Institute for Essential Services Reform (IESR)
Laporan FGD Pangan dan Perubahan Iklim 18 Oktober 2016
Jl. Mampang Prapatan VIII No. R-13 Tel. : +62-21-7992945 Fax : +62-21-7996160 E-mail:
[email protected] Facebook: IESR Indonesia Twitter: @IESR www.iesr.or.id
1 Pengantar FGD FGD mengenai ketahanan pangan dan perubahan iklim ini diadakan sehubungan dengan kajian mengenai ketahanan pangan dan perubahan iklim di Indonesia, yang dilakukan oleh IESR pada tanggal 18 Oktober 2016 bertempat di Penang Bistro Kebon Sirih dengan dukungan Oxfam. FGD ini dimaksudkan untuk menajamkan hasil kajian sementara yang telah dituliskan oleh para penulis dengan relevan isu, serta memberikan masukan untuk laporan sintesis yang disusun oleh IESR. Hasil dari diskusi FGD ini akan memberikan masukan untuk laporan sintesis, yang akan dipublikasikan pada 2017 mendatang. Diskusi ini membahas isu-isu mengenai ketahanan pangan dari sisi: pertanian, perikanan, tata guna lahan, dan perkotaan. Namun, pada kesempatan tersebut yang dibahas hanya dari sisi pertanian, perikanan, dan tata guna lahan, dikarenakan narasumber terkait dengan isu perkotaan berhalangan hadir.
2 Dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian di Indonesia Analisis di sektor pertanian diawali oleh satu kata kunci yang berasal dari data yang dihasilkan oleh BPS, terkait dengan produksi beras Indonesia yang naik dari tahun ke tahun, dan juga dapat dideteksi mengenai penurunan produksi, baik untuk padi/beras, atau pun untuk produk yang lain. Peningkatan produksi ini, banyak yang berpikir bahwa hal tersebut dikaitkan dengan isu teknologi. Namun, sebenarnya, masalah dari sektor pertanian saat ini, menyangkut dua hal besar: konversi lahan dan perubahan iklim. Tahun 2007, ada sebuah studi mengenai analisis dampak perubahan iklim di seluruh negara, yang masih menggunakan empirical analysis, sehingga belum memasukkan komponen pupuk, dan masih menggunakan break down analysis per negara. Tantangan dalam pemenuhan pasokan pangan utama, salah satunya menurut Cline (2007) adalah posisi negara yang berada di lintang rendah. Di Asia negara, negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, Myanmar, adalah negara-negara dengan lintang rendah. Itu sebabnya, adaptasi diperlukan. Terkait dengan isu adaptasi, yang akan dibahas adalah hal-hal yang dilakukan oleh pemerintah dalam mendukung isu ini, dan bukan apa yang harus dilakukan oleh petani. Jika diperhatikan, sebenarnya pemerintah Indonesia cukup visioner dalam merumuskan regulasi, seperti UU 32.
2.1 Produksi beras di Indonesia Gambar 1 diambil dari data tahun 2016, yang memperlihatkan bahwa mayoritas luas panen padi berada di Pulau Jawa. Namun, pada saat yang bersamaan konversi lahan juga paling tinggi di Pulau Jawa. Sementara, tanah yang sangat subur juga terletak di Pulau Jawa. Padahal, permintaan untuk beras berasal dari seluruh bagian Indonesia, dan mengkonsumsi nasi menjadi suatu keharusan yang membudaya bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kajian berikutnya terkait dengan ketahanan pangan, dapat diangkat ke sisi konsumsi pangan, dari aspek kecukupan karbohidrat. Isu lain terkait dengan produksi adalah produktivitas, yang merupakan gambaran dari hasil produksi dibagi dengan luas lahan. BMKG dalam hal ini juga dapat membantu prediksi produksi, melalui sistem DOME yang dimiliki, yang dapat dipergunakan untuk melakukan macam-macam prediksi iklim, namun akurasi dari data yang diterima masih menjadi pertanyaan. 2
Gambar 1 Sebaran wilayah luas panen padi nasional, BPS
Gambar 2 Produktivitas padi di Indonesia, BPS
1
2
Saat ini, pembicaraan terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap pangan, masih berkutat di sisi produksi saja. Padahal, ada proses-proses lain yang juga dapat terpengaruh, misalnya paska 1
Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016 2 Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016
3
panen dan penyimpanan, distribusi, sampai ke konsumsi. KLHK sebenarnya terdapat inisiatif lewat SIDIK, mengenai bagaimana setiap sektor dapat mengukur kerentanan sektor tersebut. Harusnya ini dapat dipetakan di masing-masing sektor mengenai faktor apa yang mempengaruhi sektor tersebut, sehingga yang tercakup tidak hanya dari sisi produksi saja. Angka-angka yang terdapat di dalam Gambar 3 menunjukkan post-harvest loss, yaitu kehilangan hasil panen pada tahap paska panen, dan angkanya cukup besar. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak kehilangan produksi panen, di tahap paska panen. Saat distribusi ke pasar pun, losses juga terjadi.
Gambar 3 Jaringan Suplai Beras Nasional
3
Produksi pangan berdasarkan data dari BPS juga menunjukkan peningkatan (Gambar 4). Inovasi teknologi, bibit unggul, dan berbagai macam intervensi sudah dilakukan oleh Kementerian Pertanian. Namun, kalau faktor teknologi kemudian dihilangkan, dan kembali dibuat tren-nya, maka akan terlihat di tahun berapa produksi akan menurun, dan biasanya hal ini terjadi terkait dengan peristiwa iklim ekstrim. Menarik juga untuk diihat bahwa sebenarnya kebijakan impor tidak ada hubungannya dengan produksi panen yang sedang turun. Impor tidak dilakukan pada saat produksi panen menurun.
3
Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016
4
Gambar 4 Produksi dan kebutuhan padi nasional, BPS
4
Impor Beras (Ribu Ton)
Impor Beras Menurut Negara Asal Utama, 2000-2014 6000 4000 2000 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Vietnam
Thailand
Tiongkok1
India
Pakistan
Amerika Serikat
Taiwan
Singapura
Myanmar
Lainnya
5
Gambar 5 Impor beras menurut negara asal utama, 2000-2014
Misalnya, saat BMKG memberi informasi terkait dengan penurunan produksi beras karena El Nino dan La Nina, tidak ada antisipasi Bulog untuk menambah stok pangan. Dengan demikian, hipotesis awalnya adalah impor merupakan rejim baru, terkait dengan bagaimana pemerintah akan menentukan impornya. Sisi penentuan ini yang sepertinya perlu mendapatkan masukan.
4
Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016 5 Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016
5
Gambar 6 Produksi dan kebutuhan padi nasional
6
Gambar 6 memaparkan pemetaan terhadap kebutuhan beras nasional. Gambar ini juga berbicara mengenai pemenuhan produksi konsumsi, defisit. Diagram tersebut ditandai positif dengan asumsi konsumsi 139 kg/kapita/tahun. Pemetaan ini juga dapat membantu untuk mengidentifikasi tempat di mana masalah timbul, dan dapat ditentukan dari regulasi nasional dengan menggunakan sentra beras untuk produksi beras nasional. Inilah yang dimaksud dengan kemandirian pangan; berbeda dengan ketahanan pangan, yang pada umumnya berbicara tentang pasokan dan permintaan, selama pangan tersebut mencukupi. Gambar 6 memperlihatkan bahwa produksi beras di Jawa Barat dan Jawa Timur masih cukup baik, dan juga untuk produksi jagung.
2.2 Dampak perubahan iklim terhadap produksi beras di Indonesia Perubahan iklim di sisi ilmiahnya sebenarnya memiliki beberapa perspektif. Diskusi di banyak negara, pada umumnya adalah perubahan iklim yang slow-onset, dan melihat bagaimana temperatur berubah. Ada juga yang disebut sebagai abrupt climate, bagaimana caranya terjadi suatu lonjakan kejadian iklim ekstrim tertentu yang belum pernah terjadi, atau tidak diketahui frekuensinya, yang akan meyebabkan iklim menjadi berbeda-beda. Kompilasi dari berbagai kajian terdapat pada Gambar 7.
6
Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016
6
Gambar 7 Kompilasi dampak perubahan iklim di Indonesia
7
Gambar 8 adalah data yang menunjukan frekuensi kejadian bencana di Indonesia. Jika dilihat dari data statistik, maka jumlah bencana dari tahun ke tahun meningkat, walaupun kemudian timbul pertanyaan, apakah peningkatan jumlah bencana ini dikarenakan dampak perubahan iklim yang juga meningkat? Itu sebabnya, Indonesia perlu untuk memmiliki upper air analysis, yang dapat menjustifikasi hal tersebut. Jika data upper air analysis bisa diakses dan bisa dianalisis, akan kita lihat apakah betul ekstrim dapat meningkat. Gambar 8 juga sebenarnya merupakan data permukaan sebenarnya, mulai dari longsor, banjir, dan lain-lain.
7
Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016
7
Gambar 8 Jumlah kejadian bencana klimatologi, hidrologi dan meteorologi di Indonesia, 1900-2015
8
Dampak perubahan iklim terhadap produksi padi nasional, terdapat di dalam country report, di mana terdapat enam sektor yang telah dicoba untuk dianalisis. Misalnya, di mana letak persisnya di Indonesia, apa yang dilihat, apa yang terjadi di wilayah itu, dan harapannya adalah informasiinformasi tersebut bisa diakses. Masalah terbesar dari Sektor Pertanian, adalah hama. Hama penanganannya sulit, modelnya belum banyak, dan hama penyakit itu belum advance dibanding dengan produksi tanaman.
8
Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016
8
Gambar 9 Dampak perubahan iklim terhadap produksi padi nasional
9
Gambar 10 memaparkan tekanan tambahan untuk pasokan produksi padi nasional, terhadap laju konversi lahan. Menurut daya, konversi lahan tertinggi terdapat di Pulau Jawa, walaupun Gambar 10 menyatakan bahwa Aceh mengalami konversi lahan tertinggi. Untuk mengetahui persis mengenai konversi lahan, seharusnya Indonesia memiliki data mengenai land value. Namun yang terjadi di Indonesia adalah bahkan untuk BPN mengetahui kepemilikan tanah saja sulit, apalagi untuk mengetahui nilai estimasi NGOP yang bisa diakses.
