DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR
FARIDA AYU BRILLYANTI H14080114
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, April 2012
Farida Ayu Brillyanti H14080114
RINGKASAN
FARIDA AYU BRILLYANTI. Dampak Bantuan Langsung Pupuk Organik Terhadap Produksi dan Pendapatan Petani Padi di Propinsi Jawa Timur (dibimbing oleh LUKYTAWATI ANGGRAENI).
Kementrian Pertanian, membuat program yang memberikan bantuan langsung pada petani pangan berupa Bantuan Langsung Pupuk (BLP). Program BLP dilaksanakan dengan memberikan dua jenis pupuk yaitu (1) pupuk anorganik (NPK), dan (2) pupuk organik (Pupuk Organik Granul/POG dan Pupuk Organik Cair/POC). Penelitian ini menganalisis mengenai insentif ekonomi yang diperoleh melalui program BLP Organik terhadap produksi padi, pendapatan petani, dan persepsi petani yang telah menggunakannya. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dari survey rumah tangga petani dalam penelitian Dampak Bantuan Langsung Pupuk dan Benih Unggul Terhadap Usahatani dan Perekonomian Nasional. Penelitian ini menjadikan Propinsi Jawa Timur sebagai lokasi penelitian dengan total sampel sebanyak 60 responden petani padi di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (1) analisis usahatani; (2) analisis fungsi produksi cobb douglas; dan (3) analisis respon petani. BLP Organik berhasil meningkatkan produksi padi sebesar 10,06% yaitu dari 4,9 ton menjadi 5,4 ton Gabah Kering Panen (GKP) per hektar. Analisis usahatani menunjukkan terjadinya peningkatan pendapatan usahatani terhadap biaya total sebesar 26,3% yaitu dari Rp. 7,5 juta/ha menjadi Rp. 9,5 juta/ha. Berdasarkan analisis fungsi produksi, variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap produksi padi (GKP) adalah variabel luas lahan, tenaga kerja manusia, pupuk Urea, dan POC. Secara umum, 73,33% responden petani menyatakan puas terhadap program BLP Organik; 95,00% petani tidak merasakan adanya dampak negatif dari penggunaan pupuk organik; dan 98,33% petani ingin terus menggunakan pupuk organik meski tanpa menerima bantuan.
DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR
Oleh: FARIDA AYU BRILLYANTI H14080114
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Skripsi
: Dampak Bantuan Langsung Pupuk Organik Terhadap Produksi dan Pendapatan Petani Padi di Propinsi Jawa Timur
Nama Mahasiswa
: Farida Ayu Brillyanti
Nomor Induk Mahasiswa
: H14080114
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si. NIP. 19771213 200501 2 002
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi. Skripsi ini berjudul “Dampak Bantuan Langsung Pupuk Organik Terhadap Produksi dan Pendapatan Petani Padi di Propinsi Jawa Timur”. Kebijakan subisidi pupuk organik merupakan topik yang menarik karena diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap produksi padi, kesejahteraan petani, dan perkembangan pertanian organik. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di Propinsi Jawa Timur. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produksi dan produktivitas padi dengan menggunakan pupuk organik, menganalisis dampak BLP Organik terhadap pendapatan petani padi; serta menganalisis persepsi petani terhadap BLP Organik di Propinsi Jawa Timur. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, kritik, saran, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. 2. Bapak Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si. selaku dosen penguji utama beserta Ibu Ranti Wiliasih, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Seluruh keluarga besar PSP3 yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan berkenaan dengan data dan pengolahan data. 4. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi atas bantuan dan kerja samanya. 5. Teman-teman satu bimbingan: Puspasari, Fikanti, Herdiana, Chris; serta keluarga IE 45 khususnya: Rina Sondari, Dian Fitriani, Nisaul Haq, Chairun Nisa, Deviyantini atas kebersamaan dan dukungan selama ini. 6. Ibu, Bapak, Didin, Irsy, dan Suami yang telah memberikan dukungan, doa, cinta dan kasih sayang. Semoga skripsi ini menjadi persembahan yang membanggakan. 7. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala dukungan dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung Bogor, April 2011 Farida Ayu Brillyanti H14080114
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Farida Ayu Brillyanti, lahir di Nganjuk Jawa Timur pada tanggal 28 Juli 1989. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Dwi Arijanto, M.M., Akuntan dan Yettiningsih Peni Utami, S.H. Penulis memulai pendidikan di Tadika Puri Surabaya dan lulus pada tahun 1995; pendidikan dasar di SD Negeri Dr.Sutomo V Surabaya pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 2001; kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 49 Jakarta pada tahun 2001 dan lulus pada tahun 2004; melanjutkan ke SMA Negeri 14 Jakarta pada tahun 2004 dan lulus pada tahun 2007. Penulis melanjutkan jenjang pendidikan perguruan tinggi di Universitas Muhammadiyah Jakarta pada tahun 2007 hingga 2008 dengan jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2008. Penulis diterima sebagai mahasiswa IPB dengan mayor Ilmu Ekonomi, minor Manajemen Fungsional, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis menikah dengan Ariyandi, A.E, Li. ketika duduk di semester VII. Penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kepanitiaan selama menjadi mahasiswa. Penulis aktif di organisasi Bengkel Karya Tulis TPB IPB, Duta Anti Korupsi Jilid I BEM KM IPB, serta Entrepreneur Development Unit BEM KM IPB. Selain berorganisasi, penulis juga membuat Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis (PKM-GT) dengan judul “Model Lembaga Akomodatif Dalam Mewujudkan Desa Mandiri Usaha” pada tahun 2009; dan “Revitalisasi Penanganan Sumber Air sebagai Solusi dalam Mengatasi Kekeringan di Wilayah Bogor (Studi Kasus Parung Panjang, Bogor)” pada tahun 2011, serta Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) dengan judul “Spiritual Sosio Agricultural Entrepreneurship : Model Implementasi Kemandirian Usaha Pertanian Kreatif Untuk Para Penyandang Cacat di Kabupaten Bogor” pada tahun 2010.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..
vii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………….. ix DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………. x DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………….. xi BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………..
1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………..
1
1.2. Perumusan Masalah ………………………………………………... 1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………………...
5 6
1.4. Kegunaan Penelitian ………………………………………………..
6
BAB II TINJUAN PUSTAKA …………………………………………………..
7
2.1. Tinjuan Teori ……………………………………………………….
7
2.1.1. Teori Produksi …………………………………………...
7
2.1.2. Teori Subsidi …………………………………………….. 10 2.1.3. Subsidi Pupuk …………………………………………… 2.1.4. Pupuk Organik……………………………………………
12 17
2.1.5. Usahatani ………………………………………………...
21
2.1.6. Teori Persepsi dan Adopsi Teknologi …………………… 23 2.2. Penelitian Terdahulu ……………………………………………….. 2.3. Kerangka Pemikiran ………………………………………………..
25 27
2.4. Hipotesis Penelitian ………………………………………………...
28
BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………………
29
3.1. Jenis dan Sumber Data ……………………………………………... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………………….
29 29
3.3. Metode Pengumpulan Data ………………………………………… 30 3.4. Pengolahan dan Analisis Data ……………………………………...
31
3.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani …………………………..
32
3.4.2. Analisis Imbangan Biaya dan Manfaat …………………..
33
3.4.3. Fungsi Produksi Cobb-Douglas ………………………….
35
3.5. Asumsi dalam Analisis Regresi …………………………………….
37
3.6. Uji Kriteria Statistik ………………………………………………...
38
BAB IV GAMBARAN UMUM BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK DAN PROPINSI JAWA TIMUR ……………………………………. 43 4.1. Alokasi Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010 ………… 43 4.2. Gambaran Umum Propinsi Jawa Timur ……………………………
44
BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR ……………………………………………. 50 5.1. Karakteristik Responden dan Implementasi Penerimaan Program 50 BLP Organik ………………………………………………………
5.2. Dampak Program BLP Organik terhadap Produksi Padi dan Pendapatan Petani ……………………………………………...…... 52 5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi ………………… 58 5.4. Persepsi Petani terhadap Hasil dan Program BLP Organik ………...
67
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………….…..
71
6.1. Kesimpulan …………………………………………………………
71
6.2. Saran ………………………………………………………………..
72
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………
73
LAMPIRAN ……………………………………………………………………...
77
DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Tabel Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Indonesia Tahun 2001 – 2011 …..……………………………………............ Tabel 1.2. Tabel Impor Beras (Rice in the husk (paddy or rough)) di Indonesia Tahun 2001 – 2010 ……………………………..……………........ Tabel 1.3. Tabel Jumlah Penduduk di Indonesia Tahun 1971 – 2010 ……..... Tabel 2.1. Alokasi Anggaran Subsidi Pupuk Tahun 2006 – 2011 …………...
1 2 3 14
Tabel 2.2. Ringkasan Penelitian Terdahulu ………………………...………... 26 Tabel 3.1. Sebaran dan Jumlah Sampel Usahatani Padi di Propinsi Jawa Timur
30
Tabel 3.2. Permasalahan, Metode Analisis, dan Indikator Observasi …….. Tabel 4.1. Lima Propinsi Penerima BLP Terbanyak Tahun 2010 ………..…
31 43
Tabel 4.2. Alokasi Bantuan Langsung Pupuk Tahun 2010 …………...……...
44
Tabel 4.3. Subsektor Pertanian PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2007-2011 (Juta Rupiah) ………………………………….. 47 Tabel 4.4. Tabel Produksi Tanaman Pangan di Propinsi Jawa Timur Tahun 2009 – 2011 (Ton) ……………………………………….... 48 Tabel 4.5. Tabel Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2000 - 2011………..…………………………. 48 Tabel 4.6. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009 – 2011 (ribuan orang) ………….… 49 Tabel. 5.1. Karateristik Responden Petani Padi Jawa Timur ………………… 51 Tabel. 5.2. Karateristik Lahan Responden Petani Padi Jawa Timur ………….
52
Tabel. 5.3. Perbandingan Penggunaan Benih pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik …………….………………….
53
Tabel. 5.4. Perbandingan Penggunaan Pupuk pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik ……………………………….. 54 Tabel. 5.5. Perbandingan Penggunaan Pupuk pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik ……………………………….. 54 Tabel. 5.6. Perbandingan Penggunaan dan Biaya Tenaga Kerja pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik………... 55 Tabel. 5.7. Perbandingan Produksi dan Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik (Atas Dasar Biaya Tunai) …....
56
Tabel. 5.8. Perbandingan Produksi dan Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik (Atas Dasar Biaya Total) ……. 57 Tabel 5.9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi ……………...... 59 Tabel 5.10. Hasil Uji Asumsi Klasik Regresi ………………………………… Tabel 5.11. Penggunaan Pupuk Organik sebelum memperoleh BLP Organik ..
61 67
Tabel 5.12. Masalah dalam Pelaksanaan Program BLP Organik ……………... 68 Tabel 5.13. Manfaat dalam Menggunakan Pupuk Organik ………..………….. 68 Tabel 5.14. Dampak Negatif yang Dirasakan dengan Menggunakan Pupuk Organik
69
Tabel 5.15. Motivasi Penggunaan Pupuk Organik Meski Tanpa Bantuan …....
70
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Grafik Fungsi Produksi ……………………………………………. 9 Gambar 2.2. Grafik Pengaruh Subsidi Terhadap Produksi ……………………...
12
Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pemikiran ……………………………………….. Gambar 4.1. Gambar Peta Propinsi Jawa Timur ………………………………...
27 45
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. PDRB Propinsi Jawa Timur Atas Harga Berlaku dan Harga Konstan Tahun 2006-2011 (Juta Rupiah) ……………...………………..…. 78 Lampiran 2a. Analisis Usahatani Petani Padi Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Menggunakan BLP Organik (Atas Dasar Biaya Tunai) ………….. 79 Lampiran 2b. Analisis Usahatani Petani Padi Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Menggunakan BLP Organik (Atas Dasar Biaya Total) …………..
80
Lampiran 3. Fungsi Produksi Padi Setelah Menggunakan BLP Organik ……… 81
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki multifungsi yang mencakup aspek ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani, pengentasan kemiskinan, dan menjaga kelestarian lingkungan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan berdasarkan FAO pada World Food Summit 1996 menyatakan bahwa:
“food security exist when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe, and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life (FAO, 2008)”.
Tabel 1.1. Tabel Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Indonesia Tahun 2001 - 2011 Tahun Luas Panen Produktivitas Produksi (Ha) (Ku/Ha) (Ton GKG) 2001 11.499.997 43,88 50.460.782 2002 11.521.166 44,69 51.489.694 2003 11.488.034 45,38 52.137.604 2004 11.922.974 45,36 54.088.468 2005 11.839.060 45,74 54.151.097 2006 11.786.430 46,2 54.454.937 2007 12.147.637 47,05 57.157.435 2008 12.327.425 48,94 60.325.925 2009 12.883.576 49,99 64.398.890 2010 13.253.450 50,15 66.469.394 2011*) 13.224.379 49,44 65.385.183 Sumber: www.bps.go.id, 2012 *) Angka Ramalan III.
Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Produksi tanaman padi di Indonesia juga menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat di tiap tahunnya. Secara umum, Tabel 1.1. menggambarkan kondisi yang cukup baik, dengan pertumbuhan produksi rata-rata sekitar 2,4% per tahun (BPS, 2011).
Tabel 1.2. Tabel Impor Beras (Rice in the husk (paddy or rough)) di Indonesia Tahun 2001 - 2010 Arus Nilai Perdagangan Berat Tahun Perdagangan (USD) (Kg) 2000 Impor 451.913 1.795.284 2000 Re-Impor 5.632 30.002 2001 Impor 1.463.448 7.328.041 2002 Impor 2.935.746 19.662.000 2003 Impor 683.756 3.071.201 2004 Impor 1.819.947 6.258.799 2005 Impor 586.143 1.918.302 2006 Impor 375.670 219.837 2007 Impor 3.152.998 1.629.035 2008 Impor 8.976.049 4.028.862 2009 Impor 15.565.366 5.768.265 2010 Impor 14.779.167 4.211.984 Sumber: www. data.un.org, 2012
Walaupun produksi padi di Indonesia mengalami peningkatan, Indonesia tetap melakukan impor beras seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1.2.. Kegiatan impor beras tersebut salah satunya disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk Indonesia seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1.3.. Salah satu tantangan mendasar dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional adalah pertumbuhan penduduk yang menyerupai deret ukur sehingga tidak dapat diimbangi oleh pertumbuhan produksi yang hanya mendekati deret hitung. Pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan bahan pangan, sementara keadaan yang sama juga akan menyebabkan semakin
sempitnya lahan pertanian yang dapat dikuasai (Daniel, 2004). Hal tersebut membuat Indonesia harus berupaya untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah yang ada.
Tabel 1.3. Tabel Jumlah Penduduk di Indonesia Tahun 1971 - 2010 Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) 1971 119.208.229 1980 147.490.298 1990 179.378.946 1995 194.754.808 2000 206.264.595 2010 237.641.326 Sumber: www.bps.go.id, 2012 Catatan : Termasuk Penghuni Tidak Tetap (Tuna Wisma, Pelaut, Rumah Perahu, dan Penduduk Komuter)
Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pertanian, membuat suatu program yang memberikan bantuan langsung pada petani pangan berupa Bantuan Langsung Pupuk (BLP) dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Pelaksanaan BLP dan BLBU didasari oleh kenyataan bahwa petani pangan belum menggunakan bibit unggul bersertifikat dan belum menggunakan pupuk lengkap karena keterbatasan permodalan, sehingga menyebabkan petani pangan kesulitan mengakses faktor-faktor produksi tersebut. Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.30/Permentan/OT.140/6/2008 tentang BLP dan Peraturan Menteri Pertanian No.17/Permentan/OT.140/2/2008 tentang BLBU, program BLP dan BLBU mempunyai tiga tujuan pokok. Tujuan pertama, adalah meningkatkan kesadaran petani tentang penggunaan dan manfaat benih unggul dan pupuk majemuk NPK serta pupuk organik. Kedua, untuk meringankan beban petani dalam pengadaan benih unggul dan pupuk. Sedangkan, tujuan ketiga adalah untuk meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai.
Apabila ketiga tujuan tersebut tercapai, maka diharapkan kemandirian dalam membangun
ketahanan
pangan
nasional
dapat
terpelihara,
serta
dapat
meningkatkan pendapatan petani dari waktu ke waktu. Program BLP dilaksanakan dengan memberikan dua jenis pupuk bagi petani, yaitu (1) pupuk anorganik (NPK), dan (2) pupuk organik (Pupuk Organik Granul/POG dan Pupuk Organik Cair/POC). Pemberian bantuan pupuk organik kepada petani dianggap sebagai langkah strategis dalam meningkatkan produktivitas lahan sawah yang telah mengalami degradasi kualitas akibat penggunaan pupuk anorganik berlebih dalam jangka waktu yang panjang selama program Revolusi Hijau. Penggunaan pupuk anorganik berlebih dalam periode waktu
yang
panjang
akan
merusak
struktur
tanah,
menciptakan
ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah, serta menurunkan kemampuan tanah dalam menahan air. Sebagai akibatnya, produktivitas lahan akan mengalami degradasi. Perilaku petani tanaman pangan dalam memupuk tanamannya harus diubah agar produktivitas lahan sawahnya dapat ditingkatkan. Petani harus didorong untuk menggunakan pupuk secara berimbang, dengan mengurangi pupuk anorganik dan mensubstitusi pengurangan tersebut dengan meningkatkan penggunaan pupuk organik. Untuk mempercepat proses tersebut, pemerintah memberikan Bantuan Langsung Pupuk Organik (BLP Organik). Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu propinsi yang memberikan kontribusi sekitar 17% bagi produksi padi nasional (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012). Jawa Timur juga merupakan salah satu propinsi yang menerima alokasi BLP Organik terbanyak secara nasional. Jawa Timur memiliki potensi sebesar
64% wilayah daratan yang memungkinkan digunakan untuk kegiatan pertanian dan permukiman (eastjava.com, 2012). Di Propinsi Jawa Timur,
jumlah tenaga kerja yang terserap masih
didominasi oleh Sektor Pertanian (39,70%). Hal ini merupakan ciri dari daerah pedesaan yang masih menjadi wilayah terluas di Jawa Timur. Bahkan pada daerah pedesaan, Sektor Pertanian mampu menyerap hingga 59,0% pekerja (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012). Pemberian BLP Organik bersama dengan paket teknologi produksi lainnya (BLBU dan BLP Anorganik) diharapkan akan meningkatkan produktivitas lahan pangan secara signifikan, terutama di Propinsi Jawa Timur
1.2. Perumusan Masalah Kelemahan dari pupuk organik adalah tingginya harga pupuk organik daripada harga pupuk anorganik (kimia). Secara rinci penggunaan pupuk organik berbiaya lebih mahal yaitu Rp. 7.187.000,-/ha, sedangkan dengan pupuk anorganik berbiaya Rp. 5.275.000,-/ha (Hartatik, 2006). Selain itu, pupuk organik tidak dapat dijadikan sebagai pupuk tunggal. Diperlukan pengelolaan pupuk secara terpadu yaitu memadukan pemberian pupuk organik dan anorganik sebagai upaya meningkatkan produktivitas lahan sawah (Simanungkalit et. al., 2006). Program BLP Organik memerlukan aspek insentif ekonomi untuk merangsang petani agar mau mengikuti paket program yang direkomendasikan. Insentif ekonomi yang dimaksud dapat berupa kuantitas hasil produksi, penurunan biaya produksi, serta peningkatan pendapatan setelah menggunakan pupuk organik. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian mengenai insentif ekonomi yang
diperoleh melalui program BLP Organik terhadap produksi padi, pendapatan usahatani, dan persepsi petani yang menggunakannya.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis produksi dan produktivitas padi dengan menggunakan pupuk organik; 2. Menganalisis dampak BLP Organik terhadap pendapatan petani padi; serta 3. Menganalisis persepsi petani terhadap BLP Organik.
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari program BLP Organik sehingga dapat berguna sebagai bahan masukan bagi pihak terkait mengenai kelanjutan program tersebut, serta sebagai bahan informasi untuk penelitian-penelitian serupa di kemudian hari.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Teori Produksi Fungsi produksi merupakan keterkaitan antara faktor-faktor produksi dan capaian tingkat produksi yang dihasilkan, di mana faktor produksi sering disebut dengan istilah input dan jumlah produksi disebut dengan output (Sukirno, 2000). Menurut
Nicholson
(2005),
hubungan
antara
masukan
dan
keluaran
diformulasikan dengan fungsi produksi yang berbentuk:
Q = ƒ(K, L,M……)
(2.1.)
di mana Q mewakili keluaran (output) untuk suatu barang tertentu selama satu periode, K mewakili penggunaan modal selama periode tersebut, L mewakili tenaga kerja, M mewakili bahan mentah yang dipergunakan, dan masih terdapat kemungkinan faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses produksi. Di bidang pertanian, produksi fisik dihasilkan oleh beberapa faktor produksi sekaligus, seperti tanah, bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan teknologi (misal: traktor). Seorang produsen yang rasional akan mengombinasikan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga mencapai usahatani yang efisien (Mubyarto, 1995). Persamaan 2.1. diasumsikan memberi pemecahan teknis dari masalah bagaimana cara terbaik untuk menggabungkan masukan-masukan ini menjadi keluaran.
Produk fisik marginal (marginal physical product) merupakan keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan sambil mempertahankan semua masukan lain tetap konstan. Secara matematis dapat diformulakan sebagai berikut:
produk fisik marginal dari modal = MPK =
= ƒK
(2.2.)
Produktivitas fisik rata-rata adalah keluaran (output) yang dihasilkan tiap unit masukan (input) baik masukan modal maupun tenaga kerja (Nicholson, 1995). Sebuah usaha tertentu dikatakan mengalami peningkatan produktivitas ketika keluaran tiap unit masukan tenaga kerja meningkat. Produktivitas rata-rata sering dipergunakan sebagai ukuran efisiensi. Definisi produk rata-rata luas lahan (APL) adalah sebagai berikut:
ton/hektar
(2.3.)
Return to scale (RTS) merupakan tanggapan keluaran dari proses peningkatan semua masukan secara bersamaan. Jika fungsi produksi diketahui Q=ƒ(KL) dan semua masukan digandakan dengan kostanta positif yang sama, m (di mana m>1), maka dapat diklasifikasikan hasil berbanding skala dari fungsi produksi tersebut dengan kriteria: (1) apabila kenaikan yang proporsional dalam masukan meningkatkan keluaran dengan proporsi yang sama, maka fungsi produksi tersebut memperlihatkan hasil berbanding skala yang konstan; (2) apabila keluaran yang meningkat kurang dari proporsional, fungsi tersebut memperlihatkan hasil berbanding skala yang menurun; dan (3) apabila keluaran
meningkat lebih dari proporsional, terdapat hasil berbanding skala yang meningkat (Nicholson, 2005). Fungsi produksi dapat digambarkan dengan grafik (Gambar 2.1.) yang memperlihatkan peningkatan dan penurunan tambahan output yang dikenal sebagai The Law of Diminishing Return. Hukum ini menyatakan bahwa jika makin banyak jumlah suatu faktor produksi yang ditetapkan untuk sejumlah faktor yang tetap, maka akan tercapai situasi di mana setiap tambahan produk total dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang dihasilkan sebelumnya.
Sumber: Nicholson (2005) Gambar 2.1. Grafik Fungsi Produksi Elastisitas produksi (εp) merupakan persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan dari input, yang dapat ditunjukan melalui persamaan berikut:
atau
(2.4.)
Gambar 2.1. menghubungkan antara elastisitas produksi (εp), produk total (TP), produk rata-rata (AP), dan produk marjinal (MP) adalah sebagai berikut: 1. Tahap I: Nilai elastisitas produk lebih besar dari satu (εp > 1), produk total, produk rata-rata, dan produk marjinal mengalami peningkatan yang kemudian produk marjinal menurun hingga nilainya sama dengan produk rata-rata (increasing rate). Tahap I merupakan tahap irasional karena faktor produksi yang digunakan belum optimal sehingga perlu dilakukan penambahan kuantitas input. 2. Tahap II : Nilai elastisitas produk kurang atau sama dengan satu (0<εp≤1), produk total mengalami peningkatan, namun produk ratarata dan produk marjinal mengalami penurunan hingga marjinal produk sama dengan nol (diminishing rate). Tahap II merupakan tahap yang rasional karena input yang digunakan telah optimal sehingga tidak perlu ditambah atau dikurangi. 3. Tahap III : Nilai elastisitas produk lebih kurang dari nol (εp < 0), produk total dan produk rata-rata mengalami penurunan, sedangkan produk marjinal bernilai negatif (decreasing rate). Tahap III merupakan tahap irasional karena input yang digunakan telah melebihi batas optimal sehingga perlu dilakukan pengurangan input.
2.1.2. Teori Subsidi Subsidi merupakan pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada badan usaha atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka
dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah (Handoko dan Patriadi, 2005). Menurut Suparmoko (2003) dalam Handoko dan Patriadi (2005), subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy). Subsidi dalam bentuk uang diberikan oleh pemerintah kepada konsumen sebagai tambahan penghasilan atau kepada produsen untuk dapat menurunkan harga barang. Subsidi dalam bentuk barang merupakan subsidi yang dikaitkan dengan jenis barang tertentu, yaitu pemerintah menyediakan suatu jenis barang tertentu dengan jumlah yang tertentu pula kepada konsumen atau produsen tanpa dipungut bayaran atau pembayaran di bawah harga pasar (Handoko dan Patriadi, 2005). Adanya subsidi akan memberikan pengaruh pada permintaan untuk konsumsi bersubsidi (subsidized consumption) atau penawaran untuk produksi bersubsidi (subsidized production) (Handoko dan Patriadi, 2005). Pengaruh subsidi terhadap produksi dapat dilihat pada Gambar 2.2.. Produksi bersubsidi menggeser kurva penawaran S ke bawah menjadi kurva penawaran S’. Hal ini mengakibatkan bertambahnya kuantitas produk yang dihasilkan (Q menjadi Q’) dan membuat perubahan harga dari P menurun menjadi P’. Kebijakan pemberian subsidi umumnya dikaitkan pada barang dan jasa yang memiliki eksternaslitas positif dengan tujuan untuk menambah output dan lebih banyak sumber daya yang dialokasikan ke proses produksi barang dan jasa tersebut. Secara umum, subsidi juga memberikan dampak negatif. Dampak negatif tersebut antara lain: (1) subsidi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak
efisien karena konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada harga pasar sehingga muncul kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi; dan (2) subsidi dapat menyebabkan distorsi harga (Spencer dan Amor dalam Handoko dan Patriadi, 2005).
(Handoko dan Patriadi, 2005) Gambar 2.2. Grafik Pengaruh Subsidi Terhadap Produksi
2.1.3. Subsidi Pupuk Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan pemerintah dengan cakupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Subsidi yang diberikan sebagian besar dialokasikan pada penyediaan pupuk dan benih dibanding subsidi harga output pertanian. Terdapat beberapa alasan bahwa subsidi input lebih mudah dibandingkan dengan subsidi harga output pertanian, yaitu: (1) sebagian besar petani menghadapi kendala biaya produksi dengan orientasi minimalisasi biaya, sehingga insentif input lebih sesuai; (2) dengan adanya insentif input akan terbuka peluang untuk mengadopsi teknologi baru guna meningkatkan produktivitas dibanding insentif output; dan (3) pengelolaan dan penjaminan
harga pada subsidi input akan lebih mudah dicapai dibandingkan subsidi output (Kementrian Pertanian, 2006). Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (2004), kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan efektivitas sistem distribusi pupuk antara lain adalah: (1) rasionalisasi penggunaan pupuk di tingkat petani karena penggunaan pupuk sudah melampaui takaran anjuran; (2) rekomendasi pupuk berdasarkan atas analisis tanah spesifik lokasi, dan waktu penggunaan berdasarkan acuan analisis bagan warna daun; (3) peningkatan efektivitas penggunaan pupuk anorganik yang dikomplemen dengan pemanfaatan pupuk organik serta sistem irigasi yang baik; (4) perbaikan standardisasi dan sertifikasi pupuk sehingga petani terhindar dari pupuk alternatif yang diragukan kualitas dan efektivitasannya; (5) peningkatan kinerja usaha tani padi
dengan
mengupayakan
sumber
pertumbuhan
selain
peningkatan
produktivitas; serta (6) pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang kondusif bagi kontinuitas dan harga di tingkat petani. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa petani cenderung tidak lagi memperhatikan penggunaan pupuk secara berimbang, mengingat di satu sisi harga jual produksi pertanian yang sangat fluktuatif dan cenderung merugikan petani dan di sisi lain semakin mahalnya biaya produksi. Jika kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka akan menyebabkan sektor pertanian semakin tidak menarik bagi petani dan pada akhirnya berdampak terhadap ketahanan pangan nasional (Adnyana dan Kariyasa, 2000). Untuk mengurangi permasalahan di atas, pemerintah Indonesia sejak tahun 2003 kembali menerapkan kebijakan pemberian subsidi pupuk untuk sektor
pertanian (tanaman pangan dan perkebunan rakyat) untuk membantu petani agar dapat membeli pupuk sesuai kebutuhan dengan harga yang lebih murah, dengan harapan produktivitas dan pendapatan petani meningkat (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2004).
Tabel 2.1. Alokasi Anggaran Subsidi Pupuk Tahun 2006 - 2011 Uraian Subsidi Pupuk (trilyun rupiah) Volume (ribu ton) * Urea * SP-36/Superphose * ZA * NPK * Organik
2006
2007
2008
2009
2010
2011
3,2
6,3
15,2
18,3
18,4
18,8
5.674,0 3.962,0 711,0 601,0 400,0 -
6.353,0 4.249,0 765,0 702,0 637,0 -
6.891,0 4.558,0 558,0 751,0 956,0 68,0
7.612,5 4.624,9 582,1 751,3 1.417,7 236,5
7.355,0 4.279,0 644,0 713,0 1.473,0 246,0
9.753,9 5.100,0 750,0 850,0 2.349,9 704,0
Sumber: Kementrian Pertanian dalam RUU APBN, 2012
Kebijakan pemerintah dalam pengadaan dan penyaluran pupuk sejak awal didasari oleh pemenuhan prinsip enam tepat dalam penyalurannya, yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu. Alokasi anggaran subsidi pupuk rata-rata mengalami peningkatan setiap tahun, hal ini ditunjukkan oleh Tabel 2.1.. Pada tahun 2008, pemerintah memperkenalkan Bantuan Langsung Pupuk (BLP) dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Program BLBU yang dimulai sejak tahun 2007 telah memberikan bantuan benih unggul untuk padi, jagung, dan kedelai kepada petani di 249 kabupaten yang tersebar di 29 propinsi. Sementara, program BLP yang dimulai pada tahun 2008 telah mencakup 159 kabupaten yang tersebar di 17 propinsi. Untuk program BLP, dari segi cakupan luas areal dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Tahun 2008 luas areal baru 403.514 hektar, kemudian tahun 2009 diperluas menjadi 648.386 hektar, atau meningkat sebesar 60,68%.
Menurut perencanaan, tahun 2010 diperluas kembali menjadi 1.066.395 hektar atau meningkat sebesar 64,47% (PSP3 IPB, 2010). Bagi daerah-daerah yang telah berproduktivitas relatif tinggi dimantapkan dengan fokus pengembangan yang diarahkan kepada aspek rekayasa sosial, ekonomi dan kelembagaan. Peningkatan produktivitas tersebut dilakukan melalui penggunaan benih bermutu dari varietas unggul; pemupukan berimbang dan penggunaan pupuk organik; pengaturan pengairan dan tata guna air; penggunaan alat mesin pertanian; serta perbaikan budidaya (PSP3 IPB, 2010). Benih Bermutu dari Varietas Unggul. Penggunaan benih bermutu dari varietas unggul difasilitasi melalui pembinaan produsen benih untuk dapat menghasilkan benih secara enam tepat. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan benih bermutu dari varietas unggul adalah: (a) inventarisasi stok dan penangkaran benih; (b) pemanfaatan stok benih yang ada secara optimal; serta (c) pembinaan kepada produsen/penangkar benih agar proses produksi benih terlaksana secara berkelanjutan (PSP3 IPB, 2010). Pemupukan Berimbang dan Pupuk Organik. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan dan kualitas hasil dilakukan pemupukan berimbang, sehingga perbandingan penyerapan unsur hara oleh tanaman dilakukan
secara
seimbang.
Rekomendasi
dosis
pemupukan
berimbang
berpedoman kepada dosis anjuran spesifik lokasi yang dinamis (PSP3 IPB, 2010). Berkenaan dengan program Bantuan Langsung Pupuk, menurut Permentan No. 30/Permentan/OT.140/6/2008 tentang Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk tahun anggaran 2008, kegiatan BLP dijalankan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan. Hal ini didasari fakta dimana kendala yang dihadapi selama ini
adalah masih rendahnya penggunaan pupuk berimbang N, P dan K. Faktor ini telah menyebabkan produktivitas tanaman belum tercapai secara optimal. Sementara, penggunaan pupuk anorganik kurang berimbang yang telah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun secara intensif, telah menyebabkan kerusakan struktur tanah. Dampak lain adalah terjadinya inefisiensi penggunaan pupuk anorganik (PSP3 IPB, 2010). Salah satu penyebab rendahnya penggunaan pupuk NPK dan pupuk organik antara lain disebabkan daya beli, tingkat kesadaran, serta keyakinan petani yang masih rendah. Kontribusi penggunaan pupuk NPK dan organik dalam meningkatkan produktivitas, produksi bahkan mutu hasil telah terbukti secara signifikan dalam peningkatan produksi komoditas tanaman pangan. Dengan demikian, ketersediaan dan penggunaan pupuk NPK dan organik merupakan suatu syarat keharusan bagi peningkatan ketahanan pangan nasional (PSP3 IPB, 2010). Berkenaan dengan itu, pemerintah melalui BUMN termasuk PT. Pertani (Persero) memberikan Bantuan Langsung Pupuk NPK dan Pupuk Organik untuk didistribusikan kepada petani. Tujuan kegiatan ini adalah (a) memperkenalkan kepada petani penggunaan pupuk majemuk NPK dan pupuk organik; (b) meringankan beban petani dalam penyediaan dan penggunaan pupuk NPK serta pupuk organik; (c) meningkatkan penggunaan pupuk NPK dan pupuk organik; (d) meningkatkan
produktivitas
dan
produksi
tanaman
pangan;
serta
(e)
meningkatkan perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah (PSP3 IPB, 2010). Pada hakekatnya, Program BLP dan BLBU dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat desa sampai nasional, sehingga pemanfaatan bantuan dapat terlaksana dengan efektif efisien dan tepat sasaran. Agar bantuan dapat
mendukung upaya peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan, Dinas Pertanian Propinsi dan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota melakukan pembinaan, pendampingan dan monitoring secara optimal kepada kelompok tani penerima bantuan pupuk serta melakukan evaluasi pada akhir kegiatan. Untuk menjamin terpenuhinya kualitas dan kuantitas bantuan, maka pembinaan, pendampingan, monitoring dan evaluasi dapat dilakukan oleh Pembina Teknis secara berkala dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan (PSP3 IPB, 2010). Monitoring dan evaluasi bantuan ditujukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan penyaluran bantuan sesuai rencana alokasi di setiap kabupaten/kota; monitoring kuantitas dan kualitas yang disalurkan kepada kelompok tani; memonitor realisasi pertanaman padi yang menggunakan bantuan di setiap kabupaten/kota; memantau dan melakukan bimbingan teknis penerapan anjuran teknologi untuk budidaya lainnya; mengetahui peningkatan produktivitas dan produksi padi di setiap kabupaten/kota; serta mengetahui kemungkinan permasalahan yang dihadapi sedini mungkin, guna memberikan solusi pemecahannya sehingga tingkat keberhasilan pelaksanaan program dapat dicapai (PSP3 IPB, 2010).
2.1.4. Pupuk Organik Pupuk adalah bahan kimia atau organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak langsung (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011). Berdasarkan pembuatannya, pupuk dibedakan menjadi pupuk buatan (anorganik) dan pupuk alami (organik). Menurut Keputusan Menteri Pertanian No.238/Kpts/OT.210/4/2003 tentang Pedoman Penggunaan Pupuk Anorganik, pupuk anorganik adalah pupuk hasil proses
rekayasa secara kimia, fisik dan atau biologis, dan merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk. Sedangkan pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa tanaman dan atau kotoran hewan yang telah melalui proses rekayasa berbentuk padat atau cair dan dapat diperkaya dengan bahan mineral alami dan atau mikroba yang bermanfaat memperkaya hara, bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011). Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.37/Permentan/SR.130/5/ 2010 tentang Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010, dikemukakan bahwa penggunaan pupuk anorganik yang telah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun secara intensif, menyebabkan kerusakan pada struktur tanah, soil sicknes (tanah sakit), soil fatigue (kelelahan tanah), dan inefisiensi penggunaan pupuk anorganik. Kondisi tersebut tidak hanya menyebabkan penurunan pertumbuhan hasil produktivitas tanaman pangan yang signifikan, tetapi juga menjadi salah satu penyebab sering terjadinya tanah longsor di berbagai daerah sentra produksi padi di Indonesia. Kekurangan bahan organik dan pemakaian pupuk anorganik berlebih dalam periode waktu yang panjang membuat tanah-tanah pertanian kehilangan kemampuan untuk menyerap dan menyimpan air. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, dan sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk hijau
merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai contoh pupuk hijau ini adalah sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan kotoran ternak. Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah industri yang menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak misalnya plastik, kertas, botol, dan kertas (Simanungkalit et al., 2006) Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.2/Pert/ Hk.060/2/2006, tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan memasok bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pertanian konvensional yang telah dipraktekkan pada masa Revolusi Hijau telah banyak mempengaruhi keberadaan berbagai mikroba berguna dalam tanah. Mikroba-mikroba ini mempunyai peranan penting dalam membantu tersedianya berbagai hara yang berguna bagi tanaman. Praktek inokulasi merupakan suatu
cara untuk memberikan atau menambahkan berbagai mikroba pupuk hayati hasil skrining yang lebih unggul ke dalam tanah (Simanungkalit et al., 2006). Bahan organik berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman, sekaligus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba (Simanungkalit et al., 2006). Penggunaan pupuk organik saja, tidak dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan ketahanan pangan. Oleh karena itu sistem pengelolaan hara terpadu yang memadukan pemberian pupuk organik/pupuk hayati dan pupuk anorganik dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan perlu digalakkan. Hanya dengan cara ini keberlanjutan produksi tanaman dan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan. Sistem pertanian yang disebut sebagai LEISA (low external input and sustainable agriculture) menggunakan kombinasi pupuk organik dan anorganik yang berlandaskan konsep good agricultural practices perlu dilakukan agar degredasi lahan dapat dikurangi dalam rangka memelihara kelestarian lingkungan (Simanungkalit et al., 2006). Menurut
Simanungkalit
et
al.
(2006),
berbagai
hasil
penelitian
mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah, yaitu kurang dari 2%, bahkan pada banyak lahan sawah intensif di Jawa kandungannya kurang dari 1%. Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan C-organik lebih dari
2,5%. Di lain pihak, sebagai negara tropika basah yang memiliki sumber bahan organik sangat melimpah, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas
maupun
kuantitas,
mengurangi
pencemaran
lingkungan,
dan
meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi (Simanungkalit et al., 2006).
2.1.5. Usahatani Menurut Soekartawi (1995) usahatani adalah upaya seseorang dalam mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani dengan harga jual produk yang dihasilkan tersebut. Pernyataan tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut,
TR = Y × Py keterangan: TR : penerimaan total (total revenue) Y : produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani Py : harga dari produk Y
(2.5.)
Jika komoditas tanaman yang diusahakan adalah lebih dari satu maka persamaan dapat dimodifikasi menjadi,
(2.6.)
Pengeluaran usahatani adalah biaya atau pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani) dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Pengeluaran usahatani dapat digolongkan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap merupakan biaya yang tidak terkait dengan jumlah barang yang diproduksi, sehingga petani tetap harus membayar biaya tersebut berapapun jumlah komoditas yang dihasilkannya. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang berubah seiring dengan perubahan besarnya jumlah komoditas pertanian yang dihasilkan. Biaya tetap (fixed cost) dapat ditunjukkan oleh persamaan,
(2.7.) keterangan: FC : biaya tetap (fixed cost) Xi : banyaknya input ke-i Pxi : harga dari variabel Xi (input)
Sedangkan persamaan biaya total adalah,
TC = FC + VC keterangan: TC : biaya total (total cost) FC : biaya tetap (fixed cost) VC : biaya tidak tetap (variable cost)
(2.8.)
Pendapatan usahatani (laba) merupakan selisih antara penerimaan dan biaya total. Pendapatan usahatani dapat ditunjukkan dengan persamaan,
Π = TR – TC keterangan: Π : pendapatan usahatani (laba) TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)
(2.9)
2.1.6. Teori Persepsi dan Adopsi Inovasi Menurut Soekartawi (1988), terdapat empat tahapan yang dilalui petani dalam mengadopsi suatu teknologi/inovasi. Tahapan tersebut antara lain (a) tahap kesadaran dan menaruh minat; (b) tahap evaluasi; (c) tahap mencoba; kemudian (d) tahap adopsi. Pada tahap kesadaran, petani untuk pertama kalinya belajar tentang sesuatu yang baru. Informasi yang dimiliki tentang teknologi baru yang akan diadopsi masih bersifat umum. Beralih pada tahapan menaruh minat yaitu petani mulai mengembangkan
informasi
yang
diperoleh
dalam
menimbulkan
dan
mengembangkan minatnya untuk mengadopsi inovasi. Pada tahap ini, petani mulai mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, baik dari media cetak maupun media eletronik (Soekartawi, 1988). Tahapan evaluasi merupakan tahap mempertimbangkan lebih lanjut mengenai minat dalam mencoba suatu inovasi. Hal ini berarti bahwa petani melakukan penilaian secara sungguh-sungguh dan mengaitkannya dengan situasi yang mereka miliki (Soekartawi, 1988). Setelah pembuatan keputusan pada tahap evaluasi, maka tahapan selanjutnya adalah tahap mencoba. Biasanya petani akan melakukan percobaan inovasi untuk skala kecil terlebih dahulu. Pada tahap ini, petani akan dihadapkan dengan suatu permasalahan yang nyata. Untuk itu, terkadang petani memerlukan bantuan dari pihak lain yang lebih kompeten agar percobaan suatu inovasi dapat
berhasil. Apabila percobaan ini berhasil, maka petani akan mencoba melakukan inovasi tersebut dalam skala yang lebih luas (Soekartawi, 1988). Tahap adopsi merupakan tahapan dimana petani telah memutuskan bahwa inovasi baru yang telah dipelajari memberikan dampak yang baik untuk diterapkan di lahannya dalam skala yang lebih luas. Tahapan-tahapan yang telah dipaparkan tidak selalu dilakukan secara berurutan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan melakukan penyesuaian dalam melakukan adopsi suatu inovasi (Soekartawi, 1988). Menurut Soekartawi (1988), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi suatu teknologi. Faktor internal yang dapat mempengaruhi adalah (a) umur; (b) pendidikan; (c) keberanian mengambil risiko; (d) motivasi berkarya; (e) sistem kepercayaan tertentu; dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi adopsi inovasi antara lain (a) dorongan masyarakat di sekelilingnya; (b) pengalaman petani lain di sekitar tempat tinggal; (c) ketersediaan sumberdaya yang dimiliki; (d) kepuasan setelah mencoba inovasi tersebut; dan lain-lain. Menurut Mulyana (2008), dalam membentuk persepsi, pemikiran-pemikiran yang ada di pengaruhi oleh faktor-faktor dari eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi dapat berupa (a) gerakan, (b) intensitas stimuli, (c) perulangan objek yang dipersepsi, (d) kontras, (e) prinsip kedekatan atau persamaan, dan lain-lain. Sedangkan faktor internal
yang dapat
mempengaruhi persepsi adalah (a) gender, (b) biologis, (c) fisiologis, (d) sosiopsikologis, (e) sikap, (f) kebiasaan, (g) kemauan, dan lain-lain.
2.2. Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan tahun 2010 pada tujuh propinsi di Indonesia, Program BLP dan BLBU berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas padi dari sebelumnya 5.034 kg menjadi 5.918 kg/ha, atau meningkat sebesar 17.56% Penerapan program BLBU dan BLP menyebabkan terjadi peningkatan biaya total sebesar 21.53% pada usahatani padi. Karena peningkatan produksi yang dicapai masih cukup besar, maka keuntungan bersih usahatani tetap meningkat. Pendapatan usahatani padi meningkat dari Rp. 6.777.157,- menjadi Rp. 9.119.629,- per ha atau meningkat sebesar 34.56%. Peningkatan ini juga terjadi karena adanya faktor peningkatan harga pada padi (GKP) sebesar 8.74%. Angelia (2011) dalam penelitian Analisis Tingkat Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan Status Petani (Studi Kasus di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor), menyatakan bahwa variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99 persen dan variabel tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi padi. Yuliarmi (2006) dalam penelitian Analisis Produksi dan Faktor-faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang pada Usahatani Padi menunjukkan bahwa faktor pendorong utama yang menyebabkan petani mengikuti program pemupukan berimbang di Kecamatan Plered, Jawa Barat, adalah mengharapkan produksi yang lebih tinggi. Dari hasil perhitungan, rata-rata produksi per hektar padi yang diperoleh petani peserta program pemupukan berimbang adalah 6.003 ton GKP dengan nilai keuntungan sebesar Rp.
4.001.378,- per musim tanam. Sedangkan petani non peserta program pemupukan berimbang memperoleh rata-rata produksi sebesar 5.027 ton GKP, dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 3.163.183 per musim tanam. Produksi yang diperoleh petani peserta program pemupukan berimbang lebih tinggi 976 kg dibandingkan produksi yang diperoleh petani non peserta program pemupukan berimbang.
Tabel 2.2. Ringkasan Penelitian Terdahulu Peneliti
Wilayah
Metode
Peningkatan Produksi, Pendapatan, dan Persepsi Petani
PSP3 (2010)
Tujuh Propinsi
Angelia (2011)
Desa Pasir Fungsi Produksi Gaok, Cobb Douglas Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor
variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99 persen dan variabel tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi padi.
Yuliarmi (2006)
Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat
Tingkat Penerapan Teknologi (TPT), Model Logit, dan Model Fungsi Produksi
Jumlah produksi padi dan pendapatan petani peserta program pemupukan berimbang lebih tinggi daripada petani bukan peserta.
Sianipar et.al (2009)
Kabupaten Manokwari, Papua
Fungsi Produksi Cobb Douglas
variabel yang berpengaruh terhadap produksi padi pada tingkat kesalahan 1% yaitu variabel benih, tenaga kerja luar keluarga, pupuk urea, pupuk NPK, pupuk PPC dan intensifikasi usahatani
Benefit/Cost (B/C) Ratio
Produktivitas padi meningkat, Pendapatan meningkat, Persepsi petani positif
Tingkat penerapan teknologi rata-rata pada petani peserta program pemupukan berimbang sebesar 68,38% dan petani bukan peserta program pemupukan berimbang sebesar 60,70%. Kedua kelompok petani tersebut tergolong pada tingkat penerapan sedang (60% - 70%). Sedangkan variabel yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk mengadopsi teknologi pemupukan
berimbang adalah harga gabah (bertanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10%), biaya pupuk (bertanda negatif dan berpengaruh nyata pada taraf 5%), serta luas lahan (bertanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10%). Menurut Sianipar et. al. (2009) dalam penelitian Analisis Fungsi Produksi Intensifikasi Usahatani Padi di Kabupaten Manokwari menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap produksi padi pada tingkat kesalahan 1% yaitu variabel benih, tenaga kerja luar keluarga, pupuk urea, pupuk NPK, pupuk PPC dan intensifikasi usahatani.
2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian ini didasari oleh pentingnya perbaikan kesuburan lahan untuk peningkatan produksi padi di Indonesia khususnya propinsi Jawa Timur.
Peningkatan Produksi Pertanian Berkelanjutan
Subsidi Pupuk
Bantuan Langsung Pupuk Organik
Analisis Usahatani
Produksi & Produktivitas
Rekomendasi Kebijakan untuk Pengembangan Pertanian Organik Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pemikiran
Persepsi
Peningkatan produksi padi tersebut bertujuan untuk mencapai peningkatan produksi yang berkelanjutan. Salah satu upaya dalam meningkatkan produksi padi yaitu dengan cara memberikan subsidi input berupa pupuk. Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pertanian memberikan bantuan langsung kepada petani pangan berupa Bantuan Langsung Pupuk (BLP) Organik. Penelitian ini menggunakan tiga metode analisis untuk menganalisis efektifitas program BLP Organik tersebut. Metode-metode yang digunakan antara lain Metode Analisis Usahatani dengan pendekatan Before and After, Metode Analisis Produksi dan Produktivitas, serta Metode Analisis Persepsi petani penerima BLP Organik. Dengan diketahuinya dampak dari program BLP Organik, diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai bahan rekomendasi untuk pengembangan pertanian organik.
2.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian dalam menerapkan progam BLP Organik pada usahatani padi di Jawa Timur, maka: 1. terdapat peningkatan produktivitas padi karena menggunakan benih unggul dari BLBU dan pupuk berimbang dari paket BLP Organik; 2. terdapat peningkatan pendapatan petani; dan 3. petani termotivasi untuk tetap menggunakan pupuk organik meskipun tanpa subsidi.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dari survey rumah tangga petani dalam penelitian Dampak Bantuan Langsung Pupuk dan Benih Unggul Terhadap Usahatani dan Perekonomian Nasional. Data didapat dari penelitian Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (PSP3 IPB) dan PT. Pertani di Propinsi Jawa Timur tahun 2010.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menjadikan Propinsi Jawa Timur sebagai lokasi penelitian karena Jawa Timur merupakan salah satu dari lima propinsi penerima BLP terbanyak di Indonesia. Lokasi penelitian dilakukan dengan memilih dua kabupaten, dan selanjutnya untuk tiap kabupaten dipilih dua kecamatan contoh. Pemilihan lokasi mengikuti sebaran program dan hasil diskusi dengan aparat setempat. Kabupaten yang dipilih adalah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso. Pada Kabupaten Banyuwangi, kecamatan yang dijadikan contoh adalah Kecamatan Sempu dan Kecamatan Licin. Sedangkan Kabupaten Bondowoso, kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Telogosari dan Kecamatan Wonosari. Waktu penelitian dilakukan selama bulan Juni 2011 dengan melihat hasil produksi padi pada dua musim tanam yang berbeda (musim tanam sebelum menggunakan BLP Organik, dan musim tanam setelah menggunakan BLP Organik).
3.3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data untuk menganalisis dampak BLP Organik pada produktivitas dan pendapatan usahatani dilakukan dengan pemilihan sampel untuk petani responden. Penentuan sampel dilakukan secara acak sederhana (Simple Random Sampling), yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam Simple Random Sampling adalah semua individu dalam populasi (anggota popluasi) diberi kesempatan yang sama untuk menjadi anggota sampel. Pemilihan mengikuti sebaran program dan jenis usahatani petani dengan membandingkan before dan after. Before untuk musim tanam sebelum menggunakan BLP Organik dan after untuk musim tanam setelah mengunakan BLP Organik. Pemilihan responden petani dilakukan secara acak sederhana rata-rata 15 orang petani per kecamatan sampel. Sebagaimana dipaparkan pada Tabel 3.1., total sampel petani padi adalah 60 orang, dimana dari setiap petani diperoleh dua informasi usahatani padi untuk perbandingan before dan after. Dengan demikian, jumlah usahatani padi yang dianalisis berjumlah 120 unit.
Tabel 3.1. Sebaran dan Jumlah Sampel Usahatani Padi di Propinsi Jawa Timur Kabupaten; Kecamatan
Usahatani padi Sebelum
Sesudah
1. Banyuwangi (Sempu & Licin)
30
30
2. Bondowoso (Telogosari & Wonosari)
30
30
Total
60
60
Responden adalah petani yang menerima bantuan BLP Organik pada tahun 2010. Responden dipilih dari daftar penerima bantuan yang dimiliki oleh petugas pertanian setempat. Usahatani yang dijadikan contoh adalah persil lahan terluas
yang dimiliki responden. Perbandingan antara usahatani sebelum menggunakan BLP Organik dengan yang menggunakan BLP Organik, dilakukan untuk persil lahan yang sama. Prosedur pengambilan contoh menggunakan cluster sampling mengikuti hirarki provinsi, kabupaten, dan kecamatan.
3.4. Pengolahan dan Analisis Data Sebagai penelitian yang bertujuan untuk menganalisis dampak suatu program, maka salah satu pendekatan yang logis untuk digunakan adalah dengan membandingkan antara nilai dari indikator-indikator pada periode sebelum dengan sesudah BLP organik diterapkan (pendekatan Before and After). Selain itu, untuk menganalisis produksi padi pasca penggunaan BLP Organik, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Fungsi Produksi. Dengan demikian, metode analisis yang akan digunakan dapat disajikan dalam Tabel 3.2..
Tabel 3.2. Permasalahan, Metode Analisis, dan Indikator Observasi Permasalahan
Metode Analisis
Indikator Observasi
Dampak Program BLP Organik terhadap produksi dan pendapatan petani
Analisis perbandingan antara usahatani sebelum menggunakan BLP organik dengan usahatani setelah menggunakannya (Before and After Approach)
Pengaruh pupuk organik terhadap produksi padi
Analisis Fungsi Produksi dengan menggunakan Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Produksi dan produktivitas tiap musim tanam Total pendapatan per musim tanam B/C Ratio per musim tanam Input produksi berpengaruh nyata terhadap produksi padi.
Respon petani
Analisis persepsi terhadap pelaksanaan program BLP Organik dan prestasi kerja
Persepsi Positif Persepsi Negatif Saran-saran perbaikan
3.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani Penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi padi yang dihasilkan dengan harga jual padi tersebut. Pernyataan tersebut dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:
TR = Y × Py keterangan: TR : penerimaan total (Total Revenue) Y : produksi padi (Gabah Kering Panen / GKP) Py : harga padi (Rp.)
(3.1.)
Pengeluaran usahatani adalah biaya atau pengorbanan yang dilakukan oleh petani dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Biaya yang dikeluarkan oleh petani digolongkan menjadi biaya tetap dan biaya tidak tetap (variabel). Dalam penelitian ini, yang termasuk dalam biaya tetap adalah biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), biaya retribusi, dan biaya sewa lahan. Sedangkan yang termasuk biaya tidak tetap adalah biaya pembelian benih, biaya upah tenaga kerja, biaya pupuk, biaya pestisida dan obat. Biaya total adalah jumlah dari biaya tetap atau fixed cost (FC) dan biaya tidak tetap atau variable cost (VC). Persamaan biaya total adalah:
TC = FC + VC keterangan: TC : biaya total (total cost) FC : biaya tetap (fixed cost) VC : biaya tidak tetap (variable cost)
(3.3.)
Pendapatan usahatani (laba) merupakan selisih antara penerimaan dan biaya total. Pendapatan usahatani dapat ditunjukkan dengan persamaan,
Π = TR – TC keterangan: Π : pendapatan usahatani (laba) TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)
(3.4.)
dengan ketentuan apabila Π bertanda positif maka usahatani mengalami keuntungan, namun apabila Π bertanda negatif maka usahatani mengalami kerugian.
3.4.2. Analisis Imbangan Biaya dan Manfaat Untuk menganalisis efisiensi atau imbangan antara manfaat dan biaya, maka dibutuhkan analisis B/C Ratio (Benefit Cost Ratio). Menurut Soekartawi (1995), analisis B/C Ratio pada prinsipnya sama saja dengan R/C Ratio (Revenue Cost Ratio), hanya saja pada analisis B/C Ratio data yang diperhitungkan adalah besarnya manfaat (pendapatan / Π). Analisis ini tidak memiliki satuan khusus karena berupa rasio, dan dapat ditunjukkan dengan persamaan berikut:
B/C =
(3.5a.)
keterangan: B/C : Benefit Cost Ratio TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)
Kriteria keputusan yang digunakan untuk menilai hasi usaha analisis B/C dapat dibagi menjadi tiga bagian keputusan, yakni: 1) B/C ratio > 1, manfaat yang diperoleh usahatani lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan sehingga program usahatani layak dilakukan;
2) B/C ratio < 1, manfaat yang diperoleh usahatani lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan sehingga program usahatani tidak layak dilakukan; 3) B/C ratio = 1, usahatani mengalami impas (tidak untung maupun rugi). R/C Ratio merupakan alat analisa untuk mengukur biaya dari suatu produksi. Pernyataan tersebut dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut:
R/C =
(3.5b.)
Keterangan: R/C : Revenue Cost Ratio TR : total penerimaan (total revenue) TC : biaya total (total cost)
Kriteria keputusan yang digunakan untuk menilai hasi usaha analisis R/C dapat dibagi menjadi tiga bagian keputusan, yakni: 1) R/C ratio > 1, usahatani mengalami keuntungan sehingga program usahatani layak dilakukan; 2) R/C ratio < 1, usahatani mengalami kerugian sehingga program usahatani tidak layak dilakukan; 3) R/C ratio = 1, usahatani mengalami impas (tidak untung maupun rugi). Dalam penelitian ini, penghitungan analisis usahatani akan dibedakan menjadi analisis usahatani atas dasar Biaya Tunai dan analisis usahatani atas dasar Biaya Total. Analisis usahatani atas dasar biaya tunai merupakan penghitungan
pendapatan
usahatani
tanpa
memperhitungkan
biaya
nonkomersial sedangkan analisis usahatani atas dasar total merupakan penghitungan
pendapatan
dengan
ikut
memperhitungkan
biaya
nonkomersial (harga bantuan pupuk dan tenaga kerja dalam keluarga). Oleh karena itu, penghitungan nilai imbangan biaya dan manfaat masing-masing akan diperoleh baik atas dasar biaya tunai maupun atas dasar biaya total.
3.4.3. Fungsi Produksi Cobb-Douglas Model fungsi produksi yang umum digunakan dalam suatu penelitian adalah fungsi produksi Cobb-Douglas (fungsi eksponensial). Menurut Nicholson (1995), bentuk matematis dari fungsi Cobb-Douglas tersebut adalah:
Q = ƒ (K,L) = a Kb Lc eu
(3.6.)
di mana a, b, dan c semuanya merupakan kosntanta penduga yang diestimasi dari data empiris: Q mewakili keluaran (output) untuk suatu barang tertentu selama satu periode; K mewakili penggunaan modal selama periode tersebut, L mewakili tenaga kerja, u adalah galat (error term, disturbance term), dan e adalah bilangan eksponen (e=2,718). Fungsi produksi tersebut di atas dapat menunjukkan hasil berbanding skala (return to scale) dengan ketentuan: (1) apabila b+c=1 maka menunjukkan hasil berbanding skala konstan; (2) apabila b+c<1 maka menunjukkan hasil berbanding skala menurun; dan (3) apabila b+c>1 maka menunjukkan hasil berbanding skala meningkat. Bentuk alternatif dari model fungsi produksi Cobb-Douglas dapat ditunjukkan dengan bentuk:
ln(Q) = ln(a) + b ln(K) + c ln(L) + u Q* = a* + bK* + cL* + u di mana: Q* = ln(Q) a* = ln(a) K* = ln(K) L* = ln(L) u = galat
Persamaan
hasil
logaritma
natural
(3.7.) (3.8.)
di
atas
dapat
dibentuk
menggunakan regresi linear berganda. Pada persamaan tersebut terlihat bahwa konstanta b dan konstanta c adalah tetap walaupun masukan yang terlibat telah berubah bentuk menjadi logaritma natural. Konstantakonstanta dalam funsgi produksi Cobb-Douglas ini dapat sekaligus menunjukkan elastisitas masukan (input) terhadap keluaran (output). Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas dilakukan dalam bentuk logaritma natural dan fungsinya diubah bentuk menjadi fungsi linear, maka terdapat persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menggunakan fungsi CobbDouglas, antara lain: 1) tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma natural dari nol adalah suatu bilangan yang tidak diketahui; 2) dalam fungsi produksi perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada tiap pengamatan (non neutral difference in the respective technologies); 3) peubah masukan (input variable) berada pada persaingan sempurna; 4) faktor-faktor lain yang tidak tercakup dalam model, seperti iklim diperhitungkan dalam galat (error term).
Dalam penelitian ini, fungsi produksi Cobb-Douglas yang akan dibuat adalah berupa:
Ln Y = C + β1 Ln X1 + β2 Ln X2 + β3 Ln X3 + β4 Ln X4 + β5 Ln X5 + β6 Ln X6 + β7 Ln X7 + β8 Ln X8 + β9 Ln X9 + β10 Ln X10 + u (3.9.) Keterangan: Ln Y : Ln Gabah Kering Panen (Kg) C : Konstanta β1, β2, …, β11 : Konstanta Penduga Ln X1 : Ln Lahan (Ha) Ln X2 : Ln Benih (Kg) Ln X3 : Ln Tenaga Kerja Manusia (HOK) Ln X4 : Ln Pupuk Urea (Kg) Ln X5 : Ln Pupuk TSP (Kg) Ln X6 : Ln Pupuk KCL (Kg) Ln X7 : Ln Pupuk NPK (Kg) Ln X8 : Ln Pupuk Organik Granul (Kg) Ln X9 : Ln Pupuk Organik Cair (Liter) Ln X10 : Ln Pestisida & Obat (Kg) u : galat
3.5. Asumsi dalam Analisis Regresi Fungsi produksi Cobb-Douglas dalam bentuk logaritma natural dapat dibentuk menggunakan metode regresi linear berganda. Menurut Juanda (2009), terdapat lima asumsi yang harus dipenuhi untuk memilih suatu model analisis regresi. Kelima asumsi tersebut adalah: 1. Spesifikasi model yang ditetapkan seperti persamaan: Yi = β1 + β2X2i + β3X3i + … + βkXki + ui
(3.10.)
2. Peubah Xk merupakan peubah non-stokastik (fixed), artinya sudah ditentukan, bukan peubah acak. Selain itu, tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah Xk; 3. Komponen sisaan ui mempunyai nilai harapan sama dengan nol, dan ragam konstan untuk semua pengamatan i. E(ui)=0 dan Var(ui)=σ2;
4. Tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antar sisaan ui, sehingga Cov(ui,uj)=0 untuk setiap i≠j; 5. Komponen sisaan menyebar normal. Menurut Dalil Gaus-Markov, jika kelima asumsi di atas dipenuhi, maka pendugaan parameter koefisien regresi menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) akan menghasilkan penduga tak bias linear terbaik (BLUE, Best Linear Unbiased Estimator). Penduga terbaik dalam pengertian ragamnya paling kecil (paling efisien) diantara semua penduga tak bias linear lainnya (Juanda, 2009).
3.6. Uji Kriteria Statistik Tujuan pengujian kriteria statistik adalah untuk melihat korelasi antar variabel persamaan, yaitu dengan menggunakan uji-R2, uji-F, uji-t, dan Uji Pelanggaran Asumsi. 1. Uji-R2 Koefisien determinasi (R2) sering digunakan secara informal sebagai ukuran dari kecocokan (goodness of fit) model regresi walaupun untuk menentukan kebaikan dari kecocokan suatu model tidak hanya dilihat dari besar R2 saja. Koefisien determinasi (R2) dapat diintepretasikan sebagai “proporsi total keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh model regresi X terhadap Y”. Jika nilai R2 besar, maka persentase peluang keragaman Y yang dapat diprediksi dari nilai X2, X3 hingga Xk semakin besar (Juanda,2009). 2. Uji-F dan Uji-t Setelah model (fungsi produksi) dibentuk, lebih baik dilakukan analisis secara keseluruhan terlebih dahulu dengan menggunakan statistik uji-F melalui
analisis ragam (analysis of variance). Uji statistik ini digunakan untuk menguji apakah keragaman yang bersumber dari model regresi (σR2) lebih besar dari keragaman sisaan (σu2). Jika keragaman regresi lebih besar daripada keragamaan sisaan (σR2 > σu2) maka dapat disimpukan model regresi yang telah dibuat dapat menjelaskan keragaman Y. Untuk membuktikan hal tersebut, maka dilakukan pengujian hipotesis,
H0 : σR2 = σu2 (atau σR2 ≤ σu2)
atau (βi = βj = 0)
H1 : σR2 > σu2 (atau σR2 / σu2 >1)
atau (minimal ada satu β ≠ 0)
dengan ketentuan: jika F-statistik > Fα(dbr,dbu), maka terima H1 jika F- statistik < Fα(dbr,dbu), maka terima H0 di mana: dbr
: banyaknya peubah bebas X = (k-1)
dbu
: n-k
Jika model yang telah dibuat secara signifikan dapat menjelaskan keragaman Y dengan menggunakan statistik uji-F, maka dilanjutkan dengan pengujian masing-masing koefisien model dengan menggunakan statistik uji-t. Uji-t digunakan untuk mencari faktor peubah mana (X2, X3, atau Xk) yang dapat menjelaskan atau berpengaruh nyata terhadap Y. Untuk membuktikan hal tersebut, maka akan dilakukan dengan uji hipotesis:
H0 : βi = 0 (faktor ke-i tidak berpengaruh nyata terhadap Y) H1 : βi ≠ 0 (faktor ke-i berpengaruh nyata terhadap Y) dengan ketentuan: jika |t- statistik | > t(α,dbu) maka terima H1 jika |t- statistik | < t(α,dbu) maka terima H0
3. Uji Pelanggaran Asumsi Tujuan pengujian pelanggaran asumsi adalah untuk memastikan bahwa model yang telah dibuat memenuhi asumsi BLUE. Uji ekonometrika tersebut dapat dilakukan dengan uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi (Juanda,2009).
a. Uji Multikolinearitas Salah satu asumsi dari model regresi berganda adalah bahwa tidak ada hubungan linear antar peubah bebas dalam model tersebut. Multikolinearitas muncul jika dua atau lebih peubah (atau kombinasi peubah) bebas berkorelasi tinggi antara peubah satu dengan yang lainnya. Jika terjadi hal demikian, maka dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS masih mungkin dapat diperoleh, namun interpretasinya menjadi sulit. Hal ini dikarenakan, apabila terjadi perubahan dalam suatu peubah bebas yang berkolinearitas, maka pengamatan peubah lainnya yang berpasangan kemungkinan akan berubah juga sesuai dengan arah kolinearitasannya. Adanya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat nilai VIF hasil uji statistika. Apabila nilai VIF pada tiap variabel yang diuji harus memiliki nilai kurang dari 10 (Gujarati, 2004).
b. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (u i) sama atau homogen. Dengan pengertian lain E(ui2)=Var(ui)=σ2, untuk setiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi. Asumsi ini disebut homoskedastisitas. Namun, jika ragam sisaan tidak sama atau lain
E(ui2)=Var(ui)≠σ2, untuk setiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi, maka dikatakan ada masalah heteroskedastisitas. Jika semua asumsi klasik dalam model regresi linear dipenuhi kecuali masalah heteroskedastisitas, maka akibatnya dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap tidak bias, dan masih konsisten, namun standar errornya bias ke bawah (underestimate); sehingga penduga OLS tidak lagi efisien. Jika dugaan ragam koefiseian yang bias ini digunakan, maka statistik uji-t akan bias ke atas (overestimate) dan selang kepercayaan bagi parameter koefisien menjadi tidak benar. Adanya gejala heteroskedastisitas dapa dilakukan dengan menggunakan Uji White
dengan
hipotesis
H0
untuk
homoskedastisitas
dan
H1
untuk
heteroskedastisitas. Ketentuan yang digunakan adalah apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih besar daripada taraf nyata, maka terima H 0. Namun apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih kecil daripada taraf nyata, maka kesimpulan yang diambil adalah tolak H0 (Gujarati, 2004).
c. Uji Autokorelasi Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa sisaan menyebar bebas atau Cov(ui,uj)=E(ui,uj)=0 untuk setiap i≠j, yang dikenal sebagai bebas serial (serial independence). Jika antar sisaan tidak bebas atau E(ui,uj)≠0 untuk i≠j, maka dapat dikatakan terdapat masalah autokorelasi. Autokorelasi mengakibatkan parameter koefisien regresi dengan metode OLS masih tetap tidak bias, masih konsisten, namun memiliki standar error yang bias ke bawah, sehingga penduga OLS menjadi tidak efisien.
Pengujian adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan Uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Hipotesis yang digunakan adalah tidak ada autokorelasi untuk H0, sedangkan terdapat autokorelasi untuk H1. Ketentuan yang digunakan adalah apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih besar daripada taraf nyata, maka terima H0. Namun apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih kecil daripada taraf nyata, maka kesimpulan yang diambil adalah tolak H0 (Gujarati, 2004).
BAB IV GAMBARAN UMUM BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK DAN PROPINSI JAWA TIMUR
4.1. Alokasi Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010 Berdasarkan Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010 (Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 37/ Permentan/ SR.130 /5/ 2010), BLP organik disalurkan ke 31 propinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, Maluku Utara, Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, Papua Barat dan Sulawesi Barat. Lima propinsi yang memperoleh alokasi bantuan langsung pupuk terbanyak berturut-turut adalah Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur (Tabel 4.1.).
Tabel 4.1. Lima Propinsi Penerima BLP Terbanyak Tahun 2010 No 1. 2. 3. 4. 5.
Provinsi Jawa Barat Sumatera Utara Jawa Tengah Sulawesi Selatan Jawa Timur
Jumlah Alokasi Areal BLP (ha) 104.091 95.000 78.490 75.000 67.290
Sumber: Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010
Jumlah volume BLP untuk Pupuk NPK sebanyak 106.639,8 ton; Pupuk Organik Granul (POG) 319.919,4 ton; dan Pupuk Organik Cair (POC) 2.132.790 liter yang terinci pada Tabel 4.2.. Paket bantuan pupuk BLP per hektar terdiri atas pupuk NPK 100 kg, POG 300 kg, dan POC 2 liter.
Tabel 4.2. Alokasi Perusahaan Penyalur Bantuan Langsung Pupuk Tahun 2010 Uraian NPK (ton) POG (ton) POC (liter)
PT. Pertani 59.387,9 178.163,7 1.187.758,0
Alokasi Perusahaan PT. SHS PT. Berdikari 43.253,7 3.997,9 129.761,1 11.993,7 865.074,0 79.958,0
Jumlah 106.639,5 319.918,5 2.132.790,0
Sumber: Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010
Pemerintah menunjuk tiga perusahaan yang bertanggung jawab untuk menyalurkan BLP kepada petani. Tiga perusahaan tersebut adalah PT. Pertani (Persero), PT. Sang Hyang Seri (Persero) dan PT. Berdikari (Persero) (Tabel 4.2.). Harga pupuk ditetapkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atas saran dan pertimbangan Tim Referensi Harga BLP dengan memperhatikan rekomendasi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara mengenai Harga Pokok Penjualan (HPP) pupuk NPK, POG dan POC untuk PT. Pertani (Persero), PT. Sang Hyang Seri (Persero) dan PT. Berdikari (Persero). Pada penelitian ini, data yang diperoleh merupakan data yang didapat dari penelitian Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (PSP3 IPB) terhadap BLP dan BLBU yang didistribusikan oleh PT. Pertani di Propinsi Jawa Timur. Dalam proses pendistribusiannya, PT. Pertani (persero) memperhatikan jadwal tanam, sesuai dengan jadwal penyaluran BLBU yang telah ditetapkan untuk masing-masing lokasi.
4.2. Gambaran Umum Propinsi Jawa Timur Propinsi Jawa Timur merupakan propinsi yang terletak di Pulau Jawa selain Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Propinsi ini terletak pada
111,0′ hingga 114,4′ Bujur Timur dan 7,12′ hingga 8,48′ Lintang Selatan. Batas Daerah di sebelah utara berbatasan dengan pulau Kalimantan atau tepatnya dengan Propinsi Kalimantan Selatan. Di sebelah timur berbatasan dengan berbatasan dengan Pulau Bali. Di sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka yaitu Samudera Indonesia. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah (jatimprov.go.id, 2012).
sumber: jatimprov.go.id, 2012 Gambar 4.1. Gambar Peta Propinsi Jawa Timur
Secara umum, wilayah Jawa Timur dapat dibagi dua bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Luas wilayah propinsi Jawa Timur yang mencapai 46.428 km2 terbagi atas 9 daerah kota dan 29 daerah kabupaten. Sembilan daerah kota tersebut antara lain Kota Surabaya, Madiun, Kediri, Blitar, Malang, Batu, Pasuruan, Probolinggo, dan Mojokerto. Sedangkan 29 daerah kabupaten terebut antara lain Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung,
Blitar,
Kediri,
Malang,
Lumajang,
Jember,
Banyuwangi,
Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep (jatimprov.go.id, 2012). Berdasarkan sistem klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson sebagian besar wilayah (52%) Jatim mempunyai iklim tipe sedang. Keadaan maksimum suhu maksimum rata - rata mencapai 33°C sedangkan suhu minimum rata - rata mencapai 22°C. Keadaan curah hujan pertahun di Jawa Timur mempunyai karakteristik 35,54% wilayah dengan curah hujan kurang dari 1.750 mm; 44,00% wilayah dengan curah hujan 1.750 – 2.000 mm; dan 20,46% wilayah yang memiliki curah hujan lebih dari 2.000 mm (eastjava.com, 2012). Keadaan tanah di Propinsi Jawa Timur memiliki 64% wilayah daratan yang memungkinkan digunakan untuk kegiatan pertanian dan permukiman; 18% wilayah daratan yang memungkinkan untuk kegiatan pertanian tanaman tahunan keras; serta 18% wilayah daratan sebaiknya digunakan untuk hutan sebagai wilayah penyangga air dan keseimbangan ekosistem. Apabila dilihat dari sistem drainase, 95% dari luas total wilayah darat Propinsi Jawa Timur memiliki sistem drainase yang baik; 22,52% wilayah mengalami sistem drainase yang kurang baik (kadang-kadang tergenang); dan 1,48% wilayah memiliki sistem drainase yang tidak baik (eastjava.com, 2012). Keadaan ekonomi regional Jawa Timur dapat dilihat pada Lampiran 1. Besar PDRB Jawa Timur tahun 2011 atas dasar berlaku adalah sebesar Rp. 884.trilyun. Dengan jumlah penduduk pertengahan tahun 2011 sebanyak 37.687.622 jiwa, maka PDRB per kapita Jawa Timur mencapai Rp. 23,46 juta,
atau naik 12,95% dibanding PDRB perkapita tahun 2010 yang sebesar Rp. 20,77 juta (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012). Struktur perekonomian Jawa Timur sampai dengan tahun 2011 masih didominasi Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran dengan kontribusi sebesar 30,00%; diikuti sektor industri pengolahan 27,13%; dan sektor pertanian 15,39% (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012).
Tabel 4.3. Subsektor Pertanian PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2007-2011 (Juta Rupiah) Subsektor
2007
2008
2009
2010
2011
Pertumbuhan
Bahan Makanan
47.652,20
54.208,27
59.976,74
65.192,59
71.398,02
10,7%
Perkebunan
14.657,73
16.601,03
14.998,33
16.101,39
18.069,38
5,8%
Peternakan Kehutanan
15.871,07 1.207,90
18.489,26 1.851,00
21.061,49 1.976,58
23.289,88 2.559,19
26.497,30 3.059,14
13,7% 27,3%
Perikanan
10.052,77
11.845,61
14.220,72
15.480,92
17.004,08
14,1%
Sektor Pertanian
89.441,66 102.995,18 112.233,86 122.623,97 136.027,92
11,1%
Sumber: BPS Propinsi Jawa Timur, 2012 (diolah)
Pada Sektor Pertanian, Subsektor Tanaman Bahan Makanan memiliki proporsi paling besar kemudian disusul oleh Subsektor Peternakan, Perikanan, Tanaman Perkebunan, dan Kehutanan (Tabel 4.3.). Subsektor Tanaman Bahan Makanan cenderung mengalami peningkatan produksi tiap tahun dengan peningkatan rata-rata sebesar 10,7% per tahun. Tanaman bahan makanan yang paling banyak diproduksi adalah padi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.4.. Setelah padi, tanaman pangan yang banyak diproduksi adalah jagung dan ubi kayu. Produksi padi di Propinsi Jawa Timur cenderung mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2007 hingga tahun 2011 pertumbuhan produksi padi rata-rata sebesar 3% per tahun.
Tabel 4.4. Tabel Produksi Tanaman Pangan di Propinsi Jawa Timur Tahun 2009 – 2011 (Ton) Komoditi
2007
2008
2009
2010
2011
Pertumbuhan
Padi
9.402.029 10.474.773 11.259.085 11.643.773 10.576.543
3,3%
Jagung Ubi Kayu
4.252.182 3.423.630
5.053.107 3.533.772
5.266.720 3.222.637
5.587.318 3.667.058
5.443.705 4.032.081
6,6% 4,5%
Kedelai
252.027
277.281
355.260
339.491
366.999
10,5%
Kacang Tanah
196.886
202.345
216.474
207.796
211.416
1,9%
Ubi Jalar Kacang Hijau
149.811 80.241
136.556 72.126
162.607 83.629
141.103 79.878
217.545 80.329
12,8% 0,5%
Sumber: bps.go.id, 2012 (diolah)
Pada Tabel 4.5. dapat dilihat bahwa Propinsi Jawa Timur mengalami peningkatan luas panen padi tiap tahun. Sedangkan, produksi dan produktivitas padi di propinsi tersebut mengalami fluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan.
Tabel 4.5. Tabel Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2000 - 2011 Tahun
Luas Panen(Ha)
Produktivitas(Ku/Ha)
Produksi(Ton)
2007 2008
1.736.048 1.774.884
54,16 59,02
9.402.029 10.474.773
2009
1.904.830
59,11
11.259.085
2010
1.963.983
59,29
11.643.773
2011
1.945.712
54,35
10.576.543
Pertumbuhan
2,9%
0,3%
3,3%
Sumber: bps.go.id, 2012 (diolah)
Berdasarkan Tabel 4.6., jumlah tenaga kerja yang terserap masih didominasi oleh Sektor Pertanian (39,70%). Hal ini merupakan ciri dari daerah pedesaan yang masih menjadi wilayah terluas di Jawa Timur. Bahkan pada daerah pedesaan, Sektor Pertanian mampu menyerap hingga 59,0% pekerja. Sementara di daerah perkotaan Sektor Pertanian (17,39%) masih lebih rendah dibandingkan Sektor
Industri (18,59%), Sektor Perdagangan (28,69%) dan Sektor Jasa (19,05%). Dari sisi lain, pekerja laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan hampir pada semua sektor kecuali Sektor Perdagangan. Pekerja perempuan pada Sektor Perdagangan mencapai 55,29% terhadap pekerja laki-laki (BPS Propinsi Jawa Timur, 2011). Walaupun jumlah tenaga kerja yang terserap lebih didominasi oleh sektor pertanian, namun terjadi penurunan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor tersebut. Hal ini dikarenakan beberapa tenaga kerja dari sektor pertanian beralih lapangan kerja ke sektor industri pengolahan dan sektor lainnya.
Tabel 4.6. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009 – 2011 (ribuan orang) Per Bulan Agustus Tahun
Lapangan Pekerjaan Utama
2009
2010
2011
Rata-rata Pertumbuhan
Pertanian
8.287,92
7.939,48
7.520,07
-4,74%
Industri Pengolahan
2.385,68
2.482,56
2.665,47
5,71%
Perdagangan Jasa Kemasyarakatan
3.933,11 2.347,46
3.787,78 2.446,50
3.908,29 2.458,84
-0,26% 2,36%
Lainnya *)
2.350,87
2.041,79
2.387,67
1,90%
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, Hasil Sakernas 2009 – 2011 (diolah) *) Lapangan pekerjaan utama/sektor lainnya terdiri dari Sektor Pertambangan, Listrik, Gas dan Air, konstruksi, Keuangan.
BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR
Penelitian dilakukan di Propinsi Jawa Timur selama bulan Juni 2011 dengan melihat hasil produksi padi pada dua musim tanam yang berbeda (satu musim tanam sebelum dan satu musim tanam sesudah mendapatkan BLP Organik). Lokasi penelitian dilakukan dengan memilih dua kabupaten yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso. Pemilihan responden dilakukan secara acak sederhana dengan bantuan daftar yang dimiliki oleh petugas pertanian setempat. Total sampel petani padi adalah 60 orang, dimana dari setiap petani diperoleh dua informasi usahatani padi untuk perbandingan before dan after. Dengan demikian, jumlah usahatani padi yang dianalisis berjumlah 120 unit. Paket BLP Organik yang diterima oleh petani adalah 100 kg NPK, 300 kg POG, dan 2 liter POC per hektar. Selain BLP Organik, petani juga mendapatkan bantuan benih unggul dari program BLBU. Paket bantuan diterima dan digunakan petani sekitar bulan Agustus-September 2010. Perbandingan before dan after menggunakan musim tanam yang sama yaitu rata-rata pada musim tanam ketiga (sekitar bulan September) pada tahun yang berbeda (tahun 2009-2010 dan tahun 2010-2011)
5.1. Karakteristik Responden dan Implementasi Penerimaan Program BLP Organik Gambaran karakteristik responden terkait umur, lama pendidikan, dan lama usahatani petani padi di Propinsi Jawa Timur disajikan pada Tabel 5.1..
Responden rata-rata berumur sekitar 42 tahun. Lama pendidikan yang ditempuh responden rata-rata sekitar 10 tahun dengan lama pendidikan paling banyak adalah tamat SLTA (26,67%). Lama pengalaman berusahatani umumnya cukup berpengalaman dalam berusahatani yaitu rata-rata sekitar 21 tahun.
Tabel. 5.1. Karateristik Responden Petani Padi Jawa Timur Karakteristik Umur * 20 - 35 tahun * 36 - 51 tahun * 52 - 67 tahun Rata-rata Umur (Tahun) Lama Pendidikan * Tidak Tamat SD * Tamat SD * Tidak Tamat SLTP * Tamat SLTP * Tidak Tamat SLTA * Tamat SLTA * Perguruan Tinggi Rata-rata Lama Pendidikan (Tahun) Lama Usahatani * 2 - 19 tahun * 20 - 37 tahun * 38 - 55 tahun Rata-rata Lama Pengalaman Usahatani (tahun)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
18 27 15 42
30,00 45,00 25,00
6 12 2 11 2 16 11 10
10,00 20,00 3,33 18,33 3,33 26,67 18,33
29 25 6
48,33 41,67 10,00
21
Sumber: Data Primer (diolah) Karaktersitik lahan sawah yang dikuasai responden dapat dilihat pada Tabel 5.2.. Sebagian besar responden (46,7%) merupakan petani pemilik sawah namun sawah yang dimiliki rata-rata hanya seluas 0,23 hektar. Sebesar 35% responden merupakan petani pemilik lahan sawah dengan luas lahan rata-rata sebesar 0,73 hektar. Hanya 1,7% responden saja yang memiliki lahan dengan luas lebih dari 1 hektar. Rata-rata penguasaan lahan sawah terpencar di beberapa lokasi dengan rata-rata persil 1,916.
Tabel. 5.2. Karateristik Lahan Responden Petani Padi Jawa Timur Luas Lahan < 0,5 ha 0,5 - 1 ha > 1 ha Total (%)
Milik Rata(%) rata 0,23 46,7 0,73 35,0 1,5 1,7 83,3
Sewa Garap Lainnya RataRataRata(%) (%) (%) Rata rata Rata 0,25 3,3 0,4 1,7 0,75 3,3 1 3,3 0,73 5,0 6,7 5,0 5,0
Total (%) 51,7 46,7 1,7 100,0
Sumber: Data Primer (diolah) Rata-rata responden intensitas lahan 300%. Selain padi, 1,7% responden juga menanam sayuran atau palawija di lahan yang sama namun dengan kuantitas yang lebih sedikit. Benih padi yang dibudidayakan responden pada musim tanam setelah mendapatkan BLP Organik adalah Padi Hibrida varietas Sembada B3, Sembada B9, dan Mekongga yang diperoleh dari bantuan pemerintah (BLBU).
5.2. Dampak Program BLP Organik terhadap Produksi Padi dan Pendapatan Petani Penerapan program BLP Organik memberikan beberapa perubahan dalam penggunaan input produksi maupun hasil (output) produksi. Berikut ini adalah pemaparan perubahan yang terjadi dalam penggunaan input benih, pupuk, tenaga kerja, serta hasil produksi padi dan pendapatan petani. Pada budidaya benih, terjadi penurunan jumlah benih sebesar 20,53% yakni dari 36,05 kg/ha menjadi 28,65 kg/ha (Tabel 5.3.). Pada masa tanam setelah menerima BLP Organik, petani menanam padi dengan menggunaan paket benih unggul yang diperoleh dari program BLBU. Adapun jenis benih unggul yang diperoleh petani cukup beragam yaitu benih padi Hibrida varietas Sembada B3, Sembada B9, dan Mekongga. Pada masa tanam sebelum mendapatkan BLBU, petani membudidayakan benih padi lokal. Karena menggunakan benih berkualitas
lebih unggul, maka jumlah benih yang dibudidayakan per hektar sawah lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah benih padi lokal.
Tabel. 5.3. Perbandingan Penggunaan Benih pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik Uraian Benih (Kg) Harga Benih (Rp.) Total Biaya Benih (Rp.)
Sebelum BLP Organik 36,05 6.280,85 226.393,87
Sesudah BLP Organik 28,65 6.861,33 196.555,19
Perubahan (%) -20,53 9,24 -13,18
Sumber: Data Primer (diolah)
Tabel 5.3. menunjukkan perbandingan harga dan biaya total benih. Harga benih pada masa tanam setelah menerima bantuan mengalami peningkatan sebesar 9,24% yakni menjadi Rp. 6.861,33 per hektar. Harga benih unggul yang digunakan mengacu pada harga pasar benih unggul ketika petani menerima bantuan. Biaya total benih yang digunakan pada masa tanam setelah menggunakan bantuan mengalami penurunan sebesar 13,18%. Hal ini karena walaupun terjadi peningkatan harga benih, namun jumlah benih yang digunakan per hektar lebih sedikit daripada jumlah benih yang digunakan pada saat sebelum menerima bantuan. Pada masa tanam sebelum dan sesudah mendapatkan BLP Organik terdapat perbedaan kuantitas penggunaan pupuk. Paket bantuan pupuk yang diterima (100 kg NPK, 300 kg POG, dan 2 liter POC per hektar) menjadi substitusi pupuk Urea, TSP, dan KCL. Perubahan kuantitas penggunaan pupuk tersebut disajikan oleh Tabel 5.4.. Penggunaan pupuk Urea, TSP dan KCL mengalami penurunan kuantitas berturut-turut sebesar 46,17%; 42,92%; dan 82,99%. Sedangkan, pada
penggunaan pupuk NPK, POG, dan POC mengalami peningkatan kuantitas berturut-turut sebesar 50,12%; 549,60%; dan 2.911,20%.
Tabel. 5.4. Perbandingan Penggunaan Pupuk pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik Jenis Pupuk
Sebelum (Kg/ha)
Urea TSP KCL NPK POG POC (Liter) Total Pupuk
325,09 18,25 4,08 89,37 59,09 0,09 495,97
Sesudah (Kg/ha) 174,99 10,42 0,69 134,16 383,85 2,84 706,95
Perubahan (%) -46,17 -42,92 -82,99 50,12 549,60 2.911,20 3.338,84
Sumber: Data Primer (diolah)
Tabel 5.5. menunjukkan adanya peningkatan harga dan biaya total yang dikeluarkan untuk membeli pupuk.
Tabel. 5.5. Perbandingan Penggunaan Pupuk pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik Sebelum BLP Organik Setelah BLP Organik Jumlah Harga (Rp) Total Nilai(Rp) Jumlah Harga (Rp) Total Nilai(Rp) Urea (Kg) 325,09 1.417,66 460.864,62 174,99 1.746,22 305.572,54 TSP (Kg) 18,25 2.018,26 36.833,33 10,42 2.160,00 22.500,00 KCL (Kg) 4,08 3.397,96 13.875,00 0,69 3.725,00 2.586,81 NPK (Kg) 89,37 2.188,89 195.614,68 134,16 2.300,00 308.558,57 POG (Kg) 59,09 2.118,84 125.201,09 383,85 2.300,00 882.846,20 POC (Lt) 0,09 60.000,00 5.666,67 2,84 62.643,08 178.151,55 Total Biaya Pupuk 838.055,40 1.700.215,66 Jenis Pupuk
Δ Total Nilai (%) -33,70 -38,91 -81,36 57,74 605,14 3.043,85 102,88
Sumber: Data Primer (diolah)
Harga paket bantuan pupuk (NPK, POG, dan POC) yang digunakan mengacu pada harga pasar pupuk ketika bantuan diterima. Harga pupuk Urea, TSP, dan KCL mengalami peningkatan, tetapi jumlah pupuk yang digunakan tersebut mengalami penurunan, sehingga total nilainya mengalami penurunan berturut-
turut sebesar 33,70%; 38,91%; dan 81,36% per hektar. Pada pupuk NPK, POG, dan POC terjadi peningkatan total nilai yang signifikan yaitu berturut-turut sebesar 57,74%; 605,14%; dan 3.043,85% per hektar. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan jumlah dan peningkatan harga pasar pupuk yang digunakan. Apabila dilihat dari struktur tenaga kerja pada Tabel 5.6., hampir tidak terjadi perubahan yang signifikan pada jumlah tenaga kerja baik tenaga kerja manusia (Hari Orang Kerja/HOK), tenaga kerja hewan, maupun tenaga kerja mesin. Namun apabila dilihat dari total nilai, terjadi peningkatan total nilai upah tenaga kerja manusia sebesar 7,60% dan total nilai upah tenaga kerja mesin sebesar 6,21%. Peningkatan tersebut dikarenakan meningkatnya rata-rata harga upah per tenaga kerja.
Tabel. 5.6. Perbandingan Penggunaan dan Biaya Tenaga Kerja pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik Sebelum BLP Organik Jenis Tenaga Kerja Persiapan dan Pengolahan Lahan Penanaman Penyiangan Tanaman Pemupukan Pemberantasan HPT Panen Pengangkutan Hasil Panen Total Tenaga Kerja Manusia Tenaga Kerja Hewan Tenaga Kerja Mesin
Jml
Upah (Rp) (HOK) 20 17.318,78 30 14.005,13 28 14.534,02 6 17.018,14 7 16.347,01 24 21.897,83 7 19.040,20
Total Nilai (Rp)
345.453,54 421.377,52 400.557,13 97.182,06 116.147,41 517.927,26 135.774,32 2.034.419,24 1 120.926,82 76.800,00 3 172.378,64 437.304,95
Setelah BLP Organik Jml (HOK)
21 30 28 6 7 25 8
Upah (Rp) 17.401,29 14.665,91 14.740,18 17.342,81 17.257,19 24.075,42 20.450,13
Total Nilai (Rp)
357.733,43 445.828,32 409.302,86 101.565,20 116.016,59 596.583,29 161.908,53 2.188.938,22 1 120.926,82 76.800,00 3 170.999,74 464.444,29
Δ Total Nilai (%) 0,48% 5,80% 2,18% 4,51% -0,11% 15,19% 19,25% 7,60% 6,21%
Sumber: Data Primer (diolah)
Dalam penelitian ini, penghitungan analisis usahatani akan dibedakan menjadi analisis usahatani atas dasar Biaya Tunai dan analisis usahatani atas dasar Biaya Total. Analisis usahatani atas dasar biaya tunai merupakan penghitungan pendapatan usahatani tanpa memperhitungkan biaya nonkomersial sedangkan
analisis usahatani atas dasar total merupakan penghitungan pendapatan dengan ikut memperhitungkan biaya nonkomersial (harga bantuan pupuk dan tenaga kerja dalam keluarga). Oleh karena itu, penghitungan nilai imbangan biaya dan manfaat masing-masing akan diperoleh baik atas dasar biaya tunai maupun atas dasar biaya total. Berdasarkan analisis usahatani atas dasar biaya tunai (Tabel 5.7.) dapat dilihat adanya penurunan biaya tunai sebesar -13,84% yakni dari Rp. 4.434.834,29 per hektar menjadi Rp. 3.895.805,68 per hektar. Hal ini dikarenakan pada musim tanam setelah mendapatkan BLP Organik, benih unggul dan pupuk (NPK, POG, dan POC) diperoleh petani secara cuma-cuma tanpa mengeluarkan biaya pembelian. Produktivitas padi setelah menggunakan BLP Organik mengalami peningkatan sebesar 10,06% yaitu dari 4,9 ton menjadi 5,4 ton Gabah Kering Panen (GKP) per hektar. Sedangkan harga gabah hasil produksi meningkat sebesar 12,8% yaitu dari Rp. 2.547,23 menjadi Rp. 2.872,28 per hektar.
Tabel. 5.7. Perbandingan Produksi dan Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik (Atas Dasar Biaya Tunai) Parameter 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jumlah Biaya Tunai (Rp.) Produksi Padi (Kg GKP) Harga (Rp./Kg) Nilai Produksi Padi (Rp.) Pendapatan (Rp.) R/C Ratio B/C Ratio
Sebelum BLP Organik 4.434.834,29 4.916,05 2.547,23 12.522.297,43 8.087.463,14 2,82 1,82
Sesudah BLP Organik 3.895.805,68 5.410,39 2.872,28 15.540.167,63 11.644.361,95 3,99 2,99
Perubahan (%) -13,84 10,1 12,8 24,1 43,98
Sumber: Data Primer (diolah)
Adanya penurunan biaya tunai dan peningkatan penerimaan usahatani, maka pendapatan usahatani meningkat (43,98%) dari Rp. 8.087.463,14 menjadi Rp.
11.644.361,95. Peningkatan pendapatan ini mendorong kenaikan nilai R/C Ratio dari 2,82 menjadi 3,99; dan B/C Ratio dari 1,82 menjadi 3,00. Nilai R/C Ratio sebesar 3,99 memiliki pengertian bahwa apabila petani mengeluarkan biaya usahatani sebesar Rp. 1,- maka petani tersebut akan memperoleh penerimaan (revenue) sebesar Rp. 3,99,-. B/C Ratio yang menunjukkan nilai 2,99 memiliki pengertian bahwa apabila petani mengeluarkan biaya usahatani sebesar Rp. 1,maka petani tersebut akan menerima pendapatan sebesar Rp. 2,99,-. Apabila dilihat dari analisis usahatani atas dasar biaya total (Tabel 5.8.) jumlah biaya total yang dikeluarkan oleh petani mengalami peningkatan sebesar 20,7% yakni dari Rp. 4.952.761,55 per hektar menjadi Rp. 5.979.844,45 per hektar. Walaupun total biaya mengalami peningkatan, namun secara keseluruhan pendapatan usahatani padi meningkat sebesar 26,3% yaitu dari Rp. 7.569.535,88 menjadi Rp. 9.560.323,18 per hektar. Peningkatan ini diperoleh karena meningkatnya produktivitas serta harga padi sehingga penerimaan juga mengalami peningkatan. Adanya peningkatan tersebut mendorong kenaikan nilai R/C Ratio dari 2,53 menjadi 2,60; dan B/C Ratio dari 1,53 menjadi 1,60.
Tabel. 5.8. Perbandingan Produksi dan Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik (Atas Dasar Biaya Total) Parameter 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jumlah Biaya Total (Rp.) Produksi Padi (Kg GKP) Harga (Rp./Kg) Nilai Produksi Padi (Rp.) Pendapatan (Rp.) R/C Ratio B/C Ratio
Sumber: Data Primer (diolah)
Sebelum BLP Organik 4.952.761,55 4.916,05 2.547,23 12.522.297,43 7.569.535,88 2,53 1,53
Sesudah BLP Organik 5.979.844,45 5.410,39 2.872,28 15.540.167,63 9.560.323,18 2,60 1,60
Perubahan (%) 20,7 10,1 12,8 24,1 26,3
Nilai R/C Ratio sebesar 2,60 memiliki pengertian bahwa apabila petani mengeluarkan biaya usahatani sebesar Rp. 1,- maka petani tersebut akan memperoleh penerimaan (revenue) sebesar Rp. 2,60,-. B/C Ratio yang menunjukkan nilai 1,60 memiliki pengertian bahwa apabila petani mengeluarkan biaya usahatani sebesar Rp. 1,- maka petani tersebut akan menerima pendapatan sebesar Rp. 1,60,-. Baik pada analisis usahatani atas dasar biaya tunai maupun analisis usahatani atas dasar biaya total, nilai R/C Ratio dan B/C Ratio musim tanam setelah menggunakan BLP Organik yang lebih besar dari angka satu, dan juga lebih besar dari R/C Ratio dan B/C Ratio pada musim tanam sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa BLP Organik memberikan dampak pada peningkatan produksi padi (GKP) dan pendapatan pada petani. Dengan kata lain, penggunaan BLP Organik lebih memberikan keuntungan bagi petani baik atas dasar biaya tunai maupun biaya total. Hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan adanya peningkatan produksi, produktivitas, serta pendapatan petani. Hal ini sama seperti hasil penelitian PSP3 (2010) mengenai dampak program BLP dan BLBU pada tujuh propinsi di Indonesia. Selain itu peningkatan produktivitas setelah menggunakan pupuk berimbang (anorganik dan organik) yang terjadi di penelitian ini memiliki hasil yang sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Yuliarmi (2006).
5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Untuk melihat pengaruh pupuk organik (POG maupun POC) dari BLP Organik
terhadap
produksi
padi,
dilakukan
analisis
produksi
dengan
menggunakan Fungsi Produksi Cobb-Douglas. Variabel-variabel bebas yang dimasukkan ke dalam fungsi produksi antara lain (1) variabel luas lahan, (2) volume benih, (3) jumlah tenaga kerja manusia, (4) volume pupuk Urea, (5) volume pupuk TSP, (6) volume pupuk KCL, (7) volume pupuk NPK, (8) volume POG, (9) volume POC, serta (10) volume pestisida dan obat. Kemudian yang menjadi variabel terikat dalam fungsi produksi adalah produksi padi (GKP). Penyusunan dan pengujian Fungsi Produksi Cobb-Douglas dilakukan dengan menggunakan model regresi linear berganda. Fugsi produksi yang disusun dan diuji menggunakan bantuan aplikasi statistika Eviews 4 dan Minitab 14 tersebut diperoleh hasil regresi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.9..
Tabel 5.9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Variabel Konstanta Ln Luas Lahan Ln Benih Ln Tenaga Kerja Manusia Ln Urea Ln TSP Ln KCL Ln NPK Ln Pupuk Organik Granul (POG) Ln Pupuk Organik Cair (POC) Ln Pestisida dan Obat R-squared F-statistik
Koefisien 6,416168 0,415865 0,143191 0,266631 0,118364 0,054680 0,175143 -0,053520 0,001619 0,282203 -0,060534
t-Statistik
Prob.
7,926169 0 1,950489 0,0568 0,888405 0,3787 2,250518 0,0289 2,529980 0,0147 0,707121 0,4828 1,155307 0,2536 -1,264357 0,2121 0,038187 0,9697 2,133107 0,0379 -1,212128 0,2313 Adj-R0,742776 0,690281 Squared 14,14951
VIF 6 4,8 1,8 1,7 1,1 1,0 1,4 1,4 2,5 1,2
Sumber: Data Primer (diolah) Hasil uji statistika menunjukkan nilai koefisien determinasi (R-squared/R2) sebesar 0,742776. Hal ini memiliki pengertian bahwa variasi dari perubahan produksi padi (GKP) mampu dijelaskan hubungan linearnya oleh variabel-
variabel luas lahan, volume benih, jumlah tenaga kerja manusia, volume pupuk Urea, volume pupuk TSP, volume pupuk KCL, volume pupuk NPK, volume Pupuk Organik Granul, volume Pupuk Organik Cair, serta volume pestisida dan obat sebesar 74,27%. Sedangkan sisanya sebesar 25,73% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak masuk ke dalam fungsi. Pengujian variabel secara keseluruhan model regresi untuk mengetahui adanya pengaruh variabel yang signifikan secara bersamaan dilakukan dengan ujiF. Pengujian ini melibatkan kesepuluh variabel bebas (Ln X) terhadap variabel terikat (Ln Y). Uji F dilakukan dengan cara membandingkan nilai F-statistik dengan F-tabel pada taraf 10% dengan derajat bebas pertama sebesar 10, dan derajat bebas kedua sebesar 49 (F-tabel10%;10;49 = 1,7319). Hasil regresi menunjukkan nilai F-statistik (14,14951) yang lebih besar daripada F-tabel, sehingga dapat dikatakan minimal ada satu variabel bebas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produksi padi. Masing-masing variabel bebas dapat dikatakan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat apabila t-statistik koefisien regresi masing-masing variabel bebas lebih besar daripada t-tabel dengan taraf 10% dan derajat bebas 50 (t-tabel10%;50 = 1,6759). Berdasarkan Tabel 5.7., variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap produksi padi (Ln GKP) adalah variabel luas lahan (Ln Luas Lahan), tenaga kerja manusia (Ln TK Manusia), pupuk Urea (Ln Urea), dan POC (Ln POC). Selain melakukan uji statistika, fungsi produksi yang telah disusun harus diuji dengan pengujian ekonometrika berdasarkan asumsi klasik. Uji ini dilakukan untuk melihat bahwa fungsi produksi yang dibuat terbebas dari gejala
heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas. Hasil dari pengujian masing-masing asumsi klasik disajikan dalam Tabel 5.10..
Tabel 5.10. Hasil Uji Asumsi Klasik Regresi Asumsi Normalitas Heteroskedastisitas Autokorelasi Multikolineartas
Kriteria Prob. (0,3598) > α (10%) Prob. (0,1479) > α (10%) Prob (0,5424) > α (10%) VIF < 10
Kesimpulan Residual menyebar normal. Homoskedastisitas Tidak ada autokorelasi Tidak ada multikolinearitas
Sumber: Data Primer (diolah)
Uji normalitas digunakan untuk melihat residual (galat/error term) terdistribusi normal atau tidak terdistribusi normal. Hipotesis yang digunakan adalah residual menyebar normal untuk H0, sedangkan H1 adalah residual tidak menyebar normal. Hasil uji normalitas menunjukkan nilai probabilitas (0,3598) yang lebih besar dari taraf nyata 10% (0,10) sehingga kesimpulan dari uji tersebut adalah terima H0. Residual fungsi produksi yang dibuat telah terdistribusi normal. Uji heteroskedastisitas merupakan pengujian yang memperhatikan ragam residual. Suatu model regresi dapat dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas di mana ragam residual sama atau homogen. Pengujian heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan Uji White dengan hipotesis H0 untuk homoskedastisitas dan H1 untuk heteroskedastisitas. Hasil Uji White menunjukkan nilai probabilitas (0,1479) yang lebih besar daripada taraf nyata 10% (0,10) sehingga kesimpulan uji tersebut adalah terima H0. Fungsi produksi
yang
telah
disusun
memiliki
ragam
sisaan
yang
homogen
(homoskedastisitas). Pengujian selanjutnya adalah uji autokorelasi dengan metode Uji BreuschGodfrey Serial Correlation LM untuk melihat bahwa residual telah menyebar
bebas atau tidak menyebar bebas. Model regresi yang baik merupakan apabila tidak ada autokorelasi yaitu residual menyebar bebas. Hipotesis yang digunakan adalah tidak ada autokorelasi untuk H0, sedangkan terdapat autokorelasi untuk H1. Berdasarkan hasil pengujian didapatkan nilai probabilitas (0,5424) yang lebih besar daripada taraf nyata 10% (0,10) sehingga kesimpulan uji tersebut adalah terima H0. Hal ini berarti bahwa tidak ada autokorelasi dalam fungsi yang telah dibuat. Pengujian terakhir dalam asumsi klasik regresi adalah uji Multikolinearitas yaitu pengujian adanya korelasi parsial antar variabel. Model regresi yang baik ialah apabila tidak ada hubungan linear antar variabel dalam model yang dibuat. Pengujian tersebut dapat dilakukan dengan melihat nilai VIF yang kurang dari angka 10. Dari pengamatan pada Tabel 5.9., dapat disimpulkan bahwa variabel yang disusun dalam fungsi produksi tersebut tidak ada yang memiliki autokorelasi. Berdasarkan hasil pengujian statistika dan asumsi klasik regresi tersebut di atas, maka fungsi produksi yang dibuat dapat dirumuskan ke dalam persamaan sebagai berikut:
Ln GKP = 6,416167709 + 0,4158651194 Ln Luas Lahan + 0,2666308273 Ln TK Manusia + 0,1183636222 Ln Urea + 0,2822034064 Ln POC (5.1.)
