STRATEGI ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS KAWASAN PESISIR (Studi Kasus: Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan)
Alfian Helmi I34070104
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
ABSTRACT ALFIAN HELMI. Fisher’s Adaptation Strategy to Ecological Changes in Coastal Area. Supervised by ARIF SATRIA The objectives of this research are to assess the effect of ecological change towards fisher’s life and its adaptation strategy in coastal area of Pulau Panjang, Sub-district Simpang Empat, Tanah Bumbu Regency, South Kalimantan. Qualitative and quantitative method are used in this research. The research’s result shows that there are ecological changes caused by the establishment of coal port, opening of coastal pond, illegal logging, and mangrove conversion into housing. Social-economic impacts felt by the fisher’s are depletion of fish diversity, loose of substrate and livelihood threat. The fisher’s adaptation strategies include (i) diversification in economic source (53,3% respondent); (ii) diversification in fishing equipment (33,3% respondent); (iii) fishing area movement (16,7% respondent); (iv) social network improvement and utilization (50% respondent); (v) family members mobilization (33,3% respondent); and (vi) other strategies, such as illegal logging and looking for donation (30% respondent). Key words: adaptation strategic, ecological change
iii
RINGKASAN ALFIAN HELMI. Strategi Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Ekologis Kawasan Pesisir. Di bawah bimbingan ARIF SATRIA Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengaruh perubahan ekologis terhadap kehidupan nelayan dan strategi adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis di kawasan pesisir Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Desa ini dipilih karena di sekitar pesisir desa terdapat enam buah pelabuhan khusus pertambangan batubara. Selain itu, desa ini memiliki ekosistem mangrove dan terumbu karang serta hampir seluruh penduduknya memiliki mata pencaharian yang terkait langsung dengan sektor perikanan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan untuk menelusuri lebih jauh alur sejarah desa, pola pemanfaatan sumberdaya pesisir dan perubahan penggunaan lahan di kawasan pesisir. Selain itu, metode kualitatif ini juga digunakan untuk mengetahui lebih jauh kehidupan sosial ekonomi nelayan yang terpengaruh oleh perubahan ekologis, aktivitas-aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan ekologis, serta strategi adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis tersebut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi studi memiliki rumah dengan kategori rumah semi permanen (75%), menggunakan alat masak utama kayu bakar (94%), dengan sumber energi utama minyak tanah (94%). Seluruh penduduk (100%) belum menikmati penerangan listrik yang bersumber dari PLN. Adapun sumber penerangan utama umumnya menggunakan genset (53%) dan tenaga surya (100%). Artinya, semua penduduk memiliki tenaga surya, akan tetapi hanya sebagiannya yang juga memiliki genset. Selain itu, hampir seluruh penduduk di lokasi studi masih menggunakan jenis jamban yang langsung membuang limbahnya ke laut. Kondisi kependudukan di desa ini dicatat secara berbeda oleh berbagai instansi yang ada di daerah ini. Biro Pusat Statistik Kabupaten Tanah Bumbu pada tahun 2009 mencatat jumlah penduduk Desa Pulau Panjang sebanyak 330 jiwa, dengan 106 KK. Sedangkan pada tahun yang sama Kantor Kecamatan Simpang Empat mencatat jumlah penduduk sebanyak 479 jiwa dengan 115 KK. Selain itu, hasil pemetaan swadaya masyarakat Pulau Panjang pada tahun 2011 mencatat jumlah penduduk di desa ini sebanyak 250 jiwa dengan 67 KK. Hasil observasi dan wawancara di lokasi penelitian menemukan bahwa perubahan ekologis di kawasan ini diakibatkan oleh berbagai bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir yang cenderung eksploitatif. Bentuk perubahan ekologis dilihat dari kerusakan mangrove dan terumbu karang. Hasil survai terhadap 30 orang responden, sebanyak 53,3 persen menyatakan bahwa kondisi ekosistem
iv
mangrove saat ini berada dalam kondisi yang buruk, sebanyak 23,3 persen menyatakan kondisinya sangat buruk, sementara 16,7 persen menyatakan masih baik, dan hanya 6,7 persen yang menyatakan sangat baik. Hasil yang tidak jauh berbeda juga ditemukan dalam kaitannya dengan persepsi nelayan terhadap kondisi ekosistem terumbu karang. Sebanyak 30 responden yang diwawancara, 50 persen diantaranya menyatakan kondisi terumbu karang sangat buruk, 43,3 persen menyatakan kondisinya buruk, dan hanya 6,7 persen yang menyatakan baik. Berbagai bentuk perubahan ekologis tersebut pada gilirannya menimbulkan dampak bagi kehidupan nelayan yang merupakan aktor utama yang memiliki kedekatan fisik, teritorial, serta emosional terhadap sumberdaya pesisir. Adapun dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan ekologis tersebut diantaranya adalah (i) penurunan jumlah dan keragaman hasil tangkapan nelayan, (ii) hilangnya pasokan kayu bakar, kayu bangunan, nipah dan bahan baku obat-obatan, (iii) sulitnya menentukan daerah penangkapan ikan, (iv) menurunnya kesempatan berusaha. Kejadian-kejadian ini mengharuskan nelayan untuk dapat beradaptasi guna menjamin keberlangsungan hidupnya. Hasil penelitian menemukan bahwa strategi adaptasi yang diterapkan oleh rumah tangga nelayan berbeda-beda dan tidak hanya terpaku pada satu jenis adaptasi saja. Rumah tangga nelayan mengkombinasikan berbagai macam pilihan adaptasi sesuai sumberdaya yang dimilikinya. Berdasarkan hasil survai di lokasi penelitian, diketahui bahwa sebanyak 53,3 persen responden memilih untuk menganekaragamkan sumber pendapatan sebagai strategi adaptasinya. Selain itu, sebanyak 50 persen responden melakukan adaptasi dengan memanfaatkan hubungan sosial, sebanyak 33,3 persen melakukan adaptasi dengan memobilisasi anggota rumah tangga, 33,3 persen melakukan penganekaragaman alat tangkap, dan sebanyak 16,7 persen melakukan perubahan daerah penangkapan serta 20 persen responden melakukan strategi lainnya, yakni berupa penebangan hutan mangrove sacara ilegal dan mengandalkan bantuan-bantuan dari berbagai pihak. Hasil analisis dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji Chi-square mengemukakan bahwa tidak terdapat hubungan antara karakteristik rumah tangga nelayan dengan pilihan-pilihan adaptasinya. Hal ini ditandai dengan nilai signifikansi yang lebih besar dari nilai α (0,05). Hasil penelitian ini menandakan bahwa strategi penganekaragaman sumber pendapatan merupakan strategi yang dominan dilakukan oleh rumah tangga nelayan. Kedepan, disarankan agar pengembangan sumber-sumber mata pencaharian alternatif bagi nelayan mutlak diperlukan agar nelayan Pulau Panjang dapat bertahan hidup dalam keadaan yang senantiasa berubah.
v
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS KAWASAN PESISIR (Studi Kasus: Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan)
Oleh: Alfian Helmi I34070104
Skripsi Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vi
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “STRATEGI ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS KAWASAN PESISIR” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA BERTANGGUNGJAWAB ATAS PERNYATAAN INI.
Bogor, September 2011
ALFIAN HELMI I34070104
vii
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini dinyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Alfian Helmi
NIM
: I34070104
Judul Skripsi
: Strategi Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Ekologis Kawasan Pesisir (Studi Kasus: Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan)
Dapat diterima untuk memperoleh gelar Sarjana pada Depertemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Arif Satria, SP, M.Si NIP. 19710917 199702 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198 103 1 003 Tanggal kelulusan : _____________________________
viii
RIWAYAT HIDUP Alfian Helmi (penulis) dilahirkan di Bogor pada tanggal 18 Oktober 1988. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Amarullah dan Ibu Rukoyah. Penulis memulai pendidikan pada Raudhotul Athfal (RA) At-Thoyyibah, Sawangan Baru, Kota Depok pada tahun 1993-1994. Penulis kemudian melanjutkan Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Sawangan pada tahun 1994-2000, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Depok pada tahun 2000-2003, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 5 Depok pada tahun 2003-2006. Masuk perguruan tinggi pada tahun 2007 di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur masuk Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih untuk melanjutkan studi di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) hingga saat ini. Selama masa kuliah penulis aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan, diantaranya pada tingkat pertama penulis aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa TPB IPB dan Koperasi Mahasiswa. Memasuki fakultas, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) sebagai Ketua Divisi Politik dan Kajian Strategis. Kiprah dalam organisasi kamahasiswaan dilanjutkan untuk terlibat aktif dalam Ikatan Mahasiswa Peminat Ekologi Manusia Indonesia (IMPEMA). Ditengah aktivitasnya sebagai mahasiswa, penulis juga pernah menjadi koordinator asisten praktikum matakuliah Sosiologi Umum (KPM130) selama tiga semester, asisten praktikum pada mata kuliah Pengantar Ilmu Kependudukan (KPM 300), dan mata kuliah Kelembagaan, Organisasi dan Kepemimpinan (KPM 302), serta Politik Sumberdaya Alam (KPM322). Selain itu, bersama rekanrekannya penulis juga pernah menjuarai Lomba Karya Ilmiah tingkat Nasional (Juara II) di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2010 serta penerima Hibah Dikti dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Artikel Ilmiah pada tahun 2009.
ix
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, serta atas izin-Nya pula, akhirnya kami dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Strategi Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Ekologis Kawasan Pesisir (Studi kasus: Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan). Skripsi ini merupakan rangkaian proses untuk memahami dan menjelaskan strategi adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis kawasan pesisir. Berdasarkan hasil observasi lapangan dan analisis berbagai pustaka yang ada diharapkan akan muncul ide-ide baru untuk program pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan adaptasi nelayan. Skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada: a) Dr. Arif Satria selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu. b) Dr. Rilus A. Kinseng, MA dan Ir. Yatri Indah Kusumastuti, MSi selaku dosen penguji utama. Serta Martua Sihaloho, SP, M.Si yang telah bersedia mengoreksi dan memperbaiki teknik penulisan dalam skripsi ini. c) Dr. Ir. Arya H. Dharmawan M.Sc,Agr., dan Rina Mardiana,SP,M.Si, yang telah meluangkan banyak waktu untuk berdiskusi dengan penulis. d) Ibunda Hj. Rukoyah dan Ayahanda Drs. H. Amarullah, yang telah memberikan kasih sayang, ketulusan dan motivasi untuk terus berkarya. Tak lupa untuk Irfan, Fadli dan Neila, engkau adik-adik terbaik yang penulis miliki. e) Pak H.Alimudin (Pembekal), Bu Harmawati, Bang Imi (Sekdes), Bang Jur, Bang Bacho, Bang Dina, dan semua warga Pulau Panjang yang telah menerima dan memberikan apresiasi yang begitu besar terhadap penulis. f) Rekan-rekan di Yayasan Gada Ulin, Mas Icin, Mba Ana, Mba Fiska, Pak Rohmad dan Pak Taufik. Terima kasih atas kerjasamanya. g) Keluarga Besar PT. Arutmin Indonesia yang telah membiayai penelitian ini. Khususnya rekan-rekan di Site Batulicin, Pak Ibnu, Pak Elmi, Pak Edy, Pak Fawa, Mas Syafri, Bang Irfan yang memberikan banyak masukan dan saran selama penulis berada di lokasi penelitian. h) Keluarga Besar Dinas Perikanan & Kelautan, Biro Pusat Statistik Tanah Bumbu, serta rekan-rekan BKSDA Kalimantan Selatan di Banjarbaru (khususnya Unit Konservasi Selat Laut). i) Teman-teman sebimbingan, Maya, Ume, Didi, Yochan, Novita. Tak lupa untuk Syifa dan Dina rekan penulis dalam berbagai lomba karya tulis ilmiah. Terima kasih atas semangat yang telah dibangun selama penulisan skripsi ini.
x
j) Keluarga Besar IMPEMA 2009-2011, yang selalu memacu penulis untuk memunculkan ide-ide baru dan menularkan semangat baru. k) Keluarga Besar Mahasiswa Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat 44 yang telah memotivasi dalam penyusunan skripsi ini. l) I14070011 Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Penulis menyadari bahwa dalam karya ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.
Bogor, September 2011
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................i ABSTRACT ........................................................................................................ii RINGKASAN ....................................................................................................iii LEMBAR PERNYATAAN ...............................................................................vi LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................vii RIWAYAT HIDUP ...........................................................................................viii KATA PENGANTAR .......................................................................................ix DAFTAR ISI .....................................................................................................xi DAFTAR TABEL .............................................................................................xiv DAFTAR GAMBAR .........................................................................................xv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................xvi BAB I
PENDAHULUAN ...............................................................................1
1.1.Latar Belakang .........................................................................................1 1.2.Perumusan Masalah ..................................................................................3 1.3.Tujuan Penelitian ......................................................................................4 1.4.Kegunaan Penelitian .................................................................................4 BAB II PENDEKATAN TORITIS ...................................................................6 2.1.Tinjauan Pustaka.......................................................................................6 2.1.1. Karakteristik Nelayan dan Penggolongannya ...................................6 2.1.2. Sumberdaya Pesisir ..........................................................................9 2.1.3. Perubahan Ekologis .........................................................................13 2.1.4. Strategi Adaptasi Nelayan ................................................................19 2.2.Kerangka Pemikiran .................................................................................24 2.3.Hipotesis Penelitian ..................................................................................26 2.4.Definisi Konseptual ..................................................................................26 2.5.Definisi Operasional .................................................................................27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN...........................................................29 3.1.Metode Penelitian .....................................................................................29 3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................................................29 3.3.Teknik Pemilihan Responden dan Informan ..............................................30
xii
3.4.Teknik Pengumpulan Data ........................................................................31 3.5.Teknik Pengolahan dan Analisis Data .......................................................31 BAB IV
PROFIL LOKASI .............................................................................34
4.1.Letak Geografis dan Kondisi Alam ...........................................................34 4.2.Penduduk dan Mata Pencaharian ...............................................................35 4.3.Sarana dan Prasarana ................................................................................36 4.4.Kondisi Perikanan ....................................................................................37 4.5.Kondisi Ekosistem Pesisir .........................................................................40 BAB V
KARAKTERISTIK RESPONDEN ....................................................43
5.1.Usia Responden .......................................................................................43 5.2.Tingkat Pendidikan Responden .................................................................43 5.3.Jumlah Aggota Rumah Tangga .................................................................44 5.4.Pengalaman Melaut...................................................................................45 5.5.Tingkat Teknologi Penangkapan ...............................................................46 BAB VI PENGARUH PERUBAHAN EKOLOGIS TERHADAP KEGIATAN NELAYAN ...................................................................47 6.1.Perubahan Ekologis ..................................................................................47 6.1.1. Konteks Historis ..............................................................................48 6.1.2. Analisis Ekologi Politik ...................................................................49 6.1.3. Bentuk-bentuk Perubahan Ekologis .................................................51 6.2.Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Ekologis...........................................57 BAB VII STRATEGI ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS ..............................................................62 7.1.Penganekaragaman Sumber Pendapatan ....................................................63 7.2.Pengenekaragaman Alat Tangkap .............................................................66 7.3.Perubahan Daerah Tangkapan ...................................................................67 7.4.Memelihara Hubungan Sosial ...................................................................69 7.5.Memobilisasi Anggota Rumah Tangga .....................................................71 7.6.Strategi Lainnya ........................................................................................73 7.7.Peran Institusi dalam mendukung Strategi Adaptasi Nelayan ....................74
xiii
BAB VIII ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK NELAYAN DENGAN STRATEGI ADAPTASI ................................................78 8.1.Hubungan Usia dengan Strategi Adaptasi..................................................78 8.2.Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Strategi Adaptasi ..........................80 8.3.Hubungan Pengalaman Melaut dengan Strategi Adaptasi ..........................82 8.4.Hubungan Jumlah Anggota Rumah Tangga dengan Strategi Adaptasi .......84 8.5.Hubungan Tingkat Kepemilikan Armada Tangkap dengan Strategi Adaptasi.......................................................................................87 BAB IX PENUTUP ..........................................................................................90 9.1.Kesimpulan ..............................................................................................90 9.2.Saran ........................................................................................................91 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................92 LAMPIRAN ......................................................................................................96
xiv
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
Tabel 1
Penggolongan Nelayan berdasarkan Daerah Penangkapan.... ................ 8
Tabel 2
Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Golongan Umur ........... 35
Tabel 3
Produksi Perikanan Laut Kabupaten Tanah Bumbu berdasarkan Data PPI tahun 2007 - 2010................................................................. 38
Tabel 4
Jumlah dan Presentase Responden berdasarkan Usia ............................ 43
Tabel 5
Jumlah dan Presentase Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan ........................................................................................... 43
Tabel 6
Jumlah dan Presentase Responden berdasarkan Banyaknya Anggota Rumah Tangga....................................................................... 45
Tabel 7
Jumlah dan Presentase Responden berdasarkan Pengalaman Melaut ................................................................................................. 45
Tabel 8
Jumlah dan Presentase Responden berdasarkan Tingkat Teknologi Penangakapan ..................................................................... 46
Tabel 9
Matriks Perubahan Ekologis akibat Kegiatan Manusia......................... 57
Tabel 10 Matriks Penganekaragaman Sumber Pendapatan Nelayan ..................... 65 Tabel 11 Matriks Kegiatan Institusi dalam mendukung Proses Adaptasi Nelayan ............................................................................................... 74 Tabel 12 Matriks Strategi Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Ekologis ............................................................................................... 77 Tabel 13 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Usia ........................... 79 Tabel 14 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Tingkat Pendidikan ........................................................................................... 80 Tabel 15 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Pengalaman Melaut ................................................................................................ 83 Tabel 16 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga ...................................................................... 85 Tabel 17 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Tingkat Teknologi Penangkapan ....................................................................... 87
xv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
Gambar 1 Interaksi Manusia dan Alam .............................................................. 14 Gambar 2 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 25 Gambar 3 Kerangka Analisis.............................................................................. 33 Gambar 4 Pelabuhan Khusus Batubara di Kawasan Pesisir Pulau Panjang .............................................................................................. 41 Gambar 5 Bagan Historis Perubahan Ekologis ................................................... 48 Gambar 6 Lampiran SK Menhut No.435/Menhut-II/2009 tentang penetapan kawasan hutan di Kabupaten Tanah Bumbu ...................... 50 Gambar 7 Sebaran Persepsi Responden terhadap Kondisi Ekosistem Mangrove .......................................................................................... 53 Gambar 8 Sebaran Persepsi Responden terhadap Ekosistem Mangrove berdasarkan Pengalaman Melaut ........................................................ 54 Gambar 9 Sebaran Persepsi Responden terhadap Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ................................................................................ 56 Gambar 10 Sebaran Responden berdasarkan Strategi Adaptasi............................. 62 Gambar 11 Jenis-jenis Retribusi / Pungutan Kapal ............................................... 76
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
Lampiran 1 Kebutuhan data, metode, jenis dan sumber data................................. 96 Lampiran 2 Populasi dan Responden Penelitian ................................................... 97 Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian ..................................................................... 98
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km dan luas laut sekitar 5,8 juta km² (0,8 juta km² perairan territorial; 2,3 juta km² perairan nusantara; dan 2,7 juta perairan ZEE)1, Indonesia memiliki potensi sumberdaya pesisir yang sangat melimpah. Kawasan pesisir ini terdiri dari berbagai ekosistem pendukung seperti ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan lahan basah yang memiliki keanekaragaman hayati dan berbagai sumberdaya alam seperti ikan, dan bahan-bahan tambang yang bernilai tinggi lainnya. Selain itu, potensi yang tidak kalah pentingnya dari pesisir Indonesia adalah sebagai pusat keanekaragaman hayati laut tropis dunia, yaitu antara lain memiliki 30 persen mangrove di dunia; dan 30 persen terumbu karang dunia (KLH, 2002). Dalam hal perikanan tangkap, menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2010) potensi lestari sumber daya ikan Indonesia pada tahun 2008 mencapai sekitar 6,4 juta ton per tahun. Potensi yang demikian besar tentunya memberikan peluang yang besar pula terhadap terciptanya berbagai bentuk pemanfaatan seperti pemukiman, pariwisata, penangkapan ikan dan pertambangan. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2002 (KLH, 2002) menunjukkan bahwa terdapat 42 kota besar dan 181 kabupaten berada di wilayah pesisir yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lain. Di wilayah kota dan kabupaten, terdapat kurang lebih 80 persen industri yang memanfaatkan sumber daya pesisir dan membuang limbahnya ke wilayah pesisir. Selain itu, fakta menunjukkan bahwa 140 juta penduduk atau 60 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir dalam jarak 50 km ke arah darat dari pantai2. Akan tetapi, ditengah derasnya arus pembangunan di kawasan pesisir, fakta lain menunjukan bahwa sekitar 5.254.400 jiwa atau 32,14 persen dari jumlah total
1 2
Kelautan dan Perikanan dalam Angka tahun 2009. Departemen Kelautan dan Perikanan RI Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia tahun 2002. Kementerian Lingkungan Hidup RI
2
masyarakat pesisir (16.420.000 jiwa) berada dalam jeratan kemiskinan. Hal ini menandakan jumlah penduduk miskin di kawasan pesisir sebesar 13,45 persen dari total penduduk miskin Indonesia (Kusnadi, 2009). Kenyataan ini memberikan pesan bahwa pada satu sisi potensi kalautan dan perikanan Indonesia sangat melimpah, namun dilain sisi mayoritas masyarakat pesisir / nelayan masih harus berjuang untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Menurut Dahuri et al. (1996), pengelolaan sumberdaya pesisir di Indonesia dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua. Kondisi pertama, ada banyak kawasan yang belum tersentuh sama sekali oleh aktivitas pembangunan, namun pada kondisi lainnya terdapat beberapa kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan (dikembangkan) dengan intensif. Akibatnya, terlihat indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan (potensi lestari) dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (overfishing), degradasi fisik habitat pesisir, dan abrasi pantai, telah muncul di kawasan-kawasan pesisir yang dimaksud. Pemanfaatan sumberdaya alam yang semakin pesat pada kenyataannya terus dikembangkan kearah pemanfaatan ekonomi yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan, yang ternyata berimbas pada penurunan kualitas kehidupan manusia (Keraf, 2002). Hal ini menandakan bahwa perubahan ekologis sangat mungkin terjadi ditengah beragamnya aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Dalam konteks sumberdaya pesisir, perubahan ekologis dapat dilihat dari degradasi ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, dan ekosistem padang lamun. Luas hutan mangrove di Indonesia telah berkurang sekitar 120.000 hektar (ha) dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (KLH, 2009). Selain itu, berdasarkan kegiatan pemantauan Coremap II – P2O LIPI, di 985 lokasi selama tahun 2008, kondisi terumbu karang di Indonesia 5,51 persen dalam kondisi sangat baik, 25,48 persen dalam kondisi baik, 37,06 persen dalam kondisi cukup, dan 31,98 persen dalam kondisi kurang (damaged).
3
Kerusakan sumberdaya pesisir yang terjadi dalam pengelolaannya diakibatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap sumberdaya alam (Susanto, 2009). Masyarakat nelayan sebagai aktor yang memiliki kedekatan fisik, teritorial, dan emosional terhadap sumberdaya pesisir merupakan aktor utama yang menarik untuk dikaji dalam kaitanya dengan strategi adaptasinya terhadap sumberdaya pesisir yang mengalami perubahan ekologis tersebut. Strategi adaptasi nelayan dipandang sebagai hal yang terkait dengan kemampuan respon masyarakat terhadap perubahan ekologis sangat penting untuk dipelajari, karena strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan memungkinkan nelayan mengatur sumberdaya
terhadap
persoalan-persoalan
spesifik
seperti:
ketidakpastian/fluktuasi hasil tangkapan dan menurunnya sumberdaya perikanan. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Tanah Bumbu, tepatnya di Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat. Lokasi ini merupakan salah satu wilayah pesisir dengan sumberdaya alam yang kaya. Selain sumberdaya pesisir yang beraneka ragam, Tanah Bumbu juga merupakan salah satu daerah penghasil batubara terbesar di Indonesia. Sektor pertambangan terutama pertambangan batubara merupakan salah satu sub sektor yang sangat berperan bagi perekonomian Kabupaten Tanah Bumbu. Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2010 mencatat ada 83 perusahaan/KUD yang mendapatkan izin penambangan batubara dan empat pertambangan bijih besi3. Beroperasinya berbagai jenis perusahaan pertambangan tersebut secara tidak langsung juga berdampak pada aktivitas nelayan. Hal ini dikarenakan aktivitas pertambangan menggunakan wilayah pesisir sebagai jalur transportasi (pelabuhan khusus) bongkar muat bahan tambang. Dengan demikian, kajian terhadap strategi adaptasi nelayan Desa Pulau Panjang terhadap perubahan ekologis tersebut merupakan hal yang menarik untuk diteliti.
1.2. Perumusan Masalah Kawasan pesisir di Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Tanah Bumbu, merupakan salah satu kawasan pesisir yang padat aktivitas. Kurang lebih ada enam pelabuhan khusus (pelsus) batubara yang 3
Tanah Bumbu dalam Angka. Biro Pusat Statistik Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2010.
4
beroperasi di sekitar kawasan ini. Munculnya berbagai pelabuhan khusus batubara tersebut, baik langsung maupun tidak langsung mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk perubahan ekologis di kawasan pesisir Desa Pulau Panjang. Selain itu, pada saat ini Desa tersebut juga masih berstatus sebagai kawasan cagar alam yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan Surat Keputusan nomor 435 tahun 2009. Kondisi ini akan sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat Desa Pulau Panjang yang mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Sejauh mana perubahan ekologis mempengaruhi kegiatan nelayan di Desa Pulau Panjang?
