Konservasi: Pilar Pembangunan Kelautan dan Perikanan Menuju Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan bagi Kesejahteraan Masyarakat Agus Dermawan, Syamsul Bahri Lubis, Suraji 1 Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan tidak akan pernah terlepas dari fungsi konservasinya. Bahkan konservasi telah diyakini sebagai upaya penting yang mampu menyelamatkan potensi sumberdaya tetap tersedia dalam mewujudkan perikehidupan lestari yang menyejahterakan. Pengelolaan secara efektif kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan akan mampu memberikan jaminan dalam efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam, sebagai sumber yang efektif menyokong pemanfaatan lain secara ramah lingkungan, serta dapat menumbuhkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal. “Konservasi telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan”. SEJARAH PERKEMBANGAN Upaya konservasi perairan di Indonesia tumbuh selaras dengan pembangunan nasional di bidang konservasi sumberdaya ikan, tuntutan masyarakat pesisir serta perkembangan konservasi dunia yang berwawasan global. Kesadaran konservasi di Indonesia bahkan telah muncul jauh sebelum masa penjajahan belanda, hal ini ditunjukan, misalnya pada abad ke-13 (zaman majapahit) telah muncul undang-undang yang mengatur pengelolaan air dan terbitnya ordonansi tentang pengaturan satwa liar pada zaman penjajahan Belanda. Perjalanan konservasi di Indonesia terus bergulir pada masa sebelum kemerdekaan, dan orde-orde pemerintahan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga kini, jejak kearifan lokal dalam mengelola sumber daya laut masih berjalan di beberapa desa pesisir. Di Sulawesi Utara, misalnya, masyarakat Sangihe-Talaud memiliki tradisi eha laut sebagai masa jeda panen ikan selama tiga hingga enam bulan. Usai eha, dilakukan upacara mane’e, sebuah pola pemanenan ikan tradisional yang telah disepakati bersama oleh para tetua adat. Maluku dan Irian juga memiliki aturan adat yang dinamakan sasi yang mengatur tata cara pemanenan ikan dengan sistem buka tutup (open and close system), serta banyak contoh kearifan tradisional lainnya di berbagai daerah. Pemerintah Indonesia telah menyadari pentingnya kawasan konservasi perairan dalam mendukung pelestarian sumberdaya kelautan dan pesisir, hal ini tercermin dalam deklarasi kawasan konservasi laut pertama tahun 1973 di Pulau Pombo, Maluku.
1
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Ditjen KP3K, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Perjalanan regulasi di bidang konservasi dan pengelolaannya juga tidak kalah dinamis. Hal ini sudah dimulai pada zaman kerajaan dengan “kitab-kitab-nya” hingga terbit beberapa Undangundang, turunan undang-undang serta perubahannya. Perkembangan pemahaman konservasi saat ini, sangat maju dan telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman konservasi sebelumnya, khususnya yang terkait pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan, sebagaimana sering menjadi momok, khususnya bagi masyarakat nelayan. Begitu pula halnya dengan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dan masyarakat pesisir memiliki kewenangan pengelolaan dan tanggung jawab yang jelas untuk menjaga, melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya pesisir di sekitarnya secara berkelanjutan. Sejarah kegiatan konservasi Indonesia telah dimulai sejak lama, bahkan sebelum Indonesia berada dalam pendudukan Belanda. Masyarakat Indonesia sudah secara turun temurun secara arif memanfaatkan sumberdaya alam sekitar. Banyak bukti di masyarakat tentang pemanfaatan lestari sumberdaya alam ini, seperti adanya panglima laot di Aceh, lubuk larangan di Sumatera, kelong di Batam, mane’e di Sulawesi Utara, sasi di Maluku dan Papua, awig-awig di Lombok. Deskripsi evolusi program-program konservasi di Indonesia ini selanjutnya sebagian besar disadur dari Mulyana dan Dermawan (2008). Di jaman pendudukan Belanda, sejarah konservasi dimulai pada tahun 1714 ketika Chastelein mendonasikan 6 ha tanah di daerah Banten untuk dijadikan cagar alam. Setelah itu, suaka alam pertama di Cibodas dideklarasikan secara resmi oleh Direktur Kebun Raya Bogor pada tahun 1889 dalam rangka melindungi hutan serta flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Pada tahun 1913, dibawah pimpinan Dr. S.H. Koorders, Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda mengajukan 12 kawasan perlindungan, yaitu Pulau Krakatau, Gunung Papandayan, Ujung Kulon, Gunung Bromo, Nusa Barung, Alas Purwo, Kawah Ijen beserta dataran tingginya, dan beberapa situs di daerah Banten. Dalam bidang konservasi perairan, pada tahun 1920 keluar Staatsblad No. 396 dalam rangka melindungi sumberdaya perikanan dan melarang penangkapan ikan dengan bahan beracun, obat bius, dan bahan peledak. Setelah itu keluar staatsblad No. 167 Tahun 1941 tentang penataan cagar alam dan suaka margasatwa. Sejak saat itu, sampai masa pendudukan Jepang, dan dua puluh tahun setelah merdeka, Indonesia masih mewarisi langkahlangkah konservasi dari pemerintah Hindia Belanda. Beberapa perkembangan yang signifikan di era ini diantaranya kemudahan kegiatan penelitian laut, riset kelautan melalui operasi Baruna dan Cenderawasih, dan konsep Wawasan Nusantara melalui Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 yang diperkuat dengan UU No. 4 tahun 1960. Pada tahun 1971 dibentuk Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam dibawah Departemen Pertanian sebagai bentuk keseriusan pemerintah terhadap kegiatan perlindungan alam. Dan pada tahun 1973 Indonesia ikut meratifikasi CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Flora dan Fauna) dan dikukuhkan melalui Kepress No. 43 Tahun 1978. Selama kurun waktu 1974 – 1983, pemerintah Indonesia mendapatkan bantuan dari FAO untuk mengelola Program Pengembangan Taman Nasional. Dalam rentang waktu tersebut, pemerintah meresmikan 10 Taman Nasional baru. Selain itu terbentuk pula Departemen Kehutanan dan Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, yang sekarang dikenal dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Langkah besar dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelesatrian Alam (PHPA) Departemen Kehutanan pada tahun 1984, yaitu merilis Sistem Kawasan Pelestarian Bahari Nasional yang berisi kerangka kerja bagi berbagai aktifitas perlindungan perairan, dasar-dasar pemilihan dan penetapanya, serta daerah-daerah prioritas pengembangan daerah konservasi laut. Nilai penting sumberdaya perairan dalam pembangunan nasional mulai dimasukkan dalam Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN) 1998. Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa wilayah pesisir, laut, daerah aliran sungai, dan udara harus dikelola dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alamnya. Pengelolaan areal laut secara khusus harus ditingkatkan supaya berdaya guna dan berkelanjutan. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya mendapat dukungan secara hukum dengan disahkannya UU No. 5 Tahun 1990, yang mengatur seluruh aspek perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistem. Menurut peraturan ini, konservasi dilakukan dengan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Undang-undang ini juga menggeser paradigma pelestarian yang hanya bertumpu pada pencadangan area menjadi konservasi ekosistem, spesies, dan genetik. Pengembangan kawasan konservasi perairan terus berkembang sejalan dengan waktu. Sampai dengan 1997 Indonesia telah memiliki lebih dari 2,6 juta perairan yang masuk dalam 24 kawasan konservasi, enam diantaranya sebagai taman nasional yaitu Kepulauan Seribu, Karimunjawa, Teluk Cenderawasih, Bunaken, Wakatobi, dan Takabonerate. Pembagian jenis kawasan konservasi semakin jelas dengan keluarnya PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Dalam PP tersebut dijelaskan bahwa KSA terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, sedangkan KPA terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Sumberdaya pesisir dan laut mendapat perhatian lebih besar dengan berdirinya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan pada tahun 1999, yang kemudian berubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan dan terakhir berubah nama menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Untuk menangani kegiatan-kegiatan konservasi sumberdaya pesisir dan laut, kementerian membentuk Direktorat Konservasi dan Taman nasional Laut (KTNL) yang kemudian berubah menjadi Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (Dit. KKJI). Pada awalnya, Dit. KKJI mengembangkan konsep-konsep konservasi dan memfasilitasi upaya konservasi di daerah, yaitu dengan mengembangkan Kawasan Konservasi Laut yang sering disebut dengan nama Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), walaupun dalam perjalanan regulasi aturan tidak ada istilah konservasi perairan laut yang meng-address KKLD. Istilah yang dikenal perundang-undangan adalah kawasan konservasi perairan (KKP) dan/atau kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (KKP3K). Saat ini telah banyak inisiatif pemerintah daerah mengembangkan konservasi kawasan di perairan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil dalam upaya meningkatkan luasan kawasan konservasi menuju pegelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. PARADIGMA DAN PEKEMBANGAN KONSERVASI Pengelolaan ekosistem melalui upaya konservasi telah dipahami sebagai upaya seimbang untuk perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan. Satu atau lebih tipe ekosistem dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang dalam pengelolaannya dilakukan dengan sistem zonasi. Paradigma dan Pengelolaan kawasan konservasi perairan di Indonesia menapaki era baru, setidaknya terdapat dua poin. Poin pertama, dalam hal kewenangan pengelolaan kawasan konservasi, kini tidak lagi menjadi monopoli pemerintah pusat melainkan sebagian telah terdesentralisasi menjadi kewajiban pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut. Poin kedua, adalah pengelolaan kawasan konservasi dengan sistem ZONASI, Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem ZONASI. Merujuk UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU No. 45 tahun Berdasarkan PP No. 60/2007 pasal 1. Kawasan konservasi perairan (KKP) didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan
2009) dan PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, sedikitnya ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di
IUCN – The Conservation Union, mendefinisikan kawasan konservasi laut sebagai suatu area atau daerah di kawasan pasang surut beserta kolom air di atasnya dan flora dan fauna serta lingkungan budaya dan sejarah yang ada di dalamnya, yang diayomi oleh undang-undang untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan yang tertutup.
