaman kayu afrika. Weaver (1972) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan adalah auksin dan sitokinin yang dipengaruhi cahaya. Hal tersebut didukung oleh Wuryaningsih dan Andiyanto (1998) yang menyatakan bahwa proses awal titik tumbuh ditentukan oleh pembelahan dan pemanjangan sel meristematis yang lebih banyak ditentukan dengan adanya keseimbangan antara auksin, sitokinin, dan senyawa-senyawa lain yang dapat mengaktifkan sitokinin. Hal ini dapat terlihat pada nilai diameter kayu afrika di lahan dengan pola tanam monokultur yang memiliki tingkat pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan lahan dengan pola tanam agroforestri dan pola tanam campuran. Selain itu Napitupulu (2006) menyatakan kondisi bahan tanaman yang memiliki diameter batang kecil seperti terlihat pada pohon kayu afrika di pola tanam campuran menunjukkan bahwa jaringan-jaringan pada batang tanaman belum sempurna terbentuk sehingga menyebabkan proses metabolisme menjadi lambat. Berbeda halnya yang diperoleh dari diameter kayu afrika pada pola tanam monokultur, pertumbuhan tanaman terus terjadi secara baik akibat metabolisme yang cepat. Suri
(2002)
juga
mengemukakan
proses
pertumbuhan
tanaman
dipengaruhi oleh jumlah daun. Semakin banyak jumlah daun yang dimiliki oleh suatu tanaman maka semakin banyak pula fotosintat yang dihasilkan, maka semakin mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain dipengaruhi dari intensitas cahaya pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh ketersediaan air tanah dan unsur hara dalam keadaan seimbang.
23
Ketersediaan nutrisi dari tanah untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan dan perkembangan tanaman kayu afrika. Mengel dan Kirby (1982) dalam Gardner et. al. (2008) menyatakan unsur hara tumbuhan merupakan bahan kimia yang dibutuhkan atau diserap oleh tumbuhan untuk proses pertumbuhan dan proses metabolisme. Unsur hara yang diperlukan oleh tumbuhan dalam bentuk unsur makro esensial dan mikro esensial. Proses perkembangan diameter dan tinggi pada kayu afrika pada pola tanam monokultur diduga karena kecepatan akumulasi unsur hara tahunan terhadap distribusi ke seluruh bagian tumbuhan berada pada umur muda yaitu 4 tahun. Selain itu tanaman kayu afrika pun mulai menunjukkan aktivitas pembentukan cabang dan ranting. Pada umur 4 tahun tanaman membutuhkan unsur hara baik dari ketersediaan tanah dan proses fotosintesis dalam jumlah yang besar untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan dan perkembangan juvenil tanaman kayu afrika terutama pada bagian ranting dan cabang. Hal ini sesuai dengan pendapat Ekayastuti (1996) yang menyatakan bahwa kecepatan akumulasi dan penyediaan unsur hara sama dengan kecepatan pertumbuhan tanaman. Hal ini pun dipertegas oleh pendapat Breulmann et al. (1996) yang mengemukakan
bahwa
sebagian
besar
jenis
tiang/pohon
menunjukkan
penumpukan beberapa unsur hara di bagian ranting dan batang. Jenis tanaman yang memiliki percabangan yang cukup banyak dan batang yang mulai membesar, cenderung melakukan pembelahan aktif untuk menuju fase mature (dewasa). Perbedaan pola tanam dan jarak tanam diduga menjadi salah satu faktor pertumbuhan dimensi tanaman kayu afrika. Menurut Masano (1984) dalam Mawazin dan Suhaendi 2008, tanaman yang masih muda dengan umur tiga sampai empat tahun, jarak tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, semakin rapat jarak tanam semakin besar pertumbuhan tingginya. Pengaturan jarak tanam memiliki pengaruh terhadap besarnya intensitas cahaya dan ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan bagi tanaman. Semakin lebar jarak tanam, semakin besar intensitas cahaya dan semakin banyak ketersediaan unsur hara bagi individu tanaman, karena jumlah pohonnya lebih sedikit. Sebaliknya semakin rapat jarak tanam semakin banyak jumlah pohonnya dan
24
