LAPORAN AKHIR
KAJIAN KERENTANAN DAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DI KOTA BANDAR LAMPUNG
2010
RINGKASAN Di masa depan, perubahan iklim yang ditimbulkan oleh pemanasan global diperkirakan akan menciptakan pola-pola risiko baru, dan risiko yang lebih tinggi secara umum. Kenaikan permukaan laut akibat mencairnya gletser dan es kutub dan ekspansi termal akan memberikan kontribusi pada peningkatan banjir pesisir. Bandar Lampung sebagai kota pesisir akan terpengaruh secara serius oleh perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut. Saat ini, beberapa wilayah pesisir sudah dipengaruhi oleh peningkatan permukaan laut. Banjir dan kekeringan juga terjadi cukup sering. Pemerintah Kota Bandar Lampung telah melaksanakan berbagai program dan juga mengembangkan strategi jangka menengah dan panjang untuk mengelola bencana. Rencana untuk meningkatkan infrastruktur untuk pengendalian bencana iklim seperti sistem drainase dan tanggul telah disiapkan. Namun, dengan meningkatnya perubahan iklim pada frekuensi dan intensitas kejadian iklim yang ekstrim, desain saat ini mungkin sudah tidak efektif untuk mengelola bencana iklim pada masa mendatang. Oleh karena itu juga sangat penting untuk mempertimbangkan perubahan iklim dalam merancang sistem kontrol bencana iklim. ISET di bawah Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN dengan dukungan dari Yayasan Rockefeller, mengkoordinasikan studi tentang penilaian kerentanan dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh MercyCorps, URDI dan CCROM SEAP-IPB di Bandar Lampung. Penelitian bertujuan (i) mengkaji variabilitas iklim saat ini dan masa depan di Bandar Lampung, (ii) menilai kerentanan dan kapasitas adaptasi serta risiko iklim saat ini dan masa depan di tingkat kelurahan, (iii) mengidentifikasi dampak langsung dan tidak langsung dari bencana iklim sekarang dan di masa depan di tingkat kelurahan, (iv) mengidentifikasi daerah dan kelompok sosial yang paling rentan, dan dimensi kerentanan, termasuk kapasitas adaptasi masyarakat terhadap dampak perubahan iklim, (v) mengidentifikasi masalah kelembagaan dan tata kelola pemerintahan yang mngkin mempengaruhi ketahanan kota terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan, dan (vi) mengembangkan rekomendasi awal untuk Bandar Lampung dalam meningkatkan ketahanan kota terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan
PROFIL DAN IKLIM KOTA BANDAR LAMPUNG Bandar Lampung adalah ibu kota Provinsi Lampung. Secara geografis Bandar Lampung terletak pada 5o20 '- 5o30’ lintang dan bujur 105o28'-105o37'. Bandar Lampung memiliki luas wilayah 19.722 hektar yang terdiri dari 13 kecamatan dan 98 desa (Kelurahan). Kota ini dilalui oleh dua sungai besar yaitu Way Kuala dan Kuripan dan 23 sungai kecil. Semua sungai-sungai ini membentuk DAS yang terletak di daerah Bandar Lampung dan sebagian besar mengarah ke Teluk Lampung. Beberapa jaringan drainase buatan menghubungkan sistem sungai di wilayah ini. Fungsi jaringan drainase ini adalah untuk mengurangi aliran permukaan sebagai akibat dari air hujan yang berlebihan. sistem jaringan drainase yang telah terinstal di Bandar Lampung meliputi Teluk Betung, Tanjung Karang, Panjang dan Kandis.
ii
Warga Bandar Lampung memenuhi kebutuhan air bersih melalui perusahaan air minum daerah (PDAM) dan dengan mengambil air tanah dangkal/dalam melalui sumur gali. Saat ini, PDAM hanya mampu melayani 32% dari total penduduk Bandar Lampung. Kedalaman sumur gali adalah sekitar 30 hingga 50 meter dari permukaan tanah setempat. Bandar Lampung merupakan kota pelabuhan yang penting untuk kawasan Sumatera. Pelabuhan Kota Bandar Lampung terletak di suatu pantai berbentuk teluk sehingga gelombang tinggi sebagai akibat angin kencang tidak sepenuhnya langsung mengenai kawasan pantai. Meskipun demikian, di beberapa tempat kawasan pantai, sudah terjadi abrasi oleh gelombang laut. Di beberapa lokasi, wilayah pesisir merupakan kawasan padat penduduk. Untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal, penduduk membangun rumah tempat tinggal di lahan hasil penimbunan pantai (reklamasi) sehingga terjadi akresi. Banyak dari para pemukim tidak memiliki bukti kepemilikan tanah secara hukum. Kondisi ini akan menjadi salah satu masalah serius dalam mewujudkan rencana Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk menciptakan Water Front City. Jumlah penduduk di Bandar Lampung pada tahun 2008 adalah 822.880 orang dengan kepadatan penduduk sekitar 42 orang per ha. Kepadatan penduduk tidak merata. Kecamatan dengan kepadatan penduduk tinggi berada di Tanjung Karang Tengah dan Teluk Betung Selatan. Berdasarkan kelompok umur, proporsi terbesar penduduk Bandar Lampung adalah kelompok umur 20-24 dengan populasi 95.597 orang, diikuti oleh kelompok usia 15-19 dengan populasi 95.537 orang. Usia produktif (usia 15-55 tahun) di Bandar Lampung mencapai jumlah 546.920 atau 64,75% dari total penduduk. Sumber pendapatan masyarakat bervariasi. Perdagangan adalah mata pencaharian utama penduduk. Sebagian besar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bandar Lampung berasal dari transportasi dan komunikasi (19,6%), industri pengolahan (17,6%), jasa (16,9%) dan perdagangan, hotel, restoran (16,6%). Pertanian hanya berkontribusi 5% terhadap PDRB. Berdasarkan analisis terhadap data iklim historis yang panjang, ditemukan bahwa ada perubahan trend dan variabilitas variabel iklim seperti suhu dan curah hujan. Bukti paling nyata dapat dilihat dari trend peningkatan suhu permukaan ratarata selama 100 tahun terakhir di kota itu. Perubahan curah hujan musiman juga ditemukan, yaitu pergeseran awal musim dan perubahan frekuensi curah hujan ekstrim. Berdasarkan 14 model iklim global (GCM), diindikasikan bahwa curah hujan musim basah (musim hujan) Bandar Lampung City (DJF) di masa depan mungkin sedikit meningkat, terutama di kawasan pesisir. Sebaliknya, curah hujan musim kering (JJA) akan menurun. Namun, analisis iklim di masa mendatang mungkin perlu disempurnakan dengan menggunakan model iklim dengan resolusi tinggi seperti RCM. Penggunaan model global seperti GCM tidak akan mampu menangkap efek lokal. Analisis lebih lanjut mengenai cuaca ekstrim di bawah perubahan iklim juga harus dilakukan. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa pemanasan global akan mendatangkan kejadian lebih ekstrim.
iii
DAMPAK KEJADIAN IKLIM EKSTRIM Kota Bandar Lampung sangat rawan terhadap bencana alam. Jenis bencana alam yang melanda Kota Bandar Lampung meliputi banjir, tanah longsor, air pasang menyebabkan rob, tsunami, gempa bumi dan kekeringan. Abrasi, erosi dan sedimentasi juga terjadi di wilayah pesisir. Untuk mengevaluasi dampak sosialekonomi bencana terkait iklim, survei dan wawancara dilakukan di enam kelurahan, yaitu; tiga Kelurahan non-pantai (Batu Putu, Pasir Gintung, dan Sukabumi Indah), dan tiga untuk desa pesisir (Kangkung, Kota Karang, Panjang Selatan). Survei ini melibatkan 256 orang, terdiri dari laki-laki 62,28% dan 36,72% perempuan. Selain dari survei, informasi ini juga dipertajam melalui diskusi kelompok terfokus (FGD) di empat Kelurahan: Panjang Selatan, Kota Karang, Batu Putu, dan Pasir Gintung serta melalui studi literatur. Dari studi ini terungkap bahwa terjadinya bencana iklim (banjir dan kekeringan) mempunyai potensi untuk mengubah urutan nilai-nilai sosial masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kerja sama penduduk atau kekerabatan dalam menangani masalah-masalah yang terjadi di masyarakat, hubungan kerja, transaksi pola produksi dan nilai-nilai sosial lainnya. Hubungan sosial antara orang-orang pada saat bencana masih berjalan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan untuk saling membantu saat terjadi bencana. Dalam hal hubungan kerja, dampak dari bencana tersebut menyebabkan penurunan hubungan ‘patron-klien’ yang sebelumnya merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat pesisir. Bencana juga dapat menyebabkan meningkatnya insiden kejahatan seperti pencurian. Ekonomi dampak bencana iklim dapat dievaluasi dari dampaknya terhadap pekerjaan utama, dan harga beberapa komoditas. Bencana mengurangi produktivitas kerja terutama jika pekerjaan utama masyarakat rentan terhadap dampak bencana, seperti pertanian, perikanan dan lain-lain. Banjir di wilayah pesisir dapat mengurangi orang yang bekerja di sektor perikanan. Berdasarkan sektor ekonomi, dampak banjir menyebabkan kerugian untuk sektor infrastruktur, perumahan dan sektor perikanan. Sementara itu, kekeringan menyebabkan kerugian di bidang pertanian, perikanan dan air minum. Bencana ini juga menyebabkan kenaikan harga beberapa produk pertanian seperti padi, tanaman dan ternak, tetapi ini terjadi hanya di daerah sekitar bencana tersebut. Berdasarkan sektor ekonomi, bencana banjir memberikan dampak terbesar pada sektor kesehatan, sektor air minum, perumahan, perikanan, dan pekerjaan umum (kerusakan fasilitas drainase dan infrastruktur lainnya). Sedangkan sektor yang paling terkena dampak kekeringan adalah air minum, kesehatan, dan pertanian. Masalah kekurangan minum air meningkat pada musim kemarau panjang atau selama bencana banjir. Dampak bencana terhadap kesehatan adalah meningkatnya jumlah orang yang terinfeksi penyakit, terutama malaria, dan batuk / flu / pilek. Karena potensi terulangnya kejadian iklim ekstrim yang dapat menyebabkan bencana di masa depan, kondisi perumahan padat penduduk dengan lingkungan relatif kurang nyaman, dan rencana pemerintah untuk membangun water front city di daerah pesisir, penduduk di daerah pesisir bersedia untuk pindah sepanjang mereka diberikan fasilitas dan rumah-rumah yang layak dan relokasi tidak jauh dari laut, sehingga mereka masih bisa melakukan pekerjaan mereka saat ini (nelayan). iv
Sementara beberapa warga di daerah bukan pesisir merasa enggan pindah karena mereka khawatir kehilangan pekerjaan. Namun, jika bencana parah dan memaksa mereka untuk pindah, mereka mengharapkan pemerintah untuk menyediakan perumahan dan pekerjaan baru. Dampak bencana yang mengakibatkan perubahan perilaku merupakan suatu bentuk adaptasi. Adaptasi selama banjir disikapi oleh penduduk beragam, mulai dari tinggal di rumah, pindah ke daerah yang tidak terkena banjir, pembuatan tanggul, memperdalam saluran air, meninggikan lantai, menambah pasokan makanan dan bahan bakar. Adaptasi terhadap kekeringan dalam bentuk membeli air untuk kebutuhan sehari-hari, mengurangi konsumsi air, memompa air dari sumber terdekat, relokasi ke daerah yag tidak mengaklami kekeringan dan melakukan ritual untuk meminta hujan. Bentuk adaptasi juga dapat dilihat pada cara mencari nafkah. Strategi mata pencaharian yang dilakukan oleh penduduk adalah pertanian intensifikasi dan pola pendapatan ganda. Intensifikasi pertanian dilakukan dengan melakukan diversifikasi tanaman. Pola pendapatan ganda dilakukan dengan dua cara, pertama dengan keragaman pendapatan, yang merupakan kombinasi dari mata pencaharian on farm and off farm, yang dimiliki oleh seseorang. Biasanya kegiatan off farm adalah pekerjaan sampingan, selain pekerjaan utama. Yang kedua adalah dengan memberdayakan anggota keluarga, seperti istri dan anak-anak yang telah dewasa. Untuk lebih mempersiapkan diri dalam mengelola risiko bencana, masyarakat berharap di tempat tersedia sistem peringatan dini bencana. Namun, sebagian besar warga mengaku bahwa mereka tidak pernah mendapat informasi tentang iklim atau peringatan dini dari pemerintah, EWS (Early Warning System), atau instansi terkait lainnya dan tidak ada lembaga penanganan bencana di daerah mereka. Hal ini menggambarkan kurangnya respon pemerintah untuk bencana yang terjadi di masyarakat. Sebagian besar penduduk memperoleh informasi tentang prakiraan iklim secara tradisional dari para pemimpin tradisional dan para pemuka masyarakat. Warga juga menerima ramalan informasi melalui media televisi. Berdasarkan beberapa jenis informasi yang terkait dengan bencana, informasi tentang peringatan bencana lebih berguna daripada informasi lainnya.
RISIKO IKLIM TINGKAT 'KELURAHAN' Tingkat risiko dari sistem untuk bencana atau kejadian iklim ekstrim (extreme climate event /ECE) akan tergantung pada kapasitas sistem untuk mengatasi kejadian (disebut coping capacity index) dan kemungkinan kejadian iklim ekstrim untuk terjadi. Penelitian ini mengevaluasi tingkat risiko iklim pada level Kelurahan (desa). The coping capacity index dikembangkan berdasarkan indeks kerentanan dan kapasitas adaptasi dari Kelurahan. Indeks kerentanan dan kapasitas Kelurahan diukur dengan menggunakan sejumlah indikator sosial-ekonomi dan biofisik. Kelurahan di mana banyak rumah tangga yang mendirikan rumah/bangunan yang terletak di tepi sungai, sumber air minum sebagian besar bukan dari PDAM (sistem perpipaan), kepadatan penduduk tinggi, banyak orang miskin dan sebagian besar wilayah Kelurahan dekat sungai dan pantai dengan daerah terbuka hijau kurang luas, akan lebih rentan (indeks kerentanan tinggi) dibandingkan dengan rumah tangga v
yang bangunan di tepi sungainya sedikit, kepadatan penduduk rendah, mendapatkan pelayanan yang lebih baik dari PDAM, penduduk miskin sedikit, dan hanya sebagian kecil wilayah Kelurahan dekat sungai dan pantai dengan lebih banyak daerah terbuka hijau (indeks kerentanan rendah). Konsekuensi (kerusakan, kerugian ekonomi dll) yang disebabkan oleh kejadian bencana akan lebih parah di Kelurahan yang memiliki indeks kerentanan tinggi. Namun, konsekuensi kejadian bencana di Kelurahan rentan tinggi akan berkurang jika memiliki kapasitas adaptasi tinggi. Kelurahan dengan indeks kapasitas adaptasi tinggi adalah kelurahan di mana banyak rumah tangga yang berpendidikan tinggi, sumber pendapatan utama masyarakat tidak sensitif terhadap bencana iklim (misalnya perdagangan jauh kurang sensitif dibandingkan pertanian) dan memiliki fasilitas kesehatan yang lebih baik dan infrastruktur jalan. Dalam studi ini, kita normalkan semua skor indikator sehingga indeks kerentanan dan indeks kapasitas berada pada kisaran dari 0 hingga 1. Untuk mengklasifikasikan Kelurahan berdasarkan coping capacity index mereka, kerentanan (VI) dan indeks kapasitas (CI) masing-masing kelurahan dikurangi sebesar 0,5. Nilai-nilai VI dan CI dinormalisasi sehingga mempunyai nilai yang berada pada kisaran dari 0 ke 1, dengan mengurangi nilai indeks dengan 0,5, VI dan CI akan berkisar dari -0,5 sampai 0,5. Posisi relatif dari Kelurahan sesuai dengan VI dan CI ditentukan berdasarkan posisi mereka dalam lima kuadrannya (Gambar 1). Kelurahan yang terletak di kuadran 5 akan memiliki VI tinggi dan rendah CI. Sedangkan Kelurahan yang terletak di kuadran 1 akan memiliki VI rendah dan CI tinggi. Dengan menggunakan sistem klasifikasi, jika Kelurahan terletak di kuadran 5 terkena bencana tertentu, dampaknya akan lebih parah dibandingkan dengan Kelurahan yang terletak di kuadran 1. Untuk menilai perubahan VI dan CI di masa depan, kami hanya mempertimbangkan perubahan kepadatan penduduk (berdasarkan pada proyeksi pemerintah), wilayah yang bukan daerah terbuka hijau, dan pendidikan (berdasarkan rencana tata ruang atau RTRW) karena data lainnya tidak tersedia. Faktor-faktor digunakan untuk normalisasi skor indikator-indikator yang sesuai untuk tahun 2025 dan 2050 adalah sama dengan baseline tahun 2005. High Vulnerability Index +0.50
5
4
14 kelurahans
5
Low Capacity Index
+0.25
3
High Capacity Index
36 kelurahans
-0.25
2
1
22 kelurahans
21 kelurahans -0.50
-0.50
-0.25 Low Vulnerability +0.25 Index
+0.50
Gambar 1. Klasifikasi kelurahan berdasarkan coping capacity index (kuadran 1 sampai 5) dan jumlah kelurahan yang berada di setiap kuadran pada kondisi saat ini (2005).
vi
Analisis menunjukkan bahwa pada saat ini sekitar 14,2% dari kelurahan berada pada kuadran 5 yang memiliki coping capacity index tinggi (kelurahan dengan indeks kerentanan tinggi dan kapasitas yang rendah atau coping capacity index tinggi), 5,1% di kuadran 4, 36,7% di Kuadran 3, 22,4% di Kuadran 2 dan 21,4% di Kuadran 1 (Kelurahan dengan kerentanan rendah dan indeks kapasitas tinggi). Kelurahan di kuadran 5 termasuk Bumi Waras, Garuntang, Gunung Terang, Kangkung, Kedaton, Kota Karang, Panjang Selatan, Perwata, Sepang Jaya, Srengsem, Tanjung Senang, Teluk Betung, Way Kandis dan Waydadi. Pada tahun 2025 dan 2050, 6-7 kelurahan di Kuadran 5 akan pindah ke kuadran 4 dan 3 menunjukkan bahwa ada peningkatan coping capacity index. Namun, coping capacity index beberapa kelurahan di kuadran 3 dapat berubah menjadi kuadran 4 pada masa yang akan datang (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas bertahan dari kelurahan akan menurun di masa depan (Gambar 3).
Gambar 2. Jumlah kelurahan menurut coping capacity index (kuadran 1-5) saat ini dan di masa depan (2025 dan 2050)
Gambar 3. Coping capacity kelurahan di Bandar Lampung
vii
Untuk menentukan tingkat risiko dari kelurahan terhadap dampak perubahan iklim didefinisikan sebagai fungsi dari probabilitas kejadian iklim yang tidak terduga (ekstrim) dan konsekuensi dari kejadian jika itu terjadi. Seperti digambarkan sebelumnya, kita dapat berharap bahwa kelurahan dengan kerentanan tinggi tetapi indeks kapasitas rendah (di kuadran 5) kemungkinan akan terpengaruh lebih parah oleh kejadian-kejadian yang ekstrim dibandingkan dengan kelurahan dengan kerentanan rendah dan indeks kapasitas tinggi (kuadran 1). Jadi kita dapat mendefinisikan bahwa risiko iklim akan sangat tinggi di kelurahan pada kuadran 5 jika probabilitas kejadian iklim ekstrim di Kelurahan ini tinggi. Risiko iklim akan sangat rendah di Kelurahan pada kuadran 1 dan probabilitas dari kejadian iklim ekstrim di kelurahan ini juga rendah. Untuk mengakomodasi beberapa bencana iklim yang terhimpun dalam penilaian risiko iklim, kami mengembangkan indeks komposit bencana iklim (composite climate hazard index /CCHI). Jenis bencana iklim termasuk banjir, kekeringan, tanah longsor, serta peningkatan muka laut. Kami klasifikasikan indeks bencana iklim (nilai indeks berkisar dari 0 sampai 4.5) menjadi tiga kategori, yaitu kurang dari 2.0, antara 2,0 dan 3,5 dan lebih dari 3,5. Kelurahan dengan CCHI sebesar 4,5 berarti bahwa seluruh wilayah kelurahan ini terkena banjir dan kekeringan, dan tanah longsor setiap tahun dan benar-benar kebanjiran ketika rob terjadi. Kelurahan dengan CCHI mendekati nol berarti bahwa tidak ada bencana terjadi di kelurahan. Kami menggunakan output curah hujan dari 14 model sirkulasi umum (GCM) untuk skenario emisi tinggi (SRESA2) dan skenario emisi rendah (SRESB1). Penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2005, CCHI di sebagian besar wilayah Bandar Lampung sebagian besar kurang dari 1.0. Di masa depan berdasarkan scenario A2, area indeks> 2 menurun pada tahun 2025, tetapi meningkat sedikit pada tahun 2050. Kelurahan dengan CCHI tinggi baik saat ini dan di masa mendatang adalah Kelurahan Gunung Mas, KecamatanTeluk Betung Utara. Selanjutnya, kami klasifikasi tingkat risiko iklim dari kelurahan berdasarkan coping capacity index dan CCHI (Tabel 1). Peta risiko iklim Bandar Lampung berdasarkan Kelurahan dihasilkan melalui tumpang tepat peta coping capacity index dan CCHI pada kondisi iklim saat ini dan masa depan seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Tabel 1. Matrix risiko iklim menurut coping capacity index dan composite climate hazard index Coping Capacity Index (kuadran) 5 4 3 2 1
Composite Climate Hazard Index (CCHI) > 3.5 2.0 - 3.5 < 2.0 Sangat Tinggi (VH) Tinggi (H) Sedang ke Tinggi (M-H) Sedang ke Tinggi (MTinggi (H) H) Sedang (M) Sedang ke Tinggi (MSedang ke Rendah (MH) Sedang Medium (M) L) Sedang ke Rendah (MMedium (M) L) Rendah (L) Sedang ke Rendah (M-L) Rendah Low (L) Sangat Rendah (VL) viii
Gambar 4. Jumlah Kelurahan menurut kategori risiko iklim
A
B
C
D
E
F
Gambar 5. Klasifikasi Kelurahan berdasarkan tingkat eksposur mereka terhadap risiko iklim (A) & (D) Risiko Iklim Baseline, (B) Risiko Iklim skenario A2 2025, (C) Risiko Iklim skenario A2 2050, (E) Risiko Iklim skenario B1 2025, (F ) Risiko Iklim skenario B1 2050 ix
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada Kelurahan dengan kategori risiko iklim Sangat Tinggi (VH) saat ini (kondisi baseline). Kategori tertinggi adalah hanya Menengah ke Tinggi (M-H). Ada sekitar 14 Kelurahan (14,2%) dengan kategori risiko M-H. Ini termasuk Kota Karang dan Perwata (Kecamatan Teluk Betung Barat), Kelurahan Gunung Terang (Kecamatan Tanjung Karang Barat), Kelurahan Tanjung Senang dan Way Kandis (Kecamatan Tanjung Senang Subdistrik), Kelurahan Waydadi (Kecamatan Sukarame), Sepang Jaya dan kelurahan Kedaton (Kecamatan Kedaton), Kelurahan Kangkung, Bumi Waras dan Teluk Betung (Kecamatan Teluk Betung Selatan), dan Kelurahan Panjang Selatan dan Srangsem (Kecamatan Panjang). Sisanya adalah 5 Kelurahan (5.1%) berada pada risiko iklim M (Menengah), 36 Kelurahan (36,7%) pada risiko iklim L-M (Rendah ke Medium), 22 Kelurahan (22,4%) pada risiko L (rendah) dan 21 (21,4%) Kelurahan pada risiko iklim VL (sangat rendah). Di masa depan (skenario 2025 dan 2050), lebih banyak Kelurahan, terutama di bawah skenario SRESB1, akan terkena risiko iklim yang lebih tinggi (Gambar 6.4). Ada dua Kelurahan akan pindah dari M-H ke kategori risiko iklim tinggi, yaitu kelurahan Gunung Mas di Kecamatan Teluk Betung Utara dan Kelurahan Garuntang di Kecamatan Teluk Betung Selatan. Sementara banyak dari Kelurahan dengan kategori risiko L-M akan pindah ke kategori risiko sedang (M) (Gambar 5). Analisis di atas menunjukkan bahwa perubahan dalam kondisi sosialekonomi dan biofisik akan mengubah kapasitas ketahanan Kelurahan. Adaptasi program harus diprioritaskan di Kelurahan dengan indeks kerentanan tinggi dan indeks kapasitas rendah dan sedang terkena atau berpotensi terkena indeks bencana iklim yang tinggi. Untuk mengurangi tingkat risiko Kelurahan terhadap dampak perubahan iklim, infrastruktur dan program pengembangan masyarakat harus diarahkan untuk meningkatkan indikator-indikator sosial-ekonomi dan biofisik mempersiapkan kapasitas kerentanan dan adaptasi dari Kelurahan. TATA PEMERINTAHAN DAN SISTEM KELEMBAGAAN Pemerintahan dan lembaga adalah dua faktor penentu yang mempengaruhi ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Tata pemerintahan dan kelembagaan yang kuat akan meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Ada tiga aspek penting perlu dinilai untuk menilai ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Yang pertama adalah bagaimana stakeholder memainkan peran mereka dalam mengelola risiko iklim. Yang kedua adalah apa program (pendek dan jangka panjang) inisiatif saat ini untuk mengatasi risiko iklim dan seberapa efektif mereka. Ketiga adalah apa kapasitas pemerintah lokal dan institusi untuk mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam perencanaan jangka pendek dan jangka panjang pembangunan. Dari hasil analisis terungkap bahwa manajemen perubahan iklim di Kota Bandar Lampung melibatkan stakeholder baik dari internal dan eksternal kota. Setiap stakeholder memiliki peran dan kontribusi mereka sendiri untuk beradaptasi dan memperkuat masyarakat untuk perubahan iklim. Kemitraan ini merupakan prakondisi untuk menciptakan masyarakat yang memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Secara keseluruhan, pemerintah daerah Bandar Lampung memainkan peran besar dalam perubahan iklim baik untuk dukungan keuangan dan pelaksanaan program. Sedangkan peran pemerintah provinsi diklaim tidak terlalu signifikan, tetapi memiliki peran lebih dalam mengkoordinasikan program dan x
kebijakan dari beberapa kota. Namun, koordinasi antar pemangku kepentingan dan sektor harus diperkuat untuk mendapatkan manfaat maksimal dari program untuk lingkungan dan masyarakat. Ada sejumlah program dan rencana yang disiapkan oleh pemerintah untuk menangani bencana alam di kota. Inisiatif saat ini yang dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai respon untuk manajemen bencana adalah merumuskan program dan rencana aksi dalam mengurangi risiko bencana melalui studi intensif pada tahun 2008. Selain rencana aksi, pemerintah kota Bandar Lampung telah membentuk Badan Pengelolaan Bencana Daerah pada bulan November 2009 meskipun dewan tersebut belum efektif pada pelaksanaan program tersebut. Di sisi lain, perencanaan tata ruang kota dari Bandar Lampung belum mempertimbangkan isu-isu perubahan iklim. Rencana tata ruang (RTRW) yang tidak benar akan menyebabkan kota menghadapi risiko iklim yang lebih tinggi di masa depan. Beberapa masalah yang berpotensi menyebabkan kesulitan untuk menerapkan iklim dalam perencanaan tata ruang termasuk inkonsistensi dalam pelaksanaan perencanaan tata ruang, perubahan tata guna lahan, seperti kawasan sepanjang sungai dan lain-lain. Bagaimanapun, ada ruang untuk memberikan masukan tentang isu-isu perubahan iklim ke dalam RTRW Kota Bandarlampung yang sedang direvisi. Terkait dengan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, ada beberapa lembaga yang terkait dengan pembentukan tim kota, pemerintah pusat dan dukungan donor pada pembiayaan dan beberapa pelaksanaan proyek yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan. Sementara sebagian besar kelemahan terkait dengan kebutuhan dalam hal koordinasi yang lebih baik antar sektor dan antar daerah dalam rangka mengurangi ketidakefektifan pelaksanaan proyek. Hal ini juga menunjukkan kebutuhan untuk memperkuat Tim Kota dalam memperjuangkan untuk memperkenalkan dan mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam dokumen perencanaan daerah. Kapasitas pemerintah daerah dalam mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan jangka panjang saat ini masih terbatas. Hal ini dapat dipahami mengingat perubahan iklim adalah masalah yang kompleks. Penelitian ilmiah yang kuat pada skenario perubahan iklim dan dampak perubahan iklim di Kota Bandar Lampung akan diperlukan untuk membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan rencana cakrawala adaptasi perubahan iklim. Bantuan teknis dan program peningkatan kapasitas untuk aparat pemerintah daerah juga diperlukan, sehingga memungkinkan mereka dalam mengembangkan rencana cakrawala adaptasinya. Terdapat sejumlah kondisi yang menguntungkan di Kota Bandar Lampung, yang dapat secara positif berkontribusi pada proses pengembangan ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Dalam peraturan dan kebijakan jelas disebutkan bahwa dokumen perencanaan harus mempertimbangkan mitigasi bencana dan adaptasi dan masalah perubahan iklim. Pemerintah Kota Bandar Lampung juga akan merumuskan rencana pembangunan jangka menengah baru sebagai hasil dari pemilihan langsung yang akan dilaksanakan pada bulan Juni 2010. Ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengintegrasikan aspek perubahan iklim ke dalam dokumen, sehingga secara hukum dapat mengikat. Perlu komitmen politik dan pemahaman yang komprehensif dari Tim Kota untuk memperkenalkan masalah-masalah terkait perubahan iklim. xi
PERENCANAAN TINDAKAN ADAPTASI Untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim, dirasakan penting untuk memahami bagaimana orang-orang, masyarakat, dan sektor memberikan respon terhadap risiko iklim saat ini dan bagaimana kapasitas saat ini harus dikembangkan untuk memperkuat kapasitas dalam mengelola risiko iklim di masa mendatang. Proyek percontohan khusus dibutuhkan sebagai bahan pelajaran bagaimana risiko iklim dapat dikelola dengan baik dan bagaimana menggunakan metode pembelajaran tersebut untuk memperbaiki rencana adaptasi perubahan iklim. Berdasarkan studi mengenai Penilaian Kerentanan Berbasis Masyarakat (Community Based Vulnerability Assessment /CBA) di Kelurahan Kankung, Pasir Gintung, Kota Karang, dan juga mempertimbangkan temuan dari survei dan literatur, kita ekstrak sejumlah pelajaran yang dapat berkontribusi dalam mengembangkan strategi adaptasi. Kami belajar beberapa sifat umum yang terlihat dalam strategi adaptasi di tingkat masyarakat: • •
•
•
•
•
•
Cukup hanya 'kerja mereka': ini adalah sense adaptasi yang sangat praktis yang memiliki bantalan nyata dan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari mereka. Mereka yang murah dan bekerja dengan bahan yang tersedia: bagi masyarakat miskin perkotaan, sumber daya langka. Misalnya, bahan perumahan memulung dari tumpukan material di dekatnya, atau tabungan masyarakat bahkan kelompok yang mengumpulkan jumlah yang sangat minim. Ini adalah apa yang orang mampu dan yang masuk akal bagi mereka. Dapat diakses pada saat dibutuhkan: Dalam rangka untuk mendapatkan modal untuk memulihkan kondisi dari banjir keluarga mungkin menjual televisi, sepeda motor atau aset yang berfungsi lainnya, dibandingkan melalui proses aplikasi birokrasi yang mungkin berarti dokumen panjang. Umumnya di kota orang menginginkan akses ke sumber daya dengan cepat dan ini adalah karakteristik yang sangat penting dari strategi adaptasi yang bekerja, mereka dapat dengan mudah dikelola dan diakses. Mereka tidak bergantung atas proyek besar atau intervensi pemerintah: Orangorang telah dibiasakan bergantung pada organisasi masyarakat dan inisiatif yang lebih baik dalam meresponkebutuhan mereka sendiri. Sementara intervensi pemerintah sangat dihargai dan instrumental kemandirian lokal tampaknya menjadi karakteristik kunci dari strategi adaptasi. Adaptasi terhadap peristiwa iklim yang parah harus bekerja sama dengan strategi adaptasi lainnya: Orang-orang yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim mungkin tidak tahu atau peduli untuk merencanakan untuk itu, jika tidak bermanfaat bagi aspek-aspek lain dari kehidupan mereka. Demi keselamatan sendiri bukan merupakan faktor motivasi, tapi ketika manfaat lainnya dapat diturunkan maka solusinya dapat dijalankan. Seluruh lebih besar daripada jumlah dari bagian-bagian: Banyak strategi adaptasi berhasil karena mereka memanfaatkan upaya kolektif dan kekuatan orang. Orang-orang yang peduli satu sama lain dan ketika kekhawatiran ini diterjemahkan dalam aksi kolektif dapat memberikan hasil yang signifikan. Memanfaatkan dukungan pemerintah memberikan hasil yang lebih baik: Ketika masyarakat mampu bekerja sama dengan pemerintah daerah dan pemerintah kota (dan sebaliknya) strategi adaptasi tampaknya telah berhasil. xii
•
Akses lebih ke informasi dapat menyebabkan hasil yang lebih baik: masyarakat miskin perkotaan biasanya terisolasi dan strategi adaptasi tampaknya begitu berhasil meningkatkan akses terhadap informasi.
Dari metode pembelajaran, kita dapat disimpulkan bahwa adaptasi yang sukses di tingkat masyarakat tergantung dari beberapa faktor yaitu: (i) ketersediaan dana, (ii) tingkat kapasitas, (iii) akses terhadap informasi, (iv) kolaborasi dan keterlibatan pemerintah daerah, (v) migrasi dan tingkat pertumbuhan, (vi) pelayanan publik, dan (vii) mobilitas. Kota Bandar Lampung berada dalam posisi yang baik untuk pindah ke ketahanan kota sebagaimana sudah tersedia (i) ada kasus dan dapat dilaksanakan, (ii) jaringan sosial yang mungkin timbul dari orang-orang dalam situasi yang mirip dengan tahu bagaimana, (iii) tingkat pemerintah daerah setempat, (iv) kota dan program pemerintah nasional (misalnya PNPM), (v) Bahan dan pengetahuan dari industri dan kegiatan ekonomi, (vi) kepemimpinan lokal, (vii) kohesi masyarakat, dan (viii) lokal organisasi masyarakat sipil, (ix ) memanfaatkan sumber daya yang ada (seperti subsidi, narasi komunitas berbagi dan jaringan, pembiayaan biaya rendah perbaikan perumahan, Neighbourhood Vulnerability Index, peta yang terperinci untuk digunakan pemerintah daerah setempat, alternatif jaring pengaman sosial, dan koalisi berbasis luas untuk menangani masalah perubahan iklim). Pilot proyek diperlukan untuk membantu pemerintah daerah untuk lebih memahami bagaimana perubahan iklim akan berdampak pada masyarakat dan sektor, bagaimana kapasitas saat ini harus diperkuat dan rencana tata ruang untuk ditingkatkan untuk membentuk ketahanan kota terhadap perubahan iklim dan bagaimana menggunakan metode pembelajaran yang baik dari pilot proyek dalam merancang kebijakan dan strategi jangka panjang untuk mengatasi perubahan iklim. Tim Kota telah memfasilitasi berbagai pihak untuk mengembangkan sejumlah proyek percontohan. Tujuan dari pelaksanaan pilot adalah (i) untuk mempersiapkan dampak perubahan iklim di tingkat kota, (ii) untuk melibatkan para stakeholder tingkat kota (pemerintah kota, LSM, universitas, Ormas, sektor swasta, kelompok masyarakat), (iii) melaksanakan proyek percontohan dalam hal uji perubahan strategi ketahanan iklim, dan (iv) untuk menguji kapasitas adaptasi masyarakat. Untuk proyek-proyek percontohan, subjek adalah orang-orang rentan yang terkena dampak perubahan iklim. Penerima manfaat adalah perempuan, anak-anak, orang tua dan laki-laki, baik dalam faktor kesadaran yang meningkat, peningkatan kapasitas lokal, mempengaruhi kebijakan lokal dll. Kegiatan proyek percontohan juga dirancang untuk memenuhi kriteria sebagai berikut: (i) replicability, (ii) menangani risiko saat ini dan masa depan, (iii) manfaat kepada masyarakat lokal, (iv) inovasi, (v) kerjasama, (vi) skalabilitas , dan (vii) strategi keberlanjutan. Ada beberapa kriteria tambahan yang harus dilakukan oleh pelaksana proyek percontohan: (i) pelaksanaan pilot proyek harus berkaitan dengan masalah-masalah lokal di masyarakat lokal administratif atau lintas administratif berbatasan dengan isu-isu lingkungan, kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi yang terkait dengan dampak perubahan iklim, dan (ii) pelaksanaan proyek percontohan diarahkan untuk adaptasi dan kegiatan usaha respon terhadap dampak perubahan iklim, seperti: erosi, banjir kekeringan, tanah longsor dll.
xiii
Ada dua proyek percontohan dipilih Asian Cities Climate Change Program (ACCCRN) sebagai kontribusi terhadap tujuan pembangunan dan mengatasi dampak perubahan iklim di Bandar Lampung: (A) Desain Partisipatif Adaptasi Ketahanan Masyarakat di Kangkung dan Kecamatan Kota Karang, Kota Bandar Lampung untuk Perubahan Iklim oleh Lampung Ikhlas - LSM Lokal. Tujuan dari proyek ini adalah "untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, dan keterlibatan partisipatif masyarakat dalam rangka membangun kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim". Selanjutnya, target dari proyek ini adalah (i) untuk membangun pemahaman dan melaksanakan program kegiatan bagi masyarakat di Kangkung dan Kecamatan Kota Karang terhadap dampak perubahan iklim (dalam sosial, ekonomi, dan sektor-sektor kehidupan yang berkelanjutan), (ii) meningkatkan kapasitas masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, (iii) meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim di Kangkung dan Kecamatan Kota Karang dan (iv) untuk membantu meningkatkan standar hidup masyarakat di bidang kesehatan, ketahanan ekonomi rumah tangga, manajemen lingkungan, dan adaptasi terhadap perubahan iklim. (B) Peningkatan Kapasitas Masyarakat Kecamatan Panjang Selatan untuk Mengatasi Perubahan Iklim oleh Mitra Bentala - Lokal LSM. Tujuan dari proyek ini adalah "sebagai upaya untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan ketahanan masyarakat Kecamatan Panjang Selatan terhadap perubahan iklim". Selanjutnya, target jangka pendek dari proyek tersebut (i) untuk meningkatkan kapasitas masyarakat melalui keterlibatan aktif dan meningkatkan pengetahuan tentang upaya adaptasi perubahan iklim; (ii) untuk membangun kesadaran masyarakat dalam memahami dan memecahkan masalah-masalah berkaitan dengan dampak perubahan iklim; dan (iii) untuk beradaptasi dengan perubahan iklim melalui pengelolaan limbah, penyediaan air minum isi ulang, dan rehabilitasi. Target jangka panjang adalah untuk (i) untuk mendorong pembentukan kelompok masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim, dan (ii) untuk mendorong penciptaan kolektif untuk dukungan pelaksanaan adaptasi terhadap perubahan iklim di Kecamatan Panjang Selatan; dan membangun kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim.
xiv
KATA PENGANTAR Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, garis pantai lebih dari 80.000 km dengan mayoritas penduduk hidup di wilayah pesisir di mana sebagian besar kegiatan ekonomi negara berlangsung. Indonesia adalah negara yang rawan terhadap bencana alam seperti banjir, kekeringan, badai, tanah longsor, letusan gunung berapi, dan kebakaran hutan. Di masa depan, perubahan iklim yang ditimbulkan oleh pemanasan global diperkirakan akan menciptakan pola-pola risiko baru dan secara umum lebih tinggi. Bandar Lampung merupakan salah satu kota pesisir yang rentan terhadap bencana tersebut. Saat ini, beberapa Kelurahan di Kota Bandar Lampung sudah terpengaruh oleh bencana iklim seperti banjir, kekeringan dan juga rob. Di masa depan, peristiwaperistiwa ekstrem dapat terjadi lebih sering dengan intensitas tinggi. Sebagian besar Kelurahan Bandar Lampung yang terkena dampak adalah yang ditempati oleh keluarga dengan pendapatan rendah dan hidup dalam kemiskinan. Mereka sangat rentan terhadap dampak dari masalah lingkungan. Pemerintah Kota harus menangani hal ini secara lebih serius dalam rencana pengembangan pembangunan kota, dan segera mengambil tindakan untuk mengatasi masalah kebutuhan mendesak masyarakat saat ini. Oleh karena itu, Penilaian Kerentanan dan Adaptasi Perubahan Iklim di Kota Bandar Lampung telah dilaksanakan dan hasil penilaian ini disajikan dalam laporan ini. Laporan ini menjelaskan secara rinci mengenai: (i) karakteristik iklim Bandar Lampung saat ini dan masa depan, (ii) Dampak bahaya iklim dan kerentanan masyarakat terhadap kejadian iklim ekstrim, dan kemampuan adaptasi yang ada saat ini, (iii) Peta kerentanan saat ini dan masa depan dan peta kapasitas serta risiko iklim di Tingkat Kelurahan, (iv) Permasalahan pemerintahan dan isu-isu kelembagaan yang dapat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan program perubahan iklim, (v) rekomendasi awal untuk meningkatkan ketahanan Kota terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan, dan ( vi) Rekomendasi pada jenis proyek percontohan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim. Penelitian ini didukung oleh berbagai institusi. Institute for Social and Environmental Transition (ISET) adalah pengelola the Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCRN) sebagai bagian dari keseluruhan Rockefeller Foundation Climate Change Initiative. MercyCorp membantu ISET dalam pelaksanaan program ACCRN di Bandar Lampung bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Tim Kota), Urban and Regional Development Institute (URDI), Centre for Climate Risk and Opportunity Management in South East Asia and Pacific (CCROM SEAP) Institut Pertanian Bogor, institusi lokal, masyarakat lokal, dan LSM lokal. Dukungan mereka selama pelaksanaan penelitian ini adalah hal yang terpenting dan sangat dihargai. Kami berharap Pemerintah Kota Bandar Lampung dapat memanfaatkan beberapa hasil yang disajikan dalam laporan ini, untuk menangani masalah-masalah terkait rencana pembangunan kota dan dalam pelaksanaan program-program perubahan iklim.
xv
DAFTAR ISI
Ringkasan Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar
Halaman i xv xvi xviii xx
1. 1.1. 1.2. 1.3.
PENDAHULUAN Latar Belakang Studi Tujuan Outputs
1 1 2 2
2.
SEKILAS KONDISI KOTA BANDAR LAMPUNG DAN DESKRIPSI RESPONDEN Lokasi dan Konteks Geografi Municipal Administration Resources Base Posisi Bandar Lampung dalam Konteks Kawasan Kondisi Demografi dan Sosial Kondisi Ekonomi dan Mata Pencaharian Profil Responden 2.7.1. Konteks Sosial 2.7.2. Mata Pencaharian dan Ekonomi
3
2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7.
3 3 4 7 12 14 15 16 29
3. KONDISI IKLIM HISTORIS DI BANDAR LAMPUNG 3.1. Kondisi Iklim dan Cuaca Ekstrim 3.1.1. Pengaruh ENSO dan IOD terhadap Variabilitas Curah Hujan di Bandar Lampung 3.1.2. Angin Ekstrim 3.2. Analisis Tren Perubahan Iklim di Kota Bandar Lampung 3.2.1. Tren Curah Hujan 3.2.2. Tren Suhu 3.3 Proyeksi Perubahan Iklim
41 41 41
4. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
DAMPAK KEJADIAN IKLIM EKSTRIM Dampak Biofisik Dampak Umum dari Kejadian Iklim Ekstrim Dampak Sosial Ekonomi dari Kejadian Iklim Ekstrim Respon Pemerintah dan Masyarakat terhadap Bencana Akibat Kejadian Iklim Ekstrim
53 53 55 57 68
5. PEMETAAN KERENTANAN DAN KAPASITAS ADAPTIF 5.1. Metodologi untuk Pemetaan Kerentanan dan Kapasitas Adaptif 5.2. Klasifikasi Kelurahan (Desa) Berdasarkan Indeks Kerentanan dan Kapasitas
79 79 83
42 43 43 46 47
xvi
6. ANALISIS RESIKO IKLIM 6.1. Metodologi untuk Pemetaan Risiko Iklim 6.2. Klasifikasi Kelurahan (Desa) berdasarkan Tingkat Eksposur terhadap Risiko Iklim
87 87 90
7.
93
7.1. 7.2. 7.3. 7.4. 7.5. 7.6. 7.7. 7.8. 7.9.
7.10.
