EKSISTENSI PERTANIAN SKALA KECIL DALAM ERA PERSAINGAN PASAR GLOBAL Small-Scale Agriculture Existence in Global Market Competition Era Sumaryanto Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT For small scale farmers, globalization and liberalized trade not only perform some opportunities but also some threats. There are some opportunities for supplying more products to international market, but at the same time some imported commodities also overwhelm domestic market. It will imply to widen aspects as the existence of small scale farming play significant role on food security, poverty reduction, and employment. This paper assess the Indonesian small scale farmer and its dynamics in the globalization era which they are faced some dilemmatic choice. Are they still exist or even more developed? The answer is highly depend on the success of empowering them through employing their potential advantage and effective deterrent from expansion of the multinational agribusiness which are intensively invading the whole developing countries. Key words : agriculture, small scale farmer, liberalized trade ABSTRAK Bagi petani kecil, globalisasi dan liberalisasi perdagangan bukan hanya berisi peluang tetapi juga ancaman. Peluang ekspor mungkin lebih terbuka, namun pada saat yang sama ancaman dari serbuan komoditas impor juga semakin deras. Implikasinya sangat luas karena eksistensi pertanian skala kecil memainkan peran penting dalam ketahanan pangan, kemiskinan, dan penyerapan tenaga kerja. Tulisan ini membahas karakteristik dan dinamika petani kecil Indonesia yang di tengah era pasar global saat ini berhadapan dengan sejumlah pilihan yang dilematis. Sejauhmana pertanian skala kecil dapat mempertahankan atau mengembangkan eksistensinya akan sangat tergantung pada keberhasilan memberdayakan petani kecil melalui pendayagunaan keunggulan potensialnya dan perlindungan yang efektif atas ancaman yang timbul dari ekspansi bisnis perusahaanperusahaan agribisnis raksasa lintas negara yang semakin menggurita di berbagai pelosok negara berkembang. Kata kunci : pertanian, petani kecil, liberalisasi perdagangan
PENDAHULUAN
Pertanian adalah Ibu Peradaban. Eksistensinya mengawali lahirnya peradaban manusia dan menjadi bagian sentral perkembangan peradaban. Menurut Gupta (2004), pertama kali manusia mengenal pertanian (transisi dari
Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global
berburu dan mengumpulkan bahan makanan) terjadi sekitar 10 000 tahun SM dan berdasarkan data Arkeologi, pertama kali ditemukan di Timur Tengah. Komunitas pertanian mulai terjadi sekitar 5300 tahun SM di kalangan orang-orang Sumeria di kawasan Timur Tengah dan sementara ini dianggap sebagai akhir dari zaman prasejarah Neolitik dan awal mula hadirnya zaman sejarah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka teknik budidaya, sistem pengelolaan, dan orientasi petani mengalami perubahan. Perkembangan paling spektakuler terjadi pascaperang dunia kedua. Adalah 1 Norman Ernest Bourlag dengan penemuan galur gandum (1953) berdaya hasil tinggi mengawali terjadinya Revolusi Hijau, yakni suatu sistem budidaya pertanian intensif dengan memanfaatkan varietas unggul berdaya hasil tinggi dan rekayasa lingkungan tumbuh tanaman (pemupukan, pengairan, pengendalian gulma) agar menghasilkan produksi maksimal. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sampai saat ini Revolusi Hijau masih menjadi arus utama sistem pertanian global, meskipun sejak dua dekade terakhir mulai berkembang dua kutub yang saling berseberangan: (i) industri pertanian berbasis rekayasa genetik dan lingkungan tumbuh yang sangat intensif, dan (ii) sistem budidaya pertanian berbasis prinsip pelestarian lingkungan. Dalam konteks ekonomi, pada saat ini sistem pertanian berada dalam kontinuum dari sistem pertanian subsisten skala mikro dengan luas lahan hanya beberapa meter persegi dan atau penguasaan ternak beberapa ekor sampai dengan perusahaan agribisnis skala raksasa dengan luas penguasaan lahan pertanian puluhan ribu hektar yang lokasi usaha maupun pasar produknya tersebar di berbagai negara (multi national corporation – MNC). Meskipun demikian pertanian skala kecil masih memegang peran sentral (von Braun, 2004). Jauh dari gemerlap, sampai saat ini pertanian skala kecil masih tetap merupakan andalan penyerapan tenaga kerja dan pemain utama pendukung ketahanan pangan negara-negara berkembang yang merupakan bagian terbesar pendudukuk dunia. Pada era pasar global sekat-sekat isolasi pasar tersingkirkan. Pasar lokal – nasional – regional – internasional semakin terintegrasi sehingga arus transaksi semakin deras dan secara agregat volume perdagangan meningkat. Hasil simulasi Rosegrant et al (2001) dengan pendekatan partial equilibrium menunjukkan bahwa jika semua subsidi pertanian dan rintangan perdagangan (trade barier) di seluruh dunia dihilangkan maka harga beras dunia meningkat sekitar 14 persen, dan kemudian diikuti dengan tingkat kenaikan yang lebih kecil pada komoditas jagung, gandum, dan serealia lainnta. Selanjutnya, hasil simulasi dengan pendekatan general equilibrium (Diao et al., 2001) menunjukkan bahwa secara umum indeks harga komoditas pertanian meningkat 11 persen lebih tinggi dari komoditas lainnya. Hasil simulasi dari kedua pendekatan tersebut menunjukan bahwa secara agregat surplus konsumen dan surplus produsen meningkat cukup significant. Sejak dua dasawarsa terakhir ini sistem pasokan pangan global berubah. Liberalisasi perdagangan dan regim investasi mengakibatkan negara berkembang 1
Norman Ernest Bourlag (lahir di Cresco, Iowa 25 Maret 1914), seorang ahli mikro biologi yang bekerja di suatu perusahaan agribisnis (1942 – 1944) dianggap sebagai Bapak Revolusi Hijau.
37
Sumaryanto
semakin terintegrasi dalam pasar pangan internasional maupun investasi asing langsung (Foreign Direct Investment – FDI) di bidang agribisnis pangan. Terkait dengan itu, berbagai aturan teknis yang berkenaan dengan standar kualitas pangan juga diciptakan. Sebagian dari aturan itu merupakan implikasi logis dari atribut permintaan dari masyarakat negara-negara maju, namun sebagian lainnya dimanfaatkan pula sebagai barier to entry oleh sejumlah MNC agribisnis; dan itu merupakan ancaman bagi eksistensi pertanian skala kecil yang merupakan mayoritas usahatani negara-negara berkembang karena menurunkan daya saing ekspornya (Swinnen and Maertens, 2007). Secara umum menyebabkan tekanan yang lebih besar bagi pertanian skala kecil karena negara-negara maju yang pangsa pasarnya sangat besar enggan memotong subsidinya yang ternyata selama ini lebih tinggi dari negara-negara berkembang (Howe et al., 2004; Edelman, 2005; Pérez et al., 2008). Tak banyak berbeda dengan negara berkembang lainnya, prospek pertanian Indonesia akan sangat ditentukan oleh keberhasilan memberdayakan pertanian skala kecil karena lebih dari 90 persen petani Indonesia adalah petani kecil. Peluang dan ancaman terpenting berasal dari: (i) implikasi liberalisasi perdagangan internasional, dan (ii) implikasi dari perubahan iklim. Di sisi lain, kekuatan ataupun kelemahan pertanian di Indonesia terkait dengan skala pengusahaan, penguasaan teknologi prapanen – pascapanen, permodalan, manajemen produksi dan pemasaran (input maupun output). Keberhasilan dalam pemberdayaan pertanian skala kecil akan berdampak pada pembangunan dalam konteks yang lebih luas dari eksistensi pertanian itu sendiri karena berimplikasi langsung pada ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja, dan sosial budaya suatu bangsa. Oleh sebab itu, upaya pemberdayaan pertanian skala kecil tidak hanya berkenaan dengan peningkatan produktivitas, produksi, mutu, dan daya saing produknya di pasar lokal – nasional – global; namun mencakup pula aspek-aspek sosialekonomi dan kelembagaan yang kondusif untuk meningkatkan pendapatan, harkat, dan martabat petani dalam eksistensinya sebagai bagian dari bangsa ini. Tulisan ini ditujukan untuk membahas keragaan dan dinamika pertanian skala kecil di Indonesia dalam kaitannya dengan implikasi dari globalisasi perdagangan komoditas pertanian. Mengingat bahwa secara empiris pertanian skala kecil Indonesia didominasi petani yang mengusahakan komoditas pangan maka pembahasannya juga akan ditekankan pada pertanian tanaman pangan. KARAKTERISTIK DAN DINAMIKA PERTANIAN SKALA KECIL Konsep dan Definisi Membahas pertanian skala kecil pada dasarnya membahas petani kecil. Sulit untuk membahas pertanian skala kecil tanpa mengetahui karakteristik petani kecil; di sisi lain sulit pula menjelaskan makna tentang petani kecil tanpa menghubungkannya dengan skala usahataninya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini kedua istilah tersebut digunakan secara bergantian disesuaikan dengan konteksnya.
