ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
PENGEMBANGAN EKONOMI PEMBANGUNAN WILAYAH PANTAI UTARA PROPINSI JAWA TENGAH (SAPTA MITRA PANTURA/SAMPAN)
BALAI BESAR RISET SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN 2008
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL RINGKASAN EKSEKUTIF I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. 1.2. Tujuan
II. METODA PENELITIAN 2.1.
Kerangka Pemikiran
2.2.
Dasar pemilihan lokasi
2.3.
Jenis data dan Responden
2.4.
Analisa data
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.
Kebijakan kerja sama antar Daerah Sapta Mitra Pantura/SAMPAN
3.2.
Potensi Kelautan Perikanan Sapta Mitra Pantura
3.3.
Arah Kebijakan Investasi Sapta Mitra Pantura
3.4.
Ekonomi Kerakyatan, Pemberdayaan UKM Sapta Mitra Pantura
3.5.
Kegiatan Pendukung Sapta Mitra Pantura
3.6.
Peran Sektor Kelautan dan Perikanan Sapta Mitra Pantura
3.7.
Strategi Pengembangan Sapta Mitra Pantura : Tantangan Masa yang Akan Datang
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 4.1.
Kesimpulan
4.2.
Implikasi Kebijakan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai upaya mewujudkan pembangunan berimbang, maka seperti dikemukakan oleh Anwar (2005), bahwa dalam pembangunan wilayah perlu senantiasa diarahkan pada tujuan pengembangan wilayah, antara lain mencapai : (1) pertumbuhan (growth), yaitu terkait dengan alokasi sumberdayasumberdaya yang langka terdiri atas sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan
sumberdaya
dimanfaatkan
buatan
untuk
untuk
kebutuhan
hasil
yang
manusia
maksimal
dalam
sehingga
meningkatkan
dapat
kegiatan
produktifitasnya; (2) pemerataan (equity), yang terkait dengan pembagian manfaat hasil pembangunan secara adil sehingga setiap warga negara yang terlibat perlu memperoleh pembagian hasil yang memadai secara adil, dalam hal ini perlu adanya kelembagaan yang dapat mengatur manfaat yang diperoleh dari proses pertumbuhan material maupun non material di suatu wilayah secara adil; serta (3) keberlanjutan (sustainability), bahwa penggunaan sumberdaya baik yang ditransaksikan melalui sistem pasar maupun di luar sistem pasar harus tidak melampaui kapasitas kemampuan produksinya. Untuk dapat mencapai tujuan pembangunan wilayah dimaksud perlu adanya perencanaan pembangunan wilayah yang berdimensi lokasi dalam ruang dan
berkaitan
dengan
aspek
sosial
ekonomi
wilayah.
Perencanaan
pembangunan wilayah yang berdimensi ruang menyangkut perencanaan dalam tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara serta tata guna sumberdaya alam lainnya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sedangkan perencanaan pembangunan wilayah dari aspek sosial ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan, yang kemudian diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah dan swasta. Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan
diharapkan
dapat
mewujudkan
keserasian
antar
sektor
pembangunan, sehingga dapat meminimalisasi inkompabilitas antar sektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan antar sektor baik ke depan
maupun ke belakang, serta proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju dan menghindari kebocorang maupun kemubaziran sumberdaya (Anwar, 2005). Selanjutnya
pengembangan
suatu
wilayah
harus
berdasarkan
pengamatan terhadap koondisi internal, sekaligus mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor-faktor internal mencakup pola-pola pengembangan SDM, informasi pasar, insfrastruktur, pengembangan kemampuan kelembagaan lokal dan kepemerintahan, serta berbagai kerja sama dan kemitraan. Sedangkan faktor eksternal meliputi kesenjangan wilayah dan pengembangan kapasitas otonomi daerah, perdagangan bebas dan otonomi daerah itu sendiri. Sehingga dalam konsep pengembangan wilayah paling tidak didasarkan pada prinsipprinsip antara lain : (1) berbasis pada sektor unggulan; (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah; (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu; (4) mempunyai keterkaitan kuat ke depan dan ke belakang; serta (5) dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi (Bappenas, 2004). Lebih lanjut Ernesto (2006) menyatakan bahwa untuk mendorong perekonomian wilayah perlu memperhatikan iklim investasi di wilayah tersebut yang berhubungan dengan kinerja dan produktifitas ekonomi regional secara makro. Untuk itu perlu memperhatikan kondisi insfrastruktur wilayah, kemudahan akses terhadap modal, ketersediaan tenaga kerja dan kemampuan daya saing dengan wilayah-wilayah lain. Salah
satu
upaya
yang
dilakukan
dalam
rangka
penyerasian
pembangunan daerah untuk mengurangi disparitas, mewujudkan keterpaduan pembangunan,
serta
mempercepat
kemajuan
pembangunan
daerah,
dilaksanakan melalui pendekatan berbasis wilayah yang pada prinsipnya adalah meminimalisasi friksi dan memaksimalisasi sinergitas sehingga terwujud keserasian pembangunan daerah di wilayah pengembangan, yang mencakup tiga aspek, yakni : (1) keserasian pertumbuhan antar daerah, antar wilayah maupun
antar
kawasan
yang
berorientasi
pada
kepentingan
bersama
pengembangan potensi lokal, (2) keserasian kebijakan dan program-program
pembangunan sektoral dan daerah dalam skenario pengembangan wilayah, serta (3) keserasian di antara stakeholder dalam dinamika pengembangan wilayah (Sumarsono, 2004). Kegiatan pembangunan di wilayah Propinsi Jawa Tengah menunjukkan telah terjadinya gejala transformasi struktural secara cepat, dari peran dominan sektor pertanian (termasuk perikanan di dalamnya) ke arah sektor industri, tanpa melalui tahapan perkembangan yang maksimal dari sektor pertanian itu sendiri. Kondisi ini dapat terlihat dengan besarnya kontribusi sektor industri yang terus mengalami perkembangan dan mendominasi perekonomian Propinsi Jawa Tengah, tetapi tidak disertai dengan kemantapan sektor pertanian dan kesejahteraan masyarakatnya, termasuk pembudidaya ikan dan nelayan. Data statistik menunjukkan bahwa pada periode 2001-2006, kontribusi industri pengolahan terhadap PDRB propinsi mengalami peningkatan hingga mencapai 31,98% di tahun 2006, sedangkan kontribusi sektor perikanan tidak pernah lebih dari 22,53%. Bahkan lebih lanjut, tingkat kesejahteraan masyarakat pembudidaya ikan dan nelayan tidak mengalami perbaikan yang berarti. Hal ini ditunjukkan dengan persentase penduduk miskin pada wilayah kabupaten yang dikaji yaitu 7 kabupaten di wilayah pantai Utara Jawa, yaitu Kabupaten Batang, Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kota Tegal dan Kabupaten Brebes. Pergeseran ke arah industrialisasi pada perekonomian Propinsi Jawa Tengah tercermin pula dari besarnya jumlah industri di provinsi ini, yaitu mencapai --% dari total industri nasional, dengan karakteristik ketergantungan terhadap faktor eksternal yang cukup tinggi dan keterkaitan dengan sektor pertanian (termasuk perikanan) yang lemah. Keterkaitan yang lemah dengan sektor pertanian diindikasikan dengan dominannya jumlah industri yang menghasilkan
barang-barang
non-pertanian
di
Jawa
Tengah.
