POLA ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM (Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
RATNA PATRIANA I34061214
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
POLA ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM (Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
RATNA PATRIANA
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT
Indonesia is an archipelagic state which has a large number of peoples live in coastal areas and have a significant dependence to the coastal resources. These resources are vulnerable to several factors, including climate change, one of the most influencing factors. Climate change further threatens ocean with higher temperature, sea-level rise, and circulation shifts. The threats can be damage on many economic sectors, especially fisheries sector. The fishers tend to have more adaptive capacity and do some economic strategies to help themselves surviving their lives. The research objective (1) to analyze the perception of fishers about recent impact of climate change on their coastal areas; (2) to identify the impacts of climate change on fisheries activity; (3) to identify fishers’s adaptation and economic strategies according to climate change. The result shows that (1) almost all the fishers have a high perception about recent impact of climate change on their coastal areas. They have considered the ecological change based on their usual activity; (2) climate change affects the hurricane and damage on water resource in settlement areas. On the fisheries activity, climate change causes fishing season and location disorder. Storms and extreme waves on the ocean are the other challenges that cause the risk of fishing activity rise; (3) the fishers do the adaptation and economic strategies in terms of climate adaptation, coastal resources adaptation, division of work in the family, multiple livelihoods and escaping from fisheries.
Keywords: climate change, fishers, socio-economic impact, adaptation, economic strategies, livelihood
RINGKASAN
RATNA PATRIANA. POLA ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM (Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat) (Di Bawah Bimbingan ARIF SATRIA). Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki jutaan masyarakat yang hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya pesisir. Kesejahteraan jutaan masyarakat ini sangat dipengaruhi oleh kelestarian ekosistem pesisir yang rentan akan ancaman dari berbagai faktor, salah satunya adalah perubahan iklim. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak-dampak perubahan iklim pada ekosistem pesisir yang mempengaruhi kegiatan ekonomi nelayan serta kehidupan sosialnya, untuk kemudian menganalisis pola adaptasi serta strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan tersebut untuk meminimalisir dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Tahap awal penelitian adalah melakukan survai kepada nelayan untuk menggambarkan persepsinya terhadap dampak ekologis perubahan iklim serta keterkaitan karakteristik dan perilaku komunikasi nelayan dengan dengan persepsi terhadap perubahan iklim tersebut. Dari survai yang dilakukan kepada 47 responden dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh nelayan Ciawitali memiliki persepsi yang tinggi akan terjadinya perubahan iklim di wilayah Ciawitali dan tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik nelayan serta perilaku komunikasi nelayan terhadap pembentukan persepsi ini. Eratnya hubungan antara nelayan dengan sumberdaya pesisir menyebabkan berbagai perubahan yang terjadi dapat ditafsirkan secara mandiri oleh nelayan sebagai dampak perubahan iklim tanpa terkait karakteristik serta perilaku komunikasi nelayan. Berdasarkan perspektif nelayan Ciawitali, perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya dampak ekologis berupa perubahan musim ikan dan kekacauan musim angin. Pada kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat Ciawitali, perubahan iklim berdampak pada terganggunya sumber-sumber air serta ancaman angin puting beliung di wilayah pemukiman penduduk. Pada kegiatan perukanan tangkap, perubahan iklim menyebabkan sulitnya menentukan musim penangkapan ikan, sulitnya menentukan lokasi penangkapan ikan, meningkatnya resiko melaut, serta perubahan sistem pengetahuan dan kepercayaan nelayan, peran wanita, serta posisi sosial nelayan. Terdapat empat pola adaptasi dan strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan untuk menyelamatkan perekonomian keluarga nelayan yang terkena dampak perubahan iklim. Pertama, adaptasi iklim berupa strategi mengejar musim, yaitu melakukan perpindahan wilayah tangkapan dengan memanfaatkan informasi dari nelayan di berbagai tempat mengenai musim ikan di wilayah lain. Kedua, adaptasi sumberdaya pesisir, yaitu pencarian hasil tangkapan tanpa harus pergi ke laut lepas. Ketiga, adaptasi alokasi sumberdaya manusia dalam rumah tangga berupa optimalisasi tenaga kerja rumah tangga dan pola nafkah ganda.
Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga merupakan pelibatan peran dari anggota keluarga dalam perekonomian rumah tangga nelayan, sehingga tidak hanya bergantung dari kepala keluarga. Sedangkan pola nafkah ganda adalah upaya mencari sumber pendapatan lain selain dari hasil melaut. Keempat, adaptasi melalui keluar dari kegiatan perikanan (escaping from fisheries), yaitu meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan dan menekuni pekerjaan lain.
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “POLA ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM (STUDI KASUS NELAYAN DUSUN CIAWITALI, DESA PAMOTAN, KECAMATAN KALIPUCANG, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA
MANAPUN
UNTUK
TUJUAN
MEMPEROLEH
GELAR
AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN
RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Februari 2011
Ratna Patriana I34061214
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama NRP Departemen Judul Skripsi
: : : :
Ratna Patriana I34061214 Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim (Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Arif Satria, SP, M.Si NIP. 19710917 199702 1 003
Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus Ujian: 8 Maret 2011
RIWAYAT HIDUP
Ratna Patriana (penulis) lahir di Bogor pada 24 Oktober 1989. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Pramono dan Ibu Yuliati. Pendidikan yang ditempuh oleh penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) Cantang Jaya, di Kedung Halang, Bogor pada tahun 1993-1995, kemudian melanjutkan Sekolah Dasar (SD) Negeri Cantang Jaya, Bogor selama 1995-1999. Saat kelas 5 SD, orang tua penulis dipindahtugaskan ke Purwakarta, sehingga penulis melanjutkan pendidikan sejak kelas 5 SD hingga lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) di Purwakarta. Sekolah Dasar penulis lanjutkan di SD Negeri Cigelam 2 Purwakarta di tahun 1999-2001, setelah lulus penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Purwakarta pada tahun 2001-2004, kemudian Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Purwakarta, dengan program akselerasi, sehingga masa SMA penulis hanya dihabiskan dalam waktu dua tahun yaitu selama tahun 2004-2006. Setelah lulus jenjang pendidikan SMA, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2006, dan pada tahun 2007 penulis mulai menekuni bidang ilmu sosial dan menjalani masa studi sarjana di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama masa kuliah penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan pecinta alam LAWALATA-IPB. Bersama kawan-kawan seangkatannya, penulis sempat melakukan ekspedisi di Pulau Nusa Penida, Propinsi Bali, pada tahun 2007 dengan judul ekspedisi “Ekspedisi Pulau Nusa Penida : studi konservasi Jalak Bali (Leucopsar rothchildi) di habitat baru”. Kemudian atas dedikasinya di organisasi tersebut, pada tahun 2008 penulis dianugerahi nomor anggota L-279.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penulisan skripsi yang berjudul Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini membahas mengenai pola adaptasi serta strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan untuk menyiasati berbagai dampak perubahan iklim yang terjadi di wilayah pesisir. Penelitian dilakukan terhadap masyarakat nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat pada bulan Juni hingga September tahun 2010. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing, serta pihak-pihak yang telah banyak membantu baik dalam proses penelitian maupun penulisan skripsi ini. Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan nyata terhadap berbagai kebijakan pengelolaan wilayah pesisir serta memutus rantai kemiskinan yang masih menjerat nelayan hingga saat ini.
Bogor, Februari 2011
Ratna Patriana
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillah, puji dan syukur kepada Allah SWT atas karunia akal, kemampuan, kesehatan, segala rahmat dan hidayah-Nya yang menyertai penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat dilakukan. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini: 1. Dr. Arif Satria, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, pengetahuan serta dukungan moral yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Rizaldi Boer selaku direktur CCROM (Center for Climate Risk and Opportunity Management). 3. Pak Kustiwa dan seluruh staf IPPHTI (Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia) di Rawa Apu atas dukungan moral dan materil yang diberikan kepada penulis selama masa penelitian. 4. Pak Jum’an dan seluruh nelayan Ciawitali atas ketulusan, semangat, persaudaraan, pengetahuan serta pengalaman yang sangat berharga. 5. Bapak Pramono dan Ibu Yuliati, orang tua terhebat di muka bumi ini. 6. Dr. Arya H. Dharmawan dan Dr. Sarwititi S. Agung, selaku dosen penguji skripsi. 7. Kakakku Rio dan adikku Krisna. 8. Bulek Muji, Mbah Mujiono, Mbah Budi, Bulek Ninik dan semua sanak keluarga di Bogor atas dukungan moral dan materil kepada penulis. 9. Mustaghfirin, S.Pi sebagai pemecah batu pertama penelitian ini. 10. Rinaldi Yusuf, S.Kpm atas pencerahan data kuantitatif; Niaw dan Elhaq, saudara satu bimbingan yang baik sekali; serta keluarga besar KPM ’43. 11. Ina Marina S.Kpm, sahabatku. 12. Mbak Eny, kakak yang sangat sabar mengajari banyak hal. 13. Mbak Dian, Kak Annas, Kak Beta serta seluruh keluarga besar LAWALATA-IPB. 14. L-267
DAFTAR ISI Nomor
Teks
Halaman
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xvi DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................xvii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian....................................................................................... 3 1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................. 3 BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL............................................................ 5 2.1 Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 5 2.1.1 Perubahan Iklim................................................................................... 5 2.1.1.1 Dampak Ekologis Perubahan Iklim pada Ekosistem Laut dan Pesisir ............................................................................................ 8 2.1.1.2 Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Iklim pada Wilayah Pesisir.. 10 2.1.2 Masyarakat Nelayan........................................................................... 12 2.1.2.1 Klasifikasi Nelayan ...................................................................... 13 2.1.2.2 Karakteristik Nelayan................................................................... 14 2.1.3 Strategi Adaptasi................................................................................ 16 2.1.4 Strategi Ekonomi ............................................................................... 20 2.1.5 Persepsi ............................................................................................. 21 2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................................ 22 2.3 Hipotesis Pengarah .................................................................................. 26 2.4 Hipotesis Uji............................................................................................ 26 2.5 Definisi Konseptual ................................................................................. 26 2.6 Definisi Operasional ................................................................................ 27 BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 32 3.1 Metode Penelitian .................................................................................... 32 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................................... 33 3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan............................................. 33 3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data ............................................... 34 3.5 Teknik Analisis Data ............................................................................... 35 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .................................. 38 4.1 Kondisi Geografis.................................................................................... 38 4.1.1 Konteks Desa..................................................................................... 38 4.1.2 Konteks Dusun .................................................................................. 40
4.2 Tataguna Lahan Desa dan Dusun ............................................................. 42 4.3 Kondisi Demografi Desa dan Dusun ........................................................ 43 4.4 Sarana dan Prasarana ............................................................................... 45 4.5 Mata Pencaharian .................................................................................... 46 BAB V SOSIO-EKOLOGI NELAYAN............................................................. 48 5.1 Kondisi Umum Sosio-Ekologi Nelayan ................................................... 48 5.2 Karakteristik Nelayan .............................................................................. 50 5.3 Pola Produksi Nelayan............................................................................. 53 5.3.1 Armada dan Peralatan Tangkap.......................................................... 54 5.3.2 Pemetaan Wilayah Tangkapan ........................................................... 55 5.3.3 Musim Penangkapan Ikan .................................................................. 58 BAB VI KARAKTERISTIK DAN PERILAKU KOMUNIKASI RESPONDEN PENELITIAN ............................................................................ 61 6.1 Karakteristik Responden Penelitian.......................................................... 61 6.1.1 Usia ................................................................................................... 61 6.1.2 Pendidikan ......................................................................................... 62 6.1.3 Lama Tinggal di Ciawitali.................................................................. 62 6.1.4 Pengalaman Nelayan.......................................................................... 63 6.1.5 Klasifikasi Nelayan............................................................................ 64 6.2 Perilaku Komunikasi Responden Penelitian ............................................. 65 6.2.1 Kepemilikan Media............................................................................ 65 6.2.2 Keterdedahan Terhadap Media Elektronik ......................................... 66 6.2.3 Keterdedahan Terhadap Media Cetak................................................. 67 6.2.4 Fungsi Komunikasi Interpersonal....................................................... 68 BAB VII PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SERTA PERILAKU KOMUNIKASI NELAYAN.............................................................................. 69 7.1 Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim ........................................... 69 7.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan Karakteristik Individu .............................................................................. 70 7.2.1 Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan Usia Responden ..................................................................... 70 7.2.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan Pendidikan Responden........................................................... 71 7.2.3 Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan Lama Tinggal Responden di Ciawitali ................................... 72 7.2.4 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Pengalaman Nelayan.......................................................................... 73 7.2.5 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Klasifikasi Nelayan............................................................................ 74
7.3 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Perilaku Komunikasi Nelayan.................................................................. 75 7.3.1 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Kepemilikan Media............................................................................ 76 7.3.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Keterdedahan terhadap Media Elektronik........................................... 77 7.3.3 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Keterdedahan Terhadap Media Cetak................................................. 78 7.3.4 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Fungsi Komunikasi Interpersonal....................................................... 79 7.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim....................................................................................... 80 BAB VIII DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA KEGIATAN PRODUKSI NELAYAN........................................................................................................ 82 8.1 Dampak Ekologis .................................................................................... 82 8.2 Dampak Sosial-Ekonomi ......................................................................... 84 BAB IX ADAPTASI DAN STRATEGI EKONOMI NELAYAN...................... 91 9.1 Adaptasi Iklim ......................................................................................... 91 9.2 Adaptasi Sumberdaya Pesisir ................................................................... 91 9.3 Adaptasi Alokasi Sumberdaya Manusia dalam Rumah Tangga ................ 93 9.3.1 Optimalisasi Tenaga Kerja Rumah Tangga ........................................ 94 9.3.2 Tani-Nelayan ..................................................................................... 95 9.3.3 Jasa Pengangkutan ............................................................................. 96 9.4 Adaptasi Melalui Keluar dari Kegiatan Perikanan (Escaping from Fisheries) ................................................................................................ 97 9.4.1 Buruh................................................................................................. 98 9.4.2 Petani................................................................................................. 98 9.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Adaptasi dan Strategi Ekonomi serta Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan Nelayan................. 99 BAB X PENUTUP .......................................................................................... 105 10.1 Kesimpulan ........................................................................................... 105 10.2 Saran..................................................................................................... 106 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 108 LAMPIRAN .................................................................................................... 111
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Halaman
Tabel 1. Negara-Negara Emiter Karbon............................................................. 7 Tabel 2. Dampak dan Strategi Adaptasi-Mitigasi Perubahan iklim................... 19 Tabel 3. Peruntukan Lahan Desa Pamotan ....................................................... 42 Tabel 4. Jumlah Sawah di Setiap Dusun serta Kerawanannya Terkena Rob ..... 43 Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin.................................... 44 Tabel 6. Jumlah Kepala Keluarga di Setiap Dusun........................................... 44 Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian .................................... 47 Tabel 8. Tipe Topografi, Karakter dan Potensi Sumberdaya Dusun Ciawitali .. 48 Tabel 9. Pranata Mangsa.................................................................................. 51 Tabel 10. Jenis Alat Tangkap (Jaring dan Pancing)............................................ 55 Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia ......................... 61 Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan ............... 62 Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lamanya Tinggal di Ciawitali ............................................................................................ 63 Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengalaman Bekerja Sebagai Nelayan ................................................................................ 63 Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Klasifikasi Nelayan.. 64 Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kepemilikan Media.. 65 Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keterdedahan Terhadap Media Elektronik................................................................ 66 Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Keterdedahan Terhadap Media Cetak................................................. 67 Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Fungsi Komunikasi Interpersonal ...................................................................................... 68 Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Persepsinya Terhadap Perubahan Iklim ................................................................. 69 Tabel 21. Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan Usia Responden ..................................................................... 71 Tabel 22. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Pendidikan Responden ....................................................................... 72 Tabel 23. Hubungan antara Persepsi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim dengan Lama Tinggal Responden di Ciawitali ................................... 73 Tabel 24. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Pengalaman Nelayan.......................................................................... 74 Tabel 25. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Klasifikasi Nelayan............................................................................ 75 Tabel 26. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Jumlah Media yang Dimiliki oleh Responden .................................... 76
Tabel 27. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Keterdedahan terhadap Media Elektronik........................................... 77 Tabel 28. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Keterdedahan terhadap Media Cetak .................................................. 78 Tabel 29. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Fungsi Komunikasi Interpersonal....................................................... 80 Tabel 30. Pilihan Strategi dan Adaptasi Nelayan, Faktor yang Mempengaruhi serta Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan...................................... 100
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 25 Gambar 2. Komponen Analisis Data: Model Interaktif....................................... 35 Gambar 3. Peta Wilayah Tangkapan Nelayan Ciawitali ..................................... 57 Gambar 4. Kalender Musim Nelayan Ciawitali .................................................. 59 Gambar 5. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Wilayah Pesisir Ciawitali Berdasarkan Perspektif Nelayan ....................................................... 90
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Lampiran
Halaman
Lampiran 1. Kebutuhan Data, Metode, Jenis, dan Sumber Data ....................... 111 Lampiran 2. Kuesioner Penelitian .................................................................... 112 Lampiran 3. Daftar Responden......................................................................... 116 Lampiran 4. Buku Kode................................................................................... 117 Lampiran 5. Pedoman Wawancara Mendalam.................................................. 119 Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian................................................................ 121
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara maritim dengan 70% wilayahnya
diliputi oleh lautan. Secara geografis, wilayah pesisir dan lautan Indonesia terletak di antara dua benua yaitu Asia dan Australia, serta diantara dua samudra yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Letak yang strategis serta variasi iklim musiman
yang
terjadi
di
dalamnya
menyebabkan
Indonesia
memiliki
keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi (mega biodiversity) yang merupakan aset berharga bagi bangsa ini. Selain itu Indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada dan Federasi Rusia, yaitu sepanjang 95.181 km sebagaimana dinyatakan oleh PBB pada tahun 2008. Di sepanjang garis pantai inilah, hidup jutaan masyarakat pesisir Indonesia. Satria (2002) menggambarkan karakteristik sosial masyarakat pesisir yang berbeda dari masyarakat lainnya, karena perbedaan karakteristik sumberdaya yang dihadapi. Terancamnya ekosistem pesisir akibat berbagai gangguan dan potensi kerusakan lingkungan yang marak akhir-akhir ini perlu disoroti lebih dalam karena wilayah pesisir merupakan sumber penghidupan bukan hanya masyarakat pesisir namun juga keseluruhan bangsa Indonesia. Pencemaran air sungai, deforestasi dan degradasi hutan, praktek penangkapan ikan yang merusak serta perubahan iklim merupakan sejumlah faktor yang dapat mengancam kelestarian wilayah pesisir. Salah satu ancaman yang cukup besar datang dari perubahan iklim yang terjadi akibat pemanasan global. Pemanasan global merupakan peningkatan suhu rata-rata bumi akibat meningkatnya konsentrasi berbagai gas di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Fenomena ini terjadi akibat aktivitas manusia itu sendiri. Penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan, serta kerusakan lingkungan melalui deforestasi dan degradasi lahan memberi kontribusi yang cukup besar terhadap perubahan iklim ini (Carolyn dkk., 2009).
2
Kerusakan ekologi yang disebabkan oleh berbagai perubahan tentunya akan mempengaruhi kondisi berbagai komponen ekosistem yang turut terganggu akibat perubahan iklim. Menurut Chen (2008) salah satu kerusakan yang terjadi akibat pemanasan global adalah pemutihan terumbu karang (coral bleaching). Pemutihan terumbu karang ini tentunya mempengaruhi biota laut lainnya yang hidup dalam ekosistem tersebut. Selama ini telah diketahui bahwa terumbu karang merupakan habitat hidup bermacam-macam jenis ikan. Kerusakan terumbu karang yang terjadi dapat mempengaruhi populasi ikan dan kemudian mempengaruhi aktivitas melaut para nelayan (Satria, 2009). Selain itu perubahan iklim juga menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi badai di lautan dan pesisir (Diposaptono, 2009). Hal ini tentunya juga menyebabkan terganggunya aktivitas melaut
para
nelayan,
bagian
dari
masyarakat
pesisir
yang
memiliki
ketergantungan yang sangat besar terhadap sumberdaya laut dan pesisir. Kondisi perubahan iklim yang mengganggu ekosistem laut tentunya dapat memperpuruk kehidupan ekonomi para nelayan yang menggantungkan kehidupan pada penangkapan ikan laut. Dahuri (2003) menyebutkan bahwa kebutuhan manusia yang semakin meningkat, sementara daya dukung alam bersifat terbatas menyebabkan potensi kerusakan sumberdaya alam menjadi semakin besar. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran tersendiri mengingat Kusnadi, dkk. (2007) menyebutkan kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai kawasan secara umum ditandai oleh kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya, rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) serta kapasitas berorganisasi masyarakatnya. Dengan demikian dibutuhkanlah suatu strategi adaptasi yang dapat diterapkan pada masyarakat nelayan tradisional untuk menyiasati berbagai perubahan ekologis yang disebabkan oleh perubahan iklim global. Strategi adaptasi
ini
tentunya
bukan
hanya
bermanfaat
untuk
menyelamatkan
perekonomian nelayan tapi juga menjaga ekosistem laut dan pesisir melalui suatu pola pemanfaatan yang lestari.
3
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas, adapun
perumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana persepsi nelayan terhadap perubahan iklim? 2) Sejauh mana gejala-gejala perubahan iklim mempengaruhi kegiatan ekonomi nelayan perikanan tangkap? 3) Bagaimana pola adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis lautan sebagai dampak perubahan iklim? 4) Bagaimana strategi ekonomi yang dilakukan nelayan dalam menyiasati kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, diperoleh tujuan penulisan
sebagai berikut: 1) Menganalisis persepsi nelayan terhadap perubahan iklim. 2) Menganalisis sejauh mana gejala-gejala perubahan iklim mempengaruhi kegiatan ekonomi nelayan perikanan tangkap. 3) Mengidentifikasi pola adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis lautan sebagai dampak perubahan iklim. 4) Menganalisis strategi ekonomi yang dilakukan nelayan dalam menyiasati kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak: 1) Bagi akademisi, penelitian ini dapat menjadi referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim. 2) Bagi masyarakat luas, hasil dari penelitian ini dapat menjadi satu model pola adaptasi yang dapat bermanfaat bagi pengembangan adaptasi perikanan tangkap di berbagai wilayah pesisir di dunia.
4
3) Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan informasi yang diharapkan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang menentukan kebijakan pembangunan, terutama pembangunan di sektor perikanan.
BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Perubahan Iklim Menurut pendapat seorang pakar iklim IPB, Prof. Dr. Ir. Murdiyarso, yang dituliskan dalam Diposaptono (2009), perubahan iklim merupakan perubahan unsur-unsur iklim dalam jangka waktu panjang (50 sampai 100 tahun) yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK). Sejalan dengan pendapat tersebut, Tauli-Corpuz dkk. (2009) berpendapat bahwa perubahan iklim adalah perubahan segala sesuatu dari iklim, dimana iklim didefinisikan sebagai “cuaca rata-rata” dan merupakan perwujudan dari sebuah sistem yang sangat rumit yang terdiri dari lima komponen yang saling berinteraksi: atmosfer (udara), hidrosfer (air), kriosfer (bagian bumi yang membeku), permukaan tanah, dan biosfer (bagian bumi tempat adanya kehidupan). Hal paling nyata dari perubahan iklim adalah pemanasan global. Pemanasan global adalah pertambahan rata-rata suhu permukaan bumi dan lautan yang tercatat dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya (Tauli-Corpuz dkk., 2009). Pemanasan global terjadi akibat emisi dari gas rumah kaca (Diposaptono, 2009; Satria, 2009; Tauli-Corpuz dkk., 2008). Gas rumah kaca yang menangkap panas di dalam atmosfer adalah karbondioksida (CO2), metana (NH4), klorofluorokarbon atau CFC (Satria, 2009), nitrat oksida, ozon, uap air (Diposaptono, 2009), sulfur heksaklorida, HFCs (senyawa hidro fluoro) dan PFCs atau Perfluorokarbon1. Diposaptono (2009) menggambarkan proses efek rumah kaca sebagai kondisi dimana sinar matahari yang memancarkan gelombang pendek leluasa menerobos masuk ke rumah kaca. Namun, ketika bumi memancarkan gelombang panjang ke atmosfer, gelombang ini tertahan oleh rumah kaca. Akibatnya, gelombang panjang yang bersifat panas tadi terjebak di dalam rumah kaca, kemudian suhu di dalam rumah kaca meningkat karena efek 1
Protokol Kyoto, yang dituliskan dalam Tauli-Corpuz dkk., 2009.
6
pemanasan dari bumi tertahan di atap kaca tersebut. Tauli-Corpuz (2009) menggambarkan efek rumah kaca terjadi ketika gas-gas ini menyerap sebagian dari radiasi inframerah (panas) yang memantulkan kembali panas yang terperangkap oleh GRK di dalam atmosfer kita dimana atmosfer bertindak seperti dinding kaca dari rumah kaca, yang membiarkan sinar matahari masuk tetapi menahan panasnya tetap di dalam. Diposaptono (2009) berpendapat bahwa perubahan iklim terjadi secara alami terkait dengan proses alam yang sangat panjang (evolusi) dalam rentang waktu 4,5 milyar tahun silam. Namun fenomena yang terjadi saat ini adalah perubahan yang terjadi lebih cepat dari yang seharusnya. Hal ini penting disoroti mengingat penyebab-penyebab pemanasan global ini berasal dari faktor-faktor antropogenis yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Meningkatnya emisi GRK disebabkan oleh aktivitas ekonomi manusia yang mengkonsumsi energi fosil seperti bahan bakar minyak, batu bara dan sejenisnya serta diperparah oleh deforestasi (Diposaptono, 2009; Satria, 2009), degradasi lahan gambut serta kebakaran hutan (Marr, 2009). Semenjak revolusi industri pertengahan abad 18, intensitas dan inefisiennya pembakaran kayu, arang, minyak dan gas, diikuti oleh konversi lahan besar-besaran telah mengakibatkan meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer. Tumbuhan berperan dalam mengubah CO2 menjadi oksigen. Dengan tidak adanya tumbuhan, ketersediaan oksigen terbatas, sehingga bakteri memproduksi metana. Penggunaan pupuk buatan di akhir abad 19 juga menyebabkan pelepasan nitrogen oksida, salah satu GRK, ke udara. Selain itu, semenjak tahun 1920 aktivitas industri menggunakan sejumlah campuran karbon buatan yang digunakan untuk mesin pendingin, fire suppression, dan sebagainya yang menghasilkan GRK yang sangat kuat (UNEP, 2009). Salah satu dampak yang cukup parah dirasakan pada sektor pertanian dan ketahanan pangan. Negara berkembang yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup di sektor pertanian memperoleh dampak yang besar dari perubahan iklim sebagaimana disebutkan dalam IPCC (2007) bahwa perubahan iklim mempengaruhi produksi pertanian terutama di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Sebuah penelitian dari International Rice Research Institute, produksi pertanian menurun sebesar 10 persen untuk setiap kenaikan suhu sebesar 1°C
7
(Peng et al., 2004 dalam IPCC, 2007). Dengan juga dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi yang tinggi serta urbanisasi, diproyeksikan angka kelaparan di beberapa negara berkembang semakin tinggi (IPCC, 2007). Diperkirakan di Afrika, sekitar 60-90 juta hektar akan terkena kekeringan dan dirugikan sekitar 26 milyar USD di tahun 2060 (Satria, 2009). Siapakah sebenarnya yang bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global ini? Berikut tabel yang menunjukan negara-negara penghasil emisi karbon di dunia. Tabel 1. Negara-Negara Emiter Karbon
Negara
Pangsa terhadap
Emisi Karbon per Kapita
Total Dunia (%)
(t CO2)
1990
2004
1990
2004
Amerika Serikat
21.2
20.9
19.3
20.6
Cina
10.6
17.3
2.1
3.8
Rusia
8.7
5.3
13.4
10.6
India
3.0
4.6
0.8
1.2
Jepang
4.7
4.3
8.7
9.9
Jerman
4.3
2.8
12.3
9.8
Kanada
1.8
2.2
15.0
20.0
Inggris
2.6
2.0
10.0
9.8
Indonesia
0.9
1.3
1.2
1.7
Brazil
0.9
1.1
1.4
1.8
Thailand
0.4
0.9
1.7
4.2
Sumber: Human Development Report (2007) dalam Satria (2009)
Data tersebut menunjukan bahwa hingga tahun 2004, negara-negara maju masih mendominasi emisi karbon di dunia, meski jumlah penduduknya hanya 15 persen dari penduduk di dunia (Satria, 2009). Sementara dari data yang telah disebutkan sebelumnya, dampak yang sangat besar menimpa penduduk di negaranegara berkembang akibat perubahan iklim ini. Human Development Report (2007 dalam Satria, 2009) melaporkan bahwa akibat dari pemanasan global, kurun waktu 2000-2004, sekitar 262 juta orang telah terkena bencana iklim (climate disaster) dan 98 persen diantaranya adalah penduduk dari dunia ketiga. Di negara dunia ketiga sendiri, Cina dan India memberi kontribusi yang cukup besar dalam emisi karbon, namun dapat dilihat bahwa emisi karbon per kapita
8
Cina dan India masih jauh dibawah emisi karbon per kapita negara-negara maju seperti Amerika, Rusia, Jepang, Jerman, Kanada dan Inggris. Besarnya emisi karbon yang dihasilkan oleh Cina dan India ini pun terjadi akibat jumlah penduduk kedua negara tersebut yang tinggi.
