LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KELEMBAGAAN KEMITRAAN RANTAI PASOK KOMODITAS HORTIKULTURA
Oleh : Saptana Adang Agustian Henny Mayrowani Sunarsih
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2006
RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN 1.
Perubahan lingkungan strategis seperti liberalisasi perdagangan, pesatnya pertumbuhan pasar modern di samping pasar tradisional, serta dinamika permintaan pasar dan perubahan preferensi konsumen, serta fenomena segmentasi pasar menuntut adanya perubahan serta penyesuaian beroperasinya kelembagaan kemitraan rantai pasok (supply chain management) komoditas hortikultura. Liberalisasi perdagangan akan menyebabkan terjadinya peningkatan perdagangan produk pertanian (hortikultura), penetrasi pasar hingga pelosok pedesaan, persaingan yang makin kompetitif, semakin terintegrasinya pasar komoditas, yang berimplikasi pada kecenderungan penurunan harga komoditas pertanian secara bertahap.
2.
Kebijakan pengembangan komoditas hortikultura di Indonesia telah berhasil mendorong terjadinya peningkatan produksi baik di daerah sentra produksi maupun daerah pertumbuhan baru, namun demikian peningkatan itu ternyata belum searah dengan dinamika permintaan pasar dan perubahan preferensi konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa sudah selayaknya dilakukan rerorientasi kebijakan dari pendekatan pengembangan komoditas ke arah pengembangan produk hortikultura melalui kelembagaan kemitraan rantai pasok.
3.
Secara empiris diperoleh informasi bahwa sistem pemasaran komoditas hortikultura pada berbagai kelembagaan kemitraan rantai pasok belum efisien yang antara lain ditunjukkan oleh saluran pemasaran yang panjang, struktur pasar yang cenderung oligopsonistik, tidak meratanya pembagian balas jasa atas fungsi pemasaran, dan harga yang mengalami fluktuasi dalam jangka pendek. Tumbuhnya berbagai alternatif kelembagaan kemitraan rantai pasok untuk produk hortikultura menciptakan peluang bagi petani dan pelaku agribisnis dalam memasarkan produknya dan sekaligus sebagai tantangan.
4.
Tujuan untuk Kegiatan Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasokan Komoditas Hortikultura : (1) Evaluasi kinerja kebijakan pengembangan agribisnis hortikultura terkait dengan kelembagaan kemitraan rantai pasok; (2) Melakukan identifikasi pola-pola kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura pada pasar modern dan tradisional; (3) Melakukan identifikasi tentang karakteristik dan managemen rantai pasok produk hortikultura pada pasar modern dan tradisional; (4) Melakukan analisis struktur dan dinamika pembentukan harga kelembagaan rantai pasok pada pasar modern dan tradisional. Sementara itu, tujuan untuk Kegiatan Alternatif Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Hortikultura : (1) Melakukan analisis peran dan pola interaksi antar pelaku dalam kelembagaan kemitraan rantai pasok produk hortikultura; (2) Merumuskan syarat-syarat keberhasilan dalam xxiv
mengembangkan kelembagaan kemitraan rantai pasok produk hortikultura; dan (3) Alternatif kebijakan kelembagaan kemitraan rantai pasok produk hortikultura yang efektif dan efisien secara partisipatif. METODOLOGI 5.
Penelitian akan dilakukan di tiga propinsi, yaitu: (1) Propinsi Bali dengan lokasi Kabupaten Gianyar untuk komoditas melon dan Kabupaten Jembrana untuk komoditas semangka; (2) Propinsi Jawa Tengah dengan lokasi utama Kabupaten Grobogan dan melakukan studi eksplorasi di Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Pekalongan untuk komoditas melon dan semangka; dan (3) Propinsi Jawa Barat dengan lokasi Kabupaten Garut dan Bandung yang keduanya merupakan daerah sentra produksi kentang baik jenis varietas Granola maupun Altantik. Pemilihan lokasi dan komoditas mempertimbangkan aspek sentralitas produksi juga mempertimbangkan adanya eksistensi dan dinamika bentukbentuk kelembagaan rantai pasok yang relatif beragam terkait dengan keberadaan pasar konvensional dan modern (mini market, super market, hyper market, departemen store), konsumen institusional (hotel, restoran, rumah sakit) serta industri pengolahan.
6.
Responden contoh mencakup petani kentang, melon, dan semangka, kelembagaan kelompok tani, pedagang pada berbagai tingkatan, perusahaan mitra/industri pengolahan, perusahaan eksportir, super market/ hyper market/toserba, restoran/rumah makan, dan hotel. Disamping itu juga dikumpulkan data sekunder dan informasi kualitatif dari berbagai instansi seperti BPS, Dinas Pertanian, Bappeda, BPTP, dan perguruan tinggi.
7.
Analisis data dilakukan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Analisis kuantitatif ditujukan untuk melihat kinerja usahatani dan efisiensi pemasaran yang dilakukan dengan analisis biaya dan keuntungan usahatani, marjin pemasaran, sruktur pasar dan integrasi pasar, serta perkembangan harga. Analisis kualitatif dilakukan dengan analisis kelembagaan kemitraan rantai pasok yang mencakup analisis evaluasi kebijakan pengembangan agribisis, identifikasi pola interaksi pada kelembagaan rantai pasok, analisis kelembagaan dan manajemen kemitraan rantai pasok.
