ANALISIS KINERJA PASAR TRADISIONAL DI ERA PERSAINGAN GLOBAL DI KOTA BOGOR
Oleh : HADIWIYONO H14061337
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRAK HADIWIYONO. Analisis Kinerja Pasar Tradisional di Era Persaingan Global di Kota Bogor (dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI). Pasar adalah tempat mendistribusikan kebutuhan harian masyarakat di suatu kota. Pasar terbagi menjadi dua jenis menurut manajemen dan mutu pelayanannya, yaitu Pasar Tradisional dan Pasar Modern. Kota Bogor mengalami pertumbuhan jumlah Pusat Perbelanjaan Modern dan Supermarket/Hipermarket yang cukup pesat yang berimbas kepada pergeseran preferensi dan pangsa pasar dari Pasar Tradisional ke Pasar Modern. Penelitian kualitatif dilakukan dengan mengambil sampel pedagang dari dua jenis Pasar Tradisional. Penyelengaraan pasar tradisional Kota Bogor dilakukan oleh pemerintah maupun kerjasama dengan pihak swasta, sistem tata kelola pedagang yang cenderung stagnan. Secara umum kondisi pedagang di kedua pasar umumnya mengandalkan penjualan harian ke pelanggan non rumah tangga secara grosir, sistem pemasok menggunakan agen dengan pembayaran tunai, modal dari pedagang sendiri dan strategi klaim kualitas dan sikap baik sebagai cara mendapatkan konsumen. Sebanyak 67 persen responden mengalami penurunan omset dan keuntungan harian, yang diikuti oleh penurunan jumlah pembeli harian dan penurunan jam aktif transaksi pasar menjadi indikasi kelesuan pasar tradisional. Teridentifikasi masalah di kedua pasar dalam 4 poin, permasalahan infrastruktur, permasalahan fluktuasi nilai barang konsumsi, permasalahan persaingan tidak sehat, dan permasalahan struktural. Pihak Pemerintah Kota Bogor merespon kelesuan pasar dengan mendirikan Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya. Perubahan sifat dari melayani pedagang menjadi sebuah perusahaan dengan motif mengejar keuntungan. PD Pasar Pakuan Jaya mengharapkan perbaikan Pasar Tradisional yang lebih efisien dan memiliki daya saing dengan peningkatan pelayanan dan penuntasan masalah pedagang pasar tradisional. Imbasnya adalah peningkatan retribusi harian pedagang pasar tradisional. Langkah yang dipilih Kota Bogor termasuk ke dalam rekomendasi yang dilakukan FAO, AFMA, FAMA, dan ICRIER.
ANALISIS KINERJA PASAR TRADISIONAL DI ERA PERSAINGAN GLOBAL DI KOTA BOGOR
Oleh : HADIWIYONO H14061337
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Analisis Kinerja Pasar Tradisional di Era Persaingan Global di Kota Bogor
Nama Mahasiswa
: Hadiwiyono
NIM
: H14061337
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A. NIP. 1952 0408 1984031001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 1964 1022 1989031003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2011
Hadiwiyono H14061337
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Hadiwiyono lahir pada tanggal 27 April 1988 di Bogor. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Hadiwibowo, SE dan Wahyuni. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Bina Insani Bogor pada tahun 2001. Di tahun yang sama, penulis melanjutkan ke SMP Bina Insani Bogor dan lulus pada tahun 2003. Penulis kemudian diterima di SMA Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan diterima masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI). Di tahun berikutnya, penulis mendapatkan Mayor di Ilmu Ekonomi dan Minor Kewirausahaan Agribisnis di Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi intra kampus HIPOTESA pada Divisi Kewirausahaan periode kepengurusan 2007/2008 dan kepanitiaan seperti HIPOTEX-R.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadiran Alloh SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa penulis juga memanjatkan shalawat serta salam ke hadirat Nabi Besar Muhammad SAW. Judul skripsi ini adalah “Analisis Kinerja Pasar Tradisional di Era Persaingan Global di Kota Bogor”. Di era globalisasi seperti saat ini, tekanan modal asing yang masuk ke persaingan antara Pasar Tradisional dan Pasar Modern membuat ketimpangan atas dominasi kekuatan Pasar Modern semakin terlihat. Hal ini akan berimplikasi terhadap keberlangsungan Pasar Tradisional di tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus berpihak kepada Pasar Tradisional sebagai bentuk pemerhatian terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya. Skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memeroleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih akan penulis sampaikan kepada: 1. Kedua orang tua penulis, Hadiwibowo, S.E. dan Wahyuni, serta adik penulis Hadiwijoyo atas doa, dorongan moral dan materi, serta pandangan hidup atas kebahagiaan yang sangat besar artinya bagi pembentukan karakter dan pola pikir selama perjalanan hidup penulis. 2. Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A., selaku Dosen Pembimbing skripsi, yang dengan sabar telah membimbing dan memberikan saran maupun kritik dalam membangun pemikiran selama penelitian skripsi ini hingga selesai. 3. Dr. Yeti Lis Purnamadewi selaku Dosen Penguji Utama atas saran, kritik, dan masukan terhadap inti dari penulisan skripsi dan Dr. Muhammad Findi Alexandi selaku Komisi Pendidikan atas saran dan tatacara penulisan skripsi. 4. Seluruh teman-teman dari Ilmu Ekonomi angkatan 43 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, untuk setiap momen, baik senang maupun sedih selama 3 tahun masa studi di IE IPB dan atas pelajaran hidup yang berharga selama berorganisasi di HIPOTESA.
5. Seluruh informan dan narasumber pedagang Pasar Tradisional Kota Bogor, serta staf-staf dari PD Pasar Pakuan Jaya, PT Galvindo Ampuh, Disperindagkop Kota Bogor, dan Kesbanglinmas Kota Bogor atas koordinasi yang baik selama masa penulisan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2011
Hadiwiyono H14061337
i
DAFTAR ISI
Hal DAFTAR ISI ..................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
iv
I. PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................
6
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................
8
1.4 Manfaat Penelitian ..............................................................................
8
1.5 Ruang Lingkup dan Pembatasan Masalah ..........................................
9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...................
10
2.1 Organisasi Industri ..............................................................................
10
2.2 Structure Conduct Performance (SCP) ...............................................
10
2.3 Persaingan Usaha ................................................................................
13
2.4 Konsep Pasar .......................................................................................
13
2.4.1 Pasar Tradisional .......................................................................
15
2.4.2 Toko Modern .............................................................................
16
2.4.3 Pedagang Kaki Lima (Pedagang Informal) ...............................
17
2.5 Penelitian Terdahulu ...........................................................................
17
2.6 Kerangka Pemikiran ............................................................................
19
III. METODE PENELITIAN .........................................................................
22
3.1 Metode Penentuan Lokasi ...................................................................
22
3.2 Metode Pengumpulan Data .................................................................
22
3.3 Metode Penentuan Sampel ..................................................................
23
3.4 Metode Analisis ..................................................................................
25
3.4.1 Analisis Kinerja Bisnis Pasar Tradisional Kota Bogor .............
25
3.4.2 Analisis Permasalahan Pasar Tradisional Kota Bogor ..............
26
3.4.3 Analisis Respon Pemerintah Kota Bogor terhadap Permasalahan Pasar Tradisional Kota Bogor ...........................
26
ii
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH ........................................................
28
4.1. Kondisi Umum Kota Bogor ...............................................................
28
4.2. Perekonomian Kota Bogor .................................................................
29
4.2.1. Pasar Tradisional di Kota Bogor ..............................................
30
4.2.2. Pasar Modern di Kota Bogor ....................................................
32
V. PEMBAHASAN .......................................................................................
33
5.1 Analisis Kinerja Bisnis Pasar Tradisional Kota Bogor .......................
33
5.1.1. Perkembangan Penyelengaraan Pasar Tradisional di Kota Bogor ........................................................................................ 5.1.2 Tatakelola Pasar Tradisional ...................................................
33
5.1.3 Kondisi Umum Pedagang Pasar Tradisional .............................
37
5.2. Analisis Permasalahan Pasar Tradisional di Kota Bogor ...................
52
5.2.1. Analisis Dampak Permasalahan Infrastruktur dan Pelayanan Pasar Tradisional ...................................................................... 5.2.2 Analisis Dampak Fluktuasi Harga dan Penurunan Daya Beli Konsumen ................................................................................. 5.2.3 Analisis Masalah Persaingan Tidak Sehat dan Keberadaan PKL terhadap Pasar Tradisional ............................................... 5.2.4. Analisa Permasalahan Struktural Pasar Tradisional ................
35
53 56 58 66
5.3. Analisis Respon Pemerintah Kota Bogor terhadap Permasalahan Pasar Tradisional Kota Bogor ............................................................ 5.4. Pengendalian Persaingan Ritel Modern dan Ritel Tradisional di Luar Negeri ........................................................................................
75
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
87
6.1 Kesimpulan .........................................................................................
87
6.2 Saran ....................................................................................................
89
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
90
82
iii
DAFTAR TABEL No. 1.1
Hal PDRB Kota Bogor menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga
5
Konstan (Jutaan Rupiah) ..................................................................... 4.1
PDRB Kota Bogor Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (dalam
30
milyaran rupiah) .................................................................................. 4.2
Tujuh Unit Pasar Tradisional Kota Bogor ..........................................
5.1
Proporsi Pemasok Barang Utama & Metode Pembayaran Pedagang
31
Pasar Tradisional .................................................................................
41
Sumber Modal Pedagang Pasar Tradisional ........................................
42
5.3a Persaingan dan Strategi Pedagang Pasar Baru Bogor .........................
44
5.3b Persaingan dan Strategi Pedagang Pasar Induk Kemang ....................
45
5.4
48
5.2
Jumlah Penggunaan Kios dan Los di 7 Pasar Tradisional Kota Bogor
iv
DAFTAR GAMBAR No. 2.1
Hal Skema Kerangka Pemikiran Analisis Kinerja Pasar Tradisional di Era Persaingan Global di Kota Bogor ................................................
20
5.1a
Proporsi Pelanggan Utama Pasar Baru Bogor ....................................
39
5.1b
Proporsi Pelanggan Utama Pasar Induk Kemang ...............................
40
5.2a
Pergerakan Omset dan Keuntungan Harian Rata-rata Pedagang Pasar Baru Bogor ................................................................................
5.2b
46
Pergerakan Omset dan Keuntungan Harian Rata-rata Pedagang Pasar Induk Kemang ...........................................................................
47
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasar merupakan pusat kegiatan ekonomi. Pasar menjadi tempat bertemunya penjual berbagai kebutuhan masyarakat dan pembeli yang ingin memenuhi kebutuhannya. Interaksi penjual dan pembeli seperti ini sudah berlangsung sejak zaman dahulu, yang kemudian penjual dan pembeli tersebut berkumpul dan memusat di suatu daerah yang dijadikan pusat perekonomian yang disebut pasar. Pasar Tradisional identik dengan sistem tawar-menawar, interaksi sosial antara pedagang dan pembeli merupakan suatu kultur sosial dalam masyarakat Indonesia yang kemudian menjadi motivasi untuk berbelanja di tempat tersebut. Pada Pasar Tradisional di Indonesia, umumnya masalah kenyamanan adalah masalah utama yang semakin disorot. Kesan semrawut, kotor, bau, dan lainnya membuat ketidaknyamanan dalam berbelanja. Ide baru muncul dengan membuat suatu tempat memenuhi kebutuhan konsumen dengan mengedepankan kenyamanan. Toko dengan pelayanan prima, mengutamakan kebersihan dan memberikan kepastian harga dalam bentuk label menjadi suatu konsep perdagangan baru, yaitu bisa disebut sebagai Toko Modern. Mengedepankan pelayanan dan tatakelola baru seperti ini kemudian membuat Toko Modern harus mengorbankan harga, artinya barang-barang di Toko Modern pada umumnya memiliki harga yang lebih tinggi dibanding di pedagang-pedagang Pasar Tradisional. Konsep kata „Toko‟ pun semakin berkembang karena pengembangan skala dari konsep ini, sehingga sebuah Toko Modern mampu memenuhi segala kebutuhan konsumen seperti halnya Pasar Tradisional.
2
Kehadiran Toko Modern (Ritel Modern) di negara berkembang diyakini terjadi dalam 3 gelombang1. Gelombang pertama terjadi pada pertengahan dekade 1990-2000 di Amerika Selatan, Asia Timur selain Cina, Eropa Utara dan Tengah, dan Afrika Selatan. Gelombang kedua pada akhir dekade 1990-2000 di Meksiko, Amerika Tengah, Asia Tenggara, dan Eropa Tengah dan Selatan. Dan gelombang ketiga terjadi pada awal dekade 2000-2010 di beberapa bagian di Afrika, beberapa negara Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, Cina, India, dan Rusia. Lebih lanjut terdapat alasan dimana Cina, India, dan Rusia termasuk ke dalam gelombang terakhir kehadiran dan perkembangan Toko Modern. Hal ini disebabkan oleh restriksi yang ketat terhadap Foreign Direct Investment (FDI) untuk sektor perdagangan ritel di negara-negara ini. Toko Modern seperti Supermarket, atau Minimarket mulai hadir di beberapa kota besar di Indonesia selama tiga dekade terakhir dan terus berkembang terutama setelah tahun 1998. Semenjak pemberlakuan liberalisasi sektor ritel pada tahun 1998, otomatis terjadi arus penanaman modal asing yang kemudian menambah ketatnya persaingan. Secara umum di Asia, selain terbukanya FDI di beberapa negara, perkembangan Toko Modern seperti Supermarket terkait dengan meningkatnya permintaan terhadap jasa yang ditawarkan oleh Toko Modern, yang didasari oleh tingginya tingkat urbanisasi, peningkatan pendapatan perkapita (pertumbuhan pekerja kelas menengah), peningkatan pekerja wanita (peningkatan opportunity
1
Mathew & Mukherjee. 2010. Foreign Direct Investment in India Retail – Need for a Holistic Approach. Maharashtra Economic Development Council. India. Hal 2
3
cost waktu dari ibu rumah tangga yang berkarir), gaya hidup yang berkiblat ke Barat, meningkatnya penggunaan kartu kredit, dan lain-lain.2 Saat ini, terdapat beberapa peritel asing yang mengembangkan usahanya di Indonesia, antara lain Carrefour, Makro, Belhaize, Ahold dan Giant. Carrefour yang berasal dari Prancis mulai beroperasi ke Asia petama kali pada tahun 1989, yaitu ke Taiwan. Pada tahun 1996, ritel ini masuk ke Indonesia. Makro berasal dari Belanda dan masuk ke Indonesia pada tahun 1991. Saat ini terdapat 12 outlet Makro di wilayah Jabotabek dan 1 di Bandung. Selain Makro, dari Belanda juga masuk Ahold, di Indonesia menggunakan nama Tops (sejak akhir tahun 2005 diakuisisi Hero). Belhaize adalah hypermarket dari Belgia, saat ini beraliansi dengan supermarket Superindo. Giant Hypermarket yang berasal dari Malaysia, di Indonesia Giant beraliansi dengan Hero Supermarket. Persaingan Pasar Tradisional dengan Toko Modern saat ini bisa dikatakan sebagai persaingan global. Artinya, saat ini Pasar Tradisional dihadapkan dengan perusahaan-perusahaan asing yang beraliansi maupun membuka cabang Toko Modern di Indonesia sehingga skala dari persaingan ini tidak bisa dikatakan sebagai persaingan lokal. Menurut survei Nielsen, jumlah pusat perdagangan modern (Toko Modern) di Indonesia seperti Hipermarket, pusat perkulakan, Supermarket, Minimarket, hingga Convenient Store, meningkat hampar 7,4 persen selama periode 2003-2005. Dari total 1.752.437 gerai pada tahun 2003 menjadi 1.881.492 gerai di tahun 2005. Hal tersebut justru berbanding terbalik
2
Shepherd, Andrew W. 2005. The Implications of Supermarket Development for Horticultural Farmers and Traditional Marketing Systems in Asia. Roma: Agricultural Management, Marketing and Finance Service FAO. Hal 2.
4
dengan pertumbuhan ritel tradisional yang tumbuh negatif sebesar 8 persen per tahunnya3. Lebih lanjut pada penelitian Nielsen mengungkap fakta bahwa penurunan pangsa penjualan barang kebutuhan sehari-hari di Pasar Tradisional. Pada tahun 2000 Pasar Tradisional masih menguasai pangsa pasar sebesar 78,1 persen dari total penjualan barang-barang konsumsi di dalam negeri. Namun pada tahun 2005 pasar tradisional mengalami penurunan pangsa pasar menjadi sebesar 67,6 persen4. Berdasarkan hal tersebut tidaklah mustahil jika Pasar Modern akan semakin dominan dalam sub sektor perdagangan dan Pasar Tradisional akan semakin tergerus keberadaannya. Di sisi lain, perkembangan Toko Modern mendorong pertumbuhan sub sektor perdagangan dalam sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sehingga dapat mendorong pertumbuhan PDRB suatu wilayah. Hal ini tentu saja menarik minat pemerintah daerah untuk mengembangkan Toko Modern. Otonomi daerah juga memiliki andil untuk mengizinkan suatu wilayah mengembangkan kegiatan ekonomi dengan caranya masing-masing,.
3
A.C. Nielsen. 2005. Asia Pasific Retail Shooper Trends 2005 [online]. http://www.acnielsen.de/pubs/documents/RetailandShopperTrendsAsia2005.pdf. Hal 28[26 Maret 2010] 4
Ibid.
5
Tabel 1.1 PDRB Kota Bogor menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan (Jutaan Rupiah) Sektor
2004
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
2006
2007
2008
12.193,68
12.716,02
11.723,85
12.717,26
13.121,58
112,03
114,21
116,24
118,31
120,53
940.063,95
1.002.371,58
1.059.336,89
1.126.541,95
1.1197.768,02
105.087,61
112.491,07
119.970,03
128.090,57
136.829,56
225.205,11
226.037,24
276.736,82
288.023,99
299.804,17
1.029.072,27
1.071.266,44
1.140.875,92
1.205.230,26
1.267.518.19
322.575,82
344.684,12
368.420,39
394.451,07
422.723,25
441.570,29
489.525,23
522.979,72
560.780,48
602.517,87
255.671,20
268.139,31
282.230,09
296.907,60
312.418,61
3.361.438,93
3.567.230,91
3.782.273,71
4.012.743,18
4.252.821,78
Jasa-jasa PDRB
2005
Sumber: BPS, 2009.
Di Kota Bogor, Pasar Modern setiap tahunnya mengalami peningkatan, sejak 2003-2007 terdapat penambahan jumlah pusat perbelanjaan modern sebanyak 300 persen sementara untuk pasar tradisional tidak mengalami perubahan dalam jumlah pasar. Pertambahan jumlah Toko Modern di Kota Bogor dapat berakibat buruk, terutama jika pembangunan Toko Modern yang semakin dekat dengan Pasar Tradisional. Pertumbuhan ekonomi di sektor perdagangan secara angka yang ditunjukan oleh LPE Kota Bogor seharusnya diikuti dengan peningkatan pertumbuhan secara menyeluruh baik pedagang-pedagang di Pasar Tradisional maupun Toko Modern. Maka sudah seharusnya pemerintah Kota Bogor juga membuat kebijakan yang mengatur persaingan usaha antara kedua pasar yang lebih baru dan memperhatikan segala aspek sosialnya.