38
Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global
Sampai saat ini belum ada suatu rumusan yang secara ringkas dan tegas dapat menjelaskan definisi petani kecil (pertanian skala kecil). Lazimnya definisi petani kecil yang selama ini banyak diacu terkait dengan smallness dari size lahan usahatani dan atau jumlah ternak yang dimiliki atau dikelolanya (von Braun, 2004). Salah satu keterbatasan pendefinisian seperti itu adalah tiadanya suatu ukuran yang dapat berlaku umum (untuk semua wilayah dan jenis komoditas). Untuk luas usahatani yang sama, petani tanaman pangan seperti pada umumnya tentulah tidak sebanding dengan petani yang memproduksi komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi dengan akses pasar modern yang sangat baik. Dengan luas garapan yang sama, petani yang lahan usahataninya sangat subur dan berpengairan teknis yang canggih adalah berbeda dengan petani yang lahan usahataninya tak terfasilitasi pengairan yang memadai dan kualitas kesuburannya rata-rata. Alternatif lain yang ditempuh untuk mendefinisikan petani kecil adalah dari sudut pandang tenaga kerja dan pendapatan. Dari sudut pandang tenaga kerja, petani kecil adalah rumah tangga yang mata pencaharian utamanya berusahatani dan dalam usahataninya itu mayoritas tenaga kerjanya adalah tenaga kerja dalam keluarga (Narayana and Gulati, 2002). Dari sudut pandang pendapatan, petani kecil lazimnya diasosiasikan dengan tingkat pendapatannya yang rendah. Secara teoritis memang terdapat konvergensi antara skala usaha–penggunaan tenaga tenaga kerja upahan–penerapan teknologi–akses pasar–pendapatan, namun sampai saat ini data yang diperlukan untuk itu belum tersedia sehingga dengan segala keterbatasannya, yang lazim dipergunakan masih mengacu pada skala usaha. Pengertian mengenai skala usaha mengacu pada konsep retuns to scale. Selama ini konsep tersebut telah banyak diterapkan sebagai pendekatan teoritis mengenai skala optimal usahatani (Chavas, 2001). Penerapannya dalam studi empiris menghasilkan beragam kesimpulan. Di negara maju terdapat kecenderungan increasing returns to scale. Sebagai contoh, studi Kumbhakar (1993) tentang profitabilitas usahatani sapi perah di Utah ataupun analisis Hall and Le Veen (1978) mengenai hubungan antara skala usaha dan efisiensi usahatani di California diperoleh kesimpulan bahwa secara rata-rata profitabilitas usahatani skala kecil relatif lebih rendah daripada usahatani skala menengah–besar. Menurut Hall and Leveen (1978), sumber keunggulan skala besar tersebut terletak pada penghematan biaya pengadaan input. Untuk kasus di negara berkembang kondisinya berbeda. Sebagai contoh, studi Sen (1962) di India menemukan adanya hubungan terbalik antara luas garapan dengan produktivitas pada usahatani di India. Kemudian, pada dekade 70-an, studi Yotopoulos and Lau (1973) dan Berry and Cline (1979) memperoleh kesimpulan bahwa pada usahatani di India ternyata skala kecil relatif lebih efisien daripada skala besar; dan tidak disarankan untuk mengkondisikan konsolidasi usahatani karena secara umum ternyata berada pada kondisi constant returns to scale. Menurut Binswanger and Rozensweig (1986) hal itu disebabkan karena tenaga kerja keluarga lebih murah dan efisien daripada tenaga kerja luar keluarga
39
Sumaryanto
(buruh) karena: (i) tenaga kerja keluarga memperoleh bagian dari keuntungan sehingga curahan perhatian dan kualitas pekerjaannya lebih baik, (ii) dengan tenaga kerja keluarga tidak diperlukan adanya biaya pencarian tenaga kerja, (iii) setiap individu tenaga kerja dalam keluarga menganggap bahwa apa yang dikerjakan dalam usahataninya berimplikasi pada risiko yang akan dihadapi dalam usahataninya. Senada dengan berbagai temuan tersebut, Hayami (1998) juga menyatakan bahwa dalam banyak kasus ternyata usahatani skala rumah tangga adalah optimal. Namun "outcomes" yang terjadi tidaklah paralel dengan berbagai keunggulan tersebut. Meskipun usahatani rumah tangga mempunyai labor cost advantage tidak demikian halnya dengan masalah pendanaan usahatani dan berbagai implikasinya terhadap akses pasar dan lobi politik. Usahatani skala besar memiliki credit cost advantage yang jauh lebih besar daripada usahatani rumah tangga. Demikian pula dengan pemanfaatan peluang-peluang pengembangan dalam interaksinya dengan sektor nonpertanian (Binswanger and Rozensweig, 1986). Kesimpulan umum berbagai hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa berbekal keunggulannya masing-masing, pertanian skala kecil maupun skala besar akan terus eksis. Baik yang besar maupun yang kecil akan mengalami pasang surut dan dinamika lingkungan strategis global akan mempengaruhi eksistensinya masing-masing. Namun demikian, satu hal penting yang harus digaris bawahi adalah bahwa pasang surut pertanian skala kecil di negara-negara berkembang berimplikasi lebih serius terhadap perekonomian sebagian besar negara-negara berkembang karena berkaitan erat dengan masalah kemiskinan, ketahanan pangan, dan kesempatan kerja sebagian besar penduduknya. Di Indonesia studi tentang hubungan antara skala usaha dengan efisiensi juga telah banyak dilakukan (paruh kedua dekade 70-an – paruh awal dekade 902 an), baik melalui pendekatan ekonometrik maupun akunting sederhana . Namun terkait dengan kurangnya tindak lanjut konkrit dari rekomendasi kebijakan yang disampaikan maupun "isu-isu kebijakan" yang menjadi arus utama (main stream) dalam paradigma pembangunan maka sejak awal dekade 90-an, studi seperti itu jarang dilakukan. Padahal terkait dengan kemajuan teknologi dan perkembangan dalam kelembagaan pengelolaan usahatani mungin saat ini kondisinya berbeda. Secara umum, hasil-hasil penelitian tersebut memperoleh kesimpulan bahwa usahatani tanaman pangan di Indonesia berada dalam kondisi constant returns to scale; dan mungkin terkait dengan itu pula maka sampai saat ini konsolidasi usahatani secara mandiri oleh petani belum menjadi trend.
Petani Kecil Indonesia: Karakteristik dan Dinamikanya Gambaran Lingkup Makro Pola penggunaan tanah untuk usaha pertanian di Indonesia dapat dipilah menjadi dua: (a) usaha pertanian skala besar yang umumnya berupa perkebunan 2
Pembaca dapat melacaknya pada berbagai hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Agro Ekonomi periode 1985 – 1994, prosiding hasil penelitian PAE 1985 – 1990, maupun berbagai disertasi pada periode tersebut.
40
Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global
yang dikelola oleh badan usaha milik negara maupun perusahaan swasta, (b) usaha pertanian rakyat. Meskipun usaha pertanian rakyat umumnya menerapkan pola campuran, tetapi menurut komoditas dominan yang diusahakannya secara garis besar dapat dipilah lebih lanjut menjadi dua kategori: (i) usaha pertanian tanaman pangan/hortikultura dan (ii) perkebunan rakyat. Usaha pertanian tanaman pangan yang paling berkembang adalah usahatani padi yang umumnya dilakukan di lahan sawah. Secara empiris usahatani tanaman pangan cenderung terkonsentrasi di wilayah berpenduduk padat, sedangkan perkebunan rakyat 3 berkembang di wilayah yang tingkat kepadatan penduduknya rendah . Menurut data SUSENAS, jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan di Indonesia pada tahun 2003 adalah sekitar 24,05 juta, sedangkan pada tahun 1993 adalah sekitar 20,5 juta (Tabel 1). Jadi, selama sepuluh tahun bertambah 17,2 persen, atau rata-rata per rata-rata per tahun bertambah 1,7 persen. Angka ini lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk yang diperkirakan sekitar 1,3 – 1,5 persen per tahun. Ini menunjukkan bahwa pertanian masih tetap menjadi penyerap tenaga kerja terbesar. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2004 dari total penduduk yang bekerja (93,7 juta orang) yang bekerja di pertanian (termasuk kehutanan, perburuan, dan perikanan) adalah sekitar 40,6 juta orang. Pada tahun 2007 sektor ini menyerap sekitar 42,6 juta orang dari seluruh penduduk yang bekerja (97,6 juta orang). Tabel 1. Jumlah Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan, 1993 dan 2003
Pulau Jawa Luar Pulau Jawa Indonesia
Tahun 1993
Tahun 2003
Perubahan (%)
11 564
13 262
14.7
8 954
10 789
20.5
20 518
24 051
17.2
Sumber: Sensus Pertanian 1993 dan 2003
Di sisi lain, pertambahan luas lahan pertanian tidak sebanding dengan pertambahan jumlah rumah tangga pertanian sehingga rata-rata luas penguasaan lahan garapan usahatani yang sejak semula relatif kecil menjadi semakin kecil. Gambaran terkini dapat disimak dari hasil pendataan usahatani yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 (PUT09). Meskipun pendataannya hanya mencakup usahatani empat komoditas (padi, jagung, kedelai, dan tebu) namun dapat dianggap representatif karena mencakup sekitar 70 persen dari populasi rumah tangga pertanian Indonesia.