2.
Bagaimana strategi adaptasi nelayan Desa Pulau Panjang terhadap perubahan ekologis di kawasan tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini diantaranya adalah untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan menganalisis: 1.
Pengaruh perubahan ekologis terhadap kegiatan nelayan.
2.
Strategi adaptasi yang dilakukan nelayan Desa Pulau Panjang terhadap perubahan ekologis di kawasan tersebut.
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola-pola adaptasi nelayan dan tindakan yang dipilih dalam menghadapai perubahan ekologis di kawasan pesisir. Secara lebih khusus, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak, diantaranya adalah: 1.
Bagi swasta Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan untuk lebih menyadari
dampak pemanfaatan sumberdaya pesisir terhadap nelayan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan dalam menyusun strategi pelaksanaan program pengembangan masyarakat (community development) yang tepat untuk pelaksanaan Corporate Social Responsibilities (CSR).
5
2.
Bagi kalangan akademisi dan peneliti Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pustaka mengenai
perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir, pengaruh perubahan ekologis terhadap nelayan, dan strategi adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis tersebut. 3.
Bagi pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pengambil
kebijakan (decision maker) dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan. Selain itu, diharapkan agar pemerintah dapat menyusun strategi yang tepat dalam memberdayakan nelayan, sesuai dengan karakteristik sosial budaya masyarakatnya. Hal ini dikarenakan pemahaman mengenai proses adaptasi nelayan terhadap lingkungannya merupakan informasi penting dalam pembangunan yang berorientasi manusia (people centered development),
yang
melandasi wawasan pengelolaan
sumberdaya
lokal
(community-based resource management). 4.
Bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan masyarakat
mengenai perubahan ekologis, hal-hal yang menyebabkan terjadinya perubahan ekologis tersebut, dan pola adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis yang ada di pesisir Pulau Panjang.
6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1. Karakteristik Nelayan dan Penggolongannya Menurut Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sedangkan nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar lima gross ton (5GT). Inti batasan ini menyatakan bahwa nelayan adalah orang yang pekerjaan utamanya menangkap ikan. Menurut Imron (2003) dalam Mulyadi (2007), nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Nelayan pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Hasil penelitian Bangda Depdagri dan PKSPL IPB (1998) dalam Kusumastanto (2000) nelayan memiliki sifat unik yang berkaitan dengan usaha perikanan tersebut. Hal ini dikarenakan usaha perikanan sangat bergantung pada musim, harga dan pasar maka sebagian besar karakteristik nelayan tergantung pada faktor-faktor dibawah ini: a.
Ketergantungan pada kondisi lingkungan Salah satu sifat usaha yang ada di wilayah pesisir (seperti perikanan tangkap dan budidaya) yang sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan atau keberhasilan usaha tersebut sangat tergantung pada kondisi lingkungan khususnya perairan dan sangat rentan pada kerusakan khususnya pencemaran atau degradasi kualitas lingkungan.
b.
Ketergantungan pada musim Ketergantungan pada musim ini akan semakin besar khususnya pada nelayan kecil. Pada musim penangkapan nelayan sangat sibuk, sementara pada musim paceklik nelayan mencari kegiatan ekonomi lain atau menganggur.
7
c. Ketergantungan pada pasar Karakteristik usaha nelayan adalah tergantung pada pasar. Hal ini disebabkan komoditas yang dihasilkan harus segera dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau membusuk sebelum laku dijual. Karakteristik ini mempunyai implikasi yang sangat penting yaitu masyarakat nelayan sangat peka terhadap fluktuasi harga. Perubahan harga sekecil apapun sangat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat nelayan. Penempatan posisi nelayan pada lapisan tertentu menurut Sukanto (1990) dalam Prameswari (2004) memiliki dua kriteria: 1) Kepemilikan kekayaan atau sumberdaya mencakup kepemilikan perahu dan alat tangkap serta luas tambak yang dikuasai; dan 2) Pengaruh kekuasaan atau hubungan dengan masyarakat lain. Nelayan dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok, antara lain berdasarkan: 1) Kepemilikan alat tangkap (Mulyadi, 2007): a. Nelayan Buruh Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. b. Nelayan Juragan Nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. c. Nelayan Perorangan Nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. 2) Daya jangkau armada perikanan dan lokasi penangkapan (Widodo, 2008): a. Nelayan pantai atau biasa Nelayan pantai atau biasa disebut perikanan pantai untuk usaha perikanan skala kecil dengan armada yang didominasi oleh perahu tanpa motor atau kapal motor tempel. b. Nelayan perikanan lepas pantai Nelayan perikanan lepas pantai untuk perikanan dengan kapasitas perahu rata-rata 30 GT.
8
c. Nelayan perikanan samudera Nelayan perikanan samudera untuk kapal-kapal ukuran besar misalnya 100 GT dengan target perikanan tunggal seperti tuna. Penggolongan nelayan berdasarkan daerah penangkapan ini lebih lanjut oleh Sojogyo (1996) sebagaimana dikutip Prameswari (2004) dibagi dalam beberapa kriteria seperti yang tercantum dalam tabel 1. Tabel 1 Penggolongan Nelayan berdasarkan Daerah Penangkapan Aspek Kedalaman Jenis Sasaran Macam Armada
Pantai 0-2,5 m Nener, Bener, Ikan Demersal Tanpa Armada, Perahu Kecil
Alat Tangkap
Jala, Perangkap, Serok kail
Modal Dasar
Kecil (puluhanratusan ribu)
Lepas Pantai 2,5-25 m Udang, ikan demersal, ikan karang Perahu berukuran sedang, bagan Jaring insang, bagan, pukat cincin, mini, jaring kantong Sedang dan besar (Rp. 2-8 Juta)
Laut Lepas >25 m Ikan-ikan pelagis Perahu berukuran besar Jaring insang, pukat cincin, payang Besar (Rp 8-50 juta)
Sumber: Sajogyo (1996) dalam Prameswari (2004)
3) Jenis perahu, alat tangkap dan etnis (Sumarti dan Saharudin, 2003) : a. Lapisan atas merupakan lapisan pertama yang didominasi oleh etnis Cina, Bugis, dan Jawa dengan kriteria memiliki perahu berkapasitas besar dengan jenis alat tangkap yang bervariasi dapat digunakan menurut perubahan musim. Ciri lain yang melekat pada lapisan ini yaitu mereka mempekerjakan para tekong dan anak buah kapal (ABK) untuk mendukung usaha penangkapan mereka. b. Lapisan kedua adalah kalangan mayoritas Bugis dan Jawa dan sedikit etnis Melayu, memiliki kapal seperti pompong dan rubin serta memiliki lahan secukupnya yang biasanya digunakan untuk pertanian sawah. c. Lapisan ketiga diisi oleh mayoritas suku Melayu dengan kriteria memiliki perahu dan alat tangkap yang merupakan warisan generasi sebelumnya seperti togok, jermal dan belat.
9
4) Respon untuk mengantisipasi tingginya risiko dan ketidakpastian (Satria et al., 2002): a. Nelayan Besar (large scale fishermen) Nelayan skala besar dicirikan dengan besarnya kapasistas teknologi penangkapan maupun jumlah armada. Berorientasi pada keuntungan dan melibatkan buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan organisasi kerja yang kompleks. b. Nelayan Kecil (small scale fishermen) Nelayan kecil yang beroperasi di daerah kecil yang bertumpang tindih dengan kegiatan budidaya dan bersifat padat karya. Nelayan kecil juga dapat dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada) maupun budaya yang keduanya sangat terkait satu sama lain. Selain itu, ciri lain dari nelayan kecil adalah ketiadaan kemampuan untuk memberi pengaruh pada kebijakan publik karena nelayan selalu dalam posisi dependen dan marjinal. Dalam konteks masyarakat pesisir, stratifikasi memiliki arti penting untuk memahami kelompok superior dan kelompok inferior dalam aspek ekonomi dan politik. Kemudian dikemukakan pula karakteristik budaya masyarakat nelayan yang cukup dikenal adalah sikapnya yang keras, tegas dan terbuka. Hal ini diduga merupakan akibat dari kehidupan laut yang keras dan dialami sepanjang hidupnya (Satria et al., 2002). 2.1.2.
Sumberdaya Pesisir
2.1.2.1. Batasan Wilayah Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri et al., 1996). Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), suatu wilayah pesisir (pantai) memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore). Menurut Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
10
Sedangkan menurut Soegiarto (1976) dalam Dahuri et al. (1996), definisi wilayah pesisir di Indonesia adalah: “Daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.”
Definisi tersebut memberikan implikasi bahwa selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan ekosistem pesisir (Dahuri et al., 1996). Adapun kegiatan pembangunan yang menimbulkan permasalahan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan (Mulyadi, 2007), yaitu (1) perkapalan dan transportasi (tumpahan minyak, limbah padat dan kecelakaan); (2) pengilangan minyak dan gas (tumpahan minyak, pembongkaran bahan pencemar, konversi kawasan pesisir; (3) perikanan (tangkap lebih, pencemaran pesisir, pemasaran dan distribusi, modal dan tenaga/keahlian); (4) budidaya perairan (ekstensifikasi dan konversi hutan); (5) pertambangan (penambangan pasir dan terumbu karang); (6) kehutanan (penebangan dan konversi hutan); (7) industri (reklamasi dan pengerukan tanah); (8) pariwisata (pembangunan infrastruktur dan pencemaran air). 2.1.2.2. Fungsi Ekologis dan Sosial-Ekonomi Sumberdaya Pesisir i) Ekosistem Mangrove Mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan laut. Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir dan laut, mangrove mimiliki beberapa fungsi ekologis penting antara lain sebagai: a. Peredam gelombang dan angin badai (Bengen, 2004; Wahyono et al., 2001; Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996); b. Pelindung pantai dari abrasi (Bengen, 2004; Wahyono et al.,2001; Satria, 2009b; Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996); c. Penahan lumpur (Bengen, 2004; Dahuri et al., 1996);
11
d. Perangkap sendimen yang diangkut oleh aliran permukaan/daratan (Bengen, 2004; Wahyono et al., 2001; Satria, 2009b; Dahuri et al., 1996); e. Penghasil detritus dan mineral yang dapat menyuburkan perairan (Bengen, 2004); f. Daerah asuhan (nursery ground), daerah penyedia nutrien (feeding ground) dan pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan (Bengen, 2004; Wahyono et al., 2001; Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996); g. Pencegah intruisi air laut (Wahyono et al., 2001; Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996); dan h. Habitat satwa liar (Anwar, 2006; Purwoko, 2005). Selain memiliki fungsi ekologis, ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekonomis sebagai berikut: a. Penyedia kayu (Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996); b. Bahan baku obat-obatan (Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996); c. Bahan bangunan (Mulyadi, 2007; Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996); d. Alat penangkap ikan (Mulyadi, 2007; Dahuri et al., 1996); e. Penyedia pupuk pertanian (Mulyadi, 2007, Dahuri et al., 1996); f. Penyedia nipah (Anwar, 2006); g. Objek wisata (Anwar, 2006; Dahuri et al., 1996; Bengen, 2004; Purwoko, 2005); dan h. Sarana pendidikan dan penelitian (Purwoko, 2005). ii) Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang sangat tinggi dibadingkan ekosistem lainnya (Dahuri et al., 1996). Adapun fungsi ekologis dari terumbu karang adalah sebagai berikut: a. Penyedia nutrien bagi biota perairan (Dahuri et al., 1996; Mulyadi, 2007; Bengen, 2004);
12
b. Tempat asuhan dan tempat bermainnya biota perairan (Dahuri et al., 1996; Mulyadi, 2007; WRI, 2002); c. Sebagai pelindung garis pantai dari gelombang laut (Bengen, 2004; WRI, 2002); d. Sebagai habitat beragam jenis ikan (Bengen, 2004); dan e. Mendukung pertumbuhan mangrove dan lamun (WRI, 2002). Selain mempunyai fungsi ekologis, terumbu karang juga memiliki fungsi ekonomis sebagai berikut: a. Menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara (Dahuri et al., 1996; Mulyadi, 2007). b. Sebagai aset yang berharga bagi kegiatan pariwisata bahari karena mimiliki beraneka ragam biota dan panorama yang sangat indah (Bengen, 2004). c. Pada perairan dangkal terumbu karang merupakan habitat yang produktif bagi sumberdaya rumput laut (Bengen, 2004). Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersil tinggi dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir sebagai mata pencaharian tambahan. 2.1.2.3. Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir Terdapat dua pandangan yang antagonistik dalam kaitannya dengan pesisir dan pulau-pulau kecil (Bengen, 2004). Pandangan pertama yang mewakili pihak konservasionis (deep ecologist), menganggap kawasan pesisir dan pulaupulau kecil sebagai kawasan yang harus dilindungi, karena memiliki fungsi ekologis yang penting. Berdasarkan pertimbangan pihak pertama ini, hal paling utama dari keberadaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil adalah fungsi dan peranan ekosistem kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi, dan bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya. Sementara pandangan kedua yang mewakili pihak yang mendukung pertumbuhan ekonomi, melihat kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan, misalnya pemanfaatan kawasan pesisir pulau-pulau kecil untuk perikanan dan pariwisata.
13
Terlepas dari dua pihak yang bertentangan tersebut, seringkali penentuan kebijakan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak seimbang akan menghasilkan dua kemungkinan dampak negatif (Bengen, 2004), yaitu: Pertama, tidak berkembangnya kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat kebijakan yang terlalu protektif. Kedua, rusaknya kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil akibat terlalu banyak area pulau-pulau kecil yang dikonversikan menjadi lokasi usaha seperti industri dan pemukiman. Kejadian-kejadian tersebut semakin menegaskan bahwa pihak yang paling dirugikan adalah nelayan-nelayan atau masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut. Satu sisi harus berhadapan dengan kelompok yang mengusung kebijakan protektif, dan disisi lain masyarakat pesisir harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang berusaha mengambil keuntungan di pulau-pulau kecil tersebut. 2.1.3. Perubahan Ekologis Pesisir dan laut memiliki keunikan fisik yang terdiri dari daratan dan perairan (payau dan asin) dengan segala dinamikanya, yakni yang didalamnya mengandung sumberdaya alam hayati (ikan, mangrove, terumbu karang, padang lamun) dan non hayati (migas, tambang, dan lain-lain) serta jasa-jasa lainnya (transportasi laut, pariwisata, batas negara, dan lain-lain). Seiring meningkatnya populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan laut serta kecanggihan teknologi membuat peluang terjadinya perubahan sistem alamiah dari lautan semakin besar. Menurut Satria (2009a), perubahan tersebut dapat mengakibatkan berbagai hal negatif, baik pada sumberdaya yang terkandung maupun aspek fisik dari laut tersebut. Perubahan ekologis adalah dampak yang tidak dapat dielakkan dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran (exchange). Proses pertukaran itu sendiri melibatkan energi, materi, dan informasi yang saling diberikan oleh kedua belah pihak (kedua sistem yang saling berinteraksi). Sistem alam dan sistem manusia saling memberikan energi, materi dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain (Dharmawan, 2007).
14
Ilustrasi dari interaksi manusia dengan alam dapat dilihat pada gambar 1. Aktivitas Manusia Energi, Materi, Informasi
SISTEM SOSIAL Pengetahuan
EKOSISTEM Tumbuhan
Mikroorganisme
Udara Teknologi
Hewan
Populasi Air
Organisasi Sosial
Tanah
Nilai Energi, Materi, Informasi
Struktur pembangunan manusia
Jasa Lingkungan
Sumber: Marten (2001)
Gambar 1 Interaksi Manusia dan Alam Hubungan tersebut sering menimbulkan berbagai kerugian. Manusia meminta materi, energi, dan informasi dari alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya (pangan-sandang-papan). Sementara itu, alam lebih banyak mendapatkan materi, energi, dan informasi dari manusia dalam bentuk limbah yang lebih banyak mendatangkan kerugian bagi kehidupan organisme lainnya yang ada di bumi. Hal ini menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan. 2.1.3.1.
Bentuk-bentuk Perubahan Ekologis Berbagai bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir
antara lain: 1. Kerusakan Ekosistem Mangrove Berdasarkan data statistik sumber daya laut dan pesisir yang diterbitkan BPS (2009) disebutkan bahwa menurut data FAO (2007) luas mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3.062.300 ha atau 19% dari luas mangrove di dunia dan merupakan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%). Di Asia sendiri luasan mangrove Indonesia berjumlah sekitar 49% dari luas total mangrove di Asia yang diikuti oleh Malaysia (10%) dan Myanmar (9%). Akan tetapi diperkirakan luas mangrove di Indonesia telah
15
berkurang sekitar 120.000 hektar (ha) dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (KLH, 2009). 2. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan sekumpulan biota karang hidup atau mati sebagai tempat berlindung ikan dan daerah asuhan ikan. Total luas terumbu karang di Indonesia mencapai 50.000 km2 yang merupakan seperdelapan dari luas areal terumbu karang di dunia (Dahuri, 2000). Akan tetapi, kondisi terumbu karang di Indonesia pada umumnya telah mengalami kerusakan dan penurunan tutupan pada tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan kegiatan pemantauan Coremap II – P2O LIPI, di 985 lokasi selama tahun 2008, kondisi terumbu karang di Indonesia 5,51 persen dalam kondisi sangat baik, 25,48 persen dalam kondisi baik, 37,06 persen dalam kondisi cukup, dan 31,98 persen dalam kondisi kurang (damaged). 2.1.3.2. Faktor Penyebab Perubahan Ekologis Perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir antara lain disebabkan oleh: i) Pertumbuhan penduduk (WRI, 2002; Satria, 2009b) Pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan setiap tahunnya dan sebagian hidup di wilayah pesisir mengakibatkan meningkatnya aktivitas manusia di wilayah pesisir terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir. Meledaknya populasi penduduk 50 tahun terakhir ini mendorong munculnya tekanan-tekanan dan peningkatan kebutuhan yang sangat tinggi akan sumberdaya yang berasal dari darat maupun laut. Pertumbuhan penduduk berdampak pada: a. Meningkatnya kebutuhan terhadap konsumsi ikan Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi ikan menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas penangkapan ikan secara signifikan (Satria, 2009a; WRI, 2002). Peningkatan intensitas penangkapan ikan secara signifikan menyebabkan munculnya praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak yang berdampak pada keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan (WRI, 2002).
16
Penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan pengeboman ikan merupakan praktek yang umum dilakukan, yang memberikan dampak sangat negatif bagi terumbu karang dan ekosistem lainnya. Penangkapan ikan dengan racun akan melepaskan racun sianida ke daerah terumbu karang, yang kemudian akan membunuh atau membius ikan-ikan. Pengeboman ikan dengan dinamit atau dengan racikan bom lainnya, akan dapat menghancurkan struktur terumbu karang, dan membunuh banyak sekali ikan yang ada di sekelilingnya (WRI, 2002). b. Penambahan Jumlah Areal Pemukiman (Marzuki, 2002) Bertambahnya jumlah penduduk baik karena pertumbuhan alamiah maupun karena migrasi telah mendorong meningkatnya permintaan akan areal pemukiman. Peningkatan permintaan akan areal pemukiman mengakibatkan beberapa wilayah di kawasan pesisir beralih fungsi dari hutan mangrove menjadi areal pemukiman (Marzuki, 2002). c. Peningkatan volume pembuangan sampah cair/padat baik oleh industri maupun rumah tangga (Dahuri et al., 1996) Pembuangan sampah rumah tangga dan pencemaran oleh limbah pertanian menyebabkan
penurunan
kandungan
oksigen
terlarut,
eutrofikasi,
kekeruhan, dan matinya hewan-hewan air yang berasosiasi dengan padang lamun. Selain itu, kemungkinan terlapisinya pneumatofora dengan sampah akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. Pembuangan sampah padat mengakibatkan perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat larut dalam air ke perairan di sekitar pembuangan sampah. Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan organisme lainnya. ii) Perubahan iklim (Satria, 2009b; WRI, 2002; Bengen, 2004) Perubahan iklim menyebabkan berbagai perubahan dalam ekosistem laut antara lain disebabkan oleh perubahan temperatur (suhu) dan keasaman akibat penyerapan CO2 oleh lautan. Peningkatan suhu permukaan laut telah menyebabkan pemutihan karang yang lebih parah dan lebih sering (WRI, 2002). Perubahan iklim berdampak pada:
17
a. Peningkatan suhu permukaan laut telah mengakibatkan lebih seringnya terjadi pemutihan karang (coral bleaching) dengan tingkat kerusakan lebih besar (WRI, 2002); b. Kenaikan permukaan air laut berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir (Satria, 2009b). Kenaikan air laut satu meter akan berdampak pada 1,3 persen penduduk dunia, dan merugikan senilai 1,3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, satu persen wilayah kota, dan 0,4 persen lahan pertanian (Dasgupta et al., 2007 dalam Satria, 2009b); dan c. Sulitnya menentukan musim penangkapan ikan karena cuaca yang tidak menentu (Satria, 2009b). iii) Pengelolaan pembangunan pesisir (Dahuri et al., 1996; WRI, 2002) Pengelolaan kegiatan pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan dilakukan secara sektoral dan berorientasi keuntungan jangka pendek secara maksimal. Selain itu, rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi juga ikut memperparah kerusakan yang terjadi di kawasan pesisir. iv) Pencemaran dari laut (WRI, 2002; Dahuri et al., 1996) Pencemaran dari laut disebabkan oleh aktivitas manusia yang terjadi di laut. Adapun aktivitas yang mengancam ekosistem pesisir antara lain: a. Pencemaran dari pelabuhan b. Pencemaran minyak Pencemaran minyak di laut dapat berasal dari beberapa sumber (DKP, 2005), yang meliputi: (i) tumpahan minyak karena operasional rutin kapal dan kecelakaan kapal, (ii) pelimpasan minyak dari darat, (iii) terbawa asap, (iv) eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, (v) pipa transportasi minyak, (vi) tank cleaning, dan (vii) perembesan alami c. Pembuangan bangkai kapal d. Pembuangan sampah dari atas kapal e. Pelemparan jangkar kapal Pelemparan jangkar kapal akan menghancurkan batu-batu karang. Hal ini mengakibatkan hilangnya daerah penangkapan ikan (fishing ground).
18
v) Pencemaran dari darat dan sendimentasi (WRI, 2002): Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri et al., 1996). Oleh karena itu, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling rentan terkena dampak oleh proses-proses alami dari darat. Adapun kegiatan-kegiatan dari darat yang berdampak ke wilayah pesisir diantaranya adalah: a. Penebangan hutan b. Perubahan tata guna lahan c. Praktek pertanian yang buruk (Marzuki, 2002) Menyebabkan peningkatan sedimentasi dan masuknya unsur hara ke daerah tangkapan air. Sedimen dalam kolom air dapat sangat mempengaruhi pertumbuhan karang, atau bahkan menyebabkan kematian karang. Selain itu, kandungan unsur hara yang tinggi dari aliran sungai dapat merangsang pertumbuhan alga yang beracun. Keadaan ini mendorong pertumbuhan alga lain yang tidak saja memanfaatkan energi matahari tetapi juga menghambat kolonisasi larva karang dengan cara menumbuhi substrat yang merupakan tempat penempelan larva karang. vi) Bencana alam (Dahuri et al., 1996) Bencana alam merupakan fenomena alami baik secara langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi perubahan pada lingkungan pesisir dan lautan. 2.1.3.3. Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Ekologis Berbagai kerusakan ekosistem pesisir menendakan telah terjadi perubahan ekologis. Perubahan tersebut menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat pesisir yang menggantungkan kehidupannya kepada sumberdaya pesisir, baik secara ekonomi maupun spasial. Dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh perubahan ekologis antara lain: i) Pada perikanan, perubahan ekologis berdampak pada: a. Hilangnya/berkurangnya substrat yang menjadi sumber pakan, rusaknya habitat terbiak, tempat mengasuh dan membesarkan anak
ikan, serta
19
rusaknya tempat perlindungan bagi biota laut di kawasan tersebut dan sekitarnya (Purwoko, 2005); b. Penurunan keragaman jenis tangkapan nelayan secara signifikan (Purwoko, 2005); c. Berkurangnya stok ikan karang yang kemudian akan mempengaruhi kondisi ekonomi sekitar 30 juta nelayan di dunia yang bergantung pada ketersediaan ikan-ikan karang (Bengen, 2004; Satria, 2009b); dan d. Sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan sebagai akibat dari perubahan pola migrasi ikan karena kerusakan terumbu karang (Satria, 2009b). ii) Pada kegiatan usaha nelayan, perubahan ekologis berdampak pada: a. Menurunnya hasil tangkapan para nelayan dan berkorelasi dengan pendapatan nelayan (Marzuki, 2002; Purwoko, 2005); b. Hilangnya potensi wisata bahari (Dahuri et al.., 1996; Anwar dan Gunawan, 2006); c. Menurunnya kesempatan berusaha dan bekerja masyarakat nelayan, yang disebabkan oleh
berkurangnya
bahan
baku
industri pengolahan,
berkurangnya bahan/komoditi perdagangan, berkurangnya benih untuk budidaya dan berkurangnya potensi tangkapan (Purwoko, 2005); d. Terancamnya lokasi pemukiman dan tata guna lahan setempat sebagai akibat dari kerusakan terumbu karang yang menyebabkan erosi di pantai (Dahuri et al.., 1996); dan e. Hilang/berkurangnya pasokan kayu bakar, kayu bangunan, nipah, dan bahan baku obat-obatan (Anwar dan Gunawan, 2006). 2.1.4.
