MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON
TEDDY RUSOLONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 7 April 2006
Teddy Rusolono NIM 985094
ABSTRAK TEDDY RUSOLONO.
Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri untuk Pengelolaan Hutan Milik Melalui Skema Perdagangan Karbon. Dibimbing oleh ENDANG SUHENDANG, UPIK ROSALINA WASRIN, RIZALDI BOER, dan DUDUNG DARUSMAN. Sejalan dengan makin meningkatnya peran jasa lingkungan hutan, maka sangat diperlukan adanya sistem dan metode penilaian yang sesuai agar pengelolaan hutan dapat memperoleh manfaat ekonomi langsung berkat adanya jasa lingkungan tersebut. Melalui Protokol Kyoto, jasa lingkungan dalam penyerapan karbon oleh hutan dihargai sebagai komoditi yang dapat diperdagangkan. Praktek agroforestri memiliki banyak keunggulan untuk masuk dalam pasar karbon, karena selain mendorong upaya menambah luasan hutan dan pengurangan emisi, juga memberikan insentif untuk menambah sumber pendapatan untuk peningkatan taraf hidup masyarakat di pedesaan. Adanya metode pendugaan persediaan karbon yang terandalkan dan absah untuk tegakan agroforestri menjadi syarat keharusan bagi masuknya pengelolaan agroforestri dalam perdagangan karbon melalui skema Protokol Kyoto. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai faktorfaktor berikut model matematik yang dapat menjelaskan ragam potensi persediaan karbon melalui praktek agroforestri. Model yang dihasilkan dipergunakan untuk merumuskan metode pendugaan persediaan karbon pada tegakan agroforestri. Besarnya kandungan karbon ini selanjutnya dapat dipergunakan untuk menilai kemungkinan pengelolaan hutan milik melalui skema perdagangan karbon. Penelitian lapangan dilakukan pada tegakan agroforestri di lahan milik pada dua desa contoh, masing-masing di Desa Pecekelan (Kabupaten Wonosobo) dan di Desa Kertayasa (Kabupaten Ciamis). Pengukuran, pengamatan dan wawancara di lapangan dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan Agustus dan September 2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk struktur tegakan horizontal untuk tegakan agroforestri menyerupai huruf J-terbalik, walaupun berbeda dalam jenis pohon penyusunnya. Bentuk struktur tegakan seperti ini lazim ditemukan pada tegakan hutan tidak seumur atau hutan alam. Pendugaan persediaan karbon dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu memperhatikan bentuk struktur tegakan horizontalnya, menggunakan peubah kerapatan dan luas bidang dasar tegakan, atau menggunakan fungsi pertumbuhan dengan peubah umur tegakan. Komponen pohon merupakan bagian terpenting sumber persediaan karbon yang mencapai hampir 80% dari seluruh persediaan karbon agroforestri. Terdapat kecenderungan variasi yang tinggi untuk mengukur dan memonitor potensi persediaan karbon agroforestri, yang dapat menimbulkan masalah ketika menetapkan besarnya manfaat karbon yang dihasilkan untuk pihak pembeli. Namun petani dapat mengukur dan memonitor lahannya sendiri untuk melengkapi pendekatan sampling yang cenderung memiliki ketelitian yang rendah.. Manfaat penjualan karbon bersifat tambahan dalam praktek agroforestri, besarnya manfaat total yang diperoleh tergantung pada tambahan biaya transaksi yang diperlukan untuk proses mendapat pengakuan besarnya serapan karbon yang akan dihasilkan.
ii
ABSTRACT
TEDDY RUSOLONO. Prediction model of carbon stocks in agroforestry to support small-scale forest management through carbon trade scheme. Under supervision of: ENDANG SUHENDANG, UPIK ROSALINA WASRIN, RIZALDI BOER, and DUDUNG DARUSMAN.
In line with the increasing role of environmental service of forests, it is needed an appropriate assessment system and method in order to obtain direct benefits of such environmental services. Through the Kyoto Protocol, an environmental service of forests in term of carbon sequestration would become a promising commodity to be traded. Agroforestry practices have a great potentiality to participate in the carbon market, because they will not only provide an incentive to expand forest area and reduce emissions, but also at the same time improve income of rural communities. The excistance of reliable and valid method for estimating carbon stocks in agroforestry stand is a necessary condition to include agroforestry management in to carbon trade according to Kyoto Protocol scheme. However, since the carbon trade is a new issue, there are still some emerging problems particularly on how the carbon stocks can be determined and how the carbon benefits can be recognized by potential buyers. The objectives of this research are to characterize factors affecting the carbon stocks variation of agroforestry practices through mathematical models and to formulate estimation method of carbon stocks which can be used to assess small-scale forest managements through carbon trade scheme. This research was conducted in agroforestry stands located at the two sample villages in Wonosobo and Ciamis districts, in the period of August to September 2004. A full enumeration was carried out to estimate biomass and carbon stock of agroforestry stands. In addition, some interviews with the local farmers were conducted to know their approaches in managing the agroforestry stands. The results of this research showed that the horizontal structure of the agroforestry stands follows the reverse J shape, which is typically found in uneven-aged natural forests. Carbon stocks can be estimated by using parameters of the stand structure model, stand density and basal area as well as using yield function of carbon stock and stand age. Trees were the major carbon source that served about 80% of total carbon stocks in the agroforestry stands. There were high variations of carbon stocks in the agroforestry stands, which could lead to a difficulty in determining the carbon benefits. However, farmers can measure and monitor their own lands as a complement to the sampling approach which is still tend to produce less accuracy. In agroforestry practices, revenues obtained from the carbon trade are additional incomes which depend on the additional transaction costs required in the validation and verification processes.
iii
MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON
TEDDY RUSOLONO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
iv
Judul Disertasi
: Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri Untuk Pengelolaan Hutan Milik Melalui Skema Perdagangan Karbon
Nama
: Teddy Rusolono
NIM
: 985094
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang, MS Ketua
Dr.Ir. Upik Rosalina Wasrin, DEA Anggota
Dr.Ir. Rizaldi Boer, M.Sc Anggota
Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr.Ir. Dede Hermawan, MSc
Tanggal Ujian: 7 April 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc
Tanggal Lulus:
v
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmaanirrohim. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan. Disertasi ini disusun untuk menggali manfaat jasa karbon yang dapat dihasilkan dari praktek agroforestri yang secara tradisional dilakukan di banyak tempat di Indonesia. Banyak yang percaya bahwa penjualan jasa lingkungan melalui mekanisme berbasis pasar bisa memberikan insentif yang mendorong upaya konservasi hutan dan pada waktu yang bersamaan menyediakan sumber pendapatan baru yang penting untuk peningkatan taraf hidup masyarakat yang sebelumnya terabaikan. Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik dengan bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan pertama penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang, MS selaku ketua komisi pembimbing, serta Dr.Ir. Upik Rosalina Wasrin, DEA, Dr.Ir. Rizaldi Boer, M.Sc, dan Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA, masing-masing selaku anggota komisi pembimbing,
yang telah banyak
memberikan saran, bimbingan dan nasehat yang sangat berarti bagi penyelesaian tugas akhir penulis. Selanjutnya penulis juga merasa berhutang budi kepada banyak pihak, karenanya pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof.Dr.Ir. Zahrial Coto, M.Sc yang saat itu menjabat Dekan Fakultas Kehutanan IPB dan Rektor IPB yang telah mengijinkan saya melanjutkan studi doktor di IPB.
Pimpinan dan pengelola BPPS yang telah
memberikan bantuan beasiswa pendidikan program doktor kepada penulis. Pimpinan dan staf pada Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan pelayanan yang baik selama saya menjadi mahasiswa. Rekan-rekan staf pengajar Kelompok Bidang Perencanaan Hutan dan staf pengajar lain di Departemen Manajemen Hutan dan seluruh jajaran pimpinan di Fakultas Kehutanan IPB yang selalu dalam situasi kebersamaan telah banyak memberikan masukan dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas studi.
Penulis juga
vi
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sumeri dan Bapak Suparman, atas kebaikannya yang tulus menyediakan tempat tinggal dan bantuan di lapangan selama masa penelitian, serta Sdr. Varian Triantomo, Sdr. Yudistira dan Sdr. Endim Dimyana, BScF, yang telah turut membantu penulis dalam pengumpulan data lapangan. Kepada mereka yang tercinta orang tua penulis, ayah-ibu kandung dan ayahibu (almarhumah) mertua yang senantiasa memberikan spirit kepada saya dengan bahasanya sendiri untuk terus mencari ilmu, adalah pelajaran yang sangat amat berharga. Untuk itu tentu tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan terima kasih. Rasa bangga dan terima kasih tidak dapat saya sembunyikan khususnya kepada isteri Fitriani Tjipto Putranti dan putra-putri tercinta Amalina Dyani Putri dan Irshadi Dyan Satrioutomo, yang dengan sabar dan penuh pengertian mendampingi saya, serta doa yang selalu mereka panjatkan untuk saya dalam keseharian.
Karena mereka, semangat saya terus terpelihara untuk mencapai
derajat akademik tertinggi ini. Akhirnya penulis berharap kepada semua pihak yang telah membantu selama ini, agar apa yang telah dilakukannya menjadi amal shaleh baginya. Harapan penulis mudah-mudahan pikiran-pikiran yang tertuang dalam disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan para pihak yang peduli dengan pengembangan agroforestri untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat petani dan perbaikan kualitas lingkungan hidup, walaupun penulis sadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna.
Bogor, 7 April 2006 Teddy Rusolono
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Murung Pudak (sebuah kota kecamatan di Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan) pada tanggal 24 Oktober 1962 dari pasangan H. Ribut Giono dan Hj. Rubingah, sebagai putera kedua dari enam bersaudara. Pada tahun 1974 penulis menamatkan pendidikan dasar pada SD Negeri Taman Bunga di Murung Pudak, pada tahun 1977 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri Tanjung, dan pada tahun 1981 tamat dari SMA Negeri Tanjung. Pendidikan dasar hingga sekolah menengah tersebut seluruhnya berada di wilayah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Penulis diterima di IPB pada tahun 1981 dan pada tahun 1986 menyelesaikan gelar sarjana kehutanan (S1) pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Pada tahun 1987
penulis diterima bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Kehutanan IPB dan terdaftar sebagai staf pengajar pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB hingga sekarang. Penulis melanjutkan studi S2 pada Program Studi Statistika Terapan, Program Pascasarjana IPB pada tahun 1989 dengan beasiswa TMPD Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan memperoleh gelar magister sains pada tahun 1994. Sejak tahun 1998 penulis mulai menempuh program doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB yang selain dibiayai sendiri juga memperoleh beasiswa BPPS Departemen Pendidikan Nasional. Penulis menikah dengan drg Fitriani Tjiptoputranti pada tahun 1989, dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Amalina Dyaniputri (putri) dan Irshadi Dyan Satrioutomo (putra).
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..………………………………………………………..
viii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………...........
x
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang ………………………………………………...................... Perumusan Masalah Penelitian ……………………………………………. Tujuan Penelitian ………………………………………………………….. Hipotesis Penelitian ……………………………………………………….. Manfaat Hasil Penelitian …………………………………………………..
1 3 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA Biomassa dan Sekuestrasi Karbon ………………..............……………...... Pendugaan Persediaan Karbon dalam Tegakan Hutan…………..……..... Masalah Simpanan Tetap (Permanence) dalam Karbon Hutan ..………..... Metode untuk Perhitungan Neraca Karbon Hutan……................................ Pendekatan Finansial untuk Perhitungan Manfaat Karbon Hutan................. Pengertian Agroforestri……….…………………………………………… Penyimpanan Karbon Melalui Praktek Agroforestri………………………. Model Pendugaan Pertumbuhan dan Hasil Tegakan ………………………
6 8 14 15 21 23 26 33
METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pendekatan Masalah ………………………………………….... Lokasi dan Waktu Penelitian …………………..………………………..... Metode Penelitian ...……………………………………………………….. Pengumpulan dan Pengolahan Data …..……………………………….. Analisis Data …..………………………………………………………..
34 37 38 38 47
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Desa Pecekelen ……………………………………………………………. Desa Kertayasa……………………………………………………………..
52 57
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Agroforestri dan Keanekaragaman Jenis….……........ Ciri-ciri Tempat Tumbuh Tegakan Agroforestri…..……………………..... Struktur Horizontal Tegakan Agroforestri………..……………………….. Keragaman Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri…………...………... Fungsi Alometrik Biomassa Pohon ......................................................... Perbandingan dengan Persamaan Alometrik Biomassa Lain................... Persediaan Karbon Menurut Sumber Biomassa dan Variasinya…..…… Ketelitian Pendugaan Persediaan Karbon dan Pengembangan Metode Inventarisasi Karbon ………………………….....………………………… Sumber Karbon dan Ketelitian Pendugaannya...……………………….. Pengaruh Intensitas Sampling dan Luas Satuan Contoh.………………. Implikasi Metode Inventarisasi Karbon pada Tegakan Agroforestri…...
62 66 69 74 74 81 82 94 94 97 99
Halaman Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri……………... Pendekatan Struktur Tegakan .…………………………………………. Pendekatan Peubah Tegakan ………………………………………....... Pendekatan Fungsi Pertumbuhan Tegakan …………………………….. Penggunaan Model Penduga Persediaan Karbon ...…………………..... Prospek Pengelolaan Agroforestri Melalui Skema Perdagangan Karbon Ditinjau dari Aspek Finansial ....................................................................... Satuan Proyek, Pola Agroforestri, Komponen Biaya dan Pendapatan, serta Metode Perhitungan Karbon ……………………………………… Perbandingan Besarnya NPV dan BCR Dalam Pengelolaan Agroforestri Dengan dan Tanpa Skema Perdagangan Karbon................ Implikasi Skema Perdagangan Karbon terhadap Praktek Agroforestri
101 101 104 108 113
117 123
SIMPULAN DAN SARAN………………………………………………..
125
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
127
LAMPIRAN………………………………………………………………..
136
114 115
vii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Matriks keputusan gudang karbon utama yang perlu diukur dan dimonitor untuk berbagai contoh proyek karbon berbasis hutan (Brown 1999a).........................................................................................
9
Tingkat ketepatan dan kemudahan implementasi pengukuran gudang karbon yang berbeda dalam ekosistem hutan (Hamburg 2000)………..
9
3
Praktek-praktek agroforestri yang utama di wilayah tropis (Nair 2002)
25
4
Contoh praktek agroforestri yang secara potensial membantu menstabilkan emisi GRK dan menyerap atau menyimpan C pada biosfer daratan (Dixon 1995) ……...………………………..…………
28
Potensial simpanan karbon (MgC/ha) dan biaya proyek (US$/MgC) untuk sistem agroforestri menurut wilayah ekologi di beberapa negara tertentu (Dixon 1995)…………………………...……………………...
29
6
Persamaan alometrik penduga biomassa pohon di lokasi penelitian .....
41
7
Distribusi pengambilan contoh tegakan agroforestri di lokasi penelitian ………………………………………………………………
43
8
Pola penggunaan lahan di Desa Pecekelan……………………….........
53
9
Sebaran sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Pecekelan tahun 2002……………………………………………...........................
54
10
Potensi sengon pada hutan rakyat di Desa Pecekelan…………….........
55
11
Harga jual rata-rata kayu sengon pada tingkat petani di Desa Pecekelan tahun 2004..............................................................................
56
12
Pola penggunaan lahan di Desa Kertayasa………………………..........
58
13
Sebaran sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Kertayasa tahun 2002……………………………………………..........................
59
Harga jual rata-rata kayu pada tingkat petani di Desa Kertayasa tahun 2004.........................................................................................................
61
Keanekaragaman jenis pohon tegakan agroforestri di Desa Pecekelan………………………………………………………….........
63
Keanekaragaman jenis pohon tegakan agroforestri di Desa Kertayasa………………………………………………………….........
64
Karakteristik umum pola agroforestri di Desa Pecekelan dan Kertayasa……………………………………………………………….
65
Beberapa sifat tanah dan ciri tempat tumbuh tegakan agroforestri Desa Pecekelan dan Desa Kertayasa…………………….................………...
68
Nilai konstanta untuk koefisien model persamaan struktur tegakan pola agroforestri murni dan agroforestri kebun-campuran..……….......
71
2
5
14 15 16 17 18 19
viii
Halaman 20 21 22 23 24 25 26 27 28
29
30
31 32
33
34
Kondisi rata-rata dimensi tegakan agroforestri murni dan kebuncampuran............................................…………………………….……
74
Karakteristik 30 pohon contoh yang digunakan untuk menyusun persamaan alometrik biomassa sengon (P. falcataria)……………........
76
Kerapatan kayu dan kadar air rata-rata pohon contoh sengon (P. falcataria)……………………………………………………..........
76
Sebaran biomassa pohon menurut bagian-bagian jaringan pohon pada beberapa jenis pohon hutan tanaman.....……………………………….
77
Matriks korelasi sederhana hubungan antara beberapa peubah dimensi pohon dan biomassa bagian jaringan pohon sengon (P. falcataria)…...
78
Beberapa persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa pohon biomassa bagian jaringan pohon Sengon (P. falcataria)…….................
80
Rata-rata sebaran persediaan karbon di atas permukaan tanah menurut sumber biomassanya pada agroforestri murni dan kebun-campuran......
93
Persamaan matematik pendugaan potensi karbon melalui peubah struktur tegakan pada agroforestri murni dan kebun-campuran..............
103
Matriks korelasi sederhana hubungan antara peubah tegakan dengan persediaan karbon tegakan pada agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran...........................................................................……...
104
Persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon melalui peubah tegakan pada agroforestri tegakan murni dan kebuncampuran……………………………………………………………….
106
Persamaan matematik pendugaan persediaan karbon tegakan melalui fungsi pertumbuhan pada agroforestri tegakan murni dan kebuncampuran……………………………………………………………….
109
Perkembangan persediaan karbon tegakan dengan pendekatan fungsi pertumbuhan untuk agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran...
112
Rata-rata biaya dan pendapatan pengelolaan agroforestri untuk skema perdagangan karbon, dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon dan t-CER (dalam USD/tonC) …………………………………
117
Analisis sensitivitas kelayakan pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), dihitung dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon.………………..………………………………………………...
119
Analisis sensitivitas kelayakan pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), dihitung dengan pendekatan t-CER………….………...
120
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Perbandingan manfaat karbon yang dihitung dengan metode ASM, SCM dan ton-year pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003) ………..
19
2 Perhitungan manfaat karbon yang dihitung dengan pendekatan CER sementara (t-CER) pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003)................
20
3 Diagram alir kerangka pemecahan masalah ……………………........
36
4 Peta situasi lokasi penelitian…………………………………………
37
5 Bagan pembuatan jalur dan petak ukur dalam satu unit pemilikan lahan......................................................................................................
45
6 Bagan pembuatan petak ukur untuk pengukuran serasah dan tumbuhan bawah...................................................................................
45
7 Perbandingan model struktur tegakan agroforestri pola tegakan murni (a) dan kebun-campuran (b) pada berbagai umur tegakan.……
72
8 Perbandingan proporsi rata-rata bagian batang, cabang, ranting dan daun terhadap total biomassa bagian atas pohon sengon pada berbagai ukuran diameter pohon…………………………………......
77
9 Perbandingan kurva persamaan alometrik biomassa pohon sengon yang disusun pada lokasi yang berbeda...............................................
82
10 Perbandingan pendugaan biomassa tegakan bagian atas pada agroforestri murni (a) dan kebun-campuran (b) yang dihitung menggunakan persamaan alometrik jenis (sumbu mendatar) dan memakai kerapatan kayu dalam persamaan Ketterings (sumbu tegak)
83
11 Perkembangan persediaan karbon menurut umur tegakan pada pola agroforestri murni (a) dan kebun-campuran (b)……………..………
85
12 Perbandingan persediaan karbon tanaman kopi pada agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY) pada berbagai umur tegakan.................................................................................................
89
13 Perbandingan persentase karbon tanaman kopi terhadap total persediaan karbon pada agroforestri murni (PC) dan kebuncampuran (KY) pada berbagai umur tegakan......................................
89
14 Perbandingan persediaan karbon dari serasah kasar pada berbagai umur tegakan agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY) …
90
15 Perbandingan persediaan karbon tumbuhan bawah pada berbagai umur tegakan agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY)….
91
x
Halaman 16 Persediaan karbon tanah pada agroforestri murni (PC) dan kebuncampuran (PN).....................................................................................
92
17 Keragaan koefisien variasi persediaan karbon menurut umur tegakan pada agroforestri tegakan murni (a) dan kebun campuran (b)…....….
95
18 Hubungan antara pengaruh intensitas sampling dengan besarnya kesalahan sampling pada berbagai umur tegakan agroforestri.............
98
19 Hubungan antara pengaruh luas satuan sampling dengan besarnya kesalahan sampling pada berbagai umur tegakan agroforestri.............
99
20 Kurva pertumbuhan persediaan karbon tegakan agroforestri murni…
110
21 Kurva pertumbuhan persediaan karbon tegakan agroforestri kebuncampuran……………………………………………………………..
111
22 Perubahan NPV dan BCR untuk analisis kelayakan agroforestri dalam skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), yang dihitung dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon…………………………………………………….
121
23 Perubahan NPV dan BCR untuk analisis kelayakan agroforestri dalam skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), yang dihitung dengan pendekatan t-CER…………….
122
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Identitas pemilik lahan dan keterangan kondisi lokasi agroforestri yang menjadi contoh penelitian ……………………………………..
137
2 Hasil analisis ciri-ciri fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian Desa Pecekelan (Wonosobo) dan Desa Kertayasa (Ciamis) ………………
138
3 Daftar peubah untuk penyusunan model alometrik pendugaan biomassa pohon sengon .......................................................................
140
4 Daftar peubah untuk penyusunan model hubungan persediaan karbon tegakan dengan struktur tegakan agroforestri ........................
141
5 Daftar peubah untuk penyusunan model hubungan persediaan karbon tegakan dengan dimensi tegakan agroforestri ........................
142
6 Hasil pengolahan data model hubungan persediaan karbon tegakan dengan struktur tegakan agroforestri .................................................. 7 Plot peluang normal sisaan dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah struktur tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran .............................................. 8 Plot tebaran nilai sisaan baku dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah struktur tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran............................................... 9 Hasil pengolahan data model hubungan persediaan karbon tegakan dengan dimensi tegakan agroforestri ..................................................
143
148
149 150
10 Plot peluang normal untuk sisaan dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah tegakan, menggunakan peubah luas bidang dasar dan kerapatan tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran ..............................................
170
11 Plot tebaran nilai sisaan baku dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah tegakan, menggunakan peubah luas bidang dasar dan kerapatan tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran..........................................................................
171
12 Hasil pengolahan data model hubungan persediaan karbon tegakan dengan pendekatan fungsi pertumbuhan tegakan agroforestri ............ 13 Hasil pengolahan data pengujian perbandingan penentuan biomassa karbon tegakan dengan menggunakan persamaan alometrik biomassa dan persamaan Ketterings.................................................... 14 Contoh hasil analisis biaya dan manfaat pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon, dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon .......................................................... 15 Contoh hasil analisis biaya dan manfaat pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon, dengan pendekatan tCER .....................................................................................................
172
176
178
186
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap peranan hutan tersebut muncul setelah keberadaan hutan terancam di berbagai belahan dunia, terutama akibat laju deforestasi yang tinggi (FAO 2001) dan disadari mulai hilangnya sejumlah fungsi hutan yang penting bagi keberlangsungan peradaban manusia seperti pengaturan tata air dan perlindungan daerah aliran sungai, jasa serapan karbon dan keanekaragaman hayati yang terkandung dalam ekosistem hutan (Pagiola et al. 2002). Sejumlah inisiatif telah muncul yang bertujuan untuk menciptakan sistem berbasis pasar dimana para pemakai jasa lingkungan memberikan kompensasi untuk pengelolaan ekosistem hutan yang dapat memperbaiki dan meningkatkan jasa lingkungan dan pada waktu yang bersamaan menciptakan sumber pendapatan baru yang yang mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama yang langsung berinteraksi dengan lingkungan hutan (Robertson & Wunder 2005). Hambatan dalam pengelolaan hutan untuk menjadikan fungsi jasa ekologis/ lingkungan hutan sebagai tujuan adalah mendapatkan manfaat ekonomi langsung jasa ekologis tersebut. Untuk ini diperlukan adanya sistem dan metode penilaian yang tepat, metode pendugaan, sistem monitoring dan skema pengelolaannya. Salah satu bentuk manfaat ekonomi jasa lingkungan hutan yang telah beroperasi adalah jasa serapan karbon melalui skema Protokol Kyoto (PK) khususnya melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Melalui UU No. 17/2004, Indonesia telah meratifikasi PK dan juga telah membentuk Komnas Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). PK sendiri sudah berjalan dan berlaku efektif, setelah diratifikasi sejumlah negara-negara maju yang wajib menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) hingga mencapai 55% dari total emisi dunia GRK. Dengan berlakunya PK, maka Indonesia dapat berpartisipasi melalui MPB, termasuk melalui sektor kehutanan dengan proyek penyerapan karbon (carbon sequestration).
2
Indonesia pada saat ini menghadapi masalah makin luasnya hutan dan lahanlahan yang terdegradasi sementara kemampuan menyediakan dana untuk merehabilitasinya sangat rendah. Oleh karenanya masuknya karbon hutan dalam MPB adalah suatu kesempatan yang berharga. Namun dengan adanya sejumlah masalah dan pembatasan dalam MPB (Murdiyarso 2003; Dutschke 2004; Chatterjee 2004; Boer et al. 2004) mengakibatkan permintaan karbon melalui sekuestrasi karbon memiliki pangsa yang kecil dan tidak seluruh lahan terdegradasi potensial untuk dikelola lewat perdagangan karbon. Dari sejumlah kegiatan karbon kehutanan, praktek agroforestri memiliki peluang besar dilibatkan dalam proyek karbon. Hal ini didukung hasil studi NSS (National Strategy Study) yang menyatakan lebih separuh pasok karbon hutan dapat berasal dari kegiatan yang berbasis masyarakat, melalui agroforestri dan hutan kemasyarakatan (MoE 2003). Bagi petani, masuknya agroforestri dalam proyek karbon kehutanan merupakan peluang untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal, karena memberikan sumber pendapatan baru, meningkatkan akses ke hasil hutan dan jasa, memperbaiki produktivitas lahan, serta mengembangkan pengetahuan dan kapasitas masyarakat lokal (CIFOR 2003).
Namun sejumlah
potensi resiko juga dikhawatirkan bisa terjadi apabila proyek karbon hutan tidak dirancang dengan baik, misalnya jika proyek akan membatasi akses masyarakat pada lahan dan hasil hutan tanpa pembayaran/ kompensasi yang memadai, hilangnya lapangan kerja dan berkurangnya hak atas lahan bagi masyarakat yang tanpa hak pemilikan lahan yang jelas (Scherr 2000). Nair & Nair (2002) menegaskan bahwa studi tentang karakteristik sistem agroforestri masih sedikit, akan tetapi diyakini kegiatan ini potensial untuk penyerapan karbon. Berbeda dengan pengelolaan hutan tanaman yang umumnya dikelola oleh perusahaan dalam skala besar, dengan preskripsi silvikultur yang baku dan terjadwal, pengelolaan agroforestri berskala kecil, dengan keragaman yang tinggi dalam hal kondisi tempat tumbuh, lingkungan, komposisi spesies, pola tanam, tujuan produk, tindakan pemeliharaan dan penjadwalan panen. Keputusan pengelolaan agroforestri lebih bersifat individu dengan motif ekonomi yang beragam pula.
Sehubungan dengan beragamnya kondisi dan kompleksitas
3
pengelolaan agroforestri tersebut, maka diperlukan banyak variabel untuk menduga besarnya persediaan karbon serta keragaman kemampuannya dalam penyimpanan dan penyerapan karbon. Penyelenggaraan proyek karbon hutan memerlukan sejumlah perangkat mulai dari pendaftaran proyek dan validasi, implementasi, verifikasi dan sertifikasi yang memungkinkan diperolehnya pengakuan oleh pihak pembeli jasa karbon bahwa telah terjadi serapan karbon yang nyata melalui kegiatan agroforestri tersebut. Oleh karenanya maka identifikasi metode pengukuran dan teknik monitoring kemampuan serapan karbon dan dinamikanya sangat penting untuk diketahui sebelum pengelolaan agroforestri melalui skema perdagangan karbon diterapkan di Indonesia. Perumusan Masalah Penelitian Praktek agroforestri melalui penanaman pohon dalam sistem pertanaman di lahan pertanian (tanah milik) dilakukan karena dorongan ekonomi untuk memperoleh ragam pendapatan terutama dari hasil kayu dengan memanfaatkan pemilikan lahan yang sempit seoptimal mungkin dan pada waktu yang sama adanya alasan ekologi untuk konservasi tanah dan memelihara kesuburan lahan. Banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa motif ekonomi lebih diutamakan daripada motif lainnya, yang dicirikan dengan cenderung semakin singkatnya umur penebangan pohon di bawah pertumbuhan optimalnya. Penyerapan karbon yang memanfaatkan potensi biologi pertumbuhan vegetasi menghendaki penyimpanan biomassa karbon yang sebanyak mungkin yang diperoleh dengan meningkatkan laju pertumbuhan atau menahan biomassa karbon untuk waktu yang lebih lama terutama di vegetasi dan tanah. Tindakan pemanenan pohon dan atau terjadinya kerusakan oleh kejadian yang tidak diharapkan yang menyebabkan berkurangnya biomassa dan timbulnya emisi akan mengurangi manfaat penyerapan karbon. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip jangka panjang yang diinginkan dalam proyek karbon hutan. Potensi agroforestri untuk menyimpan karbon diperkirakan akan sangat beragam, tidak saja disebabkan oleh kondisi alami tempat tumbuh (terutama zona iklim, kesesuaian lahan), tetapi juga sebagai akibat cara-cara pengelolaan
4
agroforestri itu sendiri. Cara pengelolaan mencakup teknologi budidaya yang dipakai, tingkat pemanfaatan hasil (panen) dan ketergantungan ekonomi petani terhadap hasil tanaman agroforestrinya. Keragaman diperkirakan akan terjadi bahkan dalam bentang lahan pengelolaan yang sama.
Dari sisi mekanisme
penyelenggaraan proyek perdagangan karbon, beragamnya kondisi tersebut akan menjadi masalah tersendiri dalam mengembangkan metodologi pengukuran dan monitoring manfaat karbon yang dapat dipergunakan untuk melakukan verifikasi besarnya CER (certified emission reduction) yang dihasilkan untuk pihak investor atau pembeli jasa karbon. Walaupun praktek agroforestri dipandang potensial oleh banyak pihak, baik karena kemampuannya menghasilkan tambahan biomassa dari pohon yang ditanam dan partisipasi petani yang akan mendorong perbaikan taraf hidup, namun sampai sejauhmana proyek perdagangan karbon akan menarik minat petani sangat tergantung pada manfaat tambahan yang kelak akan dinikmati petani dan insentif apa yang akan diperoleh apabila pengelolaan dirancang sejalan dengan skema perdagangan karbon. Atas dasar situasi masalah yang dikemukakan tersebut di atas, maka masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah metode yang tepat untuk menduga besar persediaan karbon dalam tegakan agroforestri dan dinamikanya? 2. Berapakah besarnya penyerapan karbon pada komponen-komponen tegakan agroforestri? Faktor-faktor apa sajakah yang dapat menjelaskan terjadinya keragaman tersebut? 3. Berdasarkan informasi dari jawaban bagi permasalahan 1 dan 2, bagaimanakah kemungkinan petani untuk ikut serta dalam pengelolaan agroforestri melalui skema perdagangan karbon. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mendapatkan gambaran mengenai faktorfaktor berikut model matematik yang dapat menjelaskan keragaman potensi penyimpanan karbon berbagai bentuk praktek agroforestri, (2) merumuskan metode pendugaan persediaan karbon pada tegakan agroforestri dari model yang
5
dihasilkan, dan (3) menilai kemungkinan pengelolaan hutan milik melalui skema perdagangan karbon. Hipotesis Penelitian Atas dasar permasalahan penelitian dapat dirumuskan beberapa hipotesis penelitian berikut: 1. Keragaman potensi serapan dan penyimpanan karbon dalam tegakan agroforestri dapat diidentifikasi dari ciri tipologi pengelolaan agroforestri dan faktor-faktor pengelolaannya. 2. Metode pengukuran dan monitoring karbon dapat ditentukan berdasarkan karakteristik agroforestri dan pengelolaannya dengan melibatkan partisipasi aktif petani atau pengelola lahan. Manfaat Hasil Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik sisi akademis maupun implikasi praktis sebagai berikut: 1. Dari sisi akademis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan yang lebih spesifik dalam hal metodologi pengukuran dan monitoring persediaan karbon pada tegakan agroforestri, 2. Dari sisi implikasi praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk : (a) memberikan wawasan dan pengetahuan kepada petani atau kelompok masyarakat pelaku praktek agroforestri dan pihak-pihak yang mungkin berperan mendukung perdagangan karbon berbasis praktek agroforestri dan (b) alat yang dapat digunakan untuk menilai manfaat ekonomi pengelolaan agroforestri sebagai penghasil jasa karbon.
TINJAUAN PUSTAKA Biomassa dan Sekuestrasi Karbon Aktivitas kehutanan berpengaruh luas, baik sebagai sumber terjadinya GRK (gas rumah kaca), khususnya CO2 atau sebaliknya, dalam kegiatan pengurangan emisi dan penambatan karbon.
Secara mendasar ada tiga macam praktek
pengelolaan hutan yang dapat dilakukan untuk memperkecil laju peningkatan karbon dioksida di atmosfer (Brown et al. 1996; Watson et al. 1996), yaitu (1) pengelolaan untuk mengkonservasi karbon, (2) pengelolaan untuk pengambilan dan penyimpanan karbon dan (3) pengelolaan untuk mencari substitusi karbon. Pengelolaan dengan mengkonservasi karbon terutama mengamankan gudang karbon yang sudah ada di hutan yang dilakukan melalui pencegahan deforestasi, pengawetan hutan (cagar alam), perbaikan cara-cara pengelolaan hutan (dengan reduce impact logging, praktek silvikultur yang ramah, pengendalian kebakaran, efisiensi pemakaian kayu, dan pemupukan), dan mengendalikan gangguan lain oleh manusia dan serangan hama. Pengelolaan melalui pengambilan dan penyimpanan karbon adalah memperluas simpanan karbon pada ekosistem hutan dengan meningkatkan luas atau kepadatan karbon di hutan alam atau hutan tanaman dan meningkatkan masa simpan produk-produk kayu yang tahan lama. Hal tersebut mencakup kegiatan aforestasi (penanaman pohon pada areal yang dalam waktu yang lama tidak berhutan), reforestasi (penanaman pohon-pohon kembali pada areal yang sebelumnya pernah berhutan), hutan kota agroforestri. Kegiatan lainnya termasuk permudaan alam, pengayaan tanaman dan pengelolaan produk kayu dari hutan. Pengelolaan untuk mensubstitusi karbon bertujuan meningkatkan transfer karbon dari biomassa hutan ke dalam produk (misalnya kayu bahan bangunan atau bahan bakar biomassa) untuk menggantikan penggunaan bahan bakar fosil dan produk berbasis semen. Pengelolaan substitusi karbon adalah potensi mitigasi yang terbesar untuk jangka panjang. Sekuestrasi karbon melalui hutan dilandasi oleh dua pendapat. Pertama, CO2 adalah gas yang beredar secara global; konsekuensinya segala usaha untuk mengurangi GRK di atmosfir akan selalu sama efektifnya apabila dilakukan di
7
manapun di bagian belahan bumi ini, dekat ataupun jauh dari sumber emisinya. Kedua, tumbuhan mengambil CO2 yang ada di atmosfir melalui
proses
fotosintesis dan menghasilkan gula dan senyawa organik lain yang dipakai untuk metabolisme dan pertumbuhan. Tumbuhan berkayu dengan umur lebih panjang menyimpan karbon di kayu dan jaringan lain sampai tumbuhan tersebut mati dan terdekomposisi, yang pada waktunya akan dilepas kembali ke atmosfir sebagai CO2, karbon monoksida atau metana, atau mungkin saja tetap bersatu dengan tanah sebagai bahan organik (Anderson & Spencer 1991). Jaringan tumbuhan bervariasi kandungan karbonnya.
Batang dan buah
mempunyai lebih banyak karbon per satuan beratnya dibanding dengan daun, tetapi tumbuhan umumnya mempunyai beberapa jaringan yang banyak karbon dan beberapa jaringan lagi sedikit karbon, dengan konsentrasi karbon rata-rata sekitar 45-50% yang telah diterima secara umum (Chan 1982). Jumlah karbon yang disimpan di dalam pohon atau hutan dapat dihitung jika diketahui jumlah biomassa atau jaringan hidup tumbuhan di hutan tersebut dan memberlakukan suatu faktor konversi. Sekuestrasi karbon umumnya diartikan sebagai pengambilan CO2 secara (semi) permanen oleh tumbuhan melalui fotosintesis dari atmosfer ke dalam komponen organik, atau disebut juga fiksasi karbon (Hairiah et al. 2001b). Dalam konteks pertumbuhan hutan, sekuestrasi karbon adalah riap atau pertambahan terhadap persediaan karbon yang dikandung hutan (Murdiyarso & Herawati 2005). Sekuestrasi karbon dapat ditentukan sebagai hasil produktivitas bersih tahunan karbon (net primary production, NPP) (dalam MgC/ha/tahun) dikalikan dengan paruh-hidup harapan (dalam tahun) karbon yang terikat (Hairiah et al. 2001b).
Konsep paruh-hidup karbon dikaitkan dengan besarnya persediaan
karbon tetap yang diikat di dalam vegetasi dan berapa lama karbon tersebut tetap ada sebelum kembali dalam bentuk CO2 ke atmosfer karena dekomposisi atau pembakaran. Paruh-hidup karbon (waktu dalam tahun, diambil setengah massa karbon untuk lapuk), diduga untuk setiap bagian yang berbeda dari komponen vegetasi (misalnya 0,3 tahn untuk serasah daun, 1 tahun untuk serasah cabang, 4 tahun untuk kayu mati dan 20-30 tahun untuk kayu yang hidup).
8
Potensi sekuestrasi karbon pada ekosistem daratan tergantung pada macam dan kondisi ekosistem, yaitu komposisi spesies, struktur dan distribusi umur (khusus untuk hutan). Kondisi tempat tumbuh juga penting akibat pengaruh iklim dan tanah, gangguan alami dan tindakan pengelolaan (Hairiah et al. 2001b; Hoover et al. 2000). Pendugaan Persediaan Karbon dalam Tegakan Hutan Menurut Brown (1999), bagian terbesar gudang karbon (carbon pool) dalam proyek berbasis hutan adalah dalam biomassa hidup, biomassa mati, tanah dan produk kayu. Setiap bagian tadi masih dapat dipisahkan lagi. Sebagai contoh biomassa hidup mencakup komponen bagian atas dan bagian bawah (akar), pohon, palma, tumbuhan herba (rumput dan tumbuhan bawah), semak dan pakupakuan. Biomassa mati mencakup serasah halus dan sisa kayu kasar, dan tanah mencakup mineral,lapisan organik dan gambut. Hamburg (2000) menyatakan bahwa perhitungan karbon untuk tujuan proyek sekuestrasi harus mencakup seluruh gudang karbon, yaitu biomassa hidup bagian atas, biomassa hidup bagian bawah, nekromassa, dan biomassa tanah. Pada saat ini, untuk proyek LULUCF, gudang karbon yang utama yang dapat diperhitungkan terdiri dari: biomassa bagian atas permukaan tanah, biomassa bagian bawah permukaan tanah, serasah, kayu-kayu mati dan karbon tanah (IPCC 2003). Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menentukan gudang karbon mana saja yang perlu diukur dan dimonitor tergantung pada macam proyek, kapasitas penyimpanan karbon, laju dan arah perubahan persediaan karbon, biaya pengukuran, serta ketepatan dan ketelitian yang diinginkan (MacDicken 1997). Sistem perhitungan yang dipilih dipakai untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan yang negatif atau positif sebagai akibat adanya kegiatan proyek. Hanya terhadap bagian gudang karbon yang diukur dan dimonitor saja yang dapat dimasukkan kedalam perhitungan manfaat karbon. Brown (1999a) memberikan panduan umum untuk memilih gudang karbon yang perlu diukur dan dimonitor untuk berbagai macam pilihan proyek karbon berbasis hutan (Tabel 1).
9
Tabel 1
Matriks keputusan gudang karbon utama yang perlu diukur dan dimonitor untuk berbagai contoh proyek karbon berbasis hutan (Brown 1999a)
Macam Proyek
Gudang Karbon (carbon pool) Biomassa hidup Biomassa mati Produk Pohon Herba Akar Halus Kasar Tanah kayu
Pencegahan emisi - Penghentian deforestasi - Reduced impact logging - Perbaikan pengelolaan hutan
Y Y Y
M M M
R N R
M M M
Y Y Y
R N M
M M Y
Penyerapan karbon - Hutan tanaman - Agroforestri – Pengelolaan karbon tanah
Y Y N
N Y N
R M M
M N M
M N N
R R Y
Y M N
N
N
N
N
N
Y
*
Substistusi karbon -Tanaman kayu bakar daur pendek
Y = harus dihitung, karena perubahan yang besar dalam gudang karbon sehingga harus diukur, R = direkomendasikan, karena perubahan dalam gudang karbon mungkin nyata tetapi biaya pengukuran untuk mencapai ketelitian yang diinginkan akan besar, N = tidak perlu, karena perubahan yang kecil atau kurang berarti terhadap gudang karbon, M = mungkin diperlukan, karena perubahan mungkin perlu diukur tergantung tipe hutan dan atau intensitas pengelolaan proyek. * Karbon dalam bahan bakar yang tidak dibakar
Tidak seluruh gudang karbon di atas dapat diterima sebagai sumber karbon, dan tidak seluruh gudang karbon akan diukur dengan tingkat ketelitian yang sama atau dengan frekuensi yang sama selama masa proyek. Untuk inventarisasi tahap awal, gudang karbon yang relevan untuk diukur
tergantung kepada macam
proyek (Brown 2001). Tingkat ketelitian untuk setiap gudang karbon yang diukur dengan biaya yang memungkinkan diperkirakan oleh Hamburg (2000), seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Tingkat ketelitian dan kemudahan implementasi pengukuran gudang karbon yang berbeda dalam ekosistem hutan (Hamburg 2000) Gudang karbon
Koef. Variasi
Kemudahan implementasi
Biomassa bagian atas
5 – 10 %
Mudah
Biomassa bagian bawah
10 – 20 %
Mudah, tetapi perlu investasi awal yang besar
Tanah, lapisan organik
10 – 20 %
Sedang
Tanah, lapisan mineral
Sangat beragam
Sulit
40 %
Sulit
Nekromassa
10
Untuk inventarisasi dan monitoring karbon pada Noel Kempff Climate Action Project (NKCAP) di Taman Nasional Noel Kempff Merkado, Bolivia digunakan metodologi dan acuan yang dirujuk dari MacDicken (1997).
Tujuan
proyek adalah mencegah meluasnya deforestasi akibat pembalakan dan konversi hutan. Inventarisasi karbon atas dasar data yang dikumpulkan dari 625 buah plot permanen, dengan tingkat ketelitian yang diinginkan sebesar 10 persen. Plot-plot permanen dengan luas tertentu ditempatkan menurut strata hutan yang berbeda dan dilakukan pengukuran seluruh pohon berdiameter 5 cm, tumbuhan bawah, serasah, pohon mati dan tanah sampai kedalaman 30 cm. Biomassa akar diduga dari rasio akar-batang sebesar 0.1-0.3, sebagaimana dinyaatakan Cairn et al. (1997). Besarnya kesalahan sampling yang dihasilkan pada selang kepercayaan 95% terhadap dugaan total persediaan karbon adalah ± 4 persen, dan belum termasuk kesalahan karena regresi dan pengukuran (IPCC 2000). Berbagai teknik dan metode untuk mengukur berbagai gudang karbon dalam proyek berbasis hutan telah ada dan secara umum didasarkan pada prinsip-prinsip inventarisasi hutan yang telah diterima, sampling tanah, dan survei ekologi (MacDicken 1997; Pinard & Putz 1996). Untuk menduga biomassa pohon yang hidup, diameter seluruh pohon diukur dan dikonversi ke dalam biomassa dan perkiraan karbon (yaitu 50% dari bobot biomassa). Biomassa pohon yang hidup diduga dengan menggunakan persamaan regresi alometrik biomassa. Persamaan yang berlaku umum untuk pendugaan seluruh hutan dunia telah tersedia dan beberapa khusus dibuat untuk spesies tertentu. Untuk membuat persamaan regresi alometrik dengan ketelitian tinggi khususnya hutan tropis yang kompleks, diperlukan sampling terhadap sejumlah pohon yang mewakili berbagai ukuran dan sebaran jenis dalam hutan, walaupun secara ekstrim menghabiskan waktu dan biaya yang tidak mungkin dilakukan untuk setiap proyek karbon. Keuntungan menggunakan persamaan generik yang dikelompokan menurut zone iklim/ekologis adalah persamaan ini dihasilkan melalui jumlah pohon contoh yang besar dan mencakup sebaran diameter yang lebar sehingga akan meningkatkan ketelitian dan ketepatan (Brown 1997). Hal yang penting adalah database untuk persamaan regresi mencakup pohon-pohon berdiameter besar yang mencakup lebih 30% dari biomassa di atas tanah pada
11
hutan tropis dewasa (Brown & Lugo 1992; Pinard & Putz 1996. Untuk proyek karbon di hutan tanaman atau agroforestri, pengembangan persamaan regresi biomassa yang akan berlaku secara lokal kurang menjadi masalah. Nekromassa mencakup karbon yang berasal dari batang pohon, daun, cabang dan vegetasi lain yang telah mati. Jumlah nekromassa bervariasi menurut tipe hutan dan sejarah gangguan, dan pendugaannya secara teliti akan menghabiskan banyak waktu dan ketidakpastian yang tinggi.
Brown (2000)
menyatakan kayu yang mati, rebah atau masih berdiri adalah gudang karbon yang penting di hutan dan salah satu yang harus diukur dalam banyak proyek berbasis hutan. Metode-metode yang dikembangkan telah diuji untuk berbagai tipe hutan dan umumnya tidak memerlukan usaha yang terlalu berbeda dengan pengukuran pohon yang masih hidup (Harmon & Sexton 1996 dalam Brown 1999a). Total biomassa akar adalah gudang karbon penting lainnya yang mewakili lebih 40% dari total biomassa (Cairns et al. 1997), namun perhitungannya mahal dan belum ada acuan baku yang praktis. Biomassa akar dapat diukur dengan beberapa tingkat ketelitian, tetapi ketepatannya lebih rendah daripada biomassa bagian atas. Sebagai pengganti sekarang terdapat rujukan pustaka dari hasil studi di beberapa wilayah hutan di dunia yang dapat dipakai untuk menduga karbon biomassa akar melalui karbon biomassa bagian atas (Cairns et al. 1997). Pendekatan paling sederhana untuk menduga biomassa bagian bawah adalah memakai konstanta rasio akar/pucuk (rasio R/S). Walaupun rasio R/S bervariasi menurut tapak dan umur tegakan, kisaran nilai rasio R/S dapat ditentukan dari berbagai literatur ilmiah (Hamburg 2000). Pendekatan konservatif dianjurkan oleh MacDicken (1997), dimana dugaan biomassa akar tidak kurang dari 10-15 persen dari biomassa bagian atas. Hamburg (2000) menganjurkan suatu nilai rasio R/S untuk hutan yang sedang tumbuh sebesar 0,15 untuk ekosistem beriklim sedang dan sebesar 0,1 untuk ekosistem tropis. Untuk mengukur karbon tanah secara langsung diperlukan biaya yang mahal, disebabkan oleh besarnya pengaruh sifat-sifat tanah terhadap dinamika karbon.
Hamburg (2000) merekomendasikan untuk mengukur karbon tanah
sekurang-kurangnya pada kedalaman satu meter, dan karbon tanah dan bulk density yang diperoleh berasal dari beberapa lokasi contoh. Untuk proyek karbon
12
yang tidak akan berpengaruh negatif terhadap persediaan karbon tanah, tidak diperlukan lagi mengukur karbon tanah setelah garis dasar (baseline) ditetapkan. Secara umum proyek penghutanan kembali di tanah pertanian atau lahan-lahan terdegradasi akan meningkatkan karbon tanah. Keefektifan karbon yang tersimpan dalam produk kayu sangat tergantung pada cara penggunaannya sepanjang umur proyek. Untuk proyek yang bertujuan mencegah pembalakan hutan, perubahan gudang karbon dari produk kayu mungkin negatif karena masukan karbon dari produk kayu akan berkurang. Dalam proyek hutan tanaman, kayu untuk produk jangka menengah dan panjang (misalnya kayu gergajian untuk perumahan, papan partikel, kertas) menjadi sumber tambahan persediaan karbon.
Terdapat beberapa metode perhitungan
karbon pada produk kayu yang berumur panjang dan dipakai untuk menghitung neraca karbon nasional di beberapa negara (Nabuurs & Sikkema 1998; Winjum et al. 1998). Prinsip metode tersebut adalah memperhitungkan akibat kerusakan kayu, oksidasi, dan kemunduran produk akibat penggunaan di masa lalu. Kelompok pakar IPCC untuk Pengunaan Lahan dan Sektor Kehutanan telah mempersiapkan panduan inventarisasi GRK (IPCC 1997), yang menggambarkan dan mengevaluasi pendekatan yang ada untuk menduga emisi atau pengambilan karbon pada hutan yang dipanen dan produk olahan kayu. Terdapat perbedaan keperluan inventarisasi karbon pada tahap awal (penetapan garis dasar atau baseline) dan tahap monitoring. Dalam tahap awal, sebagian besar gudang karbon yang relevan perlu dihitung dalam kondisi ada atau tanpa proyek, tetapi dalam tahap monitoring hanya gudang karbon tertentu saja yang diukur dan dijadikan sebagai petunjuk atau model yang dapat dipakai (Brown 1999a). Sathaye et al. (1997) mengusulkan urutan prioritas gudang karbon yang perlu dimonitor dengan mempertimbangkan tingkat atau besarnya pengaruh, laju perubahan persediaan karbon, dan arah perubahan persediaan karbon (positif atau negatif). Gudang karbon yang relatif besar dan bisa berubah secara cepat sangat penting untuk dimonitor, sebaliknya gudang karbon yang relatif kecil dan tidak gampang berubah kurang penting untuk dimonitor. Program monitoring harus memakai pendekatan yang konservatif untuk memutuskan gudang karbon yang
13
akan dimonitor.
Hanya gudang karbon yang dimonitor saja yang dapat
dimasukkan ke dalam perhitungan manfaat proyek karbon. Gudang karbon yang dihitung melalui pengukuran langsung di lapangan umumnya akan lebih tepat, tetapi tingkat ketelitiannya bervariasi untuk setiap sumber karbon. Total kesalahan perhitungan karbon bersumber dari kesalahan sampling, kesalahan pengukuran dan kesalahan penggunaan persamaan regresi alometrik. Kesalahan sampling bersumber dari metode sampling yang dipakai yang meliputi cara pemilihan contoh, bentuk/ukuran unit contoh dan intensitas pengambilan contoh. Kesalahan pengukuran bersumber dari kesalahan mengukur dimensi pohon, penentuan karbon tanah, atau pendugaan kerapatan kayu, sedangkan kesalahan regresi bersumber dari digunakannya persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa pohon). Sumber kesalahan terbesar berasal dari kesalahan sampling dan untuk meningkatkan ketelitiannya akan menambah biaya inventarisasi. Stratifikasi wilayah proyek kedalam unit-unit yang lebih seragam (misalnya atas dasar kesamaan jenis vegetasi, jenis tanah atau topografi) dapat meningkatkan ketelitian pengukuran karbon tanpa menambah terlalu banyak biaya (Sathaye et al. 1997). Inventarisasi karbon hutan umumnya lebih rumit dari inventarisasi hutan tradisional, karena setiap gudang karbon umumnya mempunyai keragaman yang berbeda-beda. Ukuran contoh yang diperlukan untuk setiap sumber karbon ditentukan secara terpisah dan melalui informasi yang tersedia, dapat diputuskan gudang karbon mana yang perlu diukur dan dihitung sesuai tujuan proyek. Jadi informasi tentang keragaman sumber karbon memberikan umpan balik dalam merancang proyek untuk memilih sumber karbon yang dicakup oleh proyek, dengan tetap mempertimbangkan ketersediaan biaya proyek dan biaya menghasilkan satu satuan karbon. Secara keseluruhan, saat ini belumlah ada acuan tingkat ketelitian yang dapat diterima untuk menduga manfaat karbon. Aturan yang berlaku umum, biaya program monitoring akan berhubungan dengan tingkat ketelitian manfaat karbon yang diinginkan, semakin tinggi ketelitian semakin besar biaya pengukurannya. Pada akhirnya nilai pasar untuk serapan karbon yang dihasilkan proyek yang akan menentukan tingkat ketelitian yang paling efektif dari segi
14
pembiayaan.
Beberapa ahli menyarankan target yang cukup beralasan untuk
ketelitian manfaat proyek karbon adalah dengan kesalahan baku antara 20-30% dari nilai rata-rata (EcoSecurities 1998 dalam Vine et al. 1999). Pilihan lainnya disesuaikan dengan besarnya klaim karbon sekaligus menyatakan besarnya kesalahan baku pengukurannya.
Pada akhirnya, tidaklah mungkin untuk
menetapkan suatu tingkat ketelitian yang berlaku umum yang akan digunakan untuk setiap sumber karbon yang nyata dan perubahannya (Vine et al. 1999). Masalah Simpanan Tetap (Permanence) dalam Karbon Hutan Salah satu keberatan yang utama masuknya sekuestasi karbon hutan dalam CDM adalah masalah simpanan tetap (permanence) atau lama penyimpanan (duration) karbon yang dihasilkan proyek karbon hutan.
Pengurangan atau
pengambilan karbon yang dihasilkan melalui proyek karbon hutan secara alami bersifat sementara (non permanence), karena CO2 yang telah ditangkap selama pertumbuhan hutan sangat mungkin dilepaskan kembali ke atmosfir melalui pemanenan, kebakaran atau kejadian lain. Hal ini berbeda dengan proyek sektor energi yang akan mengurangi emisi secara tetap, dimana emisi yang dapat dicegah tidak akan kembali ke atmosfer. Simpanan sementara (tidak tetap) melalui proyek kehutanan harus dipandang sebagai pilihan kebijakan peralihan sebagaimana dinyatakan Grainger (1997) yang menekankan bahwa mitigasi secara biologi dapat mengikat karbon dalam jumlah yang besar dengan waktu yang lebih singkat daripada waktu yang diperlukan untuk melakukan perubahan pola konsumsi energi. Beberapa manfaat yang diperoleh melalui proyek karbon hutan yang bersifat sementara, adalah : (1) walaupun serapan karbon bersifat sementara, sejumlah proporsi tertentu mungkin bisa menjadi permanen, (2) bermanfaat karena menunda terjadinya perubahan iklim, (3)
simpanan sementara bersifat “buys
time” sementara menunggu teknologi pemakaian energi yang lebih sesuai dikembangkan, (4) proyek sekuestrasi akan menghemat waktu
dalam
memperoleh informasi yang menguntungkan tentang proses pemanasan global (Lecocq & Chomitz 2001 dalam Cacho et al. 2003).
15
Banyak pakar yang percaya bahwa masalah “simpanan tetap” bukanlah persoalan yang tidak bisa dipecahkan dalam proyek karbon hutan.
Berbagai
metode perhitungan/neraca karbon yang diusulkan banyak pakar dan sebagian telah digunakan dalam proyek-proyek karbon dibawah UNFCCC sebetulnya ditujukan untuk mengatasi isu permanen dalam proyek karbon hutan tersebut. Metode untuk Perhitungan Neraca Karbon Hutan Berbagai metode perhitungan/neraca karbon dikemukakan oleh banyak penulis, dan beberapa telah digunakan untuk menghitung proyek-proyek sekuestrasi karbon di bawah program UNFCCC dan acuan perhitungan nasional karbon yang berasal dari hutan untuk negara-negara yang masuk dalam daftar Annex I Protokol Kyoto. Tujuan neraca karbon menurut Moura-Costa (2000) adalah untuk menentukan nilai manfaat lingkungan yang diperoleh melalui proyek mitigasi yang akan mempengaruhi GRK di atmosfer.
