LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 FLEKSIBILITAS PENERAPAN SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DAN KAJI ULANG KEBIJAKAN DOMESTIC SUPPORT UNTUK SPECIAL PRODUCT INDONESIA
Oleh : M. Husein Sawit Sjaiful Bahri Sri Nuryanti Helena J. Purba
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2006
RINGKASAN EKSEKUTIF
I.
PENDAHULUAN
1) Kelompok G-33 menuntut agar diberikan fleksibelitas tinggi untuk perlindungan sementara untuk NB. Provisi tersebut dikenal sebagai Special Safeguard Mechanism (SSM) sebagai pengganti SSG. Proposal kelompok G-33 berkaitan dengan SSM adalah (i) perlindungan boleh saja dalam bentuk menaikkan tarif, (ii) pembatasan tersebut adalah temporer, (iii) semua NB berhak mendapatkannya dan berlaku buat semua produk pertanian, dan (iv) hanya NB yang berhak mendapatkan SSM, dan dapat digunakan tanpa perlu membuktikan adanya ”injury”. 2) Indonesia sebagai salah satu NB harus menganalisa sejauh mana fleksibelitas proposal G-33 tentang SSM. Sebagai pembandingnya perlu dianalisa tentang perlindungan SSG terhadap komoditas yang sama. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh sejumlah pelajaran, khususnya terhadap Indonesia. 3) Domestic Support (DS) terutama yang masuk dalam Green Box adalah bentuk lain dapat diberikan kepada petani dan terkait dengan pembangunan pertanian perdesaan. Selama ini, besaran DS yang dilakukan NB amat terbatas, seperti Indonesia. Diantara DS yang penting harus diperhatikan di NB adalah bantuan terkait dengan Pelayanan Umum (General Services).
yang dan juga yang
4) Kebijakan DS terkait erat dengan pembangunan daya saing non-price factor, peningkatan produktivitas dan efisiensi. Tidak hanya pada usahatani itu sendiri, tetapi juga kegiatan pascapanen. Pengeluaran untuk Pelayanan Umum ini menjadi penting, manakala hampir semua budget pembangunan diserahkan ke daerah. Atau dengan kata lain, banyak dana pembangunan pertanian dan pembangunan perdesaan telah didesentralisasikan. Ini penting pula untuk dipahami dan dianalisa. II. TUJUAN PENELITIAN 1) Mengkaji penerapan proposal G-33 yang terkait dengan SSM di Indonesia, baik Volume trigger maupun Price trigger, remedy, serta product coverage-nya. 2) Menganalisa perlindungan SSG di Indonesia, baik Volume trigger maupun Price trigger, remedy, dan durasi untuk produk yang sama. Ini dipakai untuk membandingkannya dengan perlindungan SSM. 3) Menganalisa dan menghitung Domestic Support terutama yang terkait dengan General Services yang ada dalam Green Box, baik dari pemerintah pusat, maupun dari pemerintah daerah. III. PEMBAHASAN Kebijakan Perdagangan dan Impor Pangan 1) Asimetri endowment dan kebijakan perdagangan antara negara maju (NM) lawan negara berkembang (NB) telah merupakan penyebab kecenderungan penurunan harga pangan dunia. Produksi dan perdagangan produk pangan terkonsentrasi di beberapa NM.