Strategi Adaptasi Nelayan
2.1.4.1. Konsep Adaptasi Adaptasi dan perubahan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan bagi makhluk hidup. Adaptasi berlaku bagi setiap makhluk hidup dalam menjalani hidup dalam kondisi lingkungan yang senantiasa berubah. Terdapat beberapa pengertian yang berusaha menjelaskan konsep adaptasi, diantaranya yaitu: 1) Adaptasi sebagai suatu konsep umum merujuk pada konsep proses penyesuaian pada keadaan yang berubah (Hansen, 1979 dalam Saharudin, 2007).
20
2) Adaptasi adalah kapasitas manusia untuk menjalankan tujuan-tujuan individu (self-objectification), belajar dan mengantisipasi (Bennett, 1976 dalam Saharudin, 2007). Adaptasi bukan hanya persoalan bagaimana mendapatkan makanan dari suatu kawasan tertentu, tetapi juga mencakup persoalan transformasi sumberdaya lokal dengan mengikuti model standar konsumsi manusia yang umum, serta biaya dan harga atau mode-mode produksi di tingkat nasional. 3) Adaptasi merupakan pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial-ekonomi-politik-ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup (Barlet, 1993 dalam Kusnadi, 2000). Pemilihan tindakan yang bersifat kontekstual tersebut bertujuan untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungannya guna mengatasi tekanan-tekanan sosial-ekonomi. Terdapat tiga konsep kunci mengenai adaptasi (Bennett, 1976 dalam Saharudin, 2007), yaitu: 1) Adaptasi perilaku (adaptive bahavior) Konsep
ini
menunjuk
pada
cara-cara
aktual
masyarakat
menemukan/merencanakan untuk memperoleh sumberdaya untuk mencapai tujuan dan memecahkan masalah.
Adaptasi perilaku (adaptive behavior)
merupakan suatu pilihan tindakan dengan mempertimbangkan biaya yang harus dikembangkan dan hasil yang akan dicapai. 2) Adaptasi proses (adaptive process) Adaptasi proses (adaptive process) adalah perubahan-perubahan yang ditunjukan melalui proses yang panjang dengan cara menyesuaikan strategi yang dipilihnya. 3) Strategi adaptasi (adaptive strategies) Strategi adaptasi (adaptive strategies) merupakan pola umum yang terbentuk melalui banyak proses penyesuaian pemikiran masyarakat secara terpisah. Dalam hal ini masyarakat merespon permasalahan yang dihadapi dengan melakukan evaluasi terhadap alternatif yang mungkin dan konsekuensinya, serta berusaha menempatkan permasalahan tersebut dalam suatu design strategi yang lebih luas untuk mengimbangi konflik kepentingan dari banyak pihak dimana ia mempertanggungjawabkan tindakannya.
21
Adaptasi merupakan salah satu bagian dari proses evolusi kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal (Mulyadi, 2007).
Dalam
merespon setiap perubahan yang terjadi Bogardus (1983) dalam Marzuki (2002) mengemukakan urutan-urutan adaptasi pada manusia adalah perubahan teknologi, pengisian waktu senggang, pendidikan, kegiatan bermasyarakat, suasana dalam rumah tangga dan terakhir adalah agama dan kepercayaan. Sementara itu, dalam kaitannya dengan lingkungan, adaptasi di bentuk dari tindakan
yang
berulang-ulang
sebagai
proses
penyesuaian
terhadap
lingkungan tersebut (Bennett, 1976 dalam Saharudin, 2007). Dalam konteks ekonomi masyarakat nelayan, adaptasi dikatakan sebagai tingkah laku strategis dalam memaksimalkan kesempatan hidup. Adaptasi bagi suatu kelompok dapat memberikan kesempatan untuk bertahan hidup, walaupun bagi kelompok lain kemungkinan akan dapat menghancurkannya (Hansen, 1979 dalam Saharudin, 2007). 2.1.4.2. Bentuk-bentuk Adaptasi Nelayan Pada dasarnya manusia dapat bertahan hidup dan memanfaatkan lingkungannya karena adanya tiga bentuk utama adaptasi budaya dari manusia itu sendiri (Miller, 1979 dalam Marzuki, 2002) yaitu: 1) Dengan menggunakan peralatan-peralatan (teknologi) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. 2) Hidup di lingkungan dengan belajar secara efektif melalui organisasi sosial dan kerjasama (interaksi) sesama manusia. 3) Menggunakan bahasa untuk meningkatkan kerjasama secara efisien dan untuk mewariskan pengetahuan tentang cara-cara bertahan hidup berdasarkan pengalaman
yang
lalu.Pada
masyarakat
nelayan,
pola
adaptasinya
menyesuaikan dengan ekosistem lingkungan fisik laut dan lingkungan sosial di sekitarnya.
22
Strategi adaptasi nelayan dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, yaitu: 1) Diversifikasi (Wahyono et al., 2001; Kusnadi, 2000) Diversifikasi merupakan perluasan alternatif pilihan mata pencaharian yang dilakukan nelayan, baik di bidang perikanan maupun non perikanan. Diversifikasi merupakan strategi adaptasi yang umum dilakukan di banyak komunitas nelayan, dan sifatnya masih tradisional. Strategi adaptasi ini dicirikan oleh bentuk-bentuk respon penyesuaian yang sifatnya masih individual atau dilakukan oleh unit rumah tangga nelayan. 2) Intensifikasi (Wahyono et al., 2001) Strategi adaptasi di kalangan nelayan untuk melakukan investasi pada teknologi penangkapan, sehingga hasil tangkapannya diharapkan menjadi lebih banyak. Melalui intensifikasi kegiatan penangkapan dapat dilakukan pada daerah tangkapan yang jauh dari tempat pemukiman, bahkan mungkin memerlukan waktu penangkapan lebih dari satu hari (one day fishing). 3) Jaringan Sosial (Kusnadi, 2000; Wahyono, 2001) Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat didalamnya. Strategi jaringan sosial (bentuk dan corak) yang umum dikembangkan pada komunitas
nelayan ditujukan untuk
memenuhi
kebutuhan dibidang
kenelayanan (misalnya penguasaan sumberdaya, permodalan, memperoleh keterampilan, pemasaran hasil, maupun untuk pemenuhan kebutuhan pokok) (Wahyono et al., 2001). 4) Memobilisasi peran istri dan anak-anak untuk ikut mencari nafkah keluarga (Kusnadi, 2000) . 5) Menggandaikan atau menjual barang-barang rumah tangga yang dimiliki; melakukan konversi pekerjaan bagi nelayan (Kusnadi, 2000). Terdapat perbedaan pola adaptasi dari beragam lapisan nelayan (Iwan, 2003), diantaranya adalah: 1. Pada
lapisan
atas/elit
mempertahankan
atau
nelayan
yaitu
memperkuat
tauke
sistem
lokal,
terdapat
kelembagaan
gejala
patronase
23
(kelembagaan distribusi barang dan jasa) yang dilakukan dalam hal memenuhi kebutuhan modal, pemasaran ikan dan hubungan produksi antar nelayan. 2. Pada lapisan menengah, strategi adaptasinya cenderung mempertahankan sistem kelembagaan patronase. Hal ini dilakukan sebagai jaminan ekonomi (modal usaha) serta jaminan pemenuhan kebutuhan keluarganya baik selama melaut maupun selama musim paceklik dan menjamin kebutuhan sosial lainnya seperti pernikahan, sunatan massal dan gotong royong. 3. Pada lapisan bawah, strategi adaptasi dengan jaringan sosial yang dilakukannya yaitu ikut memperkuat posisinya kelembagaan patronase. Hal ini dilakukannya dengan membina hubungan dengan tauke lokal baik itu dalam pemasaran ikan maupun dalam hal permodalan, pilihan tersebut merupakan suatu pilihan utama karena sulitnya untuk mencari kelembagaan yang mampu memenuhi kebutuhan subsistensinya. Persaingan dalam menguasai sumberdaya akan meningkatkan beban pekerjaan yang harus ditanggung nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan berat, meskipun demikian, nelayan tidak dapat membayangkan pekerjaan lain yang lebih mudah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Keterampilan sebagai nelayan bersifat sederhana dan hampir sepenuhnya dipelajari secara turun temurun. Apabila satu keluarga nelayan mampu untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak, maka harapan agar generasi berikutnya tidak menjadi nelayan sangat besar. Namun, umumnya nelayan tidak mampu membebaskan diri dari profesi nelayan, dilain pihak, banyak ditemui kelompok-kelompok nelayan tetap mampu bertahan hidup dalam menghadapi keadaan yang sangat berat sekalipun, terutama pada masa-masa paceklik (Sastrawidjaja dan Manadiyanto, 2002). Intensitas tekanan sosial dan ekonomi yang dihadapi nelayan telah menjadikan kelompok masyarakat nelayan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki daya tahan dan tingkat adaptasi yang tinggi. Masyarakat nelayan memiliki sifat otonom dan independensi yang tinggi untuk mengatasi persoalan kehidupan sehari-hari berdasarkan kemampuan sumberdaya yang tersedia dalam menghadapi segala keterbatasan yang ada. Sikap-sikap otonom, indpendensi, dan
24
strategi hidup itu diperoleh melalui proses panjang dengan persoalan kemiskinan (Kusnadi, 2009). 2.2. Kerangka Pemikiran Desa Pulau Panjang merupakan pulau kecil yang memiliki kompleksitas permasalahan didalamnya. Desa ini juga sangat rentan terhadap dampak negatif dari pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dilakukan oleh manusia, salah satunya adalah pertambangan. Masuknya pertambangan di kawasan ini membawa pula perubahan ekologis yang cukup signifikan pada ekosistem pesisir (mangrove dan terumbu karang). Perubahan ekologis adalah perubahan yang terjadi pada keseluruhan komponen biotik dan abiotik yang terdapat pada laut dan pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia. Perubahan ekologis di Desa
Pulau
Panjang
diasumsikan
terjadi
akibat
beragamnya
aktivitas
pertambangan yang beroperasi di daerah tersebut. Mulai dari aktivitas pelabuhan khusus batubara, hilir mudiknya kapal-kapal tongkang, dan pembuangan limbah industri batubara tersebut. Masyarakat nelayan sebagai aktor yang memiliki kedekatan fisik, teritorial, dan emosional terhadap sumberdaya pesisir merupakan aktor utama yang menarik untuk dikaji terkait dengan strategi adaptasinya terhadap sumberdaya pesisir yang mengalami perubahan ekologis tersebut. Hal ini dikarenakan perubahan ekologis baik langsung maupun tidak langsung berdampak pada kehidupan nelayan. Dampak dari perubahan ekologis dapat dibagi menjadi dampak ekologis, dampak terhadap kehidupan sosial, dan dampak terhadap kegiatan ekonomi. Dampak ekologis adalah akibat yang ditimbulkan dari perubahan ekologis terhadap lingkungan pesisir yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Dampak
sosial
berkaitan
dengan
akibat
perubahan
ekologis
terhadap
kesejahteraan masyarakat. Sedangkan dampak ekonomi berkaitan dengan akibat yang ditimbulkan perubahan ekologis terhadap mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya pesisir. Dampak dari perubahan ekologis tersebut tidak ditanggapi secara negatif oleh nelayan. Nelayan di Desa Pulau Panjang diduga melakukan strategi adaptasi melalui beragam kegiatan dalam menghadapi dampak perubahan ekologis
25
tersebut, diantaranya dengan melakukan (i) diversifikasi, (ii) intensifikasi, (iii) jaringan sosial, (iv) mobilisasi peran anggota rumah tangga (Kusnadi, 2000; Wahyono, 2001). Penelitian ini juga akan menganalisis berbagai karakteristik yang berhubungan dengan strategi adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis. Karakteristik pertama berkaitan dengan karakteristik individu nelayan, yakni berupa usia, tingkat pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, dan pengalaman sebagai nelayan.
Karakteristik kedua berkaitan dengan karakteristik usaha
nelayan, yakni berupa jenis armada tangkap. Alur kerangka pemikiran ini digambarkan pada gambar 2. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir
PERUBAHAN EKOLOGIS
Ekosistem Terumbu Karang
Ekosistem Mangrove
Dampak Ekonomi
Dampak Sosial
Dampak Ekologis
Non-Nelayan
Nelayan Karakteristik Rumahtanggga Nelayan
STRATEGI ADAPTASI
Usia Tingkat pendidikan Pengalaman sebagai nelayan Jumlah anggota rumah tangga Jenis Armada Tangkap
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Keterangan: hubungan pengaruh hubungan langsung variabel yang diteliti
26
2.3.Hipotesis Penelitian a. Hipotesis Pengarah 1) Diduga perubahan ekologis mempengaruhi aktivitas usaha nelayan. 2) Diduga terdapat strategi adaptasi yang diterapkan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis di kawasan pesisir. b. Hipotesis Uji Diduga terdapat hubungan antara karakteristik rumah tangga nelayan dengan strategi adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis. 2.4. Definisi Konseptual 1) Perubahan ekologis adalah perubahan yang terjadi pada keseluruhan komponen biotik dan abiotik yang terdapat pada laut dan pesisir sebagai akibat
langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia.
Berdasarkan dimensi waktunya, perubahan ini diukur pada saat sebelum dan setelah aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir berlangsung (pertambangan, pariwisata, perhubungan laut, dan perikanan). 2) Nelayan adalah salah satu bagian dari masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya perikanan tangkap, secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, serta membentuk kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. 3) Dampak ekologis adalah akibat yang ditimbulkan dari perubahan ekologis terhadap lingkungan pesisir yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. 4) Dampak sosial perubahan ekologis adalah akibat yang ditimbulkan dari perubahan ekologis terhadap kesejahteraan masyarakat yang hidup dan bergantung pada sumberdaya pesisir. 5) Dampak ekonomi adalah akibat yang ditimbulkan perubahan ekologis terhadap mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya pesisir.
27
6) Adaptasi nelayan adalah pilihan tindakan yang dilakukan nelayan dalam menyiasati dampak negatif dari perubahan ekologis yang mempengaruhi aktivitasnya mencari ikan. 2.5. Definisi Operasional 1) Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang melekat pada individu meliputi usia, tingkat pendidikan, pengalaman sebagai nelayan dan jumlah anggota rumah tangga. a) Usia adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilaksanakan penelitian. Havighurst dan Acherman (dalam Sugiah, 2008) membagi usia menjadi tiga kategori: i)
Muda (18-30 tahun)
ii) Dewasa (31-50 tahun) iii) Tua (> 50 tahun) b) Pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, yang dibedakan kedalam kategori: i)
Rendah (jika tidak sekolah, tidak tamat dan tamat SD/sederajat)
ii) Sedang (jika tamat SMP/sederajat) iii) Tinggi (jika tamat SMA/sederajat) c) Pengalaman sebagai nelayan adalah lama responden menjadi nelayan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun), sejak pertama kali menjadi nelayan sampai dengan penelitian ini dilakukan yang dinyatakan dalam kategori i) Rendah (6-14 tahun) ii) Sedang (15-27 tahun) iii) Tinggi (lebih dari 28 tahun) d) Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya orang yang menetap dalam satu rumah dimana nelayan itu tinggal. Jumlah anggota rumah tangga dibedakan menjadi: i) Kecil (jika anggota rumah tangga berjumlah 1-3 orang) ii) Menengah (jika anggota rumah tangga berjumlah 4-6 orang) iii) Besar (jika anggota rumah tangga berjumlah lebih dari 7 orang)
28
e) Tingkat teknologi penangkapan adalah ukuran lokal mengenai jenis perahu yang digunakan nelayan dalam kegiatan penangkapan, yang meliputi: i)
Rendah (jika armada yang digunakan jenis ketinting)
ii) Sedang (jika armada yang digunakan berupa swan) iii) Tinggi (jika armada yang digunakan berupa balapan/klotok) 2) Strategi adaptasi merupakan tindakan yang dilakukan nelayan dalam menyiasati dampak negatif perubahan ekologis yang dibagi menjadi penganekaragaman sumber pendapatan, penganekaragaman alat tangkap, perubahan daerah tangkapan, jaringan sosial, mobilisasi anggota rumah tangga, dan strategi lainnya. 1. Penganekaragaman dilakukan
oleh
sumber rumah
pendapatan tangga
adalah kegiatan
nelayan
dalam
yang
menambah
penghasilannya (1 jika tidak ada, 2 jika ada). 2. Penganekaragaman alat tangkap adalah kegiatan yang dilakukan nelayan dalam rangka meningkatkan kapasitas usaha penangkapan ikan (1 jika tidak ada, 2 jika ada). 3. Perubahan daerah tangkapan adalah kegiatan mengubah daerah penangkapan ikan yang biasanya menjadi lokasi penangkapan ikan nelayan sebelum terjadinya perubahan ekologis (1 jika tidak ada, 2 jika ada). 4. Memanfaatkan jaringan sosial adalah hubungan yang dijalin nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis (1 jika tidak ada, 2 jika ada). 5. Mobilisasi anggota rumah tangga adalah mengikutsertakan anggota rumah tangga nelayan untuk bekerja, baik disektor perikanan maupun diluar sektor perikanan (1 jika tidak ada, 2 jika ada). 6. Strategi lainnya adalah kegiatan yang dilakukan nelayan selain dari yang disebutkan diatas (1 jika tidak ada, 2 jika ada).
29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan untuk menelusuri lebih jauh
alur sejarah desa, pola
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan perubahan penggunaan lahan di kawasan pesisir. Selain itu, metode kualitatif ini juga digunakan untuk mengetahui lebih jauh kehidupan sosial ekonomi nelayan yang terpengaruh oleh perubahan ekologis, aktivitas-aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan ekologis, serta strategi adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis tersebut. Metode kualitatif ini juga didukung dengan data kuantitatif yang diperoleh dari hasil survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui karakteristik rumah tangga nelayan dan karakteristik usaha nelayan. Peubah (variabel) yang diteliti terdiri dari peubah bebas yaitu karakteristik rumah tangga nelayan (usia, tingkat pendidikan, pengalaman sebagai nelayan, jumlah anggota rumah tangga) dan karakteristik usaha nelayan yakni jenis armada tangkap; serta peubah terikat yakni pilihan adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif berguna untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah suatu strategi penelitian multi-metode, lazimnya memadukan teknik pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen (Sitorus, 1998). Menurut Stake (2009) studi kasus dapat berciri kualitatif, kuantitatif, atau kombinasi keduanya. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan beberapa alasan, yakni:
30
a. Desa Pulau Panjang merupakan kawasan cagar alam (SK Menhut No. 435/Menhut-II/2009). b. Di kawasan pesisir Desa Pulau Panjang terdapat pelabuhan khusus pertambangan batubara yang mengangkut hasil tambang lewat jalur laut. Hal tersebut menyebabkan kawasan ini banyak dilalui kapal-kapal besar pengangkut hasil tambang. c. Sebagian besar penduduk Desa Pulau Panjang bermatapencaharian sebagai nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2011. Selama pengambilan data berlangsung, peneliti tinggal bersama objek penelitian di lapangan. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mengetahui lokasi penelitian dengan baik dan juga terciptanya hubungan sosial yang dekat dengan objek penelitian. 3.3. Teknik Pemilihan Responden dan Informan Populasi dari penelitian ini adalah suluruh rumah tangga nelayan tangkap Desa Pulau Panjang yang berjumlah 35 rumah tangga. Populasi ini berdasarkan informasi yang diperoleh dari monografi desa tahun 2010 dan hasil pemetaan swadaya masyarakat Pulau Panjang tahun 2010. Sedangkan unit penelitiannya adalah rumah tangga nelayan. Penentuan responden menggunakan teknik sensus, yang berarti semua populasi dijadikan sebagai responden penelitian. Akan tetapi, dari 35 responden tersebut yang bersedia untuk dijadikan responden hanya 30 rumah tangga nelayan. Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai berbagai strategi adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis. Penelitian akan dilakukan pada rumah tangga-rumah tangga nelayan yang memperoleh dampak perubahan ekologis dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling) yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Pencarian informan ini akan berhenti apabila tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau sudah berada pada titik jenuh.
31
3.4. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Artinya, data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung peneliti sendiri, yakni hasil wawancara dengan responden/informan dan hasil pengukuran peneliti sendiri. Data primer yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik wawancara dengan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Data primer yang akan dikumpulkan adalah: 1) Karakteristik rumah tangga nelayan, yang meliputi usia, tingkat pendidikan, pengalaman sebagai nelayan, dan jumlah anggota rumah tangga. 2) Karakteristik usaha nelayan, yang meliputi jenis armada penangkapan dan jenis alat tangkap yang digunakan. 3) Pengaruh perubahan ekologis terhadap kegiatan nelayan. 4) Pilihan adaptasi yang dilakukan nelayan dalam kaitannya dengan perubahan ekologis. 5) Musim-musim penangkapan ikan dan daerah penangkapan ikan. Selain data primer, pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah oleh pihak lain tersebut. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari Kantor Desa Pulau Panjang, Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Dinas Perikanan dan Kelautan Tanah Bumbu, Biro Pusat Statistik Tanah Bumbu, perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitasnya disekitar kawasan tersebut, serta buku, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini. 3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif adalah informasi mengenai hal-hal yang dapat diukur dan dapat dikuantifikasikan. Data kuantitatif ini digunakan untuk menggambarkan karakteristik responden dan karakteristik usaha nelayan, serta mencari hubungan antara karakteristik keduanya dengan pilihan strategi adaptasi nelayan. Pengolahan data kuantitatif dalam penelitian ini mengacu pada langkah-langkah pengolahan data dari Effendi et al. (1989). Pertama, memasukkan data ke dalam
32
kartu atau berkas (file) data. Kedua, membuat tabel frekuensi atau tabel silang. Ketiga, mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi atau tabel silang. Setelah itu, data kuantitatif yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan program komputer SPSS 16 for Windows untuk menguji hubungan antar variabel yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk melihat fakta yang terjadi dengan menggunakan analisis crosstab chi-square, serta dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan hubungan antara karakteristik nelayan dengan strategi adaptasi yang dilakukannya. Sedangkan teknik analisis data kualitatif dilakukan sejak awal pengumpulan data. Dimana hasil wawancara mendalam dan pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus. Analisis data kualitatif dilakukan secara terus menerus yang terdiri dari pengumpulan data, analisis data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Analisis data primer dan sekunder mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), dimana data diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi data. Pertama,
reduksi
data
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian sehingga didapatkan kesimpulan akhir. Kedua, data yang telah disajikan dalam bentuk teks naratif hasil catatan lapang disusun dalam bentuk matriks yang menggambarkan proses terjadinya perubahan ekologis, kemudian proses bagaimana perubahan ekologis tersebut mempengaruhi kehidupan nelayan dan bagaimana strategi adaptasi nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis tersebut. Dengan demikian memudahkan melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melakukan analisis. Tahap ketiga, penarikan kesimpulan yaitu melalui verifikasi yang dilakukan peneliti sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir. Verifikasi tersebut dilakukan dengan cara: memikirkan ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan lapang, bertukar pikiran dengan teman sejawat dan dosen pembimbing. Artinya, terdapat satu tahapan dimana proses
33
menyimpulkan tentang penelitian ini dilakukan bersama dengan para informan yang merupakan subjek dalam penelitian ini dan yang telah menyumbangkan data dan informasi terhadap penelitian ini. Analisis data kualitatif dipadukan dengan hasil interpretasi data kuantitatif. INPUT
PROSES
Kondisi fisik sumberdaya pesisir
Identifikasi Perubahan Ekologis Kawasan Pesisir
Pemanfaatan sumberdaya pesisir
OUTPUT Indikasi Perubahan Ekologis Kawasan Pesisir
Usia Tingkat Pendidikan Tingkat Pendapatan
Identifikasi karakteristik rumah tangga nelayan Karakteristik rumah tangga nelayan Pulau Panjang
Pengalaman nelayan
Jumlah anggota rumah tangga
Jenis armada Jenis alat tangkap
Identifikasi karakteristik usaha nelayan
Pengaruh Perubahan Ekologis terhadap
Indikasi Perubahan Ekologis Kawasan Pesisir Karakteristik rumah tangga nelayan P.Panjang
Aktivitas Nelayan
Analisis Pengaruh Perubahan Ekologis terhadap Aktivitas Nelayan
Gambar 3 Kerangka Analisis
STRATEGI ADAPTASI NELAYAN
34
BAB IV PROFIL LOKASI 4.1. Letak Geografis dan Kondisi Alam Desa Pulau Panjang merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Desa Pulau Panjang memiliki tiga pulau kecil, dimana dua diantaranya tidak berpenghuni. Pulau-pulau yang masuk dalam wilayah Desa Pulau Panjang adalah Pulau Burung, Pulau Tampakan dan Pulau Hantu. Pusat pemerintahan dan pulau yang berpenghuni berada di wilayah Pulau Burung. Sedangkan dua pulau lainnya (Pulau Tampakan dan Pulau Hantu) merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan hanya ditumbuhi ekosistem mangrove. Secara geografis, desa ini berbatasan langsung dengan Desa Sungai Dua disebelah Utara, Pulau Suwangi/Kecamatan Batulicin disebelah Selatan, Desa Tungkaran Pangeran disebelah Barat, dan Selat Laut (Kabupaten Kotabaru) disebelah Timur. Posisi desa ini diapit oleh dua pulau besar, yakni Pulau Kalimantan disebelah Barat dan Pulau Laut disebelah Timur. Posisi yang demikian menjadikan wilayah pesisir desa ini padat akan lalu lalang transportasi laut, seperti speedboat, klotok, dan kapal-kapal tugboat. Perjalanan menuju desa tersebut hanya dapat ditempuh dengan perjalanan laut.