Akibat
keterkaitannya yang lemah, maka pengembangan sektor industri non-pertanian seperti ini praktis tidak menjamin tumbuhnya sektor pertanian di Propinsi Jawa Tengah.
Tambahan pula, berdasarkan data statistik industri besar dan sedang, diketahui bahwa penggunaan input impor industri di Jawa Tengah mencapai --% dan sekitar ==% kepemilikannya dimiliki oleh pihak asing. Karakteristik industri seperti ini sangat rentan terhadap exsternal shock yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Ketergantungan leading sector pada input dan modal eksternal dapat menjadi ancaman bagi perekonomian domestik Propinsi Jawa Tengah. Nilai tukar mata uang domestik yang sangat tergantung pada perekonomian dunia, dan modal asing yang sewaktu-waktu dapat ditarik kepemilikannya, merupakan ancaman yang berada di luar kendali. Hal ini, telah dialami Indonesia pada tahun 1997 yang baru lalu, yaitu dengan adanya krisis moneter yang diikuti dengan krisis ekonomi secara keseluruhan. Hampir seluruh aktivitas perekonomian di Indonesia, termasuk di Propinsi Jawa Tengah, mengalami stagnasi dan atau kemunduran pertumbuhan ekonomi. Bahkan beberapa industri di Jawa Tengah mengalami kelumpuhan total sehingga tidak dapat beroperasi kembali. Berdasarkan karakteristik industri seperti yang telah digambarkan diatas, maka pertumbuhan ekonomi wilayah Propinsi Jawa Tengah yang diupayakan dengan memacuk pertumbuhan sektor industri, tidak dapat menjamin tumbuhnya sektor pertanian dalam arti luas (termasuk sub-sektor perikanan). Sebaliknya, akan juga mengakibatkan munculnya kesenjangan antar sektor dan antar wilayah, yang secara keseluruhan dapat memperlemah perekonomian daerah. Hal ini tentunya bertentangan dengan tujuan pembangunan yang ingin dicapai yaitu pertumbuhan ekonomi yang mantap, terjadi pemerataan antar wilayah, antar sektor unggulan dan berkelanjutan. Oleh karena itu, pengembangan ekonomi pembangunan wilayah, termasuk wilayah pantai, seyogyanya dilakukan melalui pengembangan sektor atau sub-sektor unggulan yang tepat dan sesuai dengan potensi serta karakteristik wilayah yang terpadu antar wilayah tertentu dalam satu kelompok pembangunan.
Propinsi Jawa Tengah telah menentukan Prioritas Pembangunan Jawa Tengah,
sejalan
dengan
Visi,
pembangunan nasional, yaitu :
Misi
dan
Arah
Kebijakan dan
strategi
1. Pembangunan
kesejahteraan
masyarakat
meliputi
penanganan
pengangguran, kemiskinan, pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan ; a. Penanganan masalah pengangguran melalui pengembangan dan penciptaan kesempatan kerja. b. Akselerasi penanganan kemiskinan secara berkelanjutan. c. Pemecahan 3 masalah utama pendidikan yaitu: kualitas, relevansi dan pemerataan. d. Pemberian stimulasi dari Propinsi kepada Kabupaten / Kota untuk pengembangan Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) dan rintisan pengembangan Warung Obat Desa (WOD). 2. Pembangunan ekonomi melalui peningkatan daya saing ekonomi daerah meliputi pengembangan ekspor non migas, investasi, revitalisasi pertanian dan perdesaan, pariwisata dan IKM/UKM, serta didukung infrastruktur yang memadai. a. Pengembangan potensi daerah melalui perkuatan agribisnis dan agro industri di pedesaan dengan pengembangan kawasan agropolitan dan penyelenggaraan pasar lelang agro b. Pemeliharaan dan pengembangan iklim kondusif untuk peningkatan investasi diantaranya melalui penerapan model pelayanan perijinan satu pintu (one stop service) c. Dilakukan secara lintas sektor dan membangun infrastruktur yang berkelanjutan
untuk
memperkuat
daya
saing
wilayah
dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3. Peningkatan kualitas pelayanan publik meliputi peningkatan sistem pelayanan sarana dan prasarana serta regulasi. a. Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang mengedepankan aspek transparansi, responsif dan komitmen tinggi terhadap tuntutan publik. b. Pengaturan pemanfaatan alokasi sumber daya publik dengan cara memaksimalkan penyediaan kebutuhan pelayanan secara mudah bagi bagi para pihak.
4. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah meliputi peningkatan partisipasi dan kelembagaan masyarakat, sumber daya manusia, sarana prasarana dan kelembagaan aparatur. a. Pengembangan kerja sama antar wilayah melalui aliansi regional misalnya Barlingmascakeb, Sapta Mitra Pantura (SAMPAN) dan Subosuko Wonosraten; b. Pengembangan
profesionalisme
kinerja
lembaga
dan
aparatur
Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
birokrasi
pemerintahan
serta
pembangunan
yang
partisipatif. 5. Pembangunan sumber daya alam, lingkungan dan sumber daya kelautan yang berkelanjutan meliputi pengendalian dan rehabilitasi kerusakan, pencemaran, pemulihan dan pendayagunaan ekosistem. a. Pengembangan keserasian aktivitas pembangunan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berkelanjutan; b. Peningkatan upaya rehabilitasi / pemulihan fungsi sumber daya alam dan
lingkungan
hidup
yang
mengalami
kerusakan
melalui
pengembangan kerjasama kemitraan dengan melibatkan berbagai pihak. 6. Pembangunan politik, hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat. a. Mendukung kinerja dan operasionalisasi Instansi penegak hukum dan Badan Narkotika Propinsi (BNP). b. Menjaga independensi penuntasan kasus korupsi dan fasilitasi Kabupaten / Kota dalam mereformasi birokrasi melalui penataan struktur organisasi yang efektif dan efisien. c. Komitmen
untuk
membangun
kebersamaan
segenap
institusi
penanggung jawab keamanan dan ketertiban wilayah bersama masyarakat.
Pengembangan sektor ekonomi diarahkan ke sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif termasuk dalam menghadapi pasar global.