persaingan semakin ketat (Mawazin dan Suhaendi 2008). Pada lahan dengan pola tanam agroforestri rataan tinggi total dan diameter tanaman kayu afrika tidak terlalu berbeda dengan yang terdapat di pola tanam campuran. Di lahan agroforestri terdapat perpaduan antara tanaman musiman dengan tanaman tahunan, yaitu tanaman serai dan tanaman talas sebagai tanaman musiman dan kayu afrika sebagai tanaman tahunannya. Tanaman talas memiliki karakteristik penyerapan air yang tinggi hal ini dikemukaan oleh Widyartini (1994) bahwa talas tumbuh pada lahan yang pasokan airnya terus mengalir dan rawa-rawa yang sedikit drainasenya. Adanya perpaduan tanaman musiman dengan tanaman kayu afrika akan mengakibatkan terjadinya proses interaksi pada masing-masing tanaman. Kegiatan aktivitas pemeliharaan hanya dilakukan di pola tanam agroforestri dengan durasi sebulan sekali. Perlakuan pemeliharaan yaitu dengan cara pemangkasan yang bertujuan untuk mendukung kondisi keterbukaan tajuk agar tanaman musiman mendapatkan pasokan cahaya matahari yang cukup. Menurut Sitompul (2002) dalam Wijayanto dan Rifai (2010) tanaman tumpang sari (semusim) yang dibudidayakan diantara larikan tanaman pohon memerlukan pasokan cahaya matahari yang cukup tersedia. 5.2.2 Faktor Pembentuk Biomassa dan Kandungan C Tegakan Kayu Afrika Brown (1997) menyatakan bahwa biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik hidup dalam pohon berdasarkan bobot kering oven per unit luasan. Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Proses pembentukan fotosintesis ini dapat ditulis melalui persamaan reaksi kimia sebagai berikut: 6CO2 + 12H2O + energi cahaya C6H12O6 + 6O2 + 6H2O. Laju pembentukan biomassa ini diduga tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu, dan ciri-ciri tumbuhan kayu afrika. Berdasarkan faktor yang mempengaruhi ini, diduga juga meningkatnya laju biomassa setiap tahunnya ikut menentukan kualitas pertumbuhan dan perkembangan dari kayu afrika. Faktor luas daun ikut mempengaruhi pembentukan biomassa diduga
25
karena dengan semakin luasnya daun yang dihasilkan maka meningkat pula penyerapan cahaya oleh daun yang akan berbanding lurus dengan meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman kayu afrika. Luas daun ini pun dilihat secara keseluruhan bukan dilihat dari tumbuhan secara individual tetapi secara mosaik daun tanaman secara keseluruhan mulai dari tajuk hingga atas permukaan tanah. Watson (1947) dalam Gardner et al. (2008) mengemukakan bahwa indeks luas daun (LAI) pada biomassa merupakan rasio antara luas daun (satu permukaan saja) tanaman budidaya terhadap luas tanah, karena radiasi matahari tersebut merata ke atas permukaan tanah. LAI merupakan ukuran luas daun per satuan radiasi matahari yang tersedia. Hal ini pun dipertegas oleh Harjadi (1991) yang menyatakan bahwa besarnya cahaya yang tertangkap oleh daun pada proses fotosintesis menunjukkan biomassa, sedangkan besarnya biomassa dalam jaringan tanaman mencerminkan bobot kering. Besarnya fotosintesis
yang
pembentukan berbanding
biomassa lurus
diduga
dengan
tergantung
intensitas
dari
cahaya
proses terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal ini dikarenakan sifat tanaman yang dimiliki oleh tanaman selalu tumbuh tinggi jika mendapatkan intensitas cahaya matahari yang banyak. Intensitas cahaya tinggi berpengaruh terhadap auksin pada meristem apikal. Apabila intensitas cahaya tinggi maka aktivitas auksin meningkat sehingga terjadi pertambahan pertumbuhan. Menurut Heddy (1993), auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang merangsang pembentukan tunas-tunas baru. Auksin memacu pertumbuhan tanaman melalui pembelahan sel dan pembesaran sel, sehingga akan mempengaruhi perluasan daun. Terhambatnya pertumbuhan daun maka luas daun menjadi sempit sehingga penyerapan intensitas cahaya menjadi sedikit. hal ini pun dipertegas oleh Harjadi (1991) yang mengemukakan bahwa luas daun meningkat dengan diimbangi laju asimilasi bersih tinggi, akan menghasilkan laju pertumbuhan nisbi yang tinggi pula. Di duga tingginya bobot biomassa tanaman kayu afrika di pola tanam monokultur memiliki luas daun secara keseluruhan lebih tinggi daripada tanaman kayu afrika yang terdapat pada pola tanam campuran dan agroforestri.