Hal
ini
disebabkan
tidak
adanya
jembatan
penyebrangan
yang
menghubungkan Pulau Burung dengan Pulau Kalimantan. Jarak tempuh dari Ibu kota kecamatan ke Kantor Desa Pulau Panjang sekitar 3 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 30 menit (15 menit perjalanan laut, 15 menit perjalanan darat). Jarak dari pusat pemerintahan Kabupaten sekitar 14 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam sedangkan jarak dari ibukota Provinsi Kalimantan Selatan sekitar 265 kilometer dengan waktu tempuh 6 jam. Luas Desa Pulau Panjang kurang lebih 1562,5 Ha. Wilayah seluas itu diperuntukan untuk perumahan dan pekarangan, perkebunan, tambak, dan hutan mangrove. Ketinggian tanah di kawasan ini berkisar 0-5 meter diatas permukaan laut (dpl). Kelembaban udara rata – rata berkisar antara 85 persen dan 92 persen dengan kelembaban maksimum tertinggi sebesar 99 persen di bulan Mei
35
sedangkan kelembaban minimum terendah terjadi di bulan Februari sebesar 55 persen. Temperatur udara rata – rata berkisar antara 24,5o C dan 27,1o C, dengan suhu udara maksimum tertinggi pada bulan Januari dan Juli sebesar 34 0 C dan minimum terendah sebesar 210 C di bulan Juni. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi di bulan Juli yaitu 389,4 mm dan terendah di bulan April yaitu 137,1 mm (BPS Kabupaten Tanah Bumbu, 2009). 4.2. Penduduk dan Mata Pencaharian Menurut para orang tua dan para sesepuh di Pulau Panjang, asal usul leluhur mereka berasal dari Sulawesi. Itulah sebabnya, sebagian besar penduduk Pulau Panjang adalah orang Bugis. Kehadiran orang Banjar yang ada di Pulau Panjang lebih banyak disebabkan oleh ikatan perkawinan dengan penduduk setempat atau bertugas sebagai pegawai negeri, seperti guru SD atau aparat desa. Sekalipun demikian, orang Bugis tetap mendominasi struktur masyarakat di desa ini. Jumlah penduduk Pulau Panjang 250 jiwa yang terdiri dari 67 KK yang terdiri atas 126 laki-laki dan 124 perempuan (Tim Pemetaan Swadaya, 2011). Akan tetapi, pencatatan data kependudukan ini di masing-masing instansi berbeda-beda. BPS Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2009 mencatat penduduk di Desa Pulau Panjang mencapai 330 jiwa dengan 106 KK. Sedangkan Kantor Desa Pulau Panjang pada tahun yang sama mencatat jumlah penduduk sebanyak 479 jiwa dengan 115 KK. Tabel 2 Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Golongan Umur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Umur 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55 ++ Jumlah Penduduk
Laki-Laki 16 15 7 7 12 16 12 8 5 8 7 13
Perempuan 11 12 15 10 10 10 8 10 7 7 6 18
Jumlah 27 27 22 17 22 26 20 18 12 15 13 33
126
124
250
Sumber : Tim Pemetaan Swadaya Desa Pulau Panjang 2011
36
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa rasio beban tanggungan (dependency ratio) di Desa Pulau Panjang adalah 77,3. Artinya, dalam setiap 100 orang usia produktif menanggung 77,3 orang usia non-produktif. Sedangkan rasio jenis kelamin (sex ratio) 101,7 laki-laki per 100 perempuan. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan atau pekerjaan yang masih berkaitan langsung dengan pemanfaatan hasil-hasil laut. Selain itu, yang saat ini mulai dikembangkan adalah usaha pembudidayaan rumput laut (Gracillaria spp). Selebihnya, merupakan petani kebun dan buruh bangunan. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah bahwa kebanyakan masyarakat Desa Pulau Panjang tidak menggantungkan hidupnya dari satu sumber penghasilan saja, sebagian besar memiliki pola nafkah ganda dan mengikutsertakan seluruh anggota rumah tangga untuk mencari sumber-sumber penghasilan. 4.3. Sarana dan Prasarana Prasarana sosial yang terdapat di Desa Pulau Panjang mencakup bidang keagamaan, pendidikan dan kesehatan. Di bidang keagaman, dengan jumlah penduduk mayoritas beragama Islam, maka sarana keagamaan yang ada hanyalah sarana yang berhubungan dengan agama Islam, yakni Masjid. Secara umum, masjid merupakan tempat anggota masyarakat mengadakan kegiatan keagamaan seperti: sholat, pengajian, upacara keagamaan dan merupakan tempat penyebaran informasi (penyebaran berita kematian dan undangan untuk berkumpul). Kegiatan lain dilakukan setelah jum’atan dan setelah sholat maghrib di malam
jum’at
untuk menyelesaikan beberapa masalah dan konflik sosial. Di bidang pendidikan, desa ini memiliki SD (Sekolah Dasar) dan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Fungsi SD ini sangat penting untuk memberikan pendidikan dasar bagi masyarakat Pulau Panjang, seperti pemahaman baca tulis, kemampuan berhitung dan pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Sebelum SD ini didirikan pada tahun 1996, masyarakat Pulau Panjang yang ingin bersekolah harus menempuh jarak kurang lebih 3 kilometer dengan menggunakan klotok (perahu kecil) untuk dapat sampai ke sekolah tujuan yang berada di Desa Tungkaran Pangeran di Pulau Kalimantan. Jarak tempuh yang jauh dan akses menuju sekolah yang cukup sulit menyebabkan banyak masyarakat yang memilih
37
untuk tidak sekolah dan lebih memilih untuk mengikuti pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan. Selain di bidang pendidikan, ada juga sarana di bidang kesehatan berupa Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang berada di RT 01. Poskesdes didirikan pada tahun 2009 dengan bantuan dana dari APBD Kabupaten Tanah Bumbu. Namun demikian, walaupun secara fisik bangunan sudah ada tetapi pemanfaatannya sampai dengan saat ini belum optimal. Poskesdes hanya dimanfaatkan untuk keperluan posyandu saja yang hanya dilaksanakan sebulan sekali. Hal ini dikarenakan tidak ada tenaga medis (Mantri, Bidan, dan Dokter) yang ditugaskan di tempat tersebut. Tidak ada sama sekali kendaraan roda dua di desa ini. Masyarakat Pulau Panjang terbiasa beraktivitas dengan berjalan kaki. Akan tetapi, untuk menunjang kelancaran aktivitas warga, di wilayah RT 02 Desa Pulau Panjang terdapat jalan darat yang berupa rabat beton. Pembangunan jalan beton ini merupakan realisasi proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan 2010. Jalan beton ini sangat penting dalam memperlancar kegiatan usaha di desa. Pasalnya, di wilayah RT 02 terdapat kelompok pembudidaya rumput laut yang pada saat-saat tertentu mengangkut hasil panennya melewati jalur darat. Namun demikian, jalan yang terdapat di RT 01 masih merupakan jalan tanah yang kondisinya licin dan becek. Dari sisi tempat tinggal atau perumahan warga dapat dikelompokan kedalam tiga kategori, yakni: rumah permanen, rumah semi permanen, dan darurat. Sebanyak 37 rumah permanen, 18 semi permanen dan 5 darurat, dari total 60 rumah warga yang ada didesa ini (Tim Pemetaan Swadaya, 2011). 4.4. Kondisi Perikanan Kabupaten Tanah Bumbu mempunyai potensi sumberdaya kelautan dan perikanan dengan karakteristik fisik panjang garis pantai
162,895 km yang
terbentang dari Kecamatan Simpang Empat sampai dengan Kecamatan Satui dan luas wilayah perairan laut (batas pengelolaan 4 mil dari kabupaten) sebesar 653,4 km2 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel, 2010), memungkinkan untuk
38
pengembangan budidaya perikanan laut, pariwisata pantai dan perhubungan antar pulau dengan memperhatikan pengelolaan lingkungan. Berdasarkan data PPI Batulicin tahun 2007 hingga April 2010 didapatkan bahwa produksi perikanan laut di Kabupaten Tanah Bumbu sejak 2007 - April 2010 sebesar 18.770,42 ton dari 26 jenis ikan yang didaratkan di PPI Batulicin. Setiap tahun terjadi kenaikan produksi perikanan. Dari tabel 3 terlihat bahwa tangkapan jenis ikan kembung, layang, ketombong dan tongkol adalah jenis yang paling tinggi setiap tahunnya. Pada tahun 2007 produksi ikan tongkol mencapai puncaknya yaitu sebesar 5.134 ton, namun pada tahun-tahun berikutnya cenderung menurun. Tabel 3 Produksi Perikanan Laut Kabupaten Tanah Bumbu berdasarkan Data PPI tahun 2007 - 2010 Jumlah Jenis Ikan (ton) No
Jenis Ikan
1 Kembung 2 Layang 3 Ketombong 4 Tongkol 5 Tenggiri 6 Bandeng 7 Bawal 8 Udang 9 Cumi-cumi 10 Cepa 11 Bogor 12 Serisi 13 Como-como 14 Selar 15 Manyung 16 Belanak 17 Talang-talang 18 Kakap merah 19 Tembang 20 Trakulu 21 Bagong/Semar 22 Selangat 23 Mujair 24 Lemuru/Sarden 25 Baronang 26 Ikan jenis lain Total bulanan (ton)
2007 822,8 917,3 372,4 513.4 107,2 260,6 147,9 14,1 38,95 124,4 41,6 60,9 63,7 71,4 10,2 1,6 10,9 2,6 28,7 65,4 103,3 141,2 1,8 162,1 4.084,5
2008
2009
750,9 1.378,1 414,5 865,0 140,6 292,8 131,8 19,1 113,90 130,9 95,8 62,4 122,0 93,2 9,1 33,7 17,0 57,9 94,8 151,0 295,8 161,1 5.431,4
1.357,60 2.589,60 326,10 1.046,40 213,50 272,10 168,30 12,50 111,60 100,20 74,90 70,70 45,10 173,20 22,80 2,30 10,80 32,50 39,30 48,70 47,80 102,00 131,40 6.999,40
Sumber: PPI Batulicin Kab. Tanah Bumbu, Thn. 2007 s.d 2010
2010 (hingga April 2010) 280,05 636,15 129,65 473,65 54,65 202,40 34,70 7,80 64,90 49,40 72,30 67,33 17,35 4,10 7,50 1,20 7,55 7,00 33,40 6,15 15,85 39,75 3,95 38,34 2.255,12
39
Hal ini berbeda dengan tangkapan nelayan yang berada di Pulau Panjang. Sebagian besar nelayan di desa ini menangkap lebih banyak ikan jenis kakap, kakap merah, bawal dan kerapu. Ikan jenis ini lebih mudah ditemui dibandingkan tongkol, kembung dan bandeng. Hal ini dikarenakan alat tangkap dan armada tangkap nelayan Pulau Panjang yang masih sangat tradisional. Ukuran dan kekuatan armada tangkap yang ada, serta tingkat efektivitas dan kualitas alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan Pulau Panjang diduga mempengaruhi usaha penangkapan ikan di kawasan tersebut. Nelayan-nelayan di Pulau Panjang hampir keseluruhannya menggunakan armada tangkap yang bersifat
tradisional.
Armada
tangkap
yang
digunakan
yakni
berupa
4
balapan/klotok, swan dan ketinting . Armada tangkap jenis ini hanya dilengkapi mesin berukuran 5-24PK. Sedangkan alat tangkap yang digunakan diantaranya adalah rempa, rengge, rawai, rakang, dan pancing5. Kegiatan penangkapan ikan di laut dan di sungai atau selat bagi nelayan mengenal dua musim, yaitu musim paceklik dan musim panen yang sekaligus menandai rotasi atau jadwal penangkapan ikan. Musim paceklik biasanya dimulai akhir Juni sampai akhir Oktober. Sedangkan musim panen ikan terjadi pada awal bulan Januari sampai dengan April. Pada saat musim melaut ini para nelayan sangat intensif melaut dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, seperti mempersiapkan alat tangkap, perahu maupun bahan bakar. Selain dua musim tersebut yang terjadi berbulan-bulan, nelayan Pulau Panjang juga mengenal dua musim lainnya yang terjadi dua minggu sekali, yakni konda dan nyorong. Konda merupakan situasi dimana air laut tenang, tidak ada gelombang dan pasang surut terjadi tidak terlalu ekstrem. Konda terjadi pada tanggal 6-11 dan 18-23 sesuai kalender/perhitungan bulan. Pada saat musim konda, nelayan lebih banyak yang mempergunakan waktunya dengan memancing. Hal ini dikarenakan ombak yang tenang dan pasang surut yang tidak terlalu 4
Klotok merupakan jenis perahu dengan panjang ± 8 sampai 10 meter dan lebar 1-1,5 meter yang dilengkapi dengan mesin berkekuatan 24-30 PK. Perahu jenis swan berukuran ±5x0,75 meter dengan mesin maksimal 20PK.Sedangkan ketinting, dilengkapi dengan jenis mesin masing-masing 5-10 PK dan berukuran lebih kecil dari perahu jenis swan. 5 Rempa merupakan jenis jaring net dengan ukuran 5-8 inch yang dipergunakan untuk menangkap kakap. Rengge merupakan jenis jaring net dengan ukuran 6-9 inch yang dipergunakan untuk menangkap bawal. Rawai merupakan alat penangkap ikan yang terdiri dari ratusan mata pancing. Rakang merupakan alat penangkap kepiting yang berbentuk bundar dengan jaring-jaring ditengahnya sebagai perangkap.
40
ekstrem. Selain konda ada juga musim nyorong, yakni situasi pasang surut yang sangat ekstrim. Artinya, kondisi air laut yang mengalami pasang surut di luar kondisi biasanya. Musim nyorong biasanya terjadi pada tanggal 12-17 dan 24-30 sesuai kalender bulan. Musim ini biasanya dimanfaatkan oleh nelayan dengan mencari kepiting. Pada saat pasang, biasanya kepiting masuk kedalam hutan mangrove untuk mencari substrat makanan. Dengan demikian banyak nelayan yang memasang perangkap di hutan mangrove untuk mendapatkan kepiting. Alat penangkap kepiting yang digunakan bernama rakang. 4.5. Kondisi Ekosistem Pesisir Salah satu keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah adanya ekosistem mangrove dan terumbu karang. Adanya ekosistem mangrove dengan ketebalan yang sangat besar di sepanjang pantai, cukup besar pengaruhnya dalam meredam gelombang maupun kecepatan arus. Semua pulau yang tersebar di Selat Laut (Pulau Burung, Pulau Tampakan, Pulau Hantu, Pulau Swangi, Pulau Anak Swangi, dan Pulau Sungai Dua) memiliki karakteristik wilayah berupa ekosistem hutan mangrove dan hutan dataran rendah. Sebagian pulau-pulau tersebut dan perairan Selat Laut merupakan kawasan Cagar Alam Teluk Kelumpang, Selat Laut dan Selat Sebuku berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 329/Kpts-II/1987 tanggal 14 Oktober 1987 seluas 66.650 Ha. Selanjutnya wilayah Pulau-Pulau tersebut termasuk dalam kawasan Cagar Alam dan Cagar Alam Laut sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 26 tahun 2008 dan SK Menteri Kehutanan Nomor : 435 tahun 2009. Kondisi mangrove di wilayah Desa Pulau Panjang kondisinya masih cukup lebat dan rapat terutama di Pulau Tampakan (441.399 Ha). Meski demikian berdasarkan pengamatan terlihat adanya abrasi di ujung Utara Pulau Burung. Dibagian lain dari Pulau Burung, Pulau Hantu dan Pulau Tampakan belum sampai terjadi abrasi yang signifikan, namun mangrove yang berada di bagian pantai lebih jarang. Kemungkinan penyebab salah satunya adalah seringnya kapal tongkang ditambatkan di pohon-pohon mangrove yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove di Pulau Burung dan Tampakan. Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove disebabkan juga adanya alih fungsi lahan. Hal ini dapat dilihat secara
41
visual dengan adanya pembukaan lahan mangrove untuk pemukiman, tambak dan pembangunan pelabuhan khusus. Sedikitnya terdapat enam pelabuhan khusus batubara yang beroperasi di kawasan pesisir Pulau Panjang. Kehadiran pelabuhan khusus tersebut baik langsung maupun tidak langsung jelas akan memberikan dampak bagi keberadaan ekosistem mangrove. Selain itu, perlu diingat juga akan adanya aktifitas penebangan pohon mangrove untuk kayu bakar.
Gambar 4 Pelabuhan Khusus Batubara di Kawasan Pesisir Pulau Panjang Selain mangrove, ekosistem pesisir yang tidak kalah pentingnya adalah terumbu karang. Dalam kerangka ekologis, terumbu karang merupakan tempat mencari makan dan tempat hidup berbagai organisme hewan maupun tumbuhan laut seperti ikan, penyu, udang, kerang dan rumput laut. Keberadaan terumbu karang dengan berbagai fungsinya sangat penting untuk dipertahankan. Gugusan terumbu karang yang terdapat di Desa Pulau Panjang yaitu di bagian utara Pulau Tampakan (Gusung Payung), sebelah Barat Pulau Hantu (Tunurappu) (Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel, 2010). Pada umumnya karang terumbu yang ada kondisinya sudah banyak yang rusak, terutama yang letaknya dekat dengan daratan pantai yang penuh
42
aktifitas manusia dan sedimentasi yang tinggi. Hal ini akan mengancam keberlanjutan ekosistem terumbu karang, terlihat dengan tingginya aktivitas pelayaran baik kapal tongkang, nelayan dan kapal lainnya juga banyaknya bagan tancap yang tersebar terutama di perairan muara Selat Laut dan sekitarnya. Pengaruh adanya bahan pencemar akibat aktivitas di laut dan di darat serta tingginya tingkat sedimentasi juga turut berpengaruh terhadap kehidupan terumbu karang karena bahan pencemar dan sedimen dapat menutup polip karang sebagai pembentuk utama terumbu karang. Kerusakan terumbu karang ini menurut nelayan berakibat pada sulitnya menentukan daerah penangkapan dan berkurangnya hasil tangkapan. Dengan segala kondisi dan potensi sumberdaya pesisir yang dimiliki Desa Pulau Panjang, Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu berencana untuk mengembangkan daerah ini sebagai kawasan pariwisata. Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor tumpuan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi besar dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Peluang pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Tanah Bumbu masih sangat terbuka lebar dan dapat dijadikan sebagai salah satu unggulan. Keunggulan tersebut antara lain sebagai daerah tujuan wisata dengan beberapa obyek berupa wisata bahari (terumbu karang), wisata alam, wisata panorama, dan wisata budaya.
43
BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Usia Responden Usia responden adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilaksanakan penelitian ini dilakukan. Usia responden bervariasi dari 24 tahun hingga 76 tahun dengan rata-rata usia 41,9 tahun. Rata-rata usia responden ini tergolong kedalam kelompok usia produktif (16-64 tahun). Usia responden dibagi kedalam tiga kategori, yakni usia muda (18-30 tahun), dewasa (31-50 tahun) dan tua (lebih dari 50 tahun). Dengan demikian, usia responden yang masuk kedalam golongan usia muda sebanyak 6 orang (20%), golongan dewasa sebanyak 15 orang (50%), dan golongan tua sebanyak 9 orang (30%). Tabel 4 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Usia Usia
Responden n
%
Muda (18-30) Dewasa (31-50) Tua (>50)
6 15 9
20 50 30
Jumlah
30
100
Sumber: Data Primer, 2011
5.2. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden. Jumlah dan persentase tingkat pendidikan
responden
dapat dilihat dalam tabel 5. Tabel 5 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
Responden n
%
Rendah (Tidak Lulus SD-SD) Sedang (SMP) Tinggi (SMA)
16 8 6
53,3 26,7 20
Jumlah
30
100
Sumber: Data Primer, 2011
44
Berdasarkan hasil survai terhadap 30 orang nelayan, diketahui bahwa sebanyak 16 orang nelayan atau 53,3 persen responden tergolong dalam kategori berpendidikan rendah, yaitu hanya mencapai jenjang Sekolah Dasar. Sebanyak 8 orang nelayan atau 26,7 persen responden berpendidikan sedang, yaitu tamat Sekolah Menengah Pertama / sederajat dan hanya 6 orang nelayan atau 20 persen responden yang tergolong berpendidikan tinggi, atau tamat Sekolah Menengah Atas / sederajat. Perlu dicermati bahwa sebagian besar responden yang menamatkan sekolahnya sampai ke jenjang SMP maupun SMA merupakan hasil dari keikutsertaannya pada program pendidikan kesetaraan Kejar Paket A, B dan C. Program ini diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Bumbu yang bekerjasama dengan para pengajar di Sekolah Dasar Swasta (SDS) Tunas Nelayan yang berlokasi di Desa Pulau Panjang pada tahun 2005. Jika dilihat lebih jauh, nelayan di Pulau Panjang sebenarnya hanya berpendidikan SD atau sederajat. Hal ini dikarenakan letak sekolah yang jauh dari tempat tinggal para nelayan, biaya pendidikan yang mahal dan persepsi negatif tentang pendidikan yang kemudian menyebabkan nelayan tersebut tidak memprioritaskan sekolah sebagai kebutuhan dasar bagi mereka. Namun demikian, berkat inisiasi dari salah seorang tokoh masyarakat yang ada di Pulau Panjang yang mendirikan SDS Tunas Nelayan pada tahun 1996 perhatian masyarakat pesisir Desa Pulau Panjang terhadap pendidikan meningkat. Hal ini dibuktikan ketika pada pembukaan program Paket A,B dan C pada tahun 2005 yang mendapat antusisme begitu besar dari masyarakat pesisir Pulau Panjang, khususnya para nelayan. 5.3. Jumlah Anggota Rumah Tangga Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya orang yang menetap dalam satu rumah dimana nelayan itu tinggal. Jumlah anggota rumah tangga nelayan ini diduga mempengaruhi pilihan-pilihan adaptasinya terhadap perubahan ekologis. Jumlah dan persentase responden berdasarkan banyaknya anggota rumah tangga nelayan dapat dilihat dalam tabel 6.
45
Tabel 6 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga Jumlah Anggota Rumah Tangga
Responden n
%
Sedikit (1-3) Sedang (4-6) Tinggi (>7))
11 17 2
36,6 56,7 6,7
Jumlah
30
100%
Sumber: Data Primer, 2011
Berdasarkan survai yang dilakukan terhadap 30 orang nelayan Pulau Panjang, diketahui sebanyak 17 orang nelayan atau 56,7 persen responden memiliki anggota rumah tangga 4-6 orang. Sebanyak 11 orang nelayan atau 36,6 persen responden memiliki anggota rumah tangga 1-3 orang dan sebanyak 2 orang nelayan atau 6,7 persen responden memiliki anggota rumah tangga lebih dari 7 orang. Rata-rata anggota rumah tangga nelayan yang ada di Pulau Panjang adalah 4 orang. Artinya, jumlah anggota rumah tangga nelayan di Pulau Panjang tergolong kedalam rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga sedang. 5.4. Pengalaman Nelayan Melaut Pengalaman nelayan melaut adalah lama responden menjadi nelayan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun), sejak pertama kali menjadi nelayan sampai dengan penelitian ini dilakukan. Semakin lama seseorang bekerja sebagai nelayan diduga mempengaruhi pengetahuannya mengenai kondisi ekosistem pesisir serta bentuk-bentuk perubahan
yang mempengaruhi aktivitas nelayan. Jumlah dan
persentase responden berdasarkan pengalamannya sebagai nelayan dapat dilihat dalam tabel 7. Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Pengalaman Melaut Pengalaman Nelayan
Responden n
%
Rendah (6-14 tahun) Sedang (15-27 tahun) Tinggi (≥28 tahun)
12 11 7
40 36,7 23,3
Jumlah
30
100%
Sumber: Data Primer, 2011
46
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap 30 orang nelayan Pulau Panjang, diketahui sebanyak 7 orang atau 23,3 persen responden bekerja sebagai nelayan selama lebih dari 28 tahun. Sebanyak 11 orang atau 36,3 persen responden bekerja sebagai nelayan selama 15-27 tahun. Sedangkan sisanya sebanyak 12 orang nelayan atau 40 persen responden bekerja sebagai nelayan selama 6-14 tahun. Hal ini menunjukan pengalaman nelayan cukup untuk mengetahui kondisi ekosistem serta perubahan ekologis yang terjadi di wilayah pesisir yang merupakan daerah penangkapan ikan nelayan. 5.5. Tingkat Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan adalah jenis perahu yang digunakan nelayan dalam kegiatan penangkapan. Adapun jenis-jenis perahu yang ada di Pulau Panjang, diantaranya: klotok/balapan, swan, dan ketinting6. Berbeda dengan klotok/balapan dan swan, ketinting merupakan jenis armada penangkapan yang mesin penggeraknya berada di luar. Adapun jumlah dan persentase responden berdasarkan teknologi penangkapannya dapat dilihat dalam tabel 8. Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tingkat Teknologi Penangkapan Tingkat Teknologi Penangkapan
Responden n
%
Tinggi (ketinting) Sedang (swan) Rendah (klotok)
21 5 4
70 16,7 13,3
Jumlah
30
100
Sumber: Data Primer, 2011
Terlihat pada tabel 8, nelayan Pulau Panjang lebih didominasi oleh armada tangkap jenis balapan/klotok. Sebanyak 21 orang nelayan atau 70 persen responden menggunakan armada tangkap balapan/klotok. Sedangkan sisanya sebanyak 5 orang nelayan atau 16,7 persen responden menggunakan armada tangkap swan
dan sebanyak 4 orang nelayan atau 13,3 persen responden
menggunakan armada tangkap jenis ketinting.