i
2) Selama periode 1996-2005 kecuali kedelai, daging (sapi/domba atau unggas), sebagian besar impor pangan berasal dari NB. Pertumbuhan impor pangan berasal dari NB yang relatif tinggi adalah pisang dan jeruk. Sedangkan pertumbuhan impor yang relatif tinggi yang berasal dari NM adalah kedelai, gula, dan daging ternak. 3) Volume impor pangan terbesar selama periode 1996-2005 adalah kedelai mencapai 23 ribu ton. Disusul beras (15 ribu ton), gula (14 ribu ton), jagung (9 ribu ton), pisang (2 ribu ton), jeruk (642 ton), bawang merah (445 ton), daging ternak (394 ton), daging unggas (40 ton), dan pisang (2 ton). 4) Pertumbuhan impor pangan ada yang mengalami peningkatan dan penurunan. Impor yang cenderung mengalami penurunan antara lain adalah beras (-16,87 persen/tahun), daging unggas (-8,02 persen/tahun), dan jagung (-0,08 persen/tahun). Sementara impor yang mengalami peningkatan pertumbuhan antara lain pisang (29,63 persen/tahun), daging ternak (9,71 persen/tahun), kedelai (9,12 persen/tahun), jeruk (8,37 persen/tahun), gula (2,88 persen/tahun), dan bawang merah (1,48 persen/tahun). 5) Selain produk hortikultura, produk tanaman pangan dan hasil ternak impor yang berasal dari NM anggota OECD memperoleh subsidi dari pemerintahnya. Harga pangan yang diekspor NM di pasar dunia tidak menggambarkan tingkat efisiensi sesungguhnya 6) Besaran subsidi negara OECD untuk tanaman pangan dan peternakan pada periode 2001-2003 relatif menurun dibandingkan periode 1986-188. Subsidi terbesar yang diperoleh petani di NM pada periode 1986-188 untuk beras beras (81 persen), jagung (40 persen), daging ternak (32 persen), kedelai dan gula (27 persen), serta daging unggas (20 persen). Pada periode berikutnya, 2001-2003 kecuali daging ternak rata-rata mengalami penurunan. Rata-rata subsidi untuk beras turun menjadi 78 persen, jagung, kedelai, gula turun menjadi 24 persen, dan daging unggas turun menjadi 17 persen. Sedangkan rata-rata subsidi untuk daging ternak naik menjadi 33 persen. APLIKASI SPECIAL SAFEGUARDS PROVISION 1) Mekanisme price trigger SSG, tambahan tariff baru bisa dikenakan apabila harga turun lebih dari 10% sedangkan tingkat tambahan tariff yang bias dikenakan bervariasi sesuai dengan besarnya tingkat penurunan harga. 2) Formula pemicu harga yang digunakan dalam mekanisme SSG tidak sesuai untuk digunakan oleh Indonesia. Penyebabnya dua hal. 3) Pertama, rata-rata harga impor (c.i.f) periode 1986-1988 yang dijadikan sebagai harga referensi akan memperkecil peluang Indonesia untuk menggunakan mekanisme SSG dalam melindungi pasar dalam negeri. Hal ini terkait dengan anjloknya nilai tukar Rupiah pada pertengahan tahun 1997, yang semula sekitar Rp. 2,400/$AS menjadi lebih dari Rp. 9.000/$AS. Anjloknya nilai tukar itu membuat harga impor menjadi jauh lebih mahal dan senantiasa berada diatas harga referensi. 4) Kedua, parameter atau konstanta yang digunakan dalam formula SSG dalam menentukan tambahan tariff menghasilkan tambahan tariff yang tidak memadai untuk mengatsi penurunan harga. Tambahan tariff baru bisa menutup penurunan harga ketika penurunan harga tersebut telah mencapai 64%.
ii
5) Apabila perilaku harga impor berjalan secara normal, maka kecil kemungkinan Indonesia akan menggunakan mekanisme SSG karena harga impor akan senantiasa berada diatas harga referensi. Indonesia baru boleh mengenakan tambahan tariff apabila harga internasional turun drastis seperti yang terjadi pada daging sapi dan daging unggas. Harga internasional daging sapi turun dari $AS 5,56/kg pada 1987 menjadi $AS 1,17/kg pada 1998 serta daging unggas turun dari $AS 4,16/kg pada 1986 menjadi kurang dari $AS 1/kg setelah tahun 1998. Dalam kasus ini, penurunan harga ini mengkompensasi penurunan nilai tukar. 6) Mekanisme SSG pemicu volume impor menunjukkan bahwa hak pengenaan mekanisme SSG paling sering diperoleh untuk komoditas kedelai yang terpicu sebanyak 6 kali dalam 10 tahun terakhir ini. Diikuti dengan komoditas gula dengan frekuensi terpicu sebanyak 3 kali, kemudian beras dan jagung yang masing-masing terpicu sebanyak 2 kali. Komoditas hortilkultura hanya terpicu satu kali saja, yaitu jeruk. 