26
Perubahan temperatur lingkungan berbanding lurus dengan intensitas cahaya yang diterima. Semakin optimum intensitas cahaya matahari maka semakin optimum juga temperatur lingkungan sehingga sangat mempengaruhi dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman baik secara fisiologis maupun morfologis. Semakin kecil intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman maka suhu udara rendah, kelembaban udara semakin tinggi. Kelembaban udara dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena dapat mempengaruhi proses fotosintesis. Laju fotosintesis meningkat dengan meningkatnya kelembaban udara sekitar tanaman. Menurut Satoo dan Madgwick (1982) dalam Goldsworthy dan Fisher (1992) menyatakan bahwa suhu dan curah hujan yang optimum menyebabkan kerapatan dan keragaman pohon tinggi sehingga biomassa yang terbentuk pun semakin besar. Hal ini pun dipertegas oleh pendapat Cooper dan Law (1971) dalam Goldsworthy dan Fisher (1992) menyatakan penurunan suhu akan menyebabkan terjadinya penurunan hasil sehingga pertumbuhan secara fisiologis dan morfologis pun menjadi lambat. Selain itu Forseth dan Ehleringer (1980) dalam Goldsworthy dan Fisher (1992) menguatkan pendapat ini bahwa laju penyinaran matahari berkurang maka suhu dan transpirasipun akan berkurang sehingga tekanan turgor di dalam bagian tumbuhan mengalami penghambatan atau tanpa respons sama sekali sehingga fisiologis tanaman tidak mampu berjalan secara sempurna dan terhambat. Pada pola tanam monokultur menunjukkan kemampuan pertumbuhan kayu afrika dalam membentuk biomassanya lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan kayu afrika di pola tanam agroforestri dan campuran. Hal ini diduga karena pada keadaan kualitas tanaman mampu menunjukkan kecepatan untuk tumbuh dan berkembang jika pada fisiologis tanaman tersebut mampu aktif dalam melakukan proses metabolisme dan aktivitas fisiologis untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan tersebut. Aktifnya proses dan aktivitas fisiologis tidak terlepas dari kemampuan tanaman untuk mengaktifkan fitohormon dalam proses juvenil menuju tingkat dewasa. Fitohormon ini mengaktifkan pertumbuhan dan perkebangan tanaman melalui aktivitas meristem apikal sebagai awalan sehingga membentuk daun
27
primordial untuk mempercepat proses fotosintesis dan adaptasi lingkungan. Perkembangan selanjutnya adalah perkembangan yang dilanjutkan ke arah samping melalui perbanyakan percabangan ranting untuk meningkatkan proses fotosintesis tersebut. Phillips (1975) dalam Goldsworthy dan Fisher (1992) menyatakan bahwa mekanisme dominansi apikal dan tunas samping dapat dijadikan analisis pertumbuhan tanaman dalam membentuk bobot kering abu dari hasil fotosintat. Triantomo (2005) mengemukakan bahwa sumber karbon total pada kebun campuran lebih banyak dibandingkan dengan agroforestri tegakan murni. Hal ini disebabkan sumber karbon umur rata-rata tegakan termuda pada kebun campuran lebih banyak diantaranya tumbuhan bawah, nekromassa dan serasah. Selain itu, jika dilihat dari komposisi jenis yang lebih beragam pada kebun campuran baik yang berdaur pendek (sengon, afrika, huru), daur sedang sampai panjang (mahoni, puspa) dan pohon buah-buahan (kopi, nangka, petai, cengkeh, jengkol) maka kebun campuran yang mengkombinasikan hasil kayu dengan daur pohon yang berbeda dan pohon penghasil buah (non kayu) akan mendorong petani untuk menunda penebangan pohon dalam waktu yang lebih singkat. Sehingga kebun campuran cenderung berpotensi memiliki persediaan karbon yang lebih besar pada tegakan termuda dibandingkan dengan agroforestri tegakan murni. Dixon (1995) juga mengemukakan dua alasan utama mengapa agroforestri potensial untuk mngurangi emisi karbon, yaitu (1) banyaknya lahan didaerah tropis yang digunakan untuk praktek pertanian dan meningkatnya penggunaan agroforestri dalam waktu yang panjang akan menghasilkan peningkatan yang nyata dalam penyerapan karbon, (2) meskipun jumlah karbon yang diserap persatuan luas lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam atau hutan tanaman. 5.2.3 Kerapatan Tajuk dalam Mempengaruhi Biomassa Tumbuhan Bawah Faktor tutupan tajuk juga dapat dijadikan salah satu faktor pertumbuhan dari tumbuhan bawah. Semakin tinggi nilai penutupan tajuk maka semakin kecil cahaya matahari yang menembus ke tanah yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan bawah/tanaman sela (Suryanto et al. 2005). Pada Gambar 1 dapat dilihat penutupan tajuk terbesar terdapat pada pola tanam campuran yaitu 94,9%, sedangkan penutupan tajuk pada pola tanam