6
Oleh karena itu, judul Analisis Kinerja Pasar Tradisional di Era Persaingan Global di Kota Bogor dipilih untuk mengkaji lebih lanjut mengenai kinerja Pasar Tradisional terutama setelah semakin bertambahnya Toko Modern yang ada di Kota Bogor dan menganalisa permasalahan-permasalahan yang dialami oleh Pasar Tradisional. Pada akhirnya ditelaah juga solusi dari Pemerintah Kota Bogor terhadap kinerja Pasar Tradisional saat ini. 1.2 Perumusan Masalah Pertumbuhan Toko Modern di Indonesia tidak-serta merta terjadi. Perekonomian terjadi karena adanya tarik-menarik antara permintaan dan penawaran, begitu pula dengan Pasar Modern. Kebutuhan masyarakat akan keberadaan Pasar Modern tidak lepas dari pergeseran gaya hidup masyarakat yang semakin modern dan pola konsumtif masyarakat Indonesia. Di sisi lain kekuatan modal dari Pasar Modern terutama setelah Liberalisasi tahun 1998 memudahkan Pasar Modern untuk berekspansi, terutama setelah melihat peluang bisnis dari sisi konsumtif masyarakat. Pasar Tradisional secara manajerial tidak mengalami perubahan signifikan sejak zaman dahulu, pola berdagang dan pengawasan pasar seadanya ditambah lagi tidak ada perbaikan dari sisi infrastruktur membuat Pasar Tradisional mulai ditinggalkan konsumen yang menuntut gaya „modern‟ dalam berbelanja. Pasar Modern secara internal juga memiliki masalah-masalah yang harus ditanggapi dengan serius, seperti PKL yang memperparah tata ruang sebuah Pasar Tradisional.
7
Berbeda halnya dengan Toko Modern. Sistem manajerial terpusat dan profesional membuat kemapanan dari segi internalnya. Keagresifan ekspansi Toko Modern tentu saja menimbulkan kekhawatiran karena suatu saat jika tidak terjadi perbaikan pada Pasar Tradisional, maka eksistensi dari Pasar Tradisional akan terancam dan menyebabkan ribuan bahkan jutaan pedagang kecil, pemasok, dan pekerja di Pasar Tradisional akan kehilangan mata pencaharian dan pengangguran di Indonesia akan semakin bertambah. Kota Bogor dijadikan daerah penelitian karena memiliki peningkatan jumlah Pasar Modern yang cukup tinggi di daerah Jabodetabek, selain itu sub sektor perdagangan memiliki sumbangan tertinggi dalam PDRB Kota Bogor dan meningkat dari tahun ke tahun. Kota Bogor juga memiliki laju pertumbuhan pusat perbelanjaan modern sebesar 300 persen sejak tahun 2003-2006. Kota Bogor pernah melakukan relokasi Pasar Induk Ramayana yang berada di tengah kota dalam rangka mengendalikan tata kota dan ketertiban yang lebih baik, namun di saat ini di tanah bekas Pasar Induk Ramayana justru berdiri Pusat Perbelanjaan Modern. Hal ini menunjukan ambigu kebijakan pemerintah Kota Bogor terhadap Pasar Tradisional. Penelitian ini terbatas menganalisa kinerja Pasar Tradisional, karena Pasar Tradisional dianggap lebih mewakili masyarakat Kota Bogor pada umumnya. Rincian permasalahan yang akan dianalisa sebagai berikut: 1) Bagaimana kondisi Pasar Tradisional saat ini terutama setelah bertambahnya jumlah Pasar Modern secara signifikan di Kota Bogor? 2) Apakah permasalahan yang dialami oleh Pasar Tradisional Kota Bogor? 3) Bagaimana Pemerintah Kota Bogor khususnya dalam merespon permasalahan yang dialami Pasar Tradisional?
8
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang dibuat, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menganalisa kondisi Pasar Tradisional di tengah tekanan ekspansi Pasar Modern di kota Bogor, dilihat dari penyelenggaraan dan tatakelola oleh pengelola Pasar Tradisional, kondisi umum pedagang dan kinerja bisnisnya selama beberapa tahun terakhir. 2) Menganalisa permasalahan-permasalahan yang dialami oleh Pasar Tradisional dan menelaah akar dari permasalahan tersebut. 3) Menganalisa kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dikeluarkan oleh Pemerintah
yang
berhubungan
dengan
Pasar
Tradisional
dan
membandingkannya dengan respon yang dilakukan oleh negara-negara lainnya. Ketiga tujuan di atas kemudian akan digunakan sebagai acuan untuk rekomendasi kepada Pemerintah Kota Bogor untuk mendorong pertumbuhan Pasar Tradisional menjadi pasar yang kompeten dan berdaya saing sehingga tidak tergerus keberadaannya oleh Toko Modern. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna: 1) Sebagai bahan pertimbangan dan acuan bagi Pemerintah baik pusat maupun daerah sebagai pembuat kebijakan dan pengambil keputusan untuk menetapkan peraturan, kebijakan, ataupun undang-undang yang tepat dan rinci yang
9
berkaitan dengan sektor Perdagangan, terutama yang mengatur masalah Penataan Pasar Tradisional dan Toko Modern. 2) Sebagai salah satu rujukan bagi penelitian lainnya terkait dengan sektor perdagangan besar dan eceran, maupun Pasar Tradisional. 1.5 Ruang Lingkup dan Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada kinerja Pasar Tradisional di Kota Bogor selama beberapa tahun belakangan dalam satu periode penelitian. Pasar Tradisional yang diamati yang dikelola oleh Pemerintah ataupun Swasta (selama pola dan tatakelolanya masih relatif sama dengan Pasar Tradisional Pemerintah). Kinerja yang dianalisis adalah kinerja pedagang Pasar Tradisional secara individu. Untuk analisis permasalahan Pasar Tradisional terbatas kepada respon dari pedagang tradisional itu sendiri. Kebijakan dan Peraturan tentang Pasar Tradisional dikeluarkan pemerintah daerah yang akan diteliti adalah Kebijakan dan Peraturan yang terbaru sehingga relevan dengan kondisi saat ini. Respon kebijakan dan aplikasi lebih lanjut didalami dengan pendekatan langsung kepada pengelola Pasar Tradisional Kota Bogor saat ini dengan asumsi Pengelola Pasar adalah unit Pemerintah Kota Bogor yang paling mengetahui permasalahanpermasalahan yang terjadi pada Pasar-Pasar Tradisional Kota Bogor.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Organisasi Industri Organisasi industri atau Industrial Organization (IO) bidang ekonomi yang mempelajari struktur dan batas-batas antara perusahaan dan pasar dan interaksi strategis perusahaan. Studi tentang organisasi industri menggambarkan adanya pergeseran dalam persaingan sempurna dunia nyata seperti terbatas informasi, biaya transaksi, biaya penyesuaian, kebijakan pemerintah, dan hambatan untuk masuk oleh perusahaan baru ke dalam pasar yang akhirnya menjadi persaingan tidak sempurna. Organisasi Industri juga mempelajari bagaimana perusahaan-perusahaan di dalam suatu industri diorganisir dan bagaimana mereka bersaing. Ada dua pendekatan utama untuk mempelajari organisasi industri. Pendekatan pertama adalah deskriptif dan memberikan gambaran umum organisasi industri. Kedua, teori harga, menggunakan model mikroekonomi untuk menjelaskan perilaku perusahaan dan struktur pasar. 2.2. Structure Conduct Performance (SCP) Structure Conduct Performance adalah salah satu metode untuk menganalisa organisasi industri. SCP adalah pendekatan organisasi industri, yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara struktur (structure) pasar, perilaku (conduct) pasar, dan kinerja (performance) pasar. SCP kemudian menunjukkan bahwa struktur pasar menentukan perilaku pasar, dan kemudian menentukan tingkat kinerja pasar.
11
Kerangka pemikiran SCP berasal dari analisis neo-klasik dari pasar. SCP merupakan gagasan dari Harvard yang berkembang selama 1940-1960 berdasarkan studi empiris yang mengidentifikasi korelasi antara struktur industri dan kinerja. Para ekonom secara khusus ingin mempelajari SCP karena mereka yakin bahwa konsentrasi penjual mempengaruhi kinerja sosial industri. Struktur Perilaku Kinerja (SCP) memberikan penekanan pada tiga unsur. Beberapa ekonom menyatakan bahwa struktur pasar dan perilaku pasar sama pentingnya dalam menentukan kinerja pasar. Ekonom lain berpendapat bahwa perilaku pasar sangat ditentukan oleh struktur pasar, kemudian kinerja pasar sangat tergantung pada struktur pasar juga. Struktur (Structure) Pasar komponen yang relatif stabil dari lingkungan pasar yang mempengaruhi persaingan di antara para pembeli dan penjual yang beroperasi di pasar ini. Komponen utama yang mempengaruhi struktur pasar, konsentrasi penjual, diferensiasi produk, hambatan masuk, hambatan untuk keluar, konsentrasi pembeli, dan tingkat pertumbuhan permintaan pasar. Terdapat unsur-unsur lain dari struktur pasar, tetapi mereka biasanya tidak stabil dan dapat diabaikan baik karena tidak dapat diukur atau sulit untuk mengamati. Perilaku (Conduct) Pasar menggambarkan apa yang harus perusahaan lakukan untuk bersaing satu sama lain. Hal tersebut mencakup penetapan harga, iklan, penelitian dan pengembangan investasi, keputusan pada dimensi produk, merger dan akuisisi, Perilaku pasar juga dapat menggambarkan adanya kolusi baik eksplisit maupun implisit yang dilakukan oleh beberapa perusahaan dalam industri.
12
Kinerja (Performance) Pasar digambarkan dengan profit. Kinerja juga digambarkan dengan perubahan biaya dan harga. Profitabilitas secara umum dapat menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan adanya perubahan dalam permintaan pasar. Riset dan pengembangan, serta kepemilikan modal dan sumberdaya juga mempengaruhi kemampuan perusahaan. Interaksi SCP digambarkan dalam dua hipotesis, yaitu structure performance hypothesis dan efficient structure hypothesis. Structure performance hypothesis menyatakan bahwa tingkat konsentrasi pasar berbanding terbalik dengan tingkat persaingan. Tingginya konsentrasi pasar mendorong perusahaan untuk berkolusi. Hipotesis ini akan didukung jika terdapat hubungan positif antara konsentrasi pasar (diukur dengan rasio konsentrasi) dan kinerja (diukur dengan laba), terlepas dari efisiensi perusahaan (diukur dengan pangsa pasar). Dengan demikian perusahaan-perusahaan dalam industri terkonsentrasi lebih akan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi daripada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di industri terkonsentrasi kurang, terlepas dari efisiensi mereka. Efficient structure hypothesis bahwa kinerja perusahaan adalah positif berhubungan dengan efisiensi. Konsentrasi pasar yang muncul dari persaingan, dimana perusahaan-perusahaan dengan struktur biaya rendah meningkatkan laba dengan mengurangi harga dan memperluas pangsa pasar. Hubungan positif antara keuntungan perusahaan dan struktur pasar yang dikaitkan dengan keuntungan yang dibuat dalam pangsa pasar oleh perusahaan lebih efisien, tetapi tidak dengan kegiatan kolusi.
13
2.3. Persaingan Usaha Persaingan dalam ekonomi adalah istilah yang mencakup pengertian individu dan perusahaan berjuang untuk pangsa pasar yang lebih besar untuk menjual atau membeli barang dan jasa. Merriam-Webster mendefinisikan persaingan dalam bisnis sebagai upaya dua pihak atau lebih yang bertindak independen untuk mengamankan bisnis dari pihak ketiga. Hal ini digambarkan oleh Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776), perusahaan mengalokasikan sumberdaya kedalam fungsi yang paling optimal dan mendorong efisiensi lebih lanjut. Kemudian teori mikroekonomi membedakan antara persaingan sempurna dan persaingan tidak sempurna , menyimpulkan bahwa tidak ada sistem alokasi sumber daya lebih efisien Pareto dari persaingan sempurna . Persaingan, menurut teori ini, menyebabkan perusahaan-perusahaan untuk mengembangkan produk baru, layanan dan teknologi, yang akan memberikan konsumen pilihan yang lebih banyak dan produk yang lebih baik. Banyaknya pilihan menyebabkan harga yang lebih rendah untuk produk, dibandingkan dengan harga saat tidak ada persaingan (monopoli) atau sedikit kompetisi (oligopoli). 2.4. Konsep Pasar Pasar dalam arti sempit adalah tempat permintaan dan penawaran bertemu, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar tradisional. Sedangkan dalam arti luas adalah proses transaksi antara permintaan dan penawaran, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar modern. Permintaan dan Penawaran dapat berupa Barang
14
atau Jasa. Sedangkan secara umum pasar merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli5. Pasar memiliki berbagai definisi yang berkembang, dari definisi yang ada pasar dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok penjual dan pembeli yang melakukan pertukaran barang dan jasa yang dapat disubstitusikan. Konsep dan pemaknaan pasar yang sesungguhnya sangat luas, mencakup dimensi ekonomi dan sosial-budaya. Dalam perseptif pasar secara fisik dapat diartikan sebagai tempat berlangsungnya transaksi jual beli barang dan jasa antara penjual dan pembeli dalam tempat tertentu. Pasar
memiliki
beberapa
klasifikasi.
Misalnya
klasifikasi
Pasar
berdasarkan bangunan. Berdasarkan bangunan, pasar dibagi menjadi dua jenis, yaitu pasar dengan bangunan permanen/semi permanen dan pasar tanpa bangunan permanen. Pasar dengan bangunan permanen/semi permanen adalah pasar yang menggunakan lantai semen/tegel, tiang besi/kayu, atap seng/genteng/sirap, baik berdinding/tidak. Sedangkan pasar tanpa bangunan permanen (tidak termasuk kaki lima) adalah pasar yang mempunyai bangunan tetapi tidak permanen, misalnya bangunan dari bambu, daun, dan sebagainya, contoh Pasar Kaget. Pasar Kaget adalah pasar yang muncul di lokasi yang tidak diperuntukan pasar dan selesai dengan cepat6. Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, 5
Wikipedia. 2010. Pasar. http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar [22 Maret 2010]
6
Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Potensi Desa Propinsi Jawa Barat. Jakarta: BPS. Hal 68-69
15
mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya7. Pembagian klasifikasi paling umum dan sering digunakan adalah klasifikasi menjadi Pasar Tradisional dan Toko Modern. 2.4.1 Pasar Tradisional Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar8. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar9.
7
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Pasal 1 8
Ibid
9
Wikipedia, loc. cit
16
Secara lebih mendetail, komponen-komponen dalam Pasar Tradisional dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu10: Kios adalah tempat berdagang dengan jenis dan spesifikasi yang sama diatur dan ditetapkan berdasarkan komoditi yang satu sama lain dibatasi dengan dinding serta dapat ditutup. Los adalah tempat berdagang yang merupakan bagian dari bangunan tetap di dalam pasar yang sifatnya terbuka dan tanpa dinding keliling. 2.4.2 Toko Modern Pasar Modern merupakan pasar yang dibangun oleh pemerintah, swasta, atau koperasi dalam bentuk mall, supermarket, minimarket, department store, dan shopping center dimana pengelolaannya dilakukan secara modern dengan mengutamakan pelayanan dan kenyamanan berbelanja dengan manajemen berada di satu tangan, bermodal relatif kuat, dan dilengkapi dengan label harga yang pasti11. Toko Modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan12. 2.4.3 Pedagang Kaki Lima (Pedagang Informal)
10
Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Pasar. Pasal 1
11
Keputusan Menteri Nomor 107/Mpp/Kep/2/1998 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pasar Modern. Pasal 1 12
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Pasal 1
17
Pedagang Kaki Lima yang dapat disingkat PKL adalah penjual barang dan atau jasa yang secara perorangan dan atau kelompok berusaha dalam kegiatan ekonomi yang tergolong dalam skala usaha kecil yang menggunakan fasilitas umum dan bersifat sementara/tidak menetap dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak dan atau menggunakan sarana berdagang yang mudah dipindahkan dan dibongkar pasang13. 2.5 Penelitian Terdahulu Lembaga Penelitian SMERU pada tahun 2007 melakukan penelitian mengenai “Dampak Supermarket Terhadap Pasar dan Pedagang Retail di Daerah Perotaan di Indonesia” dengan pengambilan data di Kota Depok dan Kota Bandung. Studi ini mengukur dampak supermarket terhadap pasar tradsional dengan dua cara, yaitu metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif menggunakan metode Difference in Difference (DiD) dan metode ekonometrik, sedangkan metode kualitif dengan wawancara mendalam. Penelusuran melalui metode kualitatif secara statistik tidak menemukan dampak signifikan pada pendapatan dan keuntungan, namun signifikan terhadap jumlah pegawai pasar tradisional. Temuan kualitatif menunjukan bahwa kelesuan yang terjadi di pasar tradisional kebanyakan bersumber dari masalah internal pasar tradisional yang membuat supermarket semakin diuntungkan. Oleh karena itu lembaga penelitian SMERU menyimpulkan bahwa perbaikan sistem pengelolaan pasar tradisional diperlukan untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional sehingga dapat bertahan di tengah keberadaan supermarket yang terus menjamur. 13
Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Pasal 1
18
Nurmalasari (2007) dalam penelitian berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing dan Preferensi Masyarakat dalam Berbelanja di Pasar Tradisional.” Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa potensi dan kondisi faktor yang mempengaruhi daya saing pasar tradisional, menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi masyarakat dalam berbelanja di pasar tradisional dan merumuskan rekomendasi strategi yang dapat dilakukan pasar tradisional untuk meningkatkan daya saingnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif menggunakan pendekatan Porter‟s Diamond untuk menganalisa potensi dan faktor yang mempengaruhi daya saing pasar tradisional dan analisis statistik regresi Binary dengan menggunakan model probit untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi masyarakat dalam berbelanja di pasar tradisional. Ningsih (2006) dalam penelitian berjudul “Dampak Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Penyerapan dan Pengurangan Tenaga Kerja di Kota Bogor”, berdasarkan studi empirisnya menyatakan bahwa kemunculan Pusat Perbelanjaan Modern menyebabkan pergeseran preferensi belanja masyarakat dari pasar tradisional yang ditandai dengan peningkatan jumlah Pusat Perbelanjaan Modern sebesar 300 persen dan penurunan omset penjualan pasar tradisional sebesar 20 persen. Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern menyebabkan peralihan fungsi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor 1999-2009 karena terjadi penurunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota Bogor. Keberadaan pusat Perbelanjaan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja di kota Bogor. Penelitian ini juga menggunakan metode Koefisien Korelasi Rank-Spearman untuk mengetahui
19
seberapa besar hubungan antara laju pertubuhan pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern dengan laju pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang terjadi. 2.4 Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilatarbelakangi oleh data yang didapat dari Badan Pusat Statistik Kota Bogor yaitu sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran selama tahun 2001-2005 memberikan kontribusi rata-rata 31,16 persen terhadap PDRB Kota Bogor, dengan laju pertumbuhan rata-rata 7,94 persen dimana Sub Sektor Perdagangan Besar dan Eceran memberikan kontribusi rata-rata 24,72 persen terhadap PDRB Kota Bogor, dengan laju pertumbuhan rata-rata 4,58 persen. Dalam pertumbuhan sub sektor Perdagangan Besar dan Eceran, pasar memegang peran penting dalam menyediakan kegiatan perdagangan. Secara garis besar, Pasar yang ada di Kota Bogor dibagi menjadi 2 macam, yaitu pasar modern dan pasar tradisional yang terbagi atas kriteria-kriteria tersendiri. Pasar modern dan pasar tradisional bersaing dalam praktek usahanya. Pasar Modern saat ini memiliki penanam modal asing membuat persaingan semakin menekan Pasar Tradisional. Interaksi tersebut dapat dilihat dalam skema di bawah.