9
Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016
9
Gambar 10 Tekanan tambahan pasokan produksi padi nasional
10
2.3 Inisiatif dan regulasi Pemerintah terkait dengan sektor pertanian Salah satu kritikan terhadap kegiatan adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah, seringkali kegiatan tersebut tidak dilatarbelakangi dengan kajian dampak perubahan iklim. Padahal untuk bicara mengenai kegiatan adaptasi perubahan iklim, seharusnya ada baseline-nya, dan itu adalah kajian dampak. Apa yang menjadi parameter dari keberhasilan intervensi adaptasi perubahan iklim, apakah berhasil atau tidak, tanpa adanya baseline, tidak menjadi jelas. Gambar 11 menunjukkan inisiatif-inisiatif pemerintah terkait peningkatan produksi padi, sesuai dengan Pratiwi (1998). Gambar ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap produksi padi, cukup besar. Itu sebabnya saat ini juga sedang berkembang mengenai asuransi iklim.
10
Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016
10
Gambar 11 Inisiatif adaptasi perubahan iklim oleh pemerintah
11
Kementerian Pertanian sudah memiliki Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim yang dipublikasi pada tahun 2011. Walaupun kajian dampak bukan merupakan baseline-nya, namun ada arahan dari kementerian pertanian. Di dalam beberapa kegiatan yang sudah dilakukan, kementerian pertanian saat ini sudah memiliki sistem online, kalender tanam terpadu. Mulai dari membangun pangan lestari, dan kegiatan-kegiatan ini sebenarnya dibuat untuk membrikan respon pada variabilitas iklim, seperti misalnya El Nino. Inisiatif-inisiatif Pemerintah mulai dari UU, PP, PerPres, Permentan, terdapat pada Gambar 12. Gambar 12 memperlihatkan regulasi apa yang dapat digunakan untuk produksi, paska panen, distribusi dan konsumsi. Indonesia, memiliki regulasi di seluruh aspek tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah memiliki kebijakan yang sedikit banyak mengakomodasi isu adaptasi perubahan iklim, namun implementasi-nya yang masih sangat kurang. Partisipasi publik juga tidak banyak dilakukan di sini, seperti bagaimana caranya untuk men-generate data dari perperspektif publik. Mekanisme antara masyarakat dengan pihakpihak Pemerintah K/L, seharusnya dapat diakomodir. UU No. 19/2013 tentang perlindungan petani dari perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim sebenarnya sudah dilakukan di Indonesia dan dalam skala yang cukup positif, terlepas dari apakah kegiatan tersebut diawali dengan kajian dampak atau tidak. Walau demikian, hal ini dapat menjadi pertanyaan terutama di negosiasi internasional, pada saat menjustifikasi kegiatan tersebut, apakah termasuk ke dalam adaptasi perubahan iklim atau tidak. Apa yang menjadi dasar dari kegiatankegiatan tersebut, karena tidak adanya baseline?
11
Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016
11
Kebijakan Nasional Pertanian
Undang-Undang No.12 Tahun 1992 Sistem Budidaya Tanaman
No.29 Tahun 2000 Perlindungan Varietas Tanaman
No.16 Tahun 2006 Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
No. 18 Tahun 2012 Pangan
No. 19 Tahun 2013 Perlindungan dan Permberdayaan Petani
No. 13 Tahun 2010 Hortikultura
No. 41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 Perlindungan Tanaman
No. 6 Tahun 1995 Ketahanan Pangan
Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2006 Dewan Ketahanan Pangan
No. 154 Tahun 2014 Kelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
Peraturan Menteri Pertanian No. 50 Tahun 2007 Pedoman Penanggulangan Dampak Bencana di Bidang Pertanian
No. 7 Tahun 2014 Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat
No. 14 Tahun 2012 Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat Badan Ketahanan Pangan
No. 79 Tahun 2013 Pedoman Kesesuain Lahan pada komoditas tanaman Pangan
No. 3 Tahun 2015 Pedoman Umum Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai Melalui Program Perbaikan Jaringan Irigasi Dan Sarana Pendukung Lainnya
No. 6 Tahun 2014 Pedoman Desa Mandiri Pangan Masyarakat
No. 40 Tahun 2015 Fasilitas Asuransi Pertanian
Keterangan: Produksi
Pasca Panen
Distribusi
Gambar 12 Regulasi terkait sektor pertanian dan perubahan iklim di Indonesia
Konsumsi 12
12
Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016
12
Gambar 13 Indikator-indikator turunan untuk ketahanan pangan
13
IPCC di tahun 2014 menyatakan bahwa kerentanan merupakan fungsi dari dua variabel yaitu sensitivitas dan adaptative capacity (kapasitas adaptif). Namun, ada juga faktor lain seperti socialeconomic, yang diungkapkan dengan exposure, keberadaan. Food security menganut ide konsep supply chain, yang terbagi menjadi empat sektor besar: produksi, distribusi, storage and post harvest, dan konsumsi. Bagaimana kemudian indikator-indikator yang dapat mempengaruhi supply-chain ini, terlihat? Setiap indikator ini, akan masuk ke komponen resiko yang mana, apakah AC (adaptative capacity), S (sensitivity), atau E (exposure)? Satu komponen misalnya, produksi, bisa memiliki ketiganya. Ada komponen yang mengakibatkan komponen tersebut menjadi lebih sensitif, lebih rentan, ada juga yang membuat dia menjadi lebih kuat. Setelah menentukan indikator, kemudian beranjak ke data yang tersedia. Jika datanya sudah tersedia, maka, contohnya untuk kehutanan iklim untuk pangan, tidak hanya akan mengukur sisi produksi, tapi juga sampai produksi. Hal ini yang kemudian dikombinasikan untuk dapat menjadi satu index, sehingga akan terlihat saat investasi sekian milyar, maka yang akan dapat dicapai adalah sampai sekian. Misalnya pada saat kejadian El Nino dan saat kejadian La Nina. El Nino misalnya untuk kemarau basah, apa yang dapat dilakukan pada periode-periode tersebut? Akan sangat bergantung pada tantangannya, jika kita punya tantangan di sentra produksi, harus diketahui apakah dengan adanya El Nino, sentra-sentra produksi sanggup memenuhi kebutuhan pangan? Sampai berapa banyak sentrasentra produksi tersebut mampu untuk mengatasi stok pangan? 13
Perdinan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan: Telaah Inisiatif dan Kebijakan. Disampaikan pada FGD IESR 18 Oktober 2016
13
Komponen lainnya adalah variabilitas spasial dari kejadian iklim ekstrim. Banyak kasus di mana orang terjebak dengan kejadiannya. Banjir misalnya bisa terjadi karena curah hujan tinggi atau curah hujan rendah. Jika kita bicara mengenai iklim ekstrim di satu titik, maka yang harusnya membicarakan mengenai iklimnya dan bukan dampaknya. Dokumen yang paling baik saat ini terkait dengan adaptasi perubahan iklim di Indonesia di skala nasional adalah ICCSR (Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap). Dokumen tersebut memuat dampak perubahan iklim secara spesifik terhadap ketahanan pangan, dampak negatifnya terhadap produksi pangan, potensi peningkatan hama penyakit; yang terakhir mungkin masih kurang. Bagaimana implikasi dari penggunaan pestisida, juga harus dianalisa, karena pestisida memiliki dual function. Penggunaan pestisida yang terlalu banyak, memiliki konsekuensi. Jika kemudian penggunaan pestisida, kemudian apa yang harus dilakukan dengan fakta bahwa peningkatan cuaca dan iklim ekstrim, maka jumlah hama akan meningkat. Penggunaan data selama 30 tahun dan 33 tahun, akan memberikan hasil yang berbeda. Contohnya, analisis curah hujan, di mana analisis selama 30 tahun memberikan hasil pengamatan yang berbeda. Iklim ekstrim terjadi karena dilihat prosesnya untuk menjadi iklim yang ekstrim, yang dapat dilakukan dengan mengamati energinya. Terkait dengan inisiatif strategi, secara umum Pemerintah Indonesia sudah cukup responsif, terlepas dari kekurangan kajian dampak di Inodnesia. Hal ini lah yang harusnya di-highlight. Perubahan iklim bagi Indonesia, tidak hanya terbatas pada 29%-41%, tapi juga adaptasi, kesiapan masyarakat, ketersediaan perundangan di Indonesia, dan itu harus dijadikan sebagai stand-point dari Indonesia. Walaupun sebenarnya bercocok tanam, petani di Indonesia sudah banyak mengerti. Namun, walau Indonesia sering bicara soal pentingnya perubahan iklim, namun, Indonesia tidak pernah melakukan investasi di data, informasi dan model simulasi.