dalam kawasan konservasi perairan
Lebih lanjut, menurut UU 27/2007, Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
yakni:
zona
inti,
zona
perikanan
berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. UU No 27 tahun 2007 dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah ubah dengan UU no 1 tahun 2014
juga mengatur zonasi di kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Aturan ini membagi kedalam 3 (tiga) zona, yaitu Zona Inti, Zona Pemanfaatan terbatas dan Zona lainnya, dimana dalam zona pemanfaatan terbatas dapat digunakan untuk pemanfaatan di bidang perikanan dan pariwisata. Perlu digarisbawahi bahwa zona perikanan berkelanjutan tidak pernah diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi terdahulu. Seiring dengan perkembangan desentralisasi, konservasi tidak lagi hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat saja, Pemerintah daerah juga diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Sistem zonasi yang memberi ruang pemanfaatan untuk perikanan berkelanjutan dan pariwisata bahari serta kewenangan desentralisasi pengelolaan telah menjadi paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Pengaturan sistem zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat lokal, khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak dilakukan. Peran Pemerintah pusat dalam konteks ini, hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Tentu bukan hal yang mudah bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menghilangkan paradigma lama yang melekatkan pemahaman umum yang menilai pengelolaan kawasan konservasi secara sentralistik, tertutup, hanya larangan serta menihilkan partisipasi masyarakat dalam konteks pemanfaatannya. Upaya sosialisasi dan peningkatan pemahaman serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi terus dilakukan termasuk upaya nyata mengimplementasikan blue economy dalam pengelolaan kawasan konservasi yang menyejahterakan.
Manfaat konservasi telah nyata meningkatkan produksi perikanan tangkap, utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik seperti spill-over, ekspor spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan ikan, ekspor larva ikan dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan, sehingga mampu mencegah kolaps tangkapan. Kawasan konservasi yang dikelola secara Kawasan konservasi perairan (KKP) laut secara individu maupun jaringan merupakan alat utama dalam melindungi keanekaragaman hayati perairan laut. Namun, kesepakatan tentang seberapa besar habitat yang harus dilindungi keanekaragaman hayati lautnya dalam menjamin konektivitas ekologi belum ada kata putus. Di Indonesia, diharapkan sedikitnya 10 persen dari luasan KKP dijadikan zona inti untuk perlindungan mutlak habitat sumberdaya ikan. Lebih lanjut, dengan pengelolaan yang konsisten selama beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan ikan di luar kawasan konservasi meningkat 40 persen. Manfaat KKP terkait dengan perikanan, utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik, seperti spillover, ekspor spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan ikan, ekspor larva ikan dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan. Manfaat KKP kepada perikanan tersebut sangat tergantung kepada strategi tingkah laku spesies ikan target, dan desain dari KKL sendiri, termasuk lokasi, ukuran, dan bentuknya. Manfaat lainnya untuk perikanan yaitu adanya peningkatan stabilitas perikanan. KKP juga bermanfaat untuk pariwisata bahari yang mampu mendorong terciptanya mata pencaharian alternatif bagi masyarakat sekitarnya maupun pendapatan daerah. Beberapa Bukti lapangan tentang dampak KAWASAN KONSERVASI laut bagi Perikanan, antara lain: Misalnya: Dari 110 spesies yang tercatat di dalam wilayah terumbu karang yang dilindungi, 52 di antaranya tidak dijumpai di wilayah penangkapan (McClanahan 1994 in Roberts & Hawkins 2000). Contoh pengelolaan kawasan konservasi di Bintan, melalui program coremap telah dikembangkan mata pencaharian alternative pengelolaan kepiting bakau di KKP. Hasilnya cukup lumayan, bahkan dapat dijadikan wisata saat pemanenannya (wisata kuliner/seafood kepiting). Di Raja Ampat, dikelola dengan sistem Pungutan Konservasi berupa PIN bagi pengunjung KKP untuk kegiatan menyelam, dll. Demikian pula di beberapa daerah seperti BERAU, Nusa Penida - KLUNGKUNG, Pangumbahan SUKABUMI, Pesisir timur Pulau Weh - SABANG, Selat Pantar – ALOR, selain dampak perikanan, praktek pengelolaan konservasi telah nyata memperbaiki kualitas ekosistem, meningkatkan kunjungan wisata bahari dan menyumbangkan PAD bagi daerahnya. Hal yang sama juga terjadi di beberapa daerah lainnya. Beberapa cuplikan tentang dampak wilayah perlindungan laut di wilayah Indo-Pasifik berdasarkan negara. Indonesia. Biomassa dan rata-rata ukuran spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar wilayah perlindungan kecil di Sulawesi Utara (Blongko and Kakarotan) (McClanahan et al. 2006). Papua New Guinea. Biomassa dan rata-rata ukuran spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar wilayah perlindungan yang dikelola secara tradisional (Muluk and Ahus) (McClanahan et al. 2006). Pilipina. Biomassa predator ukuran besar meningkat 8 kali di wilayah perlindungan Apo. Di wilayah penangkapan, rata-rata kerapatan dan keragaman spesies dari predator besar juga meningkat (Russ & Alcala 1996, in Roberts & Hawkins 2000). Hawaii. Persediaan ikan tercatat 63% lebih banyak di dalam wilayah larangan penangkapan (Grigg, 1994, in Roberts & Hawkins 2000). Kenya. Persediaan spesies ikan komersial utama (groupers, snappers, and emperors) tercatat 10 kali lebih banyak di dalam wilayah yang sepenuhnya dilindungi di Kisite Marine National Park bila dibandingkan di wilayah perlindungan di mana penangkapan diizinkan (Watson & Ormond 1994, in Roberts & Hawkins 2000).
konsisten beberapa tahun diharapkan
mampu
menyokong hasil tangkapan ikan
di
luar
kawasan
meningkat 40 (empat puluh) persen.
Hasil
kajian
menyatakan bahwa produksi larva akan meningkat pada perlindungan terhadap 20 30% luasan habitat penting di kawasan konservasi. Sebagai
upaya
konservasi wilayah perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah
telah
menetapkan
kebijakan
antara lain, ditetapkannya target
nasional
yang
disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan Convention on Biological Diversity (CBD) di Brazil tahun 2006, yaitu pencanangan target 10 juta hektar kawasan konservasi Laut pada tahun 2010, yang menjadi
dasar
komitmen
kementerian kelautan dan perikanan
untuk
menggandakan
target
menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020, sebagaimana pernyataan Presiden mengenai Coral Triangle Initiative (CTI) dalam forum APEC Leaders Meeting di Sydney, 2007. Hingga 2014, luasan kawasan konservasi perairan laut telah tercapai lebih dari 16 juta ha. Komitmen ini berlanjut pada era Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang memberikan perhatian khusus dan memprioritaskan pembangunan di sektor maritim. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan bahwa kata kunci program maritim untuk bidang kelautan dan perikanan adalah keberlanjutan (sustainability), sehingga upaya konservasi yang dilakukan, khususnya terhadap habitat penting termasuk di wilayah 0-4 mil laut yang menjadi tulang punggung pembangunan kelautan dan perikanan.
Dukungan kebijakan kebijakan nasional dalam pengembangan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil dibuat secara menyeluruh dan terpadu serta mempertimbangkan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir semakin kuat dengan diundangkannya undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014. Terkait dengan sumberdaya ikan, Undang-undang ini bersinergi dengan berbagai perundangan lain, diantaranya dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 45 tahun 2009. Kaitannya dengan desentralisasi, undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah merupakan perekat hubungan antar beberapa undang-undang sebagai materi muatan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerah. Undang-undang ini telah mengalami metamorfosa berpijak dari pembelajaran desentralisasi selama sepuluh tahun. Undang-undang Pemerintahan daerah yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tersebut memiliki implikasi terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir secara
berkelanjutan dapat bersifat sinergis, namun dapat pula bersifat sebaliknya. Implikasi akan bersifat sinergis, apabila setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonomi menyadari arti penting dari pengelolaan suberdaya pesisir secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya pesisir dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila setiap daerah berlomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir tanpa Dasar Hukum dan Perangkat Peraturan-perundangan terkait Pengelolaan Konservasi kawasan dan Jenis Ikan • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perikanan, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009. • Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 1 tahun 2014. • Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan; • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.17/Men/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.03/Men/2010 tentang tata cara penetapan perlindungan jenis ikan, sebagaimana diubah dengan 35/Permen-KP/2013. • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor.. Per.04/Men/2010 tentang tata cara pemanfataan jenis dan genetik ikan; • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.30/Men/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan; • Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Kep. 59/Men/2011 tentang Perlindungan terbatas ikan terubuk; • Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 18/Kepmen-KP/ 2013 tentang Perlindungan Ikan Hiu Paus; • Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 37/KepmenKP/2013 tentang Perlindungan Terbatas Ikan Napoleon; • Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 4/KepmenKP/2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta; • Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 46/KepmenKP/2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Terbatas Waktu Bambu laut (isis sp.) • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59/PermenKP/2014 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus) dan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia • Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 13/PermenKP/2014 tentang Jejaring Kawasan Konservasi Perairan; • Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil No. Kep. 44/KP3K/2012 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (E-KKP3K); • Peraturan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No. 02/Per-DJKP3K/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Penataan Batas Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
memperhatikan
kaidah
kaidah-
pembangunan
berkelanjutan. Pengalihan urusan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil
bidang
kabupaten
ke
konservasi provinsi
dari dalam
wilayah pengelolaan laut sampai 12 mil dapat dikatakan merupakan antitesis
pelaksanaan
desentralisasi
pada
level
kabupaten/kota yang cenderung kebablasan. konservasi,
Semoga dengan
upaya
pengaturan
sistem desentralisasi yang baru ini dapat
memperbaiki
fungsi
lingkungan sumberdaya laut dan kesejahteraan
masyarakat.
