LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 PENINGKATAN KAPASITAS ADAPTASI PETANI DI DAERAH MARGINAL TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
Oleh : Sahat M. Pasaribu Henny Mayrowani Dewa K. Swastika M. Iqbal Amar K. Zakaria Tjetjep Nurasa Valeriana Darwis Juni Hestina
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2008
RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan 1. Perubahan iklim diperkirakan masih akan terus berlanjut dalam jangka waktu yang panjang. Meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfir telah mendorong terjadinya efek gas rumah kaca (green house gases) sehingga suhu rata-rata bumi meningkat (global warming). Hal itu berpengaruh terhadap perilaku angin dan penguapan air laut ataupun danau sehingga pola sebaran temporal dan spatial, maupun intensitas curah hujan berubah. Perubahannya cukup tajam, bahkan kadang-kadang ekstrim. 2. Secara keseluruhan perubahan iklim tersebut diperkirakan membawa dampak negatif terhadap perekonomian global, terutama kehilangan setidaknya 5% GDP dunia per tahun. Diperkirakan bahwa dampak negatif yang menimpa negara-negara berkembang akan lebih lebih besar. 3. Pertanian merupakan salah satu sektor perekonomian yang paling rawan terhadap dampak negatif perubahan perilaku iklim. Insiden dan intensitas kekeringan dan atau banjir secara langsung menyebabkan kerusakan tanaman. Secara tidak langsung kondisi seperti itu juga menyebabkan kurang optimalnya atau rusaknya jaringan irigasi, jalan usahatani, dan prasarana pertanian lainnya. Implikasinya, masa depan ketahanan pangan global menghadapi situasi yang lebih suram. 4. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan bahwa sebagian besar negara di dunia akan menghadapi tantangan yang lebih berat untuk mencukupi kebutuhan pangannya. 5. Sampai saat ini pasokan pangan masih tetap mengandalkan sistem pertanian konvensional yang antara lain dicirikan oleh ketergantungannya yang tinggi terhadap iklim. Keputusan petani tentang apa yang akan diproduksi, berapa banyak, kapan, dimana, teknik budidaya apa yang akan diaplikasikan sangat dipengaruhi oleh iklim. Karena iklim tidak dapat dikendalikan, maka upaya menekan risiko rugi ataupun upaya memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan (jika ada) ditempuh melalui adaptasi. Sasaran dan Tujuan 6. Sasaran penelitian adalah terciptanya sistem adaptasi terencana yang harus dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan kapasitas adaptasi petani di wilayah marginal terhadap perubahan iklim. Dengan sasaran tersebut, tujuan penelitian ini adalah: (1) mempelajari perilaku perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya; (2) mempelajari bentuk dan pola adaptasi petani terhadap kondisi iklim di wilayah marginal; (3) mengidentifikasi komponen yang diperlukan komunitas petani di wilayah marginal untuk meningkatkan kapasitas adaptasinya terhadap perubahan iklim; (4) merumuskan rekomendasi kebijakan dan program dalam rangka meningkatkan kapasitas adaptasi petani di wilayah marginal terhadap perubahan iklim. Keluaran yang Diharapkan 7. Mengacu pada tujuan penelitian dan sasaran yang ingin dicapai, maka keluaran yang diharapkan dari penelitian adalah: (1) data dan informasi tentang perilaku perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya; (2) data, informasi, dan pengetahuan tentang bentuk dan pola adaptasi petani di wilayah marginal terhadap perubahan iklim; (3) inventarisasi dari faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas
adaptasi petani di wilayah marginal terhadap perubahan iklim; (4) berbagai komponen yang dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas adaptasi petani di wilayah marginal terhadap perubahan iklim; dan (5) rekomendasi kebijakan dan usulan program yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas adaptasi petani di wilayah marginal terhadap perubahan iklim Keterbatasan Penelitian 8. Penelitian ini memiliki keterbatasan terutama dalam hal pengumpulan data di lapangan. Pengumpulan data di tingkat petani di Kabupaten Kudus mendapat kendala karena dilaksanakan pada saat musim panen padi, sehingga pengumpulan data primer sebagian besar dilakukan pada malam hari yang kurang kondusif bagi para responden. Sementara itu, penyelenggaraan FGD di kedua provinsi lokasi penelitian dapat dilaksanakan dengan baik, meski tidak semua pejabat yang berkompeten dalam bidang iklim bisa hadir. Andaikan semua pejabat yang diharapkan tersebut hadir dan berpartisipasi