6
Lihat Bab IV, hal.39
47
BAB VI PERUBAHAN EKOLOGIS DAN PENGARUHNYA TERHADAP NELAYAN 6.1. Perubahan Ekologis Kawasan pesisir merupakan suatu kawasan dengan ekosistem yang dinamis dan mempunyai habitat yang beragam, baik didarat maupun dilaut. Kawasan pesisir Pulau Panjang mengandung sumberdaya alam yang begitu besar. Sumberdaya alam tersebut berupa sumberdaya alam hayati (ikan, rumput laut, mangrove dan terumbu karang) dan non hayati (mineral, tambang, sumberdaya air, dan lain-lain) serta jasa-jasa lainnya seperti perhubungan laut dan pariwisata. Sifat sumberdaya pesisir yang terletak diantara lautan dan daratan menjadikan kawasan ini sebagai ekosistem yang paling mudah terkena dampak dari kegiatan manusia. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia dengan segala cara berupaya untuk mendapatkan materi, energi dan informasi dari alam. Seiring meningkatnya populasi manusia yang kemudian menyebabkan peningkatan kebutuhan akan sumberdaya alam, membuat peluang terjadinya perubahan pada sistem alamiah dari pesisir dan lautan semakin besar. Menurut Satria (2009a), perubahan tersebut dapat mengakibatkan berbagai hal negatif, baik pada sumberdaya yang terkandung maupun aspek fisik dari lautan itu sendiri. Perubahan ekologis merupakan perubahan yang terjadi pada keseluruhan komponen biotik dan abiotik yang terdapat pada laut dan pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia. Perubahan ekologis merupakan dampak yang tidak dapat dihindari dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran (exchange). Sistem alam dan sistem manusia saling memberikan energi, materi dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain (Dharmawan, 2007). Manusia meminta materi, energi dan informasi dari alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sementara itu, alam lebih banyak mendapatkan materi, energi dan informasi dari manusia dalam bentuk limbah dan polutan yang lebih banyak mendatangkan kerugian bagi kehidupan organisme lainnya.
48
6.1.1. Konteks Historis Jika ditinjau dari konteks historisnya, perubahan ekologis di kawasan Pulau Panjang berawal ketika para investor China masuk ke kawasan ini pada tahun 2003 untuk membuka usaha tambak udang dan bandeng secara besar-besaran. Kegiatan yang membutuhkan lahan yang cukup luas ini secara mengejutkan membabat habis puluhan hektar hutan mangrove yang ada di kawasan Pulau Panjang. Setelah satu tahun berjalan, usaha tambak tersebut tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya, pada tahun 2004 lahan-lahan tambak yang semula menjadi tempat pembudidayaan ikan bandeng dan udang ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja, tanpa ada upaya untuk merehabilitasi lahan/hutan mangrove yang sudah rusak tersebut. Perubahan ekologis di kawasan Pulau Panjang semakin berlanjut ketika terjadi pemekaran wilayah di tingkat kabupaten. Sebelum tahun 2003, Pulau Panjang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Kotabaru. Akan tetapi, sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 2 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan, wilayah Pulau Panjang menjadi bagian dari Kabupaten Tanah Bumbu. Kejadian ini menjadi babak baru pengelolaan sumberdaya alam di wilayah Tanah Bumbu, tidak terkecuali di kawasan Pulau Panjang.
2003
2004
2005
Pembukaan Tambak Udang & Bandeng oleh Investor China
Berdirinya Kabupaten Tanah Bumbu (UU No.2 tahun 2003)
Mulai munculnya Pelsus Batubara
Puluhan hektar hutan mangrove hancur akibat pembukaan tambak udang & bandeng
Kewenangan dalam Pengelolaan SDA berada dibawah Pemerintah Kab. Tanbu
Kapal-kapal tongkang besar mulai beroperasi
Gambar 5 Bagan Historis Perubahan Ekologis Sekitar tahun 2004an, yang merupakan masa transisi dan penyerahan kewenangan dari Kabupaten Kotabaru ke Kabupaten Tanah Bumbu, munculah
49
berbagai macam perusahaan pertambangan di Tanah Bumbu. Kejadian tersebut berlanjut pada tahun 2005 sampai saat ini. Bermunculannya perusahaan pertambangan serta merta diikuti juga dengan pendirian-pendirian palabuhan khusus pengangkut hasil tambang tersebut. Di kawasan pesisir Pulau Panjang, muncul lima buah pelabuhan khusus batu bara yang memanfaatkan kawasan pesisir Pulau Panjang sebagai sarana transportasi utama untuk mengangkut hasilhasil tambang. Sektor pertambangan terutama pertambangan batubara merupakan salah satu sektor yang sangat berperan bagi perekonomian Kabupaten Tanah Bumbu. Dinas Pertambangan dan Energi (2009) mencatat ada 62 perusahaan/KUD yang mendapatkan izin penambangan batubara. Jumlah ini meningkat 33,9 persen menjadi 83 perusahaan/KUD pada tahun 2010. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tanah Bumbu pada tahun 2009, tercatat sebanyak 45,11 persen berasal dari sektor pertambangan (BPS Tanah Bumbu, 2010). 6.1.2. Analisis Ekologi Politik Bryant dan Bailey (2001) sebagaimana dikutip Satria (2007) mengemukakan bahwa perubahan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi dimana masalah itu muncul. Dengan demikian masalahmasalah lingkungan yang terjadi di Pulau Panjang tidak hanya persoalan teknis pengelolaan semata, akan tetapi juga terdapat masalah-masalah sosial politik yang tercakup didalamnya. Masalah-masalah sosial politik tersebut dibuktikan dengan adanya produk hukum yang saling meniadakan satu sama lain, baik pada tingkat lokal maupun nasional, yang kemudian menyebabkan kerusakan ekosistem. Pada tingkat lokal, kebijakan pemerintah daerah menetapkan kawasan ini sebagai desa melalui SK Bupati Tanah Bumbu nomor 336 tahun 2007 yang kemudian diperbaharui menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu nomor 7 tahun 2010 bertentangan dengan SK Menteri Kehutanan nomor 329/Kpts-II/1987 yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 dan SK Menteri Kehutanan nomor 435 tahun 2009 tentang penetapan kawasan ini sebagai kawasan suaka alam (cagar alam). Menurut Undang-undang nomor 5
50
tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekosistemnya, di kawasan suaka alam setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam, yang meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli (pasal 19).
PULAU PANJANG
Sumber: Dinas Kehutanan Tanah Bumbu, 2010
Gambar 6 Lampiran SK Menhut Nomor 435/Menhut-II/2009 tentang Kawasan Hutan Kabupaten Tanah Bumbu Selain itu, pemberian izin kepada perusahaan-perusahaan pertambangan, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, berarti juga bertentangan dengan SK Menteri Kehutanan nomor 329/Kpts-II/1987 yang kemudian diperbaharui dengan SK Menteri Kehutanan nomor 435 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang penetapan kawasan ini sebagai kawasan suaka alam (cagar alam). Hal ini menandakan bahwa pemerintah pusat maupun daerah, yang memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan pertambangan untuk membangun pelabuhan khusus batubara yang ada di kawasan Pulau Panjang tidak memperhatikan kaidah konservasi sebagaiman tercantum
51
dalam pasal 18 Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Paradigma
pembangunan
yang
bertumpu
pada
penguatan ekonomi
melahirkan berbagai kebijakan yang mendukung tujuan pembangunan yakni peningkatan kesejahteraan yang diukur melalui peningkatan pendapatan negara atau daerah. Dengan demikian nilai sumberdaya alam yang dimunculkan adalah nilai ekonomi semata. Padahal sumberdaya alam juga memiliki nilai sosial budaya. 6.1.3. Bentuk Perubahan Ekologis Pada saat ini telah terdapat beberapa perubahan fisik yang mengindikasikan telah terjadinya kerusakan ekosistem di kawasan pesisir Pulau Panjang. Berbagai bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang tersebut antara lain: (1) perubahan pada ekosistem mangrove dan (2) perubahan pada ekosistem terumbu karang. 1) Perubahan pada Ekosistem Mangrove Mangrove merupakan ekosistem utama yang mendukung kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir dan laut, mangrove memiliki beberapa fungsi penting bagi ekosistem pesisir dan laut antara lain sebagai peredam gelombang, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sendimen yang diangkut oleh aliran permukaan/daratan, penghasil detritus dan mineral yang dapat menyuburkan perairan, daerah asuhan (nursery ground), daerah penyedia nutrien (feeding ground) dan pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan, pencegah intruisi air laut, serta habitat satwa liar. Selain memiliki fungsi ekologis, ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekonomis, yakni sebagai penyedia kayu, bahan bangunan, alat penangkap ikan, penyedia nipah (Dahuri et al., 1996; Wahyono et al., 2001; Bengen, 2004; Purwoko, 2005; Anwar, 2006; Mulyadi, 2007; Satria, 2009b). Bagi masyarakat pesisir Pulau Panjang, keberadaan ekosistem mangrove ini sangat penting. Pasalnya areal hutan mangrove yang masih subur akan mengundang jenis-jenis kepiting, udang dan kerang-kerangan untuk menenpati
52
hutan mangrove tersebut. Akibatnya, nelayan akan mudah mendapatkan kepiting, udang dan kerang-kerangan lainnya di daerah tersebut. Akan tetapi, berdasarkan Laporan Akhir Pemetaan Spasial dan Pulau-Pulau Kecil yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2010, ekosistem mangrove yang ada di kawasan pesisir Pulau Panjang mengalami kerusakan dan alih fungsi lahan. Hal ini dapat dilihat secara visual dengan adanya pembukaan lahan mangrove untuk pemukiman, tambak dan penambatan kapal-kapal tongkang batubara. Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove juga dikarenakan adanya aktivitas penebangan pohon mangrove untuk kayu bakar, bahan bangunan, pasak bumi, tonggak-tonggak untuk budidaya rumput laut, serta tempat memasang jaring ikan. Kerusakan ekologis mangrove terlihat dengan adanya abrasi di ujung utara Pulau Panjang. Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Hantu dan Pulau Tampakan yang merupakan bagian dari Pulau Panjang belum terjadi abrasi yang signifikan, namun mangrove yang berada di bagian pantai lebih jarang. Secara ekologi, indikator kerusakan terlihat dari adanya tumbuhan Drujon/Jeruju (Acanthus ilicifolius L.). Drujon merupakan tumbuhan berduri yang dapat tumbuh di substrat lunak berlumpur sampai setinggi 2 meter. Tumbuhan ini dapat menjadi tumbuhan dominan di hutan mangrove yang rusak (Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel, 2010). Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove ini sendiri juga diakui oleh para nelayan. Sebanyak tiga puluh orang responden yang diwawancarai, 16 orang diantaranya atau 53,3 persen responden menyatakan bahwa kondisi ekosistem mangrove saat ini berada dalam kondisi yang buruk, 7 orang atau 23,3 persen responden menyatakan sangat buruk, 5 orang atau 16,7 persen responden yang menyatakan baik, dan hanya 2 orang atau 6,7 persen responden yang menyatakan sangat baik. Pernyataan responden tersebut menandakan bahwa telah terjadi perubahan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Pulau Panjang. Sebanyak 16 orang atau 53,3 persen responden yang menyatakan kondisi ekosistem mangrove saat ini berada dalam kondisi yang buruk, dan 7 orang atau 23,3 persen responden yang menyatakan sangat buruk berpendapat bahwa kerusakan tersebut diakibatkan oleh
53
adanya pelabuhan khusus batubara (30%), pembukaan lahan tambak (20%), penebangan oleh masyarakat untuk bahan bangunan (13,3%), dan karena penyebab lainnya berupa pencarian kayu bakar, tonggak-tonggak untuk budidaya rumput laut (13,3%).
Kondisi Ekosistem Mangrove 6,7% 23,3%
16,7%
53% Sangat Baik
Baik
Buruk
Sangat Buruk
Gambar 7 Sebaran Persepsi Responden terhadap Kondisi Ekosistem Mangrove Persepsi responden mengenai kondisi ekosistem mangrove yang ada di kawasan pesisir Pulau Panjang tersebut didasari oleh dampak yang dirasakannya saat ini. Selain itu, hal ini juga didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan lokal mereka, seperti yang diungkapkan oleh Bapak USM (75 thn): “... kalau dulu kita bisa cari kepiting dan undang enak, kada (tidak) seperti sekarang, mangrove sudah tipis, habis ditebangi, semua sudah ditutup sama tambak. Belum lagi tugboat-tugboat itu suka ikat kapal di mangrove. Mereka suka seenaknya aja ikat-ikat itu...”
Persepsi tentang kondisi ekosistem mangrove ini juga dilakukan oleh para responden di wilayah kerjanya sambil menunjukan bukti bahwa telah terjadi perubahan ekologis di kawasan pesisir Pulau Panjang. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk menilai kondisi lingkungan pun tidak jauh dari rutinitasnya. Perubahan warna, rasa, dan kebiasaan hidup satwa, jumlah, perubahan bentuk fisik alam menjadi indikator yang dipakai dalam menilai kondisi ekosisitem pesisir (mangrove dan terumbu karang).
54
Jika persepsi nelayan ini dilihat lebih jauh berdasarkan pengalaman nelayan melaut, ditemukan bahwa semua nelayan yang pengalaman tinggi (23,3%) mempersepsikan diri bahwa di kawasan ini kondisi ekosistem mangrove semakin buruk. Hal ini seperti yang terlihat pada gambar 8. Persepsi Nelayan berdasarkan Pengalaman Melaut 23,3
25 20
16,7
13,3 13,3
15 10
10
10 6,7 3,3
5
3,3 0
0 Pengalaman Rendah
Pengalaman Sedang
Sangat Buruk
Buruk
Baik
0
0
Pengalaman Tinggi Sangat Baik
Gambar 8 Sebaran Persepsi Responden terhadap Ekosistem Mangrove berdasarkan Pengalaman Melaut Berbeda dengan
nelayan yang berpengalaman tinggi, nelayan dengan
pengalaman rendah dan sedang justru memiliki sebaran persepsi yang beragam. Dari
responden
dengan
pengalaman
rendah,
sebanyak
10
persen
mempersepsikan kondisi ekosistem mangrove sangat buruk, 16,7 persen buruk, 10 persen baik, dan 3,3 persen sangat baik. Sedangkan dari responden dengan pengalaman sedang, sebanyak 13,3 persen berpendapat bahwa kondisi ekosistem mangrove sangat buruk, 13,3 persen buruk, 6,7 persen baik, dan 3,3 persen mengatakan kondisinya masih sangat baik. Beragamnya persepsi nelayan terhadap perubahan ekologis di kawasan ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Hal ini dikarenakan tingkat pengetahuan nelayan yang berbeda-beda tentang ekosistem mangrove. Selain itu, perbedaan ini juga disebabkan oleh seberapa penting peranan mangrove dalam menunjang kehidupannya. Nelayan yang tidak pernah memanfaatkan mangrove merasa bahwa kondisi ekosistem mangrove tidak berubah atau baik-baik saja, akan tetapi nelayan sering memanfaatkan mangrove dalam rangka menunjang
55
kehidupannya akan berpendapat bahwa mangrove saat ini kondisinya sudah mengalami perubahan atau semakin buruk. 2) Perubahan Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang berfungsi sebagai habitat beragam jenis ikan, penyedia nutrisi bagi biota perairan, pelindung garis pantai dari gelombang laut, tempat mengasuh dan membesarkan biota perairan, serta pendukung pertumbuhan mangrove dan lamun. Terumbu karang juga memiliki fungsi ekonomi sebagai penghasil berbagai produk perikanan dan kelautan, sebagai aset yang berharga bagi kegiatan pariwisata bahari dan merupakan habitat produktif bagi sumberdaya rumput laut. Laporan Akhir Pemetaan Spasial dan Pulau-Pulau Kecil yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2010, memaparkan bahwa di sekitar pulau ditemukan pula adanya gugusan terumbu karang yaitu di bagian utara Pulau Tampakan (Gusung Payung), dan dibagian barat Pulau Hantu (Tunurappu). Keberadaan terumbu karang tersebut diakui oleh para nelayan sangat penting untuk menjamin ketersediaan sumberdaya ikan. Keberadaan karang-karang tersebut
dimanfaatkan
oleh
para
nelayan
untuk
menentukan
daerah
penangkapan, khususnya oleh para nelayan dengan alat tangkap berupa pancing. Sebelum memancing, para nelayan tersebut mencari karang terlebih dahulu agar usahanya dalam mencari ikan tidak sia-sia. Akan tetapi, kondisi terumbu karang di kawasan Pulau Panjang saat ini menurut pengakuan nelayan sudah jauh berbeda dengan beberapa tahun belakangan. Sebanyak 30 orang responden yang diwawancarai terkait dengan kondisi ekosistem terumbu karang yang ada di wilayah Pulau Panjang, 15 orang (50%) diantaranya mengatakan saat ini kondisinya sudah sangat buruk, 13 orang nelayan (43,3%) mengatakan buruk, dan hanya dua (6,7%) yang mengatakan baik. Adapun persepsi nelayan tersebut dapat dilihat dalam gambar 9.
56
Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Baik
Buruk
Sangat Buruk
6,7%
50%
43,3%
Gambar 9 Sebaran Persepsi Responden terhadap Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Kerusakan ekosistem terumbu karang menurut para responden yang menjawab buruk dan sangat buruk (93,3%) disebabkan oleh jangkar kapal (70%), dan perubahan iklim/pemanasan global (23,3%). Sejak maraknya pembangunan pelabuhan pertambangan batubara di Kabupaten Tanah Bumbu sekitar tahun 2000, diakui oleh para nelayan berpengaruh terhadap kondisi ekosistem terumbu karang. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang nelayan Bapak YUD (29 tahun): “..memang sih kalau kita ngomong begini orang tidak percaya, tapi kan kita yang merasai..kapal-kapal itu (kapal tongkang batubara, red.) suka seenaknya berjangkar, akibatnya karang-karang disini pada rusak dan larut kebawa kapal tongkang itu...kalau sudah begini kita-kita (nelayan, red.) juga yang repot. Ikan sudah sulit dicari, kita mancing sudah tidak bisa lagi karena karangnya sudah habis..” Maraknya pembangunan pelabuhan khusus batubara tersebut secara otomatis juga mengundang kapal-kapal tongkang yang bermuatan besar. Kawasan pesisir Pulau Panjang yang berada ditengah-tengah Selat Laut menjadi salah satu kawasan yang paling sering dilalui kapal-kapal tongkang bermuatan besar tersebut. Kerusakan ekosistem terumbu karang terjadi apabila kapal pengangkut batubara tidak mengindahkan alur dan pemetaan yang sudah ditetapkan oleh
57
instansi terkait, yakni Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. 6.2. Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Ekologis Berbagai macam bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, tentu akan mempengaruhi kehidupan nelayan. Hal ini dikarenakan nelayan merupakan bagian dari masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem pesisir dan laut. Pengaruh perubahan ekologis tersebut semakin besar karena nelayan Pulau Panjang merupakan nelayan dengan pola penangkapan ikan tradisional yang melakukan kegiatan pencarian ikan dengan alat tangkap seadanya. Tabel 9 Matriks Perubahan Ekologis akibat Kegiatan Manusia Kegiatan Penebangan Mangrove
Perubahan Ekologis Kerusakan ekosistem mangrove
Pembukaan lahan tambak
Kerusakan ekosistem mangrove
Pengerukan dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan pelabuhan khusus batubara, industri lainnya Penggundulan hutan di lahan atas
Kerusakan ekosistem mangrove
Jangkar kapal
Kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang Kerusakan terumbu karang
Keterangan : *) berdasarkan persepsi responden
Dampak Sosial, Ekonomi dan Ekologi* Hilangnya tempat mencari makan (feeding ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground) ikan, kepiting dan udang. Sehingga mengganggu ketersediaan stok ikan, udang, dan kepiting. Berkurangnya keragaman tangkapan nelayan. Kepiting, udang, dan karang-karang sulit ditemui. Berkurangnya jumlah tangkapan nelayan, akibat akses nelayan untuk memasuki wilayah hutan mangrove tersebut telah ditutup oleh para petambak. Pendangkalan pantai karena pengendapan sendimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove Erosi garis pantai Mengganggu regenerasi stok-stok ikan Mengganggu pertumbuhan rumput laut dan ketersediaan kepiting Sendimen hasil erosi berlebihan dapat mencapai terumbu karang yang letaknya sekitar muara sungai pengangkut sendimen sehingga akan meningkatkan kadar kekeruhan air yang selanjutnya akan menghambat pertumbuhan terumbu karang Kerusakan fisik terumbu karang batu oleh jangkar kapal Hilangnya daerah penangkapan ikan dan peralihan pola migrasi ikan
58
Berbagai tekanan pembangunan ekonomi yang sistematis dan terus menerus serta dampak dari pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan terjadinya degradasi dan kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang di wilayah pesisir. Terganggu atau rusaknya kedua ekosistem tersebut jelas akan mempengaruhi kegiatan melaut nelayan yang bermuara pada jumlah dan variasi hasil tangkapannya. Beberapa kegiatan yang menimbulkan perubahan ekologis di kawasan pesisir Pulau Panjang disajikan dalam tabel 9. Dampak yang ditimbulkan dari berbagai bentuk perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi kondisi ekonomi nelayan, namun juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial nelayan. Adapun dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan dari perubahan ekologis dibagi kedalam dua kluster penyebab, yaitu (1) dampak perubahan pada ekosistem mangrove; dan (2) dampak perubahan pada ekosistem terumbu karang. 1) Dampak Perubahan Ekosistem Mangrove a) Penurunan jumlah dan keragaman hasil tangkapan nelayan Kerusakan atau degradasi ekosistem mangrove menyebabkan hilangnya substrat yang menjadi sumber pakan ikan, rusaknya habitat terbiak, hilangnya tempat mengasuh dan membesarkan ikan, serta rusaknya tempat perlindungan bagi biota laut di kawasan pesisir (Purwoko, 2005). Hal ini berakibat pada berkurangnya stok ikan yang kemudian mempengaruhi kehidupan ekonomi nelayan. Jenis ikan atau biota laut yang menjadi incaran para nelayan Pulau Panjang adalah kakap merah, kakap putih, kerapu, kepiting dan udang. Kakap merah merupakan salah satu jenis ikan karang yang hidup di daerah mangrove dan muara sungai yang kadar garamnya mendekati air tawar. Pada akhirnya kerusakan ekosistem mangrove akan berdampak juga pada persediaan ikan kakap merah tersebut. Selain kakap merah, yang dirasakan sudah mulai hilang adalah kepiting bakau. Menurut para nelayan keberadaan kepiting saat ini jauh berbeda dengan beberapa tahun lalu sebelum mangrove di daerah Pulau Panjang tersebut rusak.
59
Hal ini diungkapkan oleh Bapak SUD (35 tahun): “..sekarang tuh lain sudah waktunya, perkembangan ikan kayak kakap merah, kerapu, undang itu pang sudah buruk perkembangannya.. kita sebelum ada batubara (pelsus-red) enak aja kita cari ikan. Tapi sekarang mana bisa kita cari, sulit sudah...” Sulitnya nelayan menangkap ikan pasca rusaknya ekosistem pesisir akibat aktivitas industri skala besar diperburuk oleh persoalan perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan, Indonesia amat rentan terhadap persoalan perubahan
iklim.
