DAMPAK KEBIJAKAN SUBSIDI BENIH JAGUNG TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI DI PROPINSI SULAWESI SELATAN
IMPACT OF MAIZE SEED SUBSIDY POLICY AGAINST INCREASED PRODUCTION AND INCOME FARMERS IN SOUTH SULAWESI PROVINCE
Juniarsih1, A. Nixia Tenriawaru2, Sitti Nurani Sirajuddin3
1
Program Studi Agribisnis, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin,Makassar 2 Pengajar Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar 3 Pengajar Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi: Juniarsih, SP Program Studi Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 081342429125 Emai :
[email protected]
Abstrak Kebijakan subsidi benih jagung bertujuan untuk meningkatkan luas pertanaman jagung hibrida, produktifitas dan produksi jagung, kesempatan kerja dan pendapatan petani. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan subsidi benih jagung terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani. Metode yang digunakan bersifat deskriptif, yang dilakukan melalui survey di lapangan. Responden penelitian adalah petani penerima subsidi benih jagung, sebanyak 20 orang di Kabupaten Bantaeng dan 44 orang di Kabupaten Maros yang dipilih secara acak. Data dikumpulkan dengan metode wawancara, pengisisan kuesioner serta pengamatan langsung di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tiga bentuk kebijakan subsidi benih jagung, hanya ada 2 bentuk subsidi benih jagung yang ada di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan Cadangan Benih Nasional (CBN). Program BLBU yang berjalan saat ini terkait dengan kegiatan SL-PTT jagung yang diberikan kepada kelompok tani dengan luas lahan 15 ha, dimana benih yang diberikan 15 kg/ha dengan varietas Bisi 2. Dampak kebijakan subsidi benih jagung terhadap peningkatan produksi dan pendapatan adalah produksi dikedua Kabupaten mengalami peningkatan setiap tahunnya sejak dimulai program BLBU, sedangkan untuk pendapatan petani dapat dilihat dari keuntungan privat, di Kabupaten Bantaeng keuntungan privat sebesar Rp. 2.472.079 dan di Kabupaten Maros keuntungan privat Rp. 3.578.547, hal ini menunjukkan bahwa usahatani jagung layak untuk dikembangkan dikedua kabupaten. Kata kunci : kebijakan, subsidi, benih jagung, produksi, pendapatan.
Abstract Maize seed subsidy policy aims to increase the area planted with hybrid maize, maize productivity and production, employment and income of farmers. This study aims to analyze the impact of maize seed subsidy policy on increasing production and income of farmers. The method used is descriptive, conducted through field survey. The respondents were recipients of subsidies for maize farmers, as many as 20 people in the District Bantaeng and 44 people in District Maros randomly selected. Data were collected through interviews, filling questionnaires and direct observation in the field. The results showed that of the three forms of maize seed subsidy policy, there are only two forms of subsidies that maize seed is in South Sulawesi, namely Superior Seeds Direct Assistance (BLBU) and National Seed Reserve (CBN). BLBU programs running currently associated with the activities of the SL-PTT maize given to a group of farmers with a land area of 15 hectares, where the seeds are given 15 kg/ha with a variety Bisi 2. Impact of maize seed subsidy policy on increasing production and revenues are increased production in both the district every year since the program began BLBU, while the income of farmers can be seen from the private profits, in the District Bantaeng private profit of Rp. 2,472,079 and District Maros private profits Rp. 3,578,547, this suggests that maize farming feasible to develop in both counties . Keywords : policy , subsidies , seed corn , production , income.