secara aktif, niscaya informasi yang dikumpulkan dapat lebih tajam lagi. Metodologi 9. Penelitian ini dilaksanakan di dua provinsi yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) mewakili daerah rawan kekringan dan Jawa Tengah (Jateng) untuk mewakili daerah rawan banjir. Di NTT, dipilih kabupaten Kupang dengan 2 desa contoh, yaitu Nun Kurus dan Oe Bola. Sedangkan di Jateng dipilih kabupaten Kudus dengan 2 desa contoh Undaan Kidul dan Karang Rowo. Tiap desa di kedua provinsi diambil 30 petani contoh secara acak sederhana untuk wawancara individu, dan sekitar 10 orang tokoh masyarakat per desa untuk wawancara kelompok (group interview), dengan pendekatan focus group discussion (FGD) secara partisipatif. Selain melakukan wawancara dan FGD di desa, pendekatan FGD tingkat provinsi juga dilakukan di tiap provinsi, dengan melibatkan pemangku kebijakan (stakeholders) tingkat provinsi dalam bidang yang berkaitan dengan perubahan iklim. 10. Penelitian ini juga menghimpun data sekunder untuk mempelajari potensi wilayah dan kendala dalam mengantisipasi perubahan iklim. Sedangkan data primer dari petani digunakan untuk menganalisis kapasitas dan strategi petani dalam mengantisipasi perubahan iklim. 11. Analisis data mencakup analisis deskriptif sesuai dengan konteks permasalahan dan informasi yang dihasilkan. Analisis kelembagaan dari kasus-kasus yang ditemui di masing-masing lokasi penelitian sangat penting karena lesson learned dari kasuskasus tersebut sangat berguna untuk memperoleh pemahaman empiris secara komprehensif. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat) digunakan untuk mengidentifikasi potensi, peluang dan kendala serta menyusun strategi dalam mengantisipasi perubahan iklim. Kesemuanya itu diorganisasikan secara sistematis agar keluaran penelitian ini dapat berkontribusi nyata dalam perumusan kebijakan dan program Departemen Pertanian dalam menghadapi era perubahan iklim.
Hasil dan Pembahasan A. Provinsi Jawa Tengah Profil Petani 12.
Petani contoh di desa Uddaan Kidul berumur rata-rata 38,2 tahun dengan kisaran umur antara 24 sampai 59 tahun. Sedangkan di Desa Karang Rowo, rataan umur petani adalah 39,6 tahun, dengan kisaran antara 28 sampai 56 tahun. Berdasarkan kondisi umur tersebut, dapat dikemukakan bahwa petani responden di Kecamatan Undaan tergolong pada usia produktif.
13.
Tingkat pendidikan formal yang dicapai oleh petani responden di Desa Undaan Kidul rata-rata 10,4 tahun. Sedangkan petani responden Desa Karang Rowo ratarata 7,3 tahun, dengan kisaran antara 7-28 tahun. Pengalaman bertani responden di dua desa adalah masing-masing 17 dan 19 tahun. Berarti, secara umum petani responden di wilayah Kecamatan Undaan sudah cukup berpengalaman dalam berusahatani.
14.
Luas lahan garapan Petani di Undaan Kidul rata-rata 0,86 ha/petani, dengan kisaran 0,36-2,0 ha/petani. Di desa Karang Rowo, luas garapan rata-rata 0,64 ha/petani, dengan kisaran 0,4-1,4 ha/petani. Luas lahan garapan di dua desa ini relatif lebih besar dibandingkan dengan luas lahan petani sawah di pulau Jawa yang rata-rata 0,3 ha/petani. Ini berarti bahwa petani contoh di lokasi penelitian mempunyai potensi lebih besar dalam menghasilkan pangan dibandingkan dengan rataan petani di pulau Jawa.
Perubahan Iklim dan Dampak yang Ditimbulkan 15.
Perubahan iklim di Jawa Tengah dalam kurun waktu 5 tahun menimbulkan perubahan musim hujan dan musim kemarau. Musim kemarau yang berkepanjangan mengakibatkan kekeringan dan musim hujan mengakibatkan banjir di beberapa kabupaten di Jawa Tengah. Curah hujan yang besar yang tidak bisa tertahan oleh bendungan, serta tebalnya sedimentasi saluran penampung air menyebabkan banjir besar.
16.
Perubahan iklim yang terjadi tahun 2007 mengakibatkan kondisi puso di hampir semua Kabupaten, Provinsi Jawa Tengah. Puso tanaman padi terbesar terjadi di kabupaten Kudus dengan total wilayah 7.513 Ha, diikuti Kabupaten Sragen dengan luas 7.389 ha dan Pati 4.658 ha. Sementara daerah yang tidak terkena puso adalah Cilacap, Brebes, Tegal, Banjar Negara dan Kendal.
17.
Produksi pangan pokok Jawa Tengah yaitu padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar dalam lima tahun terakhir secara umum menurun dengan pertumbuhan rata-rata –0,37% per-tahun. Perhatian perlu diberikan pada gejala pertumbuhan negatif produksi padi, yaitu –0,93%, kedelai –7,55% dan ubi jalar –6,45%. Anomali iklim dan kemunduran kinerja penyuluhan pertanian diduga merupakan sebagian kontributor utama terjadinya kegagalan panen.
18.
