BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR
Penelitian dilakukan di Propinsi Jawa Timur selama bulan Juni 2011 dengan melihat hasil produksi padi pada dua musim tanam yang berbeda (satu musim tanam sebelum dan satu musim tanam sesudah mendapatkan BLP Organik). Lokasi penelitian dilakukan dengan memilih dua kabupaten yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso. Pemilihan responden dilakukan secara acak sederhana dengan bantuan daftar yang dimiliki oleh petugas pertanian setempat. Total sampel petani padi adalah 60 orang, dimana dari setiap petani diperoleh dua informasi usahatani padi untuk perbandingan before dan after. Dengan demikian, jumlah usahatani padi yang dianalisis berjumlah 120 unit. Paket BLP Organik yang diterima oleh petani adalah 100 kg NPK, 300 kg POG, dan 2 liter POC per hektar. Selain BLP Organik, petani juga mendapatkan bantuan benih unggul dari program BLBU. Paket bantuan diterima dan digunakan petani sekitar bulan Agustus-September 2010. Perbandingan before dan after menggunakan musim tanam yang sama yaitu rata-rata pada musim tanam ketiga (sekitar bulan September) pada tahun yang berbeda (tahun 2009-2010 dan tahun 2010-2011)
5.1. Karakteristik Responden dan Implementasi Penerimaan Program BLP Organik Gambaran karakteristik responden terkait umur, lama pendidikan, dan lama usahatani petani padi di Propinsi Jawa Timur disajikan pada Tabel 5.1..
Responden rata-rata berumur sekitar 42 tahun. Lama pendidikan yang ditempuh responden rata-rata sekitar 10 tahun dengan lama pendidikan paling banyak adalah tamat SLTA (26,67%). Lama pengalaman berusahatani umumnya cukup berpengalaman dalam berusahatani yaitu rata-rata sekitar 21 tahun.
Tabel. 5.1. Karateristik Responden Petani Padi Jawa Timur Karakteristik Umur * 20 - 35 tahun * 36 - 51 tahun * 52 - 67 tahun Rata-rata Umur (Tahun) Lama Pendidikan * Tidak Tamat SD * Tamat SD * Tidak Tamat SLTP * Tamat SLTP * Tidak Tamat SLTA * Tamat SLTA * Perguruan Tinggi Rata-rata Lama Pendidikan (Tahun) Lama Usahatani * 2 - 19 tahun * 20 - 37 tahun * 38 - 55 tahun Rata-rata Lama Pengalaman Usahatani (tahun)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
18 27 15 42
30,00 45,00 25,00
6 12 2 11 2 16 11 10
10,00 20,00 3,33 18,33 3,33 26,67 18,33
29 25 6
48,33 41,67 10,00
21
Sumber: Data Primer (diolah) Karaktersitik lahan sawah yang dikuasai responden dapat dilihat pada Tabel 5.2.. Sebagian besar responden (46,7%) merupakan petani pemilik sawah namun sawah yang dimiliki rata-rata hanya seluas 0,23 hektar. Sebesar 35% responden merupakan petani pemilik lahan sawah dengan luas lahan rata-rata sebesar 0,73 hektar. Hanya 1,7% responden saja yang memiliki lahan dengan luas lebih dari 1 hektar. Rata-rata penguasaan lahan sawah terpencar di beberapa lokasi dengan rata-rata persil 1,916.
Tabel. 5.2. Karateristik Lahan Responden Petani Padi Jawa Timur Luas Lahan < 0,5 ha 0,5 - 1 ha > 1 ha Total (%)
Milik Rata(%) rata 0,23 46,7 0,73 35,0 1,5 1,7 83,3
Sewa Garap Lainnya RataRataRata(%) (%) (%) Rata rata Rata 0,25 3,3 0,4 1,7 0,75 3,3 1 3,3 0,73 5,0 6,7 5,0 5,0
Total (%) 51,7 46,7 1,7 100,0
Sumber: Data Primer (diolah) Rata-rata responden intensitas lahan 300%. Selain padi, 1,7% responden juga menanam sayuran atau palawija di lahan yang sama namun dengan kuantitas yang lebih sedikit. Benih padi yang dibudidayakan responden pada musim tanam setelah mendapatkan BLP Organik adalah Padi Hibrida varietas Sembada B3, Sembada B9, dan Mekongga yang diperoleh dari bantuan pemerintah (BLBU).
5.2. Dampak Program BLP Organik terhadap Produksi Padi dan Pendapatan Petani Penerapan program BLP Organik memberikan beberapa perubahan dalam penggunaan input produksi maupun hasil (output) produksi. Berikut ini adalah pemaparan perubahan yang terjadi dalam penggunaan input benih, pupuk, tenaga kerja, serta hasil produksi padi dan pendapatan petani. Pada budidaya benih, terjadi penurunan jumlah benih sebesar 20,53% yakni dari 36,05 kg/ha menjadi 28,65 kg/ha (Tabel 5.3.). Pada masa tanam setelah menerima BLP Organik, petani menanam padi dengan menggunaan paket benih unggul yang diperoleh dari program BLBU. Adapun jenis benih unggul yang diperoleh petani cukup beragam yaitu benih padi Hibrida varietas Sembada B3, Sembada B9, dan Mekongga. Pada masa tanam sebelum mendapatkan BLBU, petani membudidayakan benih padi lokal. Karena menggunakan benih berkualitas
lebih unggul, maka jumlah benih yang dibudidayakan per hektar sawah lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah benih padi lokal.
Tabel. 5.3. Perbandingan Penggunaan Benih pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik Uraian Benih (Kg) Harga Benih (Rp.) Total Biaya Benih (Rp.)
Sebelum BLP Organik 36,05 6.280,85 226.393,87
Sesudah BLP Organik 28,65 6.861,33 196.555,19
Perubahan (%) -20,53 9,24 -13,18
Sumber: Data Primer (diolah)
Tabel 5.3. menunjukkan perbandingan harga dan biaya total benih. Harga benih pada masa tanam setelah menerima bantuan mengalami peningkatan sebesar 9,24% yakni menjadi Rp. 6.861,33 per hektar. Harga benih unggul yang digunakan mengacu pada harga pasar benih unggul ketika petani menerima bantuan. Biaya total benih yang digunakan pada masa tanam setelah menggunakan bantuan mengalami penurunan sebesar 13,18%. Hal ini karena walaupun terjadi peningkatan harga benih, namun jumlah benih yang digunakan per hektar lebih sedikit daripada jumlah benih yang digunakan pada saat sebelum menerima bantuan. Pada masa tanam sebelum dan sesudah mendapatkan BLP Organik terdapat perbedaan kuantitas penggunaan pupuk. Paket bantuan pupuk yang diterima (100 kg NPK, 300 kg POG, dan 2 liter POC per hektar) menjadi substitusi pupuk Urea, TSP, dan KCL. Perubahan kuantitas penggunaan pupuk tersebut disajikan oleh Tabel 5.4.. Penggunaan pupuk Urea, TSP dan KCL mengalami penurunan kuantitas berturut-turut sebesar 46,17%; 42,92%; dan 82,99%. Sedangkan, pada
penggunaan pupuk NPK, POG, dan POC mengalami peningkatan kuantitas berturut-turut sebesar 50,12%; 549,60%; dan 2.911,20%.
Tabel. 5.4. Perbandingan Penggunaan Pupuk pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik Jenis Pupuk
Sebelum (Kg/ha)
Urea TSP KCL NPK POG POC (Liter) Total Pupuk
325,09 18,25 4,08 89,37 59,09 0,09 495,97
Sesudah (Kg/ha) 174,99 10,42 0,69 134,16 383,85 2,84 706,95
Perubahan (%) -46,17 -42,92 -82,99 50,12 549,60 2.911,20 3.338,84
Sumber: Data Primer (diolah)
Tabel 5.5. menunjukkan adanya peningkatan harga dan biaya total yang dikeluarkan untuk membeli pupuk.
Tabel. 5.5. Perbandingan Penggunaan Pupuk pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik Sebelum BLP Organik Setelah BLP Organik Jumlah Harga (Rp) Total Nilai(Rp) Jumlah Harga (Rp) Total Nilai(Rp) Urea (Kg) 325,09 1.417,66 460.864,62 174,99 1.746,22 305.572,54 TSP (Kg) 18,25 2.018,26 36.833,33 10,42 2.160,00 22.500,00 KCL (Kg) 4,08 3.397,96 13.875,00 0,69 3.725,00 2.586,81 NPK (Kg) 89,37 2.188,89 195.614,68 134,16 2.300,00 308.558,57 POG (Kg) 59,09 2.118,84 125.201,09 383,85 2.300,00 882.846,20 POC (Lt) 0,09 60.000,00 5.666,67 2,84 62.643,08 178.151,55 Total Biaya Pupuk 838.055,40 1.700.215,66 Jenis Pupuk
Δ Total Nilai (%) -33,70 -38,91 -81,36 57,74 605,14 3.043,85 102,88
Sumber: Data Primer (diolah)
Harga paket bantuan pupuk (NPK, POG, dan POC) yang digunakan mengacu pada harga pasar pupuk ketika bantuan diterima. Harga pupuk Urea, TSP, dan KCL mengalami peningkatan, tetapi jumlah pupuk yang digunakan tersebut mengalami penurunan, sehingga total nilainya mengalami penurunan berturut-
turut sebesar 33,70%; 38,91%; dan 81,36% per hektar. Pada pupuk NPK, POG, dan POC terjadi peningkatan total nilai yang signifikan yaitu berturut-turut sebesar 57,74%; 605,14%; dan 3.043,85% per hektar. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan jumlah dan peningkatan harga pasar pupuk yang digunakan. Apabila dilihat dari struktur tenaga kerja pada Tabel 5.6., hampir tidak terjadi perubahan yang signifikan pada jumlah tenaga kerja baik tenaga kerja manusia (Hari Orang Kerja/HOK), tenaga kerja hewan, maupun tenaga kerja mesin. Namun apabila dilihat dari total nilai, terjadi peningkatan total nilai upah tenaga kerja manusia sebesar 7,60% dan total nilai upah tenaga kerja mesin sebesar 6,21%. Peningkatan tersebut dikarenakan meningkatnya rata-rata harga upah per tenaga kerja.
Tabel. 5.6. Perbandingan Penggunaan dan Biaya Tenaga Kerja pada Usahatani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik Sebelum BLP Organik Jenis Tenaga Kerja Persiapan dan Pengolahan Lahan Penanaman Penyiangan Tanaman Pemupukan Pemberantasan HPT Panen Pengangkutan Hasil Panen Total Tenaga Kerja Manusia Tenaga Kerja Hewan Tenaga Kerja Mesin
Jml
Upah (Rp) (HOK) 20 17.318,78 30 14.005,13 28 14.534,02 6 17.018,14 7 16.347,01 24 21.897,83 7 19.040,20
Total Nilai (Rp)
345.453,54 421.377,52 400.557,13 97.182,06 116.147,41 517.927,26 135.774,32 2.034.419,24 1 120.926,82 76.800,00 3 172.378,64 437.304,95
Setelah BLP Organik Jml (HOK)
21 30 28 6 7 25 8
Upah (Rp) 17.401,29 14.665,91 14.740,18 17.342,81 17.257,19 24.075,42 20.450,13
Total Nilai (Rp)
357.733,43 445.828,32 409.302,86 101.565,20 116.016,59 596.583,29 161.908,53 2.188.938,22 1 120.926,82 76.800,00 3 170.999,74 464.444,29
Δ Total Nilai (%) 0,48% 5,80% 2,18% 4,51% -0,11% 15,19% 19,25% 7,60% 6,21%
Sumber: Data Primer (diolah)
Dalam penelitian ini, penghitungan analisis usahatani akan dibedakan menjadi analisis usahatani atas dasar Biaya Tunai dan analisis usahatani atas dasar Biaya Total. Analisis usahatani atas dasar biaya tunai merupakan penghitungan pendapatan usahatani tanpa memperhitungkan biaya nonkomersial sedangkan
analisis usahatani atas dasar total merupakan penghitungan pendapatan dengan ikut memperhitungkan biaya nonkomersial (harga bantuan pupuk dan tenaga kerja dalam keluarga). Oleh karena itu, penghitungan nilai imbangan biaya dan manfaat masing-masing akan diperoleh baik atas dasar biaya tunai maupun atas dasar biaya total. Berdasarkan analisis usahatani atas dasar biaya tunai (Tabel 5.7.) dapat dilihat adanya penurunan biaya tunai sebesar -13,84% yakni dari Rp. 4.434.834,29 per hektar menjadi Rp. 3.895.805,68 per hektar. Hal ini dikarenakan pada musim tanam setelah mendapatkan BLP Organik, benih unggul dan pupuk (NPK, POG, dan POC) diperoleh petani secara cuma-cuma tanpa mengeluarkan biaya pembelian. Produktivitas padi setelah menggunakan BLP Organik mengalami peningkatan sebesar 10,06% yaitu dari 4,9 ton menjadi 5,4 ton Gabah Kering Panen (GKP) per hektar. Sedangkan harga gabah hasil produksi meningkat sebesar 12,8% yaitu dari Rp. 2.547,23 menjadi Rp. 2.872,28 per hektar.
Tabel. 5.7. Perbandingan Produksi dan Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik (Atas Dasar Biaya Tunai) Parameter 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jumlah Biaya Tunai (Rp.) Produksi Padi (Kg GKP) Harga (Rp./Kg) Nilai Produksi Padi (Rp.) Pendapatan (Rp.) R/C Ratio B/C Ratio
Sebelum BLP Organik 4.434.834,29 4.916,05 2.547,23 12.522.297,43 8.087.463,14 2,82 1,82
Sesudah BLP Organik 3.895.805,68 5.410,39 2.872,28 15.540.167,63 11.644.361,95 3,99 2,99
Perubahan (%) -13,84 10,1 12,8 24,1 43,98
Sumber: Data Primer (diolah)
Adanya penurunan biaya tunai dan peningkatan penerimaan usahatani, maka pendapatan usahatani meningkat (43,98%) dari Rp. 8.087.463,14 menjadi Rp.