PEMERINTAH DAN KELEMBAGAAN DALAM KAJIAN KERENTANAN PERUBAHAN IKLIM Climate Hazard di Kota Bandar Lampung Ruang Lingkup Komponen Kepemerintahan dan Kelembagaan Pemetaan peran stakeholder dalam penyediaan dan pengelolaan sektor-sektor terkait dengan perubahan iklim Permasalahan Perkotaan di Bandar Lampung yang Terkait dengan Adaptasi Perubahan Iklim Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholder Analysis) Pemetaan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Mapping) Mekanisme dan Proses Perencanaan Pembangunan di daerah dan Penanggulangan Bencana Pemetaan Peran Stakeholder dalam penyediaan dan pengelolaan sektor-sektor terkait dengan perubahan iklim Analisis kapasitas kepemerintahan dan kelembagaan dalam rangka mengintegrasikan perencanaan ketahanan dalam perubahan iklim (framework organizational capacity) Temuan dan Rekomendasi untuk Perencanaan Ketahanan Kota dalam rangka Perubahan Iklim
93 95 96 98 99 105 106 109 113
116
8. ADAPTASI 8.1. Strategi Adaptasi di Bandar Lampung
118 118
8.2. Pembelajaran 8.3. Pilot Project daerah Bandar Lampung sebagai Rencana Aksi Adaptasi 8.4. Adaptasi dan Ketahanan 8.5. Ide-ide spesifik untuk memperkuat kapasitas adaptif
121 122
Kesimpulan Daftar Pustaka Lampiran
127 129 136 139 142
xvii
DAFTAR TABEL
2-1 2-2
2-3 2-4 2-5 2-6
2-7 2-8
2-9
2-10
2-11
2-12 2-13 2-14 2-15 2-16 2-17 2-18 2-19 2-20
3-1
Halaman Nama Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Kelurahan di 4 Kota Bandar Lampung Results of land use/land Cover Classification for 1992 and 6 2006 Images Showing area of each category, class percentage and area changed Major Land Use/Cover Conversions from 1992 to 2006 7 Fungsi Bagian Wilayah Kota (BWK) Bandar Lampung 8 Struktur penduduk Kota Bandar Lampung (BPS Kota Bandar 13 Lampung, 2009) Produk Domestik Regional Bruto Kota Bandar Lampung 15 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2007 Distribusi Tingkat Pendidikan Masyarakat Pada Kelurahan 16 Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %) Distribusi Tingkat Pendidikan Masyarakat Berdasarkan Mata 17 Pencaharian Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung Tahun 2009 (dalam %) Distribusi Anggota Rumah Tangga Yang Berperan Dalam 20 Mengambil Keputusan Keluarga Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %) Distribusi Keterlibatan Anggota Rumah Tangga dalam 21 Mengikuti Pelatihan Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Distrisusi Keterlibatan Anggota Rumah Tangga Dalam 22 Organisasi Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Mata Pencaharian Warga pada Kelurahan Amatan di Bandar 30 Lampung, 2009 (dalam %) Distribusi Anggota Rumah Tangga Yang Bekerja Pada 32 Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %) Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Warga pada Kelurahan 33 Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %) Pengeluaran Masyarakat pada Kelurahan Amatan di Bandar 35 Lampung, 2009 (dalam %) Rata-rata Luas Bangunan dan Luas Tanah Masyarakat pada 36 Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Jenis Dinding Rumah Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di 38 Bandar Lampung Tahun 2009 (dalam %) Indeks Kepemilikan Aset Rumah Tangga Masyarakat Pada 39 Kelurahan Amatan di Lampung Tahun 2009 (dalam %) Akses Masyarakat Terhadap Perbankan dan Asuransi Pada 40 Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %) Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Untuk Cicilan, 40 Tabungan dan Asuransi Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (Rupiah/bulan) Koefisien korelasi antara curah hujan musiman di Bandar 41 xviii
3-2 3-3 4-1 4-2 4-3 4-4 4-5 4-6
4-7 4-8
5-1 5-2 6-1
6-2 6-3
6-4 7-1 7-2
7-3 7-4 7-5 7-6 7-7 8-1 8-2 8-3
Lampung dengan DMI dan dengan anomali SST Nino3.4 Konsentrasi Gas Suhu (0C) dan sea level rise (cm), mengacu pada tahun 1990 Lokasi Kejadian/Rawan Bencana Di Kota Bandar Lampung Gambaran Dampak Bencana terhadap Nilai Sosial Masyarakat pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Penyakit Pada Saat Banjir pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Penyakit Pada Saat Kekeringan pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Persepsi Warga Terhadap Berbagai Macam Informasi Terkait Kebencanaan di Bandar Lampung Tahun 2009 (dalam %) Kegiatan pemerintah dalam meningkatkan kemampuan penanganan bencana yang bersifat non-struktural dan respon masyarakat Dampak Bencana yang Menimpa Warga Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Rangkuman Persepsi Masyarakat di Bandar Lampung Terhadap Besaran Dampak Bencana, serta Upaya Penanggulangan yang Dilakukan Indikator yang digunakan untuk mendefinisikan Kerentanan dan Kapasitas dan bobotnya Nilai indikator berdasarkan jenis sumber pendapatan utama di suatu kelurahan Matriks risiko sebagai fungsi dari probabilitas dari kejadian tak terduga untuk terjadi dan konsekuensi jika kejadian tak terduga itu terjadi Bobot dan rumus untuk menghitung indeks bencana iklim Matriks risiko iklim menurut coping capacity index dan composite climate hazard index (CCHI, indeks komposit bencana iklim) Kejadian banjir dan kekeringan di Kota Bandar Lampung Analisis Peran dan Kontribusi Pemangku Kepentingan dalam Perubahan Iklim Masalah dan alternatif startegi terkait perencanaan pembangunan daerah dan penanggulangan bencana di kota Bandar Lampung Program yang terkait dengan Perubahan Iklim Tahun 2006 dan 2008 Jumlah Anggaran yang Terkait dengan Perubahan Iklim TA 2008 Besaran Anggaran Dana Program NUSSP di Kota Bandar Lampung Kegiatan dan sebaran Kegiatan PNPM Mandiri di Kota Bandar Lampung tahun 2008 Analisis Kapasitas Pemerintahan 1 Layanan-layanan yang digunakan oleh masyarakat untuk mengatasi bahaya iklim, menurut Kelurahan Adaptasi dan Kerentanan di Bandar Lampung Adaptasi dan Ketahanan Bandar Lampung
50 50 54 59 66 66 70 72
77 77
79 80 87
88 88
89 100 109
110 111 112 113 114 132 133 135 xix
DAFTAR GAMBAR
2-1 2-2 2-3 2-4 2-5
2-6
2-7
2-8 2-9
2-10 2-11
3-1 3-2 3-3 3-4
3-5
3-6
3-7 3-8
3-9
3-10
Halaman Posisi Kota Bandar Lampung terhadap daerah sekitarnya 3 Peta Administrasi Kota Bandar Lampung 4 Distribusi perubahan penggunaan/penutup lahan Kota Bandar 6 Lampung tahun 1992 dan 2006 Distribusi Kegiatan Ekonomi Kota Bandar Lampung, 2007 15 Distribusi Tingkat Pendidikan Masyarakat Berdasarkan 19 Klasifikasi Tinggi Rendahnya Pendidikan Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Distribusi Masyarakat di Wilayah Pesisir Yang Melakukan 25 Kegiatan Gotong dengan Frekuensi Minimal 1 Kali dalam 1 Tahun Distribusi Tingkat Partisipasi Warga Non Pesisir Lampung 25 pada Kegiatan Gotong Royong Berdasarkan Frekuensi Pelaksanaannya, 2009 Distribusi Partisipasi Warga dalam Kegiatan Gotong Royong 26 Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Distribusi Kegiatan Masyarakat Pada Beberapa Kegiatan 27 Sosial Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Ketersediaan Sarana Pada Kelurahan Amatan di Bandar 28 Lampung, 2009 Distribusi Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat 34 Berdasarkan Pendapatan Tetap dan Pendapatan Tambahan pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung Tahun 2009 Plot time series curah musiman di Bandar Lampung 42 Kecepatan angin harian di stasiun pengamatan Teluk Betung, 42 Lampung (periode 1 Januari 1994 - 31 Desember 1999) Pola spasial tren curah hujan musiman di Bandar Lampung 43 Tren curah hujan musiman di kota Bandar Lampung 45 (105.15E-105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0 Tren frekuensi hari hujan musiman di Bandar Lampung 45 (105.15E-105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0 Komponen frekuensi rendah dari curah hujan musiman di 46 Bandar Lampung didefinisikan oleh nilai 13-tahun rataan bergerak sederhana (simple moving average) Trend musiman suhu rata-rata di Bandar Lampung (105.15E47 105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0 Trend musiman suhu maksimum harian di Bandar Lampung 47 (105.15E-105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0 Tren musiman kisaran suhu harian (daily temperature range, 47 DTR) di Bandar Lampung (105.15E-105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0 Peluang Curah Hujan Lebih dari Q3 pada Musim Hujan 52 xx
4-1 4-2 4-3
4-4 4-5 4-6 4-7 4-8 4-9 4-10 4-11 4-12 5-1 5-2 5-3 5-4 5-5 6-1
6-2
6-3
6-4 7-1
(DJF) dan kurang dari Q3 pada Musim Kemarau (JJA) dengan Dua Skenario Emisi Bantuan dari Saudara dan Masyarakat Lainnya di saat Bencana Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Dampak Banjir dan Kekeringan Terhadap Pekerjaan Utama pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Nilai Kerugian Dari Pekerjaan Utama Akibat Banjir dan Kekeringan Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Dampak Banjir Terhadap Usaha Sampingan Tambak pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Nilai Kerugian Usaha Sampingan Tambak Pada Kelurahan Amatan, di Bandar Lampung, 2009 Lampung Kerugian Akibat Banjir Berdasarkan Sektor di Bandar Lampung, 2009 Kerugian Akibat Kekeringan Berdasarkan Sektor di Bandar Lampung, Tahun 2009 Kenaikan Harga Beberapa Komoditi Pertanian Pada Kelurahan Amatan di BandarLampung, 2009 Kisaran Biaya yang Dikeluarkan oleh Warga (dalam Rupiah) Persentase Media Informasi Prakiraan yang digunakan Adaptasi yang Terjadi di Wilayah Pesisir dan Non Pesisir Ketika Terjadi Bencana Banjir di Lampung Adaptasi Kekeringan Warga di Kelurahan Amatan, Bandar Lampung Area pantai yang dipengaruhi oleh gelombang setinggi +100 m Penentuan order aliran tertinggi (A) & pendugaan luas dari luapan air sungai (B) Pengelompokan kelurahan berdasarkan indikator kapasitas dan kerentanan Indeks Kerentanan dan Kapasitas Kelurahan (A) Baseline, (B) 2025, (C) 2050 Coping capacity index of Kelurahan of Lampung City (A) Baseline, (B) 2025, (C) 2050 Box plot curah hujan bulanan pada musim hujan dan kemarau selama tahun-tahun terjadi bencana dan tahun-tahun tidak terjadi bencana Indeks Bencana Iklim komposit Bandar Lampung (A) & (D) baseline bencana iklim, (B) bencana iklim A2 2025, (C) bencana iklim A2 2050, (E) bencana iklim B1 2025, (F) bencana iklim B1 2050 Klasifikasi Kelurahan berdasarkan tingkat eksposur terhadap risiko iklim (A) & (D) Baseline Risiko Iklim, (B) Risiko Iklim A2 2025, (C) Risiko Iklim A2 2050, (E) Risiko Iklim B1 2025, (F) Risiko Iklim B1 2050 Jumlah kelurahan menurut kategori indeks risiko iklim Pemetaan Pemangku Kepentingan berdasarkan tingkat Kepentingan
57 60 62
62 63 63 64 65 67 69 72 74 82 83 84 85 86 89
90
91
92 106
xxi
7-2 Keterkaitan antara UU No. 17/2003, UU No. 25/2004 dan UU No. 32/2004 8-1 LFA Analisa Problem 8-2 Diagram Alur Aktivitas 8-3 Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerentanan
107 124 126 134
xxii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Studi Di masa depan, perubahan iklim yang ditimbulkan oleh pemanasan global dapat menciptakan pola-pola baru risiko, dan risiko tersebut secara umum meningkat. Kenaikan permukaan laut akibat pencairan gletser dan es kutub dan ekspansi termal akan memberikan kontribusi pada peningkatan banjir di wilayah pesisir banjir. Peningkatan intensitas siklon tropis yang tercatat dalam beberapa dekade terakhir mungkin dapat dikaitkan dengan peningkatan suhu permukaan laut. Dengan adanya dampak pada siklus hidrologi, pemanasan global diperkirakan akan mengubah rentang iklim, perubahan iklim regional rata-rata, yang mengakibatkan pergeseran zona iklim, dan mengarah pada frekuensi dan amplitudo peristiwa cuaca yang lebih tinggi. Variabilitas dan perubahan iklim yang terjadi dengan latar belakang peningkatan populasi global dan proses globalisasi ekonomi dapat mengarah ke peningkatan persaingan atas sumber daya dan kerentanan baru. Dengan meningkatnya risiko iklim, banyak negara, terutama negara-negara kurang berkembang dan negara-negara sedang berkembang kemungkina akan mengalami kesulitan untuk mencapai Sasaran Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) yang terkait dengan kemiskinan, kelaparan dan kesehatan manusia. Indonesia adalah negara yang sudah rawan terhadap bencana alam seperti banjir, kekeringan, badai, tanah longsor, letusan gunung berapi, dan kebakaran pada berbagai lahan berhutan. Indonesia telah mengalami bencana terkait iklim yang lebih sering dan parah dalam beberapa tahun terakhir. Bencana terkait banjir dan angin kencang mencakup sekitar 70% dari total bencana dan sisanya 30% terkait dengan bencana kekeringan, tanah longsor, kebakaran hutan, gelombang panas, badai, rob, dan lain-lain. Dalam periode 2003-2005 saja, ada sekitar 1.429 kejadian bencana di Indonesia. Sekitar 53,3 persennya terkait bencana hidro-meteorologi (Bappenas dan Bakornas PB, 2006) Kenaikan permukaan laut menimbulkan risiko lebih lanjut. Sekitar 24 pulaupulau kecil Indonesia sudah terendam (Departemen Kelautan dan Perikanan 2007). Rentang Kepulauan Indonesia yang luas ini - dengan lebih dari 17.000 pulau dan lebih dari 80.000 km garis pantai - dan mayoritas penduduk yang tinggal di wilayah pesisir di mana sebagian besar kegiatan ekonomi negara itu terjadi sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut. Saat ini, sekitar 42 juta orang di Indonesia tinggal di daerah dengan ketinggian kurang dari 10 meter di atas permukaan laut (Pemerintah Indonesia 2007). Sebagian besar rumah tangga yang tinggal di daerah pesisir memiliki pendapatan antara US $ 2 dan US $ 1-per hari, yang merupakan batas garis kemiskinan (Indonesia Poverty Analysis Program 2006). Mereka merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kepadatan penduduk yang tinggi di Indonesia akan lebih meningkatkan kerentanan terhadap bencana iklim. Kota Bandar Lampung merupakan kota pantai yang akan terkena dampak perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut. Pemerintah Kota Bandar Lampung telah menerapkan berbagai program strategis jangka menengah dan jangka panjang untuk mengelola bencana. Rencana untuk meningkatkan infrastruktur untuk 1
mengelola bencana iklim seperti sistem drainase dan tanggul telah disiapkan (Bappeda, 2003). Namun, dalam kondisi iklim yang berubah dan dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas peristiwa iklim yang ekstrim, maka berbagai desain yang telah direncanakan dan dibuat mungkin akan kurang efektif untuk mengelola bahaya iklim masa depan. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk mempertimbangkan perubahan iklim dalam merancang sistem kontrol bahaya iklim. 1.2. Tujuan Tujuan studi ini adalah untuk: • • • • •
• •
menilai variabilitas iklim saat ini dan masa depan di Kota Bandar Lampung menilai kerentanan dan kapasitas adaptif serta risiko iklim saat ini dan masa depan di tingkat Kelurahan mengidentifikasi kerentanana dan kapasitas adaptif serta resiko iklim saat ini dan masa depan di tingkat Kelurahan. mengindentifikasi dampak langsung dan tidak langsung dari bencana iklim saat ini dan masa depan di tingkat Kelurahan mengidentifikasi daerah dan kelompok-kelompok sosial yang paling rentan, dan dimensi kerentanan, termasuk kapasitas adaptif masyarakat terhadap dampak perubahan iklim mengidentifikasi kelembagaan dan isu-isu tata pemerintahan yang dapat mempengaruhi ketahanan kota terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan. mengembangkan rekomendasi awal untuk Kota Bandar Lampung untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan
1.3. Output Output akhir dari studi ini adalah laporan yang mendeskripsikan: • • • • • •
Karakteristik iklim saat dan masa depan di Kota Bandar Lampung Dampak bahaya iklim dan kerentanan masyarakat terhadap peristiwa iklim ekstrim, dan kapasitas adaptif yang ada Peta kerentanan dan kapasitas adaptif serta risiko iklim saat ini dan masa depan pada tingkat Kelurahan Isu tata pemerintahan dan isu kelembagaan yang dapat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan program perubahan iklim Rekomendasi awal untuk meningkatkan ketahanan Kota terhadap resiko iklim saat ini dan dan masa depan Rekomendasi jenis proyek percontohan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim
2
BAB 2 SEKILAS KONDISI KOTA BANDAR LAMPUNG DAN DESKRIPSI RESPONDEN 2.1
Lokasi dan Konteks Geografi
Bandar Lampung adalah ibu kota Propinsi Lampung dan secara geografis terletak pada 5o 20’ - 5o 30’ LS dan 105o 28’ -105o 37’ BT. Letak tersebut berada di teluk lampung dan diujung selatan Pulau Sumatra, yang memiliki luas wilayah 192,18 Km2. Batas wilayah sebagai berikut: 1). sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan, 2). sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Padang Cermin dan Ketibung Lampung Selatan serta Teluk Lampung, 3). sebelah timur berbatasan dengan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan dan 4). sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Gedung Tataan dan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran. SUMATERA ISLAND
South China Sea
KALIMANTAN ISLAND
BANDAR LAMPUNG MUNICIPALITY BANDAR LAMPUNG CITY
Bandar Lampung
Java Sea
Semarang
Indian Ocean
JAVA ISLAND
(Sumber: Google Earth, 2009 dan Citra Landsat ETM+, 2001)
Gambar 2-1. Posisi Kota Bandar Lampung terhadap daerah sekitarnya 2.2. Administrasi Kota Secara administratif, kota Bandar Lampung terdiri dari 13 kecamatan dan 98 kelurahan (Tabel 2.1, gambar 2.2). Dari ke13 kecamatan, Kemiling merupakan wilayah terluas, sedangkan luas kecamatan terkecil adalah Tanjung Karang Pusat dan Teluk Betung Selatan
3
Tabel 2-1. Nama Kecamatan, Luas Wilayah dan Jumlah Kelurahan di Kota Bandar Lampung NO
KECAMATAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Tanjungkarang Pusat Tanjungkarang Barat Tanjungkarang Timur Teluk Betung Utara Teluk Betung Barat Teluk Betung Selatan Panjang Kemiling Kedaton Rajabasa Tanjung Seneng Sukarame Sukabumi Jumlah
Luas (ha) 6.58 15.14 21.11 10.38 20.99 10.07 21.16 27.65 10.88 13.02 11.63 16.87 10.64 197.22
IBU KOTA Palapa Gedong Air Kota Baru Kupang Kota Bakung Sukaraja Panjang Selatan Sumberejo Kampung Baru Rajabasa Tanjung Seneng Sukarame Sukabumi
JML KELURAHAN 11 6 11 10 8 11 7 7 8 4 4 5 6 98
(http://www.bandarlampungkota.go.id)
Gambar 2-2. Peta Administrasi Kota Bandar Lampung 2.3. Resources Base a. Sumberdaya air (Water resource) Kota Bandar Lampung dilalui oleh 2 sungai besar yaitu Way Kuala dan Kuripan, dan 23 sungai-sungai kecil (Bappeda Kota Bandar Lampung, 2008). Semua sungai tersebut membentuk daerah aliran sungai (DAS) yang berada di dalam 4
wilayah Kota Bandar Lampung dan sebagian besar bermuara di Teluk Lampung. Sistem sungai di wilayah ini terhubung dengan beberapa jaringan drainase buatan. Fungsi jaringan drainase ini adalah mengurangi limpasan permukaan sebagai akibat kelebihan air hujan. Sistem jaringan drainase yang telah terinstal di Bandar Lampung antara lain sistem Teluk Betung, Tanjung Karang, Panjang dan Kandis. Kebutuhan air bagi penduduk Kota Bandar Lampung dipenuhi melalui PDAM dan pengambilan air tanah dangkal/dalam melalui sumur gali. Pada saat sekarang PDAM hanya mampu memenuhi 27% dari total warga Bandar Lampung, sedangkan sisanya yaitu 73% masih harus memanfaatkan air sumur gali. Kedalaman sumur gali adalah sekitar 30 hingga 50 meter dari muka tanah setempat. b. Wilayah pesisir (Coastal area) Bandar Lampung merupakan kota pelabuhan yang penting untuk kawasan Sumatera. Kota Pelabuhan Bandar Lampung terletak dalam suatu pantai berbentuk teluk sehingga gelombang tinggi sebagai akibat angin kencang tidak sepenuhnya langsung mengenai kawasan pantai. Meskipun demikian, di beberapa tempat kawasan pantai, sudah terjadi abrasi oleh gelombang laut. Di beberapa lokasi, wilayah pesisir merupakan kawasan padat penduduk. Untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal, penduduk membangun rumah tempat tinggal di lahan hasil penimbunan pantai sehingga terjadi akresi. Keadaan ini dapat menjadi kendala dalam penataan wilayah pesisir. Dalam kondisi seperti itu, realisasi rencana Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk mewujudkan kawasan water front city juga harus memperhitungkan biaya untuk mengatasi problematika pemukiman di wilayah pesisir, meskipun banyak diantara para pemukim tidak memiliki bukti kepemilikan lahan yang kuat secara hukum. Pusat kegiatan ekonomi di Kawasan Pesisir dan Pantai di Kota Bandar Lampung antara lain terpusat di Kawasan Pelabuhan. c. Penggunaan lahan (Land use) Penggunaan lahan permukiman pada tahun 1992 masih terkonsentrasi di tengah kota Bandar Lampung, tetapi 14 tahun kemudian permukiman tersebut berkembang ke arah timur (Kecamtan Tanjung Seneng) dan timur-laut (Kecamatan Sukarame). Perkembangan permukiman penduduk telah menyebabkan menyusutnya luas penggunaan lahan Pertanian Lahan Kering (dry land agriculture). Penggunaan lahan lain yang mengalami penyusutan luas atau alih fungsi lahan total adalah Perkebunan menjadi Pertanian Lahan Kering. Pola perubahan penggunaan lahan selama 14 tahun (1992-2006) dapat dilihat pada Gambar 2-3.
5
1992
2006
Gambar 2-3. Distribusi perubahan penggunaan/penutup lahan Kota Bandar Lampung tahun 1992 dan 2006 Alih fungsi lahan di wilayah Bandar Lampung berlangsung sangat cepat. Pada tahun 1992 jumlah tipe penggunaan/penutup lahan ada 4 tipe tetapi pada tahun 2006 berkembang jadi 9 tipe. Tahun 1992, persentase lahan tertinggi adalah pertanian lahan kering (60%) tapi 14 tahun kemudian tipe lahan tersebut menyusut jadi 13.4% atau menyusut lebih dari 8900 ha (Tabel 2-2). Tabel 2-2. Tipe penggunaan/penutup lahan tahun 1992 dan 2006 Tipe penggunaan/penutup lahan Bush Plantation Settlement Bare land Grassland Dry land agriculture Mixed dry land agriculture Paddy field Mining No data
1992 Area (ha)
2006 %
Area (ha)
%
405.6 3843.4 2606.2 0.0 0.0 11571.5
2.1 20.0 13.6 0.0 0.0 60.2
79.7 19.9 6724.2 594.8 170.6 2574.5
0.4 0.1 35.0 3.1 0.9 13.4
0.0 0.0 0.0 793.3 19220.0
0.0 0.0 0.0 4.1 100.0
7988.1 244.5 30.3
41.6 1.3 0.2 4.1 100.0
19220.0
perubahan lahan tahun 1992 – 2006 (ha) -325.9 -3823.5 4118.0 594.8 170.6 -8996.9 7988.1 244.5 30.3 0.0
Detail penggunaan/perubahan penutupan lahan di Kota Bandar Lampung dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel tersebut menunjukkan, sebagai contoh, bahwa lebih dari 14 tahun pertanian lahan kering telah berubah menjadi 8 tipe penggunaan lahan yang berbeda-beda.
6
Tabel 2-3. Penggunaan Lahan Utama/Perubahan Penutupan Lahan dari 1992 ke 2006 No
From Class
1
Bush
2.
Dry land agriculture
3.
Plantation
4.
Settlement
To Class Settlement Mixed dry land agriculture Bush Plantation Settlement Bare land Grass land Mixed dry land agriculture Paddy field Mining Settlement Dry land agriculture Mixed dry land agriculture Paddy field Mixed dry land agriculture Mining
1992-2006 Area (ha) 39.4 366.2 79.7 7.7 4290.8 594.8 170.6 3789.7 153.6 9.5 35.7 99.5 3605.0 90.9 227.2 20.8
Secara keseluruhan kondisi penggunaan lahan di Kota Bandar Lampung dikelompokkan dalam kawasan terbangun dan ruang terbuka. Kawasan terbangun terdiri dari lahan pekarangan, perkantoran, perdagangan, jasa, dan industri. Sedangkan ruang terbuka berupa tegalan, kebun, hutan, kuburan, lapangan dan lainlain. Luas kawasan terbangun kota Bandar Lampung mencapai > 30% dari wilayah kota selebihnya merupakan lahan non terbangun (ruang terbuka). Penggunaan lahan di Kota Bandar Lampurrg lebih didominasi oleh permukiman yaitu sebesar 31,24%. Hal ini terjadi karena tingginya tingkat pertumbuhan penduduk dan arus urbanisasi yang ada di Kota Bandar Lampung (Bappeda Kota Bandar Lampung, 2008). 2.4. Posisi Bandar Lampung Dalam Konteks Kawasan Kota Bandar Lampung sebagai ibukota Provinsi Lampung dan pusat pemerintahan dengan laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan laju perkembangan pembangunan yang cukup pesat, memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pemanfaatan ruang disamping itu juga memberikan dampak bagi lingkungan disekitarnya. Aspek tata ruang merupakan isu strategis yang menjadi perhatian penting bagi pemerintah Kota Bandar Lampung yang dituangkan dalam RTRW. RTRW yang berlaku sekarang adalah RTRW 2005-2015 yang merupakan pedoman dalam pengendalian dan pemanfaatan ruang Kota Bandar Lampung sebagaimana yang tertuang pada Perda Nomor 4 Tahun 2004. Sekarang ini sedang dilakukan penyusunan RTRW terbaru. Dalam RTRW akan tertuang antara lain: Arahan pengelolaan kawasan lindung dan budidaya, Arahan pengelolaan kawasan perkotaan, Arahan pengembangan kawasan produksi dan permukiman, Arahan sarana dan prasarana, Arahan pengembangan kawasan prioritas.
7
a. Pembagian Wilayah Kota
.
Kota Bandar Lampung di bagi menjadi 8 (delapan) Bagian Wilayah Kota (BWK) dimana masing-masing mempunyai fungsi utama dan fungsi pendukung. Adapun alasan dalam pembagian ruang tersebut adalah adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Fungsi dan dominasi kegiatan di beberapa kawasan kota; Kesamaan peruntukan lahan; Kesamaan kepadatan penduduk dan kepadatan bangunan; Ukuran geometris/ luas kawasan; Batasan fisik dan administrasi yang ada; Keterbatasan kemampuan jangkauan pelayanan; Struktur ruang.
Tabel 2-4. Fungsi Bagian Wilayah Kota (BWK) Bandar Lampung WILAYAH
FUNGSI UTAMA
FUNGSI PENDUKUNG
BWK A (Gedung Meneng)
Pendidikan Tinggi, Terminal Pusat Kebudayaan, Rumah Regional dan Pengembangan Sewa/Kost, Pusat Pelayanan Kawasan Permukiman Lokal dan Pertanian Skala Kecil BWK B (Sukarame) Perumahan Skala Besar dan Pusat Industri Kecil, Perdagangan Skala Kota Pengembangan Hutan Kota, Cadangan Pengembangan Kota dan Pusat Pelayanan BWK C (Panjang) Pusat Pelabuhan Samudra, Sentra Industri Kecil, Daerah Perdagangan, Terminal Barang Konservasi dan Hutan dan Industri Pengolahan Lindung BWK D Perdagangan/Jasa dan Kawasan Perumahan Indutri Kecil dan (Sukabumi/Tanjungkara Industri Cagar Budaza ng Timur) BWK E Perdagangan Umum dan Jasa Sarana Penunjang (Tanjungkarang/ Umum Perdagangan/Fungsi Pusat Kota Parkir/Taman, Perumahan Ganda dan Pusat Budaya BWK F Perdagangan/Jasa dan Kawasan Perumahan (Tanjungkarang Barat) Konservasi BWK G Pengembangan Holtikultura, Perumahan Kavling Besar (Langkapura/Kemiling) Kawasan Konservasi, dengan KDB Kecil, Industri Pariwisata/Hutan Wisata dan Kecil dan Sekolah Polisi Pengembangan Permukiman Negara (Kasiba/Lasiba) BWK H (Telukbetung) Pusat Pemerintahan, Jasa Umum, Perumahan, Perdagangan Grosir dan Industri Kecil dan Pariwisata Pantai Konservasi Sumber : RTRW Kota Bandar lampung, Tahun 2005-2015
Selain Bagian Wilayah Kota (BWK) yang telah ditetapkan tersebut, tata ruang wilayah Kota Bandar Lampung terdapat beberapa wilayah pengelolaan khusus yaitu:
8
b.
Kawasan Resapan Air
Rencana pengelolaan resapan air Kota Bandar Lampung terbagi dalam 6 (enam) zona kawasan yaitu : a. Zona Kawasan 1 (Rechadge Area) Zona Kawasan 1 memberikan kontribusi yang cukup besar untuk mengisi cadangan air tanah dalam. Pada zona kawasan ini perlu dikakukan tindakan serta pengendalian ruang secara ketat. Daerah yang termasuk zona ini adalah Kecamatan Kemiling dan Kecamatan Telukbetung Barat. b. Zona Kawasan 2 (Area Penyangga) Pada zona ini direncanakan dibangun kantung-kantung air (penampungan air hujan) skala kecil hingga menengah dan menerapkan aturan perbandingan penggunaan lahan terbuka lebih luas tapi pada lahan tertutup bangunan maksimal rasio 70%:30%. Daerah yang termasuk zona ini adalah Kecamatan Tanjungkarang Barat, Tanjungkarang Timur dan Panjang. Selebihnya berada di Kecamatan Tanjungkarang Pusat, Telukbetung Utara dan Telukbetung Selatan. c. Zona Kawasan 3 (Kawasan Resapan Rendah) Pola konservasi pada kawasan ini adalah penerapan sumur resapan di tiap bangunan dan atau pembuatan dana/waduk buatan skala kecil maupun menengah. Daerah yang termasuk kawasan ini adalah Kecamatan Kedaton, Sukarame dan Tanjungkarang Barat. d. Zona Kawasan 4 (Kawasan Resapan Sedang) Pada kawasan ini tingkat kepadatan bangunan cukup signifikan dan sudah mencapai titik jenuh untuk lahan permukiman. Pola konservasi direncanakan melalui sumur resapan dengan dimensi setara antara luas lahan tertutup dengan volume sumur resapan yang harus dibangun. Daerah yang termasuk zona ini adalah Kecamatan Tanjungkarang Pusat dan selebihnya pada wilayah Kecamatan Sukabumi dan Tanjungkarang Timur. e. Zona Kawasan 5 (Kawasan Resapan Tinggi) Pada zona ini didominasi oleh peruntukan lahan permukiman padat. Pola konservasi sebaiknya diterapkan sumur resapan di tipa bangunan rumah dengan volume sumur yang mampu menampung seluruh air hujan yang jatuh diatap dan pekarangan. Daerah yang termasuk zona ini adalah Kecamatan Sukabumi dan Tanjungkarang Timur. f. Zona Kawasan 6 (Kawasan Dipengaruhi Air Laut) Distribusi zona ini berada disepanjang kawasan Pantai Teluk Lampung meliputi Kecamatan Telukbetung Selatan dan Kecamatan Panjang. Fungsi utama sebagai kawasan resapan penyangga air tanah dari ancaman interupsi air laut. c. Kawasan Pesisir Kawasan pesisir pantai Kota Bandarlampung terbentang sepanjang ± 27 km yang terletak di BWK H (Telukbetung) dan BWK C (Panjang). Secara administratif, wilayah pesisir tersebut meliputi wilayah Kecamatan Telukbetung Barat (Kelurahan 9
Keteguhan, Kota Karang, Perwata dan Sukamaju), Kecamatan Telukbetung Selatan (Way Lunik, Garuntang, Ketapang, Pesawahan, Telukbetung, Kangkung, Sukaraja, Bumiwaras dan Pecoh Raya) dan Kecamatan Panjang (Kelurahan Panjang Selatan, Panjang Utara, Pidada dan Srengsem). Penataan wilayah pesisir dilakukan melalui konsep pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu yaitu konsep penataan dan revitalisasi wilayah pesisir berbasis masyarakat dan membagi wilayah pesisir dalam zonasi sesuai potensi, kondisi dan struktur ruang yang ada. Konsep reklamasi pantai merupakan salah satu alternatif pengembangan kawasan strategis sebagai pusat pertumbuhan ekonomi serta untuk mengatasi kawasan kumuh sepanjang Teluk Lampung dengan syarat pelaksanaan yang ketat baik dari aspek teknis, ekonomis dan sosial budaya yang disesuaikan dengan konsep Bandar Lampung Ecocity. Dalam rangka penataan kawasan pesisir lebih lanjut, Dinas Perikanan Dan Kelautan Kota Bandar Lampung telah melakukan Studi Lanjutan Penataan Kawasan Pesisir Kota Bandar Lampung. Pada studi tersebut telah dihasilkan rencana komposisi tata letak zona bangunan gedung dan bukan gedung pada kawasan pesisir kota bandar lampung berdasarkan pembagian zona antara lain: Zona A Kawasan Revitalisasi; Zona B Kawasan Pelabuhan, Pergudangan & Industri Terpadu; Zona C Kawasan Bisnis Terpadu; dan Zona D Kawasan Pariwisata Terpadu. Dengan demikian Konsep Water Front City di Kota Bandar Lampung telah dibuat dan terus dimatangkan. Dalam perencanaan Kawasan Pesisir Kota Bandar Lampung, sistem transportasi laut juga merupakan salah satu komponen penting. Keberadaaan kawasan pelabuhan yang berada di ujung Selatan Kota Bandar Lampung telah ikut membuat dinamika lalu lintas pelayaran di wilayah ini cukup ramai. Pelabuhan ini merupakan satu-satunya Pelabuhan Ekspor yang dimiliki oleh Kota Bandar Lampung. Peningkatan ekspor barang melalui pelabuhan ini tentu saja bisa meningkatkan retribusi dari pelabuhan. Sarana ini merupakan salah satu penunjang kelancaran perdagangan di Bandar Lampung. Pelabuhan Panjang merupakan Pelabuhan Alam yang cukup terlindungi dari gelombang laut, dan sesuai hirarkinya merupakan Pelabuhan Internasional karena terbuka untuk lalu-lintas barang perdagangan dengan luar negeri. d. Kawasan Lindung Pengelolaan kawasan lindung Kota Bandarlampung terbagi dalam 5 (lima) wilayah kawasan yaitu; • Kawasan Resapan Air Kawasan ini merupakan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya. Zona kawasan ini meliputi daerah perbukitan/gunung di Tanjungkarang Barat, Langkapura, Telukbetung Barat dan wilayah penyangga (Register 17 & 19 Kota Bandarlampung) • Kawasan Perlindungan Setempat Kawasan in terbagi dalam 3 (tiga) zona kawasan yaitu (i) sempadan pantai, (ii) sempadan sungai, dan (iii) Taman Cagar Budaya & Ilmu Pengetahuan. Wilayah yang termasuk zona ini adalah di sepanjang Teluk Lampung, Seluruh Sungai di Kota Bandarlampung, Situs Purba di wilayah Kedamaian, Negeri Olok Gading & tempat lain yang direkomendasikan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung. 10
• Kawasan Rawan Bencana. Kawasan ini merupakan kawasan perbukitan yang rawan longsor dan pinggir sungai/lembah yang terancam banjir serta sepanjang Pantai Teluk Lampung. • Kawasan/Daerah Pengamanan (Catchment Area) Kawasan ini merupakan kawasan pengamanan untuk PDAM Way Rilau yang meliputi wilayah Register 17 (Gunung Betung) • Kawasan Penyangga Banjir Untuk wilayah kawasan penyangga banjir adalah meliputi daerah Register 19. e. Kawasan Budidaya Kawasan budidaya yang dikembangkan di Kota Bandar Lampung sesuai dengan potensi yang ada yaitu untuk kawasan permukiman, kawasan jasa/perdagangan, kawasan industri dan kawasan pariwisata. Berdasarkan potensi pengembangan kawasan tersebut, pengembangan dan perencanaan aktivitas wilayah adalah sebagai berikut : • Perumahan Untuk pengembangan perumahan baik ukuran besar, sedang dan kecil menyebar di seluruh wilayah kota yang mempunyai kesesuaian lahan pemukiman di luar kawasan lindung. Sedangkan untuk perbaikan kualitas perumahan meliputi permukiman kumuh, bantaran sungai, pinggir rel kereta api, kawasan nelayan, bukit/Gunung Sari. Wilayah tersebut meliputi Kecamatan Tanjungkarang Pusat, Panjang dan Telukbetung Selatan) • Perdagangan/Jasa Untuk pengembangan kawasan perdagangan terbagi dalam 5 spesifikasi perdagangan yaitu; Perdagangan regional meliputi wilayah Telukbetung Selatan Perdagangan skala kota meliputi wilayah di sepanjang halan utama kota di Kecamatan Telukbetung Selatan dan Tanjungkarang Pusat Perdagangan skala BWK meliputi wilayah di tiap-tiap pusat BWK Perdagangan skala lingkungan meliputi wilayah di tiap-tiap lingkungan permukiman
PKL yang beraglomerasi dengan kegiatan perdagangan kota dan perdagangan BWK
• Industri Kawasan Industri yang meliputi Kawasan Industri Lampung (KAIL). Zona Industri berada di BWK C (Panjang) beraglomerasi dengan kegiatan pergudangan dan pelabuhan. Sentra Industri Kecil berada diwilayah BWK Panjang, Sukarame, Gedong Meneng, dan BWK Langkapura. Industri RT Tidak polutif yang menyatu dengan kegiatan permukiman.
11
• Pemerintahan Berada diwilayah BWK H (Telukbetung) dan disetiap pusat kecamatan/kelurahan untuk pemerintahan tingkat kecamatan/kelurahan • Pariwisata Untuk pariwisata pantai berada pada kawasan Teluk Lampung, sedangkan untuk wisata kota berada di wilayah pusat kota, taman kota dan lingkungan, hutan kota, RTH Kota dan Danau Buatan • Pendidikan Untuk pendidikan tinggi berada di BWK A (Gedung Meneng), SLTA menyebar di setiap pusat BWK, dan SLTP&SD menyebar di pusat lingkungan permukiman. • Fasilitas Sosial Untuk fasilitas kesehatan, peribadatan, olahraga dan rekreasi menyebar sesuai dengan hirarki pelayanan dan fasilitas Islamic Centre berada di BWK A (Jl. Soekarno – Hatta) • Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau yang diperuntukan untuk Taman Hutan Kota berada di BWK B (Sukarame) dan daerah perbukitan dengan fungsi Ruang Terbuka Hijau. Untuk Taman Kota menyebar di Pusat Kota seperti daerah Way Halim, Taman Lingkungan berada di daerah Pusat Lingkungan. Untuk permakaman/Kuburan berada di Kecamatan Telukbetung Barat, Tanjungkarang Barat, Sukarame, Panjang dan Kemiling. 2.5. Kondisi Demografi dan Sosial A. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Berdasarkan data BPS tahun 2005 sampai tahun 2008, Penduduk Kota Bandar Lampung pada tahun 2007 berjumlah 812.133 jiwa dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 822.880 jiwa (Tabel II-5). Penduduk pada tahun 2008 terdiri dari 414.938 jiwa (50,36persen) laki-laki dan 407.942 jiwa (49,63persen) perempuan. Ini berarti jumlah penduduk laki-laki dan perempuan hampir sama banyak. Tingkat pertumbuhan penduduk Kota Bandar Lampung dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 berada pada besaran 3,67 persen atau 1,22 persen pertahunnya. Penambahan jumlah penduduk yang paling tinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu 10.747 jiwa (naik 1,30 persen), dengan luas Kota Bandar lampung 19.722 Ha. Kepadatan penduduk pada tahun 2008 rata-rata adalah sebesar 42 jiwa/Ha, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 41 jiwa/Ha atau naik sebesar 1,32 persen. Menurut kriteria kepadatan penduduk, jumlah kepadatan penduduk Kota Bandar Lampung sebesar 42 jiwa/Ha adalah termasuk kepadatan rendah (Lembaga Bantuan Teknologi Unila FT – Unila, 2001 dalam RTRW Kota Bandar Lampung 2005-2015). Namun ternyata persebaran penduduk di Kota Bandar Lampung tidak merata, dimana dari 13 kecamatan beberapa diataranya memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi sisanya secara umum tergolong kepadatan rendah dan sedang. Kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan tinggi terdapat di Tanjung Karang Pusat, dan Teluk Betung Selatan (RTRW Kota Bandar Lampung 2005-2015). Luas 12
wilayah kedua kecamatan ini adalah terkecil dibandingkan dengan 13 kecamatan lain, namun memiliki jumlah kelurahan terbanyak. Tabel 2-5. Struktur penduduk Kota Bandar Lampung (BPS Kota Bandar Lampung, 2009) Tahun 2005 2006 2007 2008
Jenis Kelamin Laki-Laki 397.863 405.208 409.433 414.938
Perempuan 395.883 398.714 402.700 402.942
Jumlah Penduduk 793.746 803.922 812.133 822.880
Luas (Ha)
Kepadatan
19.722 19.722 19.722 19.722
40,25 40,76 41,18 41,72
Sumber: http://Lampung.BPS.go.id
B. Struktur Penduduk Menurut umur Gambaran mengenai struktur penduduk menurut usia akan menunjukkan jumlah penduduk yang masih produktif dan yang tidak/belum produktif di Bandar Lampung. Penduduk yang termasuk kedalam usia produktif pada nantinya akan digolongkan kepada jumlah tenaga kerja yang tersedia di Kota bandar Lampung dan dalam menentukan kebijakan mitigasi bencana. Berdasarkan kelompok usia proporsi terbesar dari penduduk Kota Bandar Lampung ditempati oleh kelompok usia 20-24 tahun yaitu sekitar 95.597 jiwa, diikuti dengan kelompok umur 15-19 tahun dengan jumlah jumlah 95.537 jiwa. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa dengan banyaknya penduduk dengan umur produktif maka akan berpengaruh terhadap produktifitas penduduk Kota Bandar Lampung serta kemampuan mereka dalam mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana alam, serta mengevakuasi diri jika terjadi bencana benar-benar terjadi di wilayah mereka. Usia produktif dimulai dari umur 15 -55 tahun dan usia diatas 55 tahun digolongkan kepada usia non produktif. Secara umum diketahui bahwa kelompok usia produktif di Bandar lampung mencapai jumlah 546.920 jiwa atau 64,75persen dari total keseluruhan penduduk Kota Bandar Lampung. Menurut Agama Agama-agama yang ada di Kota Lampung terdiri dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Islam merupakan agama yang paling banyak dipeluk oleh penduduk Kota Bandar Lampung yaitu mencapai 755.851 jiwa atau 89,50persen disusul dengan kristen Protestan sebanyak 31.695 jiwa. Ini lebih banyak dibandingkan jmlah penganut agama katolik yang hanya 23.081 jiwa. Jika digabungkan penganut agama katolik dan protestan menjadi kelompok minoritas di Kota Bandar lampung dengan persentase sebesar 6,48persen dari total keseluruhan penduduk Kota bandar lampung namun jumlah ini masih lebih banyak bila dibandingkan dengan penganut agama Hindu atau Budha.
. 13
2.6. Hubungan Lingkaran-Inti Sebagai Ibukota Provinsi Lampung, Bandar Lampung menjadi pusat pemerintahan, sosial, politik, pendidikan dan budaya aktivitas, dan juga pusat kegiatan ekonomi di Provinsi Lampung. Bandar Lampung strategis karena terletak di daerah transit kegiatan ekonomi antara Pulau Sumatera dan Jawa. Kondisi ini menguntungkan bagi pertumbuhan dan pembangunan Bandar Lampung menjadi pusat perdagangan, jasa dan industri. Bandar Lampung telah mengalami perkembangan pesat, ditandai dengan peningkatan jumlah daerah yang dibangun dan munculnya zona pusat pertumbuhan baru (Bandar Lampung Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2003). 2.7.Kondisi Ekonomi dan Mata Pencaharian Informasi kondisi ekonomi dan matapencaharian dapat memberikan gambaran mengenai tingkat kesejahteraan masyarakat, dan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menunjang ketahanan masyarakat dalam menghadapai bencana terutama yang disebabkan oleh perubahan iklim. Mata pencaharian penduduk pada dasarnya berhubungan erat dengan tingkat pendapatan, tingkat kesejahteraan serta pengelolaan sumberdaya alam yang terdapat di sekitarnya. Penduduk dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada sektor pertanian dan perikanan perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar, karena sektor tersebut sangat dipengaruhi oleh iklim atau musim. Angkatan kerja merupakan penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja atau mencari pekerjaan. Jumlah angkatan kerja di Kota Bandar Lampung meningkat dari 364.337 jiwa pada tahun 2005 menjadi 414.827 jiwa pada tahun 2008. Penduduk berumur 15 tahun yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama tahun 2007 berjumlah 342.334 dengan rincian sebagai berikut: 1). Pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan sebanyak 9.217 jiwa. 2) Industri Pengolahan sebanyak 31.277. 3). Perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel sebanyak 127.814. 4). Jasa kemasyarakatn sebanyak 89.229, dan 5) lainnya (pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan air bersih, bangunan, angkutan, pergudangan dan komunikasi, keuangan, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan) sebanyak 84.797 (http://lampung.bps.go.id/tabel/tk11.pdf). Dengan demikian perdagangan merupakan tumpuan mata pencaharian penduduk yang utama. PDRB Kota Bandar Lampung sebagian besar dikontribusi oleh pengangkutan dan komunikasi (19,6%), industri pengolahan (17,6 %), jasa-jasa (16,9%) dan lapangan usaha perdagangan, hotel, dan restoran (16,6%). Kontribusi lapangan usaha pertanian pada PDRB memberikan sebesar 5,9% (Table II-6). Distribusi kegiatan ekonomi di Kota Bandar Lampung dapat dilihat pada Gambar 2-5.
14
Tabel 2-6.
No. 1 2 3 4 5 6 7
Produk Domestik Regional Bruto Kota Bandar Lampung Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2007 Lapangan Usaha
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Tanpa Migas Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa 8 Perusahaan 9 Jasa-Jasa PDRB / GRDP
2004 2005 317.382 336.894 89.091 91.919 940.423 1.015.321 98.126 127.955 394.064 453.175 1.152.353 1.163.215 947.407 1.187.247
2006 459.996 94.069 1.457.313 153.563 602.517 1.462.784 1.500.958
2007 622.174 95.057 1.835.621 162.058 690.780 1.740.263 2.049.305
913.755 1.113.247
1.252.691
1.491.115
1.235.780 1.306.664 6.088.382 6.795.637
1.394.547 1.764.359 8.378.439 10.450.733
(Sumber: Kota Bandar Lampung Dalam Angka, 2008)
Gambar 2-4. Distribusi Kegiatan Ekonomi Kota Bandar Lampung, 2007 2.7. Profil Responden Untuk menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kota Bandar Lampung secara lebih luas memiliki keterbatasan dalam hal ketersediaan data sekunder. Oleh karena itu penggambaran dilakukan dengan menggunakan data survey pada enam kelurahan di Kota Bandar Lampung yang dikelompokkan menjadi wilayah pesisir dan non pesisir. Kelurahan yang termasuk wilayah non pesisir adalah: 1). Kelurahan Batu Putu, 2) Kelurahan Pasir Gintung, dan 3). Kelurahan Sukabumi Indah. Sedangkan kelurahan yang termasuk kelompok pesisir adalah: 4). Kelurahan Kangkung, 5). Kelurahan Kota Karang, 6). Kelurahan Panjang Selatan. Survey melibatkan 256 masyarakat, yang terdiri dari 62,28 persen masyarakat adalah laki-laki dan 36,72 persen perempuan. Selain melalui survey, penajaman beberapa informasi juga dilakukan melalui focus group discussion (FGD) pada empat lokasi yaitu di Kelurahan Panjang Selatan, Kota Karang, Batu Putu dan Pasir Gintung.
15
2.7.1. Kontek Sosial A. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat merupakan salah satu indikator dalam menilai kemampuan masyarakat untuk menerima pengetahuan baru, serta menyerap keterampilan maupun teknologi yang dipekenalkan. Oleh karena itu semakin tinggi taraf pendidikan masyarakat, akan semakin mudah menggugah kesadarnnya untuk merespon upaya-upaya adaptasi bencana, baik melalui proses latihan dan penyuluhan, pemberian ketrampilan maupun model-model percontohan yang akan diberikan, demikian sebaliknya. Oleh karena itu tingkat pendidikan masyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu tolak ukur dalam menilai kerentanan masayarakat terhadap bencana. Menurut data hasil survey (tabel 2-7), mayoritas masyarakat di kelurahan yang diamati telah lulus SD. Kelurahan SUkabumi Indah merupakan kelurahan dengan tingkat pendidikan tertinggi.. Tabel 2-7. Distribusi Tingkat Pendidikan Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %) Pendidikan Tidak Sekolah SD Kelas 1-3 SD Kelas 4-6 SD Tamat SMP Tamat SLTA Tamat Sarjana Muda/ D3 Sarjana
Panjang Selatan 12,5 17,5 5 32,5 30 2,5 -
Pasir Kota Gintung Karang 6 4 10 40 20 18 2
9 17,9 7,1 41 10,7 12,5 1,8
Batu Putu 20 17,5 15 25 10 12,5 -
Sukabumi Kangkung Indah 6,4 16,2 3,2 54,8 3,2 16,2
7,7 28,2 10,3 35,9 5,1 12,8 -
Tabel 2-8. menguraikan data sebaran pendidikan berdasarkan mata pencaharian di setiap kelurahan dan wilayah. Berdasarkan tabel tersebut, masyarakat yang bekerja sebagai petani kebun di Batu Putu banyak yang tingkat pendidikannya tamat sekolah dasar dengan persentase sebesar 15 persen dari total masyarakat di Batu Putu. Jika dilihat secara lebih detail lagi, ternyata dari 47,5 persen masyarakat yang bekerja sebagai petani kebun, maka sebanyak 40 persen berpendidikan rendah (tidak tamat SD-tamat SD). Pekerjaan utama masyarakat di Pasir Gintung adalah pada sektor perdagangan (20%), servis (10%), buruh non-petani (20%), dan lainnya (48%). Kebanyakan penduduk yang bekerja sebagai pedagang dan buruh non-petani adalah masyarakat dengan pendidikan menengah kebawah (SMP dan SMA). Fenomena masyarakat dengan pendidikan rendah ini juga terjadi pada sektor perbaikan (service). Meskipun Pasir Gintung berada di dekat kota, dimana aktivitas pertanian tidak terjadi, komposisi pekerjaan didominasi oleh pekerja dengan pendidikan yang sangat rendah. Hampir semua penduduk di kelurahan Sukabumi Indah bekerja sebagai tenaga kerja non-pertanian, tenaga kerja perbaikan, atau pegawai negeri (PNS/ABRI/POLRI). Kebanyakan dari mereka memiliki tingkat pendidikan 16
menegah dan tinggi, sebagai contoh, pekerja pemerintahan merupakan lulusan D3 dan sarjana. Hal yang sama terjadi pada sektor service. Lebih dari 12.9% penduduk yang bekerja di sektor tersebut dan 9.68% nya memiliki berpendidikan tinggi. Tabel 2-8. Distribusi Tingkat Pendidikan Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian Pada Kelurahan Amatan di BandarLampung Tahun 2009 (dalam %)
Batu Putu
Kel
Pekerjaan
Tidak Sekola h
SD Kela s 1-3
SD Kelas 4-6
Tamat SD
Non Pesisir Petani Pangan
2,50
-
-
5,00
2,50
-
-
-
Petani Kebun
5,00
7,50
12,50
15,00
2,50
5,00
-
-
Pedagang Jasa Pertukangan Buruh Pertanian Buruh Non Pertanian Lainnya
2,50 5,00
5,00
2,50
2,50 2,50
2,50 -
2,50 2,50
-
-
2,50
-
-
-
-
-
-
-
2,50
5,00
-
-
2,50
2,50
-
-
Total
20,00
17,5 0
15,00
25,00
10,00
12,50
-
-
Pedagang
4,00
-
-
8,00
4,00
4,00
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2,00
-
-
-
4,00
2,00
4,00
-
-
-
2,00
4,00
12,00
2,00
-
-
-
2,00
2,00
6,00
16,00
12,00
10,00
-
-
6,00
4,00
10,00
40,00
20,00
18,00
-
2,00
Kang kung
Sukabumi Indah
Pasir Gintung
PNS/ABRI/P OLRI Jasa Buruh Non Pertanian Lainnya Total
Tamat SMP
Tamat Diplom Sarjana SMA a
10,0 0 47,5 0 2,50 5,00 2,50 17,5 0 2,50 12,5 0 100, 00
Petani Ikan Pedagang PNS/ABRI/P OLRI Jasa
-
3,23 -
3,23 -
-
-
9,68
-
3,23 12,90
-
-
3,23
-
3,23
6,45
-
-
Buruh Non Pertanian Lainnya
-
-
6,45
-
-
3,23
3,23
-
-
3,23
3,23
-
-
35,48
-
-
-
6,45
16,13
-
3,23
54,84
3,23
-
7,69
-
-
2,56
-
-
-
5,13
5,13
5,13
2,56
-
7,69
-
-
Total
Pesisir Petani Ikan Pedagang
Tota l
20,0 0 2,00 10,0 0 20,0 0 48,0 0 100, 00
16,13
3,23 6,45 22,5 8 12,9 0 12,9 0 41,9 4 100, 00
10,2 6 25,6
17
Pengrajin Jasa Pertukangan Buruh Non Pertanian Lainnya
2,56 -
2,56 7,69
5,13
2,56 2,56 2,56
-
2,56 -
-
-
-
5,13
-
25,64
2,56
2,56
-
-
Kangkung Total
7,69
28,2 1
10,26
35,90
5,13
12,82
-
-
Petani Ikan
3,57
3,57
1,79
10,71
1,79
-
-
-
-
1,79
-
3,57
3,57
3,57
-
-
1,79
-
1,79
3,57
1,79
5,36
-
-
-
-
-
16,07
1,79
1,79
-
-
3,57
12,5 0 17,8 6
3,57
7,14
1,79
1,79
1,79
-
7,14
41,07
10,71
12,50
1,79
-
Pedagang
Panjang Selatan
Kota Karang
Jasa Buruh Non Pertanian Lainnya Kota Karang Total
8,93
Petani Ikan
7,50
2,50
-
5,00
5,00
-
-
-
Pedagang Jasa Buruh Non Pertanian Lainnya
2,50
5,00 10,0 0 -
2,50
5,00 2,50 15,00
10,00
2,50
-
-
2,50
5,00
15,00
-
-
-
17,5 0
5,00
32,50
30,00
2,50
-
-
Panjang Selatan Total
2,50 12,50
4 2,56 7,69 2,56 15,3 8 33,3 3 100, 00 21,4 3 12,5 0 14,2 9 19,6 4 32,1 4 100, 00 20,0 0 5,00 7,50 42,5 0 25,0 0 100, 00
Pola yang hampir sama juga terjadi di wilayah pesisir. Misalnya di wilayah Kangkung, sebagian besar masyarakat bekerja sebagai pedagang, buruh non pertanian dan petani tambak ikan. Pada umumnya mereka yang bekerja pada sektor tersebut berpendidikan rendah (maksimal lulus SD). Berdasarkan ilustrasi diatas, mayoritas pekerjaan di kelurahan pesisir dan non-pesisir didominasi oleh pekerja berpendidikan renah (gambar 2-5). Hanya pelayan publik/pemerintahan dan beberapa pedagang, pekerja denga lulusan universitas.