Dari Persamaan 5.1. dapat dilihat bahwa lahan memiliki pengaruh positif terhadap produksi padi dengan koefisien sebesar 0,4158. Setiap terjadi peningkatan luas lahan sebesar 1%, maka produksi padi juga akan mengalami peningkatan sebesar 0,4158% di mana variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus).
Berdasarkan lahan sawah yang dikuasai oleh responden, luas lahan kurang dari 0,5 hektar (rata-rata 0,23 hektar), akan menghasilkan rata-rata total produksi padi sebanyak 1,2 ton GKP per musim tanam. Luas lahan antara 0,5 hingga 1 hektar (rata-rata 0,75 hektar), akan menghasilkan rata-rata total produksi padi sebanyak 4 ton GKP per musim tanam. Sedangkan, lahan yang memiliki luas lebih dari 1 hektar (rata-rata 1,5 hektar), akan menghasilkan rata-rata total produksi padi sebanyak 7,5 ton GKP per musim tanam. Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi penambahan luas lahan maka akan terjadi peningkatan produksi padi (GKP) yang dihasilkan. Hasil penelitian tersebut sama seperti hasil penelitian Angelia (2011); Yuliarmi (2006); serta Sianipar et. al. (2009) yang menyatakan bahwa lahan merupakan variabel yang mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap produksi padi. Variabel lain yang berpengaruh positif terhadap produksi padi adalah jumlah tenaga kerja manusia dengan koefisien sebesar 0,2666. Apabila terjadi penambahan jumlah tenaga kerja manusia sebesar 1% maka akan meningkatkan produksi padi sebesar 0,2666% dengan variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hasil penelitian tersebut sama seperti hasil penelitian Yuliarmi (2006) dan Angelia (2011) yang menyatakan bahwa tenaga kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap produksi padi. Tenaga kerja manusia pada sebelum menggunakan pupuk organik dan setelah menggunakan pupuk organik mengalami peningkatan. Rata-rata tenaga kerja yang dipekerjakan sebelum menggunakan pupuk organik sebanyak 17 HOK per musim tanam. Sedangkan, rata-rata tenaga kerja yang dipekerjakan setelah menggunakan pupuk organik sebanyak 18 HOK per musim tanam. Jumlah tenaga
kerja yang mengalami peningkatan jumlah paling besar yaitu pada tenaga kerja: (1) panen; dan (2) pengangkutan hasil panen. Pada tenaga kerja pemupukan tidak terjadi perubahan jumlah tenaga kerja (HOK). Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan pupuk organik berimbang, maka petani mempekerjakan tenaga kerja pemupukan dengan jumlah yang sama ketika menggunakan pupuk anorganik. Walaupun terjadi penambahan jumlah pupuk organik, namun kuantitas total pupuk yang diaplikasikan ke lahan berjumlah tetap. Hal ini dikarenakan adanya pengurangan jumlah pupuk anorganik akibat subtitusi dari pupuk organik. Jumlah tenaga kerja pemupukan yang tidak berubah tersebut berbeda dengan hasil penelitian PSP3 (2010) yang menyatakan bahwa penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja pemupukan lahan. Pada variabel jumlah pupuk Urea memiliki hubungan positif dengan produksi padi yaitu dengan koefisien sebesar 0,1183. Hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan sebesar 1% pada jumlah pupuk Urea yang digunakan, maka produksi padi akan meningkat sebesar 0,1183% dengan variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Pupuk urea merupakan pupuk yang memberikan unsur nitrogen (N) bagi tanaman. Pupuk tersebut berguna untuk merangsang pertumbuhan batang dan daun, meningkatkan jumlah tunas, serta meningkatkan bulir padi (Deptan, 2000). Departemen pertanian menganjurkan dosis penggunaan pupuk Urea sebanyak 150-200 Kg/ha (Deptan, 2000). Pada penelitian ini, rata-rata penggunaan pupuk Urea setelah menggunakan BLP Organik yaitu sebesar 175 Kg/ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pupuk Urea oleh petani sudah memenuhi dosis
yang dianjurkan oleh Departemen Pertanian sehingga pupuk Urea memiliki pengaruh signifikan terhadap produksi padi. Hasil tersebut serupa dengan hasil penelitian Sianipar et. al. (2009) yang menyatakan bahwa pupuk Urea memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap produksi padi. Pada variabel POC memiliki hubungan positif terhadap produksi padi sebesar 0,2822. Apabila terjadi peningkatan penggunaan POC sebesar 1%, maka produksi padi yang dihasilkan masing-masing meningkat sebesar 0,2822% dengan variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). POC memiliki fungsi untuk: (1) meningkatkan ketersediaan unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan hara mikro (Mn, Mo, Fe, Cu, Co, dan B) untuk tanaman; (2) memperbaiki aktivitas biologi, sifat fisik dan kesehatan, serta keseimbangan ekologi tanah; (3) dapat meningkatkan efisiensi pemupukan Urea, TSP, dan KCl hingga 20%; (4) memperbaiki kemampuan tanah dalam menyimpan air, dan (5) dapat menekan aktivitas patogen penyebab penyakit tanaman (Deptan, 2008). Dosis yang diberikan pada tanaman padi adalah sebanyak 2-3 liter/ha yaitu dengan cara melarutkan 5-10 ml ke dalam 1 liter air kemudian disemprotkan secara merata pada permukaan tanah, daun, dan batang (Deptan, 2008). Pada penelitian ini, rata-rata penggunaan POC oleh petani setelah mendapatkan bantuan adalah sebanyak 2,84 liter/ha. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah POC yang digunakan petani tepat sesuai anjuran Departemen Pertanian. Petani merasakan adanya manfaat yang diperoleh setelah menggunakan pupuk organik antara lain: (1) tanaman padi menjadi lebih subur; (2) membuat batang padi menjadi lebih besar sehingga tidak mudah rebah; dan (3) lahan sawah
menjadi lebih gembur serta lebih banyak pori-pori tanah. Hasil penelitian tersebut serupa dengan hasil penelitian PSP3 (2010) yang menyatakan bahwa POC mempunyai pengaruh positif terhadap produksi padi. Apabila dilihat dari hasil regresi, POG menunjukkan faktor produksi yang tidak signifikan secara statistik. Hal ini dikarenakan pemberian POG 300kg/ha dari paket bantuan dinilai kurang memenuhi kebutuhan lahan karena berdasarkan idealnya jumlah POG yang diaplikasikan ke lahan sawah adalah sebanyak 1 ton/ha. Variabel lain yang tidak signifikan secara statistik yaitu: jumlah benih, pupuk TSP, pupuk KCL, serta pestisida dan obat. Hal ini mengindikasikan bahwa kuantitas pemberian benih, pupuk TSP, pupuk KCL, serta pestisida dan obat belum optimal sehingga perlu adanya penambahan kuantitas pada masing-masing variabel tersebut. Dari jumlah koefisien seluruh variabel regresi yang signifikan, dapat diperoleh elastisitas produksi sebesar 1,083063 yang menunjukkan increasing return to scale. Keadaan tersebut masih menunjukkan kondisi irasional ( p>1), sehingga penggunaan input usaha tani yakni: luas lahan, tenaga kerja manusia, pupuk Urea, dan POC masih harus ditingkatkan untuk meningkatkan produksi padi.
5.4. Persepsi Petani terhadap Hasil dan Program BLP Organik Salah satu alasan digulirkannya BLP Organik adalah karena penggunaan pupuk organik yang masih rendah oleh petani. Dari data yang berhasil dikumpulkan
(Tabel
5.11.),
sebesar
56,67%
responden
belum
pernah
menggunakan pupuk organik dan 43,33% responden sudah pernah menggunakan
pupuk organik. Alasan bagi yang belum pernah menggunakan pupuk organik adalah sulit mendapatkan pupuk organik dan merasa belum perlu menggunakan pupuk organik. Bagi yang sudah pernah menggunakan pupuk organik, sumber pupuk organik yang digunakan berasal dari membeli secara swadaya di kios pupuk dan memproduksi pupuk organik sendiri.
Tabel. 5.11. Penggunaan Pupuk Organik sebelum memperoleh BLP Organik Uraian Jumlah Penggunaan Pupuk Organik 1. Sudah pernah menggunakan 2. Belum pernah menggunakan Total Alasan Bagi yang Belum Pernah Menggunakan 1. Sulit mendapatkan pupuk organik 2. Harga pupuk organik yang lebih mahal 3. Belum merasa perlu menggunakannya 4. Hasil produksi tidak berbeda tanpa pupuk organik 5. Lainnya Total Sumber Pupuk Organik bagi yang Sudah Menggunakannya 1. Beli dari kios 2. Memproduksi sendiri 3. Bantuan 4. Lainnya Total
Persen 26 34 60
43,33 56,67 100,00
12 3 10 6 3 34
35,29 8,82 29,41 17,65 8,82 100,00
12 11 2 1 26
46,15 42,31 7,69 3,85 100,00
Sumber: Data Primer (diolah)
Sebagian besar petani (62%) yang belum pernah menggunakan pupuk organik adalah petani dari Kabupaten Banyuwangi, sedangkan petani yang sudah menggunakan pupuk organik 65% berasal dari Kabupaten Bondowoso. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa di Kabupaten Bondowoso lebih mudah untuk mengakses pupuk organik daripada di Kabupaten Banyuwangi. Pada Tabel 5.12. secara keseluruhan (73,33%) petani tidak merasakan adanya masalah dalam pelaksanaan program BLP Organik. Dengan kata lain, program BLP Organik telah memenuhi asas enam tepat, yaitu tepat jenis, tepat
jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu dan tepat mutu. Namun, ada sebagian kecil petani yang merasa paket bantuan pupuk organik turun terlambat (15,00%) dan jumlah volume paket yang diterima tidak memadai (8,33%). Petani yang merasa paket bantuan pupuk organik turun terlambat menginginkan bantuan pupuk datang pada awal masa penanaman padi, tetapi paket bantuan pupuk organik baru diterima petani pada saat padi sudah mulai tumbuh.
Tabel. 5.12. Masalah dalam Pelaksanaan Program BLP Organik Uraian 1. Tidak ada masalah 2. Prosesnya lamban 3. Volume paket tidak memadai 4. Paket bantuan turun terlambat 5. Kualitas pupuk yang diterima buruk 6. Lainnya Total
Jumlah 44 1 5 9 1 60
Persen 73,33 1,67 8,33 15,00 1,67 100,00
Sumber: Data Primer (diolah)
Bagi petani yang merasa paket bantuan yang diterima tidak memadai, petani menginginkan adanya penambahan jumlah pupuk organik yang diterima. Hal ini dikarenakan penggunaan pupuk organik untuk padi sawah membutuhkan volume yang besar untuk mensubstitusi pemakaian pupuk anorganik.
Tabel. 5.13. Manfaat dalam Menggunakan Pupuk Organik Uraian 1. Tanaman lebih subur 2. Tanaman lebih tahan lama 3. Biaya tenaga kerja menurun 4. Tanah lebih gembur 5. Banyak berkembang cacing tanah 6. Lainnya Total
Sumber: Data Primer (diolah)
Jumlah 41 1 17 1 60
Persen 68,33 1,67 28,33 1,67 100,00
Manfaat yang dirasakan petani setelah menggunakan pupuk organik dari BLP Organik disajikan dalam Tabel 5.13.. Sebanyak 68,33% petani merasakan tanaman padi miliknya menjadi lebih subur. Penggunaan pupuk organik membuat batang padi menjadi lebih besar sehingga tidak mudah rebah terkena angin. Selain itu, sebesar 28,33% petani merasakan lahan sawah menjadi lebih gembur dan lebih banyak pori-pori tanah. Walaupun tanah lebih gembur, tetapi masih belum ada indikasi munculnya cacing tanah. Hal ini menunjukkan bahwa secara kasat mata, belum terjadi perbaikan struktur tanah yang signifikan.
Tabel. 5.14. Dampak Negatif yang Dirasakan dengan Menggunakan Pupuk Organik Uraian 1. Tidak ada 2. Biaya tenaga kerja meningkat 3. Tanaman lebih rentan hama dan penyakit 4. Produksi lebih rendah 5. Lainnya Total
Jumlah 57 1 2 60
Persen 95,00 1,67 3,33 100,00
Sumber: Data Primer (diolah)
Selain manfaat, beberapa petani juga merasakan adanya dampak negatif dari penggunaan pupuk organik. Dampak negatif tersebut disajikan dalam Tabel 5.14.. Sebanyak 3,33% petani berpendapat bahwa tanaman padi menjadi lebih rentan penyakit dan 1,67% petani merasakan adanya peningkatan penggunaan tenaga kerja. Namun demikian, secara umum (95,00%) petani tidak merasakan dampak negatif dari penggunaan pupuk organik. Setelah merasakan adanya peningkatan produksi padi, peningkatan pendapatan usahatani, dan manfaat setelah menggunakan pupuk organik, hampir seluruh petani (98,3%) menginginkan menggunakan pupuk organik meski tanpa menerima bantuan (Tabel 5.15.). Namun, ada sebagian kecil petani (1,67%) yang
menyatakan ragu-ragu menggunakan pupuk organik karena harga pupuk organik yang lebih mahal daripada pupuk anorganik. Selain itu, pupuk organik yang dibutuhkan juga lebih banyak sehingga akan meningkatkan biaya penggunaan pupuk.
Tabel. 5.15. Motivasi Penggunaan Pupuk Organik Meski Tanpa Bantuan Uraian 1. Sangat ingin 2. Ingin 3. Ragu-ragu 4. Tidak ingin 5. Sama sekali tidak ingin Total
Sumber: Data Primer (diolah)
Jumlah 44 15 1 60
Persen 73,33 25,0 1,67 100,00
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1.
Program Bantuan Langsung Pupuk (BLP) Organik berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas padi yaitu dari 4,9 ton per musim tanam per hektar menjadi 5,4 ton per musim tanam per hektar atau meningkat sebesar 10,1%.
2.
Penerapan BLP Organik menyebabkan terjadinya peningkatan biaya total sebesar 20,7%. Peningkatan produksi yang dicapai masih cukup besar membuat pendapatan petani tetap meningkat 26,3% yakni dari sebelumnya Rp. 7.569.535,88 per musim tanam per hektar menjadi Rp 9.560.323,18 per musim tanam per hektar. Peningkatan ini terjadi karena adanya faktor peningkatan harga padi dan produktivitas padi (GKP) per musim tanam per hektar.
3.
Sebagian besar petani telah merasakan manfaat dari penggunaan pupuk organik, dan 95,00% petani tidak merasakan adanya dampak negatif dari penggunaan pupuk organik. Hal ini membuat 98,3% petani termotivasi untuk terus menggunakan pupuk organik walaupun tanpa subsidi.
4.
Insentif ekonomi yang diperoleh petani dengan menggunakan pupuk organik berimbang adalah: (1) peningkatan jumlah produksi dan produktivitas padi per hektar; (2) peningkatan pendapatan usahatani; serta (3) peningkatan kualitas lahan (lebih gembur) maupun hasil budidaya.
6.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa program BLP Organik menghasilkan berbagai dampak positif, maka akan lebih baik apabila program BLP dilanjutkan hingga adopsi teknologi pemupukan berimbang (anorganik dan organik) merata di semua daerah pusat produksi tanaman padi. Program bantuan pupuk organik telah berhasil meningkatkan kesadaran dan motivasi petani untuk menggunakan pupuk organik selain menggunakan pupuk anorganik. Oleh karena itu disarankan agar pemerintah dapat memberikan bantuan dan membina petani agar dapat melakukan pengadaan pupuk organik secara swadaya sehingga tidak tergantung pada subsidi pemerintah serta dapat memperkecil biaya pemupukan.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana MO dan K. Kariyasa. 2000. Perumusan Kebijakan Harga Gabah dan Pupuk dalam Era Pasar Bebas. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Angelia, Stefani. 2011. Analisis Tingkat Efisiensi Penggunaan Faktor- Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan Status Petani (Studi Kasus di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor). Skripsi. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen IPB. BPS. 2011. Perkembangan Beberapa Indokator Utama Sosial – Ekonomi Indonesia. http://www.bps.go.id/booklet/Booklet_Agustus_2011.pdf [5 November 2011] Daniel, Moehar. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: PT Bumi Aksara. Departemen Pertanian. 2000. Peranan Pupuk Npk Pada Tanaman Padi. Departemen Pertanian: Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 2006. Model Subsidi Pertanian Terpadu: Landasan Konseptual
dan
Faktual
serta
Sistem
Operasinya.