20
Perekonomian Kota Bogor didominasi oleh Sektor Pedagangan, Hotel, dan Restoran
Pertumbuhan Sektor Perdagangan Kota Bogor dari tahun ke tahun
Pasar Modern (Supermarket, Hypermarket)
Analisa Kondisi Terkini Pasar Tradisional Kota Bogor
Persaingan Usaha
Analisa Permasalahan Pasar Tradisional Kota Bogor
Pasar Tradisional
Analisa Solusi Pemerintah Kota Bogor terhadap Pasar Tradisional
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran Analisis Kinerja Pasar Tradisional di Era Persaingan Global di Kota Bogor
21
Persaingan tersebut mau tidak mau membawa dampak sosial ekonomi kepada dua pelaku pasar tersebut, terutama setelah liberalisasi perdagangan tahun 1998 yang mulai merambah ke daerah
Kota Bogor yang ditandai dengan
tumbuhnya pasar modern seperti Supermarket dan Hipermarket yang didalamnya terdapat modal asing. Penelitian ini terbatas hanya melihat kinerja Pasar Tradisional saat ini secara menyeluruh. Kinerja Pasar Tradisional dalam penelitian ini digambarkan melalui tiga hal. Pertama, kondisi terkini Pasar Tradisional dilihat dari sistem penyelenggaraan dan tatakelola pasar oleh Pemerintah Kota Bogor. Dianalisa juga mengenai kinerja individu pasar selama beberapa tahun belakangan. Kedua, dianalisis adanya permasalahan yang dialami oleh Pasar Tradisional saat ini, ditelaah berdasarkan respon individu pedagang mengenai poin-poin yang dianggap mempengaruhi keberlangsungan Pasar Tradisional, terutama omset. Ketiga, dianalisis kebijakan-kebijakan yang terkait dengan Pasar, terutama yang terbaru paska maraknya Toko Modern. Analisis dilakukan mulai atas respon Pemerintah Kota Bogor terhadap permasalahan yang dialami Pasar Tradisional.
22
III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat yang dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2010. Pemilihan lokasi di kota Bogor dilakukan secara sengaja (purposive) karena Kota Bogor memiliki kaitan erat dengan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran, dengan pertimbangan : 1) Subsektor Perdagangan memiliki peran penting dalam Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran yang merupakan penyumbang terbesar pertama terhadap PDRB Kota Bogor dalam kurun waktu 2004-2008. 2) Pertumbuhan Subsektor Perdagangan Kota Bogor bernilai positif. Secara fisik pertambahan Pasar Modern di kota Bogor cukup pesat, namun dapat memberikan
dampak
positif
maupun
negatif
terhadap
kesejahteraan
masyarakat dan pedagang di Pasar Tradisional. 3.2 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder yang digunakan diperoleh dari BPS, PD Pasar Pakuan Jaya, Dinas Perdagangan, Perindustrian, dan Koperasi Kota Bogor, dan data-data penunjang yang relevan dengan penelitian. Data penunjang diperoleh dari laporan hasil penelitian terkait, jurnal, buletin, internet, serta sumber-sumber lainnya. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui metode wawancara terstruktur dengan pedagang Pasar Tradisional. Wawancara terstruktur dengan pedagang Pasar Tradisional secara garis besar menganalisa kinerja berdagang dari
23
pedagang Pasar Tradisional pada saat ini, yaitu ketika maraknya Pasar Modern. Wawancara terstruktur dilakukan secara langsung kepada responden pedagang dengan format pertanyaan yang sudah disusun sebelumnya, beberapa pertanyaan telah disiapkan jawabannya berupa pilihan ganda untuk menanggulangi apabila responden tidak segera mengerti pertanyaan yang diajukan. Wawancara mendalam juga dilakukan kepada pelaku-pelaku yang memegang peran penting dalam sub sektor perdagangan di Kota Bogor seperti, aparat Dinas Pasar, Pejabat Dinas Pasar, dan narasumber yang kompeten di bidang usaha ini. Untuk melengkapi bahan pertimbangan dalam menyusun rekomendasi kebijakan, ditelaah juga mengenai peraturan perundang-undangan mengenai Pasar dan peraturan daerah Kota Bogor terkait yang telah diberlakukan. 3.3. Metode Penentuan Sampel Sampling terhadap dua jenis pasar dilakukan untuk melihat dampak persaingan dengan Pasar Modern. Dugaan awal adalah berkembangnya Pasar Modern dapat berbeda pengaruhnya terhadap Pasar Tradisional tergantung skala penjualan komoditasnya, oleh karena itu klasifikasi awal dari sampling adalah membedakan Pasar Tradisional yaitu Pasar Eceran dan Pasar Grosir. Dari dugaan awal, kemudian ditentukan dua Pasar yang akan diamati, penentuan dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pengamatan awal dan wawancara dengan konsumen Pasar Tradisional mengenai pasar-pasar tradisional yang dianggap potensial. Untuk sampling Pasar Pengecer, dari 7 Pasar Pengecer di Kota Bogor, Pasar Tradisional Pengecer yang terpilih adalah Pasar Baru Bogor. Pasar Baru Bogor dipilih menjadi Pasar Sampel dengan pertimbangan:
24
1. Pasar Baru Bogor merupakan Pasar Tradisional Eceran yang terletak di Bogor Tengah yang memiliki Pusat Perbelanjaan Modern yang lebih banyak dibanding Kecamatan Kota Bogor lainnya. 2. Konsumen Kota Bogor meyakini bahwa Pasar Baru Bogor merupakan Pasar Pengecer terlengkap dan banyak variasi barangnya, termasuk jumlah pedagang. 3. Dua alasan diatas membuat Pasar Baru Bogor juga dipenuhi oleh PKL yang menganggap daerah sekitar Pasar Baru Bogor merupakan daerah potensial untuk berusaha. Pasar Tradisional Grosir yang terpilih adalah Pasar Induk Kemang. Berdasarkan pendapat pedagang Pasar Tradisional, di Kota Bogor Pasar Induk Kemang dianggap pasar utama untuk komoditi sayur mayur dan bahan masakan dalam distribusinya kepada Pasar Tradisional Pengecer. Oleh karena itu Pasar Induk Kemang dianggap cukup mewakili Pasar Grosir Kota Bogor. Penyelenggaraan pasar pihak swasta di Pasar Induk Kemang juga memiliki poin perspektif tersendiri untuk menganalisa adanya perbedaan perlakuan pengelola terhadap pedagang yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor ataupun swasta sebagai pihak ketiga. Dari kedua Pasar sampel tersebut selanjutnya dilakukan Penarikan sampel kepada 30 pedagang pasar tradisional dari masing-masing kedua pasar untuk memenuhi syarat sebaran normal. Pemilihan sampel pedagang dilakukan dilakukan secara acak Non-Probability Sampling dengan pertimbangan pedagang di Pasar Tradisional cenderung homogen tanpa perbedaan yang cukup signifikan
25
sehingga walaupun penarikan sampel dilakukan secara acak, sampel-sampel yang terpilih dapat mewakili pedagang Pasar Tradisional secara menyeluruh. Dari beberapa pedagang menjadi responden secara khusus dipilih beberapa pedagang untuk diwawancarai lebih dalam mengenai permasalahan Pasar Tradisional lebih lanjut. Digunakan metode Purposive Sampling untuk mendapatkan informasi yang spesifik. Pedagang yang dipilih adalah pedagangpedagang yang dianggap senior ataupun yang mengetahui seluk beluk permasalahan Pasar Tradisional lebih lanjut. 3.4 Metode Analisis Metode Analisis yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan deskriptif kualitatif. Analisis Kualitatif berdasarkan hasil wawancara mendalam digunakan untuk melihat secara langsung kinerja dari pedagang Pasar Tradisional. Juga wawancara dengan penanggung jawab pasar terkait, dan kebijakan-kebijakan pusat maupun daerah yang dikeluarkan melalui Perpres, Perda, maupun aturan tertulis lainnya. 3.4.1 Analisis Kinerja Bisnis Pasar Tradisional Kota Bogor Analisa diawali dengan mengamati perubahan-perubahan dalam sistem pengelolaan pasar. Pihak Pemerintah Kota Bogor menunjuk suatu dinas dalam menyelenggarakan kegiatan pasar. Tatakelola yang dilakukan saat ini ditelaah untuk melihat aktualisasi pelayanan pasar dari pihak pengelola. Kondisi umum individu pedagang dianalisa untuk melihat adanya perubahan karakteristik pedagang Pasar Tradisional saat ini.
26
Dari sisi kinerja ekonomi, ditelaah mengenai perubahan omset dan keuntungan beberapa tahun terakhir, jumlah variasi barang dagangan, strategi dagang dan daya saing pedagang, metode pemasokan barang dagangan, dan sumber modal. Pengamatan langsung dilakukan untuk melihat secara garis besar jumlah pedagang dan pembeli harian di Pasar Tradisional. Analisis kemudian diperkuat oleh pendekatan teori SCP untuk menganalisa secara sederhana bagaimana struktur organisasi pasar di dalam Pasar Tradisional. 3.4.2 Analisis Permasalahan Pasar Tradisional Kota Bogor Permasalahan Pasar Tradisional ditelaah melalui pendapat pedagang mengenai persaingan, PKL dan Pasar Modern, masalah infrastruktur, dayabeli konsumen, kenaikan harga barang-barang dan apa yang diharapkan pedagang terhadap penanggung jawab Pasar. Kemudian dianalisis juga melalui pengawas pasar, bagaimana permasalahan itu mempengaruhi pasar secara keseluruhan. 3.4.3 Analisis Respon Pemerintah Kota Bogor terhadap Permasalahan Pasar Tradisional Kota Bogor Peraturan Pemerintah baik pusat dan daerah memegang peranan penting dalam suatu kegiatan ekonomi. Dalam penelitian ini, Perda maupun Perpres yang akan ditelaah adalah yang berhubungan dengan pengaturan Pasar Tradisional. Perda yang ditelaah adalah yang diklaim oleh pihak pengelola pasar sebagai solusi atas permasalahan-permasalahan yang ada di Pasar Tradisional dan bagaimana perencanaan ke depan dari pihak pengelola terhadap pelayanan kepada pedagang Pasar Tradisional.
27
Respon Pemerintah Kota Bogor dalam bentuk Perda dan aplikasinya didalami dengan wawancara mendalam terhadap pihak yang bertanggung jawab, yaitu PD Pasar Pakuan Jaya selaku penanggung jawab utama dalam kegiatan penyelenggaraan Pasar Tradisional. Untuk memperkuat argumentasi, ditelaah juga rekomendasi-rekomendasi dari lembaga-lembaga ekonomi asing yang mengkaji bidang perkembangan Ritel dan Pasar di negara-negara di Asia seperti India. Hal ini dilakukan sebagai perbandingan respon yang dilakukan di negara-negara yang memiliki kultur pasar yang serupa dengan Indonesia.
28
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Kondisi Umum Kota Bogor Kota Besar Bogor yang dibentuk berdasarkan Udang-undang Nomor 16 Tahun 1950 setelah pengakuan kedaulatan RI. Selanjutnya pada tahun 1957 nama pemerintahan berubah menjadi Kota Praja Bogor, sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957.
Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 dan Undang-
undang No. 5 Tahun 1974 daerah Kota Bogor menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor dirubah menjadi Kota Bogor. Kota Bogor terketak diantara 106 derajat 43‟30‟‟ Bujur Timur sampai dengan 106 derajat 51‟00‟‟ Bujur Timur dan 30‟30‟‟ Lintang Selatan dampai dengan 6 derajat 41‟00‟‟ Lintang Selatan serta mempunyai ketunggian rata-rata minimal 190 meter dan maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota kurang lebih 58 kilometer. Luas Wilayah Kota Bogor sebesar 11.850 Ha, dihuni lebih dari 820.707 jiwa. Secara Administratif kota Bogor terdiri dari 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 37 desa (lima diantaranya termasuk desa tertinggal yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, 2.712 RT dan dikelilingi oleh Wilayah Kabupaten Bogor yaitu sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Kemang, Bojong Gede, dan Kec. Sukaraja, Kabupaten Bogor.
29
Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi, Kabupaten Bogor.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Darmaga dan Kec. Ciomas, Kabupaten Bogor.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin, Kabupaten Bogor.
4.2. Perekonomian Kota Bogor Berdasarkan data BPS, Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Bogor tahun 2009 berada pada kisaran 6,02 persen. Pencapaian ini lebih baik dari laju pertumbuhan ekonomi tahun 2008 yang mencapai 5,98 persen. Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor juga tergambar pada pertumbuhan angka PDRB atas dasar harga yang berlaku di tahun 2009 yang mencapai Rp 12,294 triliyun. Peningkatan makro pembangunan juga tergambar dari total investasi di Kota Bogor tahun 2009 yang mencapai Rp 869,51 miliar, atau naik sebesar Rp 1,09 miliar dari investasi ditahun 2008 yang hanya mencapai Rp 868,42 miliar. Sedangkan inflasi berhasil ditekan pada tingkat 6 persen dari inflasi tahun 2008 yang mencapai 14,20 persen. Namun menguatnya indikator makro pembangunan belum diikuti oleh penurunan angka pengangguran. Sampai akhir tahun 2009 angka pengangguran di Kota Bogor masih berada di kisaran 15 persen atau naik 1,36 persen dari tahun 2008 yang mencapai 13,64 persen. Dilihat dari sisi PDRB pertumbuhan ekonomi Kota Bogor memiliki laju yang positif setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari tabel 1.1, dimana Sektor
30
Perdagangan, Hotel, dan Restoran memiliki kontribusi paling besar dalam PDRB yang kemudian diikuti oleh Sektor Industri Olahan. Dalam data lebih lanjut, sub sektor Perdagangan Besar dan Eceran memiliki share kontribusi PDRB yang cukup signifikan dibandingkan subsektor lainnya di dalam Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran. Tabel 4.1 PDRB Kota Bogor Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (dalam milyaran rupiah) Kode Sektor 6
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran a. Perdagangan Besar dan Eceran b. Hotel c. Restoran
2004
2005
2006
2007
2008
1.029,07
1.071,27
1.140,88
1.205,23
1.267,52
818,48
854,32
917,05
973,87
1.028,29
19,43
20,66
21,98
23,40
23,93
191,16
196,29
201,85
207,96
207,96
Sumber: BPS, 2009.
Perkembangan Sub Sektor Perdagangan erat
kaitannya dengan
perkembangan sektor produksi yaitu pertanian dan industri. Selain itu juga dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan dayabeli masyarakat. 4.2.1. Pasar Tradisional di Kota Bogor Sebagian besar Pasar Tradisional dikelola oleh pemda kota setempat, pada Kota Bogor, saat ini pengelolaan pasar diserahkan kepada PD Pasar Pakuan Jaya mulai tahun 2010 dan dalam masa transisi dari UPTD Pengelolaan Pasar menjadi PD Pasar Pakuan Jaya sampai dengan tahun 2012. PD Pasar Pakuan Jaya memiliki 7 unit Pasar Tradisional untuk dikelola yang semua merupakan unit Pasar Tradisional yang dikelola status pengelolaannya UPTD Pengelolaan Pasar, yaitu sebagai berikut:
31
Tabel 4.2. Tujuh Unit Pasar Tradisional Kota Bogor No
Nama Pasar
1 Pasar Baru Bogor 2 Pasar Kebon Kembang (Pasar Anyar) 3 Pasar Induk Jambu Dua 4 Pasar Merdeka 5 Pasar Sukasari (Pasar Gembrong) 6 Pasar Gunung Batu 7 Pasar Padasuka Sumber: PD Pasar Pakuan Jaya, 2010.
Kelas Pasar Pasar Regional Pasar Regional Pasar Kota Pasar Kota Pasar Kota Pasar Wilayah Pasar Wilayah
Dari 7 unit Pasar Tradisional, 6 unit Pasar merupakan Pasar Pengecer yang beraktifitas selama 12 jam, mulai pukul 06.00 hingga pukul 18.00, sedangkan Pasar Induk Jambu Dua adalah Pasar Grosir yang dapat beroperasi 24 jam. Pasar Induk Jambu Dua adalah Pasar Grosir hasil relokasi Pasar Induk Ramayana yang ditutup secara resmi pada tanggal 10 Agustus 2000. Relokasi tersebut kemudian memunculkan tawaran pihak swasta untuk mengelola Pasar Tradisional, sehingga akhirnya Pasar Induk Ramayana direlokasi ke 3 tempat, yaitu Pasar Induk Jambu Dua, Pasar Induk Kemang, dan Pasar Grosir Cimanggu. Selain relokasi Pasar Induk Ramayana, Pemerintah Kota Bogor juga pernah membuat kebijakan untuk membangun pasar di setiap Kecamatan dan memberikan tanggung jawab pengelolaan ke tingkat Kecamatan, yang terealisasikan dengan pembangunan Pasar Tanah Baru di Kecamatan Bogor Utara, Pasar Pamoyanan di Kecamatan Bogor Selatan, dan Pasar Bubulak di Kecamatan Bogor Barat. Sayangnya ketiga Pasar Tradisional ini terhitung gagal menjadi Pasar Tradisional dengan beberapa kios saja yang terisi dan sangat minimnya pembeli. Bahkan Pasar Bubulak dialihfungsikan menjadi Terminal Bus Trans Pakuan Bubulak.
32
4.2.2. Pasar Modern di Kota Bogor Hingga tahun 2007, terdapat 12 unit Pusat Perbelanjaan Modern di Kota Bogor, yaitu Pangrango Plaza, Ekalokasari Plaza, Bogor Trade Mall, Botani Square, Pusat GrosirBogor, ADA Swalayan, Plaza Jambu 2, Plaza Jembatan Merah, Shangrilla Plaza, Dewi Sartika, Plaza Bogor, dan Plaza Bogor indah. Pasar Modern atau Supermarket yang mendominasi wilayah Bogor adalah Giant dengan toko yang dibuka di beberapa pusat perbelanjaan modern besar di Kota Bogor. Giant juga memiliki Hipermarket yang lepas dari pusat perbelanjaan modern, seperti Giant Taman Yasmin dan Giant Laladon. Dengan jumlah Pusat Perbelanjaan Modern, Supermarket, dan Hipermarket sebanyak ini dan akan terus bertambah, posisi Pasar Modern semakin mendekati Pasar Tradisional. Terbukti beberapa Pasar Tradisional justru diapit oleh beberapa Pasar Modern dengan radius kurang dari 5km.