28
monokultur sebesar 88,4%, dan penutupan tajuk dengan pola tanam agroforestri sebesar 56,58%. Hal ini pun mempengaruhi keanekaragaman tumbuhan bawah pada tipologi lahan tersebut. Pada lahan pola tanam campuran mempunyai keanekaragaman tumbuhan bawah tertinggi sebesar 23,46 kg/m2, dan pada pola tanam agroforestri keanekaragaman tumbuhan bawah sebesar 19,18 kg/m2, sedangkan pada lahan monokultur memiliki kenakearagaman tumbuhan bawah terendah sebesar 6,69 kg/m2. Keanekaragaman tumbuhan bawah yang tertinggi pada tipologi lahan campuran diduga karena intensitas cahaya yang masuk rendah akibat penutupan tajuk sehingga menyebabkan kelembaban tinggi, suhu tanah, dan kandungan air tanah pada kondisi lahan pola tanam tersebut. Hal ini lah yang menyebabkan tumbuhan bawah memudahkan untuk berkembang biak dan tumbuh pada kondisi ekstrim. Keadaan inilah yang menyebabkan tumbuhan bawah mampu melakukan kepekaan siklus hidup tanaman terhadap adaptasi lingkungan. Lakitan (1996) menyatakan bahwa laju pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal (pasokan fotosintat dari daun) dan berbagai faktor lingkungan, seperti suhu tanah dan kandungan air tanah.Keadaan ini akan menyebabkan hanya jenis tumbuhan bawah yang mampu beradaptasi pada kondisi ekstrim. Arthur (1968) mengemukakan bahwa tanaman memberikan respon dengan intensitas tinggi terhadap faktor lingkungan yang memberikan kelangkaan pada tanaman untuk beradaptasi pada lingkungan yang tidak baik. Hal ini pun dipertegas oleh Went (1974) yang menyatakan bahwa spesies tanaman memerlukan sedikit adaptasi fisiologis terhadap rangsangan lingkungan dengan melibatkan plastisitas morfologi, dan fenologi yang sedikit, tetapi lebih menunjukkan adanya adaptasi fisiologis dengan pertumbuhan yang berlanjut walaupun perlahan-lahan. Selain itu hal ini pun diduga karena tumbuhan bawah mampu membentuk jumlah daun yang lebih banyak, sehingga mampu memberikan efek yang luas terhadap pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan bawah. Marjenah (2001) mengemukakan bahwa jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan. Pada pola tanam campuran yang terdiri dari kayu afrika dan gmelina masing-masing memiliki karakteristik yang mampu memberikan dampak terhadap
29
pertumbuhan tanaman di bawahnya. Seperti karakteristik dekomposisi daun kayu afrika dan gmelina yang relatif mudah terdekomposisi oleh tanah dan dapat menunjang pertumbuhan tanaman di bawahnya. Daun dari pepohonan yang gugur ke tanah sebagai serasah berguna sebagai penutup permukaan tanah (mulsa), meningkatkan penyedian N dan hara lainnya yang berguna bagi vegetasi bawahnya. Sehingga tingkat penyediaan N dari hasil mineralisasi serasah pepohonan tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitasnya. Serasah yang berkualitas rendah (konsentrasi N rendah, konsentrasi lignin dan polifenol tinggi) justru merugikan untuk jangka pendek karena adanya immobilisasi N, tetapi menguntungkan untuk jangka waktu panjang (Hairiah et al. 2002). Sedangkan pada pola tanam monokultur, keanekaragaman tumbuhan bawah paling rendah dikarenakan kerapatan tajuk yang rapat sehingga cahaya yang diperoleh didapatkan secara penuh untuk pertumbuhan dan perkembangan kayu afrika. Ditambah lagi dengan adanya suplai unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan kayu afrika. Dengan kata lain, adanya keseimbangan titik keseimbangan antara kebutuhan cahaya, besarnya transpirasi, dan suplai unsur hara sehingga menghasilkan pertumbuhan maksimal. Tourney dan Korstia (1974) dalam Simorangkir (2000) mengemukakan pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman berhubungan erat dengan laju fotosintesis yang akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima dan respirasi. Keanekaragaman tumbuhan bawah rendah pada tipe lahan monokultur diduga juga ketidakmampuan tumbuhan bawah untuk bersaing dalam kompetisi unsur hara dalam hal peningkatan kualitas pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan bawah. Daniel et al (1997) menyatakan bahwa terhambatnya pertumbuhan dari tumbuhan bawah karena produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses pembentukan sel meristematik, terutama pada intensitas cahaya yang rendah. Hal ini pun dipertegas oleh Kramer dan Kozlowski (1979) yang mengemukakan bahwa semakin besar tingkat naungan atau kerapatan tajuk (semakin kecil intensitas cahaya yang diterima tanaman) maka suhu udara rendah, kelembaban udara semakin tinggi. Kelembaban udara yang terlalu rendah dan
30
terlalu tinggi akan menghambat pertumbuhan dan pembungaan tanaman, yang lama-kelamaan akan menyebabkan kematian. 5.2.4 Pemeliharaan dan Sejarah Pengolahan Lahan Sejarah pengolahan lahan 3 dengan pola tanam monokultur diperoleh informasi bahwa kondisi lahan sebelum di tanami kayu afrika terlebih dahulu ditanami tanaman pertanian dengan durasi 1 kali panen. Sementara lahan 1 dan 2 sebelum dilakukan penanaman hanya terdiri dari semak belukar. Menurut Munawar (2011) kebanyakan bahan organik yang ditambahkan ke tanah berasal dari akar-akar rumput. Sementara di ekosistem hutan BOT terbesar berasal dari daun yang jatuh dan tinggal di permukaan tanah. Munawar (2011) juga mengungkapkan tanah yang berasal dari lahan pertanian, tanahnya memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi daripada yang berasal dari lahan sebelumnya sebagai hutan. Namun ini belum bisa dijadikan parameter mutlak untuk menentukan kesuburan tanah pada lahan dengan pola tanam monokultur yang secara faktualnya memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan lahan dengan pola tanam agroforestri dan lahan dengan pola tanam campuran. Untuk selanjutnya perlu direkomendasikan dilakukan uji parameter tanah untuk penelitian berikutnya. Pemeliharaan secara intensif pada setiap lahan dilakukan dengan intensitas yang relatif kecil terutama untuk lahan 2 dan 3. Pada lahan 1 pemangkasan sering dilakukan karena petani masih mengandalkan tanaman musiman sebagai salah satu komoditas ekonomi. Sehingga pemeliharaan pada lahan 1 cenderung intensif seperti pendangiran dan pemangkasan. Menurut Fujimori (2001) dalam Mawazin dan Suhaendi (2008) menyatakan pertumbuhan pohon dan kualitas kayu secara individu dapat diatur melalui penerapan teknik pemangkasan dan penjarangan. Untuk lahan 2 dan lahan 3 cenderung tidak dilakukan pemeliharaan seperti pemangkasan. Ini dapat terlihat pada Gambar 3 persentase penutupan tajuk dimana lahan 2 dan 3 memiliki nilai persentase penutupan tajuk yang tinggi. Pemeliharaan seperti pemangkasan tidak dilakukan karena berorientasi pada rehabilitasi lahan dan ekologis bukan berorientasi pada nilai komersial pohon, melainkan berorientasi pada terjadinya tutupan lahan di hutan rakyat ini.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan 1.
Kayu afrika dengan pola tanam monokultur menunjukkan nilai ratarata kandungan C individu paling besar yaitu sebesar 0,02357 ton/ind. Nilai ini lebih besar dibandingkan dari tanaman kayu afrika dengan pola tanam campuran yaitu sebesar 0,01468 ton/ind dan pola tanam agroforestri yaitu sebesar 0,01056 ton/ind.
2.
Faktor
kerapatan
tajuk
yang
tinggi
mempengaruhi
aktivitas
pertumbuhan kayu afrika dalam pembentukan biomassa dan kandungan C. 3.
Jarak
tanam
dan
pola
tanam
serta
aktivitas
pemeliharaan
mempengaruhi kandungan C pada biomassa kayu afrika. 6.2
Saran 1.
Perlu dilakukan kajian dan penelitian lebih mendalam tentang sebaran jenis tanaman dan karakteristik fisiologi jenis tanaman kayu afrika.
2.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kandungan hara pada tempat tumbuh dan serapan unsur hara tanaman kayu afrika.
