LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN INVESTASI DALAM MENGEMBANGKAN INDUSTRI BERBASIS SAPI
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah subhanahu wata’ala atas segala nikmat dan rahmat-Nya, sehingga laporan “Analisis Kebijakan Perdagangan dan Investasi dalam Mengembangkan Industri Berbasis Sapi” dapat diselesaikan. Analisis ini disusun dalam rangka merespon isu terkait rencana kebijakan pemerintah untuk mengurangi impor sapi dalam rangka merespon program percepatan swasembada daging sapi nasional. Analisis ini meliputi pemetaan perwilayahan industri sapi dan identifikasi permasalahan industri perbibitan sapi. Selain itu, analisis ini juga mencakup penghitungan harga pokok produksi sapi bakalan dan harga daging sapi sehingga diperoleh tingkat harga yang layak yang mendorong peternak local untuk mau mengembangkan usaha perbibitan di dalam negeri. Analisis ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri yang terdiri dari tim peneliti internal dan dibantu oleh tenaga ahli dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Partanian Bogor. Dalam penyusunan analisis ini, tim menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dalam hal ruang lingkup, substansi maupun data pendukung dalam analisis. Untuk itu kami menyambut baik masukan, kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan analisis ini. Akhirulkalam, kami berharap bahwa hasil analisis ini dapat bermanfaat bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan terkait investasi dan fasilitasi usaha.
Jakarta, November 2015
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
i
ABSTRAK ANALISIS KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN INVESTASI DALAM MENGEMBANGKAN INDUSTRI BERBASIS SAPI Dalam rangka kebijakan swasembada daging sapi nasional, pemerintah secara bertahap tealh melakukan pengurangan impor sapi bakalan dan daging sapi sejak tahun 2013 lalu. Agar pengurangan impor sapi bakalan tidak berdampak pada kelangkaan suplai daging sapi terutama di pasar sekitar Jabodetabek, maka perlu adanya produk substitusi yaitu sapi bakalan lokal. Untuk itu perlu dikembangkan industri pembibitan sapi lokal guna mendukung program swasembada daging sapi nasional. Studi ini bertujuan untuk menganalisis perwilayahan industri pembibitan, mengidentifikasi hambatan dalam melakukan usaha perbibitan sapi serta menganalisis tingkat harga sapi yang wajar dan layak untuk mendorong usaha perbibitan sapi di dalam negeri. Dengan menggunakan metode location quotient (LQ) dan pendekatan analisis kelayakan usaha diperoleh hasil bahwa wilayah yang potensial dikembangkan sebagai pensuplai sapi bakalan yakni Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, NTB, NTT dan Bali. Selain itu, untuk mengembangkan industri bibit sapi di dalam negeri, maka perlu adanya bantuan pemerintah dalam hal penyediaan lahan, subsidi bunga pinjaman kredit dan bantuan sarana transportasi sehingga akan terbentuk harga di tingkat konsumen yang lebih kompetitif. Kata kunci: kebijakan, perdagangan, investasi, industri berbasis sapi
ABSTRACT ANALYSIS OF TRADE AND INVESTMENT POLICY IN DEVELOPING CATTLE BASED INDUSTRY In the framework of the national policy of self-sufficiency in beef meat, the government is gradually reducing imports of cattle and beef since last 2013 years. In order for a reduction in cattle imports have no impact on the supply shortages of beef, especially in markets around Jabodetabek, it needs product substitution, namely local cattle. In order to develop the cattle breeding industry, it needs to be developed local cattle to support national beef self-sufficiency program. This study aimed to analyze the zoning industry, identify barriers to business and to analyze the cattle breeding and cattle price levels that is reasonable and feasible to encourage businesses in the domestic cattle breeding industry. By using location quotient (LQ) and approach the business feasibility, it showed that the area that can be developed as a potential supplier of feeder cattle are East Java, D.I. Yogyakarta, NTB, NTT and Bali. In addition, to develop domestic cattle industry, government should provide assistance in the form of provision of land, loan interest subsidies and transportation assistance thus form a more competitive price. Key words: policy, trade, investment, cattle based industry
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i ABSTRAK ........................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ................................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vii BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ..............................................................................................1 1.2. Tujuan ............................................................................................................4 1.3. Output Kajian .................................................................................................5 1.4. Manfaat Kajian ..............................................................................................5 1.5. Ruang Lingkup ..............................................................................................5 1.6. Sistematika Penulisan ..................................................................................6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 7 2.1. Peternakan Sapi Potong dan Sistem Pemeliharaannya ............................7 2.2. Distribusi Spasial Peternak dan Transportasi Sapi .................................. 10 2.3. Sumber Pakan Ternak ................................................................................ 12 2.4. Pentingnya Pengembangan Pembibitan Sapi .......................................... 14 BAB III. METODOLOGI..................................................................................... 15 3.1. Jenis dan Sumber Data .............................................................................. 15 3.2. Metode Analisis Data .................................................................................. 15 BAB IV. ANALISIS MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI BIBIT SAPI ......... 18 4.1. Analisis Perwilayahan Industri Sapi........................................................... 18 4.2. Permasalahan Industri Perbibitan Sapi ..................................................... 25 4.2.1
Industri Perbibitan Sapi di Jawa Tengah ........................................... 25
4.2.2.
Industri Perbibitan Sapi Nusa Tenggara Barat ................................. 28
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
iii
4.2.3.
Industri Perbibitan Sapi Intensif di Jawa Barat ................................. 33
4.3. Harga Pokok Produksi Sapi Bakalan dan Daging Sapi ........................... 34 4.3.1.
Harga Pokok Produksi Bakalan Sapi Peranakan Ongole ................ 34
4.3.2.
Harga Pokok Produksi Bakalan Sapi Bali ......................................... 37
4.3.3.
Harga Pokok Produksi Bakalan Sapi Brahman Cross ..................... 40
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ............................ 43 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 47
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Kemampuan Penghasil Bibit Berdasarkan Populasi dan LQ .. 22 Tabel 4.2 Rasio Antara Kebutuhan Sapi Potong Dengan Populasi Sapi 23 Tabel 4.3 Komposisi Nutrien Bahan Pakan Sisa Pertanian (100%BK) ... 29 Tabel 4.4 Koefisien Teknis dan Ekonomis Pembibitan Sapi PO Skala Menengah Intensif................................................................... 35 Tabel 4.5 Koefisien Teknis dan Ekonomis Pembibitan Sapi Bali Terintegrasi Tanaman Pangan ................................................ 38 Tabel 4.6 Harga Sapi Asal NTB di Jabodetabek ..................................... 39 Tabel 4.7 Koefisien Teknis dan Ekonomis Pembibitan Sapi Impor Secara Intensif .................................................................................... 41
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Pertumbuhan Impor Sapi Bakalan ......................................... 2 Gambar 1.2 Perkembangan Harga Daging Sapi Bulanan .......................... 3 Gambar 2.1 Perkembangan Produksi Daging Sapi Lokal .......................... 7 Gambar 2.2 Industri Sapi Potong untuk Suplai Daging .............................. 9 Gambar 2.3 Distribusi Sapi di Jawa dan Luar Jawa 2014 ........................ 10 Gambar 4.1 Kontribusi Populasi Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau ... 19 Gambar 4.2 Populasi dan Produksi daging Sapi tahun 2014 ................... 20 Gambar 4.3 LQ Populasi terhadap Produksi Tahun 2014........................ 21 Gambar 4.4 Spasial Suplaier Sapi Berdasarkan Pulau ............................ 25 Gambar 4.5 Kontribusi Populasi Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau ... 26 Gambar 4.6 Pembibitan Sapi di Sumbawa dengan Sistem Lar ............... 32 Gambar 4.7 Pembibitan Sapi di Sumbawa dengan Sistem Intensif ......... 32
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Asumsi untuk Analisis Keuangan Sapi Peranakan Ongol (PO) di Jawa Tengah ....................................................................... 52
Lampiran 2. Komponen dan Struktur Biaya Investasi Sapi Peranakan Ongol (PO) di Jawa Tengah ............................................................. 53
Lampiran 3. Kebutuhan Biaya Operasional Pengembangbiakan Sapi Pedaging Peranakan Ongol (PO) di Jawa Tengah .................................. 54
Lampiran 4. Arus Kas usaha Pengembangbiakan Sapi Pedaging PO di Jawa Tengah ...................................................................... 55 Lampiran 5. Asumsi untuk Analisis Keuangan Sapi Madura/Bali di NTB ........ 56 Lampiran 6. Komponen dan Struktur Biaya Investasi Sapi Madura/Bali di NTB57 Lampiran 7. Kebutuhan Biaya Operasional Pengembangbiakan Sapi Pedaging Madura/Bali di NTB ............................................................... 58
Lampiran 8. Arus kas Usaha Pengembangbiakan Sapi Pedaging Madura/Bali di NTB ..................................................................................... 59
Lampiran 9. Asumsi untuk Analisis Keuangan PT.X untuk Sapi Brahman Cross .................................................................................... 60
Lampiran 10. Cash Flow Pengembalian Pinjaman PT. X untuk Jenis Spi Brahman Cross ...................................................................... 61
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Undang-undang
No.
7
Tahun
1996
Tentang
Pangan
mengamanatkan bahwa pemenuhan pangan menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Pada Bab VII pasal 45 dinyatakan, untuk
mewujudkan ketahanan pangan, pemerintah harus melaksanakan fungsi pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya agar terjangkau oleh daya beli masyarakat. Menurut Nicholson (2000), fluktuasi harga pangan relatif besar jika terjadi ketidakseimbangan permintaan dan penawaran, karena pangan memiliki elastisitas permintaan dan penawaran yang rendah atau bersifat inelastic. Salah satu jenis pangan yang berperan penting dalam membangun dan menciptakan SDM yang sehat dan berkualitas adalah pangan sumber protein hewani.
Pemerintah menargetkan
konsumsi protein hewani sebesar 7,2 gr/kapita/hari (Ditjennak 2014), yang berasal dari produk peternakan seperti daging (sapi, kerbau, kambing, domba, unggas), telur dan susu dan atau produk perikanan. Salah satu strategi yang ditempuh pemerintah selama ini untuk memenuhi target tersebut, adalah dengan melakukan impor sapi baik dalam bentuk bakalan untuk digemukan maupun dalam bentuk daging sapi. Impor dijadikan alternatif karena produksi dalam sapi lokal belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri. Berdasarkan data Ditjennak (2015) selama periode 2007-2014 (data diolah) produksi daging sapi naik 6,96 persen namun populasi sapi pedaging dan sapi perah naik rata-rata hanya 4,59 persen per tahun.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
1
Peningkatan populasi sapi yang lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan
produksi
daging
(hasil
pemotongan
sapi)
ini
dikhawatirkan dapat menyebabkan berkurangnya populasi sapi. Kekhawatiran tersebut didukung oleh fenomena penurunan populasi sapi pedaging dan sapi perah pada tahun 2013 hingga masingmasing sebesar 20,62 persen dan 27,45 persen dibandingkan tahun sebelumnya, akibat pemerintah mengurangi kuota impor sapi dan (daging sapi) tanpa didukung oleh penguatan di sistem on farm. Negara produsen sapi yang dijadikan sumber impor sapi sejak awal tahun 1990 adalah Australia dan new Zealand. Menurut data Meat and Livestock (Australia), impor sapi hidup tahun 1990 masih sedikit yaitu sebanyak 8061 ekor. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan, (kecuali tahun 1998 ketika terjadi krisis moneter), hingga puncaknya pada tahun 2009 (Gambar 1) yang mencapai 772.868 ekor. Disamping itu masih ada impor dalam bentuk daging (termasuk jeroan), yang nilainya pada tahun 2009 mencapai US$ 267 juta (UN Comtrade, 2010) atau nilai impor keseluruhan (sapi ditambah daging) sebesar US$ 977.586.545 (sekitar Rp 8,8 triliun saat itu).
Gambar 1.1. Pertumbuhan Impor Sapi Bakalan Sumber: Meat and Livestock, Australia (2014)
Disamping nilai impor yang cenderung naik (Gambar 1.1), harga daging sapi pun berfluktuasi dan cenderung meningkat
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
2
(Gambar 1.2). Fluktuasi harga terjadi ketika bulan Ramadhan hingga Idul Adha, dimana harga lebih tinggi dibandingkan hari-hari lain. Selama kurun waktu 5 tahun terjadi peningkatan harga daging sapi lebih dari 50%, yaitu dari Rp. 65. 000/kg (tahun 2010) menjadi Rp. 110.000/kg (tahun 2015). Jika diperhatikan lebih rinci, setiap tahun terbentuk keseimbangan harga baru yang relatif lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Gambar 1.2 Perkembangan Harga Daging Sapi Bulanan Sumber: Ditjen PDN (2015)
Dalam perdagangan internasional, daging sapi termasuk kedalam 35 sensitive products.
Hasil penelitian ICTSD (dalam
Hepburn, 2010) tentang beberapa komoditas yang seharusnya diproteksi di Negara-negara berkembang terkait dengan ketahanan pangan, daging sapi berada pada urutan keempat setelah unggas, padi dan susu. Harga daging sapi yang tinggi menimbulkan biaya sosial yang diakibatkan oleh: (1) menurunkan tingkat efisiensi penggunaan sumber daya, (2) meningkatkan risiko usaha, dan (3) memicu gejolak makro ekonomi.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
3
Sebagai ilustrasi, peningkatan harga daging tahun 2015, menyebabkan usaha rumah potong hewan (RPH), pedagang daging sapi dan pedagang bakso (termasuk rumah makan) tidak bisa beroperasi karena ketidakpastian pasar. Situasi ini mengakibatkan banyak kerugian berantai (multiplier effect), pada industri yang menggunakan bahan baku daging sapi.
Oleh karena itu menjadi
tugas Kementerian Perdagangan untuk mencari solusi agar ratai pasok daging sapi menjadi lancar. Pasokan daging sapi sangat tergantung dari ketersediaan sapi siap potong, yang merupakan produk dari industri penggemukan sapi bakalan (industry feedlot). Selama ini ketersediaan sapi bakalan untuk digemukkan di sekitar wilayah pusat konsumen (terutama Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, Jabodetabek) sebagian besar disuplai dari Australia, dan sangat sedikit yang diperoleh dari sapi bakalan lokal. Seiring
dengan
kebijakan
swasembada
daging
sapi,
pemerintah secara bertahap membatasi impor sapi bakalan. Agar pembatasan impor sapi bakalan tidak berdampak pada kelangkaan suplai daging sapi terutama di pasar sekitar Jabodetabek, maka perlu ada produk substitusi yaitu sapi bakalan lokal. Di samping itu, pemerintah perlu mendorong para pedagang sapi yang selama ini melakukan impor sapi bakalan agar dapat mengembangkan industri pembibitan sapi lokal untuk mendukung swasembada daging sapi nasional. Oleh karena itu diperlukan suatu analisis untuk melihat kemungkinan pengembangan industri bibit sapi di Indonesia sehingga dapat menjamin ketersediaan dan pasokan sapi bakalan lokal terutama di wilayah pusat konsumen (Jabodetabek). 1.2. Tujuan Tujuan dari analisis ini adalah: a. Menganalisis perwilayahan industri pembibitan (breeding), pembesaran anak sapi (growing strocker) dan penggemukan sapi (feedlotter)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
4
b. Mengidentifikasi hambatan dalam melakukan usaha perbibitan sapi c. Menganalisis tingkat harga sapi yang wajar dan layak untuk mendorong usaha perbibitan sapi di dalam negeri 1.3. Output Kajian Output yang diharapkan dalam kegiatan analisis ini adalah: a. Peta wilayah industri pembibitan (breeding), pembesaran anak sapi (growing strocker) dan penggemukan sapi (feedlotter) di Indonesia b. Respon Kebijakan terhadap hambatan dalam melakukan usaha perbibitan sapi di Indonesia c.