7) Komoditas lain, yaitu daging ternak, daging unggas, pisang, dan bawang merah sama sekali tidak pernah terpicu untuk memperoleh hak pengenaan mekanisme SSG. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme SSG relatif kurang dapat diandalkan sebagai mekanisme perlindungan sementara untuk komoditas pangan dan komoditas utama Indonesia lainnya dalam menghadapi serbuan impor. 8) Besarnya lonjakan impor (yang diukur dari deviasi positif volume impor dibandingkan dengan level pemicu volume impornya) yang memicu mekanisme untuk pengenaan SSG untuk kesembilan komoditas bervariasi cukup besar, mulai dari yang terendah di kedelai sebesar 1,4 persen pada tahun 2002 dan jagung sebesar 2,2 persen pada tahun 1997 sampai lonjakan yang tertinggi pada gula yang lonjakannya mencapai 198,5 persen pada tahun 1996. 9) Apabila diperhitungkan perubahan volume impor suatu komoditas pada tahun tertentu, terlihat bahwa besarnya persentase perubahan volume impor komoditas pertanian jauh lebih fluktuatif dengan rentang yang jauh lebih besar serta besaran persentase yang jauh lebih tinggi. Hal ini tidak bisa tertangkap oleh perhitungan mekanisme SSG karena level pemicu volume impor yang ditetapkan relatif rendah. 10) Remedy penambahan tarif maksimal sepertiga dari bound tarif yang bisa dikenakan berdasarkan mekanisme SSG apabila terpicu oleh volume impor mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi berkisar antara 9 % minimal untuk kedelai dan 80 % maksimal untuk komoditas beras. Sedangkan secara berturut-turut untuk remedy lainnya diluar kedelai dan beras dari yang terendah ke tertinggi masing-masing adalah untuk komoditas jagung sebesar 12 %; jeruk 17 %; dan gula sebesar 32 %. Hal ini menunjukkan bahwa remedy yang dimungkinkan oleh mekanisme SSG relatif rendah bila dibandingkan dengan bound tariff komoditas pertanian secara umum, sehingga dikhawatirkan remedy untuk mengatasi permasalahan serbuan impor di komoditas pertanian bila dipakai mekanisme SSG tidak akan efektif. 11) Mekanime SSG berdasarkan pemicu volume impor tidak efektif bila dipertimbangkan sebagai mekanisme perlindungan (walaupun sementara) untuk mengatasi permasalahan serbuan impor untuk komoditas pertanian Indonesia karena memang dari frekuensi terpicunya sangat jarang serta remedy yang dimungkinkan oleh mekanisme ini juga relatif lebih rendah dari bound tariff komoditas pertanian umumnya.
iii
SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM (SSM): PROPOSAL G-33 DAN PENERAPANNYA 1) Menurut proposal SSM usulan G-33, dengan metoda moving average 3 tahun diketahui bahwa hak pengenaan mekanisme volume trigger dapat diberlakukan untuk kesembilan komoditas. Persentase serbuan impor berkisar dari yang terendah 7 persen (daging sapi dan jeruk) sampai yang tertinggi 161 persen (pisang). Selama 1996-2005 frekuensi kejadian serbuan impor berkisar 3 (beras, daging unggas, jeruk, dan pisang) sampai 4 kali (kedelai, jagung, gula, daging sapi, dan bawang merah). 2) Menurut perhitungan moving average 5 tahun hanya beras yang tidak mengalami pengenaan mekanisme tersebut. Persentase serbuan impor berkisar 6 persen (kedelai) sampai dengan 146 persen (pisang). Frekuensi kejadian serbuan impor berkisar nol (beras) sampai 5 kali (kedelai, daging sapi, dan jeruk). 3) Kecuali bawang merah semua produk dapat dikenakan remedy tambahan tarif maksimal sebesar bound tariffnya. Tambahan tarif SSM yang dapat dikenakan berkisar dari 40 persen sampai dengan 60 persen. Apabila mengikuti bound tariff akan berkisar 14 persen (kedelai) sampai 160 persen (beras). 4) Metoda moving average bulanan 3 tahun terakhir menunjukkan frekuensi kejatuhan harga akibat impor bekisar dari 5,1 – 100 persen. Frekuensi tertinggi dialami jagung (55 kali) dan terendah oleh kedelai (13 kali). Berdasarkan rata-rata bulanan 3 tahun terakhir diketahui bahwa kejatuhan harga berkisar dari 5,1 – 100 persen. Namun frekuensi kejatuhan harga relatif lebih sedikit, berkisar 6 kali (kedelai) sampai dengan 54 kali (jagung). 