Berbagai kebijakan dan peraturan yang ada tersebut, diharapkan segala urusan mengenai konservasi sumberdaya ikan dapat terwadahi. KKJI: MENGAWAL DAN MENGUKUHKAN PILAR KONSERVASI Kewenangan
urusan
pemerintahan di bidang konservasi kawasan perairan dan konservasi jenis ikan hingga saat ini masih dilaksanakan oleh lebih dari satu
instansi/lembaga/kementerian,
dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berbeda. Dengan sistem pengelolaan seperti itu, dikhawatirkan akan timbul tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan. Tumpang tindih wewenang ini lambat laun dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sedangkan benturan kepentingan dapat mengurangi efektivitas dan efisiensi pengaturan. Sebabnya jelas: perumusan dan pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh lebih dari satu otoritas. Kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil memerlukan pendekatan manajemen yang lebih spesifik, antara lain karena terkait dengan dinamika ekosistem perairan yang senantiasa bergerak serta karakteristik biota perairan yang tidak mengenal pemisahan wewenang maupun batas-batas wilayah administrasi pemerintahan. Di sisi lain, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan wewenang urusan-urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan perairan dan konservasi jenis ikan berkaitan sangat erat dengan tugas pokok dan fungsi serta kompetensi masingmasing instansi pelaksana mandat. Selain itu, menurut undang-undang hukum laut internasional, laut merupakan sumber daya milik umum (public property) sehingga pengelolaannya memerlukan fleksibilitas dalam penetapan hukum di tingkat nasional. Dalam pelaksanaannya di lapangan, hal ini sering menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam proses penentuan arah kebijakan konservasi sumber daya perairan. Jalan tengah yang perlu dilakukan adalah perumusan pembagian urusan secara lebih jelas agar tercipta keselarasan kerja, baik pada tahap pembuatan kerangka kebijakan dan pengaturan (policy and regulatory framework) maupun pada tahap implementasinya. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis ikan (KKJI) menjalankan roda konservasi menyokong target yang disasar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam notulen Renstra 2010-2014, yakni pengelolaan efektif kawasan konservasi laut tahun pada tahun 2014 seluas 4,5 juta hektar, serta menambah 2 juta hektar kawasan konservasi dari status 13,5 juta pada tahun 2009 sebagai titik tolak angka renstra. 15 (lima belas) jenis yang dikelola secara berkelanjutan antara lain: penyu , napoleon, dugong, arwana, hiu paus, pari manta, hiu appendiks (hiu koboy dan martil), lola, kima, sidat, bambu laut, terubuk, capungan banggai, paus, dan karang hias. Sedangkan kawasan konservasi seluas 4,5 juta hektar mencakup 21 dan kemudian diperluas menjadi 24 lokasi prioriras. Beberapa program yang dijalankan antara lain: (1) Konservasi Ekosistem/Konservasi Kawasan; (2) Konservasi Jenis Ikan dan Genetik; (3) Data, Informasi dan Jejaring Pengelolaan Konservasi, (4) Pemanfaatan Kawasan dan Jenis Ikan; (6) Pembinaan dan Penguatan Sumber Daya Manusia; (7) Penguatan Kebijakan, Peraturan dan Pedoman; serta (7) Kerjasama Lokal, Regional, Internasional.
Tabel. Target Konservasi Kawasan dan Konservasi Jenis 2010 - 2014 2010 Pengelolaan efektif 900.000 Ha
2011 • Pengelolaan efektif 2,5 juta Ha • Penambahan luas 700.000 Ha
3 spesies 6 spesies Sumber: Renstra 2010 – 2014
2012 • Pengelolaan efektif 3,2 Ha • Penambahan 500.000 (akumulasi juta Ha) 9 spesies
juta luas Ha 1,2
2013 • Pengelolaan efektif 3,6 Ha • Penambahan 500.000 (akumulasi juta Ha) 12 spesies
juta luas Ha 1,7
2014 • Pengelolaan efektif 4,5 juta Ha • Penambahan luas 300.000 Ha (akumulasi 2 juta Ha) 15 spesies
Konservasi dalam pembangunan kelautan dan perikanan lima tahun kedepan dipastikan menjadi agenda utama dan tetap menjadi prioritas sebagai penyeimbang kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Kelembagaan pengelolaan efektif kawasan konservasi menjadi kunci utama dengan mengedepankan prinsip-prinsip pengelolaan bersama (co-management). “Konservasi mengukuhkan pilar-pilar perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan yang memberi manfaat keekonomian pendorong kesejahteraan masyarakat”.
Gambar: Roadmap Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Rencana Strategis KKJI 2015-2019 menyasar target pencapaian luasan kawasan konservasi 20 juta hektar dan pengelolaan efektif 35 kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, serta
pengelolaan konservasi 20 Jenis Ikan langka untuk ditetapkan status perlindungannya, dilestarikan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Tabel. Target Rencana Strategis Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Jenis Ikan Program
Sasaran
Indikator
Target 2015
Target 2016
Target 2017
Target 2018
Target 2019
Pengelolaan Sumberdaya Laut, Pesisir dan PulauPulau Kecil
Meningkatnya Penataan dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan, pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Secara Berkelanjutan dan Mensejahterakan Masyarakat
Jumlah Luas Kawasan konservasi
Penambahan 500.000 Ha/
Penambahan 600.000 Ha
Penambahan 800.000 Ha
Penambahan 900.000 Ha
Penambahan 1.200.000 Ha
Komulatif 17,1 Juta Ha
Komulatif 17,9 Juta Ha
Komulatif 18,8 Juta Ha
Komulatif 20 Juta Ha
Jumlah Pengelolaan Efektif Kawasan Konservasi
17 KKP/3K
28 KKP/3K
30 KKP/3K
33 KKP/3K
35 KKP/3K
Jumlah Jenis Ikan yang dilindungi, dilestarikan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan
15
Komulatif juta Ha
16,5
Termasuk Pengelolaan 7 (tujuh) Taman Nasional Laut inisiasi Kementerian Kehutanan, sebagai tindaklanjut amanat Pasal 78 A, Undang-Undang No.1 tahun 2014 16
17
18
20
Sebagai Kerangka Acuan 2015-2019, tahun 2014 tengah disusun peta jalan (roadmap) pengelolaan kawasan konservasi, antara lain strategi pencapaian target kawasan konservasi 20 Juta Hektar dan status pengelolaan efektif kawasan konservasi. Selain itu, nilai penting sumberdaya kawasan juga dihitung sebagai arahan untuk menggenjot keekonomian kawasan konservasi melalui upaya pemanfaatan berkelanjutan dalam Program Investasi dan Pengembangan Ekonomi Berbasis Konservasi - PROSPEK. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) yang diselenggarakan dalam 3 (tiga) Tahap, yang saat ini memasuki tahap pelembagaan dengan sebutan COREMAP-CTI merupakan salah bentuk komitmen nasional sebagai rangkaian kerjasama regional untuk mewujudkan konsern global dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil secara efektif dan berkelanjutan
Gambar: Sebaran lokasi Target Pengelolaan Efektif Kawasan Konservasi 2015-2019. Pada tataran konservasi jenis ikan, ada 3 (tiga) tahapan yang akan dilakukan, yaitu (1) Perencanaan: Menyusun Rencana Aksi Konservasi Jenis Ikan sebagai acuan bagi berbagai pihak dalam melakukan program konservasi jenis suatu spesies, terutama spesies dilindungi dan spesies rawan terancam punah.