2.1.1.1 Dampak Ekologis Perubahan Iklim pada Ekosistem Laut dan Pesisir Ekosistem diartikan sebagai kelompok makhluk hidup dan tak hidup yang saling berinteraksi. Perubahan iklim menyebabkan berbagai perubahan dalam ekosistem laut antara lain disebabkan oleh perubahan temperatur, dan keasaman akibat penyerapan CO2 oleh lautan (UNEP, 2009; Chen, 2008). Dampak-dampak yang ditimbulkan antara lain adalah sebagai berikut: 1) Naiknya permukaan air laut akibat meningkatnya suhu atmosfer dan mencairkan lapisan gletser dan es abadi di kutub utara (Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; IPCC, 2007; Chen, 2008; Tauli-Corpuz, 2009; Satria, 2009). Kenaikan permukaan air laut ini kemudian menyebabkan berbagai dampak sebagai berikut: a)
Kerusakan ekosistem mangrove akibat naiknya permukaan air laut (Satria, 2009; Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009) yang kemudian menyebabkan: i) Meningkatnya erosi pantai karena hilangnya peredam ombak, arus serta penahan sedimen (Dipsaptono, 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009) ii) Meningkatnya pencemaran dari sungai ke laut karena tidak adanya penyaring polutan (Satria, 2009; Diposaptono, 2009) iii) Terganggunya
habitat
berbagai
makhluk
hidup
yang
menggantungkan hidupnya pada ekosistem mangrove. Hal ini mengingat peran ekosistem mangrove yang merupakan penyangga ekosistem disekitarnya dan berperan dalam melestarikan keanekaragaman hayati, dimana berbagai jenis kura-kura, buaya air tawar, Mollusca dan Crustacea, bangau hitam, kepiting bakau, ikan belanak dan biawak hidup di
9
wilayah tersebut. Selain itu hutan mangrove juga berperan sebagai kawasan pemijahan, daerah asuhan, dan mencari makan bagi ikan, udang dan kerang-kerangan (Diposaptono, 2009) b)
Banjir, badai dan gelombang ekstrim (Diposaptono, 2009)
c)
Intrusi air laut ke daratan (Diposaptono, 2009; Tauli-Corpuz, 2009) yang juga menyebabkan: i) Meningkatnya salinitas air di sumber-sumber air tawar penduduk (Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009) ii) Meningkatnya salinitas air di lahan-lahan budidaya perikanan (Diposaptono, 2009)
d)
Perubahan pola sedimentasi (Chen, 2008; Diposaptono, 2009)
2) Kenaikan suhu permukaan air laut (UNEP, 2009; Diposaptono, 2009; Chen, 2008) yang kemudian menyebabkan: a)
Kerusakan terumbu karang melalui fenomena pemutihan terumbu karang atau coral bleaching (Chen, 2008; UNEP, 2009; Satria, 2009; Tauli-Corpuz, 2009)
b)
Perubahan upwelling, gerombolan ikan dan wilayah tangkapan ikan (Chen, 2008; Diposaptono, 2009)
c)
Perpindahan berbagai spesies hewan karena ketidaksesuaian kondisi tempat hidup yang berubah akibat meningkatnya suhu (Chen, 2008; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009)
3) Menurunnya salinitas air laut (Chen, 2008; Satria, 2009) yang kemudian menyebabkan perpindahan berbagai spesies hewan karena ketidaksesuaian kondisi tempat hidup yang berubah (Chen, 2008; UNEP, 2009; TauliCorpuz, 2009) 4) Perubahan curah hujan, pola hidrologi dan pola angin (Chen, 2008; Diposaptono, 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009). Hal ini kemudian menyebabkan meningkatnya frekuensi dan intensitas badai di lautan (Chen, 2008; Diposaptono 2009)
10
5)
Meningkatnya
keasaman
air
laut
(menurunnya
pH
lautan),
menyebabkan: a)
Kerusakan terumbu karang melalui fenomena pemutihan terumbu karang (Chen, 2008; UNEP, 2009; Satria, 2009; Tauli-Corpuz, 2009) yang kemudian menyebabkan terganggunya rantai makanan di lautan (Satria, 2009; Diposaptono, 2009; Chen, 2008; TauliCorpuz, 2009)
b)
Perpindahan berbagai spesies hewan karena ketidaksesuaian kondisi tempat hidupnya yang berubah, baik akibat kerusakan terumbu karang, perubahan suplai nutrisi, serta menurunnya pH (Chen, 2008; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009)
2.1.1.2 Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Iklim pada Wilayah Pesisir Berbagai kerusakan ekosistem pesisir terjadi akibat perubahan iklim seperti yang telah dipaparkan sebelumnya menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat pesisir yang menggantungkan kehidupannya terhadap berbagai sumberdaya pesisir, baik secara ekonomi maupun secara spasial. Dampak sosialekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim antara lain: 1) Pada kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat, perubahan iklim menyebabkan: a) Terancamnya persediaan air bersih penduduk akibat intrusi air laut ke daratan dan perubahan curah hujan (IPCC, 2007; Diposaptono, 2009: Tauli-Corpuz, 2009). b) Meningkatnya penyebaran berbagai penyakit yang dibawa oleh vektor dan air seperti kolera, hepatitis, malaria dan demam berdarah (IPCC, 2007; Diposaptono, 2009). c) Terancamnya pemukiman yang berada di wilayah pesisir akibat banjir (rob), gelombang ekstrim dan badai (IPCC, 2007; Diposaptono, 2009). Dampak yang lebih buruk akan dialami oleh masyarakat di pulaupulau kecil.
11
2) Pada perikanan, perubahan iklim berdampak kepada: a) Kerugian yang terjadi pada perikanan budidaya sebagai akibat dari: i) Hilang/berkurangnya ikan-ikan di tambak karena tersapu banjir ataupun tergenangnya lahan budidaya, baik karena curah hujan yang tinggi ataupun akibat gelombang pasang (Diposaptono, 2009) ii) Terganggunya kesehatan berbagai komoditas perikanan budidaya akibat meningkatnya salinitas air di lahan perikanan budidaya (Diposaptono, 2009). iii) Kerusakan infrastruktur budidaya perikanan akibat kenaikan permukaan air laut, erosi, banjir (rob), dan gelombang ekstrim (Diposaptono, 2009). Sebagai gambaran, saat ini Indonesia memiliki sekitar 400 ribu ha lahan budidaya tambak dan berbagai infrastruktur
perikanan
yang
menjadi
tumpuan
ekonomi
masyarakat pesisir. b) Menurunnya produksi perikanan tangkap, sebagai akibat dari: i) Sulitnya menentukan musim penangkapan ikan karena perubahan pola migrasi ikan akibat perubahan suhu permukaan laut, stratifikasi kolom air yang menyebabkan perubahan proses upwelling (Diposaptono, 2009; Chen, 2008; Satria, 2009). ii) Sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan sebagai dampak dari perubahan pola migrasi ikan serta kerusakan terumbu karang (Diposaptono, 2009; Chen, 2008; Satria, 2009). iii) Berkurangnya stok ikan-ikan karang akibat kerusakan terumbu karang yang kemudian akan juga akan mempengaruhi kondisi ekonomi sekitar 30 juta nelayan di dunia yang bergantung pada ketersediaan ikan-ikan karang (Satria, 2009). iv) Berkurangnya ketersedian stok ikan akibat peningkatan suhu dan perubahan sirkulasi laut seperti yang diungkapkan dalam IPCC report (2007) dimana tangkapan ikan tuna di Asia Timur dan Asia Tenggara yang memenuhi hampir seperempat total produksi tuna di dunia telah mengalami penurunan akibat dua hal tersebut.
12
v) Menurunnya
produksi
perikanan
tangkap
non-ikan
akibat
kerusakan terumbu karang. Supriharyono (2007) menyebutkan sejumlah organisme yang bernilai ekonomi yang kehidupannya bergantung pada terumbu karang, yaitu penyu, udang barong, octopus, conches, kerang, oyster, rumput laut, kima dan teripang. vi) Resiko melaut yang semakin tinggi akibat ancaman meningkatnya badai
dan
gelombang
ekstrim
akibat
perubahan
iklim
(Diposaptono, 2009)
2.1.2 Masyarakat Nelayan Horton et. al. (1991 dalam Satria, 2002) mendefinisikan masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut. Soekanto (1990) menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki dua hasrat dalam dirinya, yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan sesamanya atau manusia lain di sekelilingnya serta keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungan alam sekelilingnya. Suatu masyarakat merupakan sistem adaptif, oleh karena masyarakat merupakan wadah untuk memenuhi pelbagai kepentingan dan untuk dapat bertahan. Berkaitan dengan definisi masyarakat tersebut, Satria (2009) mengartikan masyarakat pesisir sebagai sekumpulan masyarakat yang hidup bersama dan mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Dalam Satria (2002) disebutkan bahwa sosiologi masyarakat pesisir direkonstruksi dari basis sumberdaya. Berbeda dengan sosiologi pedesaan yang berbasis pada society, sosiologi masyarakat pesisir lebih berbasis pada sumberdaya, sehingga kajian-kajian sosiologi masyarakat pesisir bersumber pada aktivitas masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan. Nelayan merupakan bagian dari masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya perikanan. Kusnadi (2007) mendefinisikan desa nelayan sebagai desa dimana sebagian besar penduduknya bermatapencaharian
13
menangkap ikan di laut. Dalam Satria (2002) disebutkan bahwa nelayan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut terbagi berdasarkan status penguasaan kapital, yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan, seperti kapal/perahu, jaring dan alat tangkap lainnya. Sedangkan nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, atau anak buah kapal (ABK). Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (2007) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Sementara orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alatalat perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Tetapi ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan sebagai nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan.
2.1.2.1 Klasifikasi Nelayan Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (2007) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan, yaitu: 1) Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. 2) Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan, nelayan kategori ini dapat pula mempuyai pekerjaan lain. 3) Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan.
14
Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi, yaitu: 1) Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Umumnya masih menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama. 2) Post-peasant fisher, yaitu nelayan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seiring dengan perkembangan motorisasi perikanan. Dengan daya tangkap yang lebih besar dan surplus dari hasil tangkapan itu, nelayan jenis ini sudah mulai berorientasi pasar dan tenaga kerjanya tidak bergantung pada anggota keluarga saja. 3) Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan dengan skala usaha yang besar, jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer, serta teknologi yang digunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya. 4) Industrial fisher, yaitu nelayan skala besar yang dicirikan dengan majuya kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya. Berorientasi pasar ekspor (ikan kaleng dan ikan beku), relatif padat modal, dan melibatkan buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan organisasi kerja yang kompleks.
2.1.2.2 Karakteristik Masyarakat Nelayan Satria (2002) menguraikan secara singkat karakteristik masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi, dari berbagai aspek: 1) Sistem Pengetahuan Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya pengetahuan lokal ini menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan
15
hidup sebagai nelayan. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan intelektual yang hingga kini terus dipertahankan. 2) Sistem Kepercayaan Secara teologi, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Namun seiring berjalannya waktu, berbagai tradisi dilangsungkan hanya sebagai salah satu instrumen stabilitas sosial dalam komunitas nelayan. 3) Peran Wanita Umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik rumah tangga, istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam kegiatan penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan, maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Istri nelayan juga dominan dalam mengatur pengeluaran rumah tangga sehari-hari sehingga sudah sepatutnya peranan istri-istri nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap program pemberdayaan. 4) Struktur Sosial Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi (termasuk pasar) pada usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Pada perikanan budidaya, patron meminjamkan modal kepada para nelayan lokal untuk pembudidayaan ikan. Dengan konsekuensi, hasilnya harus dijual kepada patron dengan harga yang lebih murah. Ciri yang kedua adalah stratifikasi sosial. Bentuk stratifikasi masyarakat pesisir Indonesia sangat beragam. Seiring moderninasi akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi pula perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial tersebut tidaklah
16
bersifat horisontal, melainkan vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran ekonomi, prestise atau kekuasaan. 5) Posisi Sosial Nelayan Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain karena alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan dibanding untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang secara geografis relatif jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan kecil terus dalam posisi dependen dan marjinal akibat dari faktor kapital yang dimilikinya sangatlah terbatas.
2.1.3 Strategi Adaptasi Soekanto (1983:7 dalam M. Mawardi J., 2003) mengartikan adaptasi sebagai proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan, memanfaatkan sumber-sumber terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem, penyesuaian dari kelompok-kelompok maupun pribadi terhadap lingkungan dan proses untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah. Adaptasi sebagai suatu proses sosial dapat diamati dari kegiatan-kegiatan yang sifatnya asosiatif dan disosiatif. Kegiatan yang asosiatif dapat berbentuk kerjasama, akomodasi, dan asimilasi; sedangkan yang disosiatif dapat berbentuk konflik, kontravensi, dan persaingan (Pudjiwati Sayogyo, 1980:10 dalam M. Mawardi J., 2003) Diposaptono (2009) mendefinisikan adaptasi perubahan iklim merupakan upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif. Sedangkan mitigasi perubahan iklim sebagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dari sumbernya atau dengan meningkatkan kemampuan alam dalam menyerap emisi tersebut. Wacana perubahan iklim di Indonesia sendiri sebenarnya telah muncul sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto. Dalam ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi
17
Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan yang disusun oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup tahun 1997, telah dipaparkan mengenai strategi pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan lautan berkaitan dengan pengelolaan dampak perubahan iklim dan tsunami. Rencana pengelolaan ini mencakup: 1) Observasi yang sistematik dan penelitian masalah samudera, dinamika atmosfir, sosial-ekonomi, dampak lingkungan terhadap perubahan iklim, kenaikan permukaan laut, dan penyimpangannya. 2) Pengembangan pencegahan, penanggulangan, dan upaya perbaikan atas dampak tsunami, perubahan iklim, dan kenaikan permukaan laut bagi populasi manusia dan sumberdaya laut yang ada. 3) Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap dampak kenaikan permukaan laut dan tsunami. Perencanaan adaptasi pada suatu daerah tidak dapat berdiri sendiri melainkan berjalan dengan inisiasi sektoral yang lebih luas seperti perencanaan pengelolaan sumberdaya air, perlindungan wilayah pesisir serta perencanaan manajemen bencana (IPCC, 2007). IPCC Third Assesment Report (TAR) yang dikutip kembali dalam IPCC Fourth Assesment Report (2007) telah mengemukaan pentingnya pemahaman mengenai: 1) Adaptasi
aktual
untuk
mengobservasi
perubahan
iklim
serta
variabilitasnya 2) Perencanaan
adaptasi
terhadap
perubahan
iklim
dalam
desain
infrastruktur, manajemen wilayah pesisir serta aktivitas lainnya 3) Mengukur kerentanan kondisi alam akibat perubahan iklim serta kapasitas adaptasinya 4) Kebijakan
pembangunan,
di
bawah
United Nations
Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) serta internasional, nasional dan inisiatif lokal lainnya, yang memfasilitasi program mengenai proses dan aksinya (Adger et al., 2005; Tompkins et al., 2005; West and Gawith, 2005). Dalam IPCC report (2007) dikatakan bahwa strategi adaptasi dan mitigasi yang perlu dilakukan dibedakan berdasarkan dimensi spasial, sektoral, tipe aksi,
18
aktor yang terlibat di dalamnya, climatic zone, level pembangunan negara tersebut ataupun kombinasi dari kategori-kategori yang telah disebutkan ataupun kategori lainnya. Dengan demikian, strategi yang diterapkan pada suatu daerah tentu disesuaikan dengan fenomena perubahan iklim yang terjadi pada suatu wilayah, seberapa besar dampak dan pada sektor apa dampak tersebut memerlukan strategi adaptasi dan mitigasi. Berikut disajikan sejumlah strategi adaptasi yang dapat dilakukan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim di wilayah pesisir.
19
Tabel 2. Dampak dan Strategi Adaptasi-Mitigasi Perubahan iklim No. 1.
Dampak Ekologis Kenaikan permukaan air laut , banjir (rob), dan gelombang ekstrim
Dampak SosialEkonomi Terancamnya wilayah pemukiman
Membuat penahan gelombang
Terancamnya infrastruktur masyarakat
Memindahkan lokasi pemukiman ke tempat yang lebih tinggi
Kerugian pada budidaya perikanan
Memindahkan lahan budidaya ke tempat yang lebih tinggi
Meningkatnya penyebaran penyakit kolera, malaria dan demam berdarah 2.
Intrusi air laut
Adaptasi
Terancamnya sumbersumber air tawar penduduk serta budidaya perikanan
Menempatkan blokblok karang/struktur keras di sekeliling lahan air tawar
Mitigasi Penanaman mangrove
Penanaman mangrove
Menampung air hujan Menggunakan bibit perikanan budidaya yang tahan terhadap perubahan salinitas 3.
Perubahan wilayah tangkap dan musim ikan
Menurunnya produksi perikanan tangkap
Mengadopsi teknologi dan cara-cara baru dalam perikanan tangkap Mengadopsi metode baru dalam memprediksi musim ikan Diversifikasi alat tangkap
4.
5.
Badai
Menurunnya keanekaragaman hayati pesisir
Terancamnya berbagai infrastruktur di wilayah pesisir
Adopsi teknologi pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap badai&angin
Resiko nelayan dalam melaut yang semakin tinggi
Adopsi teknologi kapal nelayan penangkap ikan yang lebih tahan terhadap badai dan gelombang
Terancamnya sumber mata pencaharian penduduk
Mencari alternatif lain dalam menambah penghasilan penduduk
Sumber: disarikan dari Diposaptono (2009)
Perbaikan terumbu karang
20
2.1.4 Strategi Ekonomi Carner (1984 dalam Widodo, 2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh rumah tangga miskin pedesaan antara lain: 1) Melakukan beraneka ragam pekerjaan meskipun dengan upah yang rendah. 2) Memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan. 3) Melakukan migrasi ke daerah lain biasanya migrasi desa-kota sebagai alternatif terakhir apabila sudah tidak terdapat lagi pilihan sumber nafkah di desanya. Dharmawan (2001 dalam Iqbal, 2004) mengklasifikasikan dua jenis strategi nafkah dalam keluarga petani, yaitu: 1) Strategi nafkah normatif, yaitu strategi dalam kategori tindakan positif dengan basis kegiatan sosial-ekonomi, misalnya kegiatan produksi, migrasi, strategi substitusi dan sebagainya. Kategori ini juga disebut ‘peaceful ways’, karena sesuai dengan norma-norma yang berlaku. 2) Strategi nafkah ilegal, yaitu strategi dalam kategori negatif, dnegan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Seperi merampok, mencuri, melacur, korupsi dan sebagainya. Kategori ini disebut non-peaceful ways, karena cara yang ditempuh umumnya dengan melakukan tekanan fisik dan tekanan. Menurut Scoones (1998 dalam Iqbal, 2004), terdapat empat sumber yang dibutuhkan
dalam ekonomi rumah
tangga, agar strategi
nafkah bisa
dioperasionalkan, yaitu: 1) Ketersediaan modal alam dalam bentuk sumber-sumber alam 2) Modal ekonomi atau keuangan 3) Ketersediaan sumberdaya manusia dalam bentuk pendidikan, keahlian dan pengetahuan 4) Ketersediaan modal sosial (dan politik) dalam bentuk hubungan dan jaringan kerja.
21
Menurut Widodo (2009) terdapat dua macam tipe strategi yang tidak dapat terpisahkan dalam strategi nafkah rumah tangga miskin, yaitu strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi bekaitan dengan pola nafkah ganda, optimalisasi tenaga kerja rumahtangga dan migrasi. Sedangkan strategi sosial adalah pemanfaatan asuransi sosial pada lembaga kesejahteraan lokal dan penggunaan jejaring sosial. Satria (2009) menyebutkan beberapa strategi mata pencaharian yang dapat dilakukan untuk memutus rantai kemiskinan nelayan. Pertama, mengembangkan strategi nafkah ganda. Tujuannya agar nelayan tidak bergantung pada hasil penangkapan saja. Pengembangan dan penguatan strategi ganda ini perlu dilakukan terutama pada nelayan lapisan bawah. Salah satu aspek yang diperlukan untuk mendukung strategi ini adalah kebijakan permodalan. Kedua, mendorong ke arah laut lepas. Kendalanya tidak hanya teknologi, tapi juga modal dan budaya. Menangkap ikan di laut lepas sangatlah kompleks, mencakup manajemen usaha, organisasi produksi, perbekalan, ketahanan fisik, pemahaman perilaku ikan, pengoperasian kapal, jaring dan lainnya. Sehingga selain dibutuhkan teknologi, para nelayan ini juga membutuhkan pelatihan (magang) untuk menggali pengalaman dan pengetahuan di usaha penangkapan skala menengah dan besar. Ketiga, mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk mengantisipasi
variasi
musim.
Dengan
diversifikasi
alat
tangkap
ini
memungkinkan nelayan bisa melaut sepanjang tahun.
2.1.5 Persepsi Rakhmat (2005) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman tentang objek, pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubugan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Akibat adanya stimulus, individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan atau penolakan terhadap stimulus tersebut. Thoha (1983 dalam Erwina 2005) mendefinisikan persepsi sebagai proses kognitif yang dapat terjadi pada setiap orang dalam memahami informasi mengenai lingkungannya, yang dapat diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman. Persepsi
22
merupakan penafsiran unik terhadap suatu situasi, bukan merupakan suatu pencatatan yang sebenarnya dari situasi tersebut. David Krech dan Richard S. Crutchfield (1977 dalam Rakhmat, 2005) menyebutkan dua faktor yang menentukan persepsi, yaitu: 1) Faktor fungsional, yaitu faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk faktor personal. Persepsi bersifat selektif secara fungsional. Hal ini berarti bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi biasanya objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi, seperti pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya terhadap persepsi. 2) Faktor struktural, yaitu faktor yang berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Persepsi berhubungan dengan karakteristik individu dan perilaku komunikasi. Jenis dan bentuk rangsangan (stimuli) yang diterima merupakan faktor struktural dan secara fungsional, persepsi individu ditentukan oleh karakteristiknya (Rahmat, 1989 dalam Danudireja, 1998). Karakteristik personal seperti
umur,
tingkat
pendidikan,
pengalaman,
status
sosial
ekonomi,
keanggotaan pada suatu organisasi, serta perilaku mencari informasi, merupakan peubah yang berhubungan dengan persepsi dan sikap terhadap inovasi (Harun, 1987 dalam Danudireja, 1998).
2.2
Kerangka Pemikiran Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, perubahan iklim di wilayah
pesisir menyebabkan terjadinya kenaikan permukaan air laut, perubahan pola hidrologi, pola angin, perubahan suhu dan keasaman air laut. Berbagai perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan ekologis, antara lain: intrusi air laut ke daratan; gelombang ekstrim dan badai; genangan dan banjir; erosi pantai; kerusakan terumbu karang; perubahan proses upwelling, gerombolan ikan; perubahan pola migrasi ikan; perubahan morfologi pantai dan mangrove;
23
meningkatnya salinitas air, kerusakan lahan budidaya perikanan dan sumbersumber air tawar; meningkatnya frekuensi dan intensitas badai di lautan. Perubahan pola hidrologi di lautan menyebabkan perubahan proses upwelling. Perubahan upwelling menyebabkan perubahan lokasi gerombolan ikan atau fish schooling. Sementara kenaikan suhu dan keasaman air laut juga menyebabkan perubahan pola migrasi ikan. Perubahan lokasi gerombolan ikan dan pola migrasi ikan ini tentunya menyebabkan perubahan musim dan wilayah tangkapan ikan (fishing ground) para nelayan ikan tangkap. Perubahan pola hidrologi, pola angin disertai dengan kenaikan permukaan air laut menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi badai serta gelombang ekstrim yang terjadi di lautan. Hal ini juga menjadi kendala serius bagi para nelayan perikanan tangkap terutama para nelayan tradisional dengan keterbatasan teknologi penangkapan ikan. Perubahan tingkat keasaman air laut dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang. Terumbu karang juga merupakan biota laut yang peka terhadap kenaikan suhu lautan. Perubahan iklim yang telah menyebabkan kenaikan suhu air laut dan tingkat keasaman air laut ini menyebabkan terjadinya pemutihan terumbu karang atau coral bleaching, satu bentuk kerusakan terumbu karang. Sejumlah organisme yang bergantung kepada terumbu karang sebagai habitat hidupnya seperti ikan karang, penyu, udang barong, octopus, conches, kerang, oyster, rumput laut, kima dan teripang yang juga merupakan sumber makanan yang bernilai ekonomis bagi masyarakat pesisir, dan mengalami penurunan akibat kerusakan terumbu karang ini. Secara teoritis, berbagai perubahan yang terjadi pada ekosistem laut dan pesisir ini dapat mempengaruhi berbagai aktivitas nelayan dalam mencari ikan dengan dampak yang sangat mungkin terjadi adalah penurunan produksi perikanan tangkap. Pola adaptasi bagi para nelayan dibutuhkan untuk menyiasati berbagai perubahan ekologis yang dapat mengganggu aktivitasnya mencari ikan. Hal ini perlu dilakukan mengingat nelayan merupakan bagian masyarakat yang paling rentan terhadap dampak buruk perubahan iklim karena kehidupan ekonominya sebagian besar ditunjang dari produksi perikanan tangkap.
24
Persepsi sebagai suatu proses kognitif dapat terjadi pada nelayan dalam memahami informasi mengenai lingkungannya yang mengalami perubahan tersebut. Persepsi nelayan mengenai perubahan iklim ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu karakteristik nelayan serta perilaku komunikasi nelayan tersebut. Terbentuknya suatu persepsi mengenai perubahan lingkungan ini selanjutnya dapat mempengaruhi aspek psikomotorik berupa adaptasi terhadap perubahan yang dipersepsikannya tersebut. Pola adaptasi nelayan dalam menghadapi perubahan iklim ini terbagi menjadi dua. Pertama, adaptasi perikanan tangkap yang dapat berupa adaptasi teknologi penangkapan ikan, teknologi memprediksi musim ikan dan sebagainya. Kedua, strategi ekonomi nelayan dalam menghadapi kerugian ekonomi akibat kerusakan ekologi. Strategi ekonomi ini dapat berupa berbagai alternatif yang dilakukan nelayan untuk menunjang kehidupan ekonominya yang mengalami kerugian akibat menurunnya produksi perikanan tangkap. Alur kerangka pemikiran ini digambarkan pada gambar 1.