2.4 Isu-isu yang muncul di dalam diskusi Beberapa isu dan pertanyaan di dalam diskusi. Beberapa hal tersebut adalah: 1. Terkait dengan isu regulasi. Terdapat pertanyaan mengenai apakah regulasi yang terkait dengan produksi pangan, dalam hal ini beras, adapakah sudah mencakup berbagai macam aspek yang mempengaruhi produksi pangan? Apakah regulasi yang saat ini ada cukup lengkap dalam artian sufficient untuk memastikan beberapa aspek paling tidak di dalam rekomendasi sudah tercakup. Regulasi perubahan iklim di Indonesia cukup lengkap dalam respon perubahan iklim. Dua isu pertanian terbesar adalah perubahan iklim, yang lebih diarahkan pada insentif ekonomi, sedangkan untuk konversi lahan, isunya lebih kepada sumber daya. Terkait dengan isu perubahan iklim, bukan berarti iklim tidak bisa dimodifikasi, namun biaya untuk melakukan modifikasi iklim terlalu besar, sehingga tidak mungkin bagi petani untuk melakukan hal tersebut terus menerus, dan dapat berimplikasi pada harga komoditas. UU tahun 1992, memiliki sistem budidaya tanaman, di mana terdapat informasi iklim. PP 2002 memuat tentang perlindungan tanaman pangan juga ketahanan pangan. Seharusnya kajian ini juga memuat analisis rinci mengenai regulasi yang ada. Apakah pasal-pasal yang ada di dalam regulasi tersebut bersifat anjuran, paksanaan, anjuran teknis, atau hanya himbauan. 14
Contoh lainnya adalah UU No. 19 mengenai perlindungan petani. Sejauh mana UU ini akan membahas mengenai asuransi iklim, seperti yang dilakukan oleh Kementan, yang arah intervensinya lebih ke arah pemberian subsidi dan pembayaran premium. Namun, tidak memuat intervensi yang terkait dengan harga. Asuransi sendiri terdiri dari 3 level, yang pertama tentang kegagalan panen; kedua adalah yield, asuransi; ketiga adalah income, pendapatan. Namun, berbicara dari sisi teknis, misalnya yang terkait dengan asuransi iklim, apakah BMKG sudah siap untuk memberikan informasi real-time, yang sudah dipercaya untuk claim insurance. 2. Terkait dengan lembaga keuangan. Lembaga keuangan yang dimaksud di sini adalah perbankan dan lembaga keuangan lainnya, termasuk asuransi. Pembiayaan lainnya adalah pembiayaan syariah yang saat ini banyak tersedia, dan juga banyak akan digunakan ke depan. Saat ini yang digunakan masih pada kredit konsumtif, walaupun dari segi ruang pemanfaatannya, sebenarnya kredit konsumtif jauh lebih fleksible dari pembiayaan biasa, termasuk pada pembiayaan jangka pendek karena resiko bencana. OJK sudah mengeluarkan peraturan dari lembaga, untuk melindungi pembiayaan seperti itu lebih besar dibanding dengan produk yang lain. Tapi memang sebagian besar pembiayaan syariah itu belum sampai ke situ. Kedua soal asuransi. Ketentuan asuransi di Indonesia masih sangat tradisional, pola pengembangannya pun masih membatasi diri pada asuransi-asuransi yang sifatnya konservatif, seperti pembiayaan untuk kesehatan dan lain sebagainya. Sudah ada kategori asuransi yang masuk untuk jenis-jenis penyakit tertentu yang pembuktiannya menggunakan perkembangan teknologi terbaru. Misalnya, bagaimana pengaruh teknologi untuk dinamika perkembangan jenis penyakit tertentu, yang diakibatkan oleh perubahan iklim, juga dapat dipertimbangkan. Hal-hal seperti ini sudah masuk di dalam imajinasinya kelompok-kelompok asuransi, walaupun masih dalam tahap tradisional. Diskusi seperti ini memang belum banyak. Isu pembiayaan perubahan iklim dapat membahas secara spesifik masalah ini. Mungkin perlu juga untuk dapat meneliti hingga ke pasar modal. Dalam beberapa waktu terakhir, emitten bertambah hingga ratusan. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan kepercayaan investasi di bidang pertanian, nemun ke depan mungkin investasi itu juga akan tinggi akibat resiko perubahan iklim. 3. Terkait dengan inisiatif strategi perubahan iklim. Pada praktiknya, sebenarnya sudah banyak inisiatif-inisiatif strategi perubahan iklim yang sudah dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan cara-cara lokal. Bagaimana kemudian kebijakan di Indonesia dapat memberikan ruang untuk cara-cara lokal yang ada, untuk melakukan adaptasi perubahan iklim. Kemudian, karena inisiatif yang sudah dilakukan oleh masyarakat, terutama mereka yang terkeda dampak, bagaimana inisiatif ini kemudian dapat menjadi bagian dari solusi. Saat ini yang selalu diangkat adalah siapa yang paling rentan dalam perubahan iklim. KIARA menyatakan bahwa yang paling rentan sebenarnya adalah para pejuang pangan, yang terdiri dari masyarakat petani untuk di darat, sedangkan di non-darat, ada nelayan, masyarakat pesisir, petambak udang, petambak garam, perempuan nelayan, dan juga pembudidaya ikan, maupun petani mangrove. Selama ini, mereka lah pihak yang selalu dianggap yang paling rentan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kebijakan atau regulasi atau pemerintah sudah memberikan peluang, 15
bahwa mereka merupakan salah satu solusi untuk perubahan iklim tersebut. Mereka punya cara-cara lokal dan mereka memiliki strategi sendiri. Isu lainnya adalah bagaimana kelompok yang rentan terhadap perubahan iklim, seperti petani, dapat menjadi solusi dari perubahan iklim melalui penerapan cara-cara lokal yang mereka miliki. Misalnya di NTB sendiri, ada yang menjadi nelayan, namun di darat mereka juga berladang dan bertani, dan mereka memiliki cara mereka sendiri untuk mengatasi perubahan iklim. Dalam penyusunan regulasi, sudah seharusnya pemerintah melibatkan masyarakat setempat untuk terlibat. Kegiatan-kegiatan yang saat ini dikatakan sebagai kegiatan adaptasi juga dianggap sebagai business as usual, dikarenakan tidak ada basis kajian dampak yang digunakan untuk melakukan kegiatan adaptasi tersebut. Hal ini membuat justifikasi menjadi sulit; apakah kegiatan tersebut benar kegiatan adaptasi, atau hanya kegiatan pembangunan biasa yang non-iklim. Local wisdom sudah seharusnya menjadi poin terpenting di dalam studi ini. Saat seseorang akan menyusun rencana adaptasi, maka local wisdom dan sumber daya lokal, patut untuk dipertimbangkan. Hal ini dapat berimplikasi pada learning curve yang dimiliki. Adaptasi pada akhirnya akan dilakukan oleh orang lokal sendiri, itu sebabnya mengembangkan learning curve menjadi penting. Pertanyaannya adalah apakah inisiatif-inisiatif seperti ini direkam, demikian juga dengan kearifan-kearifan lokal yang ada? Pertanyaan yang mendasar dari ini semua adalah apakah metode tersebut masih dapat diimplementasikan, atau sudah tidak bisa digunakan lagi? Masalah regulasi di Indonesia selalu menjebak dengan analisis terkait dengan keberadaan regulasi atau implementasi regulasi yang tidak berjalan. Misalnya di dalam PerMen Pertanian No. 9/2014, yang merupakan pedoman desa mandiri pangan rakyat. Pedoman ini sewajarnya melibatkan masyarakat di dalam pembuatannya. PerMen Pertanian No. 7/2014, terkait dengan penguatan lembaga distribusi pangan masyarakat, adalah contoh lainnya. Regulasi ini seharusnya memiliki komponen masyarakat, namun, sejauh mana peran masyarakat di dalam penyusun PerMen itu yang harus dilihat.
3 Perubahan iklim dan perikanan di Indonesia Isu laut dan pesisir telah mulai dibahas semenjak World Ocean Conference di Manado, di mana isu mengenai perdagangan karbon lebih banyak dibicarakan. Perdagangan karbon di isu kelautan sudah menjadi ambisi dari awal terkait dengan perubahan iklim dan kelautan. Itu sebabnya, diskusi-diskusi yang ada semenjak tahun 2010-an akan berkisar antara perdagangan karbon, berapa banyak laut dapat menyerap karbon, seberapa banyak plankton menyerap karbon, dan tindakan-tindakan mitigasi lainnya, sehingga melupakan aspek adaptasi perubahan iklim di sektor kelautan. Itu sebabnya pembicaraan terkait dengan adaptasi di kelautan sangat ketinggalan. Hal lainnya adalah, adanya kelemahan di dalam data. Data yang diperlukan untuk kelautan dan perikanan, memerlukan survey di dalam mengumpulkan data tersebut. Sebagai contoh, data produksi ikan mungkin naik terus, kemudian kementerian keuangan akan bertanya, mengapa produksi naik, namun PNBP-nya stagnan. Nelayan kemudian menjadi korban, dimana PHP (Pajak Hasil Perikanan) kemudian dinaikan 16
hingga 400-500%. PHP merupakan pajak hasil perikanan yang harus dibayar di awal. Contoh ini merupakan salah satu korban dari data yang tidak akurat.
3.1 Informasi ilmiah terkait kelautan Saat ini konsentrasi CO2-eq di atmosfir telah memasuki 400 ppm. Jika diasumsikan laju kenaikan konsentrasi karbon menjadi 2 ppm per tahun, maka dibutuhkan waktu 25 tahun untuk mencapai 450 ppm. Konsentrasi 450 ppm memiliki peluang untuk menurunkan kenaikan temperatur sebesar 2o C sebesar 45%. Dengan menggunakan perhitungan carbon budget, paling tidak 66% dari 450 ppm adalah 900 Gton-CO2, yang setara dengan 20 tahun terhitung dari proyeksi tahun 2015. Indonesia saat ini belum punya peralatan untuk mengukur konsentrasi CO2 di laut.
Gambar 14 Kadar CO2 di atmosfir
14
14
Alan F. Koropitan. Adaptasi Laut dan Pesisir di Indonesia terhadap Perubahan Iklim Global. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016
17
o 15
Gambar 15 Kuota karbon yang tersisa untuk mencapai target kenaikan temperatur tidak melebihi 2 C
Jika berbicara mengenai perubahan iklim, maka harus melihat mundur ke belakang, hingga ratusan ribu tahun, untuk melihat pola-pola dari siklus iklim alami. Perubahan iklim alami sebenarnya sudah terjadi ratusan ribu tahun yang lampau, mengalami jaman es dan jaman non-es. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara naik turunnya temperatur permukaan bumi, kenaikan suhu udara, dengan konsentrasi CO2. Maksimum nilai konsentrasi CO2 adalah 280 dan minimumnya adalah 180. Paling tidak terdapat lima penyebab dari perubahan iklim alami ini. Siklus resesi bumi menjadi salah satu penyebab perubahan iklim alami, yang merupakan siklus dengan periode 2000 tahun. Ada lagi yang dinamakan dengan siklus termohalin. Siklus tersebut membawa massa air yang hangat beredar di Atlantik Utara, kemudian terus ke Antartik, dengan perbedaan periode waktu selama ratusan ribu tahun. Ini semua adalah siklus alami. Masalah kemudian terjadi paska revolusi industri di tahun 1790, di mana emisi dalam skala besar terjadi. Periode ini lah yang mengganggu climate system yang ada, sehingga perubahan iklim tidak lagi menjadi alami, namun terjadi karena upaya-upaya manusia. Perubahan iklim yang ini lah yang kemudian kita kenal dengan 'perubahan iklim'.
15
Alan F. Koropitan. Adaptasi Laut dan Pesisir di Indonesia terhadap Perubahan Iklim Global. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016
18
Gambar 16 Gas rumah kaca dan perubahan iklim alami
Gambar 17 Siklus karbon global dan perturbasi antropogenik
19
3.2 Peran laut di dalam perubahan iklim Gambar 17 menunjukkan siklus karbon alami dan antropogenik. Perihal antropogenik berarti adalah hal-hal yang terjadi paska revolusi industri, namun yang diukur hari ini adalah penjumlahannya, yaitu antara siklus antropogenik dan yang alami. Contohnya, CO2 dari mesin adalah 150, sedangkan yang antropogenik adalah 270. Maka yang akan diukur saat ini adalah totalnya. Banyak sekali pengertian yang salah terkait dengan daya serap karbon oleh laut, pertanyaan mengenai apakah laut menyerap karbon atau tidak, kemudian muncul ke permukaan. Secara alami, laut sebenarnya melepaskan CO2. Pertanyaannya kemudian, ketika akan diarahkan kepada perdagangan karbon, maka laut yang mana yang akan dijadikan wilayahnya? Hal yang terjadi sebenarnya adalah laut memberikan respon, terkait dengan kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfir; yang awalnya bersifat melepas, saat ini, laut menyerap karbon. Pertanyaan berikutnya adalah sampai kapan laut akan menyerap karbon, karena sebenarnya laut memiliki kejenuhan, yaitu tingkat di mana laut tidak akan dapat menyerap CO2 lagi.
Gambar 18 Pertumbuhan emisi global (rata-rata 2005-2014)
16
Abrupt climate change juga bukan merupakan hal yang baru untuk Indonesia. Ini sudah terjadi di 12.000-13.000 tahun yang lampau. Ketika terjadi pencairan es di kutub, maka pembentukan air laut dalam menjadi terhambat. Ini lah yang disebut dengan situasi termohalin, seperti yang terlihat di Gambar 21.
16
Alan F. Koropitan. Adaptasi Laut dan Pesisir di Indonesia terhadap Perubahan Iklim Global. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016
20
Gambar 19 Siklus termohalin di dunia
17
Gambar 20 Perbedaan salinitas relatif di tahun 1950-1959
18
17
Alan F. Koropitan. Adaptasi Laut dan Pesisir di Indonesia terhadap Perubahan Iklim Global. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016 18 Alan F. Koropitan. Adaptasi Laut dan Pesisir di Indonesia terhadap Perubahan Iklim Global. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016
21
Pada rentang waktu tahun 1968-1972, salinitas air laut masih berkisar di angka rata-rata 59 dan masih plus; artinya masih tinggi. Namun, di tahun 1993-1997 sampai sekarang, salinitasnya menjadi negatif. Artinya adalah air laut ini sudah bercampur dengan air tawar. Pada saat kondisi ini terjadi, maka laut tidak akan menyerap CO2 lagi, tapi melepas CO2.
Gambar 21 Peran Benua Maritim Indonesia (BMI) dalam iklim global
19
Indonesia memiliki peran di dalam perubahan iklim global, sebagai jalur Arlindo, yaitu jalur termohalin yang disebut dengan arus lintas Indonesia (arlindo). Arlindo berperan untuk membawa massa air pasifik yang hangat dan salinitas yang tinggi. Pemanasan global menyebabkan temperatur permukaan laut semakin lama menjadi semakin ekstrim, dan berpotensi untuk menjadi sumber energi dari terjadinya badai tropis. Badai tropis memang tidak pernah mencapai ekuator, tapi ekornya akan mengenai Indonesia. Hal ini yang harus dijaga; dalam konteks kelautan dan perikanan, dampak dari ini adalah, nelayan akan semakin sulit untuk melaut.
19
Gordon, et. al, 2008.
22
Gambar 22 Skala badai Saffir-Simpson
20
Gambar 23 menggambarkan sebuah hipotesis mengenai perubahan ekosistem laut Indonesia akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia. Konsep ini menggambarkan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan perubahan kecepatan angin serta asidifikasi air laut. Akibatnya adalah stratifikasi lapisan vertikal air laut akanmeningkat, sehingga, magnitude upwelling Indonesia akan cenderung menurun. Di sisi lain, aktivitas manusia yang meningkat akibat dampak dari stratifikasi lapisan vertikal laut, akan menyebabkan pasokan nutrien di wilayah pesisir juga akan meningkat. Hal yang kedua ini menyebabkan bahwa upwelling tidak akan terjadi jauh dari pantai. Sebagian akan mengalami eutrofikasi, yang akan mengakibatkan perubahan struktur komunitas plankton dan seterusnya. Dampak ini bisa kita lihat dalam konteks ketahanan pangan, mulai dari keanekaragaman hayati laut. Evolusi sampai saat ini masih terjadi di keanekaragaman hayati air laut.
20
Alan F. Koropitan. Adaptasi Laut dan Pesisir di Indonesia terhadap Perubahan Iklim Global. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016
23
Gambar 23 Hipotesis perubahan ekosistem laut Indonesia akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia (Koropitan, 21 2013)
Gambar 24 Isu strategis: Keanekaragaman hayati laut
22
21
Alan F. Koropitan. Adaptasi Laut dan Pesisir di Indonesia terhadap Perubahan Iklim Global. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016
24
Perairan Indonesia membentuk regime, yang disebut dengan marine biograph. Marine biograph ini menciptakan kualitas air laut yang berbeda-beda, sehingga akan ditemukan evolusi-evolusi yang baru. Ibaratnya, pola arus akan mengalirkan biota-biota yang dari barat dan timur, kemudian membentuk jenis yang baru. Ada dua tempat di dunia ini yang memiliki kealamian seperti ini, salah satunya di Indonesia, yang menjadi center of marine biodiversity. Baru-baru ini di Raja Ampat, ditemukan satu spesies yang baru, yang ditunjang oleh ekosistem Indonesia yang luar biasa lengkap. Itu sebabnya, one map policy sangat dinantikan, dan perlu untuk dipastikan bahwa data-data yang tercakup di dalamnya adalah data terkini yang dapat di validasi. One map policy ini akan dapat digunakan untuk perlindungan pantai, dan akan memiliki fungsi untuk ekosistem yang luar biasa. Namun, menjadi suatu hal yang menarik jika melihat sejarah kota pantai, yang pada umumnya berada di daerah-daerah yang ekosistemnya tinggi, karena asal mula kota pantai karena letaknya yang dekat dengan muara. Saat ini, justru kota-kota pantai itu akan direklamasi. Hal yang sama terjadi dengan seagrass. Lamun, mangrove dan terumbu karang, adalah satu kesatuan ekosistem di mana formasi umumnya adalah terumbu karang biasanya ada di paling depan, dan ia akan mereduksi gelombang, sehingga keberadaan terumbu karang sebenarnya untuk melindungi pesisir. Kemudian, ke arah pantai ada lamun, rumput laut, untuk pertumbuhan ikan. Kemudian di dalamnya lagi, ada ekosistem mangrove. Itu sebabnya, jika ada sebuah pulau yang memiliki formasi lengkap dari ekosistem ini, dalam konteks adaptasi, natural adaptive capacity pulau tersebut dinyatakan tinggi. Pertanyaannya adalah apakah pulau dengan formasi lengkap seperti ini masih ada? Pulau-pulau seperti ini, selain dapat beradaptasi dengan gelombang tinggi yang terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim, dari segi pemenuhan kebutuhan pangan, pulau tersebut akan tercukupi. Daerah timur Indonesia masih banyak yang memiliki ketiganya secara lengkap. Saat ini juga banyak dibicarakan mengenai Blue Carbon Fund, yang diadopsi dari REDD+, di mana Blue Carbon Fund ini akan diterapkan di sistem pesisir. Hanya saja, kembali isu ini membuat orang terjebak dalam perdagangan karbon. Mengambil pelajaran dari REDD+ yang hingga hari ini belum memiliki kejelasan, terdapat pertanyaan mengenai keberhasilan dari blue carbon. Hal ini sebaiknya menjadi satu catatan yang dapat dibahas di kemudian hari untuk mendapatkan perhatian. Perkembangan terakhir adalah, dari sisi ilmiah, pembicaraan ini sudah cukup maju, namun dari sisi adaptasi, belum ada perkembangannya. Terkait dengan perikanan tangkap. Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas, 58 juta km2, yang terbagi ke dalam 11 WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan). Berdasarkan inventarisir laut yang telah dilakukan, laut Indonesia sebenarnya memiliki karakteristik yang berbeda. Kebijakan yang ada di Indonesia ini dipegang secara terpusat oleh kelautan dan perikanan. Karakteristik laut di Indonesia terbagi menjadi laut dalam, laut yang sifatnya kontinental shelf, perairan dangkal, dan seterusnya. Upwelling pun terjadi di daerah-daerah yang sangat berbeda-beda.
22
Alan F. Koropitan. Adaptasi Laut dan Pesisir di Indonesia terhadap Perubahan Iklim Global. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016
25
Gambar 25 Wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia
23
Upwelling akan menguat pada waktu El Nino, sementara pada saat La Nina, upwelling tidak terlalu kuat. Artinya adalah pada saat El Nino, ikan-ikan pelagis kecil akan muncul saat upwelling; sedangkan pada saat La Nina, sedikit. Contoh, terkait dengan penelitian dengan sardin. Paska El Nino, empat bulan setelahnya itu sardinnya itu dua kali lipat dari rata-rata bulanan. Pada musim normal, satu bulan setelah peak dari upwelling, lainnya akan meningkat. Persoalannya sekarang adalah memprediksi upwelling sudah dapat dilakukan, namun untuk memperkirakan kapan terjadi El Nino dan La Nina, Indonesia belum dapat melakukannya. Hal yang berbeda terjadi pada pelagis besar. Pada saat El Nino, pelagis besar akan menjauhi perairan Indonesia, walaupun banyak ikan pelagis kecil. Namun, pada saat La Nina, justru ikan-ikan pelagis besar sangat banyak. Indonesia masih belum memiliki data yang baik terkait dengan isu kelautan; apalagi yang terkait dengan dampak perubahan iklim. Terkait dengan isu perikanan budidaya. Perikanan budidaya menjadi penting, terutama karena untuk ikan tangkap, data yang dimiliki terkait dengan stok, menunjukkan angka yang stagnan di 80 juta ton/tahun, dan sulit untuk meningkat. Itu sebabnya, budidaya menjadi penting di dalam rangka memenuhi kebutuhan. Bank Dunia telah membuat prediksi bahwa di tahun 2030, aqua-culture akan memiliki peran penting untuk memenuhi kebutuhan pada waktu-waktu tersebut. 23
Alan F. Koropitan. Adaptasi Laut dan Pesisir di Indonesia terhadap Perubahan Iklim Global. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016
26
Masalahnya adalah kesiapan Indonesia untuk melakukan budidaya. Fakta budidaya di Indonesia adalah: Indonesia memiliki 800.5 hektar lahan budidaya, yang didominasi oleh tambak udang, sekitar 600.000 hektar. Total wialyah yang dapat digunakan baik di darat maupun laut untuk budidaya adalah 12.5 juta hektar. Efisiensi petambak di Indonesia masih sangat rendah di dalam budidaya ikan. Jika dibandingkan, Indonesia baru memanfaatkan 1 ton/orang/tahun, sedangkan Norway 187/orang/tahun, Chile 35 ton/orang/tahun, Tiongkok 7 ton/orang/tahun, dan India 4 ton/orang/tahun. Ini ada hubungannya dengan teknologi, pakan, serta benih. Terkait dengan ketahanan pangan di kelautan, beberapa isu strategis merujuk kepada cuaca ekstrim dan aktivitas nelayan. Di beberapa daerah, Indonesia juga mengalami masalah cuaca ekstrim. Beberapa waktu yang lalu ada nelayan yang meninggal karena cuaca ekstrim. Ini adalah fakta karena nelayan tersebut harus melaut untuk makan, kebutuhan anak, dan lain sebagainya; dan tidak ada pilihan lain. Armada laut Indonesia juga tidak memadai, dari 620.000 kapal barang, 60% lebih hanya berupa perahu, atau perahu motor tempel. Armada yang kecil seperti ini, menjadi sangat rentan terhadap cuaca ekstrim. Itu sebabnya, Indonesia membutuhkan layanan operasional.
3.3 Rekomendasi terkait dengan isu kelautan dan perubahan iklim Di Amerika, pelabuhan Baltimore, dengan ukuran pelabuhan lebih besar dibandingkan dengan tanjung priok, memiliki sungai-sungai yang mirip dengan DKI Jakarta. Baltimore pun memiliki masalah pencemaran, karena adanya daerah industri di Maryland; jadi, Baltimore memiliki masalah yang sama dengan Jakarta. Perbedaannya adalah Baltimore belum reklamasi. Dapat dilihat bahwa ada ekonomi baru yang muncul, yaitu budidaya. Ekonomi lainnya adalah wisata, mulai dari pesisir hingga ke laut sampai ke hulu. Belajar dari pengalaman ini, prinsip pengelolaan kemudian muncul, yang akan bergantung dengan coastal management. Rekomendasi kedua adalah Indonesia perlu untuk menetapkan lokasi cadangan ikan. Terdapat dua lokasi yang dapat dipertimbangkan: wilayah selatan Jawa di mana upwelling terjadi dan laut Arafura. Laut Arafura ini menarik, karena pada musim barat, curah hujan di wilayah tersebut tinggi, dan ekosistem mangrove masih bagus, dari Timika sampai Fakfak, dan sepanjang tahun Laut Arafura memiliki nutrien yang tinggi. Rekomendasi ketiga, terkait dengan penguatan kapasitas adaptif sosial, termasuk ke dalamnya adalah kearifan lokal. Rekomendasi keempat, adanya kepastian mengenai tata ruang laut. Bagaimana menggabungkan antara regim tata ruang darat, di ATR, dan tata ruang laut, di KKP. Rekomendasi yang kelima, negara kepulauan seperti Indonesia, tidak memiliki kapasitas. Terkait dengan masalah data, di mana Indonesia tidak memiliki data yang baik, padahal bisa dibagi sesuai dengan grid. Padahal jika Indonesia memiliki grup peta kontribusi, terkait dengan riset di kelautan, dan Indonesia belum memiliki protokol tentang data sharing, apakah yang terdapat di KKP, BPPT, atau bahkan di perguruan tinggi.
27
Terkait dengan lembaga pendanaan, lembaga pendanaan di sini juga harus mencakup pengelolaannya. Contoh yang dilakukan di Perancis, dimulai dari kredit. Untuk mengambil kredit kapal, sang peminjam harus menyesuaikan dengan batasan bahan pangan yang berkeadilan; apa yang akan ditangkap, dan seterusnya, sehingga dalam 1 bulan atau 1 tahun, bisa diketahui berapa banyak yang sudah ditangkap sebanyak berapa ton. Hal ini membuat pemberian kredit menjadi lebih mudah. Hal lainnya adalah bagaimana mengendalikan harga. Itu termasuk ke dalam aspek pengelolaan, jadi lembaga pendanaan juga harus masuk di dalam aspek manajemen, dalam pengelolaan; termasuk asuransi iklim. Rekomendasi yang terakhir adalah terkait dengan peningkatan konsumsi dalam negeri. Menarik untuk melihat bahwa konsumsi ikan di Jawa adalah yang paling rendah di bawah rata-rata. Hal yang menjadi masalah adalah yang terkait dengan akses, karena kantung-kantung produksi ikan ada di tempat lain. Peran swasta juga dapat ditingkatkan di sini, seperti di Jepang, di mana sekolah-sekolah di Jepang memberikan ikan secara gratis, sehingga pada saat dewasa, anak-anak di Jepang sudah terbiasa untuk mengkonsumsi ikan. Kadar protein ikan tidak kalah dengan sapi. Jika ditinjau dari harganya, harga daging sapi per kilo bisa mencapai Rp. 100.000, sedangkan ikan, mengambil contoh ikan tuna kualitas best export, mencapai Rp. 40.000 per kilo. Artinya adalah ikan merupakan bahan pangan yang dapat digarap.
3.4 Isu-isu yang muncul terkait dengan kelautan dan perubahan iklim Beberapa isu yang muncul di dalam diskusi terkait dengan kelautan dan perubahan iklim adalah: 1. Isu terkait dengan data dan informasi di sektor kelautan, terutama bagaimana kelengkapan data dan informasi harus tersedia. Tingkat kelengkapan dan kualitas data dan informasi yang tersedia akan membuka peluang untuk penyediaan dana. Indonesia saat ini belum memiliki mekanisme untuk sharing data, baik itu data untuk perubahan iklim maupun untuk kelautan. Masalah yang dihadapi sebenarnya sama: yaitu Indonesia belum memiliki satu format data yang sesuai dengan pusat-pusat internasional; yang dimiliki Indonesia masih berupa data dalam bentuk excel file. Pergantingan pemimpin, kebijakan menteri juga akan mempengaruhi, di mana regulasi akan bergantung pada pimpinan. Terkait dengan data udara atas, BMKG menyatakan bahwa BMKG memiliki data tersebut. Namun, memang belum terjajaki secara maksimal; baru digunakan dalam kerangkat riset kecil-kecilan, digunakan oleh mahasiswa dalam melakukan tugas akhirnya. Indonesia sebenarnya tidak kekurangan data, namun akses pada data tersebut yang memang sulit, sehingga merugikan negara. Ada lagi permasalahan tentang data yang cukup lengkap, namun pemiliknya adalah pihak luar negeri. Data di Amerika Serikat misalnya, dapat diakses dengan gratis. Namun, jika data tersebut sudah dianalisis, maka data tersebut akan tersedian dalam bentuk berbayar yang cukup mahal.
28
2. Isu terkait dengan pendanaan, misalnya yang berhubungan dengan asuransi untuk nelayan. Pendanaan dari sumber-sumber lain sebenarnya dapat digunakan, terutama jika diperuntukkan untuk penyediaan informasi terkait dengan informasi cuaca dan kelautan. Pemetaan kebutuhan Indonesia perlu dilakukan, karena ini dapat menarik perhatian donor untuk memberikan pendanaan. 3. Isu terkait dengan tata ruang. Tekanan yang terlihat di pertanian adalah terjadinya konversi lahan, yang walaupun di isu pertanian dapat dikompensasi dengan kemajuan teknologi. Namun, di kelautan, hal ini nampaknya masih jauh. 4. Isu terkait dengan kecukupan pangan. Kecukupan pangan seharusnya juga dikaitkan dengan kecukupan protein, karbohidrat, dan ini dipengaruhi juga oleh budaya. Misalnya, mengambil contoh untuk beras. Sampai dengan saat ini, masyarakat Indonesia lebih menginginkan beras yang pipih, yang slim atau long-grain dan bukan yang bulat-bulat. Ketika ditelusuri ke Kementan, disebutkan bahwa mesin yang diberikan memang untuk beras dengan tipe tersebut. Ada isu budaya juga, karena berdampak pada preferensi orang. Itu sebabnya, kemudian Kementan saat ini memiliki sekitar 300 varian baru untuk beras. Nama untuk masing-masing varian seharusnya diberi angka, agar petani mau untuk menggunakannya. Hal yang sama berlaku untuk protein. Banyak orang berpikir bahwa makan daging sapi memiliki status sosial yang lebih tinggi ketimbang makan ikan. Ini yang juga dipengaruhi oleh budaya. 5. Tantangan di lapangan untuk melibatkan nelayan. Mengadakan FGD dengan KKP, salah satu topiknya adalah waktu itu BMKG bermaksud untuk melakukan sekolah lapang iklim untuk nelayan. Kita mengundang KKP yang memiliki pengalaman dengan nelayan. Kaitannya dengan adaptasi perubahan iklim, memang nelayan dengan petani itu merasa ... KKP itu merasa lebih sulit untuk melayani nelayan daripada petani. Karena untuk menarik nelayan mau bergabung dalam satu sesi saja itu sulit. Mereka lebih memilih untuk cari ikan di laut. Walaupun itu sudah berjalan. 6. Isu megenai kearifan lokal. Beberapa nelayan di beberapa daerah sebenarnya telah memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim, terutama terkait dengan cuaca ekstrim. Itu dapat menjadi salah satu penyebab, mengapa informasi dari BMKG terkait dengan cuaca ekstrim, terkadang tidak dibutuhkan oleh para nelayan tersebut, sehingga upaya-upaya yang dilakukan untuk menyampaikan informasi iklim, menjadi kurang perhatian. 7. Akses pada informasi. Saat ini ada beberapa inisiatif yang berupaya untuk memberikan akses informasi baik kepada nelayan maupun petani, terkait dengan perubahan iklim. Namun, seringkali, informasi yang disediakan untuk para nelayan maupun petani, sulit untuk dimengerti. Saat ini, BKMG sedang berupaya untuk menangani hal ini, informasi seperti apa yang dapat dimengerti oleh petani dan nelayan, terkait dengan cuaca. Sebuah forum yang lebih terkoordinasi untuk membicarakan masalah ini, kemudian menjadi salah satu pemikiran. Dengan memberikan informasi yang dapat dimengerti oleh nelayan.
29
8. Pentingnya melakukan pemetaan key players yang relevan. Isu lain yang penting dan relevan adalah untuk memetakan aktor-aktor yang terkait dengan isu ini. Misalnya, di pesisir bukan hanya para nelayan yang terkena dampak, namun juga petani garam. Padahal, produksi garam mereka sangat ditentukan oleh kondisi iklim, yang menyebabkan mereka menjadi salah satu pihak yang rentan. Mereka membutuhkan informasi kapan kering dan kapan hujan. Jangan sampai ketika mereka sedang panen, mengharapkan akan kering, ternyata malah hujan, sehingga panen mereka tidak berhasil. Pada saat mereka berhasil melakukan panen, para petani garam ini biasanya terbentur dengan isu standardisasi. Jika garam-garam ini tidak memenuhi beberapa komponen, maka sulit untuk garam yang dihasilkan, dijual kembali. Belum lagi benturan masalah dengan impor, dan lainnya. Di NTB/NTT sendiri jumlah petani garamnya berkisar di angka 3000 petambak.
4 Perubahan iklim dan alih fungsi lahan Isu areal penggunaan lain (APL) diambil di dalam kajian ini, karena areal ini lah yang paling besar, ekspansi di Indonesia untuk berbagai jenis penggunaan lahan; mulai dari lahan perkebunan, pertambangan, transmigrasi, semua bersumber dari lahan ini. Definisi ini berasal dari kemanfaatan hutan, di mana penggunaan hutan dibagi menjadi kawasan hutan dan non-kawasan hutan. Ini adalah salah satu terminologi yang sering dipakai, baik oleh pemerintah daerah maupun sektor terkait di tingkat nasional.
4.1 Latar belakang kajian Latar belakang dari kajian ini adalah untuk mengetahui isu terkait kawasan hutan yang dapat dialokasikan untuk berbagai macam penggunaan. Skema alokasi penggunaan tersebut, sebagian besar berasal dari kawasan pertambangan, perkebunan, infrastruktur, transmigrasi, bahkan kebencanaan. Usulan ini berlaku untuk semua fungsi, termasuk konservasi sekali pun. Bahkan PP di tahun 2015, menyatakan bahwa kawasan taman nasional juga dapat diubah untuk pemanfaatan lain, termasuk pertambangan. Ini sepertinya dimaksudkan untuk mengantisipasi panas bumi, yang lindung dan yang produksi. Kawasan hutan dalam perdebatan tenure, bukanlah berupa tanah kosong, tapi tanah yang berpenghuni, ada masyarakat di situ, ada komunitas lokal. Ini lah yang menjadi perdebatan sejak lama. Latar belakang lainnya adalah, masyarakat telah memanfaatkan lahan tersebut sejak lama untuk livelihood mereka. Itu sebabnya, ada banyak sekali plasma nutfah yang sudah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok masyarakat, baik untuk pengobatan tradisional atau bahkan makanan pokok, di Papua, sagu. Akses kelompok masyarakat terhadap lahan APL ini sebenarnya terancam, karena bertentangan dengan alokasi APL. Hingga saat ini masih belum jelas siapa yang dapat mengakses APL, belum lagi terkait dengan isu perubahan iklim, dan dampaknya terhadap sistem hutan sudah cukup serius. Isu lahan ini bukan hanya isu mitigasi, namun hutan sudah menunjukkan terpaparnya hutan tersebut oleh dampak perubahan iklim. Itu sebabnya, hutan tidak lagi dapat menjadi satu-satunya solusi, 30
namun harus dilihat juga bagaimana ekosistemnya terkena dampak oleh perubahan iklim. Kajian ini hanya akan melihat akses tata guna lahan atau keadilan atas kawasan tersebut.
4.2 Kondisi hutan di Indonesia Menurut FREL di tahun 2015, kawasan hutan Indonesia memiliki luas 120.783.631 hektar, atau sekitar 63.4% dari seluruh daratan Indonesia, di mana tutupan hutan Indonesia sekitar 78.1 hektar, termasuk ke dalamnya adalah kawasan kritis. Degraded land memiliki beberapa skala, ada yang sangat kritis, kritis, dan lahan-lahan ini di luar dari 78.1 hektar forest cover. Nah, bagaimana kondisi kawasan hutan sekarang, kalau dia masuk ke dalam APL, dalam setidaknya status terakhir dalam laporan pemerintah. 127 juta hektar saat ini, 65% dari seluruh daratan Indonesia, masih sangat luas. Kemudian tutupannya itu 78.1 jadi tutupannya itu ada yang disebut sebagai kawasan kritis. Jadi kalau degrated land itu ada beberapa skala, ada yang sangat kritis, ada yang kritis, itu masuk yang di luar dari 78.1 hektar dari forest recovery. Tercatat terdapat 1500 desa di dalam kawasan hutan, dan beberapa organisasi seperti AMAN yang mendorong adanya pemetaan terhadap komunitas-komunitas desa tersebut. Kementerian kehutanan di tahun 2009 terakhir sampai dengan akhir 2015 telah melakukan analisis desa. Terdapat sekitar 1800 desa yang berada di dalam kawasan, 8662 desa terletak di pinggiran kawasan hutan, dan 30.697 desa yang memiliki fungsi yang terkait dengan fungsi-fungsi lingkungan, mempunyai ketergantungan terhadap fungsi-fungsi hutan baik ekonomi maupun jasa lingkungan. Termasuk ke dalam jasa lingkungan tersebut adalah jasa-jasa hilir yang sangat bergantung pada sumber mata air di hulu. Ada juga desa yang berada di wilayah yang beririsan dengan desa, yang berada di bibir kawasan mencapai 28 juta, menjadikan total wilayah desa menjadi sekitar 39 juta, hampir 40 juta hektar. Luas ini merupakan separuh dari keseluruhan kawasan hutan di Indonesia, sehingga, kondisi atau fakta ini seharusnya bisa menjadi pertimbangan untuk penyelesaian untuk status kawasan. Masih berhubungan dengan status hutan di Indonesia. Laju deforestasi hutan yang diajukan ke UNFCCC adalah 0.9 juta hektar per tahun. Data ini merupakan hasil kompromi, meskipun di dalam sejumlah laporan, laju deforestasi hutan dinyatakan sebesar 1 juta hektar. Laporan DNPI menyatakan bahwa laju deforestasi sekitar 1.7 hektar per tahun, karena memperhitungkan juga yang illegal. Sumber utama emisi Indonesia masih berasal lahan gambut (1 GtCO2-ek atau 45% dari total emisi Indonesia, 2005), kedua berasal dari kehutanan (850 MtCO2-ek atau 38% dari total emisi Indonesia). Laporan WRI menyatakan bahwa akibat dari 127.000 titik kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, Indonesia "naik kelas" dari emiter ke-6 terbesar di dunia, menjadi emiter ke-4, melampaui posisi Rusia.
4.3 Kondisi masyarakat di sekitar hutan Indonesia Berdasarkan laporan-laporan yang tersedia di dalam periode 10-15 tahun terakhir, telah dapat dilihat bagaimana kondisi masyarakat di sekitar hutan Indonesia. Pada 10-15 tahun terakhir, masyarakat menyadari bahwa panen terus menurun, disebabkan terutama oleh perubahan cuaca yang ekstrim
31
dan pergeseran musim. Hutan tidak lagi sepenuhnya optimis sebagai solusi terhadap pangan lokal, karena dampak perubahan iklim di bagi hutan sendiri. Salah satu lokasi di Indonesia mengalami perubahan ekosistem, di mana terdapat jenis burungburung tertentu yang sebelumnya menandai perubahan musim, namun sekarang, tidak lagi bersuara, kalaupun bersuara, burung-burung tersebut akan bersuara sepanjang waktu, membuat kebanyakan orang menjadi bingung. Di wilayah di mana terdapat beberapa suku dayak, ada satu jenis burung yang menandai perubahan musim. Kalau burung ini bersuara, itu tandanya perubahan musim tanam. Namun, saat ini, burung ini tidak dapat lagi menjadi penanda. Ini menyebabkan kebanyakan orang tidak lagi mendapatkan informasi tersebut, sehingga masyarakat setempat membuka lahan sesuka hati mereka. Ini juga dapat merembet kepada kebakaran hutan dan lahan. Ketiadaan aturan main di lapangan juga menyebabkan masyarakat setempat melakukan hal tersebut. Namun, ada juga yang masih mengikuti pola musim yang lama. Komunitas-komunitas masyarakat pada umumnya sangat kuat dengan tanda. Ada juga komunitas yang mendapatkan tanda dari munculnya bunga jenis tertentu, untuk mulai menanam. Sekarang, saat bunga tersebut sudah tidak jelas lagi pertumbuhannya, maka masyarakat juga mulai bingung kapan harus menanam. Data yang dimiliki oleh Bank Dunia (World Bank) yang juga tidak bisa di-counter oleh KLHK adalah data korelasi antara kawasan kehutanan dan kemiskinan. Data tersebut menyatakan bahwa semakin terbuka daerah-daerah tutupan dari suatu wilayah, maka kemiskinan akan semakin tajam dibandingkan dengan daerah-daerah yang masih memiliki tutupan lahan. Contoh kasus yang dapat diambil sebagai pembelajaran adalah kasus Papua, walau demikian, Papua mengalami kebalikannya. Papua memiliki kawasan hutan yang masih utuh, namun justru tingkat kemiskinannya meninggi. Penetrasi kekayaan di Papua, justru mengalir ke kota.
32
Gambar 26 Aktor lain penggunaan kawasan hutan
24
Gambar 26 menunjukkan pemetaan aktor-aktor lain di kawasan hutan. Wilayah yang sampai dengan saat ini merepresentasikan apa yang terdapat di Gambar 26, adalah Kalimantan, dan kurang lebih Sumatera. Papua saat ini juga beranjak ke arah yang sama.
4.4 Tren umum penggunaan Areal Kawasan Lain Menurut data tahun 2013, sebanyak 23 propinsi telah mengajukan usulan untuk mengubah status kawasan hutan mencapai 21.216.411 hektar. Riau merupakan propinsi dengan pengajuan APL paling besar (3.518.640 hektar), selengkapnya dapat dilihat dari Tabel 1. Tabel 2 menunjukkan tren spesifik dari APL, di mana kelapa sawit tidak pernah mengalami penurunan. Tabel 1 Usulan APL tertinggi dari 23 propinsi untuk mengubah status kawasan hutan tahun 2013
Propinsi Riau Kalimantan Tengah Kalimantan Timur
25
Usulan APL dari Propinsi terkait (2013), hektar 3.518.640 2.922.312 2.535.858
24
Bernadinus Steni. Areal Penggunaan Lain dan Target Mitigati-Adaptatsi di Indonesia. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016. 25 Bernadinus Steni. Areal Penggunaan Lain dan Target Mitigati-Adaptatsi di Indonesia. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016.
33
Kalimantan Barat Maluku Papua Sumatera Utara
2.395.330 1.525.376 1.278.622 1.269.284
Tabel 2 Laju ekspansi perkebunan sawit 250.000 - 500.000 hektar/tahun dari 8.4 juta hektar pada tahun 2010 menjadi 26 10.3 juta hektar pada tahun 2014
No.
Komoditas
2010
2011
2012
2013
2014
3.555.763 10.010.824 1.852.944 469.227
3.606.128 10.261.784 1.944.663 449.873
Hektar 1 2 3 4
Karet Kelapa sawit Kakao Tebu
3.445.415 8.385.394 1.650.356 454.111
3.456.128 8.992.824 1.732.641 451.788
3.506.201 9.572.715 1.774.463 451.255
Rata-rata pertumbu han % per tahun 0,98 5,46 4,15 0,42
Kelapa sawit merupakan bisnis yang unik, dan ekspansinya sangat besar. Walaupun harga CPO di tingkat internasional terus menurun, namun bisnis kelapa sawit tidak pernah menurun. Hal ini disebabkan karena bahkan dengan harga yang terus menurun pun, industri kelapa sawit masih untung. Sawit merupakan salah satu komoditas yang paling tinggi ongkos ekonominya, karena ada pungutan liar. Walau begitu, bahkan dengan pungutan liar seperti itu, masih tetap untung. Ternyata, kebanyakan bisnis sawit menekan biaya buruh. Buruh ini dapat menggantikan berbagai macam hal: buruh pikul akan menggantikan biaya transportasi, bahan bakar dan seterusnya, yang cukup besar. Itu sebabnya, kebanyakan industri mengimpor tenaga kerja dari Flores dan NTB dalam jumlah yang cukup besar setiap tahunnya. Penggunaan APL untuk pertambangan sudah menjadi rahasia umum; terakhir adalah pinjam pakai sebesar 29 juta hektar. Menarik untuk melihat angka pertambangan yang sebagian besar terdapat di kawasan lindung. Hutan lindung yang ditoleransi oleh Presiden Megawati tahun 2004 memang kemudian terus menjadi contoh sukses di lapangan untuk diteruskan. Namun, dari angka 1.3 juta hektar yang diusulkan untuk pembukaan kawasan lindung untuk pertambangan ternyata meningkat drastis. Tidak kalah menarik adalah Pilkada. Diambil dari disertasi Kusuma Ambardi, yang kemudian diikuti dengan studi dari Jatam selama 2 tahun. Studi tersebut mengambil rentang waktu dari 2 tahun prapilkada sampai dengan 1 tahun setelah pilkada. Pada saat 2 tahun pilkada, pembukaan lahan konservasi tercatat sebesar 29%. Setelah 1 tahun Pilkada, deforestasi kemudian meningkat 42%. Pada tahun ketika Pilkada dilaksanakan, deforestasi meningkat pada 40%, setelah Pilkada naik jadi 57%, konsesi sudah terjadi. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya pihak yang menagih janji yang 26
Bernadinus Steni. Areal Penggunaan Lain dan Target Mitigati-Adaptatsi di Indonesia. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016.
34
diberikan sebelum Pilkada. Studi ini terdapat di 7 region: Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Jawa, beberapa juga menangkap Sumatera dan Maluku. Wilayah yang paling besar mengalami fenomena ini adalah di wilayah Kalimantan dan Sumatera, yang bukan hanya mengalami tekanan penduduk yang tinggi, namun juga Bupati yang memiliki peran sangat besar.
Gambar 27 Dampak Pilkada terhadap deforestasi
27
Temuan umum terkait dengan isu APL, sejak tahun 1987 sampai tahun 2015 terdapat 694 usulan perorangan dan badan hukum untuk pelepasan kawasan, yang luasnya hingga 6,659 juta hektar. Lebih dari 95% pelaku bisnis kelapa sawit berbadan hukum Perseroan Terbatas, dan berdomisili hukum di Jakarta. Hampir tidak ada yang berasal dari lokasi di mana industri tersebut beroperasi. Itu sebabnya, implikasi pertumbuhan ekonomi itu mengecil di daerah, namun membesar di Jakarta. Hal ini juga berkorelasi langsung dengan agregat ekonomi pertumbuhan nasional dari masing-masing sektor ekonomi. Target perhutanan sosial, juga dapat dilihat sebagai peluang dan juga sebagai tantangan. Presiden Jokowi mencanangkan 12.7 juta hektar untuk komunitas yang punya masalah terhadap kawasan. Hingga Oktober 2016, baru 12% yang tercapai; satu juta hektar, dan hanya beberapa yang telah berijin. Lebih dari 60% kawasan taman nasional direncanakan untuk dijadikan hutan komunitas. Ada beberapa hipotesis yang menyatakan bahwa peningkatan deforestasi berkorelasi dengan peningkatan penyakit malaria. Korelasi ini ada hubungannya dengan pelepasan kawasan, di mana deforestasi meningkat, penyakit juga semakin bertambah. Secara keseluruhan ini mendukung komunitas, bisa ditunjukkan di beberapa aturan sebagaimana yang tercantum di Gambar 28. 27
Bernadinus Steni. Areal Penggunaan Lain dan Target Mitigati-Adaptatsi di Indonesia. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016.
35
Gambar 28 Tata kelola overlegislasi
28
Tata kelola lahan memang over legislasi, yang kemudian berimplikasi kepada kelembagaan, seperti halnya pengadaan tanah ini. Mau mulai dari mana, apakah dari BPN atau dari PU? Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah ada 3200 peraturan, satu UU. Banyaknya regulasi ini disebabkan karena digabungnya 2 kementerian, lingkungan hidup dan kehutanan. Perlu ada suatu analisis mengenai keterkaitan antar peraturan yang ada, sehingga akan terlihat implikasinya terhadap overlegislasi, terutama pada juklak. Implikasi regulasi ini yang tidak banyak dilihat orang. Terlalu banyak regulasi ini akan lebih sulit untuk dijalankan, dan apabila lembaga tersebut tidak membenahi diri, maka akan sulit untuk dapat berkembang. Contohnya, Kehutanan juga harus berhadapan dengan Pemerintah Daerah, dan Kehutanan pun memiliki institusi di daerah, BPDAS, BPKA, yang juga memiliki otoritas. Institusi-institusi inilah yang berupaya untuk menyaring usaha-usaha daerah, walau kemudian tidak dapat berperan dengan baik, sehingga dikembalikan ke pusat. Inilah yang membuat proses menjadi lebih lama. Prosedur untuk pengajuan APL diberlakukan sama bagi seluruh pihak, kurang lebih sama. Misalnya paket prosedur untuk perijinan pelepasan kawasan, harus melalui 27 tahapan, yang juga harus dilalui oleh masyarakat dengan usulan yang sama. Masyarakat diharuskan untuk menunjukkan NPWP, yang bagi 28
Bernadinus Steni. Areal Penggunaan Lain dan Target Mitigati-Adaptatsi di Indonesia. Disampaikan pada FGD IESR tanggal 18 Oktober 2016.
36
masyarakat di pedalaman, hal ini sulit, bahkan KTP pun belum tentu dimiliki. Demikian pula dengan dokumen-dokumen lainnya seperti surat domisili. Praktek di Riau menyatakan bahwa dibutuhkan dana sekitar 150 juta untuk melakukan persiapan-persiapan ini. Jika praktik-praktik ini terus dijalankan, maka perubahan kebijakan akan menjadi kompleks. Terkait dengan hal ini, maka rekonstruksi konsep APL harus dilakukan. Rekonstruksi konsep APL harus dilakukan, guna menjawab tantangan yang dihadapi oleh orang-orang yang bekerja di area perhutanan sosial. Landskap yang dimiliki sangat besar dan nomenklatur yang digunakan adalah nomenklatur yang baku di KLHK. Hanya saja, orientasinya lebih kepada resiliensi kaum komunitas. Kawasan hutannya tetap atau fungsinya tetap, namun tetapi dikelola oleh masyarakat setempat. Sistem seperti ini sudah dimulai, misalnya untuk Australia, di mana suku Aborigin memiliki hutannya sendiri, namun tetap masuk ke kawasan hutan lindung, dan suku Aborigin yang mengelola, mulai dari tata kelola, pemanfaatan, pelaporan ke negara, seluruhnya dilakukan oleh masyarakat tersebut. Contoh-contoh seperti ini tentunya bisa dipakai. Telah diusulkan juga untuk mengembangkan sejenis indigenous conservation park. Walaupun taman nasional adalah miliki masyarakat adat, namun nomenklaturnya belum ada di UU konservasi.
4.5 Rekomendasi untuk kajian APL Terdapat beberapa rekomendasi yang diajukan untuk kajian APL ini. Rekomendasi pertama adalah penting agar peta bencana dan peta adaptasi digunakan juga sebagai pertimbangan untuk alokasi lahan. Misalnya untuk daerah dengan kerentanan tinggi, tidak boleh lagi diberikan ijin di situ. Saat ini yang terjadi adalah pulau-pulau kecil dengan kerentanan yang tinggi seperti Pulau Aru, malah dijadiin kawasan dengan penerbitan ijin besar-besaran 70% untuk tebu. Peta bencana dan adaptasi seharusnya dapat menjadi salah satu rujukan untuk pemberian ijin lahan. Saat ini ada dua peta yang digunakan sebagai rujukan untuk penggunaan lahan: peta moratorium dan peta kawasan hutan. Walaupun masih ada beberapa tantangan di dalam penyusunannya. Aspek pengurangan emisi seharusnya sudah bisa dimasukkan ke dalam kriteria perijinan, karena perijinan ini, itu pintu masuk untuk penggunaan kawasan atau penggunaan lahan secara keseluruhan. Hal lainnya adalah mengenai KLHS, pernah ada kajian terkait dengan kajian lingkungan hidup sosial, dan bukan lingkungan hidup strategis seperti sekarang. Saat ini memang sudah membicarakan masalah sosial, bukan hanya ekosistem, topografi dan seterusnya. Hal-hal terkait pemetaan komunitas dan peluang komoditas, seharusnya menjadi salah satu aspek perencanaan ke depan. Hal berikutnya adalah mengenai keterhubungan dengan pasar global. Sebagian besar komoditas di Indonesia sebenarnya mengikuti tuntutan pasar saja, dan bisa berubah kapan pun. Misalnya, ketika harga vanilin naik, maka orang berbondong-bondong membuka lahan untuk vanilin. Jika harga cengkeh naik, maka orang akan beramai-ramai membuka lahan untuk cengkeh. Hal yang sama terjadi dengan kelapa sawith. Kecenderungan ini seharusnya juga diperhatikan, terutama yang memiliki basis kewilayahan. Papua misalnya, juga akan dipromosikan untuk menghasilkan sawit, ketimbang sagu atau pala yang menjadi tanaman native dari tempat tersebut.
37
4.6 Hal-hal yang muncul di dalam diskusi Beberapa isu yang muncul di dalam diskusi terkait dengan alih fungsi lahan dan ketahanan pangan adalah: 1. Bagaimana mengatasi regulasi yang tumpang tindih? Identifikasi dari regulasi yang relevan dapat dilihat di Gambar 28. Gambar tersebut telah mencantumkan adanya UU Pemda, UU Tata ruang, dan UU Rencana Pembangunan. Persoalan yang ada di antara ketiga UU ini adalah ketidaksinkronan, karena dibuat secara berbeda. Mekanisme peninjauan untuk tata ruang dilakukan setiap lima tahun sekali di skala propinsi, sedangkan setiap 20 tahun sekali, terkait dengan perubahan secara menyeluruh untuk tata ruang. Walau demikian perubahan itu tidak semuanya merupakan perubahan yang kecil. Persoalan yang muncul sebenarnya adalah ketika ada pengajuan usulan penggunaan lahan untuk digunakan, pemerintah daerah untuk kementerian kehutanan, usulan tersebut harus diisi oleh sesuatu yang bagus. Bahasa yang muncul di RPJMN sebenarnya adalah bahasa teknokratis, yang diturunkan kepada rencana kegiatan yang dari rencana kegiatan yang teknis di kementerian, dia sebenarnya improvisasi. Namun, apa yang menjadi rancangan teknokratis, pada umumnya sulit untuk diinterpretasikan. Itu sebabnya, penting agar bahasa teknokratis ini untuk diterjemahkan agar jelas dan terukur. Interpretasi yang ada terkait dengan regulasi memang beragam. Misalnya, UU Pangan Berkelanjutan (UU No. 41/2009), sebenarnya ditujukan untuk staple food. Saat ini, Indonesia memiliki 2 buah UU untuk Pangan: UU Pangan Berkelanjutan dan UU Pangan. Definisi mengenai food security, sebenarnya ada di UU Pangan (UU No. 18 tahun 2003), yang cakupannya lebih luas, yaitu antara pangan pokok dengan pangan saja. UU ini memang memuat semua definisi pangan; termasuk sawit. Jika UU ini yang digunakan, maka prioritas lahan untuk sawit akan diperbolehkan, karena sawit masuk dalam kategori Pangan, dan Negara harus melindungi ini. Kedua UU ini berlaku, karena di dalam UU No. 41/2009, tidak ada pernyataan bahwa pemberlakuan UU tersebut, akan menghapus hukum yang sebelumnya sudah ada. Itu sebabnya, baik UU No. 41/2009 (Pangan yang Berkelanjutan) dan UU No. 18/2003 (UU Pangan), masih berlaku. 2. Definisi dari ketahanan pangan di Indonesia. Definisi dari ketahanan pangan di Indonesia tertera di dalam UU No. 18/2003, yang sebenarnya sama persis dengan yang disepakati oleh FAO pada konvensi food security yang berlangsung di tahun 2002. Food security memiliki target individu, namun sebelumnya, target dari food security tersebut cakupannya adalah keluarga. Food yang secure digambarkan dalam enam aspek: (i) tersedia secara kuantitas, jumlahnya cukup mengenyangkan; (ii) tersedia secara kualitas, dapat dimakan, bergizi, sesuai dengan preferensi baik budaya maupun agama; (iii) accessability, dalam pengertian reachability, keterjangkauan, bahwa pangan itu ada di tempat tersebut. Misalnya, jika dikatakan bahwa daging harganya mahal, dan tersedia di Jawa Tengah, padahal kebutuhannya ada di Bandung, maka dapat dikatakan bahwa daging tersebut tidak tersedia di Bandung; (iv) affordability, harga Pangan harus terjangkau bagi masyarakat; (v) stability, Pangan harus tersedia dari tahun ke tahun, bukan hanya dalam satu periode tertentu saja; (vi) sustainability, dalam 5 tahun, Pangan tersebut harus berkelanjutan. 38
Food security sebenarnya merupakan kegiatan harian, namun di lain pihak perubahan iklim membutuhkan waktu yang cukup lama. Itu sebabnya, fluktuasi dari food security sebenarnya tidak terlalu terlihat jika dibandingkan dengan lifespan dari perubahan iklim. Perbedaan ini harus diperhatikan di dalam analisis.
5 Laporan sintesis Tabel 3 memperlihatkan dampak perubahan iklim di masing-masing sektor (pertanian, perikanan, lahan, dan perkotaan), di masing-masing rantai pasokan dari Pangan (produksi, paska produksi, distribusi, dan konsumsi). Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa masing-masing sektor menunjukkan isu yang mirip di sisi distribusi dan konsumsi, namun berbeda di sisi produksi dan paska produksi. Misalnya di perikanan, kebutuhan akan storage di sisi nelayan (cooling storage), akan berbeda kebutuhan energinya dengan produksi beras untuk sektor pertanian. Rantai pasokan ini memberikan indikasi bahwa harus ada intervensi terkait dengan energi yang berbeda untuk masingmasing sektor. Contoh lainnya adalah untuk isu perkotaan. Dalam konteks ketahanan pangan, saat ini, perkotaan berfungsi bukan sebagai penghasil pangan, tapi lebih kepada konsumen. Itu sebabnya, jika cuaca ekstrim kemudian terjadi pada saat distribusi pangan, kemungkinan besar perkotaan akan terancam kekurangan makanan, karena rantai pasokannya akan terputus. Dalam hal ini, perkotaan merupakan sektor yang paling rentan. Tabel 3 Dampak perubahan iklim di seluruh sektor studi
29
29
Henriette Imelda. Synthesis Report: Climate Change Impact on Food Security in Indonesia: Policy Analysis. Disampaikan pada FGD Pangan dan Perubahan Iklim IESR tanggal 18 Oktober 2016.
39
-
+
Cities expansion + + Cities area
+
Percentage of RTH + (green open space) + Green Open + Urban Space Area Interest to plant inFarming green open space area + + Food production from green open space area
GHG emission +
Drought + + Frequency of flooding +
Climate Change
+ Planted area
-
Food production +
Distribution time -
Services for transportation infrastructure
+ Salt-water fishes +production + +
Explotative fishing practices
Acidification level
+
-
Interest of fishermen to fishing +
+
Access to capital to coastal salt-water fishes cultivation
Access to fishing capital
Coastal salt-water fishes population
+ +
Coastal salt-water + fishes increment+ -
Desctructive fishing practices
+
+
Fishing frequency of fishermen +
+
-
+ Interest to do coastal salt-water cultivation
+
Coastal salt-water fishes production
+
Freshwater-fishes production +
+
Cold Storage
-
+ + + Area for freshwater-fishes cultivation -
Fish production
High seas + salt-water fishes population
+ Interest to do freshwater-fishes cultivation
+ + Consumption -
Import
High seas salt-water fishes production
Access to capital for freshwater-fishes cultivation
Food availability
+
+ Food stock ++
Coastal geophysical structure
-
Export demand
+ + Food demand
Irrigation
+
+ +
-
+ Indonesia's population
+ Food price
-
Losses
Price of energy
+
Desired area for export commodity +
Increment of Area for Agriculture
+
+
+
+ -
Productivity +
Extreme weather
Sea temperature increment
Access to infrastructure for rice production
Quality of seeds
+
+
+
Harvesting area
- Pests
Area for agriculture
Basic food price of Government
Interest to do farming + +
+
+
+
Needs for expansion of desired area for export commodity +
Land for non-forest activities (APL)
+ - + Sea Level Rise
+ Export commodity area
+ Increment area for desired export commodity
+ Forest area-
Indonesia's land area -
+
Utilized coastal area +
Potential utilized coastal area +
Coastal quality
Gambar 29 Causal Loop Diagram fase awal
30
Gambar 29 menggambarkan diagram sebab-akibat (causal loop diagram) dari dampak perubahan iklim terhadap masing-masing rantai pasokan untuk masing-masing sektor. Satu hal yang belum tergambarkan di dalam diagram ini adalah kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh perubahan iklim, seperti tanda-tanda alam yang menandakan musim tanam. Elemen yang paling krusial yang digambarkan di dalam diagram ini adalah minat, minat bertani, minat nelayan, dan minat untuk budidaya laut. Namun, diagram tersebut menunjukkan bahwa, hanya memiliki minat saja, sebenarnya tidak dapat memastikan ketahanan pangan atau ketahanan beras. Diagram tersebut menunjukkan bahwa, jika minat tinggi, maka ketersediaan pangannya tinggi, dan menyebabkan harga pangan turun, sebagai akibat dari supply-demand. Jika harga Pangan turun, maka minat juga akan menurun. Pertanyaannya adalah bagaimana dapat mempertahankan minat yang tinggi, dan menjaga harga agar tetap baik. Kompetisi lahan juga menjadi elemen yang penting, bagaimana sinergi kebijakan di Indonesia terkait dengan lahan; apakah pertumbuhan wilayah perkotaan, atau untuk lahan produksi pertanian.
30
Henriette Imelda. Synthesis Report: Climate Change Impact on Food Security in Indonesia: Policy Analysis. Disampaikan pada FGD Pangan dan Perubahan Iklim IESR tanggal 18 Oktober 2016.
40
Kompetisi yang terbesar untuk lahan sebenarnya adalah lahan perkotaan dan lahan produksi pertanian.
Ekspansi kota hingga ke pesisir, dapat menurunkan produksi perikanan, karena merusak pesisir
Ekspansi wilayah kota juga dapat mengambil lahan pertanian
+ PERKOTAAN + -
PRODUKSI PERIKANAN +
LAHAN PRODUKSI PERTANIAN +
-
APL
LAHAN Melalui penanaman mangrove
Termasuk lahan mangrove
Gambar 30 Causal Loop Diagram untuk kompetisi lahan
31
Isu terkait dengan rural - urban interaction harus dielaborasi lebih jauh untuk menjawab hal tersebut, kemudian dilihat apakah Indonesia memiliki kebijakan terkait dengan hal ini. Pertanyaan berikutnya adalah mana yang Indonesia ingin capai: ketahanan pangan atau kemandirian pangan? Untuk mencapai ketahanan pangan, Indonesia bisa mengambil opsi untuk impor bahan pangan, namun, apakah itu yang menjadi tujuannya? Berbicara mengenai lahan produksi pertanian, apakah mungkin untuk menanam padi di kota? Kemungkinan besar yang dapat ditanam di kota adalah ketela. Untuk dapat mengoptimalkan konsumsi ketela, diversifikasi konsumsi harus dilakukan, dan perlu berbagai macam upaya untuk melakukan hal tersebut untuk melepaskan ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras. Diagram sebab-akibat yang digambarkan masih merupakan model agregat, sehingga tidak dapat menjawab pertanyaan bagaimana ketahanan pangan dapat diwujudkan di wilayah-wilayah yang bukan merupakan sentra pangan.
31
Henriette Imelda. Synthesis Report: Climate Change Impact on Food Security in Indonesia: Policy Analysis. Disampaikan pada FGD Pangan dan Perubahan Iklim IESR tanggal 18 Oktober 2016.
41