BAB I Eksistensi Rentenir dalam Pasar Tradisional
A. Latar Belakang Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban sehingga masyarakat dapat menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintah pada hakikatnya adalah pelayan masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk memberi pelayanan kepada masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat untuk dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama1 Pasca ambruknya ekonomi negara hingga sekarang ini, Indonesia telah masuk ke dalam pusaran tahun-tahun badai dalam sistem ekonom makro dan mikro. Ketidakstabilan nilai tukar rupiah, tingginya inflasi, bisa berdampak kepada melonjaknya suku bunga kredit perbankan. Problematika ini sangat mempengaruhi aktivitas lembaga keuangan formal, terutama perbankan. Hampir rata-rata aset keuangan makro Indonesia mengalami kemunduran dan juga kebangkrutan, akan tetapi akibat krisis ekonomi ini juga telah sedikit banyak mengembangkan usaha-usaha kecil (mikro).
1
Riant Nugroho D., 2000. Otonomi Daerah-Desentralisasi Tanpa Revolusi Jakarta.PT Elex Media Komputindo hlm. 34.
1
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia ini, telah membangun eksistensi kekuatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam menopang perekonomian Indonesia. Banyak usaha-usaha kecil yang tumbuh, dengan modal yang juga tidak terlalu besar membuat usaha mikro ini menjadi salah satu cara dari masyarakat untuk menyambung kehidupan ekonominya. Kemunculan para pengusaha kecil ini tentulah memerlukan sebuah modal yang bisa menopang dan juga memulai usahanya, dari sini peran-peran lembaga keuangan macam perbankan menjadi penting untuk menyalurkan kreditnya bagi para pengusaha. Lembaga pemberi kredit seperti ini jelas diperlukan oleh kalangan pengusaha kecil. Mereka disodorkan beberapa macam pilihan untuk mendapatkan kredit, perbankan contohnya. Namun serentetan persyaratan administrasi yang diberlakukan lembaga tersebut meruntuhkan niat sebagian golongan mereka, terutama kalangan usaha mikro. Terkadang sejumlah ketentuan yang mengingat dan juga disertai bukti-bukti dari penjaminan yang kadangakala tidak dimiliki para pengusaha pemula ini menciutkan keinginan para pengusaha mikro untuk meminta kredit dari perbankan. Persyaratan-persyaratan yang berasal dari lembaga keuangan formal ini jelas dan tersusun dalam peraturan dari pemerintah sendiri, ditambah lagi dampak krisis yang masih terasa membuat pemberian kredit usaha mikro menjadi sangat sulit, perbankan pun menjadi lebih selektif dalam memberikan kreditnya. Hal ini berbeda dengan lembaga keuangan informal yaitu rentenir, disaat lembaga keuangan formal disulitkan dengan seleksi pemberian kreditnya, lembaga ini bisa
2
memberi solusi dengan tunjangan kreditnya yang mudah meskipun dengan bunga yang jauh lebih tinggi dibanding perbankan.. Sasaran lembaga keuangan nonformal ini biasanya adalah masyarakat golongan kelas menengah sampai ke bawah, sebuah golongan masyarakat yang sering kali membutuhkan dana-dana cepat untuk bisa mempertahankan ekonominya. Bak sebuah lembaga kredit, lembaga kredit ini justru berani memberi kredit dengan bunga besar yang biasanya diatas 6%, tapi kenapa lembaga ini terus dicari oleh masyarakat, karena kesediaannya yang memberikan kemudahan dengan syarat-syarat yang juga terbilang mudah, cukup 5-10 menit biasanya uang pun langsung bisa cair. Prosedur yang cepat dan mudah membuat lembaga ini makin bertahan sebagai lembaga kredit di masyarakat. Dalam sejarahnya, kehadiran lembaga keuangan informal (rentenir) memang sudah tumbuh menjamur berdampingan dengan lembaga keuangan formal. Tidak ada secara jelasnya kapan pertama kalinya rentenir ini mulai tumbuh di Indonesia. Namun perkembangan lembaga ini jelas terlihat dan biasanya subur dan menyatu dengan perekonomian masyarakat kelas bawah terutama wilayah pedesaan. Faktanya masyarakat kecil (pedagang golongan bawah dengan modal yang relatif kecil) sebagai sasaran utama rentenir sering tidak menghiraukan bunga tinggi yang ditawarkan. Mereka hanya memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan dengan adanya penambahan modal usaha. Modal yang dipaksakan dengan meminjam kepada rentenir memberi dampak negatif kepada masyarakat. Semua itu disebabkan oleh besarnya bunga
3
yang diberikan. Modal yang diharapkan bisa meningkatkan pendapatan secara teoritis tidak terwujud karna adanya pengeluaran lain yang harus dibayarkan sampai-sampai mengorbankan konsumsi hanya untuk sekedar membayar kredit berikut bunganya. Bukankah ini sebuah paradox? Pada kenyataannya hal ini merupakan suatu paradoks, sebab kredit yang ditawarkan oleh pemerintah dengan tingkat bunga rendah tidak mampu mengeliminasi kredit dengan bunga tinggi seperti yang disediakan oleh para rentenir. Ada dua argumen utama yang mendasari terjadinya realitas itu. Pertama, lembaga-lembaga finansial informal lebih atraktif dalam berpraktek mencari nasabah dari pada lembaga-lembaga formal. Rentenir lebih fleksibel dalam menjalankan prakteknya bahkan mengembangkan hubungan personal dengan para nasabah, sementara bank-bank resmi lebih bersifat “rasional” di mata para nasabah di pedesaan. Fleksibilitas merupakan hal penting dalam menjaga hubungan rentenir-nasabah misalnya, adanya upaya rentenir untuk memahami kondisi ekonomi nasabah sehingga tidak jarang memberikan kesempatan menunda pembayaran kredit. Kedua, rentenir dapat mengatasi “problem kepercayaan” yang dihadapi oleh warga masyarakat yang tidak familier dengan prosedur sistem legal. Atas dasar itu transaksi kredit dilakukan oleh kedua belah pihak atas dasar kepercayaan. Sistem kepercayaan seperti itu merupakan bagian dari budaya transaksi uang dalam masyarakat pedesaan.2 Ekonomi pasar yang berkembang dengan cepat di negara-negara sedang berkembang merupakan suatu konsekuensi logis dari ekspansi kapitalisme global 2