25
Dampak Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Laut: Kenaikan permukaan air laut Perubahan pola angin Perubahan pola hidrologi Kenaikan suhu air laut Kenaikan pH air laut
Kerusakan Ekologi: Intrusi air laut ke daratan Gelombang ekstrim dan badai Genangan dan banjir Erosi pantai Kerusakan terumbu karang Perubahan proses upwelling, gerombolan ikan Perubahan pola migrasi ikan Perubahan morfologi pantai dan mangrove Meningkatnya salinitas air, kerusakan lahan budidaya perikanan dan sumber-sumber air tawar Meningkatnya frekuensi dan intensitas badai di lautan
Menurunnya kualitas dan kuantitas sumberdaya hayati laut
Perubahan wilayah gerombolan ikan, dan pola migrasi ikan
Meningkatnya frekuensi dan intensitas badai serta gelombang ekstrim di lautan
Perikanan Tangkap:
Sulitnya menentukan musim ikan Sulitnya menentukan wilayah tangkapan Resiko melaut yang tinggi akibat badai dan gelombang ekstrim
Sulitnya memperoleh komoditi perikanan tangkap, baik ikan maupun sumberdaya laut lainnya
Karakteristik Individu:
Usia Pendidikan Lama Tinggal Pengalaman Nelayan Klasifikasi Nelayan
Perilaku Komunikasi Nelayan: Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
Adaptasi dan Strategi Ekonomi Nelayan
Kepemilikan Media Keterdedahan terhadap Media Elektronik Keterdedahan terhadap Media Cetak Fungsi Komunikasi Interpersonal
Kondisi Ekonomi Nelayan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan: : Hubungan Pengaruh
26
2.3
Hipotesis Pengarah 1) Diduga terjadi penurunan produksi perikanan tangkap akibat perubahan ekologis yang terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim. 2) Diduga terdapat strategi adaptasi yang diterapkan nelayan dalam menghadapi perubahan kondisi ekosistem laut akibat perubahan iklim yang meliputi: a) Adopsi teknologi penangkapan ikan yang lebih canggih/adaptif, baik dalam alat tangkap, maupun kapal penangkapan ikan yang diterapkan oleh nelayan. b) Teknik dalam memprediksi musim ikan dan wilayah tangkapan ikan untuk menyiasati permasalahan penentuan musim ikan dan wilayah tangkap yang diterapkan oleh nelayan. c) Strategi dalam memprediksi musim melaut serta frekuensi badai di lautan yang diterapkan oleh nelayan. 3) Diduga terdapat strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan untuk menyiasati kondisi perekonomian yang terganggu akibat penurunan produksi perikanan. 4) Diduga persepsi masyarakat terhadap perubahan iklim mempengaruhi keputusannya dalam melakukan adaptasi perubahan iklim.
2.4
Hipotesis Uji 1) Diduga karakterisitik individu berhubungan terhadap persepsi nelayan mengenai perubahan iklim. 2) Diduga perilaku komunikasi berhubungan terhadap persepsi nelayan mengenai perubahan iklim.
2.5
Definisi Konseptual 1) Perubahan iklim adalah perubahan unsur-unsur iklim yang mempengaruhi berbagai perubahan pada atmosfer (udara), hidrosfer (air), kriosfer (bagian bumi yang membeku), permukaan tanah, dan biosfer (bagian bumi tempat adanya kehidupan).
27
2) Dampak ekologis perubahan iklim pada ekosistem laut adalah berbagai perubahan yang terjadi pada keseluruhan komponen biotik dan abiotik yang terdapat pada laut dan pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari perubahan iklim. 3) Dampak ekonomi perubahan iklim pada wilayah pesisir adalah perubahan pendapatan masyarakat yang bermatapencaharian dan menggantungkan hidup pada sumberdaya pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari perubahan iklim. 4) Dampak sosial perubahan iklim pada wilayah pesisir adalah perubahan berbagai aspek kesejahteraan masyarakat pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari perubahan iklim. 5) Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang memiliki ketergantungan ekonomi terhadap sumberdaya perikanan tangkap, secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air, serta membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. 6) Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif. 7) Adaptasi perikanan tangkap adalah berbagai upaya yang dilakukan nelayan untuk menyiasati dampak buruk yang ditimbulkan perubahan iklim yang mempengaruhi aktivitasnya mencari ikan di laut. 8) Strategi ekonomi nelayan merupakan bentuk adaptasi lainnya yang berkaitan dengan pola nafkah ganda, optimalisasi tenaga kerja rumahtangga dan migrasi nelayan untuk meminimalisir kerugian ekonomi akibat menurunnya produksi perikanan sebagai dampak perubahan iklim.
2.6
Definisi Operasional 1) Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim adalah penafsiran masyarakat nelayan terhadap perubahan-perubahan ekologis yang terjadi akibat perubahan iklim. Pengukuran persepsi dilihat melalui pernyataanpernyataan yang mengandung komponen kognitif meliputi sepuluh
28
pernyataan tentang pengalaman dan pengetahuan responden mengenai perubahan iklim. Penilaian menggunakan skala berjenjang, dengan ketentuan, 1 = tidak setuju; 2 = ragu-ragu; dan 3 = setuju. Penilaian persepsi responden terhadap perubahan iklim ini terbagi menjadi dua kategori: a) Rendah, apabila total skor berkisar antara 10 sampai 19. b) Tinggi, apabila total skor berkisar antara 20 sampai 30. 2) Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang melekat pada individu meliputi usia, pendidikan, lama tinggal di Ciawitali, pengalaman nelayan serta klasifikasi nelayan. a) Usia adalah lama hidup responden dari sejak lahir sampai dengan saat dilakukannya penelitian, terbagi dalam kategori: i)
Umur muda, jika umur responden yang sama atau di bawah rata-rata.
ii)
Umur tua, jika umur responden di atas rata-rata.
b) Pendidikan adalah tingkat belajar yang pernah dilalui oleh responden. Tingkat belajar ini meliputi pendidikan formal responden yang terbagi dalam kategori: i)
Rendah, jika tamat atau tidak tamat SD atau sederajat.
ii)
Sedang, jika tamat SMP atau sederajat.
iii)
Tinggi, jika tamat SMA atau sederajat.
c) Lama tinggal di Ciawiali adalah jumlah waktu yang telah dilalui oleh responden menempati tempat tinggalnya di Ciawitali, dengan kategori sebagai berikut: i)
Rendah, jika responden tinggal di Ciawitali selama 15 tahun atau kurang dari 15 tahun.
ii)
Tinggi, jika responden telah tinggal di Ciawitali selama lebih dari 15 tahun.
Penggunaan skala ini berdasarkan diskusi yang dilakukan bersama nelayan serta LSM IPPHTI (Ikatan Petani Pengendalian Hama
29
Terpadu Indonesia) yang telah melakukan survai di Desa Pamotan sebelumnya. d) Pengalaman nelayan adalah lamanya responden bekerja sebagai nelayan yang dikategorikan sebagai berikut: i)
Rendah, jika responden bekerja sebagai nelayan selama 15 tahun atau kurang dari 15 tahun.
ii)
Tinggi, jika responden telah bekerja sebagai nelayan selama lebih dari 15 tahun.
Penggunaan skala ini berdasarkan diskusi yang dilakukan bersama nelayan serta LSM IPPHTI yang telah melakukan survai di Desa Pamotan sebelumnya. e) Klasifikasi nelayan adalah penggolongan nelayan berdasarkan prioritasnya bekerja sebagai nelayan dibandingkan dengan pekerjaan lain yang ditekuninya. Terbagi dengan kategori sebagai berikut: i)
Nelayan penuh, jika responden tidak memiliki pekerjaan lain selain mencari ikan atau tangkapan laut lainnya.
ii)
Nelayan sambilan utama, jika responden memiliki pekerjaan lain selain mencari ikan atau tangkapan laut lainnya, namun masih mengutamakan pekerjaannya sebagai nelayan.
iii)
Nelayan musiman, jika responden hanya mencari ikan atau tangkapan laut lainnya di musim-musim tertentu dan nelayan bukanlah pekerjaan utamanya.
3) Perilaku komunikasi adalah aktifitas responden dalam membuka diri dan upaya mencari informasi yang bersifat inovatif melalui saluran komunikasi yang tersedia. Aktifitas tersebut meliputi kepemilikan media, keterdedahan terhadap media elektronik, keterdedahan terhadap media cetak, dan fungsi komunikasi interpersonal. a) Kepemilikan komunikasi
alat
media
informasi
adalah
yang
banyaknya
dimiliki
oleh
peralatan
media
responden.
Media
komunikasi ini meliputi televisi, radio, media cetak (koran atau majalah) dan buku atau bahan bacaan mengenai lingkungan. Penilaian terbagi menjadi dua kategori:
30
i)
Rendah, jika responden hanya memiliki dua atau kurang dari dua alat media.
ii)
Tinggi, jika responden memiliki lebih dari dua alat media.
b) Keterdedahan terhadap media elektronik adalah frekuensi responden menyimak radio dan televisi per minggunya serta pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari mediamedia elektronik tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap media elektronik ini merupakan penjumlahan dari skor frekuensi responden mendengarkan radio per minggu, frekuensi responden menyimak
televisi
per
minggu
serta
pengalaman
responden
memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media elektronik tersebut. Baik penilaian frekuensi responden mendengarkan radio per minggu dan frekuensi responden menyimak televisi per minggu mengunakan skala berjenjang dengan ketentuan, 1 = tidak pernah; 2 = 1 sampai 3 hari; 3 = 4 sampai 5 hari; 4 = setiap hari. Sedangkan pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media elektronik menggunakan skala penilaian, 1 = tidak pernah memperoleh informasi perubahan iklim dari media tersebut; 2 = pernah memperoleh informasi perubahan iklim dari media tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap media elektronik ini terbagi menjadi dua kategori: i) Rendah, apabila total skor berkisar antara 3 sampai 6. ii) Tinggi, apabila total skor berkisar antara 7 sampai 10. c) Keterdedahan terhadap media cetak adalah frekuensi responden membaca media cetak (koran/majalah/buku) per minggunya serta pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media cetak tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap media cetak ini merupakan penjumlahan dari skor frekuensi responden membaca media cetak per minggu, dan pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media cetak tersebut. Penilaian frekuensi responden membaca media cetak per minggu mengunakan skala berjenjang
31
dengan ketentuan, 1 = tidak pernah; 2 = 1 sampai 3 hari; 3 = 4 sampai 5 hari; 4 = setiap hari. Sedangkan pengalaman responden memperoleh informasi
tentang
perubahan
iklim
dari
media-media
cetak
menggunakan skala penilaian, 1 = tidak pernah memperoleh informasi perubahan iklim dari media tersebut; 2 = pernah memperoleh informasi perubahan iklim dari media tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap media cetak ini terbagi menjadi dua kategori: i)
Rendah, apabila total skor berkisar antara 3 sampai 6.
ii)
Tinggi, apabila total skor berkisar antara 7 sampai 10.
d) Fungsi komunikasi interpersonal adalah aktifitas responden dalam mencari informasi mengenai perubahan iklim melalui media komunikasi interpersonal. Terbagi dalam kategori: i)
Rendah, apabila responden tidak pernah membicarakan perubahan iklim.
ii)
Tinggi, apabila responden pernah membicarakan tentang perubahan iklim.
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode
kuantitatif yang digunakan adalah metode survai dengan instrumen kuesioner untuk memperoleh pemahaman mengenai persepsi masyarakat nelayan mengenai perubahan iklim. Peubah (variabel) yang diteliti terdiri dari peubah bebas yaitu karateristik individu dan perilaku komunikasi nelayan; dan peubah tak bebas adalah persepsi nelayan terhadap perubahan iklim. Persepsi nelayan mengenai perubahan iklim ini merupakan analisis awal untuk memahami gejala-gejala perubahan iklim yang terjadi pada wilayah tersebut berdasarkan pemahaman nelayan. Marsh (1982 dalam Fatchiya, 2010) teknik survai perlu diperluas dengan wawancara
terstruktur dan mendalam (in-depth interview), pengamatan
(observation), serta pendekatan lainnya. Hasil survei yang didapat kemudian menjadi dasar untuk menganalisis pola adaptasi nelayan terhadap perubahan iklim yang dipertajam melalui pendekatan kualitatif. Metode kualitatif berperan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan ekonomi nelayan yang terpengaruh oleh perubahan ekologis akibat perubahan iklim serta strategi ekonomi yang diterapkan untuk mempertahankan stabilitas ekonomi keluarga nelayan. Teknik yang digunakan adalah wawancara mendalam, pengamatan langsung, studi literatur dan diskusi kelompok terarah atau focussed group discussion (FGD). Studi literatur berguna untuk memberikan informasi mengenai penghasilan penduduk selama beberapa tahun ke belakang. Data sekunder ini kemudian dikombinasikan dengan data lainnya untuk menganalisis keterkaitan antara kerusakan ekologi yang terjadi dengan kondisi ekonomi nelayan. Metode observasi berperan serta (participant observation) serta wawancara mendalam berguna untuk mengidentifikasi pola adaptasi perikanan tangkap yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis lautan sebagai dampak perubahan iklim. FGD dilakukan untuk
33
memperoleh gambaran secara umum pola-pola perikanan tangkap yang diterapkan oleh nelayan serta kendala yang dialami nelayan secara umum. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan eksploratif, yaitu menjelaskan apa dan bagaimana peristiwa atau gejala sosial yang sedang terjadi. Sementara strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus berarti memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti dengan menerapkan berbagai metode.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada masyarakat nelayan di Dusun Ciawitali,
Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Waktu penelitian dimulai sejak bulan Juni 2010 hingga September 2010. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan waktu penelitian untuk memperoleh data penelitian dengan validitas yang optimal. Penelitian yang dimaksud mencakup waktu sejak peneliti intensif di daerah penelitian, pengumpulan dan pengolahan data, hingga pembuatan draft skripsi. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara purposive (sengaja). Dengan pertimbangan Dusun Ciawitali merupakan kampung nelayan yang sebagian besar adalah nelayan tradisional, sementara tantangan yang dihadapi cukup besar mengingat kondisi lautan yang bertemu langsung dengan Samudra Hindia. Nelayan Dusun Ciawitali dipandang berpotensi mengalami kendala dalam memprediksi badai dan gelombang pasang yang terjadi akibat perubahan iklim.
3.3
Teknik Pemilihan Responden dan Informan Populasi dari penelitian ini adalah nelayan di Dusun Ciawitali yang
melakukan kegiatan penangkapan di lautan dan bukanlah di sekitar muara Sungai Citanduy ataupun Segara Anakan. Nelayan ini merupakan representasi dari nelayan yang dianggap rentan terkena dampak perubahan iklim meliputi perubahan pola angin. Populasi diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari data Rukun Nelayan (RN) serta KUB (Kelompok Usaha Bersama) Putra Kendal Ciawitali. Dari data tersebut diketahui jumlah populasi nelayan sebanyak 90
34
orang. Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan simple random sampling. Banyaknya sampel ditentukan berdasarkan hasil perhitungan rumus Slovin sebagai berikut: n= N 1+Ne2 Keterangan : n
: jumlah sampel
N
: jumlah populasi
e
: nilai kritis (batas ketelitian) yang digunakan (10%)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 47 responden agar hasil penelitian dapat lebih representatif. Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai berbagai pola adaptasi perubahan iklim. Penelitian akan dilakukan pada keluarga-keluarga nelayan yang memperoleh dampak ekonomi dari perubahan ekologis akibat perubahan iklim dengan menggunakan teknik bola salju yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Fokus penelitian ini dititikberatkan pada nelayan yang melakukan adaptasi perikanan tangkap dan adaptasi ekonomi dalam menghadapi kerugian tersebut.
3.4
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui : 1) Wawancara mendalam (in depth interview) kepada para nelayan dengan menggunakan pedoman pertanyaan. Data deskriptif berupa kutipan langsung kata-kata atau tulisan dari informan juga memungkinkan untuk digunakan. 2) Observasi. Pendekatan eksploratif pada penelitian kualitatif menggunakan pilihan metode pengamatan naturalistik, yaitu metode pengumpulan data melaui rekaman lengkap dan akurat atas peristiwa atau gejala sosial
35
tertentu, sebagaimana kejadiannya, dengan campur tangan yang sekecil mungkin dari peneliti (Sitorus, 1998). 3) Studi literatur serta kajian dokumen-dokumen yang dapat menunjukan berbagai perubahan ekologis yang mempengaruhi aktivitas nelayan dalam melaut serta dokumen-dokumen yang dapat menunjukan kondisi perekonomian nelayan. 4) Diskusi kelompok terarah atau Focussed Group Discussion (FGD) kepada para nelayan untuk memetakan wilayah penangkapan nelayan dan memetakan musim-musim penangkapan ikan secara lebih akurat. 5) Survai dengan instrumen penelitian berupa kuesioner. Kuesioner ini memuat pertanyaan terbuka dan tertutup. Data yang digali dari penelitian survai ini mencakup persepsi masyarakat nelayan mengenai perubahan ekologis yang terjadi pada ekosistem laut dan pesisir.
3.5
Teknik Analisis Data Teknik analisis data kualitatif dalam penelitian ini mengacu pada konsep
Miles dan Huberman. Miles dan Huberman (1984, 1994 dalam Miles dan Huberman, 2009) menyebutkan tiga sub-proses analisis data yang saling terkait, yaitu reduksi data, penyajian data dan pengambilan kesimpulan. Proses ini berlangsung sebagaimana ditunjukan oleh gambar 2. Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data Kesimpulan penggambaran/verifikasi
Gambar 2. Komponen Analisis Data: Model Interaktif
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data merupakan penyusunan
36
informasi yang memungkinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data ini dalam prakteknya dapat berbentuk teks naratif ataupun matriks, grafik, jaringan dan bagan. Sedangkan penarikan kesimpulan berbentuk pencatatan keteraturan pola-pola yang terjadi, penjelasan, konfigurasikonfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proporsi. Ketiga kegiatan analisis dan pengumpulan data ini merupakan proses siklus dan interaktif. Analisis data dilakukan secara berlanjut, berulang dan terus menerus. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kasalahan interpretasi serta memperkuat validitas data kualitatif digunakan pula metode triangulasi. Teknik ini mengacu pada suatu proses pemanfaatan persepsi yang beragam untuk mengklarifikasi makna, memverifikasi kemungkinan pengulangan dari suatu observasi ataupun interpretasi, namun harus dengan prinsip bahwa tidak ada observasi atau interpretasi yang seratus persen dapat diulang (Stake, 2009). Teknik triangulasi ini berguna untuk memperoleh kombinasi data yang akurat melalui uji keabsahan dengan uji silang tiga sumber data, yaitu hasil wawancara, observasi serta studi literatur. Analisis data kuantitatif dilakukan melalui proses pemeriksaan data yang terkumpul (editing). Kemudian pengkodean (coding) dengan tujuan untuk menyeragamkan data. Setelah pengkodean, tahap selanjutnya adalah perhitungan persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabulasi deskriptif. Data kuantitatif yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan program komputer SPSS Statistic 17.0 dan Microsoft Exel 2007. Hubungan antara karakteristik nelayan dengan persepsi terhadap perubahan iklim serta hubungan antara perilaku komunikasi nelayan dengan persepsi terhadap perubahan iklim akan diuji signifikansinya dengan menggunakan korelasi Rank Spearman. Adapun rumus korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut: 6 ∑ =1− ( − 1)
Keterangan: ρ atau rs
= koefisien korelasi spearman rank
di
= determinan
n
= jumlah data atau sampel
37
Pengujian signifikansi dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan signifikan atau tidak di antara variabel yang ada. Pengujian menggunakan uji dua sisi (2-tailed). Langkah-langkah pengujian yang digunakan adalah sebagai berikut (Priyatno, 2009): 1) Menentukan hipotesis. a) Ho:
Tidak ada hubungan antara kedua variabel.
b) Ha:Ada hubungan antara kedua kedua variabel. 2) Kriteria pengujian a) Jika signifikansi > 0,05, maka Ho diterima. b) Jika signifikansi < 0,05, maka Ho ditolak.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Kondisi Geografis
4.1.1 Konteks Desa Desa Pamotan merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Desa Pamotan merupakan desa yang menempati wilayah di ujung timur sekaligus ujung selatan Provinsi Jawa Barat dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : sebelah Utara
: Desa Kalipucang dan Sungai Citanduy
sebelah Selatan : Laut Indonesia dan Desa Bagolo sebelah Barat
: Desa Emplak dan Desa Kalipucang
sebelah Timur : Nusa Kambangan dan Sungai Citanduy. Desa Pamotan berjarak 4 kilometer dari pusat pemerintahan kecamatan, 52 kilometer dari pusat pemerintah kota dan 63 kilometer dari ibukota Kabupaten Ciamis Daerah Tingkat II. Perjalanan dari Desa Pamotan untuk mencapai pusat pemerintahan Kabupaten Ciamis dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum bus tiga perempat ataupun bus besar. Waktu tempuh yang digunakan mencapai 3 jam perjalanan dengan melewati beberapa kabupaten lain yaitu Kabupaten Banjar dan Banjarsari. Desa Pamotan memiliki luas wilayah sebesar 1.171,6 Ha, yang terdiri dari kawasan pemukiman, pertanian dan kebun, kawasan hutan dan rawa-rawa, serta infrastruktur publik. Secara administratif Desa Pamotan terdiri dari 7 RW dan 36 RT. RT dan RW tersebut tersebar dalam tiga dusun yang terdapat dalam desa ini, yaitu Dusun Pamotan, Dusun Ciawitali dan Dusun Majingklak. Pusat pemerintahan Desa Pamotan berada di Dusun Pamotan yang lokasinya paling dekat dengan Jalan Raya Kalipucang atau biasa dikenal dengan Jalan Raya Pangandaran. Sedangkan Dusun Majingklak dan Dusun Ciawitali berada di lokasi yang lebih jauh dari jalan raya. Dusun Majingklak berada di sebelah tenggara dan berbatasan langsung dengan Laguna Segara Anakan. Sedangkan Dusun Ciawitali berada di sebelah selatan dan berbatasan dengan Laut Indonesia. Jarak antar dusun
39
relatif cukup jauh namun telah memiliki jalan penghubung. Akses antar dusun dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik mobil ataupun sepeda motor. Kondisi topografi Desa Pamotan didominasi oleh dataran rendah dengan ketinggian sekitar dua meter di atas permukaan laut. Walaupun berbatasan dengan laut Indonesia di sebelah Selatan, desa ini bukan termasuk tipe topografi pantai. Terdapat Laguna Segara Anakan yang menjadi pembatas antara daratan desa dengan wilayah perairan, Kondisi laguna ini telah tercemar oleh lumpur serta sampah yang terbawa dari aliran Sungai Citanduy. Selama bertahun-tahun telah terjadi sedimentasi di wilayah ini sehingga menyebabkan timbulnya daratandaratan baru di sebelah Selatan Desa Pamotan. Lokasi desa yang berjarak cukup dekat dengan lautan ini menyebabkan suhu udara relatif panas. Namun lokasi pemukiman di Desa Pamotan berada di wilayah kebun-kebun dengan banyaknya pepohonan sehingga kondisi udara di wilayah pemukiman Desa Pamotan cenderung lebih sejuk. Potensi sumberdaya alam yang terdapat di wilayah Desa Pamotan masih didominasi oleh lahan pertanian. Lahan pertanian di Desa Pamotan sebagian besar adalah lahan pertanian padi sawah. Berdasarkan data yang diperoleh oleh IPPHTI (Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia) salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang melakukan program pengembangan pertanian di Desa Pamotan, pada tahun 2009 terdapat 221 hektar sawah yang ditanami oleh masyarakat Desa Pamotan. Dari 221 hektar lahan sawah tersebut, hanya 112 hektar lahan sawah yang mampu panen, 32 hektar sawah mengalami megu atau banjir air hujan/tawar, dan 77 hektar sawah sisanya terkena rob atau banjir yang berasal dari lautan, sehingga sama sekali tidak produktif. Sawah produktif di Desa Pamotan ini pun pada tahun-tahun terakhir hanya mampu dipanen maksimal 1 kali dalam setahun akibat kondisi lahan dan iklim yang tidak mendukung. Lokasi desa yang berbatasan dengan Laut Indonesia ini menyebabkan masyarakat yang berada di Dusun Ciawitali dan Dusun Majingklak memanfaatkan potensi lautan sebagai penghasil sumberdaya alam. Sebagian masyarakat memiliki matapencaharian sebagai nelayan. Potensi perikanan tangkap di wilayah lautan ini meliputi berbagai jenis ikan, udang dan kerang-kerangan. Komoditas unggulan
40
yang banyak dicari oleh nelayan salah satunya adalah udang karang (lobster) yang memiliki harga jual sangat tinggi dibanding hasil tangkapan lainnya. Potensi sumberdaya alam lainnya yang telah dimanfaatkan masyarakat adalah perkebunan dan perikanan budidaya. Walaupun belum dalam jumlah yang besar, beberapa masyarakat telah memanfaatkan lahan kosong di sekitaran desa dengan menanaminya dengan tanaman kayu seperti Jati dan Sengon. Beberapa masyarakat juga membuat kolam-kolam budidaya udang air tawar dan budidaya ikan air tawar. Jenis-jenis ikan yang dipelihara oleh masyarakat diantaranya adalah ikan mas dan gurame. Wilayah mangrove di sebelah Selatan Desa Pamotan merupakan potensi sumberdaya tersendiri. Hal ini mengingat peran ekosistem mangrove yang merupakan penyangga ekosistem disekitarnya dan berperan dalam melestarikan keanekaragaman hayati. Wilayah mangrove ini juga merupakan habitat berbagai makhluk hidup yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem mangrove. Beberapa diantaranya adalah kepiting bakau, ikan belanak serta kerang totok. Kepiting sendiri merupakan salah satu komoditas yang banyak dicari oleh nelayan, terutama ketika kondisi lautan sedang tidak bersahabat baik karena sulitnya mendapatkan tangkapan maupun ketika cuaca di lautan tidak memungkinkan untuk nelayan mencari ikan. Sayangnya kondisi mangrove di desa ini cukup memprihatinkan. Masih terdapat masyarakat yang merusak kawasan mangrove, bahkan terdapat pula masyarakat yang menebang pohon bakau, salah satu tumbuhan yang mendominasi kawasan mangrove, untuk mempergunakan kayunya sebagai kayu bakar. Potensi sumberdaya lainnya adalah lahan kosong yang merupakan tanah timbul hasil sedimentasi lumpur yang terbawa oleh aliran sungai citanduy. Tanah kosong ini jumlahnya berhektar-hektar dan belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat maupun pemerintah setempat.
4.1.2 Konteks Dusun Seperti dijelaskan sebelumnya, Dusun Ciawitali merupakan salah satu dusun yang terdapat di Desa Pamotan. Dusun Ciawitali berada di sebelah selatan dan merupakan dusun yang paling dekat dengan wilayah laut Indonesia. Dusun ini berjarak sekitar 5-7 kilometer dari pusat pemerintahan desa atau sekitar 15-20
41
menit perjalanan dengan menggunakan sepeda motor. Satu-satunya angkutan umum yang menjangkau wilayah dusun ini adalah ojek motor yang tarifnya berkisar antara sepuluh hingga lima belas ribu rupiah. Kondisi dusun ini didominasi oleh perkebunan dan sawah. Di sebelah Selatan dusun terdapat rawa-rawa dan tanah timbul dari sedimentasi lumpur yang terbawa aliran Sungai Citanduy. Beberapa diantaranya telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian padi sawah. Namun dalam setahun maksimal hanya mampu satu kali panen karena seringkali terserang rob dan banjir. Selain itu kondisi pengairan sawah ini juga terkendala oleh tingginya salinitas air. Hal ini terjadi akibat adanya kenaikan permukaan air laut serta kerusakan wilayah mangrove yang menyebabkan terjadinya intrusi air laut ke wilayah daratan. Pemukiman di Dusun Ciawitali berada di daratan yang lebih tinggi dan berjarak sekitar 7 kilometer dari batas lautan. Untuk mencapai wilayah lautan, para nelayan asal Dusun Ciawitali menyusuri aliran sungai Ciawitali dengan menggunakan perahunya. Sungai kecil ini berada di kawasan rawa-rawa dan mangrove yang kondisinya cukup memprihatinkan. Sungai ini pun tidak selalu dapat dilalui oleh perahu terutama perahu dengan mesin tempel. Hal ini disebabkan oleh dangkalnya sungai tersebut, terutama ketika air laut mulai surut. Potensi sumberdaya alam yang terdapat di wilayah Dusun Ciawitali sebagian besar didominasi oleh lahan pertanian dan perkebunan. Lahan pertanian di Dusun Ciawitali sebagian besar adalah pertanian padi sawah. Berdasarkan data yang diperoleh oleh IPPHTI pada tahun 2009 terdapat 221 hektar sawah di Desa Pamotan dan 125,5 hektar diantaranya berada di Dusun Ciawitali. Dari 125,5 hektar sawah tersebut, hanya 105,5 hektar sawah yang produktif, 20 hektar sisanya seringkali terkena rob sehingga selalu mengalami gagal panen. Pada tahun-tahun terakhir, lahan sawah produktif ini hanya mampu dipanen sebanyak satu kali dalam setahun. Hal ini disebabkan oleh kondisi lahan yang semakin memburuk akibat iklim yang tidak menentu, seperti curah hujan yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan lahan kebanjiran. Dusun Ciawitali merupakan dusun dengan lokasi yang sangat dekat dengan wilayah perairan laut Indonesia. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat Ciawitali yang berprofesi sebagai nelayan. Potensi sumberdaya perikanan tangkap
42
yang diperoleh nelayan antara lain lobster, kepiting, rajungan, berbagai jenis ikan seperti ikan kerapu, kakap, layur dan tongkol. Namun kerusakan alam yang terjadi di wilayah laut telah menyebabkan sulitnya nelayan memperoleh hasil tangkapan selama beberapa tahun terakhir. Belum lagi kondisi cuaca yang semakin ekstrim yang juga menyebabkan sulitnya nelayan melaut.