8.
Penelitian ini mencakup tiga hal pokok, yaitu evaluasi kebijakan pengembangan agribisnis, kelembagaan dan managemen rantai pasok, serta perkembangan pasar produk hortikultura. Pasar bagi produk pertanian (hortikultura) mencakup pasar tradisional maupun modern. Aspek yang terkait dengan pasar ini adalah saluran pemasaran, struktur pasar, margin pemasaran, pembentukan harga, dinamika kebutuhan, dan kesesuaian pasokan.
9.
Konsep kelembagaan yang digunakan dalam konteks penelitian ini mencakup sekaligus pengertian institusi maupun organisasi. Komponen kelembagaan kemitraan rantai pasok mencakup pelaku dari seluruh rantai pasok, aturan main yang berlaku dan proses konstruksinya, pola interaksi xxv
antar pelaku, dan dampaknya bagi pengembangan usahatani komoditas hortikultura maupun bagi peningkatan kesejahteraan petani dan pelaku agribisnis lainnya. 10. Sistem Management Rantai Pasok (SCM) adalah satu kesatuan sistem pemasaran terpadu yang mencakup keterpaduan produk dan pelaku guna memberikan kepuasan pada pelanggan. Pelaku dalam supply chain antara lain adalah : (1) Produsen baik individu maupun kelompok; (2) pemasok (supplier); (3) pengolah (manufacture); (4) pedistribusi (distributor); (5) pengecer (retail outlet); serta (6) pelanggan (customer). Beberapa tujuan managemen rantai pasok suatu komoditas atau produk adalah : (1) mengurangi risiko pasar; (2) meningkatkan nilai tambah, efisiensi dan keunggulan kompetitif; dan (3) berguna dalam menyusun strategi pengembangan produk; serta (4) Strategi untuk memasuki pasar baru. 11. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut maka penting untuk dibangun Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura yang dapat menjamin sistem pemasaran pada berbagai pola berjalan efisien. Beberapa keuntungan bagi petani hortikultura adalah tersedianya saprotan, terjaminnya harga dan pasar yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani hortikultura. Manfaat bagi perusahaan mitra terjaminnya pasokan produksi hortikultura yang sesuai dari segi jenis, jumlah, kualitas, dan kontinuitas sesuai tujuan pasar. HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Kentang di Jawa Barat 12. Pada tahun 2005 telah terbentuk Assosiasi Penangkar Bibit Kentang Indonesia (APKENDO) cabang Kabupaten Garut. Anggota APKENDO Cabang Kabupaten Garut terdiri 53 orang penangkar bibit kentang, yang tersebar di Kecamatan Cisurupan 25 orang, Cigedug 10 orang; Samarang dua orang, Bayongbong tiga orang, Sukaresmi satu orang, Karangpawitan satu orang, dan Kecamatan Sukasari satu orang. APKENDO Cabang Kabupaten Garut mempunyai tugas : (1) membantu pemerintah mengawasi peredaran bibit baik yang masuk maupun yang keluar wilayah Kabupaten Garut dalam hal legalitasnya; (2) memantau kebutuhan bibit kentang bagi daerah-daerah sentra produksi kentang di wilayah Kabupaten Garut; (3) Memantau jumlah produksi yang dihasilkan oleh para penangkar; serta (4) tugas-tugas lain yang akan dirumuskan kemudian sesuai kebijakan pemerintah. 13. Sistem pengiriman bibit dalam Contract Farming antara PT. IFM (Indofood Fritolay Makmur) dengan petani dilakukan melalui satu pintu, yaitu melalui Vendor (Koordinator Kelompok Tani) yang sekaligus berfungsi sebagai distributor bibit kentang atlantik dan suplier kentang untuk perusahaan mitra. Distribusi bibit ke kelompok tani dengan memakai faktur Surat Pengiriman Bibit (SPB), yang berisi jumlah bibit, harga per satuan, total
xxvi
nilai, dan keterangan dan ditandatangani oleh Field Supervisor/Manager Lapangan dan Vendor/Koordinator Kelompok Tani. 14. Pengadaan bibit kentang atlantik oleh PT Indofood dengan menunjuk rekanan PT Mandiri Alam Lestari untuk impor bibit dari Scotlandia dan PT Indho Chemica untuk impor bibit dari Australia dan Canada melalui Pelabuhan Tanjung Priok, setelah bongkar dari pelabuhan bibit dikarantina terlebih dahulu, kemudian disimpan di Gudang di Cisalengka, Bandung. Pengiriman bibit dilakukan 1x12 hari. Target tahun 2006 sebesar 1000 ton bibit kentang Atlantik. Berdasarkan informasi dari lapang pada prinsipnya PT IFM tidak melakukan buffer stock. 15. Managemen rantai pasok (supply chain management) komoditas sayuran di Jawa Barat termasuk kentang pada umumnya mengikuti pola : (1) Petani – pedagang pengumpul (tengkulak) –Bandar atau pedagang pengepul – Pasar Induk (Caringin, Kramat Jati, Cibitung, dan Tangeran, Bogor); (2) Khusus untuk komoditas kentang atlantik ada kemitraan usaha antara Petani dengan PT Indofood Fritolay Makmur, melalui mediasi Agro Supervisor/Manager Lapangan dan Vendor (Koordinator Kelompok Tani). 