18
Gambar 2-5. Distribusi Tingkat Pendidikan Masyarakat Berdasarkan Klasifikasi Tinggi Rendahnya Pendidikan Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 B. Pengambilan Keputusan Keluarga Anggota keluarga yang cukup dominan dalam membuat keputusan keluarga adalah suami dengan persentase sebesar 55,98 persen. Akan tetapi terdapat kelompok keluarga masyarakat yang menyatakan bahwa untuk pengambilan keputusan keluarga tidak bisa dilakukan sendiri oleh suami, mereka melibatkan istri mereka dalam membuat keputusan keluarga dan jumlah kelompok ini cukup besar, sebanyak 34,19 persen. Jika angka ini disandingkan dengan angka persentase kelompok pencari nafkah dalam keluarga yaitu suami dan istri, maka terlihat konsistensi bahwa partisipasi perempuan dalam membuat keputusan keluarga juga dipengaruhi oleh keterlibatan mereka membantu suami dalam memperoleh penghasilan keluarga. Dari data tersebut terlihat bahwa keterlibatan istri di wilayah non pesisir lebih banyak daripada wilayah pesisir. Bahkan secara spesifik di Kelurahan Batu Putu dan Sukabumi Indah, peran keluarga dimana pengambilan keputusan dilakukan berdua oleh suami istri lebih besar daripada keluarga yang pengambilan keputusannya hanya oleh suami saja. Persentase suami istri sebagai pengambil keputusan di kedua wilayah tersebut adalah 58,82 persen untuk Batu Putu dan 58,33 persen untuk Sukabumi Indah. Pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu kelurahan, partisipasi anggota keluarga terutama perempuan dalam pengambilan keputusan dapat dilihat pada jumlah perempuan yang diundang menghadiri kegiatan rapat atau musyawarah kelurahan. Dari hasil FGD terungkap bahwa dalam pertemuan warga di kelurahan atau balai desa, biasanya hanya lelaki yang diundang datang ke pertemuan sedangkan perempuan akan di undang apabila dalam rumah tangga tersebut memang tidak ada pria yang dapat mewakili. Alasan yang diungkapkan warga pria adalah karena yang dibicarakan biasanya masalah-masalah yang terkait dengan kaum pria, misalnya masalah pertanian. Padahal berdasarkan gambaran peran anggota keluarga dalam mencari nafkah, terlihat perempuan memiliki andil yang cukup besar dalam memenuhi nafkah keluarga, termasuk menjadi pekerja di sektor pertanian. Yang berarti sebenarnya masalah pertanian juga merupakan masalah perempuan. Dalam pertemuan yang lebih strategis seperti Musrembang, perempuan juga jarang dilibatkan. Hal tersebut terkait dengan pola pikir pria yang beranggapan bahwa kehadiran perempuan di rumah yaitu mengurus anak lebih penting daripada hadir dalam rapat. Namun saat suami berhalangan hadir, istri akan diminta hadir sebagai wakil suami. Disini terlihat bahwa dalam lingkup yang lebih kecil, yaitu kepentingan 19
keluarga, perempuan telah memiliki posisi tawar yang relatif sama dengan pria. Namun dalam lingkup yang lebih luas, kepentingan masyarakat bersama, peran lakilaki menjadi lebih dominan dimana mereka merasa bahwa keberadaannya sudah bisa mewakili kepentingan perempuan. Hal ini menunjukkan lemahnya posisi tawar perempuan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Dalam kaitannya dengan bencana, seringkali sistem peringatan dini atau informasi yang terkait dengan bencana hanya diberikan dan di bahas dengan para laki-laki/suami. Padahal belum tentu seluruh informasi tersebut dapat disampaikan kembali dengan baik kepada para perempuan/ istri di rumah. Keabsenan atau ketidak akuratan informasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perempuan menjadi lebih rentan saat terjadi bencana. Demikian juga dengan program-program bencana, karena tidak diikut sertakan dalam rapat atau musyawarah, suara yang mewakili kebutuhan dan kepentingan perempuan menjadi tidak terdengar. Sehingga program-program atau kebijakan yang dibuat dianggap sudah dapat mewakili. Padahal, dalam beberapa hal kepentingan atau kebutuhan laki-laki berbeda dengan perempuan. Misalnya pada kasus bencana yang terjadi pada suatu daerah, pemerintah daerahnya menyediakan fasilitas kamar mandi umum dengan kondisi dinding hanya tertutup setengah yang menyebabkan perempuan tidak nyaman dalam melakukan aktivitas di kamar mandi. Kondisi demikian mencerminkan ketidak pekaan terhadap kebutuhan perempuan. Tabel 2-9. Distribusi Anggota Rumah Tangga Yang Berperan Dalam Mengambil Keputusan Keluarga Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %) Wilayah / Keluraha n Batu Putu Pasir Gintung Sukabum i Indah Kangkun g Kota Karang Panjang Selatan Non Pesisir Pesisir Grand Total
Anggota Rumah Tangga Pengambil Keputusan
(N)
S
107
41,18
34
67,35 41,6 7 55,2 6 51,9 2 70,2 7 53,2 7 58,2 7 55,9 8
49 24 127 38 52 37 234
SI 58,82 20,4 1 58,3 3 26,3 2 38,4 6 16,2 2 41,1 2 28,3 5 34,1 9
I
Semua 0,00
S Al
Al
IAlAp
Iap
SAlAp
SIAl
Grand Total
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
100,00
0,00
4,08
4,08
0,00
2,04
0,00
2,04
0,00
100,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
100,00
7,89
5,26
0,00
2,63
0,00
2,63
0,00
0,00
100,00
3,85
1,92
0,00
1,92
0,00
0,00
0,00
1,92
100,00
5,41
2,70
5,41
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
100,00
0,00
1,87
1,87
0,00
0,93
0,00
0,93
0,00
100,00
5,51
3,15
1,57
1,57
0,00
0,79
0,00
0,79
100,00
2,99
2,56
1,71
0,85
0,43
0,43
0,43
0,43
100,00
Keterangan : S=suami, I= Istri, Al= Anak Laki Dewasa, dan Ap=Anak Perempuan Dewasa C. Partisipasi Keluarga Dalam Mengikuti Pelatihan Secara umum keterlibatan masyarakat dalam mengikuti pelatihan untuk meningkatkan ketrampilannya relatif rendah. Berdasarkan Tabel 2-10. terlihat bahwa keterlibatan masyarakat dalam mengikuti pelatihan sebanyak 14,84 persen, dengan 20
demikian sebanyak 85,16 persen masyarakat tidak terlibat dalam kegiatan pelatihan. Walaupun relatif kecil, keterlibatan masyarakat di pesisir dalam mengikuti pelatihan relatif banyak dibandingkan dengan wilayah non pesisir. Masyarakat di Kelurahan Panjang Selatan relatif aktif dalam mengikuti berbagai macam pelatihan dibandingkan dengan kelurahan lainnya, sekitar 45 persen masyarakat di wilayah tersebut pernah mengikuti pelatihan untuk meningkatkan keterampilan hidupnya. Tabel 2-10. Distribusi Keterlibatan Anggota Rumah Tangga dalam Mengikuti Pelatihan Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Wilayah/ Kelurahan Non Pesisir Batu Putu Pasir Gintung Sukabumi Indah Sub Total Pesisir Kangkung Kota Karang Panjang Selatan Sub Total Grand Total
Keterlibatan Anggota Rumah Tangga Dalam Pelatihan (dari n dalam %) Anak Anak Suami Istri LakiPerempuan Laki
Total Res (N)
Res Jawab (n)
40
3
7,50
66,67
33,33
-
-
100,00
50
3
6,00
100,00
0,00
-
-
100,00
31 121
5 11
16,13 9,09
40,00 63,64
60,00 36,36
-
-
100,00 100,00
39 56
2 7
5,13 12,50
100,00 42,86
0,00 28,57
14,29
14,29
100,00 100,00
40 135 256
18 27 38
45,00 20,00 14,84
44,44 48,15 52,63
38,89 33,33 34,21
11,11 11,11 7,89
5,56 7,41 5,26
100,00 100,00 100,00
n/N (%)
Total
Berdasarkan data terlihat, bahwa suami lebih banyak aktif terlibat dalam pelatihan dibandingkan dengan istri, dan hal ini berlaku secara umum untuk wilayah lainnya, terkecuali di Sukabumi Indah. Relatif rendahnya keterlibatan masyarakat dalam mengikuti berbagai macam pelatihan dalam meningkatkan keterampilan hidupnya, akan berdampak terhadap terbatasnya keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat terutama ketika menghadapi berbagai macam kondisi yang mengancam keberlangsungan hidup keluarganya. Dalam kondisi seperti ini, jika suatu keluarga terkena bencana yang pada akhirnya tidak bisa lagi tergantung pada pekerjaan utamanya (baik jangka pendek maupun jangka panjang), maka alternatif untuk melakukan pekerjaan tambahan relatif sulit dilakukan karena keterbatasan keterampilan yang dimiliki masyarakat. Lain halnya jika masyarakat tersebut cukup aktif dalam mengikuti berbagai macam pelatihan, yang menyebabkan masih adanya peluang untuk melakukan berbagai macam pekerjaan alternatif, sehingga mengurangi kerentanan akibat bencana. Dalam konteks masyarakat urban dengan tingkat strata ekonomi yang rendah, peningkatan ketrampilan tidak harus selalu diperoleh dengan cara mengikuti pelatihan secara formal, namun bisa juga dengan cara informal. Dari hasil FGD terungkap memang selama ini masyarakat jarang mengikuti pelatihan yang dilakukan secara formal. Beberapa masyarakat bahkan kurang menyadari bahwa kegiatan mata pencaharian mereka pada dasarnya memerlukan suatu ketrampilan tertentu. Dalam kenyataannya beberapa pekerjaan yang dilakukan seperti buruh bangunan memerlukan ketrampilan khusus, dan ketrampilan tersebut mereka 21
dapatkan secara otodidak. Dari pengakuan warga di Kota Karang dan Pasir Gintung, belum pernah ada program bantuan pelatihan baik formal ataupun informal yang ditujukan untuk peningkatan ketrampilan warga baik dari pemerintah daerah maupun LSM setempat. D
Partisispasi Keluarga Dalam Mengikuti Organisasi Masyarkat
Secara umum keterlibatan masyarakat dalam organisasi masyarakat relatif masih rendah. Berdasarkan Tabel 2-11, terlihat bahwa keterlibatan masyarakat dalam berorganisasi sebanyak 42,97 persen, dengan demikian sebanyak 57,03 persen masyarakat tidak berorganisasi. Walaupun relatif kecil, keterlibatan masyarakat di pesisir dalam berorganiasi relatif banyak dibandingkan dengan wilayah non pesisir. Masyarakat di Kelurahan Panjang Selatan relatif aktif dalam berorganisasi dibandingkan dengan kelurahan lainnya, sekitar 70 persen masyarakat di wilayah tersebut aktif berorganisasi. Tabel. 2-11. Distrisusi Keterlibatan Anggota Rumah Tangga Dalam Organisasi Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009
Wilayah / Kelurahan Non Pesisir Batu Putu Pasir Gintung Sukabumi Indah Sub Total Pesisir Kangkung Kota Karang Panjang Selatan Sub Total Grand Total
Keterlibatan Anggota Rumah Tangga Dalam Ormas (dari n dalam %) Anak Anak LakiPerempua Suami Istri Laki n
Total Respd (N)
Res Jawab (n)
40 50
16 9
40,00 18,00
56,25 66,67
43,75 33,33
0,00 0,00
0,00 0,00
100,00 100,00
31 121
21 46
67,74 38,02
57,14 58,70
42,86 41,30
0,00 0,00
0,00 0,00
100,00 100,00
39 56
15 21
38,46 37,50
46,67 57,14
33,33 28,57
6,67 14,29
13,33 0,00
100,00 100,00
40 135 256
28 64 110
70,00 47,41 42,97
53,57 53,13 55,45
32,14 31,25 35,45
10,71 10,94 6,36
3,57 4,69 2,73
100,00 100,00 100,00
n/N (%)
Jumlah
Dengan hanya melihat warga yang aktif berorganisasi, maka berdasarkan data tersebut terlihat, suami lebih banyak aktif terlibat dalam aktifitas berorganiasi dibandingkan dengan istri, demikian juga anak laki-laki lebih banyak terlibat dalam organisasi masyarakt dibandingkan dengan anak perempuan dan hal ini berlaku secara umum untuk wilayah lainnya. Organisasi merupakah wadah bagi masyarakat untuk mengekspresikan kreatifitas dan gagasan yang dimiliki masyarakat termasuk berbagai macam upaya mensejahterakan masyarakat setempat. Walaupun tingkat berorganisasi relatif rendah, akan tetapi dengan keterlibatan sebanyak 42,97 persen merupakan jumlah yang cukup bagi sebuah organisasi untuk berperan dalam upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat. Hubungannya dengan kebencanaan adalah, bila semakin banyak masyarakat terlibat dalam berorganisasi, maka semakin besar pula akses yang dimiliki masyarakat untuk memperoleh informasi dan bantuan bencana. Berdasarkan hasil FGD terungkap berbagai bentuk organisasi serta aktivitasaktivitas organisasi yang berada di lingkungan kelurahan amatan. Menurut penuturan 22
Bapak Mugi, pada Kelurahan Panjang Selatan terdapat organisasi kemasyarakatan yaitu kelompok nelayan Bahari Mandiri. Namun beberapa waktu belakangan ini, kelompok nelayan Bahari Mandiri sudah jarang melakukan kegiatan-kegiatan, padahal dulu berjalan dengan aktif dimana salah satu kegiatannya adalah simpan pinjam. Pada kegiatan simpan pinjam, setiap anggota dibebankan membayar simpanan minimal Rp 1500 per bulan, namun karena banyaknya warga yang tidak mengembalikan pinjamannya, maka kegiatan simpan pinjam menjadi terhambat dan saat ini tidak berjalan lagi. Walaupun di kelurahan Panjang Selatan terdapat kelompok nelayan, namun di wilayah tersebut tidak terdapat koperasai nelayan yang bisa menunjang kegiatan operasional nelayan. Pada Kelurahan Batu Putuk terdapat kelompok pertanian dan kelompok kehutanan. Gabungan kelompok tani (gapoktan), yang berada di wilayah ini mencakup 10 kelompok. Aktifitas yang dilakukan oleh kelompok pertanian antara lain melakukan pertemuan atau musyawarah untuk membahas suatu masalah. Kegiatan kelompok yang ditujukan untuk peningkatan ekonomi petani, misalnya simpan pinjam masih belum dilakukan. Menurut penuturan bapak Jumaidi, tokoh masyarakat di Kelurahan Batu Putuk, ”....manfaat yang dirasa dengan bergabung di kelompok tani adalah memperoleh informasi penanggulangan penyakit, sedangkan bantuan untuk meningkatkan ekonomi petani tidak ada. Bantuan saprodi seperti pupuk juga belum pernah ada. Bantuan bibit pernah satu kali diterima warga yaitu bibit padi tahun 2008”. Selain kelompok pertanian, kelompok kehutanan dibentuk dengan tujuan agar warga dapat memperoleh izin untuk menanam di lahan kehutanan. Selain terdapat kelompok bapak-bapak, juga terdapat kelompok ibu-ibu di Kelurahan Batu Putuk dengan nama kelompok PKK 8, karena jumlah anggotanya 8 orang. Kegiatan kelompok ini antara lain membersihkan kebun orang lain secara gotong royong. Hasil keuntungan dari bekerja tidak dibagi secara langsung kepada anggota, namun sebagian besar digunakan untuk membeli peralatan pesta seperti piring, gelas, teko, kursi, dan sebagian lagi dimasukkan dalam kas kelompok. Manfaat menjadi anggota adalah bila mau meminjam peralatan pesta tidak akan dipungut bayaran, namun non anggota harus membayar. Uang hasil penerimaan peminjaman barang dari non anggota sebagian akan di belikan barang lagi, sebagian lainnya akan dimasukkan dalam kas kelompok. Keuntungan lainnya sebagai anggota adalah mereka bisa meminjam uang kas kelompok. Pinjaman tersebut tidak dikenakan bunga bila jangka waktu pinjaman hanya sebentar, dan ada bunga yang relatif kecil bila pinjaman dalam jangka waktu yang lama. Ide kegiatan tersebut berasal dari kaum perempuan sendiri. Pada Kelurahan Pasir Gintung, diperoleh informasi bahwa terdapat banyak paguyuban yang terkait dengan profesi mata pencaharian masyarakat. Misalnya ada persatuan tukang bakso, persatuan pedagang sayur, persatuan pengaman lingkungan, dsb. Selain adanya paguyuban-paguyuban, terdapat juga organisasi masyarakat seperti ‘Petir’ dan ‘Paku Banten’. Wilayah Pasir Gintung yang dekat dengan pasar induk menyebabkan masyarakatnya tidak saja banyak yang menjadi pedagang, namun banyak juga yang bertindak sebagai preman. Sehingga beberapa warga menyebutkan wilayah tersebut dengan sebutan ‘bronx’. Kondisi demikian yang memicu timbulnya organisasi masyarakat seperti ‘Petir’ dan ‘Paku Banten’. Organisasi tersebut kegiatannya antara lain mengorganisir perparkiran dan 23
pengamanan lingkungan. Keberadaan paguyuban serta organisasi masyarakat tersebut dirasakan positif oleh warga, antara lain meningkatnya kesejahteraan warga serta menurunnya tingkat kejahatan dan ‘kenakalan’ warga di Kelurahan Pasir Gintung. E. Partisipasi Masyarakat Dalam Kelembagaan Salah satu kekuatan masyarakat dalam menghadapi bencana adalah tingginya kohesivitas sosial masyarakat, semakin kompak masyarakat dalam melakukan kegiatan kemasyarakatan biasanya akan semakin kuat kohesivitas sosial masyarakat. Kohesivitas sosial ini yang melahirkan sikap saling tolong menolong ketika terjadi bencana. Tinggi rendahnya kohesivitas sosial dapat terlihat dari beragamnya kegiatan sosial masyarakat. Beberapa kegiatan sosial masyarakat yang berhubungan dengan kebencanaan adalah gotong royong, melaksanakan kegiatan 3M, dan memperbaiki infrastruktur perdesaan seperti jalan desa, saluran air, tempat sampah, dan lain sebagainya. Berdasarkan data, dari sebanyak 135 warga pesisir, sebanyak 78,5 persen melakukan kegiatan gotong royong dengan frekuensi yang sangat jarang, yaitu sebanyak 1 kali dalam 1 tahun. Gambar 2.7. menunjukkan distribusi warga di wilayah pesisir yang melakukan kegiatan gotong royong. Berdasarkan gambar terlihat bahwa sebanyak 48,11 persen berada di Kota Karang, sebanyak 24,53 persen berada di Kangkung dan sebanyak 27,36 persen berada di Panjang Selatan. Berdasarkan hasil FGD, diperoleh informasi bahwa kegiatan gotong royong di Kelurahan Kota Karang memang masih belum berjalan dengan baik. Terutama dalam hal kebersamaan. Sebenarnya telah ada aturan bahwa setiap jumat ada kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan, namun dalam pelaksanaannya kegiatan kebersihan lingkungan di Kota Karang lebih bersifat individu, yaitu dilakukan secara masing-masing warga. Demikian juga bila ada rumah warga yang rusak, biasanya ditangani sendiri oleh si pemilik tanpa bantuan dari tetangga atau warga lainnya. Kegiatan yang lebih mengarah kepada individu ini diperkirakan karena adanya perubahan dalam mata pencaharian penduduk. Dahulu, di tahun 1970an, sebagian besar masayarakat Kota Karang adalah nelayan. Namun karena penghasilan dari nelayan yang saat ini sudah sangat berkurang, menyebabkan banyak penduduk yang beralih menjadi pekebun, wirasawasta, pegawai, atau buruh. Dengan pola mata pencaharian yang beragam seperti itu, menyebabkan ritme kerja yang tidak sama, sehingga sulit untuk melakukan kegiatan dalam waktu yang bersamaan. Namun sifat tolong menolong antar warga tetap ada. Berbeda dengan Kelurahan Panjang Selatan, warganya justru mengaku bahwa kegiatan gotong royong di wilayah tersebut sudah berjalan dengan baik. Kegiatan gotong royong masyarakat secara rutin dilaksanakan setiap bulan atau setelah terjadi pasang. Kegiatan gotong royong tidak hanya dilakukan untuk membersihkan lingkungan saja tetapi juga membantu warga yang akan melaksanakan hajatan seperti pesta pernikahan maupun yang memperoleh musibah.
24
Gambar 2-6. Distribusi Masyarakat di Wilayah Pesisir Yang Melakukan Kegiatan Gotong dengan Frekuensi Minimal 1 Kali dalam 1 Tahun Pada wilayah non pesisir, frekuensi kegiatan gotong royong masyarakat relatif beragam, ada yang satu bulan sekali, ada yang dua bulan sekali, enam bulan sekali, bahkan satu tahun satu kali. Dari 121 warga non pesisir, sebanyak 66,66 persen warga berpartisipasi dalam kegiatan gotong royong, dapat dilihat pada Gambar 2-7. Jika dilihat dari frekuensinya, maka di wilayah non pesisir sebagian besar warga melakukan kegiatan gotong royong sebanyak 36 kali dalam setahun atau setiap minggu (57,78 persen), dan satu kali dalam satu tahun (32,22 persen). Hal ini menggambarkan dari persfektif kualitas gotong royong, maka sebetulnya masyarakat di wilayah non pesisir memiliki tingkat partisipasi gotong royong yang lebih baik, mengingat di wilayah ini terdapat sekitar 57,78 persen warga yang melakukan gotong royong dengan frekuensi seminggu sekali. Selain itu terdapat juga warga yang melakukan gotong royong lebih dari 1 tahun sekali. Dengan semakin seringnya kegiatan gotong royong yang dilakukan oleh warga, maka dampaknya akan lebih besar terasa dibandingkan dengan masyarakat yang melakukan gotong royongnya hanya 1 tahun sekali.
Gambar 2-7. Distribusi Tingkat Partisipasi Warga Non Pesisir Lampung pada Kegiatan Gotong Royong Berdasarkan Frekuensi Pelaksanaannya, 2009
25
Gambar 2.8. menunjukkan bahwa kegiatan perbaikan jalan mendapatkan partisipasi warga paling besar (45,70 persen) dibandingkan kegiatan yang lain. Hal ini terjadi pada semua kelurahan di kedua wilayah baik pesisir maupun non pesisir. Kegiatan gotong royong yang mendapatkan partisipasi warga paling rendah adalah kegiatan perbaikan taman. Jika membandingkan kedua wilayah (pesisir dan non pesisir), warga di wilayah non pesisir memberikan pastisipasi lebih besar dibandingkan warga diwilayah pesisir kecuali kegiatan perbaikan sampah dan perbaikan jalan. Perbaikan sarana ibadah menarik partisipasi besar dari warga di Kelurahan Sukabumi Indah (35,48 persen), dan menarik partisipasi terkecil dari Kelurahan Panjang Selatan. Partisipasi warga terbesar dan terendah dalam kegiatan perbaikan jalan terjadi berturut-turut di Kelurahan Kota Karang dan Panjang Selatan. Relatif tingginya partisipasi gotong royong masyarakat di kedua wilayah diakui oleh tokoh masyarat yang menjadi narasumber dalam FGD. Tokoh masyarakat Kelurahan Panjang Selatan, Batu Putu dan Pasir Gintung menyatakan bahwa hubungan antar warga seperti dalam hal kerjasama, gotong royong, maupun kegiatan-kegiatan perkumpulan telah berjalan cukup baik meskipun untuk Kelurahan Pasir Gintung kegiatan tersebut tidak terjadwal dan terorganisir dengan baik.
Gambar 2-8. Distribusi Partisipasi Warga dalam Kegiatan Gotong Royong Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Dilihat dari partisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan warga, pengajian merupakan kegiatan sosial masyarakat yang memiliki partisipasi warga terbesar (74,22 persen). Di wilayah non pesisir, pengajian juga mendapat partisipasi terbesar dari warga (67,77) dibandingkan kegiatan sosial masyarakatnya. Kegiatan sosial lain yang memiliki partisipasi relatif besar adalah arisan ibu-ibu (46,09 persen) dan kemudian kegiatan kegiatan 3M (menguras, menutup dan mengubur; Gambar 2-9)
26
Gambar 2-9. Distribusi Kegiatan Masyarakat Pada Beberapa Kegiatan Sosial Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 F. Akses Terhadap Pelayanan Keberadaan sarana dan prasarana merupakan faktor yang menunjang keberhasilan upaya program adaptasi bencana. Dengan adanya sarana dan prasarana ini berbagai sektor kehidupan masyarakat dapat lebih dikembangkan dan ditingkatkan hasilnya. Sarana dan prasarana yang ada di wilayah kelurahankelurahan terpilih yang rentan bencana terdiri dari: pendidikan, kesehatan, perbankan, asuransi, air bersih dan listrik. Mayoritas masyarakat pada seluruh kelurahan menunjukkan bahwa sarana pendidikan seperti bangunan SD, SMP sudah tersedia dalam jumlah yang cukup. Sarana kesehatan pada wilayah ini pada umumnya berupa balai kesehatan masyarakat seperti puskesmas maupun posyandu. Selain biayanya yang cukup terjangkau, fasilitas kesehatan ini sangat membantu masyarakat, khususnya untuk mengobati penyakit-penyakit ringan seperti flu dan batuk. Namun, bila kondisi warga bertambah parah, biasanya akan di rujuk oleh puskesmas setempat untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Pada wilayah-wilayah tersebut juga telah ada Jamkesmas. Namun, kepemilikan jamkesmas ini tidak secara otomatis ada, warga harus mengurusnya terlebih dahulu. Warga yang tidak memiliki jamkesmas dapat mempergunakan fasilitas jamkesda. Proses untuk mengurus jamkesda pun cukup rumit dan melalui birokrasi yang cukup pajang, hal ini cukup menyulitkan warga. Sarana perbankan pada juga secara umum sudah cukup baik, hanya warga Kelurahan Batu Putu yang menyatakan bahwa sarana perbankan di wilayahnya masih kurang. Pada kenyataannya lokasi Batu Putu yang relatif terletak jauh di atas gunung dan jauh dari pusat ibukota menyebabkan bank tidak beroperasi di wilayah tersebut. Namun demikian, walaupun kelurahan yang lain menyatakan bahwa sarana perbankan di kelurahan mereka sudah cukup baik, namun pada kenyataannya berdasarkan hasil FGD, masih sangat sedikit warga yang memanfaatkan jasa perbankan tersebut. Sebagian besar warga memiliki alasan bahwa jumlah penghasilan yang relatif kecil sehingga tidak tersedia uang yang cukup untuk ditabung. Demikian juga dengan asuransi. Tidak banyak warga yang tahu tentang keberadaan sarana asuransi di wilayah mereka. Hal ini juga ditunjang dengan kenyataan bahwa mereka belum merasa membutuhkan asuransi, baik asuransi 27
pendidikan, jiwa maupun kesehatan. Hal yang menarik ditunjukkan oleh Kelurahan Sukabumi Indah, walaupun memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan masyarakat yang lebih baik dibandingkan dengan kelurahan lain, namun masyarakatnya menunjukan kecenderungan yang sama dengan warga dari kelurahan lain. Padahal, bila terjadi bencana yang parah, kepemilikan asuransi dapat melindungi masyarakat, berupa jaminan ganti rugi finansial atas harta benda yang rusak atau hilang.
Grafik 2-10. Ketersediaan Sarana Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Sarana electricity dan air bersih pada wilayah ini tersedia dengan baik. Sumber listrik pada wilayah ini berasal dari PLN. Sedangkan air bersih dapat diperoleh dengan membeli baik dari PDAM maupun dari pedagang air keliling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari FGD, pada wilayah pesisir, yaitu Kelurahan Panjang Selatan dan Kota Karang, memiliki kesulitan air bersih, sehingga air bersih dapat diperoleh dengan jalan membeli. Pada wilayah Panjang Selatan, Kota Karang, dan Kangkung keperluan minum warga biasanya dipenuhi dengan cara membeli air galon isi ulang. Untuk keperluan mencuci dan mandi, warga menggunakan air sumur pompa, sedangkan untuk memasak menggunakan air jirigen yang dapat diperoleh dengan cara membeli. Penggunaan air sumur bor tidak dipungut biaya, namun kualitas air kurang baik, yaitu berwarna keruh dan bahkan di Kelurahan Kota Karang terasa panas, sehingga bila akan digunakan, terlebih dahulu harus di diamkan beberapa saat. Kelurahan Batu Putu yang merupakan daerah perbukitan, mempunyai sumber air yang sangat banyak, terbukti dengan adanya tiga perusahaan air minum di daerah tersebut. Namun justru keberadaan perusahaan air minum tersebut yang dirasa warga menyebabkan jumlah debit air menjadi berkurang. Berikut adalah gambaran kebutuhan air bersih pada suatu rumah tangga di Kelurahan Kota Karang. Seorang ibu dengan enam orang anak yang tinggal di wilayah Kota Karang mengaku bahwa kebutuhan air sehari-hari dipenuhi dengan cara mengambil dari sumur bor dan membeli. Untuk keperluan minum biasanya dipenuhi dengan membeli air galon isi ulang seharga Rp 3.000,00-Rp 3.500,00 per galon dengan merek Grand. Biasanya satu galon air dapat di gunakan selama empat hari, sehingga dalam satu bulan biasanya menghabiskan 7-8 galon. Keperluan air untuk mencuci dan mandi dipenuhi dengan menggunakan air sumur bor, sedangkan untuk memasak menggunakan air jirigen. Penggunaan air sumur bor tidak dipungut biaya, namun kualitas air kurang baik (berwarna keruh) dan terasa panas, sedangkan air jirigen 28
diperoleh dengan membeli. Harga air dalam jirigen (2 liter) jika diambil sendiri adalah Rp 1.000,00 per tiga jirigen, namun jika diantar (dibawakan), harga mencapai Rp 2.000,00 per tiga jirigen. Ibu tersebut mengaku bahwa tiga jirigen dapat digunakan selama tiga hari, sehingga dalam sebulan membutuhkan 30 jirigen. Jadi secara rata-rata total pengeluaran untuk membeli air pada keluarga tersebut selama satu bulan sebesar Rp 31.000,00-Rp 48.000,00. Sumber FGD di Kota Karang. 2.7.2.
Mata Pencaharian dan Ekonomi
Informasi kondisi ekonomi masyarakat dapat memberikan gambaran mengenai tingkat kesejahteraan masyarakat, dan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menunjang ketahanan masyarakat dalam menghadapai perubahan iklim/ bencana. Kondisi ekonomi masyarakat dapat dilihat dari mata pencaharian penduduk, pendapatan, pengeluaran masayarakat dan kepemilikan lahan serta aset. Berikut adalah gambaran umum ekonomi dan mata pencaharian pada enam kelurahan amatan: A. Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk biasanya dipengaruhi oleh kondisi wilayah masing-masing. Kelurahan Panjang Selatan, Kota Karang dan Kangkung berada pada wilayah pesisir, dimana sektor perikanan menjadi salah satu mata pencaharian yang dominan. Sebanyak 20 persen warga Panjang Selatan, 21,5 persen warga Kota Karang dan 10,3 persen warga mengaku bermata pencaharian sebagai nelayan maupun buruh nelayan. Selain itu berdasarkan survey terlihat bahwa sebanyak 42,5 persen warga wilayah Panjang Selatan bermata pencaharian sebagai buruh non pertanian, sedangkan warga di wilayah Kota Karang dan Kangkung sebesar 32,1 persen dan 33,3 persen memiliki mata pencaharian yang dikelompokkan menjadi ‘lainnya’. Hal ini karena mata pencaharian sebagai nelayan sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca, sehingga memiliki ketidakpastian. Pada kondisi iklim dan cuaca yang menunjang, penghasilan dari melaut dapat berlimpah, namun dalam kondisi sebaliknya seperti pasang dan angin besar, penghasilan dari melaut cenderung menurun drastis bahkan terkadang tidak mendapatkan penghasilan. Oleh karena itu, banyak warga yang memiliki alternatif mata pencaharian lain seperti menjadi buruh non pertanian, tukang becak, atau kenek bangunan. Kelurahan Batu Putuk berada di lokasi dataran tinggi dimana kondisi lahan di wilayah ini memiliki kesesuaian dengan karaktersitik tanaman perkebunan. Sehingga memiliki potensi pertanian khususnya tanaman perkebunan seperti coklat, kopi, durian, melinjo dan vanili. Oleh karena itu sebanyak 47,5 persen warga berprofesi sebagai petani kebun dan diikuti oleh buruh pertanian sebesar 17,5 persen. Luas kepemilikan lahan beragam, namun umumnya warga memiliki lahan kurang dari satu hektar. Biasanya dalam satu lahan, warga sengaja menanam beberapa jenis tanaman. Selain menanam pada lahan sendiri, cukup banyak juga warga yang bertani / berkebun di wilayah kawasan milik dinas kehutanan. Sewa lahan dikenakan biaya sebesar Rp. 20.000 perhektar per tahun. Mata pencaharian masyarakat di Batu Putuk dengan persentase paling sedikit adalah pedagang, pertukangan, dan buruh non pertanian, yaitu sebesar 2,5 persen. Berdasarkan hasil FGD diperoleh pula informasi bahwa pada wilayah Batu Putuk, terdapat tiga perusahaan air minum, yaitu Tri Panca, Grade, dan Grand. Keberadaan perusahaan ini memberikan kesempatan lapangan pekerjaan bagi warga sekitar seperti menjadi buruh dan satpam. 29
Lokasi Kelurahan Pasir Gintung sangat strategis, yaitu dekat dengan pasar induk, terminal, dan rumah sakit umum pemerintah terbesar di Propinsi Lampung, sehingga mata pencaharian penduduknya banyak di sektor jasa. Mata pencaharian dengan persentase terbesar adalah masuk dalam kelompok ‘lainnya’ sebesar 48 persen, yaitu mata pencaharian yang tidak termuat pada pilihan yang disajikan, seperti teknisi, supir, tukang ojek, pegawai kelurahan, dan lain sebagainya. Mata pencaharian yang juga banyak dilakukan masyarakat adalah pedagang dan buruh non pertanian yaitu sebesar 20 persen. Demikian juga dengan Sukabumi Indah, hampir semua warga di wilayah tersebut bekerja di luar sektor pertanian, yaitu sebagai buruh non pertanian, jasa dan pegawai negeri (PNS/ABRI/POLRI). Tabel 2-12. Mata Pencaharian Warga pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %) Mata Pencaharian
Petani Pangan Petani Kebun Perikanan Pedagang Pengrajin PNS/ABRI/ POLRI Jasa Pertukangan Buruh Pertanian Buruh Non Pertanian Lainnya
Panjang Selatan 20 5 7,5 42,5 25
Pasir Gintung
Kota Karang
20 2 10 20 48
21,5 12,5 14,3 19,6 32,1
Batu Putu 10 47,5 2,5 5 2,5 17,5 2,5 12,5
Sukabumi Indah 3,2 6,5 22,6 12,9 12,9 41,9
Kangkung
10,3 25,6 2,6 7,7 2,6 15,4 33,33
Bila dilihat dari mata pencaharian penduduk, wilayah yang rentan terhadap bencana adalah Kelurahan Panjang Selatan, Kota Karang, Kangkung dan Batu Putuk. Namun demikian, warga pada wilayah Panjang Selatan, Kota Karang dan Kangkung, tidak menggantungkan mata pencarian mereka hanya pada satu sektor. Selain menjadi nelayan, masyarakat umumnya memiliki alternatif pekerjaan lain. Mereka secara fleksibel akan mencari pekerjaan di ‘darat’ apabila pekerjaan di laut tidak mungkin mereka lakukan. Hal ini berbeda dengan masyarakat di Kelurahan Batu Putu dimana sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya tidak jauh dari pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian, berdasarkan mata pencaharian penduduk, wilayah Kelurahan Batu Putu memiliki tingkat kerentanan yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelurahan lainnya. B. Partisipasi Anggota Keluarga dalam Mencari Nafkah Keluarga Dalam mempertahankan hidupnya dan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga, setiap anggota rumah tangga akan berusaha untuk memanfaatkan semua potensi yang dimiliki sesuai dengan pemahaman mereka sendiri. Pada umumnya setiap kepala rumah tangga wajib mencari nafkah untuk keluarganya, akan tetapi seringkali karena adanya keterbatasan mengakibatkan setiap keluarga jika ada kesempatan akan memberdayakan anggota keluarganya dalam mencari sumber tambahan, dengan demikian tugas kepala keluarga dalam mencari nafkah relatif terbantu. Berdasarkan Tabel 2-13, terlihat bahwa 30
terdapat 13 model rumah tangga dalam mencari nafkah, 1). suami saja; 2). suami dan istri; 3). Suami dan anak laki-laki; 4). suami, anak laki-laki, dan anak perempuan; 5) suami, istri, dan anak laki-laki; 6). suami, istri, anak laki-laki, dan anak perempuan; 7). istri saja; 8). istri dan anak laki-laki; 9). anak laki-laki saja; 10). suami dan anak perempuan; 11) suami, istri, dan anak perempuan; 12). anak laki-laki dan anak perempuan; dan 13). anak perempuan saja. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa peran suami secara tunggal dalam menghidupi keluarganya hanya sekitar 46,56 persen. Hal ini menggambarkan bahwa untuk memenuhi kehidupan keluarga tidak lagi mengandalkan sepenuhnya terhadap penghasilan dari pekerjaan suami. Terdapat 31,58 persen keluarga masyarakat dimana suami dan istri bekerja bersama-sama untuk menghidupi keluarganya. Dengan demikian peran istri tampak sangat jelas dalam membantu meringankankan beban suami. Bahkan bagi suami yang sudah tidak bisa bekerja lagi karena alasan menganggur, sakit, atau telah meninggal dunia, untuk melangsungkan kehidupan keluarga tergantung pada istri, dan berdasarkan data terdapat sekitar 2,02 persen keluarga masyarakat yang kehidupannya tergantung pada penghasilan kerja istri. Jumlah masyarakat terbanyak yang mengandalkan kehidupan keluarga dari hasil kerja istri berada pada Kelurahan Kota Karang. Pola tersebut tidak terlihat pada Kelurahan Pasir Gintung dan Sukabumi Indah. Dari data juga diperoleh informasi, terdapat sekitar 2,02 persen masyarakat dimana semua anggota keluarganya memiliki mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya. Dalam kelompok ini semua anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak lakilaki dan anak perempuan yang sudah dewasa memiliki pekerjaan, dan semua hasilnya diperuntukkan untuk kelangsungan hidup keluarga. Dengan demikian secara keseluruhan tergambar peran istri (perempuan) dalam melangsungkan kehidupan suatu keluarga relatif besar. Hal ini diindikasikan dari jumlah masyarakat yang tergantung pada suami sebagai pencari nafkah tunggal dalam keluarga berjumlah kurang dari 50 persen. Peran perempuan dalam ekonomi keluarga juga terungkap dalam kegiatan FGD pada kelurahan amatan. Kegiatan istri bekerja membantu suami, diakui masyarkat telah dilakukan sejak lama, karena kesulitan ekonomi bukan hanya dirasakan saat ini saja, namun sudah dirasakan sejak dahulu. Pada banyak kasus perempuan yang bekerja, terlihat memiliki pola yang sama, yaitu jenis pekerjaan istri terkait dengan pekerjaan yang dilakukan oleh suaminya. Misalnya pada Kelurahan Panjang Selatan dan Kota Karang, dimana sebagian besar warga pria memiliki mata pencaharian di bidang perikanan, maka perempuan bekerja yang berada pada dua kelurahan tersebut banyak yang menjadi pedagang ikan, baik di pasar maupun secara berkeliling. Umumnya ikan yang mereka jual merupakan hasil tangkapan suami, namun bila hasil tangkapan suaminya sedikit, maka mereka akan menjualkan ikan hasil tangkapan tetangga atau membeli ikan terlebih dulu di pasar. Selain pekerjaan yang relatif tetap, beberapa pekerjaan yang melibatkan perempuan ada yang bersifat musiman. Menurut bapak Aan, ketua RT 14 kelurahan Kota Karang, ”....biasanya perempuan banyak dibutuhkan waktu musim ikan. Waktu itu ikan yang terkumpul oleh nelayan jumlahnya banyak dan jenis serta ukurannya macam-macam. Sebelum dijual di tempat pelelangan ikan atau di pasar, ikan harus dipilih-pilih dulu. Biasanya istri membantu suami memilihmilih ikan”. Selain melibatkan istri, kegiatan tersebut juga seringkali melibatkan anggota keluarga lainnya. Kondisi yang hampir sama terjadi juga pada masyarakat dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian, dimana pekerjaan istri terkait dengan pekerjaan suami, misalnya membantu suami di kebun atau sawah. 31
Tabel 2-13. Distribusi Anggota Rumah Tangga Yang Bekerja Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %)
Pencari Nafkah Dalam Keluarga Wilayah/ Kelurahan (N) Non Pesisir Batu Putu 115 Pasir Gintung 38 Sukabumi Indah 49 Sub Total 55 Pesisir Kangkung 28 Kota Karang 132 Panjang Selatan 38 Sub Total 39 Grand Total 247
S
SI
S Al
S AlAp
SIAl
Semua
I
I Al
Al
S Ap
SIAp
AlAp
Ap
Grand Total
44,74
39,47
2,63
0,00
5,26
2,63
2,63
0,00
0,00
2,63
0,00
0,00
0,00
100,00
59,18
24,49
2,04
4,08
0,00
0,00
0,00
2,04
4,08
0,00
2,04
2,04
0,00
100,00
35,71 48,70
60,71 38,26
0,00 1,74
3,57 2,61
0,00 1,74
0,00 0,87
0,00 0,87
0,00 0,87
0,00 1,74
0,00 0,87
0,00 0,87
0,00 0,87
0,00 0,00
100,00 100,00
31,58 47,27
28,95 21,82
7,89 10,91
5,26 5,45
7,89 3,64
2,63 3,64
2,63 3,64
5,26 1,82
2,63 0,00
2,63 1,82
0,00 0,00
0,00 0,00
2,63 0,00
100,00 100,00
53,85 44,70 46,56
28,21 25,76 31,58
5,13 8,33 5,26
0,00 3,79 3,24
2,56 4,55 3,24
2,56 3,03 2,02
2,56 3,03 2,02
2,56 3,03 2,02
0,00 0,76 1,21
0,00 1,52 1,21
2,56 0,76 0,81
0,00 0,00 0,40
0,00 0,76 0,40
100,00 100,00 100,00
Keterangan : S=suami, I= Istri, Al= Anak Laki Dewasa, dan Ap=Anak Perempuan Dewasa
32
C. Pendapatan Secara umum pendapatan masyarakat dipengaruhi oleh mata pencahariannya. Mayoritas rumah tangga warga di wilayah Panjang Selatan, Pasir Gintung, Kota Karang, dan Batu Putuk memiliki penghasilan berkisar antara Rp 500.001,00 hingga Rp 1.000.000,00. Sedangkan mayoritas warga di Kelurahan Kangkung memiliki pendapatan berkisar antara Rp 1.000.001,00 hingga Rp 2.000.000,00. Sementara itu, mayoritas warga di Kelurahan Sukabumi Indah memiliki tingkat pendapatan yang lebih baik, yaitu dengan rentang pendapatan diatas Rp 2.000.000,00. Besaran pendapatan ini diperoleh dari penjumlahan pendapatan tetap dan pendapatan tambahan. Tabel 2-14. Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Warga pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %) Klasifikasi Pendapatan (Rp)
0-500.000 500.001-1.000.000 1.000.001-2.000.000 > 2.000.001
Panjang Selatan
Pasir Gintung
Kota Karang
37,5 37,5 15 10
12 48 28 12
32,2 42,8 16,1 8,9
Batu Putuk
42,5 45 10
Sukabumi Kangkung Indah
16,1 9,7 35,5 38,7
23,2 25,7 28,2 17,9
Dari gambaran pendapatan tersebut dapat dikatakan bahwa mayoritas rumah tangga warga pada wilayah Panjang Selatan, Pasir Gintung, Kota Karang dan Batu Putuk relatif paling rentan secara ekonomi, khususnya jika terjadi perubahan kondisi sosial ekonomi yang disebabkan oleh bencana. Gambar 2.12. memperlihatkan distribusi rata-rata pendapatan rumah tangga pada enam kelurahan amatan. Secara rata-rata pendapatan rumah tangga respoden sebesar Rp. 1.213.228,35/bulan. Dibandingkan dengan tingkat UMR di Kota Bandar Lampung tahun 2008 Rp 627.500, maka pendapatan rata-rata rumah tangga warga pada kelurahan amatan lebih tinggi. Namun apabila dibandingkan dengan banyaknya jumlah anggota keluarga per rumah tangga, maka jumlah pendapatan tersebut relatif kecil dan tidak dapat mencukupi seluruh kebutuhan keluarga. Pendapatan tersebut berasal dari pendapatan tetap bulanan sebesar Rp 705.421,26/bulan dan dari pendapatan tambahan lainnya sebesar Rp 534.781,75/bulan. Dengan data ini terlihat bahwa peranan pekerjaan tambahan memiliki proporsi yang relatif besar yaitu 44,08 %. Informasi adanya peranan pekerjaan tambahan dalam kontribusi pendapatan masyarakat di kelurahan amatan juga tergambar dari kegiatan FGD. Pada Kelurahan Panjang Selatan dan Kota Karang, perikanan dalam hal ini nelayan menjadi salah satu mata pencaharian yang dominan. Ketika kondisi iklim dan cuaca mendukung, maka penghasilan yang diperoleh relatif lebih banyak. Namun, pada kondisi sebaliknya pendapatan yang diperoleh menjadi berkurang. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pendapatan tambahan, warga di Kelurahan Panjang, dan Kota Karang biasanya memiliki alternatif pekerjaan lain. Selain menjadi nelayan, mereka juga kadang menjadi pedagang, tukang becak atau kenek bangunan. Pada kondisi biasa, penghasilan dari melaut dalam satu hari berkisar antara Rp 20.000,00-Rp 30.000,00. Penghasilan menjadi tukang becak, rata-rata Rp 15.000,00 per hari. Sedangkan penghasilan menjadi kenek bangunan sebesar Rp 30.000,00 per hari, namun walaupun besar, pekerjaan menjadi kenek bangunan belum tentu diperoleh setiap hari. 33
Pada Kelurahan Batu Putuk, dengan mayoritas pekerjaan sebagai petani, hasil perkebunan di wilayah ini juga sangat dipengaruhi oleh kondisi alam. Dalam satu tahun tidak selalu tanaman perkebunan bisa menghasilkan. Bila sedang berhasil, rata-rata produksi kopi pertahun dapat mencapai lima kuintal sedangkan hasil panen coklat dapat mencapai empat kuintal, yang dijual per periode. Namun ada kalanya mengalami paceklik atau gagal panen. Oleh karena itu, selain menanam tanaman perkebunan, masyarakat juga memanfaatkan lahannya untuk tanaman hortikultura seperti sayuran dan buah-buahan. Tanaman hortiklutrura ini dipilih karena memiliki daur yang lebih pendek dibandingkan dengan tanaman perkebunan, dengan alasan sambil menunggu tanaman perkebunan menghasilkan, kebutuhan hidup dapat dibantu dari hasil sayuran dan buah-buahan. Untuk mendapatkan tambahan pendapatan, selain bekerja pada lahan sendiri, kadang warga juga bekerja pada lahan orang lain. Dari sebaran data terlihat bahwa rata-rata pendapatan rumah warga di Kelurahan Sukabumi Indah relatif lebih besar dibandingkan dengan kelurahan lainnya. Dengan demikian kelurahan ini bisa dikatakan relatif lebih sejahtera dibandingkan kelurahan lainnya. Hal ini diperkuat dengan infomasi bahwa pada kelurahan ini masyarakatnya memiliki aset rumah tangga yang lebih banyak dibandingkan dengan kelurahan lainnya.
Gambar 2.11. Distribusi Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Berdasarkan Pendapatan Tetap dan Pendapatan Tambahan pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung Tahun 2009 D. Pengeluaran Keadaan ekonomi suatu keluarga dapat dikatakan seimbang apabila jumlah pengeluaran sama besar dengan jumlah pendapatan yang dimiliki. Namun, berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada kelurahan amatan, terlihat bahwa cukup banyak keluarga yang memiliki jumlah pengeluaran dengan pemasukan yang tidak seimbang, oleh karena itu untuk dapat bertahan hidup sebagian warga melakukan peminjaman atau berhutang (‘tutup lubang, gali lubang’) ke pihak lain.
34
Tabel 2-15. Pengeluaran Masyarakat pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %) Pengeluaran (Rp)
0-500.000 500.001-1.000.000 1.000.001-2.000.000 > 2.000.001
Panjan g Selatan
Pasir Gintun g
Kota Karang
Batu Putu k
Sukabum i Indah
Kangkun g
12,5 45 40 2,5
8 28 44 20
8,9 35,7 39,3 16,1
15 52,5 30 2,5
3,2 12,9 45,2 38,7
5,1 33,3 38,5 23,1
Umumnya warga melakukan pinjaman uang dari tetangga, agen atau pada bank keliling (rentenir). Pinjaman yang berasal dari tetangga biasanya tidak dikenai bunga, namun karena kondisi ekonomi warga relatif hampir sama, tetangga yang dapat memberikan pinjaman jumlahnya relatif terbatas. Pak Jumaidi, 48 tahun, adalah warga Batu Putu, Ia berprofesi sebagai petani coklat, sekaligus sebagai pedagang pengumpul di kelurahannya. Tetangga sekitar menjual coklat kepadanya, yang kemudian dijualnya ke penampung di kota. Jika sedang kepepet tidak punya uang, warga sekitar biasanya meminjam uang kepada Pak Jumaidi, dan akan dibayar dengan hasil coklatnya. Pak Jumaidi tidak membebankan bunga, namun dalam memberikan pinjaman, beliau juga melihat kondisi calon peminjam. Biasanya yang diberikan pinjaman adalah warga yang sudah memiliki hasil panen coklat, namun sedang di jemur, sehingga pinjamannya dapat segera dikembalikan segera setelah coklat warga mengering. Sumber: FGD di Kelurahan Batu Putu, 2009 Alternatif lain dari warga untuk mendapatkan dana adalah melakukan pinjaman kepada agen atau warung, seperti yang dilakukan oleh beberapa warga di kelurahan pesisir yang akan pergi melaut. Pinjaman tersebut biasanya dikembalikan setelah warga kembali dari melaut dan hasil tangkapan ikan telah terjual. Selain itu pinjaman kepada bank keliling (rentenir) juga sering dilakukan oleh sebagian warga. Berbeda dengan pinjaman kepada tetangga yang tanpa bunga, bank keliling mengenakan bunga pinjaman yang cukup besar, yaitu mencapai 20 persen. Namun warga tetap melakukan pinjaman kepada bank keliling (rentenir) dibandingkan dengan pinjaman kepada lembaga perbankan. Alasan yang dikemukakan adalah karena kondisi yang terdesak serta terdapat beberapa kelebihan dari bank keliling dibandingkan dengan lembaga perbankan. Kelebihan tersebut antara lain: prosedur pinjaman relatif lebih cepat, tidak perlu adanya agunan, pembayaran dapat dilakukan dengan cara mencicil, dan umumnya para bank keliling tersebut yang aktif datang menghampiri warga. E. Kepemilikan Tempat Tinggal dan Aset Informasi mengenai kepemilikan tempat tinggal dan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah.
aset
dapat
35
Kepemilikan bangunan dan lahan Secara umum tempat tinggal yang dihuni warga berstatus hak milik, sewa atau bergabung dengan rumah saudara atau orang tua. Dari rumah yang berstatus hak milik maka terlihat rata-rata luas bangunan dan tanah yang dimiliki masyarakat pada kelurahan amatan di Bandar Lampung seperti terlihat pada Tabel 2-16. Tabel 2-16. Rata-rata Luas Bangunan dan Luas Tanah Masyarakat pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Wilayah/ Kelurahan Non Pesisir Batu Putu Pasir Gintung Sukabumi Indah Sub Total Total Pesisir Kangkung Kota Karang Panjang Selatan Sub Total Total Grand Total
Rata-rata Luas Bangunan (m2)
Rata-rata Luas Tanah (m2)
58,33 60,66 97,63 69,36
324,23 92,02 115,44 174,78
44,65 67,12 47,23 54,73 61,65
45,60 94,85 55,03 68,82 118,91
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata kepemilikan rumah masyarakat adalah sebanyak 61,65 m2 untuk luas bangunan, dan 118,91 m2 untuk luas tanah. Rumah dengan luas tanah dan luas bangunan seperti itu cukup untuk sebuah keluarga yang beranggotakan sebanyak 4-5 orang/keluarga. Jika ukuran rumah dianggap mencerminkan pandangan umum tentang kesejahteraan warga, maka terlihat bahwa secara umum kesejahteraan warga di wilayah non pesisir lebih besar daripada warga di wilayah pesisir. Rata-rata luas bangunan/tanah di wilayah non pesisir adalah 69,36/174,78 m2, sedangkan di wilayah pesisir rata-ratanya 54,73/68,82 m2. Berdasarkan hasil FGD dan observasi di lapangan, pemukiman masyarakat di Kelurahan Panjang Selatan terlihat padat dan tidak teratur. Pada lokasi tertentu, banyak warga yang membangun rumahnya pada lahan ‘di atas laut’ dengan alasan keterbatasan lahan di darat. Ketinggian pondasi rumah sengaja dibuat lebih dari satu meter, yang ditujukan agar saat terjadi pasang laut, air laut tidak masuk ke dalam rumah. Demikian juga pada Kelurahan Kota Karang, pada beberapa lokasi terlihat cukup banyak warga yang menempati rumah dengan lahan ‘di atas laut’. Berdasarkan informasi dari warga, lokasi rumah yang ditempati warga di RT 8 sampai dengan RT 14 sebagian besar adalah hasil sewa kepada tuan tanah di Kelurahan Kota Karang, yaitu haji Karya. Biaya sewa per tahun adalah sebesar Rp. 50.000,-. Namun adakalanya, menurut haji Karya, karena tingkat ekonomi yang sulit, warga tidak mampu membayar biaya sewa yang murah tersebut. Jika dilihat lagi, maka warga di wilayah non pesisir yang memiliki kesejahteraan relatif tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, adalah masyarakat di wilayah Sukabumi Indah. Hal ini disebabkan di wilayah ini, sebagian besar masyarakat bertempat tinggal di lokasi komplek perumahan, dan karena berada di 36
perkotaan tanah di lokasi ini memiliki harga yang relatif tinggi dibandingkan dengan nilai tanah di wilayah lainnya. Jika dihubungkan dengan bencana, salah satu bagian rumah yang sangat penting untuk diperhatikan adalah bagian dinding rumah. Belajar dari kasus bencana gempa di Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009, maka sebagian besar rumah yang hancur di wilayah beberapa wilayah seperti di Pangalengan (Kabupaten Bandung), Cikelet (Kab Garut) Cibinong (Kab Cianjur), terbuat dari dinding tembok semen, sementara itu rumah yang dindingnya terbuat dari kayu atau bambu relatif lebih kuat terhadap gempa. Walaupun secara umum, biaya untuk membuat dinding tembok semen relatif lebih mahal daripada biaya untuk membuat rumah dari dinding kayu/bambu, akan tetapi dari segi ketahanan terhadap bencana gempa, maka rumah dinding kayu/bambu relatif lebih kuat. Terdapat kecenderungan, semakin sejahtera orang atau semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka semakin besar peluang orang untuk membuat rumah yang lebih layak. Terdapat kecenderungan dari tahun ke tahun, bahwa rumah yang layak adalah rumah yang terbuat dari dinding tembok semen. Sehingga seringkali perbedaan ini dijadikan sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kesejahteraan satu rumah tangga. Dengan memahami konteks ini, terlihat bahwa wilayah non pesisir dibandingkan dengan wilayah pesisir memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif tinggi dilihat dari keragaan luas bangunan dan tanahnya relatif luas dan rumahnya yang sebagian besar terbuat dari dinding, akan tetapi dari sisi ketahanan terhadap bencana gempa, maka wilayah pesisir, relatif lebih memiliki ketahanan dibandingan dengan wilayah non pesisir. Berdasarkan Tabel II-17. Terlihat bahwa di wilayah non pesisir jumlah rumah yang dindingnya terbuat dari tembok semen sebanyak 77,39 persen. Sedangkan di wilayah pesisir jumlahnya relatif sedikit yaitu 50,39 persen. Fakta ini mencerminkan bahwa baik disengaja maupun tidak disengaja masyarakat di pesisir sebagian besar sudah menyesuaikan keadaan rumahnya dengan kondisi alam sekitarnya. Mereka mengetahui bahwa gempa relatif sering terjadi di wilayah pesisir, sehingga sebagian besar mereka membangunnya dengan dinding yang terbuat dari kayu/bambu. Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Zabir, 63 tahun, sesepuh masyarakat di Kelurahan Kota Karang, terungkap bahwa mayoritas warga Kota Karang adalah suku Bugis. Pada wilayah tersebut banyak warga memiliki rumah terbuat dari kayu berbentuk rumah panggung. Rumah panggung kayu, memang merupakan rumah ciri khas suku Bugis dan Lampung. Selain menjadi identitas budaya, rumah panggung juga merupakan bentuk rumah yang dianggap paling sesuai dengan kondisi wilayah Kelurahan Kota Karang yang pada umumnya berawa. Menurut bapak Zabir, bila dahulu jenis rumah dengan dinding kayu bisa menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga, maka tidak demikian halnya untuk saat ini. Mahalnya harga kayu menyebabkan biaya pembuatan rumah kayu hampir setara dengan membuat rumah permanen dari tembok semen. Dengan demikian pada saat ini pengelompokan keluarga sejahtera / kurang sejahtera tidak dapat hanya dengan berdasarkan kepemilikan jenis dinding rumah saja.
37
Tabel 2-17. Jenis Dinding Rumah Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung Tahun 2009 (dalam %) Wilayah / Kelurahan Non Pesisir Batu Putu Pasir Gintung Sukabumi Indah Sub Total Pesisir Kangkung Kota Karang Panjang Selatan Sub Total
Tembok Semen
Kayu/Bambu
Grand Total
20,87 30,43 26,09 77,39
13,91 7,83 0,87 22,61
34,78 38,26 26,96 100,00
11,81 22,83 15,75 50,39
17,32 19,69 12,60 49,61
29,13 42,52 28,35 100,00
Kepemilikan Aset Selain untuk rumah, pendapatan yang diperoleh masing-masing keluarga dialokasikan juga untuk keperluan belanja investasi keperluan sehari-hari seperti kendaraan, peralatan elektronik dan lain sebagainya. Berikut ini disampaikan Tabel II-18. yang berisikan mengenai kepemilikan aset keluarga berupa aset rumah tangga, telekomunikasi dan kendaraan. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat secara umum peralatan keluarga yang banyak dimiliki oleh masyarakat adalah TV, HP dan kompor gas. Untuk ketiga jenis benda tersebut, dapat dikatakan bahwa hampir semua masyarakat di Lampung memilikinya. Keberadaan TV di non pesisir lebih banyak daripada di pesisir. Di wilayah non pesisir, khususnya masyarakat di Sukabumi Indah semuanya sudah memiliki TV, bahkan terdapat beberapa rumah tangga masyarakat yang memiliki lebih dari satu TV. Sedangkan di wilayah lainnya, walaupun tidak semua memiliki TV, tapi sebagian besar masyarakat sudah memilikinya. Dengan demikian keberadaan TV seharusnya dapat dijadikan sebagai sarana yang efektif untuk menyebarluaskan informasi mengenai bencana, terutama dalam rangka penanggulangan bencana.