Tingkat harga yang wajar dan layak untuk mendorong usaha perbibitan sapi di dalam negeri
1.4. Manfaat Kajian Hasil dari analisis ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam upaya mendorong pengembangan industri bibit sapi di dalam negeri guna mendukung program swasembada daging sapi nasional. Bahan yang menjadi masukan dan pertimbangan meliputi model yang sesuai untuk mengembangkan industri bibit sapi serta tingkat harga yang layak yang dapat memberi insentif bagi peternak/industri untuk mau mengembangkan usaha perbibitan sapi. 1.5. Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam analisis ini hanya fokus pada industri perbibitan sapi dan tidak membahas mengenai industri berbasis sapi secara keseluruhan. Mengenai aspek kebijakan perdagangan dan investasi, analisis ini hanya membahas dari aspek kelayakan usaha, besarnya
investasi
yang
diperlukan
serta
hambatan
dalam
mengembangkan industri bibit sapi di Indonesia.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
5
1.6. Sistematika Penulisan Penulisan laporan didasarkan pada ketersediaan data dan informasi yang diperoleh dari hasil penelusuran data sekunder, publikasi berbagai sumber (media), institusi serta penggalian informasi di lapangan. Dari hasil kegiatan tersebut, sistematika penulisan meliputi: BAB I. Pendahuluan Pada bab ini dituliskan mengenai latar belakang mengenai perlunya melakukan analisis, tujuan analisis, output dan manfaat kajian, ruang lingkup dan sistematika penulisn laporan. Bab II. Tinjauan Pustaka Pada bab ini disampaikan mengenai Peternakan Sapi Potong dan Sistem
Pemeliharaannya,
Transportasi
Sapi,
Sumber
Distribusi Pakan
Spasial Ternak
Peternak dan
dan
Pentingnya
Pengembangan Pembibitan Sapi. Bab III. Metodologi Pada bab ini dijelaskan mengenai jenis dan sumber data serta metode analisis data. Bab IV. Analisis Model Pengembangan Industri Bibit Sapi Pada bab ini berisi tentang hasil analisis mengenai perwilayahan industri sapi , permasalahan industri perbibitan sapi dan harga pokok produksi sapi bakalan dan harga daging sapi. BAB V. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Pada bab ini berisi tentang intisari dari apa yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya serta menyimpulkan sesuai dengan hasil analisis.
Pada bab ini juga dituliskan mengenai rekomendasi
kebijakan pemerintah dalam rangka pengembangan industri bibit sapi di dalam negeri.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peternakan Sapi Potong dan Sistem Pemeliharaannya Struktur industri peternakan sapi daging terdiri dari peternak besar
(dalam
bentuk
feedlot),
skala
menengah
(termasuk
didalamnya sarjana membangun desa, SMD), dan peternak rakyat. Jumlah peternak rakyat sekitar 4,6 juta, dimana 43,5 persen diantaranya memelihara 1-2 ekor sapi (Ditjennak, 2010b).
Hasil
kajian Tim Centras (2010), mengungkapkan bahwa peternak sapi rakyat di Kabupaten Rembang menganggap ternak sapi sebagai tabungan sekaligus simbul kekayaan (disebut dengan istilah rojo koyo).
Oleh
karena
itu
produktivitasnya
rendah,
bahkan
pertambahan berat badannya bisa negatif selama pemeliharaan. Pada Gambar 2.1 ditunjukkan bahwa produksi daging sapi lokal tahun 2007 menurun.
Produksi tahun 2009, meskipun terjadi
peningkatan dari tahun sebelumnya namun produksinya masih lebih rendah dibandingkan tahun 2006.
Gambar 2.1. Perkembangan Produksi Daging Sapi Lokal Sumber: BPS (2014), diolah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
7
Faktor lain yang menyebabkan produksi peternak rakyat rendah adalah hampir semua jenis ternak domestik tidak mendapat sentuhan teknologi pembibitan yang intensif dan pemberian pakan kurang berkualitas. Hal ini berakibat pada hasil ternak yang tidak berorientasi pada kebutuhan pasar yang menuntut kualitas dan kuantitas yang tepat. Bibit sapi yang dipelihara peternak hampir 50 persen merupakan bangsa sapi lokal yang produktivitas dagingnya relatif rendah. Bangsa sapi yang dipelihara akan menentukan produksi daging melalui reproduksi (melahirkan anak) dan pertambahan berat badan (average daily gain). Beberapa bangsa sapi yang bisa dipelihara di Indonesia dengan karakteristik produksinya yaitu (Sugeng, 2001): (1) Sapi Madura unggul dalam menghasilkan anak, tahan terhadap penyakit, dan tahan terhadap pakan kualitas rendah, (2) Sapi BX (Brahman Cross), dengan pemeliharaan secara intensif dapat menghasilkan average daily gain (ADG) 1,0 - 1,8 kg/hari, (3) Sapi Bali (Bos Sondaicus), tahan terhadap suhu panas, tahan dengan pakan yang kualitasnya jelek, dapat beranak setiap tahun, (4) Sapi PO (Peranakan Ongole), tahan terhadap suhu panas, pertumbuhan relatif cepat, prosentase karkas dan kualitas daging baik. Beberapa jenis sapi yang dipelihara peternak tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sapi pedaging berkualitas, untuk memenuhi segmen pasar tertentu. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pemerintah dalam bentuk kelembagaan yang mendukung segmentasi produksi pada industri sapi potong. Dalam industri peternakan sapi ada tiga fase pemeliharaan (Gambar 2.2) sesuai dengan pakan yang dibutuhkan yaitu: (1) pemeliharaan induk sapi untuk menghasilkan anak (cow calf rearing), (2) pemeliharaan anak sapi lepas sapih (growing of stocker) dan (3) penggemukan sapi (fattening). Cow calf rearing, yakni pemeliharaan induk dan anak sapi untuk menghasilkan anak sapi lepas sapih. Sebelumnya, induk sapi
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
8
dikawinkan dengan metode inseminasi buatan (IB) atau kawin alam, kemudian dipelihara hingga melahirkan anak sapi. Induk dan anak sapi dipelihara bersama hingga masa penyapihan selama 6 bulan. Output yang dihasilkan dari sistem ini adalah anak sapi lepas sapih dengan rataan bobot badan berkisar antara 60 sampai 90 kg per ekor tergantung dari bangsa sapi. Growing of stocker, yakni pemeliharaan anak sapi lepas sapih dengan pemberian pakan hijauan dan pakan penguat selama sekitar 18 bulan untuk menghasilkan sapi betina dara untuk bibit dan sapi jantan bakalan untun digemukkan dengan bobot hidup berkisar antara 175 sampai 275 kg per ekor tergantung dari bangsa sapi.
COW CALF PRODUCTION Waktu Sapih: 6 bulan Berat Sapih: 60-90 Kg ANAK LEPAS SAPIH Induk afkir
GROWING OF STOCKER Pemeliharaan: 18 bulan Berat Akhir: 175-275 Kg
FATTENING Pemeliharaan: 4 bulan Bobot Hidup: 300-350 kg
PENYIAPAN SAPI BIBIT Pemeliharaan: 4 bulan Bobot Hidup: 275-300 kg
Sapi siap potong
Sapi dara/jantan bibit
DAGING SAPI BERBAGAI KUALITAS
Gambar 2.2. Industri Sapi Potong untuk Suplai Daging Sumber: Mulatsih (2012)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
9
Fattening, yakni penggemukan sapi secara intensif selama 4 bulan dengan pemberian konsentrat hingga mencapai bobot potong sekitar 300 – 350 kg. Sapi hasil penggemukan ini siap dipotong. Sapi bakalan betina juga dipelihara dengan pemberian pakan penguat untuk menghasilkan sapi dara bibit. 2.2. Distribusi Spasial Peternak dan Transportasi Sapi Komponen input utama dalam usaha ternak sapi potong adalah pakan.
Lokasi yang memiliki sumberdaya pakan hijauan relatif
berlimpah, akan dipilih untuk berusaha ternak sapi potong, kecuali untuk fase pemeliharaan penggemukan (fattening) (Gambar 2.3). Tujuannya adalah untuk menekan biaya produksi. Umumnya lokasi yang banyak pakan hijauan berada di daerah perdesaan.
Di Indonesia pemeliharaan sapi banyak dilakukan di
daerah luar Jawa (Tabel 2.3), yang masih memiliki lahan sumber pakan hijauan relatif luas.
Meskipun di Jawa Timur dan Jawa
Tengah populasi terbesar, namun dominan sapi penggemukan baik dari bakalan impor maupun dari anak sapi perah jantan. Sebagai contoh peternak di Boyolali (Jawa Tengah), membeli anak sapi lepas sapih dari peternak sapi perah di Pangalengan, Bandung (Tim Kemendag, 2010).
Gambar 2.3. Distribusi Sapi di Jawa dan Luar Jawa 2014 Sumber: Tim Kemendag (2010), diolah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
10
Pemeliharaan
sapi
penggemukan
umumnya
dilakukan
mendekati konsumen di sekitar perkotaan agar mempermudah pemasaran. Sebagian besar konsumen membutuhkan daging sapi segar untuk jenis masakan tertentu, seperti bakso, sehingga pemotongan sapi harus dilakukan di dekat konsumen. Sapi yang digemukan dipelihara secara intensif dengan pakan konsentrat yang berasal dari limbah pengolahan hasil pertanian, seperti ampas tahu, ampas tapioka. Limbah tersebut dari sekitar lokasi penggemukan atau bahkan didatangkan dari daerah lain seperti kernel (limbah pengolahan CPO menjadi minyak goreng). Perbedaan lokasi berdasarkan fase pemeliharaan sapi dan lokasi
peternak
dengan
pusat
konsumen,
maka
diperlukan
transportasi sapi hidup. Jarak yang ditempuh bisa antar pulau atau antar kota. Transportasi antar pulau memerlukan transportasi laut, seperti dari Sumbawa sebagai lokasi pemeliharaan sapi sampai fase growing of stocker (Gambar 2.2), ke Pulau Jawa sebagai pusat konsumen. Tranportasi antar kota menggunakan perjalanan darat seperti dari Pangalengan sebagai penghasil bibit sapi perah ke Boyolali sebagai lokasi growing stocker, hingga penggemukan. Transportasi sapi hidup memerlukan penanganan khusus, agar sapi tidak mengalami stress perjalanan.
Von Borell (2001)
menyatakan bahwa transportasi merupakan penyebab utama stress pada ternak yang berdampak pada kesehatan, berat badan, serta kualitas daging yang akhirnya pada daya saing. Menurut Smith dan Grandin (1998) penanganan ternak yang tepat dapat meningkatkan produktivitas, kualitas dan keuntungan. Menurut Tarrant dan Grandin (2000) proses transportasi sapi meliputi kegiatan: (a) menaikkan, menurunkan, dan mengatur sapi di kendaraan yang merupakan lingkungan asing bagi sapi (b) selama perjalanan sapi mengalami stress panas, dingin, basah, dan bising (c) selain stress transportasi sapi juga dapat menyebabkan luka (memar) atau bahkan kematian, jika tidak ditangani dengan baik.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
11
Kemampuan sapi mengatasi stress perjalanan tergantung dari umur sapi.
Smith (1997) mengungkapkan bahwa keuntungan dapat
semakin tinggi apabila produksi, transportasi dan pemotongan sapi dilakukan pada waktu yang tepat. Penelitian Lapworth (2004a) di Queensland, Australia menunjukkan bahwa tingkat kematian sapi menurun bila di tempat transit sapi diistirahatkan sekitar 12 jam. Lapworth menyarakan sapi diistirahatkan antara 6 sampai 12 jam sebelum transportasi tergantung dari kondisi sapi dan cuaca. 2.3. Sumber Pakan Ternak Salah satu permasalahan pengembangan peternakan sapi di daerah adalah pakan.
Biaya pakan pada peternakan ruminansia
mencakup 65-80% dari seluruh biaya produksi (Devendra dan Sevilla 2002). Masalah pakan, terutama pakan hijauan, tidak hanya dari segi kuantitas, namun juga kualitas dan kontinuitasnya. Ketersediaan pakan dan kandungan nutriennya merupakan pembatas utama produksi ruminansia di Asia (Devendra dan Sevilla 2002) termasuk Indonesia. Terdapat 4 sumber pakan yang berpotensi untuk diberikan pada usaha peternakan rakyat menurut Devendra dan Sevilla (2002) yaitu hijauan pakan dari lahan pastura, sisa pertanian, hasil sampingan
industri
pertanian
dan
pakan
non-konvensional.
Ketersediaan dan variasi limbah pertanian di Indonesia cukup melimpah. Limbah pertanian yang berpotensi digunakan untuk sumber pakan ruminansia sebesar 51 546 297.3 ton BK atau 23 151 344.6 ton TDN. Jumlah tersebut diperkirakan dapat menyediakan pakan untuk 14 750 777.1 ST ruminansia (Syamsu et al. 2003). Akan tetapi potensi besar ini belum dimanfaatkan secara optimal. Baru sekitar 30-40% dari limbah pertanian dan perkebunan yang sudah dimanfaatkan sebagai pakan (Indraningsih et al. 2011). Lebih lanjut dijelaskan Indraningsih et al. (2011) bahwa salah satu permasalahan dalam pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan adalah terbatasnya pengetahuan peternak. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
12
Hasil kajian Saragih (2014) menunjukkan bahwa secara kuantitas limbah pertanian yang paling berpotensi adalah jerami padi.