Pengembangan pembangunan ekonomi diarahkan pada “resource based industrialization”, terutama yang berbasiskan sumberdaya alam. Dengan demikian pengembangan agrobisnis dan agroindustri harus menjadi leading sector atau core dalam proses pembangunan, terlebih lagi kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi rakyat (Damanhuri, 2000). Kerjasama antar daerah seperti diamanatkan dalam UU no 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, menghilangkan hambatan/border pembangunan antar daerah, dan meningkatkat efisiensi sumberdaya. Mempermudah pemasaran dan menarik minat investor. Menurut Hirschman (dalam Arsyad, 1999), pembangunan sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya, hal ini dikenal dengan teori strategi pembangunan tidak seimbang seperti pada gambar 1. Y S
a
b
c
Z
d D
C B A
C1 B1
A1
X1
X
Strategi pembangunan tak Tak seimbang Hirscham, Gambar 1 : Strategi Pembangunan Seimbang Hirschamadalah bagaimana menentukan kegiatan yang harus didahulukan yang memerlukan modal dan sumberdaya melebihi modal dan sumberdaya yang tersedia, agar pertumbuhan ekonomi menjadi maksimal. Cara pengalokasian dibedakan menjadi dua yaitu dengan cara pilihan pengganti (substitution choices) cara pilihan penundaan (Postponement choices). Menurut Hirscham cara kedua
pilihan
prioritas
haruslah
dilaksanakan
berdasarkan
penilaian
tingkat
kemampuan dalam mendorong pengembangan kegiatan-kegiatan lainnya pada waktu yang akan datang.
1.2. Tujuan Kegiatan ini bertujuan mengkaji dan menganalisis pengembangan ekonomi pembangunan wilayah Pantai Utara Jawa, khususnya yang tergabung dalam Sapta Mitra Pantura di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Pengembangan ekonomi
pembangunan
yang
dimaksudkan
terutama
kaitannya
dengan
pengembangan produk, investasi, pasar sektor perikanan atau sub-sektor unggulan (perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan) yang tepat dan terpadu sesuai dengan potensi serta karakteristik wilayah.
1.3. Perkiraan Keluaran Keluaran yang diharapkan dari kegiatan analisis kebijakan ini adalah; 1). Data dan informasi tentang sektor perikanan atau sub sektor perikanan unggulan pada wilayah Pantai Utara, khususnya yang tergabung dalam Sapta Mitra Pantura di wilayah Propinsi Jawa Tengah. 2). Pembagian peran pengembangan ekonomi pembangunan dalam bentuk perencanaan pembangunan terpadu untuk wilayah Pantai Utara Jawa, khususnya yang tergabung dalam Sapta Mitra Pantura di wilayah Propinsi Jawa Tengah. 3). Alternatif kebijakan pengembangan model ekonomi pembangunan dalam satu kawasan yang terpadu dan sesuai dengan potensi serta karakteristik wilayah Pantai Utara Jawa, khususnya di Propinsi Jawa Tengah.
II. METODOLOGI
2.1. Pendekatan Studi dan Analisis Pendekatan Studi Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual yang merupakan suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Dunn, 2000). Dengan kata lain, analisis kebijakan adalah proses atau kegiatan mensintesa informasi, termasuk hasil-hasil penelitian, untuk menghasilkan rekomendasi opsi desain kebijakan publik (Simatupang, 2003). Sebagai langkah awal analisis, identifikasi isu adalah proses yang dilakukan untuk menemukan masalah-masalah yang relevan untuk diatasi dengan tindakan kebijakan. Kebutuhan akan identifikasi isu kebijakan dapat muncul dari: perubahan klien atau kebutuhan akan kebijakan baru, munculnya masalah baru dan adanya alternatif pemecahan masalah. Isu kebijakan adalah masalah tantangan dan kesempatan yang hendak diatasi dan atau dimanfaatkan melalui tindakan kebijakan. Dalam studi ini, identifikasi isu dan permasalahan serta kebijakan yang ada ditentukan berdasarkan hasil kunjungan lapangan dan dibantu dengan hasil studi pustaka. Verifikasi isu dan permasalahan dilakukan dengan cara konsultasi dan diskusi beberapa patugas Dinas Kelautan dan Perikanan di wilayah Pantura Jawa Tengah, khususnya Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang, Kabupaten Brebes. Verifikasi lapang dilakukan dengan cara diskusi kelompok terarah (focus group disscussion, FGD) terhadap hasil kajian analisis kebijakan yang dilakukan dan telah teranalisis. Peserta FGD adalah informan kunci dan para pengambil kebijakan yang mewakili kabupaten dan kota di wilayah kajian.
2.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Lokasi studi ditetapkan secara sengaja dengan kriteria sesuai dengan topik kajian yang dilakukan dalam analisis kebijakan ini. Penetapan lokasi
didasarkan kepada kriteria bahwa lokasi pengamatan, observasi atau kunjungan lapang merupakan suatu wilayah yang berada dalam satu kawasan yaitu Pantai Utara Jawa yang berlokasi di wilayah Propinsi Jawa Tengah, yang dikenal dengan istilah Sapta Mitra Pantura. Wilayah tersebut adalah Kabupaten Batang, Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kota Tegal dan Kabupaten Brebes. Waktu penelitian dilaksanakan selama lebih kurang satu bulan dalam periode Desember 2008.
2.3. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data Data yang akan dikumpulkan dan digunakan dalam studi ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dan sekunder berupa semua data dan informasi yang berhubungan dengan hasil pengamatan, observasi, verifikasi dan atau studi pustaka yang berhubungan dengan potensi dan karakteristik wilayah Sapta Mitra Pantura Jawa Tengah. Data sekunder dan primer tersebut merupakan fakta yang harus dikumpulkan baik yang telah tercatat maupun yang harus ditanyakan kepada responden baik pejabat pemerintah yang terkait maupun pelaku kegiatan pengembangan ekonomi pembangunan yang berada dalam wilayah analisis. Dalam studi ini penelitian terhadap bahan pustaka (study literature) dan penelitian lapangan merupakan cara yang penting untuk mengumpulkan faktafakta yang berhubungan dengan analisis kebijakan terutama untuk kepentingan verifikasi suatu hasil rumusan dan evaluasi dalam suatu kegiatan FGD. Oleh karena itu dalam studi ini, pengumpulan data dan fakta juga akan dilakukan menggunakan metoda Desk Study dan Survey (Singarimbun dan Effendi, 1989).