PENDAHULUAN Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan sebagai sumber karbohidrat kedua setelah beras yang sangat berperan dalam menunjang ketahanan pangan. Fungsi demikian menempatkan posisi jagung dalam diversifikasi konsumsi dan mengurangi ketergantungan terhadap makanan pokok beras. Selain sebagai bahan konsumsi jagung sangat berperan dalam industri pakan (Anonim, 2010). Jagung merupakan komponen utama (60%) dalam ransum pakan. Diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan bibit. Peran jagung sudah berubah lebih sebagai bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan (Kasryno dkk, 2007). Untuk memenuhi permintaan jagung yang terus meningkat setiap tahunnya dibutuhkan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan produksi. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas jagung adalah menggunakan varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan adaptif dengan lingkungan setempat (Erawati dkk, 2009). Penggunaan benih unggul hingga saat ini belum dilakukan secara optimal oleh petani karena harga benih yang mahal dan seringkali sulit didapat. Penggunaan benih bermutu maupun berlabel di Indonesia relatif masih rendah yakni 30% untuk padi, 20% untuk jagung dan 15% untuk kedelei. Untuk mendorong penggunaan benih bermutu/berlabel dari varietas unggul yang lebih luas di tingkat petani pemerintah memberikan subsidi benih kepada petani yang merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian. Kebijakan ini telah lama dilaksanakan dengan cakupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Sejak tahun 1986 pemerintah telah memberlakukan kebijakan subsidi untuk benih padi, kedelei, dan jagung. Kebijakan tersebut masih dilanjutkan hingga saat ini (Pujiharti, 2010). Untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pemakaian benih bagi petani, maka disediakan subsidi dalam bentuk subsidi tidak langsung (subsidi harga) dan subsidi langsung. Subsidi langsung benih dilaksanakan dalam bentuk Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan Cadangan Benih Nasional (CBN). Subsidi benih meningkat dari Rp. 125,29 milyar pada tahun 2005 menjadi Rp. 1,32 trilyun pada tahun 2009, atau meningkat lebih dari sepuluh kali lipat. (Kementerian Pertanian, 2010). Tujuan dari program subsidi benih jagung adalah untuk meningkatkan luas pertanaman jagung hibrida, produktivitas dan produksi jagung, kesempatan kerja dan pendapatan petani, mendorong berkembangnya industri benih jagung nasional dan industri pakan serta pangan berbahan baku jagung, serta mendukung upaya pencapaian swasembada jagung. Namun seiring dengan pelaksanaannya, mekanisme pendistribusiannya dianggap belum efektif.
Menurut Kariyasa (2007) mekanisme pemberian dan pendistribusian benih bersubsidi yang ditempuh pemerintah selama ini tidak efektif, karena subsidi tersebut tidak dinikmati oleh petani.
Selanjutnya menurut Mayrowani (2009) kebijakan subsidi benih jagung di Kabupaten Jeneponto telah memberi dampak positif terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Untuk itu, kebijakan subsidi benih perlu dievaluasi kembali untuk melihat dampaknya terhadap produksi dan pendapatan petani. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak kebijakan subsidi benih jagung terhadap produksi dan pendapatan petani.
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Oktober 2013 di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang dilakukan melalui survey lapangan. Penelitian dengan teknik survey adalah penelitian yang bersifat deskriptif untuk menguraikan suatu keadaan tanpa melakukan perubahan terhadap variabel tertentu. Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian atau memberikan gambaran hubungan antara fenomena, menguji hipotesis, membuat prediksi, serta implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan. Dalam penelitian ini adalah menjelaskan dampak kebijakan subsidi benih jagung terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani. Sampel pada penelitian ini adalah petani penerima subsidi benih jagung, sebanyak 20 orang di Kabupaten Bantaeng dan 44 orang di Kabupaten Maros yang dipilih secara acak. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder, baik data yang bersifat kualitatif maupun data yang bersifat kuantitatif. Data primer diperoleh melalui wawancara, pengisisan kuesioner serta pengamatan langsung di lapangan. Wawancara dilakukan kepada petani serta beberapa narasumber yang terkait. Data sekunder dikumpulkan dari literatur-literatur yang relevan seperti buku, internet, Dinas Pertanian, Departemen Perdagangan, situs resmi departemen terkait, serta instansi lainnya yang dapat mendukung dan membantu untuk ketersediaan data. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode PAM (Policy Analysis Matrix) yang telah kembangkan oleh Monke dan Person. Matriks PAM terdiri dari dua identitas perhitungan yaitu : profitability indentity dan divergences identity. Identitas keuntungan
adalah perhitungan berdasarkan kolom dari matriks dimana keuntungan adalah penerimaan dikurangi biaya. Sedangkan identitas divergensi adalah perhitungan berdasarkan baris dari matriks. Adanya perbedaan antara harga privat dan harga sosial disebabkan adanya distorsi dari kebijakan pemerintah dan/atau karena adanya kegagalan pasar (market failure) untuk mencapai harga yang efisien (Pearson dkk, 2005). Bentuk keluaran dari metode PAM ini adalah : (1) keuntungan privat, (2) keuntungan sosial, (3) pengaruh divergensi (transfer input, transfer output, transfer faktor dan transfer bersih), (4) rasio biaya privat, (5) rasio biaya sumberdaya domestik, (6) koefisien proteksi output nominal, (7) koefisien proteksi input nominal, (8) koefisien proteksi efektif, (9) koefisien keuntungan dan (10) rasio subsidi produsen.