38
Tabel 2-18. Indeks Kepemilikan Aset Rumah Tangga Masyarakat Pada Kelurahan Amatan di Lampung Tahun 2009 (dalam %) Wilayah/ Kelurahan
Non Pesisir Batu Putu Pasir Gintung Sukabumi Indah Sub Total Pesisir Kangkung Kota Karang Panjang Selatan Sub Total Grand Total
Total Res (N)
Peralatan Rumah Tangga TV
Mesin Cuci
Kul kas
Kompor Gas
AC
Kipas Angin
Pom pa Air
Komunikas i Tele HP pon
40 50 31
33 46 40
0 1 12
1 10 23
21 56 34
0 0 6
5 23 33
0 7 14
2 3 7
121
119
13
34
111
6
61
21
12
39 56 40
26 52 33
1 1 0
0 8 3
41 57 40
0 0 0
12 32 20
5 33 9
0 1 1
135 256
111 230
2 15
11 45
138 249
0 6
64 125
47 68
2 14
Kendaraan Sepeda
Motor
Mobil
20 44 71
3 13 17
27 21 35
1 0 12
135
33
83
13
22 36 12
8 20 20
6 19 2
0 1 0
70 205
48 81
27 110
1 14
Diantara alat komunikasi, kepemilikan telepon ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan kepemilikan handphone. Dengan dukungan infrastruktur dan banyaknya persaingan di industri telekomunikasi seluler, mengakibatkan handphone merupakan alat komunikasi yang relatif mudah dan murah bagi masyarakat. Walaupun tidak semua masyarakat memilikinya, dapat dikatakan lebih dari 80 persen masyarakat di tiap wilayah telah memiliki alat komunikasi handphone. Bahkan secara khusus di wilayah Sukabumi Indah, rata-rata tiap rumah tangga memiliki HP lebih dari 2. Melalui Hp ini komunikasi antar masyarakat menjadi lebih mudah. Jika terdapat bencana di suatu wilayah, masyarakat di wilayah lainnya relatif dengan mudah mendapatkan informasi mengenai keberadaan keluargannya yang terkena bencana. Peralatan lainnya yang dimiliki masyarakat adalah kompor gas. Dengan adanya program kompensasi minyak tanah ke gas, kompor gas menjadi peralatan yang penting dimiliki oleh warga. Akan tetapi bagi mereka yang tidak mengandalkan bahan bakarnya pada gas dan minyak tanah, maka peralatan masaknya terbuat dari tungku dengan kayu bakar sebagai bahan bakarnya. Hal ini terjadi di Kelurahan Batu Putu. Jenis kendaraan yang paling banyak adalah motor, penggunaan motor lebih banyak di non pesisir dibandingkan dengan pesisir, hal ini disebabkan motor merupakan sarana transportasi antar daerah yang realtif murah. Terlebih bagi daerah yang tidak setiap saat dilalui oleh kendaraan umum. F. Akses Pada Lembaga Pembiayaan Pada dasarnya masyarakat kurang mampu atau golongan ekonomi lemah, lebih memerlukan perlindungan keuangan maupun asetnya, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang dari setiap musibah yang terjadi. Namun, karena keterbatasan kemampuan ekonomi; mereka kesulitan mendapatkan akses ke lembaga keuangan seperti perbankan maupun asuransi. Akses masyarakat pada kelurahan amatan di Bandar Lampung terhadap lembaga perbankan relatif besar, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2-19, secara umum akses terhadap perbankan lebih besar daripada asuransi. 39
Tabel 2-19. Akses Masyarakat Terhadap Perbankan dan Asuransi Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (dalam %) Wilayah/ Kelurahan Non Pesisir Batu Putu Pasir Gintung Sukabumi Indah Pesisir Kangkung Kota Karang Panjang Selatan Non Pesisir Pesisir Grand Total
Akses Terhadap Perbankan
Akses Terhadap Asuransi
12,50 60,00 48,39
2,50 20,00 25,81
71,79 51,79 82,50 41,32 66,67 54,69
25,64 8,93 32,50 15,70 20,74 18,36
Terdapat hubungan antara akses terhadap perbankan dengan akses terhadap asuransi. Walaupun persentase akses terhadap asuransi relatif kecil, akan tetapi nilai tersebut relatif besar terjadi di wilayah-wilayah yang memiliki akses tinggi terhadap perbankan. Makin tinggi akses terhadap perbankan, makin tinggi juga akses terhadap asuransi. Tabel 2-20.memperlihatkan besaran rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk cicilan, tabungan dan asuransi. Tabel 2-20. Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Untuk Cicilan, Tabungan dan Asuransi ada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 (Rupiah/bulan)
Wilayah/ Kelurahan Non Pesisir Batu Putu Pasir Gintung Sukabumi Indah Pesisir Kangkung Kota Karang Panjang Selatan Grand Total
Jumlah Res (N)
Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Perbulan Untuk Cicilan, Tabungan dan Asuransi Cicilan Kredit %N Tabungan %N Asuransi %N
121 40
428.128,97 156.800,00
34,71% 25,00%
250.625,00 32.666,67
13,22% 7,50%
217.000,00
4,13%
50
350.611,11
36,00%
372.750,00
16,00%
200.000,00
2,00%
31 135 39
721.601,19 287.191,49 366.687,50
45,16% 34,81% 41,03%
186.000,00 176.190,48 150.000,00
16,13% 15,56% 15,38%
221.250,00 136.500,00
12,90% 4,44%
56
263.125,00
42,86%
194.166,67
21,43%
245.000,00
3,57%
40
188.000,00
17,50%
156.666,67
7,50%
82.250,00
10,00%
256
353.701,31
34,77%
208.378,38
14,45%
173.090,91
4,30%
Mekanisme pembayaran kredit dan tabungan biasanya menggunakan lembaga perbankan. Jumlah yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk cicilan sebesar Rp 353.701,33/bulan, sedangkan untuk tabungan rata-rata sebesar Rp 208.378,38/bulan, dan untuk asuransi sebesar Rp 173.090,91/bulan.
40
BAB 3 KONDISI IKLIM HISTORIS DI BANDAR LAMPUNG
3.1.
Kondisi Iklim dan Cuaca Ekstrim
3.1.1. Pengaruh ENSO dan IOD terhadap variabilitas curah hujan di Bandar Lampung Tabel 3-1. Koefisien korelasi antara curah hujan musiman di Bandar Lampung dengan DMI dan dengan anomali SST Nino 3.4
Karena kejadian iklim ekstrim di Indonesia sangat terkait dengan fenomena iklim berskala besar seperti El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) (misalnya Boer & Faqih 2004; Faqih 2004; Haylock & McBride 2001; Hendon 2003 ; Kirono et al. 1999; Saji et al. 1999), studi ini menganalisis dampaknya terhadap variabilitas curah hujan di Bandar Lampung. Hubungan dari kedua fenomena tersebut dengan curah hujan musiman diperlihatkan pada Tabel 31. Tabel tersebut menunjukkan bahwa korelasi indeks ENSO (anomali suhu permukaan laut (SPL) Nino-3.4) dan indeks IOD (Dipole Mode Index, DMI) masingmasing dengan curah hujan nampak signifikan selama musim kemarau (JJA) dan musim transisi (SON). Hal ini menunjukkan kemungkinan terjadinya musim kering yang berkepanjangan dan penundaan awal musim hujan khususnya selama terjadinya episode ENSO hangat (El Nino). Dampak ini akan semakin diperkuat jika disertai dengan kejadian IOD positif. Studi ini menunjukkan bahwa curah hujan di kedua musim (JJA dan SON) lebih dipengaruhi oleh keragaman IOD dibandingkan ENSO. Ini ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi yang lebih besar antara curah hujan dengan DMI dibandingkan dengan indeks Nino-3.4. Pengaruh IOD yang lebih kuat terhadap keragaman curah hujan di Lampung dikarenakan letak geografisnya yang berada di Pulau Sumatra. Beberapa studi telah menunjukkan relatif lebih lemahnya pengaruh ENSO terhadap curah hujan di Sumatera. Penyebabnya ialah dominasi pengaruh lokal akibat kondisi pegunungan di sepanjang sisi barat Sumatra, dan juga adanya sirkulasi aliran udara lintas khatulistiwa yang mempengaruhi keragaman curah hujan, yang berbeda dari sirkulasi yang terkait dengan ENSO (Chang et al . 2004). Selain itu, beberapa studi menemukan adanya pengaruh kuat IOD terhadap keragaman curah hujan di barat Indonesia termasuk Sumatera (misal: Saji et al. 1999). Walaupun korelasi antara curah hujan dan indeks ENSO lebih rendah dari IOD, untuk kondisi tertentu dampak ENSO akan cukup signifikan di Lampung. Sebagai contoh dapat dilihat pada tahun 1996, di mana peristiwa La Nina menyebabkan peningkatan curah hujan yang sangat signifikan, sehingga meningkatkan peluang terjadinya bencana banjir. Di sisi lain, El Nino yang terjadi pada periode tahun 1982-83, 91-92 dan 97-98 berkontribusi terhadap penurunan curah hujan yang menyebabkan tingginya peluang bencana kekeringan. 41
1600 1200 800 400
Mar-97
Mar-91
Mar-85
Mar-79
Mar-73
Mar-67
Mar-61
Mar-55
Mar-49
Mar-43
Mar-37
Mar-31
Mar-25
Mar-19
Mar-13
Mar-07
0 Mar-01
Sesaonal Rainfall (mm) Lampung
2000
Seasonal Time
Gambar 3-1. Plot time series curah musiman di Bandar Lampung. 3.1.2.
Angin ekstrim
Selain dampak keragaman iklim yang menyebabkan kejadian iklim ekstrim, kondisi cuaca ekstrim juga dapat menyebabkan masalah di daerah yang terkena dampak. Pada bagian ini kami mencoba mengidentifikasi kondisi cuaca ekstrim yang disebabkan oleh kecepatan angin ekstrim di Bandar Lampung. Karena keterbatasan data, kami hanya dapat menampilkan hasil pengamatan cuaca harian di satu stasiun, yaitu di Teluk Betung. Berdasarkan catatan data harian kecepatan angin di stasiun periode 1 Januari 1994 sampai 31 Desember 1999, kami tidak menemukan adanya kejadian angin ekstrim yang melebihi ambang batas 60 km/jam. Tentu saja, ini tidak cukup untuk menggambarkan kondisi secara keseluruhan wilayah Bandar Lampung, karena kejadian angin yang tercatat di suatu stasiun cenderung bersifat lokal dan mungkin berbeda secara sangat signifikan dengan stasiun pengamatan yang lain.
Gambar 3-2. Kecepatan angin harian di stasiun pengamatan Teluk Betung, Lampung (periode 1 Januari 1994 - 31 Desember 1999).
42
3.2.
Analisis tren perubahan iklim di kota Bandar Lampung
3.2.1.
Tren curah hujan
Hasil studi menunjukkan bahwa secara global curah hujan di wilayah tropis mengalami tren penurunan khususnya pasca tahun 1970-an (IPCC 2007). Meskipun demikian, tren tersebut bervariasi antar wilayah, terutama dalam tataran lokal. Pada bagian ini kami mempelajari tren spasial curah hujan di Bandar Lampung sebagaimana ditunjukkan pada Gambar III-3. Selain menggunaan data hasil pengamatan, digunakan pula data curah hujan global CRU TS2.0 (Mithcell dan Jones 2005) untuk mempelajari tren dengan rentang waktu yang lebih panjang. Penggunaan dua jenis data ini dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa pemilihan rentang data yang berbeda akan mempengaruhi hasil tren dan hasil uji statistik yang kemungkinan besar juga akan berbeda. Oleh karena itu, dengan menggunakan data yang relatif jauh lebih panjang akan membantu untuk melihat sejauh mana konsistensi tren yang dihasilkan antar data, apalagi jika ingin dikaitkan dengan dampak perubahan iklim. Data CRU TS2.0 memiliki resolusi grid 0.5x0.5 derajat yang meliputi wilayah daratan global selama periode 1901-2002. Untuk analisa data curah hujan di Bandar Lampung, nilai curah hujan Bandar Lampung diekstrak dari data tersebut pada kisaran wilayah 110.25°BT-110.51°BT dan 7.12°LS-6.95°LS (Gambar 3-4).
Gambar 3-3. Pola spasial tren curah hujan musiman di Bandar Lampung. Pola tren spasial curah hujan musiman berdasarkan data hasil pengamatan diperlihatkan pada Gambar 3-3. Gambar tersebut menunjukkan bahwa curah hujan 43
musiman di kota ini mengalami kecenderungan menurun di semua musim. Tren penurunan yang relatif lebih tajam ditunjukkan pada musim MAM dan JJA, sementara di musim lainnya (SON dan DJF) cenderung menurun lebih lambat. Tren penurunan pada akhir abad ke-20 (pasca 1970-an) yang cukup signifikan terjadi pada musim kering (MAM dan JJA) tersebut menandakan terjadinya kenaikan peluang kekeringan di Bandar Lampung pada masa tersebut. Akan tetapi, tren CH yang menurun selama periode yang relatif singkat ini kemungkinan besar bukan disebabkan sebagai akibat dari perubahan iklim, akan tetapi lebih disebabkan adanya pengaruh osilasi keragaman iklim frekuensi rendah terutama yang terjadi di wilayah Samudera Pasifik. Fenomena ini jugaberhubungan dengan meningkatkan frekuensi kejadian ENSO yang mengakibatkan berkurangnya curah hujan di Indonesia, termasuk di Bandar Lampung. Keragaman curah hujan frekuensi rendah yang berperan dalam menentukan tren menurun pada data pengamatan tersebut setelah periode tahun 1970-an dapat dilihat dari plot data pada Gambar III-6. Kemungkinan besar komponen keragaman curah hujan frekuensi rendah tersebut disebabkan oleh pengendali iklim antar-dekadal yang dikenal dengan Interdecadal Pacific Oscillation (IPO, Folland et al. 1999) atau Pacific inter-Decadal Oscillation (PDO, Mantua & Hare 2002; Mantua et al. 1997). Studi ini menunjukkan bahwa tren yang diperoleh dengan menggunakan data CRU TS2.0 yang meiliki rentang data relative lebih panjang, lebih dapat diandalkan untuk menganalisa dampak dari perubahan iklim jangka panjang. Pada Gambar 3-4, terlihat adanya peningkatan tren curah hujan yang cukup tajam selama puncak musim hujan (DJF) dan tren peningkatan yang relative lebih lambat selama periode transisi ke musim kemarau (MAM). Sebaliknya, tren curah hujan selama JJA dan SON menunjukkan tren menurun yang relatif lambat selama abad 20. Hasil ini mengindikasikan bahwa ada kecenderungan terjadinya peningkatan curah hujan dari waktu ke waktu selama musim penghujan (DJF) yang berlanjut di periode transisi MAM. Sedangkan ketika terjadi musim kemarau, terdapat kecenderungan perlahan kondisi yang semakin kering yang di musim kemarau yang sedikit mempengaruhi juga penurunan curah hujan di musim berikutnya (SON). Namun harus diperhatikan bahwa, jika mengacu pada Gambar III-5, terindikasi bahwa penurunan curah hujan yang terjadi pada SON tidak didukung oleh penurunan frekuensi hari hujan pada musim yang sama. Hal ini menunjukkan telah terjadinya banyak hari hujan namun dengan intensitas yang relatif semakin menurun.
44
Gambar 3-4. Tren curah hujan musiman di kota Bandar Lampung (105.15E-105.34E, 5.51S5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0.
Gambar 3-5. Tren frekuensi hari hujan musiman di Bandar Lampung (105.15E-105.34E, 5.51S5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0.
45
Gambar 3-6. Komponen frekuensi rendah dari curah hujan musiman di Bandar Lampung didefinisikan oleh nilai 13-tahun rataan bergerak sederhana (simple moving average). 3.2.2
Tren Suhu
Data suhu rata-rata yang diperoleh dari data CRU TS2.0 untuk Bandar Lampung memperlihatkan tren menaik yang signifikan di setiap musim (Gambar 37). Tren tersebut juga diikuti oleh peningkatan suhu maksimum harian (Gambar 3-8). Namun demikian, pada Gambar 3-9 terlihat adanya penurunan yang signifikan pada data kisaran suhu harian. Hal ini mengindikasikan terjadinya penurunan nilai selisih antara suhu maksimum dan suhu minimum harian, yang berarti bahwa telah terjadi peningkatan suhu minimum dengan tren menaik yang lebih besar dibandingkan dengan ten suhu maksimu harian. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan suhu harian yang semakin tinggi dari waktu ke waktu. Tentunya hal ini akan sangat berpengaruh pada berbagai sektor, khususnya di kota Bandar Lampung, baik itu terkait dengan sektor pertanian, kesehatan maupun sektor lainnya.
46
Gambar 3-7. Trend musiman suhu rata-rata di Bandar Lampung (105.15E-105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0.
Gambar 3-8. Trend musiman suhu maksimum harian di Bandar Lampung (105.15E-105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0.
47
Gambar 3-9. Tren musiman kisaran suhu harian (daily temperature range, DTR) di Bandar Lampung (105.15E-105.34E, 5.51S-5.34S) diekstraksi dari data CRU TS2.0. 3.3. Proyeksi Perubahan Iklim Proyeksi iklim masa depan ditentukan berdasarkan data historis hasil pemodelan menggunakan RegCM3 dan juga data proyeksi luaran 14 GCMs, yang terdiri dari: (i) bccr_bcm2_0, (ii) cccma_cgcm3_1, (iii) cnrm_cm3, (iv) gfdl_cm2_0, (v) gfdl_cm2_1, (vi) giss_model_e_r, (vii) inmcm3_0, (viii) ipsl_cm4, (ix) miroc3_2_medres, ( x) miub_echo_g, (xi) mpi_echam5, (xii) mri_cgcm2_3_2a, (xiii) ukmo_hadcm3, dan (xiv) ukmo_hadgem1. Data luaran GCM tersebut diperoleh dari NIES (National Institute for Environmental Studies; Masutomi, 2009) dan memiliki resolusi horizontal sebesar 1x1 derajat, dengan variabel iklim yang tersedia yaitu curah hujan dan suhu dengan periode 2021 -2030, 2051-2060, dan 2081-2085. Model RegCM3 digunakan untuk menghasilkan data historis curah hujan beresolusi tinggi untuk periode tahun 1958-2001. Karena adanya kesalahan sistematis yang dihasilkan oleh model tersebut, maka diperlukan koreksi data berdasarkan faktor rescaling sehingga sesuai dengan data obserasi (data CRU). Data RegCM3 yang di-rescaling untuk grid-i, tahun-t dan bulan-b (rRegCM3 (i, t, b)) dinyatakan berdasarkan persamaan berikut :
r Re gCM 3(i, t , b) = Re gCM 3(i, t , b) * R(i, t , b) Dimana R(i, t, b) merupakan faktor skala yang dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini :
R(i , t , b) =
CRU (i, t , b) m Re gCM 3(i, t , b)
CRU(i, t, b) adalah data observasi stasiun-i yang terdekat dengan empat grid dari data RegCM3 pada tahun-t dan bulan-b, sedangkan mRegCM3(i, t, b) merupakan 48
nilai rataan curah hujan dari empat grid RegCM3 tersebut. Data kondisi iklim saat ini (baseline) di grid-i untuk bulan-n (rRegCM3 (i, b)) dihitung dari nilai rataan rRegCM3(I, t, b) pada periode 1958-2001: 2001 r Re gCM 3(i, b) = mean{r Re gCM 3(t , i, b)}t =1958 Sehingga kondisi iklim di masa depan berdasarkan luaran GCM yang berbeda dapat diduga dengan menggunakan rumus berikut: F ( s, m, i, t , b) − B( s, m, i, b) pF ( s, m, i, t , b) = r Re gCM 3(i, b) * 1 + B ( s , m, i , b )
pF(s, m, i, t,b) merupakan curah hujan proyeksi dengan skenario emisi-s, model-m, grid-i, tahun-t dan bulan-b. F(s, m, i, t, b) adalah iklim di masa mendatang dari luaran GCM di bawah skenario-s, model-m, grid i, tahun-t dan bulan-b. Kondisi iklim saat ini (baseline) dari luaran GCM pada skenario-s, model-m, grid-i, dan bulan-b dinyatakan dengan B(s, m, i, b). Karena terdapat 14 GCMS dan setiap GCM memiliki dua set iklim di masa mendatang (t1 = 2021-2030 dan t2 = 2051-2060), maka secara keseluruhan terdapat 140 data curah hujan untuk setiap periode waktu. Oleh karena itu, ditentukan peluang curah hujan untuk masa mendatang berdasarkan pola distribusi untuk masing-masing periode tersebut. Skenario emisi yang dipilih untuk studi ini adalah SRESA2 dan SRESB1. Kedua skenario ini dipilih karena keduanya mencerminkan pemahaman dan pengetahuan tentang ketidakpastian yang mendasari dalam emisi. SRESA2 menggambarkan sebuah dunia yang sangat heterogen. Tema yang mendasari adalah kemandirian dan mempertahankan identitas lokal. Fertilitas pola di daerah konvergen sangat lambat, yang menyebabkan terus meningkatnya populasi global. Pembangunan ekonomi terutama berorientasi regional dan pertumbuhan ekonomi per kapita dan perubahan teknologi lebih terfragmentasi dan lambat. SRESB1 menggambarkan sebuah dunia yang konvergen dengan populasi global yang sama pada puncak pertengahan abad dan menurun setelah itu, perubahan yang cepat dalam struktur ekonomi ke arah layanan dan informasi ekonomi, dengan pengurangan intensitas material, dan pengenalan teknologi bersih dan sumber daya yang efisien (IPCC, 2000). Dengan karakteristik ini, SRESA2 akan menyebabkan emisi gas rumah kaca lebih tinggi di masa depan sementara SRESB1 mengarah ke emisi GHG lebih rendah di masa depan. Jadi SRESB1 didefinisikan sebagai skenario kebijakan, sementara SRESA2 sebagai skenario acuan. Berdasarkan dua skenario dijelaskan di atas, dalam 100 tahun ke depan, konsentrasi CO2 di atmosfer pada skenario emisi referensi akan lebih dari dua kali lipat, sementara di bawah skenario kebijakan emisi hanya 1,5 kali kondisi saat ini. Demikian pula untuk gas lainnya (CH4 dan N2O; Tabel 3.2). Konsentrasi SO2, yang merupakan alat hitung efek gas rumah kaca, tidak akan berubah secara signifikan (Tabel 3.3).
49
Tabel 3.2. Konsentrasi Gas (ppmv)
CO2: SRESA2: nilai dugaan terbaik : kisaran SRESB1:nilai dugaan terbaik :kisaran CH4: SRESA2: nilai dugaan terbaik :kisaran SRESB1: nilai dugaan terbaik :kisaran N2O: SRESA2: nilai dugaan terbaik SRESB1: nilai dugaan terbaik
2000 370
2025 440
2050 535
2100 825
370 370
430-450 420
515-555 460
760-890 550
370 1600
410-430 2250
450-470 2850
510-590 4300
1600 1600
2200-2300 2050
2700-3000 2250
3800-4800 2200
1600 316
2000-2100 344
2150-2350 375
2100-2300 452
316
340
360
395
Pada kondisi peningkatan gas rumah kaca, diperkirakan bahwa suhu global akan meningkat secara konsisten sekitar 0,027 0C per tahun, sedangkan permukaan laut meningkat sekitar 0,6 cm per tahun (Tabel 2.4). Catatan sejarah menunjukkan bahwa selama 100 tahun terakhir permukaan laut global telah meningkat antara 0,10-0,25 cm per tahun (Warrick et al., 1996). Tabel 3.3: Suhu (oC) dan Sea Level Rise (cm), mengacu pada tahun 1990
Temperature: SRESA2: Nilai dugaan terbaik : Kisaran SRESB1: Nilai dugaan terbaik : Kisaran Sea Level: SRESA2: Nilai dugaan terbaik : Kisaran SRESB1: Nilai dugaan terbaik : Kisaran
2000 0.2
2025 0.5
2050 1.2
2100 2.9
0.15-0.25 0.2
0.3-0.7 0.7
0.8-1.6 1.1
2.0-4.1 1.9
0.15-0.25 2
0.5-0.9 10
0.7-1.6 21
1.2-2.7 60
0-4.0 2
4.0-20 10
9.0-41 21
25-112 48
0-4.0
4.0-22
9.0-42
18-85
Dalam studi ini dilakukan pendugaan peluang risiko iklim kota Bandar Lampung terkait dengan curah hujan ekstrim pada kondisi iklim saat ini dan masa depan. Curah hujan ekstrim didefinisikan sebagai curah hujan dengan intensitas 50
melebihi ambang batas kritis. Dalam penentuannya, curah hujan ekstrim dibandingkan dengan data bahaya iklim (banjir dan kekeringan). Untuk musim penghujan (DJF), bahaya banjir akan sangat mungkin terjadi jika intensitas curah hujannya melebihi ambang batas kritis. Sedangkan untuk musim kering (JJA), kondisi intensitas hujan yang kurang dari ambang batas kritis akan sangat mungkin menyebabkan kekeringan. Metodologi untuk menentukan batas kritis dijelaskan dalam Bab 6. Gambar 3.10 menunjukkan bahwa di masa mendatang akan terjadi peningkatan peluang terjadinya curah hujan terlampaui melebihi Q3 pada musim basah (DJF), khususnya di daerah pesisir pantai di Bandar Lampung. Sedangkan pada musim kemarau, peluang terjadinya kekeringan yang ditandai dengan nilai curah hujan kurang dari Q3 menunjukkan adanya penurunan terutama di daerah bagian dalam dari Bandar Lampung yang relatif lebih jauh dari wilayah pesisir. Namun demikian, sedikit penurunan peluang resiko kekeringan di masa mendatang juga nampak terjadi di wilayah pesisir. Analisis lebih lanjut berdasarkan metodologi yang lebih disempurnakan mungkin diperlukan untuk menduga kondisi perubahan iklim masa depan di wilayah kota Bandar Lampung. Hal ini bisa didukung dengan pemanfaatan teknik-teknik downscaling (statistik maupun dinamik) dengan predictive skill yang jauh lebih baik khusus untuk wilayah ini.
51
-5.32
-5.32
1.00
DJF-Q3
-5.34
-5.32
1.00
0.90
0.90
-5.36
0.80
-5.36
0.80
0.80
-5.38
-5.38
0.70
-5.38
0.70
0.70
-5.4
-5.4
0.60
-5.4
0.60
0.60
-5.42
-5.42
0.50
-5.42
0.50
0.50
-5.44
-5.44
0.40
-5.44
0.40
0.40
-5.46
-5.46
0.30
-5.46
0.30
0.30
-5.48
-5.48
0.20
-5.48
0.20
0.20
-5.5
-5.5
0.10
-5.5
0.10
0.10
-5.52
-5.52
0.00 105.15
-5.52
0.00 105.2
105.25
105.3
105.15
105.35
0.00 105.2
-5.32
0.90
0.80
0.60
-5.42
0.50
-5.42
0.50
-5.44
0.50
-5.44
0.40
-5.44
0.40
-5.46
0.40
-5.46
0.30
-5.46
0.30
-5.48
0.30
-5.48
0.20
-5.48
0.20
-5.5
0.20
-5.5
0.10
-5.5
0.10
-5.52
0.10
-5.52
0.00
-5.52
0.00 105.3
105.35
105.15
0.00 105.2
Base Line
105.25
105.3
105.35
JJA-Q3
0.90 -5.36
JJA-Q3
1.00
0.80 -5.38
0.70 -5.4
-5.4
0.60
0.60
0.60
-5.42
-5.42
-5.42
0.50
0.50
0.50
-5.44
-5.44
-5.44
0.40
0.40
0.40
-5.46
-5.46
-5.46
0.30
0.30
0.30
-5.48
-5.48
-5.48
0.20
0.20
0.20
-5.5
-5.5
-5.5
0.10
0.10
0.10
-5.52
-5.52
-5.52
0.00
0.00
0.00 105.25
105.3
105.35
105.15
105.2
Base Line
105.25
105.3
105.35
JJA-Q3
-5.34
105.15
-5.34
1.00
-5.36
0.80 -5.38
0.70
0.70 -5.4
-5.4
-5.4
0.60
0.60
0.60
-5.42
-5.42
-5.42
0.50
0.50
0.50
-5.44
-5.44
-5.44
0.40
0.40
0.40
-5.46
-5.46
-5.46
0.30
0.30
0.30
-5.48
-5.48
-5.48
0.20
0.20
0.20
-5.5
-5.5
-5.5
0.10
0.10
0.10
-5.52
-5.52
-5.52
0.00
0.00 105.25
105.3
Base Line
105.35
105.15
JJA-Q3
-5.34
0.80 -5.38
0.70
105.35
0.90
-5.36
0.80 -5.38
105.3
A2 2050 JJA-Q3
0.90
-5.36
105.25
-5.32
1.00
0.90
105.2
105.2
A2 2025 -5.32
-5.32
1.00
JJA-Q3
-5.36
0.70
-5.4
105.35
-5.34
0.80 -5.38
0.70
105.3
0.90
-5.36
0.80 -5.38
105.25
-5.32
1.00 -5.34
0.90
105.2
105.2
B1 2050
-5.32
1.00
105.15
B1 2025
-5.32 -5.34
DJF-Q3
-5.4
0.60
-5.42
1.00 -5.34
0.70
-5.4
0.60
105.35
-5.38
0.70
-5.4
105.3
0.80
-5.38
0.70
105.25
-5.36
0.80
-5.38
105.25
105.2
0.90
-5.36
105.2
105.15
A2 2050 DJF-Q3
-5.34
-5.36
105.15
105.35
-5.32
1.00
DJF-Q3
0.90
105.15
105.3
-5.32
1.00
105.15
105.25
A2 2025
Base Line -5.34
DJF-Q3
-5.34
0.90
-5.36
1.00
DJF-Q3
-5.34
0.00 105.2
105.25
105.3
B1 2025
105.35
105.15
105.2
105.25
105.3
B1 2050
Figure 3-10 Peluang Curah Hujan Lebih dari Q3 pada Musim Hujan (DJF) dan kurang dari Q3 pada Musim Kemarau (JJA) dengan Dua Skenario Emisi
52
105.35
BAB 4 DAMPAK KEJADIAN IKLIM EKSTRIM
4.1.Dampak Biofisik Kota Bandar Lampung termasuk beriklim tropis basah yang mendapat pengaruh dari angin musim (Monsoon Asia) . Suhu udara maksimum rata – rata 30.57oC, suhu minimum 25.34 oC, kelembaban relat if maksimum rata – rata 89.3 % dan minimum 72.3 %, kecepatan angin rata – rata adalah 2.34 km/ jam dan rata evaporasi 3.95 mm/ hari. Curah hujan bervariasi dari 67.2 mm pada bulan September s/d 277.8 mm pada bulan Januari, dengan jumlah curah hujan 2.257 – 2.454 mm/tahun dan hari hujan 76-166 hari/tahun. Curah hujan yang tinggi ( > 100 mm/ bulan ) terjadi selama tujuh bulan mulai bulan November s/ d bulan Mei dan musim kemarau (CH < 100 mm/ bulan ) terjadi selama lima bulan mulai bulan Juni s/d bulan Oktober (Bappeda Pemerintah Kota Bandar Lampung, 2009). Variabilas unsur iklim dapat terjadi terkait dengan fenomena ENSO/El Nino/La Nina, yang dapat dikategorikan sebagai kejadian iklim ekstrem, dengan periodisitas antara 3-6 tahun. Secara musiman, curah hujan yang tinggi pada musim hujan dapat menimbulkan bencana banjir, erosi dan longsor; dan periode kering yang panjang pada musim kemarau dapat menimbulkan bencana kekeringan Dalam Laporan “Studi Mitigasi Bencana Kota Bandar Lampung T.A. 2008” (Bappeda Pemerintah Kota Bandar Lampung, 2009) telah dikaji tentang potensi bencana yang ada di Kota Bandar Lampung. Bencana tersebut dibedakan menjadi kelompok utama yaitu: (1) bencana alam/natural disaster (seperti banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, gerkan tanah, tsunami, angina topan, dan kekeringan) serta (2) bencana yang diakibatkan ulah manusia/man-made disaster (seperti kegagalan teknologi, kebakaran hutan dan lahan, epidemik, wabah penyakit dan KLB, kerusuhan sosial). Kota Bandar Lampung sebagai salah satu kota yang berada diantara pesisir Teluk Lampung dan Kaki Gunung Betung merupakan salah satu kawasan yang rawan terjadi bencana di Provinsi Lampung. Kawasan rawan bencana di Kota Bandar Lampung dipengaruhi oleh struktur bebatuan, tanah, letak geografis, kondisi bentang alam, kepadatan bangunan dan permukiman, keberagamanan etnis, kondisi hidrologi, dan lainnya (Bappeda Pemerintah Kota Bandar Lampung, 2009). Jenis kerawanan yang telah diidentifikasi oleh Bappeda Pemerintah Kota Bandar Lampung (2009) adalah rawan banjir, rawan gelombang pasang, rawan tsunami, rawan gempa bumi, dan rawan kekeringan. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan tersebut, sebagai misal, telah diidentifikasi 42 lokasi banjir di Kota Bandar Lampung. Banjir tersebut disebabkan oleh banjir akibat sungai, banjir bandang, banjir pantai, dan banjir lokal yang terkait dengan berbagai hal antara karena topografi rendah, arus balik pasang pada saat debit aliran besar, penyempitan dan pendangkalan saluran serta kapasitas drainase saluran yang rendah. Dari berbagai bencana tersebut, yang dapat dikategorikan sebagai dampak terkait kejadian iklim ekstrim adalah banjir, kekeringan, tanah longsor, dan angin topan, serta bencana lainnya seperti abrasi, erosi dan sedimentasi. Tabulasi lokasi kejadian/rawan bencana yang telah dilaporkan secara rinci diperlihatkan pada Tabel 4-1. 53
Tabel 4-1. Lokasi Kejadian/Rawan Bencana Di Kota Bandar Lampung No Bencana 1 Banjir
2
Abrasi
3
Angin Kencang
4
Tanah Longsor
Kecamatan Rajabasa Tanjung Senang
Kelurahan Rajabasa Raya, Rajabasa Labuhan Dalam, Tanjung Senang, Way Kandis, Perumnas Way Kandis Telukbetung Utara Kupang Teba, Kupang Raya, Gunung Mas, Gulak Galik, Sumur Putri, Batu Putu Telukbetung Selatan Bumiwaras, Pesawahan, Pecoh Jaya, Kangkung, Sukaraja Telukbetung Barat Kuripan, Bakung, Perwata, Sukamaju, Kota Karang, Keteguhan, N. Olok Gading Panjang Karang Maritim, Way Gubak, Way Laga, Panjang Selatan, Pidada, Panjang Utara, Srengsem Kemiling Kemiling Permai, Beringin Raya Tanjungkarang Pusat Kaliawi, Gotong Royong, Pasir Gintung, Palapa, Kelapa Tiga, Penengahan, Tanjung Karang, Durianpayung Tanjungkarang Timur Campang Raya, Kedamaian Tanjungkarang Barat Segalamider, Sukajawa, Susunanbaru, Sukadanaham Kedaton Perum Way Halim Sukarame Sukarame Sukabumi T. Baru Panjang Serengsem Telukbetung Selatan Telukbetung Barat Sukamaju Tanjung Senang Way Kandis Telukbetung Selatan Kedaton Panjang Pidada Sumber: Dokumen Rencana Strategis dan Rencana Aksi Daerah Mitigasi Bencana_ Kota Bandar Lampung tahun 2009-2013
Menurut hasil survai terhadap dampak pada sektor, kejadian bencana banjir memberikan dampak yang paling besar pada sektor kesehatan, dan kemudian diikuti oleh sektor air minum, pemukiman, perikanan, dan pekerjaan umum (rusaknya sarana drainase dan infrastuktur lainnya). Sementara untuk kejadian bencana kekeringan, sektor yang paling terkena dampak ialah sektor air minum, kesehatan dan pertanian. Kesulitan air minum meningkat baik pada terjadi musim kemarau panjang (43% warga) maupun banjir (19% warga). Sumber air minum umumnya berasal dari PDAM (53% warga), kemudian air tanah atau sumur (38% warga), air permukaan/air sungai (8% warga), dan sisanya dari air hujan (1% warga). Jumlah penyakit dirasakan meningkat pada waktu bencana, khususnya ada waktu terjadi banjir (34% warga) dan kemarau (22% warga). 54
4.2. Dampak Umum dari Kejadian Iklim Ekstrim Dampak yang dirasakan akibat terjadinya bencana tentu tidaklah sama. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi lokasi tersebut. Antara wilayah pesisir dan non pesisir akan merasakan dampak yang berbeda. Dampak secara umum adalah sebagai berikut:
Wilayah Pesisir Pada wilayah pesisir, potensi bencana terbesar adalah banjir karena pasang atau rob dan abrasi. Banjir besar sudah tidak pernah terjadi lagi. Hanya saja pasang masih kerap terjadi, namun hanya sampai di pondasi rumah saja, tidak sampai memasuki rumah warga. Selama ini, warga mengaku tidak terlalu terganggu oleh pasang. Ketika terjadi pasang warga tetap dapat melaksanakan aktifitasnya. Pada kondisi pasang, warga mengaku electricity tidak terganggu, listrik masih tetap menyala dan dapat dipergunakan. Begitu pula halnya dengan transportasi yang juga tidak terlalu terganggu. Jalan di pemukiman warga hanya sedikit tergenang (becek) dan sulit terlihat, namun masih tetap dapat dilalui. Hanya saja, jika tidak berhati-hati ketika berjalan, dapat menyebabkan terpeleset dan terjatuh. Kegiatan pendidikan juga tidak mengalami gangguan. Anak-anak sekolah biasanya tetap masuk. Hanya saja terjadi sedikit perubahan kebiasaan. Biasanya mereka menggunakan sepatu dari rumah, tetapi kali ini karena jalan tergenang air, anak-anak membawa (membungkus) sepatu terlebih dahulu, dan baru menggunakannya ketika jalan sudah tidak becek lagi. Atau jika genangan air agak tinggi, biasanya celana dilipat dahulu agar tidak terkena air. Hal ini sudah biasa dihadapi oleh warga, sehingga warga mengaku tidak terlalu terganggu. Baik pada Kota Karang maupun Panjang Selatan, banjir dan pasang menyebabkan sampah menumpuk di sekitar pemukiman warga. Karena itu agar penumpukan sampah ini tidak menyebabkan bau yang tidak enak dan penyakit, masing-masing warga membersihkan rumahnya dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan upaya untuk mengantisipasi terjadinya abrasi, berdasarkan hasil in depth interview, terungkap bahwa warga memerlukan bantuan bibit bakau. Selain itu, warga juga sangat mengharapkan pemerintah membuatkan pondasi jalan penghubung antar rumah warga. Baik pada kondisi normal maupun kondisi paska bencana, pemenuhan air bersih tetap diperoleh dengan cara mengambil dari sumur bor dan membeli. Pemenuhan air bersih tidak mengalami hambatan, masih tetap sama dengan kondisi normal. Dimana untuk keperluan minum warga biasanya memenuhinya dengan membeli air galon isi ulang. Untuk keperluan mencuci dan mandi warga menggunakan air sumur bor, sedangkan untuk memasak menggunakan air jirigen.
Wilayah Non Pesisir Bencana yang rawan terjadi di Pasir Gintung adalah banjir karena hujan. Hal ini disebabkan karena lokasinya yang berdekatan dengan sungai dan pasar. Sampah dan limbah pasar sering dibuang ke sungai, sehingga menyebabkan pendangkalan sungai dan penyerapan kurang berjalan dengan baik. Banjir terparah terjadi pada tahun 2008, hal ini disebabkan karena salah satu saluran pembuangan sedang dilakukan perbaikan. Banjir saat itu mencapai lebih dari satu meter, bahkan pada 55
wilayah tertentu yang letaknya rendah, hampir mencapai atap rumah warga. Banjir ini hanya berlangsung satu hari, sehingga tidak terlalu mengganggu aktifitas warga. Pada saat banjir, listrik sengaja dipadamkan untuk mencegah tersengat aliran listrik. Pemenuhan air bersih dibantu oleh PDAM secara gratis. Sementara itu kondisi jalan hanya terganggu saat air tergenang, setelah air surut, jalan dapat dilalui seperti biasa. Paska terjadi banjir, sampah biasanya berserakan. Oleh karena itu, biasanya warga secara swadaya bergotong royong untuk membersihkannya. Antara pria dan wanita saling bahu membahu membersihkan rumahnya, dengan pembagian tugas untuk pria pekerjaan yang lebih berat dibanding wanita. Pada Kelurahan Batu Putuk, bencana yang biasa terjadi adalah kekeringan dan angin kencang. Bencana kekeringan di wilayah ini menurut persepsi warga antara lain disebabkan oleh keberadaan beberapa perusahaan air minum. Kegiatan pengeborannya berdampak pada berkurangnya debit air di wilayah ini, namun jika dilihat dari mutu air masih tetap sama. Kekeringan ini juga berdampak pada hasil pertanian. Jika dibandingkan dengan kondisi dahulu, hasil kebun seperti coklat dan durian mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan kondisi alam dalam hal ini ketersediaan air di Batu Putuk. Akibat dari bencana kekeringan adalah ketersediaan air yang mulai berkurang, namun tetap masih mencukupi kebutuhan warga meskipun harus melakukan penghematan. Berdasarkan hasil FGD dengan warga Kelurahan Batu Putuk, diperoleh informasi dari warga bahwa langkah mengatasi kekurangan air tersebut adalah dengan mencari atau membuka mata air baru. Langkah lainnya adalah dengan bersiap-siap memiliki penampungan air atau mengambil air di masjid. Jika dibiarkan berkepanjangan, kekeringan dapat memicu munculnya penyakit. Sementara itu, bencana angin kencang biasanya terjadi pada bulan 12. Hampir setiap tahun angin kencang terjadi di wilayah ini. Berdasarkan pengetahuan masyarakat, tanda-tanda terjadinya bencana ini adalah terdengar suara gemuruh. Jika telah mendengar suara itu, warga bersiap-siap keluar rumah untuk mencari lokasi yang lapang agar terhindar dari benda-benda yang berjatuhan akibat angin kencang ini. Jika terjadi angin kencang biasanya banyak pohon yang tumbang dan genting berjatuhan. Selain itu dampak terhadap tanaman pertanian adalah rontoknya bakal buah sebelum waktu pemanenan. Namun, salah satu keuntungannya adalah tersedia banyak kayu bakar yang berasal dari ranting-ranting yang berjatuhan. Baik bencana kekeringan maupun angin kencang, keduanya tidak terlalu mengganggu aktifitas warga Batu Putuk. Pada kondisi ini, warga mengaku electricity tidak terganggu, listrik masih tetap menyala dan dapat dipergunakan. Begitu pula halnya dengan transportasi yang juga tidak terlalu terganggu. Jalan di pemukiman warga hanya terhalang oleh pohon dan ranting yang berjatuhan, namun masih tetap dapat dilalui. Biasanya setelah terjadinya angin kencang warga secara swadaya membersihkan lingkungannya agar aktifitas warga segera dapat berjalan normal kembali. Kegiatan pendidikan juga tidak mengalami gangguan. Anak-anak masih tetap dapat sekolah seperti biasa.
56
4.3.Dampak Sosial Ekonomi dari Kejadian Iklim Ekstrim A.
Dampak Sosial
Terjadinya kejadian iklim ekstrim yang mengakibatkan bencana banjir atau bencana kekeringan secara tidak langsung memiliki potensi untuk mengubah tatanan nilai-nilai sosial masyarakat. Untuk mendapatkan gambaran mengenai besarnya dampak sosial akibat terjadinya bencana di Kota Bandar Lampung dilihat dari perilaku gotong royong atau kekerabatan warga dalam menanggung masalahmasalah yang terjadi pada masyarakat; hubungan kerja; pola transaksi produksi serta nilai sosial lainnya. Secara sederhana hubungan kerja patron-klien menggambarkan hubungan dua pihak antara individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) yang memberikan keuntungan berdasarkan sumber-sumber yang dimilikinya bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (klien). Berdasarkan hasil survey terlihat bahwa hubungan gotong royong dan kekerabatan pada masyarakat di kelurahan amatan masih berjalan dengan baik. Hal ini tercermin dari pendapat warga mengenai bantuan yang diberikan saudara dan anggota masyarakat lainnya disaat terjadi bencana. Saudara dan anggota masyarakat lainnya yang dimaksud disini adalah saudara dan anggota masyarakat yang tidak terkena bencana, sehingga dengan berbagai status sosial yang ada, mereka bisa memberikan bantuan kepada korban bencana.
Gambar 4-1. Bantuan dari Saudara dan Masyarakat Lainnya di saat Bencana Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Jika membandingkan angka-angka bantuan dari saudara dan masyarakat, tampak bantuan yang terima dari saudara relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bantuan dari masyarakat. Misalnya di daerah pesisir bantuan yang diterima dari saudara sebesar 25,19 persen (dari total warga wilayah pesisir), sedangkan bantuan dari masyarakat lainnya sebanyak 22,96 persen. Pola yang sama terlihat di wilayah non pesisir. Dari data terlihat bantuan dari masyarakat lebih banyak di wilayah pesisir daripada wilayah non pesisir. Lebih besarnya bantuan masyarakat di wilayah pesisir ini didukung oleh hasil FGD di Kelurahan Kota karang dan Panjang Selatan. Masyarakat menyatakan bahwa ketika terjadi bencana upaya pertama yang akan dihubungi adalah tetangga (masyarakat). Tetangga adalah pihak yang memiliki
57
lokasi tempat tinggal terdekat, sehingga diharapkan dapat memberikan pertolongan dalam waktu yang relatif lebih cepat. Dari informasi di atas terungkap fakta bahwa adanya bencana tidak menyebabkan perilaku gotong royong di masyarakat menjadi melemah, bahkan pada beberapa kelurahan amatan menjadi semakin kuat. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya kondisi ekonomi masyarakat yang relatif merata, sehingga saat terkena bencana mereka merasakan penderitaan yang juga sama besar. Pada Kelurahan Panjang Selatan, upaya pertama yang dilakukan masyarakat jika terjadi bencana adalah bersama-sama dengan keluarga dan tetangga mendiskusikan solusi permasalahan yang ada. Setelah itu melaporkan kepada RT setempat. Secara swadaya warga akan berusaha mengatasi masalah bersama, seperti gotong royong membersihkan wilayah mereka setelah terjadi banjir. Di wilayah non pesisir terdapat satu kelurahan yang memiliki tingkat bantuan dari masyarakat relatif tinggi dibandingkan dua kelurahan lainnya, yaitu Kelurahan Pasir Gintung. Dari hasil wawancara dengan ketua lingkungan setempat terungkap bahwa besarnya bantuan dari masyarakat antara lain disebabkan oleh banyaknya paguyuban yang ada pada wilayah ini. Dengan adanya kelompok-kelompok paguyuban tersebut, maka tingkat kegotong royongan dan kekerabatan masyarakat menjadi tinggi, terutama saat terjadi bencana. Bencana yang sering terjadi di Kelurahan Pasir Gintung adalah banjir. Perilaku gotong royong dan kekerabatan tidak hanya muncul saat terjadi bencana banjir, masyarakat juga saling membantu dalam bencana lokal seperti kematian, rumah roboh atau musibah lainnya. Hasil FGD menyatakan bahwa masyarakat di semua kelurahan memiliki atau mengadakan iuran bulanan untuk kematian sebesar Rp 1500,- hingga Rp 2000,- perbulan. Selain saat bencana, tolong menolong menolong warga juga terjadi pada saat terjadi hajatan atau pesta, seperti pesta perkawinan. Berdasarkan gambaran diatas, maka dapat disimpulkan bahwa wilayah yang relatif memiliki kohesivitas sosial yang tinggi di saat bencana adalah Kelurahan Pasir Gintung, Panjang Selatan dan Kota Karang. Warga di ketiga wilayah ini menilai bantuan dari saudara dan masyarakat di saat bencana relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Yang kedua, keberadaan nilai-nilai sosial masyarakat juga dapat dilihat dari keberadaan hubungan kerja patron-klien yang dahulu menjadi bagian dalam kehidupan sosial masyarakat pesisir. Pada Kelurahan Kota Karang hubungan patronklien saat ini digambarkan sebagai berikut: “.... sekitar tahun 80-an pekerjaan nelayan sangat menjanjikan. Pada waktu itu banyak warga yang menjadi juragan ikan. Juragan itu memiliki banyak anak buah (nelayan). Hampir semua nelayan kecil bergabung dalam kelompok-kelompok yang dibawahi oleh seorang juragan. Mereka yang membiayai nelayan-nelayan untuk berangkat mencari ikan. Waktu dulu dalam sekali pergi melaut, ikan yang diperoleh dapat mencapai jumlah kuintalan, terutama dari hasil bagan. Tapi kalau sekarang, mata pencaharian dari nelayan sudah tidak bisa diandalkan lagi. Jumlah juragan sekarang sudah sedikit, di wilayah RT 1, 2 dan 3 hanya terdapat satu juragan atau kelompok” (M. Zabir, warga Kelurahan Kota Karang, 63 th). Menghilangnya para juragan tadi menyebabkan nelayan yang ada sekarang pada umumnya adalah nelayan individu. Kehidupan nelayan kecil individu saat ini 58
menjadi sulit karena apabila akan pergi melaut biaya operasional harus ditanggung sendiri. Dahulu nelayan kecil bila akan pergi melaut dapat dengan mudah meminjam modal ke warung atau agen. Biasanya mereka pergi sore dan kembali keesokan harinya dengan membawa hasil ikan yang banyak, sehingga bisa langsung mengembalikan modal pinjaman. Sedangkan saat ini, nelayan kecil seringkali tidak berani meminjam, karena si pemberi pinjaman menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan pinjaman, dan nelayan juga menyadari kondisi melaut saat ini tidak ada jaminan bahwa mereka akan pulang membawa hasil ikan yang cukup dan segera dapat mengembalikan pinjaman. Bila dihubungkan antara fakta berkurangnya hasil ikan antara lain juga disebabkan oleh adanya perubahan iklim, dengan demikian perubahan iklim juga memiliki andil dalam berkurangnya hubungan patron-klien yang ada dalam masyarakat, dimana kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan masyarakat menjadi lebih rentan. Pengaruh bencana terhadap perilaku nilai sosial lainnya secara tidak langsung juga dapat dilihat dari meningkatnya kejadian kriminalitas/ kejahatan di suatu wilayah. Berdasarkan survei, bencana iklim berpengaruh terhadap terjadinya kriminalitas di wilayah kajian, dimana 1,6% warga beranggapan bahwa jumlah tindakan kriminalitas bertambah saat kejadian banjir dan 3,5% warga beranggapan bahwa jumlah tindakan kriminalitas juga bertambah saat kejadian kekeringan di wilayah mereka. Tindakan kriminalitas tersebut seperti pencopetan, perampokan, perampasan, dan pencurian barang-barang berharga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adanya perubahan iklim yang mengakibatkan timbulnya bencana memiliki potensi untuk merubah nilai-nilai sosial serta perilaku yang ada di dalam masyarakat. Tabel 4-2.Gambaran Dampak Bencana terhadap Nilai Sosial Masyarakat pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 No 1
2
3 4
Deskripsi Sistem tolong menolong/ kekerabatan
Kondisi saat ini Masih ada:- hubungan-hubungan sosial baik yang berdasarkan hubungan ketetanggaan maupun hubungan kekerabatan - dalam keadaan kesulitan, sesama warga dapat dimintai tenaga bantuan, bukan disewa Gotong royong Masih ada: aktivitas bekerja sama antara sejumlah besar warga kelurahan untuk menyelesaikan suatu kegiatan tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan umum. Hubungan patron- Sudah mulai berkurang. klien Tingkat kejahatan Jumlah tindakan kriminalitas bertambah saat kejadian banjir dan kejadian kekeringan di wilayah mereka
B.
Dampak Ekonomi Kejadian Iklim Ekstrim Mengingat mata pencaharian utama warga di wilayah kajian bergerak di sektor perikanan yaitu buruh nelayan dan nelayan, maka terjadinya bencana iklim seperti banjir rob, pasang air laut, dan angin kencang bisa berpotensi terhadap gagal panen dikarenakan nelayan tidak bisa melaut, yang selanjutnya akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi warga. Selanjutnya warga yang bermata pencaharian 59
sebagai pedagang juga terkena imbasnya. Hal ini dikarenakan menurunnya daya beli masyarakat dari sektor perikanan yang mengalami gagal panen. Untuk warga yang bermata pencaharian sebagai petani kebun dan petani pangan pun juga terkena dampak dari bencana iklim seperti banjir, kekeringan, dan angin kencang. Mereka mengalami gagal panen dan penurunan pendapatan. Menurunnya pendapatan mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan warga yang berikutnya mengakibatkan bertambahnya jumlah pengangguran, peningkatan jumlah kriminalitas dan urbanisasi. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas mengenai bagaimana dampak bencana terhadap ekonomi disajikan data-data berdasarkan: 1). nilai kerugian berdasarkan pekerjaan pokok, dan 2). Nilai kerugian berdasrkan pekerjaan sampingan, 3).nilai kerugian berdasarkan sektor, 4) dampak terhadap harga-harga beberapa komoditi. 1. Nilai Kerugian Berdasarkan Pekerjaan Pokok Pada dasarnya bencana apapun akan mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat, baik materil maupum immateril. Dalam bahasan ini disampaikan dampak bencana dan kerugian yang dirasakan oleh warga terhadap pekerjaan utama. Tidak semua warga menjawab adanya dampak dari bencana terhadap pekerjaan utamanya. Bencana yang dibahas disini adalah banjir dan kekeringan. Gambar 4-4. memberikan ilustrasi dampak bencana banjir dan kekeringan terhadap pekerjaan utama warga. Dari hasil survey diperoleh informasi, bahwa secara total dampak yang terjadi akibat banjir terhadap pekerjaan utama relatif lebih besar daripada kekeringan. Walaupun demikian bencana banjir ternyata berdampak terhadap 16,73 persen warga dari total warga di lokasi penelitian. Dengan demikian masih banyak warga yang menganggap banjir tidak mempengaruhi pekerjaan utamanya. Bahkan untuk wilayah non pesisir jumlahnya relatif lebih sedikit lagi, yaitu hanya7,76 persen dari total warga di wilayah ini. Lain halnya dengan wilayah pesisir, disini relatif lebih banyak warga yaitu 24,44 persen yang menganggap banjir mempengaruhi pekerjaan utamanya. Warga tersebut sebagian besar berasal dari Kelurahan Kota Karang dan Panjang Selatan dimana sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan.