4.2
Tataguna Lahan Desa dan Dusun Desa Pamotan memiliki luas wilayah mencapai 1.171,6 Ha dengan
sebagian besar wilayahnya masih didominasi oleh lahan pertanian serta hutan dan tanah kosong. Sebanyak 527,844 hektar lahan atau 45,05 persen dari keseluruhan wilayah merupakan lahan pertanian masyarakat berupa sawah, ladang dan kebun. Sedangkan 603,356 hektar atau 51,50 persen wilayah Desa Pamotan merupakan hutan dan tanah kosong. Peruntukan lahan di Desa Pamotan ini dapat dilihat dalam tabel 3. Tabel 3. Peruntukan Lahan Desa Pamotan No.
Peruntukan Lahan
Luas (Hektar)
(Persen)
1.
Sawah dan Ladang
527,844
45,05
2.
Bangunan Umum
15,14
1,29
3.
Pemukiman
20,26
1,73
4.
Perkuburan
5
0,43
5.
Hutan dan Tanah Kosong
603,356
51,50
1.171,6
100
Total
Sumber : Data Monografi Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Ciamis, 2010
Dengan jumlah penduduk sebanyak 4070 jiwa, wilayah pemukiman masyarakat di Desa Pamotan hanya menempati 20,26 hektar atau sekitar 1,73 persen dari keseluruhan wilayah. Jarak antara satu rumah dan rumah yang lain cukup berdekatan. Kumpulan (cluster) rumah-rumah penduduk terpusat di masing-masing dusun. Jarak antara pemukiman satu dusun dengan dusun yang lain saling berjauhan dengan diselingi oleh lahan pertanian dan hutan-hutan.
43
Dari 527,844 hektar lahan pertanian di Desa Pamotan, 221 hektar diantaranya merupakan lahan pertanian padi sawah. Sebanyak 78,5 hektar sawah berada di Dusun Pamotan, 125,5 hektar di Dusun Ciawitali dan 17 hektar sawah di Dusun Majingklak. Ketidakmerataan jumlah sawah di tiap dusun ini dipengaruhi oleh kualitas lahan di masing-masing dusun. Dusun Pamotan dan Dusun Ciawitali memiliki lahan yang cenderung lebih subur dibandingkan dengan lahan di Dusun Majingklak. Dusun Majingklak dengan posisi yang paling dekat dengan wilayah laut menyebabkan lahan-lahan sawah di dusun ini sangat rawan terkena rob. Hal ini terutama terjadi akibat pendangkalan muara sungai Citanduy disertai dengan kenaikan muka air laut. Penyebaran sawah di masing masing dusun serta kerawanannya terkena rob digambarkan pada tabel 4. Tabel 4. Jumlah Sawah di Setiap Dusun serta Kerawanannya Terkena Rob
No
Dusun
Jumlah Sawah (hektar)
(Persen)
Terkena Rob
1
Pamotan
78,5
36
40
2
Ciawitali
125,5
57
20
3
Majingklak
17
8
17
221
100
77
Total Sumber : Data Risk Assesment IPPHTI, 2009
4.3
Kondisi Demografi Desa dan Dusun Jumlah penduduk Desa Pamotan adalah sebanyak 4070 jiwa pada tahun
2010. Jumlah penduduk laki-laki sebesar 2058 jiwa atau sekitar 51 persen. Sedangkan penduduk perempuan sebesar 2012 jiwa atau sekitar 49 persen dari jumlah total penduduk Desa Pamotan. Jumlah penduduk tersebut cukup seimbang antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut:
44
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin No
Jenis Kelamin
Jumlah (Jiwa)
(Persen)
1
Laki-laki
2058
51
2
Perempuan
2012
49
4070
100
Total
Sumber : Data Monografi Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Ciamis, 2010
Tahun 2009, terdapat 1232 kepala keluarga (KK) di Desa Pamotan yang tersebar ke dalam tiga dusun. Di dusun Pamotan terdapat 443 KK, dusun Ciawitali 609 KK dan dusun Majingklak sebanyak 180 KK. Persentase jumlah kepala keluarga di tiap dusun dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Jumlah Kepala Keluarga di Setiap Dusun No
Dusun
Jumlah KK (KK)
(Persen)
1
Pamotan
443
36
2
Ciawitali
609
49
3
Majingklak
180
15
1232
100
Total Sumber : Data Risk Assesment IPPHTI, 2009
Ketidakmerataan jumlah KK di tiap dusun ini dipengaruhi oleh kualitas lahan di masing-masing dusun. Dusun Pamotan dan Dusun Ciawitali merupakan dusun dengan lahan yang senderung lebih subur dibandingkan dengan Dusun Majingklak sehingga potensi lahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lebih banyak. Pada tabel 4 telah terlihat kondisi lahan pertanian padi sawah di masing-masing dusun. Dusun Majingklak merupakan dusun dengan lahan pertanian yang sangat rawan terkena rob akibat pendangkalan sungai citanduy serta kenaikan air laut. Potensi lahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk ditanami di Dusun Majingklak jauh lebih sedikit dibanding dengan dua dusun lainnya. Selain potensi lahan, penyebaran masyarakat di tiap dusun juga disebabkan oleh kualitas air bersih yang terdapat di masing-masing dusun. Dusun
45
Pamotan memiliki sumber-sumber air bersih (sumur) dengan kualitas air yang jernih. Kualitas air di Dusun Ciawitali juga cukup baik walaupun di beberapa tempat terkadang airnya sedikit berwarna putih namun masih dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Sedangkan di Dusun Majingklak kualitas air sangatlah buruk sehingga masyarakat Majingklak kebanyakan membeli air mineral ataupun mengangkut air dari Ciawitali untuk konsumsi sehari-hari. Masyarakat Dusun Pamotan dan Dusun Ciawitali memiliki karakter yang lebih ramah dan lebih terbuka terhadap lingkungan luar. Budaya masyarakat di kedua dusun ini masih kental dengan budaya pertanian. Berbeda dengan masyarakat Dusun Majingklak yang cenderung tertutup dan berkarakter keras, yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh budaya nelayan pada umumnya. Dilihat dari pemukimannya, kondisi ekonomi masyarakat Dusun Pamotan dan Dusun Ciawitali masih lebih baik dibanding dengan masyarakat Dusun Majingklak. Rata-rata rumah di Dusun Pamotan dan Ciawitali merupakan bangunan permanen dengan dinding tembok ataupun bilik namun telah memiliki pondasi yang cukup baik. Berbeda dengan rumah-rumah di Dusun Majingklak yang masih banyak diantaranya merupakan bangunan sementara ataupun rumahrumah apung.
4.4
Sarana dan Prasarana Sarana transportasi di Desa Pamotan terbilang cukup baik didukung oleh
kondisi jalan yang sudah mengalami perbaikan. Jalan utama merupakan jalan aspal yang memanjang dari pangkal, yaitu jalan raya pangandaran hingga berujung ke dermaga di Majingklak yang merupakan dermaga penyebrangan ke pulau Nusa Kambangan. Menurut data monografi Desa Pamotan, panjang jalan di desa ini telah mencapai 28,35 km, meliputi jalan aspal utama dan jalan-jalan kecil di dusun-dusun yang biasanya merupakan jalan berbatu kapur ataupun jalan dengan aspal namun kondisinya tidak sebaik jalan utama. Sarana pendidikan di Desa Pamotan meliputi lima Sekolah Dasar (SD) dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kondisi bangunan SMP relatif sudah cukup baik. Begitu pula kondisi bangunan SD di desa ini secara umum juga cukup layak walaupun di beberapa sekolah masih terdapat bangunan tua yang perlu
46
direnovasi. Sementara itu, untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) belum tersedia di desa ini, namun tidak tidak jauh dari desa terdapat sebuah SMK dimana biasanya anak-anak Desa Pamotan melanjutkan pendidikan. Sarana ibadah berupa masjid dan mushola sudah terlihat tersebar merata di seluruh dusun. Secara keseluruhan, Desa Pamotan memiliki delapan buah bangunan masjid dan bangunan mushola. Tidak terdapat sarana peribadatan lainnya, karena seluruh masyarakat Desa Pamotan merupakan pemeluk agama Islam. Sarana kesehatan yang ada di desa ini meliputi lima buah posyandu, satu buah puskesmas pembantu dan sebuah pos malaria. Keberadaan pos malaria di desa ini sangat penting karena Desa Pamotan merupakan salah satu desa yang dengan ancaman malaria yang cukup tinggi. Sarana perikanan ada di Desa Pamotan meliputi dua unit tempat pelelangan ikan (TPI) yang masing-masing berada di Ciawitali dan Majingklak. TPI ini berfungsi sebagai tempat pengumpulan hasil tangkapan nelayan untuk dijual kepada penampung. TPI biasanya berkorelasi dengan KUB (kelompok usaha bersama) nelayan ataupun koperasi nelayan. Di Desa Pamotan ini belum terdapat koperasi nelayan, namun sudah ada KUB di Ciawitali dan Majingklak yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala RN (rukun nelayan).
4.5
Mata Pencaharian Masyarakat Desa Pamotan secara umum merupakan masyarakat agraris
dengan budaya pertanian yang masih melekat pada masyarakatnya. Sebagian besar masyarakat masih mencari nafkah dengan pola ekstraksi sumberdaya alam yang ada di lingkungan mereka. Hal ini ditunjukan oleh banyaknya jumlah masyarakat yang bekerja sebagai petani dan nelayan. Berikut disajikan jumlah penduduk Desa Pamotan menurut mata pencaharian :
47
Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian No.
Mata Pencaharian
Jumlah (jiwa)
(persen)
1.
Karyawan (pegawai negeri sipil, ABRI/TNI, dan pegawai swasta)
90
5,3
2.
Wiraswasta/Pedagang
165
9,7
3.
Tani dan Buruh Tani
746
43,7
4.
Pertukangan
168
9,8
5.
Pensiunan
17
1,0
6.
Nelayan
493
28,9
7.
Pemulung
4
0,2
8.
Jasa
23
1,3
1706
100
Total
Sumber : Data Monografi Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Ciamis, 2010
Pertanian di Desa Pamotan didominasi oleh pertanian padi sawah dengan sistem irigasi. Terdapat saluran irigasi sepanjang dua ribu meter yang mengaliri sawah-sawah di Desa Pamotan Selain padi, hasil produksi pertanian yang berasal dari desa ini antara lain adalah jagung, ketela pohon, kacang-kacangan, kelapa, kopi, coklat serta berbagai buah-buahan seperti pisang dan salak. Namun secara keseluruhan hasil produksi padi masih sangat mendominasi dan mempengaruhi budaya pertanian masyarakat Desa Pamotan. Beberapa masyarakat juga berternak ayam kampung, itik, kambing, domba, sapi serta kelinci. Selain menjadi komoditas peternakan yang cukup menghasilkan, kotoran ternak ini juga kemudian diolah oleh petani untuk menjadi pupuk kompos yang tidak hanya digunakan untuk lahan pertaniannya sendiri namun melalui wadah kelompok tani, masyarakat Desa Pamotan telah mampu memproduksi pupuk kompos untuk dijual keluar dari desanya.
BAB V SOSIO-EKOLOGI NELAYAN
5.1 Kondisi Umum Sosio-Ekologi Nelayan Berbeda dengan sosiologi pedesaan yang berbasis pada society, sebagaimana dijelaskan oleh Satria (2002) sosiologi masyarakat pesisir direkonstruksi dari basis sumberdaya. Masyarakat pesisir merupakan masyarakat dengan ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir. Berbagai sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir merupakan sumber kehidupan masyarakat yang kemudian mempengaruhi terbentuknya karakter masyarakat tersebut. Sebagian besar masyarakat Dusun Ciawitali menggantungkan hidup dari pola-pola ekstraksi sumberdaya alam yang berada di wilayah pesisir Ciawitali. Terdapat tiga tipe topografi yang masing-masing memiliki potensi sumberdaya alam yang berbeda di Dusun Ciawitali. Berbagai sumberdaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Tipe Topografi, Karakter dan Potensi Sumberdaya Dusun Ciawitali Tipe Topografi
Karakter
Potensi Sumberdaya
Pantai
wilayah perairan yang berbagai jenis ikan, udang, sudah
mulai tercemar
kepiting,
oleh
lumpur
kerang-kerangan.
serta
cumi-cumi
serta
sampah yang terbawa aliran sungai Mangrove
berbagai kerang-kerangan, ikan belanak, kepiting, udang
Bebukitan
tanah berkapur
kebun
palawija
dan
kebun
tanaman kayu (jati dan sengon) Dataran Rendah
rawa-rawa
sawah dan kolam ikan air tawar
Di wilayah pantai, dapat ditemui kawasan mangrove dengan berbagai potensi sumberdaya alam, salah satunya yang bernilai ekonomis cukup tinggi yaitu kepiting bakau. Banyak masyarakat Ciawitali yang bekerja sebagai pencari
49
kepiting. Hal ini dilakukan baik oleh petani disela-sela waktu tanam padi, juga oleh nelayan jika cuaca tidak memungkinkan untuk mencari ikan ke tengah lautan. Di wilayah bebukitan terdapat lahan yang biasanya ditanami oleh masyarakat dengan berbagai macam tanaman palawija seperti singkong dan jagung. Selain itu, masyarakat juga menanam pisang, kelapa serta berbagai tanaman kayu seperti sengon dan jati. Dataran rendah Ciawitali cenderung didominasi oleh lahan basah berupa rawa-rawa. Sebagian besar masyarakat memanfaatkannya sebagai lahan pertanian padi sawah. Kondisi ekologi semacam ini memberi peluang nafkah bagi masyarakat pesisir tersebut. Profesi nelayan di Ciawitali didominasi oleh tani-nelayan. Luasnya lahan yang terdapat di Ciawitali memicu masyarakat memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan pertanian. Sedangkan melimpahnya sumberdaya yang ada di wilayah perairan juga menarik masyarakat untuk mencari ikan dan tangkapan lainnya. Hal ini menyebabkan petani di Ciawitali biasanya juga turut mencari ikan ketika tiba musim-musim melaut dan mendominasi populasi nelayan di musim-musim banyaknya ikan tersebut. Sementara dari sekian banyak para pencari ikan (nelayan) di Dusun Ciawitali, hanya sekitar sepuluh persen saja diantaranya yang benar-benar nelayan penuh, sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang tokoh nelayan, JA (38 tahun): “….kalau di musim-musim seperti ini (paceklik) setiap hari hanya satu atau dua perahu saja yang turun mencari ikan, dari sekitar 20-an perahu nelayan yang ada di Ciawitali. Nelayan lainnya hanya turun di musim-musim ketika ikan sudah mulai banyak. Kalau saat ini mereka biasanya lebih memilih untuk bekerja di kebun atau di sawah.”
Hal senada juga diungkapkan oleh WG (40 tahun) selaku ketua Rukun Nelayan (RN) di Ciawitali: “....jumlah nelayan yang terdata di KUB (kelompok usaha bersama) Putra Kendal Ciawitali saat ini memang sebanyak seratus sepuluh orang. Namun tidak bisa dipastikan mereka masih aktif melaut. Perkiraan saya hanya sekitar sepuluh persennya saja yang masih aktif. Kebanyakan sudah beralih profesi, karena hasil yang diperoleh dari laut tidak lagi mencukupi untuk kehidupan sehari-hari.”
Nelayan penuh yang didefinisikan oleh Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (2007) yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya
digunakan
untuk
melakukan
pekerjaan
operasi
penangkapan
50
ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Nelayan penuh di Ciawitali juga diartikan sebagai nelayan yang tidak beralih profesi ketika musim paceklik tiba. Nelayan seperti ini jika cuaca tidak memungkinkan untuk mencari ikan biasanya tetap menunggu dan mencari celah untuk dapat pergi ke laut. Jika musim paceklik tiba, mereka tetap mencari ikan ataupun mencari alternatif tangkapan lainnya. Para nelayan penuh di Ciawitali biasanya juga melakukan ekspansi wilayah tangkapan dan aktif mencari informasi dari satu nelayan ke nelayan lainnya tentang lokasilokasi penangkapan ikan yang berpotensi pada saat itu.
5.2 Karakteristik Nelayan Karakteristik masyarakat nelayan Ciawitali sebagai representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi dapat dilihat dari berbagai aspek berdasarkan uraian Satria (2002) tentang karakteristik masyarakat pesisir: 1) Sistem Pengetahuan Sistem pengetahuan serta teknik-teknik penangkapan ikan yang diterapkan oleh nelayan Ciawitali merupakan pengetahuan yang diperoleh secara turun-temurun dan hasil pengalaman empirik dari nelayan-nelayan sebelumnya. Pengetahuan ini telah menjadi kekayaan intelektual berupa pengetahuan lokal (indigenous knowledge) masyarakat setempat. Sistem pengetahuan yang diterapkan oleh masyarakat nelayan Ciawitali dalam musim penangkapan ikan berupa sistem penanggalan yang biasa disebut Pranata Mangsa atau tata masa. Setiap mangsa memiliki artinya masingmasing. Adapun susunan Pranata Mangsa tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.
51
Tabel 9. Pranata Mangsa
Mangsa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Awal 22 Juni 2 Agustus 25 Agustus 18 September 13 Oktober 9 November 22 Desember 3 Februari 1 Maret 26 Maret 19 April 12 Mei
Akhir 1 Agustus 24 Agustus 17 September 12 Oktober 8 November 21 Desember 2 Februari 29 Februari 25 Maret 18 April 11 Mei 21 Juni
Musim penangkapan ikan biasanya dimulai pada mangsa empat hingga mangsa enam. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan lokal masyarakat Ciawitali yang beranggapan bahwa musim mijah ikan-ikan berlangsung pada mangsa-mangsa tersebut. Sebagaimana pendapat seorang sesepuh desa HD (61): “....nelayan di sini biasa melaut pada mangsa kapat (empat) sampai mangsa enam. Karena dari mangsa kapat sampai mangsa enam itu musim mijahnya ikan, jadi banyak ikan-ikan yang ke pinggir.”
Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat para nelayan yang hampir seluruhnya menjawab: “…musim menangkap ikan biasanya memang jatuh pada mangsa empat sampai mangsa enam. Bulan-bulan yang berakhiran dengan –ber. September, Oktober, sampai Desember.”
Perhitungan Pranata Mangsa ini juga disertai dengan pengetahuan lokal berupa perhitungan masa ngember atau pasang-surut air lautan. Para nelayan Ciawitali menghitung periode ngember terbagi menjadi empat periode dalam setiap satu mangsa dimana terdapat dua periode surut (ngember) dan dua periode pasang yang saling bergantian. Perhitungan pasang-surut air laut ini juga mempengaruhi kegiatan melaut para nelayan. Terlebih kondisi ekosistem di sekitar perairan Ciawitali yang telah
52
mengalami pendangkalan akibat sedimen yang terbawa aliran sungai Citanduy. 2) Kepercayaan Menurut
Satria
(2002) secara
teologi,
nelayan
masih memiliki
kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Demikian pula pada nelayan Ciawitali. Pada masa-masa ketika terjadi panen raya, atau hasil tangkapan yang melimpah secara serempak dialami oleh nelayan melakukan ritual Berkah Bumi sebagai ungkapan syukur kepada alam semesta. 3) Peran Wanita Selain dalam urusan domestik rumah tangga, peran wanita juga merupakan satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian nelayan. Seringkali para suami (nelayan) melakukan perjalanan mencari ikan (melaut) selama berhari-hari. Di masa-masa ini, biasanya para istri nelayan akan berinisiatif mencari hasil tangkapan di wilayah mangrove, seperti ikan belanak, kepiting serta kerang-kerangan. Hasil tangkapan ini biasanya menjadi konsumsi rumah tangga selama menunggu para nelayan kembali dari melaut. Sekembalinya nelayan dari melaut, para istri nelayan juga biasanya menunggu langsung di lokasi pelelangan ikan. Hal ini tidak hanya semata-mata tugas moral menyambut suami sepulang melaut, namun juga berperan dalam tawar-menawar dengan tengkulak serta memastikan keamanan hasil tangkapan dari pencuri-pencuri ikan di TPI (Tempat Pelelangan Ikan). 4) Struktur Sosial Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi perikanan nelayan Ciawitali seperti layaknya struktur hubungan produksi di kebanyakan lingkungan nelayan di wilayah lainnya di Indonesia. Struktur ini dicirikan oleh kuatnya ikatan patron-klien. Menurut Satria (2002) kuatnya ikatan tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Hubungan para nelayan (kien) dengan tengkulak atau bos (patron) tidak hanya sebatas hubungan
53
produksi, dimana nelayan menjual ikan kepada tengkulak. Ketergantungan nelayan kepada tengkulak timbul karena pada musim paceklik, para tengkulak memberikan pinjaman kepada nelayan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Hal ini kemudian menimbulkan ikatan sosial yang kuat dimana para nelayan memiliki loyalitas yang tinggi kepada tengkulak tersebut bukan semata-mata karena kewajibannya membayar pinjaman. 5) Posisi Sosial Nelayan Posisi sosial nelayan Ciawitali tidak berbeda jauh dengan posisi sosial nelayan di banyak tempat di Indonesia, yaitu berada dalam status yang cenderung lebih rendah. Keterasingan serta keterbatasan kapital yang dimiliki oleh nelayan menjadi faktor yang mempengaruhi rendahnya status sosial nelayan ini. Secara geografis, perkampungan nelayan Ciawitali berada cukup jauh dari wilayah pemukiman masyarakat bukan nelayan. Hal ini disertai dengan alokasi waktu keluarga nelayan yang tinggi terhadap usaha perikanan menyebabkan rendahnya interaksi masyarakat nelayan dengan masyarakat bukan nelayan.
5.3
Pola Produksi Nelayan Pola perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan Ciawitali masih
dilakukan dengan pola-pola tradisional. Jika dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi berdasarkan empat tingkatan penggolongan nelayan oleh Satria (2002), nelayan Ciawitali tergolong nelayan Post-peasant fisher, yaitu nelayan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seiring dengan perkembangan motorisasi perikanan. Orientasi penangkapan ikan tidak lagi hanya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence), melainkan orientasi pasar. Dengan daya tangkap yang lebih besar dibanding peasant fisher dan surplus dari hasil tangkapan itu, nelayan jenis ini sudah berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar, serta tenaga kerja di setiap perahu nelayan tidak bergantung pada anggota keluarga saja. Penjualan hasil tangkapan nelayan dilakukan di TPI (tempat pelelangan ikan) KUB Putra Kendal Ciawitali. Setiap pagi atau di waktu-waktu nelayan
54
pulang dari melaut biasanya di TPI tersebut para bos (tengkulak) sudah menunggu untuk membeli hasil tangkapan nelayan. Setiap nelayan memiliki bos-nya masingmasing. Kebanyakan nelayan biasanya setia pada satu bos dan hubungan yang terjalin memang cukup erat. Menurut Satria (2002) kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Pada masa-masa paceklik biasanya bos memberikan pinjaman kepada nelayan. Konsekuensinya ketika musim ikan telah tiba nelayan secara tidak
langsung
wajib
menjual
tangkapannya
kepada
bos
yang
telah
memberikannya pinjaman tersebut.
5.3.1 Armada dan Peralatan Tangkap Armada yang digunakan oleh nelayan Ciawitali untuk penangkapan ikan hingga saat ini berupa perahu fiber sepanjang sembilan meter dan lebar sekitar satu meter. Di kanan dan kiri badan perahu terdapat penyeimbang yang terbuat dari kayu ataupun bambu. Sebagai sumber tenaga digunakan mesin tempel berkekuatan 15 PK dengan bahan bakar bensin. Dalam satu kali pelayaran mencari tangkapan, nelayan minimal menghabiskan sebanyak sepuluh liter bensin per hari. Total jumlah perahu nelayan yang terdapat di Ciawitali adalah dua puluh lima perahu. Masing-masing perahu dimiliki oleh seorang nelayan. Dalam sekali melaut biasanya terdapat empat sampai lima nelayan di satu perahu, sehingga biaya operasional untuk melaut ditanggung bersama dari hasil penangkapan ikan. Peralatan tangkap yang digunakan oleh nelayan Ciawitali umumnya berupa jaring dan pancing. Ukuran jaring dan pancing ini berbeda-beda tergantung dari tangkapan yang dicarinya. Perbedaan berbagai jenis alat tangkap ini dapat dilihat pada tabel 10.
55
Tabel 10. Jenis Alat Tangkap (Jaring dan Pancing) Jenis Alat Tangkap Pancing Jaring
Jenis Tangkapan
kail no.7 dan senar no. 500
kakap, kerapu
kail no.8-9 dan senar no. 200
layur
mata jaring berukuran 2 inci
layur
jaring sirang atau jaring dengan ukuran bawal mata jari 5-6 inci
(ikan
yang
berukuran lebih besar)
5.3.2 Pemetaan Wilayah Tangkapan Komunitas nelayan yang menempati satu lokasi pada suatu daerah umumnya memiliki wilayah penangkapan ikan (fishing ground) tertentu. Wilayah penangkapan ini merupakan daerah jelajah atau area tetap bagi nelayan dalam usahanya mencari ikan. Di Ciawitali sendiri terdapat wilayah penangkapan telah dijelajahi nelayan selama bertahun-tahun. Hal ini terjadi sebagai suatu proses adaptasi yang dilakukan nelayan dalam mengahadapi kondisi ekologi wilayah perairan tersebut. Selain banyaknya tangkapan yang dapat dihasilkan, penentuan wilayah tangkapan ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain diantaranya yaitu gelombang dan arah angin yang sangat mempengaruhi keamanan nelayan dalam aktivitas pencarian tangkapan. Nelayan Ciawitali masih menggunakan cara-cara tradisional dalam menentukan wilayah penangkapan, seperti melihat kumpulan ikan-ikan kecil di permukaan air untuk memperkirakan banyaknya ikan-ikan besar yang ada di bawahnya. Penggunaan teknik-teknik yang lebih modern, seperti memanfaatkan informasi dari satelit oseanografi sama sekali belum dilakukan oleh nelayan. Hal ini terkendala oleh tingkat pengetahuan nelayan yang rendah serta minimnya keterdedahan nelayan terhadap media untuk mengakses informasi tersebut. Area penangkapan ikan nelayan Ciawitali sendiri berkisar di antara pesisir barat Pulau Nusa Kambangan. Ini merupakan lokasi aman bagi nelayan untuk mencari ikan terutama ketika datangnya musim angin timur. Angin merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kegiatan melaut para nelayan. Bahaya yang besar dapat menimpa nelayan akibat datangnya angin dengan intensitas yang tinggi. Jika musim angin timur tiba, nelayan dapat dengan aman
56
mencari ikan di wilayah pesisir Barat Nusa Kambangan karena pulau tersebut meredam angin yang datang dari arah timur. Sedangkan pada musim angin barat, seluruh wilayah tangkapan nelayan terkena hembusan angin dari arah barat yang terbuka. Hal ini menjadi kendala yang cukup serius, sebagaimana diungkapkan oleh salah satu nelayan, NR (37 tahun) : “….kalau datang musim angin barat, nelayan yang ke laut sedikit sekali, malah hampir tidak ada. Semua wilayah kena angin, jadi bahaya sekali kalau memaksakan tetap pergi ke laut.”
