Semi nar N asi onal PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANI Bogor, 14 Oktober 2009
EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL DALAM ERA PERSAINGAN PASAR GLOBAL oleh
Sumaryanto
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2009
Ralat:
Halaman 15 baris pertama paragraf terakhir: Tertulis
: Keseluruhan kondisi tersebut kondusif untuk suksesi usahatani.
Seharusnya : Keseluruhan kondisi tersebut tidak kondusif untuk suksesi usahatani.
Halaman 21 alinea teratas baris ke 4: Tertulis
: "houshold economy"
Seharusnya : "household economy"
Halaman 22 alinea ketiga baris ke 5: Tertulis
: biaya transaksi "transaction cost"
Seharusnya : biaya transaksi (transaction cost)
Halaman 24 (alinea terakhir pada Bab Kesimpulan) baris kelima: Tertulis
: teknologi panen – pasca panen
Seharusnya : teknologi pra panen – pasca panen
Halaman 26, Judul Tabel 3: Tertulis
: Sebaran rumah tangga petani menurut kelompok penguasaan lahan, 2009.
Seharusnya : Sebaran rumah tangga petani padi, jagung, kedele, dan tebu di Indonesia menurut kelompok penguasaan lahan, 2009.
EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL DALAM ERA PERSAINGAN PASAR GLOBAL1 Oleh Sumaryanto2
Abstrak Bagi pertanian skala kecil era pasar global merupakan suatu jaman yang penuh tantangan, berisi sejumlah peluang maupun beragam ancaman. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan bukan hanya mempebesar ruang pasar ekspor, namun pada saat yang sama serbuan komoditas impor juga makin deras. Implikasi sangat luas dan kompleks karena eksistensi pertanian skala kecil terkait pula dengan ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan penyerapan tenaga kerja. Tulisan ini membahas karakteristik dan dinamika petani kecil Indonesia yang di tengah era pasar global ini berhadapan dengan sejumlah pilihan yang dilematis. Sejauhmana pertanian skala kecil dapat mempertahankan atau mengembangkan eksistensinya akan sangat tergantung pada keberhasilan pemerintah mengelola simpul-simpul strategis petani kecil dengan memberdayakan keunggulan potensialnya yang masih tersisa, memanfaatkan peluang yang muncul, dan dan mengatasi ancaman yang timbul terakit dengan ekspansi bisnis perusahaan-perusahaan agribisnis raksasa lintas negara yang semakin menggurita di berbagai pelosok negara berkembang. Kata kunci: pertanian, petani kecil, pasar global.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian adalah Ibu Peradaban. Eksistensinya mengawali lahirnya peradaban manusia dan menjadi bagian sentral perkembangan peradaban. Menurut Gupta (2004), pertama kali manusia mengenal pertanian (transisi dari berburu dan mengumpulkan bahan makanan) terjadi sekitar 10 000 tahun SM dan berdasarkan data Arkeologi, pertama kali ditemukan di Timur Tengah. Komunitas pertanian mulai terjadi sekitar 5300 tahun SM di kalangan orang-orang Sumeria di kawasan Timur Tengah dan sementra ini dianggap sebagai akhir dari jaman prasejarah Neolitik dan awal mula hadirnya jaman sejarah.
Makalah disampaikan pada Seminat Nasional "Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani" yang diselenggarakan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Litbang Pertanian, Depertemen Pertanian pada Tanggal 14 Oktober 2009 di Bogor. 2 Peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka teknik budidaya, sistem pengelolaan, dan orientasi petani mengalami perubahan. Perkembangan paling spektakuler terjadi pasca perang dunia kedua. Adalah Norman Ernest Bourlag3 dengan penemuan galur gandum (1953) berdaya hasil tinggi mengawali terjadinya Revolusi Hijau, yakni suatu sistem budidaya pertanian intensif dengan memanfaatkan varietas unggul berdaya hasil tinggi dan rekayasa lingkungan tumbuh tanaman (pemupukan, pengairan, pengendalian gulma) agar menghasilkan produksi maksimal. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sampai saat ini Revolusi Hijau masih menjadi arus utama sistem pertanian global meskipun sejak dua dekade terakhir mulai berkembang dua kutub yang saling berseberangan: (i) industri pertanian berbasis rekayasa genetik dan lingkungan tumbuh yang sangat intensif, dan (ii) sistem budidaya pertanian berbasis prinsip pelestarian lingkungan. Dalam konteks ekonomi, pada saat ini sistem pertanian berada dalam kontinuum dari sistem pertanian subsisten skala mikro dengan luas lahan hanya beberapa meter persegi dan atau penguasaan ternak beberapa ekor sampai dengan perusahaan agribisnis skala raksasa dengan luas penguasaan lahan pertanian puluhan ribu hektar yang lokasi usaha maupun pasar produknya tersebar di berbagai negara (multi national corporation – MNC). Meskipun demikian pertanian skala kecil masih memegang peran sentral (von Braun, 2004). Jauh dari gemerlap, sampai saat ini pertanian skala kecil masih tetap merupakan andalan penyerapan tenaga kerja dan pemain utama pendukung ketahanan pangan negara-negara berkembang yang merupakan bagian terbesar pendudukuk dunia. Pada era pasar global sekat-sekat isolasi pasar tersingkirkan. Pasar lokal – nasional – regional – internasional semakin terintegrasi sehingga arus transaksi semakin deras dan secara agregat volume perdagangan meningkat. Hasil simulasi Rosegrant et al (2001) dengan pendekatan partial equilibrium menunjukkan bahwa jika semya subsidi pertanian dan rintangan perdagangan (trade barier) di seluruh dunia dihilangkan maka harga beras dunia meningkat sekitar 14 persen, dan kemudian diikuti dengan tingkat kenaikan yang lebih kecil pada komoditas jagung, gandum, dan serealia lainnta. Selanjutnya, hasil simulasi dengan pendekatan general equilibrium (Diao et al, 2001) menunjukkan bahwa secara umum indeks harga komoditas pertanian meningkat 11 persen lebih tinggi dari komoditas lainnya. Hasil simulasi dari kedua pendekatan tersebut menunjukan bahwa secara agregat surplus konsumen dan surplus produsen meningkat cukup significant.
3
Norman Ernest Bourlag (lahir di Cresco, Iowa 25 Maret 1914), seorang ahli mikro biologi yang bekerja di suatu perusahaan agribisnis (1942 – 1944) dianggap sebagai Bapak Revolusi Hijau.
-2-
Sejak dua dasawarsa terakhir ini sistem pasokan pangan global berubah. Liberalisasi perdagangan dan regim investasi mengakibatkan negara berkembang semakin terintegrasi dalam pasar pangan internasional maupun investasi asing langsung (Foreign Direct Investment – FDI) di bidang agribisnis pangan. Terkait dengan itu, berbagai aturan teknis yang berkenaan dengan standard kualitas pangan juga diciptakan. Sebagian dari aturan itu merupakan implikasi logis dari atribut permintaan dari masyarakat negara-negara maju, namun sebagian lainnya dimanfaatkan pula sebagai "barier to entry" oleh sejumlah MNC agribisnis; dan itu merupakan ancaman bagi eksistensi pertanian skala kecil yang merupakan mayoritas usahatani negara-negara berkembang karena menurunkan daya saing ekspornya (Swinnen and Maertens, 2007). Secara umum era pasar global sekarang ini menyebabkan tekanan yang lebih besar bagi pertanian skala kecil karena negara-negara maju yang pangsa pasarnya sangat besar enggan memotong subsidinya yang ternyata selama ini lebih tinggi dari negara-negara berkembang (Howe et al, 2004; Edelman, 2005; Pérez, et al, 2008). Tak banyak berbeda dengan negara berkembang lainnya, prospek pertanian Indonesia akan sangat ditentukan oleh keberhasilan memberdayakan pertanian skala kecil karena lebih dari 90 persen petani Indonesia adalah petani kecil. Peluang dan ancaman terpenting berasal dari: (i) implikasi liberalisasi perdagangan internasional, dan (ii) implikasi dari perubahan iklim. Di sisi lain, kekuatan ataupun kelemahan pertanian di Indonesia terkait dengan skala pengusahaan, penguasaan teknologi pra panen – pasca panen, permodalan, manajemen produksi dan pemasaran (input maupun output). Keberhasilan dalam pemberdayaan pertanian skala kecil akan berdampak pada pembangunan dalam konteks yang lebih luas dari eksistensi pertanian itu sendiri karena berimplikasi langsung pada ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja, dan sosial budaya suatu bangsa. Oleh sebab itu, upaya pemberdayaan pertanian skala kecil tidak hanya berkenaan dengan peningkatan produktivitas, produksi, mutu, dan daya saing produknya di pasar lokal – nasional – global; namun mencakup pula aspek-aspek sosial-ekonomi dan kelembagaan yang kondusif untuk meningkatkan pendapatan, harkat, dan martabat petani dalam eksistensinya sebagai bagian dari bangsa ini. Tulisan ini ditujukan untuk membahas keragaan dan dinamika pertanian skala kecil di Indonesia dalam kaitannya dengan implikasi dari globalisasi perdagangan komoditas pertanian. Mengingat bahwa secara empiris pertanian skala kecil Indonesia didominasi petani yang mengusahakan komoditas pangan maka pembahasannya juga akan ditekankan pada pertanian tanaman pangan.