33
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Kinerja Bisnis Pasar Tradisional Kota Bogor Untuk memahami kondisi terkini mengenai kegiatan perdagangan di Pasar Tradisional di Kota Bogor, perlu dilakukan analisa terhadap dua komponen penyelenggaraan Pasar Tradisional, yaitu dari sisi pengelola dan sisi pedagang. Pada penelitian ini penarikan sampel dilakukan di dua pasar, yaitu Pasar Baru Bogor dan Pasar Induk Kemang. Perbedaan keduanya terletak dari skala usaha pedagangnya (Pasar Baru Bogor tergolong Pasar Pengecer dan Pasar Induk Kemang tergolong Pasar Grosir) dan pengelola utamanya (Pasar Baru Bogor dikelola oleh pemerintah dan Pasar Induk Kemang dikelola oleh swasta). 5.1.1. Perkembangan Penyelengaraan Pasar Tradisional di Kota Bogor Pengelolaan Pasar Tradisional dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor dengan menunjuk dinas tertentu yang bertanggung jawab untuk menjalankan pengaturannya. Berdasarkan Perda Nomor 13 Tahun 1991 tentang Pengaturan Pasar di Wilayah Kota Bogor, Pemda Kota Bogor menunjuk Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) sebagai dinas yang mengelola Pasar Tradisional dan bertanggung jawab langsung kepada Walikota. Pada tahun 2001, DPP diubah menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pengelolaan Pasar dan berada di bawah tanggung
jawab
Dinas
Perindustrian,
Perdagangan,
dan
Koperasi
(Disperindagkop). Pada tahun 2008, dicetuskan ide pembentukan Perusahaan Daerah dibidang pengelolaan Pasar layaknya yang dilakukan oleh Pemerintah DKI
34
Jakarta dengan membentuk PD Pasar Jaya. Kemudian atas Perda Kota Bogor Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya, 7 unit UPTD Pengelolaan Pasar yang tersebar di 7 Pasar Tradisional di bawah tanggung jawab Disperindagkop Kota Bogor dialihkan menjadi PD Pasar Pakuan Jaya yang bertanggung jawab langsung ke Walikota Bogor. Pengelolaan pasar oleh pihak pihak swasta juga terbuka. Di kota Bogor, terdapat dua pengelola pasar swasta, yaitu PT Mayo Waya yang mengelola Pasar Grosir Cimanggu dan PT. Galvindo Ampuh yang mengelola Pasar Induk Kemang. Kedua pengelola ini masuk menjadi pengelola pasar setelah pemerintah menyetujui tawaran ekspansi dari relokasi Pasar Induk Ramayana, sehingga relokasi yang tadinya direncanakan hanya menjadi Pasar Induk Jambu Dua menjadi tiga unit Pasar Grosir. Namun pada saat ini, hanya dua pasar yang terhitung aktif menjadi Pasar Grosir, yaitu Pasar Induk Jambu Dua dan Pasar Induk Kemang. Pasar Grosir Cimanggu berada dalam status ditinggalkan oleh pengembang atau pengelolanya karena sangat sedikitnya pedagang yang berdagang di pasar tersebut. Pengelolaan oleh pihak swasta diatur dalam Perda Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2005 Bab VI. Pada Pasal 6 ayat 3 dan Pasal 8 ayat 1 Perda tersebut dijelaskan bahwa penyelenggaraan pasar merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah, pengelolaan pasar di atas lahan milik Pemerintah Daerah dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan kerjasama dengan Pemerintah Daerah setelah mendapat izin dari DPRD. Kontribusi pihak ketiga terhadap PAD Kota Bogor berupa pajak yang dibayarkan kepada Dinas Pendapatan Daerah dilakukan selama masa kontrak kerjasama.
35
5.1.2 Tatakelola Pasar Tradisional Pada dasarnya, tugas utama pengelola pasar, baik pengelola swasta maupun pemerintah adalah memberikan fasilitas berupa tempat berdagang bagi pedagang pasar tradisional yang telah membeli atau menyewa kios. Secara spesifik, pengelolaan pedagang oleh pemerintah diatur dalam Perda Kota Bogor Nomor 7 tahun 2005. Untuk bisa berdagang di pasar-pasar yang dikelola oleh PD Pasar Pakuan Jaya Pedagang harus memiliki dua izin khusus dari pemerintah, yaitu BHPTB dan IPTB. Buku Hak Pemakaian Tempat Berdagang (BHPTB) adalah bukti pedagang yang telah melunasi pembayaran tempat berdagang dalam areal pasar, berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang. Kartu Izin Pemakaian Tempat Berdagang (KIPTB) adalah kartu bukti perizinan pedagang yang mempergunakan tempat berdagang dalam areal pasar yang berlaku selama 1 tahun dan dapat diperpanjang. Setiap pedagang yang memakai tempat berdagang di pasar Pemerintah Daerah dalam areal pasar mempunyai hak sebagai berikut: a. memperoleh jasa pelayanan fasilitas pasar b. memperoleh pelayanan administrasi c. memperoleh pelayanan pemeliharaan pasar d. memperoleh pelayanan kebersihan dan keamanan Selain itu, pedagang yang memakai tempat berdagang di pasar Pemerintah Daerah di areal pasar mempunyai kewajiban sebagai berikut:
36
a. mempergunakan tempat berdagang sesuai fungsinya paling lambat 15 hari kalender sejak diterbitkannya KIPTB. b. memperdagangkan jenis barang atau jasa sesuai dengan komoditi yang telah ditetapkan c. mengatur penempatan jenis barang dengan rapi dan tidak membahayakan keselamatan umum serta tidak melebihi batas tempat berdagang yang menjadi haknya d. menjaga dan memelihara keamanan, ketenteraman, ketertiban, dan kebersihan di sekitar tempat berdagang e. menyediakan alat pemadam kebakaran, tempat sampah basah dan kering, dan alat-alat kebersihan f. membuang sampah ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Sementara yang disediakan oleh Pemerintah Daerah g. membayar retribusi sesuai peraturan perundang-undangan h. membayar biaya pemakaian listrik, air, serta fasilitas pasar lainnya i. mencegah terjadinya praktek perjudian dan perbuatan maksiat lainnya di sekitar tempat berdagang Penarikan retribusi harian berupa retribusi sesuai aturan daerah (Perda Kota Bogor Nomor 3 Tahun 2006) serta biaya listrik, air, dan fasilitas lainnya, dilakukan setelah satu jam Pasar Tradisional beroperasi atau pukul 07.00. Pedagang-pedagang pasar pengecer diperbolehkan untuk membuka usaha di luar
37
jam kegiatan namun tidak mendapatkan fasilitas layanan dari pengelola pasar, seperti unit keamanan dan kebersihan. Di sisi lain, pengelolaan Pasar Tradisional oleh swasta tidak diatur dalam Perda Kota Bogor. Hak dan kewajiban pedagang di Pasar Tradisional Swasta, dalam hal ini Pasar Induk Kemang yang dikelola PT. Galvindo Ampuh tidak jauh berbeda dengan hak dan kewajiban pedagang di Pasar Tradisional Pemerintah. Pedagang Pasar Pasar Induk Kemang mendapat hak untuk menyewa los dan kios berdasarkan izin yang dilakukan ke pihak PT. Galvindo Ampuh. Pedagang yang mendapat izin memiliki hak untuk berdagang, mendapat layanan fasilitias unit kebersihan dan keamanan. Pedagang berkewajiban membayar retribusi harian berupa sewa kios/los, kebersihan, dan keamanan. Menurut pengakuan pedagang-pedagang di Pasar Induk Kemang, harga sewa dan retribusi harian secara keseluruhan tidak begitu membebani terutama jika dibandingkan dengan retribusi yang dikenakan kepada pedagang-pedagang di Pasar Induk di luar Kota Bogor. 5.1.3 Kondisi Umum Pedagang Pasar Tradisional Penelitian ini mengambil responden pedagang-pedagang dari dua unit Pasar Tradisional, yaitu Pasar Baru Bogor sebagai Pasar Pengecer dan Pasar Induk Kemang sebagai Pasar Grosir. Kondisi umum pedagang dianalisis untuk melihat perkembangan pedagang pasar tradisional berdasarkan perbandingan dengan ciri khas pedagang pasar yang seringkali disampaikan dalam literaturliteratur, seperti pada Perda Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2005. Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dengan fasilitas yang sederhana, dikelola dengan
38
manajemen yang sederhana dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, ataupun tenda yang diisi oleh pedagang kecil, menengah, dan koperasi, dengan proses jual beli melalui tawar menawar. Berdasarkan jumlah responden dan hasil pengamatan, Pasar Baru Bogor memiliki proporsi pedagang yang cukup beragam. Sebagian besar pedagang Pasar Baru Bogor menjual komoditas yang biasa dijual di Pasar Tradisional seperti sayuran segar, bahan kebutuhan sehari-hari seperti sembako dan bahan makanan (bumbu masakan), seperti cabai dan rempah-rempah. Penjual ikan, baik ayam potong, daging sapi, daging kambing dan buah-buahan juga memiliki proporsi yang cukup tinggi. Kemudian terdapat cukup banyak pedagang yang menjual komoditi seperti kelapa santan, tahu tempe, telur dan beras. Sebagian kecil pedagang memiliki komoditas lebih spesifik seperti masakan matang, daging olahan, wadah plastik untuk keperluan katering, bahan untuk dagangan bakso, dan lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk Pasar Besar atau Pasar Kelas I, Pasar Baru Bogor memang menyediakan komoditas-komoditas yang cukup lengkap. Pasar Induk Kemang, adalah Pasar Grosir yang sebagian besar penjualnya adalah pedagang grosiran sayur mayur, seperti tomat, jagung, kol, sawi dan lainnya. Sebagian lainnya adalah penjual bahan-bahan masakan seperti rempah-rempah dan cabai. Kemudian terdapat sebagian kecil pedagang yang berjualan buah seperti jeruk. Pasar Induk Kemang sebagai pasar grosir belum bisa dianggap selengkap Pasar Induk sejenis seperti Pasar Induk Kramat Jati karena di Pasar ini tidak terdapat komoditi seperti daging.
39
Dalam penelitian, berdasarkan Gambar 5.1a, Toko Kecil atau Warung merupakan pangsa pembeli terbesar, baik dalam hal jumlah konsumen maupun jumlah barang yang dibeli di Pasar Baru Bogor. Sebanyak 33 persen dari responden Pasar Baru Bogor mengaku bahwa pelanggan utama mereka adalah Toko Kecil atau Warung yang berjualan di sekitar komplek perumahan, ataupun mengaku bahwa komoditas mereka dibeli untuk dijual kembali oleh pembelinya. Jika proporsi pelanggan Toko Kecil, pemilik rumah makan/katering dan pedagang keliling digabungkan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa 70 persen responden pedagang Pasar Baru Bogor barang dagangannya dibeli secara borongan untuk dijual kembali dengan atau tanpa merubah bentuk awalnya. Hal ini juga dapat disimpulkan walaupun Pasar Baru Bogor bukan Pasar Grosir, namun barang dagangannya masih dalam rantai distribusi ke pedagang pengecer yang lebih kecil sebelum akhirnya sampai ke konsumen.
Sumber: Data Primer, diolah. Gambar 5.1a Proporsi Pelanggan Utama Pasar Baru Bogor
40
Sesuai dengan statusnya sebagai Pasar Grosir, pelanggan utama Pasar Induk Kemang adalah pasar kecil atau pasar pengecer sebesar 50 persen, diikuti oleh Toko sebesar 33 persen, lalu pengusaha Rumah Makan sebanyak 17 persen. Saat ini pembeli potensial kebanyakan berasal dari Kota Bogor dan sekitarnya
Sumber: Data Primer, diolah. Gambar 5.1b Proporsi Pelanggan Utama Pasar Induk Kemang Tabel 5.1b menunjukan pemasok utama dari pedagang di kedua Pasar Tradisional. Pasar Baru Bogor sebagai pasar pengecer, sebanyak 53,33 persen responden pedagangnya menggunakan jasa agen atau pemasok profesional untuk mendapatkan komoditi barang tertentu. Biasanya agen tersebut mengirimkan langsung komoditi kepada pedagang Pasar Baru Bogor, agen-agen ini berasal dari berbagai penjuru Jawa, mulai dari Bandung, sampai dengan Jawa Timur. Sebagian adalah agen untuk komoditi yang tidak ditanam di sekitar Bogor. Sebesar 26,67 persen responden Pasar Baru Bogor membeli barang dagangannya dari Pasar Grosir di sekitar Bogor, untuk komoditi sayur-sayuran dan bahan makanan, beberapa pedagang membeli langsung dari Pasar Induk
41
Kemang, sedangkan untuk komoditi seperti Ikan, pedagang membeli di Pasar Induk Muara Angke. Hanya sebesar 13,33 persen pedagang yang memiliki akses untuk memperoleh komoditi langsung dari produsennya, pedagang-pedagang ini biasanya adalah pedagang daging ayam atau sapi yang mengambil barang langsung dari peternakan ataupun Rumah Potong Hewan (RPH) di Bogor dan sekitarnya. 6,67 persen pedagang yang memproduksi barang dagangannya sendiri biasanya adalah pedagang masakan matang ataupun beberapa pengusaha tahu dan tempe yang menjual langsung barang produksinya. Pada Pasar Induk Kemang, hampir semua pedagang mengandalkan Agen atau Pemasok Profesional untuk memperoleh komoditinya. Tabel 5.1. Proporsi Pemasok Barang Utama & Metode Pembayaran Pedagang Pasar Tradisional Pasar Baru Bogor % Metode Pembayaran Pemasok Utama Agen 53,33 Tunai Pasar Grosir 26,67 Kredit Produsen 13,33 Produksi Sendiri 6,67 Pasar Induk Kemang % Metode Pembayaran Pemasok Utama Agen 96,67 Tunai Produsen 3,33 Kredit Sumber: Data Primer, diolah.
% 56,67 43,33
% 86,67 13,33
Tabel 5.1 juga menjelaskan mengenai metode pembayaran pasokan barang yang datang. Pada Pasar Baru Bogor, metode pembayaran tunai dan kredit memiliki proporsi yang hampir serupa. Metode pembayaran kredit yang biasa diterapkan umumnya penundaan pembayaran selama beberapa hari hingga seminggu, ataupun pembayaran uang muka pada hari ini kemudian dilunasi esok harinya setelah barang laku dijual.
42
Pada Pasar Induk Kemang, sebesar 86,67 persen responden pedagang mengemukakan bahwa mereka membayar tunai ketika barang pasokan datang dikirim oleh agen. Ada pula pedagang yang meminta agen untuk menunggu sekitar 2-3 jam sebelum membayar barangnya. Umumnya hal ini dapat dilakukan karena transaksi penjualan grosir dengan pelanggan harian tetap yang datang pada jam yang sudah dijanjikan dapat berlangsung dengan cepat, sehingga dalam 2-3 jam barang dagangan sudah laku atau omset sudah memenuhi pembayaran kepada agen. Tabel 5.2. Sumber Modal Pedagang Pasar Tradisional Pasar Baru Bogor Sumber Modal Modal Sendiri Pinjaman dari Kerabat Bank
Pasar Induk Kemang % Sumber Modal 80,00 Modal Sendiri 10,00 Pinjaman dari Kerabat 10,00
% 93,33 6,67
Sumber: Data Primer, diolah. Berdasarkan tabel 5.2. pada kedua pasar yang diteliti, uang yang dimiliki oleh pedagang sendiri adalah sumber modal utama. Dengan proporsi yang sangat signifikan sebesar 80 persen pada Pasar Baru Bogor dan 93,33 persen pada Pasar Induk Bogor, jelas tergambar bahwa modal yang relatif kecil sebagai ciri khas dari pedagang Pasar Tradisional masih melekat hingga saat ini. Diakui oleh banyak responden pedagang di Pasar Baru Bogor, meski saat ini banyak bank-bank swasta ataupun rentenir menawarkan pinjaman berbunga kepada para pedagang untuk keperluan pengembangan usaha, mereka cenderung tidak berani untuk meminjam. Hal ini dikarenakan ketakutan mereka
43
akan jeratan bunga, pengetahuan mereka yang cukup minim, dan ketidakyakinan mereka untuk mengatur aliran uang jika memiliki uang yang cukup banyak. Lain halnya dengan Pasar Induk Kemang, diakui oleh mereka bahwa tidak ada tawaran dari Bank yang masuk ke dalam pasar untuk menawarkan kredit berjangka. Tambahan modal biasanya didapat dari kerabat ataupun seorang pedagang besar yang membantu pegawainya yang sudah mengabdi berpuluh tahun untuk memiliki usahanya sendiri. Namun para pedagang juga mengatakan sangat sulit mengembangkan usahanya lebih lanjut karena nilai uang yang terus merosot. Penelitian ini juga menganalisa mengenai metode dagang dari Pasar Tradisional, tawar-menawar yang menjadi citra utama dari Pasar Tradisioonal masih berlangsung. Keakraban antara pedagang dengan pelanggan juga terasa dengan banyaknya komunikasi antar keduanya. Hal tersebut juga membuat keterbukaan informasi mengenai margin harga jual di pasar tradisional dengan harga dari pemasok/pasar grosir sehingga biasanya tidak ada gap harga yang signifikan antar pedagang dengan komoditi yang serupa. Lebih lanjut mengenai metode dagang, dianalisis mengenai strategi utama mereka dalam menarik pembeli juga respon mereka terhadap persaingan antar pedagang. Pada tabel 5.3a, sebanyak 43,33 persen responden pedagang Pasar Baru Bogor mengakui bahwa persaingan ketat terjadi dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berada di luar pasar. Posisi strategis yang berada lebih dekat dengan jalan dan harga bersaing dianggap merupakan keunggulan PKL atas pedagang-pedagang di dalam pasar. Walaupun sebanyak 30 persen responden
44
menganggap saingan utamanya berada di dalam pasar (sesama pedagang), perlu diketahui bahwa sesama pedagang dalam pasar merasa bahwa tidak merasakan persaingan yang ketat walaupun banyak pedagang dalam pasar yang menjual komoditas yang sama, sehingga terdapat 16,67 persen pedagang Pasar Baru Bogor tidak menganggap adanya persaingan usaha walaupun sudah diyakinkan bahwa suatu bentuk bisnis pasti memiliki pesaing. Tabel 5.3a. Persaingan dan Strategi Pedagang Pasar Baru Bogor % Pesaing Terberat Strategi Menarik Pembeli Pedagang Kaki Lima 43,33 Barang lebih Berkualitas Pedagang lain dalam Pasar 30,00 Sikap baik dan Sopan santun Tidak tahu 16,67 Barang lebih Murah Toko Modern/Supermarket 6,67 Barang lebih Beragam Pasar Tradisional lain 3,33 lainnya Sumber: Data Primer, diolah.
% 43,33 36,67 13,33 3,33 3,33
Diteliti mengenai strategi, menjamin barang dengan kualitas prima diakui oleh pedagang responden Pasar Baru Bogor menjadi keunggulan utama mereka, sekaligus menjadi strategi dalam menarik pembeli (43,33 persen). Sebanyak 36,67 persen responden menganggap sikap baik dan sopan santun adalah hal utama untuk menarik pembeli agar menjadi pelanggan tetap. Berbeda halnya dengan Pasar Induk Kemang, pesaing terberat menurut pedagang responden Pasar Induk Kemang (76,67 persen) adalah pedagangpedagang lain di dalam pasar dan strategi utama mereka adalah kualitas barang yang tinggi agar pembeli tertarik berlangganan (53,33 persen). Pedagangpedagang di Pasar Induk Kemang lebih homogen dibanding dengan Pasar Baru Bogor. Dari hasil pengamatan, secara umum tidak ada keunggulan komparatif yang signifikan antara satu pedagang dengan pedagang lain, dilihat dari kualitas
45
komoditi, pengemasan dalam karung, variasi komoditi yang dijual hingga harga jual komoditi. Diduga kehomogenan ini disebabkan karena pedagang-pedagang ini memasok dari Agen atau distributor yang sama. Tabel 5.3b. Persaingan dan Strategi Pedagang Pasar Induk Kemang Pesaing Terberat Pedagang lain dalam Pasar Tidak tahu Pasar Tradisional lainnya
%
Strategi Menarik Pembeli 76,67 Barang lebih Berkualitas 13,33 Sikap baik dan Sopan santun 10,00 Barang lebih Murah lainnya
% 53,33 30,00 10,00 6,67
Sumber: Data Primer, diolah. Sebagian besar pedagang di kedua pasar tradisional mengatakan bahwa omset dan keuntungan mereka menurun dalam beberapa tahun terakhir. Di Pasar Baru Bogor penurunan omset terjadi tidak hanya pada pedagang yang menjual komoditi yang umum, seperti sayur mayur dan bahan masakan, namun juga terjadi pada pedagang dengan komoditi spesifik seperti pedagang bahan bakso dan masakan jadi. Pada Pasar Induk Kemang, penurunan terjadi pada komoditi sayur mayur dan bahan masakan. Pada gambar 5.2a, dapat dilihat bahwa di Pasar Baru Bogor hanya 34 persen responden yang mengatakan bahwa omset dan keuntungan harian mereka stabil atau meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Sementara 67 persen sisanya mengatakan bahwa omset dan keuntungan harian mereka secara rata-rata menurun.