5) Remedy tambahan tarif yang dapat dikenakan untuk kejatuhan harga berkisar 5,1 persen (kedelai dan daging sapi) sampai dengan 100 persen (daging unggas dan pisang). 6) Produk yang diutamakan memperoleh SSM adalah produk yang tingkat bound tariff rendah (di bawah 10%). Misalnya corn flour (9%) dan rice flour (9%). DUKUNGAN DOMESTIK (DOMESTIC SUPPORT) 1) Alokasi dana bantuan domestik Indonesia dari tahun 2001 – 2004 cenderung mengalami peningkatan. Persentase dana terbesar dialokasikan untuk bantuan pangan domestik. Diikuti stok penyangga pangan, pelayanan umum, dan bantuan darurat bencana alam. 2) Perhitungan dana pelayanan umum maupun bantuan domestik di tingkat nasional belum mengagregasikan serapan dana di tingkat daerah. Nilai nominalnya belum mencerminkan alokasi yang sesungguhnya. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1) Negara berkembang umunya menggunakan price trigger SSG untuk melindungi kejatuhan harga impor. Indonesia memperoleh hak untuk 13 pos tarif, namun tidak pernah digunakan. Perhitungan SSG untuk 9 komodtas tidak satupun memenuhi syarat untuk diterapkan. Referensi harga yang terlalu rendah, pada periode 1986-88, ditambah dengan nilai tukar Rp terhadap USD yang semakin merosot, sehingga tidak ditemukan telah terjadinya insiden kejatuhan harga produk impor. 2) Perlindungan serbuan impor underestimate, tidak terdeteksi untuk komoditas peternakan dan hortikultura. Sejumlah komoditas dalam kelompok produk itu mengalami lonjakan iv
impor. Sementara, komoditas pangan dan komoditas perkebunan kasus kejatuhan harga juga amat rendah. Tambahan tarif untuk mengkompensir kejatuhan harga masih tidak mampu menutupi tingkat kejatuhan harga tersebut. 3) Penggunaan SSG lebih ruwet baik dalam penentuan price trigger maupun volume trigger. Remedy SSG yang tidak realistis membuat mekanisme perlindungan ini kurang efektif. 4) Proposal SSM G-33 memperlihatkan bahwa Indonesia mengalami serbuan impor dan kejatuhan harga dalam periode 1996-2005 untuk semua komoditas pangan terpilih tersebut. 5) Lonjakan impor yang besar terjadi pada komoditas beras (84%), jagung (72%), gula (50%), daging sapi (85%), pisang (161%), dan daging unggas (121%). Tindakan setelah itu adalah menaikkan tingkat tarif atau tambahan tarif SSM sesuai dengan pengelompokan kejatuhan harganya. Komoditas beras misalnya, pada 1998, lonjakan impor 85%, diperlukan tambahan tariff SSM sebesar 60% atau 160%. Daging unggas dengan lonjakan impor sebesar 121%, diperlukan tambahan tarif SSM sebesar 40% atau 60%. 6) Tindakan atas lonjakan impor baru bisa dilakukan setelah terbukti terjadinya impor tahun sebelumnya. Hal ini agak lambat untuk mengatasi serbuan impor, sehingga harga pasti akan tertekan. 7) Tindakan atas kejatuhan harga dapat lebih segera dilakukan, karena yang dilihat data bulanan. Kejatuhan harga terjadi dalam bulan lalu segera dapat diterapkan SSM. Pemakaian data harga lebih realistis, terhindar dari data yang underestimate. 8) Implikasi dari temuan di atas adalah Indonesia memang memerlukan perlindungan khusus yang lebih sederhana, mengingat begitu seriusnya terjadi serbuan impor maupun kejatuhan harga produk impor. Perlindungan SSM yang dirancang oleh G-33 ternyata relatif cukup mudah untuk diterapkan, karena tersedia data impor tahunan, maupun harga impor bulanan yang diterbitkan BPS. 9) Perhitungan pengeluaran untuk Green Box sebagai bagian penting dari Supor Domestik, ternyata telah mengabaikan peran General Services. Padahal, GS itu mampu membuat petani sempit dan miskin dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, sehingga membuat daya saing menjadi kuat. 10) Pengeluaran GS jumlahnya sedikit terkonsentrasi pada bimbingan dan penyuluhan. Sedikit pengeluaran untuk prasarana/infrastruktur, penelitian dan pengawasan serta promosi/pemasaran. Pola yang sama juga dilakukan oleh Pemda. Hanya 29% dana APBD yang dipakai untuk keperluan GS. Ada 3 komponen yang terbanyak dialokasikan yaitu untuk prasarana atau infrastruktur, bimbingan dan penyuluhan, serta promosi dan pemasaran.
v