Jerami
padi
adalah
bahan
pakan
alternatif
yang
ketersediaannya melimpah terutama di daerah basis pertanian. Jerami padi sudah digunakan secara luas untuk ruminansia di Indonesia. Kira-kira 80% dari produksi beras dunia berasal dari petani skala kecil yang ada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Sarnklong et al 2010). Tingginya produksi padi menghasilkan jerami padi yang tinggi pula. Kualitas nutrisi limbah pertanian bervariasi. Hasil penelitian Saragi (2014) menunjukkan bahwa kisaran TDN bahan pakan sisa pertanian adalah 37-65%. Limbah pertanian yang mengandung nilai TDN kecil adalah jerami padi. Sementara sisa pertanian lainnya ratarata memiliki kandungan TDN yang sesuai dengan standar TDN pakan yaitu 58-65% (Indraningsih et al 2009). Jerami padi dikenal sebagai pakan yang memiliki kualitas nutrisi yang rendah. Jerami padi memiliki faktor pembatas sebagai pakan terutama rendahnya nilai kecernaan, karena tingginya kandungan lignin dan silika (Van Soest 2006), serta rendah kandungan protein (Sarnklong et al 2010). Kandungan silika dan lignin menjadi pembatas karena karena silika bersama-sama dengan lignin memperkuat dan memperkeras dinding sel tanaman, sehingga membuat dinding sel tersebut tidak dapat dicerna oleh mikroba rumen. Jerami padi juga mempunyai nilai kecernaan bahan kering yang
rendah.
menyebabkan
Rendahnya
kecernaan
keterbatasan konsumsi
inilah
bahan
yang kering.
diduga Sebagai
akibatnya, konsumsi energi juga akan rendah. Djayanegara (1999) menyarankan jika jerami padi dan limbah pertanian lainnya diberikan sebagai sumber pakan hijauan utama pada ternak ruminansia, maka harus diimbangi dengan pemberian konsentrat yang berkualitas baik untuk mencapai performa produksi yang baik pula. Menurut Devendra dan Sevilla (2002) maksimum
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
13
konsumsi jerami padi oleh sapi di kawasan Asia Tenggara sekitar 1,0-1,2 kg untuk tiap 100 kg bobot badan ternak. 2.4. Pentingnya Pengembangan Pembibitan Sapi Pepatah mengatakan bahwa suatu negeri tidak akan miskin apabila memiliki banyak ternak. Dari peternakan sapi bisa dihasilkan 4 emas yaitu: emas putih (susu/milk), emas merah (daging), emas hitam (pupuk kandang), dan mas coklat (kulit). Ternak sapi mampu mengubah limbah pertanian yang kurang bernilai menjadi produk peternakan yang memiliki nilai tinggi.
Produk-produk peternakan
tersebut secara makro memberikan multiplier efek yang luas terhadap industri pengolahan hasil ternak, seperti pedagang bakso, industri sosis, industri burger, hingga kepada industri fashion yang menggunakan bahan baku kuli dan industri pupuk organik. Saat ini usaha pembibitan sapi 98 persen dilakukan oleh peternak rakyat, sebagai bagian dari usahatani dalam bentuk integrasi.
Sistem ini
mensinergiskan sektor
pertanian
dan
peternakan berbasis agroekologi menurut Devendra dan Thomas (2002), Jaleta et al. (2013), Lemaire et al. (2013) akan menghasilkan nilai tambah pada kedua sektor sekaligus memperbaiki kualitas lingkungan. Interaksi positif antara bidang pertanian dan peternakan ini dapat mengatasi 3 permasalahan sekaligus, yaitu penyediaan pakan, menekan kompetisi lahan untuk mendukung pertambahan populasi sapi, dan menciptakan sistem pertanian berkelanjutan. Namun jika dilihat dari sisi mikro (peternak), keuntungan dari usaha pembibitan sapi relatif kecil, siklus produksi yang relatif lama, sehingga industri perbibitan sapi ini memerlukan bantuan dan insentif dari pemerintah dalam bentuk subsidi dan keringanan dalam hal kredit/pinjaman.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
14
BAB III METODOLOGI
3.1. Jenis dan Sumber Data Data untuk menjawab tujuan penelitian menggunakan data sekunder dan data primer.
Data sekunder meliputi data populasi
dan konsumsi diperoleh dari BPS dan populasi produksi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Data primer berupa data kualitatif dan kuantitatif diperoleh dari diskusi terbatas survey lapang dan interview mendalam (indepth interview). Diskusi terbatas dilakukan dengan mengundang pelaku usaha feedlot sekaligus pembibitan, staff dari Lembaga Pengelola dana bergulir kementrian UMKM, dan akademisi dari IPB, Bogor. Survei wilayah peternakan pembibitan dan pembesaran sapi potong dilakukan di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Purwodadi, Boyolali, Kota Semarang) dan Nusa Tenggara Barat (Kabupaten Sumbawa). Di tiap wilayah survey ditetapkan secara purposive, responden untuk interview mendalam. Responden interview meliputi pegawai Dinas Peternakan Provinsi dan Kabupaten, peternak perusahanan, ketua kelompok tani ternak dan anggota kelompok peternak sapi pembibitan di masing-masing wilayah. Secara keseluruhan ada sekitar 64 responden yang diwawancara.
Survey dan interview
dilakukan pada bulan September dan Oktober 2015. 3.2. Metode Analisis Data Data yang diperoleh diolah sesuai dengan tujuan. pertama,
analisis
perwilayahan
(spatial)
industri
Tujuan
pembibitan
(breeding), pembesaran anak (growing strocker) dan penggemukan (feedlotter) di quotient).
Indonesia
Tujuan
kedua,
menggunakan metode mengidentifikasi
LQ
hambatan
(location usaha
pembibitan sapi potong, dijawab dengan analisis deskriptif wilayah perbibitan yang disurvey, serta wilayah sentra perbibitan lainnya.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
15
Tujuan ketiga, menganalisis harga sapi yang layak pada usaha pembibitan dengan menggunakan analisis kelayakan usaha. 3.2.1. Analisis Location Quotient (LQ) Analisis perwilayahan perbibitan sapi, pembesaran anak sapi, dan penggemukan sapi potong menggunakan metode Location Quotient (LQ).
Metode ini digunakan untuk
menunjukkan provinsi pusat sumber bibit ternak, dan provinsi sumber produksi daging sapi.
Pemotongan sapi local
sebagian besar dilakukan di pusat konsumen. Data produksi diambil dari pemotongan sapi.
Oleh karena itu produksi
daging, sekaligus mencerminkan pusat penggemukan sapi dan pusat konsumsi daging sapi lokal. Provinsi dengan nilai LQ
diatas 1,
memiliki
keunggulan komparatif
sebagai
pemasok bibit dan bakalan. Rumus LQ yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan: Xi
= Populasi sapi pedaging provinsi i
X
= Populasi sapi pedaging di Indonesia
Yi
= Produksi daging sapi provinsi i
Y
= Produksi daging sapi Indonesia
LQ> 1
=
Provinsi
tersebut
basis
perbibitan/pembesaran sapi pedaging di Indonesia LQ< 1
=
Provinsi
tersebut
non-basis
perbibitan/pembesaran sapi pedaging di Indonesia
3.2.2. Analisis Kelayakan Usaha Analisis kelayakan usaha pembibitan/pembesaran sapi pedaging menggunakan indikator IRR (internal rate of return)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
16
dan NPV (net present value). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: n
NPV t 1
IRR i1
Bt Ct (1 i) t
NPV1 (i2 i1 ) NPV1 NPV 2
dimana: Bt penerimaan (dari penjualan sapi dan pupuk kandang) tahun ke-t; Ct biaya (biaya bibit, depresiasi kandang/peralatan, tenaga kerja, pakan obat-obatan) tahun ke-t; i tingkat suku bunga/discount rate, NPV1 Net Present Value pada discount rate i1 pertama; NPV2 Net Present Value pada discount rate i2. Berdasarkan rumus tersebut, dilakukan simulasi harga jual (dan variabel kebijakan lainnya seperti subsidi bunga, lahan) agar usaha pembibitan menjadi layak.
Usaha
pembibitan sapi pedaging dikatakan layak secara finansial apabila nilai NPV positif atau nilai IRR lebih tinggi dari suku bunga kredit.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
17
BAB IV ANALISIS MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI BIBIT SAPI
4.1. Analisis Perwilayahan Industri Sapi Berdasarkan teori von Thunen, lokasi terhadap pusat konsumen (dalam von Thunen disebut dengan CBD central business district), menentukan komoditi peternakan (yang termasuk pertanian lainnya) (Capello, 2007). Biaya transportasi sapi dari peternak ke konsumen, biaya produksi sapi dan harga sapi di tingkat konsumen menentukan keuntungan dari industri sapi. Dari 3 tahap usaha peternakan sapi pembibitan yaitu growing stocker dan penggemukan (Gambar 3), tahap yang dinilai paling menguntungkan
adalah
penggemukan.
Sehingga
berdasarkan
karakteristiknya, industri pembibitan kurang berkembang di daerah pusat konsumen. Wilayah
yang
menjadi
pusat
berdasarkan produksi daging sapi.
konsumen
bisa
dideteksi
Hasil kajian Tim PSP (2003),
mengungkapkan bahwa konsumen utama daging sapi yang paling dominan adalah pedagang bakso dan rumah makan. Kedua golongan konsumen utama ini memerlukan daging segar untuk mendapatkan olahan yang berkualitas. Oleh karena itu tranportasi sapi dilakukan dalam kondisi hidup untuk digemukkan lebih dulu atau langsung dipotong di wilayah konsumen. Jumlah produksi daging sapi di suatu wilayah (provinsi), diperoleh dari jumlah sapi (tercatat) yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) dikalikan dengan rata-rata produksi karkas per ekor. Banyaknya sapi di industri feedlot (penggemukan sapi), tidak mencerminkan produksi anak sapi dari industri perbibitan, namun menunjukkan produksi daging sapi. Beberapa daerah masyarakatnya lebih menyukai daging kerbau dibandingkan dengan daging sapi, seperti daerah Kudus (Jateng), Padang (Sumatra Barat) dan Banten (Jawa Barat). Sehingga produksi daging yang dimaksud adalah gabungan antara daging kerbau, daging
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
18
sapi perah (dairy) dan daging sapi pedaging (beef) atau disebut daging ruminansia besar dengan kontribusi seperti pada Gambar 4.1.
Daging Kuda tidak masuk dalam perhitungan
meskipun beberapa daerah mengkonsumsi kuda (misalnya Jene Ponto, Sulawesi).
Gambar 4.1. Kontribusi Populasi Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau Sumber: Ditjenak Kementan (2015), diolah
Gambar 4.2. menunjukkan distribusi populasi dan produksi daging tiap provinsi.
Daerah yang memiliki produksi daging sapi
tinggi, namun populasi rendah, merupakan daerah konsumen. DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, memiliki produksi daging sapi relatif tinggi, namun populasi relatif rendah.
Jika terjadi gangguan suplai
sapi siap potong di ketiga provinsi tersebut, maka harga daging sapi akan meningkat drastis, dan memicu gejolak terutama demo pedagang bakso, dan pedagang daging olahan lainnya. Namun jika peningkatan harga daging sapi terjadi di wilayah lain, seperti Aceh (Tim IPB, 2012), atau di Papua, tidak menjadi perhatian pemerintah, karena tidak menimbulkan keresahan masyarakat.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
19
Daerah basis penghasil sapi bibit juga bisa dilihat dari nilai LQ (location quotient), perbandingan antara pangsa (share) populasi dengan pangsa produksi daging sapi. Suatu wilayah sebagai suplaier (eksportir) sapi bibit apabila nilai LQ>1.
Nilai LQ=1 merupakan
wilayah subsisten, dan LQ<1 merupakan wilayah konsumen (importir).
Gambar 4.2. Populasi dan Produksi daging Sapi tahun 2014 Sumber: Ditjenak Kementan (2015), diolah
Gambar 4.2. menunjukkan wilayah suplaier sapi. Pada Gambar 4.2, beberapa wilayah yang memiliki nilai LQ>1 (seperti Gorontalo, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara) belum bisa dijadikan sebagai wilayah suplaier untuk pusat konsumen (DKI Jakarta, Banten dan Jawa
Barat),
karena
pertimbangan
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
efisiensi
skala
minimum
20
pembangunan infrastruktur transportasi (logistik) sapi bakalan hidup (untuk digemukkan).
Gambar 4.3. LQ Populasi terhadap Produksi Tahun 2014 Sumber: Ditjenak Kementan dan BPS (2015), diolah
Pada Gambar 4.3 ditunjukkan bahwa Jawa Timur memiliki populasi sapi tertinggi, namun nilai LQ relatif kecil (sedikit di atas 1), dibandingkan dengan Sulawesi Selatan yang memiliki nilai LQ hampir 4, meskipun populasi sapi di Sulawesi Selatan jauh di bawah Jawa Timur.
Posisi Jawa Timur menunjukkan bahwa kemampuan
mensuplai sapi bibit relatif rendah dibandingkan dengan wilayah Sulawesi Selatan, NTT dan NTB yang nilai LQ nya sekitar 3. Tabel 4.1. menunjukkan bahwa wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten (terutama Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan sekitarnya) merupakan pusat konsumen dengan nilai LQ dibawah 0,3. Jawa Barat meskipun populasinya relatif tinggi, namun produksi
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
21
(pemotongan sapi untuk konsumsi) juga tinggi, sehingga memerlukan pemasukan sapi potong dari wilayah lain.
Tabel. 4.1. Kemampuan Penghasil Bibit Berdasarkan Populasi dan Location Quotient (LQ)
Populasi ↑ LQ ↑ (pusat produksi) Populasi (000 Provinsi ekor)
LQ
Populasi ↑ LQ ↓ atau populasi↓ LQ ↑ (subsisten) Populasi (000 Provinsi ekor) LQ
Jawa Timur Sulawesi Selatan
4,338
1.19
Riau
236
0.92
1,449
3.59
132
0.92
NTB
1,252
3.14
1,704
0.90
NTT Sulawesi Tenggara
974
2.82
111
0.78
267
2.09
508
0.70
Aceh
544
1.96
Bengkulu Jawa Tengah Sulawesi Utara Sumatera Barat Kepulauan Riau
18
1.22
Bali Sulawesi Tengah
494
1.79
Jambi
180
1.15
266
1.71
Maluku
103
Lampung DI Yogyakarta
747
1.67
307
1.12
Gorontalo Sumatera Utara
Populasi ↓ LQ ↓ (pusat konsumsi/penggemukan) Populasi (000 Provinsi ekor) LQ Sulawesi Barat 92 0.99 Papua Maluku Utara Kalimantan Tengah Papua Barat Bangka Belitung
91
0.95
73
5.05
71
0.53
63
0.75
9
0.10
5
0.01
1.14
DKI Jakarta Kalimantan Timur
107
0.32
187
6.37
Jawa Barat
658
0.29
783
1.00
Banten Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Sumatera Selatan
152
0.13
165
0.57
158
0.57
262
0.54
Sumber: BPS (2015), diolah
Kemampuan wilayah mensuplai bibit untuk digemukkan di daerah produsen, didekati berdasarkan kemampuan menghasilkan anak (dicerminkan oleh populasi tinggi), dan produksi daging rendah (dicerminkan oleh pemotongan sapi untuk konsumsi lokal). Tabel 4.1 menunjukkan status tiap provinsi sebagai pensuplai bibit sapi.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
22
Disamping kemampuan menghasilkan anak, juga pertimbangan jarak dan sarana logistik untuk mengangkut sapi hidup. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka provinsi yang memiliki potensi sebagai pensuplai sapi ke pusat konsumen (Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi) adalah dari Sumatra (Aceh dan Lampung), Jawa (Jawa Timur, DI Yogyakarta), Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah), Bali, NTB, dan NTT.
Provinsi Aceh, dengan
populasi tinggi dan LQ tinggi, bisa mensuplai wilayah yang minus, seperti Sumatra Barat. Wilayah importer sapi bakalan ada 13 provinsi diantaranya DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan beberapa wilayah Sumatra (Sumatera Selatan dan Bangka Belitung), Kalimantan (Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat), Sulawesi (Sulawesi Barat), Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Sementara, wilayah (provinsi) lainnya seperti Jawa Tengah, Sumatera (Riau, Bengkulu, Sumatera Barat, Jambi dan Sumatera Utara), Sulawesi (Sulawesi Utara, dan Gorontalo), dan Maluku merupakan wilayah subsisten dimana populasi yang ada sudah mencukupi kebutuhan di wilayah tersebut. Tabel 4.2. Rasio Antara Kebutuhan Sapi Potong Dengan Populasi Sapi Pulau
Penduduk (juta)
Sapi (juta)
% sapi/ penduduk
Ton
Jawa
136,5
7,5
5,5
245.700
Sumatra
50,5
2,7
5,3
90.900
509.040
19
Bali+ Nustra
13,1
2,1
16,0
23.580
132.048
6
Sulawesi
17,2
1,8
10,2
31.500
176.400
10
Kalimantan
13,8
0,437
3,2
24.840
139.104
32
Maluku/Papua
6,3
0,258
4,1
11.340
63.504
25
237,7
14,795
6,2
427.860
2.396.016
16
Total
Konsumsi daging Setara sapi % konsumsi/ (ekor) populasi 1.375.920 18
Sumber: Ditjenak Kementan dan BPS (2015), diolah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
23
Hasil analisis LQ sama dengan analisis rasio antara kebutuhan sapi pedaging dengan populasi sapi tiap pulau, seperti ditujukkan pada
Tabel
4.2.
Konsumsi
daging
sapi
diperkirakan
1,8
kg/kapita/tahun (Afindo, 2011). Pulau Kalimantan dan Maluku/Papua merupakan daerah dengan nilai rasio antara konsumsi (setara sapi yang dipotong) dengan populasi sapi terbesar masing-masing 32 persen dan 25 persen. Kedua wilayah tersebut tidak bisa dijadikan sebagai sumber bibit. Namun karena sumber protein lain yang bisa mensubstitusi daging sapi relatif banyak, maka impor sapi dari wilayah lain tidak terlalu tinggi. Seperti misalnya di Kalimantan yang banyak rawa-rawa, sumber protein dominan berasal dari ikan (air tawar), kerbau rawa dan bebek. Sedangkan di Papua/Maluku, ikan laut lebih dominan. Wilayah Jawa dan Sumatra nilai rasio komsumsi dengan populasi diatas rata-rata nasional (16 persen), masing-masing dengan 18 persen dan 19 persen, berarti merupakan daerah impor sapi bakalan/sapi potong dari wilayah lain. Bali, Nusa Tenggara (NTB dan NTT), serta Sulawesi, nilai rasionya dibawah rata-rata nasional, sehingga keduanya bisa dijadikan suplaier bakalan sapi untuk digemukkan. Secara spasial, wilayah suplaier sapi ditunjukkan pada Gambar 4.4.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
24
Gambar 4.4. Spasial Suplaier Sapi Berdasarkan Pulau Sumber: APFINDO, 2015
4.2. Permasalahan Industri Perbibitan Sapi Gambaran tentang permasalan industry perbibitan sapi diperoleh dari hasil turun lapang di sentra produksi sapi di Jawa Tengah (yakni Bawen, Getasan, Grobogan, dan Boyolali) sebagai sample di Jawa; serta di peternakan sapi di NTB (yakni Sumbawa) sebagai ilustrasi di luar Jawa. 4.2.1 Industri Perbibitan Sapi di Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah merupakan sentra penghasil ternak potong terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur. Hasil penelitian Bank Indonesia dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UKSW Salatiga (2009), juga menunjukkan bahwa sapi potong merupakan komoditi unggulan di Jawa Tengah (DRD Jawa Tengah 2010). Industry sapi potong diharapkan menjadi sumber pertumbuhan
ekonomi
Provinsi
Jawa
Tengah,
melalui
peningkatan investasi baik oleh swasta maupun oleh pemerintah daerah.
Tahun
2008
pemerintah
Provinsi
Jawa
Tengah
bekerjasama dengan Kantor Bank Indonesia (KBI) Semarang
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
25
telah
melaksanakan
Pemberdayaan
Program
Ekonomi
Fasilitasi
Daerah
Percepatan
(TFPPED)
dengan
mengembangkan sektor pertanian khususnya komoditas sapi potong dan sapi perah sebagai entry point.
Gambar 4.5. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Jawa Tengah Sumber: Ditjen PKH (2012b, 2013)
Gambar 4.5. menunjukkan perkembangan populasi sapi potong di provinsi Jawa Tengah. Tahun 2012 dan 2013, Jawa Tengah mampu menyuplai 13% kebutuhan daging nasional maupun kebutuhan bibit bagi pengembangan komoditi tersebut di wilayah lainnya (Dinas PKH 2013). Dari potensi sumber daya alam, Jawa Tengah memiliki potensi untuk pengembangan sapi potong. Hasil analisis Dinas PKH (2013), daya tampung (carrying capacity) ternak di Jawa Tengah sebesar 6.158.131 AU (animal unit setara dengan 1 ekor sapi dewasa), sementara populasi ternak tahun 2012 baru 3.185.770 AU, sehingga masih tersedia pakan ternak untuk penambahan populasi ternak sebesar 2.972.361 AU. Beberapa
kelompok
tani
ternak
(KTT)
yang
sudah
mengembangkan usaha ternak sapi bibit diantaranya KTT Bangun Rejo di wilayah Bawen, KTT Martini Indah di wilayah Grobogan, KTT Dewi Andini di Boyolali dan PT. Tri Nugraha Farm di wilayah Getasan. Dalam mengembangkan usaha ternak
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
26
bibit sapi, kelompok tani tersebut memperoleh indukan sapi dari Jawa Timur dan luar Jawa. Sebagian besar jenis yang dikembangkan adalah jenis sapi PO, Simental dan Limousine. Kendala yang dihadapi peternak dalam mengusahakan sapi bibit di Jawa Tengah adalah: 1. Modal
usaha
perbibitan
sapi
cukup
besar,
karena
perputaran modal lama dan sifatnya jangka panjang. Peternak mengharapkan bantuan pemerintah dalam bentuk penyediaan sapi indukan. Harga sapi bibit umur 3 bulan Rp.7-9 juta, sedangkan sapi dara siap kawin sekitar Rp. 19 juta. 2. Teknologi
pendeteksian
kehamilan
sapi
belum
berkembang, terutama untuk hasil persilangan dengan jenis Limousine dan Simental. Padahal banyak peternak yang menginginkan persilangan karena pertumbuhannya cepat dan lebih menguntungkan. 3. Skema kredit modal KPPE yang berbunga murah (bunga bersubsidi 5%) dan dengan sistem kelompok (anggota kelompok ikut menanggung jika gagal bayar), sulit diakses. Perbankan justru mengarahkan peternak untuk memanfaat skema pembiayaan KUR dimana tingkat suku bunga 1% lebih tinggi dibandingkan skema KPPE, prosedur pinjaman lebih rumit dan memberatkan peternak karena harus dajukan oleh perseorangan. Pemerintah daerah mendukung upaya pengembangan industri bibit sapi di wilayah Jawa Tengah.
Saat ini sedang
diupayakan kerjasama antara Perhutani (sebagai pihak penyedia lahan) dan investor (sebagai pihak pengusaha perbibitan sapi) di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
27
4.2.2. Industri Perbibitan Sapi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki populasi sapi di urutan ke 4 dari 33 provinsi di Indonesia dengan kontribusi 7,46% dari populasi sapi nasional (Tabel 4.1).
Tingginya
populasi sapi yang ada, mendorong pemerintah daerah untuk menjadikan NTB sebagai bumi sejuta sapi (BSS). Program BSS tersebut mentargetkan tahun 2015, populasi sapi di NTB mencapai 1.365.000 ekor (Bappeda NTB, 2009). Target tersebut hampir
tercapai, dimana
populasi
tahun 2014
mencapai
1.097.003 ekor. Kabupaten penghasil ternak sapi terbesar di NTB adalah Kabupaten Sumbawa.
Sejak tahun 1980an, Kabupaten
Sumbawa telah menjadi pemasok sapi bibit bagi wilayah sekitarnya. Dari 21720 ekor sapi yang keluar dari NTB tahun 2009, sekitar 36,44 persen (atau 7915 ekor) berasal dari Sumbawa. Kegiatan
usaha
pembibitan
dan
penggemukan
sapi
dilakukan secara terintegrasi mulai dari perbibitan hingga sapi digemukkan. Belum ada peternak yang khusus menjual sapi bibit, karena lebih menguntungkan jika sapi dijual setelah digemukan. Peternakan sapi dilakukan dengan sistem lar (dalam bahasa Sumbawa berarti tempat melepas ternak milik pribadi, menyerupai paddock). Lar adalah lahan yang dibuat perpetakpetak dengan pembatas antar petak berupa pagar tanaman hidup.
Peternak menggunakan lahan lar untuk integrasi
sequential
antara
peternakan
dengan
pertanian
tanaman
pangan. Pada saat musim kemarau, lar diberakan untuk padang penggembalaan sapi. Pada musim hujan, lar ditanami tanaman pangan (secara bergilir padi dan kacang) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
28
Pakan dan air tersedia sepanjang tahun, untuk mencukupi kebutuhan ternaknya. Pakan hijauan berupa rumput lapang (dari lahan sekitar), lamtoro dan rumput gajah (dari tanaman sendiri), dan jerami padi dan jagung (milik peternak). Biaya pakan hijauan hampir tidak ada, kecuali biaya tenaga kerja dan biaya transpor dari sumper pakan ke kandang yang jumlahnya relatif kecil. Peternak mencari pakan 1-2 kali sehari. Menurut Suparjo et al. (2012), laju pertumbuhan dan produktivitas ternak (sapi) sangat dipengaruhi oleh faktor pakan, yang mencakup nutrisi pakan, yaitu imbangan kebutuhan protein/asam amino dan energi yang terkandung dalam ransum ternak. Studi yang dilakukan oleh Tawaf dan Daud (2010) di Jawa Barat menunjukkan rata-rata ternak sapi mengkonsumsi BK (bahan kering) sebesar 3 kg dan PK (protein kasar) 20 gr perhari. Nilai ini jauh dari kebutuhan minimal yang harus dipenuhi dari hijauan yaitu 6.5 kg BK dan 0.5 kg PK perhari (McDonald et al 2002). Sukria dan Krisnan (2009), menyatakan bahwa hijauan yang baik digunakan untuk pakan ternak mempunyai kandungan SK minimal 18%. Tabel 4.3 menunjukkan bahwa limbah pertanian yang diberikan peternak di Sumbawa adalah sumber serat yang baik. Tabel 4.3 Komposisi Nutrien Bahan Pakan Sisa Pertanian (100% BK)
Bogor
Bandung
Kab.
Jenis Pakan
Abu
PK
LK
SK
BETN
TDN
Jerami Padi
22.45
6.42
0.71
37.68
32.50
37.65
Jerami Jagung
8.62
10.54
2.86
23.16
54.82
63.64
Jerami Padi
18.14
4.64
3.78
31.05
42.39
48.14
Jerami Jagung
10.22
11.87
2.04
27.41
48.46
58.39
Sumber: Saragi, 2014
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
29
Sumber air berasal dari sungai dekat kandang dan sumur bor hasil swadaya dan bantuan pemerintah, yang ditampung di embung (kolam air) dekat kandang. Meskipun pasokan air pada musim kemarau menurun, namun masih cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak. Rata-rata peternak memiliki 0,75-1 ha lahan lar.
Daya
dukung lar agar keberlanjutan (sustainability) kegiatan usaha peternakan lebih terjamin yaitu yaitu 5-10 ekor/ha. pemeliharaan induk sekitar 2-10 ekor/peternak.
Skala
Induk berasal
dari bantuan/hibah dari pemerintah dan membeli dari peternak lain di sekitar Sumbawa.
Calon induk yang dibeli pada saat
umur 1 tahun (harga Rp.4,5-5 juta/ekor) atau sapi dara siap bunting (harga Rp.5-6 juta/ekor). Induk melahirkan pertama umur 2,5 tahun, dengan jarak melahirkan (calving interval 1 tahun).
Umur diafkir setelah
melahirkan sebanyak 8-13 kali atau umur 10 sampai 15 tahun. Induk afkir dijual Rp.3 juta-4 juta/ekor, dan dibelikan sapi dara pengganti (replacement). Disamping untuk replacement, peternak menjual sapi jika membutuhkan uang untuk biaya sekolah, atau hajatan, serta alasan lain seperti harga sedang bagus (saat hari raya Idul Adha), atau saat musim tanam. Pada saat musim tanam, lar tidak untuk padang penggembalaan, namun digunakan untuk menanam
padi
dan
jagung
secara
bergilir.
Padang
penggembalaan sapi berkurang sehingga peternak akan menjual sebagian sapinya. Sapi hasil pembibitan dipelihara sekitar 2,5-3 tahun, kemudian dijual.
Beberapa peternak ada yang memelihara
hingga berusia 5 tahun. Beberapa peternak juga membeli sapi bakalan dari peternak lain untuk digemukkan selama 4-5 bulan. Bobot sapi yang siap untuk dijual sekitar 250-350 kg/ekor.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
30
Sapi dijual kepada pedagang pengumpul (belantik/pelele) lokal Sumbawa yang datang ke kandang peternak, dengan harga jual sekitar Rp.7,5 juta-9 juta/ekor. Oleh pedagang, sapi yang siap dipotong akan dipasarkan untuk kebutuhan provinsi NTB, atau antar pulau ke Kalimantan dan Jawa. Biaya transpor (termasuk perijinan) dari Sumbawa ke Pulau Lombok sekitar Rp.500 ribu/ekor (sekitar 6 jam perjalanan). Dari Sumbawa ke Jakarta sekitar Rp.1,3 juta/ekor (sekitar 7 hari, termasuk masa karantina sekitar 4 hari di Banyuwangi atau Surabaya). Modal peternak umumnya berasal dari koperasi peternak dan dana pribadi. Beberapa peternak mendapat pembiayaan dari bank (KUR, KKPE), dan ada juga yang mendapat pembiayaan dari investor dalam negeri. Resiko usaha relatif kecil, karena pasar daging sapi masih cukup tinggi, harga jual sapi menguntungkan, dan tingkat kematian relatif kecil (kurang dari 1% per tahun). Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kab. Sumbawa, telah
melakukan
kesejahteraan
beberapa
peternak
program dan
untuk
meningkatkan
mengembangkan
usaha
peternakan. 1. Bantuan bibit dalam rangka peningkatan produksi/populasi; 2. Pendampingan dalam rangka meningkatkan keterampilan dan pengetahuan peternak terutama di aspek teknik budidaya dan pengolahan pakan; 3. Penerapan teknologi IB (Inseminasi Buatan) sebagai alternatif kawin alam; 4. Fasilitas vaksinasi sapi tahunan gratis, disertai dengan registrasi kartu ternak tahunan. 5. untuk menjaga keberlangsungan populasi sapi NTB, Pemprov NTB menerapkan kebijakan kuota pengeluaran
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
31
ternak yang mengatur jumlah sapi yang dapat dijual ke luar Provinsi NTB agar sapi tidak terkuras habis.