Kendala yang terjadi akibat datangnya musim angin barat ini kemudian memicu terjadinya ekspansi (perluasan) wilayah tangkapan ke bagian selatan Pulau Nusa Kambangan. Nelayan yang bertekad kuat untuk tetap mencari ikan serta nelayan dengan nyali yang cukup tinggi saja yang biasanya mampu melewati gelombang laut yang besar dari tiupan angin barat ini untuk mencapai wilayah perairan di sebelah selatan Pulau Nusa Kambangan. Salah satunya adalah JA (38 tahun) : “….bisa saja kalau mau memaksakan tetap melaut di musim angin barat. Perahu dibawa melipir di pinggiran pulau dan tentu harus sangat berhati-hati untuk mencapai wilayah sebelah selatan ke arah timur Nusa Kambangan. Tapi biasanya jarang sekali yang mau sampai begitu. Selain berbahaya, ongkos (bensin yang dibutuhkan) juga harus besar.”
57
Gambar 3. Peta Wilayah Tangkapan Nelayan Ciawitali3
Gambar 3 di atas memperlihatkan lokasi penangkapan ikan nelayan Ciawitali yang terlindung dari terpaan angin timur. Jalur yang digunakan oleh nelayan untuk mencapai wilayah penangkapan ikan ini ditandai dengan garis berwarna merah. Jalur ini diawali dengan sebuah sungai kecil yang berada di tengah hamparan rawa-rawa dan kawasan mangrove yang masih merupakan wilayah Dusun Ciawitali. Berdasarkan keterangan masyarakat, kondisi mangrove ini tiap tahun semakin bertambah kerusakannya. Apabila menyusuri sungai tersebut dapat terlihat banyak sekali bekas-bekas pohon bakau yang telah ditebang sehingga kerusakan yang terjadi di wilayah mangrove ini semakin tampak jelas. Sungai kecil yang biasa dilewati oleh nelayan ini adalah Sungai Ciawitali. Pada waktu-waktu tertentu ketika air surut, sungai ini sama sekali tidak dapat dilewati sehingga para nelayan harus mendorong perahunya beberapa meter. Selain kedangkalan sungai, terdapat pula penumpukan sampah di sepanjang aliran sungai menuju laut ini. Tidak jarang baling-baling mesin perahu nelayan tersangkut oleh sampah dalam perjalanan.
2
Dasar peta wilayah ini merupakan foto satelit yang diperoleh dari situs Google Earth
58
Pelawangan merupakan sebuah celah yang terbentuk dari dua buah daratan yang berdekatan. Pelawangan ini adalah ujung atau pintu terakhir dari jalur yang dilalui oleh nelayan sebelum mencapai lautan lepas. Di celah ini terdapat beberapa gugusan karang besar yang menjadi pembatas pintu keluar perahu nelayan. Pada waktu-waktu tertentu ketika gelombang laut sedang besar, perahu nelayan tidak dapat melewati celah ini. Hal ini menjadi satu kendala yang cukup serius sebab nelayan akan tidak dapat melaut sama sekali ketika gelombang besar dan menutup akses nelayan untuk mencapai wilayah penangkapan.
5.3.3 Musim Penangkapan Ikan Pemanfaatan wilayah laut sebagai penghasil sumberdaya perikanan tangkap tidak hanya membutuhkan kemampuan nelayan serta armada yang digunakan
untuk
memperoleh
tangkapan.
Untuk
itu
dibutuhkan
pula
pertimbangan beberapa faktor yang menentukan waktu-waktu yang tepat untuk pergi ke laut. Salah satu faktor yang paling menentukan untuk melaut atau tidaknya nelayan adalah faktor cuaca dan iklim. Pada suatu komunitas nelayan biasanya terdapat musim penangkapan ikan yang ditetapkan sendiri oleh para nelayan tersebut dengan menyesuaikan kondisi cuaca ataupun iklim serta keberadaan ikan-ikan di wilayah penangkapan mereka. Faktor-faktor iklim tersebut yang selama ini mempengaruhi kegiatan melaut para nelayan Ciawitali adalah musim hujan, musim kemarau, angin timur, angin barat, dan tingginya gelombang. Musim hujan berpengaruh pada kegiatan melaut para nelayan sebab hujan di wilayah laut cenderung berkorelasi dengan kemungkinan terjadinya badai. Kebanyakan nelayan enggan untuk melaut ketika mendekati puncak musim hujan untuk menghindari resiko terkena badai di lautan. Sedangkan musim kemarau merupakan momentum nelayan untuk melakukan kegiatan melaut mengingat kemungkinan terjadinya angin kencang dan gelombang besar yang membahayakan kegiatan mencari ikan cenderung lebih kecil. Seperti telah dijelaskan bada sub-bab sebelumnya, angin timur dan angin barat memerikan pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan nelayan. Angin barat merupakan hambatan bagi nelayan Ciawitali untuk melaut, sedangkan musim angin timur merupakan momentum nelayan untuk pergi ke laut karena
59
wilayah tangkapan yang terhalang Nusa Kambangan di sebelah timurnya. Faktor terakhir yang mempengaruhi adalah tingginya gelombang. Selain dapat berakibat buruk pada kegiatan nelayan jika gelombang tinggi datang secara tiba-tiba, gelombang tinggi ini juga merupakan penghambat bagi nelayan Ciawitali untuk melintasi Pelawangan sebelum mencapai laut lepas. Berikut disajikan kalender musim nelayan Ciawitali yang diperoleh dengan melakukan FGD (focused group discussion) bersama para nelayan di Ciawitali.
Gambar 4. Kalender Musim Nelayan Ciawitali
Gambar 4 memperlihatkan musim penangkapan ikan nelayan Ciawitali yang berkisar antara bulan Juli hingga November. Intensitas pencarian ikan yang tinggi yang dilakukan oleh nelayan Ciawitali jatuh pada bulan Agustus hingga Oktober. Hal ini juga diimbangi oleh hasil tangkapan yang melimpah pada bulanbulan tersebut. Musim penangkapan ikan sebenarnya sudah dimulai pada bulan Juli, mengingat cuaca yang mendukung kegiatan pencarian ikan dimana bulan Juli merupakan musim angin timur dan awal musim kemarau. Namun biasanya pada bulan tersebut ikan yang didapat tidak sebanyak ikan yang didapat pada bulan
60
Agustus hingga Oktober. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi di bulan November dimana musim ikan masih berlangsung pada bulan ini. Namun nelayan mengalami kendala untuk melaut akibat gelombang tinggi yang biasanya terjadi di bulan November. Bulan November ini juga mendekati puncak angin barat sehingga nelayan sulit untuk melaut, walaupun ikan yang terdapat di lautan masih cukup banyak.
BAB VI KARAKTERISTIK DAN PERILAKU KOMUNIKASI RESPONDEN PENELITIAN
6.1
Karakteristik Responden Penelitian Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang secara personal melekat pada
individu responden penelitian yang keseluruhannya merupakan nelayan di Dusun Ciawitali. Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi usia, pendidikan, lama tinggal di Ciawitali, pengalaman nelayan serta klasifikasi nelayan. Pemilihan kelima variabel ini berdasarkan kebutuhan data yang nantinya akan dianalisis kaitannya dengan persepsi nelayan terhadap perubahan iklim.
6.1.1 Usia Usia adalah lama hidup responden dari sejak lahir sampai dengan saat dilakukannya penelitian. Jumlah dan persentase usia responden berdasarkan survai dapat dilihat dalam Tabel 11. Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia Usia
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Usia muda (<41 tahun)
27
57,4
Usia tua (≥41 tahun)
20
42,6
Total
47
100,0
Usia responden bervariasi mulai dari usia termuda yaitu 27 tahun dan usia tertua yaitu 59 tahun. Berdasarkan data keseluruhan, diketahui usia rata-rata responden yaitu 41 tahun. Dengan demikian, penggolongan usia responden dibagi menjadi responden muda dengan usia kurang dari 41 tahun dan usia tua lebih dari atau sama dengan 41 tahun. Jumlah responden dengan usia muda adalah 27 orang dan merupakan 57,4 persen responden, dan responden dengan usia tua sebanyak 20 orang atau 42,6 persen dari keseluruhan responden.
62
6.1.2 Pendidikan Pendidikan adalah tingkat belajar formal yang pernah dilalui oleh responden. Jumlah dan persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat dalam Tabel 12. Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan Pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah (tamat atau tidak tamat SD)
35
74,5
Sedang (tamat SMP)
10
21,3
Tinggi (tamat SMA)
2
4,3
Total
47
100,0
Berdasarkan data hasil survai terhadap 47 orang nelayan, diketahui 35 orang nelayan atau 74,5 persen responden tergolong dalam kategori berpendidikan rendah, yaitu hanya mencapai jenjang Sekolah Dasar. Sebanyak 10 orang nelayan atau 21,3 persen responden berpendidikan sedang, yaitu tamat Sekolah Menengah Pertama dan hanya 2 orang nelayan atau 4,3 persen responden saja yang tergolong berpendidikan tinggi, atau tamat Sekolah Menengah Atas.
6.1.3 Lama Tinggal di Ciawitali Lama tinggal di Ciawiali adalah jumlah waktu yang telah dilalui oleh responden menempati tempat tinggalnya di Ciawitali. Seberapa jauh seseorang mengetahui kondisi wilayah tempat tinggal serta perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya dipengaruhi oleh lamanya waktu tinggal yang telah dilaluinya di wilayah tersebut. Jumlah dan persentase responden berdasarkan lamanya waktu tinggal di Ciawitali dapat dilihat dalam Tabel 13.
63
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lamanya Tinggal di Ciawitali Lama Tinggal
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah (≤ 15 tahun)
13
27,7
Tinggi (> 15 tahun)
34
72,3
Total
47
100,0
Berdasarkan survai yang dilakukan terhadap 47 orang nelayan Ciawitali, diketahui 13 orang nelayan atau 27,7 persen responden tinggal di wilayah Ciawitali kurang dari atau selama 15 tahun. Sebanyak 34 orang nelayan atau 72,3 responden lainnya telah tinggal di Ciawitali lebih dari 15 tahun. Hal ini sekaligus merepresentasikan masyarakat Ciawitali yang sebagian besar merupakan penduduk asli setempat.
6.1.4 Pengalaman Nelayan Pengalaman nelayan adalah lamanya responden bekerja sebagai nelayan. Semakin lama seseorang bekerja sebagai nelayan diduga mempengaruhi pengetahuannya mengenai kondisi ekosistem laut serta perubahannya yang mempengaruhi aktivitas pencarian hasil tangkapan. Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalamannya sebagai nelayan dapat dilihat dalam Tabel 14. Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengalaman Bekerja Sebagai Nelayan Pengalaman Nelayan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah (≤ 15 tahun)
19
40,4
Tinggi (> 15 tahun)
28
59,6
Total
47
100,0
Sebagaimana responden yang sebagian besar telah menghabiskan waktu yang cukup lama tinggal di wilayah Ciawitali, cukup banyak pula responden yang telah menghabiskan waktu dalam hidupnya bekerja sebagai nelayan. Dari 47
64
orang responden, diperoleh data bahwa 19 orang diantaranya atau sebesar 40,4 persen responden bekerja sebagai nelayan kurang dari atau selama 15 tahun. Sedangkan 28 orang atau 59,6 persen responden sisanya telah bekerja sebagai nelayan selama lebih dari 15 tahun. Hal ini menunjukkan pengalaman nelayan yang dirasa cukup tinggi untuk mengetahui kondisi ekosistem serta perubahan yang terjadi di wilayah pesisir yang merupakan lokasinya mencari ikan dan hasil tangkapan laut lainnya.
6.1.5 Klasifikasi Nelayan Klasifikasi nelayan adalah penggolongan nelayan berdasarkan prioritasnya bekerja sebagai nelayan dibandingkan dengan pekerjaan lain yang ditekuninya. Klasifikasi nelayan ini terbagi menjadi tiga, yaitu nelayan penuh, nelayan sambilan utama, dan nelayan musiman. Jumlah dan persentase responden berdasarkan klasifikasi nelayan dapat dilihat dalam Tabel 15. Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Klasifikasi Nelayan Klasifikasi Nelayan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Nelayan Penuh
15
31,3
Nelayan Sambilan Utama
13
27,7
Nelayan Musiman
19
40,4
Total
47
100,0
Sebanyak 15 orang nelayan atau 31,3 persen responden termasuk dalam kategori nelayan penuh, yaitu orang yang berprofesi sebagai nelayan, tidak memiliki pekerjaan lain selain nelayan dan mengalokasikan waktu kerja sepenuhnya untuk kegiatan mencari hasil tangkapan di laut. Sebanyak 13 orang nelayan atau 27,7 persen responden termasuk dalam kategori nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang memiliki pekerjaan lain sebagai nelayan, namun masih memprioritaskan kegiatan pencarian ikan dan tangkapan laut lainnya sebagai pekerjaan utamanya. Sedangkan 19 orang nelayan atau 40,4 persen responden merupakan nelayan musiman, yaitu seseorang yang melakukan kegiatan pencarian ikan dan tangkapan laut lainnya hanya di musim-musim tertentu ketika kondisi
65
perairan cukup menjanjikan untuk memperoleh tangkapan yang menguntungkan. Nelayan musiman ini biasanya adalah petani yang bekerja sampingan sebagai nelayan ketika musim ikan tiba. Dari keseluruhan populasi nelayan, baik yang terdata dalam data monografi desa maupun data KUB (Kelompok Usaha Bersama) Putra Kendal Ciawitali, sebagian besar adalah nelayan musiman. Bahkan banyak pula diantaranya yang saat ini sudah sama sekali tidak melakukan pencarian ikan maupun tangkapan laut lainnya, namun masih terdata sebagai nelayan di data monografi maupun data KUB tersebut.
6.2
Perilaku Komunikasi Responden Penelitian Perilaku komunikasi adalah aktifitas responden dalam membuka diri dan
upaya mencari informasi yang bersifat inovatif serta informasi lingkungan dan iklim melalui saluran komunikasi yang tersedia. Perilaku komunikasi tersebut meliputi
kepemilikan
media,
keterdedahan
terhadap
media
elektronik,
keterdedahan terhadap media cetak, dan fungsi komunikasi interpersonal.
6.2.1 Kepemilikan Media Kepemilikan media adalah banyaknya peralatan media komunikasi informasi yang dimiliki oleh responden. Media komunikasi ini meliputi televisi, radio, media cetak (koran atau majalah) dan buku atau bahan bacaan mengenai lingkungan. Jumlah media yang dimiliki oleh responden (nelayan) merupakan suatu langkah awal yang cukup berperan dalam masuknya informasi kepada nelayan. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan media atau jumlah media yang dimiliki dapat dilihat dalam Tabel 16. Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kepemilikan Media Kepemilikan Media
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah (1 sampai 2 media)
44
93,6
Tinggi (2 sampai 3 media)
3
6,4
Total
47
100,0
66
Sebanyak 44 orang nelayan atau 93,6 responden hanya memiliki 1 atau 2 media komunikasi saja. Sedangkan kepemilikan media yang tinggi, atau responden yang memiliki 2 sampai 3 media hanyalah 3 orang atau 6,4 persen dari keseluruhan responden.
6.2.2 Keterdedahan terhadap Media Elektronik Keterdedahan terhadap media elektronik adalah frekuensi responden menyimak radio dan televisi per minggunya serta pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media elektronik tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap media elektronik ini merupakan penjumlahan dari skor frekuensi responden mendengarkan radio per minggu, frekuensi responden menyimak televisi per minggu serta pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media elektronik tersebut. Jumlah dan persentase responden berdasarkan keterdedahan terhadap media elektronik dapat dilihat dalam Tabel 17. Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keterdedahan terhadap Media Elektronik Keterdedahan Terhadap Media Elektronik
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah
33
70,2
Tinggi
14
29,8
Total
47
100,0
Lebih dari separuh responden, yaitu sebanyak 33 orang atau 70,2 persen merupakan responden dengan tingkat keterdedahan terhadap media elektronik yang cukup rendah. Sedangkan 29,8 persen, atau 14 orang responden saja yang memiliki keterdedahan terhadap media elektronik yang tinggi. Keterdedahan terhadap media komunikasi elektronik dapat mempengaruhi sampainya berbagai macam informasi ke dalam komunitas nelayan. Informasi dari berbagai macam media ini dapat menjadi sarana nelayan dalam menambah pengetahuannya, baik
67
untuk mengantisipasi maupun untuk bereaksi terhadap perubahan yang terjadi di wilayahnya.
6.2.3 Keterdedahan terhadap Media Cetak Keterdedahan terhadap media cetak adalah frekuensi responden membaca media cetak (koran/majalah/buku) per minggunya serta pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media cetak tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap media cetak ini merupakan penjumlahan dari skor frekuensi responden membaca media cetak per minggu, dan pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media cetak tersebut. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat keterdedahan terhadap media cetak ini dapat dilihat dalam Tabel 18. Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Keterdedahan terhadap Media Cetak Keterdedahan Terhadap Media Cetak
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah
46
97,9
Tinggi
1
2,1
Total
47
100,0
Hampir seluruh responden dalam penelitian ini diketahui memiliki keterdedahan terhadap media cetak yang rendah. Hanya satu orang atau 2,1 persen responden saja yang memiliki keterdedahan terhadap media cetak yang tinggi. Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keterdedahan nelayan yang rendah terhadap media cetak ini. Kegiatan pencarian ikan di laut merupakan suatu kegiatan yang penuh dengan ketidakpastian. Nelayan tidak selalu dapat mengalokasikan waktunya setiap minggu untuk membaca. Terlebih kualitas pendidikan yang cenderung lebih rendah di kalangan nelayan tidak menumbuhkan budaya gemar membaca. Serta lokasi pemukiman nelayan yang cenderung terisolasi dan berada jauh dari perkotaan mengakibatkan akses masuknya media cetak berupa koran atau harian berita terhambat.
68
6.2.4 Fungsi Komunikasi Interpersonal Fungsi komunikasi interpersonal adalah aktifitas responden dalam mencari informasi mengenai perubahan iklim melalui media komunikasi interpersonal. Jumlah dan persentase responden berdasarkan fungsi komunikasi interpersonal dapat dilihat dalam Tabel 19. Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Fungsi Komunikasi Interpersonal Fungsi Komunikasi Interpersonal
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah
17
36,2
Tinggi
30
63,8
Total
47
100,0
Fungsi komunikasi yang rendah menunjukkan bahwa responden tidak bersikap aktif dalam mencari informasi perubahan iklim melalui media komunikasi interpersonal. Dalam hal ini, responden dapat berarti tidak pernah ataupun tidak tertarik membicarakan perubahan iklim bersama orang lain. Berdasarkan data survai yang dilakukan kepada 47 orang responden, diketahui sebanyak 17 orang nelayan atau 36,2 persen responden memiliki fungsi komunikasi interpersonal yang rendah. Sedangkan 30 orang sisanya, atau 63,8 persen responden tergolong memiliki fungsi komunikasi interpersonal yang tinggi. Dalam hal ini responden dinyatakan aktif berbagi informasi bersama individu ataupun kelompok lain tentang perubahan iklim.
BAB VII PERSEPSI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SERTA PERILAKU KOMUNIKASI NELAYAN
7.1
Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim adalah penafsiran nelayan
terhadap perubahan-perubahan ekologis yang terjadi akibat perubahan iklim. Pengukuran persepsi dilihat melalui pernyataan-pernyataan yang mengandung komponen kognitif meliputi sepuluh pernyataan tentang pengalaman dan pengetahuan responden mengenai perubahan iklim. Persepsi terhadap perubahan iklim yang tinggi menunjukkan bahwa responden telah mempersepsikan terjadinya perubahan iklim dan perubahan ekologis wilayah pesisir Ciawitali serta dampak dari perubahan tersebut yang mempengaruhi kegiatan pencarian ikan dan tangkapan laut lainnya. Sedangkan persepsi terhadap perubahan iklim yang rendah menunjukkan bahwa responden tersebut belum mempersepsikan terjadinya perubahan iklim di wilayah pesisir Ciawitali. Tabel 20 menunjukkan jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsinya terhadap perubahan iklim. Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Persepsinya terhadap Perubahan Iklim Persepsi terhadap Perubahan Iklim
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Rendah
1
2,1
Tinggi
46
97,9
Total
47
100,0
Data tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh nelayan telah mempersepsikan terjadinya perubahan iklim dan perubahan ekologis wilayah pesisir Ciawitali serta dampak dari perubahan tersebut yang mempengaruhi kegiatan pencarian ikan dan tangkapan laut lainnya. Hanya satu orang responden atau 2,1 persennya saja yang belum mempersepsikan terjadinya perubahan iklim di wilayah pesisir.
70
7.2
Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Karakteristik Individu Terdapat
lima variabel dalam karakteristik individu yang diuji
hubungannya dengan persepsi nelayan terhadap perubahan iklim. Variabel tersebut adalah usia, pendidikan, lamanya tinggal di Ciawitali, pengalaman nelayan serta klasifikasi nelayan. Variabel usia dapat berhubungan dengan persepsi nelayan dimana perbedaan lama hidup individu diasumsikan dapat menimbulnya pemahaman yang berbeda mengenai perubahan fisik lingkungan di sekitar individu tersebut. Variabel pendidikan dapat berhubungan dengan persepsi nelayan dimana perbedaan tingkat pendidikan diasumsikan dapat memberikan pengaruh yang berbeda pada pengetahuan dan upaya individu menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya menjadi sebuah informasi. Variabel lama tinggal di Ciawitali dapat berhubungan dengan persepsi nelayan dimana perbedaan lamanya waktu yang telah dilalui nelayan tinggal di Ciawitali diasumsikan dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda mengenai kondisi ekologis dan lingkungan Ciawitali. Variabel pengalaman nelayan dapat berpengaruh terhadap persepsi nelayan dimana perbedaan lamanya individu bekerja sebagai nelayan diasumsikan dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda mengenai perubahan kondisi ekologis lautan. Sementara klasifikasi nelayan dapat berpengaruh terhadap persepsi nelayan dimana perbedaan tipikal nelayan dapat berarti perbedaan curahan waktu kerja sebagai nelayan diasumsikan dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda mengenai perubahan kondisi ekologis lautan. Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara sejumlah variabel karakteristik responden dengan persepsi terhadap perubahan iklim adalah metode analisis uji korelasi Rank Spearman yang berfungsi untuk menunjukkan kuat atau tidaknya hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya.
7.2.1 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Usia Responden Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan usia responden diuji dengan tujuan untuk mengetahui apakah usia yang berbeda
71
mempengaruhi persepsinya terhadap perubahan iklim. Persepsi terhadap perubahan iklim ini meliputi pengukuran tingkat persepsi responden terhadap terjadinya perubahan ekologis di wilayah pesisir serta pengukuran tingkat persepsi responden terhadap dampak-dampak perubahan iklim yang dirasakan. Untuk usia responden dibagi ke dalam dua kategori, yaitu usia muda atau responden dengan usia di bawah rata-rata usia keseluruhan responden (41 tahun) dan usia tua, yaitu responden dengan usia lebih tua atau sama dengan usia rata-rata responden. Hasil uji korelasi dengan metode Rank Spearman menghasilkan data pada Tabel 21. Tabel 21. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Usia Responden
Usia
Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed) N
Persepsi terhadap perubahan iklim
Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed) N
Usia
Persepsi terhadap perubahan iklim
1.000
-.171
.
.250
47
47
-.171
1.000
.250
.
47
47
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,250 atau lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia responden dengan persepsi terhadap perubahan iklim. Hal ini menunjukkan persepsi yang tinggi terhadap perubahan iklim tidak ditentukan oleh tua ataupun mudanya usia nelayan tersebut. Dalam kenyataan di lapangan, baik nelayan berusia muda ataupun nelayan berusia tua sama-sama telah menyadari terjadinya perubahan ekologis di lautan bahkan di dunia. Hal tersebut semakin didukung oleh hasil tangkapan yang semakin sedikit. 7.2.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Pendidikan Responden Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan pedidikan responden diuji dengan tujuan untuk mengetahui apakah tingkat pendidikan yang berbeda mempengaruhi persepsinya terhadap perubahan iklim.
72
Pendidikan responden terbagi menjadi tiga kategori, yaitu rendah apabila responden hanya mencapai Sekolah Dasar; sedang apabila responden telah tamat Sekolah Menegah Pertama; dan tinggi apabila responden telah tamat Sekolah Menengah Atas. Hasil perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan dalam Tabel 22. Tabel 22. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Pendidikan Responden
Pendidikan
Pendidikan
Persepsi terhadap perubahan iklim
1.000
.086
.
.566
47
47
Koefisien Korelasi
.086
1.000
Sig. (2-tailed)
.566
.
47
47
Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed) N
Persepsi terhadap perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,566 atau lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan responden dengan persepsi terhadap perubahan iklim. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menyadari terjadinya perubahan iklim yang berdampak kepada kondisi ekologi pesisir nelayan tidak membutuhkan jenjang pendidikan tertentu. Dengan kondisi pendidikan nelayan yang cenderung rendah dimana 74,5 persen responden dalam penelitian hanya mencapai jenjang pendidikan Sekolah Dasar, nelayan telah mampu menginterpretasikan perubahan yang terjadi di lautan sebagai dampak perubahan iklim. 7.2.3 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Lama Tinggal Responden di Ciawitali Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan lamanya responden tinggal di Ciawitali diuji dengan tujuan untuk mengetahui apakah persepsinya terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh lama-tidaknya responden menempati tempat tinggalnya di Ciawitali. Lama tinggal ini terbagi menjadi dua kategori yaitu tinggi apabila responden telah tinggal di Ciawitali
73
lebih dari lima belas tahun; dan rendah apabila responden baru menempati wilayah Ciawitali selama kurang dari atau sama dengan lima belas tahun. Hasil perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan dalam Tabel 23. Tabel 23. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Lama Tinggal Responden di Ciawitali
Lama tinggal
Lama tinggal
Persepsi terhadap perubahan iklim
1.000
.238
.
.107
47
47
Koefisien Korelasi
.238
1.000
Sig. (2-tailed)
.107
.
47
47
Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed) N
Persepsi terhadap perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,107 atau lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lamanya responden tinggal di Ciawitali dengan persepsi terhadap perubahan iklim. Seberapa lama responden tinggal di wilayah Ciawitali mungkin berpengaruh terhadap seberapa jauh responden tersebut memahami kondisi lingkungannya. Namun dalam hal perubahan iklim yang berdampak pada kodisi ekologi laut, responden telah mampu mempersepsikannya dengan tepat.
7.2.4 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Pengalaman Nelayan Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan lamanya responden bekerja sebagai nelayan diuji dengan tujuan untuk mengetahui apakah persepsinya terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh lama-tidaknya responden bekerja sebagai nelayan, dalam arti memiliki kontak langsung dengan lingkungan yang mengalami perubahan. Kategori pengalaman nelayan ini terbagi menjadi dua, yaitu tinggi apabila responden telah menjadi nelayan lebih dari lima belas tahun; dan rendah apabila responden baru bekerja sebagai nelayan selama kurang dari atau sama dengan lima belas tahun. Hasil perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan dalam Tabel 24.
74
Tabel 24. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Pengalaman Nelayan
Pengalaman nelayan
Pengalaman nelayan
Persepsi terhadap perubahan iklim
1.000
.179
.
.229
47
47
Koefisien Korelasi
.179
1.000
Sig. (2-tailed)
.229
.
47
47
Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed) N
Persepsi terhadap perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,229 atau lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lamanya responden bekerja sebagai nelayan dengan persepsi terhadap perubahan iklim. Kontak langsung yang dialami oleh nelayan terhadap lingkungan laut dan pesisir telah menimbulkan suatu kesadaran akan perubahan kondisi ekologis laut yang berbeda dari sebelumnya tanpa harus bergantung pada lama-tidaknya nelayan tersebut menekuni kehidupan kencarian ikan dan tangkapan laut lainnya. 7.2.5 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Klasifikasi Nelayan Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan klasifikasi nelayan diuji dengan tujuan untuk mengetahui apakah persepsi terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh intensitas dan tipologi nelayan. Klasifikasi nelayan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu nelayan penuh apabila nelayan tersebut hanya memiliki satu pekerjaan saja sebagai nelayan sehingga dapat diperkirakan nelayan jenis ini memiliki intensitas melaut yang lebih tinggi. Kedua, nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang memiliki pekerjaan lain namun hanya ditekuni apabila hasil laut sedang kurang baik. Nelayan jenis ini masih memiliki intensitas melaut yang cukup tinggi, namun tidak setinggi nelayan penuh. Ketiga, nelayan musiman yaitu orang yang pekerjaannya bukanlah nelayan namun ikut pula melaut jika hasil lautan sedang melimpah. Hasil perhitungan
75
korelasi variabel persepsi terhadap perubahan iklim dengan klasifikasi nelayan ini ditunjukan dalam Tabel 25. Tabel 25. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Klasifikasi Nelayan
Klasifikasi nelayan
Klasifikasi nelayan
Persepsi terhadap perubahan iklim
1.000
.185
.