Gambar 4-2. Dampak Banjir dan Kekeringan Terhadap Pekerjaan Utama pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009
60
Dari hasil FGD, sebenarnya masalah yang dihadapi nelayan cukup kompleks. Secara umum, masalah tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yang pertama, aktifitas sebagai nelayan sangat dipengaruhi oleh iklim. Dahulu sebelum tahun 2000, kondisi kesulitan mencari ikan biasanya bersifat musiman, yaitu terjadi pada bulan 12. Saat itu warga mengetahui bahwa bulan 1 sampai dengan 5 adalah musim angin utara yaitu musim ikan, namun sekarang musim ikan lebih sulit di prediksi. Setelah tahun 2000 warga mengaku sulit memprediksi waktu terjadinya angin dan ombak besar, sehingga belakangan ini waktu nelayan melaut menjadi semakin tidak menentu. Pada kondisi yang demikian, aktifitas nelayan menjadi terhambat, sehingga penghasilan dari melaut dapat menurun drastis. Warga mengaku pada kondisi tersebut, mereka terpaksa ‘Gali lubang tutup lubang’. Karena itu banyak warga yang terpaksa memilih alternatif mata pencaharian lain seperti tukang becak, buruh, maupun kenek bangunan agar tetap dapat membiayai kebutuhan hidup. Bila penghasilan warga tidak dapat mencukupi, warga mengaku terpaksa berhutang ke warung untuk membeli kebutuhan hidup seperti sembako. Alternatif lain yang dilakukan warga adalah dengan meminjam ke bank keliling. Bila meminjam ke bank keliling, pembayaran dapat dilakukan dengan mencicil, namun dengan risiko dibebankan bunga. Biasanya bunga yang diberlakukan cukup tinggi, yaitu mencapai 20 persen. Masalah yang kedua disebabkan fasilitas nelayan masih kurang, berbeda dengan fasilitas nelayan di pulau Jawa, yang fasilitas peralatan perikanannya seperti kapal sudah lebih maju. Hal ini menyebabkan lokasi pencarian atau jangkauan nelayan di kelurahan amatan menjadi terbatas. Menurut salah seorang peserta FGD, “.....kalau dulu, melaut bisa dalam jangkauan yang dekat-dekat saja. Sekarang kalau mau mendapatkan ikan dalam jumlah besar harus berlayar lebih jauh, bisa mencapai wilayah laut lepas dekat gunung krakatau, dengan menggunakan kapal bermotor besar. Tapi Harga kapal seperti itu bisa mencapai ratusan juta. Sekali berangkat biaya bisa mencapai jutaan, dengan waktu seminggu. Jadi nelayan kecil cuma bisa dekat-dekat saja, kalau lebih jauh sedikit, sudah ‘kejeblos’, tapi kalau nelayan di Jawa jangkauan lebih luas”. Selain itu, menurut warga, jumlah nelayan di Lampung sangat banyak, mulai dari yang kecil sampai yang memiliki pukat harimau bisa memasuki wilayah perairan, sehingga para nelayan kecil harus bersaing dengan nelayan besar. Masalah-masalah demikian yang menyebabkan ekonomi nelayan kecil menjadi sangat sulit, sehingga untuk bertahan mereka terpaksa harus ‘gali lubang tutup lubang’. Oleh karena itu banyak warga yang terpaksa memiliki alternatif mata pencaharian lain seperti tukang becak, buruh, maupun kenek bangunan agar tetap dapat membiayai kebutuhan hidup. Berbeda dengan bencana banjir, secara rata-rata hanya sebagian kecil saja warga yang merasakan adanya dampak bencana kekeringan terhadap pekerjaan utamanya. Bencana kekeringan hanya berdampak terhadap sekitar 9,9 persen warga dari total warga di kelurahan amatan. Diantara kelurahan-kelurahan amatan lain, Kelurahan Batu Putuk mayoritas masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh pertanian, sehingga bagi warganya bencana kekeringan lebih berdampak daripada bencana banjir. Bencana kekeringan berdampak pada penurunan hasil panen sehingga pendapatan warga yang berprofesi sebagai petani dan pedagang produk pertanian cenderung menurun. Langkah untuk memenuhi kebutuhan hidup biasanya ditempuh dengan jalan meminjam, baik kepada tetangga maupun kepada bank keliling. 61
Bila dihitung berdasarkan nilai nominal, kerugian yang diakibatkan oleh adanya bencana banjir dan kekeringan seperti terlihat pada Gambar 4-3. Gambar tersebut menunjukkan rata-rata kerugian akibat bencana, terutama banjir yang dirasakan oleh warga. Berdasarkan gambar tersebut, kerugian rata-rata bencana sebesar Rp 662.765. Wilayah yang mengalami kerugian yang relatif besar adalah Kangkung, Batu Putu dan Pasir Gintung. Kerugian di Kangkung rata-rata sebesar Rp 1.150.000. Sedangkan di Batu Putu sebanyak Rp 921.071, sebagian besar warga di wilayah ini mempunyai pekerjaan utama sebagai petani kebun, yang sangat dipengaruhi oleh banjir. Kerugian rata-rata di daerah Pasir Gintung sebanyak Rp 926.666.
Gambar 4-3. Nilai Kerugian Dari Pekerjaan Utama Akibat Banjir dan Kekeringan Pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 2. Nilai Kerugian Berdasarkan Pekerjaan Sampingan Selain mempengaruhi pekerjaan utama, banjir juga dapat mempengaruhi usaha sampingan yang dimiliki warga, terutama usaha sampingan sebagai petani tambak. Namun dari data yang diilustrasikan pada Gambar 4-4, terlihat bahwa banjir yang menimpa hanya mempengaruhi sebagian kecil warga, dari total warga di lokasi penelitian, sebanyak 11,11 persen yang menyatakan terdapat pengaruh banjir terhadap usaha sampingannya (Tambak/Kolam).
Gambar 4-4. Dampak Banjir Terhadap Usaha Sampingan Tambak pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 62
Kerugian usaha sampingan tambak yang dirasakan warga seperti terlihat pada Gambar 4-5. Nilai kerugian rata-rata akibat banjir untuk usaha sampingan tambak sebesar Rp 583,000/orang. Akan tetapi jika dilihat secara rinci, maka distribusinya tidaklah merata. Kerugian terbesar justru dialami oleh warga di wilayah Kangkung dengan nilai kerugian rata-rata sebesar Rp 2,350,000 /orang. Hal ini disebabkan banyak warga yang mempunyai mata pencaharian tambahan sebagai petani tambak ikan.
Gambar 4-5. Nilai Kerugian Usaha Sampingan Tambak Pada Kelurahan Amatan, di Bandar Lampung, 2009 Lampung 3. Nilai Kerugian Berdasarkan Sektor-Sektor Strategis Selain mempengaruhi terhadap mata pencaharian warga, kerugian bencana juga dapat dihitung berdasarkan sektornya. Gambar 4-6, menyajikan ilustrasi kerugian akibat banjir di Lampung. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat ada 2 sektor yang nilai kerugiannya relatif besar yaitu sektor kesehatan dengan nilai total mencapai Rp 104.355.000 dan sektor perikanan sebesar Rp 76.320.000. Dampak dari banjir yang dirasakan warga terhadap sektor lainnya relatif kecil, misalnya untuk sektor infrastruktur senilai Rp 10.000.000, sektor pemukiman sebesar Rp 8.745.000. Secara umum nilai kerugian ini relatif kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh pengetahuan yang terbatas dari warga dalam menaksir jumlah kerugian. Selain itu banyak warga yang tidak bisa menaksir adanya kerugian terhadap berbagai macam sektor.
Gambar 4-6. Kerugian Akibat Banjir Berdasarkan Sektor di Bandar Lampung, 2009 63
Berbeda dengan kerugian yang terjadi ketika kekeringan. Berdasarkan Gambar 4-9, terlihat beberapa sektor yang diduga dipengaruhi oleh bencana kekeringan. Melihat nilai nomimalnya, nilai kerugian akibat kekeringan lebih kecil daripada kerugian akibat banjir. Meskipun nilainya relatif kecil, akan tetapi fakta ini memberikan dugaan terhadap sektor rentan terkena bencana. Berdasarkan gambaran ini maka sektor yang rentan terkena bencana kekeringan adalah sektor pertanian, perikanan, kesehatan dan air minum. Kerugian di sektor pertanian disebabkan kekeringan menyebabkan produksi menurun, bahkan dalam kasus yang ekstrim dapat mengakibatkan kegagalan panen (puso). Kerugian di sektor perikanan disebabkan karena suplai air berkurang, dampaknya kualitas air menurun sehingga banyak ikan yang mati. Kerugian di sektor kesehatan terjadi karena dengan adanya kekeringan mengakibatkan menurunnya kualtias lingkungan, banyak sumber penyakit seperti diare, batuk, radang tenggorokan dan lain sebagainya. Kerugian di sektor air minum disebabkan oleh berkurangnya sumber air untuk memasok bagi kebutuhan masyarakat.
Gambar 4-7. Kerugian Akibat Kekeringan Berdasarkan Sektor di Bandar Lampung, Tahun 2009 4. Dampak Terhadap Harga Beberapa Komoditi Selain mempengaruhi pendapatan warga dan beberapa sektor strategis, bencana banjir dan kekeringan juga mempengaruhi perubahan harga-harga secara umum, berikut ini disampaikan data mengenai peningkatan harga yang terjadi pada beberapa produk pertanian seperti beras/padi, palawija dan ikan/ternak. Secara umum haarga beras/padi mengalami peningkatan baik pada saat banjir maupun kekeringan, kenaikan harga rata-rata disaat banjir sebesar 13,65 persen, sedangkan disaat kekeringan sekitar 12,79 persen. Untuk komoditi ikan/ternak, peningkatan harga di saat banjir relatif jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan harga di saat kekeringan, dan fenomena ini konsisten terjadi baik di pesisir maupun di non pesisir. Hal ini disebabkan pada saat terjadi banjir, kegiatan perikanan banyak yang terganggu sehingga supply ikan menjadi berkurang. Sedangkan untuk komoditi Palawija peningkatan harga memiliki model yang berbeda dengan beras/padi dan ikan/ternak. Secara total peningkatan harga saat kekeringan lebih tinggi dibandingkan dengan saat banjir.
64
Gambar 4-8. Kenaikan Harga Beberapa Komoditi Pertanian Pada Kelurahan Amatan di BandarLampung, 2009 C.
Dampak terhadap Kesehatan
Sarana kesehatan di Kota Bandar Lampung meliputi sarana kesehatan mulai dari tingkat pelayanan terkecil seperti Puskesmas Pembantu, Balai Pengobatan, tempat praktek Dokter, sampai dengan rumah sakit. Jumlah sarana kesehatan di Kota Bandar Lampung menurut sumber Kota Bandar Lampung Dalam Angka (2007) mencapai 157 unit yang terdiri dari 11 unit Rumah Sakit, 22 unit Puskesmas Induk, 57 unit Puskesmas Pembantu, dan 67 unit Balai Pengobatan. Jenis sarana kesehatan paling banyak, yaitu Balai Pengobatan dengan jumlah sebaran terbanyak ada di Kecamatan Tanjung Karang Pusat (11 unit). Tabel IV-3, memperlihatkan wabah penyakit menurut persepsi warga yang biasa terjadi saat banjir. Tidak banyak warga yang menanggapi fenomena wabah penyakit di saat banjir, tercatat hanya sebanyak 35,94 persen dari total warga. Dari warga yang memberikan penilaian, terlihat bahwa jenis penyakit yang seringkali dialami oleh masyarakat adalah Malaria (28,26 persen) dan Batuk/Flu/Pilek (27,17 persen). Penyakit yang dinilai warga relatif rendah terjadi adalah DBD (10,87 persen). Dari data terlihat jumlah warga non pesisir yang menganggap Batuk/Flu/Pilek, DBD dan gatal-gatal sebagai penyakit di saat musim hujan lebih besar daripada warga pesisir. Sedangkan untuk diare dan malaria sebaliknya. Hal ini bisa membentuk dugaan bahwa penyebaran penyakit Batuk/Flu/Pilek, DBD dan gatal-gatal cenderung terjadi di wilayah non pesisir. Sedangkan untuk malaria dan diare di wilayah pesisir.
65
Tabel 4-3. Penyakit Pada Saat Banjir pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009
Res Tota l (N)
Res Jawa b (n)
n/N (%)
Wabah Penyakit Pada Saat Banjir Batuk / Gatal Flu Diar Malari /Pilek DBD e gatal a
Batu Putu
40
2
5,00
100,0 0
Pasir Gintung Sukabumi Indah
50
19
38,00
26,32
31
6
19,35
33,33
Sub Total Pesisir
121
27
22,31
Kangkung
39
19
Kota Karang Panjang Selatan
56
Wilayah/ Kelurahan Non Pesisir
0,00
0,00
0,00
0,00
5,26
63,16
5,26
0,00
0,00
16,67
33,33
0,00 50,0 0 11,1 1
3,70
44,44
7,41
48,72
26,32
26,3 2
10,53
15,79
27
48,21
29,63
7,41
0,00
44,44
40
19
47,50
15,79
5,26
47,37
Sub Total
135
65
48,15
24,62
4,62
36,92
Grand Total
256
92
35,94
27,17
0,00 10,7 7 10,8 7
16,30
28,26
21,0 5 18,5 2 31,5 8 23,0 8 17,3 9
Grand Total 100,0 0 100,0 0 100,0 0 100,0 0 100,0 0 100,0 0 100,0 0 100,0 0 100,0 0
Tabel 4-4.menunjukkan penyakit yang sering muncul di saat terjadi kekeringan. Pada wilayah non pesisir dan pesisir, penyakit yang sering dialami oleh warga adalah batuk/flu/pilek serta penyakit malaria. Jika dilihat dari jenis penyakitnya, maka yang membedakan antara saat kekeringan maupun saat banjir adalah munculnya penyakit kulit. Tabel 4-4. Penyakit Pada Saat Kekeringan pada Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Res total (N)
Res Jawab (n)
Batu Putu Pasir Gintung Sukabumi Indah
40
11
50
12
31
8
Sub Total Pesisir Kangkung
121 39
Wilayah/ Kelurahan Non Pesisir
Wabah Penyakit Saat Kekeringan Batuk n/N /Flu Kuli Diar (%) /Pilek DBD gatal t Malaria e
31
27,5 0 24,0 0 25,8 1 25,6 2
90,9 1 75,0 0 25,0 0 67,7 4
10
25,6
80,0
Grand Total
0,00
0,00
0,00
9,09
0,00
100,00
8,33 50,0 0 16,1 3
8,33
0,00
8,33
0,00
100,00
0,00
0,00
25,00
0,00
100,00
3,23
0,00
12,90
0,00
100,00
0,00
0,00
10,0
10,00
0,00
100,00 66
Kota Karang Panjang Selatan Sub Total Grand Total
56
9
40
12
135
31
256
62
4 16,0 7 30,0 0 22,9 6 24,2 2
0 55,5 6 33,3 3 54,8 4 61,2 9
0
41,67
11,1 1 16,6 7
100,00
3,23
25,81
9,68
100,00
1,61
19,35
4,84
100,00
11,11 0,00
0,00
22,22
8,33
0,00
0,00
6,45
0,00
11,29 1,61
100,00
Namun menurut hasil survei masyarakat di wilayah kajian menyatakan bahwa belum optimalnya akses, keterjangkauan, dan mutu layanan kesehatan. Hal ini antara lain disebabkan oleh sarana layanan kesehatan tersebut belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat, terutama terkait biaya, lokasi, dan layanan yang diberikan. Jumlah warga yang memiliki kartu kesehatan gratis adalah sebanyak 43,75%. Akan tetapi sistem pelayanan, obat, dan rujukan masih dianggap belum dapat berjalan dengan optimal. Pada saat terjadi bencana hanya 27,7% warga yang mengaku menerima bantuan dari pemerintah, 14,8% warga mengeluarkan uang sendiri untuk biaya berobat, dan sisanya sebesar 57,5% warga tidak tahu karena tidak pernah mencatat biaya yang telah dikeluarkan untuk berobat. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh 14,8% warga untuk berobat ketika terjadi bencana iklim dapat dilihat dari gambar berikut.
Gambar 4-9. Kisaran Biaya yang Dikeluarkan oleh Warga (dalam Rupiah) Sebenarnya fasilitas kesehatan yang disediakan oleh dinas kesehatan sudah cukup baik. Bagi warga yang memiliki jamkesmas (dulu askes), saat sakit dapat langsung datang ke puskes. Bila kondisi warga memerlukan perawatan lanjutan, maka puskes akan memberikan rujukan ke Rumah Sakit. Warga yang diberi surat jamkesmas adalah penduduk miskin, yang antara lain penentuannya di lihat dari usaha kepala keluarga. Bagi yang tidak punya surat jamkesmas, warga bisa menggunakan fasilitas jamkesda. Namun berbeda dengan jamkesmas, prosesnya yang harus dilalui oleh warga untuk memperoleh fasilitas jamkesda cukup panjang. Selain harus ada surat keterangan dari RT, akan ada pemantauan (survei) dulu rumahnya dari puskes, dan biasanya memerlukan waktu sampai 2 hari. Kemudian bila warga harus dirujuk ke rumah sakit, warga harus membayar dulu biaya di RS sebagai jaminan, nanti bila 67
surat2 sudah lengkap, baru uang dikembalikan. Kondisi demikian, yang diduga menyebabkan timbulnya persepsi warga pada kelurahan amatan yang terkait dengan belum optimalnya akses, keterjangkauan, dan mutu layanan kesehatan. 4.4. Respon Pemerintah dan Masyarakat terhadap Bencana Akibat Kejadian Iklim Ekstrim A.
Response Masyarakat Terhadap Keberadaan Kelembagaan Penanganan Bencana
Peringatan dini dimaksudkan untuk memberitahukan tingkat kegiatan hasil pengamatan secara kontinu di suatu daerah rawan dengan tujuan agar persiapan secara dini dapat dilakukan guna mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana. Peringatan dini tersebut disosialisasikan kepada masyarakat melalui pemerintah daerah dengan tujuan memberikan kesadaran masyarakat dalam menghindarkan diri dari bencana. Peringatan dini dan hasil pemantauan daerah rawan bencana berupa saran teknis dapat berupa antara lain pengalihan jalur jalan (sementara atau seterusnya), pengungsian dan atau relokasi, dan serta penanganan lainnya. Hal penting yang perlu diketahui masyarakat dan Pemerintah Daerah ialah mengenai hidup harmonis dengan alam di daerah bencana, apa yang perlu dilakukan dan dihindarkan di daerah rawan bencana, dan mengetahui cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana. Pelatihan tata cara pengungsian dan penyelamatan jika terjadi bencana juga sangat diperlukan.. Tujuan latihan lebih ditekankan pada alur informasi dan petugas lapangan pejabat teknis, SATKORLAK PB, SATLAK PB, dan masyarakat sampai ke tingkat pengungsian dan penyelamatan korban bencana. Dengan pelatihan ini terbentuk kesiagaan tinggi menghadapi bencana akan terbentuk. Dari hasil survey di enam wilayah kajian didapatkan hasil yang tidak memuaskan dari warga mengenai keberadaan lembaga penanganan bencana di wilayahnya. Sebanyak 90% warga menyatakan bahwa belum ada kelembagaan penanganan bencana di wilayah mereka. 90% warga tersebut mengaku belum pernah mendapatkan informasi apapun seputar informasi iklim atau peringatan dini dari PEMDA, EWS (Early Warning System), ataupun lembaga terkait lainnya. Hanya 10% warga yang menyatakan ada kelembagaan penanganan bencana di wilayah mereka. Kelembagaan tersebut diantaranya bernama Tagana (Tanggap Bencana). Tagana diakui masyarakat berfungsi efektif dalam memberikan informasi iklim atau peringatan dini. Kelembagaan lainnya yaitu kelurahan, RT, RW di lingkungan setempat. B.
Respon Masyarakat Terhadap Informasi Bencana Sebagian besar warga di keenam wilayah kajian selama ini masih memperoleh informasi prakiraan iklim secara tradisional baik dari pemuka adat maupun dari tokoh masyarakat di daerah yang bersangkutan. Selain itu warga juga menerima informasi prakiraan dari BMKG. Hasil interview menunjukkan bahwa sekitar 58% warga memperoleh informasi prakiraan BMKG melalui media televisi, 4% warga melalui media koran, 2% warga melalui media radio, dan 6% warga memperoleh informasi dari aparat desa setempat, 2% warga dari dinas pemerintah, sisanya 28% warga tidak menjawab (Gambar IV-10) 68
Gambar 4-10. Persentase Media Informasi Prakiraan yang digunakan Salah satu peran pemerintah dalam mengurangi dampak dan kerugian bencana adalah dengan cara memberikan informasi terkait kebencanaan seperti peringatan bencana, penanganan bencana, perubahan iklim dan dampak perubahan iklim. Informasi ini bisa disampaikan melalui media televisi, radio, koran, majalah, dan bertatap muka langsung dengan masyarakat melalui aparatur pemerintah dari pusat sampai daerah. Tabel IV-5 memberikan ilustrasi persepsi warga terhadap berbagai macam informasi terkait kebencanaan. Dalam tabel ini informasi yang terkait kebencanaan dilihat dari perspektif kegunaan dan ketersediaan. Secara umum terjadi lag antara kegunaan dan ketersediaan. Hal ini menandakan masih diperlukannya berbagai macam upaya dalam penyampaian informasi terkait kebencanaan tersebut. Dari data juga terlihat bahwa informasi mengenai peringatan bencana, jauh dirasakan berguna menurut warga dibandingkan dengan jenis informasi lainnya. Berdasarkan beberapa jenis informasi terkait bencana, ternyata informasi mengenai peringatan bencana, jauh dirasakan berguna menurut warga dibandingkan dengan jenis informasi lainnya. Ketidaktahuan warga mengenai informasi penanganan bencana, perubahan iklim dan dampak perubahan iklim terlihat dari rendahnya partisipasi warga dalam memberikan persepsi terhadap informasi tersebut, misalnya untuk informasi penanganan bencana hanya 56,25 persen warga yang merasakan bahwa informasi tersebut berguna, sedangkan untuk informasi perubahan iklim sebesar 37,89 persen dan informasi dampak perubahan iklim sebesar 35,94 persen. Hal ini pertanda bahwa kesadaran warga terhadap pentingnya informasi terkait kebencanaan masih kurang, dan ini mendukung informasi sebelumnya bahwa peran pemerintah dalam memberikan informasi kepada masyarakat relatif masih rendah. Hal ini ditunjukkan dari persepsi warga terhadap rendahnya ketersediaan informasi yang terkait kebencanaan di Kota Bandar Lampung. Ketersediaan informasi yang terbanyak adalah mengenai peringatan bencana (50,78 persen), sedangkan informasi mengenai penganan bencana, perubahan iklim dan dampak perubahan iklim dirasa warga masih sangat rendah ketersediaannya yaitu kurang dari 35 persen (Tabel 4-5).
69
Tabel 4-5. Persepsi Warga Terhadap Berbagai Macam Informasi Terkait Kebencanaan di Bandar Lampung Tahun 2009 (dalam %) Wilayah
Non Pesisir Batu Putu Pasir Gintung Sukabumi Indah Pesisir Kangkung Kota Karang Panjang Selatan Grand Total
Peringatan Bencana
Penanganan Bencana
Perubahan Iklim
Dampak Iklim
Perubahan
Kegunaa n
Ketersedia an
Kegunaa n
Ketersedia an
Kegunaa n
Ketersedia an
Kegunaan
Ketersedia an
72,73 70,00 76,00
47,93 55,00 36,00
55,37 45,00 60,00
30,58 27,50 22,00
37,19 27,50 36,00
23,14 25,00 8,00
34,71 22,50 36,00
19,83 20,00 6,00
70,97
58,06
61,29
48,39
51,61
45,16
48,39
41,94
74,07 76,92 85,71
53,33 38,46 62,50
57,04 56,41 62,50
34,07 17,95 41,07
38,52 38,46 44,64
17,78 10,26 19,64
37,04 33,33 44,64
16,30 7,69 19,64
55,00
55,00
50,00
40,00
30,00
22,50
30,00
20,00
73,44
50,78
56,25
32,42
37,89
20,31
35,94
17,97
C.
Respon Terhadap Isue Relokasi Karena potensi berulangnya kejadian iklim ekstrim yang dapat menyebabkan bencana di masa yang akan datang; kondisi perumahan masyarakat yang padat dengan lingkungan yang relatif kurang layak; serta adanya rencana pemerintah membangun proyek water front city di daerah pesisir, maka kepada warga ditanyakan pendapat dan harapan apabila proyek tersebut terlaksana dan pemerintah menetapkan kebijakan relokasi tempat tinggal. Tanggapan dan harapan warga adalah sebagai berikut: Wilayah Pesisir Andaikan terjadi bencana yang sangat besar dan pemerintah menyarankan untuk dilakukan relokasi tempat tinggal, warga pria mengaku merasa berat hati untuk pindah, namun jika lokasi tempat tinggal yang sekarang sudah tidak memungkinkan untuk ditinggali lagi, maka mereka bersedia untuk dipindahkan dengan syarat diberikan fasilitas dan tempat tinggal yang layak serta lokasi pindah diharapkan tidak berjauhan dengan laut, agar mereka tetap dapat bekerja seperti semula (melaut). Keputusan berpindah pun harus merupakan hasil keputusan bersama dengan istri dan keluarga. Sedangkan kemungkinan untuk merubah jenis pekerjaan secara permanen, para nelayan mengaku sulit (tidak bersedia) karena berkaitan dengan keahlian yang dimiliki. Namun, jika diberikan pelatihan-pelatihan oleh pemerintah untuk menambah keahlian, para nelayan mengaku bersedia mengikuti pelatihan. Bentuk bantuan yang diharapkan warga di wilayah pesisir berupa tempat tinggal dan modal, baik modal untuk memulai usaha baru atau modal ketrampilan baru. Sedangkan untuk para wanita bersedia untuk dilakukan relokasi tempat tinggal, perubahan jenis mata pencaharian, maupun program pelatihan dan pemberdayaan masyarakat. Pelatihan yang diharapkan berupa pelatihan bercocok tanam, menjahit serta pengolahan hasil perikanan. Namun hal tersebut tetap berdasarkan persetujuan suami masing-masing.
70
Wilayah non Pesisir Pada wilayah yang mengalami bencana kekeringan seperti Kelurahan Batu Putuk, bencana tersebut dianggap sesuatu hal yang biasa, sehingga tidak terpikirkan oleh warga apabila mereka harus pindah tempat tinggal ke wilayah lain. Keenggan tersebut karena masyarakat khawatir terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan. Namun, bila bencana yang terjadi sangat parah dan memaksa mereka untuk berpindah lokasi, mereka berharap pemerintah bisa menyediakan tempat tinggal yang layak dan lapangan pekerjaan yang baru. Selain itu, warga berharap dibekali keterampilan agar dapat bertahan hidup. Sedangkan para wanita mengaku bersedia mengikuti program pelatihan dan pemberdayaan masyarakat. Pelatihan yang diharapkan berupa pelatihan membuat emping, selain itu warga juga mengharapan bantuan peralatan membuat emping. Hal ini terutama diminati oleh ibu-ibu yang masih muda, sementara yang sudah tua tidak berminat, karena merasa pekerjaan tersebut terlalu berat bagi mereka. Pada wilayah yang sering mengalami banjir seperti Pasir Gintung, banjir seringkali disebabkan oleh meluapnya air sungai. Oleh karena itu kegiatan yang diharapkan masyarakat untuk mencegah terjadinya banjir adalah pengerukan sungai yang dipenuhi oleh sampah-sampah pasar. Untuk itu perlu juga adanya penyadaran masyarakat mengenai kebiasaan hidup sehat, seperti tidak membuang sampah sembarang di dalam sungai, dengan cara melakukan kampanye hidup sehat. Kegiatan lain yang diharapkan masyarkat adalah adanya penertiban lingkungan misalnya, peraturan zona atau batas aman antara pemukiman dengan sungai. Dalam kondisi dimana tidak memiliki pilihan lain, masyarakat Pasir Gintung bersedia untuk relokasi, asalkan daerah baru tersebut memang lebih layak dibandingkan dengan daerah yang mereka tempati saat ini. Wargapun bersedia bila ada pelatihan untuk peningkatan ketrampilan mereka, misalnya pelatihan pembuatan telur asin, atau service HP, asalkan pengelolaan dilakukan dengan baik. D.
Identifikasi bentuk kegiatan adaptasi dari pemerintah yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat
Bentuk kegiatan adaptasi menghadapi bencana yang dilakukan masyarakat umumnya bersifat struktural (fisik) seperti memperlebar/memperdalam saluran, meninggikan lantai rumah atau membuat rumah denga dua tingkat, pindah ke lokasi, memperkuat konstruksi rumah, dan membuat tanggul dalam menghadapi banjir, dan membeli atau membuat sumur pompa atau memperdalam sumur kalau menghadapi kekeringan. Kegiatan yang bersifat non-struktural melalui inisiatif masyarakat masih sangat kurang. Sebagian besar kegiatan yang bersifat non-struktural seperti pemberdayaan masyarakat, penguatan kelembagaan dan lainnya berasal dari program pemerintah.
71
Tabel 4-6. Kegiatan pemerintah dalam meningkatkan kemampuan penanganan bencana yang bersifat non-struktural dan respon masyarakat NO 1
2 3
4 5 6 7
8 9 10
KEGIATAN PEMERINTAH Komunikasi interaktif melalui radio dan televisi tentang mitigasi bencana Sosialisasi penerapan sistem komunikasi peringatan dini dan tanggap darurat berbasis Keluarga Pembentukan dan penguatan Siaga Bencana Tingkat Kelurahan (SIBAD) di 13 kecamatan Sosialisasi mengenai tanda-tanda terjadinya bencana melalui pertemuan-pertemuan kelompok masyarakat, kelurahan, dll Pembuatan atau mereproduksi dan menyebarkan buletin sistem peringatan dini Pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin di kawasan rawan bencana Melakukan Gerakan Bersih Pantai dan Laut bersama masyarakat secara rutin/berkala Melakukan Gerakan Bersih Sungai dan Saluran bersama masyarakat secara rutin/berkala Melarang nelayan ke laut saat bencana gelombang pasang air laut Pembuatan sumur bor untuk fasilitas umum
E.
Identifikasi Adaptasi Masyarakat
Bencana Banjir
RESPON MASYARAKAT Melaksanakan dengan banyak keterbatasan Belum sepenuhnya sampai pada masyarakat, terutama di pemukiman kumuh Masyarakat belum merasakan keberadaan dan fungsi SIBAD Mengikuti pertemuan dan mulai mempersiapkan diri Tidak menyeluruh sampai pada masyarakat Hanya berlangsung 1 bulan, setelah itu tidak pernah lagi Ikut berpartisipasi setiap bulan
Ikut berpartisipasi setiap bulan Ada yang taat dan ada yang tidak taat Tidak efektif, karena kualitas airnya buruk
Adaptasi yang dilakukan oleh warga ketika bencana banjir sangat beragam, mulai dari tetap tinggal dirumah, pindah ke lokasi yang tidak mengalami banjir, membuat tanggul, memperdalam saluran air, meninggikan lantai, menambah persediaan makanan dan menambah persediaan bahan bakar. Jenis adaptasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan wilayah masing-masing. Misalnya adaptasi yang dilakukan di wilayah non pesisir akan berbeda dengan adaptasi di wilayah pesisir. Gambar 4-11. menunjukkan perbedaaan tersebut.
Gambar 4-11. Adaptasi yang Terjadi di Wilayah Pesisir dan Non Pesisir Ketika Terjadi Bencana Banjir di Lampung. 72
Berdasarkan gambar terlihat prilaku warga ketika bencana banjir adalah seperti berikut ini : 1. Perilaku tetap tinggal di rumah ketika banjir tiba. Perilaku ini menggambarkan respon warga yang memilih tetap tinggal dirumah atau keluar sementara, ketika terjadi banjir. Secara umum dari total warga mengatakan bahwa ketika bencana banjir tiba, sebanyak 59,46 persen, artinya sebanyak 40,54 persen meninggalkan rumah (keluar rumah) ketika bencana banjir tiba. Jika dilihat berdasarkan wilayah, maka fenomena banyaknya warga yang keluar rumah terjadi di wilayah non pesisir, mengingat di wilayah ini, warga yang tetap tinggal rumah sebanyak 29, 41 persen. Sedangkan di wilayah pesisir, hanya sebagian kecil saja yang keluar rumah. Sebagian besar (85,93 persen) warga tetap tinggal di rumah ketika banjir. Peredaan ini disebabkan karena jenis banjirnya yang berbeda. Bencana banjir yang terjadi di wilayah pesisir adalah bencana banjir rob. Mengingat sebagian besar warga sudah meninggikan rumahnya, maka ketika banjir rob datang, hampir sebagaian besar warga masih tetap tinggal di rumah. Banjir rob relatif bisa diantisipasi oleh masyarakat. Berbeda halnya dengan banjir yang terjadi di wilayah non pesisir, yang tidak bisa diprediksi. Seperti dijelaskan sebelumnya, di wilayah ini hampir sebagaian besar warga keluar rumah ketika banjir tiba. Seperti yang terjadi di wilayah Pasir Gintung. Warga Pasir Gintung yang keluar rumah ketika banjir adalah sebesar 82 persen. Sedangkan di wilayah Sukabumi Indah, jumlah warga yang tetap tinggal di rumah lebih besar dibandingkan dengan warga yang keluar rumah. Hal ini disebabkan karena Berdasarkan hasil FGD, warga mengaku tidak mau pindah dikarenakan khawatir terhadap lapangan pekerjaan. Namun, bila bencana yang terjadi sangat parah dan memaksa mereka untuk berpindah lokasi, mereka berharap pemerintah menyediakan tempat tinggal dan lapangan pekerjaan yang baru. Sebagai langkah antisipasi, warga menyediakan alat transportasi yang disiapkan dalam menghadapi banjir, antara lain becak. Tujuannya adalah untuk berpindah ke lokasi yang lebih tinggi. 2. Perilaku pindah ke lokasi yang tidak banjir. Perilaku ini menggambarkan respon warga yang mencari tepat tinggal sementara pada saat terjadi banjir. Lokasi yang menjadi tempat tinggal sementara biasanya rumah sanak saudara yang tidak mengalami banjir. Secara umum, dari semua warga di kelurahan amatan, hanya 9,45 persen warga yang pindah ke lokasi tidak banjir. Dengan demikian sebagian besar tetap tinggal di rumahnya masingmasing. Jika dilihat dari wilayah, maka perilaku pindah ke lokasi yang tidak banjir banyak dilakukan oleh warga di wilayah non pesisir daripada di wilayah pesisir. Di wilayah non pesisir, sebanyak 14,78 persen warga yang pindah ke lokasi tidak banjir ketika terjadi banjir. Sedangkan di wilayah pesisir hanya 5,18 persen. Jika dilihat secara detail, bahwa di wilayah non pesisir, perilaku pindah lokasi hanya terjadi di Pasir Gintung, sedangkan di 2 wilayahnya lainnya tidak ada. Dari semua warga di Pasir Gintung, sebanyak 34 persen yang pindah lokasi. Sisanya tetap tinggal di rumah. Sedangkan di wilayah pesisir, ditemukan fenomena warga yang pindah lokasi di setiap kelurahan dengan jumlah yang relatif sedikit. Misalnya di kelurahan Kangkung, hanya 7,69 persen dari total warga di wilayah ini yang pindah lokasi, sedangkan di Kota Karang dan Panjang Selatan berturut turut sebanyak 3,57 dan 5 persen dari jumla warga di masingmasing kelurahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pindah tidaknya warga ke 73
lokasi lain sangat dipengaruhi oleh (1) ada tidaknya famili di lokasi tidak banjir yang bisa membantu mereka; (2) kondisi fisik rumah; (3) alasan keamanan. 3. Adaptasi lainnya yang relatif banyak dilakukan selain dari yang telah dijelaskan diatas adalah perilaku membuat tanggul, memperdalam saluran dan meninggikan lantai rumah, dan hal ini sebagian besar dilakukan oleh warga di wilayah pesisir. 4. Dari berbagai adaptasi tersebut, terlihat bahwa fenomena banjir tidak mempengaruhi warga dalam memupuk persediaan makanan dan bahan bakar.
Bencana Kekeringan
Kekeringan biasanya terjadi antara bulan Juni-Agustus. Dampak kerugian kekeringan dapat (a) berupa penurunan produksi, karena tanaman tidak tumbuh secara normal, bahkan banyak yang mati, dan (b) munurunnya sanitasi keluarga dan lingkungan. Sehingga untuk bertahan, masyarakat harus beradaptasi untuk meminimalisir kerugian kekeringan. Adaptasi terhadap bencana kekeringan yang terjadi di Kota Banda Lampung dapat berupa; (1) membeli air untuk keperluan sehari-hari, (2) mengurangi konsumsi air, (3) memompa air dari sumber terdekat, (4) pindah ke lokasi lainnya yang tidak terkena kekeringan, dan (5) melakukan ritual meminta hujan. Berdasarkan Gambar 4-12. secara umum terdapat tiga bentuk adaptasi yang relatif banyak dilakukan oleh warga dibandingkan dengan adaptasi lainnya yaitu memberli air, mengurangi konsumsi air dan memompa air dari sumber terdekat. Semuanya dalam rangka menyediakan dan menjaga ketersediaan air, agar mencukupi untuk keperluan sehari hari. Fenomena kekeringan yang berkepanjangan, yang terjadi pada daerah tertentu menyebabkan timbulnya respon masyarakat untuk melakukan ritual mendatangkan hujan. Hal ini terjadi di wilayah pesisir. Untuk lebih detailnya berikut ini dijelaskan adaptasi warga terhadap kekeringan:
Gambar 4-12. Adaptasi Kekeringan Warga di Kelurahan Amatan, Bandar Lampung
74
1. Perilaku adaptasi membeli air. Respon terhadap kekeringan dengan cara membeli air dilakukan terutama untuk keperluan mandi, buang hajat dan keperluan memasak. Respon membeli air, lebih banyak dilakukan oleh warga di wilayah pesisir. Berdasarkan data, jumlah warga di wilayah pesisir yang melakukan pembelian air di saat kekeringan sebanyak 37,85 persen dari total warga Lampung, sedangkan untuk wilayah non pesisir sebanyak 19,52 persen dari total warga Lampung. Jika dilihat secara detail untuk setiap kelurahan, semua warga di kelurahan Batu Putu tidak melakukan pembelian air disaat terjadi kekeringan. Hal ini dimungkinkan karena pasokan air di wilayah ini relatif tersedia dibandingkan dengan wilayah lainnya, walaupun terjadi kekeringan di wilayah Bandar Lampung. Selain itu dapat juga diakibatkan tidak ada orang yang menjual air, karena keadaan geografis yang tidak memungkinkan orang bisa berjualan air. Dengan demikian warga di wilayah ini mengandalkan sumber air yang tersedia. Berbeda dengan warga di Kelurahan Pasir Gintung dan Sukabumi Indah, mengingat kedua lokasi ini berada di dekat perkotaan, jual beli air di wilayah ini merupakan hal biasa terjadi pada saat kekeringan. Dari semua warga di Pasir gintung, tercatat sebanyak 58 persen yang membeli air saat kekeringan terjadi di wilayah ini. Sedangkan di Sukabumi Indah sebanyak 68,97 persen. Demikian halnya untuk wilayah pesisir. Wilayah di pesisir yang relatif banyak membeli air adalah Kelurahan Kangkung. Tercatat sebanyak 82,05 persen warga di wilayah ini membeli air. Demikian juga di dua wilayah lainnya, di Kota Karang sebanyak 67,86 persen, sedangkan di Panjang Selatan sebanyak 62,50%. 2. Perilaku adaptasi mengurangi konsumsi air. Respon pertama saat kekeringan terjadi adalah pengurangan konsumsi air, pada situasi seperti ini secara otomoatis masyarakat berperilaku hemat air, terutama untuk aktifitas mandi dan mencuci. Akan tetapi warga yang melakukan hal ini tidaklah banyak. Tercatat sebanyak 8,66 persen di wilayah non pesisir dan 8,27 persen di wilayah pesisir dari total warga yang melakukan pengurangan konsumsi air. Jika dilihat secara detail proporsi di masing-masing wilayah/kelurahan, terdapat dua wilayah yang warganya melakukan upaya pengurangan konsumsi air relatif lebih tinggi persentasenya dibandingkan dengan wilayah lainnya, yaitu Sukabumi Indah (27,59 persen dari total warga di Sukabumi Indah) dan Panjang Selatan (27,50 persen dari total warga di Panjang Selatan). 3. Perilaku adaptasi memompa air dari sumber terdekat. Bagi warga yang tidak membeli air, ketersediaan air diperoleh dengan cara memopa air dari sumber terdekat. Disetiap wilayah biasanya terdapat sumur sebagai sumber air bersama. Perilaku adaptasi memompa air banyak dilakukan oleh warga di wilayah pesisir. Jika dilihat secara detail, persentase jumlah warga yang memompa air dari sumber terdekat di wilayah pesisir lebih besar daripada wilayah non pesisir. Tercatat hanya sebesar 20 persen dari jumlah warga di Pasir Gintung yang memompa air dari sumber terdekat. Proporsi ini terbesar jika dibandingkan dengan kelurahan lainnya di wilayah pesisir. Sementara itu proporsi warga di wilayah pesisir relatif merata dengan kisaran proporsi sebesar 22-30,7 persen dari total warga masing-masing wilayah. Dengan demikian, wilayah seperti Pasir Gintung, Kangkung, Kota Karang dan Panjang Salang, memiliki sumber daya air yang bisa diandalkan ketika kekeringan.
75
Strategi Nafkah
Strategi nafkah yang umum terjadi pada masyarakat ada tiga, yaitu (1). Intesifikasi dan ekstensifikasi pertanian; (2). Pola nafkah ganda (keragaman nafkah), dan (3). Migrasi atau gerak penduduk secara permanen. Berdasarkan hasil survey dan FGD di kelurahan amatan, dapat ditarik informasi bahwa strategi nafkah yang dilakukan masyarakat pada kelurahan amatan di Bandar Lampung selama ini adalah intensifikasi pertanian dan pola nafkah ganda. Intensifikasi pertanian dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan Batu Putuk dengan cara diversifikasi keragaman jenis tanaman. Biasanya dalam satu lahan, masyarakat menanam beberapa jenis tanaman perkebunan. Sehinggan bila harga suatu tanaman jatuh, dapat di bantu oleh harga jual tanaman lain yang relatif lebih stabil. Selain menanam tanaman perkebunan, mereka juga memanfaatkan lahannya untuk menanam tanaman hortikultur seperti sayuran dan buah-buahan. Tanaman hortikultur ini memiliki daur yang lebih pendek daripada tanaman perkebunan, dimana sambil menunggu hasil panen dari tanaman perkebunan, kebutuhan hidup dapat dibantu dari hasil panen sayuran dan buah-buahan. Demikan juga adakalanya tanaman perkebunan yang sudah berbuah, menjadi gagal panen karena adanya angin puyuh yang menyebabkan buah menjadi rontok. Dalam kondisi demikian, tanaman hortikultur dapat membantu masalah ekonomi yang sulit. Strategi nafkah yang kedua yang dilakukan masyarakat pada kelurahan amatan adalah pola nafkah ganda. Pola nafkah ini dilakukan dengan dua cara, pertama adalah keragaman nafkah, yaitu kombinasi dari beberapa matapencaharian yang dimiliki oleh seseorang, yang biasanya terdiri dari aktivitas-aktivitas ekonomi pokok di bidang on farm dan off farm. Aktivitas di off farm biasanya merupakan sampingan di luar pekerjaan pokok. Yang kedua adalah dengan cara memberdayakan anggota keluarganya, seperti istri maupun anak-anak yang sudah dewasa. Strategi pola nafkah ganda ini dilakukan hampir di semua kelurahan amatan, baik di wilayah pesisir maupun di wilayah non pesisir. Strategi ini juga berlaku baik pada masyarakat dengan mata pencaharian baik di sektor on farm maupun di sektor off farm. Rangkuman tentang besaran dampak bencana serta upaya-upaya penanggulang warga terhadap masalah-masalah yang timbul dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan Tabel 4-8. Bila dibandingkan antara bencana banjir dan bencana kekeringan, maka keberadaan bencana banjir memberikan dampak kerugian yang lebih lebih besar terhadap ekonomi masyarakat Kota Bandar Lampung.
76
Tabel 4-7. Dampak Bencana yang Menimpa Warga Kelurahan Amatan di Bandar Lampung, 2009 Panjang Selatan
Pasir Gintung
Sukabumi Indah
Kangkung
Banji r (%)
Pangan
10
10
6
2
8,9
3,6
-
10
-
3,2
7,7
Air minum
35
47,5
18
40
23,2
39,3
-
32,5
12,9
54,8
-
22,5
5
48
2
8,9
-
-
2,5
6,5
-
5,1
2,6
10
2,5
44
2
12,5
-
-
-
6,5
-
7,7
2,6
27,5
10
4
4
12,5
10,7
2,5
35
3,2
-
17,9
15, 4
Berhutang
17,5
12,5
18
6
19,6
17,9
5
32,5
3,2
3,2
23,1
Penyakit
42,5
25
40
14
48,2
25
-
7,5
22,6
35,5
41
22,5
7,5
2
-
21,4
10,7
5
40
-
-
17,9
7,5
5
-
-
3,6
7,1
-
-
6,5
3,2
5,1
5,1
28,2
28, 2
Limbah
17,5
7,5
12
-
23,2
5,4
Ban jir (%)
Keke ringa n (%)
Ban jir (%)
Kekerin gan (%)
Ban jir (%)
Ke ker ing an (% ) 5,1 23, 1
Masalah
Penurunan produksi pertanian/t ernak/ ikan Kriminalit as
Ban jir (%)
Keke ringa n (%)
Batu Putuk
Kek erin gan (%)
Rumah rusak Kerusakan asset Lapangan pekerjaan berkurang
Banj ir (%)
Kek erin gan (%)
Kota Karang
-
-
3,3
-
23, 1 30, 8
7,7
Dari Tabel 4-8. dapat ditarik informasi bahwa, secara parsial dampak dari bencana banjir dan kekeringan di Kota Bandar Lampung memiliki besaran yang relatif kecil. Besaran dampak ini diperoleh berdasarkan persepsi warga terhadap besarnya dampak bencana yang mereka rasakan pada berbagai aspek ekonomi. Dalam kenyataannya bencana yang terjadi di Bandar Lampung memang relatif masih jarang terjadi, bersifat lokal, dengan skala yang relatif kecil bila dibandingkan dengan daerah-daerah bencana lainnya. Namun bila melihat potensi kejadian iklim ekstrim yang semakin meningkat di masa datang, maka besaran dampak juga akan semakin besar. Tabel 4-8. Rangkuman Persepsi Masyarakat di Bandar Lampung Terhadap Besaran Dampak Bencana, serta Upaya Penanggulangan yang Dilakukan. No
Masalah
1
Terganggunya mata pencaharian utama: turunnya pendapatan Jumlah pengangguran
2
Besaran
Upaya Penanggulangan 16,73% warga menyatakan terganggunya Mencari alternatif mata pencaharian utama saat banjir mata pencaharian 9,96% warga menyatakan terganggunya lain, berhutang mata pencaharian utama saat kekeringan 11,3% warga mengatakan sangat susah mencari pekerjaan lain saat kejadian bencana banjir 77
3
4
5
6
10,9% warga mengatakan sangat susah mencari pekerjaan lain saat terjadinya bencana kekeringan Kelangkaan 5,9% warga menyatakan ada kelangkaan Pangan pangan saat tejadi bencana banjir 5,5% warga menyatakan ada kelangkaan pangan saat terjadi bencana kekeringan. Harga beberapa Saat terjadi banjir, harga beras: meningkat komoditi 13,65 persen, ikan: 28,86 persen, palawija: 24 persen Saat terjadi kekeringan, harga beras meningkat: 12,79 persen, ikan meningkat: 13,71 persen dan palawija: 26,73 persen Kelangkaan air 19,1% warga menyatakan ada kelangkaan minum air minum saat terjadi bencana banjir 43,4% warga menyatakan ada kelangkaan air minum saat terjadi bencana kekeringan
Kerusakan rumah
7
Kerusakan asset
Berhutang/ meminjam uang,
Timbulnya berbagai penyakit
Penurunan produksi pertanian/ ternak/ ikan.
11
Evakuasi/ mengungsi
12
Limbah
8
9
10
Makan seadanya, meminta bantuan, dan berhutang. Makan seadanya, meminta bantuan, dan berhutang.
Mencari sumber lain, membeli air galon, menghemat pemakaian air, mengambil air dimasjid. 16,4% warga menyatakan mengalami memperbaiki rumah. kerusakan rumah pasca kejadian bencana banjir pasca kejadian kekeringan hanya 2% warga yang menyatakan mengalami kerusakan rumah 14,8% warga menyatakan mengalami Diperbaiki kerusakan aset pasca kejadian banjir pasca kejadian kekeringan hanya 1,2% warga yang menyatakan mengalami kerusakan aset 15,2% warga mengaku berhutang saat menggadaikan terjadi bencana banjir barang. 16% warga mengaku berhutang saat terjadi bencana kekeringan. 34% warga menyatakan timbul berbagai Berobat dan penyakit saat kejadian bencana banjir memelihara 22,3% warga menyatakan timbul berbagai kebersihan penyakit saat kejadian bencana kekeringan 12,1% warga mengeluhkan nya saat Tanaman dipupuk, kejadian bencana banjir diversifikasi 10,9% warga mengeluhkan nya saat tanaman kejadian bencana kekeringan. mencari pekerjaan lain berhutang 9% warga menyatakan mengungsi saat terjadi bencana banjir tetapi tidak di saat terjadi bencana kekeringan 14,1% warga mengeluhkannya saat dibersihkan dan di kejadian bencana banjir daur ulang 6,6% warga juga mengeluhkan hal serupa saat kejadian bencana kekeringan
78
BAB 5 PEMETAAN KERENTANAN DAN KAPASITAS ADAPTIF 5.1.