11.644.361,95. Peningkatan pendapatan ini mendorong kenaikan nilai R/C Ratio dari 2,82 menjadi 3,99; dan B/C Ratio dari 1,82 menjadi 3,00. Nilai R/C Ratio sebesar 3,99 memiliki pengertian bahwa apabila petani mengeluarkan biaya usahatani sebesar Rp. 1,- maka petani tersebut akan memperoleh penerimaan (revenue) sebesar Rp. 3,99,-. B/C Ratio yang menunjukkan nilai 2,99 memiliki pengertian bahwa apabila petani mengeluarkan biaya usahatani sebesar Rp. 1,maka petani tersebut akan menerima pendapatan sebesar Rp. 2,99,-. Apabila dilihat dari analisis usahatani atas dasar biaya total (Tabel 5.8.) jumlah biaya total yang dikeluarkan oleh petani mengalami peningkatan sebesar 20,7% yakni dari Rp. 4.952.761,55 per hektar menjadi Rp. 5.979.844,45 per hektar. Walaupun total biaya mengalami peningkatan, namun secara keseluruhan pendapatan usahatani padi meningkat sebesar 26,3% yaitu dari Rp. 7.569.535,88 menjadi Rp. 9.560.323,18 per hektar. Peningkatan ini diperoleh karena meningkatnya produktivitas serta harga padi sehingga penerimaan juga mengalami peningkatan. Adanya peningkatan tersebut mendorong kenaikan nilai R/C Ratio dari 2,53 menjadi 2,60; dan B/C Ratio dari 1,53 menjadi 1,60.
Tabel. 5.8. Perbandingan Produksi dan Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Menggunakan Paket BLP Organik (Atas Dasar Biaya Total) Parameter 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jumlah Biaya Total (Rp.) Produksi Padi (Kg GKP) Harga (Rp./Kg) Nilai Produksi Padi (Rp.) Pendapatan (Rp.) R/C Ratio B/C Ratio
Sumber: Data Primer (diolah)
Sebelum BLP Organik 4.952.761,55 4.916,05 2.547,23 12.522.297,43 7.569.535,88 2,53 1,53
Sesudah BLP Organik 5.979.844,45 5.410,39 2.872,28 15.540.167,63 9.560.323,18 2,60 1,60
Perubahan (%) 20,7 10,1 12,8 24,1 26,3
Nilai R/C Ratio sebesar 2,60 memiliki pengertian bahwa apabila petani mengeluarkan biaya usahatani sebesar Rp. 1,- maka petani tersebut akan memperoleh penerimaan (revenue) sebesar Rp. 2,60,-. B/C Ratio yang menunjukkan nilai 1,60 memiliki pengertian bahwa apabila petani mengeluarkan biaya usahatani sebesar Rp. 1,- maka petani tersebut akan menerima pendapatan sebesar Rp. 1,60,-. Baik pada analisis usahatani atas dasar biaya tunai maupun analisis usahatani atas dasar biaya total, nilai R/C Ratio dan B/C Ratio musim tanam setelah menggunakan BLP Organik yang lebih besar dari angka satu, dan juga lebih besar dari R/C Ratio dan B/C Ratio pada musim tanam sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa BLP Organik memberikan dampak pada peningkatan produksi padi (GKP) dan pendapatan pada petani. Dengan kata lain, penggunaan BLP Organik lebih memberikan keuntungan bagi petani baik atas dasar biaya tunai maupun biaya total. Hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan adanya peningkatan produksi, produktivitas, serta pendapatan petani. Hal ini sama seperti hasil penelitian PSP3 (2010) mengenai dampak program BLP dan BLBU pada tujuh propinsi di Indonesia. Selain itu peningkatan produktivitas setelah menggunakan pupuk berimbang (anorganik dan organik) yang terjadi di penelitian ini memiliki hasil yang sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Yuliarmi (2006).
5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Untuk melihat pengaruh pupuk organik (POG maupun POC) dari BLP Organik
terhadap
produksi
padi,
dilakukan
analisis
produksi
dengan
menggunakan Fungsi Produksi Cobb-Douglas. Variabel-variabel bebas yang dimasukkan ke dalam fungsi produksi antara lain (1) variabel luas lahan, (2) volume benih, (3) jumlah tenaga kerja manusia, (4) volume pupuk Urea, (5) volume pupuk TSP, (6) volume pupuk KCL, (7) volume pupuk NPK, (8) volume POG, (9) volume POC, serta (10) volume pestisida dan obat. Kemudian yang menjadi variabel terikat dalam fungsi produksi adalah produksi padi (GKP). Penyusunan dan pengujian Fungsi Produksi Cobb-Douglas dilakukan dengan menggunakan model regresi linear berganda. Fugsi produksi yang disusun dan diuji menggunakan bantuan aplikasi statistika Eviews 4 dan Minitab 14 tersebut diperoleh hasil regresi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.9..
Tabel 5.9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi Variabel Konstanta Ln Luas Lahan Ln Benih Ln Tenaga Kerja Manusia Ln Urea Ln TSP Ln KCL Ln NPK Ln Pupuk Organik Granul (POG) Ln Pupuk Organik Cair (POC) Ln Pestisida dan Obat R-squared F-statistik
Koefisien 6,416168 0,415865 0,143191 0,266631 0,118364 0,054680 0,175143 -0,053520 0,001619 0,282203 -0,060534
t-Statistik
Prob.