16. Beberapa pola kemitraan usaha (partnership) pada komoditas kentang: (1) Pola Kemitraan Dagang Umum yang dijumpai pada seluruh komoditas sayuran, pada pola ini terjadinya kontrak kerjasama biasanya terjadi pada tingkat supplier (midle man) dengan supermarket, restauran dan hotel, juga dengan pedagang besar di tujuan-tujuan pasar; (2) Pola kemitraan Contrak Farming Pembinaan dan Kredit Bibit antara Perusahaan Indofood Fritolay Makmur (Joint ventura 51 % PT Indofood Succes Makmur dan 49 % PT. Seven Up Netherland) dengan Petani atau Kelompok Tani untuk komoditas kentang jenis atlantik di Cikajang, Cigedug, Cisurupan, Samarang, Bayongbong, Garut dan Pangalengan, Ciwidey dan Lembang, Bandung, Jawa Barat (40 %); Jawa Tengah (30 %) : Purwokerto, Brebes, Pemalang, Dieng (Wonosobo); Jawa Timur (15 %): Malang; Jambi : Kerinci (5 %); dan Sulawesi Utara : Modoinding (5 %), Sumut berbatasan dengan Aceh (5 %); kerjasama ini melibatkan sekitar 250 orang petani. 17. Kebutuhan bahan baku kentang Atlantik untuk kebutuhan PT. Indofood Fritolay Makmur berdasarkan kebutuhan pabrik : (1) perhari 50 ton, perbulan 1.500 ton, dan pertahun 18.000 ton; (2) Pasokan bahan baku berasal dari dalam negeri berasal dari Garut, Bandung, Purwokerto, Wonosobo, Malang, Kerinci (Sumbar), Sulut, dan Sulsel serta impor yang berasal dari Australia, Scotlandia, dan Cina; (3) Pasokan dari Kabupaten Garut cukup dominan perbulan mencapai 375 ton atau pertahun 4.500 ton (25 %) dari total kebutuhan; (4) Luas penanaman dalam satu bulan 25 ha dan luas areal yang tersedia di petani binaan 300 ha, ketersediaan bibit rata-rata hanya 60 ton dengan jumlah petani binaan mencapai 250 orang; (5) Luas areal pengembangan kentang atlantik untuk industri 900 ha sehingga diperlukan bibit satu bulan 150 ton, luas areal perbulan 75 ha, jumlah produksi harapan perbulan 1.125 ton atau 13.500 ton (75 %).
xxvii
18. Pada kelembagaan kemitraan usaha secara tertutup antara petani dan PT Indofood Fritolay Makmur harga ditentukan secara kontrak melalui proses negosiasi sebelum tanam. Petani menentukan harga didasarkan atas biaya pokok usahatani dan ekpretasi keuntungan komoditas alternatif yang paling menguntungkan dalam hal ini usahatani kentang granola, sehingga petani menetapkan harga jual harus lebih tinggi dengan harga kentang granola di pasar. Sementara itu, perusahaan mendasarkan perhitungan biaya pokok produk hasil olahan keripik kentang dan harga beli komoditas kentang atlantik impor. Karena petani mendapatkan harga yang jauh lebih tinggi dari kentang granola dan perusahaan PT IFM mendapatkan harga yang lebih rendah jika dibandingkan impor maka terjadilah kesepakatan harga Rp 3500/kg melalui sistem kontrak sebelum tanam. 19. Struktur pasar yang terjadi adalah struktur pasar monopoli dimana petani dalam jumlah sangat banyak berhadapan dengan satu perusahaan yaitu PT Indofood Fritolay Makmur. Namun karena petani juga mampu melakukan konsolidasi melalui gabungan kelompok-kelompok tani, maka struktur pasar yang terjadi adalah monopsoni berhadapan dengan monopoli. Meskipun dalam bargaining position monopsoni petani lebih lemah dibanding monopoli perusahaan. 20. Secara umum persepsi masyarakat petani terhadap Contract Farming dengan PT. IFM membantu petani dan meningkatkan pendapatan petani dari naik sedikit (0-50 %), naik banyak (50-100 %). Namun terdapat beberapa permasalahan yang saat ini dihadapi petani : (1) Adanya quota bibit dan pembatasan luas tanam oleh perusahaan; (2) Ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi iklim atau cuaca, terutama tingginya curah hujan; (3) Tingginya harga kontrak bibit Atlantik yang dibayar petani (Rp. 9000/kg), meskipun harga pembelian produksi kentang Atlantik juga cukup tinggi Rp. 3500/kg di Gudang Supplier atau Rp. 3750-3.800/kg franko pabrik; (4) Sering terjadinya keterlambatan kedatangan bibit sehingga menimbulkan ketidak pastian kapan tanam; (5) Meningkatnya harga sarana produksi lain, seperti pupuk, pestisida, fungisida, dan herbisida; (6) Buruknya infrastruktur sehingga menimbulkan kerusakan fisik dalam pengangkutan tinggi, sehingga menibulkan susut sekitar 7 persen yang juga ditanggung petani; (6) Adanya indikasi over produksi sebanyak dua truk yang saat ini ditampung di Cisurupan dan biaya ditanggung petani. Kinerja Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Melon dan Semangka di Jawa Tengah 21. Pemasaran komoditas melon asal daerah sentra produksi Jawa Tengah (Grobogan, Karang Anyar, Kebumen, dan Pekalongan) hampir sebagian besar ditujukan untuk memenuhi pasar di luar Jawa Tengah dengan tujuan pasar utama Jabotabek melalui Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta; Pasar Induk Cibitung, Bekasi dan Pasar Induk Tangeran (50 %), Pasar Induk Caringin, Bandung dan kota-kota kabupaten lain (15 %), serta untuk memenuhi kebutuhan pasar kota-kota kabupaten di Jawa Tengah dan xxviii