DAFTAR PUSTAKA Andayani W. 2005. Ekonomi Agroforestri. Yogyakarta: Debut Press. Arthur M. 1968. An Introdruction to Soil Science. Vol.1. New York: John Wiley and Sons Inc. Breulmann G, I Ninomiya, K Ogino. 1996. Distribution characteristics of mineral element in tree leaves of a mixed Dipterocarp forest in Sarawak, Malaysia. Tropics vol. 6:29-38. Brown S, Gillespie AJR, Lugo AE. 1989. Biomass Estimation Methods for Tropical Forest with Application to Forest Inventory Data. Forest Science 35:881-902. Society of American Foresters. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A Primer. 134: 10-13. USA: FAO. Forestry Paper. Brown S. 1999. Guidelines for Inventorying and Monitoring Carbon Offsets in Forest-Based Projects. Winrock International, Arlington, VA. Chapman SB. 1976. Production Ecology and Nutrient Budgets (Method in Plant Ecology) SB Chapman, 2nd Ed. Oxford: Blackwell Scientific Publisher. Daniel TW, Helms JA, dan Baker FS. 1997. Prinsip-prinsip Silvikultur. Terjemahan Joko Marsono dan Oemi Hani’in. Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2002. Informasi Singkat Benih Maesopsis eminii. Jakarta: Kemenhut. Dixon RK. 1995. Agroforestry system: sources or sinks of greenhouse gases? Agroforestry System 31:99-116. Ekayastuti W. 1996. Unsur hara mineral pohon tropik [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Udara. Bogor: Kanisius. Gardner FP, Pearce RB, dan Mitchell RL. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Ginoga K. 2004. Beberapa cara perhitungan biomassa karbon. Jurnal sosial ekonomi. (4). Bogor: Badan Penelitian Pengembangan Kehutanan. Goldsworthy PR, dan Fisher NM. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hairiah K et al. 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi: Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. Bogor: ICRAF. Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Penggunaan Lahan. Bogor: ICRAF. Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S.2003. Pengantar Agroforestry. Bahan Ajaran 1. Bogor: ICRAF. Hairiah K, van Noorwijk M, Suprayogo D. 2002. Intetraksi antara pohon-tanah-
34
tanaman semusim: Kunci keberhasilan kegagalan dalam sistem agroforestri. Di dalam: Hairiah K, Widianto, Utami SR, Lusiana B, editor. Wanulcas: Model Simulasi untuk Sistem Agroforestri. Bogor: International Centre for Research in Agroforestry. H. 19-42. Hairiah K, Widianto, Suprayogo D. 2008. Adaptasi dan mitigasi pemanasan global [makalah]. Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian, Jurusan Tanah. Malang. Harjadi S. 1991. Pengantar Agronomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Heddy S. 1993. Hormon Tumbuhan. Jakarta: Rajawali Press. Hitter AH, Hay RKM. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Huxley P. 1999. Tropical Agroforestry. UK: Blackwell Science Ltd. Istomo. 1994. Hubungan antara komposisi, struktur dan karakteristik penyebaran Ramin, (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) dengan sifat-sifat tanah gambut (Studi kasus areal HPH PT. Inhutani III Kalimantan tengah) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. King KFS. 1979. Concept of Agroforestry. Dalam Chandler. T dan Spurgeon. D (ed.) Proceeding of an International Conference in Agroforestry. p.1-14. Kenya: ICRAF. [KTM] Kelompok Tani Megamendung. 2011. Megamendung. Megamendung Bogor: KTM.
Profil
Kelompok
Tani
Kramer PJ, Kozlowski TT. 1979. Physiology of woody plants nutrition. International potash institute. Berne-Switzland. Krisnawati H, Adinugroho WC, Imanuddin R. 2012. Monograf model-model alometrik untuk pendugaan biomassa pohon pada berbagai tipe ekosistem hutan di Indonesia. Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementrian Kehutanan. Kusmana C. 1993. A Study on Mangrove Forest Management Base on Ecological Data in East Sumatra, Indonesia, Indonesia [disertasi]. Japan: Kyoto University, Faculty of Agricultural. Lakitan B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Lundgren BO, Raintree JB.1982. Sustained Agroforestry in Nestel B (Ed). 1982 Agricultural Research For Development Potential and Challanges in Asia. ISNAR, The Hague, The Netherlands 37-49. Marjenah. 2001. Pengaruh Perbedaan Naungan di Persemaian terhadap Pertumbuhan dan Respon Morfologi Dua Jenis Semai Meranti. Jurnal Ilmiah Kehutanan Rimba Kalimantan 6(2):14–19. Mawazin, Suhaendi H. 2008. Pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan diameter Shorea parvifolia Dyer. [Jurnal]. Pusat Litbang Konservasi Alam. Bogor.