2.4. Pengolahan dan Analisis Data Data hasil studi yang merupakan field notes diolah secara deskriptif yaitu mengubah atau melakukan abstraksi tingkat pertama dari bahannya (bahan lapangan; field notes) ke dalam pernyataan-pernyataan deskriptif dan atau kuantitatif. Data yang telah diolah dan diverifikasi selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan diinterpretasikan secara logis (Nazir, 1988). Kemudian, dilakukan
Content Analysis terhadap kebijakan saat ini terkait program yang dikaji, guna merumuskan opsi kebijakan yang diusulkan berdasarkan hasil kajian dan analisis yang dilakukan dalam kegiatan ini. Dalam verifikasi lapang, metode studi kasus sebagaimana yang dikemukakan oleh Yin (1997), juga digunakan secara representatif sesuai dengan topik kajian, dalam hal ini dilakukan FGD hanya pada wilayah tertentu yang dapat mewakili semua wilayah pengembangan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kebijakan kerja sama antar Daerah Sapta Mitra Pantura/SAMPAN Kerja sama antar daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 195 UU Nomor 32/2004, dewasa ini cukup populer dan menjadi tren kegiatan. Kerjasasama antar daerah tersebut ternyata memiliki daya guna yang strategis, antara lain untuk meningkatkan dan mengembangkan komunikasi, koordinasi, dan kerja sama antar daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah, pemanfaatan, serta pemasaran potensi daerah. Pengembangan ekonomi antar daerah dalam rangka menangkap peluang usaha baik bisnis maupun investasi dalam perspektif regional. Karena itu, diperlukan lembaga bersama sebagai platform dari berbagai kepentingan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi/solusi terhadap berbagai permasalahan termasuk mengantisipasi era globalisasi dalam bentuk lembaga kerja sama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama. Dasar pertimbangannya adalah efisiensi dan efektivitas pelayanan publik secara sinergis dan saling menguntungkan. Di Jawa Tengah dikenal beberapa model kerjasama antar daerah antara lain, di wilayah selatan, kerja sama tersebut telah terbentuk dengan nomenklatur Barlingmascakep. Sementara itu, di wilayah pantura nomenklatur lembaga kerja sama antar daerah disepakati Sapta Mitra Pantura (SAMPAN). SAMPAN berdiri pada 7 Juni 2005 dan mencakup Kabupaten Pekalongan, Kotamadya Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kotamadya Tegal, Kabupaten Brebes, Pemalang dan Batang. Misi yang diusung adalah membangun daerah melalui ekonomi kerakyatan. Visinya,menjadikan ketujuh daerah itu terdepan dalam mengembangkan produk usaha kecil menengah (UKM). Kemudian dijadikan sebutan untuk Lembaga Kerja Sama Regional Managemen yang diorientasikan pada regional marketing di wilayah pantura barat Jawa Tengah. Untuk
menghindari
potensi
konflik
antar
daerah
sebagai
ekses
pelaksanaan otonomi daerah, tujuh kepala daerah di wilayah eks Karesidenan Pekalongan membentuk lembaga kerja sama antar daerah Sapta Mitra Pantura (SAMPAN). Terbentuknya SAMPAN diharapkan diikuti dengan komitmen ketujuh
anggotanya untuk benar-benar melaksanakan apa yang sudah disepakati. SAMPAN diharapkan juga tidak hanya terobsesi di bidang ekonomi saja, tapi juga ke masalah lain yang punya dampak langsung di masyarakat seperti mutu pelayanan. SAMPAN secara operasional dipimpin oleh seorang Regional Manager yang bertanggungjawab atas pengelolaan, pemasaran dan promosi potensi wilayah SAMPAN termasuk didalamnya adalah untuk sektor perdagangan, pariwisata dan penarikan investasi dari dalam dan luar negeri. Dapat dikatakan dalam bidang penarikan investasi ini, SAMPAN juga bertindak selaku Badan Promosi Investasi Regional untuk ke tujuh anggotanya. Dasar pertimbangannya, antara lain karena ketujuh daerah tersebut memiliki kesamaan geografis, budaya, bahasa, dan ikatan emosional atas dasar sejarah pemerintahan lokal eks Karesidenan Pekalongan. Tujuan yang ingin dicapai atas kerja sama antar daerah tersebut, antara lain untuk mewujudkan sinergisitas dan sinkronisasi kebijakan (publik) antar daerah sebagai upaya mengeliminasi bentuk-bentuk ''ancaman pembangunan daerah'' sebagai ekses dari euforia otonomi daerah, seperti egoisme lokal yang menghadirkan potensi konflik antar daerah, persaingan tidak sehat, perbenturan kepentingan, dan kecenderungan disintegrasi. Di samping itu juga dalam untuk mewujudkan kemitraan antar pemda sebagai upaya memperkuat posisi tawar dan meningkatkan daya saing daerah sehingga mampu mengakses pasar regional, nasional, bahkan internasional dalam era globalisasi. Tidak kalah pentingnya, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas baik dalam pemanfaatan sumber daya pembangunan, sinkronisasi dalam penyusunan perda khususnya kegiatan ekonomi dan investasi, serta dalam pemasaran potensi daerah. Sasaran yang hendak dicapai adalah pertumbuhan perekonomian yang signifikan dan merata antar daerah yang pada gilirannya akan mengantar pada peningkatan kesejahteraan di tiap-tiap kabupaten/kota (efek berganda).
Tabel :
Peran Sektor Pertanian (termasuk Perikanan dan Kelautan) Dalam PRDB Daerah tahun 2007 PRDB Pertanian (Termasuk No. Kabupaten/Kota % (Rp. 000) perikanan (Rp.000) 1 Kab. Batang 3110086.51 816914.12 26.27 2 Kab. Pekalongan 3990049.28 767512.39 19.24 3 Kab. Pemalang 4506647.67 1229080.16 27.27 4 Kab. Tegal 3827237.49 639094.32 16.70 5 Kab. Brebes 7269010.25 4037144.74 55.54 6 Kota Pekalongan 2400562.15 255439.67 10.64 7 Kota Tegal 1450041.15 153238.14 10.57 Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2007 Beberapa kabupaten sumbungan sektor pertanian (termasuk perikanan
masih dominan) seperti di Kabupaten Batang, Pemalang dan Brebes, hal ini menggambarkan masih pentingnya sektor tersebut dalam menyumbang pendapatan daerah. Kota-kota lainnya sudah menunjukkan peranan sektor pertanian (termasuk kelautan) relatif kecil dan lebih mengarah ke peranan sektor jasa yang lebih menonjol. Oleh karena itu arah pengembangan investasi juga harus didasarkan pada kondisi tersebut, dimana faktor-faktor sumberdaya masih dominan maka dikembangkan sektor perikanan, namun untuk kota/kabupaten yang memiliki keunggulan fasilitas jasa dan infrastruktur lebih baik maka pengembangan investasi diarahkan pada sektor industri dan jasa.
3.2. Potensi Kelautan Perikanan Sapta Mitra Tujuh wilayah kabupaten/kota pantura memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat banyak, karena ketujuh wilayah tersebut mempunyai garis pantai/daerah laut dan pisisir yang cukup panjang dari ujung barat Kabupaten Brebes sampai dengan ujung timur kabupaten Batang. Potensi perikanan laut/tangkap terdapat disepanjang laut. Beberapa kabupaten/kota di wilayah Pantura Barat Jateng yang tergabung dalam kerjasama antar daerah SAPTA MITRA PANTUTA/SAMPAN, tetap mengandalkan sektor industri, perdagangan dan jasa dalam menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di daerah itu.
Oleh karena itu, tujuh daerah di sana, yakni Brebes, Kota dan Kabupaten Tegal, Pemalang, Kota dan Kabupaten Pekalongan serta Batang, yang tergabung dalam Sapta Mitra Pantura (SAMPAN), sekuat tenaga untuk menarik minat investor guna membuka usaha di daerah itu. Meskipun demikian sektor tradisional yang mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan divisa seperti pertanian (termasuk perikanan dan Kelautan) tetap menjadi prioritas yang penting untuk dikembangkan.