46
Sumber: Data Primer, diolah. Gambar 5.2a. Pergerakan Omset dan Keuntungan Harian Rata-rata Pedagang Pasar Baru Bogor Pada Pasar Induk Kemang, hal yang hampir serupa juga terjadi. Sebanyak 34 persen responden mengatakan bahwa omset dan keuntungan mereka relatif stabil ataupun meningkat dibandingkan beberapa tahun lalu. Sedangkan 67 persen lainnya mengalami penurunan omset yang variatif antara 20-50 persen. per hari, otomatis juga berpengaruh ke omset dan keuntungan harian mereka. Pada Pasar Baru Bogor dan Pasar Induk Kemang, perubahan variasi barang dagangan dalam beberapa tahun terakhir tidak dipengaruhi oleh perubahan omset dan keuntungan. Umumnya pedagang Pasar Baru Bogor mengakui, penambahan atau pengurangan barang dagangan lebih dipengaruhi oleh tren yang ada. Artinya ketika banyak konsumen atau pelanggan menanyakan barang tersebut, maka sebisa mungkin pedagang menyediakan.
47
Sumber: Data Primer, diolah. Gambar 5.2b. Pergerakan Omset dan Keuntungan Harian Rata-rata Pedagang Pasar Induk Kemang Hal yang perlu diingat adalah penurunan omset dan keuntungan saat ini yang cukup signifikan bukan berarti indikasi bahwa pedagang pasar tradisional mengalami kerugian secara menyeluruh. Untuk menanggulanginya, pedagangpedagang kedua pasar biasanya akan mengurangi pembelian barang dagangan dari agen. Hal tersebut dilakukan untuk menekan seluruh tekanan biaya dan penurunan omset, sehingga sebisa mungkin pedagang mampu menjual barang dagangan yang dibelinya secara efisien. Sampai Juni 2010, tercatat di Disperindagkop Kota Bogor jumlah penggunaan kios dan los yang menggambarkan banyaknya pedagang pasar Tradisional di Kota Bogor sebagaimana yang dipaparkan pada tabel 5.4 di bawah. Dari data terakhir tersebut dapat disimpulkan secara menyeluruh jumlah kios dan los yang buka hanya sekitar 50% dari jumlah total yang tersedia.
48
Tabel 5.4 Jumlah Penggunaan Kios dan Los di 7 Pasar Tradisional Kota Bogor Kios
Los
Nama Pasar Buka Baru Bogor
Tutup
Buka
Tutup
Buka
Tutup
1.186
785
1.971
185
95
280
Sukasari
98
131
229
36
86
122
Jambu Dua
101
619
720
9
27
36
Padasuka
14
17
31
44
137
181
Gunung Batu
95
32
127
57
32
127
Merdeka
98
488
586
197
187
384
K. Kembang
151
167
818
700
828
1.528
2.243
2.239
4.482
1.228
1.397
2.607
Sumber: Disperindagkop Kota Bogor, 2010. Di Pasar Induk Kemang, pedagang-pedagang yang telah berjualan sejak pasar ini berdiri mengatakan bahwa dari tahun ke tahun jumlah pedagang di Pasar Induk Kemang semakin bertambah. Walaupun secara bertambah, diakui oleh pedagang, beberapa pedagang juga gulung tikar, sehingga tetap ada beberapa bagian kosong pada los. Pada bagian kios dekat dengan pintu masuk, hanya terdapat 3-5 kios yang terisi, yaitu yang menghadap ke jalan utama pasar ini, sisanya tidak dihuni atau diisi dalam jangka waktu yang lama. Umumnya, pedagang-pedagang Pasar Induk Kemang adalah pedagang grosir yang direlokasi dari Pasar Induk Ramayana, beberapa sempat berjualan di Pasar Induk Jambu Dua namun karena beberapa ketidaksesuaian mereka memilih untuk berjualan di Pasar Induk Kemang. Pedagang-pedagang Pasar Induk Kemang juga berasal dari pindahan Pasar Induk dari kota sekitar Bogor, misalnya Pasar Induk Kramat Jati. Menurut pengakuan pedagang yang pindah dari kota
49
lain, di Pasar Induk Kemang persaingan dan jumlah pedagangnya masih relatif tidak ketat, sehingga cukup potensial untuk mencoba mencari keuntungan lebih. Sedangkan beberapa pedagang lain pindah dalam rangka mencari suasana yang lebih tenang dalam berdagang, karena Pasar Induk Kramat Jati sangat semrawut. Dari sisi pembeli, sebagian besar pedagang di kedua pasar mengakui bahwa jumlah pembeli harian di pasar turun drastis. Pada Pasar Baru Bogor, penurunan jumlah pembeli signifikan terlihat dengan aktifitas pasar yang ramai hanya berlangsung beberapa jam saja. Pasar Baru Bogor biasanya ramai sejak pukul 06.00 hingga pukul 10.00, mulai pukul 11.00 jumlah pembeli berangsur turun. Hal ini menyebabkan beberapa pedagang sudah tutup sejak pukul 15.00 walaupun oleh pihak PD Pasar Pakuan Jaya pedagang diizinkan berdagang sampai pukul 18.00. Lain halnya dengan Pasar Induk Kemang, penurunan pembeli atau pelanggan disebabkan karena dibukanya beberapa pasar induk baru di kota-kota sekitar Bogor, misalnya Pasar Induk Tanah Tinggi di Tangerang yang baru buka sekitar 3 tahun yang lalu. Pelanggan-pelanggan potensial Pasar Induk Kemang yang datang dari daerah Tangerang dan Serang memilih untuk berbelanja di pasar induk baru tersebut karena letaknya yang lebih dekat untuk menekan biaya transportasi. Pasar Induk Kemang buka selama 24 jam, namun pasar tradisional ini aktif hanya beberapa jam saja. Biasanya kegiatan pasar dimulai ketika barang dagangan mereka datang dikirim oleh agen, yaitu sekitar pukul 14.00 hingga sore hari. Selanjutnya beberapa komoditi seperti bawang dikupas dan dibersihkan
50
untuk kemudian dikemas ke dalam karung baru kemudian dijual. Pelanggan yang kebanyakan toko kecil, pedagang pasar eceran, maupun PKL datang pada pukul 18.00 hingga dini hari. Masa ramai transaksi Pasar Induk Kemang relatif singkat sekitar 4-6 jam. Melihat dari pemaparan di atas, dari beberapa poin seperti pergerakan omset, jumlah pedagang dan pembeli di pasar, dan jam aktif transaksi pasar, bisa disimpulkan bahwa saat ini kinerja pasar tradisional di kedua pasar sampel dikatakan lesu. Dari keseluruhan penelitian diatas, teori SCP digunakan untuk merangkum dan memberikan kekuatan teori dalam menyimpulkan kondisi terkini Pasar Tradisional. Teori ini kemudian dipecah dalam 3 kategori pengamatan yaitu Structure (Struktur Pasar), Conduct (Penyelenggaraan), dan
Performance
(Performa) yang kemudian dirangkum kembali untuk menggambarkan Pasar Tradisional sebagai suatu organisasi industri yang khas. Market Structure atau struktur pasar dari Pasar Tradisional memiliki konsentrasi penjual yang cukup merata, dapat dilihat dari jumlah penjual yang cukup banyak dan ukuran pedagang dalam kios/los yang tidak berbeda secara signifikan sehingga struktur pasar di Pasar Tradisional tidak terkonsentrasi kepada beberapa pedagang besar. Pasar Tradisional juga tidak memiliki hambatan masuk maupun keluar terhadap pedagang, perizinan diatur oleh pemerintah Kota Bogor selaku pengelola Pasar Tradisional tidak membatasi siapapun untuk berusaha asalkan memenuhi syarat administrasi. Konsentrasi dari pembeli juga tersebar luas baik jumlah maupun variasi golongan masyarakat dari berbagai kalangan. dapat disimpulkan bahwa struktur pasar dari Pasar Tradisional mendekati Pasar Persaingan Sempurna.
51
Conduct dari Pasar Tradisional mencakup pembentukan harga, riset dan pengembangan, dan investasi. Dari sisi pembentukan harga, di Pasar Tradisional seorang pedagang tidak mampu membentuk harga, pembentukan harga terjadi tanpa ada pengaruh dari luar. Harga komoditi dari agen ditambah sedikit margin untuk keuntungan pedagang adalah harga komoditi pasar pada umumnya. Keterbukaan harga antara pedagang dan pembeli yang selalu menawar barang dagangannya membuat tidak ada perbedaan harga komoditi yang siginifikan antar pedagang. Berkaitan dengan pengembangan dan promosi, pedagang Pasar Tradisional masih memberlakukan sistem tradisional tawar menawar dan keramahan sebagai kunci untuk menarik pembeli. Investasi yang dilakukan pedagang juga tergolong tradisional dengan tetap mengandalkan sumber modal perorangan walaupun kredit bank seringkali ditawarkan. Secara umum dengan kondisi seperti ini, kecil kemungkinan terjadinya kolusi beberapa pedagang untuk mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Performance atau performa dari Pasar Tradisional biasanya digambarkan dengan omset dan keuntungan harian pedagang. Meratanya jumlah pembeli dan penjual di industri ini menghilangkan adanya dominasi seorang penjual sehingga dapat memengaruhi omset dan keuntungan dari pedagang lain secara signifikan. Struktur pasar seperti yang dicirikan sebelumnya juga membuat Pasar Tradisional secara keseluruhan bersifat homogen tanpa konsentrasi terhadap beberapa pedagang
saja
sehingga
Pasar
Tradisional
dikatakan
kompetitif
antar
pedagangnya. Secara konklusif melalui teori SCP, Pasar Tradisional memiliki struktur industri yang hampir bersifat PPS, dan merupakan pasar yang mendekati ideal. Namun sayangnya, pedagang di Pasar Tradisional terkendala oleh masalah-
52
masalah yang menyebabkan turunnya pembeli harian dan keuntungan harian, hal ini disebabkan oleh beberapa hal yang kemudian dianalisis sebagai permasalahan yang terjadi di Pasar Tradisional. 5.2. Analisis Permasalahan Pasar Tradisional di Kota Bogor Dari wawancara mendalam dengan pedagang Pasar Baru Bogor, sebagian kecil pedagang menganggap infrastruktur Pasar Baru Bogor termasuk penyebab kelesuan. Sebagian lain menganggap bahwa fluktuasi harga komiditi yang dijual menyebabkan kelesuan. Namun diyakini oleh pedagang Pasar Baru Bogor, terutama pedagang yang menjual sayur mayur dan bahan makanan pokok, hal yang menjadi sumber permasalahan kelesuan pasar saat ini adalah semakin menajamnya persaingan tidak sehat dengan PKL. Pada Pasar Induk Kemang, permasalahan utama terletak pada harga komoditi dari agen yang mengambil langsung dari perkebunan. Fluktuasi harga dan lonjakan yang terjadi beberapa kali dalam setahun menyebabkan pedagang kesulitan mempertahankan volume barang dagangan per hari. Hal ini diperburuk oleh jumlah pembeli yang semakin sedikit karena meningkatnya jumlah Pasar Induk di sekitar Kota Bogor. Pelanggan pun mengurangi volume belanja harian mereka akibat penurunan omset dagangan mereka di pasar tradisional eceran yang disebabkan oleh masalah internal tersendiri, seperti halnya yang terjadi di Pasar Baru Bogor.
53
5.2.1. Analisis Dampak Permasalahan Infrastruktur dan Pelayanan Pasar Tradisional Diakui oleh pedagang bahwa beberapa pelanggan mengeluhkan infrastruktur yang buruk, tapi tidak sampai enggan untuk berbelanja di Pasar Baru Bogor. Contoh kekurangan infrastruktur adalah sempitnya tempat parkir untuk Pasar Baru Bogor. Tempat parkir Pasar Baru Bogor hanya mampu memuat tidak sampai 30 mobil, ruas tempat parkir sendiri sebagian digunakan oleh beberapa PKL untuk berjualan, ditambah lagi untuk menaruh sampah sementara sebelum dibawa ke TPS di belakang pasar. Sementara sebagaimana bab sebelumnya membahas, pelanggan utama Pasar Baru Bogor adalah toko kecil atau pengusaha rumah makan yang membeli secara borongan. Kebanyakan pelanggan mengeluhkan sulitnya mendapatkan parkir dan mengangkut barang belanja dari pasar ke dalam mobil. Masalah infrastruktur kedua adalah masalah kebersihan. Walaupun dalam penelitian sebanyak 76,67 persen pedagang responden dari Pasar Baru Bogor menganggap pasar sudah cukup bersih, nyatanya sampah dan kotoran ada dimana-mana. Terbukti ketika hujan besar, air menggenang beberapa sentimeter terutama di daerah pinggir pasar, sehingga beberapa pedagang mengakui ketika hujan ataupun setelah hujan besar, biasanya pembeli semakin sedikit yang datang ke pasar karena kotor yang semakin parah dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. PD Pasar Pakuan Jaya mengakui bahwa masalah kebersihan sudah cukup lama menjadi perdebatan. Oleh karena itu, berdasarkan kesepakatan bersama antara pengelola dan pedagang, kebersihan menjadi tanggung jawab bersama.
54
Sistematika pengelolaan kebersihan bersama sebetulnya tercantum dalam hak dan kewajiban pedagang sesuai Perda Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2005 dimana seharusnya pedagang memang menyediakan sendiri tempat sampah masingmasing. Nyatanya, pedagang tetap membuang sampah ke lantai, hanya beberapa pedagang responden yang mengakui bahwa mereka menyediakan sendiri tempat sampahnya. Hampir seluruh pedagang menganggap retribusi harian secara total juga memuat biaya untuk kebersihan, padahal tidak seperti itu. PD Pasar Pakuan Jaya mengakui pungutan atau retribusi harian tidak mencantumkan iuran untuk kebersihan, hal tersebut dilakukan agar tidak ada pihak yang melempar tanggung jawab kepada pihak lain. Terjadi ketidaksamaan persepsi mengenai tanggung jawab kebersihan diduga menjadi pemicu ketidakpeduliaan pedagang akan kebersihan. Walaupun tidak ditarik iuran kebersihan, PD Pasar Pakuan Jaya memiliki unit kebersihan yang membersihkan sampah. Lebih lanjut PD Pasar Pakuan Jaya mengatakan bahwa, beberapa tahun lalu pernah dilakukan sebuah solusi untuk masalah kebersihan yaitu pihak pengelola menyediakan kantung sampah untuk tiap kios dan los di seluruh pasar. Tapi nyatanya kantung sampah tersebut justru dibiarkan begitu saja menggantung di pinggir toko sebelum akhirnya diambil oleh pemulung. PD Pasar Pakuan Jaya mengakui ketidakpeduliaan akan kebersihan yang berlarut-larut ini disebabkan tidak adanya sanksi keras bagi pedagang yang melanggar aturan. Di satu sisi, kebanyakan pedagang menganggap unit kebersihan terlalu sedikit dan jarang membersihkan sampah terutama pada jam ramai pasar.
55
Untuk kebersihan, PT Galvindo Ampuh memang memberlakukan iuran kebersihan, selain keamanan dan sewa harian. Dari hasil pengamatan, pedagang di Pasar Induk Kemang tidak jauh berbeda dengan pedagang di Pasar Baru Bogor, mereka sama tidak peduli soal kebersihan. Selama periode penelitian, pedagang yang memiliki sampah seperti kulit bawang memang menampung sampahnya kemudian menunggu petugas untuk kemudian dibuang. Namun beberapa kali terlihat pedagang langsung membuang begitu saja barang dagangan yang dianggap cacat dan tidak sedikit pedagang yang melakukan. Ruas jalan antar bangunan di Pasar Induk Kemang dipenuhi oleh sampah terutama saat pengepakan, puncaknya adalah malam hari sebelum akhirnya diangkut oleh unit kebersihan. Akumulasi dari keacuhan tersebut signifikan terlihat, untuk pasar tradisional yang berumur kurang dari 10 tahun, ruas jalan Pasar Induk Kemang bisa dikatakan rusak dan bergelombang akibat dari sampahsampah tersebut, terutama di bagian belakang pasar yang jarang dilalui mobil. Pedagang-pedagang sendiri mengatakan bahwa unit kebersihan Pasar Induk Kemang sangatlah sedikit dan mobil pengangkutnya bisa dikatakan tidak layak, ditambah lagi pengangkutan sampah dilakukan hanya pada malam hari. Terkait dengan infrastruktur, kondisi bangunan di kedua pasar bisa dikatakan sebagai bangunan pasar tradisional pada umumnya. Pasar Baru Bogor berumur sekitar 15 tahun setelah dibangun menjadi dua lantai bersamaan dengan pembangunan Plaza Bogor di depannya, sedangkan Pasar Induk Kemang berumur sekitar 9 tahun. Pada Pasar Baru Bogor, bangunan tidak bisa dikatakan dalam kondisi baik, namun pedagang mengatakan bahwa pasar ini bangunannya cukup baik jika dibandingkan dengan pasar tradisional lain yang pernah terjadi
56
kebakaran besar beberapa kali. Pada Pasar Induk Kemang, beberapa pedagang mengeluhkan tentang konstruksi atap yang membuat panas sehingga beberapa pedagang menjadi tidak nyaman ketika berdagang di siang hari. Keamanan dalam pasar untuk kedua pasar dikatakan cukup baik. Pada Pasar Baru Bogor, unit keamanan cukup siaga di dalam dan luar pasar, ditambah lagi beberapa pedagang di dalam pasar yang berjualan 24 jam membuat jengah untuk pencuri. Di Pasar Induk Kemang, keamanan bisa dikatakan cukup baik. Tersedia unit keamanan di beberapa lokasi dalam areal pasar. Namun beberapa pedagang mengeluhkan pengawasan dari unit keamanan, unit keamanan Pasar Induk Kemang kurang intensif dalam berpatroli, ditambah lagi keadaan ramai pasar terjadi saat malam hari, sehingga pedagang harus tetap waspada terhadap pengutil. 5.2.2 Analisis Dampak Fluktuasi Harga dan Penurunan Dayabeli Konsumen Untuk fluktuasi harga, pedagang Pasar Induk Kemang menganggap masalah utama dalam pergerakan omset dan keuntungan, juga keramaian pasar. Peningkatan sedikit saja harga menyebabkan perubahan besar dalam volume transaksi grosir harian dalam hitungan puluhan kilo. Fluktuasi omset dan keuntungan secara umum dapat berubah-ubah tergantung kiriman dari agen, semakin langka barang yang dikirim akan semakin mahal harganya. Namun secara umum tetap lonjakan harga dan menurunnya nilai uang menyebabkan kemampuan pembelian dari Pasar Induk Kemang ke agen menurun drastis dalam beberapa tahun.