Implementasi, dan Evaluasi. (2) Implementasi: melalui program
Perlindungan, Pelestarian dan Pemanfaatan Berkelanjutan, meliputi : Jumlah jenis/kelompok jenis ikan yang ditetapkan status perlindungannya (3 jenis/kelompok jenis); Jumlah jenis/kelompok jenis ikan yang diupayakan pelestariannya (7 jenis/kelompok jenis); Jumlah jenis/kelompok jenis ikan yang dikelola pemanfaatannya (10 jenis/kelompok jenis). (3) Monitoring dan Evaluasi: dilakukan untuk mengetahui efektivitas pengelolaan konservasi jenis ikan yang telah dilakukan, menggunakan tools indikator pengelolaan yang dipersiapkan. Program COREMAP-CTI menjadi salah satu bagian strategis upaya KKJI untuk mendorong pencapaian target pengelolaan kawasan konservasi dan jenis ikan yang lebih baik. Program ini akan dilaksanakan di 8 Provinsi, 14 kabupaten/kota termasuk di 14 KKP Daerah, 6 UPT KP3K dan 10 KKP Nasional. Sasaran Strategis COREMAP-CTI secara garis besar adalah (1) Terjaga atau meningkatnya ekosistem terumbu karang dan asosiasinya, dinilai dengan indikator Indeks kesehatan karang; (2) Meningkatnya kesejahteraan masyarakat penerima manfaat, dinilai dengan indikator pendapatan
masyarakat; dan (3) Meningkatnya efektivitas pengelolaan KKP/3K, dinilai dengan indikator peringkat/level E-KKP3K. Penguatan data, informasi dan jejaring konservasi serta kerjasama multipihak dalam pengelolaan kawasan konservasi dan jenis ikan terus ditingkatkan untuk mewujudkan konservasi yang efektif bagi kesejahteraan masyarakat. PERKEMBANGAN LUAS KAWASAN KONSERVASI
Capaian Luas Kawasan Konservasi pada tahun 2014, yaitu bertambahnya 14 kawasan konservasi baru di Indonesia seluas 875.492,47 Ha. Meski demikian, berdasarkan hasil verifikasi data tim terdapat pula sejumlah kawasan yang menambah dan mengurangi luasan sehingga akumulasi penambahan luas kawasan pada tahun 2014 terkoreksi menjadi seluas 686.866,11 Ha. Sehingga secara keseluruhan telah memiliki 145 kawasan konservasi dengan total luasan 16.451.076,96 Ha. Data rinci sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut:
Tabel . Luas Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia Tahun 2014 No Kawasan Konservasi A Dikelola Kemenhut Taman Nasional Laut Taman Wisata Alam Laut Suaka Margasatwa Laut Cagar Alam Laut B Dikelola KKP dan Pemda Taman Nasional Perairan Suaka Alam Perairan Taman Wisata Perairan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Jumlah Total
Jumlah Kawasan 32 7 14 5 6 113 1 3 6 103
Luas (Ha) 4.694.947,55 4.043.541,30 491.248,00 5.678,25 154.480,00 11.756.129,41 3.355.352,82 445.630,00 1.541.040,20 6.414.106,39
145
16.451.076,96
Sumber: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, kkji.kp3k.kkp.go.id)
Semangat pemerintah daerah mengembangkan kawasan konservasi perairan memang cenderung cepat menggandakan capaian luasan kawasan konservasi, tidak kurang dari seratus kabupaten/kota telah mencadangkan sebagian perairan dan ekosistem pentingnya sebagai kawasan konservasi. Dikaji dari perspektif perlindungan terhadap habitat penting (critical habitats), hasil gap analysis tahun 2010 terhadap kawasan koservasi di Indonesia menyimpulkan bahwa ekosistem terumbu karang Indonesia mencakup luasan 3,29 juta ha, mangrove 3,45 juta ha, dan luasan padang lamun 1,76 juta ha. Dari luasan tersebut, saat ini Indonesia telah melakukan perlindungan dengan menjadi bagian wilayah konservasi terhadap 22,7% terumbu karang (747.190 ha), 22,0% mangrove (758.472 ha), dan 17,0% padang lamun (304.866 ha). Pencapaian perlindungan terhadap habitat penting di tiap-tiap ekoregion disajikan pada Tabel di bawah ini.
Tabel. Persentasi Habitat Penting yang Telah Dilindungi di Setiap Ekoregion
Sumber: Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010
Berdasarkan Tabel di atas, maka perlu diupayakan pengembangan KKP/KKP3K di ekoregionekoregion yang saat ini masih belum memenuhi target, terutama di ekoregion Halmahera. Di ekoregion ini belum ada perlindungan terhadap habitat penting, baik mangrove, terumbu karang maupun padang lamun. 2
2
Kajian Huffard et al. (2010) merekomendasikan upaya pengembangan KKP di ekoregion Halmahera, Sumatera bagian Selatan, dan Laut Sulawesi/Selat Makassar.
PERENCANAAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan oleh satuan unit organisasi pengelola, yang dilakukan berdasarkan rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi. Rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan dokumen kerja yang dapat dimutakhirkan secara periodik, sebagai panduan operasional pengelolaan. Ketentuan mengenai rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perairan telah diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.30/Men/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan. Tahapan Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Zonasi, sebagai berikut:
Pengelolaan kawasan konservasi dapat tercapai secara efektif sesuai dengan tujuannya jika didukung dengan sistem zonasi dan rencana pengelolaan yang disusun dengan baik. Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan adalah dokumen kerja yang dapat dimutakhirkan secara periodik, sebagai panduan operasional pengelolaan kawasan konservasi perairan. Pra-Syarat penting dalam penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi adalah mengidentifikasi dan menentukan prioritas/target konservasinya. Hal ini sedikitnya menyangkut 2 (dua) hal yaitu target sumberdaya, diantaranya meliputi: Populasi, Spesies, Habitat, dan/atau Ekosistem dan target sosial budaya dan ekonomi, diantaranya meliputi: mata pencaharian alternatif, partisipasi, perubahan perilaku, dan lain-lain. Setiap rencana pengelolaan kawasan konservasi harus memuat zonasi. Rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil disusun oleh satuan unit organisasi pengelola. Rencana Pengelolaan KKP/ KKP3K terdiri atas: 1. Rencana Jangka Panjang, berlaku selama 20 (dua puluh) tahun sejak tanggal ditetapkan dan dapat ditinjau sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali. Rencana jangka panjang memuat kebijakan pengelolaan kawasan konservasi perairan, yang meliputi: visi dan misi; tujuan dan sasaran pengelolaan; strategi pengelolaan; 2. Rencana Jangka Menengah, berlaku selama 5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari visi, misi, tujuan, sasaran pengelolaan, dan strategi pengelolaan kawasan konservasi perairan; dan 3. Rencana Kerja Tahunan, disusun berdasarkan rencana jangka menengah dalam bentuk rencana kegiatan dan anggaran yang disusun satu tahun sekali. Rencana kegiatan dan anggaran ini sekurang-kurangnya memuat uraian kegiatan, penanggung jawab, waktu pelaksanaan, alokasi anggaran dan sumber pendanaan. Strategi dan Program kegiatan yang tercakup dalam ruang lingkup aspek-aspek tata kelola, sumberdaya dan sosial-ekonomi-budaya dalam suatu kawasan konservasi merupakan bagian, antara lain sebagai berikut: Aspek
Tata Kelola
Sumberdaya
Sosial-Ekonomi-Budaya
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Strategi dan Program kegiatan Peningkatan Sumber Daya Manusia; Penatakelolaan Kelembagaan; Peningkatan Kapasitas Infrastruktur; Penyusunan Peraturan Pengelolaan Kawasan; Pengembangan Organisasi/Kelembagaan Masyarakat; Pengembangan Kemitraan; Pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan; Pengembangan Sistem Pendanaan Berkelanjutan; dan Monitoring dan Evaluasi. Perlindungan Habitat dan Populasi Ikan; Rehabilitasi Habitat dan Populasi Ikan; Penelitian dan Pengembangan; Pemanfaatan Sumber Daya Ikan; Pariwisata Alam dan Jasa Lingkungan; Pengawasan dan Pengendalian; dan Monitoring dan Evaluasi. Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat; Pemberdayaan Masyarakat; Pelestarian Adat dan Budaya; dan Monitoring dan Evaluasi.
Zona kawasan konservasi perairan yang terdiri dari Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan, dan Zona Lainnya, dilakukan penataan berdasarkan fungsi dengan mempertimbangkan potensi sumber daya, daya dukung, dan proses-proses ekologis. Zona Inti harus dimiliki setiap kawasan konservasi perairan dengan luasan paling sedikit 2% (dua persen) dari luas
kawasan. Selanjutnya, setiap kawasan konservasi perairan dapat memiliki satu atau lebih zona sesuai dengan luasan karakter fisik, bio-ekologis, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya. Tahapan penyusunan rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan jangka panjang dan jangka menengah serta zonasi kawasan konservasi perairan berdasarkan Per.30/Men/2010 pasal 30, meliputi: a. pembentukan kelompok kerja; b. pengumpulan data dan informasi; c. analisis; d. penataan zonasi kawasan konservasi perairan; e. penyusunan rancangan rencana jangka panjang dan rencana jangka menengah; f. konsultasi publik pertama; g. perumusan zonasi dan rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan; h. konsultasi publik kedua; dan i. perumusan dokumen final (lihat diagram alir). Dokumen rencana pengelolaan dan zonasi, yang meliputi rencana pengelolaan jangka panjang dan rencana pengelolaan jangka menengah sekurang-kurangnya memuat: (i) Pendahuluan, yang berisi latar belakang, tujuan dan ruang lingkup penyusunan rencana pengelolaan; (ii) Data potensi ekologis, ekonomi dan sosial budaya kawasan serta permasalahan pengelolan; (iii) Penataan Zonasi; (iv) Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi perairan; (v) Strategi pengelolaan kawasan konservasi; dan (vi) Program pengelolaan kawasan konservasi perairan. Kepala Satuan Unit Organisasi Pengelola menyampaikan dokumen final kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya untuk dinilai dan disahkan. Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya selanjutnya membentuk tim evaluasi (reviewer board) untuk melakukan sinkronisasi dan koordinasi isi rencana pengelolaan dan zonasi yang telah disusun dengan kebijakan/program/kegiatan yang terkait. Proses legalisasi (drafting) keputusan penetapan untuk mengesahkan dokumen rencana pengelolaan dan zonasi. STATUS PENGELOLAAN EFEKTIF KAWASAN KONSERVASI Tujuan utama pengelolaan kawasan konservasi adalah pengelolaan efektif melalui pengelolaan berdasarkan sistem zonasi yang dapat dilakukan berbagai upaya pengelolaan sumberdaya kawasan maupun pengelolaan sosial budaya dan ekonomi yang keduanya memberikan umpan balik terhadap penguatan kelembagaan dan tatakelola kawasan konservasi. Upaya-upaya tersebut sedikitnya dapat melalui tiga strategi pengelolaan, yaitu: (1) Melestarikan lingkungannya, melalui berbagai program konservasi, (2) menjadikan kawasan konservasi sebagai penggerak ekonomi, diantaranya melalui program perikanan budidaya ramah lingkungan, penangkapan ikan ramah lingkungan, pariwisata alam perairan dan pendanaan mandiri yang berkelanjutan, dan (3) pengelolaan kawasan konservasi sebagai bentuk tanggungjawab sosial yang mensejahterakan masyarakat. Evaluasi tingkat efektivitas pengelolaan kawasan konservasi dilakukan dengan alat ukur EKKP3K, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Nomor Kep.44/KP3K/2012 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Evektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (E-KKP3K). Pedoman E-KKP3K memuat tata-cara atau panduan untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pengelolaan berkelanjutan kawasan konservasi
perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada tingkat makro, E-KKP3K digunakan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menilai tingkat pengelolaan kawasan konservasi perairan yang ada di Indonesia. Sementara pada tingkat mikro, E-KKP3K dapat pula digunakan swa-evaluasi terhadap kinerja pengelolaan suatu kawasan konservasi perairan sekaligus membuat perencanaan dalam rangka peningkatan kinerja. E-KKP3K juga didukung dengan perangkat lunak (software) E-KKP3K untuk lebih mempermudah evaluasi di lapangan. Lebih lengkap mengenai E-KKP3K dan status pengelolaan KKP3K dapat mengunjungi: kkji.kp3k.kkp.go.id.