3.3. Arah Kebijakan Investasi Sapta Mitra Pantura Sejak otonomi daerah diimplementasikan di Kabupaten dan Kota, maka hampir setiap daerah berlomba untuk dapat menarik investasi ke wilayahnya masing-masing dengan berbagai daya tarik dan keunggulan yang ditawarkan. Di wilayah eks Keresidenan Pekalongan yang sekarang lebih dikenal sebagai wilayah SAMPAN, usaha untuk menarik investasi ini dilakukan melalui pendekatan Regional Marketing yakni dengan didirikannya sebuah lembaga kerjasama SAMPAN untuk melakukan promosi dan pemasaran investasi serta berbagai potensi daerah wilayah SAMPAN. SAMPAN merupakan refleksi dari kebijakan dan Komitmen Pemerintah Daerah yang Pro Investasi dimana penanganan promosi dan pemasaran investasi dapat dilakukan oleh satu institusi semi swasta yang bekerjasama dengan pihak aparat Pemerintah dalam memberikan pelayanan, kemudahan, aksesibilitas ke Pemerintahan dan informasi potensi yang dibutuhkan para calon usaha investor. Di masing-masing Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah di wilayah SAMPAN telah menerapkan One Stop Service (OSS) bagi para pengusaha dan investor yang hendak menanamkan modalnya. Dengan adanya OSS di masing-masing Kabupaten/Kota ini, maka pengusaha dan calon investor mendapatkan kepastian yang lebih jelas tentang permohonan perijinan yang dibutuhkan untuk melakukan usaha atau menanamkan investasi di wilayah SAMPAN. Kebijakan Pemerintah Daerah yang mendukung Investasi:
1. Komitmen Kepala Daerah untuk meningkatkan investasi. 2. Pelayanan terpadu perjinan investasi. 3. Ketersediaan Tenaga Kerja Terampil dan Terdidik: 4. Masyarakat yang telah industrial minded. 5. Tingkat Upah Regional yang bersaing. 6. Memiliki dua Universitas besar sebagai pensuplai tenaga kerja terdidik. 7. Karakteristik Tenaga Kerja yang kondusif untuk berproduksi. 8. Infrastruktur yang Sangat Memadai: 9. Seluruh Kabupaten Kota dilalui Jalur Utama Pantura ke berbagai tujuan utama kota di Pulau Jawa. 10. Dihubungkan dengan jalur kereta api ke seluruh kota-kota penting di Pulau Jawa. 11. Jaringan telekomunkasi dan air bersih yang cukup bisa diandalkan. 12. Dekat dengan Bandara dan Pelabuhan besar di Jawa Tengah. 13. Memiliki jaringan Hotel berbintang sebagai tempat persinggahan bisnis. 14. Potensi-potensi Lokal yang Menjanjikan: Investasi bidang Kelautan dan Perikanan di wilayah Saptamitra Pantura, lebih diarahkan ke sektor perikana tangkap dan pengembangan industri pengolahan ikan terutama di Kota Pekalongan dan Tegal, hal ini disebabkan karena wilayah pantura merupakan daerah penghasil utama perikanan tangkap. Sedangkan pengembangan perikanan budidaya air tawar lebih diarahkan ke Kabupaten Brebes dan Batang.
3.4. Ekonomi Kerakyatan, Pemberdayaan UKM dalam SAMPAN Tantangan saat ini yang dihadapi daerah adalah bagaimana menghadapi persaingan pasr global yang mengarah pada kecenderungan mekanisme pasar. Kecenderungan
tersebut
bisa
dipandang
dari
sisi
pembangunan
yang
dilaksanakan secara partisipasi aktif, sesuai dengan aturan main yang jelas di masyarakat. Oleh karena itu, perlu dibangun kekuatan ekonomi kerakyatan dengan pola pemberdayaan masyarakat.
SAMPAN diharapkan mampu mengantisipsi persaingan pasar bebas. Tentunya, semua daerah harus meningkatkan daya saing secara bersama dan sinergis, dengan memperhatikan kelebihan dan kekuatan yang ada. Dengan kerjasama antar daerah kekuatan UMKM bisa lebih kuat dan dapat meningkatkan daya saing baik dipasar regional, nasional maupun ekspor. Tentunya, upaya yang dilakukan adalah meningkatkan daya saing melalaui pasar regional maupun nasional. Setelah ada Manajer Regional SAMPAN, peningkatan daya saing diharapkan bisa dilakukan secara lebih konkret. Peluang pasar yang ada harus mampu dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan adanya kerja sama antar daerah. Yang bisa dimanfaatkan secara maksimal di Jateng adalah tidak hanya SDM-nya, tetapi juga potensi alam yang menjanjikan dengan peluang pasar masih terbuka lebar. Dengan SAMPAN yang konsisten, daerah ini pasti bisa berkembang. Ketua Dewan Eksekutif SAMPAN mengatakan untuk mewujudkan SAMPAN dan pameran melalui beberapa tahapan. Seluruh pimpinan daerah menjalankan sosialisasi kelembagaan. "Misalnya melakukan orienstasi medan, data potensi seluruh wilayah UKM masing-masing dan jenis produknya. Pada tahun kedua kami membangun jejaring dengan lembaga lain. Pada tahun kedua SAMPAN, ketujuh pimpinan daerah menyelenggarakan pameran sekaligus meresmikan PPIB. Untuk kelanjutan pada waktu yang akan datang, harus dicari strategi untuk menjual industri wilayah ke pasar nasional maupun internasional. Tapi kendala yang dihadapi UKM di daerah lain, masih dialami SAMPAN. Asosiasi ini juga masih berkutat dengan persoalan klasik, yakni keterbatasan akses ke perbankan. Pada tahap awal arah pencapaian sasaran menurut Regional Manajer Wilayah III SAMPAN sasarannya masih regional Jawa Tengah, meski dari sisi kemampuan industri, UKM di wilayah SAMPAN cukup mapan. Keseriusan dan kebersamaan SAMPAN, mulai menarik menarik investor untuk menanamkan modalnya diwilayah tersebut. Dari hasil pameran sudah
terlihat
pencapaian
investasi
maupun
keterlibatan
perbankkan
dalam
menyalurkan modal usaha melalui kredit. Hasil-hasil dari pameran, antara lain : 1. Kesepakatan Pelaksanaan Kegiatan Antara SAMPAN dan GLG –GTZ 2. Pasar Lelang Forward SAMPAN III mencapai nilai 13.8 M 3. Gelar Investasi dan Perdagangan Dihadiri 17 Investor dan dan dicapai 3 LOI 4. Kontak Bisnis Hasilkan 5 Kerjasama 5. Bursa Kredit Perbankan Capai 920 Juta Rupiah
SAMPAN sudah saatnya mengadakan pameran di Ibu Kota, jangan hanya berani pada tingkat lokal maupun regional. Dia memuji konsep SAMPAN yang sebelumnya dipergunakan UKM Jepang. Meski tidak sama persis, di Jepang, ada satu desa yang khusus memproduksi satu komoditi dan akhirnya menjadi kekuatan nasional.