3
Terkait dengan produk yang dihasilkan, orientasi pemasaran produk perkebunan adalah pasar ekspor sedangkan produk pertanian tanaman pangan adalah pasar domestik. Indonesia adalah eskportir penting dalam pasar internasional untuk komoditas karet, kakao, CPO (crude palm oil), teh, kopi, dan lada. Namun untuk komoditas pangan (beras, jagung, kedelai, gula, daging, telur, dan susu) produk yang dihasilkan petani Indonesia baru mencukupi kebutuhan domestik, bahkan untuk komoditas pangan strategis (beras) Indonesia masih harus impor.
41
Sumaryanto
Menurut data tersebut, pada tahun 2009 ini jumlah rumah tangga usahatani penghasil komoditas pertanian utama adalah sekitar 17,8 juta (jika petani mengusahakan lebih dari satu jenis komoditas maka tetap dihitung satu, mengacu pada komoditas utamanya). Rincian jumlah unit usahatani menurut jenis komoditas yang diusahakan adalah sebagai berikut. Untuk komoditas padi, jagung, kedelai masing-masing adalah sekitar 14,99, 6,71, 1,16 juta unit usahatani; sedangkan tebu adalah sekitar 195 ribu unit usahatani. Sebarannya menurut (kelompok) pulau adalah sebagai berikut (Tabel 2). Sebagian besar (58,6%) berada di Pulau Jawa. Di Luar Pulau Jawa, yang terbanyak adalah di Sumatera (18,6 persen), sedangkan yang terkecil adalah di Maluku dan Papua (1,3%). Tabel 2. Jumlah Rumah Tangga Petani Padi, Jagung, Kedelai, dan Tebu di Indonesia, 2009 Padi Jagung Kedelai Tebu Total*) 20,1 9,3 3,9 7,3 18,6 59,4 65,4 78,5 91,4 58,6 6,4 11,5 11,4 0,1 7,7 7,3 2,0 0,8 0,5 6,3 6,3 9,3 3,2 0,6 7,6 0,5 2,5 2,2 0,1 1,3 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Indonesia 14.992.137 6.714.695 1.164.477 195.459 17.830.832 Sumber: Diolah dari data BPS "Pendataan Usahatani 2009 (PUT09)" Sumatera Jawa Bali & NT Kalimantan Sulawesi Maluku & Papua
*) Total
100 karena sebagian petani mengusahakan lebih dari satu jenis komoditas
M ix _ in d e x = **)
Mix_index**) 111,8 137,8 135,6 110,2 118,8 117,4 129,4
ju m la h p e ta n i m e n u r u t k o m o d ita s 100 ju m la h p e ta n i
. Pola pengusahaannya bersifat monokultur dan campuran. Dengan mixindex sebagai proksi, dapat diketahui bahwa pola campuran lebih banyak dilakukan oleh petani di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, sedangkan pola monokultur lebih populer di wilayah Kalimantan. Sisanya berada dalam kisaran antar kedua tipe tersebut. Sebaran petani menurut luas penguasaan menunjukkan bahwa bagian terbesar adalah petani dengan luas penguasaan antara 0,1 – 0,49 hektar. Penelusuran lebih lanjut lanjut dengan pendekatan kumulatif menghasilkan kesimpulan sebagai berikut (Tabel 3). Jika angka 2 hektar (1,99) digunakan sebagai batas untuk mendelienasi cakupan petani kecil maka lebih dari 90 persen petani Indonesia termasuk dalam kategori tersebut, namun jika angka yang digunakan adalah 1 hektar, maka jumlahnya sekitar 76 persen; bahkan jika angka diturunkan lagi menjadi 0,5 hektar ternyata jumlahnya masih lebih dari separuh (53%). Kondisi paling "gurem" adalah di Pulau Jawa, lokasi dimana 58 persen petani Indonesia berada. Dengan batas atas 1 hektar saja sekitar 90 persen diantaranya sudah termasuk dalam kategori petani kecil, dan selanjutnya jika batas atas yang digunakan adalah 0.5 hektar maka persentase petani yang tercakup dalam kelompok tersebut juga masih lebih dari dua pertiga (69 persen).
42
Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global
Tabel 3. Sebaran Rumah Tangga Petani Padi, Jagung, Kedelai, dan Tebu di Indonesia Menurut Kelompok Penguasaan Lahan, 2009 Kelompok penguasaan lahan <0.1
Wilayah Sumatera
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Maluku & Papua
Indonesia
Bali & NT
3,16
9,33
4,30
1,54
3,16
20,96
6,99
0.1-0.49
30,56
59,28
38,16
19,21
21,72
31,18
46,59
0.50-0.99
25,55
21,26
27,04
19,57
23,36
13,68
22,46
1.00-1.99
25,53
7,90
21,15
26,33
30,90
21,51
15,27
2.00-2.99
9,39
1,40
5,89
15,60
12,26
8,26
5,04
>=3.00
5,81
0,82
3,46
17,75
8,59
4,41
3,65
Total
100
100
100
100
100
100
100
< 0.1
3,16
9,33
4,30
1,54
3,16
20,96
6,99
< 0.5
33,73
68,61
42,46
20,75
24,88
52,14
53,58
< 1.0
59,27
89,87
69,50
40,32
48,25
65,82
76,04
< 2.0
84,80
97,77
90,65
66,65
79,14
87,34
91,31
< 3.0
94,19
99,18
96,54
82,25
91,41
95,59
96,35
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Kumulatif
All
Sumber: diolah dari data BPS "PENDATAAN USAHATANI 2009 (PUT09)".
Usahatani padi adalah bagian terbesar usahatani Indonesia dan terkait dengan program penelitian dan pengembangan serta penyuluhan pertanian yang terjadi selama ini mungkun menggambarakan wilayah "frontier" aplikasi teknologi budidaya pertanian yang sebagian besar petani Indonesia. Terkait dengan itu, dengan asumsi bahwa pemanfaatan varietas dan penggunaan pupuk mencerminkan derajat intensifikasi usahatani, hasil analisis data PUT09 menyajikan sejumlah temuan berikut. Dari seluruh petani padi di Indonesia, jumlah petani yang menggunakan benih padi berdaya hasil tinggi adalah sekitar 76 persen dengan rincian varietas unggul non-hibrida 73 persen dan hibrida sekitar 3 persen, sedangkan yang memanfaatkan varietas lokal adalah sekitar 24 persen. Gambaran menurut wilayah agak paralel dengan sebaran jumlah total petani antarwilayah tersebut. Sebagai contoh, dari seluruh petani yang menggunakan benih hibrida tersebut sekitar 55 persennya adalah petani padi di Pulau Jawa. Peringkat berikutnya adalah di Sumatera (33 persen) dan Sulawesi (6 persen). Untuk varietas unggul non hibrida, sekitar 70 persen ada di Pulau Jawa, sedangkan untuk varietas lokal yang terbanyak adalah di kalangan petani padi di Sumatera (33 persen). Khusus untuk varietas lokal ini fenomena yang menarik adalah di Kalimantan karena sekitar 80 persen dari seluruh petani padi di pulau besar ini memanfaatkan varietas lokal (Tabel 4).