HASIL Kebijakan Subsidi Benih Jagung Kebijakan subsidi benih jagung yakni bentuk subsidi tidak langsung (subsidi harga) dan subsidi langsung. Subsidi langsung benih dilaksanakan dalam bentuk Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan Cadangan Benih Nasional (CBN). Di Propinsi Sulawesi Selatan, dari tiga bentuk kebijakan subsidi benih jagung hanya dua bentuk kebijakan yang saat ini berjalan yaitu Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan Cadangan Benih Nasional (CBN). Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) diperuntukkan untuk kelompoktani, setiap kelompok mendapat BLBU untuk luasan 15 ha, dimana setiap hektar digunakan 15 kg benih jagung. Varietas benih jagung yang diberikan kepada petani pada program BLBU adalah varietas Bisi 2. Varietas Bisi 2 adalah varietas yang sudah dikenal oleh petani dan sudah biasa digunakan dalam proses usahatani jagung di kedua kabupaten yaitu Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros. Program BLBU yang merupakan rangkaian dari kegiatan SL-PTT, selain memberikan bantuan benih jagung gratis kepada petani juga memberikan paket teknologi yang dapat diadopsi petani sehingga dapat meningkatkan produksi dan produktivitas usahatani jagung. Selama hampir 5 tahun berjalan, adopsi petani tentang pengelolaan tanaman terpadu (PTT) sudah sangat baik, baik dari penggunaan benih maupun teknik pemupukan. Penyaluran Bantuan Langsung Benih Unggul di Kabupaten Bantaeng dapat dilihat pada Tabel 1 dan di Kabupaten Maros pada Tabel 2.
Analisis Policy Analysis Matrix (PAM) Hasil analisis Policy Analysis Matrix (PAM) diperoleh keuntungan privat sebesar Rp. 2.472.079 dan keuntungan sosial sebesar Rp. 3.578.547 di Kabupaten Bantaeng, sedangkan di Kabupaten Maros diperoleh keuntungan privat sebesar Rp. 2.243.261 dan keuntungan sosial sebesar Rp. 2.617.111. Hasil analisis Policy Analysis Matrix dapat dilihat pada Tabel 3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Hasil Output Transfer (OT) usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros menunjukkan nilai yang negatif. Hasil OT didukung pula oleh nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) di Kabupaten Bantaeng 0,70 dan Kabupaten Maros 0,77. Hasil Input Transfer (IT) usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros menunjukkan nilai yang negatif. Sedangkan nilai Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) di Kabupaten Bantaeng 0,52 dan di Kabupaten Maros 0,59. Nilai Factor Transfer (FT) di Kabupaten Bantaeng sebesar Rp. 14.765 dan Kabupaten Maros sebesar Rp. 20.832. Nilai Profitability Coeficient (PC) usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng sebesar 0.69 dengan Net Transfer (NT) yang negatif (Rp. -1.106.468). Sedangkan nilai PC usahatani jagung di Kabupaten Maros sebesar 0.86 dengan NT yang negatif (Rp. -373.859). Nilai Subsidy Ratio to Producers (SRP) di Kabupaten Bantaeng -0,13 sedangkan di Kabupaten Maros nilai SRP -0,04. Nilai Effective Protection Coefficient (EPC) menunjukkan nilai yang kurang dari satu, di Kabupaten Bantaeng nilai EPC 0,81 sedangkan di Kabupaten Maros nilai EPC 0,93. Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah dapat dilihat pada Tabel 4. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan dengan 5 skenario variasi perubahan harga pada input (benih). Hasil Analisis sensitivitas di Kabupaten Bantaeng diperoleh keuntungan privat akan lebih tinggi dibandingkan harga sosial ketika harga output naik 30% yakni sebesar Rp. 1.074.632. Hasil Analisis sensitivitas di Kabupaten Maros menunjukkan bahwa keuntungan privat akan lebih tinggi dibandingkan harga sosial ketika harga output naik 20% yakni sebesar Rp. 568.403. Analisis sensitivitas usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros dapat dilihat pada Tabel 5. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis PAM menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh, baik keuntungan privat maupun keuntungan sosial lebih besar dari satu. Keuntungan privat lebih