http://pustaka.net/determinan.dari.kredit.rentenir.pedagang.mikro.studi.kasus.pada.pedagang.mikr o.di.pasar.tradisional.gunungkidul.yogyakarta.html
4
yang sumbernya berakar di negara-negara kapitalis tahap lanjut. Fenomena ini dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan ”kebudayaan ekonomi” dari Berger, yaitu dengan mengaitkan logika konsep kapitalisme dan ekspansi pasar yang memiliki ”intrinsic lingkage”.3 Ekonomi pasar adalah sebuah sistem ekonomi dimana produksi barang-barang dan alokasi sumber-sumber daya ditentukan terutama oleh keputusan-keputusan yang dibuat dalam iklim kompetitif oleh pelaku-pelaku ekonomi daripada ditentunkan oleh negara.4 Dalam penjabaran ini berarti pasar merupakan satu arena utama yang menopang berjalannya ekonomi di suatu negara atau wilayah. Peran kecil pemerintah yang hanya menjadi penyedia jasa dalam mengupayakan dan membangun pasar yang baik telah membawa rintisan-rintisan baru bagi para aktor yang bekerja dalam sebuah pasar. Inilah kiranya yang menjadi cikal bakal berdirinya sebuah lembaga ekonomi peminjaman modal yang selanjutnya bisa terbilang sebagai rentenir atau lembaga perbankan. Dalam sebuah ruang lingkup yang global, lembaga yang hidup dari berkembangnya ekonomi pasar ini adalah debitur-debitur lembaga keuangan formal yang mendunia seperti ADB (asian development bank), IMF dsb. Namun bukan konteks pasar global ini yang akan diliat juga dibicarakan lebih jauh, karena jauh diluar setting-setting dunia ini dalam sebuah wilayah yang kecil biasanya terdapat pula sebuah arena kecil yang menjadi pusat peredaran uang dimana para penyedia barang atau jasa bisa saling bertemu langsung dengan
3
Heru Nugroho, 2001. Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Jakarta: Pustaka Pelajar, halaman 1. 4 Heru Nugroho, 2001. op cit. hal 3.
5
pembeli dan melakukan transaksi jual-beli disana, inilah yang disebut sebagai pasar tradisional. Pasar tradisional dalam sebuah arena juga merupakan sebuah tempat perputaran uang yang baik mekipun dalam jumlah yang kecil dan terbatas. Arena disinipun bukan berarti hanya para penjual jasa/barang dengan pembeli saja, tapi juga sudah melahirkan sebuah fenomena sosial baru yaitu kemunculam sebuah lembaga keuangan pemberi pinjaman/kredit non formal dalam skala kecil yang biasa disebut rentenir. Dalam pandangan klasik, pasar tidak hanya menunjuk pada suatu tempat dimana penjual dan pembeli bertemu, tetapi juga menunjuk pada terjadinya kesepakatan harga dalam rangka pertukaran barang atau pelayanan. Pasar adalah mekanisme sosial dalam mana sumber-sumber daya ekonomi dialokasikan dan pasar dengan demikian merupakan konstruksi sosial. Sumber-sumber daya yang ada di pasar dapat meliputi barang-barang dan jasa-jasa. Pasar dilembagakan oleh pertukaran dan perdagangan, sehingga tidak ada pasar tanpa perdagangan dan tidak ada perdagangan tanpa pasar. Dari kacamata sosiologi, pasar merupakan institusi sosial yang diatur dengan norma-norma dan sangsi-sangsi dan dibentuk melalui interaksi sosial. Pedagang dan rentenir memiliki posisi penting dalam interaksi pasar tersebut. Aktivitas mereka dapat memperkuat ekspansi pasar atau sebaliknya ekspansi pasar dapat menggairahkan perdagangan. Oleh karena itu, terjadi saling pengaruh mempengaruhi antara kedua belah pihak tersebut.5
5
http://pustaka.net/determinan.dari.kredit.rentenir.pedagang.mikro.studi.kasus.pada.pedagang.mikr o.di.pasar.tradisional.gunungkidul.yogyakarta.html
6
Pasar disini (terutaman pasar tradisional) dianggap sebagai sebuah tempat yang sangat tepat untuk melihat jerat indah praktik-praktik rentenir dilaksanakan. Banyaknya pedagang dengan modal kecil yang sering kali membutuhkan danadana cepat untuk membantu keberlangsungan dagangannya dinilai menjadi lahan empuk bagi para pengelola kredit nonformal (rentenir). Para rentenir ini juga biasanya tidak segan untuk turun langsung ke lapa-lapak pedagang disebuah pasar untuk menawarkan jasanya yang menjadi kemudahan tersendiri dari para pedagang yang membutuhkannya. Para pengelola lembaga keuangan nonformal atau rentenir seperti ini bukanlah sebuah bisnis modal perseorangan semata yang menjadikannya sebuah pekerjaan menjadi seorang rentenir, tetapi bisa saja seorang rentenir tersebut memiliki latar belakang dari sebuah agen atau karyawan bank perkreditan swasta juga koperasi yang turun langsung ke pasar-pasar tradisional untuk memberikan jasanya. Dampak positif dari rentenir tersebut tidak dapat dipungkiri dalam jangka pendek bisa meningkatkan konsumsi pedagang dan membantu pengadaan modal namun selanjutnya biasanya rentenir malah menjadi penjerat uang tersendiri bagi nasabahnya karena pinjaman bunganya yang sangat tinggi. Dari fakta yang penulis temui di lapangan dan fenomena di berbagai daerah, masyarakat kalangan menengah ke bawah masih menjadikan rentenir sebagai solusi utama meningkatkan pendapatan usaha mereka tanpa mempertimbangkan bunga yang tinggi. Kadangkala para rentenir memiliki sebuah kuasa khusus untuk bisa mempengaruhi perilaku kehidupan ekonomi pengguna jasanya tersebut melalui