Perubahan iklim di kecamatan Undaan Kabuapaten Kudus, menunjukkan penurunan produksi padi secara significant pada tahun 2007. Tahun 2006 produksi padi di Kecamatan Undaan mencapai 68.836 ton dan merupakan produksi padi terbesar di Kabupaten Kudus. Akan tetapi pada tahun 2007 mengalami penurunan
produksi hampir 50 persen yaitu menjadi 37.695 ton yang diakibatkan oleh banjir. Rata-rata pertumbuhan produksi padi di Kecamatan Undaan turun (–3,9%). 19.
Berdasarkan hasil FGD, dampak negatif perubahan iklim terhadap produksi pertanian dan pendapatan petani adalah sebagai : (a) jadwal tanam berubah, musim tanam menjadi tidak tepat waktu, (b) munculnya hama dan penyakit, yang mengakibatkan menurunnya produksi pertanian, (c) sulitnya penanganan pasca panen karena tingginya curah hujan, sehingga kualitas gabah dan harga rendah, dan (d) akhir tahun 2007, akibat banjir yang melanda Kabupaten Kudus, tanaman padi puso dan panen hanya mencapai 10-15%.
Pola Adaptasi dan Antisipasi Petani 20.
Pada saat banjir, upaya penanggulangan dilakukan secara gotong-royong (membuatan tanggul penahan air) bersama kelompok tani dengan sumber dana berasal dari paguyuban P3A. Peringatan bahaya banjir diinformasikan oleh petugas PSDA melalui radio komunikasi “handy talky” kepada aparat kecamatan dan desa. Sinyal peringatan siaga-1 terjadi apabila debit air sungai telah mencapai sekitar 700 meter kubik per detik.
21.
Untuk kelancaran tugas penanggulangan bahaya banjir ini, pada lintas kecamatan dibentuk “tim yustisia” dengan anggota tripida kecamatan (Camat dan Kapolsek beserta Danramil). Menurut kepala Desa Undaan Kidul, seyogyanya tim yustisia di atas lintas kecamatan, guna menggalang kerjasama antar kecamatan dan kabupaten. Hal tersebut penting, terutama sejak diberlakukannya otonomi daerah.
22.
Dalam menghadapi keadaan yang ekstrim tersebut, masyarakat petani di Desa Undaan Kidul telah berusaha mengubah pola usahatani menuju pertanian yang dinamis. Salah satunya adalah melalui penerapan sistem pertanian organik seperti padi, mina-padi, palawija (jagung manis), jamur tiram, hortikultura (kangkung, sawi, jeruk pamelo, jeruk citra, dan jeruk muria).
29.
Peran kelembagaan dalam mengatasi perubahan iklim meliputi peran dalam peningkatan SDM pertanian, permodalan, perubahan perilaku, akses informasi iklim, penyediaan sarana-prasarana.
Kearifan lokal (local wisdom) 30. Pada zaman dahulu para orang tua sudah bisa membaca alam, dan biasanya disebut dengan ilmu titen. Ilmu “titen” adalah ilmu mengamati sesuatu dari gejala alam, biasanya berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang (kejadian dalam kehidupan, peristiwa di alam). Salah satu ilmu titen adalah “pranata mongso” yang berisikan pembagian masa dalam satu tahun untuk melakukan suatu pekerjaan, terutama bertani. Ada masa untuk menanam, ada masa untuk menyiangi dan ada masa untuk panen. Hitungannya selalu tepat karena ekosistem alam pada masa itu masih berimbang. Sehingga datangnya musim hujan bisa diprediksi dan lamanya musim kemarau bisa diprediksi. 31. Kearifan lokal dalam budidaya pertanian pada zaman dahulu dikenal dengan nama Pranoto Mongso untuk masyarakat Jawa, Pranata Mangsa untuk masyarakat Sunda dan Kerta Masa atau Dewasa untuk masyarakat Bali. Pranoto Mongso dibutuhkan pada saat itu sebagai penentuan atau patokan bila akan mengerjakan sesuatu
pekerjaan. Contohnya melaksanakan usaha tani seperti bercocok tanam atau melaut sebagai nelayan, merantau mungkin juga berperang. 32. Petani di Jawa Tengah sejak dulu telah mempunyai pedoman pranoto mongso yang
memuat aturan-aturan musim dalam satu tahun, yang digunakan sebagai dasar dalam permulaan tanam. Dalam pranoto mongso dikenal ada empat musim: (1) musim labuhan, musim saat permulaan hujan yang dimulai akhir bulan September atau Oktober, saat petani mulai menanam polowijo; (2) musim rendengan (mulai Oktober-Nopember), hujan mulai banyak, mulai tanam padi di sawah; (3) musim marengan mulai Maret, hujan mulai berkurang, polowijo musim labuhan sudah panen dan di tegalan akan ditanami lagi; (4) musim kemarau (mulai April–Mei), saat padi rendengan di sawah sudah dipanen, dan sawah akan ditanami polowijo atau padi lagi jika ada air atau padi gadu. Namun