43
Sumaryanto
Tabel 4. Distribusi Rumah Tangga Petani Padi Menurut Varietas Benih yang Ditanam, 2009 Hibrida
Varietas Unggul
Varietas Lokal
(% baris ) (% kolom ) (% baris ) (% kolom ) (% baris ) (% kolom )
Total
Sumatera Jawa Bali dan NT Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua
4,77 2,65 1,58 0,59 2,79
33,40 54,84 3,53 1,50 6,09
56,27 86,66 69,54 19,47 65,70
15,51 70,49 6,14 1,94 5,65
38,96 10,69 28,89 79,94 31,52
32,54 26,33 7,73 24,17 8,21
100 100 100 100 100
4,04
0,64
42,01
0,26
53,95
1,02
100
Indonesia
2,87
100
73,02
100
24,10
100
100
Sumber: diolah dari data BPS "PENDATAAN USAHATANI 2009 (PUT09)". *) Jumlah N (rumah tangga petani padi) Indonesia 14.992.137
Dalam pemupukan, jumlah petani padi pengguna versus nonpengguna adalah sekitar 92 persen versus 8 persen (Tabel 5). Dari seluruh petani petani pengguna pupuk, sekitar 74 persen diantaranya hanya mengandalkan pupuk anorganik saja, sekitar 25 persen lainnya menggunakan campuran pupuk anorganik dan organik, dan sekitar 1 persen menggunakan pupuk organik saja. Fakta ini menunjukkan tingginya ketergantungan petani terhadap ketersediaan pupuk anorganik (Urea, SP16, SP18, NPK, ZA) dan karena itu kebijakan subsidi harga pupuk merupakan salah satu agenda terpenting dalam kebijakan pertanian Indonesia. Tabel 5. Tingkat Partisipasi Petani dalam Penggunaan Pupuk (persen)
Sumatera Jawa Bali dan NT Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua Indonesia
Tidak menggunakan Pupuk 12.8 0.1 20.0 46.0 11.1 46.0 8.2
Menggunakan pupuk Jenis pupuk yang digunakan Anorganik Organik Anorganik Sub total saja saja + Organik 72.0 67.0 71.6 46.3 83.8
1.1 0.1 1.1 2.8 0.5
14.1 32.8 7.2 4.9 4.6
87.2 99.9 80.0 54.0 88.9
44.8
5.0
4.1
54.0
67.7
0.6
23.5
91.8
Total (%) 100 100 100 100 100 100 100*)
Sumber: diolah dari data BPS "PENDATAAN USAHATANI 2009 (PUT09)". *) Jumlah N (rumah tangga petani padi) Indonesia 14.992.137
Dalam pembiayaan usahatani, gambaran makro yang diperoleh dari analisis PUT09 ini juga mengkonfirmasi berbagai hasil penelitian empiris lingkup mikro yang selama ini memperoleh kesimpulan bahwa peranan perbankan dalam pembiayaan usahatani tanaman pangan masih sangat kecil. Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari 94 persen petani padi mengandalkan biaya usahataninya dari
44
Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global
modal sendiri. Bagi petani yang mengandalkan modalnya dari pinzaman, ternyata sumber utama berasal dari perorangan (sesama petani, famili, tetangga, tengkulak, pemilik lahan, dan sebagainya). Secara keseluruhan, peranan lembaga perbankan dalam pembiayaan usahatani kurang dari satu persen. Tabel 6. Sebaran Petani Padi Menurut Sumber Utama Pembiayaan Usahatani (persen) Modal sendiri
Modal utama berasal dari pinzaman dirinci menurut sumber utama pemberi pinzaman PerKoperasi Bank lainnya orangan
Total N
(%)
Sumatera
91,72
6,71
0,61
0,13
0,83
3.018.172
(100)
Jawa
95,45
3,23
0,37
0,51
0,43
8.904.913
(100)
Bali dan NT
93,24
5,04
0,74
0,19
0,79
966.398
(100)
Kalimantan
97,90
1,35
0,13
0,06
0,56
1.092.682
(100)
Sulawesi
89,63
9,14
0,27
0,13
0,83
941.837
(100)
Maluku dan Papua
90,75
0,65
0,81
1,69
6,10
68.135
(100)
Indonesia
94,35
4,27
0,42
0,36
0,59
14.992.137
(100)
Sumber: diolah dari data BPS "PENDATAAN USAHATANI 2009 (PUT09)".
Dengan struktur pertanian yang didominasi usahatani skala kecil (skala rumah tangga) maka pasar tenaga kerja pertanian bersifat multidimensi. Faktorfaktor yang bekerja dibalik permintaan dan penawaran tidak hanya mencakup variabel ekonomi semata namun terkait pula dengan struktur sosial dan budaya, terkait pula dengan pasar lahan dan pasar kredit, dan dinamikanya dipengaruhi oleh perubahan teknologi berproduksi. Situasi dan kondisi tersebut mewarnai dinamika produktivitas tenaga kerja (kompensasi tenaga kerja) di sektor pertanian. Dengan asumsi bahwa nilai tambah per pekerja dapat digunakan sebagai proksi dari produktivitas kerja tampak bahwa produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian adalah sangat rendah jika dibandingkan dengan sektor-sektor perekonomian lainnya. Untuk melihat lebih jauh ketimpangan kompensasi terhadap tenaga kerja antar sektor, misalkan rataan agregat 1980 dijadikan basis (indeks 1980 = 1) maka gambaran yang diperoleh adalah sebagai berikut (Tabel 7). Pada tahun 1980, rata-rata gaji dan upah tenaga kerja di sektor pertanian hanya sepertiga dari rataan agregat. Rataan tertinggi adalah di sektor lembaga keuangan dan perbankan yang besarnya sekitar lebih dari 12 kali lipat rataan agregat. Sepuluh tahun kemudian, rata-rata agregat gaji dan upah (berdasarkan harga berlaku) meningkat menjadi 3,7 kali lipat, dan dua puluh tahun kemudian (tahun 2000) menjadi sekitar 25 kali lipat. Dengan urutan yang sama di sektor pertanian meningkat dari 0,3 menjadi 1 (naik 3 kali lipat) pada tahun 1990 dan naik menjadi 6,5 kali lipat. Kesemuanya itu merupakan bukti bahwa kompensasi tenaga kerja di sektor pertanian bukan hanya terkecil, tetapi peningkatannyapun lebih rendah dari sektor lain maupun rataan agregat.
45
Sumaryanto
Tabel 7. Perkembangan Tingkat Gaji dan Upah Sektoral per Pekerja, 1980 – 2000
Pertanian
1980 (Rp.000/ Indeks orang) 56,5 0,32
1990 (Rp.000/ Indeks orang) 174,7 1,00
2000 (Rp.000/ Indeks orang) 1.143,5 6,51
Kehutanan
623,6
3,55
717,7
4,09
4.893,4
27,88
Perikanan
122,0
0,69
483,5
2,75
4.346,9
24,76
Pertambangan
763,4
4,35
2.592,8
14,77
30.983,6
176,51
Agroindustri1(27_34)
303,6
1,73
671,3
3,82
9.127,7
52,00
Industri lainnya
235,1
1,34
1.094,8
6,24
9.378,9
53,43
Listrik, gas, air minum
862,7
4,91
2.192,7
12,49
10.100,8
57,54
Bangunan
613,6
3,50
1.708,7
9,73
8.876,5
50,57
Perdagangan
101,2
0,58
347,0
1,98
3.075,1
17,52
Restoran dan hotel
776,8
4,43
2.227,7
12,69
6.203,2
35,34
Pengangkutan dan komunikasi
343,3
1,96
876,4
4,99
3.465,0
19,74
2.250,7
12,82
5.246,6
29,89
14.745,9
84,01
Pemerintahan dan pertahanan
969,8
5,52
3.275,9
18,66
10.733,5
61,15
Jasa-jasa
216,4
1,23
692,7
3,95
5.440,5
30,99
94,3
0,54
867,4
4,94
1,00
652,9
3,72
4.374,0
24,92
Lembaga keuangan
Kegiatan lain Total 175,5 Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Produktivitas usahatani tanaman pangan, khususnya padi dan jagung di Indonesia sebenarnya termasuk tinggi. Rata-rata produktivitas petani padi Indonesia memang masih lebih rendah daripada petani Cina ataupun Jepang, setara dengan petani India, namun lebih tinggi daripada petani Thailand ataupun Vietnam. Bahwa sampai saat ini untuk Indonesia seringkali masih harus mengimpor beras terutama karena sangat kecilnya garapan usahatani. Sekedar ilustrasi, rata-rata luas lahan usahatani padi per kapita (total luas lahan usahatani 2 padi dibagi total jumlah penduduk) Indonesia hanya sekitar 646 M /kapita. 2 2 Bandingkan dengan Vietnam (986 M /kapita), Cina (1.120 M /kapita), ataupun 2 2 India (1.590 M /kapita); apalagi Thailand (5.230 M /kapita) (Pasaribu, 2009). Terkait dengan banyaknya jumlah rumah tangga petani, skala usahanya yang kecil, lokasinya yang tersebar di berbagai pelosok, infrastruktur pertanian dan perdesaan yang belum cukup, dan kurang berkembangnya kelembagaan asosiasi petani maka sebagian besar petani di Indonesia berada pada posisi tawar yang lemah. Petani dihadapkan pada pasar masukan usahatani yang ologopolistik dan pasar keluaran usahatani yang oligopsonistik. Secara sendiri-sendiri ataupun bersamaan, struktur pasar tersebut menciptakan perilaku pasar yang kurang menguntungkan petani karena di pasar input berhadapan dengan harga yang lebih
46
Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global
tinggi dan di pasar output menerima harga jual hasil panen yang lebih rendah dari normatifnya. Dalam rangka melindungi produsen (petani kecil) maupun konsumen (yang sebagian besar juga miskin), pemerintah meluncurkan kebijakan harga terutama untuk komoditas pangan strategis. Sebagai contoh, untuk mengkondisikan agar harga gabah pada saat panen tidak merosot tajam maka pemerintah menetapkan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah (dahulu Harga Dasar gabah) dan untuk menstabilkan harga beras agar pada saat paceklik tidak melonjak tajam maka pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi Beras. Bekerja sama dengan Departemen Pertanian serta departemen terkait lainnya, lembaga yang secara khusus ditugaskan untuk mengeksekusinya adalah Badan Urusan Logistik (BULOG). Gambaran Lingkup Mikro Penguasaan lahan mengacu pada pemilikan maupun penggarapan. Dalam berusahatani, sebagian besar petani menggarap miliknya sendiri. Namun demikian, tidak sedikit pula yang lahan garapannya adalah milik orang lain dengan cara menyewa, bagi hasil, menggadai, dan sebagainya. Mereka adalah petani yang tidak memiliki lahan sendiri ataupun jika memiliki lahan sendiri tetapi luasnya relatif sangat kecil untuk digarapnya. Bahkan ditemukan pula kasus-kasus petani yang menyewa atau menyakap (bagi hasil) lahannya sendiri yang telah digadaikan atau disewakan secara tahunan kepada orang lain. Hasil analisis data PATANAS 1995 dan 2007 menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya rumah tangga petani maka rata-rata luas penguasaan lahan usahatani mengecil. Pada usahatani sawah di Jawa, rata-rata luas lahan menurun dari 0,49 ha pada tahun 1995 menjadi 0,36 ha tahun 2007. Menurunnya rata-rata luas penguasaan lahan secara konsisten juga terjadi pada agroekosistem lahan kering yang berbasis tanaman pangan dan hortikultur maupun agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan. Secara umum, rata-rata luas pemilikan lahan petani di Luar Pulau Jawa lebih besar daripada di Pulau Jawa, 4 namun juga cenderung semakin kecil (Tabel 8) . Gambaran tentang distribusi pemilikan lahan dapat disimak dari sebaran rumah tangga menurut kelompok pemilikan. Tampak bahwa jumlah petani dengan penguasaan lahan kurang 0,5 hektar ke bawah adalah sekitar 44 persen. Pada kelompok ini, jumlah terbanyak adalah pada luasan seperempat hektar ke bawah (27%), sedangkan petani tunakisma (tidak memiliki lahan sendiri sehingga menggarap milik orang lain adalah sekitar 9%). Di Pulau Jawa, jumlah petani yang luas pemilikannya 0,5 hektar ke bawah mencapai 57 persen, sedangkan di Luar Pulau Jawa adalah sekitar 37 persen. Demikianpun halnya dengan petani penggarap murni, di Pulau Jawa mencapai 12 persen sedangkan di Luar Pulau Jawa sekitar 7 persen (Tabel 9). Secara umum distribusi pemilikan lahan usahatani 4
Sebagai bahan perbandingan, rata-rata skala usahatani (pada awal 1990) di beberapa negara di Asia adalah sebagai berikut. Rata-rata skala usaha petani di Thailand adalah sekitar 3,36 ha, sedangkan di India, Jepang, Korea Selatan,dan China masing-masing adalah 1.55, 1.37, 1.23, 0,43 hektar (Fan and Chan-Kang, 2003).