Gambar: Aspek Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan pulau-pulau Kecil
Untuk mendukung kinerja pengelolaan KKP/3K, telah disusun Suplemen pendukung Panduan E-KKP3K yang bertujuan memberikan pedoman teknis untuk membekali pengelola KKP/3K, antara lain: (1) Panduan usulan inisiatif, identifikasi dan inventarisasi, dan Pencadangan; (2) Panduan Kelembagaan; (3) Panduan Rencana Pengelolaan dan Zonasi; (4) Panduan Sarana dan Prasarana; (5) Panduan Pendanaan; (6) Panduan Penetapan; (7) Panduan Penataan Batas; (8) Panduan Monitoring Biofisik (Sumberdaya Kawasan); dan (9) Panduan Monitoring Sosial Budaya dan Ekonomi. Kriteria yang digunakan untuk melakukan evaluasi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi (E-KKP3K) pada tingkat makro, terdiri dari 5 peringkat/level (merah/level 1; kuning/level 2; hijau/level 3; biru/level 4; emas/level 5), 17 kriteria dan 74 daftar pertanyaan. 5 (lima) peringkat tersebut pada pelaksanaannya disederhanakan menjadi 3 Kategori yaitu: perunggu (level 1); perak (level 2) dan emas (level 3) sebagaimana disajikan pada gambar berikut ini:
Gambar: Kriteria E-KKP3K
Penilaian efektivitas secara nasional selain untuk mengetahui status efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, juga sekaligus dijadikan ajang pemberian penghargaan yang mampu mendorong peningkatan pengelolaan efektif KKP3K. Anugerah E-KKP3K (E-KKP3K Awards) merupakan bentuk penghargaan yang diberikan kepada pemerintah daerah/kepala daerah/pengelola KKP3K yang konsisten mengembangkan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Penghargaan terdiri atas kategori Favorit 1 penghargaan, kategori percontohan 5 penghargaan, dan kategori percepatan 17 penghargaan, serta kategori khusus. Anugerah E-KKP3K (E-KKP3K Awards) diagendakan setiap 2 (dua) tahun sekali. Kegiatan Anugerah E-KKP3K diselenggarakan pertama kali pada tahun 2013, dan selanjutnya pada Renstra 2015-2019 akan dilaksanakan pada 2015, 2017 dan 2019.
Penerima Anugerah E-KKP3K (E-KKP3K Awards) 2013 Kategori Percontohan: Suaka Alam Perairan Pesisir Timur Pulau Weh Kota SABANG, Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan Kabupaten SUKABUMI, Taman Pesisir Ujungnegoro-Roban Kabupaten BATANG, Taman Wisata Perairan Nusa Penida Kabupaten KLUNGKUNG, Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten ALOR, dan Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten RAJA AMPAT. Kategori Khusus: Bupati Kepulauan Anambas. Penyerahan penghargaan disampaikan oleh Menteri kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo.
Pengelolaan kawasan konservasi perairan nasional dilakukan oleh Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) Pekanbaru. Pengelolaan di Setiap lokasi KKPN dilaksanakan oleh Satuan Kerja Kawasan Konservasi Perairan Nasional (Satker KKPN) yang merupakan bagian dari wilayah Kerja Balai/Loka KKPN. Masing-masing KKPN, walau tidak seluruhnya berstatus Taman Nasional Perairan, pengelolaan kawasan konservasi tersebut tetap dilakukan oleh satu Unit organisasi tersendiri, sehingga pemangkuan kawasan melalui pengelolaan kawasan dengan sistem zonasi dapat dilakukan secara optimal. Sedangkan untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, terdapat Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) di Padang, Denpasar, Pontianak dan Makassar serta
Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) di Serang dan Sorong. Keenam
Balai/Loka PSPL ini juga mempunyai perpanjangan organisasi berupa Satker-Satker yang mewakili jangkauan pelayanan di seluruh provinsi di Indonesia. Taman Nasional Laut Sawu dan Taman Wisata Perairan Kepulauan Anambas merupakan 2 (dua) KKPN yang diinisiasi, dicadangkan, ditetapkan dan dikelola oleh Kementerian Kelautan dan perikanan melalui Balai/Loka KKPN tersebut. Selain itu, Balai/Loka KKPN melalui satker-satkernya juga mengelola 8 (delapan) KKKPN berdasarkan harmonisasi serah terima dari kementerian kehutanan, antara lain Suaka Alam Perairan (SAP) Kepulauan Aru Bagian Tenggara di Provinsi Maluku; SAP Kepulauan Raja Ampat – Papua Barat; SAP Kepulauan Waigeo sebelah Barat, dalam hal
ini Kepulauan Panjang di Provinsi Papua Barat; Taman Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Kapoposang di Provinsi Sulawesi Selatan; TWP Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat; TWP Kepulauan Padaido di Provinsi Papua; TWP Laut Banda di Provinsi Maluku; dan TWP Pulau Pieh di Provinsi Sumatera Barat. Langkah harmonisasi Pengelolaan Kawasan Konservasi selanjutnya menyangkut pengelolaan KPA/KSA laut yang masih dikelola kementerian kehutanan, diantaranya 7 (tujuh) taman nasional laut. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 pasal 78A, kawasan-kawasan tersebut menjadi kewenangan menteri kelautan dan perikanan. Ditingkat regional, upaya pengelolaan efektif KKP/3K dalam koridor kerjasama Coral Triangle Initiative (CTI) telah disusun sebuah sistem pengelolaan kawasan konservasi di segitiga karang Coral Triangle Marine protected Area System (CTMPAS) yang memberikan manfaat bagi ekosistem terumbu karang di 6 negara CTI (Indonesia, Malaysia, Philipina, Papua Nugini, Solomon Island dan Timor Leste) dan keuntungan bagi masyarakat yang berkontribusi untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal. Indonesia menjadi bagian dari 13 Nominasi kawasan konservasi CTMPAS 2013. untuk kategori 3 (Priority Development Sites) antara lain: KKPN TWP kapulauan Anambas, KKPN TNP laut Sawu dan KKP3KD TP Pangumbahan – Sukabumi. Sedangkan TNL Wakatobi menjadi bagian kategori 4 (Flagship). Tiga prioritas kawasan pengembangan tersebut akan digenjot pengelolaan efektifnya, dan satu lokasi yang menjadi flagship tentunya menjadi percontohan pengembangan pengelolaan efektif di wilayah CTI. Kawasan konservasi satu dan lainnya saling terkait secara biofisik dalam satu kesatuan jejaring KKP/3K. Kerjasama Jejaring KKP dapat dilakukan untuk pengelolaan 2 (dua) atau lebih kawasan konservasi perairan secara sinergis, baik secara lokal, nasional maupun regional. Kerjasama Jejaring KKP/3K juga dapat memberikan nilai tambah lebih dibandingkan beberapa KKP yang berdiri sendiri karena: (1) jejaring melindungi sumberdaya, ekosistem dan habitat secara terpadu; dan (2) jejaring mendorong pembagian kapasitas dan pengelolaan yang merata . Jejaring KKP/3K telah diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 13/PERMEN-KP/2014 tentang Jejaring Kawasan Konservasi Perairan. Pun demikian, upaya pemanfaatan kawasan konservasi, kerjasama dan kemitraan dalam pengelolaan kawsan konservasi menjadi bagian penting upaya pengelolaan efektif sebuah kawasan konservasi dapat ditingkatkan. Saat ini sedang dalam finalisasi Peraturan menteri kelautan dan Perikanan tentang Kemitraan, serta Peraturan Menteri kelautan dan perikanan tentang Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan untuk berbagai kegiatan, antara lain: Penangkapan dan Pebudidayaan Ikan, Pariwisata Alam Perairan, Pendidikan dan Penelitian. Sebuah payung program efektivitas dan keekonomian kawasan konservasi tengah dijalankan melalui Program Investasi dan Pengembangan Ekonomi berbasis Konservasi (PROSPEK).