Proyek-proyek serapan karbon
didasarkan pada banyaknya jumlah karbon yang dapat ditangkap dari atmosfer dan lamanya karbon tersebut dipertahankan. Sistem-sistem perhitungan/neraca harus dapat mencerminkan penyimpan sementara dari proyek-proyek rosot (sebagai pengecualian proyek pengurangan emisi, dimana hanya didasarkan pada banyaknya jumlah emisi yang dapat dicegah). Penghitungan neraca karbon mencakup tahapan-tahapan : penetapan garis dasar (baseline) aliran karbon, kuantifikasi aliran karbon yang dihasilkan melalui proyek, dan perhitungan perbedaan di antara karbon yang diperoleh melalui proyek dan garis dasar untuk mengetahui besarnya pengaruh tambahan (additionality) karena adanya kegiatan proyek (Moura-Costa & Stuart 1999). Berbagai pendekatan dipakai untuk mengukur keefektifan mitigasi GRK melalui proyek penggunaan lahan dan kehutanan. Sistem perhitungan potensi mitigasi GRK didasarkan atas dua kelompok pendekatan, yaitu atas dasar anggapan sifat yang permanen dari penyimpanan karbon dan sistem lain yang menganggap penyimpanan karbon bersifat sementara. Kelompok metode yang pertama terdiri atas : (1) metode perubahan persediaan, (2) metode penyimpanan rata-rata, dan (3) metode akutansi berbasis ton-year (Moura-Costa 2000; Tipper & de Jong 1998).
Kelompok metode yang didasarkan atas sifat sementara
16
penyimpanan karbon menggunakan pendekatan yang disebut CER sementara (temporary CER, tCER) dan CER jangka panjang (longterm CER, lCER). Kedua pendekatan ini sekarang dapat dipakai untuk proyek rosot melalui LULUCF. Metode Perubahan Persediaan (SCM, Stock Change Method) Metode ini paling umum dipakai, menyatakan simpanan karbon yang didasarkan atas perbedaan penghitungan persediaan karbon proyek dengan garis dasarnya pada titik waktu tertentu.
Metode ini merujuk pada metode yang
sebelumnya disebut flow summation method (Richards & Stokes 1994); dimana pengukuran dinyatakan dalam ton C per hektar. Metode SCM hanya memberikan gambaran karbon pada satu titik waktu (snap shot). Nilai karbon yang diperoleh akan bervariasi bergantung pada ketentuan periode waktu yang ditetapkan untuk menghitung manfaat proyek. Metode SCM saat ini dipakai untuk perhitungan neraca karbon di negaranegara Annex I (IPCC 2000), konsisten dengan metode yang dipakai untuk perhitungan emisi GRK nasional mereka (IPCC 1996). Untuk negara-negara Annex I, apabila kegiatan kehutanan berlangsung terus menerus (sepanjang pemanenan diikuti dengan penanaman), maka pengembang proyek tidak perlu mengembalikan kredit yang diperoleh selama tahap pembangunan hutan. Namun dalam CDM, kegiatan kehutanan diperlakukan sebagai proyek dengan batas waktu yang terbatas sehingga ada kewajiban yang tidak dapat diabaikan pada akhir masa proyek.
Tergantung cakupan kewajiban, hal tersebut bisa
menyebabkan proyek tidak absah lagi.
Adanya ketidakkonsistenan tersebut,
disarankan adanya sistem perhitungan neraca karbon yang berbeda untuk proyek CDM (Moura-Costa 2000). Metode Penyimpanan Rata-rata (ASM, Average Storage Method) Untuk sistem yang dinamis, misalnya dalam proyek reforestasi, dimana penanaman, pemanenan dan kegiatan penanaman berulang dilakukan, maka pendekatan alternatif dipakai (oleh Dixon et al. 1991; Masera 1995) yang disebut metode penyimpanan rata-rata (Schroeder 1992). Metode ini melakukan perataan jumlah karbon yang disimpan pada suatu tapak dalam waktu yang panjang melalui suatu persamaan :
17
Rataan bersih penyimpanan karbon (tC)
n
=
∑
(simpanan karbon proyek – simpanan karbon menurut baseline)
t=0
n (tahun)
dimana : t = waktu (dalam tahun), n = jangka waktu proyek (tahun), dan persediaan karbon dinyatakan dalam ton karbon per hektar (tC/ha). Keuntungan metode ini adalah kesederhanaan dalam proses alokasi kredit, sementara perhitungan karbon masih berlangsung untuk seluruh jangka waktu proyek, tidak tergantung pada waktu tertentu yang dipilih untuk perhitungan.
Metode ini juga
dapat dipakai untuk membandingkan proyek yang berbeda dengan pola pertumbuhan hutan yang juga berbeda. Kekurangan metode ini berkaitan dengan masih subyektifnya lama waktu yang dipilih untuk menjalankan analisis. Metode ASM telah banyak dipakai untuk proyek-proyek percontohan karbon berbasis hutan melalui UNFCCC di bawah program AIJ (Activities Implemented Jointly). Metode Ton-Year Pendekatan-pendekatan alternatif yang diusulkan memperhatikan dua dimensi unit pengukuran yang mencerminkan penyimpanan dan waktu, yaitu tonC year. Beberapa penulis telah mengusulkan konsep unit ton-year (Moura-Costa 1996; Fearnside 1997; Tipper & de Jong 1998). Konsep umum pendekatan tonyear adalah dipakainya satu faktor untuk mengkonversi pengaruh terhadap iklim karena adanya penyimpanan karbon sementara terhadap suatu jumlah yang setara dengan apabila dilakukan pencegahan emisi (faktor ini disebut faktor ekivalensi, atau Ef), yang nilainya bervariasi dari 0,007 hingga 0,02 (Tipper & de Jong, 1998; Moura-Costa & Wilson 2000). Faktor tersebut diperoleh lewat konsep “waktu ekivalensi” (dikenal sebagai Te), yaitu
panjang waktu dimana CO2 harus
disimpan dalam bentuk karbon di dalam vegetasi atau tanah untuk mencegah pengaruh daya radiatif kumulatif (cumulative radiative forcing) yang terjadi kalau suatu jumlah yang sama CO2 tetap ada di atmosfer (Moura-Costa & Wilson 2000). Pendekatan ton-year didasarkan atas konsep pemanasan global potensial mutlak (absolute global warming potential, AGWP), yang dinyatakan sebagai daya radiatif gas secara terpadu melalui persamaan (Hougton et al. 1995):
18
T
AGWP ( x) = ∫ ax .F [ x(t ) ]dt 0
dimana T adalah horizon waktu (tahun), ax adalah daya radiatif yang berkaitan dengan iklim disebabkan oleh peningkatan satu unit konsentrasi gas x di atmosfer dan F(y) adalah fungsi waktu kerusakan gas x yang dipancarkan. Untuk memakai metode ton-year, faktor ekivalensi harus ditetapkan,. diusulkan untuk menggunakan waktu 55 tahun (Moura-Costa & Wilson 2000) atau 100 tahun (Fearnside et al. 2000). Penerapan yang berbeda-beda dari pendekatan ton-years telah diusulkan dan dalam prakteknya berbagai kombinasi pendekatan dapat digunakan, yaitu (MouraCosta & Wilson 2000): Equivalence-adjusted average storage, menggunakan Te sebagai penyebut dari rumus metode penyimpanan rata-rata (ASM). Metode ini dapat dipakai untuk membakukan cara yang ditempuh metode ASM yang sekarang ini dipakai. Stock change crediting with ton-year liability adjustment, yaitu pemberian kredit proyek menurut metode perubahan persediaan (SCM), tetapi menggunakan tonyears untuk menghitung jumlah kredit yang harus dikembalikan apabila kewajiban tidak dipenuhi (dalam kasus terjadinya peristiwa yang mengambil resiko). Equivalence-factor yearly crediting (ton-years), dimana suatu proyek diberikan kredit tahunan dengan fraksi tertentu terhadap keseluruhan manfaat GRK, yang ditentukan oleh jumlah karbon yang disimpan setiap tahun, dan dikonversi dengan faktor
ekivalensi
Ef.
Pendekatan
ini
akan
sangat
menyulitkan
untuk
diimplementasi pada proyek mitigasi GRK yang berbasis kehutanan. Equivalence-delayed full crediting, yaitu hanya mengenal seluruh manfaat sekuestrasi karbon setelah adanya penyimpanan untuk periode waktu Te.
Ada
kemungkinan penundaan kredit ini akan mempersulit implementasi proyek mitigasi yang berbasis kehutanan. Ex-Ante ton-year crediting, dengan memberikan sejumlah kredit pada awal proyek, menurut jangka waktu proyek yang direncanakan menggunakan pendekatan ton-year.
Cara ini akan mengurangi kerugian karena penundaan
kredit yang diciptakan pengembang proyek.
19
Gambar 1 memperlihatkan perbandingan perhitungan manfaat penyimpanan karbon yang dihitung dengan metode perhitungan yang berbeda (SCM, ASM dan Ton-Year) yang dilakukan untuk kasus hutan tanaman yang dibangun di lahan kosong.
Gambar 1. Perbandingan manfaat karbon yang dihitung dengan metode ASM, SCM dan ton-year pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003) Pendekatan CER Sementara dan CER Jangka Panjang Metode perhitungan karbon yang dikemukakan sebelumnya masih beranggapan bahwa karbon dapat dipertahankan secara permanen, dengan mempertimbangkan lama waktu penyimpanan karbon atau menggunakan faktor ekuivalensi seperti pada metode ton-year. Melalui CoP9 tahun 2003 di Milan, Italia; telah diperkenankan digunakannya perhitungan manfaat karbon melalui pendekatan CER sementara (tCER) dan CER jangka panjang (l-CER) (Dutschke, 2004; Chatterjee 2004; Boer et al. 2004). Skema t-CER atas dasar usulan Uni Eropa (sebelumnya telah diusulkan Colombia beberapa tahun yang lalu). Proyek dapat menghasilkan sejumlah t-CER lewat banyaknya karbon yang bisa dibuktikan sebagai serapan karbon yang ditambahkan melalui proyek sejak proyek dimulai. Setelah 5 tahun, t-CER tidak akan berlaku lagi dan harus digantikan oleh t-CER yang baru atau yang berasal dari CER yang lain. Jika verifikasi yang baru dilaksanakan, maka t-CER dapat
20
dikeluarkan lagi setiap 5 tahun. Pendekatan t-CER memungkinkan negara tuan rumah dapat menggunakan lahan proyek untuk tujuan lain setelah proyek berhenti. Hal ini juga memungkinkan dilaksanakannya proyek karbon dengan daur yang lebih pendek yang tidak mengikat lahan untuk periode yang panjang. Gambar 2 memperlihatkan cara perhitungan manfaat karbon dengan pendekatan CER sementara, yang dilakukan pada proyek hutan tanaman dengan jangka waktu proyek selama 30 tahun dan masa berlaku t-CER setiap 5 tahun.
Gambar 2. Perhitungan manfaat karbon yang dihitung dengan pendekatan CER sementara (t-CER) pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003). Skema l-CER didasarkan pada usulan Kanada, yang berkeinginan memperluas sistem t-CER. Gagasan dasarnya adalah proyek dapat mengeluarkan kredit l-CER untuk setiap ton karbon yang dapat dibuktikan. Masa hidup (lifetime) CER identik dengan periode pemberian kredit, sebagai contoh bisa hingga maksimal 60 tahun.
Kredit l-CER harus digantikan secepatnya apabila hasil
verifikasi menunjukkan bahwa persediaan karbon telah berkurang atau tidak ada laporan verifikasi yang disajikan untuk setiap 5 tahun. Jadi pemilik l-CER, negara Annex I, selalu menghadapi resiko harus mengganti/memindahkan kredit dengan CER yang lain (Dutschke 2004; Meinshausen & Hare 2003). Metode t-CER dan l-CER adalah metode yang kini absah untuk penentuan besarnya CER yang diperoleh dari proyek karbon berbasis kehutanan.
21
Melalui CoP9 juga telah dihasilkan sejumlah keputusan penting yang memungkinkan lebih operasionalnya MPB kehutanan, mencakup isu definisi (hutan, aforestasi dan reforestasi), jangka waktu pemberian kredit, masalah non permanen, dan proyek CDM berskala kecil. Jangka waktu kredit yang lebih pendek untuk proyek karbon kehutanan, maksimal sampai 30 tahun atau 20 tahun dengan kemungkinan dua kali pembaharuan. Untuk proyek MPB berskala kecil dibatasi dengan maksimal serapan karbon hingga 8 kiloton CO2e per tahun yang dapat dikerjakan oleh kelompok masyarakat atau perorangan yang dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah (Dutschke, 2004; Chatterjee 2004; Boer et al. 2004). Untuk operasional proyek karbon kehutanan, pada CoP10 tahun 2005 juga telah ditetapkan penyederhanaan metode untuk penentuan baseline dan monitoring yang diperuntukan khusus untuk proyek aforestasi dan reforestasi berskala kecil (IPCC 2005). Pendekatan Finansial untuk Perhitungan Manfaat Karbon Hutan Berbagai ragam cara perhitungan manfaat karbon yang lebih operasional juga dilakukan dengan menambahkan pertimbangan finansial/ekonomi (Appels 2001; Cacho et al. 2002; Cacho et al. 2003). Pendekatan Teoritis Ideal Dari sudut pandang ekonomi, secara teoritis cara yang benar untuk menghitung pembayaran sekuestrasi karbon adalah dengan menduga aliran jasa sekuestrasi karbon untuk selama-lamanya.
Pembayaran
sekuestrasi karbon
terjadi pada saat jasa karbon telah dihasilkan dan apabila hutannya di panen, maka nilai karbon yang dilepas kembali ke atmosfer harus dibayar oleh pemilik hutan. Melalui kondisi ideal tersebut, maka nilai tegakan hutan apabila dilakukan pembayaran sekuestrasi karbon dan dengan penggantian apabila dilakukan pemanenan dapat dinyatakan dengan fungsi tujuan (Cacho et al. 2002): T
π (T ) = v (T ). pv .e − rT + ∫ b (t ).v.pb .e − rt dt − cE − b(T ).v. pb .e − rT 0
dimana: π(T) adalah NPV (net present value) dari hutan yang dipanen pada tahun T setelah penanaman.
Bagian pertama rumus menyatakan nilai kayu yang
22
dipanen, bagian kedua menyatakan nilai total sekuestrasi karbon dalam selang (0, …., T), cE adalah biaya pembangunan, pv dan pb adalah harga kayu dan harga biomassa-karbon, v adalah faktor konversi biomassa karbon menjadi unit CO2, dan r adalah laju suku bunga. Notasi b(t) merupakan fungsi laju pertumbuhan biomassa menurut waktu t, sedangkan v(T) menyatakan besarnya hasil kayu yang dapat dipanen pada waktu T. Perhitungan Ton-Year Metode ton-year tidak mensyaratkan adanya penggantian kredit karbon yang telah dibayarkan apabila dilakukan pemanenan. Melalui metode ini fungsi tujuan dinyatakan (Cacho et al. 2002) : T
π E (T ) = v(T ). pv .(1 + r ) −T + ∑ [b(t ).v.E f . pb .(1 + r ) −t ] − cE t =0
Metode ini tidak memerlukan jaminan persyaratan untuk memastikan bahwa proyek akan berakhir pada tahun Te, karena pembayaran tahunan dikoreksi oleh faktor ekivalensi Ef. Jika proyek tidak terkendali dan karbon dilepaskan maka tidak diperlukan pengembalian pembayaran. Ex-ante Full Credit
Cara ini adalah memberikan kredit karbon secara penuh ketika proyek dimulai. Hal tersebut memerlukan komitmen bahwa proyek akan berakhir pada tahun Te setelah disepakati persediaan karbon hutan yang akan dicapai. Fungsi tujuannya menjadi (Cacho et al. 2002):
π A (T + Te ) = v (T + Te ). p v .(1 + r ) − (T + T ) + b (T ).v. pb − c E e
Melalui metode ini sekuestrasi karbon pada tahun t adalah tidak relevan setelah tahun t+Te dari sudut pandang akuntansi. Metode ini memberikan insentif yang kuat untuk pembangunan hutan sebab adanya pembayaran kredit karbon yang besar di awal. Ex-post Full Credit
Metode ini diusulkan oleh Moura-Costa dan Wilson (2000), terdiri atas pembayaran kredit karbon secara penuh ketika proyek telah mencapai Te tahun. Fungsi tujuannya adalah (Cacho et al. 2002) :
23
T
π P (T + Te ) = v(T + Te ). pv .(1 + r ) − (T +T ) + ∑ [b(t ).v.pb .(1 + r ) − (t +1+T ) ] − cE e
e
t =0
Walaupun metode ini tidak mensyaratkan adanya suatu jaminan, namun adanya penundaan pembayaran kredit akan mengurangi insentif yang ditunjukan oleh arus kas dalam tahun-tahun awal proyek, pendiskontoan juga akan mengurangi daya tarik pembayaran terakhir. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendekatan perhitungan manfaat karbon yang dihitung dengan metode perubahan persediaan atau ton-year cenderung tidak terlalu aktraktif secara ekonomi, apalagi dengan periode waktu proyek yang panjang (Cacho et al. 2002; Cacho et al. 2003). Cacho et al. (2003), melakukan penilaian manfaat proyek sekuestrasi karbon melalui agroforestri berskala kecil di Sumatera dan menyimpulkan bahwa biaya-biaya transaksi yang tinggi menyebabkan kurang menariknya bagi petani untuk berpartisipasi dalam proyek karbon. Pengertian Agroforestri
Agroforestri mencakup sekumpulan praktek yang sangat luas dan berbeda, mulai sekedar hanya menanam tanaman pangan dengan sedikit komponen pohonnya hingga seperti hutan produksi yang kompleks dan terpadu menyerupai struktur hutan yang alami. Sistem agroforestri dipraktekkan secara luas di dunia, dan paling intensif di negara-negara berkembang, diperkirakanlebih 1,2 milyar orang (20% dari populasi dunia) tergantung langsung dengan produk dan jasa yang diperoleh dari berbagai ragam agroforestri (IPCC 2000). Pengertian agroforestri oleh banyak pakar diartikan dengan berbagai cara tetapi umumnya melihat dari sudut pandang digunakannya teknologi pertanian dan kehutanan secara bersama-sama agar pengelolaan lahan lebih produktif dan memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan.
Garrett et al. (2000)
menyatakan agroforestri adalah teknologi yang menggabungkan praktek pertanian dan kehutanan yang dirancang secara terpadu, lebih beragam, dan sistem penggunaan lahan agar lebih produktif sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi dalam jangka pendek, sambil menunggu hasil hutan dalam jangka panjang.
24
Pakar lain mendefinisikan agroforestri dengan menghubungkannya dengan status lahan dimana agroforestri tersebut dilakukan. Agroforestri adalah praktek membangun hutan di lahan pertanian (di luas kawasan hutan) (Sanchez 1995; Long & Nair 1999. Sanchez (1995) menambahkan, agroforestri adalah sebuah sistem pengelolaan lahan yang memadukan pohon-pohon dengan tanaman pertanian dan berada dalam lansekap pertanian. Praktek agroforestri adalah cara lain yang penting untuk membangun hutan yang dikenal sebagai “pohon-pohon diluar hutan” (trees outside forests) (Long & Nair 1999). Nair (1985) menyimpulkan bahwa definisi ilmiah agroforestri harus mengandung pada dua ciri umum agroforestri, yaitu: (1) Menumbuhkan dengan sengaja tumbuhan tahunan berkayu pada unit lahan yang sama dengan tanaman pertanian pangan/ternak, atau juga dalam bentuk campuran secara spasial atau dalam urutan waktu, dan (2) Harus ada interaksi yang nyata (positif dan/atau negatif) antar komponen sistem tumbuhan berkayu dan non kayu, secara ekologi maupun ekonomi. Banyak sekali contoh-contoh sistem agroforestri, tersebar luas dalam bentang ekologi di wilayah tropis yang menggabungkan tumbuhan berkayu dan tanaman pangan atau pakan ternak untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Ragam sistem agroforestri adalah hal yang unik dalam manajemen kehutanan. Praktek yang dilakukan berkisar dari bentuk yang sangat sederhana seperti pergiliran tanaman pertanian hingga sistem pengelolaan tanaman lorong yang kompleks, dari bentuk kebun pekarangan ke praktek pertanian yang kompleks, serta dari sistem pohon hanya berperan fungsional (misalnya pemecah angin) ke sistem pengelolaa pohon untuk produk komersil yang utama (Nair 1992). Secara umum Nair (1985) membagi berbagai praktek agroforestri yang ada di dunia ke dalam tiga kelompok besar atas dasar kombinasi dari komponen:
agrisilvikultur (tanaman pangan dan berkayu),
Silvopastur (pakan ternak dan tanaman berkayu) dan agrosilvopastur (tanaman pangan, pakan ternak dan tanaman berkayu). Juga ditambahkan kelompok yang keempat, sistem yang lain, mencakup praktek yang yang tidak selalu cocok dengan ketiga kelompok sebelumnya.
25
Banyak sistem-sistem tradisional di berbagai belahan dunia dengan ciri-ciri di atas. Ciri yang utama dari sistem ini ditentukan secara spesifik menurut lokasi. Setiap sistem adalah contoh dari spesifik lokasi yang saling berkait atau sebagai kombinasi dari komponen-komponen yang dicirikan oleh jenis tumbuhan, cara penataan atau pengelolaan, serta faktor-faktor lingkungan dan sosial ekonomi. Walaupun terdapat ragam yang besar di antara mereka, namun ditemukan banyak kemiripan di antara sistem-sistem tersebut. Karena setiap sistem adalah bersifat khas menurut lokasi dan dipengaruhi kondisi-kondisi setempat maka terdapat ratusan sistem agroforestri yang diidentifikasi. Namun sebetulnya seluruh sistemsistem tersebut mencakup jumlah yang lebih sedikit atas dasar ciri-ciri yang khusus cara penataan setiap komponennya menurut ruang dan waktu, yang dikenal sebagai praktek-praktek agroforestri (Nair 2002). Tabel 3 Praktek-praktek agroforestri yang utama di wilayah tropis (Nair 2002) Praktek agroforestri Tanaman lorong (alley cropping)
Taungya / tumpangsari Kebun pekarangan
Perbaikan tanah tandus
Pohon untuk konservasi dan reklamasi tanah
Pakan ternak di bawah hutan tanaman/ perkebunan (silvopastur) Sistem pohon penaung
Sabuk penahan dan Pemecah angin
Uraian singkat Pohon yang cepat tumbuh, terutama jenis legum di lahan pertanian; jenis pohon secara teratur dipangkas pendek (< 1 m) untuk mengurangi naungan tanaman pangan; pemangkasan akan menghasilkan semacam mulsa dalam lorong sebagai sumber bahan organik dan hara, atau untuk pakan ternak Penanaman tanaman pertanian selama tahap awal pembangunan hutan tanaman. Kombinasi tajuk secara berlapis dari sejumlah besar pohon dan tanaman pangan di pekarangan; kadangkadang dengan atau tanpa kehadiran ternak. Pohon yang cepat tumbuh, terutama jenis legum, jenis berkayu ditanam dan dibiarkan tumbuh selama tahap pergiliran ladang; jenis berkayu menyebabkan perbaikan tanah dan mungkin menghasilkan produk yang bernilai. Pohon yang ditanam pada teras-teras, tempat yang menonjol dll, dengan atau tanpa penanaman jalur rumput; pengunaan pohon untuk reklamasi tanah yang salin, asam atau lahan yang terdegradasi. Penanaman rumput untuk pakan pada jalur tertentu di bawah hutan tanaman/perkebunan. Campuran secara terpadu pohon seperti kelapa, coklat, kopi dan karet dengan pohon lain, pohon penaung, dan/atau tumbuhan herba (tanaman semusim). Menggunakan vegetasi pohon untuk melindungi lahan pertanian dari gangguan angin, rembesan air laut, banjir dll.
26
Nair (1992) menjabarkan ada empat komponen utama yang menjadi ciri agroforestri, yaitu : (1) Menghasilkan beragam keluaran yang dikombinasikan dengan perlindungan terhadap sumberdaya, (2) Menggunakan jenis lokal, tumbuhan bawah dan pohon serbaguna yang bertujuan agar agroforestri sesuai untuk lingkungan yang rentan, (3) Lebih mengedepankan nilai-nilai sosial-budaya dibanding sistem penggunaan lahan yang lain, dan (4) Praktek yang dilakukan secara struktur maupun fungsional lebih rumit daripada budidaya monokultur. Bukti-bukti ilmiah sekarang ini menunjukkan bahwa keragaman spasial dan temporal yang dibentuk oleh penanaman agroforestri dapat membantu meningkatkan sumberdaya, menambah produksi, mengurangi resiko tanaman monokultur dan praktek kehutanan
untuk mencapai kestabilan sistem dan
kelestarian (Sanchez, 1995). Keuntungan biologi dari agroforestri adalah : (1) meningkatnya pemanfaatan lahan, (2) memperbaiki sifat tanah, (3) meningkatkan produktivitas, (4) mengurangi erosi tanah, (5) mengurangi iklim mikro yang ekstrim, (6) pemanfaatan positif iklim mikro (untuk naungan), dan (7) meningkatkan keanekaragaman hayati di atas dan di bawah permukaan tanah. Keuntungan ini secara keseluruhan memberikan manfaat ekonomis dan sosial yang memang diinginkan melalui sistem ini (Ruark et al. 2003). Penyimpanan Karbon melalui Praktek Agroforestri
Walaupun penelitian agroforestri telah dimulai lebih dari 40 tahun yang lalu, tetapi masih sedikit sekali studi yang berkaitan dengan potensi serapan karbon lewat sistem agroforestri. Ada dua masalah pokok yang banyak dikemukakan, yaitu (1) Wilayah yang berbeda-beda dari sistem agroforestri tidak banyak diketahui, dan (2) Gambaran yang menyeluruh mengenai kemampuan penyimpanan dan dinamika karbon (in-situ dan ex-situ) pada sistem agroforestri yang berbeda-beda belum ditentukan (Nair 2002). Menurut Dixon (1995), ada dua alasan utama mengapa agroforestri potensial untuk mengurangi emisi karbon. Pertama, saat ini banyak lahan di daerah tropis yang dipakai untuk praktek pertanian dan meningkatnya penggunaan agroforestri dalam waktu yang panjang akan menghasilkan peningkatan yang nyata dalam sumber biotik karbon. Kedua, meskipun jumlah karbon yang diserap per satuan
27
luas relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam atau hutan tanaman, kayu yang diproduksi sering dipakai untuk kayu bakar menggantikan bahan bakar fosil. Penggunaan kayu hasil agroforestri untuk kayu bakar akan mengurangi tekanan penebangan di hutan alam dan kebutuhan bahan bakar dari sumber yang tidak dapat diperbaharui. Sejalan dengan alasan di atas, Brown et al. (1993); Schroeder et al . (1993) juga menegaskan bahwa apabila agroforestri diartikan lebih luas mencakup penanaman kayu bakar, sistem pengendali angin dan kebun kayu, maka mungkin juga potensial mampu untuk menyerap CO2 atau pengganti emisi dari bahan bakar fosil karena mampu mengganti
hasil kayu bakar dan pakan ternak yang
sebelumnya secara tetap diambil dari hutan alam.
Apabila sistem-sistem ini
dikelola secara lestari, penyerapan C bisa dipertahankan selama beratus-ratus tahun.
Sedangkan Dixon (1995) menyatakan pembangunan dan pengelolaan
agroforestri, terutama yang memerlukan olah tanah intensif dapat menimbulkan emisi GRK yang nyata secara global. Praktek yang menimbulkan emisi gas CO2, CH4, dan N2O mencakup pembakaran, pemupukan, dan pengolahan tanah. Namun sebaliknya, beberapa praktek pengelolaan juga menunjukkan adanya peningkatan kandungan C tanah karena meningkatnya serapan dan penyimpanan CO2, yang akan mengurangi lepasnya GRK ke atmosfer.
Praktek-praktek
semacam olah tanah minimal, penggunaan sisa tanaman, aplikasi kompos atau pupuk kandang
dan penggunaan tanaman penutup tanah atau legum
bisa
menahan lebih lama C (puluhan hingga ratusan tahun) dalam sistem tanah relatif dibandingkan dengan metode agronomi yang konvensional (Kern & Johnson 1993). Jumlah karbon yang dapat diserap besarnya tergantung pada sistem agroforestri yang dilakukan, struktur dan fungsi yang ada yang secara luas ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan dan sosial-ekonomi. Faktor lain yang juga mempengaruhi simpanan karbon adalah pemilihan jenis pohon dan sistem pengelolaannya (Dixon 1995).
28
Tabel 4 Contoh praktek agroforestri yang secara potensial membantu menstabilkan emisi GRK dan menyerap atau menyimpan C pada biosfer daratan (Dixon 1995) Praktek
Mengurangi emisi
Menyimpan/ menyerap C atau N
9 8 9 9
9 9 9 8
8 8
9 9
8 9
9 9
9
9
8
9
9 9
9 8
9
9
Silvopastur Menganti lahan marginal agronomi (menyimpan C tanah) Menahan bahan organik di tanah Mengurangi deforestasi dan pembakaran biomassa Mengatur pakan untuk mengurangi emisi CH4
Agrisilvikultur Konservasi tanah dan mulsa (menahan C) Meminimalkan erosi hujan & angin (shelter & tanaman lorong) Menanam jenis pohon tahunan multifungsi (menyerap CO2) Mengatur muka air, pemupukan dan pengolahan tanah sawah Memulihkan lahan terdegradasi
Agrisilvopastur Meminimalkan gangguan lahan (saat mengolah tanah & panen) Meningkatkan P & K tanah; merubah pH (memacu sekuestrasi) Mengerjakan terus menerus vs ladang berpindah Memakai limbah hewan untuk bahan bakar atau pupuk organik Menanam legum, mengurangi pupuk kimia N 9 : pengaruhnya nyata, 8 : pengaruhnya sedikit/tidak nyata
Tabel 5 memperlihatkan potensi penyimpan C melalui sistem agroforestri di beberapa wilayah negara pada berbagai kondisi tanah dan iklim. Nilai penyimpan karbon (termasuk C tanah) berkisar antara 12-228 tonC/ha, dengan rataan 95 tonC/ha. Potensi peningkatan C melalui biomassa yang terbesar terjadi di wilayah tropika basah.
Di daerah beriklim sedang praktek agroforestri menunjukkan
kemampuan penyimpanan C potensial berkisar antara 15-198 tonC/ha dengan rataan 34 ton C/ha (Dixon 1995). Di daerah tropis, Palm et al. (1999) melaporkan system agroforestri membantu menambahkan hingga 35%
persediaan C dari
hutan yang sebelumnya dikonversi, dibandingkan hanya 12% jika hanya ditanami tanaman
pangan
dan
pakan
ternak.
Pendugaan
melalui
pengukuran
mikrometerologi dan data pengukuran permanen menunjukkan bahwa hutan hujan tropis membentuk suatu rosot karbon kira-kira 1-1,3 tonC/ha/tahun.
Sediaan
karbon di alam untuk vegetasi hutan hujan tropis yang klimaks mencapai 150-250 tonC/ha, sementara untuk hutan yang dikelola lestari, persediaan karbon 25% lebih rendah dan persediaan di hutan sekunder, hutan tanaman, dan sistem
29
agroforestri yang dikombinasi dengan tanaman pertanian kira-kira mencapai 50% dari persediaan karbon di hutan hujan. Padang rumput dan tanaman semusim menyimpan hanya 10-20% dari persediaan karbon di hutan hujan. Laju serapan karbon atau laju akumulasi karbon pada vegetasi yang sedang tumbuh secara umum lebih tinggi pada hutan hujan yang dikelola, hutan tanaman dan sistem agroforestri daripada pada hutan hujan klimaks yang belum terganggu. Tabel 5 Potensial simpanan karbon (MgC/ha) dan biaya proyek (US$/MgC) untuk sistem agroforestri menurut wilayah ekologi di beberapa negara tertentu (Dixon 1995) Negara Argentina Australia Brazil Cina Kongo India Meksiko USA Rusia Zaire
Wilayah ekologi Tropika basah rendah Dataran rendah kering Tropika basah rendah Dataran rendah kering Tropika basah rendah Tropika basah Tropika basah tinggi Dataran rendah kering Tropika basah rendah Tropika basah tinggi Temporal basah rendah Dataran rendah kering Temporal basah rendah Tropika basah tinggi
Sistem Agrisilvikultur Silvopastur Agrisilvikultur Agrisilvikultur Agrisilvikultur Agrisilvikultur Silvopastur Silvopastur Silvopastur Agrisilvikultur
MgC/ha 57-74a 39-61 28-51 88-195 39-102 12 29 68-81 92-228 133-154 104-198 90-175 15-18 53
US$/MgC 16b 11-17 4-41 66 69 2-7 2-6 1-6 3-12 4-12
a
Nilai simpanan karbon dibakukan pada rotasi 50 tahun Atas dasar simpanan C di atas rotasi 50 tahun, nilai US$ tahun 1990, biaya pemeliharaan setelah 3 tahun tidak diperhitungkan, manfaat yang diperoleh selama rotasi tidak diperhitungkan.
b
Fay et al. (1998) menduga luas potensial lahan yang dikonversi menjadi sistem agroforestri mencapai 10 juta ha/tahun.
Atas dasar hasil penilaian
pendahuluan rosot C tingkat nasional dan global, ada dua manfaat utama sistem agroforestri yang telah diidentifikasi, yaitu : (1) Penyimpanan langsung C dalam waktu singkat (dua puluh tahun hingga seabad), dan (2) potensial untuk menggantikan emisi GRK segera yang berasal dari penggundulan hutan dan ladang berpindah. Sebuah proyeksi penyimpanan karbon dari sistem agroforestri skala kecil (smallholder) menunjukkan laju sekuestrasi C
antara 1,5 – 3,5
tonC/ha/tahun dan persediaan C meningkat tiga kali dalam periode 20 tahun,
30
menjadi 70 tonC/ha. Total emisi karbon yang berasal dari deforestasi global sekarang ini diperkirakan dengan laju 17 juta ha per tahun adalah 1.6 Pg. Diasumsikan jika satu hektar agroforestri dapat mengamankan hingga lima hektar lahan akibat deforestasi dan sistem agroforestri tersebut dapat dibangun hingga mencapai 2 juta hektar di wilayah tropis setiap tahunnya, maka pengembangan sistem agroforestri jelas secara nyata dapat berperan untuk mengatasi emisi yang disebabkan oleh deforestasi tersebut (Palm et al. 1999; Watson et al. 2000). Walaupun demikian, ketidaktepatan pendugaan luas areal untuk sistem agroforestri di berbagai wilayah ekologi yang berbeda merupakan masalah yang serius untuk memproyeksikan luas praktek agroforestri yang bisa mengatasi masalah emisi karbon akibat deforestasi. Kesulitan bertambah dengan adanya fakta bahwa karbon yang diserap melalui sistem agroforestri bervariasi menurut tapak dan ciri-ciri khusus sistem tersebut; termasuk iklim, jenis tanah, kerapatan pohon dan cara-cara pengelolaannya (Nair 2002). Masuknya karbon hutan melalui kegiatan agroforestri yang berbasis masyarakat dipandang berdampak positif bagi kehidupan masyarakat lokal, sebagaimana dinyatakan dalam Scherr et al. (2000); CIFOR (2003). Beberapa manfaat positif tersebut di antaranya adalah: (1) Meningkatnya pendapatan lokal lewat promosi investasi
dalam pengelolaan hutan dan pengunaan lahan di
pedesaan secara berkelanjutan, (2) Meningkatkan nilai lahan dan asset hutan melalui rehabilitasi lahan terdegradasi, perbaikan produktivitas dan kesuburan lahan, (3) Mendukung efisiensi penggunaan hasil hutan, (4) Memberikan harga atas manfaat lingkungan bagi masyarakat lokal (perlindungan biodiversitas penting untuk pangan dan sumber-sumber air), (5) Membangun kapasitas masyarakat pedesaan untuk produksi yang lestari dan kegiatan konservasi, (6) Mempromosikan pengembangan institusi; suksesnya proyek kehutanan berbasis masyarakat dapat memperkuat institusi lokal yang bekerja atas dasar kebutuhan setempat, (7) Mengurangi konflik-konflik sosial; proyek dapat mengembangkan alat untuk mendistribusi manfaat secara setara melalui penguatan lokal pada proses negosiasi secara damai. Disamping sejumlah alasan positif di atas, Scherr et al. (2000) juga mengemukakan beberapa kekhawatiran tentang potensi resiko yang mungkin
31
diterima masyarakat lokal apabila proyek karbon tidak dirancang dengan baik, yaitu : (1) Proyek mungkin akan membatasi akses masyarakat setempat terhadap lahan dan hasil-hasil hutan yang penting bagi kesejahteraan mereka, tanpa pembayaran dan kompensasi yang adil, (2) Masyarakat lokal, khususnya yang tanpa hak pemilikan lahan yang formal, mungkin akan melemah hak lahannya dan (3) Proyek mungkin akan “memasung” penggunaan lahan dengan cara yang tidak perlu sehingga mengurangi keluwesan petani untuk menyesuaikan dengan kesejahteraannya yang terganggu. Berkaitan
dengan
kemungkinan
peran
pemilik
lahan
yang
sempit
(smallholder) untuk berpartisipasi dalam pasar karbon, Cacho et al. (2003) menyatakan ada tiga pertanyaan yang muncul berkaitan dengan masuknya kegiatan agroforestri sebagai penuyerap karbon, yaitu : (1) Bagaimana tingkat efisiensi sekuestrasi karbon lewat praktek agroforestri jika dibandingkan dengan bentuk penggunaan lahan yang lain, (2) Bagaimana agar petani dengan pemilikan lahan sempit mau mengadopsi kegiatan sekuestrasi karbon ke dalam kegiatan pengelolaannya, dan (3) Kebijakan yang bagaimana yang diperlukan agar terjadi perubahan yang diinginkan. Untuk jawaban pertanyaan pertama, perlu ditentukan kegiatan agroforestri seperti apa yang dapat menghasilkan serapan karbon. seluruh biaya kegiatan yang dikeluarkan.
Hal ini merujuk pada
Faktor-faktor seperti status lahan,
zonasi agroklimat, teknologi yang dipakai dan ketersediaan modal akan sangat menentukan. Pertanyaan kedua merujuk pada insentif. Apabila pemilik lahan mengangap agroforestri lebih baik dalam mencukupi kebutuhannya dibandingkan dengan bentuk penggunaan lahan yang sekarang dipraktekkan dan petani percaya bahwa kegiatan ini tidak menimbulkan resiko yang tidak diharapkan, maka petani akan menerima kegiatan ini. Pertanyaan ketiga berhubungan dengan sejumlah isu kebijakan seperti jaminan tenurial, ongkos yang dikeluarkan untuk berpartisipasi dalam pasar karbon, tingkat keahlian teknis yang dibutuhkan, ketersediaan pelatihan dan pendanaan, dan seterusnya. MacDicken (1997a) secara khusus menegaskan bebeberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam program monitoring proyek karbon kehutanan berbasis agroforestri yang berbeda dengan program kehutanan lainnya, yaitu:
32
1.
Penanaman agroforestri memerlukan curahan tenaga kerja yang intensif dan umumnya luasannya sempit.
2.
Penanaman agroforestri terpencar-pencar dalam bentang lahan yang luas.
3.
Pohon dalam penanaman agroforestri jaraknya berjauhan untuk memberikan ruang yang cukup untuk tanaman pertanian, sehingga tajuk pohon tidak selalu bersinggungan dan menyebabkan variasi yang tinggi.
4.
Pada beberapa sistem agroforestri, pepohonan tersusun pada barisan yang teratur, hal ini dapat menimbulkan bias jika digunakan sampling sistematik.
5.
Tanaman agroforestri biasanya dibangun dan dimiliki oleh pemilik lahan dengan luasan yang kecil. Maka beberapa pengukuran tanaman agroforestri perlu pula berinteraksi dengan petani, yang mungkin tidak terjadi untuk jenis proyek penggunaan lahan yang lain. Atas dasar studi untuk mengidentifikasi sumber utama ketidakpastian
perhitungan dampak GRK, de Jong (2000) menyatakan bahwa sebagian besar sumber kesalahan berhubungan dengan klasifikasi tipe penutupan/penggunaan lahan, pendugaan persediaan karbon setiap tipe penutupan/penggunaan lahan, pembuktian riwayat perubahan penutupan/penggunaan lahan untuk penentuan garis dasar (baseline), dan variasi nilai parameter untuk menghitung perubahan karbon. Kenyataan ekonomi juga merupakan faktor utama dalam menetapkan nyata atau tidaknya potensi jumlah karbon yang disimpan dalam sistem agroforestri (Alavalapati & Nair 2001). Biaya pembangunan agroforestri sangat bervariasi menurut lokasi dan sistem harus pula mempertimbangkan kelayakan agroforestri sebagai pilihan untuk sekuestrasi karbon. Melalui suatu studi penilaian pemberian insentif untuk mendorong petani menjalankan agroforestri dan praktek yang ramah-karbon di Meksiko Selatan, de Jong (2000) menyatakan bahwa sistem pelaporan sendiri (self-reporting) dengan pemeriksaan langsung di tempat adalah metode yang paling sesuai untuk menilai dampak perubahan karbon pada proyek agroforestri, yang secara khas memiliki ciri berskala kecil dengan keragaman yang tinggi dan melibatkan banyak petani.
33
Model Pendugaan Pertumbuhan dan Hasil Tegakan
Menurut Vanclay (1994); Davis et al. (2001), berdasarkan kepada unit-unit dasar yang menyusun suatu model, model pertumbuhan (empiris) dapat dikelompokan atas 3 kelompok model, yaitu model tegakan keseluruhan (whole stand models), model kelas diameter (class diameter models atau size class models), dan model individu pohon (individual tree models atau single-tree models). Model-model tegakan keseluruhan adalah suatu model pertumbuhan dan hasil yang unit-unit dasar penyusun modelnya adalah parameter-parameter tegakan seperti bidang dasar, kerapatan pohon, volume tegakan, dan parameter penciri sebaran diameter yang digunakan untuk menduga pertumbuhan dan hasil dari hutan. Model ini relatif sederhana presentasinya karena hanya memerlukan informasi yang sedikit untuk menggambarkan pertumbuhan suatu tegakan tetapi informasi yang diberikan lebih bersifat umum. Model tegakan keseluruhan sangat bermanfaat untuk pemodelan pertumbuhan hutan tanaman yang umumnya seumur dan memiliki keterbatasan apabila digunakan untuk hutan campuran, dimana dijumpai banyak jenis dan berbagai ukuran pohon yang menyusun tegakan. Model-model individu pohon menggunakan individu pohon sebagai unit dasar penyusunan model.
Input minimum yang diperlukan untuk penerapan
model ini adalah daftar seluruh jenis pohon yang menyusun tegakan, mecakup ukuran diameter, tinggi, bentuk tajuk. Model yang lainnya juga memperhatikan posisi spasial setiap pohon, tinggi pohon dan kelas tajuk. Pendekatan model ini selain dapat menerangkan pertumbuhan, juga digunakan untuk mempelajari adanya kompetisi, kematian, variasi komposisi jenis dan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan tegakan hutan.
METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pendekatan Masalah Situasi masalah yang pertama adalah terjadinya keragaman yang tinggi dalam praktek pengelolaan agroforestri akibat beragamnya kondisi alami tempat tumbuh dan cara-cara pengelolaan agroforestri itu sendiri sehingga menyebabkan beragamnya kemampuan agroforestri untuk menyediakan atau menyerap karbon. Dari sisi mekanisme penyelenggaraan proyek karbon, beragamnya kondisi tersebut akan menjadi masalah dalam mengembangkan metode pengukuran dan monitoring manfaat karbon. Identifikasi untuk mengetahui terjadinya keragaman persediaan karbon tersebut dilakukan dengan mengenali tipologi berbagai bentuk praktek agroforestri yang telah ada atau berlangsung di masyarakat. Tipologi agroforestri diperkirakan terjadi sebagai akibat dari kondisi lingkungan dan tempat tumbuh, orientasi ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat yang akan mempengaruhi praktek
pengelolaan
agroforestri.
Perbedaan
tipologi
agroforestri
akan
menyebabkan terjadinya perbedaan yang besar pula dalam hal kemampuan agroforestri untuk menghasilkan persediaan karbon. Potensi persediaan karbon bagian atas tegakan untuk setiap unit tegakan agroforestri diturunkan dari jumlah seluruh biomassa yang terkandung dalam pohon, tanaman pertanian semusim, tumbuhan bawah dan nekromassa (tunggak kayu, pohon mati, serasah) yang menyusun tegakan agroforestri. Biomassa pohon yang merupakan biomassa terbesar penyusun tegakan diduga melalui persamaan alometrik biomassa pohon yang sesuai dengan jenisnya. Situasi masalah yang kedua adalah mengidentifikasi sumber persediaan karbon
yang
terdapat
dalam
agroforestri
dan
mengembangkan
model
pendugaannya. Besarnya potensi persediaan karbon dan variasi persediaannya didekati melalui trend perkembangan persediaan dan perubahan karbon menurut sumber biomassanya yang terjadi sepanjang waktu pengelolaan agroforestri. Pendekatan struktur tegakan (melalui distribusi jenis dan ukuran pohon) sepanjang waktu pengelolaan juga digunakan untuk menjelaskan terjadinya variasi tersebut. Sejumlah variabel yang mencirikan dimensi tegakan dan kondisi
35
tempat tumbuh akan
dilihat peranannya dalam menjelaskan keragaman
persediaan karbon tegakan dan menetapkan peubah-peubah yang penting untuk keperluan pendugaan potensi persediaan karbon tegakan. Analisis terhadap karakteristik persediaan karbon pada berbagai tipologi agroforestri yang dikombinasikan dengan karakteristik pengelolaan yang spesifik oleh petani, memungkinkan dirumuskannya model pendugaan persediaan karbon serta proses pengumpulan data dan monitoring yang relevan dengan pengetahuan dan pengalaman petani. Situasi masalah yang ketiga adalah sejauhmana potensi persediaan karbon yang diperoleh melalui pengelolaan agroforestri juga akan menarik minat petani untuk ikut dalam skema perdagangan karbon. Secara rasional proyek sekuestrasi karbon akan diminati petani apabila akan memberikan manfaat yang lebih baik (ekonomi atau non-ekonomi) dibandingkan praktek pengelolaan yang sudah berjalan selama ini. Hal yang perlu diketahui adalah proses yang bagaimana yang harus dilakukan agar persediaan karbon yang dihasilkan dapat diserahkan dan dibeli secara memadai dengan prosedur yang dapat diterima. Secara skematis, alur kerangka pendekatan masalah untuk menjawab berbagai masalah penelitian yang diajukan diringkas dalam Gambar 3.
36
Mulai
Identifikasi karakteristik agroforestri
Karakteristik struktur, komposisi dan dimensi tegakan
Pengembangan model penaksiran biomassa pohon jenis utama agroforestri
Persamaan Alometrik Biomassa Pohon & komponen biomassa lain
Tipologi agroforestri
Analisis sumber biomassa karbon & variasi persediaan karbon agroforestri
Pengembangan metode pengukuran & monitoring perubahan karbon agroforestri
Model-model pendugaan persediaan karbon agroforestri & perubahannya
Analisis neraca karbon & potensi pengelolaan sekuestrasi karbon dlm agroforestri
Sistem budidaya & pemanfaatan hasil tegakan agroforestri
Analisis situasi skema perdagangan karbon
Model pengelolaan agroforestri untuk proyek karbon
Selesai
Gambar 3. Diagram alir kerangka pemecahan masalah
37
Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan yang menjadi obyek penelitian adalah lokasi tegakan agroforestri yang berada di lahan milik dan terutama dikelola untuk tujuan menghasilkan kayu, atau dikenal luas sebagai hutan rakyat. Dua lokasi tegakan hutan rakyat agroforestri yang terpisah dijadikan sebagai contoh kasus, masing-masing berada di Desa Pacekelan, Kecamatan Sapuran, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah (7o05’ Lintang Selatan dan 111o07’ Bujur Timur) dan di Desa Kertayasa, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat (6o30’ Lintang Selatan dan 107o0’ Bujur Timur) (Gambar 4). Skala 1:4.500.000
Gambar 4. Peta situasi lokasi penelitian Kedua wilayah ini dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa sebaran tegakan agroforestrinya relatif luas dan praktek agroforestri telah berlangsung relatif lama, terdapat keragaman jenis pohon berkayu yang diusahakan dan variasi kondisi tempat tumbuh. Lokasi agroforestri di Desa Pecekelan dipilih untuk mewakili kondisi pengelolaan agroforestri yang menggunakan jenis sengon yang hampir homogen sebagai penaung untuk tanaman kopi. Sedangkan agroforestri di Desa Kertayasa dipilih untuk mewakili
38
kondisi
pengelolaan
agroforestri
dengan
pola
kebun-campuran,
yang
mengkombinasikan jenis daur pendek dan sedang serta pohon buah-buahan. Penelitian lapangan untuk kedua lokasi penelitian tersebut di atas dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan Agustus-September 2004. Praktek agroforestri di kedua lokasi penelitian berada di lahan kering (tegalan) dengan ketinggian tempat tumbuh antara 600-800 m dpl.
Bentuk
lapangannya mulai dari landai (lereng 8%) hingga curam (lereng >40%), bahkan di Desa Kertayasa agroforestri berada pada lapangan yang berbukit hingga sangat curam (lereng >100%). Terdapat perbedaan dalam jenis tanah di kedua lokasi penelitian.
Agroforestri di Pecekelan dominan dengan jenis tanah regosol,
sedangkan di Kertayasa dengan didominasi tanah latosol dan podsolik.
Lokasi
penelitian termasuk tipe iklim B (menurut klasifikasi Schmidt & Ferguson), dengan curah hujan yang cukup tinggi hingga lebih dari 3.000 mm/tahun. Metode Penelitian Pengumpulan dan Pengolahan Data Secara garis besar pengumpulan data mencakup dua kegiatan utama, yaitu pengumpulan data tegakan agroforestri dan data pengelolaan (teknis, sosial dan ekonomi) pada tingkat petani (rumahtangga). Data tegakan agroforestri diperoleh dengan melakukan pengambilan contoh (sampling) sesuai dengan keterwakilan tipologi agroforestri dan melakukan pengukuran terhadap agroforestri.
dimensi pohon, vegetasi lain, dan dimensi tegakan
Melalui pengukuran biometrik terhadap pohon dan tegakan dapat
disusun persamaan penaksiran biomassa pohon, penaksiran biomassa tegakan, dan berbagai analisis hubungan untuk menjelaskan terjadinya keragaman potensi persediaan biomassa karbon. Data pengelolaan hutan pada tingkat petani (rumahtangga) diperoleh melalui metode wawancara atau diskusi dengan mempersiapkan daftar pertanyaan terstruktur.
Melalui data ini dapat dikenali riwayat pengelolaan agroforestri,
teknologi budidaya dan pemanenan, pengaturan pemanfaatan lahan, pengaturan panen, biaya-biaya pengelolaan yang dikeluarkan, curahan tenaga kerja, pendapatan dan manfaat, aspek pemasaran dan aspek sosial-ekonomi lainnya.
39
Pengukuran Karbon Biomassa Pohon dan Komponen Karbon dari Biomassa Lainnya.
Komponen karbon terbesar dalam vegetasi berasal dari
biomassa pohon, sehingga penetapan besarnya biomassa pohon yang menempati suatu hamparan tegakan adalah bagian paling penting dalam penghitungan potensi karbon hutan. Biomassa dinyatakan dalam satuan bobot kering. Biomassa pohon umumnya ditaksir secara tidak langsung dengan menggunakan persamaan alometrik biomassa pohon, yang menyatakan hubungan antara dimensi tertentu dari pohon (misalnya diameter atau tinggi pohon) dengan nilai biomassa total pohonnya. Metode penyusunan persamaan alometrik biomassa dijelaskan oleh banyak penulis, diantaranya dalam MacDicken (1997); Hairiah et al. (2001), JIFPRO (2001), Snowdon et al. (2002).
Beberapa penulis (Brown et al. 1989;
Brown 1997; Hairiah et al. 1999) menganjurkan digunakannya beberapa persamaan alometrik biomassa pohon yang lebih umum dan dipakai untuk zone iklim yang lebih luas, apabila belum tersedia persamaan alometrik yang lebih spesifik. Dalam penelitian ini secara khusus akan disusun persamaan alometrik biomassa untuk jenis pohon yang dominan dalam agroforestri yang belum tersedia persamaan alometriknya dan penaksiran kadar karbon pohonnya. Penyusunan alometrik penaksir biomassa pohon, dilakukan dengan metode destruktif, yaitu pohon yang dipakai untuk bahan diperoleh dengan cara menebang.
Sebanyak 30 pohon contoh dipilih dan seluruh pohon tersebut
ditebang untuk dilakukan pengukuran secara lebih teliti. Tahapan kerja yang dilakukan untuk menyusun persamaan alometrik biomassa pohon sengon adalah sebagai berikut: 1. Memilih pohon contoh. Pohon yang mewakili harus tumbuh sehat, mencakup berbagai ukuran pohon, dan keterwakilan tapak tumbuhnya. Kisaran diameter pohon contoh antara 7 – 40 cm, dengan jumlah terbanyak yang berdiameter 20-25 cm. 2. Mengukur dimensi pohon, mencakup diameter batang, tinggi total, tinggi bebas percabangan, dan rata-rata diameter tajuk. 3. Menebang pohon dan memisahkan ke dalam bagian-bagian pohon. Sebelum pohon ditebang, seluruh cabang dipangkas agar tidak ada bagian yang rusak.
40
Pohon ditebang sedekat mungkin dengan permukaan tanah. Pohon dipisahkan kedalam kelompok batang (termasuk tunggak), cabang, ranting dan daun. 4. Mengukur dan menimbang bagian-bagian pohon.
Batang dibagi kedalam
sortimen pendek 2 m dan diukur diameter ujungnya. Seluruh batang, cabang, ranting dan daun ditimbang untuk memperoleh bobot basah. 5. Pengambilan contoh uji seluruh pohon contoh. Contoh uji terdiri atas contoh uji bagian batang (pangkal, tengah dan ujung batang), cabang, ranting dan daun. Contoh uji dikemas dalam plastik rapat untuk mencegah berkurangnya kandungan air pada contoh uji tersebut. 6. Pengeringan seluruh contoh uji dengan tanur pengering untuk memperoleh nilai kerapatan kayu (wood density) dan kadar air seluruh contoh uji. Pengeringan contoh uji dengan tanur pengering (oven) hingga suhu 100-105oC dilakukan di laboratorium. Contoh uji yang telah kering ditimbang untuk mengetahui bobot keringnya.
Dari contoh uji tersebut selanjutnya dapat
ditentukan nilai kerapatan kayu dan atau kadar airnya. 7. Menentukan nilai bobot kering (biomassa) untuk seluruh pohon contoh dan bagian-bagian pohonnya. Nilai bobot kering ditentukan dengan mengkonversi bobot basah pohon contoh dan nilai kadar air dari contoh uji setiap pohon contoh. 8. Analisis hubungan antara bobot kering (biomassa) seluruh pohon contoh dengan dimensi pohon contoh.
Analisis hubungan dilakukan dengan
pendekatan analisis regresi. 9. Penggunaan model alometrik terbaik untuk penaksiran biomassa pohon sengon. Model persamaan alometrik untuk penaksiran biomassa pohon dan bagianbagian pohon menggunakan beberapa model hipotetis, dengan menggunakan satu atau lebih peubah dimensi pohon berikut (Brown et al. 1989; Brown 1997) :
Yˆ = β0 + β1D + β2 D2 Yˆ = β D β1 0
Yˆ = β0 + β1D2 H Yˆ = β D β1 H β2 0
Yˆ = β0 + ( D2 H )β1
41
dimana :
Yˆ = taksiran nilai biomassa pohon atau bagian pohon (dalam kg/pohon) D = diameter pohon (dbh) (dalam cm), H = tinggi pohon (dalam m)
β 0 , β1 , β 2 = konstanta (parameter) regresi Persamaan regresi terbaik akan dipilih dari model-model hipotetik di atas dengan menggunakan berbagai kriteria statistika (Draper & Smith 1981), khususnya goodness of fit, koefisien determinasi R2, PRESS, analisis sisaan serta pertimbangan kepraktisan untuk pemakaian. Untuk penentuan biomassa pohon dari jenis pohon lainnya yang tumbuh di dalam lokasi penelitian, digunakan beberapa persamaan alometrik spesifik yang telah tersedia (Hairiah et al. 2001), atau menggunakan persamaan yang menyertakan peubah diameter dan nilai kerapatan kayu sebagaimana disarankan Ketterings et al. (2001). Tabel 6 menyatakan beberapa persamaan yang dipakai untuk penaksiran biomassa pohon tersebut. Tabel 6 Persamaan allometrik penduga biomassa pohon di lokasi penelitian Jenis pohon Mahoni Kopi
Persamaan Y = 0,048 D2,68 Y = 0,0281 D
2,06
2,13
Sumber Adinugroho (2001) Hairiah et al. (1999)
Pisang
Y = 0,03 D
Hairiah et al. (1999)
Palem
Y = 4,5 + 7,7H
Frangi & Lugo (1985) dalam Brown (1997)
Pohon lain (yang belum tersedia persamaannya)
Y = 0,011 ρ D2+c
Ketterings et al. (2001)
Nekromassa
Y = πD2hρ
Hairiah (2001)
Y = biomassa pohon (kg/pohon), D = diameter pohon (cm), H = tinggi total (m), h = panjang batang, ρ = berat jenis kayu (gr/cm3), dan c = 0,62. Data kerapatan kayu tersedia di: website www.icraf.cgiar/sea.