57
Seorang pedagang mengakui dengan jumlah uang yang sama saat ini, hanya bisa membeli setengah dari volume barang jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Saat penelitian dilakukan, memang terjadi lonjakan harga pada hampir seluruh komoditi yang ada di Pasar Induk Kemang. Diakui pedagang, biasanya lonjakan harga terjadi menjelang Hari Raya, namun tahun ini terjadi beberapa bulan sebelum Bulan Ramadhan sehingga sangat mungkin akan terjadi lonjakan lagi. Dayabeli konsumen menurun juga menyebabkan penurunan omset di Pasar Induk Kemang. Konsumen utama pasar ini adalah Pasar-pasar pengecer dari Bogor dan sekitarnya juga saat ini mengalami keluhan yang sama, yaitu menurunnya dayabeli konsumen pasar pengecer. Efek domino terjadi dimulai dari konsumen akhir dari ibu rumah tangga (IRT), akibat lonjakan harga IRT mengurangi belanjanya ke tukang sayur keliling ataupun pasar pengecer. Menurunnya volume belanja konsumen menyebabkan penurunan omset dari pasar pengecer. Pasar pengecer merespon dengan membeli komoditi lebih sedikit ke Pasar Grosir ataupun agen sehingga omset dari pasar grosir ikut menurun. Pasar Induk Kemang mendapat tekanan penurunan omset dari melonjaknya harga dan penurunan volume belanja dari pelanggan utama mereka. Diakui baik di Pasar Induk Kemang maupun Pasar Baru Bogor, sulitnya meyakinkan pelanggan bahwa terjadi lonjakan harga, karena di satu sisi konsumen memiliki keterbatasan dana untuk berbelanja karena nilai mata uang yang semakin kecil. Turunnya dayabeli konsumen menyebabkan ibu rumah tangga memilih untuk berbelanja harian di sekitar perumahan mereka, yaitu dari tukang sayur keliling ataupun warung. IRT lebih sering mengunjungi Pasar
58
Tradisional pada akhir minggu, biasanya saat ingin mengadakan pesta atau syukuran sehingga membeli dalam volume lebih banyak, bukan belanja harian. 5.2.3 Analisis Masalah Persaingan Tidak Sehat dan Keberadaan PKL terhadap Pasar Tradisional Berbeda dengan hipotesis awal penelitian yang terfokus bagaimana dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi ekspansi Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan Modern berdampak buruk bagi Pasar-pasar Tradisional yang telah ada lebih dulu. Berdasarkan wawancara mendalam dengan pedagang-pedagang kedua pasar, Pasar Induk Kemang mengakui bahwa keberadaan Toko Modern, baik supermarket eceran hingga skala besar seperti Hipermarket tidak mempengaruhi kinerja bisnis mereka, apalagi bersaing. Hal ini disebabkan karena pangsa pasar Pasar Induk Kemang signifikan berbeda dengan Toko Modern. Sangat kecil kemungkinan untuk pelanggan Pasar Induk Kemang yang kebanyakan menjual sayur mayur dan bahan masakan ini untuk membeli dari Toko Modern, jelas alasannya adalah perbedaan harga dan skala pembelian grosir antara Pasar Induk Kemang dengan Pasar Modern cukup terpaut jauh. Hal serupa diakui oleh pedagang-pedagang Pasar Baru Bogor. Ibu rumah tangga mengakui berbelanja di Pasar Tradisional jauh lebih nyaman, terutama sifatnya yang terbuka terhadap seluruh kalangan masyarakat. Toko Modern dianggap oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah belum cocok untuk dijadikan tempat belanja harian karena segala kemewahannya dan harganya lebih mahal. Pasar Tradisional dan Toko Modern dipercaya masih memiliki segmentasi yang berbeda, Pasar Tradisional masih identik dengan masyarakat menengah ke bawah sedangkan Toko Modern untuk kalangan atas. Namun diakui
59
oleh pedagang Pasar Baru Bogor, tidak sedikit ibu rumah tangga datang dengan mobil mewah tetap berbelanja di Pasar Tradisional. Menurutnya hal tersebut cukup realistis karena memang kualitas beberapa komoditas seperti sayur mayur dan daging tidak terpaut jauh namun dengan harga yang lebih murah. Pengusaha rumah makan skala kecil juga mengakui, alasan berbelanja di Pasar Tradisional dibandingkan Toko Modern adalah karena lebih murah dengan kualitas yang tidak terpaut jauh, dan karena kedekatan pelanggan dengan pedagang pasar, dapat diberlakukan sistem kredit atau bayar di waktu yang sudah ditentukan, biasanya pembayaran ditunda di akhir minggu. Pasar Baru Bogor yang jelas berhadapan langsung dengan Plaza Bogor yang di dalamnya Supermarket milik Yogya Departement Store dan Robinson Department Store, serta terdapat dua Pusat Perbelanjaan Modern dalam jarak kurang dari dua kilometer yaitu, Bogor Trade Mall dan Botani Square. Permasalahan internal yang dihadapi oleh pedagang pasar tradisional membuat mereka tidak peka terhadap pesaing yang lebih potensial. Pasar Modern dengan kematangan manajerial dan kekuatan modal dapat mengancam Pasar Tradisional, terutama erat kaitannya dengan konsumen ibu rumah tangga yang menginginkan kenyamanan. Sayangnya, baik pengelola dan pedagang saat ini belum menyadari bahaya dari Pasar Modern tersebut Berdasarkan survey penelitian lain di Ilmu Ekonomi IPB, sebanyak 8 pedagang dari 22 pedagang yang mengaku mengalami penurunan omset melakukan PHK terhadap pekerjanya. PHK dilakukan untuk menutupi biaya operasional yang semakin meningkat. Untuk mempertahankan kelangsungan usahanya maka para pedagang mengurangi jumlah tenaga kerja yang
60
dipekerjakan14. Hal ini kemudian juga diperkuat oleh penelitian SMERU pada tahun 2007. Analisis dampak kuantitatif mengungkapkan hasil analisis stasitistik untuk berbagai indikator kinerja pasar tradisional, seperti keuntungan, omzet, dan jumlah pegawai. Di antara ketiga indikator kinerja tersebut di atas, supermarket secara statistik hanya berdampak pada jumlah pegawai yang dipekerjakan oleh pedagang pasar tradisional. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah pegawai yang dipekerjakan oleh pedagang pasar tradisional menjadi berkurang bila keberadaan pasar dekat dengan supermarket, dan demikian sebaliknya15. Sejauh ini pedagang yakin bukan Pasar Modern yang bersaing ketat dengan mereka, melainkan PKL yang semakin ramai di luar pasar. Mereka mengakui persaingan semakin tidak sehat dengan PKL karena mereka sama-sama tahu bahwa kegiatan PKL di luar pasar menurut hukum adalah ilegal dan diluar tanggung jawab PD Pasar Pakuan Jaya sehingga tidak dipungut biaya resmi sebagai pemasukan PAD untuk Kota Bogor. Saat ini PKL memenuhi ruas jalan sekitar Pasar Baru Bogor pada siang hari, mulai dari sekitar jalan roda, ruas jalan kecil sepanjang jalan Suryakencana, sampai ruko-ruko lama daerah pecinan di Jalan Pedati sekarang digunakan untuk berjualan sayur mayur dan bahan kebutuhan pokok. Pedagang dan pengelola Pasar Baru Bogor meyakini bahwa trigger dari fenomena menjamurnya PKL adalah setelah relokasi Pasar Induk Ramayana yang tidak berjalan efektif. 14
15
Ningsih, Eka Sari. 2006. Dampak Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Penyerapan dan Pengurangan Tenaga Kerja di Kota Bogor. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor. Hal 68. Suryadarma et all. 2007. Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia. Jakarta : Lembaga Penelitian SMERU. Hal 32-33.
61
Relokasi pedagang Pasar Induk Ramayana dilakukan setelah Pasar Induk Jambu Dua, Pasar Induk Kemang dan Pasar Grosir Cimanggu siap dihuni. Permasalahan relokasi muncul dimulai dari pedagang eceran dan grosir dari Pasar Induk Ramayana yang memiliki kompensasi untuk menempati kios dan los di Pasar Induk Jambu Dua. Mereka menganggap Pasar Induk Jambu Dua tidak sesuai dengan janji pemerintah. Pemerintah menjanjikan bahwa Pasar Induk baru terletak di depan jalan utama seperti halnya Pasar Induk Ramayana, nyatanya Pasar Induk Jambu Dua terletak di belakang Plaza Jambu Dua. Pihak pedagang grosir juga mengeluhkan soal konstruksi tingkat untuk bongkar muat berkilo karung dalam sehari akan sangat menyulitkan untuk grosiran. Akibatnya Pasar Induk Jambu Dua hanya penuh beberapa bulan saja. Para pedagang grosir memilih untuk berdagang di Pasar Induk Kemang, dan pedagang eceran pindah menjadi PKL pasar siang di ruas Jalan MA Salmun, Dewi Sartika dan Nyi Raja Permas yang merupakan trayek angkot menuju Pasar Kebon Kembang. Pedagang eceran juga menjadi PKL pasar malam di Jalan Suryakencana, Jalan Roda dan jalan-jalan kecil sekitar Pasar Baru Bogor. Menurut Renstra Kota Bogor 2005-2009 dalam isu strategis terkait PKL, PKLPKL di sekitar Pasar Kebon Kembang dan Pasar Baru Bogor tergolong ke dalam pasar tumpah. Diakui oleh PD Pasar Pakuan Jaya, penyelenggaraan kegiatan pasar di luar jam aktif pasar yang ditentukan, yaitu 06.00-18.00 untuk pasar pengecer dan di luar daerah 7 pasar tradisional utama Kota Bogor adalah di luar tanggung jawab PD Pasar Pakuan Jaya. Kegiatan pasar hanya dilakukan oleh PD Pasar Pakuan Jaya yang ditunjuk oleh Pemerintah Kota Bogor, sehingga di luar koridor tersebut,
62
PD Pasar Pakuan Jaya menyatakan oknum terlibat dalam kegiatan tersebut. PD Pasar Pakuan Jaya juga tidak berhak dan berkewajiban untuk memberikan fasilitas terhadap PKL dan PKL tidak berkewajiban memberikan retribusi resmi untuk PAD Kota Bogor. Sehingga kegiatan PKL bisa dikatakan ilegal. PD Pasar Pakuan Jaya unit Pasar Baru Bogor mengatakan bahwa pihak pengelola pasar menyadari bahwa PKL merupakan sektor informal masyarakat kecil Kota Bogor yang berjumlah ribuan. PD Pasar Pakuan Jaya memberlakukan program PKL Binaan dalam rangka merangkul PKL sekitar pasar sehingga PKL tersebut resmi. PKL Binaan harus mengajukan KIPTB seperti pedagang dalam pasar dan akan ditarik retribusi resmi yang sama dengan pedagang dalam pasar. PKL Binaan mendapatkan pelayanan dari PD Pasar Pakuan Jaya dan berada dalam tanggung jawab pengelola. PKL Binaan Pasar Baru Bogor terletak di sepanjang koridor ruko lama Jalan Roda hingga sekitar pasar, umumnya berjualan buah-buahan. Fenomena pasar tumpah yang terjadi malam hari disetujui secara informal oleh pedagang Pasar Baru Bogor karena toleransi tinggi terhadap sesama pedagang pasar tradisional. Pasar malam ini awalnya aktif sejak pukul 22.00 hingga 04.30, terlihat dari pedagang yang berjualan di ruas Jalan Suryakencana. Menjamurnya fenomena ini tanpa tindak penertiban membuat semakin banyak PKL yang bergabung. Saat ini „rantai‟ pedagang Pasar Malam yang berjualan di badan jalan dimulai dari daerah sekitar Bogor Trade Mall memanjang hingga Museum Zoologi Bogor, berlanjut ke Jalan Suryakencana hingga perempatan Gang Aut.
63
Biasanya pasar malam ini dibubarkan ketika pagi hari, saat polisi datang untuk menertibkan jalan agar tidak terjadi kemacetan. Namun akibat tidak adanya tindakan tegas, saat ini masih ada ratusan PKL yang berjualan di ruas jalan kecil di sekitar Pasar Baru Bogor yang tidak ikut ditertibkan oleh polisi di pagi hari karena memang tidak termasuk jalur aktif berangkat kerja. Hal inilah yang kemudian membuat PKL akhirnya membawa pengaruh buruk bagi pedagangpedagang resmi. Diakui oleh pedagang Pasar Baru Bogor, bahwa mereka memahami PKL juga mencari uang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sama seperti mereka. Namun di satu sisi, mereka juga tidak setuju kalau kemudian harus bersaing dengan mereka. Alasannya adalah retribusi resmi pemerintah jauh lebih tinggi dibanding retribusi „oknum‟ yang dibayarkan PKL ke pihak ketiga penyelenggara pasar. Karena itu, PKL dapat memasang harga jual lebih murah dan terletak di jalan sehingga konsumen lebih mudah mengakses. Keluhan soal membanting harga juga diakui oleh pedagang dalam pasar. PKL sudah berjualan dari malam hari, pelanggan-pelanggan mereka yang kebanyakan adalah tukang sayur keliling sudah membeli banyak barang dagangan mereka. Saat pagi hari ketika stok barang tersisa sedikit, biasanya PKL membanting harga jual menjadi signifikan lebih murah dalam rangka menghabiskan stok. Konsumen pasar yang datang di pagi hari tentu akan membandingkan harga di dalam pasar dan di luar pasar, sehingga mau tidak mau pedagang dalam pasar harus menyesuaikan harga agar konsumen tidak pergi.
64
Pedagang dalam Pasar Baru Bogor mengakui, keunggulan mereka terhadap PKL di luar pasar adalah mereka menyediakan barang dengan kondisi dan kualitas kelas satu, sedangkan PKL menyediakan barang kelas dua sehingga bisa menjual dengan harga yang lebih murah. Pedagang dalam pasar juga mengklaim kejujuran dalam tiap timbangan mereka, dan berani membandingkan soal kejujuran timbangan dengan PKL yang diakui mereka sering mengakali timbangan hingga 80% keakuratan. Dari sisi pengelola, keberadaan PKL saat ini cukup menyulitkan untuk Pasar Baru Bogor. PD Pasar Pakuan Jaya tidak memiliki hak untuk menertibkan PKL. Tanggung jawab pengelolaan ketertiban PKL diserahkan Pemerintah Kota Bogor melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). PD Pasar Pakuan Jaya memberikan solusi kepada pedagang pasar tradisional dengan memberikan izin untuk buka sejak pukul 04.00 sehingga bisa bersaing lebih awal dengan PKL. Pelayanan pasar oleh pengelola sudah dimulai sejak pukul 05.00. namun diakui oleh pedagang, saat ini dibutuhkan penertiban karena sekarang keberadaan PKL yang memotong konsumen untuk berbelanja di luar pasar sudah sangat parah. Menurut beberapa pedagang, pada jam aktif pasar sekitar pukul 06.00-08.00, saat ini justru di luar pasar lebih ramai dibanding di dalam pasar. Tindakan penertiban PKL memang disetujui oleh pedagang dan pengelola pasar sebagai solusi atas tekanan persaingan yang tidak sehat ini. Namun kata penertiban tersebut harus didalami lebih lanjut. Pedagang dalam Pasar Tradisional menganggap PKL bukanlah musuh atau ancaman, tindakan strategi membanting harga dilakukan dalam rangka memenuhi target keuntungan harian mereka, bukan untuk mematikan pesaing. Yang tidak disetujui oleh
65
pedagang dalam Pasar Baru Bogor adalah benturan jam buka antara PKL dan Pedagang Pasar Baru Bogor. Dari sisi pengelola, diakui sulit sekali membuat PKL masuk menjadi pedagang resmi pasar, padahal semua pasar Kota Bogor, dari pasar besar seperti Pasar Baru Bogor hingga pasar-pasar kecil seperti Pasar Gunung Batu masih memiliki banyak kios dan los untuk dihuni. PKL tetap menganggap berjualan di pinggir jalan terutama di pusat kota menjadi pilihan terbaik untuk mendapat konsumen, dan menghindari dari penarikan retribusi resmi yang dianggap oleh pedagang kecil memberatkan. Sekali lagi, masalah aplikasi dari sanksi terhadap PKL menjadi masalah utama dalam penertiban ini. Walaupun PKL menjadi masalah utama dalam penurunan omset dan keuntungan serta jumlah pembeli harian di Pasar Baru Bogor, hal bertentangan justru diakui oleh pedagang Pasar Induk Kemang. Pedagang Pasar Kemang mengalami penurunan omset dan keuntungan karena pembeli harian dan pelanggan mereka kebanyakan memilih Pasar Induk yang lebih dekat dengan mereka. Kebanyakan pelanggan ini adalah pedagang-pedagang eceran dari daerah Banten seperti Tangerang dan Serang yang saat ini sudah memiliki Pasar Induk sendiri di Tangerang, yaitu Pasar Induk Tanah Tinggi. Hal ini menyebabkan pedagang Pasar Induk Kemang sangat bergantung kepada konsumen yang berasal dari Kota dan Kabupaten Bogor. Sebanyak kurang lebih 4.000 PKL yang kebanyakan menjual sayur mayur dan bahan masakan yang merupakan komoditi yang dijual di Pasar Induk Kemang. Tentu saja pedagang Pasar Induk Kemang menganggap PKL merupakan
66
pangsa pasar potensial. Ketika ditanyakan pendapat mereka jika terjadi penertiban PKL, kebanyakan dari pedagang Pasar Induk Kemang menganggap jelas hilangnya PKL akan signifikan berpengaruh terhadap omset dan keuntungan harian mereka, karena beberapa pedagang mengaku bahwa pelanggan utama mereka adalah PKL di pasar tertentu. 5.2.4. Analisa Permasalahan Struktural Pasar Tradisional Terdapat problematika Pasar Tradisional saat ini, terutama permasalahan tekanan persaingan dengan Toko Modern dan PKL. Toko Modern yang berkembang seiring dengan gelombang masuk modal asing ke Indonesia dipandang banyak pihak akan menyebabkan tekanan persaingan yang luar biasa terhadap Ritel dan Pasar Tradisional. Pengawasan Pemerintah terhadap praktik persaingan tidak sehat diatur dalam Undang Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Secara umum, materi dari UndangUndang ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri dari : 1. perjanjian yang dilarang; 2. kegiatan yang dilarang; 3. posisi dominan; 4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha; 5. penegakan hukum; 6. ketentuan lain-lain.