CAPAIAN DAN PEMBELAJARAN Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan memiliki target pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil (KKP3K) seluas 4,5 juta hektar pada tahun 2014. Target kumulatif ini telah terlampaui berkat upaya-upaya pokok pengelolaan kawasan seperti asistensi pencadangan-penetapan kawasan, pembinaan pengelolaan kawasan, penyusunan NSPK pengelolaan kawasan, evaluasi-penetapan kawasan serta asistensi rencana pengelolaan dan zonasi kawasan. Ada pula kegiatan penyusunan sub-project kawasan konservasi yang pendanaannya didukung melalui Proyek Rehabilitasi Pengelolaan Terumbu Karang (Coremap-CTI). Dalam rangka persiapan Coremap-CTI juga telah dilaksanakan penyusunan best practices dan replikasi pengelolaan teumbu karang. Dua indikator keberhasilan pencapaian target ini adalah luas kawasan dan hasil evaluasi perangkat E-KKP3K. Pertama, dalam konteks luas kawasan yang dikelola, secara kumulatif hampir 7,8 juta hektar kawasan telah terkelola efektif hingga akhir tahun 2014. Angka ini jauh melampaui target pengelolaan efektif yang telah ditentukan pada periode awal renstra 2010-2014 seluas 4,5 juta hektar antara lain karena implementasi kebijakan blue economy di tiga lokasi kawasan konservasi yakni di Taman Wisata Perairan (TWP) Anambas, TWP Nusa Penida Klungkung dan TWP Lombok Timur. Tiga lokasi ini menyumbang hampir 1,3 juta luas kawasan pengelolaan efektif tambahan selama periode RPJM 2010-2014 dan menggenapkan jumlah fokus lokasi pengelolaan efektif pada periode tersebut menjadi 24 lokasi. Selain itu, sejumlah kawasan juga telah mengubah (menambah dan mengurangi) area konservasinya seperti yang terjadi di Taman Pesisir (TP) Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang, TP Pangumbahan Sukabumi dan TWP Kepulauan Raja Ampat.Meski demikian, seluruh dinamika tersebut tidak berimbas signifikan terhadapcapaian kinerja pengelolaan efektif kawasan konservasi.Kedua, dalam konteks hasil evaluasi E-KKP3K, seluruh kawasan konservasi yang masuk dalam fokus pengelolaan efektif telah meningkat level pengelolaannya. Perlu dipahami bahwa level pengelolaan efektif kawasan konservasi yang diakui berdasarkan E-KKP3K sejatinya adalah ketika semua kriteria pada salah satu tingkatan telah terpenuhi 100%. Sejak dirilis pada akhir tahun 2012 melalui Keputusan Direktur Jenderal KP3K Nomor Kep.44/KP3K/2012, perangkat E-KKP3K telah menjadi alat ukur level pengelolaan efektif kawasan konservasi yang independen dan terukur.Bahkan untuk pertama kalinya pada tahun 2013 perangkat E-KKP3K diandalkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mengganjar para pengelola kawasan konservasi perairan daerah berprestasi melalui ajang E-KKP3K Awards. Sembilan dari 24 kawasan konservasi yang menjadi fokus pengelolaan menunjukan level pengelolaan yang sangat menggembirakan karena telah berhasil menapaki level biru (Gambar). Kawasan konservasi tersebut yakni: KKPD Alor, KKPD Batang, KKPD Raja Ampat, KKPD Sukabumi, KKPN Laut Sawu, KKPN Pulau
Pieh, KKPN Laut Banda, KKPN Aru Tenggara dan KKPN Anambas. Sementara itu, meski pembenahan pengelolaan masih perlu terus dilakukan, KKPD Klungkung selangkah lebih maju ketimbang lokasi lain lantaran telah berhasil menapaki level E-KKP3K tertinggi yakni level emas yang berarti bahwa upaya pokok pengelolaan telah mulai terasa manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hasil evaluasi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil menggunakan perangkat E-KKP3K, seluruh kawasan konservasi yang masuk dalam target pengelolaan efektif telah meningkat signifikan level efektivitas pengelolaannya (lihat tabel 3). Upaya implementasi E-KKP3K ini juga mendukung Goal No. 3 CTI, melalui Coral Triangle Marine Protected Area System (CTMPAS) yakni operasionalnya pengelolaan kawasan konservasi pada tahun 2020. Pelatihan E-KKP3K yang telah dilaksanakan di Batam dan Makassar pada tahun 2014 menjadi langkah penting menuju tercapainya sasaran tersebut. Hasil evaluasi E-KKP3K dan pembelajaran pengelolaan efektif kawasan konservasi telah dipaparkan tim KKJI dalam World Parks Congress, November 2014 di Sydney Australia. Pembelajaran pengelolaan efektif juga dilakukan dengan bercermin dari negara lain, salah satunya melalui studi lesson-learned di Auckland Selandia Baru. Peningkatan kapasitas pengelolaan kawasan juga digalang melalui sejumlah keikutsertaan dalam pelatihan internasional seperti Economic Tool For Conservation di Palau, MPA Management and Networks - BOBLME di Penang dan Sustainable Fisheries di Rhode Island. Semangat pengembangan konservasi seiring dengan kehadiran Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru telah ditindaklanjuti dengan pelaksanaan kegiatan di Pangandaran, Berau dan Simeuleu untuk menjawab permasalahan pengelolaan terkini dan peningkatan efektivitas kawasan konservasi. Upaya nyata lain seperti pilot project perlindungan dan pelestarian kawasan di beberapa lokasi seperti revitalisasi fungsi kawasan di TWP Gili Matra (font box), turtle watching dan program adopsi penyu di TP PangumbahanSukabumi disertai dialog peran para pihak dalam pengelolaan efektif kawasan konservasi juga telah dilakukan pada tahun 2014. Penyusunan nilai penting kawasan konservasi dan penilaian-penyusunan status pengelolaan efektif kawasan konservasi menambah panjang daftar upaya nyata dalam rangka mendorong pengelolaan efektif kawasan konservasi yang telah dilakukan.
KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI: MENGUKUHKAN PILAR KEBERLANJUTAN, KEDAULATAN, DAN KESEJAHTERAAN Program-program strategis untuk mendorong pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan, efektif dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat terus dilakukan melalui berbagai upaya pokok pengelolaan kawasan konservasi, antara lain: perlindungan habitat dan populasi biota perairan, rehabilitasi habitat dan populasi biota perairan, penelitian dan pengembangan, pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan, pengembangan sosial ekonomi
masyarakat, pengawasan dan pengendalian, monitoring dan evaluasi, serta pengembangan kerjasama dan/jejaring konservasi. Program inisiasi dalam rangka percepatan pengelolaan kawasan konservasi perairan untuk mendukung perikanan berkelanjutan dalam hal fasilitasi penguatan rencana pengelolaan, kelembagaan, pembangunan infrastruktur kawasan maupun pengembangan sistem pengelolaan kawasan yang terpadu juga terus dilakukan baik berupa pilot project/program percontohan maupun melalui dukungan tugas pembantuan, dekonsentrasi, dana alokasi khusus, kemitraan, kerjasama serta komitmen pendanaan yang berkelanjutan dari berbagai pihak untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang efektif. Program-program percontohan dalam rangka mendorong upaya pemanfaatan kawasan konservasi untuk perikanan berkelanjutan, pariwisata berbasis konservasi maupun aspek pemanfaatan lainnya
terus ditingkatkan. Pada
akhirnya ketika semangat mengelola kawasan konservasi terus tumbuh dan semakin efektif, maka buah efektivitas pengelolaan selanjutnya mampu dinilai dan dapat dianugerahi penghargaan. Anugerah Kawasan Konservasi Perairan (E-KKP3K Awards) secara tersendiri ataupun menjadi satu kesatuan dengan program lainnya merupakan pemberian penghargaan sebagai apresiasi untuk mendorong pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif. Kunci keberhasilan pengelolaan efektif kawasan konservasi perairan adalah melalui Pengelolaan Bersama (Kolaboratif), pada prakteknya tentu bukan merupakan hal yang sederhana, perlu komitmen dan kerjasama semua pihak dalam mewujudkannya. Pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dilepaskan dari tiga pilar utamanya, yakni perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan. hal ini sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan konservasi yang dikelola berdasarkan sistem zonasi dan upaya ini sedikitnya dapat dilakukan melalui tiga strategi pengelolaan, yaitu: (1) Melestarikan lingkungannya, melalui berbagai program konservasi, (2) menjadikan Kawasan Konservasi sebagai penggerak ekonomi, melalui program pariwisata alam perairan dan pendanaan mandiri yang berkelanjutan, dan (3) pengelolaan kawasan konservasi sebagai bentuk tanggungjawab sosial yang mensejahterakan masyarakat. Peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal yang utama, mengingat masyarakat-lah yang sebenarnya sehari-hari berada pada kawasan konservasi, tidak sedikit yang bergantung terhadap sumberdaya di kawasan tersebut. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah WAJIB hukumnya. Co-management, kemitraan dan kerjasama yang mengedepankan peran masyarakat utamanya bagi peningkatan kesejahteraan adalah sangat penting. Upaya-upaya pembinaan masyarakat melalui pengembangan alternatif mata pencaharian di kawasan konservasi telah dikembangkan, seperti misalnya pengelolaan kepiting bakau, pengelolaan jasa wisata bahari, budidaya rumput laut, maupun kegiatan lainnya. Sebagai bentuk partisipasi dan pemberdayaan kaum perempuan juga telah dikembangkan alternatif