Komponen biomassa lain yang penting sebagai bagian komponen karbon pada agroforestri adalah tanaman pertanian semusim, tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa. Nekromassa adalah bagian pohon yang telah mati atau dalam proses melapuk, bisa dalam bentuk pohon yang berdiri, tunggak sisa penebangan atau sisa bagian pohon. Penentuan komponen karbon dari karbon yang berasal
42
dari nekromassa, tumbuhan bawah dan serasah akan merujuk pada metode yang disarankan dalam Hairiah et al. (1999); Hairiah et al. (2001). Penentuan potensi karbon biomassa pohon atau karbon dari biomassa lain dilakukan hanya dengan menggunakan faktor konversi nilai biomassa menjadi nilai karbon sebagaimana disarankan (IPCC 2000; Brown 1999a), dengan faktor konversi sebesar 0.5. Sedangkan untuk penentuan potensi karbon untuk biomassa selain pohon (tumbuhan bawah, serasah, nekromassa) menggunakan faktor konversi 0.4 sebagaimana disarankan Hairiah et al. (1999). Pengukuran Persediaan Karbon Tegakan dan Karbon Total Bagian Atas. Potensi persediaan karbon untuk tegakan agroforestri berasal dari karbon
bagian atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Karbon bagian atas mencakup karbon biomassa pohon (vegetasi berkayu), serasah, tumbuhan bawah dan nekromassa; sedangkan karbon bagian bawah terutama dari karbon biomassa akar dan karbon tanah. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan karbon total tegakan dibatasi hanya untuk karbon bagian atas permukaan tanah. Taksiran potensi persediaan karbon tegakan ditentukan atas dasar data sampling yang dilakukan untuk setiap bentuk tipologi agroforestri yang tersedia. Untuk dapat menjelaskan sampai sejauhmana potensi karbon dan adanya keragaman dalam tegakan agroforestri, dilakukan pengukuran tegakan dengan kombinasi secara sensus dan sampling pada berbagai variasi perkembangan tegakan agroforestri. Dari kedua lokasi penelitian di Desa Pacekelan dan Kertayasa, sebanyak 41 unit pemilikan lahan petani telah dipilih sebagai contoh dengan luas keseluruhan lahan 40,2 ha. Rincian seluruh contoh sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 7. Tahapan kerja yang dilakukan untuk pengukuran persediaan karbon tegakan agroforestri adalah sebagai berikut: 1. Penentuan lokasi pengambilan contoh. Pemilihan contoh memperhatikan keterwakilan umur tegakan dan kondisi rata-rata tegakan. Sebelum contoh ditetapkan dilakukan orientasi lapang secara lengkap dan pengumpulan data pemilikan
dan
pemilik/pengelola.
riwayat
pengelolaan
hutan
rakyat
kepada
petani
43
Tabel 7 Distribusi pengambilan contoh tegakan agroforestri di lokasi penelitian Lokasi Pacekelan Jumlah Jumlah Luas plot No. Jalur No. Plot (m2) 1 5 33 3.300 1 2 5 9 900 2 3 3 4 400 3 4 5 18 1.800 4 5 4 11 1.100 5 6 4 14 1.400 6 7 3 8 800 7 8 4 14 1.400 8 9 4 17 1.700 9 10 5 20 2.000 10 11 3 14 1.400 11 12 4 13 1.300 12 13 4 15 1.500 13 14 3 11 1.100 14 15 3 9 900 15 16 2 6 600 16 17 3 11 1.100 17 18 4 8 800 18 19 5 17 1.700 19 20 3 9 900 20 21 2 5 500 Jumlah 78 266 26.600 Jumlah
Lokasi Kertayasa Jumlah Jumlah Luas plot Jalur Plot (m2) 2 6 600 2 6 600 2 6 600 2 9 900 2 8 800 2 6 600 2 6 600 3 8 800 3 14 1.400 3 7 700 3 12 1.200 2 7 700 2 4 400 2 3 300 2 5 500 2 7 700 3 5 500 2 5 500 3 6 600 2 6 600 46
136
13.600
2. Persiapan pengukuran. Untuk setiap unit pemilikan lahan yang dipilih sebagai contoh, dibuat petak pengukuran dengan membentang tali plastik. Petak ukur untuk pengukuran pohon berbentuk jalur memanjang dengan lebar 10 m dan panjang untuk setiap kelipatan jarak 10 m. Plot bujur sangkar 10 m x 10 m (0,01 ha) dianggap sebagai unit terkecil pencatatan. Petak ukur untuk tumbuhan bawah berukuran 1 m x 1m dan untuk serasah berukuran 0.5 m x 0.5 m yang dibuat di dalam plot ukur untuk pohon (10 m x 10 m). Arah jalur ukur ditetapkan dengan kompas pada arah Utara-Selatan atau Timur-Barat (Gambar 5 dan Gambar 6). 3. Pengukuran pohon dan vegetasi lain. Seluruh vegetasi pohon yang berada dalam petak ukur yang telah mencapai ukuran diameter batang 5 cm ke atas, dilakukan pengukuran yang mencakup jenis/spesies, diameter dan tinggi pohonnya. Khusus untuk pohon kopi, pengukuran dilakukan juga untuk yang berdiameter < 5 cm. Pengukuran juga dilakukan untuk pohon yang telah mati,
44
tunggak sisa penebangan dan bagian pohon yang mati yang tertinggal di hutan. Selain pohon juga diperlukan pengukuran potensi tumbuhan bawah dan serasah. 4. Pengukuran tumbuhan bawah dan serasah.
Dilakukan pada petak ukur
tumbuhan bawah/serasah. Seluruh tumbuhan bawah dan serasah kasar yang terdapat dalam petak ukur dipanen atau dikumpulkan dan selanjutnya ditimbang bobot basahnya. Contoh uji tumbuhan bawah dan serasah diambil dan dibawa ke laboratorium untuk ditentukan kandungan airnya, dan selanjutnya digunakan untuk menduga bobot kering tumbuhan bawah/serasah yang ada dalam petak ukur. 5. Penentuan nilai biomassa dan karbon biomassa tegakan. Biomassa pohon dalam petak ukur ditentukan menggunakan persamaan alometrik biomassa pohon. Jumlah seluruh biomassa pohon dalam petak ukur menyatakan jumlah biomassa per satuan luas petak ukur. Potensi karbon total di atas permukaan tanah terdiri atas karbon biomassa pohon, karbon yang berasal dari nekromassa dan serasah, dan karbon tumbuhan bawah atau dinyatakan dalam hubungan berikut : Ctot = Cbiost + Cnecr + Cherb + Clitt dimana: Ctot = karbon total bagian atas, Cbiost = karbon biomassa pohon/tegakan, Cnecr= karbon dari nekromassa, dan Cherb = karbon yang berasal dari tumbuhan bawah dan Clitt = karbon yang berasal dari serasah. 6. Pengukuran profil tegakan.
Bentuk struktur tegakan dan komposisi jenis
penyusun tegakan agroforestri diketahui dengan mengukur dan memetakan profil tegakan secara vertikal dan horisontal pada jalur ukur sepanjang 30-40 m untuk pengukuran pohon. Dalam jalur tersebut dilakukan pencatatan jenis, pengukuran dimensi pohon (diameter, tinggi total dan bebas percabangan, lebar tajuk) dan posisi pohon satu dengan yang lain.
45
10 m 10 m
Jalur 1 2
U
3 4
Gambar 5.
Bagan pembuatan jalur dan petak ukur dalam satu unit pemilikan lahan
10 m
1m
0,5 m
0.5 m
1m
= serasah
= tumbuhan bawah
Gambar 6. Bagan pembuatan petak ukur untuk pengukuran serasah dan tumbuhan bawah
46
Pengukuran Ciri Tempat Tumbuh.
Dilakukan pada sebagian unit
pemilikan lahan petani yang dilakukan pengukuran tegakannya. Ciri-ciri tapak (tempat tumbuh) yang menjadi perhatian adalah: ketinggian tempat dari permukaan laut, kemiringan lapangan, posisi dalam bentang lahan, arah menghadap lereng (aspek) dan sifat-sifat tanah. Sifat tanah mencakup sifat-sifat fisik dan sifat-sifat kimia yang dipandang penting untuk mendukung pertumbuhan meliputi: kadar air tanah, kerapatan tanah, tekstur, keasaman tanah, kandungan Corganik, Kandungan N-total, kadar P, kadar K, dan Kapasitas Tukar Kation (KTK). Tahapan yang dilakukan untuk pengukuran ciri tempat tumbuh dan sifatsifat tanah adalah sebagai berikut: 1. Pemilihan lokasi contoh. Contoh diambil mewakili setiap umur tegakan dan keragaman kondisi lapangan. 2. Pengukuran ciri-ciri lingkungan makro dengan alat yang sesuai, mencakup ketinggian tempat dari permukaan laut, kemiringan lapangan, posisi dalam bentang lahan, dan arah menghadap lereng (aspek). 3. Pengambilan contoh tanah untuk analisis sifat fisik dan sifat kimia tanah. Contoh tanah diambil dari empat titik yang berbeda dari bentuk bujur sangkar dengan jarak 10 m x 10 m, yang posisinya berada di bagian tengah petak tanaman agroforestri. Contoh tanah utuh (tidak terganggu) untuk keperluan analisis sifat fisik diperoleh dengan bantuan ring tanah, sedangkan contoh tanah komposit diambil dengan menggunakan bor tanah.
Contoh tanah
diambil untuk setiap kedalaman tanah 0-10 cm dan 10-20 cm. Seluruh contoh tanah dikemas dalam plastik kedap dan selanjutnya dibawa ke laboratorium. 4. Analisis laboratorium contoh tanah. Seluruh contoh tanah dianalisis sifat fisik dan kimia tanah di Laboratorium Kimia Tanah, Departemen Tanah IPB. Aspek Pengelolaan Agroforestri.
Bagaimana bentuk dan cara praktek
pengelolaan agroforestri yang dilakukan petani diketahui melalui metode wawancara. Sejumlah 35 responden petani dipilih secara purposif yang mewakili penguasaan
lahan
yang
berbeda
dan
intensitas
pengelolaan
tegakan
agroforestrinya. Dari wawancara dimungkinkan diperoleh tambahan informasi mengenai praktek agroforestri yang dilakukan petani, berkaitan dengan pemilihan
47
tapak, luas lahan yang dikelola, pengaturan pemanfaatan lahan, teknologi budidaya yang dipakai, dan intensitas pengelolaan yang dilakukan.
Dari
wawancara juga diperoleh informasi tentang besarnya faktor-faktor produksi yang dikeluarkan petani untuk membangun agroforestri hingga mencapai hasil tegakan yang diinginkan dan pendapatan finansial yang diperoleh karena adanya hasil panen atau dari hasil penebangan pohon.
Wawancara dan diskusi juga mengali
informasi bagaimana petani mengatur hasil/kelestarian produksi, memonitor perkembangan tegakan dan pertimbangan yang dipakai dalam memutuskan besarnya panen dan waktu penebangan. Analisis Data Keragaman Potensi Persediaan Karbon.
Terdapat variasi potensi
persediaan karbon untuk setiap unit lahan agroforestri.
Variasi dapat terjadi
karena perbedaan dalam komposisi jenis tanaman, perlakuan silvikultur, dan cara pemanfaatan hasil. Sejauhmana variasi yang terjadi dalam potensi persediaan karbon (pemusatan dan keragaman potensi karbon), maka akan dievaluasi besarnya nilai rata-rata dan simpangan baku yang diperoleh untuk setiap unit lahan pada berbagai kondisi perkembangan tegakan serta perbandingannya dengan hasil data sensus. Tahapan kerja yang dilakukan mencakup : (1). Menghitung nilai biomassa karbon untuk setiap jenis biomassa dalam petak ukur, (2).
Menghitung distribusi
tegakan menurut sebaran umur dan atau diameter rata-rata pohonnya. Peubah tegakan yang diperhatikan mencakup kerapatan pohon dan bidang dasar tegakan, (3) Menghitung nilai biomassa karbon untuk setiap petak ukur dan setiap jalur, dan (4) Menghitung nilai rata-rata dan simpangan baku untuk setiap petak ukur dan setiap jalur, dan total. Melalui analisis di atas, akan dapat diketahui struktur tegakan agroforestri, tingkat variasi dalam tegakan, baik pada unit pemilikan yang sama, antar pemilikan lahan dan perkembangan antar waktu pengelolaan tegakan. Model Penaksiran Potensi Persediaan Karbon. Beberapa pendekatan
yang akan digunakan untuk memperkirakan potensi persediaan karbon yang dihasilkan dari pengelolaan tegakan agroforestri adalah : (1)
Pendekatan
48
distribusi/struktur tegakan, (2) Pendekatan peubah tegakan, dan (3) Pendekatan menggunakan fungsi pertumbuhan. Pendekatan distribusi/struktur tegakan.
Pendekatan dengan menggunakan
fungsi distribusi atau bentuk struktur tegakan adalah menggunakan penyebaran kerapatan jumlah pohon yang menyusun tegakan agroforestri sebagai indikator besarnya potensi persediaan karbon. Bentuk fungsi distribusi/struktur tegakan agroforestri didekati melalui analisis fungsi sebaran (distribution function) atau menggunakan pendekatan analisis regresi.
Secara hipotetik bentuk struktur
tegakan agroforestri akan mengikuti bentuk sebaran berbentuk huruf J-terbalik (eksponensial negatif), yang dinyatakan dalam bentuk hubungan matematik (Meyer 1952 dalam Davis et al. 2001):
N = k e−aD dimana : N = menyatakan kerapatan/jumlah pohon per hektar, D = diameter pohon rata-rata (titik tengah kelas diameter tertentu), k dan a = masing-masing merupakan parameter yang menyatakan titik potong kurva J-terbalik pada saat D = 0 dan laju pengurangan jumlah pohon dengan meningkatnya diameter rata-rata tegakan.
Nilai parameter k dan a tersebut diperoleh dengan menyelesaikan
persamaan N = ke− aD melalui tranformasi logaritma menjadi persamaan model regresi linear sederhana : log N = log k – a log e*D dan menentukan nilai koefisien regresinya dengan analisis regresi (Davis et al. 2001). Perkembangan tegakan agroforestri dari waktu ke waktu, akan diperiksa atas dasar perbedaan dalam bentuk struktur tegakan yang dihasilkan (berbagai nilai parameter k dan a dari fungsi : N = k e− aD ), sehingga memungkinkan untuk memeriksa adanya hubungan matematik:
$y = β + β k + β a 0 1 2 dimana : y
= taksiran potensi persediaan karbon tegakan (dalam tonC/ha)
k dan a = parameter tegakan, masing-masing menyatakan titik potong kurva Jterbalik pada saat D = 0 dan laju pengurangan jumlah pohon dengan meningkatnya diameter rata-rata tegakan yang diperoleh dari fungsi : N = k e− aD .
49
atau menggunakan pendekatan model hubungan yang lain yang memungkinkan atas dasar hasil eksplorasi terhadap data. Pendekatan peubah tegakan. Pendekatan dengan peubah tegakan atau dengan
dimensi rata-rata tegakan dilakukan apabila umur rata-rata tegakan tidak secara meyakinkan dapat menjelaskan keragaman potensi persediaan karbon tegakan, atau umur tegakan tidak dapat dikenali lagi untuk mencirikan perkembangan tegakan. Peubah dimensi tegakan yang dipandang penting adalah: umur rata-rata tegakan, diameter rata-rata pohon, kerapatan tegakan, dan bidang dasar tegakan. Kemungkinan hubungan akan diperiksa melalui analisis regresi berganda (Draper & Smith 1991):
yˆ = β 0 + β1 X 1 + β 2 X 2 + ........... + β p X p dimana : y = taksiran potensi persediaan karbon tegakan (dalam tonC/ha) X1 = umur rata-rata tegakan (dalam tahun) X2 = diameter rata-rata (dalam cm) X3 = kerapatan tegakan diameter tertentu (dalam pohon/ha) X4 = bidang dasar tegakan (dalam m2/ha) X5 = tipe agroforestri (1= naungan, 2= kebun campuran) X6-Xp = ciri-ciri tapak/tempat tumbuh (kedalaman solum, tekstur, kadar air tanah, kerapatan tanah, pH, C, N) βi = parameter regresi (untuk i = 0, 1, …… p). Persamaan regresi yang terbaik yang diperoleh atas dasar kriteria pemilihan persamaan regresi dan efektivitas penggunaan peubah tegakan di atas akan digunakan sebagai alat untuk memprediksi besarnya persediaan karbon tegakan. Pendekatan fungsi pertumbuhan.
Pendekatan dengan fungsi pertumbuhan
dimungkinkan apabila peran umur rata-rata tegakan masih cukup nyata dalam memperkirakan perkembangan potensi penyimpanan karbon tegakan.
Model
pertumbuhan pohon/hutan atau yang disebut juga kurva hasil dapat dinyatakan sebagai fungsi dari umur tegakan atau dinyatakan sebagai fungsi dari dimensi pohon atau dimensi tegakan yang lain (Vanclay 1994).
50
Model perkembangan hasil karbon menurut waktu (umur tegakan) akan didekati melalui model proses, yaitu perkembangan pertumbuhan biologi yang secara teoritis akan berbentuk sigmoid.
Model matematik yang dapat
menjelaskan kurva yang berbentuk sigmoid adalah fungsi persamaan ChapmanRichards yang secara matematik berbentuk persamaan berikut (Clutter 1987; van Laar & Akca 1997; van Laar 1991):
b(t ) = θ [1 − exp( −γ .t ) ]
1/(1− β )
dimana : b(t) = taksiran potensi persediaan karbon tegakan (dalam ton C/ha), t = umur rata-rata tegakan (dalam tahun) dan θ, γ, dan β = masing-masing adalah parameter yang nilainya akan menentukan bentuk kurva yang akan dihasilkan. Turunan pertama fungsi hasil karbon tegakan b(t) terhadap waktu t menyatakan laju pertumbuhan persediaa karbon tegakan setiap tahun, yang dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan :
db(t ) = b(t ) ' = α .b(t ) β − γ .b(t ) dt Nilai maksimum hasil total karbon tegakan dinyatakan oleh parameter θ, dimana: 1/(1− β )
⎛α ⎞ θ =⎜ ⎟ ⎝γ ⎠
Pendugaan parameter untuk persamaan Chapman-Richards di atas dilakukan dengan analisis regresi non-linear (Draper & Smith 1981; Seber & Wild 2003). Penilaian Manfaat Proyek Karbon. Penilaian manfaat proyek karbon
melalui praktek agroforestri dilakukan melalui pendekatan analisis biaya dan manfaat. Dari sisi petani atau pengelola proyek, proyek karbon akan menarik dan diminati apabila manfaat proyek karbon lebih besar daripada pilihan kegiatan yang sudah ada saat ini atau dinyatakan dalam hubungan : NPVC > NPVNC, dimana NPVC dan NPVNC masing-masing adalah nilai manfaat bersih (net present value) dengan proyek karbon dan tanpa proyek karbon. Kelayakan juga diperiksa melalui hubungan: BCRC > BCRNC, dimana BCRC dan BCRNC masing-masing menyatakan rasio biaya dan manfaat terdiskonto dengan atau tanpa proyek karbon. Nilai-nilai NPV dan BCR dinyatakan dalam rumus (Gittinger 1986):
51
NPV =
t=n
∑
t =1 t=n
BCR =
∑
t =1 t=n
∑
t =1
Bt − C t (1 + i ) t Bt (1 + i ) t Ct (1 + i ) t
dimana : NPV = nilai bersih sekarang (net present value) BCR = rasio pendapatan dan biaya (benefit cost ratio) Bt B
=
Komponen pendapatan pada tahun ke t
Ct = Komponen biaya pada tahun ke t i = suku bunga (interest rate) n = umur proyek sampai tahun ke n Komponen pendapatan dalam proyek karbon berasal dari penerimaan pembayaran jasa penjualan unit karbon (CER) dan pendapatan yang diperoleh dari hasil panen kayu atau hasil-hasil usaha agroforestri lainnya.
Sedangkan
komponen biaya mencakup biaya yang diperlukan untuk pembangunan dan pengelolaan agroforestri serta biaya-biaya tambahan yang diperlukan untuk terselenggaranya skema perdagangan karbon. Besarnya persediaan karbon yang dapat dihasilkan dan dijual untuk menghasilkan CER ditentukan dengan dua cara, yaitu menggunakan besarnya laju persediaan karbon yang dihasilkan setiap tahun dan dengan pendekatan t-CER yang ditentukan setiap 5 tahun.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Desa Pecekelan Deskripsi Wilayah Desa Pecekelan secara administrasi pemerintahan termasuk wilayah Kecamatan Sapuran, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Posisinya berada sejauh 20 km dari ibukota kabupaten dan sekitar 3 km dari ibukota kecamatan, pada jalur jalan raya antar kabupaten Wonosobo-Purworejo atau jalur jalan alternatif Wonosobo-Magelang. Luas wilayah desa 502,573 ha, terdiri atas enam dusun yaitu Gedangan, Kalilusi, Kliwonan, Pundung, Budan dan Panto. Desa Pecekelan berbatasan dengan Desa Sapuran (sebelah Utara), Desa Tempur Sari dan Desa Glagah (sebelah Timur), Desa Beran, Kecamatan Kepil (sebelah Selatan) dan Desa Karang Sari (sebelah Barat). Sebagian besar topografi wilayah Desa Pecekelan adalah berbukit dengan kemiringan 15-40% pada ketinggian 600-800 m di atas permukaan laut. Menurut Peta Kemampuan Tanah Dinas Pertanian Kecamatan Sapuran, jenis tanah dominan adalah regosol dari batuan induk vulkan. Suhu udara rata-rata berkisar antara 24–30oC pada siang hari dan 20oC pada malam hari. Pada bulan Juli dan Agustus (setiap tahun), suhu akan turun menjadi 12-15oC pada malam hari dan 15-20oC pada siang hari. Curah hujan rata-rata tahunan sekitar 4.338 mm/tahun, dengan tipe iklim B menurut Schmidt dan Ferguson (nilai Q = 14,3-33,3, atas dasar curah hujan tahun 1994-2003). Penggunaan Lahan dan Potensi Sumberdaya Alam Sebagian besar penggunaan lahan di Desa Pecekelan adalah sebagai tegalan (41%), sawah (27%), hutan negara (17,90%) dan lainnya dalam jumlah yang lebih kecil untuk perumahan dan pekarangan. Pemanfaatan lahan desa Pecekelan dapat dilihat pada Tabel 8. Lahan kering (tegalan) berbentuk agroforestri yaitu perpaduan antara tanaman keras (sengon, durian, mahoni, suren), tanaman perkebunan (kopi, cengkeh, kelapa) dan tanaman semusim (pisang, nanas, salak, talas). Sengon dan kopi merupakan komoditi utama dan mendominasi jenis tanaman agroforestri di Desa Pecekelan.
53
Tabel 8 Pola penggunaan lahan di Desa Pecekelan Luas lahan (ha) 1. Sawah 136,80 2. Pekarangan 38,00 3. Tanah kering/tegal 207,00 4. Tambak/kolam 2,01 5. Hutan negara 90,00 6. Lain-lain 28,80 Jumlah 502,61 Sumber : BPS Kecamatan Sapuran 2002 No.
Penggunaan lahan
Persentase (%) 27,22 7,56 41,18 0,40 17,90 5,74 100,00
Lahan basah (sawah) ditanami oleh padi, palawija, buah-buahan dan sayursayuran dengan masa panen padi sebanyak dua kali setahun yang dikombinasikan dengan penanaman palawija. Desa Pecekelan memiliki banyak potensi berupa pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, bahan galian, perikanan darat ikan tawar dan wisata. Hasil dari bidang pertanian berupa jagung, padi ladang, ubi kayu, ubi jalar, cabe, tomat dan kubis. Perkebunan terutama menghasilkan kopi dan kelapa. Produksi ternak desa Pecekelan berupa sapi, ayam, kambing, angsa, bebek dan telur. Sumber lain desa Pecekelan berupa bahan galian yang berupa pasir, dan batu kali. Dalam bidang perikanan, dilakukan budidaya menggunakan kolam dengan hasil berupa ikan mas, mujair, bawal, braskap dan lele. Wisata yang dapat dikembangkan berupa wisata hutan dan agrowisata. Sumber air untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari mata air, sumur dan PAM. Kebutuhan air untuk pertanian dan sawah berasal dari tiga sumber yaitu sungai, mata air dan bendungan. Kondisi Sosial dan Ekonomi Berdasarkan data isian potensi Desa Pecekelan tahun 2003, jumlah penduduk tercatat sebanyak 4.223 jiwa yang terdiri 1.189 KK, dengan jumlah laki-laki 2.143 jiwa (51%) dan perempuan 2.080 jiwa (49%) atau kepadatan penduduk rata-rata 841 jiwa/km2. Secara umum tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Hanya 5% saja yang sampai kejenjang SLTA/sederajat, sementara 70% lebih hanya menamatkan jenjang SD atau pernah bersekolah di SD. Sektor pertanian dan perdagangan/industri memegang peranan penting sebagai pendukung mata pencaharian utama di Desa Pecekelan (Tabel 9).
54
Penduduk yang menggantungkan hidupnya dari pertanian sebesar 54 %, terdiri atas 43% petani pemilik lahan dan 11% sebagai buruh tani. Sedangkan penduduk yang menekuni kegiatan perdagangan dan industri mencapai 27%. Tabel 9 Sebaran sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Pecekelan tahun 2002 Jumlah penduduk (jiwa) 1. Petani sendiri 618 2. Buruh tani 155 3. Pedagang 255 4. Industri 140 5. Bangunan 64 6. Angkutan 31 7. PNS/TNI 77 8. Pensiunan 18 9. Lain-lain 74 Jumlah 1.432 Sumber : BPS Kecamatan Sapuran 2002 No.
Mata pencaharian
Persentase (%) 43,15 10,82 17,80 9,78 4,47 2,16 5,38 1,26 5,18 100,00
Riwayat dan Sistem Pengelolaan Agroforestri Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2002, luas agroforestri hutan rakyat di Desa Pecekelan telah mencapai luas 207 ha berbentuk tegalan atau kebun. Luas ini relatif tidak terlalu berbeda dengan kondisi tahun 1994. Hutan rakyat di Pecekelan sudah dipraktekkan cukup lama dan proses perkembangannya tidak bisa dilepaskan dengan adanya program penghijauan pemerintah yang dimulai pada tahun 1976. Sebelumnya lahan tegalan banyak ditanam dengan kopi monokultur dan pohon cengkeh. Adanya program penghijauan bersamaan dengan jatuhnya harga kopi memotivasi petani untuk mulai menanam tegalannya dengan pohon berkayu, terutama sengon diantara tanaman kopi yang sudah ada. Hutan rakyat disini dibagi dua macam yaitu hutan rakyat swadaya seluas 100,5 ha dan hutan rakyat dampak seluas 103,5 ha. Hutan rakyat swadaya adalah hutan rakyat yang dikelola Kelompok Tani Jaya yang berdiri tanggal 16 November 1981, yang sebetulnya berperan banyak sebagai patner pemerintah dalam program penghijauan. Hutan rakyat dampak adalah hutan rakyat yang berada di luar hutan rakyat swadaya yang dikelola secara perorangan. Menurut lokasinya, hutan rakyat swadaya terbagi atas dalam dua blok yaitu blok Tanggulasi seluas 67,6 ha dan blok Patean seluas 54,7 ha.
55
Berdasarkan laporan Desa Pecekelan tahun 2000 (informasi dari tahun 1990 s/d 1994), luas tanaman sengon dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Namun perkembangannya relatif sudah tidak terdata lagi, terutama sejak Kelompok Tani Jaya sudah tidak terlalu aktif lagi. Tabel 10 Potensi sengon pada hutan rakyat di Desa Pecekelan No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5.
1990 1991 1992 1993 1994
Potensi sengon (m3) 59.937 111.052 156.608 190.435 254.435
Sumber : Laporan Desa Pecekelan 2000
Hutan rakyat di Pecekelan memiliki variasi umur yang beragam dari tegakan umur yang muda sampai yang tua, bahkan ada yang dibiarkan hingga lebih 15 tahun.
Hutan rakyat dikerjakan secara agroforestri yaitu perpaduan
antara tanaman keras (sengon, durian, mahoni, suren), tanaman perkebunan (kopi, cengkeh, kelapa) dan tanaman semusim (pisang, nanas, salak, talas). Sengon dan kopi merupakan komoditas utama dan mendominasi jenis tanaman agroforestri di Desa Pecekelan. Beberapa praktek silvikultur yang diterapkan untuk pengelolaan hutan rakyat telah mengalami banyak kemajuan. Perbanyakan tanaman sengon selain cara trubusan juga dilakukan dengan mencangkok. Penggunaan bibit umumnya dilakukan untuk menambah jumlah tanaman atau untuk pembukaan lahan baru. Pemeliharaan trubusan atau mencangkok lebih disukai karena pertumbuhan pohon jauh lebih cepat dari pada dengan bibit. Dari tunggak sengon biasanya muncul dua sampai tiga trubusan, petani kemudian menyeleksi dan memelihara salah satu dari trubusan hingga bisa dipanen kembali atau salah satu batang trubusan tersebut oleh petani diplih untuk dicangkok, setelah keluar akarnya batang dipotong dan ditanam dilahan kosong yang lain.
Sebagian petani juga telah mengoptimal
tanaman kopinya dengan menyambungnya dengan kopi unggul (kopi arabika) untuk mendapatkan hasil buah yang lebih baik. Kopi merupakan andalan utama petani selain menunggu hasil kayu sengon.
56
Petani
melakukan
pemeliharaan
tanaman
agroforestrinya
dengan
pembersihan lahan, memelihara teras, pengawasan terhadap serangan hama sengon dan pemupukan. Pembersihan lahan yang dimaksud berupa pendangiran rumput yang dilakukan secara rutin maupun tidak. Terasering dilakukan karena hutan desa Pecekelan berbukit-bukit dengan tujuan untuk mencegah erosi dan longsor selain juga untuk menahan pupuk agar tidak cepat tercuci. Pemupukan yang dilakukan petani sebenarnya untuk tanaman kopi, tetapi karena jarak yang dekat antara sengon dengan kopi maka otomatis sengon juga ikut merasakan pupuk tersebut. Jenis pupuknya beragam dari pupuk kandang, pupuk hijau dan pupuk buatan. Di antara jenis pupuk tersebut pupuk hijau lebih sering digunakan karena pengadaannya lebih mudah dan murah. Sedangkan pupuk jenis lain harus didatangkan dari luar daerah sehingga membutuhkan biaya lebih mahal. Pengadaan pupuk ini hanya dilakukan oleh beberapa petani tertentu saja. Penyakit yang sering menyerang sengon adalah uter-uter yaitu ulat pengerat batang sengon yang berakibat pada matinya pohon sengon. Di Desa Pecekelan dan beberapa desa lain di sekitarnya telah berkembang industri penggergajian kayu sengon dengan pesat. Keadaan tersebut mendorong semakin mudahnya petani menjual kayu sengon yang dimilikinya. Kayu sengon ditebang dengan cara dipilih (tebang mipil) atau kadang-kadang dijual secara keseluruhan (tebang habis). Umumnya kayu dijual ketika masih berdiri kepada pengumpul/bakul kayu, dan selanjutnya dijual/diserahkan oleh pengumpul ke industri. Di Pecekelan telah terdapat pabrik kayu lapis yang menggunakan bahan baku kayu sengon. Tabel 11 memperlihatkan perkembangan harga jual kayu sengon pada tahun 2004. Tabel 11 Harga jual rata-rata kayu sengon pada tingkat petani di Desa Pecekelan tahun 2004 Jenis dan Kualitas Kayu
Ukuran kayu/batang
Harga jual (Rp)
Sengon, kualitas biasa (pohon berdiri)
Keliling 90 cm Keliling 80 cm Keliling 60 cm Keliling 40 cm
200.000/batang 100.000 – 150.000/batang 50.000/batang 15.000/batang
Sengon, kualitas super (panjang 1,3 m)
Diam. 25-50 cm Diam. 20-24 cm Diam. 15-19 cm Diam. 10-15 cm
280.000/m3 265.000/m3 160.000/m3 140.000/m3
57
Hasil pengelolaan agroforestri yang cukup besar diperoleh dari hasil panen kopi yang diperoleh setiap tahun. Panen kopi yang cukup tinggi hingga mencapai panen 750 kg/ha/tahun diperoleh dari kopi unggul/okulasi, sedangkan rata-rata hanya 300 kg/ha/tahun dari hasil kopi lokal. Pada saat penelitian harga kopi kering rata-rata Rp 4.000/kg. Dalam waktu tertentu juga diperoleh kayu bakar hasil pembersihan batang kopi tua dan dijual dengan harga Rp 40.000/stapel (kurang lebih 0.75 m3).
Desa Kertayasa Deskripsi Wilayah Desa Kertayasa secara administrasi pemerintahan termasuk wilayah Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat.
Posisinya
berada sejauh 29 km dari ibukota kabupaten dan sekitar 7 km dari ibukota kecamatan, pada jalur jalan raya yang menghubungkan Ciamis - Cirebon atau Ciamis - Kuningan. Luas wilayah desa 1087,460 ha, terdiri atas tujuh dusun yaitu Singgugu, Dayeuh Landeuh, Cirukem, Susuru, Cibariwal, Cilulumpang, dan Mekar Mulya.
Desa Kertayasa berbatasan dengan Desa Indragiri dan Desa
Karangpaningan (sebelah Utara), Desa Citeureup, Kecamatan Kawali (sebelah Selatan), Desa Sadewata, Kecamatan Kawali (sebelah Barat) serta Desa Panawangan dan Desa Purwasari, Kecamatan Panawangan (sebelah Timur). Berdasarkan pembagian wilayah daerah aliran sungai (DAS), Desa Kertayasa berada di wilayah sub-DAS Cimuntur, DAS Citanduy.
Sub-DAS
Cimuntur berdasarkan letaknya menurut hulu-hilir pembagian DAS termasuk kelompok Sub-DAS Citanduy Hulu, sehingga sangat penting dari sisi konservasi tanah dan air. Sebagian besar topografi wilayah Desa Kertayasa adalah berbukit sampai bergunung dengan kemiringan 25-150%, pada ketinggian 500-700 m di atas permukaan laut. Menurut Peta Tanah Tinjau Kabupaten Ciamis, jenis tanah dominan adalah tanah latosol dan podsolik.
Kedua macam tanah tersebut
memiliki kandungan liat yang tinggi dan tergolong tanah yang sangat peka terhadap erosi. Curah hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun (1994-2003) mencapai 3.076 mm/tahun dengan 184 hari hujan/tahun. Wilayah ini termasuk
58
dalam tipe iklim B menurut Schmidt dan Ferguson (nilai Q = 22%). Musim kemarau terutama terjadi dalam bulan Juli-September.
Suhu udara rata-rata
o
mencapai 32 C pada siang hari. Penggunaan Lahan dan Potensi Sumberdaya Alam Sesuai dengan tipologi wilayahnya yang umumnya berbukit hingga bergunung, maka penggunaan lahan di Desa Kertayasa sebagian besar berupa lahan kering/tegalan (75,24%) dan hanya sedikit (11,53%) yang memungkinkan untuk lahan sawah. Sebaran penggunaan lahan Desa Kertayasa dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Pola penggunaan lahan di Desa Kertayasa No.
Penggunaan lahan
1. 2. 3. 4. 5.
Permukiman & pekarangan Fasilitas umum Empang/kolam Sawah
Tanah kering/tegalan
Jumlah Sumber : Kantor Desa Kertayasa, 2003
Luas lahan (ha) 118,00 12,00 14,00 125,41 818,56 1087,96
Persentase (%) 10,85 1,10 1,29 11,53 75,24 100,00
Kondisi lapangan yang umumnya berbukit sampai berbukit curam menyebabkan sebagian lahan tegalan di wilayah ini diusahakan dalam bentuk agroforestri kebun campuran, dimana penggunaan pohon lebih dominan dibandingkan dengan penggunaan tanaman pertanian semusim. Pohon yang ditanam di tegalan umumnya penghasil kayu (sengon, kayu afrika, mahoni), tanaman perkebunan (kopi), dan tanaman buah (nangka, kelapa).
Tanaman
semusim yang masih bisa diusahakan adalah ubikayu. Lahan datar umumnya hanya sedikit dijumpai yang berada pada daerah lembah di celah-celah bukit yang masih bisa diusahakan dengan tanaman sawah tadah hujan atau yang mendapat pengairan dari parit yang mengalir kedaerah yang lebih rendah. Pada saat musim kemarau sebagian sawah tidak bisa ditanami atau hanya mungkin ditanami dengan palawija.
Pada daerah datar
yang dekat dengan rumah tempat tinggal juga
dimanfaatkan untuk empang/kolam pemeliharaan ikan. Peternakan merupakan kegiatan penting selain mengusahakan kebun kayu. Hampir sebagian besar rumah tangga memelihara ternak domba, karena mudahnya memperoleh pakan ternak tersebut.
Beberapa rumah tangga juga
59
melakukan kegiatan pembesaran ternak ayam potong untuk kebutuhan di luar daerah (Bandung/Jakarta). Kondisi Sosial dan Ekonomi Berdasarkan data monografi Desa Kertayasa tahun 2003, jumlah penduduk tercatat sebanyak 4.060 jiwa dengan 1.349 KK, terdiri atas laki-laki 2.020 jiwa dan perempuan 2.040 jiwa. Dibandingkan dengan luas wilayah desa, kepadatan penduduk rata-rata 373 jiwa/km2. Secara umum tingkat pendidikan masyarakat masih rendah. Sekitar 78% hanya berpendidikan sekolah dasar (SD), sementara yang mampu menyelesaikan hingga ke tingkat SMU/SLTA ke atas kurang dari 10%. Namun demikian penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah relatif kecil (hanya 0.4%). Sektor pertanian memegang peranan penting sebagai pendukung mata pencaharian utama di Desa Kertayasa (lihat Tabel 13).
Penduduk yang
menggantungkan hidupnya dari kegiatan pertanian mencapai jumlah lebih dari 75 %, terdiri atas 26% petani pemilik lahan dan hampir 50 % sebagai buruh tani. Kegiatan pertanian yang menonjol adalah pertanian lahan kering pada tanah tegalan untuk menghasilkan tanaman semusim (palawija). Tabel 13 Sebaran sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Kertayasa tahun 2002 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Mata pencaharian Petani sendiri Buruh tani Wiraswasta/Pedagang Pertukangan Pegawai/Karyawan Sektor jasa Pensiunan Jumlah
Jumlah penduduk (jiwa) 990 1.870 250 210 217 51 180 1.432
Persentase (%) 26,27 49,63 6.63 5,57 5,76 1,35 4,78 100,00
Sumber : Monografi Desa Kertayasa 2003
Riwayat dan Sistem Pengelolaan Agroforestri Wilayah Desa Kertayasa berada dalam wilayah DAS Citanduy Hulu, dan sebelumnya merupakan wilayah yang memiliki lahan terdegradasi yang sangat luas. Desa Kertayasa menjadi salah satu bagian kecil dari wilayah kerja Proyek DAS Citanduy yang dimulai tahun 1977.
Bentuk lapangan yang hampir
60
seluruhnya miring sampai berbukit menyumbang erosi tanah yang besar ke daerah yang lebih rendah hingga terbawa ke Sungai Cimuntur (Sub DAS Sungai Citanduy Hulu). Pola penggunaan lahan yang telah berlangsung sangat lama menggunakan tanaman semusim (palawija) dan penanaman seraiwangi secara luas tanpa tindakan konservasi tanah telah membuat tanah semakin miskin dan gampang tererosi di musim penghujan dan krisis air di musim kemarau. Pada tahun 1977 Proyek DAS Citanduy membuat proyek percontohan konservasi tanah dan air di Kertayasa dalam bentuk pembangunan terasering. Proyek ini dilakukan bertahap dan berlangsung hingga akhir tahun 1980, dan mencakup beberapa desa di sekitar Desa Kertayasa. Proyek melibatkan sejumlah kelompok tani untuk pembuatan terasring hingga mencapai luas 250 ha lebih. Bersamaan dengan proyek tersebut, melalui proyek P3RPDAS yang dilakukan Departemen Pertanian juga diperkenalkan program reboisasi dan penghijauan. Lewat program ini masyarakat mendapat bantuan bibit tanaman pohon untuk ditanam selain tanaman pertanian semusim. Masa ini dianggap sebagai mulai dikenalnya agroforestri di wilayah ini. Sebelumnya perkebunan cengkeh rakyat cukup berkembang disini, tetapi sekitar 1995 sejalan dengan semakin jatuhnya harga cengkeh, hampir semua pohon cengkeh ditebang atau tidak diurus lagi dan diganti dengan pohon kayu-kayuan dan penghasil buah. Umumnya agroforestri di Kertayasa dikelola tidak intensif dan lebih dianggap sebagai hasil sampingan. Pertumbuhan pohon sangat mengandalkan hasil trubusan, dan tidak ada perbaikan mutu pertumbuhan. Karena ruang yang ada tidak digunakan untuk penanaman jenis lain (misalnya tanaman semusim, pohon di bawah tegakan), maka pertumbuhan pohon umumnya rapat. Pemeliharaan tanaman mungkin hanya dilakukan ketika muda, dan sesudahnya dibiarkan. Walaupun potensi pupuk kandang cukup tinggi, tetapi sangat jarang petani yang memupuk tanamannya. Pada saat ini, kayu merupakan sumber penghasilan penting bagi masyarakat yang mengelola lahan tegalan.
Kayu yang diproduksi dan dijual ke industri
umumnya kayu sengon dan mahoni, sedangkan jenis kayu yang lain umumnya untuk dipergunakan sendiri. Umumnya petani menjual kayu ketika pohon masih berdiri, melalui pengumpul. Kayu tersebut selanjutnya akan bawa ke industri
61
untuk diproses menjadi papan berbagai ukuran. Banyak industri penggergajian kecil yang beroperasi hingga kedalam wilayah desa, sehingga memudahkan petani untuk menjual hasil kayunya. Selain kayu sengon atau mahoni, kayu bakar dari pohon kopi atau pohon keras lain juga dihasilkan dari kebun kayu dan dijual untuk keperluan industri genteng di Jatiwangi. Harga kayu bakar bervariasi tergantung jenis kayunya. Kayu bakar dari jenis kopi, puspa dan cengkeh dibeli dengan harga Rp 27.000/m3 sedangkan kayu sengon hanya berharga Rp 20.000/m3. Tabel 14 memperlihatkan perkembangan harga jual beberapa jenis kayu yang umum diproduksi dari agroforestri di Kertayasa. Tabel 14 Harga jual rata-rata kayu pada tingkat petani di Desa Kertayasa tahun 2004 Jenis dan Kualitas Kayu
Ukuran kayu/batang
Harga jual (Rp)
Mahoni (pohon berdiri)
Diam. 20-29 cm Diam. > 30 cm
80.000/pohon 125.000/pohon
Sengon (pohon berdiri)
Diam. 10-14 cm Diam. > 15 cm Diam. > 20-24 cm Diam. 25-30 cm Diam. > 30 cm
25.000/pohon 35.000/pohon 50.000/pohon 70.000/pohon 100.000/pohon
Mahoni (sortimen 1,5-3 m)
Diam. > 20 cm Diam. 30-40 cm Diam. > 50 cm
500.000/m3 1.000.000/m3 1.200.000/m3
Puspa, tisuk (sortimen 1,5-3 m)
Diam. > 30 cm
600.000/m3
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Agroforestri dan Keanekaragaman Jenis Praktek agroforestri secara luas umumnya berlangsung di lahan-lahan tegalan, yaitu lahan kering dengan bentuk lapangan datar sampai berbukit yang lahannya sudah tidak sesuai untuk tanaman sawah. Lahan tegalan dengan status tanah milik lokasinya berada dalam jarak yang tidak terlalu jauh dari rumah tempat tinggal (kurang dari 1 km), kalaupun lebih jauh biasanya masih berada dalam satu wilayah desa. Praktek agroforestri juga dilakukan di lahan pekarangan di sekitar lingkungan rumah tinggal. Dalam penelitian ini, praktek agroforestri akan dibatasi pada agroforestri yang dilakukan di lahan tegalan tersebut. Jenis-jenis pohon penyusun tegakan agroforestri dengan pola kebun campuran di Kertayasa relatif lebih beragam dibandingkan dengan tegakan agroforestri pola tegakan murni di Pecekelan, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 15 dan 16. Ditemukan sebanyak 62 jenis pohon yang menyusun tegakan agroforestri kebun campuran dan hanya ditemukan 25 jenis pohon yang menyusun tegakan agroforestri murni. Jenis-jenis tersebut hanya pada jenis yang tergolong pohon berkayu, belum memperhitungkan jenis pisang dan bambu serta jenis lain berbentuk herba atau tanaman semusim yang juga ditemukan di kedua lokasi penelitian.
Di bawah tegakan atau pada lahan tegalan yang masih terbuka,
biasanya lahan masih ditanami dengan tanaman pangan (ubikayu) dan tumbuhan rempah/obat.
Penggunaan lahan untuk tanaman semusim terutama dilakukan
pada saat lahan baru dibuka atau tanaman pohon masih berumur muda. Pada tegakan murni di Pecekelan, kehadiran atau frekuensi relatif spesies sengon (P. falcataria) dan kopi (Coffea robusta) mencapai 50% dari seluruh jenis pohon yang ditemukan. Jenis lain yang ditemukan adalah nangka, mahoni, suren, waru, petai dan kelapa. Sepuluh jenis dominan yang menyusun agroforestri murni tersebut sudah mencapai lebih 80% dari total frekuensi jenis yang ditemukan. Tegakan agroforestri murni lebih menonjol dengan asosiasi jenis sengon dan kopi, karena praktek agroforestrinya terutama berorientasi untuk menghasilkan kayu sengon sekaligus buah kopi. Pada pola kebun campuran di Kertayasa, kehadiran atau frekuensi jenis pohon relatif lebih tersebar ke dalam beberapa jenis, terutama
63
jenis sengon, mahoni, kopi, puspa, kayu afrika, nangka, petai dan cengkeh. Jenisjenis tersebut umumnya memiliki frekuensi kehadiran yang tidak terlalu jauh berbeda. Dibandingkan dengan di Pecekelan, agroforestri kebun campuran di Kertayasa selain untuk
penghasil kayu dengan jenis yang beragam, juga
dikombinasikan dengan jenis penghasil buah atau hasil non kayu lain. Namun demikian di beberapa tempat juga ditemukan agroforestri murni dengan jenis sengon yang cenderung monokultur. Di Kertayasa jenis kopi walaupun dominan ditemukan tetapi saat ini hanya dimanfaatkan sebagai penghasil kayu bakar bukan untuk menghasilkan buah. Tabel 15 Keanekaragaman jenis pohon tegakan agroforestri di Desa Pecekelan No.
Jenis
Nama Ilmiah
Hasil/manfaat
Frekuensi relatif (%) Per plot
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Total
Kopi Sengon Nangka Mahoni Suren Waru Cengkeh Petai Kelapa Secang Durian Melinjo Jenitri Rambutan Jengkol Duku Alpukat Kapuk Randu Limus Petai Cina Sungkai Damar Jambu Kayu Manis Sirsak
Coffea robusta Paraserianthes falcataria Artocarpus heterophyllus Swietenia macrophylla Toona surenii Hibiscus sp, Eugenia aromatica Parkia speciosa Cocos nucifera Gliricidia sepium Durio zibethinus Gnetum gnemon Elaeocarpus angustifolius Nephellium lappaceum Phithecelobium jiringa Lansium domesticum Persea americana Ceiba pentandra Mangifera foetida Leucaena leucocephala Peronema canescens Agathis loranthifolia Eugenia sp, Cinnamomum zeylanicum Annona muricata
buah, kayu kayu buah, kayu kayu kayu kayu buah, kayu buah buah, kayu daun, kayu buah, kayu buah kayu buah buah buah, kayu buah kayu buah buah, daun kayu kayu buah kulit kayu buah
Per milik
23,56 23,56 8,16 5,74 4,83 4,83 4,53 4,53 3,32 3,32 2,42 1,81 1,51 1,51 1,21 0,91 0,60 0,60 0,60 0,60 0,60 0,30 0,30 0,30 0,30
14,58 14,58 9,72 6,94 6,25 6,25 4,86 6,25 6,94 2,78 2,08 1,39 3,47 2,08 2,08 1,39 1,39 1,39 0,69 0,69 1,39 0,69 0,69 0,69 0,69
100,00
100,00
64
Tabel 16. No. 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
Keanekaragaman jenis pohon tegakan agroforestri di Desa Kertayasa
Jenis Pohon
Nama Ilmiah
Hasil/Manfaat
2 Sengon Mahoni Kopi Puspa Kayu Afrika Nangka Petai Cengkeh Huru Jengkol Alpukat Tisuk Rambutan Limus Akasia Aren Ki Harupat Duku Bintinu Kelapa Ramanten Suren Calik Angin Pocol Sampang Dadap Ki Bodas Ki Taleus Mangga Durian Harendong Kapuk Randu Ki Jangkar Mareme Pala Pisitan Monyet Sasah Talingkup Cokelat Jambu Batu Jambu Monyet Ki Hujan Ki Pare Manggis Mara Tangkil
3 Paraserianthes falcataria Swietenia macrophylla Coffea robusta Schima wallichii Maesopsis eminii Artocarpus heterophyllus Parkia speciosa Eugenia aromaticum Litsea glutinosa Pithecellobium jiringa Persea americana Hibiscus macrophyllus Nephelium lappaceum Mangifera foetida Acacia auriculiformis Arenga pinnata Rapanea hasseltii Lansium domesticum Melochia umbellata Cocos nucifera Toona sureni Evodia aromatica Erithryna variegara Homalium tomentosum Notaphoebe umbelliflora Mangifera indica Durio zibethinus Astronia spectabilis Ceiba pentandra Glochidion arborescens Myristica fragrans Dysoxylum nutans Aporosa frutescens Claoxylon polot Theobroma cacao Psidium guajava Anacardium occidentale Samanea saman Glochidion capitatum Garcinia mangostana Macaranga rhizinoides Gnetum gnemon
4 kayu kayu buah, kayu kayu kayu buah, kayu buah buah, kayu kayu buah buah kayu buah buah, kayu kayu nira kayu buah kayu buah, kayu kayu kayu kayu kayu kayu kayu kayu kayu buah buah, kayu kayu kayu kayu kayu buah kayu kayu kayu buah buah buah kayu kayu buah kayu buah, daun
Frekuensi Relatif (%) Per plot Per milik 5 6 8,55 5,85 8,18 5,85 7,82 5,56 6,73 5,56 6,55 5,26 6,18 5,26 4,91 4,97 4,55 4,39 4,00 3,80 3,82 4,39 3,45 4,09 2,73 2,05 2,36 2,92 2,00 2,63 1,64 2,05 1,64 2,34 1,45 1,75 1,45 2,05 1,27 1,46 1,27 1,46 1,27 2,05 1,27 1,17 1,09 0,88 1,09 1,46 0,91 1,46 0,73 0,58 0,73 1,17 0,73 1,17 0,73 0,88 0,55 0,58 0,55 0,58 0,55 0,29 0,55 0,88 0,55 0,88 0,55 0,88 0,55 0,88 0,55 0,58 0,55 0,88 0,36 0,58 0,36 0,58 0,36 0,58 0,36 0,58 0,36 0,58 0,36 0,58 0,36 0,29 0,36 0,29
65
Tabel 16 (lanjutan) 1 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 Total
2 Picung Harendong Raja Huru Batu Huru Sereh Jajambean Ki Malela Ki Cehay Ki Heras Ki Hiang Ki putat Ki Teja Pipadali Salam Simpur Sirsak Pelawan
3 Pangium edule Astronia macrophylla Litsea sp, Litsea sp, Podocarpus blumei Vitex pubescens Albizzia procera Planchonia valida Cinnamomum iners Eugenia polyantha Dillenia eximia Annona muricata Tristania maingayi
4 buah kayu kayu kayu kayu kayu kayu kayu kayu kayu kulit kayu daun kayu buah kayu
5 0,36 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 0,18 100,00
6 0,58 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 0,29 100,00
Tabel 17 Karakteristik umum pola agroforestri di Desa Pecekelan dan Kertayasa Parameter
Karakteristik Tegakan Agroforestri Ds. Pecekelan Ds. Kertayasa
Komposisi jenis
Cenderung lebih homogen dominan jenis sengon dan kopi, sedikit jenis lain
Jenis campuran (banyak jenis) kombinasi daur pendekmenengah, dan pohon buahbuahan
Stratifikasi tajuk
Pohon penaung tetapi tajuk berlapis
Tajuk berlapis multi strata
Pola tanam
Menyesuaikan dengan pola naungan sengon terhadap kopi. Permudaan alami dan buatan.
Tidak tergantung dengan kehadiran jenis lain. Sebagian dengan permudaan alami.
Macam hasil utama
Terutama kayu sengon dan buah kopi, tanaman semusim.
Terutama kayu kombinasi daur pendek & menengah, kayu bakar, tanaman pangan
Tindakan pengelolaan
Lebih intensif (olah tanah, penanaman, pemeliharaan trubus, ada pemeliharaan/ perlindungan hama penyakit, pemupukan kopi, penyiangan, perbaikan teras dll)
Kurang intensif (olah tanah minimal tanpa pemeliharaan teras, permudaan alami dan trubusan, sedikit/tanpa pupuk, sedikit penyiangan/dangir).
Ciri lingkungan fisik
Lapangan sedikit miringbergelombang ringan (<25%), tanah lebih subur
Topografi miring-sangat curam (>100%), tanah kurang subur
Penguasaan lahan
Rata-rata pemilikan lebih luas
Rata-rata pemilikan lebih sempit
66
Keanekaragaman jenis yang terdapat di kedua lokasi penelitian, terutama di Kertayasa termasuk tinggi apabila dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh beberapa penelitian lain. Ginoga et al. (2002) melaporkan hanya terdapat masingmasing 11 jenis dan 28 jenis pohon yang menyusun agroforestri di Tasikmalaya dan Ciamis. Sementara itu Roshetko et al. (2001) melaporkan pada praktek agroforestri kebun di pekarangan (homegarden) yang telah berumur 12-17 tahun di Lampung, terdapat 45 jenis pohon, dengan komposisi jenis penghasil non kayu yang lebih dominan. Di Pecekelan dan Kertayasa walaupun praktek agroforestri dilakukan pada bentang lahan yang relatif sama, tetapi di kedua lokasi penelitian ini terdapat perbedaan dalam cara-cara pengelolaannya. Perbedaan meliputi cara penyiapan lahan, pemilihan jenis, cara penanaman dan intensitas pemeliharaan dan pemanfaatan hasil. Tabel 17 di atas menunjukkan beberapa perbedaan praktek yang diterapkan di kedua lokasi penelitian tersebut. Memperhatikan karakteristik praktek agroforestri yang diperlihatkan di kedua
lokasi penelitian di atas, maka untuk uraian selanjutnya praktek
agroforestri di Pecekelan dianggap sebagai pewakil dari praktek agroforestri murni (pohon penaung) dan agroforestri di Kertayasa sebagai pewakil praktek agroforestri dengan pola kebun campuran. Ciri-ciri Tempat Tumbuh Tegakan Agroforestri Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, praktek agroforestri yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah agroforestri yang berada pada lahan kering yang dalam sistem tataguna lahan desa diklasifikasi sebagai lahan tegalan. Lahan tegalan dalam wilayah penelitian menempati areal terluas masing-masing hingga 40% dan 75% dari luas keseluruhan wilayah Desa Pecekelan dan Kertayasa. Lahan tegalan umumnya permukaan lahannya miring hingga berbukit, bahkan di Kertayasa hingga mencapai lapangan dengan kemiringan >100%. Tegakan agroforestri tumbuh pada tempat dengan ketinggian antara 600-900 m dpl dan dengan curah hujan di atas 3.000 mm/tahun. Kedua wilayah penelitian termasuk tipe iklim B (menurut Schmidt & Ferguson) dengan 2-3 bulan kering dalam setahun, namun wilayah Pecekelan memiliki intensitas hujan yang jauh
67
lebih tinggi hingga 26 mm/hari hujan, dibandingkan dengan daerah Kertayasa yang hanya 17 mm/hari hujan. Berdasarkan hasil pengamatan lapang, tegakan agroforestri di Pecekelan tumbuh di atas tanah andosol sedangkan di Kertayasa pada tanah latosol dan podsolik (klasifikasi tanah menurut Puslittan 1983). Tanah andosol adalah tanah yang terbentuk dari hasil letusan gunung api, khususnya yang berwarna abu-abu. Desa Pecekelan masih berada dalam wilayah gunung api Gunung Sumbing. Di lapangan solum tanah andosol sangat dalam dan stratifikasi lapisan horison tidaklah nampak, tanahnya relatif sangat remah.