Yogyakarta (25 %) dan Jawa Timur (10 %) yaitu Surabaya, Sidoarjo, Jombang, dan Kediri. Secara umum petani produsen melon dan semangka menghadapi struktur pasar ekspor domestik, di mana petani yang cukup banyak berhadap dengan 4-6 orang pedagang pengepul. 22. Peluang pasar untuk komoditas melon dan semangka sangat luas baik untuk pasar lokal, antar provinsi, bahkan ekspor, serta untuk memenuhi pasar hipermarket seperti carefour. Diperkirakan para pedagang besar di pusat-pusat kota yang menjadi tujuan pasar selain memasok pasar tradisional juga memasok pasar-pasar swalayan. Kebutuhan komoditas dan semangka bagi konsumen terus meningkat setiap tahun, sehingga usaha budidaya komoditas semangka memiliki prospek yang baik untuk masa-masa mendatang, karena pasar telah tersedia dan budidaya melon dan semangka memberikan pendapatan yang lebih baik dibandingkan komoditas padi dan palawija. 23. Pembentukan harga melon dan semangka di pasaran secara umum sangat dipengaruhi oleh penawaran (suppy), sedangkan permintaan (demand) relatif stabil dan bahkan cenderung meningkat setiap tahun. Pembentukan harga pada kelembagaan kemitraan rantai pasok pola komoditas melon dan semangka pada prinsipnya berbasis harga pasar dit tujuan pasar utama (pasar induk, pasar propinsi). Sementara itu pada pola kemitraan usaha tertutup ditentukan berdasarkan kontrak atau kesepakatan-kesepakatan. Harga jual melon di tingkat produsen berkisar antara Rp. Rp. 800-2.300,/kg, sedangkan harga semangka bervariasi antara Rp. 500,00, - Rp 1.300,00 per kg, hal ini sangat tergantung dari jenis melon atau semangka (biji dan non biji; non biji merah dan non biji kuning, black beuaty), grade atau kualitas, musim buah-buah lain (rambutan, mangga, dan dirian) dan jumlah semangka yang dipasarkan, serta persaingan dengan daerah lain terutama Jawa Timur dan Pantura Jawa (Indramayu). 24. Terdapat empat pola kelembagaan pemasaran komoditas melon dan semangka asal Jawa Tengah yaitu : (1) Pola transaksional atau pola dagang umum yang melibatkan berbagai pelaku tataniaga ditemukan disemua lokasi; (2) Pola Kemitraan Petani atau Kelompok Tani dengan U.D Mekar buah ditemukan di Kabupaten Kebumen; dan (3) Pola Kemitraan Petani atau Kelompok Tani dengan CV. MGA Solo maupun dengan PT. Indofresh bergerak dalam bidang ekspor-impor hortikultura; serta (4) Pola Kemitraan Petani atau Kelompok Tani melalui UD. Mekar Buah dengan Carefour untuk komoditas semangka tertentu yaitu Black Beauty. 25. Pola kemitraan rantai pasok dengan perdagangan umum : (1) Terdapat dua tingkatan pedagang yaitu pedagang pengepul di daerah sentra produksi dan pedagang besar luar kabupaten serta pedagang besar di beberapa tujuan pasar utama (Jakarta, Bekasi, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Surabaya, Sidoarjo, Jombang, Kediri, Solo, Yogyakarta, Semarang, Pekalongan, Tegal); (2) Ikatan antara petani mandiri dan pedagang umumnya ikatan langganan baik dengan ikatan pinjaman modal maupun tanpa ikatan, biasanya pedagang yang menjadi langganan adalah pedagang yang dapat dipercaya; (3) Umumnya pedagang pengepul xxix
memasok untuk pasar-pasar induk di Jakarta, Bekasi, dan Bandung (60 %), kota-kota di Jawa Tengah (20 %), Jawa Timur (15 %), serta untuk pasar swalayan (5 %); (4) Untuk kualitas yang bagus dan memenuhi syarat dapat dipasok ke pasar Induk Kramat Jati-Jakarta dan Cibitung-Bekasi serta supplier swalayan (Carefour); dan (5) Untuk kulaitas yang kurang bagus dijual di pasar-pasar tradisional kota-kota Kabupaten Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. 