.212
47
47
Koefisien Korelasi
.185
1.000
Sig. (2-tailed)
.212
.
47
47
Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed) N
Persepsi terhadap perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,212 atau lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara klasifikasi nelayan dengan persepsi terhadap perubahan iklim. Besar-kecilnya intensitas nelayan mencari tangkapan di laut ternyata tidak mempengaruhi kesadaran nelayan tersebut mengenai perubahan ekologi laut yang disebabkan oleh perubahan iklim. Responden telah cukup mengetahui terjadinya perubahan iklim dari dampak tidak langsung yang mereka rasakan, yaitu menurunnya hasil tangkapan.
7.3
Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim
dengan Perilaku Komunikasi Nelayan Terdapat empat variabel dalam perilaku komunikasi nelayan yang diuji hubungannya dengan persepsi nelayan terhadap perubahan iklim. Variabel tersebut adalah jumlah media komunikasi yang dimiliki oleh nelayan, keterdedahan nelayan terhadap media komunikasi elektronik, keterdedahan responden terhadap media cetak dan fungsi komunikasi interpersonal. Metode analisis hubungan yang digunakan adalah metode uji korelasi Rank Spearman yang berfungsi untuk menunjukkan kuat atau tidaknya hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya.
76
7.3.1 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Kepemilikan Media Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan jumlah media komunikasi yang dimiliki oleh responden diuji dengan tujuan untuk mengetahui apakah kepemilikan media tersebut mempengaruhi persepsinya terhadap perubahan iklim. Kepemilikan media ini terbagi ke dalam dua kategori yaitu rendah apabila media komunikasi yang dimiliki oleh responden hanya berjumlah satu atau dua media saja; dan tinggi apabila responden memiliki tiga sampai empat media. Hasil perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan dalam Tabel 26. Tabel 26. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Jumlah Media yang Dimiliki oleh Responden
Jumlah Media
Jumlah Media
Persepsi terhadap perubahan iklim
1.000
.038
.
.797
47
47
Koefisien Korelasi
.038
1.000
Sig. (2-tailed)
.797
.
47
47
Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed) N
Persepsi terhadap perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,797 atau lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kepemilikan media dengan persepsi terhadap perubahan iklim. Jumlah media yang dimiliki oleh responden (nelayan) merupakan suatu langkah awal yang dirasa cukup berperan dalam masuknya informasi kepada nelayan. Namun kontak langsung yang dialami oleh nelayan terhadap lingkungan laut dan pesisir telah menimbulkan suatu kesadaran akan perubahan kondisi ekologis laut yang berbeda dari sebelumnya tanpa harus bergantung pada media komunikasi dan informasi.
77
7.3.2 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Keterdedahan terhadap Media Elektronik Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan keterdedahan responden terhadap media elektronik diuji dengan tujuan untuk mengetahui apakah variabel tersebut mempengaruhi persepsinya terhadap perubahan iklim. Keterdedahan terhadap media elektronik adalah frekuensi responden menyimak radio dan televisi per minggunya serta pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media elektronik tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap media elektronik ini merupakan penjumlahan dari skor frekuensi responden mendengarkan radio per minggu, frekuensi responden menyimak televisi per minggu serta pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media elektronik tersebut untuk kemudian menghasilkan pengkategorian tingkat keterdedahan responden terhadap media elektronik yang terbagi menjadi dua, yaitu tinggi dan rendah. Hasil perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan dalam Tabel 27. Tabel 27. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Keterdedahan terhadap Media Elektronik
Keterdedahan terhadap media elektronik
Keterdedahan terhadap media elektronik
Persepsi terhadap perubahan iklim
1.000
.096
.
.521
47
47
Koefisien Korelasi
.096
1.000
Sig. (2-tailed)
.521
.
47
47
Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed) N
Persepsi terhadap perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,521 atau lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keterdedahan responden terhadap media elektronik dengan persepsi terhadap perubahan iklim. Informasi perubahan iklim memang banyak disiarkan dalam media informasi elektronik, namun nelayan yang mengalami kontak langsung dengan lingkungan yang terkena dampak perubahan iklim telah
78
mampu mempersepsikan perubahan iklim yang terjadi secara nyata tanpa perlunya pengaruh penginformasian perubahan iklim dari media elektronik. 7.3.3 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Keterdedahan Terhadap Media Cetak Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan keterdedahan responden terhadap media cetak diuji dengan tujuan untuk mengetahui apakah variabel tersebut mempengaruhi persepsinya terhadap perubahan iklim. Keterdedahan terhadap media cetak adalah frekuensi responden membaca media cetak (koran/majalah/buku) per minggunya serta pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media cetak tersebut. Penilaian keterdedahan responden terhadap media cetak ini merupakan penjumlahan dari skor frekuensi responden membaca media cetak per minggu, dan pengalaman responden memperoleh informasi tentang perubahan iklim dari media-media cetak tersebut untuk kemudian menghasilkan pengkategorian tingkat keterdedahan responden terhadap media cetak yang terbagi menjadi dua, yaitu tinggi dan rendah. Hasil perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan dalam Tabel 28. Tabel 28. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Keterdedahan terhadap Media Cetak
Keterdedahan terhadap media cetak
Keterdedahan terhadap media cetak
Persepsi terhadap perubahan iklim
1.000
.022
.
.885
47
47
Koefisien Korelasi
.022
1.000
Sig. (2-tailed)
.885
.
47
47
Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed) N
Persepsi terhadap perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,885 atau lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keterdedahan responden terhadap media cetak dengan persepsi terhadap perubahan iklim. Apabila dilihat dari angkanya, taraf
79
signifikansi ini berada cukup jauh dari korelasi kedua variabel. Dari keseluruhan responden hanya satu orang atau 2,1 persen responden saja yang memiliki keterdedahan terhadap media cetak yang tinggi. Namun sebaliknya, persepsi nelayan terhadap perubahan iklim hampir seluruhnya tinggi. Hal ini menunjukkan faktor keterdedahan terhadap media cetak secara signifikan tidak berpengaruh terhadap
persepsi
nelayan
terhadap
perubahan
iklim.
Nelayan
dapat
mempersepsikan perubahan iklim dengan baik tanpa harus gemar membaca. Terlebih kegiatan pencarian ikan di laut merupakan suatu kegiatan yang penuh dengan ketidakpastian. Nelayan tidak selalu dapat mengalokasikan waktunya setiap minggu untuk membaca. Kualitas pendidikan yang cenderung lebih rendah di kalangan nelayan pun tidak menumbuhkan budaya gemar membaca. Serta lokasi pemukiman nelayan yang cenderung terisolasi dan berada jauh dari perkotaan mengakibatkan akses masuknya media cetak berupa koran atau harian berita terhambat. 7.3.4 Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Fungsi Komunikasi Interpersonal Hubungan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan fungsi komunikasi interpersonal nelayan diuji dengan tujuan untuk mengetahui apakah persepsi terhadap perubahan iklim dipengaruhi oleh fungsi komunikasi interpersonal nelayan tersebut. Fungsi komunikasi interpersonal adalah aktifitas responden dalam mencari informasi mengenai perubahan iklim melalui media komunikasi interpersonal. Terbagi menjadi dua ketegori, yaitu rendah apabila nelayan tidak pernah membicarakan perubahan iklim dengan orang lain; dan tinggi apabila nelayan pernah membicarakan perubahan iklim dengan orang lain. Hasil perhitungan korelasi kedua variabel ini ditunjukan dalam Tabel 29.
80
Tabel 29. Hubungan antara Persepsi Nelayan terhadap Perubahan Iklim dengan Fungsi Komunikasi Interpersonal
Fungsi komunikasi interpersonal
Fungsi komunikasi interpersonal
Persepsi terhadap perubahan iklim
1.000
.196
.
.187
47
47
Koefisien Korelasi
.196
1.000
Sig. (2-tailed)
.187
.
47
47
Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed) N
Persepsi terhadap perubahan iklim
N
Berdasarkan hasil perhitungan didapat signifikansi sebesar 0,187 atau lebih besar dari α (0,05), maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara fungsi komunikasi interpersonal responden dengan persepsi terhadap perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh dampak perubahan iklim memang terlah terjadi di wilayah pesisir Ciawitali, dan masing-masing nelayan telah
merasakannya secara langsung.
Sehingga sering-tidaknya
nelayan
membicakan perubahan iklim tidak berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi nelayan terhadap perubahan iklim. 7.4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Nelayan terhadap
Perubahan Iklim Rakhmat (2005) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman tentang objek, pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubugan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Berbagai perubahan yang terjadi di wilayah Ciawitali sebagai dampak perubahan iklim menjadi objek yang secara langsung berhubungan dengan nelayan yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap wilayah pesisir tersebut. Kontak langsung ini kemudian memicu terbentuknya persepsi nelayan terhadap lingkungan tersebut, termasuk sumber ataupun penyebab perubahan tersebut terjadi. Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim adalah penafsiran nelayan terhadap perubahanperubahan ekologis yang terjadi di wilayan pesisir sebagai dampak dari perubahan iklim.
81
Data yang diperoleh dari survai terhadap 47 orang nelayan menunjukkan bahwa hampir seluruh nelayan telah mempersepsikan perubahan iklim terjadi wilayah Ciawitali. Hanya satu orang saja diantaranya (2,1 persen responden) yang memiliki persepsi yang rendah terhadap perubahan iklim ini. Sedangkan dari uji korelasi yang dilakukan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan berbagai variabel karakteristik individu dan perilaku komunikasi, tidak ditemukan satupun hubungan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Dampak perubahan iklim telah jelas sekali terjadi di pesisir Ciawitali, sehingga hampir seluruh masyarakat telah membentuk persepsi yang sama mengenai perubahan iklim, tidak peduli usia, pengalaman, karakteristik individu lainnya dan tidak membutuhkan keterdedahan informasi yang tinggi untuk menyadari dampak perubahan iklim telah terjadi di pesisir Ciawitali. 2) Eratnya hubungan antara nelayan dengan sumberdaya pesisir, sehingga berbagai perubahan yang terjadi telah ditafsirkan secara mandiri oleh nelayan sebagai dampak perubahan iklim.
BAB VIII DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA KEGIATAN PRODUKSI NELAYAN
8.1
Dampak Ekologis Sebagaimana dipaparkan pada bab sebelumnya, nelayan Ciawitali
merupakan nelayan dengan pola penangkapan ikan tradisional yang menyesuaikan diri terhadap alam dalam berbagai macam kegiatan pencarian ikan. Musim penangkapan ikan nelayan Ciawitali berkisar antara bulan Juli hingga November, yang merupakan penyesuaian kondisi wilayah tangkapan terhadap kondisi cuaca sepanjang tahun. Perubahan cuaca di wilayah pesisir ini kemudian memicu terjadinya berbagai perubahan dalam kegiatan penangkapan ikan yang disebabkan oleh gejala-gejala perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan berbagai perubahan dalam ekosistem laut antara lain disebabkan oleh perubahan temperatur dan keasaman akibat penyerapan CO2 oleh lautan (UNEP, 2009; Chen, 2008). Secara global, perubahan iklim di wilayah pesisir menyebabkan terjadinya kenaikan permukaan air laut, perubahan pola hidrologi, pola angin, perubahan suhu dan keasaman air laut (UNEP, 2009; Diposaptono, 2009; Chen, 2008). Berbagai perubahan ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan ekologis, antara lain intrusi air laut ke daratan; gelombang ekstrim dan badai; genangan dan banjir; erosi pantai; kerusakan terumbu karang; perubahan proses upwelling, gerombolan ikan; perubahan pola migrasi ikan; perubahan morfologi pantai dan mangrove; meningkatnya salinitas air, kerusakan lahan budidaya perikanan dan sumbersumber air tawar; serta meningkatnya frekuensi dan intensitas badai di lautan (Chen, 2008; Diposaptono 2009; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009). Di wilayah Ciawitali gejala perubahan iklim telah menyebabkan berbagai perubahan ekologis di wilayah laut yang dirasakan secara langsung oleh para nelayan dan mempengaruhi aktivitas produksi perikanan tangkap. Berdasarkan perspektif nelayan Ciawitali, perubahan tersebut meliputi perubahan musim ikan dan kekacauan musim angin.
83
1) Perubahan musim ikan Perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan suhu permukaan laut dan stratifikasi kolom air yang kemudian mempengaruhi proses upwelling di lautan (Diposaptono, 2009; Chen, 2008). Suatu proses penting yang disebut penaikan air (upwelling) terjadi dimana angin secara tetap menggerakan permukaan air menjauhi lereng pantai yang terjal, dan membawa ke permukaan air dingin yang kaya zat hara yang telah terkumpul di tempat dalam. Bagian lautan yang paling produktif adalah di tempat terjadinya penaikan air ini (Odum, 1994). Perubahan proses upwelling ini menyebabkan terjadinya perubahan pola migrasi ikan dan gerombolan ikan (Diposaptono, 2009; Chen, 2008). Secara sederhana, masyarakat nelayan Ciawitali telah memahami bahwasanya perubahan suhu lautan telah menyebabkan bepindahnya ikan-ikan, sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang nelayan NR (37 tahun) : “…ketika musim kemarau (panas), ikan-ikan yang diperoleh cenderung lebih sedikit. Namun bila musim kemarau telah berakhir, ikan-ikan kembali banyak. Terutama setelah berakhirnya kemarau yang berkepanjangan, setidaknya tiga bulan, biasanya tangkapan kembali melimpah.”
Perubahan salinitas laut juga merupakan faktor yang menyebabkan perpindahan berbagai spesies hewan karena ketidaksesuaian kondisi tempat hidup yang berubah (Chen, 2008; UNEP, 2009; Tauli-Corpuz, 2009). Musim hujan yang berkepanjangan di tahun 2010 merupakan salah satu contoh yang menyebabkan menurunnya salinitas laut di wilayah perairan Ciawitali. Para nelayan mengeluhkan menurunnya produksi tangkapan ikan di tahun 2010 dan tahuntahun ke belakang dimana intensitas curah hujan terjadi lebih besar dari normalnya. Perubahan musim ikan ini sangat berpengaruh terhadap penghasilan nelayan mengingat beberapa spesies ikan memang hanya datang di musim-musim tertentu. Salah satunya adalah ikan layur. Ikan layur merupakan salah satu ikan musiman yang hanya bisa ditangkap pada satu periode tertentu, bukanlah ikan yang dapat diperoleh sepanjang tahun. Biasanya ketika musim ikan layur datang, ikan ini akan muncul dalam jumlah yang besar. Perubahan iklim telah memberi dampak yang signifikan terhadap periode musim ikan jenis ini. Sebagai contoh di
84
tahun 2010, hanya beberapa nelayan saja yang berhasil memperoleh tangkapan ikan layur. Itupun dalam jumlah yang kecil dan tidak berlangsung lama. 2) Kekacauan musim angin Salah satu dampak dari perubahan iklim yang berdampak pada kegiatan produksi nelayan adalah perubahan pola angin (Chen, 2008; UNEP, 2009; TauliCorpuz, 2009). Nelayan Ciawitali memahami dua musim angin yang berhembus di wilayah perairan Ciawitali, yaitu musim angin timur dan musim angin barat. Musim angin timur berhembus sejak bulan April hingga Agustus, sedangkan musim angin barat berhembus di bulan September hingga Januari. Para nelayan memanfaatkan musim angin timur sebagai momentum untuk mencari tangkapan. Sedangkan berhembusnya angin barat merupakan suatu hambatan yang menyebabkan nelayan tidak dapat melaut di sekitar wilayah tangkapan ikan seperti biasanya. Gejala perubahan iklim telah menyebabkan kekacauan musim angin di wilayah ini. Para nelayan telah mengakui terjadinya kekacauan angin, sebagaimana diakui oleh salah seorang nelayan AR (50 th) : “Sejak dahulu, di bulan Juli-Agustus, tangkapan yang kita peroleh biasanya banyak, karena bulan-bulan ini musimnya angin timur. Jadi lebih aman untuk ke laut. Tapi beberapa tahun terakhir di musim angin timur terkadang terjadi angin barat juga. Contohnya saja bulan Juli kemarin. Saya sempat terjebak selama berjam-jam di nusa kambangan, karena angin barat yang tiba-tiba datang dan berlangsung hampir seharian”
8.2
Dampak Sosial-Ekonomi Horton et. al. (1991 dalam Satria, 2002) mendefinisikan masyarakat
sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut. Berkaitan dengan definisi masyarakat tersebut, Satria (2009) mengartikan masyarakat pesisir sebagai sekumpulan masyarakat yang hidup bersama dan mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Nelayan sebagai bagian dari masyarakat pesisir menjadi pihak yang terpengaruh secara signifikan apabila terjadi perubahan-perubahan alam di ekosistem laut dan pesisir. Dampak yang ditimbulkan dari berbagai perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi kondisi
85
ekonomi nelayan, namun juga aspek-aspek lain di kehidupan sosial nelayan. Dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan dari kerusakan ekosistem akibat perubahan iklim yang terjadi di Ciawitali antara lain adalah: 1) Pada kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat, perubahan iklim menyebabkan: a) Menurunnya kualitas sumber-sumber air penduduk. Tingginya intensitas hujan sepanjang tahun di wilayah Ciawitali telah menyebabkan tercemarnya sumber air penduduk yang sebagian besar berasal dari sumur, atau sumber air bawah tanah. Kondisi tanah di perkampungan nelayan Ciawitali sendiri didominasi oleh tanah berkapur (karst). Jika musim kemarau tiba, kuantitas air akan menurun namun kualitas air cukup baik. Sedangkan jika musim hujan berkepanjangan, jumlah air akan melimpah, namun kualitasnya menurun. Air yang dihasilkan berwarna putih susu dengan kandungan kapur yang tinggi. b) Angin puting beliung di kawasan pemukiman penduduk. IPCC report (2007) serta Diposaptono (2009) telah merangkum dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan oleh perubahan iklim terhadap pemukiman yang berada di wilayah pesisir. Dampak tersebut antara lain disebabkan oleh banjir (rob), gelombang ekstrim dan badai. Di wilayah Ciawitali sendiri, pemukiman nelayan tidak berbatasan langsung dan berada cukup jauh dari garis pantai. Rob memang terjadi, namun hanya sampai pada kawasan persawahan, dan tidak mencapai pemukiman.
Sedangkan
dampak
yang
menimpa
pemukiman
masyarakat dipengaruhi oleh kondisi angin yang berhembus cukup ekstrim, salah satunya adalah angin puting beliung yang terjadi di Ciawitali pada tahun 2009. 2) Pada perikanan, perubahan iklim ini menyebabkan menurunnya hasil tangkapan nelayan yang dipicu oleh: a) Sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan. Menurut pendapat Diposaptono (2009) dan Chen (2008) perubahan iklim menyebabkan perubahan suhu permukaan laut dan stratifikasi
86
kolom air dapat yang kemudian berdampak pada perubahan proses upwelling dan mempengaruhi pola migrasi ikan. Sementara menurut Odun (1994) bagian lautan yang paling produktif adalah di tempat terjadinya penaikan air ini. Nelayan Ciawitali telah memiliki wilayah penangkapan tertentu yang menjadi areanya mencari ikan selama bertahun-tahun. Perubahan iklim yang menyebabkan perubahan pola migrasi ikan terjadi pula di wilayah perairan Ciawitali. Hal ini kemudian menimbulkan kendala di kalangan nelayan tradisional yang masih mengandalkan pengetahuan lokal serta pengalaman empirik semata dalam pencarian ikan. Ketika perubahan iklim memberi dampak yang signifikan pada kondisi ekosistem laut dan membuat banyak perbedaan dibanding kondisi lautan sebelumnya, pengalaman empirik nelayan dalam pencarian ikan menjadi tidak berlaku lagi. Para nelayan menjadi sulit untuk menentukan wilayah penangkapan ikan. b) Sulitnya menentukan musim penangkapan ikan. Sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya, para nelayan Ciawitali memiliki pengetahuan lokal berupa Pranata Mangsa (Tata Masa), yaitu sistem penanggalan tradisional yang membagi satu tahun ke dalam dua belas mangsa. Musim penangkapan ikan nelayan Ciawitali biasanya berlangsung di mangsa kapat (empat) hingga mangsa enam yang jatuh di bulan September hingga Desember. Berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat, periode ini merupakan momentum mijahnya ikan-ikan sehingga hasil laut lebih melimpah dibandingkan dengan mangsa lainnya. Namun perubahan iklim yang menyebabkan kekacauan cuaca serta perubahan pola migrasi ikan seringkali membuat perhitungan ini tidak berlaku lagi dan nelayan kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk melaut. Sulitnya memprediksi musim penangkapan ikan ini juga menyebabkan kerugian bagi para nelayan. Hal tersebut terjadi ketika tiba periode dimana biasanya nelayan
melaut
dan
mendapatkan
hasil
tangkapan
yang
menguntungkan, namun yang terjadi justru biaya produksi yang dikeluarkan melebihi dari hasil yang diperoleh.
87
c) Meningkatnya resiko melaut. Salah satu dampak perubahan iklim yang mengancam kondisi sosial ekonomi nelayan diungkapkan oleh Diposaptono (2009) berupa resiko melaut yang semakin tinggi akibat ancaman meningkatnya badai dan gelombang ekstrim. Pada wilayah perairan Ciawitali gelombang ekstrim serta badai merupakan ancaman yang kerap kali datang ketika tiba musim angin Barat serta musim penghujan. Sementara perahu dan sarana penangkapan ikan nelayan Ciawitali masih tradisional dan belum dalam kapasitas menghadapi badai ataupun gelombang besar. Apabila datang musim dimana resiko melaut berada dalam kondisi yang tinggi, kebanyakan nelayan lebih memilih untuk tidak melaut. Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan buruk yang dapat terjadi apabila nelayan memaksakan untuk tetap melaut. Di musimmusim ini kebanyakan nelayan mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu kembali melaut lagi ketika kondisi mulai membaik. Namun salah satu dampak dari perubahan iklim berupa perubahan pola angin, di wilayah Ciawitali menyebabkan terjadinya kekacauan angin sehingga di beberapa kasus, angin Barat berhembus di periode seharusnya berhembus angin Timur. Hal ini merupakan kendala yang beresiko cukup besar bagi nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Berdasarkan uraian Satria (2002) karakteristik masyarakat nelayan sebagai representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, peran wanita, struktur sosial dan posisi sosial nelayan. Kelima aspek ini merupakan karakter yang melekat pada masyarakat nelayan dan terbentuk sejalan dengan keterikatannya terhadap sumberdaya pesisir. Perubahan ekosistem pesisir sebagai dampak dari perubahan iklim juga pada akhrinya mempengaruhi banyak aspek yang membentuk karakteristik masyarakat nelayan. Pengaruh tersebut meliputi: 1) Sistem Pengetahuan Sistem pengetahuan yang terbentuk berdasarkan pengalaman empirik nelayan-nelayan sebelumnya dan telah diterapkan secara turun-temurun.
88
Pada masyarakat nelayan Ciawitali terdapat pengetahuan lokal berupa sistem penanggalan yang biasa digunakan oleh nelayan sebagai patokan dalam menentukan musim pengcarian ikan. Sistem penanggalan tersebut disebut Pranata Mangsa. Perubahan iklim menyebabkan terjadinya pergeseran Pranata Mangsa dimana musim-musim tertentu yang telah tertanggal dalam Pranata Mangsa menjadi tidak berlaku atau bergeser. Salah satunya adalah musim ikan-ikan bertelur yang berdasarkan Pranata Mangsa berlangsung mulai dari mangsa empat hingga mangsa enam, hal ini kemudian berkaitan dengan musim nelayan mencari ikan, karena pada masa inilah musim ikan sedang berlangsung. Namun perubahan iklim yang menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir telah menyebabkan banyak perubahan pada kondisi ekologi laut, sehingga seringkali perhitungan Pranata Mangsa dalam menentukan musim ikan tidak berlaku lagi. 2) Sistem Kepercayaan Ritual Berkah Bumi sebagai ungkapan rasa syukur nelayan kepada bumi yang telah memberikan berkah bagi kehidupan masyarakat kini semakin jarang dilakukan. Hal tersebut berawal dari kondisi laut yang semakin hari dirasa oleh nelayan semakin sedikit memberi hasil tangkapan. Sejalan dengan semakin sulitnya kehidupan ekonomi nelayan akibat hasil tangkapan yang semakin sedikit, semakin jarang pula ritual ini dilakukan. 3) Peran Wanita Selain dalam urusan domestik rumah tangga, peran wanita juga merupakan satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian nelayan. Selama musim ikan berakhir, para istri nelayan biasanya mencari kerang di wilayah mangrove untuk diolah menjadi sate kerang kemudian dijual. Semaki sedikitnya intensitas nelayan melaut, disertai dengan kondisi perekonomian keluarga yang semakin tertekan akibat menurunnya produksi tangkapan nelayan menyebabkan meningkatnya peran wanita dalam perekonomian rumah tangga.
89
4) Struktur Sosial Struktur sosial yang menonjol dalam kehidupan nelayan adalah ikatan yang kuat antara nelayan dan bos atau tengkulak, dengan bentuk struktur sosial berupa ikatan patron-klien. Ketika nelayan semakin jarang melaut disertai dengan kebutuhan rumah tangga yang tidak bisa dipungkiri, peran patron akan semakin dibutuhkan oleh nelayan. 5) Posisi Sosial Nelayan Tekanan ekonomi yang terjadi akibat berbagai dampak yang menimpa masyarakat nelayan akibat perubahan iklim menyebabkan semakin menurunnya status sosial nelayan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun keterbukaan masyarakat nelayan kepada masyarakat bukan nelayan menjadi lebih meningkat. Kendala yang dialami nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan menyebabkan banyak keluarga nelayan yang mulai mencari pekerjaan sampingan untuk menunjang kehidupan rumah tangga nelayan. Hal ini tentunya membutuhkan jejaring sosial yang lebih luas ketimbang hanya di lingkungan seputar nelayan. Berbagai gejala perubahan iklim di wilayah pesisir meliputi kekacauan siklus musim hujan dan kemarau; perubahan pola angin; kenaikan muka air laut; perubahan pola hidrologi; serta kenaikan suhu lautan merupakan faktor-faktor awal yang memicu terjadinya berbagai perubahan fisik dan lingkungan yang berdampak pada kegiatan produksi nelayan Ciawitali. Dampak ini terjadi melalui perubahan kodisi ekologi yang pada akhirnya berdampak pula pada kondisi sosial dan ekonomi nelayan sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Pengaruh berantai ini secara umum dilihat dalam Gambar 5.
90
Tinjauan Lapangan Perubahan Iklim
Dampak Ekologis Tidak Langsung
Dampak Ekologis Langsung
Dampak Sosial - Ekonomi
Kekacauan Siklus Musim Hujan dan Kemarau
Menurunnya Kualitas/Kuantitas Sumber Air Penduduk
Perubahan Pola Angin
Angin Puting Beliung di Wilayah Pemukiman
Kenaikan Muka Air Laut Kekacauan Musim Angin Perubahan Pola Hidrologi
Gelombang Ekstrim dan Banjir
Kenaikan Suhu Lautan Perubahan Proses Upwelling
Sulitnya Menentukan Musim Penangkapan Ikan Meningkatnya Resiko Melaut
Perubahan Pola Migrasi Ikan, Gerombolan Ikan (Fish Schooling) dan Musim Ikan
Sulitnya Menentukan Lokasi Penangkapan Ikan Perubahan Sistem Pengetahuan dan Kepercayaan, Peran Wanita serta Posisi Sosial Nelayan
Gambar 5. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Wilayah Pesisir Ciawitali Berdasarkan Perspektif Nelayan Keterangan : : Hubungan Pengaruh
BAB IX ADAPTASI DAN STRATEGI EKONOMI NELAYAN
Survai yang dilakukan kepada sejumlah nelayan Ciawitali telah menunjukan tingginya persepsi nelayan terhadap perubahan iklim. Hal ini juga didukung oleh data yang diperoleh dari hasil penelitian secara kualitatif di dusun tersebut. Para nelayan telah mempersepsikan terjadinya perubahan iklim di wilayah pesisir Ciawitali yang menyebabkan timbulnya sejumlah perubahan ekologis dan mengganggu kegiatan penangkapan ikan. Persepsi ini kemudian memicu munculnya berbagai tindakan yang dilakukan oleh nelayan sebagai bentuk pertahanan ekonomi maupun adaptasi dari situasi yang tidak menguntungkan akibat perubahan iklim. Diposaptono (2009) mendefinisikan adaptasi perubahan iklim sebagai upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif.