Kementeriaan
Kelautan
dan
Perikanan
(KKP)
menyebutkan bahwa telah terjadi pertumbuhan negatif jumlah nelayan tangkap pada periode 2004-2008, hingga menyisakan kurang dari 2,8 juta nelayan. Jika dilakukan perhitungan dalam rentang waktu tersebut, maka ditemukan fakta bahwa setiap tahun Indonesia kehilangan sebanyak 31 ribu nelayan atau rata-rata 116 nelayan setiap harinya. b) Hilangnya/berkurangnya pasokan kayu bakar, kayu bangunan, nipah dan bahan baku obat-obatan Perubahan ekologis yang terjadi pada ekosistem mangrove menurut Anwar dan Gunawan (2006) akan menyebabkan berkurangnya pasokan kayu bakar, bahan bangunan, nipah dan bahan baku obat-obatan. Kerusakan mangrove yang terjadi di Pulau Panjang, dimana salah satunya disebabkan oleh pembukaan tambak dan penebangan liar oleh masyarakat sendiri ternyata berpengaruh pada kehidupan masyarakat Pulau Panjang. Sebagian masyarakat Pulau Panjang menggunakan kayu mangrove untuk bahan bangunan pembuatan rumah dan kayu bakar. Letak pulau yang relatif sulit dijangkau oleh para penjual material bahan bangunan, menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk menabang pohon mangrove untuk membangun rumah. Hal ini mengakibatkan mangrove yang ada di Pulau Panjang mengalami degradasi yang cukup parah. Penebangan-penebangan mangrove tersebut tidak diimbangi oleh upayaupaya rehabilitasi yang sistematis untuk mengatasi kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini mengakibatkan kelangkaan ekosistem mangrove yang
60
kemudian menyebabkan berkurangnya pasokan kayu bakar, kayu bangunan, nipah dan bahan baku obat-obatan. 2) Dampak Perubahan Ekosistem Terumbu Karang a) Sulitnya menentukan daerah penangkapan ikan Nelayan di kawasan Pulau Panjang telah memiliki wilayah penangkapan tertentu yang menjadi areanya mencari ikan selama bertahun-tahun. Perubahan ekologis menyebabkan perubahan pola migrasi ikan di perairan Selat Laut. Hal ini kemudian menimbulkan kendala di kalangan nelayan tradisional
yang
masih
mengandalkan
pengetahuan
lokal
dan
pengalamannya dalam mencari ikan. Hal ini diungkapkan oleh Bapak SUD (35 tahun): “..biasanya kita mancing dibatu-batu karang, ikan kan banyak disitu, sebelum ada batubara ikan enak aja kita cari, mancing aja semalam bisa dapat dua ratus ribu, tapi sekarang ini paling-paling cuma dapat duapuluh ribu semalam, itupun sudah untung kalau dapat...itulah kita jadi sulit cari ikan...batu-batu (karang-red) sudah hancur terbawa tongkang..” Maraknya pendirian pelabuhan khusus batubara di kawasan ini mengundang kapal-kapal bermuatan besar untuk berlalu-lalang di perairan Pulau Panjang (Selat Laut). Ada enam pelabuhan khusus batubara yang berada di kawasan pesisir Pulau Panjang. Keenam pelabuhan khusus tersebut sebenarnya sudah memiliki alur dan pemetaan yang telah ditetapkan oleh instansi terkait (Dinas ESDM dan Dinas Kelautan Perikanan), akan tetapi dari keenam pelabuhan tersebut lima diantaranya tidak mematuhi alur yang sudah ditetapkan. Hal ini kemudian menimbulkan kerusakan dan kamatian karang sehingga nelayan menjadi sulit untuk menentukan wilayah penangkapan ikan. b) Menurunnya kesempatan berusaha Selain sulit untuk menentukan daerah penangkapan ikan, kerusakan terumbu karang juga berdampak pada menurunnya kesempatan berusaha para nelayan. Pasalnya, selain aktivitasnya sebagai pencari ikan di laut, hampir semua nelayan di Pulau Panjang merupakan pembudidaya rumput laut
61
sebagai mata pencaharian tambahan. Bengen (2004) mengemukakan bahwa terumbu karang merupakan habitat yang produktif bagi rumput laut. Dengan demikian kerusakan terumbu karang juga akan berpengaruh terhadap produktivitas rumput laut yang dibudidayakan oleh para nelayan. Hal ini diakui oleh Bapak MAD (60 tahun): “...sejak hancurnya batu-batu karang disini, sulit sudah mengandalkan rumput laut, perkembangannya sudah buruk, banyak tahi air (lumut-red), kita pang sudah serba sulit disini.. iwak (ikan-red) sulit didapat, kebun sudah tercemar debu-debu, itu pang di pulau, ya keadaannya seperti ini ...” Saat ini ada 40 rumah tangga nelayan yang mengikuti kegiatan budidaya rumput laut, dan saat ini usaha pembudidayaan rumput laut tersebut merupakan salah satu mata pencaharian alternatif bagi nelayan. Dengan demikian kerusakan terumbu karang tersebut sangat jelas berdampak pada mata pencaharian alternatif nelayan.
62
BAB VII STRATEGI ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, nelayan di Desa Pulau Panjang mempersepsikan diri bahwa di kawasan pesisir Pulau Panjang telah terjadi perubahan ekologis. Hal tersebut juga diperkuat dengan fakta-fakta di lapangan (baik secara kuantitatif maupun kualitatif) yang menandakan bahwa di kawasan tersebut telah terjadi perubahan-perubahan pada ekosistem mangrove dan terumbu karang. Berbagai macam bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang telah menimbulkan dampak yang cukup besar bagi kegiatan nelayan. Hal ini mengharuskan nelayan untuk beradaptasi agar dapat bertahan hidup di kawasan tersebut. Strategi adaptasi yang dimaksud dalam bahasan ini adalah bagaimana nelayan di Pulau Panjang melakukan tindakan sosial-ekonomi dalam merespon berbagai macam bentuk perubahan ekologis yang ada di wilayahnya. 60
53,3%
50%
50 40
33,3%
33,3%
30
20%
16,7%
20 10 0
Sumber Alat Tangkap Daerah Pendapatan Penangkapan
Jaringan Sosial
Mobilisasi Anggota Keluarga
Lainnya
Gambar 10 Sebaran Responden berdasarkan Strategi Adaptasi Berdasarkan hasil survei di lokasi penelitian, diketahui bahwa sebanyak 53,3
persen
responden
memilih
untuk
menganekaragamkan
sumber
63
pendapatan, yakni dengan berkebun, budidaya rumput laut, budidaya udangbandeng, dan menjadi buruh bangunan. Selain itu, sebanyak 50 persen responden melakukan adaptasi dengan menjalin hubungan sosial, 33,3 persen responden melakukan adaptasi dengan memobilisasi anggota rumah tangga, 33,3 persen responden melakukan penganekaragaman alat tangkap, dan sebanyak 16,7 persen melakukan perubahan daerah penangkapan serta 20 persen melakukan strategi adaptasi lainnya, yakni berupa menebang hutan mangrove, memungut retribusi kapal dan mengandalkan bantuan. Adapun pilihan adaptasi nelayan dapat dilihat lebih jelas pada gambar 10.
7.1. Penganekaragaman Sumber Pendapatan Dalam masyarakat-masyarakat nelayan, kegiatan menangkap ikan jarang menjadi pekerjaan yang ekslusif. Kegiatan ini selalu dikombinasikan oleh nelayan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Menurut Kusnadi (2000), dalam situasi eksploitasi secara berlebihan dan ketimpangan pemasaran hasil tangkapan,
rasionalisasi
ekonomi
akan
mendorong
nelayan-nelayan
menganekaragamkan sumber pekerjaan daripada hanya bertumpu sepenuhnya pada pekerjaan mencari ikan. Penganekaragaman sumber pekerjaan tersebut merupakan salah satu bentuk strategi nafkah ganda yang dikembangkan nelayan. Dalam kaitannya dengan pengembangan strategi nafkah ganda, lebih lanjut Satria (2009b) menjelaskan bahwa terdapat dua macam strategi nafkah ganda, yakni di bidang perikanan dan non-perikanan. Masyarakat nelayan Pulau Panjang, selain menangkap ikan dilaut juga bekerja sebagai petani kebun dengan menggarap ladang yang tersedia di desanya. Artinya, penganekaragaman sumber pendapatan tidak hanya di bidang perikanan saja, seperti usaha budidaya ikan (tambak), budidaya rumput laut dan pengolahan ikan tradisional, akan tetapi mencakup juga kegiatan-kegiatan di bidang non-perikanan. Kegiatan di bidang non-perikanan yang dilakukan nelayan dalam kaitannya untuk menambah pendapatan adalah menjadi buruh bangunan, buruh perusahaan, dan kuli-kuli panggul di pasar. Proses untuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan pada kehidupan nelayan Pulau Panjang telah berlangsung sejak tahun 2003. Nelayan selain
64
mencari ikan di laut juga mengusahakan tambak udang. Akan tetapi, karena tidak juga membuahkan hasil setelah satu tahun berjalan maka nelayan kemudian beralih untuk mengusahakan kebun-kebun yang telah ditanami buah langsat, kakao dan aren. Hasil kebun tersebut dijual ke pasar-pasar terdekat, yakni Pasar Sabtu (Kel.Tungkaran Pangeran, Simpang Empat) atau Pasar Minggu (Kel.Kampung Baru, Simpang Empat). Peluang-peluang kerja nelayan ini sangat ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya ekonomi yang ada di desa. Sumberdaya ekonomi yang dimaksud meliputi lahan pertanian, ladang-ladang perkebunan, sentra perdagangan dan jasa, infrastruktur, sarana transportasi dan sumberdaya-sumberdaya ekonomi lainnya. Sumberdaya utama desa adalah sektor perikanan yang sekaligus menjadi tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya. Adapun sektor lain yang menjadi andalah masyarakat nelayan adalah sektor perkebunan. Pendapatan dari hasil-hasil kebun yang diusahakan nelayan pada saat-saat tertentu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup nelayan. Hasil-hasil kebun ini tergantung musim, sehingga pengetahuan akan pola musim dan cuaca bagi nelayan mutlak sangat penting untuk diketahui. Selain mengandalkan dari hasil-hasil kebun, nelayan Pulau Panjang saat ini berupaya untuk mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Hal ini dilakukan nelayan karena hasil dari melaut saat ini sudah tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan budidaya rumput laut ini mulai dijalankan tepat pada bulan Juni 2010. Modal yang dibutuhkan untuk dapat memulai usaha pembudidayaan rumput laut ini bervariasi, mulai dari Rp. 100.000,00 sampai dengan Rp. 500.000,00.
Modal tersebut selain
dipergunakan untuk membeli bibit, juga dipergunakan untuk membeli peralatan budidaya, seperti tali pengikat rumput laut dan pelampung, serta upah para pengikat rumput laut. Kegiatan pembudidayaan rumput laut saat ini menjadi primadona bagi para nelayan. Waktu panen yang singkat (40 hari) dan perawatan yang mudah membuat nelayan banyak yang mengisi waktu-waktu senggangnya dengan kegiatan pembudidayaan rumput laut ini. Hasil panen rumput laut basah dijual dengan harga Rp. 800,00 per kilogram, sedangkan untuk rumput laut kering
65
dijual dengan harga Rp. 7.800,00 per kilogram. Hasil panen tersebut dijual ke pengepul yang juga merupakan ketua kelompok usaha budidaya rumput laut ini. Kegiatan ini berjalan bukan tanpa hambatan. Hambatan utama datang dari kondisi alam dan lingkungan pesisir Pulau Panjang. Kondisi air di pesisir yang lebih banyak dialiri oleh air tawar membuat beberapa kali usaha ini mengalami gagal panen. Hal ini dikarenakan rumput laut terserang lumut air tawar. Air tawar ini berasal dari sungai-sungai yang ada di dataran kalimantan, yakni Sungai Batulicin, Sungai Kacil, Sungai Sungkai, Sungai Tempurung, Sungai Hanau, dan Sungai Samariti. Selain hambatan dari faktor alam tersebut, hambatan lainnya juga datang dari kondisi infrastruktur desa. Desa ini tergolong desa miskin dan terisolir ditengah laju pembangunan desa-desa lainnya. Tidak ada sentra perdagangan dan jasa lokal yang terdapat di desa ini. Selain itu, sarana transportasi dan infrastruktur lainnya juga masih sangat terbatas. Hal ini menyulitkan nelayan untuk
mengembangkan
mata
pencaharian
alternatif
sebagai
sumber
pendapatannya. Tabel 10 Matriks Penganekaragaman Sumber Pendapatan Nelayan Sumber Pendapatan
Potensi
Hambatan
Petani Kebun
Kesuburan tanah Ketersediaan lahan
Ketergantungan yang besar pada cuaca & iklim, Banyaknya hama babi
Budidaya Rumput Laut
Buruh Perusahaandan Buruh Bangunan
Areal budidaya yang cukup luas (garis pantai P.Panjang) Pengembangan usaha bersifat kelompok Banyaknya perusahaan yang berada di sekitar pesisir P.Panjang
Sumber: Data Primer diolah, 2011
Ketika hujan lebat kadar garam air laut menurun dan dapat menyebabkan rumput laut dihinggapi lumut, Lokasi budidaya merupakan jalur transportasi laut (tempat budidaya sangat rentan tertabrak kapal) Tingkat pendidikan minimal yang diterima oleh perusahaan adalah SMA
66
7.2. Penganekaragaman Alat Tangkap Strategi berikutnya yang dilakukan oleh nelayan Pulau Panjang adalah menganekaragamkan alat tangkap. Sebelum terjadinya perubahan ekologis di kawasan ini, idealnya nelayan hanya memiliki satu alat tangkap. Saat ini nelayan harus menambah menjadi tiga sampai lima alat tangkap agar bisa bersahabat dengan kondisi lingkungan pesisir yang sudah mengalami perubahan, ditambah lagi dengan kondisi cuaca yang tidak menentu. Hal ini diungkapkan oleh Bapak SNS (43 tahun): “...kalau dulu kita pake pancing aja sudah dapat (ikan). Sekarang, bah mana bisa...kita harus pake yang lain, kayak rempa, rengge, rawe, itupun kalau kita punya uang untuk menukarnya (membeli-red)...” Strategi penganekaragaman alat tangkap dilakukan oleh 33,3 persen responden atau 10 orang nelayan. Penganekaragaman alat tangkap ini dilakukan karena beberapa jenis ikan di kawasan ini sudah sulit untuk ditangkap, akhirnya nelayan memutuskan untuk menangkap jenis lain dan tidak hanya terpaku pada satu jenis ikan saja. Dengan begitu maka otomatis penggunaan alat tangkap nelayan juga bertambah. Nalayan harus mencari alternatif sendiri jenis alat tangkap apa yang paling efektif digunakan disaat ketidakpastian sumberdaya ikan yang ditangkapnya. Beragamnya jenis alat penangkapan dan ukurannnya akan menyebabkan bervariasi pula teknik operasi yang digunakan untuk menangkap ikan. Minimnya teknologi penangkapan dan akses informasi mengenai jenis alat tangkap yang ideal digunakan pada saat-saat tertentu menyebabkan nelayan biasanya mengganti alat tangkapnya hanya berdasarkan informasi dari sesama nelayan (yang belum tentu benar). Konsekuensi yang harus diterima bila nelayan merubah alat tangkap yaitu: sumber modal, keterampilan, dan waktu. Harga untuk satu set rempa kakap ukuran 6 inch, merk MOMOI berkisar pada Rp. 350.000,00 sampai dengan Rp. 750.000,00 sedangkan harga untuk satu set rengge bawal berkisar antara Rp. 200.000 hingga Rp. 500.000,00 untuk rawai Rp. 350.000,00/set dan untuk harga satu set rakang berkisar Rp. 25.000,00. Variasi harga-harga alat tangkap tersebut tergantung merk dan
67
bahan baku pembuatan alat tangkap. Besarnya harga-harga pembelian alat tangkap tersebut semakin menambah beban nelayan yang pendapatannya tidak menentu. Penganekaragaman alat tangkap ini juga berlaku untuk musim-musim tertentu. Pada saat musim konda, nelayan lebih banyak yang mempergunakan waktunya dengan memancing. Hal ini dikarenakan ombak yang tenang dan pasang surut yang tidak terlalu ekstrem. Pada saat musim nyorong, yakni situasi pasang surut yang sangat ekstrim nelayan menggunakan alat tangkap rawai. 7.3. Perubahan Daerah Tangkapan Nelayan tradisional Pulau Panjang merupakan nelayan tradisional dengan akses teknologi dan informasi yang relatif terbatas. Perubahan ekologis yang telah terjadi di kawasan tersebut, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, menyebabkan hilangnya tempat atau daerah penangkapan ikan (fishing ground). Kondisi lingkungan pesisir yang mengalami perubahan ekologis serta iklim yang makin ekstrim bisa menggeser area penangkapan ikan (fishing ground) ke daerah yang lebih jauh. Hal ini akan menyebabkan ongkos produksi untuk mencari ikan yang dilakukan nelayan akan naik yang pada akhirnya akan berdampak pada kehidupan ekonomi nelayan. Berdasarkan hasil survei di lokasi, sebanyak 16,7 persen responden atau sebanyak lima orang nelayan melakukan adaptasi dengan mengubah daerah penangkapan. Strategi adaptasi mengubah daerah tangkapan adalah kegiatan mengubah lokasi penangkapan ikan sesudah terjadinya perubahan ekologis. Adaptasi dengan mengubah daerah penangkapan ikan dilakukan oleh para nelayan hanya mengandalkan naluri dan pengalaman mendeteksi area yang diperkirakan banyak ikan. Para nelayan yang melakukan tindakan ini tidak memiliki kemampuan yang lebih sistematis dan terencana untuk mendeteksi ikan. Dengan demikian, adaptasi seperti ini menyebabkan inefisiensi energi (bahan bakar dan tenaga), pemborosan waktu, dan hasil tangkapan yang relatif rendah. Jika dibadingkan dengan pilihan adaptasi yang lain, persentase ini merupakan adaptasi yang paling sedikit dipilih oleh nelayan. Hal ini diakui
68
oleh nelayan sebagai pilihan adaptasi yang sangat beresiko. Menurut para nelayan, biaya solar untuk sekali operasi penangkapan dalam semalam minimal Rp. 60.000,00. Belum lagi biaya perawatan alat, tenaga, waktu dan biaya-biaya lainnya seperti batrai lampu dan pelumas mesin (oli). Hal ini tidak sebanding dengan hasil tangkapan yang dalam satu kali operasi rata-rata hanya mendapatkan Rp. 25.000,00 (harga 1 kg ikan kakap merah). Pola adaptasi seperti ini sebenarnya akan efektif jika disertai oleh adaptasi yang lebih sistematis, yakni dengan penerapan teknologi dalam memprediksi ikan. Namun demikian, masyarakat nelayan terutama nelayan-nelayan tradisional di Pulau Panjang, banyak yang tidak mempunyai pengetahuan geografi ataupun perikanan, dan biasanya hanya mengandalkan pengalaman untuk mencari atau menentukan daerah-daerah penangkapan ikan. Terkadang nelayan juga hanya mengandalkan tanda-tanda dari alam seperti keberadaan burung disekitar laut, atau bahkan hanya mengandalkan peruntungan yang belum pasti terjadi. Menurut Bennett (1976) sebagaimana dikutip Wahyono et al. (2001), adaptasi terhadap lingkungan dibentuk dari tindakan yang diulang-ulang dan merupakan bentuk penyesuaian terhadap lingkungan. Tindakan yang diulangulang tersebut akan membentuk dua kemungkinan, yaitu tindakan penyesuaian yang berhasil sebagaimana diharapkan, atau sebaliknya tindakan yang tidak memenuhi harapan. Gagalnya suatu tindakan akan menyebabkan frustasi yang berlanjut, yang berpengaruh pada respon atau tanggapan individu terhadap lingkungan. Adaptasi nelayan Pulau Panjang dengan mengubah daerah penangkapan ikan dapat dikatakan sebagai tindakan penyesuaian (adaptasi) yang gagal jika tidak diimbangi oleh kemampuan dalam memperkirakan keberadaan ikan, pola migrasi ikan, dan peralatan teknologi yang memadai untuk menangkap ikan tersebut.
Hal ini dapat berpotensi memunculkan kerawanan sosial di
masyarakat nelayan, ketika kondisi sumberdaya pesisir sudah tidak bisa lagi diandalkan dan adaptasi yang dilakukan nelayan dengan mengubah daerah tangkapan ternyata gagal.
69
7.4. Memanfaatkan Hubungan Sosial Strategi memanfaatkan hubungan sosial merupakan salah satu strategi adaptasi masyarakat nelayan Pulau Panjang. Hasil penelitian
menunjukan
bahwa hubungan sosial yang dimiliki rumah tangga nelayan dengan rumah tangga lain di lokasi penelitian merupakan hubungan sosial yang basisnya adalah hubungan keluarga (genealogis). Namun, ada basis lain yaitu kekerabatan (keluarga luas) dan pertetanggaan yang disebabkan oleh letak tempat tinggal para nelayan dengan saudara-saudaranya yang saling berdekatan. Keterikatan individu
nelayan dalam hubungan sosial merupakan
pencerminan diri sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan sosial yang dilakukan rumah tangga nelayan merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan keberadaanya. Hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan juga banyak individu. Hubungan antarindividu tersebut akan membentuk jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan
terjadinya
pengelompokan
sosial
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat didalamnya. Strategi jaringan sosial (bentuk dan corak) yang umum dikembangkan pada komunitas nelayan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dibidang kenelayanan (misalnya penguasaan sumberdaya, permodalan, memperoleh keterampilan, pemasaran hasil, maupun untuk pemenuhan kebutuhan pokok) (Wahyono et al., 2001). Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rumah tangga nelayan mengaku mempunyai jaringan sosial yang bersifat informal. Menurut Alfiasari et al. (2009) jaringan sosial informal tersebut mengindikasikan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal. Ikatan yang lebih familiar dan bersifat personal membuat hubunganhubungan sosial antar rumah tangga menjadi lebih dekat. Dengan demikian hubungan-hubungan sosial tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengeksplorasi
70
upaya-upaya kolektif guna mengoptimalkan sumberdaya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rumah tangga nelayan Pulau Panjang. Berdasarkan status sosial-ekonomi rumah tangga nelayan yang terlibat dalam suatu jaringan, terdapat dua jenis hubungan sosial, yaitu hubungan sosial yang bersifat horizontal dan vertikal (Kusnadi, 2000). Hubungan sosial yang bersifat horizontal terjadi jika individu yang terlibat didalamnya memiliki status sosial-ekonomi yang relatif sama. Sebaliknya, di dalam hubungan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang terlibat didalamnya tidak memiliki status sosial-ekonomi yang sepadan, baik kewajiban maupun sumber daya yang dipertukarkan. Hubungan sosial yang bersifat vertikal –sebagiannyaterwujud dalam bentuk hubungan patron-klien. Patron diperankan oleh para pengepul hasil-hasil tangkapan nelayan, sedangkan klien diperankan oleh nelayan itu sendiri. Hasil penelitian menemukan bahwa hubungan patron-klien yang dijalankan nelayan Pulau Panjang dibentuk oleh adanya jaringan kepentingan, yakni hubungan yang bermuara pada tujuan tertentu atau tujuan khusus. Tujuan keduabelah pihak menjalani hubungan patron-klien adalah untuk mendapatkan keuntungan berupa barang dan jasa, atau sumberdaya lain yang tidak dapat diperoleh melalui cara lain atas pengorbanan yang telah diberikannya. Patron memiliki kepentingan untuk mendapatkan hasil tangkapan nelayan dengan harga murah dan memberikan kredit atau pinjaman dengan bunga tinggi. Sedangkan klien atau nelayan-nelayan Pulau Panjang
berkepentingan untuk mendapatkan
jaminan sosial ekonomi, berupa pinjaman uang disaat situasi sulit, bantuan barang-barang atau keperluan alat tangkap. Jika ada nelayan yang terbukti tidak menjual hasil tangkapan ke patron tersebut maka suatu saat ketika nelayan (klien) membutuhkan bantuan tidak akan dilayani lagi. Hubungan patron-klien ini telah berlangsung lama. Awalnya hubungan patron-klien yang dijalankan intensitas kejadiannya sangat jarang. Artinya, nelayan-nelayan Pulau Panjang membutuhkan bantuan-bantuan dari patron hanya pada saat-saat tertentu saja, seperti pada saat pendaftaran masuk sekolah dan kegiatan kegiatan insidental lainnya. Akan tetapi, sejak terjadinya perubahan ekologis dimana menyebabkan menurunya hasil tangkapan nelayan,
71
maka jalinan patron-klien tersebut semakin sering dimanfaatkan nelayan untuk menjamin kelangsungan hidupnya. 7.5. Memobilisasi Anggota Rumah tangga Dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar kehidupan, isu substansial yang selalu dihadapi oleh keluarga atau rumah tangga adalah bagaimana individuindividu yang ada di dalamnya harus berusaha maksimal dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga kelangsungan hidupnya terpelihara (Nye, 1982 dalam Kusnadi, 2000). 7.5.1. Peran Istri Nelayan Andriati (1992) mengungkapkan, bahwa salah satu strategi adaptasi yang ditempuh oleh rumah tangga nelayan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi adalah mendorong para istri mereka untuk ikut mencari nafkah. Kontribusi ekonomi perempuan yang bekerja sangat signifikan bagi para nelayan. Perempuan-perempuan yang terlibat dalam aktivitas mencari nafkah merupakan pelaku aktif perubahan sosial-ekonomi masyarakat nelayan (Upton dan Susilowati, 1992 dalam Kusnadi 2000). Dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, peranan istri cukup dominan. Para istri nelayan mengatur sepenuhnya pengeluaran rumah tangga sehari-hari berdasarkan tingkat penghasilan yang diperoleh, dan bukan berdasarkan tingkat kebutuhan konsumsi jumlah anggota rumah tangganya. Ragam pekerjaan yang dimasuki oleh istri-istri nelayan di Pulau Panjang untuk memperoleh penghasilan adalah menjadi kuli ikat rumput laut, pengolah hasil ikan, pembersih perahu, pekerja pada industri rumah tangga untuk pengolahan hasil ikan pembuat atap rumah dari nipah. Pada umumnya, ragam pekerjaan yang bisa dimasuki perempuan masih terkait dengan kegiatan perikanan. Penghasilan yang diperoleh akan menambah keuangan rumah tangga, karena tingkat pendapatan yang diperoleh suami belum mencukupi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Istri-istri nelayan di Pulau Panjang tidak hanya melakukan kegiatankegiatan domestik, akan tetapi juga melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan yang dapat menambah penghasilan rumah tangganya. Pada kegiatan mengikat
72
bibit rumput laut, jasa pengikatan bibit tersebut dihargai Rp. 10.000,00 per gulung (±50 meter). Rata-rata istri-istri nelayan tersebut dapat mengikat 2-3 gulung per hari. Pada kegiatan-kegiatan usaha ekonomi lainnnya, beberapa istri nelayan ada juga yang mendirikan warung kecil-kecilan yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga, seperti sembako dan jajanan anak-anak. Selain itu, istri-istri nelayan juga kreatif menciptakan pranata-pranata tradisional, seperti pembentukan kelompok arisan. Masyarakat di Pulau Panjang telah memanfaatkan pranata-pranata tersebut untuk berbagai aktivitas sehingga bisa berfungsi ganda, yakni mempererat hubungan sosial-budaya dan membatu mengatasi ketidakpastian penghasilan ekonomi. 7.5.2. Peran Anak-anak Selain istri, anak-anak nelayan juga terlibat dalam beberapa pekerjaan untuk memperoleh penghasilan. Anak laki-laki akan mengikuti orang tuanya atau kerabatnya untuk mencari ikan ke tengah laut atau membersihkan perahu yang baru tiba melaut. Anak-anak perempuan selain membantu kegiatan domestik orang tuanya, juga membantu ibunya yang bekerja di industri-industri pengolahan hasil ikan dan rumput laut. Kegiatan ekonomi anak-anak nelayan ini biasanya dilakukan setelah mereka pulang sekolah. Anak-anak ini langsung membantu bapaknya untuk membersihkan perahu, membenarkan jaring-jaring yang rusak, serta ikut mencari ikan di laut. Selain itu, kegiatan lain yang bisa dimasuki oleh anakanak adalah pada usaha budidaya rumput laut. Pada waktu-waktu pembibitan anak-anak sibuk membantu orang tuanya menyiapkan tali-tali untuk mengikat bibit rumput laut, sedangkan pada saat panen anak-anak tersebut terlihat sibuk ikut membukakan rumput laut tersebut untuk dijual ke pengumpul. Hal yang menarik adalah kehadiran pertambangan yang ada di daerah ini memunculkan motivasi tersendiri bagi anak-anak nelayan. Berbeda dengan para orang tuanya yang tidak mementingan sekolah, anak-anak nelayan saat ini justru menginginkan untuk bersekolah. Harapannya adalah agar kelak anakanak ini dapat bekerja di tambang. Hal ini menandakan telah terjadi pergeseran pandangan tentang pendidikan anak.