Tanah andosol cenderung
memiliki bobot isi tanah yang sangat rendah dan nilai permeabilitas yang tinggi (sangat sarang). Tanah andosol menyerap air banyak, KTK (kapasitas tukar kation) yang tinggi dan banyak mengandung bahan organik. Tanah ini karena berada pada tahap pelapukan tingkat menengah maka memiliki kadar debu yang tinggi dengan persediaan unsur hara yang cukup. Tanah latosol terbentuk dari bantuan asam menengah, memiliki ciri warna kemerah-merahan atau kekuningan.
Tanah dikuasai oleh liat kaolinit dan
berbagai oksida besi dan oksida aluminium yang terhidrat sampai tingkat yang berbeda-beda. Lasotol yang telah tercuci berlebihan dan bersifat asam menjadi oksisol yang terjadi pada daerah dengan curah hujan tinggi. Latosol mempunyai KTK yang agak rendah,sehingga keberadaan unsur haranya yang tersimpan sangat tergantung pada keberadaan bahan organiknya. Tanah podsolik memiliki sifat seperti tanah latosol, tetapi tanah ini semakin dalam horisonnya makin dikuasai unsur liat, sehingga tanahnya cenderung padat dan tidak dapat meloloskan air. Tanah podsolik cenderung lebih asam. Tabel 18 menyajikan keterangan tentang tapak dan sifat-sifat tanah yang terukur di lokasi penelitian di Pecekelan dan Kertayasa. Terdapat perbedaan sifat fisik dan kimia tanah di kedua lokasi penelitian atas dasar hasil analisis tanah. Tanah di Pecekelan mampu menyimpan air lebih banyak dan kondisinya lebih sarang jika dibandingkan dengan tanah di Kertayasa,
dicerminkan dari
kadar air yang lebih tinggi dan kerapatan bulk (bulk density) yang lebih rendah (sangat nyata, p <0,01).
Kedua lokasi penelitian berbeda tekstur tanahnya.
Tanah di Pecekelan bertekstur lempung, dimana lebih 40% tanahnya mengandung
68
unsur debu, dan sisanya berupa pasir dan liat dengan proporsi yang hampir sama. Sebaliknya tanah di Kertayasa bertekstur liat, karena lebih 65% tanahnya mengandung liat dengan sangat sedikit unsur pasir (< 6%), yang menyebabkan tanahnya lebih padat dan sedikit menahan air. Tabel 18 Beberapa sifat tanah dan ciri tempat tumbuh tegakan agroforestri di Desa Pecekelan dan Desa Kertayasa Sifat-sifat Tanah & Ciri Tapak Tumbuh
Lokasi Ds Pecekelan
Lokasi Ds Kertayasa
Kedalaman 0-10 cm
Kedalaman 10-20 cm
Kedalaman 0-10 cm
Kedalaman 10-20 cm
57,78 (8,66)
58,48 (2,90)
43,54 (4,51)
42,25 (4,53)
0,70 (0,10)
0,68 (0,05)
0,96 (0,12)
0,92 (0,12)
Pasir (%)**
29,85 (8,21)
29,01 (9,51)
5,94 (2,77)
4,00 (1,81)
Debu (%)**
43,55 (8,09)
48,83 (7,78)
26,29 (8,87)
28,99 (11,37)
Liat (%)**
26,61 (9,81)
22,16 (5,60)
67,77 (10,90)
67,02 (11,53)
pH H2O**
4,9 (0,21)
5,07 (0,30)
4,50 (0,25)
4,48 (0,17)
pH KCl**
3,92 (0,22)
4,14 (0,29)
3,64 (0,22)
3,56 (0,16)
C-organik (%)**
3,52 (1,02)
2,44 (0,47)
2,44 (0,55)
1,56 (0,32)
N total (%)*
0,29 (0,06)
0,24 (0,04)
0,23 (0,04)
0,20 (0,08)
11,94 (2,28)
10,23 (0,81)
10,59 (1,35)
10,08 (1,95)
0,54 (0,25)
0,39 (0,20)
0,31 (0,38)
0,23 (0,29)
7,7 (1,4)
6,8 (1,4)
4,1 (1,8)
3,3 (0,5)
24,86 (5,09)
22,05 (3,31)
20,82 (5,59)
17,90 (5,44)
70,5 (11,4)
51,8 (6,6)
66,5 (11,2)
49,8 (7,9)
Sifat Fisik Tanah* Kadar Air ((%)** Bulk Density (g/cm3)**
Sifat Kimia Tanah*
tn
C/N Rasio
K total (ppm)tn P tersedia (Bray1) (ppm)** tn
KTK (me/100 g)
*
Kandungan C (ton/ha)
Macam tanah (Puslittan 1983, FAO 1974)
Andosol / Andosol
Latosol & Podsolik / Ferrasol & Acrisol
Kemiringan lapang
15 – 40 % (landai – curam)
15 – 55 % (landai-sangat curam)
Altitude (m dpl)
765 – 890
800 – 910
Curah hujan & hari hujan 4.293 mm/tahun (167 hari) 3.076 mm/tahun (184 hari) Tipe Iklim (Scmidt & Ferguson) B (Q=33%) B (Q=22%) Nilai rata-rata dari 9 dan 11 contoh lokasi pengambilan contoh tanah. Angka dalam tanda kurung menyatakan simpangan baku. ** : berbeda sangat nyata (p <0,01), * : berbeda nyata (p <0,05), tn : tidak berbeda nyata (p>0,05), dari uji beda antar lokasi.
Dalam hal sifat kimia tanah, perbedaan yang sangat nyata (p <0,01) terjadi pada keasaman tanah (pH), dimana tanah di Kertayasa cenderung lebih asam. Tanah Pecekelan mengandung lebih banyak bahan organik (sangat nyata, p
69
<0,01), kadar N-total (nyata, p <0,05), dan kadar P-tersedia yang lebih tinggi (sangat nyata, p <0,01). Namun tidak terdapat perbedaan dalam kandungan Ktotal dan KTK (tidak nyata, p>0,05). Kadar N-total yang tinggi di Pecekelan mungkin disebabkan umur agroforestri yang sudah berlangsung lama di Pecekelan dibandingkan dengan di Kertayasa. Memperhatikan kondisi tempat tumbuh dan ciri-ciri fisik dan kimia tanah yang dimiliki kedua lokasi penelitian di atas, maka dari sisi kualitas tempat tumbuh, tempat tumbuh agroforestri tegakan murni di Desa Pecekelan lebih baik daripada tempat tumbuh agroforestri kebun campuran di Desa Kertayasa. Kondisi tempat tumbuh ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan sejarah pengelolaan agroforestri di kedua lokasi penelitian. Agroforestri di Desa Pecekelan telah berlangsung lebih dari 30 tahun yang lalu, sedangkan di Desa Kertayasa berkembang belakangan tetapi sudah berumur lebih 20 tahun. Kandungan karbon tanah yang cukup tinggi yang terdapat di kedua lokasi penelitian ini memberikan indikasi telah berlangsungnya dekomposisi karbon yang cukup lama dari vegetasi pohon berkayu, yang akan berbeda dengan lahan yang tidak bervegetasi. Kondisi pengelolaan agroforestri di kedua lokasi penelitian ini tidak bisa sepenuhnya dijadikan sebagai baseline untuk pengelolaan proyek aforestasi/ reforestasi, karena aforestasi/reforestasi di mulai pada kondisi lahan yang terdegradasi atau tanpa vegetasi, yang dari kualitas tempat tumbuh akan lebih rendah dari kualitas tempat tumbuh di kedua lokasi penelitian ini.
Struktur Horizontal Tegakan Agroforestri Struktur tegakan mencakup struktur tegakan vertikal, struktur tegakan horizontal dan struktur spasial. Struktur tegakan vertikal memperlihatkan susunan tegakan atas dasar adanya stratifikasi ketinggian tajuk, sedangkan struktur horizontal menunjukan distribusi pohon berdasarkan ukuran diameter pohon yang menyusun
tegakan.
Struktur
tegakan
spasial
menyatakan
sifat
pola
pengelompokkan dan distribusi jenis dalam ruang tumbuh. Dalam penelitian ini struktur tegakan yang dimaksudkan adalah struktur tegakan horizontal.
70
Walaupun pada awalnya tegakan agroforestri dibangun melalui penanaman buatan yang terjadi dalam pengelolaan hutan tanaman, namun struktur tegakan akhirnya sangatlah berbeda dengan hutan tanaman.
Hutan tanaman yang
dibangun dengan menetapkan daur yang akan mengatur masa penanaman dan panen secara teratur umumnya akan membentuk tegakan seumur dan memiliki struktur tegakan yang mendekati bentuk distribusi simetris atau mendekati simetris (Husch et al. 2003; Davis et al. 2001). Struktur tegakan agroforestri cenderung mengarah mendekati struktur tegakan tegakan tidak seumur (unevenaged stands), dimana distribusi pohonnya akan membentuk kurva mendekati bentuk huruf J-terbalik (Meyer 1952 dalam Davis et al. 2001). Struktur tegakan semacam ini terjadi pada hutan yang terjadi secara alami (hutan alam). Struktur tegakan agroforestri yang cenderung mengarah pada kurva huruf J-terbalik tersebut sangat erat kaitanya dengan cara pengelolaan tegakan yang umum dilakukan petani. Walaupun tegakan agroforestri dibangun lewat penanaman, tetapi petani sangat jarang menerapkan tebang habis dalam pemanenan kayunya. Penebangan yang dilakukan dalam periode waktu tertentu dilakukan dengan
memilih
beberapa pohon yang telah mencapai ukuran tertentu sesuai permintaan pasar atau sudah mencapai ukuran yang ekonomis, atau karena sudah menghalangi pertumbuhan pohon yang dinaunginya. Tebang habis dilakukan apabila akan dilakukan peremajaan pohon kopi atau apabila mutu trubusan sudah tidak terlalu baik lagi. Pada tunggak sisa penebangan akan tumbuh tunas-tunas baru (trubusan) yang akan menggantikan pohon yang sudah ditebang, atau secara sengaja ditanam pohon baru untuk mengoptimalkan ruang yang kosong di antara tegakan yang sudah ada. Dengan praktek demikian, maka konsep daur tunggal untuk tanaman menjadi kabur karena penanaman atau penebangan dalam bidang yang sama bisa dilakukan kapan saja, dan sebagai gantinya setiap individu pohon memiliki masa daurnya sendiri. Pengelolaan agroforestri sebagaimana ditunjukkan oleh kedua lokasi penelitian di atas sebetulnya adalah bentuk adaptasi yang dilakukan petani untuk mengatasi masalah keterbatasan pemilikan lahan yang sempit dan memperoleh
71
hasil dalam waktu yang lebih singkat dari berbagai kombinasi jenis dan hasil tanpa harus menunggu semua pohon mencapai umur tebangnya. Tabel 19 berikut menyajikan nilai-nilai parameter k dan a dari persamaan:
N = ke − aD , dimana N = jumlah pohon menurut kelas diameter pohon (pohon/ha), D= kelas diameter pohon mulai diameter 5 cm ke atas (cm), k dan a masing-masing parameter yang menyatakan k = jumlah pohon pada kelas diameter pohon terkecil, dan a = kemiringan garis kurva, menyatakan laju pengurangan jumlah pohon secara logaritmik setiap meningkat kelas diameter pohon.
Tabel tersebut juga menunjukkan nilai rata-rata rasio Q, yang
menyatakan rasio pengurangan jumlah pohon untuk kelas diameter pohon yang berurutan.
Pohon yang dianalisis adalah pohon berkayu yang bisa mencapai
ketinggian 2,5 m lebih, tidak termasuk tanaman kopi. Tabel 19 Nilai konstanta untuk koefisien model persamaan struktur horizontal tegakan pola agroforestri murni dan agroforestri kebun campuran Agroforestri Murni Umur (tahun)
k
a
Agroforestri Kebun-Campuran rasio Q
Umur (tahun)
k
a
Rasio Q
1-2
2709
0,234
3,21
1-2
2675
0,226
3,09
3-4
5217
0,225
3,08
3-4
4915
0,240
3,32
5-6
5125
0,200
2,72
5-6
6897
0,221
3,02
7-8
1681
0,137
1,98
7-8
5720
0,205
2,79
9-10
278
0,059
1,34
9-10
2424
0,144
2,05
11-12
342
0,056
1,32
11-12
1678
0,121
1,84
k= jumlah pohon pada kelas diameter terkecil, a= kemiringan garis, laju pengurangan jumlah pohon secara logaritmik setiap meningkat kelas diameter, dari persamaan: N = ke − aD , dimana N= jumlah pohon setiap kelas diameter (pohon/ha), D= kelas diameter pohon mulai diameter 5 cm ke atas (cm). Q= diminution ratio (ratio pengurangan jumlah pohon setiap peningkatan kelas diameter pohon).
Nilai k yang besar menunjukkan kondisi tegakan dengan jumlah pohon yang cenderung rapat pada kelas diameter pohon yang terkecil. Sedangkan nilai a atau Q yang besar menunjukkan semakin cepatnya jumlah pohon berkurang apabila kelas diameter pohonnya bertambah. Gambar 7 memperlihatkan perbandingan rata-rata struktur tegakan agroforestri dengan pola tegakan murni dan pola kebun-
72
campuran atas dasar persamaan struktur tegakan yang dinyatakan dalam Tabel 19 tersebut.
2500
(pohon/ha)
kerapatan tegakan
2000
1500
1000
500
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
diameter ( c m) 2th
4th
6th
8th
10th
12th
(a)
2500
kerapatan tegakan (pohon/ha)
2000
1500
1000
(b)
500
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
diameter (cm) 2th
4th
6th
8th
10th
12th
(b)
Gambar 7.
Perbandingan model struktur tegakan horizontal agroforestri pola tegakan murni (a) dan kebun-campuran (b) pada berbagai umur tegakan
73
Secara rata-rata persamaan struktur horizontal tegakan pada Tabel 19 tersebut menunjukkan bahwa pohon berukuran kecil yang menyusun agroforestri kebun-campuran cenderung lebih rapat dibandingkan dengan agroforestri tegakan murni, bahkan tegakan yang rapat tersebut akan
terus dipertahankan hingga
tegakan berumur dewasa. Adanya perbedaan kedua struktur tegakan pada tegakan murni dan kebun campuran dapat dijelaskan sebagai berikut. Kondisi tegakan yang rapat dan berdiameter kecil bisa disebabkan karena petani selalu membiarkan banyaknya permudaan alami, termasuk tunas trubusan yang tumbuh menjadi pohon kecil baru atau petani secara sengaja melakukan penanaman tanpa harus memperhatikan pohon yang ternaungi.
Hal ini terjadi karena kebun-
campuran cenderung dikelola tidak intensif dengan curahan waktu yang terbatas sehingga membentuk tegakan campuran dengan dominasi pohon berkayu. Selain itu tegakan agroforestri umumnya menempati lahan dengan bentuk lapangan yang miring yang membatasi penggunaan jenis tanaman pertanian semusim. Sebaliknya petani yang mengelola tegakan murni sekaligus pohon penaung cenderung akan mengurangi tegakan pohon berukuran kecil apabila tegakan semakin dewasa, karena mereka juga berkepentingan untuk memelihara produksi pohon kopi yang bisa terganggu apabila pohon yang menaungi kopi terlalu rapat. Semakin tidak intensif pengelolaan tanaman kopi maka tegakan pohonnya akan semakin rapat. Nilai rasio Q yang lebih tinggi untuk struktur horizontal tegakan agroforestri kebun-campuran menjelaskan bahwa hanya sebagian kecil pohon-pohon yang bisa meningkat diameternya dan berpindah ke kelas diameter pohon berikutnya. Hal ini bisa terjadi karena rendahnya riap individu diameter pohon yang menyusun agroforestri akibat kondisi tapak tumbuh yang lebih jelek, terlalu rapat atau karena digunakannya jenis pohon yang lebih beragam dengan daur yang juga bervariasi. Tabel 20 berikut dapat membantu untuk lebih memperjelas perbandingan kondisi tegakan agroforestri murni dan kebun campuran. Secara umum pohon-pohon pada agroforestri kebun campuran lebih rapat tetapi dengan rata-rata diameter pohon yang lebih kecil. Sebaliknya tegakan murni kondisinya lebih jarang, tetapi dengan rata-rata diameter pohon yang lebih besar.
74
Tabel 20 Kondisi rata-rata dimensi tegakan agroforestri murni dan kebun campuran* Umur tegakan (tahun)
Agroforestri Murni Jumlah Diameter Luas pohon rata-rata bidang (pohon/ha) (cm) dasar (m2/ha)
Agroforestri Kebun-Campuran Jumlah Diameter Luas pohon rata-rata bidang (pohon/ha) (cm) dasar (m2/ha)
1-2
629
8,8
4,67
1.161
7,9
7,13
3-4
1.098
11,5
13,75
1.678
9,2
13,30
5-6
995
11,8
14,17
1.801
10,3
17,82
7-8
906
12,8
15,67
1.831
11,3
21,27
9-10
700
16,3
20,75
1.563
12,0
22,51
11-12
750
17,2
25,05
1.625
12,7
27,96
* dimensi tegakan dibatasi untuk pohon berdiameter 5 cm ke atas.
Walaupun ada kesamaan dalam besarnya luas bidang dasar tegakan, tetapi kedua pola agroforestri ini berbeda dalam struktur tegakannya. Luas bidang dasar yang tinggi pada pola tegakan murni disebabkan oleh diameter individu pohon yang lebih besar sedangkan pada kebun-campuran disebabkan oleh tegakan yang rapat walaupun diameter individu pohonnya kecil. Tegakan agroforestri pada pola tegakan murni dan kebun-campuran apabila diperbandingkan dengan tegakan normal yang terdapat dalam tabel hasil tegakan P. falcataria (Suharlan et al. 1975) cenderung memiliki luas bidang dasar tegakan yang lebih tinggi tetapi dengan rata-rata diameter pohon yang jauh lebih rendah. Tetapi hal ini bisa terjadi karena luas bidang dasar yang tinggi pada tegakan agroforestri lebih disebabkan oleh banyaknya pohon-pohon berdiameter kecil yang tidak terjadi pada tabel hasil normal yang disusun untuk tegakan seumur. Memperhatikan adanya perbedaan ini maka untuk perkiraan hasil tegakan untuk tegakan agroforestri tidak bisa mengabaikan begitu saja bentuk struktur tegakannya. Keragaman Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri Fungsi Alometrik Biomassa Pohon Besarnya potensi serapan karbon praktek agroforestri ditentukan melalui besarnya persediaan biomassa yang terdapat dalam tegakan penyusun agroforestri
75
tersebut.
Biomassa bisa bersumber dari pohon-pohon penyusun tegakan,
tanaman/tumbuhan di bawah tegakan, tumbuhan bawah, tunggak, serasah kasar dan bahan organik tanah. Dalam penelitian ini biomassa yang diperhitungkan hanya biomassa yang berada di atas permukaan tanah, tidak termasuk biomassa dari akar pohon dan bahan organik tanah. Umumnya biomassa pohon ditentukan secara tidak langsung melalui persamaan alometrik yang disusun untuk menduga biomassa pohon. Beberapa persamaan alometrik telah dikembangkan oleh Brown et al. (1989); Brown (1997); Ketterings et al. (2001) untuk jenis-jenis pohon di hutan tropis. Dalam penelitian ini, model alometrik pendugaan biomassa pohon untuk jenis sengon disusun secara khusus, karena sengon adalah pohon yang dominan ditanam dalam agroforestri di kedua lokasi penelitian dan belum tersedia persamaan alometrik biomassanya. Sebanyak 30 buah pohon sengon dari berbagai ukuran dipilih sebagai pohon contoh untuk menyusun persamaan alometrik pendugaan biomassa pohon sengon. Jumlah pohon tersebut cukup memadai untuk syarat penyusunan sebuah persamaan biomassa jenis pohon tertentu, sebagaimana disarankan MacDikken (1997). Beberapa peneliti menggunakan jumlah pohon contoh yang bervariasi dari 19-22 contoh (Wiant 1977 dalam Ter-Mikaelian & Korzukhin 1997), dan sampai sebanyak 30-100 contoh sebagaimana disarankan McDikken (1997). Ketterings et al. (2001) menggunakan 29 pohon contoh dari berbagai jenis di hutan tropis sekunder untuk menyusun persamaan alometrik yang bisa berlaku lebih umum, menggunakan variabel kerapatan kayu. Jumlah contoh yang relatif besar hingga > 100 pohon dilakukan oleh Brown (1997) yang diperlukan untuk menyusun alometrik biomassa pohon yang berlaku secara umum untuk jenis-jenis hutan tropis. Diskripsi 30 pohon contoh tersebut dan hasil perhitungan nilai biomassa masing-masing pohon diringkas pada Tabel 21. Pohon contoh mencakup pohon dengan diameter 6,2–43,8 cm, tetapi pohon contoh terbanyak berada dalam kelas diameter 15–25 cm, yang merupakan ukuran pohon terbanyak yang ditemukan di lokasi agroforestri. Dimensi pohon diukur pada saat pohon masih berdiri, sedangkan bobot bagian-bagian pohon dihitung dengan menimbang seluruh pohon setelah pohonnya ditebang. Biomassa bagian-
76
bagian pohon dinyatakan dalam bobot kering, yang dihitung dari hasil penimbangan bobot basah bagian pohon dan penetapan kadar air yang dihitung dari contoh uji yang ditentukan di laboratorium. Tabel 21 Karakteristik 30 pohon contoh yang digunakan untuk menyusun persamaan alometrik biomassa sengon (P. falcataria) Dimensi pohon
Kisaran
Diameter dbh (cm) Tinggi total (m) Tinggi bebas cabang (m) Luas tajuk (m2) Biomassa batang (kg) Biomassa cabang (kg) Biomassa ranting (kg) Biomassa daun (kg) Biomassa total (kg)
Rata-rata
6,2 – 43,8 9,5 – 30,5 5,5 – 18,0 8,29 – 143,07 10,2 – 632,0 0,7 – 105,0 0,6 – 41,0 0,8 – 27,6 12,3 – 803,6
Simpangan baku 8,04 6,0 2,8 37,34 136,2 27,5 9,8 5,8 177,5
20,53 18,5 9,5 82,36 133,9 24,0 10,0 7,3 175,3
Simpangan baku rataan 1,47 1,10 0,5 6,82 24,9 5,0 1,8 1,1 32,4
Tabel 22 menunjukkan rata-rata kerapatan kayu dan kadar air dari pohon contoh. Kerapatan kayu bagian batang yang diperoleh dari penelitian ini relatif masih berada dalam selang nilai kerapatan kayu sengon yang dipublikasikan Martawijaya et al. (1989), yang nilainya berkisar antara 0,24–0,29 kg/dm3. Tabel 22 Kerapatan kayu dan kadar air rata-rata pohon contoh sengon (P. falcataria)* Batang
Cabang
Ranting
Daun
Kerapatan kayu (kg/dm3)
0,279 (0,04)
-
-
-
Kadar air (%)
60,83 (7,78)
71,27 (11,24)
114,94 (15,9)
173,47 (16,7)
* Nilai rata-rata dari 30 pohon contoh. simpangan baku.
Angka dalam tanda kurung menyatakan
Rata-rata komponen biomassa terbesar pohon sengon berasal dari bagian batang (76%), diikuti dengan bagian cabang (14%), ranting (6%) dan daun (4%). Bagian kulit dianggap menjadi bagian dari batang, sedangkan bunga dan buah menjadi satu bagian dengan kelompok daun.
Ada tendensi meningkatnya
proporsi biomassa yang berasal dari bagian batang dan cabang dengan bertambah besarnya diameter pohon, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 8.
77
% terhadap total pohon
100% 80% 60% 40% 20% 0% < 10 cm
10 - 20 cm
20 - 30 cm
> 25 cm
diameter pohon Batang
Cabang
Ranting
Daun
Gambar 8. Perbandingan proporsi rata-rata bagian batang, cabang, ranting dan daun terhadap total biomassa bagian atas pohon sengon pada berbagai ukuran diameter pohon. Beberapa pustaka secara konsisten menunjukkan bahwa lebih dari 75% biomassa pohon bagian atas berasal dari bagian batangnya, bahkan persentase biomassa bagian batang meningkat sampai lebih dari 80% untuk pohon dari jenis konifer dengan bentuk percabangan yang monopodial sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran biomassa pohon menurut bagian-bagian jaringan pohon pada beberapa jenis pohon hutan tanaman* Jenis, Lokasi Tectona grandis, Brazil Tectona grandis, Jawa Tengah Swietenia macrophylla, Jawa Barat Acacia mangium, Sumatera Selatan Pinus merkusii, Jawa Barat Paraserianthes falcataria, Jawa Barat
Persentase biomassa (%) pada Batang Cabang Ranting Daun 75,3 19,3 1,5 3,8
Sumber Kraenzel et al. (2003) Hendri (2001)
78,9
14,5
5,9
0,6
78,0
16,9
2,5
2,6
79,9
10,7
4,7
5,0
82,7
11,5
3,8
2,0
Adinugroho (2002) Wicaksono (2004) Hendra (2002)
76,4
13,7
5,7
4,2
-
*Data diolah kembali. Biomassa yang berasal dari jaringan reproduktif (buah, bunga) diabaikan.
Antar peubah dimensi pohon dan antar peubah biomassa pohon atau bagian jaringan pohon bukanlah peubah yang saling bebas atau berdiri sendiri. Tabel 24
78
menyatakan nilai-nilai korelasi sederhana antar peubah-peubah dimensi pohon, biomassa pohon dan bagian jaringan pohon. Tabel 24 Matriks korelasi sederhana hubungan antara beberapa peubah dimensi pohon dan biomassa bagian jaringan pohon sengon (P. falcataria) D D Htot Hbc Ltjk Bbtg Bcab Brtg Bdn Btot
1,00 -
Dimensi pohon Htot Hbc 0,86 1,00 -
0,53 0,62 1,00 -
Ltjk
Bbtg
0,88 0,79 0,59 1,00 -
0,94 0,77 0,46* 0,85 1,00 -
Biomassa bagian pohon Bcab Brtg Bdn Btot 0,92 0,74 0,37* 0,89 0,96 1,00 -
0,93 0,74 0,41* 0,83 0,95 0,96 1,00 -
0,94 0,78 0,59 0,89 0,93 0,88 0,87 1,00 -
0,94 0,77 0,45* 0,87 0,99 0,97 0,96 0,93 1,00
* korelasi nyata (p< 0.05), selainnya korelasi sangat nyata (p <0.01). Btot = biomassa total, Bbtg = biomassa batang, Bcab = biomassa cabang, Brtg = biomassa ranting, Bdn = biomassa daun (masing-masing dalam kg/pohon), D = diameter pohon (cm), Htot = tinggi total (m), Hbc = tinggi bebas cabang (m) dan Ltjk = luas tajuk (m2).
Tabel 24 tersebut memperlihatkan bahwa diameter pohon berkorelasi sangat nyata (p <0,01) dengan tinggi total pohon dan luas tajuk. Diameter pohon juga berkorelasi sangat nyata (p <0,01) dengan total biomassa pohon dan biomassa seluruh jaringan pohon (batang, cabang, ranting dan daun).
Matriks korelasi
antar peubah tersebut memberikan petunjuk bahwa untuk menjelaskan keragaman biomassa pohon atau bagian-bagian jaringan pohon, secara tidak langsung dapat diwakili oleh hanya sedikit peubah dimensi pohon saja. Persamaan alometrik yang menyatakan hubungan biomassa pohon atau bagian jaringan pohon dengan dimensi pohon diperiksa lewat empat buah persamaan, mencakup alometrik yang menggunakan satu peubah dimensi pohon (diameter pohon) dan dua peubah dimensi pohon (diameter dan tinggi pohon). Persamaan model 1 adalah persamaan yang paling umum dan banyak dirujuk peneliti (Zianis & Menccucini 2004; Ter-Mikaelian & Korzukhin 1997; Brown 1997) dan telah ditunjukkan secara konsisten merupakan model yang dapat memenuhi persyaratan ketelitian sekaligus kepraktisan.
Persamaan model 2
adalah persamaan polinom ordo dua sebagaimana diusulkan Brown (1997) untuk alometrik biomassa pohon di hutan tropis.
Persamaan model 3 merupakan
79
persamaan dengan dua peubah sebagai perluasan model 1 dengan menambahkan peubah tinggi pohon. Persamaan model 4 dengan dua peubah diameter pohon (D) dan tinggi (H) dalam hubungan linear D2H, adalah analog dengan rumus hitung volume pohon V = ¼ Π D2H, dimana Π = bilangan pi (3,14). Seluruh modelmodel hipotetik di atas digunakan untuk menduga biomassa pohon sengon dan biomassa pada bagian-bagian jaringan pohon sengon. Tabel 25 berikut menyajikan seluruh persamaan alometrik yang dihasilkan berikut ringkasan statistik untuk dasar pemilihan persamaan regresi yang terbaik. Persamaan regresi terbaik secara statistik ditunjukkan oleh koefisien determinasi R2% yang tinggi, statistik F yang besar, kesalahan baku nilai dugaan (s) dan PRESS yang kecil. Untuk pendugaan biomassa pohon menunjukkan bahwa persamaan model 1 umumnya secara konsisten menjadi persamaan alometrik yang terbaik dari ketiga model lain yang diusulkan. Persamaan tersebut konsisten bukan hanya untuk pendugaan biomassa total (bagian atas) pohon, tetapi juga untuk pendugaan biomassa bagian jaringan pohon sengon (batang, cabang, ranting dan daun). Walaupun demikian, persamaan model lain yang diusulkan masih cukup terandalkan untuk dipakai menduga biomassa pohon. Persamaan model 1 dapat memenuhi syarat asumsi kenormalan sisaan, ragam sisaan yang konstan dan terdistribusi normal. Persamaan pendugaan biomassa pohon yang menggunakan satu peubah diameter pohon (model 1 dan 2) sudah cukup terandalkan untuk menduga biomassa pohon.
Persamaan model 1 dengan hanya satu peubah penduga
diameter pohon memberikan ketelitian yang tinggi dibandingkan dengan model 3 dan model 4 yang menyertakan dua peubah penduga (diameter dan tinggi pohon). Penambahan peubah tinggi pohon hanya memberikan sumbangan keragaman yang kecil dan cenderung tidak nyata (p >0,05) untuk peningkatan ketelitian pendugaan biomassa pohon, yang dicerminkan oleh nilai R2 yang cenderung tetap atau hanya sedikit meningkat. Untuk keperluan penelitian ini, persamaan model 1 untuk selanjutnya akan dipakai untuk menduga biomassa pohon sengon yang terdapat di kedua lokasi penelitian.
80
Tabel 25 Beberapa persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa pohon dan biomassa bagian jaringan pohon Sengon (P. falcataria) Model
R2
Persamaan
F
s
PRESS
97,1
919,96
0,0706
0,1530
Biomassa total pohan 1
LogBtot = - 1,239 + 2,561 logD 2
2
Btot = - 15,81 - 2,686 D + 0,507 D
96,8
399,00
32,80
63509
3
LogBtot = - 1,279 + 2,407 logD + 0,192 logH
97,2
457,78
0,0708
0,1664
4
Btot = 6,812 + 0,0158 D2H
96,9
837,53
32,02
31224
Biomassa batang 1
LogBbtg = - 1,061 + 2,3426 logD
96,0
670,43
0,0879
0,2786
2
Bbtg = 12,4 - 4,22 D + 0,430 D2
96,8
408,55
25,25
28124
3
LogBbtg = - 1,20 + 1,99 logD + 0,478 logH
96,5
375,73
0,0833
0,2662
4
Bbtg = 4,353 + 0,0121 D2H
97,3
1009,6
22,78
16751
94,4
472,35
0,1356
0,6338
Biomassa cabang 1
LogBcab = - 2,786 + 3,031 logD 2
2
Bcab = - 9,234 + 0,075 D + 0,0656 D
89,4
114,02
9,270
7026,3
3
LogBcab = - 2,833 + 2,917 logD + 0,154 logH
94,4
229,18
0,1377
0,6858
4
Bcab = - 0,856 + 0,00233 D2H
88,2
209,74
9,601
3310,9
93,7
416,84
0,1189
0,4915
90,6
130,01
3,103
487,16
Biomassa ranting 1
LogBrtg = - 2,390 + 2,496 logD 2
2
Brtg = - 2,161 + 0,053 D + 0,0229 D
3
LogBrtg = - 2,374 + 2,535 logD – 0,053 logH
93,7
201,17
0,121
0,5449
4
Brtg = 1,169 + 0,000828 D2H
88,5
214,71
3,375
372,93
Biomassa daun 1
LogBdn = - 1,840 + 2,010 logD
93,2
381,11
0,100
0,3379
2
Bdn = - 1,886 + 0,219 D + 0,0097D2
90,7
131,34
1,830
136,13
3
LogBdn = - 1,878 + 1,916 logD + 0,126 logH
93,2
185,20
0,1015
0,3568
4
Bdn = 2,125 + 0,000488 D2H
87,3
193,03
2,095
146,72
Btot = biomassa total, Bbtg = biomassa batang, Bcab = biomassa cabang, Brtg = biomassa ranting, Bdn = biomassa daun (masing-masing dalam kg/pohon), D = diameter pohon (cm), H = tinggi total pohon (m), R2 = koefisien determinasi (%), F = statistik F uji koefisien regresi, s = kesalahan baku, PRESS = predicted residual sum of square. Nilai s dan PRESS dalam model 1 dan 3 dalam bentuk transformasi log.
81
Perbandingan dengan Persamaan Alometrik Biomassa Lain Penggunaan Persamaan Alometrik Sengon (P. falcataria). Penyusunan persamaan alometrik sengon ditujukan untuk mengetahui sampai sejauhmana bias penaksiran biomassa pohon apabila digunakan persamaan alometrik jenis pohon yang sudah ada atau pendekatan dari persamaan alometrik yang lain.
Untuk
perbandingan digunakan persamaan alometrik sengon yang disusun di Sumatera (Sugiarto 2001 dalam Hariah et al. 2001a), di Kerala, India (Kumar et al. 1998) dan di Filipina (Kawahara et al. 1981 dalam Magcale-Macandong & Delgado 2002). Gambar 9 memperlihatkan kurva yang memperbandingkan persamaan alometrik sengon yang diperoleh melalui penelitian ini (sengon_jabar) dengan tiga persamaan alometrik sengon lain yang diperoleh dari studi di wilayah Sumatera (sengon_sumatera),
India
(sengon_india)
dan
Filipina
(sengon_filipina).
Persamaan alometrik sengon yang dihasilkan melalui penelitian ini cenderung memberikan dugaan biomassa pohon yang lebih kecil dibandingkan dengan persamaan alometrik untuk sengon di Sumatera dan India, tetapi masih lebih tinggi apabila dibandingkan dengan persamaan alometrik untuk sengon di Filipina.
Perbedaan dalam pendugaan biomassa sengon akan semakin besar
apabila diameter pohon yang diukur semakin besar.
Perbedaan ini bisa
disebabkan oleh perbedaan dalam pola pertumbuhan sengon di lokasi penelitian karena kondisi tempat tumbuh dan cara pengelolaan pohonnya, yang akan mempengaruhi pertumbuhan, arsitektur pohon dan nilai kerapatan kayunya. Bentuk yang berbeda dari persamaan-persamaan alometrik sebagaimana ditunjukkan di atas mengindikasikan pentingnya untuk mengembangkan persamaan alometrik jenis pohon yang berlaku lokal atau hanya dipakai dalam wilayah yang terbatas.
82
Perbandingan persamaan alometrik sengon 1100
B = 0.0538D2.6818 1000
B = 0.027D2.83 (R2=81,6%)
900
biomassa pohon (kg)
800
B = 0.0579D2.5596 (R2=97,1%)
700
B = 0.0557D2.532 (R2=98,0%)
600
500
400
sengon_india sengon_sumatera sengon_jabar sengon_filipina
300
200
100
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
diameter pohon (cm)
Gambar 9. Perbandingan kurva persamaan alometrik biomassa pohon sengon yang disusun pada lokasi yang berbeda. Penggunaan Persamaan Ketterings. Persamaan Ketterings (Ketterings et al. 2001) sebagaimana dikemukakan pada Tabel 6 dalam Metode Penelitian dapat dipakai untuk menduga biomassa pohon jenis tertentu melalui nilai kerapatan kayunya. Persamaan ini dipakai sebagai jalan tengah untuk menentukan biomassa pohon apabila jenis pohon tersebut belum memiliki persamaan alometrik biomassanya, tetapi sudah diketahui nilai kerapatan kayunya. Penggunaan rumus Ketterings sangat membantu untuk menduga biomassa pohon untuk hutan Indonesia yang masih sangat sedikit memiliki persamaan alometrik biomassa pohon, sementara data kerapatan kayu untuk jenis tertentu sudah banyak tersedia. Gambar 10 memperlihatkan perbandingan besarnya dugaan biomassa pohon/tegakan bagian atas pada agroforestri dengan pola tegakan murni (a) dan kebun-campuran (b) yang dihitung dengan menggunakan rumus alometrik biomassa jenis dan dengan rumus Ketterings. Dugaan biomassa tegakan dihitung untuk seluruh satuan contoh tegakan yang ada.
Titik-titik yang tersebar
menunjukkan plot data dugaan biomassa pohon untuk seluruh satuan contoh yang dihitung dengan rumus alometrik jenis dan rumus Ketterings, sedangkan garis lurus dalam gambar menunjukkan garis hubungan antara dugaan biomassa
83
tegakan yang dihitung dengan kedua pendekatan tersebut. Sedangkan garis lurus putus-putus menunjukkan jika pendugaan biomassa dengan kedua pendekatan memberikan hasil yang sama.
(a)
(a)
(b)
(b) Gambar 10. Perbandingan pendugaan biomassa tegakan bagian atas pada agroforestri murni (a) dan kebun-campuran (b) yang dihitung menggunakan persamaan alometrik jenis (sumbu mendatar) dan persamaan Ketterings (sumbu tegak).
84
Gambar 10 tersebut menunjukkan bahwa penggunaan rumus Ketterings cenderung menghasilkan dugaan biomassa tegakan yang lebih besar dibandingkan dengan memakai persamaan alometrik jenis (koefisien regresi 1,26 dan 1,17 yang berbeda dari 1,0). Perbedaan ini sangat berarti dan nyata secara statistik (p<0,01). Perbedaan yang cukup besar terjadi untuk pendugaan biomassa pada pola agroforestri murni dan cenderung berkurang untuk pendugaan biomassa pada kebun-campuran. Persediaan Karbon Menurut Sumber Biomassa dan Variasinya Persediaan karbon yang terdapat dalam tegakan agroforestri ditentukan dengan mengkonversi persediaan biomassa yang berasal dari bagian pohon dengan faktor konversi sebesar 0,5 (IPCC 2000, MacDicken 1997).
Faktor
konversi tersebut bermakna bahwa 50% dari bobot kering biomassa mengandung karbon. Sedangkan untuk penentuan potensi karbon untuk biomassa selain pohon (tumbuhan bawah, serasah, nekromassa) menggunakan faktor konversi 0,4 sebagaimana disarankan Hairiah et al. (1999). Persediaan karbon pada praktek agroforestri dibedakan atas karbon yang berasal dari biomassa pohon hidup, biomassa tumbuhan bawah (semak, herba, tanaman semusim), serasah kasar (daun kering dan potongan ranting kayu kering), dan nekromassa (tunggak dan pohon/batang kayu mati). Jumlah seluruh persediaan karbon tersebut disebut karbon dari biomassa total bagian atas permukaan tanah, atau selanjutnya disebut karbon total saja. Persediaan karbon dinyatakan dalam satuan luas yang diperoleh dari penjumlahan seluruh karbon biomassa dalam luasan satu hektar. karbon
Persediaan
dideskripsikan dengan membedakannya menurut umur tegakan.
Pembedaan persediaan karbon menurut umur tegakan diperlukan untuk mengetahui trend perkembangan persediaan karbon sampai batas umur tertentu yang dapat dipertahankan. Pembedaan atas umur tegakan ini sangat relatif, karena secara umum agroforestri tidak mengikuti daur tanaman yang jelas (seperti halnya hutan tanaman) sehingga jadwal pengelolaannya tidak bisa diketahui dengan pasti. Untuk pendekatan, umur tegakan ditentukan dengan melihat umur rata-rata pohon
85
yang ukurannya dominan saat dilakukan pengukuran dan mencocokkannya dengan penjelasan petani tentang riwayat pengelola lahan tersebut. Rata-rata persediaan karbon total
Persediaan karbon total tegakan.
tegakan agroforestri berkisar antara 15,4– 80,2 tonC/ha atau rata-rata 45,4 tonC/ha untuk agroforestri pola tegakan murni dan antara 10,4–73,8 tonC/ha atau rata-rata 41,1 tonC/ha untuk agroforestri pola kebun-campuran.
Secara rata-rata tidak
terdapat perbedaan yang nyata antara persediaan karbon total kedua agroforestri tersebut (t = -1,48; p = 0,198).
Gambar 11 memperlihatkan trend peningkatan
persediaan karbon menurut umur tegakan di kedua pola agroforestri tersebut dan perbandingan persediaan karbon menurut sumber biomassanya.
100 Kandungan karbon (tonC/ha)
Kandungan karbon (tonC/ha)
100 80 60 40 20
80 60 40 20 0
U1-2
U3-4
U5-6
U7-8
U9-10 U11-12
U1-2
U3-4
Cphn
Cherba
Clitter
U5-6
U7-8
U9-10 U11-12
umur (tahun)
umur (tahun) Cnekro
(a)
Cphn
Cherba
Clitter
Cnekro
(b)
Gambar 11. Perkembangan persediaan karbon menurut umur tegakan pada pola agroforestri murni (a) dan kebun-campuran (b). Karbon total yang terdapat pada tegakan agroforestri sebagian besar (93%) berasal dari biomassa pohon, diikuti dengan biomassa serasah (6%), tumbuhan bawah (hampir 1%), dan nekromassa (sangat kecil). Kedua praktek agroforestri baik tegakan murni maupun kebun-campuran memiliki karakteristik sumber karbon yang hampir sama. Persediaan karbon pohon.
Sumber karbon terbesar dalam praktek
agroforestri berasal dari pohon yang menyusun agroforestri tersebut, baik pohon yang tajuknya berada di lapisan atas maupun pohon di bawah tajuk. Persediaan karbon pohon hidup rata-rata mencapai 42,3 tonC/ha dengan kisaran 13,4–76,1 tonC/ha untuk agroforestri tegakan murni dan rata-rata 38,5 tonC/ha dengan
86
kisaran 8,5–70,8 tonC/ha untuk agroforestri kebun-campuran.
Walaupun
persediaan karbon pohon pada tegakan murni sedikit lebih tinggi dari karbon pada kebun-campuran, namun kedua praktek agroforestri tersebut belum menunjukan perbedaan persediaan karbon pohon yang nyata (t = 1,50; p = 0,193). Walaupun persediaan karbon pada tegakan murni dan kebun-campuran sebagaimana disebutkan di atas relatif tidak berbeda, tetapi dari sisi struktur tegakan (pohon-pohon penyusun) kedua pola agroforestri di atas relatif berbeda. Agroforestri tegakan murni umumnya lebih didominasi jenis pohon sengon dengan sedikit pohon penghasil kayu yang lain, sedangkan pola kebun-campuran terdapat lebih banyak jenis, mencakup jenis daur pendek (sengon, kayu afrika, tisuk), daur sedang sampai panjang (mahoni, puspa), dan pohon buah-buahan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bahasan tentang struktur tegakan agroforestri, jumlah pohon pada kebun-campuran cenderung lebih rapat tetapi dengan rata-rata ukuran pohon yang lebih kecil, sebaliknya pada tegakan murni jumlah pohon lebih sedikit tetapi dengan rata-rata diameter pohon yang lebih besar.
Terdapat perbedaan pula dalam intensitas pemanfaatan kayu.
Pada
tegakan murni, jenis sengon dimanfaatkan lebih intensif untuk penghasil kayu sekaligus untuk mengurangi tingkat naungan yang berlebihan terhadap pohon kopi, sebaliknya pada kebun-campuran pemanfaatan kayu sedikit lebih rendah karena terbatasnya pilihan pohon yang siap ditebang dengan daur pendek dan masih adanya pohon daur panjang dan pohon buah-buahan.
Komposisi
persediaan karbon yang berasal dari pohon berdaur pendek, menengah/panjang dan pohon buah-buahan masing-masing 50%, 32% dan 13%. Dilihat dari pengaruh komposisi jenis dan bentuk pemanfaatan hasil yang ada di kedua lokasi penelitian, maka agroforestri dengan kebun-campuran secara potensial cenderung akan memiliki persediaan karbon yang lebih besar tetapi dengan laju serapan karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan agroforestri dengan tegakan murni. Jenis yang lebih beragam pada kebun-campuran yang mengkombinasikan hasil kayu dengan daur pohon yang berbeda dan pohon penghasil buah (non kayu) akan menunda petani untuk melakukan penebangan pohon dalam waktu yang lebih singkat. Namun demikian, cadangan karbon yang lebih rendah saat ini pada kebun-campuran (di Kertayasa) diperkirakan
87
disebabkan oleh pengaruh tempat tumbuh (kesuburan tanah) yang lebih rendah dibandingkan dengan lokasi tegakan murni (di Pecekelan). Persediaan karbon pohon dari praktek agroforestri di kedua pola agroforestri sebagaimana diuraikan di atas relatif tidak berbeda dengan praktek agroforestri di Ciamis yang dilaporkan oleh Ginoga et al. (2002) yang mencapai 41,6–85,3 tonC/ha, tetapi jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan praktek agroforestri di Tasikmalaya yang dilaporkan oleh penulis yang sama, yang hanya menyimpan 19,5–25,1 tonC/ha. Kedua agroforestri yang dilaporkan tersebut dengan dominasi jenis P. falcataria. Di Manupali, Filipina kebun kayu dengan jenis P. falcataria yang telah berumur 10 tahun dapat menyimpan karbon hingga 72 tonC/ha pada tanah dengan kualitas rendah dan bisa mencapai 112 tonC/ha pada tanah dengan kualitas terbaik (SANREM 2003). Beer et al. (1990) melaporkan agroforestri dengan pohon penaung jenis Theobroma cacao–Erythrina poeppigiana di Costa Rica yang berumur 10 tahun mampu menghasilkan persediaan karbon hingga 60 tonC/ha. Beberapa penelitian lain melaporkan kemampuan penyimpanan karbon yang jauh lebih rendah, sebagaimana dilaporkan Kursten & Burschel (1993) untuk sistem yang sama hanya 7-25 tonC/ha atau Jensen (1993) di Jawa pada sistem kebun pekarangan yang hanya menyimpan 16 tonC/ha.
Roshetko et al. (2002) melaporkan
agroforestri dengan pola kebun pekarangan di Lampung yang telah berumur 13 tahun menyimpan karbon pohon 35 tonC/ha, tetapi umumnya didominasi oleh jenis penghasil non kayu. Dibandingkan dengan bentuk penggunaan lahan yang lain sebagaimana dilaporkan Hairiah (1997), penyimpanan karbon agroforestri dengan tegakan murni dan kebun-campuran di kedua lokasi penetian ini hanya sedikit lebih rendah daripada hutan sekunder berumur >30 tahun yang mencapai 86 tonC/ha, dan masih jauh di bawah kondisi agroforest kompleks yang klimaks berumur >30 tahun yang mencapai 101 tonC/ha. Tetapi agroforestri di kedua lokasi penelitian masih memungkinkan bertambah akumulasi karbonnya untuk jangka waktu yang lebih lama tergantung pada pengelolaannya. Persediaan karbon pohon kopi. Karbon dari pohon mencakup biomassa yang berasal dari pohon yang menyusun lapisan tajuk utama dan pohon di bawah
88
naungan. Pohon di bawah naungan di kedua lokasi agroforestri umumnya adalah tanaman kopi.
Biomassa pohon di bawah naungan (pohon kopi) mencapai
masing-masing 16% dan 10% dari total biomassa pohon pada agroforestri murni dan kebun-campuran. Hal ini menunjukkan bahwa penanaman kopi di antara tanaman pohon utama merupakan sumber karbon yang penting pula dalam sistem agroforestri di kedua lokasi penelitian. Gambar 12 memperlihatkan bahwa persediaan karbon dari tanaman kopi di bawah naungan dengan pola tegakan murni rata-rata hampir dua kali lebih tinggi pada agroforestri dengan kebun-campuran.
Pada tegakan murni, karbon dari
tanaman kopi berkisar antara 4,5–12,0 tonC/ha dengan rata-rata 7,3 tonC/ha, sementara itu di kebun-campuran berkisar antara 2,0–9,7 tonC/ha dengan rata-rata 4,3 tonC/ha. Terdapat perbedaan yang nyata persediaan karbon dari tanaman kopi pada kedua pola agroforestri tersebut (t = 3,0; p < 0,05). Persediaan karbon tanaman kopi pada tegakan murni relatif beragam menurut perkembangan umur tegakannya, sedangkan pada kebun-campuran karbon kopi cenderung meningkat dengan meningkatnya umur tegakan. Perlu diketahui di Pecekelan tanaman kopi sebagian dipelihara dan dikelola dengan baik untuk menghasilkan buah kopi, sementara di Kertayasa dibiarkan tumbuh alami dan sebagian besar dimanfaatkan untuk penghasil kayu bakar.
Persentase karbon dari tanaman kopi yang
cenderung tetap tinggi pada tegakan murni menunjukkan bahwa kehadiran pohon kopi sebagai tanaman di bawah naungan pohon sengon tetap menjadi prioritas utama dalam sistem agroforestri di sana (Gambar 13). Dari sisi persediaan karbon, karbon yang berasal dari tanaman kopi pada pola tegakan murni sangat penting, karena umumnya kopi dirawat dan cenderung dipertahankan.
Pengurangan persediaan hanya terjadi karena pemangkasan
setelah masa kopi berbuah selesai.
Sebaliknya pada kebun-campuran, kopi
cenderung dibiarkan dan dibeberapa tempat batang kopi ditebang untuk dijual sebagai kayu bakar.
89
14 12 PC
10
KY
8 6 4 2 0 U 1- 2
U3- 4
U5- 6
U7- 8
U 9 - 10
U 11- 12
um ur ( t ahun)
% karbon kopi vs pohon
Gambar 12. Perbandingan persediaan karbon tanaman kopi pada agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY) pada berbagai umur tegakan.
25% 20% 15% 10% 5% PC
KY
0% U 1-2
U 3-4
U 5-6 U 7-8 umur (tahun)
U 9-10 U 11-12
Gambar 13. Perbandingan persentase karbon tanaman kopi terhadap total persediaan karbon pada agroforestri murni (PC) dan kebuncampuran (KY) pada berbagai umur tegakan. Persediaan karbon tanaman kopi dari agroforestri pada tegakan murni di Pecekelan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kebun kopi sistem naungan (kopi multistrata) yang mencapai 18,4 tonC/ha atau dibandingkan dengan kopi monokultur yang mencapai 23 tonC/ha di Sumatera (Noordwijk et al. , 2002). Persediaan karbon serasah kasar. Serasah kasar yang berada di atas permukaan tanah di bawah tegakan merupakan persediaan karbon yang penting dalam praktek agroforestri. Persediaan karbon yang berasal dari serasah kasar rata-rata mencapai 6% dari biomassa total karbon. Serasah terutama berasal dari
90
guguran daun pohon, daun kering dan potongan kayu kecil dari hasil pemangkasan pohon kopi, dan bahan organik kasar sisa-sisa pembersihan lahan. Agroforestri dengan tegakan murni memiliki persediaan karbon dari serasah yang sedikit lebih tinggi karena pemeliharaan tanaman kopi dan pengolahan tanah relatif lebih sering dilakukan, namun secara statistik belum terdapat beda yang nyata antara karbon serasah pada tegakan murni dan kebun-campuran tersebut (t=1,19; p=0,287).
Agroforestri dengan tegakan murni rata-rata memiliki
persediaan karbon dari serasah kasar mencapai 2,8 tonC/ha dengan kisaran dari 1,8–4,5 tonC/ha. Sedangkan agroforestri kebun-campuran sedikit lebih rendah dengan persediaan karbon rata-rata 2,3 tonC/ha dengan kisaran 1,8–2,9 tonC/ha (Gambar 14). Ada tendensi meningkatnya persediaan karbon serasah dengan semakin bertambahnya umur tegakan. Persediaan karbon serasar kasar di kedua lokasi penelitian ini masih sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan agroforestri kebun-pekarangan di Pakuan Ratu, Lampung yang mencapai 2,0 tonC/ha sebagaimana dilaporkan Roshetko et al. (2002).
5. 0
4. 0
PC
KY
3. 0
2. 0
1. 0
U1-2
U3-4
U5-6
U7-8
U9-10
U11-12
umur (t ahun)
Gambar 14. Perbandingan persediaan karbon serasah kasar pada berbagai umur tegakan pada agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY). Persediaan karbon tumbuhan bawah. Persediaan karbon yang bersumber dari tumbuhan bawah dan kayu mati (nekromassa) relatif sangat kecil jika dibandingkan dengan karbon dari sumber yang lain (Gambar 15).
Karbon
tumbuhan bawah rata-rata hanya mencapai 0,3 tonC/ha dan 0,2 tonC/ha, untuk
91
agroforestri dengan tegakan murni dan kebun-campuran, jumlah ini tidak sampai 1% dari persediaan total karbon. Selain jumlahnya kecil keberadaan tumbuhan bawah juga sangat dinamis karena jumlahnya dapat berubah dalam waktu yang sangat pendek (kurang dari satu tahun). Pengukuran biomassa tumbuhan bawah dilakukan pada saat puncak musim kemarau, sehingga jumlah yang dikemukakan diperkirakan adalah jumlah minimal, kondisinya akan berbeda apabila diukur di musim penghujan.
0 .8 0 0 .7 0 0 .6 0 0 .5 0
PC
KY
0 .4 0 0 .3 0 0 .2 0 0 .10 U 1- 2
U3-4
U5- 6
U7- 8
U 9 - 10
U 11- 12
um ur ( t ahun)
Gambar 15. Perbandingan persediaan karbon tumbuhan bawah pada berbagai umur tegakan agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY). Tumbuhan bawah umumnya adalah vegetasi alami rumput dan semak, sangat sedikit tanaman budidaya. Hal ini menunjukan bahwa pemanfaatan lahan di bawah naungan pohon dengan tanaman semusim belum dilakukan dengan optimal. Penggunaan tanaman pertanian semusim hanya dilakukan ketika lahan baru dibuka di tahun-tahun awal penanaman, dan selanjutnya tidak dilakukan lagi. Nekromassa atau kayu kering yang terdiri dari sisa tunggak dan sisa-sisa kayu jumlahnya relatif paling kecil, selain itu variasi keberadaannya sangat tinggi, sehingga cenderung tidak stabil untuk diukur. Persediaan karbon organik tanah. Karbon organik tanah ditentukan dari kadar C-organik dari hasil analisis tanah, diperhitungkan sampai kedalaman tanah 30 cm.
Tidak terdapat perbedaan yang nyata persediaan karbon tanah pada
agroforestri dengan tegakan murni dan kebun-campuran yang diambil pada berbagai perkembangan umur tegakan.
Rata-rata kandungan karbon tanah
92
masing-masing 61,6 tonC/ha (CV=21%) dan 59,8 tonC/ha (CV=16%).
Pada
kedalaman tanah antara 0-10 cm, memiliki kandungan karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedalaman 10-30 cm (Gambar 16).
Persediaan karbon
organik tanah yang cukup tinggi di kedua lokasi agroforestri ini menunjukkan bahwa pengelolaan agroforestri telah berlangsung cukup lama, sehingga terjadi akumulasi karbon yang tinggi di dalam tanah.
80.0
kandungan karbon (tonC/ha)
70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 PC
PN 0-10 cm
Gambar 16.
10-30 cm
Persediaan karbon tanah pada agroforestri murni (PC) dan kebuncampuran (PN).
