LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN
EKSISTENSI DAN DINAMIKA TRANSFORMASI SERTA TIPOLOGI PETANI SKALA KECIL
Oleh Muhammad Iqbal Deri Hidayat Yonas Hangga Saputra Bambang Prasetyo
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014
RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN Latar Belakang 1.
Rumah tangga petani (RTP) merupakan salah satu sumber daya penting pendukung kelangsungan sektor pertanian. Oleh karena itu, pengembangan sumber daya manusia RTP sebagai bagian dari komunitas pertanian (agricultural “community” development) merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan komoditas pertanian (agricultural “commodity” development).
2.
Satu diantara sumber daya manusia RTP yang patut jadi perhatian adalah yang tergolong ke dalam kategori “gurem” dengan rataan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar (skala kecil). Kendati selama satu dasawarsa terakhir (2003-2013) terjadi transformasi penurunan jumlah RTP gurem nasional sekitar 4,77 juta rumah tangga, eksistensi RTP gurem tersebut tetap harus diupayakan pengembangannya.
3.
Upaya pengembangan RTP gurem dimulai dari deskripsi pemahaman terhadap eksistensi dan dinamika transformasinya. Salah satu jalur masuk (entry point) untuk memahami deskripsi RTP gurem tersebut adalah melalui identifikasi tipologi (special kind of symbolism) berdasarkan orientasi kegiatan usahataninya yaitu tipologi subsisten, tipologi komersial, dan tipologi transisi. Dari deskripsi pemahaman terhadap eksistensi dan dinamika transformasinya, intervensi program pengembangan RTP gurem dapat diarahkan sesuai identifikasi keragaan tipologinya. Intervensi program pengembangan RTP gurem seyogianya dilaksanakan secara kolektif melalui media organisasi kelompok tani.
Tujuan 4.
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari eksistensi dan dinamika transformasi serta tipologi petani tani skala kecil. Secara khusus, tujuannya adalah untuk: (1) mendeskripsikan eksistensi dan transformasi petani skala kecil; (2) mengindentifikasi tipologi petani skala kecil berdasarkan orientasi kegiatan (subsisten, komersial, dan transisi), berikut keberadaan organisasi kelompok tani terkait di dalamnya; dan (3) memberikan rekomendasi kebijakan pengembangan petani skala kecil.
METODOLOGI 5.
Penelitian menggunakan metode survei deskriptif (descriptive survey method) yang dilaksanakan dalam bentuk pengamatan langsung
ix
terhadap fenomena dan fakta mengenai eksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem terkait dengan tipologinya. Tipologi subsisten diwakili oleh RTP usahatani padi dan palawija. Sementara itu, tipologi komersial direpresentasikan oleh RTP usahatani hortikultura. Selanjutnya, tipologi transisi adalah representasi RTP wilayah pinggiran kota (peri urban). 6.
Penelitian dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung. Pada tiap kabupaten dipilih kecamatan, desa, dan kelompok tani yang mewakili masingmasing kriteria tipologi petani skala kecil. Pertama, tipologi subsisten adalah kelompok tani Ranca Kujang (Desa Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut). Kedua, tipologi komersial yakni kelompok tani Silih Reksa IV (Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut). Ketiga, tipologi transisi yaitu kelompok tani Sugih Mukti (Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung).
HASIL DAN PEMBAHASAN Eksistensi dan Dinamika Transformasi Petani Skala Kecil 7.
Hasil sensus pertanian tahun 2013 (ST 2013) menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP di Indonesia tercatat sebanyak 26,14 juta rumah tangga. Dari jumlah tersebut sekitar 25,75 juta rumah tangga (98,53%) merupakan rumah tangga petani (RTP) pengguna lahan pertanian. Baik jumlah RTUP maupun banyaknya RTP pengguna lahan pertanian mengalami transformasi penurunan selama 10 tahun terakhir (2003-2013) masing-masing sekitar 16,32 persen dan 15,35 persen. Transformasi penurunan jumlah RTP pengguna lahan pertanian membawa dampak pada peningkatan luas penguasaan lahan pertanian dari 0,41 hektar per rumah tangga (2003) menjadi 0,89 hektar per rumah tangga (2013).
8.
Jumlah RTP gurem tercatat 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari jumlah RTP pengguna lahan pertanian nasional. Dinamika selama satu dasawarsa terakhir (2003-2013) menunjukkan bahwa jumlah RTP gurem mengalami transformasi pengurangan absolut sebanyak 4,77 juta rumah tangga, atau rata-rata menurun sekitar 2,51 persen per tahun.
9.
Paralel dengan tingkat nasional, eksistensi dan transformasi RTP gurem bervariasi menurut tingkat wilayah baik regional, provinsi, kabupaten/kota, maupun kecamatan (termasuk desa). Eksistensi jumlah RTP gurem di Jawa hampir tiga kali lipat dibandingkan di luar Jawa. Transformasi penurunan jumlah RTP gurem di Jawa juga lebih besar dari pada transformasi penurunan jumlah RTP gurem di luar Jawa (28,24% vs. 15,75%). x
10. Eksistensi jumlah RTP gurem Provinsi Jawa Barat (3,4 juta rumah tangga) menempati urutan ketiga setelah Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu dinamika transformasi penurunan RTP gurem provinsi ini (34,37%) menempati urutan kedua setelah Jawa Tengah. Di lokasi penelitian, eksistensi jumlah RTP gurem di Kabupaten Garut (209.813 rumah tangga) lebih tinggi dibandingkan di Kabupaten Bandung (114.213 rumah tangga). Sebaliknya, proporsi penurunan RTP gurem Kabupaten Bandung (27,20%) lebih besar dari pada di Kabupaten Garut (19,37%). 11. Deskripsi eksistensi jumlah RTP gurem antar kecamatan contoh penelitian masing-masing 6.588 rumah tangga (Banyuresmi), 3.729 rumah tangga (Cigedug), dan 819 rumah tangga (Bojongsoang). Proporsi jumlah RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan adalah 82,17 persen (Banyuresmi), 85,61 persen (Cigedug), dan 62,61 persen (Bojongsoang). Sementara itu, transformasi penurunan RTP gurem di Banyuresmi, Cigedug, dan Bojongsoang masing-masing 11,05 persen, 19,69 persen, dan 63,47 persen. Tipologi Petani Skala Kecil 12. Berdasarkan kriteria tipologi petani yaitu subsisten, komersial, dan transisi yang diwakili oleh tiga kecamatan masing-masing Banyuresmi, Cigedug, dan Bojongsoang dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, jumlah RTP gurem tertinggi berada pada tipologi subsisten, diikuti oleh tipologi komersial dan transisi. Kedua, proporsi RTP gurem terbanyak adalah pada tipologi komersial, berikutnya tipologi subsisten dan tipologi transisi. Ketiga, transformasi penurunan RTP gurem terbesar yaitu pada tipologi transisi, kemudian tipologi komersial dan tipologi subsisten. 13. Eksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem tipologi transisi menunjukkan karakteristik yang khas sejalan dengan semakin berkurangnya jumlah rumah tangga pertanian. Sementara itu, karakteristik RTP gurem tipologi subsisten dan tipologi komersial relatif tidak menunjukkan perbedaan secara signifikan. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan karakteristik mendasar diantara tipologi subsisten, komersial, dan transisi. 14. Karakteristik tipologi subsisten ditandai dengan kecilnya luas penguasaan lahan yaitu masing-masing 0,42 (lahan sawah) dan 0,22 hektar (lahan kering). Petani yang tidak memiliki lahan (tuna lahan) baik lahan sawah maupun lahan kering masing-masing sekitar 44,44 persen dan 50 persen. Sebagian dari petani tersebut tergolong sebagai buruh tani. Kesempatan untuk menggarap lahan baik melalui pola bagi hasil atau sewa boleh dikatakan terbatas karena petani
xi
pemilik cenderung mengusahakan sendiri lahannya yang notabene skala luasannya cukup sempit. Umumnya panen padi sawah dilakukan secara “tebasan” karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Sementara itu kebutuhan pokok (beras) umumnya dipenuhi dari pembelian dengan mengandalkan penjualan hasil panen tanaman lahan kering. 15. Karakteristik tipologi komersial dicirikan oleh kegiatan usahatani yang beorientasi pasar melalui dukungan kerjasama kemitraan usahatani tanaman kentang antara kelompok tani dengan perusahaan swasta (PT Indofood Fritolay Makmur). Pola penguasaan lahan terdiri dari garapan milik dan garapan sewa (60% vs. 40%) dengan rataan luas masing-masing 1,65 hektar dan 1,10 hektar. Kendati rataan luas garapan tersebut jauh di atas standar kategori gurem (<0,5 hektar), kerjasama kemitraan tersebut merepresentasikan keberhasilan. Secara implisit keberhasilannya dapat dinikmati juga oleh RTP gurem, yaitu sebagai buruh tani pada kerjasama kemitraan tersebut yang notabene kegiatannya memerlukan tenaga kerja intensif. 16. Karakteristik tipologi transisi ditunjukkan oleh rendahnya proporsi petani pemilik penggarap (13,04%) dibandingkan petani penggarap sewa (34,78%), bayar PBB (30,43%), dan bagi hasil (21,74%). Khusus untuk bayar PBB, petani penggarap membayarkan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) lahan yang digarap dan kemudian semua hasil garapannya menjadi hak petani penggarap yang bersangkutan. Posisi petani penggarap (terutama penyakap) relatif lemah karena lahan garapan sewaktu-waktu bisa diambil oleh pemilik untuk dialihfungsikan ke penggunaan non-pertanian. 17. Kecuali di tipologi komersial dan sebagian di tipologi subsisten, peran petani pemilik di tipologi transisi cukup menentukan dalam adopsi teknologi pertanian. Jika persepsi pemilik ragu terhadap teknologi pertanian yang berimplikasi pada penurunan produktivitas, maka pemilik tersebut menolak untuk menerapkannya. Konsekuensinya, petani penggarap mengikuti persepsi tersebut karena khawatir terhadap pemutusan hubungan kerja. Keberadaan Organisasi Kelompok Tani 18. Rataan usia anggota kelompok tani berkorelasi dengan tipologi petaninya, dimana petani tipologi komersial lebih muda dibandingkan petani tipologi subsisten dan transisi. Secara asumtif, usahatani komersial memerlukan tenaga kerja relatif muda untuk menggarap lahan usahatani secar insentif. Rata-rata usia anggota kelompok tani tipologi subsisten, komersial, dan transisi masing-masing sekitar 55 tahun, 43 tahun, dan 56 tahun.
xii
19. Secara ummum, ketertarikan generasi muda untuk terjun di bidang pertanian semakin menurun, terutama di tipologi transisi dan sebagian di tipologi subsisten. Hal tersebut mengingat semakin terbatasnya ketersediaan lahan pertanian. Khusus untuk tipologi transisi yang lokasinya berada dekat pertumbuhan ekonomi (peri urban) dengan maraknya alih fungsi lahan pertanian, generasi mudanya lebih banyak bekerja pada sektor non-pertanian dengan peluang cukup banyak dibandingkan peluang bagi tipologi lain khususnya tipologi subsisten. Sementara itu minat generasi muda tipologi komersial untuk terjun bekerja pada sektor pertanian relatif masih tinggi karena hasil kegiatan usahataninya cukup menguntungkan. 20. Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) dominan bukan sebagai petani. Kondisi tersebut mengindikasikan kurang tertibnya administrasi kependudukan yang sekaligus dapat berdampak pada distorsi sasaran penerima manfaat program yang seharusnya untuk petani tetapi jatuh kepada pihak lain. IMPLIKASI KEBIJAKAN Dasar Kebijakan 21. Kebijakan pengembangan petani didasarkan pada kenyataan bahwa petani mempunyai peran sentral dan memberikan kontribusi besar dalam penyelenggaraan pembangunan pertanian. Pelaku utama pembangunan pertanian adalah petani yang pada umumnya berusahatani pada lahan pertanian skala kecil dengan rataan kurang dari 0,5 hektar, bahkan sebagian tidak memiliki lahan usahatani sendiri (petani penggarap dan buruh tani). 22. Posisi petani pada umumnya cukup lemah dalam memperoleh sarana produksi, pembiayaan usahatani, dan akses pasar. Selain itu, petani dihadapkan pada kecenderungan terjadinya perubahan iklim, kerentanan terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak kepada petani. Tujuan Kebijakan 23. Tujuan kebijakan pengembangan petani adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan petani dalam rangka meningkatkan kualitas menuju kesejahteraan yang lebih baik. Disamping itu, tujuan lainnya adalah untuk: (1) melindungi petani dari kegagalan panen dan risiko harga; (2) menyediakan prasarana dan sarana pertanian dalam mengembangkan usahatani sesuai dengan kebutuhan petani; (3) menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan pertanian xiii
yang melayani kepentingan usahatani; (4) meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam menjalankan usahatani yang produktif, maju, modern, bernilai tambah, berdaya saing, mempunyai akses dan pangsa pasar secara berkelanjutan; dan (5) memberikan kepastian hukum bagi terselenggaranya usahatani secara kondusif. Isu Kebijakan 24. Pengembangan rumah tangga petani (RTP) skala kecil (gurem) seyogianya diimplementasikan berdasarkan tipologinya. Hal tersebut mengingat masing-masing tipologi memiliki perbedaan spesifikasi karakteristik eksistensi dan kebutuhan serta orientasi kegiatannya. Pengembangan tersebut harus dimulai dari pengembangan kapasitas petani termasuk RTP gurem melalui pendidikan dan latihan (diklat), baik teknis (pengelolaan usahatani) maupun non-teknis (manajerial) berlandaskan konsep agribisnis. Bantuan fisik untuk pembangunan komoditas dilaksanakan secara selektif. Hal tersebut mengingat akselerasi pembangunan komoditas tergantung pada pengembangan komunitas. 25. Fokus pengembangan petani tipologi subsisten adalah melalui optimalisasi pemanfaatan lahan yang cenderung sempit. Tumpuan pengembangan petani tipologi komersial yaitu dengan cara meningkatkan kerjasama kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak (terutama petani skala kecil). Sementara itu, inti pengembangan petani tipologi transisi yakni berupa peningkatan kapasitas keterampilan dalam bidang yang menunjang usahatani (off-farm) seperti alsintan (alat dan mesin pertanian). 26. Implementasi pengembangan petani adalah secara kolektif melalui organisasi kelompok tani. Perlu dicatat bahwa kegiatan pengembangan tersebut seyogianya memperhatikan substansi status petani (pemilik dan penggarap). Disamping itu pengecekan KTP petani seyogianya dilakukan dan bila perlu diiringi dengan pemberian kartu identitas petani guna mempermudah identifikasi dan ketepatan implementasi kegiatan pengembangan komunitas petani dan komoditas pertaniannya.
xiv
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................... LEMBAR PENGESAHAN ......................................................... EXECUTIVE SUMMARY ......................................................... RINGKASAN EKSEKUTIF ....................................................... DAFTAR ISI ......................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................ DAFTAR KOTAK ................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................. DAFTAR SINGKATAN ...........................................................
i ii iii ix xv xvii xviii xvix xx xxi
I.
PENDAHULUAN ............................................................ 1.1. Latar Belakang .................................................... 1.2. Perumusan Masalah ............................................ 1.3. Tujuan Penelitian ................................................ 1.4. Keluaran Penelitian ..............................................
1 1 2 3 4
II.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................... 2.1. Pengertian Petani Skala Kecil ............................... 2.2. Permasalahan yang Dihadapi Petani Skala Kecil ..... 2.3. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Kecil .......
5 6 7 9
III. METODOLOGI ............................................................. 3.1. Kerangka Pemikiran ............................................ 3.2. Metode Penelitian ................................................ 3.4. Data dan Informasi Penelitian .............................. 3.4. Lokasi dan Jadwal Penelitian ................................
12 12 13 13 14
IV.
15 15 16 20 23 25 27 27 27 28 30 32 33
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................ 4.1. Eksistensi dan Dinamika Transformasi RTP Gurem 4.1.1. Nasional .................................................. 4.1.2. Provinsi Jawa Barat .................................. 4.1.3. Kabupaten Garut ..................................... 4.1.4. Kabupaten Bandung ................................ 4.2. Tipologi RTP Gurem ............................................ 4.2.1. Tipologi RTP Subsisten ............................. 4.2.1.1. Gambaran Umum ...................... 4.2.1.2. Pola Penguasaan Lahan ............. 4.2.1.3. Sistem Usahatani ...................... 4.2.2. Tipologi RTP Komersial ............................. 4.2.2.1. Gambaran Umum ......................
xv
4.2.2.2. Pola Penguasaan Lahan ............. 4.2.2.3. Sistem Usahatani ...................... 4.2.3. Tipologi RTP Transisi ................................ 4.2.3.1. Gambaran Umum ...................... 4.2.3.2. Pola Penguasaan Lahan ............. 4.2.3.3. Sistem Usahatani ...................... 4.3. Keberadaan Organisasi Kelompok Tani.................. 4.3.1. Kelompok Tani Tipologi Subsisten ............. 4.3.2. Kelompok Tani Tipologi Komersial ............. 4.3.3. Kelompok Tani Tipologi Transisi .............
33 33 38 38 38 42 46 46 49 52
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ..................... 5.1. Kesimpulan ......................................................... 5.2. Rekomendasi Kebijakan .......................................
55 55 57
DAFTAR PUSTAKA ............................................................... LAMPIRAN ..........................................................................
59 62
V.
xvi
DAFTAR TABEL Tabel 3.1. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7.
Halaman Lokasi Penelitian Eksistensi dan Dinamika Transformasi serta Tipologi Petani Skala Kecil ................................. Keragaan RTUP Nasional serta Jawa dan Luar Jawa, 2003 dan 2013 ......................................................... Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian Nasional serta Jawa dan Luar Jawa, 2003 dan 2013 ................. Keragaan RTP Gurem Nasional serta Jawa dan Luar Jawa, 2003 dan 2013 ................................................ Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian, dan RTP Gurem di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Contoh Penelitian, 2003 dan 2013 .............................. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian dan RTP Gurem pada Kecamatan Contoh di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013 ............................................... Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian, dan RTP Gurem pada Kecamatan Contoh (Bojongsoang) di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013 .......................... Hak dan Kewajiban Petani dan PT IFM dalam Kerjasama Kemitraan Budidaya Tanaman Kentang di Kabupaten Garut, 2014 .............................................
14 16 17 18 21 23 25 35
xvii
DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5.
Halaman Kerangka Pemikiran Eksistensi dan Dinamika Transformasi serta Tipologi Petani Skala Kecil ........ Proporsi Jumlah RTP Gurem terhadap Jumlah RTP Pengguna Lahan Nasional dan Regional, 2013 ........ Proporsi RTP Gurem Nasional dan Regional, 2013 ... Proporsi RTP Gurem di Provinsi Jawa Barat, 2013 ... Proporsi RTP Gurem di Kabupaten Garut, 2013 ....... Proporsi RTP Gurem di Kabupaten Bandung, 2013 ..
13 19 19 22 24 26
xviii
DAFTAR KOTAK Kotak 4.1. 4.2. 4.2. 4.4. 4.5. 4.6.
Halaman Fenomena Penguasaan Lahan Pertanian di Desa Cipicung .................................................................. Sekilas Mengenai Komoditas Kentang di Kabupaten Garut ...................................................................... Kiprah PT Indofood Fritolay Makmur di Kabupaten Garut ...................................................................... Fenomena Tenaga Kerja Pertanian di Desa Cigedug ... Ungkapan Keprihatinan Petani Gurem ....................... Representasi Keengganan Generasi Muda Bekerja di Pertanian ................................................................
29 34 35 36 42 44
xix
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Tabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Halaman Keragaan Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Indonesia, 2003 dan 2013 ............................... Keragaan RTUP di Provinsi Jawa Barat, 2003 dan 2013 .................................................................. Keragaan RTUP di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013 Keragaan RTUP di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013 .................................................................. Rataan Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia menurut Provinsi, 2003 dan 2013 ........................ Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan di Gurem di Indonesia, 2003 dan 2013 .................... Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan Gurem di Provinsi Jawa Barat, 2003 dan 2013 ...... Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan Gurem di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013 .......... Keragaan RTP Pengguna Lahan dan Gurem di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013 ................... Keragaan Kelompok Tani “Ranca Kujang”, Desa Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, 2014 ......................... Keragaan Kelompok Tani “Silih Reksa IV”, Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, 2014 ................................... Keragaan Kelompok Tani “Sugih Mukti”, Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, 2014 .................... 88 Jenis Pekerjaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) .................................................................
62 63 64 65 66 67 68 69 71 72 73 74 75
xx
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN Balitbangda Balitsa BPJS BPP BPPSDMP BPS BPTP DAS DIPA DIY Diklat DKI Dkk DPTPH Et al FAO Gapoktan Gapoktan GKP Gurem IFAD IFM IFPRI Jabar Jateng Jatim JITUT Kementan KK KPP-E KTP KUR KUT LAKIP LKM MH MK I MK II MT NTP PBB
Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Balai Penelitian Sayuran
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Balai Penyuluhan Pertanian Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Badan Pusat Statistik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Daerah Aliran Sungai Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Daerah Istimewa Yogyakarta Pendidikan dan Latihan Daerah Khusus Ibukota Dan kawan-kawan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura et alibi (dan lain-lain) yang muncul dalam naskah Food and Agriculture Organization Gabungan kelompok tani Gabungan Kelompok Tani Gabah Kering Panen Istilah untuk rumah tangga petani pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar International Fund for Agricultural Development Indofood Fritolay Makmur International Food Policy Research Institute Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Jaringan Irigasi Tingkat Usahatani Kementerian Pertanian Kepala Keluarga Kredit Ketahanan Pangan dan Energi Kartu Tanda Penduduk Kredit Usaha Rakyat Kredit Usaha Tani Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Lembaga Keuangan Mikro Musim Hujan Musim Kemarau Pertama Musim Kemarau Kedua Musim Tanam Nilai Tukar Petani Perserikatan Bangsa Bangsa xxi
PBB Perda Perdes PLP2B Poktan PSE-KP PT PUAP RI RMU RPTP RT RTP RTRW RTUP RUU SD SLPTT SMA SMP SPOT SPP SRI ST SUSEDA TA Tapin Tumbak UMK UN UPJA UU WB WFP
Pajak Bumi dan Bangunan Peraturan Daerah Peraturan Desa Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kelompok tani Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Perseroan Terbatas Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan Republik Indonesia Rice Milling Unit Rencana Penelitian Tingkat Peneliti Rumah Tangga Rumah Tangga Petani Rencana Tata Ruang Wialayah Rumah Tangga Usaha Pertanian Rancangan Undang Undang Sekolah Dasar Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Pertama Systeme Probatoire d'Observation de la Terre Survei Pendapatan Pertanian System of Rice Intensification Sensus Tani (Sensus Pertanian) Survei Sosial Ekonomi Daerah Tahun Anggaran Tanam Pindah Satuan lokal untuk luas lahan dengan ukuran sekitar 1.428 meter persegi atau 0,14 hektar (1 hektar sama dengan 700 tumbak) Upah Minimum Kabupaten United Nations Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian Undang Undang World Bank World Food Program
xxii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam pasal 1 (bab ketentuan umum) Undang-undang Nomor 13 tahun 2013 (UU No. 13/2013) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Pemerintah RI, 2013) dijelaskan definisi tentang petani. Menurut definisi tersebut, petani adalah: “….warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta
keluarganya yang melakukan usahatani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan”. Dari
penjelasan di
atas
ada dua hal
pokok
yang perlu
digarisbawahi. Pertama, petani adalah perseorangan baik selaku kepala keluarga maupun bukan sebagai kepala keluarga. Kedua, petani merupakan perseorangan dan/atau berserta keluarganya. Oleh karena itu, secara hakiki petani adalah representasi perseorangan dan rumah tangga (petani, usahatani, pertanian, dan atribut sejenis yang melekat di dalamnya) yang secara semantik berkonotasi tunggal (bukan jamak) yaitu “petani dengan rumah tangganya” atau rumah tangga petani (RTP). Penjabaran UU No. 13/2013 menjelaskan bahwa petani memiliki peran sentral dan memberikan kontribusi besar dalam penyelenggaraan pembangunan
pertanian.
Petani
disebut
sebagai
pelaku
utama
pembangunan pertanian, tetapi hanya memiliki lahan pertanian dengan rataan di bawah 0,5 hektar per petani. Sebagian dari petani tidak memiliki lahan usahatani sendiri, atau disebut sebagai petani penggarap, bahkan juga buruh tani. Petani pada umumnya mempunyai posisi yang lemah dalam memperoleh sarana produksi, pembiayaan usahatani, dan akses pasar. Terlepas dari definisi dan penjabaran di atas yang selanjutnya dimanifestasikan dalam bentuk perlindungan dan pemberdayaan petani yang diatur oleh UU No. 13/2013, eksistensi petani harus dipahami terlebih dahulu. Sejalan dengan itu, perubahan (transformasi) yang 1
mengiringi kehidupan petani itu sendiri juga tidak kalah pentingnya untuk dipelajari. Salah satu jalur masuk (entry point) untuk memahami dan mempelajari
eksistensi
dan
transformasi
tersebut
adalah
melalui
identifikasi tipologi (special kind of symbolism) petani. 1.2. Perumusan Masalah Petani merupakan salah satu sumber daya penting pendukung kelangsungan sektor pertanian. Oleh karena itu, pengembangan sumber daya
manusia
petani
sebagai
bagian
dari
komunitas
pertanian
(agricultural “community” development) merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan komoditas pertanian (agricultural
“commodity” development). Basis pengembangan sumber daya manusia petani adalah pemahaman terhadap eksistensi berikut dinamika transformasi serta tipologi yang melatarbelakanginya. Eksistensi sumber daya manusia petani perlu dipahami melalui kondisi terkini, sedangkan dinamika transformasinya patut dipelajari terkait dengan rentang perubahan antar waktu. Salah satu refleksi eksistensi dan dinamika transformasi sumber daya manusia petani di Indonesia dapat diamati dari Hasil Sensus Pertanian (ST). Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 (ST 2003) menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pertanian tercatat sebanyak 31,23 juta. Sementara itu, berdasarkan hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (ST 2013), eksistensi jumlah rumah tangga pertanian berkurang menjadi 26,14 juta (BPS, 2013). Dengan demikian, selama kurun waktu satu dasawarsa (20032013) terjadi transformasi pengurangan jumlah rumah tangga pertanian sekitar 5,10 juta atau rata-rata mengalami penurunan sebesar 1,77 persen per tahun. Eksistensi dan dinamika transformasi tersebut mencakup petani skala kecil yang proporsinya cukup besar yaitu sekitar
2
62,51 persen dan 55,33 persen masing-masing menurut hasil ST 2003 dan ST 2013. Terjadinya pengurangan atau penurunan jumlah rumah tangga pertanian termasuk skala kecil merupakan refleksi dari dinamika transformasi dalam rumah tangga pertanian itu sendiri. Dinamika transformasi tersebut perlu dipelajari mengingat bahwa sesungguhnya petani tidak dapat dipandang hanya dari sisi absolut semata, melainkan perlu ditelusuri melalui tipologi sekaligus permasalahan yang ada di dalamnya. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini menjadi relevan untuk dilaksanakan. Salah satu tipologi petani yang menjadi acuan adalah terkait dengan orientasi kegiatannya yaitu tipologi subsisten, komersial, dan transisi (IFAD, 2013). Dengan memahami tipologi petani, rancangan dan implementasi program pembangunan pemerintah ( government
intervention)
termasuk
bimbingan
teknis
(technical
assistance)
diharapkan tepat sasaran, terutama bagi petani skala kecil (termasuk buruh tani). Program dan bimbingan tersebut seyogianya tidak bersifat individu melainkan secara kolektif dengan melibatkan organisasi petani seperti kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan). 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari eksistensi dan dinamika transformasi serta tipologi petani tani skala kecil. Secara khusus, tujuannya adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan eksistensi dan transformasi petani skala kecil; 2. Mengindentifikasi tipologi petani skala kecil berdasarkan orientasi kegiatan (subsisten, komersial, dan transisi), berikut keberadaan organisasi kelompok tani terkait di dalamnya; dan 3. Memberikan rekomendasi kebijakan pengembangan petani skala kecil.
3
1.4. Keluaran Penelitian Berdasarkan latar belakang dan tujuan di atas, keluaran penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Deskripsi eksistensi dan transformasi petani skala kecil; 2. Identifikasi tipologi petani skala kecil berdasarkan orientasi kegiatan (subsisten, komersial, dan transisi), berikut keberadaan organisasi kelompok tani terkait di dalamnya; dan 3. Rekomendasi kebijakan pengembangan petani skala kecil.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA Di Indonesia, usaha pertanian didominasi oleh usahatani rumah tangga. Boleh dikatakan, seluruh produksi bahan pangan domestik dihasilkan oleh usahatani rumah tangga. Andil perusahaan pertanian korporasi yang cukup signifikan hanyalah untuk beberapa komoditas perkebunan dan peternakan seperti kelapa sawit, teh, dan ayam ras. Oleh karena itu, kinerja sektor pertanian secara umum dan khususnya keberhasilan
pembangunan
pertanian
dalam
mewujudkan
tujuan
ketahanan pangan nasional dan meningkatnya pendapatan petani sangat ditentukan oleh kinerja usahatani rumah tangga, termasuk skala kecil (Lakollo, dkk., 2010). Pertanian skala kecil semakin menjadi perhatian dunia terutama semenjak PBB mengakui keberadaan dan peran pentingnya dalam mengatasi krisis pangan dunia. Hal tersebut juga dikuatkan dalam pidato Direktur Jenderal FAO pada acara the World Food Day pada tanggal 16 Oktober 2012 dengan topik “Small-Scale Farmers as A Key to Feeding the
World” (FAO, 2012). . Di Indonesia, setelah menunggu lama, akhirnya pada tanggal 9 Juli
2013, Rancangan Undang Undang (RUU) Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 19 tahun 2013. (Pemerintah RI, 2013). Lahirnya UU tersebut disemangati oleh kesadaran bahwa selama ini petani relatif belum memperoleh perlindungan dan pemberdayaan sebagaimana mestinya, terutama petani skala kecil. Hakikat perlindungan dan pemberdayaan petani skala kecil paling tidak seyogianya ditempuh melalui tiga langkah strategi. Pertama, pemahaman terhadap pengertian atau definisi petani skala kecil. Kedua, pengetahuan tentang permasalahan yang dihadapi petani skala kecil.
Ketiga, perencanaan terkait dengan intervensi perlindungan dan pemberdayaan petani skala kecil. 5
2.1. Pengertian Petani Skala Kecil Membahas usahatani rumah tangga tidak terlepas dari skala usaha pertanian yang digeluti petani. Menurut von Braun (2004 dalam Sumaryanto. 2009), lazimnya petani skala kecil yang selama ini diacu terkait dengan "smallness" dari segi "size" lahan usahatani dan/atau jumlah ternak yang dimiliki atau dikelola. Salah satu keterbatasan pendefinisian seperti itu adalah tiadanya suatu ukuran yang dapat berlaku umum (untuk semua wilayah dan jenis komoditas). Secara umum, pada luasan usahatani yang sama, petani tanaman pangan tidak sebanding dengan petani yang mengusahakan jenis tanaman pertanian bernilai ekonomi tinggi dengan akses pasar yang sangat baik, begitupun pada pertanian dengan lahan subur dan berpengairan teknis akan berbeda dengan petani yang lahan usahataninya kurang subur dan tidak terfasilitasi pengairan yang memadai. Definisi lain tentang petani skala kecil paling tidak dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi tenaga kerja dan sisi pendapatan (Narayanan and Gulati, 2002). Dari sisi tenaga kerja, petani skala kecil adalah rumah tangga yang mata pencaharian utamanya berusahatani dengan mayoritas tenaga kerjanya berasal dari dalam keluarga. Sementara itu, dasi sisi pendapatan, petani skala kecil lazimnya diasosiasikan dengan tingkat pendapatan yang rendah. Oleh karena, sSecara teoritis terdapat konvergensi antara skala usaha, tenaga kerja, penerapan teknologi, akses pasar, dan pendapatan. Hazel et al., (2007) mendefinisikan bahwa karakteristik petani skala kecil adalah pelaku usahatani yang menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dengan orientasi subsisten atau menghasilkan kebutuhan pangan pokok untuk rumah tangga sendiri. Karakteristik lainnya petani skala kecil tersebut memiliki keterbatasan sumber daya seperti lahan, modal, tenaga kerja, dan keterampilan (skills). Sementara itu, menurut
the World Bank’s Rural Development Strategy (WB, 2003 dalam Thapa 6
and Gaiha, 2014) basis luas lahan usahatani petani skala kecil adalah di bawah 2 (dua) hektar. Hasil studi FAO menyimpulkan bahwa petani skala kecil adalah pelaku usahatani tani dengan keterbatasan sumber daya relatif terhadap petani lainnya (Thapa dan Gaiha, 2014). Estimasi dari IFPRI (2007) menggambarkan bahwa sekitar 450 juta (87%) skala kecil dengan luas penguasaan lahan di bawah dua hektar berada di kawasan Asia dan Pasifik. Posisi pertama dan kedua ditempati oleh Tiongkok dan India dengan jumlah masing-masing 193 juta dan 93 juta. Negara Asia lainnya yang memiliki jumlah petani skala kecil cukup banyak adalah Indonesia dan Bangladesh (masing-masing 17 juta) serta Viet Nam (10 juta). Di Indonesia, secara ofisial Badan Pusat Statistik (BPS, 2014) mendefiniskan bahwa petani skala kecil adalah yang menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar. Penguasaan lahan tersebut meliputi satu atau lebih kegiatan kegiatan usaha tanaman padi, palawija, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, budidaya ikan/biota lain di kolam air tawar/tambak air payau, dan penangkapan satwa liar. Petani skala kecil tersebut selanjutnya diberi istilah “petani gurem”. 2.2. Permasalahan yang Dihadapi Petani Skala Kecil Sampai saat ini, sektor pertanian masih berhubungan erat dengan fenomena kemiskinan. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Permasalahan yang terjadi pada sektor pertanian antara lain adalah semakin meningkatnya jumlah rumah tangga di pedesaan sementara luas lahan pertanian relatif tetap, atau bahkan mengecil. Menurut Sumaryanto (2009), secara garis besar penyebab utama mengecilnya skala usahatani terkait dengan pertambahan jumlah rumah tangga pertanian yang jauh lebih tinggi dibandingkan pertambahan luas areal pertanian baru, konversi lahan pertanian ke non-pertanian, dan pewarisan. Dengan
7
usaha skala kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usahatani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup kendati kegiatan usahatani yang dijalankan sebetulnya relatif cukup menguntungkan. Kenyataan menunjukkan bahwa sektor pertanian Indonesia sebagian besar digeluti oleh petani dengan skala usahatani yang relatif sempit (petani skala kecil). Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Anantanyu (2008) dimana dengan skala usahatani sempit dapat menghambat petani meningkatkan pendapatan sehingga sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Masyarakat pertanian miskin selain dicirikan oleh skala usahatani yang sempit juga memiliki keterbatasan dalam hal infrastruktur serta aksesibilitas terhadap modal, teknologi, informasi, dan pasar sehingga tingkat kapasitas petani dan produktivitas usahatani (kususnya skala kecil) jadi rendah. Sesuai dengan karakteristiknya, petani skala kecil memiliki keterbatasan sumber daya seperti lahan, modal, tenaga kerja, dan keterampilan
(skills).
Keterbatasan-keterbatasan
tersebut
sekaligus
menjadi permasalahan yang dihadapi oleh petani skala kecil.
Pertama, permasalahan terkait dengan keterbatasan terhadap sumber daya lahan dapat ditunjukkan oleh fenomena dimana dengan semakin bertambahnya jumlah rumah tangga tani maka rataan luas penguasaan lahan usahatani juga semakin mengecil (Sumaryanto, 2009). Kendati ada penambahan luas (pecetakan) lahan usahatani, kondisinya tidak seimbang dengan pertumbuhan jumlah rumah tangga petani disamping cukup maraknya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.
Kedua, dalam konteks kekinian, paling tidak petani skala kecil dihadapkan pada dua tantangan utama, yaitu: (1) eksistensi rantai nilai (value chain) perdagangan komoditas; dan (2) risiko dan ketidakpastian terkait dengan degradasi lingkungan dan perubahan iklim (Rahman dan Smolak, 2014). Kedua tantangan tersebut menjadi permasalahan kritis
8
bagi petani skala kecil terutama jika dikaitkan dengan keterbatasan sumber daya modal yang dimiliki.
Ketiga, kendati jumlah keberadaan yang cukup banyak dengan kuantitas ketersediaan tenaga kerja yang juga cukup besar, petani skala kecil memiliki posisi lemah dalam proses negosiasi dengan pihak luar (Toulmin, 2013).
Keempat, BPPSDMP (2011) mengisyaratkan bahwa secara umum kualitas pelaku utama pembangunan pertanian masih tergolong rendah. Dari segi pendidikan, dari total 39.035.692 orang petani, 39 persen hanya tamat Sekolah Dasar (SD), 27 persen tidak/belum tamat SD, dan bahkan sebanyak 9,7 persen tidak atau belum pernah sekolah. Pendidikan petani yang rendah diposisikan sebagai permasalahan. Petani skala kecil disebutkan memiliki pola pemikiran yang lemah, sehingga pemerintah merasa perlu memajukan pola pikir petani yang lemah tersebut. Upaya memajukan pola pikir tersebut penting mengingat sektor pertanian cenderung bergerak ke arah sistem inovasi dan tekonologi baru dengan tuntutan efisiensi dan produktivitas yang semakin tinggi, sehingga mensyaratkan tenaga kerja terdidik dan terampil (Arifin, 2013). Satu lagi permasalahan yang cukup krusial terkait dengan regenerasi petani. Hasil Sesnsus Pertanian tahun 2013 (BPS, 2014) menunjukkan bahwa jumlah petani usia tua (>55 tahun) meningkat cukup signifikan dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir, sementara jumlah petani usia muda (15-24 tahun) justru menurun. Konsisi tersebut sekaligus mengiyaratkan bahwa kultur petani kian tergerus dan minat generasi muda untuk menjadi petani semakin rendah. 2.3. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Skala Kecil Saat ini secara umum penguasaan lahan yang sempit boleh dikatakan tidak layak dijadikan sebagai sumber mata pencaharian (livelihoods) petani skala kecil. Sebagian anggota keluarga petani skala
9
kecil beralih ke pekerjaan non-pertanian dan sebagian lagi seakan terperangkap dalam kegiatan pertanian subsisten. IFAD (2013) telah memberikan pedoman (guideline) intervensi bantuan (support) terhadap petani skala kecil. Di dalamnya antara lain mencakup: (1) upaya perbaikan kinerja pemasaran input dan output pertanian, lahan, dan jasa keuangan untuk mengatasi kegagalan pasar (market failure) yang cenderung diskriminasi terhadap petani skala kecil; (2) peningkatan investasi dalam bidang penelitian dan pengembangan (litbang) dan infrastruktur pedesaan berdasarkan kebutuhan petani (termasuk petani skala kecil); (3) fasilitasi pengorganisasian petani skala kecil dalam akses terhadap pasar; dan (4) pemberian insentif pada sektor swasta agar lebih dekat dengan petani skala kecil. Cara terbaik dalam pelaksanaan intervensi tersebut adalah melalui kerjasama antara pihak pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat ( private partnership) seraya menciptakan dan mengembangkan kebijakan dan lingkungan bisnis yang berpotensi untuk ditingkatkan dan dilanjutkan. Pemerintah Indonesia juga sudah memberikan arahan yang sama sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Nomor 13/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Strategi perlindungan petani (termasuk skala kecil) dilakukan melalui: (1)
prasarana dan sarana
produksi pertanian; (2) kepastian usaha; (3) harga komoditas pertanian; (4) penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; (5) ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa; (6) sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim; dan (7) asuransi Pertanian. Sementara itu, strategi pemberdayaan petani dilakukan dengan cara: (1) pendidikan dan pelatihan; (2) penyuluhan dan pendampingan; (3) pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian; (4) konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian; (5) penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan; (6) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; dan (7) penguatan kelembagaan petani.
10
Kapasitas petani dalam berproduksi mesti digenjot melalui peningkatan rataan luas penguasaan lahan. Disamping itu petani juga harus mendapatkan fasilitasi berupa subsidi input dan output guna membangkitkan gairah dalam berusahatani yang bernuansa agribisnis. Aktivitas di luar usahatani (off-farm) seyogianya juga didorong. Hal tersebut penting dalam rangka meningkatkan diversifikasi sumber pedapatan, khususnya petani tanaman pangan agar tidak hanya bertumpu pada kegiatan usahatani (on-farm) semata. Kondisi demikian sejalan dengan pendapat van Braun (2004 dalam Sumaryanto, 2009) dimana diversifikasi sumber pendapatan merupakan salah satu strategi diantara berbagai strategi lainnya seperti spesialisasi dan komersialisasi serta mencari tambahan pendapatan dari luar usahatani ( part time
farmer).
11
III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian ini diilustrasikan pada Gambar 1. Perlu disadari bahwa eksistensi petani skala kecil mengalami dinamika transformasi seiring perjalanan waktu. Dalam penelitian ini, dinamika yang diamati yaitu berdasarkan hasil ST 2003 dan ST 2013 (BPS, 2013). Eksistensi dan dinamika transformasi petani skala kecil tidak hanya dilihat secara absolut semata, melainkan perlu diperhatikan dari sisi tipologinya. Mengacu pada IFAD (2013), tipologi petani skala kecil terdiri dari tiga kriteria berikut: 1. Tipologi
petani
yang
mengelola
usahatani
secara
subsisten
(subsistence-oriented small farms) yang hanya menjual sebagian hasil panennya untuk memperoleh pendapatan (cash income) tetapi selalu membeli (net buyers) kebutuhan pangan sepanjang tahun. 2. Tipologi petani skala kecil komersial (commercial small-scale farmers) yang sudah berhubungan dengan
rantai
nilai
(value
chains)
komoditas. Petani ini biasanya ada yang bekerja penuh atau paruh waktu (full or part-time farmers) dalam mengelola usahataninya. 3. Tipologi petani skala kecil transisi (small-scale farmers in transition) yang mengalami perubahan status karena ada peluang menjadi pelaku kegiatan di luar usahatani (off-farm). Petani tersebut cenderung merasa lebih baik keluar dari pekerjaan usahatani untuk mendapatkan pendapatan dari kegiatan di luar usahatani. Masing-masing tipologi di atas dicirikan oleh karakteristik yang berbeda dan dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti gambaran umum, pola penguasaan lahan, sistem usahatani, dan aspek terkait lainnya. Secara institusional, tipologi tersebut dapat dikaitkan dengan keberadaan kelompok tani (media organisasi petani). Dari eksistensi dinamika transformasi tersebut, intervensi program pengembangan petani skala
12
kecil
dapat
diarahkan
sesuai
dengan
masing-masing
tipologinya.
Intervensi tersebut tentunya tidak diimplementasikan kepada petani secara individu, melainkan dalam bentuk kolektif melalui kelompok tani. Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Eksistensi dan Dinamika Transformasi serta Tipologi Petani Skala Kecil Eksistensi Petani Skala Kecil
ST 2003 vs ST 2013
Dinamika Transformasi Petani Skala Kecil
tipologi
Subsisten Komersial
Karakteristik (gambaran umum, pola penguasaan lahan, dan sistem usahatani)
Transisi
Kelompok Tani
Intervensi Pengembangan Petani Skala Kecil
3.2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei deskriptif (descriptive survey method). Survei dilaksanakan dalam bentuk pengamatan langsung terhadap fenomena dan fakta mengenai eksistensi dan dinamika transformasi petani skala kecil terkait dengan tipologinya. Tipologi petani skala kecil di lokasi penelitian meliputi tiga kriteria.
Pertama, tipologi subsisten diwakili petani usahatani padi dan palawija. Kedua, tipologi komersial direpresentasikan oleh petani usahatani hortikultura. Ketiga, tipologi transisi adalah representasi petani wilayah pinggiran kota (peri urban). 3.3. Data dan Informasi Penelitian Data dan informasi berasal dari sumber primer dan sekunder. Data dan informasi primer diperoleh melalui wawancara dengan petani 13
anggota kelompok, petugas, dan pemangku kepentingan (stakeholders) pertanian, serta pengamatan langsung di lokasi penelitian. Sementara itu, data dan informasi sekunder dikumpulkan dari dokumentasi laporan pada masing-masing intansi terkait. Selanjutnya, data dan infromasi yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif. 3.4. Lokasi dan Jadwal Penelitian Lokasi
penelitian adalah Provinsi
Jawa Barat.
Provinsi
ini
merupakan salah satu sentra produksi pertanian di Indonesia yang memiliki ketiga kriteria tipologi petani skala kecil sesuai dengan fokus penelitian ini. Pemilihan lokasi penelitian adalah berdasarkan telaahan dokumentasi data dan informasi sekunder berikut masukan dari nara sumber pada institusi terkait. Dua kabupaten dipilih yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung. Kabupaten Garut mewakili tipologi petani skala kecil subsisten (padi dan palawija) dan komersial (hortikultura). Sementara itu, Kabupaten Bandung merupakan representasi tipologi petani transisi wilayah pertanian pinggiran kota. Pada tiap kabupaten dipilih kecamatan, desa, dan kelompok tani yang mewakili masing-masing kriteria tipologi petani skala kecil (Tabel 3.1). Jadwal penelitian adalah tanggal 4-11 Desember 2014. Tabel 3.1. Lokasi Penelitian Eksistensi dan Dinamika Transformasi serta Tipologi Petani Skala Kecil No.
Uraian
1. 2. 3. 4. 5.
Kabupaten Kecamatan Desa Kelompok tani Usahatani pokok
Subsisten Garut Banyuresmi Cipicung Ranca Kujang Padi dan palawija
Tipologi Komersial Garut Cigedug Cigedug Silih Reksa IV Kentang
Transisi Bandung Bajongsoang Tegalluar Sugih Mukti Padi
14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini diawali dengan deskripsi tentang eksistensi dan dinamika transformasi petani skala kecil. Berikutnya identifikasi tipologi petani skala
kecil
baik
menyangkut
karakteristiknya
maupun
organisasi
kelembagaannya (kelompok tani). Perlu digarisbawahi bahwa sesuai dengan definisi yang dikeluarkan oleh (BPS, 2014), rumah tangga petani (RTP) skala kecil disebut sebagai RTP “gurem” yang selanjutnya digunakan dalam pembahasan ini. Terminologi “gurem” dipilih karena lebih bersifat ke-Indonesia-an dengan kategori spesifik dan berbeda dengan kategori internasional serta sekaligus bukan hanya semata terjemahan dari “small-scale farmers”. Eksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem berhubungan dengan kondisi waktu tertentu dan perubahan yang terjadi antar waktu. Acuan untuk itu adalah Hasil Sensus Pertanian (ST 2003 vs. ST 2013). Sementara itu, tipologi RTP gurem berkorelasi dengan orientasi kegiatan (subsisten, komersial, dan transisi). 4.1. Eksistensi dan Dinamika Transformasi RTP Gurem Rumah tangga petani (RTP)1] gurem merupakan bagian dari RTP pengguna lahan pertanian2] dan Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP)3]. Esksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem di Indonesia bervariasi menurut wilayah baik regional (Jawa vs. luar Jawa) maupun
1]
RTP (Rumah Tangga Petani) gurem yakni rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mengusai lahan kurang dari 0,5 hektar (BPS, 2014).
2]
RTP pengguna lahan pertanian yaitu rumah tangga usaha pertanian yang melakukan satu atau lebih kegiatan usaha tanaman padi, palawija, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan, budidaya ikan/biota lain di kolam air tawar/tambak air payau, dan penangkapan satwa liar (BPS, 2014). Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) adalah rumah tangga yang salah satu atau lebih anggota rumah tangganya mengelola usaha pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual, baik usaha pertanian milik sendiri, secara bagi hasil, atau milik orang lain dengan menerima upah, dalam hal ini termasuk jasa pertanian (BPS, 2014).
3]
15
provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Variasi tersebut berhubungan erat dengan jumlah RTP pengguna lahan pertanian berikut ketersediaan lahan pertanian itu sendiri. Dengan kata lain, semakin bertambah jumlah RTP pengguna lahan pertanian sementara ketersediaan lahan pertanian bersifat statis atau mengalami penurunan, maka jumlah RTP petani gurem semakin meningkat. Data lengkapnya dapat diperhatikan pada Lampiran Tabel 1 hingga Lampiran Tabel 9. 4.1.1. Nasional Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 dan 2013 (ST 2003 dan ST 2013), jumlah RTUP di Indonesia masing-masing tercatat sekitar 31,23 juta rumah tangga dan 26,13 juta rumah tangga (Tabel 4.1). Dengan kata lain, selama satu dasawarsa terakhir (2003-2013) terjadi penurunan jumlah RTUP sekitar 5,10 juta rumah tangga (16,32%). Secara regional, jumlah RTUP Jawa lebih tinggi dibandingkan jumlah RTUP luar Jawa. Secara berurutan, jumlah RTUP lingkup provinsi tertinggi hingga terendah di Jawa adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Tabel 4.1. Keragaan RTUP Nasional serta Jawa dan Luar Jawa, 2003 dan 2013 No.
Wilayah
ST 2003
ST 2013
1.
Jawa: a. Banten b. DKI Jakarta c. Jawa Barat d. Jawa Tengah e. DI Yogyakarta f. Jawa Timur Luar Jawa Indonesia
17.955.843 898.021 52.583 4.345.148 5.770.801 574.920 6.314.370 13.276.337 31.232.180
13.428.498 592.841 12.287 3.058.612 4.290.619 495.781 4.978.358 12.706.972 26.135.470
2. 3.
Perubahan Absolut % -25,21 -4.527.345 -33,98 -305.180 -76,63 -40.296 -29,61 -1.286.536 -25,65 -1.480.182 -13,77 -79.139 -1.336.012 -21,16 -569.365 -4,29 -16,32 -5.096.710
Sumber: BPS (2014)
Sebagai bagian dari RTUP, jumlah RTP pengguna lahan pertanian juga berkurang dari 30,42 juta rumah tangga (ST 2003) menjadi 25,75 juta rumah tangga (ST 2013). Dengan kata lain, selama periode 10 tahun 16
terakhir (2003-2013) jumlah RTP pengguna lahan pertanian mengalami penurunan sekitar 15,35 persen. Fenomena penurunan RPT pengguna lahan pertanian baik regional maupun antar provinsi di Jawa berkorelasi positif dengan fenomena yang terjadi pada RTUP (Tabel 4.2). Tabel 4.2. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian Nasional serta Jawa dan Luar Jawa, 2003 dan 2013 No.
Wilayah
ST 2003
ST 2013
1.
Jawa: a. Banten b. DKI Jakarta c. Jawa Barat d. Jawa Tengah e. DI Yogyakarta f. Jawa Timur Luar Jawa Indonesia
17,624,598 875,287 47,262 4,242,003 5,697,473 573,092 6,189,481 12,794,984 30,419,582
13,323,005 584,259 9,515 3,039,716 4,262,608 495,401 4,931,506 12,428,262 25,751,267
2. 3.
Perubahan Absolut % -4,005,672 -24.41 -254,527 -33.25 -36,817 -79.87 -1,203,674 -28.34 -1,317,642 -25.18 -55,223 -13.56 -1,137,789 -20.32 -760,515 -2.87 -4,766,187 -15.35
Sumber: BPS (2014)
Secara nasional, transformasi penurunan RTP pengguna lahan pertanian
telah
menimbulkan
konsekuensi
meningkatnya
rataan
penguasaan lahan pertanian selama satu dasawarsa terakhir (20032013), yaitu dari 0,41 hektar per rumah tangga menjadi 0,89 hektar per rumah tangga, atau meningkat lebih dari 100 persen. Sebagai catatan, transformasi peningkatan luas lahan pertanian per rumah di Jawa sedikit lebih tinggi dibandingkan di luar Jawa. Khusus untuk Provinsi Jawa Barat, terjadi peningkatan luas penguasaan lahan dari 0,15 hektar per rumah tangga (2003) menjadi 0,44 hektar per rumah tangga (2013). Akan tetapi, tidak ada data konkret mengenai rataan penguasaan lahan pertanian RTP gurem baik nasional, regional, antar provinsi, antar kabupaten/kota, maupun antar kecamatan. Salah satu cara perhitungan yang cukup representatif adalah melalui proksi dari proporsi jumlah RTP gurem terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian. Eksistensi dan dinamika transformasi RTP gurem di Indonesia disajikan pada Tabel 4.3. Pada tahun 2003, eksistensi jumlah petani 17
gurem adalah sekitar 19,02 juta rumah tangga, atau dengan proporsi sekitar 62,51 persen dari jumlah RTP pengguna lahan pertanian nasional (ST 2003). Kemudian pada tahun 2013, jumlah RTP gurem tersebut berkurang menjadi 14,25 juta rumah tangga dengan penurunan proporsi menjadi 55,33 persen (ST 2013). Tabel 4.3. Keragaan RTP Gurem Nasional serta Jawa dan Luar Jawa, 2003 dan 2013 No. 1.
Wilayah Jawa: a. Banten b. DKI Jakarta c. Jawa Barat d. Jawa Tengah e. DI Yogyakarta f. Jawa Timur
2.
Luar Jawa
3.
Indonesia
ST 2003
ST 2013
14.184.993 (80,48) 634.415 (72,48) 45.428 (96,12) 3.501.867 (82,55) 4,629,877 (81,26) 479.780 (83,72) 4.893.626 (79,06) 4.830.058 (37,75) 19.015.051 (62,51)
10.179.321 (76,40) 379.888 (65,02) 8.611 (90,50) 2.298.193 (75,61) 3,312,235 (77,70) 424.557 (85,70) 3,755,837 (76,16) 4,069,543 (32,74) 14.248.864 (55,33)
Perubahan Absolut % -4,08 -4.005.672 -254.527
-7,46
-36.817
-5,62
-1.203.674
-6,95
-1.317.642
-3,56
-55.223
1,98
-1.137.789
-2,90
-760.515
-5,01
-4.766.187
-7,18
Keterangan: ( ) persentase RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian Sumber: BPS (2014)
Secara regional, perbandingan eksistensi jumlah RTP gurem antara Jawa dengan luar Jawa sangat signifikan. Demikian juga halnya dengan proporsi RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian. Secara absolut eksistensi jumlah RTP gurem Jawa hampir tiga kali lipat eksistensi jumlah RTP luar Jawa dengan perbandingan proporsi dua berbanding satu (Gambar 4.1).
18
90 80
82,53%
78,45%
ST 2003 ST 2013
70
62,51% 55,33%
60 50 36,07%
40
31,61%
30 20 10 0 Jawa
Luar Jawa
Indonesia
Gambar 4.1. Proporsi Jumlah RTP Gurem terhadap Jumlah RTP Pengguna Lahan Nasional dan Regional, 2013 (Sumber: BPS, 2014)
Proporsi jumlah RTP gurem terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian tertinggi dan terendah di Jawa diwakili oleh Provinsi Jawa Timur dan Provinsi DKI Jakarta (Gambar 4.2). Perlu dikemukakan bahwa eksistensi RTP gurem di Provinsi DKI Jakarta sudah mendekati ambang “kelangkaan”. Umumnya RTP gurem di provinsi tersebut berada di wilayah pinggiran kota (peri-urban). Banten (2.67%) Luar Jawa (31.23%)
DKI Jakarta (0.06%) Jawa Barat
(16.13%)
Jawa Tengah (23.25%) Jawa Timur (26.36%)
DI Yoyakarta (2.98%)
Gambar 4.2. Proporsi RTP Gurem Nasional dan Regional, 2013 (Sumber: BPS, 2013)
Selama satu dasawarsa terakhir (2002-2010), secara absolut jumlah RTP gurem Indonesia mengalami transformasi penurunan agregat
19
sekitar 4,77 juta rumah tangga (25,07%). Dengan kata lain, selama periode tersebut telah terjadi dinamika transformasi penurunan jumlah RTP gurem nasional tahunan sekitar 476.619 rumah tangga atau ratarata 2,51 persen per tahun. Sementara itu, agregasi transformasi penurunan RTP gurem regional adalah 400.567 rumah tangga (2,82%) di Jawa dan 76.052 rumah tangga (1,57%) di luar Jawa. Dengan kata lain, secara absolut terdapat ketimpangan transformasi penurunan RTP regional (Jawa vs. luar Jawa), wlaupun perbandingan persentase perubahannya relatif tidak begitu menyolok. Kendati secara agregat terjadi transformasi penurunan jumlah RTP gurem di Jawa, satu pengecualian ditemukan di Provinsi DI Yogyakarta. Secara absolut eksistensi jumlah RTP gurem di provinsi tersebut mengalami penurunan cukup rendah yaitu sekitar 55.223 rumah tangga, namun proporsi jumlahnya terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian setempat mengalami peningkatan secara tipis yaitu 1,98 persen. Dinamika transformasi penurunan jumlah RTP gurem di Provinsi DI Yogyakarta sedikit berada di atas posisi Provinsi DKI Jakarta tetapi jauh dibawah keberadaan provinsi lainnya di Jawa (khususnya Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur). 4.1.2. Provinsi Jawa Barat Eksistensi dan transformasi RTUP, RTP pengguna lahan pertanian, dan RTP gurem di Provinsi Jawa Barat dan kabupaten contoh penelitian disarikan pada Tabel 4.4. Provinsi Jawa Barat menempati peringkat ketiga terbanyak dalam hal jumlah RTUP, RTP pengguna lahan pertanian, dan RTP gurem di Indonesia, yakni setelah Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil ST 2003 dan ST 2013, proporsi jumlah RTP pengguna lahan pertanian terhadap jumlah RTUP di Provinsi Jawa Barat masing-masing sekitar 97,63 persen dan 99,38 persen (BPS Jawa Barat,
20
2014). Selama periode 10 tahun terakhir (2003-2004), jumlah RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian di provinsi ini mengalami penurunan absolut masing-masing sekitar 1.202.287 rumah tangga (28,34%) dan 1.203.674 rumah tangga (34,37%). Tabel 4.4. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian, dan RTP Gurem di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Contoh Penelitian, 2003 dan 2013 No,
Wilayah
1,
RTUP: a. Provinsi Jawa Barat b. Kabupaten Garut c. Kabupaten Bandung RTP pengguna lahan: a. Provinsi Jawa Barat b. Kabupaten Garut c. Kabupaten Bandung RTP gurem: a. Provinsi Jawa Barat
2.
3.
b. Kabupaten Garut c. Kabupaten Bandung
Perubahan Absolut %
ST 2003
ST 2013
4.345.148 320.242 186.663
3.058.612 268.628 141.553
-1.286.536 -51.614 -45.110
-29,61 -16,12 -24,17
4.242.003 315.688 178.056
3.039.716 268.177 141.747
-1.202.287 -47.511 -36.309
-28,34 -15,05 -20,39
3.501.867 (82,55) 260.219 (82,43) 156.889 (88,11)
2.298.193 (75,61) 209.813 (78,24) 114.213 (80,58)
-1.203.674
-6,95
-50.406
-4,19
-42.676
-7,54
Keterangan: ( ) adalah persentase RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian Sumber: BPS (2014). BPS Jawa Barat (2014). BPS Kabupaten Garut (2014). dan BPS Kabupaten Bandung (2014)
Eksistensi RTUP maupun RTP pengguna lahan pertanian di kabupaten contoh
penelitian (Bandung
dan Garut)
menunjukkan
perbedaan yang cukup signifikan karena jumlah RTP dan ketersediaan lahan di masing-masing kabupaten contoh penelitian tersebut juga berbeda. RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian di Kabupaten Garut mengalami penurunan absolut selama kurun waktu 10 tahun terakhir (2003-2013),
yaitu
masing-masing
sekitar
51,614
rumah
tangga
(16,12%) dan 47,511 rumah tangga (15,05%). Kendati penurunan absolut RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian di Kabupaten Bandung sedikit lebih rendah (45.110 RT dan 36.309 RT), proporsi penurunannya lebih tinggi (24,17% dan 20,39%) dibandingkan dengan fenomena yang sama di Kabupaten Garut. Posisi Kabupaten Garut dan Kabupaten
21
Bandung berada ditengah-tengah diantara RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian tertinggi dan terendah di Provinsi Jawa Barat yang masing-masing diwakili oleh Kabupaten Sukabumi dan Kota Cimahi. Eksistensi jumlah jumlah RTP gurem di Provinsi Jawa Barat masing-masing tercatat sekitar 3,50 juta rumah tangga (ST 2003) dan 2,30 juta rumah tangga (ST 2013). Sementara itu, proporsi jumlah RTP gurem terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian di provinsi ini masing-masing sebesar 82,55 persen persen dan 75,62 persen (ST 2003 vs. ST 2013). Selama kurun waktu 2003 hingga 2013, transformasi penurunan absolut RTP gurem di provinsi ini terhitung sekitar 1,20 juta rumah tangga atau dengan penurunan proporsi terhadap RTP pengguna lahan pertanian sebesar 6,95 persen. Secara ringkas proporsi jumlah RTP gurem terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian terkini (ST 2013) dapat diperhatikan pada Gambar 4.3. Provinsi Jawa Barat (75.61%)
Kabupaten/Kota Lainnya (78.99%)
Kabupaten Karawang (53.06%)
Kota Depok (93.92%)
Kabupaten Bandung (80.58%)
Kabupaten Garut (78.24%)
Gambar 4.3. Proporsi RTP Gurem di Provinsi Jawa Barat, 2013 (Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2014)
Eksistensi jumlah RTP gurem di Kabupaten Garut lebih tinggi dibandingkan dengan aspek yang sama di Kabupaten Bandung. Selama satu dasawarsa terakhir (2003-2013) transformasi RTP gurem di kedua kabupaten contoh tersebut mengalami dinamika penurunan secara absolut masing-masing 50.406 rumah tangga di Kabupaten Garut dan
22
42.676 rumah tangga di Kabupaten Bandung, atau dengan proporsi penurunan sekitar 4,19 persen (Kabupaten Garut) dan 7,54 persen (Kabupaten Garut). Sebagai catatan, eksistensi jumlah RTP gurem paling banyak dan paling sedikit di Provinsi Jawa Barat masing-masing diwakili oleh Kabupaten Sukabumi dan Kota Cimahi. Akan tetapi, transformasi penurunan proporsi RTP gurem terendah dan tertinggi di provinsi ini terdapat di Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bandung Barat. 4.1.3. Kabupaten Garut Eksistensi RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian pada kecamatan contoh penelitian di Kabupaten Garut berbeda dimana keragaan jumlahnya di Kecamatan Banyuresmi lebih tinggi dari pada keragaan jumlah yang ada di Kecamatan Cigedug. Sebaliknya. secara absolut dan proporsional. penurunan jumlah RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian di Kecamatan Cigedug lebih tinggi dibandingkan dengan aspek serupa di Kecamatan Banyuresmi (Tabel 4.5). Tabel 4.5. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian dan RTP Gurem pada Kecamatan Contoh di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013 No.
Wilayah
1.
RTUP: a. Kecamatan Banyuresmi b. Kecamatan Cigedug RTP pengguna lahan: a. Kecamatan Banyuresmi b. Kabupaten Bandung RTP gurem: a. Kecamatan Banyuresmi
2.
3.
b. Kecamatan Cigedug
Perubahan Absolut %
ST 2003
ST 2013
8.656 5.182
8.024 4.356
-632 -826
-7,30 -15,94
8.624 5.185
8.018 4.356
-606 -829
-7,03 -15,99
7.406 (85,88) 4.643 (89,55)
6.588 (82.17) 3.729 (85,61)
-818
-3,71
-914
-3,94
Keterangan: ( ) adalah persentase RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian Sumber: BPS Kabupaten Garut (2014)
Eksistensi jumlah dan proporsi RTP gurem di Kecamatan Cigedug lebih tinggi dari pada eksistensi jumlah dan proporsi RTP gurem di Kecamatan Banyuresmi. Kondisi tersebut berbanding lurus dengan
23
perubahan absolut dan proporsinya. Selama 10 tahun terakhir (20032013), jumlah dan proporsi RTP gurem mengalami dinamika transformasi penurunan masing-masing 914 rumah tangga (3,94%) di Kecamatan Cigedug serta 818 rumah tangga (3,71%) di Kecamatan Banyuresmi. Perlu dikemukakan bahwa proporsi RTP gurem paling tinggi dan paling rendah di Kabupaten Garut masing-masing terdapat di Kecamatan Garut Kota dan Kecamatan Cibalong (Gambar 4.4). Cigedug (85,61%)
Banyuresmi (82,17%)
Kecamatan Lainnya (79,02% ) Cibalong (46,03%)
Kabupaten Garut (79,24%)
Garut Kota (90,28%)
Gambar 4.4. Proporsi RTP Gurem di Kabupaten Garut, 2013 (Sumber: BPS Kabupaten Garut, 2013)
Kendati proporsi RTP gurem di Kecamatan Cigedug lebih tinggi dari pada proporsi RTP gurem di Kecamatan Banyuresmi, kedua kecamatan contoh tersebut memiliki perbedaan terutama dari aspek agroekosistem dan sistem usahatani. Kecamatan Banyuresmi mewakili agroekosistem lahan basah dan lahan kering dataran rendah dengan usahatani pokok tanaman pangan (padi dan palawija) sedangkan Kecamatan Cigedug merupakan representasi agroekosistem lahan kering dataran tinggi dengan usahatani pokok tanaman hortikultura (sayuran). Kendati sama-sama berstatus RTP gurem, orientasi kegiatannya relatif berbeda dimana RTP gurem di Kecamatan Cigedung lebih bersifat komersial sementara RTP gurem di Kecamatan Banyuresmi cenderung ke arah subsisten.
24
4.1.4. Kabupaten Bandung Eksistensi dan transformasi RTUP, RTP pengguna lahan pertanian, dan RTP gurem di kecamatan contoh penelitian (Bojongsoang) dapat diperhatikan pada Tabel 4.6. Baik jumlah RTUP maupun jumlah RTP pengguna lahan pertanian di kecamatan tersebut tergolong rendah dibandingkan dengan yang terdapat pada kecamatan-kecamatan lainnya. Sebagai catatan. perubahan jumlah RTUP dan RTP pengguna lahan pertanian Kecamatan Bojongsoang merupakan yang tertinggi di seluruh Kabupaten Bandung. Tabel 4.6. Keragaan RTUP, RTP Pengguna Lahan Pertanian, dan RTP Gurem pada Kecamatan Contoh (Bojongsoang) di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013 No.
Wilayah
1.
RTUP
2.
RTP pengguna lahan pertanian
3.
RTP gurem
Perubahan Absolut %
ST 2003
ST 2013
3.790
1.308
-2.482
-65.49
2.730
1.308
2.242 (82.12)
819 (62.61)
-1.422 -1.423
-52.09 -19.51
Keterangan: ( ) adalah persentase RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian Sumber: BPS Kabupaten Bandung (2014)
Kendati proporsi jumlah RTP gurem terhadap RTP pengguna lahan pertanian di Kecamatan Bojongsoang termasuk rendah dibandingkan di kecamatan-kecamatan lainnya, akan tetapi transformasi penurunan proporsinya paling tinggi di Kabupaten Bandung (Gambar 4.5). Tingginya transformasi penurunan proporsi jumlah petani gurem di kecamatan tersebut karena sebagian petani beralih (transisi) dari pekerjaan sektor pertanian ke pekerjaan non-pertanian.
25
Bojongsoang (62,61%)
Kecamatan Lainnya (79,43%)
Kabupaten Bandung (80,68%)
Margahayu (91,29%)
Gambar 4.5. Proporsi RTP Gurem di Kabupaten Bandung, 2013 (Sumber: BPS Kabupaten Bandung, 2013)
Kondisi di atas terutama dilatarbelakangi oleh cukup maraknya alih fungsi lahan di kecamatan setempat sehingga sebagian dari petani (terutama generasi muda) meninggalkan pekerjaan pertanian dengan cara mencari pekerjaan non-pertanian di kota (Bandung). Sebagai catatan, secara administratif Kecamatan Bojongsoang merupakan wilayah pinggiran kota (peri urban) yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung, dekat jalan bebas hambatan (toll way) antara Buah Batu dan Kota Bandung, dengan geliat pembangunan yang cukup gencar (progressive) termasuk dalam memanfaatkan lahan pertanian setempat. Dari uraian di atas, secara umum dapat dikemukakan bahwa eksistensi jumlah RTP gurem di Indonesia baik di tingkat nasional, regional, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan (termasuk desa) cukup tinggi dengan proporsi agregat di atas 70 persen dari jumlah RTP pengguna lahan pertanian. Sebagai perbandingan, proporsi Jawa dan luar Jawa relatif cukup timpang (58,92% vs. 35,25%). Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir (2003-2013), transformasi jumlah RTP gurem menunjukkan dinamika penurunan RPT gurem dengan agregasi sekitar 7 persen. Ada beberapa indikasi terkait
26
transformasi penurunan jumlah RTP gurem tersebut. Pertama, pada tingkat nasional ada kecenderungan bahwa transformasi pengurangan jumlah RPT gurem relatif menimbulkan transformasi penambahan jumlah RPT bukan gurem. Kedua, pada tingkat regional terdapat peluang perubahan status (mutasi) RPT gurem usahatani tanaman pangan
ke
usahatani perkebunan pada wilayah-wilayah sentra perkebunan seperti di Sumatera,
Kalimantan,
kabupaten/kota penurunan
RTP
dan
dan
lain-lain.
kecamatan
gurem
cenderung
Ketiga,
(termasuk
pada
desa),
menjadikan
tingkat
transformasi
anggota
keluarga
meninggalkan pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian. Kecenderungan tersebut lebih memungkinkan terjadi pada kalangan generasi muda terutama di lokasi-lokasi dekat pertumbuhan ekonomi. Fenomena tersebut perlu dikaji lebih jauh karena luasnya bentangan geografis Indonesia dengan ragam karakteristik antar wilayah. 4.2. Tipologi RTP Gurem Tipologi RTP gurem dibahas dalam sub-bab berikut dengan fokus pada keragaan karakteristik pada masing-masing lokasi penelitian. Karakteristik tersebut meliputi gambaran umum, pola penguasaan lahan, dan sistem usaha pertanian. Di dalamnya sekaligus termasuk keberadaan organisasi kelompok tani. 4.2.1. Tipologi RTP Subsisten Tipologi RTP gurem subsisten dalam penelitian ini diwakili oleh Kecamatan Banyuresmi (Kabupaten Garut), tepatnya di Desa Cipicung. Kelompok tani contoh yang diambil adalah “Ranca Kujang”. 4.2.1.1. Gambaran Umum Kecamatan Banyuresmi merupakan salah satu dari 42 kecamatan di Kabupaten Garut. Kecamatan tersebut memiliki wilayah administratif seluas 5.183 hektar dimana sekitar 3.200 hektar (62%) difungsikan untuk 27
lahan pertanian (sawah, tegalan/lahan kering, dan kebun campuran (BPP Banyuresmi, 2014). Satu diantara 15 desa di Kecamatan Banyuresmi dijadikan sebagai contoh penelitian. Desa tersebut adalah Cipicung yang memiliki lahan sawah dan tegalan/lahan kering masing-masing dengan luasan sekitar 50 hektar dan 90 hektar. Sawah di Desa Cipicung tergolong jenis tadah hujan dengan pola tanam padi-padi-bera. Dengan kata lain, tanaman padi dibudidayakan dua kali setahun yaitu pada musim hujan/MH (November/DesemberMaret/April) dan musim kemarau (April/Mei-Juli/Agustus). Sistem tanam padi adalah secara tapin (tanam pindah) dari persemaian. Tahun 2015 sebagian lahan sawah direncanakan untuk ditanami kedelai pada MK I, sehingga pola tanamnya menjadi padi-kedelai-bera dan sebagian lagi tetap padi-padi-padi. Sementara itu, pola tanam pada lahan kering adalah jagung-jagung-kedelai. 4.2.1.2. Pola Penguasaan Lahan Satuan ukuran lahan di Desa Cipicung adalah “tumbak”4]. Rataan penguasaan lahan sawah di desa ini adalah di bawah 0,5 hektar per rumah tangga petani. Dengan kata lain, penguasaan lahan di Desa Cipicung termasuk kategori sempit (Kotak 4.1). Pola penguasaan lahan terdiri dari garapan milik dan garapan bukan milik (sakap/bagi hasil dan sewa). Pemilikan lahan umumnya berasal dari warisan dan proses jual beli. Pola sakap/bagi hasil yang umumnya diterapkan adalah pemilik mendapatkan dua pertiga bagian (70%) sedangkan penggarap memperoleh sepertiga porsi (30%). Implementasinya, semua biaya sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida, dsb.) ditanggung oleh pemilik. Setelah panen, semua biaya sarana produksi tersebut diperhitungkan menjadi bagian dari bagi hasil, sisanya 4]
Tumbak adalah satuan lokal untuk luas lahan dengan ukuran sekitar 1.428 meter persegi atau 0,14 hektar (1 hektar ekivalen 700 tumbak)
28
dibagi dua antara pemilik dan penggarap. Sementara itu, sewa lahan biasanya hanya berlaku untuk sawah. Besaran nilai sewa lahan sawah adalah Rp 4.000 per tumbak per musim tanam atau sekitar Rp 2,8 juta per hektar per musim tanam. Kotak 4.1. Fenomena Penguasaan Lahan Pertanian di Desa Cipicung Sempitnya penguasaan lahan sawah membuat sebagian petani di Desa Cipicung mencari pekerjaan sambilan seperti buruh pembuatan batu bata (rataan kapasitas 600 batu bata/orang/hari). Sebagai catatan, di desa setempat ada tiga lokasi pembuatan batu bata. Sebagian lagi (terutama anak muda usia dibawah 30 tahun) bekerja di industri air mineral, pembuatan sosis, dan peternakan ayam, serta bangunan dan transportasi ojeg. Hanya sekitar 5-10 persen anak muda (usia di bawah 40 tahun) di desa ini yang bekerja pada sektor pertanian. Sebagian warga juga ada yang migrasi musiman ke Jakarta dan Bandung menjadi pedagang asongan dan tukang sol sepatu. Migrasi tersebut dikenal dengan istilah “murba” yang kegiatannya biasa dilaksanakan pada saat menunggu panen padi tiba. Sebagai catatan, pekerja dari Garut yang cukup dikenal di beberapa kota dengan embelembel “Asgar (Asli Garut)” sebagian besar berasal dari Kecamatan Banyuresmi (termasuk Desa Cipicung).
Harga lahan sawah di Desa Cipicung berikisar antara Rp 1-10 juta per tumbak (sekitar Rp 700 juta/hektar hingga Rp 7 milyar/hektar). Variasi harga lahan sawah tersebut tergantung lokasi keberadaanya. Dengan harga sebesar itu, sebagian petani setempat merasa tergiur untuk menjual lahan (alih fungsi lahan). Fenomena alih fungsi lahan relatif cukup marak terjadi di Desa Cipicung, khususnya selama tiga tahun terakhir. Faktor pemicunya antara lain karena: (1) implementasi pola warisan; (2) untuk biaya naik haji; dan (3) tawaran pengembang (developer) perumahan. Sebagai catatan, sekitar tiga hektar lahan sawah di desa ini telah beralih fungsi menjadi perumahan “Rabain” dengan harga jual sekitar Rp 3 juta per tumbak (Rp 2,1 milyar/ha). Kendati ada wacana penerapan Perda (Peraturan Daerah) tentang PLP2B (Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), namun implementasinya baru pada tahap sosialisasi. 29
4.2.1.3. Sistem Usahatani Usahatani pokok di Desa Cipicung adalah padi dan palawija (Jagung dan kedelai). Varietas padi yang banyak ditanam petani di desa setampat adalah Ciherang (MH) dan Sarinah (MK I). Sementara itu untuk varietas jagung dan kedelai masing-masing Hibrida Pioner dan Grobogan yang dominan dibudidayakan pada lahan kering (tegalan). Jumlah penggunaan benih padi adalah sekitar tiga kilogram per 100 tumbak (sekitar 20 kg/ha). Jenis dan dosis pupuk yang biasa digunakan petani adalah urea (100 kg/hektar) dan ponska (300 kg/hektar). Harga pupuk masing-masing untuk urea (Rp 2.100/kg) dan ponska (Rp 2.900/kg). Secara perhitungan kasar, upah jasa traktor untuk pengolahan lahan adalah sekitar Rp 2,1 juta per hektar (Rp 3.000/tumbak). Upah tenaga kerja5] untuk pengolahan lahan lainnya (cangkul, dsb.) yaitu Rp 800 ribu per hektar. Upah tanam dan penyiangan masing-masing sekitar Rp 1 juta per hektar. Biaya pupuk dan pestisida sekitar Rp 2,5 juta per hektar. Total biaya usahatani padi adalah sekitar Rp 6-7 juta per hektar. Rataan produktivitas padi (gabah kering panen/GKP) pada MH dan MK di Desa Cipicung masing-masing sekitar 7-8 kwintal per 100 tumbak (5,3 ton/ha) dan 5-6 kwintal per 100 tumbak (3,9 ton/ha). Sebagai catatan, produktivitas padi di desa setempat termasuk kategori rendah karena cukup tingginya intenstas serangan hama tikus, terutama selama tiga musim tanam terakhir. Dengan harga gabah GKP berkisar antara Rp 3.800 sampai dengan Rp 4.000 per kilogram, maka akan diperoleh penerimaan (pendapatan kotor) sekitar Rp 2.128.000 hingga Rp 3.200.000 per 100 tumbak per
5]
Upah harian buruh tani di Desa Cipicung adalah sekitar Rp 30 ribu per orang per hari (laki-laki) dan Rp 20 ribu per orang per hari (perempuan). Pekerjaan berlangsung sekitar 4-5 jam per hari (dapat makan). Sementara itu kalau upah harian lepas (tanpa makan) untuk buruh tani laki-laki (Rp 45 ribu/orang/hari) dan perempuan (Rp 35 ribu/orang/hari) dengan lama jam kerja yang sama (4-5 jam/hari).
30
musim musim (Rp 14,9-17,6 juta/hektar/MT). Akan tetapi penerimaan tersebut masih dipotong biaya lainnya seperti bagi hasil dan sewa lahan. Hal tersebut mengingat petani di lokasi penelitian banyak yang tidak memiliki lahan (petani penggarap), apalagi luas lahan yang digarap umumnya sempit (<0,5 ha). Kendati perhitungannya belum rinci, namun dapat digarisbawahi bahwa pendapatan riil petani dari usahatani padi dengan luasan sempit tersebut masih tergolong kategori rendah (paspasan).
Konsekuensinya,
petani
cenderung
segera
menjual
hasil
panennya secara tebasan karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Kebutuhan pokok (beras) umumnya dipenuhi dari pembelian dengan mengandalkan penjualan hasil tanaman lahan kering. Panen padi di Desa Cipicung banyak dilakukan secara sistem “tebasan” karena petani memerlukan uang yang sifatnya mendesak. Nilai tebasan berkisar antara Rp 1,6-2 juta per 100 tumbak (sekitar Rp 12 juta/ha). Penebas biasanya pelaku perdagangan (bandar) lama dan baru (dadakan). Biasanya petani lebih menyukai bandar baru dibandingkan bandar lama karena harganya relatif sedikit lebih mahal. Sebagai catatan, penebas berasal dari lokasi setempat. Keberadaan lahan kering (tegalan) di Desa Cipicung relatif sedikit lebih luas dibandingkan lahan sawah. Jenis tanaman yang umumnya dibudidayakan pada lahan kering adalah jagung (2 musim tanam/tahun) dan kacang-kacangan (kacang panjang, kedelai, dll.). Khusus untuk kedelai, jenis tanaman ini relatif belum menunjukkan hasil yang optimal (masih bersifat untung-untungan). Secara umum boleh dikatakan jarang ada penerapan sistem sakap dan sistem sewa pada lahan kering. Hanya sebagian kecil sistem sewa yang berlaku, yaitu khusus untuk budidaya tanaman
sayuran.
Oleh
karena
itu,
petani
setempat
cenderung
mengusahakan budidaya tanaman pada lahan kering masing-masing. Rataan produktivitas jagung (pipilan kering) di Desa Cipicung adalah sekitar 8 kwintal per 100 tumbak (5,6 ton/hektar). Harga jagung
31
pipilan
kering
adalah
sekitar
Rp
3.000
per
kilogram.
Sebagai
perbandingan, harga jagung pipilan basah dan tongkol basah masingmasing sekitar Rp 1.000 per kilogram dan Rp 2.000 per kilogram. Sebagai catatan, harga kedelai (kering ose) adalah sekitar Rp 7.000 per kilogram. Di desa ini pernah dilaksanakan kemitraan usahatani jagung dengan pihak swasta pada tahun 2011. Kemitraan tersebut tidak berlanjut karena telatnya penyaluran sarana produksi, rendahnya harga panen jagung, dan terlambatnya pengambilan hasil panen (risiko). Dengan adanya sistem bagi hasil dan panen tebasan, maka secara tidak langsung modal usahatani berasal dari pemilik lahan dan penebas. Modal dari pemilik adalah dalam bentuk biaya sarana produksi sedangkan modal dari penebas biasanya diberikan dalam bentuk pinjaman uang sebagai tanda pengikat. Sebagian lagi modal usahatani berasal dari milik sendiri. Sementara itu, pemasaran hasil pertanian ditujukan kepada penebas dan ke pedagang setempat. Permasalahan yang dialami petani Desa Cipicung antara lain: (1) tanam tidak serempak karena kekurangan tenaga kerja; (2) intensitas serangan hama tikus cukup tinggi (tidak hanya pada tanaman padi tetapi juga jagung dan cabai); dan (3) kendala air (tergantung curah hujan) tetapi dampaknya tidak seberat serangan hama tikus. Paling tidak ada dua hal pokok yang diinginkan petani setempat, yaitu: (1) kestabilan harga; dan (2) pemanfaatan lahan pekarangan serta pelatihan kerajinan. 4.2.2. Tipologi Rumah Tangga Petani (RTP) Komersial Tipologi RTP gurem komersial dalam penelitian ini diwakili oleh Kecamatan Cigedug (Kabupaten Garut), tepatnya di Desa Cigedug. Kelompok contah yang mewakili desa tersebut adalah “Silih Reksa IV”. 4.2.2.1. Gambaran Umum Desa Cigedug merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Desa ini 32
terletak di daerah dataran tinggi dengan posisi sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut (DPTPH Garut, 2014). Desa Cigedug memiliki luas wilayah sekitar 1.138,20 hektar, terdiri dari lahan sawah (3,90 hektar), lahan kering/tegalan (644,87 hektar), lahan perkebunan (67 hektar), fasilitas umum (4,14 hektar), dan lahan hutan (172,39 hektar). Lahan kering dimanfaatkan untuk tanaman sayuran dan buah-buahan (76,9%), tanaman keras (22%), dan kolam air tawar (1,1%). 4.2.2.2. Pola Penguasaan Lahan Pola penguasaan lahan yang paling banyak ditemui di Desa Cigedug adalah garapan milik dan garapan bukan milik (sewa). Sistem sewa lebih mengemuka dibandingkan sistem sakap atau bagi hasil karena jenis budidaya usahatani di desa ini adalah tanaman hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi dengan modal relatif besar. Rataan luas lahan yang digarap petani Desa Cigedug adalah sekitar 0,51 hektar dengan luas lahan tersempit dan terluas masingmasing 0,1 hektar dan 4 hektar. Sementara itu, dari hasil wawancara dengan anggota kelompok tani “Silih Reksa IV” diperoleh informasi bahwa kisaran luas penguasaan lahan yaitu 0,5-10 hektar per rumah tangga petani. 4.2.2.3. Sistem Usahatani Usaha tani pokok di Desa Cigedug adalah kentang varietas Granola, Atlantik, dan Vanda (Kotak 4.2) serta cabai jenis rawit dan cabai besar. Sebagian petani di desa ini melakukan kerjasama kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Mandiri (IFM) untuk kentang varietas Atlantik dan cabai rawit serta PT Heinz ABC untuk cabai besar. Sekitar 200 orang petani Kecamatan Cigedug dan kecamatan lainnya
dan
sekitarnya
menjalin
kerjasama
kemitraan
dengan
perusahaan-perusahaan swasta tersebut. Jumlah anggota kemitraan
33
bertambah terus karena dukungan harga yang menarik (favorable) dari perusahaan. Kotak 4.2. Sekilas Mengenai Komoditas Kentang di Kabupaten Garut Kentang merupakan komoditas sayuran yang banyak terdapat di wilayah pegunungan Kabupaten Garut. Sebagian besar varietas kentang yang dibudidayakan adalah Granola serta sebagian kecil Atlantik dan Vanda. Kecamatan produsen utama kentang adalah Cikajang dan Pasirwangi. Kecamatan lainnya seperti Samarang, Bayongbong, Cisurupan, Sukaresmi, Cigedug, dan Wanaraja berfungsi sebagai kawasan pengembangan. Selain digunakan sebagai sayuran, komoditas kentang dapat diolah menjadi bahan makanan olahan lain seperti keripik dan dodol yang pada saat ini banyak diusahakan pada skala rumah tangga (home industri). Untuk varietas Atlantik dan Vanda atau yang di kenal sebagai kentang industri, diproduksi untuk bahan pembuatan keripik kentang melalui implementasi kerjasama kemitraan dengan perusahaan swasta (PT IFM).
Kerjasama kemitraan antara petani setempat dengan PT IFM sudah berlangsung sejak 21 tahun yang lalu (Kotak 4.3). Implementasi kerjasama kemitraan adalah berlandaskan kesepakatan terkait dengan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak yang hingga saat sekarang masih tetap berlaku (Tabel 4.7). Bibit merupakan “faktor kunci” usahatani kentang. Ketersediaan bibit
Atlantis
Sebelumnya
tergantung impor
bibit
dari
impor
kentang
(Australia
tersebut
dan
berasal
Scotlandia).
dari
Kanada.
Penyediaan bibit tergantung pada pasokan impor dan kapasitas pabrik PT IFM dalam pengolahan kentang (350 ton/pengolahan/hari). Sebagai catatan, Indonesia sangat tergantung pada bibit kentang impor. Kebutuhan bibit kentang Atlantis adalah sekitar 1 ton per hektar dengan produktivitas 30 ton per hektar (dapat ditanam untuk dua musim tanam). Sebagai perbandingan, kebutuhan bibit kentang Granola adalah sekitar 4 ton per hektar dengan produktivitas yang hampir sama (30 ton/hektar).
34
Kotak 4.3. Kiprah PT Indofood Fritolay Makmur di Kabupaten Garut PT Indofood Fritolay Makmur (IPM) adalah perusahaan pengolahan kentang yang telah melakukan kerjasama kemitraan dengan petani kentang di Kabupaten Garut sejak tahun 1993. Perusahaan ini menyediakan bibit unggul kentang bersertifikasi (varietas Atlantis) bagi petani dan melatih semua ketua kelompok tani yang dibentuk untuk tujuan kemitraan agar terampil dalam pembibitan kentang. Pembibitan yang dimaksud adalah dengan perlakuan teknis berupa pembelahan umbi bibit kentang menjadi dua sehingga penggunaannya lebih efisien. PT IFM merupakan salah satu pelaku industri yang memberi pengaruh terhadap perkembangan penggunaan varietas kentang di Kabupaten Garut. Perusahaan industri makanan tersebut memang sengaja menjalin kerjasama kemitraan dengan petani kentang di berbagai daerah termasuk Kabupaten Garut guna memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku ke pabriknya. Pada awalnya, para petani peserta kerjasama kemitraan adalah mereka yang memiliki hubungan dekat dengan perwakilan PT IFM. Pemilihan petani peserta berikutnya adalah berdasarkan rekomendasi petani peserta terdahulu. Para petani yang mengikuti kerjasama kemitraan boleh dikatakan petani mampu (kaya) yang memiliki lahan luas dan modal besar, karena PT IFM sendiri tidak mau mengambil risiko kegagalan hanya karena kurangnya modal petani dalam pembelian sarana produksi dan biaya pengelolaan usahatani kentang. Belakangan, petani peserta kerjasama kemitraan tersebut banyak yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah karena semakin akrabnya hubungan kepercayaan (trust) diantara kedua belah pihak.
Tabel 4.7. Hak dan Kewajiban Petani dan PT IFM dalam Kerjasama Kemitraan Budidaya Tanaman Kentang di Kabupaten Garut, 2014 Petani
1. Membeli bibit yang disediakan
PT IFM. 2. Melakukan budidaya kentang sesuai anjuran PT IFM. 3. Menjual hasil kepada PT IFM. 4. Membayar kredit bibit secara “yarnen” (bayar setelah panen) kepada PT IFM
PT IFM 1. Menyediakan bibit untuk petani dengan kualitas terjamin. 2. Memfasilitasi penyediaan sarana produksi lain bagi petani yang memerlukan. 3. Melakukan pembinaan teknis budidaya terhadap petani dengan pendampingan agro-supervisor. dan 4. Menampung hasil petani dengan harga dan spesifikasi produksi yang telah disepakati.
Sumber : Saptana dkk. (2005) dalam Iqbal (2008)
Sekitar 30 persen biaya produksi kentang dialokasikan untuk bibit. Kebutuhan bibit adalah sekitar 2-3 ton per hektar (kentang bulat) atau 11,5 ton per hektar (kentang yang dibelah). Harga normal bibit kentang adalah Rp 15.000 per kilogram. Akan tetapi, petani hanya membayar Rp
35
12.500 per kilogram karena ada subsidi harga dari perusahaan sebesar Rp 2.500 per kilogram. Upah pengolahan lahan budidaya kentang (cara manual) adalah sekitar Rp 1.500 per patok atau Rp 3,75 juta per hektar. Biaya sarana produksi lainnya ditanggung oleh petani dan pengadaannya diperoleh dari kios-kios setempat. Pemeliharaan tanaman kentang dilakukan oleh buruh tani dengan nilai upah (di luar makan) masing-masing Rp 20.00025.000 per orang per hari (laki-laki) dan Rp 15.000 per orang per hari (perempuan). Lama waktu kerja adalah sekitar 4-5 jam per hari. Fenomena tenaga kerja pertanian setampat disajikan pada Kotak 4.4. Kotak 4.4. Fenomena Tenaga Kerja Pertanian di Desa Cigedug Ketersediaan tenaga kerja pertanian cukup bermasalah di Desa Cigedug karena banyak yang mengusahakan lahan pertaniannya secara sendirisendiri, termasuk generasi muda petani. Di desa ini ada semacam “distorsi fenomena” dimana generasi muda lebih berminat bekerja di pertanian dari pada melanjutkan pendidikan sekolah. Generasi muda Desa Cigedug yang melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi boleh dikatakan minor. Awalnya generasi muda bekerja sebagai buruh tani dan beberapa periode kemudian mulai menyewa lahan untuk diusahakan sendiri. Konsekuensinya, jumlah petani makin bertambah sementara ketersediaan tenaga kerja menjadi berkurang. Karena kekurangan tenaga kerja, beberapa petani ada yang meninggalkan usahatani dan mencari kerja ke luar daerah (terutama pada musim kemarau). Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja tersebut, jalan keluarnya adalah dengan mendatangkan tenaga kerja dari luar desa melalui fasilitasi antar jemput.
Tanaman kentang dibudidayakan selama 1-2 musim tanam per tahun (100 hari/musim tanam). Produktivitas kentang berkisar antara 1820 ton per hektar per musim tanam. Produktivitas kentang yang ditanam pada musim kemarau lebih baik dari pada di musim hujan. Dengan harga panen Rp 5.400 per kilogram6], petani memperoleh penerimaan antara
6]
Harga panen kentang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara PT IFM dengan petani (saat ini Rp 5.400/kg). Harga tersebut berada di atas rata-rata harga pasar
36
Rp 97,2 hingga Rp 108 juta per hektar per musim tanam. Dengan biaya produksi lebih kurang Rp 90 juta per musim tanam, maka secara hitungan kasar pendapatan petani berkisar antara Rp 7,2 juta sampai Rp 18 juta per hektar per musim tanam. Sumber modal usahatani kentang berasal dari modal sendiri dan pinjaman. Sebagai catatan, sekitar 80 persen anggota kelompok tani “Silih Reksa IV” melakukan kegiatan usahatani dengan modal sendiri. Sisanya (20%) bersumber dari pinjaman ke kios-kios setempat. Petani di lokasi penelitian jarang yang berhubungan (akses) dengan lembaga perbankan, misalnya dalam memanfaatkan fasilitas kredit (KUR/Kredit Usaha Rakyat, KPPE/Kredit Ketahanan Pangan dan Energi, dsb.). Hal tersebut disamping karena prosedurnya relatif rumit, juga disebabkan oleh tidak sinkronnya kebijakan antara bank pusat dengan bank daerah. Kerumitan prosedur tersebut diantaranya terkait dengan agunan kredit (sertifikat tanah). Petani merasakan bahwa pengurusan sertifikat tanah cukup berbelit-belit dan memakan waktu lama. Petani beranggapan bahwa tanpa sertifikat dan tanpa pinjaman kredit, petani bisa mengurus lahan usahatani (tergantung usaha). Selain itu, petani merasa terbebani kalau memanfaatkan kredit yang harus dibayar secara reguler dan tepat waktu plus bunga pinjaman serta kekhawatiran terhadap fenomena kredit macet yang nantinya dirasa malah makin memberatkan petani. Di sisi lain, bank setempat boleh dikatakan cukup trauma dengan kasus KUT (Kredit Usaha Tani) dan adanya kredit fiktif. Petani di lokasi penelitian menginginkan agar pemerintah dapat mengontrol
stabilitas
harga.
Selain
itu
petani
setempat
juga
mendambakan bantuan/pembinaan terkait dengan mekanisasi seperti traktor (satu set dengan singkal dan rotary) dan cultivator untuk yang hanya berkisar antara Rp 5.000 per kilogram hingga Rp 5.200 per kilogram (termasuk varietas Atlantik).
37
mengatasi kekurangan tenaga kerja. Petani di lokasi penelitian tidak merasa keberatan seandainya pemerintah mencabut subsidi pupuk, asal dijalankan secara konsisten. 4.2.3. Tipologi Rumah Tangga Petani (RTP) Transisi Tipologi RTP gurem subsisten dalam penelitian ini diwakili oleh Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Adapun kelompok tani contohnya adalah “Sugih Mukti”. 4.2.3.1. Gambaran Umum Bojongsoang adalah satu dari 31 kecamatan yang berada di bawah Pemerintahan Kabupaten Bandung. Kecamatan ini memiliki luas wilayah sekitar 2.568,3 hektar dengan posisi geografis sebagai pintu gerbang
perbatasan
dengan
Kota
Bandung.
Secara
administratif
Kecamatan Bojongsoang enam desa yaitu Bojongsoang, Lengkong, Cipagalo, Buahbatu, Tegalluar, dan Bojongsari (BPS Kabupaten Bandung, 2014). Dua desa terakhir merupakan lokasi contoh dalam penelitian ini. Desa Tegalluar memiliki luas wilayah sekitar 682,5 hektar dan merupakan desa yang terluas (26%) di Kecamatan Bojongsoang. Desa ini mewakili tipe agroekosistem sawah tadah hujan yang luasnya lebih kurang 400 hektar. Sementara itu, Desa Bojongsari memiliki luas wilayah 513 hektar dengan tipe agroekosistem sawah irigasi semi teknis sekitar 235 hektar. Kedua desa tersebut berbatasan langsung dengan wilayah administratif Kota Bandung. 4.2.3.2. Pola Penguasaan Lahan Fenomena penguasaan lahan di Desa Tegalluar dan Desa Bojongsari merupakan representasi fenomena penguasaan lahan di Kabupaten Bandung secara keseluruhan. Fakta menunjukkan bahwa salah satu permasalahan terkait eksistensi lahan pertanian di kabupaten ini adalah terus berlangsungnya alih fungsi lahan pertanian ke non38
pertanian. Sebagai catatan, data interpretasi citra SPOT (Systeme
Probatoire d'Observation de la Terre) menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang terjadi di Kabupaten Bandung pada tahun 2004 hingga tahun 2011 adalah sekitar 1.898,34 hektar (4,96%). Pada tahun 2011, lahan pertanian yang dilindungi RTRW Kabupaten Bandung adalah seluas 18.498 hektar atau sekitar 50,78 persen dari total luas lahan pertanian di kabaupaten ini. Sisanya, yaitu sekitar 17.940 hektar (49,25%) direncanakan untuk dialihfungsikan ke penggunaan
non-pertanian
(Kecamatan
Bojongsoang,
2012).
Konsekuensinya, eksistensi lahan pertanian menjadi semakin menyempit. Fenomena di atas menimbulkan dampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan petani setempat, terutama yang mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian keluarga. Sebagai catatan, berdasarkan hasil SUSEDA (Survei Sosial Ekonomi Daerah) tahun 2009, sekitar 14 persen penduduk Kabupaten Bandung bekerja di sektor pertanian (BPS Kabupaten Bandung, 2010). Paling tidak ada tiga faktor penyebab terjadinya penyempitan lahan pertanian di lokasi penelitian. Pertama, adanya fragmentasi atau penyusutan
kepemilikan
lahan
pertanian
karena
pola
pewarisan.
Akibatnya, sebagian dari lahan tersebut dijual karena dianggap tidak mencukupi untuk diusahakan secara optimal. Hasil penjualan tersebut direncanakan untuk modal usaha di luar sektor pertanian. Akan tetapi tidak sedikit petani yang beruntung dari hasil penjualan lahan tersebut, sehingga akhirnya sebagian menjadi petani penggarap atau buruh tani di lahannya sendiri. Kedua, alih fungsi lahan melalui transaksi penjualan kepada perorangan atau pengusaha dari luar desa yang notabene kurang mengerti atau tidak menghiraukan eksistensi lahan pertanian di lokasi setempat. Biasanya, sebelum dialihfungsikan ke penggunaan nonpertanian, lahan pertanian tersebut boleh digarap sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Namun petani diliputi rasa kekhawatiran
39
mengingat alih fungsi penggunaan lahan yang dimaksud bisa terjadi dan mengakibatkan petani penggarapnya kehilangan pekerjaan kapan saja.
Ketiga, implementasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengakibatkan beberapa lahan pertanian beralihfungsi ke penggunaan non-pertanian. Fenomena jual beli lahan cukup marak di lokasi penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: (1) secara geografis lokasinya berada di bagian wilayah cekungan daerah aliran sungai (DAS) Citarum yang sering mengalami kebanjiran, terutama pada saat musim huja; dan (2) secara administratif letaknya berbatasan dengan Kota Bandung dengan geliat pembangunan cukup gencar, khususnya untuk industri dan pemukiman. Fenomena alih fungsi lahan pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa frekuensinya lebih tinggi di Desa Tegalluar dari pada di Desa Bojongsari. Hal tersebut karena lokasi Desa Tegalluar relatif lebih dekat ke Kota Bandung dibandingkan dengan Desa Bojongsari. Sekitar 70 persen lahan sawah di Desa Tegalluar telah beralih fungsi dan umumnya jatuh ke tangan orang dari luar desa. Diantara pemilik dari luar desa tersebut ada yang memiliki lahan sawah sekitar 4-5 hektar per orang. Sebagian dari lahan yang dimaksud digarap oleh petani setempat dan sebagian lagi diusahakan petani dari luar desa. Desa Tegalluar boleh dikatakan lebih rentan terhadap alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian dibandingkan dengan Desa Bojongsari. Berpijak dari kondisi tersebut, Desa Bojongsari menyusun Peraturan Desa (Perdes) yang rencananya akan diterapkan pada Januari 2015. Perdes tersebut antara lain mengatur tentang: (1) kontrak pengusahaan lahan; (2) kegiatan notaris tanah sesuai dengan administrasi pemerintahan desa; dan (3) registrasi desa terkait dengan pajak tanah. Ketiga peraturan tersebut terutama ditujukan untuk penertiban administrasi lahan yang dikuasai oleh pemilik dari luar desa.
40
Fenomena eksistensi lahan sebagaimana dikemukakan di atas menimbulkan dampak pada pola penguasaan lahan di lokasi penelitian. Selain pola pemilikan yang semakin terbatas skalanya, pola lainnya adalah berupa bagi hasil, sewa, dan gadai. Pola bagi hasil yang ada yaitu: (1) bagi hasil setengah atau paroan (50% vs 50%) dimana biaya penggarapan ditanggung penggarap sedangkan bibit dan pupuk dibiayai oleh pemilik; (2) bagi hasil setengah atau paroan (50% vs. 50%) setelah dipotong biaya yang sebelumnya ditanggung pemilik berdasarkan konversi hasil panen; (3) bagi hasil sepertiga atau mertelu dimana penggarap mendapatkan bagian 70 persen dan pemilik memperoleh bagian 30 persen dengan ketentuan seluruh biaya ditanggung oleh penggarap; (4) bayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Sebagai catatan, pola bayar PBB paling banyak diminati dan jadi rebutan karena dengan membayarkan PBB sekitar Rp 1,6 juta per hektar pe tahun, penggarap dapat menikmati seluruh hasil panen garapannya. Paling tidak ada dua pola sewa lahan yang cukup menonjol di lokasi penelitian. Pertama, sewa lahan senilai tiga kilogram per tumbak (2,1 ton/hektar). Pola sewa lahan seperti ini lebih banyak dilakukan dimana penggarap membayarkan sebagian sewanya (uang muka) di awal (sebelum digarap) dengan perhitungan harga gabah hasil panen musim tanam sebelumnya. Kedua, sewa lahan Rp 5.000 per tumbak (Rp 3,5 juta/hektar) per musim tanam. Pola ini berlaku pada budidaya tanaman ketimun (45 hari/musim tanam) dimana penyewanya berasal dari luar desa (Baleendah). Sementara itu pola penguasaan lahan lainnya adalah gadai gabah (potong pinjaman) dengan perhitungan Rp 1 juta untuk 1 kwintal gabah. Dari uraian di atas dapat secara umum dapat dikemukakan bahwa fenomena “guremisasi” cukup gencar terjadi di lokasi penelitian. Dengan kata lain skala pemilikan lahan petani menjadi sempit atau bahkan ada petani yang tidak memiliki lahan lagi (tuna lahan). Fenomena tersebut
41
berlangsung melalui proses perjalanan waktu sehingga menimbulkan dampak sosial seperti tersaji pada Kotak 4.5. Khusus untuk Tegalluar, boleh dikatakan setiap hari investor mencari lahan di desa ini. Kondisi tersebut seiring dengan adanya beberapa isu antara lain terkait dengan wacana pengembangan Desa Tegalluar menjadi satelit Kota Bandung. Kotak 4.5. Ungkapan Keprihatinan Petani Gurem Ungkapan keprihatinan petani gurem di Kecamatan Bojongsoang adalah “Hirup ripuh, bathin nyeri” (hidup susah, batin sakit). Menyadari hal tersebut, petani setempat hanya dapat berikhtiar dan berusaha sesuai kondisi yang ada. Fenomena tersebut umumnya diwariskan kepada anak agar tidak mengikuti jejak orang tuanya sebagai “petani”. Secara tidak langsung gambaran di atas berdampak pada kurang/tidak berminatnya generasi muda terjun dalam pekerjaan pertanian. Situasi tersebut diperparah lagi dengan pola pewarisan lahan pertanian yang menjadikan skalanya makin menyempit sehingga tidak dapat diandalkan sebagai sumber mata pencaharian pokok.
4.2.3.3. Sistem Usahatani Pola tanam pada lahan sawah di Desa Tegalluar adalah padi-padibera dengan jadwal musim tanam masing-masing untuk MH (JanuariApril/Mei) dan MK I (Juni/Juli-Oktober). Jenis padi yang umum digunakan adalah varietas Ciherang. Beberapa orang petani pernah mengusahakan tanaman jagung tetapi kurang berhasil. Sementara itu, pola tanam di Desa Bojongsari yaitu padi-padi-ketimun. Sumber pengairan lahan sawah berasal irigasi dan pompa air. Nilai sewa pompa air masing-masing untuk pompa air milik perorangan dan kelompok masing-masing 700 kilogram per hektar per musim tanam (pompa air milik kelompok) dan 670 kilogram per hektar per musim tanam (pompa air milik perorangan). Keberadaan pompa air tersebut sangat diperlukan, khususnya selama musim kemarau. Ketersediaan traktor baik milik pribadi maupun punya kelompok relatif cukup. Nilai sewa traktor masing-masing untuk milik pribadi dan
42
punya kelompok adalah Rp 1,4 juta per hektar dan Rp 1,2 juta per hektar. Nilai sewa tersebut dibagi antara operator (40%) dan pemilik traktor (60%). Biaya bahan bakar (solar) serta makan, rokok, bir (penghangat badan) operator, dan lain-lain ditanggung pemilik traktor. Upah tanam padi masing-masing Rp 30-35 ribu per orang per hari (tenaga kerja luar Bojongsoang) dan Rp 40 ribu per orang per hari (tenaga kerja setempat). Tenaga kerja dari luar dijemput dan diantar oleh pemilik (pengguna tenaga kerja). Sebagai catatan, tenaga kerja setempat diambil oleh petani kaya karena pekerjaannya lumintu (terus menerus) pada lahan yang cukup luas. Sebaliknya, petani yang memiliki lahan sempit kesulitan mencari tenaga kerja setempat. Penggunaan pupuk boleh dikatakan cukup tinggi karena petani menganggap lahannya kurang subur. Sementara itu, upah tenaga kerja cukup mahal, masing-masing untuk laki-laki (Rp 50.000/orang/hari) dan perempuan (Rp 40.000/orang/hari) selama lima jam kerja per hari. Selain mengalami krisis lahan, lokasi penelitian juga menghadapi krisi tenaga kerja. Petani yang mau terjun ke sawah adalah yang berusia di atas 50 tahun. Bagi yang berusia di bawah 50 tahun bekerja di bangunan, pabrik, dan jenis pekerjaan lain di kota. Salah satu industri yang cukup banyak menyerap tenaga kerja terutama generasi muda setempat adalah pabrik tekstil “PT Angguna”. Kekurangan tenaga kerja didatangkan dari luar desa seperti Ciparay dan Selokan Jeruk. Sebagai ilustrasi,
fenomena
keengganan
generasi
muda
setempat
untuk
menggeluti pekerjaan di sektor pertanian disajikan pada Kotak 4.6. Dulu tenaga kerja yang cari panen, tetapi sekarang pemilik yang cari tenaga kerja panen. Dulu perhitungan upah panen adalah sekitar 10 kilogram per kwintal, tetapi sekarang naik menjadi 20 kilogram per kwintal ditambah biaya angkut. Rataan produktivitas padi MH adalah sekitar 8 kwintal per 100 tumbak (5,6/hektar), sedangkan padi MK sekitar 6 kwintal per 100
43
tumbak (4,2 ton/hektar). Secara hitungan kasar, 100 tumbak (0,14 hektar) lahan sawah menghasilkan sekitar 8 kwintal GKP. Dengan harga Rp 3.750 per kilogram, diperoleh penerimaan sekitar Rp 3 juta. Setelah dipotong biaya produksi sekitar Rp 2 juta, maka pendapatan hanya Rp 1 juta. Dengan kata lain, petani hanya memperoleh keuntungan sekitar 30 persen dari hasil produksi. Melalui sakap, nilai keuntungan tersebut akan semakin berkurang lagi (tergantung polanya). Perhitungan tersebut merupakan fakta umum mengingat rataan luas penguasaan lahan sawah cukup sempit (bukan dalam skala hektaran). Kotak 4.6. Representasi Keengganan Generasi Muda Bekerja di Pertanian Dua kasus generasi muda yang enggan bekerja di sektor pertanian direpresentasikan oleh Asep (usia 30 tahun) dan Agus (usia 25 tahun) yang masing-masing berprofesi sebagai jasa transportasi ojeg dan karyawan pabrik roti. Pertama, Asep pernah menjadi buruh tani sebelumnya dengan nilai upah Rp 40 ribu per hari. Tetapi dengan mengeluti pekerjaan jasa transportasi ojeg, Asep memperoleh rataan pendapatan sekitar Rp 80 ribu per hari. Asep menyatakan bahwa kalau upah buruh tani meningkat, maka yang bersangkutan mau kembali menggeluti pekerjaan pertanian. Sesekali Asep turun membantu usahatani orang tua yang hanya memiliki lahan sawah seluas 50 tumbak (0,07 hektar). Kedua, Agus bekerja di pabrik roti dengan perolehan gaji Rp 80 ribu per hari ditambah makan dan jaminan kesehatan BPJS. Orang tua Agus memiliki lahan sawah seluas 100 tumbak (0,14 hektar), tetapi Agus boleh dikatakan tidak pernah turun ke sawah membantu orang tuanya. Menurut Agus pekerjaan di non-pertanian “lebih pasti” dibandingkan di pertanian. Sebagai catatan, tenaga kerja setempat yang bekarja di Kota Bandung umumnya terkait dengan kegiatan industri dan bangunan. UMR (Upah Minimum Regional) Kota Bandung (Rp 2,7 juta/orang/bulan) lebih tinggi dibandingkan UMR Kabupaten Bandung (Rp 1,9 juta/orang/bulan). Selama ini perhatian pemerintah terhadap generasi muda lebih cenderung mengarah pada sektor non-pertanian (industri). Oleh karena itu perlu diadakan pendidikan dan latihan (diklat) yang lebih intensif dan tepat guna untuk generasi muda pertanian.
Harga jual gabah kering panen (GKP) adalah sekitar Rp 3,7003,800 per kilogram pada saat panen. Padahal kalau petani mau menunggu, harganya bisa mencapai Rp 4,000 per kilogram. Namun petani keburu harus menjual karena desakan kebutuhan keluarga 44
disamping adanya kendala ketersediaan fasilitas penyimpanan. Bertitik tolak dari kendala tersebut sebagian petani menjual hasil panen padinya secara “tebasan”, terutama pada musim hujan. Nilai tebasan berkisar antara Rp 5.000 per tumbak hingga Rp 6.000 per tumbak (Rp 3,5-4,2 juta per hektar). Perbandingan proporsi antara tebasan dengan bukan tebasan antar musim tanam masing-masing pada musim hujan (50% vs. 50%) dan pada musim kemarau (60% vs. 40%). Sebagai catatan, sebagian besar (90%) hasil panen padi dijual dan sisanya (10%) untuk pemenuhan konsumsi rumah tangga. Desa contoh penelitian memiliki keterbatasan fasilitas lantai jemur karena sempitnya ketersediaan lahan. Kondisi tersebut mendorong petani untuk segera menjual GKP disamping karena tuntutan kebutuhan uang. Satu-satunya fasilitas lantai jemur yang cukup memadai hanya tersedia di kecamatan dengan kapasitas penjemuran sekitar 4,5 juta ton gabah. Selain permasalahan sempitnya lahan dampak dari alih fungsi dan fragmentasi lahan, permasalahan krusial lainnya yang dihadapi petani di lokasi penelitian adalah modal usahatani. Sebagian besar petani (khususnya penggarap) memperoleh fasilitas modal dari pemilik lahan dan pedagang (tengkulak). Besarnya modal dari masing-masing sumber tersebut bervariasi, yaitu tergantung kesepakatan antar penyedia dan peminjam modal. Dengan kata lain, tidak ada ketentuan formal yang mengatur kesepakatan tersebut, namun posisi petani berada di pihak yang lemah. Alternatif lain, misalnya melalui lembaga keuangan formal, kurang/tidak terjangkau oleh petani. Pengajuan pinjaman oleh petani (kelompok tani) boleh dikatakan tidak mendapat respon dari lembaga perbankan. Penyebabnya karena posisi petani lemah dari sisi agunan yang menjadi persyaratan mutlak bagi bank. Bukti temuan sederhana (anecdotal evidence) menujukkan bahwa realisasi kredit sepeda motor lebih mudah dibandingkan realisasi kredit usahatani. Hal tersebut karena
45
kredit sepeda motor dapat dicicil bulanan sementara kredit usahatani tidak dapat dicicil musiman (per musim tanam). 4.3. Keberadaan Organisasi Kelompok Tani Kelompok tani merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam Undang Undang Nomor 19 tahun 2013 (pasal 1) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Menurut Undang Undang tersebut, kelompok tani adalah “kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, sumber daya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk meningkatkan serta mengembangkan usaha anggota”. Dari definisi di atas dapat digarisbawahi bahwa kelompok tani merupakan kumpulan (organisasi) dengan tujuan untuk meningkatkan serta mengembangkan usaha anggota. Implementasi kegiatan program dalam rangka peningkatan serta pengembangan petani sejatinya ditempuh melalui media kelompok tani karena sifatnya kolektif (bukan individu). Dalam penelitian ini tiga kelompok tani dijadikan sebagai contoh representasi tipologi petani. Kelompok tani tersebut terdiri dari: (1) kelompok tani tipologi subsisten Ranca Kujang; (2) kelompok tani tipologi komersial); dan (3) kelompok tani tipologi transisi. Masing-masing kelompok
tani
tersebut
ditelusuri
terkait
dengan
karakteristik
keberadaannya di masing-masing lokasi contoh penelitian. 4.3.1. Kelompok Tani Tipologi Subsisten Kelompok tani tipologi subsisten diwakili oleh “Ranca Kujang”. Kelompok tani ini merupakan salah satu dari lima kelompok tani dibawah gabungan kelompok tani (gapoktan) “Banyu Hurip” di Desa Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut. Kelompok tani tersebut berdiri
46
sekitar tahun 1997 dengan jumlah anggota 36 orang petani terdiri dari 25 orang laki-laki dan 9 orang perempuan (Lampiran Tabel 10). Umur anggota anggota kelompok tani “Ranca Kujang” berkisar antara 33 tahun hingga 80 tahun (rata-rata 55 tahun). Tingkat pendidikan anggota kelompok tani masing-masing SD (58,33%), SMP (22,22%), SMA (16,67%), dan perguruan tinggi (2,78%). Dari semua anggota kelompok tani “Ranca Kujang”, hanya 20 petani (55,56%) yang memiliki sawah. Dari 20 petani tersebut, 18 petani (90%) diantaranya memiliki lahan kering/tegalan. Rataan pemilikan sawah dan lahan kering/tegalan diantara pemilik kedua lahan tersebut masing-masing 0,42 hektar per petani dan 0,22 hektar per petani. Kedua rataan tersebut termasuk kategori gurem (<0,5 hektar/petani), sehingga cenderung diusahakan sendiri oleh pemiliknya. Petani yang tidak memiliki baik lahan sawah maupun lahan kering/tegalan (tuna lahan) masingmasing 16 petani (44,44%) dan 18 petani (50%). Sebagian dari petani tersebut tergolong sebagai buruh tani. Kesempatan untuk menggarap lahan baik melalui pola bagi hasil atau sewa boleh dikatakan terbatas karena petani pemilik cenderung mengusahakan sendiri lahannya yang notabene skala luasnya cukup sempit. Dengan kata lain, proporsi petani yang bersatus sebagai buruh tani dalam kelompok tani ini cukup tinggi (hampir 50%). Dengan status petani seperti di atas, implementasi suatu program relatif sulit dipastikan jaminan keberlanjutannya. Satu informasi yang cukup menarik diperoleh terkait dengan program inovasi teknologi dimana implementasinya tergantung pada pemilik lahan. Dengan kata lain, penggarap tidak dapat mengimplementasi program jika tidak mendapat persetujuan dari pemilik. Selama ini implementasi suatu program ditengarai hanya melihat eksistensi kolektivitas kelompok tani dan cenderung kurang memperhatikan status anggotanya.
47
Satu hal menarik lainnya juga ditemukan dalam penelitian ini. Dari pengecekan terhadap 25 orang petani yang menghadiri sosialisasi kegiatan “Pestisida Nabati” bersamaan dengan kegiatan penelitian ini, diperoleh informasi yang cukup mengejutkan. Informasi tersebut berkaitan dengan identitas jenis pekerjaan yang tercantum dalam KTP (kartu tanda penduduk), dimana tidak satu orang pun diantara petani tersebut yang berprofesi sebagai “petani”. Jenis pekerjaan yang umumnya tercantum dalam KTP petani adalah wiraswasta atau buruh harian lepas. Fenomena ini cukup mengherankan, namun ketika dikonfirmasi dengan petani diperoleh beberapa penjelasan seperti: (1) petani hanya menyerahkan isian KTP kepada petugas setempat; (2) petani
merasa
cukup
gengsi
dengan
pekerjaan
sebagai
petani
dibandingkan wiraswasta yang notabene menurut petani pekerjaan pertanian sekaligus merupakan bagian dari wiraswasta; dan (3) jenis pekerjaan yang ada untuk pengisian KTP terbatas pada jenis pekerjaan tertentu (tidak termasuk petani di dalamnya). Kendati fenomena di atas relatif sepele, namun hal tersebut dapat dianggap sebagai kurang tertibnya administrasi. Dampak sampingannya bisa saja bantuan yang seharusnya diterima petani jatuh ke tangan bukan petani. Sebagai ilustrasi, salah satu komponen program kebijakan kredit dan lahan pertanian di Thailand, dimana pemerintah memberikan kartu kredit diiringi dengan peluncuran “kartu identitas petani” untuk mempermudah identifikasi dan penyaluran subsidi (Rauf, 2013). Berpijak dari kasus yang ditemui pada penelitian ini dan pelajaran dari Thailand, perlu kiranya penelahaan lebih lanjut dengan cakupan yang lebih luas terkait dengan identitas formal petani di Indonesia guna mendukung implementasi program pembangunan pertanian yang tepat sasaran. Beberapa program dan pelatihan telah diimplementasikan di lokasi penelitian (lingkup Kecamatan Banyuresmi). Program dan pelatihan tersebut diantaranya: (1) SRI (System of Rice Intensification) di Desa
48
Sukaratu; (2) SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi, jagung, dan kedelai di Desa Sukaratu dan Desa Cipicung; (4) SLKontigensi di Desa Sukaratu; (5) UPJA (Usaha Pelayanan Jasa Alsintan) traktor, pompa air, terpal di Desa Sukaratu; (6) PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan) di Desa Cipicung dan Desa Sukaratu; (7) JITUT (Jaringan Irigasi Tingkat Usahatani) di Desa Cipicung; (8) Kirmir drainase di Desa Sukaratu; (9) pestisida nabati di Desa Cipicung; dan (10), pelatihan cabai, SRI, agribisnis, LKM Gapoktan (Lembaga Keuangan Mikro-Gabungan Kelompok Tani), peningkatan mutu SDM (sumber daya manusia), dan jajar legowo (BPTP/Balai Pengkajian Teknologi Pertanian). Sebagai
catatan,
Kecamatan
Banyuresmi
sering
dijadikan
lokasi
penerapan program yang acapkali juga dikunjungi oleh petugas instansi pertanian. Dampak program boleh dikatakan hanya pada tataran implementasi, sedangkan penyebarannya relatif kurang berlanjut. 4.3.2. Kelompok Tani Tipologi Komersial Kelompok tani tipologi direpresentasikan oleh “Silih Reksa IV”. Kelompok tani ini merupakan salah satu diantara lima kelompok tani lainnya (Silih Reksa I sampai V). Keenam kelompok tani Silih Reksa tersebut menyebar di beberapa lokasi sentra hortikultura seperti Cibahu, Wanaraja, Sucinaraya, Sukaresmi, Pasirwangi, Cisurupan, Cikajang, Cigedug, dan Wanaraja. Diantara lokasi-lokasi tersebut, kelompok tani yang paling banyak anggotanya adalah di Cigedug. Kelompok tani “Silih Reksa” dibentuk sekitar tahun 1993 dengan tujuan untuk wadah kerjasama kemitraan dengan PT Indofood Fritolay Mandiri (IFM) berlandaskan saling membutuhkan (mitra) dalam hal budidaya usahatani tanaman kentang. Usahatani tersebut berlanjut (sustainable) karena ada kemitraan yang salah satu kunci dasarnya terletak pada penyediaan bibit yang difasilitasi oleh perusahaan mitra.
49
Pembentukan kelompok tani Silih Reksa IV adalah berdasarkan domisili karena lahan usahataninya berpencar-pencar. Jumlah anggota kelompok tani ini tercatat 25 orang petani (Lampiran Tabel 11). Usia anggota kelompok berkisar antara 25 tahun hingga 60 tahun (rataan 43 tahun). Sebaran tingkat pendidikan yaitu SD (60%), SMP (28%), dan SMA (12%). Rataan penguasaan lahan adalah 2,75 hektar per petani, terdiri dari lahan garapan milik (1,65 hektar/petani) dan garapan sewa (1,10 hektar/petani). Sebagai catatan, dari 25 orang petani anggota kelompok tani “Silih Reksa IV”, semuanya menggarap lahan milik sendiri dan sewa. Dari temuan ini dapat dikatakan bahwa status anggota kelompok tani ini jauh berada di atas kategori gurem. Tingginya rataan penguasaan lahan mengindikasikan bahwa petaninya termasuk golongan berada. Oleh karena itu tidak heran jika kerjasama kemitraan antara PT IFM dengan petani setempat bertahan kelangsungannya sejak tahun 1993 yang lalu. Selama kurun waktu 21 tahun hingga saat sekarang, keikutsertaan petani dalam kerjasama kemitraan tersebut telah berjalan secara turun temurun. Akan tetapi, keikutsertaan petani dalam kerjasama kemitraan yang dimaksud adalah bersifat non-reguler (on and off), tergantung musim dan curah hujan. Sebagian petani ada yang ikut kemitraan pada musim hujan sedangkan pada musim kemarau tidak ikut kemitraan (menanam jagung). Kerjasama kemitraan budidaya tanaman kentang antara PT IFM dengan petani setempat relatif berjalan rapi dimana selain menyediakan bibit kentang (varietas Atlantis) kepada petani, perusahaan yang bersangkutan juga menyiapkan rencana kerja (work plan) kegiatan. Di tingkat lapangan, PT IFM menugaskan 9 orang teknisi. Bimbingan lapangan dari perusahaan relatif berlangsung secara teratur dan kondusif dalam mendukung kapasitas petani mengusahakan tanaman kentang. Berbekal dari kapasitas tersebut, petani cukup selektif
50
dalam memanfaatkan sarana produksi seperti pestisida yang cukup gencar dipromosikan oleh formulator seperti Bioworld (perusahaan Malaysia dan Singapura) dan Royal Agro (perusahaan domestik). Disamping sebetulnya hal tersebut diawasi oleh petugas lapang PT IFM. Selain fasilitasi dukungan bimbingan teknis, kelompok tani “Silih Reksa IV” diwacanakan akan menerima fasilitas bantuan penyediaan gudang penyimpanan hasil panen (kerjasama dengan petani). Mengingat kelompok tani belum memiliki gudang penyimpanan, maka wacana tersebut disambut baik melalui partisipasi petani secara cicilan dan pada gilirannya akan dimiliki oleh kelompok tani. Sebelumnya, kelompk tani “Silih Reksa IV” telah memperoleh bantuan
bantuan
fasilitas
“cool
room”
dari
Direktorat
Jenderal
Hortikultura pada tahun 2011. Cool room tersebut dioperasikan dengan menggunakan blower (kipas angin), bukan “cold storage” yang harus dilengkapi dengan pendingin. Cool room difungsikan sebagai tempat untuk kegiatan sortiran dan pengemasan sayuran. Tahun lalu (2012), kelompok tani ini juga mendapatkan bantuan satu unit kendaraan mobil
pick up dari Kementerian Pertanian. Belakangan ini kelompok tani “Silih Reksa IV” melaksanakan kegiatan penelitian “uji residu pestisida kentang” dengan Balitsa (Balai Penelitian Sayuran) Lembang melalui dana bantuan Negeri Belanda. Kegiatan tersebut sudah berlangsung selama tiga musim tanam, dimana hasilnya menunjukkan bahwa residu pestisida pada kentang masih rendah dibandingkan residu pestisida pada cabai, kol, dan sebagainya. Dari uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa implementasi kerjasama kemitraan kesannya seolah-olah “eksklusif”. Hal tersebut cukup kontradiktif dengan kenyataan bahwa dari hasil ST 2003 dan ST 2013 terdata proporsi RTP gurem di lokasi setempat (Kecamatan Cigedug) masing-masing sekitar 89,55 persen dan 85,61 persen. Agregasi proporsi RTP gurem tersebut tentunya menyebar pada
51
beberapa sub-sektor pertanian. Terlepas dari semua itu, kelompok tani “Silih Reksa IV” dapat dianggap sebagai representasi tipologi petani komersial yang cukup berhasil dalam menjalankan usahataninya. Secara implisit keberhasilan tersebut juga dinikmati RTP gurem yang sebagian menjadi buruh tani pada usahatani kentang yang notabene kegiatannya memerlukan tenaga kerja intensif. Perlu dicatat bahwa semua anggota kelompok tani “Silih Reksan IV” (menurut pengakuan pengurusnya) berprofesi
sebagai
petani
sebagaimana
tercantum
dalam
kolom
pekerjaan KTP (Kartu Tanda Penduduk) masing-masing. 4.3.3. Kelompok Tani Tipologi Transisi Representasi kelompok tani tipologi komersial adalah “Sugih Mukti” Kelompok tani ini terdapat di Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Jawa Barat. Kelompok tani ini dibentuk sekitar tahun 2000 dengan jumlah anggota 23 orang (Lampiran Tabel 12). Kelompok tani “Sugih Mukti” dibentuk berbasiskan domisili. Basis pembentukan seperti ini lazim diterapkan di wilayah administratif kabupaten,
sedangkan
di
wilayah
administratif
kota
basis
pembentukannya adalah berdasarkan hamparan. Hal demikian karena lokasi pemukiman warga kabupaten cenderung menyatu sedangkan tempat tinggal warga perkotaan cenderung terpencar. Usia anggota kelompok tani “Sugih Mukti” berkisar antara 38 tahun hingga 75 tahun (rataan 56 tahun). Dengan kata lain, rataan usia anggota kelompok tani ini relatif sudah cukup tua. Sementara itu, sebaran tingkat pendidikan anggotanya masing-masing SD (60,87%), SMP (21,74%), SMA (13,04%), dan perguruan tinggi (4,35%). Ditinjau dari sisi penguasaan lahan pertanian, hanya tiga petani (13,04%) yang berstatus sebagai pemilik penggarap dan sisanya yaitu 20 petani (86,96%) berstatus penggarap (bukan pemilik). Dari 20 orang petani petani penggarap bukan pemilik tersebut rinciannya adalah
52
penyewa (40%), penyakap (25%), dan bayar PBB (35%). Status yang terakhir adalah petani penggarap membayarkan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) lahan yang digarap dan kemudian semua hasil garapannya menjadi hak petani penggarap yang bersangkutan. Besar nilai PBB tergantung lokasi lahan, namun kisarannya adalah antara Rp 1,5 juta per hektar per tahun hingga Rp 1,6 juta per hektar per tahun. Terdapat beberapa fenomena terkait dengan penguasaan lahan pertanian di lokasi penelitian. Pertama, penentuan pola penguasaan lahan tergantung pada kesepakatan awal antara pemilik baru dengan penggarapnya. Biasanya penerapan pola penguasaan lahan tersebut dilakukan oleh pemilik baru (dari proses jual beli). Sementara itu, pemilik lahan yang tidak menjual lahannya umumnya sebagai petani penggarap di lahan sendiri.
Kedua, tidak semua pemilik lahan menguasakan lahan kepada penggarap dengan pola yang sama. Mereka umumnya menguasakan lahannya untuk digarap sementara oleh petani pemilik lahan pertama, namun dalam batas waktu yang tidak ditentukan, kapanpun lahan tersebut akan digunakan oleh pemilik. Konsekuensinya, petani yang menggarap lahan tersebut harus menyerahkan sepenuhnya kepada pemilik (tanpa syarat). Biasanya setelah tidak digarap, lahan pertanian tersebut dialihfungsikan ke lahan non-pertanian (pabrik atau gudang).
Ketiga, penyerahan penguasaan lahan dari pemilik kepada petani penggarap dapat menyebabkan pengelolaannya menjadi tidak optimal. Bahkan pada beberapa kasus terjadi hak wewenang pengelolaan lahan dialihkan ke petani penggarap berikutnya. Dalam hal ini petani penggarap pertama berperan jadi manajer atau hanya sebagai perantara saja. Keberadaan petani penggarap sifatnya musiman (ganti-ganti) sehingga relatif sulit diarahkan untuk kegiatan suatu program.
Keempat, pengaruh pemilik cukup tinggi dalam pengelolaan lahan, bahkan lebih menentukan dibandingkan peran penggarap lahan.
53
Misalnya, apabila penggarap lahan mau menerapkan anjuran teknologi baru,
pemilik
lahan
memiliki
kekhawatiran
terhadap
kegagalan
(penurunan produksi) yang berimplikasi pada berkurangnya bagi hasil atau pendapatan yang diperoleh. Jika tidak mengikuti kehendak pemilik lahan, dampaknya dapat berupa pemutusan hubungan kerjasama. Oleh karena itu, peran pemilik lahan cukup menentukan dalam penerapan teknologi dan peningkatan produktivitas lahan. Satu fenomena yang cukup menggelitik (surprise) ditemukan yaitu terkait dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Banyak KTP petani yang identitas pekerjaannya bukan sebagai petani, tetapi malahan sebagai wiraswasta atau buruh harian lepas. Fenomena tersebut juga ditemui pada anggota kelompok tani yang telah dibahas sebelumnya, kecuali kelompok tani “Silih Reksa IV”. Menurut informasi yang diperoleh, pilihan pekerjaan yang ada dalam
KTP
setempat
hanya
ada
enam,
yaitu
PNS,
TNI/Polri,
wiraswasta,swasta, guru/dosen, dan buruh harian lepas. Konfirmasi kebenarannya perlu dilacak lebih lanjut. Sebetulnya ada 88 pilihan jenis pekerjaan dalam kolom pekerjaan pada KTP (Lampiran Tabel 13). Kelompok tani “Sugih Mukti” sudah memperoleh beberapa fasilitas dari pemerintah seperti bantuan pompa air irigasi, pelatihan SRI (System
of Rice Intensification), SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu), dan SLPHT (Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu), serta studi banding. Terkait dengan pelatihan, petani menginginkan pelatihan yang betul-betul cocok dengan usahatani setempat. Sementara itu, satu hal yang menjadi catatan dalam studi banding adalah kurang tepatnya lokasi sasaran kunjungan. Adakalanya petani dibawa ke lokasi yang sebetulnya kalah maju dibandingkan lokasi petani sendiri. Harapan petani yaitu agar pemerintah lebih mementingkan subsidi harga yang dirasa lebih efektif dari pada subsidi sarana produksi seperti pupuk. Selain itu, diharapkan juga agar ada alternatif terobosan mengingat
54
petani rentan terhadap rayuan investor terkait dengan penjualan lahan yang berujung pada alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian. V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 5.1. Kesimpulan Dari deskripsi eksistensi dan dinamika transformasi berikut identifikasi tipologi petani skala kecil (rumah tangga petani gurem) di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Eksistensi rumah tangga petani (RTP) skala kecil (gurem) cukup menonjol di Indonesia. Jumlah RTP gurem tercatat 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari jumlah RTP pengguna lahan pertanian nasional. Dinamika selama satu dasawarsa terakhir (20032013)
menunjukkan
bahwa
jumlah
RTP
gurem
mengalami
transformasi pengurangan absolut sebanyak 4,77 juta rumah tangga, atau rata-rata menurun sekitar 2,51 persen per tahun. 2.
Eksistensi dan transformasi RTP gurem bervariasi menurut tingkat wilayah baik regional, provinsi, kabupaten/kota, maupun kecamatan (termasuk desa). Akan tetapi, terdapat ketimpangan yang cukup signifikan dimana eksistensi jumlah RTP gurem di Jawa hampir tiga kali lipat dibandingkan di luar Jawa. Sementara itu transformasi penurunan jumlah RTP gurem di Jawa juga lebih besar dari pada
3.