35
Mulyana D. 2009. Kualitas tanah pada berbagai penutupan lahan hasil revegetasi (Studi kasus pasca kegiatan lahan di Sub Das Ciliwung Hulu) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Munawar A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. Bogor : IPB Press. Napitupulu RM. 2006. Pengaruh bahan stek dan zat pengatur tumbuh rootone–F terhadap keberhasilan stek Euphorbia milii [skripsi]. Bogor: Program Pemuliaan Tanaman dan Teknologi Benih. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Rused ES. 2009. Nilai ekonomi kegiatan rehabilitasi dalam menghasilkan air dan menyerap karbon di Blok S Cipendawa Megamendung Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Samalca IK. 2007. Estimation of Forest Biomass and its Error A case in Kalimantan, Indonesia [tesis]. Netherland: International Institute for GeoInformation Science and Earth Observation. Simorangkir B. D. A. S. 2000. Analisis Riap Dryobalanops lanceolata Burck pada Lebar Jalur yang Berbeda di Hutan koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Frontir Nomor 32. Kalimantan Timur. Sughandy A. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara. Supriyanto, Irawan US. 2001. Teknik Pengukuran Penutupan Tajuk dan Pembukaan Tajuk Tegakan dengan Menggunakan Spherical Densiometer. Bogor: Laboratorium Silvikutur SEAMEO-BIOTROP. Suri RN. 2002. Analisis keragaan morfologi dan kualitas buah populasi nenas (Ananas comosus (L.) Merr) queen di Empat Desa di Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanaian Bogor. Suryanto P, Tohari, Sabarnurdin MS. 2005. Dinamika sistem berbagi sumberdaya (resouces sharing) dalam agroforestri: dasar pertimbangan penyusunan strategi silvikultur. Jurnal Ilmu Pertanian 12:165-178. Sutaryo D. 2009. Penghitungan biomassa. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme. Triantomo V. 2005. Potensi dan keragaman cadangan karbon hutan rakyat denganpola agroforestri: kasus di Desa Pacekelan, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. van Noordwijk M. 1999. Global C- a beginner's model of global carbon stocks and flows. Modelling global change impacts on the soil environment. GCTE Working Document No.28 Bogor, Indonesia. Biotrop - GCTE Southeast Asian Impacts Centre. P. 11-20. Veer CP. 1981. Agroforestry as intervention in Farming Systems. Dalam K.F. Wiersum (ed.). Viewpoints on Agroforestry. p.1-21. Netherlands:Agricultural University Wageningen.
36
Weaver RJ. 1972. Plant Growth Substances in Agriculture. San Fransisco: WH. Freeman Co. Went G. 1974. Tissue culture: Di dalam: Bradshaw JE, Mackay GR, editor. Potato Genetics. United Kingdom: CAB International. hlm 466-471. Whitmore TC. 1985. Tropical Rain Forest. On the Far East. New York: Oxford University Press. Whitten JA, Anwar J, Damanik SJ, Hisayam N. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Jogjakarta: Gajah Mada Univesity Press. Widyartini DS. 1994. Menysiasati lahan dan iklim dalam pengusahaan pertumbuhan jenis-jenis tanaman terpilih. Bogor. Yayasan Prosea Indonesia. Wiersum KF. 1981. Outline of the agroforestry concept. In: Wiersum, K. F.(editor).Netherlands : Wageningen Agricultural University. Wijayanto N, Rifai M. 2010. Pertumbuhan Gmelina arborea Roxb. pada Beberapa Pola Agroforestri.[Jurnal] Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Wuryaningsih S, Adiyantoro S. 1998. Pertumbuhan stek melati berbuku satu dan dua pada berbagai macam media. Agri Journal 5(1-2): 32-41. Yuliasmara F, Wibawa A. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan pada Perkebunan Kakao Dengan Pendekatan Biomassa Tanaman.[Jurnal] Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data biomassa kayu afrika lahan pola tanam agroforestri Biomassa (kg/m²) 1 21,02 2 29,04 3 21,75 4 21,02 5 16,47 6 19,82 7 19,36 8 16,47 9 32,04 10 15,03 11 18,67 12 23,53 13 29,04 14 23,53 15 30,52 16 32,04 17 21,02 Total 390,36 Keterangan: Data Biomassa Lahan 1 Blok Afrika Agroforestri. Plot Contoh Ukuran 5 x 40 m (Jarak Tanam 3 x 4 m) No