47
Sumaryanto
di Indonesia berada pada tingkat ketimpangan sedang (indek gini berkisar 0,42 – 0,64) dan dalam sepuluh tahun terakhir ini cenderung semakin timpang (Sudaryanto et al., 2009). Tabel 8. Rata-rata Luas Penguasaan Lahan Usahatani pada Berbagai Tipe Agroekosistem di Indonesia, 1995 dan 2007 Average size (ha) 1995 2007
Wilayah dan agroekosistem Pulau Jawa, agroekosistem sawah
0,493
0,360
Pulau Jawa, agroekosistem lahan kering berbasis tanaman pangan/hortikultura
0,397
0,298
Luar Pulau Jawa, agroekosistem sawah
1,491
1,347
Luar Pulau Jawa, agroekosistem lahan kering berbasis tanaman pangan/hortikultura
0,987
0,985
Luar Pulau Jawa, agroekosistem lahan kering berbasis komoditas perkebunan
1,283
1,202
Sumber: diolah dari data Panel (PATANAS 1995 dan Survey Tahun 2008).
Tabel 9. Distribusi Rumahtangga Petani menurut Kelompok Pemilikan Lahan, 2007. Jumlah rumah tangga petani ( persen) Kelompok pemilikan Tunakisma
Pulau Jawa
Luar Pulau Jawa
Total
12,40
7,05
8,84
0-0.25
40,50
20,75
27,35
0.25-0.50
16,53
16,60
16,57
0.50-1.00
14,05
9,13
5,25
1.00-2.00
7,44
10,37
4,14
1.00-1.25
1,65
9,96
1,93
1.25-1.50
3,31
6,22
10,77
1.50-1.75
3,31
4,56
9,39
1.75-2.00
0,83
2,49
7,18
>2.00 12,86 12,86 Sumber: diolah dari data survey dalam kerja sama penelitian PSEKP – IFPRI – JBIC 2009.
Secara garis besar penyebab utama makin mengecilnya skala usahatani terkait dengan pertambahan jumlah rumah tangga pertanian yang jauh lebih tinggi dari pertambahan luas areal pertanian baru, konversi lahan pertanian ke nonpertanian, dan pewarisan. Itu adalah gambaran rata-rata, sedangkan yang terjadi di lapangan beragam. Sejumlah besar petani luas pemilikannya bertambah kecil karena dibagi-bagikan kepada keturunannya (warisan) atau sebagian dijual, sebagian lainnya tak lagi memiliki lahan pertanian dan beralih profesi (tidak lagi
48
Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global
menjadi petani), dan sebagian lainnya (sebagian kecil) lahan pertaniannya bertambah luas karena membeli dari petani lainnya baik di dalam desa maupun di luar desa. Peningkatan jumlah petani kecil menyebabkan: (1) posisi tawar petani di pasar input maupun pasar output pertanian menjadi semakin lemah, (2) kemampuan untuk melakukan investasi dalam usahatani menurun, (3) adopsi teknologi melambat, (4) kontribusi usahatani dalam pendapatan rumah tangga semakin kecil, dan (5) meningkatnya alokasi tenaga kerja rumah tangga petani ke sektor nonpertanian dan migrasi tenaga kerja kerja ke kota. Secara keseluruhan hal tersebut menyebabkan berimplikasi pada suksesi usahatani maupun terjadinya involusi pertanian. Melemahnya posisi tawar petani di pasar input maupun output pertanian tidaklah mudah diatasi. Meskipun secara teoritis dapat diatasi melalui pengembangan asosiasi petani, namun secara empiris tidak mudah diwujudkan karena: (1) kepentingan petani sangat heterogen, (2) secara agregat, net benefit dari pengembangan kelambagaan asosiasi petani sangat kecil (bahkan di beberapa kasus negatif), sementara itu campur tangan pemerintah untuk menekan social cost dari pengembangan kelembagaan seperti itu sangat tidak memadai. Rendahnya kemampuan petani untuk melakukan investasi dalam usahatani tercermin dari beberapa fenomena berikut. Pada komunitas petani di wilayah agroekosistem pesawahan, khususnya komunitas petani yang secara rutin menghadapi ancaman kekeringan ternyata tingkat partisipasinya dalam pengadaan pompa irigasi hanya sekitar 8 persen. Pada komunitas petani di wilayah agroekosistem lahan kering tanaman perkebunan, upaya untuk melakukan peremajaan tanaman perkebunan dan penanaman komoditas perkebunan yang produktivitasnya lebih tinggi adalah relatif rendah. Semakin melambatnya adopsi teknologi petani antara lain tercermin dari levelling off pertumbuhan produksi padi di Indonesia (Simatupang, 2000). Sejak awal dasawarsa 90-an berbagai terobosan di bidang teknologi usahatani padi sebenarnya cukup banyak dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian terkait di Indonesia. Cukup banyak varietas-varietas padi yang baru dengan produktivitas yang lebih tinggi telah berhasil diciptakan, namun adopsinya di kalangan petani relatif rendah. Saat ini diperkirakan lebih dari 70 persen pertanaman padi di Indonesia didominasi oleh varietas IR 64 dan Ciherang; dan hal itu telah berlangsung kurang lebih dalam periode 10 tahun terakhir ini. Semakin rendahnya kontribusi usahatani dalam struktur pendapatan rumah tangga dapat dilihat dari fenomena berikut. Di perdesaan Pulau Jawa kontribusi pendapatan dari pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga turun dari 50 persen menjadi 25 persen dalam periode 1995 – 2007 (Sudaryanto dan Sumaryanto, 2008). Khusus untuk rumah tangga petani, kontribusi pendapatan dari usahatani terhadap pendapatan rumah tangganya adalah sebagai berikut. Di agroekosistem pesawahan di Pulau Jawa dan Luar Jawa masingmasing adalah 58 dan 46 persen. Dengan urutan yang sama, pada agroekosistem lahan kering berbasis usahatani tanaman pangan dan hortikultura adalah 52 dan
49
Sumaryanto
48 persen. Sedangkan di lahan kering barbasis tanaman perkebunan, di Luar P. Jawa adalah 67 persen (PSEKP, 2008). Meningkatnya alokasi tenaga kerja rumah tangga petani ke pekerjaan nonpertanian berimplikasi menguatnya sifat part time dalam aktivitas usahatani. Hasil penelitian (PSEKP, 2008) menunjukkan bahwa partisipasi rumah tangga petani pada kegiatan berburuh tani, usaha nonpertanian, dan berburuh di sektor nonpertanian masing-masing adalah 61, 36, dan 22 persen. Jika unit analisisnya adalah individu maka terdapat tiga kelompok kegiatan yang partisipasinya sangat menonjol yaitu: (i) di usahatani sendiri saja (37%), (ii) di usahatani sendiri + berburuh tani (20%), dan (iii) di usahatani + usaha rumah tangga sektor nonpertanian (12%). Meningkatnya jumlah petani kecil (dan mengecilnya rata-rata land size) juga mendorong migrasi tenaga kerja rumah tangga petani ke luar desa, terutama yang berpendidikan lebih tinggi. Hasil analisis data PATANAS 2007 (di-"up date" pada tahun 2008) menunjukkan bahwa (multinomial logit) probabilitas individu anggota rumah tangga petani untuk memilih bekerja didalam desa, di dalam dan di luar desa, dan di luar desa masing-masing adalah 78,5, 7,1, dan 14,4 persen. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata adalah luas lahan milik (negatif), tingkat pendidikan (positif), dan fragmentasi lahan garapan (negatif). Keseluruhan kondisi tersebut kondusif tidak untuk suksesi usahatani. Probabilitas petani ingin, ragu-ragu, dan tidak ingin mewariskan usahataninya kepada generasi penerusnya masing-masing adalah sekitar 24, 63, dan 13 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi peluang tersebut lebih banyak berada dalam dimensi sosial – budaya yakni: pendidikan kepala keluarga (negatif), kesukaan terhadap pekerjaan di pertanian (positif), dan faktor sosial budaya yang berkenaan dengan wasiat/pewarisan (positif). Artinya, jika pendekatan yang ditempuh adalah business as usual maka instrumen ekonomi tidak akan afektif. Diperlukan lebih banyak pelibatan aspek-aspek sosial budaya dalam instrumen kebijakan dalam rangka mengembangkan sistem pertanian yang lebih tangguh (diisi tenaga-tenaga kerja pertanian produktif). Fenomena ini perlu diantisipasi mengingat tantangan di masa mendatang (terutama implikasi dari perubahan iklim) semakin berat. Dalam kaitannya dengan suksesi usahatani tersebut, persepsi petani tentang usahataninya menarik untuk disimak karena secara tidak langsung merefleksikan dimensi kualitatif eksistensi pertanian skala kecil. Meskipun prersentase petani yang menyukai pekerjaan usahatani jauh lebih banyak dari yang tidak menyukai (48% vs 3%), namun proporsi petani yang menginginkan keturunannya melanjutkan usahataninya hanya sekitar 23 persen. Sementara itu yang justru menginginkan agar keturunannya bekerja di luar pertanian justru mencapai 24 persen. Jika cukup modal, petani yang ingin mengembangkan usahataninya juga hanya sekitar 37 persen. Cukup banyak (45%) petani yang menyatakan bahwa usahatani merupakan katup pengaman ekonomi keluarga dan untuk subsistensi. Jumlah petani yang menyatakan bahwa latar belakang melakukan usahatani adalah terkait dengan warisan/wasiat adalah sekitar 32 persen, dan yang melakukannya karena tidak ada pilihan lain (terpaksa) adalah sekitar 37 persen. Secara keseluruhan, sebagian besar petani meragukan prospek
50
Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global
usahataninya dapat dijadikan andalan untuk memperbaiki taraf hidup keluarganya di masa mendatang (Tabel 10). Tabel 10. Jumlah Petani (Persen) Dijalankannya, 2008
Menurut Persepsinya terhadap Usahatani yang
3,3
Raguragu 48,8
47,9
Tidak Petani (Kepala Keluarga) menyukai pekerjaan di usahatani Berkeinginan usahataninya diterukan keturunannya
Ya
13,4
64,0
22,6
Lebih suka keturunannya bekerja di nonpertanian saja
7,0
69,0
24,0
Jika cukup modal, akan mengembangkan usahataninya
8,9
54,0
37,1
Merupakan katup pengaman ekonomi keluarga dan subsistensi
4,8
50,6
44,7
22,8
45,4
31,8
Merupakan warisan/wasiat
Tidak ada pilihan lain 7,5 55,3 37,2 Sumber: Diolah dari hasil survei (N = 360) dalam penelitian "Konsorsium Penelitian Karakteristik Petani Kecil Pada Berbagai Tipe Agroekosistem", PSEKP 2008.
Gejala involusi pertanian tampaknya masih belum hilang. Kondisi ini tercipta sebagai akibat dari kombinasi enam faktor berikut: (i) pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi (ii) ekspansi lahan pertanian yang berlangsung sangat lambat, (iii) pelaksanaan reforma agraria yang tersendat, (iv) investasi sektor nonpertanian di perdesaan yang rendah, dan (v) transmigrasi ke pulau-pulau yang jarang penduduknya tersendat, dan (vi) ketidakharmonisan antara pengembangan sistem pendidikan dengan pasar tenaga kerja. Kondisi tersebut di atas dikhawatirkan mempersulit pengembangan kapasitas adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim dan dalam jangka panjang berdampak negatif terhadap ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan.
ERA PASAR GLOBAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERTANIAN SKALA KECIL
Cara paling sederhana untuk membayangkan implikasi era pasar global terhadap pertanian skala kecil dapat dilakukan dengan tiga langkah berikut. Pada hari pertama, cermatilah beragam komoditas buah-buahan, daging, susu, dan berbagai bentuk pangan olahan impor yang tersaji rapi di supermarket yang kini menjamur di Indonesia. Disitulah salah satu jejak langkah MNC agribisnis skala raksasa dapat dilihat dan diamati dengan cara paling sederhana. Dibalik pajangan beragam komoditas impor tersebut, bekerja suatu sistem manajemen rantai pasok (supply chain management – SCM) yang disainnya ditunjang teknologi informasi yang sangat maju, infrastruktur yang canggih, modal yang besar, dan sistem manajemen perusahaan berbasis pengetahuan (knowledge management) yang selalu diperbaharui.
51
Sumaryanto
Hari kedua, belanjalah bahan masakan di pasar tradisional (wet market). Perhatikan tempat penjajaannya, kualitas barangnya, volume barang dagangannya, harganya, dan perhatikan pula penjualnya karena dari sorot matanya akan dapat ditangkap suka duka kehidupan yang diarunginya. Ingat pula, bahwa sebagian dari mereka pada waktu-waktu tertentu harus bermain "petak umpet" dengan petugas "tramtib" karena dianggap menyebabkan kemacaten lalu lintas dan kota tidak bersih. Hari ketiga, mengingat bahwa sumber pasokan barang dagangan dari para pedagang di pasar tradisional tersebut adalah para pedagang pengumpul ataupun langsung dari petani kecil maka bayangkanlah bagaimana nasib petani kecil. Secara keseluruhan dari tiga langkah tersebut akan dapat dibayangkan apa sesungguhnya yang tengah dihadapi para petani kecil dalam era persaingan pasar 5 global saat ini . Liberalisasi Perdagangan dan Kehadiran Perusahaan Agribisnis Skala 6 Raksasa Berpangkal pada asimetri penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, modal, kemampuan lobi politik, dan mungkin juga jejak kolonialisme masa lalu; sistem perdagangan komoditas pertanian di pasar internasional kurang adil terhadap negara berkembang. Upaya untuk menciptakan sistem perdagangan bebas yang adil (fair trade) telah banyak dilakukan melalui serangakain perundingan namun belum membawa hasil yang sesuai dengan harapan. Putaran Doha (2001) berlangsung sangat alot dan belum berhasil mencapai kesepakatan 7 untuk menciptakan sistem perdagangan yang lebih adil . Sampai saat ini pangsa pasar internasional komoditas pangan didominasi negara maju dan cenderung mengerucut ke sejumlah kecil yakni Amerika Serikat (jagung, minyak kedelai, gandum, daging unggas, beras, kedelai, buah dan sayuran, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju), Uni Eropa (buah dan sayuran, jagung, gula, gandum, daging sapi, daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju), Australia (jagung, gula, gandum, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju), Selandia Baru (daging sapi, susu bubuk skim, mentega, dan keju), dan Kanada (mentega, daging sapi, buah dan sayuran, minyak kedelai, gandum, dan jagung) (Sawit, 2007; Sawit, 2008). Selain keunggulannya dalam akses pasar, dominasi negara-negara tersebut sebenarnya juga karena ditopang subsidi yang ternyata jauh lebih besar daripada subsidi yang diterapkan oleh negara-negara berkembang. Pendapatan petani produsen beras, petani produsen gula, dan petani produsen daging sapi 5 6
7
Agar lebih lengkap, perhatikan pula konsumennya agar tahu segmen pasar masing-masing. Bagian tulisan ini banyak mengacu pada Sawit (2007), Sawit (2008), Hutabarat (2009), von Braun (2004), dan beberapa tulisan terkait lainnya. Atas masukannya dalam serangkaian diskusi informal dengan kedua penulis yang tersebut dahulu, penulis makalah ini mengucapkan terima kasih. Deklarasi Doha (WTO, 2001) menyebutkan: (i) substancial reduction in trade-distorting domestic support, (ii) the reduction of, with a view to phasing out, all forms of export subsidies, (iii) substantial improvements in market acces, (iv) special and differential treatment for developing members in all elements of the negotiations. Kerangka kerja persetujuan disepakati anggota WTO pada Bulan Juli 2004 dengan menyisakan agenda menyangkut aspek negosiasi pertanian (WTO, 2004).