Metodologi untuk Pemetaan Kerentanan dan Kapasitas Adaptif
Untuk menentukan indeks kapasitas dan kerentanan, kami menggunakan data survey sosio-ekonomi 2005 tingkat kelurahan (desa) dari Badan Pusat Statistik (BPS), sedangkan untuk beberapa data biofisik diperoleh dari sektor terkait atau dari citra satelit yang dihasilkan berdasarkan teknik-teknik interpretasi dengan GIS (Tabel 5-1). Semua data dibobot menurut kepentingan relatif mereka dalam membentuk kerentanan (5) dan kapasitas (C) untuk beradaptasi. Tabel 5-1. Indikator yang digunakan untuk mendefinisikan Kerentanan dan Kapasitas dan bobotnya A
Kapasitas
Bobot
B
A1
Fasilitas listrik
0.05 B1
A2
Pendidikan
0.25 B2
Kerentanan Jumlah rumah tangga yang tinggal di bantaran sungai Jumlah bangunan pada bantaran sungai
Bobot 0.05 0.05
A21 TK
0.07
B3
Layanan air dari PDAM
0.10
A22 SD
0.13
B4
Kepadatan penduduk
0.10
A23 SMP
0.20
B5
Kemiskinan
0.20
A24 SMA
0.27
B6
Fraksi pantai
0.10
A25 Universitas
0.30
B7
Fraksi sungai
0.10
A3
Sumber utama pendapatn
0.30 B8
Fasilitas non-drainase
0.20
A4
Fasilitas kesehatan
0.20 B9
Bukan area terbuka hijau
0.10
A41 Puskesmas
0.20
A42 Poliklinik
0.30
A43 Posyandu
0.20
A44 Praktek bidan
0.10
A45 Praktek dokter
0.20
A5
Infrastruktur jalan
0.20
Catatan: *Pada hal fasilitas, Poliklinik adalah lebih baik dari Puskesmas karena poliklinik dioperasikan oleh pihak swasta, tetapi biaya pada poliklinik lebih tinggi dari biaya di Puskesmas. **Dari PDAM, *** Data dibangkitkan dari citra satelit dan peta topografi, **** Data dari RTRW 2005-2015 (Bappeda, 2003). Data lainnya dari data Potensi Desa BPS (2006). Untuk mengukur posisi relatif kerentanan dan kapasitas untuk beradaptasi suatu kelurahan, kami menentukan indeks kapasitas (CI) dan indeks kerentanan (VI). Indeks Kapasitas (CI) dikembangkan dengan menggunakan lima indikator utama (A1, ..., A5). Setiap indikator diberi skor. Indikator A1 adalah persentase rumah tangga di desa yang menggunakan fasilitas listrik yang mewakili tingkat kekayaan masyarakat dari desa-desa. Indikator A2 adalah pendidikan yang dapat mewakili kapasitas masyarakat di desa-desa dalam mengelola risiko. Semakin tinggi 79
pendidikan kapasitas mereka dalam mengelola risiko lebih baik. Indikator ini terdiri dari lima sub-indikator yaitu jumlah TK (N), SD (E), SMP (J) pada tingkat kelurahan dan jumlah SMA (H) pada tingkat kecamatan dan jumlah Universitas (U) pada tingkat kota. Semua nilai-nilai sub-indikator dinormalisasi berdasarkan populasi dari masing-masing Kelurahan. Penskoran dari nilia IA2 pada tiap kelurahan dihitung menggunakan rumus berikut:
IA2i= 1/Pi * (0.07*Ni+0.13*Ei+0.20*Ji) + 1/Pij*(0.27*Sj)+1/Pik*(0.33*Uk) Dimana Pi, Pij, dan Pik adalah jumlah populasi pada kelurahan-i, kecamatan-j Kelurahan-i, dan kecamatan-k kelurahan-i. Karena nilai indikator sangat kecil, maka semua indikator dinormalkan dengan skor tertinggi untuk mendapatkan kisaran skor antara 0 dan 1. Indikator A3 merupakan sumber penghasilan utama masyarakat di kelurahan. Untuk kelurahan-kelurahan di mana sumber utama pendapatan masyarakat sangat dipengaruhi oleh variabilitas iklim akan memiliki skor kapasitas rendah. Nilai indikator berdasarkan sumber utama pendapatan disajikan pada Tabel 5-2. Dalam kasus ini misalnya, kelurahan di mana pertanian merupakan sumber utama pendapatan masyarakat, maka nilai indikator adalah 0,25. Tabel 5-2. Nilai indikator berdasarkan jenis sumber pendapatan utama di suatu kelurahan No 1 2 3 4
Sumber utama pendapatan Skor (nilai indikator) Pertanian 0.25 Pertambangan dan industri 0.50 Perdagangan, transportasi dan bisnis komunikasi 0.75 dll. Jasa 1.00
Indikator A4 adalah fasilitas kesehatan yang mewakili akses masyarakat ke fasilitas kesehatan. Semakin baik fasilitas kesehatan di Kelurahan maka kelurahan ini memiliki kapasitas yang lebih tinggi. Indikator ini lebih lanjut dibagi ke dalam 5 sub-indikator yaitu: jumlah Poliklinik (Pl), Posyandu (Ps), Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas, Pk), Klinik Bidan (B) dan Klinik Dokter (D). Semua nilainilai sub-indikator dinormalisasi dengan jumlah populasi Kelurahan yang bersangkutan. Nilai skor di setiap Kelurahan IA4 dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: IA4i= 1/Pi * (0.3*Pli+0.2*Psi+0.2*Pki+0.1*Bi+ 0.2*Di) Karena nilai skor indikator ini sangat kecil, semua nilai dibagi dengan skor tertinggi untuk mendapatkan nilai-nilai skor indikator berkisar dari 0 hingga 1 Indikator 5 adalah jenis dominan dari infrastruktur jalan. Untuk data ini kita mendefinisikan desa di mana infrastruktur jalan yang dominan terbuat dari aspalt akan memiliki nilai 1 Sementara bagi mereka yang non-aspalt akan mempunyai nilai 0. Rumus untuk menghitung CI adalah sebagai berikut:
80
5
CI i = ∑ wij * I Aij j =1
Di mana subskrip -ith mewakili desa -ith dan Wij adalah nilai bobot untuk indikator A-jth dari desa -ith. Pemilihan nilai-nilai bobot bersifat subjektif, didasarkan pada pemahaman dan pengetahuan para ahli pada tingkat relatif pentingya suatu indikator dalam menentukan tingkat kapasitas. Dengan rumus ini, semakin tinggi nilai indeks kapasitas, semakin tinggi kapasitas kelurahan. Serupa dengan Indeks Kapasitas (CI), Indeks Kerentanan (VI) juga dikembangkan dengan menggunakan pendekatan yang sama. Ada delapan indikator utama (B1, ..., B8) sebagaimana ditetapkan dalam Tabel 4. Indikator B1 adalah persen dari rumah tangga di Kelurahan yang tinggal di tepi sungai. Karena nilai indikator ini akan sangat kecil, agar memiliki indikator nilai berkisar dari 0 hingga 1, maka semua nilai-nilai dalam indikator ini telah dibagi dengan nilai maksimalnya. Indikator B2 adalah jumlah bangunan yang terletak di tepi sungai. Semua nilai-nilai indikator ini sudah dinormalisasi oleh jumlah maksimum bangunan yang terletak di tepi sungai. Indikator B3 adalah fraksi dari Kelurahan yang menerima layanan air minum. Kelurahan di mana sebagian besar masyarakat mendapatkan air minum dari Perusahaan Air Minum Negara (PDAM) akan kurang rentan terhadap dampak kekeringan karena PDAM biasanya masih bisa mensuplai air minum pada semua musim (kering atau basah). Nilai indikator ini dinormalisasikan dengan jumlah penduduk pada kelurahan tersebut. Karena nilai indikator ini akan sangat kecil, agar memiliki indikator nilai berkisar dari 0 hingga 1, maka semua nilai-nilai dalam indikator ini telah dinormalkan dengan nilai maksimalnya. Nilai skor dari indikator ini adalah satu dikurangi dengan nilai skor yang telah dinormalkan tadi. Indikator B4 adalah kepadatan penduduk di mana semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk maka akan lebih tinggi tingkat paparan dari masyarakat terhadap bencana. Hal ini menempatkan kelurahan tersebut lebih rentan. Untuk mendapatkan nilai-nilai dari indikator berkisar dari 0 hingga 1, semua nilai-nilai dalam indikator ini telah dibagi dengan nilai maksimal. B5 adalah indikator jumlah rumah tangga miskin. Nilai indikator ini adalah dinormalkan dengan ukuran penduduk Kelurahan. Indikator B6 adalah fraksi wilayah pesisir di Kelurahan. Kelurahan dengan fraksi pesisir tinggi akan lebih rentan daripada Kelurahan dengan fraksi pesisir kecil, karena tingkat pemaparan kelurahan ini terhadap dampak kenaikan permukaan laut akan lebih tinggi daripada yang terletak di pedalaman. Fraksi pesisir ditentukan dengan membagi daerah yang terkena gelombang pasang 100 m di setiap Kelurahan dengan luas wilayah Kelurahan tersebut(Gambar V-1). Hal ini dikarenakan genangan air pasang tinggi (rob) biasanya digunakan sebagai indikator dampak kenaikan permukaan air laut, sedangkan penambahan jarak 100 meter digunakan untuk mengantisipasi air pasang ekstrem.
81
Area affected by tide+100 m
Gambar 5-1. Area pantai yang dipengaruhi oleh gelombang setinggi +100 m Indikator B7 adalah fraksi sungai yang ditentukan berdasarkan urutan (order) sungai. Order sungai ditentukan dengan menggunakan metode Strahler (1986). Dalam metode ini, jaringan sungai dinotasikan sebagai angka berdasarkan tingkat (order). Bagian atas aliran sungai diberi nomor notasi sama dengan 1, dengan demikian, hal itu disebut sebagai order-1. Segmen sungai di mana kita dapat menemukan pertemuan antara order-1 didefinisikan sebagai order ke-2 sungai, dan pertemuan antara order-2 mewakili order ke-3. Berdasarkan aturan ini, bagian dari sungai yang terbentuk sebagai hasil dari pertemuan antara order tertentu dianggap sebagai tingkat order berikutnya. Namun, dalam kasus di mana dua order dengan tingkat yang berbeda bertemu di segmen tertentu, hal ini dapat mengacu pada order tertinggi. Gambar V-2A mengilustrasikan order tertinggi sungai ditandai dengan garis merah. Dalam kasus ini, sungai memiliki order-4 sebagai tingkat tertinggi. Urutan tertinggi ini biasanya diwakili oleh lokasi dari akumulasi aliran permukaan, yang sangat sering menjadi sasaran banjir. Dalam studi ini, ditargetkan luas wilayah banjir seperti yang ditunjukkan pada Gambar V-2B diasumsikan sejauh 100 meter ke kiri dan kanan sisi segmen. Indikator B8 mengindikasikan fraksi kelurahan yang tidak memiliki fasilitas drainase. Indikator B9 non-kawasan terbuka hijau yang akan menentukan kapasitas tanah dalam menyerap curah hujan. Semakin tinggi indikator ini, semakin tinggi tingkat kerentannya.
82
A
B
Gambar 5-2.Penentuan order aliran tertinggi (A) & pendugaan luas dari luapan air sungai (B) Formula untuk menghitung CI adalah sebagai berikut: 5
VI i = ∑ wij * I Bij j =1
Di mana subskrip -ith mewakili Kelurahan-ith dan Wij bersifat subjektif, didasarkan pada pemahaman dan pengetahuan para ahli pada tingkat kepentingan relatif dari suatu indikator dalam menentukan tingkat kapasitas. Dengan formula ini, semakin tinggi indeks, semakin rentan kelurahan ini. 5.2. Klasifikasi Kelurahan (Desa) Berdasarkan Indeks Kerentanan dan Kapasitas Untuk mengelompokkan desa-desa berdasarkan tingkat kerentanan dan kapasitas, semua nilai-nilai VI dan CI dari semua Kelurahan dikurangi 0,5. Sebagai VI dan nilai-nilai CI berkisar dari 0 hingga 1, dengan mengurangi nilai-nilai dengan indeks 0.5, maka nilai VI dan CI akan berkisar dari -0,5 ke 0,5. Posisi relatif Kelurahan menurut CI dan VI ditentukan berdasarkan posisi mereka di lima Kuadran seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5-3. Kelurahan yang terletak di Kuadran 5 akan memiliki CI rendah dan VI tinggi. Sedangkan kelurahan yang terletak di kuadran 1 akan mempunyai VI rendah dan CI tinggi. Berdasarkan sistem klasifikasi ini, jika kelurahan terletak di kuadran 5 terkena bencana tertentu, dampaknya akan lebih parah dibandingkan dengan kelurahan apabila kelurahan tersebut terletak di kuadran 1.
83
High Vulnerability Index +0.50
5
4 +0.25
Low Capacity Index
3
2
High Capacity Index
-0.25
1
-0.50 -0.50
-0.25 Low Vulnerability +0.25 Index
+0.50
Gambar 5-3. Pengelompokan kelurahan berdasarkan indikator kapasitas dan kerentanan Untuk menilai perubahan V dan C di masa depan, kami hanya mempertimbangkan perubahan kepadatan penduduk (berdasarkan proyeksi pemerintah), pendidikan dan non-kawasan terbuka hijau (berdasarkan perencanaan wilayah atau RTRW), ini dikarenakan tidak tersedianya data dari sumber lain. Faktor-faktor yang digunakan untuk normalisasi skor indikator pada 2025 dan 2050 adalah sama dengan tahun baseline 2005.
84
(A)
(B)
(C) Gambar 5-4. Indeks Kerentanan dan Kapasitas Kelurahan (A) Baseline, (B) 2025, (C) 2050
Gambar 5-4 menunjukkan nilai indeks untuk kerentanan dan kapasitas untuk setiap kelurahan di Bandar Lampung. Pada kondisi baseline 2005, VI berkisar antara 0.23 hingga 0.51, pada tahun 2025 VI berkisar antara 0.22-0.52, sedangkan proyeksi untuk tahun 2050 VI berkisar antara 0.19 hingga 0.53. Berdasarkan hasil ini dapat dijelaskan bahwa tingkat kerentanan sedikit melebar, namun demikian masih dapat dianggap stabil, mengingat hasil analisis yang diperoleh unuk proyeksi ke depan (2050) pada level yang dapat dikatakan sama dengan kondisi baseline 2005. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kondisi lingkungan yang sama kemampuan untuk beradaptasi lebih meningkat. Kondisi tersebut ditunjukkan pula dengan semakin meningkatnya nilai indeks CI. Pada tahun 2005, nilai CI bervariasi pada kisaran 0.29-0.96, tetapi proyeksi untuk tahun 2025 menunjukkan peningkatan yang signifikan 0.41-1.02, dan proyeksi pada tahun 2050 menunjukkan nilai indeks 0.431.05. Berdasarkan hasil proyeksi ini menunjukkan bahwa kemampuan kapasitas atau adaptasi masyarakat di Bandar Lampung cukup baik.
85
(A)
(B)
(C)
Figure 5-5. Coping capacity index of Kelurahan of Lampung City (A) Baseline, (B) 2025, (C) 2050 Kondisi kerentanan dan kapasitas ditunjukkan mulai dari sangat rendah (hijau) hingga sangat tinggi (merah). Berdasarkan Gambar 5-5, terlihat bahwa kondisi baseline 2005 dan kondisi proyeksi pada tahun 2025 dan 2050 tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Namun demikian dari gambaran tahun 2050, terlihat bahwa pada sebagian daerah yang semula ditunjukkan dengan warna merah (sangat tinggi) berubah menjadi oranye (tinggi) dan pada sebagian daerah lain warna kuning (medium) berubah menjadi warna hijau (very low), artinya terjadi penurunan VI atau peningkatan CI. Meskipun ada juga sebagian kecil daerah yang semula berwarna kuning (medium) menjadi oranye (high), artinya terjadi peningkatan VI atau penurunan CI.
86
BAB 6 ANALISIS RISIKO IKLIM
6.1. Metodologi untuk Pemetaan Risiko Iklim Untuk menilai risiko iklim saat ini dan masa depan, kita mengadopsi definisi risiko iklim seperti yang disarankan oleh Beer dan Ziolkowski (1995) dan Jones et al. (2004). Risiko didefinisikan sebagai fungsi dari probabilitas dari kejadian iklim tak terduga untuk terjadi dan konsekuensi dari kejadian iklim tak terduga jika itu terjadi. Dengan demikian risiko dapat disajikan dalam bentuk matriks risiko (Tabel 6-1). Dari Tabel 6-1, kita dapat mendefinisikan risiko iklim akan sangat tinggi jika kemungkinan terjadi kejadian tak terduga sangat mungkin dan konsekuensi dari peristiwa bencana bersifat katastrofik. Tabel 6-1. Matriks risiko sebagai fungsi dari probabilitas dari kejadian tak terduga untuk terjadi dan konsekuensi jika kejadian tak terduga itu terjadi. Kemungkinan Konsekuensi katastropik kritis Marginal
Probabilitas terjadinya suatu kejadian yang tidak diharapkan Kemungkinan Sangat Mungkin Mungkin kecil Sangat Tinggi Tinggi Medium Tinggi Medium Rendah Medium Rendah Sangat Rendah
Konsekuensi dari kejadian akan tergantung pada rentang adaptasi (coping range) yang dibentuk oleh berbagai biofisik, sosial dan faktor-faktor ekonomi. Coping range merupakan selang toleransi dari suatu sistem terhadap keragaman iklim. Apabila kondisi iklim melewati selang toleransi ini maka sistem akan rusak atau keberlanjutan dari sistem akan terganggu (Boer, 2007). Dalam konteks ini, coping range dapat diwakili oleh indeks kerentanan dan kapasitas. Jadi jika peristiwa tak terduga terjadi di kelurahan dengan indeks kerentanan tinggi dan kapasitas yang rendah, dampak dari kejadian itu akan tinggi. Jika itu terjadi di kelurahan dengan kerentanan rendah dan kapasitas yang tinggi, dampaknya diharapkan akan rendah. Dalam studi ini, kami mengadopsi lima tingkat coping capacity index seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.4. Untuk memasukkan beberapa bencana iklim yang ditampung dalam matriks risiko iklim, kita memodifikasi kemungkinan kejadian tak terduga yang didefinisikan dalam Tabel 6-2 sebagai indeks yang disebut indeks komposit bencana iklim/composite climate hazard index (CCHI). The Climate Hazard Index (indeks bencana iklim/CHI) is dihitung mengikuti formula: n
CCHI i = ∑ wij * CHI ij j =1
di mana CCHIi adalah indeks bencana iklim komposit dari kelurahan ke-i, wij adalah bobot bencana iklim ke-j di kelurahan ke-i dan CHIij adalah indeks bencana iklim kej dari kelurahan ke-i. Jenis bencana iklim yang dianalisis dalam studi ini adalah 87
banjir, kekeringan, longsor dan kenaikan permukaan laut (robs). Angin yang kuat sangat jarang terjadi di kota karena itu kita mengecualikan dalam analisis ini. Bobot dan formula yang digunakan untuk menghitung indeks bencana iklim diberikan pada Tabel 6-2. Matriks risiko iklim yang disesuaikan disajikan pada Tabel 6-3. Tabel 6-2. Bobot dan rumus untuk menghitung indeks bencana iklim Tipe bencana
Bobot*
Formula Probabilitas untuk mempunyai curah hujan melebihi 339 mm dikalikan dengan rataan wilayah Kelurahan yang dipengaruhi oleh banjir. Untuk mendapatkan nilai index antara 0 – 1, maka nilai yang diperoleh dari 1.25 hitungan dinormalisasikan dengan nilai maksimumnya. Probabilitas untuk mempunyai bulan kering dengan panjang lebih dari 6 bulan dikalikan dengan jumlah bulan kering di atas 6 bulan (DM6+). Bulan kering adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 129 mm. Jika total bulan kering adalah 8 bulan, maka DM6+ = 2 bulan. Untuk mendapatkan nilai index antara 0 – 1, maka nilai yang diperoleh dari 1.50 hitungan dinormalisasikan dengan nilai maksimumnya. Probabilitas untuk mempunyai curah hujan lebih besar dari nilai Q2 dikalikan dengan indikator kelerengan dari kelurhan bersangkutan. Kelurahan yang memiliki lokasi dengan kelerengan lebih besar dari 45o, 0.75 maka nilai indikator sama dengan 1, selainnya bernilai 0.
Banjir
Kekeringan
Tanah Longsor Kenaikan muka air laut Max CCHI
1.00 Fraksi dari kelurahan yang tergenang akibat kenaikan permukaan air laut 4.50
Catatan: Bobot sangat subjektif dan ditentukan berdasarkan Expert Judgement. Kekeringan memiliki bobot tertinggi karena dampaknya bisa lebih parah daripada banjir pada durasi dan luas wilayah yang terkena dampak. Dampak banjir, longsor dan kenaikan permukaan laut lebih lokal daripada kekeringan. Tabel 6-3.
Matriks risiko iklim menurut coping capacity index dan composite climate hazard index (CCHI, indeks komposit bencana iklim)
Coping Capacity Index 5 4 3 2 1
Indeks komposit bencana iklim (CCHI) Lebih dari 3.5 Antara 2.0 dan 3.5 Kurang dari 2.0 Sangat Tinggi Tinggi Sedang - Tinggi Tinggi Sedang - Tinggi Sedang Sedang - Tinggi Sedang Sedang - Rendah Sedang Sedang - Rendah Rendah Sedang - Rendah Rendah Sangat Rendah
Metodologi untuk menentukan ambang curah hujan yang menyebabkan banjir dan kekeringan didasarkan pada distribusi statistik dari curah hujan bulanan dan data bencana dari 7 kelurahan (Tabel 6-4). Ambang batas kritis curah hujan tersebut ditetapkan berdasarkan karakteristik dari bencana dan waktu terjadinya bencana (bulan dan tahun) dan intensitas curah hujan bulanan regional dari tahun yang bersangkutan (berdasarkan data dari Stasiun Masgar, 05°10'12" LS dan 105°10'29.4" BT). 88
Table 6-4. Kejadian banjir dan kekeringan di Kota Bandar Lampung Type of Disasters Flood
Name of Village Panjang Selatan Sukabumi Indah Pasir Gintung Kota Karang Kangkung Batu Putu
Drought
Panjang Selatan Sukabumi Indah Pasir Gintung Kota Karang Kangkung Batu Putu
Date and Month Oct-Dec Jul
Incident Year 1981-2007 2008
Sub-District Panjang Sukabumi Tanjung Karang Pusat Teluk Betung Barat Teluk Betung Selatan Teluk Betung Utara
Lon 105.3231 105.2956
Lat -5.4752 -5.3983
105.2571
-5.4047
18-Dec
2008
105.2606
-5.4547
Aug-Oct
2008.2009
105.2677
-5.4465
Jan
2006.2009
105.2229
-5.4314
Panjang Sukabumi Tanjung Karang Pusat Teluk Betung Barat Teluk Betung Selatan Teluk Betung Utara
105.3231 105.2957
-5.4752 -5.3983
Rainy season May-Aug, JanMar May-Oct
Every year Every year
105.2571
-5.4047
Apr-Oct
Every year
105.2606
-5.4547
Feb-Sept
Every year
105.2677
-5.4465
Every month
Every year
-5.4314
May-Oct
Every year
105.2229
2006
Sumber: Bappeda Lampung (2006)
Berdasarkan Boxplot data curah hujan bulanan musim kemarau dan musim hujan (Gambar 6-1), kami menemukan curah hujan yang memisahkan dua distribusi curah hujan bulanan yaitu sebesar 129 mm. Nilai ini diambil sebagai ambang curah hujan yang menyebabkan kekeringan ketika kekeringan terjadi setiap tahun (Tabel 64). Ini berarti bahwa jika curah hujan di bawah 129 mm, kekeringan akan terjadi. Untuk banjir, kita mengadopsi nilai kritis 339 mm (kuartil 3 dari distribusi) karena banjir tidak terjadi setiap tahun sebagaimana kekeringan. Jadi, jika curah hujan musim hujan di atas nilai ini, banjir akan terjadi.
Figure VI-1.
Threshold for flood, 339 mm
Threshold for drought, 129 mm
Gambar 6-1 Box plot curah hujan bulanan pada musim hujan dan kemarau selama tahun-tahun terjadi bencana dan tahun-tahun tidak terjadi bencana
89
6.2. Klasifikasi Kelurahan (Desa) berdasarkan Tingkat Eksposur terhadap Risiko Iklim Gambar 6.2 menunjukkan Indeks Komposit Bencana Iklim baseline 2005, skenario bencana iklim A2 pada tahun 2025, A2 pada tahun 2050, B1 pada`tahun 2025 dan skenario bencana iklim B1 pada tahun 2050. Analisis menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah berada pada kisaran indeks <1,5 (ditunjukkan dengan warna hijau dan kuning pada gambar), dan hanya sebagian kecil yang >1,5 (ditampilkan dalam warna merah pada skenario A2 dan B1), yaitu di bagian selatan Kecamatan Panjang.
A
D
B
E
C
F
Gambar 6-2. Indeks Bencana Iklim komposit Bandar Lampung. Catatan: (A) & (D) Bencana Iklim Baseline, (B) Bencana Iklim skenario A2 2025, (C) Bencana Iklim skenario A2 2050, (E) Bencana Iklim skenario B1 2025, (F) Bencana Iklim skenario B1 2050. Catatan: Hijau (<0,75), Kuning (1,75-1,50), Merah (> 1,50) 90
Dalam skenario A2, daerah yang memiliki indeks >1,5 sedikit lebih lebar (Gambar 6.2 B dan C) dari pada baseline atau skenario B1, yang ditunjukkan oleh sebagian dari Kecamatan Teluk Betung Barat. Baseline Bencana Iklim tahun 2005, ketika diproyeksikan dengan skenario A2 dan B1 pada tahun 2025 dan 2050, pada banyak wilayah tidak mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan kemampuan adaptasi yang baik. Adaptasi akan menentukan lebar atau sempitnya coping range (interval toleransi). Kemampuan adaptasi yang lebih tinggi akan memiliki interval toleransi dari sistem yang lebih luas.
A
B
C
D
E
F
Gambar 6-3. Klasifikasi Kelurahan berdasarkan tingkat eksposur mereka terhadap risiko iklim (A) & (D) Risiko Iklim Baseline, (B) Risiko Iklim skenario A2 2025, (C) Risiko Iklim skenario A2 2050, (E) Risiko Iklim skenario B1 2025, (F) Risiko Iklim B1 skenario 2050 91
Klasifikasi Kelurahan berdasarkan tingkat eksposur risiko iklim ditunjukkan pada Gambar 6.3. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada Kelurahan dengan kategori risiko iklim Sangat Tinggi (VH) saat ini (kondisi baseline). Kategori tertinggi adalah hanya Menengah ke Tinggi (M-H). Ada sekitar 14 Kelurahan (14,2%) dengan kategori risiko M-H. Ini termasuk Kota Karang dan Perwata (Kecamatan Teluk Betung Barat), Kelurahan Gunung Terang (Kecamatan Tanjung Karang Barat), Kelurahan Tanjung Senang dan Way Kandis (Kecamatan Tanjung Senang Sub-distrik), Kelurahan Waydadi (Kecamatan Sukarame), Sepang Jaya dan kelurahan Kedaton (Kecamatan Kedaton), Kelurahan Kangkung, Bumi Waras dan Teluk Betung (Kecamatan Teluk Betung Selatan), dan Kelurahan Panjang Selatan dan Srangsem (Kecamatan Panjang). Sisanya adalah 5 Kelurahan (5.1%) berada pada risiko iklim M (Menengah), 36 Kelurahan (36,7%) pada risiko iklim L-M (Rendah ke Medium), 22 Kelurahan (22,4%) pada risiko L (rendah) dan 21 (21,4%) Kelurahan pada risiko iklim VL (sangat rendah). Di masa depan (skenario 2025 dan 2050), lebih banyak Kelurahan, terutama di bawah skenario SRESB1, akan terkena risiko iklim yang lebih tinggi (Gambar 6.4). Ada dua Kelurahan akan pindah dari M-H ke kategori risiko iklim tinggi, yaitu kelurahan Gunung Mas di Kecamatan Teluk Betung Utara dan Kelurahan Garuntang di Kecamatan Teluk Betung Selatan. Sementara banyak dari Kelurahan dengan kategori risiko L-M akan pindah ke kategori risiko sedang (M) (Gambar 6.4).
Gambar 6.4. Jumlah Kelurahan menurut kategori Indeks Risiko Iklim Analisis di atas menunjukkan bahwa bagaimana perubahan dalam kondisi sosialekonomi dan biofisik akan mengubah kapasitas ketahanan Kelurahan. Program adaptasi harus diprioritaskan di Kelurahan dengan indeks kerentanan tinggi dan indeks kapasitas rendah dan sedang terkena atau berpotensi terkena indeks bencana iklim yang tinggi. Untuk mengurangi tingkat risiko Kelurahan terhadap dampak perubahan iklim, infrastruktur dan program pengembangan masyarakat harus diarahkan untuk meningkatkan indikator-indikator sosial-ekonomi dan biofisik dalam mempersiapkan kapasitas kerentanan dan adaptasi dari Kelurahan.
92
BAB 7 PEMERINTAH DAN KELEMBAGAAN DALAM KAJIAN KERENTANAN PERUBAHAN IKLIM
7.1.
Climate Hazard di Kota Bandar Lampung
Kota Bandar Lampung merupakan kawasan dengan bentuk daratan dan perbukitan dengan letak ketinggian berada antara 0-700 mdpl. Dilihat dari ketinggian yang dimilikinya, kecamatan yang terketak diatas perbukitan dengan ketinggian 700 mdpl yaitu Kedaton dan Rajabasa, sedangkan kecamatan dengan ketinggian 2-5 mdpl yaitu Teluk Betung Selatan dan Panjang. Secara geologis, kota Bandar Lampung terletak pada jalur patahan berpotensi aktif yang setiap saat dapat menimbulkan ancaman gempa. Kompleksitas pengaturan tataguna lahan dan kepadatan penduduk telah membuat kota Bandar Lampung menjadi kota yang sangat rentan terhadap berbagai ancaman seperti gempa bumi, tanah longsor, kebakaran dan lain-lain. Berdasarkan data distribusi episentrum gempa dangkal dan menengah di sekitar Selat Sunda, terlihat bahwa daerah Kota Bandar Lampung kurang dipengaruhi aktivitas gempa bumi Benioff Zone, namun sangat dipengaruhi oleh aktivitas gempa bumi dangkal yang berhubungan dengan aktivitas patahan-patahan. Kota Bandar Lampung termasuk dalam wilayah 4 dan wilayah 5 (Standar Perancangan Ketahanan Gempa – SNI 03-126-2002) dengan percepatan gravitasi 0.20-0.25 g1. Wilayah 4 dan wilayah 5 menunjukan bahwa kota Bandar Lampung merupakan wilayah yang punya probabilitas cukup tinggi untuk kejadian gempa bumi. Potensi bencana lain yang dapat mengancam kota Bandar Lampung adalah letusan gunung berapi. Kota Bandar Lampung terletak lebih dari 50 km sebelah barat laut Gunung Krakatau, salah satu gunung berapi yang masih aktif di Selat Sunda. Meskipun jaraknya relatif jauh, namun berdasarkan catatan kejadian, Kota Bandar Lampung pernah mengalami dampak letusan gunung api pada tahun 1883 dan 1928. Kemungkinan bahaya yang mengancam adalah hujan abu, mulai dari material ukuran halus sampai kasar yang dapat mengakibatkan robohnya atap bangunan, rusaknya hutan dan tanaman pertanian serta menyebabkan sakit mata dan saluran pernafasan. Banjir yang terjadi di kota Bandar Lampung disebabkan banyak faktor antara lain bentuk geografis wilayah dan budaya masyarakat yang tidak peduli kelestarian lingkungan. Beberapa daerah tangkapan air sungai yang ada telah rusak terutama pada bagian hulu. Sedangkan dibagian tengah karena keterbatasan lahan dan ketidakteraturan dalam penataan lingkungan beberapa wilayah tampungan air/retensi alam dibangun menjadi perumahan, perkantoran maupun fasilitas umum sehingga daerah parkir air menjadi berkurang. Sedangkan di bagian hilir kepadatan penduduk tinggi mendorong masyarakat memanfaatkan daerah bantaran kali untuk permukimannya segingga muncul kawasan kumuh. Kondisi diatas menyebabkan kapasitas tampung sungai menjadi berkurang dan pada musim hujan terjadi banjir.
1
Laporan Akhir Studi Mitigasi Bencana Kota Bandar Lampung T.A 2008, hal 4-4
93
Bencana longsor merupakan suatu bencana alam yang sering terjadi di wilayah Indonesia, termasuk kota Bandar Lampung. Longsor merupakan bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat yang relatif pendek dalam jumlah (volume) yang sangat besar. Longsor sangat dipengaruhi keseimbangan air dalam tanah. Berdasarkan catatan pernah terjadi kejadian longsor Bukit Camang di Poncoh Raya, Teluk Betung Barat pada tanggal 29 Maret 2007. Selain ancaman bencana alam yang sering terjadi, Kota Bandar Lampung juga tidak dapat terhindar dari pengaruh dan dampak perubahan iklim yang sedang terjadi di semua belahan dunia. Perubahan iklim akan memberikan pengaruh dan dampak yang lebih signifikan terhadap masyarakat dan wilayah yang berada di kawasan pesisir/pantai, termasuk kota Bandar Lampung yang terletak di Teluk Lampung. Perubahan iklim secara mendasar akan meningkatkan frekuensi dan durasi dari bahaya dan ancaman alam serta berbagai kejadian dan dampak yang dirasakan. Hasil analisis perubahan iklim dan kejadian ekstrem yang dilakukan CCROM untuk kota Bandar Lampung mengindikasikan terjadinya perubahan signifikan awalnya musim, dimana awal musim hujan cenderung terlambat dan durasinya lebih pendek pada saat ini. Dari rekaman data historis stasiun pemantauan hujan sekitar Bandar Lampung menunjukan adanya kecenderungan yang menurun jatuhnya hujan di semua musim. Terjadi penurunan curah hujan yang rendah di musim basah (SON dan DJF) dan penurunan curah hujan yang tinggi di musim kemarau (MAM dan JJA). Hal ini menunjukan bahwa musim hujan cenderung berakhir dengan cepat dibandingkan dengan kondisi normal yang terjadi di masa lalu (sebelum tahun 1970an). Analisis kecenderungan jangka panjang dengan data Climate Research Unit (CRU) untuk kota Bandar Lampung menunjukan hasil yang tidak konsisten dengan analisis trend dikarenakan adanya variasi keragaman data curah hujan dalam satu dekade (IPO) dan juga terkait dengan modulasi frekuensi rendah dari El Nino (ENSO) terutama setelah tahun 1970-an. Perubahan iklim menimbulkan dampak yang secara cepat dirasakan masyarakat dengan adanya berbagai kejadian ekstrem. Berdasarkan informasi masyarakat dan studi mitigasi bencana di kota Bandar Lampung menunjukan bahwa kejadian ekstrem yang frekuensinya sering terjadi adalah kekeringan, angin ribut, banjir dan rob (naiknya muka air laut). Kekeringan dan banjir terjadi secara dominan di kampung Sukabumi dan Batu Putu, sementara Panjang Selatan mengalami hampir semua ancaman bencana. Rob sering terjadi di Panjang Selatan, Kota Karang dan Kangkung. Kejadian banjir biasanya terjadi pada bulan November – April, sementara rob terjadi antara September dan Desember sedangkan angin ribut antara bulan Desember dan Maret. Prediksi iklim kota Bandar Lampung di masa depan menunjukan bahwa sebagian model memperkirakan bahwa curah hujan di musim hujan (des-jan) diperirakan bahwa tahun 2025 dan 2050 akan meningkat dan sebagian model memprediksikan akan menurun. Pada tahun 2080, sebagian besar model menyatakan bahwa curah hujan bulan DJF akan meningkat, sedangkan untuk musim kemarau, hanya sebagian model yang memperirakan bahwa curah hujan akan meningkat. Kondisi diatas menunjukan bahwa curah hujan kota Bandar Lampung tidak akan berubah dalam atmosfir yang semakin memanas, meskipun keragaman curah hujan 94
akan semakin banyak terjadi. Hal ini menunjukan bahwa intensitas kejadian ekstrem akan semakin meningkat sebagai hasil dari meningkatnya frekuensi dan intensitas El Nino (ENSO). Tingkat kerentanan kota, penduduk dan sistem kota terhadap pengaruh dan dampak perubahan iklim sangat bergantung pada berbagai faktor termasuk kapasitas dalam beradaptasi. Berbagai faktor tersebut meliputi fisik, lingkungan, sosial, ekonomi dan sumberdaya manusia. Salah satu komponen dalam faktor sosial yang mempengaruhi tingkat kerentanan kota adalah berkaitan dengan fungsi kepemerintahan dan kelembagaan (governance and institutions). Pembahasan yang akan dilakukan pada bagian ini selanjutnya lebih menguraikan hasil analisis mengenai komponen kepemerintahan dan kelembagaan dalam rangka penilaian tingkat kerentanan kota terhadap perubahan iklim. Analisis kepemerintahan dan kelembagaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kajian faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan secara fisik, lingkungan, ekonomi dan sumberdaya manusia yang dilakukan oleh CCROM dan Mercy Corps. 7.2.
Ruang Lingkup Komponen Kepemerintahan dan Kelembagaan
Isu tata kepemerintahan (good governance) dan kelembagaan (institutional) membutuhkan perhatian khusus sebagai bagian sistem pengelolaan dan penyediaan dan juga perencanaan adaptasi yang secara langsung mempengaruhi kerentanan dan kapasitas adaptasi pada tingkat individu, sektor dan kota. Sistem tata kepemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif memungkinkan terjadinya tindakantindakan adaptasi. Ketahanan kota terhadap perubahan iklim dapat terwujud apabila Pemerintah Kota memiliki kemampuan respon cepat terhadap bencana, atau dapat mengembangkan rencana kota yang fleksibel terhadap dampak perubahan iklim. Sebaliknya kota yang rentan dan tidak memiliki daya tahan adalah kota yang memiliki banyak masalah termasuk kemiskinan, korupsi dan lemahnya koordinasi. Tentunya tidak hanya pemerintah kota yang berperan penting dalam pengelolaan sistem, sektor swasta, LSM, universitas dan organisasi kemasyarakatan adalah aktor penting dalam penyediaan pelayanan atau mekanisme yang dapat memperkuat kapasitas adaptasi. Misalnya penyediaan pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin oleh swasta, atau penyediaan air minum melalui tanki, atau perencanaan pengelolaan bencana yang dilakukan LSM dan organisasi kemasyarakatan. Hubungan antar sektor dan sistem dalam wilayah perkotaan membutuhkan pendekatan terpadu dan menyeluruh untuk memperkuat kapasitas dan mempertimbangkan tata kepemerintahan dalam berbagai tingkat. Bagaimanapun juga, koordinasi antar sektor dalam perencanaan kota seringkali lemah (misalnya rencana pembangunan ekonomi dan sosial terpisah dari penyusunan rencana pembangunan fisiknya). Seringkali, pelaku di luar pemerintah (misalnya swasta, LSM, pelaku sektor informal) yang menjadi aktor utama dalam penyediaan pelayanan, tidak dilibatkan dalam perencanaan untuk memperkuat ketahanan dari pelayanan yang diberikan (misalnya pengurangan risiko bencana, penyaluran sosial pelayanan kesehatan, penyediaan dan penyaluran air bersih, pendidikan dan kesadaran publik). Memahami tantangan-tantangan tersebut maka pemerintah
95
selayaknya mempromosikan upaya-upaya untuk memperkuat kapasitas adaptasi yang lebih terkoordinasi dan terencana. Kota-kota di Asia memiliki kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim, diperburuk dengan pesatnya urbanisasi, sering terjadinya kejadian iklim ekstrem, ketimpangan kesejahteraan dan akses terhadap pelayanan dan terbatasnya perencanaan kota serta tata guna lahan. Meluasnya dampak tersebut sangat bergantung tidak saja pada ketersediaan infrastruktur saat ini, tapi juga pada kapasitas kelembagaan dan proses kepemerintahan di kota-kota dalam mengelola dampak tersebut. Sistem perkotaan, seperti air, energi, transportasi, kesehatan dan sektor ekonomi sangat rentan terhadap dampak iklim karena saling ketergantungan dari sistem yang rumit ini. Kelompok sosial masyarakat, kaum perempuan, laki-laki, dan anak-anak menghadapi dampak yang berbeda dan mempunyai kapasitas adaptasi yang berbeda. Adanya ketidakpastian dalam perubahan iklim, menjadikan pentingnya suatu pendekatan yang mempertimbangkan banyaknya factor berpengaruh pada kerentanan dan siapa serta bagaimana setiap kelompok yang berbeda memiliki tingkat kerentanan yang berbeda pula. Dengan pengertian tersebut, maka suatu rencana dan strategi adaptasi seyogyanya dibuat dan dikembangkan berdasarkan kapasitas yang dimiliki dan memperhatikan faktor-faktor mendasar yang berpengaruh pada kerentanan setiap kelompok sosial yang berbeda. Lingkup penilaian kerentanan dilihat dari aspek tata kepemerintahan dan kelembagaan terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut : Pemetaan peran dari pemangku kepentingan dalam penyediaan dan pengelolaan sektor-sektor yang dipengaruhi iklim (misalnya air, sampah, drainage, sanitasi, kesehatan, perikanan, pertanian) Pemetaan proses dan struktur yang ada untuk perencanaan (pembangunan, pengelolaan bencana) Menilai bagaimana iklim dan adaptasi yang sekarang ini terintegrasi dalam program-program (jangka pendek dan panjang) dan bagaimana bisa berjalan efektif untuk menyesuaikan dengan risiko iklim di masa depan Menilai kekuatan dan kelemahan dari perencanaan mengintegrasi adaptasi, termasuk kapasitas fiskal
pemerintah
untuk
Mengidentifikasi mekanisme untuk program dan proses perencanaan untuk mencapai integrasi risiko dan adaptasi yang lebih baik 7.3.
Pemetaan peran stakeholder dalam penyediaan dan pengelolaan sektorsektor terkait dengan perubahan iklim
Identifikasi Pemangku Kepentingan (Stakeholder Identification) Bagian ini menguraikan pemetaan dan analisis peran pemangku kepentingan (stakeholder mapping and analysis) dalam penyediaan dan pengelolaan sektor-sektor terkait dengan perubahan iklim. Analisis pemangku kepentingan adalah suatu pengertian yang mengacu pada tindakan untuk menganalisa perilaku pemangku kepentingan terhadap sesuatu (biasanya suatu proyek) dan perubahan yang akan
96
terjadi2. Sedangkan yang dimaksud dengan pemangku kepentingan (stakeholder) adalah orang atau organisasi yang terkena dampak baik secara positif maupun negatif atau penyebab suatu dampak dari tindakan yang dilakukan. Pemangku kepentingan terkait perubahan iklim di Kota Semarang adalah orang atau organisasi pemerintah, swasta dan masyarakat yang terkena dampak atau menjadi penyebab munculnya berbagai kejadian ekstrem akibat perubahan iklim. Pemetaan dan analisis pemangku kepentingan dilaksanakan melalui beberapa tahapan mulai dari: (i) mengidentifikasi pemangku kepentingan yang terkait langsung dan tidak langsung dengan sektor-sektor perubahan iklim, (ii) menganalisis peran dan tanggung jawab serta kontribusi masing-masing pemangku kepentingan di masing-masing sektor perubahan iklim, (iii) memetakan tingkat kepentingan dan kekuatan yang dimiliki masing-masing pemangku kepentingan dalam upaya penyediaan dan pengelolaan sektor-sektor terkait perubahan iklim. Klasifikasi pemangku kepentingan umumnya dikelompokkan kedalam kategori sebagai berikut: Pemerintah Pusat (kementerian dan lembaga pemerintah non departemen), Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota/Kabupaten, Swasta/Dunia Usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi, Lembaga Kerjasama Internasional, Organisasi Kemasyarakatan, Asosiasi, dan lain-lain. Pemangku kepentingan dapat juga dikelompokan berdasarkan lingkup/posisi yaitu lingkup internal, yakni para pemangku kepentingan yang berada di lingkaran pengaruh terdalam dan lingkup eksternal, yakni pemangku kepentingan yang berada diluar pengaruh terdalam, namun mempengaruhi dan menentukan proses yang terjadi didalam. Dalam konteks ini, pemangku kepentingan internal yang berada didalam wilayah kota Bandar Lampung, sedangkan pemangku kepentingan eksternal yang berada di luar wilayah. Pemangku kepentingan internal berasal dari unsur pemerintah daerah (pemerintah kota), lembaga non pemerintah, sektor swasta, perguruan tinggi dan lainnya. Pengertian dari Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur Penyelenggara Pemerintah Daerah. Yang dimaksud perangkat daerah adalah unsur pembantu Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja, Lembaga Lain, Kecamatan dan Kelurahan. Dinas Daerah adalah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah yang mempunyai tugas membantu Walikota dalam melaksanakan kewenangan desentralisasi Pemerintah Daerah di bidangnya. Terdapat 17 Dinas Daerah yang dibentuk di Kota Bandar Lampung3. Lembaga Teknis Daerah adalah merupakan unsur pendukung tugas Walikota dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang sifaktnya spesifik. Terdapat 8 (delapan) Lembaga Teknis Daerah dan 1 (satu) satu satuan pamong praja (Satpol PP) di Kota Bandar Lampung4.
2
3
Wikipedia, stakeholder analysis diakses pada tanggal 8/1/2010 Perda Nomor 3 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Bandar Lampung
4
Perda Nomor 4 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Pamong Praja Kota Bandar Lampung
97
7.4.
Permasalahan Perkotaan di Bandar Lampung yang Terkait dengan Adaptasi Perubahan Iklim
a. Banjir Meskipun Kota Bandar Lampung terletak diatas 100meter diatas permukaan laut (mdpl) akan tetapi Kota Bandar Lampung sering mengalami masalah banjir. Bahkan pada akhir tahun 2008 Kota ini mengalami masalah banjir yang cukup besar yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar. Banjir yang terjadi di Kota Bandar Lampung disebabkan atas beberaa hal antara lain tingginya curah hujan, buruknya drainase kota, berkurangnya luas bantaran sungai, kebiasaan buruk masyarakat membuang sampah sembarangan, dan berkurangnya daerah terbuka hijau. Hal lain yang juga sangat berperan menjadi penyebab banjir di kota ini adalah penyempitan sungai yang mempunyai DAS berukuran kecil yang merupakan drainase utama dari daerah pantai di sekitar Telukbetung dan Panjang. Sungai-sungai tersebut adalah Way Kupang di Kecamatan Telukbetung Selatan, Way Sukamaju di Kecamatan Telukbetung Barat, serta Way Galih dan Way Lunik di Kecamatan Panjang. Penyempitan saluran dan sedimentasi di daerah ini cukup parah akibat padatnya permukiman penduduk. Sebagai akibatnya debit sungai yang berasal dari air hujan tidak bisa menyeberangi jalan utama kota dan menumpuk di daerah permukiman penduduk dan mengakibatkan banjir. Penyempitan sungai yang sporadis terjadi hampir di seluruh badan sungai yang dekat dengan permukiman penduduk. Akibatnya debit air tertahan dan membanjiri daerahdaerah permukiman yang berada di pinggir sungai. Selain masalah penyempitan lahan tersebut, banjir yang terjadi di Kota Bandar Lampung juga diakibatkan oleh gundulnya kawasan perbukitan Kota Bandar Lampung sebagai slah satu kawasan hijau kota. Pemerintah Bandar Lampung mengalami kesulitan untuk mengontrol perubahan fungsi lahan kawasan perbukitan karena umumnya kawasan perbukitan tersebut telah menjadi milik pribadi. Akibatknya para pemilik lahan dapat melakukan apapun terhadap lahan tersebut tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan. Serin terjadi selain masalah banjir, semakin berkurangnya kawasan perbukitan ini juga mengakibatkan longsor dikawasan tersebut yang tidak jarang memakan korban. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah kota Bandar Lampung telah melaksakan berbagai kegiatan baik dilakukan secara sendiri maupun bekerjsama dengan pemeritah pusat dan lembaga swadaya masyarakat. Beberapa program yang telah dilakukan antara lain program kali bersih, perbaikan drainase, pemberian perijinan yang lebih ketat dan program dan kegiatan lainnya yang bertujuan untuk mengatasi masalah banjir dan sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan sungai. b. Air Minum dan Sanitasi Sebagaimana yang terjadi di sebagian besar kota di Indonesia, air mimum yang bersumber dari PDAM menjadi sumber utama bagi masyarakat perkotaan untuk memenuhi kebutuhan mereka. PDAM Way Rilau sebagai perusahaan daerah air minum yang memberikan pelayanan air minum di Kota Bandar Lampung berperan besar untuk memenuhi kebutuhan warga kota Bandar Lampung akan air minum. Akan tetapi sampai dengan thaun 2002, PDAM Way Rilau baru mampu memberikan kepada 66,1% penduduk kota Bandar Lampung (Laporan Pembangunan 98
Manusia 2004, Bappenas -- BPS – UNDP). Jumlah ini realtif cukup tinggi untuk kawasan perkotaan. Akan tetapi pada kenyataannya PDAM Way Rilau tidak dapat memberikan pelayanan secara menerus selama 24 jam karena terbatasnya debit air. Selain itu, masih sangat banyak warga masyarakat mengenah ke bawah yang belum memperoleh akses air minum dari PDAM ini. Oleh karena itu, dalam waktu dekat PDM akan menjalin kerjasama dengan pihak swasta untuk meningkatkan debit air sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat dengan tidak melupakan fungsi sosialnya untuk melayani masyarakat miskin untuk memperoleh air dengan harga yang terjangkau. Kondisi sanitasi lingkungan yang buruk di kawasan miskin perkotaan mengakibatkan kerugian ekonomi serta menurunkan kualitas hidup, terutama di kalangan wanita dan anak-anak. Situasi sanitasi yang parah menyebabkan berulangnya epidemi infeksi perut sehingga keberjangkitan penyakit thypus di Indonesia tercatat tertinggi di Asia Timur. Bandar Lampung merupakan salah satu kota di Indonesia yang juga menghadapi masalah sanitasi. Data Percik pada tahun 2008 menunjukkan bahwa cakupan pelayanan sanitasi di Kota Bandar Lampung adalah 69.32. Meski persentase ini cukup jauh dari cakupan pelayanan sanitasi nasional yang hanya 40,67%, hal ini menunjukkan bahwa masih ada sekitar 30% dari warga kota Bandar Lampung yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan sanitasi yang sehat. Menghadapi masalah ini pemerintah kota Bandar Lampung sejak tahun 2008 dan 2009 mengikuti program Sanitasi Masyarakat (Sanimas) yang bertujuan untuk untuk mengenalkan pilihan lain, yaitu Sistem Pembuangan Limbah Berbasis Masyarakat. Upaya ini diharapkan bisa menjadi pilihan pemerintah setempat dalam strategi pembangunan sanitasinya. Program ini diikuti pula oleh berbagai program yang disusun oleh pemerintah kota melalui dinas kesehatan seperti kegiatan kesehatan keluarga dan kampanye hidup sehat. Melalui kegiatan yang saling mendukung ini diharapkan jumlah warga yang memiliki akses terhadap sanitasi akan dapat meningkat. 7.5.
Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholder Analysis)
Analisis pemangku kepentingan dimaksudkan untuk melihat sejauhmana peran dan tanggung jawab masing-masing dalam penanganan sektor-sektor terkait perubahan iklim serta potensi kontribusi yang dapat dilakukan masing-masing pemangku kepentingan. Analisis terhadap peran dan kontribusi masing-masing pemangku kepentingan dikaitkan dengan penanganan dan pengelolaan sektor-sektor terkait perubahan iklim.
99
Tabel 7-1. Analisis Peran dan Kontribusi Pemangku Kepentingan dalam Perubahan Iklim Pemangku Kepentingan Pemerintah Pusat Direktorat Jenderal Sumber Daya Air
Peran, Tugas dan Tanggung Jawab
Bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta standarisasi teknis di bidang sumber daya air, melalui penyelenggaraan fungsi: perumusan kebijakan teknik, penyusunan program dan anggaran, pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan pengaturan pengelolaan SDA, pembinaan dan bantuan teknis, pengembangan sistem pembiayaan dan pola investasi, penyusunan NSPM SDA dan pelaksanaan administrasi urusan Ditjen. Direktorat Jenderal Bertugas merumuskan dan Cipta Karya pelaksanaan kebijakan dan standarisasi tekbis bidang Cipta karya, melalui penyelenggaraan fungsi: penyusunan kebijakan, program dan anggaran serta evaluasi kinerja, pembinaan teknis dan penyusunan NSPM, fasilitasi pembangunan dan pengelolaan infrastruktur, pengembangan sistem pembiayaan dan pola investasi, pembinaan teknis dan pengawasan pembangunan infrastruktur PU Keciptakaryaan: rumah susun, permukiman kumuh/nelayan, air minum dan sanitasi, bangunan gedung, penanggulangan darurat bencana Pemerintah Kota Bandar Lampung Badan Perencanaan Bertugas melaksanakan Pembangunan penyusunan dan pelaksanaan Daerah (Bappeda) kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah, melalui penyelenggaraan fungsi: perumusan kebijakan teknis, pengoordinasian penyusunan
Potensi Kontribusi dalam rangka penanganan sektor terkait perubahan iklim • Merumuskan kebijakan dan strategi nasional pengelolaan SDA dan penanganan banjir secara nasional; • Mengkoordinasikan dan memfasilitasi bantuan dan kerjasama dalam penanganan banjir; • Memberikan bantuan teknis penanganan banjir melalui anggaran pusat;
• Merumuskan kebijakan dan strategi nasional pembangunan keciptakaryaan: permukiman, air minum dan sanitasi, bangunan gedung dan penanggulangan bencana; • Mengkoordinasikan dan memfasilitasi bantuan dan kerjasama penyediaan permukiman layak huni (rusun, peremajaan kawasan kumuh), penyediaan air minum dan sanitasi, pengawasan pembangunan bangunan gedung; • Memberikan bantuan teknis pengembangan permukiman, penyediaan air minum, pengawasan dan pengelolaan bangunan gedung
Membuat dan mengkoordinasikan rencana dan program di seluruh sektor dan lembaga-lembaga pada skala nasional/regional/daerah Mengintegrasikan rencana adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan 100
Pemangku Kepentingan
Peran, Tugas dan Tanggung Jawab perencanaan pembangunan, pembinaan dan pelaksanana tugas dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan
Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Bertugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik di bidang lingkungan hidup, melalui penyelenggaraan fungsi: perumusan kebijakan teknis, pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah bidang pengembangan teknologi dan pengendalian lingkungan, pembinaan dan pelaksanaan tugas dan pelaksanaan tugas lain yang diberikan
Potensi Kontribusi dalam rangka penanganan sektor terkait perubahan iklim daerah Melakukan pengawasan daerah yang dilindungi, misalnya penambangan pasir untuk melindungi daerah perbukitan, atau bahkan mencabut ijin penambangan jika diperlukan, untuk menghindari daerahdaerah kritis bencana Program pembuatan sumur bor untuk air bersih Program penghijauan Program Lingkungan Berbasis Komunitas (PLBK) yaitu transformasi dari masyarakat mandiri ke masyarakat madani terkait dengan tata ruang Program pembuatan ‘embung’ dan perbaikan drainase untuk mengatasi bencana banjir Program PROKASIH (tapi hanya dilakukan setahun sekali karena keterbatasan dana) Program penataan kawasan pantai/pesisir Pembuatan peraturan daerah yang berkaitan dengan lingkungan hidup Peninjauan sistem perijinan pembangunan Penegakan hukum yang berhubungan dengan perubahan tata guna lahan dan ketidak konsistenan dalam rencana tata ruang Perencanaan ruang terbuka hijau di perkotaan sebanyak 30% sebagai daerah resapan Pengawasan pembangunan perumahan dan daerah bisnis dalam rangka melindungi ruang terbuka hijau dari pelanggaran pembangunan Program biopori untuk penyerapan air Program 3R (reduce, reuse and recycle) dengan melibatkan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat Meninjau kembali ruang terbuka hijau sebagai bagian 101
Pemangku Kepentingan
Dinas Kesehatan
Peran, Tugas dan Tanggung Jawab
Bertugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang kesehatan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembangunan, melalui penyelenggaraan fungsi: perumusan kebijakan teknis, penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum, pembinaan dan pelaksanaan tugas dan pelaksanaan tugas lainnya di bidang pelayanan kesehatan, pencegahan pemberantasan penyakit, promosi kesehatan, pemberdayaan dan kesehatan lingkungan serta kesehatan keluarga
Menyusun kebijakan dalam bidang peternakan dan kehutanan Program pengelolaan hutan (forestasi) • Program penataan kawasan pesisir dengan pengelolaan hutan bakau
Dinas Peternakan dan Kehutanan
Dinas Pekerjaan Umum
Potensi Kontribusi dalam rangka penanganan sektor terkait perubahan iklim dari paru-paru kota Kampanye publik untuk tidak membuang sampah sembarangan ke sungai atau laut Program desentralisasi sampah Pembinaan Taruna Siaga Bencana untuk menghadapi bencana Program penataan kawasan pesisir Penyusunan kebijakan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan masyarakat Kontribusi terhadap isu perubahan iklim dengan prinsip promosi, pencegahan, penyembuhan dan rehabilitasi Pembentukan tim gawat darurat untuk menghadapi bencana Pembentukan Puskesmas Keliling untuk melayani masyarakat di Pulau Pasaran Meningkatkan kapasitas kader Posyandu
Bertugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang pengelolaan sumber daya air dan energi sumber daya mineral berdasarkan asas otonomi dan tugas pembangunan, melalui penyelenggaraan fungsi: perumusan kebijakan teknis, penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum, pembinaan dan
Membangun ‘embung’ untuk mengatasi bencana banjir Program biopori untuk resapan air tapi agak sulit karena belum ada regulasi yang mewajibkan tiap rumah untuk membuat biopori Mengganti paving block dengan grass block karena memiliki daya serap yang lebih baik
102
Pemangku Kepentingan
Peran, Tugas dan Tanggung Jawab
Potensi Kontribusi dalam rangka penanganan sektor terkait perubahan iklim
pelaksanaan tugas dan pelaksanaan tugas lainnya di bidang rekayasa teknis, sumber daya air, energi dan geologi, tata air serta peralatan dan pompa
Dinas Pertanian
Bertugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang penanganan dan penanggulangan kebakaran dan bencana berdasarkan asas otonomi dan tugas pembangunan, melalui penyelenggaraan fungsi: perumusan kebijakan teknis, penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum, pembinaan dan pelaksanaan tugas dan pelaksanaan tugas lainnya di bidang pengembangan teknik, operasional dan pengendalian, peralatan dan perbekalan, pembinaan dan penyuluhan serta penanggulangan bencana Lembaga Non Pemerintah Mitra Bentala Melakukan advokasi kepada masyarakata serta menjalin kerjasama dengan pemerintah untuk mempromosikan dan mendorong kegiatan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Pusbik
Melakukan studi dan
Pembuatan kebijakan dan program dalam bidang pertanian Program rehabilitasi pengairan untuk sawah Program pembuatan pompa baru untuk daerah pertanian Pembuatan sumur resapan untuk pertanian dan kehutanan Penyebaran bibit penghijauan ke seluruh kecamatan • Program pemetaan daerah rawan banjir dan longsor di seluruh kecamatan
Bertanggung jawab dalam memberi advokasi kebijakan dan program kepada pemerintah yang berkaitan dengan lingkungan hidup Menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup Mempromosikan kebijakan lokal seperti rumah panggung untuk mengatasi banjir Peninjauan kembali ijin penambangan pasir jika akan merusak lingkungan Kampanye penyelamatan terumbu karang dengan membuat ‘rumpon’ Advokasi kepada masyarakat untuk tidak menebang hutan bakau Program penataan kawasan bukit 103
Pemangku Kepentingan
Peran, Tugas dan Tanggung Jawab memberikan masukan kepada pemerintah tentang pengelolaaan lingkungan. PUSBIK juga berperan untuk melakukan advokasi kepada masyarakat untuk menjaga lingkungan.