67
Undang-undang ini disusun berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berasaskan kepada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengantujuan untuk: menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang; mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha; serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sayangnya Undang-undang ini memiliki kendala-kendala seperti market share yang nilainya berubah-ubah dan tidak bisa diandalkan, sehingga pihakpihak yang diduga melakukan kegiatan yang dilarang dengan mudah dapat menyerang balik dan mengklaim bahwa pihaknya tidak melakukan praktik tersebut. Hal inilah yang terjadi pada sektor perdagangan, baik persaingan ritel modern dengan tradisional maupun ritel modern dengan ritel modern lainnya seperti kasus monopoli Carrefour yang akhirnya mengambang begitu saja. Untuk praktik persaingan antara ritel tradisional dan modern, Pemerintah merespon anggapan tekanan tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Pokok-Pokok Pengaturan Perpres No. 112 Tahun 2007 :
68
1. Lokasi : Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk peraturan zonasinya. 2. Kemitraan : Pemasok Usaha Kecil dan Menengah dengan Toko Modern dilakukan atas perjanjian tertulis dan berbahasa Indonesia, dan apabila di dalam kerjasama kemitraan diatur syarat-syarat perdagangan, maka harus jelas, wajar, berkeadilan, saling menguntungkan dan biaya-biaya yang dikenakan kepada pemasok yang berhubungan langsung dengan produk pemasok yaitu (1) potongan harga reguler, (2) potongan harga tetap, (3) potongan harga khusus, (4) potongan harga promosi, (5) biaya promosi, (6) biaya distribusi dan (7) biaya administrasi. 3. Pemberdayaan Usaha Kecil : (1) Tidak memungut biaya administrasi pendaftaran barang dari pemasok usaha kecil, (2) pembayaran dilakukan secara tunai, atau dengan alasan teknis tertentu dapat dilakukan dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah seluruh dokumen penagihan diterima, dan (3) pembayaran tidak secara tunai dapat dilakukan sepanjang cara tersebut tidak merugikan pemasok usaha kecil, dengan memperhitungkan biaya resiko dan bunga untuk pemasok usaha kecil. 4. Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Pedagang Pasar Tradisional: (1) Mengupayakan sumber-sumber alternatif pendanaan, (2) Meningkatkan kompetensi pedagang dan pengelola Pasar Tradisional, (3) Memprioritaskan kesempatan memperoleh tempat usaha bagi pedagang Pasar Tradisional yang telah ada sebelum dilakukan renovasi atau relokasi Pasar Tradisional, dan (4)
69
Memberdayakan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dalam membina Pasar Tradisional. 5. Perizinan : Untuk melakukan usaha Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern
wajib
memiliki
Izin
Usaha
yang
diterbitkan
oleh
Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Perpres ini menunjukan keberpihakan Pemerintah RI terhadap Pasar Tradisional dan usaha kecil berupa pemasok tradisional kepada Pasar Modern. Namun pada kenyataannya, efektifitas dari Perpres ini patut dipertanyakan. Argumentasi awal adalah tahun dikeluarkannya Perpres ini, yaitu akhir tahun 2007, yang dipandang banyak pengamat cukup terlambat dalam merespon ekspansi Pasar Modern di Indonesia. Ekspansi Pasar Modern dimulai sejak awal 2000 di DKI Jakarta, kemudian menjalar ke kota-kota sekitar Ibu Kota, seperti Bogor, Tangerang, Depok, dan lainnya. Sehingga ketika efektif berlaku pada tahun 2008, sangat banyak Pasar Modern yang telah dibuka, tanpa mengikuti aturan dari Perpres tersebut. Permasalahan lainnya adalah respon pemerintah daerah pasca Perpres 112 Tahun 2007. Implikasi regulasi ini sangat menuntut kesiapan dari Pemerintah Daerah sehingga diperlukan regulasi lanjutan. Regulasi lanjutan adalah ketentuan zonasi berdasar RUTR/W, penilaian kelayakan ekonomi pendirian toko modern, pengaturan skim waralaba minimarket, penyusunan financial and business model dalam rangka penataan/renovasi pasar tradisional, kemitraan Pemda-Swasta dalam pengembangan/pengoperasian pasar tradisional,
sistem pengawasan
yang
menjamin ditegakkannya akuntabilitas dan transparansi data/pengelolaan, serta
70
ketegasan sanksi atas pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan16. Respon regulasi dari Pemerintah Daerah terhadap tekanan Pasar Modern dan Pasar Tradisional dibuat atas pertimbangan pemerintah daerah masingmasing. Sejumlah bupati, wali kota, bahkan DPRD mendorong dibatasinya pendirian Ritel/Pasar Modern (minimarket hingga hipermarket). Pemprov DKI Jakarta misalnya, yang menolak sekitar 800 pengajuan izin pembukaan usaha baru minimarket. Selain sudah terlalu banyak, keberadaan minimarket temyata juga mengganggu kehidupan sebagian besar masyarakat lainnya, khususnya pedagang kecil17. Penolakan izin pendirian minimarket hingga hipermarket atau minimal pembatasan juga dilakukan Pemerintah Kota Solo Jawa Tengah, Pemerintah Kota Cimahi Jawa Barat, dan Kabupaten Kudus Jawa Tengah. Wali Kota Cimahi Itoc Tochija menyatakan setuju dengan usul membatasi pemberian izin minimarket di Cimahi karena mengancam pasar dan warung tradisional. Bahkan di Pandeglang dan Bekasi, dorongan untuk melarang pemberian izin pembukaan minimarket hingga hipermarket justru dilakukan DPR dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). di Bekasi, LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Kota Bekasi mengatakan, menjamurnya pendirian minimarket, supermarket, dan hipermarket hingga ke pelosok-pelosok daerah sudah mematikan usaha warung
16
INDEF. 2008. Kajian Dampak Ekonomi Keberadaan Hypermarket terhadap Ritel/Pasar Tradisional. Jakarta: INDEF. 17
[Anonim]. 2010. Pemda Batasi Izin, Tekanan Mengancam. http://bataviase.co.id/node/105339 (1 Agustus 2010)
71
milik warga dan pedagang di pasar tradisional. Toko serba ada yang menjual berbagai kebutuhan pokok masyarakat ini dinilai sudah berekspansi hingga ke sudut-sudut kampung18. Keberadaan ritel modern ini sudah berdampak pada penurunan penjualan banyak warung dan kedai-kedai yang menjadi penopang ekonomi keluarga. GMBI menilai, minimarket hingga hipermarket yang dimiliki pemodal kuat hanya bertujuan untuk menumpuk kekayaan dengan menggerus pangsa pasar warung rumahan, kedai penggir jalan, serta pedagang kecil di pasar tradisional. Meski demikian, upaya dan keberpihakan sejumlah pemda tersebut bukanlah tanpa perlawanan. Diduga pemilik minimarket hingga hipermarket yang merupakan investor asing dan konglomerat nasionalis sudah melakukan lobi ke pemerintah pusat, khususnya Kementerian Perdagangan serta gubernur terkait Bahkan tidak tanggung-tanggung, pemilik hipermarket yang saat ini menguasai pangsa pasar ritel modern menurut kabar juga dekat dengan para penguasa negara. Kondisi ini membuat bupati dan wali kota yang melarang atau membatasi izin minimarket hingga hipermarket mendapat tekanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. atau mungkin juga pengaruh dari para kapitalis penguasa perdagangan tersebut sehingga melunak dan melonggarkan izin19. Hal ini berbeda dengan Pemerintah Kota Bogor, hingga saat ini belum ada Perda Kota Bogor yang mengatur tentang zonasi dan pembatasan ekspansi ritel modern untuk Kota Bogor. Di komplek perumahan ekspansi minimarket
18
Ibid
19
Ibid
72
modern yang terletak berdekatan seringkali ditemukan di Kota Bogor. Pendirian Hipermarket yang berdekatan dengan Pasar Tradisional juga terus terjadi. Pembangunan Giant Taman Yasmin pada tahun 2008 berada kurang dari 1 kilometer dengan Pasar Grosir Cimanggu, dan berada di tengah komplek perumahan Kota Bogor sehingga langsung memotong pangsa pasar dari pedagang pasar tradisional dan ritel tradisional yang sudah berada di sekitar komplek perumahan bertahun-tahun. Pihak Giant sendiri mengklaim bahwa Giant Taman Yasmin dibangun di atas lahan milik PT Inti Inovaco selaku pengelola komplek perumahan Taman Yasmin dengan perjanjian yang sudah ada sejak 10 tahun lalu. Kelesuan yang terjadi di Pasar Grosir Cimanggu juga tidak disebabkan oleh keberadaan Giant Taman Yasmin, diketahui memang Pasar Grosir Cimanggu sudah ditinggalkan konsumen jauh sebelum didirikannya Giant Taman Yasmin sehingga dampak buruk keberadaan Giant Taman Yasmin terhadap Pasar Tradisional menjadi bias. Di sisi lain, tekanan pedagang informal berupa PKL justru menjadi fokus permasalahan Pasar Tradisional di Kota Bogor. Perda Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima menjadi basis keputusan Pemerintah Kota Bogor untuk menertibkan PKL. Perda Kota Bogor tersebut secara jelas menentukan komoditi dan lokasi yang legal untuk PKL dan perizinan usahanya. Lokasi yang tidak dapat ditetapkan sebagai tempat usaha PKL adalah di dalam lingkungan instansi pemerintah, di dalam lingkungan Sekolah, di dalam lingkungan tempat peribadatan, di sekitar lokasi pasar, menempati parit dan tanggul, menempati taman kota dan jalur hijau, di sekitar monumen dan taman pahlawan, di sekeliling Kebun Raya dan Istana Bogor, dan di seluruh badan jalan.
73
Sedangkan komoditi yang dilarang diperjualbelikan oleh PKL adalah (1) daging, ikan, dan telur, (2) palawija dan bumbu, (3) sayuran, tahu, dan tempe, (4) sembako, (5) pakan ternak, serta (6) unggas dan atau ternak kecil. Perizinan PKL dilakukan dengan permohonan kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk, izin berlaku 1 tahun dan dapat diperpanjang. Sayangnya, peraturan tersebut sulit dipenuhi, mengingat permasalahan PKL terutama di sekitar Pasar Tradisional di pusat Kota Bogor berasal dari pedagang relokasi Pasar Induk Ramayana maupun pedagang dari Pasar Tradisional yang dianggap sepi. PKL kerap ditemui di sekitar pasar dan menjual berbagai macam barang seperti pedagang di dalam Pasar Tradisional. Tentunya hal ini melanggar Perda, namun perlu diingat jumlah ribuan PKL menggambarkan banyak sektor dan kalangan masyarakat terlibat di dalamnya. Oleh karena itu pemerintah kemudian merespon dengan mengadakan zona untuk PKL. Tujuannya adalah melegalkan PKL untuk berjualan di tempat yang sudah ditentukan dan komoditi yang terpilih dengan tetap diawasi oleh pemerintah Kota Bogor. Kepastian hukum kegiatan usaha para pedagang adalah menentukan zona-zona atau tempat yang diperbolehkan untuk berdagang. Selebihnya adalah zona yang dilarang untuk PKL. Hingga tahun 2009 telah ditetapkan 18 daftar lokasi atau Zoning Pembinaan dan Penataan PKL. 18 Zona adalah di Jalan Bangbarung, Batu Tulis. Siliwangi, Papandayan, Otista, Gang Selot di Jalan Djuanda, Seputar Air Mancur Kelurahan Sempur, Jalan Pengadilan, Pajajaran baik Sekitar Villa Duta maupun Damkar Sukasari, Jalan Cidangiang, Jalan Sukasari,. Pejagalan. Dadali. Ahmad
74
Yani dan KH. Abdullah bin Nuh di Curug. Dari ke-18 zona ini dilakukan evaluasi, zona mana saja yang bisa dipertahankan pada tahun 2010. Rencananya zona akan kita kurangi atau dihapus yaitu Di Jalan Pajajaran di sekitar Puslitnak IPB-SDN Gunung Gede Kelurahan Babakan, Jalan Pajajaran di sekitar Villa Duta, Binarum Kelurahan Baranangsiang. Jalan Pajajaran samping Damkar, Jalan Sukasari serta zona sekitar Air Mancur Sempur. Keberadaan zona PKL seperti ini memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya tentu banyak PKL yang notabene masyarakat kecil tertolong karena dilegalkan usahanya, namun dampak negatifnya adalah zonasi seperti ini terhitung sebagai Gray Zone atau Zona Abu-abu. Lebih lanjut gray zone seperti ini adalah legalisasi PKL tanpa dasar hukum yang kuat. Hal ini dapat menyebabkan meluasnya zona-zona PKL sejenis di daerah yang seharusnya tidak dihuni PKL dengan klaim kepentingan rakyat kecil. Pihak ketiga masuk untuk „mengelola‟ zona tersebut demi kepentingan pribadi juga menyebabkan posisi zona menjadi riskan terhadap praktek pemungutan ilegal. Hal ini terbukti dengan semakin meluasnya zona PKL yang berjualan di sekitar Pasar Baru Bogor dan Pasar Kebon Kembang yang jelas merugikan pedagang Pasar Tradisional. Bukan tidak mungkin praktek perizinan ilegal yang membuat PKL yakin mereka dapat berjualan semakin dekat dengan Pasar Tradisional. Saat ini secara struktural, Pemerintah sebenarnya sudah memperhatikan dan berpihak kepada Pasar Tradisional. Tapi kelemahan dan kekosongan dari perundang-undangan dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, misalnya tidak adanya zonasi pembatas kedekatan pasar modern dan pasar tradisional, maupun perizinan usaha dengan memperhatikan
75
RUTRW dari kota tertentu. Di Kota Bogor, tidak adanya respon soal pemerhatian zonasi menyebabkan ekspansi Pasar Modern kian kuat, dan karena indikasi penurunan
kinerja
pedagang
Pasar
Tradisional
lebih
terfokus
kepada
permasalahan internal, pemerintah Kota Bogor seakan tidak menganggap ekspansi Pasar Modern sebagai ancaman terhadap keberadaan Pasar Tradisional. Pasar Tradisional dalam posisi yang sangat riskan terhadap berbagai tekanan, mulai dari permasalahan internal, fluktuasi harga, persaingan tidak sehat, dan undang-undang. Lemahnya aspek pengelolaan, pembinaan, pengawasan, dan pelaporan pasar tradisional belum mendorong pelaksanaan tatakelola yang baik di bidang perpasaran. Hal ini kemudian diperparah dengan tidak ketatnya eksekusi sanksi kepada pihak-pihak yang jelas merugikan Pasar Tradisional. Saat ini pemerintah Kota Bogor mulai menggiatkan Pasar Tradisional. Pemerintah Kota Bogor memiliki respon atas kelesuan Pasar Tradisional dengan penguatan dari dalam pasar itu sendiri dan mengharapkan pembenahan ini untuk meningkatkan lebih lanjut daya saing dari Pasar Tradisional agar dapat bersaing dengan Pasar Modern. 5.3. Analisis Respon Pemerintah Kota Bogor terhadap Permasalahan Pasar Tradisional Kota Bogor Pemerintah Kota Bogor mengetahui bahwa pasar tradisional berada dalam kondisi lesu, dan lebih lanjut memandang bahwa pentingnya peningkatan kekuatan pasar tradisional. Peningkatan daya saing yang dimulai dengan otonomi secara finansial dengan berdiri sebagai perusahaan yang mengejar keuntungan (profit oriented) menjadi keputusan Pemerintah Kota Bogor untuk menggiatkan kembali pasar tradisional. Berbagai langkah disiapkan dalam 2 tahun ke depan
76
untuk peningkatan kesejahteraan pedagang pasar tradisional dan upayanya menghadapi persaingan dengan pasar yang lebih profesional, yaitu Pasar Modern seperti Supermarket dan Hipermarket yang juga menjamur di kota-kota besar. Respon Pemerintah Kota Bogor dalam rangka menggiatkan kembali perekonomian pasar tradisional adalah dengan pembentukan perusahaan daerah. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pendirian Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya, mulai tanggal 1 Januari 2010, UPTD pengelola pasar dibawah Disperindagkop resmi menjadi satu badan berupa perusahaan daerah yang mengelola 7 unit pasar. Berdasarkan wawancara mendalam dengan staf PD Pasar Pakuan Jaya, perbedaan mendasar antara UPTD Pengelola Pasar dan PD Pasar Pakuan Jaya adalah motif. UPTD Pengelola Pasar dibawah Disperindagkop lebih bersifat melayani dengan mandat penarikan retribusi untuk mengejar target PAD, sedangkan PD Pasar Pakuan Jaya adalah perusahaan yang mengejar keuntungan dengan melakukan strategi-strategi khusus untuk meningkatkan efisiensi pedagang. Tujuan yang ingin dicapai melalui pembentukan Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya adalah (Perda Kota Bogor Nomor 4 Tahun 2009): 1. Meningkatkan pelayanan kebutuhan sarana dan prasarana pasar yang nyaman, bersih dan teratur 2. Mendorong perekonomian daerah 3. Menunjang pembangunan daerah
77
4. Meningkatkan profesionalitas dan efisiensi pengelolaan pasar 5. Meningkatkan pendapatan asli daerah Sasaran dari pembentukan Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya: 1. Terjaminnya fleksibilitas pelaku usaha, salah satunya dengan adanya pemisahan yang jelas antara badan regulator dengan badan yang melakukan operasional. 2. Konsistensi pengembangan usaha jangka panjang. 3. Konsistensi pelayanan jasa perdagangan. 4. Beroperasi sebagai perusahaan yang berorientasi profit dengan tidak mengesampingkan pada pelayanan masyarakat secara aman, nyaman, produktif. 5. Menjadi perusahaan layanan publik yang mandiri secara finansial. 6. Pembinaan pelaku usaha di PD Pasar Pakuan Jaya. 7. Penciptaan kelancaran distribusi barang dan jasa. Dari tujuan dan sasaran yang dipaparkan, terlihat bahwa utamanya PD Pasar Pakuan Jaya berusaha meningkatkan efisiensi perekonomian pasar dengan peningkatan pelayanan dan fasilitas publik untuk pedagang-pedagang pasar tradisional. Diharapkan dengan perbaikan ini, konsumen kembali ke pasar tradisional.
78
Fleksibilitas pelaku usaha yang dimaksud dalam sasaran nomor 1 tentang pemisahan badan regulator dan operasional adalah konsep baru dalam PD Pasar Pakuan Jaya. Organigram PD Pasar Pakuan Jaya terdiri atas Badan Regulator yaitu Dewan Direksi dan Badan Pengawas. Badan Pengawas diutus untuk mengawasi operasional pasar, sementara Dewan Direksi mengendalikan kegiatan pasar dengan menyusun Rencana Strategi Binis yang disahkan oleh Walikota atas usul Badan Pengawas. Badan operasional PD Pasar Pakuan Jaya berkoordinasi langsung dengan Dewan Direksi, yaitu Tim Menejemen, terdiri dari seorang pegawai Pemerintah Kota perbantuan dan 2 orang perwakilan Perusahaan Daerah Bogor lainnya (PDAM Tirta Pakuan dan PD Jasa Transportasi) dan 7 Kepala Unit Pasar. 7 kepala unit pasar inilah yang memimpin 7 pasar utama Kota Bogor, dan melakukan kegiatan operasional hasil rancangan regulator. keseluruhan pegawai PD Pasar Pakuan Jaya diharapkan adalah tenaga ahli non PNS. Pada masa rasionalisasi 2010-2012, diadakan sosialisasi kepada seluruh pihak yang berkepentingan, terutama pegawai PNS mengenai posisi pegawai PD Pasar Pakuan Jaya. Pada tahun 2012, ketika PD Pasar Pakuan Jaya berjalan 100%, diharapkan PNS memutuskan untuk kembali ke dinas sebagai PNS atau menjadi pegawai PD Pasar Pakuan Jaya dengen melepas status PNS (pensiun atau mengundurkan diri). Sebagai perusahaan daerah, PD Pasar Pakuan Jaya tidak begitu saja lepas dari pemerintah. PD Pasar Pakuan Jaya tetap memberikan kontribusi kepada Kota Bogor sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pengunaan laba
79
bersih PD Pasar Pakuan Jaya setelah dipotong pajak pengasilan, pembagiannya adalah sebagai berikut: a. Bagian laba untuk Pemerintah Daerah sebesar 55% b. Cadangan Umum sebesar 10% c. Cadangan Tujuan sebesar 15% d. Dana sosial, pendidikan dan tunjangan hari tua sebesar 10% e. Jasa Produksi sebesar 10% Pihak PD Pasar Pakuan Jaya juga bisa menarik pihak ketiga dalam rangka menunjang kegiatan operasional pengelolaan pasar. Keseluruhan konsepsi ini, sesuai yang tertera dalam Perda Kota Bogor Nomor 4 tahun 2009 Pendirian Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya
diharapkan dapat meningkatkan daya
saing pasar tradisional. PD Pasar Pakuan Jaya efektif berjalan pada 2012. Pada 2010-2011, menurut staf PD Pasar Pakuan Jaya, pengelola akan melakukan pembenahan menyeluruh masalah internal pasar-pasar tradisional di Kota Bogor. Pembentukan
perusahaan
daerah
sangat
erat
kaitannya
dengan
privatisasi, artinya dalam benak pedagang, swastanisasi pengelolaan berarti peningkatan iuran. Beberapa pedagang yang sudah mengetahui pembentukan PD Pasar Pakuan Jaya mengharapkan jangan sampai pasar dikelola oleh swasta. Dalam diskusi dengan pihak pasar, aspirasi tersebut memang sudah menjadi masukan bagi pihak PD Pasar Pakuan Jaya.
80
Otonomi
finansial
dan
motif
mengejar
keuntungan
memang
mengharuskan PD Pasar Pakuan Jaya mengatur rencana bisnis lebih lanjut ketimbang pada masa UPTD Pengelola Pasar yang bersifat melayani. Diakui oleh pihak pasar, kemungkinan besar penarikan retribusi harian akan mengalami perubahan. Komposisi retribusi harian mencakup iuran harian, iuran kebersihan dan iuran keamanan. Kemungkinan besar retribusi harian ini akan mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan retribusi saat ini. Pihak pengelola juga mengetahui hal ini akan membebani pedagang-pedagang pasar tradisional. Namun kenaikan tarif ini akan diikuti dengan pelayanan yang lebih optimal terhadap pedagang pasar tradisional. Direncanakan pada tahun 2011 akan dilakukan revitalisasi 7 pasar utama PD Pasar Pakuan Jaya sehingga pemberlakuan tarif baru diikuti dengan pembuktiaan peningkatan pelayanan pengelola terhadap pedagang. Revitalisasi mencakup perbaikan infrastuktur sarana dan prasarana, drainase dan jalan masuk pasar. Infrastruktur sarana dan prasarana pasar memang sudah usang. Revitalisasi ini dilakukan sambil jalan, artinya kegiatan perpasaran tetap berjalan dengan infrastruktur yang diperbaiki. Penanganan PKL di sekitar pasar juga akan dilakukan. Sebisa mungkin pihak pasar akan merelokasi PKL ke 7 unit pasar. Revitalisasi ini bertujuan untuk memperbaiki citra pasar tradisional Kota Bogor. Diharapkan setelah selesai revitalisasi ini, pasar tradisional bisa lepas dari citra lama yang membuat masyarakat enggan berbelanja di pasar. Mengenai kebersihan, iuran kebersihan dimasukan ke dalam retribusi harian. Hal ini diakui oleh PD Pasar Pakuan Jaya untuk mengklaim sanksi bagi pihak yang melanggar dengan alasan merugikan pedagang lain yang sama-sama membayar iuran. Kedepannya PD Pasar Pakuan Jaya akan menyediakan kantong
81
plastik yang dibedakan untuk sampah organik maupun non organik. PD Pasar Pakuan Jaya juga ingin memperbaiki citra mengenai timbangan yang sering dimainkan pedagang. Pendekatan rohani diyakini sebagai salah satu cara untuk memperbaiki hal tersebut, dengan mengadakan kultum berkala setelah solat berjamaan di mushola-mushola pasar tradisional. Secara menyeluruh perencanaan yang akan dilakukan pada tahun 2011 diharapkan akan mengangkat citra dari pasar tradisional. Dampak baik bagi pedagang tradisional akan sangat terasa apabila seluruh lapisan terkait dapat berkoordinasi dengan baik, terutama PKL yang akan dijadikan pedagang dalam pasar. PD Pasar Pakuan Jaya menjamin peningkatan tarif yang dikenakan kepada pedagang akan sebanding dengan peningkatan pelayanan, kondisi infrastruktur dan penyelesaian masalah-masalah pasar untuk menjadi pasar yang lebih baik. Pada akhirnya pasar tradisional yang dikelola sebagai Perusahaan Daerah diharapkan memiliki citra baru yang lebih baik dan dapat meningkatkan daya saingnya dengan Pasar Modern. Respon Pemerintah Kota Bogor memiliki kecenderungan untuk perbaikan dari sisi internal, artinya permasalahan yang dialami oleh Pasar Tradisional dianggap disebabkan oleh kekurangan yang terjadi di dalam Pasar Tradisional itu sendiri. Tekanan eksternal terutama perkembangan Pusat Perbelanjaan Modern yang memiliki Toko Modern belum dianggap sebagai permasalahan utama yang menyebabkan kelesuan. Keabsenan fokus terhadap pengaruh faktor eksternal terhadap permasalahan Pasar Tradisional sangat rentan.
82
Di satu sisi tekanan FDI di sektor ritel semakin gencar, mengingat semakin banyak merk ritel besar asing yang masuk ke Indonesia seperti LotteMart tidak terbendung oleh gencarnya respon balik terhadap Perpres Nomor 112 Tahun 2007 yang menghimbau Pemerintah Daerah untuk menindaklanjuti pembinaan terhadap Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Oleh karena itu diperlukan perbandingan respon yang dilakukan oleh Pemerintah di berbagai negara di dunia terkait ekspansi Toko Modern yang disebabkan oleh FDI. Negaranegara Asia dianggap memiliki kesamaan kultur budaya dengan Indonesia, terkait dengan kebiasaan berbelanja barang kebutuhan harian di Pasar Tradisional. 5.4. Pengendalian Persaingan Ritel Modern dan Ritel Tradisional di Luar Negeri Perkembangan
Pasar
Modern
atau
Supermarket
secara
global
membuahkan berbagai penelitian telah dilakukan, namun hanya sedikit yang mengidentifikasi tindakan lebih lanjut untuk menolong petani maupun sistem perdagangan tradisional (Pasar Tradisional) untuk merespon perkembangan ini. Oleh karena itu pada tahun 2004 di Kuala Lumpur diadakan workshop yang dihadiri oleh perwakilan berbagai instansi terkait sektor ritel dan supply chain ritel tersebut. Food Agriculture Organization of the United Nations (FAO PBB), Association of Food Marketing Agencies in Asia and the Pacific (AFMA), dan Federal Agricultural Marketing Authority of Malaysia (FAMA) turut memberikan rekomendasi dalam workshop tersebut terutama mengenai perubahan menganalisa perubahan
sistem distribusi
pangan dari produsen ke
konsumen
dan
mengidentifikasi peran dari sektor swasta dan pemerintah negara setempat untuk mengembangkan sistem distribusi pangan yang baru dengan lebih efisien.
83
Kesimpulan dari workshop tersebut menggambarkan tiga opsi yang dapat dilakukan oleh pemerintah negara dan aparatnya20. Pertama, tidak melakukan apaapa dengan membiarkan formasi supply chain berkembang dengan sendirinya di pasar bebas. Pasar grosir, peritel, dan petani harus berjuang masing-masing, yang mampu beradaptasi akan bertahan, dan yang gagal akan gulung tikar. Teori ini mengharapkan supply chain system yang lebih efisien, merespon konsumen dengan lebih baik. Tindakan Hands-off seperti ini dipraktekan oleh beberapa Pemerintah di negara Eropa, contohnya Inggris. Kedua, adalah opsi untuk Pemerintah yang diaplikasikan apabila opsi pertama dianggap secara politis tidak dapat diterima. Melalui pendekatan bahwa Pasar Modern berkembang karena kedekatan jarak dengan konsumen. Maka opsi kedua untuk Pemerintah adalah dengan mengendalikan perkembangan Pasar Modern. Di Malaysia, memberlakukan moto “keadilan dalam pertumbuhan industri”, Pemerintahnya memberlakukan izin kepada Hipermarket untuk beroperasi sejauh 3,5 kilometer dari komplek perumahan maupun pusat kota terdekat dan hanya ada 1 Hipermarket diizinkan untuk setiap 350.000 jiwa. Di Thailand, mulai 2003 diberlakukan regulasi untuk Ritel Modern Besar untuk beroperasi sejauh 15 kilometer dari distrik komersial terdekat. Opsi ketiga untuk Pemerintah adalah mengendalikan dan mengawasi seluruh partisipan supply chain untuk memfasilitasi integrasi dari petani hingga Supermarket dan Pasar Tradisional. Hal ini dipraktekan oleh negara Thailand, the Bureau of Agricultural Economics membuka pusat distribusi pangan untuk peritel
20
Shepherd, Andrew W. Op. Cit. Hal 13
84
lokal dan Pasar Tradisional yang disponsori oleh negara. Hal yang sama diberlakukan oleh negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan Cina21. Selain itu, terdapat penelitian di India mengenai peran Pemerintah dalam membatasi perkembangan Ritel Modern. Di India, FDI mulai terbuka sejak tahun 2006 karena restriksi ketat yang diberlakukan Pemerintah India. Tingkat kepercayaan konsumen yang tinggi terhadap ritel tradisional mereka yang biasa disebut Kirana membuat perkembangan Ritel Modern tidak mempengaruhi sistem tradisional yang telah berlaku lama. Dengan market share dari ritel tradisional sebanyak 95 persen dari total sektor ritel India dan 1,7 persen Kirana gulung tikar karena persaingan dengan Ritel Modern22. Indian Council for Research on International Economic Relations (ICRIER) tetap mengkhawatirkan tekanan Ritel Modern dan mengadvokasi Pemerintah India untuk melakukan program “National Kirana and Wet Market Reform” dengan agenda kunci mengeliminasi distributor dari agen-agen rantai sehingga akses Kirana terhadap petani lebih terbuka, membuka pusat distribusi untuk mensupply barang untuk Kirana dan pedagang tradisional untuk Pasar Tradisional India, membuka kredit dengan tingkat bunga yang rasional untuk ekspansi dan modernisasi Pasar Tradisional, dan mereformasi seluruh Pasar Tradisional menjadi sebuah bangunan yang memperhatikan kebersihan, kenyamanan konsumen, dan jalan masuk-keluar yang layak23.
21
Ibid. Hal 15
22
Matthew & Mukherjee. Op.Cit. Hal 1
23
Ibid. Hal 2
85
ICRIER berpendapat bahwa FDI dapat menjadi katalis untuk perkembangan sektor ritel lebih lanjut, spillover effects dari Ritel Modern diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dari Ritel Tradisional dan dapat mereformasi supply chain system India yang tidak efisien. Namun, FDI harus tetap dalam koridornya, artinya perlu regulasi terhadap Ritel Modern terutama lisensi
untuk
beroperasi
sehingga
tidak
kontraproduktif
dengan
Ritel
Tradisional24. Dari dua pemaparan di negara-negara Asia, dapat disimpulkan bahwa fenomena globalisasi membuat Toko atau Ritel Modern berkembang lebih lanjut karena banyak faktor. Oleh karena itu Pemerintah harus mengambil tindakan yang dianggap sesuai untuk negaranya. Indonesia, dengan kultur budaya seperti negara Malaysia dan India, tidak serta merta membiarkan perkembangan Ritel Modern menjadi sebuah ketimpangan ekonomi yang menekan Pasar Tradisional. Indonesia sudah memberlakukan perencanaan yang mendukung perkembangan Pasar Tradisional melalui Perpres 111 tahun 2007 dan Perpres 112 tahun 2007, sayangnya Perpres tersebut mengharuskan peran Pemerintah Daerah untuk menindaklanjuti seperti pemberlakuan zonasi terhadap Ritel Modern sehingga banyak daerah yang belum menindaklanjuti. Kota Bogor dalam hal ini belum memiliki tindakan signifikan untuk mengawasi persaingan, Pemerintah Kota Bogor memilih modernisasi lewat revitalisasi Pasar Tradisional sebagai langkah internal perbaikan Pasar Tradisional, hal ini turut menjadi rekomendasi terhadap Pemerintah yang
24
Ibid. Hal 3
86
dilakukan oleh ICRIER. Sayangnya peran Pemerintah Daerah sangat terbatas sehingga langkah internal Kota Bogor sangat minim terhadap keseluruhan persaingan ritel yang ada, seharusnya Pemerintah Pusat lebih proaktif terutama dengan membuat tindak lanjut mengenai izin operasi Ritel Modern dan perbaikan supply chain system yang komperhensif dari petani dengan bentuk pusat distribusi pangan yang dapat diakses oleh seluruh pedagang, mulai dari Ritel Modern, Pedagang Grosir Tradisional hingga Pedagang Eceran Tradisional seperti yang dilakukan oleh negara Malaysia dan Thailand.
87
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1.
Penyelenggaraan Pasar Tradisional di Kota Bogor saat ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu Pemerintah Kota Bogor yang menunjuk PD Pasar Pakuan Jaya dan pihak swasta yang bekerja sama dengan pemerintah. Secara umum kondisi pedagang pasar tradisional masih sama seperti citra yang ada. Berdasarkan pendekatan SCP, Pasar Tradisional merupakan pasar kompetitif dengan struktur mendekati PPS. Kinerja bisnis pedagang pasar tradisional mengalami penurunan, sebanyak 67 persen pedagang di kedua pasar mengalami penurunan omset dan keuntungan. Jumlah pedagang masingmasing pasar mengalami fluktuasi, sedangkan jumlah pembeli harian juga menurun juga memicu semakin menyempitnya jam aktif transaksi di dalam pasar. Dari poin-poin ini dapat dikatakan bahwa saat ini kinerja pasar mengalami kelesuan.
2.
Permasalahan yang diklaim sebagai penyebab kelesuan ada empat poin: Masalah buruknya infrastruktur, fluktuasi harga, persaingan tidak sehat, dan permasalahan struktural. Di luar dugaan, menjamurnya Pasar Modern di Kota Bogor diklaim pedagang Pasar Tradisional belum berpengaruh terhadap pergerakan omset karena masih jelasnya segmentasi pasar. Persaingan tidak sehat justru terjadi antara pedagang Pasar Baru Bogor dengan PKL. Penertiban PKL menurut peraturan Pemerintah Kota Bogor bukan merupakan kewajiban PD Pasar Pakuan Jaya. Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan untuk pemberdayaan Pasar Tradisional sayangnya membutuhkan tindak
88
lanjut dan peran besar Pemerintah Daerah. Kota Bogor tidak memiliki peraturan jelas mengenai pembatasan zona kedekatan Toko Modern dengan Pasar Tradisional, walaupun memiliki peraturan jelas tentang PKL. Aplikasi dari Perpres dan Perda yang dikeluarkan terbukti tidak efektif dengan minimnya sanksi yang diberikan kepada pihak yang melanggar 3.
Pembentukan Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya dianggap sebagai respon kelesuan Pasar Tradisional. Dengan motif mengejar keuntungan (profit oriented), pemerintah berharap Pasar Tradisional akan mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi dan mutu pelayanan serta prasarana yang baik sehingga dapat menarik kembali konsumen untuk berbelanja di Pasar Tradisional.
4.
Studi tentang Perkembangan Ritel Modern di Asia telah dilakukan berbagai instansi. FAO dalam workshop di Kuala Lumpur membedakan tiga opsi yang bisa dilakukan oleh Pemerintah. Modernisasi Ritel dan Pasar Tradisional terutama manajemen bisnis dan kondisi infrastruktur menjadi rekomendasi utama baik oleh FAO maupun ICRIER di India tehadap keberlangsungan sistem perdagangan tradisional. Penguasaan pemerintah untuk pemusatan distribusi pangan seperti yang dilakukan Cina, Thailand, dan Korea Selatan juga menjadi rekomendasi untuk pemerintah agar Ritel Tradisional mendapatkan akses mudah ke komoditi petani.
89
6.2 Saran 1.
Pengelolaan Pasar Tradisional hendaknya dilakukan dengan lebih profesional, tidak hanya melakukan retribusi harian dan pengawasan keamanan serta kebersihan pasar. Namun juga diikuti dengan edukasi terhadap pedagang Pasar Tradisional untuk meningkatkan profesionalisme bisnis pedagang.
2.
Pemerintah Kota Bogor hendaknya memberikan respon lebih lanjut dari Perpres RI Nomor 112 Tahun 2007, terutama soal pembatasan zona jarak Pasar Tradisional dan Pasar Modern, serta perizinan usaha sesuai dengan RUTR/W Kota Bogor. Pemerintah Pusat juga hendaknya mengeluarkan peraturan yang lebih spesifik mengenai pemberdayaan Pasar Tradisional, tidak hanya praktek kemitraan dengan Toko Modern.
3.
Penguasaan distribusi pangan yang terpusat hendaknya diadopsi Pemerintah Indonesia untuk memutus rantai distribusi petani menuju konsumen yang cukup panjang. Selain itu hal ini juga dapat menurunkan margin harga komoditi dari petani ke peritel tradisional.
4.
Pemberian sanksi yang tegas atas peraturan Pemerintah Pusat maupun Daerah dapat memberikan efek jera yang jelas sehingga pihak-pihak yang terkait dengan sektor ritel.
90
DAFTAR PUSTAKA [Anonim].
2010.
Pemda
Batasi
http://bataviase.co.id/node/105339
Izin,
Tekanan
Mengancam.
(1 Agustus 2010).
A.C. Nielsen. 2005. Asia Pasific Retail Shooper Trends 2005.A.C. Nielsen. Indonesia Agustina, Dian. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Jumlah Pasar Modern di Kota dan Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor. Ansori, Mukhlas, Laksmi Arianti, Henni Krishnawati. 2010. Kecermatan Berbahasa Indonesia dalam Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: Hamada Prima. Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Potensi Desa Propinsi Jawa Barat. Jakarta: BPS. ---------. 2008. Bogor Dalam Angka 2008. Bogor: BPS. Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. INDEF. 2007. Kajian Dampak Ekonomi Keberadaan Hypermarket terhadap Ritel Pasar Tradisional. Jakarta: INDEF. Juanda, Bambang. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis edisi Kedua. Bogor: IPB Press. Mathew & Mukherjee. 2010. Foreign Direct Investment in India Retail – Need for a Holistic Approach.India: Maharashtra Economic Development Council
91
Muslim, Erlinda et all. 2008. Structure Conduct, and Performance Analysis in Palm Industry in Indonesia using SCP. Depok: Universitas Indonesia. Nicholson, Walter. 1999. Teori Makroekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan, Jilid 2 Edisi Kelima. Daniel Wirajaya, penerjemah. Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Microeconomic Theory Basic Principle and Extensions. Ningsih, Eka Sari. 2006. Dampak Pembangunan Pusat Perbelanjaan Modern terhadap Penyerapan dan Pengurangan Tenaga Kerja di Kota Bogor. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor. Nurmalasari. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing dan Preferensi
Masyarakat
dalam
Berbelanja
di
Pasar
Tradisional.
Skripsi.Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor Shepherd, Andrew W. 2005. The Implications of Supermarket Development for Horticultural Farmers
and Traditional Marketing Systems in Asia.
Agricultural Management, Marketing and Finance Service FAO. Roma. Suryadarma et all. 2007. Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. Wikipedia. 2010. Pasar. http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar (22 Maret 2010) ---------.
2010.
Industrial
Organization.
http://en.wikipedia.org/wiki/Industrial_organization (28 Desember 2010)
92
Yustika, Ahmad Erani. 2008. Refleksi Kompetisi Hypermarket dan Pasar Tradisional. Jakarta: INDEF.