-3-
KARAKTERISTIK DAN DINAMIKA PERTANIAN SKALA KECIL Konsep dan Definisi Membahas pertanian skala kecil pada dasarnya membahas petani kecil. Sulit untuk membahas pertanian skala kecil tanpa mengetahui karakteristik petani kecil; di sisi lain sulit pula menjelaskan makna tentang petani kecil tanpa menghubungkannya dengan skala usahataninya. Oleh karena itu dalam tulisan ini kedua istilah tersebut digunakan secara bergantian disesuaikan dengan konteksnya. Sampai saat ini belum ada suatu rumusan yang secara ringkas dan tegas dapat menjelaskan definisi petani kecil (pertanian skala kecil). Lazimnya definisi petani kecil yang selama ini banyak diacu terkait dengan "smallness" dari "size" lahan usahatani dan atau jumlah ternak yang dimiliki atau dikelolanya (von Braun, 2004). Salah satu keterbatasan pendefinisian seperti itu adalah tiadanya suatu ukuran yang dapat berlaku umum (untuk semua wilayah dan jenis komoditas). Untuk luas usahatani yang sama, petani tanaman pangan pada sebagaimana umumnya tentulah tidak sebanding dengan petani yang memproduksi komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi dengan akses pasar modern yang sangat baik. Dengan luas garapan yang sama, petani yang lahan usahataninya sangat subur dan berpengairan teknis yang canggih adalah berbeda dengan petani yang lahan usahataninya tak terfasilitasi pengairan yang memadai dan kualitas kesuburunya rata-rata. Alternatif lain yang ditempuh untuk mendefinisikan petani kecil dari sudut pandang tenaga kerja dan pendapatan. Dari sudut pandang tenaga kerja, petani kecil adalah rumah tangga yang mata pencaharian utamanya berusahatani dan dalam usahataninya itu mayoritas tenaga kerjanya adalah tenaga kerja dalam keluarga (Narayanan and Gulati, 2002). Dari sudut pandang pendapatan, petani kecil lazimnya diasosiakan dengan tingkat pendapatannya yang rendah. Secara teoritis terdapat konvergensi antara skala usaha – tenaga kerja – penerapan teknologi - akses pasar – pendapatan, namun sampai saat ini data yang diperlukan untuk itu belum tersedia sehingga dengan segala keterbatasannya, yang lazim dipergunakan masih mengacu pada skala usaha. Pengertian mengenai skala usaha mengacu pada konsep "retun to scale". Selama ini konsep tersebut telah banyak diterapkan sebagai pendekatan teoritis mengenai skala optimal usahatani (Chavas, 2001).
Penerapannya dalam studi empiris menghasilkan
beragam kesimpulan.
-4-
Untuk kasus di negara berkembang (kasus: India), Sen (1962) menemukan adanya hubungan terbalik antara luas garapan dengan produktivitas pada usahatani di India. Kemudian, pada dekade 70-an, studi Yotopoulos and Lau (1973) dan Berry and Cline (1979) memperoleh kesimpulan bahwa pada usahatani di India ternyata skala kecil relatif lebih efisien daripada skala besar; dan tidak disarankan untuk mengkondisikan konsolidasi usahatani karena secara umum ternyata berada pada kondisi "constant return to scale". Menurut Binswanger and Rozensweig (1986) hal itu disebabkan karena tenaga kerja keluarga lebih murah dan efisien daripada tenaga kerja luar keluarga (buruh) karena: (i) tenaga kerja keluarga memperoleh bagian dari keuntungan sehingga curahan perhatian dan kualitas pekerjaannya lebih baik, (ii) dengan tenaga kerja keluarga tidak diperlukan adanya biaya pencarian tenaga kerja, (iii) setiap individu tenaga kerja dalam keluarga menganggap bahwa apa yang dikerjakan dalam usahataninya berimplikasi pada risiko yang akan dihadapi dalam usahataninya. Senada dengan berbagai temuan tersebut, Hayami (1998) juga menyatakan bahwa dalam banyak kasus ternyata usahatani skala rumah tangga adalah optimal. Namun "outcomes" yang terjadi tidaklah paralel dengan berbagai keunggulan tersebut. Meskipun usahatani rumah tangga mempunyai "labor cost advantage" tidak demikian halnya dengan masalah pendanaan usahatani dan berbagai implikasinya terhadap akses pasar dan lobi politik. Usahatani skala besar memiliki "credit cost advantage" yang jauh lebih besar daripada usahatani rumah tangga. Demikian pula dengan pemanfaatan peluang-peluang pengembangan dalam interaksinya dengan sektor non pertanian (Binswanger and Rozensweig, 1986). Untuk kasus di negara maju, ditemukan kesimpulan yang berbeda. Sebagai contoh, studi Kumbhakar (1993) tentang profitabilitas usahatani sapi perah di Utah maupun analisis mengenai hubungan antara skala usaha dan efisiensi usahatani di California pada dekade 70an (Hall and Leveen, 1978) memperoleh kesimpulan bahwa secara rata-rata profitabilitas usahatani skala kecil relatif lebih rendah daripada usahatani skala menengah – besar. Menurut Hall and Leveen (1978), sumber keunggulan skala menengah – besar terletak pada penghematan biaya pengadaan input. Kesimpulan yang dapat ditarik dari berbagai hasil analisis tersebut adalah bahwa berbekal keunggulannya masing-masing, pertanian skala kecil maupun skala besar akan terus eksis. Baik yang besar maupun yang kecil akan mengalami pasang surut dan dinamika lingkungan strategis global akan mempengaruhi eksistensinya masing-masing. Namun demikian satu hal penting yang harus digaris bawahi adalah bahwa pasang surut pertanian
-5-
skala kecil di negara-negara berkembang terkait langsung dengan masalah kemiskinan dan ketahanan pangan rakyat kecil yang merupakan bagian terbesar dari penduduk. Di Indonesia studi tentang hubungan antara skala usaha dengan efisiensi juga telah banyak dilakukan (paruh kedua dekade 70-an – paruh awal dekade 90-an), baik melalui pendekatan ekonometrik maupun akunting sederhana4. Namun terkait dengan kurangnya tindak lanjut konkrit dari rekomendasi kebijakan yang disampaikan maupun "isu-isu kebijakan" yang menjadi arus utama (main stream) dalam paradigma pembangunan maka sejak awal dekade 90-an, studi seperti itu jarang dilakukan. Padahal terkait dengan kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat ini kondisinya berbeda. Secara umum, hasil-hasil penelitian tersebut memperoleh kesimpulan bahwa usahatani tanaman pangan di Indonesia berada dalam kondisi "constant return to scale"; dan mungkin terkait dengan itu pula maka sampai saat ini konsolidasi usahatani secara mandiri oleh petani belum menjadi "trend".
Petani Kecil Indonesia: Karakteristik dan Dinamikanya Gambaran Lingkup Makro Pola penggunaan tanah untuk usaha pertanian di Indonesia dapat dipilah menjadi dua: (a) usaha pertanian skala besar yang umumnya berupa perkebunan yang dikelola oleh badan usaha milik negara maupun perusahaan swasta, (b) usaha pertanian rakyat. Meskipun usaha pertanian rakyat umumnya menerapkan pola campuran, tetapi menurut komoditas dominan yang diusahakannya secara garis besar dapat dipilah lebih lanjut menjadi dua kategori: (i) usaha pertanian tanaman pangan/hortikultura dan (ii) perkebunan rakyat. Usaha pertanian tanaman pangan yang paling berkembang adalah usahatani padi yang umumnya dilakukan di lahan sawah. Secara empiris usahatani tanaman pangan cenderung terkonsentrasi di wilayah berpenduduk padat, sedangkan perkebunan rakyat berkembang di wilayah yang tingkat kepadatan penduduknya rendah5.
4
Pembaca dapat melacaknya pada berbagai hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Agroekonomi periode 1985 – 1994, proseding hasil penelitian PAE 1985 – 1990, maupun berbagai disertasi pada periode tersebut. 5 Terkait dengan produk yang dihasilkan, orientasi pemasaran produk perkebunan adalah pasar ekspor sedangkan produk pertanian tanaman pangan adalah pasar domestik. Indonesia adalah eskportir penting dalam pasar internasional untuk komoditas karet, kakao, CPO (crude palm oil), teh, kopi, dan lada. Namun untuk komoditas pangan (beras, jagung, kedele, gula, daging, telur, dan susu) produk yang dihasilkan petani Indonesia baru mencukupi kebutuhan domestik, bahkan untuk komoditas pangan strategis (beras) Indonesia masih harus impor.
-6-
Menurut data SUSENAS, jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan di Indonesia pada tahun 2003 adalah sekitar 24.05 juta, sedangkan pada tahun 1993 adalah sekitar 20.5 juta (Tabel 1). Jadi selama sepuluh tahun bertambah 17.2 persen, atau rata-rata per rata-rata per tahun bertambah 1.7 persen. Angka ini lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk yang diperkirakan sekitar 1.3 – 1.5 persen per tahun. Ini menunjukkan bahwa pertanian masih tetap menjadi penyerap tenaga kerja terbesar. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2004 dari total penduduk yang bekerja (93.7 juta orang) yang bekerja di pertanian (termasuk kehutanan, perburuan, dan perikanan) adalah sekitar 40.6 juta orang. Pada tahun 2007 sektor ini menyerap sekitar 42.6 juta orang dari seluruh penduduk yang bekerja (97.6 juta orang). Jadi, persentasenya relatif tetap namun jumlah absolutnya meningkat terus dari tahun ke tahun. Di sisi lain, pertambahan luas lahan pertanian tidak sebanding dengan pertambahan jumlah rumah tangga pertanian sehingga rata-rata luas penguasaan lahan garapan usahatani yang sejak semula relatif kecil menjadi semakin kecil. Gambaran terkini dapat disimak dari hasil pendataan usahatani yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 (PUT09). Meskipun pendataannya hanya mencakup usahatani empat komoditas (padi, jagung, kedele, dan tebu) namun dapat dianggap representatif karena mencakup sekitar 70 persen dari populasi rumah tangga pertanian Indonesia. Menurut data tersebut, pada tahun 2009 ini jumlah rumah tangga usahatani penghasil komoditas pertanian utama adalah sekitar 17.8 juta (jika petani mengusahakan lebih dari satu jenis komoditas maka tetap dihitung satu, mengacu pada komoditas utamanya). Rincian jumlah unit usahatani menurut jenis komoditas yang diusahakan adalah sebagai berikut. Untuk komoditas padi, jagung, kedele masing-masing adalah sekitar 14.99, 6.71, 1.16 juta unit usahatani; sedangkan tebu adalah sekitar 195 ribu unit usahatani. Sebarannya menurut (kelompok) pulau adalah sebagai berikut (Tabel 2). Sebagian besar (58.6 persen) berada di Pulau Jawa. Di Luar Pulau Jawa, yang terbanyak adalah di Sumatera (18.6 persen), sedangkan yang terkecil adalah di Maluku dan Papua (1.3 persen). .
Pola pengusahaannya bersifat monokultur dan campuran. Dengan mix-index sebagai
proksi, dapat diketahui bahwa pola campuran lebih banyak dilakukan oleh petani di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sedangkan pola monokultur lebih populer di wilayah Kalimantan. Sisanya berada dalam kisaran antar kedua tipe tersebut. Sebaran petani menurut luas penguasaan menunjukkan bahwa bagian terbesar adalah petani dengan luas penguasaan antara 0.1 – 0.49 hektar. Penelusuran lebih lanjut
-7-
lanjut dengan pendekatan kumulatif menghasilkan kesimpulan sebagai berikut (Tabel 3). Jika angka 2 hektar (1.99) digunakan sebagai batas untuk mendelienasi cakupan petani kecil maka lebih dari 90 persen petani Indonesia termasuk dalam kategori tersebut, namun jika angka yang digunakan adalah 1 hektar, maka jumlahnya sekitar 76 persen; bahkan jika angka diturunkan lagi menjadi 0.5 hektar ternyata jumlahnya masih lebih dari separuh (53 persen). Kondisi paling "gurem" adalah di Pulau Jawa, lokasi dimana 58 persen petani Indonesia berada. Dengan batas atas 1 hektar saja sekitar 90 persen diantaranya sudah termasuk dalam kategori petani kecil, dan selanjutnya jika batas atas yang digunakan adalah 0.5 hektar maka persentase petani yang tercakup dalam kelompok tersebut juga masih lebih dari dua pertiga (69 persen). Usahatani padi adalah bagian terbesar usahatani di Indonesia dan terkait dengan program penelitian dan pengembangan serta penyuluhan pertanian yang terjadi selama ini mungkun menggambarakan wilayah "frontier" aplikasi teknologi budidaya pertanian yang sebagian besar petani Indonesia. Terkait dengan itu, dengan asumsi bahwa pemanfaatan varietas dan penggunaan pupuk mencerminkan derajat intensifikasi dalam usahatani, hasil analisis data PUT09 menyajikan gambaran sebagai berikut. Dari seluruh petani padi di Indonesia, jumlah petani yang menggunakan benih padi berdaya hasil tinggi adalah sekitar 76 persen dengan rincian varietas unggul non hibrida 73 persen dan hibrida sekitar 3 persen, sedangkan yang memanfaatkan varietas lokal adalah sekitar 24 persen. Gambaran menurut wilayah agak paralel dengan sebaran jumlah total petani antar wilayah tersebut. Sebagai contoh, dari seluruh petani yang menggunakan benih hibrida tersebut sekitar 55 persennya adalah petani padi di Pulau Jawa. Peringkat berikutnya adalah di Sumatera (33 persen) dan Sulawesi (6 persen). Untuk varietas unggul non hibrida, sekitar 70 persen ada di Pulau Jawa, sedangkan untuk varietas lokal yang terbanyak adalah di kalangan petani padi di Sumatera (33 persen). Khusus untuk varietas lokal ini fenomena yang menarik adalah di Kalimantan karena sekitar 80 persen dari seluruh petani padi di pulau besar ini memanfaatkan varietas lokal (Tabel 4). Dalam pemupukan, jumlah petani padi pengguna versus non pengguna adalah sekitar 92 persen versus 8 persen (Tabel 5). Dari seluruh petani petani pengguna pupuk, sekitar 74 persen diantaranya hanya mengandalkan pupuk anorganik saja, sekitar 25 persen lainnya menggunakan campuran pupuk anorganik dan organik, dan sekitar 1 persen menggunakan pupuk organik saja. Fakta ini menunjukkan tingginya ketergantungan petani terhadap ketersediaan pupuk anorganik (Urea, SP16, SP18, NPK, ZA) dan karena itu
-8-
kebijakan subsidi harga pupuk merupakan salah satu agenda terpenting dalam kebijakan pertanian Indonesia. Dalam pembiayaan usahatani, gambaran makro yang diperoleh dari analisis PUT09 ini juga mengkonfirmasi berbagai hasil penelitian empiris lingkup mikro yang selama ini memperoleh kesimpulan bahwa peranan perbankan dalam pembiayaan usahatani tanaman pangan masih sangat kecil. Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari 94 persen petani padi mengandalkan biaya usahataninya dari modal sendiri. Bagi petani yang mengandalkan modalnya dari pinjaman, ternyata sumber utama berasal dari perorangan (sesama petani, famili, tetangga, tengkulak, pemilik lahan, dan sebagainya). Secara keseluruhan, peranan lembaga perbankan dalam pembiayaan usahatani kurang dari satu persen. Dengan struktur pertanian yang didominasi usahatani skala kecil (skala rumah tangga) maka pasar tenaga kerja pertanian bersifat multidimensi. Faktor-faktor yang bekerja dibalik permintaan dan penawaran tidak hanya mencakup variabel ekonomi semata namun terkait pula dengan struktur sosial dan budaya, terkait pula dengan pasar lahan dan pasar kredit, dan dinamikanya dipengaruhi oleh perubahan teknologi berproduksi. Situasi dan kondisi tersebut mewarnai dinamika produktivitas tenaga kerja (kompensasi tenaga kerja) di sektor pertanian. Dengan asumsi bahwa nilai tambah per pekerja dapat digunakan sebagai proksi dari produktivitas kerja tampak bahwa produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian adalah sangat rendah jika dibandingkan dengan sektor-sektor perekonomian lainnya. Untuk melihat lebih jauh ketimpangan kompensasi terhadap tenaga kerja antar sektor antar sektor, misalkan rataan agregat 1980 dijadikan basis (indeks 1980 = 1) maka gambaran yang diperoleh adalah sebagai berikut (Tabel 7). Pada tahun 1980, rata-rata gaji dan upah tenaga kerja di sektor pertanian hanya sepertiga dari rataan agregat. Rataan tertinggi adalah di sektor lembaga keuangan dan perbankan yang besarnya sekitar lebih dari 12 kali lipat rataan agregat. Sepuluh tahun kemudian, rata-rata agregat gaji dan upah (berdasarkan harga berlaku) meningkat menjadi 3.7 kali lipat, dan dua puluh tahun kemudian (tahun 2000) menjadi sekitar 25 kali lipat. Dengan urutan yang sama di sektor pertanian meningkat dari 0.3 menjadi 1 (naik 3 kali lipat) pada tahun 1990 dan naik menjadi 6.5 kali lipat. Kesemuanya itu merupakan bukti bahwa kompensasi tenaga kerja di sektor pertanian bukan hanya terkecil, tetapi peningkatannyapun lebih rendah dari sektor lain maupun rataan agregat. Produktivitas usahatani tanaman pangan, khususnya padi dan jagung di Indonesia sebenarnya termasuk tinggi. Rata-rata produktivitas petani padi Indonesia memang masih
-9-
lebih rendah daripada petani China ataupun Jepang, setara dengan petani India, namun lebih tinggi daripada petani Thailand ataupun Vietnam. Bahwa sampai saat ini untuk Indonesia seringkali masih harus mengimpor beras terutama karena sangat kecilnya garapan usahatani. Sekedar ilustrasi, rata-rata luas lahan usahatani padi per kapita (total luas lahan usahatani padi dibagi total jumlah penduduk) Indonesia hanya sekitar 646 M2/kapita. Bandingkan dengan Vietnam (986 M2/kapita), China (1 120 M2/kapita), ataupun India (1 590 M2/kapita); apalagi Thailand (5 230 M2/kapita) (Pasaribu, 2009). Terkait dengan banyaknya jumlah rumah tangga petani, skala usahanya yang kecil, lokasinya yang tersebar di berbagai pelosok, infrastruktur pertanian dan pedesaan yang belum cukup, dan kurang berkembangnya kelembagaan asosiasi petani maka sebagian besar petani di Indonesia berada pada posisi tawar yang lemah. Petani dihadapkan pada pasar masukan usahatani yang ologopolistik dan pasar keluaran usahatani yang oligopsonistik. Secara sendiri-sendiri ataupun bersamaan, struktur pasar tersebut menciptakan perilaku pasar yang kurang menguntungkan petani yang performanya tercermin dari tingkat harga dimana petani harus membayar masukan yang lebih tinggi dan menerima harga penjualan hasil panen yang lebih rendah dari level normatifnya. Dalam rangka melindungi produsen (petani kecil) maupun konsumen (yang sebagian besar juga miskin), pemerintah meluncurkan kebijakan harga terutama untuk komoditas pangan strategis. Sebagai contoh, untuk mengkondisikan agar harga gabah pada saat panen tidak merosot tajam maka Pemerintah menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah (dahulu Harga Dasar gabah) dan untuk menstabilkan harga beras agar pada saat paceklik tidak melonjak tajam maka pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi Beras. Bekerjasama dengan Departemen Pertanian serta Departemen terkait lainnya, lembaga yang secara khusus ditugaskan untuk mengeksekusinya adalah Badan Urusan Logistik (BULOG).
Gambaran Lingkup Mikro Dalam berusahatani, sebagian besar petani menggarap miliknya sendiri. Namun demikian tidak sedikit pula yang lahan garapannya adalah milik orang lain dengan cara menyewa, bagi hasil, menggadai, dan sebagainya. Mereka adalah petani yang tidak memiliki lahan sendiri ataupun jika memiliki lahan sendiri tetapi luasnya relatif sangat kecil untuk digarapnya. Ada pula kasus-kasus dimana petani menyewa atau menyakap (bagi hasil) lahannya sendiri yang telah digadaikan kepada orang lain. Terkait dengan itu semua maka konsep penguasaan lahan usahatani lazimnya mengacu pada pemilikan dan penggarapan.
- 10 -
Hasil analisis data PATANAS 1995 dan 2007 menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya rumah tangga petani maka rata-rata luas penguasaan lahan usahatani mengecil. Pada usahatani sawah di Jawa, rata-rata luas lahan menurun dari 0.49 ha pada tahun 1995 menjadi 0.36 ha tahun 2007. Menurunnya rata-rata luas penguasaan lahan secara konsisten juga terjadi pada agroekosistem lahan kering yang berbasis tanaman pangan dan hortikultur maupun agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan. Secara umum, rata-rata luas pemilikan lahan petani di Luar Pulau Jawa lebih besar daripada di Pulau Jawa, namun juga cenderung semakin kecil (Tabel 8)6. Gambaran tentang distribusi pemilikan lahan dapat disimak dari sebaran rumah tangga menurut kelompok pemilikan. Tampak bahwa jumlah petani dengan penguasaan lahan kurang 0.5 hektar ke bawah adalah sekitar 44 persen. Pada kelompok ini, jumlah terbanyak adalah pada luasan seperempat hektar ke bawah (27 persen), sedangkan petani tunakisma (tidak memiliki lahan sendiri sehingga menggarap milik orang lain adalah sekitar 9 persen). Di Pulau Jawa, jumlah petani yang luas pemilikannya 0.5 hektar ke bawah mencapai 57 persen, sedangkan di Luar Pulau Jawa adalah sekitar 37 persen. Demikianpun halnya dengan petani penggarap murni, di Pulau Jawa mencapai 12 persen sedangkan di Luar Pulau Jawa sekitar 7 persen (Tabel 9). Secara umum distribusi pemilikan lahan usahatani di Indonesia berada pada tingkat ketimpangan sedang (indek gini berkisar 0.42 – 0.64) dan dalam sepuluh tahun terakhir ini cenderung semakin timpang (Sudaryanto et al, 2009). Secara garis besar penyebab utama makin mengecilnya skala usahatani terkait dengan pertambahan jumlah rumah tangga pertanian yang jauh lebih tinggi dari pertambahan luas areal pertanian baru, konversi lahan pertanian ke non pertanian, dan pewarisan. Itu adalah gambaran rata-rata, sedangkan yang terjadi di lapangan beragam. Sejumlah besar petani luas pemilikannya bertambah kecil karena dibagi-bagikan kepada keturunannya (warisan) atau sebagian dijual, sebagian lainnya tak lagi memiliki lahan pertanian dan beralih profesi (tidak lagi menjadi petani), dan sebagian lainnya (sebagian kecil) lahan pertaniannya bertambah luas karena membeli dari petani lainnya baik di dalam desa maupun di luar desa. Peningkatan jumlah petani kecil menyebabka: (1) posisi tawar petani petani di pasar input maupun pasar output pertanian menjadi semakin lemah, (2) kemampuan untuk Sebagai bahan perbandingan, rata-rata skala usahatani (pada awal 1990) di beberapa negara di Asia adalah sebagai berikut. Rata-rata skala usaha petani di Thailand adalah sekitar 3,36 ha, sedangkan di India, Jepang, Korea Selatan,dan China masing-masing adalah 1.55, 1.37, 1.23, 0,43 hektar (Fan and Chan-Kang, 2003). 6
- 11 -
melakukan investasi dalam usahatani menurun, (3) adopsi teknologi melambat, (4) kontribusi usahatani dalam pendapatan rumah tangga semakin kecil, dan (5) meningkatnya alokasi tenaga kerja rumah tangga petani ke sektor non pertanian dan migrasi tenaga kerja kerja ke kota. Secara keseluruhan hal tersebut menyebabkan berimplikasi pada suksesi usahatani maupun terjadinya involusi pertanian. Melemahnya posisi tawar petani di pasar input maupun output pertanian tidaklah mudah diatasi. Meskipun secara teoritis dapat diatasi melalui pengembangan asosiasi petani namun secara empiris tidak mudah diwujudkan karena: (1) kepentingan petani sangat heterogen, (2) secara agregat, net benefit dari pengembangan kelambagaan asosiasi petani sangat kecil (bahkan di beberapa kasus negatif), sementara itu campur tangan pemerintah untuk menekan social cost dari pengembangan kelembagaan seperti itu sangat tidak memadai. Rendahnya kemampuan petani untuk melakukan investasi dalam usahatani tercermin dari beberapa fenomena berikut. Pada komunitas petani di wilayah agroekosistem pesawahan, khususnya komunitas petani yang secara rutin menghadapi ancaman kekeringan ternyata tingkat partisipasinya dalam pengadaan pompa irigasi hanya sekitar 8 persen. Pada komunitas petani di wilayah agroekosistem lahan kering tanaman perkebunan, upaya untuk melakukan peremajaan tanaman perkebunan dan penanaman komoditas perkebunan yang produktivitasnya lebih tinggi adalah relatif rendah. Semakin melambatnya adopsi teknologi petani antara lain tercermin dari levelling off pertumbuhan produksi padi di Indonesia (Simatupang, 2000). Sejak awal dasawarsa 90an berbagai terobosan di bidang teknologi usahatani padi sebenarnya cukup banyak dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian terkait di Indonesia. Cukup banyak varietasvarietas padi yang baru dengan produktivitas yang lebih tinggi telah berhasil diciptakan, namun adopsinya di kalangan petani relatif rendah. Saat ini diperkirakan lebih dari 70 persen pertanaman padi di Indonesia didominasi oleh varietas IR 64 dan Ciherang; dan hal itu telah berlangsung kurang lebih dalam periode 10 tahun terakhir ini. Semakin rendahnya kontribusi usahatani dalam struktur pendapatan rumah tangga dapat dilihat dari fenomena berikut. Di perdesaan Pulau Jawa kontribusi pendapatan dari pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga turun dari 50 persen menjadi 25 persen dalam periode 1995 – 2007 (Sudaryanto and Sumaryanto, 2008). Khusus untuk rumah tangga petani, kontribusi pendapatan dari usahatani terhadap pendapatan rumah tangganya adalah sebagai berikut. Di agroekosistem pesawahan di Pulau Jawa dan Luar Jawa masing-
- 12 -
masing adalah 58 dan 46 persen. Dengan urutan yang sama, pada agroekosistem lahan kering berbasis usahatani tanaman pangan dan hortikultura adalah 52 dan 48 persen. Sedangkan di lahan kering barbasis tanaman perkebunan, di Luar P. Jawa adalah 67 persen (PSEKP, 2008) Meningkatnya alokasi tenaga kerja rumah tangga petani ke pekerjaan non berimplikasi menguatnya sifat "part time" dalam aktivitas usahatani. Ciri yang dapat diamati misalnya melalui penelusuran partisipasi kerja pada kegiatan non pertanian yang terjadi pada rumah tangga petani. Dalam konteks ini, hasil penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut (PSEKP, 2008). Jika unit observasinya rumah tangga, ternyata partisipasinya dalam kegiatan berburuh tani, usaha non pertanian, dan berburuh di sektor non pertanian masing-masing adalah 61, 36, dan 22 persen. Sementara itu jika unit observasinya adalah individu anggota rumah tangga, terdapat tiga kelompok kegiatan yang partisipasinya sangat menonjol yaitu: (i) di usahatani sendiri saja (37 persen), (ii) di usahatani sendiri + berburuh tani (20 persen), dan (iii) di usahatani + usaha rumah tangga sektor non pertanian (12 persen). Meningkatnya jumlah petani kecil (dan mengecilnya rata-rata land size) juga mendorong migrasi tenaga kerja rumah tangga petani ke luar desa, terutama yang berpendidikan lebih tinggi. Hasil analisis dengan menggunakan data PATANAS 2007 (di-"up date" pada tahun 2008) menunjukkan menunjukkan bahwa
(using multinomial logit)
probabilitas individu anggota rumah tangga petani untuk memilih bekerja didalam desa, di dalam dan di luar desa, dan di luar desa masing-masing adalah 78.5, 7.1, dan 14.4 persen. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata adalah luas lahan milik (negatif), tingkat pendidikan (positif), dan fragmentasi lahan garapan (negatif). Meningkatnya jumlah petani juga tidak kondusif untuk suksesi usahatani. Ternyata probabilitas petani ingin, ragu-ragu, dan tidak ingin mewariskan usahataninya kepada generasi penerusnya masing-masing adalah sekitar 24, 63, dan 13 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi peluang tersebut lebih banyak berada dalam dimensi sosial – budaya yakni: pendidikan kepala keluarga (negatif), kesukaan terhadap pekerjaan di pertanian (positif), dan faktor sosial budaya yang berkenaan dengan wasiat/pewarisan (positif). Artinya, jika pendekatan yang ditempuh adalah "business as usual" maka instrumen ekonomi tidak akan afektif. Diperlukan lebih banyak pelibatan aspek-aspek sosial budaya dalam instrumen kebijakan dalam rangka mengembangkan sistem pertanian yang lebih tangguh (diisi tenagatenaga kerja pertanian produktif). Fenomena ini perlu diantisipasi mengingat tantangan di masa mendatang (terutama implikasi dari perubahan iklim) semakin berat.
- 13 -
Dalam kaitannya dengan suksesi usahatani tersebut, persepsi petani tentang usahataninya menarik untuk disimak karena secara tidak langsung merefleksikan dimensi kualitatif eksistensi pertanian skala kecil. Meskipun prersentase petani yang menyukai pekerjaan usahatani jauh lebih banyak dari yang tidak menyukai (48 persen vs 3 persen), namun proporsi petani yang menginginkan keturunannya melanjutkan usahataninya hanya sekitar 23 persen. Sementara itu yang justru menginginkan agar keturunannya bekerja di luar pertanian justru mencapai 24 persen.
Jika cukup modal, petani yang ingin
mengembangkan usahataninya juga hanya sekitar 37 persen. Cukup banyak (45 persen) petani yang menyatakan bahwa usahatani merupakan katup pengaman ekonomi keluarga dan untuk subsistensi. Jumlah petani yang menyatakan bahwa latar belakang melakukan usahatani adalah terkait dengan warisan/wasiat adalah sekitar 32 persen, dan yang melakukannya karena tidak ada pilihan lain (terpaksa) adalah sekitar 37 persen. Secara keseluruhan, sebagian besar petani meragukan prospek usahataninya dapat dijadikan andalan untuk memperbaiki taraf hidup keluarganya di masa mendatang (Tabel 10). Gejala involusi pertanian tampaknya masih belum hilang. Kondisi ini tercipta sebagai akibat dari kombinasi enam faktor berikut: (i) pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi (ii) ekspansi lahan pertanian yang berlangsung sangat lambat, (iii) pelaksanaan reforma agraria yang tersendat, (iv) investasi sektor non pertanian di perdesaan yang rendah, dan (v) transmigrasi ke pulau-pulau yang jarang penduduknya tersendat, dan (vi) ketidak harmonisan antara pengembangan sistem pendidikan dengan pasar tenaga kerja. Kondisi tersebut di atas dikhawatirkan mempersulit pengembangan kapasitas adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim dan dalam jangka panjang berdampak negatif terhadap ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan.
ERA PASAR GLOBAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERTANIAN SKALA KECIL Cara paling sederhana untuk memahami implikasi era pasar global terhadap pertanian skala kecil dapat dilakukan dengan tiga langkah berikut. Pada hari pertama, cermatilah beragam komoditas buah-buahan, daging, susu, dan berbagai bentuk pangan olahan impor yang tersaji rapi di supermarket yang kini menjamur di Indonesia. Disitulah salah satu jejak langkah MNC agribisnis skala raksasa dapat dilihat dan diamati dengan cara paling sederhana. Dibalik pajangan beragam komoditas impor tersebut, bekerja suatu sistem manajemen rantai pasok (supply chain management – SCM) yang disaiannya ditunjang
- 14 -
teknologi informasi yang sangat maju, infrastruktur yang canggih, modal yang besar, dan sistem manajemen perusahaan berbasis pengetahuan (knowledge management) yang selalu diperbaharui. Pada hari kedua, belanjalah bahan masakan di pasar tradisional (wet market). Perhatikan tempat penjajaannya, kualitas barangnya, volume barang dagangannya, harganya, dan perhatikan pula penjualnya karena dari sorot matanya akan dapat ditangkap suka duka kehidupan yang diarunginya. Jangan pula lupa, bahwa sebagian dari mereka pada waktu-waktu tertentu harus bermain "petak umpet" dengan petugas "tramtib" karena dianggap menyebabkan kemacaten lalu lintas dan kota tidak bersih. Pada hari ketiga, mengingat bahwa sumber pasokan barang dagangan dari para pedagang di pasar tradisional tersebut adalah para pedagang pengumpul ataupun langsung dari petani kecil maka bayangkanlah bagaimana nasib petani kecil. Secara keseluruhan dari tiga langkah tersebut akan dapat dibayangkan apa sesungguhnya yang tengah dihadapi para petani kecil dalam era persaingan pasar global saat ini7. Liberalisasi Perdagangan dan Kehadiran Perusahaan Agribisnis Skala Raksasa8 Berpangkal pada asimetri penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, modal, kemampuan lobi politik, dan mungkin juga jejak kolonialisme masa lalu; sistem perdagangan komoditas pertanian di pasar internasional kurang adil terhadap negara berkembang. Upaya untuk menciptakan sistem perdagangan bebas yang adil (fair trade) telah banyak dilakukan melalui serangakain perundingan namun belum membawa hasil yang sesuai dengan harapan. Putaran Doha (2001) berlangsung sangat alot dan belum berhasil mencapai kesepakatan untuk menciptakan sistem perdagangan yang lebih adil9. Sampai saat ini pangsa pasar internasional komoditas pangan didominasi negara maju dan cenderung mengerucut ke sejumlah kecil yakni Amerika Serikat (jagung, minyak kedele, gandum, daging unggas, beras, kedele, buah dan sayuran, daging sapi, susu bubuk 7
Agar lebih lengkap, perhatikan pula konsumennya karena dengan itu dapat dilihat segmen pasar masing-masing. 8 Bagian tulisan ini banyak mengacu pada Sawit (2007), Sawit (2008), Hutabarat (2009), von Braun (2004), dan beberapa tulisan terkait lainnya. Atas masukannya dalam serangkaian diskusi informal dengan kedua penulis yang tersebut dahulu, penulis makalah ini mengucapkan terima kasih. 9 Deklarasi Doha (WTO, 2001) menyebutkan: (i) substancial reduction in trade-distorting domestic support, (ii) the reduction of, with a view to phasing out, all forms of export subsidies, (iii) substantial improvements in market acces, (iv) special and differential treatment for developing members in all elements of the negotiations. Kerangka kerja persetujuan disepakati anggota WTO pada Bulan Juli 2004 dengan menyisakan agenda menyangkut aspek negosiasi pertanian (WTO, 2004).
- 15 -
skim, dan keju), Uni Eropa (buah dan sayuran, jagung, gula, gandum, daging sapi, daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju), Australia (jagung, gula, gandum, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju), Selandia Baru (daging sapi, susu bubuk skim, mentega, dan keju), dan Kanada (mentega, daging sapi, buah dan sayuran, minyak kedele, gandum, dan jagung) (Sawit, 2007; Sawit, 2008). Selain keunggulannya dalam akses pasar, dominasi negara-negara tersebut sebenarnya juga karena ditopang subsidi yang ternyata jauh lebih besar daripada subsidi yang diterapkan oleh negara-negara berkembang.
Pendapatan petani produsen beras,
petani produsen gula, dan petani produsen daging sapi yang berasal dari subsidi pemerintah mencapai masing-masing 78, 51, dan 33 persen (Sawit, 2007). Belum lagi sistem perdagangan internasional yang "fair" terbentuk, ekspansi perusahaan agribisnis skala raksasa dari negara-negara maju semakin dalam menancapkan dominasinya di berbagai negara berkembang. Melalui integrasi vertikal dari hulu – hilir, dominasinya sangatlah kokoh sehingga ruang persaingan yang terbuka untuk negara-negara berkembang menjadi sempit.
Di hulu, perusahaan-perusahaan agribisnis raksasa tersebut
menguasai pasar peralatan pertanian, dan agrokimia, dan benih; di tengah mendominasi industri pengolahan (agro-processing dan agro-manufacturing); dan di hilir membanjiri pasar eceran (supermarket) dengan beragam produk pertanian segar maupun olahannya di seluruh dunia baik di negara maju maupun negara-negara berkembang. Dua dekade yang lalu, "Top Ten" MNC penghasil benih mengendalikan sekitar 30 % dari nilai perdagangan benih internasional (US 24.4 milyar) dan "Top Ten" perusahaan agrokimia mengendalikan sekitar 84 persen pangsa pasar agrokimia (US $ 30 milyar) di pasar global. Kini (setelah proses akuisisi dan merger dari sejumlah perusahaan agribisnis raksasa) lima teratas perusahaan raksasa yang bergerak di bidang bioteknologi pertanian mendominasi pasar: Pharmacia (Monsanto), DuPont, Syngenta, Aventis, dan Dow (Mariano, 2002). Tidaklah mudah memahami kompleksitas permasalahan yang ditimbulkan akibat dari kondisi tersebut di atas. Konstelasi hubungan antar pemain di pasar global tidak lagi dapat diterangkan dengan pendekatan teoritis berbasis konsep keunggulan komparatif; dan penggunaan negara (state) sebagai unit analisis dalam beberapa hal menjadi kurang relevan. Penerapan konsep keunggulan kompetitifpun tidak cukup karena strategi yang ditempuh oleh perusahaan-perusahaan agribisnis skala raksasa dalam mengembangkan eksistensinya di pasar global tidak hanya mengandalkan instrumen ekonomi tetapi juga menggunakan jalur diplomasi yang berdimensi politik. Secara ringkas, Hutabarat (2009) menggambarkan
- 16 -
situasi dan kondisi yang tercipta terkait dengan globalisasi dan liberalisasi perdagangan, perlunya pendekatan baru dalam perumusan konsep untuk disain kebijakan, dan bagaimana negara berkembang (Indonesia) harus menyikapinya. Implikasi Terhadap Eksistensi Pertanian Skala Kecil Interaksi agribisnis skala besar dari negara-negara maju dengan pertanian skala kecil dari negara-negara berkembang bersifat asimetris. Terkendala oleh isolasi geografis, terbatasnya penguasaan informasi, penguasaan modal yang terbatas, penguasaan teknologi yang kurang berkembang, dan dukungan infrastruktur yang kurang memadai maka sebagian besar pertanian skala kecil di negara-negara berkembang tetap berkutat pada persoalan internalnya yakni rendahnya pendapatan usahatani. Di sisi lain, berbekal penguasaan informasi dan teknologi maju, modal yang besar, sistem manajemen usaha yang canggih, dan lobi politik yang kuat maka perusahaan-perusahaan agribisnis skala raksasa dari negara maju mengembangkan eksistensinya secara ekspansif. Bagaikan dua makhluk dari alam yang berbeda, sebagian besar petani kecil di negara-negara berkembang tidak menyadari bahwa di hadapannya telah berdiri sosok pesaing yang siap mengancam eksistensinya. Secara agregat liberalisasi perdagangan memang berdampak pisitif terhadap surplus konsumen maupun surplus produsen. Namun efeknya terhadap distribusi pendapatan dan pengentasan kemiskinan belum jelas karena penelitian bidang ini masih sangat langka. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa pada saat ini petani kecil berada pada situasi yang kritis. Kondisi yang dihadapinya dilematis. Sementara sebagian besar petani masih tetap berkutat dengan pendapatan usahataninya yang rendah, tenaga kerja muda semakin tidak tertarik untuk menekuni pertanian. Stagnasi ekonomi dan terbatasnya kesempatan kerja di pedesaan mendorong tenaga kerja pedesaan usia muda bermigrasi di kota meskipun tanpa jaminan bahwa di lokasinya yang baru itu akan dapat hidup lebih baik (Huvio et al, 2004). Keragaman adalah warna dasar eksistensi. Implikasi liberalisasi perdagangan terhadap eksistensi petani kecil tidaklah homogen. Dari sudut pandang akses petani terhadap pasar (Torero and Gulati, 2004), eksistensi petani kecil dapat dipilah menjadi tiga tipe: (1) petani kecil subsisten dengan akses pasar lokal, (2) petani kecil dengan akses pasar domestik, dan (3) petani kecil dengan akses pasar internasional. Fenomena tersebut perlu dipertimbangkan secara seksama dalam perumusan kebijakan dan program pemberdayaan petani kecil yang antara lain mencakup trade financing, perbaikan infrastruktur, inovasi kelembagaan, serta penguatan koperasi dan contract farming (Huvio et al, 2004).
- 17 -
Pengaruh liberalisasi perdagangan terhadap eksistensi pertanian skala kecil dalam ekonomi domestik tergantung pada kondisi keterkaitan pasar domestik – pasar internasional sebelum liberalisasi dan kapasitas aktor utama (pertanian skala kecil) untuk meresponnya. Efeknya muncul dari: (i) perubahan tingkat harga input dan output, (ii) perubahan volatilitas harga, (iii) efek tak langsung melalui proteksi relatif di pertanian versus sektor lain dalam keseluruhan sektor perekonomian, dan (iii) nilai tukar dan pengaruh makro ekonomi lainnya (von Braun, 2004). Secara teoritis, pengaruh jangka pendek diakibatkan oleh terjadinya perubahan harga relatif (produksi dan pola konsumsi tetap). Karena itu kajian tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap petani kecil harus didekati melalui sisi produksi dan konsumsi secara simultan. Dalam konteks ini, karakteristik "houshold economy" yang melekat pada sebagian besar petani kecil beserta implikasinya dalam perilaku produksi dan konsumsi harus dielaborasikan dengan baik dalam pemodelan. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, pola usahatani akan bergerser ke arah komoditas yang menghasilkan keuntungan yang lebih besar, atau setidaknya yang tidak menyebabkan pendapatan riilnya turun. Respon jangka panjang akan mencakup pula investasi dan migrasi. Sejumlah pertanian skala kecil yang dapat memanfaatkan peluang yang terbuka dari lineralisasi perdagangan akan melakukan investasi untuk mengembangkan eksistensinya. Di sisi lain, sejumlah petani tidak mampu bertahan dan karena itu beralih profesi ke sektor lainnya. Di tengah (mungkin bagian terbesar) akan berada pada situasi yang dilematis: tetap berusahatani dengan pendapatan yang rendah dan prospeknya kurang jelas atau beralih profesi ke bidang lain tetapi tak pula ada jaminan kehidupannya akan membaik. Terkait dengan itu, strategi yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut (von Braun, 2004): (i) mengembangkan usahatani bernilai ekonomi tinggi (spesialisasi, diversifikasi, dan komersialisasi), (ii) mencari tambahan pendapatan dari luar usahatani dan menjadi "parttime farmer", dan (iii) beralih profesi ke sektor non pertanian (termasuk migrasi). Jalur (i) dapat ditempuh oleh petani yang dapat mengakses pasar modern yang terintegrasi dengan pasar internasional misalnya melalui pola kemitraan dengan perusahaan agribisnis, agroprocessing, agro-manufacturing, ataupun supermarket. Kelembagaannya dapat berupa contract farming ataupun melalui suatu sistem koordinasi vertikal. Jalur (ii) adalah strategi yang mungkin paling populer karena secara historis – empiris telah merupakan pola dominan dalam strategi rumah tangga petani mempertahankan eksistensinya. Namun berbeda dengan pola yang selama ini ditempuh, upaya-upaya untuk meningkatkan
- 18 -
produktivitas kerja di usahataninya maupun pada kegiatan luar pertanian harus terus dilakukan karena jika berada dalam status quo maka dalam jangka menengah peranan usahataninya dalam ekonomi rumah tangga akan terus menyusut. Jalur (iii) merupakan strategi yang paling layak ditempuh oleh rumah tangga petani yang skala usahanya sangat kecil dan selama ini kontribusinya untuk menopang ekonomi rumah tangga sangat minor. Peran Pemerintah Sesungguhnya kewajiban pemerintah untuk memberdayakan pertanian skala kecil tidak hanya didasari pertimbangan logis dari ketidak berdayaan petani kecil menghadapi era pasar global. Adalah fakta bahwa pertanian Indonesia didominasi pertanian skala kecil, sedangkan peran sektor pertanian sangat strategis karena berkaitan erat dengan aspekaspek sentral dalam pembangunan nasional yakni ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja. Pemberdayaan pertanian skala kecil sangat membutuhkan adanya pengembangan infrastruktur pertanian dan pedesaan yang kondusif untuk memperlancar arus distribusi, komunikasi, penyebaran informasi, dan akses pasar. Berbagai studi memperoleh kesimpulan bahwa selama ini sumber utama kelemahan pertanian skala kecil berasal dari tingginya biaya transaksi "transaction cost" dalam pemasaran input dan output pertanian. Penyebabnya terkait dengan sangat terbatasnya infrastruktur pertanian dan pedesaan, kurang lancarnya arus komunikasi dan penyebaran informasi, dan distribusi spatial unit-unit sentra produksi pertanian yang terserak dan tak terkonsolidasi serta tidak "match" dengan sentra-sentra pemasaran. Selain infrastruktur, kebijakan dan program yang kondusif untuk meningkatkan akses petani kecil terhadap lembaga perbankan sangat diperlukan. Selama ini rendahnya kapasitas petani kecil untuk melakukan inovasi maupun mengadopsi teknologi yang lebih maju disebabkan oleh keterbatasannya dalam permodalan. Stigmatisasi kalangan perbankan komersial terhadap pertanian skala kecil sebagai unit usaha penuh risiko dan kurang layak sebagai nasabah penerima kredit harus diubah dan pemerintah berkewajiban menetapkan kebijakan dan program yang dapat mengubah kondisi tersebut. Bersamaan dengan pemberdayaan kekuatan dan eliminasi sejumlah kelemahan pertanian skala kecil tersebut, kebijakan dan program perlindungan terhadap petani kecil mutlak diperlukan. Investasi asing langsung (FDI) memang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja; namun fasilitasi dan perijinan yang
- 19 -
terkait dengan FDI tersebut harus disertai kajian yang sangat cermat, cerdas, forward looking; terlebih-lebih jika menyangkut sektor pertanian dan eksploitasi sumberdaya lingkungan. Dalam rangka memanfaatkan kesempatan yang terbuka maupun untuk melindungi kepentingan domestik diperlukan peningkatan kemampuan diplomasi dalam perundingan WTO; dan itu sangat membutuhkan bekal informasi yang komprehensif dan mendalam mengenai sistem implikasi dari setiap perubahan aturan main dalam perdagangan internasional terhadap pertanian domestik.
KESIMPULAN Pertanian skala kecil merupakan bagian terbesar pertanian Indonesia dan karena itu eksistensinya menentukan masa depan pertanian negeri ini. Eksistensinya berimplikasi pada dimensi yang lebih luas karena sektor pertanian mempunyai peranan strategis dalam ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan penyerapan tenaga kerja. Era pasar global serta liberalisasi perdagangan telah terjadi dan akan semakin berkembang dan implikasinya terhadap pertanian skala kecil sangat serius. Sejumlah peluang muncul karena pasar ekspor semakin terbuka; namun pada sisi yang lain ancaman terhadap eksistensi pertanian skala kecil juga semakin nyata seiring dengan membanjirnya komoditas pertanian impor. Diperkirakan sejumlah petani akan mampu mengembangkan eksistensinya dengan melalui pengembangan usahatani bernilai ekonomi tinggi namun sebagian lainnya tak akan mampu bertahan dan karena itu harus beralih profesi ke sektor non pertanian. Bagian terbesar, yakni berada diantara kedua kutub tersebut adalah pertanian skala kecil yang setidaknya dalam jangka pendek – menengah masih akan berkutat dengan situasi dan kondisi seperti saat ini. Adalah kewajiban pemerintah untuk memberdayakan pertanian skala kecil. Untuk itu diperlukan adanya akselerasi pengembangan infrastruktur perdesaan dan pertanian, peningkatan akses petani terhadap lembaga perkreditan, peningkatan akses petani terhadap pasar masukan maupun keluaran pertanian, peningkatan penguasaan teknologi panen – pasca panen di tingkat petani, dan pengembangan agroindustri berbasis pertanian di perdesaan. Pada saat yang sama, diperlukan pula adanya peningkatan kemampuan diplomasi dalam berbagai putaran perundingan WTO dan kehati-hatian dalam fasilitasi investasi asing langsung di sektor pertanian.
- 20 -
DAFTAR PUSTAKA Berry, A. and W. Cline. 1979. Agrarian Structure and Productivity in Developing Countries. Baltimore and London: John Hopkins University Press. Binswanger, H. P. and M. R. Rosenzweig. 1986. Behavioral and Material Determinants of Production Relations in Agriculture. The Journal of Development Studies 22(3): 503 539. von Braun, J. 2004. Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. In Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström (Eds.). Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. Proceeding of the Seminar on October 2004 in Haiko Finland. Publication No. 38 Agricultural Policy, Department of Economics and Management, University of Helsinki, Helsinki. Chavas, J. P. 2001. Structural Change in Agricultural Produstion: Economics, Technology and Policy. In Gardner, B. L. and G. C. Rausser (Eds), Handbook in Agricultural Economics. Amsterdam: Elsevier. Diao, X., A. Somwaru, and T. Roe. 2001. A global abalysis of agricultural trade reform in WTO member countries. Economic Development Center Bulletin 01 - 1. Minneapolis: University of Minesota, Economic Development Center. Edelman, M. 2005. Global Trade Rules and Smallholding Agriculture: Problems for Sustainability. Paper prepared for the Queen Elizabeth House 50th Anniversay Conference on "New Development Threats and Promises," Oxford University, 3-4 July 2005.
[email protected]. Fan. S.. C. Chan-Kang. 2003. Is Small Beautiful? Farm Size. Productivity and Poverty in Asian Agriculture. Paper to be presented at the 2003 International Association of Agricultural Economists. Durban. Gupta, A. K. 2004. Origin of agriculture and domestication of plants and animals linked to early Holocene climate amelioration (Review Articles). CURRENT SCIENCE, VOL. 87, NO. 1, 10 JULY 2004. Hall, B. F. and P. Le Veen. 1978. Farm Size and Economic Efficiency: The Case of California. American Journal of Agricultural Economics 60(4): 589 - 600. Hayami, Y. 1998. The Peasant in Economic Modernization. In Eicher, C. K. and J.M. Staatz (Eds). International Agricultural Development. Baltimore and London: John Hopkins University Press. Howe, G., N. Favia, D. Lohlein, S. Haralambou, and E. Heinemann. 2004. Trade, Trade Liberalisation and Small-Scale Farmers in Developing Countries: Beyond the Doha Round. In Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström (Eds.). Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. Proceeding of the Seminar on October 2004 in Haiko Finland. Publication No. 38 Agricultural Policy, Department of Economics and Management, University of Helsinki, Helsinki. Hutabarat, B. F. 2009. Kebangkitan Pertanian Nasional: Meretas Jebakan Globalisasi dan Liberalisasi Perdagangan. Naskah Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström. 2004. Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. Proceeding of the Seminar on October 2004 in Haiko Finland. Publication No. 38 Agricultural Policy, Department of Economics and Management, University of Helsinki, Helsinki.
- 21 -
Kumbhakar, S. C. 1993. Short run Returns to Scale, Farm-Size and Economic Efficiency. The Review of Economics and Statistics 75 (2): 336 - 341. Narayanan, S. and A. Gulati. 2002. Globalization and the smallholders: a review of issues, approaches and implications. Markets and Structural Studies Division 50, International Food Policy Research Institute (IFPRI). Washinton, D.C: IFPRI. Pasaribu, B. 2009. Peran Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Menunjang Tata Ruang dan Kedaulatan Pangan. Bahan Presentasi yang disampaikan pada Lokakarya Pembaruan Agraria Pertanian Nasional pada 3 September 2009 di Jakarta. Perez, M. Schesinger, and T.A. Wise. 2008. The Promise and the Perils of Agricultural Trade Liberalization: Lesson From Latin America. Washington Office of Latin America (WOLA), Washington, DC. www.wola.org. PSEKP. 2008. Konsorsium Penelitian Karakteristik Sosial Ekonomi Petani pada Berbagai tipe Agroekosistem. Laporan Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Rosegrant, M., M. Paisner, S. Meijer, and J. Witcover. 2001. Global Food Projections to 2020. Emerging trends and alternatives. International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. Sawit, M. H. 2007. Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi Dalam Putaran Doha WTO. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sawit, M. H. 2008. Perubahan Perdagangan Pangan Global dan Putaran Doha WTO: Implikasi Buat Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 3, No. 6, September 2008: 199 - 221. Sen, A. 1962. An Aspect of Indian Agriculture. Economic Weekly February: 243 - 246. Simatupang, P. 2000. Fenomena Perlambatan dan Instabilitas Pertumbuhan Produksi Beras Nasional: Akar Penyebab dan Kebijakan Pemulihannya. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sudaryanto, T., and Sumaryanto. 2008. Changing Household Income in Rural Indonesia: 1995 - 2007. Paper presented at the 6th Asian Association of Agricultural Economist International Conference: Asian Economy Renaissance: What is in It for Agriculture?. Manila, Philipinnes, 28 - 20 August, 2008. Sudaryanto, T., S.H. Susilowati, and Sumaryanto. 2009. Increasing Trend of Small Farms in Indonesia: Causes and Consequences. Paper presented at the 111th EAAE - IAAE Seminar " Small Farms: Persistence or Declined?". University of Kent, Canterbury, UK, 25 - 26 June, 2009. Swinnen, Johan F.M. and M. Maertens. Globalization, agri-food standards and development. RIVISTA DI ECONOMIA AGRARIA / a. LXII, n. 3, settembre 2007 (pp. 413 - 421). Torero, M. and A. Gulati. 2004. Conecting Small Holder to Markets: Role of Infrastrucure and Institutions. Policy Brief, International Food Policy Reserach Institute (IFPR). Washington, DC. Yotopoulos, P. A. and L. J. Lau. 1973. A test for relatif economic efficisncy: Some Further Results. The American Economic Review 63(1): 214 - 223.