besar dari satu menunjukkan bahwa usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros layak untuk dikembangkan. Artinya penerimaan yang diperoleh petani di kedua kabupaten lebih besar dibandingkan dengan biaya usahatani yang dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Mayrita (2007) bahwa secara finansial (privat) usahatani jagung di Sumatera Utara baik di lahan sawah maupun lahan kering menguntungkan bagi petani dan layak diusahakan. Sedangkan keuntungan sosial lebih besar dari satu menunjukkan bahwa usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros memiliki keunggulan komparatif . Hal ini sesuai dengan penelitian Mantau (2011) bahwa usahatani jagung di wilayah Bolaang Mongondow memiliki keunggulan komparatif, dan penelitian Kurniawan (2011) bahwa komoditas jagung di Kabupaten Tanah Laut memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dan dianggap mampu membiayai input domestiknya. Hasil Output Transfer (OT) usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros menunjukkan nilai yang negatif, artinya bahwa harga output di pasar domestik lebih rendah dibandingkan harga internasionalnya. Hasil OT didukung pula oleh nilai Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) yang merupakan rasio untuk mengukur output transfer. Nilai NPCO berarti bahwa karena adanya kebijakan output, maka nilai total output di Kabupaten Bantaeng 30 persen lebih rendah dari nilai (harga) efisiensinya (harga internasional) sedangkan di Kabupaten Maros 23 persen lebih rendah dari nilai (harga) efisiensinya (harga internasional). Artinya ada sebagian pendapatan petani yang harus direlakan kepada konsumen jagung. Hal ini sesuai dengan penelitian Mayrita (2007) bahwa nilai NPCO < 1 berarti konsumen dan produsen menerima harga yang lebih murah dari seharusnya karena tidak ada kebijakan pemerintah terhadap perdagangan jagung baik tarif impor maupun harga dasar jagung. Hasil penelitian Anapu dkk (2005) mengenai dampak kebijakan tarif impor beras di Kabupaten Minahasa Propinsi Sulawesi Utara, mendukung hasil OT dan NPCO usahatani padi (beras) mengemukakan bahwa kebijakan tarif impor beras dapat memproteksi sistem usahatani padi di Minahasa. Kebijakan penetapan tarif impor jagung berarti meningkatkan harga jagung impor di pasar domestik, yang berakibat meningkatkan harga jagung di tingkat petani. Petani meresponnya dengan meningkatkan produktivitas jagung, sehingga produksi meningkat (Hapsari dkk, 2009). Berdasarkan hasil IT usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros menunjukkan nilai yang negatif. Artinya bahwa secara implisit terdapat subsidi terhadap input tradable, baik benih maupun pupuk yang disediakan pemerintah setiap tahunnya. Pengertian lain bahwa terdapat transfer (insentif) dari pemerintah ke petani. Faktai lapangan
menunjukkan bahwa petani menerima subsidi benih dalam bentuak Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan penetapan HET pupuk bersubsidi. Hal ini sesuai dengan penelitian Junaedi (2013) Nilai IT yang diperoleh untuk petani di Sulsel negatif yaitu Rp 323.081 menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga produsen tidak membayar penuh untuk membeli input. Sedangkan NPCI yang merupakan rasio untuk mengukur tingkat input transfer menunjukkan bahwa karena adanya subsidi maka total biaya input sebesar 52 persen dari biaya seharusnya untuk usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng dan 59 persen di Kabupaten Maros, jika subsidi ditiadakan. Nilai FT menunjukkan bahwa secara implisit subsidi yang harus disediakan terhadap faktor domestik (tenaga kerja, modal dan lahan) di Kabupaten Bantaeng sebesar Rp. 14.765 dan Kabupaten Maros sebesar