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/SEM_03-04-06.pdf.[8 Oktober 2011] Departemen Pertanian. 2008. Pupuk Organik Cair Harapan Petani Sejahtera. http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/649/ [27 April 2012] Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2004. Pedoman Pengawasan Pupuk Bersubsidi. Jakarta: Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian. Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Pupuk Organik dan Pembenah Tanah Tahun Anggaran 2011. Jakarta: Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. FAO. 2008. An Introduction to the Basic Concepts of Food Security.. http://www.fao.org/docrep/013/al936e/al936e00.pdf [6 November 2011] Gittinger, J Price. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. (Penerjemah) Slamet Sutomo dan Komet Mangiri. Jakarta: UI Press.
Greer. 2008. Comparison Of The Financial Performance Of Organic And Conventional Farms. Journal of Organic Systems – Vol.3 No.2, 2008. http://www.organic-systems.org/journal/Vol_3(2)/pdf/18-28_
Greer_et
_al. pdf [3 Maret 2012]. Gujarati, Damodar. 1993.Ekonometrika Dasar. Jakarta: Erlangga. Gujarati, Damodar N. 2004. Basic Econometric Fourth Edition.
The
McGraw−Hill Companies. Handoko, Rudi dan Pandu Patriadi. 2005. Evaluasi Kebijakan Subsidi NonBBM. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, Nomor 4. http://www.fiskal. depkeu.go.id/ENG/kajian/rudi%26pandu-4.pdf [6 Maret 2012]. Hartatik, W dan D. Setyorini. 2006 Validasi Rekomendasi Pemupukan NPK dan Pupuk Organik pada Padi Sawah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Iswardono. 1990. Ekonomika Mikro. Yogyakarta: UPP AMP YKPN Yogyakarta. Juanda, Bambang. 2009. Ekonometrika, Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Juanda, Bambang. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis. Bogor: IPB Press. Kariyasa, Ketut. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak dalam Prespektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Dalam Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 3 No. 1, Maret 2005: 68-80.
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART03-1d.pdf.
[6
November 2011] Manaf, Dewi Ratna Sari. 2000. Pengaruh Subsidi Harga Pupuk Terhadap Pendapatan Petani: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Marisa, Suhaila. 2011. Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi (Studi Kasus: Kabupaten Bogor). Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor 2011. Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES
Mulyana, Dedi. 2008. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Musnamar, Effi Ismawati. 2005. Pupuk Organik Padat: Pembuatan dan Aplikasi. Depok: Penebar Swadaya. Nasoetion, Andi Hakim. 2007. Pengantar ke Ilmu-Ilmu Pertanian. Bogor: Litera AntarNusa. Nicholson, Walter. 2005. Teori Mikroekonomi Prinsip Dasar dan Perluasan Jilid 1. (Penerjemah) Daniel Wirajaya. Jakarta: Binarupa Aksara. Peraturan Menteri Pertanian No.30/Permentan/OT.140/6/2008. Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2008. http://www.deptan. go.id/ [7 Oktober 2011] Peraturan Menteri Pertanian No.17/Permentan/OT.140/2/2008. Pedoman Umum Bantuan Langsung Benih Unggul Tahun Anggaran 2008. http:// www.deptan.go.id/ [7 Oktober 2011] Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 37/Permentan/SR.130/5/2010. Pedoman Umum
Bantuan
Langsung
http://www.deptan.go.id/
Pupuk
Tahun
Anggaran
2010.
pengumuman/pedumblp2010/pedum_blp_
2010.pdf [8 Oktober 2011] Pimental. 2005. Environmental, Energetic, and Economic Comparisons of Organic and Conventional Farming Systems. July 2005 / Vol. 55 No. 7 • BioScience
573.
http://www.ce.cmu.edu/~gdrg/readings/2007/02/20/
Pimental_EnvironmentalEnergeticAndEconomicComparisonsOfOrganic AndConventionalFarmingSystems.pdf [3 Maret 2012]. PSP3 dan PT Pertani. 2010. Final Report Dampak Bantuan Langsung Pupuk dan Benih Unggul Terhadap Usahatani dan Perekonomian Nasional. Bogor: Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Mencari Sistem Distribusi Benih Padi dan Pupuk yang “Bersahabat” dengan Petani. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr26604j.pdf. [7 Oktober 2011] Volume. 26 No. 6 Th. 2004 : Hlm. 16-17
Sari, Yunita Citra Kartika. 2006. Analisa Pendapatan Usahatani dan Persepsi Petani Pada Bawang Merah Organik (Studi Kasus Di Desa Sajen, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto. Universitas Muhammadiyah Malang. http://student-research.umm.ac.id/index.php/dept_of_agribisnis/ article/view/2433 [11 November 2011] Sianipar, Jeffry E. Parlindungan Silitonga. Hartono Sriwidodo. Dwidjono. 2009. Analisis Fungsi Produksi Intensifikasi Usahatani Padi di Kabupaten Manokwari. Jurnal Informatika Pertanian Volume 18 No. 2, 2009. Hal: 107. Simanungkalit, R.D.M., Didi Ardi Suriadikarta, Rasti Saraswati, Diah Setyorini, dan Wiwik Hartatik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. http://balittanah. litbang. deptan. go .id/ dokumentasi/juknis/pupuk%20organik.pdf. [6 November 2011] Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI Press Salemba. Soekartawi. 1995. Teori Ekonomi Produksi Dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cob- Douglas. Jakarta: Rajawali Press. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Ed ke-3. Jakarta: UI Press. Sukirno, Sadono. 2000. Makroekonomi Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Wahyuniarti, Indri. Persepsi Petani Terhadap Bahan Pangan Organik Di Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen. Universitas Sebelas Maret. http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=18390 [11 November 2011] Yuliarmi. 2006. Analisis Produksi dan Faktor-faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang Pada Usaha Tani Padi. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut PErtanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. PDRB Propinsi Jawa Timur Atas Harga Berlaku dan Harga Konstan Tahun 2006-2011 (Juta Rupiah) Lapangan Usaha 1. Pertanian 2. Pertambangan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih. 5. Konstruksi 6. Perdag., Hotel, & Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Sewa & Jasa Perush. 9. Jasa-jasa PDRB Jawa Timur Lapangan Usaha 1. Pertanian 2. Pertambangan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih. 5. Konstruksi 6. Perdag., Hotel, & Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Sewa & Jasa Perush. 9. Jasa-jasa PDRB Jawa Timur
2006 AHB AHK 80.746.147,55 46.486.277,60 9.711.418,59 5.455.159,57 13.715.738,08 72.786.972,17 8.730.422,33 4.610.041,67 16.280.066,79 9.030.294,53 131.600.286,59 81.715.963,35 26.239.588,55 15.504.939,79 21.305.473,16 13.611.228,97 38.295.351,98 22.048.439,04 346.624.493,62 271.249.316,69 2009 AHB AHK 112.233.859,16 50.208.896,71 15.275.669,63 7.104.816,81 193.256.482,06 83.299.893,42 10.625.414,01 4.361.515,81 27.552.354,80 10.307.883,76 195.184.787,50 95.983.867,09 37.785.346,57 22.781.527,67 33.145.827,89 17.395.393,53 61.787.816,10 29.417.374,11 686.847.557,72 320.861.168,91
2007 AHB AHK 89.441.663,00 47.942.973,38 11.305.430,13 6.024.793,19 153.815.077,96 76.163.917,97 10.257.967,40 5.154.634,88 17.979.349,79 9.139.600,65 154.102.587,32 88.570.614,49 29.697.961,25 16.710.214,85 24.729.208,30 14.763.619,88 43.590.087,81 23.343.814,62 534.919.332,96 287.814.183,91 2010 AHB AHK 122.623.967,68 51.329.548,83 17.030.742,77 7.757.319,82 214.024.729,37 86.900.779,13 11.768.641,20 4.642.081,81 34.993.979,71 10.992.599,76 229.404.871,55 106.229.112,97 42.947.758,98 25.076.425,54 38.165.173,52 18.659.490,17 67.605.907,67 30.693.407,48 778.565.772,45 342.280.765,51
Sumber: BPS Jawa Timur, 2012 Keterangan: AHB (Atas Harga Berlaku); AHK (Atas Harga Konstan).
2008 AHB AHK 102.995.180,34 49.437.137,68 13.516.509,05 6.582.743,28 177.073.710,37 79.508.936,42 11.860.995,77 5.314.747,16 20.771.916,62 9.387.403,83 182.494.842,54 95.894.415,49 33.091.943,64 17.912.648,08 29.117.658,12 15.952.445,08 50.659.198,73 24.808.291,41 621.581.955,18 304.798.768,43 2011 AHB AHK 136.027.919,63 52.628.433,15 19.794.059,02 8.228.632,48 239.844.520,36 92.171.191,46 12.690.733,03 4.932.084,36 41.295.649,14 11.994.825,72 265.238.859,62 116.645.214,35 50.044.951,42 27.946.279,87 43.570.708,23 20.186.109,19 75.636.174,35 32.251.530,62 884.143.574,80 366.984.301,20
Lampiran 2a. Analisis Usahatani Petani Padi Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Menggunakan BLP Organik (Atas Dasar Biaya Tunai) No.
Uraian
1. 2.
Benih (Kg) Tenaga Kerja Manusia (HOK) Persiapan dan Pengolahan Lahan Penanaman Penyiangan Tanaman Pemupukan Pemberantasan Hama Penyakit Tanaman Panen Pengangkutan Hasil Panen Total Tenaga Kerja Manusia 3. Tenaga Kerja Hewan 4. Tenaga Kerja Mesin 5. Pupuk Urea TSP KCL NPK Pupuk organik granul Pupuk organik cair (liter) Total Pupuk 6. Pestisida dan Obat-obatan Pestisida cair Pestisida padat Obat Total obat-obatan 7. Biaya PBB & Retribusi Sewa/Bagi Hasil Biaya Lain-lain Total Biaya
SEBELUM (Before ) Menggunakan BLP Organik Jumlah Nilai (Rp/sat) Total nilai (Rp) 36,05 6.280,85 226.393,87 20 30 28 6 7 24 7
17.318,78 14.005,13 14.534,02 17.018,14 16.347,01 21.897,83 19.040,20
1 3
120.926,82 172.378,64
325,09 18,25 4,08 89,37 59,09 0,09
2,58 0,97 0,75
345.453,54 421.377,52 400.557,13 97.182,06 116.147,41 517.927,26 135.774,32 2.034.419,24 76.800,00 437.304,95
21 30 28 6 7 25 8
17.401,29 14.665,91 14.740,18 17.342,81 17.257,19 24.075,42 20.450,13
1 3
120.926,82 170.999,74
1.417,66 2.018,26 3.397,96 2.188,89 2.118,84 60.000,00
460.864,62 36.833,33 13.875,00 195.614,68 125.201,09 5.666,67 838.055,40
174,99 10,42 0,69 134,16 383,85 2,84
1.746,22 2.160,00 3.725,00 0,00 0,00 0,00
305.572,54 22.500,00 2.586,81 0,00 0,00 0,00 330.659,35
33.993,24 34.770,40 40.066,24
87.698,89 33.564,17 30.075,44 151.338,50
2,57 1,22 0,55
36.233,42 37.291,81 47.047,94
93.219,65 45.438,29 25.822,22 164.480,16
189.516,57 421.608,33 59.397,42 670.522,32
45 6 9
45 6 9
KESELURUHAN BIAYA TUNAI (Rp.) PRODUKSI PADI (GKP) PENDAPATAN (Produksi Padi - Biaya Tunai) R/C RATIO (Produksi Padi / Biaya Tunai) B/C RATIO (Pendapatan / Total Biaya Tunai)
Sumber: Data Primer (diolah)
SETELAH (After ) Menggunakan BLP Organik Jumlah Nilai (Rp/sat) Total nilai (Rp) 28,65 0,00 0,00
207.036,66 402.953,75 60.493,25 670.483,66
4.434.834,29 4.916,05
2.547,23
12.522.297,43 8.087.463,14
357.733,43 445.828,32 409.302,86 101.565,20 116.016,59 596.583,29 161.908,53 2.188.938,22 76.800,00 464.444,29
3.895.805,68 5.410,39
2.872,28
15.540.167,63 11.644.361,95
2,82
3,99
1,82
2,99
Lampiran 2b. Analisis Usahatani Petani Padi Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Menggunakan BLP Organik (Atas Dasar Biaya Total) No.
Uraian
1. 2.
Benih (Kg) * Tenaga Kerja Manusia (HOK) Persiapan dan Pengolahan Lahan Penanaman Penyiangan Tanaman Pemupukan Pemberantasan Hama Penyakit Tanaman Panen Pengangkutan Hasil Panen Total Tenaga Kerja Manusia 2a. Tenaga Kerja Dalam Keluarga ** 3. Tenaga Kerja Hewan 4. Tenaga Kerja Mesin 5. Pupuk Urea TSP KCL NPK *** Pupuk organik granul *** Pupuk organik cair (liter) *** Total Pupuk 6. Pestisida dan Obat-obatan Pestisida cair Pestisida padat Obat Total obat-obatan 7. Biaya PBB & Retribusi Sewa/Bagi Hasil Biaya Lain-lain Total Biaya
SEBELUM (Before) Menggunakan BLP Organik Jumlah Nilai (Rp/sat) Total nilai (Rp) 36,05 6.280,85 226.393,87 20 30 28 6 7 24 7
17.318,78 14.005,13 14.534,02 17.018,14 16.347,01 21.897,83 19.040,20
4 1 3
17.000,00 120.926,82 172.378,64
325,09 18,25 4,08 89,37 59,09 0,09
2,58 0,97 0,75
345.453,54 421.377,52 400.557,13 97.182,06 116.147,41 517.927,26 135.774,32 2.034.419,24 517.927,26 76.800,00 437.304,95
21 30 28 6 7 25 8
17.401,29 14.665,91 14.740,18 17.342,81 17.257,19 24.075,42 20.450,13
4 1 3
18.000,00 120.926,82 170.999,74
1.417,66 2.018,26 3.397,96 2.188,89 2.118,84 60.000,00
460.864,62 36.833,33 13.875,00 195.614,68 125.201,09 5.666,67 838.055,40
174,99 10,42 0,69 134,16 383,85 2,84
1.746,22 2.160,00 3.725,00 2.300,00 2.300,00 62.643,08
305.572,54 22.500,00 2.586,81 308.558,57 882.846,20 178.151,55 1.700.215,66
33.993,24 34.770,40 40.066,24
87.698,89 33.564,17 30.075,44 151.338,50
2,57 1,22 0,55
36.233,42 37.291,81 47.047,94
93.219,65 45.438,29 25.822,22 164.480,16
189.516,57 421.608,33 59.397,42 670.522,32
45 6 9
45 6 9
KESELURUHAN BIAYA TOTAL (Rp.) PRODUKSI PADI (GKP) PENDAPATAN (Produksi Padi - Biaya Total) R/C RATIO (Produksi Padi / Biaya Total) B/C RATIO (Pendapatan / Total Biaya Total)
SETELAH (After) Menggunakan BLP Organik Jumlah Nilai (Rp/sat) Total nilai (Rp) 28,65 6.861,33 196.555,19
207.036,66 402.953,75 60.493,25 670.483,66
4.952.761,55 4.916,05
2.547,23
12.522.297,43
357.733,43 445.828,32 409.302,86 101.565,20 116.016,59 596.583,29 161.908,53 2.188.938,22 517.927,26 76.800,00 464.444,29
5.979.844,45 5.410,39
2.872,28
15.540.167,63
7.569.535,88
9.560.323,18
2,53
2,60
1,53
1,60
Sumber: Data Primer (diolah) Keterangan: * Harga benih sesudah BLP Organik menggunakan harga pasar pada saat bantuan diterima. ** Upah tenaga kerja dalam keluarga menggunakan upah rata-rata tenaga kerja manusia luar keluarga. *** Harga pupuk BLP Organik menggunakan harga pasar pada saat bantuan diterima.
Lampiran 3. Fungsi Produksi Padi Setelah Menggunakan BLP Organik Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 03/23/12 Time: 08:03 Sample: 1 60 Included observations: 60 Variable C
Ln Luas Lahan Ln Benih Ln Tenaga Kerja Manusia Ln Urea Ln TSP Ln KCL Ln NPK Ln (POG) Ln (POC) Ln Pestisida dan Obat
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0,489172 Probability 0,616221 Obs*R-squared 1,223481 Probability 0,542406
Coefficient 6,416168 0,415865 0,143191 0,266631 0,118364 0,05468 0,175143 -0,05352 0,001619 0,282203 -0,060534
Std. Error 0,809492 0,213211 0,161177 0,118475 0,046784 0,077328 0,151599 0,04233 0,042401 0,132297 0,04994
t-Statistic 7,926169 1,950489 0,888405 2,250518 2,52998 0,707121 1,155307 -1,264357 0,038187 2,133107 -1,212128
Prob. VIF 0 0,0568 6,0 0,3787 4,8 0,0289 1,8 0,0147 1,7 0,4828 1,1 0,2536 1,0 0,2121 1,4 0,9697 1,4 0,0379 2,5 0,2313 1,2
White Heteroskedasticity Test: F-statistic 1,544977 Probability 0,121832 Obs*R-squared 25,39521 Probability 0,14794 12 Series: Residuals Sample 1 60 Observations 60
10
8
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
6
4
2 Jarque-Bera Probability 0 -1.0
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0,742776 0,690281 0,474537 11,03408 -34,33563 2,257188
Sumber: Data Primer (diolah)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
7,560239 0,85268 1,511188 1,895151 14,14951 0
1.61E-15 0.001642 1.108880 -1.237457 0.432456 -0.262927 3.735554
-0.5
0.0
0.5
1.0
2.043905 0.359892