Jenis Tanaman Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika
Keliling (cm) 20 23 20,3 20 18 19,5 19,3 18 24 17,3 19 21 23 21 23,5 24 20
Tinggi Total (m) 4,5 5,6 5.5 8,5 4 7 8,3 8,5 9 5,3 7,5 6,5 7,5 7,5 7.5 7 6,5
Diameter (cm) 6,37 7,32 6,46 6,37 5,73 6,21 6,15 5,73 7,64 5,51 6,05 6,69 7,32 6,69 7,48 7,64 6,37
Karbon ( kg/m²) 9,67 13,36 10,01 9,67 7,58 9,12 8,90 7,58 14,74 6,91 8,59 10,82 13,36 10,82 14,04 14,74 9,67 179,57
Lampiran 2 Data biomassa kayu afrika lahan pola tanam campuran Biomassa (kg/m²) 1 18,67 2 42,08 3 16,47 4 32,04 5 30,52 6 36,87 7 13,47 8 30,52 9 51,64 10 23,53 11 26,20 12 36,87 13 38,56 14 22,25 15 23,53 16 52,45 17 38,56 18 35,22 19 43,17 20 40,30 21 33,61 22 15,43 Total 701,94 Rata-rata 31,91 Keterangan: Data Biomassa Lahan 2 Blok Afrika dan Kayu Campuran. Plot Contoh Ukuran 5 x 40 m (Jarak Tanam 3 x 2 m) No
Jenis Tanaman Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika
Keliling (cm) 19 27 18 24 23,5 25,5 16,5 23,5 29,5 21 22 25,5 26 20,5 21 29,7 26 25 27,3 26,5 24,5 17,5
Tinggi Total (m) 6 4 3,5 5 8 8 7 3,5 7 7 7 6,5 7 6,5 6 7 7 7 7 7,5 7 6
Diameter (cm) 6,05 8,60 5,73 7,64 7,48 8,12 5,25 7,48 9,39 6,69 7,01 8,12 8,28 6,53 6,69 9,46 8,28 7,96 8,69 8,44 7,80 5,57
Karbon (kg/m²) 8,59 19,36 7,58 14,74 14,04 16,96 6,20 14,04 23,76 10,82 12,05 16,96 17,74 10,24 10,82 24,13 17,74 16,20 19,86 18,54 15,46 7,10 322,89 14,68
Lampiran 3 Data biomassa kayu afrika lahan pola tanam monokultur Biomassa (kg/m²) 1 21,02 2 40,30 3 20,30 4 62,33 5 45,77 6 42,80 7 89,96 8 73,19 9 23,53 10 29,04 11 58,35 12 64,61 13 23,53 14 60,10 15 95,60 16 29,04 17 96,18 18 44,27 19 83,97 20 32,66 21 32,04 22 71,71 23 38,22 Total 1178,51 Keterangan: Data Biomassa Lahan 3 Blok Afrika Monokultur Plot Contoh Ukuran 5 x 40 m ( Jarak Tanam 3 x 3 m) No
Jenis Tanaman Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika
Keliling (cm) 20 26,5 19,7 32 28 27,2 37,5 34,3 21 23 31,1 32,5 21 31,5 38,5 23 38,6 27,6 36,4 24,2 24 34 25,9
Tinggi Total (m) 9 7 8 8 8 9 10 9 7 9 11 12.5 8 10 12 8 12 9 11 8 7.5 11 6.5
Diameter (cm) 6,37 8,44 6,27 10,19 8,92 8,66 11,94 10,92 6,69 7,32 9,90 10,35 6,69 10,03 12,26 7,32 12,29 8,79 11,59 7,71 7,64 10,83 8,25
Karbon (kg/m²) 9,67 18,54 9,34 28,67 21,05 19,69 41,38 33,67 10,82 13,36 26,84 29,72 10,82 27,65 43,98 13,36 44,24 20,36 38,63 15,03 14,74 32,99 17,58 542,12
Lampiran 4 Data biomassa tumbuhan bawah No 1. 2. 3.
Pola Tanam Agroforestri Campuran Monokultur
Berat Basah Total (g) 1670 450 1050
Berat Basah Contoh (g) 200 200 200
Berat Kering Contoh (g) 84,65 52,80 36,55
Berat Kering Total (g) 19,18 23,46 6,96
Timur (kotak) 18 1 15 4
Barat (kotak) 12 3 5 15
Lampiran 5 Data kerapatan tajuk pola tanam agroforestri No
Petak Kuadran
1. 2. 3. 4.
I II III IV
Utara (kotak) 5 1 20 11
Selatan (kotak) 12 8 17 20
Lampiran 6 Data kerapatan tajuk pola tanam campuran No 1. 2. 3. 4.
Petak Kuadran I II III IV
Utara (kotak) 25 24 24 25
Selatan (kotak) 24 24 17 25
Timur (kotak) 25 22 22 19
Barat (kotak) 23 20 21 25
Lampiran 7 Data kerapatan tajuk pola tanam monokultur Petak Kuadran
Utara (kotak)
Selatan (kotak)
Timur (kotak)
Barat (kotak)
I
24
22
22
21
2.
II
20
19
22
22
3.
III
22
19
20
19
4.
IV
23
20
24
21
No. 1.
Lampiran 8 Gambar lokasi penelitian melalui foto udara (earth.google.com)
Lampiran 9 Foto Pengambilan Data di Lapangan
(Pengukuran diameter)
Lanjutan lampiran 9 Foto Pengambilan Data di Lapangan
(Pengambilan sampel tumbuhan bawah)
(Pengukuran kerapatan tajuk)