3.5. Kegiatan Pendukung Sapta Mitra Pantura a.
Pasar Lelang Komoditas Agro Untuk mendukung terwujudnya tercapainy tujuan kerjasama antar daerah,
beberapa upaya yang dilakukan, antara lain menyelenggarakan Pasar Lelang Komoditas Agro Sapta Mitra Pantura di tujuh kabupaten/kota dan berbagai kota lain di Jawa Tengah termasuk Soropadan, Kabupaten Temanggung. Di samping itu juga menghadirkan investor nasional ataupun internasional untuk melihat dan mengamati potensi-potensi SAMPAN secara langsung di tujuh daerah serta mengupayakan keterwujudan kesepakatan investasi atau kontrak kerja
sama/bisnis
antara
users
dan
buyers.
Upaya
lainnya
dengan
mengupayakan terbangunnya situs SAMPAN untuk memasarkan potensi dan produk wilayah secara online dengan internet. Upaya lain yang tidak kalah penting adalah menjalin hubungan kerja sama dengan dengan lembaga donor nonpemerintah, seperti UNDP dan Partnership for Governance Reforms in Indonesia. Kerjasama dengan dilakukan dengan berbagai pihak antara lain
perbankan,
Kadin,
Badan
Pengawas
Perdagangan
Berjangka
Komoditi
(Bappepti), Disperindagkop provinsi dan kabupaten/kota, lembaga pemerintah lain, serta lembaga dunia usaha nasional dan internasional. Kerjasama juga dilakukan dengan biro-biro pengelola jasa transportasi perhubungan, seperti travel, bus-bus wisata, PT MNA, PT Garuda, dan perusahaan pengelola jasa perhubungan laut. Di samping itu, juga dengan media massa, seperti RRI/radio swasta dan TVRI/TV swasta. Dengan terbentuknya SAMPAN tersebut, diharapkan berbagai potensi yang ada di tujuh wilayah kabupaten/kota di pantura barat dapat didayagunakan secara optimal dan maksimal dengan kepentingan rakyat banyak.
b. Pusat Layanan dan Informasi Bisnis/One Stop Services (OSS) OSS Center adalah sebuah institusi yang memberikan dukungan pengembangan satuan kerja layanan perijinan terpadu atau lebih dikenal dengan istilah One Stop Services atau dengan kata lain sebuah satuan kerja di tingkat pemerintahan kota/kabupaten yang secara memberikan pelayanan untuk memproses berbagai
dokumen
publik, khususnya perizinan usaha dan
investasi. Perizinan usaha dan investasi yang selama ini mengandung konotasi negatif : terlalu banyak, berbelit-belit, membutuhkan waktu lama dan mahal, diharapkan akan dapat lebih disederhanakan melalui pelayanan satu atap satu pintu (terpadu) yang memangkas beban administratif bagi pemerintah daerah dan memudahkan pelaku usaha mendapatkan akses sumberdaya untuk pengembangan usahanya. Tujuan dari dibentuknya OSS untuk memberikan kemudahan pada dunia usaha karena dapat menciptakan iklim kondusif yang dapat meningkatkan kegairahan dunia usaha. Disamping melayani perizinan, OSS dapat dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah daerah untuk memberikan semua informasi yang dibutuhkan masyarakat. Melalui OSS dengan seluruh kelengkapannya, pengurusan perizinan usaha akan menjadi mudah dan murah yang membuat pelaku usaha terhindar dari biaya ekonomi tinggi yang biasanya terjadi pada saat proses pengurusan izin.
Prinsip Pelayanan OSS -
Mudah, efesien dan ekonomis
-
Realibilitas, tanggung jawab dan kecakapan petugas
-
Kemudahan akses, ramah dan terbuka
-
Komunkasi petugas dan pelanggan
-
Kejelasan dan kepastian
3.6. Peran Sektor Kelautan dan Perikanan a.
Perikanan Tangkap Laut dan Industri Pengelahan Sebagai daerah pesisir pantai, wilayah SAMPAN merupakan kawasan
strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover pengembangan daerah investasi. Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat SAMPAN karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya. Definisi wilayah pesisir seperti di atas memberikan suatu pemahaman bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam. Wilayah pesisir kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan lautan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi : Perikanan dengan potensi 390 ribu ton/tahun yang tersebar pada 7 titik
1.
penangkapan ikan Pariwisata bahari yang diakui dunia dengan keberadaan 7 spot
2.
potensial Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity)
3.
sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan “ecotourism” Ketujuh wilayah kebupate/kota yang tergabung dalam kerjasama SAPTA MItra Pantura, semuanya memiliki wilayah laut dengan potensi ikan yang cukup besar. Beberapa TPI dan Pelabuhan Perikanan terdapat diwilayah ini. Di Pekalongan terdapat Pelabuhan Perikanan Nusantara dan beberapa TPI di setiap Kabupaten.
Tabel 1 . Produksi dan Nilai Perikanan Tangkap Tahun 2006 No.
1 2 3 4 5 6 7
Kabupaten
Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Pekalongan Kota Tegal Jumlah
Produksi (ton) 20,293.40
Perikanan Tangkap Jmlh Kapal/ Nilai (Rp.000) Perahu 5,985,411.70 831
Jmlh TPI 4
1,842.70
8,628,195.00
506
2
14,471.80 493.90 1,774.40
54,395,320.00 3,711,324.20 5,644,544.90
1,313 428 2,621
5 3 8
34,641.90 20,816.10
168,609,441.80 94,798,749.30
782 1,034
1 3
94,334.20
341,772,986.90
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, 2007 Kota Pekalongan dan Kota Tegal merupakan penghasil utama produk perikanan tangkap diwilayah Sapta Mitra karena ada pelabuhan Perikanan yang besar yang mampu menampung kapal-kapal dengan ukuran lebih dari 30 GT. Dikota Pekalongan terdapat PPNP yang dikelola oleh Instansi pusat, dipelabuhan tersebut terdapat fasilitas-fasilitas pelabuhan yang sangat lengkap antara lain : Dermaga, tempat pelelangan ikan, cool storage dan fasilitas bisnis lainnya.