73
Kegiatan-kegiatan ekonomi tambahan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsunghan hidupnya ditengah ketidakpastian sumberdaya perikanan yang ada di kawasan Pulau Panjang. Perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang, memaksa anak-anak nelayan ini untuk membantu kedua orang tuanya untuk menambah penghasilan. 7.6. Strategi Lainnya 7.6.1 Menebang Hutan Mangrove Menebang hutan mangrove merupakan salah satu pilihan strategi adaptasi yang dilakukan nelayan Pulau Panjang. Kegiatan ini dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari disaat pendapatan dari laut sudah tidak memungknkan lagi untuk mencukupi kebutuhannya. Nelayan biasanya memanfaatkan mangrove untuk bahan bangunan (pasak bumi), kayu bakar dan bahan untuk menancapkan alat tangkap di laut. Desa Pulau Panjang pada dasarnya merupakan kawasan cagar alam. Hal tersebut ditetapkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/MENHUT-II/2009. Namun demikian, pengawasan yang lemah dan tidak adanya upaya kolaborasi untuk menjaga kawasan tersebut, menjadikan mangrove di kawasan ini mengalami kerusakan yang cukup parah. Penebangan mangrove tersebut merupakan salah satu mekanisme penghancuran diri sendiri (self distruction mechanism)7. Pasalnya, sebagian besar masyarakat Pulau Panjang sebenarnya mengetahui bahwa ekosistem mangrove sangat bermanfaat untuk menunjang kehidupan nelayan di laut dan menjamin ketersediaan ikan/biota laut lainnya. Bahkan nelayan juga mengetahui bahwa penebangan hutan mangrove akan berimbas negatif pada mata pencahariannya sebagai nelayan. Akan tetapi, ditengah ketidakpastian pendapatan dan fluktuasi hasil tangkapan dari laut, nelayan terpaksa merambah hutan mangrove demi kelangsungan hidupnya. 7
Hasil diskusi dengan Dr. Arya H Dharmawan , 1 Juni 2011
74
7.7. Peranan Institusi dalam mendukung Strategi Adaptasi Nelayan Strategi adaptasi yang dijalankan oleh nelayan Pulau Panjang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan institusi yang ada di desa tersebut, baik pemerintah desa, pemerintah daerah, pemerintah pusat, hingga pihak swasta/perusahaan. Berbagai macam institusi yang ada memiliki peranan yang berbeda-beda untuk mendukung pilihan-pilihan adaptasi nelayan. Peranan tersebut diterjemahkan kedalam berbagai macam bentuk bantuan, baik yang diperuntukan dunia perikanan maupun diluar perikanan. Adapun bantuan institusi-institusi yang ada tersebut tertera pada tabel 11. Tabel 11 Matriks Kegiatan Institusi dalam mendukung Proses Adaptasi Nelayan Institusi
Kegiatan
Pemerintahan Memungut Desa Retribusi Kapal Pemerintah Kabupaten Dinas Kelautan - Pengembangan budidaya rumput & Perikanan Laut - Bantuan Mesin Perahu 24PK sebanyak 5 unit Dinas Pembangunan Pendidikan Gedung SDS Tunas Nelayan Dinas Kesehatan Pembangunan Sarana Kesehatan berupa Poskesdes
Keterangan Dilegalkan melalui SK Kades No. 04/SK.KD-PP/VIII/2008 Besarnya bantuan yang diberikan sebanyak 50 juta per kelompok budidaya rumput laut
Bantuan ini bertujuan untuk meningkatkan tingkat pendidikan nelayan di Desa Pulau Panjang Pembangunan yang dijalankan pada tahun 2009 ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pesisir Dinas Bantuan Panel Bantuan ini disalurkan pada tahun 2007. Pertambangan & Surya Keseluruhan warga mendapatkan Energi bantuan ini. Akan tetapi, beberapa diantaranya dalam kondisi rusak Balai Bantuan Tali Bantuan yang diberikan pada tahun 2011 Konservasi Rumput Laut (@2 ini merupakan program BKSDA Kalsel Sumberdaya gulung/orang; yang dimaksudkan agar masyarakat Alam untuk 40 orang) mengembangkan budidaya rumput laut (BKSDA dan meninggalkan kebiasaan menebang Kalsel) hutan mangrove Perusahaan / - Bantuan Bantuan berupa pembibitan dan Swasta Pendidikan penanaman mangrove ini bertujuan - Pembibitan untuk memenimalkan dampak yang Mangrove ditimbulkan dari aktivitas pertambangan Sumber: Data Primer, 2011
75
Bayaknya kapal-kapal tugboat dan tongkang pengangkut hasil tambang (batubara) dimanfaatkan oleh pemerintahan desa untuk mencari penghasilan tambahan bagi para nelayan. Pemerintah desa mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Desa Nomor: 04/SK.KD-PP/VIII/2008 tentang Pungutan Retribusi Lahan dan Selat Desa Pulau Panjang dan Pulau Tampakan. Pemerintah desa berpendapat bahwa pemungutan retribusi yang dikenakan pada kapal-kapal tersebut tidak menyalahi aturan. Menurutnya, hal ini sejalan dengan undangundang yang berlaku, yakni tentang otonomi desa. Dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004 Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa pemerintah desa berhak untuk mengatur dan mengelola keuangan yang ada di desanya. Ada tiga ketegori retribusi, yakni: Sewa Selat, Sewa Lahan, dan Dok Kapal. Sewa Selat merupakan pungutan yang ditujukan untuk kapal-kapal yang melewati Selat Pulau Panjang, yakni selat yang menghubungkan antara Pulau Kalimantan dengan Pulau Burung. Agen pelayaran/pemilik kapal tugboat harus membayar uang setara dengan satu galon solar atau jika diuangkan sejumlah Rp. 200.000,00. Lain halnya dengan sewa selat, sewa lahan merupakan jenis pungutan yang ditujukan untuk kapal-kapal yang mengikatkan kapalnya (berjangkar) di kawasan Pulau Panjang (Pulau Burung, Pulau Hantu, dan Pulau Tampakan). Agen pelayaran/pemilik kapal tugboat harus membayar uang setara dengan dua galon solar atau jika diuangkan sejumlah Rp. 400.000,00. Sedangkan pungutan dok
kapal ditujukan untuk
kapal-kapal
yang
melakukan
perbaikan/perawatan kapal dan berjangkar di Pulau Panjang. Dalam kegiatan Dok Kapal, para agen pelayaran biasanya meminta nelayan-nelayan di Pulau Panjang untuk membantu memperbaiki kapal, merawatnya dan menyediakan para ABK (Anak Buah kapal) jasa antar jemput untuk bepergian ke pasar. Pungutan/retribusi untuk kapal-kapal yang bersandar di kawasan Pulau Panjang nilainya cukup besar. Dalam seminggu rata-rata ada 3-7 kapal yang melakukan operasi di kawasan Pulau Panjang. Akan tetapi, sangat disayangkan pengalokasian/pendistribusian uang hasil pungutan tersebut tidak merata untuk para nelayan dan pemerintah desa.
76
Gambar 11 Jenis-jenis Retribusi/Pungutan Kapal Adanya Surat Keputusan tentang Retribusi Kapal yang ditandatangani oleh Kepala Desa Pulau Panjang juga menimbulkan dampak ikutan bagi para nelayan. Nelayan-nelayan di Desa Pulau Panjang, memanfaatkan keberadaan dari adanya kapal-kapal ini dengan menjadi tukang service kapal. Para nelayan biasanya mengantarkan nahkoda-nahkoda kapal yang ingin berbelanja ke pasar untuk membeli kebutuhan hidup di kapal, seperti sembako, makanmakanan, dan pakaian. Tarif untuk sekali antar sangat beragam, tergantung service yang diberikan para nelayan kepada para awak kapal tersebut. Keberadaan kapal-kapal tugboat dan tongkang batubara di kawasan ini juga dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk meminta minyak (solar). Solar tersebut digunakan untuk keperluan nelayan melaut dan menyalakan genset sebagai penghasil listrik di daerah ini.
77
Tabel 12 Matriks Strategi Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Ekologis No
1
2
3
4
Strategi Adaptasi
Ekonomi
Menganekaragamkan Sumber Pendapatan
Nelayan mengombinasikan mata pencahariannya untuk menambah pendapatan rumah tangganya. Ragam mata pencaharian yang dimasuki oleh para nelayan diantaranya petani kebun, budidaya udang dan bandeng (tambak), budidaya rumput laut, buruh bangunan.
16
53,3
Memobilisasi Anggota Rumah tangga
Mendorong para istri dan anak-anak nelayan untuk ikut mencari nafkah. Ragam pekerjaan yang bisa dimasuki oleh para istri diantaranya adalah kuli ikat rumput laut, pengolah hasil ikan, pembersih perahu, pekerja pada industri rumah tangga pengolah hasil ikan, dan pembuat atap rumah dari nipah. Peran anak-anak nelayan selain membantu kegiatan domestikk orang tuanya, juga membantu ibunya yang bekerja pada industri pengolahan hasil ikan dan rumput laut.
10
33,3
Membangun Hubungan Sosial
Hubungan sosial yang bersifat genealogis dan kekerabatan (keluarga luas). Hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan juga banyak individu yang kemudian akan membentuk jaringan sosial. Dua jenis jaringan sosial, yakni jaringan sosial horizontal dan vertikal. Jaringan sosial vertikal terwujud dalam bentuk ikatan patron-klien.
15
50
Mengubah Daerah Tangkapan
Adaptasi ini dilakukan hanya dengan mengandalkan naluri dan pengalaman mendeteksi area yang diperkirakan banyak ikan. Hal ini menyebabkan inefisiensi energi, pemborosan waktu, dan hasil tangkapan yang rendah
5
16,7
Menganekaragamkan Alat Tangkap
Dilakukan karena beberapa jenis ikan sudah sulit untuk ditangkap, akhirnya nelayan memutuskan untuk menangkap jenis lain dan tidak hanya terpaku pada satu jenis ikan saja
10
33,3
Menebang Mangrove
Dilakukan diwaktu musim-musim sulit, yakni pada bulan Juli-Oktober untuk mengantisipasi ketidakpastian hasil tangkapan.
6
20
Sosial
Ekologi
Lain
Sumber: Data Primer diolah, 2011
Karakteristik
Responden n %
Dimensi
78
BAB VIII ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK NELAYAN DENGAN STRATEGI ADAPTASI Terdapat empat variabel karakteristik rumah tangga nelayan yang akan diuji hubungannya dengan strategi adaptasi nelayan, yakni usia, tingkat pendidikan, pengalaman nelayan, jumlah anggota rumah tangga nelayan. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah karakteristik rumah tangga nelayan yang berbeda berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilihnya. Selain karakteristik rumah tangga nelayan, yang akan diuji hubungannya adalah karakteristik usaha nelayan dengan strategi adaptasi. Strategi adaptasi nelayan tersebut meliputi penganekaragaman sumber pendapatan (berkebun, usaha pembudidayaan rumput laut, buruh bangunan, buruh perusahaan), penganekaragaman alat tangkap, memanfaatkan hubungan sosial (hubungan keluarga, hubungan kekerabatan dan pertetanggaan), mengubah daerah tangkapan, memobilisasi anggota rumah tangga untuk ikut mencari kerja, dan strategi lainnya (menebang pohon di kawasan yang berstatus cagar alam tersebut). 8.1. Hubungan Usia dengan Strategi Adaptasi Hubungan karakteristik usia responden dengan strategi adaptasi nelayan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 for windows dengan model uji Chi Square. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan antara usia responden yang berbeda dengan strategi adaptasi yang dipilih oleh nelayan. Usia responden digolongkan kedalam tiga kategori, yakni muda, dewasa, dan tua. Sedangkan strategi adaptasi, seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dikategorikan menjadi penganekaragaman sumber pendapatan, penganekaragaman alat tangkap, mengubah
daerah
tangkapan,
memanfaatkan
memobilisasi anggota keluarga dan strategi lainnya.
hubungan
sosial,
79
Tabel 13 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Usia Usia Muda Dewasa Tua Jumlah Approx.Sig.
Strategi Adaptasi Nelayan (%) A 10 20 23,3 53,3 0,196
B 10 13,3 10 33,3 0,592
Sumber : Data Primer diolah, 2011 Keterangan : A= Penganekaragaman Sumber Pendapatan B= Penganekaragaman Alat Tangkap C= Daerah Penangkapan
C 0 13,3 3,3 16,6 0,289
D 10 26,7 13,3 50 0,915
E 6,7 20 6,7 33,4 0,670
F 10 6,7 3,3 20 0,120
D= Memanfaatkan Hubungan Sosial E= Mobilisasi Anggota Rumah Tangga F= Strategi Lainnya
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 13 diketahui bahwa strategi adaptasi dengan menganekaragamkan sumber pendapatan dilakukan oleh 10 persen usia muda, 20 persen usia dewasa, dan 23,3 persen usia tua. Strategi adaptasi menganekaragamkan alat tangkap dilakukan oleh 10 persen usia muda, 13,3 persen usia dewasa, dan 10 persen usia tua, strategi mengubah daerah tangkapan tidak dilakukan usia muda, tetapi dilakukan oleh 13,3 persen usia dewasa, dan 3,3 persen usia tua. Strategi memanfaatkan hubungan sosial dilakukan oleh 10 persen usia muda, 26,7 persen usia dewasa, dan 13,3 persen usia tua, strategi memobilisasi anggota rumah tangga dilakukan oleh 6,7 persen usia muda, 20 persen usia dewasa, dan 6,7 persen usia tua. sedangkan strategi lainnya, yakni menebang pohon mangrove dan mengandalkan batuan dilakukan oleh 10 persen usia muda, 6,7 persen usia dewasa, dan 3,3 persen usia tua. Hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square menemukan bahwa usia dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv sama dengan 0,196 (lebih besar 0,05). Usia dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv sama dengan 0,592 (lebih besar dari α (0,05)). Usia dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,289) lebih besar dari α (0,05). Usia dengan strategi adaptasi memanfaatkan hubungan sosial tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,915) lebih besar dari α (0,05). Usia dengan mobilisasi anggota
80
rumah tangga tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,670) lebih besar dari α (0,05). Sedangkan usia dengan strategi lainnya tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,120) lebih besar dari α (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usia tidak berhubungan dengan pilihan-pilihan adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis. Uji hubungan tersebut menandakan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan strategi adaptasi nelayan. Nilai Approx.Sig. pada tabel yang lebih besar dari α (0,05) menandakan bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara usia dengan pilihan adaptasi nelayan. Hal tersebut dapat dikarenakan tidak terdapat pemisahan yang berarti antara usia muda dan tua. Dalam melakukan aktivitas melautnya, nelayan usia tua sering mengajarkan teknik-teknik melaut dan cara menghadapi tantangantantangan di laut kepada nelayan usia muda.
8.2.Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Strategi Adaptasi Hubungan karakteristik tingkat pendidikan responden dengan strategi adaptasi nelayan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 for windows dengan model uji Chi Square. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan responden yang berbeda dengan strategi adaptasi yang dipilih oleh nelayan. Tingkat pendidikan responden digolongkan kedalam tiga kategori, yakni rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD), sedang (SMP), tinggi (SMA). Tabel 14 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Rendah Sedang Tinggi Jumlah Approx.Sig.
Strategi Adaptasi Nelayan (%) A 30 20 3,3 53,3 0,091
B 20 13,3 0 33,3 0,127
Sumber : Data Primer diolah, 2011 Keterangan : A= Penganekaragaman Sumber Pendapatan B= Penganekaragaman Alat Tangkap C= Daerah Penangkapan
C 10 6,7 0 16,7 0,438
D 23,3 6,7 20 50 0,16
E 16,7 6,7 10 33,4 0,597
F 6,7 3,3 10 20 0,121
D= Memanfaatkan Hubungan Sosial E= Mobilisasi Anggota Rumah tangga F= Strategi Lainnya
81
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 14 diketahui bahwa strategi adaptasi dengan menganekaragamkan sumber pendapatan dilakukan oleh 30 persen responden berpendidikan rendah, 20 persen responden berpendidikan sedang, dan 3,3 persen responden berpendidikan tinggi. Strategi adaptasi menganekaragamkan alat tangkap dilakukan oleh dilakukan oleh 20 persen responden berpendidikan rendah, 13,3 persen responden berpendidikan sedang, dan tidak ada responden yang berpendidikan tinggi melakukan strategi ini. Pada strategi mengubah daerah tangkapan dilakukan oleh 10 persen responden berpendidikan rendah, 6,7 persen responden berpendidikan sedang, dan tidak ada responden
berpendidikan tinggi
yang
melakukan
ini.
Strategi
memanfaatkan hubungan sosial dilakukan oleh 23,3 persen responden berpendidikan rendah, 6,7 persen responden berpendidikan sedang, dan 20 persen responden berpendidikan tinggi. Strategi memobilisasi anggota rumah tangga dilakukan oleh 16,7 persen responden berpendidikan rendah, 6,7 persen responden berpendidikan sedang, dan 10 persen responden berpendidikan tinggi. Sedangkan strategi lainnya, yakni menebang pohon mangrove dan mengandalkan batuan dilakukan oleh 6,7 persen responden berpendidikan rendah, 3,3 persen responden berpendidikan sedang, dan 10 persen responden berpendidikan tinggi. Hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square didapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan
tidak berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilih
nelayan. Hasil uji hubungan antara tingkat pendidikan dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan menghasilkan nilai 0,091 yang berarti tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan (Pv 0,091 lebih besar dari α 0,05). Tingkat pendidikan dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv sama dengan 0,127 yang berarti lebih besar dari nilai α (0,05). Tingkat pendidikan dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,438) lebih besar dari α (0,05). Tingkat pendidikan dengan
82
strategi adaptasi memanfaatkan hubungan sosial tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,16) lebih besar dari α (0,05). Tingkat pendidikan dengan mobilisasi anggota rumah tangga tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,597) lebih besar dari α (0,05). Sedangkan tingkat pendidikan dengan strategi lainnya tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,121) lebih besar dari α (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan pilihan-pilihan adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis. Nilai Approx.Sig. pada tabel yang lebih besar dari α (0,05) menandakan bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pilihan adaptasi nelayan. Hal ini dikarenakan pendidikan yang didapatkan oleh nelayan merupakan pendidikan Kejar Paket A, Paket B, dan Paket C yang dilaksanakan pada tahun 2010, sedangkan proses adaptasi dan pilihan-pilihan tindakan yang dilakukan nelayan telah ada jauh sebelum nelayan mengenyam pendidikan.
8.3.Hubungan antara Pengalaman sebagai Nelayan dengan Strategi Adaptasi Hubungan karakteristik pengalaman responden dengan strategi adaptasi nelayan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 for windows dengan model uji Chi Square. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan antara pengalaman responden yang berbeda dengan strategi adaptasi yang dipilih oleh nelayan. Pengalaman responden menjadi nelayan digolongkan kedalam tiga kelompok, yakni pengalaman rendah, pengalaman sedang, dan pengalaman tinggi.
83
Tabel 15
Sebaran Strategi Pengalaman Melaut
Pengalaman Nelayan Rendah Sedang Tinggi Jumlah Approx. Sig.
Adaptasi
Nelayan
berdasarkan
Strategi Adaptasi Nelayan (%) A 10 20 23,3 53,3 0,069
B 13,3 10 10 33,3 0,953
C 6,7 6,7 3,3 16,7 0,861
Sumber : Data Primer diolah, 2011 Keterangan : A= Penganekaragaman Sumber Pendapatan B= Penganekaragaman Alat Tangkap Anggota Rumah tangga C= Daerah Penangkapan
D 20 16,7 13,3 50 0,904
E 13,3 13,3 6,7 33,3 0,689
F 6,7 10 3,3 20 0,579
D= Memanfaatkan Hubungan Sosial E= Mobilisasi F= Strategi Lainnya
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 15 diketahui bahwa strategi adaptasi dengan menganekaragamkan sumber pendapatan dilakukan oleh 10 persen responden dengan pengalaman rendah, 20 persen responden berpengalaman sedang, dan 23,3 persen responden berpengalaman tinggi. Strategi adaptasi menganekaragamkan alat tangkap dilakukan oleh dilakukan oleh 13,3 persen responden berpengalaman rendah, 10 persen responden berpengalaman sedang, dan 10 persen responden yang berpengalaman tinggi. Pada strategi mengubah daerah tangkapan dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan pengalaman rendah, 6,7 persen responden berpengalaman sedang, dan hanya 3,3 persen responden yang berpengalaman tinggi. Strategi memanfaatkan hubungan sosial dilakukan oleh 20 persen responden berpengalaman rendah, 16,7 persen responden
berpengalaman
sedang,
dan
13,3
persen
responden
berpengalaman tinggi. Strategi memobilisasi anggota rumah tangga dilakukan oleh 13,3 persen responden berpengalaman rendah, 13,3 persen responden
berpengalaman
sedang,
dan
6,7
persen
responden
berpengalaman tinggi. Sedangkan strategi lainnya, yakni menebang pohon mangrove dan mengandalkan batuan dilakukan oleh 6,7 persen responden berpengalaman rendah, 10 persen responden berpengalaman sedang, dan 3,3 persen responden berpengalaman tinggi.
84
Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square didapatkan hasil bahwa pengalaman tidak berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilih nelayan.
Nilai Approx.Sig. pada tabel yang lebih besar dari α (0,05)
menandakan bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara pengalaman nelayan dengan pilihan adaptasi nelayan. Antara pengalaman nelayan dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,069) lebih besar dari α (0,05). Pengalaman nelayan dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,953) lebih besar dari α (0,05). Pengalaman nelayan dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,861) lebih besar dari α (0,05). Pengalaman nelayan dengan strategi adaptasi memanfaatkan hubungan sosial tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,904) lebih besar dari α (0,05). Pengalaman nelayan dengan mobilisasi anggota rumah tangga tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,689) lebih besar dari α (0,05). Sedangkan pengalaman dengan strategi lainnya tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,579) lebih besar dari α (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengalaman tidak berhubungan dengan pilihan-pilihan adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis. Pengalaman nelayan hanya memiliki hubungan dengan persepsinya terhadap perubahan ekosistem pesisir. Sedangkan jika dikaitkan dengan strategi adaptasinya terhadap perubahan ekologis, didapatkan hasil tidak ada hubungan antara pengalaman nelayan dengan strategi adaptasi. Hal ini dapat terjadi karena karakteristik masyarakat nelayan Pulau Panjang yang bersifat komunal sehingga karakteristik individu nelayan tidak terlalu berpengaruh terhadap tindakan-tindakan adaptasinya.