Rp. 20.832. Nilai PC usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng sebesar 0.69 menunjukkan bahwa rasio keuntungan usahatani jagung sebesar 69% persen atau dengan NT yang negatif (Rp. 1.106.468) mendatangan rasio keuntungan sebesar 69% persen terhadap harga privat. Sedangkan nilai PC usahatani jagung di Kabupaten Maros sebesar 0.86 menunjukkan bahwa rasio keuntungan usahatani jagung sebesar 86% persen atau dengan NT yang negatif (Rp. 373.859) mendatangan rasio keuntungan sebesar 69% persen terhadap harga privat. Pengertian lain bahwa terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input dan output secara keseluruhan yang merugikan petani. Nilai SRP negative (<0) menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi terhadap input lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi. Nilai SRP di Kabupaten Bantaeng -0.13 sedangkan nilai SRP di Kabupaten Maros -0,04, hal ini menunjukkan bahwa petani produsen mengeluarkan biaya produksi yang besar. Hal ini mungkin saja tidak akan terjadi seandainya pemerintah dapat menerapkan kebijakan tarif impor terhadap produk jagung impor sebesar 13 persen, sehingga dapat meningkatkan harga jual produk domestik, dampaknya pada peningkatan tingkat penerimaan petani dan profitabilitas privat. Sebaliknya hasil Penelitian Sirajuddin dkk (2013) menunjukkan nilai SRP 0,745 untuk usaha sapi perah sistem mandiri di Kabupaten Enrekang dan 0,446 untuk usaha sapi perah sistem kemitraan Kabupaten Sinjai. Kedua Kabupaten memiliki nilai SRP positif artinya kebijakan pemerintah daerah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen susu mengeluarkan biaya produksi lebih rendah 74,5% untuk usaha sapi perah sistem mandiri dan 44,6% untuk usaha sapi perah sistem kemitraan dari opportunity cost untuk berproduksi.
Nilai EPC menunjukkan sejauh mana kebijakan pemerintah dalam melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC di Kabupaten Bantaeng sebesar 0,81 dan Kabupaten Maros sebesar 0,93 lebih kecil dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan output dan input yang ada saat ini tidak efektif dalam melindungi petani jagung melaksanakan usahataninya. Hal ini sesuai dengan penelitian
Mayrita (2007) bahwa secara simultan
dampak kebijakan pemerintah (input-output) tidak memberikan insentif bagi petani jagung untuk berproduksi. Hal ini didukung pula dengan penelitian Mantau (2011) bahwa tingkat proteksi pemerintah yang rendah terhadap hasil jagung petani menyebabkan sebagian besar kebijakan pemerintah mengenai usahatani jagung ini berjalan tidak efektif, hal ini ditunjukkan dengan nilai EPC yang kurang dari satu. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa jika pemerintah menetapkan subsidi harga benih sebesar 50% atau menarik subsidi benih keuntungan privat masih lebih kecil dari keuntungan sosial, artinya kebijakan pemerintah memberikan subsidi benih belum memberikan keuntungan kepada petani. Dibandingkan dengan kebijakan menaikkan harga output. Di Kabupaten Bantaeng, skenario ke-5 yaitu menaikkan harga output sebesar 30% keuntungan privat lebih besar dari keuntungan sosial sedangkan di Kabupaten Maros, skenario ke-4 yaitu menaikkan harga output sebesar 20% keuntungan privat lebih besar dari keuntungan sosialnya. Perbedaan ini disebabkan harga output di kedua kabupaten berbeda, di Kabupaten Bantaeng harga jagung pipilan kering per kilogram berkisar sekitar Rp. 2.000 - Rp 2.200, sedangkan di Kabupaten Maros harga jagung pipilan kering per kilogram sekitar Rp. 2.200 - Rp. 2500.