Kota Tegal. Potensi sumberdaya perikanan Kota Tegal didominasi oleh kegiatan perikanan tangkap yang beroperasi di wilayah perairan pantai dan lepas pantai dengan sistem pemasaran pertama di Tempat Pelelangan Ikan (TPI Pelabuhan, TPI Tegalsari dan TPI Muarareja). Pusat Pendaratan Ikan Tegalsari di Kota Tegal mulai tahun 2000 telah dikembangkan menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), yang mampu melayani kapal- kapal perikanan yang ukuran bobotnya mencapai 30-50 GT Berdasar
data
demografi
sebanyak
12.045
penduduk
Tegal
bermata
pencaharian sebagai nelayan. Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Tegalsari Kota Tegal sangat potensial untuk dikembangkan karena saat ini baru memanfaatkan 40 % dari luasan total (12 ha) yang ada. Hal itu juga didukung oleh sarana dan prasarana yang ada saat ini, diantaranyaadalah : a. Penyediaan fasilitas perikanan PPP Tegalsari b. Aktivitas bongkar muat c. Aktivitas tambat labuh d. Aktivitas pemenuhan kebutuhan perbekalan e. Aktivitas penanganan pasca produksi (Fish Handling) Industri makanan olahan berbahan baku ikan yang ditawarkan berbahan baku fillet ikan dengan jenis produk: bakso ikan, nugget ikan, maupun jenis makanan olahan lainnya. Melimpahnya hasil tangkapan ikan nelayan di Kota Tegal merupakan faktor pendukung keberhasilan usaha ini. Fillet ikan merupakan salah satu produk unggulan Kota Tegal yang banyak diminati oleh konsumen. Sedikitnya ada 35 pengolah fillet ikan skala rumah tanggadengan produksi total sebesar 12-15 ton/hari. Selain fillet ikan terdapat usaha perikanan skala rumah tangga lainnya. Kota Tegal sebagai daerah pantura mempunyai potensi industri pengolahan hasil perikanan yang cukup melimpah, khususnya adalah fillet ikan. Pengusaha yang bergerak dibidang ini banyak dijumpai di desa Tegalsari Kecamatan Tegal Barat (30 pengusaha),dengan kapasitas sebesar ± 425 ton pertahun. Sebagi ilustrasi gambaran bentuk investasi sektor kelautan dan perikanan (Pengolahan Industri Fillet Ikan di
Kota Tegal)
dengan Analisis
keuangan sebagai berikut (sumber pusat informasi investasi Jawa Tengah):
Biaya Investasi : Rp. 12.014.346.000 (US$ 1,334,927) NPV : Rp. 33.067.729.900 (US$ 3,674,192) IRR : 44,92% Payback Period : 2 tahun 2 bulan Catatan: Discounted rate 16%, US $ 1 = Rp 9.000 Dalam investasi ini Pemerintah Daerah memberikan Insentif dari pemerintah daerah kepada investor berupa :
1. Pembebasan lahan difasilitasi Pemda. 2. Pembebasan perijinan (Ijin prinsip, lokasi, KRK, Bentuk investasi adalah investasi muni dengan status tanah Tanah milik Pelindo III Cabang Tegal dan disewa oleh Pemda Tegal dengan harga sewa sesuai dengan harga pasar.
Tabel : Perbandingan Produksi dan nilai Produksi Perikanan Tegal dan Jawa Tengah tahun 2002-2006
No 1 2 3 4 5
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006
Tegal Produksi 31,741,089 27,714,963 27,117,315 22,271,411 20,573,787
Nilai 107,245,005,500 91,921,096,000 89,914,814,500 88,656,815,500 94,333,559,500
Jawa Tengah Produksi Nilai 281,267.00 1,122,530,172.00 236,235.00 773,621,117.00 322,000.00 1,830,000,000.00 190,935.30 780,525,818.80 181,533.20 774,094,647.00
Sumber : Tegal Dalam Angka dan Jawa Tengah dalam ANgka 2003-2007
Kota Pekalongan Penangkapan ikan dimaksudkan sebagai usaha penangkapan ikan di laut dengan kapal dan berbagai alat tangkap baik dari jenis jaring maupun pancing. Jenis ikan yang ditangkap antara lain : kakap, tuna, lemuru, layur, cumi -cumi, kembung, tengiri dan lain - lain untuk eksport maupun konsumsi segar dan industri lokal.
Prospek pengembangan perikanan tangkap didukung oleh ketersediaan pelabuhan pendaratan ikan ( PPI ) dan tempat pelelangan ikan ( TPI ) yang telah dikenal oleh pedagang ikan di beberapa kabupaten sekitar Kota Pekalongan. Hasil wawancara dengan pedagang ikan yang mengikuti lelang ikan menunjukan bahwa permintaan ikan jauh lebih besar dibanding suplai ikan yang mendarat di PPI Kota Pekalongan. Disamping itu industri berbahan baku ikan di Kota Pekalongan telah banyak berkembang seperti terlihat pada tabel berikut :
Tabel : Industri Pengolahan Ikan di Pekalongan
No
Jenis Usaha
Jumlah Unit
Tenaga Kerja
Produksi
Industri
(Ton)
1
Pengasinan
33
721
27.720
2
Pemindangan
16
165
8.880
3
Pengasapan
15
50
7.992
4
Pembekuan
10
53
7.740
Sumber :
Dari tabel di atas terlihat bahwa kebutuhan ikan untuk pemenuhan kebutuhan industri berbahan baku ikan di Kota Pekalongan diperlukan sekitar 44.421 ton. Eksport ikan merupakan sektor terpenting kedua setelah batik dan pakaian jadi. Eksport ikan Kota Pekalongan meliputi ikan kakap, tuna dan jenis ikan lain yang menghasilkan nilai diatas satu juta US $. Eksport tersebut menurun karena terbatasnya hasil tangkapan yang berlabuh di PPI KOta Pekalongan.
Pengembangan
perikanan
tangkap
juga
didukung
oleh
pertumbuhan konsumsi ikan nasional maupun global. Konsumsi ikan nasional maningkat sekitar 4 % per tahun dan konsumsi dunia meningkat sekitar 3 %. Konsumsi ikan yang terus meningkat baik ditingkat nasional maupun dunia merupakan pasar yang cukup prospektif bagi pengembangan usaha perikanan tangkap. Hal
ini
juga
sesuai
dengan
kebijakan
pemerintah
untuk
terus
meningkatkan pemberdayaan sektor kelautan terutama sumber daya perikanan. Skala Usaha : Gambaran investasi unit penangkapan ikan dapat digabarkan sebagai berikut : 1 unit kapal 5 - 10 GT, dengan unit usaha yang dapat dikembangkan sekitar 50 kapal. Kapasitas Produksi : 49,5 ton / tahun / kapal. Lokasi : Perairan Jawa, Sumatera. Jenis ikan yang ditangkap meliputi : ikan kakap, tuna, kerapu, kembung, ekor kuning, bawal, selar dan cumi - cumi ; 2 Kebutuhan sarana produksi berupa kapal berukuran 5 - 10 ton GT, alat tangkap berupa jaring insang dan pancing. Disamping itu diperlukan pula bahan bakar motor kapal, es batu dan garam untuk pengawetan ikan, demikian pula akomodasi awak kapal untuk melayar sekitar 1 minggu ; 3 Kebutuhan tenaga
kerja 8 – 19 orang utnuk satu kapal. Kebutuhan Investasi : 1: Biaya Investasi : Rp.
87.500.000,-
2:
Modal
Kerja
:
Rp.
7.500.000,-
3:
Total
Biaya
Pengembangan : Rp. 95.500,000,- Profitabilitas Finansial : 1, Return On Investment ( ROI ) : 2,44; 2. Internal Rate of Return ( IRR ) : 30 % 3. Net Present Value ( NPV ) : Rp. 20.337.393, 4. Payback Period : 3 Tahun 5 Bulan; 5. Break Even Point ( BEP ) : 40,74 ton 6. Benefit Cost Ratio ( BCR ) : 12,90; 7. Profitability Index ( PI ) : 1,28 b. Perikanan Tambak Selain perikanan tangkap produk lainnya berupa hasil perikanan tambak budidaya sepanjang pantai pantura di wilayah ke tujuh kabupaten/kota, produk perikanan tambak sebagain besar berupa bandeng dan udang. Gambaran produksi dan nilai produksi tambak tahun 2006 seperti pada tabel 2. Tabel 2. Produksi dan Nilai Usaha Tambak Tahun 2006 No. Kabupaten Luas Tambak 1 2 3 4 5 6 7
Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Pekalongan Kota Tegal Jumlah
Perikanan Tambak Produksi (ton) Nilai (Rp.000) 604.20 9,807,527.00 908.10 7,792,850.00 2,288.10 23,403,005.00 151.10 902,722.00 20,657.60 396,823,054.00 114.20 1,029,100.00 176.50 1,418,722.00 24,899.80 441,176,980.00
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka, 2007. Dilihat dari produksi dan nilai produksi Kabupaten Brebes dan Kabupaten Pemalang merupakan produsen utama produk perikanan tambak. Oleh karena itu kedua kabupaten tersebut c. Perikanan Budidaya Air Tawar Sumberdaya perikanan budidaya, terutama berasal dari perikanan kolam, karamba, waduk dan sungai. Jenis ikan terutama adalah jenis ikan konsumsi seperti ikan nila, emas, lele dsb. Produksi perikanan budidaya perikanan kolam
terutama dihasilkan oleh kabupaten batang dan kabupaten Brebes. Sedangkan dari waduk dan karamba prosuksi ikan dihasilkan oleh Kabupaten Brebes. Produksi perikana n hasil karamba dan waduk masih sangat kecil, sehingga potensi yang ada masih terbuka untuk dikembangkan terutama perikanan karamba di waduk dan penangkatan ikan
diwaduk.
Namun demikian
pengembangan waduk untuk karamba jaring apung harus direncanakan dan didesain yang baik untuk menghindari tercemarnya waduk oleh limbah pakan ikan seperti yang terjadi di jaring apung waduk-waduk di Jawa Barat. Tabel
No.
1 2 3 4 5 6 7
: Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Air Tawar wilayah Sapta Mitra Pantura Tahun 2006
Kabupaten
Kab. Batang Kab. Pekalongan Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes Kota Pekalongan Kota Tegal Jumlah
Perikanan Kolam Produksi (ton) 398.40 61.10 60.20 114.10 151.00 8.70 6.90 800.40
Nilai (Rp.000) 3,284,904 525,063 464,074 597,424 1,445,100 71,800 49,180 6,437,545
Karamba Produksi (ton) 0.1 3.2 3.30
Nilai (Rp.000) 1,000 31,500 32,500
Perairan Umum Waduk Produksi (ton) 47.10 1,701.10 1,748.20
Nilai (Rp.000) 229,410 13,199,742 13,429,152
Sungai Produksi (ton) 166.9 186.9 400.1 14.90 155.50 48.8 2.7 975.80
Sumber : Jawa tengah Dalam Angka 2007 Dari data statistik tersebut kabupaten Brebes mempunyai produksi paling besar. Dengan dukungan sumberdaya yang masih memungkinkan untuk ditingkatkan maka pengembangan perikanan budidaya lebih diarahkan untuk dikembangkan di Kabupaten Brebes, meskipun tana mengesampingkan potensi kabupaten lain. 3.7. Strategi Pengembangan Sapta Mitra Pantura : Jawabatn Tantangan Ke Depan Kerjasama antar daerah Sapta Mitra Pantura yang meliputi 7 (tujuh) kabupaten dan kota di wilayah Jawa Tengah Bagian utara, seperti diamanatkan dalam UU no 34 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, dimaksudkan untuk
Nilai (Rp.000) 956,845 1,493,055 2,121,730 53,400 1,023,276 292,750 17,900 5,958,955
mempercepat
pertumbuhan
pembangunan
antar
ekonomi,
daerah,
dan
menghilangkan
meningkatkat
hambatan/border
efisiensi
sumberdaya.
Mempermudah pemasaran dan menarik minat investor. Sebagi bentuk kerjasama antar daerah maka diperlukan manajemen yang kuat untuk dapat menghilangkan kelemahan utama dalam era otonomi daerah yaitu adanya kepentingan daerah (ego daerah) yang mengedepankan kepentingan daerah lebih tinggi. Oleh karena itu manajemen regional yang diterapkan dalam sapta mitra pantura harus didukung sepenuhnya oleh semua pihak yang terkait. Pengembangan
investasi
harus
diarahkan
sesuai
dengan
peta
sumberdaya lokal yang tersedia dengan dukungan fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Beberapa kajian dan kebijakan baik aspek produksi, investasi dan sumberdaya dapat digolongkan sebagai berikut : 1.
Pengembangan perikanan tangkap skala menengah dan besar lebih diarahkan
ke
Kota
Pekalongan
dan
Tegal,
karena
didukung
fasilitas/sarana dan infrastruktur yang memadai dan layanan jasa yang tersedia. Kabupaten lainnya lebih diarahkan untuk pengembangan nelayan skala kecil, hal ini didukung fasilitas TPI dan fasilitas lelang yang ada dengan kapasitas yang relatif lebih kecil. Serta dukungan fasilitas dan infrastruktur yang belum begitu maju. 2.
Pengembangan insutri penglahan hasil perikanan lebih banyak di arahkan ke kota Tegal dan Pekalongan karena dekat dengan sumber ikan dan fasilitas dan infrastruktur yang baik, serta jaringan pemasaran yang lebih memadai.
3.
Perikanan budidaya air tawar lebih diarahkan berkembang di kabupaten Brebes, Pemalang dan Batang karena di ketiga kabupaten tersebut banyak sumberdaya yang dapat mendukung pengembangan perikanan budidaya.
4.
Usaha perikanan tambak masih banyak kendala baik teknis maupun non teknis. Secara teknis banyak tambak yang tidak memenuhi persyaratan, sehingga budidaya tambak sering gagal. Saluran dan fasilitas tambak sudah banyak yang rusak.
V.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
5.1.
Kesimpuln
5.2.
Implikasi Kebijakan
DAFTAR PUSTAKA Aninomous, 2007. Jawa Tengah Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah dan Bappeda Propinsi Jawa Tengah. Dunn, William N., 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 687 p. Nazir, Moh., 1988, Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Simatupang, P., 2003. Analisis Kebijakan: Konsep Dasar dan Prosedur Pelaksanaan. Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. I (1): 14-35. Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Penerbit LP3ES. Jakarta. Yin, R., 1997. Studi Kasus (Desain dan Metode). Rajawali Press. Jakarta.