Walhi
Walhi adalah LSM yang memperhatikan perlindungan lingkungan untuk mendukung usaha pembangunan berkelanjutan, terutama di bidang manajemen limbah cair dan produksi bersih, pendidikan lingkungan, konservasi lahan, wisata lingkungan dan manajemen limbah padat
Sahabat Lingkungan
Melakukan studi dan advokasi kepada pemerintah dan masyarakat tentang pelestarian lingkungan.
Perguruan Tinggi Universitas Lampung
Memberikan masukan terkait program-program
Potensi Kontribusi dalam rangka penanganan sektor terkait perubahan iklim dalam rangka melindungi lingkungan hidup dan pencegahan bencana, termasuk meninjau kembali ijin penambangan di kawasan bukit Peningkatan kepedulian masyarakat untuk memperbaiki kualitas lingkungan Pemberdayaan kelompok kecil masyarakat dalam PKL untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Bertanggung jawab dalam memberikan advokasi kebijakan kepada pemerintah daerah dalam hal pembangunan berwawasan lingkungan, konsistensi dan penegakan hukum Membantu pemerintah dalam pembuatan rencana tata ruang dan penataan kembali Tempat Pembuangan Akhir untuk sampah Program penanaman hutan bakau di daerah pesisir Pengawasan kepada pemerintah dalam hal penegakan hukum Program edukasi lingkungan hidup kepada masyarakat Program pengelolaan sampah dengan memperbanyak TPS Bertugas memberi konsultansi/advokasi kepada pemerintah daerah dalam mengimplementasikan pembangunan yang aman dan ramah lingkungan terutama pembangunan di daerah pantai Bertanggung jawab dalam meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dan aktifitas yang berhubungan dengan lingkungan hidup Program penataan hutan bakau di daerah pantai Kampanye dalam rangka menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan Melakukan kajian dan memberikan rekomendasi 104
Pemangku Kepentingan
Peran, Tugas dan Tanggung Jawab untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam beradaptasi dengan perubahan iklim. Bekerjasama dengan pemerintah untuk melakukan kajian terhadap bahaya perubahan iklim di kota.
Potensi Kontribusi dalam rangka penanganan sektor terkait perubahan iklim kepada pemerintah untuk menyusun program yang berkaitan dengan perubahan iklim.
Penanganan sektor-sektor terkait perubahan iklim di Kota Bandar Lampung melibatkan pemangku kepentingan dari internal kota dan eksternal kota dengan peran dan kontribusi yang beragam sebagai mana terlihat pada matriks di atas. Kemitraan diatara seluruh pemangku kepentingan merupakan prasyarat untuk menciptakan masyrakat kota yang kuat dalam mengadaptasi perubahan iklim. Pemerintah Kota Bandar Lampung memiliki peran utama dalam penanganan sektor terkait perubahan iklim, baik dalam bentuk pendanaan maupun koordinasi pelaksanaan program. Sementara peran Pemerintah Provinsi Lampung lebih kepada koordinasi pelaksanaan dengan Pemerintah Pusat dan pemerintah kota/kabupaten lainnya. Selama ini, peran dan kontribusi para pemangku kepentingan melalui program dan kegiatan terkait perubahan iklim tersebut berjalan secara parsial dan belum adanya upaya mengkoordinasikan dalam suatu kerangka kebijakan dan program penanganan perubahan iklim pada tingkat makro/kota. Meski demikian beberapa LSM Lokal telah secara aktif berkontribusi dalam program dan kegiatan perbaikan lingkungan baik secara mandiri maupun bekerjasama dengan pihak lain. Kemitraan antar pemerintah kota dan pemangku kepentingan (LSM dan Lembaga Pendidikan lainnya) dalam upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan. 7.6.
Pemetaan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Mapping)
Pemetaan pemangku kepentingan merupakan alat untuk mengidentifikasi, mengelompokan dan menilai pengaruh terhadap individu atau kelompok yang berbeda. Dalam kaitannya dengan isu perubahan iklim, pemetaan pemangku kepentingan dimaksudkan untuk mengetahui pemangku kepentingan mana yang paling mendukung/berpengaruh dalam penanganan sektor-sektor terkait perubahan iklim tersebut. Oleh karena itu pemetaan pemangku kepentingan dilakukan untuk masing-masing sektor terkait perubahan iklim sehingga dapat diidentifikasi siapa yang paling berperan dan bertanggung jawab untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Salah satu teknik analisis yang digunakan adalah dengan melakukan pemetaan pemangku kepentingan (stakeholder mapping) dengan melihat kekuasaan (power) yang dimiliki masing-masing pemangku kepentingan dan tingkat kepentingan (interest) dari masing-masing pemangku kepentingan.
105
Level of Interest
W O L r e w o P H IG H
LOW
HIGH
A Minimal Effort
B Keep Informed
Business Sector
NGO University
C Keep Satisfied
D Key Players
Provincial Government
Central Government City Government Cooperation/Donor Agency
Gambar 7-1. Pemetaan Pemangku Kepentingan berdasarkan tingkat Kepentingan Dari hasil analisis dapat dilihat bahwa pelaku utama/kunci dalam penanganan perubahan iklim di Kota Bandar Lampung terdiri dari: Pemerintah Pusat, Pemerintah Kota dan Lembaga Kerjasama/donor Internasional. Namun masing-masing pemangku kepentingan memiliki memiliki tingkat kepentingan yang berbeda-beda sebagaimana terlihat pada gambar 7.7.
Mekanisme dan Proses Perencanaan Pembangunan di daerah dan Penanggulangan Bencana
Pembahasan mengenai mekanisme dan proses perencanaan pembangunan di daerah didasarkan pada 3 (tiga) lingkup perencanaan pembangunan sebagai berikut: (a) proses perencanaan dan penganggaran pembangunan, (b) penanggulangan bencana dan (c) penataan ruang. Ketiga mekanisme penyusunan dan pengelolaan perencanaan diatas nantinya akan sangat terkait dengan perencanaan adaptasi ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Mekanisme dan Proses Perencanaan Pembangunan di Daerah mengacu pada peraturan perundangan yang dikeluarkan secara nasional. Beberapa peraturan perundangan terkait dengan perencanaan pembangunan daerah antara lain: (i) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (ii) UndangUndang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan (iii) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ringkasan dari ketiga peraturan perundangan tersebut diatas adalah sebagai berikut: • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur pentahapan dalam proses penganggaran tingkat daerah (provinsi, kabupaten/kota). Secara jelas diatur bahwa proses penganggaran pada tingkat kota/kabupaten harus didasarkan pada dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). • Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mengatur landasan sistem perencanaan mulai dari rencana jangka panjang (20 tahun), rencana jangka menengah (5 tahunan) dan rencana tahunan, baik di tingkat pusat, daerah maupun sectoral. Tujuan utama dari SPPN adalah untuk menjamin bahwa segala upaya pembangunan di negara ini dapat dilaksanakan secara efisien, efektif dan menuju pencapaian 106
target pembangunan yang telah ditetapkan. Perundangan ini juga menyatakan bahwa rencana kerja tahunan di tingkat pusat dan daerah (RKPD) harus menjadi referensi dalam menyusun anggaran tahunan. • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menekankan perlunya keterpaduan proses perencanaan dan penganggaran. Selain itu menguatkan adanya rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan rencana tahunan (RKPD). Keterkaitan antara UU No. 17/2003, UU No. 25/2004 dan UU No. 32/2004 dapat dilihat dalam Gambar 7-2
Gambar 7-2. Keterkaitan antara UU No. 17/2003, UU No. 25/2004 dan UU No. 32/2004 Mekanisme dan Proses Penanggulangan Bencana di daerah juga mengacu pada peraturan perundangan yang ditetapkan secara nasional. Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang telah ditindaklanjuti dengan terbitnya berbagai peraturan pemerintah. UU No. 24 tahun 2007 pada dasarnya mengatur tahapan dalam penanggulangan bencana mulai dari pra-bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Materi utama dalam penanggulangan bencana meliputi: a) peran dan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah pada setiap tahapan penanganan bencana, b) pembentukan kelembagaan penanganan bencana di tingkat nasional (BNPB) dan daerah (BPBD), c) hak masyarakat dalam penanganan bencana, d) keterliabatan lembaga internasional dan sektor bisnis, e) mekanisme pengendalian dalam pengelolaan bencana dan f) mekanisme sanksi. Pengaturan mengenai penataan ruang di Indonesiaa saat ini mengacu pada Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan beberapa peraturan pemerintah yang sudah dikeluarkan. Undang-Undang tersebut memberikan arah kebijakan dan strategi dalam rangka memadukan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan untuk melindungi fungsi ruang dan dampak negatifnya terhadap lingkungan alam. Strategi pelaksanaan penataan ruang terdiri atas: (i) penerapan aturan zoning secara konsisten sebagai bagian dari rencana detail tata ruang, (ii) mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang yang sistemik melalui regulasi zoning, sistem perijinan, insentif dan disinsentif, (iii) penegakan hukum yang konsisten. Kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan memberikan ruang untuk mengembangkan kemampuan dan penerapan sistem deteksi dini, sosialisasi dan diseminasi informasi secara dini terhadap ancaman kerawanan bencana alam 107
kepada masyarakat. Untuk itu perlu ditingkatkan identifikasi dan pemetaan daerahdaerah rawan bencana agar dapat diantisipasi secara dini sejak sebelum terjadi. Hal ini dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan memberikan perlindungan terhadap manusia dan harta benda dengan perencanaan wilayah yang peduli/peka terhadap bencana alam. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Bandar Lampung, visi Kota Bandar Lampung tahun 2005-2010 yaitu : "Mewujudkan Masyarakat Bandar Lampung yang Sejahtera, Adil, Aman dan Demokratis dengan Dukungan Pelayanan Publik yang Baik. Untuk mencapai visi yang telah ditetapkan tersebut, maka disepakati 9 (sembilan) misi pembangunan daerah Kota Bandar Lampung, yaitu : 1. Mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau berdasarkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2. Mewujudkan keselarasan kehidupan beragama; 3. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat; 4. Meningkatkan prasarana dan sarana perkotaan yang berkualitas dan sesuai dengan tata ruang; 5. Menciptakan keamanan dan ketertiban kota serta menanggulangi masalah sosial masyarakat; 6. Meningkatnya pembangunan perekonomian dan kesediaan kebutuhan masyarakat; 7. Mengelola sumberdaya alam secara bertanggungjawab dan berkelanjutan; 8. Menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, berwibawa, bertanggungjawab dan partisipatif; 9. Menegakkan supremasi hukum berdasarkan rasa keadilan yang demokratis; Selanjutnya berkaitan dengan visi dan misi tersebut juga telah ditetapkan lima isu pokok dalam pembangunan kota Bandar Lampung yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, lingkungan hidup dan infrastruktur, serta penegakan hukum dan perlindungan sosial. Sedangkan dalam penanganan bencana, Kota Bandar Lampung telah melakukan studi mitigasi bencana Kota Bandar Lampung TA 2008, Penyusunan Skenario Design Mitigasi Bencana Kota Bandar Lampung TA 2009 yang bertujuan untuk (i) mengetahui kawasan yang rentan terhadap potensi bencana, (ii) menganalisis resiko bahaya alam dan bahaya rekayasa manusia/teknologi serta (iii) menyusun indikasi program dan rencana tindak dalam mengurangi resiko bahaya. Selain itu kota Bandar Lampung juga telah membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pada bulan November 2009. Dengan adanya badan ini maka pemerintah kota akan dapat mengantisipasi permasalahan yang terjadi akibat terjadinya perubahan iklim. Selain itu pada saat yang sama, keberadaan badan ini juga akan memberikan respon yang lebih cepat dan lebih baik apabila warga kota menghadapi suatu masalah baik yang terkait dengan perubahan iklim maupun tidak. Adapun permasalahan yang dihadapi serta alternatif strategi yang terkait perencanaan pembangunan daerah dan penanggulangan bencana di kota Bandar Lampung dapat dilihat pada table berikut:
108
Tabel 7-2. Masalah dan alternatif startegi terkait perencanaan pembangunan daerah dan penanggulangan bencana di kota Bandar Lampung Masalah • •
•
•
• • • • •
• •
Masih rendahnya mutu dan kuantitas infrastruktur perkotaan Belum meratanya sarana dan prasarana perkotaan di seluruh wilayah kota Terbatasnya kemampuan dana pemerintah daerah dalam pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur daerah Belum efektifnya pelaksanaan penataan, pengendalian dan pemanfaatan ruang Kerusakan DAS yang cukup tinggi Banyaknya pertambangan (gunung dan bukit) yang merusak lingkungan Meningkatnya pencemaran air permukaan Lemahnya penegakan hukum terhadap perusak lingkungan Lemahnya kesadaran dan disiplin masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan Belum optimalnya pengelolaan sampah Adanya ancaman bencana (longsor, banjir, gempa bumi dan tsunami
Alternatif Strategi • •
• • •
• •
•
•
• •
Meningkatkan mutu dan kuantitas infrastruktur perkotaan Meningkatkan mutu dan kuantitas bangunan publik dan gedung pemerintah Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pinggiran Meningkatkan dan mengembangkan sarana transportasi Meningkatkan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang kota Memperbaiki pengelolaan SDA dan pelestarian fungsi lingkungan hidup Meningkatkan pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup Meningkatkan akses masyarakat dalam pemberdayaan dan pengelolaan SDA dan LH Meningkatkan perlindungan terhadap SDA dari kerusakan dan melindungi kawasan konservasi agar fungsinya sebagai penyangga kehidupan tetap terjada Merehabilitasi lingkungan yang telah rusak Meningkatkan pengelolaan sampah dan manajemen pelayanan persampahan
7.8. Pemetaan Peran Stakeholder dalam penyediaan dan pengelolaan sektorsektor terkait dengan perubahan iklim a. Program dan Kegiatan Pemerintah Pemerintah daerah memegang peranan penting dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh daerahnya sebagai akibat dari dampak perubahan iklim global. Pemerintah pusat menyusun kerangka kebijakan dan pedoman dalam upaya peningkatan kualitas lingkungan. Pemerintah daerah diharapkan mampu untuk mengatasai berbagai permasalahan yang muncul akibat dampak perubahan iklim. Pada saat yang sama pemerintah daerah juga memiliki kewajiban yang cukup besar untuk membantu warganya dalam beradaptasi dengan perubahan iklim. Hal ini karena semakin banyaknya bencana yang terjadi akibat terjadinya perubahan iklim 109
seperti meluasnya banjir/rob, kegagalan panen, nelayan yang tidak dapat melaut karena gelombang tinggi dan hal-hal lainnya mengindikasikan bahwa perubahan iklim telah memberikan dampak buruk bagi warga Indonesia. Kota Bandar Lampung merupakan salah satu kota di Indonesia yang juga berpotensi akan menghadapi berbagai permasalahan sebagai akibat terjadinya perubahan iklim. Beberapa program kegiatan telah diinisiasi oleh pemerintah untuk menghadapi berbagai permasalahan yang baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan perubahan iklim sebagaimana yang tercantum dalam tabel 7-3 dibawah ini. Tabel 7-3. Program yang terkait dengan Perubahan Iklim Tahun 2006 dan 2008 Urusan Kesehatan
Lingkungan Hidup
Pekejaan Umum
Program 2006 2008 Penurunan angka kesakitan Promosi Kesehatan dan dan kematian akibat penyakit Pemberdayaan Masyarakat Program Pengembangan Lingkungan Sehat Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Program PeProgram Pelayanan Kesehatan Penduduk Miskin Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Anak Balita Program Peningkatan Pelayanan Kesehatan Lansia Program Peningkatan Keselamatan Ibu Melahirkan dan Anak Pemulihan kualitas Program Pengendalian lingkungan hidup Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Pengendalian pencemaran Program Perlindungan dan dan perusakan lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam hidup Penyusunan dokumen Program Pengembangan Kinerja perencanaan pengelolaan Pengelolaan Persampahan sumber daya alam dan ling. Hidup Peningkatan kualitas dan Program Pengelolaan Ruang akses informasi sumber daya Terbuka Hijau alam dan lingkungan hidup. Pemeliharaan ruang terbuka hijau, ornament kota, taman dan hutan kota Program Pembangunan Saluran Drainase/Gorong-gorong Program Rehabilitasi/Pemeliharaan 110
Urusan
Program 2006
Kelautan dan perikanan* Kehutanan
2008 Talud/Brojong Program Pengendalian Penataan Ruang Perencanaan Prasarana wilayah dan Sumber daya Alam Mitigasi Bencana Lingkungan Laut dan Pesisir
Rehabilitasi hutan dan lahan Sumber: Laporan Pertanggungjawaban Walikota Bandar Lampung 2007 dan 2009
*Kegiatan bersumber dari dana tugas pembantuan Tabel tersebut menunjukkan masih terbatasnya jumlah program yang dilakukan oleh pemerintah kota Bandar Lampung untuk mengadatapsi terhadap perubahan iklim. Meski secara kuantitas jumlah program pada tahun 2008 telah meengkat akan tetapi hal tersebut masih dirasa belum mencukupi untuk menghadapi kota Bandar Lampung untuk mengantisipasi terjadinya perubahan iklim. Kondisi serupa juga dapat dilihat dari jumlah anggaran yang dialokasikan untuk mendanai kegiatan-kegiatan tersebut. Pada tahun 2008, Pemko Bandar Lampung telah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBD sejumlah Rp. 11., 16 Milyar untuk kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim baik yang bersifat mitigasi maupun adaptasi. Dari sisi sektoral, jumlah anggaran yang dialokasi oleh pemerintah kota Bandar lampung cukup besar, khususnya anggaran untuk sektor lingkungan hidup yang mencapai 66 persen dari total anggaran sektor tersebut. Akan tetapi secara dilihat dari total persentase jumlah ini hanya sekitar 1 persen dari realisasi pengunaan APBD tahun 2008 yaitu sejumlah Rp. 772.8 Milyar. Artinya jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan dengan program ataupun kegiatan lainnya. Namun demikian melalui anggaran dari pemerintah pusat yang disalurkan melalui anggaran tugas pembantuan, Pemko Bandar Lampung memberikan alokasi yang cukup besar untuk kegiatan mitigasi bencana yaitu sekitar 27 persen dari total anggaran yang ada yaitu sekitar Rp.1.5 Milyar - dari total alokasi anggaran lima sektor tersebut sebesar Rp. 5.6 Milyar. Tabel 7-4. Jumlah Anggaran yang Terkait dengan Perubahan Iklim TA 2008 Urusan Kesehatan Pekerjaan Umum Lingkungan Hidup Perencanaan Pembangunan Perikanan dan Kelautan*
# Realisasi Anggaran Total Anggaran # Terkait PI 21.992.326.800 99.780.100.910 3.336.054.325 4.593.528.900
3.287.689.400 8.871.486.270 2.217.201.950 105.000.000
% 15% 9% 66% 2%
5.622.047.000 1.500.000.000 27% *Sumber dana Tugas Pembantuan
Minimnya informasi tentang perubahan iklim merupakan salah satu alasan yang menyebabkan hal ini terjadi. Karena pada dasarnya kegiatan yang dirumuskan oleh pemerintah daerah tersebut merupakan kegiatan rutin yang biasa dilakukan untuk mengatasi permasalahan perkotaan. Artinya program yang dilakukan tidak 111
secara khusus ditujukan untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Namun dengan adanya informasi dan pengetahuan tentang bahaya akibat dari perubahan iklim terhadap daerah dan masyarakat Kota Bandar Lampung diharapkan pemerintah kota Bandar Lampung dimasa mendatang akan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap program yang bertujuan untuk mengadaptasi perubahan iklim. b. Program dan Kegiatan yang berasal dari Pusat Selain program-program pemerintah, pemerintah pusat juga telah melakukan beberapa program yang berkaitan dengan perubahan iklim di Kota Bandar Lampung diantaranya melalui program NUSSP dan PNPM Mandiri Perkotaan. Dalam pelaksanaannya kedua program ini juga mengharuskan adanya kontribusi dari pemerintah daerah. Sebagai Ibu Kota Propinsi, Kota Bandar Lampung menjadi magnet bagi penduduk disekitar kota tersebut untuk datang dan mencari pekerjaan di kota ini. Tingginya laju urbanisasi namun tidak didukung dengan kemampuan sumber daya yang datang mengakibatkan kota menghadapi masalah dalam penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur. Pada akhirnya hal ini melahirkan kawasan kumuh di kota. Untuk menghadapi hal tersebut, pemerintah kota Bandar Lampung bekerjasama dengan Pemerintah Pusat melakukan kegiatan Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP) dengan menggunakan dana pinjaman dari Asian Development Bank (ADB) yang bertujuan untuk membantu pemerintah dalam mengurangi/menurunkan tingkat kemiskinan di perkotaan melalui kemitraan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Anggaran proyek ini merupakan cost sharing dengan perbandingan 60 : 40 antara loan ADB dan APBD Kota Bandar Lampung dalam kurun waktu 4 tahun (2006 sampai dengan 2009). Perbandingan ini sesuai dengan kapasitas fiskal Kota bandar Lampung. Tabel berikut menggambarkan besaran dana dan cost sharing proyek NUSSP di Kota Bandar Lampung: Tabel 7-5 Besaran Anggaran Dana Program NUSSP di Kota Bandar Lampung (dalam Milyar Rph) 2006
Total
ADB Pemda 4.38 3.21 7.6
2007 ADB Pemda 2.63 1.75 4.3
2008 ADB Pemda 5.9 2.5 8.4
Adapun jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam proyek NUSSP ini adalah adalah pembangunan, peningkatan dan pemeliharaan infrastruktur primer (premiere works) dilingkungan perumahan dan permukiman kumuh yang meliputi : jalan setapak, jalan lingkungan, persampahan, air bersih, drainase, MCK, dan penerangan jalan. Kesemua kegiatan ini pada akhirnya ingin mengatasi permasalahan permukiman kumuh (slum area) di kota Bandar Lampung yang merupakan persoalan manajemen pembangunan dan pemukiman perkotaan yang kompleks serta merupakan dampak dari berbagai kebijakan pembangunan. Adapun kegiatankegiatan dan lokasi pelaksanaan program ini selama tahun 2008 di Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut: 112
Tabel 7-6 Kegiatan dan sebaran Kegiatan PNPM Mandiri di Kota Bandar Lampung tahun 2008 Kegiatan Jalan Setapak Penghubung Tempat Sampah RT Jalan Lingkungan (Jalan Penghubung) Saluran Terbuka (Drainase) Plat Duiker (Drainase) Gorong-gorong (Drainase) Bangunan Pelengkap (drainase) Alat Angkut Sampah Tong Sampah komunal MCK Sumur Dalam (Air Bersih) Lampu Jalan Luas Area Kumuh yang Difasilitasi Jumlah KK yang Merasakan manfaat
Volume 14,425 km 365 Unit 36 m 636 m 34 m2 2m 66 unit 109 unit 92 unit 17 unit 8 Unit 286 Unit 142,6 Ha 12.039 KK
• • • • • • • • • • • •
Sebaran Lokasi Kel. Srengsem, Kec. Panjang Kel. Way Laga, Kec. Panjang Kel. Way Gubag, Kec. Panjang Kel. Keteguhan, Kec. Teluk Betung Barat Kel. Bakung, Kec. Teluk Betung Barat Kel. Kuripan, Kec. Teluk Betung Barat Kel. Sukarame, Kec. Teluk Betung Barat Kel. Teluk Betung, Kec. Teluk Betung Selatan Kel. Garuntang, Kec. Teluk Betung Selatan Kel. Pecoh Raya, Kec. Teluk Betung Selatan Kel. Way Lunik, Kec. Teluk Betung Selatan Kel. Ketapang, Kec. Teluk Betung Selatan
Program lainnya yang juga memberikan kontribusi terhadap perbaikan kualitas kota Bandar Lampung adalah Program PNPM Mandiri Perkotaan. Keikutsertaan Kota Bandar Lampung dalam program ini merupakan upaya pemerintah kota untuk mengatasi masalah kemiskinan yang dihadapi oleh kota Bandar Lampung dan sekaligus memperbaiki infrastruktur perkotaan. Untuk tahun anggaran 2010, PNPM Mandiri Perkotaan akan dilaksanakan di 13 wilayah di Kota Bandar Lampung dengan total anggaran sejumlah : Rp. 18.52 Milyar,- yang terdiri dari Rp.15.5 Milyar berasal dari program dan Rp. 3.17 Milyar yang berasal dari Pemerintah Kota Bandar Lampung. Kedua program yang sedang dilaksanakan olh Pemerintah Kota Bandar Lampung serta program-program lainnya menujukkan upaya yang menerus dilakukan oleh pemerintah kota Bandar Lampung untuk meningkatkan kemampuan masyarakat yang secara tidak langsung juga meningkatkan ketahanan mereka untuk menghadapi terjadinya perubahan iklim. 7.9. Analisis kapasitas kepemerintahan dan kelembagaan dalam rangka mengintegrasikan perencanaan ketahanan dalam perubahan iklim (framework organizational capacity) Meskipun pemerintah kota merupakan pelaku utama dalam mengantisipasi bahaya yang akan mengancam kota sebagai akibat dari terjadinya perubahan iklim, namun peran dan kontribusi pemangku kepentingan lainnya juga sangat penting. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dianalisa kemampuan kepemerintahan dan kelembagaan pemangku kepentingan dalam rangka mengintegrasikan perencanan ketahanan dalam perubahan iklim. Analisa akan dilakukan terhadap enam komponen utama yaitu: peran pemangku kepentingan, peraturan dan kebijakan, ketersediaan 113
dokumen, kelembagaan daerah, kapasitas pendanaan dan pelaksanaan program/kegiatan. Keenam komponen ini kemudian akan dianalisa kekuatan dan kelemahannya sehingga diketahui sejauh mana kapasitas kepemerintahan dan kelembagaan kota dalam rangka megintegrasikan perencaaan ketahanan dalam perubahan iklim. Tabel dibawah ini memperlihatkan kekuatan dan kelemahan masing-masing komponen yang terjadi di Kota Bandar Lampung: Tabel 7-7. Analisis Kapasitas Pemerintahan Komponen Peran Pemangku Kepentingan
Kekuatan • •
Peraturan dan Kebijakan
•
• Ketersediaan dokumen rencana
•
Kelembagaan daerah
•
•
Kapasitas pendanaan
•
• •
Adanya keterlibatan semua pemangku kepentingan Adanya Program Nasional yang didukung lembaga kerjasama internasional (PNPM dan NUSSP)
Kelemahan •
Peran dan kontribusi pemangku kepentingan masih parsial belum terintegrasi dalam suatu kebijakan
Adanya peraturan perundangan • yang mensyaratkan daerah menyusun dokumen rencana yang memperhatikan adaptasi dan mitigasi bencana dan perubahan iklim
Belum dipahaminya metodologi dan strategi operasional untuk menjabarkan secara lebih lanjut dari peraturan kedalam dokumen rencana
Dokumen RPJMD (5 tahunan) akan disusun dalam tahun 2010 dan dokumen RTRW sedang dalam proses revisi merupakan kesempatan untuk memasukan substansi adaptasi dan mitigasi bencana serta perubahan iklim Adanya studi-studi terkait mitigasi bencana dan skenario design mitigasi bencana
•
Belum meratanya pemahaman dan kapasitas SDM dalam menyusun dan merumuskan substansi mitigasi dan adaptasi bencana dan perubahan iklim; Belum adanya dokumen rencana aksi daerah dalam penanggulangan bencana yang memiliki kekuatan hukum dan belum dapat menjadi acuan bagi pemangku kepentingan
Adanya Tim Kota untuk perubahan iklim yang sudah dibentuk dan bekerja Telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Bandar Lampung Adanya komitmen untuk mendukung program dan kegiatan perubahan iklim Masih adanya Dana Alokasi Khusus dan tugas pembantuan Adanya dukungan dan bantuan
•
Kelembagaan penanggulangan bencana daerah belum bekerja secara efektif
•
Alokasi belanja langsung untuk program dan kegiatan sektor terkait perubahan iklim masih terbatas (kurang 5 %); Belum adanya koordinasi antar lembaga dalam
•
•
114
Komponen
Kekuatan
Kelemahan
program nasional yang didukung lembaga internasional
Pelaksanaan program dan kegiatan
•
Adanya program dan kegiatan yang telah dan sedang dilakukan pemangku kepentingan
•
pemanfaatan dana program dan kegiatan sehingga masih memungkinkan terjadinya duplikasi Belum berjalannya koordinasi program dan kegiatan lintas sektor dan lintas wilayah
Tabel tersebut menggambarkan bahwa para pemangku kepentingan di kota Bandar Lampung telah secara bersama-sama terlibat dalam upaya untuk meningkatkan kewaspadaan serta ketahanan masyarakat dalam menghadapi bahaya perubahan iklim. Pada saat yang sama terdapat beberapa program dari pemerintah seperti PNPM Perkotaan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya di kawasan kumuh. Hal ini merupakan kekuatan bagi pemerintah kota untuk mengatasi permasalahan yang potentsial dihadapi oleh kota yang berkaitan dengan perubahan iklim. Akan tetapi pada saat yang sama juga terdapat kelemahan pada komponen ini yaitu belum terintegrasinya program dan kegiatan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan di kota Bandar Lampung. Akibatnya program dan kebijakan yang diambil sering tumpang tindih. Sementara itu dalam kaitannya dengan peraturan dan kebijakan yang mendukung ketahanan terhadap perubahan iklim, saat ini pemerintah kota Bandar Lampung sedang menyusun peraturan perundangan yang berkaitan dengan adapatasi dan mitigasi terhadapa bahaya perubahan iklim. Akan tetapi, umumnya terminilogi dan metodelogi yang berkaitan dengan perubahan iklim yang akan dimasukkan dalam peraturan perundangan tersebut masih belum jelas. Akibatnya para pemangku kepentingan masih sering salah persepsi terhadap terminologi serta aplikasi perubahan iklim. Hal ini mengakibatkan kebijakan dan peraturna perundangan yang akan disusun menjadi multi tafsir dan kurang dapat diaplikasikan di tingkat lokal. Penyusunan RPJMD yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung pada tahun 2010 merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah kota untuk memasukkan substansi adaptasi dan mitigasi bencana serta perubahan iklim. Hal ini dapat diawali dengan berbagai kegiatan studi tentang mitigasi dan adapatasi bahaya perubahan iklim yang selanjutnya dijadikan sebagia masukan penting di dalam dokumen rencana pembangunan tersebut. Agar dokumen tersebut mampu menjawab permasalahan yang akan dihadapi maka aparat pemerintah kota serta pemangku kepentingan lainnya perlu meningkatkan pemahaman tentang perubahan iklim sehingga akan memiliki pemahaman yang sama tentang bahaya perubahan iklim bagi kota Bandar Lampung. Keberadaan Tim Kota Perubahan Iklim merupakan sebuah awalan yang bagus bagi kota Bandar Lampung untuk menyusun program yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tim Kota yang terdiri dari berbagi latar belakang institusi ini akan memberikan cukup banyak masukan baik bagi pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, adanya Badan Penanggulan Bencana Daerah juga memberikan kekuatan bagi kota Bandar Lampung untuk mengantisipasi bahaya perubahan iklim. Akan tetapi keberadaan kedua tim dan badan ini perlu didorong secara lebih efektif sehingga mampu memberikan kontribusi yang positif di masa mendatang. 115
Adanya komitmen dan dana bantuan baik di tingkat nasional maupun internasional merupakan peluang dan kekuatan bagi pemerintah kota untuk dapat menyusun dan melaksanakan program yang bekaitan dengan perubahan iklim. Namun demikian idealnya pemerintah daerah juga harus mengimbangi pendanaan tersebut dengan menaikkan alokasi anggaran pembangunan daerah yang berkaitan dengan perubahan iklim. Hal ini perlu dilakukan karena bahaya perubahan iklim tidak lagi bersifat wacana, oleh karena itu pemerintah daerah perlu memberikan perhatian yang lebih besar terhadap bencana yang akan datang sebagai akibat dari terjadinya perubahan iklim. Anggaran dan dana yang ada ini juga harus didukung dengan kemitraan diantara pemangku kepentingan. Melalui kemitraan ini maka akan dihasilkan program-program yang integratif untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan pembangunan perkotaan lainnya serta memberikan kekuatan yang lebih besar kepada masyarakat untuk menghadapi bahaya perubahan iklim. 7.10. Temuan dan Rekomendasi untuk Perencanaan Ketahanan Kota dalam rangka Perubahan Iklim Secara ringkas temuan dan rekomendasi yang dapat diberikan terkait dengan perencanaan ketahanan kota dalam rangka perubahan iklim adalah sebagai berikut: •
Terkait Penataan Ruang & Penanggulangan Bencana:
RTRW Kota Bandarlampung dalam proses revisi dan merupakan kesempatan untuk memberikan masukan substansi terkait adaptasi perubahan iklim Terdapat beberapa substansi normatif yang harus ada diantaranya RTH dan , Mitigasi Bencana, dll. Telah disusun beberapa studi terkait mitigasi bencana yang intinya menggambarkan kondisi kebencanaan kota, landasan pelaksanaan, indikasi program dan rencana tindak penanggulangan bencana kota, namun belum ditetapkan secara legal formal dan dijadikan acuan bagi pemangku kepentingan;
•
Telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bandar Lampung pada bulan November 2009, namun belum efektif dalam rangka pelaksanaan program dan kegiatan.
•
Adanya program-program pembangunan infrastruktur pada tingkat masyarakat yang responsif terhadap perubahan iklim [PNPM Kota Bandar Lampung], misalnya dengan pembangunan Talud untuk tanah rawan longsor dan pembangunan drainase di daerah pesisir
•
Pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasiuntuk daerah potensi padi dan penyediaan sumur pompa dan sumur dalam untuk daerah holtikultura
•
Penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung yang mengacu pada UndangUndang Penataan Ruang, dimana diharuskan untuk memenuhi RTH sebesar 30 persen.
•
Adanya sosialisasi kepada warga terkait PLBK (Program Lingkungan Berbasis Komunitas) di Bandar Lampung
•
Adanya keterlibatan LSM dalam berbagai program penanganan lingkungan skala masyarakat di Kota Bandar Lampung
116
Berdasarkan temuan tersebut maka beberapa masukan bagi Pemerintah Kota untuk mengantisipasi bahaya sebagai akibat perubahan iklim adalah sebagai berikut: •
Memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan jangka panjang. Penelitian ilmiah yang kuat pada skenario perubahan iklim dan dampak perubahan iklim di Kota Bandar Lampung akan diperlukan untuk membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan rencana cakrawala adaptasi perubahan iklim. Bantuan teknis dan program peningkatan kapasitas untuk aparat pemerintah daerah diperlukan untuk memungkinkan mereka dalam mengembangkan rencana cakrawala adaptasi.
•
Mengintegrasikan kerangka adaptasi perubahan iklim terhadap dokumen perencanaan pembangunan dan penataan ruang Kota Bandar Lampung Masukan metodologi dan substansi bagi penyusunan dan revisi Rencana Tata Ruang Kota (RTRW) terkait dengan isu dan dampak perubahan iklim Masukan metodologi dan substansi bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Daerah terkait dengan isu dan dampak perubahan iklim
•
Peningkatan pemahaman dan kepedulian mengenai perubahan iklim untuk semua pemangku kepentingan [pemerintah, masyarakat dan swasta] melalui shared learning, strategi komunikasi dan capacity building program;
•
Peningkatan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim dengan menggali dan mengembangkan berbagai upaya dan kearifan lokal melalui pilot project adaptasi perubahan ikilim;
117
BAB 8 ADAPTASI Adaptasi merupakan kualitas seseorang untuk mengubah dirinya sendiri atau lingkungan sekitarnya dalam rangka menjadi yang lebih cocok untuk bertahan hidup. Ini adalah komponen kunci ketahanan, semakin adaptif seseorang atau masyarakat semakin mereka mampu mengatasi perubahan yang mungkin terjadi. Di bagian ini kita lihat tidak hanya adaptasi yang sudah dikembangkan masyarakat dan perorangan, tetapi juga potensi adaptasi baru di kala bencana. Ini adalah studi spekulatif tetapi orang dapat memahami kapasitas untuk adaptasi dengan mengidentifikasi kualitas mereka dan kapasitas masyarakat yang harus beradaptasi. Di antaranya adalah: keragaman, stabilitas ekonomi (tidak harus kesejahteraan), pendidikan, contoh-contoh adaptasi terdahulu, kolaborasi, fleksibilitas dan kesehatan, dan lain-lain. Bertahan hidup di wilayah perkotaan di negara-negara berkembang bukanlah untuk yang mudah. Mempertimbangkan bahwa mereka yang pindah ke kota lahir di daerah pedesaan di sekitar kota, yang mengandalkan siklus alam, produksi pertanian yang melimpah dan aktifitas yang telah berlangsung lama yang sedikit atau tidak membutuhkan pengetahuan dari bangku sekolah, pindah ke kota menemukan tantangan yang benar-benar berbeda. Maka untuk pendatang, kehidupan di kota penuh dengan strategi adaptasi dan bertahan hidup, ke ekonomi pasar, menuju peluang-peluang yang secara konstan berpindah-pindah, terhadap peristiwa-peristiwa yang tak terduga di luar kendali langsung mereka. Warga miskin kota menunjukkan bahwa mereka berada di antara yang paling mengadopsi dalam mengembangkan strategi adaptasi lantaran mereka harus berkonsolidasi diri dalam konteks perkotaan yang terkadang kejam yang bagi kebanyakan mereka tidaklah familiar dan tidak siap untuk masuk ke dalamnya sejak dini. Maka wajib untuk menantang gagasan-gagasan kita tentang siapa dan apa yang adaptif karena tidaklah mudah bagi kita untuk membicarakan kerentanan, melainkan kapasitas untuk beradaptasi. Sejumlah besar populasi masyarakat miskin, yang mencari penghidupan dan pemukiman di tempattempat yang paling menantang merupakan testamen kualitas adaptif yang tinggi. Strategi adaptasi akan dinilai melalui sudut pandang kapasitas mereka untuk mengatasi fenomena iklim, tetapi mereka dalam serba terbatas untuk merespons resiko fisik seperti banjir. Karena adaptasi tidak dapat menghilangkan resiko cuaca yang ekstrim, saya melihat kepada bagaimana dampaknya dibatasi, baik dengan respons mereka, atau persiapan yang memadai. Saya melihat dari awal pada keanekaragaman cara bagaimana masyarakat di setiap kota telah mengembangkan strategi adaptasi, apa yang mereka lakukan dan apa kontribusinya untuk meningkatkan ketahanan. Lalu saya mencoba untuk mengekstrak pembelajaran dan faktor-faktor yang mungkin berkontribusi di setiap strategi yang layak dan berhasil. 8.1. Strategi Adaptasi di Bandar Lampung Berikut ini diuraikan beberapa strategi adaptasi yang berbeda di masyarakatmasyarakat yang diteliti selama Penilaian Kerentanan Berbasis Masyarakat. Sementara semuanya terkait kepada adaptasi terhadap peristiwa-peristiwa iklim yang parah, strategi-strategi tersebut juga berkait kepada adaptasi bertahan hidup yang didasari oleh kebutuhan untuk beradaptasi dan bertahan di kota. Kedua gagasan 118
tersebut sangat saling berkaitan. Di bawah daftar, analisis dilakukan untuk mengumpulkan pembelajaran tentang apa yang membuat adaptasi-adaptasi tersebut layak, apa faktor yang mungkin berkontribusi dalam keberhasilan, sebagaimana halnya hambatan dan peluang. Tabel lainnya juga menggambarkan cara-cara adaptasi-adaptasi tersebut berkontribusi kepada tanggap, kesiapsiagaan dan ketahanan bencana. Bandar Lampung •
•
•
•
•
Reklamasi lahan yang progresif: Garis pantai kampung Kangkung telah direklamasi secara progresif sepanjang tahun oleh akumulasi tanah dan sampah. Hasilnya banyak rumah-rumah yang tadinya berdiri di atas air sekarang berdiri di atas tanah padat. Namun proses ini mendorong secara aktif pembuangan sampah di badan air dan di pantai, seringkali dengan membangun tanggul-tanggul kecil dari batu yang diisi dengan tanah di dalamnya. Penumpukan sampah memancing hama (tikus dan nyamuk) yang menyebabkan kondisi yang tidak sehat dan angka penyakit malaria yang tinggi. Adaptasi terhadap bentang alam meningkatkan permanensi pemukiman dengan mengurangi kebutuhan untuk mengganti pos-pos yang terekspos air dan biaya pemeliharaan yang tinggi, selain meningkatkan peluang instalasi layanan publik lokal dan meningkatkan akses. Perbaikan dan infrastruktur structural: Di beberapa wilayah di Pasir Gintung, penduduk setempat telah berinisiatif untuk memperbaiki struktural di lingkungan mereka tanpa menunggu uluran tangan pemerintah daerah. Penduduk di bantaran sungai contohnya, telah membangun tanggul kecil (setinggi 60 cm) untuk mencegah limpasan air ke dalam rumah selama kondisi banjir tinggi. Uang dikumpulkan antar tetangga dan pekerjaan dilakukan secara gotong royong. Ternyata tanggul penghalang kecil dan terbatas cukup efektif dan responsif terhadap kebutuhan mereka. Meningkatnya perumahan yang tahan air: Di kampung nelayan Kota Karang dan Kangkung terdapat banyak adaptasi arsitektur ke atas untuk membuat rumah mereka lebih tahan dari efek destruktif air laut. Sebagai contoh di Kangkung, kebanyakan rumah-rumah nelayan yang dibangun di atas tonggak kayu diperkuat dengan sarung beton. Ini untuk mencegah paparan air laut terus menerus dan selanjutnya mengurangi kebutuhan mengganti tonggak rumah setiap enam bulan sekali. Pekerjaan ini dapat dikerjakan ke atas (tidak harus sekaligus) dan memberikan ruang-ruang finansial bagi keluarga. Tinggal di atas air: Keluarga-keluarga yang tinggal di atas air seperti di Kota Karang telah beradaptasi terhadap kebutuhan ekonomi seperti akses ke tempat kerja, pasar, peluang dan jasa, dan kurangnya akses ke darat. Kebanyakan mereka datang dari kota-kota yang berbeda, bahkan dari daerah lain di Indonesia, dan adaptasi mereka mereka ke kotanya yg baru dalam bentuk adaptasi terhadap tantangan kondisi fisik dan lingkungan dalam rangka mengamankan kondisi ekonomi yang dibutuhkan. Konsolidasi kampung secara bertahap: Masyarakat miskin perkotaan seperti di Kangkung (Lingkungan 2) dan Pasir Gintung (Lingkungan 2) telah mengkonsolidasikan kampungnya dan dengan demikian mengurangi kerentanan dengan perbaikan ke atas. Bahkan tanpa hak kepemilikan lahan yang jelas, investasi berkelanjutan dari pemerintah daerah atau sejumlah 119
•
•
•
•
besar modal selama beberapa tahun, masyarakat setempat telah memperbaiki sistem drainase secara progresif, membangun tanggul penahan dan tanggatangga, dan memasang pipa air bersih. Hal ini mengurangi kejadian dan resiko longsor, banjir dan abrasi pantai, meskipun tidak sepenuhnya menghilangkan resiko-resiko tersebut, tetapi menunjukkan bahwa kapasitas masyarakat untuk berhadapan dengan resiko perubahan iklim sendiri dengan proyek-proyek sederhana dan tidak bergantung pada yang besar-besar. Membangun rumah panggung: Di beberapa kampung, seperti di sepanjang bantaran sungai di Kota Karang, rumah dibangun di atas panggung, bahkan meskipun rumah tersebut di atas tanah kering. Ini tidaklah mengacu pada adaptasi terhadap resiko iklim tertentu, melainkan tradisi suku Bugis dari pendatang, tetapi digunakan untuk menyimpan barang-barang berukuran besar (seperti gerobak dan bahan bangunan). Konstruksi ini juga membuat rumah bebas banjir musiman dan dengan demikian mengurangi kerentanan dan kerugian harta benda saat terjadi banjir besar yang tidak normal. Tak bisa dipungkiri bahwa bagaimanapun bebapa orang Bugis Berjaya di kotanya dan mereka memutuskan untuk mengadopsi model-model rumah konvensional (yang berada di atas permukaan tanah) dan maka dari itu kehilangan atributatribut arsitektur adaptif lantaran mereka berakulturasi dengan lingkungan sekitar. Penampungan air dan peternakan hewan: Keluarga yang kekurangan air dan makanan mengumpulkan air dengan menampung air hujan untuk kegiatan bersih-bersih dan kadang kala memasak daging (ayam, ayam betina dan kadang-kadang kambing) untuk tambahan menu makanan mereka. Keluarga-keluarga tersebut secara tidak sengaja tinggal di rumah panggung di atas laut, dimana lahan sulit diperoleh (di Kota Karang dan Kangkung). Beradaptasi terhadap kebutuhan sosial ekonomi, kurangnya fasilitas publik dan lahan, ini adalah alternatif yang membantu mereka menghemat pengeluarannya dan penggunaan air. Mengumpulkan air membuat mereka mengurangi ketergantungan kepada sistem pengaliran air PDAM yang tidak melayani mereka, ukuran pertahanan hidup yang reaktif. Kemampuan mengakses dana tunai melalui fasilitas kredit dan gadai: Strategi pertahanan hidup yang banyak digunakan, baik untuk sehari-hari maupun mengatasi kondisi dan bencana cuaca yang ekstrim adalah kemampuan mengakses sumber daya. Keluarga-keluarga sering kali membutuhkan akses dana untuk menambah pendapatan mereka dan yang mereka lakukan adalah mencari kredit dari tukang kredit dan toko-toko setempat. Cara lain adalah menjual asset seperti televisi dan sepeda motor untuk menggalang dana di saat darurat atau membutuhkan dana instan, atau untuk berpartisipasi dalam arisan warga. Cara ini membuat mereka lolos dari krisis keuangan periodik dengan memiliki asset-asset yang bisa digadaikan sewaktu-waktu atau orang-orang dan lembaga-lembaga informal dari mana mereka mendapatkan akses ke sumber daya. Kelembagaan ini dibentuk untuk kebutuhan alamiah informal, tidak melibatkan proses-proses birokrasi atau tabungan, tetapi menerapkan suku bunga yang tinggi dan ketergantungan pada reputasi seseorang di lingkungannya. Proyek-proyek kolaborasi warga: Warga berkolaborasi dalam rangka memperbaiki lingkungannya dengan menyumbangkan waktu liburnya untuk proyek-proyek warga seperti kerja bakti bersih lingkungan dan membangun tanggul penahan. Proyek-proyek di kampung Pasir Gintung membersihkan 120
saluran air buangan yang membantu mereka meyakinkan bahwa air buangan tidak menjadi ancaman atau melimpah dari gorong-gorong dan merusak rumah-rumah dan properti. Kegiatan ini disebut gotong royong dan membutuhkan kolaborasi yang konsisten dan terkoordinir antara kelompokkelompok dan wilayah-wilayah yang berbeda di suatu wilayah. Hal ini bisa menjadi tantangan karena sebagian wilayah lebih berdedikasi ketimbang lainnya dalam kerja bakti bersih lingkungan, dengan kegagalan membersihkan saluran air buangan di bagian hulu akan memperparah kondisi wilayah lain di hilir. 8.2. Pembelajaran Strategi adaptasi yang teridentifikasi di atas memberikan wawasan ke arah pemahaman apa yang disebut strategi yang layak dan berhasil. Untuk strategistrategi untuk dikembangkan dan dilaksanakan harus sudah dilakukan, lalu faktorfaktor apa yang membuatnya terjadi, dan mengapa warga memilihnya? Meskipun analisis komprehensif hanya bisa dilakukan secara realistis di balik peristiwa iklim yang parah, kita bisa mencari petunjuk-petunjuk yang memudahkan kita untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi kepada strategi-strategi adaptasi yang baik dan efektif. Di bawah ini beberapa kualitas umum yang muncul dalam strategi-strategi adaptasi yang tercatat di atas: •
•
•
•
Cukup hanya ‘bekerja’: strategi-strategi adaptasi di atas merupakan respons yang sangat praktis terhadap ancaman-ancaman utama dan realita penduduk yang diteliti. Respons mereka telah berkembang karena mereka bekerja untuk mereka sendiri, bukan karena terdengar seperti ide-ide yang bagus dan berpotensi. Ini merupakan poin yang sangat penting untuk dikenali, sukses belum tentu dianggap memiliki dampak skala besar, yang lebih penting adalah bahwa secara yang paling praktis, adaptasi-adaptasi ini memiliki tujuan dan efek terhadap kehidupan mereka setiap hari. Tidak mahal dan bekerja dengan bahan-bahan yang tersedia: Strategistrategi adaptasi bisa makan waktu untuk berkembang, sehingga berkembang oleh aplikasi yang konsisten secara waktu dan sumber daya, dan untuk warga miskin kota, sumber-sumber tersebut langka. Evolusi hampir selalu meningkat dan berasal dari bahan-bahan yang tidak mahal atau gratis. Contoh-contohnya seperti memulung bahan bangunan dari tukang loak terdekat, atau bahkan kelompok-kelompok arisan yang mengumpulkan dana yang sangat minimal. Hal inilah yang warga sanggup lakukan dan yang masuk akal bagi mereka. Bisa diakses pada saat dibutuhkan: Strategi-strategi adaptasi juga harus bisa diakses pada saat dibutuhkan, terutama pada saat-saat yang sulit. Dalam rangka mengumpulkan modal untuk pulih dari banjir, keluarga bisa menjual televise, motor atau asset yang laku dijual, ketimbang mengikuti proses aplikasi yang birokratis yang mungkin mengharuskan pengurusan surat-surat yang lama. Pada umumnya, masyarakat di kota menginginkan akses ke sumber-sumber dengan cepat dan ini merupakan karakteristik yang sangat penting dari strategi adaptasi yang berlaku, mudah dikelola dan diakses. Tidak bergantung kepada proyek-proyek atau intervensi pemerintah yang besar: Di negara yang sumberdaya pemerintahnya terbatas dan mungkin kurang merespons, warga miskin perkotaan tidak menunggu pemerintah untuk menolong mereka. Mereka mandiri. Jadi mereka lebih 121
•
•
•
•
bergantung kepada organisasi dan inisiatif masyarakat yang lebih merespons kebutuhan mereka dengan cara mereka sendiri. Sedangkan intervensi pemerintah diapresiasi dan swadaya masyarakat nampaknya menjadi karakteristik kunci strategi adaptasi. Adaptasi terhadap peristiwa iklim yang parah harus dilakukan bersama-sama dengan strategi adaptasi lainnya: Mereka yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim tidak tahu atau tidak peduli apabila tidak memberikan manfaat kepada aspek-aspek kehidupanya. Karena warga miskin kota memiliki pandangan yang sangat praktis, maka adaptasi yang berhasil bagi mereka adalah yang bekerja dengan strategi lain yang mereka pertimbangkan, seperti kesehatan, perumahan, pendidikan dan mata pencaharian. Jika sesuatu dapat membuat mereka lebih aman dan juga membuat makin sejahtera, maka itulahyang mereka inginkan. Keselamatan diri sendiri bukanlah faktor yang memotivasi, tetapi jika manfaat lain dapat diperoleh, maka solusi tersebut menjadi berfungsi sebagaimana mestinya. Menyeluruh lebih besar daripada sejumlah bagian: Banyak strategi adaptasi berhasil karena mereka memanfaatkan upaya kolektif dan kekuatan masyarakat. Jarang sekali yang berupa upaya perorangan. Tidak hanya kerelaan untuk bekerja bersama, tetapi juga keyakinan bahwa melakukan bersama-sama akan menghasilkan yang lebih baik. Masyarakat saling memikirkan satu sama lain dan jika pertimbangan ini diterjemahkan ke dalam aksi kolektif, hasilnya bisa signifikan. Menyesuaikan bantuan pemerintah mendorong hasil yang lebih baik: Jika masyarakat mampu bekerja bersama-sama dengan pemerintah setempat dan kota (dan sebaliknya), strategi adaptasi nampaknya akan berhasil. Contohnya, jika investasi masyarakat sesuai atau sejalan dengan investasi pemerintah, maka akan menghasilkan dampak yang signifikan dan berkelanjutan pada kondisi lingkungan warga. Akses lebih kepada informasi akan mendorong keluaran yang lebih baik: Masyarakat yang rentan mengevaluasi situasi mereka secara konstan, baik itu ekonomi, perumahan ataupun kesehatan. Strategi adaptasi dapat menolong mereka untuk memiliki akses lebih kepada informasi dan maka dari itu mampu mengambil keputusan yang lebih baik tentang situasi mereka akan mendorong keluaran yang lebih baik. Pada kasus yang sangat sederhana, pengetahuan kelompok-kelompok arisan atau suku bunga yang berbeda dari kreditur setempat dapat menambah pilihan-pilihan ekonominya dan mengurangi kerentanannya. Masyarakat miskin kota biasanya terisolasi dan maka dari itu strategi adaptasi yang berhasil nampaknya akan meningkatkan akses informasi mereka.