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian, disimpulkan bahwa dari tiga bentuk kebijakan subsidi benih jagung, hanya ada 2 bentuk subsidi benih jagung yang ada di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan Cadangan Benih Nasional (CBN). Dampak kebijakan subsidi benih jagung terhadap peningkatan produksi dan pendapatan adalah produksi di kedua Kabupaten mengalami peningkatan setiap tahunnya sejak dimulai program BLBU, sedangkan untuk pendapatan petani dapat dilihat dari keuntungan privat, di Kabupaten Bantaeng keuntungan privat sebesar Rp. 2.472.079 dan di Kabupaten Maros keuntungan privat Rp. 3.578.547, hal ini menunjukkan bahwa usahatani jagung layak untuk dikembangkan dikedua kabupaten. Disarankan sebaiknya pemerintah mengkaji ulang pemberian subsidi benih jagung kepada petani, sehingga dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi kepada petani. Dari
hasil analisis sensitivitas terlihat bahwa dengan menaikkan harga output petani mendapatkan keuntungan privat yang lebih tinggi dari keuntungan sosialnya, sehingga pemerintah perlu menetapkan harga pembelian jagung pipilan kering agar harga jagung tidak dipermainkan oleh pedagang pengumpul.
DAFTAR PUSTAKA Anapu, H., Ruaw, E., Talumingan, C., Lobo, A., dan Pangemanan, L. (2005). Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Dalam Buku Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Anonim. (2010). Analisis Penawaran dan Permintaan Jagung untuk Pakan Ternak di Indonesia. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/anjak_2010_01.pdf, diakses tanggal 5 Juni 2012. Erawati, B.T.., dan Hipi, A. (2009). Daya Adaptasi beberapa Varietas Unggul Baru Jagung Hibrida di Lahan Sawah Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN : 978-979-8940-27-9. Hapsari, D.T., Muslich, M.M., Hanani, N., dan Astuti, D.R. (2009). Dampak Konversi Jagung Sebagai Etanol di Pasar Dunia Terhadap Ketersediaan Jagung di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 27 No.2, Oktober 2009 : 193 - 211. Junaedi., Masyhuri., Hartono, S., Darwanto, D.H. (2013). Analisis Daya Saing Usahtani Kapas Rakyat di Sulawesi Selatan. Jurnal Agribis Vol. 2 No. 1, Maret 2013. Kariyasa, K. (2007). Usulan Kebijakan Pola Pemberian dan Pendistribusian benih bersubsidi. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 5 No. 4, Desember 2007 : 304319. Kasryno, F., E. Pasandaran, Suyamto dan M. O. Adnyana. (2007). Gambaran Umum Ekonomi Jagung Indonesia. Dalam Sumarno, et.al. (Editor). Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan: 474-497. Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Kementerian Pertanian. (2010). Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014. Kementerian Pertanian. Kurniawan, A.Y. (2011). Analisis Daya Saing Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Jurnal Agribisnis Pedesaan, Volume01 Nomor 02, Juni 2011. Mantau, Z., Bahtiar, Aryanto. (2011). Analisis Dayasaing Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara. Prosiding Seminar Nasional 2011 ISBN: 976-979-1416-76-0. Mayrita, B.M. (2007). Analisis Daya Saing dan Insentif Kebijakan Pemerintah pada Usahatani Jagung Lahan Kering dan Lahan Sawah di Propinsi Sumatera Utara. Tesis tidak diterbitkan. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mayrowani, H. (2008). Evaluasi kebijakan subsidi benih jagung kasus kabupaten jeneponto, Sulawesi selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 6 No. 3, September 2008 : 256-271. Pearson, S., Gotsch, C., and Bahri, S. (2005). Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Pujiharti, Y. (2010). Pengkajian Sistem Penyediaan (>90%) Kebutuhan Benih Unggul Bermutu (Padi, Jagung, Kedelei) yang lebih murah (>20%) secara Berkelanjutan untuk Mendukung Program Strategis Peningkatan Produksi Padi (>10%), Jagung (>20%), dan Kedelei (>20%) di Wilayah Lampung. Laporan Akhir Program Insentif Riset Terapan, BPTP Lampung. Sirajuddin, N.S., Siregar, H., Amrawaty. A.A., Jusoff, K., Nurlaelah, S., Rohani, S., and Hastang. (2013). Comparative Advantage Analysis on Self Dependent and Business Partnership of Dairy Farmers. Journal Global Veterinaria 10 (2):165-170. IDOSI Publications.