26. Pola kemitraan rantai pasok antara petani secara individu dengan Ketua Kelompok yang bertindak sebagai pedagang mitra seperti kasus di Kabupaten Kebumen sudah berlangsung sejak tahun 1985-2006. Bebeberapa kewajiban pedagang mitra antara lain adalah : (1) menyediakan bibit melon dan semangka berkualitas; (2) menyediakan input lainnya sesuai kebutuhan petani mitra; (3) menyediakan modal kerja; (4) menampung dan memasarkan hasil melon dan semangka. Sementara itu, petani yang berjumlah kurang lebih 400 orang berkewajiban : (1) melakukan budidaya secara baik; (2) melaporkan jadwal kegiatan saat tanam dan panen dilakukan; dan (3) menyerahkan seluruh hasil produksinya ke pedagang mitra. Dalam kerjasama ini tidak dilakukan kontrak harga, namun harga mengikuti harga pasar, di mana pedagang mitra memberikan bukti nota hasil penjualannya dengan mengambil keuntungan antara Rp. 100200/kg tergantung permintaan pasar dan harga. 27. Pola kemitraan rantai pasok melalui Pola Kelompok Tani/Assosiasi dengan beberapa Perusahaan Mitra (CV. MGA Solo; dan PT. Indofresh) seperti kasus yang ditemukan di Kabupaten Pekalongan memberikan beberapa gambaran sebagai berikut : (1) Terdapat kesepakatan dalam penentuan luas pengusahaan komoditas melon/semangka pada masing-masing petani anggota, rata-rata seluas 0,167 Ha; (2) Terdapat kesepakatan tentang jenis atau varietas melon yang akan ditanam; (3) Terdapat pola pengaturan tentang jadwal tanam dan jadwal panen antar petani dan antarwilayah; (4) Pengadaaan sarana produksi (bibit, pupuk, obat-obatan, dan plastik mulsa PHP) dilakukan secara bersama (kelompok) atau dapat secara sendirisendiri; dan (5) Adanya mekanisme pemasaran bersama oleh kelompok tani/asosiasi di mana harga mengikuti harga pasar; serta (6) Ada iuran kelompok/assosiasi Rp. 100.000/bulan atau Rp. 200.000/musim/anggota sebagai modal kelompok, dewasa ini sudah terkumpul Rp. 30. juta yang digunakan untuk modal kelompok. 28. Beberapa keuntungan yang diperoleh karena bergabung dengan Assosiasi Melon dan melakukan kemitraan usaha antara lain adalah : (1) Harga melon stabil sehingga harga tidak dipermainkan pedagang; (2) Adanya jaminan pemasaran; (3) Mendapatkan informasi teknologi baru tentang pembudiyaan Melon; (4) Tidak akan terjadi booming akibat pengaturan luas tanam, waktu tanam dan varietas yang diminta pasar; dan (5) Adanya apresiasi terhadap komoditas melon dan semangka dengan trade maek daerah sentra produksi tertentu.
xxx
Kinerja Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Melon dan Semangka di Bali 29. Hasil identifikasi di tingkat provinsi diperoleh informasi bahwa paling tidak terdapat 11 Kelompok Tani/STA di Provinsi Bali yang bergerak pada komoditas hortikultura dan baru terdapat satu Kelompok Tani/STA yang sudah bergerak pada komoditas melon dan semangka yaitu : Tani Tunas Jaya, komoditas sayur-sayuran termasuk semangka dan melon, berlokasi di Desa Penyaringan, Mendoyo, Kabupaten Jembrana. 30. Pemasaran komoditas melon Giayar hampir sebagian besar ditujukan untuk memenuhi pasar lokal Bali baik pasar tradisional maupun hotel dan restauran, serta super market. Sementara itu pemasaran produksi semangka Kabupaten Jembrana selain untuk memenuhi konsumen lokal Bali terutama untuk Kota Denpasar dan sekitarnya, semangka juga dipasarkan ke Pulau Jawa seperti Surabaya, Malang, Jakarta, Bekasi dan kota-kota lainnya di Pulau Jawa. Khusus untuk pasar lokal Bali membutuhkan semangka sekitar 32 ton per hari dan kebutuhan pasar tersebut sebagian besar (sekitar 75 %) dipenuhi dari Kabupaten Jembrana, pada bulan-bulan tertentu. Secara umum petani produsen melon dan semangka menghadapi struktur pasar yang oligopsonistik, di mana petani yang cukup banyak berhadapan dengan 3-4 pedagang pengepul. 31. Pembentukan harga melon dan semangka di pasaran secara umum sangat dipengaruhi oleh penawaran (suppy), sedangkan permintaan (demand) relatif stabil dan bahkan cenderung meningkat setiap tahun. Pembentukan harga pada berbagai pola kelembagaan kemitraan rantai pasok untuk komoditas melon dan semangka di Bali berbasis harga pasar di tujuan pasar utama, yaitu pasar Induk Jakarta untuk semangka serta pasar Badung dan pasar Anyar untuk melon. Harga jual melon di tingkat produsen berkisar antara Rp. Rp. 800-2.000,-/kg, sedangkan harga semangka Rp 800,00, - Rp 1.800,00 per kg, hal ini sangat tergantung dari jenis melon atau semangka (biji dan non biji; non biji merah dan non biji kuning), grade atau kualitas, waktu pemasaran dan jumlah semangka yang dipasarkan, serta persaingan dengan daerah lain terutama semangka dari Jawa. 32. Hasil kajian di Kabupaten Gianyar dan Jembrana ditemukan beberapa pola kemitraan rantai pasok untuk usaha komoditas melon dan semangka, yaitu (1) Pola dagang umum antara petani mandiri dengan pedagang; (2) Pola Kemitraan antara petani secara individu dengan Pedagang Pengepul sebagai Mitra; dan (3) Pola kemitraan dalam bentuk kelompok tani antara petani anggota dengan pengurus kelompok. 