52
Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global
yang berasal dari subsidi pemerintah mencapai masing-masing 78, 51, dan 33 persen (Sawit, 2007). Belum lagi sistem perdagangan internasional yang fair terbentuk, ekspansi perusahaan agribisnis skala raksasa dari negara-negara maju semakin dalam menancapkan dominasinya di berbagai negara berkembang. Melalui integrasi vertikal dari hulu – hilir, dominasinya sangatlah kokoh sehingga ruang persaingan yang terbuka untuk negara-negara berkembang menjadi sempit. Di hulu, mereka menguasai pasar peralatan pertanian, agrokimia, dan benih; di tengah mendominasi industri pengolahan (agro-processing dan agro-manufacturing); dan di hilir membanjiri pasar eceran (supermarket) dengan beragam produk pertanian segar maupun olahannya di seluruh dunia baik di negara maju maupun negaranegara berkembang. Dua dekade yang lalu, Top Ten MNC penghasil benih mengendalikan sekitar 30 persen dari nilai perdagangan benih internasional (US$ 24,4 milyar) dan Top Ten perusahaan agrokimia mengendalikan sekitar 84 persen pangsa pasar agrokimia (US$ 30 milyar) di pasar global. Kini (setelah proses akuisisi dan merger dari sejumlah perusahaan agribisnis raksasa) lima teratas perusahaan raksasa yang bergerak di bidang bioteknologi pertanian mendominasi pasar: Pharmacia (Monsanto), DuPont, Syngenta, Aventis, dan Dow (Mariano, 2002). Tidaklah mudah memahami kompleksitas permasalahan yang ditimbulkan akibat dari kondisi tersebut di atas. Konstelasi hubungan antarpemain di pasar global tidak lagi dapat diterangkan dengan pendekatan teoritis berbasis konsep keunggulan komparatif; dan penggunaan negara (state) sebagai unit analisis dalam beberapa hal menjadi kurang relevan. Penerapan konsep keunggulan kompetitifpun tidak cukup karena strategi yang ditempuh oleh perusahaanperusahaan agribisnis skala raksasa dalam mengembangkan eksistensinya di pasar global tidak hanya mengandalkan instrumen ekonomi tetapi juga menggunakan jalur diplomasi yang berdimensi politik. Secara ringkas, Hutabarat (2009) menggambarkan situasi dan kondisi yang tercipta terkait dengan globalisasi dan liberalisasi perdagangan, perlunya pendekatan baru dalam perumusan konsep untuk disain kebijakan, dan bagaimana negara berkembang (Indonesia) harus menyikapinya.
Implikasi Terhadap Eksistensi Pertanian Skala Kecil Interaksi agribisnis skala besar dari negara-negara maju dengan pertanian skala kecil dari negara-negara berkembang bersifat asimetris. Terkendala oleh isolasi geografis, terbatasnya penguasaan informasi, penguasaan modal yang terbatas, penguasaan teknologi yang kurang berkembang, dan dukungan infrastruktur yang kurang memadai maka sebagian besar pertanian skala kecil di negara-negara berkembang tetap berkutat pada persoalan internalnya yakni rendahnya pendapatan usahatani. Di sisi lain, berbekal penguasaan informasi dan teknologi maju, modal yang besar, sistem manajemen usaha yang canggih, dan lobi politik yang kuat maka perusahaan-perusahaan agribisnis skala raksasa dari negara maju mengembangkan eksistensinya secara ekspansif. Bagaikan dua makhluk dari alam yang berbeda, sebagian besar petani kecil di negara-negara
53
Sumaryanto
berkembang tidak menyadari bahwa di hadapannya telah berdiri sosok pesaing yang siap mengancam eksistensinya. Secara agregat liberalisasi perdagangan memang berdampak positif terhadap surplus konsumen maupun surplus produsen. Namun efeknya terhadap distribusi pendapatan dan pengentasan kemiskinan belum jelas karena penelitian bidang ini masih sangat langka. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa pada saat ini petani kecil berada pada situasi yang kritis. Kondisi yang dihadapinya dilematis. Sementara sebagian besar petani masih tetap berkutat dengan pendapatan usahataninya yang rendah, tenaga kerja muda semakin tidak tertarik untuk menekuni pertanian. Stagnasi ekonomi dan terbatasnya kesempatan kerja di perdesaan mendorong tenaga kerja perdesaan usia muda bermigrasi di kota meskipun tanpa jaminan bahwa di lokasinya yang baru itu akan dapat hidup lebih baik (Huvio et al., 2004). Keragaman adalah warna dasar eksistensi. Implikasi liberalisasi perdagangan terhadap eksistensi petani kecil tidaklah homogen. Dari sudut pandang akses petani terhadap pasar (Torero and Gulati, 2004), eksistensi petani kecil dapat dipilah menjadi tiga tipe: (1) petani kecil subsisten dengan akses pasar lokal, (2) petani kecil dengan akses pasar domestik, dan (3) petani kecil dengan akses pasar internasional. Fenomena tersebut perlu dipertimbangkan secara seksama dalam perumusan kebijakan dan program pemberdayaan petani kecil yang antara lain mencakup trade financing, perbaikan infrastruktur, inovasi kelembagaan, serta penguatan koperasi dan contract farming (Huvio et al., 2004). Pengaruh liberalisasi perdagangan terhadap eksistensi pertanian skala kecil dalam ekonomi domestik tergantung pada kondisi keterkaitan pasar domestik – pasar internasional sebelum liberalisasi dan kapasitas aktor utama (pertanian skala kecil) untuk meresponnya. Efeknya muncul dari: (i) perubahan tingkat harga input dan output, (ii) perubahan volatilitas harga, (iii) efek tak langsung melalui proteksi relatif di pertanian versus sektor lain dalam keseluruhan sektor perekonomian, dan (iii) nilai tukar dan pengaruh makro ekonomi lainnya (von Braun, 2004). Secara teoritis, pengaruh jangka pendek diakibatkan oleh terjadinya perubahan harga relatif (produksi dan pola konsumsi tetap). Karena itu kajian tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap petani kecil harus didekati melalui sisi produksi dan konsumsi secara simultan. Dalam konteks ini, karakteristik household economy yang melekat pada sebagian besar petani kecil beserta implikasinya dalam perilaku produksi dan konsumsi harus dielaborasikan dengan baik dalam pemodelan. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, pola usahatani akan bergerser ke arah komoditas yang menghasilkan keuntungan yang lebih besar, atau setidaknya yang tidak menyebabkan pendapatan riilnya turun. Respon jangka panjang akan mencakup pula investasi dan migrasi. Sejumlah pertanian skala kecil yang dapat memanfaatkan peluang yang terbuka dari liberalisasi perdagangan akan melakukan investasi untuk mengembangkan eksistensinya. Di sisi lain, sejumlah petani tidak mampu bertahan dan karena itu beralih profesi ke sektor lainnya. Di tengah (mungkin bagian terbesar) akan berada pada situasi yang
54
Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global
dilematis: tetap berusahatani dengan pendapatan yang rendah dan prospeknya kurang jelas atau beralih profesi ke bidang lain tetapi tak pula ada jaminan kehidupannya akan membaik. Terkait dengan itu, strategi yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut (von Braun, 2004): (i) mengembangkan usahatani bernilai ekonomi tinggi (spesialisasi, diversifikasi, dan komersialisasi), (ii) mencari tambahan pendapatan dari luar usahatani dan menjadi part-time farmer, dan (iii) beralih profesi ke sektor nonpertanian (termasuk migrasi). Jalur (i) dapat ditempuh oleh petani yang dapat mengakses pasar modern yang terintegrasi dengan pasar internasional misalnya melalui pola kemitraan dengan perusahaan agribisnis, agro-processing, agromanufacturing, ataupun supermarket. Kelembagaannya dapat berupa contract farming ataupun melalui suatu sistem koordinasi vertikal. Jalur (ii) adalah strategi yang mungkin paling populer karena secara historis – empiris telah merupakan pola dominan dalam strategi rumah tangga petani mempertahankan eksistensinya. Namun berbeda dengan pola yang selama ini ditempuh, upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja di usahataninya maupun pada kegiatan luar pertanian harus terus dilakukan karena jika berada dalam status quo maka dalam jangka menengah peranan usahataninya dalam ekonomi rumah tangga akan terus menyusut. Jalur (iii) merupakan strategi yang paling layak ditempuh oleh rumah tangga petani yang skala usahanya sangat kecil dan selama ini kontribusinya untuk menopang ekonomi rumah tangga sangat minor. Peran Pemerintah Sesungguhnya kewajiban pemerintah untuk memberdayakan pertanian skala kecil tidak hanya didasari pertimbangan logis dari ketidak berdayaan petani kecil menghadapi era pasar global. Adalah fakta bahwa pertanian Indonesia didominasi pertanian skala kecil, sedangkan peran sektor pertanian sangat strategis karena berkaitan erat dengan aspek-aspek sentral dalam pembangunan nasional yakni ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja. Pemberdayaan pertanian skala kecil sangat membutuhkan adanya pengembangan infrastruktur pertanian dan perdesaan yang kondusif untuk memperlancar arus distribusi, komunikasi, penyebaran informasi, dan akses pasar. Berbagai studi memperoleh kesimpulan bahwa selama ini sumber utama kelemahan pertanian skala kecil berasal dari tingginya biaya transaksi "transaction cost" dalam pemasaran input dan output pertanian. Penyebabnya terkait dengan sangat terbatasnya infrastruktur pertanian dan perdesaan, kurang lancarnya arus komunikasi dan penyebaran informasi, dan distribusi spatial unit-unit sentra produksi pertanian yang terserak dan tak terkonsolidasi serta tidak match dengan sentra-sentra pemasaran. Selain infrastruktur, kebijakan dan program yang kondusif untuk meningkatkan akses petani kecil terhadap lembaga perbankan sangat diperlukan. Selama ini rendahnya kapasitas petani kecil untuk melakukan inovasi maupun mengadopsi teknologi yang lebih maju disebabkan oleh keterbatasannya dalam permodalan. Stigmatisasi kalangan perbankan komersial terhadap pertanian skala
55
Sumaryanto
kecil sebagai unit usaha penuh risiko dan kurang layak sebagai nasabah penerima kredit harus diubah dan pemerintah berkewajiban menetapkan kebijakan dan program yang dapat mengubah kondisi tersebut. Bersamaan dengan pemberdayaan kekuatan dan eliminasi sejumlah kelemahan pertanian skala kecil tersebut, kebijakan dan program perlindungan terhadap petani kecil mutlak diperlukan. Investasi asing langsung (FDI) memang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja; namun fasilitasi dan perijinan yang terkait dengan FDI tersebut harus disertai kajian yang sangat cermat, cerdas, forward looking; terlebih-lebih jika menyangkut sektor pertanian dan eksploitasi sumber daya lingkungan. Dalam rangka memanfaatkan kesempatan yang terbuka maupun untuk melindungi kepentingan domestik diperlukan peningkatan kemampuan diplomasi dalam perundingan WTO; dan itu sangat membutuhkan bekal informasi yang komprehensif dan mendalam mengenai implikasi dari setiap perubahan aturan main dalam perdagangan internasional terhadap sistem pertanian domestik.
KESIMPULAN
Pertanian skala kecil merupakan bagian terbesar pertanian Indonesia dan karena itu eksistensinya menentukan masa depan pertanian negeri ini. Eksistensinya berimplikasi pada dimensi yang lebih luas karena sektor pertanian mempunyai peranan strategis dalam ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan penyerapan tenaga kerja. Era pasar global serta liberalisasi perdagangan telah terjadi dan akan semakin berkembang dan implikasinya terhadap pertanian skala kecil sangat serius. Sejumlah peluang muncul karena pasar ekspor semakin terbuka; namun pada sisi yang lain ancaman terhadap eksistensi pertanian skala kecil juga semakin nyata seiring dengan membanjirnya komoditas pertanian impor. Diperkirakan sejumlah petani akan mampu mengembangkan eksistensinya dengan melalui pengembangan usahatani bernilai ekonomi tinggi namun sebagian lainnya tak akan mampu bertahan dan karena itu harus beralih profesi ke sektor nonpertanian. Bagian terbesar, yakni berada diantara kedua kutub tersebut adalah pertanian skala kecil yang setidaknya dalam jangka pendek – menengah masih akan berkutat dengan situasi dan kondisi seperti saat ini. Adalah kewajiban pemerintah untuk memberdayakan pertanian skala kecil. Untuk itu diperlukan adanya akselerasi pengembangan infrastruktur perdesaan dan pertanian, peningkatan akses petani terhadap lembaga perkreditan, peningkatan akses petani terhadap pasar masukan maupun keluaran pertanian, peningkatan penguasaan teknologi prapanen – pascapanen di tingkat petani, dan pengembangan agroindustri berbasis pertanian di perdesaan. Pada saat yang sama, diperlukan pula adanya peningkatan kemampuan diplomasi dalam berbagai putaran perundingan WTO dan kehati-hatian dalam fasilitasi investasi asing langsung di sektor pertanian.
56
Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global
DAFTAR PUSTAKA
Berry, A. and W. Cline. 1979. Agrarian Structure and Productivity in Developing Countries. Baltimore and London: John Hopkins University Press. Binswanger, H. P. and M. R. Rosenzweig. 1986. Behavioral and Material Determinants of Production Relations in Agriculture. The Journal of Development Studies 22(3): 503 - 539. Chavas, J. P. 2001. Structural Change in Agricultural Produstion: Economics, Technology and Policy. In Gardner, B. L. and G. C. Rausser (Eds), Handbook in Agricultural Economics. Amsterdam: Elsevier. Diao, X., A. Somwaru, and T. Roe. 2001. A Global Abalysis of Agricultural Trade Reform in WTO Member Countries. Economic Development Center Bulletin 01 - 1. Minneapolis: University of Minesota, Economic Development Center. Edelman, M. 2005. Global Trade Rules and Smallholding Agriculture: Problems for Sustainability. Paper prepared for the Queen Elizabeth House 50th Anniversay Conference on "New Development Threats and Promises," Oxford University, 3-4 July 2005.
[email protected]. Fan. S.. C. Chan-Kang. 2003. Is Small Beautiful? Farm Size. Productivity and Poverty in Asian Agriculture. Paper to be presented at the 2003 International Association of Agricultural Economists. Durban. Gupta, A. K. 2004. Origin of Agriculture and Domestication of Plants and Animals Linked to Early Holocene Climate Amelioration (Review Articles). CURRENT SCIENCE, VOL. 87, NO. 1, 10 JULY 2004. Hall, B. F. and P. Le Veen. 1978. Farm Size and Economic Efficiency: The Case of California. American Journal of Agricultural Economics 60(4): 589 - 600. Hayami, Y. 1998. The Peasant in Economic Modernization. In Eicher, C. K. and J.M. Staatz (Eds). International Agricultural Development. Baltimore and London: John Hopkins University Press. Howe, G., N. Favia, D. Lohlein, S. Haralambou, and E. Heinemann. 2004. Trade, Trade Liberalisation and Small-Scale Farmers in Developing Countries: Beyond the Doha Round. In Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström (Eds.). Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. Proceeding of the Seminar on October 2004 in Haiko Finland. Publication No. 38 Agricultural Policy, Department of Economics and Management, University of Helsinki, Helsinki. Hutabarat, B. F. 2009. Kebangkitan Pertanian Nasional: Meretas Jebakan Globalisasi dan Liberalisasi Perdagangan. Naskah Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström. 2004. Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. Proceeding of the Seminar on October 2004 in Haiko Finland. Publication No. 38 Agricultural Policy, Department of Economics and Management, University of Helsinki, Helsinki. Kumbhakar, S. C. 1993. Short Run Returns to Scale, Farm-Size and Economic Efficiency. The Review of Economics and Statistics 75 (2): 336 - 341.
57
Sumaryanto
Narayanan, S. and A. Gulati. 2002. Globalization and the smallholders: a Review of Issues, Approaches and Implications. Markets and Structural Studies Division 50, International Food Policy Research Institute (IFPRI). Washinton, D.C: IFPRI. Pasaribu, B. 2009. Peran Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Menunjang Tata Ruang dan Kedaulatan Pangan. Bahan Presentasi yang disampaikan pada Lokakarya Pembaruan Agraria Pertanian Nasional pada 3 September 2009 di Jakarta. Perez, M. Schesinger, and T.A. Wise. 2008. The Promise and the Perils of Agricultural Trade Liberalization: Lesson From Latin America. Washington Office of Latin America (WOLA), Washington, DC. www.wola.org. PSEKP. 2008. Konsorsium Penelitian Karakteristik Sosial Ekonomi Petani pada Berbagai Tipe Agroekosistem. Laporan Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Rosegrant, M., M. Paisner, S. Meijer, and J. Witcover. 2001. Global Food Projections to 2020. Emerging Trends and Alternatives. International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. Sawit, M. H. 2007. Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi Dalam Putaran Doha WTO. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sawit, M. H. 2008. Perubahan Perdagangan Pangan Global dan Putaran Doha WTO: Implikasi Buat Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 3, No. 6, September 2008: 199 - 221. Sen, A. 1962. An Aspect of Indian Agriculture. Economic Weekly February: 243 - 246. Simatupang, P. 2000. Fenomena Perlambatan dan Instabilitas Pertumbuhan Produksi Beras Nasional: Akar Penyebab dan Kebijakan Pemulihannya. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sudaryanto, T., and Sumaryanto. 2008. Changing Household Income in Rural Indonesia: 1995 - 2007. Paper presented at the 6th Asian Association of Agricultural Economist International Conference: Asian Economy Renaissance: What is in It for Agriculture?. Manila, Philipinnes, 28 - 20 August, 2008. Sudaryanto, T., S.H. Susilowati, and Sumaryanto. 2009. Increasing Trend of Small Farms in Indonesia: Causes and Consequences. Paper presented at the 111th EAAE IAAE Seminar " Small Farms: Persistence or Declined?". University of Kent, Canterbury, UK, 25 - 26 June, 2009. Swinnen, Johan F.M. and M. Maertens. 2007. Globalization, Agri-Food standards and Development. RIVISTA DI ECONOMIA AGRARIA / a. LXII, n. 3, settembre 2007 (pp. 413 - 421). Torero, M. and A. Gulati. 2004. Conecting Small Holder to Markets: Role of Infrastrucure and Institutions. Policy Brief, International Food Policy Reserach Institute (IFPR). Washington, DC. von Braun, J. 2004. Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. In Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström (Eds.). Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. Proceeding of the Seminar on October 2004 in Haiko Finland.
58
Eksistensi Pertanian Skala Kecil dalam Era Persaingan Pasar Global
Publication No. 38 Agricultural Policy, Department of Economics and Management, University of Helsinki, Helsinki. Yotopoulos, P. A. and L. J. Lau. 1973. A Test for Relatif Economic Efficisncy: Some Further Results. The American Economic Review 63(1): 214 - 223.
59