Gambar 4.6. Pembibitan Sapi di Sumbawa dengan Sistem Lar Sumber: Dokumentasi Tim Penulis (2015)
Gambar 4.7. Pembibitan Sapi di Sumbawa dengan Sistem Intensif Sumber: Dokumentasi Tim Penulis (2015)
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
32
4.2.3. Industri Perbibitan Sapi Intensif di Jawa Barat Industri pembibitan sapi secara intensif di Jawa Barat mengambil studi kasus di PT X di Serang, Banten. PT X berdiri tahun 1990 dengan usaha penggemukan sapi, dan memulai pembibitan sejak 2004. Sapi betina impor dari Australia (sapi Limousin dan Simmental) di IB (inseminasi buatan) dengan semen sapi Brahman dari BIB (balai inseminasi buatan) Singosari dengan tingkat keberhasilan IB 75—85%. Di Australia menurut Minish dan Fox (1979) sapi Brahman banyak disilangkan dengan sapi Hereford-Shorthorn (HS). Keturunannya yang diberi nama Brahman Cross (BX) yang mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah Hereford, dan 25% darah Shorthorn. Sapi BX mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi
terhadap
makanan
jelek,
serta
mempunyai
kecepatan pertumbuhan yang tinggi (Turner, 1977). Demikian juga hasil persilangan di PT X, sapi yang dihasilkan memiliki tingkat pertumbuhan cepat dan daya tahan tinggi terhadap iklim tropis.
Hasil produksi pembibitan PT X
dijual sebagai induk sapi bunting dan pedet.
Induk bunting
dijual ke peternakan di berbagai daerah seperti Perusahaan Daerah (Perusda) Provinsi Banten di Lebak, Pedet dijual ke peternak di berbagai daerah, seperti Sumatera Barat, Pacitan, Malang. Harga induk tergantung usia kebuntingan dan harga pedet tergantung pada bobot badannya. Sistem pembibitan sapi di PT X dilakukan secara intensif, menggunakan pakan hijauan dan konsentrat sesuai dengan kebutuhan nutrisi. Seluruh pakan hijauan berasal dari rumput budidaya. Hasil kajian Safitri (2011) kinerja perbibitan di PT X sudah memenuhi kriteria good breeding practices (GBP), dengan indikator CI (calving interval/jarak antar kelahiran) 372 hari, calving rate (persentase anak dilahirkan terhadap jumlah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
33
induk) 84%, SC (servive per conception/intensitas IB untuk mendapatkan
kebuntingan)
1,5
dan
Conception
rate
(persentase induk bunting terhadap jumlah induk) 88%. 4.3. Harga Pokok Produksi Sapi Bakalan dan Daging Sapi Harga pokok produksi anak sapi dihitung berdasarkan biaya yang meliputi biaya pengadaan induk, pembuatan kandang, biaya operasional dan biaya bunga modal. Besarnya harga pokok produksi bervariasi tergantung dari jenis sapi yang dikembangbiakan dan sistem pemeliharaan. Dalam kajian ini dihitung harga pokok produksi dari 3 jenis sapi yang dipelihara pada sistem pemeliharaan yang berbeda berdasar data dari hasil survey lapang. Pertama jenis sapi peranakan ongole (PO) yang dipelihara secara intensif, dengan mengambil kasus di Jawa Tengah. Kedua, jenis sapi bali yang dipelihara secara semi intensif dengan mengambil kasus di Sumbawa, NTB. Ketiga, jenis sapi induk impor (brahman cross) dengan sistem pemeliharaan intensif dengan mengambil kasus PT X di Serang, Banten. 4.3.1. Harga Pokok Produksi Bakalan Sapi Peranakan Ongole Anak sapi Peranakan Ongole (PO) memiliki bobot lahir cukup besar, dan pada umur 1 bulan mencapai bobot 60-80 kg. Namun tingkat produktivitas relatif rendah karena induk sapi dipertahankan peternak hanya sampai pada kelahiran ke-empat, jauh dibawah potensinya yang bisa sampai pada kelahiran kedelapan. Penyebabnya antara lain pakan yang diberikan kualitasnya rendah. Pakan yang diberikan terdiri dari hijauan dan makanan tambahan yang ada di sekitar lokasi (dedak, nasi kering, jerami kedelai, tongkol jagung, kulit dan buah singkong). Selain itu juga diberikan tambahan vitamin dan mineral. Pola usaha yang dikembangkan
merupakan pola usaha
kombinasi pembibitan dan penggemukan, dalam sistem kandang bersama milik kelompok. Sapi yang dipelihara terdiri dari induk
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
34
(25 ekor), sapi jantan (5 ekor), jantan muda (2 ekor), anak betina(3 ekor), dan anak jantan (2 ekor). Perkawinan induk menggunakan sistem IB dengan rataan S/C sebesar 2. Produk utamanya anak sapi (pedet) umur 3 bulan dengan harga Rp 4,55 juta. Kelompok tidak memelihara anak sapi sampai dewasa karena selain untuk mempercepat perputaran modal, juga dirasakan bahwa biaya produksi untuk pemeliharaan sampai umur 1 tahun cukup tinggi (sekitar Rp 6 juta). Peternak menjalin kerjasama dengan petani dalam penyediaan pakan dengan sistem barter antara kotoran sapi dengan limbah pertanian. Tabel 4.4. Koefisien Teknis dan Ekonomis Pembibitan Sapi PO Skala Menengah Intensif No.
Asumsi/Keterangan
Nilai
1
Periode proyeksi pembibitan
8
2
Sistem Perkawinan/reproduksi
IB
3
Harga semen
4
Service per Conception (SC) Ratio
5
Bibit/Induk: 25 11.000.000 5
6
a. Jumlah bibit/induk b. Harga Bibit/Induk c. Jumlah induk afkir per tahun (replacement) Kelahiran anak per induk *)
7
Persentase kelahiran jantan:betina
50%:50%
8
Mortalitas anak sapi
9
Harga anak hasil IB umur 3-4 bulan
10
a. Jantan b. Betina Harga jual sapi induk afkir
11
Produk Sampingan :
50.000
Satuan tahun Rp/dosis
2
1
ekor Rp/ekor ekor Ekor/tahun
10%
persen
5.500.000 5.000.000 9.000.000
Rp/ekor Rp/ekor Rp/ekor
a. Produksi pupuk
10
kg/ekor/hari
b. Harga pupuk
200
Rp/kg
12
Suku bunga
5%
%/tahun
13
Jangka waktu kredit
5
Tahun
14
Grace period
2
Tahun
Sumber: Data primer (2015), diolah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
35
Modal untuk investasi (kandang dan alat) serta pembelian 25 calon induk sapi (bunting 4 bulan) seluruhnya
Rp
327.075.000,- sebesar 40 persen (Rp 130.830.000) merupakan bantuan pemerintah dan selebihnya Rp 196.245.000 merupakan pinjaman
dengan
bunga
subsidi
KUPS (peternak hanya
membayar 5% selebihnya dalam bentuk subsidi ditanggung oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan). Peternak memiliki tenaga kerja untuk mencari rumput, serta modal untuk membeli pakan konsentrat selama satu tahun (hingga memperoleh penerimaan dari menjual pedet umur 3 bulan).
Melalui model intensif skala menengah ini, sapi yang
berjumlah 25 ekor induk dipelihara oleh 5 peternak (masingmasing bertanggung jawab terhadap 5 ekor induk). Upah peternak untuk mencari rumput dan membersihkan kandang dihitung Rp 1.500.000/bulan. Pakan hijauan hanya berasal dari limbah pertanian dan rumput lapang.
Pakan konsentrat
diberikan untuk induk (2 kg/hari) dan anak selama 3 bulan (0,25 kg/hari). Konsentrat untuk induk lebih banyak dan harganya lebih murah (Rp 900/kg), dibandingkan konsentrat anak sapi (Rp 1500/kg), karena perbedaan kandungan protein. Berdasarkan koefisien teknis dan ekonomis tersebut, jika pemerintah membantu 50% dari investasi (Rp164.187.500) maka harga pokok pedet umur 3 bulan (berat badan 150 kg) antara Rp 6,2 juta (betina) hingga Rp 6,7 juta (jantan) atau rata-rata Rp 6,45 juta.
Jika ditambah dengan biaya transport Rp 600
ribu/ekor, maka harga di Jabodetabek menjadi rata-rata Rp 7.050.000,- atau rata-rata Rp 47.000,-/kg hidup. Jika investasi seluruhnya dibebankan peternak, pemerintah hanya memberi bantuan subsidi bunga (KUPS), maka harga jual pedet umur 3 bulan sebesar Rp 7,8 juta (betina) dan Rp 8,3 juta (jantan). Dengan biaya transport ke Jabodetabek Rp 600.000 maka ratarata harga Rp 54.000/kg hidup.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
36
4.3.2. Harga Pokok Produksi Bakalan Sapi Bali Pada Tabel 4.1 ditunjukkan bahwa NTB termasuk wilayah pemasok bibit sapi dengan populasi tinggi dan LQ tinggi. Pola usaha
yang
dikembangkan
kombinasi
pembibitan
dan
penggemukan dengankepemilikan sapi rata-rata 10 ekor (antara 2 sampai 15 ekor) per peternak. Umur sapi ketika dijual berumur 1,5 sampai 2 tahun dengan harga Rp 7,5 - 9 juta. Sapi dipelihara terintegrasi dengan tanaman pangan (padi, jagung, kedelai) pada lahan lar, untuk memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk pertanian dan memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak.Pada awal musim hujan petani memindahkan ternak sapinya dari lahan lar (untuk ditanami tanaman pangan) ke lahan di perbukitan milik peternak atau lahan Kehutanan.
Peternak yang lokasinya berdekatan akan
bekerjasama mengawasi sapi dari pencurian dan binatang pemangsa (seperti babi dan anjing hutan) ketika dilepas di lahan perbukitan, sehingga bisa meniminumkan biaya pengawasan. Untuk induk diberi sekitar 0,5 kg per hari pakan tambahan seperti jagung dan dedak. Kabupaten Sumbawa memiliki visi “Menjadi Kabupaten Peternakan”, dan misi “Mewujudkan Sumbawa Kabupaten Peternakan yang berdaya saing”.
Untuk merealisasikan visi
tersebut, telah ditetapkan 7 lar dengan luas terkecil 113 ha (Lar Kuang Bira) dan terbesar 1500 ha (Lar Gili Rakit). Lar lainnya adalah Limung, Badi, Ai Apuk, Lutuk Kele, dan Tanak Dewa. Selanjutnya 3 lar (Limung, Badi dan Kuang Bira) ditetapkan sebagai kawasan peternakan sapi, melengkapi 4 kawasan peternakan lainnya
yaitu Melayam, Olat Monte, Nange
Sejahtera, dan Turin Tawir.
Penetapan lar dan kawasan
peternakan tersebut guna menjamin ketersediaan pakan hijauan sepanjang tahun, disamping program lamtoronisasi/turinisasi oleh Dinas Peternakan setempat.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Dukungan pemerintah
37
tersebut meminimumkan biaya pakan sapi yang dikeluarkan peternak. Perkawinan betina induk dilakukan secara alami, selama di padang penggembalaan.
Tingkat kematian anak relatif tinggi,
yaitu 5%, karena pemeliharaan dilakukan secara ekstensif. Pada usaha pembibitan sapi, melalui integrasi dengan tanaman pangan, bisa menghemat biaya pakan hijauan.
Harga jerami
saat penelitian Rp 400,000/truk, untuk pemberian 100 hari ternak, atau Rp 4000/ekor/hari. Tabel 4.5. Koefisien Teknis dan Ekonomis Pembibitan Sapi Bali Terintegrasi Tanaman Pangan No.
Asumsi/Keterangan
Nilai
1
Periode proyeksi pembibitan
2 3
Sistem Perkawinan Jantan
4 5
Service per Conception (SC) Bibit/Induk: a. Jumlah bibit/induk b. Harga Bibit/Induk c. harga jantan c. induk afkir per tahun (replacement) Kelahiran anak per induk *) Persentase kelahiran menurut jenis kelamin a. Jantan
6 7
8 Kawin alam 1 1 10 9.000.000 10.000.000 1 1
Satuan
Sapi Bali bisa beranak tiap tahun. ekor Kawin alam, sekali langsung bunting Induk melahirkan dikandangkan ekor agar menyusui Rp/ekor Pemerintah daerah Rp/ekor menyediakan lar (padang rumput ekor untuk penggembalaan Ekor/th tahun
50%
persen
b. Betina
50%
persen
8
Mortalitas anak sapi
5%
persen
9
Harga anak a. Jantan umur 1,5 th b. Betina umur 1,5 th c. Sapi umur <1th Harga jual sapi induk afkir/majir
8.000.000 7.000.000 2.000.000 7.500.000
Rp/ekor Rp/ekor
10 11 12
Pakan tambahan (dedak/jagung) Obat cacing
13
Kandang dan alat
14
Investasi
15
IRR (internal rate of return)
16
Grace period pinjaman
induk
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
1500 30 840.000 124.000.000
Keterangan
Pakan hijauan dari limbah pertanian dan lahan bera Peternak mengharapkan Rp/ekor pupuk organik Rp/ekor untuk pertanian Rp/ekor Rp/th Rp
24,32
persen
2,5
Tahun
IRR layak, karena diatas bunga pinjaman
38
Sumber: Data Primer (2015), diolah
Dari sisi usahatani tanaman pangan, melalui integrasi biaya yang bisa dihemat adalah biaya tenaga kerja untuk penyebaran pupuk organik, pembelian pupuk organik, dan substitusi pupuk urea. Menurut hasil kajian Tim LPPM (2012), per musim tanam tenaga kerja untuk penyebaran pupuk organik sebanyak 4 HOK/ha dan kebutuhan pupuk organik 2 ton/ha. pemberian pupuk urea 200 kg/ha.
Sedangkan
Pupuk urea yang bisa
disubstitusi pupuk organik sebanyak 50 kg/ha/th. Tabel 4.6. Harga Sapi Asal NTB di Jabodetabek No 1
Komponen Transport, karantina, susut berat dalam
Nilai (Rp)
Satuan
1.500.000 Rp/ekor
perjalanan 2
Harga rata-rata di NTB
3
Berat hidup
4
Harga rata-rata di Jakarta sebelum
7.500.000 Rp/ekor 250 Kg 33.200 Rp/kg
digemukan
hidup
Sumber: Dinas Peternakan NTB (2015)
Pembibitan sapi Bali di NTB menguntungkan bagi petani karena tidak dihitung tenaga kerja. Tidak ada biaya pakan hijauan karena sebagaian besar memanfaatkan limbah petanian, serta didukung pemerintah daerah dalam menyediakan padang penggebalaan.
Sapi Bali hasil pembibitan di NTB, jika
digemukan di sentra konsumen Jabodetabek, masih bisa memberikan keuntungan dimana harga sapi hidup adalah sebesar Rp 36.000/kg. Jika harga sapi rata-rata Rp 7,5 juta, dan biaya transport Rp 1,5 juta, maka dengan berat badan 250 kg, dan konversi sapi hidup menjadi karkas 45-50% (atau rata-rata 47,5%), diperoleh harga daging sekitar Rp 75.800/kg.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
39
Namun keterbatasan kemampuan NTB menghasilkan anak serta kebijakan kuota pengeluaran ternak oleh pemerintah daerah NTB yang diberlakukan saat ini, membatasi kemampuan NTB untuk memenuhi kebutuhan ternak di wilayah/provinsi lain. Di samping itu cuaca ektrim sering menjadi
hambatan
transportasi laut dari NTB ke Jabodetabek, seperti pada musim barat di akhir tahun. 4.3.3. Harga Pokok Produksi Bakalan Sapi Brahman Cross Induk sapi Brahman Cross adalah sapi impor dari Australia. Jenis sapi ini menuntut sistem pemeliharaan dengan lingkungan yang relatif bersih, dan pakan berkualitas. seluruhnya dari kebun rumput budidaya.
Pakan hijauan Pakan konsentrat
berasal dari pabrik pakan (feed mill) menggunakan bahan bakan yang tersedia di sekitar lokasi (dedak, jagung, bungkil kelapa sawit, mineral dll). Skala pemeliharaan 1000 ekor induk, dengan koefisien teknis pembibitan sepeti pada Tabel 4.7. Jarak melahirkan (Calving Interval CI) relatif panjang, yaitu 15 bulan (bunting 9 bulan, menyusui 4 bulan dan masa kering 2 bulan). Pada pembibitan sapi secara intensif menggunakan induk sapi brahman cross memerlukan investasi untuk pengadaan lahan, sapi calon induk dan pembangunan kandang serta pengadaan prasarana kandang.
Lahan digunakan untuk
penanaman rumput budidaya, halaman exercise (gerak untuk induk bunting) dan pembangunan kandang.
Nilai seluruh
investasi Rp 49.929.980.000 (sekitar 50 milyar). Seluruh investasi tersebut diharapkan dari bantuan pemerintah. Karena lahan tidak mengalami depresiasi sehingga di akhir proyek bisa kembali ke pemerintah atau bisa dalam bentuk pinjam pakai. Calon induk, bisa digunakan untuk seterusnya, karena ada program replacement (penggantian induk) setiap tahun.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
40
Tabel 4.7. Koefisien Teknis dan Ekonomis Pembibitan Sapi Impor Secara Intensif
satuan A
B
Total (Rp)
BANTUAN PEMERINTAH Penyediaan lahan, Ha
65
Penyediaan sapi dara, ekor
1.000
15.000.000.000
Penyediaan Kandang & Prasarana , Rp/ekor ASUMSI TEKNIS Periode dara - bunting , hari Tingkat kebuntingan, %
1.000
2.500.000.000
60 80%
Kejadian abortus,loss foetus dll, % bunting Kematian calves - weaner, % bunting
3% 7%
Kematian weaner, % Tingkat calf crop, % Ratio kelahiran jantan: betina
3% 70% 50%:50%
Umur penyapihan, bulan
4
Afkir indukan, % / siklus
10%
Replacement induk afkir
10%
Sapi dara Rata2 Konsentrat (kg)
1
3.000
Sapi dara Rata2 Rumput (kg)
30
4.500
Induk bunting Rata2 Konsentrat (kg) Induk bunting Rata2 Rumput (kg) Induk menyusui Rata2 Konsentrat (kg)
1 30 2
3.000 4.500 6.000
Induk menyusui Rata2 Rumput (kg) Weaner 4-6 bln Rata2 Konsentrat (kg)
30
4.500
0,25
750
10
1.500
Weaner 4-6 bln Rata2 Rumput (kg) Biaya Pembuntingan, Rp/Ek Biaya obat dan keswan, Rp/Ek Penanggungjawab (orang) Tenaga security (orang) Tenaga kerja harian (orang) Overhead (Rp/induk/bulan) Bunga bank, % /tahun Pinjaman bank a. Grace periode, tahun b. Skema pengembalian pinjaman, % /tahun C
49.929.980.000 32.429.980.000
2 3 2 5%
50.000 30.000 10.000.000 6.000.000 4.000.000 30.000.000 5% 6.608.484.000
2 Tahun 3-5 @ 15% Tahun -6 @ 55%
RATA-RATA HARGA JUAL/PEMBELIAN a. Pembelian dara ex impor, Rp/ek
15.000.000
b. Pembelian replacement ex weaner, Rp/Ek
12.000.000
c. Penjualan Weaner 6 bulan, Rp/Ek
8.000.000
d. Penjualan culled Induk afkir, Rp/Ek
12.000.000
D
JUMLAH PLASMA (orang)
50
E
PROFIT SHARE (plasma: inti)
30%:70%
Sumber: Data primer (2015), diolah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
41
Demikian juga dengan kandang, setiap tahun dikeluarkan biaya untuk perawatan kandang, sehingga bisa digunakan untuk jangka panjang. bunga
Bantuan lain dari pemerintah adalah subsidi
menggunakan
pembibitan
hanya
skema dibebani
kredit bunga
KUPS.
Perusahaan
5%,
selebihnya
dibayar/ditanggung pemerintah dalam bentuk subsidi bunga pinjaman. Perhitungan model instensif skala besar ini berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh PT X dengan asumsi jumlah bibit 1000 ekor. Berdasarkan koefisien teknis dan ekonomis tersebut maka diperoleh sapi bibit umur 6 bulan dengan harga di pusat konsumen (Jabodetabek) Rp 8 juta yang siap digemukan. Apabila anak sapi (pedet) tersebut digemukkan selama 1 tahun akan menghasilkan sapi dengan berat 350 kg, dengan harga jual Rp 14 jt (atau Rp 40.000/kg hidup).
Dengan harga pedet
tersebut, dan karkas hasil penggemukan 50% dari berat badan, maka bisa dicapai harga jual daging Rp 80.000/kg. Apabila bantuan
pemerintah
hanya
subsidi
bunga
saja,
maka
perusahaan baru akan impas jika harga jual pedet umur 6 bulan sebesar Rp12.650.000/ekor (atau 158 persen dari harga harapan) dengan harga jual daging Rp 126.400/kg. Sebagai perbandingan, harga daging impor dimana harga pedet (umur 6 bulan) di Australia relatif mahal yaitu USD 4,5 per kg atau sekitar Rp 60.750 (kurs Rp 13.500/USD). Sementara harga sapi yang telah digemukkan berkisar USD 2,6 hingga USD 2,95 per kg hidup atau setara dengan Rp 35.100 - Rp 39.825 per kg hidup (rata-rata pembulatan sekitar Rp 37.500). Apabila ditambah dengan bea masuk impor 5%, biaya karantina dan handling Rp 1500/kg, maka harga menjadi Rp 40,875.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
42
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan
hasil
analisis
perwilayahan
industri
sapi,
permasalahan industri perbibitan sapi, serta harga pokok produksi sapi bakalan dan harga daging sapi, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam industri peternakan pembibitan (breeding), pembesaran anak sapi (growing strocker) dilakukan di wilayah yang banyak sumber hijauan yaitu perdesaan.
Fase penggemukan bisa
dilakukan baik di wilayah perdesaan (menggunakan dedak, jagung) maupun di perkotaan (menggunakan ampas tahu, limbah organik dari pasar).
Berdasarkan
hasil analisis LQ, dan
pertimbangan jarak, maka diperoleh gambaran spatial daerah pensuplai sapi bakalan (sentra produksi) dan wilayah importir sapi bakalan (sentra konsumen dalam hal ini wilayah Jabodetabek) sebagai berikut: - Wilayah (provinsi) yang potensial sebagai suplaier/pemasok sapi bakalan adalah: Sumatra (Aceh, dan Lampung), Jawa (Jawa Timur, dan DI Yogyakarta), Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah), Bali, NTB, dan NTT. - Wilayah importer bakalan ada 13 provinsi diantaranya DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan beberapa wilayah Sumatra (Sumatera
Selatan
dan
Bangka
Belitung),
Kalimantan
(Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat), Sulawesi (Sulawesi Barat), Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. - Sementara, wilayah (provinsi) lainnya seperti Jawa Tengah, Sumatera (Riau, Bengkulu, Sumatera Barat, Jambi dan Sumatera Utara), Sulawesi (Sulawesi Utara, dan Gorontalo),
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
43
dan Maluku merupakan wilayah subsisten dimana populasi yang ada sudah mencukupi kebutuhan di wilayah tersebut. 2. Untuk mengembangkan industri bibit sapi di Indonesia masih terdapat beberapa kendala, di antaranya adalah: - keterbatasan padang penggembalaan terutama di wilayah Jawa, - suitnya menjaga kontinuitas ketersediaan pakan hijauan terutama pada saat musim kemarau, - karakteristik industri perbibitan sapi membutuhkan modal yang cukup besar dan memiliki capital turn over yang cukup rendah sehingga kurang menguntungkan dalam jangka pendek, - kredit sulit diakses karena peternak tidak memiliki agunan. 3. Harga pokok penjualan sapi anakan bibit (pedet) tergantung dari bangsa sapi yang dipelihara (genotip) dan jenis pakan yang diberikan (lingkungan). Dari tiga skenario model pengembangan usaha ternak perbibitan sapi, maka diperoleh harga pokok minimum pedet sebagai berikut: - Berdasarkan perhitungan harga pokok produksi sapi PO yang dipelihara secara intensif di Jawa Tengah, dengan asumsi pemerintah membantu 50% dari nilai investas untuk skala pemeliharaan 25 ekor induk (besarnya subsidi Rp.164.187.500) selama 3 bulan (berat badan 150 kg), maka diperoleh harga antara Rp 6,2 juta (betina) hingga Rp 6,7 juta (jantan). Jika ditambah dengan biaya transpor Rp 600 ribu/ekor, maka harga pokok
produksi
di
Jabodetabek
menjadi
rata-rata
Rp
7.050.000,- atau rata-rata Rp 47.000,-/kg hidup. Apabila pemerintah hanya memberikan subsidi bunga (KUPS), dan investasi dibiayai oleh peternak sendiri dari pinjaman, maka harga jual anak sapi umur 3 bulan adalah Rp 54.000/kg hidup. - Harga pokok produksi sapi Madura yang dipelihara secara ekstensif di NTB dengan skala pemeliharaan 10 ekor induk, diperoleh harga di tingkat peternak dengan berat badan hidup
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
44
250 kg adalah sebesar Rp 7.5 juta.
Dengan asumsi harga
sampai Jakarta Rp 9 juta/ekor (Biaya transportasi sampai ke Jakarta Rp 1,5 juta/ekor) , maka didapat harga Rp 36.000/kg hidup. Jika dikonversi menjadi karkas (konversi 47,5%), maka harga daging di Jakarta Rp 75.800/kg. - Untuk pendekatan model intensif skala besar yakni dengan asumsi jumlah indukan 1000 ekor sapi yang diperoleh dari impor (Limousin dan Simental) dan dikawinsilangkan melalui IB dengan semen sapi Brahman, apabila pemerintah memberi bantuan investasi 50 milyar dan subsidi bunga KUPS, maka diperoleh harga jual anak sapi sebesar Rp 40.000/kg hidup. Setelah digemukan 1 th, berat badan 350 kg harga jual Rp 14 juta dan konversi karkas 50%, maka harga jual daging bisa Rp 80.000/kg.Tanpa bantuan investasi, namun masih ada bantuan pemerintah dalam hal subsidi bunga KUPS, maka diperoleh harga pokok penjualan Rp 63.200/kg hidup atau setara Rp126.400, per kg daging. 5.2. Rekomendasi Kebijakan Dalam upaya menjaga stabilitas harga daging sapi di sentra konsumen
terutama
untuk
wilayah
Jabodetabek
sekaligus
mendukung program swasembada daging sapi nasional, maka sebagai bahan rekomendasi kebijakan pemerintah dapat diusulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Perlunya pembangunan sistem transportasi sapi yang dapat memperlancar suplai sapi dari wilayah pensuplai utama sapi bakalan (NTB, NTT, Sulawesi) ke wilayah sentra konsumen (Jabodetabek).
Pembangunan transportasi sapi ini dapat
mengurangi harga di tingkat konsumen hingga …persen. Hal ini sekaligus mendorong pengembangan peternakan sapi disentra produksi, karena dapat menekan biaya transportasi sehingga harga menjadi lebih kompetitif. Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
45
2. Selama belum ada transportasi sapi antar pulau yang efektif, untuk memenuhi daging sapi di Jabodetabek, impor masih diperlukan dengan pengawasan agar daging/sapi impor tidak beredar
di
luar
Jabodetabek
yang
dikhawatirkan
dapat
mengganggu stabilitas harga sapi. 3. Mengingat
karakteristik
menguntungkan
dalam
industri jangka
bibit
sapi
waktu
yang
kurang
pendek,
maka
pengembangan industry bibit sapi melalui ketiga jenis model dimungkinkan dengan asumsi sebagai berikut: - Untuk pengembangan pembibitan sapi PO menggunakan bakalan lokal secara intensif di Jawa Tengah, diperlukan subsidi kredit (KUPS) dan 50% dari kebutuhan investasi (kandang dan peralatan serta pengadaan awal induk) agar harga pokok produksi memenuhi ceiling price (Rp 40.000/kg hidup).
Untuk skala 25 ekor induk, subsidi investasi yang
diperukan adalah sebesar Rp164.187.500. - Untuk model pengembangan sapi Madura dengan sistem ekstensifikasi di wilayah NTB dan NTT, maka subsidi dalam bentuk penyediaan sarana transportasi, dapat mengurangi harga di tingkat konsumen hingga 17 persen. - Pada model intensifikasi skala besar dapat dikembangkan oleh pemerintah melalui BUMN atau pihak swasta dengan bantuan penyediaan lahan, pengadaan indukan dan subsidi bunga kredit/pinjaman dengan tenggat waktu (grace periode selama 2 tahun).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
46
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Provinsi NTB, 2009. RPJMD Provinsi NTB 2009-2013. Mataram Capello, R., 2007. Regional Economics. Routledge. Devendra C, Sevilla CC. 2002. Availability and use of feed resources in crop-animal systems in Asia. Agric Syst. 71(2002):59–73. Devendra C, Thomas D. 2002. Crop-animal interactions in mixed farming system in Asia. Agric Syst. 71(2002): 27-40. Djajanegara A. 1999. Local Livestock Feed Resources. Di dalam: Livestock Industries of Indonesia Prior to the Asian Financial Crisis. Bangkok (TH): RAP Publication. hlm 29-39 [Dinas PKH Jateng] Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah. 2013. Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013. Semarang (ID): Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah. Ditjennak (Direktorat Jendral Peternakan), 2014. Kementrian Pertanian RI. Jakarta
Statistik Peternakan.
[DRD Jateng] Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. 2010. Identifikasi dan Pemetaan Komoditi Unggulan dan Strategi Jawa Tengah: Upaya Peningkatan Daya Saing Ekonomi Jawa Tengah dalam Memasuki Era China-ASEAN FTA. [Laporan Diskusi]. DRD Jateng [Internet]. [diunduh 2013 Des 23]. Tersedia pada: drdjateng.org/.../DiskusiPemetaan-Komoditi-Unggula. Hepburn, J., 2010. WTO Talk on Agriculture : Recent Development, Future Prospects. ICAO/ICA AP Joint Seminar, 1 September 2010: Climate Change, food security and sustainability of Agriculture. ICTSD, (International, Centre for Trade and Sustainable development). Indraningsih R, Widiastuti, Sani Y. 2011. Limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak: KENDALA dan prospeknya. Lokakarya Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Strategis pada Ternak Ruminansia Besar. 4(3):99-115. Jaleta M, Kassie M, Shiferaw B. 2013. Tradeoffs in crop residue utilization in mixed crop–livestock systems and implications for conservation agriculture. Agric Systems. 121(2013):96–105.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
47
Lemairea G, Franzluebbers A, Carvalhoc PCF, Dedieu B. 2013. Integrated crop–livestock systems: Strategies to achieve synergy between agricultural production and environmental quality. Agric. Ecosyst. Environ. (2013). http://dx.doi.org/10.1016/j.agee.2013.08.009. McCann, P., 2001. Urban and Regional Economics. Oxford. (M) McDonald P, Edward RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 1992. Animal Nutrition. 6th edition. 2002. London (UK): Ashford Colour Press. Nicholson W. 2000. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan. Edisi ke delapan. Penerbit Erlangga. Jakarta Orskov ER. 1998. Feed evaluation with emphasis on fibrous roughages and fluctuating supply of nutrients 1: A Review. Small Ruminant Research. 28(1998):1–8 Permentan [Peraturan Menteri Pertanian] no.40. PD 400/9/2009. Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi. Jakarta Puslitbangdagda (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri). 2010. Kajian Preferensi Konsumen terhadap Daging Sapi dan Susu. Puslitbangdagda Kementrian Perdagangan RI. Jakarta. Saragi, M.P 2014. Potensi dan kualitas bahan pakan asal sisa pertanian di Kabupaten Bandung dan Bogor untukpengembangan Budidaya ternak sapi perah. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Sarnklong C, Cone JW, Pellikaan W, Hendriks WH. 2010. Utilization of Rice Straw and Different Treatments to Improve Its Feed Value for Ruminants: A Review. Asian-Aust J Anim Sci. 23(5):680–692. Sukria HA, Krisnan R. 2009. Sumber dan Ketersediaan Bahan Baku Pakan di Indonesia. Bogor (ID). IPB Press. Suparjo, Laconi EB, Wiryawan KG, dan Mangunwidjaya D. 2012. Evaluation of Nutrition Digentibility of Goats Fed on Biofermentasi Cocoa Pods Using Phanerochaete Chrysosporium Supplemented by Mangan (Mn) and Calcium (Ca). Di dalam: Empowering local resources for sustainable animal production in adapting to climate change. The 2nd International Seminar on Animal Industry 2012. 2012 Juli 5-6: Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID). Hlm 447-453 Syamsu JA, Sofyan, LA, Sa’id E. 2003. Daya Dukung Limbah Pertanian Sebagai Sumber Pakan Ternak Ruminansia Di Indonesia. WARTAZOA. 13(1):30-37.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
48
Tawaf R dan Daud AR. 2010. Tantangan dalam Pengembangan Bisnis Pakan Ruminansia di Indonesia. Seminar Nasional Swa-Sembada Daging 2014. Jakarta. ASOHI. Tim PSP 2003. Dampak Impor Sapi Bakalan. Kerjasama PSP-LP-IPB dengan APFINDO Anom, K. 2000. Penggunaan Starter Kering Laktobacillus Plantarum pada Sosis Fermentasi Daging Sapi dan Kambing. Skripsi. Fapet IPB. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan) 2005. Identifikasi Kemitraan Usaha Peternakan: Kegiatan Perluasan Areal Pertanian dan Penyebaran Ternak. Direktorat Jenderal Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2010 a. “Blue Print Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014”. Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian. Jakarta. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2010 b. Statistik Peternakan. Kementrian Pertanian RI. Jakarta. Detik com. 2012. Harga Steak Bakso dan Sosis di Jakarta Bakal naik. http://finance.detik.com/ read/2012/03/09/191528/1863168/4/hargasteak-bakso-dan-sosis-di-jakarta-bakal-naik. [diakses 28 Maret 2012) Harianto, S. Mulatsih, E.B. Laconi, N. Kusumawardani, dan A. Kritianto, 2003. Dampak Impor Sapi Bakalan. Kerjasama PSP-LP-IPB dengan APFINDO. Bogor.Huertas, SM; AD Gil; JM Piaggio and FJCM van Eerdenburg. 2010. Transportation of beef cattle to slaughterhouses and how this relates to animal welfare and carcase bruising in an extensive production system. Journal of Animal Welfare 2010, 19: 281-285. Indonesia Finance, 2011. Pembatasan Impor Akan Menurunkan Konsumsi Daging Olahan. http://www.indonesiafinancetoday.com/read/4997/PembatasanImpor-Akan-Menurunkan-Konsumsi-Daging-Olahan. [diakses 30 maret 2012] Industri Kontan. 2012. Impor sapi dibatasi industri pengolahan daging menjerit http://industri.kontan.co.id/news/impor-sapi-dibatasiindustri-pengolahan-daging-menjerit/2012/01/11 [diakses 28 Maret 2012]
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
49
Lapworth, J.W. 2004a. Cattle Transport: Loading strategies for road transport. pp. 1-2. Department of Primary Industries and Fisheries. Queensland Government, Brisbane, Australia. Media Indonesia. 2011. Indonesia Optimis Dapat Wujudkan Swasembada Daging. http://www.mediaindonesia.com/read/2011/08/11/250011/4/2/Indon esia-sudah-Swasembada-Daging [diakses 6 Agustus 2011] Minish, J.L. & D.G. Fox. 1979. Beef Production and Management. Reston Pub. Co. Inc. A Prentice-Hall Company. Reston, Viginia. Mulatsih, S., L. Cyrilla dan D.U. Wardhani. 2005. Evaluasi Agribisnis Sapi Pedaging Pola PIR di Lampung Tengah. LP-IPB. Nicholson W. 2000. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Terjemahan. Edisi ke delapan. Penerbit Erlangga. Jakarta. Puslitbangdagda (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri). 2010. Kajian Preferensi Konsumen terhadap Daging Sapi dan Susu. Puslitbangdagda Kementrian Perdagangan RI. Jakarta Safitri, T. 2011Penerapan Good Breeding Practices Sapi Potong di PT Lembu Jantan Perkasa Serang, Banten. Skripsi. Fakultas Peternakan IPB. Bogor. Simatupang P dan N. Syafaat. 2002. Analisis Akibat Anjloknya Harga Komoditas Pertanian Selama Semester-I 1999. Monograph series No. 21. Analisis Kebijaksanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agro Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Balitbang Pertanian Bogor. Smith, G.C. and T. Grandin. 1998. Animal Handling For Productivity, Quality And Profitability. pp. 1-12. Presented at the Annual Convention of the American Meat Institute (Philadelphia, PA). Smith, G.C. 1997. National And International Audits For Fed And/Or NonFed Beef Quality. Proc. Annual Conference For Veterinarians (Manhattan, KS) pp. 32-37. Sugeng, 2001. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta. Tarrant, V. and T. Grandin. 2000. Cattle Transport. pp. 151-173. (In: Livestock Handling and Transport. Ed. T. Grandin). CABI Publishing, New York, NY. Sudarman, A., S. Mulatsih dan L.M. Baqa. 2009. Strategi Percepatan Pencapaian Swasembada Daging di Indonesia. Kerja Sama PT
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
50
Cico Tama dengan Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian RI. Jakarta. Tim Centras. 2010. Kajian dan Pendampingan Masyarakat dalam Pengelolaan Pakan Ternak di Kabupaten Rembang. Kerjasama Bappeda Rembang dengan Centras LPPM-IPB. Tim Kemendag. 2010. Laporan Kunjungan ke KPBS Pangalengan 2 Agustus 2010, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Turner H. G. 1977. The tropical adaptation of beef cattle. An Australian study. In: animal breeding: Selected articles from the Word Anim. Rev. FAO Animal Production and Health Paper 1:92-97. von Borell, E.H. 2001. The biology of stress and its application to livestock housing and transportation assessment. J. Anim. Sci. 79(E. Suppl.):E260-E267.
http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=7&aid=454 http://www.beritarayaonline.com/2013/05/ptljp-tingkatkan-kualitasdan.html#.VjxO3H26_IU
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
51
Lampiran 1. Asumsi untuk Analisis Keuangan Sapi Peranakan Ongol (PO) di Jawa Tengah No. 1 2 3 4 5 6 7
Asumsi/Keterangan
18
Periode proyeksi pembibitan Jumlah bulan per tahun Jumlah hari per bulan Sistem Perkawinan/reproduksi Harga semen(Rp/straw) Service per Conception (SC) Ratio Bibit/Induk: a. Jumlah bibit/induk b. Harga Bibit/Induk c. Jumlah induk afkir per tahun (replacement) Kelahiran anak per induk *) Persentase kelahiran menurut jenis kelamin a. Jantan b. Betina Mortalitas anak sapi Harga anak hasil IB umur 3-4 bulan a. Jantan b. Betina Harga jual sapi induk afkir Produk Sampingan : a. Produksi pupuk b. Harga pupuk Suku bunga Jangka waktu kredit Pembiayaan kredit Proporsi pembiayaan investasi: a. Kredit b. Modal sendiri Pembayaran angsuran (pokok+bunga)
19
Grace period
8 9
10 11
12 13
14 15 16 17
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Nilai 8 12 30 IB Rp50.000 2 25 11.000.000 5 1
Satuan tahun bulan hari Straw per dosis
ekor Rp/ekor ekor Ekor/tahun
50% 50% 10%
persen persen persen
8.300.000 7.800.000 9.000.000
Rp/ekor Rp/ekor Rp/ekor
10 200 5% 5 Modal investasi 60% 40% Mulai tahun kedua, selama 5 tahun 2
kg/ekor/hari Rp/kg %/tahun Tahun
% % Tahun Tahun
52
Lampiran 2. Komponen dan Struktur Biaya Investasi Sapi Peranakan Ongol (PO) di Jawa Tengah No. 1 2
3
Komponen biaya
Jumlah
Bangunan kandang 112.5 (m2) Peralatan (unit) a. Arit 5 b. Ember 5 c. Selang 3 d. Pacul Garpu 5 e. Serokan 5 Bibit (ekor) 25 Jumlah Pinjaman (60%)
Harga satuan (Rp) 450.000
50.625.000
Umur Ekonomis 8
Penyusutan
Nilai Sisa
6.328.125 0
40.000 20.000 100.000 70.000 100.000 11.000.000
Bunga selama Grace Periode (2 Tahun) Total Pinjaman
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Total (Rp)
1.500.000 100.000 300.000 350.000 500.000 275.000.000 328.375.000 197.025.000
2 2 2 2 2
131.350.000
19.702.500 216.727.500
53
750.000 50.000 150.000 175.000 250.000
0 0 0 0 0
7.703.125
0
Lampiran 3. Kebutuhan Biaya Operasional Pengembangbiakan Sapi Pedaging Peranakan Ongol (PO) di Jawa Tengah
No A 1 2 3 4 5 6
B
Biaya Operasional Biaya Variabel Upah (mencari rumput dan merawat sapi) Pakan konsentrat Induk Pakan tambahan pedet Kesehatan Inseminasi Buatan Replacement Stock Induk Jumlah Biaya Variabel
Satuan
Orang-bulan Kg/bulan Kg/3 bulan/ekor Rp/ekor/tahun Straw
Volume
Harga Satuan
Total Biaya 1 Bulan
Total Biaya 1 Tahun
60 18.000 563
1.500.000 900 1.500
90.000.000 16.200.000 843.750
25 50 5
50.000 50.000 11.000.000
1.250.000 2.500.000 55.000.000 165.793.750
Biaya Tetap
1
Pengelola
Orang
1 1.000.000
1.000.000
12.000.000
2
Listrik
Bulan
1 50.000
50.000
600.000
3
Pemeliharaan Kandang
Bulan
1 50.000
50.000
600.000
4
Biaya lainnya
Bulan
1 50.000
50.000
600.000
1.150.000
13.800.000
Jumlah Biaya Tetap
C
Total Biaya Operasional
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
179.593.750
54
Lampiran 4. Arus Kas Usaha Pengembangbiakan Sapi Pedaging Peranakan Ongol (PO) di Jawa Tengah No A 1 2 3 4
B 1 2 3 4 5 6
C D
E F
Uraian
0
Arus Masuk Total Penjualan Kredit Investasi Modal sendiri Nilai Sisa Jumlah Arus Masuk Arus Masuk Untuk Menghitung IRR
2
3
Akhir Tahun 4
5
6
7
8
63.000.000
244.125.000
244.125.000
244.125.000
244.125.000
244.125.000
244.125.000
449.125.000
63.000.000 63.000.000
244.125.000 244.125.000
244.125.000 244.125.000
244.125.000 244.125.000
244.125.000 244.125.000
244.125.000 244.125.000
244.125.000 244.125.000
449.125.000 449.125.000
165.793.750 13.800.000
2.750.000 165.793.750 13.800.000 43.345.500 7.675.766 7.372.854 240.737.870 189.716.604
165.793.750 13.800.000 43.345.500 5.508.491 7.697.945 236.145.686 187.291.695
2.750.000 165.793.750 13.800.000 43.345.500 3.341.216 8.023.036 237.053.502 190.366.786
165.793.750 13.800.000 43.345.500 1.173.941 8.348.128 232.461.318 187.941.878
2.750.000 165.793.750 13.800.000
165.793.750 13.800.000
8.524.219 190.867.969 190.867.969
39.274.219 218.867.969 218.867.969
3.387.130 54.408.396 (314.432.335) 0.8638 47.000.018 (322.520.734)
7.979.314 56.833.305 (257.599.030) 0.8227 46.756.901 (275.763.834)
7.071.498 53.758.214 (203.840.817) 0.7835 42.120.967 (233.642.867)
11.663.682 56.183.122 (147.657.695) 0.7462 41.924.711 (191.718.156)
197.025.000 131.350.000 328.375.000 0
Arus Keluar Biaya Investasi Biaya Variabel Biaya Tetap Angsuran Bunga Pajak Jumlah Arus Keluar Arus Keluar Untuk Menghitung IRR
328.375.000
Arus Bersih (NCF) Cash Flow Untuk Menghitung IRR Cummulative Cash Flow Discount Factor (14%) Present Value Cummulative Present Value Analisis Kelayakan Usaha NPV (12%) IRR Net B/C PBP
1
Rp
328.375.000 328.375.000
-18.644.531 160.949.219 160.949.219
165.793.750 13.800.000 43.345.500 9.843.041 7.047.763 239.830.053 186.641.513
(328.375.000) (328.375.000) 1.0000 (328.375.000) (328.375.000)
(97.949.219) (97.949.219) (426.324.219) 0.9524 (93.284.970) (421.659.970)
4.294.947 57.483.487 (368.840.731) 0.9070 52.139.218 (369.520.753)
1.977.644 5.09% 1.01 7.99 tahun
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
55
53.257.031 53.257.031 (94.400.663) 0.7107 37.848.778 (153.869.378)
230.257.031 230.257.031 135.856.368 0.6768 155.847.022 1.977.644
Lampiran 5. Asumsi untuk Analisis Keuangan Sapi Madura/Bali di NTB No.
Asumsi/Keterangan
Nilai
1 2 3 4 5 6 7
Periode proyeksi pembibitan Jumlah bulan per tahun Jumlah hari per bulan Sistem Perkawinan/reproduksi Jantan Service per Conception (SC) Ratio Bibit/Induk: a. Jumlah bibit/induk b. Harga Bibit/Induk c. harga jantan c. Jumlah induk afkir per tahun (replacement) Kelahiran anak per induk *) Persentase kelahiran menurut jenis kelamin a. Jantan b. Betina Mortalitas anak sapi Harga anak a. Jantan umur 1,5 th b. Betina umur 1,5 th c. Sapi umur <1th Harga jual sapi induk afkir/majir Produk Sampingan : a. Produksi pupuk
8 12 30 inka 1 1
8 9
10 11
12 13
14 15 16 17 18 19 20
b. Harga pupuk produksi susu masa laktasi Harga jual susu Suku bunga Jangka waktu kredit Pembiayaan kredit
21
Proporsi pembiayaan investasi: a. Kredit b. Modal sendiri Pembayaran angsuran (pokok+bunga)
22
Grace period
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
10 9.000.000 10.000.000 1 1
Satuan tahun bulan hari ekor
ekor Rp/ekor Rp/ekor ekor Ekor/tahun
50% 50% 5%
persen persen persen
8.000.000 7.000.000 2.000.000 7.500.000
Rp/ekor Rp/ekor Rp/ekor kg/ekor/hari
0 0 0 12% 5 pembelian sapi 96.18% 3.82% 5
2
Rp/kg liter/hari bulan/th Rp/liter %/tahun Tahun
sapi investasi Tahun, mulai th ke2 Tahun 56
Lampiran 6. Komponen dan Struktur Biaya Investasi Sapi Madura/Bali di NTB No. 1
2
3 4 5
0 600 1
Harga satuan (Rp) 500.000 5.000 500.000
2 2 1 0 0 0 10
40.000 20.000 100.000 400.000 3.000.000 400.000 15.000
80.000 40.000 100.000 0 0 0 150.000 0
1
100.000
10 1
9.000.000 10.000.000
Jumlah Pinjaman (pengadaan bibit)
100.000 3.970.000 90.000.000 10.000.000 103.970.000 100.000.000
Bunga selama grace periode Total Pinjaman
24.000.000 124.000.000
Komponen biaya Bak air pagar paddock gudang pakan Peralatan (unit) a. Parang b. Ember c. Selang d. Pita ukur e. Tongkat ukur f. aplikator g. eartag
lain-lain sub total Bibit (ekor) jantan
Jumlah
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
Umur Ekonomis 0 8 3.000.000 5 500.000 5
Total (Rp)
2 2 2 2 10 5 5
57
Penyusutan
Nilai Sisa
0 600.000 100.000
0 0 0
40.000 20.000 50.000 0 0 0 30.000
0 0 0 0 0 0 90.000
840.000
90.000
Lampiran 7. Kebutuhan Biaya Operasional Pengembangbiakan Sapi Pedaging Madura/Bali di NTB
No A 1 2 3 4 5 6
B
Biaya Operasional Biaya Variabel Tenaga kerja Pakan tambahan induk Pakan tambahan pedet Kesehatan obat cacing Garam lewat air minum Replacement induk afkir Jumlah Biaya Variabel
Satuan
Orang-bulan 0,5Kg/ekor/hari Kg/3 bulan/ekor Rp/ekor/tahun ton/th
Volume
Total Biaya 1 Bulan
Total Biaya 1 Tahun
0 2.008 0
1.000.000 3000
0 6.022.500 0
44
30.000
1
9.000.000
1.320.000 0 9.000.000 16.342.500
Biaya Tetap
1
Pengelola
Orang
2
solar (diluar pertamina yang 5500
Bulan
3
Pemeliharaan Kandang
Bulan
4
Biaya lainnya
Bulan
0 2.000.000
-
-
-
-
2 50.000
100.000
1.200.000
0 50.000
-
-
100.000
1.200.000
Jumlah Biaya Tetap
C
Harga Satuan
Total Biaya Operasional
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
17.542.500
58
Lampiran 8. Arus Kas Usaha Pengembangbiakan Sapi Pedaging No A 1 2 3 4
B 1 2 3 4 5 6
C D
E F
Uraian
0
Arus Masuk Total Penjualan Kredit Investasi Modal sendiri Nilai Sisa (sapi di kandang Jumlah Arus Masuk Arus Masuk Untuk Menghitung IRR
2
3
Akhir Tahun 4
5
6
7
8
7.500.000
7.500.000
78.750.000
78.750.000
78.750.000
78.750.000
78.750.000
78.750.000
7.500.000 7.500.000
7.500.000 7.500.000
78.750.000 78.750.000
78.750.000 78.750.000
78.750.000 78.750.000
78.750.000 78.750.000
78.750.000 78.750.000
103000000 181.750.000 181.750.000
16.342.500 1.200.000
220.000 16.342.500 1.200.000 24.800.000 10.540.000 7.474.125 60.576.625 25.236.625
16.342.500 1.200.000 24.800.000 7.564.000 7.920.525 57.827.025 25.463.025
3.870.000 16.342.500 1.200.000 24.800.000 4.588.000 8.366.925 59.167.425 29.779.425
16.342.500 1.200.000 24.800.000 1.612.000 8.813.325 52.767.825 26.355.825
3.870.000 16.342.500 1.200.000
16.342.500 1.200.000
9.055.125 30.467.625 30.467.625
9.055.125 26.597.625 26.597.625
18.173.375 53.513.375 (70.541.625) 0.7118 38.089.763 (82.852.574)
20.922.975 53.286.975 (17.254.650) 0.6355 33.864.836 (48.987.738)
19.582.575 48.970.575 31.715.925 0.5674 27.787.219 (21.200.519)
100.000.000 3.970.000 103.970.000 0
Arus Keluar Biaya Investasi Biaya Variabel Biaya Tetap Angsuran Bunga Pajak Jumlah Arus Keluar Arus Keluar Untuk Menghitung IRR
103.970.000
Arus Bersih (NCF) Cash Flow Untuk Menghitung IRR Cummulative Cash Flow Discount Factor (14%) Present Value Cummulative Present Value Analisis Kelayakan Usaha NPV (14%) IRR Net B/C PBP
1
Rp
103.970.000 103.970.000
0 17.542.500 17.542.500
16.342.500 1.200.000 24.800.000 13.516.000 0 55.858.500 17.542.500
(103.970.000) (103.970.000) 1.0000 (103.970.000) (103.970.000)
(10.042.500) (10.042.500) (114.012.500) 0.8929 (8.966.518) (112.936.518)
(48.358.500) (10.042.500) (124.055.000) 0.7972 (8.005.820) (120.942.337)
89.847.937 24.32% 1.86 5.00 tahun
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
59
25.982.175 52.394.175 84.110.100 0.5066 26.544.520 5.344.001
48.282.375 48.282.375 132.392.475 0.4523 21.840.494 27.184.495
155.152.375 155.152.375 287.544.850 0.4039 62.663.442 89.847.937
Lampiran 9. Asumsi untuk Analisis Keuangan PT.X untuk Sapi Brahman Cross No
ASUMSI
NILAI
satuan Rp/satuan Total A BANTUAN PEMERINTAH/GOVERNMENT (Rp) Penyediaan lahan, Ha 65 ######## 32.429.980.000 pinjam pakai Penyediaan sapi dara, ekor 1.000 15.000.000 15.000.000.000 pinjam pakai - Nilai indukan sapi , Rp/ek Penyediaan Kandang & Prasarana , Rp/ekor 1.000 2.500.000 2.500.000.000 bantuan blok grand Total investasi 49.929.980.000 INVESTASI PERUSAHAAN 49.929.980.000 B ASUMSI TEHNIS Periode dara - bunting , hari 60 Tingkat kebuntingan, % 80% Kejadian abortus,loss foetus dll, % bunting 3% Kematian calves - weaner, % bunting 7% Kematian weaner, % 3% Tingkat calf crop, % 70% Ratio kelahiran - Jantan 50% - Betina 50% Umur penyapihan, bulan 4 Afkir indukan, % / siklus 10% Replacement induk afkir 10% Program pakan dan biaya a. Dara 7.500 Rata2 Konsentrat (kg) 1 3.000 3.000 Rata2 Rumput (kg) 30 150 4.500 b. Bunting 7.500 Rata2 Konsentrat (kg) 1 3.000 3.000 Rata2 Rumput (kg) 30 150 4.500 c. Menyusui 10.500 Rata2 Konsentrat (kg) 2 3.000 6.000 Rata2 Rumput (kg) 30 150 4.500 d. Weaner 4-6 bulan 2.250 Rata2 Konsentrat (kg) 0.25 3.000 750 Rata2 Rumput (kg) 10 150 1.500 Biaya Pembuntingan, Rp/Ek 50.000 Biaya obat dan keswan, Rp/Ek 30.000 Tenaga Kerja orang Rp/orang/bln a. Penanggungjawab (orang) 2 5.000.000 10.000.000 b. Tenaga security (orang) 3 2.000.000 6.000.000 c. Tenaga harian (orang) 2 2.000.000 4.000.000 Overhead (Rp/induk/bulan) 30.000.000 Bunga bank, % /tahun 5% Pinjaman bank 56.538.464.000 a. Grace periode, tahun 2 b. Skema pengembalian pinjaman, % /tahun - Tahun-3, % 15% - Tahun-4, % 15% - Tahun-5, % 15% -Tahun-6, % 55% C RATA-RATA HARGA JUAL / PEMBELIAN a. Pembelian dara ex impor, Rp/ek b. Pembelian replacement ex weaner, Rp/Ek c. Penjualan Weaner 6 bulan, Rp/Ek d. Penjualan culled Induk afkir, Rp/Ek D JUMLAH PLASMA , orang a. Merawat lahan rumput b. Memanen rumput c. Mencacah rumput d. Memberi makan dan merawat sapi E PROFIT SHARE HASIL USAHA a. Plasma dan Pengelola b. Inti
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
15.000.000 12.000.000 12.650.000 12.000.000 50
30% 70%
60
Lampiran 10. Cash Flow Pengembalian Pinjaman PT. X untuk Jenis Spi Brahman Cross SIKLUS KELAHIRAN BULAN 1 a. Lahan bantuan pemerintah, ha Nilai pengadaan, Rp b. Sapi bantuan pemerintah, Ek Nilai pengadaan, Rp c. Kandang dan Prasarana Nilai pengadaan, Rp TOTAL BANTUAN PEMERINTAH 2 Kebutuhan kredit 2.1 Investasi kandang 2.2 Operasional 3 Biaya Operasional 3.1 Pakan 3.1.1 Konsentrat 3.1.2 Rumput 3.2 Pembuntingan 3.2 Obat/Keswan 3.3 Penanggungjawab 3.4 Tenaga security 3.4 Overhead 3.5 Tenaga harian 3.6 Pembelian betina replacement 3.6.1 Ex import 3.6.2 Ex weaner Subtotal 3.6 Bunga bank Total 4 Pendapatan 4.1 Penjualan weaner, ek Nilai 4.2 Penjualan culled betina non produktif Total pendapatan 5 Margin 5.1 margin Cumulative 6 Beberapa perhitungan 6.1 Biaya pemeliharaan, Rp/Ek/Hari 6.2 HPP Pedet 6 bulan, Rp/Ek 6.3 Margin Usaha 6.4 Pendapatan peternak, Rp/orang/bln 6.3.1 Penjualan rumput 6.3.2 Share keuntungan, 30% 6.5 Margin Inti , 70% Rp/ Siklus Rp/bulan Kumulatif per Periode (62 bulan) Rata-rata per bulan
1 17 65 32.429.980.000 1.000 15.000.000.000
2 15
3 15
4 15
TOTAL 62
1.000 15.000.000.000
2.500.000.000 -
2.500.000.000
56.538.464.000 6.608.484.000
56.538.464.000 6.608.484.000
1.820.628.000 2.357.856.000 50.000.000 30.000.000 170.000.000 102.000.000 510.000.000 68.000.000
1.640.628.000 2.087.856.000 50.000.000 30.000.000 150.000.000 90.000.000 450.000.000 60.000.000
1.640.628.000 2.087.856.000 50.000.000 30.000.000 150.000.000 90.000.000 450.000.000 60.000.000
1.640.628.000 2.087.856.000 50.000.000 30.000.000 150.000.000 90.000.000 450.000.000 60.000.000
1.500.000.000 6.608.484.000 6.608.484.000
1.200.000.000 5.758.484.000 2.826.923.200 8.585.407.200
1.200.000.000 5.758.484.000 2.826.923.200 8.585.407.200
6.000.000.000 3.600.000.000 14.158.484.000 6.125.000.267 20.283.484.267
698 8.834.760.000 1.200.000.000 10.034.760.000
698 8.834.760.000 1.200.000.000 10.034.760.000
698 8.834.760.000 1.200.000.000 10.034.760.000
698 8.834.760.000 8.400.000.000 17.234.760.000
3.426.276.000 3.426.276.000
1.449.352.800 4.875.628.800
1.449.352.800 6.324.981.600
(3.048.724.267) 3.276.257.333
10.017 7.314.553
16.412 10.574.753
16.412 10.574.753
23.741 15.297.085
16.432 10.940.286
2.773.948 1.209.274
2.783.808 579.741
2.783.808 579.741
2.783.808 (1.219.490)
2.781.105
2.398.393.200 141.081.953
1.014.546.960 67.636.464
1.014.546.960 67.636.464
(2.134.106.987) (142.273.799)
2.293.380.133
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan
6.742.512.000 8.621.424.000 200.000.000 120.000.000 620.000.000 372.000.000 1.860.000.000 248.000.000 7.500.000.000 6.000.000.000 32.283.936.000 11.778.846.667 44.062.782.667 2.794 35.339.040.000 12.000.000.000 47.339.040.000
2.293.380.133 36.990.002
61