9.1
Adaptasi Iklim Masyarakat nelayan Ciawitali hingga sejauh ini masih merupakan nelayan
tradisional dengan akses teknologi serta informasi yang relatif terbatas sehingga bentuk adaptasi yang lebih antisipatif belum ada dan belum diketahui oleh masyarakat. Dampak perubahan iklim yang diterima oleh masyarakat nelayan cenderung memancing pola-pola adaptasi yang sifatnya reaktif. Sulitnya memperoleh hasil tangkapan di suatu wilayah penangkapan ikan, baik disebabkan oleh kerusakan ekosistem maupun perubahan pola migrasi ikan menyebabkan para nelayan Ciawitali melakukan strategi adaptasi yang di kalangan nelayan biasa disebut dengan strategi mengejar musim. Strategi ini merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan oleh nelayan Ciawitali apabila di wilayah perairan sekitar Ciawitali mengalami masa paceklik. Informasi keberadaan ikan di wilayah lain dari satu nelayan ke nelayan lainnya inilah yang memicu para nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah dimana musim ikan tersebut terjadi. Informasi ini sejalan dengan pengakuan salah satu tokoh nelayan, JA (38 tahun) : “….kalau di Pacitan sedang musim ikan dan disini tidak, kita mengejar musim sampai kesana, perahu diangkut. Sampai ke wilayah ujung kulon
92
juga pernah. Kadang musim ikan sulit ditebak. Di sini susah sekali mendapatkan ikan, namun di lokasi lain bisa saja ikan-ikan sangat melimpah.”
Pola adaptasi seperti ini sebenarnya akan lebih optimal jika disertai adaptasi yang lebih sistematis berupa penerapan teknologi dalam memprediksi lokasi ikan. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyediakan Peta Daerah Penangkapan Ikan (PDPI) yang dapat diakses dengan mudah melalui situs resmi KKP. Peta ini dikeluarkan langsung oleh Balai Riset dan Observasi Kelautan, Puslitbang Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan, dan merupakan hasil dari analisis data satelit oseanografi berupa kesuburan, suhu, tinggi dan arus permukaan laut, serta data angin dan gelombang yang dikeluarkan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Peta ini dikeluarkan dengan tujuan membantu nelayan memprediksikan wilayah-wilayah penangkapan ikan yang potensial di masa-masa tertentu. Namun pada kenyataannya, hanya nelayan modern saja yang memanfaatkan informasi ini. Sementara nelayan tradisional masih memanfaatkan pengetahuan lokal mereka yang terkadang sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam keadaan iklim yang berubah-ubah secara ekstrim seperi saat ini. Teknik mengejar musim yang dilakukan oleh nelayan Ciawitali merupakan sebuah terobosan yang mampu meningkatkan produktivitas perikanan tangkap. Namun teknik ini dapat pula beresiko kerugian yang besar jika informasi yang diterima nelayan tidak tepat. Biaya produksi tentunya akan meningkat karena membutuhkan waktu perjalanan, bahan bakar ataupun biaya pengangkutan yang tidak sedikit. Untuk itu dibutuhkan sumber informasi yang akurat dan mudah diakses oleh masyarakat perjuangan nelayan mengejar musim ikan hingga ke lokasi lain tidak sia-sia. 9.2
Adaptasi Sumberdaya Pesisir Adaptasi sumberdaya pesisir adalah bentuk strategi ekonomi melalui
pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk menghasilkan berbagai komoditas bernilai ekonomi tanpa mengharuskan nelayan pergi ke laut lepas. Salah satu sumberdaya yang cukup potensial adalah mangrove. Pengembangan wilayah mangrove
93
merupakan usulan yang dipaparkan oleh Diposaptono (2009) dalam bukunya “Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” untuk mempertahankan perekonomian nelayan yang mengalami goncangan akibat dampak perubahan iklim di wilayah pesisir. Dusun Ciawitali memiliki lahan mangrove yang cukup luas. Walaupun bukan dalam kondisi yang sangat baik, perairan di wilayah mangrove ini masih memberikan hasil perikanan yang bermanfaat bagi para nelayan, terutama ketika masa-masa sulit memperoleh tangkapan di laut. Salah satu komoditas wilayah mangrove dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi adalah kepiting bakau. Banyak dari masyarakat Ciawitali yang terbiasa mencari kepiting bakau menggunakan perahu (sampan) dengan dayung. Peralatan yang digunakan untuk mencari kepiting adalah jaring kepiting dan umpan tertentu. Pencarian kepiting di wilayah mangrove cenderung lebih aman, tidak terlalu tergantung pada cuaca dan tidak membutuhkan biaya produksi yang besar. Kegiatan pencarian kepiting bakau ini juga menjadi salah satu alternatif pola adaptasi yang dilakukan oleh nelayan Ciawitali di kala kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk ke laut. Di musim-musim paceklik pun banyak nelayan yang mencari kepiting bakau sebagai komoditas substitusi untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain kepiting bakau, komoditas lain yang dapat diperoleh dari wilayah mangrove adalah ikan belanak serta kerang atau totok. Kerang totok ini adalah sejenis kerang hidup di wilayah pasang surut serta sekitar mangrove. Para istri nelayan seringkali mencari kerang ini untuk dikonsumsi ataupun diolah menjadi sate kerang kemudian dijual. Kelimpahan kerang totok di wilayah mangrove Ciawitali masih cukup tinggi. Pengolahan kerang ini untuk kemudian dijual dapat menjadi alternatif tambahan pendapatan bagi keluarga nelayan ketika nelayan mengalami kesulitan melaut.
9.3
Adaptasi Alokasi Sumberdaya Manusia dalam Rumah Tangga Pola adaptasi alokasi sumberdaya manusia dalam rumah tangga
merupakan strategi ekonomi yang sangat penting dalam menyelamatkan perekonomian nelayan yang terkena dampak perubahan iklim. Strategi ini
94
meliputi optimalisasi tenaga kerja rumah tangga nelayan serta pengembangan pola nafkah ganda. Menurut Satria (2002) pengembangan strategi nafkah ganda ini bertujuan agar nelayan tidak bergantung pada hasil penangkapan saja. Hal ini perlu dilakukan terutama pada nelayan lapisan bawah dimana keterbatasan sarana yang dimiliki menyebabkan nelayan tidak selalu dapat melaut sepanjang tahun. Perubahan iklim memberikan dampak yang besar pada kegiatan melaut nelayan serta produktivitas tangkapan. Berkurangnya stok ikan dan sulitnya menentukan wilayah penangkapan ikan menyebabkan kerugian ekonomi bagi nelayan ketika memaksakan untuk melaut namun hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Resiko melaut yang tinggi akibat ancaman meningkatnya badai dan gelombang ekstrim menyebabkan berkurangnya frekuensi nelayan mencari tangkapan yang kemudian juga berimbas pada kondisi ekonomi nelayan. Dengan demikian dibutuhkan strategi ekonomi yang memungkinkan keluarga nelayan memperoleh tambahan pendapatan baik melalui opmitalisasi tenaga kerja rumah tangga serta strategi nafkah ganda sehingga perekonomian rumah tangga nelayan tidak hanya bergantung dari hasil penangkapan saja.
9.3.1 Optimalisasi Tenaga Kerja Rumah Tangga Nelayan biasanya adalah seorang laki-laki sekaligus seorang kepala keluarga yang menjadi tulang punggung perekonomian keluarga nelayan. Nelayan-nelayan Ciawitali bekerja keras mencari ikan di lautan, sementara hasil laut semakin sulit diperoleh. Pada masa-masa seperti inilah dibutuhkan peran dari anggota keluarga lainnya untuk menyokong perekonomian rumah tangga nelayan, sehingga tidak hanya bergantung kepala keluarga saja. Anak-anak nelayan selama ini berperan dalam mendukung kegiatan melaut nelayan, yaitu sebagai pembuat jaring. Pembuatan jaring ini dilakukan disela-sela kegiatan melaut nelayan tersebut. Ketika sang ayah beristirahat untuk kembali melaut keesokan harinya, saat itulah anak-anak nelayan sibuk membuat jaring. Ketika musim ikan sedang tidak menentu dan frekuensi melaut nelayan semakin berkurang, anak-anak nelayan seringkali mencari tangkapan di wilayah
95
mangrove, baik bersama nelayan (ayahnya) ataupun bersama anak-anak nelayan lainnya. Para istri nelayan juga berperan dalam menyelamatkan ekonomi keluarga dengan melakukan usaha-usaha lainnya. Sebagaimana dipaparkan dalam sub-bab sebelumnya, para istri nelayan melakukan usaha ekonomi melalui pengolahan kerang totok menjadi sate kerang untuk kemudian dijual. Selain itu, ketika musim paceklik berkepanjangan dimana nelayan mulai melakukan pekerjaan sambilan sebagai buruh tani, para istri nelayan juga biasanya ikut melakukan pekerjaan yang sama bersama suami demi menambah penghasilan yang didapatkan. Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga yang paling menghasilkan biasanya diperoleh jika salah satu anggota keluarga mulai melakukan migrasi, mencari pekerjaan ke kota atau menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar negeri. Beberapa istri nelayan mengaku sempat menjadi TKI di Arab Saudi demi menambah penghasilan keluarga. Keluarga yang salah satu anggotanya pernah menjadi TKI biasanya terlihat dari bentuk rumah yang lebih baik dibandingkan dengan rumah-rumah nelayan pada umumnya. 9.3.2 Tani – Nelayan Sebagaimana ulasan pada bab-bab sebelumnya, banyak dari masyarakat Ciawitali yang berprofesi sebagai tani-nelayan. Yaitu para petani yang terkadang juga melaut selayaknya nelayan ataupun para nelayan yang juga bertani. Lahan pertanian yang cukup luas di wilayah Ciawitali memicu pola adaptasi nelayan ke arah pertanian. Perubahan iklim menyebabkan meningkatnya resiko melaut sehingga memicu nelayan untuk mencari alternatif sumber nafkah di daratan. Salah satu yang paling dominan adalah buruh tani. Berdasarkan data dari Risk Assesment IPPHTI (2009), terdapat 125,2 hektar lahan pertanian padi sawah di Dusun Ciawitali. Hal ini merupakan salah satu peluang nafkah yang biasanya dimanfaatkan oleh nelayan dengan menjual jasa sebagai buruh tani. Salah seorang nelayan yang melakukan adaptasi ekonomi sebagai buruh tani, ST (29 tahun) memberi informasi sebagai berikut: “Jika tiba musim paceklik di laut dan musim panen di sawah, saya dan (nelayan) yang lainnya seringkali bekerja memanen padi di sawah. Pendapatan yang diperoleh cukup lumayan, dari 60 kg padi yang
96
dipanen, kita mendapat 10 kg padi. Sawah yang dikerjakan ini biasanya milik para petani di Dusun Pamotan.”
Selain sebagai buruh pada lahan padi sawah, sebagian nelayan juga menggarap lahan miliknya sendiri. Lahan ini biasanya adalah kebun. Salah satu yang cukup potensial adalah kebun jati dan sengon. Beberapa nelayan yang telah memahami dengan baik kondisi kehidupan pencarian ikan di lautan yang penuh dengan ketidakpastian telah mempersiapkan investasi sejak awal untuk menghindari hutang kepada tengkulak ketika tiba musim paceklik yang berkepanjangan. Investasi ini berupa tanaman kayu yaitu jati dan sengon. Ketika tiba musim paceklik, ataupun dibutuhkan biaya yang secara mendadak, nelayan yang telah memiliki investasi ini akan menjual beberapa pohon di kebunnya. Satu buah pohon sengon berusia lima tahun dapat dijual dengan harga mencapai dua juta rupiah. 9.3.3 Jasa Pengangkutan Musim paceklik serta musim angin Barat adalah musim-musim dimana nelayan Ciawitali harus bertindak aktif mencari alternatif pendapatan lain untuk menunjang perekonomian rumah tangga. Memaksakan mencari ikan di musim paceklik hanyalah menghabiskan biaya produksi (bahan bakar perahu), sementara hasil yang diperoleh sangatlah tidak sebanding. Para nelayan Ciawitali adalah nelayan dengan status ekonomi yang rendah. Perahu yang mereka miliki merupakan harta sekaligus modal satu-satunya yang dapat diandalkan untuk melakukan usaha-usaha ekonomi. Ketika musim paceklik tiba, beberapa nelayan yang tidak memiliki investasi serta kemampuan yang memadai sebagai modal pencarian nafkah tambahan, hanya bisa mengandalkan jasa perahu yang mereka miliki. Para nelayan ini menjual jasa pengangkutan, menyebrangkan berbagai komoditas pertanian dari Pulau Nusa Kambangan ke daratan Pulau Jawa yang biasanya berlabuh di Dusun Majingklak. Hal ini diungkapkan pula oleh salah seorang nelayan, SM (40 tahun) pada bulan Juni 2010 : “Sudah hampir tiga bulan perahu saya dan banyak nelayan lain yang tidak turun ke laut mencari ikan. Cuacanya sangat buruk, ikan-ikan juga semakin jarang. Kalau sudah seperti ini pekerjaan apa saja asal halal
97
pasti ditekuni. Apa saja, ngangkutin pisang dari nusa kambangan ke majingklak juga jadi. Setidaknya anak-istri masih bisa makan…”
Pernyataan tersebut menunjukkan semakin terjepitnya posisi sosial nelayan terutama bila frekuensi melaut menjadi sangat berkurang. Pekerjaan dengan menjual jasa angkutan ini memang dapat menyelamatkan perekonomian keluarga secara sementara. Namun pekerjaan ini bukanlah alternatif pekerjaan yang diharapkan oleh nelayan. Selain hasilnya yang kurang mencukupi, alternatif pekerjaan ini sangat bergantung pada ada atau tidaknya orang yang membutuhkan jasa pengangkutan menggunakan perahu nelayan, sementara perahu yang khusus menyebrangkan dari Nusa Kambangan ke Majingklak sudah tersedia. Penawaran satu-satunya adalah menjual jasa pengangkutan dengan harga yang lebih murah dibanding dengan perahu tersebut. Jasa pengangkutan dengan perahu nelayan ini juga dibutuhkan oleh salah satu perusahaan yang beroperasi di Dusun Ciawitali. Perusahan tersebut adalah CV. WG Mandiri. Perusahaan ini dimiliki oleh salah seorang penduduk Ciawitali yang juga merupakan kepala RN (Rukun Nelayan) Ciawitali. Perusahan ini bergerak di bidang produksi dan pengolahan kayu. Perahu nelayan biasanya dibutuhkan untuk mengangkut kayu dari kebun-kebun yang berada di tanjungtanjung dan tepian laut, menuju ke daratan Ciawitali.
9.4
Adaptasi Melalui Keluar dari Kegiatan Perikanan (Escaping from
Fisheries) Kondisi ekosistem pesisir Ciawitali yang semakin memprihatinkan dari hari ke hari, penghasilan dari laut yang semakin tidak mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, serta keterbatasan sarana yang dimiliki menyebabkan sebagian nelayan memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai nelayan dan mencari pekerjaan baru. Terdapat dua pekerjaan yang biasanya menjadi sasaran alih profesi ini. Pertama, pekerjaan sebagai buruh. Walaupun gaji yang diperoleh cenderung rendah, pekerjaan ini diminati karena dirasa ada jaminan atau kepastian penghasilan yang dapat diperoleh. Berbeda dengan kegiatan melaut yang penuh dengan ketidakpastian. Kedua adalah petani. Nelayan cenderung memilih untuk berganti profesi menjadi petani berdasarkan ketersediaan sumberdaya yang ada,
98
dimana Dusun Ciawitali merupakan wilayah dengan lahan pertanian yang cukup luas.
9.4.1 Buruh Sebuah perusahaan yang beroperasi di Dusun Ciawitali telah berhasil menjaring penduduk-penduduk lokal Ciawitali untuk bekerja sebagai buruh di perusahaan tersebut. Perusahaan ini adalah CV. WG Mandiri yang bergerak di bidang produksi dan pengolahan kayu. Dusun Ciawitali memiliki wilayah yang luas dan masih terdapat lahan kosong di banyak tempat. Penduduk biasa menanami lahan tersebut dengan tanaman kayu, kebanyakan adalah kayu sengon. Pada usia lima tahun, sengon ini biasanya telah siap panen. Masyarakat biasa menjualnya kepada CV. WG Mandiri. CV. WG Mandiri melakukan penebangan, pengangkutan sekaligus pemotongan sengon untuk kemudian disalurkan kepada perusahan pengolahan kayu tahap selanjutnya. Hingga saat ini CV. WG Mandiri telah memperkerjakan sekitar lima puluh orang, dimana dua puluh orang diantaranya adalah nelayan yang telah beralih profesi. Profesi ini lebih dipilih oleh nelayan, karena terdapat kepastian penghasilan, dengan kata lain pekerjaan ini dirasa lebih menjamin perkonomian keluarga dibandingkan dengan kegiatan melaut yang penuh dengan ketidakpastian. 9.4.2 Petani Daratan Dusun Ciawitali merupakan wilayah yang didominasi oleh topografi rawa-rawa dan bebukitan. Potensi yang terdapat di wilayah rawa-rawa ini adalah lahan pertanian padi sawah. Berdasarkan data yang diperoleh oleh IPPHTI pada tahun 2009 terdapat 125,5 hektar lahan sawah di Dusun Ciawitali. Dari 125,5 hektar sawah tersebut, hanya 105,5 hektar sawah yang produktif, 20 hektar sisanya seringkali terkena rob sehingga selalu mengalami gagal panen. Walaupun produktivitasnya kurang baik, masih banyak masyarakat yang tetap menanaminya. Bahkan nelayan yang tidak lagi mendapatkan penghasilan dari laut juga beralih profesi menjadi petani di sawah. Lahan sawah ini biasanya adalah lahan warisan keluarga yang diolah bersama anggota keluarga yang lain.
99
Sementara itu, wilayah bebukitan Ciawitali juga memiliki potensi yang cukup penting. Lahan yang terdapat di bebukitan ini biasanya ditanami oleh masyarakat dengan berbagai macam tanaman palawija seperti singkong dan jagung. Selain itu, masyarakat juga menanam pisang, kelapa serta berbagai tanaman kayu seperti sengon dan jati. Belakangan ini para nelayan yang tidak lagi mendapatkan penghasilan dari laut juga turut mengolah lahan di bebukitan ini.
9.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Adaptasi dan Strategi Ekonomi serta Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Nelayan Terdapat empat jenis strategi ekonomi serta adaptasi perubahan iklim yang dilakukan oleh masyarakat nelayan Ciawitali, yaitu adaptasi iklim; adaptasi sumberdaya pesisir; adaptasi alokasi sumberdaya manusia dalam rumah tangga; adaptasi melalui keluar dari kegiatan perikanan. Pilihan strategi ekonomi dan adaptasi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang melekat pada pelaku adaptasi dan strategi tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain adalah klasifikasi nelayan yaitu pembedaan berdasarkan banyaknya pekerjaan yang ditekuninya. Nelayan yang hanya memiliki satu pekerjaan tergolong ke dalam nelayan penuh, sedangkan nelayan yang memiliki pekerjaan lain tergolong ke dalam nelayan sambilan. Faktor lain yang mempengaruhi pilihan strategi dan adaptasi adalah luasnya jejaring sosial nelayan tersebut, kepemilikan sarana produksi perikanan seperti perahu dan alat tangkap lainnya, status sosial nelayan, banyaknya jumlah anggota keluarga nelayan serta kedekatan nelayan tersebut dengan suatu budaya pekerjaan. Hubungan antara pilihan strategi dan adaptasi yang dilakukan oleh nelayan dengan faktor yang mempengaruhi serta signifikansi pilihan tersebut terhadap kesejahteraan nelayan dapat dilihat dalam Tabel 30.
100
Tabel 30. Pilihan Strategi dan Adaptasi Nelayan, Faktor yang Mempengaruhi serta Pengaruhnya terhadap Kesejahteraan Strategi dan No. Adaptasi
Karakteristik
Pelaku
Pengaruh Terhadap Kesejahteraan
1.
Adaptasi Iklim
Melakukan perpindahan wilayah tangkapan dengan memanfaatkan informasi dari nelayan di berbagai tempat mengenai musim ikan di wilayah lain.
Nelayan penuh dengan kapasitas dan kepemilikan sarana produksi yang lebih memadai. Memiliki jejaring sosial yang luas antar nelayan di berbagai tempat.
Kurang signifikan, dapat optimal jika didukung dengan teknologi informasi yang memadai
2.
Adaptasi Sumberdaya Pesisir
Pencarian hasil tangkapan tanpa harus pergi ke laut lepas.
Nelayan penuh yang memiliki sarana produksi cukup memadai, namun cenderung kurang memiliki jejaring sosial yang luas.
Cukup signifikan
3.
Adaptasi Alokasi Sumberdaya Manusia dalam Rumah Tangga: a. Optimalisasi Tenaga Kerja Rumah Tangga b. Tani-Nelayan
Melibatkan peran dari anggota keluarga dalam perekonomian rumah tangga. Bekerja sebagai buruh tani untuk selagi kegiatan melaut dihentikan. Serta mencari sumber pendapatan lain dari kegiatan berkebun. Memanfaatkan perahu yang dimilikinya untuk mengangkut berbagai komoditas dari pulau nusa kambangan, atau daerahdaerah di tepi laut.
Keluarga nelayan dengan jumlah anggota keluarga yang tinggi. Nelayan dengan jejaring sosial yang luas. Dapat terjadi baik pada nelayan sambilan maupun nelayan penuh. Biasanya merupakan nelayan yang dekat dengan budaya pertanian, memliki kerabat petani atau dahulu merupakan seorang petani. Nelayan yang memiliki sarana produksi berupa perahu. Biasanya dilakukan oleh nelayan dengan status sosial yang rendah.
Cukup Signifikan
Meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan dan beralih menjadi buruh tetap. Meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan dan beralih menjadi petani sepenuhnya.
Nelayan dengan status sosial yang rendah, dengan kepemilikan sarana produksi yang rendah pula. Nelayan yang sejak dahulu merupakan petani (taninelayan) serta nelayan yang dekat dengan budaya pertanian ataupun memiliki lahan pertanian.
c. Jasa Pengangkutan
5.
Adaptasi Melalui Keluar dari Kegiatan Perikanan: a. Buruh b. Petani
Cukup signifikan
Kurang signifikan
Cukup signifikan Kurang signifikan
101
Adaptasi iklim dilakukan oleh nelayan Ciawitali dalam bentuk strategi mengejar musim. Nelayan yang melakukan strategi ini biasanya adalah nelayan penuh dengan kapasitas dan kepemilikan sarana produksi yang lebih memadai. Selain itu nelayan tersebut juga biasanya memiliki jejaring sosial yang luas antar nelayan di berbagai tempat. Strategi mengejar musim merupakan sebuah pola adaptasi perikanan tangkap yang mampu mempertahankan angka produksi perikanan. Namun dalam prakteknya, nelayan masih terkendala oleh sistem informasi yang kurang memadai. Hal ini menyebabkan strategi mengejar musim menjadi pilihan strategi yang beresiko tinggi, karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit sedangkan kepastian keberadaan ikan tidak didukung oleh data-data yang dapat dipertanggungjawabkan. Adaptasi sumberdaya pesisir dilakukan oleh nelayan dalam bentuk pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir. Nelayan Ciawitali biasanya memanfaatkan wilayah mangrove sebagai penghasil berbagai komoditas yang tidak mengharuskannya pergi ke laut lepas. Strategi kembali ke mangrove ini merupakan pilihan strategi yang paling sederhana dan dapat dilakukan oleh sebagian besar nelayan. Para nelayan terbiasa mencari tangkapan yang bernilai ekonomi seperti kepiting bakau. Nelayan yang melakukan strategi ini biasanya adalah nelayan penuh dengan kepemilikan sarana produksi cukup memadai, namun cenderung kurang memiliki jejaring sosial yang luas. Pendapatan yang dihasilkan cukup signifikan dalam menyelamatkan perekonomian keluarga nelayan terutama jika terdapat alternatif lain dalam mengekstraksi sumberdaya dari wilayah mangrove tersebut. Adaptasi alokasi sumberdaya manusia dalam rumah tangga nelayan dilakukan dengan tujuan memperoleh tambahan pendapatan sehingga tidak hanya bergantung dari kegiatan perikanan yang dilakukan oleh kepala keluarga (nelayan) semata. Strategi optimalisasi tenaga kerja memungkinkan anggota keluarga nelayan tersebut mencari sumber pendapatan lain untuk menyokong perekonomian keluarga yang terganggu akibat perubahan iklim. Pelaku dari strategi ini adalah keluarga nelayan dengan jumlah anggota keluarga yang tinggi. Strategi ini akan lebih optimal pada nelayan dengan jejaring sosial yang luas. Pengaruh terhadap perekonomian rumah tangga nelayan cukup signifikan,
102
terutama pada rumah tangga nelayan dengan salah satu anggotanya bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar negeri. Pola nafkah ganda sebagai sebagai buruh tani dilakukan oleh nelayan di masa-masa kegiatan pencarian ikan dihentikan cukup bermanfaat untuk perekonomian keluarga. Namun hal ini sangat bergantung pada musim padi yang jatuh ketika itu. Jika musim panen padi tiba, peluang untuk memperoleh pekerjaan ini cukup besar. Kegiatan tani-nelayan lain yang memiliki pengaruh yang signifikan dalam menyelamatkan perekonomian keluarga nelayan adalah bertanam tanaman kayu. Tanaman kayu ini berlaku sebagai investasi atau tabungan. Jika musim paceklik tiba, para nelayan yang telah memiliki tanaman ini sejak bertahun sebelumnya dapat menebang beberapa pohon yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Nelayan yang melakukan strategi ini biasanya merupakan nelayan yang dekat dengan budaya pertanian, memliki kerabat petani atau dahulu merupakan seorang petani. Strategi pola nafkah ganda berupa jasa pengangkutan dilakukan oleh nelayan yang memiliki sarana produksi berupa perahu. Nelayan yang melakukan pekerjaan ini juga biasanya adalah nelayan dengan status sosial yang rendah. Adaptasi nafkah ganda jasa pengangkutan cenderung masih kurang signifikan dalam menyelamatkan perekonomian keluarga karena peluang jenis pekerjaan ini sangat terbatas akibat persaingan dengan perahu pengangkut yang telah ada sebelumnya. Sebagian
nelayan,
terutama
nelayan
dengan kepemilikan
sarana
penangkapan ikan yang terbatas lebih memilih untuk beralih profesi dan meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan. Ini adalah bentuk dari pola adaptasi melalui keluar dari kegiatan perikanan (escaping from fisheries). Nelayan yang sejak dahulu telah bekerja sebagai petani dan bekerja sambilan sebagai nelayan cenderung memilih untuk kembali ke lahan pertaniannya yang dirasa lebih menguntungkan dibandingkan dengan kegiatan pencarian ikan. Namun dampak perubahan iklim tidak hanya menimpa kegiatan nelayan, di pihak petani dampak perubahan iklim juga terjadi dan menyebabkan banyak kerugian. Sehingga pilihan untuk beralih profesi menjadi petani tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan. Sementara alih profesi menjadi buruh tetap yang
103
dilakukan oleh nelayan dengan status sosial yang lebih rendah cukup memberikan perubahan ekonomi bagi keluarganya. Bagi nelayan yang saat ini beralih profesi menjadi buruh, walaupun penghasilan yang diperoleh cenderung sedikit namun kepastian penghasilan yang mereka terima mampu menyelamatkan perekonomian keluarga setidaknya untuk kelangsungan hidupnya sehari-hari. Satria (2009) menyebutkan beberapa strategi mata pencaharian yang dapat dilakukan untuk memutus rantai kemiskinan nelayan. Pertama, mengembangkan strategi nafkah ganda. Kedua, mendorong ke arah laut lepas. Ketiga, mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk mengantisipasi variasi musim. Strategi mata pencaharian mendorong ke arah laut lepas merupakan pilihan strategi yang membutuhkan penerapan teknologi penangkapan ikan yang lebih canggih sehingga kegiatan penangkapan ikan nelayan dapat menjangkau wilayah yang lebih luas. Hingga saat ini wilayah penangkapan ikan nelayan masih terbatas pada jangkauan 20 mil dari garis pantai. Para nelayan telah menyadari pentingnya teknologi penangkapan ikan yang lebih canggih berupa kapal penangkapan ikan dengan kapasitas yang lebih besar sehingga mampu menjangkau daerah penangkapan ikan di lepas pantai. Kendala yang dihadapi nelayan dalam mengakses teknologi ini antara lain adalah permodalan, kelembagaan serta budaya masyarakat. Untuk memperoleh kapal penangkapan ikan dengan kapasitas yang lebih besar dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal ini tentunya bukan dalam kapasitas nelayan untuk membeli teknologi tersebut. Apabila DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) Ciamis mampu memberikan satu unit kapal untuk digunakan nelayan Ciawitali secara bersama-sama, kendala yang dihadapi kemudian adalah budaya nelayan yang belum terbiasa dalam pengoperasian kapal dan manajemen produksi yang lebih besar. Dengan demikian teknologi yang dibutuhkan juga harus disertai dengan peningkatan kapasitas nelayan itu sendiri. Hal terakhir yang menjadi permasalahan adalah fungsi kelembagaan nelayan yang belum optimal di Ciawitali. Ketika dibicarakan mengenai kemungkinan pengadaan kapal dengan kapasitas yang lebih besar untuk digunakan secara bergantian di Ciawitali, sebagian besar nelayan pesimis hal tersebut akan efektif. Menurut pendapat salah satu nelayan, TG (37 tahun):
104
“Menggunakan sebuah kapal dengan bergiliran disini sangat tidak mungkin. Kondisi laut dari waktu ke waktu selalu berubah. Beruntung jika mendapat giliran di mangsa kapat (mangsa ke empat) ketika ikan sedang banyak. Bagaimana kalau dapat di mangsa paceklik?”