pencaharian seperti pembuatan kerupuk ikan, pembuatan cindera mata dan kerajinan, maupun berbagai aktivitas lain yang mendorong peningkatan pendapatan masyarakat. Pihak swasta melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dapat digandeng sebagai mitra. Penatakelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif dapat tercapai melalui perencanaan pengelolaan dan manajemen zonasi yang baik, tersedianya sumberdaya manusia dan lembaga pengelola yang kompeten, tersedianya infrastruktur dan sarana pendukung yang baik, maupun upaya-upaya pengelolaan kawasan yang dilakukan secara sinergis dan terpadu. Semoga Perwujudan Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Perairan yang Efektif untuk Mendukung Perikanan Berkelanjutan bagi Kesejahteraan Masyarakat bukan hanya ucapan semata namun segera dapat tercapai. KONSERVASI MENOPANG PILAR KEBERLANJUTAN (SUSTAINABILITY). Berbagai manfaat kawasan konservasi untuk keberlanjutan ekosistem penting untuk mendukung produksi perikanan tangkap berkelanjutan telah nyata dan banyak bukti ilmiah sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan diharapkan mampu mewujudkan keseimbangan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil beserta perairannya untuk tujuan konservasi dan kebutuhan ekonomi masyarakat pesisir. Pemanfaatan geografis secara optimal bagi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang diharapkan antara lain: (1) Pengelolaan 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dapat dimanfaatkan secara optimal dengan memperhatikan prinsipprinsip konservasi bagi usaha perikanan (tangkap dan budidaya), sehingga tidak ada lagi WPP yang overfishing maupun WPP yang underfishing; (2) Wilayah bioekoregion dilakukan secara optimal dan seimbang pemanfaatannya, dikembangkan sebagai kawasan konservasi untuk menjamin ketangguhan kawasan konservasi yang ada di Indonesia; (3) Optimalisasi pemanfaatan wilayah geografi kawasan konservasi perairan untuk kegiatan budidaya perikanan dan penangkapan ikan ramah lingkungan; Peningkatan fungsi geografi wilayah pemanfaatan umum sesuai penataan ruang/zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, untuk kegiatan perikanan budidaya dan penangkapan ikan sesuai kapasitas dan potensinya serta peningkatan ekonomi masyarakat secara merata Pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan dan optimalisasinya untuk kawasan konservasi perairan diharapkan dapat memanfaatkan Sumberdaya baik yang berasal dari perairan laut, perairan umum dan berdampak dalam menopang ekonomi masyarakat pesisir serta menunjang pembangunan nasional. Kondisi pemanfaatan sumberdaya laut untuk perikanan yang diharapkan adalah: (1) Wilayah perairan laut seluas 5,8 juta Km2 meliputi perairan teritorial dan ZEEI dimanfaatkan secara optimal sampai pada tingkat produksi yang sesuai dengan tingkat JTB (jumlah
tangkapan yang diperbolehkan) secara merata di sebelas WPP menggunakan prinsip-prinsip konservasi untuk perikanan berkelanjutan; (2) Pemanfaatan kawasan konservasi untuk kegiatan yang secara tidak langsung menggunakan sumber kekayaan alam, yaitu melalui pemanfaatan wisata bahari untruk meningkatkan nilai sumberdaya dan jasa lingkungan; (3) Pemanfaatan ekosistem mangrove dan terumbu karang di kawasan konservasi yang terjaga dengan baik, berpeluang untuk perdagangan karbon dan mengatasi dampak perubahan iklim. (4) Mengoptimalkan keseimbangan pemanfaatan sumber kekayaan alam untuk kegiatan penangkapan ikan secara tradisional dan budidaya laut bernilai ekonomis tinggi di kawasan konservasi untuk kesejahteraan masyarakat pesisir; (5) Peningkatan identifikasi dan eksplorasi potensi kelautan, terutama di laut dalam guna mencari sumber energi maupun sumberdaya ikan potensial, serta melakukan konservasi biota laut migrasi; (6) Menata keseimbangan pemanfaatan sumber kekayaan laut di sepanjang nusantara baik di dalam kawasan konservasi maupun eksploitasi sumber kekayaan alam di luar kawasan konservasi dengan prinsip kelestarian sumberdaya KONSERVASI MENOPANG PILAR KEDAULATAN (SOVEREIGNTY). Peningkatan upaya pengelolaan efektif kawasan konservasi juga dibarengi dengan identifikasi dan inventarisasi potensi calon kawasan konservasi, diutamakan pada wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar yang rawan disintegrasi. Pengembangan kawasan konservasi ini untuk menjawab target 20 Juta hektar Kawasan konservasi pada tahun 2020 (akan dicapai pada 2019 berdasarkan Draft Renstra KKP 2015-2019). Optimalisasi pengembangan kawasan konservasi di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar diharapkan mampu memperkuat integrasi yang mengokohkan wawasan nusantara, mengeliminasi terjadinya pelanggaran hukum, illegal fishing maupun eksploitasi sumberdaya yang berlebih yang mengancam degradasi sumberdaya lingkungan. Pengelolaan efektif kawasan konservasi dilakukan terhadap tiga aspek yang menjadi indikator utama dalam pengelolaan kawasan konservasi, yakni perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan. Penguatan status hukum kawasan di tingkat internasional dengan cara mendaftarkan pada Peta Pelayaran Internasional, mampu mencegah pelanggaran penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan zonasinya dan secara konsisten dapat mengatasi segala ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan yang mengancam kedaulatan wilayah laut Indonesia. Secara Politis. Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai pandangan wawasan nusantara ditinjau dari perspektif politik baik luar maupun dalam negeri, diharapkan adanya dukungan politik yang kuat agar pengelolaan kawasan konservasi dapat dilaksanakan secara efektif sehingga mampu memperkokoh pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. (1) Optimalisasi pengelolaan kawasan
konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mampu meningkatkan peran Indonesia secara global dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim. selain itu, pembangunan yang berwawasan lingkungan yang dijalankan mampu meningkatkan posisi tawar nilai sumberdaya ikan dalam percaturan perikanan dunia dan regional semakin menonjol dan Indonesia dapat menjadi anggota bagian utama dalam penentuan kebijakan perikanan dunia dan regional yang berwawasan lingkungan; (2) Konsep pembangunan berkelanjutan melalui pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan menerapkan prinsip konservasi merupakan kepentingan dunia internasional, secara politis mempunyai nilai tawar yang cukup tinggi, yang diharapkan meningkatkan komitmen dunia internasional untuk memberikan bantuan teknis dan operasional dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (3) Peraturan perundang-undangan, kebijakan dan pedoman teknis yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi serta kebijakan nasional yang lebih berpihak kepada sektor kelautan dan perikanan diharapkan mendapat dukungan politik dari supra struktur politik, terutama untuk mengatasi berbagai kepentingan konservasi perairan yang saat ini masih terdapat mandat ganda, yakni berdasarkan UU nomor 5 tahun 1990, UU nomor 41 Tahun 1999 dengan UU nomor 31 tahun 2004 dan Undang-undang nomor 27 tahun 2007 serta UU nomor 32 tahun 2004, dalam hal kewenangan pengelolaan kawasan konservasi. Harmonsisasi berbagai peraturan menuju sinergi yang mendorong optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi perairan diharapkan dapat direalisasikan dalam waktu dekat dan semua pemangku kepentingan (stakeholders) dapat melaksanakan peraturan perundangan tersebut sesuai kewenangannya. (4) Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diharapkan mendapat dukungan politik dari supra struktur politik, terutama DPR dalam penentuan APBN, APBD maupun dukungan kebijakan yang mampu mendorong pendanaan berkelanjutan untuk pengelolaan kawasan konservasi lebih efektif. Demikian pula diharapkan komitmen dari kementerian sektor yang berkaitan dengan pembangunan konservasi di wilayah peisisir dan pulau pulau kecil dalam mendukung suksesnya pembangunan ekonomi masyarakat pesisir seperti masalah kesyahbandaran, pariwisata bahari,
ekonomi kreatif, pendidikan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi,
kebijaksanaan fiskal dan keringanan pajak, subsidi BBM, masalah perdagangan, ketenaga kerjaan dan penegakan hukum. (5) Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara politis menentukan partisipasi politik dan orientasi pilihan warga masyarakat pesisir terhadap pemimpin di daerah, mapun orientasi masyarakat secara umum dalam pemilihan pemimpin nasional. Issue konservasi sering menjadi ganjalan dalam proses pemilihan umum karena pemahaman politik calon pemimpin terhadap konservasi yang masih sangat minim.