Secara tipologi, eksistensi jumlah RTP gurem dan proporsinya terhadap RTP pengguna lahan pertanian berbanding terbalik dengan dinamika transformasinya. Eksistensi jumlah RTP gurem dan proporsinya terhadap jumlah RTP pengguna lahan pertanian yang paling tinggi terdapat pada tipologi subsisten, kemudian diikuti oleh tipologi komersial dan tipologi transisi. Sementara itu dinamika
55
transformasi RTP gurem yang ditunjukkan oleh fenomena penurunan yang paling besar adalah pada tipologi transisi tertinggi, berikutnya pada tipologi komersial dan tipologi subsisten. Kondisi tersebut antara lain berhubungan dengan ketersediaan dan penguasaan lahan pertanian pada masing-masing tipologi. 4.
Karakteristik petani di lokasi penelitian memiliki beberapa perbedaan substantif menurut tipologinya. Pertama, rataan luas penguasaan lahan pertanian (sawah) pada tipologi subsisten adalah di bawah 0,5 hektar dengan proporsi buruh tanggi yang cukup tinggi. Sementara itu panen padi cenderung dilakukan secara “tebasan” karena desakan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Kedua, karakteristik tipologi dicirikan oleh kegiatan usahatani yang beorientasi pasar melalui dukungan kerjasama kemitraan yang cukup berhasil sehingga secara implisit juga dinikmati oleh RTP gurem yang bekerja sebagai buruh dalam kegiatan usahatani yang bersangkutan. Ketiga, secara spesifik tipologi transisi ditandai oleh rendahnya proporsi antara petani pemilik penggarap dibandingkan dengan petani penggarap (13,04% vs. 86,96%). Selain itu alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian cukup gencar pada tipologi ini karena lokasinya berada dekat pertumbuhan ekonomi (peri urban).
5.
Peran petani pemilik di tipologi transisi cukup menentukan dalam adopsi
teknologi
pertanian,
khususnya
di
tipologi
transisi.
Konsekuensinya, petani penggarap mengikuti persepsi tersebut karena khawatir terhadap pemutusan hubungan kerja. 6.
Rataan usia anggota kelompok tani relatif sudah tergolong kategori tua, terutama di tipologi subsisten dan transisi (>55 tahun). Sejalan dengan itu, ketertarikan generasi muda untuk terjun di bidang pertanian semakin menurun, terutama di tipologi transisi dan sebagian di tipologi subsisten.
56
7.
Kecuali di kelompok tani tipologi komersial, pekerjaan petani yang tercantum pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) dominan bukan sebagai petani. Kondisi tersebut mengindikasikan kurang tertibnya administrasi kependudukan yang sekaligus dapat berdampak pada distorsi sasaran program yang seharusnya untuk petani tetapi jatuh kepada pihak lain.
5.2. Implikasi Kebijakan Dari kesimpulan di atas, implikasi kebijakan dari penelitian ini meliputi beberapa aspek. Aspek-aspek implikasi kebijakan tersebut meliputi: 1.
Pengembangan rumah tangga petani (RTP) skala kecil (gurem) seyogianya diimplementasikan berdasarkan tipologinya. Hal tersebut mengingat masing-masing tipologi memiliki perbedaan spesifikasi karakteristik eksistensi dan kebutuhan serta orientasi kegiatannya. Pengembangan tersebut harus dimulai dari pengembangan kapasitas petani termasuk RTP gurem melalui pendidikan dan latihan (diklat), baik teknis (pengelolaan usahatani) maupun non-teknis (manajerial) berlandaskan konsep agribisnis. Bantuan fisik untuk pembangunan komoditas dilaksanakan secara selektif. Hal tersebut mengingat akselerasi pembangunan komoditas tergantung pada pengembangan komunitas.
2.
Fokus pengembangan petani tipologi subsisten adalah melalui optimalisasi pemanfaatan lahan yang cenderung sempit. Tumpuan pengembangan
petani
tipologi
komersial
yaitu
dengan
cara
meningkatkan kerjasama kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak (terutama petani skala kecil). Sementara itu, inti pengembangan
petani
tipologi
transisi
yakni
dalam
bentuk
peningkatan kapasitas keterampilan dalam bidang yang menunjang usahatani (off-farm) seperti alsintan (alat dan mesin pertanian).
57
3.
Implementasi pengembangan petani adalah secara kolektif melalui oganisasi
kelompok
tani.
Perlu
dicatat
bahwa
kegiatan
pengembangan petani harus memperhatikan substansi statusnya (pemilik dan penggarap). Disamping itu pengecekan KTP petani seyogianya dilakukan dan bila perlu diiringi dengan pemberian kartu identitas petani guna mempermudah identifikasi dan ketepatan implementasi
kegiatan
pengembangan
komunitas
petani
dan
komoditas pertaniannya.
58
DAFTAR PUSTAKA Anantanyu. S. 2008. Tipe Petani dan Strategi Pengembangan Kelembagaan Kelompok Tani (Kasus di Provinsi Jawa Tengah). Jurnal M’Power, Vol. 8, No. 8: 35-48, Oktober 2008. Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta. Anonim. 88 Jenis Pekerjaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=pekerjaan+di+kolom+K TP (Januari 2015) Arifin, B. 2013. Tenaga Kerja Sektor Pertanian: Hasil dari Transformasi Struktural. Makalah pada Seminar “Ekonomi Ketenagakerjaan”. Kamar Dagang Indonesia. Jakarta. BPP Banyuresmi, 2014. Programa Penyuluhan Kecamatan Banyuresmi. Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Banyuresmi. Banyuresmi. BPPSDMP. 2011. Rencana Strategis Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. BPS Kabupaten Bandung. 2014a. Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Bandung. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. Soreang. BPS Kabupaten Bandung. 2014b. Kecamatan Bojongsoang Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. Soreang. BPS Kabupaten Bandung. Survei Sosial Ekonomi Daerah (SUSEDA) tahun 2009. Soreang. BPS Kabupaten Garut. 2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Garut. Badan Pusat Statistik Kabupaten Garut. Garut. BPS Provinsi Jawa Barat. 2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 Provinsi Jawa Barat. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Bandung. BPS. 2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 (Angka Tetap). Berita Resmi Statistik Nomor 90/12/Th. XVI, 2 Desember 2013. Badan Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia. DPTPH Garut. 2014. Laporan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Garut. Garut. FAO. 2012. Small-Scale Farmers as A Key to Feeding the World. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
(Desember 2014). Hazell, P., J. Anderson, N. Balzer, A. H. Clemmensen, U. Hess, and F. Rispoli. 2010. Potential for Scale and Sustainability in Weather Index for Agricultre and Rural Livelihoods. International Fund for Agricultural Development and World Food Program (IFAD-WFP). 59
(Desember 2014). IFAD. 2013. New Directions for Smallholder Agriculture (edited by P. Hasell and A. Rahman). International Fund for Agricultural Development. Oxford Press. Oxford, United Kingdom. IFPRI. 2007. The Future of Small Farms. Proceeding of Research Workshop. International Food Policy Research Institute. Washington D.C. Iqbal, M. 2008. Perspektif Sistem Kemitraan Agribisnis Kentang di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Artikel dalam Buletin Ristek Volume. 7, Nomor 2, Desember 2008. Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Jawa Barat. Bandung. Kecamatan Bojongsoang. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah akecamatan Bojongsoang. Bojongsoang. Narayanan, S. and A. Gulati. 2002. Globalization and the Smallholders: A Review of Issue, Approaches, and Implications. Market and Structural Studies Division. International Food Policy Researc Institute. Washington D. C. Pemerintah RI. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta. Pemerintah RI. 2013. Undang Undang Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta. Pemerintah RI. 2013. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pemerintah Republik Indonesia. Jakarta. Rahman, A. dan J. Smolak. 2013. Financing Smallholder Farmers in Developing Countries in New Directions for Smallholder Agriculture (edited by P. Hasell and A. Rahman). International Fund for Agricultural Development. Oxford Press. Oxford, United Kingdom. Rauf, L. 2013. Menuju Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) 2015: Tantangan dan Peluang. Studi Kasus Thailand. Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Kesiapan Sektor Pertanian menghadapi ASEAN Economic Community (AEC). Kedutaan Republik Indonesia untuk Kerajaan Thailand. Bangkok. Sumaryanto. 2009. Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global. Makalah pada Seminar Nasional “Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani”. Bogor, 14 Oktober 2009.
60
Thapa, G. and R. Gaiha. 2013. Smaalholder farming in Asia and the Pacific: Challenges and Opportnities in New Directions for Smallholder Agriculture (edited by P. Hasell and A. Rahman). International Fund for Agricultural Development. Oxford Press. Oxford, United Kingdom. Toulmin, C. 2013. Securing a Future for Smallholder Farmers in an Era of Climate Change in New Directions for Smallholder Agriculture (edited by P. Hasell and A. Rahman). International Fund for Agricultural Development. Oxford Press. Oxford, United Kingdom.
61
LAMPIRAN Lampiran Tabel 1. Keragaan Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Indonesia, 2003 dan 2013 No.
Provinsi
2003
2013
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Barat Indonesia
699.370 1.492.104 709.351 541.050 414.986 971.458 280.964 1.293.192 139.315 74.195 52.583 4.345.148 5.770.801 574.920 6.314.370 898.021 492.394 719.875 729.483 614.738 302.414 471.972 203.179 38.948 324.374 396.622 1.082.251 314.011 133.083 167.098 184.376 129.246 75.790 280.502 31.232.184
644.851 1.327.759 644.610 581.517 431.589 958.724 277.136 1.226.455 124.970 69.991 12.287 3.058.612 4.290.619 495.781 4.978.358 592.841 408.233 600.613 778.854 627.638 270.914 432.328 180.614 44.735 253.503 401.891 980.946 316.262 122.515 185.847 175.362 130.233 70.223 438.658 26.135.469
Perubahan Absolut % -54.519 -7,80 -164.345 -11,01 -64.741 -9,13 40.467 7,48 16.603 4,00 -12.734 -1,31 -3.828 -1,36 -66.737 -5,16 -14.345 -10,30 -4.204 -5,67 -40.296 -76,63 -1,286.536 -29,61 -1,480.182 -25,65 -79.139 -13,77 -1,336.012 -21,16 -305.180 -33,98 -84.161 -17,09 -119.262 -16,57 49.371 6,77 12.900 2,10 -31.500 -10,42 -39.644 -8,40 -22.565 -11,11 5.787 14,86 -70.871 -21,85 5.269 1,33 -101.305 -9,36 2.251 0,72 -10.568 -7,94 18.749 11,22 -9.014 -4,89 987 0,76 -5.567 -7,35 158.156 56,38 5.096.715 -16,32
Sumber: BPS (2014)
62
Lampiran Tabel 2. Keragaan RTUP di Provinsi Jawa Barat, 2003 dan 2013 No.
Kabupaten/Kota
1. Bogor 2. Sukabumi 3. Cianjur 4. Bandung 5. Garut 6. Tasikmalaya 7. Ciamis 8. Kuningan 9. Cirebon 10. Majalengka 11. Sumedang 12. Indramayu 13. Subang 14. Purwakarta 15. Karawang 16. Bekasi 17. Bandung Barat 18. Kota Bogor 19. Kota Sukabumi 20. Kota Bandung 21. Kota Cirebon 22. Kota Bekasi 23. Kota Depok 24. Kota Cimahi 25. Kota Tasikmalaya 26. Kota Banjar Provinsi Jawa Barat
2003
2013
255.744 354.800 327.903 187.728 320.852 321.367 349.461 165.327 192.755 204.867 174.068 270.749 240.628 103.730 261.133 204.883 181.795 22.114 10.901 11.370 7.475 59.512 46.028 5.387 38.987 25.584 4.345.148
204.437 291.754 283.033 141.833 268.601 282.639 275.431 113.287 89.002 156.640 134.446 166.292 158.135 73.115 123.143 85.598 137.581 4.591 5.601 4.526 2.384 6.424 9.918 2.800 21.268 16.133 3.058.612
Perubahan Absolut % -51.307 -20,06 -63.046 -17,77 -44.870 -13,68 -45.895 -24,45 -52.251 -16,29 -38.728 -12,05 -74.030 -21,18 -52.040 -31,48 -103.753 -53,83 -48.227 -23,54 -39.622 -22,76 -104.457 -38,58 -82.493 -34,28 -30.615 -29,51 -137.990 -52,84 -119.285 -58,22 -44.214 -24,32 -17.523 -79,24 -5.300 -48,62 -6.844 -60,19 -5.091 -68,11 -53.088 -89,21 -36.110 -78,45 -2.587 -48,02 -17.719 -45,45 -9.451 -36,94 -1.286.536 -29,61
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat (2014)
63
Lampiran Tabel 3. Keragaan RTUP di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013 No.
Kecamatan
1. Cisewu 2. Caringin 3. Talegong 4. Bungbulang 5. Mekarmukti 6. Pamulihan 7. Pakenjeng 8. Cikelet 9. Pameungpeuk 10. Cibalong 11. Cisompet 12. Peundeuy 13. Singajaya 14. Cihurip 15. Cikajang 16. Banjarwangi 17. Cilawu 18. Bayongbong 19. Cigedug 20. Cisurupan 21. Sukaresmi 22. Samarang 23. Pasirwangi 24. Tarogong Kidul 25. Tarogong Kaler 26. Garut Kota 27. Karangpawitan 28. Wanaraja 29. Sucinaraja 30. Pangatikan 31. Sukawening 32. Karangtengah 33. Banyuresmi 34. Leles 35. Leuwigoong 36. Cibatu 37. Kersamanah 38. Cibiuk 39. Kadungora 40. Blubur Limbangan 41. Selaawi 42. Malangbong Kabupaten Garut
2003
2013
8.507 7.154 8.071 11.975 3.613 3.201 13.448 8.147 6.097 8.028 10.620 4.217 9.134 3.900 9.339 10.192 12.589 10.334 5.178 15.637 4.483 7.958 7.859 5.161 6.825 5.118 9.009 5.396 4.622 3.857 5.750 2.772 8.638 8.214 5.633 8.043 4.820 3.774 7.406 11.715 6.906 17.512 320.852
8.611 7.080 7.615 11.911 4.031 3.219 12.180 7.867 4.622 7.387 9.670 4.716 9.180 3.625 9.500 7.595 9.952 7.794 4.358 11.442 4.051 4.829 6.499 2.613 5.448 4.088 4.952 3.977 3.759 2.930 5.172 2.786 8.022 7.798 4.249 5.871 3.396 3.477 6.108 8.106 5.652 12.463 268.601
Perubahan Absolut % 104 1,22 -74 -1,03 -456 -5,65 -64 -0,53 418 11,57 18 0,56 -1.268 -9,43 -280 -3,44 -1.475 -24,19 -641 -7,98 -950 -8,95 499 11,83 46 0,50 -275 -7,05 161 1,72 -2.597 -25,48 -2.637 -20,95 -2.540 -24,58) -820 -15,84 -4.195 -26,83 -432 -9,64 -3.129 -39,32 -1.360 -17,31 -2.548 -49,37 -1.377 -20,18 -1.030 -20,13 -4.057 -45,03 -1.419 -26,30 -863 -18,67 -927 -24,03 -578 -10,05 14 0,51 -616 -7,13 -416 -5,06 -1.384 -24,57 -2.172 -27,00 -1.424 -29,54 -297 -7,87 -1.298 -17,53 -3.609 -30,81 -1.254 -18,16 -5.049 -28,83 -52.251 -16,29
Sumber: BPS Kabupaten Garut (2014)
64
Lampiran Tabel 4. Keragaan RTUP di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013 No Kecamatan . 1. Ciwidey 2. Rancabali 3. Pasir Jambu 4. Cimaung 5. Pangalengan 6. Kertasari 7. Pacet 8. Ibun 9. Paseh 10. Cikancung 11. Cicalengka 12. Nagreg 13. Rancaekek 14. Majalaya 15. Solakanjeruk 16. Ciparay 17. Baleendah 18. Arjasari 19. Banjaran 20. Cangkuan 21. Pameungpeuk 22. Katapang 23. Soreang 24. Kutawaringin 25. Margaasih 26. Margahayu 27. Dayeuhkolot 28. Bojongsoang 29. Cileunyi 30. Cilengkrang 31. Cimenyan Kabupaten Bandung
2003
2013
8.239 7.138 8.809 7.701 12.305 6.800 12.984 8.173 7.344 8.214 6.490 3.889 8.435 4.932 3.589 9.269 5.133 10.727 6.054 4.363 2.440 2.444 4.871 8.368 1.904 459 574 3.790 1.677 4.565 6.048 187.728
7.157 6.122 6.521 5.819 12.731 8.811 10.686 6.287 6.810 5.192 3.490 3.610 4.303 3.760 3.084 5.778 3.593 7.686 4.240 2.504 1.709 1.852 2.423 4.694 1.708 286 397 1.308 2.898 2.806 3.568 141.833
Perubahan Absolut % -1.082 -13,13 -1.016 -14,23 -2.288 -25,97 -1.882 -24,44 426 3,46 2.011 29,57 -2.298 -17,70 -1.886 -23,08 -534 -7,27 -3.022 -36,79 -3.000 -46,22 -279 -7,17 -4.132 -48,99 -1.172 -23,76 505 -14,07 -3.491 -37,66 -1.540 -30,00 -3.041 -28,35 -1.814 -29,96 -1.859 -42,61 -731 -29,96 -592 -24,22 -2.448 -50,26 -3.674 -43,91 -196 -10,29 -173 -37,69 -177 -30,84 -2.482 -65,49 1.221 72,81 -1.759 -38,53 -2.480 -41,01 -45.895 -24.45
Sumber: BPS Kabupaten Bandung (2014)
65
Lampiran Tabel 5. Rataan Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia menurut Provinsi, 2003 dan 2013 No.