7,926169 0 1,950489 0,0568 0,888405 0,3787 2,250518 0,0289 2,529980 0,0147 0,707121 0,4828 1,155307 0,2536 -1,264357 0,2121 0,038187 0,9697 2,133107 0,0379 -1,212128 0,2313 Adj-R0,742776 0,690281 Squared 14,14951
VIF 6 4,8 1,8 1,7 1,1 1,0 1,4 1,4 2,5 1,2
Sumber: Data Primer (diolah) Hasil uji statistika menunjukkan nilai koefisien determinasi (R-squared/R2) sebesar 0,742776. Hal ini memiliki pengertian bahwa variasi dari perubahan produksi padi (GKP) mampu dijelaskan hubungan linearnya oleh variabel-
variabel luas lahan, volume benih, jumlah tenaga kerja manusia, volume pupuk Urea, volume pupuk TSP, volume pupuk KCL, volume pupuk NPK, volume Pupuk Organik Granul, volume Pupuk Organik Cair, serta volume pestisida dan obat sebesar 74,27%. Sedangkan sisanya sebesar 25,73% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak masuk ke dalam fungsi. Pengujian variabel secara keseluruhan model regresi untuk mengetahui adanya pengaruh variabel yang signifikan secara bersamaan dilakukan dengan ujiF. Pengujian ini melibatkan kesepuluh variabel bebas (Ln X) terhadap variabel terikat (Ln Y). Uji F dilakukan dengan cara membandingkan nilai F-statistik dengan F-tabel pada taraf 10% dengan derajat bebas pertama sebesar 10, dan derajat bebas kedua sebesar 49 (F-tabel10%;10;49 = 1,7319). Hasil regresi menunjukkan nilai F-statistik (14,14951) yang lebih besar daripada F-tabel, sehingga dapat dikatakan minimal ada satu variabel bebas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produksi padi. Masing-masing variabel bebas dapat dikatakan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat apabila t-statistik koefisien regresi masing-masing variabel bebas lebih besar daripada t-tabel dengan taraf 10% dan derajat bebas 50 (t-tabel10%;50 = 1,6759). Berdasarkan Tabel 5.7., variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap produksi padi (Ln GKP) adalah variabel luas lahan (Ln Luas Lahan), tenaga kerja manusia (Ln TK Manusia), pupuk Urea (Ln Urea), dan POC (Ln POC). Selain melakukan uji statistika, fungsi produksi yang telah disusun harus diuji dengan pengujian ekonometrika berdasarkan asumsi klasik. Uji ini dilakukan untuk melihat bahwa fungsi produksi yang dibuat terbebas dari gejala
heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas. Hasil dari pengujian masing-masing asumsi klasik disajikan dalam Tabel 5.10..
Tabel 5.10. Hasil Uji Asumsi Klasik Regresi Asumsi Normalitas Heteroskedastisitas Autokorelasi Multikolineartas
Kriteria Prob. (0,3598) > α (10%) Prob. (0,1479) > α (10%) Prob (0,5424) > α (10%) VIF < 10
Kesimpulan Residual menyebar normal. Homoskedastisitas Tidak ada autokorelasi Tidak ada multikolinearitas
Sumber: Data Primer (diolah)
Uji normalitas digunakan untuk melihat residual (galat/error term) terdistribusi normal atau tidak terdistribusi normal. Hipotesis yang digunakan adalah residual menyebar normal untuk H0, sedangkan H1 adalah residual tidak menyebar normal. Hasil uji normalitas menunjukkan nilai probabilitas (0,3598) yang lebih besar dari taraf nyata 10% (0,10) sehingga kesimpulan dari uji tersebut adalah terima H0. Residual fungsi produksi yang dibuat telah terdistribusi normal. Uji heteroskedastisitas merupakan pengujian yang memperhatikan ragam residual. Suatu model regresi dapat dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas di mana ragam residual sama atau homogen. Pengujian heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan Uji White dengan hipotesis H0 untuk homoskedastisitas dan H1 untuk heteroskedastisitas. Hasil Uji White menunjukkan nilai probabilitas (0,1479) yang lebih besar daripada taraf nyata 10% (0,10) sehingga kesimpulan uji tersebut adalah terima H0. Fungsi produksi
yang
telah
disusun
memiliki
ragam
sisaan
yang
homogen
(homoskedastisitas). Pengujian selanjutnya adalah uji autokorelasi dengan metode Uji BreuschGodfrey Serial Correlation LM untuk melihat bahwa residual telah menyebar
bebas atau tidak menyebar bebas. Model regresi yang baik merupakan apabila tidak ada autokorelasi yaitu residual menyebar bebas. Hipotesis yang digunakan adalah tidak ada autokorelasi untuk H0, sedangkan terdapat autokorelasi untuk H1. Berdasarkan hasil pengujian didapatkan nilai probabilitas (0,5424) yang lebih besar daripada taraf nyata 10% (0,10) sehingga kesimpulan uji tersebut adalah terima H0. Hal ini berarti bahwa tidak ada autokorelasi dalam fungsi yang telah dibuat. Pengujian terakhir dalam asumsi klasik regresi adalah uji Multikolinearitas yaitu pengujian adanya korelasi parsial antar variabel. Model regresi yang baik ialah apabila tidak ada hubungan linear antar variabel dalam model yang dibuat. Pengujian tersebut dapat dilakukan dengan melihat nilai VIF yang kurang dari angka 10. Dari pengamatan pada Tabel 5.9., dapat disimpulkan bahwa variabel yang disusun dalam fungsi produksi tersebut tidak ada yang memiliki autokorelasi. Berdasarkan hasil pengujian statistika dan asumsi klasik regresi tersebut di atas, maka fungsi produksi yang dibuat dapat dirumuskan ke dalam persamaan sebagai berikut:
Ln GKP = 6,416167709 + 0,4158651194 Ln Luas Lahan + 0,2666308273 Ln TK Manusia + 0,1183636222 Ln Urea + 0,2822034064 Ln POC (5.1.)
Dari Persamaan 5.1. dapat dilihat bahwa lahan memiliki pengaruh positif terhadap produksi padi dengan koefisien sebesar 0,4158. Setiap terjadi peningkatan luas lahan sebesar 1%, maka produksi padi juga akan mengalami peningkatan sebesar 0,4158% di mana variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus).
Berdasarkan lahan sawah yang dikuasai oleh responden, luas lahan kurang dari 0,5 hektar (rata-rata 0,23 hektar), akan menghasilkan rata-rata total produksi padi sebanyak 1,2 ton GKP per musim tanam. Luas lahan antara 0,5 hingga 1 hektar (rata-rata 0,75 hektar), akan menghasilkan rata-rata total produksi padi sebanyak 4 ton GKP per musim tanam. Sedangkan, lahan yang memiliki luas lebih dari 1 hektar (rata-rata 1,5 hektar), akan menghasilkan rata-rata total produksi padi sebanyak 7,5 ton GKP per musim tanam. Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi penambahan luas lahan maka akan terjadi peningkatan produksi padi (GKP) yang dihasilkan. Hasil penelitian tersebut sama seperti hasil penelitian Angelia (2011); Yuliarmi (2006); serta Sianipar et. al. (2009) yang menyatakan bahwa lahan merupakan variabel yang mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap produksi padi. Variabel lain yang berpengaruh positif terhadap produksi padi adalah jumlah tenaga kerja manusia dengan koefisien sebesar 0,2666. Apabila terjadi penambahan jumlah tenaga kerja manusia sebesar 1% maka akan meningkatkan produksi padi sebesar 0,2666% dengan variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hasil penelitian tersebut sama seperti hasil penelitian Yuliarmi (2006) dan Angelia (2011) yang menyatakan bahwa tenaga kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap produksi padi. Tenaga kerja manusia pada sebelum menggunakan pupuk organik dan setelah menggunakan pupuk organik mengalami peningkatan. Rata-rata tenaga kerja yang dipekerjakan sebelum menggunakan pupuk organik sebanyak 17 HOK per musim tanam. Sedangkan, rata-rata tenaga kerja yang dipekerjakan setelah menggunakan pupuk organik sebanyak 18 HOK per musim tanam. Jumlah tenaga
kerja yang mengalami peningkatan jumlah paling besar yaitu pada tenaga kerja: (1) panen; dan (2) pengangkutan hasil panen. Pada tenaga kerja pemupukan tidak terjadi perubahan jumlah tenaga kerja (HOK). Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan pupuk organik berimbang, maka petani mempekerjakan tenaga kerja pemupukan dengan jumlah yang sama ketika menggunakan pupuk anorganik. Walaupun terjadi penambahan jumlah pupuk organik, namun kuantitas total pupuk yang diaplikasikan ke lahan berjumlah tetap. Hal ini dikarenakan adanya pengurangan jumlah pupuk anorganik akibat subtitusi dari pupuk organik. Jumlah tenaga kerja pemupukan yang tidak berubah tersebut berbeda dengan hasil penelitian PSP3 (2010) yang menyatakan bahwa penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja pemupukan lahan. Pada variabel jumlah pupuk Urea memiliki hubungan positif dengan produksi padi yaitu dengan koefisien sebesar 0,1183. Hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan sebesar 1% pada jumlah pupuk Urea yang digunakan, maka produksi padi akan meningkat sebesar 0,1183% dengan variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). Pupuk urea merupakan pupuk yang memberikan unsur nitrogen (N) bagi tanaman. Pupuk tersebut berguna untuk merangsang pertumbuhan batang dan daun, meningkatkan jumlah tunas, serta meningkatkan bulir padi (Deptan, 2000). Departemen pertanian menganjurkan dosis penggunaan pupuk Urea sebanyak 150-200 Kg/ha (Deptan, 2000). Pada penelitian ini, rata-rata penggunaan pupuk Urea setelah menggunakan BLP Organik yaitu sebesar 175 Kg/ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pupuk Urea oleh petani sudah memenuhi dosis