Persediaan karbon organik tanah sebagaimana dinyatakan di atas relatif tinggi jika dibandingkan dengan besarnya persediaan karbon tegakan bagian atas permukaan tanah. Namun kandungan karbon tanah yang tinggi ini terjadi sebagai akibat pengelolaan agroforestri yang sudah berlangsung cukup lama di lokasi penelitian (lebih 25 tahun). Persediaan karbon tanah di kedua pola agroforestri tersebut relatif tidak berbeda dengan kandungan karbon tanah pada agroforestri kebun-campuran di Pakuan Ratu, Lampung yang mencapai 60,8 tonC/ha sebagaimana dilaporkan Roshetko et al. (2002). Berbeda dengan kondisi di kedua lokasi penelitian di atas, lahan agroforestri kebun-campuran di Lampung sebelumnya adalah hasil konversi dari hutan alam. Memperhatikan seluruh persediaan karbon yang berasal dari kedua pola agroforestri dalam penelitian ini, maka secara rata-rata sebaran persediaan biomassa karbon di atas permukaan tanah menurut sumber biomassanya untuk
93
agroforestri dengan pola tegakan murni dan kebun-campuran adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 26. Rata-rata persediaan karbon di atas permukaan tanah sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 26 tersebut adalah gambaran rata-rata tegakan dari tegakan yang berumur muda sampai dewasa, sehingga bisa disebut rata-rata persediaan karbon pada umur tengah tegakan (5-6 tahun). Dalam keadaan yang sebenarnya, agroforestri bisa dikelola dengan jangka waktu yang relatif lebih lama sehingga mampu menghasilkan persediaan karbon tegakan yang jauh lebih tinggi. Tabel 26 Rata-rata sebaran persediaan karbon di atas permukaan tanah menurut sumber biomassanya pada agroforestri murni dan kebun-campuran
Sumber karbon Karbon pohon utama Karbon tanaman kopi Karbon tumbuhan bawah Karbon serasah & nekromassa Jumlah Karbon organik tanah
Agroforestri Murni tonC/ha 34,96 7,32 0,29 2,82 45,39 61,60
% 77,0 16,1 0,7 6,2 100,0
Agroforestri KebunCampuran tonC/ha % 35,10 84,4 3,93 9,5 0,27 0,6 2,28 5,5 41,58 100,0 59,80
Dari berbagai perbandingan yang telah dikemukakan di atas, terdapat ragam yang tinggi dalam kemampuan persediaan karbon dari berbagai pola agroforestri. Ragam yang tinggi dalam sistem agroforestri ini tergantung pada beberapa faktor mencakup umur, struktur tegakan dan cara sistem tersebut dikelola.
Praktek
agroforestri yang potensial untuk menyimpan karbon adalah sistem agroforestri dengan tanaman tahunan yang memberikan kesempatan pertumbuhan pohon secara penuh dan komponen berkayu merupakan bagian yang terpenting dari keseluruhan biomassanya (Albrecht & Kandji 2003).
94
Ketelitian Pendugaan Persediaan Karbon dan Pengembangan Metode Inventarisasi Karbon Sumber Karbon dan Ketelitian Pendugaannya Inventarisasi karbon adalah bagian penting dalam siklus proyek karbon, karena beberapa tahap mekanisme proyek seperti penentuan garis dasar (baseline), validasi, monitoring dan verifikasi untuk pengakuan besarnya serapan karbon yang dihasilkan proyek memerlukan kegiatan inventarisasi karbon dalam prosesnya. Kegiatan inventarisasi karbon memerlukan persyaratan mencakup tingkat kesalahan yang diperkenankan dan menjadi acuan untuk menentukan teknik inventarisasi yang paling mungkin dengan keterbatasan sumberdaya yang ada (terutama biaya monitoring karbon).
Penyelenggaraan proyek karbon hutan
sebagaimana diatur dalam IPCC (2003),
mensyaratkan tingkat ketelitian
pendugaan karbon dengan kesalahan maksimum 10% pada tingkat kepercayaan 95%. Uraian sebelumnya telah menunjukkan bagaimana distribusi sumber persediaan karbon tegakan agroforestri, beserta dinamika perubahannya yang terjadi sejalan dengan meningkatnya umur atau pertumbuhan tegakan. Besarnya persediaan karbon yang diperlihatkan dalam uraian tersebut akan meyakinkan untuk kepentingan validasi dan verifikasi apabila memiliki selang pendugaan yang kecil sehingga tingkat kepercayaannya tinggi. Sebaliknya informasi itu bisa menjadi tidak berarti apabila berasal dari pendugaan dengan selang pendugaan yang besar.
Gambar 17 menunjukkan besarnya koefisien variasi (CV) yang
dihasilkan dari pendugaan rata-rata persediaan karbon untuk setiap sumber biomassa karbon yang diukur. Berdasarnya besarnya persediaan karbon yang terdapat dalam biomassa, pohon penyusun tegakan agroforestri adalah sumber karbon terpenting yang perlu diinventarisasi.
Pohon utama mencakup lebih 80% dari total seluruh biomassa
bagian atas permukaan tanah.
95
160% 140% CV (%)
120% 100% 80% 60% 40% 20% 0% U1 - 2
U3 -4
U5 -6
U7 - 8
U9 - 1 0 U1 1 - 1 2
u m u r ( ta h u n ) C to tA G
Cp h n
Ch e rb a
C litte r
(a)
80%
CV (%)
60%
40%
20%
0% U1 -2
U3 -4
U5 -6
U7 -8
U9-10
U1 1 -1 2
U m u r ( ta h u n ) C to tA G
Cp h n
Ch e rb a
C litte r
(b) Gambar 17. Keragaan koefisien variasi persediaan karbon menurut umur tegakan pada agroforestri tegakan murni (a) dan kebun-campuran (b). Untuk praktek agroforestri tegakan murni, pendugaan persediaan karbon pohon memiliki koefisien variasi berkisar antara 15-81 % dengan rata-rata 31%. Ada kecenderungan meningkatnya koefisien variasi untuk pendugaan agroforestri yang berumur lebih muda.
Informasi ini menunjukkan bahwa untuk
menghasilkan tingkat ketelitian yang sama untuk menaksir karbon pohon, diperlukan intensitas sampling yang lebih tinggi pada tegakan yang berumur muda dibandingkan dengan yang berumur tua. Pada pola kebun-campuran, koefisien variasi berkisar antara 18-61% dengan rata-rata 31%. Koefisien variasi yang tinggi tidak berhubungan dengan perkembangan umur tegakan.
96
Koefisien variasi yang dihasilkan untuk pendugaan karbon pohon dari penelitian ini relatif jauh lebih tinggi dari CV yang dinyatakan oleh Hamburg (2000) yang berkisar dari 5–10%. Namun demikian beberapa hasil penelitian di hutan/kebun milik atau agroforestri skala kecil cenderung menghasilkan CV yang tinggi. Specht & West (2003) menunjukkan bahwa CV pendugaan karbon pohon mencapai 40% pada kebun kayu berumur 2 tahun dan cenderung akan menurun hingga mencapai 5% ketika tegakan berumur 10 tahun. Obyek penelitiannya adalah kebun kayu di lahan pertanian di New South Wales, Australia. Penelitian Roshetko et al. (2001) pada homegarden agroforestri di Lampung, Indonesia juga menghasilkan CV yang tinggi hingga mencapai 60% untuk pendugaan karbon bagian atas permukaan tanah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa praktek agroforestri memiliki keragaman yang tinggi, mencakup penggunaan jenis tanaman, pengaturan penanaman, dan cara-cara pemanfaatan hasilnya. Keragaman ini yang menyebabkan pendugaan karbon pohon pada agroforestri yang berskala kecil akan menghasilkan CV yang besar.
Dengan demikian untuk menghasilkan
pendugaan persediaan karbon pohon yang teliti untuk agroforestri maka diperlukan satuan contoh yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem pertanaman yang monokultur untuk tingkat ketelitian yang sama. Persediaan karbon dari serasah yang mencapai 6% dari total karbon bagian atas cukup penting sebagai sumber persediaan karbon. Namun pendugaan karbon serasah cenderung juga memiliki CV yang tinggi (39%), sehingga menjadi masalah untuk mengukurnya. Selain itu serasah adalah karbon yang berasal dari biomassa mati yang dalam waktu yang relatif singkat akan terdekomposisi, sehingga persediaan karbonnya tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama. Walaupun demikian, jumlah serasah yang besar dalam agroforestri memberikan dampak yang positif untuk meningkatkan persediaan karbon yang berasal dari bahan organik tanah. Tumbuhan bawah memiliki porsi yang sangat kecil sumbangannya terhadap persediaan karbon (kurang dari 1%), walaupun tumbuhan bawah adalah bagian yang penting dalam praktek agroforestri baik di tegakan murni maupun kebuncampuran. Tumbuhan bawah bisa mencakup tanaman pangan, tumbuhan obat dan vegetasi alami berbentuk rumput dan herba. Tumbuhan bawah kehadirannya
97
memiliki variasi yang tinggi, dan sangat tergantung dengan kondisi musim, naungan dan tingkat pengelolaan yang diterapkan. Pada pola tegakan murni, pengukuran tumbuhan bawah menghasilkan CV yang jauh lebih tinggi (87%) dibandingkan dengan pola kebun-campuran (32%) yang menunjukan bahwa pengelolaan lahan di bawah tegakan lebih intensif dilakukan di tegakan murni dibandingkan dengan di kebun-campuran. Selain itu kehadiran tumbuhan bawah tidak dapat dipertahankan lebih lama karena sangat dipengaruhi dengan tingkat naungan pohon yang ada di atasnya. Walaupun Brown (1999a) menyarankan untuk memasukan tumbuhan bawah sebagian sumber karbon yang penting diukur dalam sistem agroforestri, mungkin hal ini hanya relevan apabila penggunaan tanaman di bawah tegakan agroforestri menjadi bagian yang sama penting dari seluruh praktek agroforestri. Terdapat kecenderungan tingginya koefisien variasi yang terjadi dalam pendugaan persediaan karbon yang berasal dari tumbuhan bawah dan serasah, termasuk di luar agroforestri, sebagaimana dilaporkan Roshetko (2002) untuk agroforestri di Lampung, Indonesia dan Tiepolo et al. (2002) pada berbagai strata vegetasi hutan untuk proyek karbon di Parana, Brazil. Pengaruh Intensitas Sampling dan Luas Satuan Contoh Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa ada kecenderungan nilai CV yang tinggi untuk menduga persediaan karbon agroforestri. Variasi yang tinggi bisa disebabkan oleh ragam yang tinggi di dalam unit lahan yang sama atau juga ragam yang tinggi antar unit lahan. Terdapat kecenderungan diperlukannya contoh yang lebih banyak atau intensitas sampling yang besar untuk menghasilkan tingkat
ketelitian
yang
diinginkan
dalam
proyek
karbon
agroforestri.
Kecenderungan intensitas sampling yang tinggi akan berimplikasi meningkatnya biaya inventarisasi karbon. Hal ini dapat menyebabkan inventarisasi karbon pada agroforestri menjadi lebih mahal dibandingkan dengan proyek serapan karbon lain (misalnya hutan tanaman) yang akan mengurangi daya tarik proyek karbon agroforestri.
98
Gambar 18 menunjukkan hasil simulasi pengaruh penggunaan intensitas sampling yang berbeda terhadap besarnya kesalahan sampling relatif (persentase terhadap nilai rata-rata) untuk pendugaan persediaan karbon tegakan agroforestri. 40%
Kesalahan Sampling
30%
20%
10%
0% 10
20
30
40
50
60
70
Intensitas Sampling (%) U1-2
U3-4
U5-6
U7-8
U9-10
U11-12
Gambar 18. Hubungan antara pengaruh intensitas sampling dengan besarnya kesalahan sampling pada berbagai umur tegakan agroforestri. Gambar 18 menunjukkan bahwa pada intensitas sampling hingga mencapai 25% dari total populasi masih menunjukkan kesalahan sampling yang tinggi (beberapa masih di atas 20%).
Kesalahan sampling akan berkurang dengan
meningkatkan contoh hingga 50%, tetapi beberapa tegakan cenderung tetap memiliki kesalahan sampling yang tinggi sekalipun intensitas sampling ditingkatkan. Simulasi tersebut disusun atas dasar satuan contoh berbentuk bujur sangkar ukuran 10x10 m. Hanya beberapa saja yang mampu mencapai kesalahan sampling di bawah 10%. Fenomena ini menunjukkan bahwa tegakan agroforestri cenderung memiliki ragam populasi yang tinggi yang akan mempengaruhi teknik sampling yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat kesalahan yang disyaratkan. Pada Gambar 19 ditunjukkan pengaruh luas satuan contoh yang berbeda terhadap kesalahan sampling yang dihasilkan.
Penggunaan satuan contoh
berukuran 10x10 m cenderung akan menghasilkan kesalahan sampling yang tinggi, tetapi memperbesar satuan contoh hingga berukuran 10x30 m tidak
99
seluruhnya akan menjamin berkurangnya kesalahan sampling.
Memperbesar
ukuran contoh hingga berukuran 10x30 m masih menghasilkan kesalahan sampling hingga 15%. Hal ini menunjukkan betapa beragamnya sifat populasi unit lahan agroforestri. Memperbesar ukuran satuan contoh tidak secara otomatis akan memperkecil ragam karena satuan contoh yang terlalu besar memungkinkan sampling jatuh dalam wilayah pemilikan atau pengelolaan yang berbeda, yang menyebabkan beragam pula kondisi tegakannya. 35
Kesalahan Sampling (%)
30 25 20 15 10 5 0 10x10
10x20
10x30
Luas Plot (m2) U1-2
Gambar 19.
U3-4
U5-6
U7-8
U9-10
U11-12
Hubungan antara pengaruh luas satuan contoh dengan besarnya kesalahan sampling pada berbagai umur tegakan agroforestri.
Implikasi Metode Inventarisasi Karbon pada Tegakan Agroforestri Simulasi yang memperhitungkan besarnya intensitas sampling dan luas satuan contoh menunjukkan bahwa pendugaan karbon pada agroforestri cenderung menghasilkan tingkat kesalahan sampling yang tinggi. Hal ini bisa menyebabkan diragukannya setiap informasi kemampuan agroforestri dalam menyediakan karbon.
Target tingkat kesalahan yang dibatasi tidak boleh lebih
dari 10% (pada tingkat kepercayaan 95%) untuk prosedur sampling untuk keperluan monitoring proyek karbon hutan (IPCC 2005) akan menjadi masalah yang bisa mempengaruhi daya tarik masuknya kegiatan agroforestri untuk proyek karbon.
100
Melihat sifat populasi tegakan agroforestri yang cenderung beragam, maka seharusnya ada pilihan lain yang dilakukan selain hanya membatasi tingkat kesalahan untuk menyatakan besarnya kemampuan persediaan karbon tegakan agroforestri. Hal ini sejalan dengan saran Hamburg (2002) untuk tidak hanya menggunakan batas tingkat ketelitian tertentu dalam menduga perubahan karbon dari proyek berbasis hutan, tetapi haruslah ada pengurangan karbon dalam jumlah tertentu secara seimbang untuk menentukan jumlah persediaan karbon yang benar-benar meyakinkan. Untuk mengatasi masalah keragaman yang cenderung tinggi sehingga menghasilkan kesalahan sampling yang tetap tinggi dalam tegakan agroforestri, maka pengukuran dan monitoring persediaan karbon harus menetapkan setiap unit lahan pemilikan sebagai unit terkecil penilaian. Semakin banyak unit lahan pemilikan yang dicakup dalam wilayah proyek, semakin banyak unit penilaian yang diperlukan. Pendekatan pengukuran karbon di atas sangat baik dari sisi ketelitian hasil pengukuran namun cenderung akan membuat tidak efisiennya pengukuran karbon apabila harus dilakukan oleh pihak ketiga di luar pengelola proyek. Hasil observasi lapang selama penelitian ini menunjukkan bahwa petani pemilik lahan umumnya memiliki kemampuan untuk mengetahui sumberdaya agroforestri yang dimilikinya.
Hal yang bisa dilakukan sendiri oleh pemilik lahan mencakup
misalnya mengukur luas lahan, mendaftarkan jenis dan pemilikan tanaman, mengukur dimensi pohon serta mencatat pohon-pohon yang dimanfaatkan selama periode waktu tertentu. Dengan pengetahuan dan ketrampilan yang sudah ada tersebut, maka melalui pelatihan singkat dan pendampingan yang tepat tidaklah terlalu sulit bagi petani pengelola agroforestri untuk memahami cara-cara pengukuran atau rencana monitoring karbon yang diinginkan dalam skema proyek karbon. Hal ini jelas sangat nyata akan mereduksi biaya inventarisasi karbon dan akan meningkatkan kapasitas petani agar lebih bertanggungjawab terhadap implikasi setiap bentuk pengelolaan agroforestri yang dilakukannya. Bentuk satuan contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah jalur persegi panjang. Jalur terbagi atas plot bujur sangkar berukuran 10x10 m sebagai unit terkecil pengukuran. Dibandingkan dengan rata-rata luas pemilikan lahan
101
petani, satu unit terkecil pengukuran (plot) minimal telah mencakup 10% dari luas pemilikan. Apabila petani ambil bagian dalam proses pengukuran dan monitoring karbon, maka intensitas sampling yang jauh lebih tinggi masih dimungkinkan dilakukan untuk memperoleh tingkat ketelitian yang disyaratkan tanpa peningkatan yang nyata dalam biaya inventarisasinya. Keuntungan lain menjadikan unit lahan pemilikan sebagai unit penilaian adalah memungkinkannya dilakukan pencatatan secara permanen terhadap persediaan dan perubahan karbon mengikuti jangka waktu kontrak proyek karbon. Pencatatan
secara
permanen
untuk
setiap
unit
pemilikan
lahan
akan
mempermudah proses verifikasi untuk pengakuan terjadinya serapan karbon melalui kegiatan agroforestri yang akan dilakukan oleh pihak ketiga, sehingga bisa menekan secara nyata biaya verifikasi yang harus ditanggung pengelola/ pengembang proyek. Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri Pendugaan persediaan karbon tegakan agroforestri dilakukan melalui tiga cara, yaitu melalui pendekatan stuktur tegakan, fungsi hasil/pertumbuhan tegakan dan pendekatan dimensi rata-rata tegakan. Pendekatan Struktur Tegakan Struktur tegakan yang dimaksudkan disini adalah bagaimana pohon-pohon penyusun tegakan agroforestri terdistribusi berdasarkan sebaran diameter pohonnya. Dalam pokok bahasan struktur tegakan agroforestri sebelumnya telah ditunjukkan bahwa tegakan agroforestri memiliki struktur tegakan yang spesifik mendekati struktur tegakan yang berbentuk hutuf J-terbalik.
Model struktur
tegakan yang disajikan pada Tabel 19 dalam uraian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara besarnya laju pengurangan jumlah pohon dengan meningkatnya umur rata-rata tegakan agroforestri tersebut. Kurva struktur tegakan yang menyatakan distribusi pohon pada berbagai kelas diameter pada dasarnya juga bisa dipakai secara tidak langsung untuk mengetahui besarnya luas bidang dasar tegakan dan volume tegakan (Clutter et al. 1983).
Pendekatan ini juga yang akan dipakai untuk pendugaan persediaan
102
karbon tegakan, karena besarnya biomassa dapat didekati dengan dimensi diameter pohon atau luas bidang dasar pohon, maka dengan demikian kurva struktur tegakan seharusnya juga bisa mencerminkan persediaan karbon tegakan yang bersangkutan. Dalam model struktur tegakan N = ke−aD yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya,
distribusi
jumlah
pohon
menurut
kelas
diameter
pohon
direpresentasikan oleh nilai parameter a dan k dari model persamaan struktur tegakan tersebut. Nilai-nilai parameter tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai peubah bebas untuk menjelaskan keragaman persediaan karbon tegakan dengan bentuk struktur tegakan tertentu. Dari seluruh nilai parameter a dan k, terdapat hubungan korelasi yang sangat nyata (p <0,01) antara besarnya nilai a dan k, yaitu masing-masing 0,81 dan 0,68 untuk agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran. Suatu tegakan dengan nilai k yang tinggi akan diikuti dengan nilai a yang cenderung tinggi pula (korelasi positif). Tabel 27 menyatakan model matematik atau persamaan regresi untuk menduga potensi persediaan karbon melalui struktur tegakan pada agroforestri murni dan kebun-campuran. Potensi persediaan karbon mencakup karbon total, karbon pohon (dengan dan tanpa pohon kopi), dan karbon dari biomassa hidup. Tabel tersebut menunjukan bahwa pendugaan persediaan karbon tegakan dengan pendekatan analisis regresi linear yang menggunakan peubah bebas dari parameter struktur tegakan a dan k cukup terandalkan. Lewat persamaan tersebut ditunjukkan bahwa peubah a dan k masing-masing berkontribusi nyata terhadap peubah tak bebas persediaan karbon (t hitung nyata, p <0.05). Untuk pendugaan persediaan karbon praktek agroforestri dengan pola tegakan murni, persamaan yang menggunakan peubah struktur tegakan cukup terandalkan untuk menjelaskan keragaman persediaan karbon (koefisien determinasi R2 hampir 80%).
Namun kemampuan persamaan tersebut lebih
rendah apabila dipakai untuk menerangkan keragaman persediaan karbon pada agroforestri dengan pola kebun-campuran (koefisien determinasi R2 hanya mencapai 60%).
103
Tabel 27 Persamaan matematik pendugaan potensi karbon melalui peubah struktur tegakan pada agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran R2(%)
Model
F
S
PRESS
Agroforestri Murni Karbon total CtotAG = 87,2 + 0,00453 k - 361 a
79,7
35,43**
8,89
1958,16
Karbon pohon & kopi Cstand&kopi = 82,7 + 0,00446 k - 350 a
79,9
35,78**
8,52
1790,52
Karbon pohon tanpa kopi Cstand = 71,4 + 0,00411 k - 315 a
79,3
34,47**
7,76
1602,93
Karbon hidup Chidup = 82,9 + 0,00451 k - 350 a
80,2
36,8**
8,41
1750,08
Agroforestri Kebun-Campuran Karbon total CtotAG = 101 + 0,00284 k - 370 a
60,2
12,86**
11,60
3513,77
Karbon pohon & kopi Cstand&kopi = 97,3 + 0,00264 k - 358 a
60,7
13,16**
11,15
3260,36
Karbon pohon tanpa kopi Cstand = 82,8 + 0,00277 k - 308 a
55,4
10,54**
10,18
2827,04
Karbon hidup Chidup = 97,4 + 0,00267 k - 357 a
60,5
13,02**
11,17
3265,06
** hasil uji F sangat nyata (p <0,01). Uji t untuk parameter k dan a juga menunjukkan hasil yang nyata (p <0,05).
Berkurangnya
kemampuan
persamaan
tersebut
untuk
menjelaskan
persediaan karbon pada agroforestri kebun-campuran disebabkan oleh lebih beragamnya jenis pohon pada pola kebun-campuran, sehingga jumlah dan distribusi pohon dalam tegakan tidak dapat dijadikan ukuran tunggal yang menjelaskan keragaman persediaan biomassa/karbon dalam tegakannya. Model pendugaan persediaan karbon tegakan melalui pendekatan struktur tegakan dapat dipakai untuk kepentingan praktis dengan tingkat ketelitian yang lebih rendah, dimana informasi tegakan hanya tersedia dalam bentuk data distribusi pohon berdasarkan ukurannya dengan distribusi mengikuti bentuk kurva huruf J-terbalik. Tegakan terdiri dari jenis pohon yang hampir homogen atau jenis tersebut memiliki laju pertumbuhan yang relatif sama. Pendekatan lewat struktur tegakan akan berkurang keterandalannya apabila pohon-pohon yang ada terdistribusi di luar model tersebut atau ada tegakan campuran yang terdiri banyak jenis dengan laju pertumbuhan jenis yang bervariasi.
104
Pendekatan Peubah Tegakan Peubah-peubah tegakan yang bisa dikenali sebagai ciri tegakan seumur mencakup umur, diameter rata-rata, tinggi rata-rata, kerapatan dan luas bidang dasar tegakan. Peubah tersebut biasa dipakai untuk mencirikan tegakan seumur (Husch et al. 2003). Sebagian dari peubah tersebut dipakai misalnya untuk mengetahui persediaan volume tegakan
(Clutter et al. 1983, Vanclay 1994).
Pendekatan tersebut juga diduga dapat dipakai untuk menjelaskan keragaman persediaan karbon yang terdapat dalam tegakan, karena karbon tegakan pada dasarnya juga diturunkan dari penjumlahan biomassa/karbon seluruh pohon yang menyusun tegakan.
Peubah tegakan yang diperhatikan mencakup umur tegakan,
kerapatan pohon (tidak termasuk pohon kopi), diameter rata-rata pohon (berdiameter 5 cm ke atas) dan luas bidang dasar tegakan (tidak termasuk pohon kopi). Tabel 28 menyajikan matriks korelasi sederhana antara peubah-peubah tegakan dengan persediaan karbon pada agroforestri pola tegakan murni dan kebun-campuran. Tabel 28 Matriks korelasi sederhana hubungan antara peubah tegakan dengan persediaan karbon tegakan pada agroforestri tegakan murni dan kebuncampuran U
Agroforestri Murni N D
BA
Agroforestri Kebun-Campuran U N D BA
CtotAG
0,91**
-0,08
0,88**
0,93**
0,87**
0,16
0,86**
0,89**
Cstankp
0,88**
-0,07
0,87**
0,93**
0,87**
0,16
0,85**
0,88**
Cstand
0,90**
-0,02
0,87**
0,95**
0,85**
0,28
0,83**
0,94**
Clive
0,88**
-0,06
0,88**
0,93**
0,87**
0,16
0,85**
0,88**
U
1
-0,28
0,85**
0,78**
1
0,06
0,83**
0,79**
N
-
1
-0,38
0,25
-
1
-0,21
0,53*
D
-
-
1
0,78**
-
-
1
0,68**
BA
-
-
-
1
-
-
-
1
CtotAG = karbon total, Cstankp = karbon pohon dan kopi, Cstand = karbon pohon tanpa kopi, Clive = karbon hidup (semua dalam tonC/ha), U = umur tegakan (tahun), N = kerapatan pohon (pohon/ha), D = diameter rata-rata tegakan (cm), dan BA = luas bidang dasar tegakan (m2/ha). ** : korelasi sangat nyata (p<0,01), * : korelasi nyata (p<0,05).
Secara konsisten persediaan karbon agroforestri berkorelasi sangat nyata (p <0.01) dengan umur tegakan, diameter rata-rata dan luas bidang dasar tegakan,
105
tetapi tidak berkorelasi (p >0.05) dengan kerapatan tegakan.
Antar peubah
tegakan sendiri terdapat korelasi yang sangat nyata (p < 0.01), yaitu antara umur tegakan dengan diameter rata-rata dan luas bidang dasar tegakan, serta antara diameter rata-rata dengan luas bidang dasar tegakan.
Memperhatikan tabel
matriks korelasi sederhana tersebut, keragaman persediaan karbon tegakan seharusnya dapat dijelaskan hanya dengan sedikit peubah tegakan. Hubungan antara persediaan karbon tegakan dan peubah tegakan diperiksa dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan metode semua kemungkinan regresi (all possible regression) (Draper & Smith 1991). Tabel 29 menyajikan sebagian persamaan regresi yang diajukan dan statistik yang diperlukan untuk pemilihan persamaan regresi terbaik dengan berbagai peubah bebas yang disertakan dalam persamaan.
Persamaan regresi terbaik secara
statistik ditunjukkan oleh R2 yang tinggi, statistik F yang besar, serta nilai kesalahan baku dan PRESS yang kecil. Dengan menggunakan semua kombinasi persamaan regresi yang mungkin dihasilkan, persamaan regresi yang menggunakan dua peubah bebas, yaitu luas bidang dasar tegakan dan kerapatan tegakan merupakan persamaan yang paling efisien. Persamaan tersebut secara konsisten memiliki nilai R2 yang terbesar, F hitung terbesar, kesalahan baku (s) dan PRESS yang terkecil. Sebagai contoh, penggunaan persamaan tersebut untuk pendugaan persediaan karbon total untuk agroforestri baik untuk tegakan murni maupun kebun-campuran mampu menjelaskan keragaman karbon total hingga 96% dan 93%.
Keterandalan
persamaan ini relatif sama apabila pendugaan persediaan karbon menggunakan seluruh peubah tegakan. Pemeriksaan asumsi melalui plot peluang normal dan plot sisaan baku terhadap nilai-nilai pengamatan menunjukkan dipenuhinya syarat asumsi kenormalan sisaan, ragam sisaan yang konstan dan terdistribusi normal. Pendugaan persediaan karbon yang hanya menggunakan peubah luas bidang dasar dan kerapatan tegakan tidak memerlukan lagi peubah umur tegakan dan diameter rata-rata tegakan. Peubah umur tegakan dan diameter rata-rata tegakan cukup diwakili/digantikan oleh peubah luas bidang dasar tegakan, karena antar peubah-peubah tersebut terdapat korelasi yang sangat nyata (multikolinearitas). Peubah kerapatan tegakan walaupun tidak nyata berkorelasi dengan persediaan
106
karbon, tetapi peubah ini memberikan sumbangan keragaman yang sangat nyata (t hitung sangat nyata, p< 0.01) apabila digunakan secara bersama-sama dengan peubah luas bidang dasar tegakan. Tabel 29 Peubah bebas
Persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon melalui peubah tegakan pada agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran R2(%)
Model
F
s
PRESS
Agroforestri Murni Karbon total atas tanah 4
CtotAG = 11,1 + 0,418 U - 0,020 N 0,50 D + 3,42 BA
96,2
101,22
4,08
441,90
3
CtotAG = 5,64 + 0,466 U - 0,017 N + 3,19 BA
96,2
141,93
3,98
408,49
2
CtotAG = 6,60 - 0,019 N + 3,41 BA
96,1
220,78
3,90
374,92
1
CtotAG = - 7,38 + 3,13 BA
86,0
116,50
7,19
1293,8
1
CtotAG = 5,81 + 5,91 U
82,1
87,13
8,13
1579,3
Karbon pohon & kopi 4
Cstankp = 12,0 + 0,425 U - 0,020 N 0,78 D + 3,41 BA
96,2
101,42
3,93
419,22
3
Cstankp = 3,50 + 0,499 U - 0,016 N + 3,05 BA
96,1
139,90
3,86
395,65
2
Cstankp = 4,53 - 0,018 N + 3,29 BA
96,0
216,62
3,80
370,43
1
Cstankp = - 8,55 + 3,03 BA
86,5
121,44
6,81
1168,0
1
Cstankp = 4,29 + 5,69 U
82,1
86,87
7,84
1474,3
Karbon pohon tanpa kopi 4
Cstand = 5,31 + 0,843 U - 0,014 N 0,767 D + 2,90 BA
98,6
273,89
2,17
144,92
3
Cstand = - 3,04 + 0,916 U - 0,010 N + 2,54 BA
98,4
358,14
2,19
144,95
2
Cstand = - 1,14 - 0,014 N + 2,99 BA
98,0
450,12
2,38
144,82
1
Cstand = - 11,3 + 2,78 BA
90,9
188,77
5,02
655,98
1
Cstand = 0,73 + 5,19 U
84,9
106,44
6,46
1000,7
Karbon hidup 4
Clive = 10,2 + 0,446 U - 0,018 N 0,62 D + 3,32 BA
96,5
111,29
3,73
381,84
3
Clive = 3,51 + 0,505 U - 0,015 N + 3,03 BA
96,5
154,78
3,65
359,62
2
Clive = 4,56 - 0,017 N + 3,28 BA
96,4
238,85
3,60
334,01
1
Clive = - 8,12 + 3,03 BA
87,3
130,85
6,55
1082,0
1
Clive = 4,86 + 5,67 U
82,2
87,63
7,77
1444,4
107
Tabel 29 (lanjutan) Peubah bebas
R2(%)
Model
F
s
PRESS
Agroforestri Kebun-Campuran Karbon total atas tanah 4
CtotAG = 2,3 + 0,425 U - 0,011 N + 0,95 D + 2,53 BA
92,7
47,73
5,28
1341,0
3
CtotAG = 11,7 + 0,441 U - 0,014 N + 2,77 BA
92,7
67,30
5,13
738,61
2
CtotAG = 12,9 - 0,015 N + 2,97 BA
92,6
105,70
5,01
689,12
1
CtotAG = - 2,10 + 2,36 BA
79,3
68,93
8,13
1631,0
1
CtotAG = 8,07 + 5,36 U
76,3
57,84
8,70
1851,2
Karbon pohon & kopi 4
Cstankp = 9,7 + 0,41 U - 0,013 N + 0,08 D + 2,65 BA
91,6
41,09
5,48
1361,5
3
Cstankp = 10,5 + 0,412 U - 0,013 N + 2,67 BA
91,6
58,43
5,30
782,79
2
Cstankp = 11,6 - 0,015 N + 2,86 BA
91,5
92,01
5,17
733,88
1
Cstankp = - 3,00 + 2,27 BA
78,1
64,27
8,09
1624,3
1
Cstankp = 6,70 + 5,16 U
75,4
55,26
8,57
1788,2
Karbon pohon tanpa kopi 4
Cstand = - 5,5 - 0,147 U - 0,006 N + 1,09 D + 2,28 BA
95,3
75,24
3,63
613,78
3
Cstand = 5,30 - 0,129 U - 0,009 N + 2,55 BA
95,1
104,54
3,56
339,07
2
Cstand = 4,94 - 0,009 N + 2,50 BA
95,1
166,18
3,46
313,01
1
Cstand = - 4,13 + 2,13 BA
88,5
138,24
5,17
641,06
1
Cstand = 7,37 + 4,45 U
72,1
46,61
8,04
1519,9
Karbon hidup 4
Clive = 7,0 + 0,451 U - 0,012 N + 0,38 D + 2,55 BA
91,8
42,05
5,41
1353,9
3
Clive = 10,7 + 0,457 U - 0,013 N + 2,650 BA
91,8
59,72
5,24
766,27
2
Clive = 12,0 - 0,015 N + 2,86 BA
91,7
93,75
5,12
718,68
1
Clive = - 2,61 + 2,27 BA
78,3
64,79
8,05
1606,9
1
Clive = 7,04 + 5,16 U
75,8
56,40
8,49
1757,5
U = umur tegakan (tahun), N = jumlah pohon (pohon/ha), D = diameter rata-rata pohon (cm), BA = luas bidang dasar rata-rata tegakan (m2/ha), CtotAG= karbon total di atas tanah, Cstankp = karbon tegakan dengan kopi, Cstand = karbon tegakan (tanpa kopi), Clive = karbon dari biomassa hidup (masing-masing dalam tonC/ha). Pohon yang diperhitungkan berdiameter 5 cm ke atas (tanpa jenis kopi). R2= koefisien determinasi (%), F = statistik F uji koefisien regresi, s = kesalahan baku, dan PRESS = predicted residual sum of square.
108
Pendugaan persediaan karbon dengan pendekatan peubah tegakan mampu menerangkan keragaman persediaan karbon tegakan agroforestri yang lebih baik apabila dibandingkan dengan pendekatan yang menggunakan peubah struktur tegakan.
Peubah yang paling berperan dalam pendugaan persediaan karbon
tegakan adalah luas bidang dasar tegakan. Bidang dasar tegakan ditentukan dari penjumlahan seluruh luas bidang dasar pohon yang menyusun tegakan. Karena biomassa atau karbon pohon ditentukan oleh diameter/luas bidang dasar pohon, maka sudah seharusnya kalau terdapat hubungan yang erat antara luas bidang dasar tegakan dengan biomassa atau karbon tegakan. Pendekatan Fungsi Pertumbuhan Tegakan Publikasi tentang kemampuan hutan untuk penyimpan karbon biasanya ditunjukkan dalam bentuk kurva atau persamaan matematik yang menyatakan hubungan
antara
persediaan
karbon
dengan
waktu
pertumbuhan
atau
perkembangan hutan. Kurva atau persamaan pertumbuhan persediaan karbon ini merupakan faktor penting untuk menilai kemampuan suatu hutan atau bentuk pengelolaan ekosistem tertentu sebagai penyerap karbon, karena akan diikutsertakan dalam perhitungan manfaat proyek karbon (carbon accounting) (Cacho et al. 2002). Kurva atau persamaan pertumbuhan karbon tersebut dapat dianalogikan dengan kurva pertumbuhan tegakan yang biasa dilakukan untuk analisis pertumbuhan dan hasil dalam manajemen hutan konvensional, khususnya untuk hutan-hutan seumur atau homogen (Clutter at al. 1983).
Kurva
pertumbuhan karbon dalam tegakan tersebut dihasilkan dengan menggangap adanya hubungan yang kuat antara perkembangan pertumbuhan persediaan karbon dengan waktu atau masa daur tegakan. Dalam tegakan agroforestri telah ditunjukan sebelumnya bahwa pohonpohon terdistribusi pada setiap kelas diameternya membentuk kurva J-terbalik yang biasanya ditemukan dalam hutan tidak seumur. Pengelolaan tegakan dengan tebang pilih dan permudaan yang mengabaikan daur menyebabkan faktor umur tegakan bukan menjadi satu-satunya faktor yang dominan lagi yang menentukan perkembangan karbon tegakan.
109
Pendekatan dengan fungsi pertumbuhan tegakan menggunakan model fungsi pertumbuhan yang disarankan dalam Clutter (1987); van Laar (1991); van Laar & Akca (1997).
Fungsi ini merupakan fungsi hipotetik yang menggambarkan
perkembangan pertumbuhan yang mengikuti bentuk huruf S (kurva sigmoid). Tabel 30 menyajikan model persamaan pertumbuhan persediaan karbon tegakan yang dihasilkan melalui pendekatan analisis regresi non-linear dengan metode Levenberg-Marquardt (Seber & Wild 2003).
Sedangkan Gambar 20 dan 21
menyajikan bentuk kurva pertumbuhan persediaan karbon untuk berbagai sumber karbon dari agroforestri dengan pola tegakan murni dan kebun-campuran atas dasar persamaan matematik yang dihasilkan dalam Tabel 30 tersebut. Tabel 30
Persamaan matematik pendugaan persediaan karbon tegakan melalui fungsi pertumbuhan pada agroforestri tegakan murni dan kebuncampuran
Sumber karbon
Model
R2 (%)
F hitung
371,1**
Agroforestri Murni Karbon total
C=120,831/[1+ 8,0128*exp(-0,23264*U)]
90,6
Karbon pohon dan kopi
C=114,14/[1+8,5343*exp(-0,23891*U)]
90,7 354,3**
Karbon pohon tanpa kopi
C=92,889/[1+ 9,8563*exp(-0,26748*U)]
92,8
406,2**
Karbon hidup
C=113,872/[1+ 8,2353*exp(-0,23669*U)]
90,7
365,5**
Agroforestri Kebun-Campuran Karbon total
C=140,951/[1+7,6179*exp(-0,17459*U)]
85,2
254,5**
Karbon pohon dan kopi
C=169,933/[1+ 9,8490*exp(-0,15975*U)]
84,6
230,1**
Karbon pohon tanpa kopi
C=97,127/[1+ 6,5507*exp(-0,20081*U)]
83,4
223,3**
Karbon hidup
C=156,504/[1+ 8,9576*exp(-0,16422*U)]
84,7
236,4**
C = persediaan karbon (tonC/ha), U = umur rata-rata tegakan, R2 (%) = Koefisien determinasi, ** = uji F sangat nyata (p<0,01).
Dari kurva pertumbuhan persediaan karbon tegakan dapat diperkirakan besarnya perkembangan persediaan karbon dari waktu ke waktu sepanjang tegakan agroforestri masih dipertahankan dan tidak dilakukan tebang habis. Trend yang diperlihatkan menunjukkan rata-rata kemampuan tegakan agroforestri untuk menyimpan karbon dengan seluruh dinamika pengelolaan yang terjadi sepanjang pengelolaannya. Kurva hasil karbon yang digambarkan melalui persamaan pada Tabel 30 relatif lebih baik untuk menggambarkan agroforestri
110
dengan pola tegakan murni (koefisien determinasi R2 > 90%) dibandingkan dengan kurva hasil karbon agroforestri kebun-campuran (R2 ≅ 85%). Hal ini menunjukkan bahwa umur tegakan bukanlah faktor tunggal yang mempengaruhi variasi karbon tegakan.
Namun demikian untuk keperluan prediksi manfaat
proyek karbon, kurva tersebut masih cukup memadai untuk digunakan. CtotAG=(120.831)/(1+(8.01281)*exp(-(.232636)*U))
Cstankp=(114.14)/(1+(8.53433)*exp(-(.238907)*U))
100
100
#16 #16
80
#14
80
#19
#14
#12
Cstankp (tonC/ha)
CtotAG (tonC/ha)
#19
60 #17 #6
#3 #20
40
#9 #15 #10 #8 #4 #11 #5
#18 #2 #7 #13
#21
60 #12 #17 #6
#3 40
#7 #2 #18 #13
#21
20
#9 #15 #10 #4 #8 #11 #5
#20
20
#1
#1
0 0
2
4
6
8
10
12
0
14
0
2
4
6
Umur (tahun)
8
10
12
14
Umur (tahun)
(a)
(b)
Cstand=(92.8891)/(1+(9.85634)*exp(-(.267482)*U))
Clive=(113.872)/(1+(8.23526)*exp(-(.236699)*U))
100
100
#16
80
80 #14
#16 #19
60
Clive (tonC/ha)
Cstand (tonC/ha)
#14 #19 #12 #17 40
#20 #18 #7 #13 #2
20
#6
#3 #15 #10 #4 #9 #8 #5 #11
60 #12 #17 #3
40
#18 #2 #7 #13
#21
#6
#9 #15 #10 #4 #8 #11 #5
#20
20
#21
#1
#1 0
0
0
2
4
6
8
Umur (tahun)
(c)
10
12
14
0
2
4
6
8
10
12
Umur (tahun)
(d)
Keterangan: (a) : karbon total, (b) : karbon pohon & kopi, (c) : karbon pohon tanpa kopi, (d) : karbon hidup
Gambar 20. Kurva pertumbuhan persediaan karbon tegakan agroforestri murni.
14
111
CtotAG=(140.951)/(1+(7.61793)*exp(-(.174587)*U))
Cstankp=(169.933)/(1+(9.84903)*exp(-(.159746)*U))
100
100 #17 #17 80
#13 #18
#3
60
#11
Cstankp (tonC/ha)
CtotAG (tonC/ha)
80
#7 #15 #2
#14
40 #9 #1 #12 #19 #8
#16
#20 #6 #5
60
#7
#15 #2
#14
40 #9 #12 #1 #19 #8
#4
#16
#6 #20 #5
#4
20
20
#11
#13 #18
#3
#10
#10
0
0 0
2
4
6
8
10
12
0
14
2
4
6
8
10
12
14
Umur (tahun)
Umur (tahun)
(a)
(b)
Clive=(156.504)/(1+(8.9576)*exp(-(.164222)*U))
Cstand=(97.1268)/(1+(6.55069)*exp(-(.200811)*U))
100
100
#17
80
80
60
#13 #18
#3
Clive (tonC/ha)
Cstand (tonC/ha)
#17
#11
#15 #7
40 #2 #20 #5 #6
#9 #1 #12 #8 #19 #4
20
60
#11
#13
#3
#18 #7
#15 #2
#14
40
#16 #14
#16
#9 #12 #1 #19 #8
#6 #20 #5
#4
20
#10
#10
0
0
0
2
4
6
8
Umur (tahun)
(c)
10
12
14
0
2
4
6
8
10
12
Umur (tahun)
(d)
Keterangan: (a) : karbon total, (b) : karbon pohon & kopi, (c) : karbon pohon tanpa kopi, (d) : karbon hidup
Gambar 21. Kurva pertumbuhan persediaan karbon tegakan agroforestri kebuncampuran.
14
112
Tabel 31 memperlihatkan perkembangan persediaan karbon yang terjadi pada agroforestri dengan menggunakan persamaan pertumbuhan persediaan karbon tegakan yang dihasilkan sebelumnya.
Dari tabel tersebut juga dapat
ditentukan besarnya laju peningkatan persediaan karbon rata-rata (tahunan) atau laju untuk setiap penambahan umur tegakan. Tabel tersebut menunjukkan bahwa dengan praktek agroforestri dengan tegakan murni, serapan karbon hutan terbesar dicapai sampai tahun ke sembilan, sedangkan pada kebun-campuran dicapai pada tahun ke 12. Setelah tahun-tahun tersebut laju peningkatan persediaan karbon cenderung akan menurun. Tabel 31 Perkembangan persediaan karbon tegakan dengan pendekatan fungsi pertumbuhan untuk agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran
U 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Agroforestri Muni MAI CAI CtotAG Cstankp CtotAG CtotAG …..tonC/ha….. ….tonC/ha/th….. 20,03 18,14 10,02 24,23 22,09 8,08 4,19 29,05 26,66 7,26 4,82 34,48 31,84 6,90 5,44 40,49 37,60 6,75 6,01 46,97 43,85 6,71 6,48 53,80 50,46 6,72 6,83 60,80 57,24 6,76 7,00 67,79 64,03 6,78 6,99 74,58 70,61 6,78 6,80 81,02 76,84 6,75 6,44 86,97 82,58 6,69 5,95 92,34 87,73 6,60 5,37 97,09 92,27 6,47 4,75 101,22 96,19 6,33 4,13 104,75 99,51 6,16 3,53 107,72 102,30 5,98 2,98 110,20 104,60 5,80 2,48 112,25 106,49 5,61 2,05
U 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Agroforestri Kebun-Campuran MAI CAI CtotAG Cstankp CtotAG CtotAG …..tonC/ha….. ….tonC/ha/th….. 22,12 20,84 11,06 25,57 23,94 8,52 3,45 29,43 27,41 7,36 3,86 33,70 31,49 6,74 4,27 38,38 35,57 6,40 4,68 43,45 40,28 6,21 5,06 48,86 45,39 6,11 5,41 54,57 50,90 6,06 5,71 60,51 56,77 6,05 5,94 66,60 62,96 6,05 6,09 72,75 69,41 6,06 6,15 78,86 76,05 6,07 6,11 84,85 82,80 6,06 5,99 90,63 89,58 6,04 5,78 96,13 96,31 6,01 5,50 101,29 102,89 5,96 5,16 106,07 109,25 5,89 4,78 110,45 115,33 5,81 4,38 114,41 121,08 5,72 3,97
U = umur tegakan (tahun), CtotAG= karbon total di atas tanah, Cstankp = karbon tegakan dengan kopi, MAI = riap rata-rata tahunan (mean annual increment), CAI = riap tahun berjalan (current periodic increment) masing-masing dalam tonC/ha). Proyeksi hingga tahun ke 20 dengan menganggap trend kurva tetap dan tidak ada tebang habis.
Dengan pola pertumbuhan tegakan seperti itu, pengaturan tegakan (pertumbuhan dan hasil) perlu dibuat sedemikian rupa agar masa kontrak proyek karbon yang umumnya lebih panjang dari pada umur daur tanaman masih tetap menghasilkan laju serapan karbon yang tinggi.
113
Penggunaan Model Penduga Persediaan Karbon Seluruh model pendugaan persediaan karbon yang telah dibahas sebelumnya ditujukan untuk digunakan pada tingkatan tegakan, sehingga peubah bebas yang menjadi perhatian merupakan peubah-peubah yang mencirikan tegakan. Model pendugaan ini dimaksudkan sebagai alternatif lain dari pendugaan yang sebelumnya menggunakan pendekatan setiap pohon untuk menentukan persediaan karbon seluruh tegakan. Dari ketiga model pendekatan yang diusulkan dan kesesuaiannya dengan bentuk agroforestri yang ada di kedua lokasi penelitian, model pendekatan yang menggunakan peubah kerapatan tegakan dan luas bidang dasar tegakan memberikan tingkat ketelitian yang paling baik untuk pendugaan persediaan karbon tegakan. Model dengan pendekatan peubah tegakan ini dapat dipakai untuk inventarisasi karbon awal atau untuk keperluan monitoring persediaan karbon. Pengukuran kerapatan tegakan dan luas bidang dasar tegakan dapat dilakukan melalui pengukuran individu pohon dalam areal tertentu atau melalui pendekatan dengan point sampling (Husch et al. 2003). Model pendugaan persediaan karbon dengan pendekatan struktur horizontal tegakan memiliki keterandalan yang rendah, tetapi model ini selain untuk keperluan monitoring karbon dapat dipakai untuk memperkirakan perubahan persediaan karbon tegakan apabila terjadi pemanfaatan tegakan dengan memanen sejumlah pohon pada berbagai ukuran diameter pohon. Model pendugaan dengan pendekatan fungsi pertumbuhan yang menyatakan adanya hubungan antara waktu dengan perkembangan persediaan karbon tegakan tidak terlalu tepat apabila digunakan untuk kepentingan inventarisasi karbon, tetapi model ini sangat diperlukan untuk mengevaluasi manfaat proyek karbon melalui kegiatan agroforestri dari waktu ke waktu. IPCC (2005) menetapkan penyederhanaan metode untuk monitoring proyek karbon hutan skala kecil. Untuk pendugaan biomassa/karbon di atas permukaan tanah dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu (1) menggunakan persamaan alometrik yang sudah dilaporkan dan diterima IPCC, atau (2) menggunakan pendekatan faktor ekspansi biomassa (BEF, biomass expansion factor) dan volume tegakan. Pendekatan kedua masih memerlukan dilakukannya pengukuran
114
diameter dan tinggi pohon untuk menduga volume tegakan, yang memerlukan tambahan waktu, apabila tarif persamaan volume pohon tidak tersedia. Penggunaan model penaksiran dengan peubah tegakan untuk menggantikan pendekatan faktor ekspansi biomassa, akan membantu mengurangi biaya pengukuran apabila pola agroforestrinya sudah diketahui. Prospek Pengelolaan Agroforestri Melalui Skema Perdagangan Karbon Ditinjau dari Aspek Finansial Praktek agroforestri dengan pola tegakan yang cenderung murni atau pola kebun-campuran sebagaimana yang dibahas dalam penelitian ini keduanya memiliki potensi persediaan karbon yang cukup tinggi, khususnya jika dibandingkan dengan praktek sejenis yang telah dilakukan di tempat lain. Apabila dipakai rujukan kurva pertumbuhan persediaan karbon pada Tabel 31, maka selama 10 tahun kegiatan agroforestri memiliki potensi persediaan karbon bagian atas permukaan tanah mencapai 60-68 tonC/ha atau rata-rata memiliki kemampuan serapan karbon sekitar 6,0-6,8 tonC/ha/tahun.
Apabila praktek
agroforestri tersebut ikut dalam proyek MPB berskala kecil, dengan kemampuan serapan karbon yang bisa dijual (CER) maksimum setara dengan 8.000 ton CO2e per tahun (Dutschke 2004a), maka diperlukan lahan untuk agroforestri dengan luas minimal 330-360 ha. Luas lahan yang diperlukan akan bertambah apabila persediaan karbon yang dihasilkan jauh lebih rendah, demikian pula sebaliknya luas lahan akan berkurang apabila persediaan karbon dapat ditingkatkan, termasuk misalnya jika diperhitungkan karbon di bawah permukaan tanah (karbon akar dan karbon tanah). Selama ini praktek agroforestri telah memberikan manfaat finansial bagi petani yang diperoleh dari hasil tanaman yang diproduksi, mulai dari tanaman semusim, tanaman perkebunan, hasil buah-buahan dan hasil kayu.
Adanya
proyek karbon seharusnya merupakan tambahan manfaat yang akan meningkatkan kelayakan
finansial
pengelolaan
agroforestri
atau
menjadikan
kegiatan
agroforestri yang sebelumnya memiliki insentif yang rendah menjadi meningkat nilainya karena adanya kelebihan persediaan karbon yang dapat diperdagangkan. Skema penjualan karbon harusnya memberikan sumber pendapatan baru bagi
115
petani, apabila aturan dan prosedur yang dijalankan tidak membatasi akses petani terhadap hasil-hasil agroforestrinya. Walaupun telah dinyatakan praktek agroforestri memiliki potensi persediaan karbon yang tinggi, tetapi proses pengakuan terjadinya manfaat serapan karbon tersebut memerlukan proses yang panjang dan menimbulkan biaya baru yang harus ditanggung petani atau pengembang proyek karbon.
Biaya tersebut
mencakup biaya transaksi yang diperlukan untuk perancangan proyek, pendaftaran dan validasi, biaya monitoring, serta biaya verifikasi dan sertifikasi untuk pengakuan perolehan CER (Milne 1999; Cacho et al. 2003). Beberapa studi menunjukkan bahwa proyek karbon kehutanan berskala kecil cenderung tidak berpihak pada petani atau pengembang proyek. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya harga karbon, tingginya biaya transaksi dan masalah metodologi atau prosedur penentuan CER (Pedroni & Locatelli 2003; Cacho et al. 2003). Satuan Proyek, Pola Agroforestri, Komponen Biaya dan Pendapatan, serta Metode Perhitungan Karbon Untuk melihat sampai sejauhmana prospek agroforestri di lokasi penelitian apabila masuk dalam skema perdagangan karbon, dilakukan pendekatan analisis finansial untuk pengelolaan agroforestri dengan luas tertentu. Proyek karbon diasumsikan untuk memenuhi proyek berskala kecil dengan maksimum CER yang bisa dijual hingga 8.000 ton CO2/tahun atau setara 2.180 ton C/tahun (1 ton C setara dengan 3,67 ton CO2). Dengan rata-rata kemampuan serapan karbon 6,5 tonC/ha/tahun, dimana sebesar 80% bisa diakui sebagai CER yang dapat dijual, maka diperlukan lahan efektif minimal seluas 450 ha untuk proyek karbon melalui kegiatan agroforestri. Masa proyek dihitung selama 30 tahun dengan dua periode daur tanaman. Pola agroforestri yang dibangun adalah tegakan murni sengon sebagai pohon penaung untuk tanaman kopi. Beberapa asumsi yang mendasari besarnya kemampuan serapan karbon agroforestri adalah: garis dasar (baseline) proyek dianggap nol, tidak diperhitungkan emisi yang terjadi akibat pemanenan tegakan dan budidaya pertanian, dan tidak diperhitungkan tambahan persediaan karbon yang ada di bawah permukaan tanah. Biaya pembangunan agroforestri adalah biaya yang diperlukan untuk membangun tegakan (tanaman kehutanan dan pertanian) hingga mencapai masa
116
siap dipanen, yang mencakup biaya penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemupukan, perlindungan, pajak tanah serta biaya manajemen tahunan. Biaya tersebut bisa dikeluarkan setiap tahun atau hanya pada periode tertentu sesuai kebutuhan.
Biaya rata-rata pembangunan agroforestri sebesar Rp
1.630.333/ha/tahun. Untuk skema perdagangan karbon, masih diperlukan tambahan biaya berupa biaya transaksi sebesar Rp 518.519/ha/tahun.
Biaya
transaksi mencakup biaya untuk pendaftaran dan validasi proyek, biaya monitoring dan biaya verifikasi. Besarnya biaya transaksi ditentukan atas dasar pengalaman penerapan proyek karbon hutan berskala kecil di negara lain (Milne 1999).
Dengan demikian total seluruh biaya pengelolaan agroforestri untuk
proyek karbon adalah Rp 2.148.852/ha/tahun. Pendapatan proyek diperoleh dari hasil panen agroforestri (kayu dan kopi) dan hasil penjualan jasa karbon. Produksi kayu diperoleh dari hasil penjarangan sebesar 11,6 m3/ha (setiap 2 tahun sejak tanaman umur 4 tahun) dan tebang akhir daur pada saat umur 15 tahun sebesar 194 m3/ha. Besarnya volume kayu hasil penjarangan dan tebang akhir daur diperkirakan dari model pertumbuhan tegakan. Produksi kopi rata-rata mencapai 500 kg/ha yang diperoleh mulai tahun ke 4 dan seterusnya dengan harga jual Rp 3.000/kg.
Harga jual kayu dalam bentuk pohon
yang masih berdiri rata-rata sebesar Rp 135.000/m3. Harga jual kayu dan buah kopi didasarkan pada harga rata-rata yang berlaku pada saat penelitian dilakukan. Perhitungan besarnya serapan karbon yang dapat dijual dihitung dengan dua cara, yaitu atas dasar besarnya laju rata-rata persediaan karbon dan pendekatan tCER. Laju persediaan karbon dianggap konstan setiap tahun sebesar 6,5 tonC/ha/tahun. Sedangkan dengan pendekatan t-CER, besarnya serapan karbon atas dasar kondisi persediaan karbon pada tahun tertentu (tahun dilakukannya verifikasi), yaitu sebesar 34,5 tonC/ha pada tahun ke-5 (yang absah sampai tahun ke-10), dan 67,8 tonC/ha pada tahun ke-10 (yang absah sampai tahun ke-15). Dari jumlah serapan karbon dengan kedua pendekatan tersebut, diasumsikan 80% dapat menghasilkan CER. Besarnya total karbon yang dihasilkan dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon dan pendekatan t-CER selama masa proyek 30 tahun masingmasing adalah sebesar 70.200 ton C dan 73.656 ton C.