8.4.Hubungan antara Jumlah Anggota Rumah Tangga dengan Strategi Adaptasi Hubungan karakteristik jumlah anggota rumah tangga responden dengan strategi adaptasi nelayan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16
85
for windows dengan model uji Chi Square. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan antara jumlah anggota rumah tangga responden yang berbeda dengan strategi adaptasi yang dipilih oleh nelayan. Jumlah anggota rumah tangga responden digolongkan kedalam tiga kategori, yakni jumlah anggota rumah tangga kecil, menengah, dan jumlah anggota rumah tangga besar. Tabel 16 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga Strategi Adaptasi Nelayan (%) Jumlah Anggota Rumah Tangga F A B C D E 6,7 20 16,7 6,7 13,3 13,3 Kecil 10 30 13,3 10 36,7 20 Sedang 3,3 3,3 3,3 0 0 0 Besar 20 53,3 33,3 16,7 50 33,3 Jumlah 0,992 0,425 0,807 0,117 0,584 0,547 Approx. Sig. Sumber : Data Primer diolah, 2011 Keterangan : A= Penganekaragaman Sumber Pendapatan B= Penganekaragaman Alat Tangkap C= Daerah Penangkapan
D= Memanfaatkan Hubungan Sosial E= Mobilisasi Anggota Rumah tangga F= Strategi Lainnya
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 16 diketahui bahwa strategi adaptasi dengan menganekaragamkan sumber pendapatan dilakukan oleh 20 persen responden dengan jumlah anggota rumah tangga kecil, 30 persen responden jumlah anggota rumah tangga sedang,
dan 3,3 persen
responden jumlah anggota rumah tangga besar. Strategi adaptasi menganekaragamkan alat tangkap dilakukan oleh dilakukan oleh 16,7 persen responden dengan jumlah anggota rumah tagga kecil, 13,3 persen responden jumlah anggota rumah tangga sedang, dan 3,3 persen responden yang jumlah anggota rumah tangganya besar. Pada strategi mengubah daerah tangkapan dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan jumlah anggota rumah tangga kecil, 10 persen responden dengan jumlah anggota rumah tangga sedang, dan tidak ada yang melakukan ini pada responden yang jumlah anggota rumah tangganya besar. Strategi memanfaatkan hubungan sosial dilakukan oleh 13,3 persen responden jumlah anggota rumah tangga kecil, 36,7 persen responden jumlah anggota rumah tangga
86
sedang, dan tidak ada responden dengan jumlah anggota rumah tagga besar yang melakukan ini. Strategi memobilisasi anggota rumah tangga dilakukan oleh 13,3 persen responden yang memiliki jumlah anggota rumah tangga kecil, 20 persen responden dengan jumlah anggota rumah tangga sedang, dan tidak ada responden dengan jumlah anggota rumah tangga besar yang melakukan ini. Sedangkan strategi lainnya, yakni menebang pohon mangrove dan mengandalkan batuan dilakukan oleh 6,7 persen responden yang memiliki jumlah anggota rumah tangga kecil, 10 persen responden dengan jumlah anggota rumah tangga sedang, dan 3,3 persen responden dengan jumlah anggota rumah tangga besar. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square didapatkan hasil bahwa jumlah anggota rumah tangga tidak berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilih nelayan. Nilai Approx.Sig. pada tabel yang lebih besar dari α (0,05) menandakan bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara jumlah anggota rumah tangga nelayan dengan pilihan adaptasinya. Antara jumlah anggota rumah tangga dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,992) lebih besar dari α (0,05). Jumlah anggota rumah tangga dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,425) lebih besar dari α (0,05). Jumlah anggota rumah tangga dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,807) lebih besar dari α (0,05). Jumlah anggota rumah tangga dengan strategi adaptasi memanfaatkan hubungan sosial tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,117) lebih besar dari α (0,05). Jumlah anggota rumah tangga dengan mobilisasi anggota rumah tangga tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,584) lebih besar dari α (0,05). Sedangkan jumlah anggota rumah tangga dengan strategi lainnya tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,547) lebih besar dari α (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jumlah anggota rumah tangga nelayan tidak berhubungan dengan pilihan-pilihan adaptasinya terhadap perubahan ekologis.
87
8.5. Hubungan Tingkat Teknologi Penangkapan dengan Strategi Adaptasi Hubungan karakteristik teknologi penangkapan responden dengan strategi adaptasi nelayan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 for windows dengan model uji Chi Square. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat
hubungan antara
tingkat
teknologi
penangkapan yang berbeda dengan strategi adaptasi yang dipilih oleh nelayan. Tingkat teknologi penangkapan digolongkan kedalam tiga kategori, yakni rendah (ketinting),sedang (swan), dan tinggi (balapan). Tabel 17 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Tingkat Teknologi Penangkapan Tingkat Teknologi Penangkapan Rendah Sedang Tinggi Jumlah Approx. Sig.
Strategi Adaptasi Nelayan (%) A
B
C
D
E
F
6,7 16,7 30,0 53,3 0,700
6,7 3,3 23,3 33,3 0,638
0,0 3,3 13,3 16,7 0,629
6,7 6,7 36,7 50,0 0,884
3,3 6,7 23,3 33,3 0,894
0,0 6,7 13,3 20,0 0,323
Sumber : Data Primer diolah, 2011 Keterangan : A= Penganekaragaman Sumber Pendapatan B= Penganekaragaman Alat Tangkap C= Daerah Penangkapan
D= Memanfaatkan Hubungan Sosial E= Mobilisasi Anggota Rumah tangga F= Strategi Lainnya
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 17 diketahui bahwa strategi adaptasi dengan menganekaragamkan sumber pendapatan dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap rendah, 16,7 persen responden pemilik armada tangkap sedang, dan 30 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap tinggi. Strategi adaptasi menganekaragamkan alat tangkap dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan kepemilikan armada tinggi, 3,3 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap sedang, dan 23,3 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap tinggi. Pada strategi mengubah daerah tangkapan tidak dilakukan oleh responden dengan kepemilikan armada tangkap rendah, tetapi dilakukan oleh 3,3 persen responden dengan kepemilikan armada sedang, dan dilakukan juga oleh 13,3 persen
88
responden dengan kepemilikan armada tinggi. Strategi memanfaatkan hubungan sosial dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap rendah, 6,7 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap sedang, dan 36,7 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap tinggi. Strategi memobilisasi anggota rumah tangga dilakukan oleh 3,3 persen responden dengan kepemilikan armada rendah, dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap sedang, dan 23,3 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap tinggi. Sedangkan strategi lainnya, yakni menebang pohon mangrove dan mengandalkan batuan dilakukan oleh 6,7
persen responden dengan
kepemilikan armada tangkap sedang, 13,3 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap tinggi, dan tidak dilakukan oleh responden pemilik armada tangkap rendah. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square didapatkan hasil bahwa jenis armada yang dimiliki nelayan tidak berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilih nelayan. Nilai Approx.Sig. pada tabel yang lebih besar dari α (0,05) menandakan bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat kepemilikan armada tangkap dengan pilihan adaptasinya. Antara tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,700) lebih besar dari α (0,05). Tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,638) lebih besar dari α (0,05). Tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,629) lebih besar dari α (0,05). Tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan strategi adaptasi memanfaatkan hubungan sosial tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,884) lebih besar dari α (0,05). Tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan mobilisasi anggota rumah tangga tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,894) lebih besar dari α (0,05). Sedangkan tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan
89
dengan strategi lainnya tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,323) lebih besar dari α (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemilikan armada tangkap tertentu pada komunitas nelayan tidak berhubungan dengan pilihan-pilihan adaptasinya terhadap perubahan ekologis.
90
BAB IX PENUTUP 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dari tujuan penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bentuk perubahan ekologis yang dirasakan oleh nelayan di lokasi penelitian meliputi: (a) perubahan pada ekosistem mangrove; dan (b) perubahan pada ekosistem terumbu karang. Perubahan ekologis di kawasan pesisir Pulau Panjang terjadi karena: (a) munculnya pelabuhanpelabuhan khusus di kawasan pesisir akibat berkembangnya pertambangan batubara; (b) pembukaan tambak udang dan bandeng oleh masyarakat; (c) penebangan liar; dan (d) pendirian pemukiman-pemukiman di kawasan pesisir tersebut. 2. Perubahan ekologis di kawasan pesisir Pulau Panjang berpengaruh pada kehidupan masyarakat nelayan. Dampak sosial-ekonomi yang dirasakan oleh nelayan Pulau Panjang adalah sebagai berikut: a) Menurunnya keanekaragaman ikan b) Hilangnya substrat c) Hilangnya mata pencaharian masyarakat d) Menurunnya kesempatan berusaha 3. Strategi adaptasi yang dilakukan nelayan Pulau Panjang dalam mengatasi dampak perubahan ekologis tersebut lebih didominasi oleh pola-pola adaptasi yang sifatnya reaktif. Strategi adaptasi yang dilakukan nelayan Pulau Panjang meliputi: (a) Strategi penganekaragaman sumber pendapatan (dilakukan oleh 53,3 persen responden); (b) Strategi penganekaragaman alat tangkap (dilakukan oleh 33,3 persen responden); (c) Strategi mengubah daerah penangkapan (fishing ground) (dilakukan oleh 16,7 persen responden);
91
(d) Strategi memanfaatkan hubungan sosial (dilakukan oleh 50 persen responden); (e) Strategi memobilisasi anggota keluarga (dilakukan oleh 33,3 persen responden); dan (f) Strategi lainnya, yang meliputi penebangan pohon secara ilegal dan mengandalkan bantuan-bantuan (dilakukan oleh 20 persen responden). 4. Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan hasil bahwa karakteristik rumah tangga nelayan tidak berhubungan dengan pilihan strategi adaptasinya. 9.2. Saran Saran yang dapat disampaikan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penataan ulang kebijakan terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, baik ditingkat lokal maupun nasional. 2. Perlu dilakukan upaya dalam mengembangkan bentuk- bentuk mata pencaharian alternatif yang berbasis pada pengelolaan SDA berkelanjutan, tidak eksploitatif, memberikan nilai tambah yang tinggi, dan selaras dengan kultur masyarakat. 3. Perlu dilakukan upaya antisipasi dengan pendekatan ekonomi maupun sosial budaya guna mencegah dan mengeliminir potensi kerawanan sosial di masyarakat akibat menurunnya pendapatan yang disebabkan langkanya sumberdaya perikanan di daerah tersebut. 4. Selain itu, juga perlu ditingkatkan kapasistas sumberdaya manusia, kapasitas
pemerintah
desa,
kelembagaan
nelayan,
kelembagaan
perempuan, dan kelembagaan-kelembagaan lainnya agar dapat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
92
DAFTAR PUSTAKA Alfiasari, Martianto D, Dharmawan AH. 2009. Modal Sosial dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sereal dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Jurnal Sodality vol.03, No.01, April 2009. IPB Bogor Ancok D. 1989. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian. Singarimbun M dan Effendi S (ed.) 1989. Metode Penelitian Survai.Jakarta [ID]: LP3ES Andriati R. 1992. Peranan Wanita dalam Pengembangan Perekonomian Rumah Tangga Nelayan Pantai di Surabaya (Studi Kasus: Kejawan Lor, Kelurahan Kenjeran, Kecamatan Kenjeran, Kotamadya Surbaya). [tesis]. [internet]. [dikutip 11 Juli 2011]. Jakarta [ID]: Universitas Indonesia. Dapat diunduh dari: http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/files/disk1/229/jkptuipp-gdl-s2-1992retnoandri-11405-t63a.pdf. Anwar C, Gunawan H. 2006. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mngrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan.[internet]. [diunduh pada 24 Januari 2011]. Padang [ID]: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Hal 23-34. Dapat diunduh dari: http://www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf Bengen DG. 2004. Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan berbasis Eko-Sosiosistem. Jakarta [ID]: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. [BPS] Biro Pusat Statistik Kabupaten Tanah Bumbu. 2009. Tanah Bumbu dalam Angka. Tanah Bumbu [ID]: BPS Kabupaten Tanah Bumbu. ______. 2010. Tanah Bumbu dalam Angka. Tanah Bumbu [ID]: BPS Kabupaten Tanah Bumbu Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jakarta [ID]: PT. Pradnya Paramitha Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Rakyat (Kumpulan Pemikiran Rokhmin Dahuri). Jakarta [ID]: Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia (LIPSI). Dharmawan AH. 2007. Antropologi Budaya, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik. Adiwibowo S (ed.) 2007. Ekologi Manusia. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia IPB. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Pencemaran Minyak dan Valuasi Nilai Ganti Rugi Akibat Pencemaran. Jakarta [ID]: DKP ______. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2009.Jakarta [ID]: DKP
93
Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel. 2010. Laporan Akhir Pemetaan Spasial dan Pulau-Pulau Kecil. Banjarmasin [ID]: DKP Kalimantan Selatan Effendi TN, Tukiran, Helly PS. Pengolahan Data. Singarimbun M dan Effendi S (ed.) 1989. Metode Penelitian Survai.Jakarta [ID]: LP3ES Iwan L. 2003. Strategi Adaptasi Masyarakat Nelayan terhadap Perubahan Kelembagaan Lokal (Studi Kasus: Komunitas Nelayan Kel. Nipah Panjang I dan II, Kec. Nipah Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Keraf S. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta [ID]: Kompas. [KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2002. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta ______. 2009. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta Khazali, Bengen DG, Nikijuluw VPH. 2001. Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat). Jurnal Pesisir dan Lautan Volume 4, Nomor 3, 2002 Kiswara. 1994. Dampak Perluasan Kawasan Industri terhadap Penurunan Luas Padang Lamun di Teluk Banten, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Dampak Pembangunan terhadap Wilayah Pesisir. [internet]. [diunduh pada 25 Januari 2011]. Serpong: Pusat Litbang Oseanografi-LIPI. Dapat diunduh dari: http://www.coremap.or.id/downloads/0587.pdf. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Buku Statistik Perikanan tahun 2008. Jakarta [ID]: Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung [ID]: Humaniora Utama Press. ______. 2009. Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir. Jogjakarta [ID]: Lembaga Penelitian Universitas Jember dan Ar-Ruzz Media Kusumastanto T. 2000. Sistem Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir. Makalah disampaikan dalam Diseminasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Jawa Barat. Bandung. Marten GG. 2001. Human Ecology: Basic Concepts for Sustainable Development. London [UK]: Earthscan Publication Ltd Marzuki M. 2002. Perubahan Pola Adaptasi Etnik Kaili dalam Pengelolaan Mangrove (Studi Kasus: Etnik Kaili Unde di Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah). [tesis]. Depok [ID]: Universitas Indonesia. Mulyadi. 2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta [ID]: PT. Raja Grafindo Persada
94
Prameswari A. 2004. Strategi Nafkah Rumah tangga Nelayan beragam Lapisan dalam Menghadapi Risiko Keamanan Berusaha. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Purwoko A. 2005. Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove) terhadap Pendapatan Masyarakat Pantai di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Saharuddin. 2007. Antropologi Ekologi. Adiwibowo S (ed.) 2007. Ekologi Manusia. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia IPB. Sastrawidjaja dan Manadiyanto. 2002. Nelayan Nusantara. Jakarta [ID]: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Satria A, Umbari A, Fauzi A, Purbayanto A, Sutarto E, Muchsin I, Muflikhati I, Karim M, Saad S, Oktariza W, Imran Z. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta [ID]: Cidesindo. Satria A. 2007. Ekologi Politik. Adiwibowo S (ed.) 2007. Ekologi Manusia. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia IPB. Satria A. 2009a. Globalisasi Perikanan: Reposisi Indonesia. Bogor [ID]: IPB Press ______. 2009b. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor [ID]: IPB Press Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif. Bogor [ID]: Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial Fakultas Pertanian IPB. Sugiah SM. 2008. Modul Kuliah Pendidikan Orang Dewasa. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Sumarti T dan Saharudin. 2001. Model Kelembagaan Ekonomi Lokal untuk Pemberdayaan Masyarakat Nelayan dalam Pengelolaan Pertanian Kawasan Pesisir dan Pedesaan Nelayan. Bogor [ID]: Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi Susanto RD. 2009. Analisis Perubahan Sosial dan Institusi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor Take RE. 2009. “Studi Kasus,” Handbook of Qualitative Research. (Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Eds.). Yogyakarta [ID]: Pustaka Pelajar. Tim Pemetaan Swadaya. 2010. Hasil Pemetaan Swadaya Desa Pulau Panjang. Tanah Bumbu [ID]: Yayasan Gada Ulin. ______. 2011. Hasil Pemetaan Swadaya Desa Pulau Panjang. Tanah Bumbu [ID]: Yayasan Gada Ulin.
95
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan. Wahyono A, Antariksa IGP, Masyhuri I, Indrawasih R, Sudiyono. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Yogyakarta [ID]: Media Pressindo Widodo J dan Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta [ID]: Gajah Mada University Press Widyatun dan Aji. 2008. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II Desa Botohilitano, Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan. Pusat Penelitian Kependudukan COREMAP-LIPI [WRI] World Resources Institute. 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. Laporan Penelitian. [internet]. [diunduh pada 15 Januari 2011]. USA: WRI-UNEP-WCMCICLARM-ICLAN. Dapat diunduh dari : http://pdf.wri.org/rrseasia_full.pdf.
96
Lampiran 1. Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data No Kebutuhan Data Metode Jenis Data Sumber Data
1
2
Kondisi Umum Lokasi
Studi literatur, Wawancara, Pengamatan
Primer, Sekunder
Pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan literatur
Profil Sejarah Lokasi
Studi literatur, Wawancara
Primer, sekunder
Tokoh masyarakat, pemerintah desa, dan literatur
Penggolongan dan Kondisi Sosial-Ekonomi Nelayan - Karakteristik RT - Karakteristik Usaha
Studi literatur, wawancara, pengamatan berperan serta, survei
Primer, sekunder
Nelayan, tokoh masyarakat, pemerintah desa, literatur, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Bumbu
4
Kondisi Ekosistem Pesisir dan Gejala Perubahan Ekologis
Studi literatur, wawancara, pengamatan berperan serta, survei
Primer, sekunder
Nelayan, Pemerintah Desa, Literatur
5
Profil Aktivitas Pertambangan di sekitar Kawasan
Penelusuran dokumen, wawancara
Sekunder
PT. AI dan Perusahaan lainnya
6
Pengaruh Gejala Perubahan Ekologis terhadap Aktivitas Nelayan
Wawancara, pengamatan berperan serta, survei
Primer, sekunder
Nelayan, Pemerintah Desa, Tokoh Masyarakat
7
Adaptasi Sosial-Ekonomi Nelayan terhadap Perubahan Ekologis
Wawancara, pengamatan berperan serta, survei
Primer, sekunder
Nelayan, Pemerintah Desa, Tokoh Masyarakat, dan Literatur
3
97
Lampiran 2 Populasi dan Responden Penelitian No. Nama Pekerjaan Utama No. Nama 1 RHD Pengangguran 35 SND 2 JUR Aparat Desa 36 JUN 3 HNK Nelayan 37 MAS 4 ALS Pengangguran 38 MAR 5 BDS Petani Kebun 39 JMD 6 PND Nelayan 40 MAD 7 RMN Nelayan 41 NYA 8 SNI Nelayan 42 SAR 9 CND Penjaga Sekolah 43 YUD 10 JMS Nelayan 44 SNU 11 IMN Nelayan 45 HDN 12 HNW Pedagang Kecil 46 SUD 13 AHS Nelayan 47 DDN 14 ADR Aparat Desa 48 ANI 15 SDH Pengangguran 49 ARD 16 MBD Buruh 50 KSN 17 SMS Aparat Desa 51 BAH 18 ALM Kepala Desa 52 ABD 19 KUN Nelayan 53 OPK 20 KNI Nelayan 54 ANT 21 TBE Nelayan 55 SUN 22 DRN Penyadap Aren 56 SMB 23 HDR Petani Kebun 57 USM 24 JMN Petani Kebun 58 NNN 25 NMS Nelayan 59 STE 26 MUR Petani Kebun 60 JMD 27 MNS Petani Musiman 61 ADM 28 NNG Pengangguran 62 MDI 29 HNI Guru Ngaji 63 TNA 30 MHD Penjual Air Bersih 64 SNS 31 MEL Sekdes 65 UDN 32 FRD Penjual Air Bersih 66 JMR 33 AMI Buruh Bangunan 67 TAJ 34 BHR Buruh Keterangan: Responden
Pekerjaan Utama Buruh Bangunan Nelayan Nelayan Petani Kebun Nelayan Nelayan Nelayan Warung Kecil Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan Penyadap Aren Buruh Perusahaan Nelayan Nelayan Nelayan Pengangguran Nelayan Nelayan Nelayan Nelayan-Petambak Nelayan-Petambak Nelayan-Petambak Nelayan-Petambak Nelayan-Petambak Nelayan Buruh Nelayan-Petambak Petani Kebun
98
Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian
Pembukaan Hutan Mangrove
Salah satu Pelsus di kawasan P.Panjang
Hasil Tangkapan Nelayan
Perahu Jenis Balapan/Klotok
Usaha Alternatif: Rumput Laut
Pembibitan Mangrove oleh Masyarakat yang difasilitasi salah satu perusahaan swasta
Alat tangkap: Rawai
FGD dengan nelayan di pantai
99
Lampiran 4 Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS KAWASAN PESISIR
No. Kuesioner
:
Tanggal Wawancara
:
Jam
:
I.
KARAKTERISTIK RESPONDEN
1
Nama
:
2
Umur
:
3
Jenis Kelamin
: a. Tidak Sekolah b. SD/sederajat c. SMP/sederajat
d. SMA/sederajat e. Perguruan Tinggi
a.Bangunan sendiri c.Kontrak/kost
b. Menumpang d. Lainnya: _______
4
Pendidikan Terakhir
:
5
Lamanya tinggal di Desa P.Burung
:
6
Status Tempat Tinggal
:
7
Pengalaman sebagai nelayan (tahun)
:
8
Jumlah Anggota Rumah tangga
9
Pendapatan Keluarga selama 1 bulan terakhir Anggota Keluarga Kepala Keluarga Istri Anak/lainnya Bantuan Total
:
a. Isteri b. Anak kandung c. Anak angkat d. Lainnya
______________ ______________ ______________ ______________
Pendapatan (Rp/bulan) dari Jenis Pekerjaan Utama Sampingan Total
100
10
Dana Bantuan yang Pernah Diterima Keluarga
Tahun
Jenis Bantuan
Pemberi Bantuan
Jumlah Bantuan
1. Raskin 2. Pelayanan Kesehatan 3. Pendidikan 4. Dana Kompensasi BBM 5. Donasi Perusahaan 6. Bantuan Lainnya: a. ................................. b. ................................. c. .................................
11
Perkiraan Pengeluaran Rumah Tangga dalam 1 bulan terakhir
Sumber Pengeluaran i
Makanan
ii
Rokok
iii
Bahan Bakar (Solar,Minyak Tanah,dll)
iv
Pendidikan Anggota Keluarga
v
Pemeliharaan Badan/Kesehatan (sabun,odol,obatobatan,dll)
vi Pakaian vii Pengeluaran Lainnya Total Pengeluaran
Jumlah Konsumsi
Harga per Satuan (Rp)
Frekuensi Konsumsi (kali/bulan)
Perkiraan Pengeluaran
101
II.
KARAKTERISTIK USAHA NELAYAN
No
Parameter Armada Tangkap
12
Status Usaha
13
Jenis Armada Penangkapan
Respon Nelayan
Panjang Kapal
i
Lebar Kapal
ii
Tinggi Kapal
iii
Bahan Material Kapal
iv
Umur Operasi Kapal
v
Jenis Bahan untuk (papan lambung, lunas,gading)
vi
Harga 1 unit Kapal
vii
Daya Mesin Kapal
viii
Merk Mesin
ix
Harga 1 unit Mesin
x
Ukuran GT Kapal
xi
14
Daerah Jangkauan Penangkapan
15
Jenis Alat Tangkap yang digunakan
Musim
Lama Musim (bulan)
Periode (bulan) ........-........
Lama per Trip (hari)
Jumlah Trip per bulan (kali)
Musim Banyak Ikan (.................................) Musim Paceklik (.................................) Musim Peralihan (.................................) Rata-rata Hasil Tangkapan per Trip (sebelum dan sesudah terjadi perubahan ekologis) Hasil Tangkapan per trip (kg) Jenis Ikan
Musim Biasa Musim Banyak Ikan Musim Paceklik Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
102
III. PERUBAHAN EKOLOGIS 3.1. Kondisi Ekosistem Pesisir (1=sangat baik, 2= baik, 3= buruk, 4=sangat buruk) No
Jenis Perubahan
16
Kondisi ekosistem mangrove
17
Kondisi ekosistem terumbu karang
18
Jumlah tangkapan ikan
19
Keragaman jenis tangkapan ikan
20
Kondisi / kualitas air laut
21
Kondisi / kualitas udara
Sebelum Sesudah
3.2. Penyebab Perubahan Ekologis No
Jenis Perubahan
Penyebab Perubahan
22
Kondisi ekosistem mangrove
a. b. c. d.
23
Kondisi ekosistem terumbu karang
a. b. c. d.
pengeboman jangkar kapal perubahan iklim/pemanasan global penyebab lainnya______________
Jumlah tangkapan ikan
a. b. c. d.
hancurnya karang hancurnya mangrove perubahan musim perubahan lainnya______________
Keragaman jenis tangkapan ikan
a. b. c. d.
hancurnya karang hancurnya mangrove perubahan musim perubahan lainnya______________
Kondisi / kualitas air laut
a. b. c. d.
perubahan iklim/pemanasan global pelabuhan khusus batubara curah hujan penyebab lainnya______________
Kondisi / kualitas udara
a. b. c. d.
perubahan iklim/pemanasan global pelabuhan khusus batubara penebangan liar penyebab lainnya______________
24
25
26
27
pelabuhan khusus batubara pembukaan lahan tambak penebangan untuk bahan bangunan penyebab lainnya______________
103
IV. PILIHAN ADAPTASI NELAYAN Apa yang Anda lakukan dalam menghadapi perubahan ekologis? Jika dampak yang dirasakan terhadap kehidupan Anda sangat besar. No 28
Tindakan Adaptasi Nelayan Penganekaragaman Sumber Pendapatan Saya bekerja sebagai kuli bangunan Saya bekerja membudidayakan rumput laut sebagai tambahan pendapatan Saya mengusahaka hasil-hasil kebun Saya melamar kerja di perusahaan
29
Penganekaragaman Alat Tangkap Saya menambah aneka jenis alat tangkap (rempa,rengge,pancing,rawe,rakang) Saya menambah jumlah alat tangkap saya (1/2/3/4/5) Saya mengubah target/sasaran tangkapan
30
Perubahan Daerah Tangkapan Saya mengetahui daerah-daerah yang banyak ikan Saya memperluas daerah penangkapan ikan agar mendapat lebih banyak tangkapan
31
Memanfaatkan Hubungan Sosial Saya meminta bantuan saudara jika sedang dilanda kesulitan Saya meminta bantuan tetangga jika sedang dilanda kesulitan Saya meminta bantuan bos/tauke jika sedang dilanda kesulitan
32
Memobilisasi Anggota Rumah Tangga Saya mengikutsertakan isteri saya untuk bekerja Saya mengikutsertakan anak saya untuk bekerja
33
Strategi Lainnya Saya menjual aset/barang yang masih dimiliki Saya mengandalkan bantuan dari berbagai pihak Saya pergi mencari pekerjaan di kota saat musim paceklik Saya menebang hutan mangrove
Ya
Tidak