yang dianjurkan oleh Departemen Pertanian sehingga pupuk Urea memiliki pengaruh signifikan terhadap produksi padi. Hasil tersebut serupa dengan hasil penelitian Sianipar et. al. (2009) yang menyatakan bahwa pupuk Urea memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap produksi padi. Pada variabel POC memiliki hubungan positif terhadap produksi padi sebesar 0,2822. Apabila terjadi peningkatan penggunaan POC sebesar 1%, maka produksi padi yang dihasilkan masing-masing meningkat sebesar 0,2822% dengan variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus). POC memiliki fungsi untuk: (1) meningkatkan ketersediaan unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan hara mikro (Mn, Mo, Fe, Cu, Co, dan B) untuk tanaman; (2) memperbaiki aktivitas biologi, sifat fisik dan kesehatan, serta keseimbangan ekologi tanah; (3) dapat meningkatkan efisiensi pemupukan Urea, TSP, dan KCl hingga 20%; (4) memperbaiki kemampuan tanah dalam menyimpan air, dan (5) dapat menekan aktivitas patogen penyebab penyakit tanaman (Deptan, 2008). Dosis yang diberikan pada tanaman padi adalah sebanyak 2-3 liter/ha yaitu dengan cara melarutkan 5-10 ml ke dalam 1 liter air kemudian disemprotkan secara merata pada permukaan tanah, daun, dan batang (Deptan, 2008). Pada penelitian ini, rata-rata penggunaan POC oleh petani setelah mendapatkan bantuan adalah sebanyak 2,84 liter/ha. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah POC yang digunakan petani tepat sesuai anjuran Departemen Pertanian. Petani merasakan adanya manfaat yang diperoleh setelah menggunakan pupuk organik antara lain: (1) tanaman padi menjadi lebih subur; (2) membuat batang padi menjadi lebih besar sehingga tidak mudah rebah; dan (3) lahan sawah
menjadi lebih gembur serta lebih banyak pori-pori tanah. Hasil penelitian tersebut serupa dengan hasil penelitian PSP3 (2010) yang menyatakan bahwa POC mempunyai pengaruh positif terhadap produksi padi. Apabila dilihat dari hasil regresi, POG menunjukkan faktor produksi yang tidak signifikan secara statistik. Hal ini dikarenakan pemberian POG 300kg/ha dari paket bantuan dinilai kurang memenuhi kebutuhan lahan karena berdasarkan idealnya jumlah POG yang diaplikasikan ke lahan sawah adalah sebanyak 1 ton/ha. Variabel lain yang tidak signifikan secara statistik yaitu: jumlah benih, pupuk TSP, pupuk KCL, serta pestisida dan obat. Hal ini mengindikasikan bahwa kuantitas pemberian benih, pupuk TSP, pupuk KCL, serta pestisida dan obat belum optimal sehingga perlu adanya penambahan kuantitas pada masing-masing variabel tersebut. Dari jumlah koefisien seluruh variabel regresi yang signifikan, dapat diperoleh elastisitas produksi sebesar 1,083063 yang menunjukkan increasing return to scale. Keadaan tersebut masih menunjukkan kondisi irasional ( p>1), sehingga penggunaan input usaha tani yakni: luas lahan, tenaga kerja manusia, pupuk Urea, dan POC masih harus ditingkatkan untuk meningkatkan produksi padi.
5.4. Persepsi Petani terhadap Hasil dan Program BLP Organik Salah satu alasan digulirkannya BLP Organik adalah karena penggunaan pupuk organik yang masih rendah oleh petani. Dari data yang berhasil dikumpulkan
(Tabel
5.11.),
sebesar
56,67%
responden
belum
pernah
menggunakan pupuk organik dan 43,33% responden sudah pernah menggunakan
pupuk organik. Alasan bagi yang belum pernah menggunakan pupuk organik adalah sulit mendapatkan pupuk organik dan merasa belum perlu menggunakan pupuk organik. Bagi yang sudah pernah menggunakan pupuk organik, sumber pupuk organik yang digunakan berasal dari membeli secara swadaya di kios pupuk dan memproduksi pupuk organik sendiri.