7
jerat prasyarat tunjangan pinjaman kreditnya, untuk itu maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dalam mengkaji permasalahan tersebut. Pemilihan lokasi daripada penelitian ini adalah didaerah Wates, tepatnya Pasar Tradisional Wates. Secara umum daerah Kota Wates merupakan salah satu daerah sibuk di Yogyakarta karena menjadi lokasi salah satu ibukota kabupaten di wilayah propinsi DIY. Wilayah yang sebelumnya senggang menjadi ramai dan membangun sektor-sektor ekonomi yang ada disana. Letak geografis daerah ini yang menjadi pembatas langsung antara DIY dengan Propinsi Jawa Tengah juga dinilai sebagai faktor yang membangun ekonomi dikawasan ini, para pedagang kecil yang berasal dari Kulon Progo atau sekitarnya datang ke pasar tradisional wates ini untuk mendistribusikan barang produksi dalam kota ke daerah-daerah yang ada di wilayah kabupaten Kulon Progo. Ini membuat pasar tradisional Wates menjadi arena peredaran uang dengan jumlah yang lumayan besar dan membuat pasar ini menjadi pasar induk tradisional yang ramai di Yogyakarta. Alasan mengapa penelitian ini mengambil sample lokasi di wilayah tersebut pertama adalah merujuk pada keterangan sebelumnya, pasar tersebut merupakan salah satu pasar induk tradisional terbesar diDIY sehingga diharapkan terdapat banyak problematika yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini. Kedua, peneliti memiliki kedekatan dengan sejumlah pelaku bisnis (pedagang dan masyarakat) yang ada disana, sehingga diharapkan dapat membantu dan memberi kemudahan peneliti selama proses pengambilan data.
8
B. Rumusan Masalah Pemberian kredit tidak selamanya memberikan kontribusi yang positif terhadap peminjamnya tetapi juga mempunyai pengaruh negatif. Rentenir sebagai lembaga keuangan informal dengan bunga yang tinggi masih tetap bertahan sebagai sebuah fenomena yang unik dalam dunia ekonomi lokal negeri ini. Jerat tangan rentenir dengan kuasa ekonominya mampu untuk terus bertahan dan tetap dipilih oleh sebagian pedagang, bahkan dianggap sebagai penyelamat akan keberlangsungan kehidupan ekonominya, padahal masyarakat umum telah menganggap profesi ini layaknya sebuah lintah darat yang menggerogoti ekonomi pedagang kecil, lalu mengapa para rentenir bisa tetap eksis padahal mengalami stigma buruk di masyarakat, seperti apa sebetulnya pola hubungan yang terjadi antara rentenir dengan para pedagang pasar ini. Berdasarkan permasalahan tersebut penulis merumuskan sebuah pertanyaan besar yaitu :
Bagaimana pola relasi yang tercipta antara rentenir dengan para pedagang di Pasar tradisional Wates?
Dan untuk bisa mengungkap sebuah jawaban dari pertanyaan besar diatas, maka penulis juga menyusun beberapa pertanyaan kecil untuk kemudian menjadi tahapan dari jawaban atas pertanyaan besar diatas.
9
Bagaimana awal kemunculan dan praktek kerja rentenir di pasar tradisional wates?
Seperti apa ikatan antara rentenir dan pedagang dengan melihatnya dari pola hubungan patron-klien?
C. Tujuan Penelitian Dengan rumusan penelitian diatas maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan: 1. Untuk mengetahui profil latar belakang perseorangan dari beberapa rentenir yang terdapat didalam pasar tradisional Wates. 2. Mengetahui relasi yang terjadi antara seorang rentenir dengan pengguna jasanya, sehingga kemudian dapat terlihat sejauh apa relasi tersebut dapat membangun eksistensi dari keberadaan rentenir di pasar wates
D. Landasan Teori D. 1. Lembaga Keuangan Pengertian lembaga keuangan adalah sebuah badan usaha yang dibuat untuk
dapat
membantu
menjalankan
dan
menggerakkan
perekonomian
masyarakat, dari sejumlah penjelasan terdapat dua jenis lembaga keuangan yaitu lembaga keuangan formal dan juga informal. Fungsi lembaga keuangan adalah menyediakan jasa sebagai perantara antara pemilik modal dan pasar utang yang bertanggung jawab dalam penyaluran dana dari investor kepada perusahaan yang membutuhkan dana tersebut.
10
Kehadiran lembaga keuangan ini memfasilitasi arus peredaran uang dalam perekonomian, dimana uang dari investor dikumpulkan dalam bentuk tabungan sehingga resiko dari para investor ini beralih pada lembaga keuangan yang kemudian menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pinjaman utang kepada yang membutuhkan. Penyediaan jasa sebagai penyalur dana merupakan tujuan utama dari lembaga penyimpan dana untuk menghasilkan pendapatan, bentuk pinjaman hutang nantinya memiliki sejumlah bunga yang nantinya menjadi profit murni lembaga keuangan tersebut, dan berikut adalah jenis lembaga keuangan.
D. 2. Pola Relasi Rentenir dengan Nasabah Rentenir diibaratkan adalah sesosok kebutuhan yang memang dicari oleh masyarakat sebagai pilihan terakhir guna membantu menghidupkan jalannya ekonomi masyarakat dengan cara peminjaman modal usaha dan disatu sisi diibaratkan sebagai lintah darat yang juga merugikan masyarakat sebagai pengguna jasanya. Dengan demikian profesi rentenir sendiri antara dicaci tapi juga tidak mungkin untuk dimatikan, hal ini setidaknya memberi sebuah kekuatan tersendiri bagi bisnis rentenir untuk bisa hidup berdampingan didalam masyarakat. Sekilas tentang teori ini, kata patron berasal dari bahasa latin pater yang berarti bapak, lalu berubah menjadi patronis yang berarti bangsawan atau pelindung sejumlah rakyat jelata yang menjadi pengikutnya. Sebaliknya klien atau client berasal dari kata cliens yang berarti pengikut. Mereka ini adalah orang-
11
orang yang merdeka/bekas budak, dan mereka ini menggantungkan diri pada patron.6 Scott menuliskan, hubungan patron-klien adalah sebuah pertukaran hubungan antara dua peran, dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan diadik (dua orang) yang terutama melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk menyediakan perlindungan dan/atau keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Pada gilirannya, klien membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron.7 Menurut Scott & Jarry patron-klien adalah sejenis pola relasi dimana seseorang yang menjadi patronnya memiliki wewenang khusus dalam membantu daripada kliennya, melihat artian ini maka jika dihubungkan dengan bisnis rentenir dikalangan masyarakat dan juga pasar, rentenir adalah sebuah patron yang sangat dibutuhkan bagi para calon pengguna jasanya untuk membantu keberlangsungan ekonomi. Rentenir menjadi pelaku yang siap membantu para peminjam modal tersebut dan menjadikan sang peminjam modal ini sebagai kliennya. Perlu diingat, ada sebuah elemen utama dari relasi patron-klien yang dutarakan oleh Scott, yaitu adanya elemen pertukaran atau “excange”, dan didalam kasus rentenir ini, ada sebuah pertukaran yang diberikan oleh rentenir yaitu penyediaan jasa kredit ekonomi dengan profit-profit keuntungan sebagai sebuah excange yang diberikan atau diperoleh dari nasabahnya. 6 7
Nurul Aini & Ng. Philipus.2006. Sosiologi dan Politik. Jakrta: PT. Raja Grafindo, halaman.41. James Scott.1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, halaman.7.
12
Dengan elemen “excange” ini, rentenir bertindak sebagai patron yang memiliki kemampuan akan sumber daya ekonomi memberikan akses kepada para pedagang yang ingin menjadi nasabahnya dengan membuka pundi-pundi hutang kepada nasabah tersebut melalui sebuah proses pertukaran yang menguntungkan. Menguntungkan karena nasabahnya memperoleh kebaikan dari hutang yang diberikan rentenir untuk memastikan aktivitas kehidupan ekonominya dapat berjalan lancar, dan menguntungkan pula bagi rentenir dengan asumsi pengembalian atau pertukaran yang diberikan oleh nasabah dapat menjadi profit keuntungan tentunya secara ekonomi dan dapat pula secara sosial. Dari sinilah proses patron-klien terjadi, namun banyak yang tidak mengetahui bahwa ada salah satu sisi negatif dari berlangsungnya proses patronklien ini, rentenir yang diibaratkan sebelumnya sebagai patron secara tidak tertulis juga memiliki kuasa untuk mengatur peminjam modalnya. Diantaranya kuasa rentenir bisa seperti memutuskan secara sepihak besaran bunga dari pinjaman pokok yang diminta oleh debiturnya. Model-model pembayarannya pun menjadi hak eksklusif rentenir itu sendiri dalam mengatur pelunasan pinjaman tersebut. Melihat dari kewenangan-kewenangan sepihak yang dimiliki rentenir di pola relasi patron-klien seperti ini maka tentunya secara tidak langsung rentenir memiliki kekuatan politik yang berpengaruh dalam kehidupan ekonomi masyarakat dan pasar. Namun diluar daripada pengaruh relasi patron-klien diatas, Dr. Heru Nugroho dalam sebuah penelitiannya menyimpulkan bagaimana relasi yang dibangun oleh seorang rentenir dengan nasabahnya dan bahkan dengan warga
13
masyarakat sekitar. Dengan mengambil penelitian di wilayah pasar Bantul, Heru Nugroho mendapatkan fakta adanya keberadaan rentenir di pasar Bantul yang ternyata adalah orang-orang yang telah menjadi masyarakat bantul itu sendiri, dan relasi yang ditimbulkan juga sangat baik antara rentenir lokal dengan para pedagang disana. Memang rentenir dimata orang awam dilihat sebagai profesi yang sifatnya negatif, pemeras uang rakyat. Namun pada dasarnya mengapa praktek rentenir ini bisa terus hidup dalam sistem ekonomi masyarakat Indonesia karena ada pola-pola perilaku rentenir yang bisa membantu pembangunan ekonomi masyarakat dan juga para pekerja rentenir ini tidak semata-mata memaksimalkan profitnya saja tetapi tetap melihat kultur sosio-budaya dari masyarakat tersebut. Pada dasarnya para rentenir ini sangat mengejar keuntungan ekonomi tetapi disertai dengan pertimbangan moral. Lain di Bantul lain pula di Pasar Tradisional Wates. Relasi studi penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Heru Nugroho adalah untuk melihat sebuah kasus yang berbeda yang terjadi di wilayah pasar Wates, tidak serta merta untuk mencoba meneruskan penelitian yang dilakukan oleh Heru Nugroho, namun penelitian ini juga ingin coba mengorek lebih dalam tentang pola relasi yang berbeda yang ada disekitaran lingkungan pasar wates. Dengan melihat pola relasi antara rentenir dengan para pedagang melalui kacamata patron-klien, dan juga dengan sebuah fakta akan perbedaan aktor rentenir yang menjalankan profesi ini di pasar Wates, maka tentunya pola hubungan seperti patron-klien akan memberikan pemaparan yang lebih mendalam untuk menyingkap sumber-sumber ekonomi dan juga pola kuasa yang timbul dari penelitian ini.
14
Heru Nugroho, dalam bukunya mengungkapkan: Ciri yang paling menonjol atas aktivitas rentenir adalah “embedded economy” yang dialaminya melalui cara integrasi struktural aktivitasnya ke dalam hubungan-hubungan sosial antara rentenir dengan nasabah. Hubungan mereka tidak hanya memiliki aspek bisnis tetapi juga bernuansa kekeluargaan, ketetanggaan, kekerabatan, dan bahkan hubungan keagamaan.8 Dijelaskan pula, ciri lain dari ekonomi rentenir yang mengakar dalam hubungan-hubungan sosial adalah perhatiannya terhadap hubungan personal antara rentenir dan nasabah. Nasabah yang sangat dikenalnya oleh rentenir mungkin dibebaskan dari kewajiban menyerahkan agunan sebelum memperoleh kredit. Pertimbangan tentang kepercayaan bersama antara rentenir dan nasabah merupakan prekondisi bagi setiap transaksi pinjam-meminjam uang.9 Dari sini maka dapat diasumsikan bahwa pola relasi yang terbentuk antara relasi dengan nasabahnya bersifat unik, ketergantungan ekonomi membawa para pedagang pasar untuk menyambangi rentenir, dan lambat laun dapat berubah menjadi ketergantungan sosial, lalu dari sebuah ketergantungan sosial ini nantinya akan muncul sebuah relasi kekuasaan. Dari banyak keterangan yang didapat melalui penelitian Heru Nugroho, perlu juga digaris-bawahi bahwa dalam kasus ini, pola patron-klien antara rentenir dengan nasabahnya memiliki karakterisktik yang sifatnya personal. Hubungan diantara keduanya mampu dipengaruhi oleh kedekatan-kedekatan emosional yang timbul atas hubungan sosial diantara mereka, bagaimana rentenir memiliki
8
Heru Nugroho, 2001. Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Jakarta: Pustaka Pelajar, halaman 242. 9 Heru Nugroho, 2001. Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Jakarta: Pustaka Pelajar, halaman 243.
15
hubungan yang berbeda dengan para nasabahnya satu sama lainnya menjadi sebuah poin tambahan bagaimana bisnis rentenir dapat diterima oleh masayarakat. Karakter relasi patron-klien yang bersifat personal bisa nampak dari hubungan bisnis antara rentenir dengan pedagang. Dengan memanfaatkan jalan dari kemudahan bertransaksi secara informal, bisnis peminjaman ala rentenir ini dapat bersifat terbuka, baik rentenir maupun nasabahnya mampu membawa hubungan bisnis hutang mereka kearah hubungan sosial layaknya patron-klien, dengan rentenir tentunya memili pengaruh kuasa terhadap nasabahnya. Sebagaimana yang diketahui sumber kekuasaan bisa terdapat dari banyak macam, seperti kekuasaan yang berasal dari kekerasan, lalu yang berasal dari sebuah kedudukan (yang biasanya sangat erat hubungannya dengan kekuatan berpolitik), serta yang lain lagi adalah kekuasaan yang terdapat pada kekayaan. Kepemilikan akan sumber-sumber kekuasaan seperti ini memberikan advantage bagi para pemilik sumber kekuasaan untuk membuat pengaruh pada lingkungan sekitarnya. Mudahnya adalah seseorang yang mempunyai kekuasaan dapat juga memiliki pengaruh diluar bidang kekuasaannya. Ini seperti sebuah pandangan tentang konsep ilmu politik sebagai sebuah kegiatan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Konsep kekuasaan dalam hubungan masyarakat memberikan makna politik yang lebih luas. Ilmu politik dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan, dan penggunaan kekuasaan dimanapun kekuasaan itu ditemukan.10Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk
10
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. PT. Grasindo Jakarta 1992. Halaman 5
16
berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Kekuasaan dilihat sebagai interaksi antara pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi, atau yang satu mempengaruhi dan yang lain mematuhi.11 Rentenir sebagai salah satu bagian dari dinamika masyarakat (lingkungan pasar) dapat diibaratkan sebagai subjek yang memiliki sumber kekuasaan dari kekayaan. Bagaimana mereka dapat menjalankan bisnis perkreditan dari sumber kekayaan yang mereka miliki, ditopang pula dari keberanian watak yang tegas dan keras tidak sedikit rentenir berhasil menjalankannya. Fokus dari teori akan kekuasaan disini melihat kekuasaan (kekayaan) yang dimiliki rentenir dapat pula membuatnya memiliki pengaruh dan kekuasaan lain diluar bidang kuasanya, yang utamanya terlihat pada lingkungan serta objek masyarakatnya. Nantinya dalam penelitian ini akan melihat kekuasaan melalui hubungan patron-klien antara rentenir dengan pedagang pasar, sehingga akan memudahkan untuk melihat sumber kuasa apa yang dimiliki rentenir agar dapat membangun dan mengontrol keeksistensian pekerjaannya. Ditambah dengan adanya informasi tentang keberadaan rentenir yang bukan dari kalangan masyarakat asli sekitar, maka akan dilihat bagaimana caranya rentenir membangun pengaruhnya agar nasabah mereka yang juga merupakan pedagang pasar dapat selalu patuh dan menghormati rentenir sebagai pemberi hutang mereka. Tentunya ada elemen sejarah yang memunculkan pola hubungan patron-klien secara personal diantara rentenir dengan nasabahnya.
11
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. PT. Grasindo Jakarta 1992. Halaman 6
17
E. Definisi Konseptual
Patron-Klien Patron dari bahasa spanyol yang secara estimologis berarti seseorang yang memiliki status kekuasaan (power), wewenang dan pengaruh, sedangkan klien adalah bawahan atau yang diperintah dan disuruh, atau dapat diartikan pula bahwa patron adalah dalam posisi untuk membatu kliennya. (Scott 1983 & Jarry 1991).
F. Metode Penelitian F. 1. Jenis Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
jenis
penelitian
kualitatif
dengan
menggunakan metode etnografi. Alasan penggunaan penelitian kualitatif ini dikarenakan keberadaan teori yang telah dipaparkan pada bagian landasan teori, dimana dalam meneliti sebuah pola hubungan sosial dalam dua kelompok atau jenis masyarakat memerlukan suatu upaya penelitian yang bersifat mendalam serta dapat memakan waktu yang lebih panjang. Penggunaan metode penelitian etnografi bertujuan untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena yang teramati didalam kehidupan sehari-hari. Etnografi berbeda dengan pendekatan kualitatif lainnya Metode etnografi memiliki ciri unik yang membedakannya dengan metode penelitian kualitatif lainnya, yakni: observatory participant—sebagai teknik pengumpulan data, lalu jangka waktu penelitian yang relatif lama, berada dalam setting tertentu, serta menggunakan tehnik wawancara yang mendalam dan tak terstruktur.
18
Dalam metode penelitian ini, wawancara secara mendalam dan tak terstruktur sebagai teknik pengumpulan data menjadi sangat penting dalam penelitian etnografi. Kedua jenis wawancara ini adalah metode yang selaras dengan perspektif interaksionisme simbolik, karena memungkinkan pihak yang diteliti untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya, tidak sekadar manjawab pertanyaan peneliti. Pada tahap ini, wawancara hendaknya dilakukan secara santai dan informal dengan tetap berpengang pada pedoman wawancara yang telah dibuat peneliti.hubungan baik antara peneliti dengan informaan merupakan kunci penting keberhasilan penelitian. Untuk mewujudkan hubungan baik ini diperlukan ketrampilan, kepekaan dan seni. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yang ingin melihat bagaimana pola relasi yang terjadi antara rentenir dengan para pedagang pasar (selaku pengguna jasanya) lewat kacamata patron-klien dalam dimensi kehidupan yang luas, maka metode ini menjadi relevan untuk melihat sebuah fenomena dari sebuah hubungan sosial yang ada, peneliti harus masuk kedalam pasar tradisional, mendapatkan seorang key-informan yang menjadi sangat penting dalam objek penelitian etnografi, melakukan observasi, wawancara mendalam serta mencatat bermacammacam pengaruh yang saling berhubungan dengan penelitian ini. Dengan melakukan riset etnografi dapat memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan informasi yang detail dan kaya, dan dengan riset ini pula maka berbagai bentuk perilaku dan juga jenis interaksi rentenir dengan para pengguna jasanya dapat dibaca dan diterjemahkan dengan lebih akurat.
19
Kekuatan utama dari metode penelitian etnografi adalah contextual understanding yang timbul dari hubungan antar aspek yang berbeda dari fenomena yang diamati. Namun yang masih dianggap sebagai kelemahannya ialah interpretasi peneliti dalam menggambarkan hasil pengamatan. Karena peneliti barada bersama dengan para informan, maka peneliti dituntut untuk reflektif dan mampu menjauhkan diri dari kekerdilan interpretasi, dan juga ketidaklengkapan observasi. Objek penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah Pasar Wates, pasar Wates dianggap sebagai tempat terbaik dimana fenomena rentenir pasar sudah menjadi buah bibir dalam cerita masyarakat sekitar, bahkan ada beberapa blog dan portal berita online yang memuat berita tentang fenomena rentenir dipasar ini.12 Selain itu menilik posisi pasar Wates sebagai pasar tradisional terbesar yang ada di wilayah Kulon Progo, dengan jumlah pedagang yang lebih dari 200 orang hingga perputaran uang yang besar setiap harinya menjadikan pasar ini sebagai lahan basah yang kondusif bagi berkembangnya profesi rentenir pasar.
F. 2. Unit Analisis Data Populasi dan Sample Populasi sendiri merupakan keseluruhan objek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini populasi penelitian adalah para rentenir yang bergerak membangun bisnisnya dalam pasar tradisional giwangan. Namun diluar itu para pedagang
12
Lihat : http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/04/29/113481perhatianrentenir-dilarang-masuk-pasar
20
sendiri yang memanfaatkan jasa dari rentenir juga adalah objek dari populasi data penelitian ini. Sedangkan sample sendiri merupakan representasi lebih kecil dari populasi. Pengambilan sample menggunakan asas keterwakilan sehingga pengambilan data dari sample yang ada benar-benar menunjukkan keadaan populasi yang ada,. Berdasarkan populasi diatas maka sample yang diambil adalah: 1. 1 orang rententir selaku key-informan yang sudah cukup lama dan telah banyak dikenal oleh warga didalam pasar tradisional Wates, serta 2 pelaku rentenir lainnya yang juga bekerja dan beroperasi dilingkungan pasar Wates. 2. Para pedangang yang menjadi pengguna jasa dari rentenir tersebut. 3. Masyarakat yang bekerja di pasar tradisional Wates, seperti tukang parkir, pegawai Bank pemerintah dan petugas (pegawai) pasar Wates.