pranoto mongso tersebut saat ini sudah tidak sesuai lagi, karena adanya perubahan iklim secara global. Karena itu, sudah banyak ditinggalkan. B. Provinsi Nusa Tenggara Timur Profil Wilayah dan Petani 33. Sektor pertanian masih merupakan sektor andalan NTT, yang tercermin dari kontribusinya dalam perolehan PDRB. Pada tahun 2006 sektor pertanian menyumbang sekitar Rp 6,90 triliun atau 41,22 persen dari PDRB provinsi ini. Dari sektor pertanian, kontribusi terbesar berasal dari sub-sektor tanaman pangan yang menyumbang sebesar 21,29 persen dari total PDRB Provinsi NTT. 34. Secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan antara umur, pendidikan, dan pengalaman bertani KK di Desa Nun Kurus dan di Desa Oe Bola. Rataan umur KK di kedua desa penelitian adalah di bawah 40 tahun. Dengan kata lain, rataan umur tersebut tergolong ke dalam kategori umur produktif yang memiliki prospek untuk dikembangkan khususnya terkait dengan peningkatan produktivitas kerja. Sementara itu, rataan pengalaman bertani KK berkisar antara 16-17 tahun. Dengan rataan umur dan pengalaman bertani tersebut dapat dikatakan bahwa KK di lokasi penelitian telah mulai aktif berusahatani sejak umur 20 tahun. Rataan lama pendidikan formal sekitar enam tahun (setingkat SD). 35. Semua petani contoh, baik di Desa Nun Kurus maupun di Desa Oe Bola, belum pernah mengikuti pendidikan non-formal terkait dengan iklim. Hampir semua petani, yaitu masing-masing 100 persen di Desa Nun Kurus dan sekitar 95 persen di Desa Oe Bola, menginginkan adanya kegiatan Sekolah Lapang Iklim (SLI) di desa mereka masing-masing. 36. Petani di Desa Nun Kurus mengusahakan dua jenis lahan usahatani yaitu sawah tadah hujan dan tegalan sedangkan petani Desa Oe Bola lebih mengandalkan usahatani tegalan. Bentuk dan Dampak Perubahan Iklim 37. Hampir sebagian besar petani baik di Desa Nun Kurus maupun di Desa Oe Bola mengetahui perubahan musim hujan setiap tahun. Secara umum tingkat pengetahuan petani terhadap perubahan musim hujan di Desa Nun Kurus lebih baik dari pada petani di Desa Oe Bola. Perubahan musim hujan yang paling banyak diketahui petani di Desa Nun Kurus terjadi pada tahun 2000, tahun 2005, dan
sebelum tahun 2000. Sementara itu, fenomena identik yang paling banyak diketahui petani di Desa Oe Bola terjadi pada tahun 2000 hingga tahun 2004. 38. Dari hasil diskusi kelompok terfokus (focused group discussion/FGD) diperoleh gambaran bahwa fenomena perubahan iklim telah menimbulkan beberapa dampak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung berkaitan erat dengan penerapan pola tanam, pemeliharaan, risiko penurunan produktivitas, dan kegagalan panen. Sementara itu, dampak tidak langsung yaitu berupa penurunan ketersediaan pangan dan kemampuan (daya) tukar produk pertanian subsisten serta pengaruh terhadap aspek sosial (pendidikan dan kesehatan). Sumber dan Diseminasi Informasi Iklim 39. Informasi mengenai perubahan iklim diperoleh dari berbagai sumber. Hal tersebut ditunjukkan oleh tingginya persentase informasi dari kombinasi berbagai sumber tersebut. Informasi dari sumber yang spesifik hanya terbatas dari televisi, radio, instansi pemerintah, dan sumber tradisional dengan persentase di bawah 10 persen. Sedikit perbedaan ditemui di Desa Nun Kurus, dimana sebagian petani setempat memperoleh informasi dari televisi dan instansi pemerintah sedangkan di Desa Oe Bola hanya dari radio. 40. Sebagian petani di Desa Nun Kurus dan beberapa petani di Desa Oe Bola samasama mendapatkan informasi mengenai perubahan iklim dari sumber tradisional seperti tokoh masyarakat dari kalangan adat dan keagamaan, orang tua, dan sesama petani. Antisipasi dan Adaptasi Petani terhadap Perubahan Iklim 41. Antisipasi dan adaptasi petani terhadap perubahan iklim terkait dengan strategi dan implementasi yang dilakukan dalam menyikapi fenomena perubahan iklim. Strategi yang dilakukan mencakup strategi bertahan, agresif, dan antisipatif. Strategi bertahan cenderung berpatokan pada kondisi yang terjadi. Strategi agresif lebih mengarah pada upaya mengganti atau mendapatkan inovasi. Strategi antisipasi berhubungan dengan langkah perencanaan. Sementara itu, implementasinya ditempuh melalui beberapa langkah seperti mengubah