Tabel. 5.11. Penggunaan Pupuk Organik sebelum memperoleh BLP Organik Uraian Jumlah Penggunaan Pupuk Organik 1. Sudah pernah menggunakan 2. Belum pernah menggunakan Total Alasan Bagi yang Belum Pernah Menggunakan 1. Sulit mendapatkan pupuk organik 2. Harga pupuk organik yang lebih mahal 3. Belum merasa perlu menggunakannya 4. Hasil produksi tidak berbeda tanpa pupuk organik 5. Lainnya Total Sumber Pupuk Organik bagi yang Sudah Menggunakannya 1. Beli dari kios 2. Memproduksi sendiri 3. Bantuan 4. Lainnya Total
Persen 26 34 60
43,33 56,67 100,00
12 3 10 6 3 34
35,29 8,82 29,41 17,65 8,82 100,00
12 11 2 1 26
46,15 42,31 7,69 3,85 100,00
Sumber: Data Primer (diolah)
Sebagian besar petani (62%) yang belum pernah menggunakan pupuk organik adalah petani dari Kabupaten Banyuwangi, sedangkan petani yang sudah menggunakan pupuk organik 65% berasal dari Kabupaten Bondowoso. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa di Kabupaten Bondowoso lebih mudah untuk mengakses pupuk organik daripada di Kabupaten Banyuwangi. Pada Tabel 5.12. secara keseluruhan (73,33%) petani tidak merasakan adanya masalah dalam pelaksanaan program BLP Organik. Dengan kata lain, program BLP Organik telah memenuhi asas enam tepat, yaitu tepat jenis, tepat
jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu dan tepat mutu. Namun, ada sebagian kecil petani yang merasa paket bantuan pupuk organik turun terlambat (15,00%) dan jumlah volume paket yang diterima tidak memadai (8,33%). Petani yang merasa paket bantuan pupuk organik turun terlambat menginginkan bantuan pupuk datang pada awal masa penanaman padi, tetapi paket bantuan pupuk organik baru diterima petani pada saat padi sudah mulai tumbuh.
Tabel. 5.12. Masalah dalam Pelaksanaan Program BLP Organik Uraian 1. Tidak ada masalah 2. Prosesnya lamban 3. Volume paket tidak memadai 4. Paket bantuan turun terlambat 5. Kualitas pupuk yang diterima buruk 6. Lainnya Total
Jumlah 44 1 5 9 1 60
Persen 73,33 1,67 8,33 15,00 1,67 100,00
Sumber: Data Primer (diolah)
Bagi petani yang merasa paket bantuan yang diterima tidak memadai, petani menginginkan adanya penambahan jumlah pupuk organik yang diterima. Hal ini dikarenakan penggunaan pupuk organik untuk padi sawah membutuhkan volume yang besar untuk mensubstitusi pemakaian pupuk anorganik.
Tabel. 5.13. Manfaat dalam Menggunakan Pupuk Organik Uraian 1. Tanaman lebih subur 2. Tanaman lebih tahan lama 3. Biaya tenaga kerja menurun 4. Tanah lebih gembur 5. Banyak berkembang cacing tanah 6. Lainnya Total
Sumber: Data Primer (diolah)
Jumlah 41 1 17 1 60
Persen 68,33 1,67 28,33 1,67 100,00
Manfaat yang dirasakan petani setelah menggunakan pupuk organik dari BLP Organik disajikan dalam Tabel 5.13.. Sebanyak 68,33% petani merasakan tanaman padi miliknya menjadi lebih subur. Penggunaan pupuk organik membuat batang padi menjadi lebih besar sehingga tidak mudah rebah terkena angin. Selain itu, sebesar 28,33% petani merasakan lahan sawah menjadi lebih gembur dan lebih banyak pori-pori tanah. Walaupun tanah lebih gembur, tetapi masih belum ada indikasi munculnya cacing tanah. Hal ini menunjukkan bahwa secara kasat mata, belum terjadi perbaikan struktur tanah yang signifikan.
Tabel. 5.14. Dampak Negatif yang Dirasakan dengan Menggunakan Pupuk Organik Uraian 1. Tidak ada 2. Biaya tenaga kerja meningkat 3. Tanaman lebih rentan hama dan penyakit 4. Produksi lebih rendah 5. Lainnya Total
Jumlah 57 1 2 60
Persen 95,00 1,67 3,33 100,00
Sumber: Data Primer (diolah)
Selain manfaat, beberapa petani juga merasakan adanya dampak negatif dari penggunaan pupuk organik. Dampak negatif tersebut disajikan dalam Tabel 5.14.. Sebanyak 3,33% petani berpendapat bahwa tanaman padi menjadi lebih rentan penyakit dan 1,67% petani merasakan adanya peningkatan penggunaan tenaga kerja. Namun demikian, secara umum (95,00%) petani tidak merasakan dampak negatif dari penggunaan pupuk organik. Setelah merasakan adanya peningkatan produksi padi, peningkatan pendapatan usahatani, dan manfaat setelah menggunakan pupuk organik, hampir seluruh petani (98,3%) menginginkan menggunakan pupuk organik meski tanpa menerima bantuan (Tabel 5.15.). Namun, ada sebagian kecil petani (1,67%) yang
menyatakan ragu-ragu menggunakan pupuk organik karena harga pupuk organik yang lebih mahal daripada pupuk anorganik. Selain itu, pupuk organik yang dibutuhkan juga lebih banyak sehingga akan meningkatkan biaya penggunaan pupuk.
Tabel. 5.15. Motivasi Penggunaan Pupuk Organik Meski Tanpa Bantuan Uraian 1. Sangat ingin 2. Ingin 3. Ragu-ragu 4. Tidak ingin 5. Sama sekali tidak ingin Total
Sumber: Data Primer (diolah)
Jumlah 44 15 1 60
Persen 73,33 25,0 1,67 100,00