33. Pola kemitraan rantai pasok dengan perdagangan umum memberikan beberapa gambaran sebagai berikut : (1) Terdapat dua tingkatan pedagang yaitu pedagang pengepul di daerah sentra produksi dan pedagang besar di beberapa tujuan pasar utama; (2) Ikatan antara petani mandiri dan pedagang umummnya ikatan langganan baik dengan ikatan pinjaman modal maupun tanpa ikatan; (3) Umumnya pedagang pengepul memasok untuk pasar-pasar induk di Jakarta, Bekasi, dan Surabaya (60 %), kota-kota lain di Jawa (20 %) dan pasar lokal di Denpasar, Badung dan kota lainnya xxxi
(20 %); (4) Untuk kualitas yang bagus dan memenuhi syarat dapat dipasok ke pasar Induk Kramat Jati-Jakarta dan Cibitung-Bekasi serta supplier hotel dan restaurant di Bali; dan (5) Untuk kulaitas yang kurang bagus dijual di pasar-pasar tradisional lokal Bali. 34. Pola kemitraan rantai pasok antara petani secara individu dengan pedagang pengepul sudah berlangsung sejak tahun 1990-2006 dan bertahan bahkan keanggotaannya berkembang hingga antar wilayah kabupaten. Bebeberapa kewajiban Pedagang Mitra adalah : (1) menyediakan bibit berkualitas; (2) menyediakan input lainnya sesuai kebutuhan petani mitra; (3) menyediakan modal kerja; (4) menampung dan memasarkan hasil. Sementara itu, petani yang berjumlah kurang lebih 40 orang berkewajiban : (1) melakukan budidaya secara baik; (2) melaporkan jadwal kegiatan saat tanam dan panen dilakukan; dan (3) menyerahkan seluruh hasil produksinya ke pedagang mitra. Dalam kerjasama ini tidak dilakukan kontrak harga, namun harga mengikuti harga pasar, di mana pedagang mitra memberikan bukti nota hasil penjualannya dengan mengambil keuntungan antara Rp. 100-200/kg tergantung permintaan pasar dan harga. Rata-rata tingkat pendapatan petani melalui kerjasama ini kurang lebih Rp. 1.200-1.800,-/kg. 35. Pola kemitraan rantai pasok melalui Pola Kelompok Tani/STA memberikan beberapa gambaran sebagai berikut : (1) Terdapat kesepakatan dalam penentuan luas pengusahaan komoditas melon/semangka pada masingmasing petani anggota; (2) Terdapat kesepakatan tentang jenis atau varietas melon yang akan ditanam sesuai dengan permintaan pasar; (3) Terdapat pola pengaturan tentang jadwal tanam dan jadwal panen antar petani dan antar wilayah sehingga managemen pemasaran dapat dilakukan secara terencana; (4) Terdapat kesepakatan dalam pengadaan saprodi (bibit, pupuk, obat-obatan, dan Plastik mulsa PHP) secara bersama atau dapat secara sendiri-sendiri; dan (5) Adanya mekanisme pemasaran bersama oleh kelompok tani/asosiasi/STA di mana harga mengikuti harga pasar; serta (6) Adanya fee atau keuntungan untuk kelompok tani/ assosiasi/STA. Kendala-Kendala Pokok di Tingkat Petani 36. Beberapa masalah teknis budidaya yang dihadapi petani antara lain adalah: (1) Kurangnya ketersediaan bibit hortikultura berkualitas dengan prinsip enam tepat; (2) Belum tersedianya paket teknologi komoditas hortikultura yang bersifat spesifik lokasi; (3) Cuaca buruk (curah hujan tinggi, kekeringan, perubahan cuaca secara drastis); (4) Tingginya tingkat serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) pada komoditas hortikultura; (5) Stagnasi produktivitas melon dan semangka di daerahdaerah sentra produksi utama; (6) Sistem panen dan penanganan pasca panen belum prima; (7) SDM petani dan aparat (KCD/BPP/PPL) yang masih belum menguasai sepenuhnya teknologi budidaya komoditas
xxxii
hortikultura. dan (8) infrastruktur pertanian yang kurang memadai terutama jalan desa, jalan usahatani, dan jaringan irigasi. 37. Beberapa masalah ekonomi yang dihadapi petani antara lain : (1) Tingginya harga sarana produksi komoditas hortikultura seperti bibit, pupuk, dan obatobatan, serta mulsa PHP; (2) Adanya indikasi over produksi pada saat panen raya dan kekurangan pada saat nonpanen raya; (3) Harga produk hortikultura mengalami fluktuasi dalam jangka pendek; (4) Lemahnya permodalan petani, sehingga petani meminjam ke kios saprodi atau pedagang mitra dengan sistem bayar setelah panen; (5) Belum efisiennya sistem pemasaran komoditas hortikultura. 