waktu dan pola tanam, menerapkan pengalaman turun temurun, dan lain-lain. 42. Secara umum strategi yang diterapkan petani di Desa Nun Kurus relatif tidak begitu berbeda dengan strategi yang digunakan petani di Desa Oe Bola. Beberapa perbedaan terjadi karena adanya ketidaksamaan agroekosistem dan dinamika tingkat pengetahuan petani pada masing-masing lokasi penelitian. Perbedaan yang paling menonjol adalah adanya upaya petani di Desa Nun Kurus membuat embung untuk menampung air saat musim hujan dan memanfaatkannya pada saat musim kemarau. Perbedaan lainnya adalah strategi mengubah jenis tanaman (diversifikasi), dimana persentase petani yang menerapkan strategi ini lebih tinggi ditemui di Desa Nun Kurus dibandingkan di Desa Oe Bola. 43. Sesuai dengan karakteristik agroekosistem lahan kering, sebagian besar petani menerapkan strategi menanam pada saat curah hujan sudah banyak. Strategi lainnya adalah menyimpan produksi untuk ketahanan pangan, dimana persentase petani yang menerapkan strategi ini lebih banyak dijumpai di Desa Nun Kurus dibandingkan di Desa Oe Bola. Perlu dikemukakan bahwa tidak ada petani yang menerapkan strategi mengasuransikan tanaman. Kondisi ini lumrah terjadi karena
strategi asuransi tanaman belum banyak dikenal atau belum diketahui oleh sebagian besar petani di lokasi penelitian. 44. Strategi meminjam uang atau barang untuk memenuhi kebutuhan keluarga jarang dilakukan. Karena kebanyakan petani di lokasi penelitian telah menerapkan strategi menyimpan produksi untuk ketahanan pangan rumah tangga. Disamping itu, informasi tambahan menyebutkan bahwa sebagian besar petani setempat berusaha untuk tidak melakukan pinjaman karena dapat mendatangkan beban tambahan. 45. Yang cukup menarik ditemui adalah persentase petani yang menerapkan strategi penjualan sampai harga baik, angkanya lebih tinggi dijumpai di Desa Nun Kurus dibandingkan di Desa Oe Bola. Kondisi ini sekaligus mengisyaratkan bahwa petani di Desa Nun Kurus sedikit lebih baik dalam mengelola pemasaran hasil pertanian dari pada sistem pengolalaan pemasaran yang dilakukan petani di Desa Oe Bola. Perlu dikemukakan bahwa sebagian petani di Desa Oe Bola cenderung melakukan pemasaran hasil pertanian tanpa menunggu harga baik, karena desakan kebutuhan keluarga.
Kearifan Lokal (Indigenous Knowledge) 46. Khusus mengenai kearifan lokal (indigenous knowledge), beberapa diantaranya masih dipakai masyarakat petani di lokasi penelitian, seperti cara memperkirakan waktu datangnya hujan dan besar kecilnya curah hujan. Sebagian besar petani di kedua lokasi penelitian sama-sama memperoleh pengetahuan lokal tersebut dari orang tua/turun temurun. 47. Masyarakat setempat memikli cukup banyak kearifan lokal, diantaranya adalah melalui acara ritual adat. Selain itu, ada juga pengetahuan lokal yang spesifik dalam membaca fenomena alam, sehingga mereka dapat meramal/menduga apakah tahun atau musim yang akan datang mengalami kekeringan atau kelebihan hujan. Hal ini sulit untuk membuktikan secara rasional, namun kenyataannya sampai saat ini caracara tersebut masih terus dilaksanakan oleh komunitas adat tertentu. 48. Masyarakat setempat masih mempercayai fenomena-fenomena alam yang mencirikan keberadaan hujan yang akan dihadapi dalam musim yang ditunggu. Diantaranya adalah: (i) jika ada awan kuning bergumpal muncul di bagian Barat pada jam 5 sore, maka dianggap curah hujan musim ini akan kurang; (ii) jika Nowa (burung) Makleat (besar) berteriak keliling sepanjang hari di desa pada bulan November maka pertanda hujan akan datang dan normal. Suasana ini disebut “manakabau”; jika burung ini datang terlambat pertanda bahwa akan datang musim kelaparan karena hujan mengalami gangguan. Menurut keyakinan mereka, burung ini bukan burung biasa, namun burung ini kiriman dari “Tafatik” dan “Maromak” dan (iii) JIka bunga asam (Tamarindus indica. L.) yang sedang berbunga cepat gugur, maka pertanda hujan segera datang dan musim membaik. Faktor Terkait Perubahan Iklim dan Pilihan Aplikasi Usahatani untuk Produksi Pertanian 49. Sebagian besar petani di Desa Nun Kurus dan Desa Oe Bola menyatakan bahwa faktor utama penyebab terjadinya perubahan iklim di wilayah mereka adalah karena berkurangnya areal hutan.