LAMPIRAN Tabel 1. Penyaluran Bantuan Langsung Benih Unggul SL-PTT jagung di Kabupaten Bantaeng, 2012 No Kecamatan Jumlah Kebutuhan Benih Desa Poktan Luas Areal Jenis/ Jumlah (ha) Varietas (kg) 1. Bisappu 5 25 375 BISI 2 5.625 2. Sinoa 6 32 480 BISI 2 7.200 3. Uluere 3 12 180 BISI 2 2.700 4. Bantaeng 3 12 180 BISI 2 2.700 5. Eremerasa 5 19 285 BISI 2 4.275 6. Pajukukang 6 17 255 BISI 2 3.825 7. Gantarang Keke 3 15 225 BISI 2 3.375 Jumlah 31 132 1.980 29.700 Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Bantaeng, 2013
Tabel 2. Penyaluran Bantuan Langsung Benih Unggul SL-PTT jagung di Kabupaten Maros, 2012 No Kecamatan Jumlah Kebutuhan Benih Desa Poktan Luas Areal Jenis/ Jumlah (ha) Varietas (kg) 1. Marusu 4 10 150 BISI 2 2.250 2. Simbang 1 2 30 BISI 2 450 3. Mandai 2 5 75 BISI 2 1.125 4. Moncongloe 4 20 300 BISI 2 4.500 5. Tanralili 4 14 210 BISI 2 3.150 6. Tompobulu 4 55 825 BISI 2 12.375 7. Camba 3 5 75 BISI 2 1.125 8. Mallawa 4 9 135 BISI 2 2.025 Jumlah 26 120 1.800 27.000 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Maros, 2013
Tabel 3. Analisis Policy Analysis Matrix usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros No Uraian Pendapatan Input Faktor Keuntungan Tradable Domestik 1. Bantaeng: a. Privat 6.127.000 1.613.253 2.041.668 2.472.079 b. Sosial 8.703.404 3.097.953 2.026.903 3.578.547 c. Divergensi -2.576.404 -1.484.700 14.765 -1.106.468 2. Maros: d. Privat 7.539.400 2.628.305 2.667.833 2.243.261 e. Sosial 9.736.107 4.471.995 2.647.001 2.617.111 Divergensi -2.196.707 -1.990.864 20.832 -373.850 Sumber: Data primer setelah diolah, 2013
Tabel 4. Analisis dampak kebijakan pada usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros Uraian Kabupaten Kabupaten Bantaeng Maros OT -2.576.404 -2.196.707 NPCO 0,70 0,77 IT -1.484.700 -1.843.689 NPCI 0,52 0,59 FT Rp. 14.765 Rp. 20.832 EPC 0,81 0,93 NT -1.106.468 -373.859 PC 0,69 0,86 SRP -0,13 -0,04 Sumber: Data primer setelah diolah, 2013
Tabel 5. Analisis sensitivitas usahatani jagung di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Maros Skenario Perubahan Keuntungan (Rp) Privat Sosial Kabupaten Bantaeng 1 Subsidi benih 50% 2.143.579 3.578.547 2 Tidak ada subsidi benih 1.815.079 3.578.547 3 Harga output naik 10% 2.427.779 3.578.547 4 Harga output naik 20% 3.040.479 3.578.547 5 Harga output naik 30% 4.653.179 3.578.547 Kabupaten Maros 1 Subsidi benih 50% 1.960.474 2.617.163 2 Tidak ada subsidi benih 1.677.686 2.617.163 3 Harga output naik 10% 2.431.626 2.617.163 4 Harga output naik 20% 3.185.566 2.617.163 5 Harga output naik 30% 3.939.506 2.617.163 Sumber: Data primer setelah diolah, 2013