38. Beberapa masalah kelembagaan dihadapi petani : (1) Lemahnya konsolidasi kelembagaan di tingkat petani baik dari aspek kepemimpinan (kepengurusan), keanggotaan, managemen, permodalan, serta kurangnya jiwa kewirausahaan; (2) Kelembagaan kemitraan rantai pasok yang eksis telah membantu petani dalam pengadaan sarana produksi, penyediaan modal kerja, dan pemasaran hasil, namun menempatkan posisi petani sebagai sub ordinat dari pedagang atau perusahaan mitra. Simpul-Simpul Kritis Prasyarat Membangun Kelembagaan Rantai Pasok Berkelanjutan 39. Beberapa hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian dalam kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura di Indonesia (kentang, melon, dan semangka) antara lain adalah : (1) Membangun serta memperkuat kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura melalui proses sosial yang matang; (2) Pemahaman Terhadap Jaringan Agribisnis Hortikultura; (3) Pentingnya perencanaan dan pengaturan produksi di tingkat kelompok tani; (4) Pentingnya program pengembangan irigasi spesifik komoditas hortikultura seperti irigasi air pegunungan untuk hortikultura dataran tinggi (kentang) serta irigasi tetes dan pompanisasi untuk hortikultura dataran rendah (melon dan semangka); (5) Pentingnya manajemen yang bersifat transparan, terutama menyangkut pembagian hak dan kewajiban, harga dan pembagian keuntungan; (6) Adanya komitmen yang tinggi antara pihak yang bermitra, sehingga terbangun saling percayamempercayai; (7) Pentingnya penyediaan infrastruktur penanganan pascapanen dan pemasaran hasil yang memadai terutama di daerahdaerah sentra produksi; (8) Adanya pendampingan dan pembinaan oleh PPL Ahli di bidang komoditas hortikultura (kentang, melon dan semangka); (9) Konsolidasi kelembagaan kelompok tani baik dari aspek keanggotaan, managemen, permodalan, serta pengembangan usaha dan jalinan kemitraan rantai pasok, sehingga terbangun kelembagaan kelompok tani yang handal; (10) Membangun jiwa dan semangat kewirausahaan; (11) Usaha-usaha stabilisasi harga melalui (perluasan tujuan pasar, efisiensi sistem pemasaran, pengembangan infrastruktur pasar) baik di daerah sentra produksi maupun daerah tujuan pasar utama dan pengembangan industri pengolahan di daerah-daerah sentra produksi; (12) Pengembangan xxxiii
sistem informasi yang handal baik dari aspek manajemen produksi maupun pemasaran; dan (13) Meletakkan integrasi-koordinasi vertikal secara tepat dalam kelembagan kemitraan rantai pasok, serta (14) Membangun Kelembagaan Kemitraan Usaha Terpadu. Penyempurnaan model kelembagaan kemitraan rantai pasok hortikultura 40. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengembangan kelembagaan kemitraan rantai pasok melalui integrasi atau koordinasi vertikal adalah yang paling baik dalam kemampuannya meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, akses terhadap pasar, serta dalam rangka peningkatan dayasaing produk hortikultura, namun perlu komitmen yang tinggi dan keterbukaan antara pihak yang bermitra. Baik yang dijumpai pada kelembagaan kemitraan rantai pasok pada komoditas kentang atlantik yang ditujukan untuk memenuhi konsumen industri pengolahan PT. IFM, kelembagaan rantai pasok untuk memenuhi kebutuhan konsumen pasar modern super market atau hyper market, juga untuk memenuhi konsumen institusi hotel berbintang, serta untuk memasok Perusahaan ekspor-impor komoditas hortikultura seperti kasus pada PT. Indofresh. Meskipun fakta di lapang kelembagaan kemitraan rantai pasok yang dominan adalah melalui pola dagang umum. 41. Beberapa alasan pokok yang mendasari pentingnya pengembangan kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura secara terintegratif antara lain sebagai berikut: (1) adanya integrasi antara sub sistem agribisnis hulu (pengadaan saprodi serta alsintan), sub sistem budidaya, serta sub sistem agribisnis hilir (penaganan pasca panen, pemasaran dan distribusi) dapat menghapus pasar produk antara sehingga dapat menghilangkan margin ganda; (2) dengan membangun kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura secara terintegratif akan dapat menghilangkan atau mengurangi masalah transmisi harga yang bersifat asimetris; dan (3) ada insentif untuk terus melakukan inovasi (teknologi, manajemen atau rekayasa sosial-kelembagaan dan pemasaran) pada setiap kegiatan agribisnis, karena manfaat inovasi tersebut akan dinikmati secara bersama-sama dan dibiayai secara bersama-sama. 42. Kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura berkelanjutan dapat diwujudkan dengan memanfaatkan dua sumber pertumbuhan utama, yaitu pertumbuhan sisi penawaran atau produksi dan pertumbuhan sisi permintaan berupa peningkatan pendapatan atau dayabeli masyarakat. Pemanfaatan sumber pertumbuhan produksi dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas, produksi, kualitas, dan kontinuitas pasokan, serta penciptaan nilai tambah produk hortkultura. 