117
Harga jual karbon bervariasi dari 15, 18 dan 21 USD/tonC (1 USD=Rp 9.300), merujuk pada harga yang dianggap wajar untuk karbon berbasis hutan. Untuk menentukan harga jual karbon dengan metode t-CER, harga ditentukan dari harga CER permanen (yang diambil dari harga proyek karbon energi) dan besarnya suku bunga yang berlaku di negara maju rata-rata 6% per tahun (Pirard 2005).
Dengan harga jual karbon dari 15, 18 dan 21 USD/tonC, maka harapan
untuk harga t-CER adalah sebesar 3,79; 4,55; dan 5,31 USD/tonC. Besarnya rata-rata biaya dan pendapatan per satuan karbon (USD/tonC) dari kegiatan agroforestri dengan pendekatan yang dipakai diringkas pada Tabel 32. Tabel 32 Rata-rata biaya dan pendapatan pengelolaan agroforestri untuk skema perdagangan karbon, dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon dan t-CER (dalam USD/tonC) Biaya dan Pendapatan Biaya Biaya agroforestri Biaya transaksi Biaya total Pendapatan Pendapatan agroforestri Pendapatan dari CER Pendapatan total
Pendekatan laju persediaan karbon
Pendekatan t-CER
33,71 (76%) 10,72 (24%) 44,43 (100%)
32,13 (76%) 10,22 (24%) 42,35 (100%)
78,30 (85%) 14,00 (15%) 92,30 (100%)
74,63 (95%) 3,79 (5%) 78,42 (100%)
Perbandingan Besarnya NPV dan BCR Dalam Pengelolaan Agroforestri Dengan dan Tanpa Skema Perdagangan Karbon Uraian berikut ini menyajikan hasil perbandingan manfaat finansial pengelolaan agroforestri melalui skema perdagangan karbon. Manfaat proyek diukur dari besarnya nilai NPV dan BCR.
Pengelolaan agroforestri dibedakan
atas pengelolaan agroforestri sebagaimana biasanya (tanpa CER) dan pengelolaan agroforestri yang sekaligus untuk tujuan perdagangan karbon (dengan CER). Hasil perhitungan diringkas dalam Tabel 33 untuk perhitungan karbon yang menggunakan laju rata-rata persediaan karbon dan Tabel 34 untuk yang menggunakan pendekatan t-CER. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh perubahan biaya transaksi (tetap, naik 20%, dan turun 20%), perubahan harga jual CER (15, 18
118
dan 21 USD/tonC), dan perubahan tingkat suku bunga (10%, 12% dan 14%) terhadap perolehan nilai NPV dan BCR.
Gambar 22 dan Gambar 23
memperlihatkan kecenderungan perubahan nilai NPV dan BCR karena berbagai perubahan yang diskenariokan di atas, yang dihitung dengan dua pendekatan perhitungan karbon yang berbeda. Kegiatan agroforestri yang berjalan tanpa melakukan penjualan jasa karbon (tanpa CER) masih layak secara finansial walaupun tingkat suku bunga sampai 12%/tahun. Pendapatan agroforestri cukup diperoleh dari hasil pemanenan kayu dan tanaman pertanian. Namun demikian kegiatan agroforestri saja menjadi tidak layak finansial apabila suku bunga meningkat hingga mencapai 14%/tahun. Sebaliknya, kegiatan agroforestri yang hanya mengandalkan hasil penjualan jasa karbon tidaklah cukup untuk menutupi biaya-biaya produksi. Jika kegiatan agroforestri ikut dalam skema perdagangan karbon (dengan CER), masih diperlukan tambahan biaya transaksi yang besarnya mencapai 24% dari total biaya produksi (biaya pembangunan dan pengelolaan karbon). Dengan harga karbon sebesar 15 USD/tonC dan tingkat suku bunga 10%/tahun, proyek agroforestri akan memberikan peningkatan pendapatan bersih sebesar 37%. Tambahan pendapatan bersih yang cukup nyata hingga mencapai 64% diperoleh apabila harga karbon mencapai 18 USD/tonC. Keikutsertaan agroforestri dalam skema perdagangan karbon tidaklah selalu meningkatkan pendapatan bersih, tergantung dengan besarnya harga karbon dan biaya transaksinya.
Apabila biaya transaksi naik 35% di atas biaya semula
(menjadi 30% dari total biaya produksi), maka pada harga karbon hanya 15 USD/tonC dan suku bunga 10%/tahun, ikut dalam proyek karbon justru akan mengurangi pendapatan bersih dibandingkan dengan tidak ikut sama sekali. Proyek karbon agroforestri akan menarik secara finansial apabila tambahan biaya transaksi bisa ditekan menjadi hanya sebesar 20% dari total biaya produksi. Dengan biaya transaksi yang rendah tersebut, walaupun harga karbon hanya 15 USD/tonC dan tingkat suku bunga naik hingga 14%/tahun, proyek agroforestri yang sebelumnya tidak layak menjadi layak apabila dikombinasikan dengan penjualan jasa karbon.
119
Tabel 33. Analisis sensitivitas kelayakan pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c). Dihitung dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon.
Pengaruh Biaya Transaksi
NPV/BCR Tanpa/Dengan CER NPV
Tetap BCR
NPV Naik 20% BCR
NPV Turun 20% BCR
Tanpa CER Dengan CER Perubahan Tanpa CER Dengan CER Kelayakan Tanpa CER Dengan CER Perubahan Tanpa CER Dengan CER Kelayakan Tanpa CER Dengan CER Perubahan Tanpa CER Dengan CER Kelayakan
10
15 USD Suku bunga (%) 12
14
2,161,302 2,958,936 37% 1.25 1.27 Layak 2,161,302 2,522,387 17% 1.25 1.22 Layak 2,161,302 3,395,484 57% 1.25 1.33 Layak
838,193 1,539,160 84% 1.11 1.16 Layak 838,193 1,167,569 39% 1.11 1.12 Layak 838,193 1,910,751 128% 1.11 1.21 Layak
(93,630) 531,625 668% 0.99 1.06 Layak (93,630) 209,928 324% 0.99 1.02 Layak (93,630) 853,322 1011% 0.99 1.10 Layak
Harga CER (USD/ton C, kurs Rp 9.300/USD) 18 USD Suku bunga (%) 10 12 14 2,161,302 3,555,011 64% 1.25 1.33 Layak 2,161,302 3,118,463 44% 1.25 1.28 Layak 2,161,302 3,991,559 85% 1.25 1.38 Layak
838,193 2,050,944 145% 1.11 1.21 Layak 838,193 1,679,353 100% 1.11 1.17 Layak 838,193 2,422,535 189% 1.11 1.26 Layak
(93,630) 978,373 1145% 0.99 1.11 Layak (93,630) 656,676 801% 0.99 1.07 Layak (93,630) 1,300,070 1489% 0.99 1.16 Layak
10
21 USD Suku bunga (%) 12
14
2,161,302 4,151,086 92% 1.25 1.38 Layak 2,161,302 3,714,538 72% 1.25 1.33 Layak 2,161,302 4,587,635 112% 1.25 1.44 Layak
838,193 2,562,728 206% 1.11 1.27 Layak 838,193 2,191,137 161% 1.11 1.22 Layak 838,193 2,934,319 250% 1.11 1.32 Layak
(93,630) 1,425,121 1622% 0.99 1.17 Layak (93,630,766) 1,103,424 1278% 0.99 1.12 Layak (93,630) 1,746,818 1966% 0.99 1.21 Layak
Keterangan : NPV dalam Rpx1000. Luas agroforestri 450 ha, dengan masa proyek 30 tahun. Biaya transaksi adalah biaya tambahan untuk terselenggaranya perdagangan karbon, mencakup biaya pendaftaran dan validasi proyek, biaya monitoring dan biaya verifikasi. Perubahan menyatakan penambahan/pengurangan nilai NPV dibandingkan dengan kegiatan agroforestri biasa (tanpa skema perdagangan karbon).
120
Tabel 34. Analisis sensitivitas kelayakan pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c). Dihitung dengan pendekatan tCER.
Pengaruh Biaya Transaksi
NPV/BCR
NPV Tetap BCR
NPV Naik 20% BCR
NPV Turun 20% BCR
Tanpa/Dengan CER Tanpa CER Dengan CER Perubahan Tanpa CER Dengan CER Kelayakan Tanpa CER Dengan CER Perubahan Tanpa CER Dengan CER Kelayakan Tanpa CER Dengan CER Perubahan Tanpa CER Dengan CER Kelayakan
3,79 USD (dari 15 USD utk CER energi) Suku bunga (%) 10 12 14 2,161,302 838,193 (93,630) 726,763 (398,189) (1,178,170) -66% -148% -1158% 1.25 1.11 0.99 1.07 0.96 0.86 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak 2,161,302 838,193 (93,630) 290,214 (769,780) (1,499,867) -87% -192% -1502% 1.25 1.11 0.99 1.03 0.92 0.83 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak 2,161,302 838,193 (93,630) 1,163,311 (26,598) (856,473) -46% -103% 1.25 1.11 0.99 1.11 0.997 0.90 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak
Harga CER (USD/ton C, kurs Rp 9.300/USD) 4,55 USD (dari 18 USD utk CER energi) Suku bunga (%) 10 12 14 2,161,302 838,193 (93,630) 876,403 (273,875) (1,073,381) -59% -133% -1046% 1.25 1.11 0.99 1.08 0.97 0.87 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak 2,161,302 838,193 (93,630) 439,855 (645,466) (1,395,078) -80% -177% -1390% 1.25 1.11 0.99 1.04 0.93 0.84 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak 2,161,302 838,193 (93,630) 1,312,952 97,715 (751,684) -39% -88% -703% 1.25 1.11 0.99 1.13 1.01 0.91 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak
5,31 USD (dari 21 USD utk CER energi) Suku bunga (%) 10 12 14 2,161,302 838,193 (93,630) 1,026,044 (149,561) (968,591) -53% -118% -934% 1.25 1.11 0.99 1.09 0.98 0.89 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak 2,161,302 838,193 (93,630) 589,495 (521,152) (1,290,288) -73% -162% -1278% 1.25 1.11 0.99 1.05 0.95 0.85 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak 2,161,302 838,193 (93,630) 1,462,592 222,029 (646,894) -32% -74% -591% 1.25 1.11 0.99 1.14 1.02 0.92 Tidak Layak Tidak Layak Tidak Layak
Keterangan : NPV dalam Rpx1000. Luas agroforestri 450 ha, dengan masa proyek 30 tahun. Biaya transaksi adalah biaya tambahan untuk terselenggaranya perdagangan karbon, mencakup biaya pendaftaran dan validasi proyek, biaya monitoring dan biaya verifikasi. Perubahan menyatakan penambahan/pengurangan nilai NPV dibandingkan dengan kegiatan agroforestri biasa (tanpa skema perdagangan karbon).
5,000
1.50
4,000
1.40
3,000
1.30 BCR
NPV (Rp.juta)
121
2,000
1.20
1,000
1.10
10
12 (1,000) suku bunga (%) 15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
1.00
14
10
12 0.90 suku bunga (%) 15USD/tonC 18USD/tonC 21USD/tonC
14
Tanpa CER
5,000
1.50
4,000
1.40
3,000
1.30 BCR
NPV (Rp.juta)
(a)
2,000
1.20 1.10
1,000
1.00
10
(1,000)
12
10
14
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
14
suku bunga (%)
suku bunga (%) 15USD/tonC
12 0.90 15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
5,000
1.50
4,000
1.40
3,000
1.30 BCR
NPV (Rp.juta)
(b)
2,000
1.20 1.10
1,000
1.00
10
12
10
14
(1,000) suku bunga (%)
12 0.90 suku bunga (%)
15USD/tonC
18USD/tonC
15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
21USD/tonC
Tanpa CER
14
(c) Gambar 22. Perubahan NPV dan BCR untuk analisis kelayakan agroforestri dalam skema perdagangan karbon akibat perubahan harga karbon dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), yang dihitung dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon
122
2,500
1.30 1.20
1,500 1,000 500 10
1.10
BCR
NPV (Rp.juta)
2,000
(500) 12
1.00 10
14
12
14
0.90
(1,000)
0.80 suku bunga (%)
(1,500) suku bunga (%) 15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
(a) 1.30
2,500
1.20
1,500 1,000 500 10
1.10
BCR
NPV (Rp.juta)
2,000
1.00 10
(500) 12
14
12
14
0.90
(1,000) 0.80
(1,500)
suku bunga (%)
suku bunga (%) 15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
(b) 2,500
1.30
1,500
1.20
1,000
1.10
BCR
NPV (Rp.juta)
2,000
500
1.00
10
(500) 12
10
14
12
14
0.90
(1,000)
0.80
(1,500)
suku bunga (%)
suku bunga (%) 15USD/tonC
18USD/tonC
15USD/tonC
18USD/tonC
21USD/tonC
Tanpa CER
21USD/tonC
Tanpa CER
(c) Gambar 23. Perubahan NPV dan BCR untuk analisis kelayakan agroforestri dalam skema perdagangan karbon akibat perubahan harga karbon dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), yang dihitung dengan pendekatan t-CER
123
Seluruh skenario yang digambarkan di atas adalah situasi dimana perolehan karbon dihitung dengan menggunakan pendekatan laju rata-rata perubahan persediaan karbon yang konstan, dan harga karbon sesuai dengan harga CER yang berlaku untuk proyek karbon energi. Apabila perolehan karbon dihitung dengan pendekatan t-CER, sehingga harga CER yang diperoleh melalui karbon hutan berbeda dengan harga karbon yang berlaku untuk proyek energi, maka perolehan manfaat finansial dari praktek agroforestri sangatlah berbeda. Dengan pendekatan t-CER, maka harga karbon yang diperoleh melalui agroforestri hanya sebesar 3,79 USD/tonC apabila harga karbon dari proyek energi sebesar 15 USD/tonC. Dengan skenario yang sama dengan pendekatan yang pertama, penggunaan metode t-CER tidak satupun yang memberikan manfaat tambahan yang lebih baik dibandingkan dengan kegiatan agroforestri saja (NPVC < NPVNC), atau dengan kata lain penjualan karbon dengan pendekatan tCER melalui praktek agroforestri tidaklah lebih menarik dibandingkan dengan praktek agroforestri yang sudah berjalan. Hasil simulasi menunjukkan, bahwa penggunaan metode t-CER barulah akan memberikan manfaat tambahan dibandingkan dengan agroforestri biasa, apabila harga karbon proyek energi sudah mencapai 44 USD/tonC atau biaya transaksi bisa ditekan menjadi hanya 5% dari seluruh biaya pengelolaan. Implikasi Skema Perdagangan Karbon terhadap Praktek Agroforestri Seluruh simulasi yang dicontohkan di atas dilakukan dengan tetap memberikan kesempatan pengelola agroforestri memperoleh hasil dari pemanenan kayu dan hasil tanaman pertanian, bukannya menghentikannya sama sekali. Pemanenan kayu diperoleh dari hasil penjarangan dan hasil tebang habis pada akhir daur. Hal yang terpenting disini adalah adanya sejumlah persediaan karbon yang dihasilkan tidak boleh berkurang dari jumlah yang direncanakan. Hasil simulasi telah menunjukkan bahwa pengelolaan agroforestri yang semata-mata hanya mengandalkan jasa penjualan karbon saja belumlah memadai. Hal ini juga telah ditunjukkan oleh Pirard (2005), yang menghitung pendapatan dari penjualan karbon dari pengelolaan hutan tanaman akasia di Sumatera. Pada skenario harga karbon yang paling memungkinkan, penjualan karbon hanya
124
mencapai 10% dan 13% dari biaya produksi selama 30 tahun. Van Noordwijk et al. (2005) juga telah menunjukkan bahwa pada harga karbon 20 USD/tonC dan diperkirakan 50% akan digunakan untuk biaya transaksi, maka pendapatan bersih potensial yang diperoleh petani dari pengelolaan agroforestri sengon (P. falcataria) kurang dari 10% dibandingkan dengan nilai penjualan kayunya. Penggunaan pendekatan t-CER sebagai metode yang saat ini absah untuk menghitung manfaat karbon melalui proyek berbasis hutan tidaklah terlalu menarik apabila dilakukan melalui praktek agroforestri.
Tambahan manfaat
melalui penjualan jasa karbon masih terlalu kecil bagi petani atau pengembang proyek, karena rendahnya harga jual karbon yang dihasilkan dibanding dengan biaya transaksi yang diperlukan. Metode t-CER akan layak apabila harga CER permanen (harga CER dari karbon proyek energi) bisa meningkat hingga 44 USD/tonC atau biaya transaksi hanya 5% dari total biaya pengelolaan agroforestri. Memperhatikan hasil simulasi di atas, maka dalam proyek karbon agroforestri sangatlah penting untuk menekan biaya-biaya transaksi selain upaya memperoleh harga karbon yang memadai. Penekanan yang nyata terhadap biaya transaksi bisa dilakukan melalui prosedur perancangan, pendaftaran proyek, validasi, monitoring dan proses verifikasi proyek karbon yang lebih sederhana yang sesuai dengan kapasitas petani atau pengembang proyek. Sejalan dengan hasil penelitian ini, kegiatan pengukuran dan monitoring karbon dapat dilakukan dengan keterlibatan aktif petani sehingga proses monitoring yang dilakukan bisa secara nyata mengurangi biaya verifikasi oleh pihak ketiga.
Dengan keterlibatan aktif petani, petani dapat belajar untuk
mengelola tegakannya agar tetap menghasilkan persediaan karbon yang berkualitas dan mengatur pemanfaatan tegakan agroforestri secara bijaksana.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Keragaman potensi persediaan karbon pada tegakan agroforestri dapat dijelaskan dengan
menggunakan bentuk
struktur
horizontal
tegakan
agroforestri, dimensi tegakan serta fungsi pertumbuhan tegakan terhadap umur tegakan. 2. Terdapat hubungan yang nyata antara peubah struktur horizontal tegakan (k dan a), kerapatan tegakan (N) dan luas bidang dasar tegakan (BA), serta umur tegakan (U) untuk menduga persediaan karbon tegakan agroforestri (C). Untuk kedua lokasi penelitian, diperoleh persamaan matematik berikut: Agroforestri murni (kopi-sengon) C = 71,4 + 0,00411 k - 315 a
(R2=79,3%)
(Pendekatan struktur tegakan)
(R2=98,0)
(Pendekatan dimensi tegakan)
C = - 1,14 - 0,014 N + 2,99 BA
C = 92,89/[1+ 9,85*exp(-0,267U)] (R2=92,8)
(Pendekatan fungsi pertumbuhan)
Agroforestri kebun-campuran C = 82,8 + 0,00277 k - 308 a C = 4,94 - 0,009 N + 2,50 BA
(R2=55,4%) (R2=95,1%)
C = 97,13/[1+ 6,55*exp(-0,20U)] (R2=83,4%)
(Pendekatan struktur tegakan) (Pendekatan dimensi tegakan) (Pendekatan fungsi pertumbuhan)
3. Tegakan agroforestri dengan komposisi pohon yang dominan, seperti pada kebun-campuran atau kombinasi pohon penaung (kopi-sengon) memiliki kemampuan menyimpan persediaan karbon bagian atas permukaan tanah hingga lebih dari 70 tonC/ha dengan waktu yang relatif lama (lebih 10 tahun). 4. Komponen biomassa karbon di atas permukaan tanah dalam praktek agroforestri dengan tegakan murni (kopi-sengon) dan kebun-campuran sebesar 80,7% berasal dari karbon tegakan (pohon utama), 12,8% dari karbon pohon kopi, 5,9% dari karbon serasah dan kayu mati dan hanya 0,6% yang berasal dari biomassa tumbuhan bawah. 5. Ada indikasi pelaksanaan sampling untuk mengukur persediaan karbon pada praktek agroforestri akan menghasilkan variasi yang tinggi dengan tingkat kesalahan sampling masih di atas 10%. Untuk mengatasinya dapat dilakukan sensus untuk setiap unit pemilikan lahan (petani) dengan melibatkan langsung
126
petani dalam proses pengukuran dan monitoring agar biaya inventarisasi karbon bisa ditekan. 6. Manfaat finansial yang diperoleh dari penjualan jasa karbon dalam pengelolaan agroforestri melalui skema perdagangan karbon bersifat tambahan dan belum bisa menggantikan manfaat yang diperoleh dari hasil pengelolaan tegakan agroforestrinya. 7. Melalui skema perdagangan karbon, kegiatan agroforestri menghasilkan tambahan manfaat finansial yang cukup nyata jika biaya transaksi tidak melebihi 20% dari total biaya pengelolaan, pada tingkat harga karbon yang ada saat ini. Namun penggunaan metode CER sementara sebagai metode yang absah saat ini cenderung menyebabkan tidak menariknya pengelolaan hutan milik untuk tujuan perdagangan karbon.
Saran 1. Hubungan antara besarnya persediaan karbon dengan umur tegakan dalam penelitian ini memiliki kelemahan, karena tidak mampu mengidentifikasi perubahan yang terjadi dalam setiap unit lahan akibat tingkat pemanfaatan yang beragam.
Diperlukan validasi untuk mencocokkan hasil penelitian
dengan pengamatan yang tetap dan periodik berulang pada unit lahan tertentu. 2. Perlu diteliti lebih lanjut bentuk-bentuk tipologi agroforestri yang lain, termasuk yang lebih kompleks untuk melihat kemungkinan pendugaan potensi persediaan karbonnya melalui parameter tegakan atau ciri-ciri pengelolaan tegakannya. 3. Pengakuan besarnya kemampuan persediaan karbon pada tegakan agroforestri tidak hanya ditetapkan menggunakan batas tingkat ketelitian tertentu yang disyaratkan, tetapi bisa dengan menyatakan adanya persediaan karbon dalam jumlah tertentu yang sudah dikurangi yang diyakini benar-benar tersedia. 4. Dengan skema perdagangan yang cenderung memberikan harga karbon yang rendah, proyek karbon melalui agroforestri memerlukan prosedur yang sederhana, terutama dalam proses pendaftaran, validasi, monitoring dan verifikasinya.
DAFTAR PUSTAKA Adinugroho WC. 2002. Model penaksiran biomassa pohon mahoni (Swietenia macrophylla) di kesatuan pemangkuan hutan Cianjur PT. Perhutani Unit III Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Albrecht A, Kandji ST. 2003. Review carbon sequestration in tropical agroforestry systems. Agriculture, Ecosystems and Environment 99: 15–27. Andayani W. 2002. Analisis finansial potensi sengon rakyat pola agroforestry di Kabupaten Wonosobo. Jurnal Hutan Rakyat Vol. IV. No. 2:1-23. Anderson JM, Spencer T. 1991. Carbon, Nutrient and Water Balances of Tropical Rain Forest Ecosystems Subject to Disturbance: Management Implications and Research Proposals. MAB Digest 7. Paris: UNESCO. Appels D. 2001. Forest rotation lengths under carbon sequestration payments. Paper presented to the Conference of Economists University of Western Australia, Perth 24-26 September 2001. Beer J et al. 1990. Modelling agroforestry systems of cacao (Theobroma cacao) with laurel (Cordia alliadora) or poro (Erythrina poeppigiana) in Costa Rica. V. Productivity indices, organic material models and sustainability over ten years. Agroforestry System 12: 229-249. Bloomfield J, Pearson HL. 2000. Land use, land-use change, forestry, and agricultural activities in the Clean Development Mechanism: estimates of greenhouse gas offset potential. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 5: 9-24. Boer R, Wasrin UR, Masripatin N, Ridwan M. Kehutanan. Vol. 2 No. 1:6 hal.
2004.
Bulletin Karbon
Boscolo M, Powell M, Delaney M, Brown S, Faris R. 2000. The cost of inventorying and monitoring carbon: lesson from the Noel Kempff Climate Action Project. Journal of Forestry. September 2000 : 24-31. Brown P. 1998. Climate, Biodiversity, and Forests. Issues and Opportunities Emerging from the Kyoto Protocol. Washington, DC: World Resources Institute. Brown S, Lugo AE. 1992. Aboveground biomass estimates for tropical moist forests of the Brazilian Amazon. Interciencia 17:8-18. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer. Rome, Italy: FAO Forestry Paper 134. Brown S. 1999a. Guidelines for Inventorying and Monitoring Carbon Offsets in Forest-Based Projects. Winrock International, Arlington, VA. http://srmwww.gov.bc.ca/tib/carbonmon/guidelines%20for%20inventorying% 20%20monitoring%20carbon%20offsets.pdf. [22 Juni 2002]. Brown S. 1999b. Opportunities for Mitigating Carbon Emissions through Forestry Activities. Arlington, VA: Winrock International.
128
Brown S, Gillespie AJR, Lugo AE. 1989. Biomass estimation methods for tropical forests with applications to forest inventory data. Forest Science 35(4):881-902. Brown S, Sathaye J, Cannell M, Kauppi P. 1996. Management of forests for mitigation of greenhouse gas emissions. Di dalam: Watson RT, Zinyowera MC, Moss RH, editor. Climate Change 1995: Impacts, Adaptations and Mitigation of Climate Change: Scientific-Technical Analyses. Contribution of Working Group II to the Second Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge and New York: Cambridge University Press. Chapter 24. Butcher PN, Howard JM, Regetz JS, Semmens BX, Vincent MA. Evaluating The Carbon Sequestration Potential of Tropical Forests. http://www.esm.ucsb.edu/research/Finaldocs/1998/CQuest%20Final.pdf. [22 Oktober 2003]. Cairns MA, Brown S, Helmer EH, Baumgardner GA. 1997. Root biomass allocation in the world’s upland forests. Oecologia 111:1-11. Cacho OJ, Marshall GR, Milne M. 2003. Smallholder Agroforestry Projects: Potential for Carbon Sequestration and Poverty Alleviation. ESA Working Paper No. 03-06, Agriculture and Economic Development Analysis Division, FAO-UN. http://www.fao.org/WAICENT/FAOINFO/ECONOMIC/ESA/wp/ESAWP03 _06.pdf. [2Oktober 2003]. Cacho OJ, Hean R, Wise R. 2002. Carbon-accounting methods and reforestation incentives. Working paper CC04. ACIAR project ASEM 1999/093. http://www.une.edu.au/febl/Econ/carbon/. [22 Juli 2002]. Cacho OJ, Wise R, MacDicken K. 2002. Carbon monitoring costs and their effect on incentives to sequester carbon through forestry. Di dalam: Lin K, Lin J, editor. Proceedings international symposium on forest carbon sequestration and monitoring; Taipei, 11-15 Nov 2002. Taiwan: Taiwan Forestry Research Institute. Chan YH. 1982. Storage and release of organic carbon in Peninsular Malaysia. International Journal of Environmental Studies 18: 211-222. Chatterjee K. 2004. CoP9: An overview. http://www.devalt.org/newsletter/feb04/of_2.htm. [8 April 2004]. CIFOR [Center of International Forestry Research]. 2003. Capturing the value of forest carbon for local livelihoods. http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Carbon.pdf. [22 Oktober 2003]. Clutter JL, Fortson JC, Pienaar LV, Brister GH, Bailey RL. 1983. Timber Management: A Quantitative Approach. New York: John Wiley & Sons. Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Management: To Sustain Ecological, Economic, and Social Value. Fourth Edition. Boston: Mc Graw Hill.
129
De Jong BHJ. 2000. Uncertainties in estimating the potential for carbon mitigation of forest management. Forest Ecology and Management 154: 85104. Dixon RK. 1995. Agroforestry systems: sources or sinks of greenhouse gases? Agroforestry Systems 31: 99-116. Dixon RK, Schroeder PE, Winjun J, editor. 1991. Assessment of promising forest management practices and technologies for enhancing the conservation and sequestration of atmospheric carbon and their costs at the site level. Report of the US Environmental Protection Agency No. EPA/600/3-91/067. Corvallis, Oregon: Environmental Research Laboratory. Draper N, Smith H. 1991. Applied Regression Analysis. Second Edition. New York: John Wiley and Sons. Dutschke M. 2004a. Afforestation is Clean Development: The Milan climate conference cleared the way for CDM forest development, now is the time to get going. BioCarbon.Net Climate, Land Use and Bioenergy. http://www.biocarbon.net/. [8 April 2004]. Dutschke M. 2004b. Growing trees for climate: The Milan climate conference paves the way for forestry projects in developing countries. BioCarbon.Net Climate, Land Use and Bioenergy. http://www.biocarbon.net/. [8 April 2004]. Fay C, DeForeta H, Sirait M, Tomich TP. 1998. A policy breakthrough for Indonesian farmers in the Krui dammar agroforesters. Agroforestry Today 10(2): 25-26. Fearnside PM, Lashof DA, Moura-Costa P. 2000. Accounting for time in mitigating global warming. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change. in press. [FAO] Food and Agriculture Organisation. 2001. State of The World’s Forests. Rome: FAO. Ginoga K, Wulan YC, Djaenudin D. 2002. Potential of Indonesian Smallholder Agroforestry in The CDM: A Case Study in The Upper Citanduy Watershed Area. Working Paper CC12, 2004. ACIAR Project ASEM 2002/066. http://www.une.edu.au/febl/Economics/carbon/. [12 Februari 2005]. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Sutomo S, Mangiri K, penerjemah. Edisi Kedua. Jakarta:UI-Press. Terjemahan dari Economic Analysis of Agriculture Project. Grainger A. 1997. Compensating for opportunity cost in forest-based global climate change mitigation. Di dalam : Sedjo RA, Sampson RN, Wisniewski J. 1997. Economic of Carbon Sequestration in Forestry. Boca Raton: CRC Press. Hairiah K. 1997. Final Report: Carbon Stock in Various Land-Use Systems in Lampung and Jambi. Bogor, Indonesia: ICRAF. Hairiah K, van Noordwijk M, Palm CA. 1999. Methods for sampling above and below ground organic pools. Di dalam: Murdiyarso D, Noordwijk Mv, Suyamto DA, editor. Modelling Global Change Impact on The Soil Environment. Bogor, Indonesia: ICRAF.
130
Hairiah K, Sitompul SM, van Noordwijk M, Palm CA. 2001a. Methods for sampling carbon stocks above and below ground. Bogor. Indonesia: ICRAF. Hairiah K, Sitompul SM, van Noordwijk M, Palm CA. 2001b. Carbon stocks of tropical land use systems as part of the global C balance: effects of forest conversion and options for clean development activities. Bogor. Indonesia: ICRAF. Hamburg SP. 2000. Simple rules for measuring changes in ecosystem carbon in forestry-offset projects. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 5: 25-37. Hamburg SP. 2002. Simple rules for measuring changes in ecosystem carbon in forestry-offset projects. Di dalam: Lin K, Lin J, editor. Proceedings international symposium on forest carbon sequestration and monitoring; Taipei, 11-15 Nov 2002. Taiwan: Taiwan Forestry Research Institute. Hendra S. 2002. Model pendugaan biomassa pohon pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) di Kesatuan Pemangkuan Hutan Cianjur, PT Perhutani Unit III Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hendri. 2001. Analisis emisi dan penyerapan gas rumah kaca (baseline) dan evaluasi teknologi mitigasi karbon di wilayah Perum Perhutani [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hoover, CM, Birdsey RA, Heath LS, Stout SL. 2000. How to estimate carbon sequestration on small forest tracts. Journal of Forestry Sept. 2000 : 13-19. Husch B, Beers TW, Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration. Fourth Edition. New Jersey: John Wiley & Sons. [IPCC] International Panel on Climate Change. 1996. Revised 1996 Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Houghton JT et al., editor. IPCC/OECD/IEA. [IPCC]. 2000. Intergovernmental Panel on Climate Change Special Report on Land Use, Land Use Change and Forestry. Cambridge University Press. NY. [IPCC]. 2001. Climate Change 2001: Mitigation, A Special Report of The Intergovermental Panel on Climate Change. NY: Cambridge University Press. [IPCC]. 2003. Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry. Penman J. et al., editor. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. [IPCC]. 2005. Simplified Baseline and Monitoring Methodologies for Selected Small-Scale Afforestation and Reforestation (A/R) CDM Project Activity Categories. http://cdm.unfccc.int/methodologies/SSCmethodologies. [12 Desember 2005]. Jensen M. 1993. Soil conditions, vegetation structure and biomass of a Javanese homegarden. Agroforestry System 24:171-186.
131
[JIFPRO] Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center. 2001. Manual of Biomass Measurements, in plantation and regenerate vegetation. Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center & Japan Overseas Plantation Center for Pulpwood. Ketterings QM, Coe R, van Noordwijk M, Ambagau Y, Palm CA. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management 146: 199-209. Kürsten E, Burschel P. 1993. CO2-mitigation by agroforestry. Water Air Soil Pollution. 70:533–544. Kumar BM, George SJ, Jamaludheen K, Suresh TK. 1998. Comparison of biomass production, tree allometry and nutrient use efficiency of multipurpose trees grown in woodlot and silvipastoral experiments in Kerala. India. Forest Ecology and Management. 112: 145–163. Long AJ and Nair PK. 1999. Trees outside forests: agro, community, and urban forestry. New Forest 17:145-174. MacDicken K. 1997. A Guide to Monitoring Carbon Storage in Forestry and Agroforestry Projects. Winrock International, 1611 N. Kent St., Suite 600, Arlington, VA 22209, USA. Magcale-Macandog DB and Delgado MEM. 2002. Regression equation calibration to estimate aboveground biomass of tropical tree species in the Philippines. Di dalam: Lin K, Lin J, editor. Proceedings international symposium on forest carbon sequestration and monitoring; Taipei, 11-15 Nov 2002. Taiwan: Taiwan Forestry Research Institute. Martawijaya A,Kartasjana I, Madang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Jakarta: Departemen Kehutanan. Masera OR. 1995. Carbon mitigation scenarios for Mexican Forests: methodological considerations and results. Intercincia 20: 388-395. Meinshausen M and Hare B. 2003. Sinks in the CDM: After the climate, biodiversity goes down the drain. An analysis of the CDM sinks agreement at CoP-9. http://holabirds.com/multimedia/download/1/373078/0/GP_CDMSinks_analy sis_v6final.pdf. [8 April 2004] Milne M. 1999. Transaction Cost of Forest Carbon Projects. Center of International Forestry Research (CIFOR). Bogor, Indonesia. [MoE] Ministry of Environment Republic of Indonesia. 2003. National Strategy Study on CDM in Forestry Sector, Final Report. Jakarta. Moura-Costa P. 1996. Tropical forestry practices for carbon sequestration. Di dalam: Schulte A, Schone D, editor. Dipterocarp Forest Ecosystems – Toward sustainable management. Singapore: World Scientific. p.308-334. Moura-Costa P. 2000. Carbon Accounting Methods. Ecosecurities, Ltd. http://www.foresttrends.org/keytrends/pdf/forest_carbon/Carbon%20Accounti ng%20Methods.pdf. [27 Januari 2004].
132
Moura-Costa P, Stuart MD. 1998. Forestry-based Greenhouse Gas Mitigation: a short story of market evolution. Commonwealth Forestry Review 77: 191-202. Moura-Costa P, Stuart MD, Trines E. 1997. SGS Forestry’s carbon offset verification service. Di dalam: Riermer PWF, Smith AY, Thambimuthu KV. Editor: Greenhouse gas mitigation. Technologies for activities implemented jointly. Proceedings of Technologies for AIJ Conference. May 1997. Vancouver: Elsevier, Oxford. p. 409-414. Moura-Costa P, Wilson C. 2000. An equivalence factor between CO2 avoided emissions and sequestration – description and applications in forestry. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 5: 51-60. Murdiyarso D. 2003. CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Murdiyarso D, Herawati H, editor. 2005. Carbon Forestry: Who will benefit? Proceeding of Workshop on Carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods. Bogor, Indonesia: CIFOR. Nabuurs GJ, Sikkema R. 1998. The Role of Harvested Wood Products in National Carbon Balances- an Evaluation of Alternatives for IPCC Guidelines. The Netherlands IBN-Research Report 98/3. Wageningen: Institute for Forestry and Nature Research. 25 pp. Nair PKR. 1985. Classification of agroforestry systems. Agroforestry Systems 3:97-128. Nair PKR, editor. 1989. Agroforestry Systems in the Tropics. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers, 245 p. Nair, PKR, Latt CR, Muschler R, Huettl R. editor. 1995. Agroforestry in Industrialized Nations. Agroforestry Systems. Special Issue, 31: 97-198. Nair PKR, Nair DV. 2002. Carbon sequestration in agroforestry systems. http://www.ldd.go.th/Wcss2002/papers/0989.pdf. [4Maret 2004]. Pagiola S, Bishop J, Landell-Mills N. 2002. Introduction. Di dalam: Pagiola S, Bishop J, Landell-Mills N. editor. Selling Forest Environmental Services: Market-based Mechanisms for Conservation and Development. London, UK: Earthscan. Palm CA et al. 1999. Carbon sequestering and trace gas emissions in slash and burn alternative land uses in the humid tropic: ASB Climate Change Working Group Report. Final Report Phase II. Nairobi, Kenya: ICRAF. Pandey DN. 2002. Carbon sequestration in agroforestry systems. Climate Policy 2:367-377. Pedroni L, Locatelli B. 2003. Non-permanence, carbon accounting, and project scale. First Brazilian Symposium on Carbon Sequestration in Agricultural and Forest Systems. Londrina (PR, Brazil), 21-24 October, 2003. Tropical Agricultural Research and Higher Education Center. http://webbeta.catie.ac.cr/bancoconocimiento/C/CambioGlobalISimposioBrasi lenno/modele%20pla-saf%2015%20oct03.pdf. [16 Januari 2004].
133
Pinard MA, Putz FE. 1996. Retaining forest biomass by reduced impact logging damage. Biotropica 28:278-295. Pirard R. 2005. Pulpwood Plantation as Carbon Sinks in Indonesia: Methodological challenge and impact on livelihoods. Di Dalam: Murdiyarso D, Herawati H, editor. 2005. Carbon Forestry: Who will benefit? Proceeding of Workshop on Carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods. Bogor, Indonesia: CIFOR. Post WM, Izaurralde RC, Mann LK, Bliss N. 1999. Monitoring and verification of soil organic carbon sequestration. Di dalam: Symposium Carbon sequestration in soils science, monitoring and beyond, December 3-5, St. Michaels, MD. Robertson N, Wunder S. 2005. Fresh Tracks in The Forest: Asessing Incipient Payments for Environmental Services Initiatives in Bolivia. Bogor, Indonesia: CIFOR. Roshetko JM, Delaney M, Hairiah K, Purnomosidhi P. 2001. Carbon stocks in Indonesian homegarden systems: Can smallholder systems be targeted for increased carbon storage? American Journal of Alternative Agriculture 17(2):1-11. Ruark GA, Schoeneberger MM, Nair PKR. 2003. Roles for agroforestry in helping to achieve sustainable forest management. http://www.maf.govt.nz/mafnet/unff-planted-forestry-meeting/conferencepaper/ roles-for_agroforestry.pdf. [8 Juli 2003]. Sanchez PA. 1995. Science in agroforestry. Agroforestry Systems 30:5-55. [SANREM] Sustainable Agriculture & Natural Resource Management. 2003. Assesing the prospects for carbon sequestration in The Manupali Watershed, Philippines. Collaborative Research Support Program. 2003 No. 13. http://www.sanrem.uga.edu/sanrem/database/pdf/ShivelyBrief.pdf. [22 Oktober 2003] Sathaye J, Makundi W, Goldberg B, Jepma CJ, Pinard MA. 1997. International workshop on sustainable forestry management: monitoring and verification of greenhouse gases. Summary statement. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 2: 91-99. Scherr SJ, Smith J, Robledo CA. 2000. Promoting positive local livelihood impacts through land use, land use change and forestry projects under the Clean Development Mechanism. http://www.forest-trends.org/keytrends/pdf/ forest_carbon/Livelihood%20Impacts.pdf. [27 Januari 2004].
Schroeder P. 1992. Carbon storage potential of short rotation tropical tree plantations. Forest Ecology and Management 50: 31-41. Schroeder P. 1993. Agroforestry systems: integrated land use to store and conserve carbon. Climate Research 3:53-60. Schroeder P, Dixon RK, Winjum JK. 1993. Forest management and agroforestry to sequester and conserve atmospheric carbon dioxide. Unasyla 44: 52-60.
134
Seber GAF and Wild CJ. 2003. Nonlinear Regression. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Smith J, Mulongoy K, Persson R, Sayer J. 2000. Harnessing carbon markets for tropical forest conservation: toward a more realistic assesment. Environmental Conservation 273(3): 300-311. Snowdon P et al. 2002. Protocol for Sampling Tree and Stand Biomass. National Carbon Accounting System. Technical Report No. 31. Australian Greenhouse Office. http://www.greenhouse.gov.au/ncas. Specht A, West PW. 2003. Estimation of biomass and sequestered carbon on farm forest plantations in northern New South Wales, Australia. Biomass and Bioenergy 25: 363-379. Suharlan A, Sumarna K, Sudiono Y. 1975. Tabel Tegakan Sepuluh Jenis Kayu Industri. Bogor: Lembaga Penelitian Hutan. Tiepolo G, Calmon M, Feretti AR. 2002. Measuring and monitoring carbon stock at the Guaraquecaba climate action project, Parana, Brazil. Di dalam: Lin K, Lin J, editor. Proceedings international symposium on forest carbon sequestration and monitoring; Taipei, 11-15 Nov 2002. Taiwan: Taiwan Forestry Research Institute. Tipper R. xxxx. Counting carbon for offset purposes. ECCU technical document TD2. http://www.eccm.uk.com/counting.htmTipper R, De Jong BH. 1998. Quantification and regulation of carbon offsets from forestry: comparison of alternative methodologies, with special reference to Chiapas, Mexico. Commonwealth Forestry Review 77(3): 219-228. Trexler MC and Haugen C. 1994. Keeping it Green: Evaluating Tropical Forestry Strategies to Mitigate Global Warming. Washington, DC: World Resources Institute. Turner DP, Koerper GJ, Harmon M, Lee JJ. 1995. Carbon sequestration by forests of the United States: Current status and projections to the Year 2040. Tellus 41B: 232-239. [UNFCCC] United Nations Framework Convention on Climate Change. 2000. Expiring CERs. A proposal to addressing the permanence issue Paper No. 5: Colombia. LUCF Project in The CDM. Subsidiary Body for Scientific and Technological advice. Thirteenth session. Lyon, 11-15 September 2000. www.forest-trends.org/keytrends/pdf/durability/landuse_columbia.pdf. [27 Januari 2004]. Vanclay JK. 1994. Modelling Forest Growth and Yield: Applications to Mixed Tropical Forests. Wallingford, UK: CAB International. 280p. van Laar A, Akca A. 1997. Forest Mensuration. Gottingen: Cuvillier Verlag. van Laar A. 1991. Forest Biometry. Sappi Forest. van Noordwijk M et al. 2002. Carbon stock assessment for a forest to coffee conversion landscape in Sumber Jaya (Lampung Indonesia): From Allometric Equatian to Land Use Change Analysis. Science In China 45:75-86.
135
van Noordwijk M, Widayati A, Lusiana B, Hairiah K, Arifin B. 2005. What Can a Clean Mechanism Do to Enhance Trees in the Landscape? Experience with Rubber, Coffee and Timber-based Agroforestry Systems in Indonesia. Di Dalam: Murdiyarso D, Herawati H, editor. 2005. Carbon Forestry: Who will benefit? Proceeding of Workshop on Carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods. Bogor, Indonesia: CIFOR. Vine E, Sathaye J, Makundi W. 1999. Guidelines for the Monitoring, Evaluation, Reporting, Verification, and Certification of Forestry Projects for Climate Change Mitigation. USA: Energy Analysis Department Environmental Energy, Technologies Division Lawrence Berkeley National Laboratory. Watson RT et. al. 2000. Land-use, Land-use Change and Forestry, IPCC Special Report. Cambridge: Cambridge University Press, 388p. Winjum JK, Brown S, Schlamadinger B. 1998. Forest harvests and wood products: sources and sinks of atmospheric carbon dioxide. Forest Science 44: 272-284. Zianis D, Menccucini M. 2004. On simplifying allometric analyses of forest biomass. Forest Ecology and Management 187: 311–332.
136
LAMPIRAN
136
Lampiran 1. Identitas pemilik lahan dan keterangan kondisi lokasi agroforestri yang menjadi contoh penelitian 1 Desa Pecekelan Lahan milik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nama Sastro Silento Kasdi Ibu Dibyo Makhful Ruswanto Cokro Hartono Sucito H. Ami Sucito H. Djalal H. Djalal Mukhotib Warnanto Martojito Hadi Bilan Pak Eko Kartono H. Djalal Mukhotib H Djalal
Luas (m2) 3300 900 400 1800 1100 1400 800 2000 1700 1400 1400 1300 1500 1100 900 600 1100 800 1700 900 500
Tempat Lokasi Gedangan Tanggulasi Gedangan Tanggulasi Gedangan Tanggulasi Gedangan Tanggulasi Gedangan Tanggulasi Pundung-Tanggulasi Gedangan Tanggulasi Koplak-Patean Simanis-Patean Simanis-Patean Koplak-Patean Koplak-Patean Cikal-Patean Kalilusi-Patean Cikal-Patean Sabrang-Tangg Sabrang-Tangg Sabrang-Tangg Kalilusi-Patean Kalilusi-Patean Kalilusi-Patean
Umur 1-2 th 3-4 th 1-2 th 5-6 th 5-6 th 7-8 th 1-2 th 5-6 th 5-6 th 3-4 th 7-8 th 9-10 th 3-4 th 11-12 th 5-6 th 11-12 th 5-6 th 3-4 th 7-8 th 3-4 th 1-2 th
Tanaman kehutanan sengon, suren, pete, kopi sengon, suren, nangka, kopi sengon, waru, cengkeh, kopi sengon, suren, kopi, secang sengon, suren, nangka, kopi sengon, waru, secang, kopi sengon, waru, secang, kopi sengon, waru, secang, kopi sengon, nangka, kopi, secang Sengon, nangka, mahoni, kopi sengon, mahoni, nangka, kopi sengon, mahoni, nangka, kopi sengon, mahoni, nangka, kopi sengon, mahoni, nangka, kopi sengon, mahoni, nangka, kopi sengon, mahoni, nangka, kopi sengon, mahoni, kelapa, kopi sengon, mahoni, kelapa, kopi Sengon, jenitri, mahoni, kopi Sengon, suren, sungkai, kopi sengon, mahoni, jenitri, kopi
Tanaman pertanian
Tanaman kehutanan Sengon, Mahoni, Huru, Calik Angin Sengon, Mahoni, Afrika, Huru, Pocol, Puspa Sengon Sengon, Balsa, Puspa, Mahoni Sengon, Mahoni Mahoni, Sengon, Afrika Sengon, Mahoni, Afrika, Puspa Sengon, Puspa, Mahoni Sengon, Suren, Mahoni, Afrika Sengon, Afrika, Mahoni, Kapuk Randu, Puspa, Akasia Sengon, Mahoni, Afrika Sengon, Mahoni, Afrika, Puspa Mahoni, Sengon, Puspa Sengon, Mahoni, Ramanten, Afrika, Puspa Sengon, Afrika, Puspa, Akasia, Mahoni, Sampang Afrika, Sengon, Akasia, Waru, Puspa, Huru, Mahoni Sengon, Puspa, Huru, Mahoni, Afrika, Sampang Sengon, Afrika, Mahoni, Kapuk Randu, Puspa, Akasia Sengon, Afrika, Mahoni, Puspa, Huru, Calik Angin Sengon, Afrika, Huru, Mahoni
Tanaman pertanian Kopi, Salak, Bambu, Nangka, Nenas, Rambutan Kapulaga, Kopi, Nangka, Pala, Enau, Cengkeh, Mangga, Nenas Kopi, Pisang, Kapulaga Kopi, Nangka, Aren, Rambutan, Petai, Cengkeh, Pisang Nangka, Pisang, Tebu, Kapulaga, Singkong Nenas, Kopi, Enau, Nangka Kopi, Petai, Alpukat, Cengkeh, Jengkol Nenas, Kopi, Cengkeh Kopi, Nangka, Nenas, Manggis, Durian, Alpukat, Tangkil Nenas, Kelapa, Pisang, Jengkol, Alpukat Kopi, Jengkol, Nangka Kopi, Pisang, Nangka Kapulaga, Pisang, Kopi, Limus, Kelapa, Alpukat, Jengkol Kopi, Pepaya, Alpukat, Nangka, Rambutan, Petai Kopi, Jambu Semarang, Cengkeh, Limus, Nangka, Ramanten Enau, Harendong, Cengkeh, Petai, The, Kopi, Nangka, Jengkol Nenas, Kopi, Nangka, Kapulaga, Petai, Manggis, Jengkol Nenas, Kelapa, Pisang, Jengkol, Alpukat Kopi, Nangka, Rambutan, Alpukat, Jengkol, Petai, Nenas Alpukat, Nangka, Kopi
Keterangan tapak Arah jalur Alt (mdpl) lereng (%) Aspek B-T 815 15 U/T U-S 850 35 U/T U-S 820 15 U U-S 790 20 U/T U-S 810 20 U/T U-S 765 15 T U-S 800 30 S U-S 820 28 S/B B-T 840 35 S/B U-S 830 35 T/S U-S 830 20 S/B U-S 800 30 T/S U-S 830 20 S U-S 830 35 U/T U-S 870 40 B B-T 800 15 T U-S 800 15 U/T U-S 820 20 U U-S 850 15 U/B B-T 840 30 U/T U-S 890 25 T/S
Posisi lereng lereng lereng lereng lereng lereng lereng lereng lembah punggung lereng lereng lereng punggung lembah lembah lereng lereng punggung lereng lereng
Keterangan tapak Arah jalur Alt (mdpl) lereng (%) Aspek B-T 810 30 B U-S 825 35 T/S U-S 850 30 S/B U-S 840 35 S B-T 825 40 S/B U-S 830 30 S U-S 860 45 S U-S 855 35 S/B B-T 890 40 S/B B-T 910 25 B B-T 810 35 B B-T 850 30 S B-T 860 15 T U-S 880 30 U/T S-B 900 50 S/B B-T 810 35 S B-T 800 28 T B-T 910 25 B B-T 820 40 T B-T 870 35 S/B
Posisi Lembah Lereng Lereng Lereng Lereng Lereng Lereng Punggung Punggung Lereng Lembah Lereng Punggung Lereng Lereng Lereng Lereng Lereng Lereng Punggung
2 Desa Kertayasa Lahan milik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Hamidin Sutardi dan Sukmana Suryana Rohman Sadili Bin Suhanta Usup Supriyadi Komarudin Sudinta Yasir Sutisna Rosadi Sarju Engkos Supriyadi Sukarna Sopandi Sudinta Igud Sutisna Pandi Eman
Luas (m2) 600 600 600 1000 800 600 600 800 1500 700 1200 700 400 400 600 700 600 700 600 600
Tempat Lokasi Umur Ci Calung ( Sukaraja ) 3-4 th Sukaraja 5-6 th Sukaraja 5-6 th Ci Guluma ( Padungdungan ) 3-4 th Padungdungan 7-8 th Ci Pesing ( Padungdungan ) 5-6 th Ci Pesing ( Padungdungan ) 7-8 th Padungdungan 1-2 th Padungdungan 3-4 th Padungdungan 1-2 th Ci Calung ( Sukaraja ) 11-12 th Ci Calung ( Sukaraja ) 3-4 th Sukaraja 11-12 th Sukaraja 11-12 th Ci Carenang 5-6 th Ngawitan 7-8 th Leles 9-10 th Padungdungan 1-2 th Leles 3-4 th Palasiang 3-4 th
137
Lampiran 2.
Lokasi Contoh PN U-1 PN U-2 PN U-3 PN U-4 PN U-8 PN U-9 PN U-11 PN U-16 PN U-17 Rataan Std
Lokasi Contoh PC U-1 PC U-2 PC U-4 PC U-6 PC U-7 PC U-8 PC U-9 PC U-10 PC U-12 PC U-14 PC U-19 Rataan Std Ket:
Hasil analisis ciri-ciri fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian Desa Pecekelan (Wonosobo) dan Desa Kertayasa (Ciamis)
Kadar Air (%) A B 39% 40% 44% 46% 50% 44% 40% 35% 41% 38% 39% 46% 45% 40% 44% 42% 50% 48% 44% 42% 4% 4%
Bulk Density (g/cm3) A B 1.16 0.98 0.94 0.89 0.78 0.73 1.00 1.11 0.91 0.89 0.96 0.96 1.06 0.96 0.96 0.92 0.84 0.80 0.96 0.92 0.11 0.11
Bulk Density (g/cm3) Kadar Air (%) A B A B 53% 60% 0.66 0.65 61% 59% 0.62 0.71 63% 57% 0.69 0.66 38% 63% 0.90 0.68 58% 58% 0.70 0.68 59% 60% 0.71 0.69 56% 58% 0.81 0.75 66% 60% 0.64 0.69 59% 56% 0.75 0.70 66% 53% 0.56 0.58 58% 58% 0.70 0.68 58% 58% 0.70 0.68 8% 3% 0.09 0.04 A = Kedalaman 0 - 10 cm B = Kedalaman 10 - 20 cm
pH H2O A 4.08 4.67 4.39 4.40 4.89 4.46 4.81 4.40 4.37 4.50 0.25
B 4.69 4.33 4.43 4.37 4.66 4.34 4.66 4.55 4.26 4.48 0.17
pH H2O A 4.82 4.84 5.16 4.96 5.02 5.12 5.16 4.94 4.88 4.81 4.41 4.92 0.21
B 5.11 4.99 5.20 5.26 5.32 5.09 5.30 5.22 5.23 4.63 4.37 5.07 0.30
B 3.52 3.64 3.59 3.49 3.81 3.60 3.71 3.35 3.31 3.56 0.16
C-org (%) A B 2.42 2.19 2.62 2.08 3.23 2.15 1.92 1.50 2.35 1.85 1.96 1.65 1.62 1.27 3.12 2.03 2.75 1.99 2.44 1.86 0.55 0.32
N-total (%) A B 0.23 0.20 0.26 0.38 0.23 0.20 0.20 0.15 0.24 0.19 0.20 0.15 0.16 0.10 0.29 0.20 0.26 0.20 0.23 0.20 0.04 0.08
K-total (ppm) A B 0.40 0.40 0.26 0.15 0.15 0.13 0.10 0.08 0.18 0.09 0.11 0.12 0.10 0.08 0.21 0.10 1.28 0.95 0.31 0.23 0.38 0.29
P-tersedia (Bray1)(ppm) A B 2.8 3.0 3.3 3.5 8.4 3.1 2.8 2.8 4.9 3.0 4.4 3.1 3.6 4.4 3.3 3.6 3.3 3.3 4.1 3.3 1.8 0.5
B 4.27 4.17 4.05 4.30 4.28 4.13 4.23 4.42 4.43 3.77 3.48 4.14 0.29
C-org (%) A B 3.81 2.65 2.92 1.77 2.77 2.27 3.42 2.92 2.35 1.50 3.04 2.50 2.88 2.42 3.73 2.73 3.15 2.65 4.69 3.08 5.92 2.38 3.52 2.44 1.02 0.47
N-total (%) A B 0.28 0.25 0.27 0.17 0.28 0.23 0.22 0.26 0.24 0.17 0.29 0.26 0.24 0.27 0.32 0.26 0.30 0.24 0.44 0.29 0.36 0.22 0.29 0.24 0.06 0.04
K-total (ppm) A B 0.13 0.23 0.77 0.71 0.72 0.26 0.31 0.21 0.74 0.69 0.90 0.62 0.70 0.43 0.31 0.15 0.42 0.45 0.33 0.27 0.62 0.27 0.54 0.39 0.25 0.20
P-tersedia (Bray1)(ppm) A B 8.0 6.4 8.8 7.6 9.2 9.0 9.7 4.3 8.5 8.4 7.2 7.9 8.4 7.6 5.9 5.8 5.9 5.8 6.6 5.3 6.2 7.2 7.7 6.8 1.4 1.4
pH KCl A 3.76 3.63 3.27 3.63 3.93 3.59 3.96 3.53 3.46 3.64 0.22
pH KCl A 4.05 3.78 4.23 3.78 3.96 4.27 4.09 3.78 3.90 3.72 3.55 3.92 0.22
138
Lampiran 2. Lokasi Contoh PN U-1 PN U-2 PN U-3 PN U-4 PN U-8 PN U-9 PN U-11 PN U-16 PN U-17 Rataan Std
Lokasi Contoh PC U-1 PC U-2 PC U-4 PC U-6 PC U-7 PC U-8 PC U-9 PC U-10 PC U-12 PC U-14 PC U-19 Rataan Std Ket:
(Lanjutan)
KTK (me/100g) A B 28.30 25.98 30.10 28.15 21.82 16.22 14.84 12.66 17.46 15.49 16.36 14.18 15.27 14.84 19.64 15.27 23.56 18.33 20.82 17.90 5.59 5.44
Pasir (%) A B 7.49 4.79 3.95 3.53 6.39 2.73 7.54 8.42 11.96 3.04 4.10 2.75 3.38 2.84 4.93 4.36 3.69 3.50 5.94 4.00 2.77 1.81
Debu (%) A B 30.89 28.52 17.19 22.85 17.69 55.08 35.84 33.58 39.46 13.70 33.59 30.72 25.57 28.14 17.20 21.86 19.20 26.45 26.29 28.99 8.87 11.37
KTK (me/100g) Pasir (%) A B A B 26.62 15.10 40.83 45.62 16.28 21.60 34.86 11.98 25.75 22.03 43.10 40.07 25.09 20.15 25.67 25.67 26.98 26.62 17.59 28.10 22.69 22.26 32.55 36.42 25.31 25.75 18.65 25.35 31.86 24.00 27.91 18.50 16.10 18.30 34.22 32.45 31.64 24.22 24.71 25.29 25.13 22.47 28.24 29.70 24.86 22.05 29.85 29.01 5.09 3.31 8.21 9.51 A = Kedalaman 0 - 10 cm B = Kedalaman 10 - 20 cm
Debu (%) A B 27.28 43.72 54.38 68.35 38.32 40.40 48.19 51.98 42.11 43.76 38.71 45.03 45.42 45.56 51.70 54.08 53.29 49.64 41.42 51.32 38.19 43.24 43.55 48.83 8.09 7.78
Liat (%) A 61.62 78.86 75.92 56.62 48.58 62.31 71.05 77.87 77.11 67.77 10.90
B 66.69 73.62 42.19 58.00 83.26 66.53 69.02 73.78 70.05 67.02 11.53
Liat (%) A 31.89 10.76 18.58 26.14 40.30 28.74 35.93 20.39 12.49 33.87 33.57 26.61 9.81
B 10.66 19.67 19.53 22.35 28.14 18.55 29.09 27.42 17.91 23.39 27.06 22.16 5.60
C/N rasio A B 10.52 10.95 10.08 5.47 14.04 10.75 9.60 10.00 9.79 9.74 9.80 11.00 10.13 12.70 10.76 10.15 10.58 9.95 10.59 10.08 1.35 1.95
C-content (ton/ha) A B 56.3 42.9 49.2 37.1 50.2 31.3 38.4 33.4 42.7 32.9 37.6 31.8 34.2 24.3 59.6 37.2 46.2 31.9 46.0 33.7 8.6 5.1
C/N rasio A B 13.61 10.60 10.81 10.41 9.89 9.87 15.55 11.23 9.79 8.82 10.48 9.62 12.00 8.96 11.66 10.50 10.50 11.04 10.66 10.62 16.44 10.82 11.94 10.23 2.28 0.81
C-content (ton/ha) A B 50.1 34.7 36.2 25.2 38.3 30.1 61.6 39.5 33.1 20.4 43.1 34.4 46.4 36.3 47.7 37.7 47.0 37.2 52.8 35.8 83.3 32.3 49.1 33.0 13.9 5.8
139
Lampiran 3.