Provinsi
2003
2013
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kepulauan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia
1,33 0,46 0,50 1,15 0,25 1,29 1,03 0,57 1,16 0,75 0,01 0,15 0,20 0,22 0,17 0,22 0,28 0,37 0,90 1,54 1,31 0,55 0,64 1,13 0,56 0,54 1,12 0,68 1,05 1,00 0,79 1,24 0,43 0,48 0,41
1,03 1,08 0,96 2,64 0,93 2,47 1,95 1,80 1,76 1,10 0,17 0,44 0,54 0,37 0,27 0,39 0,50 0,66 0,92 2,65 3,10 1,28 2,52 2,85 1,34 1,10 1,72 1,12 1,43 1,63 0,89 1,75 0,49 0,73 0,89
Perubahan Absolut % -0,30 -22,56 0,62 134,78 0,46 92,00 1,49 129,57 0,68 272,00 1,18 91,47 0,92 89,32 1,23 215,79 0,60 51,72 0,35 46,67 0,16 1.600,00 0,29 193,33 0,34 170,00 0,15 68,18 0,10 58,82 0,17 77,27 0,22 78,57 0,29 78,38 0,02 2,22 1,11 72,08 1,79 136,64 0,73 132,73 1,88 293,75 1,72 152,21 0,78 139,29 0,56 103,70 0,60 53,57 0,44 64,71 0,38 36,19 0,63 63,00 0,10 12,66 0,51 41,13 0,06 13,95 0,25 52,08 0,48 117,07
Sumber: BPS (2014)
66
Lampiran Tabel 6. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan di Gurem di Indonesia, 2003 dan 2013 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kepulauan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia
Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Perubahan 2003 2013 Absolut % 691.454 637.778 -53.676 -7,76 1.451.813 1.308.393 -143.420 -9,88 695.739 640.695 -55.044 -7,91 511.395 568.070 56.675 11,08 401.052 426.647 25.595 6,38 946.858 949.801 2.943 0,31 275.769 275.559 -210 -0,08 1.272.932 1.218.927 -54.005 -4,24 127.412 117.488 -9.924 -7,79 56.086 50.230 -5.856 -10,44 875.287 584.259 -291.028 -33,25 47.262 9.515 -37.747 -79,87 4.242.003 3.039.716 -1.202.287 -28,34 5.697.473 4.262.608 -1.434.865 -25,18 573.092 495.401 -77.691 -13,56 6.189.481 4.931.506 -1.257.975 -20,32 485.531 404.507 -81.024 -16,69 686.172 587.617 -98.555 -14,36 722.039 770.864 48.825 6,76 594.483 616.894 22.411 3,77 273.806 261.227 -12.579 -4,59 450.903 420.352 -30.551 -6,78 180.515 165.413 -15.102 -8,37 34.595 39.369 4.774 13,80 300.834 246.394 -54.440 -18,10 372.636 387.258 14.622 3,92 1.049.449 950.241 -99.208 -9,45 293.555 299.926 6.371 2,17 118.257 117.248 -1.009 -0,85 160.863 179.814 18.951 11,78 178.497 170.169 -8.328 -4,67 124.480 127.865 3.385 2,72 71.131 65.458 -5.673 -7,98 266.728 424.058 157.330 58,99 30.419.582 25.751.267 -4.668.315 -15,35
Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Perubahan 2003 2013 Absolut % 248.823 276.729 27.906 11,22 751.330 570.185 -181.145 -24,11 357.797 275.135 -82.662 -23,10 125.418 68.560 -56.858 -45,33 101.836 65.499 -36.337 -35,68 218.091 110.932 -107.159 -49,13 49.147 35.974 -13.173 -26,80 447.126 362.148 -84.978 -19,01 52.891 26.069 -26.822 -50,71 28.379 20.545 -7.834 -27,60 634.415 379.888 -254.527 -40,12 45.428 8.611 -36.817 -81,04 3.501.867 2.298.193 -1.203.674 -34,37 4.629.877 3.312.235 -1.317.642 -28,46 479.780 424.557 -55.223 -11,51 4.893.626 3.755.837 -1.137.789 -23,25 313.111 257.181 -55.930 -17,86 446.040 350.131 -95.909 -21,50 224.987 289.917 64.930 28,86 120.575 81.286 -39.289 -32,58 45.564 29.083 -16.481 -36,17 193.773 133.853 -59.920 -30,92 56.075 27.326 -28.749 -51,27 9.084 6.343 -2.741 -30,17 103.154 72.055 -31.099 -30,15 69.935 74.073 4.138 5,92 408.673 338.108 -70.565 -17,27 72.188 63.809 -8.379 -11,61 44.791 40.959 -3.832 -8,56 43.560 50.696 7.136 16,38 68.913 78.140 9.227 13,39 19.679 21.857 2.178 11,07 39.344 37.570 -1.774 -4,51 169.774 305.380 135.606 79,87 19.015.051 14.248.864 -4.766.187 -25,07
Proporsi RTP Gurem (%) Perubahan 2003 Absolut % 35,99 43,39 7,40 51,75 43,58 -8,17 51,43 42,94 -8,48 24,52 12,07 -12,46 25,39 15,35 -10,04 23,03 11,68 -11,35 17,82 13,05 -4,77 35,13 29,71 -5,42 41,51 22,19 -19,32 50,60 40,90 -9,70 72,48 65,02 -7,46 96,12 90,50 -5,62 82,55 75,61 -6,95 81,26 77,70 -3,56 83,72 85,70 1,98 79,06 76,16 -2,90 64,49 63,58 -0,91 65,00 59,58 -5,42 31,16 37,61 6,45 20,28 13,18 -7,11 16,64 11,13 -5,51 42,97 31,84 -11,13 31,06 16,52 -14,54 26,26 16,11 -10,15 34,29 29,24 -5,05 18,77 19,13 0,36 38,94 35,58 -3,36 24,59 21,27 -3,32 37,88 34,93 -2,94 27,08 28,19 1,11 38,61 45,92 7,31 15,81 17,09 1,28 55,31 57,40 2,08 63,65 72,01 8,36 62,51 55,33 -7,18
Sumber: BPS (2014)
67
Lampiran Tabel 7. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan Gurem di Provinsi Jawa Barat, 2003 dan 2013 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Kabupaten/Kota Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Jawa Barat
Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Perubahan 2003 2013 Absolut % 249.566 203.585 -45.981 -18,42 348.403 290.771 -57.632 -16,54 324.570 282.247 -42.323 -13,04 178.056 141.747 36.309 -20,39 315.688 268.177 -47.511 -15,05 318.101 282.463 -35.638 -11,20 346.466 274.567 -71.899 -20,75 163.841 113.120 -50.721 -30,96 179.527 85.061 -94.466 -52,62 202.604 156.468 -46.136 -22,77 172.164 134.394 -37.770 -21,94 257.588 162.455 -95.133 -36,93 233.318 157.102 -76.216 -32,67 102.068 72.436 -29.632 -29,03 253.446 121.509 -131.937 -52,06 199.633 84.089 -115.544 -57,88 176.335 137.021 -39.314 -22,30 21.692 4.507 -17.185 -79,22 10.803 5.586 -5.217 -48,29 10.914 4.503 -6.411 -58,74 6.853 2.181 -4.672 -68,17 57.049 6.213 -50.836 -89,11 44.761 9.491 -35.270 -78,80 5.028 2.779 -2.249 -44,73 38.320 21.250 -17.070 -44,55 25.209 15.994 -9.215 -36,55 4,242,003 3.039.716 1.202.287 -28,34
Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Perubahan 2003 2013 Absolut 215.322 165.696 -49.626 282.047 228.343 -53.704 259.438 219.691 -39.747 156.889 114.213 42.676 260.219 209.813 50.406 259.660 235.687 -23.973 275.040 205.511 -69.529 141.409 94.595 -46.814 151.597 52.384 -99.213 171.420 123.863 -47.557 139.933 103.764 -36.169 195.872 91.415 -104.457 183.652 103.136 -80.516 84.962 56.459 -28.503 197.393 64.475 -132.918 161.396 45.812 -115.584 156.816 120.226 -36.590 20.851 4.127 -16.724 9.991 4.521 -5.470 9.838 3.506 -6.332 6.646 1.995 -4.651 56.163 5.771 -50.392 43.764 8.914 -34.850 4.823 2.607 -2.216 35.025 18.387 -16.638 21.701 13.282 -8.419 3.501.867 2.298.193 1.203.674
Proporsi RTP Gurem (%) % -23,05 -19,04 -15,32 -27,20 -19,37 -9,23 -25,28 -33,11 -65,45 -27,74 -25,85 -53,33 -43,84 -33,55 -67,34 -71,62 -23,33 -80,21 -54,75 -64,36 -69,98 -89,72 -79,63 -45,95 -47,50 -38,80 -34,37
2003 86,28 80,95 79,93 88,11 82,43 81,63 79,38 86,31 84,44 84,61 81,28 76,04 78,71 83,24 77,88 80,85 88,93 96,12 92,48 90,14 96,98 98,45 97,77 95,92 91,40 86,08 82,55
2013 81,39 78,53 77,84 80,58 78,24 83,44 74,85 83,62 61,58 79,16 77,21 56,27 65,65 77,94 53,06 54,48 87,74 91,57 80,93 77,86 91,47 92,89 93,92 93,81 86,53 83,04 75,61
Perubahan -4,89 -2,42 -2,10 -7,54 -4,19 1,81 -4,54 -2,69 -22,86 -5,45 -4,07 -19,77 -13,06 -5,30 -24,82 -26,37 -1,19 -4,55 -11,55 -12,28 -5,51 -5,56 -3,85 -2,11 -4,87 -3,04 -6,95
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat (2014)
68
Lampiran Tabel 8. Keragaan RTP Pengguna Lahan Pertanian dan Gurem di Kabupaten Garut, 2003 dan 2013 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Kecamatan Cisewu Caringin Talegong Bungbulang Mekarmukti Pamulihan Pakenjeng Cikelet Pameungpeuk Cibalong Cisompet Peundeuy Singajaya Cihurip Cikajang Banjarwangi Cilawu Bayongbong Cigedug Cisurupan Sukaresmi Samarang Pasirwangi Tarogong Kidul Tarogong Kaler Garut Kota Karangpawitan Wanaraja Sucinaraja Pangatikan
Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Perubahan 2003 2013 Absolut % 8.461 8.609 148 1,75 7.025 7.044 19 0,27 8.061 7.613 -448 -5,56 11.924 11.908 -16 -0,13 3.586 4.029 443 12,35 3.185 3.214 29 0,91 13.364 12.161 -1.203 -9,00 7.949 7.733 -216 -2,72 5.715 4.565 -1.150 -20,12 7.911 7.348 -563 -7,12 10.357 9.669 -688 -6,64 4.216 4.717 501 11,88 9.094 9.174 80 0,88 3.905 3.625 -280 -7,17 9.236 9.489 253 2,74 10.196 7.597 -2.599 -25,49 12.057 9.941 -2.116 -17,55 10.351 7.792 -2.559 -24,72 5.185 4.356 -829 -15,99 15.548 11.437 -4.111 -26,44 4.386 4.046 -340 -7,75 7.993 4.823 -3.170 -39,66 7.752 6.482 -1.270 -16,38 5.101 2.591 -2.510 -49,21 6.753 5.440 -1.313 -19,44 5.133 4.083 -1.050 -20,46 9.014 4.935 -4.079 -45,25 5.291 3.974 -1.317 -24,89 4.628 3.755 -873 -18,86 3.716 2.928 -788 -21,21
Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Perubahan 2003 2013 Absolut 6.153 6.666 513 4.046 4.137 91 6.465 6.248 -217 9.021 8.532 -489 2.112 2.850 738 2.592 2.409 -183 9.957 8.812 -1.145 5.594 4.729 -865 4.530 3.577 -953 4.216 3.382 -834 8.335 7.003 -1.332 2.483 3.040 557 7.620 7.931 311 3.222 3.050 -172 7.786 7.470 -316 8.488 6.213 -2.275 11.266 8.777 -2.489 9.284 6.721 -2.563 4.643 3.729 -914 13.612 9.690 -3.922 3.787 3.295 -492 6.998 3.814 -3.184 6.417 5.062 -1.355 4.635 2.065 -2.570 5.733 4.421 -1.312 4.726 3.686 -1.040 7.988 3.606 -4.382 4.461 3.131 -1.330 3.826 3.088 -738 3.301 2.365 -936
Proporsi RTP Gurem (%) % 8,34 2,25 -3,36 -5,42 34,94 -7,06 -11,50 -15,46 -21,04 -19,78 -15,98 22,43 4,08 -5,34 -4,06 -26,80 -22,09 -27,61 -19,69 -28,81 -12,99 -45,50 -21,12 -55,45 -22,89 -22,01 -54,86 -29,81 -19,29 -28,36
2003 72,72 57,59 80,20 75,65 58,90 81,38 74,51 70,37 79,27 53,29 80,48 58,89 83,79 82,51 84,30 83,25 93,44 89,69 89,55 87,55 86,34 87,55 82,78 90,86 84,90 92,07 88,62 84,31 82,67 88,83
2013 77,43 58,73 82,07 71,65 70,74 74,95 72,46 61,15 78,36 46,03 72,43 64,45 86,45 84,14 78,72 81,78 88,29 86,26 85,61 84,73 81,44 79,08 78,09 79,70 81,27 90,28 73,07 78,79 82,24 80,77
Perubahan 4,71 1,14 1,87 -4,00 11,84 -6,43 -2,04 -9,22 -0,91 -7,27 -8,05 5,55 2,66 1,63 -5,58 -1,47 -5,15 -3,44 -3,94 -2,82 -4,90 -8,47 -4,69 -11,17 -3,63 -1,79 -15,55 -5,53 -0,43 -8,06
Sumber: BPS Kabupaten Garut (2014)
69
Lampiran Tabel 8. Lanjutan..... No.
Kecamatan
31. Sukawening 32. Karangtengah 33. Banyuresmi 34. Leles 35. Leuwigoong 36. Cibatu 37. Kersamanah 38. Cibiuk 39. Kadungora 40. Blubur Limbangan 41. Selaawi 42. Malangbong Kabupaten Garut
Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Perubahan 2003 2013 Absolut % 5.770 5.157 -613 -10,62 2.774 2.788 14 0,50 8.624 8.018 -606 -7,03 8.106 7.783 -323 -3,98 5.561 4.249 -1.312 -23,59 7.573 5.878 -1.695 -22,38 4.638 3.396 -1.242 -26,78 3.783 3.478 -305 -8,06 7.232 6.115 -1.117 -15,45 11.205 8.105 -3.100 -27,67 6.644 5.648 -996 -14,99 16.685 12.484 -4.201 -25,18 315.688 268.177 -47.511 -15,05
Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Perubahan 2003 2013 Absolut 5.124 4.338 -786 2.203 2.254 51 7.406 6.588 -818 6.897 6.211 -686 4.949 3.572 -1.377 6.838 5.148 -1.690 4.233 3.049 -1.184 3.178 2.864 -314 6.342 5.074 -1.268 9.320 6.078 -3.242 5.741 4.723 -1.018 14.691 10.415 -4.276 260.219 209.813 -50.406
Proporsi RTP Gurem (%) % -15,34 2,32 -11,05 -9,95 -27,82 -24,71 -27,97 -9,88 -19,99 -34,79 -17,73 -29,11 -19,37
2003 88,80 79,42 85,88 85,09 88,99 90,29 91,27 84,01 87,69 83,18 86,41 88,05 82,43
2013 84,12 80,85 82,17 79,80 84,07 87,58 89,78 82,35 82,98 74,99 83,62 83,43 78,24
Perubahan -4,69 1,43 -3,71 -5,28 -4,93 -2,71 -1,49 -1,66 -4,72 -8,19 -2,79 -4,62 -4,19
Sumber: BPS Kabupaten Garut (2014)
70
Lampiran Tabel 9. Keragaan RTP Pengguna Lahan dan Gurem di Kabupaten Bandung, 2003 dan 2013 No.
Kecamatan
1. Ciwidey 2. Rancabali 3. Pasirjambu 4. Cimaung 5. Pangalengan 6. Kertasari 7. Pacet 8. Ibun 9. Paseh 10. Cikancung 11. Cicalengka 12. Nagreg 13. Rancaekek 14. Majalaya 15. Solokanjeruk 16. Ciparay 17. Baleendah 18. Arjasari 19. Banjaran 20. Cangkuang 21. Pameungpeuk 22. Katapang 23. Soreang 24. Kutawaringin 25. Margaasih 26. Margahayu 27. Dayeuhkolot 28. Bojongsoang 29. Cileunyi 30. Cilengkrang 31. Cimenyan Kabupaten Bandung
Jumlah RTP Pengguna Lahan Pertanian (rumah tangga) Perubahan 2003 2013 Absolut % 8.021 7.156 -865 -10,78 4.445 6.127 -.682 37,84 8.787 6.536 -2.251 -25,62 7.705 5.818 -1.887 -24,49 11.575 12.726 1.151 9,94 6.747 8.842 2.095 31,05 12.650 10.689 -1.961 -15,50 8.198 6.321 -1.877 -22,90 6.887 6.822 (65 -0,94 8.133 5.206 -2.927 -35,99 6.005 3.486 -2.519 -41,95 3.859 3.610 -249 -6,45 7.092 4.341 -2.751 -38,79 4.935 3.750 -1.185 -24,01 3.664 3.098 (566 -15,45 8.801 5.782 -3.019 -34,30 4.922 3.591 -1.331 -27,04 10.491 7.686 -2.805 -26,74 6.067 4.233 -1.834 -30,23 4.411 2.541 -1.870 -42,39 2.305 1.708 -597 -25,90 2.397 1.853 -544 -22,70 4.789 2.419 -2.370 -49,49 8.349 4.692 -3.657 -43,80 1.885 1.710 -175 -9,28 449 287 -162 -36,08 605 402 -203 -33,55 2.730 1.308 -1.422 -52,09 1.670 2.909 1.239 74,19 3.484 2.526 -958 -27,50 5.998 3.572 -2.426 -40,45 178.056 141.747 -36.309 -20,39
Jumlah RTP Gurem (rumah tangga) Perubahan 2003 2013 Absolut 7.200 6.328 -872 4.098 5.464 1.366 7.866 5.298 -2.568 6.853 4.455 -2.398 10.097 10.358 261 6.153 7.452 1.299 11.435 9.300 -2.135 7.388 5.669 -1.719 6.117 5.564 -553 6.999 4.143 -2.856 5.312 2.817 -2.495 3.060 2.598 -462 5.890 2.993 -2.897 4.447 3.085 -1.362 3.212 2.249 -963 7.794 4.231 -3.563 4.195 2.632 -1.563 9.087 6.212 -2.875 5.467 3.463 -2.004 3.833 2.054 -1.779 2.028 1.185 -843 2.097 1.413 684 4.426 1.766 -2.660 7.297 3.675 -3.622 1.804 1.483 -321 438 262 -176 564 287 -277 2242 819 -1.423 1.503 2.197 694 3.053 2.066 -987 4.934 2.695 -2.239 156.889 114.213 -42.676
Proporsi RTP Gurem (%) % -12,11 33,33 -32,65 -34,99 2,58 21,11 -18,67 -23,27 -9,04 -40,81 -46,97 -15,10 -49,19 -30,63 -29,98 -45,71 -37,26 -31,64 -36,66 -46,41 -41,57 -32,62 -60,10 -49,64 -17,79 -40,18 -49,11 -63,47 46,17 -32,33 -45,38 -27,20
2003 89,76 92,19 89,52 88,94 87,23 91,20 90,40 90,12 88,82 86,06 88,46 79,30 83,05 90,11 87,66 88,56 85,23 86,62 90,11 86,90 87,98 87,48 92,42 87,40 95,70 97,55 93,22 82,12 90,00 87,63 82,26 88,11
2013 88,43 89,18 81,06 76,57 81,39 84,28 87,01 89,69 81,56 79,58 80,81 71,97 68,95 82,27 72,60 73,18 73,29 80,82 81,81 80,83 69,38 76,25 73,01 78,32 86,73 91,29 71,39 62,61 75,52 81,79 75,45 80,58
Perubahan -1,34 -3,01 -8,46 -12,37 -5,84 -6,92 -3,39 -0,43 -7,26 -6,48 -7,65 -7,33 -14,10 -7,84 -15,07 -15,38 -11,94 -5,79 -8,30 -6,06 -18,60 -11,23 -19,41 -9,07 -8,98 -6,26 -21,83 -19,51 -14,48 -5,84 -6,81 -7,54
Sumber: BPS Kabupaten Bandung (2014)
71
Lampiran Tabel 10. Keragaan Kelompok Tani Ranca Kujang, Desa Cipicung, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, 2014 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
Nama
Umur (tahun)
Pendidikan
Asep Sumarna Irman Odir Ibu Elis Ibu Ira Anwar Agus Usup Aun Tata Iwan Udi Uton Uhi Endo Enda Icang Inda Adin Ibu Maya Sule Rahmat Dede Ayi Dayat Ibu Adetini Ibu Rosmani Ibu Aisah Ibu Neneng Ibu Atik Ibu Masitoh Gugun Jeje Mamat Bidin Rataan/Total
48 49 33 49 75 75 40 43 45 65 75 60 80 50 75 65 75 40 55 84 65 60 41 80 48 55 65 42 42 35 35 37 40 40 75 45 55
SMA SMP S-1 SPMA SR SR SMP SMP SD SD SR SD SR SMP SD SD SR SD SMP SR SD SD SD SR SD SD SD SD SD SMA SMA SMP SMA SMP SMA SMP -
Luas Milik (hektar) Sawah Tegalan 0 0,36 0 0,21 0 0,43 1,00 0 1,29 0,57 1,50 0,00 0 0 0,29 0,21 1,00 0 0,29 0,07 0,06 0 0,04 0 0,06 0 0 0 1,00 0,43 0,21 0,21 0,29 0,11 0,57 0,14 0 0 0 0 0,10 0,14 0,14 0,21 0 0 0 0 0 0 0 0,06 0,04 0 0,07 0 0 0 0,14 0,10 0 0,06 0 0 0 0 0 0 0,14 0,21 0,21 0,21 0,42 0,22
Sumber: Kelompok Tani Ranca Kujang (2014)
72
Lampiran Tabel 11. Keragaan Kelompok Tani Silih Reksa IV, Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, 2014 No.
Nama
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
H. Bubun H. Uyu Wahyudin Dedi Ermawan Cuncun Nirwana H. Itang H. Lukman H. Asep Nurjaman Awab Oto Odik H. Afifudin H. Engkos Endang Kodir H. Said Hendar Maman Mumu Anan Wiwin H. Ajen Adek Daman Iyet H. Nana Rata-rata
Umur (tahun) 49 46 36 35 43 37 30 46 60 60 40 60 42 47 40 36 40 40 56 38 45 25 35 32 60 43
Pendidikan SMP SMP SMP SMP SMA SMA SMP SD SD SD SD SD SD SD SMP SD SD SD SD SD SMA SMP SD SD SD -
Luas Garapan (hektar) Milik Sewa Total 4,50 3,00 7,50 1,20 0,80 2,00 0,90 0,60 1,50 3,00 2,00 5,00 1,80 1,20 3,00 4,50 3,00 7,50 1,80 1,20 3,00 0,90 0,60 1,50 0,60 0,40 1,00 0,60 0,40 1,00 1,20 0,80 2,00 3,00 2,00 5,00 0,45 0,30 0,75 0,60 0,40 1,00 6,00 4,00 10,00 0,60 0,40 1,00 0,60 0,40 1,00 0,30 0,20 0,50 0,60 0,40 1,00 0,30 0,20 0,50 4,50 3,00 7,50 0,30 0,20 0,50 0,60 0,40 1,00 0,60 0,40 1,00 1,80 1,20 3,00 1,65 2,75 1,10
Sumber: Kelompok Tani Silih Reksa IV (2014)
73
Lampiran Tabel 12. Keragaan Kelompok Tani Sugih Mukti, Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, 2014 No.
Nama
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Ayub Usep Udin Jainudin Bunyamin Endon Sodik Yusuf Asep Edi Cecep Dadang Saep Iding Saik Engkos Nandang Endid Apong Wanda Nana Bandi Didi Ganda Rata-rata
Umur (tahun)
Pendidikan
58 60 54 52 48 45 75 55 38 52 45 47 70 58 58 48 60 60 58 60 55 60 75 56
SMP SD SMA SMP SMA SMA SD SMP Sarjana SD SMP SD SD SD SMP SD SD SD SD SD SD SD SD -
Garapan Luas (hektar) Status 4,00 Bayar PBB 4,50 Bayar PBB 1,00 Bayar PBB 1,00 Bayar PBB 0,70 Bayar PBB 0,42 Bayar PBB 1,00 Sewa 1,00 Sewa 0,70 Bagi hasil 0,70 Bagi hasil 0,56 Sewa 0,49 Milik 2,00 Milik 1,00 Sewa 0,35 Sewa 0,42 Sewa 0,35 Bagi hasil 1,00 Bagi hasil 2,00 Bagi hasil 0,35 Sewa 0,42 Sewa 13,00 Milik 0,70 Bayar PBB 1,64 -
Sumber: Kelompok Tani Sugih Multi (2014)
74
Lampiran Tabel 13. 88 Jenis Pekerjaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44.
Jenis Pekerjaan Akuntan Anggota BPK Anggota DPD Anggota DPRD Kabupaten/Kota Anggota DPRD Propinsi Anggota DPR-RI Anggota kabinet/kementerian Anggota Mahkamah Konstitusi Apoteker Arsitek Belum/tidak bekerja Biarawati Bidan Bupati Buruh harian lepas Buruh nelayan/perikanan Buruh peternakan Buruh tani/perkebunan Dokter Dosen Duta besar Gubernur Guru Imam masjid Industri Juru masak Karyawan BUMD Karyawan BUMN Karyawan honorer Karyawan swasta Kepala desa Kepolisian RI Konstruksi Konsultan Mekanik Mengurus rumah tangga Nelayan/perikanan Notaris Paraji/dukun beranak Paranormal Pastur Pedagang Pegawai Negeri Sipil Pelajar/mahasiswa
No. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88.
Jenis Pekerjaan Pelaut Pembantu rumah tangga Penata busana Penata rambut Penata rias Pendeta Peneliti Pengacara Pensiunan Penterjemah Penyiar radio Penyiar televisi Perancang busana Perangkat desa Perawat Perdagangan Petani/pekebun Peternak Pialang Pilot Presiden Promotor acara Psikiater/psikolog Seniman Sopir Tabib Tentara Nasional Indonesia Transportasi Tukang batu Tukang cukur Tukang gigi Tukang jahit Tukang kayu Tukang las/pandai besi Tukang listrik Tukang sol sepatu Ustadz/mubaligh Wakil Bupati Wakil Gubernur Wakil Presiden Wakil Walikota Walikota Wartawan Wiraswasta
Sumber: https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=pekerjaan+di+kolom+KTP
75