Dalam hal Pertahanan dan Keamanan. Implementasi pengelolaan kawasan konservasi dilihat dari perspektif Hankam harus dapat memberikan manfaat bagi pembangunan Hankamneg, terutama partisipasi masyarakat dalam sistem hankam serta sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan sebagai komponen pendukung. Kondisi yang diharapkan adalah sebagai berikut: (1) Sumberdaya manusia pendukung pengelolaan kawasan konservasi perairan yang telah terlatih dalam pengawasan perikanan berbasis masyarakat dapat menjadi pendukung kepolisian dan TNI dalam pengelolaan keamanan di wilayah laut, secara simultan dapat mendukung sistem pertahanan dan keamanan nasional. (2) Pos jaga, pusat informasi, kantor pengelola kawasan konservasi perairan, maupun prasarana pelabuhan perikanan, dirancang untuk mampu mendukung kepentingan operasi laut bila diperlukan pada masa krisis atau perang. Oleh karenanya, khususnya dalam pemilihan posisi pelabuhan yang dapat menampung kapal-kapal besar (PPS), harus sesuai dengan posisi strategis untuk operasi laut. Untuk mampu menghadapi ancaman musuh maka pelabuhan PPS dijadikan pangkalan pertahanan yang menghadap samudera (3) Pusat informasi kawasan konservasi yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau terluar, dalam kondisi perang dapat dijadikan pos supply logistik dari industri-industri perikanan pendukung dan pengolah hasil perikanan. (4) Kapal-kapal perikanan dengan kapasitas 100 GT ke atas dapat dimanfaatkan sebagai komponen pendukung Armada cadangan untuk angkut personel maupun persenjataan dan sekaligus berfungsi sebagai deteksi dini kapal-kapal musuh. Untuk keperluan tersebut diperlukan pelatihan kepada para Nakhoda kapal. (5) Masalah illegal fishing yang berdampak kepada kerugian negara dan terjadinya overfishing, diharapkan dapat diatasi secara bertahap, melalui garda terdepan kawasan konservasi di pulau-pulau terluar, diharapkan terwujud ketertiban dan keamanan di laut melalui koordinasi dan kerjasama harmonis diantara aparat penegak hukum di laut tercipta dengan baik. KONSERVASI MENOPANG PILAR KESEJAHTERAAN (PROSPERITY). Paradigma baru pengelolaan KKP/KKP3K dibawah Menteri Kelautan dan Perikanan tidak hanya berbicara tentang perlindungan dan pelestarian, tetapi menekankan pentingnya pemanfaatan kawasan konservasi demi mendukung kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan yang dapat dilakukan di dalam KKP meliputi pemanfaatan untuk perikanan tangkap dan budidaya, pemanfataan wisata, pemanfaatan penelitian dan pengembangan, serta kegiatan ekonomi lainnya yang menunjang konservasi. Namun demikian pemanfaatan yang dilakukan dalam KKP ini bersifat terbatas dan harus mengutamakan kepentingan kelestarian sumberdaya, sehingga harus memperhatikan daya dukung kawasan. Secara prinsip maupun praktek di lapangan, dampak kawasan konservasi telah jelas dalam peningkatan hasil tangkapan masyarakat lokal. Hasil pengukuran efektivitas melalui E-KKP3K dapat menjadi indikator peningkatan ekonomi masyarakat pesisir, bersumber dari hasil tangkapan ikan di wilayah tangkap
nelayan yang merupakan limpahan manfaat kawasan konservasi perairan. Dampak ini nyata dalam mendorong peningkatan pendapatan langsung masyarakat dan menggerakkan sektor ekonomi pendukung di wilayah pesisir. Demikian pula penilaian dampak pengelolaan wisata bahari terhadap fungsi lingkungan kawasan konservasi perairan diperlukan dalam menjaga keberlanjutan pengelolaan efektif kawasan konservasi. Manfaat langsung pariwisata bahari dapat menjadi sumber pendanaan jasa lingkungan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Peluang ini sangat nyata dan berpotensi menjadi penggerak ekonomi yang cukup efektif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Operasionalisasi pengelolaan efektif KKP melalui berbagai upaya pemanfaatan yang mendorong penguatan ekonomi masyarakat pesisir dapat meningkatkan pemahaman cara pandang yang berkontribusi kepada peningkatan kesadaran masyarakat pesisir yang pada akhirnya dapat memperkokoh ketahanan nasional. Upaya ini menjadi bagian penting dalam proses integrasi nasional yang mempersatukan bangsa maritim kepulauan. Secara Demografi, Implementasi Pengelolaan Kawasan konservasi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas sumberdaya manusia masyarakat pesisir dilihat dari tingkat pendapatan, pendidikan kesehatan maupun profesionalismenya. Kondisi yang diharapkan adalah: (1) Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif dapat mendorong perekonomian yang mampu menyerap tenaga kerja di bidang penangkapan ikan, budidaya, pariwisata bahari; (2) Meningkatnya kualitas kesehatan masyarakat pesisir melalui terciptanya pemanfaatan lingkungan yang seimbang dan berwawasan lingkungan; (3) Tersedianya tenaga professional di bidang budidaya perikanan, penangkapan ikan, pariwisata bahari maupun pengawasan dan penegakan hokum; (4) Tercapainya peningkatan ekonomi masyarakat pesisir di bidang perikanan budidaya, perikanan tangkap dan pariwisata bahari berbasis pengelolaan kawasan konservasi perairan; (5) Meningkatnya pemahaman konservasi di kalangan pengusaha maupun masyarakat yang berdampak pada kesadaran dan partisipasi politik, sehingga tercapai keseimbangan kualitas Sumberdaya manusia. Optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi dalam pembangunan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional terutama dilihat dari peningkatan nilai manfaat sumber kekayaan alam, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan. kondisi yang diharapkan adalah: (1) Nilai pemanfaatan sumberdaya meningkat dan memberikan kontribusi bagi perekonomian lokal masyarakat pesisir maupun pertumbuhan ekonomi nasional. Misalnya, nilai ekonomi terumbu karang yang dimanfaatkan dalam pengelolaan kawasan konservasi yang optimal dapat mencapai 15.000 USD sampai dengan 45.000 USD per kilometer persegi per tahun. (2) Kontribusi sektor perikanan kepada PDB meningkat secara konsisten setiap tahun. (3) Meningkatnya
partisipasi masyarakat dalam pekerjaan alternatif di kawasan konservasi, mampu menumbuhkan ekonomi lokal secara konsisten meningkat. Setidaknya, pendapatan dari ekonomi alternatif tersebut mampu menggandakan pendapatan rumah tangga nelayan masyarakat pesisir. (4) Pendapatan daerah dan pendapatan sektor yang menjadi dampak pengelolaan kawasan konservasi perairan meningkat secara signifikan, seperti pengusahaan penginapan, jasa operator wisata, biro perjalanan, retribusi jasa lingkungan, maupun berbagai atraksi yang selain meningkatkan pendapatan juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar; (5) Tenaga kerja sektor perikanan diharapkan meningkat, yang meliputi kegiatan di hulu sampai di hilir. Hal ini sejalan dengan optimalisasi pemanfaatan konservasi berbasis industrialisasi perikanan yang akan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar; (6) Investasi baik PMA (Penanaman Modal Asing) maupun PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) meningkat tajam, sebagai hasil dari terciptanya iklim investasi yang kondusif; (7) Pengelolaan kawasan konservasi yang optimal menjadi penggerak ekonomi sektor informal. Secara Sosial Budaya. Implementasi pengelolaan kawasan konservasi diharapkan mampu menciptakan kondisi sosial budaya masyarakat pesisir yang lebih baik dari kondisi saat ini. Kondisi yang diharapkan adalah: (1) Konflik sosial antar masyarakat, terutama konflik horisontal dan konflik antar daerah sebagai akibat perebutan daerah penangkapan dapat dihilangkan dan terwujud suasana kondusif; (2) Meningkatnya kesejahteraan sosial masyarakat pesisir sebagai dampak tumbuhnya perekonomian dan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan; (3) Semakin kecilnya kesenjangan sosial diantara pelaku usaha dan antara stake holders perikanan terutama nelayan dan pembudidaya ikan, serta kesenjangan sosial antar daerah. Sebaliknya terjadi pemerataan pendapatan serta keadilan kesempatan berusaha; (4) Tingkat kesejahteraan masyarakat lokal sebagai pelaku perikanan terutama nelayan dan pembudidaya makin meningkat, ditandai dengan kenaikan pendapatan rumah tangga penduduk yang meningkat setiap tahun secara konsisten mejadi dua kali lipat dari kondisi sebelumnya; (5) Kesadaran masyarakat akan pemanfaatan sumber daya ikan secara lestari makin meningkat, yang ditunjukan oleh makin kecilnya tingkat perusakan lingkungan dan penggunaan bahan beracun dan peledak; (6) Jumlah masyarakat miskin makin berkurang, ditunjukan dengan meningkatnya jangkauan program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah meningkat dan merata di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (7) Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil; (8) Terpeliharanya budaya lokal masyarakat pesisir yang telah diakomodasi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan secara efektif dan berkelanjutan; (9) Kesadaran masyarakat untuk gemar makan ikan makin meningkat, untuk memperbaiki mutu gizi dan kecerdasan, diwujudkan dengan meningkatnya konsumsi ikan masyarakat secara konsiten setiap tahun; (10) Budaya masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, baik nelayan maupun pembudidaya
ikan semakin meningkat, kesadaran dalam pengelolaan lingkungan meningkat, sehingga pola konsumtif berubah menjadi produktif dan efisien; (11) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia masyarakat pesisir yang ditunjukkan dengan meningkatnya pendidikan dan partisipasi politik masyarakat.