- 22 -
LAMPIRAN
Tabel 1. Jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan, 1993 dan 2003. Tahun 1993 Pulau Jawa Luar Pulau Jawa Indonesia
Tahun 2003
Perubahan (%)
11 564
13 262
14.7
8 954
10 789
20.5
20 518
24 051
17.2
Sumber: Sensus Pertanian 1993 dan 2003
Tabel 2. Jumlah rumah tangga petani padi, jagung, kedele, dan tebu di Indonesia, 2009. Padi
Jagung
Kedelai
Tebu
Total*)
Mix_index**)
Sumatera
20.1
9.3
3.9
7.3
18.6
111.8
Jawa
59.4
65.4
78.5
91.4
58.6
137.8
Bali & NT
6.4
11.5
11.4
0.1
7.7
135.6
Kalimantan
7.3
2.0
0.8
0.5
6.3
110.2
Sulawesi
6.3
9.3
3.2
0.6
7.6
118.8
Maluku & Papua
0.5
2.5
2.2
0.1
1.3
117.4
100.0
100.0
100.0
100.0
100.0
129.4
14 992 137
6 714 695
1 164 477
195 459
17 830 832
Indonesia
Sumber: Diolah dari data BPS "Pendataan Usahatani 2009 (PUT09)" *) Total 100 karena sebagian petani mengusahakan lebih dari satu jenis komoditas **) M ix_index= jum la h petani m enu ru t kom oditas 1 00 jum lah p etan i
Tabel 3. Sebaran rumah tangga petani menurut kelompok penguasaan lahan, 2009. Kelompok penguasaan lahan <0.1
Wilayah Sumatera
Jawa
Bali & NT
Kalimantan
Sulawesi
Maluku & Papua
Indonesia
3.16
9.33
4.30
1.54
3.16
20.96
6.99
0.1-0.49
30.56
59.28
38.16
19.21
21.72
31.18
46.59
0.50-0.99
25.55
21.26
27.04
19.57
23.36
13.68
22.46
1.00-1.99
25.53
7.90
21.15
26.33
30.90
21.51
15.27
2.00-2.99
9.39
1.40
5.89
15.60
12.26
8.26
5.04
>=3.00
5.81
0.82
3.46
17.75
8.59
4.41
3.65
Total
100
100
100
100
100
100
100
< 0.1
3.16
9.33
4.30
1.54
3.16
20.96
6.99
< 0.5
33.73
68.61
42.46
20.75
24.88
52.14
53.58
< 1.0
59.27
89.87
69.50
40.32
48.25
65.82
76.04
< 2.0
84.80
97.77
90.65
66.65
79.14
87.34
91.31
< 3.0
94.19
99.18
96.54
82.25
91.41
95.59
96.35
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Kumulatif
All
Sumber: diolah dari data BPS "PENDATAAN USAHATANI 2009 (PUT09)".
- 23 -
Tabel 4. Distribusi rumah tangga petani padi menurut varietas ben ih yang ditanam, 2009-10-08 Hibrida ( % baris )
Varietas Unggul
( % kolom )
( % baris )
Varietas Lokal
( % kolom )
( % baris )
Total
( % kolom )
Sumatera
4.77
33.40
56.27
15.51
38.96
32.54
100
Jawa
2.65
54.84
86.66
70.49
10.69
26.33
100
Bali dan NT
1.58
3.53
69.54
6.14
28.89
7.73
100
Kalimantan
0.59
1.50
19.47
1.94
79.94
24.17
100
Sulawesi
2.79
6.09
65.70
5.65
31.52
8.21
100
Maluku dan Papua
4.04
0.64
42.01
0.26
53.95
1.02
100
Indonesia
2.87
100
73.02
100
24.10
100
100
Sumber: diolah dari data BPS "PENDATAAN USAHATANI 2009 (PUT09)". *) Jumlah N (rumah tangga petani padi) Indonesia 14 992 137
Tabel 5. Tingkat partisipasi petani dalam penggunaan pupuk Tidak menggunakan Pupuk
( persen )
Menggunakan pupuk
Total
Jenis pupuk yang digunakan Anorganik saja
Organik saja
Anorganik + Organik
Sub total
12.8
72.0
1.1
14.1
87.2
(%) 100
0.1
67.0
0.1
32.8
99.9
100
Bali dan NT
20.0
71.6
1.1
7.2
80.0
100
Kalimantan
46.0
46.3
2.8
4.9
54.0
100
Sulawesi
11.1
83.8
0.5
4.6
88.9
100
Maluku dan Papua
46.0
44.8
5.0
4.1
54.0
100
8.2
67.7
0.6
23.5
91.8
Sumatera Jawa
Indonesia
100
*)
Sumber: diolah dari data BPS "PENDATAAN USAHATANI 2009 (PUT09)". *) Jumlah N (rumah tangga petani padi) Indonesia 14 992 137
Tabel 6. Sebaran petani padi menurut sumber utama pembiayaan usahatani ( persen ) Modal sendiri
Modal utama berasal dari pinjaman dirinci menurut sumber utama pemberi pinjaman Perorangan
Koperasi
Bank
lainnya
Total N
(%)
Sumatera
91.72
6.71
0.61
0.13
0.83
3 018 172
(100)
Jawa
95.45
3.23
0.37
0.51
0.43
8 904 913
(100)
Bali dan NT
93.24
5.04
0.74
0.19
0.79
966 398
(100)
Kalimantan
97.90
1.35
0.13
0.06
0.56
1 092 682
(100)
Sulawesi Maluku dan Papua Indonesia
89.63
9.14
0.27
0.13
0.83
941 837
(100)
90.75
0.65
0.81
1.69
6.10
68 135
(100)
94.35
4.27
0.42
0.36
0.59
14 992 137
(100)
Sumber: diolah dari data BPS "PENDATAAN USAHATANI 2009 (PUT09)".
- 24 -
Tabel 7. Perkembangan Tingkat Gaji dan Upah sektoral per pekerja, 1980 – 2000. 1980 (Rp.000/ orang) 56.5 623.6 122.0 763.4 303.6 235.1 862.7 613.6 101.2 776.8 343.3 2 250.7 969.8 216.4
Pertanian Kehutanan Perikanan Pertambangan Agroindustri1(27_34) Industri lainnya Listrik, gas, air minum Bangunan Perdagangan Restoran dan hotel Pengangkutan dan komunikasi Lembaga keuangan Pemerintahan dan pertahanan Jasa-jasa Kegiatan lain Total 175.5 Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Indeks 0.32 3.55 0.69 4.35 1.73 1.34 4.91 3.50 0.58 4.43 1.96 12.82 5.52 1.23 1.00
1990 (Rp.000/ orang) 174.7 717.7 483.5 2 592.8 671.3 1 094.8 2 192.7 1 708.7 347.0 2 227.7 876.4 5 246.6 3 275.9 692.7 94.3 652.9
Indeks 1.00 4.09 2.75 14.77 3.82 6.24 12.49 9.73 1.98 12.69 4.99 29.89 18.66 3.95 0.54 3.72
2000 (Rp.000/ Indeks orang) 1 143.5 6.51 4 893.4 27.88 4 346.9 24.76 30 983.6 176.51 9 127.7 52.00 9 378.9 53.43 10 100.8 57.54 8 876.5 50.57 3 075.1 17.52 6 203.2 35.34 3 465.0 19.74 14 745.9 84.01 10 733.5 61.15 5 440.5 30.99 867.4 4.94 4 374.0 24.92
Tabel 8. Rata-rata Luas Penguasaan Lahan Usahatani Pada Berbagai Tipe Agroekosistem di Indonesia, 1995 dan 2007 Average size (ha) 1995 2007
Wilayah dan agroekosistem Pulau Jawa, agroekosistem sawah
0.493
0.360
Pulau Jawa, agroekosistem lahan kering berbasis tanaman pangan/hortikultura
0.397
0.298
Luar Pulau Jawa, agroekosistem sawah
1.491
1.347
Luar Pulau Jawa, agroekosistem lahan kering berbasis tanaman pangan/hortikultura Luar Pulau Jawa, agroekosistem lahan kering berbasis komoditas perkebunan
0.987
0.985
1.283
1.202
Sumber: diolah dari data Panel (PATANAS 1995 dan Survey Tahun 2008).
- 25 -
Tabel 9. Distribusi Rumahtangga Petani menurut Kelompok Pemilikan Lahan, 2007. Kelompok pemilikan Tunakisma
Jumlah rumah tangga petani ( persen) Pulau Jawa Luar Pulau Jawa
Total
12.40
7.05
8.84
0-0.25
40.50
20.75
27.35
0.25-0.50
16.53
16.60
16.57
0.50-1.00
14.05
9.13
5.25
1.00-2.00
7.44
10.37
4.14
1.00-1.25
1.65
9.96
1.93
1.25-1.50
3.31
6.22
10.77
1.50-1.75 3.31 4.56 9.39 1.75-2.00 0.83 2.49 7.18 >2.00 12.86 12.86 Sumber: diolah dari data survey dalam kerjasama penelitian PSEKP – IFPRI – JBIC 2009.
Tabel 10. Jumlah petani (persen) menurut persepsinya terhadap usahatani yang dijalankannya, 2008. Petani (Kepala Keluarga) menyukai pekerjaan di usahatani Berkeinginan usahataninya diterukan keturunannya Lebih suka keturunannya bekerja di non pertanian saja Jika cukup modal, akan mengembangkan usahataninya Merupakan katup pengaman ekonomi keluarga dan subsistensi Merupakan warisan/wasiat Tidak ada pilihan lain
Tidak Ragu-ragu Ya 3.3 48.8 47.9 13.4 64.0 22.6 7.0 69.0 24.0 8.9 54.0 37.1 4.8 50.6 44.7 22.8 45.4 31.8 7.5 55.3 37.2
Sumber: Diolah dari hasil survey ( N = 360 ) dalam penelitian "Konsorsium Penelitian Karakteristik Petani Kecil Pada Berbagai Tipe Agroekosistem", PSEKP 2008.
- 26 -