50. Tindakan yang dilakukan petani terhadap perubahan iklim sebagian besar dimusyawarahkan antar sesama petani. Perlu digarisbawahi bahwa tidak ada petani yang meminta bantuan kepeda pemerintah setempat dalam kaitannya dengan tindakan terhadap perubahan iklim pada kedua lokasi penelitan. Petani di desa Nun Kurus selalu mendiskusikan dan meminta bantuan pemecahan masalah adaptasi dan antisipasi perubahan iklim dengan seorang tokoh gereja yang sekaligus sebagai motivator dan inovator di desa tersebut. 51. Secara umum, cara petani mengelola usahatani akibat adanya kekurangan curah hujan di Desa Nun Kurus adalah melakukan berbagai teknik irigasi, membuat penampungan air hujan dan sumur pompa, serta mengganti varietas tanaman. Sementara itu, di Desa Oe Bola para petaninya lebih banyak menempuh cara-cara seperti melakukan diversifikasi jenis tanaman dan menerapkan tehnik konservasi lahan. Peran Kelembagaan Dalam Antisipasi Perubahan Iklim 53 Kelembagaan merupakan salah satu komponen penting yang sangat menentukan keberhasilan petani dalam melakukan adaptasi dan antisipasi terhadap perubahan iklim. Kelembagaan petani (seperti kelompok tani) memungkinkan petani bekerja secara kelompok dalam pengadaan sarana produksi, melakukan penanggulangan bencana, pengendalian OPT, penanganan pasca panen dan pemasaran hasil, sehingga kinerja usaha dan peluang keberhasilan menjadi makin tinggi. 54. Kelembagaan non petani, seperti lembaga keuangan mikro, pasar input, pasar output, penyuluhan, dan sebagainya mempunyai peran sangat menentukan keberhasilan usahatani. Demikian juga kelembagaan pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan pendukung sektor pertanian mempunyai peran yang sangat strategis. Strategi Kebijakan Peningkatan Kapasitas Adaptasi Petani Terhadap Perubahan Iklim di Jawa Tengah 55. Dengan menggunakan analisis SWOT, potensi dan kendala dalam pengembangan kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim dapat dipahami dengan baik. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas adaptasi petani dalam mengantisipasi perubahan iklim dapat diklasifikasikan sebagai faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan fartor eksternal (peluang dan ancaman). 56. Dari keempat faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada, strategi untuk pengembangan kapasitas adaptasi petani dalam mengantisipasi perubahan iklim adalah : (1) Peningkatan kualitas usahatani tanaman pangan dengan tersedianya lahan, teknologi, SDM, irigasi, kelembagaan petani, serta penyebar luasan data iklim dan program SLI; (2) Memanfaatkan dukungan Pemda dalam peningkatan akses petani terhadap informasi iklim yang tersedia dan program pembiayaan usahatani, peningkatan jumlah penyuluh dan pembangunan infrastruktur usahatani, serta peningkatan pelestarian hutan; (3) Penyesuaian teknlogi usahatani tanaman pangan dengan perubahan iklim, misalnya : penyesuaian pola tanam , penggunaan varitas tahan hama penyakit, penerapan pola usahatani konservasi, (4) penguatan kelembagaan petani dalam pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil, serta (5) pengelolaan sistem penyediaan dan pemakaian air yang lebih baik.
57. Dari strategi yang ditempuh diatas, opsi kebijakan yang bisa diambil adalah : (1) Pengembangan budidaya tanaman pangan dan SLI; (2) Pengembangan penyuluhan dan infrastruktur pertanian; (3) Pengembangan varietas padi tahan hama dan pola usahatani konservasi, serta penguatan kelembagaan petani; dan (4) Peningkatan akses petani terhadap informasi iklim dan harga, serta intervensi pemerintah dalam pemasaran hasil. 58. Program-program yang harus dijalankan adalah : (1) Intensifikasi usahatani, penyediaan kredit lunak dan peyebar luasan SLI; (2) Peningkatan jumlah penyuluh dan pembangunan serta perbaikan infrastruktur pertanian; (3) Introduksi HYV tahan hama dan pola usaha konservasi, melalui demplot kelompok serta kemitraan kelompok tani dengan swasta; dan (4) Pembentukan balai informasi pertanian tingkat kecamatan dan pembangunan gudang kelompok yang dilengkapi fasilitas penanganan pasca panen serta penguatan modal kelompok tani. Strategi Kebijakan Peningkatan Kapasitas Adaptasi Petani Terhadap Perubahan Iklim di NTT 59. Berdasarkan hasil observasi lapang, diskusi kelompok (group interview) di tingkat petani, dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion/FGD) secara partisipatif dengan stakeholders dari berbagai institusi dan komponen masyarakat di provinsi NTT, teridentifikasi masing-masing tiga faktor terpenting dari S, W, O, dan T, sehingga terdapat 12 faktor yang digunakan dalam penyusunan strategi kebijakan. 