43. Model kelembagaan kemitraan rantai pasok korporasi terpadu dapat dijadikan alternatif dengan mempertimbangkan berbagai bentuk kelembagaan yang hidup dan telah diterima oleh komunitas lokal atau tradisional (voluntary sector), kelembagaan pasar atau ekonomi (private sector) sejalan dengan keterbukaan ekonomi, dan kelembagaan xxxiv
politik/pemerintah atau sistem pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector) IMPLIKASI KEBIJAKSANAAN 44. Perancangan dan pelaksanaan pengembangan Kelembagaan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura di daerah sentra produksi haruslah didasarkan atas keseimbangan Supplay dan Demand, segmen dan tujuan pasarnya, serta dilakukan secara terpadu antar pelaku agribisnis sehingga terbangun kelembagaan rantai pasok yang saling membutuhkan, memperkuat, dan menguntungkan melalui keterpaduan pelaku dan produk. 45. Pentingnya meningkatkan posisi tawar petani dalam kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura melalui konsolidasi kelembagaan kelompok tani, konsolidasi antar kelembagaan kelompok tani baik dari aspek managemen, keanggotaan, dan permodalan, serta aksessibilitasnya terhadap pasar. 46. Langkah selanjutnya adalah merangkul semua pelaku agribisnis hortikultura yang terlibat dalam kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura di daerah sentra produksi utama. Kemudian mendudukannya dalam suatu kelembagaan kemitraan rantai pasok dengan pembagian peran atau fungsi dan hak secara jelas dan disepakati baik secara tertulis atau musyawarah-mufakat dan pentingnya masing-masing pihak memegang komitmen. Artinya, sama-sama berbuat, sama-sama bekerja, sama-sama menanggung risiko dan sama-sama menikmati keuntungan secara adil dan transparan. 47. Beberapa saran kebijakan operasional dalam membangun kelembagaan kemitraan usaha yang berdayasaing di kawasan sentra produksi antara lain adalah: (1) Ketersediaan bibit berkualitas dan sarana produksi dengan enam prinsip tepat, yaitu tepat jenis, jumlah, kualitas, tempat, waktu, harga; (2) Perakitan teknologi spesifik lokasi; (2) Adanya jaminan pemasaran dan kepastian harga; (3) Pentingnya membangkitkan kembali kelembagaan kelompok tani; (4) Pentingnya membangun kelembagaan pembiayaan yang mudah di akses petani; (5) Membangun kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura yang memenuhi azas terpusat (centrality), efisien (efficiency), menyeluruh dan terpadu (holistic and integrated), dan kelestarian lingkungan (sustainable ecosystem); (6) Membangun sistem penyuluhan terpadu baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta; serta (7) Merumuskan beberapa alternatif mekanisme dan sistem kelembagaan kemitraan rantai pasok yang eksis dan berjalan di lapangan secara partisipatif. 48. Implementasi Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura Terpadu, sebagai model alternatif, adalah sebagai berikut : (1) petani melakukan konsolidasi dalam wadah kelompok tani; (2) kelompok tani-kelompok tani mandiri dapat ditransformasikan dalam kelembagaan formal berbadan hukum (koperasi pertanian, koperasi agribisnis, atau xxxv
kelembagaan lainnya sesuai kebutuhan); (3) kelompok tani mandiri atau yang sudah dalam kelembagaan berbadan hukum mengkonsolidasikan diri dalam bentuk gaboktan atau assosiasi petani/assosiasi agribisnis; (4) kelembagaan-kelembagaan yang telah tergabung tersebut melakukan konsolidasi manajemen usaha pada hamparan lahan yang memenuhi skala usaha, tergantung jenis komoditas (10-25 hektar); (5) pilihan komoditas atau kelompok komoditas di sesuaikan dengan potensi wilayah dan permintaan pasarnya; (6) penerapan manajemen korporasi dalam menjalankan sistem usaha agribisnis; (7) pemilihan perusahaan mitra yang didasarkan atas rekomendasi dari Dinas dan atau Direktorat Teknis yang di dasarkan atas komitmentnya membangun masyarakat agribisnis; dan (8) Adanya kelembagaan Pusat Pelayanan dan Konsultasi Agribisnis (PPA) sebagai mediator dan fasilitator terbangunnya kelembagaan kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura terpadu.
xxxvi