Daftar peubah untuk penyusunan model alometrik pendugaan biomassa pohon sengon
Dimensi Pohon Contoh Bobot Basah (kg) No.Phn diameter Ttot Tbc Ltajuk Batang Cabang Ranting Tunggak (cm) (m) (m) (m2) 1 18.0 17.0 8.5 20.82 99.93 17.09 12.00 4.50 2 15.5 13.5 9.0 25.50 78.00 9.19 8.00 4.50 3 18.4 13.3 7.8 20.42 84.00 16.50 11.50 6.00 4 15.0 14.5 8.0 21.64 85.00 10.50 10.50 3.00 5 14.0 10.6 7.8 25.73 83.50 13.10 11.00 1.50 6 18.0 17.0 8.5 20.82 99.93 17.09 12.00 0.00 7 16.2 14.5 7.0 34.19 77.50 11.26 10.25 2.50 8 14.8 11.5 7.8 32.76 66.50 12.78 9.00 10.50 9 15.6 14.8 7.8 45.64 82.50 9.35 7.50 0.99 10 9.5 9.5 7.0 11.28 22.50 2.55 1.50 1.00 11 9.5 9.5 6.5 11.49 22.50 1.85 1.75 3.00 12 12.0 14.5 8.5 25.64 38.10 3.53 2.75 0.00 13 27.8 23.0 18.0 121.68 288.50 85.58 36.50 11.25 14 29.0 27.0 14.5 83.28 504.50 81.00 54.50 13.75 15 34.8 27.5 8.8 82.88 580.49 144.50 57.00 22.71 16 22.3 19.3 11.3 61.83 177.43 43.25 18.00 6.50 17 43.8 26.5 13.0 143.07 915.00 162.60 81.00 18.80 18 21.2 15.3 8.3 54.73 136.88 26.75 16.50 0.00 19 28.1 30.5 12.0 96.72 382.50 77.18 33.25 8.78 20 22.6 26.5 10.5 67.89 201.50 40.03 20.50 2.79 21 24.0 19.0 11.5 44.16 197.50 26.65 20.00 4.25 22 22.6 24.0 14.3 58.06 248.50 31.75 26.50 6.41 23 21.4 22.0 11.3 82.07 237.00 44.70 20.00 4.00 24 21.5 20.0 8.0 40.08 168.50 23.15 18.00 3.50 25 24.0 23.0 7.0 65.72 200.00 34.50 24.50 4.90 26 19.0 20.0 11.5 11.64 131.00 12.23 9.50 3.60 27 29.4 22.0 6.3 95.85 391.00 127.25 59.00 15.32 28 6.2 9.5 5.5 8.29 16.23 1.13 1.08 0.33 29 28.5 23.5 9.3 127.61 466.50 126.00 31.00 7.50 30 13.2 15.3 10.5 29.21 48.00 7.98 7.50 0.68
Daun 17.00 10.00 11.50 9.50 7.00 17.00 9.50 11.25 7.50 3.50 3.00 4.00 39.50 38.00 36.00 25.50 74.00 20.25 34.00 26.50 27.00 19.50 19.00 25.00 20.50 10.00 24.00 1.98 42.00 6.00
Total 150.51 109.69 129.50 118.50 116.10 146.01 111.01 110.03 107.84 31.05 32.10 48.38 461.33 691.75 840.70 270.68 1251.40 200.38 535.71 291.32 275.40 332.66 324.70 238.15 284.40 166.33 616.57 20.73 673.00 70.15
Batang 60.44 49.02 51.64 48.56 54.49 63.83 45.44 40.31 55.12 14.10 15.50 24.63 182.20 314.50 377.14 115.24 619.23 82.64 243.52 129.31 119.27 153.58 144.63 106.88 130.64 84.64 241.73 9.96 297.83 30.80
Bobot Kering (kg) Cabang Ranting Tunggak Daun 10.04 5.31 8.67 6.51 7.53 10.12 5.80 8.18 5.91 1.54 0.95 2.03 46.33 49.98 84.11 25.26 104.98 16.56 43.33 24.46 15.24 18.88 26.68 13.94 20.99 7.54 73.90 0.70 71.35 4.06
5.81 3.78 5.35 5.03 5.26 5.92 4.68 4.11 3.66 0.64 0.76 1.31 16.55 26.35 27.63 7.47 41.05 7.56 15.02 8.78 9.16 11.25 7.98 8.44 10.74 4.81 30.75 0.58 16.82 3.33
2.72 2.83 3.69 1.71 0.98 0.00 1.47 6.36 0.66 0.63 2.07 0.00 7.10 8.57 14.76 4.22 12.72 0.00 5.59 1.79 2.57 3.96 2.44 2.22 3.20 2.33 9.47 0.20 4.79 0.43
6.18 4.13 4.26 3.63 2.75 5.49 3.19 3.87 2.76 1.30 1.03 1.53 15.54 13.57 13.12 9.07 27.60 7.03 12.25 10.36 10.31 6.61 6.38 9.46 7.80 3.76 8.89 0.82 15.29 2.04
Total 85.20 65.07 73.62 65.45 71.01 85.36 60.57 62.84 68.11 18.20 20.31 29.49 267.73 412.97 516.75 161.26 805.59 113.79 319.71 174.71 156.55 194.28 188.11 140.94 173.37 103.08 364.75 12.25 406.07 40.67
Btg&tung 63.16 51.85 55.32 50.28 55.47 63.83 46.90 46.67 55.78 14.73 17.57 24.63 189.31 323.08 391.90 119.46 631.95 82.64 249.11 131.11 121.84 157.54 147.07 109.10 133.84 86.97 251.20 10.16 302.62 31.23
136
Lampiran 4.
Daftar peubah untuk penyusunan model hubungan persediaan karbon tegakan dengan struktur tegakan agroforestri
1. AGROFORESTRI DS PECEKELAN
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
k 932 1,749 13,170 2,045 6,389 1,361 7,377 2,248 5,180 814 558 334 3,868 315 6,031 368 3,123 9,441 223 3,652 4,485
a 0.222 0.171 0.268 0.155 0.242 0.123 0.273 0.179 0.211 0.128 0.109 0.074 0.212 0.051 0.219 0.061 0.179 0.266 0.044 0.202 0.245
CtotAG Cstandkop 11.06 9.26 27.76 25.89 44.41 42.87 30.53 29.44 28.69 26.23 46.91 42.61 27.27 26.65 31.35 28.24 37.83 35.18 35.47 32.25 29.20 27.76 59.99 53.69 26.77 24.57 76.68 72.82 36.87 34.69 85.37 81.15 49.21 46.24 29.76 25.82 71.99 69.24 38.26 34.75 26.78 23.80
Cstand 3.87 19.69 34.40 27.74 22.85 34.79 20.05 23.03 25.70 28.07 22.05 45.29 19.92 63.43 31.33 71.00 42.41 25.28 54.45 26.55 14.71
Chidup 9.30 26.70 43.59 29.74 26.96 42.68 26.73 29.13 35.70 33.34 27.85 53.72 24.77 73.14 35.29 81.15 46.87 27.16 69.26 34.75 23.80
Cstand 26.51 32.95 49.26 19.13 25.99 25.66 38.30 23.61 27.16 8.49 51.31 25.69 54.78 31.32 44.12 31.39 70.79 51.47 23.34 28.36
Chidup 28.70 40.82 54.87 19.73 27.64 30.32 47.17 25.68 31.49 8.53 58.12 28.94 56.12 40.19 45.10 33.04 83.67 52.19 28.37 29.57
2. AGROFORESTRI DS KERTAYASA
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
k 4,917 2,108 3,863 3,976 8,600 8,437 4,047 2,547 9,703 2,675 2,099 6,249 6,619 888 13,317 9,532 1,341 7,186 4,673 7,665
a 0.246 0.14 0.185 0.22 0.236 0.228 0.194 0.219 0.254 0.226 0.132 0.249 0.18 0.107 0.243 0.234 0.111 0.207 0.252 0.259
CtotAG Cstandkop 31.22 28.41 42.78 40.62 57.52 54.24 20.79 19.70 31.85 26.82 32.15 29.61 50.49 46.66 27.76 25.41 33.19 31.36 9.10 8.49 60.63 57.95 30.60 28.65 58.77 55.78 42.08 40.01 47.19 44.86 35.03 32.39 86.95 83.64 56.17 51.87 28.18 28.08 32.41 28.63
137
Lampiran 5.
Daftar peubah untuk penyusunan model hubungan persediaan karbon tegakan dengan dimensi tegakan agroforestri
1. AGROFORESTRI DS PECEKELAN
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
CtotAG Cstandkop Cstand 11.06 9.26 3.87 27.76 25.89 19.69 44.41 42.87 34.40 30.53 29.44 27.74 28.69 26.23 22.85 46.91 42.61 34.79 27.27 26.65 20.05 31.35 28.24 23.03 37.83 35.18 25.70 35.47 32.25 28.07 29.20 27.76 22.05 59.99 53.69 45.29 26.77 24.57 19.92 76.68 72.82 63.43 36.87 34.69 31.33 85.37 81.15 71.00 49.21 46.24 42.41 29.76 25.82 25.28 71.99 69.24 54.45 38.26 34.75 26.55 26.78 23.80 14.71
Clive 9.30 26.70 43.59 29.74 26.96 42.68 26.73 29.13 35.70 33.34 27.85 53.72 24.77 73.14 35.29 81.15 46.87 27.16 69.26 34.75 23.80
Age 1.5 3.5 5.5 5.5 5.5 7.5 3.5 5.5 5.5 5.5 7.5 9.5 3.5 11.5 5.5 11.5 7.5 3.5 9.5 3.5 1.5
N
D
488 630 1,800 1,228 919 925 972 811 1,211 690 590 673 935 727 1,178 783 1,197 1,525 722 950 983
8.3 13.5 10.7 10.6 12.2 13.2 9.9 10.5 10.8 14.4 12.5 15.6 10.9 16.9 11.8 17.7 12.6 10.4 16.9 13.0 10.1
BA 2.86 10.51 20.29 14.87 13.01 16.38 11.97 12.31 14.39 14.05 10.17 18.69 11.07 23.52 16.90 27.33 20.23 15.49 22.40 15.67 9.18
Clive 28.70 40.82 54.87 19.73 27.64 30.32 47.17 25.68 31.49 8.53 58.12 28.94 56.12 40.19 45.10 33.04 83.67 52.19 28.37 29.57
Age 3.5 5.5 7.5 3.5 5.5 5.5 7.5 3.5 3.5 1.5 11.5 3.5 9.5 9.5 5.5 7.5 11.5 7.5 3.5 5.5
N 1317 1350 1117 1570 1623 1483 1250 1517 1772 1161 1750 2067 1925 1200 2833 2075 1500 2883 1800 1717
D 10.2 11.5 13.3 9.1 10.0 10.1 11.8 9.4 9.5 7.9 12.2 9.3 12.9 11.2 9.6 9.7 13.1 10.4 8.2 10.2
BA 13.00 17.45 19.23 11.79 14.61 14.75 17.69 12.52 15.74 7.13 25.74 16.08 29.15 15.88 25.26 18.69 30.19 29.47 11.03 17.05
2. AGROFORESTRI DS KERTAYASA
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
CtotAG Cstandkop Cstand 31.22 28.41 26.51 42.78 40.62 32.95 57.52 54.24 49.26 20.79 19.70 19.13 31.85 26.82 25.99 32.15 29.61 25.66 50.49 46.66 38.30 27.76 25.41 23.61 33.19 31.36 27.16 9.10 8.49 8.49 60.63 57.95 51.31 30.60 28.65 25.69 58.77 55.78 54.78 42.08 40.01 31.32 47.19 44.86 44.12 35.03 32.39 31.39 86.95 83.64 70.79 56.17 51.87 51.47 28.18 28.08 23.34 32.41 28.63 28.36
138
143
Lampiran 6. Hasil pengolahan data model hubungan persediaan karbon tegakan dengan struktur tegakan agroforestri 1. AGROFORESTRI DS PECEKELAN
Descriptive Statistics: k, a, CtotAG, Cstandkop, Cstand, Chidup Variable k a CtotAG Cstandko Cstand Chidup
N 21 21 21 21 21 21
Mean 3508 -0.1730 40.58 37.77 31.27 38.17
Median 2248 -0.1790 35.47 32.25 26.55 33.34
TrMean 3172 -0.1746 39.78 36.99 30.62 37.43
Variable k a CtotAG Cstandko Cstand Chidup
Minimum 223 -0.2730 11.06 9.26 3.87 9.30
Maximum 13170 -0.0440 85.37 81.15 71.00 81.15
Q1 686 -0.2320 28.23 26.06 21.05 26.85
Q3 5606 -0.1160 48.06 44.56 38.60 45.23
StDev 3444 0.0738 18.74 18.05 16.19 17.95
SE Mean 751 0.0161 4.09 3.94 3.53 3.92
Correlations: k, a, CtotAG, Cstandkop, Cstand, Chidup k a CtotAG Cstandko -0.810 0.000 CtotAG -0.318 0.747 0.159 0.000 Cstandko -0.307 0.741 0.998 0.176 0.000 0.000 Cstand -0.288 0.727 0.987 0.987 0.206 0.000 0.000 0.000 Chidup -0.299 0.738 0.998 1.000 0.188 0.000 0.000 0.000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Cstand
a
0.989 0.000
Regression Analysis: CtotAG versus k, a The regression equation is CtotAG = 87.2 + 0.00453 k + 361 a Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 87.179 5.866 14.86 0.000 k 0.0045306 0.0009837 4.61 0.000 2.9 a 361.13 45.92 7.86 0.000 2.9 S = 8.890 R-Sq = 79.7% R-Sq(adj) = 77.5% PRESS = 1958.16 R-Sq(pred) = 72.12% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 5600.3 2800.1 35.43 0.000 Residual Error 18 1422.7 79.0 Total 20 7023.0 Source DF Seq SS k 1 712.3 a 1 4887.9 Unusual Observations Obs k CtotAG Fit SE Fit Residual 3 13170 44.41 50.06 6.78 -5.65 11 558 29.20 50.34 2.65 -21.14 16 368 85.37 66.82 3.75 18.55 R denotes an observation with a large standardized residual X denotes an observation whose X value gives it large influence.
St Resid -0.98 X -2.49R 2.30R
144
Regression Analysis: Cstandkop versus k, a The regression equation is Cstandkop = 82.7 + 0.00446 k + 350 a Predictor Constant k a
Coef 82.685 0.0044617 350.00
SE Coef 5.628 0.0009437 44.05
T 14.69 4.73 7.94
P 0.000 0.000 0.000
VIF 2.9 2.9
S = 8.529 R-Sq = 79.9% R-Sq(adj) = 77.7% PRESS = 1790.52 R-Sq(pred) = 72.51% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 5205.2 2602.6 35.78 0.000 Residual Error 18 1309.3 72.7 Total 20 6514.5 Source DF Seq SS k 1 613.9 a 1 4591.3 Unusual Observations Obs k Cstandko Fit SE Fit Residual St Resid 3 13170 42.87 47.65 6.51 -4.78 -0.87 X 11 558 27.76 47.02 2.54 -19.26 -2.37R 16 368 81.15 62.98 3.59 18.17 2.35R R denotes an observation with a large standardized residual X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: Cstand versus k, a The regression equation is Cstand = 71.4 + 0.00411 k + 315 a Predictor Constant k a
Coef 71.376 0.0041147 315.18
SE Coef 5.124 0.0008592 40.11
T 13.93 4.79 7.86
P 0.000 0.000 0.000
VIF 2.9 2.9
S = 7.766 R-Sq = 79.3% R-Sq(adj) = 77.0% PRESS = 1602.93 R-Sq(pred) = 69.42% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 4156.9 2078.5 34.47 0.000 Residual Error 18 1085.5 60.3 Total 20 5242.4 Source DF Seq SS k 1 433.6 a 1 3723.4 Unusual Observations Obs k Cstand Fit SE Fit Residual St Resid 3 13170 34.40 41.10 5.92 -6.70 -1.33 X 11 558 22.05 39.32 2.31 -17.27 -2.33R 16 368 71.00 53.66 3.27 17.34 2.46R R denotes an observation with a large standardized residual X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: Chidup versus k, a The regression equation is Chidup = 82.9 + 0.00451 k + 350 a Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 82.910 5.553 14.93 0.000 k 0.0045116 0.0009311 4.85 0.000 2.9 a 349.98 43.47 8.05 0.000 2.9 S = 8.415 R-Sq = 80.2% R-Sq(adj) = 78.0% PRESS = 1750.08 R-Sq(pred) = 72.83%
145
Analysis of Variance Source DF SS Regression 2 5166.9 Residual Error 18 1274.6 Total 20 6441.5 Source DF Seq SS k 1 576.2 a 1 4590.8
MS 2583.5 70.8
F 36.48
P 0.000
Unusual Observations Obs k Chidup Fit SE Fit Residual St Resid 3 13170 43.59 48.53 6.42 -4.94 -0.91 X 11 558 27.85 47.28 2.51 -19.43 -2.42R 16 368 81.15 63.22 3.55 17.93 2.35R R denotes an observation with a large standardized residual X denotes an observation whose X value gives it large influence.
2. AGROFORESTRI DS KERTAYASA
Descriptive Statistics: k, a, CtotAG, Cstand&kopi, Cstand, Clive Variable k a CtotAG Cstand&k Cstand Clive Variable k a CtotAG Cstand&k Cstand Clive
N 20 20 20 20 20 20 Minimum 888 -0.2590 9.10 8.49 8.49 8.53
Mean 5522 -0.2061 40.74 38.16 34.48 38.51 Maximum 13317 -0.1070 86.95 83.64 70.79 83.67
Median 4795 -0.2230 34.11 31.88 29.84 32.27 Q1 2579 -0.2453 30.76 28.16 25.67 28.45
TrMean 5347 -0.2087 39.93 37.28 33.91 37.67 Q3 8244 -0.1813 54.75 50.57 47.97 50.94
StDev 3317 0.0486 17.39 16.84 14.84 16.81
Correlations: k, a, CtotAG, Cstand&kopi, Cstand, Clive k a CtotAG Cstand&k -0.680 0.001 CtotAG -0.162 0.666 0.496 0.001 Cstand&k -0.182 0.680 0.998 0.443 0.001 0.000 Cstand -0.068 0.590 0.985 0.982 0.774 0.006 0.000 0.000 Clive -0.175 0.675 0.999 1.000 0.460 0.001 0.000 0.000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Cstand
a
0.983 0.000
Regression Analysis: CtotAG versus k, a The regression equation is CtotAG = 101 + 0.00284 k + 370 a Predictor Coef SE Coef T P Constant 101.36 12.39 8.18 0.000 k 0.002841 0.001094 2.60 0.019 a 370.24 74.63 4.96 0.000 S = 11.60 R-Sq = 60.2% R-Sq(adj) = 55.5% Analysis of Variance Source DF SS MS F Regression 2 3461.5 1730.8 12.86 Residual Error 17 2287.4 134.6 Total 19 5748.9
P 0.000
SE Mean 742 0.0109 3.89 3.76 3.32 3.76
146
Source DF Seq SS k 1 150.0 a 1 3311.6 Unusual Observations Obs k CtotAG Fit SE Fit Residual 14 888 42.08 64.27 6.01 -22.19 17 1341 86.95 64.08 5.82 22.87 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid -2.24R 2.28R
Regression Analysis: Cstand&kopi versus k, a The regression equation is Cstand&kopi = 97.3 + 0.00264 k + 358 a Predictor Constant k a S = 11.15
Coef SE Coef T P 97.33 11.91 8.17 0.000 0.002641 0.001051 2.51 0.022 357.87 71.75 4.99 0.000 R-Sq = 60.7% R-Sq(adj) = 56.1%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 2 3272.2 Residual Error 17 2114.2 Total 19 5386.5 Source DF Seq SS k 1 178.2 a 1 3094.0
MS 1636.1 124.4
F 13.16
P 0.000
Unusual Observations Obs k Cstand&k Fit SE Fit Residual 14 888 40.01 61.38 5.78 -21.37 17 1341 83.64 61.15 5.60 22.49 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid -2.24R 2.33R
Regression Analysis: Cstand versus k, a The regression equation is Cstand = 82.8 + 0.00277 k + 308 a Predictor Coef Constant 82.77 k 0.0027653 a 308.38 S = 10.48 PRESS = 2827.04
SE Coef T P 11.20 7.39 0.000 0.0009884 2.80 0.012 67.45 4.57 0.000 R-Sq = 55.4% R-Sq(adj) = 50.1% R-Sq(pred) = 32.45%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 2 2317.0 Residual Error 17 1868.3 Total 19 4185.3 Source DF Seq SS k 1 19.6 a 1 2297.4
MS 1158.5 109.9
F 10.54
P 0.001
Unusual Observations Obs k Cstand Fit SE Fit Residual 14 888 31.32 52.23 5.43 -20.91 17 1341 70.79 52.25 5.26 18.54 R denotes an observation with a large standardized residual
Regression Analysis: Cstand versus k, a The regression equation is Cstand = 82.8 + 0.00277 k + 308 a
St Resid -2.33R 2.05R
147
Predictor Coef Constant 82.77 k 0.0027653 a 308.38 S = 10.48 PRESS = 2827.04
SE Coef T P 11.20 7.39 0.000 0.0009884 2.80 0.012 67.45 4.57 0.000 R-Sq = 55.4% R-Sq(adj) = 50.1% R-Sq(pred) = 32.45%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 2 2317.0 Residual Error 17 1868.3 Total 19 4185.3 Source DF Seq SS k 1 19.6 a 1 2297.4
MS 1158.5 109.9
F 10.54
P 0.001
Unusual Observations Obs k Cstand Fit SE Fit Residual 14 888 31.32 52.23 5.43 -20.91 17 1341 70.79 52.25 5.26 18.54 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid -2.33R 2.05R
Regression Analysis: Clive versus k, a The regression equation is Clive = 97.4 + 0.00267 k + 357 a Predictor Coef SE Coef T P Constant 97.38 11.93 8.16 0.000 k 0.002669 0.001053 2.54 0.021 a 357.15 71.85 4.97 0.000 S = 11.17 R-Sq = 60.5% R-Sq(adj) = 55.8% PRESS = 3265.06 R-Sq(pred) = 39.16% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 3246.5 1623.3 13.02 0.000 Residual Error 17 2120.0 124.7 Total 19 5366.6 Source DF Seq SS k 1 165.0 a 1 3081.6 Unusual Observations Obs k Clive Fit SE Fit Residual 14 888 40.19 61.54 5.79 -21.35 17 1341 83.67 61.32 5.60 22.35 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid -2.24R 2.31R
148
Lampiran 7 Plot peluang normal sisaan dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah struktur tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran
(a)
(b) (a)
(b)
149
Lampiran 8 Plot tebaran nilai sisaan baku dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah struktur tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran
(a)
(b)
150
Lampiran 9.
Hasil pengolahan data model hubungan persediaan karbon tegakan dengan dimensi tegakan agroforestri
1. AGROFORESTRI DS PECEKELAN
Descriptive Statistics: CtotAG, Cstandkop, Cstand, Clive, Age, N, D, BA Variable CtotAG Cstandko Cstand Clive Age N D BA
N 21 21 21 21 21 21 21 21
Mean 40.58 37.77 31.27 38.17 5.881 949.4 12.500 15.30
Median 35.47 32.25 26.55 33.34 5.500 925.0 12.200 14.87
TrMean 39.78 36.99 30.62 37.43 5.816 928.9 12.447 15.32
Variable CtotAG Cstandko Cstand Clive Age N D BA
Minimum 11.06 9.26 3.87 9.30 1.500 488.0 8.300 2.86
Maximum 85.37 81.15 71.00 81.15 11.500 1800.0 17.700 27.33
Q1 28.23 26.06 21.05 26.85 3.500 706.0 10.550 11.52
Q3 48.06 44.56 38.60 45.23 7.500 1187.5 13.950 19.46
StDev 18.74 18.05 16.19 17.95 2.872 320.4 2.571 5.54
SE Mean 4.09 3.94 3.53 3.92 0.627 69.9 0.561 1.21
Correlations: CtotAG, Cstandkop, Cstand, Clive, Age, N, D, BA CtotAG Cstandko Cstand 0.998 0.000 Cstand 0.987 0.987 0.000 0.000 Clive 0.998 1.000 0.989 0.000 0.000 0.000 Age 0.906 0.906 0.921 0.000 0.000 0.000 N -0.076 -0.067 -0.021 0.743 0.774 0.927 D 0.882 0.875 0.867 0.000 0.000 0.000 BA 0.927 0.930 0.953 0.000 0.000 0.000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Clive
Age
N
D
0.907 0.000 -0.058 0.804 0.876 0.000 0.934 0.000
-0.187 0.417 0.848 0.000 0.826 0.000
-0.381 0.089 0.250 0.275
0.757 0.000
Cstandko
Best Subsets Regression: CtotAG versus Age, N, D, BA Response is CtotAG
Vars
R-Sq
R-Sq(adj)
C-p
S
1 1 2 2 3 3 4
86.0 82.1 96.1 93.6 96.2 96.1 96.2
85.2 81.2 95.6 92.9 95.5 95.5 95.2
42.0 58.3 1.5 12.0 3.2 3.3 5.0
7.1993 8.1346 3.9092 5.0009 3.9825 3.9947 4.0849
A g B e N D A X X X
X X X X X X X X X X X X X
151
Regression Analysis: CtotAG versus Age, N, D, BA The regression equation is CtotAG = 11.1 + 0.418 Age - 0.0201 N - 0.50 D + 3.42 BA Predictor Constant Age N D BA
Coef 11.10 0.4178 -0.020075 -0.502 3.4219
S = 4.085 PRESS = 441.908 Analysis of Variance Source DF Regression 4 Residual Error 16 Total 20
SE Coef 14.22 0.8234 0.007840 1.259 0.7277
T 0.78 0.51 -2.56 -0.40 4.70
R-Sq = 96.2% R-Sq(pred) = 93.71%
SS 6756.0 267.0 7023.0
P 0.446 0.619 0.021 0.695 0.000
VIF 6.7 7.6 12.6 19.5
R-Sq(adj) = 95.2%
MS 1689.0 16.7
F 101.22
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS Age 1 5765.7 N 1 63.2 D 1 558.1 BA 1 369.0 Unusual Observations Obs Age CtotAG Fit SE Fit Residual 21 1.5 26.780 18.338 1.773 8.442 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid 2.29R
Regression Analysis: CtotAG versus Age, N, BA The regression equation is CtotAG = 5.64 + 0.466 Age - 0.0174 N + 3.19 BA Predictor Constant Age N BA
Coef 5.641 0.4655 -0.017449 3.1874
S = 3.983 PRESS = 408.496 Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 17 Total 20
SE Coef 3.724 0.7943 0.004142 0.4175
T 1.51 0.59 -4.21 7.63
R-Sq = 96.2% R-Sq(pred) = 94.18%
SS 6753.3 269.6 7023.0
P 0.148 0.565 0.001 0.000
VIF 6.6 2.2 6.8
R-Sq(adj) = 95.5%
MS 2251.1 15.9
F 141.93
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS Age 1 5765.7 N 1 63.2 BA 1 924.4 Unusual Observations Obs Age CtotAG Fit SE Fit Residual 21 1.5 26.780 18.447 1.707 8.333 R denotes an observation with a large standardized residual
Regression Analysis: CtotAG versus N, BA The regression equation is CtotAG = 6.60 - 0.0192 N + 3.41 BA
St Resid 2.32R
152
Predictor Constant N BA
Coef 6.605 -0.019199 3.4120
S = 3.909 PRESS = 374.921 Analysis of Variance Source DF Regression 2 Residual Error 18 Total 20
SE Coef 3.280 0.002817 0.1629
T 2.01 -6.81 20.95
R-Sq = 96.1% R-Sq(pred) = 94.66%
SS 6747.9 275.1 7023.0
P 0.059 0.000 0.000
VIF 1.1 1.1
R-Sq(adj) = 95.6%
MS 3373.9 15.3
F 220.78
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS N 1 40.7 BA 1 6707.2 Unusual Observations Obs N CtotAG Fit SE Fit Residual 21 983 26.780 19.054 1.333 7.726 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid 2.10R
Regression Analysis: CtotAG versus BA The regression equation is CtotAG = - 7.38 + 3.13 BA Predictor Coef Constant -7.380 BA 3.1347 S = 7.199 PRESS = 1293.85 Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 19 Total 20
SE Coef T P 4.713 -1.57 0.134 0.2904 10.79 0.000 R-Sq = 86.0% R-Sq(adj) = 85.2% R-Sq(pred) = 81.58% SS 6038.2 984.8 7023.0
MS 6038.2 51.8
F 116.50
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Unusual Observations Obs BA CtotAG Fit SE Fit Residual St Resid 1 2.9 11.06 1.59 3.94 9.47 1.57 X X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: CtotAG versus Age The regression equation is CtotAG = 5.81 + 5.91 Age Predictor Coef SE Coef T P Constant 5.810 4.126 1.41 0.175 Age 5.9122 0.6334 9.33 0.000 S = 8.135 R-Sq = 82.1% R-Sq(adj) = 81.2% PRESS = 1579.31 R-Sq(pred) = 77.51% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 5765.7 5765.7 87.13 0.000 Residual Error 19 1257.2 66.2 Lack of Fit 4 519.6 129.9 2.64 0.075 Pure Error 15 737.7 49.2 Total 20 7023.0 Unusual Observations Obs Age CtotAG Fit SE Fit Residual 11 7.5 29.20 50.15 2.05 -20.95 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid -2.66R
153
Best Subsets Regression: Cstandkop versus Age, N, D, BA Response is Cstandko
Vars
R-Sq
R-Sq(adj)
C-p
S
1 1 2 2 3 3 4
86.5 82.1 96.0 93.4 96.1 96.1 96.2
85.8 81.1 95.6 92.6 95.5 95.4 95.3
40.1 58.7 1.8 13.0 3.3 3.4 5.0
6.8108 7.8442 3.7996 4.9031 3.8472 3.8624 3.9304
A g B e N D A X X X
X X X X X X X X X X X X X
Regression Analysis: Cstandkop versus Age, N, D, BA The regression equation is Cstandkop = 12.0 + 0.425 Age - 0.0202 N - 0.78 D + 3.41 BA Predictor Constant Age N D BA
Coef 12.00 0.4245 -0.020181 -0.782 3.4117
S = 3.930 PRESS = 419.225 Analysis of Variance Source DF Regression 4 Residual Error 16 Total 20
SE Coef 13.68 0.7923 0.007544 1.212 0.7002
T 0.88 0.54 -2.68 -0.65 4.87
R-Sq = 96.2% R-Sq(pred) = 93.56%
SS 6267.3 247.2 6514.5
P 0.393 0.599 0.017 0.528 0.000
VIF 6.7 7.6 12.6 19.5
R-Sq(adj) = 95.3%
MS 1566.8 15.4
F 101.42
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS Age 1 5345.4 N 1 71.0 D 1 484.2 BA 1 366.8 Unusual Observations Obs Age Cstandko Fit SE Fit Residual 21 1.5 23.800 16.228 1.706 7.572 R denotes an observation with a large standardized residual
Regression Analysis: Cstandkop versus Age, N, BA The regression equation is Cstandkop = 3.50 + 0.499 Age - 0.0161 N + 3.05 BA Predictor Constant Age N BA
Coef 3.500 0.4989 -0.016091 3.0466
S = 3.862 PRESS = 395.651 Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 17 Total 20
SE Coef 3.612 0.7703 0.004017 0.4049
T 0.97 0.65 -4.01 7.52
R-Sq = 96.1% R-Sq(pred) = 93.93%
SS 6260.9 253.6 6514.5
P 0.346 0.526 0.001 0.000
VIF 6.6 2.2 6.8
R-Sq(adj) = 95.4%
MS 2087.0 14.9
F 139.90
P 0.000
St Resid 2.14R
154
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS Age 1 5345.4 N 1 71.0 BA 1 844.5 Unusual Observations Obs Age Cstandko Fit SE Fit Residual 21 1.5 23.800 16.399 1.656 7.401 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid 2.12R
Regression Analysis: Cstandkop versus N, BA The regression equation is Cstandkop = 4.53 - 0.0180 N + 3.29 BA Predictor Coef Constant 4.533 N -0.017966 BA 3.2872 S = 3.800 PRESS = 370.438 Analysis of Variance Source DF Regression 2 Residual Error 18 Total 20
SE Coef T P VIF 3.188 1.42 0.172 0.002738 -6.56 0.000 1.1 0.1583 20.77 0.000 1.1 R-Sq = 96.0% R-Sq(adj) = 95.6% R-Sq(pred) = 94.31%
SS 6254.6 259.9 6514.5
MS 3127.3 14.4
F 216.62
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS N 1 29.0 BA 1 6225.6
Regression Analysis: Cstandkop versus BA The regression equation is Cstandkop = - 8.55 + 3.03 BA Predictor Coef SE Coef Constant -8.553 4.459 BA 3.0277 0.2747 S = 6.811 PRESS = 1168.00 Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 19 Total 20
T -1.92 11.02
R-Sq = 86.5% R-Sq(pred) = 82.07% SS 5633.1 881.3 6514.5
R-Sq(adj) = 85.8%
MS 5633.1 46.4
No replicates. Cannot do pure error test. Unusual Observations Obs BA Cstandko Fit 1 2.9 9.26 0.11
P 0.070 0.000
F 121.44
SE Fit 3.73
P 0.000
Residual 9.15
X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: Cstandkop versus Age The regression equation is Cstandkop = 4.29 + 5.69 Age Predictor Constant Age
Coef 4.291 5.6926
S = 7.844 PRESS = 1474.38
SE Coef 3.979 0.6108
T 1.08 9.32
R-Sq = 82.1% R-Sq(pred) = 77.37%
P 0.294 0.000
R-Sq(adj) = 81.1%
St Resid 1.61 X
155
Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 19 Lack of Fit 4 Pure Error 15 Total 20
SS 5345.4 1169.1 462.7 706.4 6514.5
MS 5345.4 61.5 115.7 47.1
F 86.87
P 0.000
2.46
0.091
Unusual Observations Obs Age Cstandko Fit SE Fit Residual 11 7.5 27.76 46.99 1.98 -19.23 R denotes an observation with a large standardized residual
Regression Analysis: Cstandkop versus Age, BA The regression equation is Cstandkop = - 6.73 + 2.72 Age + 1.86 BA Predictor Constant Age BA
Coef -6.734 2.7236 1.8619
S = 5.233 PRESS = 735.970 Analysis of Variance Source DF Regression 2 Residual Error 18 Total 20
SE Coef 3.460 0.7233 0.3747
T -1.95 3.77 4.97
R-Sq = 92.4% R-Sq(pred) = 88.70%
SS 6021.5 493.0 6514.5
P 0.067 0.001 0.000
VIF 3.2 3.2
R-Sq(adj) = 91.6%
MS 3010.8 27.4
F 109.93
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS Age 1 5345.4 BA 1 676.1
Regression Analysis: Cstand versus Age, N, D, BA The regression equation is Cstand = 5.31 + 0.843 Age - 0.0146 N - 0.767 D + 2.90 BA Predictor Coef Constant 5.311 Age 0.8433 N -0.014557 D -0.7673 BA 2.9026 S = 2.172 PRESS = 144.921
SE Coef T P VIF 7.561 0.70 0.493 0.4378 1.93 0.072 6.7 0.004168 -3.49 0.003 7.6 0.6695 -1.15 0.269 12.6 0.3869 7.50 0.000 19.5 R-Sq = 98.6% R-Sq(adj) = 98.2% R-Sq(pred) = 97.24%
Analysis of Variance Source DF SS MS Regression 4 5166.9 1291.7 Residual Error 16 75.5 4.7 Total 20 5242.4 No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS Age 1 4448.4 N 1 123.4 D 1 329.6 BA 1 265.5
F 273.89
Regression Analysis: Cstand versus Age, N, BA The regression equation is Cstand = - 3.04 + 0.916 Age - 0.0105 N + 2.54 BA
P 0.000
St Resid -2.53R
156
Predictor Constant Age N BA
Coef -3.037 0.9163 -0.010542 2.5441
S = 2.192 PRESS = 144.955 Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 17 Total 20
SE Coef 2.050 0.4371 0.002279 0.2298
T -1.48 2.10 -4.63 11.07
R-Sq = 98.4% R-Sq(pred) = 97.23%
SS 5160.7 81.7 5242.4
P 0.157 0.051 0.000 0.000
VIF 6.6 2.2 6.8
R-Sq(adj) = 98.2%
MS 1720.2 4.8
F 358.14
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS Age 1 4448.4 N 1 123.4 BA 1 588.9
Regression Analysis: Cstand versus N, BA The regression equation is Cstand = - 1.14 - 0.0140 N + 2.99 BA Predictor Constant N BA
Coef -1.140 -0.013986 2.98607
S = 2.389 PRESS = 144.827 Analysis of Variance Source DF Regression 2 Residual Error 18 Total 20
SE Coef 2.005 0.001722 0.09955
T -0.57 -8.12 30.00
R-Sq = 98.0% R-Sq(pred) = 97.24%
SS 5139.6 102.8 5242.4
P 0.577 0.000 0.000
VIF 1.1 1.1
R-Sq(adj) = 97.8%
MS 2569.8 5.7
F 450.12
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS N 1 2.4 BA 1 5137.2 Unusual Observations Obs N Cstand Fit SE Fit Residual 14 727 63.430 58.924 1.116 4.506 20 950 26.550 32.365 0.523 -5.815 R denotes an observation with a large standardized residual
Regression Analysis: Cstand versus BA The regression equation is Cstand = - 11.3 + 2.78 BA Predictor Coef Constant -11.327 BA 2.7840 S = 5.023 PRESS = 655.988 Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 19 Total 20
SE Coef T P 3.288 -3.44 0.003 0.2026 13.74 0.000 R-Sq = 90.9% R-Sq(adj) = 90.4% R-Sq(pred) = 87.49%
SS 4763.0 479.4 5242.4
MS 4763.0 25.2
F 188.77
P 0.000
St Resid 2.13R -2.49R
157
No replicates. Cannot do pure error test. Unusual Observations Obs BA Cstand Fit SE Fit Residual St Resid 1 2.9 3.87 -3.37 2.75 7.24 1.72 X 3 20.3 34.40 45.16 1.49 -10.76 -2.24R 14 23.5 63.43 54.15 1.99 9.28 2.01R R denotes an observation with a large standardized residual X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: Cstand versus Age The regression equation is Cstand = 0.73 + 5.19 Age Predictor Constant Age
Coef 0.727 5.1930
S = 6.465 PRESS = 1000.74 Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 19 Lack of Fit 4 Pure Error 15 Total 20
SE Coef 3.279 0.5033
T 0.22 10.32
R-Sq = 84.9% R-Sq(pred) = 80.91%
SS 4448.4 794.0 301.1 492.9 5242.4
P 0.827 0.000
R-Sq(adj) = 84.1%
MS 4448.4 41.8 75.3 32.9
F 106.44
P 0.000
2.29
0.108
Unusual Observations Obs Age Cstand Fit SE Fit Residual 11 7.5 22.05 39.67 1.63 -17.62 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid -2.82R
Regression Analysis: Clive versus N, D, BA, Age The regression equation is Clive = 10.2 - 0.0187 N - 0.62 D + 3.32 BA + 0.446 Age Predictor Coef SE Coef T P Constant 10.23 13.01 0.79 0.443 N -0.018733 0.007173 -2.61 0.019 D -0.617 1.152 -0.54 0.599 BA 3.3218 0.6658 4.99 0.000 Age 0.4460 0.7534 0.59 0.562 S = 3.737 PRESS = 381.845 Analysis of Variance Source DF Regression 4 Residual Error 16 Total 20
R-Sq = 96.5% R-Sq(pred) = 94.07% SS 6218.1 223.5 6441.5
VIF 7.6 12.6 19.5 6.7
R-Sq(adj) = 95.7%
MS 1554.5 14.0
F 111.29
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS N 1 21.5 D 1 5489.8 BA 1 701.9 Age 1 4.9 Unusual Observations Obs N Clive Fit SE Fit Residual 21 983 23.800 16.743 1.622 7.057 R denotes an observation with a large standardized residual
Regression Analysis: Clive versus Age, N, BA The regression equation is Clive = 3.51 + 0.505 Age - 0.0155 N + 3.03 BA
St Resid 2.10R
158
Predictor Constant Age N BA
Coef 3.513 0.5047 -0.015501 3.0333
S = 3.658 PRESS = 359.627 Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 17 Total 20
SE Coef 3.421 0.7296 0.003804 0.3835
T 1.03 0.69 -4.07 7.91
R-Sq = 96.5% R-Sq(pred) = 94.42%
SS 6214.0 227.5 6441.5
P 0.319 0.498 0.001 0.000
VIF 6.6 2.2 6.8
R-Sq(adj) = 95.8%
MS 2071.3 13.4
F 154.78
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS Age 1 5293.7 N 1 83.1 BA 1 837.2 Unusual Observations Obs Age Clive Fit SE Fit Residual 21 1.5 23.800 16.878 1.568 6.922 R denotes an observation with a large standardized residual
Regression Analysis: Clive versus N, BA The regression equation is Clive = 4.56 - 0.0174 N + 3.28 BA Predictor Constant N BA
Coef 4.558 -0.017399 3.2768
S = 3.605 PRESS = 334.018 Analysis of Variance Source DF Regression 2 Residual Error 18 Total 20
SE Coef 3.025 0.002598 0.1502
T 1.51 -6.70 21.82
R-Sq = 96.4% R-Sq(pred) = 94.81%
SS 6207.6 233.9 6441.5
P 0.149 0.000 0.000
VIF 1.1 1.1
R-Sq(adj) = 96.0%
MS 3103.8 13.0
F 238.85
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS N 1 21.5 BA 1 6186.1
Regression Analysis: Clive versus BA The regression equation is Clive = - 8.12 + 3.03 BA Predictor Constant BA
Coef -8.115 3.0254
S = 6.556 PRESS = 1082.04 Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 19 Total 20
SE Coef 4.292 0.2645
T -1.89 11.44
R-Sq = 87.3% R-Sq(pred) = 83.20%
SS 5624.8 816.8 6441.5
P 0.074 0.000
R-Sq(adj) = 86.7%
MS 5624.8 43.0
F 130.85
P 0.000
St Resid 2.09R
159
No replicates. Cannot do pure error test. Unusual Observations Obs BA Clive Fit SE Fit Residual St Resid 1 2.9 9.30 0.54 3.59 8.76 1.60 X X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: Clive versus Age The regression equation is Clive = 4.86 + 5.67 Age Predictor Constant Age
Coef 4.857 5.6650
S = 7.773 PRESS = 1444.40 Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 19 Lack of Fit 4 Pure Error 15 Total 20
SE Coef 3.943 0.6052
T 1.23 9.36
R-Sq = 82.2% R-Sq(pred) = 77.58%
SS 5293.7 1147.8 444.3 703.5 6441.5
P 0.233 0.000
R-Sq(adj) = 81.2%
MS 5293.7 60.4 111.1 46.9
F 87.63
P 0.000
2.37
0.099
Unusual Observations Obs Age Clive Fit SE Fit Residual 11 7.5 27.85 47.34 1.96 -19.49 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid -2.59R
160
2. AGROFORESTRI DS KERTAYASA
Descriptive Statistics: CtotAG, Cstand&kop, Cstand, Clive, U, N, D, BA Variable CtotAG Cstand&k Cstand Clive U N D BA
N 20 20 20 20 20 20 20 20
Mean 40.74 38.16 34.48 38.51 6.100 1696 10.480 18.12
Median 34.11 31.88 29.84 32.27 5.500 1597 10.150 16.56
TrMean 39.93 37.28 33.91 37.67 6.056 1662 10.467 18.06
Variable CtotAG Cstand&k Cstand Clive U N D BA
Minimum 9.10 8.49 8.49 8.53 1.500 1117 7.900 7.13
Maximum 86.95 83.64 70.79 83.67 11.500 2883 13.300 30.19
Q1 30.76 28.16 25.67 28.45 3.500 1325 9.425 13.40
Q3 54.75 50.57 47.97 50.94 7.500 1894 11.725 23.75
StDev 17.39 16.84 14.84 16.81 2.836 488 1.558 6.55
SE Mean 3.89 3.76 3.32 3.76 0.634 109 0.348 1.47
Correlations: CtotAG, Cstand&kop, Cstand, Clive, U, N, D, BA CtotAG Cstand&k Cstand 0.998 0.000 Cstand 0.985 0.982 0.000 0.000 Clive 0.999 1.000 0.983 0.000 0.000 0.000 U 0.873 0.869 0.849 0.000 0.000 0.000 N 0.163 0.157 0.279 0.493 0.508 0.233 D 0.861 0.852 0.826 0.000 0.000 0.000 BA 0.890 0.884 0.941 0.000 0.000 0.000 Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Clive
U
N
D
0.871 0.000 0.158 0.507 0.854 0.000 0.885 0.000
0.060 0.802 0.832 0.000 0.792 0.000
-0.206 0.384 0.530 0.016
0.685 0.001
Cstand&k
Best Subsets Regression: CtotAG versus U, N, D, BA Response is CtotAG Vars
R-Sq
R-Sq(adj)
C-p
S
1 1 2 2 3 3 4
79.3 76.3 92.6 91.2 92.7 92.6 92.7
78.1 74.9 91.7 90.2 91.3 91.2 90.8
26.6 32.9 1.3 4.1 3.1 3.2 5.0
8.1322 8.7065 5.0170 5.4579 5.1366 5.1484 5.2838
B U N D A X X X
X X X X X X X X X X X X X
Regression Analysis: CtotAG versus U, N, D, BA The regression equation is CtotAG = 2.3 + 0.425 U - 0.0117 N + 0.95 D + 2.53 BA Predictor Coef SE Coef T P Constant 2.30 27.56 0.08 0.935 U 0.4249 0.9728 0.44 0.668 N -0.011689 0.007857 -1.49 0.158 D 0.945 2.716 0.35 0.733 BA 2.5254 0.8506 2.97 0.010
VIF 5.2 10.0 12.2 21.1
161
S = 5.284 R-Sq = 92.7% R-Sq(adj) = 90.8% PRESS = 1341.02 R-Sq(pred) = 76.67% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 4 5330.2 1332.5 47.73 0.000 Residual Error 15 418.8 27.9 Total 19 5748.9 No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS U 1 4384.5 N 1 70.3 D 1 629.3 BA 1 246.1 Unusual Observations Obs U CtotAG 13 9.5 58.77 17 11.5 86.95 19 3.5 28.18 R denotes an observation with a
Fit SE Fit Residual 69.64 2.63 -10.87 78.27 4.30 8.68 18.35 2.33 9.83 large standardized residual
St Resid -2.37R 2.82R 2.07R
Regression Analysis: CtotAG versus U, N, BA The regression equation is CtotAG = 11.7 + 0.441 U - 0.0140 N + 2.77 BA Predictor Constant U N BA
Coef 11.712 0.4405 -0.014029 2.7661
S = 5.137 PRESS = 738.612 Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 16 Total 19
SE Coef 5.142 0.9447 0.003954 0.4812
T 2.28 0.47 -3.55 5.75
R-Sq = 92.7% R-Sq(pred) = 87.15%
SS 5326.8 422.2 5748.9
P 0.037 0.647 0.003 0.000
VIF 5.2 2.7 7.2
R-Sq(adj) = 91.3%
MS 1775.6 26.4
F 67.30
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS U 1 4384.5 N 1 70.3 BA 1 872.0 Unusual Observations Obs U CtotAG Fit SE Fit Residual 13 9.5 58.77 69.52 2.54 -10.75 19 3.5 28.18 18.51 2.22 9.67 R denotes an observation with a large standardized residual
Regression Analysis: CtotAG versus N, BA The regression equation is CtotAG = 12.9 - 0.0153 N + 2.97 BA Predictor Constant N BA
Coef 12.919 -0.015308 2.9675
S = 5.017 PRESS = 689.123
SE Coef 4.340 0.002781 0.2071
T 2.98 -5.50 14.33
R-Sq = 92.6% R-Sq(pred) = 88.01%
P 0.008 0.000 0.000
VIF 1.4 1.4
R-Sq(adj) = 91.7%
St Resid -2.41R 2.09R
162
Analysis of Variance Source DF Regression 2 Residual Error 17 Total 19
SS 5321.0 427.9 5748.9
MS 2660.5 25.2
F 105.70
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS N 1 152.1 BA 1 5168.9 Unusual Observations Obs N CtotAG Fit SE Fit Residual 13 1925 58.77 69.95 2.31 -11.18 19 1800 28.18 18.10 1.99 10.08 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid -2.51R 2.19R
Regression Analysis: CtotAG versus BA The regression equation is CtotAG = - 2.10 + 2.36 BA Predictor Coef Constant -2.097 BA 2.3639 S = 8.132 PRESS = 1631.00 Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 18 Total 19
SE Coef T P 5.471 -0.38 0.706 0.2847 8.30 0.000 R-Sq = 79.3% R-Sq(adj) = 78.1% R-Sq(pred) = 71.63%
SS 4558.6 1190.4 5748.9
MS 4558.6 66.1
F 68.93
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Unusual Observations Obs BA CtotAG Fit SE Fit Residual 17 30.2 86.95 69.27 3.89 17.68 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid 2.48R
Regression Analysis: CtotAG versus U The regression equation is CtotAG = 8.07 + 5.36 U Predictor Constant U
Coef 8.067 5.3567
S = 8.706 PRESS = 1851.21
SE Coef 4.717 0.7043
T 1.71 7.61
R-Sq = 76.3% R-Sq(pred) = 67.80%
P 0.104 0.000
R-Sq(adj) = 74.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Lack of Fit Pure Error Total
DF 1 18 4 14 19
SS 4384.5 1364.4 258.2 1106.2 5748.9
MS 4384.5 75.8 64.6 79.0
F 57.84
P 0.000
0.82
0.535
1 rows with no replicates Unusual Observations Obs U CtotAG Fit SE Fit Residual 14 9.5 42.08 58.96 3.09 -16.88 17 11.5 86.95 69.67 4.27 17.28 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid -2.07R 2.28R
163
Best Subsets Regression: Cstand&kop versus U, N, D, BA Response is Cstand&k Vars
R-Sq
R-Sq(adj)
C-p
S
1 1 2 2 3 3 4
78.1 75.4 91.5 89.6 91.6 91.5 91.6
76.9 74.1 90.5 88.3 90.1 90.0 89.4
23.2 28.1 1.2 4.7 3.0 3.2 5.0
8.0914 8.5746 5.1764 5.7514 5.3063 5.3353 5.4802
B U N D A X X X
X X X X X X X X X X X X X
Regression Analysis: Cstand&kop versus U, N, D, BA The regression equation is Cstand&kop = 9.7 + 0.41 U - 0.0135 N + 0.08 D + 2.65 BA Predictor Constant U N D BA
Coef 9.69 0.410 -0.013511 0.081 2.6503
S = 5.480 PRESS = 1361.56 Analysis of Variance Source DF Regression 4 Residual Error 15 Total 19
SE Coef 28.58 1.009 0.008150 2.817 0.8822
T 0.34 0.41 -1.66 0.03 3.00
R-Sq = 91.6% R-Sq(pred) = 74.72%
SS 4936.0 450.5 5386.5
P 0.739 0.690 0.118 0.978 0.009
VIF 5.2 10.0 12.2 21.1
R-Sq(adj) = 89.4%
MS 1234.0 30.0
F 41.09
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS U 1 4063.1 N 1 60.0 D 1 541.9 BA 1 271.0 Unusual Observations Obs U Cstand&k 13 9.5 55.78 17 11.5 83.64 19 3.5 28.08 R denotes an observation with a
Fit SE Fit Residual 65.87 2.73 -10.09 75.21 4.46 8.43 16.70 2.42 11.38 large standardized residual
Regression Analysis: Cstand&kop versus U, N, BA The regression equation is Cstand&kop = 10.5 + 0.412 U - 0.0137 N + 2.67 BA Predictor Constant U N BA
Coef 10.493 0.4116 -0.013711 2.6708
S = 5.306 PRESS = 782.797 Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 16 Total 19
SE Coef 5.311 0.9760 0.004085 0.4971
T 1.98 0.42 -3.36 5.37
R-Sq = 91.6% R-Sq(pred) = 85.47%
SS 4936.0 450.5 5386.5
P 0.066 0.679 0.004 0.000
VIF 5.2 2.7 7.2
R-Sq(adj) = 90.1%
MS 1645.3 28.2
F 58.43
P 0.000
St Resid -2.12R 2.64R 2.31R
164
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS U 1 4063.1 N 1 60.0 BA 1 812.9 Unusual Observations Obs U Cstand&k Fit 13 9.5 55.78 65.86 17 11.5 83.64 75.29 19 3.5 28.08 16.71
SE Fit 2.62 3.28 2.30
Residual -10.08 8.35 11.37
St Resid -2.19R 2.00R 2.38R
R denotes an observation with a large standardized residual
Regression Analysis: Cstand&kop versus N, BA The regression equation is Cstand&kop = 11.6 - 0.0149 N + 2.86 BA Predictor Constant N BA
Coef 11.620 -0.014906 2.8590
S = 5.176 PRESS = 733.881
SE Coef 4.478 0.002870 0.2137
T 2.60 -5.19 13.38
R-Sq = 91.5% R-Sq(pred) = 86.38%
Analysis of Variance Source DF Regression 2 Residual Error 17 Total 19
SS 4931.0 455.5 5386.5
P 0.019 0.000 0.000
VIF 1.4 1.4
R-Sq(adj) = 90.5%
MS 2465.5 26.8
F 92.01
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source N BA
DF 1 1
Seq SS 133.3 4797.6
Unusual Observations Obs N Cstand&k Fit SE Fit Residual 13 1925 55.78 66.27 2.38 -10.49 19 1800 28.08 16.32 2.05 11.76 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid -2.28R 2.47R
Regression Analysis: Cstand&kop versus BA The regression equation is Cstand&kop = - 3.00 + 2.27 BA Predictor Constant BA
Coef -3.001 2.2712
S = 8.091 PRESS = 1624.31 Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 18 Total 19
SE Coef 5.444 0.2833
T -0.55 8.02
R-Sq = 78.1% R-Sq(pred) = 69.84%
SS 4208.0 1178.5 5386.5
P 0.588 0.000
R-Sq(adj) = 76.9%
MS 4208.0 65.5
F 64.27
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Unusual Observations Obs BA Cstand&k Fit SE Fit Residual 17 30.2 83.64 65.57 3.87 18.07 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid 2.54R
165
Regression Analysis: Cstand&kop versus U The regression equation is Cstand&kop = 6.70 + 5.16 U Predictor Constant U
Coef 6.704 5.1566
S = 8.575 PRESS = 1788.29
SE Coef 4.645 0.6937
T 1.44 7.43
R-Sq = 75.4% R-Sq(pred) = 66.80%
Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 18 Lack of Fit 4 Pure Error 14 Total 19
SS 4063.1 1323.4 239.4 1084.1 5386.5
P 0.166 0.000
R-Sq(adj) = 74.1%
MS 4063.1 73.5 59.8 77.4
F 55.26
P 0.000
0.77
0.561
1 rows with no replicates Unusual Observations Obs U Cstand&k Fit SE Fit Residual 17 11.5 83.64 66.00 4.21 17.64 R denotes an observation with a large standardized residual
Best Subsets Regression: Cstand versus U, N, D, BA Response is Cstand Vars 1 1 2 2 3 3 4
R-Sq 88.5 72.1 95.1 94.7 95.2 95.1 95.3
R-Sq(adj) 87.8 70.6 94.6 94.1 94.3 94.2 94.0
C-p 20.4 72.0 1.4 2.7 3.0 3.3 5.0
S 5.1756 8.0487 3.4612 3.6052 3.5296 3.5634 3.6395
B U N D A X X X X X X X X X X X X X X X X
Regression Analysis: Cstand versus U, N, D, BA The regression equation is Cstand = - 5.5 - 0.147 U - 0.00693 N + 1.09 D + 2.28 BA Predictor Constant U N D BA
Coef -5.53 -0.1469 -0.006934 1.088 2.2773
S = 3.639 PRESS = 613.785
SE Coef 18.98 0.6701 0.005412 1.870 0.5859
T -0.29 -0.22 -1.28 0.58 3.89
R-Sq = 95.3% R-Sq(pred) = 85.33%
P 0.775 0.829 0.220 0.570 0.001
VIF 5.2 10.0 12.2 21.1
R-Sq(adj) = 94.0%
Analysis of Variance Source DF SS MS Regression 4 3986.62 996.66 Residual Error 15 198.69 13.25 Total 19 4185.31 No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS U 1 3019.26 N 1 219.30 D 1 547.95 BA 1 200.11
F 75.24
P 0.000
St Resid 2.36R
166
Unusual Observations Obs U Cstand Fit SE Fit Residual 3 7.5 49.260 43.876 2.576 5.384 17 11.5 70.790 65.375 2.960 5.415 19 3.5 23.340 15.507 1.607 7.833 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid 2.09R 2.56R 2.40R
Regression Analysis: Cstand versus U, N, BA The regression equation is Cstand = 5.30 - 0.129 U - 0.00963 N + 2.55 BA Predictor Coef SE Coef T Constant 5.298 3.567 1.49 U -0.1289 0.6554 -0.20 N -0.009626 0.002743 -3.51 BA 2.5544 0.3338 7.65 S = 3.563 PRESS = 339.074
R-Sq = 95.1% R-Sq(pred) = 91.90%
Analysis of Variance Source DF Regression 3 Residual Error 16 Total 19
SS 3982.1 203.2 4185.3
P 0.157 0.847 0.003 0.000
VIF 5.2 2.7 7.2
R-Sq(adj) = 94.2%
MS 1327.4 12.7
F 104.54
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS U 1 3019.3 N 1 219.3 BA 1 743.6 Unusual Observations Obs U Cstand Fit SE Fit Residual 3 7.5 49.260 42.699 1.559 6.561 19 3.5 23.340 15.694 1.542 7.646 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid 2.05R 2.38R
Regression Analysis: Cstand versus N, BA The regression equation is Cstand = 4.94 - 0.00925 N + 2.50 BA Predictor Constant N BA
Coef 4.944 -0.009252 2.4954
S = 3.461 PRESS = 313.010
SE Coef 2.994 0.001919 0.1429
T 1.65 -4.82 17.47
R-Sq = 95.1% R-Sq(pred) = 92.52%
Analysis of Variance Source DF Regression 2 Residual Error 17 Total 19
SS 3981.7 203.7 4185.3
P 0.117 0.000 0.000
VIF 1.4 1.4
R-Sq(adj) = 94.6%
MS 1990.8 12.0
F 166.18
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS N 1 326.6 BA 1 3655.0 Unusual Observations Obs N Cstand 3 1117 49.260 19 1800 23.340
Fit 42.597 15.816
SE Fit 1.429 1.372
Residual 6.663 7.524
St Resid 2.11R 2.37R
167
R denotes an observation with a large standardized residual
Regression Analysis: Cstand versus BA The regression equation is Cstand = - 4.13 + 2.13 BA Predictor Coef Constant -4.131 BA 2.1306 S = 5.176 PRESS = 641.064 Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 18 Total 19
SE Coef T P 3.482 -1.19 0.251 0.1812 11.76 0.000 R-Sq = 88.5% R-Sq(adj) = 87.8% R-Sq(pred) = 84.68% SS 3703.1 482.2 4185.3
MS 3703.1 26.8
F 138.24
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Unusual Observations Obs BA Cstand Fit SE Fit Residual 3 19.2 49.26 36.84 1.17 12.42 17 30.2 70.79 60.19 2.47 10.60 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid 2.46R 2.33R
Regression Analysis: Cstand versus U The regression equation is Cstand = 7.37 + 4.45 U Predictor Constant U
Coef 7.366 4.4452
S = 8.049 PRESS = 1519.90
SE Coef 4.361 0.6511
