LAPORAN AKHIR KEGIATAN PENELITIAN TA. 2016
ANALISIS KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2016
i
LEMBAR PENGESAHAN Satuan Kerja (Satker)
: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Judul Kegiatan Status Pagu Anggaran Tahun Anggaran Sumber Anggaran
: : : : :
Pejabat Penanggungjawab Output (PPO)
: Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, MT NIP. 19610210 199003 1 001
Penanggung Jawab Pelaksana Output (PJPO)
: Dr. Siti Hajar Suryawati NIP. 197708122002122002
Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan Lanjutan Rp 1.200.000.000,2016 APBN/APBNP *) DIPA Satker Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2016
Jakarta, Desember 2016 Pejabat Penanggung Jawab Output
Penanggung Jawab Pelaksana Output
Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, MT NIP. 19610210 1990 03 1 001
Dr. Siti Hajar Suryawati NIP. 19770812 200212 2 002
Mengetahui/Menyetujui: Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Tukul Rameyo Adi, MT NIP. 19610210 1990 03 1 001
ii
RINGKASAN Penyusunan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang melibatkan, mendengarkan dan mempertimbangkan masukan, saran dan kebutuhan pemangku kepentingan serta pelaku usaha memerlukan analisis serta alternatif pemecahan masalah akan dinamika pembangunan kelautan dan perikanan. Analisis yang tajam, cepat dan tepat merupakan faktor penting dalam membuat dan memperbaiki kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang lebih tepat sasaran, waktu dan program. Tujuan dari analisis kebijakan adalah menyediakan informasi yang dapat digunakan oleh pembuat kebijakan untuk memberikan penilaian yang beralasan dalam merumuskan solusi terhadap masalah-masalah kelautan dan perikanan. Penelitian secara khusus akan program-program pembangunan kelautan dan perikanan merupakan media untuk menghasilkan analisis kebijakan tersebut. Analisis dan Penghitungan Indeks Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan (IKMKP) Tahun 2015 dilakukan mengacu pada metode yang dikembangkan oleh BBPSEKP Tahun 2015. IKMKP dikembangkan dengan mengacu pada konsep IKraR untuk menggambarkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. Penyusunan formula dan penghitungan IKMKP Tahun 2015 ini dimaksudkan untuk memudahkan pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah dalam mengintegrasikan aspek-aspek penting yang selayaknya menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. Dimensi pembangun IKMKP adalah dimensi sosial dan kelembagaan dan dimensi ekonomi, masing-masing terdiri dari 11 indikator. Capaian IKMKP Tahun 2015 berdasarkan hasil perhitungan adalah 48,15. Capaian dimensi sosial dan kelembagaan sebesar 48,53 dan dimensi ekonomi sebesar 46,53. Propinsi DI Aceh menempati peringkat pertama dengan nilai IKMKP sebesar 100 dan peringkat terakhir adalah Propinsi Kalimantan Tengah dengan nilai IKMKP sebesar 0,00. Salah satu Indikator Kinerja Utama KKP sepanjang periode 2016-2019 adalah Pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto Kelautan dan Perikanan (PDBKP) sebesar 8%, 9,5%, 11% dan 12%. Salah satu variabel penentu besaran PDBKP adalah Pembentukan Modal di sektor KP (Investasi). Atas dasar itu dilakukan Kajian Simulasi Kebutuhan Investasi Sektor Kelautan dan Perikanan untuk Mendorong Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Sebesar 8,9%. Kajian dilakukan dengan mengaplikasikan model general equilibrium (GE) dan model single-market equilibrium (SME). Simulasi ini ditujukan untuk memperkirakan dana yang diperlukan untuk membiayai pembangunan sektor KP di masa depan, sehingga dapat diperkirakan besarnya jumlah investasi yang dibutuhkan untuk memperoleh tujuan. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk mendorong pertumbuhan PDBKP seperti yang telah iii
ditargetkan pada PERMEN KP 45/2015, maka diperkirakan akan diperlukan pembentukan modal di sektor Perikanan pada periode 2016-2019 sebesar Rp. 909 milliar, Rp. 1288 milliar, Rp. 1689 milliar, dan Rp. 2050 milliar. Untuk Kajian Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Perikanan terhadap Pelaksanaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta kesimpulan yang didapat adalah terganggunya relasi jaringan sosial yang tidak lain merupakan jaminan sosial. Dengan adanya program reklamasi perairan Teluk Jakarta, maka aktor-aktor dalam relasi jaringan sosial yang telah terpola mengalami perubahan untuk mempertahankan kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Sedangkan hasil perhitungan nilai kerugian akibat potensi ekonomi yang hilang antara lain: Setiap wilayah perairan yang hilang seluas 1 ha menyebabkan kerugian ekonomi yang diterima oleh nelayan adalah Rp 26.899.369,- per orang per tahun. Total kerugian nelayan akibat berkurangnya wilayah perairan di Teluk Jakarta sebesar Rp 137.536.474.541,- per tahun; Setiap unit usaha budidaya kerang hijau yang terkena dampak reklamasi mengakibatkan kerugian pembudidaya sebesar Rp 85.599.135,- per unit per tahun. Jumlah unit budidaya kerang hijau tercatat sebesar 1.155 unit sehingga total kerugian mencapai Rp 98.867.000.590,per tahun.; Setiap luasan 1 ha tambak yang terkena dampak reklamasi mengakibatkan kerugian sebesar Rp 27.992.943,- per tahun; Setiap pedagang perikanan memiliki potensi kerugian sebesar Rp. 76.488.078 per tahun atau Rp. 6.374.007 per bulan. Jumlah pedagang yang tercatat berdasarkan hasil identifikasi lapangan adalah 1.561 orang sehingga nilai total kerugian sebesar Rp. 119.397.890.393 / tahun; Setiap pengolah hasil perikanan memiliki potensi kerugian sebesar Rp. 97.797.274,- per tahun atau Rp. 8.149.773 per bulan. Kompensasi yang setara dengan kerugian nelayan adalah Rp. 18.175.826/tahun/orang atau Rp. 1.514.652/bulan/orang. Kompensasi terhadap pembudidaya kerang hijau sebesar Rp. 63.539.203 /tahun/orang atau Rp.5.294.934 /bulan/orang. Kompensasi terhadap pedagang perikanan sebesar Rp. 76.488.078 /tahun/orang atau Rp. 6.374.007/bulan/orang. Kompensi terhadap pengolah hasil perikanan adalah Rp. 97.797.274,- per tahun atau 8.149.773 per bulan. Sedangkan untuk Kajian Dampak Sosial Ekonomi Pelarangan Pengoperasian Alat Penangkapan Ikan (API) Cantrang di Wilayah Propinsi Jawa Tengah, rekomendasi Kebijakan yang diberikan dari hasil penelitian ini adalah alat tangkap cantrang tetap di perbolehkan akan tetapi lokasi penangkapan boleh dipindahkan keluar WPP 712. Alat tangkap yang dapat digunakan sebagai pengganti adalah Purse Seine dan untuk itu diperlukan pelatihan. Cantrang tetap diizinkan untuk operasional dengan sebelumnya dilakukan verifikasi terhadap API cantrang yang digunakan (sesuai dengan aturan alat tangkap baik ukuran mata jaring dan ukuran kapal). Perpanjangan waktu penggunaan alat tangkap cantrang sampai masa pelunasan pinjaman ke Bank (2-3 tahun). Izin operasional API cantrang tetap diberikan untuk
iv
kapal ukuran <30 GT, dan tidak diberikan lagi izin baru. Operasional alat tangkap >30 GT dialihkan ke WPP yang pemanfaatannya belum optimal. Kajian Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Perhitungan Dampak Kerugian dalam Rangka Penanggulangan Dampak Tumpahan Minyak terhadap Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dilakukan sebagai upaya menindaklanjuti kejadian pencemaran sumberdaya akibat tumpahan minyak. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, bahwa tumpahan minyak di laut adalah lepasnya minyak baik langsung atau tidak langsung ke lingkungan laut yang berasal dari kegiatan pelayaran, kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi atau kegiatan lain. Saat ini beroperasi sekitar 80 anjungan minyak lepas pantai berada di perairan Indonesia dimana dalam operasionalnya memiliki resiko terjadinya tumpahan minyak. Kondisi ini dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan yang tidak saja mengancam ekosistem laut tetapi juga dapat merugikan nelayan, pembudidaya ikan dan kesejahteraan masyarakat pesisir secara umum. Untuk itu perlu diketahui nilai sumberdaya yang tercemar, sehingga pada saat terjadi tumpahan minyak dapat mengajukan klaim ganti rugi terutama untuk kegiatan pemulihan lingkungan peaiaran yang terkena dampak tumpahan minyak. Secara umum proses yang perlu dilakukan dalam penghitungan tumpahan minyak terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan terdiri dari 4 langkah yaitu : 1) Perencanaan survey lapangan; 2) Survey lapangan; 3) Pengolahan dan analisis data; dan 4) Laporan dan dokumentasi. Untuk Kajian Ketersediaan Ikan menjelang Hari Lebaran, terkait indeks ketidakstabilan harga menjelang Bulan Ramadhan tahun 2016, komoditas yang memiliki indeks ketidakstabilan yang tinggi adalah lobster, meka, marlin, samge, bakso ikan tuna, rumput laut betutu, teripang, tiram dan sidat. Kondisi tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari 3 kejadian seperti berikut: 1) meningkatnya permintaan tanpa diikuti peningkatan ketersediaan; 2) meningkatnya permintaan dibarengi dengan menurunnya ketersediaan; atau 3) berkurangnya ketersediaan pada kondisi permintaan yang tidak berubah. Untuk Kajian Pemberdayaan Perempuan Pesisir dalam Kelembagaan Usaha, diperoleh kesimpulan bahwa setidaknya terdapat beberapa pemberdayaan perempuan di komunitas Klinik Iptek Mina Bisnis (KIMBis) sebagai kelompok usaha. Pemberdayaan tersebut dapat dilihat melalui pendekatan, pelatihan skill, akses pemasaran, sarana konsultasi kelompok dan pendampingan. Adapun dampak dari pemberdayaan ini antara lain dampak bagi perempuan itu sendiri, dampak bagi ekonomi dan dampak bagi budaya.
v
Untuk Kajian Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Perikanan dalam Perekonomian Nasional, besaran multiplier output bagi kelima sektor Perikanan adalah bernilai di atas 1. Nilai tertinggi terjadi pada Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan sebesar 2,01 yang berarti bahwa setiap peningkatan permintaan akhir atas produk Industri tersebut akan mengakibatkan seluruh sektor dalam perekonomian mengalami peningkatan produksi sebesar 2,01 kali dari peningkatan permintaan akhir yang terjadi. Sebagai Ilustrasi, jika terjadi peningkatan konsumsi masyarakat atas produk Industri pengolahan dan pengawetan Ikan senilai Rp. 1 Triliun, maka secara total, perekonomian Indonesia akan mengalami peningkatan nilai produksi sebesar Rp. 2,01 Triliun. Nilai pengganda output paling rendah terjadi pada Sektor Perikanan Tangkap senilai 1,2. Kajian Dampak Ekonomi Kebijakan Pemberantarasan IUUF terhadap Perikanan Skipjack Tuna di Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan pemberantasan IUUF telah mampu menurunkan upaya penangkapan tuna cakalang kurang lebih 40% terhadap total upaya sebelum November 2014. Penurunan upaya ini dimodelkan dalam analisa bio ekonomi dan menganalisa hasilkan beberapa simulasi kebijakan sebagai berikut: 1) Kebijakan IUUF dilanjutkan dan disertai reformasi pengelolaan perikanan dalam negeri, maka perikanan tuna cakalang akan mengalami peningkatan total tangkapan 25% dan 22 % peningkatan keuntungan ekonomi atau profit pada tahun 2035 dibandingkan kondisi saat ini; 2) Kebijakan IUUF dilanjutkan dan tanpa dengan reformasi pengelolaan perikanan dalam negeri, maka perikanan tuna cakalang akan mengalami penurunan total tangkapan 29 % dan 47 % penurunan keuntungan ekonomi atau profit pada tahun 2035 dibandingkan kondisi saat ini; dan 3) Tanpa kebijakan IUUF dan tanpa reformasi pengelolaan perikanan, perikanan tuna cakalang akan mengalami penurunan total tangkapan 52% dan 66% penurunan keuntungan ekonomi atau profit pada tahun 2035 dibandingkan kondisi saat ini. Langkah-langkah strategis yang direkomendasikan adalah: 1) Penertiban sistem perijinan kapal perikanan tuna cakalang di Indonesia; 2) Implementasi dari PSMA yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka tetap penegakan IUUF yang tidak dapat ditoleransi; dan 3) Peningkatan tracebility (ketertelurusan) untuk produk-produk tuna cakalang dari Indonesia.
vi
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat ridhoNya, kami dapat menyelesaikan Laporan Kegiatan Akhir Kegiatan Penelitian Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikakann. Kegiatan ini bertujuan untuk “memberikan masukan dan rumusan alternatif/rekomendasi kebijakan kepada pengambil kebijakan untuk antisipasi dan mengatasi (problem solving) berbagai masalah pembangunan kelautan dan perikanan” pada Tahun Anggaran 2016. Dalam laporan ini, kajian yang telah dilakukan meliputi : 1) Analisis dan Penghitungan Indeks Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan (IKMKP) Tahun 2015; 2) Simulasi Kebutuhan Investasi Sektor Kelautan dan Perikanan untuk Mendorong Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Sebesar 8,9%; 3) Kajian Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Perikanan terhadap Pelaksanaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta; 4) Kajian Dampak Sosial Ekonomi Pelarangan Pengoperasian Alat Penangkapan Ikan (API) Cantrang di Wilayah Propinsi Jawa Tengah; 5) Kajian Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Perhitungan Dampak Kerugian dalam Rangka Penanggulangan Dampak Tumpahan Minyak terhadap Sumberdaya Kelautan dan Perikanan; 6) Kajian Ketersediaan Stok Ikan Menjelang Hari Raya Lebaran, 7) Kajian Pemberdayaan Perempuan Pesisir dalam Kelembagaan Usaha; 8) Kajian Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Perikanan dalam Perekonomian Nasional; dan 9) Kajian Dampak Ekonomi Kebijakan Pemberantarasan IUUF terhadap Perikanan Skipjack Tuna di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi, kesediaan, dedikasi dan konsistensinya dalam memberikan bantuan data dan informasi, arahan dan bimbingan sejak awal penyusunan rencana penelitian hingga pada penyelesaian laporan teknis akhir tahun ini. Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, namun kami berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun laporan ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tim peneliti kegiatan penelitian ini mengharapkan saran dari berbagai pihak demi penyempurnaan ke depan. Harapan kami semoga laporan TW III dapat menjadi rujukan atau referensi bagi stakeholders yang terkait baik sebagai penentu kebijakan maupun pihak-pihak lain yang terkait lainnya.
Jakarta, Desember 2016
Tim Penyusun
vii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................... ii RINGKASAN .............................................................................................................. iii KATA PENGANTAR ................................................................................................ vii DAFTAR ISI .............................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xiiiii I. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 1.2 Tujuan Utama ...................................................................................................... 2 1.3 Tujuan Spesifik.................................................................................................... 2 1.4 Perkiraan Keluaran .............................................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 3 2.1 Analisis Kebijakan .............................................................................................. 3 2.2 Tinjauan Isu-Isu Strategis Sektor KP .................................................................. 5 III. METODOLOGI ...................................................................................................... 8 IV. HASIL KEGIATAN ............................................................................................. 12 4.1
Analisis dan Penghitungan Indeks Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan
Perikanan Tahun 2015 ............................................................................................. 16 4.1.1 Pendahuluan ................................................................................................ 16 4.1.2 IKMKP Tahun 2015 ................................................................................... 18 4.1.3 Kesimpulan ................................................................................................. 22 4.2 Model Simulasi Investasi terhadap Pertumbuhan PDB Sektor Kelautan dan Perikanan 8,9% ........................................................................................................ 24 4.2.1 Latar Belakang ............................................................................................ 24 4.2.2 Hasil Analisis Trend dan Proyeksi Exchange Rate dan Inflasi .................. 26 4.2.3 Model Proyeksi Exchange Rate dan Inflasi ................................................ 26
viii
4.2.4 Kesimpulan ................................................................................................. 27 4.3
Kajian Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Perikanan terhadap Pelaksanaan
Reklamasi Pantai Utara Jakarta ............................................................................... 29 4.3.1 Latar Belakang ............................................................................................ 29 4.3.2 Metode Penelitian ....................................................................................... 30 4.3.3
Hasil dan Pembahasan........................................................................... 31
4.3.4 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan .................................................. 37 4.4
Kajian
Dampak
Sosial
Ekonomi
Pelarangan
Pengoperasian
Alat
Penangkapan Ikan (API) Cantrang di Wilayah Propinsi Jawa Tengah ................... 39 4.4.1 Latar Belakang ............................................................................................ 39 4.4.2 Metodologi Penelitian ................................................................................. 40 4.4.3 Hasil dan Pembahasan ................................................................................ 43 4.4.4 Kesimpulan ................................................................................................. 73 4.4.5 Alternatif Opsi Kebijakan ........................................................................... 74 4.5
Kajian Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Perhitungan
Dampak Kerugian Dalam Rangka Penanggulangan Dampak Tumpahan Minyak Terhadap Sumberdaya Kelautan Dan Perikanan ..................................................... 77 4.5.1 Latar Belakang ............................................................................................ 77 4.5.2 Prosedur Pengumpulan Data dan Keterangan Kerugian Dampak Tumpahan Minyak ................................................................................................................. 78 4.6 Kajian Ketersediaan Stok Ikan Menjelang Hari Raya Lebaran ........................ 84 4.6.1 Latar Belakang ............................................................................................ 84 4.6.2 Metodologi penelitian ................................................................................. 86 4.6.3 Hasil dan pembahasan ................................................................................ 87 4.6.4 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan .................................................. 96 4.7 Kajian Pemberdayaan Perempuan Pesisir dalam Kelembagaan Usaha ............ 97 4.7.1 Latar Belakang ............................................................................................ 97 4.7.2 Metode Penelitian ....................................................................................... 97 4.7.3 Hasil Dan Pembahasan ............................................................................... 98 ix
4.7.4 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan ................................................ 100 4.8 Kajian Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Sektor Perikanan Indonesia 101 4.8.1 Latar Belakang .......................................................................................... 101 4.8.2 Metodologi Penelitian ............................................................................... 101 4.8.3 Hasil Dan Pembahasan ............................................................................. 103 4.8.4 4.9
Kesimpulan ......................................................................................... 109
Kajian Dampak Ekonomi Kebijakan Pemberantarasan IUUF terhadap
Perikanan Skipjack Tuna di Indonesia................................................................... 110 4.9.1 Latar Belakang .......................................................................................... 110 4.9.2 Dampak IUUF terhadap pengurangan upaya perikanan ........................... 111 4.9.3
Rekomendasi Kebijakan...................................................................... 114
4.9.4 Langkah-Langkah Strategis ...................................................................... 115 V. PENUTUP ............................................................................................................ 117 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 119
x
DAFTAR TABEL Tabel 1. Agenda, Arah Kebijakan Nasional dan Misi Pembangunan Kelautan dan Perikanan ......................................................................................................................5 Tabel 2. Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015-2019.............7 Tabel 3. Pendekatan dan Sumber Informasi Utama dalam Melakukan Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan Tahun 2016........................................................100 Tabel 4. Identifikasi Topik, Permasalahan, Tujuan,Metode Analisis dan Perkiraan Output Kegiatan Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan Tahun 2016 .............13 Tabel 5. Hasil Penghitungan Indeks Kesejahteraan Masyarakat KP Menurut Propinsi Tahun 2015..................................................................................................................18 Tabel 6 Dampak Sosial dan Ekonomi Pemberlakuan PERMEN No.2/2015 tentang Pelarangan Cantrang di Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah............................44 Tabel 7. Dampak Sosial Pelaranagn cantrang di Kabupaten Demak..............45 Tabel 8. Dampak Sosial dan Ekonomi Pemberlakuan PERMEN No.2/2015 tentang Pelarangan Cantrang di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah.................................46 Tabel 9. Besaran dan Luasan Dampak Sosial dari Pelarangan cantarng di Kabupaten Pati Tahun 2016 .................................................................................................50 Tabel 10. Dampak Sosial dan Ekonomi Pemberlakuan PERMEN No.2/2015 tentang Pelarangan Cantrang di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah .....................51 Tabel 11. Dampak Sosial Pelaranagn cantrang di kabupaten Rembang ....................54 Tabel 12. Dampak Sosial dan Ekonomi Pemberlakuan PERMEN No.2/2015 tentang Pelarangan Cantrang di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah ......................56 Tabel 13. Dampak Sosial Pelarangan Cantrang di Kabupaten Batang.......................59 Tabel 14. Dampak Sosial dan Ekonomi Pemberlakuan PERMEN No.2/2015 tentang Pelarangan Cantrang di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.......................61 Tabel 15. Daftar Hutang Kebutuhan Operasional per Trip ........................................63 Tabel 16. Dampak Sosial Pelarangan Cantrang di Kota Tegal...................................65 Tabel 17. Analisis Usaha Penangkapan Ikan dengan Alat Tangkap Arad di PPP Moro Demak, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah ...................................................66 Tabel 18. Analisis Finansial Usaha Penangkapan Ikan dengan Alat tangkap Arad<10GT di kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah .........................................66 Tabel 19. Analisis Usaha Penangkapan Ikan di PPP Bajo Mulyo, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah ................................................................................................67
xi
Tabel 20. Analisis Finansial Usaha Penangkapan Ikan di PPP Bajo Mulyo, Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah ......................................................................67 Tabel 21. Analisis Usaha Penangkapan Ikan di PPP Tasik Agung, Kabupaten Rembang, Propinsi Jawa Tengah .............................................................................. 68 Tabel 22. Analisis Usaha Penangkapan Ikan di PPP Tasik Agung, Kabupaten Rembang, Propinsi Jawa Tengah .............................................................................. 69 Tabel 23. Analisis Usaha Perikanan Cantrang dengan Alat Tangkap Lainnya di Kabupaten Batang ......................................................................................................70 Tabel 24. Analisis Finansial Usaha Penangkapan Ikan di PPP Klidang Lor, Kabupaten Batang ......................................................................................................70 Tabel 25. Analisis Usaha Alat Tangkap Cantrang dan Bubu di Kota Tegal ........... 71 Tabel 26. Analisis Finansial Usaha Penangkapan Ikan di PPP Tegalsari, Kota Tegal, Propinsi Jawa Tengah ..........................................................................................72 Tabel 27. Sepuluh Komoditas Perikanan Indonesia yang mengalami Instabilitasi Harga Tertinggi Sepanjang Periode Maret 2014- Mei 2016 .................................... .90 Tabel 28. Perkiranaan harga Sepuluh Komoditas Perikanan dengan CII 2014-2016 Tertinggi......................................................................................................................91 Tabel 29. Perkiraan Instabilitas Harga Pada Idul Fitri 1437 H ..................................92 Tabel 30.Perkiraan rata-Rata Pertumbuhan harga ................................................... 92 Tabel 31. Besaran Kontribusi Ekonomi Sektor Perikanan Terhadap Perekonomian Nasional.....................................................................................................................101 Tabel 32. Berbagai Ausmsi Simulasi Kebijakan Periode Tahun 2016-2019 ....105 Tabel 33. Dampak Kebijakan Peningkatan Konsumsi Ikan Trehadap Pertumbuhan Output Nasional (Satuan =%) ..................................................................................106 Tabel 34. Dampak Kabijakan Peningkatan Konsumsi Ikan terhadap Peningkatan PDB (Rp. Juta) .........................................................................................................106 Tabel 35. Dampak Kebijakan Peningkatan Konsumsi Ikan Terhadap Peningkatan Pendapatan Masyarakat............................................................................................106 Tabel 36. Dampak Kabijakan Peningkatan Konsumsi Ikan terhadap Peningkatan Keuntungan Pengusaha (Rp. Juta) ..........................................................................107 Tabel 37. Dampak Kebijakan Peningkatan Konsumsi Ikan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak......................................................................................................107 Tabel 38. Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil di WPP RI Tahun 2015 .........................................................................................................109 Tabel 39. Kapal Penangkapan Ikan yang Terdaftar di DJPT Pusat Beserta Ukurannya pada tahun 2013-2014,2015 ......................................................................................110
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Siklus Kebijakan sebagai suatu akumulasi ................................................ 3 Gambar 2. Pendekatan Pelaksanaan Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan Tahun 2016 ............................................................................................................................... 8 Gambar 3. Indeks Kesejahteraan masyarakat Kelautan dan Perikanan .................... 10 Gambar 4. Peta IKMKP 2015 ................................................................................... 21 Gambar 5. Peta IKMKP 2015 untuk Dimensi Sosial dan Kelembagaan……..21 Gambar 6. Peta IKMKP 2015 untuk Dimensi Ekonomi ……………………………21 Gambar 7. Plot Fit Kurva Trend Exchange Rate dan Inflasi ...................................... 26 Gambar 8. Saluran Pemasaran dan Relasi Jaringan Sosial pada Usaha Penangkapan Ikan di Teluk Jakarta (Sumber: PPSEKP, 2016) ........................................................ 33 Gambar 9. Perkembangan Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Pemilik per Bulan Pada 5 Lokasi Teluk Jakarta .............................................................................................. 334 Gambar 10. Perkembangan Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Pekerja (ABK) per Bulan .......................................................................................................................... .35 Gambar 11. Kerangka Analisis Kebijakan ………………………………………….41 Gambar 12. Kerangka pemikiran Kajian Dampak Sosial Ekonomi Pelarangan Pengoperasian Alat Penangkapan Ikan (API)) Cantrang di Wilayah Profinsi Jawa Tengah ………………………………………………………………………………42 Gambar 13 Jaringan Sosial di Kabupaten Demak ……………………………….…45 Gambar 14 Jaringan Sosial Pelaku Usaha Perikanan di Kabupaten Pati …………....49 Gambar 15 Jaringan Sosial di Kabupaten Rembang ………………………………..54 Gambar 16 Jaringan Sosial di Kabupaten Batang …………………………………..60 Gambar 17 Jaringan Sosial di Kota Tegal …………………………………………..64 Gambar 18. Flowchart Prosedur Penilaian Dampak Kerugian Ekonomi Akibat Tumpahan Minyak pada Sumberdaya Kelautan dan Perikanan .................................81
xiii
Gambar 19. Kerangka Pikir kajian Penghitungan Ketersediaan Ikan Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1437 H ................................................................................................84 Gambar 20. Perkembangan Produksi Perikanan di Indonesia, 2006-2015 ................85 Gambar 21. Proporsi Ekspor terhadap Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 – 2014.............................................................................................................................86 Gambar 22. Instabilitas Harga Vs Pertumbuhan Harga Komoditas Perikanan 2015.............................................................................................................................89 Gambar 23. Peta Perkiraan Instabilitas Harga Vs Pertumbuhan Harga Komoditas Perikanan Sepanjang Lebaran......................................................................................93 Gambar
24.
Peta
Keterkaitan
Sektor
Perikanan
dengan
Perekonomian
Nasional.....................................................................................................................103 Gambar 25. Sumber-sumber Pertumbuhan Sektor Perikanan Indonesia, Periode 20052010...........................................................................................................................104 Gambar 26. Jumlah kapal ikan di perairan Indonesia pada tahun 2014-2015 ...................................................................................................................................111 Gambar 27. Perkiraan total tangkapan tuna cakalang sampai dengan 2035 dari beberapa skenario kebijakan......................................................................................112
xiv
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyusunan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang melibatkan, mendengarkan dan mempertimbangkan masukan, saran dan kebutuhan pemangku kepentingan serta pelaku usaha memerlukan analisis serta alternatif pemecahan masalah akan dinamika pembangunan kelautan dan perikanan. Analisis yang tajam, cepat dan tepat merupakan faktor penting dalam membuat dan memperbaiki kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang lebih tepat sasaran, waktu dan program. Tujuan dari analisis kebijakan adalah menyediakan informasi yang dapat digunakan oleh pembuat kebijakan untuk memberikan penilaian yang beralasan dalam merumuskan solusi terhadap masalah-masalah kelautan dan perikanan. Penelitian secara khusus akan program-program pembangunan kelautan dan perikanan merupakan media untuk menghasilkan analisis kebijakan tersebut. Sejalan dengan dinamika lingkungan eksternal dan internal yang mempengaruhi pembangunan kelautan dan perikanan tersebut, maka perlu dicermati berbagai isu kebijaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan. Peran penelitian sosial ekonomi kelautan dan perikanan dalam melakukan analisis kebijakan sangat relevan dalam menguraikan berbagai perkembangan yang terjadi secara cepat di masyarakat. Hal ini dipertegas oleh Dukeshire and Thurlow (2002) bahwa peran penelitian sangat diperlukan dalam pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, ketersediaan bahan masukan berupa data dan informasi yang relevan menjadi semakin sangat penting dalam dinamika pembangunan sektor kelautan dan perikanan serta perumusan langkah antisipatif dan responsif yang cepat dan tepat. Sebagai unit kerja lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan, peneliti Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (PPSE-KP) harus mampu menyiapkan bahan kebijakan yang sifatnya antisipatif dan responsif dalam menjawab permasalahan yang berkembang. Untuk itu sangat diperlukan kajian secara cepat, tepat dan cermat atas berbagai masalah yang terjadi untuk bahan perumusan kebijakan kelautan dan perikanan.
1
Berbagai permasalahan dan isu aktual aspek sosial ekonomi bidang kelautan dan perikanan menjadi pokok bahasan dalam kajian ini dan akan dievaluasi menurut tingkat kepentingan dan urgensinya secara berkala setiap 2 atau 3 bulan. Untuk merespon isu aktual tersebut dan merumuskan langkah antisipatif dan responsif sebagai bahan masukan untuk kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan, pada tahun anggaran 2016, PPSEKP melakukan Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Berbagai bahan rumusan kebijakan kelautan dan perikanan disusun dalam rangka memberikan pertimbangan dan rekomendasi kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan bagi pemangku kepentingan/ stakeholders, khususnya untuk Menteri Kelautan dan Perikanan dan Ditjen Teknis lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan.
1.2 Tujuan Utama Secara umum kegiatan kajian/penelitian ini bertujuan untuk “memberikan masukan dan rumusan alternatif/rekomendasi kebijakan kepada pengambil kebijakan untuk antisipasi dan mengatasi (problem solving) berbagai masalah pembangunan kelautan dan perikanan” pada Tahun Anggaran 2016.
1.3 Tujuan Spesifik Secara khusus penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis isu-isu aktual berdasarkan prioritas urgensi dan relevansinya dengan pencapaian target-target pembangunan kelautan dan perikanan. Tujuan disesuaikan dengan 6 (enam) topik pembangunan kelautan dan perikanan.
1.4 Perkiraan Keluaran Dari hasil penelitian ini diharapkan akan diperoleh keluaran berupa : a. Enam (6) paket rekomendasi dari setiap topik penelitian; b. Enam (6) naskah karya tulis ilmiah (working paper); c. Enam (6) kertas kebijakan (policy brief).
2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Kebijakan Kebijakan dan pembangunan adalah dua konsep yang terkait. Sebagai sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia, pembangunan adalah konteks dimana kebijakan beroperasi. Fungsi kebijakan adalah memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan prioritas yang diwujudkan dalam program-program yang efektif untuk mencapai tujuan pembangunan (Suharto, 2005). Menurut Danim (2005) kebijakan merupakan suatu siklus. Kebijakan itu secara kontinyu dianjurkan, dilaksanakan, dinilai dan diperbaiki. Gambar 2.1 berikut menyajikan penyederhanaan siklus kebijakan sebagai suatu akumulasi. Anjuran kebijakan
Pelaksanaan kebijakan
Perbaikan kebijakan
Penilaian kebijakan
Gambar 1.