8.3. Pilot Project daerah Bandar Lampung sebagai Rencana Aksi Adaptasi Bandar Lampung sedang mencari contoh model untuk menguji pendekatan yang dapat berkontribusi terhadap rencana ketahanan kota. Aktivitas perdana ini ditujukan untuk menguji pendekatan yang inovatif dan berpotensi untuk diduplikasi untuk digunakan dalam meningkatkan ketahanan kota. Saat fase perjanjian dari insiasi ini akan terdapat kesempatan untuk mengimplementasikan proyek skala kecil untuk mengembangkan multi-stakeholder dalam rencana aksi ketahanan kota.
122
Tujuan dari implementasi perdana ini adalah: - untuk menyiapkan daftar pengaruh perubahan iklim pada level kota - untuk mengikat para stakeholder tingkat kota (pemerintah kota, LSM, Universitas, CBO, sector swasta, dan grup-grup masyarakat) - untuk mengimplementasikan pilot project yang menguji strategi ketahanan terhadap perubahan iklim - untuk menguji kapasitas adaptasi di dalam masyarakat Target utama dari pilot project ini adalah masyarakat yang rentan terhadap pengaruh perubahan iklim. Orang yang akan merasakan manfaat dari proyek ini adalah wanita, anak kecil, dan orang – orang tua, baik dengan peningkatan kesadaran, kapasitas local, mempengaruhi kebijakan local, dll. Aktifitas dari pilot project ini harus mengikuti atau sejalan dengan criteria di bawah ini: 1. Dapat direplikasi 2. Menanggapi masalah yang terdapat saat ini dan masa depan 3. Menguntungkan masyarakat local 4, Inovatif 5. Kolaborasi 6. Terskala 7. Merupakan strategi yang berkelanjutan Ada beberapa criteria tambahan yang harus diterapkan oleh pilot project, yaitu: - Implementasi dari pilot project harus berkaitan dengan masalah local pada administrasi local atau administrasi daerah “cross border” pada masalah lingkungan, kesehatan, pendidikan, social, ekonomi yang berkaitan dengan perubahan iklim - Implementasi dari pilot project ini diarahkan untuk adaptasi dan merespon usaha yang dilakukan untuk menghadapi perubahan iklim, seperti erosi, banjir, kekringan, longsor, dll. Berikut ini merupakan pilot project terpilih untuk Bandar Lampung: Pilot Project pertama untuk Bandar Lampung: Desain dari Partisipasi Adaptasi Ketahanan Masyarakat di Kangkung dan Kelurahan Kota Karang, Kota Bandar Lampung pada Perubahan Iklim oleh Lampung Ikhlas (LSM Lokal). Lampung Ikhlas merupakan asosiasi terbuka dan mandiri yang bergerak dibidang solidaritas antara korban bencana alam dan kemanusiaan. Didirikian pada tanggan 26 Desember 2004, Lampung Ikhlas secara aktif telah menerapkan aktivitasaktivitas yang berkaitan dengan respon darurat terhadap bencana, program sukarela, dll. Dan sebagai tanggapan terhadap masalah lokal di kota Bandar Lampung yang disebabkan oleh pengaruh prubahan iklim pada sector lingkungan dan ketersediaan air, maka mereka telah memilih dua kelurahan untuk menerapkan pilot project, yaitu kelurahan Kangkung dan Kota Karang. Judul dari proyek Lampung Ikhlas ini ialah: “participatory design adaptation of Community Resillience in Kangkung and Kota Karang sub-district, Bandar Lampung City to Climate change”. Tujuan dari proyek ini ialah untuk meningkatkan pengertian, kesadaran, dan partisipasi masyarakat dalam rangka mewujudkan kapasitas adaptasi untuk 123
menghadapi pengaruh perubahan iklim. Untuk lebih jauhnya, target dari proyek ini adalah: 1. membangun pengertian dan menerapkan aktivitas dari program untuk lingkungan social di kelurahan Kangkung dan Kota Karang mengenai pengaruh perubahan iklim (dalam lingkup social, ekonomi, dan sector kehidupan yang berkelanjutan). 2. meningkatkan kapasitas masyarakat untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. 3. meningkatkan kesadaran masyarakat di kelurahan Kangkung dan Kota Karang terhadap perubahan iklim. 4. membantu untuk meningkatkan standar kehidupan masyarakat dalam sector kesehatan, ketahanan kehidupan ekonomi, manajemen lingkungan, dan adaptasi terhadap perubahan ikllim. Target dari program ini ialah masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim yang mempengaruhi daerah pesisir: kelurahan Kangkung dan Kota Karang. Yang akan merasakan keuntungan dari program ini ialah: masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim, termasuk wanita, anak kecil, laki-laki dewasa terutama dari keluarga nelayan, keluarga miskin, dan lainnya; dalam hal peningkatan pemasukan, memperbaiki status kesehatan, kenyamanan, dan peningkatan pengetahuan. Yang akan mengimplementasikan aktivitas ini ialah grup-grup yang telah ada di dalam masyarakat.
UNAVAILABLE OF SUBDISTRICT SPATIAL PLAN
THREAT TO WORKING ACTIVIIES SUSTAIBANI LITY
UNEXISTENCE OF GOVERNMENT POLICIES SUPORT TO CLIMATE CHANGE
UNEXISTENCE OF MANAGEMENT FROM SUB-DISTRICT
RESIDENTIAL AND WARD DO NOT ADAPT TO CLIMATE CHANGE
VULNERBALE COMMUNITIES TO CLIMATE CHANGE
NO SOLIALIZATION OF CLIMATE CHANGE IMPACT AND ADAPTATION UNAPPROPRIATE RESPONSE/ BEHAVIOR TO CLIMATE CHANGE
RESIDENTIAL DEVELOPMENT AND WARD DO NOT ADAPT TO CLIMATE CHANGE
Gambar 8-1. LFA Analisa Problem Aktivitas proyek ini akan mencakup: 1. sosialisasi program: untuk membentuk partisipasi sukarela dari masyarakat lokal dalam menerapkan proyek; 124
2. survey: untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai daerah dan masalah-masalahny untuk mendukung kesuksesan proyek; 3. Focus group discussion (FGD): untuk membentuk kebersamaan, kesiapan, dan kemauan dalam masyarakat untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim; 4. manajemen sampah: meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat untuk memecahkan masalah mengenai penyakit akibat perubahan iklim, dan juga meningkatkan pemasukan dengan melakukan pelatihan daur ulang sampah, pembuatan pupuk organic, lomba menggambar sampah, dan aktivitas pembangunan fasilitas daur ulang sampah; 5. Penyediaan saran air bersih: meningkatkan kapasitan masyarakat, memecahkan masalah minimnya ketersediaan air bersih karena perubahan iklim, dan membentuk grup manajemen air bersih melaluii pelatihan filtrasi air payau dan membangun instalasi filtrasi air payau; 6. kampanye media: untuk mensosialisasikan pengaruh perubahan iklim dalam rangka menumbuhkan ketahanan masyarakat melalui penyebaran leaflet, stiker, poster, kalender, dan banner; 7. Video dokumentasi: untuk menjelaskan tahap-tahap aktivitas proyek. Pilot Project kedua di Bandar Lampung: Pembentukan kapasitas “capacity building” untuk kelurahan Panjang Selatan untuk menghadapi perubahan iklim yang dilakukan oleh Mitra Bentala (LSM lokal) Mitra Bentala didirikan pada tanggal 9 April 1995 dengan visi “kedaulatan masyarakat pesisir pantai dan pulau-pulau kecil Lampung dalam manajemen sumber alam yang demokratis, adil, dan berkelanjutan”. Sejak didirikannya, Mitra Bentala telah bekerjasama dengan pemerintah, LSM lokal, institusi pendidikan, sector swasta, dan masyarakat dalam aktivitas-aktivitas yang mencakup daerah pesisir dan pulau kecil. Dan sebagai tanggapan terhadap pengaruh perubahan iklim di kelurhana Panjang selatan, Mitra Bentala telah memilih implementor pilot project ini yang berada di kelurahan Panjang Selatan. Judul proyek Mitra Bentala ini ialah: Pembentukan kapasitas “capacity building” untuk masyarakat kelurahan Panjang Selatan untuk menghadapi perubahan iklim”. Tujuan dari proyek ini ialah “sebagai usaha untuk menguatkan kapasitas masyarakat dalam usaha untuk meningatkan ketahanan masyarakat di Kelurahan Panjang Selatan dalam menghadapi perubahan iklim”. Target dari proyek ini ialah: 1. Periode jangka pendek: - meningkatkan kapasitas masyarakat melalui partisipasi aktif dan meningkatkan pengetahuan mengenai usaha adaptasi terhadap perubahan iklim; - membangun kesadaran masyarakat dalam meningkatkan pengertian dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan pengaruh perubahan iklim; dan - usaha adaptasi terhadap perubahan iklim melalui manajemen persampahan, penyediaan air minum, dan rehabilitasi.
125
2. Periode jangka panjang: - mendorong pembentukannya grup masyarakat untuk adaptasi terhadap perubahan iklim; - mendorong pembentukannya dukungan kolektif untuk penerapan adaptasi terhadap perubahan iklim di kelurahan Panjang Selatan; dan membangun kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim. Masyarakat yang akan merasakan keuntungan dari program ini ialah: masyarakat di tiga daerah terpilih kelurahan Panjang Selatan yang berada dipesisir pantai hingga daerah buki, terutama masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim, termasuk keluarga nelayan, kepala rumah tangga wanita, dan lainnya. Diagram Alur Pemikiran
ACCCRN Team Panjang Selatan Subdistrict
MITRA BENTALA
POLICY ORIENTATION
Climate change issues
EFFORT IN CLIMATE CHANGE ADAPTATION
1. .Socialization 2. .Citizen Meeting 3. .Natural resources training 4. .Waste management training 5. Eco-feminism education 6. Installation of drinking water refill training
Building Awareness
1. Mass-media expose 2. Campaign: poster, leaflet, and t-shirt 3.Disaster evacuation sign board route and map 4.Documentary film
Adaptation Efforts to Climate Change
1. Waste management and facilities providing 2. Drinking water installation refill 3. Rehabilitation
OUTPUT Climate Change Adaptation Community Group
Collective Support
Climate Change Adaptation Ability/Capacity
SUSTAINABLE PLAN Gambar 8-2. Diagram Alur Aktivitas 126
M&E
Community Capacity Building
Pilot proyek diperlukan untuk membantu pemerintah daerah dalam memahami bagaimana perubahan iklim akan berdampak pada masyarakat dan sektor, serta bagaimana kapasitas saat ini harus diperkuat dan rencana tata ruang ditingkatkan untuk membentuk ketahanan kota terhadap perubahan iklim dan bagaimana menggunakan metode pembelajaran yang baik dari pilot proyek tersebut dalam merancang kebijakan dan strategi jangka panjang untuk mengatasi perubahan iklim. Aktivitas proyek ini akan mencakup: 1. sosialisasi: program sosialisasi pada tingkat kelurahan dan grup diskusi pada tingkat kota terpilih; 2. manajemen persampahan: pelatihan manajemen persampahan, pendirian grup manajemen persampahan, dan penyediaan fasilitas pengelolaan sampah; 3. rehabilitasi, pendidikan sumber daya alam, dan peningkatan kewaspadaan terhadap bencana: manajemen pendidikan sumber daya alam, pendidikan eco-feminism, rehabilitas (penanaman pohon), dan pembuatan rute dan peta evakuasi saat terjadi bencana; 4. Instalasi isi ulang air minum: pelatihan pemasangan instalasi air minum dan penyediaan instalasi isi ulang air minum; 5. Kampanye: dokumentasi video dan pembuatan poster, leaflet, dan kaos. 8.4. Adaptasi dan Ketahanan: Tabel berikut (lihat Lampiran) berusaha untuk mengkategorikan bagaimana adaptasi yang diuraikan di atas bisa dipahami (i) sebagai kontribusi kepada ketahanan, dan (ii) dengan mengurangi dampak peristiwa iklim dengan memfasilitasi kesiapsiagaan bencana dan tanggap bencana. Beginilah caranya strategi adaptasi dapat membangun ketahanan, dengan menyiapkan sedari awal warga dapat mengurangi resiko dan/atau memfasilitasi respons yang membiarkan mereka untuk pulih seperti sedia kala. Hambatan dan Peluang untuk penguatan kapasitas adaptasi: Di bawah ini dirinci analisis terhadap faktor-faktor eksisting dimana adaptasi bergantung, apa saja hambatannya dan peluang-peluang apa saja yang ada di masyarakat yang diteliti yang dapat menjadi basis untuk pengembangan ketahanan masyarakat lebih lanjut. (i) Apa saja faktor-faktor dimana adaptasi bergantung? • Uang • Kapasitas • Pemahaman • Akses informasi Kolaborasi dan keterlibatan pemerintah setempat • Migrasi dan laju pertumbuhan • Penyediaan layanan publik • Mobilitas
Kekurangan akses modal yang menghambat kapasitas melakukan investasi. Kurangnya kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi yang berbeda. Kewajiban untuk belajar tentang adaptasi dan ancaman dan bagaimana meresponsnya. Informasi dapat memperkuat dengan memberikan alat untuk mengakses pengetahuan dan sumber daya. Marginalisasi dari pengambilan keputusan dapat menjauhkan dari akses informasi, sumber daya dan perangkat yang dibutuhkan untuk beradaptasi secara efektfi terhadap kondisi yang berbeda. Kapasitas yang berlebihan dapat membatasi kemampuan untuk jadi fleksibel dan mengatasi perubahan secara efektif. Kesanggupan untuk membangun dapat menghambat atau memicu pembangunan dan adaptasi Akses fisik ke sumber daya, informasi dan perangkat bergantung kepada akses fisik.
127
(ii) Apa saja hambatan dalam mengembangkan strategi adaptasi? Informasi
Akses (politik, ekonomi dan fisik) Modal (dari warga maupun pemerintah setempat)
Kolaborasi masyarakat
Kolaborasi kelembagaan + jurisdiksi
Sumber daya alam
Ketergantungan kepada faktor eksternal yang tidak bisa dikontrol
Warga miskin kota memiliki sedikit akses informasi, sehingga mereka tidak tahu mengenai perubahan dan peluang di lingkungannya. Masyarakat yang tidak beruntung sering mengalami penderitaan dari isolasi, fisik, ekonomi dan politik, yang mengurangi kesempatan mereka. Dengan sumberdaya yang memadai, kerentanan dapat dikurangi secara besar-besaran dan membuka banyak kemungkinan untuk adaptasi. Kurangnya investasi lokal (oleh pemerintah dan penduduk) menghamat pengembangan alternative Kurangnya kolaborasi dan kohesi masyarakat dapat melemahkan proses-proses dan proyek-proyek kolektif, dan dapat memperkecil suara masyarakat dalam mengajukan klaim. Ketidaksanggupan pemerintah daerah untuk mengkoordinir aksiaksi mereka secara kelembagaan (antar departemen) dan secara keruangan (lintas wilayah jurisdiksi) dapat menghambat implementasi program, proyek dan inisiatif yang efektif yang dapat membantu strategi adaptasi (contoh: menawarkan layanan kesehatan dan air yang berkualitas) Kurangnya sumber daya alam dapat menghambat kapasitas untuk beradaptasi dengan menghambat perangkat yang bisa diakses untuk mengembangkan strategi perubahan dan adaptasi, atau membuatnya jadi lebih mahal. Masa depan ekonomi tidak ditentukan oleh dinamika dan faktor lokal, mereka terjadi di kota-kota yang berbeda dan negeri-negeri yang jauh. Kebanyakan mata pencaharian penduduk lokal bergantung pada faktor yang jauh dan di luar kontrol mereka.
128
(iii) Apa peluang-peluang yang ada? Kasus-kasus yang ada dan berhasil Jejaring sosial yang mungkin dilakukan dalam situasi serupa, termasuk bagaimana caranya Pemerintah kelurahan setempat
Program-program pemerintah kota dan nasional
Materi dan ketrampilan dari aktifitas industri dan ekonomi
Kepemimpinan lokal
Kohesi masyarakat Organisasi masyarakat lokal
Ada banyak adapatasi yang sekarang digunakan dan dikembangkan di dalam lokasi penelitian yang dapat disebarkan dan manfaatnya dipublikasikan. Mereka telah terbukti berhasil dan efektif Pengumpulan pengetahuan kolektif dapat membantu mengembangkan strategi adaptasi dengan membuka akses kepada modal sosial, informasi, perangkat dan pengaruh politik yang potensial Kebanyakan pemerintah daerah sangat telaten membantu warganya, memiliki ketrampilan dan kemauan untuk memperbaiki kondisi yang mengarah kepada adaptasi. Itikad baik harus dimanfaatkan dan didorong. Program dan kebijakan yang ada di kota dan tingkat nasional dirancang untuk memperbaiki kondisi bagi penduduk lokal namun mereka sering tidak diterjemahkan ke dalam inisiatif lokal. Jika dipahamin dan dikoordinasikan dengan lebih baik maka dapat membantu strategi adaptasi. Aktifitas ekonomi yang ada dapat bertindak sebagai dukungan sumberdaya dan politik. Penduduk setempat yang saat ini bekerja tidak hanya memberikan mereka ketrampilan, mereka juga menggunakan sumber daya yang tersisa, dan menghasilkan pendapatan finansial yang berharga darinya. Secara politis, mereka bisa menjadi sekutu yang kuat. Masyarakat lokal yang diteliti menunjukkan kepemimpinan yang kuat, kualitas yang esensial dalam mewujudkan perubahan dan menjamin ketahanan. Masyarakat juga menunjukkan tingginya kolaborasi dan kohesi yang membuat proyek-proyek gotong royong terwujud. Keberadaan organisasi masyarakat di kedua kota menunjukkan adanya sumber daya manusia yang dapat berkontribusi kepada proses-proses perubahan sosial dimana masyarakat terlibat
8.5. Ide-ide spesifik untuk memperkuat kapasitas adaptif: Strategi dan proyek-proyek di bawah ini menawarkan beberapa ide-ide yang mungkin dilakukan untuk memperkuat kapasitas adaptif di Bandar Lampung dan Semarang. Preferensi diberikan untuk ketrampilan dan pengalaman yang sudah diterapkan di lokasi penelitian. Pelajaran dapat dengan mudah dipelajari dan ditransfer dari kasus-kasus tersebut karena (i) sudah terbukti bekerja dan (ii) lebih mudah diintroduksi dari masyarakat dan kelompok-kelompok yang datang dari konteks yang sama ketimbang dibawa dari luar. Ide-ide lainnya ditelaah untuk digunakan sebagai modal dalam pembelajaran dan menjawab isu-isu spesifik terkait kerentanan secara multi dimensi yang muncul dengan sendirinya. Kota-kota yang tak nampak, membuatnya tak nampak: Dalam kasus masyarakat yang sampai sekarang tidak dikenal atau didokumentasikan, seperti warga miskin kota di Sukorejo dan pendatang baru di Kota Karang yang terabaikan dan terlupakan, sensus dan survai di tingkat masyarakat akan membantu untuk mendokumentasikan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Namun apresiasi dan pemahaman akan kebutuhan dan kondisi masyarakat masihlah kurang. Pemerintah daerah mungkin tidak merasakan kebutuhan untuk menyediakan layanan atau berdialog dengan masyarakat, karena mereka tidak peduli skala dan asal muasal kebutuhan tersebut. Mereka seenaknya menguasai lahan yang tak terlihat dan ambigu. Dengan pendokumentasian wilayah yang lebih baik, maka pemerintah kelurahan setempat dapat memiliki ide-ide yang lebih baik tentang layanan yang dibutuhkan (berapa 129
banyak orang perlu akses ke puskesmas, atau murid dalam satu kelas) dan sebagai hasilnya dapat menerima alokasi anggaran yang dibutuhkan. Guna ulang yang adaptif: Sudah banyak sumber-sumber yang datang ke warga miskin kota lokal yang dapat membantu menunjang ketahanan, tetapi belum sepenuhnya dimanfaatkan. Kasus-kasus guna ulang yang adaptif sudah terbukti ada di lokasi penelitian: guna ulang sampah untuk reklamasi pantai di Kangkung dan menampung air dari cucuran atap rumah-rumah di atas air di Kota Karang, keduanya merupakan dua contoh pemanfaatan sumberdaya yang ‘gratis’ untuk kegunaan tambahan. Satu ide lainnya adalah pemanfaatan drum air kosong (berlimpah di kawasan pesisir seperti Kota Karang) untuk menampung air hujan dari atap rumah di Pasir Gintung. Hal ini akan membantu menyediakan sumber air alternatif untuk kegiatan-kegiatan selain memasak dan minum dan juga menjadi penampungan sementara air hujan untuk menghindari banjir dadakan. Subsidi: Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu yang dihadapi warga miskin kota, layanan sosial tertentu tidaklah terjangkau. Pemerintah dapat membantu dengan akses subsidi terhadap layanan-layanan tersebut untuk menjamin bahwa warga miskin kota mendapatkan manfaat. Subsidi untuk pendidikan dan air bersih akan membantu menunjang ketahanan dan mengurangi kerentanan di banyak komunitas warga miskin kota. Sebagai contoh, kasus di RW 5 Kemijen, warga kekurangan akses modal untuk membayar biaya pemasangan pipa PDAM yang akibatnya mereka sangat bergantung pada penjual air, dan membayar harga yang sangat mahal. Subsidi koneksi akan membantu menurunkan biaya-biaya mereka secara signifikan. Di kampung nelayan Kangkung, hampir semua anak-anak di atas usia 12 tahun putus sekolah, orang tua mereka tidak mampu membiayai ke SMA dan membutuhkan mereka untuk bekerja. Jika subsidi pendidikan dapat mengamankan kehadiran mereka di sekolah sampai selesai SMA, mereka dapat mengakses segala macam pekerjaan di kota dan tidak bergantung eksklusif pada pekerjaan di sektor perikanan. Narasi + jejaring masyarakat berbagi: Banyak masyarakat miskin kota hidup terisolir sampai-sampai mereka tidak tahu bahwa realita mereka sangat mirip dengan masyarakat miskin kota di kampung lain yang jauh, meski masih satu kota. Hal ini meniadakan peluang saling berbagi informasi satu sama lain, saling belajar dan membangun jejaring sosial yang dapat membangun ketahanan. Dengan mendorong pertukaran dan pertemuan warga dapat mendorong formasi jejaring sosial, berbagi informasi dan belajar. Sebagain contoh, satu manfaat potensial adalah sosialisasi konsekuensi program relokasi penduduk, berbagi cerita dan konsekuensi yang berbeda tentang relokasi warga Sukorejo dan Tandang. Penduduk kota yang dipindah akan mendapatkan keuntungan dengan mendapatkan pengetahuan yang berguna untuk menegosiasi kondisi relokasi dan anti rugi dengan pemerintah daerah dan pengembang. Hal ini membantu menjawab ketidak sesuaian informasi dan memperkuat warga miskin kota. Pembiayaan beranggaran rendah untuk perbaikan rumah: Terbukti bahwa warga miskin kota dapat memperbaiki kondisi rumah mereka sendiri dan maka mengurangi kerentanan terhadap resiko iklim. Perubahan peningkatan skala kecil membantu untuk membangun rumah yang lebih kokoh dan awet secara bertahap dan dengan anggaran yang terbatas. Rumah-rumah panggung di kampung Kota Karang memakai tonggak-tonggak kayu yang diperkuat dengan beton satu per satu, membuatnya sedikit terpengaruh oleh ombak dan erosi. Dengan membuat mereka 130
dapat mengakses pendanaan, warga dapat membeli bahan bangunan dan perlahan memperbaiki rumahnya secara mandiri, tidak bergantung pada proyek pemerintah atau tabungan mereka cukup banyak. Perbaikan kecil, seperti pengatapan yang lebih baik sebagai contoh, dapat mengurangi kerentanan secara signifikan di tempat yang rawan terhadap siklon dan angin kencang. Indeks Kerentanan Lingkungan: Sejumlah kampung telah diidentifikasi memiliki potensi yang membuat mereka sangat rentan terhadap perubahan iklim. Melalui investasi yang progresif dalam proyek-proyek dan perbaikan, beberapa potensi tersebut dapat dikurangi dan dengan demikian mengurangi kerentanan lingkungan. Cara ini akan berguna untuk melihat bagaimana perkembangan yang terjadi, dan akan membiarkan kelompok-kelompok untuk mengetahui strategi apa yang berfungsi dan bidang-bidang apa yang perlu bantuan yang lebih ditargetkan. Dengan mengumpulkan database yang dapat memantau perkembangan berdasarkan waktu dan ruang, kelurahan dapat memiliki alat ukur bagaimana kerjanya untuk mengurangi kerentanannya, dan bagaimana kelurahan ini disbanding dengan wilayah lain. Peta terinci untuk penggunaan pemerintah kelurahan setempat: Pemerintah Kelurahan Tandang menampilkan ukuran kesiagaan dan respons bencana yang bermanfaat. Dengan menyimpan peta rinci di tangan yang dapat mengidentifikasi asset, penduduk dan mengkategorikan bahaya, mereka dapat bersiap-siapa lebih baik terhadap bencana terkait iklim, seperti menyiapkan sistem peringatan dini. Peta seperti itu akan juga menjadi sumber vital untuk respons bencana: pada saat terjadi longsor contohnya, dapat menyediakan database instant tentang asset penduduk darimana diawali upaya penyelamatan atau rekonstruksi. Akses informasi, dalam format yang jelas dan dapat diakses sangat penting untuk mengurangi kerentanan dan memperkuat ketahanan; peta-peta dan database penduduk dapat membantu menyediakannya. Jejaring pengaman sosial alternatif: Pada saat ini hanya sedikit kebijakan terkonsolidasi yang tersisa sebagai jejaring pengaman sosial bencana bagi keluarga yang rumah dan propertinya rusak akibat cuaca yang ekstrim. Pemerintah daerah hanya mampu menyediakan sumberdaya yang langka yang umumnya disebut tidak cukup. Penduduk yang terpengaruh akhirnya bergantung pada yayasan swasta dan amal, atau ketrampilannya sendiri untuk bertahan hidup, seperti dalam kasus banjir di Pasir Gintung. Namun jejaring pengaman sosial lain dapat ditelusuri yang mungkin menyimpan sumber daya di gudangnya. Gudang kota yang dapat mengumpulkan dan menyimpan barang, atau rekening bank yang dapat menyimpan sumbangan, adalah model-model yang mungkin dilakukan untuk menyimpan sumber-sumber daya pendanaan untuk peristiwa mendatang. Gugus Tugas kota dapat ditugaskan mengelola dana tersebut dan menentukan penggunaannya. Koalisi luas mengatasi isu perubahan iklim: Mungkin yang terpikir bahwa perubahan iklim hanya terfokus pada warga miskin kota, namun ada banyak konstituen yang berpotensi terpengaruh yang menciptakan koalisi besar dan mendorong respons pemerintah terhadap isu ini. Ini adalah kasus di Semarang dimana industri-industri besar dan warga miskin kota akan membentuk persekutuan yang sulit dipercaya lantaran mereka bersama-sama tinggal di kawasan pelabuhan kota yang sangat terpengaruh oleh perubahan iklim. Tetapi pembentukan koalisi luas tersebut bisa mengumpulkan visibilitas dan dukungan politik.
131
Pemikiran dan pertimbangan akhir : Saat tembok bisa dibangun, informasi bisa disebarkan dan masyarakat dan rumah dapat diperkuat, keniscayaan dan asal muasal perubahan iklim dan peristiwa iklim yang parah belumlah diketahui. Mungkin perubahan yang paling penting dari semuanya tidak didefinisikan dengan perubahan fisik, ekonomi atau bahkan politik, tetapi yang sederhana dan kurang dikenal luas. Beradaptasi dengan perubahan iklim mungkin adalah upaya mental yang luas dan dimana terdapat perbedaan budaya yang sulit dipecahkan. Indonesia adalah sebuah negara dan peradaban yang lingkungannya yang indah dan tidak terkira banyaknya digerus selama berabad-abad, dan seiring dengan itu sebuah pola pikir budaya telah berevolusi. Ketimbang mencari untuk menaklukan negeri-negeri sekitarnya, Indonesia adalah bebas dan lebih mampu menyatukannya untuk membentuk dirinya. Mungkin ini adalah adaptasi yang paling signfikan, lebih sesuai terhadap lingkungan yang tak terduga dan masa depan yang tak menentu. Nilai-nilai Barat di sisi lain sangat determinan dan berupaya menaklukan dan mengontrol negeri ini, yang akhirnya melahirkan keyakinan arogansi bahwa ini mungkin. Sejumlah mega proyek yang gagal, menghabiskan banyak biaya dan meninggalkan konsekuensi yang menghancurkan, membuktikan bahwa ini bukanlah caranya, atau paling tidak bukan satu-satunya cara. Untuk mempersiapkan dampak perubahan iklim yang bisa terjadi di kawasan perkotaan di masa depan, kita perlu berpikir adaptasi mental apa yang harus dilakukan, dan juga apa yang sudah dilakukan. Tabel 8-1. Layanan-layanan yang digunakan oleh masyarakat untuk mengatasi bahaya iklim, menurut Kelurahan: Bandar Lampung Pasir Gintung
Kota Karang
Kangkung
Kesehatan: Puskesmas yang terletak di kampung bawah membuat aksesnya terbatas. Air: Di kampung bawah akses PDAM baik (mayoritas), tetapi di kampung atas bukit air dipompa ke tangki penampungan umum dan disalurkan secara manual (akses yang sangat rendah). Pengelolaan air dilakukan warga setempat. Pendidikan: Tersedia SD, tetapi tidak ada SMA. Kepadatan penduduk mencegah penambahan lokal kelas yang kapasitasnya sudah penuh. Angka putus sekolah tinggi di kampung atas (20%) dibandingkan rata-rata se-kelurahan (10%). Sanitasi: WC umum tersedia meski sedikit. Drainase mengalir langsung ke sungai, sehingga bantaran sungai terpolusi. Kesehatan: Puskesmas tidak buka pada waktunya dan tidak mampu melayani warga. Air: Warga kampung nelayan tidak mempunyai suplai air bersih umum, mereka memompa air dari dasar laut (payau) atau mengangkutnya dengan gerobak dari daratan. Pendidikan: Angka bolos sekolah sangat tinggi (30%) secara rata-rata dan bahkan lebih tinggi lagi di daerah tertentu. Sanitasi: Pemukiman di atas air tidak memiliki fasilitas sanitasi yang menciptakan kondisi tidak sehat. Sampah dibuang di pantai yang mencemari garis pantai. Air: Air diangkut gerobak ke daerah yang baru dihuni karena tidak ada layanan PDAM. Pompa tangan tersedia dan melayani setiap 20 rumah. Kesehatan: Fasilitas kesehatan langka, malaria adalah penyakit epidemik utama, kekurangan gizi tercatat. Pendidikan: Hanya ada sedikit fasilitas pendidikan dan angka putus sekolah anakanak di atas 12 tahun sangat-sangat tinggi. Anak-anak dikeluarkan dari sekolah oleh orangtuanya untuk bekerja di sektor perikanan dan karenanya mereka setengah buta huruf. Sanitasi: Sanitasi sangat buruk di kampung nelayan, sedikit sekali WC umum dan sampah dibuang ke kolong rumah. Sampah bertumpuk di daerah ini juga; dibawa ke sana oleh orang luar, teronggok dengan sendirinya dan terangkut ke laut.
132
Tabel 8-2 Adaptasi dan Kerentanan di Bandar Lampung Bandar Lampung Kualitas layanan
Demografi
Pendidikan
Air
Sanitasi
Perumahan
K: banyak anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi
Hasil campuran untuk kualitas air PDAM (baik/jelek)
MCK jarang dan di daerah pesisir sangat buruk
Warga miskin memiliki rumah yang tidak layak di daerah beresiko
Cakupan layanan
Banyak pendatang baru yang belum tercatat, perlu bekerja dengan pemerintah daerah dan kelurahan
PG: sekolah sudah penuh. K: tidak ada SMP/SMA
PG: kampung atas hanya sumur umum K+KK: sistem darurat dan pedagang swasta
MCK ada di PG, tapi tidak banyak. Di K dan KK disediakan oleh warga
Tidak ada dukungan pemerintah
Wilayah beresiko
- Migrasi terus menerus mendatangi wilayah beresiko (pantai, lereng) - Dengan volume yang meningkat, laju peningkatan menjadi faktor penentu - Sulit untuk mendukung pertumbuhan yang cepat
Kelompok beresiko
- Pendatang baru dengan sedikit pengetahuan tentang sumberdaya di kota - Pertumbuhan alami juga mendorong warga setempat ke wilayah beresiko - Transmigrasi sepertinya berlanjut, khususnya untuk penduduk di pantai - Urbanisasi trend yang tidak terelakkan di Indonesia
- Tidak ada sekolah - Daerah padat, tidak ada ruang untuk sekolah - Daerah miskin dimana orang tua tidak mampu menyekolahkan anaknya - Anak-anak bekerja membantu orang tuanya - Anak-anak usia 7-14 - Keluarga miskin - Kampung nelayan
Trend ke depan + stressor
Adaptasi potensial Tautan
-
-
- Lingkungan tempat tinggal yang lebih padat - Pembangunan ekonomi - Lingkungan -
Pertumbuhan alami dan migrasi akan mengurangi sumberdaya pendidikan yang ada Ketika anak nelayan besar, setengah buta huruf menyulitkan mereka beradaptasi dengan pekerjaan Pelatihan ketrampilan alternatif Demografi Pembangunan Ekonomi
- Warga tinggal di atas air punya sedikit sambungan - Warga lereng berjuang untuk mengamankan fasilitas - Daerah baru tidak punya sambungan
Kondisi sanitasi yang buruk di kampung pesisir menyebarkan penyakit, semua warga harus berbagi kondisi yang membahayakan kesehatan ini
Pembangunan Ekonomi Pinjaman pemerintah + subsidi ada tapi tidak menolong membangun ketrampilan Program pemerintah tidak menjangku seluruh penduduk
Kesehatan - Sedikit bidan di Puskesmas - Harga obat mahal
Puskesmas sering tidak buka, bahkan tidak ada di daerah terpencil
Lingkungan (mis. Drainase) Pengumpulan sampah umumnya baik. Tanggul penguat belum dibangun di daerah perbukitan Warga miskin hanya punya fasilitas kesehatan terbatas, tangga dan tembok hanya di daerah yang padat penduduk PG: drainase di bukit menyebabkan banjir bandang di bantaran sungai KK+K: lahan publik terbatas dan jalan setapak yang berbahaya dibangun dari kayu
-Daerah pesisir -Bantaran sungai -Lereng bukit -Rumah kayu yang perlu dirawat secara rutin, kayu diganti
-Daerah yang terioslir dan terpinggirkan seperti KK yang tidak terhubung dengan pasar -Kesulitan mengakses wilayah (lereng curam) yang tidak bisa diakses)
-Daerah terpencil tanpa Puskesmas: kampung di lereng -Kampung nelayan
-Kaum tak berpendidikan yang tidak dapat berurusan dengan proses -Warga miskin yang tak mampu beli obat -Yang kurang mobilitas - Wabah pandemic - Pertumbuhan penduduk
-Warga miskin -Penghuni bantaran sungai -Rumah yang terancam longsor
Penyediaan kesehatan alternatif Pembangunan Ekonomi
Proyek warga dengan dana pemerintah -Air -Perumahan -Sanitasi
- Anak-anak yang membawa air - Keluarga di daerah pesisir sedikit mengkonsumsi - Buruk tanpa layanan PDAM
-Anak-anak yang berenang di air -Perempuan yang mencuci -Keluarga di kampung nelayan
-Warga miskin -Keluarga baru yang cari rumah -Pendatang -Keluarga dipimpin perempuan -Lanjut usia
-Pengangguran muda -Keluarga yang tergantung pada satu mata pencaharian
- Laju pertumbuhan yang cepat sulit untuk membangun infrastruktur - Tabel air yang rendah menghilangkan penggunaan sumur - Penurunan kualitas pipa - Pengunduhan air - Subsidi - Kesehatan - Pembangunan ekonomi - Demografi
-Peningkatan populasi menambah problem sanitasi -Laju pertumbuhan penduduk yang cepat berarti tidak mampu membangun sistem
-Rumah rusak membuat masalah -Pertumbuhan alamiah keluarga -Perluasan rumah di daerah yang sempit
-Pemasangan MCK yang memadai -Kesehatan -Air -Demografi
-Rencana tata ruang -Kredit rumah -Demografi -Pembangunan ekonomi -Kesehatan
-Pergeseran di pasar global -Modernisasi industri perikanan -Pembangunan pasar kerja sektor urban yang mungkin tidak dapat diakses oleh warga miskin yang tidak berpendidikan -Pelatihan kerja -Keuangan mikro Pendidikan
-Pemerintah tidak punya dana untuk perbaikan -Laju pertumbuhan penduduk terus memaksa warga untuk menghuni daerah yang rentan
KK = Kota Karang; PG = Pasir Gintung; K = Kangkung
133
Fisik
Personal
Perumahan – Aset Swasta Warga Sekitar
Kesehatan Pendidikan Air
Akses ke pekerjaan + penghasilan
Keamanan Ekonomi
Gambar 8-3. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kerentanan
134
Tabel 8-3 Adaptasi dan Ketahanan Bandar Lampung Adaptasi Bandar Lampung
Reklamasi progresif
Perbaikan struktur dan infrastruktur Perbaikan rumah bertahap
Tinggal di atas air
Konsolidasi kampung
Rumah bertingkat Pengunduhan air Akses kredit dan dana tunai
Kolaborasi masyarakat
Bagaimana kontribusinya kepada ketahanan? Mengurangi dampak gelombang terhadap struktur rumah, menurunkan biaya rumah yang mahal, daerah yang lebih aman untuk beredar dan membangun Meningkatkan akses ke layanan (air), sirkulasi dan mengurangi ancaman longsor, banjir dan epidemic Meningkatkan umur bangunan dan kapasitas warga untuk bertahan dari shock, menurunkan biaya ekonomi, menciptakan investasi jangka panjang Menyediakan akses murah kepada peluang-peluang ekonomi, alternatif rumah murah dan penampungan sementara pendatang Meningkatkan modal sosial akibat kolaborasi dan seringkali mobilisasi politik akibat kolaborasi dengan pemerintah Mengamankan keluarga dari banjir musiman, membuat ruang penyimpanan dan ruang pengungsian Menyediakan sumber air tambahan untuk mengganti suplai air yang kurang Memungkinkan untuk membeli pangan + material yang dapat mendukung strategi bertahan hidup dan meminjamkan fleksibilitas ekonomi Meningkatkan keterkaitan jejaring sosial dan persatuan warga yang dapat memfasilitasi proyek-proyek dan aksi
Dimensi dampaknya - Ekonomi - Fisik - Perumahan
Kesiapsiagaan
Respons
Ya
Tidak
-
Fisik Kesehatan
Ya
Tidak
-
Ekonomi Fisik Perumahan
Ya
Tidak
-
Perumahan Ekonomi
Tidak
Tidak
-
Sosial Politik
Ya
Ya
-
Perumahan
Ya
Ya
-
Air Ekonomi Ekonoim
Ya
Tidak
Ya
Ya
-
Sosial
Ya
Ya
135
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil analisis data historis, terlihat jelas bahwa iklim Kota Bandar Lampung telah mengalami perubahan. Bukti paling nyata dapat dilihat dari trend peningkatan suhu permukaan rata-rata selama 100 tahun terakhir di kota itu. Perubahan curah hujan musiman juga ditemukan dalam data historis, yang ditunjukan oleh pergeseran awal musim hujan dan perubahan frekuensi curah hujan ekstrim. Pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer berdasarkan skenario SRESA2 dan SRESB1 akan menyebabkan perubahan iklim Kota Bandar Lampung pada masa yang akan datang. Perubahan tersebut berupa curah hujan pada musim hujan (DJF) akan sedikit meningkat, sedangkan curah hujan pada musim kering (JJA) akan menurun. Namun, untuk menyempurnakan skenario perubahan iklim di Kota Bandar Lampung diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan model iklim regional dan statistika downscaling. Dampak dari peristiwa iklim ekstrim dianalisis dalam empat bencana utama, yaitu; banjir, kekeringan, tanah longsor, serta peningkatan permukaan laut. Secara umum, banjir biasanya terjadi di lokasi dengan ketinggian rendah, di daerah pantai atau lembah-lembah, atau di tempat-tempat dengan sistem drainase yang buruk (daerah nonpesisir). Sementara erosi dan tanah longsor terjadi di perbukitan/pegunungan yang memiliki kemiringan tinggi. Banjir memberikan dampak terbesar pada sektor perumahan, transportasi, kesehatan, pertanian, perikanan, drainase dan infrastruktur. Sementara itu kekeringan mempengaruhi sektor air minum, kesehatan, pertanian dan perikanan. Dampak sosial yang disebabkan oleh banjir dan kekeringan dapat dilihat dari hubungan sosial/kekerabatan, hubungan perburuhan, produksi dan pola transaksi dari kriminalitas. Dua bencana iklim umum yang ditemukan di Kota Bandar Lampung adalah Banjir dan kekeringan. Masyarakat sendiri telah mengembangkan cara mereka untuk beradaptasi. Sebagian besar masyarakat di wilayah pesisir meninggikan lantai dan membangun tanggul untuk beradaptasi terhadap banjir. Sedangkan di daerah non-pantai, mereka membangun tanggul, dan untuk sementara pindah ke lokasi lain yang tidak terpengaruh oleh banjir. Selama musim kemarau, tindakan adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat di daerah pesisir adalah dengan membeli air bersih, sedangkan di daerah non pesisir dengan mengurangi jumlah konsumsi air. Bentuk adaptasi juga dapat dilihat pada strategi menjalani kehidupan. Di Bandar lampung, sekitar 19 kelurahan memiliki indeks kerentanan tinggi. Dari 19 kelurahan tersebut, sekitar 14 kelurahan memiliki indeks kapasitas adaptasi rendah dan 5 kelurahan lainnya memiliki indeks kapasitas adaptasi tinggi. Dampak bencana iklim yang melanda kelurahan dengan indeks kerentanan tinggi dan indeks kapasitas adaptasi yang rendah kemungkinan akan lebih parah daripada di kelurahan dengan indeks kerentanan dan kapasitas adaptasi tinggi. Kelurahan dengan indeks kerentanan tinggi dan indeks kapasitas rendah meliputi; Kelurahan Bumi Waras, Garuntang, Gunung Terang, Kangkung, Kedaton, Kota Karang, Panjang Selatan, 136
Perwata, Jaya Sepang, Srengsem, Tanjung Senang, Teluk Betung, Way Kandis dan Waydadi. Pada tahun 2025 dan 2050 indeks kapasitas adaptasi dan indeks kerentanan beberapa Kelurahan akan meningkat dan pada sebagian kelurahan akan berkurang. Kota Bandar Lampung sudah terkena beberapa bencana iklim, yaitu banjir, kekeringan, tanah longsor, dan banjir karena air pasang (rob). Berdasarkan indeks komposit bencana iklim (CCHI, fungsi dari frekuensi dan intensitas dari empat bencana), CCHI sebagian besar wilayah Bandar Lampung ≤ 1,5, dan hanya sebagian kecil >1,5, yaitu di sebagian kecil bagian selatan Kecamatan Panjang. Dalam skenario A2, jumlah Kelurahan dengan CCHI lebih dari 1,5 meningkat. Kelurahan dengan indeks kerentanan tinggi, indeks kapasitas adaptasi rendah, dan indeks komposit bencana iklim (CCHI) tinggi dikategorikan telah berada dalam kondisi Risiko Iklim Sangat Tinggi, sedangkan dengan indeks kerentanan rendah, indeks kapasitas tinggi, dan indeks komposit bencana iklim rendah dianggap mempunyai Risiko Iklim Sangat Rendah. Indeks Risiko Iklim Kelurahan di Kota Bandar Lampung sebagian besar berada pada kategori; Tinggi (H), Menengah ke Tinggi (M-H), Medium (M), Sedang ke Rendah (M-L), Rendah (L) dan sangat rendah (VL) . Pada kondisi saat ini, Kelurahan dengan indeks risiko iklim antara Menengah ke Tinggi (M-H) meliputi; Kota Karang dan Perwata (Kecamatan Teluk Betung Barat), Kelurahan Gunung Terang (Kecamatan Tanjung Karang Barat), Kelurahan Tanjung Senang dan Way Kandis (Kecamatan Tanjung Senang), Kelurahan Waydadi (Kecamatan Sukarame), Kelurahan Sepang Jaya dan Kedaton (Kecamatan Kedaton), Kelurahan Kangkung, Bumi Waras, Teluk Betung (Kecamatan Teluk Betung Selatan) dan Kelurahan Panjang Selatan dan Srangsem (Kecamatan Panjang). Kelurahan pada tingkat risiko iklim M-H mencakup 14% dari luas wilayah Bandar Lampung. Kelurahan pada tingkat risiko VL (Sangat Rendah) mencakup 21% dari wilayah Bandar Lampung. Sementara yang memiliki tingkat risiko Rendah (L), L-M (Rendah ke Menengah) dan M (Menengah) mencakup sekitar 22%, 36% dan 5% dari masing-masing wilayah Bandar Lampung. Pada masa mendatang, risiko iklim beberapa tingkat Kelurahan akan berubah. Manajemen perubahan iklim (adaptasi dan mitigasi) dianggap sebagai konsep baru dan tidak sepenuhnya dipahami oleh pemangku kepentingan di tingkat lokal. Tidak ada kebijakan atau program khusus yang berkaitan dengan perubahan iklim dikeluarkan, baik untuk jangka menengah (5 tahun) dan jangka panjang (20 tahun). Kapasitas pemerintah daerah dalam mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan jangka panjang masih terbatas. Hal ini dapat dipahami mengingat perubahan iklim adalah masalah yang kompleks. Penelitian ilmiah yang kuat pada skenario perubahan iklim dan dampak perubahan iklim di Kota Bandar Lampung akan diperlukan untuk membantu pemerintah daerah dalam mengembangkan rencana cakrawala adaptasi perubahan iklim. Bantuan teknis dan program peningkatan kapasitas untuk aparat pemerintah daerah juga dibutuhkan untuk memungkinkan mereka dalam menggunakan informasi berdasarkan keilmuan untuk mengembangkan rencana cakrawala adaptasinya.
137
Sejumlah kondisi yang menguntungkan di Kota Bandar Lampung, dapat secara positif berkontribusi pada proses pengembangan ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Dalam peraturan dan kebijakan jelas disebutkan bahwa dokumen perencanaan harus mempertimbangkan mitigasi bencana dan adaptasi dan masalah perubahan iklim. Pemerintah Kota juga sedang dalam proses penyusunan rencana pembangunan jangka menengah baru untuk 2011-2014 sebagai hasil dari pemilihan langsung yang akan dilaksanakan pada bulan Juni 2010. Ini adalah kesempatan yang baik untuk mengintegrasikan aspek perubahan iklim ke dalam dokumen, sehingga secara hukum dapat mengikat. Pengelolaan risiko iklim saat ini dan masa depan perlu adanya komitmen politik. Namun, ada beberapa masalah terkait dengan perencanaan dan program yang dihadapi oleh Pemerintah Kota. Masalah-masalah ini adalah kurangnya integrasi, koordinasi dan visi-misinya dalam manajemen perubahan iklim, kurangnya alokasi anggaran untuk mendukung penanganan perubahan iklim serta perencanaan tata ruang tidak efektif untuk mengurangi dan menyesuaikan dampak perubahan iklim. Tim Kota, Tim yang diwakili oleh berbagai pemangku kepentingan dari instansi pemerintah, akademisi, LSM dan tokoh masyarakat telah dibentuk untuk merumuskan program-program perubahan iklim untuk Kota Bandar Lampung sebagai bagian dari Asian City Climate Change Resilience Network (ACCCRN). Pemerintah Kota Bandar Lampung telah membentuk Dewan Daerah Bencana pada November 2009. Keberadaan dewan ini penting untuk memastikan pelaksanaan yang efektif dari program-program penanganan bencana dan perubahan iklim dengan berbagai pemangku kepentingan. Namun, dewan belum efektif pada pelaksanaan program. Untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim, dirasakan penting untuk memahami bagaimana orang-orang, masyarakat dan sektor memberikan respon terhadap risiko iklim saat ini, serta bagaimana kapasitas saat ini harus dikembangkan untuk memperkuat pengelolaan risiko iklim di masa mendatang. Proyek percontohan khusus dibutuhkan sebagai bahan pelajaran bagaimana risiko iklim dapat dikelola dengan baik dan bagaimana menggunakan metode pembelajaran tersebut untuk memperbaiki rencana adaptasi perubahan iklim.
138
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Bandar Lampung Medium Term Development Plan 2005-2010. Bandar Lampung Anonim. 2005. Bandar Lampung City Spatial Plan 2005-2015. Bandar Lampung. Anonim. 2009. Final Report on Design Scenario for Disaster Mitigation. Bandar Lampung. Anonim. 2008. Final Report on Disaster Mitigation Study in Bandar Lampung. Bandar Lampung. Anonim. 2008. Accountabilty Report of Mayor of Bandar Lampung in 2008 (Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban Walikota Bandar Lampung Tahun 2008). Bandar Lampung Anonim. 2009. NUSSP Progress Report, Satker Bandar Lampung 2009. Bandar Lampung. Bakosurtanal. Tanpa tahun. Peta Rupa Bumi (Digital) Wilayah Semarang dan Bandar Lampung. Bogor. Bappeda Kota Bandar Lampung. 2008. Buku Dinamika Bandar Lampung Membangun (2008) (File diakses dari media CD) Bappeda Kota Bandar Lampung. 2008. Studi Mitigasi Bencana Kota Bandar Lampung TA. 2008. Kerjasama Bappeda Kota Bandar Lampung dengan PT. Visitama Daya Solusi. Bappeda Kota Bandar Lampung. Tanpa tahun. Peta Lokasi Rawan Banjir di Kota Bandar Lampung. Bappeda Bandar Lampung. Boer, R & Faqih, A. 2004. 'Global climate forcing factors and rainfall variability in West Java: case study in Bandung district', Indonesian Journal of Agricultural Meteorology, vol. 18, no. 2, pp. 1-12. Borst D, Jung D, Murshed SM, Werner U. 2006. Development of a methodology to assess man-made risks in Germany. Nat. Hazards Earth Syst. Sci, 6 : 779-802.) BPS Jakarta. 2005. Potensi Desa Kota Bandar Lampung dan Kota Semarang Tahun 2005 (data digital). Jakarta Chang, CP, Wang, Z, Ju, JH & Li, T. 2004. 'On the relationship between western maritime continent monsoon rainfall and ENSO during northern winter', Journal of Climate, 17, 665-672.
139
Dinas Perikanan Dan Kelautan Kota Bandar Lampung. Tanpa Tahun. Studi Lanjutan Penataan Kawasan Pesisir Kota Bandar Lampung. Kerjasama Dinas Perikanan Dan Kelautan Kota Bandar Lampung Dengan PT. Multi Maestro Desain. (File diakses dari media CD) Eastman, J.R. 1999. Idrisi 32 Tutorial. Clark Labs, Clark University, USA. Faqih, A. 2004. 'Analisis korelasi debit air masuk musim kemarau pada waduk seri DAS Citarum dengan perubahan suhu permukaan laut global (Correlation Analysis of Citarum Dams Inflows with Global Sea Surface Temperatures in Dry Season)', Indonesian Journal of Agricultural Meteorology, vol. 18, no. 1, pp. 1-13. Folland, CK, Parker, DE, Colman, A & Washington, R. 1999. 'Large scale modes of ocean surface temperature since the late nineteenth century', in A Navarra (ed.), Beyond El Nino: Decadal and Interdecadal Climate Variability, SpringerVerlag, Berlin, pp. 73- 102. Haylock, M & McBride, J. 2001. 'Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall', Journal of Climate, vol. 14, no. 18, pp. 3882-7, doi: 10.1175/1520-0442(2001)014<3882:SCAPOI>2.0.CO;2. Hendon, HH. 2003. 'Indonesian rainfall variability: Impacts of ENSO and local air-sea interaction', Journal of Climate, vol. 16, no. 11, pp. 1775-90, doi: 10.1175/15200442(2003)016<1775:IRVIOE>2.0.CO;2. IPCC. 2007. Climate Change 2007: The physical science basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press: Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA Kirono, DGC, Tapper, NJ & McBride, JL. 1999. 'Documenting Indonesian rainfall in the 1997/1998 El Nino event', Physical Geography, vol. 20, no. 5, pp. 422-35. Mantua, N. J. and S. R. Hare. 2002. The pacific decadal oscillation. Journal of Oceanography, 58, 35-44. Mantua, N. J., S. R. Hare, Y. Zhang, J. M. Wallace, and R. C. Francis. 1997. A pacific interdecadal climate oscillation with impacts on salmon production. Bull. Amer. Meteor. Soc., 78, 1069-1079. Mitchell, TD & Jones, PD. 2005. 'An improved method of constructing a database of monthly climate observations and associated high-resolution grids', International Journal of Climatology, vol. 25, no. 6, pp. 693-712. PDAM Way Rilau. 2007. Profil PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung. Bandar Lampung.
140
Saji, NH, Goswami, BN, Vinayachandran, PN & Yamagata, T. 1999. 'A dipolemode in the tropical Indian Ocean', Nature, vol. 401, pp. 360-3. Strahler, A.N. 1986. Physical Geography. John Wiley & Sons, New York. Taylor, John. 2009. Community Based Vulnerability Assessment: Semarang and Bandar Lampung, Indonesia. ACCRN, Mercy Corps. Jakarta, Indonesia.
141
LAMPIRAN
142
143