60. Dalam menggunakan kekuatan (S) dan memanfaatkan peluang (O), dapat dirumuskan minimal dua strategi S-O, yaitu : (1) Introduksi Teknologi Usahatani Konservasi melalui program SLI untuk Penyuluh Pertanian Lapang dan Kelompok Tani; dan (2) Pengujian dan pengembangan varietas jagung toleran kekeringan dengan memanfaatkan lahan yang belum diolah. Demikian juga untuk strategi W-O, strategi S-T, dan W-T disusun masing-masing dua strategi, sehingga seluruhnya terdapat delapan rumusan strategi kebijakan dalam upaya meningkatkan kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim. 61. Dari delapan strategi kebijakan, dapat disusun 13 program kebijakan operasional dalam rangka melaksanakan strategi yang telah dirumuskan. Program tersebut adalah : (1) Sekolah Lapang Iklim untuk Penyuluh Pertanian Lapang dan Kelompok Tani; (2) Pilot Proyek Pengembangan Usahatani Konservasi di tingkat petani; (3) Pengembangan usahatani jagung menggunakan varietas toleran kekeringan; (4) Uji adaptasi beberapa varietas jagung toleran kekeringan bekerjasama dengan petani di lahan petani; (5) Diseminasi informasi iklim di tingkat petani; (6) Pilot proyek pembuatan embung di tingkat petani; (7) Perbaikan pola tanam lahan kering di tingkat petani; (8) Peningkatan intensitas tanam di tingkat petani; (9) Pilot Proyek Usahatani Alley Cropping di tingkat petani; (10) Introduksi teknologi penggunaan mulsa pada usahatani jagung; (11) Pelatihan teknologi pengeringan, pemipilan, pengemasan dan penyimpanan jagung di tingkat petani; (12) Introduksi teknologi pemanfaatan pupuk kandang untuk mengurangi penggunaan pupuk an organik; dan (13) Fasilitasi penguatan kelompok tani. 62. Dalam rangka pelaksanaan berbagai program kebijakan, diperlukan penyusunan skala prioritas. Hal ini sangat penting, mengingat sumberdaya yang tersedia (dana, SDM, dan waktu) terbatas. Penyusunan skala prioritas dilakukan dengan cara penapisan atau penyaringan (screening) berbagai program kebijakan berdasarkan
perkiraan kontribusi, kebutuhan dana, dan efektifitas dari masing-masing program dalam mencapai tujuan. 63. Berdasarkan hasil penapisan, maka dari 13 alternatif program kebijakan, diperoleh lima urutan program kebijakan yang dapat dijadikan prioritas dalam upaya meningkatkan kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Kelima program tersebut adalah: (1) Pengembangan usahatani jagung menggunakan varietas toleran kekeringan; (2) Sekolah Lapang Iklim untuk Penyuluh Pertanian Lapang dan Kelompok Tani; (3) Perbaikan pola tanam lahan kering di tingkat petani; (4) Pilot proyek pembuatan embung di tingkat petani; dan (5) Pelatihan teknologi pengeringan, pemipilan, pengemasan dan penyimpanan jagung di tingkat petani.
Kesimpulan 64. Penelitian ini mampu menguraikan perilaku perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya. Demikian juga dengan bentuk dan pola adaptasi petani di kedua lokasi penelitian yang dikategorikan sebagai wilayah marginal, terhadap kondisi iklim yang berubah. Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi komponen yang diperlukan komunitas petani di kedua lokasi penelitian untuk meningkatkan kapasitas adaptasinya terhadap perubahan iklim. Sintesis penelitian ini juga berhasil merumuskan strategi pelaksanaan pengembangan dan merekomen-dasikan sejumlah program sebagai alternatif kebijakan pembangunan pertanian terkait dengan perubahan iklim dan kapasitas petani terhadap fenomena iklim. 65. Perilaku perubahan iklim yang sulit diramalkan telah menimbulkan kerugian yang tidak sedikit karena kegagalan panen, baik di Jawa Tengah maupun di NTT. Petani di Jawa Tengah dan di NTT memiliki pengetahuan lokal tentang iklim secara turuntemurun (kearifan lokal/indigenous knowledge), namun tidak cukup memadai untuk membantu usahatani mereka karena tidak diikuti oleh antisipasi program yang terarah dan kegiatan internal usahatani secara berkesinambungan. 66. Dampak negatif yang ditimbulkannya mencakup (a) perubahan jadwal tanam (perubahan musim tanam), (b) munculnya hama dan penyakit tanaman, (c) meningkatnya biaya usahatani), (d) berkurangnya fasilitas pengeringan (penjemuran selama musim hujan) dengan biaya pengeringan yang lebih tinggi dan mempengaruhi kualitas hasil pertanian, (e) terjadinya banjir yang merusak areal pertanaman, dan (f) erosi dan pendangkalan sungai sebagai sumber air irigasi. 67. Bentuk dan pola adaptasi petani terhadap perubahan iklim yang selama ini berlangsung dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dengan (a) membangun long storage sebagai penampung air, (b) peningkatan kerjasama kelompok tani (gotong royong) melalui kelembagaan P3A yang dibantu oleh pemerintah daerah setempat, (c) mengubah pola tanam, termasuk penanaman serentak disertai dengan pola tanam pada lahan irigasi teknis dengan pola budidaya hemat air (pola SRI) dan pada lahan non irigasi teknis dengan budidaya gogo rancah (pemanfaatan air dangkal). Sementara itu, petani Provinsi NTT melakukan adaptasi melalui tiga strategi, yaitu (a) bertahan (menanam tanaman secara berulang dengan pertimbangan aspek ekonomi dan pasrah kepada keadaan), (b) agresif (mengganti jenis tanaman, mengubah pola tanam, menerapkan inovasi pemanenan air dengan embung dan sumur, serta menunggu informasi curah hujan, dan (c) antisipatif (menyiapkan input yang cukup, mengalihkan usaha dari on-farm ke off-farm, dan memanfaatkan pengetahuan spesifik lokal).