Siklus Kebijakan sebagai suatu akumulasi (Sumber: Danim, 2005)
Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (E.S. Quade dalam Dunn, 1994). Analisis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan publik. Kebijakan didasarkan pada masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus secara terus menerus dipantau, direvisi dan ditambah agar tetap memenuhi kebutuhan yang terus berubah. Analisis kebijakan tidak diciptakan untuk membangun dan menguji teori teori deskriptif yang umum namun mengkombinasikan dan mentransformasikan substansi dan metode beberapa disiplin ilmu sehingga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah publik. Analisis kebijakan juga meliputi evaluasi dan rekomendasi kebijakan.
3
Analisis kebijakan diharapkan untuk menghasilkan informasi mengenai : (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilainilai. Terdapat 3 (tiga) pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu : 1.
Pendekatan empiris adalah pendekatan yang menjelaskan sebab dan akibat dari suatu kebijakan public;
2.
Pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang berkenaan dengan penentuan bobot atau nilai dari beberapa kebijakan;
3.
Pendekatan normatif adalah pendekatan yang ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik. Dalam pelaksanaan kajiannya terdapat 5 kombinasi metode pengkajian, yaitu:
1. Deskriptif – monitoring: menghasilkan informasi tentang sebab dan akibat suatu kebijakan masa lalu; 2. Prediktif – forecasting: meramalkan akibat suatu kebijakan di masa mendatang; 3. Evaluatif – evaluation: memberikan informasi tentang manfaat suatu kebijakan yang lalu maupun yang akan datang; 4. Preskriptif – recommendation: pertanyaan advokatif, memberikan informasi tentang kemungkinan bahwa serangkaian tindakan yang akan datang akan mendatangkan manfaat yang bernilai; 5. Perumusan masalah (problem structuring): perumusan masalah menjadi dasar dalam melakukan pengkajian-pengkajian. Sebagai proses penelitian, analisis kebijakan menggunakan prosedur analisis umum yang biasa dipakai untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan, yaitu: deskriptif, prediksi, evaluasi, dan rekomendasi. Dari segi waktu dalam hubungannya dengan tindakan maka prediksi dan rekomendasi, digunakan sebelum tindakan diambil, sedangkan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi.
4
2.2 Tinjauan Isu-Isu Strategis Sektor KP Isu strategis pembangunan kelautan Indonesia perlu didukung oleh ketiga informasipenting sebagaimana tertuang dalam rancangan teknokratik “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional” (RPJMN) 2015-2019, khususnya mengenai: agenda, arah kebijakan nasional dan beberapa misi penting terkait dengan pembangunan kelautan ke depan; serta dinamika pembangunan global yang disajikan secara ringkas pada Tabel berikut. Tabel 1. Agenda, Arah Kebijakan Nasional dan Misi Pembangunan Kelautan dan Perikanan No 1
Isu Strategis Agenda pembangunan kelautan
2
Arah dan kebijakan pembangunan kelautan
3
Misi penting terkait dengan pembangunan kelautan dan perikanan ke depan sebagaimana tertuang dalam rancangan teknokratik RPJMN 2015-2019 (UU No. 17 Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025) MDG’s (Millenium Development Goals) dan Sustainable Development Goals (SDGs)
4
Rincian (1) Terwujudnya kedaulatan atas wilayah perairan Indonesia dan yurisdiksi nasional. (2) Termanfaatkannya sumber daya kelautan untuk pembangunan ekonomi nasional. (3) Terwujudnya pelayanan angkutan laut dalam rangka meningkatkan konektivitas laut yang didukung oleh keselamatan maritim yang handal dan manajemen yang bermutu serta industri maritim yang memadai. (4) Terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya hayati laut. (5) Terwujudnya SDM dan IPTEK kelautan yang berkualitas dan meningkatnya wawasan dan budaya bahari. (1) Penegakan Kedaulatan dan Yurisdiksi Nasional. (2) Percepatan Pengembangan Ekonomi Kelautan. (3) Meningkatkan dan Mempertahankan Kualitas, Daya Dukung dan Kelestarian Fungsi Lingkungan Laut. (4) Peningkatan Wawasan dan Budaya Bahari, Serta Penguatan Peran SDM dan Iptek Kelautan. (5) Peningkatan Harkat dan Taraf Hidup Nelayan dan masyarakat pesisir. (1) Misi ke-2: mewujudkan bangsa yang berdaya saing, (2) Misi ke-6: mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari, (3) Misi ke-7: mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat dan berbasis kepentingan nasional.
(1) Ketahanan pangan (food security), (2) Keberlanjutan pembangunan (sustainable development), (3) Daya saing (competitiveness).
5
Setelah memperhatikan agenda, arah kebijakan nasional dan beberapa misi penting terkait dengan pembangunan kelautan ke depan serta dinamika pembangunan global, dapat dirumuskan beberapa isu strategis pembangunan kelautan Indonesia tahun 2015-2019, yaitu meliputi: (1) pengembangan produk perikanan untuk ketahanan pangan dan gizi nasional; (2) peningkatan daya saing dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan; (3) pendayagunaan potensi ekonomi sumberdaya kelautan; (4) pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan; (5) peningkatan kesejahteraan; dan (6) pengembangan SDM dan IPTEK kelautan dan perikanan. Selanjutnya isu strategis kelautan dan perikanan juga mengacu pada tugas KKP yang tercermin dalam 3 pilar yang menjadi misi KKP (KKP, 2015) yakni: 1.
Kedaulatan (Sovereignty), yakni mewujudkan pembangunan kelautan dan perikanan yang berdaulat, guna menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya kelautan dan perikanan, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan;
2.
Keberlanjutan (Sustainability), yakni mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan; dan
3.
Kesejahteraan (Prosperity), yakni mewujudkan masyarakat kelautan dan perikanan yang sejahtera, maju, mandiri, serta berkepribadian dalam kebudayaan. Arah kebijakan KKP disusun dengan menjabarkan 3 pilar dalam misi
pembangunan kelautan dan perikanan beserta langkah operasionalnya disajikan dalam Tabel 2 berikut.
6
Tabel 2. Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015-2019 No 1
Kebijakan Kebijakan Pokok a. Membangun kedaulatan yang mampu menopang kemandirian ekonomi dalam pengelolaan SDKP. b. Menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang bertanggung jawab, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Langkah Operasional
c. Meningkatkan pemberdayaan dan kemandirian dalam menjaga keberlanjutan usaha kelautan dan perikanan.
2
Kebijakan Lintas Bidang a. Pengarusutamaan Gender
b. Pembangunan Kewilayahan
c. Adaptasi Perubahan Iklim
d. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Memberantas IUU Fishing Meningkatkan sistem pengawasan SDKP terintegrasi Mengembangkan sistem karantina ikan, pembinaan mutu dan pengendalian keamanan hayati ikan Mengoptimalkan pemanfaatan ruang laut dan pesisir Mengelola sumberdaya ikan di 11 WPPNRI Mengendalikan sumberdaya perikanan tangkap Mengelola pemanfaatan perairan umum daratan Membangun kemandirian dalam budidaya perikanan Meningkatkan sistem logistic hasil perikanan Meningkatkan mutu, diversifikasi dan akses pasar produk kelautan dan perikanan Merehabilitasi ekosistem dan perlindungan lingkungan laut Membangun kemandirian pulau-pulau kecil Member perlindungan kepada nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam Menigkatkan pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan Meningkatkan usaha dan invetasi kelautan dan perikanan Meningkatkan kompetensi masyarakat KP melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan Mengembangkan inovasi IPTEK bidang kelautan dan perikanan
Pengarusutamaan Gender di bidang Kelautan dan Perikanan akan dilaksanakan dengan strategi meningkatkan peran, akses, kontrol dan manfaat gender dalam pembangunan KP. Pembangunan kewilayahan akan dilaksanakan dengan strategi mempercepat pengurangan kesenjangan pembangunan antar wilayah. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim Peningkatan ketahanan masyarakat KP terhadap perubahan iklim Membangun budaya kerja yang professional Meningkatkan kualitas pengawasan internal
7
III. METODOLOGI Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan memiliki arti penting dalam proses pembuatan kebijakan publik dan memungkinkan sebuah kebijakan di desain secara sempurna dalam rangka merealisasikan visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Karena persoalan bersifat multi dimensional, saling terkait dan berkolerasi satu denganlainnya maka tim Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan bersifat multi disiplin dan lintas kelompok penelitian. Tahapan kajian analisis kebijakan ini meliputi : penentuan prioritas topik yang akan dikaji dengan melakukan identifikasi isu dan permasalahan aktual kebijakan, mengidentifikasi urgensi, relevansi dan dampak potensial yang ditmbulkan, dengan mempertimbangkan menformulasikan masalah kebijakan, menentukan tujuan dan sasaran, mengidentifikasi parameter kebijakan dengan melakukan analisis serta mencari opsi-opsi kebijakan. Isu dan permasalahan aktual kebijakan
Urgensi, relevansi, dan potensi dampak
Prioritasi pelaksanaan penelitian
Lingkungan internal (SDA, SDM, dll)
Prioritas topik
Lingkungan eksternal (SDA, SDM, dll)
Bahan penyempurnaan kebijakan
Gambar 2.
Pengumpulan dan pengolahan data
Analisa dan sintesa
Pendekatan Pelaksanaan Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan Tahun 2016
8
Sebagaimana disebutkan dalam latar belakang bahwa pelaksanaan analisis kebijakan ini didasarkan pada upaya untuk merespon berbagai permasalahan dan isu aktual bidang kelautan dan perikanan yang tingkat kepentingan dan urgensinya akan dievaluasi secara berkala setiap 2 – 3 bulan. Agar tidak ketinggalan dan kehilangan relevansi analisis kebijakan ini perlu dilakukan secara cepat, tepat dan cermat sehingga diperoleh hasil analisis yang masih tetap relevan untuk perumusan kebijaksanaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah hingga panjang. Meskipun demikian, metoda penelitian ini tetap memperhatikan landasan teoritis dan mempertahankan objektivitas. Analisis kebijakan ini dilaksanakan oleh peneliti PPSE-KP di bawah koordinasi Kepala Pusat dan Kepala Bidang Perencanaan dan Kerjasama dengan arahan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP). Setiap topik kajian dilaksanakan oleh tim kecil yang ditunjuk secara ad-hoc sesuai dengan bidang kepakaran dan dikoordinasikan oleh Kepala Bidang Tata Laksana dan Pelayanan Jasa yang dilegalkan dengan Surat Keputusan Kepala PPSEKP. Tim menindaklanjuti dengan menyiapkan Terms Of Reference (TOR) sebagai acuan pelaksanaan kajian. Kegiatan sosialisasi hasil analisis disampaikan kepada stakeholder yang dikoordinasikan oleh Kepala Bidang Data Informasi dan Monitoring Evaluasi. Penelitian dilaksanakan di lokasi terpilih yang disesuaikan dengan topik kajian. Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer. Penarikan contoh untuk memperoleh data primer yang digunakan teknik dan jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan untuk menjawab permasalahan yang dikaji, namun tetap berpegang pada prinsip representatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pendekatan Focus Group Discussion (FGD). FGD adalah suatu metode riset yang didefinisikan sebagai suatu prosespengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok (Suhaimi, 1999); jumlah peserta terbatas dengan dipandu seorang moderator (Eliot and Associates, 2005; Setyobudi, 2010). Biasanya FGD dilangsungkan selama 60–120menit dan dapat dilakukan beberapa kali (Krueger,1988). Tujuan FGD adalah untuk mengeksplorasi masalah yang spesifik,
9
yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Teknik ini digunakan dengan tujuan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari peneliti terhadap masalah yang diteliti. FGD digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap makna-makna intersubjektif yang sulit diberi makna sendiri oleh peneliti karena dihalangi oleh dorongan subjektivitas peneliti (Kresno S. dkk., 1999). Analisis kebijakan sebagian bersifat deskriptif, sebagian bersifat normatif (Dunn, 2003). Analisis yang akan dilakukan dalam kegiatan ini mencakup aspek yang luas sehingga antar topik kajian tidak selalu berhubungan secara sistematis. Rekomendasi yang akan dihasilkan memerlukan pendekatan yang tidak selalu sama atau kombinasi diantara pendekatan yang ada serta sumber data dan informasi yang juga beragam. Secara ringkas pendekatan dan sumber informasi utama dalam melakukan analisis kebijakan disajikan pada Tabel 3 berikut: Tabel 3. Pendekatan dan Sumber Informasi Utama dalam Melakukan Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan Tahun 2016 Pendekatan Analisis Sumber Informasi 1. Analisis data sekunder 1. Media 2. Penelitian mendalam 2. Official Statistic 3. Metode kualitatif 3. Polls 4. Survey 4. Unit analisis kebijakan 5. Studi kasus 5. Masyarakat ilmiah 6. Cost-benefit analysis. 6. Traditional knowledge Sumber: Dukeshire and Thurlow (2002)
Tahapan kegiatan disesuaikan untuk masing-masing topik kajian. Secara umum tahapan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1.
Identifikasi topik kajian sesuai dengan isu aktual pada sektor perikanan dan kelautan yang berkembang. Isu aktual tersebut dapat bersumber dari lingkup unit kerja atau dari luar unit kerja Kementeriaan Kelautan dan Perikanan.
2.
Persiapan dan pemantapan pelaksanaan kegiatan a.
Penyusunan ROKR
b.
Pemantapan ROKR
c.
Finalisasi ROKR
10
3.
Pelaksanaan kajian b.
Pengambilan data primer dan sekunderdengan menggunakan metode survey.
c.
Desk study dalam rangka persiapan FGD,
d.
Focus
Group
Discussion
(FGD)
dengan
narasumber
pakar
dan
Stakeholderssesuai topik e.
FGD dalam rangka analisis dan kajian.
4.
Analisis data dan penyusunan laporan.
5.
Sosialisasi hasil kajian kepada stakeholder terkait.
11
IV. HASIL KEGIATAN Berbagai topik yang berhubungan dengan issu aktual aspek sosial ekonomi kelautan dan perikanan menjadi pokok bahasan dalam kajian analisis kebijakan dan kinerja pembangunan kelautan dan perikanan yang berhasil dilaksanakan disajikan pada Tabel berikut :
12
Tabel 4. Identifikasi Topik, Permasalahan, Tujuan,Metode Analisis dan Perkiraan Output Kegiatan Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan Tahun 2016 No
Topik
1.
Analisis dan Penghitungan Indeks Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2015
2.
Model Simulasi Investasi terhadap Pertumbuhan PDB Sektor Kelautan dan Perikanan 8,9%
3.
Kajian Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Perikanan terhadap Pelaksanaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta
4.
Kajian Dampak Sosial Ekonomi Penghapusan Alat
Keterkaitan dengan Isu Strategis Nota Dinas Nomor. - Indikator Kinerja 152/SJI/TU.210/I/2016 dari Utama KKP Biro Perencanaan Sekretariat - Renstra KKP Jenderal KKP tentang Permohonan Data Kinerja untuk Mengukur Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan (IKMKP) Tahun 2015 Nota Dinas Nomor. Peningkatan daya 26/PDSPKP.5.1/PS.510/III/2 saing dan nilai 016 dari Direktorat Jenderal tambah produk Penguatan Daya Saing perikanan Produk Kelautan dan Perikanan tentang Penyampaian Kebutuhan Hasil Kajian terkait Investasi PPSEKP terlibat sebagai Pengeolaan anggota Tim Teknis dan sumberdaya kelautan Kebijakan dari Komite dan perikanan Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang disahkan dengan Surat Keputusan Menko Maritim Nomor. SKEP.11/MENKO/MARITI M/IV/2016 Nota Dinas No. Implementasi 611/DJPT.2/PI-240/VI/2016 Permen KP No. 2 dari Direktur Kapal Tahun 2015 tentang Urgensi
Keterkaitan dengan Isu Nasional Kesejahteraan Rakyat
Cakupan Kajian
Dampak
Nasional
Peningkatan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan
Pertumbuhan Ekonomi
Nasional Kedaeraha n
Pertumbuhan ekonomi sektor KP
Kesejahteraan rakyat
Nasional
Peningkatan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan
Kesejahteraan rakyat
Nasional
Peningkatan kesejahteraan masyarakat
13
No
5.
6.
7.
Topik
Urgensi
Penangkapan Ikan Cantrang
Perikanan dan Alat Penangkap Ikan tentang Permohonan Kajian Bail Out Cantrang
Kajian Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Perhitungan Dampak Kerugian dalam Rangka Penanggulangan Dampak Tumpahan Minyak terhadap SDKP Analisis Penghitungan Stok Ikan Menjelang Hari Besar Keagamaan (Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru, Imlek) Kajian Pemberdayaan Perempuan dalam Kelembagan usaha
Memorandum Nomor M.29/SAB.ESDL/V/2016 tentang Rancangan Kepmen KP tentang Tim Penanggulangan Dampak Tumpahan Minyak
Keterkaitan dengan Isu Strategis Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di WPPNRI Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan
Keterkaitan dengan Isu Nasional
Cakupan Kajian
Dampak kelautan dan perikanan
Pencemaran laut
Nasional
Penghitungan ganti rugi aibat tumpahan minyak
Menjaga stabilitas supply dan demand produk perikanan pada hari-hari besar
- Produksi sektor KP - Konsumsi ikan nasional
Ketahanan pangan dan gizi
Nasional Kedaeraha n
Ketahanan pangan Produksi nasional
Nota Dinas No. 652/PRL.5/V/2016 tentang permohonan kajian tata kelola, sosial ekonomi dan
Pemberdayaan perempuan
Pengembangan ekonomi maritim dan kelautan
Nasional
Keberlanjutan pengelolaan SDKP
14
No
8.
9.
Topik
Kajian SumberSumber Pertumbuhan Sektor Perikanan dalam Perekonomian Nasional Kajian Dampak Ekonomi Kebijakan Pemberantarasan IUUF terhadap Perikanan Skipjack Tuna di Indonesia
Urgensi kelembagaan usahabmasyarakat pesisir Permintaan dari Kantor Staf Presiden Bidang Kemaritiman untuk mengetahui sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di sektor kelautan dan perikanan Tindak lanjut permintaan MenKP terkait model bioekonomi perikanan sebagai dukungan kerangka kerja saintifik opsi kebijakan pembangunan perikanan yang dilaksanakan secara kolaboratif melibatkan beberapa PT di Indonesia dan bermitra dengan UCSB, USA
Keterkaitan dengan Isu Strategis
Keterkaitan dengan Isu Nasional
Cakupan Kajian
Dampak
Peningkatan daya saing dan nilai tambah produk perikanan
Pertumbuhan Ekonomi
Nasional
Pertumbuhan ekonomi sektor KP
Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
-
Nasional
Keberlanjutan pengelolaan SDKP
-
Reformasi perikanan IUU Fisihing
15
4.1 Analisis dan Penghitungan Indeks Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2015
4.1.1 Pendahuluan Indeks Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan (IKMKP) dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan mengacu pada konsep IKraR (BBPSEKP, 2015). IKMKP dirancang untuk menggambarkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. IKMKP memiliki 2 (dua) dimensi, yakni: dimensi sosial dan kelembagaan dan dimensi ekonomi. Dimensi
Sosial
dan
Kelembagaan
merupakan
dimensi
yang
menggambarkan keadilan sosial dan kelembagaan tidak hanya menyangkut persoalan proses distribusi atau pemerataan hasil-hasil pembangunan kelautan dan perikanan, tapi berkaitan juga dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar, serta tindakan afirmatif dari KKP untuk melindungi dan memastikan setiap nelayan tradisional, pembudidaya, pengolah, pemasar, dan petambak mendapatkan kemudahan akses terhadap pemenuhan terhadap hak dasarnya, seperti pangan, papan, sandang, pelayanan publik, infrastruktur, serta pemberdayaan masyarakat sehingga mengurangi kesenjangan sosial ekonomi. Adapun Dimensi Ekonomi dalam konteks kesejahteraan masyarakat dilihat dari indikator-indikator yang terkait kemampuan para nelayan tradisional, pembudidaya, petambak, pengolah, dan pemasar untuk mendapatkan kemudahan akses dan aset terhadap sumber daya ekonomi untuk mencapai kesejahteraannya. Secara umum tahapan penyusunan IKMKP adalah sebagai berikut: 1) Pengumpulan data; 2) Perapihan data; 3) Penyusunan model; 4) Penghitungan penimbang; dan 5) Penghitungan indeks (BBPSEKP, 2015). Indikator penyusun IKMKP dalam dimensi sosial dan kelembagaan adalah: 1) Jumlah penumbuhan dan pengembangan kelembagaan usaha perikanan tangkap (KUB); 2) Jumlah penumbuhan dan pengembangan kelembagaan usaha budidaya ikan (Pokdakan); 3) Jumlah penumbuhan dan pengembangan kelembagaan pemasaran perikanan (Poklasar); 4) Jumlah penumbuhan dan pengembangan kelembagaan usaha garam
rakyat (Kugar); 5) Jumlah penumbuhan dan
pengembangan kelembagaan kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas); 6) Jumlah kelembagaan usaha yang terpantau dan terevaluasi / yang mendapatkan 16
bantuan fasilitas; 7) Jumlah masyarakat adat, tradisional dan lokal yang direvitalisasi; 8) Jumlah LKM pesisir yang terfasilitasi permodalannya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; 9) Jumlah pelaku usaha mikro yang mandiri di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; 10) Jumlah kelompok pelaku utama/usaha yang meningkat kelasnya dari jumlah kelompok pelaku utama/usaha yang disuluh; dan 11) Jumlah kelompok yang disuluh mendukung tata kelola pemanfaatan sumber daya KP yang berdaya saing dan berkelanjutan. Indikator penyusun IKMKP dalam dimensi ekonomi adalah: 1) Nilai Tukar Nelayan (NTN); 2) Nilai Tukar Pembudidaya (NTPi); 3) Nilai Tukar Pengolah (NTPo); 4) Nilai Tukar Petambak Garam (NTPG); 5) Rata-rata pendapatan nelayan/bulan; 6) Rata-rata pendapatan pembudidaya/bulan; 7) Rata-rata pendapatan pengolah perikanan/bulan; 8) Rata-rata pendapatan petambak garam/bulan; 9) Jumlah kawasan wisata bahari yang dikembangkan; 10) Proporsi pengeluaran pangan terhadap total pendapatan; dan 11) Struktur ongkos usaha perikanan. Dari pengumpulan data, berhasil teridentifikasi 10 indikator dimensi sosial dan kelembagaan, dan 6 indikator dimensi ekonomi. Penghitungan IKMKP masing-masing provinsi dihitung dengan rumus sebagai berikut: 𝐼𝐾𝑀𝐾𝑃𝑖 = 0,6𝐼𝑋𝑆𝑖 + 0,4𝐼𝑋𝐸𝑖 Subskrip i menunjukkan provinsi ke i, IXS merupakan indeks komposit dimensisosial dan kelembagaan dan IXE adalah indeks komposit dimensi ekonomi. Data diinput dalam Microsoft excel untuk selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan Software Stata 12 untuk mendapatkan bobot penimbang (). Dengan melihat ketersediaan data indikator yan ada maka indeks yang akan diperoleh untuk dimensi sosial dan kelembagaan (IXS) adalah rumus berikut: 𝐼𝑋𝑆𝑖 = 𝑤1 𝑋𝑆1𝑖 + 𝑤2 𝑋𝑆2𝑖 + ⋯ … … … … … + 𝑤10 𝑋𝑆11𝑖 Selanjutnya indeks yang akan diperoleh untuk dimensi ekonomi (IXE) adalah rumus berikut: 𝐼𝑋𝐸𝑖 = 1 𝑋𝐸1𝑖 + 2 𝑋𝐸2𝑖 + ⋯ … … … … + 101 𝑋𝐸11𝑖
17
4.1.2 IKMKP Tahun 2015 Analisis data dilakukan dengan menggunakan Software Stata 12. Hasil analisis PCA untuk dimensi sosial dan kelembagaan adalah: 𝐼𝑋𝑆𝑖 = 0,3965𝑋𝑆1𝑖 + 0,3803𝑋𝑆2𝑖 + 0,418𝑋𝑆3𝑖 + 0,5399𝑋𝑆4𝑖 + 0,58𝑋𝑆5𝑖 + 0,6264𝑋𝑆6𝑖 + 0,3365𝑋𝑆7𝑖 + 0,3071𝑋𝑆8𝑖 + 0,284𝑋𝑆10𝑖 + 0,6047𝑋𝑆11𝑖
Selanjutnya rumus untuk penghitungan indeks dimensi sosial dan kelembagaan adalah: 𝐼𝑋𝐸𝑖 = 0,4226𝑋𝐸1𝑖 + 0,6364𝑋𝐸2𝑖 + 0,5757𝑋𝐸7𝑖 + 0,4932𝑋𝐸8𝑖 + 0,5675𝑋𝐸9𝑖 + 0,3138𝑋𝐸10𝑖
Capaian IKMKP Tahun 2015 berdasarkan hasil perhitungan adalah 48,15. Capaian dimensi sosial dan kelembagaan sebesar 48,53 dan dimensi ekonomi sebesar 46,53. Propinsi DI Aceh menempati peringkat pertama dengan nilai IKMKP sebesar 100 dan peringkat terakhir adalah Propinsi Kalimantan Tengah dengan nilai IKMKP sebesar 0,00. Hasil penghitungan Indeks Kesejahteraan Masyarakat KP menurut Propinsi dengan PCA disajikan pada Tabel 12. Capaian IKMKP Tahun 2015 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan hasil perhitungan IKMKP Tahun 2014 yaitu 49,89. Tahun 2014 capaian dimensi sosial dan kelembagaan sebesar 52,96 dan dimensi ekonomi sebesar 40,93. Propinsi DI Yogyakarta menempati peringkat pertama dengan nilai IKMKP sebesar 100 dan peringkat terakhir adalah Propinsi Kalimantan Utara dengan nilai IKMKP sebesar 0,00. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kesejahteraan pada dimensi sosial dan kelembagaan, namun terjadi peningkatan pada dimensi ekonomi (Gambar 2). Tabel 5. Hasil Penghitungan Indeks Kesejahteraan Masyarakat KP menurut Propinsi Tahun 2015 No 1 2 3 4 5 6 7
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu
Normalisasi IXS 94,43 22,73 23,36 59,91 55,60 19,91 11,15
IXE 82,46 24,96 83,83 38,70 24,96 63,65 54,38
IKMKP 100,00 18,53 39,23 55,26 46,84 29,35 18,62
Rank 1 30 21 13 20 25 29
18
8 Lampung 70,10 0,00 9 Kepulauan Bangka Belitung 29,79 24,96 10 Kepulauan Riau 44,41 100,00 11 Dki Jakarta 22,00 45,91 12 Jawa Barat 56,22 87,71 13 Jawa Tengah 33,90 85,28 14 D I Yogyakarta 79,65 59,65 15 Jawa Timur 77,64 85,28 16 Banten 62,69 29,43 17 Bali 75,02 67,53 18 Nusa Tenggara Barat 82,29 66,75 19 Nusa Tenggara Timur 100,00 52,83 20 Kalimantan Barat 70,52 24,96 21 Kalimantan Tengah 11,15 0,00 22 Kalimantan Selatan 50,48 38,70 23 Kalimantan Timur 13,05 54,38 24 Kalimantan Utara 10,74 24,96 25 Sulawesi Utara 40,52 20,95 26 Sulawesi Tengah 56,00 0,00 27 Sulawesi Selatan 70,07 76,03 28 Sulawesi Tenggara 47,18 50,38 29 Gorontalo 67,25 24,96 30 Sulawesi Barat 58,54 24,96 31 Maluku 71,47 58,87 32 Maluku Utara 0,00 63,65 33 Papua Barat 44,74 20,18 34 Papua 17,58 20,95 48,5319 46,5344 Indonesia Keterangan: XS=Indeks Sosial dan Kelembagaan; XE=Indeks Ekonomi
50,79 24,61 62,91 25,08 68,87 48,81 79,45 86,49 54,49 78,16 84,15 94,65 59,70 0,00 47,14 20,27 8,20 32,48 38,64 76,81 48,30 56,88 49,38 72,14 12,20 35,85 12,72 48,1473
15 27 10 26 9 17 5 3 14 6 4 2 11 34 19 28 33 24 22 7 18 12 16 8 32 23 31
Indeks Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan 60 50 40 2014
30
2015 20 10 0 IKMKP
Gambar 3.
IXS
IXE
Indeks Kesejateraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2014 - 2015
19
Nilai-nilai Indeks Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan (IkraR KP) selanjutnya dituangkan dalam informasi yang berbentuk peta, tabel dan grafik yang sudah menjadi satu kesatuan informasinya. Warna-warna legenda yang disebutkan di atas selanjutnya disajikan ke dalam warna peta yang berbeda-beda untuk setiap wilayah peta baik provinsi maupun kabupaten atau kota. Pewarnaan yang diambil dalam mengkategori kondisi indeks kesejahteraan rakyat adalah berbeda-beda dimana warna untuk kelompok indeks kesejahteraan rakyat terendah adalah berwarna merah tua dan warna untuk kelompok indeks kesejahteraan rakyat tertinggi adalah hijau tua. Peta IKMKP memudahkan kita terutama pengambil kebijakan untuk mengetahui wilayah-wilayah mana yang memiliki nilai IKMKP yang tertinggi atau terendah, serta membandingkannya antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Selain itu, Peta IKMKP juga dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam melakukan prioritas pelaksanaan pembangunan di wilayahnya masing-masing dengan memperhatikan warna-warna legenda yang tertera di peta. Peta IKMKP Tahun 2015 disajikan pada Gambar 3. Peta IKMKP berdasarkan dimensi sosial dan kelembagaan disajikan pada Gambar 4 dan Peta IKMKP berdasarkan dimensi ekonomi disajikan pada Gambar 5.
Gambar 4.
Peta IKMKP Tahun 2015 20
Gambar 5.
Peta IKMKP 2015 untuk Dimensi Sosial dan Kelembagaan
Gambar 6.
Peta IKMKP 2015 untuk Dimensi Ekonomi
21
4.1.3 Kesimpulan Penyusunan formula dan penghitungan Indeks Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan (IKMKP) Tahun 2015 ini dimaksudkan untuk memudahkan pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah dalam mengintegrasikan
aspek-aspek
penting
yang
selayaknya
menjadi
bahan
pertimbangan dalam menentukan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. Dimensi pembangun IKMKP adalah dimensi sosial dan kelembagaan dan dimensi ekonomi, masing-masing terdiri dari 11 indikator. Dimensi Sosial dan Kelembagaan mencerminkan keadilan sosial dan kelembagaan tidak hanya menyangkut persoalan proses distribusi atau pemerataan hasil-hasil pembangunan kelautan dan perikanan, tapi berkaitan juga dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar, serta tindakan afirmatif dari KKP untuk melindungi dan memastikan setiap nelayan tradisional, pembudidaya, pengolah, pemasar, dan petambak mendapatkan kemudahan akses terhadap pemenuhan terhadap hak dasarnya, seperti pangan, papan, sandang, pelayanan publik, infrastruktur, serta pemberdayaan masyarakat sehingga mengurangi kesenjangan sosial ekonomi. Dimensi ekonomi dalam konteks kesejahteraan masyarakat dilihat dari indikator-indikator
yang
terkait
kemampuan
para
nelayan
tradisional,
pembudidaya, petambak, pengolah, dan pemasar untuk mendapatkan kemudahan akses dan aset terhadap sumber daya ekonomi untuk mencapai kesejahteraannya. Capaian IKMKP Tahun 2015 berdasarkan hasil perhitungan adalah 48,15. Capaian dimensi sosial dan kelembagaan sebesar 48,53 dan dimensi ekonomi sebesar 46,53. Propinsi DI Aceh menempati peringkat pertama dengan nilai IKMKP sebesar 100 dan peringkat terakhir adalah Propinsi Kalimantan Utara dengan nilai IKMKP sebesar 0,00. Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam penghitungan IKMKP Tahun 2015 diantaranya adalah: 1. Keterbatasan pemasukan data dalam pembuatan IKMKP (Belum tersedia 1 indikator dimensi sosial dan kelembagaan, dan 5 indikator dimensi ekonomi).
22
2. Tidak semua data bisa dijadikan indeks karena fungsi pembeda dari indicator belum dicakup, serta perlu memperhatikan keberlanjutan ketersediaan data apabila indeks ini akan digunakan dalam jangka panjang. 3. Ada penurunan nilai IKMKP tahun 2015 dari tahun 2014. 4. Diperlukan input lebih banyak dalam menyikapi hasil pengukuran IKMKP.
23
4.2 Model Simulasi Investasi terhadap Pertumbuhan PDB Sektor Kelautan dan Perikanan 8,9% 4.2.1 Latar Belakang Investasi di sektor kelautan dan perikanan diharapkan mempunyai dampak positif terhadap kinerja sektor kelautan dan perikanan, yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dengan meningkatnya produksi perikanan, maka ketahanan pangan nasional menjadi makin kuat, pendapatan pelaku utama usaha perikanan (nelayan, pembudidaya, pengolah, dan petambak garam) akan meningkat, kesempatan kerja perdesaan akan makin luas, jumlah penduduk miskin di perdesaan akan berkurang, devisa negara akan makin besar dan PDB sektor kelautan dan perikanan juga akan meningkat. Pemerintah bukanlah pelaku usaha. Usaha ekonomi sebesar-besarnya dilakukan oleh swasta, baik perorangan (masyarakat) maupun perusahaan. Oleh karena itu, investasi usaha sepenuhnya dilakukan oleh swasta. Peran pemerintah terutama adalah dalam pembangunan infrastruktur publik, insentif dan regulasi yang esensial untuk penumbuh-kembangan perusahaan swasta. Investasi infrastruktur yang dilaksanakan pemerintah komplementer dan fasilitator bagi investasi usaha yang dilakukan pengusaha. Tujuan swasta melakukan investasi ialah untuk memperoleh laba sebesarbesarnya. Informasi mengenai peluang bidang usaha dan lokasi yang prospektif untuk meraih laba amatlah esensial bagi investor swasta. Termasuk dalam hal ini adalah arah kebijakan pemerintah yang akan menentukan ketersediaan fasilitas pendukung utamanya infrastruktur publik dan insentif berusaha. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengkaji hubungan antara investasi dengan inflasi dan nilai tukar; 2) Melakukan simulasi kebutuhan investasi sektor kelautan dan perikanan untuk mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto sebesar 8,9%. Kajian ini dilakukan dengan mengaplikasikan model general equilibrium (GE) dan model single-market equilibrium (SME). Model GE yang dipergunakan adalah model Input-Output (I-O), berupa dua set Table I-O, Tabel I-O KP Indonesia tahun 2008 dan 2012. Kedua table tersebut merupakan table I-O customized yang dikembangkan oleh PPSEKP. Tabel I-O KP 2008, merupakan pengembangan dari tabel I-O Nasional 2008, didisagregasi menjadi 75 sektor yang meliputi beberapa
24
komoditas unggulan perikanan Indonesia, dan telah dijadikan database bagi model Computable General Equilibrium (CGE) pada tahun 2013, dan dikembangkan lebih lanjut pada tahun 2014 (Tajerin, Rahadian, Saptanto, Sriluhur, Mira, & Muhibuddin, 2014; Zulham, et al., 2013). Adapun Tabel I-O KP 2012 merupakan hasil kerjasama antara PPSEKP dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rangka pemutakhiran table I-O yang sudah ada. Kedua tabel I-O KP tersebut selanjutnya dipergunakan dalam proses penghitungan angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) sektor Perikanan. Angka ICOR Perikanan tersebut sangat penting untuk menghitung besaran angka Pembentukan Modal yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan Ekonomi di sektor Perikanan. Adapun rumus penghitungan angka ICOR dan angka kebutuhan Modal adalah sebagai berikut: 𝐼𝐶𝑂𝑅 =
∆𝐾 ∆𝑌
dimana: ΔK = Perubahan Nilai Kapital ; ΔY = Perubahan Nilai Output. Dari rumus tersebut dapat diperkirakan bahwa angka ICOR ini akan bernilai di atas 0. Semakin kecil angka ICOR yang dihasilkan mengindikasikan semakin efisien Investasi yang dilakukan. ICOR yang rendah berarti besaran nilai Investasi yang harus dilakukan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi akan relatif rendah. Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, kajian ini juga akan mengaplikasikan model SME untuk mengkaji hubungan antara Investasi dengan beberapa variabel makroekonomi, yaitu: 1) Inflasi; dan 2) nilai tukar rupiah. Model ini akan menggunakan input berupa data runut waktu, dengan periode pengamatan sepanjang tahun 2000 hingga 2015. Secara teoritis, besaran investasi yang terrealisasi akan dipengaruhi oleh besaran bunga riil (r) dengan hubungan yang saling berlawanan. Dengan kata lain, nilai Investasi yang terjadi akan tinggi apabila bunga riil bernilai rendah. Dengan menggunakan model ini, maka dapat diperkirakan besaran Investasi yang akan terjadi berdasarkan data inflasi dan nilai tukar yang terjadi.
25
4.2.2 Hasil Analisis Trend dan Proyeksi Exchange Rate dan Inflasi Untuk melakukan proyeksi ke depan dari exchange rate dan inflasi digunakan pendekatan model trend. Pemilihan model trend tersebut dapat dipilih yang paling sesuai yaitu dalam bentuk model trend linier, model trend kuadratik dan model eksponensial. Hasil olahan data untuk R square dengan menggunakan analisis trend linier diperoleh sebesar 0,326 untuk Exchange Rate dan 0,193 untuk inflasi. Hasil yang sama diperoleh dengan menggunakan analisis trend kuadratik, yaitu R square sebesar 0,326 untuk Exchange Rate dan 0,193 untuk inflasi. Sedangkan menggunakan analisis trend eksponensial diperoleh nilai R square yang sedikit berbeda yaitu 0,318 untuk Exchange Rate dan 0,220 untuk inflasi. 4.2.3 Model Proyeksi Exchange Rate dan Inflasi Untuk melakukan proyeksi ke depan dari exchange rate dan inflasi dilakukan dengan menggunakan pilihan model trend yang paling sesuai, antara lain dalam bentuk model trend linier, kuadratik atau model eksponensial. Dalam hal ini dilakukan dengan mengganti nilai t (waktu) pada persamaan sesuai dengan pilihan model trend yang terbaik. Gambar 1 menunjukkan plot fit kurva trend exchange rate dan inflasi dengan menggunakan metode trend linier, kuadratik, dan eksponensial.
Gambar 7. Plot Fit Kurva Trend Exchange Rate dan Inflasi Berdasarkan hasil estimasi kurva trend exchange rate yang paling cocok adalah kurva yang memiliki kriteria dapat memberikan dugaan kesalahan baku
26
(standar error of estimation - SEE) paling minimal dan sebaliknya memiliki koefisien determinasi terkoreksi (R2-adjusted) yang relatif tinggi. Dari hasil analisis trend untuk exchange rate dan inflasi yang menunjukkan adanya kecocokan adalah analisis eksponensial. Penghitungan proyeksi nilai tukar 2016 – 2019 dilakukan berdasarkan model persamaan yang terpilih, yakni: ERt = 0,000000007707exp(0,014*t) Sehingga diperoleh nilai proyeksi exchange rate adalah: 13.944,82 (2016); 14.141,42 (2017); 14.340,79 (2017) dan 14.542,97(2019). Penghitungan proyeksi inflasi 2016 – 2019 dilakukan berdasarkan model persamaan yang terpilih, yakni: INFt = 1,231E+44exp(-0,050*t) Sehingga diperoleh nilai proyeksi inflasi adalah: 2,16 (2016); 1,96 (2017); 1,86 (2018) dan 1,77 (2019). Untuk mendorong pertumbuhan PDBKP seperti yang telah ditargetkan pada PERMEN KP 45/2015, maka diperkirakan akan diperlukan pembentukan modal di sektor Perikanan pada periode 2016-2019 sebesar Rp 909 milliar (2016), Rp 1.288 milliar (2017), Rp 1.689 milliar (2018), dan Rp 2050 milliar (2019).
4.2.4 Kesimpulan 1. Estimasi Parameter Hubungan ICOR dan variabel-variabel penentu: •
Perubahan ICOR dipengaruhi secara signifikan dengan arah negatif oleh pertumbuhan PDBKP sebesar 4,4% setiap 1% pertumbuhan PDBKP;
•
Perubahan ICOR dipengaruhi secara signifikan dengan arah negatif oleh inflasi sebesar 0,18% setiap 1% inflasi;
•
Perubahan ICOR dipengaruhi secara cukup signifikan dengan arah positif oleh nilai tukar rupiah terhadap U$.
2. Proyeksi ICOR Sektor Perikanan:
27
•
Secara
historis
ICOR
sektor
perikanan
menunjukkan
bahwa
produktifitas investasi dalam menghasilkan output relatif baik (nilai ICOR di bawah 1); •
Pada kondisi seperti yang diasumsikan, maka ICOR sektor perikanan diproyeksikan akan berkisar pada angka 0,040-0,046.
3. Proyeksi Kebutuhan Modal: •
Untuk mendorong pertumbuhan PDBKP seperti yang telah ditargetkan pada PERMEN KP 45/2015, maka diperkirakan akan diperlukan pembentukan modal di sektor Perikanan pada periode 2016-2019 sebesar Rp. 909 milliar, Rp. 1288 milliar, Rp. 1689 milliar, dan Rp. 2050 milliar.
28
4.3 Kajian Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Perikanan terhadap Pelaksanaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta 4.3.1 Latar Belakang Arahan Presiden Jokowi tentang pelaksanaan reklamasi Pantai Utara Jakarta dapat dilakukan tanpa merusak lingkungan (darat, pesisir maupun perairan laut). Selanjutnya pelaksanaan reklamasi bukan untuk merugikan masyarakat lokal setempat. Dalam hal ini secara tegas disebutkan oleh Presiden bahwa pelaksanaan reklamasiharus mempertahankan kehidupan nelayan. Semua aturan mengenai reklamasi perlu diselaraskan dan para pengembang diminta tidak melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut, Kemenko Maritim dan Sumberdaya membentuk Komite Bersama Reklamasi pantai Utara Jakarta dengan dikeluarkannya SKEP.11/MENKO/MARITIM/IV/2016 yang memiliki tugas untuk melakukan: 1) kajian mendalam berkaitan dengan aspek lingkungan, teknis dan kebijakan reklamasi; dan 2) kajian perijinan dan penyelarasan peraturan perundang-undangan. Untuk mempercepat kerja Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta, maka dibentuk Tim Teknis yang bertugas selama 2 (dua) bulan yang dimulai sejak 28 April dan akan berakhir pada tanggal 28 Juni 2016 dengan hasil berupa Rekomendasi Kebijakan Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang disampaikan kepada Presiden. Sebagai bagian dari Tim Teknis dan Kebijakan, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan mendapat mandat untuk mengkaji aspek sosial ekonomi (termasuk budaya dan aspek legal) terhadap pelaksanaan reklamasi Pantai Utara Jakarta khususnya terkait penghidupan nelayan. Reklamasi dalam perencanaannya dimaksudkan sebagai salah satu jalan untuk mengatasi kebutuhan lahan di DKI Jakarta yang terus meningkat. Meskipun demikian, program reklamasi yang dilaksanakan di Teluk Jakarta membawa dampak terhadap aktivitas perikanan yang saat ini berlangsung. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat pemanfaat ekosistem perairan terutama hilangnya sumber mata pencaharian nelayan, pembudidaya dan ribuan pelaku usaha yang terkait dengan usaha perikanan karena ekosistemnya yang terganggu bahkan rusak. Ada pengolah hasil perikanan, pedagang produk perikanan (ikan segar dan ikan olahan), dan masyarakat pesisir lainnya.
29
Mereka yang terkena dampak langsung dari pelaksanaan reklamasi Pantai Utara Jakarta adalah 24.028 orang yang terdiri dari nelayan yang menetap 6.268 orang (pemilik 2.464 orang dan buruh 3.804 orang) dan nelayan pendatang 17.760 orang (515 orang pemilik dan 17.245 orang buruh) (Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan, 2015). Masyarakat lainnya yang juga terkena dampak pelaksanaan reklamasi adalah pembudidaya kerang hijau sebanyak 1.469 orang (di Cilincing 900 orang dan Kamal Muara sekitar 569 orang). Sebagai bentuk upaya mengetahui seberapa besar nilai ekonomi dari kegiatan perikanan sumberdaya pesisir dan laut, perlu kiranya dilakukan penilaian ekonomi secara komprehensif, dimana penilaian ini tidak hanya berdasarkan pada nilai yang dapat dihitung berdasarkan pada nilai yang dapat dihitung berdasarkan manfaat langsung (use value) dari ekosistem itu saja akan tetapi juga dapat mempertimbangkan nilai yang dihitung berdasarkan manfaat tidak langsung (non use value). Hal ini penting untuk dilakukan, karena fungsi ekosistem perairan bukan saja terletak pada fungsinya sebagai penyedia produk pasaratau yang lebih cenderung telah mempunyai nilai ekonomi tetapisesungguhnya ekosistem tersebut mempunyai fungsi lain, berupa fungsi ekologiyang bilamana rusak, maka akan dapat berdampak terhadap keberlanjutansumberdaya lainnya. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan kajian untuk mengetahu aspek sosial ekonomi masyarakat perikanan terhadap pelaksanaan reklamasi Pantai Utara Jakarta.
4.3.2 Metode Penelitian Pengamatan difokuskan di wilayah Pantai Utara Jakarta yang menjadi loccus pembangunan reklamasi, tepatnya di 5 (lima) sentra perikanan yaitu Cilincing, Kalibaru, Marunda, Muara Angke (Pluit) dan Kamal Muara. Pengamatan juga dilakukan di Pelabuhan Sunda Kelapa (Penjaringan). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Mei 2016. Data primer dikumpulkan dengan teknik pengamatan (observasi) secara langsung di lapangan dan wawancara (terstruktur dan bebas) yang dilakukan dengan teknik multistage stratified random sampling terhadap rumah tangga yang melakukan pemanfaatan terhadap ekosistem pesisir dan sumberdaya perikanan.
30
Pengumpulan data primer yang diperoleh langsung di lokasi penelitian dengan menggunakan kuesioner. Jumlah responden yang diwawancara sebanyak 657 responden, yang terdiri dari: 392 responden nelayan, 79 responden pembudidaya, 50 responden pengolah, 50 responden pedagang, 33 responden orang wisatawan dan 36 responden masyarakat sekitar. Untuk melengkapi hasil penelitian dilakukan wawancara kepada 17 orang informan kunci. Pelaksanaan reklamasi Pantai Utara Jakarta mengakibatkan permasalahan pada berbagai aspek pada masyarakat perikanan untuk regulasi, sosial, dan ekonomi. Analisis data aspek regulasi dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif dan empiris. Analisis data sosial dilakukan dengan statistik deskriptif. Analisis ekonomi dilakukan dengan pendekatan teknik valuasi menggunakan beberapa metode diantaranya yaitu: Contingen Valuation Method (CVM), Effect on Production (EoP), Replacement Cost Method (RCM) dan Travel Cost Method (TCM).
4.3.3
Hasil dan Pembahasan
4.3.3.1 Aspek Regulasi Peraturan/regulasi yang mengatur reklamasi Pantai Utara Jakarta sudah sesuai peruntukkannya dan tidak ada yang salah, namun masih perlu disederhanakan untuk dijadikan satu payung hukum. Pemberian izin untuk melaksanakan reklamasi Pantura Jakarta sepenuhnya adalah kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan hasil penelusuran hukum, diketahui bahwa wilayah reklamasi Jakarta bukan termasuk Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Izin reklamasi Pantura Jakarta yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak melanggar hukum. Penelusuran hukum terhadap aspek sosial dan ekonomi, dapat dilihat pada Tabel 4.24. Temuan terhadap status kepemilikan hak atas tanah yang terdapat di lokasi proyek reklamasi Pantura Jakarta. Berdasarkan Pasal 50 huruf d, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, menyatakan: bahwa pemegang hak pakai berkewajiban menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai
31
kepada negara, pemeganga Hak pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai tersebut hapus. Hal ini menunjukkan bahwa negara mempunyai kewenangan penuh terhadap atas tanah pengelolaan. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961, tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan/atau Benda-Benda yang Ada di Atasnya (UU No. 20/1961), Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman, dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan/atau benda-benda yang ada diatasnya. Menurut UU No. 20/1961, pencabutan hak atas tanah dan benda yang berada di atasnya dapat dilakukan apabila tanah dan/atau benda yang berada diatasnya dibutuhkan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula untuk kepentingan pembangunan. Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007, Pemerintah Daerah wajib menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi dan Kabupaten. Pasal 17 UU Nomor 27 Tahun 2007 sebagaimana diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 mengatur bahwa RZWP-3-K menjadi dasar pemberian izin lokasi bagi pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemberian izin pelaksanaan reklamasi, seharusnya didahului Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara. Izin pelaksanaan reklamasi tidak bisa dikeluarkan hanya didasarkan pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), tetapi harus didasarkan dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K).
4.3.3.2 Aspek Sosial Reklamasi perairan di Teluk Jakarta, bukan hanya menimbulkan permasalahan teknis dan lingkungan, tetapi juga mengakibatkan terjadinya masalah sosial dan ekonomi pada masyarakat. Permasalahan yang teridentifikasi di lapangan pada tingkat rumah tangga nelayan terkait dengan kehidupannya yang tergantung pada sumberdaya perikanan pada perairan Teluk Jakarta. Hasil penelitian lapangan menunjukkan permasalahan sosial yang muncul pada masyarakat nelayan antara lain: terganggunya relasi jaringan sosial yang tidak
32
lain merupakan jaminan sosial. Relasi jaringan sosial tersebut telah terbentuk selama bertahun-tahun dalam masyarakat nelayan, yang bermula dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat nelayan. Dengan adanya program reklamasi perairan Teluk Jakarta, maka aktor-aktor dalam relasi jaringan sosial yang telah terpola mengalami perubahan untuk mempertahankan kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Menangkap
Didaratkan
Diolah
Nelay
Pengepul/ Tengkulak
Pedagang eceran
Dipasarkan
Konsumen
TPI
Pemilik kapal
Langgan (biaya operasional)
Pedagang pengumpul lokal Kuli
Langgan
Dinas (Izin/Retribusi )
Koperasi
Pemberi kredit
Pedagang pengumpul di kota
Pembudidaya
Pemilik lokasi
Pengolah
Pedagang pengecer
Konsumen
Konsumen
Langgan
Gambar 8. Saluran Pemasaran dan Relasi Jaringan Sosial pada Usaha Penangkapan Ikan di Teluk Jakarta (Sumber: PPSEKP, 2016)
Sebagai contoh pada 5 lokasi pengambilan data ternyata hanya 21,45% masyarakat nelayan berasal dari daerah yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa relasi jaringan sosial yang terbentuk saat ini 78,55% masyarakat nelayan di Teluk Jakarta tanpa memandang daerah asal. Pada sisi lain hubungan antara nelayan pemilik dan ABK (pekerja) 57% masih mempertimbangkan kesamaan daerah asal. 33
Hal ini berarti terdapat 43% dari masyarakat tersebut tanpa memandang daerah asal. Dalam hal ini para pekerja dapat memilih alternatif jenis pekerjaan di luar nelayan. Dalam hal penjualan ikan hasil tangkapan diketahui bahwa 73,7% nelayan menjual hasil tangkapan kepada pedagang lokal. Hal ini menunjukkan pertimbangan ekonomi lebih dominan dari pertimbangan etnis. Secara menyeluruh tingkat pendapatan rumah tangga nelayan pemilik per bulan menurun dari rata-rata Rp. 9,609,515 menjadi Rp. 2,267,655 (Gambar 1). Sementara itu, pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan pekerja (ABK) per bulan relatif stabil dari Rp. 2,104,495 menjadi Rp. 2,158,832 (Gambar 2). Dinamika besaran tingkat pendapatan ini terjadi, sebagai dampak adanya sumber mata pencaharian alternatif bagi ABK pada kegiatan lain diluar lapangan usaha perikanan.
RUPIAH
MEI 2014
MEI 2016
20.000.000 18.000.000 16.000.000 14.000.000 12.000.000 10.000.000 8.000.000 6.000.000 4.000.000 2.000.000 KAMAL MUARA
PLUIT
KALIBARU
CILINCING
MARUNDA
LOKASI
Gambar 9. Perkembangan Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Pemilik per Bulan Pada 5 Lokasi Teluk Jakarta
34
MEI 2014
MEI 2016
PLUIT
KALIBARU
3.500.000 3.000.000
RUPIAH
2.500.000 2.000.000 1.500.000 1.000.000 500.000 KAMAL MUARA
CILINCING
MARUNDA
LOKASI Gambar 10. Perkembangan Pendapatan Rumah Tangga Nelayan Pekerja (ABK) per Bulan Pada 5 Lokasi Teluk Jakarta
Sementara itu, penurunan pendapatan nelayan pemilik antara lain disebabkan oleh terganggunya wilayah spawning dan nursery ground yang berfungsi sebagai lokasi penangkapan ikan akibat pelaksanaan reklamasi. Rusaknya tatanan ekonomi terutama terkait dengan pola pemasaran dan distribusi hasil tangkapan masyarakat nelayan ke konsumen. Selain masalah sosial diatas, juga terdapat permasalahan sosial lainnya, seperti sulitnya kemampuan adaptasi masyarakat nelayan terhadap kondisi sumberdaya dan lingkungan yang mengalami perubahan sebagai akibat dari dampak reklamasi, terutama pada nelayan pemilik. Nelayan pemilik pada umumnya tidak memiliki keterampilan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan secara langsung. Mereka hanya mengandalkan kepemilikan aset dan modal kerja untuk beroperasinya kegiatan penangkapan ikan, yang umumnya dilakukan oleh nelayan pekerja (ABK). Timbulnya permasalahan sosial, sebagai akibat dampak program reklamasi pada bebarapa wilayah penelitian memunculkan potensi konflik antara nelayan pemilik dengan pengembang. Sebagai contoh hilangnya akses transportasi perairan yang semakin dangkal. Informasi lapangan menunjukkan nelayan pemilik tidak mempermasalahkan program reklamasi sepanjang tidak mengganggu akses mereka untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Permasalahan tersebut jika tidak 35
diselesaikan, mungkin akan terjadi perilaku dan tindakan anarkis masyarakat nelayan terhadap pengembang ataupun pemerintah.
4.3.3.3 Aspek Ekonomi Nilai ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan nilai penting dalam pemanfaatan sumberdaya. Struktur nilai dan pemanfaatan nilai sebagai indikator pemanfaatan diperlukan agar menunjang langkah dalam pemanfaatan berkelanjutan dan kemandirian/kedaulatan. Hasil perhitungan nilai kerugian akibat potensi ekonomi yang hilang dari nelayan, pembudidaya dan tambak sebagai berikut:
Setiap wilayah perairan yang hilang
seluas 1 ha menyebabkan kerugian
ekonomi yang diterima oleh nelayan adalah Rp 26.899.369,- per tahun. Total kerugian nelayan akibat berkurangnya wilayah perairan di Teluk Jakarta sebesar Rp 137.536.474.541,- per tahun.
Setiap unit usaha budidaya kerang hijau yang terkena dampak reklamasi mengakibatkan kerugian pembudidaya sebesar Rp 85.599.135,- per tahun. Total kerugian pembudidaya kerang hijau di wilayah Teluk Jakarta Rp 98.867.000.590,- per tahun.
Setiap luasan 1 ha tambak yang terkena dampak reklamasi mengakibatkan kerugian sebesar Rp 27.992.943,- per tahun. Total kerugian yang dialami petambak di wilayah Teluk Jakarta Rp 13.632.563.241,- per tahun.
Nilai ekonomi yang hilang dari usaha pengolahan ikan adalah Rp. 44.420.000 per tahun. Total nilai ekonomi dari usaha pengolahan ikan yang ada di lima kelurahan diperoleh Rp. 19.011.760.000,-.
Nilai ekonomi yang hilang dari perdagangan ikan rata-rata adalah sebesar Rp. 55.929.487 per tahun per pedagang. Total nilai kerugian yang dialami oleh pedagang sebanyak 1.561 orang berdasarkan proyeksi 10 tahun ke depan dengan tingkat suku bunga 12 %adalah sebesar Rp. 87.305.929.207,-.
Nilai ekonomi yang hilang dari kegiatan pariwisata bahari di Kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa adalah sebesar Rp. 3.076.065.000,-/Tahun. Total nilai jasa wisata dalam Kawasan Sunda Kelapa dengan luas 760 Ha dimanfaakan langsung sejumlah 40.210 orang wisatawan sebesar Rp. 3.076.065.000,-/Tahun. 36
4.3.4 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Masyarakat perikanan yang terkena dampak reklamasi harus mendapatkan perlindungan dari negara terkait hak-haknya sesuai dengan amanat UU No. 31/2004, sebagaimana telah diubah oleh UU No. 45/2009, tentang Perikanan. Selain hal itu, keberlangsungan usaha perikanan bagi masyarakat KP yang terkena dampak reklamasi harus mendapatkan jaminan sesuai dengan amanat UU No 7 Tahun 2016, tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Permasalahan sosial yang teridentifikasi di lapangan pada tingkat rumah tangga nelayan, diantaranya menyangkut relasi dan jaringan sosial, kemampuan adaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan serta potensi konflik. Ketergantungan nelayan pada sumberdaya laut dengan karakteristik pekerjaan yang penuh dengan resiko umumnya membuat nelayan membutuhkan pihak lain untuk memberikan rasa aman pada penghidupan. Relasi jaringan sosial tersebut telah terbentuk selama bertahun-tahun dalam masyarakat nelayan, yang bermula dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat nelayan. Di masyarakat muncul kelompok-kelompok dalam menghadapi rencana pembangunan tanggul raksasa tersebut. Di masyarakat muncul rasa curiga antar kelompok yang dianggap menolak dan mendukung. Kelompok yang menolak juga bisa dibagi dua antara sikap menolak secara terbuka dengan ditunjukkan di masyarakat dan biasanya selalu berkumpul untuk membahas upaya penolakan, sedangkan kelompok lainnya ada yang menolak namun melakukan upaya melalui jalur resmi ke pemerintah. Dari aspek ekonomi, diketahui potensi kerugian dialami oleh nelayan, pembudidaya, pengolah dan pedagang ikan. Secara total potensi nilai kerugian yang ditanggung oleh pelaku usaha perikanan mencapai Rp. 631.980.990.342/tahun. Nilai kerugian ekonomi tersebut cukup besar dan mengancam keberlanjutan ekonomi rumah tangga pelaku usaha perikanan sebesar 11.643 KK. Bila kegiatan reklamasi terus dilakukan, maka diperlukan suatu mekanisme kompensasi sehingga pelaku usaha tersebut dapat terjamin kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu
37
diperlukan skenario aktivitas ekonomi bagi pelaku usaha perikanan agar kehilangan yang diterima dapat tergantikan. Implikasi negatif juga diterima oleh lingkungan khususnya ekosistem mangrove yang masih cukup eksis pada wilayah barat Teluk Jakarta yaitu pada daerah Angke dan Kamal. Dalam hal ini pemerintah harus mengalokasikan nilai manfaat yang hilang untuk aktifitas relokasi ekosistem mangrove sehingga jasa ekosistem mangrove kembali seperti sediakala.
38
4.4 Kajian Dampak Sosial Ekonomi Pelarangan Pengoperasian Alat Penangkapan Ikan (API) Cantrang di Wilayah Propinsi Jawa Tengah 4.4.1 Latar Belakang Satu setengah tahun Peraturan Menteri KP (PERMEN-KP) Nomor 2 Tahun 2015, tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (Permen KP No. 2/2015) diberlakukan. Perkembangan situasi dan respon dari PERMEN-KP tersebut sangat dinamis, mulai dari respon secara langsung dari pelaku perikanan cantrang sampai dengan respon yang dilakukan melalui mekanisme hukum yang berlaku di NKRI. Pada tanggal
25
Juni
2015,
Ombudsman
mengeluarkan
rekomendasi
No.
0006/REK/0201.2015/PBP-24/VI/2015 yang prinsipnya bahwa cantrang merusak, sesuai dengan point 3 bahwa rekomendasi rekomendasi tersebut: “...memberikan masa waktu transisi implementasi peraturan tersebut sekurang-kurangnya 2 tahun agar memberikan kesempatan kepada nelayan dan atau pemilik kapal penangkap ikan untuk menyesuaikan perubahan alat penangkap ikan yang diatur sesuai ketentuan tersebut”.
Paska keluarnya rekomendasi ombudsman, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) mengeluarkan Surat Edaran (SE) MKP No. 72/MEN-KP/II/2016 yang mengatur tentang pembatasan penggunaan alat penangkapan ikan (API) cantrang di WPP-NRI dilaksanakan sampai dengan tanggal 31 Desember 2016 (paragraf 3). Pembatasan API Cantrang pada SE tersebut dilakukan dengan 5 (lima) ketentuan, yaitu: 1) dilakukan pegukuran ulang kapal penangkap ikan yang menggunakan API Cantrang. 2) Hanya dilakukan pada perairan di wilayah perikanan provinsi sampai dengan 12 Mil. 3) Ukuran selektifitas dan kapasitas API Cantrang yaitu minimal mesh size 2 (dua) inch dan tali ris atas (panjang sayap) minimal 60 meter. 4) Tata cara pengorasian sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP 06/MEN/2010 tentang API di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). 5) Hasil tangkapan didaratkan dan tercatat di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI). Berdasarkan SE tersebut berarti terhitung mulai tanggal 1 Januari 2017
39
Permen-KP No. 2/2015 tersebut efektif ditegakkan oleh aparat penegak hukum khususnya yang menjadi kewenangan pusat. Seiring akan berakhirnya pembatasan pengorasian API Cantrang pada tanggal 31 Desember 2016, pemerintah dalam hal ini Kementeian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu melakukan langkah-langkah antisipasi baik secara teknis, sosial
dan ekonomi.
Langkah antisipasi
tersebut
dilakukan
mengingat
perkembangan fakta di lapangan bahwa tidak semua pelaku perikanan cantrang terutama pemilik kapal belum siap untuk mengganti API Cantrang yang dimiliki. Perhatian pemerintah perlu difokuskan pada Multiplier effects dalam usaha perikanan cantrang seperti kredit macet, pengangguran langsung maupun tidak langsung, konflik vertical (dengan pemerintah daerah dan pusat), dan berhentinya usaha-usaha lain yang memanfaatkan bahan baku dari hasil tangkapan API Cantrang. Berdasarkan kondisi tersebut, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan memdapatkan tugas untuk mengkaji dampak sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh pelarangan pengoperasian Alat Tangkap Ikan Cantrang terutama di Wilayah Propinsi Jawa Tengah.
4.4.2 Metodologi Penelitian Pendekatan studi yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan analisis kebijakan. Dimana proses dalam analisis kebijakan publik menurut James Anderson dalam Indiahono (2009) adalah sebagai berikut : 1. Perumusan masalah yaitu merumuskan berbagai kondisi yang berpotensi menyebabkan atau telah menjadi masalah 2. Peramalan yaitu membuat prediksi dan konsekuensi dari berbagai alternatif kebijakan yang dirumuskan 3. Rekomendasi kebijakan yaitu memberikan informasi manfaat bersih dari setiap alternatif kebijakan serta memberikan rekomendasi terhadap alternatif kebijakan dengan manfaat bersih yang paling besar 4. Monitoring kebijakan yaitu menyajikan konsekuensi saat ini dan masa lalu dari diterapkannya kebijakan yang diambil beserta kendala-kendala yang dhadapi
40
5. Evaluasi kebijakan yakni memberikan informasi mengenai kinerja dan hasil dari suatu kebijakan.
Kinerja kebijakan
Evaluasi
Hasil-hasil kebijakan
Pemantauan
Perumusan masalah
Peramala
Masa depan kebijakan
Masalah kebijakan
Perumusan masalah
Rekomenda
Masalah kebijakan
Gambar 11. Kerangka Analisis Kebijakan (Sumber : Dunn, 2000) Implementasi PermenKP No. 2/2015 sampai saat ini telah menimbulkan berbagai reaksi dari masyakarat terutama pelaku usaha perikanan cantrang. Reaksi berasal dari pemilik kapal, Anak Buah Kapal (ABK), Pedagang pengumpul, Pengolah ikan, dan pekerja-pekerja di tempat pendaratan ikan (TPI). Sampai saat ini, respon yang disampaikan oleh pelaku perikanan cantrang di Jawa Tengah melalui surat, audiensi dan demonstrasi kepada pemerintah pusat baik eksekutif (Menteri Kelautan dan Perikanan) dan legislatif (DPR) bahkan Presiden Republik Indonesia (RI) telah beberapa kali dilakukan. Intinya, mereka menuntut bahwa cantrang tetap diperbolehkan untuk digunakan dalam menangkap ikan. Resistensi dan usaha tersebut mendapatkan hasil dengan diterbitkannya rekomendasi Ombudsman No. 0006/REK/0201.2015/PBP-24/VI/2015 yang prinsipnya pada point 3 memberikan masa waktu transisi implementasi peraturan tersebut sekurangkurangnya 2 tahun agar memberikan kesempatan kepada nelayan dan atau pemilik kapal penangkap ikan untuk menyesuaikan perubahan alat penangkap ikan yang diatur sesuai ketentuan tersebut”. Rekomendasi tersebut diikuti dengan Surat Edaran (SE) MKP No. 72/MEN-KP/II/2016 yang berisi bahwa pembatasan 41
penggunaan alat penangkapan ikan cantrang di WPP-NRI dilaksanakan sampai dengan tanggal 31 Desember 2016 (paragraf 3). Artinya, kapal cantrang masih dapat beroperasi terbatas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Gambar 12. Kerangka pemikiran kajian dampak sosial ekonomi pelarangan pengoperasian alat penangkapan ikan (API) cantrang di wilayah Propinsi Jawa Tengah Berdasarkan kondisi tersebut, maka dilaksanakan analisis kebijakan yang digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan-kebijakan solusi penanganan dampak PermenKP No. 2/2015 khususnya pelarangan pengoperasian API Cantrang dengan basis analisis dampak sosial dan ekonomi dan analisis permasalahan yang terjadi sampai saat ini. Penelitian dilakukan di 4 (empat) kabupaten di Wilayah Propinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Batang, Kota Tegal, dan Kabupaten Demak. Keempat lokasi tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian dengan memperhatikan beberapa pertimbangan, yaitu: 1. Keempat kabupaten tersebut merupakan basis nelayan dan armada penangkapan yang menggunakan API Cantrang
42
2. Resistensi pelaku perikanan cantrang terhadap PermenKP No. 2/2015 dianggap cukup tinggi yang disertai dengan selalu munculnya gejolak sosial semenjak peraturan tersebut diterbitkan. 3. Indikasi terjadi markdown terhadap ukuran atau GT kapal. 4. Indikasi terjadinya potensi kredit macet dari para pelaku usaha perikanan cantrang di berbagai bank konvensional. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui interview secara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD) kepada pelaku usaha (pemilik kapal, Anak Buah Kapal (ABK), nahkoda, pedagang, pengolah ikan hasil tangkapan cantrang, industri pengolahan. Interview ini digunakan untuk memperoleh informasi perkembangan produksi, pendapatan, tenaga kerja, relasi sosial pada perikanan cantrang dengan menggunakan quesioner terbuka (topik data) untuk memperoleh secara mendalam. FGD juga dilakukan dengan perwakilan dinas kelautan dan perikanan dari 4 (empat) kabupaten dan Kepala Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di wilayah empat kabupaten tersebut. FGD dengan DKP Kabupaten dan PPP bertujuan untuk memperoleh informasi dan data, permasalahan serta opsi-opsi dalam menanggulangi dampak pelarangan pengoperasian API Cantrang.
4.4.3 Hasil dan Pembahasan 4.4.3.1 Analisis Dampak Sosial Kabupaten Demak Aktivitas perikanan tangkap di Desa Purworejo Kabupaten Demak termasuk dalam skala kecil. Armada yang digunakan adalah di dibawah 6 GT. Mayoritas nelayan menggunakan alat tangkap mini purse seine, arad dan sudu. Sudu sendiri terbagi menjadi 2 (dua), pertama, sudu siang yang digunakan untuk menangkap teri nasi dan dioperasikan pada siang hari. Kedua, sudu malam yang digunakan untuk menangkap udang dan dioperasikan pada malam hari. Dampak penangkapan ikan dengan menggunakan arad di Kabupaten Demak dibedakan menjadi dampak langsung dan dampak tidak langsung. Secara lengkap dampak sosial dan ekonomi dari PERMEN No.2/2015 dapat dilihat pada Tabel berikut.
43
Tabel 6. Dampak Sosial dan Ekonomi Pemberlakuan PERMEN No.2/2015 tentang Pelarangan Cantrang di Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah Pihak Yang Terkena Dampak
Jumlah Tenaga Kerja
Nelayan 1. Hilangnya Pendapatan pemilik kapal 2. Hilangnya pendapatan ABK
35
70
3. Hilangnya nilai aset produksi (kapal dan alat tangkap) Tenaga kerja non nelayan Hilangnya pendapatan bakul ikan Sosialisasi aturan Sosialisasi Aturan dan Pembuatan Juklak
Nilai (Rp./Tahun)
3.582.250.000 708.750.000 Semua kapal arad berukuran < 10 GT dengan jumlah 35 unit, 708.750.000 rata-rata satu kapal terdiri dari 2 orang. Sistem bagi hasil yang berlaku : hasil kotor dikurangi perbekalan kemudian dibagi dua untuk pemilik (50%) dan ABK (50%) 2.164.750.000 Aset produksi meliputi kapal, mesin, alat bantu dan alat tangkap. 52.500.000.000
10
2
52.500.000.000 Rata-rata selisih margin keuntungan Rp 1.500,-/kg 176.800.000 Sosialisasi dilakukan 2 kali dalam setahun dengan mengundang narasumber
Perbankan Kredit macet
120.000.000 120.000.000
Penyedia Sarana dan Prasarana Penangkapan Ikan Alat Tangkap
276.500.000
Jumlah
Keterangan
2
85% dari total pemilik (35 orang) meminjam kisaran Rp 5 juta, ratarata baru cicilan 1 tahun, jangka waktu pinjaman 3 tahun
276.500.000 Penyedia alat tangkap pad aada di wilayah Demak 56.478.750.000
Sumber: Data primer diolah (2016)
Pola hubungan kerja pada pelaku perikanan arad lebih sederhana dibandingkan dengan perikanan cantrang. Perikanan arad di Kabupaten Demak
44
termasuk usaha perikanan skala kecil dengan ukuran kapal < 5 GT. Pemilik kapal merangkap sebagai nahkoda . Jumlah ABK di kapal arad hanya satu orang tetapi kadang-kadang
pemilik
tidak
menggunakan
ABK.
Hubungan
kerja
nahkoda/pemilik dengan pemilik toko/warung adalah dalam pengadaaan perbekalan, sementara hubungan kerja dengan penjual solar adalah dalam hal pengadaan bahan bakan solar. Kedua hubungan tersebut terikat dalam pinjaman, dengan kata lain penjual solar dan pemilik toko/warung memberikan pinjaman perbekalan dan bahan bakar kepada pemilik kapal. Kerjasama antara pemilik dan pedagang/bakul dilakukan dalam bentuk pinjaman uang atau hutang pada waktu pemilik kapal memperbaiki kapal. Pada proses jual beli hasil tangkapan ikan, nelayan mengikuti lelang di TPI dan hasil penjualannya dikenakan retribusi 5% yang rinciannya 3% untuk TPI dan 2% untuk biasa sosial nelayan. Ikan yang dilelang di TPI dijual oleh pemenang lelang (pedagang) ke pasar di Kabupaten Demak dan pedagang pengecer sampai dengan konsumen . Pemilik Kapal
ABK
Hubungan kerja (tetangga/keluarga) Tidak ada ABK tertentu
Pemilik=nahkoda
Nahkoda
Hutang untuk perbekalan
Toko/warung
Hutang untuk perbekalan
Hasil Tangkapan Lelang Ikan Retribusi 5% (3%
Penjual solar
TPI; 2% nelayan)
Juru Timbang
TPI
Bebas jual beli
Bakul/Pedagan g Pengumpul
Hutang untuk perbaikan kapal
Pedagang di Demak
Pedagang eceran
Konsumen Gambar 13. Jaringan Sosial di Kabupaten Demak
45
Tabel 7. Dampak Sosial Pelarangan Cantrang di Kabupaten Demak No
Pelaku
1.
Pemilik
2 3
ABK Bakul ikan
4 5 6 7 8
Pengecer ikan Rumah tangga TPI Warung Penjual solar
Kategori dampak
Keterangan Pemilik tidak mempunyai aset lainnya selain arad dan perahu. Aset yang dimiliki dapat digunakan untuk menampung ikan hasil tangkapan alat tangkap selain cantrang Pengecer ikan bisa menjual ikan yang lain Bisa mengkonsumsi ikan lain TPI tersebut juga menjual ikan API lainnya Menjual perbekalan kepada kapal lain Semua jenis kapal membutuhkan BBM
Sumber: Data Primer Diolah, 2016. Keterangan: Berat Sedang
Ringan
Kabupaten Pati Nelayan cantrang di Kabupaten Pati dapat dibedakan menjadi nelayan dibawah 10 GT dan nelayan 10-30 GT. Pendundaan Permen KP No.2/2015 tentang alat tangkap cantrang di Kabupaten Pati mempunyai dampak kepada kedua kelompok tersebut. Yang terkena dampak dari peraturan tersebut antara lain pemilik kapal, nahkoda, pengurus kapal dan ABK. Tabel berikut ini menggambarkan dampak sosial ekonomi yang dialami setiap pelaku pada usaha perikananan dengan menggunakan alat tangkap cantrang. Tabel 8. Dampak Sosial dan Ekonomi Pemberlakuan PERMEN No.2/2015 tentang Pelarangan Cantrang di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah Pihak Yang Terkena Dampak Nelayan< 10 GT
Jumlah Tenaga Kerja 7.145
Hilangnya Pendapatan pemilik kapal
275
Hilangnya pendapatan nahkoda
1.374
Hilangnya pendapatan Pengurus Kapal
-
Hilangnya pendapatan ABK
5.496
Nilai Total (Rp./Tahun)
Keterangan
1.347.443.328.000 306.237.120.000 Jumlah kapal cantrang di Kab. Pati berukuran <10 GT berjumlah 1.374 kapal, rata-rata satu terdiri dari 4 pekerja (nahkoda, KKM 122.494.848.000 dan ABK). Sistem bagi hasil : hasil kotor dikurangi perbekalan kemudian dibagi dua untuk pemilik (50%) dan pekerja (50%), Nahkoda mendapatkan 2 bagian, KKM 1.5 918.711.360.000 bagian dan ABK 1 bagian
46
Pihak Yang Terkena Dampak Nelayan 10 – 30 GT Hilangnya Pendapatan pemilik kapal
Jumlah Tenaga Kerja 9.517 55
Hilangnya pendapatan nahkoda
275
Hilangnya pendapatan Pengurus Kapal
62
Hilangnya pendapatan ABK
4.125
Hilangnya nilai aset produksi (kapal dan alat tangkap)< 10 GT
Hilangnya nilai aset produksi (kapal dan alat tangkap) antara 10 – 30 GT
Biaya unjuk rasa
5.000
Nilai Total (Rp./Tahun)
Keterangan
4.654.710.938.823 291.307.500.000 Jumlah kapal cantrang di Kab. Pati berukuran antara 10-30 GT sebanyak 275 kapal, rata-rata satu kapal terdiri dari 16 pekerja 68.542.941.176 (nahkoda, KKM dan ABK). Sistem bagi hasil : hasil kotor dikurangi perbekalan kemudian 59.675.000.000 dibagi dua untuk pemilik (45%) dan pekerja (55%), Nahkoda mendapatkan 3 bagian, Hali mesin 4.232.526.617.647 (2 orang) mendapat 2 bagian, Juru masak (3orang) masing-masing mendapat ¼ bagian, juru jarring (3 orang) masing-masing mendapat ½ bagian, Juru Merawat ikan (3 orang) masing-masing mendapat ½ bagian, ABK (8 orang) mendapat ½ bagian. 394.000.000 Aset produksi meliputi kapal, mesin dan alat tangkap. Kapal berukuran <10GT dilengkapi dengan 3 mesin (mesin pendorong dan penarik). Harga kapal untuk ukuran <10 GT sekitar 200 juta, mesin 130 juta dan alat tangkap 39 juta. 1.264.000.000 Aset produksi meliputi kapal, mesin dan alat tangkap. Kapal berukuran antara 10-30 GT dilengkapi dengan 3 mesin (mesin pendorong dan penarik). Harga kapal untuk ukuran 10-30 GT sekitar 875 juta, mesin 247 juta dan alat tangkap 85 juta. 1.000.880.000 Demonstrasi di Kab. Pati ke Jakarta berjumlah 5.000 demonstran sudah dilakukan sebanyak 2 kali, setiap kali demonstrasi per kapal cantrang dikenakan biaya 1 juta sehingga hasil iurannya berjumlah Rp. 1.649.000.000 4.094.700.000.000
Tenaga kerja non nelayan Hilangnya pendapatan Bongkaran Ikan
16.540 16.490
494.700.000.000
Hilangnya pendapatan bakul ikan
50
3.600.000.000.000
Perbankan
330
326.700.000.000
Kredit macet
330
326.700.000.000
Upah bongkar ikan per hari Rp.100.000/orang, 300 hari kerja efektif setahun. Volume jual ikan perhari adalah 40.000 kg, margin harga jual Rp 6.000/kg, 300 hari kerja efektif setahun. 100% dari total pemilik (330 orang) meminjam kisaran rata-rata 1,1 M, rata-rata baru baru 10% menyelesaikan cicilannya dengan
47
Pihak Yang Terkena Dampak
Jumlah Tenaga Kerja
Nilai Total (Rp./Tahun)
Keterangan jangka waktu pinjaman 3 tahun dan rata-rata cicilan Rp 50 juta/bulan
Pelaku industri
2.001
541.300.000.000
Hilangnya pendapatan buruh Filet Ikan
2.000
540.000.000.000
1
1.300.000.000
94
5.640.000.000
Pendapatan industri tepung ikan
Pendapatan industri fillet ikan
Jumlah 35.627 Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2016.
Upah rata-rata buruh filet ikan Rp. 1,5 Juta (UMR), dengan jumlah tenaga kerja yang masih bekerja sebanyak 100 orang degan hari kerja efektif sebanyak 200 hari. kebutuhan bahan baku tepung ikan rata-rata 200 ton per tahun setelah pelarangan 70 ton dengan harga satuan saat ini Rp. 10.000. kebutuhan bahan baku filet ikan rata-rata 10 ton per tahun, sesudah pelarangan hanya 7 ton dengan harga satuan Rp. 20.000,-
10.970.494.266.823
Pelaku yang terlibat dalam rantai usaha perikanan dengan basis komoditas hasil tangkapan API cantrang adalah pemilik kapal, nakhoda, ABK, Pengurus Kapal, Penyedia jaring dan kapal, penyedia ransum, Bank, TPI, Bakul dan Pengolah ikan. Hubungan antar pelaku tersebut tidak hanya sebatas hubungan kerja yang menjamin ketersediaan pasokan barang, namun di dalamnya melekat hubunganhubungan sosial yang khas yang merupakan jaminan atas kebutuhan sosial pada setiap pelaku. Gambar di bawah ini merupakan gambaran hubungan antar pelaku tersebut.
48
BANK
Pemilik Kapal
Nahkoda dan Anak Buah Kapal
Pengurus Kapal
Toko Peralatan Jaring & Kapal, ES dan BBM
Pengurus TPI
Bakul/Pedagang Pengumpul
UKM Pengolahan Ikan (Kerupuk, Baso)
Toko Sembako (Penyedia Ransum)
Bebas jual beli
Keterangan :
Hubungan Tanpa Ikatan Hubungan Dengan Ikatan
Gambar 14. Jaringan Sosial Pelaku Usaha Perikanan di Kabupaten Pati
49
Tabel 9. Besaran dan Luasan Dampak Sosial dari Pelarangan Cantrang di Kabupaten Pati Tahun 2016 No
Pelaku
1.
Pemilik
2.
Nakhoda
3 4
Kepala Kamar Mesin (KKM) ABK
5
Pengurus kapal
6 7 8
Bakul ikan Pengecer ikan Pengering ikan
9 10 11
Pengolah Kerupuk ikan Rumah tangga TPI
12 13
Tukang lansir Tukang timbang
14
Agen Perlengkapan Bengkel Agen peralatan Agen Es
15 16
17
20
Agen perbekalan Agen BBM Jasa buruh angkut BBM Jasa Buruh es
21
Bank
18 19
Kategori dampak
Keterangan Pemilik di Pati tidak bisa beralih ke alat tangkap lainnya karena harus menyelesaikan banyak hutang terlebih dahulu Nahkoda di Pati tidak semuanya menggunakan GPS dan Fish finder sehingga ketergantungan kepada alam untuk mendeteksi keberadaan ikan-ikan yang di tangkap oleh cantrang Kepala kamar tidak banyak membutuhkan adaptasi untuk beralih alat tangkap. ABK yang sudah lama menggunakan cantrang harus beradaptasi lagi untuk alat tangkap baru dan mendapatkan pelatihan berkala untuk menggunakannnya Pengurus kapal dapat dengan mudah beralih hanya saja perlu detail kebutuhan sesuai alat tangkap baru. Bakul ikan dapat beralih ke ikan lain pengecer ikan dapat beralih ke ikan lain Pengering ikan akan dengan mudah beralih hanya saja harus mencari pasar baru Pengering ikan akan dengan mudah beralih hanya saja harus mencari pasar baru Bisa mengkonsumsi ikan lain Aktivitas TPI tergantung dari jenis kapal ikan yang mendaratkan ikan di TPI, ketika cantrang dilarang, aktivitas TPI masih bisa berjalan dengan adanya pendaratan ikan dari kapal tangkap lainnya Tukang lansir dapat bekerja untuk semua komoditas Tukang timbang dapat bekerja untuk semua komoditas Harus menyediakan perlengkapan lainnya, kecuali senar. Peralatan yang di pakai sama Akan terpengaruh karena cantrang tidak menggunakan es, sedangkan lainnya menggunakan freezer Agen perbekalandapat digunakan untuk kapal lainnya. BBM dapat digunakan pada sektor manapun BBM dapat digunakan pada sektor manapun Akan terpengaruh karena cantrang tidak menggunakan es, sedangkan lainnya menggunakan freezer Bank akan terpengaruh karena banyak kredit macet
Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2016. Keterangan:
50
Berat
Sedang
Ringan
Pelaku yang mendapatkan dampak yang paling besar dari Permen KP no. 2 adalah pemilik, pengering ikan, pengolah kerupuk, agen es, jasa buruh es dan perbankan. Dampak pada pemilik adalah pinjaman yang tidak selesai dan black list dari BI, serta harus mengganti alat tangkap yang tidak sedikit biayanya. Pengeringan ikan dan pengolahan kerupuk hanya menggunakan ikan dari alat tangkap cantrang, jika tidak ada produksi dalam negeri maka akan melakukan impor. Agen es dan jasa buruh es terpengaruh tidak beroperasinya kapal cantrang karena mereka pengguna es terbesar di kabupaten ini. Sedangkan yang mendapat dampak pada ukuran sedang adalah nahkoda, ABK, bakul ikan, TPI, tukang lansir, dan tukang timbang. Yang hampir tidak merasakan dampak adalah Kepala Kamar Mesin, pengurus kapal, pengecer ikan, rumah tangga, agen perlengkapan bengkel, agen peralatan, agen perbekalan, agen BBM, dan jasa buruh angkut BBM.
Kabupaten Rembang Kabupaten Rembang hanya mempunyai nelayan di bawah 10 GT. Dampak dari penundaan Permen KP No.2/2015 tentang alat tangkap cantrang di kabupaten ini dapat dirasakan oleh pemilik kapal, nahkoda, pengurus kapal dan ABK. Total dampak sosial dan ekonomi dari PERMEN No.2/2015 disajikan pada Tabel berikut. Tabel 10. Dampak Sosial dan Ekonomi Pemberlakuan PERMEN KP No.2/2015 tentang Pelarangan Cantrang di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Pihak Yang Terkena Dampak Nelayan 1. Hilangnya Pendapatan pemilik kapal 2. Hilangnya pendapatan nahkoda 3. Hilangnya pendapatan Pengurus Kapal 4. Hilangnya pendapatan ABK
Jumlah Tenaga Kerja 90 331 492 5.650
Nilai (Rp./Tahun)
Keterangan
167.670.652.500 6.240.640.000 Jumlah kapal cantrang yang berukuran < 10 GT ada 28 2.080.213.333 unit dan 10-30 GT di Kab. Rembang sebanyak 303 4.160.426.667 kapal, rata-rata satu kapal terdiri dari 15 pekerja (nahkoda, KKM dan ABK). 118.546.312.500 Sistem bagi hasil : hasil kotor dikurangi perbekalan kemudian dibagi dua untuk pemilik (50%) dan pekerja (50%), Nahkoda mendapatkan 3 bagian,
51
Pihak Yang Terkena Dampak
Jumlah Tenaga Kerja
Nilai (Rp./Tahun)
Keterangan KKM 2 bagian dan ABK 1 bagian
5. Hilangnya nilai aset produksi (kapal dan alat tangkap)
32.907.000.000 Aset produksi meliputi kapal, mesin, alat bantu dan alat tangkap. Kapal berukuran antara 10-30 GT dilengkapi dengan 3 mesin (mesin pendorong dan penarik). Harga kapal untuk < 10 GT sekitar Rp 200 jt dan kapal 10 - 30 GT harganya Rp 600 jt. Demonstrasi di Kab. 3.736.060.000 Rembang ke Jakarta sudah dilakukan sebanyak 2 kali, setiap kali demonstrasi per kapal cantrang dikenakan biaya 1 juta. 98.309.580.000
6. Biaya Unjuk Rasa
Tenaga kerja non nelayan 1. Hilangnya pendapatan bakul ikan
30
2. Hilangnya pendapatan Tenaga Bongkar
80
3. Hilangnya pendapatan Tenaga Geledek 4. Hilangnya pendapatanTenaga Basket 5. Hilangnya pendapatan Tenaga Kebersihan 6. Hilangnya pendapatan Tenaga Per Pak
80
7. Hilangnya pendapatan Kuli Timbang
20
20
80
662
89.250.000.000 rata-rata selisih margin keuntungan 5 ribu/kg, jumlah ikan yang dijual rata-rata 300 kg/hari/orang 2.400.000.000 rata-rata pendapatan kuli langsir 50 ribu/hari/orang, rata-rata jumlah ikan 125 basket, per basket Rp. 400 rata-rata pendapatan kuli 2.400.000.000 timbang 50 ribu/hari/orang 900.000.000 biaya sewa basket 1400 rupiah/basket, rata-rata 300 basket/hari/orang 900.000.000 rata-rata jumlah ikan 300 basket, per basket 400 rupiah 2.400.000.000 rata-rata penerimaan kuli tossa 150 ribu per hari, ratarata upah 7 ribu/12 basket, perhari rata-rata 147 basket 59.580.000 Rata-ata penerimaan pemulung plastik Rp 75.000,- per hari, harga plastik Rp 2.000/kg, dengan rata-rata per hari 28 kg
52
Pihak Yang Terkena Dampak
Jumlah Tenaga Kerja 972
Perbankan Kredit macet
66.450.000.000 66.450.000.000
Penyedia Sarana dan Prasarana Penangkapan Ikan Alat Tangkap Pelaku industri 1. Hilangnya pendapatan buruh Tepung Ikan 2. Hilangnya pendapatan buruh Kerupuk 3. Hilangnya pendapatan buruh Filet Ikan
Keterangan
80% dari total pemilik (102 orang) meminjam kisaran 500 juta-1 Milyar, rata-rata baru cicilan 1 tahun, jangka waktu pinjaman 3 tahun
576.000.000
576.000.000 110 532
7.000
4. Pendapatan industri surimi Jumlah
Nilai (Rp./Tahun)
7,791
1.511.713.653.720 1.320.000.000 upah rata-rata buruh tepung ikan 30 ribu/hari/orang 7.660.800.000 upah rata-rata buruh kerupuk 50 ribu/hari/orang upah rata-rata buruh filet 124.200.000.000 ikan 50 ribu/hari/orang 1.378.532.853.720 kebutuhan bahan baku pindang rata-rata 25,9 ton per tahun 1.844.719.886.220
Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2016.
Pelaku usaha yang terlibat dalam rantai usaha perikanan hasil tangkapan nelayan cantrang di Kabupaten Rembang adalah pemilik kapal, nahkoda, ABK, pengurus kapal, penyedia barang input (penyedia jaring, ransum, bbm, dan es), TPI, bakul, pengolah ikan, dan bank. Hubungan antar pelaku tersebut ada yang mengikat dan ada pula yang tidak mengikat. Gambar dibawah ini menggambarkan hubungan antar pelaku tersebut.
53
BANK
Pemilik Kapal
Ada pemilik yang menentukan nahkoda dan ABKnya sendiri
Nahkoda dan ABK
Pengurus Kapal Bakul/Pedagang Pengumpul CSR
Toko Peralatan Jaring & Kapal, ES dan BBM Toko Sembako (Penyedia Ransum)
TPI
Bebas jual beli
Bebas jual-beli
Pabrik Pengolahan Surimi
UKM Pengolahan Ikan (Kerupuk, Baso)
Gambar 15. Jaringan Sosial di Kabupaten Rembang
Tabel 11. Dampak Sosial Pelarangan Cantrang di Kabupaten Rembang No
Pelaku
1.
Pemilik
2.
Nahkoda
3
Kepala Kamar Mesin (KKM)
4
ABK
5
Pengurus kapal
6
Bakul ikan
7 8
Pengecer ikan Pengasin ikan
Kategori dampak
Keterangan Pemilik beresiko tidak mampu melunasi hutangnya dan dibutuhkan modal besar untuk beralih ke alat tangkap lain. Kemampuan nahkoda dalam memdeteksi keberadaaan ikan tanpa GPS dan fishfinder memberikan peluang besar untuk bekerja di kapal selain kapal cantrang. Teknis operasional mesin di setiap kapal relatif sama sehingga tidak dibutuhkan keterampilan khusus, KKM dapat bekerja di kapal mana pun, Namun akan terjadi persaingan profesi yang menjadi pembatas bagi KKM dalam beralih kapal. ABK dapat diikutsertakan dalam pelatihan penggunaan API selain cantrang. Pengurus kapal dapat dengan mudah beralih ke kapal lainnya. Bakul ikan harus mencari potensi pasar baru unutk komoditas ikan lain selain ikan hasil tangkapan cantrang pengecer ikan dapat memasarkan ikan lain Bahan baku ikan olahan berasal dari ikan hasil tangkapan cantrang sehingga pegasin akan kesulitan mencari bahan baku. Selain itu, perlu
54
No
Pelaku
9
Pembuat Kerupuk ikan
10 11
Rumah tangga Tukang Filet
12
TPI
13
Tukang lansir
14
Tukang timbang
15
16
Agen Perlengkapan Bengkel Agen peralatan
17
Agen Es
18
21
Agen perbekalan Agen BBM Jasa buruh angkut BBM Jasa Buruh es
22
Bank
19 20
Kategori dampak
Keterangan mencari potensi pasar yang baru untuk hasil olahan dari jenis ikan non cantrang. Bahan baku ikan olahan berasal dari ikan hasil tangkapan cantrang sehingga pembuat kerupuk ikan akan kesulitan mencari bahan baku. Selain itu, perlu mencari potensi pasar yang baru untuk hasil olahan dari jenis ikan non cantrang Bisa mengkonsumsi jenis ikan lain Bahan baku untuk Surimi tidak dapat digantikan dengan jenis ikan lain selain ikan hasil tangkapan API cantrang Kapal cantrang mendominasi armada tangkap yang tambat labuh di TPI, oleh karenanya hilangnya cantrang akan menyebabkan turunnya aktivitas TPI. Aktifitas TPI yang turun akan menyebabkan peran tukang lansir berkurang pula. Aktifitas TPI yang turun akan menyebabkan peran tukang timbang berkurang pula Terjadi penurunan pendapatan karena dominansi pelanggan bengkel adalah kapal cantrang. Peralatan yang dijual tidak khusus untuk alat tangkap cantrang saja. Akan terpengaruh karena kapal selain cantrang (purseine dan gillnet) umumnya sudah dilengkapi dengan freezer, sehingga penjualan es balok akan berkurang Agen perbekalan dapat digunakan untuk kapal lainnya. Tetap dapat menjual BBM untuk kapal lainnya Tetap dapat menjadi buruh angkut BBM untuk kapal lainnya Akan terpengaruh karena kapal selain cantrang (purseine dan gillnet) umumnya sudah dilengkapi dengan freezer, sehingga penjualan es balok akan berkurang Bank akan terpengaruh karena banyak kredit macet
Keterangan: Berat Sedang Ringan Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2016.
55
Kabupaten Batang Dampak pelarangan cantrang di Kabupaten Batang dibedakan menjadi dampak langsung dan dampak tidak langsung. Pelarangan cantrang berdampak langsung pada usaha penangkapan nelayan, dan pengolahan ikan. Kehilangan pendapatan untuk dampak langsung cantrang meliputi pemilik kapal, nahkoda, pengurus kapal dan ABK. Kehilangan aset usaha juga akan dialami oleh pemilik kapal, ketika kapal cantrang sudah tidak bisa operasional lagi mencapai 161 milyar rupiah. Selama penundaan implementasi Permen No.2/2015, beberapa kali nelayan sudah melakukan aksi unjuk rasa baik dalam di Kabupaten Batang hingga ke Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta. Biaya demonstrasi ini dikenakan kepada pemilik kapal yaitu sebesar 1 juta rupiah/kapal. Total dampak sosial ekonomi yang diidentifikasi di Kabupaten Batang disajikan pada Tabel berikut. Tabel 12. Dampak Sosial Pemberlakuan PERMEN No.2/2015 tentang Pelarangan Cantrang di Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah Pelaku A. Nelayan 1. Hilangnya Pendapatan pemilik kapal 2. Hilangnya pendapatan nahkoda 3. Hilangnya pendapatan Pengurus Kapal 4. Hilangnya pendapatan ABK
5. Hilangnya nilai aset produksi (kapal dan alat tangkap)
Jumlah SDM yang Terkena Dampak (org) 4.597 867
230 50
3.450
Nilai (Rp./Tahun)
Keterangan
407.515.437.500 72.620.450.000 Jumlah kapal cantrang berukuran antara 10-30 GT di Kab. Batang sebanyak 230 kapal, 15.806.175.000 rata-rata satu kapal terdiri dari 15 pekerja 345.000.000 (nahkoda, KKM dan ABK). Sistem bagi hasil: hasil 118.546.312.500 kotor dikurangi perbekalan kemudian dibagi dua untuk pemilik (50%) dan pekerja (50%), Nahkoda mendapatkan 2 bagian, KKM 1.5 bagian dan ABK 1 bagian 199.220.000.000 Aset produksi meliputi kapal, mesin dan alat tangkap. Kapal berukuran antara 10-30 GT dilengkapi dengan 3 mesin (mesin pendorong dan penarik).
56
Pelaku
Jumlah SDM yang Terkena Dampak (org)
6. Biaya Unjuk Rasa
B. Tenaga Kerja non Nelayan 1. Hilangnya pendapatan bakul ikan
678
2. pendapatan Kuli Bantu (Over langsir)
27
3. Hilangnya pendapatan Kuli Timbang 4. Hilangnya pendapatan Sewa Basket 5. Hilangnya pendapatan Angkut basket 6. Hilangnya pendapatan Kuli Tosa
5
7. Hilangnya pendapatan Pemulung Plastik
C. Perbankan 1. Kredit macet
544
5
32
50
15
Nilai (Rp./Tahun)
Keterangan
Harga kapal untuk ukuran 27-28 GT sekitar 500 juta, mesin 100 juta dan alat tangkap 80 juta. 977.500.000 Demonstrasi di Kab. Batang ke Jakarta sudah dilakukan sebanyak 2 kali, setiap kali demonstrasi per kapal cantrang dikenakan biaya 1 juta. 21.049.500.000 16.200.000.000 Rata-rata selisih margin keuntungan 5 ribu/kg, jumlah ikan yang dijual rata-rata 300 kg/hari/orang 405.000.000 Rata-rata pendapatan kuli langsir 50 ribu/hari/orang, ratarata jumlah ikan 125 basket, per basket Rp. 400 75.000.000 Rata-rata pendapatan kuli timbang 50 ribu/hari/orang 630.000.000 Biaya sewa basket 1400 rupiah/basket, rata-rata 300 basket/hari/orang 1.152.000.000 Rata-rata jumlah ikan 300 basket, per basket 400 rupiah 2.250.000.000 Rata-rata penerimaan kuli tossa 150 ribu per hari, rata-rata upah 7 ribu/12 basket, perhari rata-rata 147 basket 337.500.000 Rata-ata penerimaan pemulung plastik 75 ribu per hari, harga plastik 2000/kg, ratarata per hari 28 kg 52.583.040.000 52.583.040.000 80% dari total pemilik (102 orang) meminjam kisaran 500 juta-1 juta, rata-rata baru cicilan 1
57
Pelaku
Jumlah SDM yang Terkena Dampak (org)
Nilai (Rp./Tahun)
Keterangan tahun, jangka waktu pinjaman 3 tahun
D. Penyedia Sarana dan Prasarana Penangkapan Ikan 1. Penyedia Alat Tangkap E. Industri Pengolahan 1. Hilangnya pendapatan buruh Tepung Ikan 2. Hilangnya pendapatan buruh Kerupuk 3. Hilangnya pendapatan buruh Ikan Asin 4. Hilangnya pendapatan buruh Fillet Ikan 5. Hilangnya pendapatan buruh Pindang 6. Pendapatan industri tepung ikan
10
600.000.000
10
600.000.000
2.973 20
3
250
2.400
300
7.Pendapatan industri kerupuk 8. pendapatan industri ikan asin 9. Pendapatan industri fillet ikan 10. Pendapatan industri pindang Jumlah
8.258
1.319.351.000.000 36.000.000 Upah rata-rata buruh tepung ikan 30 ribu/hari/orang 27.000.000 Upah rata-rata buruh kerupuk 50 ribu/hari/orang 65.700.000.000 Upah rata-rata buruh ikan asin 30 ribu/hari/orang 172.800.000.000 Upah rata-rata buruh filet ikan 50 ribu/hari/orang 130.140.000.000 Upah rata-rata buruh pindang 50 ribu/hari/orang 800.000.000 Kebutuhan bahan baku tepung ikan rata-rata 100 ton per tahun 720.000.000 Kebutuhan bahan baku kerupuk rata-rata 3,6 ton per tahun 328.500.000.000 Kebutuhan bahan baku ikan asin rata-rata 45 ton per tahun 450.000.000.000 Kebutuhan bahan baku filet ikan rata-rata 750 ton per tahun 170.628.000.000 Kebutuhan bahan baku pindang rata-rata 25,9 ton per tahun 1.801.098.977.500
Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2016
58
Tabel 13. Dampak Sosial Pelarangan Cantrang di Kabupaten Batang No
Pelaku
1. 2.
Pemilik Nakhoda
3 4
Kepala Kamar Mesin (KKM) ABK
5 6
Pengurus kapal Bakul ikan
7 8
Pengecer ikan Pelaku usaha Pengeringan ikan
9
Pengolah Kerupuk ikan
10 11
Rumah tangga Perusahaan Filet
13 14
Peternak itik Pengolah Ikan Asin
15
TPI
16
Tukang lansir
17
Tukang timbang
18 19
Agen Perlengkapan Agen peralatan
20
Agen Es
21 22 23
Agen perbekalan Agen BBM Jasa buruh BBM
Kategori dampak
Keterangan Pemilik tidak mempunyai aset lainnya Nakhoda tidak menggunakan teknologi untuk membantu menemukan wilayah tangkapan. Teknologi yang digunakan relatif sama dengan kapal yang lain ABK adalah orang batang dimana konsep mereka bahwa orang Batang hanya akan berhasil bila menggunakan cantrang. Sehingga mereka akan kebingungan jika tidak ada cantrang Pengurus dapat mengurusi kapal lain Aset yang dimiliki dapat digunakan untuk menampung ikan hasil tangkapan alat tangkap selain cantrang Pengecer ikan bisa menjual ikan yang lain Bahan baku bisa dari ikan produksi alat tangkap yang lain, karena tidak membutuhkan teknologi khusus Bahan baku bisa dari ikan produksi alat tangkap yang lain, karena tidak membutuhkan teknologi khusus Bisa mengkonsumsi ikan lain Bahan baku hanya berasal dari cantrang, aset yang dimiliki cukup besar. Bahan baku bisa diperoleh dari sumber lain Bahan baku bisa dari ikan produksi alat tangkap yang lain, karena tidak membutuhkan teknologi khusus TPI tersebut khusus menampung hasil dari penangkapan cantrang Tidak memerlukan keterampilan khusus sehinggajika cantrang diganti masih bisa bekerja Tidak memerlukan keterampilan khusus sehingga jika cantrang diganti masih bisa kerja Dapat untuk kapal lain Dapat untuk kapal lain, namun karena dominansi di wilayah tersebut cantrang sehingga akan menurunkan penjualan. Es hanya digunakan untuk nelayan cantrang, sedangkan nelayan purse seine dan gillnet memakai freezer Semua jenis kapal membutuhkan ransum Semua jenis kapal membutuhkan BBM Semua jenis kapal membutuhkan BBM
59
No 24 25
Pelaku
Kategori dampak
Jasa Buruh es Bank
Sumber: Data Primer Diolah, 2016. Keterangan: Berat Sedang
Keterangan Volume kebutuhan es berkurang Kehilangan bunga pinjaman Ringan
60
Rp,25.000-/ 30 liter 15 org
Buruh angkut BBM
Pengumpul Limbah
Bank
plastik Agen BBM Agen Perbekalan
50 org
Pengurus
Bakul Ikan Besar
Pemilik (230 orang)
TPI
rrr Agen Es
230 org
Agen Peralatan
27 org
Nahkoda
Tukang lansir 5 org
Agen Perlengkapan KKM Jasa
Tukang timbang
ABK
(5 orang)
Buruh 460 org
Rp,20.000-/ton
Kerupuk kulit
2 org/kpl
Pengering
3450
org
Pengecer Ikan segar
Rumah Limbah
Keterangan :
Pengolah ikan
Pengolah Fillet
peternak itik
: Hubungan tanpa ikatan : Hubungan dengan ikatan
Pakan ternak
Pembuat Tepung ikan Ikan asin
Via Lelang sambung
Gambar 16. Jaringan Sosial di Kabupaten Batang
61
Kota Tegal Pelarangan cantrang berdampak langsung pada usaha penangkapan ikan hingga pengolahan ikan secara tidak langsung berdampak pada hilangnya pendapatan usaha turunan dengan adanya kapal cantrang seperti usaha peralatan dan perlengkapan kapal. Kehilangan sumber pendapatan akan dialami baik pemilik kapal, nahkoda, pengurus kapal dan ABK kita cantrang tidak lagi beroperasi. Tabel 14. Dampak Sosial dan ekonomi Pemberlakuan PERMEN No.2/2015 tentang Pelarangan Cantrang di Kota Tegal, Provinsi Jawa Tengah Pelaku A. Nelayan 1. Hilangnya Pendapatan pemilik kapal 2. Hilangnya pendapatan nahkoda 3. Hilangnya pendapatan Pengurus Kapal 4. Hilangnya pendapatan ABK
Jumlah SDM yang Terkena Dampak 19.281 787
2.216.112.110.769 633.414.480.000
681
96.329.021.538
258
263.547.000.000
17.555
1.211.388.609.231
5. Hilangnya nilai aset produksi (kapal dan alat tangkap)
10.533.000.000
6. Biaya Unjuk Rasa
B. Tenaga Kerja non Nelayan 1. Hilangnya pendapatan bakul ikan
Nilai (Rp./Tahun)
900.000.000
189 5
Keterangan
Jumlah kapal cantrang berukuran antara 10-30 GT di Kota Tegal sebanyak 681 kapal, rata-rata satu kapal terdiri dari 25 pekerja (nahkoda, KKM dan ABK). Sistem bagi hasil : hasil kotor dikurangi perbekalan kemudian dibagi dua untuk pemilik (50%) dan pekerja (50%), Nahkoda mendapat 2 bagian, KKM 1.5 bagian dan ABK 1 bagian Aset produksi meliputi kapal, mesin dan alat tangkap. Kapal berukuran antara 10-30 GT dilengkapi dengan 3 mesin (2 mesin pendorong dan 1 mesin penarik). Harga kapal untuk ukuran 27-28 GT sekitar 500 juta, mesin 100 juta dan alat tangkap 80 juta. Demonstrasi di Kota Tegal ke Jakarta sudah dilakukan sebanyak 2 kali, setiap kali demonstrasi per kapal cantrang dikenakan biaya Rp 1.000.000,-.
16.500.000.000 3.900.000.000 rata-rata selisih margin keuntungan 10 ribu/basket, jumlah ikan yang dijual ratarata 260 basket/hari/orang
62
Pelaku 2. Hilangnya pendapatan pekerja bakul
Jumlah SDM yang Terkena Dampak 25
3. Hilangnya pendapatan kuli angkut bakul
75
4. Hilangnya Pendapatan Tenaga Becak Angkut
33
5. Hilangnya Pendapatan Tenaga Gerobak Angkut
51
C. Perbankan 1. Kredit macet
D. Penyedia Sarana dan Prasarana Penangkapan Ikan 1. Penyedia Alat Tangkap E. Industri Pengolahan 1. Hilangnya pendapatan buruh Tepung Ikan 2. Hilangnya pendapatan buruh Kerupuk 3. Hilangnya pendapatan buruh Ikan Asin 4. Hilangnya pendapatan buruh Filet Ikan 5. Hilangnya pendapatan buruh Pindang
6
Nilai (Rp./Tahun)
Keterangan
900.000.000 rata-rata jumlah pekerja bakul adalah 5 orang per bakul besar dengan gaji bulanan sebesar 3 juta rupiah 5.625.000.000 rata-rata jumlah kuli angkut bakul adalah 15 orang per bakul besar dengan upah harian 250 rb-300rb/hari 1.485.000.000 upah angkut becak Rp. 500/basket, rata-rata jumlah ikan yang diangkut 300 basket/hari/orang 4.590.000.000 upah angkut gerobak Rp. 1000/basket, rata-rata jumlah ikan yang diangkut 300 basket/hari/orang 25.537.500.000 25.537.500.000 90% dari total pemilik (6 orang) meminjam kisaran 500 juta-1 juta, rata-rata baru cicilan 1 tahun, jangka waktu pinjaman 3 tahun 42.000.000
6
42.000.000
3.468
144.216.650.000
18
302.400.000
upah rata-rata buruh tepung ikan 50 ribu/hari/orang
75
540.000.000
upah rata-rata buruh kerupuk 20 ribu/hari/orang
360
2.592.000.000
upah rata-rata buruh ikan asin 20 ribu/hari/orang
3.000
64.800.000.000
upah rata-rata buruh filet ikan 60 ribu/hari/orang
15
162.000.000
upah rata-rata buruh pindang 30 ribu/hari/orang
63
Pelaku
Jumlah SDM yang Terkena Dampak
Nilai (Rp./Tahun)
6. Pendapatan industri tepung ikan 7.Pendapatan industri kerupuk
72.000.000
8. pendapatan industri ikan asin 9. Pendapatan industri fillet ikan 10. Pendapatan industri pindang
720.000.000
Jumlah
2.000.000
75.000.000.000
26.250.000
22.944
Keterangan kebutuhan bahan baku tepung ikan rata-rata 45 ton per tahun kebutuhan bahan baku kerupuk rata-rata 50 kg per tahun kebutuhan bahan baku ikan asin rata-rata 8 ton per tahun kebutuhan bahan baku filet ikan rata-rata 120 ton per tahun kebutuhan bahan baku pindang rata-rata 500 kg per tahun
2.402.408.260.769
Sumber : Data Primer diolah, Tahun 2016
Pemenuhan biaya operasional baik BBM, ransum, perlengkapan dan peralatan diperoleh dengan cara berhutang yang akan dibayar saat selesai penjualan ikan. Tabel 15. Daftar Hutang Kebutuhan Operasional per Trip No 1 2 3 4
Kebutuhan Operasional untuk Melaut BBM (34.000 liter @ Rp 6.100) Ransum ( Beras, sayuran, buah, kopi, gula, rokok) Bengkel ( Gardan) Peralatan (Freon, Oli) Total
Nominal (Rp) 207.400.000 75.000.000 25.000.000 113.000.000 420.400.000
64
Pengurus (258 org)
Nahkoda (681 org)
Olahan ikan
bank Penyedia
alat
tangkap (6 orang)
Tepung ikan
TukangBecak(33 org)
Pemilik
Fillet (3000 org)
(787 org) Agen BBM Bengkel
KKM (681 org)
TPI
Bakul (5 org)
Surimi
Agen Perlengkapan
Ikan Asin (360 orang)
ABK( 1755 org)
(18 org)
Limbah
Pakan itik
Keterangan : Perbekalan Agen : Hubungan tanpa ikatan : Hubungan dengan ikatan
Tukang Gerobak (51 org)
Kuli angkut
Pekerja
bakul(75 org)
bakul(25 org)
Gambar 17. Jaringan Sosial di Kota Tegal
65
Tabel 16. Dampak Sosial Pelarangan Cantrang di Kota Tegal No
Pelaku
1.
Pemilik
2.
Nahkoda
3 4 5 6
Kepala Kamar Mesin (KKM) ABK Pengurus kapal Bakul ikan
7 8
Pekerja Bakul Bakul Angkut
9
Pelaku usaha Pengeringan ikan Pengolah Kerupuk ikan Rumah tangga Perusahaan Filet
10 11 12 13
16
Perusahaan surimi Peternak itik Pengolah Ikan Asin TPI
17
Tukang becak
18
Tukang gerobak
19
Agen Perlengkapan Agen peralatan
14 15
20
21 22 24
Kategori dampak
Agen perbekalan Agen BBM Bank
Sumber: Data Primer Diolah, 2016. Keterangan: Berat Sedang
Keterangan Pemilik tidak mempunyai aset lainnya selain cantrang, pergantian alat tangkap lain membutuhkan moda yang cukup besar (purse seine atau gillnet) Nahkoda tidak menggunakan teknologi untuk membantu menemukan wilayah tangkapan. Teknologi yang digunakan relatif sama dengan kapal yang lain ABK bisa menggunakan API lainnya Pengurus dapat mengurusi kapal lain selain cantrang Aset yang dimiliki dapat digunakan untuk menampung ikan hasil tangkapan alat tangkap selain cantrang Pengecer ikan bisa menjual ikan yang lain Bakul angkut tetap dapat melakukan pengangkutan jenis ikan lain Bahan baku bisa dari ikan produksi alat tangkap yang lain, karena tidak membutuhkan teknologi khusus Bahan baku bisa dari ikan produksi alat tangkap yang lain, karena tidak membutuhkan teknologi khusus Bisa mengkonsumsi ikan lain Bahan baku hanya berasal dari cantrang, aset yang dimiliki cukup besar Bahan baku hanya berasal dari cantrang, aset yang dimiliki cukup besar Bahan baku bisa diperoleh dari sumber yang lain Bahan baku bisa dari ikan produksi alat tangkap yang lain, karena tidak membutuhkan teknologi khusus TPI tersebut khusus menampung hasil dari penangkapan cantrang Tidak memerlukan keterampilan khusus sehinggajika cantrang diganti masih bisa bekerja Tidak memerlukan keterampilan khusus sehinggajika cantrang diganti masih bisa bekerja Dapat untuk kapal lain Dapat untuk kapal lain, namun karena dominansi di wilayah tersebut cantrang sehingga akan menurunkan penjualan. Semua jenis kapal membutuhkan ransum Semua jenis kapal membutuhkan BBM Potensi kredit macet, karena pemilik kapal tidak bisa membayar cicilan kredit Ringan
66
4.4.3.2 Analisis Dampak Ekonomi Kabupaten Demak Investasi yang dibutuhkan dalam usaha arad adalah untuk pembelian kapal, mesin, alat bantu penangkapan dan alat tangkap arad. Hasil analisis usaha secara lengkap disajikan pada Tabel 17, dan analisis finansial pada Tabel 18. Tabel 17. Analisis Usaha Penangkapan Ikan dengan Alat Tangkap Arad di PPP Moro Demak, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah Komponen Biaya A. Investasi Kapal Mesin Alat Bantu Alat Tangkap Jumlah B. Biaya Tetap Penyusutan Perawatan Perizinan Jumlah C. Biaya Tidak Tetap BBM Ransum Es Balok Biaya Bongkar Muat Umpan Jumlah biaya/trip Jumlah trip/tahun Jumlah biaya/tahun D. Penerimaan Jumlah Tangkapan (kg) Harga (Rp/kg) Nilai/Trip Jumlah Trip Nilai/Tahun R/C Ratio
Jumlah (Rp) 35.000.000 15.000.000 850.000 11.000.000 61.850.000 7.703.333 7.500.000 15.203.333 142.500 50.000 60.000 0 0 252.500 200 50.500.000 70 6.500 455.000 200 91.000.000 1,39
Sumber : Data Primer, Diolah (2016)
Tabel 18. Analisis Finansial Usaha Penangkapan Ikan dengan Alat Tangkap Arad < 10 GT di Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah Uraian NPV IRR Net B/C Payback Period
Arad < 10 GT 28.450.608 9,4% 1,46 2,87
Sumber : Data Primer, Diolah (2016)
67
Kabupaten Pati Analisis usaha penangkapan ikan dengan cantrang di PPP Bajo Mulyo Pati secara rinci disajikan dapat dilihat pada Table 19, dan analisis finansial pada Tabel Tabel 19. Analisis Usaha Penangkapan Ikan di PPP Bajo Mulyo, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah Cantrang < 10 GT 200.000.000 130.000.000 25.000.000 39.000.000 394.000.000
A. Investasi Kapal Mesin Alat Bantu Alat Tangkap Jumlah B. Biaya Tetap Penyusutan Perawatan Perizinan Jumlah C. Biaya Tidak Tetap BBM Ransum Es Balok Biaya Bongkar Muat Umpan Jumlah biaya/trip Jumlah Trip/Tahun Jumlah biaya/tahun D. Penerimaan Jumlah Tangkapan (kg) Harga (Rp/kg) Nilai/Trip Jumlah Trip Nilai/Tahun R/C Ratio
10 – 30 GT 875.000.000 247.000.000 57.000.000 85.000.000 1.264.000.000
63.833.333 31.480.000 40.000 95.353.333
96.850.000 39.000.000 4.000.000 139.850.000
780.000 200.000 28.000 150.000 0 1.158.000 280 324.240.000
72.000.000 48.000.000 30.000.000 10.000.000 0 107.400.000 11 1.181.400.000
550 5.000 2.750.000 280 770.000.000 1,84
60.000 5.000 300.000.000 11 3.000.000.000 1,74
Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2016
Tabel 20. Analisis Finansial Usaha Penangkapan Ikan di PPP Bajo Mulyo, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah Uraian NPV IRR Net B/C Payback Period
Cantrang < 10 GT 302.995.421 15,3% 1,77 1,73
10 – 30 GT 1.581.140.844 22,3% 2,25 0,97
Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2016
68
Kabupaten Rembang Perhitungan analisis usaha penangkapan ikan di PPP Tasik Agung Rembang yang membandingkan cantrang dengan alat tangkap purse seine, gillnet dan bubu secara rinci disajikan pada Tabel 21, dan analisis finansial pada Tabel 22.. Tabel 21. Analisis Usaha Penangkapan Ikan di PPP Tasik Agung, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Satuan= (1.000)
A. Investasi Kapal Mesin Alat Bantu Alat Tangkap Jumlah B. Biaya Tetap Penyusutan Perawatan Perizinan Jumlah C. Biaya Tidak Tetap BBM Ransum Es Balok Biaya Bongkar Muat Umpan Jumlah biaya/trip Jumlah trip/tahun Jumlah biaya/tahun D. Penerimaan Jumlah Tangkapan (kg) Harga (Rp/kg) Nilai/trip Jumlah trip Nilai/tahun R/C Ratio
Cantrang < 10 GT 10 – 30 GT 200.000 600.000 130.000 200.000 25.000 26.500 39.000 105.000 394.000 931.500
Purse seine 10-30 GT 800.000 200.000 19.000 160.000 1.179.000
Gillnet < 10 GT 55.000 5.500 77.000 137.500
Bubu < 10 GT 29.000 5.000 1.500 7.500 43.000
63.333 31.480 40 95.353
117.800 110.000 3.300 231.100
176.167 103.500 2.670 282.336
19.485,7 4.000 1.280 24.765,7
5.700 1.500 10 7.210
780 200 28 150 0 1.158 280 324.240
50.400 25.000 17.000 15.000 0 107.400 11 1.181.400
9.300 5.000 2.400 1.050
30 10 0
17.750 30 532.500
127,5 132,5 30 10 0 300 240 72.000
40 80 200 16.000
0,55 5 2.750 280 770.000 1,84
45 5 225.000 11 2.475.000 1,75
12 5 60.000 30 1.800.000 2,21
0,03 35 1.050 240 252.000 2,60
0,012 30 360 200 72.000 3,10
Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2016.
69
Tabel 22. Analisis Finansial Usaha Penangkapan Ikan di PPP Tasik Agung, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah Uraian NPV IRR Net B/C Payback Period
Cantrang
Purse seine
Gillnet
Bubu
< 10 GT 222.549.762 11,6% 1,56
10 – 30 GT 1.057.889.172 20,2% 2,14
10-30 GT 463.289.248 8,0% 1,39
< 10 GT 92.874.024 16,4% 1,68
< 10 GT 35.452.594 15,5% 1,82
2,71
1,31
3,88
2,54
1,91
Sumber: Data Primer Diolah, Tahun 2016.
Kabupaten Batang Alat tangkap yang terkena dampak akibat pemberlakukan Permen KP No. 2 Tahun 2015 di Kabupaten Batang adalah cantrang, purse seine dan bubu. Modal investasi cantrang ukuran 10-30 GT mencapai R 705 juta sedangkan < 10 GT sebesar 59 juta. Biaya invetasi terbesar adalah kapal dengan alat tangkap purse seine, karena harga mesin dan alat tangkap yang tinggi. Alat bantu yang harus dilengkapi pada alat tangkap cantrang adalah rumpon yang umumnya dibawa sebanyak 10 unit per trip. Hasil analisis dilakukan untuk melihat biaya tetap kapal purse seineyang paling besar dibandingkan alat tangkap cantrang dan bubu, yang disebabkan oleh biaya penyusutannya yang besar. Biaya perizinan yang diterapkan menyesuaikan dengan ukuran kapal per GT kapal. Biaya variabel yang dikeluarkan untuk alat tangkap cantrang antara lain untuk BBM, ransum, es balok, dan bongkar muat. Hasil tangkapan cantrang biasanya terdiri dari jenis ikan demersal yakni badong, kurisi, beloso, kapasan, kerapu, swanggi, pari, manyung, peperek, ekor kuning dan ikan selar. Kesepakatan sistembagi hasil yang berlaku adalah 50% : 50% dari hasil tangkapan setelah dikurangi dengan retribusi TPI, bagian pengurus kapal dan perbekalan. Analisis usaha perikanan cantrang, purse seine dan bubu disajikan pada tabel 23, dan analisis finansial pada Tabel 24.
70
Tabel 23. Analisis Usaha Perikanan Cantrang dengan Alat Tangkap Lainnya di Kabupaten Batang Satuan= (1.000)
Uraian
Cantrang < 10 GT 10 – 30 GT
Investasi Kapal Mesin * Alat Bantu Alat Tangkap Jumlah Biaya Tetap Penyusutan Perawatan Perizinan Jumlah Biaya Tidak Tetap BBM Ransum Es Balok Biaya Bongkar Muat Jumlah biaya/trip Jumlah Trip/Tahun Jumlah biaya/tahun Penerimaan Usaha Jumlah Harga Nilai/Trip Jumlah Trip Nilai/Tahun
Purse seine 10-30 GT
Bubu < 10 GT
35.000 21.000 3.000 59.000
500.000 100.000 25.000 80.000 705.000
658.000 240.000 2.000 200.000 1.100.000
35.000 21.000 12.800 68.800
7.133,3 2.000 9.133,3
69.333,3 10.000 580 79.913,3
131.866,7 4.500 250 136.616,7
9.093,3 2.000 11.093,3
260 34,25 5,75 300 312 93.600
18.540 20.000 7.300 4.180 50.020 10 500.200
5.150 2.550 2.300 4.042,5 14.042,5 48 674.040
520 500 115 1.135 60 68.100
0,020 25 500 312 156.000
1 150.000 150.000.000 10 1.500.000
4,375 12.000 52.500.000 48 2.520.000
0,100 33 3.300 60 198.000
Sumber : Data Primer, Diolah (2016) Keterangan : Mesin meliputi mesin pendorong dan mesin tarik. Alat bantu penangkapan meliputi gardan, GPS, dan radio.
Tabel 24. Analisis Finansial Usaha Penangkapan Ikan di PPP Klidang Lor, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah Cantrang Purse seine Bubu Uraian < 10 GT 10 – 30 GT 10-30 GT < 10 GT NPV
54,476,976
840,670,557
1,588,989,830
127,389,415
IRR
16%
21%
26%
32%
Net B/C
1.92
2.19
2.44
2.85
71
Payback Period
1.43
1.23
1.16
0.92
Sumber : Data Primer, Diolah (2016)
Kota Tegal Investasi yang dibutuhkan dalam usaha perikanan tangkap cantrang adalah untuk pembelian kapal, mesin, alat bantu penangkapan dan alat tangkap cantrang. Analisa usaha alat tangkap cantrang dan bubu di Kota Tegal disajikan ada Tabel 25, dan analisis finansial pada Tabel 26. Tabel 25. Analisa Usaha Alat Tangkap Cantrang dan Bubu di KotaTegal Uraian
< 10 GT
Cantrang 10 - 30 GT
Bubu < 10 GT
Investasi Kapal 50,000,000 500,000,000 50,000,000 Mesin 12,000,000 40,000,000 12,000,000 Alat Bantu 6,500,000 51,000,000 6,500,000 Alat Tangkap 3,000,000 15,000,000 27,200,000 Jumlah 71,500,000 606,000,000 95,700,000 Biaya Tetap Penyusutan 8,533,333 55,033,333 20,633,333 Perawatan 8,000,000 55,000,000 5,000,000 Perizinan 300,000 900,000 300,000 Jumlah 16,833,333 110,933,333 25,933,333 Biaya Tidak Tetap BBM 1,740,000 40,800,000 1,740,000 Ransum 200,000 15,000,000 1,160,000 Es Balok/ Curah 200,000 15,960,000 1,100,000 Umpan 2,000,000 Biaya Bongkar Muat Biaya tenaga kerja (Bersih Kapal) Biaya Titip Mesin Jumlah Biaya/Trip 2,140,000 71,760,000 6,000,000 Jumlah Trip/Tahun 48 12 24 Jumlah biaya/Tahun 102,720,000 861,120,000 144,000,000 Penerimaan Usaha Jumlah 1,250 45,000 400 Harga 4,000 5,000 30,000 Nilai/Trip 5,000,000 225,000,000 12,000,000 Jumlah Trip 48 12 24 Nilai/Tahun 240,000,000 2,700,000,000 288,000,000 Sumber : Data Primer Diolah, 2016 Keterangan : Mesin merupakan mesin pendorong. Alat bantu penangkapan meliputi gardan, GPS, dan gen set.
72
Tabel 26. Analisis Finansial Usaha Penangkapan Ikan di PPP Tegalsari, Kota Tegal, Provinsi Jawa Tengah Uraian NPV IRR Net B/C Payback Period
Cantrang < 10 GT 174,407,359 38% 3.44 0.54
10 – 30 GT 2,783,267,962 66% 5.59 0.26
Bubu < 10 GT 100,898,744 19% 2.05 1.80
Sumber : Data Primer Diolah, 2016
4.4.4 Kesimpulan Perkembangan teknologi terkait dengan armada penangkapan ikan berdampak positip terhadap hasil tangkapan total yang diperoleh dengan mengoperasikan API Cantrang; tetapi secara perlahan terlihat berdampak negatif terhadap sumberdaya ikan dan lingkungannya. Pada tahap selanjutnya, menimbulkan konflik antar pengguna alat penangkapan ikan yang beroperasi pada jalur penangkapan yang sama atau berdekatan. Berbagai isu dan permasalahan teridentifikasi terkait pengoperasian API Cantrang dapat disintesa sebagai berikut: (1) Adanya ‘pembiaran’ perkembangan jumlah unit API cantrang yang dioperasikan sampai batas melebihi jumlah yang direkomendasikan; (2) Adanya ‘pembiaran’ modifikasi API cantrang yang berakibat pada peningkatan kapasitas penangkapan (fishing capacity) sehingga alat penangkapan ikan ini menarik minat pelaku usaha baru untuk berinvestasi di usaha penangkapan ikan; (3) Maraknya ‘mark down’ yang dilakukan oleh pelaku usaha sebagai akibat sulitnya perijinan pusat; (4) Maraknya pemalsuan perijinan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggungjawab sehingga jumlah armada penangkapan yang secara faktual beroperasi jauh melebihi jumlah yang diijinkan; (5) Adanya pelanggaran operasional penangkapan ikan di luar zonasi yang diijinkan; (6) Terindikasi over-fishing di perairan daerah penangkapan Cantrang, yakni WPP-712, baik biological over-fishing maupun economical over-fishing; 73
(7) Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas ikan hasil tangkapan menyebabkan penumpukan sampah plastik di pelabuhan pendaratan ikan; (8) Maraknya hasil tangkapan yang tidak dilaporkan; (9) Lemahnya penegakan peraturan perundangan yang berdampak pada kerugian secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Apabila Permen KP No. 2/2015 diberlakukan secara total mulai Januari 2016, maka potensi permasalahan yang dapat terjadi adalah: 1. Penolakan terhadap pelarangan API Cantrang melalui kegiatan demostrasi baik di daerah hingga ke pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan - KKP), yang disebabkan produktivitas alat tangkap lain tidak setinggi cantrang serta kebutuhan modal yang besar untuk beralih ke alat tangkap bukan cantrang. 2. Keterbatasan keterampilan ABK untuk mengoperasional alat tangkap selain cantrang, sehingga muncul potensi kecemburuan sosial antara nelayan kecil (arad) dan nelayan yang menggunakan alat tangkap purse seine. 3. Aktifitas lelang ikan di TPI terganggu dengan sering terjadinya banjir rob. 4. Kehilangan jaringan kerja dan keuangan antara pemilik dan penyedia kebutuhan kapal. 5. Ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan baru akibat penarikan cantrang dan keterbatasan keahlian yang dimiliki nelayan mengakibatkan angka pengangguran meningkat. 6. Hilangnya pendapatan 7.145 nelayan <10 Gt dengan total pendapatan 1,3T dan hilangnya pendapatan 9.517 nelayan 10-30 Gt dengan total pendapatan 4,6T. 7. Hutang masyarakat nelayan di perbankan cukup besar. 8. Alat tangkap cantrang tetap di perbolehkan akan tetapi lokasi penangkapan boleh dipindahkan keluar WPP 712.
4.4.5 Alternatif Opsi Kebijakan 1.
Perpanjangan masa tenggang waktu pelarangan operasional API Cantrang (23 tahun): a.
Sosialisasi pentingnya memelihara kelestarian sumber daya perikanan. 74
b.
Sosialisasi kepada masyarakat mengenai teknologi API pengganti cantrang yang direkomendasikan oleh KKP dengan tingkat produktivitas tinggi.
c.
Peningkatan keterampilan nelayan untuk operasional alat tangkap lain yang direkomendasikan.
d.
Menyediakan ruang konsultasi dan fasilitasi untuk membantu nelayan mendapatkan informasi untuk menjalin mitra yang dibutuhkan.
e.
Tidak mengeluarkan izin baru untuk API cantrang.
2. Pencabutan Larangan API Cantrang: a. Verifikasi dan pengukuran ulang API cantrang sesuai dengan aturan alat tangkap ramah lingkungan (ukuran mata jaring, penggunaan pemberat serta ukuran jaring) b. Monitoring dan evaluasi terhadap spesifikasi dan operasional API Cantrang. c. Pembagian wilayah penangkapan untuk kapal cantrang berukuran >30 GT ke wilayah penangkapan perikanan yang belum termanfaatkan secara optimal.
3. Penanggulangan Dampak Sosial Ekonomi Terhadap Seluruh Pelaku Usaha Terkena Dampak a.
Menyusun rencana aksi dan program atau kegiatan penanggulangan dampak sosial ekonomi berdasarkan dimensi waktu dan derajat dampak.
b.
Mendistribusikan tanggungjawab penanggulangan dampak sosial ekonomi ke beberapa direktorat jenderal dan badan di lingkup KKP
4. Bailout dan Buyback a. Bail Out API Cantrang, artinya Bantuan finansial yang diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha perikanan (cantrang) yang menghadapi situasi kebangkrutan dan alat tangkap yang di bailout menjadi milik pemerintah. b. Buy Back API Cantrang, artinya pemerintah membeli API cantrang yang dimiliki oleh nelayan untuk melindungi modal usaha yang diharapkan bisa digunakan untuk membeli API baru.
75
76
4.5 Kajian Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Perhitungan Dampak Kerugian Dalam Rangka Penanggulangan Dampak Tumpahan Minyak Terhadap Sumberdaya Kelautan Dan Perikanan
4.5.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau 13.466, luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2. Perairan Indonesia merupakan jalur transportasi yang strategis sebagai lalu lintas kapal-kapal barang dari negara-negara Asia maupun Eropa menuju ke Asia Tenggara maupun Australia, ataupun sebaliknya. Selain itu, perairan Indonesia terletak di antara negara-negara produsen minyak di bagian barat dan negara-negara konsumen di bagian timur. Posisi strategis ini, selain menguntungkan juga mengandung resiko berupa dampak negatif dari kemungkinan terjadinya tumpahan minyak. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, bahwa tumpahan minyak di laut adalah lepasnya minyak baik langsung atau tidak langsung ke lingkungan laut yang berasal dari kegiatan pelayaran, kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi atau kegiatan lain. Saat ini beroperasi sekitar 80 anjungan minyak lepas pantai berada di perairan Indonesia dimana dalam operasionalnya memiliki resiko terjadinya tumpahan minyak. Kondisi ini dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan yang tidak saja mengancam ekosistem laut tetapi juga dapat merugikan nelayan, pembudidaya ikan dan kesejahteraan masyarakat pesisir secara umum. Lalu lintas kapal tanker serta kegiatan eksplorasi dan produksi minyak di lepas pantai telah menjadikan kawasan-kawasan di Perairan Indonesia rawan terjadi tumpahan minyak. Dari seluruh perairan Indonesia, wilayah yang rentan terhadap pencemaran akibat tumpahan minyak adalah Selat Malaka, Pantai Selatan Jawa (Samudera Hindia), Selat Lombok, dan Selat Makasar. Selain tumpahan minyak dari Kapal tanker, perairan Indonesia juga rentan terhadap tumpahan minyak yang berasal dari eksploitasi minyak lepas pantai.
77
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berkewajiban mengembangkan suatu kebijakan dan mekanisme yang memungkinkan dilakukannya tindakan secara cepat, tepat dan terkoordinasi dalam penanggulangan tumpahan minyak di laut dan dampak lingkungan yang mungkin terjadi. Salah satunya dengan mengetahui nilai sumberdaya yang tercemar, sehingga pada saat terjadi tumpahan minyak dapat mengajukan klaim ganti rugi terutama untuk kegiatan pemulihan lingkungan peaiaran yang terkena dampak tumpahan minyak. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun pedoman perhitungan dampak kerugian akibat tumpahan minyak.
4.5.2 Prosedur Pengumpulan Data dan Keterangan Kerugian Dampak Tumpahan Minyak Kejadian tumpahan minyak memberi dampak yang negatif bagi lingkungan pesisir dan laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun penghitungan kerugian yang ditimbulkan seringkali sulit dilakukan karena tidak tersedianya data awal sebagai landasan perubahan nilai manfaat yang diberikan oleh lingkungan dan pesisir kepada manusia. Oleh karena itu pula seringkali pembuatan laporan penuntutan nilai kerugian dipertanyakan oleh sejumlah pihak mengenai keakuratan nilai yang dhitung. Atas dasar tersebut, penghitungan nilai kerugian harus diawali dengan pembuatan database terkait nilai ekonomi dari jasa-jasa yang diberikan oleh lingkungan pesisir dan laut. Pada saat kejadian tumpahan minyak, proses penghitungan diawali dengan penerimaan laporan dan bukti permulaan dari tim pengumpulan bukti permulaan. Data laporan awal akan diproses lebih lanjut setelah terkonfirmasi dari penanggungjawab di tingkat lapangan. Secara umum proses yang akan dilakukan terdiri dari 4 langkah yaitu : 1.
Perencanaan survey lapangan Studi awal dilakukan dengan membuka kembali dokumen database nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan laut pada lokasi kejadian. Dokumen-dokumen pendukung terkait kondisi geografis, ekosistem, kependudukan, pemanfaatan sumberdaya
78
kelautan dan perikanan juga dipersiapkan sebagai bahan perumusan design survey lapangan. Langkah yang paling penting selanjutnya adalah penyusunan personil yang akan melakukan ke lapangan. Penyiapan personil tidak dapat serta merta mengingat pengambilan data lapangan tidak dapat dilakukan secara terstandar bila dilakukan oleh personil yang tidak memahami struktur data dan teknik pengambilan data. Masalah yang sangat potensial terjadi adalah tidak adanya personil ketika tumpahan minyak terjadi di lapangan karena personil sedang survey penelitian lainnya. Langkah antisipasi yang dapat dilakukan adalah dengan memperbanyak jumlah personil peneliti yang terlibat. Selain itu diperlukan tim cadangan sebagai enumerator tambahan yang sewaktu-waktu dapat mengambil data yang dibutuhkan. Agar hasil yang diperoleh memenuhi standar yang diinginkan maka pembuatan panduan survey serta pelatihan bagi tim tersebut harus dialokasikan. Desain survey disesuaikan dengan perkiraan potensi areal dan pemanfaat terdampak. Pada areal terdampak akan terlihat luas area dan jenis ekosistem yang terpengaruh. Pada tiap-tiap ekosistem akan diketahui pula jenis-jenis pemanfaatan yang ada melalui database yang telah dikumpulkan. Setelah informasi awal tersebut diperoleh kemudian baru dapat dibuat rencana pengambilan data lapangan mulai dari kerangka dan teknik survey, waktu, personil, instrumen, klasifikasi dan jumlah responden serta pembiayaan yang diperlukan.
2.
Survey lapangan Pelaksanaan survey lapangan dilakukan dalam jarak yang tidak jauh dari waktu kejadian perkara. Tujuan utama pelaksanaan survey adalah pengumpulan data-data yang dibutuhkan untuk menghitung nilai total kerugian yang dialami akibat adanya tumpahan minyak. Secara umum terdapat tiga kategori kerugian yang akan dihitung yaitu Nilai Kompensasi, Biaya Restorasi dan Biaya Penilaian. Nilai kompensasi adalah nilai yang harus dikompensasikan akibat hilangnya nilai ekonomi dari sumberdaya pesisir dan laut yang terdampak tumpahan minyak baik.
79
Nilai ekonomi dimaksud mencakup nilai manfaat (use value) dan nilai bukan manfaat (non use value) yang sudah dikenal konsepsinya secara umum dalam kerangka nilai total ekonomi/ total economic value (TEV). Nilai manfaat terdiri dari manfaat langsung dan tidak langsung. Contoh manfaat langsung adalah nilai manfaat penangkapan ikan, budidaya ikan, wisata bahari dan sejenisnya. Contoh manfaat tidak langsung diantaranya adalah manfaat ekosistem mangrove sebagai perangkap karbon (carbon sink), pelindung wilayah pesisir, dan bioremediasi. Nilai bukan manfaat terdiri dari nilai eksistensi dan nilai pewarisan. Contoh nilai eksistensi adalah nilai estetika, budaya, religi yang diberikan oleh masyarakat atas keberadaan ekosistem. Contoh nilai pewarisan adalah nilai yang rela dibayarkan oleh masyarakat untuk menjaga ekosistem dengan tujuan pewarisan kepada generasi mendatang. Biaya restorasi adalah biaya yang diperlukan untuk mengembalikan fungsi ekosistem pesisir dan laut yang mengalami gangguan akibat adanya tumpahan minyak. Biaya ini mencakup mulai dari biaya pembersihan sampai dengan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut seperti kondisi semula. Biaya pembersihan meliputi biaya yang dilakukan oleh pemerintah dan non pemerintah seperti masyarakat, pelaku usaha, atau lembaga swadaya masyarakat. Rehabilitasi yang dimaksud meliputi biaya pembibitan dan penanaman/ transplantasi yang setara dengan jumlah luasan yang mengalami gangguan. Biaya penilaian adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pihak pihak pemerintah dalam melakukan penilaian kerugian tumpahan minyak yang meliputi biaya persiapan, biaya survey, biaya pelaporan, biaya negosiasi dan penuntutan dan biaya administrasi. Biaya survey dan pelaporan mencakup semua aspek yang dibutuhkan seperti biofisik, penginderaaan jauh, dan sosial ekonomi. Kegiatan survey meliputi beberapa hal yaitu pengumpulan data dan informasi dari instansi-instansi terkait, wawancara, dan observasi lapangan. Wawancara merupakan teknik yang digunakan untuk menggali permasalahan yang ada dalam suatu wilayah (Sugiyono, 2008). Kegiatan wawancara ini secara lebih spesifik menggunakan wawancara secara terstruktur karena sudah cukup jelas informasi
80
yang dibutuhkan dari responden. Untuk itu diperlukan alat bantu berupa kuesioner dengan pertanyaan-pertanyaan tertulis agar informasi yang dibutuhkan tidak terlewat ditanyakan dan agar setiap pertanyaan memiliki arah tujuan yang jelas. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara lebih fleksibel agar tidak terkesan kaku yang justru dapat menghambat keluarnya informasi yang sebenarnya. Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Teknik ini digunakan karena penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar. Arikunto (2002) mengartikan observasi sebagai kegiatan pengamatan yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh teknik indra.
3.
Pengolahan dan analisis data Pengolahan data yang terkumpul dilakukan melalui beberapa tahapan mulai dari veriikasi data lapangan, entry data, validasi data terentry, pembuatan tabel kerja lalu baru kemudian dianalisis. Verifikasi data lapangan mutlak diperlukan untuk perbedaan informasi yang besar antar satu responden dengan responden lain dengan karakteristik yang sama. Perbedaan data yang terkumpul seringkali disebabkan oleh adanya bias informasi yang diterima baik oleh responden ketika mendapat pertanyaan dari enumerator maupun dari enumerator itu sendiri ketika menerima jawaban dari responden. Dalam hal ini menjadi tugas tim peneliti dari pusat untuk memastikan data terverifikasi sebelum data di entry ke dalam sistem database. Data yang sudah terentry ke dalam database memiliki kemungkinan terjadi kesalahan input. Hal ini umumnya lebih disebabkan oleh kesalahan manusia (human error) ketika input data dilakukan. Contoh yang paling sering ditemui adalah kelebihan atau kekurangan digit angka yang diinput atau salah
81
memasukkan data. Oleh karena itu, validasi kembali data yang terinput harus dilakukan. Data yang berupa variabel-variabel detil seringkali akan membingungkan ketika ditampilkan secara utuh. Proses penyederhanaan penampilan data untuk penyajian disebut sebagai tabel kerja. Tabel kerja juga membuat proses analisis data lebih mudah dan seragam bila dilakukan oleh beberapa personil pada saat yang bersamaan.
4.
Laporan dan dokumentasi Pembuatan laporan telah memuat hasil kunjungan lapangan, analisis data, kesimpulan dan rekomendasi kegiatan. Pembuatan laporan dibuat dalam versi ringkas dan versi lengkap. Versi ringkas ditujukan bagi pengambil kebijakan yang membutuhkan informasi singkat tetapi tajam dan langsung menjurus pada kebijakan yang akan diambil. Versi lengkap ditujukan sebagai dokumen pendukung yang menjelaskan hasil penelitian secara utuh agar dapat dimengerti tiap-tiap tahapan dari hasil yang diperoleh.
H1
Kejadian Tumpahan Minyak Pulbake Laporan
dan
H1-H3 Tidak Cukup Bukti
Bukti
82
Gambar 18. Flowchart Prosedur Penilaian Dampak Kerugian Ekonomi Akibat Tumpahan Minyak Pada Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
83
4.6 Kajian Ketersediaan Stok Ikan Menjelang Hari Raya Lebaran 4.6.1 Latar Belakang Sektor perikanan berpeluang untuk menopang program nasional ketahanan pangan, terutama dalam hal pencukupan kebutuhan protein. Hal ini karena pembangunan pangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan nasional. Hal tersebut dituangkan pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 hingga 2025, yang menegaskan bahwa “pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang serta terjamin keamanannya”. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut dapat dilihat bahwa pangan merupakan dasar utama untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas yang sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Apabila dicermati maka hal ini selaras dengan konsep ketahanan pangan nasional yang dituangkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012. Indonesia yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan, tentu saja mempunyai kapasitas produksi yang memadai untuk pemenuhan kebutuhan protein bagi rakyatnya. Berdasarkan KKP (2015) produksi perikanan tangkap pada tahun 2014 mencapai 6,20 ton, sedangkan perikanan budidaya mencapai 14,52 ton, sehingga total produksi perikanan mencapai 20,72 ton. Tingkat konsumsi ikan yang pada tahun 2015 mencapai 41,11 kg/kapita/tahun (KKP 2016) dan jumlah penduduk sebesar 254juta jiwa, maka total konsumsi ikan hanya sekitar 10,4 juta ton/tahun. Bila dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan, maka ketersediaan ikan untuk konsumsi dalam negeri dapat dicukupi oleh produksi ikan Indonesia. Permintaan ikan terus meningkat seiring pemenuhan kebutuhan protein hewani. Terutama menjelang perayaan hari keagamaan seperti bulan puasa, perayaan Idul Fitri dan juga Natal. Barang yang biasanya mengalami kenaikan harga yaitu tujuh komoditas utama pangan antara lain minyak goreng, daging sapi, daging ayam, hortikultura, gulapasir, tepung terigu, ikan dan udang serta beras.
84
Pada bulan puasa dan menjelang idul fitri biasanya semua bahan pangan mengalami peningkatan permintaan yang berpengaruh pada stok barang termasuk komoditas ikan. Berdasarkan hasil kajian 2015, pada saat sebelum ramadhan, terlihat bahwa sebagian besar komoditas ikan mengalami penurunan permintaan, kecuali dua komoditas ikan yaitu tongkol asap dan udang laut. Namun hampir di seluruh daerah di Indonesia, mengalami peningkatan permintaan ikan pada saat ramadhan dan menjelang lebaran. Permintaan yang tinggi terhadap suatu barang biasanya dapat menyebabkan kenaikan harga barang. Pada tahun 2015, hasil analisis indeks ketidakstabilan pada harga ikan yang dianalisis menunjukkan bahwa terjadi pergeseran indek ketidakstabilan harga pada komoditas-komoditas ikan pada ketiga periode tersebut. Sebelum puasa sebagian indek berada pada kuadran I/kiri atas (High growth low risk) yang menunjukan indeks yang stabil, kemudian pada bulan puasa indek ketidakstabilan cenderung bergeser ke kuardran II/Kanan atas (high growth high risk) yang menunjukkan ketidakstabilan yang tinggi (tidak stabil). Sedangkan pada masa setelah puasa/lebaran, indeks cenderung bergeser ke kuadran IV/Kiri bawah (low growth low risk)yang menunjukan kecenderungan bahwa terjadi penurunan permintaan ikan setelah puasa (BBPSEKP, 2015). Pada ramadhan tahun 2016 ini, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan Perikanan (PPSEKP) yang berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (BalitbangKP), melakukan kajian mengenai penghitungan ketersediaan ikan pada bulan ramadhan dan menjelang Idul Fitri 1437 H. Kajian ini menggunakan pendekatan ketidakstabilan harga untuk melihat peningkatan permintaan ikan pada saat ramadahan dan menjelang idul fitri. Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah menyediakan data dan informasi tentang ketersediaan ikan di pasar domestik yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan, evaluasi dan antisipasi ketersediaan ikan. Tujuan dari kajian ini adalah : 1) Mengkaji ketersediaan ikan di pasar domestik menjelang Hari Raya Idul Fitri 1437 H; dan 2) Merumuskan kebijakan dan strategi pemenuhan kebutuhan ikan selama bulan ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1437 H.
85
4.6.2 Metodologi penelitian Untuk mengkaji ketersediaan ikan dalam menghadapi hari raya idul fitri 1436 H dilakukan dengan pendekatan fluktuasi harga. Kebutuhan ikan akan dihitung berdasarkan tingkat konsumsi ikan, sedangkan ketersediaan ikan akan dilihat dari produksi perikanan tangkap, produksi perikanan budidaya dan impor. Untuk melihat adanya peningaktan kebutuhan ikan dilihat dari ketidakstabilan harga atau adanya flukstuasi harga ikan. Komoditas yang menjadi bahan kajian adalah komoditas perikanan yang dikonsumsi. Penelitian dilaksanakan di Jakarta dan Bogor, pada bulan Juni 2016. Bulan ini bertepatan dengan Ramadhan 1437 H. Konsumsi ikan
Kebutuhan ikan
Perikanan tangkap
Perikanan budidaya
Fluktuasi harga
Ketersediaan ikan
Impor
Gambar 19. Kerangka Pikir Kajian Penghitungan Ketersediaan Ikan Menjelang Hari Raya Idul Fitri 1437 H
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah desk study yaitu mengkaji berbagai literatur, data pendukung serta hasil studi yang telah dilakukan oleh berbagai pihak terutama yang berhubungan dengan kegiatan kajian yang akan dilakukan. Kajian ini menggunakan pendekatan non parametrik (tidak memerlukan distribusi normal pada populasi/sampel) untuk mengukur 2 analisis meliputi: 1) analisis deskriptif untuk menentukan ketersediaan dan permintaan ikan; 2) fluktuasi dan prediksi harga ikan dengan mnggunakan Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) dan 3)
86
ketidakstabilan harga ikan melalui Coppock Instability Index (CII) yang dikembangkan oleh Coppock (1962).
4.6.3 Hasil dan pembahasan Ketersediaan ikan Keberlanjutan konsumsi sangat dipengaruhi oleh volume produksi ikan yang diperoleh. Untuk itu, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi hasil perikanan. Produksi perikanan Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat, namun kecenderungan tersebut tidak sama untuk perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Bila terjadi kondisi surplus, ikan dapat diperdagangkan antar pasar domestik bahkan untuk komoditas tertentu dapat menyasar pasar internasional. Sebaliknya jika defisit maka ikan untuk konsumsi domestik dapat dipenuhi dari pasar impor. Gambar 4.1. menunjukkan indikasi mengenai kecenderungan tersebut. Dalam grafik ini, untuk produksi budidaya tidak memasukkan komoditas rumput laut karena dalam analisis kajian ini difokuskan pada konsumsi ikan. 7 6 5 4
Produksi Perikanan Tangkap
3
Produksi Perikanan Budidaya (di luar rumput laut)
2 1 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Gambar 20. Perkembangan Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 – 2015 (Sumber: KKP, 2015)
87
Produksi perikanan yang dihasilkan baik dari kegiatan penangkapan maupun budidaya, tidak semuanya disediakan untuk konsumsi domestik. Setiap tahunnya ada produksi yang diekspor (Gambar 4.2.) ke berbagai negara tujuan. Dari tahun 2006 sampai dengan 2014, proporsi ekspor perikanan menunjukkan kecenderungan menurun meskipun volume ekspor relatif stabil. Hal ini dikarenakan produksi domestik meningkat. Pada tahun 2014 lebih dari 90% dari total produksi tersedia untuk memasok kebutuhan konsumsi dalam negeri. Proporsi ekspor terhadap produksi
Juta ton 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Produksi
2012
2013
2014
Ekspor
Gambar 21. Proporsi Ekspor terhadap Produksi Perikanan di Indonesia, 2006 – 2014 (Sumber: KKP, 2014) Instabilitas Harga Komoditas Perikanan Tahun 2015 Untuk menggambarkan instabilitas harga berbagai komoditas perikanan, maka telah dilakukan perhitungan Coppock Stability Index (CII). Perhitungan CII tersebut memanfaatkan data harga mingguan komoditas perikanan Indonesia 2015, yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing dan Pemasaran Komoditas Perikanan (Ditjen PDSKP). Data harga tersebut meliputi 120 macam komoditas perikanan yang diperjual-belikan di Indonesia. Berdasarkan hasil perhitungan CII, diperoleh fakta bahwa secara rata-rata, sepanjang Ramadhan 2015, komoditas perikanan Indonesia dapat dikatakan cukup stabil, dengan angka rata-rata instabilitas
88
senilai mendekati 26. Selain itu, dari kolom kecenderungan instabilitas dapat kita simpulkan bahwa umumnya harga komoditas perikanan Indonesia mengalami peningkatan instabilitas sepanjang bulan Ramadhan, yang diikuti oleh penurunan instabilitas setelah bulan Ramadhan. Peningkatan instabilitas harga tertinggi terjadi pada Ikan Meka (Todak), Bakso Ikan Tuna, Ikan Belanak, Rumput laut Gracia Kering, Ikan Betutu, Ikan marlin, Ikan Lolosi Biru, Lobster, Rajungan Kaleng dan Tripang; dengan masing-masingnya mencapai angka indeks sebesar 154, 140, 132, 106, 86, 80, 79, 70, 68 dan 57. Angkaangka tersebut relatif sangat cukup apabila dibandingkan dengan rata-rata angka instabilitas harga komoditas nasional (26). Adapun komoditas perikanan Indonesia yang mengalami instabilitas harga paling rendah sepanjang Ramadhan 2015 adalah Ikan Setuhuk Loreng, Ikan terubuk, Ikan Simping, Ubur-Ubur, Patin, Lele, Nila, Cakalang, Bandeng dan Gurami, yang masing-masingnya mengalami instabilitas senilai di bawah 5. Selain kesepuluh komoditas yang mengalami instabilitas tertinggi, terdapat 14 komoditas perikanan lain yang juga mengalami instabilitas di atas rata-rata nasional. Instabilitas harga tinggi tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari peningkatan harga akibat meningkatnya permintaan tanpa diimbangi oleh peningkatan ketersediaan, atau akibat penurunan ketersediaan dengan permintaan yang tidak berubah atau bahkan meningkat. Selain itu, instabilitas harga juga dapat terjadi sebagai akibat penurunan harga yang disebabkan berkurangnya permintaan dengan ketersediaan yang tetap atau bahkan meningkat, atau meningkatnya persediaan tanpa diikuti peningkatan permintaan. Mayoritas komoditas perikanan Indonesia (72%) mengalami instabilitas harga di bawah rata-rata nasional sepanjang Ramadhan 2015. Hal tersebut menggambarkan bahwa mayoritas komoditas perikanan Indonesia ternyata mengalami ketersediaan yang cukup baik sepanjang Ramadhan 2015 lalu, sehingga perubahan permintaan atas komoditas perikanan Indonesia dapat diimbangi.
89
Pertumbuhan Harga Komoditas Perikanan Tahun 2015 Hasil perhitungan rata-rata pertumbuhan harga komoditas Perikanan Indonesia sepanjang Ramadhan 2015 menunjukkan bahwa secara total terjadi rata-rata pertumbuhan harga sebesar 4%. Dari total 120 komoditas, terdapat 29 komoditas yang mengalami rata-rata pertumbuhan harga mingguan di atas rata-rata total tersebut. Disamping itu, terdapat 91 komoditas yang mengalami rata-rata pertumbuhan harga mingguan di bawah rata-rata total, dengan 17 diantaranya mengalami rata-rata pertumbuhan harga mingguan yang negatif. Ikan Meka, Bakso Ikan Tuna, Belanak, Rumput Laut Gracia (Kering), Teripang, Lolosi Biru, Betutu, Marlin, Lobster dan alu-alu adalah sepuluh komoditas perikanan yang mengalami rata-rata pertumbuhan harga mingguan tertinggi, masing-masingnya sebesar 58%, 53%, 52%, 31%, 22%, 20%, 20%, 18%, 10% dan 10%. Sedangkan 17 komoditas yang mengalami rata-rata pertumbuhan harga mingguan negatif adalah: Ikan Beloso, Ikan Samge, Ikan Peda, Remang, Ikan Kuro/Senangin, Kerang Darah, Ikan Pari, Udang Windu, Kepiting, Ikan Petek/Peperek, Ikan Setuhuk Hitam, Ikan Nilem, Kembung Asin, Udang Putih, Bulu Ayam Asin, Ikan Cucut dan Ikan Tuna Mata Besar, dengan angka berkisar antara -0,04% sampai dengan -4%, dimana komoditas yang paling negatif pertumbuhannya adalah Ikan Beloso (-4%).
Peta Instabilitas Vs Pertumbuhan Harga Komoditas Perikanan Indonesia Sepanjang Ramadhan 2015 Pada Gambar 23 dapat diperoleh informasi kondisi ketersediaan 120 komoditas perikanan Indonesia pada Ramadhan 2015. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa sepanjang Ramadhan 2015, beberapa komoditas ikan (Ikan Meka, Bakso Ikan Tuna, Ikan Belanak, Rumput Laut Gracia Kering, Ikan Betutu, Ikan Marlin, Ikan Lolosi Biru, Lobster dan Teripang) mengalami kondisi berikut: 1) meningkatnya permintaan tanpa diikuti peningkatan ketersediaan; 2) meningkatnya permintaan dibarengi dengan menurunnya ketersediaan; atau 3) berkurangnya ketersediaan pada kondisi permintaan yang tidak berubah.
90
Pertumbuhan Harga
60,00
30,00
0,00 0
-30,00 Meka Rumput Laut Gracia (Kering) Betutu Alu-alu Rajungan Kaleng Rajungan Kacangan Terbang Lisong Sardine Ikan sebelah Japuh Bambangan Lencam Selanget Kerang Hijau Talang-Talang Udang Dogol Tiram Baronang Bawal Putih Selengseng Gabus Gulamah/Tigawaja Lemadang Teri Asin Nila Tenggiri Bulat Layang Tawes Mujair Patin Udang Putih/Vaname
100
Indeks Instabilitas Bakso Ikan Tuna Teripang Marlin Tenggiri papan Albakora Kambing-kambing Udang Jerbung Lidah Bentong Cendro Kerong-kerong Layaran Madidihang Kuniran Kapas-kapas Kaci Tembang Gerot-gerot Selar Udang Galah Tuna S Biru Selatan Julung-julung Setuhuk Biru Kakap Putih Toman Rumput Laut E.Cottonii (Kering Lele Tongkol Ekor Kuning Siro Udang Krosok Cakalang Bandeng
200
Belanak Lolosi Biru Lobster Sidat Golok-golok Swangi/Mata Besar Udang Barong Sotong Teri Jelawat Lemuru Pisang-pisang Kuwe Layur Banyar Tetengkek Biji Nangka Hiu Gurita Kurisi Bawal Hitam Cakalang Asap Kerapu Kakap Merah Ikan Mas Remis Gurami Cumi-cumi Asin Sawo/Kakap Batu Kembung Manyung Cumi-cumi Sunglir
Gambar 22. Instabilitas Harga Vs Pertumbuhan Harga Komoditas Perikanan 2015 (Sumber: Olahan Data Harga Produk Perikanan Mingguan, DITJEN P2HPKKP, 2014-2016)
91
Perkiraan Ketersediaan Komoditas Perikanan Sepanjang Ramadhan 2016 Dapat terlihat dari pengukuran indeks ketidakstabilan harga ikan menjelang bulan Ramadha 2016 dengan oppock Instability Index (CII) bahwa setidaknya dari 120 komoditas yang diperdagagkan, terdapat 10 komoditas yang mengalami instabilitas harga tertinggi pada saat menjelang Bulan Ramadhan atau pada periode Maret 2014 sampai dengan Mei 2016. Sepuluh komoditas tersebut adalah lobster, bakso ikan tuna, teripang, meka, rumput laut gracia, tiram, marlin, betutu, sidat dan samge. Dari sepuluh komoditas tersebut Indeks instabilitas harga ini berkisar antara 38,035 – 73,753. Komoditas lobster merupakan komoditas yang mempunyi indeks CII yang paling tinggi (73,753). Analisis CII dilakukan menggunakan data harga ikan pada tingkat konsumen dalam periode menjelang bulan Ramadhan 2015 untuk mengindikasikan periode yang sama Bulan Ramadhan 2016. Berikut 10 komoditas teratar yang mengalami instabilitas harga tertinggi sepanjang periode Maret 2014-Mei 2016 Tabel 27. Sepuluh Komoditas Perikanan Indonesia yang mengalami Instabilitasi Harga Tertinggi Sepanjang Periode Maret 2014-Mei 2016 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komoditas Lobster Bakso Ikan Tuna Teripang Meka Rumput Laut Gracia (Kering) Tiram Marlin Betutu Sidat Samge
CII Maret 2014 - Mei 2016 73,75285544 67,26173957 57,26195012 50,80704302 47,46837518 42,00161331 40,73147744 39,21024499 38,08486885 38,03548173
Sumber: Olahan Data Harga Produk Perikanan Mingguan, DITJEN P2HP-KKP, 2014-2016
Untuk lobster, indeks ketidakstabilan menjadi tinggi dikarenakan terdapat masamasa dimana komoditas tersebut mengalami lonjakan harga yang sangat signifikan. Hal ini mugkin disebabkan oleh banyaknya permintaan secara tiba-tiba atau keterbatasan persediaan. Pada umumnya untuk seleuruh komoditas jika dibandingkan dengan indeks pada tahun lalu, pada tahun ini mengalami penurunan. Ketersediaan 92
pasokan dan permintaan yang melonjak tanpa terprediksi yang menyebabkan hal tersebut. Hampir seluruh komoditas perikanan tidak memiliki sistem penyimapan yang baik, tidak ada gudang yang dapat menyimpan komoditas untuk persiapan paceklik dan saat komoditas perikanan berlebih.
Perkiraan Harga Berdasarkan 10 komoditas yang mengalami instabilitas harga tertinggi, terdapat beberapa komoditas yang mengalami perubahan harga yang cukup signifikan menjelang Bulan Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Komoditas yang mengalami fluktuasi harga terbesar adalah bakso tuna. Hal ini dapat dikarenakan ketidaksiapan pasokan baksi tuna atas melonjaknya permintaan olahan bakso tuna. Terlebih lagi di Bulan Ramadhan biasanya konsumen rumah tangga menginginkan makanan yang praktis untuk dihidangkan sehingga bakso tuna merupakan salah satu komoditas yang banyak dicari. Harga bakso tuna melonjak pada minggu ke 1 bulan Juli yaitu saat mendekati Hari Raya Idul Fitri. Setelah itu diprediksi harga kembali turun namun tetap berfluktuasi. Berikut tabel perkiraan 10 harga komoditas perikanan berdasarkan CII tertinggi. Tabel 28. Perkiraan Harga Sepuluh Komoditas Perikanan dengan CII 2014-2016 Tertinggi Juni
Juli
Komoditas M1
M2
M3
M4
M1
M2
M3
M4
Lobster
208.366
301.324
297.731
301.332
306.738
288.508
272.207
271.335
Bakso Ikan Tuna
34.972
28.464
33.836
29.785
33.656
29.868
34.630
23.097
Teripang
190.100
214.331
221.049
219.700
221.667
220.235
213.966
214.560
Meka
81.001
83.973
86.116
87.396
86.867
86.324
86.157
84.652
Rumput Laut Gracia (Kering)
6.115
5.406
5.767
5.382
5.866
6.698
6.426
5.898
Tiram
28.885
34.318
30.365
28.628
30.920
32.643
32.908
30.617
Marlin
27.184
34.590
36.931
33.721
35.870
32.976
32.951
37.767
Betutu
54.355
53.562
53.950
57.388
56.473
54.663
54.523
55.567
Sidat
98.071
101.162
98.756
97.916
94.816
93.981
95.797
94.105
16.715
16.550
16.799
16.667
16.611
16.535
16.523
16.600
Samge
Sumber: Olahan Model Harga Komoditas Perikanan, PPSEKP, 2016
93
Perkiraan Instabilitas harga Berdasar CII komoditas perikanan pada Idul Fitri tahun 2016, terlihat bahwa komoditas lobster merupakan komoditas yang paling tidak stabil dalam hal harga. Tabel 29. Perkiraan Instabilitas Harga Pada Idul Fitri 1437 H No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komoditas Lobster Bakso Ikan Tuna Teripang Meka Rumput Laut Gracia (Kering) Tiram Marlin Betutu Sidat Samge
Instabilitas harga 75,11 20,94 4,90 2,92 8,93 9,33 11,04 6,81 5,04 0,84
Sumber: Olahan Model Harga Komoditas Perikanan, PPSEKP, 2016
Perkiraan Pertumbuhan Harga Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata pertumbuhan 10 harga komoditas Perikanan Indonesia sepanjang Ramadhan 2016 menunjukkan bahwa lobster mengalami pertumbuhan harga tertinggi positif yaitu sebesar 59%. Disamping itu, terdapat 3 komoditas yang mengalami rata-rata pertumbuhan harga mingguan yang negatif. Lobster mengalami pertumbuhan harga yang sangat tinggi yaitu 59%. Berarti harus ada penanganan khusus terhadap pasokan lobster sehingga harga dapat dikendalikan dan stabil. Berikut tabel perkiraan rata-rata pertumbuhan harga. Tabel 30. Perkiraan rata-rata Pertumbuhan Harga No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komoditas Lobster Bakso Ikan Tuna Teripang Meka Rumput Laut Gracia (Kering) Tiram Marlin Betutu Sidat Samge
Growth 59% -3% 1% 2% 0% 1% 5% -2% -2% 0%
Sumber: Olahan Model Harga Komoditas Perikanan, PPSEKP, 2016
94
Peta Perkiraan Instabilitas Harga Vs Pertumbuhan Harga Pada gambar 19 dapat dilihat kondisi ketersediaan 10 komoditas perikanan Indonesia pada Ramadhan 2016. Apabila suatu komoditas mengalami instabilitas tinggi dan pertumbuhan yang tinggi (berada di kotak kanan atas), maka diperkirakan komoditas tersebut mengalami kondisi dimana ketersediaan tidak mengimbangi perubahan permintaan yang terjadi. Komoditas yang mengalami kondisi tersebut adalah Lobster, Ikan Meka, Bakso Ikan Tuna, Rumput Laut Gracia Kering, Ikan Betutu, Ikan Marlin, dan Teripang. Sedangjan Ikan Belosi mengalami pertumbuhan negatif dan instabilitas di atas rata-rata. 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
-10% Lobster
Bakso Ikan Tuna
Teripang
Meka
Rumput Laut Gracia (Kering)
Tiram
Marlin
Betutu
Sidat
Samge
Gambar 23. Peta Perkiraan Instabilitas Harga Vs Pertumbuhan Harga Komoditas Perikanan Sepanjang Lebaran 2016 (Sumber: Olahan Model Harga Komoditas Perikanan, PPSEKP, 2016)
95
4.6.4 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Secara empiris penelitian ini menunjukkan bahwa produksi perikanan yang dihasilkan
baik
dari
kegiatan
penangkapan
maupun
budidayamenunjukkan
kecenderungan adanya peningkatan. Walaupun jika dicermati pertumbuhan dari perikanan tangkap sedikit melambat dan arah peningkatan produksi saat ini ditekankan pada produksi perikanan budidaya. Sepanjang Ramadhan 2015 komoditas Ikan Meka, Bakso Ikan Tuna, Ikan Belanak, Rumput Laut Gracia Kering, Ikan Betutu, Ikan Marlin, Ikan Lolosi Biru, Lobster dan Teripang merupakan komoditas-komoditas yang mengalami instabilitas harga. Kondisi tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari 3 kejadian seperti berikut: 1) meningkatnya permintaan tanpa diikuti peningkatan ketersediaan; 2) meningkatnya permintaan dibarengi dengan menurunnya ketersediaan; atau 3) berkurangnya ketersediaan pada kondisi permintaan yang tidak berubah. Untuk indeks ketidakstabilan harga menjelang Bulan Ramadhan tahun 2016, komoditas yang memiliki indeks ketidakstabilan yang tinggi adalah lobster, meka, marlin, samge, bakso ikan tuna, rumput laut betutu, teripang, tiram dan sidat. Kondisi tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari 3 kejadian seperti berikut: 1) meningkatnya permintaan tanpa diikuti peningkatan ketersediaan; 2) meningkatnya permintaan dibarengi dengan menurunnya ketersediaan; atau 3) berkurangnya ketersediaan pada kondisi permintaan yang tidak berubah. Beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya adalah: 1.
Melakukan pemantauan harga- harga dan produksi ikan secara mingguan menjelang hari raya Idul Fitri untuk melihat fluktuasi harga dan ketersediaan ikan.
2.
Mengatur sistem distribusi ikan tidak terjadi lonjakan harga.
96
4.7 Kajian Pemberdayaan Perempuan Pesisir dalam Kelembagaan Usaha 4.7.1 Latar Belakang Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam laporan program Pengarusutamaan Gender tahun 2014 menyatakan bahwa pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan mandat dari peraturan perundangan. Pengarusutamaan Gender dalam program menjadi prinsip dalam empat pilar pembangunan, yaitu pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-job (penyerapan tenaga kerja), pro-growth (pertumbuhan), dan pro-environment (pemulihan dan pelestarian lingkungan)
dengan
menetapkan
tiga
misi
yang
diembannya,
yakni:
1)
Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan; 2) Meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk kelautan dan perikanan; dan 3) Memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan sumber daya kelautan dan perikanan. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan membentuk sutu kelembagaan yang diberi nama KIMBis. KIMBis [Klinik IPTEK Mina Bisnis] adalah wadah komunikasi, advokasi/pendampingan, serta konsultasi antara kelompok masyarakat nelayan (perikanan), termasuk perempuan yang beraktivitas di daerah (pesisir) dengan stakeholder terkait, melalui pendekatan techno-preneurship untuk meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat nelayan (perikanan). KIMBis sudah dikembangkan di 14 lokasi, yang salah satunya adalah Brebes, Jawa Tengah. Terkait dengan PUG, dalam pelaksanaan kegiatan KIMBis sudah melibatkan perempuan. Oleh karena itu kajian ini difokuskan terhadap peran dan dinamika perempuan dalam KIMBis. 4.7.2 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan kepada perempuan dalam kelompok usaha yaitu KIMBis [Klinik IPTEK Mina Bisnis], yang berada di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah.. Paradigma penelitian ini menggunakan paradigm penelitian konstruktivisme. Dengan jenis data primer dan sekunder. Data sekunder meliputi dokumen yang mencakup tentang pemberdayaan perempuan, data tentang KIMBis Brebes, tentang teori strukturasi Giddens, Perempuan Pesisir,
97
Pemberdayaan Masyarakat dll. Selain dari literatur yang ada, baik itu berupa buku, hasil penelitian, jurnal ataupun paper. Teknik penggalian data dilakukan dengan wawancara mendalam, pengamatan langsung dan diskusi terfokus/focus group discussion (FGD). Pengumpulan data dalam penelitian tesis ini akan dilakukan dengan metode wawancara kepada segenap informan, melakukan observasi dalam proses ataupun momentum yang berkaitan dengan pengembangan komunitas KIMBis dan diskusi terfokus. Dari berbagai macam penggalian data, digunakan pula teknik pengumpulan data secara Triangulasi. Teknik Triangulasi ini diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada, hal ini dilakukan juga untuk menguji kredibilitas data. Pada tahap analisa data ini, hal pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan klasifikasi data ke dalam masing-masing jenis data lapangan yang ada, baik data hasil wawancara mendalam, pengamatan, dokumen-dokumen atau data sekunder, kemudian menjabarkan masing-masing data tersebut dan menghubungkan dengan data yang sama dalam 1 jenis pembahasan. Kemudian menyusun kedalam bentuk analisa yang terpola dan sistematis, dan yang terakhir mengambil kesimpulan atas data yang telah tersusun dan terhubung tersebut. 4.7.3 Hasil Dan Pembahasan Dalam proses pembentukan struktur yang baru, antara struktur dan agen mengandaikan adanya 3 proses gugus, yaitu gugus signifikansi dalam hal ini adalah pemaknaan terhadap pemberdayaan perempuan, gugus dominasi yang memuat tentang aturan dan sumber daya dan gugus legitimasi yang memuat tentang syarat-syarat atau ketentuan tentang pengakuan terhadap pemberdayaan perempuan. Struktur KIMBis yang menekankan kepada pentingnya agen/kelompok, diharapkan mendorong pembangunan kelautan dan perikanan jauh meningkat terutama terhadap peran perempuan untuk dapat lebih memaksimalkan potensi dan peran nya. Hal ini sinergis dengan data lapangan yang berisi tentang partisipasi dan keuletan
98
perempuan dalam menerima informasi dan menindaklanjuti informasi yang diterima pada forum-forum KIMBis, baik itu pelatihan-pelatihan ataupun forum lain nya. Dalam ketentuan pelaksanaan KIMBis ini keberadaan perempuan-perempuan yang bergiat tidak termaktub dalam Juknis/kerangka struktur, norma dan sumberdaya yang secara khusus dalam wadah KIMBis. Berbeda dengan struktur yang ada dalam perundangan dan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang memiliki norma/letentuan/paying hukum atau norma kebijakan sebagaimana telah di paparkan. Demikian juga dalam Juknis pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di KKP, aspekaspek pelaksanaan nya sudah tertera dengan jelas, hanya saja dalam KIMBis tidak eksplisit. Berbeda ketika dalam pelaksanaan program di lapangan, justeru dominasi agen dalam pelaksanaan program KIMBis banyak di topang oleh partisipasi kaum perempuan, walau dalam divisi tertentu yang spesifik perempuan yaitu kelompok Pengolah dan Pemasar. Tidak mutlak dalam kelompok tersebut, akan tetapi juga terlibat dalam kelompok campuran dengan porsi yang sedikit yaitu kelompok pembudidaya ikan, pesisir dan perikanan tangkap. Sinergis dengan dominasi KIMBis yang terdapat dalam kerangka konsep/blue print yang salah 1 item nya adalah menerapkan konsep pembangunan yang Bottom Up dan Top Down. Buttom Up direalisasikan dalam mengadopsi aspirasi-aspirasi dari para aktor, dalam hal ini adalah keberadaan perempuan, sehingga walaupun dalam KIMBis tidak terdapat norma dalam JUKNIS tetapi dalam pelaksanaan program ini tetap melibatkan perempuan, baik dalam susunan kelembagaan KIMBis ataupun kegiatankegiatan peningkatan kapasitas/pelatihan, seminar, pendampingan, permodalan dan perlombaan. Justeru dari kalangan perempuanlah yang mendapatkan juara 2 tingkat Nasional dan juara 1 tingkat Nasional di tahun berikutnya. Demikian juga konsep Top Down dalam dominasi KIMBis ini, yaitu konsistensi pelaksana KIMBis dalam memfasilitasi apa yang menjadi aspirasi masyarakat/perempuan. Secara rinci analisa pemberdayaan perempuan pesisir dalam paradigma strukturasi Anthony Giddens yang mencakup strukturasi dalam lembaga KIMBis dan
99
dinamika kelompok-kelompok yang ada di komunitas dapat dideskripsikan sebagai berikut : a) Signifikansi Pemberdayaan Perempuan di komunitas KIMBis Gugus signifikansi memuat pengertian tentang skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Artinya, dalam sebuah struktur sebagai sebuah realitas yang terbatasi dalam ruang dan waktu dan berkolaborasi dengan agen yang ada. Signifikansi lebih lanjut akan menerangkan pada persoalan struktur, baik dalam struktur pembentuk ataupun dalam struktur yang terbentuk (KIMBis), agen dan agency. b) Gugus Dominasi Pemberdayaan Perempuan KIMBis Dominasi dalam struktur pembentuk merupakan implementasi dari kerangka kebijakan yang telah dibuat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Norma yang tertuang dalam perundangan, peraturan-peraturan turunannya dan kebijakan dapat diakui jika telah terimplementasi dalam kegiatan dan program. c) Gugus Legitimasi Pemberdayaan Perempuan di komunitas KIMBis Legitimasi dalam struktur pembentuk merupakan induk dari Dominasi yang berbentuk Norma/aturan/Kebijakan dan Sumber Daya yang ada dalam Kementerian Kelautan dan Perikanan. Norma/aturan/kebijakan dan sumber daya ini menjadi dasar bagi implementasi program dan kegiatan. 4.7.4 Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan 1.
Pemberdayaan Perempuan di komunitas KIMBis dilakukan dengan beberapa hal, yaitu : pendekatan kombinasi baik top down maupun bottom up untuk dapat menyerap aspirasi perempuan, pelatihan untuk meningkatkan skill perempuan, memperluas akses pemasaran, dan mengaktifkan tempat konsultasi kelompok.
2.
Dampak pemberdayaan perempuan di komunitas yang berhasil diidentifikasi adalah dampak ekonomi dan dampak sosial budaya.
100
4.8 Kajian Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Sektor Perikanan Indonesia 4.8.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang turut menggerakkan roda perekonomian. Perikanan dianggap sebagai salah satu sektor yang memiliki keunggulan kompetitif karena berbasiskan sumberdaya alam. Pada tahun 2015 kontribusi PDB dan pertumbuhan PDB sektor perikanan menunjukkan harapan yang optimis bahwa sektor tersebut memang dapat menjadi “prime mover” di sektor perekonomian. Menurut Sukirno (1994) menyatakan bahwa Pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah dapat dilihat atau diukur dari tiga pendekatan yaitu, pendekatan faktor produksi (Neo Klasik), pendekatan struktural dan pendekatan pengeluaran yang meliputi konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan selisih ekspor dengan impor. Keberhasilan meningkatkan pertumbuhan output ditentukan oleh hal-hal yang bersifat internal maupun eksternal. Secara internal perikanan dan industri pengolahan hasil perikanan masih memiliki kendala rendahnya pemanfaatan teknologi, tingginya angka kemiskinan, daya serap kesempatan kerja tinggi namun produktivitas ekonominya rendah. Sementara secara eksternal peningkatan kontribusi perikanan maupun industri pengolahan tidak terlepas dari pengaruh kebijakan-kebijakan ekonomi. Oleh karena itu kajian ini dilakukan untuk mengetahui sumber-sumber pertumbuhan perekonomian di Indonesia. 4.8.2 Metodologi Penelitian Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder dari Tabel InputOutput (I-O) transaksi total atas dasar harga produsen untuk tahun 1990, 1995, 2000, 2005, 2010 dan 2015 yang disusun oleh Badan Pusat Statistik. Setiap tabel I-O memiliki klasifikasi matriks tabel yang berbeda, maka pada tahap awal dilakukan
101
konversi klasifikasi matriks Tabel I-O ke dalam klasifikasi matriks tabel I-O tahun 1990 yang memiliki klasifikasi terendah (161 x 161 sektor). Setelah semua tabel I-O yang digunakan itu sama maka langkah selanjutnya dilakukan proses pengklasifikasian kembali dengan cara mengagregasi sektor-sektor dari tabel-tabel I-O dengan klasifikasi matriks sebesar 161 x 161. Tahap selanjutnya agar dapat diperbandingkan antara perubahan angka (nilai) riil dan nominal antar tabel I-O yang digunakan dalam kajian ini dilakukan konversi besaran harga berlaku dari masing-masing tabel I-O tersebut berdasarkan harga konstan tahun 1993 menurut PDB (Produk Domestik Bruto) sebagai deflatornya. Data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik desk study yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Untuk menjawab tujuan-tujuan kajian seperti yang telah dikemukakan, maka diperlukan data berupa Tabel Input-Output (I-O). Tabel I-O yang dipergunakan pada kajian ini adalah tabel yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010. Pada Tabel 2010 tersebut, sektor-sektor perikanan terbagi ke dalam Sektor Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, Industri Pengeringan dan Penggaraman Ikan, Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan, serta Jasa Penunjang Perikanan. Data seperti yang dimaksud akan diolah menggunakan
metode Analisis
Pengganda (Multiplier) untuk menghasilkan besaran peran sektor Perikanan dalam Perekonomian Nasional, berupa:
Pengganda Output menggambarkan seberapa besar pengaruh dari adanya peningkatan konsumsi akhir atas berbagai produk sektor perikanan terhadap peningkatan total output seluruh sektor dalam perkonomian;
Pengganda pendapatan menggambarkan seberapa besar peningkatan konsumsi akhir atas berbagai produk sektor perikanan akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan pekerja di sektor perikanan;
Pengganda surplus usaha menggambarkan seberapa besar peningkatan konsumsi akhir atas berbagai produk sektor perikanan akan berdampak terhadap surplus usaha yang diterima pelaku usaha di sektor perikanan;
102
Pengganda Penerimaan Pajak menggambarkan seberapa besar peningkatan konsumsi akhir atas produk-produk sektor perikanan akan berdampak terhadap peningkatan pajak yang diterima pemerintah dari kegiatan usaha di sektor perikanan. Selanjutnya juga digunakan metoda Analisis Keterkaitan untuk menyusun peta
posisi sektor-sektor Perikanan dalam Perekonomian Nasional. Pada prinsipnya terdapat keterkaitan antar sektor dalam perekonomian dengan arah ke depan (Forward Lingkage/FL), dan ke belakang (Backward Lingkage/BL).
4.8.3 Hasil Dan Pembahasan Kontribusi Sektor Perikanan terhadap Perekonomian Nasional Hasil analisis kontribusi, berupa besaran dari kontribusi (multiplier/angka pengganda) sektor Perikanan terhadap peningkatan Output dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Nasional disajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Besaran Kontribusi Ekonomi Sektor Perikanan Terhadap Perekonomian Nasional Multiplier Effect (Efek Pengganda) 1. Output 2. PDB
Perikanan Tangkap
Perikanan Budidaya
Industri Ikan Kering dan Ikan Asin
Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan
1,21
1,25
1,80
2,04
0,85
0,83
0,43
0,27
0,16 2.2 Surplus (Keuntungan) usaha 0,65 2.3 Pajak tak langsung 0,01
0,17
0,07
0,05
0,62
0,34
0,17
0,01
0,01
0,04
2.4 Lainnya
0,02
0,00
0,01
2.1 Pendapatan Masyarakat
0,02
Sumber: Olahan Tabel I-O 2010
Dari sisi Output: Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan merupakan sektor yang memiliki daya dorong paling kuat terhadap peningkatan output nasional, dengan angka pengganda sebesar 2,04. Angka tersebut dapat diartikan bahwa setiap terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap produk Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan sebesar Rp. 1, akan mendorong terjadinya peningkatan produksi seluruh sektor dalam perekonomian sebesar Rp. 2,04; Dari sisi PDB: Sektor Perikanan Tangkap merupakan sektor yang memiliki daya dorong paling kuat terhadap peningkatan PDB, dengan angka pengganda sebesar 0,85.
103
Angka tersebut menunjukan bahwa 85 % dari nilai produksi sektor Perikanan Tangkap akan dialokasikan ke PDB sektor tersebut. Dengan kata lain, jika terjadi peningkatan output dari sektor perikanan Tangkap senilai Rp. 1 milliar, maka Rp. 850 juta dari output tersebut akan menjadi PDB sektor perikanan Tangkap; Dari sisi Pendapatan Masyarakat: Sektor Perikanan Budidaya merupakan sektor yang memiliki kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat tertinggi. Setiap peningkatan output sektor ini senilai Rp. 1 milliar, maka Rp. 170 juta dari peningkatan output tersebut akan dialokasikan sebagai pendapatan masyarakat; Dari sisi Keuntungan Pengusaha: Sektor Perikanan Tangkap adalah sektor yang memiliki kontribusi terhadap peningkatan keuntungan pengusaha tertinggi, dengan angka 0,65. Angka tersebut berarti 65% dari peningkatan output di sektor ini merupakan porsi bagi keuntungan pengusaha. Dengan kata lain, setiap peningkatan output senilai Rp. 1 milliar, maka senilai Rp. 650 juta akan menjadi keuntungan bagi pengusaha di sektor ini; Dari sisi Penerimaan Pajak: Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan merupakan sektor yang memiliki kontribusi paling tinggi, dengan nilai sebesar 0,14. Angka tersebut berarti 14% dari peningkatan output yang terjadi di sektor ini akan menjadi pendapatan pemerintah dari pajak. Dengan kata lain, setiap peningkatan output sektor ini sebesar Rp. 1 milliar, maka akan meningkatkan pendapatan pemerintah dari pajak senilai Rp. 140 juta. Keterkaitan Sektor Perikanan dengan Sektor Lain Hasil analisis keterkaitan sektor perikanan terhadap perekonomian nasional telah dirangkum dalam sebuah peta (Gambar 20). Peta tersebut menunjukkan posisi dari keterkaitan berbagai sektor perikanan dengan sektor-sektor lain dalam perekonomian Indonesia. Pada prinsipnya terdapat empat posisi sektor dalam keterkaitannya dengan sektor-sektor lain, yaitu: 1. Sektor Unggulan, merupakan sektor yang memiliki kemampuan untuk menjadi
motor penggerak perekonomian, karena memiliki daya tarik dan juga daya dorong yang di atas rata-rata (nilai indeks di atas 1);
104
2. Sektor Potensial, merupakan sektor yang memiliki daya dorong di atas rata-rata
(nilai indeks di atas 1) akan tetapi daya tariknya di bawah rata-rata (nilai indeks di bawah 1); 3. Sektor Berkembang, merupakan sektor yang memiliki daya tarik di atas rata-rata,
akan tetapi daya dorongnya di bawah rata-rata; 4. Sektor Terbelakang, merupakan sektor yang memiliki baik daya dorong dan daya
tarik yang di bawah rata-rata. Seperti dapat diamati pada gambar 1, dari keempat sektor perikanan, tidak satupun yang tergolong sebagai sektor unggulan. Sektor Primer – yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya – tergolong ke dalam sektor berkembang. Sedangkan sektor-sektor sekunder – yaitu Industri pengeringan dan penggaraman Ikan dan industri pengolahan dan pengawetan ikan – tergolong ke dalam sektor-sektor potensial. 2,00
Indeks Daya Kepekaan
Sektor Unggulan
1,00
Sektor Potensial -
1,00
2,00
Indeks Daya Penyebaran Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya Industri Pengeringan dan penggaraman ikan dan biota laut lainnya Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan biota laut lainnya
Gambar 24. Peta Keterkaitan Sektor Perikanan dengan Perekonomian Nasional (Sumber: Olahan Tabel I-O 2010)
105
Sumber-Sumber Pertumbuhan Gambar 25 menunjukkan hasil analisis sumber-sumber pertumbuhan ekonomi bagi sektor Perikanan Indonesia sepanjang periode 2005-2010. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa Ekspor (EE) memberikan kontribusi negatif bagi pertumbuhan keempat sektor perikanan Indonesia. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pada periode tersebut, ekspor bukan lagi merupakan sumber pertumbuhan bagi sektor perikanan Indonesia. Dari gambar tersebut juga dapat diamati bahwa sumber pertumbuhan yang dominan bagi keempat sektor perikanan Indonesia adalah perubahan teknologi (TC) dan peningkatan konsumsi masyarakat (DD1). Peningkatan Teknologi terutama terjadi pada sektor Perikanan Sekunder (Industri Pengolahan dan Industri Pengeringan), sedangkan peningkatan konsumsi domestik terjadi terutama pada Sektor Perikanan Primer (Perikanan Tangkap dan Budidaya). IS 100% 80% 60% 40% 20% 0% -20% -40% -60%
EE
TC Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya
DD4
DD1
Industri Pengeringan dan Pengasinan Ikan Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan
DD3
DD2
Gambar 25. Sumber-sumber Pertumbuhan Sektor Perikanan Indonesia, Periode 2005-2010 (Sumber: Olahan Tabel I-O 2005 & 2010) Keterangan: • IS = Pertumbuhan bersumber dari usaha Import Substitution; • TC = Pertumbuhan bersumber dari Technological Changes; • EE = Pertumbuhan bersumber dari Export Expansion; • DD1 = Pertumbuhan bersumber dari Konsumsi Domestik Masyarakat; • DD2 = Pertumbuhan bersumber dari Konsumsi Swasta; • DD3 = Pertumbuhan bersumber dari Konsumsi Pemerintah • DD4 = Pertumbuhan bersumber dari Perubahan Stok.
106
Fenomena tersebut
menggambarkan bahwa
pada
periode 2005-2010,
pertumbuhan di sektor perikanan didominasi oleh adanya investasi/peningkatan teknologi dan peningkatan permintaan domestik atas produk sektor perikanan. Turunnya kontribusi ekspor seperti yang diindikasikan hasil analisis pada gambar 2 dapat terjadi akibat dari melemahnya daya beli masyarakat internasional akibat adanya krisis finansial global yang berlangsung sejak tahun 2008, yang mengakibatkan pengalihan sebagian produk yang tidak tertampung pasar ekspor ke pasar domestik. Outlook perekonomian dunia beberapa tahun kedepan menunjukkan trend terjadinya penurunan harga komoditas, mulai dari minyak yang juga berdampak hingga ke produk perikanan. Oleh karena itu, dirasa sangat logis apabila dilakukan kebijakan peningkatan konsumsi produk perikanan nasional, untuk menyerap limpahan produk yang tak terserap di pasar internasional yang sedang melesu ke pasar domestik. Simulasi Kebijakan Pada bagian ini akan disampaikan hasil simulasi dampak kebijakan di sektor Perikanan terhadap perekonomian Nasional. Asumsi simulasi yang digunakan adalah: KKP menetapkan kebijakan peningkatan konsumsi ikan masyarakat terhadap produk tangkapan dan budidaya, periode 2016-2019 (Tabel 32). Tabel 32. Berbagai Asumsi Simulasi Kebijakan Periode Tahun 2016 - 2019 Target Konsumsi Ikan Masyarakat (Kg/kapita) Pertumbuhan
2016 43,88 7,29%
2017 47,12 7,38%
2018 50,65 7,49%
2019 54,49 7,58%
Sumber: Rencana Kerja KKP 2015-2019
Di bawah ini akan disampaikan berbagai tabel hasil simulasi dampak kebijakan peningkatan konsumsi ikan 2016-2019 pada beberapa sektor perikanan (Tabel 33 sampai Tabel 37).