Hal ini menunjukkan fungsi kelembagaan nelayan yang belum optimal di Ciawitali. Nelayan masih belum mampu mempercayai kelembagaan tersebut untuk mengakomodasi penggunaan sarana bersama. Adaptasi teknologi yang cukup relevan untuk diakses nelayan Ciawitali saat ini adalah penerapan teknologi informasi untuk memperkirakan keberadaan ikan. Sebagaimana telah diulas pada sub bab sebelumnya, strategi adaptasi mengejar musim yang dilakukan oleh nelayan Ciawitali akan lebih optimal jika didukung oleh pemanfaatan informasi Peta Daerah Penangkapan Ikan (PDPI) yang dapat diakses melalui situs resmi KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan). Namun hingga saat ini para nelayan masih belum terdedah akan media internet sehingga informasi prediksi keberadaan ikan yang dikeluarkan oleh KKP tersebut belum dapat dimanfaatkan oleh nelayan Ciawitali.
BAB X PENUTUP
10.1
Kesimpulan Persepsi nelayan terhadap perubahan iklim adalah penafsiran nelayan terhadap
perubahan-perubahan ekologis yang terjadi di wilayan pesisir sebagai dampak dari perubahan iklim. Data yang diperoleh dari survai terhadap 47 orang nelayan menunjukkan bahwa hampir seluruh nelayan telah mempersepsikan perubahan iklim terjadi wilayah Ciawitali. Hanya satu orang saja diantaranya (2,1 persen responden) yang memiliki persepsi yang rendah terhadap perubahan iklim ini. Sedangkan dari uji korelasi Rank Spearman yang dilakukan antara persepsi nelayan terhadap perubahan iklim dengan berbagai variabel karakteristik individu dan perilaku komunikasi, tidak ditemukan satupun hubungan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 3) Dampak perubahan iklim telah jelas sekali terjadi di pesisir Ciawitali, sehingga hampir seluruh masyarakat telah membentuk persepsi yang sama mengenai perubahan iklim, tidak peduli usia, pengalaman, karakteristik individu lainnya dan tidak membutuhkan keterdedahan informasi yang tinggi untuk menyadari dampak perubahan iklim telah terjadi di pesisir Ciawitali. 4) Eratnya hubungan antara nelayan dengan sumberdaya pesisir, sehingga berbagai perubahan yang terjadi telah ditafsirkan secara mandiri oleh nelayan sebagai dampak perubahan iklim. Dampak perubahan iklim merugikan nelayan Ciawitali melalui dua aspek, yaitu aspek ekologi dan sosial ekonomi: 1) Aspek ekologi. Perubahan musim ikan dan kekacauan musim angin menyebabkan nelayan mengalami kerugian karena semakin sulit menentukan waktu-waktu yang tepat untuk melaut.
106
2) Aspek sosial ekonomi. d) Dampak ini terjadi pada kesehatan dan pemukiman masyarakat dimana kekacauan musim yang terjadi akibat perubahan iklim telah menyebabkan terganggunya sumber-sumber air minum penduduk. Selain itu perubahan pola angin juga menyebabkan kawasan pemukiman masyarakat sempat diterjang badai dan angin puting beliung. e) Pada perikanan, perubahan iklim ini menyebabkan menurunnya hasil tangkapan nelayan yang dipicu oleh sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan, sulitnya menentukan musim penangkapan ikan, berkurangnya ketersediaan ikan dan hasil tangkapan lainnya, serta meningkatnya resiko melaut. Adaptasi dan strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan dalam mengatasi dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim lebih didominasi oleh polapola adaptasi yang sifatnya reaktif. Adaptasi dan strategi tersebut meliputi: 1) Adaptasi iklim berupa mengejar musim ikan ke wilayah lain. 2) Adaptasi sumberdaya pesisir dengan mencari hasil tangkapan di wilayah mangrove. 3) Adaptasi alokasi sumberdaya manusia dalam rumah tangga yang meliputi optimalisasi tenaga kerja rumah tangga, pola nafkah ganda tani-nelayan, serta jasa pengangkutan menggunakan perahu nelayan. 4) Adaptasi melalui keluar dari kegiatan perikanan (escaping from fisheries) dengan cara beralih profesi. 10.2
Saran
1) Pengembangan sistem informasi bagi nelayan. Pengembangan sistem informasi penting untuk dilakukan mengingat pola adaptasi yang sifatnya lebih antisipatif masih belum dapat dilakukan oleh masyarakat akibat keterbatasan informasi yang mereka peroleh. Hal ini juga
107
sangat mendukung pola adaptasi mengejar musim ikan ke wilayah lain agar usaha yang dilakukan oleh nelayan dapat memberikan hasil yang optimal. 2) Kebijakan permodalan bagi nelayan. Kebijakan permodalan diperlukan untuk mendukung pola adaptasi pola nafkah ganda, agar nelayan tidak hanya menggantungkan pendapatan dari hasil penangkapan saja. Di wilayah Ciawitali masih terdapat banyak lahan kosong di daerah rawa-rawa yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan budidaya. Hingga saat ini masih belum ada yang memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan budidaya dalam skala yang cukup besar. Dengan kebijakan permodalan ekonomi, disertai dengan sedikit pembekalan melalui upaya-upaya pengembangan modal sosial masyarakat, lahan ini dapat menjadi lahan budidaya yang produktif serta mampu menyelamatkan perekonomian masyarakat. 3) Penelitian lebih lanjut mengenai dampak ekologis perubahan iklim di wilayah penangkapan ikan. Penelitian lintas disiplin ilmu dibutuhkan untuk menghasilkan data yang lebih akurat akan kondisi lautan yang sebenarnya akibat perubahan iklim. Fakta-fakta yang terjadi di lapangan didukung dengan data-data ilmiah ini kedepannya diharapkan dapat memberikan pertimbangan pada penetu kebijakan, terutama kebijakan ekonomi serta pengelolaan wilayah pesisir. 4) Penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan sumber nafkah bagi nelayan. Hal ini ditujukan untuk menyelamatkan perekonomian masyarakat pesisir melalui pemanfaatan berbagai sumberdaya pesisir yang ada. Penelitian lintas disiplin ilmu dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya alam ini dapat berjalan maksimal tanpa menimbulkan kerusakan-kerusakan baru akibat pola ekstraksi yang tidak lestari.
DAFTAR PUSTAKA Chen, CTA. 2008. “Effects of Climate Change on Marine Ecosystem,” Fisheries for Global Welfare and Environment: 5th World Fisheries Congress (K. Tsukamoto, T. Kawamura, T. Takeuchi, T. D. Beard, Jr. and M. J. Kaiser, Eds.). Tokyo: TERRAPUB. Cruz, R.V., H. Harasawa, M. Lal, S. Wu, Y. Anokhin, B. Punsalmaa, Y. Honda, M. Jafari, C. Li and N. Huu Ninh, dkk. 2007. “Asia,” Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds.). Cambridge: Cambridge University Press. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Danudiredja, Eryadi D. 1998. Hubungan Karakteristik dan Perilaku Komunikasi Penerima Bantuan P3DT dengan Persepsi dan Partisipasi dalam Penerapan Program P3DT di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Tesis. Jurusan Komunikasi Pembagunan Pertanian dan Pedesaan. Pascasarjana IPB. Diposaptono, Subandono, Budiman, Firdaus Agung. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: PT. Sarana Komunikasi Utama. Erwina. 2005. Analisis Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Kualitas Lingkungan di Daerah Pesisir: kasus di Kelurahan Marunda, Jakarta Utara. Tesis. Departemen Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pascasarjana IPB. Fatchiya, Anna. Pola Pengembangan Kapasitas Pembudidaya Ikan Kolam Air Tawar di Propinsi Jawa Barat. Disertasi. Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Pascasarjana IPB. Halim, Abdul, Andiko, B.T. Minar, Giorgio Budi I., Koesnadi W., K. Halid, M.T. Surya, M.L. Hakim, R. Puji, R. Damanik, S. Maemunah. 2009. Membaca Jejak Perubahan Iklim: bunga rampai pengalaman CSF untuk keadilan iklim. Jakarta: Civil Society Forum (CSF) on Climate Justice. Huberman, A. Michael, dan Matthew B. Miles. 2009. “Manajemen Data dan Metode Analisis”, Handbook of Qualitative Research (Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Eds.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Iqbal, Moch. 2004. Strstegi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan, Jawa Timur). Tesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1997. Ringkasan Agenda 21 Indonesia: Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. (tidak diterbitkan). Kusnadi. 2007. Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta: LkiS. J., M. Mawardi. 2003. Pola Adaptasi Masyarakat Petani Terhadap Perubahan Peruntukan Lahan di Desa Karangrejo Sungkai Selatan Lampung Utara. Tesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB.
109
Marr, Carolyn, dkk. 2009. Keadilan Iklim dan Penghidupan yang Berkelanjutan. Bogor: Down to Earth International Campaign for Ecological Justice in Indonesia. Mimura, N., L. Nurse, R.F. McLean, J. Agard, L. Briguglio, P. Lefale, R. Payet and G. Sem. 2007. “Small Island,” Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds.). Cambridge: Cambridge University Press. Odum, Eugene P. 1994. “Dasar-dasar Ekologi: edisi ketiga”, Fundamentals of Ecology: third edition (Tjahjono Samingan, Penerj.). Yogyakarta: Gadjahmada University Press. Priyatno, Duwi. 2009. Lima Jam Belajar olah Data dengan SPSS 17. Yogyakarta: Penerbit Andi. Rakhmat, Jalaluddin. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. _________________. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Rio. 2009. Pemberdayaan Komunitas Nelayan Melalui Penerapan Prorgam SeaFarming: studi kasus komunitas nelayan sea-farming Pulau Panggang, kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta. Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo __________. 2009. Pesisir dan Laut Untuk Rakyat. Bogor: IPB Press Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1987. Metode Penelitian Survai. Yogyakarta: LP3S. Sitorus, MT Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: suatu perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial IPB. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: suatu pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Stake, Robert E. 2009. “Studi Kasus,” Handbook of Qualitative Research (Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Eds.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Supriharyono. 2007. Pengenalan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Djambatan. Susandi, A., Suwahyuono, K. Idris, S. Diposaptono, F. Ardiansyah, H. Hermantoro, A. Purwadianto, Supardi. 2009: Strategi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Prosiding. Workshop Ocean and Climate Change. Laut Sebagai Pengendali Perubahan Iklim: peran laut Indonesia dalam mereduksi percepatan proses pemanasan global. (tidak diterbitkan). Tauli-Corpuz, V., E. Baldo-Soriano, H. Magata, C. Golocan, M.V. Bugtong, R. de Chaves, L. Enkiwe-Abayao, J. Cariño. 2008. Panduan Tentang Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat. Philippines: Tebtebba Foundation.
110
UNEP. 2009. Climate Change Science Compendium. Catherine P. McMullen, Jason Jabbour, Eds. http://www.unep.org/pdf/ccScienceCompendium2009 /cc_ScienceCompendium2009_full_en.pdf. Widodo, Slamet. 2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir. Tesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Pascasarjana IPB.
111
Lampiran 1. Kebutuhan Data, Metode, Jenis, dan Sumber Data No
Kebutuhan Data
Metode
Jenis Data
Sumber Data
1
kondisi umum lokasi
studi literatur, wawancara, pengamatan
primer, sekunder
pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan literatur
2
profil sejarah lokasi
studi literatur, wawancara
primer, sekunder
tokoh masyarakat dan literatur
3
kondisi sosial-ekonomi nelayan
studi literatur, wawancara, pengamatan berperan serta
primer, sekunder
pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan literatur
4
kondisi ekosistem, lingkungan dan gejala perubahan iklim yang terjadi
studi literatur, wawancara, pengamatan
primer, sekunder
nelayan, pemerintah desa, literatur, sekolah lapang iklim
5
pengaruh gejala perubahan iklim yang terjadi terhadap aktivitas nelayan
wawancara, pengamatan berperan serta
primer
nelayan
6
pengaruh gejala perubahan iklim yang terjadi terhadap kondisi ekonomi nelayan
studi literatur, wawancara, pengamatan berperan serta
primer, sekunder
nelayan, pemerintah desa, literatur
7
persepsi nelayan mengenai perubahan iklim
survai
primer
nelayan
8
pola perikanan tangkap serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
studi literatur, wawancara, pengamatan berperan serta, survai
primer, sekunder
nelayan
9
adaptasi perikanan tangkap
studi literatur, wawancara, pengamatan berperan serta
primer, sekunder
nelayan, pemerintah desa
10
Strategi ekonomi dan matapencaharian nelayan
studi literatur, wawancara, pengamatan berperan serta
primer, sekunder
nelayan, pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan literatur
112
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN “POLA ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM” (Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis) Oleh : Ratna Patriana Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia – Institut Pertanian Bogor No. Responden : ....... (diisi oleh peneliti)
Responden Nama
: ………………………………………………………………
Alamat
:………………………………………………………………
No. Telp / Hp : ……………………………………………………………… 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
I. Karakteristik Individu Berapa usia Bapak sekarang? : …………… tahun Pendidikan formal yang Bapak capai? Tidak Sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tidak tamat SMP Tamat SMP Tidak tamat SMA Tamat SMA Perguruan Tinggi Pelatihan atau kursus apakah yang pernah Bapak ikuti? Tidak pernah Sekolah Lapang / Penyuluhan. Mengenai : ……………………. Selama : ……………………. Pada tahun :……………………. Sudah berapa lama Bapak tinggal di desa ini? 1 - 5 tahun 10 – 15 tahun 5 – 10 tahun lebih dari 15 tahun Sudah berapa lama Bapak bekerja sebagai nelayan? 1 - 5 tahun 10 – 15 tahun 5 – 10 tahun lebih dari 15 tahun Apakah terdapat pekerjaan lain selain sebagai nelayan? Ya : (1) pekerjaan : ………….. (2) pekerjaan : ………….. (3) pekerjaan : ………….. Tidak Apakah nelayan merupakan pekerjaan utama Bapak? Ya Tidak Selain Bapak, apakah ada dalam anggota keluarga Bapak yang telah bekerja?
113
Istri, pekerjaan : …………………………. Anak, pekerjaan : …………………………. Anggota lainnya (sebutkan) : 1) …………………………. Pekerjaan: …………………………. 2) …………………………. Pekerjaan: …………………………. 3) …………………………. Pekerjaan: …………………………. 9.
Berapa total pengeluaran rutin rumah tangga Bapak dalam satu bulan?
10.
Berapa rata-rata penghasilan rumah tangga Bapak dalam satu bulan?
1.
2.
3.
4.
5.
6.
II. Perilaku Komunikasi Media komunikasi apa yang Bapak miliki? Televisi Radio Media cetak (koran atau majalah) Buku atau bahan bacaan mengenai lingkungan Berapa hari dalam seminggu Bapak menonton televisi? Setiap hari 1 – 3 hari 4 – 5 hari Tidak pernah Biasanya dalam sehari pada jam berapa Bapak mengikuti siaran televisi? Pagi, jam : …………. Sampai jam : ………… Siang, jam : …………. Sampai jam : ………… Sore, jam : …………. Sampai jam : ………… Malam, jam : …………. Sampai jam : ………… Berapa hari dalam seminggu Bapak mengikuti siaran radio? Setiap hari 1 – 3 hari 4 – 5 hari Tidak pernah (lanjut ke pertanyaan no.6) Biasanya dalam sehari pada jam berapa Bapak mengikuti siaran radio? Pagi, jam : …………. Sampai jam : ………… Siang, jam : …………. Sampai jam : ………… Sore, jam : …………. Sampai jam : ………… Malam, jam : …………. Sampai jam : ………… Dari siaran-siaran yang Bapak ikuti, adakah yang menguraikan tentang perubahan iklim atau pemanasan global? Tidak ada
114
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Pernah menyimak di radio, sebanyak …………. kali Pernah menyimak di televisi, sebanyak …………. kali Media cetak apa saja yang Bapak baca? Surat kabar/koran (sebutkan) …………………. Majalah, buku, brosur (sebutkan) …………………. Lainnya (sebutkan) …………………. Tidak ada (lanjut ke pertanyaan no.11) Berapa hari dalam seminggu Bapak membaca koran/majalah/buku? Setiap hari 1 – 3 hari 4 – 5 hari Tidak pernah Biasanya dalam sehari pada jam berapa Bapak membaca? Pagi, jam : ………….Sampai jam : ………… Siang, jam : …………. Sampai jam : ………… Sore, jam : …………. Sampai jam : ………… Malam, jam : …………. Sampai jam : ………… Apakah Bapak pernah membaca tentang perubahan iklim ataupun pemanasan global? Pernah, membaca dari …………………. Tidak pernah Apakah Bapak pernah membicarakan perubahan iklim atau pemanasan global dengan orang lain di desa ini? Ya, dalam obrolan dengan tetangga Ya, ketika bertemu dengan teman di warung, pasar atau dimana saja bila ada kesempatan Ya, ketika ada sekolah lapang ataupun penyuluhan Ya, saya sengaja mencari tahu tentang perubahan iklim, pemanasan global ataupun keanehan cuaca ini dengan tokoh masyarakat, atau orang lain yang saya anggap ahli Tidak pernah (lanjut ke bagian III. Persepsi) Kalau Bapak ingin mencari tahu lebih lanjut mengenai perubahan iklim, pemanasan global ataupun keanehan cuaca, kemana Bapak meminta pendapat dan berapa kali selama setahun yang lalu? Rekan sesama nelayan : …………… kali Sesepuh atau tokoh desa : …………… kali Petugas sekolah lapang : …………… kali Pejabat desa : …………… kali Lainnya (sebutkan) ………………… : ………….kali Diantara orang yang Bapak hubungi tersebut, adakah orang yang pendapatnya cocok dengan pendapat Bapak?
115
Ada, yaitu ………………………………….. Tidak ada 14. Apabila Bapak cocok dengan pendapat orang tersebut, apa alasan Bapak? Ada, karena pengaruh adat istiadat. Sebutkan, nama adat : ……………………………….. Ada, karena pengaruh jabatan di Pemerintahan Desa Sebutkan, nama jabatannya : ……………………………….. Ada, karena memiliki pengetahuan yang lebih. Sebutkan, bidang pengetahuannya : ……………………………….. Ada, karena pengaruh lainnya Sebutkan : ……………………………….. Tidak ada alasan III. Persepsi Pada bagian ini, Bapak dimohon memberikan tanggapan terhadap pernyataan dengan cara memberi tanda cek (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan pilihan Bapak. No
Pernyataan
1.
Suhu bumi telah meningkat
2.
Telah terjadi perubahan alam di kawasan pantai dan lautan yang berbeda dari tahuntahun sebelumnya
3.
Permukaan air laut dari tahun ke tahun semakin tinggi
4.
Ombak di lautan semakin besar dibanding tahun-tahun sebelumnya
5.
Badai semakin sering terjadi dibanding tahun-tahun sebelumnya
6.
Datangnya badai di lautan semakin sulit ditebak
7.
Arah angin semakin sulit ditebak
8.
Musim ikan semakin sulit ditebak
9.
Saya merasa semakin sulit menentukan wilayah penangkapan ikan
10.
Ikan-ikan semakin sedikit
Setuju
Raguragu
Tidak Setuju
116
Lampiran 3. Daftar Responden no. responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
nama responden Jum'an kaswanto setiaji asim rohili ayo tusino tugiman sahidin Tarmidi suyatna beja sarmin nana rojak sahidin sukin tata komar sunardi muhtar iran Tumin sardi seman satun mamin yayat imin satimin yuliyanto mislam Moch Mahpudin Rislan apon riawan andi hidayat kasri K Suyanto dedi karli encon ade rasam S Sopian daswan herman
usia responden 38 56 29 30 27 41 30 37 30 50 40 30 37 47 43 28 27 56 49 50 48 59 46 53 50 45 34 39 39 35 50 29 51 55 36 36 34 50 34 31 28
117
no. responden nama responden 42 muhidin 43 saimun 44 Dasikun 45 Ibo Wahidin 46 Samun 47 Sahindi rata-rata usia responden
usia responden 35 40 50 40 53 36 41
Lampiran 4. Buku Kode 1) Karakteristik Nelayan Hal Nomor No. Kuesioner Pertanyaan Variabel 1 1 1
1
1
1
1 dan 2
2
4
5
6 dan 7
2
3
4
5
Nama Variabel Usia < 41 tahun ≥ 41 tahun Pendidikan formal tamat atau tidak tamat SD tamat SMP tamat SMA Lama tinggal di Ciawitali ≤15 tahun >15 tahun Pengalaman nelayan ≤15 tahun >15 tahun klasifikasi nelayan nelayan penuh nelayan sambilan utama nelayan musiman
Kategori muda tua rendah
Kode 1 2 1
sedang tinggi
2 3
rendah tinggi
1 2
rendah tinggi
1 2
nelayan 1 penuh nelayan 2 sambilan utama nelayan 3 musiman
118
1) Perilaku Komunikasi Hal Kuesi oner 2
Nomor Pertan yaan 1 1 2 3 4
2
2 1 2 3 4
2
4 1 2 3 4
3
6 1
3
3
3
7
8
10
11 1 2
No Variabel
Nama Variabel
Total Skor
Kategori
Kode
Rendah
1
≥2
Tinggi
2
3-6
Rendah
1
7 – 10
Tinggi
2
3–6
Rendah
1
7 – 10
Tinggi
2
1
Rendah
1
2
Tinggi
2
≤2 6
7
kepemilikan media
Keterdedah an terhadap media elektronik
tidak pernah
2 pernah jumlah media cetak dibaca 1 ada 2 ada 1 3 ada 2 4 ada 3 frekuensi membaca tidak pernah 1 1-3 hari 2 4-5 hari 3 setiap hari 4 memperoleh info CC di media cetak 1 2
3
Nama sub variabel dan Kode kepemilikan media 1 media 2 media 3 media 4 media frekuensi menonton TV/minggu tidak pernah 1-3 hari 4-5 hari setiap hari frekuensi mendengar radio/minggu tidak pernah 1-3 hari 4-5 hari setiap hari memperoleh info CC di TV/radio
tidak pernah pernah Fungsi Komunikasi Interpersonal tidak pernah pernah
8
9
Keterdedah an terhadap media cetak
Fungsi Komunikasi Interperson al
119
2) Persepsi Terhadap Perubahan Iklim Ragu- Tidak No. Setuju ragu Setuju Pernyataan 1 3 2 1 2 3 2 1 3 3 2 1 4 3 2 1 5 3 2 1 6 3 2 1 7 3 2 1 3 2 1 8 3 2 1 9 3 2 1 10
Total skor
kategori
kode
10 sampai 19
rendah
1
20 sampai 30
tinggi
2
Lampiran 5. Pedoman Wawancara Mendalam PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM KEPADA INFORMAN (NELAYAN) Hari/Tanggal Wawancara Lokasi Wawancara Nama dan Umur Informan Alamat No Telp./HP Pertanyaan
: : : : : :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sejak kapan Anda tinggal di desa ini? Apakah nelayan merupakan pekerjaan utama Anda? Apa pekerjaan lain anda selain sebagai nelayan? Berapa persen pendapatan yang diperoleh dari hasil melaut? Sudah berapa lama Anda bekerja sebagai nelayan? Faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kegiatan anda mencari ikan di laut? 7. Apa saja kendala yang ada yang mempengaruhi kegiatan Anda dalam mencari ikan di laut? 8. Pada bulan-bulan apa saja Anda mencari ikan di laut? 9. Mengapa anda mencari ikan di bulan-bulan tersebut? 10. Berapakah rata-rata hasil tangkapan yang anda peroleh tiap harinya? 11. Dalam sekali melaut, biasanya berapa lama waktu yang Anda gunakan? Pertanyaaan mengenai prakiraan cuaca: 12. Apakah terdapat metode-metode dalam memperkirakan cuaca (kapan kirakira akan terjadi badai dsb) yang telah lama digunakan oleh nelayannelayan dahulu? (indigenous knowledge)
120
13. Apakah anda pernah menerima informasi prakiraan cuaca dari pemerintah/instansi terkait cuaca dan iklim seperti BMG? 14. Apakah anda memanfaatkan prakiraan cuaca tersebut? 15. Yang mana yang lebih diandalkan? Perkiraan cuaca secara tradisional atau yang dikeluarkan oleh pemerintah? Pertanyaan mengenai dampak dan strategi perubahan iklim: 16. Menurut Anda, bagaimana kondisi lingkungan pesisir wilayah ini dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu? 17. Apakah terdapat perubahan lingkungan yang mempengaruhi kegiatan Anda dalam mencari ikan di laut? 18. Perubahan apa saja yang terjadi? 19. Bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi aktivitas Anda dalam melaut? 20. Apakah terjadi penurunan produksi perikanan akibat perubahan tersebut? 21. Apakah Anda mengalami kerugian ekonomi akibat perubahan tersebut? Jelaskan! 22. Bagaimana respon Anda terhadap perubahan tersebut? 23. Apakah Anda melakukan adaptasi perikanan tangkap dalam menghadapi perubahan tersebut? 24. Bagaimana adaptasi yang Anda lakukan? 25. Faktor apa saja yang berperan mendukung adaptasi tersebut? 26. Apa saja kendala adaptasi tersebut? 27. Bagaimana strategi ekonomi yang Anda lakukan dalam menghadapi kerugian ekonomi tersebut? 28. Apa langkah adaptasi lain kalau seandainya jumlah hari bisa melaut berkurang sekian persen (10, 20 dst) dari rata-rata hari melaut saat ini? (alternatif tambahan mata pencaharian lain yang mungkin berpotensi) Pertanyaan berkaitan dengan kelompok nelayan dan kebutuhan program: 29. Apakah nelayan-nelayan disini memiliki kelompok nelayan? 30. Apa saja kegiatan kelompok tersebut? 31. Apakah Anda pernah mengikuti sekolah lapang bagi nelayan atau sejenisnya? 32. Menurut Anda, apakah sekolah lapang dibutuhkan oleh para nelayan disini? 33. Menurut Anda, program apa yang dibutuhkan untuk kemajuan nelayan disini?
121
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian