LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012
KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN
Oleh : Sumaryanto Sugiarto Muhammad Suryadi
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012
RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN Latar Belakang 1. Perubahan iklim telah terjadi dan berbagai hasil studi empiris berkesimpulan bahwa dampak negatifnya terhadap perekonomian jauh lebih besar daripada dampak positifnya. Terkait karakteristik intrinsiknya, sektor pertanian merupakan sektor perekonomian paling rentan terhadap perubahan iklim. Mengingat sektor ini merupakan penghasil pangan maka perubahan iklim merupakan ancaman paling nyata terhadap keberlanjutan ketahanan pangan. 2.
Dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan bersifat global, regional, nasional, dan lokal. Untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak perubahan iklim, cara yang layak ditempuh adalah melakukan mitigasi dan adaptasi secara sinergis.
3.
Kaberhasilan aksi mitigasi dan adaptasi terletak pada partisipasi dan konsistensi seluruh pemangku kepentingan. Dalam hubungannya dengan ketahanan pangan, mengingat aktor utama pertanian adalah petani maka keberhasilannya terletak pada kapasitas adaptasi petani. Dalam konteks ini, peran peran pemerintah sangat dibutuhkan. Alasannya, meskipun secara historis petani telah bertahun-tahun melakukan adaptasi secara mandiri (autonomus adaptation) namun hal itu hanya akan cukup untuk mempertahankan dan mengembangkan eksistensi komunitasnya. Untuk mendukung keberlanjutan ketahanan pangan nasional, terlebih-lebih jika variabilitas iklim makin tajam maka cara-cara yang ditempuh tidaklah memadai.
4.
Pemerintah telah berkomitmen untuk melakukan aksi nasional adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di sektor pertanian. Dengan tetap mensinergikannya dengan aksi mitigasi, khusus untuk sub sektor pangan fokusnya adalah pada aksi adaptasi.
5. Perumusan kebijakan dan program adaptasi yang tepat membutuhkan masukan dari data dan informasi hasil penelitian empiris. Argumennya adalah sebagai berikut: (i) sebagian adaptasi bersifat spesifik lokal, (ii) keberhasilan program adaptasi ditentukan oleh parsisipasi aktif dari seluruh pihak yang berkepentingan dalam semua tingkatan, dan (iii) sebagian besar unsur-unsur adaptasi bersifat kontekstual, dalam arti tergantung pada karakteristik permasalahannya, besarannya, dan berbeda-beda menurut waktunya.
Tujuan Penelitian 6. Penelitian ini ditujukan untuk: (i) mengidentifikasi tingkat keragaman kapasitas adaptasi petani padi terhadap perubahan iklim, (ii) mengetahui determinan kapasitas adaptasi tersebut pada butir (i), dan (iii) mengetahui simpul-simpul strategis peningkatan kapasitas adaptasi petani. Sasarannya adalah untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan dalam rangka akselerasi program dan aksi adaptasi terhadap perubahan iklim dengan orientasi mendukung ketahanan pangan berkelanjutan. Manfaat penelitian ini adalah terfasilitasinya proses perumusan kebijakan dan program yang efektif untuk mengurangi kerentanan petani tanaman pangan terhadap perubahan iklim sehingga kondusif untuk mendukung keberlanjutan ketahanan pangan. Metode Penelitian 7. Kapasitas adaptasi adalah suatu variabel laten sehingga yang dapat diamati adalah faktor-faktor yang mempengaruhinya dan indikatornya. Dalam penelitian ini, jawaban atas tujuan penelitian (i) yakni pengukuran keragaman kapasitas adaptasi diestimasi dengan multi indicator multi causal model (MIMIC) dengan pendekatan strucrural equation modeling (SEM). Indikator yang digunakan untuk mengukur kapasitas adaptasi adalah: (i) tingkat efisisiensi teknis yang dicapai petani dalam usahatani padi, (ii) kontribusi usahatani di lahan sawah dalam pendapatan rumah tangga petani, dan (iii) perbandingan relatif produktivitas usahatani padi yang dicapai dengan potensi maksimumnya. Faktor-faktor yang menentukan kapasitas adaptasi adalah: (a) jumlah anggota rumah tangga yang bekerja/membantu bekerja pada usahatani, (b) total luas lahan milik termasuk lahan bukan sawah, (c) luas garapan usahatani padi, (d) rata-rata produktivitas usahatani yang dicapai dalam beberapa tahun terakhir (dalam penelitian ini 10 tahun terakhir), (e) total pendapatan rumah tangga, dan (f) indeks kerentanan lahan sawah garapan terhadap ancaman banjir dan atau kekeringan. Dengan menggunakan indikator dan faktor penyebab seperti tersebut di atas, dari hasil eksekusi model MIMIC dapat diperoleh ukuran kuantitatif yang merefleksikan kapasitas adaptasi masing-masing petani yang diobservasi. Selanjutnya, dengan memanfaatkan nilai tengah dan simpangan bakunya dapat dilakukan pengelompokan petani yang diobservasi menjadi kategorisasi yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Untuk tujuan (2) yakni untuk mengetahui determinan kapasitas adaptasi, alat analisis yang digunakan adalah ordered logit model (ologit), sedangkan jawaban tujuan penelitian (3) dapat ditempuh dengan mensintesis jawaban dari tujuan (i) dan (ii). 8.
Populasi pada penelitian ini adalah petani penghasil komoditas pangan utama (pada) pada agroekosistem pesawahan yang mencakup sawah irigasi teknis, sawah beririgasi sederhana, maupun sawah tadah hujan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode acak sederhana. Penelitian dilakukan di tiga provinsi contoh yaitu Lampung (4 desa), Jawa Tengah (4 desa), dan Nusa Tenggara Barat ( 2 desa). Secara administratif, desa-desa contoh tersebut termasuk dalam Kabupaten Lampung Tengah (Lampung), Cilacap dan Blora (Jawa Tengah), dan Sumbawa (Nusa Tenggara Barat). Total jumlah sampel adalah 160
dengan rincian: di Lampung Tengah 60, di Jawa Tengah 60, dan di Sumbawa 40 rumah tangga petani. HASIL PENELITIAN Tujuan 1. 9. Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk level agregat seluruh populasi yang di teliti ternyata tingkat kapasitas adaptasi petani tanaman pangan terhadap perubahan iklim termasuk kategori sedang. Dengan menggunakan ukuran pemusatan dan ukuran persebarannya sebagai kriteria pengelompokan, proporsi petani yang termasuk dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi masing-masing adalah 15, 72, dan 13 persen. 10.
Kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim juga bervariasi antar lokasi yang berbeda. Kapasitas adaptasi yang tertinggi adalah pada komunitas petani tanaman pangan di Blora (Jawa Tengah), sedangkan yang terendah adalah di Sumbawa. Kapasitas adaptasi petani di Lampung Tengah hampir sama dengan di Cilacap. Kapasitas adaptasi petani di dua lokasi ini berada pada peringkat yang lebih rendah dari petani di Blora, tetapi lebih tinggi daripada komunitas petani di Sumbawa.
11.
Sebagai salah satu indikator utama kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim, tingkat efisiensi teknis yang dicapai oleh petani dalam usahatani padi sangat nyata peranannya. Pada komunitas petani tanaman pangan berbasis padi, kapasitas adaptasi yang tinggi tercerminkan oleh efisiensi teknis yang dicapai pada usahatani padinya. Dari penelitian ini ditemukan bahwa rata-rata tingkat efisiensi teknis yang dicapai oleh petani yang kapasitas adaptasinya rendah, sedang, dan tinggi masing-masing adalah sekitar 0.86, 0.66, dan 0.41 (ukuran efisiensi teknis berkisar antara 0 – 1, dimana semakin mendekati 1 berarti semakin tinggi efisiensinya).
12.
Rata-rata produksi padi per hektar yang dicapai oleh petani yang kapasitas adaptasinya rendah adalah sekitar 29.1 kuintal/hektar gabah kering panen (GKP). Untuk yang kapasitas adaptasinya tergolong sedang, produksi per hektar yang dicapai adalah sekitar 50.1 kuintal/hektar, sedangkan yang kapasitas adaptasinya tinggi mencapai sekitar 64.8 kuintal/hektar.
13.
Konsisten dengan temuan sebagaimana tercantum pada butir (11), rasio produktivitas yang dicapai terhadap potensi maksimumnya dapat digunakan sebagai indikator yang baik. Berdasarkan indikator ini, rata-rata rasio yang dicapai oleh petani yang kapasitas adaptasinya rendah, sedang, dan tinggi masing-masing adalah 0.39, 0.68, dan 0.9.
14.
Indikator lain yang juga cukup baik adalah peranan pendapatan usahatani dari lahan sawah terhadap pendapatan rumah tangga. Sebagian besar petani yang kapasitas adaptasinya tinggi terdiri dari petani-petani yang menjadikan usahatani di lahan sawah sebagai gantungan nafkah utamanya. Rata-rata kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah terhadap total
pendapatan rumah tangga pada petani yang kapasitas adaptasinya termasuk kategori rendah, sedang, dan tinggi masing-masing adalah 0.38, 0.46, dan 0.50. 15.
Untuk faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas adaptasi, peranan pendapatan rumah tangga sangat menentukan. Pendapatan dalam konteks ini adalah pendapatan total, dalam arti mencakup pula pendapatan yang diperoleh dari luar usahatani di lahan sawah. Dalam penelitian ini terbukti bahwa semakin tinggi pendapatannya maka semakin tinggi kapasitas adaptasinya. Hal ini logis, mengingat bahwa pengembangan kemampuan untuk beradaptasi membutuhkan adanya tambahan pengeluaran antara lain untuk pengadaan benih/bibit yang mutunya lebih baik, untuk pengadaan pupuk dengan kualitas yang lebih baik dan kuantitas yang lebih mendekati dosis anjuran, untuk mengkondisikan agar kebutuhan air irigasinya lebih terjamin, untuk pengendalian organisme pengganggu tanaman, dan sebagainya.
Tujuan 2. 16. Dengan aplikasi model ordered logit, diketahui bahwa determinan kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim adalah: (i) tingkat pendidikan petani, (ii) pengalaman berusahatani, (iii) total pendapatan rumah tangga, (iv) kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah, (v) keaktifan kelompok tani, (vi) luas total lahan milik, dan (vii) faktor lingkungan fisik dan sosial budaya yang sifatnya lokal spesifik. 17.
Koefisien parameter tingkat pendidikan formal adalah positif. Hal ini merupakan konfirmasi empiris bahwa semakin tinggi kemampuan petani untuk mengakses sumber-sumber inovasi melalui media formal maka semakin tinggi pula kapasitas adaptasinya. Di sisi lain, koefisien parameter pengalaman berusahatani yang juga bertanda positif dan nyata menunjukkan bahwa akumulasi pengetahuan dan keterampilan teknis dan manajerial sangat kondusif untuk pengembangan kapasitas adaptasi pada periode selanjutnya.
18.
Tanda positif dan sangat nyata dari pengaruh pendapatan total rumah tangga menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka makin tinggi pula kapasitas adaptasinya. Dalam konteks ini, kontribusi pendapatan dari kegiatan usahatani di lahan sawah mempunyai peranan yang sangat menentukan. Semakin besar peranannya semakin tinggi pula kapasitas adaptasinya.
19.
Temuan yang menarik adalah bahwa keaktifan kelompok tani juga merupakan determinan kapasitas adaptasi. Semakin aktif kelompok taninya, semakin tinggi pula kapasitas adaptasi petani dalam kelompok yang bersangkutan. Sebagai salah satu determinan kapasitas adaptasi, pengaruh pemilikan lahan terhadap kapasitas adaptasi yang dihasilkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa semakin luas pemilikan lahannya maka semakin rendah kapasitas adaptasinya. Di sisi lain, beberapa penelitian yang lain memperoleh temuan
20.
sebaliknya. Oleh karena itu, pengaruh faktor ini masih perlu dikaji lebih lanjut dalam penelitian di masa mendatang. 21.
Koefisien peubah boneka lokasi yang berpengaruh nyata terhadap kapasitas adaptasi menunjukkan bahwa dalam aspek-aspek tertentu kapasitas adaptasi adalah bersifat spesifik lokal. Implikasinya, upaya peningkatan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim harus memperhatikan kondisi lingkungan fisik dan sosial setempat. Untuk lingkungan fisik, faktor yang terpenting adalah infrastruktur irigasi dan infrastruktur transportasi, sedangkan untuk lingkungan sosial adalah eksistensi modal sosial yang konvergen dengan aksi kolektif yang diperlukan dalam pengelolaan air untuk usahatani dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT).
Tujuan 3. 22. Simpul-simpul strategis peningkatan kapasitas adaptasi petani tanaman pangan terhadap perubahan iklim adalah: (i) akses petani terhadap sumber inovasi, (ii) pengalaman petani dalam berusahatani tanaman pangan berbasis padi, (iii) kemampuan petani untuk membiayai aplikasi teknologi adaptif, (iv) peranan usahatani tanaman pangan sebagai sumber pendapatan masyarakat petani, (v) modal sosial yang efektif untuk menggerakkan aksi kolektif, (vi) ketersediaan infrastruktur pertanian dan perdesaan, dan (vi) keberadaan kelompok tani yang aktif. 23.
Akses petani terhadap sumber inovasi dapat ditingkatkan melalui dua jalur secara sinergis. Jalur pertama dari pihak pemerintah yaitu melalui percepatan penyampaian dan peningkatan informasi mengenai kiat-kiat budidaya dan manajerial usahatani tanaman pangan yang adaptif terhadap perubahan iklim. Jalur kedua adalah melalui peningkatan daya serap petani terhadap metodemetode baru dalam teknik budidaya dan manajemen usahatani yang mencakup kegiatan pra panen – pasca panen.
24.
Pendayagunaan pengalaman petani dalam peningkatan kapasitas adaptasi dapat dioptimalkan dengan cara mengakomodasikannya dengan program penyuluhan usahatani yang adaptif terhadap perubahan iklim. Dalam konteks ini, meskipun untuk aspek-aspek tertentu mungkin kurang sinergis dengan teknologi yang diintroduksikan tetapi perlu dihindari adanya cara-cara introduksi yang sifatnya mengalienasi kiat-kiat praktis yang diperoleh petani dari pengalamannya dalam berusahatani yang telah bertahun-tahun dijalaninya. Untuk itu, pendekatan yang sesuai dalam penyuluhan adalah berbasis pembelajaran bersama.
25.
Peningkatan kemampuan permodalan petani untuk mengaplikasikan teknologi usahatani yang adaptif terhadap perubahan iklim tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Alasannya, kemampuan permodalan berkorelasi kuat dengan pendapatan petani; sedangkan peningkatan pendapatan membutuhkan proses yang panjang. Peningkatan kemampuan permodalan melalui penyediaan kredit murah mutlak diperlukan tetapi rancang bangun kebijakan dan strategi implementasinya di lapangan masih harus disempurnakan karena secara
empiris permasalahan ini telah menjadi klasik dan faktanya sampai saat ini berbagai solusi yang ditawarkan belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan. 26.
Untuk meningkatkan kapasitas adaptasi petani tanaman pangan terhadap perubahan iklim, perbaikan dan pengembangan infrastruktur pertanian dan perdesaan sangat diperlukan. Untuk infrastruktur pertanian, yang paling mendesak adalah rehabilitasi irigasi, sedangkan untuk infrastruktur perdesaan adalah jalan desa. Khususnya untuk infarstruktur irigasi, yang mendesak untuk diperbaiki bukan hanya infrastruktur fisiknya tetapi juga menyangkut kelembagaan operasi dan pemeliharaannya; khususnya di level tertier.
27.
Efektivitas tindakan adaptasi sangat ditentukan oleh partisipasi aktif dari petani dan lembaga-lembaga pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya berkenaan langsung dengan peningkatan kapasitas adaptasi. Dalam hal ini, peningkatan kinerja kelompok tani sangat diperlukan.
28.
Esensi dari pengaruh lingkungan yang sifatnya spesifik lokal berimplikasi bahwa penyelarasan model usahatani yang adaptif terhadap perubahan iklim yang diintroduksikan ke petani dengan lingkungan fisik dan sosial setempat sangat diperlukan. Dalam hal ini, substansinya bukan hanya mencakup gatra teknis tetapi juga disain kelembagaannya.
Implikasi Kebijakan 29. Mengingat bahwa adaptasi merupakan suatu proses jangka menengah – panjang maka pengarus utamaan (mainstreaming) adaptasi terhadap perubahan iklim perlu dilakukan secara konsisten, komprehensif, dan sistematis. Dalam konteks itu, upaya yang dapat ditempuh untuk melakukan akselerasi peningkatan kapasitas adaptasi adalah melalui penguatan simpulsimpul strategis yang pengaruhnya positif. 30.
Kebijakan yang efektif untuk meningkatkan kapasitas adaptasi adalah melalui pengembangan infrastruktur, kelembagaan, dan akses petani terhadap teknologi adaptif. Simultan dengan kebijakan tersebut, peningkatan kemampuan finansial petani kecil melalui bantuan permodalan mempunyai prospek keberhasilan yang baik.