Tabel 33. Dampak Kebijakan Peningkatan Konsumsi Ikan Terhadap Pertumbuhan Output Nasional (Satuan = %) Sektor Pertanian non-perikanan
2016
2017
2018
2019
0,0093
0,0101
0,0110
0,0120
107
Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya Pertambangan dan Penggalian Industri Pengeringan dan penggaraman ikan dan biota laut lainnya Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan biota laut lainnya Industri Pengolahan hasil pertanian non-perikanan Industri Pengolahan Lainnya Jasa-jasa dan lainnya Sumber: Simulasi Model I-O 2010
4,3069 4,6676 0,0037 0,0091
4,4894 4,8486 0,0040 0,0099
4,6810 5,0383 0,0044 0,0108
4,8644 5,2178 0,0048 0,0118
0,0519 0,0126 0,0043 0,0103
0,0564 0,0137 0,0046 0,0112
0,0614 0,0149 0,0051 0,0122
0,0668 0,0162 0,0055 0,0133
Tabel 34. Dampak Kebijakan Peningkatan Konsumsi Ikan Terhadap Peningkatan PDB (Rp. Juta) Sektor Pertanian non-perikanan Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya Pertambangan dan Penggalian Industri Pengeringan dan penggaraman ikan dan biota laut lainnya Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan biota laut lainnya Industri Pengolahan hasil pertanian non-perikanan Industri Pengolahan Lainnya Jasa-jasa dan lainnya Kontribusi PDB Perikanan Terhadap Nasional Sumber: Simulasi Model I-O 2010
2016 72.771 4.078.209 4.981.206 25.836 1.430
2017 79.120 4.434.026 5.415.808 28.090 1.555
2018 86.202 4.830.898 5.900.556 30.604 1.694
2019 93.772 5.255.142 6.418.735 33.292 1.842
11.478
12.480
13.597
14.791
55.089 47.984 333.605 3,87%
59.895 52.170 362.711 4,24%
65.256 56.840 395.176 4,70%
70.987 61.831 429.880 5,27%
Tabel 35. Dampak Kebijakan Peningkatan Konsumsi Ikan Terhadap Peningkatan Pendapatan Masyarakat (Rp. Juta) SEKTOR PERTANIAN NON-PERIKANAN PERIKANAN TANGKAP PERIKANAN BUDIDAYA PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN INDUSTRI PENGERINGAN DAN PENGGARAMAN IKAN DAN BIOTA LAUT LAINNYA INDUSTRI PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN DAN BIOTA LAUT LAINNYA INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN NONPERIKANAN INDUSTRI PENGOLAHAN LAINNYA JASA-JASA DAN LAINNYA Sumber: Simulasi Model I-O 2010
2016 16.554 768.651 1.030.815 4.228 230
2017 17.998 835.714 1.120.752 4.597 250
2018 19.609 910.516 1.221.066 5.008 272
2019 21.331 990.476 1.328.298 5.448 296
2.286
2.485
2.708
2.946
13.425
14.596
15.903
17.299
14.658 130.610
15.937 142.006
17.363 154.716
18.888 168.303
Tabel 36. Dampak Kebijakan Peningkatan Konsumsi Ikan Terhadap Peningkatan Keuntungan Pengusaha (Rp. Juta) 108
SEKTOR PERTANIAN NON-PERIKANAN PERIKANAN TANGKAP PERIKANAN BUDIDAYA PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN INDUSTRI PENGERINGAN DAN PENGGARAMAN IKAN DAN BIOTA LAUT LAINNYA INDUSTRI PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN DAN BIOTA LAUT LAINNYA INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN NONPERIKANAN INDUSTRI PENGOLAHAN LAINNYA JASA-JASA DAN LAINNYA Sumber: Simulasi Model I-O 2010
2016 53.486 3.145.938 3.743.748 18.879 1.144
2017 58.152 3.420.415 4.070.384 20.526 1.244
2018 63.357 3.726.564 4.434.709 22.364 1.356
2019 68.921 4.053.826 4.824.159 24.328 1.475
7.049
7.664
8.350
9.083
27.231
29.607
32.257
35.090
28.428 157.757
30.908 171.521
33.675 186.873
36.632 203.284
Tabel 37. Dampak Kebijakan Peningkatan Konsumsi Ikan terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak (Rp. Juta) SEKTOR PERTANIAN NON-PERIKANAN PERIKANAN TANGKAP PERIKANAN BUDIDAYA PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN INDUSTRI PENGERINGAN DAN PENGGARAMAN IKAN DAN BIOTA LAUT LAINNYA INDUSTRI PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN DAN BIOTA LAUT LAINNYA INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN NON-PERIKANAN INDUSTRI PENGOLAHAN LAINNYA JASA-JASA DAN LAINNYA
2016 1.049 51.696 67.647 1.190 46
2017 1.140 56.207 73.549 1.294 50
2018 1.243 61.238 80.133 1.409 54
2019 1.352 66.615 87.170 1.533 59
1.617
1.758
1.916
2.084
10.484 (1.178) 3.942
11.399 (1.281) 4.286
12.419 (1.395) 4.670
13.510 (1.518) 5.080
Sumber: Simulasi Model I-O 2010
4.8.4
Kesimpulan Hasil analisis sumber-sumber pertumbuhan ekonomi bagi sektor Perikanan
Indonesia sepanjang periode 2005-2010. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa Ekspor (EE) memberikan kontribusi negatif bagi pertumbuhan keempat sektor perikanan Indonesia. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pada periode tersebut, ekspor bukan lagi merupakan sumber pertumbuhan bagi sektor perikanan Indonesia. Sumber pertumbuhan yang dominan bagi keempat sektor perikanan Indonesia adalah perubahan teknologi (TC) dan peningkatan konsumsi masyarakat (DD1). Peningkatan Teknologi terutama terjadi pada sektor Perikanan Sekunder (Industri Pengolahan dan Industri Pengeringan), sedangkan peningkatan konsumsi domestik terjadi terutama pada Sektor Perikanan Primer (Perikanan Tangkap dan Budidaya).
109
Pada periode 2005-2010, pertumbuhan di sektor perikanan didominasi oleh adanya investasi/peningkatan teknologi dan peningkatan permintaan domestik atas produk sektor perikanan. Turunnya kontribusi ekspor terjadi akibat dari melemahnya daya beli masyarakat internasional akibat adanya krisis finansial global yang berlangsung sejak tahun 2008, yang mengakibatkan pengalihan sebagian produk yang tidak tertampung pasar ekspor ke pasar domestik. Outlook perekonomian dunia beberapa tahun kedepan menunjukkan trend terjadinya penurunan harga komoditas, mulai dari minyak yang juga berdampak hingga ke produk perikanan. Oleh karena itu, dirasa sangat logis apabila dilakukan kebijakan peningkatan konsumsi produk perikanan nasional, untuk menyerap limpahan produk yang tak terserap di pasar internasional yang sedang melesu ke pasar domestik.
4.9 Kajian Dampak Ekonomi Kebijakan Pemberantarasan IUUF terhadap Perikanan Skipjack Tuna di Indonesia 4.9.1 Latar Belakang Kepemimpinan Indonesia dalam memerangi Illegal, Unreported, dan Unregulated (IUU) Fishing di Asia Tenggara sangat menonjol. Akan tetapi, untuk kepetingan keberlanjutan sumber daya, kebijakan IUUF perlu dibarengi dengan pembenahan pengelolaan perikanan di dalam negeri Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan telah menunjukkan komitmennya dengan menerapkan kebijakan yang “keras” termasuk moratorium kapal penangkap ikan yang dimiliki dan dibangun dari luar negeri, larangan pemindahan muatan (transshipment) di laut, dan mandat untuk menangkap dan menenggelamkan kapal asing yang kedapatan menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia secara ilegal. Pertanyaan selanjutnya seberapa besar kebijakan IUUF tersebut telah memberikan manfaat ekonomi terhadap perikanan Indonesia dalam hal mengurangi permasalahan overfishing di Indonesia? Kajian dikhususkan untuk perikanan tuna cakalang. Apa peluang-peluaang baru dari kebijakan ini untuk Indonesia? Perikanan di Indonesia dan di seluruh dunia mengalami dampak negatif akibat dari kegiatan IUU fishing seperti penangkapan ikan tanpa izin, ilegal dan penangkapan
110
ikan yang merusak, kapal berbendera ganda dari beberapa Negara dan unreported fishing (1,2). Misalnya, kapal penangkap ikan yang diperoleh di luar negeri diwajibkan oleh hukum Indonesia untuk mengajukan sertifikat penghapusan untuk mengubah bendera mereka dari luar negeri ke Indonesia. Akan tetapi dari tahun 2001-2005, 94% dari sertifikat penghapusan dipalsukan. Selanjutnya, pada tahun 2003, 70% dari kapal berbendera Indonesia dengan izin menangkap ikan di perairan Indonesia sebenarnya milik asing bukan milik lokal. Indonesia adalah produsen tuna terbesar ke-40 dan penghasil ikan tangkap kedua terbesar di dunia. Akibat IUU fishing, Indonesia sudah kehilangan sekitar 30 milyar dollar amerika pendapatan kotor dan sekitar 1,6 juta ton ikan per tahun. Sementara banyak negara mengalami pelanggaran dan kerugian sebesar ini, Indonesia telah muncul sebagai pemimpin global dalam komitmennya untuk memerangi IUU fishing. Presiden Indonesia Joko Menteri Widodo dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengambil tindakan dan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk mengekang kegiatan perikanan IUU. Kebijakan ini hanya seputar tiga tindakan utama: penenggelaman kapal ilegal, melarang kapal-kapal ikan asing, dan melarang pindah-muat ikan di laut. Sebagai dampak positif dari tindakan-tindakan ini, Indonesia berharap dapat meningkatkan PDB dari sektor perikanan dengan pertumbuhan sebesar 12% antara tahun 2015 dan 2019.
4.9.2 Dampak IUUF terhadap pengurangan upaya perikanan Walaupun kebijakan IUUF di Indonesia dilaksanakan dengan ketat, tetapi hanya sedikit upaya untuk menghitung dampak dan konsekuensinya terhadap perikanan Indonesia. Secara keseluruhan, apakah aksi-aksi melawan IUUF ini mempunyai dampak terhitung terhadap stok perikanan dan perikanan Indonesia? Model menggunakan data dari perikanan tuna cakalang untuk menghitung dampak kebijakan IUUF terhadap perikanan cakalang. Di Indonesia, 43% dari total kapal penangkapan ikan yang terdaftar di DJPT KKP adalah kapal purse seine (86). Pada umumnya, kapal purse seine menangkap ikan pelagic kecil dan tuna cakalang, sering menggunakan lampu di malam hari dan rumpon ikan supaya bergerombol. Adapun kondisi 111
penyebaran tingkat pemanfaatan tuna cakalang di seluruh WPP Indonesia dapat dilihat di Tabel 38 di bawah ini. Tabel 38. Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil di WPPRI Tahun 2015. Wilayah Penangkapan Perikanan (WPP) 571 572 573 711 712 713 714 715 716 717 718 Potensi (ton) 79.008 412.945 294.092 395,451 303.886 104.546 116.516 378.734 222.946 391.126 823.328 JTB (ton) 63,206 330,356 235.274 316.361 243.109 83.637 93.213 302.987 178.357 312.901 658.662 f optimum (unit) 2,017 2,589 3,705 3,673 12,755 7,421 3,946 3,626 4,222 712 3,425 Tingkat 1.059 0.616 0.913 1.641 0.586 0.606 0.687 1.051 0.494 0.729 0.52 pemanfaatan F aktual (unit) 2136 1595 3384 6026 7471 4500 2711 3812 2085 518 1780 C aktual (ton) 164,917 160,777 155,762 153,247 438,502 209,661 70,110 206,178 48,218 72,630 137,730 Pure Pure Pure Pure Pure Pure Pure Pure Pure Pure Pure Upaya Standar Seine Seine Seine Seine Seine Seine Seine Seine Seine Seine Seine Sumber: Komnaskajiskan (2016)
Sebelum diberlakukannnya kebijakan IUU, biomass tuna cakalang masih di atas titik MSY (maksimum sustainable yield), walaupun total tangkapan sudah 6% melewati titik tangkapan MSY. Moratorium terhadap kapal-kapal internasional sudah menurunkan jumlah kapal-kapal diatas 30 GT sebanyak 27% (dari total 4.286 menjadi 3.114) pada selang waktu antara November 2014 sampai dengan Oktober 2015. Hal ini berarti pengurangan sekitar 27 % dari total upaya penangkapan ikan tuna cakalang dalam satuan GT. Perhitungan dapat dilihat di Tabel 39. Tabel 39. Kapal penangkapan ikan yang terdaftar di DJPT pusat beserta ukurannya pada tahun 2013, 2014, 2015 Boat size (Gross Ton, GT)
Boat size (2016 data) (GT)
30 – 50 50 – 100 100 – 200 > 200
39 75 137 269
Total % reduction compared to 2013
Number of registered boats Before After 2013 2014 2016* 1.074 1.029 826 1.727 1.766 1.556 1.127 840 705 358 176 27 4.288 3.811 3.114 - 11% - 27%
Seberapa besar sebetulnya pengurangan upaya penangkapan ikan tuna cakalang disebabkan kebijakan IUUF? Analisa kami dilengkapi dengan kajian terpisah yang menggunakan satelit untuk mengenali kapal-kapal ikan dan menghitung jumlahnya 112
pada malam hari berdasarkan lampu yang digunakan di malam hari. Dari data satelit google, jumlah kapal yang terlihat dari satelit berkurang kurang lebih 35% dari jumlah kapal ikan sebelum adanya moratoriu kapal-kapal ex-asing. Gambar dapat di lihat di Gambar 22. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dampak langsung dari moratorium kapal asing terhadap upaya penangkapa ikan di Indonesia.
Gambar 26. Jumlah kapal ikan di perairan Indonesia pada tahun 2014-2015 (Sumber: perhitungan dari John Lynam berdasar the Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) Boat Detection project within NOAA’s Earth Observation Group) Pemodelan bio-ekonomi menggunakan model Pella-Tomlison dengan input data jumlah tangkapan tuna cakalang dari perikanan Indonesia sejak tahun 1974 sampai dengan 2014 (apendik 1). Setelah mendapatkan parameter-parameter model dari data tersebut untuk perikanan tuna cakalang, dilakukan simulasi model dengan memasukkan penurunan upaya penangkapan sebesar 25%. Dampak penurunan upaya terhadap stok biomass dan keuntungan perikanan tuna cakalang dapat dilihat di Gambar 27.
113
Gambar 27. Perkiraan total tangkapan tuna cakalang sampai dengan 2035 dari beberapa skenario kebijakan Keterangan: Skenario 1: open akses Skenario 2: kebijakan IUUF (penurunan upaya 25%) tetapi open akses Skenario 3: kebijakan IUUF + reformasi perikanan
4.9.3
Rekomendasi Kebijakan
1. Melanjutkan gerakan anti IUUF dan disertai dengan reformasi pengelolaan perikanan dalam negeri. Hasil menunjukkan bahwa dengan adanya penurunan upaya penangkapan dari kebijakan pemberantasan IUUF, maka biomas stok tuna cakalang akan meningkat. Hal tersebut, selanjutnya akan meningkatkan jumlah tangkapan tuna cakalang di tahun-tahun
selanjutnya.
Peningkatan
jumlah
tangkapan
dapat
diartikan
peningkatan keuntungan dari usaha perikanan tuna cakalang, bila diasumsikan permintaan tuna cakalang cukup stabil.
114
2. Melanjutkan gerakan anti IUUF dan tidak disertai reformasi pengelolaan perikanan Indonesia Opsi simulasi kebijakan kedua adalah adanya kebijakan IUUF akan tetapi tidak disertai dengan reformasi pengelolaan perikanan. Dengan kata lain, regim pengelolaan perikanan tuna cakalang di Indonesia tetap mengadopsi sistem open access yang menyebabkan ekstraksi sumber daya perikanan melebihi titik JTB (jumlah tangkap boleh). JTB ditentukan berdasar kemampuan sumber daya memperbarui dirinya atau dengan kata lain tetap pada titik keberlanjutan sumber dayanya. 3. Tanpa gerakan anti IUUF dan tetap pada kedaan open access perikanan tuna cakalang Simulasi 3 ini dimaksudkan untuk memberikan bandingan kondisi ideal (opsi kebijakan 1) terhadap kondisi tidak ideal (status quo). Apabila pemerintah Indonesia tidak menerapkan kebijakan pemberantasan IUUF dan pada saat yang sama tidak ada pembenahan pengelolaan perijinan, maka dampaknya terhadap biomass tuna cakalang Indonesia yaitu penurunan biomass sebanyak 52% dan kehilangan profit dari perikanan tuna cakalang sebanyak 66%. 4.9.4 Langkah-Langkah Strategis 1.
Licencing/limited entry: kebijakan penertiban 90% kapal dibawah autoritas propinsi termasuk mark down < 30 GT. kebijakan pemerintah daerah yang encourage open access. Limited entry dalam pemda bunyainya sperti apa, krn PAD akan turun. Fees harus naik. Dibarengi dengan kemampuan untuk memeperbaikin PAD di sektor perikanan kelautan salah satunya dari UPI dan industrialisasi perikanan.
2.
Penguatan kelembagaan pengelola perikanan di kawasan WPP seluruh Indonesia. Hal tersebut dapat dibarengi dengan peningkatan kapasitas pengelola dan pelibatan para pemangku kepentingan perikanan terutama dari masyarakat dan para pelaku bisnis perikanan di wilayah WPP tersebut. Perguruan tinggi di WPP tersebut dapat
115
berperan aktif sebagai komite ilmiah yang memberikan sumbangan penelitian yang dibutuhkan untuk 3.
Implementasi dari Port State Measures Agreement (PSMA) oleh Indonesia akan sangat penting menuju transparansi data kapal penangkap ikan besar antar negara dan sharing identitas kapal penangkap ikan sehingga kegiatan illegal fishing dapat dicegah secara bersama-sama.
4.
Program-program untuk meningkatkan ketertelusuran/traceability dan sertifikat ramah lingkungan (ecolabelling certification) baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak-pihak lain seperti LSM yang ada di Indonesia.
5.
Kebijakan dan usaha-usaha diplomasi Internasional dalam rangka penembusan pasar untuk produk Tuna Indonesia seperti Eropa.
116
V. PENUTUP Penyusunan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang melibatkan, mendengarkan dan mempertimbangkan masukan, saran dan kebutuhan pemangku kepentingan serta pelaku usaha memerlukan analisis serta alternatif pemecahan masalah akan dinamika pembangunan kelautan dan perikanan. Analisis yang tajam, cepat dan tepat merupakan faktor penting dalam membuat dan memperbaiki kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang lebih tepat sasaran, waktu dan program. Penelitian secara khusus akan program-program pembangunan kelautan dan perikanan merupakan media untuk menghasilkan analisis tersebut. Melalui penelitian, pemetaan permasalahan atau kebutuhan, analisa serta saran pemecahan masalah bisa dihasilkan. Dalam laporan ini, kajian yang telah dilakukan untuk menghasilkan analisis kebijakan pada tahun 2016 adalah : 1.
Analisis dan Penghitungan Indeks Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan (IKMKP) Tahun 2015
2.
Simulasi Kebutuhan Investasi Sektor Kelautan dan Perikanan untuk Mendorong Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Sebesar 8,9%
3.
Kajian Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Perikanan terhadap Pelaksanaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta
4.
Kajian Dampak Sosial Ekonomi Pelarangan Pengoperasian Alat Penangkapan Ikan (API) Cantrang di Wilayah Propinsi Jawa Tengah
5.
Kajian Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Perhitungan Dampak Kerugian dalam Rangka Penanggulangan Dampak Tumpahan Minyak terhadap Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
6.
Kajian Ketersediaan Stok Ikan Menjelang Hari Raya Lebaran
7.
Kajian Pemberdayaan Perempuan Pesisir dalam Kelembagaan Usaha
8.
Kajian Sumber-Sumber Pertumbuhan Sektor Perikanan dalam Perekonomian Nasional
9.
Kajian Dampak Ekonomi Kebijakan Pemberantarasan IUUF terhadap Perikanan Skipjack Tuna di Indonesia.
117
Berbagai bahan rumusan kebijakan tersebut disusun dalam rangka memberikan pertimbangan dan rekomendasi kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan bagi pemangku kepentingan/stakeholders, khususnya untuk Menteri Kelautan dan Perikanan dan Direktorat Teknis lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan.
118
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. 2009. Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. Malang: UMM Press. Adrianto, L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB. Bogor. Agustino, L. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. Akib, H. 2010. Implementasi Kebijakan; Apa, Mengapa, dan Bagaimana. Jurnal Ilmu Administrasi Publik. Makassar: Universitas Negeri Makassar, Volume 1, Nomor 1, Februari 2010. (1-11). Anna Z and A Fauzi. Share The Bay: Who is to Blame for Coastal Resources Degradation in Jakarta Bay Area. Proceeding MARE Conference People and the Sea IV: “Who Owns the Coast?”, Amsterdam July 5th-7th 2007. Ariningsih, E. 2004. Kajian Konsumsi Protein Hewani pada Masa Krisis Ekonomi di Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Aswatini, H. Romdiati, B. Setiawan, A. Latifa, Fitranita, M. Noveria. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Sosial Demografi Rumah Tangga. Pusat Penelitian Kependudukan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. BAPPENAS. 2008. Arti Penting Analisis Dampak Peraturan Perundang-Undangan “Regulatory Impact Assessment”. Jakarta: Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Badan Pusat Statistik [BPS]. 2015. Jakarta Utara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Utara. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan [BBPSEKP]. 2015. BPPI, 2016. Powerpoint: Spesifikasi Cantrang (Dimensi dan Komponen). Unpublished. Badan Pusat Statistik. 2012. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2012. Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2012. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2013. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2013. Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2013. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2014. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi 2014. Buku 2 Survey Sosial Ekonomi Nasional berdasarkan Hasil Susenas September 2014. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
119
Berg, A dan R.J Muscat. 1985. Faktor Gizi. (Penerjemah, Sediaoetama). Bhatara. Jakarta. Braun, VJ, H. Bouis, S. Kumar and R. Pandya-Lorch. 1992. Improving Food Security of The Poor: Concept, Policy and Programs. IPRI. Washington DC. Coppock, J.D. 1962. International Economic Instability. McGraw-Hill Publishing Company. New York. Coast of Java, Indonesia: Lesson Learned for Fisheries Policy. China-USA Business Review, ISSN 1537-1514 June 2012, Vol. 11, No. 6, 739-748. David Publishing. Page 739 – 748. Claridge, Dave and Burnet, Jhon.1993. Manroves in Focus. Ashmore Old. Australia. C. Costello et al., Global fishery prospects under contrasting management regimes. Proc. Natl. Acad. Sci. 113, 5125–5129 (2016). Dinas Kelautan dan Perikanan [DKP] Provinsi Jakarta. 2013. Djonoputra, B. 2016. Perjalanan Reklamasi Jakarta. http://interaktif.print.kompas.com/reklamasijakarta. Tanggal diunduh 14 Mei 2016. Dunn, N William, 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. edisi kedua. Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta. D. M. Sodik, IUU Fishing and Indonesia’s Legal Framework for Vessel Registration and Fishing Vessel Licensing. Ocean Dev. Int. Law. 40, 249–267 (2009). D. J. Agnew et al., Estimating the Worldwide Extent of Illegal Fishing. PLOS ONE. 4, e4570 (2009). Elfindri. 2002. Ekonomi Patron-Client: Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan dan Kebijakan Makro. Padang: Andalas University Press. Enceng dan F. Madya. (2014). Evaluasi Perumusan, Implementasi, dan Lingkungan Kebijakan. Jurnal Kebijakan Publik. Riau: Universitas Riau, Volume 5, Nomor 3, Maret 2014. (1-8). Fadli, Illegal Antartic toothfish fishing vessel sunk in Pangandaran. Jkt. Post, (available at http://www.thejakartapost.com/news/2016/03/14/illegal-antartic-toothfishfishing-vessel-sunk-pangandaran.html#sthash.UdepQT8K.dpuf). FAO, “The State of World Fisheries and Aquaculture 2016. Contributing to food security and nutrition for all.” (Rome, 2016), p. 200. Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, A. dan S. Anna. 2010. Growth and Instability of Small Pelagic Fisheries of the North.
120
Fermana, S. 2009. Kebijakan Publik (Sebuah Tinjauan Filosofis). Jakarta: AR – RUZZ Media. Grigalunas, T.A and R. Congar, 1995. Environmental economics for Integrated Coastal Area Management: Valuluation Methods and Policy Instruments. UNEP Regional Seas Reports and Studies No. 164. UNEP. Hufschmidt, M. M., D. E. James, A. D. Meister, B. T. Bower and J. A. Dixon. 1983. Environment, natural systems, and development -- an economic valuation guide. The John Hopkins University Press, Baltimore. 338 pp. Hardinsyah, Irawati, A, Kartono, D, Prihartini S, Linorita I, Amilia L, Fermanda M, Adyas EE, Yudianti D, Kusrto CM dan Heryanto Y. 2012. Pola Konsumsi Pangan dan Gizi Penduduk Indonesia. Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB dan Badan Litbangkes Kemenkes RI. Bogor. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Jakarta. 212 Hal. Indriana S. dan L. Widajanti. 2005. Hubungan Pendapatan, Pengetahuan Gizi Ibu dengan Ketersediaan Ikan Tingkat Rumah Tangga Daerah Perkotaan. Jurnal Gizi Indonesia, Volume 1 Nomor 1 Desember 2005. Irawan, B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro Ekonomi 20 (1): 25-47. Indiahono D. 2009. Perbandingan Administrasi Publik: Model, Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta. Gava Media Iskandar. 2012. Tindakan Kerja Masyarakat Pidie : Antara Agama, Adat Tradisi dan Historitas Lokal. Disertasi UI. Islamy, M.I. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Irianto, S. dan Shidarta. (2009). Metode Penelitian Hukum (Konstelasi dan Refleksi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ITPF. 2006. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kementerian Lingkungan Hidup. 2016. Sidang Pertama Gugatan 6 Perusahaan Kontraktor BP Pantura Digelar. http://www.menlh.go.id/sidang-pertamagugatan-6-perusahaan-kontraktor-bp-pantura-digelar/. Tanggal diunduh: 13 Mei 2016. Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. Kusnadi. 2010. Kebudayaan Masyarakat Nelayan. Makalah yang disampaikan dalam kegiatan JELAJAH BUDAYA TAHUN 2010, dengan tema “Ekspresi Budaya Masyarakat Nelayan di Pantai Utara Jawa”, yang diselenggarakan oleh Balai
121
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Kementeian Kebudayaan dan Pariwisata, di Yogyakarta, tanggal 12-15 Juli 2010. Karyadi dan Muhilal. 1987. Nilai Tambah Ikan bagi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah Seminar Manfaat Ikan Bagi Pembangunan Sumberdaya Manusia. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2013. Jakarta. 212 Hal. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2014. Jakarta. 212 Hal. Lubis, B. 1987. Pengolahan dan Pemasaran Ikan Untuk Pemerataan Konsumsi. Seminar Manfaat Ikan Bagi Pembangunan Sumberdaya Manusia. Jakarta. Lenggono PS. 2011. Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta Mahakam: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal. Disertasi SPD-IPB. M. A. Santosa, Strategy on the prevention and eradication of IUU fishing and postmoratorium policies (2015), (available at http://fisheriestransparency.org/wp/content/uploads/2015/11/Presentation_Com bating_IUUF_Efforts_in_Indonesia_20151109.p df). M. J. Williams, Will New Multilateral Arrangements Help Southeast Asian States Solve Illegal Fishing? Contemp. Southeast Asia J. Int. Strateg. Aff. 35, 258–283 (2013). MMAF, MMAF Strategic Plan 2015-2019 (2015), http://infohukum.kkp.go.id/index.php/hukum/download/747).
(available
at
MMAF, The Fisheries Licenses (SIPI/SIKPI) Development of Indonesian Fishing Vessels - Period of March 17th 2016 [in Bahasa] (2016), (available at http://pup.nawi.web.id/data_izin_kapal.pdf). MMAF, “Capture Fisheries Statistic of Indonesia, 2014” (2015), (available at http://www.djpt.kkp.go.id/ditsdi/arsip/c/905/Statistik-Perikanan-TangkapIndonesia-2014/?category_id=). Mongabay. 2016. Moratorium Reklamasi Teluk Jakarta, para Aktivis: Kok Tetap Jalan. http://www.mongabay.co.id/2016/05/10/moratorium-reklamasi-teluk-jakartapara-aktivis-kok-tetap-jalan/. Tanggal diunduh: 4 Juni 2016. Montesquieu. 2007. The Spirit of Laws. Bandung: Nusamedia. Muhartono,R. 2011. Pola Adaptasi Nelayan Andon dalam Mengimbangi Dominasi Pemilik Modal. PascaSarjana Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia. Thesis (tidak dipublikasikan) Nasution Z. 2012. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan “Lelang Lebak Lebung” dan Kemiskinan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir - Sumatera Selatan). IPB. Bogor.
122
Niaga dan LPPM-IPB, 2013 Ofiara, D.D. dan J.J. Seneca. 2001. Economic Losses from Marine Pollution : A Handbook for Assessment. Island Press: Covelo, CA, 388 pgs. Oktari, R.N. 2008. Konsumsi Ikan Anak Usia Sekolah pada Keluarga Nelayan dan Non Nelayan Berdasarkan Keadaan Sosial Ekonomi. Skripsi Sarjana yang Tidak Dipublikasikan. Program Studi GiziMasyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pribadi, N. 2005. Program Ketahanan Pangan: Konsep dan Implementasinya. Makalah disampaikan dalam Penyusunan Indikator Kinerja Program Ketahanan Pangan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tanggal 15 Agustus 2005. Jakarta. Puslitbangkan, 2016. Kajian Perikanan Cantrang dan Alternatif Alat Penangkapan Ikan Pengganti. Unpublished. PPSEKP, 2015. Regulatory Impact Assessment (RIA) untuk Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan (Permen Kp) No. 2/Men-Kp/2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) Dan Pukat Tarik (Seine Nets) Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Unpublished. Rakhmat. 2009. Teori Administrasi dan Manajemen Publik. Jakarta: Pustaka Arif. Ruang Reklamasi. 2016. Definisi Reklamasi: Meluruskan Persepsi yang Buram. http://www. ruangreklamasi.com/arti-reklamasi.html. Tanggal diunduh: 12 Mei 2016 Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. PT Pustaka Cidesindo. Jakarta. Siahaan, N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam. Santoso, N. 2005. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Nasional Pengembangan System Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2005. Jakarta. Sihombing. 2010. Siombo, M.R. 2010. Hukum Perikanan Nasional dan Internasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Subarsono, A.G. 2011. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori, dan Aplikasi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suharto, E. 2008. Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik bagi Masyarakat dengan Kebutuhan Khusus. Disampaikan pada Focused Group Discussion (FGD) “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Service for Customers with Special Needs) pada Sektor Pelayanan Publik”, Lembaga Administrasi Negara, Sahira Butik Hotel, Bogor 9-10 Oktober 2008.
123
http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/LANPelayanan Tanggal diunduh: 16 Mei 2016.
Publik.pdf.
Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kotamadya Jakarta Utara. 2013. Sulistiyono, A. dan M. Rustamaji. 2009. Hukum Ekonomi sebagai Panglima. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka. Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sawit, H. dan M. Ariani. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan. Makalah Pembanding pada Seminar PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI di Bulog. Tanggal 26 – 27 Juni. Jakarta. Setyowati, E., R.S. Damayanti, Subagyo dan R. Badrudin. 2004. Pengantar Ekonomi Mikro Edisi 2. STIE YKPN. Yogyakarta. Soetrisno, N. 1995. Ketahanan Pangan Dunia: Konsep, Pengukuran dan Faktor Dominan. Majalah Pangan No. 21 Nol. V Tahun 1995. Soetrisno, N. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan Pangan dalam Repelita VII. Makalah disampaikan pada Seminar PraWidyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI di Bulog. Tanggal 26 – 27 Juni. Jakarta. Suhardjo. 1994. Pola Konsumsi Ikan di Indonesia. Makalah disampaikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V. Tanggal 20 – 22 April. Jakarta. Suhardjo. 1996. Pengertian dan Kerangka Pikir Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Makalah disampaikan pada Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Tanggal 26 – 30 Mei. Yogyakarta. Umar, H. 2003. Metode Riset Perilaku Konsumen Jasa. Jakarta : PT. Gramedia Pusaka Utama. Yaping, D. 1999. The Value of Improved Water Quality for Recreation in East Lake, Wuhan China. EEPSEA, Singapore. Yin, R.K. (2009). Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: Rajawali Pers. Undang-Undang dan Peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.Disahkan di Jakarta pada tanggal 4 November 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 November 2012. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016, tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lembaran
124
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2. Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 5490 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4739 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, tentang Administrasi Kependudukan. Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961, tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan/atau Benda-Benda yang Ada di Atasnya. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 November 2013. Permen KP-RI Nomor 02/Permen-Kp/2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) Dan Pukat Tarik (Seine Nets) di WPPNRI. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48. Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012, tentang Reklamasi di wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 267. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008, tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Ditetapkan di Jakarta Tanggal 12 Agustus 2008. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 tahun 1995, tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Ditetapkan di Jakarta Tanggal 13 Juli 1995. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Permen KP No. 13 Tahun 2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 28 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/Permen-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Surat
Edaran Menteri Koordinator Kemaritiman No. SKEP.11/MENKO/MARITIM/IV/2016 tentang Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
125