68. Di Provinsi Jawa Tengah, faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan ikllim, diantaranya adalah: (1) faktor diluar kegiatan usahatani/pemanfaatan informasi iklim yang ada: (a) kondisi geografis yang tidak rata, (b) dukungan kebijakan pemerintah daerah yang masih kurang memadai, dan (c) rendahnya akses terhadap informasi iklim dan kurangnya tenaga penyuluh atau pendamping untuk membantu membaca dan menginterpretasikan informasi iklim yang ada; (2) faktor terkait dengan pelaksanaan usahatani: (a) keterbatasan pengetahuan dan kemampuan petani mengakses dan menginterpretasikan informasi iklim, (b) belum memadainya sarana dan prasarana usahatani, dan (c) keterbatasan modal usahatani yang menyulitkan petani memutuskan penerapan teknologi tertentu terkait dengan antisipasi perubahan iklim. 69. Di Provinsi NTT, faktor diluar kegiatan usahatani adalah: (a) faktor teknis (informasi iklim, pemahaman pola tanam, keragaman cabang usahatani, dan kemampuan mengubah jenis tanaman), (b) faktor sosial (keragaman budaya konsumsi masyarakat, kebiasaan petani mencari makanan, dan kultur turun-temurun tentang kebiasaan menanyakan prakiraan cuaca/keadaan iklim kepada orang pintar, seperti atoin ama pada suku Timor, rato suku Sumba, mone ama suku Sabu), dan (c) kelembagaan (pengetahuan lokal membaca tanda-tanda secara alami, seperti bunyi burung cocodikuk, bambu berbunga, dan kebijakan/regulasi terkait dengan kurangnya informasi dini tentang iklim dan lemahnya diseminasi informasi tentang aspek perubahan iklim). Faktor terkait dengan pelaksanaan usahatani adalah: (a) berkurangnya areal hutan, dan (b) bertambahnya jumlah penduduk.
Implikasi Kebijakan 70. Opsi kebijakan yang dapat diambil sesuai dengan hasil penelitian ini antara lain adalah: (1) Pengembangan budidaya tanaman pangan dan sekolah lapang iklim (SLI); (2) Peningkatan layanan penyuluhan dan infrastruktur pertanian; (3) Pengembangan varietas jagung toleran kekeringan dan pola usahatani konservasi, serta penguatan kelembagaan petani; dan (4) Peningkatan akses petani terhadap informasi iklim dan harga, serta intervensi pemerintah dalam pemasaran hasil. 71. Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten harus secara optimal bekerjasama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Perguruan Tinggi, untuk memfasilitasi para penyuluh pertanian dengan sekolah lapang iklim di wilayah kerjanya masing-masing. Demikian juga bagi kelompok tani, program ini sangat penting, agar petani dapat mengadaptasikan dirinya terhadap perubahan iklim dan mengantisipasi kemungkinan dampak buruk dari perubahan iklim tersebut. 72. Khusus untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur, pengembangan usahatani jagung menggunakan varietas toleran kekeringan, sangat penting artinya bagi penerapan teknologi, dalam rangka penyesuaian diri terhadap ketidak-pastian hujan akibat perubahan iklim. Program ini diharapkan dapat menyelamatkan petani dari kegagalan panen akibat tanaman jagungnya kekeringan. Untuk itu, Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten bekerjasama dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) setempat dan Perguruan Tinggi, hendaknya lebih intensif dan memiliki mekanisme kerjasama mengembangkan varietas jagung toleran kekeringan dalam rangka peningkatan produksi tanaman pangan dan pendapatan petani. 73. Perbaikan pola tanam sangat mungkin dilakukan dengan memanfaatkan data sebaran curah hujan bulanan selama beberapa tahun. Jika selama ini petani menanam jagung pada lahan tegalan sekali dalam setahun, maka dengan menggeser waktu tanam dari minggu kedua Desember menjadi minggu ketiga
November, maka masih ada peluang menanam kedelai atau kacang hijau setelah panen jagung. 74. Pelatihan tentang penerapan teknologi pasca panen (pengeringan, pemipilan, pengepakan dan penyimpanan jagung) sangat penting artinya bagi peningkatan mutu jagung untuk memperoleh harga yang baik.