T 1.69 6.83
R-Sq = 72.1% R-Sq(pred) = 63.68%
Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 18 Lack of Fit 4 Pure Error 14 Total 19
SS 3019.3 1166.1 155.2 1010.9 4185.3
P 0.108 0.000
R-Sq(adj) = 70.6%
MS 3019.3 64.8 38.8 72.2
F 46.61
P 0.000
0.54
0.711
1 rows with no replicates Unusual Observations Obs U Cstand Fit SE Fit Residual 14 9.5 31.32 49.60 2.85 -18.28 R denotes an observation with a large standardized residual
Best Subsets Regression: Clive versus U, N, D, BA Response is Clive Vars
R-Sq
R-Sq(adj)
C-p
S
1 1 2 2 3 3 4
78.3 75.8 91.7 89.9 91.8 91.7 91.8
77.1 74.5 90.7 88.7 90.3 90.1 89.6
23.8 28.3 1.2 4.5 3.0 3.2 5.0
8.0511 8.4932 5.1227 5.6415 5.2438 5.2761 5.4124
B U N D A X X X
X X X X X X X X X X X X X
St Resid -2.43R
168
Regression Analysis: Clive versus U, N, D, BA The regression equation is Clive = 7.0 + 0.451 U - 0.0126 N + 0.38 D + 2.55 BA Predictor Constant U N D BA
Coef 6.97 0.4506 -0.012619 0.378 2.5506
S = 5.412 PRESS = 1353.93 Analysis of Variance Source DF Regression 4 Residual Error 15 Total 19
SE Coef 28.23 0.9965 0.008049 2.782 0.8713
T 0.25 0.45 -1.57 0.14 2.93
R-Sq = 91.8% R-Sq(pred) = 74.77%
SS 4927.1 439.4 5366.6
P 0.808 0.658 0.138 0.894 0.010
VIF 5.2 10.0 12.2 21.1
R-Sq(adj) = 89.6%
MS 1231.8 29.3
F 42.05
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS U 1 4068.1 N 1 60.0 D 1 548.0 BA 1 251.0 Unusual Observations Obs U Clive 13 9.5 56.12 17 11.5 83.67 19 3.5 28.37 R denotes an observation with a
Fit SE Fit Residual 66.19 2.70 -10.07 75.18 4.40 8.49 17.07 2.39 11.30 large standardized residual
St Resid -2.15R 2.70R 2.33R
Regression Analysis: Clive versus U, N, BA The regression equation is Clive = 10.7 + 0.457 U - 0.0136 N + 2.65 BA Predictor Coef Constant 10.740 U 0.4568 N -0.013556 BA 2.6470 S = 5.244 PRESS = 766.272
SE Coef T P VIF 5.249 2.05 0.058 0.9645 0.47 0.642 5.2 0.004037 -3.36 0.004 2.7 0.4912 5.39 0.000 7.2 R-Sq = 91.8% R-Sq(adj) = 90.3% R-Sq(pred) = 85.72%
Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 3 4926.6 1642.2 59.72 0.000 Residual Error 16 440.0 27.5 Total 19 5366.6 No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS U 1 4068.1 N 1 60.0 BA 1 798.5 Unusual Observations Obs U Clive Fit SE Fit Residual 13 9.5 56.12 66.14 2.59 -10.02 19 3.5 28.37 17.14 2.27 11.23 R denotes an observation with a large standardized residual
Regression Analysis: Clive versus N, BA The regression equation is Clive = 12.0 - 0.0149 N + 2.86 BA
St Resid -2.20R 2.38R
169
Predictor Constant N BA
Coef 11.991 -0.014882 2.8558
S = 5.123 PRESS = 718.681 Analysis of Variance Source DF Regression 2 Residual Error 17 Total 19
SE Coef 4.431 0.002840 0.2114
T 2.71 -5.24 13.51
R-Sq = 91.7% R-Sq(pred) = 86.61% SS 4920.4 446.1 5366.6
P 0.015 0.000 0.000
VIF 1.4 1.4
R-Sq(adj) = 90.7%
MS 2460.2 26.2
F 93.75
P 0.000
No replicates. Cannot do pure error test. Source DF Seq SS N 1 133.4 BA 1 4787.0 Unusual Observations Obs N Clive Fit SE Fit Residual 13 1925 56.12 66.59 2.36 -10.47 19 1800 28.37 16.70 2.03 11.67 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid -2.30R 2.48R
Regression Analysis: Clive versus BA The regression equation is Clive = - 2.61 + 2.27 BA Predictor Constant BA
Coef -2.607 2.2690
SE Coef 5.416 0.2819
T -0.48 8.05
P 0.636 0.000
S = 8.051 R-Sq = 78.3% R-Sq(adj) = 77.1% PRESS = 1606.95 R-Sq(pred) = 70.06% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 4199.8 4199.8 64.79 0.000 Residual Error 18 1166.8 64.8 Total 19 5366.6 No replicates. Cannot do pure error test. Unusual Observations Obs BA Clive Fit SE Fit Residual 17 30.2 83.67 65.89 3.85 17.78 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid 2.51R
Regression Analysis: Clive versus U The regression equation is Clive = 7.04 + 5.16 U Predictor Coef SE Coef T P Constant 7.038 4.601 1.53 0.144 U 5.1598 0.6871 7.51 0.000 S = 8.493 R-Sq = 75.8% R-Sq(adj) = 74.5% PRESS = 1757.54 R-Sq(pred) = 67.25% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 4068.1 4068.1 56.40 0.000 Residual Error 18 1298.4 72.1 Lack of Fit 4 237.4 59.3 0.78 0.555 Pure Error 14 1061.0 75.8 Total 19 5366.6 1 rows with no replicates Unusual Observations Obs U Clive Fit SE Fit Residual 17 11.5 83.67 66.38 4.17 17.29 R denotes an observation with a large standardized residual
St Resid 2.34R
170
Lampiran 10 Plot peluang normal untuk sisaan dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah tegakan, menggunakan peubah luas bidang dasar dan kerapatan tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran
(a)
(b)
171
Lampiran 11 Plot tebaran nilai sisaan baku dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah tegakan, menggunakan peubah luas bidang dasar dan kerapatan tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran
(a)
(b)
172
Lampiran 12. Hasil pengolahan data model hubungan persediaan karbon tegakan dengan pendekatan fungsi pertumbuhan tegakan agroforestri 1. AGROFORESTRI DS PECEKELAN Model is:CtotAG=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) Dependent variable: CtotAG Independent variables: 1 Loss function: least squares Final value: 661.88554994 R =.95171715 Proportion of variance accounted for: .90576554
Model is: CtotAG=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_pacek Dep. Var. : CtotAG Level of confidence: 95.0% ( alpha=0.050) Estimate Standard t-value p-level Lo. Conf Up. Conf error df = 18 Limit Limit b0 120.8309 28.75442 4.202169 0.000536 60.42013 181.2417 b1 8.0128 1.40634 5.697637 0.000021 5.05820 10.9674 b2 0.2326 0.05049 4.607786 0.000218 0.12657 0.3387
Effect Regression Residual Total Corrected Total Regression vs.Corrected Total
Model is: CtotAG=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_pacek1 Dep. Var. : CtotAG 1 2 3 4 5 Sum of Sqares DF Mean Squares F-value p-value 40941.48 3.00000 13647.16 371.1349 0.000000 661.89 18.00000 36.77 41603.36 21.00000 7023.82 20.00000 40941.48 3.00000 13647.16 38.8597 0.000000
Model is:Cstankp=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) Dependent variable: Cstankp Independent variables: 1 Loss function: least squares Final value: 607.27499943 Proportion of variance accounted for: .90678493 R =.95225255
Model is: Cstandkop=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_pa Dep. Var. : Cstandkop Level of confidence: 95.0% ( alpha=0.050) Estimate Standard t-value p-level Lo. Conf Up. Conf error df = 18 Limit Limit b0 114.1398 26.63614 4.285150 0.000446 58.17939 170.1003 b1 8.5343 1.47467 5.787276 0.000017 5.43616 11.6325 b2 0.2389 0.05095 4.688691 0.000183 0.13186 0.3460
Effect Regression Residual Total Corrected Total Regression vs.Corrected Total
Model is: Cstandkop=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_pa Dep. Var. : Cstandkop 1 2 3 4 5 Sum of Sqares DF Mean Squares F-value p-value 35863.88 3.00000 11954.63 354.3424 0.000000 607.27 18.00000 33.74 36471.16 21.00000 6514.77 20.00000 35863.88 3.00000 11954.63 36.7001 0.000000
173
Model is:Cstand=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) Dependent variable: Cstand Independent variables: 1 Loss function: least squares Final value: 375.08782983 Proportion of variance accounted for: .92844743 R =.96355977
Model is: Cstand=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_pacek Dep. Var. : Cstand Level of confidence: 95.0% ( alpha=0.050) Estimate Standard t-value p-level Lo. Conf Up. Conf error df = 18 Limit Limit b0 92.88910 16.20475 5.732216 0.000020 58.84419 126.9340 b1 9.85634 1.48118 6.654386 0.000003 6.74450 12.9682 b2 0.26748 0.04723 5.663970 0.000023 0.16827 0.3667
Effect Regression Residual Total Corrected Total Regression vs.Corrected Total
Model is: Cstand=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_pacek1 Dep. Var. : Cstand 1 2 3 4 5 Sum of Sqares DF Mean Squares F-value p-value 25396.62 3.00000 8465.539 406.2507 0.000000 375.09 18.00000 20.838 25771.70 21.00000 5242.13 20.00000 25396.62 3.00000 8465.539 32.2981 0.000000
Model is:Clive=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) Dependent variable: Clive Independent variables: 1 Loss function: least squares Final value: 598.2758456 Proportion of variance accounted for: .90715148 R =.952445
Model is: Clive=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_pacek10 Dep. Var. : Clive Level of confidence: 95.0% ( alpha=0.050) Estimate Standard t-value p-level Lo. Conf Up. Conf error df = 18 Limit Limit b0 113.8722 26.46297 4.303078 0.000428 58.27559 169.4689 b1 8.2353 1.41888 5.804074 0.000017 5.25431 11.2162 b2 0.2367 0.05062 4.675644 0.000188 0.13034 0.3431
Effect Regression Residual Total Corrected Total Regression vs.Corrected Total
Model is: Clive=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_pacek10Dep. Var. : Clive 1 2 3 4 5 Sum of Sqares DF Mean Squares F-value p-value 36443.13 3.00000 12147.71 365.4815 0.000000 598.28 18.00000 33.24 37041.40 21.00000 6443.57 20.00000 36443.13 3.00000 12147.71 37.7049 0.000000
174
2. AGROFORESTRI DS KERTAYASA Model is:CtotAG=b0/(1+b1*exp(-b2*Agestand)) Dependent variable: CtotAG Independent variables: 1 Loss function: least squares Final value: 848.32798334 Proportion of variance accounted for: .85242811 R =.92327033
Effect Regression Residual Total Corrected Total Regression vs.Corrected Total
Model is: CtotAG=b0/(1+b1*exp(-b2*Agestand)) (mod_ageyield_pa Dep. Var. : CtotAG 1 2 3 4 5 Sum of Sqares DF Mean Squares F-value p-value 38100.41 3.00000 12700.14 254.5034 0.000000 848.33 17.00000 49.90 38948.74 20.00000 5748.57 19.00000 38100.41 3.00000 12700.14 41.9761 0.000000
Model is: CtotAG=b0/(1+b1*exp(-b2*Agestand)) (mod_ageyield_ Dep. Var. : CtotAG Level of confidence: 95.0% ( alpha=0.050) Estimate Standard t-value p-level Lo. Conf Up. Conf error df = 17 Limit Limit b0 140.9511 88.32140 1.595888 0.128935 -45.3908 327.2929 b1 7.6179 4.01320 1.898216 0.074780 -0.8492 16.0850 b2 0.1746 0.06611 2.640686 0.017170 0.0351 0.3141 Model is:Cstankp=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) Dependent variable: Cstankp Independent variables: 1 Loss function: least squares Final value: 829.30020857 Proportion of variance accounted for: .84603587 R =.91980208
Model is: Cstankp=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_pan Dep. Var. : Cstankp Level of confidence: 95.0% ( alpha=0.050) Estimate Standard t-value p-level Lo. Conf Up. Conf Limit Limit error df = 17 b0 169.9326 168.1670 1.010499 0.326424 -184.869 524.7339 9.8490 8.8360 1.114650 0.280511 -8.793 28.4913 b1 0.1597 0.0669 2.388861 0.028767 0.019 0.3008 b2
Effect Regression Residual Total Corrected Total Regression vs.Corrected Total
Model is: Cstankp=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_pana Dep. Var. : Cstankp 1 2 3 4 5 Sum of Sqares DF Mean Squares F-value p-value 33679.43 3.00000 11226.48 230.1339 0.000000 829.30 17.00000 48.78 34508.73 20.00000 5386.32 19.00000 33679.43 3.00000 11226.48 39.6009 0.000000
Model is:Cstand=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) Dependent variable: Cstand Loss function: least squares Final value: 692.11590224
Independent variables: 1
175
Proportion of variance accounted for: .83462599
R =.91357867
Model is: Cstand=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_panaw Dep. Var. : Cstand Level of confidence: 95.0% ( alpha=0.050) Estimate Standard t-value p-level Lo. Conf Up. Conf error df = 17 Limit Limit b0 97.12680 41.35652 2.348524 0.031202 9.872169 184.3814 b1 6.55069 2.08423 3.142985 0.005932 2.153360 10.9480 b2 0.20081 0.07280 2.758204 0.013435 0.047206 0.3544
Effect Regression Residual Total Corrected Total Regression vs.Corrected Total
Model is: Cstand=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_panaw1 Dep. Var. : Cstand 1 2 3 4 5 Sum of Sqares Mean Squares F-value p-value DF 27273.29 3.00000 9091.097 223.2988 0.000000 692.12 17.00000 40.713 27965.41 20.00000 4185.16 19.00000 27273.29 3.00000 9091.097 41.2723 0.000000
Model is:Clive=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) Dependent variable: Clive Independent variables: 1 Loss function: least squares Final value: 819.83985342 Proportion of variance accounted for: .84721581 R =.92044327
Model is: Clive=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_panaw1 Dep. Var. : Clive Level of confidence: 95.0% ( alpha=0.050) Estimate Standard t-value p-level Lo. Conf Up. Conf error df = 17 Limit Limit b0 156.5041 133.0458 1.176317 0.255678 -124.198 437.2063 b1 8.9576 6.7559 1.325895 0.202416 -5.296 23.2113 b2 0.1642 0.0668 2.458087 0.024998 0.023 0.3052
Effect Regression Residual Total Corrected Total Regression vs.Corrected Total
Model is: Clive=b0/(1+b1*exp(-b2*Age)) (mod_ageyield_panaw1 Dep. Var. : Clive 1 2 3 4 5 DF Sum of Sqares Mean Squares F-value p-value 34210.45 3.00000 11403.48 236.4598 0.000000 819.84 17.00000 48.23 35030.29 20.00000 5366.00 19.00000 34210.45 3.00000 11403.48 40.3776 0.000000
176
Lampiran 13. Hasil pengolahan data pengujian perbandingan penentuan biomassa karbon tegakan dengan menggunakan persamaan alometrik biomassa dan persamaan Ketterings AF Kebun Murni (AF Pecekelan) Regression Analysis: B phnKetr versus Bpohon Allow The regression equation is B phnKetr = - 7.64 + 1.26 Bpohon Allow Predictor Constant Bpohon A S = 5.489
Coef SE Coef T P -7.640 1.261 -6.06 0.000 1.26051 0.01824 69.10 0.000 R-Sq = 98.5% R-Sq(adj) = 98.5%
Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 74 Total 75
SS 143851 2229 146080
MS 143851 30
F 4775.01
P 0.000
Unusual Observations Bpohon A B phnKet Fit SE Fit Residual St Resid Obs 88 91.520 103.159 0.811 -11.639 -2.14R 13 33 49.060 33.352 0.804 15.708 2.89R 20 42 32.520 45.692 0.707 -13.172 -2.42R 21 158 206.390 191.130 1.892 15.260 2.96RX 59 85 88.720 100.033 0.783 -11.313 -2.08R 62 150 191.470 180.920 1.753 10.550 2.03RX 70 R denotes an observation with a large standardized residual X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Paired T-Test and CI: B phnKetr, Bpohon Allom Paired T for B phnKetr - Bpohon Allow
B phnKetr Bpohon Allow Difference
N 76 76 76
Mean 67.85 59.89 7.96
StDev 44.13 34.74 10.57
SE Mean 5.06 3.99 1.21
95% CI for mean difference: (5.55, 10.38) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 6.57
AF Kebun Campuran (AF Kertayasa) Regression Analysis: BKetrr versus BAllom The regression equation is BKetrr = - 6.13 + 1.17 BAllom Predictor Constant BAllom S = 5.735
Coef SE Coef T P 1.869 -3.28 0.002 -6.127 1.17114 0.02328 50.32 0.000 R-Sq = 98.3% R-Sq(adj) = 98.3%
P-Value = 0.000
177
Analysis of Variance Source DF Regression 1 Residual Error 44 Total 45
SS 83259 1447 84706
MS 83259 33
F 2531.79
P 0.000
Unusual Observations Residual St Resid Obs BAllom BKetrr Fit SE Fit -14.378 -2.62R 5 135 137.200 151.578 1.694 1.927 19.829 3.67R 33 146 184.699 164.870 2.278 12.008 2.28RX 39 162 196.143 184.135 -15.219 -2.76R 43 130 131.089 146.308 1.604 R denotes an observation with a large standardized residual X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Paired T-Test and CI: BKetrr, BAllom Paired T for BKetrr - BAllom
BKetrr BAllom Difference
N 46 46 46
Mean 77.72 71.59 6.12
StDev 43.39 36.73 8.47
SE Mean 6.40 5.42 1.25
95% CI for mean difference: (3.61, 8.64) T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 4.91
P-Value = 0.000
Lampiran 14. Contoh hasil analisis biaya dan manfaat pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon, dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri
Biaya satuan PENDAPATAN Penjualan kayu & hasil pertanian Penerimaan hasil penjarangan Penerimaan hasil tebang habis Penjualan hasil pertanian (kopi) Penjualan CER dari karbon Total Pendapatan Tanpa CER Dengan CER BIAYA PEMB. AGROFORESTRI Penyiapan lahan Pembelian bibit & Penanaman Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan & perlindungan Pemupukan Pengelolaan & operasi tahunan Pajak tanah Total Pembangunan Agroforestri BIAYA SKEMA KARBON Biaya desain, pendaftaran & validasi Biaya monitoring Biaya verifikasi & sertifikasi Total Biaya Skema Karbon BIAYA TOTAL Tanpa CER Dengan CER Selisih Pendapatan - Biaya Tanpa CER Dengan CER Pendapatan Total (Terdiskonto) Tanpa CER
Harga CER Suku bunga Biaya transaksi
8,051 ton CO2/thn 450 ha
Satuan
1
15 USD/tonC 10% per Tahun Tetap
2
3
4
591,300,960 3,000 Rp/ha 139,500 Rp/ton C
5
-
6
886,951,440
7
-
326,430,000
326,430,000
326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
326,430,000
326,430,000
326,430,000
1,266,300,960 1,592,730,960
675,000,000 1,001,430,000
1,561,951,440 1,888,381,440
675,000,000 1,001,430,000
Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha/tahun Rp/ha/tahun
840,000,000 1,106,250,000 360,000,000 94,500,000 274,500,000 337,500,000 45,000,000 3,057,750,000
360,000,000 94,500,000 274,500,000 337,500,000 45,000,000 1,111,500,000
360,000,000 94,500,000 274,500,000 337,500,000 45,000,000 1,111,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
200,000,000 Rp/30 tahun 200,000,000 Rp/tahun 200,000,000 Rp/5tahun
200,000,000 200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000 200,000,000 400,000,000
200,000,000
200,000,000
3,057,750,000 3,257,750,000
1,111,500,000 1,311,500,000
1,111,500,000 1,311,500,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 877,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
789,300,960 915,730,960
198,000,000 124,430,000
1,084,951,440 1,211,381,440
198,000,000 324,430,000
864,900,594
419,121,893
881,680,868
346,381,730
1,866,667 2,458,333 800,000 210,000 610,000 750,000 100,000
(3,057,750,000) (1,111,500,000) (1,111,500,000) (2,931,320,000) (985,070,000) (985,070,000) -
-
-
Lampiran 14. Contoh hasil analisis biaya dan manfaat pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon, dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri
Biaya satuan
Satuan
1 296,754,545
Dengan CER Biaya Total (Terdiskonto) Tanpa CER Dengan CER NPV Tanpa CER Dengan CER B/C Ratio Tanpa CER Dengan CER Tabel bantu perhitungan: Produksi kayu Volume Penjarangan Volume Tebang habis diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Produksi pertanian Hasil agroforestri kopi Produksi CER (80% dari total) Nilai Penjualan Produksi kayu diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Kopi Harga CER BAHAN SIMULASI Harga CER
Suku Bunga
Biaya Transaksi
Harga CER Suku bunga Biaya transaksi
8,051 ton CO2/thn 450 ha
2,779,772,727 2,961,590,909
Satuan
Nilai/satuan
15 USD/tonC 10% per Tahun Tetap
2 269,776,860 918,595,041 1,083,884,298
3 4 245,251,690 1,087,856,677
5 6 621,809,241 1,065,942,093
7 513,891,934
835,086,401 985,349,361
325,797,418 462,400,109
296,179,471 544,548,000
269,254,065 382,148,851
244,776,422 347,408,046
539,103,176 625,456,567
122,942,422 77,261,240
612,426,804 683,793,242
101,605,307 166,483,888
(2,779,772,727) (2,664,836,364)
(918,595,041) (814,107,438)
(835,086,401) (740,097,671)
1
2
3
4
m3/ha m3/ha
5
7.73
kg/ha tonC/ha
500 6.50
Rp/m3 Rp/m3 Rp/ha Rp/ton C
100,000 170,000 3,000 139,500
5.20
725,400
5.20
725,400
5.20
500 5.20
725,400
1,314,002 1,500,000 725,400
CER 15 18 21 10 12 14 100
USD/tonC USD/tonC USD/tonC % % % %
4.1 USD/tonCO2 4.9 USD/tonCO2 5.7 USD/tonCO2
15.00 USD/tonC
6
7
11.59
500 5.20
1,500,000 725,400
500 5.20
1,971,003 1,500,000 725,400
500 5.20
1,500,000 725,400
Lampiran 14. Contoh hasil analisis biaya dan manfaat pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon, dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri
Harga CER Suku bunga Biaya transaksi
8,051 ton CO2/thn 450 ha
Biaya satuan Satuan 80 % 120 %
1
15 USD/tonC 10% per Tahun Tetap
2
3
4
5
6
7
Lampiran 14. Contoh hasil ana dengan pendekat Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri Tahun Ke8 PENDAPATAN Penjualan kayu & hasil pertanian Penerimaan hasil penjarangan Penerimaan hasil tebang habis Penjualan hasil pertanian (kopi) Penjualan CER dari karbon Total Pendapatan Tanpa CER Dengan CER BIAYA PEMB. AGROFORESTRI Penyiapan lahan Pembelian bibit & Penanaman Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan & perlindungan Pemupukan Pengelolaan & operasi tahunan Pajak tanah Total Pembangunan Agroforestri BIAYA SKEMA KARBON Biaya desain, pendaftaran & validasi Biaya monitoring Biaya verifikasi & sertifikasi Total Biaya Skema Karbon BIAYA TOTAL Tanpa CER Dengan CER Selisih Pendapatan - Biaya Tanpa CER Dengan CER Pendapatan Total (Terdiskonto) Tanpa CER
886,951,440
9
-
10
1,108,689,301
11
-
12
1,108,689,301
13
-
14
15
-
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
1,561,951,440 1,888,381,440
675,000,000 1,001,430,000
1,783,689,301 2,110,119,301
675,000,000 1,001,430,000
1,783,689,301 2,110,119,301
675,000,000 1,001,430,000
675,000,000 1,001,430,000
16
11,865,263,974 675,000,000
12,540,263,974 12,540,263,974
675,000,000 326,430,000 675,000,000 1,001,430,000
840,000,000 1,106,250,000 360,000,000 94,500,000 274,500,000 337,500,000 45,000,000 3,057,750,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000 200,000,000 400,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000 200,000,000 400,000,000
200,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 877,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 877,000,000
3,057,750,000 3,257,750,000
1,084,951,440 1,211,381,440
198,000,000 324,430,000
1,306,689,301 1,233,119,301
198,000,000 324,430,000
1,306,689,301 1,433,119,301
198,000,000 324,430,000
198,000,000 324,430,000
12,063,263,974 11,663,263,974
728,661,875
286,265,892
687,689,440
236,583,382
568,338,380
195,523,456
177,748,597
3,002,039,492
200,000,000
(2,382,750,000) (2,256,320,000) 146,899,667
Lampiran 14. Contoh hasil ana dengan pendekat Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri Tahun KeDengan CER Biaya Total (Terdiskonto) Tanpa CER Dengan CER NPV Tanpa CER Dengan CER B/C Ratio Tanpa CER Dengan CER Tabel bantu perhitungan: Produksi kayu Volume Penjarangan Volume Tebang habis diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Produksi pertanian Hasil agroforestri kopi Produksi CER (80% dari total) Nilai Penjualan Produksi kayu diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Kopi Harga CER BAHAN SIMULASI Harga CER
Suku Bunga
Biaya Transaksi
8 880,943,879
9 424,704,078
10 813,542,336
11 350,995,106
12 672,349,038
13 290,078,600
14 263,707,818
15 3,002,039,492
16 217,940,345
222,524,020 315,825,496
202,294,564 287,114,088
183,904,149 338,121,465
167,185,590 237,284,370
151,986,900 215,713,064
138,169,909 196,102,785
125,609,008 178,275,259
114,190,008 209,946,827
665,455,490 708,981,317
506,137,854 565,118,382
83,971,328 137,589,990
503,785,291 475,420,871
69,397,792 113,710,736
416,351,480 456,635,975
57,353,547 93,975,815
52,139,588 85,432,559
2,887,849,485 2,792,092,665
8
9
11.59
10
11
14.49
12
13
14
15
(518,555,823) (491,040,972)
16
14.49 95.73 98.79
500 5.20
1,971,003 1,500,000 725,400
500 5.20
1,500,000 725,400
500 5.20
2,463,754 1,500,000 725,400
500 5.20
1,500,000 725,400
500 5.20
2,463,754 1,500,000 725,400
500 5.20
1,500,000 725,400
500 5.20
1,500,000 725,400
500 5.20
9,572,615 16,794,638 1,500,000 725,400
500 5.20
1,500,000 725,400
Lampiran 14. Contoh hasil ana dengan pendekat Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri Tahun Ke8
9
10
11
12
13
14
15
16
Lampiran 14. Contoh hasil ana dengan pendekat Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri
17
18
19
20
21
22
23
24
PENDAPATAN Penjualan kayu & hasil pertanian Penerimaan hasil penjarangan Penerimaan hasil tebang habis Penjualan hasil pertanian (kopi) Penjualan CER dari karbon Total Pendapatan Tanpa CER Dengan CER
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 1,001,430,000
675,000,000 1,001,430,000
1,266,300,960 1,592,730,960
675,000,000 1,001,430,000
1,561,951,440 1,888,381,440
675,000,000 1,001,430,000
1,561,951,440 1,888,381,440
675,000,000 1,001,430,000
BIAYA PEMB. AGROFORESTRI Penyiapan lahan Pembelian bibit & Penanaman Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan & perlindungan Pemupukan Pengelolaan & operasi tahunan Pajak tanah Total Pembangunan Agroforestri
360,000,000 94,500,000 274,500,000 337,500,000 45,000,000 1,111,500,000
360,000,000 94,500,000 274,500,000 337,500,000 45,000,000 1,111,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000 200,000,000 400,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
1,111,500,000 1,311,500,000
1,111,500,000 1,311,500,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 877,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
BIAYA SKEMA KARBON Biaya desain, pendaftaran & validasi Biaya monitoring Biaya verifikasi & sertifikasi Total Biaya Skema Karbon BIAYA TOTAL Tanpa CER Dengan CER Selisih Pendapatan - Biaya Tanpa CER Dengan CER Pendapatan Total (Terdiskonto) Tanpa CER
-
-
591,300,960
-
886,951,440
-
886,951,440
-
(436,500,000) (310,070,000)
(436,500,000) (310,070,000)
(436,500,000) (310,070,000)
789,300,960 915,730,960
198,000,000 124,430,000
1,084,951,440 1,211,381,440
198,000,000 324,430,000
1,084,951,440 1,211,381,440
133,545,152
121,404,683
207,050,326
100,334,449
211,067,390
82,921,032
174,435,859
68,529,779
Lampiran 14. Contoh hasil ana dengan pendekat Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri
Dengan CER Biaya Total (Terdiskonto) Tanpa CER Dengan CER NPV Tanpa CER Dengan CER B/C Ratio Tanpa CER Dengan CER Tabel bantu perhitungan: Produksi kayu Volume Penjarangan Volume Tebang habis diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Produksi pertanian Hasil agroforestri kopi Produksi CER (80% dari total) Nilai Penjualan Produksi kayu diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Kopi Harga CER BAHAN SIMULASI Harga CER
Suku Bunga
Biaya Transaksi
17 198,127,587
18 180,115,988
19 260,424,239
20 148,856,188
21 255,178,062
22 123,021,643
23 210,890,960
24 101,670,780
219,904,349 259,473,283
199,913,045 235,884,803
77,993,312 110,694,910
70,903,011 130,360,462
64,457,282 91,483,397
58,597,529 83,166,724
53,270,481 75,606,113
48,427,710 68,732,830
(86,359,198) (61,345,696)
(78,508,362) (55,768,815)
129,057,014 149,729,329
29,431,438 18,495,727
146,610,108 163,694,666
24,323,503 39,854,919
121,165,378 135,284,848
20,102,068 32,937,950
17
18
19
20
7.73
500 5.20
1,500,000 725,400
500 5.20
1,500,000 725,400
500 5.20
1,314,002 1,500,000 725,400
21
22
11.59
500 5.20
1,500,000 725,400
500 5.20
1,971,003 1,500,000 725,400
23
24
11.59
500 5.20
1,500,000 725,400
500 5.20
1,971,003 1,500,000 725,400
500 5.20
1,500,000 725,400
Lampiran 14. Contoh hasil ana dengan pendekat Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri
17
18
19
20
21
22
23
24
Lampiran 14. Contoh hasil ana dengan pendekat Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri
25 PENDAPATAN Penjualan kayu & hasil pertanian Penerimaan hasil penjarangan Penerimaan hasil tebang habis Penjualan hasil pertanian (kopi) Penjualan CER dari karbon Total Pendapatan Tanpa CER Dengan CER
1,108,689,301
26
-
27
1,108,689,301
28
-
29
30
-
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
675,000,000 326,430,000
1,783,689,301 2,110,119,301
675,000,000 1,001,430,000
1,783,689,301 2,110,119,301
675,000,000 1,001,430,000
675,000,000 1,001,430,000
Total
11,865,263,974 675,000,000
9,165,164,885 23,730,527,947 18,225,000,000 9,140,040,000
678,901 1,757,817 1,350,000 677,040
12,540,263,974 12,540,263,974
51,120,692,832 60,260,732,832
3,786,718 4,463,758
1,680,000,000 2,212,500,000 2,160,000,000 2,835,000,000 1,647,000,000 10,125,000,000 1,350,000,000 22,009,500,000
124,444 163,889 160,000 210,000 122,000 750,000 100,000 1,630,333
14,815 429,630 74,074 518,519
1,630,333 2,148,852
BIAYA PEMB. AGROFORESTRI Penyiapan lahan Pembelian bibit & Penanaman Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan & perlindungan Pemupukan Pengelolaan & operasi tahunan Pajak tanah Total Pembangunan Agroforestri
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
BIAYA SKEMA KARBON Biaya desain, pendaftaran & validasi Biaya monitoring Biaya verifikasi & sertifikasi Total Biaya Skema Karbon
200,000,000 200,000,000 400,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000 5,800,000,000 1,000,000,000 7,000,000,000
477,000,000 877,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
22,009,500,000 29,009,500,000
198,000,000 324,430,000
1,306,689,301 1,233,119,301
198,000,000 324,430,000
1,306,689,301 1,433,119,301
198,000,000 324,430,000
198,000,000 324,430,000
16,611,428,858 19,077,898,858
164,627,384
56,636,181
136,055,690
46,806,761
42,551,601
718,664,386
10,806,465,939
BIAYA TOTAL Tanpa CER Dengan CER Selisih Pendapatan - Biaya Tanpa CER Dengan CER Pendapatan Total (Terdiskonto) Tanpa CER
Rataan/ha/th
Lampiran 14. Contoh hasil ana dengan pendekat Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri
Dengan CER Biaya Total (Terdiskonto) Tanpa CER Dengan CER NPV Tanpa CER Dengan CER B/C Ratio Tanpa CER Dengan CER Tabel bantu perhitungan: Produksi kayu Volume Penjarangan Volume Tebang habis diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Produksi pertanian Hasil agroforestri kopi Produksi CER (80% dari total) Nilai Penjualan Produksi kayu diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Kopi Harga CER BAHAN SIMULASI Harga CER
Suku Bunga
Biaya Transaksi
25 194,755,567
26 84,025,438
27 160,955,014
28 69,442,510
29 63,129,555
30 718,664,386
Rataan/ha/th Total 13,786,841,651
44,025,191 80,943,590
40,022,901 56,803,992
36,384,455 51,639,992
33,076,778 46,945,448
30,069,798 42,677,680
27,336,180 38,797,891
8,645,163,208 10,827,905,359
120,602,193 113,811,977
16,613,280 27,221,446
99,671,234 109,315,022
13,729,983 22,497,063
12,481,803 20,451,875
691,328,206 679,866,496
2,161,302,732 2,958,936,293 1.250 1.273
25
26
14.49
27
28
29
30
14.49 95.73 98.79
500 5.20
2,463,754 1,500,000 725,400
500 5.20
1,500,000 725,400
500 5.20
2,463,754 1,500,000 725,400
500 5.20
1,500,000 725,400
500 5.20
1,500,000 725,400
500 5.20
9,572,615 16,794,638 1,500,000 725,400
70200
4,802,895 6,575,414
Lampiran 14. Contoh hasil ana dengan pendekat Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri
25
26
27
28
29
30
Total
Rataan/ha/th
Lampiran 15. Contoh hasil analisis biaya dan manfaat pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon menggunakan pendekatan tdengan pendekatan t-CER Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri
Harga t-CER Suku bunga Biaya transaksi
8,424 ton CO2/thn 450 ha Biaya satuan Satuan
PENDAPATAN Penjualan kayu & hasil pertanian Penerimaan hasil penjarangan Penerimaan hasil tebang habis Penjualan hasil pertanian (kopi) Penjualan CER dari karbon Total Pendapatan Tanpa CER Dengan CER BIAYA PEMB. AGROFORESTRI Penyiapan lahan Pembelian bibit & Penanaman Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan & perlindungan Pemupukan Pengelolaan & operasi tahunan Pajak tanah Total Pembangunan Agroforestri BIAYA SKEMA KARBON Biaya desain, pendaftaran & validasi Biaya monitoring Biaya verifikasi & sertifikasi Total Biaya Skema Karbon BIAYA TOTAL Tanpa CER Dengan CER Selisih Pendapatan - Biaya Tanpa CER Dengan CER Pendapatan Total (Terdiskonto) Tanpa CER Dengan CER
1
3.79 USD/tonC 10% per Tahun Tetap 2
3
4
591,300,960 3,000 Rp/ha 35,257 Rp/ton C
1,866,667 2,458,333 800,000 210,000 610,000 750,000 100,000
5
-
6
886,951,440
7
-
-
-
-
675,000,000 -
675,000,000 437,897,962
675,000,000 -
675,000,000 -
-
-
-
1,266,300,960 1,266,300,960
675,000,000 1,112,897,962
1,561,951,440 1,561,951,440
675,000,000 675,000,000
Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha/tahun Rp/ha/tahun
840,000,000 1,106,250,000 360,000,000 94,500,000 274,500,000 337,500,000 45,000,000 3,057,750,000
200,000,000 Rp/30 tahun 200,000,000 Rp/tahun 200,000,000 Rp/5tahun
200,000,000
360,000,000 94,500,000 274,500,000 337,500,000 45,000,000 1,111,500,000
360,000,000 94,500,000 274,500,000 337,500,000 45,000,000 1,111,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000 200,000,000 400,000,000
200,000,000
200,000,000
3,057,750,000 3,257,750,000
1,111,500,000 1,311,500,000
1,111,500,000 1,311,500,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 877,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
789,300,960 589,300,960
198,000,000 235,897,962
1,084,951,440 884,951,440
864,900,594 864,900,594
419,121,893 691,022,075
881,680,868 881,680,868
(3,057,750,000) (1,111,500,000) (1,111,500,000) (3,257,750,000) (1,311,500,000) (1,311,500,000) -
-
-
198,000,000 (2,000,000) 346,381,730 346,381,730
Lampiran 15. Contoh hasil analisis biaya dan manfaat pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon menggunakan pendekatan tdengan pendekatan t-CER Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri
Harga t-CER Suku bunga Biaya transaksi
8,424 ton CO2/thn 450 ha Biaya satuan Satuan
1
Biaya Total (Terdiskonto) Tanpa CER Dengan CER NPV Tanpa CER Dengan CER B/C Ratio Tanpa CER Dengan CER Tabel bantu perhitungan: Produksi kayu Volume Penjarangan Volume Tebang habis diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Produksi pertanian Hasil agroforestri kopi Produksi CER (80% dari total) Nilai Penjualan Produksi kayu diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Kopi Harga t-CER BAHAN SIMULASI Harga CER
Suku Bunga
Biaya Transaksi
2,779,772,727 2,961,590,909
3.79 USD/tonC 10% per Tahun Tetap 2
918,595,041 1,083,884,298
(2,779,772,727) (918,595,041) (2,961,590,909) (1,083,884,298)
Satuan
Nilai/satuan
1
3
4
5
325,797,418 462,400,109
296,179,471 544,548,000
269,254,065 382,148,851
244,776,422 347,408,046
(835,086,401) (985,349,361)
539,103,176 402,500,485
122,942,422 146,474,075
612,426,804 499,532,018
101,605,307 (1,026,316)
2
3
4
5
7.73
500 6.50
Rp/m3 Rp/m3 Rp/ha Rp/ton C
100,000 170,000 3,000 35,257
500
-
-
-
1,314,002 1,500,000 -
t-CER 15 18 21 10 12 14 100 80 120
USD/tonC USD/tonC USD/tonC % % % % % %
4.1 USD/tonCO2 4.9 USD/tonCO2 5.7 USD/tonCO2
7
835,086,401 985,349,361
m3/ha m3/ha
kg/ha tonC/ha
6
3.79 USD/tonC
6
7
11.59
500 27.6
1,500,000 973,107
500
1,971,003 1,500,000 -
500
1,500,000 -
Lampiran 15. Contoh hasil analCER dengan pendekatan Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri Tahun Ke8 PENDAPATAN Penjualan kayu & hasil pertanian Penerimaan hasil penjarangan Penerimaan hasil tebang habis Penjualan hasil pertanian (kopi) Penjualan CER dari karbon Total Pendapatan Tanpa CER Dengan CER BIAYA PEMB. AGROFORESTRI Penyiapan lahan Pembelian bibit & Penanaman Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan & perlindungan Pemupukan Pengelolaan & operasi tahunan Pajak tanah Total Pembangunan Agroforestri BIAYA SKEMA KARBON Biaya desain, pendaftaran & validasi Biaya monitoring Biaya verifikasi & sertifikasi Total Biaya Skema Karbon BIAYA TOTAL Tanpa CER Dengan CER Selisih Pendapatan - Biaya Tanpa CER Dengan CER Pendapatan Total (Terdiskonto) Tanpa CER Dengan CER
886,951,440
9
-
10
1,108,689,301
11
-
12
1,108,689,301
13
-
14
15
-
675,000,000 -
675,000,000 -
675,000,000 860,564,691
675,000,000 -
675,000,000 -
675,000,000 -
675,000,000 -
1,561,951,440 1,561,951,440
675,000,000 675,000,000
1,783,689,301 2,644,253,992
675,000,000 675,000,000
1,783,689,301 1,783,689,301
675,000,000 675,000,000
675,000,000 675,000,000
16
11,865,263,974 675,000,000
12,540,263,974 12,540,263,974
675,000,000 675,000,000 675,000,000
840,000,000 1,106,250,000 360,000,000 94,500,000 274,500,000 337,500,000 45,000,000 3,057,750,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000 200,000,000 400,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000 200,000,000 400,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 877,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 877,000,000
3,057,750,000 3,257,750,000
198,000,000 (2,000,000)
198,000,000 (2,000,000)
12,063,263,974 11,663,263,974
195,523,456 195,523,456
177,748,597 177,748,597
3,002,039,492 3,002,039,492
1,084,951,440 884,951,440 728,661,875 728,661,875
198,000,000 (2,000,000)
1,306,689,301 1,767,253,992
198,000,000 (2,000,000)
286,265,892 286,265,892
687,689,440 1,019,474,382
236,583,382 236,583,382
1,306,689,301 1,106,689,301 568,338,380 568,338,380
200,000,000
(2,382,750,000) (2,582,750,000) 146,899,667 146,899,667
Lampiran 15. Contoh hasil analCER dengan pendekatan Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri Tahun Ke8 Biaya Total (Terdiskonto) Tanpa CER Dengan CER NPV Tanpa CER Dengan CER B/C Ratio Tanpa CER Dengan CER Tabel bantu perhitungan: Produksi kayu Volume Penjarangan Volume Tebang habis diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Produksi pertanian Hasil agroforestri kopi Produksi CER (80% dari total) Nilai Penjualan Produksi kayu diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Kopi Harga t-CER BAHAN SIMULASI Harga CER
Suku Bunga
Biaya Transaksi
222,524,020 315,825,496 506,137,854 412,836,378
8
9 202,294,564 287,114,088 83,971,328 (848,195)
9
11.59
10 183,904,149 338,121,465 503,785,291 681,352,917
10
11 167,185,590 237,284,370 69,397,792 (700,988)
11
14.49
12 151,986,900 215,713,064 416,351,480 352,625,317
12
13 138,169,909 196,102,785
14 125,609,008 178,275,259
57,353,547 (579,329)
52,139,588 (526,663)
13
14
15 114,190,008 209,946,827 2,887,849,485 2,792,092,665
15
16 665,455,490 708,981,317 (518,555,823) (562,081,650)
16
14.49 95.73 98.79
500
1,971,003 1,500,000 -
500
1,500,000 -
500 54.24
2,463,754 1,500,000 1,912,366
500
1,500,000 -
500
2,463,754 1,500,000 -
500
1,500,000 -
500
1,500,000 -
500
9,572,615 16,794,638 1,500,000 -
500
1,500,000 -
Lampiran 15. Contoh hasil anal dengan pendekatan Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri 17 PENDAPATAN Penjualan kayu & hasil pertanian Penerimaan hasil penjarangan Penerimaan hasil tebang habis Penjualan hasil pertanian (kopi) Penjualan CER dari karbon Total Pendapatan Tanpa CER Dengan CER BIAYA PEMB. AGROFORESTRI Penyiapan lahan Pembelian bibit & Penanaman Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan & perlindungan Pemupukan Pengelolaan & operasi tahunan Pajak tanah Total Pembangunan Agroforestri BIAYA SKEMA KARBON Biaya desain, pendaftaran & validasi Biaya monitoring Biaya verifikasi & sertifikasi Total Biaya Skema Karbon BIAYA TOTAL Tanpa CER Dengan CER Selisih Pendapatan - Biaya Tanpa CER Dengan CER Pendapatan Total (Terdiskonto) Tanpa CER Dengan CER
-
18
-
19
591,300,960
20
-
21
886,951,440
22
-
23
886,951,440
24
-
675,000,000 -
675,000,000 -
675,000,000 -
675,000,000 437,897,962
675,000,000 -
675,000,000 -
675,000,000 -
675,000,000 -
675,000,000 675,000,000
675,000,000 675,000,000
1,266,300,960 1,266,300,960
675,000,000 1,112,897,962
1,561,951,440 1,561,951,440
675,000,000 675,000,000
1,561,951,440 1,561,951,440
675,000,000 675,000,000
360,000,000 94,500,000 274,500,000 337,500,000 45,000,000 1,111,500,000
360,000,000 94,500,000 274,500,000 337,500,000 45,000,000 1,111,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000 200,000,000 400,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
1,111,500,000 1,311,500,000
1,111,500,000 1,311,500,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 877,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
(436,500,000) (636,500,000)
(436,500,000) (636,500,000)
(436,500,000) (636,500,000)
789,300,960 589,300,960
198,000,000 235,897,962
1,084,951,440 884,951,440
133,545,152 133,545,152
121,404,683 121,404,683
207,050,326 207,050,326
100,334,449 165,425,191
211,067,390 211,067,390
82,921,032 82,921,032
198,000,000 (2,000,000) 174,435,859 174,435,859
1,084,951,440 884,951,440 68,529,779 68,529,779
Lampiran 15. Contoh hasil anal dengan pendekatan Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri 17 Biaya Total (Terdiskonto) Tanpa CER Dengan CER NPV Tanpa CER Dengan CER B/C Ratio Tanpa CER Dengan CER Tabel bantu perhitungan: Produksi kayu Volume Penjarangan Volume Tebang habis diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Produksi pertanian Hasil agroforestri kopi Produksi CER (80% dari total) Nilai Penjualan Produksi kayu diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Kopi Harga t-CER BAHAN SIMULASI Harga CER
Suku Bunga
Biaya Transaksi
18
19
20
21
22
23
24
219,904,349 259,473,283
199,913,045 235,884,803
77,993,312 110,694,910
70,903,011 130,360,462
64,457,282 91,483,397
58,597,529 83,166,724
53,270,481 75,606,113
48,427,710 68,732,830
(86,359,198) (125,928,132)
(78,508,362) (114,480,120)
129,057,014 96,355,416
29,431,438 35,064,729
146,610,108 119,583,993
24,323,503 (245,692)
121,165,378 98,829,747
20,102,068 (203,051)
17
18
19
20
7.73
500
1,500,000 -
500
1,500,000 -
500
1,314,002 1,500,000 -
21
22
11.59
500 27.6
1,500,000 973,107
500
1,971,003 1,500,000 -
23
24
11.59
500
1,500,000 -
500
1,971,003 1,500,000 -
500
1,500,000 -
Lampiran 15. Contoh hasil anal dengan pendekatan Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri 25 PENDAPATAN Penjualan kayu & hasil pertanian Penerimaan hasil penjarangan Penerimaan hasil tebang habis Penjualan hasil pertanian (kopi) Penjualan CER dari karbon Total Pendapatan Tanpa CER Dengan CER
1,108,689,301
26
-
27
1,108,689,301
28
-
29
30
-
675,000,000 860,564,691
675,000,000 -
675,000,000 -
675,000,000 -
675,000,000 -
1,783,689,301 2,644,253,992
675,000,000 675,000,000
1,783,689,301 1,783,689,301
675,000,000 675,000,000
675,000,000 675,000,000
Total
11,865,263,974 675,000,000
9,165,164,885 23,730,527,947 18,225,000,000 2,596,925,307
678,901 1,757,817 1,350,000 192,365
12,540,263,974 12,540,263,974
51,120,692,832 53,717,618,139
3,786,718 3,979,083
1,680,000,000 2,212,500,000 2,160,000,000 2,835,000,000 1,647,000,000 10,125,000,000 1,350,000,000 22,009,500,000
124,444 163,889 160,000 210,000 122,000 750,000 100,000 1,630,333
14,815 429,630 74,074 518,519
1,630,333 2,148,852
BIAYA PEMB. AGROFORESTRI Penyiapan lahan Pembelian bibit & Penanaman Pemeliharaan tanaman Pemeliharaan & perlindungan Pemupukan Pengelolaan & operasi tahunan Pajak tanah Total Pembangunan Agroforestri
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
94,500,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
337,500,000 45,000,000 477,000,000
BIAYA SKEMA KARBON Biaya desain, pendaftaran & validasi Biaya monitoring Biaya verifikasi & sertifikasi Total Biaya Skema Karbon
200,000,000 200,000,000 400,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000
200,000,000 5,800,000,000 1,000,000,000 7,000,000,000
477,000,000 877,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
477,000,000 677,000,000
22,009,500,000 29,009,500,000
198,000,000 (2,000,000)
198,000,000 (2,000,000)
16,611,428,858 12,208,354,165
42,551,601 42,551,601
718,664,386 718,664,386
10,806,465,939 11,554,668,482
BIAYA TOTAL Tanpa CER Dengan CER Selisih Pendapatan - Biaya Tanpa CER Dengan CER Pendapatan Total (Terdiskonto) Tanpa CER Dengan CER
198,000,000 (2,000,000) 164,627,384 244,054,062
1,306,689,301 1,767,253,992 56,636,181 56,636,181
198,000,000 (2,000,000) 136,055,690 136,055,690
1,306,689,301 1,106,689,301 46,806,761 46,806,761
Rataan/ha/th
Lampiran 15. Contoh hasil anal dengan pendekatan Maksimum Produksi CER Luas lahan agroforestri 25 Biaya Total (Terdiskonto) Tanpa CER Dengan CER NPV Tanpa CER Dengan CER B/C Ratio Tanpa CER Dengan CER Tabel bantu perhitungan: Produksi kayu Volume Penjarangan Volume Tebang habis diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Produksi pertanian Hasil agroforestri kopi Produksi CER (80% dari total) Nilai Penjualan Produksi kayu diameter 20-30 cm up diameter 30 cm up Kopi Harga t-CER BAHAN SIMULASI Harga CER
Suku Bunga
Biaya Transaksi
26
27
28
29
30
Total
Rataan/ha/th
44,025,191 80,943,590
40,022,901 56,803,992
36,384,455 51,639,992
33,076,778 46,945,448
30,069,798 42,677,680
27,336,180 38,797,891
8,645,163,208 10,827,905,359
120,602,193 163,110,471
16,613,280 (167,811)
99,671,234 84,415,697
13,729,983 (138,687)
12,481,803 (126,079)
691,328,206 679,866,496
2,161,302,732 726,763,124 1.250 1.067
25
26
14.49
27
28
29
30
14.49 95.73 98.79
500 54.24
2,463,754 1,500,000 1,912,366
500
500
500
500
500 73656
1,500,000 -
2,463,754 1,500,000 -
1,500,000 -
1,500,000 -
9,572,615 16,794,638 1,500,000 -
4,802,895 1,615,029