F. 3. Teknik Pengumpulan Data 1. Sumber data. Sumber data dalam penelitian ini dibagi kedalam data primer dan data sekunder, Data primer adalah: a. Mengupas siapa dan apa latar belakang seorang rentenir. Dalam data primer ini data yang akan dicari adalah bagaimana seorang individu bisa menjalani sebuah pekerjaan menjadi tukang kredit / rentenir, latar belakang apa yang mendasari individu
21
tersebut untuk menjadi seorang rentenir (maksudnya ataukah hanya menjadi bagian dari karyawan BPR / Koperasi), data ini murni didapat dari wawancara dan study pustaka. b. Melihat pola prilaku bekerjanya rentenir dalam ruang pasar. Data yang diperlukan untuk memahami dan melihat ekspresi pola prilaku dan juga cara bekerjanya rentenir. Bagaimana cara seorang rentenir untuk menawarkan jasanya lalu melihat peluang yang mana
seorang
pedagang
yang
kira-kira
mampu
untuk
membutuhkan jasanya. Ada juga kemungkinan dimana para rentenir ini malah berupaya memaksa memberi pinjaman kepada para pedagang pasar. Semua bentuk perilaku dan tata cara bekerja ini dipahami sebagai bentuk pola relasi dari rentenir yang membangun kekuatan bisnisnya. c. Menelisik
bagaimana
terciptanya
relasi
sosial
akibat
ketergantungan ekonomi dari para pengguna jasanya dan masyarakat sekitar kepada rentenir. Data ini digunakan untuk memahami bagaimana proses patron klien terjadi dalam ruang lingkup pergerakan rentenir tersebut. Para pengguna jasa kredit dengan sang rentenirnya bisa menjadi pola relasi yang unik dan ada kalanya rentenir sebagai patron bisa mengembangkan kuasanya terhadap para pedagang yang menjadi debiturnya, juga adakah sesuatu kekuatan tertentu dari para pengguna jasanya kepada rentenir itu sendiri. Data ini merupakan
22
data yang didapat dari para pedagang juga pengguna jasa rentenir di pasar giwangan. Data sekunder sendiri meliputi data-data yang diperoleh dari warga setempat (tukang ojek / parkir), tentang jumlah rentenir, status sosial (tempat tinggal dan latar belakang pendidikan), studi pustaka, dan juga berbagai media.
2. Teknik Pengumpulan Data Peneliti dalam konteks ini sebenarnya sudah beberapa kali bersinggungan dan melihat secara jelas praktek-praktek rentenir didalam pasar tradisional. Disamping itu peneliti juga memiliki satu-dua relasi baik dengan pelaku rentenir maupun pengguna jasanya yang bisa menjadi nilai bantu tersendiri dalam meneliti dan memperoleh data yang diperlukan. Dalam pengumpulan data, ada beberapa teknik yang digunakan untuk dapat mengumpulkan berbagai data serta perilaku patron klien dari rentenir. Pertama, adalah melalui wawancara dengan objek penelitian sesuai dengan data primer. Secara khusus teknik wawancara yang dilakukan disini adalah wawancara terpusat, yaitu wawancara yang dilakukan terhadap objek penelitian yaitu rentenir dengan harapan dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan akivitas, lingkungan, serta daya tarik kominikasi rentenir terhadap para nasabahnya. Diluar wawancara terpusat, peneliti juga melakukan pendekatan dengan cara wawancara tidak terstruktur, dimana dari hasil wawancara ini dapat diperoleh banyak jawaban yang mengejutkan, dan diharap juga mampu menambah dan memperkaya data dari penelitian ini. Seluruh proses wawancara ini sudah terkonsep dalam sebuah
23
interview guide dan diperbantukan oleh alat rekam suara, namun pada prosesnya tetap saja ada rentenir (sebagai responden) yang merasa tidak nyaman dengan adanya wawancara terekam tersebut, sehingga adakalanya peneliti hanya dapat mengandalkan ingatan dan catatan-catatan kecil yang tidak banyak membuat kecurigaan dan ketidaknyamanan dari responden. Wawancara terpusat dilakukan dengan menggunakan narasumber yang bermain langsung sebagai aktor utama yaitu Ibu Rossa sebagai rentenir dipasar Wates. Wawancara ini menjadi penting dikarenakan ibu Rossa sebagai rentenir adalah objek yang dapat memberikan banyak data otentik guna mencapai tujuantujuan dari wawancara ini. Pada awalnya sangat sulit bagi peneliti untuk dapat melakukan wawancara terhadap rentenir yang ada di Pasar Wates, beragam penolakan bahkan usiran juga dialami peneliti dalam mencari objek wawancara yang tepat, namun kemudian dengan upaya pendekatan pada lingkungan masyarakat pasar. Peneliti mendapatkan bantuan dari salah satu pegawai Bank BRI yang turut memberikan informasi tentang salah satu nasabah BRI yang berprofesi sebagai rentenir di pasar Wates. Pada akhirnya pendekatan wawancara dengan ibu Rossa dapat berjalan dengan baik, meskipun dalam penelitian ini ibu Rossa adalah satusatunya objek aktor rentenir yang dapat diwawancarai secara mendalam oleh peneliti. Sedikitinya ada 3 wawancara yang telah dilakukan peneliti untuk dapat menggali data utama dari narasumber utama disini, wawancara dengan ibu Rossa yang terbilang lancar, lalu ada 2 wawancara tambahan lainnya dengan ibu Ina dan
24
1 aktor rentenir yang keberatan menyebutkan namanya. Ada beragam kesulitan peneliti saat proses wawancara ini, mulai dari penolakan secara halus sampai ketidaknyaman dari rentenir tersebut untuk dapat diwawancarai secara mendalam. Selain daripada wawancara terpusat dengan rentenir, peneliti juga berupaya menggali data dengan mencari narasumber lain guna mendapatkan data yang lebih relevan, utamanya dari aktor lainnya yaitu pedagang pasar. Ada banyak pedagang yang menjadi narasumber dari wawancara penelitian ini, mulai dari pedagang pasar tradisional yang sebatas menjual sayur-mayur dan kebutuhan rumah tangga hingga pedagang besar yang memiliki atau menyewa ruko permanen di pasar Wates. Beragam jenis dari pedagang yang menjadi objek wawancara dibutuhkan untuk memperoleh data dan juga opini yang berbeda dari masing-masing pedagang ini. Dari para pedagang yang menjadi objek pengumpulan data ini juga, peneliti berusaha untuk mendapatkan aktor-aktor yang pernah dan menjadi bagian dari bisnis profesi rentenir yaitu sebagai nasabah atau peminjam, dan rata-rata dari para pedagang sayur di pasar Wates adalah mereka yang sudah pernah menjadi peminjam hutang dari rentenir pasar. Pengumpulan data melalui wawancara ini berlangsung selama beberapa waktu, wawancara pertama dilakukan pada tanggal 24 Maret 2012 dengan wawancara terhadap aktor rentenir, kemudian dilanjutkan pada bulan Juni dan Juli 2012 guna mencari objek data aktor lainnya yaitu para pedagang di Pasar Wates, dan terkahir adalah wawancara dengan masyarakat disekitar lingkungan pasar yang dilakukan pada sekitar bulan Agsutus 2012 dan terakhir dilakukan pula pada bulan Desember ditahun 2013 yang semua dilakukan dengan metode wawancara
25
informal dan dikhususkan untuk mencari data penguat dari objek penelitian utama yaitu rentenir. Khusus wawancara dengan masyarakat pasar dilakukan terhadap juru parkir, pegawai Teras BRI (yang juga ada di pasar Wates), dan sedikit banyak dari warga sekitar lingkungan pasar Wates, wawancara ini nantinya berguna untuk membangun opini terhadap praktik kerja rentenir di lingkungan pasar Wates. Cara kedua, adalah dengan menggunakan teknik observasi. Poin kunci dari observasi adalah mensyaratkan pencatatan dan perekaman sistematis mengenai perilaku-perilaku informan yang tejadi dalam situasi tertentu. Disini peneliti dapat memahami logika berpikir serta berpendapat atas apa yang telah diliat melalui observasi yang dilakukan, baik dari sisi rentenir maupun pengguna jasanya. Untuk dapat membangun data akurat, selain menggunakan tehnik wawancara, peneliti juga melakukan observasi dengan melihat dan berada langsung dilokasi penelitian pasar Wates, peneliti sedikit banyak merekam dan mencatat keberadaan daripada aktor rentenir, dan bagaimana mereka berinteraksi juga menjalankan bisnisnya, diluar itu peneliti juga mendapatkan data yang cukup bagus dimana para rentenir ini ternyata berkumpul dan berinteraksi terhadap sesamanya. Data yang diperoleh dari observasi ini sangat berguna untuk menguatkan argumen yang didapatkan dari proses wawancara sehingga memungkinkan peneliti untuk dapat menulis hasil penelitian agar tidak keluar dari konteks teori yang ada.
26
Proses pengumpulan data dari observasi berlangsung cukup lama dan dilakukan pada rentang tanggal yang agak berbeda, ini dilakukan guna mendapatkan hasil yang baik, karena observasi digunakan sebagai penggambaran yang nantinya akan meenjadi penguat dari data yang didapat saat wawancara. Pada prosesnya, peneliti dapat melakukan observasi sekaligus mencari data dengan wawancara, ini dilakukan saat peneliti berusaha mencari para pedagang yang telah menjadi pengguna jasa dari rentenir. Proses observasi ini sendiri dilakukan pada jam-jam khusus beredarnya rentenir di pasar Wates, yaitu di pagi hingga siang hari, dibantu dengan catatan dan juga beberapa video-foto, penulis berusaha melakukan observasi dengan sebaik mungkin.
3. Teknik Analisis Data Setelah data kita peroleh, maka langkah selanjutnya adalah melakukan penilaian data dan menganalisisnya. Demikian data ini untuk memfokuskan penelitian sehingga meminimalisir terjadinya pembiasan atau pembahasan yang meluas. Langkah-langkahnya adalah dengan membuat transkrip wawancara dan observasi yang telah dilakukan lalu peneliti mengkategorisasikan temuantemuannya dari wawancara tersebut untuk disesuaikan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian.
G. Sistematika BAB Penulisan hasil penelitian dibagi dalam lima bab. Bab pertama berisi tentang latar belakang penulisan disertai kajian-kajian yang membuat penelitian ini menjadi menarik untuk diungkap. Bab kedua berisi tentang penjelasan mengenai profil sosial partisispan. Sedikit ditambahkan tentang kemunculan 27
rentenir sebagai patron lalu ada sebab dan dampak dari keberadaan rentenir. Kemudian dalam bab ketiga penulis berusaha menjelaskan tentang praktek rentenir, disertai pemaparan pola pekerjaannya secara sistematis dan mesaukkan hubungan diantara partisipan kedalam kacamata patron-klien. Bab keempat, penulis akan berusaha menjelasakan tentang hubungan patron-klien antara rentenir dengan para pengguna jasanya dalam dimensi kehidupan yang luas, adanya relasi kuasa yang terjadi serta sterreootype budaya akan mewarnai kajian dalam bab ini. Bab terakhir berisi tentang sebuah kesimpulan yang diambil penulis setelah menyelesaikan keseluruhan penelitian beserta analisis data yang terkait didalamnya. Penulis ingin menggambarkan implikasi nyata patron-klien rentenir dan pengguna jasanya dalam lingkup ekonomi, sosial, dan politik secara menyeluruh. Kesimpulan bisa berarti sebuah pernyataan ataupun sebagai fakta yang terungkap dalam penelitian penulis.
28